Buku 075
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.
Dalam pada itu, Putut Nantang
Pati duduk di atas sebuah batu sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran yang serasa menyesakkan dadanya. Di
sekitarnya beberapa orang pengawalnya berjaga-jaga dengan senjata telanjang
untuk melindunginya selama ia mengerahkan kemampuannya, permulaan dari ilmu
yang didapatkannya dan Panembahan Agung. Ternyata bahwa ia sudah memberanikan diri
untuk melepaskan ilmu yang baru permulaannya saja didapatkannya itu dengan
akibat yang cukup melelahkan baginya.
Daksina yang berada di
belakannya memandangnya dengan cemas, ketika kemudian Putut Nantang Pati
menarik nafas dalam-dalam dan mengurai tangannya yang menyilang di dadanya,
maka Daksina pun ikut menarik nafas dalam-dalam pula.
“Ternyata kau juga sudah
mempelajari ilmu itu.”
“Baru mulai. Sebenarnya belum
waktunya aku mencoba kemampuanku.”
“Tetapi tentu telah
membingungkan orang-orang Mataram itu. Jika kau memang memiliki kemampuan itu,
sebenarnya kau akan dapat menumpas orang-orang Mataram di lembah itu dengan
membuat bentuk-bentuk semu.”
“Apakah kau sekarang percaya,
bahwa hal yang lebih dahsyat dapat dilakukan oleh Panembahan Agung.”
“Aku percaya. Tetapi aku tidak
tahu, apakah orang Mataram tidak memiliki kemampuan pemunah dari ilmu itu?”
“Ternyata tidak. Ilmu yang
belum dapat disebut, atau bahkan sebenarnya aku belum pantas menyebut diriku
menerima ilmu itu meskipun baru permulaannya, telah dapat membuat mereka
menjadi bingung. Kau dengar, bahwa mereka dengan mantap telah menyambut api
yang semu itu.”
”Tetapi apakah akhirnya mereka
mengetahui bahwa api itu sebenarnya hanya semu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
barangkali mereka menganggap itu sebagai suatu keajaiban. Aku mengharap bahwa
mereka menyangka, bahwa di daerah ini memang terdapat keajaiban itu. Hantu,
misalnya. Di Mentaok, hantu-hantu yang kami ciptakan ternyata telah gagal.”
“Kenapa kau tidak membantu
hantu-hantuanmu dengan caramu ini?”
“Seperti aku katakan, aku
sedang mencoba. Untuk mencoba satu kali seperti ini, aku memerlukan waktu
pemusatan pikiran yang lama. Dan sudah barang tentu aku tidak akan berani
mengulanginya malam ini. Jika sekali lagi aku mencoba, maka aku tidak akan mampu
menahan diri. Aku tentu akan pingsan, dan jika ada kesalahan pemulihan syaraf,
aku dapat menjadi gila. Gila adalah akibat buruk yang mungkin terjadi atas
mereka yang mempelajari ilmu serupa ini.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Lalu, ”Jika demikian, kenapa bukan Panembahan Agung sendiri yang
datang ke Mataram, dan dengan ilmunya, ia mengacaukan tata pemerintahan dan
hubungan yang ada di antara mereka.”
“Panembahan Agung hampir tidak
pernah meninggalkan padepokannya,” sahut Putut Nantang Pati, “kecuali jika ada
sesuatu yang luar biasa. Bukankah kau mengetahui, bahwa Panembahan Agung tidak
pernah keluar pagar batu padepokannya? Selama aku menjadi pengikutnya, baru
satu kali Panembahan Agung meninggalkan padepokannya.”
“Kapan dan untuk apa?”
“Pada saat Demak runtuh.”
“Demak tidak pernah runtuh.
Sepeninggal Sultan Demak, maka pemerintahan hanya berpindah ke Pajang.”
“Tetapi kebesaran Demak telah
runtuh, kekuasaan Sultan Pajang jauh berada di bawah kekuasaan yang sebenarnya
dari Sultan Demak. Apalagi perang di antara mereka yang merasa berhak mewarisi
kerajaan, membuat Pajang hanya sekedar abu dari kekuasaan yang pernah menyala
sebelumnya. Apalagi dibandingkan dengan kebesaran Majapahit.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam.
“Pada saat itulah maka
Panembahan Agung yang waktu itu masih lebih muda, pergi ke puncak gunung Merapi
untuk melihat kemungkinan yang bakal terjadi di pulau ini. Dari puncak gunung
itulah ia melihat bahwa Alas Mentaok seakan-akan menyala di malam hari. Tiga
hari tiga malam Panembahan Agung menyaksikan Alas Mentaok itu bagaikan bara.
Dan pada malam berikutnya, Panembahan Agung melihat segumpal cahaya yang
berwarna pulih kebiru-biruan meluncur dan jatuh di atas Alas Mentaok. Itulah
sebabnya, maka Panembahan Agung menganggap bahwa Mataram pada suatu saat akan
menjadi pusat pemerintahan.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Jika demikian, maka Panembahan Agung sudah mempunyai rencana tersendiri bagi
Mataram. Dengan demikian, maka bagi Panembahan Agung, kekuatan Pajang yang ada
di padepokannya dan di padepokan Putut Nantang Pati itu hanya sekedar
pemanfaatan yang tidak akan diperhitungkan kelak.
Tetapi Daksina itu berkata di
dalam hatinya, ”Memang dahsyat sekali. Tetapi Kakang Tumenggung dan Kakang
Panji bukannya anak-anak kemarin sore. Terlebih-lebih lagi jika Paman Ajar di
Kleca ikut campur di dalam persoalan ini. Agaknya Panembahan Agung masih harus
membuat pertimbangan khusus jika ia sendirilah yang ingin berkuasa.”
Namun yang kemudian dikatakan
adalah, ”Jika demikian, jika menurut pandangan Panembahan Agung, berdasarkan
atas isyarat yang pernah diterimanya, bahwa Mataram akan menjadi pusat
pemerintahan, kenapa ia tidak mengerahkan semua kemampuan, tenaga dan apa pun
juga untuk merebut Mataram?”
“Itu tidak bijaksana. Selain
Panembahan Agung harus memperhitungkan kemampuan yang ada di Mataram sekarang,
juga pengaruh dan kewibawaan nama Ki Gede Pemanahan. Meskipun hubungan Mataram
dan Pajang agak renggang, namun jika Panembahan Agung menghancurkan Mataram
dengan kekuatan senjata, apabila berhasil, maka Panembahan akan berhadapan
dengan Pajang. Dan seperti yang kita ketahui, Pajang memiliki kemampuan dan
kekuatan yang tidak dapat dijajagi. Antara lain adalah Sultan Pajang sendiri,
yang menyimpan seribu macam ilmu di dalam dirinya. Ilmu yang dipelajari,
disadap dari guru-gurunya yang sakti, dan ilmu yang tiba-tiba saja ada pada
dirinya tanpa diketahuinya sendiri.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Sebenarnyalah yang katakan oleh Putut Nantang Pati itu benar. Bagi
Pajang, maka Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang diliputi oleh rahasia. Tidak
seorang pun dapat menjajagi kemampuan yang sebenarnya ada pada dirinya. Namun
bahwa Pajang tiba-tiba menjadi buram, karena Sultan Pajang itu tidak lagi
memiliki api perjuangan bagi perkembangan negerinya. Bahkan ia pun kemudian
tenggelam di dalam hidup yang di buatnya sendiri bagaikan sorga, meskipun hanya
sekedar bagi wadagnya.
Tetapi sikap Sutawijaya, telah
sangat mempengaruhinya. Sutawijaya adalah anak angkatnya yang sangat kasihinya.
Dan yang tiba-tiba saja telah meninggalkannya dalam tahtanya yang terasa
menjadi sepi.
Sejenak mereka yang ada di
atas tebing itu saling berdiam diri. Mereka tidak mendapat isyarat gerakan apa
pun dari para pengawal yang mengawasi pasukan Mataram dan Menoreh yang ada di
tebing.
“Ternyata aku memerlukan waktu
yang lama untuk memulihkan tenagaku,” berkata Putut Nantang Pati.
“Kenapa?”
“Sebenarnya belum waktunya aku
memaksa diri dengan ilmu itu. Tetapi aku ingin melakukannya. Dan kini terasa
badanku menjadi lemah.”
“Bagaimana dengan besok?”
“O, tentu sudah pulih kembali.
Sebelum fajar, tentu sudah mendapatkan tenagaku sepenuhnya. Dan sebelum fajar
kita sudah akan berada di pertahanan terakhir.”
“Tetapi apakah Panembahan
Agung juga mengalami keadaan seperti kau, jika ia melontarkan ilmunya itu ?”
“Tentu tidak. Meskipun ia
memerlukan pemusatan pikiran, tetapi ilmu itu sudah bekerja seolah-olah dengan
sendirinya jika ia menghendakinya.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan di dalam hatinya ia
merasa beruntung, bahwa ia akan dapat melihat dan mencoba mengetahui serba
sedikit rahasia dari ilmu yang aneh itu.
“Jika datang saatnya, Kakang
Tumenggung akan berterima kasih kepadaku, jika aku dapat mengatakan bagaimana
harus melawan ilmu itu,” namun kemudian, ”tetapi Paman Ajar di Kleca tentu
sudah tahu.”
Demikianlah maka Daksina dan
beberapa orang pengawal padepokan serta beberapa orang bekas prajurit Pajang
masih tetap berada di tempatnya. Mereka menunggu Putut Nantang Pati mendapatkan
kekuatannya kembali setelah ia memaksa diri dengan melontarkan ilmu yang
sebenarnya masih belum dikuasainya itu.
Baru ketika Putut Nantang Pati
merasa dirinya lebih baik, ia berdiri tertatih-tatih sambil berkata, ”Marilah,
kita mendahului para pengawal. Kita langsung pergi ke padepokan Panembahan
Agung. Biarlah anak-anak itu mengganggu orang-orang Mataram dengan anak panah,
atau biarlah mereka membuat beberapa buah obor yang sebenarnya. Jika
obor-oborku tadi berhasil menumbuhkan gambaran tentang keajaiban, maka
obor-obor yang akan dinyalakan oleh para pengawal dan ditancapkan di tebing,
akan menimbulkan tanggapan serupa.”
“Tetapi obor itu akan menyala
sampai pagi. Dan mereka akan menemukan bekas-bekasnya, sehingga tanggapan yang
semula akan larut karenanya, jika mereka menyangka bahwa yang dilihatnya
semalam juga hanya sekedar obor-obor biasa.”
“Obor-obor itu hanya akan
dibasahi dengan minyak sedikit saja, sehingga akan segera padam. Orang-orang
yang tinggal di sini akan mengambil obor itu dan menyembunyikannya.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa bertanya lagi, maka ia pun kemudian mengikuti Putut Nantang
Pati meninggalkan tebing.
Ternyata mereka tidak singgah
lagi di padepokan Putut Nantang Pati yang memang sudah dikosongkan. Mereka langsung
pergi ke padepokan Panembahan Agung diiringi oleh beberapa orang pengawal.
Meskipun malam masih disaput oleh gelap yang pekat, namun agaknya mereka sudah
terlalu biasa berjalan di tebing padas yang curam itu.
Para pengawal yang
ditinggalkan oleh Daksina mulai berusaha mengganggu pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh yang ingin mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.
Jika besok mereka akan menghadapi perang yang sebenarnya, maka mereka perlu
mengumpulkan tenaga untuk melayani lawannya. Mungkin sehari penuh mereka harus
bertempur. Mungkin bahkan masih akan berlanjut di hari kemudian.
Seperti yang dikatakan oleh
Putut Nantang Pati, maka satu dua orang mulai menyalakan obor dan pergi ke atas
tebing yang agak jauh.
Nyala api obor itu memang
dapat mengejutkan sesaat. Namun indra wadag orang-orang Mataram dan Menoreh
yang tajam, segera dapat membedakan obor itu dengan obor yang semu. Apalagi Ki
Argapati dan Kiai Gringsing.
“Agung Sedayu,” bertanya Kiai
Gringsing, ”kau melihat obor itu.”
“Ya, Guru,” jawab Agung
Sedayu.
“Kau melihat sesuatu selain
obor?”
“Aku melihat bayangan
seseorang, meskipun ia berusaha bersembunyi di balik pepohonan.”
“Nah, itulah bedanya dengan
obor yang tadi. Orang itu tentu akan mengganggu kita, seakan-akan obor yang
semu itu menyala lagi. Nah, kau tahu apa yang harus kau lakukan?”
“Maksud Guru?”
“Ambillah busurmu.”
“O,” Agung Sedayu pun kemudian
mengambil busur dan anak panah.
“Cepat, sebelum orang itu
pergi dan meninggalkan obor di tebing.”
Sejenak Agung Sedayu
termangu-mangu. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia berada di medan peperangan.
Itulah sebabnya, maka ia pun segera menarik busurnya meskipun dengan hati yang
berdebar-debar.
Agung Sedayu adalah seorang
anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, seakan-akan mewarisi
kemampuan ayahnya. Karena itu, maka ketika anak panahnya meluncur dengan cepat,
segera terdengar sebuah keluhan di atas tebing. Orang yang sedang berusaha
menancapkan obor, yang meskipun sebagian tubuhnya terlindung oleh gerumbul dan
pepohonan perdu, namun ternyata Agung Sedaya telah berhasil mengenai lengannya
yang memegang obor itu.
Sengatan anak panah itu sama
sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, maka obor ditangannya itu pun
bagaikan dilemparkannya ke dalam lembah berbatu padas.
Kawan-kawannya yang mendengar
keluhan itu pun segera mendekatinya. Beberapa buah obor yang seharusnya
ditancapkan di tempat yang agak memencar, seakan-akan telah berkumpul menjadi
satu.
“Kau dapat membidik mereka
Agung Sedayu,” berkata gurunya.
Sekali lagi Agung Sedayu
disentuh oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi ia mencoba memaksa dirinya untuk
menyadari, bahwa di dalam peperangan, tidak ada pilihan lain daripada berusaha
melemahkan lawan dengan segala cara.
Karena itu, selagi orang-orang
di atas tebing itu sedang sibuk menolong kawannya yang terluka, dan tanpa
mereka sadari, mereka telah mempergunakan obor-obor mereka justru untuk
menerangi luka di lengan itu, Agung Sedayu telah menarik busurnya sekali lagi.
Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Pandan Wangi, Swandaru dan
Prastawa, hampir bersamaan telah menyerang orang-orang yang sedang mengerumuni
kawannya yang terluka di atas tebing itu.
Sekali lagi terdengar sebuah
keluhan. Bukan dari satu orang. Agaknya anak panah yang meluncur itu telah
berhasil melukai lebih dari seorang sekaligus. Sejenak kemudian terjadi
kebingungan di antara mereka, Namun sejenak kemudian maka mereka pun segera
menghilang di balik gerumbul dan pepohonan sambil membawa kawan-kawan mereka
yang terluka.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Mau tidak mau ia mengakui kemampuan Agung Sedayu. Bidikannya
hampir tidak pernah salah.
“Mereka mencoba untuk membuat
kita semakin bingung,” berkata Kiai Gringsing kemudian, ”Mereka berusaha agar
kita menyangka, bahwa obor-obor itu pun tentu bukan obor yang sebenarnya.”
“Bagaimana Kiai
mengetahuinya?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Orang-orang yang membawa obor
itu berusaha meletakkan obor mereka di bibir tebing. Sudah barang tentu mereka
mengharapkan kesan, seakan-akan obor itu pun tidak ada bedanya dengan obor yang
sebenarnya hanya semu itu. Dengan demikian akan menimbulkan dugaan, bahwa ada
di antara mereka memiliki ilmu itu dengan baik.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Gringsing pun berkata selanjutnya,
”Tetapi sebenarnyalah bahwa untuk menimbulkan kesan yang pertama, orang itu
telah kehabisan tenaga, sehingga ia sudah tidak mampu lagi melakukannya.”
Dalam pada itu Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian duduk di antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka sama sekali tidak lagi merasa kantuk, karena hampir setiap orang
telah dicengkam oleh persoalan yang hampir serupa.
“Apakah kira-kira yang akan
dijumpainya besok di dalam perang yang tentu akan lebih besar dari yang pernah terjadi?”
mereka bertanya kepada diri sendiri.
Demikianlah, meskipun lawan
tidak lagi mengganggu di sisa malam itu, namun para pengawal dari Mataram dan
dari Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat lengah. Setiap saat mereka akan
dapat menerkam dengan segala cara. Karena itulah, maka bukan saja yang lagi
bertugas yang merasa wajib berjaga-jaga. Tetapi semuanya.
Jika ada di antara mereka yang
diserang oleh perasaan kantuk pula, maka mereka pun hanya dapat terlena
beberapa kejap saja sambil duduk memeluk lutut atau bersandar pepohonan.
Dalam pada itu, orang-orang
yang mencoba memasang obor di atas tebing, dengan tergesa-gesa meninggalkan
daerah yang terkutuk itu. Beberapa orang dari mereka telah terluka. Bahkan
salah seorang dari mereka terluka agak parah, karena sebuah anak panah telah
menancap di punggung.
Tetapi mereka tidak akan dapat
menghubungi dan menunggu perintah yang lain dari Putut Nantang Pati dan Daksina
karena keduanya telah mundur bersama pasukannya menempatkan diri pada
pertahanan terakhir di muka padepokan Panembahan Agung. Sedang yang ada di
padepokan Putut Nantang Pati sendiri tentu hanya sekedar pengawal yang bertugas
mengganggu perjalanan pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, yang dapat mereka
lakukan adalah sekedar menyingkir dan menyerahkan tugas mereka kepada
orang-orang lain. Namun yang lain pun menganggap bahwa permainan obor tentu
tidak akan berguna lagi. Karena itu, mereka memusatkan diri pada tebing yang
tinggi untuk menghujani pasukan yang bakal lewat dengan anak panah dan
tombak-tombak pendek.
Tetapi hal yang serupa itu
telah diperhitungkan oleh Raden Sutawijaya dan Ki Argapati, sehingga pasukan
mereka telah siap menghadapi setiap kemungkinan.
Demikianlah ketika matahari
mulai membayangkan warna-warna merah, maka pasukan di lembah itu pun telah
bersiap. Tetapi agaknya Sutawijaya menyadari sepenuhnya, bahwa di hadapannya
terbentang medan yang berat sekali.
Karena itu, maka Sutawijaya
pun berpendapat, bahwa pasukannya tidak akan dengan mudah dapat menyelesaikan
tugasnya. Mungkin mereka memerlukan waktu lebih dari sehari. Sehingga karena
itu, maka Sutawijaya pun harus mempersiapkan semua segi dari pasukannya.
Kemampuan, kekuatan jasmaniah dan ketahanannya, perbekalan dan persoalan yang
lain lagi.
Ternyata bahwa mereka tidak
dapat membiarkan kuda-kuda mereka terikat beberapa hari tanpa minum meskipun
diseputarnya terdapat rumput-rumput segar. Sehingga karena itu, maka dua orang
dari pasukan Pengawal Mataram dan dari Menoreh mendapat tugas untuk kembali memelihara
kuda-kuda mereka, sedang apabila perlu, Sutawijaya dan Ki Argapati harus telah
bersetuju untuk menyiapkan beberapa orang yang harus mengambil perbekalan
kembali ke Menoreh, dan bahkan jika perlu memanggil beberapa orang pasukan
Pengawal untuk memperkuat kedudukan mereka.
“Kita akan menjajagi,” berkata
Raden Sutawijaya, ”mudah-mudahan kita tidak memerlukan lagi. Baik pasukan mau
pun perbekalan.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Raden benar. Tetapi jika perlu, pasukan
Pengawal Menoreh dapat mempersiapkan diri dalam waktu setengah hari, sedang
pasukan cadangan dapat dipersiapkan dalam waktu satu hari satu malam.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berdesis, ”Ternyata pasukan Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh mempunyai susunan yang hampir sempurna, sehingga dalam waktu
yang singkat, sudah dapat digerakkan seluruhnya.”
“Bukan sempurna, Raden. Tetapi
karena pengalaman pahit di masa lampau, maka pasukan kami masih tetap di dalam
susunan yang mapan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia percaya sepenuhnya bahwa pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh susunannya tidak jauh berbeda dengan anak-anak muda yang menjadi
Pengawal Kademangan Sangkal Putung. Kedua daerah ini pernah mengalami masa yang
hampir saja mengguncangkan kelestarian daerah mereka, sehingga karena itu, maka
mereka justru mempunyai ketahanan diri yang mapan.
Dan tidak berbeda pula dan
bahkan memiliki susunan yang lebih tertib adalah pasukan Pengawal Mataram yang
sebagian disusun seperti dan oleh bekas prajurit-prajurit Pajang.
Ketika matahari kemudian mulai
melontarkan sinarnya di atas punggung pegunungan, maka mulailah pasukan yang
berada di lembah itu bergerak. Mereka menyadari bahwa pada suatu saat mereka
akan mendapat serangan kecil dari tebing. Namun serangan-serangan itu bukannya
lawan yang sebenarnya sehingga karena itu, maka mereka tidak boleh terpancang
pada serangan-serangan itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka tidak
harus berhati-hati, karena betapa pun juga anak panah yang dilontarkan dari
tebing itu akan mampu membunuh dalam arti yang sebenarnya.
Demikianlah, maka pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu mulai bergerak maju. Untuk
mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan, serta jebakan-jebakan yang akan
dapat mengganggu pasukan itu, maka atas persetujuan Raden Sutawijaya dan Ki
Argapati, maka pasukan itu pun berjalan dalam urutan yang panjang. Yang
berjalan di sisi kiri luar lembah yang agak luas itu adalah pasukan Pengawal
Mataram. Kemudian di sisi kanan adalah Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Berurutan dan bahkan kelompok demi kelompok saling membatasi diri beberapa
langkah.
Tetapi ternyata bahwa jalan
yang mereka lalui adalah daerah yang liar, sehingga mereka tidak dapat maju
dengan pesat.
Namun beberapa puluh langkah
kemudian, ternyata lembah itu menjadi semakin mudah dilalui. Bahkan pepohonan
pun menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya Raden Sutawijaya tertegun sejenak
sambil berdesis, ”Kita sampai ke daerah yang sering disentuh oleh tangan
manusia.”
“Tentu kita sudah dekat dengan
perkemahan atau padepokan atau semacam itu,” sahut Ki Lurah Branjangan.”
“Ya. Di hadapan kita itu tentu
daerah yang dapat ditanami. Lihat hijaunya lain dengan daerah yang liar. Di
sini pepohonan tumbuh tanpa diatur, sehingga jenis pohon apa pun tumbuh
bersama-sama. Tetapi menilik hijaunya daun, maka di depan kita tentu pategalan
yang sudah mengalami pemeliharaan.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian menunjuk sebuah tebing yang menjorok
sambil berdesis, ”Jika masih ada orang yang ingin mengganggu perjalanan kita,
maka tebing itu merupakan tempat yang paling baik untuk melakukannya.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.
Pada saat yang bersamaan di
sisi lain, Ki Argapati pun menunjuk tebing yang menjorok itu. Katanya, ”Kita
harus berhati-hati.”
“Kenapa, Ayah?” bertanya
Pandan Wangi.
“Tebing itu.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya, sehingga ia pun segera mempersiapkan
dirinya sambil berdesis kepada Prastawa, ”Beritahukan seluruh pasukan. Kita
harus berhati-hati.”
Prastawa pun kemudian surut
beberapa langkah. Diberitahukannya pemimpin kelompok terdepan dari pasukan
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian menjalar ke setiap telinga.
Ketika Prastawa melihat Kiai
Gringsing dan kedua muridnya yang berjalan agak di belakang, maka ia pun
mendekatinya sambil berkata, ”Tebing itu.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Katanya, ”Sebaiknya kita mempersiapkan anak panah dan busur.”
“Ya. Paman sudah memerintahkan
kepada seluruh pasukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dipalingkannya wajahnya kepada kedua muridnya yang ternyata
juga menyandang busur dan anak panah, yang didapatkannya dari para pengawal.
Ki Demang Sangkal Putung yang berada
beberapa langkah di belakang mereka, berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Kadang-kadang ia merasa aneh, bahwa kedatangannya ke Menoreh adalah untuk
melamar seorang gadis bagi anaknya. Namun tiba-tiba ia telah terlempar ke dalam
lembah yang liar di antara bukit-bukit padas ini. Bahkan, bersama anaknya ia
sudah berada di depan bahaya yang mungkin dapat merampas nyawanya.
“Bukan main,” katanya kepada
diri sendiri di dalam hatinya, ”kadang-kadang kita memang harus menjalani
liku-liku kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Jika karena
sesuatu hal, apakah Swandaru apakah Pandan Wangi yang tersentuh oleh tajamnya
senjata, maka kedatangan kami di Menoreh adalah sia-sia. Bahkan adalah suatu
kegagalan.”
Tetapi Ki Demang tidak dapat
menyalahkan siapa pun juga. Keadaan yang memang di luar kekuasaannya, bahkan di
luar kekuasaan Ki Argapati, dan telah menyeret pasukan pengawal Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh itu menyusur lembah ini.
Ki Demang terkejut ketika
Swandaru yang berhenti menunggunya menggamit lengannya. “Ayah,” berkata
Swandaru, ”marilah berjalan bersama kami.”
“Kenapa? Apakah kita sudah
dekat?”
“Tidak, Ayah. Tetapi tebing
yang menjorok itu mememerlukan perhatian yang khusus.”
Ki Demang mengangkat wajahnya.
Dilihatnya tebing yang menjorok itu. Dan ia pun mengerti, bahwa di atas tebing
itu mungkin tersembunyi beberapa orang lawan. Mereka dapat menggulingkan batu
dan batang-batang kayu seperti yang pernah mereka lakukan. Tetapi lembah di
sebelah tebing yang menjorok itu tidak menguntungkan untuk mengulangi cara itu.
”Tentu serangan dengan anak
panah,” desis Ki Demang.
“Kita sedang menduga,” sahut
Swandaru, ”mungkin memang demikian, tetapi mungkin tidak. Tetapi jika benar,
kita harus bersiap menghadapinya.”
“Baiklah,” berkata Ki Demang,
”tetapi aku dapat meminjam sebuah perisai dari seorang pengawal.”
“Dan pengawal itu?”
“Bersama-sama berlindung di
bawah dua orang kawannya yang berperisai juga.”
Swandaru tersenyum. Tetapi
Swandaru sendiri tidak memerlukan perisai. Jika perlu, cambuknya dapat
melindungnya. Dengan putaran secepat baling-baling, maka setiap anak panah akan
terlempar menjauhinya
Demikianlah pasukan itu
merayap semakin dekat. Dan Ki Demang telah berada bersama dengan Kiai Gringsing
dan kedua muridnya yang kemudian berjalan di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi
dan Prastawa.
Kini di hadapan mereka telah
berjalan lebih dahulu beberapa orang pengawal yang membawa perisai, agar mereka
dapat melindungi diri mereka dari serangan anak panah lawan.
Semakin dekat kedua pasukan
yang berjalan sebelah-menyebelah itu dari tebing yang menjorok, maka kedua
pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Beberapa orang telah mempersiapkan
perisai mereka, sedang yang lain mempersiapkan busur dan anak panah.
Hampir setiap mata memandang ke
arah tebing yang menjorok itu. Setiap pepohonan dan setiap gerumbul tidak
terlepas dari pengawasan, seakan-akan di balik setiap batang pohon dan setiap
gerumbul perdu, bersembunyi orang-orang siap melemparkan anak panah.
Tetapi tiba-tiba saja mereka
terkejut ketika mereka mendengar teriakan nyaring disusul dengan sorak sorai
yang riuh. Selagi pasukan itu tertegun heran, maka anak panah pun meluncur
seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
Sekejap kedua pasukan itu
menjadi bingung. Namun hampir bersamaan, maka Raden Sutawijaya, Ki Lurah
Branjangan, Ki Argapati dan Swandaru berteriak, ”Berlindung. Cepat.”
Setiap orang di dalam pasukan
itu segera mencari perlindungan. Batang-batang pohon, gerumbul-gerumbul dan
mereka yang membawa perisai, langsung melindungi diri mereka dengan perisai.
“Gila,” Prastawa mengumpat,
”ternyata mereka tidak menunggu sampai kita sampai di bawah tebing itu.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Beberapa orang menggeretakkan giginya, sedang yang lain
mengumpat-umpat, karena mereka hanya dapat menyembunyikan diri tanpa dapat
berbuat apa-apa.
Tetapi Agung Sedayu, Swandaru,
dan mereka yang membawa busur dan panah, segera mencari tempat. Mereka bergeser
dari satu pohon ke balik pohon yang lain, sehingga mereka dapat menemukan
tempat yang paling baik untuk melawan anak panah itu.
Sejenak kemudian beberapa buah
anak panah meluncur pula dari lembah. Dengan demikian, maka deras anak panah
yang menghujan itu pun segera berkurang, karena orang-orang yang berada di atas
tebing pun harus mencari perlindungan. Tetapi ada pula di antara mereka yang
dengan beraninya berdiri saja di bibir tebing sambil melontarkan anak panah
mereka dan sekedar berlindung pada sebatang pohon perdu yang tidak begitu
rapat.
Sejenak Agung Sedayu mengamati
medan. Namun sejenak kemudian ia serasa disentuh oleh perasaan wajib. Karena
itu, maka perlahan-lahan tangannya mulai memasang anak panah pada busurnya,
sementara Swandaru telah melepaskan beberapa anak panahnya.
Di bagian lain, Sutawijaya pun
telah membalas serangan-serangan itu. Tetapi mereka harus bersembunyi
sebaik-baiknya karena ternyata bukan saja anak panah yang ringan dan kecil,
tetapi mereka telah melemparkan pula tombak-tombak pendek dan lembing-lembing
bambu cendani sebesar ibu jari kaki, yang mereka beri semacam bedor besi
diujungnya.
Sejenak maka kedua pasukan
yang ada di lembah itu harus melayani lawan-lawannya meskipun mereka tahu,
bahwa yang mereka hadapi adalah sekedar usaha untuk memperlambat laju mereka.
Meskipun demikian, pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu memerlukan waktu yang cukup
lama untuk melayani orang-orang yang berada di atas tebing itu. Untuk
menghindari korban-korban yang tidak perlu, maka para pengawal itu pun masih
saja berlindung di balik pepohonan, sementara mereka yang bersenjata panah,
mengurangi derasnya serangan lawan dengan anak panah-panah pula.
“Jika kita masih tetap ada di
sini, maka mereka tidak akan segera pergi,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Maksudmu?” bertanya
Sutawijaya.
“Aku akan membawa beberapa
orang pengawal, merayap naik tebing dan menyerang mereka dari jarak dekat.”
“Bagaimana kau akan naik?”
”Kami memerlukan perlindungan
dari mereka yang bersenjata panah.”
Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Katanya, ”Baiklah. Pergilah dengan beberapa orang pengawal.
Beritahukan Ki Argapati dan para pemimpin dari Menoreh, agar pasukanmu tidak
justru menjadi sasaran serangan panah mereka.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian membawa beberapa orang untuk menghalau orang-orang yang menyerang
mereka dari atas tebing itu. Dengan sedikit melingkar, mereka merayap naik
setelah mereka memberitahukan rencananya kepada pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.
Beberapa orang pengawal
Mataram yang bersenjata panah melindunginya dari serangan orang-orang di atas
tebing dengan melontarkan panah sebanyak-banyaknya, dibantu oleh para pengawal
dari Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah, maka anak panah
pun meluncur dengan derasnya dari kedua belah pihak. Sekali-sekali jika dua
batang anak panah kebetulan beradu, maka sepercik bunga api telah meletik di
udara.
Ternyata pasukan yang merayap
itu telah menarik perhatian orang-orang yang berada di atas tebing. Dengan
demikian, maka serangan-serangan mereka pun segera dipusatkan ke arah mereka,
karena pengawal yang naik ke atas tebing akan langsung dapat menyerang mereka
dari jarak dekat.
Tetapi dengan demikian, maka
pasukan pengawal yang ada di lembah mendapat kesempatan lebih banyak. Mereka
segera menghujani orang-orang di atas tebing itu sebanyak-banyaknya yang dapat
mereka lemparkan.
“Apakah anak panah kalian akan
kalian habiskan di sini?” bertanya Swandaru kepada salah seorang pengawal.
“Mereka harus dihalau.”
“Jika panahmu habis dan kita
masih menjumpai gangguan yang sama, apa yang dapat kita lakukan?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia masih mendapat jawaban, ”Kita akan memungut anak
panah yang bertebaran di sekitar kita dan kita masukkan ke dalam endong kita.”
Swandaru tersenyum sambil
mengumpat, ”Ada saja jawabanmu itu.”
Orang itu pun tersenyum.
Tetapi keduanya terkejut
ketika mereka mendengar teriakan nyaring. Mereka masih sempat berpaling dan
melihat seseorang di atas tebing itu menggeliat dan tanpa dapat menguasai
dirinya, ia terjatuh ke dalam jurang yang terjal. Sebuah anak panah menancap di
dadanya, dan darah yang merah seakan-akan memancar dari luka itu.
Semua mata tertambat kepada
orang yang berguling itu, kecuali Swandaru. Ia mencoba memandang wajah Agung
Sedayu yang berdiri beberapa langkah daripadanya. Dilihatnya Agung Sedayu
tiba-tiba saja menundukkan kepalanya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hati, ”Tentu Kakang Agung sedayu yang mengenainya
dengan tepat. Ia benar-benar seorang yang memiliki kemampuan bidik yang luar
biasa. Orang yang sudah berlindung di belakang ilalang itu tepat dikenai
dadanya,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi ia memang bukan
seorang prajurit yang baik. Ia bukan Untara, dan ia bukan Raden Sutawijaya.
Bukan pula seperti aku.”
Agung Sedayu masih berdiri
sambil menunduk di balik sebatang pohon. Namun hiruk-pikuk di sekelilingnya
seakan-akan telah membangunkannya, sehingga sejenak kemudian ia mulai
mengangkat wajannya dan memandang ke atas tebing.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Justru ia sengaja agar Agung Sedayu
tidak mengetahui bahwa ia sedang memperhatikannya.
Ketika Swandaru pun kemudian
menengadahkan wajahnya pula, dilihatnya pasukan Ki Lurah Branjangan yang dengan
susah payah merayap naik itu telah hampir mencapai bibir tebing di bawah
perlindungan anak panah dari para pengawal di bawah, dan perisai-perisai yang
mereka bawa.
Beberapa orang lawan yang
melihat usaha itu hampir berhasil segera berlari-lari mendekat dengan pedang
terhunus. Namun satu dua di antara mereka terpaksa jatuh terkapar, ketika anak
panah yang dilontarkan dari lembah mengenai mereka.
Tetapi mereka bukan
orang-orang yang dungu. Mereka pun segera menjauhi bibir tebing, dan mencoba
menyerang Lurah Branjangan dengan anak panah dari tempat yang tidak terlihat
dari lembah.
Namun pasukan Ki Lurah pun
sudah mulai menebar. Satu dua orang sudah mencapai bibir tebing, dan yang satu
dua itu langsung terlibat di dalam perkelahian. Sementara yang lain segera
menyusulnya.
Meskipun pertempuran yang
terjadi itu sekedar merupakan bagian kecil dari keseluruhan, namun para
pemimpin Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh mengikutinya dengan dada yang
berdebar-debar.
Bahkan beberapa orang menjadi
cemas, jika sekiranya mereka salah hitung, dan ternyata orang-orang yang berada
di atas tebing itu berjumlah jauh lebih banyak dari anak buah Ki Lurah
Branjangan, maka keadaannya akan menyulitkannya.
Apalagi ketika pertempuran
sudah berkobar, maka para pengawal dilembah tidak berani lagi melontarkan anak
panah mereka. Sehingga dengan demikian, mereka hanya dapat sekedar
memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung.
Namun pertempuran itu tidak
berlangsung lama. Ketika Sutawijaya memerintahkan beberapa orang pengawalnya
untuk menyusul naik ke atas tebing pegunungan itu, maka orang-orang yang sedang
mengganggu perjalanan itu pun harus memperhitungkannya.
Karena itu, maka sejenak
kemudian mereka pun segera berusaha menarik diri. Dengan sebuah isyarat, maka
perlahan-lahan mereka surut, dan kemudian berhamburan masuk ke dalam
semak-semak dan belukar di atas tebing.
Ki Lurah Branjangan mencoba
mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun ia pun kemudian memerintahkan
anak buahnya berhenti. Mereka tidak mengetahui apa yang ada di balik
gerumbul-gerumbul dan belukar yang cukup lebat itu, sehingga karena itu, maka
ia pun segera menghentikan pasukannya.
Beberapa orang yang sedang
memanjat naik itu pun mengurungkan usahanya untuk mencapai bibir tebing, karena
tidak ada lagi lawan yang harus dihadapinya. Dan sebenarnyalah menurut
perhitungan Sutawijaya, orang-orangnya itu bukannya benar-benar harus
bertempur. Dengan memerintahkan beberapa orang naik, pasukan lawan itu tentu
akan menghindar.
Sejenak kemudian Ki Lurah
Branjangan pun telah sampai ke induk pasukannya. Segera mereka melanjutkan
perjalanan. Meskipun mereka baru saja bertempur, namun di bawah tebing yang
menjorok itu, mereka tetap berhati-hati.
Tetapi ternyata mereka lewat
tanpa gangguan apa pun. Meskipun demikian, ternyata ada juga di antara anak
buah Ki Lurah yang terluka. Meskipun lukanya tidak parah, tetapi sambil
berjalan, kawan-kawannya berusaha untuk menahan arus darah yang mengalir dari
luka itu. Dan dari Kiai Gringsing mereka mendapat serbuk obat yang dapat
mengurangi titik-titik darah yang keluar dari luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian mereka
sudah sampai ke daerah pategalan yang seperti telah diduga oleh para pengawal
Mataram dan Menoreh, merupakan tanah yang sudah digarap. Ternyata bahwa lembah
itu memang menjadi semakin luas dan merupakan sebuah dataran yang tersembunyi
di antara pegunungan.
”Ada mata air,” tiba-tiba
salah seorang dari para pengawal itu berteriak.
Pasukan itu terhenti. Di
lereng sebelah kiri, di bawah sebatang pohon ketapang yang besar, terdapat
sebuah mata air yang cukup besar sehingga airnya mengalir ke dalam sebuah parit.
Sutawijaya memperhatikan mata
air itu sejenak. Kiai Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan
para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh pun kemudian berkerumun di sekitar
mata air itu.
“Suatu sumber penghidupan di
lembah ini,” desis Sutawijaya.
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
”air itu tentu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dengan demikian, jika kita
menyusuri air yang mengalir ini, kita akan sampai kepada dua kemungkinan.
Keluar dari lembah ini, mungkin memang ada jalan keluar tanpa melalui
puncak-puncak bukit kecil itu, atau menerobos di bawah tanah. Sedang
kemungkinan yang lain, bahwa kita akan sampai ke daerah yang berawa-rawa.”
“Kemungkinan yang pertama
itulah yang paling dekat dengan keadaan daerah ini,” berkata Ki Argapati. ”Jika
kita akan sampai ke daerah yang berawa-rawa, selain tanah akan menjadi semakin
lembab, kita akan dapat melihat rawa-rawa itu dari tebing pegunungan ini.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun mereka mendapatkan satu kesimpulan, bahwa tanah dataran di
antara bukit-bukit kecil ini merupakan tanah yang baik untuk digarap. Dengan
demikian maka mereka berpendapat, bahwa mereka tentu akan sampai kepada sebuah
padukuhan. Dan padukuhan itulah yang mungkin telah dipergunakan sebagai pusat
gerakan dari seorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.
Dengan demikian, maka mereka
pun menduga, bahwa mereka benar-benar telah berada di ambang pintu padepokan
yang mereka cari. Karena itulah maka sejenak kemudian, para pemimpin dari
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan.
Dengan kesiagaan sepenuhnya
maka pasukan itu pun merayap maju. Di sela-sela pategalan mereka menemukan
jejak dari sebuah pasukan yang cukup besar. Karena itulah maka para pengawal itu
telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Mereka menyangka bahwa
sebentar lagi mereka tentu akan disergap oleh sepasukan yang kuat dari
sela-sela pepohonan di pategalan itu.
Tetapi sampai beberapa puluh
langkah kemudian mereka tidak mengalami sesuatu. Apalagi pategalan itu menjadi
semakin jarang dan sekedar ditanami dengan pohon buah-buahan dan agaknya baru
saja orang-orang di padukuhan itu mengambil hasil tanaman mereka. Menilik
bekasnya, maka tanah di antara pohon buah-buahan yang jarang itu baru saja
ditanami dengan ketela pohon dan sebagian dengan sejenis kacang.
Namun yang mereka yakini,
bahwa mereka telah menjadi semakin dekat dengan sebuah padukuhan.
Pasukan itu pun kemudian
menjadi semakin berhati-hati. Sebelum mereka maju lagi, maka mereka telah
mengirimkan tiga orang yang akan mengawasi keadaan di hadapan mereka, apakah
mereka akan masuk ke dalam perangkap atau tidak.
Para pengawas itu dengan
hati-hati merayap maju mendahului pasukannya. Mereka membawa beberapa macam
alat untuk mengirimkan isyarat. Panah sendaren, bahkan kentongan kecil.
Tetapi mereka sama sekali
tidak menjumpai apa pun yang mencurigakan. Mereka tidak melihat sebuah
pertahanan yang kuat, dan ujung-ujung senjata yang mencuat.
Namun mereka tidak
tergesa-gesa maju terus, karena mereka masih selalu dibayangi oleh kecurigaan,
bahwa lawan tereka dapat memasang jebakan yang tidak mereka duga lebih dahulu.
Dengan sangat hati-hati mereka
maju beberapa puluh langkah lagi, bergeser di antara pepohonan.
Tetapi mereka pun tidak
menemukan apa-apa. Di antara pepohonan yang jarang itu, mereka sama sekali
tidak melihat pasukan pengawal segelar sepapan.
“Kenapa begitu sepi?” bertanya
salah seorang di antara para pengawas itu sambil berbisik.
“Ya. Aku justru menjadi
curiga. Mungkin mereka berada di balik dinding batu di belakang pategalan itu.”
“Itu pun sepi.”
“Mereka sengaja berlindung.”
“Tetapi itu tidak
menguntungkan. Jika kita datang dengan seluruh pasukan, mereka akan terkepung
di dalam halaman yang sempit. Dan karena itu, maka mereka tidak akan dapat
memberikan perlawanan yang sempurna.”
“Itulah yang aneh. Dan yang
tidak lazim itulah yang harus kita perhatikan.”
“Aku akan maju lagi,” berkata
yang lain dengan tiba-tiba, ”aku tidak telaten untuk sekedar menduga-duga saja.”
Kawan-kawannya tidak
membantah, sehingga karena itu maka mereka pun mulai bergerak maju dengan
hati-hati. Mereka selalu berusaha berlindung di antara pepohonan dan
pohon-pohon perdu yang bertebaran di pategalan di hadapan padukuhan yang sudah
nampak.
“Padukuhan itu kecil,” desis
salah seorang.
“Ya. Tetapi rumah-rumah yang
nampak itu adalah barak-barak yang dihuni bersama-sama oleh beberapa orang.”
“Memang menarik sekali.
Mungkin mereka mempertahankan setiap rumah yang mereka huni itu dengan cara
yang asing bagi kita.”
“Mungkin, memang mungkin,”
potong yang lain, ”tetapi yang paling baik adalah mendekat.“
Mereka bertiga menjadi semakin
gelisah. Tetapi justru karena itu, mereka ingin mengetahui dengan pasti, apakah
yang mereka hadapi. Meskipun demikian salah seorang dari mereka harus
mempersiapkan isyarat. Jika tiba-tiba saja mereka disergap, maka mereka sempat
membunyikan tanda bahaya itu. Setidak-tidaknya kentongan dengan nada yang sudah
mereka sepakati.
Tetapi mereka sama sekali
tidak menjumpai apa pun juga di dalam padepokan itu. Ketika mereka dengan
hati-hati menjenguk ke balik dinding batu yang mengelilingi padepokan itu, maka
mereka sama sekali tidak melihat apa pun. Padepokan itu agaknya memang
benar-benar telah kosong.
“Gila, perangkap apa lagi yang
akan mereka pasang buat kita?” berkata salah seorang dari ketiganya.
“Aku akan masuk. Biarlah apa
yang akan terjadi. Tetapi semuanya ini membuat aku justru menjadi semakin ingin
tahu.”
Orang itu pun kemudian
meloncat masuk ke dalam lingkungan dinding batu. Kedua kawannya pun segera
mengikutinya. Disamping alat-alat yang dapat memberikan isyarat, mereka
menggenggam senjata telanjang pula di tangannya.
Dengan dada yang
berdebar-debar mereka melangkah maju melintasi sela-sela pepohonan di kebun
padepokan itu. Perasaan ingin tahu yang semakin besar telah mendorong mereka
untuk melihat-lihat, apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
Sejenak mereka saling
berpandangan ketika mereka melihat sebuah pintu barak yang tertutup. Mereka
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi salah seorang berbisik, “Aku akan melihat
apakah yang ada di dalam barak itu.”
“Baiklah,” berkata yang lain,
lalu katanya kepada kawannya yang satu lagi, ”kau tetap di sini. Jika terjadi
sesuatu, kau sempat memberikan isyarat. Aku kira induk pasukan itu tidak begitu
jauh di belakang kita, karena mereka pun maju terus.”
“Baiklah. Tetapi berusahalah
untuk memberikan tanda apa pun.”
“Maksudmu jika tiba-tiba kami
disergap?”
“Ya. Memang mungkin kalian
kehilangan kesempatan.”
”Kami akan masuk seorang demi
seorang.”
“Baik. Lakukan. Tetapi
berhati-hatilah. Kita berhadapan dengan lawan yang dibayangi oleh semacam
rahasia.”
Kedua pengawas itu pun
kemudian dengan perlahan-lahan mendekati pintu yang tertutup itu, sedang yang
seorang lagi menempatkan dirinya di tempat yang agak terlindung sehingga tidak
mungkin mendapat serangan dari jarak jauh.
Namun demikian, orang yang
tinggal itu selalu digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi. Kadang-kadang ia harus mengawasi cabang-cabang pepohonan jika ada satu
dua orang yang mengintainya. Tetapi sepi. Benar-benar sepi. Dalam pada itu,
kedua orang yang mendekati pintu barak tertutup itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi mereka maju terus. Perlahan-lahan mereka meraba pintu
lereg itu. Dan ketika dengan isyarat keduanya bersepakat untuk membuka, maka
perlahan-lahan mereka mendorong pintu itu ke samping.
Mereka terkejut ketika
terdengar gerit pintu itu sendiri. Namun kemudian mereka mendorongnya lebih
lebar lagi, sehingga mereka dapat menjengukkan kepala ke dalam barak yang
tampak kegelapan karena tidak ada lubang sama sekali selain pintu yang sedikit
terbuka itu.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian mereka pun yakin bahwa barak itu ternyata kosong. Tidak ada seorang
pun yang ada di dalamnya.
Perlahan-lahan pintu itu pun
kemudian terbuka semakin lebar, dan cahaya matahari pun semakin banyak memercik
kedalamnya. Namun mereka benar-benar tidak menemukan seorang pun meskipun
mereka mendapatkan bekas-bekasnya. Di dalam barak itu masih terdapat beberapa
jenis mangkuk dan bumbung. Bahkan masih ada beberapa macam alat yang
dipergunakan di sawah atau pategalan.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata, ”Aku yakin, padepokan ini memang
dikosongkan.”
“Lalu, di manakah
penghuninya?”
“Itulah yang merupakan
teka-teki.”
“Biarlah bukan kita yang
menjawabnya. Marilah kita meyakinkan kekosongan padepokan ini, kemudian
melaporkannya kepada induk pasukan.”
Demikianlah mereka kemudian mengelilingi
sebagian dari padepokan itu. Dan seperti yang mereka duga padepokan itu memang
sudah kosong.
Dengan tergesa-gesa mereka
bertiga pun kemudian kembali kepada Induk pasukan yang menunggu beberapa puluh
langkah dari dinding padepokan itu,
“Jadi mereka sudah
meninggalkan padepokan itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Ya. Padepokan itu sudah
sepi,” jawab salah seorang dari pengawas itu.
“Ke mana mereka pergi?”
“Kami belum tahu.”
Pandan Wangi menjadi tegang.
Bukan karena pasukan itu tidak dapat menguasai lawan yang tentu masih akan
tetap berbahaya bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi dengan demikian
mereka tentu tidak akan menemukan Rudita pula.
Ayahnya, Ki Argapati agaknya
dapat menangkap kegelisahan hati anaknya, sehingga karena itu ia bertanya
kepada ketiga pengawas itu, ”Apakah kau tidak dapat melihat bekas-bekas
kepergian mereka?”
“Kami belum menyelidikinya
dengan teliti.”
Pandan Wangi yang menjadi
sangat gelisah itu pun kemudian serasa tidak sabar lagi. Katanya, ”Kita
memasuki padepokan itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Raden Sutawijaya pun menjadi
gelisah pula. Orang-orang yang meninggalkan padepokan itu tentu akan menjadi
seperti semut yang disentuh sarangnya. Buyar bertebaran ke segenap arah. Jika
demikian, maka mereka akan dapat menimbulkan banyak kesulitan. Baik bagi
Mataram mau pun bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika Raden Sutawijaya itu
pun memikirkan nasib anak muda yang namanya Rudita.
Dengan demikian, maka pasukan
itu pun kemudian dengan tidak meninggalkan kewaspadaan memasuki padepokan yang
sudah kosong itu. Tetapi agar mereka tidak terjebak dalam sebuah kepungan, maka
baik Raden Sutawijaya mau pun Ki Argapati memerintahkan agar pasukannya
sebagian besar tetap berada di luar dan mengawasi setiap kemungkinan. Mengawasi
tebing dan daerah di seberang padepokan itu.
“Kita tidak boleh ditepuk
dengan sebelah tangan di dalam padepokan sempit ini,” berkata Raden Sutawijaya.
Dengan demikian maka Ki Lurah
Branjangan pun membawa sepasukan pengawal di depan padepokan itu, sedang
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa berada di antara
pategalan di sisi padepokan.
Tetapi padepokan itu
benar-benar kosong. Mereka tidak menemukan seorang pun di dalam padepokan itu.
Namun demikian, menurut
penyelidikan yang kemudian mereka lakukan, mereka menemukan jejak sepasukan
yang cukup besar meninggalkan padepokan itu.
“Mereka menarik pasukannya,”
berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gingsing yang melihat
bekas-bekas pasukan yang meninggalkan padepokan itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun memikirkan nasib Rudita. Apakah anak itu masih selamat atau
karena orang-orang di padepokan ini merasa tidak memerlukan lagi, maka ia pun
mengalami nasib yang buruk.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Kiai,” bertanya Sutawijaya,
”apakah yang menurut pertimbangan Kiai sebaiknya kita lakukan kemudian?”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya puncak
pegunungan yang seakan-akan memagari lembah yang cukup luas itu.
“Apakah Kiai sedang memikirkan
aliran air dari mata air itu?” bertanya Ki Argapati.
Kiai Gringsing memandanginya
sejenak, lalu menganggukkan kepalanya, ”Ya, Ki Gede. Jalan keluar dari parit
itu merupakan jalur yang dapat kita ikuti, kecuali apabila air itu kemudian
menembus di bawah tanah.”
“Kenapa jalur parit itu?”
tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya. ”Kita sudah menemukan jejak mereka.”
“Ya. Jejak itu memang dapat
kita ikuti. Tetapi jika kita kehilangan jejak itu, maka kita mempunyai pegangan
lain.”
“Tetapi apakah mereka akan
selalu mengikuti air itu? Mungkin mereka mempunyai jalan lain,” potong
Swandaru.
“Memang mungkin. Kita memang
dihadapkan pada banyak kemungkinan. Tetapi semuanya memerlukan perhatian dan
perhitungan yang cermat.”
Ki Argapati dan para pemimpin
yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi tidak seorang pun dari mereka
yang menduga, bahwa di hadapan mereka masih terdapat sebuah padepokan lagi dan
justru merupakan pusat pertahanan yang sangat kuat.
Karena itulah, yang mereka
putuskan kemudian adalah sekedar mengikuti jejak pasukan yang telah
meninggalkan padepokan itu.
“Kita berusaha untuk menemukan
mereka di mana pun,” berkata Raden Sutawijaya.
”Tetapi jika mereka keluar
dari lembah ini,” sahut Ki Argapati, ”kita akan mendapatkan kesulitan. Mereka
akan menenggelamkan diri dalam kehidupan biasa di antara orang-orang padesan.
Kita tidak akan dapat membedakan lagi, yang manakah orang-orang yang ikut di
dalam pasukan di lembah ini dan yang manakah orang-orang padesan yang
sewajarnya.”
“Orang-orang padesan itu, atau
para bebahu akan dapat menunjukkan kepada kita, siapakah di antara mereka yang
harus kita ambil.”
“Berbahaya sekali. Berbahaya
bagi orang-orang padesan itu. Sebab mereka akan diancam dan pada saat lain akan
mengalami nasib yang sangat buruk.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi
kita dapat mencoba. Marilah kita ikuti jejak itu, agar kita mendapatkan
kepastian, apakah yang harus kita lakukan.”
Para pemimpin kedua pasukan
itu bersama-sama sependapat, bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan,
mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan padepokan itu.
Setelah mereka berhenti
sejenak untuk meneliti padepokan itu, maka mereka pun segera mengatur pasukan
berjalan menyusuri bekas pasukan yang telah pergi menghindar itu.
Namun mereka sama-sama
berpendapat, bahwa padepokan itu bukan sebenarnya padepokan. Mereka tidak
mendapatkan tanda-tanda bahwa di padepokan itu tinggal pula perempuan dan
anak-anak, seperti kewajaran keluarga.
“Padepokan itu tidak lebih
dari sarang segerombolan perampok yang sangat besar jumlahnya,” desis Kiai
Gringsing yang samar-samar teringat pada sarang pasukan Jipang yang dipimpin
oleh Tohpati di hutan rindang di hadapan Kademangan Sangkal Putung. Padepokan
ini tidak ubahnya seperti sarang pasukan Jipang yang sudah kehilangan bentuknya
itu. Namun agaknya sarang yang besar ini memiliki susunan yang lebih baik dari
sebuah masyarakat yang tidak wajar.
“Agaknya memang demikian,”
berkata Raden Sutawijaya kemudian. ”Dengan demikian kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa padepokan ini adalah sebuah pusat pemerintahan yang
tersendiri. Penghuni-penghuninya adalah orang-orang yang meninggalkan keluarga
mereka dan berhimpun di sini. Tentu di dalam keadaan yang sulit mereka akan
memencar dan kembali kepada keluarga masing-masing.”
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa usaha mereka sudah berakhir. Hadirnya prajurit-prajurit Pajang di daerah
ini tentu menimbulkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri di dalam penilaian
ini,” sahut Ki Argapati.
Yang mendengarkan kata-kata Ki
Argapati itu menganggu-anggukkan kepalanya. Memang mereka tidak dapat melupakan
begitu saja peranan yang dipegang oleh beberapa orang Senapati dari Pajang,
yang tentu bukannya sekedar seperti daun kuning yang berguguran dari
ranting-rantingnya. Kehadiran pasukan Pajang di daerah ini tentu masih
mempunyai jalur hubungan dengan para senapati yang ada di istana.
Demikianlah pasukan itu
berjalan maju perlahan-lahan. Mereka menyusuri bekas yang dapat mereka
ketemukan dengan jelas. Seakan-akan orang-orang yang meninggalkan padepokannya
itu sama sekali tidak menjadi cemas atas jejak yang mereka tinggalkan.
Dalam pada itu, masih agak
jauh dari pasukan yang bergerak maju itu, Putut Nantang Pati dan Daksina sedang
mengatur sebuah pertahanan yang kuat untuk menghentikan pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh yang tentu akan segera datang.
“Kita akan menghadapinya
dengan perlawanan terbuka,” berkata Putut Nantang Pati, ”kita tidak usah
membuat jebakan-jebakan seperti yang pernah kita lakukan. Di sini kita akan
menghancurkan mereka. Hancur lumat.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Kau terlampau percaya kepada kemampuan diri sendiri
tanpa memperhitungkan kemampuan lawan.”
Putut Nantang Pati tersenyum.
Katanya, ”Kau harus menyadari kemampuan kita di sini. Kau melihat sendiri,
bahwa dengan permainan api yang kecil itu, pasukan Mataram dan Menoreh sudah
menjadi bingung. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri yang melepaskan ilmu
itu. Pasukan Mataram dan Menoreh akan kehilangan keseimbangan.”
“Ya. Menghadapi pasukan yang
besar itu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Panembahan Agung?”
”O, tentu ada seribu cara
dapat dilakukannya. Panembahan Agung dapat membuat seakan-akan hutan di sekitar
tempat ini terbakar. Atau seakan-akan langit dipenuhi burung garuda yang
menyambar-nyambar.”
“Tetapi bukankah bentuk-bentuk
semu itu tidak dapat berbuat apa-apa? Maksudku, seandainya di langit ada
berates-ratus atau bahkan beribu-ribu burung garuda sebesar kerbau sekalipun,
namun burung-burung semu itu tentu tidak akan dapat menyentuh pasukan Menoreh
dan Mataram.”
“Tidak. Tetapi sementara
mereka kebingungan karena bentuk semu itu, kita akan dapat menghancurkan
sebagian dari mereka. Jika kemudian bentuk-bentuk itu hilang, maka pasukan
mereka tinggal tidak lebih dari separo. Apalagi jika hadir bentuk-bentuk yang
lain, seekor Naga bertanduk dan bertaring, atau berkepala lima dan menyemburkan
api dari mulutnya.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Bentuk-bentuk itu memang mengerikan. Tetapi apakah pasukan Mataram
dan Menoreh dapat dikelabuhinya dengan mudah?
Tetapi agaknya Putut Nantang
Pati memang yakin, bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan pasukan Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh betapapun kuatnya. Dengan bentuk-bentuk semu kedua
pasukan itu akan kehilangan pemusatan arah perlawanan sehingga dengan mudah
pasukan Putut Nantang Pati akan dapat membinasakan sebagian besar dari mereka.
Tetapi agaknya Daksina lebih
mementingkan kepada pertahanannya. Pasukan yang berada di dalam garis
pertahanan itu mendapatkan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus
menghentikan gerak pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat.
“Mereka adalah
pengawal-pengawal yang memiliki nilai tempur seperti prajurit-prajurit Pajang,”
berkata Daksina, ”karena itu, jangan lengah. Kita bukannya tidak percaya, bahwa
Panembahan Agung akan mampu menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi kita pun
harus memperhitungkan kemungkinan yang ada pada pasukan lawan. Aku kira tidak
ada di antara mereka yang mampu melawan ilmu Panembahan Agung. Tetapi mungkin
ada di antara mereka yang menyadari, bahwa mereka tidak boleh dibingungkan oleh
bentuk-bentuk semu itu sehingga mereka sama sekali mengabaikan penglihatan
mereka yang tidak wajar itu.”
Anak buahnya
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka, terutama prajurit-prajurit Pajang memang
tidak meletakkan kekuatan mereka kepada ilmu yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Tetapi mereka harus menyandarkan perlawanan mereka kepada kemampuan
diri sendiri. Meskipun demikian, ada juga semacam harapan, bahwa mereka tidak
perlu memeras segenap tenaga dan kemampuan mereka, jika benar ilmu Panembahan
Agung dapat mempengaruhi lawan.
“Daksina,” berkata Putut
Nantang Pati yang mengetahui bahwa Daksina masih meragukan kelebihan ilmu
Panembahan Agung, ”mungkin orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan
sama sekali burung-burung garuda di langit, ular naga sebesar pohon nyamplung
di sebelah itu, atau bentuk-bentuk yang lain karena mereka sadar, bahwa
bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk semu, tetapi mereka tidak akan dapat
membedakan bentuk semu yang berupa lembah dan pegunungan. Kayu-kayu besar yang
roboh dan angin pusaran di lereng pegunungan. Mereka tentu akan bingung melihat
pasukan kita terbang di atas jurang yang dalam, karena jurang itu sebenarnya
tidak pernah ada.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memang berdiri di persimpangan. Ia sudah melihat sendiri, bentuk
semu yang dibuat oleh Putut Nantang Pati meskipun menurut pengakuannya sama
sekali belum sempurna. Namun demikian, ia adalah senapati prajurit, yang
memperhitungkan kekuatan di peperangan dengan jumlah ujung senjata dan
kemampuan setiap pribadi di dalam pasukannya.
Namun sebenarnyalah dengan
demikian pertahanan yang disusun oleh Putut Nantang Pati dan Daksina adalah
pertahanan yang sangat kuat, justru karena Daksina tidak menumpukan kekuatannya
kepada ilmu ajaib yang dimiliki oleh Panembahan Agung. Jika ternyata kemudian
Penembahan Agung juga berhasil membingungkan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh, maka kedua pasukan itu benar-benar akan diancam kepunahan.
Dalam pada itu, di hadapan
garis pertahanan itu pasukan Mataram yang tidak sempat mengetahui kekuatan
lawan, bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh bergerak maju. Mereka sama sekali
tidak menduga, bahwa di hadapan mereka terbentang sebuah pertahanan yang kuat
dari tebing sampai ke tebing. Bukan saja pertahanan yang dilambari dengan
kemampuan tempur pasukan yang telah menggemparkan Mataram itu, tetapi juga
dibayangi oleh ilmu yang belum pernah ditemui di medan yang mana pun.
Yang berjalan di paling depan,
adalah para pengawas yang perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada jejak
orang-orang yang mereka cari daripada sebuah pertahanan yang bagaikan benteng
baja. Mereka sibuk menundukkan kepalanya, mengungkit ranting-ranting patah dan
dedaunan yang tumelung di atas jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga dengan
demikian mereka tidak mengetahui, bahwa jarak pertahanan di hadapan mereka
semakin lama menjadi semakin pendek.
Sementara pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh merayap semakin dekat, maka Daksina dan Putut Nantang
Pati menjadi berdebar-debar ketika ia dipanggil menghadap di padepokan di
belakang pertahanan mereka.
“Apakah yang penting? Jika
tiba-tiba saja pasukan Mataram dan Menoreh melanda pasukan kita, maka
pertahanan ini akan menjadi hancur. Aku di sini justru sedang menunggu
kehadiran Panembahan Agung, jika setiap saat lawan kita itu datang,” jawab
Daksina.
“Kenapa kau bertanya?”
bertanya utusan itu. ”Panembahan Agung memiliki perhitungan yang sempurna.
Apakah kau merasa bahwa perhitunganmu lebih matang?”
“O,” Daksina menjadi tergagap
karenanya, ”bukan maksudku. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan
keprajuritan.”
“Jangan membantah lagi,”
berkata Putut Nantang Pati pula, ”marilah, kita menghadap.”
Keduanya pun kemudian dengan
tergesa-gesa pergi ke padepokan. Daksina tampak menjadi sangat gelisah. Ia
tidak biasa meninggalkan pasukannya di saat yang paling genting meskipun sudah
diserahkannya kepada orang yang dipercayainya.
Daksina hampir tidak sabar
ketika ia harus duduk di serambi depan menunggu kehadiran Panembahan Agung.
Keringatnya mengalir membasahi kening dan punggung.
Ketika pintu terbuka, maka
yang hadir sama sekali bukan Panembahan Agung, tetapi Panembahan Alit, yang
juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.
“O,” desis Daksina yang mulai
menjadi jengkel, ”apakah kami sudah diperbolehkan menghadap Panembahan Agung
yang memanggil kami?”
Panembahan Alit memandanginya
sejenak. Kemudian ia pun duduk pula di antara mereka sambil berkata, ”Aku tidak
tahu, kapan kalian diperbolehkan menghadap. Tetapi justru aku mendapat perintah
untuk berada bersama kalian di sini.”
“Tetapi pasukan lawan tentu
sudah menjadi semakin dekat. Naluri keprajuritanku sudah memperingatkan agar
aku siap menunggu mereka di dalam pasukan yang harus bersiaga sepenuhnya.”
“Ah kau,” Putut Nantang Pati
tersenyum, ”percayalah. Panembahan Agung mengetahui apa yang sedang kita
hadapi. Pasukan itu tentu terhalang oleh orang-orang kita yang bertugas
memperlambat dan mengganggu pasukan mereka. Bukan saja agar mereka tidak dapat
maju dengan pesat. Tetapi mereka akan menjadi marah sehingga mereka lebih
banyak mempergunakan perasaannya daripada perhitungan nalarnya. Karena itu,
mereka tentu masih berada di jarak yang jauh.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Dan Panembahan Alit itu pun berkata, ”Jangan gelisah. Percayalah.”
Daksina tidak menyahut lagi.
Tetapi rasa-rasanya hatinya selalu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebagai
seorang senapati, ia merasa wajib berada di gelanggang di saat pertempuran
mulai berkobar.
Tetapi agaknya Putut Nantang
Pati sama sekali tidak merasa gelisah. Ia menyandarkan semua pertimbangan di
saat itu kepada Panembahan Agung, meskipun biasanya ia adalah seorang pemimpin
yang baik di peperangan.
Baru sejenak kemudian maka
seseorang telah keluar lagi dari ruang dalam dan berkata, ”Panembahan Alit
diharap menghadap lebih dahulu.”
“Hanya Panembahan Alit?” desak
Daksina.
“Ya.”
Panembahan Alit itu pun
berdiri sambil menepuk bahu Daksina, ”Sabarlah. Tidak akan ada apa-apa yang
terjadi.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka
Panembahan Alit itu pun hilang di balik pintu.
“Kita masih harus menunggu?”
bertanya Daksina yang kehilangan kesabaran.
“Semakin kau mendesak, maka
kau akan merasa semakin lama menunggu di sini. Jangan hiraukan, agar kau tidak
terlampau gelisah.”
Daksina hanya menarik nafas
saja dalam-dalam. Sesaat kemudian pintu itu pun terbuka lagi. Yang tampak
keluar lewat pintu itu adalah Panembahan Alit. Sambil membawa sebatang tongkat
ia berkata, ”Daksina dan Putut Nantang Pati. Ternyata aku menerima tongkat
kekuasaan tertinggi di padepokan ini. Karena itu. maka akulah yang akan menjadi
senapati besar di dalam pertempuran yang akan segera terjadi. Menurut
pengamatan Panembahan Agung, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang
datang ke padepokan ini cukup besar, sehingga kita di sini harus berjuang
sebaik-baiknya melawan mereka. Panembahan Agung sendiri akan hadir di medan dan
dengan kuasanya akan berusaha untuk memperlemah daya tempur pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Jika memang itu yang
diperintahkan. Aku percaya bahwa Panembahan Alit akan dapat melakukan tugas itu
sebaik-baiknya.”
Tetapi Daksina berkata, ”Jadi,
apakah kami sudah dapat menghadap Panembahan Agung?”
“Kalian tidak perlu menghadap.
Perintahnya sudah jelas. Dan tongkat kekuasaan ini merupakan bukti perintah
yang sudah diucapkan itu.”
“Jadi buat apa aku harus
datang kemari?” bertanya Daksina.
“Itu adalah kehendak
Panembahan Agung. Kenapa kau tampak kecewa?”
“Tentu. Sebaiknya aku berada
di antara pasukanku jika aku di sini hanya sekedar duduk menunggu dan tidak ada
kepentingan apa pun juga.”
“Kau tidak dapat membantah
perintahnya.”
“Aku bukan anak buahnya.
Tetapi aku adalah seorang senapati yang dikirim oleh Kakang Tumenggung untuk
memimpin pasukan Pajang yang ada di sini.”
“Di sini kau berada di bawah
perintah Panembahan Agung yang kali ini dilimpahkan kepadaku,” berkata
Panembahan Alit, ”jangan membuat keributan di saat pasukan lawan sudah berada
di depan hidung.”
Daksina menggeretakkan
giginya. Katanya, ”Hanya karena kesadaran itu aku melalaikannya. Tetapi jika
kau mengecilkan arti Daksina di sini, berarti kau mengecilkan arti Kakang
Tumenggung dan Kakang Panji di Pajang. Jangan kau sangka bahwa keduanya dapat
kalian perintah seperti memerintah anak-anak yang paling dungu seperti ini.
Namun sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya sekedar mengingat bahwa musuh
kini sudah berada di hadapan hidungku.”
“Jangan bersikap begitu kasar.
Agaknya sikapmu tidak akan menguntungkan sama sekali.”
“Tetapi bukan berarti bahwa
kalian dapat menghinakan dan memerintah aku seperti seorang budak.”
Panembahan Alit mengerutkan
keningnya. Tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa untuk menghadapi Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh, mereka memerlukan paduan kekuatan yang ada, dan karena
itulah maka ia masih tetap menahan diri.
Namun dalam pada itu, mereka
bertiga terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar seekor kuda meringkik.
Kemudian dari pintu itu pun muncul seekor kuda yang tegar meloncat ke halaman.
Sekali kuda itu melonjak, namun kemudian berlari kencang sekali seperti angin,
sedang di atasnya duduk seorang anak kecil berambut putih.
Tetapi ketika kuda itu
kemudian hilang di balik pepohonan, Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati
justru tersenyum karenanya, sedang Daksina masih saja termangu-mangu.
“Siapa anak itu?” bertanya
Daksina. ”Aku belum pernah melihatnya. Bahkan bentuknya agak aneh. Wujudnya
kecil, tetapi rambutnya sudah memutih,”
Panembahan Alit tertawa.
Katanya, ”Itu adalah salah seorang prajurit Panembahan Agung. Kau tentu belum
pernah melihatnya. Aku juga belum.”
Daksina menjadi semakin tidak
mengerti. Apalagi ketika Panembahan Alit bertanya, ”Apakah menurut
pengenalanmu, rambutnya memang sudah putih?”
“Ya.”
“Matanya lebar?”
Daksina mengingat-ingat
sejenak, lalu, ”Ya.”
“Hidungnya?”
Daksina agak bingung. Dan
Panembahan itu berkata, ”Mungkin kita menangkap suatu perbedaan kecil pada
bagian-bagiannya. Tetapi tentu tidak pada keseluruhannya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Itulah yang dimaksud dengan
ilmu Panembahan Agung. Semula aku juga terkejut karena tiba-tiba saja aku
mendengar derap kuda itu. Tetapi lihatlah, pintu itu hanya terbuka sedikit.
Apakah menurut dugaanmu, kuda yang setegar itu benar-benar dapat meloncat
keluar dari pintu yang tidak terbuka seluruhnya itu? Dan apalagi pintu itu
adalah pintu yang rendah.”
Daksina memandang pintu itu
sesaat. Kemudaan dipandanginya arah kuda itu hilang di balik gerumbul-gerumbul.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, ”Inikah yang dimaksud dengan bentuk-bentuk semu itu?”
Putut Nantang Pati pun tertawa
sambil berkata, ”Ya itulah. Jangan bingung. Kau harus meyakinkan pasukanmu,
bahwa mereka tidak usah menghiraukan jika di dalam peperangan nanti ada
bentuk-bentuk semu yang kadang-kadang mengerikan, karena sebenarnya mereka
tidak berpengaruh secara langsung. Di dalam keadaan yang memungkinkan itulah,
kita menghancurkan lawan, selagi orang-orang Mataram dan Menoreh kebingungan.
Tetapi jika kita sendiri bingung, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Daksina termangu-mangu
sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar. Apa yang dikatakan dengan bentuk semu
itu memang aneh sekali baginya. Kuda itu adalah kuda yang sangat bagus. Dan
anak yang ada di punggungnya itu adalah anak yang aneh sekali.
“Nah, marilah,” berkata
Panembahan Alit, ”kita harus segera berada di garis pertahanan. Pasukan Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh itu memang sudah mendekati daerah ini. Mereka telah
melampaui gangguan-gangguan kecil di perjalanan mereka menuju ke pertahanan
ini. Tetapi sudah pasti, bahwa mereka tidak tahu, bahwa kita sudah menunggu
mereka dan siap menghancurkan mereka dengan cara yang paling menarik.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Dan tiba-tiba saja ia bertanya, ”Jadi, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh itu akan dicengkam oleh bentuk-bentuk semu seperti itu? Dan kita akan
menyerang mereka selagi mereka kebingungan?”
“Ya. Jika datang saatnya
mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi sekedar bentuk-bentuk semu, maka
jumlah mereka sudah jauh berkurang.”
“Mengerikan,” desis Daksina
tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Aku tidak biasa berbuat
seperti itu di peperangan. Ada semacam ketidak-adilan dengan cara itu. Kita
akan membunuh orang-orang yang sedang kebingungan dan tidak tahu apa yang
dikerjakan. Itu bukan sikap jantan.”
Tetapi Panembahan Alit dan
Putut Nantang Pati tertawa bersama-sama. Di sela-sela suara tertawanya
Panembahan Alit berkata, ”Jangan menyalahkan diri sendiri. Di dalam perang
semua ilmu dapat dipergunakan. Itulah kelebihan kita dari mereka. Dan bukannya
suatu kecurangan bahwa kita memiliki kelebihan. Baik yang berupa senjata,
jumlah orang dan juga ilmu yang dapat mereka anggap ajaib.”
“Aku mengerti. Tetapi
perasaanku agak kurang mapan.”
“He, Daksina,” berkata
Panembahan Alit, ”barangkali kau pernah mendengar cerita tentang usaha
penyerbuan Adipati Unus ke seberang lautan melawan orang-orang berkulit putih.
Nah, apakah juga dapat disebut tidak adil, bahwa orang-orang berkulit putih itu
bersenjatakan petir?
“Petir?”
“Tentu bukan petir di langit.
Tetapi mereka mempunyai senjata yang dapat meledak dan menghancurkan lawan dari
jarak yang jauh. Apakah itu juga tidak adil jika lawan mereka hanya sekedar
bersenjata tombak dan pedang seperti kita sekarang ini?”
Daksina tidak menyahut.
Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawabnya. Tetapi di dalam relung hatinya
yang paling dalam ia merasakan perbedaan dari kedua persoalan itu.
”Sudahlah,” berkata Panembahan
Alit, ”mumpung masih ada waktu. Marilah kita pergi. Pada saatnya Panembahan
Agung akan menyusul kita dan akan menyusun pertahanan yang sempurna. Tetapi
sekali lagi aku ingatkan bahwa pasukanmu harus kau beritahu dengan segera,
bahwa jangan terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang akan dijumpainya di
peperangan. Kau sudah melihat sendiri contoh dari bentuk itu.”
Seperti tanpa disadari,
Daksina pun melangkah sambil menganggukkan kepalanya di sisi Panembahan Alit
dan Putut Nantang Pati.
Tetapi tiba-tiba langkah
mereka tertegun. Tiba-tiba saja Daksina merasa sebuah gempa telah mengguncang
daerah itu dan tanah di hadapannya bagaikan runtuh ke dalam jmung yang dalam.
Namun ia segera menguasai diri
dan mengerti, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar guncangan pada inderanya
sendiri.
Karena itu, maka sambil
menarik nafas Daksina berpaling. Tetapi ia tidak melihat Panembahan Agung, yang
dilihatnya hanyalah beberapa orang pengawal yang berdiri di sebelah rumah yang
baru saja ditinggalkannya.
“Marilah,” ajak Panembahan
Alit.
Daksina termangu-mangu. Ia
melihat sebuah jurang yang menganga di hadapannya. Meskipun tidak begitu lebar,
tetapi jurang itu sangat dalam.
“Marilah,” desak Putut Nantang
Pati pula. Daksina masih berdiri di tempatnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk
melangkah, karena seakan-akan ia melihat sebuah jurang yang terbentang di
hadapannya.
Tetapi agaknya Panembahan Alit
tidak menghiraukannya sama sekali. Meskipun jurang itu sangat dalam, namun
Panembahan Alit berjalan terus tanpa menghiraukannya.
Hampir saja Daksina berteriak
memanggilnya ketika Panembahan Alit yang sudah berdiri di bibir jurang itu
masih melangkahkan kakinya, justru ke atas jurang itu.
Tetapi ternyata Panembahan
Alit sama sekali tidak terlempar turun ke dalam jurang itu. Bahkan seakan-akan
Panembahan Alit itu berjalan di udara di atas jurang yang menganga mengerikan.
“Panembahan,” Daksina
berdesis.
“Marilah. Kau pun dapat
melakukannya.”
Di sinilah Daksina berdiri di
simpang jalan antara nalar dan penglihatannya. Penglihatannya yang terganggu di
jalur syarafnya, seakan-akan melihat sebuah jurang yang terbuka. Sedang
nalarnya tahu pasti, bahwa tidak ada apa-apa di hadapan kakinya saat itu,
sehingga jika ia melangkah terus, maka ia akan dapat seakan-akan berjalan di
udara seperti Panembahan Alit.
“Kau ternyata ragu-ragu,”
berkata Panembahan Alit, ”agaknya akan demikian pula orang-orang Mataram itu.
Mereka akan ragu-ragu seperti kau meskipun seandainya mereka tahu bahwa yang
dihadapi adalah sekedar bentuk-bentuk semu.”
Daksina menganggukkan
kepalanya. Katanya, ”Ya. Agaknya bentuk-bentuk semacam ini memang akan dapat
mengganggu.”
“Nah, yakinilah. Sehingga
dengan demikian kita akan dapat menghancurkan orang-orang Mataram dan Menoreh
itu dengan mudah.”
Daksina tidak menjawab. Dan
ketika ia mendengar Putut Nantang Pati pun kemudian mengajaknya, maka dengan
ragu-ragu ia melangkahkan kakinya. Seperti orang buta ia meletakkan kakinya di
atas jurang itu ketika ia sudah berdiri tepat di bibirnya.
Tetapi ternyata kakinya mendapat
sentuhan pula, meskipun seakan-akan ia berjalan di atas jurang.
Daksina menarik nafas panjang.
Dan tiba-tiba saja sekali lagi ia terkejut. Ketika ia berdiri di atas jurang
itu, maka tiba-tiba tanah bagaikan terkatub seperti sediakala.
“Kau sudah melihat dan
merasakan sendiri, betapa kau dicengkam oleh keragu-raguan. Katakanlah kepada
prajurit-prajuritmu agar mereka, tidak usah ragu-ragu jika mereka menghadapi
persoalan semacam ini. Mereka harus yakin bahwa mereka akan dapat mempergunakan
kesempatan serupa ini justru untuk menghancurkan lawan yang sedang dikuasai
oleh kebimbangan dan keragu-raguan.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Nah, marilah. Agaknya musuh
yang datang itu sudah menjadi semakin dekat. Kita masih harus mempersiapkan
segala sesuatunya untuk melawan mereka.”
Daksina masih tetap berdiam
diri. Tetapi ia melangkah semakin cepat, agar ia segera sampai kepada anak
buahnya.
Seperti pesan Panembahan Alit,
maka Daksina pun segera memberitahukan kepada para prajurit Pajang yang masih
belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh itu. Namun agaknya satu
dua orang di antara mereka sudah pernah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang
dapat menciptakan bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya semu.
Ternyata bahwa kesempatan yang
dapat dipergunakan hanya sedikit sekali. Namun demikian, Daksina berhasil
menyebarkan pengertian itu kepada setiap telinga orang-orang yang ada di bawah
perintahnya.
Panembahan Alit yang mendapat
kewajiban untuk memimpin seluruh pasukan itu pun segera mengatur pasukannya.
Meskipun Panembahan Agung akan datang dengan ilmunya yang ajaib, tetapi
ternyata Daksina harus mengakui, bahwa Panembahan Alit pun mengerti tentang
olah keprajuritan.
Dengan teliti Panembahan Alit
memberikan perintah kepada para senapati, termasuk Daksina dan Putut Nantang
Pati yang akan menjadi senapati pengapitnya.
“Jika orang-orang Mataram dan
Menoreh berhasil menyingkirkan keragu-raguan mereka tentang bentuk-bentuk semu
yang diciptakan oleh Panembahan Agung, maka kalian harus bertempur dengan
wajar. Namun demikian, kalian harus yakin, bahwa kalian lebih menguasai medan
dari mereka. Karena itu, sebagian di ujung kanan dan kiri, sebaiknya naik
memanjat tebing di sebelah-menyebelah. Mereka nanti akan menyerang pasukan Mataram
dan Menoreh dari lambung. Apalagi apabila mereka sedang terpengaruh oleh
bentuk-bentuk semu yang akan diciptakan pada saat pasukan itu memasuki medan
yang sudah kita tandai ini.”
Para senapati bawahannya
mengangguk-anggukkan kepala termasuk kedua Senapati pengapitnya, Daksina dan
Putut Nantang Pati.
“Sebentar lagi Panembahan
Agung akan datang. Ia tahu pasti, kapan ia harus mendekati garis pertempuran,
karena ia tahu pasti, sampai di mana pasukan Mataram dan Menoreh itu mendekat,”
berkata Panembahan Alit kemudian.
Dalam pada itu, pasukan
Mataram dan Menoreh benar-benar telah menjadi semakin dekat. Tetapi mereka sama
sekali tidak menduga bahwa mereka menjadi semakin dekat dengan pertahanan
lawan.
Meskipun demikian pasukan
Mataram dan Menoreh tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka masih tetap mengikuti
jejak yang sengaja dibiarkan saja oleh orang-orang yang sedang dicarinya. Namun
justru jejak itu menuju ke pertahanan yang kuat yang telah disusun oleh
Panembahan Alit yang kadang-kadang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak
Bernama.
Tiga orang pengawas yarg
mendahului pasukan Mataram dan Menoreh itu pun berusaha untuk mengenali daerah
yang akan dilalui oleh pasukannya. Dengan teliti mereka mengamati setiap batang
pohon dan gerumbul-gerumbul. Namun mereka pun menjadi curiga, bahwa daerah yang
semakin jauh dari padepokan yang mereka sangka adalah padepokan Panembahan
Agung itu tidak justru menjadi semakin liar, tetapi pategalan dan sawah-sawah
menjadi semakin teratur dan subur.
“Aku tidak mengerti, apakah
daerah padepokan yang tersembunyi di antara pebukitan ini memang membujur
sampai ujung lembah,” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun menjadi heran melihat daerah yang justru menjadi semakin
teratur. Jalur-jalur jalan yang semakin jelas dan bersih, sehingga mereka
menduga bahwa jalan itu adalah jalan yang masih selalu dipergunakan.
“Agaknya jalur jalan ini
adalah salah satu jalur jalan keluar dari lembah terkurung ini. Bukankah kita
pernah melihat jalan di lereng bukit di seberang puncak itu.”
“Ya, Dan itu wajar sekali.
Mereka tentu mempunyai jalan untuk menghubungkan diri dengan daerah di luar
daerah ini. Mereka tentu memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang tidak mereka
dapatkan di sini. Misalnya garam.”
“Ya,” tetapi sambil
mengangguk-anggukkan kepadanya ia berkata, ”aku menduga bahwa di hadapan kita
masih ada padepokan yang lain, yang mungkin lebih besar dari yang baru saja
kita temukan.”
”Ya. Dan sebaiknya kita segera
melaporkannya. Siapa tahu bahwa justru di hadapan kita itulah padepokan yang
sebenarnya.”
Para pengawas itu
termangu-mangu sejenak. Namun mereka merasa wajib untuk segera melaporkan
kepada pimpinan mereka.
“Pergilah,” berkata yang
tertua kepada salah seorang dari mereka bertiga, ”kami akan tetap di sini. Kami
akan mengawasi keadaan.”
Salah seorang dari mereka pun
segera merayap kembali ke induk pasukan untuk melaporkan apa yang dilihatnya.
“Memang menarik perhatian,”
berkata Kiai Gringsing.
“Dua padepokan yang terletak
di lembah yang sama meskipun jaraknya agak jauh,” desis Raden Sutawijaya.
“Mungkin sekali,” sahut Ki
Demang di Sangkal Putung, ”seperti sebuah kademangan, kadang-kadang terdiri
dari lima bahkan sampai sepuluh padukuhan.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang kemudian menjadi teka-teki, yang
manakah padepokan induk dari seluruh padepokan di lembah ini. Jika benar
Panembahan Agung ada di padepokan ini atau panembahan yang mana pun juga, maka
ia tentu akan berada di induk padepokan.
“Apakah benar Panembahan Tak
Bernama yang pernah berada di Alas Tambak Baya itu ada di sini? Dan apakah
masih ada panembahan yang lain atau orang-orang sakti yang lain yang berada di
lembah ini?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya karena baginya padepokan
ini benar-benar masih suatu teka-teki.
Ternyata bahwa orang-orang
yang lain pun menyimpan pertanyaan yang serupa. Swandaru, Ki Demang Sangkal
Putung, Ki Argapati, Pandan Wangi, Prastawa, dan yang lain lagi.
Namun dengan demikian maka
mereka merasa bahwa mereka harus lebih berhati-hati lagi menghadapi lawan yang
kurang mereka kenal.
“Kita harus bergerak dalam
gelar yang sesuai dengan keadaan lembah ini,” berkata Sutawijaya.
“Ya. Kita akan maju dalam
kesiagaan,” desis Prastawa. ”Sebelum kita berada di mulut lembah yang menghadap
ke daerah yang terbuka, kita masih mungkin diterkam oleh jebakan yang tidak
kita ketahui.”
“Kita tidak dapat memasang
gelar Cakra Byuha yang sempurna. Tetapi kita dapat mempergunakan,” berkata Ki
Argapati.
Ternyata Raden Sutawijaya
sependapat, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera membentuk sebuah gelar
Cakra Byuha yang kurang sempurna, karena mereka tidak dapat berdiri dalam suatu
lingkaran bergerigi.
“Cakra yang terbentuk adalah
cakra yang bulat panjang,” desis Agung Sedayu di telinga Swandaru.
Swandaru tidak menjawab,
karena ia pun harus segera memisahkan diri dan berada di ujung gerigi di
lambung pasukannya.
Demikianlah para pemimpin,
baik dari Mataram maupun dari Tanah Perdikan Menoreh telah terbagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang berada di sebuah lingkaran, bagaikan gerigi-gerigi
yang tajam yang akan memotong kekuatan lawan.
Yang berada di paling depan
adalah Raden Sutawijaya. sedang di sampingnya sebelah-menyebelah adalah Kiai
Gringsing dan Ki Argapati yang dibayangi oleh Pandan Wangi, karena di dalam
keadaan yang gawat, apabila kaki ayahnya itu kambuh, Pandan Wangi merasa
bertanggung jawab untuk membantunya.
Kemudian di lambung kanan
adalah Prastawa, Agung Sedayu, Swandaru dan di lambung kiri adalah para
pemimpin dari Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan.
Di bagian belakang dari gelar
itu pun harus mendapat perhatian, jika terpaksa lingkaran itu bergerak dalam
putaran, maka bagian belakang akan mengalami perlawanan yang berat, sehingga
karena itu, maka Ki Demang-lah yang kemudian berada di gerigi belakang itu.
Perlahan-lahan gelar perang
yang tidak sempurna itu berderap maju. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak
pasukan Jipang yang menyeberangi Kali Sore, pada saat berkecamuknya perang
saudara yang mengerikan itu, namun pasukan dari Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh itu pun merupakan kekuatan yang cukup untuk menghadapi sebuah
pertahanan yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya masih kabur bagi para
pemimpin pasukan yang bergerak maju itu.
Dengan hati-hati pengawas yang
melaporkan pengamatannya tentang daerah di hadapan mereka itu membawa
Sutawijaya dengan pasukannya yang sudah berjalan dalam gelar, menuju ketempat
kedua kawan-kawannya menunggu.
Tetapi ketika mereka sampai ke
tempat itu, mereka tidak menemukan seorang pun dari keduanya.
“Keduanya ada di sini,”
berkata pengawas itu.
“Mungkin ada yang menarik
perhatiannya. Mereka tentu sudah bergerak maju.”
“Kita sudah berada dekat di
muka padepokan itu.”
“Ya,” sahut Raden Sutawijaya,
”kita memang sudah berada dekat dengan padepokan yang satu lagi. Kita tidak
tahu, apakah padepokan ini juga kosong seperti padepokan yang baru saja kita
lewati.”
“Jadi, apakah kita akan maju
terus?”
“Kita tunggu sejenak. Mungkin
kedua pengawas itu dapat memberikan penjelasan.”
Demikianlah maka Sutawijaya
pun memberikan isyarat yang diteruskan oleh para pemimpin dari kedua pasukan
yang sedang bergerak itu, sehingga dengan demikian kedua pasukan itu berhenti
sejenak. Tetapi karena kedua pengawas itu tidak juga datang kembali ke induk
pasukan, maka mereka pun kemudian berangkat lagi. Meskipun demikian, Sutawijaya
telah mengirimkan dua orang dari Mataram dan dua orang dari Menoreh untuk
mendahului.
Beberapa saat kemudian, maka
keempat orang yang berada di depan pasukan itu terkejut. Ternyata mereka
menemukan kawan-kawan mereka yang dua orang terkapar pingsan di antara
gerumbul-gerumbul perdu.
“Jangan sentuh,” yang tertua
di antara mereka berempat itu pun memperingatkan kawan-kawannya.
“Kita laporkan kepada Raden
Sutawijaya.”
“Sebentar lagi mereka akan
datang.”
Sebenarnyalah maka pasukan itu
pun segera sampai pula ke tempat itu. Seperti para pengawas yang berjalan
mendahului, maka para pemimpin dari pasukan itu pun menjadi heran melihat kedua
pengawas yang terdahulu itu.
Kiai Gringsing-lah yang
kemudian mendekatinya. Dengan ketajaman inderanya ia mengetahui, bahwa
orang-orang itu sama sekali tidak tersentuh racun.
Karena itu, maka ia pun segera
merabanya dan mencoba mencari sebab, kenapa kedua orang itu menjadi pingsan.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa
orang itu terluka baik di luar maupun di dalam,” berkata Kiai Gringsing.
Beberapa orang yang
mengerumuninya menjadi heran. Memang tidak ada bekas apa pun pada tubuhnya yang
dapat dijadikan pertanda, sebab-sebab kenapa ia pingsan.
Sutawijaya yang berdiri
termangu-mangu itu pun memandang berkeliling. Barangkali ia menemukan sesuatu
yang mencurigakan. Tetapi ia tidak melihat apa pun juga, apalagi melihat
seseorang.
“Apakah orang-orang itu telah
dicekik?” tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Tidak ada bekas-bekas jari di lehernya.”
Dalam pada itu, Ki Argapati
yang mengamati keadaan di sekelilingnya berkata, ”Agaknya ada bekas perkelahian
di tempat ini.”
Kiai Gringsing yang melihat
juga tanda-tanda itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Ya.
Agaknya memang ada bekas perkelahian. Tetapi setelah ada perkelahian, apakah
yang kemudian menyebabkan kedua orang ini pingsan.”
Tidak seorang pun yang
menjawab, sedang Kiai Gringsing pun kemudian berusaha untuk membuat kedua orang
itu sadar.
Perlahan-lahan kedua orang itu
mulai membuka matanya. Namun dengan wajah yang pucat dan ketakutan meresa
segera menutup matanya kembali.
“Tidak, tidak.”
“Sst,” desis Kiai Gringsing,
”aku, Kiai Gringsing dan di sini ada pula Raden Sutawijaya.”
Perlahan-lahan orang itu
sekali lagi membuka matanya meskipun mula-mula agak kabur, namun mereka pun
melihat bahwa yang ada di sekitarnya adalah kawan-kawannya sendiri.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam, salah seorang dari mereka berusaha bangkit. Setelah duduk di
rerumputan, maka ia pun mengusap matanya beberapa kali. Diedarkannya pandangan
matanya menyapu dedaunan di sekitarnya.
“Kenapa kau berdua pingsan?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Tiba-tiba saja kami diserang.”
“Siapa?”
“Seseorang yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan.”
“Kau berkelahi?”
“Ya. Kami berdua berkelahi
melawan orang itu. Tetapi ternyata orang itu sangat tangguh. Kami berdua tidak
berhasil mengalahkannya.”
“Tetapi kenapa kau pingsan
tanpa luka di tubuhmu?”
“Aku kira, aku telah kehabisan
nafas. Aku tidak dapat lagi menggerakkan tubuhku sama sekali. Mataku menjadi
berkunang-kunang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.”
Yang mendengarkan ceritera itu
mengerutkan keningnya. Dan dengan jantung yang berdebar-debar Kiai Gringsing
bertanya, ”Apakah kau tahu namanya?”
“Orang itu memang menyebutkan
namanya.”
“Siapa?”
“Namanya Tak Bernama.”
“He,” yang mendengar itu
menjadi heran. Tetapi Kiai Gringsing menyahut, ”Maksudmu. Panembahan Tidak
Bernama?”
“Ya. Ya. Ia menyebut namanya
Panembahan Tidak Bernama.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata orang itu memang ada di sini. Orang yang menyebut dirinya
Panembahan Tidak Bernama.
Namun kemudian tumbuh
pertanyaan di dalam dirinya, apakah Panembahan Tidak Bernama itu juga yang
menyebut dirinya Panembahan Agung?
Dalam pada itu Raden
Sutawijaya pun bertanya, “Kenapa orang itu tidak menangkapmu, atau berusaha
membunuhmu?”
“Aku tidak tahu, Raden. Tetapi
ia memang berkata, bahwa ia tidak akan membunuhku. Yang ditunggunya adalah para
pemimpin dari Mataram dan Menoreh. Bahkan orang itu menyebut-nyebut orang yang
bersenjata cambuk.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Katanya, ”Agaknya mereka sudah mengetahui bahwa kami ada di tempat
ini.”
“Tentu,” sahut Sutawijaya,
”Agung Sedayu dan Swandaru bersenjata cambuk pula ketika kami berkelahi melawan
pasukan Daksina di daerah terbuka di sebelah hutan itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Dipandanginya orang yang baru sadar itu sejenak, lalu perlahan-lahan ia menarik
orang-orang itu untuk berdiri.
“Apakah kau sudah dapat
berdiri?”
“Ya. Tetapi badanku masih
terlalu lemah.”
“Baiklah. Beradalah di dalam
pasukan. Gelar yang tidak sempurna ini akan bergerak terus. Dan sebelum badanmu
pulih kembali, kau sebaiknya berada di dalam lingkaran bersama para tawanan
yang ada pada kami dan pengawal-pengawalnya. Kau dapat membantu mereka jika
diperlukan.”
Demikianlah, maka pasukan itu
pun mulai bergerak lagi. Sutawijaya pun kemudian berpesan kepada pengawas-pengawas
yang baru, agar mereka memberikan isyarat jika mereka menjumpai kesulitan atau
sesuatu yang mencurigakan.
Para pengawas yang kemudian
berjalan mendahului pasukan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak
mau mengalami nasib seperti kedua kawannya yang pingsan di dalam perkelahian
karena kehabisan nafas meskipun hal itu cukup menarik perhatian. Apalagi karena
lawannya sama sekali tidak melukainya dan apalagi membunuh.
“Mungkin orang itu sekedar
memberikan peringatan. Tetapi mungkin juga ia tergesa-gesa pergi karena pasukan
ini sudah menjadi semakin dekat,” berkata pengawas itu di dalam hati.
Namun demikian, mereka sadar
bahwa orang itu tentu orang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, pasukan
Mataram dan Menoreh itu pun sudah menjadi sangat dekat dengan pertahanan lawan
yang tersembunyi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melihatnya lebih
dahulu. Mereka sama sekali tidak sadar, bahwa di balik batu-batu padas di
lereng bukit sebelah-menyebelah, di balik dinding-dinding batu padepokan di
hadapan mereka di belakang gerumbul-gerumbul di sebelah padepokan itu, pasukan
lawan sudah menunggu dengan pedang terhunus.
Namun lebih daripada itu, di
antara mereka terdapat Panembahan Alit diapit oleh Daksina dan Putut Nantang
Pati, serta agak di belakang terdapat Panembahan Agung yang duduk di serambi
sebuah gardu kecil. Di sebelah-menyebelah gardu itu terdapat para pengawal yang
juga tersembunyi.
Dari gardu itulah Panembahan
Agung akan mengawasi pertempuran yang sebentar lagi bakal terjadi.
Beberapa puluh langkah di
hadapan pertahanan itu Raden Sutawijaya memimpin pasukannya mendekati dinding
batu di ujung padepokan. Perlahan-lahan dan hati-hati. Namun sama sekali tidak
menduga bahwa di balik dinding batu, di balik pepohonan dan batu-batu padas,
lawannya sedang mengintai dan siap untuk menerkam.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
para pengawas yang mendahului pasukan Mataram itu terkejut. Tiba-tiba saja
mereka melihat sebatang pohon raksasa di hadapan mereka yang berguncang.
Apalagi para pengawas yang datang dari Menoreh, yang kebetulan ikut di dalam
perburuan bersama Pandan Wangi dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung.
“Tentu ular naga,” desis yang
seorang, ”gerak pohon itu tepat seperti yang kita lihat di hutan itu.”
“Ya. Dan bau yang wengur ini?”
“Apa?” bertanya pengawal yang
datang dari Mataram.
”Ular raksasa yang lapar. Kau
lihat pepohonan yang berguncang itu. Tidak hanya satu, tetapi tiga batang.”
“Ya. Tiga batang. Jadi tentu
ada tiga ekor ular raksasa lapar di hadapan kita.”
“Kita berhenti di sini,”
berkata salah seorang pengawas. “Lebih baik melawan Panembahan Tidak Bernama
daripada melawan ular-ular raksasa itu. Adalah kebetulan saja Agung Sedayu
dapat mengenai mata naga itu dengan tombak. Jika tidak, maka kita tentu akan
disapu dengan ekornya. Demikian juga agaknya pasukan ini Jika kita tidak
berhenti di sini, maka kita akan kehilangan banyak orang tanpa arti.”
“Tetapi kapan ular itu akan
pergi?”
“Tentu kita tidak tahu.
Biarlah Raden Sutawijaya mengambil keputusan.”
Seperti yang mereka harapkan,
maka sejenak kemudian induk pasukan pun datang ketempat itu. Seperti pengawas,
maka mereka pun segera melihat pepohonan besar yang bagaikan ditiup angin
pusaran.
Raden Sutawijaya menjadi
termangu-mangu sejenak, sedang Pandan Wangi yang berada bersama ayahnya di sisi
ujung tengah pasukan itu pun hampir berteriak berkata, ”Ular-ular naga.”
Sutawijaya memandang pepohonan
yang bergetar itu dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Agung Sedayu
dan Swandaru meninggalkan kelompoknya sejenak dan mendekati gurunya yang
berdiri di sebelah Sutawijaya.
“Guru,” berkata Agung Sedayu,
”ketika kami menangkap ular naga, maka yang pertama-tama kami lihat adalah
getar pepohonan seperti itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampaklah keragu-raguan membayang di
wajahnya.
“Jika tidak dengan kebetulan
aku mengenai matanya dengan tombak, aku kira kami tidak akan dapat kembali.
Setidak-tidaknya salah seorang dari kami telah menjadi korban.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
”ular yang berbuat demikian adalah ular yang lapar. Dan kini ada tiga ekor ular
naga yang lapar bersama-sama.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Namun tiba-tiba salah seorang dari ke empat pengawas itu berteriak,
”Aku sudah melihat ular itu. Hampir tidak mungkin. Lebih besar yang pernah kita
tangkap.”
Ternyata bahwa bukan saja para
pengawas itu melihat ular raksasa yang mulai meluncur turun dari pohonan itu.
Tetapi hampir setiap orang di dalam pasukan itu dengan hati yang berdebar-debar
menyaksikan tiga ular yang besar sekali sedang turun dari pohon-pohon raksasa
di hadapan mereka.
“Apakah kita akan bertempur
melawan ular-ular naga itu?” bertanya salah seorang kepada kawan-kawannya.
Tetapi belum lagi kawannya
menjawab, mereka melihat suatu peristiwa yang belum pernah mereka saksikan
sepanjang hidup mereka. Ternyata ke tiga ekor ular naga yang sedang lapar itu
telah saling menyerang dan berkelahi di antara mereka sendiri
Perkelahian itu benar-benar
telah menarik perhatian para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan
Menoreh itu, sehingga mereka menjadi lengah dan kehilangan perhatian terhadap
gelar yang mulai pecah.
“Ular itu saling menyerang,”
desis Agung sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.
Sejenak seluruh pasukan itu
terpesona melihat tiga ekor ular naga raksasa yang saling membelit dan
bertempur di antara mereka. Semakin lama menjadi semakin liar. Apalagi setelah
darah yang merah kehitam-hitaman mulai membasahi tubuh mereka.
“Guru,” berbisik Agung Sedayu kemudian,
”ular sebesar itu tentu memiliki tenaga yang luar biasa. Pepohonan menjadi
rusak dan berhamburan. Bagaimana kira-kira jika ular-ular itu menyerang pasukan
ini, apalagi dalam keadaan yang marah?”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Diperhatikannya ketiga ekor ular yang bertempur sendiri itu.
Tetapi ternyata bahwa yang
dicemaskan Agung Sedayu itu terjadi. Tiba-tiba salah seekor dari ular itu yang
terlepas dari belitan perkelahian di antara mereka, mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi seakan-akan ingin melihat keadaan di sekelingnya. Perlahan-lahan
ular itu mengangkat kepalanya sambil mengangakan mulutnya. Tampak taringnya
yang panjang dan tajam, kemudian lidahnya yang bercabang menjulur panjang
sekali.
Dengan mata yang merah menyala
ular itu memandang perbukitan di sekitarnya. Kemudian tiba-tiba saja mata itu
menyentuh para pengawal yang dengan termangu-mangu sedang memperhatikannya.
Tiba-tiba ular itu mendengus
keras sekali sehingga kedua ekor yang lain terkejut. Perkelahian di antara
mereka pun tiba-tiba juga berhenti. Kini ketiga ekor naga itu memperhatikan
arah yang sama. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal menjadi
berdebar-debar. Sejenak mereka memperhatikan ketiga ekor ular naga itu. Jika
ular itu menyerang mereka, maka mereka tidak akan banyak dapat berbuat.
Seandainya mereka melemparkan semua senjata ke arah ke tiga ekor naga itu maka
mereka tidak akan mampu menahan gejolak yang sangat dahsyat sebelum ketiga ekor
ular itu mati. Dan separo dari pengawal di dalam pasukan itu pun akan terbunuh.
Dan ternyata yang mereka
cemaskan itu terjadi. Ketiga ekor ular naga yang sudah terluka itu mulai
merunduk. Mereka agaknya menjadi sangat marah melihat orang-orang yang telah
melihat perkelahian di antara mereka.
Sesaat kemudian hampir
berbareng ketiga ekor naga itu meluncur maju. Perlahan-lahan tetapi pasti,
bahwa mereka akan menyerang orang-orang yang mereka anggap telah mengganggu.
Tanpa disadari, maka para
pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu melangkah surut. Tiga ekor
ular naga yang besar bersama-sama telah menyerang mereka.
Sesaat pasukan itu menjadi
berdebar-debar. Apalagi mereka yang pernah melihat, bagaimana seekor ular naga
yang marah menyerang lawannya, ketika mereka berburu bersama Pandan Wangi dan
anak-anak Sangkal Putung itu. Prastawa menjadi gelisah. Bahkan dengan
serta-merta berkata kepada pamannya, ”Paman, sebaiknya kita menghindari
ular-ular naga itu. Mereka sangat buas dan barangkali tidak ada cara yang dapat
kita pergunakan untuk melawan mereka bertiga.”
Ki Argapati tidak menjawab. Ia
sedang memandang ketiga ekor ular naga itu dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu, selagi seluruh
pasukan menjadi cemas. Agung Sedayu sempat melihat beberapa ekor burung yang
berterbangan di udara. Sehingga karena itu ia bertanya kepada gurunya, ”Guru,
apakah Guru juga melihat burung-burung di udara itu?”
Kiai Gringsing mengangkat
wajahnya. Dilihatnya burung yang berterbangan di langit. Berputar-putar
seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi di bawah sayapnya.
Tiba-tiba saja Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya kepada Agung Sedayu, ”Kita sudah mulai mengalami.”
Dan berbareng dengan itu Raden
Sutawijaya pun bertanya, ”Kiai, coba katakan, apakah yang kita lihat itu bukan
sekedar bentuk semu? Aku tidak yakin, bahwa kita menjumpai tiga ekor ular
raksasa sekaligus.”
“Tetapi mereka bertempur di
antara mereka sendiri,” desis Prastawa ragu-ragu.
Dan keragu-raguan telah
melanda seluruh pasukan. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, ”Kita
tidak berhadapan dengan tiga ekor ular naga yang sebenarnya. Jika ada seekor
ular saja di hadapan kita, maka binatang-binatang yang lain akan menghindar.
Demikian juga burung-burung di udara.”
“Jika demikian,” teriak
Sutawijaya, ”semua kembali ke dalam kelompoknya. Adalah berbahaya sekali jika
kita terpancang oleh bentuk-bentuk semu itu, sedang pasukan lawan yang
sebenarnya akan menyerang kita.”
Perintah itu telah
menggerakkan para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka
sadar, bahwa mereka harus berada di dalam lingkaran gelar yang tidak sempurna
itu. Karena itu maka mereka pun segera berlari-larian kembali ke kelompok
masing-masing.
Namun demikian bentuk yang
mengerikan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Adalah meragukan sekali,
bahwa bentuk-bentuk itu hanya sekedar bentuk semu. Bahkan ada di antara para
pengawal yang menjadi gemetar melihat taring yang panjang runcing dan lidah
yang menjulur bercabang.
Tetapi Kiai Gringsing sempat
menyakinkan dirinya sendiri. Dengan ilmu yang ada padanya, ia telah menemukan
kepastian bahwa yang dilihatnya bukannya tiga ekor ular naga raksasa.
“Kita maju terus,” perintah
Raden Sutawijaya kemudian.
Namun Raden Sutawijaya sendiri
masih juga dicengkam oleh kebimbangan, sehingga tombaknya selalu merunduk ke
depan, siap untuk dipergunakan.
Namun seandainya yang menjadi
semakin dekat itu adalah benar-benar tiga ekor naga maka tombak itu tidak akan
berarti apa-apa.
Dalam pada itu, selagi pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat,
maka pasukan yang dipimpin oleh Putut Nantang Pati dan Daksina sudah siap untuk
menyerang mereka. Tetapi yang telah menggoncangkan hati adalah perintah Raden
Sutawijaya, justru para pengawal itu harus kembali di tempat masing-masing di
dalam gelar yang tidak sempurna itu.
“Mereka mengerti, bahwa
bentuk-bentuk itu bukannya bentuk yang sesungguhnya,” berkata Putut Nantang
Pati.
“Mereka bukan orang dungu.
Tetapi nampak bahwa pasukan itu menjadi ragu-ragu,” jawab Daksina yang
bersembunyi di balik dinding batu.
“Kita menunggu perintah
Panembahan Alit.”
Dalam pada itu Panembahan Alit
menjadi bimbang pula. Ternyata pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh tidak
menjadi pecah dan berlarian saling tunjang sehingga dengan mudah mereka dapat
menumpasnya. Bahkan ia mendengar meskipun lamat-lamat perintah Sutawijaya untuk
tetap berada di dalam gelar perangnya yang meskipun tidak sempurna, namun
merupakan suatu gelar yang rapat di dalam lembah yang tidak terlalu luas ini.
Dalam keragu-raguan itu,
tiba-tiba mereka terkejut melihat api yang menyala dari mulut ke tiga ekor naga
itu. Sejenak, Panembahan Alit dan anak buahnya terpesona sendiri melihat nyala
yang menyembur dari mulut yang sedang menganga itu meskipun mereka tahu pasti,
bahwa yang mereka lihat bukannya api yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, ternyata
bahwa api yang memancar dari mulut tiga ekor naga itu telah menggetarkan
jantung setiap orang di dalam pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Rasa-rasanya api itu terasa panasnya pada tubuh mereka, sehingga mereka
benar-benar meragukan, apakah yang mereka lihat hanya sekedar semu.
Dengan demikian maka pasukan
yang berada di dalam gelar itu telah terhenti. Bahkan beberapa orang mulai
tergerak surut karena api yang semakin lama menjadi semakin besar itu.
“Tidak ada apa-apa,” Kiai
Gringsing-lah yang kemudian berteriak, ”aku tidak melihat apa-apa.”
Mereka yang mengenal Kiai
Gringsing sebagai seorang yang memiliki kelebihan, menerima keterangannya itu
dengan akalnya. Namun ternyata sebelum para pengawal itu harus bertempur
melawan pasukan Panembahan Agung, mereka telah bertempur di dalam diri mereka
sendiri, karena akal dan perasaan mereka menjadi tidak seimbang.
“Nah,” berkata Panembahan
Alit, ”kini mereka mulai kehilangan keseimbangan. Sejenak lagi kita akan menyerang
mereka. Terutama pasukan yang ada di lambung itu.”
Tetapi yang terjadi kemudian
adalah suatu permainan baru yang menggemparkan medan. Tiba-tiba saja, selagi
pasukan Mataram dan Menoreh mulai kebingungan, di langit berterbangan beberapa
ekor burung elang raksasa. Semakin lama semakin banyak sehingga kemudian langit
bagaikan diliputi oleh mendung. Berpuluh-puluh burung elang yang besar
berterbangan mengitari tiga ekor naga raksasa itu. Dan sejenak kemudian
tiba-tiba saja berpuluh-puluh burung elang yang besar itu menyerang ketiga ekor
ular naga itu dengan paruhnya yang tajam dan dengan kuku-kukunya yang runcing.
Ular-ular naga itu pun
terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba dari udara. Ketiganya menggeliat, dan
kemudian menengadahkan kepalanya. Namun burung-burung elang raksasa itu pun
menyerang semakin lama menjadi semakin dahsyat, sehingga ketiga ekor ular itu
tidak sempat memperhatikan lagi para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh. Mereka menyemburkan api di mulutnya ke arah burung elang itu. Tetapi
agaknya burung-burung elang itu telah kebal sehingga api yang menjilat mereka,
sama sekali tidak menghanguskan bulu-bulunya.
Panembahan Alit yang melihat
pertempuran itu menjadi heran. Kemudian cemas dan berdebar-debar. Sedang Putjut
Nantang Pati dan Daksina menjadi bingung dan bertanya, ”Panembahan, apakah yang
terjadi?”
“Aku tidak mengerti. Tentu ada
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Elang-elang raksasa itu sangat mencurigakan,
tentu hanya bentuk semu seperti ular raksasa itu pula. Jika burung-burung itu
adalah burung yang sebenarnya, mereka tentu tidak akan terpengaruh, oleh
bentuk-bentuk semu seperti ketiga ekor ular raksasa itu.”
Ternyata bukan saja Panembahan
Alit yang menjadi cemas dan bingung. Panembahan Agung yang duduk di serambi
gardunya pun terkejut merasakan suatu getaran yang lain yang telah terjadi pada
pusat semadinya sehingga akhirnya ia melihat gangguan-gangguan yang tidak
dikehendaki.
Yang terjadi kemudian
sebenarnya adalah pertempuran kekuatan ilmu yang aneh itu. Dengan segenap
pemusatan pikiran dan perasaan, Panembahan Agung mempertahankan bentuk-bentuk
semunya agar tidak terganggu oleh burung-burung yang berterbangan dan
menyerangnya berganti-ganti. Getar-getaran yang dahsyat ternyata telah melanda
pemusatan pikirannya, sehingga bentuk-bentuk yang diciptakannya terpengaruh
pula olehnya.
Ternyata bahwa gelombang
getaran yang melanda jantungnya adalah ilmu yang sangat dahsyat. Apalagi
Panembahan Agung tidak menyangka bahwa ia akan mendapat serangan yang sangat
dahsyat seperti itu.
Karena itulah maka ia harus
berjuang mati-matian, agar bentuk-bentuk semunya tidak terpengaruh oleh
benturan ilmu itu.
Tetapi itu tidak mungkin.
Penguasaannya atas getaran alam di sekitarnya yang langsung mempengaruhi syaraf
setiap orang yang berada di dalam lingkup jangkau kemampuan ilmunya sehingga
tercipta bentuk-bentuk yang semu, yang seolah-olah dapat disentuh oleh syaraf
penghayatan yang wadag itu, terpengaruh pula oleh gejolak getaran ilmu yang
serupa.
Akhirnya Panembahan Agung itu tidak
dapat bertahan lebih lama lagi. Apalagi ia merasa tidak bersiap menghadapi
serangan yang tiba-tiba serupa itu sehingga akhirnya ia berniat untuk mulai
saja dengan medan yang baru sama sekali dengan melepaskan medan yang lemah itu.
Karena itu, maka dengan hati
yang berdebar-debar orang-orang yang berada di lembah dan yang sudah bersiap
untuk bertempur itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat ke tiga ekor ular
naga itu bergeser surut. Perlahan-lahan mereka meninggalkan medan diburu oleh
burung-burung yang berterbangan di udara. Dan akhirnya ketiga ekor ular naga
itu pun meluncur masuk ke dalam rimbunnya pepohonan di lembah itu.
Demikian ketiga ekor ular naga
itu hilang, maka burung-burung itu pun melayang meninggi, dan akhirnya hilang
pula di balik awan.
Para pengawal Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh menggosok mata mereka. Kini mereka melihat, bahwa
sebenarnya di hadapan mereka tidak ada bekas-bekas perkelahian dari tiga ekor
ular naga itu. Mereka tidak melihat pepohonan yang berserakan dan dahan-dahan
kayu yang berpatahan. Pepohonan yang ada di padukuhan di hadapannya masih
tampak hijau segar dan daun-daunnya masih tetap rimbun.
“Kita telah dihadapkan pada
permainan yang gila,” teriak Sutawijaya. ”Jika kita setiap kali menghadapi
permainan seperti itu, kita memang akan dapat menjadi gila karenanya. Sekarang,
selagi kita masih sadar sepenuhnya bahwa kita adalah sasaran permainan itu,
cepat, kita harus menemukan sumber dari permainan gila itu sendiri.”
Para pemimpin dari Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh sependapat dengan perintah Raden Sutawijaya itu. Namun
mereka masih saja selalu dibebani oleh pertanyaan, bagaimana burung-burung
elang raksasa itu begitu saja hadir dan membantu mereka menghapus bayangan semu
yang mengerikan itu.
“Apakah juga Panembahan Agung
yang menciptakan bentuk-bentuk burung elang raksasa yang dahsyat itu?” bertanya
salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh kepada seorang kawannya.
“Aku kira bukan,” Agung Sedayu
yang mendengar pertanyaan itu menjawab.
“Jadi siapa?”
“Lembah ini memiliki seribu
rahasia yang tidak mudah dikatakan maknanya.”
Pengawal itu tidak bertanya
lagi. Raden Sutawija yang marah karena merasa dipermainkan, segera membawa
pasukannya maju.
Tetapi langkahnya terhenti
ketika tiba-tiba saja, seperti yang pernah dialami Daksina, lembah itu telah
diguncang oleh gempa bumi. Pohon-pohon besar berguncang dan dan tebing
batu-batu yang besar runtuh menimpa pepohonan.
Raden Sutawijaya terkejut. Dan
rasa-rasanya tanah memang berguncang, sehingga karena itu, sejenak ia menjadi
bingung. Apalagi kemudian terdengar tanah di hadapan mereka runtuh, dan
mengangalah sebuah jurang yang besar dan dalam.
Beberapa orang pengawal di
dalam pasukan yang sedang bergerak maju itu berpegangan pepohonan erat-erat,
seakan-akan mereka akan terlempar ke dalam jurang yang dalam itu. Bahkan
beberapa orang di bagian depan gelar yang tidak sempurna itu bergeser surut.
Ketika gempa menjadi reda,
maka kebimbangan yang sangat telah meraba hati setiap orang. Bahkan mereka
merasa tidak pasti terhadap diri mereka sendiri, setelah mereka diganggu oleh
peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu.
Dan belum lagi getaran jantung
mereka mereda, mereka melihat asap yang tebal mengepul dari dalam jurang itu,
seolah-olah di dalam jurang itu terdapat kawah gunung berapi yang panas.
Kali ini Panembahan Alit tidak
mau lagi melepaskan kesempatan itu. Selagi orang-orang Mataram dan orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh menjadi kebingungan, maka terdengar isyarat dari
senapati itu, bahwa pasukannya harus menyerang.
Demikianlah, maka anak buah
Putut Nantang Pati dan Daksina itu pun segera menghambur keluar dari
persembunyian mereka. Karena mereka sudah dibekali keyakinan bahwa yang mereka
lihat adalah sekedar bentuk semu, maka mereka tidak menghiraukannya lagi. Yang
berada di paling depan sebelah-menyebelah adalah Putut Nantang Pati dan
Daksina. Mereka bagaikan terbang melintasi jurang dan asap tebal
keputih-putihan. Di belakangnya, anak buahnya mengikutinya tanpa ragu-ragu.
Mereka berlari-larian di udara, melintasi jurang yang dalam itu.
Sebenarnyalah bahwa para
pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh menjadi bingung. Meskipun
mereka mencoba untuk menilai apa yang dilihatnya, tetapi untuk beberapa saat
mereka kehilangan keseimbangan nalarnya.
Dalam pada itu, para
pemimpinnya merasakan keragu-raguan yang dahsyat itu. Apalagi setelah mereka
melihat pasukan lawan mulai menyerang dan seakan-akan terbang di udara di atas
jurang yang menganga.
Hampir berbareng di dalam
kecemasan melihat kebimbangan pasukannya, Raden Sutawijaya, Kiai Gringsing, dan
Ki Argapati berteriak, ”Jangan bingung. Kalian melihat bentuk-bentuk yang tidak
sebenarnya ada. Tetapi pasukan lawan itu sebenarnya sedang menyerang kalian.”
Perintah itu memang
berpengaruh. Tetapi nalar mereka seakan-akan sedang buntu oleh kebingungan yang
mencengkam mereka.
Baru ketika terdengar perintah
sekali lagi, maka mereka pun mulai terbangun dan mempersiapkan senjata mereka.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu lawan mereka yang terbang di
atas jurang yang lebar dan dalam itu.
Tetapi sebelum mereka menjadi
benar-benar mapan, maka datanglah gangguan yang lain. Tebing lembah itu sekali
lagi bagaikan runtuh. Batu-batu besar berguguran dan pepohonan tumbang.
Rasa-rasanya lembah itu semakin lama menjadi semakin sempit.
Sekali lagi timbul kebingungan
pada setiap orang di dalam pasukan itu, sehingga sekali lagi Kiai Gringsing
berteriak, ”Jangan hiraukan. Tidak ada apa-apa.”
Dan disahut oleh setiap
pemimpin, meskipun mereka juga masih ragu-ragu. ”Jangan hiraukan. Bersiap
melawan pasukan lawan itu.”
Tetapi mereka pernah
menyaksikan lembah yang bagaikan runtuh ketika mereka memasuki lembah yang agak
luas itu. Reruntuhan itu telah benar-benar menguburkan beberapa orang kawan
mereka, sehingga karena itu, batu-batu padas yang runtuh itu benar-benar telah
membuat mereka kebingungan.
Dengan pemusatan perhatian
terhadap para penyerang, Para pemimpin kelompok dari pasukan pengawal Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh mencoba melepaskan perhatiannya kepada semua yang
telah terjadi di sekitarnya. Meskipun demikian, mereka tidak berhasil
sepenuhnya mengnguasai diri sendiri.
Terlebih-lebih lagi ketika
mereka mulai disentuh oleh angin yang bagaikan menggugurkan gunung yang
mengalir di lembah itu, sehingga setiap pohon berguncang dengan dahsyatnya.
Tetapi, suatu peristiwa yang
tidak mereka sangka-sangka telah terjadi lagi. Selagi pasukan lawan hampir
mencapai ujung jurang yang hanya ada di dalam kegelisahan hati itu, tiba-tiba
meluncurlah anak panah bagaikan hujan dari balik pepohonan. Bukan saja anak
panah, tetapi tombak-tombak pendek dan bahkan lembing-lembing bambu yang
berujung runcing.
Dengan demikian maka pasukan
Panembahan Alit yang terbang itu bagaikan berhenti. Mereka menjadi ragu-ragu
pula. Sejenak Putut Nantang Pati dan Daksina mencoba menilai keadaan. Apakah
yang sebenarnya mereka hadapi.
Panembahan Alit yang berada di
antara pasukan itu pun kemudian bergeser maju. Katanya, ”Gila, orang-orang
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar tidak terpengaruh oleh
bentuk-bentuk yang aneh ini.”
“Ya, mereka sempat menyerang
dari balik pepohonan tanpa menghiraukan angin ribut dan batu-batu padas yang
berguguran itu.
Para pemimpin pasukan
Panembahan Alit itu menjadi bimbang. Panah-panah yang meluncur itu seperti merambat
semakin maju mendekati ujung pasukan mereka yang kini bagaikan terkatung-katung
di udara.
Ketika satu dua anak panah
sudah menjadi semakin dekat, maka tanpa disengaja, beberapa orang mulai
bergeser surut.
Namun dalam pada itu,
Sutawijaya dan seluruh pasukannya pun menjadi heran. Tidak seorang pun dari
mereka yang dengan tenangnya melontarkan anak panah dari balik pepohonan. Namun
ternyata anak panah itu meluncur deras sekali, sehingga menahan arus pasukan
lawan yang menyerang mereka dalam saat mereka berada di dalam cengkaman
kebimbangan dan kebingungan.
Dalam pada itu, Sutawijaya
juga dicengkam oleh kebimbangan yang luar biasa sehingga tanpa disadarinya ia
memukul-mukul kepalanya sendiri sambil berkata, ”Kita berada di daerah yang
dapat membuat kita gila.” Tetapi tiba-tiba ia berteriak, ”Jangan hiraukan,
marilah kita maju. Kita tentu dapat juga terbang seperti orang-orang itu.
Sebenarnyalah bahwa jurang itu tidak ada sama sekali. Hanya kegilaan kita
sajalah yang telah membayangkannya bahwa kita di batasi oleh sebuah jurang yang
dalam.”
Sutawijaya tidak menunggu
lebih lama lagi, ia pun kemudian melangkah dengan tombak pendeknya merunduk
rendah.
Namun betapa pun juga,
sebenarnya Raden Sutawijaya masih juga dibayangi oleh keragu-raguan meskipun ia
sadar, bahwa persoalannya terletak pada ketidak-seimbangan antara nalar dan
perasaannya.
Dengan hati yang
berdebar-debar Sutawijaya memperhatikan anak panah yang meluncur seperti
semburan air dari arah pasukannya. Tetapi ia pun segera dapat menghubungkannya
dengan garuda yang telah menyerang tiga ekor naga raksasa yang mengganggu
pasukannya. Yang menjadi teka-teki baginya, siapakah yang sudah melakukannya.
Sebagai seorang senapati, maka
Sutawijaya mencoba mengambil keuntungan dari keadaan medan. Justru karena
lawannya yang sedang ragu-ragu, maka Sutawijaya pun membawa pasukannya untuk
maju terus.
Tetapi di samping Sutawijaya
terdapat seseorang yang memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya,
sehingga karena itu, maka Sutawijaya mendengar Ki Argapati memerintahkan kepada
anak buahnya, tetapi perlahan-lahan agar tidak diketahui oleh lawan, ”Lepaskan
anak panah yang sebenarnya. Kita mengambil keuntungan dari keadaan yang belum
kita ketahui dengan pasti.”
Ternyata bahwa para pemimpin
dari Mataram pun melakukan hal yang serupa. Mereka melepaskan anak panah sambil
melangkah maju, sehingga ketika sebuah dari anak panah itu mengenai lawannya,
maka lawannya pun benar-benar menjadi terluka.
Putut Nantang Pati dan Daksina
menjadi bingung. Meskipun mereka semula mulai menyadari, bahwa anak panah itu
sekedar bayangan semu seperti jurang yang seakan-akan berada di bawah kaki
mereka, namun ketika Panembahan Alit hampir meneriakkan perintah bahwa
pasukannya tidak usah memperhatikan anak panah itu, tiba-tiba saja dua orang
dari mereka sekaligus terluka oleh anak panah itu. Anak panah yang sebenarnya
dilepaskan oleh orang-orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan anak panah itu tidak
saja mengarah ke medan di hadapan mereka, tetapi juga menghadap ke lambung, ke
arah batu-batuan yang berguguran, yang sebenarnya melindungi pasukan yang sudah
siap menyerang dari lambung.
Dengan demikian, maka pasukan
Putut Nantang Pati dan Daksina pun terpaksa melangkah surut digiring oleh anak
panah yang mendesak maju. Mereka tidak siap menghadapi serangan itu, sehingga
mereka tidak segera dapat menemukan cara untuk melawan anak panah itu, selain
berusaha menangkis dengan senjata yang ada pada mereka. Pasukan itu agaknya
terlampau percaya dengan permainan Panembahan Agung yang akan dapat
membingungkan pasukan lawan. Namun ternyata, bahwa mereka masih tetap berada di
dalam gelar yang utuh meskipun tidak sempurna.
Meskipun kemudian Putut
Nantang Pati dan Daksina sadar, bahwa bukan semua anak panah yang meluncur itu
adalah benar-benar anak panah, namun memang terlampau sulit untuk membedakan,
yang manakah yang sebenarnya anak panah, dan yang manakah yang sekedar seperti
elang raksasa yang berterbangan di langit.
Tetapi, ternyata bahwa pasukan
Raden Sutawijaya pun terhambat pula oleh jurang itu. Ketika pasukannya sudah
berdiri di bibir jurang, maka sekali lagi mereka diamuk oleh kebimbangan.
“Ikuti aku,” teriak Kiai
Gringsing yang berjalan terus tanpa ragu-ragu. Ia berhasil melihat kenyataan
yang di hadapannya dengan mengesampingkan perasaannya. Namun yang lain tidak
memiliki keteguhan kepercayaan dan nalar seperti Kiai Gringsing, sehingga untuk
beberapa saat pasukan itu terhenti
Namun sekali lagi mereka
dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka sangka-sangka. Tiba-tiba saja sekali
lagi tanah berguncang. Tetapi tidak sedahsyat yang baru saja terjadi, namun
ternyata goncangan itu telah melontarkan beberapa buah pokok kayu raksasa yang
kemudian tumbang dan menyilang jurang yang dalam itu. Terlampau banyak,
seakan-akan sengaja diatur seperti sebuah jembatan.
“Oh, gila. Benar-benar gila,”
Raden Sutawijaya berteriak keras sekali. Lalu, ”Tetapi lintasi jembatan itu
jika kalian ragu-ragu bahwa jurang itu memang tidak ada.”
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan
Wangi, Prastawa, dan para pemimpin dari Mataram, yang memiliki pemusatan nalar
lebih baik dari orang kebanyakan segera membawa kelompoknya mendesak maju.
Mereka yakin bahwa mereka tidak akan terperosok ke dalam jurang yang memang
tidak ada.
Demikianlah pasukan itu maju
terus, meskipun dengan dibayangi oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Namun
mereka pun kemudian dengan hati yang bulat bertekad untuk melawan ilmu yang
gila-gilaan itu. Pengalaman yang telah terjadi, membuat mereka justru semakin
mantap, bahwa mereka tidak boleh dikelabuhi oleh gambaran-gambaran gila di
dalam angan-angan mereka sendiri.
Ternyata bahwa yang terjadi
itu justru mengacaukan pasukan Panembahan Alit. Mereka sama sekali tidak
menduga, bahwa pada suatu saat mereka akan berhadapan dengan lawan yang
memiliki kemampuan serupa. Bahkan salah seorang dari para pemimpinnya berdesis,
”Mataram memang tidak dapat diangggap ringan.”
Selain pasukannya, maka
ternyata Panembahan Agung sendiri mengalami goncangan perasaan yang dahsyat,
sehingga mempengaruhi pemusatan ilmunya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
ilmunya mengalami perlawanan. Dengan susah payah ia berusaha merubah medan. Ia
berusaha merubah jurangnya menjadi semakin besar, agar pohon-pohon yang
menyilang itu terjerumus ke dalamnya. Tetapi rasa-rasanya ia terpengaruh oleh
sebuah kekuatan yang menggetarkan setiap pemusatan ilmunya.
Karena itu, maka sekali lagi
Panembahan Agung menjadi marah oleh kekalahan yang tidak diduganya sama sekali.
Dengan serta-merta ia merusak medan yang sudah diciptakannya dan berusaha membuat
gangguan-gangguan baru meskipun ia tahu, bahwa ia harus bertempur melawan ilmu
yang serupa.
Raden Sutawijaya dan anak
buahnya terkejut ketika tiba-tiba saja jurang itu lenyap. Dan ternyata mereka
benar-benar berdiri di atas tanah. Sedang pepohonan yang besar itu pun telah
tidak ada di tempatnya pula.
“Kita maju terus,” teriak
Raden Sutawijaya kemudian, ”kita tidak boleh terpengaruh oleh perang urat
syaraf yang tidak mempengaruhi langsung keadaan medan. Di sinilah sebenarnya
kita diuji ketahanan kita. Jika kita percaya kepada diri sendiri dengan sepenuh
hati, maka kita akan mengatasi gangguan-gangguan yang sebenarnya tidak berarti
apa-apa. Terserah kepada kalian, apakah kalian dapat dipengaruhi oleh perang
urat syaraf yang gila-gilaan ini atau tidak.”
Ternyata kata-kata Sutawijaya
itu dapat membangkitkan kemantapan di hati setiap orang di dalam pasukannya.
Mereka mencoba untuk tidak lagi menghiraukan bentuk-bentuk semu yang sengaja
dipergunakan sebagai alat di dalam perang urat syaraf. Mereka sadar bahwa
apabila mereka tenggelam di dalam kegelisahan karena perang urat syaraf itu,
maka sebenarnyalah mereka telah dikalahkan sebelum perang yang sebenarnya
mulai.
Dengan mantap maka pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu berderap maju. Mereka siap dengan
senjata telanjang di tangan, karena mereka sudah berada di hadapan pasukan
Panembahan Alit dan kedua senapati pengapitnya.
Namun sekali lagi gangguan itu
datang. Tiba-tiba saja terdengar suara prahara yang berputar-putar di dalam
lembah itu. Tidak ada angin dan tidak ada mendung di langit, tetapi suara
prahara itu terdengar semakin lama semakin dekat.
“Jangan terpengaruh,”
terdengar perintah Raden Sutawijaya.
Namun tiba-tiba saja terdengar
jawaban dengan suara yang berat dalam dan melingkar-lingkar di dalam lembah
itu. ”Kau memang luar biasa anak muda. Agaknya tidak sia-sialah kau menjadi
anak pungut Kanjeng Sultan Pajang. Dan tidak sia-sia pula kau menyebut dirimu
anak Pemanahan.”
Raden Sutawijaya justru
terhenti mendengar suara itu. Dengan lantang ia menyahut, ”Akulah Sutawijaya.
Siapakah kau, he? Aku mendengar suaramu, tetapi kau tidak berani menampakkan
ujudmu.”
Terdengar suara tertawa
melingkar-lingkar. Suara yang memenuhi lembah itu sehingga setiap orang menjadi
berdebar-debar dan cemas. Seakan-akan mereka sedang berbicara dengan langit dan
bumi dan dengan gunung-gunung di sekitar mereka.
“Kau aneh Sutawijaya. Jika kau
bertanya ujudku, maka tentu kau tahu, aku dapat berada di segala bentuk apa
yang aku kehendaki. Aku dapat menjadi seekor naga raksasa. Bahkan tiga ekor.
Aku dapat menjadi raksasa sebesar gunung Merapi. Aku dapat menjadi api dan
dapat menjadi banjir. Aku dapat menjadi angin prahara dan petir yang menyambar
di langit. Aku mempunyai bentuk seperti isi dunia ini.”
“Omong kosong,” teriak Raden
Sutawijaya, ”kau hanya dapat membuat bentuk-bentuk semu yang tidak ada artinya
bagiku.”
“Jangan sombong anak muda. Kau
akan menyesal karena pada suatu saat, kau tidak akan dapat membedakan antara
bentuk yang sebenarnya dan bentuk yang semu. Aku akui, kali ini kau berhasil
mengalahkan gangguan atas syarafmu. Tetapi nanti tidak. Sebentar lagi kau akan
benar-benar kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan yang manakah yang semu
dan yang manakah yang sebenarnya.” Suara itu berhenti sejenak, lalu, ”Dan
akulah ujud dari segalanya itu.”
Namun sebelum Sutawijaya
menjawab, terdengar suara yang lain. Tidak ada bedanya dengan suara yang
seakan-akan memenuhi seluruh lembah mengumandang dari dinding pegunungan yang
satu membentur dinding pegunungan yang lain.
“Panembahan Agung. Sebenarnya
kau memang dapat mewujudkan dirimu dalam segala bentuk sebanyak bentuk yang ada
di muka bumi. Bahkan bentuk-bentuk yang ada di dalam dongeng dan cerita-cerita.
Tetapi bentuk yang kau ciptakan itu sama sekali tidak berarti. Seperti angin
lembut yang lewat tanpa meninggalkan bekas. Hanya orang-orang yang hatinya
ringkih sajalah yang dapat kau pengaruhi dengan kebohongan yang paling besar
itu. Kebohongan yang dapat berujud dan dibentuk oleh kelemahan hati sendiri.
Ternyata bentuk-bentuk yang kau ciptakan itu tidak dapat berpengaruh terhadap
mereka yang hatinya bagaikan baja. Bukan saja atas orang-orang tua seperti Kiai
Gringsing, Ki Gede Menoreh, Ki Demang di Sangkal Putung, bahkan sama sekali
tidak berarti apa-apa bagi anak semuda Raden Sutawijaya, Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi, Prastawa, dan para pemimpin Mataram yang lain. Bahkan
merupakan tontonan yang menarik hati bagi Ki Lurah Branjangan dan anak
buahnya.”
“Cukup,” terdengar suara yang
meledak bagaikan guntur. Lalu, ”Siapakah kau sebenarnya. Aku tahu, tentu kau
yang sudah mengganggu pemusatan semadiku.”
“Kita saling mengganggu. Dan
kita memang sedang bermain-main seperti orang gila, karena permainan kita sama
sekali tidak menarik bagi pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Justru
anak buahmulah yang menjadi bingung karenanya.”
Benturan suara yang
menggetarkan lembah itu benar-benar telah menggelisahkan setiap orang di dalam
pasukan yang sudah berhadapan dengan senjata telanjang. Seakan-akan mereka
berada di tengah-tengah, di antara dua ekor gajah raksasa yang akan bertempur.
Dalam pada itu terdengar lagi
suara, ”Kau sudah mengenal aku sebagai Panembahan Agung yang menguasai bumi
pulau ini, sekarang sebut namamu, siapakah kau sebenarnya.”
Terdengar suara tertawa
perlahan-lahan. Kemudian katanya, ”Kau tentu sudah mengenal aku, Panembahan.”
“Aku ingin melihatmu, mungkin
aku akan segera mengenal, siapakah lawanku kali ini.”
Suara tertawa itu pun menjadi
semakin keras. Di antara suara tertawa itu terdengar, ”Kau memang aneh. Seperti
kau, aku berada dalam segala bentuk sebanyak bentuk di atas bumi. Bahkan bentuk
dan ujud yang hanya ada di dalam dongeng-dongeng. Burung berkepala dua, atau
seekor ular bertanduk seperti tanduk rusa dan berkaki seperti kaki harimau.
Nah, sebut saja, bentuk yang manakah yang kau kehendaki.”
“Bentukmu yang sebenarnya. Aku
ingin melihat kau sebagai mana kau yang sebenarnya.”
“Baiklah. Tempatkan dirimu.
Aku pun akan segera keluar dari persembunyianku.”
Setiap dada sekali lagi
berguncang. Bahkan rasa-rasanya mereka yang tidak tabah menghadapi kegilaan
itu, telah kehilangan kepastian tentang pengamatan dirinya.
Dengan dada yang
berdebar-debar mereka melihat seorang raksasa berdiri di atas puncak sebuah
bukit padas. Sambil bertolak pinggang ia berkata, ”Inilah aku, Panembahan Agung
yang sakti tiada duanya di muka bumi. Ayo, siapakah yang berani menempatkan
diri sebagai lawan Panembahan Agung, akan aku injak sampai lumat. Jika kau
melihat bentuk ini, maka kalian tidak akan dapat menyebutnya sebagai sekedar
bentuk semu seperti naga dan jurang itu. Tetapi akulah sebenarnya Panembahan
Agung.”
Belum lagi gema suaranya
berhenti, tiba-tiba tangan raksasa itu memungut segumpal batu sebesar kerbau.
Sambil mengangkat batu itu ia berkata, ”Aku dapat melemparkan batu ini ke
tengah-tengah pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Kalian boleh melihat,
apakah batu ini sekedar bayangan di dalam perasaanmu atau sebenarnya batu yang
dapat memecahkan kepala dan melumatkan tubuhmu.”
Namun dalam pada itu terdengar
jawaban, ”Aku percaya kalau batu itu sebenarnya batu, Panembahan. Kau memang
sakti, kau mampu mengangkat batu sebesar itu dengan kekuatan semadimu dan
melontarkannya ke dalam pasukan lawanmu dengan alat bentukmu sendiri yang kau
hadirkan sebesar raksasa itu. Tetapi jika kau mempergunakan ilmu semacam itu,
maka ilmumu harus dilawan dengan ilmu gila-gilaan yang serupa.”
“Persetan,” raksasa itu
menggeram, ”aku tidak peduli.”
Dengan dada yang
berdebar-debar setiap orang di dalam lembah itu melihat, raksasa yang berdiri
di atas ujung bukit padas itu pun mengangkat batu sebesar kerbau dan siap untuk
dilemparkan ke arah pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal dari Mataram dan
Menoreh itu menahan nafasnya. Jika benar batu itu bukan sekedar bentuk semu
seperti yang pernah dilihatnya, maka batu itu akan dapat menggilas lebih dari
dua puluh lima orang sekaligus apabila raksasa itu melontarkan dengan tepat ke
dalam gelar yang tidak sempurna itu. Pepohonan yang melindungi mereka tentu
akan berhamburan dan roboh berserakan.
Tetapi sebelum batu itu
terlepas, tiba-tiba sebuah sinar yang silau telah meluncur dan menyambar batu
itu sehingga batu itu pecah berserakan.
Serentak setiap orang di dalam
lembah itu berpaling ke arah yang lain, ke arah sumber sinar yang memecah batu
sebesar kerbau itu.
Dengan jantung yang
seolah-olah terhenti mereka melihat raksasa yang lain. Raksasa yang bentuk dan
wajahnya dapat segera mereka kenali.
“Ki Waskita,” Sutawijaya
tiba-tiba berteriak.
“Ya Raden. Inilah aku. Tetapi
jangan hiraukan bentuk ini. Bentuk yang tidak sebenarnya ada. Meskipun seperti
Panembahan Agung yang dengan kekuatan semadinya benar-benar dapat melontarkan
batu yang sebenarnya.”
Dalam pada itu, di atas dua
ujung gunung yang berseberang sebelah-menyebelah lembah tempat pasukan Menoreh
dan Mataram sudah berhadapan dengan pasukan Panembahan Agung, berdiri dua orang
raksasa yang mengerikan.
Dengan suara bagaikan guruh
Panembahan Agung menggeram, ”Jadi kau, Jaka Raras. Aku memang sudah mengira,
bahwa hanya kaulah yang mampu mengganggu aku di dalam keadaan serupa ini.”
“Maaf, Panembahan. Kau agaknya
sudah melupakan kewajibanmu atas diri sendiri. Kau tidak akan dapat
mempergunakan ilmu ini sekehendak hatimu, untuk tujuan yang tidak seharusnya
kau lakukan. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat tinggal diam.”
“Persetan, tetapi aku tidak
menyentuh kepentinganmu.”
“Sengaja atau tidak, kau sudah
membuat aku hampir gila sehingga aku terpaksa sekali bermain-main dengan gila
pula kali ini. Kau sudah mengambil anakku dari padaku.”
“He,” Panembahan Agung
terkejut, ”siapa anakmu?”
“Rudita. Rudita adalah anakku,
anak Waskita. Tentu ia tidak akan dapat menyebut namaku seperti yang kau kenal.
Namaku sejak kecil memang Waskita. Tetapi kita bertemu di satu perguruan
setelah aku menyebut diriku Jaka Raras. Karena itu jika kau bertanya kepada
Rudita, maka ia akan berkata, bahwa ayahnya bernama Waskita.”
Raksasa yang berdiri di puncak
bukit padas itu menggeram. Suaranya bagaikan suara guruh yang menggelegar di
langit. Ditatapnya raksasa yang lain, yang menyebut dirinya Jaka Raras dengan
sinar mata yang bagaikan memancarkan api.
“Nah, Panembahan Agung,
sekarang aku datang untuk mengambil anakku,” berkata Ki Waskita kemudian.
Sejenak Panembahan Agung
tercenung. Namun kemudian terdengar suara tertawanya, ”Kau memang bernasib
malang, Jaka Raras. Anakmu yang bernama Rudita memang berada di tanganku. Aku
kira aku memerlukannya. Tetapi ternyata anakmu itu tidak lebih dari seekor
cucurut kecil yang tidak berarti. Selain anakmu memang menyebutmu dengan nama
yang tidak aku kenal, aku memang tidak menyangka bahwa Jaka Raras yang perkasa
itu mempunyai anak seekor cucurut. Nah, sekarang sebaiknya kau berbuat
sebaik-baiknya untuk mengambil anakmu itu.”
“Aku memilih cara ini,
Panembahan. Aku kira cara ini adalah cara yang paling baik. Tentu aku tidak
akan dapat datang sendiri untuk membebaskan anakku. Dan kini aku sudah mendapat
perlindungan dari Raden Sutawijaya. Karena sebenarnyalah bahwa kekuatan dari
kedua belah pihak yang berhadapan kali ini ada di dalam pasukan itu. Tidak pada
permainan gila ini.”
“Persetan,” teriak Panembahan
Agung sehingga rasa-rasanya setiap selaput telinga akan pecah, ”aku tidak
peduli. Tetapi kau akan aku hancurkan bersama pasukan Mataram dan Menoreh.
Sedang anakmu pun kini berada di tangan orang yang mengetahui akan tugasnya.
Dengan isyarat dari padaku, maka anakmu akan segera dicekik dengan tali yang
diikat pada seekor kuda. Kau mengerti.”
“Kau kini berada di sini.
Bagaimana kau dapat memerintahkan anak buahmu itu?”
“Kau bodoh. Aku adalah
seseorang yang memiliki kemampuan menciptakan seribu macam bentuk. Dan dengan
bentuk-bentuk yang sudah aku janjikan, aku dapat rnemberikan perintah itu.”
”Omong kosong, Panembahan. Kau
tidak dapat menciptakan apa pun juga. Seperti aku juga tidak. Yang sama-sama
dapat kita ciptakan hanya sebuah kebohongan besar seperti ini.”
“Tetapi dengan kebohongan yang
mantap ini, aku dapat memerintahkan membunuh anakmu itu.”
“Jangan kau coba, Panembahan.
Kau akan gagal. Aku dapat menghadang semadimu sekarang ini.”
Sekali lagi Panembahan Agung
menggeram. Sejenak kedua raksasa itu saling memandang. Dan tiba-tiba saja dari
kedua pasang mata itu bagaikan memancar sinar-sinar yang menyilaukan dan
berbenturan dengan dahsyatnya.
Dalam pada itu, terdengar
suara Waskita datar, ”Raden Sutawijaya. Jangan hiraukan kami, Raden. Mulailah.
Biarlah raksasa yang semu ini aku hadapi. Raden dapat menghancurkan pasukannya
seperti menghancurkan pasukan-pasukan yang lain, yang akan selalu mengganggu
Mataram yang sedang berkembang dan Tanah Perdikan Menoreh.”
Raden Sutawijaya dan setiap
pemimpin di dalam pasukannya rasa-rasanya terbangun mendengar peringatan itu.
Maka mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan yang
bakal terjadi. Bahkan Raden Sutawijaya sudah siap meneriakkan perintah untuk
menyerang pasukan lawan.
Sementara itu kedua raksasa
itu masih saja bertempur dengan caranya. Meskipun orang-orang di lembah itu
berusaha untuk tidak menghiraukan, namun mereka masih juga terpengaruh oleh
ledakan petir yang saling menyambar dan guntur yang menggelegar, seakan-akan
kedua raksasa itu bersenjatakan lidah api dan ledakan-ledakan di langit.
Namun orang-orang di dalam
pasukan yang siap bertempur itu telah menyadari, bahwa yang mereka lihat
sebenarnya adalah ketiadaan, sama seperti sebuah kebohongan besar yang mantap.
Karena itu, maka Raden
Sutawijaya tidak membuang waktu lagi. Segera ia mendesak maju dalam gelarnya
yang kurang sempurna.
Tetapi agaknya seperti Raden
Sutawijaya, maka Panembahan Alit pun berpikiran serupa. Ternyata ia tidak dapat
lagi menyerahkan persoalannya kepada Panembahan Agung. Bukan karena Panembahan
Agung kehilangan kesaktiannya, tetapi justru karena lawannya memiliki kemampuan
untuk melawan kesaktian itu.
Sesaat kemudian terdengar
isyarat dari Panembahan Alit. Dan hampir bersamaan, maka dari
sebelah-menyebelah itu menghambur pasukannya yang memang sudah dipersiapkan
menyerang dari lambung.
Demikianlah maka pertempuran
pun kemudian mulai berkobar. Pertempuran yang wajar dari kedua belah pihak. Dan
agaknya kedua belah pihak, telah berhasil menyingkirkan pengaruh ilmu kedua
raksasa yang meskipun masih bertempur dengan caranya, namun keduanya tidak lagi
menentukan apa-apa.
Tetapi di dalam kesulitan itu,
Panembahan Agung masih sempat berkata, ”Jaka Raras. Apakah kau sampai hati
membiarkan anakmu dicekik sampai mati dengan sebuah tambang yang diikatkan pada
seekor kuda, yang menjerat lehernya, sedang kaki anakmu itu terikat pada
sebatang pohon.”
”Itu jauh lebih gila dari
permainan gila ini,” sahut Waskita.
“Aku memang senang pada
permainan-permainan yang gila. Aku akan tetap membunuh anakmu yang cengeng itu
dengan caraku. Ia membuat aku hampir gila karena menangis siang dan malam. Aku
kira aku akan dapat mempergunakannya untuk menahan arus pasukan Raden
Sutawijaya di saat terakhir seperti yang aku pertimbangkan sebelumnya, apabila
orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan kebohongan-kebohonganku yang
besar itu.”
“Maksudmu?”
”Kau dapat minta Raden
Sutawijaya menghentikan pasukannya. Berbicara dan kemudian anakmu selamat,”
Waskita menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya raksasa yang berdiri di
atas bukit di hadapannya. Meskipun ia sadar, bahwa yang dilihatnya itu sekedar
sebuah bayangan seperti dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang diperlukan,
Waskita dapat melenyapkan gangguan pada syaraf indranya itu dan melihat dengan
wajar, siapakah yang dihadapinya. Namun ia masih membiarkan saja permainan yang
gila itu berlangsung terus. Justru dengan demikian, anak buah Panembahan Agung
sendirilah yang menjadi bingung karena mereka tidak bersiap menghadapi keadaan
serupa itu. Berbeda dengan pasukan dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka memang sudah mempersiapkan diri memasuki medan yang akan dipenuhi oleh
keajaiban yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah kebohongan besar.
Karena Waskita tidak segera
menjawab, maka Panembahan Agung pun segera mendesaknya, ”Bagaimana, Jaka Raras.
Apakah kau setuju. Jika kau setuju, maka hentikan pasukan Raden Sutawijaya
dengan pengaruhmu.”
Ki Waskita memandang
pertempuran yang sudah berkobar itu sejenak. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh yang mempergunakan gelar Cakra Byuha yang tidak sempurna, ternyata
berhasil menahan serangan lawannya yang tidak saja datang dari depan, tetapi
juga dari lambung.
Di ujung pasukan, Panembahan
Alit yang memimpin pasukannya langsung turun ke medan. Dengan kemarahan yang
meluap-luap ia berusaha untuk dapat bertemu dengan Senapati yang memimpin gelar
lawannya itu.
Namun ketika Raden Sutawijaya
siap untuk melawannya, Kiai Gringsing terpaksa bergeser sambil berdesis,
”Raden, serahkan orang tua itu kepadaku. Orang itulah yang pernah aku jumpai di
Alas Tambak Baya dan menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama. Ternyata bahwa Panembahan
Agung adalah orang lain dari orang yang menyebut dirinya Panembahan Tidak
Bernama ini.”
“Tetapi bagaimanakah jika
orang itu juga yang menyebut dirinya Panembahan Agung?”
“Tidak. Ia sedang berdiri di
puncak bukit sebagai seorang raksasa itu. Setidak-tidaknya ia sedang berada di
dalam semadinya untuk mempertahankan bentuk itu dari gangguan Ki Waskita.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia sadar bahwa ia tidak akan mampu melawan
Panembahan Alit itu.