Buku 071
Pandan Wangi yang juga
mendengar rencana Rudita itu menjadi gelisah. Tetapi ia berterima kasih di
dalam hati, bahwa anak-anak muda yang lain seakan-akan tidak berkeberatan atas
keputusan yang telah diambil oleh Rudita itu, sehingga dengan demikian tidak
timbul persoalan yang tegang di antara mereka.
Dalam pada itu Prastawa pun
bertanya pula kepada Pandan Wangi karena Pandan Wangi belum sempat menjawab,
“Jadi kemana kita, Pandan Wangi?”
“Jangan bertanya lagi,” bentak
Rudita, “aku sudah menjawab.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun berkata, “Rudita. Aku ingin pergi ke hutan yang liar
itu. Bukankah kita kemarin malam sudah membicarakannya.”
“Aku tidak sependapat. Kita
berburu di hutan perburuan.”
“Memang ada dua macam daerah
perburuan. Mereka yang berjiwa jantan akan memilih hutan yang liar itu, tetapi
bagi yang berjiwa betina akan memilih hutan perburuan itu. Anehnya bahwa aku
memilih hutan yang liar itu, bukan karena aku seorang gadis yang berjiwa
jantan, tetapi hutan itu menyimpan binatang jauh lebih banyak dari hutan
perburuan.”
“Tidak Aku tidak mau pergi ke
hutan yang liar itu, yang dikatakan masih dihuni oleh berbagai jenis harimau,
ular, dan serangga-serangga berbisa.”
“Sayang, bahwa kami akan pergi
ke hutan itu. Ayah sudah membekali aku dengan obat pemunah racun. Dengan
demikian berarti bahwa aku diperkenankannya memasuki hutan liar itu.”
“Aku juga,” tiba-tiba saja
Swandaru menyahut, “Guru telah memberikan sejenis obat pemunah racun. Jika
salah seorang dari kita kena racun, maka obat itu dapat ditaburkan di luka yang
terkena racun itu. Namun ada pula sejenis obat yang dapat kita minum.”
Rudita memandang Swandaru
sejenak. Anak yang gemuk itu semakin lama semakin menjemukan baginya. Karena
itu maka jawabnya, “Jika kau sudah membawa obat itu dan akan pergi berburu ke
hutan liar itu, pergilah. Ajaklah siapa saja yang ingin pergi. Tetapi rombongan
ini akan berhenti di hutan perburuan itu. Keputusan ini tidak dapat diganggu
gugat.”
Swandaru yang gemuk itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seperti acuh tidak acuh saja ia berkata,
“Baiklah. Jika demikian, siapakah yang akan ikut aku pergi berburu ke hutan
liar itu? Menurut Rudita, rombongan kecil ini akan berhenti di hutan perburuan,
sedang yang ingin ikut bersama aku, diberinya kesempatan.”
Sejenak mereka saling
berpandangan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Aku pergi bersama
Swandaru.”
“Itu urusanmu. Memang
sebaiknya kalian berdua tidak pergi bersama kami.”
Tetapi tiba-tiba Prastawa pun
berkata, “Aku pergi bersama Swandaru. Hutan perburuan tidak memberi kepuasan
lagi bagi kita yang sudah terlalu sering berburu di dalamnya. Karena itu,
mumpung kita berada di dalam suatu rombongan yang kuat, kita pergi berburu di
hutan liar.”
Belum lagi Prastawa selesai
berbicara, maka Pandan Wangi telah berkata pula, “Aku pun ikut bersama mereka
yang pergi ke hutan liar itu.”
Keringat dingin membasahi
tubuh Rudita seperti disiram dengan air. Wajahnya menjadi tegang dan dadanya
bagaikan bergetar. Dipandanginya Pandan Wangi dan Prastawa berganti-ganti.
Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Jadi kalian tidak lagi menuruti
keputusan yang aku ambil?”
Pandan Wangi menahan kudanya
sehingga Rudita berada di sisinya. “Bukan begitu Rudita,” katanya, “tetapi
kadang-kadang kita ingin sesuatu yang lain dari kebiasaan kita. Dengan demikian
kita akan mendapatkan kesegaran baru di dalam perburuan ini. Jika setiap kali
kita berburu di hutan perburuan, baik yang ada di tepi Kali Praga mau pun yang
berada di daerah selatan dari Tanah Perdikan ini, mau pun yang di ujung utara
di lereng pegunungan itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi selain jenis
binatang yang selalu kita buru. Tetapi di hutan yang liar itu kita akan bertemu
dengan jenis-jenis binatang yang lain. Kita tidak saja berburu kijang atau
menjangan, tetapi kita akan bertemu dengan seekor harimau. Mungkin seekor
kijang dari jenis yang lain, yang berbintik-bintik di punggungnya, atau seekor
menjangan yang berleher agak panjang. Tetapi mungkin juga kita bertemu dengan
binatang-binatang yang berbahaya yang dapat menambah pengalaman hidup kita.
Anjing liar, babi hutan, atau sejenis ular pohon berwarna coklat.”
Terasa bulu-bulu tengkuk
Rudita meremang.
“Nah, bagaimana dengan kau?”
bertanya Prastawa. “Ternyata kami semuanya ikut dengan Swandaru ke hutan liar
itu. Apakah kau akan memasuki hutan perburuan itu sendiri?”
Rudita tidak segera menjawab.
Tampaklah matanya menjadi redup dan bahkan basah.
“Jika kau tidak berkeberatan,”
berkata Pandan Wangi kemudian, “ikutlah dengan kami.”
Rudita memang tidak mempunyai
pilihan lain. Karena itu maka dengan suara parau ia berkata, “Kalian telah
berbuat kesalahan karena kalian tidak menurut aku. Tetapi apa boleh buat, jika
aku memang harus pergi bersama kalian. Tetapi jangan merasa bahwa kalian dapat
merubah keputusanku. Keputusanku tetap seperti yang aku katakan. Meskipun kita
berburu di hutan liar, tetapi hasil yang kita peroleh akan aku berikan sebagai
hadiah buat Pandan Wangi.”
“Terima kasih,” sahut Pandan
Wangi, “aku akan berusaha membantumu.”
“He,” Rudita membelalakkan
matanya.
Sambil tersenyum Pandan Wangi
berkata, “Sudahlah. Keputusan kita sudah pasti, kita pergi ke hutan liar itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi
dengan heran, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti
sifat dan sikap orang-orang yang pergi bersamanya berburu. Seakan-akan mereka
tidak dapat ditertibkan. Mereka seakan-akan berbicara menurut kehendak dan
keinginan mereka masing-masing, bahkan kadang-kadang dengan tajam memotong
keputusannya.
“Kenapa aku tidak membawa
pengawal dari rumahku,” berkata Rudita di dalam hati. “Orang-orang di Tanah
Perdikan Menoreh bukannya orang yang baik seperti orang-orangku di rumah.
Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak selalu membantah
dan bahkan kadang-kadang menentukan sikap menurut kehendak sendiri.”
Tetapi Rudita yang sudah
berada di antara orang-orang yang menurut pendapatnya bersikap aneh itu, tidak
dapat berbuat lain. Bahkan menurut pendapatnya, Pandan Wangi sendiri pun
ternyata bersikap aneh. Ia sama sekali tidak bersikap sebagai seorang gadis,
karena ia sama sekali tidak melonjak kegirangan dan berterima kasih ketika ia
berkata bahwa ia akan, memberikan hadiah dari hasil perburuan itu.
“Gila sekali,” katanya di
dalam hati, “ia justru berkata bahwa ia akan berusaha membantu.”
Tetapi Rudita tidak berkata
lebih banyak lagi. Iring-iringan itu sudah berbelok di sebelah hutan perdu.
Sebentar lagi mereka akan melintas di sebelah hutan perburuan dan langsung
pergi ke hutan yang masih liar dan pepat.
Namun sebenarnya yang disebut
hutan yang masih liar itu tidak seliar Alas Mentaok. Isinya pun tidak
seberbahaya Alas Mentaok, karena selain binatang buas Alas Mentaok juga
menyimpan jenis-jenis serangga yang beracun, bahkan jenis semut pemakan daging.
Di samping bahaya-bahaya yang terdapat di hutan-hutan yang liar itu, Mentaok
juga menyimpan bahaya yang khusus, yaitu perampok dan yang terakhir orang-orang
yang berusaha untuk memisahkan Mataram dari dunia peradaban yang lain. Dan bagi
Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah beberapa kali menyeberangi Alas Mentaok
itu, bahaya-bahaya serupa itu sudah terlalu sering dihadapinya.
Meskipun demikian, mereka
tidak boleh lengah. Meskipun mereka sudah beberapa kali berhasil dengan selamat
melintas hutan yang lebih dahsyat dari hutan yang dihadapi itu, namun memang
mungkin sekali di hutan yang tidak selebat Mentaok itu, mereka akan bertemu
dengan bahaya yang sebenarnya.
Demikianlah, sejenak kemudian
mereka telah sampai di daerah hutan perburuan. Hutan yang tampaknya menjadi
bersih dan terpelihara. Namun di dalam hutan perburuan itu memang masih juga
terdapat beberapa jenis binatang. Bahkan satu dua masih ada juga harimau yang
berkeliaran. Tetapi binatang buas itu lebih senang hidup di hutan yang masih
liar, karena di hutan itu yang diburu pun masih cukup banyak.
Rudita yang masih saja berada
di belakang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sedang di hutan perburuan pun
ia kadang-kadang menjadi cemas dan ketakutan. Apalagi apabila mereka harus
memasuki hutan yang liar itu.
Berbeda dengan Rudita, tampak
wajah Pandan Wangi menjadi cerah, seperti juga Prastawa. Kesempatan semacam itu
jarang sekali mereka dapatkan. Jika mereka tidak bersama Agung Sedayu dan
Swandaru, maka mungkin mereka tidak akan diperkenankan oleh Ki Gede Menoreh.
Namun karena Ki Gede percaya, kepada kedua anak-anak muda itu, maka bersama
Pandan Wangi dan Prastawa, mereka dianggap cukup memiliki kemampuan untuk
menghadapi liarnya hutan itu, karena Ki Gede pun mengetahui dengan pasti, bahwa
Agung Sedayu dan Swandaru sering kali melewati daerah Alas Mentaok yang buas.
Daerah hutan perburuan dan
hutan yang liar itu dipisahkan oleh sebuah lapangan rumput dan perdu yang tidak
begitu luas. Karena itu, memang kadang-kadang binatang dari kedua daerah itu
saling menyeberang. Namun hutan perburuan yang bersih memang bukan merupakan
lapangan hidup yang menarik bagi berbagai jenis binatang.
“Itulah hutan itu,” Pandan
Wangi hampir berteriak ketika mereka berada di sebelah hutan perburuan.
Agung Sedayu dan Swandaru
memandang hutan itu dengan saksama. Pepohonan yang liar berserakan di sela-sela
gerumbul-gerumbul yang cepat. Sulur-sulur kayu dan dedaunan merambat tumbuh
berbelitan di antara pepohonan yang roboh melintang, bersandar pada pohon-pohon
raksasa.
Dada Rudita bergetar melihat
liarnya hutan itu. Sama sekali tidak ada lorong yang licin dan bersih melintas
masuk ke dalamnya, selain sebuah lubang yang mirip dengan goa yang gelap.
Kadang-kadang memang ada satu dua orang memasuki hutan itu untuk mencari kayu
bakar dan barangkali lebah tawon gula. Tetapi mereka hanya memasuki hutan itu
beberapa langkah saja dan tidak berani menusuk langsung ke jantung hutan itu.
Itulah bedanya dengan Alas
Mentaok. Betapa lebatnya Alas Mentaok, namun di dalamnya terdapat semacam jalur
yang meskipun jarang sekali dilalui orang, namun di jalur itu seakan-akan hutan
menjadi agak mudah dikuasai. Tetapi di hutan yang liar ini sama sekali tidak
ada jalur jalan.
“Apakah kita dapat masuk
sambil membawa kuda-kuda kita?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Di lebatnya Alas Mentaok, mereka masih dapat melintas dengan
mengendarai seekor kuda. Tetapi di hutan itu, kuda hanya akan menambah
kesulitan saja.
“Kita tinggalkan kuda kita di
luar,” berkata Swandaru.
“Jadi bagaimana dengan kita?”
bertanya Rudita.
Swandaru memandang anak muda
yang menjadi cemas itu. Kemudian dipandanginya Pandan Wangi yang diharapkannya
memberikan jawaban, agar tidak menumbuhkan salah paham.
“Tentu kita akan meninggalkan
kuda dan perlengkapan kita di luar. Kita pun akan berkemah di luar. Setiap kali
kita memasuki hutan ini dengan busur dan anak panah. Nyanggong di pepohonan
atau mengikuti jejak binatang buruan. Jika kita lelah, kita akan kembali ke
luar dan beristirahat. Memang lebih baik kita berkemah di tengah-tengah. Tetapi
terlalu sulit untuk masuk ke dalamnya sambil membawa kuda dan perbekalan.”
“Aku tidak mengerti. Jadi
apakah kita tidak berburu sekarang dan kemudian kembali?” bertanya Rudita.
“Kita akan berada di sini tiga
hari tiga malam.”
“Tiga hari tiga malam?” wajah
Rudita menjadi tegang. “Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku harus kembali kepada Ayah
dan Ibu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Aku tidak pernah bepergian
sampai sekian lamanya,” Rudita melanjutkan.
“Rudita,” berkata Pandan
Wangi, “kita sebenarnya tidak berada di tempat yang jauh. Kita masih tetap
berada di atas Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana kau lihat, sebelum tengah
hari kita sudah sampai di sini. Jika kita ingin kembali di dalam sekejap saja
seakan-akan kita sudah berada di rumah. Seandainya dalam waktu tiga hari ini
kau tidak kerasan tinggal di hutan, kau dapat pulang balik setiap saat kau
kehendaki.”
Rudita mengerutkan keningnya,
lalu, “Kalian tidak mengatakan bahwa kalian akan tinggal di sini tiga hari tiga
malam.”
“Kami memang tidak
merencanakan berapa lama kami akan tinggal di sini. Jika besok kami sudah ingin
pulang, kami akan pulang. Jika kau ingin mendahului, kami persilahkan kau
mendahului dan jika kau masih akan kembali lagi ke mari, kembalilah ke mari.
Kenapa kita harus memikirkannya dengan kening yang berkerut-merut. Mungkin
besok justru Ayah datang pula ke tempat ini. Ayah dahulu juga sering berburu.
Tetapi sejak kakinya menjadi agak cacat, ia seakan-akan menghentikan kegemarannya
itu.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Penjelasan Pandan Wangi itu agak menenteramkan kegelisahannya.
Sebenarnyalah tempat ini tidak begitu jauh dari padukuhan yang berserakan di
Tanah Perdikan Menoreh.
“Sekarang,” berkata Pandan
Wangi kemudian, “kita akan beristirahat dahulu sambil mencari tempat yang
paling baik untuk berkemah. Tempat yang paling aman dari gangguan binatang
berbisa.”
Demikianlah, mereka pun segera
meloncat turun dari kuda masing-masing. Para pengiring dan orang-orang yang
membawa perlengkapan rombongan kecil itu pun segera mempersiapkan tempat yang
kemudian mereka pilih untuk meletakkan semua perbekalan dan alat-alat berburu
mereka.
“Kita beristirahat di sini,”
berkata Pandan Wangi sambil mengikat kudanya pada sebatang pohon.
Yang lain pun mengikat kuda
masing-masing pula. Sambil bertolak pinggang Prastawa memandang hutan yang
terbentang di hadapannya. Hutan yang lebat dan liar. Namun tampak kegembiraan
membayang di wajahnya. Seperti Pandan Wangi, ia pun sebenarnya sudah jemu
berburu di hutan perburuan yang tidak begitu banyak lagi menyimpan binatang
buruan.
“Tetapi belum pasti, bahwa di
hutan ini kau akan mendapatkan seekor binatang pun,” Agung Sedayu tiba-tiba
berdesis.
Prastawa berpaling. Sambil
tersenyum ia berkata, “Ya. Memang mungkin. Tentu lebih sulit berburu di daerah
yang lebat ini.
“Tidak selebat yang kita
duga,” sahut Apung Sedayu. “Jika kita sudah berada di dalam, maka kita akan
mendapatkan jalan untuk mengejar binatang buruan. Alas Mentaok yang lebat itu
pun dapat disusupi. Bukan lewat jalur jalan yang sudah ada. Tetapi lewat di
antara pepohonan yang padat. Bahkan di Alas Mentaok, ada sekelompok orang yang
sempat bermain hantu-hantuan.”
Prastawa mengerutkan
keningnya, “Hantu-hantuan?”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Ya. Tetapi baiklah kita melupakannya. Meskipun demikian kita harus
selalu ingat pesan Ki Gede, bahwa di daerah yang berdekatan dengan Kali Praga,
kita tidak hanya harus berhati-hati terhadap binatang buas dan
serangga-serangga berbisa, tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak kita
kenal.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kadang-kadang para peronda memang menjumpai beberapa orang
bersenjata. Dan kadang-kadang mereka memang menghilang di pinggir Kali Praga,
menyusup ke dalam hutan perburuan itu atau hutan yang liar ini. Mungkin mereka
sadar, bahwa tidak banyak tempat untuk bersembunyi di hutan perburuan itu.”
Agung sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Prastawa pun melanjutkan, “Kadang-kadang di
lapangan pasir sampai ke tepian itu memang terdapat jejak beberapa ekor kuda
memasuki hutan perdu. Tentu mereka telah berada di daerah Tanah Perdikan
Menoreh dan menghilang tidak tentu kemana.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku ingin
menerobos hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Itu menarik sekali,” sahut
Prastawa, “kita bukan saja berburu binatang. Tetapi kita sama sekali melihat
apa yang bersembunyi di balik hutan ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Swandaru yang
sedang memandanginya pula. Dan tampaklah anak muda yang gemuk itu tersenyum.
Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Jika kita ingin melihat di
balik hutan ini, kita tidak perlu menyusup lewat belukar yang lebat, dan
barangkali berduri. Kita dapat melingkar lewat sepanjang tepian, dan kita akan
sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Ah,” desah Prastawa, “itu
namanya bukan berburu binatang. Dengan demikian kita tidak akan mendapat seekor
pun.”
“Seekor bulus barangkali?”
sahut Swandaru.
Suara tertawa Prastawa tidak
dapat ditahankannya, sehingga Pandan Wangi dan orang-orang yang lain terkejut
dan berpaling kepadanya.
“Hus,” desis Swandaru,
“suaramu mengganggu harimau yang sedang tidur nyenyak di hutan itu.”
Prastawa menutup mulutnya
dengan telapak tangannya. Namun ia tidak dapat segera berhenti.
Rudita yang mendengar Prastawa
tertawa menyentak itu pun segera mendekatinya dan bertanya, “Ada apa?”
Prastawa menggelengkan
kepalanya sambil menjawab, “Tidak ada apa-apa.”
“Apa yang kau tertawakan?”
“Bukan apa-apa,” jawab
Prastawa pula.
“Tentu tidak. Tentu ada yang
kau tertawakan.”
“Aku hanya tertawa. Tetapi
tidak mentertawakan siapa pun juga.”
“Bohong!” tiba-tiba Rudita
membentak sehingga Prastawa benar-benar terkejut. Sambil mengerutkan keningnya
di pandanginya Rudita dengan tajamnya. Katanya, “Kau membentak aku?”
“Kau tidak mengatakan, siapa
atau apa yang kau tertawakan. Kau sudah menghina aku. Seandainya kau
mentertawakan seseorang, kau dapat menyebut namanya. Jika kau mentertawakan apa
pun, kau dapat mengatakannya. Tetapi kau ingkar. Itu menyakitkan hati.”
Prastawa masih berdiri dengan
tegangnya. Kini ia sudah tidak tertawa lagi. Tetapi justru keningnya menjadi
berkerut-merut
Pandan Wangi yang melihatnya
segera mendekatinya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Prastawa
masih terlalu muda untuk setiap kali mengalah dan bahkan kadang-kadang selalu
berusaha menyenangkan hati Rudita. Sejak semula Pandan Wangi sudah menduga,
bahwa pada suatu saat ia akan menjadi jemu.
Tetapi perselisihan tidak
boleh terjadi. Keduanya adalah saudaranya. Prastawa adalah saudara dekatnya,
saudara sepupu dari aliran darah ayahnya, sedang Rudita adalah saudaranya
meskipun sudah agak jauh, dari aliran darah ibunya.
Karena itu, maka sambil
mendekati Rudita ia berkata, “Jangan hiraukan Prastawa. Ia masih seperti
kanak-kanak saja. Ia tertawa tanpa sebab, dan bahkan kadang-kadang ia masih
juga menangis tanpa diketahui alasannya.”
Rudita memandang Prastawa
dengan tajamnya. Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi kedua anak muda ini
mencoba menghindari tatapan matanya. Agung Sedayu tidak ingin melihat mata yang
baginya mempunyai sorot yang aneh, sedang Swandaru bahkan hampir tidak dapat
menahan tertawanya melihat wajah Rudita yang mempunyai kesan tersendiri itu.
“Marilah kita menyiapkan
perkemahan kita,” berkata Pandan Wangi kepada Rudita, “kita akan beristirahat
sejenak, kemudian kita akan melihat-melihat ke dalam hutan itu, sekaligus
membawa senjata kita.”
Rudita termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun segera mengikuti Pandan Wangi, pergi ke tempat para pengiringnya
mengatur perkemahan mereka.
“Nah, di sini kita akan
beristirahat,” berkata Pandan Wangi kemudian, “jika kita lelah berburu, kita
akan kembali ke tempat ini. Berbaring sejenak, dan barangkali makan atau minum.
Kedua orang pengawal akan berada di sini, menyediakan keperluan kita
seluruhnya.”
“Jadi berapa orang yang akan
ikut berburu?”
“Selain kita, mereka ada lima
orang.”
Rudita termangu-mangu.
Dipandanginya tempat yang sedang dibersihkan itu sejenak. Lalu, “Kita akan
tidur di sini di malam hari?”
“Kita akan berburu. Jika kita
lelah, baru kita akan tidur di sini.”
“Tentu tidak di malam hari,”
“Ya, di malam hari. Tetapi
tidak di tengah-tengah hutan itu. Kita mencoba mengintai buruan kita. Hanya di
pinggirnya saja.”
Rudita termangu-mangu sejenak.
Tanpa disadarinya bulu-bulu tengkuknya telah meremang. Namun ia mencoba menahan
kecemasan dan ketakutan itu di dalam hati. Ia tidak mau mengeluh justru orang
lain tampaknya bergembira. Dan lebih-lebih lagi, ia tidak mau disebut sebagai
seorang penakut di antara anak-anak muda yang hampir sebayanya.
Namun ia tidak dapat
mengingkari dirinya sendiri. Bagaimana pun juga, terasa jantungnya berdebaran.
Dalam pada itu, Swandaru, Agung
Sedayu, dan Prastawa telah bertekad untuk melintasi hutan ini sampai ke
seberang, sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi mereka memilih jalan menerobos
hutan itu daripada menyusur pasir tepian, karena mereka memang ingin melihat
isi hutan yang lebat itu.
“Apakah kau akan ikut?”
bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi setelah ia mengatakan rencananya.
“Tidak,” Rudita-lah yang
menjawab.
Prastawa memandang Rudita
sejenak. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Ditahannya semua perasaan
yang menyesak dadanya. Sebenarnyalah Rudita semakin lama semakin menjemukan
baginya.
“Rudita,” berkata Pandan Wangi
kemudian, “bukankah kita memang sengaja pergi berburu? Karena itu, sebaiknya
kita memasuki hutan. Jika ketiga anak-anak muda itu ingin menyeberangi hutan
ini sampai ke pinggir Kali Praga, aku kira memang tidak ada salahnya. Sebagian
besar binatang buruan tentu berada di tepi seberang yang dekat dengan air.
Karena itu, mau tidak mau kita harus pergi ke sana.”
“Tentu tidak. Itu hanya suatu
cara untuk memaksaku pergi. Aku tidak mau.”
“Baiklah. Jika kau tidak mau,
tinggallah di sini bersama kedua pengawal yang akan menunggui kuda-kuda kita
dan menyediakan keperluan kita.”
“Jadi aku harus menyediakan
keperluan kalian?”
“Bukan kau, kedua pengawal
itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi
dengan mata yang murung. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Jadi kalian tidak
mau mengurungkan niat kalian meskipun aku tidak pergi?”
“Tentu saja bahwa kami akan
pergi, dengan atau tidak dengan kau.”
“O, seharusnya kalian mengurungkan
niat itu karena aku tidak pergi. Tetapi kalian sama sekali tidak menghiraukan
aku. Bahkan kalian akan membiarkan aku berada di antara pengawal-pengawal yang
akan menyediakan keperluan kalian.”
“Jadi bagaimana? Kalau kau
tidak akan pergi baiklah kau tinggal di sini. Jika kau akan pergi, marilah kita
pergi bersama-sama.”
Rudita memandang Pandan Wangi
sejenak, lalu, “Kalian benar-benar tidak mengerti. Jika aku berkata tidak ikut,
seharusnya rencana itu dibatalkan. Tetapi ternyata kalian masih juga akan
pergi.”
“Kami akan tetap pergi. Kau
memang boleh memilih. Pergi bersama kami menyeberangi hutan ini bersama lima
orang pengiring, atau tinggal di sini dengan dua orang yang lain. Kami tidak
akan memaksamu.”
“Kenapa aku harus memilih.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Biasanya aku tidak memilih.
Tetapi menentukan. Dan kalian sama sekali tidak mendengarkan aku.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Prastawa, Swandaru, dan Agung Sedayu
tampak betapa kesalnya mereka. Swandaru yang hampir tidak dapat menahan diri
justru melangkahkan kakinya perlahan-lahan menjauh. Dipandanginya ujung
pepohonan yang menjulang tinggi ke langit.
Ia terkejut ketika ia
mendengar kudanya meringkik. Kemudian beberapa ekor kuda yang lain. Agung Sedayu,
Pandan Wangi, dan Prastawa pun segera tertarik kepada kuda-kuda yang menjadi
gelisah itu.
“Marilah kita masuk,”
tiba-tiba saja Prastawa mengajak, “tentu kuda-kuda itu mencium bau binatang
buas.”
“Ya,” desis Swandaru, “mungkin
ada seekor harimau.”
“Mungkin seekor harimau. Angin
bertiup dari utara. Harimau itu ada di arah utara. Mungkin harimau itu sama
sekali belum mengetahui bahwa ada seekor kuda atau lebih di luar hutan ini.
Namun ringkik kuda itu agaknya telah memanggilnya,” berkata Agung Sedayu.
“Jadi bagaimana dengan kita?”
bertanya Prastawa.
“Aku sependapat. Kita
mencarinya.”
“Atau harimau itulah yang akan
keluar dari hutan ini mencari kuda.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Jika mereka meninggalkan kuda-kuda mereka, sedang kedua pengawal itu
sedang sibuk menyiapkan keperluan rombongan kecil itu mungkin sekali mereka
akan lengah.
Karena itu, maka katanya
kemudian, “Marilah kita memasuki hutan ini. Seandainya harimau itu sedang
tidur, biarlah kita membangunkannya. Tetapi sudah tentu bahwa tidak hanya dua
orang saja yang akan kita tinggalkan di sini menunggui kuda dan menyiapkan
keperluan kita semuanya.”
“Jadi bagaimana?”
“Sebaiknya empat orang tinggal
di sini, dan tiga orang yang lain bersama kita. Jika harimau itu tidak kita
jumpai dan tiba-tiba saja berusaha menerkam kuda-kuda itu, biarlah ada beberapa
orang yang melawannya. Kita tidak dapat mengorbankan seekor kuda pun bagi
mereka.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi,
“kita akan pergi bertiga. Kalian berempat tinggal di sini. Jika nanti malam
kita pergi memasuki hutan ini pula, kalian akan pergi bergantian.”
Pandan Wangi pun kemudian
menunjuk empat orang yang tetap tinggal di luar. Menyiapkan keperluan rombongan
kecil itu dan melindungi kuda-kuda mereka dari sergapan harimau.
“Ikatlah kuda-kuda itu di
tempat yang agak jauh dari pepohonan hutan, agar kalian dapat melihat
seandainya seekor harimau sedang merunduknya, atau bahkan sedang merunduk untuk
menyergap kalian,” berkata Pandan Wangi. “Aku akan segera masuk.”
Demikianlah, maka mereka pun
menyingkirkan kuda-kuda itu dan mengikatnya pada pepohonan agak jauh dari
hutan. Keempat orang yang ditinggalkan oleh Pandan Wangi dan kawan-kawannya pun
kemudian mempersiapkan diri mereka. Selain busur dan anak panah, mereka juga
menyediakan tombak-tombak pendek.
“Anak muda yang seorang itu
agaknya tidak seberani yang lain,” desis salah seorang dari mereka.
“Ya, memang Rudita mempunyai
sifat yang berbeda, Sebenarnyalah Rudita masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia tidak
dapat berbuat lain daripada ikut bersama Pandan Wangi memasuki hutan yang liar
itu, karena ternyata Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain bersama tiga
orang pengiringnya benar-benar akan berburu di dalam hutan itu.”
Namun rasa-rasanya Rudita
hampir menangis karena sikap dan tingkah laku mereka. Sebenarnya ia ingin
Pandan Wangi berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya. Tetapi ternyata ia
sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
“Sebenarnya ia harus mengerti
dengan sendirinya, bahwa aku ingin kami semuanya tinggal di luar hutan ini. Seharusnya
ia mengerti bahwa ia harus mengurungkan niatnya dan mencegah anak-anak itu
pergi ke dalam hutan. Tetapi ia tidak berbuat demikian,” keluh Rudita di dalam
hatinya.
Karena itu, maka ia pun dengan
hati yang berat dan dibayangi oleh kecemasan berjalan di belakang Pandan Wangi.
Sedang di belakangnya lagi masih ada dua orang yang lain, Agung Sedayu dan
Swandaru selain para pengiring. Dan di paling depan Prastawa berjalan dengan
dada tengadah.
Dengan susah payah mereka
menembus gerumbul-gerumbul liar dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul berduri,
menyusup di bawah batang-batang pohon yang roboh, silang melintang di bawah
sulur-sulur kayu yang lebat dan ranting-ranting yang berpatahan.
Swandaru dan Agung Sedayu yang
berjalan di belakang Rudita memandangi lebatnya hutan itu sambil mengerutkan
keningnya. Ternyata hutan yang liar di daerah Menoreh ini juga lebat pepat,
meskipun tidak seluas dan segarang Alas Mentaok. Namun daerah yang banyak
mengandung air, tetumbuhan hutan ini rasa-rasanya menjadi sangat subur.
Gemeresak dedaunan dan ranting
yang perpatahan oleh kaki-kaki serombongan kecil itu telah mengejutkan
burung-burung yang bertengger di atas dahan kayu. Beberapa ekor burung
berterbangan sambil mencicit menyusup dedaunan dan hilang di balik lebatnya hutan.
Sedang yang lain meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi untuk menghindarkan
diri dari bahaya yang mungkin sedang mengintai.
Rudita terkejut bukan buatan
ketika ia mendengar seekor kera yang berteriak keras-keras karena ia melihat
kehadiran mahluk yang jarang sekali dilihatnya, disahut oleh beberapa ekor kera
yang lain yang sedang bergayutan di pepohonan.
“Itu dia,” teriak Rudita,
“banyak sekali, dan alangkah besarnya. Hampir sebesar kita.”
Pandan Wangi berpaling.
Dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Diam sajalah. Mereka tidak akan
berbuat apa-apa, jika kita juga tidak berbuat apa-apa.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian berdiam diri saja meskipun hatinya menjadi
berdebar-debar. Beberapa ekor kera rasa-rasanya telah mengikuti mereka yang
sedang berjalan di dalam lebatnya hutan itu.
Dalam pada itu selagi mareka
berjalan perlahan-lahan maju, tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Sayang
sekali.”
“Kenapa?” Prastawa yang ada di
paling depanlah yang bertanya.
“Harimau itu tidak ada di
sekitar tempat ini.”
“Kenapa?”
“Jika ada seekor harimau di
tempat ini, tentu tidak akan ada kera yang berani bergayutan.”
“Ya,” Pandan Wangi-lah yang
menyahut, “tentu tidak ada seekor harimau di tempat ini.”
“Tetapi kenapa kuda-kuda itu
meringkik dan agaknya menjadi ketakutan?” bertanya Prastawa.
“Mungkin kuda-kuda itu memang
mencium bau seekor harimau, tetapi harimau itu sendiri masih berada di tempat
yang agak jauh, yang justru tidak tercium dari tempat ini.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian, ia masih berharap untuk dapat bertemu dengan seekor binatang
buruan. Bukan sekedar seekor binatang buruan yang kecil, tetapi ia mengharap
dapat bertemu dengan seekor harimau.
Untuk beberapa lamanya mereka
sama sekali tidak berbicara. Mereka berjalan dengan hati-hati menyusup
dedaunan. Sedang Rudita yang semakin lama menjadi semakin ketakutan, hampir
tidak mengucapkan sepatah kata pun juga.
Namun sejenak kemudian,
perhatian mereka yang sedang berburu itu tertarik oleh arus beberapa ekor
burung yang berterbangan ke satu arah. Burung-burung kecil dan burung-burung
yang lebih besar. Dan sejenak kemudian disusul oleh. beberapa ekor kera yang
berloncatan seperti sedang berkejar-kejaran.
Sejenak anak-anak muda yang
sedang berburu itu memperhatikan keadaan itu. Beberapa ekor kera yang
seolah-olah sedang mengikuti mereka pun sudah tidak kelihatan lagi.
Prastawa yang ada di paling
depan itu pun berhenti. Anak muda itu adalah anak muda yang berani. Tetapi ia
belum menguasai kemampuan berburu sebaik-baiknya. Itulah sebabnya ia ragu-ragu,
meskipun firasatnya mengatakan sesuatu kepadanya.
Agung Sedayu-lah yang kemudian
berkata, “Siapkan senjata kalian.”
“Ya, kita harus berpencar,”
desis Swandaru.
Rudita yang ketakutan
tiba-tiba bergeser mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Kenapa kita harus
berpencar? Dan kenapa kita harus menyiapkan senjata?”
Ternyata Pandan Wangi dapat
menanggapi suasana seperti anak-anak muda yang lain. Maka katanya, “Tentu ada
binatang buas yang sedang bergerak. Jika tidak, binatang-binatang kecil itu
tidak akan berlarian.”
“Harimau maksudmu?”
“Mungkin.”
“Suara ringkik kuda yang keras
itu agaknya telah menarik perhatiannya,” desis Agung Sedayu.
“Bagus sekali,” sahut Prastawa
dengan serta-merta.
Anak-anak muda itu pun mulai
menebar. Agung Sedayu bergeser menjauh diikuti oleh Swandaru yang pergi ke arah
yang sama tetapi dengan jarak beberapa langkah, sementara Prastawa telah maju
pula beberapa langkah.
“Tunggu,” desis Rudita, ketika
Pandan Wangi mulai bergerak pula.
“Sst, kita berpencar,” desis
Pandan Wangi.
“Aku bersamamu,” sahut Rudita.
“Bergeraklah sedikit dengan
jarak yang tidak terlampau dekat. Kita maju bersama-sama.”
“Tidak, aku pergi bersamamu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa dan kedua murid Kiai Gringsing yang
termangu-mangu.
“Mereka menunggu kami,”
berkata Pandan Wangi kemudian.
“Aku bersamamu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apa boleh buat. Berjalanlah perlahan-lahan dan
hati-hati. Tetapi di belakangku.”
Rudita bergeser beberapa
beberapa langkah. Ketika Pandan Wangi maju masuk hutan itu lebih dalam lagi
bersama anak-anak muda yang lain dalam garis lurus yang berjarak beberapa
langkah, Rudita mengikutinya di belakang. Ketika ia melihat senjata yang siap
di tangan masing-masing, maka hatinya menjadi gemetar. Ia membawa juga busur
dan anak panah seperti yang lain. Tetapi tangannya yang memegang busur itu pun
gemetar.
Sekali-sekali Agung Sedayu
memandanginya. Sempat juga ia mengenang masa kecilnya. Ketika oleh kemanjaannya
ia dijerumuskan ke dalam ikatan ketakutan yang membuat dunianya menjadi gelap.
“Tetapi sejak aku masih diikat
oleh ketakutan, aku sudah belajar tata bela diri dan mempergunakan senjata,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun rasa-rasanya ayah Rudita pun
seorang yang memiliki ilmu sehingga mungkin Rudita pun sudah mulai diajarinya
pula.
“Ia harus mengalami benturan
perasaan yang dahsyat untuk dapat merubahnya menjadi seorang yang lain,”
berkata Agung Sedaya. Namun meskipun kadang-kadang ia malu kepada dirinya
sendiri. Agung Sedayu masih juga dapat melihat perbedaan yang besar antara
dirinya sendiri pada saat itu dengan Rudita. Ia sama sekali bukan seorang anak
muda yang sombong, dan bukan pula anak muda yang seakan-akan merasa berkuasa
atas orang lain, karena saat itu ia sudah menjadi seorang piatu. Ia hidup di
dalam suasana yang berbeda dengan cara hidup Rudita kini, sehingga sikap anak
muda yang manja ini kadang-kadang memang menjengkelkan, bukan sebaliknya.
Dan kini ia terpaksa menahan
senyumnya melihat Rudita yang dengan wajah pucat merunduk di belakang Pandan
Wangi.
Demikianlah mereka bergerak
semakin lama semakin dalam. Para pengiring mereka pun ikut menebar di antara
keempat anak-anak muda itu beserta Rudita di belakang Pandan Wangi.
Tetapi mereka lambat sekali
maju karena pepohonan perdu yang lebat di bawah pepohonan yang besar di hutan
itu. Apalagi mereka memang harus berhati-hati, karena bukan saja harimau yang
buas yang harus mereka hadapi, tetapi juga binatang-binatang kecil yang
berbisa.
Dalam pada itu, beberapa ekor
burung masih berterbangan di antara dahan-dahan kayu, dan masih pula ada
beberapa ekor kera yang sambil berteriak-teriak berloncatan di pepohonan.
Agung Sedayu yang berada di
ujung dari kelompok yang sedang maju di dalam garis lurus itu sudah menyiapkan
anak panah pada busurnya. Ia mengharap bahwa kemampuan bidiknya masih tetap
utuh. Beberapa langkah daripadanya adalah Swandaru yang sudah siap pula.
Kemudian agak di belakangnya seorang pengiring. Kemudian Pandan Wangi dan
Rudita. Di sebelahnya adalah Prastawa, dan di ujung yang lain adalah kedua
pengiring pula yang seperti yang lain juga sudah siap dengan senjata mereka.
Sejenak Agung Sedayu yang
berpandangan tajam itu melihat sebuah gerumbul yang bergerak. Dengan sigapnya
ia meloncat maju. Ketika sesuatu tersembul dari gerumbul itu, anak panahnya
telah siap untuk meluncur.
Tetapi anak panah itu masih
tetap pada busurnya. Dibiarkannya seekor binatang berlari kebingungan. Binatang
itu tidak berani berani kembali ke tengah hutan, namun tidak pula dapat terus.
Sejenak binatang itu meloncat masuk ke dalam gerumbul yang lain, kemudian
berlari menghindar.
Agung Sedayu menarik nafas. Ia
sadar, bahwa ia memang bukan seorang pemburu yang baik. Kadang-kadang ia masih
juga diganggu oleh keragu-raguan untuk membunuh meskipun hanya seekor anak
kijang.
“Kau biarkan kijang itu lari?”
desis Swandaru.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Katanya di dalam hati, “Seandainya bukan seekor kijang yang masih muda. Ia dengan
ketakutan ingin melepaskan diri dari kejaran binatang buas, alangkah malang
nasibnya jika ia berpapasan dengan manusia yang ternyata tidak kalah buasnya
dari binatang yang paling buas itu. Karena justru manusialah yang telah
membunuhnya.”
Swandaru melihat keragu-raguan
di mata Agung Sedayu, sehingga ia berkata, “Penyakitmu sudah kambuh lagi,
Kakang. Bukan saatnya untuk ragu-ragu di saat kita sedang berburu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Kijang yang masih sangat muda itu sudah hilang. Namun di balik belukar yang
lebat itu, mungkin sekali akan mereka temukan seekor harimau yang buas.
Demikianlah mereka melangkah
maju lagi. Setapak demi setapak. Sedang angin bertiup ke arah yang berlawanan.
Sehingga mereka berharap bahwa hidung harimau itu tidak lebih dahulu mencium
bau orang-orang yang mencoba memburunya.
Sejenak kemudian, maka terasa
hutan itu menjadi sepi. Sepi sekali. Tidak terdengar teriakan kera di
pepohonan, dan tidak terdengar pula kicau burung di udara.
Orang-orang yang sedang
berburu itu menjadi semakin tegang. Ternyata bahwa mereka akan segera
berhadapan dengan binatang buas di hutan liar itu.
Karena itu, maka anak panah
mereka telah siap dipasang pada busurnya, siap untuk dilepaskan.
Tetapi beberapa saat lamanya
mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam gerumbul. Setiap kali
mereka hanya melihat seekor kupu yang tidak menyadari bahaya yang ada di hutan
itu.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
tertegun sejenak. Hampir berbareng dengan Swandaru ia berkata, “Aku mencium bau
yang lain.”
Pandan Wangi pun menganggukkan
kepalanya sambil berdesis, “Ya. Bau ini tentu bukan bau seekor harimau.”
“Aku tidak mencium bau apa
pun,” berkata Prastawa.
“Cobalah perhatikan. Ada yang
lain.”
Orang-orang yang sedang
berburu itu pun kemudian berhenti sejenak. Seorang pengiring yang sudah
berpengalaman berkata, “Berhati-hatilah. Bau ini sudah memberi peringatan
kepada kita.”
“Ya, ya. Aku mencium bau itu.”
“Bau apakah yang sudah kalian
cium?” bertanya Rudita. Wajahnya menjadi semakin pucat. “Aku tidak mencium bau
apa pun juga.”
“Bau yang wengur ini,” berkata
pengiring itu.
“Ya, tetapi bau apa?”
Sebelum orang itu menjawab,
Agung Sedayu berkata sambil menunjuk kekejauhan, “Kau lihat ujung pohon itu?”
“Nah,” berkata pengiring itu,
“kini sudah pasti. Bukan seekor harimau yang kita hadapi.”
Pandan Wangi pun menjadi
tegang. Jarang sekali terjadi, bahwa di dalam hutan mereka akan berpapasan
dengan kejadian itu.
“Apa, kenapa dengan ujung
pepohonan itu,” Rudita bergeser semakin mendekati Pandan Wangi.
“Bagaimana dengan kita?”
bertanya Pandan Wangi kemudian kepada pengiring itu, tanpa menghiraukan Rudita.
“Terserahlah kepada kita.
Apakah kita akan memburunya juga, atau kita akan mengambil jalan lain dan
menjauh seperti binatang-binatang buruan yang lain.”
“Marilah, kita lihat,” berkata
Prastawa.
“Jangan terburu-buru,” berkata
pengiring itu, “lebih baik bertemu dengan seekor harimau daripada kita
mendekatinya.”
“Apa yang kalian lihat, apa?”
desak Rudita.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ujung pepohonan itu bagaikan ditiup angin pusaran.
Apakah kau benar-benar tidak mengerti, apakah yang ada di sana.”
Rudita memandang ujung pohon
itu. Katanya, “Maksudmu pohon yang besar itu?”
“Ya.”
“Bukan setiap pepohonan.”
“Ya, maksudku pohon yang besar
itu.”
Rudita menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti.”
Pandan Wangi memandang Agung
Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Kemudian pengiring yang menyertainya itu.
“Katakan,” desak Rudita.
Sekali lagi Pandan Wangi
memandang pengiringnya, seakan-akan menyuruhnya mengatakan tentang ujung pohon
yang bergerak-gerak itu.
“Itu adalah bahaya yang paling
besar di dalam hutan ini bagi binatang-binatang yang ada di dalamnya. Lebih
berbahaya dari seekor harimau yang sedang lapar.”
“Aku sudah mendengar kalian
mengatakannya. Tetapi apa?”
“Seekor ular naga.”
“Ular naga,” dada Rudita
bagaikan berhenti bergetar, “ular naga. Jadi apakah benar ada seekor ular
naga?”
“Maksudku seekor ular yang
besar sekali. Orang-orang yang pernah menyaksikannya menyebutnya ular naga. Di
telinganya terdapat semacam sumping kebesaran, dan bagi sejenis ular, terdapat
taji di bagian ekornya.”
“O, apakah ular naga itu
berkaki juga?”
Pengiring itu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Ular naga biasanya tidak berkaki.”
“Tetapi kenapa ujung pohon itu
seperti ditiup angin pusaran?”
“Ular itu sedang lapar.”
“Ya, tetapi kenapa ujung pohon
itu?”
“Ular yang lapar membelitkan
ujung ekornya pada sebatang dahan yang besar di pohon itu, kemudian kepalanya
sajalah yang terayun-ayun di sekitar pohon itu. Setiap mahluk yang lewat di
jarak jangkaunya, tentu akan disambarnya dan langsung ditelannya. Juga seekor
kijang dan bahkan seekor harimau. Tetapi sudah barang tentu, jika yang
disambarnya seekor harimau maka tentu akan terjadi pergulatan yang sengit,
karena seekor harimau tidak akan menyerah begitu saja. Bahkan dapat terjadi,
jika pohon itu berada di tepi Kali Praga, ular itu akan menyambar seekor buaya
yang sedang berjemur. Namun yang terjadi adalah pergulatan yang sengit antara
ular itu dengan seekor buaya yang kuat.”
Terasa bulu-bulu tengkuk
Rudita meremang, terbayang di matanya seekor naga raksasa yang buas sedang
terayun-ayun di pohon itu sambil membelitkan ekornya. Kepalanya merupakan alat
yang sangat berbahaya untuk menyambar mangsanya. Jika seekor harimau dapat
disambarnya meskipun kemudian harus bergulat dengan sengit, apa yang dapat
dilakukan oleh seseorang?
Karena itu, maka Rudita
menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia memandang ujung pohon yang bergerak-gerak
itu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya lagi sehingga katanya
kepada Pandan Wangi, “Apakah kita tidak sebaiknya kembali saja?”
“Kita maju beberapa langkah
lagi. Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan melihat seekor ular raksasa
yang lapar mencari makan di tengah-tengah hutan yang lebat seperti ini.”
“Tetapi kenapa ular itu
tiba-tiba saja menjadi lapar ketika kita mendekatinya?”
“Tentu tidak. Ular menjadi
lapar untuk waktu yang panjang. Adalah kebetulan bahwa pada saat kita memasuki
hutan ini, ular itu mulai mencari mangsanya. Tetapi tentu ular itu sudah cukup
lama menahan lapar. Memang mungkin ringkik kuda yang keras itu menambah
seleranya sehingga tiba-tiba saja ia berniat untuk menyambarnya. Tetapi kuda
itu tidak akan melalui daerah berbahaya itu. Binatang-binatang yang lain pun
biasanya menjauhinya.”
“Kenapa justru kita mendekat?”
“Kita bukan binatang yang
tersesat ke daerah jangkau kepala ular yang lapar itu. Tetapi kita dengan sadar
mendekatinya, sehingga kita dapat memperhitungkan jarak sebaik-baiknya.”
“Tetapi apakah gunanya kita
mendekat?”
“Aku ingin melihat,” lalu
Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang lain sambil bertanya, “Bagaimana
dengan kalian?”
“Aku juga belum pernah
melihat, bagaimana seekor ular yang lapar mencari mangsanya,” sahut Prastawa.
“Tetapi itu berbahaya sekali,”
gumam Rudita.
“Asal kita berhati-hati, kita
tidak akan terjebak ke dalam mulutnya,” berkata Swandaru kemudian, “karena itu,
kita harus mampu memperhitungkan setiap kemungkinan. Memang mungkin ular itu
menyelusur turun sedikit, sehingga jarak jangkaunya bertambah lebar, tetapi
tentu terbatas, karena panjang tubuhnya juga terbatas.”
Rudita tidak dapat memaksa
kawan-kawannya berburu untuk kembali. Betapa pun ia dibelit oleh perasaan
takut, namun ia terpaksa ikut maju juga mendekati sebatang pohon yang sedang
diguncang oleh ular yang kelaparan itu.
“Jangan mendekat lagi,” desis
Rudita.
“Sst, ular itu mempunyai
telinga. Jika ia mendengar suaramu, maka perhatiannya akan tertuju sepenuhnya
ke mari.”
“Dan mempunyai hidung,” desis
Swandaru, “ia akan dapat mencium bau manusia.”
Rudita sama sekali tidak
berani membuka mulutnya. Ia menjadi semakin lama semakin ketakutan, sehingga
karena itulah bahkan sekali-sekali berpegangan pada baju Pandan Wangi.
“Sst,” Pandan Wangi
kadang-kadang merasa geli juga, sehingga sekali-sekali tangan Rudita itu pun
dikibaskannya.
Agung Sedayu yang melihat,
betapa Rudita dicengkam oleh ketakutan menjadi kasihan karenanya. Ia sendiri
pernah merasakan betapa sakitnya perasaan takut itu menyiksa dirinya.
Namun ia tidak dapat
menolongnya. Ketakutan yang demikian tidak dapat ditolong dengan mengawaninya.
Dalam pada itu, mereka menjadi
semakin lama semakin dekat dengan pohon yang diguncang oleh ular raksasa itu.
Bau yang wengur semakin lama semakin terasa menusuk hidung, sedang daerah di
sekitar tempat itu menjadi semakin sepi. Tidak ada sehelai daun pun yang
bergerak oleh sentuhan binatang hutan selain di sekitar pohon yang bagaikan
dipermainkan oleh angin pusaran itu.
“O,” Rudita menjadi gemetar
ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak pada pohon itu. Ternyata seperti
yang lain, ia mulai dapat melihat tubuh ular yang tersangkut pada dahan pohon
itu. Ular yang ternyata benar-benar ular raksasa.
Prastawa yang juga melihat
ular itu, hampir saja meloncat maju didorong oleh keinginannya yang meluap
melihat seluruh tubuh ular itu. Untunglah pengiring yang berpengalaman itu
sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia menjadi berhati-hati.
“Kita belum melihat
kepalanya,” bisik orang itu, “kita belum tahu pasti panjang ular itu.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Sejenak sekelompok orang-orang
yang ingin melihat ular raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu
pasti berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.
“Tinggallah kalian di sini,”
berkata pengiring yang sudah banyak mengetahui seluk-beluk hutan itu, “aku akan
mencoba melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu.”
“Hati-hatilah,” desis Pandan
Wangi.
“Aku akan pergi bersamanya,”
berkata Agung Sedayu.
“Aku juga,” berkata Swandaru.
“Tinggallah di sini,” sahut
Agung Sedayu, “jika terlalu banyak orang yang pergi, ular itu akan segera
mengetahui kehadiran kita.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pengiring itu pun kemudian
bergeser maju diikuti oleh Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati menyusup
sebuah gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena mereka masih belum
dapat melihat kepala ular itu, maka mereka pun bergeser beberapa langkah lagi,
dan berlindung di balik sebatang pohon.
“Firasatku mengatakan bahwa
ular itu sudah mencium bau manusia.”
“Kita, maksudmu?”
“Ya, lihatlah gerak tubuhnya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita mendekat lagi.”
Orang itu menganggukkan
kepalanya. Namun ketika ia melangkah maju, maka Agung Sedayu pun segera
menyambarnya.
Untunglah bahwa Agung Sedayu
sempat melakukannya. Ketika orang itu berguling karena tarikan tangan Agung
Sedayu, ia masih sempat melihat sesuatu bergerak di gerumbul beberapa langkah
di hadapannya.
Dengan tubuh yang gemetar
orang itu meloncat berdiri dan bersama dengan Agung Sedayu melangkah surut ke
belakang.
“Aku tidak mengira, bahwa
kepala ular itu sudah begitu dekat,” berkata orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Ia melihat kepala itu mulai bergerak-gerak. Agaknya ular itu tidak saja ingin
menunggu, tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya yang belum dapat
ditangkapnya itu.
Sejenak keduanya berdiri
termangu-mangu di balik sebatang pohon yang besar, meskipun mereka sadar, bahwa
mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu berusaha untuk maju.
Tetapi agaknya kepala ular
raksasa itu masih, saja terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju
kepada kedua orang yang berusaha bersembunyi itu.
Agung Sedayu dan pengiring itu
masih saja berdiri diam di tempatnya. Mereka sedang terpukau oleh kekaguman
atas ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau itu tampak
kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak. Seperti ceritera yang pernah
mereka dengar, bahwa sebenarnyalah pada telinga ular itu seakan-akan terlukis
sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang tajam bagaikan memancarkan
cahaya yang kekuning-kuningan.
“Mengerikan sekali,” desis
pengiring itu.
“Ya, mengerikan sekali,” sahut
Agung Sedayu, “ular itu tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi
binatang-binatang hutan tetapi juga bagi seseorang yang kebetulan masuk ke
dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak selamanya bergayutan di pohon itu.
Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi sehingga datang saatnya ia kelaparan
lagi dan melakukan perbuatan yang serupa. Mungkin di tengah hutan ini, tetapi
mungkin di tempat lain yang sering dikunjungi orang.”
“Jika kepalaku disambarnya,”
berkata pengiring itu, “maka aku tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan
segera dilumatkan dengan belitan yang kuat, sehingga dengan tulang-tulang yang
remuk dengan mudahnya aku akan ditelan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut
sambil berkata, “Ular itu agaknya akan menyerang kita.”
“Ya. Ular itu akan menyerang.
Marilah kita pergi.”
Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Apakah ular yang berbahaya itu akan ditinggalkan begitu saja.
Dalam keragu-raguan itu
tiba-tiba Agung Sedayu terkejut karena ia mendengar suara Rudita, “Jangan maju
lagi. Jangan.”
“Gila,” geram Agung Sedayu,
“kenapa anak itu dibawa ke mari?”
Sebenarnyalah bahwa beberapa
orang yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi menunggu. Apalagi
Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan cemas apabila sesuatu
telah terjadi atas Agung Sedayu dan seorang pengiringnya.
“Jangan maju lagi,” desis
Agung Sedayu.
Pandan Wangi menjadi
termangu-mangu, sedang Rudita yang kemudian melihat juga kepala yang
terayun-ayun itu menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.
“Hati-hatilah, Kakang,”
Swandaru tiba-tiba berteriak.
Agung Sedayu dan pengiring itu
meloncat menjauh. Agaknya ular raksasa itu telah berusaha menjangkau kedua
mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus berpegangan pada dahan kayu
yang besar, maka ia masih belum berhasil mencapai mahluk yang masih agak asing
baginya.
Ternyata percakapan itu
membuat ular raksasa itu semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun
semakin keras, sehingga batang pohon tempat ekornya berpegangan menjadi semakin
keras bergetar.
Tetapi bukan itu saja,
ternyata ular itu pun berusaha semakin menjulur ke bawah. Ternyata ia berusaha
mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi semakin panjang menjangkau
mangsanya.
Tetapi kemarahan ular raksasa
itu telah mengguncang dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin
lama semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu tidak mampu lagi
menahan ayunan tubuh yang seakan-akan menjadi semakin berat.
Yang terdengar kemudian adalah
dahan itu mulai retak. Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun menjadi
semakin rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan pengiringnya.
“Kakang, dahan itu patah,”
teriak Swandaru.
Dengan gerak naluriah, maka
Agung Sedayu pun menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula, Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah menarik anak panah pada
busurnya. Hampir berbareng dengan derak dahan yang patah itu, beberapa anak panah
telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu.
Namun ternyata bahwa kepala
ular yang bergerak itu tidak terlalu mudah dikenainya. Anak panah yang meluncur
dari busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya, kecuali anak panah Agung
Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak panah itu menembus leher.
Luka di leher ular itu,
membuat ular raksasa itu menjadi seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu
melonjak dan dahan yang patah itu pun berderak jatuh di tanah.
Kesakitan yang amat samgat
pada lehernya, dan tubuhnya yang justru tertindih dahan yang besar itu,
membuatnya semakin gila.
Ular itu bergulung-gulung
seperti pusaran air. Dengan berdesis mengerikan ular itu berusaha melemparkan
dahan yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan pada lehernya bagaikan
tersentuh bara besi baja.
Demikianlah, untuk beberapa
saat lamanya ular raksasa itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri.
Namun dengan kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang mengkilap itu
tegak, dengan mulut ternganga.
Ular itu bagaikan menyemburkan
api dari dalam mulutnya.
Rudita benar-benar sudah
kehilangan keberaniannya sama sekali. Tubuhnya menggigil seperti terbenam di
dalam air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser surut, ia sudah tidak
mampu lagi mengangkat kakinya.
“Rudita,” teriak Pandan Wangi.
“O,” Rudita mencoba melangkah.
Tetapi kakinya terantuk sepotong akar yang menyilang di depannya. Tiba-tiba
saja ia justru terjatuh tertelungkup.
Pada saat itulah ular raksasa
yang bagaikan gila itu menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu
yang bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang berusaha bangun.
“Rudita,” sekali lagi Pandan
Wangi berteriak.
Tetapi kepala ular itu mulai
bergerak, lidahnya mencuat seperti ujung api yang akan membakar tubuh Rudita
yang lemah.
Sekejap semua orang yang
menyaksikannya dicengkam oleh perasaan tegang. Mata ular yang membara dan
taringnya yang tajam, membuat setiap jantung bagaikan berhenti berdenyut.
Namun tidak seorang pun yang
menghendaki Rudita akan ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena
itu, maka sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah. Tetapi anak
panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu dua daripadanya berhasil
mengenai leher ular itu dan menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai
besi.
“Rudita,” Pandan Wangi
benar-benar menjadi cemas.
Pada saat yang paling
berbahaya itu, tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengusir ular itu dengan
anak panah yang dilontarkan bagaikan hujan.
Tetapi ular itu benar-benar sudah
gila. Ia sama sekali tidak menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah yang
bergayutan pada sisiknya.
Tidak ada lagi harapan yang
masih tersisa di hati Rudita. Ia sempat melihat kepala ular itu merunduk
menghampirinya dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang tajam.
Namun pada saat itu, Agung
Sedayu masih melakukan usaha terakhir. Dengan cepatnya ia menyambar tombak
pendek seorang pengiring yang sedang termangu-mangu. Dengan kemampuan bidiknya,
ia melontarkan tombak itu selagi ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah
air yang sedang mendidih.
Ternyata usaha Agung Sedayu
yang terakhir itu berhasil. Pada saatnya, tombak pendek itu meluncur tepat
mengenai sebelah mata ular yang marah itu.
Sekali terdengar ular itu
berdesis keras sekali sambil menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian, sekali
lagi ular itu bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya ia
berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil
melepaskan diri dari ujung tombak dan beberapa anak panah yang mengenainya.
Dalam keadaan itulah, maka
sekali lagi Agung Sedayu menyerang dengan anak panahnya. Tetapi ia tidak
berhasil mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai tubuh ular yang
sedang mengamuk itu.
Ketika ular itu sekali lagi
menengadahkan kepalanya yang sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan
terutama dari sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik Rudita dan
menyeretnya menjauhi ular itu.
Tetapi betapa garangnya ular
raksasa itu, namun akhirnya lambat laun ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang
mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang justru semakin dalam menancap di
kepalanya, mulai menyentuh otaknya.
Akhirnya, badai yang
berkecamuk itu menjadi semakin lama semakin reda. Perlahan-lahan namun pasti,
maka akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan bahkan kemudian
kehilangan hidupnya. Tombak Agung Sedayu yang justru menjadi semakin dalam
menghunjam di kepalanya, telah menghabisi nyawanya.
Ular raksasa itu pun akhirnya
telah mati dengan meninggalkan bekas yang sangat mengerikan. Dahan-dahan yang
berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar pun telah roboh karenanya.
Sejenak Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa dan para pengiringnya berdiri
termangu-mangu, sementara Rudita masih saja menggigil ketakutan.
Tetapi ternyata bau darah yang
khusus dari darah ular raksasa itu telah mengundang penghuni rimba itu yang
lain. Dari kejauhan terdengar seekor harimau mengaum dengan dahsyatnya.
“Itulah dia,” tiba-tiba saja
Prastawa berdesis.
“O,” suara Rudita gemetar
hampir tidak terdengar, “apa lagi yang akan datang?”
“Tentu seekor harimau yang
mencium bau darah ini,” jawab Prastawa, “bahkan mungkin tidak hanya seekor.”
“O,” Rudita menjadi semakin
pucat.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak kalah
dahsyatnya dari Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling berbahaya
bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya.
Sejenak Agung Sedayu dan
kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Di hadapan mereka adalah hutan yang
menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila itu. Sedang
lamat-lamat mereka telah mendengar seekor harimau mengaum di kejauhan.
Karena itulah maka mereka
masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka telah siap menghadapi setiap
kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang berdatangan sekaligus, mereka
tidak akan gentar.
Tetapi suara harimau itu tidak
terdengar lagi. Mungkin harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali
tidak tertarik untuk mendekatinya,
Sejenak mereka masih menunggu.
Tetapi karena mereka tidak mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun
berkata, “Harimau itu tidak datang ke mari.”
“Benar begitu?” bertanya
Rudita dengan serta-merta.
“Aku kira begitu.”
“Jawablah yang baik. Jangan
sekedar mengira. Aku memerlukan kepastian,” suaranya masih bergetar.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Namun agar anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun menjawab, “Aku
pasti. Harimau itu tidak akan datang ke mari.”
Rudita memandang Agung Sedayu
sejenak. Namun katanya, “Tentu kau hanya ingin menenteramkan hatiku. Jawablah
yang sebenarnya. Jawablah.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Sejenak ia termangu-mangu memandang Pandan Wangi, seolah-olah ia ingin mendapat
pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita yang kacau itu.
“Rudita,” ternyata Pandan
Wangi dapat menanggapi tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya
Rudita, “memang harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Aku tahu, kalian hanya
sekedar menenteramkan hatiku. Tetapi bagaimana sebenarnya? Apakah harimau itu
datang ke mari nanti?”
“Tidak. Aku yakin tidak.”
“Jangan membohongi aku.”
“Baiklah,” berkata Pandan
Wangi, “menurut perhitungan kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi
seandainya ia datang juga, kami sudah siap menghadapinya.”
“Katakan dengan pasti. Kalian
selalu mempermainkan aku.”
“Rudita,” Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam, “sudahlah. Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai
kaki. Terserah ke mana ia akan pergi.”
Rudita memandang Pandan Wangi
sejenak, lalu, “Kau tidak menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap
demikian terhadapku?”
Ternyata Prastawa tidak dapat
menahan hatinya sehingga ia menyahut, “Biarlah harimau itu datang. Aku akan
menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat aku harapkan.”
“Kau gila,” teriak Rudita,
“kau ingin harimau itu datang kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja
terjadi dengan ular raksasa itu?”
“Tentu tidak,” jawab Prastawa,
“aku akan membunuhnya. Atau kau sendiri harus membunuhnya.”
Rudita memandang Prastawa
dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka terdengar
suara Swandaru melengking, “He, ikut aku. Cepat.”
Semua orang memandang
kepadanya. Dan sekali lagi Swandaru berkata, “Cepat, ikut aku.”
Tanpa menunggu lagi ia
berjalan tergesa-gesa mendekati kepala ular raksasa yang telah mati itu.
Orang-orang lain yang tidak
begitu mengerti maksudnya itu pun mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa
melangkah juga dengan kaki gemetar mendekati ular raksasa itu.
Ketika Swandaru sudah berada
beberapa langkah dari ular itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang
berceceran, sedang tombak pendek yang mengenai mata ular itu masih menancap di
tempatnya.
“Mengerikan,” katanya, “jika
ular ini harus bergumul dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan
dapat diremukkan tulang-belulangnya.”
“Aku belum pernah mendengar
ceritera, bahwa di dalam hutan ini ada seekor ular raksasa sebesar ini,”
berkata pengiring Pandan Wangi, “karena itu, sebenarnya aku agak takut juga
menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung Sedayu memiliki kemampuan bidik yang
luar biasa, sehingga anak panahnya yang pertama yang mengenai leher ular itu,
membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran tombak yang tepat itu
ternyata telah memaksa ular itu menyerah untuk selama-lamanya.”
“Suatu kebetulan,” jawab Agung
Sedayu.
“Bukan suatu kebetulan,” sahut
Swandaru, “Kakang Agung Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang
sedang terbang. Aku pernah melihatnya, meskipun tidak setiap saat ia mau memamerkannya.”
“Mana mungkin,” tiba-tiba saja
Rudita menyahut, “tidak ada seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang
sedang terbang.”
Prastawa berpaling kepadanya.
Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam.
Tidak ada seorang pun yang
menjawab. Tetapi Swandaru-lah yang berkata kemudian, “Rudita. Ternyata
keinginanmu terkabul.”
“Apa?” jawab Rudita.
“Hasil buruan kita yang
pertama akan kau jadikan hadiah yang akan kau berikan kepada Pandan Wangi. Nah
ternyata hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga raksasa. Tentu
kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa setiap hasil kita bersama adalah hakmu
dan akan kau berikan sebagai hadiah kepadanya.”
Rudita tidak segera menyahut.
Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu dengan tatapan mata yang mengandung
kebimbangan. Namun kemudian katanya, “Apakah ular ini baik juga aku berikan
sebagai hadiah?”
Swandaru-lah yang justru
terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun ia menganggukkan kepalanya sambil
menjawab, “Ya. tentu. Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai nilai
yang besar.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Kulit ular ini akan aku hadiahkan
kepadamu Pandan Wangi.”
“Ah,” wajah Pandan Wangi
menegang sejenak. Sikap Rudita benar-benar merupakan sebuah lelucon yang
menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab, “Terima kasih Rudita. Aku
akan membawanya pulang. Kulit ular itu tentu menjadi bahan tontonan. Jarang
sekali kita melihat ular sebesar itu.”
“Jadi kau mau juga
menerimanya?”
“Tentu, aku sangat berterima
kasih. Aku lebih senang menerima kulit ular itu dari pada seekor kijang atau
menjangan.”
“Aku senang sekali, bahwa kau
mau menerimanya. Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan sepanjang
hidupmu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia memandang Swandaru dengan sudut matanya, dilihatnya anak
muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang Agung Sedayu sudah
membelakanginya. Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambil terbatuk-batuk.
“Anak ini benar-benar
cengeng,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “bukan saja di dalam sikap,
tetapi ia benar-benar cengeng di dalam segala hal.”
Hampir saja Pandan Wangi
tertawa tanpa dapat ditahan lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rudita
bertanya, “Tetapi bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?”
“Serahkan kepada para
pengiring,” jawab Pandan Wangi, “mereka akan dapat mengulitinya. Mereka sudah
sering menguliti seekor ular yang besar sekalipun. Tetapi tidak sebesar ular
yang terbunuh ini.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara Pandan Wangi bertanya kepada ketiga pengiringnya, “Kalian
dapat menguliti ular itu?”
Mereka mengangguk sambil
menjawab, “Tentu.”
“Kulitilah. Kita bawa kulitnya
pulang.”
Salah seorang dari mereka
menjawab, “Bagaimana dengan dagingnya?”
“Kita tidak memerlukannya.
Biarlah dagingnya menjadi mangsa binatang hutan.”
Ketiga pengiringnya
mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Baiklah kita mengulitinya
sekarang.”
“Lakukanlah,” berkata Pandan
Wangi, “kami akan beristirahat.”
“Jadi kita akan keluar dari
hutan ini?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Tidak, kami akan beristirahat
di sini.”
“O, di sini?” Rudita menjadi
kecewa.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia kemudian berkata kepada anak-anak muda yang lain, “Kita beristirahat
di sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini.”
“Tentu memerlukan waktu yang
lama,” jawab Prastawa, lalu ia pun bertanya, “apakah tidak sebaiknya kita
berbuat sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawab Pandan Wangi,
“kita menunggu mereka agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat
ini, mereka tidak menemui kesulitan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya Tetapi sebenarnya ia lebih senang menerobos masuk ke dalam jantung
hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa berbuat sesuatu.
Namun seperti yang dikatakan
oleh Pandan Wangi, orang-orang yang sedang sibuk menguliti ular itu memang
tidak dapat ditinggalkannya.
Dengan demikian maka mereka
pun hanya sekedar beringsut dari tempatnya melihat-lihat bekas belukar yang
rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan justru telah menimpa
tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya ular itu dapat melepaskan diri dari
himpitan dahan itu, namun luka-lukanya, apalagi sebatang tombak yang menancap
tepat di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang membuatnya kemudian tidak
berhasil melepaskan diri dari maut.
Namun demikian, ternyata
Prastawa, Agung Sedayu, dan Swandaru bergeser beberapa langkah menjauhi tempat
itu tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil melihat-lihat
semak-semak yang hancur, pepohonan yang roboh dan dahan-dahan yang patah.
“Apa yang terdapat di dalam
lebatnya hutan itu?” tiba-tiba saja Prastawa bertanya.
“Bermacam-macam,” jawab
Swandaru, “di antaranya seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang
sudah kita dengar suaranya, beberapa ekor harimau.”
“Itu kurang menarik bagi
kita,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. “Mungkin ada penghuni yang belum pernah
kita lihat. Itulah yang penting, seperti yang dikatakan oleh orang-orang
Menoreh.”
“Orang-orang bersenjata?”
bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
“Jika demikian, kita harus
menembus hutan ini sampai ke tepian Kali Praga. Mungkin di bagian itulah kita
akan dapat menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai bahan untuk melihat
keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini.”
Sekali lagi Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia ingin benar melihat kemungkinan yang
ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya mengatakan, bahwa
sebenarnya Mataram yang sedang tumbuh itu pasti sudah dikepung. Tentu
orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu mempunyai
perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak hanya datang dari satu
arah. Dari segala penjuru orang berdatangan dan membuat Mataram menjadi semakin
besar.
“Tetapi,” berkata Agung Sedayu
di dalam hatinya, “karena daerah di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang
berbeda dipandang dari bermacam-macam segi, maka orang-orang yang tidak senang
melihat perkembangan Mataram itu pun tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka
yang terutama tentu terarah pada perbatasan yang tidak nyata di antara pusat
pemerintahan Pajang dan Mataram. Sedang di perbatasan dengan daerah-daerah lain
yang juga termasuk daerah Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian
mereka.”
Namun itu bukan berarti bahwa
Mataram dapat mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena orang-orang itu dapat
menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram yang sedang tumbuh ini.
Seperti kesan yang mereka usahakan, bahwa orang-orang Mataram telah mengacaukan
Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat kesan yang lain di
perbatasan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan daerah di sekitarnya.
Dan tiba-tiba saja Agung
Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat
menumbuhkan kesan, bahwa mereka adalah orang-orang Menoreh yang tidak senang
melihat Mataram tumbuh, sehingga dengan demikian akan timbul permusuhan antara
Mataram yang sedang tumbuh itu dengan Menoreh yang sebenarnya tidak tahu menahu
persoalannya.
“Mungkin Ki Argapati sudah
memperhitungkannya, sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan peronda-peronda
khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda khusus itu tentu bertugas untuk
mencegah kesan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, bahwa
seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh,” berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya.
Dalam pada itu, maka Prastawa
yang kemudian menjadi termangu-mangu itu pun bertanya, “Jadi apakah kita akan
pergi menembus hutan ini sekarang?”
“Kita menunggu mereka yang
sedang menguliti ular itu. Kita akan pergi bersama-sama,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi,” Prastawa menjadi
ragu-ragu.
“Tetapi apa?” bertanya Swandaru.
“Anak cengeng itu semakin lama
terasa semakin mengganggu saja,” sahut Prastawa.
Swandaru tersenyum. Katanya,
“Semula aku menjadi muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang
membuat aku membencinya. Terus terang, aku tidak senang pada sikapnya yang
seakan-akan terlampau cemburu meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak
jelas. Namun akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru menjadi
kasihan kepadanya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pun merasa kasihan. Aku tahu
betapa tersiksanya dikejar oleh perasaan takut. Apalagi mereka yang tidak mau
menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Memang ada juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa
ia sama sekali tidak mau menyadari keadaan dirinya itulah yang kadang-kadang
hampir membuat aku kehilangan kekang atas diri sendiri. Sikapnya yang
memerintah dan berkuasa itulah yang sangat menjemukan.”
“Ia adalah anak yang terlalu
manja. Ia merasa bahwa dunia ini berkisar di seputarnya, dan ia adalah pusat
dari segala-galanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga anak manja waktu
itu,” berkata Prastawa kemudian, “aku juga menganggap dunia ini berputar untuk
kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi begitu dungu seperti Rudita.”
“Itulah kelebihanmu,” jawab
Swandaru.
“Ah,” Prastawa pun berdesah.
Sekilas teringat di kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan Agung Sedayu
sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda. Namun sikapnya telah
menunjukkan kemasakan jiwa meskipun belum seutuhnya.
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Di luar kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat kepada seorang
gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang memiliki pedang di
lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis yang demikian memang sangat menarik
perhatian.
“Tetapi gadis itu adalah bakal
istri Agung Sedayu,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengetahui, apakah yang terbersit di dalam
hatinya. Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang tampak oleh mata hati
anak yang masih sangat muda itu. Sebenarnyalah bahwa wajah dan sikap Sekar
Mirah yang pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang sangat menarik hatinya.
Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah itu adalah bakal istri Agung
Sedayu dan adik Swandaru, maka ia tidak dapat menyebut namanya, apalagi
memujinya di hadapan anak-anak muda itu.
“Aku tidak dapat berbuat
begitu bodoh seperti Rudita. Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi sudah dilamar
oleh Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya. Untunglah, bahwa
Swandaru yang biasanya berbuat apa saja tanpa dipikirkan masak-masak, kali ini
dapat mengerti sifat dan watak Rudita,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Dalam pada itu, para pengiring
Pandan Wangi masih saja sibuk menguliti ular raksasa yang sudah terbunuh itu.
Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat,
sedang Pandan Wangi tidak sampai hati meninggalkan mereka di dalam kesibukan
itu. Apabila tiba-tiba saja datang binatang buas yang berbahaya, maka mereka
tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri.
“Apakah kita akan menunggui
mereka sampai selesai?” bertanya Rudita yang masih saja selalu berada dekat
Pandan Wangi.
“Ya. Kita akan menunggui
mereka sampai selesai.”
“Jika sampai malam hari mereka
masih belum selesai, apakah kita juga akan berada di sini sampai malai hari?”
“Tentu, kita akan menunggui
mereka sampai kapan pun.”
“Ah,” desah Rudita, “kita
harus keluar dan hutan ini. Aku tidak mau berada di tempat ini sampai malam
hari. Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan barangkali ada
ular-ular kecil yang justru berbisa. Tidak seperti ular raksasa itu. Meskipun
ujudnya begitu besar, tetapi ular semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak
berbisa. Aku tidak begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi
terhadap ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita tidak dapat
berhadapan langsung. Tahu-tahu kaki kita digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan
untuk melawan.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Rudita pada suatu saat hampir saja tidak
dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah dikuliti, maka dapat
saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada ular-ular kecil yang berbisa
daripada ular raksasa itu.
Tetapi Pandan Wangi harus
menahan perasaannya. Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari
saluran darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga karena itu, ia adalah
orang yang paling berkepentingan. Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar.
Meskipun ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya dapat menerima
setiap orang yang masih ada sangkut pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah
terjadi sesuatu. Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya mengerti,
bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa yang ditanggungkan oleh ibunya
justru sebelum dirinya dilahirkan.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita
kemudian, “apakah sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?”
“Tentu kita tidak akan sampai
hati meninggalkan mereka bekerja di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Biarlah Agung Sedayu dan
Swandaru menunggui mereka bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari hutan ini
dan beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana ada juga
beberapa orang pengiring dan barang kali mereka sudah menyiapkan bekal kita dan
memasaknya.”
“Apakah kita berdua akan
keluar dari hutan ini tanpa menunggu yang lain?”
“Aku tidak memerlukan mereka,”
jawab Rudita, “sebaiknya kita keluar.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Jadi bagaimana
dengan Prastawa dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?”
“Biar saja mereka berbuat
sekehendak hati mereka. Aku ingin keluar.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya lebatnya hutan di sekitamya. Lalu katanya, “Kau masih
tetap menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua. Tetapi siapkan
senjata.”
“Kenapa?”
“Kau mendengar aum harimau
itu? Ia tentu mencium bau darah, sehingga mungkin sekali satu atau dua ekor di
antara mereka telah berada di sekitar kita saat ini.”
Wajah Rudita tiba-tiba
berubah. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah benar begitu?”
“Mungkin sekali.”
“Jangan sekedar mungkin.
Apakah benar ada harimau di sekitar kita.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sekali lagi ia terlibat dalam pembicaraan yang sulit dengan
Rudita. Seperti yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi menjawab
dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka sekedar
menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak, maka anak itu tentu tidak
percaya karena hatinya sudah dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka
akhirnya Pandan Wangi menjawab, “Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat,
sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan
pepohonan. Mungkin harimau itu ada, mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan
kepastian apa pun.”
Rudita memandang Pandan Wangi
dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa
Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan baik. Itulah sebabnya
hatinya menjadi semakin kecut. Hampir saja ia menangis dan bahkan berteriak.
Tetapi ia masih tetap berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan
serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti sudah memekik dan
berteriak keras-keras tanpa menghiraukan perasaan ayah dan ibunya.
Pandan Wangi akhirnya menjadi
iba juga melihat keadaan Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk
dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa yang sangat suram jika
tidak terjadi perubahan yang mantap pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak
dewasa tidak berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan jiwanya.
Sejenak Pandan Wangi masih
berdiam diri, sedang Rudita berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak.
Kini ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang lain tidak dapat
diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan pelayan-pelayan di rumahnya. Di
luar rumah setiap orang mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan
tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka masing-masing.
Karena itulah maka hati Rudita
menjadi kuncup. Kini ia merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang
lain. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu, setidak-tidaknya
untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
yang menjadi semakin iba itu pun berkata, “Rudita, bagaimana dengan kita
sekarang?”
Rudita memandang Pandan Wangi
sejenak. Lalu, “Terserah kepadamu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mendekatinya.
Katanya seperti kepada anak-anak yamg sedang merajuk, “Kita tetap di sini
Rudita. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?”
“Kita tetap di sini. Kita membuat
perapian di malam hari agar kita tidak diganggu oleh binatang buas.”
“Apakah binatang buas takut
perapian?”
“Mereka tidak mau mendekati
api di malam hari.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang memelas
menatap wajah ibunya yang marah.
“Sudahlah. Jangan takut.
Sebentar lagi kita akan mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung Sedayu
dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh.”
Sekali lagi Rudita mengangguk.
Pandan Wangi pun kemudian
duduk di atas akar sebatang kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya
yang sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari mereka sudah
cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah dilakukan adalah menguliti ular yang
belum sebesar ular yang terbunuh itu.
Dalam pada itu, sejenak
kemudian seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru,
dan Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera duduk
beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu sedang dikupas.
Ternyata bahwa ketiga orang
pengiring Pandan Wangi itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam
hari. Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari hutan itu, dan pergi
ke perkemahan mereka.
Rudita hampir tidak dapat lagi
berjalan menembus gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah
dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa mengatakan kepada orang
lain, meskipun Pandan Wangi sudah menduganya.
Ketika mereka kemudian sampai
ke perkemahan mereka di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan
dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan. Rasa-rasanya nafasnya
sudah hampir putus di perjalanan ketika mereka harus meloncati batang-batang
kayu yang rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu.
Bagaimana pun juga namun
Rudita tetap bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi
sangat panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam keadaan
seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan bahkan Pandan Wangi yang
seorang gadis, masih juga dapat sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
“Kita memerlukan air,” berkata
Pandan Wangi tiba-tiba.
“Ada sebuah mata air kecil di
dekat tempat ini,” berkata seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka.
“Aku sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar dan juga mencari
air. Bahkan ada sebuah saluran yang membuang luapan air dari sebuah sendang
kecil pada mata air itu.”
“Di mana?” bertanya Pandan
Wangi. “Mumpung belum gelap.”
“Pergilah ke pohon besar yang
tampak dari sini itu. Di bawah pohon itu terdapat sebuah mata air.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur
dan endong anak panahnya.
“Aku akan pergi ke mata air
itu sebentar.”
Tiba-tiba Rudita yang sedang
berbaring itu bangkit sambil berkata, “Aku ikut bersamamu Pandan Wangi.”
“Ah,” desis Pandan Wangi, “kau
nanti pergi bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi
sendiri lebih dahulu.”
“Tidak. Aku pergi bersamamu.”
“Itu tidak mungkin. Jika kau
seorang bayi dan aku ibumu, maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam
keadaan ini tentu tidak.”
Rudita menjadi kecewa, tetapi
ia tidak dapat memaksanya, karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan
Wangi. Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di atas tikar
itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit. Tentu tidak akan ada yang
menghiraukannya selama Pandan Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada
itu justru akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja dibuat-buat.
Tetapi ketika ia melihat
Pandan Wangi berjalan sendiri sekali lagi bangkit dan bertanya, “Pandan Wangi.
Apakah kau akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?”
Langkah Pandan Wangi tertegun.
Ia berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil
tersenyum ia berkata, “Bukankah belik itu hanya beberapa puluh langkah saja
dari tempat ini? Hanya di bawah pohon yang besar itu?”
“Tetapi sebentar lagi hari
akan menjadi gelap,” sahut Rudita,
“Itu lebih baik.”
Rudita tidak menyahut lagi.
Dengan hati yang kecut ia pun berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak
muda yang lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
“Mereka tentu membicarakan
aku,” berkata Rudita di dalam hatinya, “mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi
selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku tidak peduli.”
Dan Rudita pun kemudian
benar-benar mencoba untuk tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama sekali tidak
mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang memperhatikan Pandan Wangi yang
pergi sendiri.
“Jangan kalian susul aku
sebelum aku kembali,” berkata Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.
Swandaru hanya tertawa saja.
Prastawa-lah yang menyahut, “Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin
segera membersihkan diri.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Ia berjalan terus melewati beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik
rimbunnya dedaunan.
Sejenak kemudian, maka Agung
Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang
pengiring yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut
berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit ular yang dibawa
oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya tidak henti-hentinya tentang perburuan
yang mendebarkan itu.
Namun tiba-tiba mereka yang
sedang beristirahat itu pun terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor
harimau. Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri, sementara Rudita
pun bangkit pula dengan tergesa-gesa. Dengan cemas ia berlari mendekati Agung
Sedayu sambil bergumam dengan suara gemetar, “Harimau, apakah itu suara
harimau?”
Agung Sedayu mengangguk sambil
menjawab, “Ya. Itu suara harimau.”
“Apakah harimau itu akan
datang kemari?”
Agung Sedayu yang sudah
mengenal serba sedikit tabiat dan sifat Rudita menjawab dengan tegas, “Tidak.
Harimau itu tidak menghadap kemari.”
“Darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya.
Harimau itu mengaum sambil membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu
menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan berbeda.”
Jawaban yang seakan-akan pasti
dan yakin itu telah berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada
keragu-raguan di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya lagi,
meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung Sedayu.
Swandaru dan Prastawa yang
mendengar jawaban Agung Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil
membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga bahwa Agung Sedayu sendiri
sama sekali tidak tertawa karena jawabannya itu.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa
ketiga anak-anak muda itu juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat
memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun Agung Sedayu
seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi sebenarnya ia pun menjadi cemas
karena aum harimau itu.
“Pandan Wangi tentu
mendengarnya juga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “dan tentu ia akan
menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.”
Lebih dari Agung Sedayu,
adalah Swandaru. Tetapi ia tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak
seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu Swandaru pun tidak akan
mendekatinya selagi Pandan Wangi berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika
seekor harimau sedang merunduk di belakang gadis yang sedang membersihkan diri
itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik?
Beberapa lamanya mereka
berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga
langit menjadi samar-samar.
Ketika mereka mulai menjadi
cemas karena Pandan Wangi masih belum tampak, maka Rudita pun mulai
kebingungan. Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda yang
lain.
Namun akhirnya ia tidak dapat
menekan perasaannya lagi dan berkata, “Kenapa kalian tidak menengok Pandan
Wangi?”
“O,” Prastawa berpaling
kepadanya, “kami tidak boleh mendekati belik itu sebelum ia datang.”
“Tetapi bagaimana jika terjadi
sesuatu atasnya?”
Sebelum Prastawa menjawab,
Agung Sedayu menda-huluinya, “Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami
lakukan.”
“Pergilah. Lihatlah Pandan
Wangi.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang
menyakitkan hati di luar sadarnya.
Tetapi mereka tidak perlu
cemas terlalu lama. Sejenak kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di
sela-sela gerumbul liar di pinggir hutan itu.
“Kau terlalu lama, Pandan
Wangi,” Rudita-lah yang mula-mula berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Baru setelah ia dekat ia berkata, “Aku tidak segera dapat
membersihkan diri. Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Pandan Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa berganti-ganti.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita
kemudian, “harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Dari mana kau tahu?” bertanya
Pandan Wangi.
“Ia tidak menghadap ke arah
kita. Ia membelakangi kita.”
“Ya, darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya. Jika
ia menghadap kemari, getar suaranya tentu akan berbeda.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Mungkin.
Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku tidak. Mudah-mudahan
harimau itu benar-benar tidak akan datang kemari. Maksudku, jika ia tidak
menghadap kemari, mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru akan
menjadi semakin jauh dari tempat ini.”
Prastawa hampir tidak dapat
menahan tertawanya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah, kita
pergi ke belik itu bersama-sama.”
Ternyata, Swandaru yang sudah lebih
dahulu melangkah menjauh menyahut, “Marilah. Mumpung belum terlampau malam.”
“Malam masih belum mulai,”
berkata Agung Sedayu.
“Sudah. Lihat, dilangit sudah
ada bintang.”
“O ya. Malam memang sudah
mulai. Marilah kita pergi ke belik.”
“Nah,” sahut Pandan Wangi
kemudian, “bawalah Rudita serta.”
“Tidak. Aku tidak akan mandi,”
jawab Rudita.
“O, kenapa?”
“Sudah terlampau malam. Aku
biasa mandi dengan air panas di rumah.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata,
“Baiklah, jika demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring pun
akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami.”
Pandan Wangi hanya dapat
menggigit bibirnya. Katanya kemudian, “Jika kau tidak akan pergi bersama
mereka, baiklah, duduk sajalah di tikar itu.”
“Apakah kau akan pergi lagi
Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
“Tidak, aku tidak akan pergi.”
Demikianlah maka Rudita dan
Pandan Wangi itu pun kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman
hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya. Bahkan kemudian bekal
makanan yang mereka bawa. Jadah yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang
manis.
“Pandan Wangi,” bertanya
Rudita tiba-tiba, “kenapa kau bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak
bengal itu?”
Pandan Wangi memandang anak
muda itu sejenak, lalu jawabnya, “Kita harus baik terhadap siapa pun juga.
Apalagi kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun yang
sebenarnya ada di dalam hati.”
“Jadi apakah sebenarnya kau
membenci mereka, sehingga sikapmu itu hanya berpura-pura?”
“Ah, pertanyaanmu aneh.
Marilah kita berbicara tentang hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang
ditelan gelap.”
“Mengerikan sekali. Tetapi
bukankah di sini ada banyak orang?”
“Ya. Para pengiring lengkap
ada di sini.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Lalu, “Tetapi bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap
Swandaru? Bukankah Swandaru itu melamarmu?”
Meskipun bagi Pandan Wangi,
Rudita tidak lebih dari seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun
sepercik warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena keremangan malam
yang baru saja menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak
oleh Rudita.
Apalagi ketika Rudita itu
kemudian mendesak, “Bagaimana, Pandan Wangi?”
Karena gadis itu mendapatkan
kesulitan untuk menjawab maka katanya kemudian, “Terserah kepada ayah. Bukankah
aku seorang gadis? Ayahlah yang wajar menentukan siapakah jodohku kelak.”
“Benar begitu?” bertanya
Rudita dengan serta merta.
“Kenapa?” Pandan Wangi ganti
bertanya.
“Bagaimana jika ayahku
menjumpai ayahmu, dan ayahmu lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki
Demang di Sangkal Putung itu.”
“Ah, itu tidak mungkin,” jawab
Pandan Wangi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata
demikian.
“Tetapi bukankah Paman
Argapati yang akan menentukan hari depanmu.”
“Sudahlah, kita berbicara
tentang yang lain. Kita harus berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin
binatang buas itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita tidak
akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masing-masing.”
“Apakah ada seekor harimau di
sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Pandan
Wangi tegas, agar tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesah, “Aku akan berbaring. Apakah api
perapian itu akan dipadamkan sesudah nasi masak?”
“Tidak, api itu akan
diperbesar,” jawab Pandan Wangi begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata
bahwa pertanyaan Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu
menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin sekali Rudita akan
menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu untuk beberapa
lamanya. Pandan Wangi merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah
terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepada ayahnya. Jika
kemudian ayah dan ibu Rudita salah menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya
akan dapat berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada pendiriannya, karena
pembicaraan dengan Ki Demang Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada
sesuatu yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara ayahnya dan ayah
Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya dari saluran darah ibunya yang sudah
agak jauh.
“Tentu ayah Rudita cukup
bijaksana,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dalam pada itu nasi pun segera
masak. Aum harimau justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang
liar itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam.
Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi, meskipun mereka tidak boleh lengah,
karena dapat saja terjadi seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda
mereka yang terikat.
“Tetapi biasanya kuda
mempunyai naluri yang tajam jika ada bahaya yang mendekat. Mereka akan
berteriak dengan ribut,” berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.
Sejenak kemudian maka Agung
Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka
terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa mereka menjadi lapar
ketika tercium bau nasi yang hangat.
Tetapi mereka tidak segera
makan. Para pengiring itulah yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang
anak-anak muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di sekitar
mereka.
Dengan beberapa potong kayu
Prastawa membuat perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak itu
semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin lama semakin tinggi,
sedang dedaunan yang merunduk diatasnya bagaikan menggeliat kepanasan.
Cahaya merah itu membuat
pepohonan dan batang perdu menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah
mengguncang lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan bergerak-gerak.
Sejenak Rudita memandangi
bayangan yang ikut berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya
bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya diiring oleh irama
suara cengkerik dan bilalang. Bahkan kemudian suara anjing hutan yang menyalak
di kejauhan, namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.
“O,” Rudita tiba-tiba
menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Pandan Wangi hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam, sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya.
Tetapi Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan sekali, “Biarkan
saja. Aku menjadi semakin kasihan kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera
menenangkan hatinya.”
“Sebaiknya ia segera tidur,”
sahut Agung Sedayu berbisik, “dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya
dari siksaan ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil bergeser
kembali ia berkata, “Aku pun kasihan sekali kepadanya.”
Pandan Wangi tidak begitu
mendengar kata-kata mereka yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia
dapat mengerti maksud mereka itu.
Demikianlah tidak seorang pun
yang mengganggu Rudita yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak
muda itu segera dapat tertidur nyenyak.
Ketika mereka sudah berkumpul
lagi dengan para pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian
mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau bangun lagi. Ia
menggelengkan kepalanya ketika Pandan Wangi mengajaknya makan.
“Biarlah ia tidur,” desis
Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka makan
sekenyang-kenyangnya, barulah mereka menempatkan diri masing-masing di tempat
yang mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak cukup banyak
membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka harus menimbun rerumputan kering
di pinggir perapian itu.
Beberapa orang bertugas untuk
berjaga-jaga sampai menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan
berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung Sedayu, Swandaru dan
Prastawa,
Kelompok pertama yang terdiri
dari separo daripada para pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian.
Sambil memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin mereka masih
saja membicarakan tentang ular naga yang berhasil mereka bunuh.
Ternyata sejenak kemudian,
perkemahan itu menjadi sepi. Mereka yang akan berganti bertugas, segera
berusaha untuk tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam
kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya menjadi pemomong
Rudita secara khusus, sehingga justru karena itu ia tidak dapat
meninggalkannya, meskipun anak itu pernah berbicara kepadanya tentang lamaran
seorang anak muda.
Setiap kali Pandan Wangi yang
berbaring tidak jauh dari Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Setiap kali ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam keadaannya.
Namun akhirnya, karena Pandan
Wangi sendiri pun merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam menjadi semakin
malam, maka para penjaga yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan
kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian. Tetapi dua di
antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan itu dan melihat-lihat keadaan kuda
mereka.
Ternyata bahwa di bagian
pertama dari malam itu tidak terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang
lain, maka kelompok petugas pertama telah membangunkan kelompok kedua dan
menyerahkan tugas mereka kepada kelompok berikutnya.
Seperti kelompok pertama, maka
setiap kali dua orang dari para petugas itu berjalan-jalan berkeliling
perkemahan. Selain untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang berusaha
untuk melawan kantuk yang hampir tidak tertahankan, justru karena terasa udara
sangat segar di malam hari.
Namun agaknya para peronda itu
tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali tidak
terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur dengan nyenyaknya.
Dalam pada itu sebenarnyalah
bahwa para petugas, tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang
mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan pula sepasang mata ular
naga yang liar. Tetapi beberapa pasang mata manusia.
Ketika para petugas itu sedang
bercakap-cakap setelah dua orang di antara mereka baru saja berkeliling,
ternyata beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
“Tentu mereka yang sedang kita
cari,” desis salah seorang dari mereka.
“Mudah-mudahan,” sahut yang
lain, seorang anak muda. Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang
sedang merunduk mendekati perkemahan itu.
Demikianlah mereka merayap
semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin
kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak buahnya segera
memencar.
Dengan diam-diam, maka
beberapa orang itu pun memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama kepungan
itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, para petugas
yang sedang meronda malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar
perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang yang tidak mereka
kenal. Setelah mereka tidak merasa kantuk, maka mereka justru duduk saja
mengitari perapian yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah
melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
“Rasa-rasanya malam terlampau
sepi,” desis salah seorang peronda.
“Ya, malam memang terlalu
sepi. Rasa-rasanya kita tidak sedang berada di pinggir hutan liar.”
“Harimau itu tentu sudah
mendapatkan mangsanya sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak.”
“Apakah hanya ada seekor
harimau di hutan yang lebat itu?”
“Tentu tidak. Tetapi semuanya
sudah kenyang, dan semuanya tidak mengaum.”
Kawan-kawannya tertawa.
Sebenarnya mereka pun masih mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali
sehingga mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian, ternyata bahwa
para penjaga itu, selain menyandang pedang di lambung, mereka mempersiapkan
busur dan anak panah, jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja
untuk melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang mereka melihat
seekor kijang berlari-lari apabila seekor harimau lewat dekat persembunyiannya.
Tetapi malam itu, tidak ada
seekor binatang pun yang mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang
berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga langkah mereka
tidak segera didengar oleh para penjaga itu. Apalagi mereka yang sedang tidur
dengan nyenyaknya.
Sejenak para peronda itu masih
saja duduk di sekitar perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka
lagi, dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi perkemahan
itu.
Namun mereka masih belum
menyadari bahwa ada beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu,
maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi perapian dan duduk pula
di antara mereka.
Dalam pada itu, orang-orang
yang sedang mengepung itu pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting
berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin dekat, sehingga anak muda
yang memimpin mereka itu pun sempat memperhatikan kuda yang tertambat.
“Hitung, berapa ekor kuda yang
ada,” desisnya perlahan-lahan sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak
mendengarnya.
“Banyak,” sahut kawannya,
“kira-kira sepuluh ekor.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia mengerutkan keningnya
memperhatikan para peronda. Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri
dan berjalan melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun seakan-akan
membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan.
Karena itulah maka para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran
mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar itu.
Namun ternyata, bahwa
kuda-kuda yang tertambat itulah yang lebih dahulu mengetahui kehadiran
orang-orang itu. Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik
keras-keras dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang lain.
Dan ringkik kuda itu telah
mengejutkan orang-orang yang sedang bertugas mau pun yang sedang tidur nyenyak.
Karena itulah maka mereka pun segera terbangun pula.
Dengan tangkasnya para peronda
itu pun segera mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala arah
membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang tertidur pun bangkit dan
duduk sambil meraba senjata masing-masing sambil menunggu apakah yang terjadi
sebenarnya.
Namun secepat itu pula
pemimpin kelompok yang mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya
dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu bersiap dan orang-orang
yang tertidur itu bangun, maka perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam
keremangan cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat bayangan-bayangan
hitam di sela-sela dedaunan dengan senjata telanjang di tangan.
“Jangan berbuat sesuatu yang
dapat mempercepat kematian kalian,” desis anak muda yang memimpin kelompok itu.
Para peronda menjadi
termangu-mangu. Ternyata jumlah orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup
banyak.
“Lepaskan senjata kalian,”
berkata suara itu pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka
masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun demikian tangan mereka
sudah menggenggam tangkai senjata masing-masing.
“Kalian harus menyerah sebelum
kami mengambil sikap yang lebih kasar,” berkata anak muda yang memimpin
orang-orang yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda menjadi
ragu-ragu. Mereka sadar bahwa Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin
mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu perintah daripadanya.
Jika Pandan Wangi memerintahkan untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi
mereka akan bertahan mati-matian.
“Cepat, lakukan perintah kami.
Letakkan senjata kalian.”
Tetapi para peronda masih
ragu-ragu karena Pandan Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun.
Dalam pada itu Rudita yang
sudah terbangun pula segera menyadari apa yang terjadi. Ialah yang mula-mula
bangkit berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.
“Jangan berbuat sesuatu yang
dapat memaksa kami melepaskan senjata,” terdengar lagi suara anak muda yang
memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan itu.
Rudita pun kemudian melihat
bayangan kehitaman di antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa
buah senjata yang berkilat-kilat.
Tiba-tiba ketakutan yang
sangat telah menerkam jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang
hampir saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Aku tidak
apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak bersenjata dan aku menyerah.”
“Tidak,” Prastawa-lah yang
tidak dapat menahan hatinya setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah
sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah mengepung perkemahan itu.
“Kami bukan cucurut yang dapat ditakut-takuti dengan senjata.”
Suasana yang tegang itu
menjadi bertambah tegang.
“Kau tidak akan berdaya,”
jawab suara pemimpin kelompok itu dengan tenang, “kami bukan sekedar
menakut-nakuti. Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan kasar.”
“Kami adalah laki-laki seperti
kalian,” sahut Prastawa.
“Tidak,” tidak tiba-tiba
Rudita berteriak, “kau memang bodoh sekali. Kita memang harus menyerah.
Bukankah itu lebih baik.” Lalu dengan suara yang gemetar, “Aku menyerah. Jangan
kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Pengecut,” bentak Prastawa,
“menyerahlah jika kau ingin menyerah.”
Sebelum Rudita menyahut, maka
yang terdengar adalah suara Agung Sedayu, “Siapakah sebenarnya kalian, dan
apakah kepentingan kalian dengan kami?”
Tidak segera terdengar
jawaban, Sedang Agung Sedayu pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api
menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya, disusul oleh Swandaru yang
berdiri pula di sampingnya.
Pemimpin kelompok orang-orang
yang mengepung perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan perapian.
Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu justru karena mereka menjadi
silau oleh nyala api yang kemerah-merahan itu.
“Lepaskan senjata kalian,”
suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu mencoba
memperhatikan beberapa bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak
dapat melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri cukup dekat.
“Sebaiknya berterus
teranglah,” berkata Agung Sedayu, “dengan demikian kita menjadi pasti, apakah
yang akan kita lakukan.”
“Kami akan berbicara setelah
kalian melemparkan senjata kalian.”
“Cepat!” Rudita pun ikut
membentak. “Jangan terlalu sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari
tangan, tetapi kemudian kita selamat? Bukankah kita memang tidak berhasrat
untuk pergi berperang?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali
lagi ia berkata lantang, “Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun yang dapat
memberikan ciri atau sebutan bagimu.”
“Sekali lagi aku mengulangi,
lemparkan senjata kalian. Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal
aku.”
Tiba-tiba Swandaru menggeram,
“Kami tidak akan melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami. Terserah,
apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia untuk berbicara dalam
kedudukan yang sama. Itu suatu penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan
harga diri kami.”
Sejenak tidak terdengar
jawaban. Bayangan di antara semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang
senjata mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orang-orang yang
mengepung perkemahan itu tinggal menunggu perintah dari pimpinan mereka untuk
meloncat maju menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan senjata
mereka.
Dalam pada itu, Rudita yang
semakin ketakutan berteriak dengan suara serak, “Gila! Gila! Lemparkan
senjata-senjata itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena
kesombonganmu.”
Swandaru yang berusaha untuk
menyabarkan dirinya, menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak
menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika kemudian ia
menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya para pengiring Pandan Wangi pun
telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian
bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi, “Jangan mencoba menundukkan
hati kami. Kami berada di daerah kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah
dan kalian terpaksa kami bawa menghadap Ayah, Kepala Tanah Perdikan Menoreh
karena kalian telah melanggar hak atas daerah kami.”
Masih belum ada jawaban.
“He, siapakah kalian?”
Prastawa-lah yang berteriak kemudian.
“Gila, kalian semua sudah
gila,” potong Rudita, “kenapa kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita
hanya akan sekedar berburu.”
Tetapi hati Rudita yang
dicengkam oleh ketakutan yang menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun
yang menghiraukannya.
Bahkan Pandan Wangi yang
kemudian maju beberapa langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih ada
di dalam sarungnya berkata, “Kalian jangan mencoba bukan saja menghinakan kami,
tetapi kalian telah mencoba pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah Perdikan
ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang akan memaksa kalian menyerah,
bukan sebaliknya.”
Masih tidak ada jawaban,
sehingga dengan demikian Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam
kepungan itu menjadi ragu-ragu.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Agung Sedayu, “Kenapa kalian diam saja? Jika kalian ingin bertindak
kasar, lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan berbicara
dengan senjata di tangan seperti kalian.”
Tiba-tiba pemimpin dari
orang-orang yang mengepung perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan
tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil membawa sebatang tombak
pendek. Tetapi tombak itu kini berdiri tegak di bahu kanannya.
“Maafkan kami,” itulah yang
pertama-tama diucapkannya setelah beberapa saat ia berdiam diri.
Semua orang yang
menyaksikannya menjadi termangu-mangu. Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan
kawan-kawannya, tetapi orang-orang yang sedang mengepung perkemahan itu pun
menjadi heran.
“Bukan maksud kami mengejutkan
kalian,” berkata orang yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu yang membelakangi
api mengerutkan keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu semakin
dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan mulai menjangkaunya.
“Apakah kalian mengenal aku?”
bertanya orang itu.
Sejenak tidak terdengar
jawaban. Namun kemudian hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan
Swandaru, “Raden Sutawijaya.”,
Orang itu tertawa. Ia
melangkah semakin dekat lagi. Katanya, “Aku pun tidak segera mengenal kalian,
karena kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah wajah-wajah yang
hitam. Tetapi suara seorang gadis dan apalagi ketika ia menyebut dirinya dan
menghubungkan dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun yakin bahwa
tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu adalah Swandaru Geni. Meskipun yang
tampak hanyalah bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang yang
bulat dan begitu gagahnya selain putra dari Sangkal Putung.”
“Ah,” Swandaru berdesah, “aku
tidak menyangka bahwa Raden ada di sini.”
“Aku ingin minta maaf kepada
Pandan Wangi, bahwa aku sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Kini Raden Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan
dirinya.
“Tetapi apakah yang Raden kehendaki
di Tanah Perdikan ini?”
“Kami sedang mencari
sekelompok orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai
Praga dan hilang di dalam hutan ini.”
“Apakah Raden menduga bahwa
mereka orang-orang Menoreh?”
“Tidak. Bukan maksudku. Aku
sama sekali tidak menduga demikian.”
Pandan Wangi adalah putra
Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya.
Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Apakah Raden tidak dapat menempuh
cara lain daripada memasuki daerah ini tanpa setahu Ayah atau orang-orang yang
berwenang di atas Tanah Perdikan ini?”
Pertanyaan itu ternyata telah
mengejutkan Raden Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti,
bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu tersinggung karena
kehadirannya tanpa memberitahukan atau minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika
Pandan Wangi berkata, “Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha
menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami kehendaki berkeliaran di
daerah kami.”
Raden Sutawijaya tidak segera
menjawab. Dipandanginya Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api
yang kemerah-merahan.
Namun Raden Sutawijaya tidak
dapat ingkar. Katanya kemudian, “Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal
ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang mencari sekelompok
orang-orang bersenjata. Mereka baru saja membuat sesuatu yang merugikan
Mataram. Ketika mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar mereka.
Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak berhasil menangkapnya. Meskipun
demikian kami tidak berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah
kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami menyangka bahwa
kalian adalah orang yang sedang kami cari.”
“Seharusnya Tuan berhenti di
seberang Kali Praga,” sahut Pandan Wangi, “jika Tuan tidak menduga bahwa mereka
orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya sampai ke seberang.
Raden harus mempercayakannya kepada kami, kepada orang-orang Menoreh.”
“Kami tidak mempunyai waktu
lagi,” jawab Sutawijaya.
“Tentu waktu masih cukup
panjang. Raden harus menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden dengan
sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada di daerah Tanah Perdikan
Menoreh tanpa ijin kami. Bukan karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga
kami menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa Raden mengetahui hal
itu.”
“Ya, ya,” jawab Sutawijaya,
“sudah aku akui. Dan aku sudah minta maaf.”
“Tidak kepadaku, karena bukan
akulah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Sepercik ketegangan tampak di
wajah Raden Sutawijaya. Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja
Pandan Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Kedua anak muda murid Kiai
Gringsing itu menjadi bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan
itu. Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi merasa tersinggung
karena orang lain telah memasuki wilayahnya tanpa ijin.
Sutawijaya termangu-mangu
sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah aku minta maaf
kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah aku dapat minta kepadamu
untuk mewakilinya?”
Pandan Wangi-lah yang kemudian
termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta
pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak sedang memandang ke arah
Pandan Wangi.
Raden Sutawijaya menunggu
dengan hati yang berdebar-debar. Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan.
Yang sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah hubungan antara
Tanah Mataram yang sedang tumbuh dengan Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa kepentingan
Mataram-lah yang paling utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan
antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di sekitarnya. Bahwa ia sudah
menyeberang Kali Praga di malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya
menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali selalu mengganggu
pertumbuhan Mataram.
Sejenak mereka dikuasai oleh
ketegangan. Semua orang memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui
jawabannya
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya.
Terserahlah tanggapan Ayah terhadap hal ini.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dan ia pun bertanya, “Apakah maksudmu, Pandan Wangi.”
“Jika ayah menghendaki Raden
datang sendiri kepadanya, terserahlah kepada Ayah. Mungkin Raden segera akan
kembali ke Mataram. Namun jika Ayah menghendaki, kami dapat mengirimkan utusan
untuk menyampaikan keputusan Ayah kepada Raden.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya, “Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian
benar-benar merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan ini
kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau sampaikan dengan lengkap.
Salam permintaan maaf, juga alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali
menyeberangi sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin melanggar
hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata karena terdorong oleh keinginan
untuk menangkap mereka. Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali
lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan Menoreh.”
“Baiklah, Raden. Aku akan
menyampaikannya kepada ayah dengan lengkap.”
“Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh
dapat mengerti, dan tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan
memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang berada di Mataram.
Sebagai Putra Sultan Pajang aku kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas
untuk melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah ini. Dari
pesisir utara sampai pEsisir selatan. Dari ujung timur sampai ke ujung barat.
Dan untuk itu kadang-kadang aku memerlukan waktu yang panjang.”
Pandan Wangi tercenung
sejenak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka
sadar, bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan kekuasaannya, kekuasaan
yang memang ada padanya sebagai putra angkat Sultan Pajang yang sebelum
meninggalkan istana, bagaikan putranya sendiri.
Dan kekuasaan Pajang itu
sampai saat terakhir masih diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah
Perdikan Menoreh.
Karena itulah maka Pandan
Wangi tidak segera menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas
kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya, seperti ayahnya juga
masih tetap menghormatinya.
Agung Sedayu yang menyadari
bahwa Pandan Wangi berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya.
Katanya mengalihkan pembicaraan, “Jika demikian, silahkanlah, Raden. Marilah
kita berbicara seenaknya sambil duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin
pembantu kami dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan memanggangnya
di atas bara. Kita akan dapat berbicara tentang orang-orang bersenjata yang
tidak dikenal itu. Dan tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik.”
“Terima kasih,” jawab
Sutawijaya
Pandan Wangi pun kemudian
sambil mencoba menenangkan hatinya berkata, “Baiklah, silahkan Raden duduk.”
Raden Sutawijaya pun kemudian
memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan dari
balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak begitu banyak. Tidak lebih
dari lima belas orang.
Namun ternyata bahwa anak buah
Raden Sutawijaya itu cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di
perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masing-masing berkelompok antara
empat atau lima orang.
Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru menaruh kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu tidak akan
berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji. Karena itulah maka mereka sama
sekali tidak mencurigainya. Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian
terhadap anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang terpisah.
Tetapi ternyata bahwa Prastawa
yang kurang mengenal Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia
duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian mengelilingi perapian. Ternyata
Prastawa lebih senang duduk bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk
menyiapkan minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di malam hari.
Dalam pada itu Rudita menjadi
kebingungan. Ia kurang mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi
heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu segera menjadi lunak.
“Agaknya mereka sudah
berkenalan sebelumnya,” katanya di dalam hati.
Dan ternyata bahwa pembicaraan
mereka yang duduk di perapian itu pun menjadi lancar.
Dalam pada itu, Rudita yang
masih termangu-mangu itu dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang
Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan mereka. Setiap kali ia mendengar
nama anak muda yang bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden
Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya. Hanya didengarnya.
“Ia menyebut dirinya sebagai
putra Sultan Pajang. Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai putra
angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?” ia bertanya kepada diri
sendiri.
Akhirnya Rudita itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari pembicaraan yang didengarnya tentang
orang-orang bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin bahwa
orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu maka tiba-tiba saja
ia bergeser maju. Ketika ia sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun
berkata, “Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang yang selama
ini baru aku dengar namanya lewat cerita-cerita. Kedatangan Raden sangat
mengejutkan kami dan agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan. Tetapi
sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat apa pun terhadap Raden,
Putra Sultan Pajang.”
Sutawijaya berpaling.
Dilihatnya Rudita dengan herannya. Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu
tertawa-tawa sambil meremas-remas tangannya sendiri.
“Raden,” berkata Rudita
kemudian, “aku minta maaf akan kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi.
Meskipun agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali bahkan sudah
mengetahui kedudukan Raden, namun mereka tentu belum tahu, betapa tinggi
sebenarnya kedudukan Raden itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk
bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai kedudukan yang sama dengan
Raden.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu.
Ketika Rudita masih akan
berbicara lagi, Pandan Wangi telah menggamitnya, sehingga niat itu
diurungkannya. Namun wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita
justru bertanya kepada Pandan Wangi, “Kenapa?”
“Sst,” Pandan Wangi berdesis.
“Bukankah kau menggamit aku?
Kenapa?”
Sutawijaya terpaksa menahan
senyumnya. Dalam sekilas ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu
pulalah yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu. Dan anak
muda ini pula yang justru ingin agar kawan-kawannya melepaskan senjatanya.
Namun dengan demikian, maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden
Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda itu. Mungkin
pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam keluarganya yang tidak banyak
memperkenalkan anak muda itu dengan sifat dunia yang keras.
Dalam pada itu Pandan Wangi
masih dikejar oleh kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya,
“Kenapa kau menggamit aku he? Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan.”
“Tetapi kau menggamit aku.”
“Tidak sengaja. Aku hanya
menyentuhmu karena aku bergeser sedikit.”
“O,” Rudita mengangguk-angguk,
“kau membuat aku kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan Raden
Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada di ujung lidah.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam.
Dan tiba-tiba saja Rudita
berkata pula, “Ha, sekarang aku ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita
kepada Raden Sutawijaya.” Lalu sambil menghadap kepada Raden Sutawijaya ia
berkata, “Raden, tentu kami tidak akan dapat menghalang-halangi apa yang akan
Raden katakan. Sama sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri
karena jabatan ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden, maka jabatan ayahnya
sama sekali tidak berarti. Apalagi anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka tidak
lebih dari anak seorang Demang kecil.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kata-nya, “Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak ada lagi
persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan seperti anak-anak muda berkawan
satu sama lain.”
“O. Tentu karena Raden berjiwa
besar. Tetapi kamilah yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami.
Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami tidak menyadari
keadaan kami masing-masing.”
“Terima kasih,” lalu kepada
Rudita ia bertanya, “siapa namamu?”
“Rudita.”
“Terima kasih, Rudita. Kau
adalah anak muda yang tahu diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami
lakukan. Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang bebas.”
“O, betapa besar jiwa Raden.
Dan karena itulah kami merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal Putung
itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah sambil menundukkan
kepalanya.”
Raden Sutawijaya akhirnya
menjadi jemu juga melayani. Karena itu katanya, “Terima kasih. Sebaiknya kau
tidur, Anak Manis. Hari sudah terlampau malam.”
Swandaru-lah yang kemudian
hampir tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil
memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan perasaannya.
Rudita pun kemudian terdiam.
Tetapi ia tidak mengerti sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya
dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai maksud lain. Karena itu
maka Rudita itu pun menjadi termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam
karenanya.
Dalam pada itu, Prastawa yang
duduk di antara para pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara
Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat membungkam mulut
Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia terpaksa tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, ia masih
saja tetap mengawasi kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk
terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun menjadi semakin tipis.
Sementara itu, Sutawijaya
sudah terlibat lagi dalam pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu,
Swandaru, dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orang-orang
bersenjata yang tidak mereka kenal.
“Raden,” berkata Agung Sedayu,
“jika demikian, maka sebenarnya Mataram telah terkepung.”
“Ya. Mataram memang sudah
dikepung oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu
dapat kita ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang lebih
kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci dari Ki Lurah Branjangan
tentang kekacauan yang timbul di Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus
mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki
Sumangkar.”
“Ah. Itu sudah menjadi
kewajiban kami.”
“Juga kepada Ki Ranadana dan
para prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya.”
“Kita semuanya
berkepentingan.”
“Juga semua bantuan yang telah
kalian berikan kepada kami selama ini.”
“Ah, kami tidak berbuat
apa-apa,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru berkata,
“Raden, bukan maksud kami untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram.
Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke Mataram dari arah
timur seakan-akan benar-benar telah tertutup.”
“Ya, kami sudah mengetahui
bahwa gangguan meningkat di bagian timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak
Baya.”
“Ya. Kami menemukan seseorang
yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Kami terpaksa bertempur
melawan orang itu bersama anak buahnya.”
“Ya, ya. Aku juga sudah
mendengar laporan tentang mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah
berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama
itu.”
“Bukan maksud kami untuk
menyatakan diri kami.”
“Aku mengerti. Kau tentu
sekedar memberikan peringatan bahwa hal itu telah terjadi.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tentu pengawal-pengawal dari Mataram itulah yang menyampaikan
laporan mengenai panembahan tidak bernama itu.
“Semuanya itu membuat aku
yakin, bahwa ada kekuatan yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami
tidak dapat menunggu saja,” berkata Sutawijaya kemudian. “Dan itu pulalah
sebabnya yang mendorong aku memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan
untuk itu aku sudah minta maaf.”
“Raden tidak perlu minta
maaf,” tiba-tiba saja Rudita, telah menyela, “Menoreh adalah bagian dari
Pajang. Dan Raden adalah Putra Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden lakukan,
tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Raden Sutawijaya berpaling.
Dipandanginya Rudita sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk, “Ya, ya.
Aku, memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana.”
“Kebijaksanaan Raden yang
melimpah-limpah itulah yang membuat Raden benar-benar seorang besar yang
berjiwa besar.”
“Terima kasih,” sahut Raden
Sutawijaya. Lalu katanya kepada Swandaru, “Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram,
sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakan-akan tidak
henti-hentinya itu.”
Swandaru mengangguk-angguk
pula. Katanya, “Mudah-mudahan Raden segera menemukan jalan yang paling baik
untuk menyelesaikannya.”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Dipandanginya api yang menyala semakin besar karena beberapa potong
kayu yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat ke udara dan
hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
“Raden dapat menemui Ki Gede
Menoreh,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang
berkerut-merut.
“Maksudmu?” bertanya Raden
Sutawijaya.
Namun sebelum Agung Sedayu
menjawab, Rudita sudah mendahului, “Kau jangan mencampuri persoalan Tanah
Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari kekeliruannya. Raden Sutawijaya
adalah Putra Sultan Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh? Jika Raden
Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede menghadap. Baik di
Mataram maupun di Pajang. Bukan sebaliknya.”
Agung Sedayu hanya memandangnya
sekilas. Namun ia berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang
berbicara, “Raden. Jika Raden berhasil mengadakan semacam persetujuan dan
semayan untuk bersama-sama menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak
orang-orang itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat disusun
semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, maupun
dengan Kademangan Mangir.”
Raden Sutawijaya merenung
sejenak. Pendapat itu memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan terdapat
kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia benar-benar menemui Ki
Argapati. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah
Mangir dan bagian timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah yang
kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan yang kadang-kadang mempunyai
sikap yang kurang dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali
dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh yang cukup terhadap
ayahnya dan kademangannya, maka Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di
bawah bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom, daerah yang
menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah selatan ini, Untara.
“Tetapi untuk membinasakan
orang-orang yang sengaja mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa
bekerja bersama,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun demikian ia
tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa orang perwira Pajang yang langsung
atau tidak langsung, berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi
pertumbuhan Mataram.
“Tidak mustahil bahwa otak
dari gerakan yang gila itu sebenarnya justru ada di Pajang,” desis Sutawijaya
di dalam hatinya pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
masih menunggu jawaban anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang
kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu jawabnya kemudian,
“Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah orang-orang yang berkuasa di sekitar
Mataram dapat mengerti maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi
Menoreh. Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak justru menjadi
marah-marah kepadaku seakan-akan aku sudah memerintahnya.”
“Tetapi hal itu dapat dicoba.”
“Ya. Memang dapat dicoba. Dan
aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.” Raden Sutawijaya
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebelum dengan resmi aku menemui Ki Gede
Menoreh, aku minta agar Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih
lagi untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita mulai saja
dengan kerja sama itu sekarang?”
“Maksud Raden?”
“Aku sedang mengejar
orang-orang yang tidak aku ketahui dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi
sungai dan hilang di dalam hutan ini.”
“Kapan?” bertanya Swandaru.
“Belum lama.”
“Sesudah malam?
“Ya, sesudah malam.”
Tetapi Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sulit sekali untuk menemukan mereka.
Bukannya kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengah-tengah
hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang sangat sulit.”