Buku 093
Ki Waskita tidak dapat berbuat
lain kecuali menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah di hadapan
orang berkuda yang telah lebih dahulu berhenti itu.
“Apakah ada sesuatu yang
terjadi, Ki Sanak?” bertanya Ki Waskita kepada orang yang belum dikenalnya itu.
Orang itu memandang Ki Waskita
dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Tentu, Ki Sanak. Mungkin kita memang belum
pernah bertemu. Tetapi perjuangan kami memerlukan bantuan siapa pun juga. Juga
orang-orang yang belum aku kenal.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Namun, dadanya serasa menjadi semakin bedebaran ketika ia mendengar
langkah kaki kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tiga orang
berkuda yang baru saja berpapasan itu ternyata berpacu kembali menuju ke
arahnya.
Ki Waskita mencoba menahan
gejolak jantungnya. Dengan lirih ia bertanya, “Apakah mereka kawan-kawanmu, Ki
Sanak.”
“Ya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Lalu katanya, “Jika demikian aku mengerti. Kalian ingin menjebak aku.”
“Tepat. Tetapi bukan maksud
kami untuk berbuat jahat.”
“Katakanlah, apa maksudmu
sebenarnya.”
Orang itu tidak segera
menjawab. Tetapi ia menunggu sejenak sehingga kuda yang datang dari arah yang
lain itu menjadi semakin dekat dan berhenti pula beberapa langkah di belakang
Ki Waskita.
“Ki Sanak,” berkata orang yang
berkuda seorang diri, “sudah aku katakan. Aku memerlukan bantuan siapa pun juga
dalam perjuangan kami menegakkan kejayaan tanah kita yang tercinta ini.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Sekilas teringat olehnya beberapa orang yang telah menghentikannya di
jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Orang-orang itu juga mengatakan,
bahwa mereka memerlukan bantuan untuk perjuangan mereka.
“Apakah kau mengerti?” desak
orang berkuda itu.
“Aku tidak mengerti, Ki
Sanak,” berkata Ki Waskita, “apakah yang kau maksud dengan perjuangan untuk
menegakkan kejayaan tanah kita ini?”
“Pajang tidak dapat lagi
melakukan tugasnya sebagai sebuah kerajaan yang memiliki kekuasaan yang bulat
di atas tanah ini.”
“Kenapa?”
“Karebet anak Tingkir itu sama
sekali tidak memikirkan kepentingan pemerintahannya. Ia sama sekali tidak
menghiraukan lagi apa yang terjadi di daerah kekuasaan Pajang. Tetapi ia lebih
suka mengumpulkan perempuan-perempuan cantik untuk kesenangannya sendiri
meskipun umurnya bertambah tua.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Lalu, “Bagaimana dengan putranya, Pangeran Benawa?”
“Uh. Ia lebih lemah dari
seorang perempuan. Meskipun ia sakti dan memiliki ilmu yang hampir setingkat
dengan ayahnya, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lebih senang
mengurung dirinya di dalam bilik dan barangkali bercermin di wajah air
jambangan yang bening dan dengan asyiknya menghias wajahnya yang lebih mirip
dengan wajah seorang perempuan yang cantik. Tetapi lebih condong dapat
dikatakan, ia sangat malu dengan kelakuan ayahnya yang rakus terhadap
perempuan.”
Ki Waskita termangu-mangu.
Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi aku mendengar bahwa putranya yang lain,
maksudku putra angkatnya, adalah seorang prajurit yang linuwih. Ia telah
diwisuda menjadi Senopati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Bahkan ia
telah menerima sepasang pusaka yang menjadi pertanda jabatannya.”
“Persetan,” geram orang itu,
“bukankah yang kau maksudkan adalah Sutawijaya?”
“Mungkin. Maksudku adalah
Senapati Ing Ngalaga di Mataram itu.”
“Ia adalah orang yang paling
berbahaya bagi pulihnya kekuasaan yang sejati di atas Tanah ini. Karena itu
Mataram harus dimusnahkan. Sesudah atau sebelum Pajang.”
“Jika demikian, apakah kalian
akan memberontak terhadap kekuasaan Kanjeng Sultan, dan kekuasaan limpahannya
kepada Senapati Ing Ngalaga di Mataram?”
“Tepat. Dan kami memerlukan
bantuan bagi perjuangan kami. Karena perjuangan kami memerlukan apa saja.”
Dada Ki Waskita menjadi
berdebar-debar. Bukan saja karena dengan demikian akan berarti kekerasan.
Tetapi juga karena ia menduga, bahwa perbuatan semacam itu tidak hanya
dilakukan atasnya saja dan tidak akan terjadi lagi. Tetapi perbuatan semacam
yang terjadi itu akan terjadi lagi atas siapa pun juga.
“Tanah Perdikan Menoreh
ternyata telah mulai dijamah oleh kegelisahan lagi,” berkata Ki Waskita di
dalam hatinya.
“Kenapa kau termenung saja, Ki
Sanak?”
Ki Waskita terkejut mendengar
pertanyaan itu.
“Aku sedang memikirkan,” jawab
Ki Waskita.
“O, aku akan menunggu sejenak.
Mungkin kau baru menghitung, berapa banyak kau akan membantu kami.”
Ki Waskita tidak segera
menjawab. Kembali ia membayangkan perbuatan semacam itu yang mungkin terjadi di
mana-mana. Bukan saja di daerah yang dekat dengan Mataram atau daerah yang akan
menjadi ajang persiapan untuk mempertemukan kedua pusaka yang hilang dari
Mataram, tetapi jaring-jaring yang mereka pasang tentu sudah menebar sampai ke
tempat yang jauh. Bahkan mungkin ke daerah Pesisir Lor dan Bang Wetan sudah
terjadi pula kerusuhan-kerusuhan semacam ini.
“Tetapi yang lebih gawat lagi,
bahwa kali ini telah mulai terjadi di pinggir tlatah Menoreh, justru selagi
Menoreh akan sibuk dengan perelatan perkawinan Pandan Wangi,” katanya di dalam
hati pula.
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita
kemudian, “aku masih belum begitu jelas, apakah yang sebenarnya kalian
perjuangkan sehingga kalian telah berani mengangkat senjata dan memberontak
terhadap Pajang? Jika sekiranya perjuangan kalian berlandaskan kebenaran,
apakah kalian merasa cukup kuat untuk melawan Sultan Hadiwijaya yang tidak ada
duanya di muka bumi ini?”
Orang itu tertawa. Katanya,
“Kau ternyata terlalu banyak bicara dan terlalu banyak yang ingin kau ketahui.
Tetapi baiklah. Kau pantas untuk mengetahui bahwa kekuatan kami adalah kekuatan
yang tidak akan terlawan oleh Pajang. Kami beralaskan kekuatan beberapa
kadipaten yang segan menundukkan kepalanya di bawah kaki Sultan Hadiwijaya yang
hanya mengagungkan kamuktennya sendiri. Dan kami pun tidak akan mau menyembah
Sutawijaya yang tidak lebih dari anak Ki Gede Pemanahan, sedang kami sendiri
mempunyai sesembahan yang langsung keturunan Majapahit.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa kalian akan
menggetarkan sendi-sendi kehidupan yang tenang di atas Pajang dan Mataram
sekarang ini dengan pemberontakan itu?”
Orang itu tertawa pula.
Katanya, “Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menuduh kami melakukan
pemberontakan. Tetapi pada suatu saat nanti, akan ternyata bahwa kamilah yang
sebenarnya memang berhak atas kekuasaan di Tanah ini. Jika dalam masa-masa
peralihan itu terjadi kegoncangan tata kehidupan, adalah wajar sekali.
Goncangan yang demikian memang diperlukan sebagai suatu masa penyaringan.
Siapakah yang tegak di belakang kami akan tetap berdiri, tetapi siapa yang
menentang kami akan terbabat seperti batang ilalang.”
Namun, Ki Waskita kemudian
menggelengkan kepalanya, “Aku tidak sependapat dengan kalian, Ki Sanak.
Meskipun aku juga kecewa bahwa Sultan Hadiwijaya tidak lagi meneruskan naluri
keperwiraan dan sifat-sifat kasatria yang sejati, namun itu bukan berarti bahwa
Pajang tidak berhak lagi untuk tetap berdiri tegak. Memang mungkin perlu ada
beberapa perbaikan. Tetapi itu akan dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik
dari cara-cara yang akan kalian tempuh.”
Orang berkuda itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Aku sudah menduga, bahwa kau akan sampai pada kesimpulan
itu. Tetapi baiklah aku memperingatkan, bahwa aku tidak mempunyai pilihan lain
pada saat-saat semacam ini. Menilik pakaianmu, maka kau tentu dapat memberikan
banyak kepada kami. Pendok kerismu agaknya terbuat dari emas. Timang yang kau
pakai bertatahkan permata dan cincin di jarimu itu tentu terbuat dari batu
permata yang berharga pula.”
Ki Waskita ragu-ragu sejenak.
Setiap kali membayang kericuhan yang mulai menjalari Tanah yang sedang sibuk
dengan persiapan hari perelatan perkawinan.
“Ki Sanak,” Ki Waskita pun
bertanya, “aku adalah orang yang hampir setiap hari melalui jalur jalan ini.
Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan kalian di pinggir tlatah Tanah Perdikan
Menoreh. Apakah kalian sudah lama melakukan hal semacam ini di sini?”
“Untuk pertama kalinya kami
mencari sumber dana perjuangan kami di tanah ini. Agaknya sebelumnya Tanah
Perdikan Menoreh adalah tanah yang tenang dan tenteram. Tetapi sekarang
menyesal sekali, bahwa aku telah menggoyahkan ketenteraman itu. Ketahuilah,
bahwa aku tidak akan tetap berada di satu tempat. Tetapi aku dan beberapa
kelompok kawan-kawanku yang lain, akan menyusuri semua daerah Pajang yang
terbentang dari sisi brat sampai ke sisi timur.” Orang itu berhenti sejenak,
lalu, “Agaknya sudah cukup sesorahku. Sekarang, aku minta maaf, bahwa kami akan
meninggalkan kau setelah kau menyerahkan dana yang kami perlukan.”
“Apakah kau akan melakukan
dengan kekerasan jika aku tidak memberikannya?” bertanya Ki Waskita.
Orang itu menjadi heran.
Katanya, “Apakah mungkin kau tidak dapat memperhitungkan keadaan? Kami berempat
dan kau hanyalah seorang diri meskipun nampaknya kau adalah orang tua yang
berani.”
Ki Waskita memandang orang
yang berada di hadapannya. Kemudian tiga orang berkuda yang semula berpapasan,
tetapi kemudian telah menyusulnya kembali.
Agaknya mereka adalah
orang-orang yang mendapat kepercayaan dari pimpinannya untuk melakukan
tugasnya. Tiga di antara empat orang itu ternyata memelihara kumis, sedang yang
seorang lagi berwajah bersih dan bermata tajam. Umurnya adalah yang paling muda
dari keempat orang itu.
“Cepat,” berkata orang yang
menghentikannya, “jika kami kehilangan kesabaran, maka kami akan mengambil sendiri
dari padamu, Ki Sanak.”
Ki Waskita termangu-mangu.
Menilik keadaan lahiriahnya, maka ia tidak dapat digetarkan oleh keempat orang
itu. Jika ia mempergunakan segenap ilmunya, maka ia akan dapat membunuh
keempatnya.
Tetapi dalam pada itu, sekilas
terbayang wajah anaknya, Rudita. Setiap percakapan dengan anak itu,
rasa-rasanya ia dihadapkan pada sebuah cermin yang menunjukkan
kelemahan-kelemahannya sebagai seorang manusia yang berbakti kepada Yang
Menciptakannya.
“Kekerasan memang bukan
satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan,” katanya di dalam hati,
“tetapi bagaimana jika kekerasan itu justru terarah kepadaku?”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Jika pertanyaan itu tumbuh di hati anaknya, maka ia akan menjawab,
“Biarlah orang lain melakukannya.”
Tetapi seperti yang diakuinya
sendiri, bahwa tidak ada orang yang sempurna. Rudita pun memiliki kelemahan
meskipun kadarnya lebih rendah dari ayahnya. Rudita berusaha untuk memahami
ilmu yang dapat melindungi dirinya dari tindak kekerasan. Sedangkan Ki Waskita
berbuat demikian pula. Tetapi Ki Waskira melindungi dirinya dari kekerasan
dengan kekerasan pula. Itulah yang tidak diakukan oleh Rudita.
“He, kenapa kau membeku,”
bentak orang yang berkuda di hadapannya.
Ki Waskita sekali lagi menarik
nafas. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Aku akan
menyerahkan apa yang aku punyai.”
Orang itu tertawa.
“Ternyata kau cukup bijaksana.
Nah, turunlah dari kudamu dan serahkanlah kepada kawan-kawanku. Aku akan tetap
berada di atas kudaku.”
“Kenapa aku harus turun?”
“Kau dengar perintahku.
Turunlah dan serahkan semuanya yang kau punyai kepada orang-orangku.”
“Semuanya?”
“Ya.”
“Kau sudah berubah. Bukankah
kau minta menurut keikhlasan dariku. Sekarang kau menuntut semuanya.”
“Yang berlaku adalah
perintahku yang terakhir. Dan itu menyebutkan, bahwa semuanya akan kami ambil
daripadamu.”
Ki Waskita tidak dapat
membantah lagi. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun meloncat turun
dari kudanya, diikuti oleh ketiga orang berkuda yang semula berpapasan di
tengah bulak panjang itu.
“Ambillah kerismu, ikat
pinggangmu lengkap dengan timangnya, dan kampil di pelana kudamu.”
Ki Waskita tidak menjawab.
Namun sejenak ia menebalkan tatapan matanya ke sekitarnya. Ternyata bulak itu
sepi. Tidak banyak orang yang berada di sawahnya. Jika ada satu dua orang,
mereka berada jauh dari jalan yang lengang itu.
Dengan ragu-ragu Ki Waskita
memberikan apa yang diminta oleh orang-orang yang mencegatnya itu. Ikat
pinggang, keris dan wrangkanya, kampil berisi uang, dan bahkan cincinya sekali.
Orang yang masih tetap berada
di punggung kudanya itu tertawa. Katanya, “Terima kasih. Kau adalah orang yang
paling banyak memberikan sumbangan sampai hari ini. Di hari-hari yang lalu, aku
hanya menerima sumbangan yang kurang berarti. Sekarang kau memberikan cukup
banyak. Kami tidak akan melupakan kebaikan hatimu. Jika kelak kerajaan
Majapahit telah berdiri seperti seharusnya, kau akan menerima bagianmu sesuai
dengan sumbangan yang kau berikan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “He, siapakah
namamu dan dimana rumahmu?”
“Apakah itu perlu?”
“Tentu. Aku akan mencarimu
kelak. Aku sendirilah yang akan menyerahkan bagianmu kelak. Bahkan mungkin kau
akan diangkat menjadi demang, atau kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini menggantikan
Argapati yang tentu harus disingkirkan.”
“Namaku Ki Jalawaja.”
“He,” wajah orang itu menjadi
merah padam, dengan nada yang bergetar ia berkata, “Kau bergurau.”
“Aku tidak bergurau.”
“Ki Jalawaja telah meninggal
di lereng sebelah timur Gunung Merapi.”
Dada Ki Waskita-lah yang
kemudian berdesir. Ternyata berita kematian Ki Jalawaja telah tersebar di
antara mereka. Bahkan mungkin telah diketahui oleh setiap orang di dalam
lingkungan mereka.
“Apakah orang-orang yang
berada di Padepokan Tambak Wedi itu sudah bertemu dan menyatukan diri dengan
orang-orang yang membawa songsong menyeberangi Kali Praga?” bertanya Ki Waskita
di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak sempat
memikirkannya karena sekali lagi ia mendengar orang berkuda itu membentak,
“Jawab. Dari mana kau mengenal nama Ki Jalawaja?”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya wajah orang-orang berkuda yang garang itu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, “Kenapa kau bertanya dari mana aku mengenal nama itu?
Namaku memang Jalawaja. Apakah aneh? Atau barangkali ada orang lain yang
bernama sama tetapi sudah lama meninggal?”
Orang berkuda itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian menarik nafas panjang, “Apakah mungkin nama itu
serupa?”
“Memang mungkin sekali,” sahut
Ki Waskita, “aku sudah mengenal seorang yang namanya mirip namaku.”
“Sebutkan orang itu.”
“Tetapi masih selisih sedikit,
karena namanya bukannya Jalawaja, tetapi Sisikwaja.”
Orang berkuda itu memandang Ki
Waskita dengan tajamnya. Lalu katanya, “Baiklah. Untuk sementara aku percaya
bahwa namamu Jalawaja. Nama yang sama dengan seorang pimpinanku yang memang
sudah meninggal.”
“Kenapa ia meninggal?”
bertanya Ki Waskita.
“Jangan banyak cakap. Setiap
orang akan meninggal. Juga Kiai Jalawaja itu meninggal. Kau pun akan meninggal
pula pada suatu saat apa pun sebabnya.”
Ki Waskita mengangguk.
Gumamnya, “Ya. Setiap orang akan kembali ke asalnya. Itulah sebabnya, maka
selama hidup yang pendek ini kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
kematian itu. Sebab jika kematian itu tiba, dan kita belum siap, maka semuanya
akan terlambat. Padahal waktu mempersiapkan diri itu rasa-rasanya begitu
pendeknya.”
“Diam,” tiba-tiba orang
berkuda itu membentak, “kau mau berkhotbah tentang kematian?”
“Tidak. Tidak, Ki Sanak,”
desis Ki Waskita, “aku hanya menirukan saja nasehat orang tuaku dahulu.”
“Tetapi kau tidak perlu
mengucapkannya di sini. Aku muak mendengarnya.”
“Baik, baik, Ki Sanak. Nasehat
semacam itu memang kadang-kadang seperti cermin yang dapat menunjukkan cacat di
wajah kita.”
“Diam,” orang itu berteriak,
“jika kau mengulanginya sekali lagi aku bunuh kau, meskipun kau sudah
memberikan dana yang cukup kepada kami.”
Ki Waskita mengangguk
dalam-dalam. Katanya tergagap, “Baik. Baik, Ki Sanak. Aku tidak akan
mengatakannya lagi.”
“Sekarang pergilah. Kelak aku
akan mencari seseorang yang bernama Ki Jalawaja. Mungkin kau beruntung
mendapatkan imbalan dari dana yang kau berikan sekarang. Tetapi mungkin kau
akan aku gantung kelak karena khotbahmu itu.”
Ki Waskita tidak menjawab
lagi. Dengan ragu-ragu ia pun meloncat ke punggung kudanya. Dengan suara
tertahan-tahan ia berkata, “Apakah aku boleh lewat?”
“Pergilah,” orang berkuda itu
tiba-tiba saja tertawa, “ketika mula-mula kau bersikap seperti seorang ksatria,
aku mengira kau adalah seorang tua yang berani. Tetapi ternyata kau tidak lebih
dari seorang yang sangat sombong dan pengecut. Pergilah. Mungkin kita tidak
akan bertemu lagi.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun menggerakkan kendali kudanya. Perlahan-lahan
kudanya mulai bergerak dan meninggalkan tempat itu.
Demikian Ki Waskita melampaui
orang berkuda di hadapannya, maka ia pun segera melecut kudanya dan berpacu
secepat-cepatnya menyelusuri jalan di tengah bulak panjang itu.
Tiba-tiba saja orang-orang itu
tertawa meledak. Mereka memandang debu yang berhamburan di belakang kuda Ki
Waskita yang berlari kencang.
“Kita belum pernah mendapat
hasil sebanyak ini dalam satu kali tepuk,” berkata orang berkuda yang agaknya
pemimpin dari keempat orang itu.
“Ya, Ki Lurah,” sahut salah
seorang yang masih belum berada di punggung kudanya, “menyenangkan sekali jika
dalam usaha berikutnya kita akan bertemu dengan orang-orang kaya seperti Kiai
Jalawaja ini.”
“Daerah ini memang memiliki
banyak orang-orang yang cukup kaya, sehingga kita akan segera dapat
mengumpulkan banyak sekali dana untuk perjuangan kita yang panjang.” Orang
berkuda itu berhenti sejenak, lalu, “Marilah, kita kembali.”
Ketiga orang yang lain pun
segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing sambil membawa barang-barang
rampasannya. Dengan wajah yang cerah, mereka pun segera melarikan kuda mereka
ke arah yang berlawanan dengan Ki Waskita.
Sementara itu Ki Waskita sudah
menjadi semakin jauh. Di luar sadarnya ia berpaling. Tetapi ia sudah tidak
melihat lagi orang-orang yang telah menghentikannya.
“Aku memang tidak seikhlas
Rudita,” ia berdesis, “dan ini adalah kekuranganku. Tetapi aku kira, aku belum
siap untuk dapat berlaku seperti Rudita.”
Bersamaan dengan itu, maka
orang-orang yang telah merampas barang-barang Ki Waskita itu pun telah memasuki
hutan perdu di ujung daerah persawahan. Mereka mulai memperlambat derap
kudanya, karena jalan menjadi agak sulit.
Dalam pada itu, Ki Waskita
masih dicengkam oleh keragu-raguan atas sikapnya sendiri. Katanya di dalam hati,
“Apakah sudah benar jika aku melepaskan keempat orang itu? Apakah itu bukan
berarti benih persoalan di kesempatan lain?”
Sementara itu keempat orang
yang memasuki hutan perdu itu mulai merasa terganggu. Rasa-rasanya
barang-barang yang diperolehnya dari orang yang mengaku bernama Kiai Jalawaja
itu tidak sewajarnya. Bahkan rasa-rasanya perlahan-lahan barang-barang itu
menjadi kabur dan berubah menjadi asap. Hilang.
“Ki Lurah,” salah seorang dari
mereka yang membawa kampil uang itu berteriak.
Hampir bersamaan meskipun
tidak ada perintah, keempat orang itu menarik kekang kuda mereka, sehingga
keempat ekor kuda itu berhenti dengan serta-merta. Bahkan ada di antaranya yang
melonjak dan tegak di kedua kaki belakangnya.
“Apakah kita bermimpi?”
pemimpin kelompok itu pun berteriak pula.
“Kampil uang itu lenyap begitu
saja.”
“Ya. Keris itu pun hilang
dengan sendirinya.”
“Kita sudah ditenungnya,”
geram pemimpin kelompok itu dengan kemarahan yang bagaikan menyekat dada.
Wajah keempat orang itu
menjadi tegang. Sejenak mereka bagaikan terpukau oleh peristiwa yang telah
menggoncangkan hati itu.
“Orang itu tentu belum
terlampau jauh,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
“Ya. Kita sudah ditipunya.
Hanya kematiannyalah yang dapat menebus hinaan ini. Orang itu menyangka bahwa
kami adalah orang-orang yang sangat dungu sehingga dengan mudah dapat
ditipunya.”
“Ternyata ia tidak berhasil.
Karena kita bukan orang kebanyakan itulah, maka barang-barang tipuan itu lenyap
di tangan kita. Untunglah bahwa kita belum sampai ke induk pasukan dan
menyerahkan barang-barang tipuan itu. Jika demikian kita tentu akan menjadi
malu sekali, seolah-olah kita adalah orang-orang yang sangat dungu menghadapi
tukang tenung yang licik itu.”
“Kita akan mengejarnya,” geram
pemimpin kelompok itu, “orang itu harus merasakan akibat kebodohannya.”
Pemimpin kelompok itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian memutar kudanya dan memacunya seperti
dikejar hantu.
Ketiga orang anak buahnya pun
mengikutinya pula dengan kemarahan yang menyentak dada. Rasa-rasanya mereka
tidak sabar lagi meremas wajah orang yang telah menipunya.
Sejenak kemudian empat ekor
kuda itu pun telah berpacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Debu yang putih
berhamburan disentuh angin yang tidak begitu kencang.
Sementara itu Ki Waskita masih
saja dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah ia akan tetap membiarkan keempat
orang itu bertebaran dan membuat keonaran di saat-saat mendatang.
“Mudah-mudahan mereka tidak
kembali lagi ke tlatah Menoreh,” gumamnya kemudian. Karena itulah maka ia tidak
lagi menghiraukan keempat orang itu. Dipercepatnyalah derap lari kudanya agar
ia segera sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun demikian, terbersit juga
keragu-raguan di hati Ki Waskita. Benda-benda semu yang dibuatnya tidak dapat
bertahan terlalu lama, sehingga ia pun sadar, bahwa benda-benda itu akan segera
lenyap apabila dilepaskan dari hubungan getaran ujud semu yang berpangkal pada
ilmunya, yang menyentuh dan membuat getaran senada pada pusat syaraf orang lain
yang tidak mampu menggeser rentangan getar di pusat syarafnya.
“Jika mereka menyadari bahwa
barang-barang yang mereka bawa itu sebenarnya tidak ada, maka mereka tentu akan
marah. Mungkin mereka akan berbalik dan mengejarku,” berkata Ki Waskita di dalam
hatinya.
Ada sepercik niat untuk
membinasakan saja keempatnya. Tetapi tiba-tiba saja melonjak sikapnya yang
lain, “Biar sajalah mereka menjadi marah. Jika mereka tidak menemukan aku, maka
mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Karena itulah, maka ketika di
hadapannya nampak sebuah padukuhan kecil, Ki Waskita pun mempercepat lari
kudanya agar ia sempat bersembunyi di padukuhan itu.
Seperti yang diduganya,
demikian ia hilang di mulut lorong memasuki regol padukuhan kecil itu, empat
ekor kuda berderap di tengah-tengah bulak, membelok di tikungan yang berpagar
pohon-pohon jarak, sehingga membatasi pengamatan mereka. Ketika mereka memasuki
jalan lurus yang panjang, mereka sudah tidak melihat lagi orang yang menyebut
dirinya Kiai Jalawaja.
Namun dalam pada itu, dari
dalam regol padukuhan kecil itu Ki Waskita masih melihat debu yang mengepul di
tengah-tengah bulak yang panjang itu.
“Tentu mereka berusaha
mengejar aku.”
Karena itulah maka Ki Waskita
pun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah halaman di pinggir padukuhan itu.
Kepada penghuninya ia berterus terang, minta berlindung beberapa saat karena
empat orang penjahat sedang mengejarnya.
“Apakah mereka tidak
mengetahui bahwa Ki Sanak memasuki padukuhan ini?”
“Mereka tentu menyangka bahwa
aku berpacu terus.”
“Baiklah. Tetapi jika mereka
menemukan Ki Sanak di sini, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Mereka tidak akan berhenti di
sini.”
Ki Waskita pun kemudian
menyembunyikan kudanya di belakang rumah itu, sedangkan ia sendiri berada pula
di samping kandang.
Sejenak terasa pergolakan yang
semakin melonjak di hatinya. Ia tidak pernah berbuat demikian. Bersembunyi
seperti orang yang ketakutan. Dalam keadaan demikian, ia selalu tampil dengan
dada tengadah. Jika ia merasa lawannya cukup kuat, maka ia melepaskan ikat
kepalanya dan membelitkanya di lengannya dan dipergunakannya sebagai perisai
yang melampaui kekuatan perisai baja.
Tetapi pengaruh hubungannya
dengan sikap anaknya telah membuatnya bersikap lain. Seperti orang yang
ketakutan ia bersembunyi di samping kandang yang baunya menusuk hidung untuk
menghindari empat orang penyamun yang sedang mengejarnya.
Sejenak kemudian Ki Waskita
menjadi berdebar-debar. Ia mendengar derap kuda yang menjadi semakin dekat.
Sejalan dengan itu, hatinya
pun menjadi semakin bergejolak. Ada keinginannya untuk meloncat menghentikan
orang-orang berkuda itu. Tetapi kemudian seolah-olah terdengar suara di
hatinya, “Apa lagi gunanya berkelahi jika persoalannya dapat diselesaikan
dengan cara lain?” Bahkan kemudian timbul pula pertimbangannya, “Bentrokan di
saat seperti ini tidak menguntungkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang
mempersiapkan diri menjelang hari perkawinan Angger Swandaru dengan Pandan
Wangi. Lebih baik aku tetap di sini. Keempat orang itu tentu akan segera pergi.”
Namun terasa jantungnya
berhenti berdenyut ketika suara derap kaki kuda itu tiba-tiba berhenti di muka
rumah itu.
“Apakah mereka berhenti?” ia
bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak Ki Waskita
memperhatikan keadaan dengan saksama. Tetapi yang didengarnya adalah suara
seseorang yang membentak, “He, di mana orang berkuda itu?”
Ki Waskita menjadi semakin
berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia justru bergeser dari tempatnya dan
berlari ke sudut rumah itu.
“Tetaplah bersembunyi,” desis
seorang laki-laki tua yang agaknya salah seorang anggota keluarga di rumah itu.
Ki Waskita menjadi ragu-ragu.
Dan sebelum ia bergeser dari tempatnya, ia sudah mendengar suara seseorang
membentak, “Cepat, tunjukkan di mana orang itu.”
“Ia tidak singgah kemari,” jawab
pemilik rumah itu.
“Jangan membohongi kami. Jejak
kaki kuda itu terputus di sini, dan lihat, jejak itu memasuki halaman rumahmu.”
Pemilik rumah itu tidak dapat
menjawab. Ia sendiri kemudian menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbohong
lagi karena jejak itu benar-benar dapat dilihat dengan jelas, memasuki halaman
rumah itu.
“Nah. sekarang katakan, di
manakah orang itu. Tentu orang yang sedang kami cari.”
“Ki Sanak,” pemilik rumah itu
masih mencoba mengelak, “akulah yang baru saja berkuda pulang dari bepergian.
Jejak kuda itu adalah kudaku.”
Ki Waskita tidak mendengar
jawaban. Tetapi dadanya bergetar ketika ia mendengar keluhan tertahan, disusul
oleh jerit seorang perempuan.
“Kubunuh kau, jika kau masih
ingkar,” terdengar suara kasar.
Ki Waskita menjadi semakin
berdebar-debar. Ia tidak dapat tetap berada di tempatnya. Di luar sadarnya pula
ia bergeser sepanjang dinding rumah itu.
“Tidak ada orang lain di sini,
Ki Sanak.”
Suaranya terputus oleh
hentakan sebuah pukulan yang keras disusul oleh jerit itu lagi. Semakin keras.
Ki Waskita sadar, bahwa
pemilik rumah itu ada di dalam bahaya. Jika ia tidak mau mengatakan tentang
dirinya, maka agaknya keempat orang itu tidak sekedar bermain-main. Tetapi
mereka benar-benar akan membunuhnya dan bahkan mungkin istrinya.
Sekilas terbersit di
angan-angan Ki Waskita, kematian yang sangat mengerikan tanpa melakukan
kesalahan apa pun juga. Bahkan orang itu sedang berusaha untuk melindungi orang
lain.
Ki Waskita temangu-mangu
sejenak. Ia merasa tidak sepantasnya bersembunyi untuk menghindari benturan
kekerasan, dan mungkin kematian, tetapi dapat berakibat kematian orang lain.
Dengan demikian kematian itu tetap terjadi. Bahkan atas orang yang tidak
bersalah sama sekali.
Karena itulah, ketika ia
mendengar sebuah pukulan lagi dan keluhan yang panjang, serta pekik seorang
perempuan yang semakin menyayat, ia tidak dapat tetap di tempatnya. Dengan
wajah yang kemerah-merahan ia meloncat ke halaman dari samping rumah itu sambil
menggeram, “Jangan gila. Aku di sini.”
Keempat orang itu serentak
berpaling. Mereka melihat Ki Waskita berdiri tegak di tempatnya dengan sorot
mata yang bagaikan menyala.
“Nah, tukang tenung gila itu
benar-benar bersembunyi di sini.” Kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia
memandang pemilik rumah yang ternyata sudah terbaring di tanah dengan darah di
mulutnya itu sambil berkata, “Kau benar-benar telah menipu kami. Karena itu,
kau pun harus mati bersama tukang tenung gila itu.”
Perempuan yang ternyata
istrinya, yang berjongkok di sisinya itu kemudian memeluk suaminya sambil
berkata, “Jangan kau bunuh suamiku, ia tidak bersalah.”
“Mereka tidak akan
membunuhnya, Nyai,” berkata Ki Waskita, “kecuali jika mereka adalah
cucurut-cucurut kerdil yang tidak tahu diri. Akulah yang mereka cari. Karena
itu, akulah yang akan menanggung segala akibatnya.”
“Orang ini berusaha
menyelamatkan kau,” teriak salah seorang dari perampok itu.
“Tidak seorang pun yang perlu
menyelamatkan aku. Tetapi sebaliknya, jika ia menahan kalian menemukan aku,
karena semata-mata orang itu mencoba melindungi kalian berempat dari kematian.”
“Setan, anak tetekan. Kau
sangka aku ini apa, he?”
“Nah, sekarang aku sudah
kalian ketemukan. Apakah yang akan kalian lakukan?” geram Ki Waskita yang
hatinya ternyata menjadi terbakar pula setelah ia melihat keadaan pemilik rumah
yang tidak bersalah itu.
“Bunuhlah tukang tenung itu,”
berkata pemimpin kelompok itu, “aku akan membunuh orang ini.”
Tiga orang di antara mereka
pun kemudian berdiri tegak memandang Ki Waskita, sedangkan pemimpin mereka
masih tetap berdiri di samping pemilik rumah yang masih terbaring di tanah.
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Ternyata pemilik rumah itu berada dalam keadaan yang gawat. Jika
pemimpin kelompok yang marah itu benar-benar membunuh pemilik rumah itu, maka
akan jatuh korban jiwa karena keragu-raguannya, sehingga ia justru bersembunyi.
Sesaat kemudian Ki Waskita
melihat tiga orang di antara mereka mendekatinya, sedang pemimpinnya justru
telah meraba hulu senjatanya.
“Perutmu akan sobek dari
lambung sampai ke lambung,” geramnya.
“Jangan, jangan,” teriak
istrinya.
“Aku tidak peduli. Ia sudah
menipu aku.”
Ki Waskita menjadi bingung
sejenak. Jaraknya dengan pemilik rumah yang terbaring itu tidak terlampau
dekat, sehingga sulit baginya untuk langsung menolongnya jika pemimpin kelompok
yang menjadi sangat marah itu benar-benar mengayunkan senjatanya.
“Kaulah yang harus mati lebih
dahulu dari tukang tenung yang kau sembunyikan itu.”
“Jangan, jangan,” pemilik
rumah itu pun meminta, bersamaan dengan istrinya yang memeluk kaki penjahat
yang, sudah menarik senjatanya.
Ki Waskita tidak mempunyai
jalan lain. Tiba-iba saja ia mengerutkan keningnya. Sepercik getaran dari
ilmunya tiba-tiba saja telah menyentuh rentang getar di pusat syaraf para
penyamun itu.
Karena itulah, ketika pemimpin
kelompok itu mengibaskan istri pemilik rumah yang memeluk kakinya sehingga
terlempar selangkah dan jatuh terlentang, terdengar suara tertawa nyaring di
regol halaman.
Yang berada di halaman itu pun
serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak kecil tertawa terbahak-bahak
sehingga perutnya terguncang-guncang.
Pemimpin kelompok yang marah
itu menjadi semakin marah sehingga ia pun berteriak, “Tutup mulutmu, he?”
Tetapi anak kecil itu tertawa
terus. Kedua tangannya sibuk mengusap air matanya yang meleleh di pipinya
karena ia tidak mampu menahan tertawanya yang meledak-ledak itu.
“He, kenapa kau tertawa, anak
gila?”
Anak itu masih tertawa terus.
Di sela-sela suara tertawanya ia menjawab, “Lucu sekali.”
“Apa yang lucu, he?”
“Kau membuat orang-orang
sepadukuhan ini ketakutan. He, apakah kau tidak tahu, orang-orang itu
berlari-larian menengok halaman ini karena mereka mendengar hiruk-pikuk. Tetapi
kemudian mereka berlari-larian kembali ke rumahnya dan menutup pintu rapat-rapat.”
“Diam, diam!” teriak salah
seorang yang lain.
“Kenapa aku harus diam melihat
kelucuan itu? Apalagi salah seorang dari penyamun yang garang itu sudah siap
membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak melawan sama sekali.”
Pemimpin kelompok penyamun itu
benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia
berteriak, “Kau pun akan aku bunuh, anak gila. Kaulah yang justru yang
pertama-tama.”
“Aku?” anak itu terkejut.
Tetapi ia pun tertawa pula, “Jika kau mampu mengejar aku, kau akan dapat
membunuhku.”
“Setan alas. Kau sangka aku
hanya bergurau?”
Anak itu tertawa semakin
keras. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus karena pemimpin kelompok
itu benar-benar tidak dapat menahan dirinya. Dengan serta-merta ia meloncat
langsung menikam anak yang berdiri di regol itu. Tetapi agaknya anak itu
benar-benar mampu berlari cepat. Demikian ia melihat pemimpin kelompok itu
meloncat, ia pun telah berlari meninggalkan regol dan hilang di balik dinding
batu.
Pemimpin kelompok yang marah
itu tidak membiarkannya lari. Karena itu, ia pun kemudian mengejarnya sampai ke
regol halaman.
Tetapi ketika ia melangkahi
tlundak regol, langkahnya terhenti. Ia tidak melihat seorang pun di sepanjang
jalan. Jalan yang menjelujur lurus ke kedua arah.
“Gila, di mana anak itu?”
geram pemimpin kelompok itu. Tetapi ia sama sekali tidak melihat seorang pun.
Padahal menurut penilaiannya, anak kecil itu tidak akan dapat meloncati dinding
batu di sebelah-menyebelah jalan.
Namun adalah suatu kenyataan,
anak itu hilang seperti asap.
Tiba-tiba saja pemimpin
kelompok itu teringat kepada orang yang sedang dikejarnya. Orang yang telah
memberikan beberapa macam barang yang sekedar ada karena tenungnya, bukan
karena sebenarnya barang-barang itu ada.
Pemimpin kelompok itu
menggeram. Dengan wajah yang merah membara ia berpaling. Dadanya rasa-rasanya
menjadi retak ketika ia melihat pemilik rumah yang terlentang di halaman itu
kini sudah berdiri bersandar pintu rumahnya, dilayani oleh istrinya. Sedang Ki
Waskita yang menyebut dirinya bernama Kiai Jalawaja itu berdiri tegak di
depannya dengan keris terhunus.
“He, gila. Apakah kerja
kalian!” teriak pemimpin kelompok itu kepada ketiga orang kawannya. “Kau
biarkan tukang tenung itu menolong orang yang mencoba melindunginya?”
Serentak mereka bertiga
berpaling. Seperti bermimpi rasanya. Mereka seakan-akan terpukau oleh anak
kecil yang tertawa di regol itu, sehingga mereka tidak melihat, apa yang telah
terjadi di sampingnya.
“Anak itu pun adalah iblis
yang dibuat oleh tukang tenung itu. Ia hilang di luar regol seperti
barang-barang yang kalian bawa.”
Kemarahan telah membakar
setiap dada keempat orang penyamun yang mengejar Ki Waskita itu. Mereka merasa,
bahwa mereka telah menjadi korban permainan tenung dan sihir.
“Tukang sihir gila,” geram
salah seorang dari mereka, “tetapi bagaimana pun juga kau harus menebus dengan
nyawamu. Kau tidak akan sempat membuat ujud-ujud apa pun lagi di hadapan kami,
karena kami sudah yakin, bahwa kami berhadapan dengan tukang sihir.”
Ki Waskita tidak beranjak dari
tempatnya. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
“Baiklah,” berkata pemimpin
kelompok itu, “agaknya orang gila yang berusaha menyembunyikan tukang tenung
atau tukang sihir atau apa pun namanya itu, sempat memperpanjang umurnya dengan
beberapa saat. Tetapi kematian yang akan dialaminya adalah kematian yang lebih
parah, karena akan terjadi perlahan-lahan seperti tukang sihir itu sendiri.”
Ki Waskita memandang keempat
orang itu berganti-ganti. Sekali-sekali ia berpaling. Pemilik rumah itu masih
berdiri bersandar pintu dengan wajah yang pucat oleh ketakutan. Sedang darah
yang meleleh di pipinya telah diusapnya dengan lengan bajunya.
“Menyerahlah, supaya kami
mempunyai sedikit belas kasihan,” geram pemimpin kelompok itu.
“Apakah belas kasihanmu itu
berarti bahwa pemilik rumah yang tidak bersalah ini akan tetap hidup?” bertanya
Ki Waskita.
“Gila. Kalian semuanya akan
mati. Tetapi jalan kematian itulah yang berbeda-beda. Bagi kalian semakin cepat
tentu akan menjadi semakin baik. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan
mengalami masa yang berkepanjangan menjelang saat kematian itu.”
“Jika demikian,” jawab Ki
Waskita yang menjadi marah pula, “aku pun menawarkan hal yang serupa. Jika
kalian menyerah dan pasrah, maka aku akan menikam kalian seorang demi seorang
dengan keris langsung ke jantung. Tetapi jika tidak, maka kalian masing-masing
dan kuda itu akan aku lecut sepanjang bulak panjang.”
“Setan alas,” teriak pemimpin
kelompok itu, “kau masih dapat mengigau, he, tukang sihir.”
“Namaku Kiai Jalawaja.”
“Tentu itu hanya leluconmu
yang gila. Kau mungkin memang pernah mendengar nama Jalawaja. Tetapi tentu kau
tidak bernama Jalawaja.”
Yang bertubuh kekar tidak
sabar lagi. Dengan nada yang dalam, seolah-olah suaranya berputar di dalam
perutnya ia menggeram, “Aku akan membunuhnya sekarang dengan tanganku. Aku akan
mematahkan tangannya, kemudian kakinya, sebelum yang terakhir tulang
punggungnya. Kemudian akan aku biarkan ia mati berlama-lama. Kita tinggalkan
saja ia di sini. Dalam dua hari ia tentu akan mati.”
“Ia akan sempat menenung
kita.”
“Menjelang ajal, ia tidak
mempunyai kemampuan melakukannya,” jawab orang bertubuh kekar itu sambil
melangkah mendekati Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita pun sudah
bersiaga. Ia berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya bersilang di
muka dadanya.
Sejenak kemudian ketiga orang
penyamun yang lain pun segera mengambil tempatnya masing-masing. Pemimpinnya,
yang jantungnya bagaikan terbakar oleh bara api tempurung itu mengambil tempat
di tengah-tengah.
Ki Waskita tetap di tempatnya.
Ia tidak bergeser maju, agar ia tetap dapat melindungi pemilik rumah yang masih
bersandar pintu berpegangan istrinya yang menggigil ketakutan. Namun keduanya
kemudian terduduk dengan lemahnya karena kaki mereka rasa-rasanya tidak mampu
lagi membawa berat tubuhnya yang gemetar.
“Agaknya itu akan lebih baik,”
berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Ki
Waskita pun harus sudah menempatkan diri di dalam lingkaran pertempuran. Ia
sama sekali tidak ingin lagi membuat bentuk-bentuk semu, karena agaknya keempat
orang itu tidak akan lagi dapat dikelabui. Mereka tentu tidak akan menghiraukan
ujud apa pun lagi yang nampak di halaman itu, meskipun seandainya ada orang
yang sebenarnya hadir.
Ki Waskita memandang keempat
ujung senjata yang telah terarah kepadanya. Untuk melawan keempat ujung senjata
itu ia tidak dapat mempergunakan tubuhnya yang masih belum dibalut oleh perisai
ilmu kebal yang matang. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian membuka ikat
kepalanya dan dibelitkannya di tangan kirinya.
Namun dengan demikian juga
berarti bahwa kesabaran Ki Waskita sudah sampai ke batasnya melihat tingkah
laku keempat penyamun yang memuakkan itu.
Sejenak kemudian, perkelahian
sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketika orang yang bertubuh tinggi itu meloncat
menyerang maka Ki Waskita telah siap menangkis serangan ujung senjatanya dengan
ikat kepalanya yang membelit lengannya.
Benturan itu benar-benar telah
mengejutkan. Apalagi ketika Ki Waskita masih sempat berkata, “Aku sudah tidak
mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh kalian. Bukan karena aku ingin
membunuh seperti kalian tetapi dengan demikian muka kalian tidak akan menjadi
bibit keonaran di tlatah ini dan bahkan mungkin menimbulkan korban yang tidak
terhitung jumlahnya.”
Rasa-rasanya jantung keempat
orang itu tergetar. Namun kemudian pemimpin kelompok penyamun itu berteriak,
“Kau jangan mencoba menakuti kami seperti anak-anak.”
“Jangan berteriak,” geram Ki
Waskita, “kaulah yang menakut-nakuti tetangga di sebelah-menyebelah. Kini
mereka tentu sudah membeku di dalam rumah mereka. Apalagi jika mereka mendengar
suaramu yang menyakitkan hati itu.”
“Persetan,” jawab pemimpin
kelompok itu.
“Tetapi jika suaramu didengar
oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka kalian akan mengalami nasib
lebih buruk lagi.”
“Aku akan membunuh siapa
saja,” pemimpin kelompok itu masih berteriak. Namun suaranya seolah-olah
terputus di kerongkongan karena serangan Ki Waskita yang tidak terduga-duga,
seakan-akan menyusup di antara keempat ujung senjata mereka.
Perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Ujung senjata yang terayun-ayun itu seolah-olah semakin
lama menjadi semakin banyak. Tetapi Ki Waskita pun mampu bergerak semakin
cepat.
Namun demikian, Ki Waskita
tidak dapat bertempur dengan tata gerak yang leluasa. Ia tidak dapat
berloncatan di halaman itu sesuai dengan keinginannya menghadapi keempat orang
lawannya, karena ia masih harus melindungi dua orang suami-istri yang
ketakutan. Ki Waskita merasa wajib untuk melakukannya, karena ia merasa, bahwa
ialah yang menyebabkan bahaya maut itu hampir saja menyentuh kedua suami-istri
itu. Bahkan apabila ia gagal, maka bahaya itu masih mungkin sekali menerkam
mereka berdua bersama-sama.
Dalam pada itu, keempat orang
penyamun yang merasa tidak segera dapat mengalahkan lawannya pun menjadi
semakin marah. Mereka menyerang dari berbagai penjuru untuk membagi perhatian
Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita agaknya
memiliki kecepatan bergerak yang cukup. Ketika ujung-ujung senjata itu mematukinya,
ia selalu saja sempat mengelak. Sekali ia menggeliat sambil berputar. Sementara
ujung senjata yang lain hampir menusuk lambungnya, ia membungkukkan badannya
sambil menangkis ujung senjata yang lain yang menyambar mendatar mengarah ke
lehernya.
Bahkan, ketika keringat telah
mulai membasahi punggungnya, tandang Ki Waskita rasa-rasanya menjadi semakin
mantap, serangannya justru menjadi semakin ganas. Bukan saja tangannya yang
menyambar-nyambar, tetapi juga kakinya.
Tetapi lawannya pun agaknya
cukup berpengalaman. Mereka selalu berusaha menarik Ki Waskita semakin maju.
Mereka menyerang dari samping namun kemudian menarik diri menjauh di depan Ki
Waskita berseberangan arah dengan kedua orang suami istri yang ketakutan.
Ki Waskita menyadari, bahwa ia
tidak dapat menyerang terlalu bernafsu tanpa dikuasai oleh perhitungan yang
baik. Jika ia meloncat terlalu jauh, maka yang akan mengalami kesulitan adalah
suami-istri itu.
Namun dalam peperangan yang
semakin sengit, kadang-kadang perhatian Ki Waskita lebih tertuju kepada keempat
lawannya. Kadang-kadang ia sejenak kehilangan pengamatan diri dan melupakan
suami istri yang ketakutan itu. Namun demikian ia menyadari keadaan, maka ia
pun segera menempatkan diri di hadapan kedua orang itu.
Pemimpin kelompok penyamun itu
seolah-olah telah kehilangan nalar. Ia didera oleh kemarahan yang tiada
taranya. Berempat mereka sama sekali tidak segera dapat memenangkan
perkelahian, bahkan kadang-kadang terasa mereka benar-benar terdesak surut.
Tetapi pemimpin kelompok itu
masih mempunyai pertimbangan lain. Ketahanan tubuh dan nafas orang tua itu
tentu tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Jika ia terpaksa mengerahkan
segenap tenaganya, maka ia pun akan segera menjadi lelah.
Demikianlah serangan dari
keempat orang itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka mempertinggi
kecepatan gerak mereka dengan memeras segenap kemampuan. Senjata mereka
terayun-ayun susul-menyusul, seperti ombak di lautan yang beruntun menghantam
pantai.
Orang yang paling liar di
antara mereka berempat ternyata benar-benar telah kehilangan akal. Karena itu,
maka ia pun kemudian bagaikan orang kesurupan menyerang Ki Waskita dengan
garangnya, meskipun dengan demikian, mula-mula ia menyulitkan kawan-kawannya
sendiri. Namun kemudian kawan-kawannya pun berusaha untuk menyesuaikan diri,
dan bahkan mereka pun mendesak semakin dahsyat.
Orang yang paling liar itu
dengan membabi buta mengayunkan pedangnya mendatar ke kedua arah. Seolah-olah
ia tidak menghiraukan lagi ketiga kawannya yang lain yang ada di
sebelah-menyebelahnya.
Namun ketika dengan demikian
Ki Waskita melangkah surut, seorang yang bertubuh agak pendek, dengan
serta-merta meloncat menghunjamkan pedangnya ke arah lambung.
Ki Waskita harus secepatnya
bergeser. Tetapi ia melihat sekilas gerak pemimpin kelompok itu, yang siap
memotong geraknya menghindar.
Karena itu, Ki Waskita
mengurungkannya dan segera merubah sikap. Ia sama sekali tidak menghindari
tusukan pedang yang mengarah ke lambung itu. Tetapi dengan ikat kepalanya yang
membelit di tangannya ia menebas pedang itu, sehingga arahnya segera berubah.
Tetapi orang itu tidak sempat
menarik pedangnya. Sejenak kemudian yang terdengar adalah keluhan tertahan.
Ternyata pergelangan tangannya bagaikan terasa patah, dan senjatanya hampir
terlepas dari tangannya.
Namun kawannya yang paling
ganas berhasil bertindak cepat. Ki Waskita tidak sempat mengulangi pukulan
tangannya atas pergelangan lawannya. Orang yang paling ganas di antara
sekelompok penyamun itu sempat menyerangnya, sehingga Ki Waskita harus bergeser
setapak.
Dengan demikian perkelahian
itu menjadi semakin seru. Namun betapa kemarahan membakar dada Ki Waskita,
namun ia tidak kehilangan pertimbangan nalarnya. Ia masih dapat melihat kepada
dirinya sendiri. Bahkan sepercik keraguan masih menahannya untuk dengan
serta-merta membunuh lawannya.
Karena itulah maka Ki Waskita
masih bertempur terus tanpa menjatuhkan seorang korban pun di antara keempat
lawannya. Bahkan lawannya yang hampir kehilangan pedangnya itu pun masih sempat
mengurut tangannya dan mempergunakan senjata lagi meskipun tidak selincah
seperti di saat ia mulai perkelahian itu.
Namun bagaimana pun juga Ki
Waskita berusaha melindungi kedua suami istri, pada suatu saat ia berhasil
dipancing oleh lawannya. Segenap perhatiannya tercurah kepada ketiga lawannya
yang bersama-sama menyerangnya. Beruntun dari arah yang berbeda-beda. Tetapi
kerja sama yang mereka lalukan adalah sedemikian baiknya sehingga Ki Waskita
benar-benar harus memperhitungkan setiap geraknya menghadapi senjata-senjata
itu.
Pada saat itulah, maka
pemimpin kelompok penyamun itu berusaha untuk mempengaruhi gairah perlawanan Ki
Waskita. Pemimpin penyamun itu menyadari, bahwa Ki Waskita memang sedang
berusaha melindungi kedua orang suami istri itu. Karena itulah, maka dengan
sengaja ia mengambil peluang itu untuk menyerang kedua orang yang ketakutan
duduk bersandar pintu itu.
“Jika perhatian iblis ini
terampas oleh kematian kedua orang sekarat yang bersandar pintu itu, maka ia
pun akan mengalami nasib serupa,” berkata pemimpin kelompok itu di dalam
hatinya.
Berdasarkan atas perhitungan
itulah maka ia pun segera bertindak. Dengan tangkasnya ia meloncat berlari ke
arah kedua orang yang ketakutan itu.
Ki Waskita yang memang sudah
curiga akan sikap licik itu, masih juga terkejut melihat serangan yang
tiba-tiba dari pemimpin kelompok itu. Namun dengan demikian, maka kemarahan di
hatinya bagaikan meledak dan tidak terkendali lagi.
Ia sadar, bahwa ia tidak akan
dapat menyusul orang itu, betapa pun ia mampu meloncat jauh lebih panjang dari
pemimpin kelompok itu. Apalagi ia masih harus menghindari tiga serangan
beruntun yang datang seperti arus gelombang tanpa henti.
Tetapi sudah barang tentu
bahwa ia tidak akan dapat membiarkan pembunuhan itu terjadi.
Dalam keadaan yang demikian
itulah, Ki Waskita harus memilih tindakan yang paling tepat dapat dilakukan.
Ketika ia bergeser selangkah, maka salah seorang dari ketiga penyamun itu
berhasil memotong arah sambil mengacungkan senjatanya, sehingga Ki Waskita
tertegun karenanya.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat
membiarkan dirinya tertegun-tegun tanpa berbuat sesuatu. Karena itulah maka
tiba-tiba saja ia meloncat, justru menjauhi arah kedua orang suami istri yang
bersandar pintu itu.
Namun, pada saat ia meloncat,
tangannya telah bergerak dengan cepatnya. Ia tidak mau terlambat. Kelambatan
beberapa kejap saja, ia sudah gagal menolong kedua suami istri yang mengalami
bencana karena tingkahnya.
Sejenak kemudian, pada saat
pemimpin kelompok itu meloncat sambil mengulurkan senjatanya, terdengarlah
keluhan tertahan. Tetapi sekejap kemudian disusul oleh jerit seorang perempuan
yang menggelepar memecah ketegangan di halaman itu.
Semua yang mendengar jeritan
itu tertegun. Mereka tanpa sadar, telah berpaling memandang kearah perempuan
yang masih mencoba bersandar pintu menjaga suaminya yang gemetar. Namun
kemudian mereka telah terduduk semakin lemah.
Dari pundak perempuan itu
ternyata telah menitik darah. Ujung pedang pemimpin kelompok itu sempat
melukainya, meskipun tidak begitu dalam. Namun dengan demikian, pemimpin
kelompok itu harus menebus dengan nyawanya. Ia terjatuh menggelepar di tanah
dengan darah yang membasah di punggungnya. Sedang sebilah keris masih menancap
dalam-dalam di punggung yang telah menjadi merah itu.
Ternyata Ki Waskita tidak
dapat mempergunakan cara lain. Dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang, ia mempergunakan kerisnya dan melemparkan langsung ke
punggung pemimpin kelompok penyamun itu, sehingga ia terbunuh seketika.
Tetapi luka di pundak perempuan
itu membuat Ki Waskita bagaikan wuru. Karena jarak yang memisahkannya dari
perempuan itu, maka ia sama sekali tidak dapat melihat dengan pasti, apakah
luka di pundak perempuan itu membahayakan jiwanya. Karena itulah, maka
kemarahan yang membakar dadanya itu, seolah-olah telah tertumpah tanpa
tertahankan lagi.
Itulah sebabnya, maka sebelum
ketiga lawannya menyadari sepenuhnya apakah yang telah terjadi, Ki Waskita
telah meloncat menyerang. Ia tidak lagi mengekang segenap kekuatan yang
tersalur di tangannya. Karena itu maka ketika tangannya itu terayun menghantam
salah seorang dari lawannya yang tidak sempat mengelak, maka tubuh itu bagaikan
gemeretak, tulangnya berpatahan meskipun ada usahanya menggerakkan pedangnya,
tetapi yang terjadi adalah kematian yang mendebarkan. Tubuh yang bagaikan tidak
bertulang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh membeku di tanah tanpa
sempat mengeluh lagi.
Kematian kedua orang kawannya,
ternyata telah menggoncangkan keberanian dan kekasaran kedua orang penyamun yang
masih hidup. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa kali ini mereka telah
menjumpai seseorang yang memiliki kemampuan tiada taranya.
Sekilas mereka teringat, bahwa
orang itu telah menyebut dirinya Kiai Jalawaja. Karena itu maka, tiba-tiba saja
mereka mempunyai pertimbangan lain atas nama itu. Orang yang sedang dihadapinya
agaknya benar-benar telah bertemu dengan Kiai Jalawaja dan bahkan mungkin yang
telah membunuhnya.
Tetapi bagaimana pun juga
kedua orang itu harus mencoba mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, betapa
hatinya dicengkam oleh kecemasan, mereka masih bertahan terus. Bahkan mereka
telah mencoba untuk mencari jalan keluar dari halaman itu.
“Jika kami mengetahuinya, maka
kami tidak akan mengejarnya,” berkata salah seorang dari mereka di dalam
hatinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita
masih saja dibakar oleh kemarahannya. Justru setelah ia melihat perempuan yang
terluka itu menjadi lemah dan bahkan kemudian suaminyalah yang memeganginya
agar tidak jatuh. Namun demikian, perempuan itu bersandar dengan mata tertutup
di bahu suaminya yang duduk bersandar pintu.
Kemarahan Ki Waskita telah
menghentakkannya sekali lagi. Ketika salah seorang dari kedua penyamun yang
masih hidup itu berusaha melarikan diri, maka dengan serta-merta Ki Waskita
meloncat menangkap lengannya. Dengan satu hentakkan orang itu terputar. Tetapi
ternyata bahwa ia tidak menyerah begitu saja. Ketika tubuhnya berputar, maka
tangannya pun telah mengayunkan pedangnya mendatar.
Ki Waskita bertindak cepat.
Dengan kakinya ia menghantam siku orang itu. Demikian kerasnya, sehingga bukan
saja senjata itu terlepas dan terdengar teriakan nyaring, tetapi siku orang itu
pun telah terlepas pula sendinya.
Sebelum orang itu sempat
berbuat apa pun juga, maka tangan Ki Waskita langsung melayang menghantam
dagunya, sehingga kepala orang itu terangkat, namun kemudian tubuhnya bagaikan
terlipat ketika tangan Ki Waskita yang lain menghantam perutnya.
Tak ada yang dapat menahannya
lagi. Terhuyung-huyung ia jatuh tertelungkup. Namun belum lagi tubuhnya terbanting
di tanah, sisi telapak tangan Ki Waskita telah menghantam tengkuknya. Hanya
sekali orang itu sempat menggeliat. Kemudian ia pun mati menyusul kedua
kawannya yang lain.
Tinggallah yang seorang dari
antara keempat penyamun itu. Meskipun ia masih belum terluka dan bahkan
seolah-olah sama sekali belum tersentuh tangan Ki Waskita, namun rasa-rasanya
tulang-belulangnya telah remuk pula seperti kawan-kawannya yang terbaring mati.
Itulah sebabnya, ketika
kemudian Ki Waskita mendekatinya, maka ia justru bagaikan telah lumpuh.
Wajahnya yang garang menjadi pucat pasi.
Sebagai seorang penyamun yang
justru telah berada di dalam lingkungan orang-orang yang merasa dirinya sedang
memperjuangkan kejayaan masa Majapahit itu, ia sebenarnya bukanlah seorang
pengecut. Ia pernah mengalami persoalan-persoalan yang menggetarkan jantung.
Sentuhan maut telah sering terasa di tubuhnya.
Tetapi sekali ini ia
benar-benar merasa gentar melihat orang yang menyebut dirinya Kiai Jalawaja
itu. Meskipun kemudian ia tahu pasti bahwa nama itu tentu bukan yang
sebenarnya.
Kematian sebenarnya bukanlah
akhir yang menakutkan. Tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba saja telah melumpuhkan
keberaniannya untuk melawan. Orang yang mengaku bernama Kiai Jalawaja itu
mula-mula telah menghindari perkelahian meskipun ia memiliki kemampuan yang
ternyata tidak terlawan oleh keempat orang kawan-kawannya. Itulah yang
sebenarnya mulai mempengaruhi pikiran orang itu. Bahwa sebenarnya orang yang
mengaku bernama Kiai Jalawaja itu memiliki lebih banyak ketahanan rohaniah di
samping ketahanan jasmaniah.
Meskipun tidak dengan sadar,
tetapi penyamun yang masih hidup itu merasakan tanpa dapat menyebut bentuk dan
ujud di dalam hatinya, bahwa tidak pantas baginya untuk melanjutkan perlawanan
terhadap orang yang sebenarnya telah menghindari benturan kekerasan itu.
Karena itu, jika ia kemudian
melemparkan senjatanya, bukanlah semata-mata karena ia dicengkam oleh ketakutan
untuk mengalami kematian, tetapi juga karena pengaruh sikap dan tingkah laku Ki
Waskita yang kurang dipahaminya, tetapi dapat menyentuh perasaannya itu.
Ki Waskita pun tertegun
melihat lawannya melontarkan senjatanya, sehingga karena itu sejenak ia
termangu-mangu.
“Kau menyerah?” bertanya Ki
Waskita.
“Aku menyerah, Kiai,” suara
orang itu gemetar.
“Kau tidak mau mati seperti
kawan-kawanmu?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak, seolah-olah ia sedang berbincang dengan dirinya sendiri. Baru sejenak
kemudian ia menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak, Kiai. Aku tidak
takut mati seperti kawan-kawanku. Tetapi ada ketakutan yang lain yang aku tidak
mengerti. Karena itu, jika Kiai ingin membunuhku, bunuhlah aku. Tetapi tanpa
aku mengerti maknanya, aku memang ingin mati tanpa melakukan perlawanan, karena
aku menyadari bahwa sejak semula Kiai sudah menghindari perkelahian.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Ia memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Ia melihat kejujuran
memancar di sorot matanya yang buram di wajahnya yang pucat.
Namun karena itu, rasa-rasanya
memang ada yang menahan hatinya. Ia tidak dapat mengabaikan perasaan iba yang
tiba-tiba telah melonjak di sela-sela kemarahan yang meluap-luap di dadanya.
Sejenak Ki Waskita
termangu-mangu. Namun ia bagaikan terbangun dari tidurnya, ketika ia mendengar
suara merintih.
Ketika ia berpaling, dilihatnya
perempuan yang luka di pundaknya itu telah menjadi semakin lemah bersandar pada
suaminya.
Sekilas Ki Waskita justru
bagaikan membeku. Namun kemudian ia pun segera meloncat mendekati, karena ia
sadar, bahwa suami perempuan itu pun telah menjadi lemah pula, karena agaknya
para penjahat itu telah menyakitinya.
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita
kepada laki-laki yang gemetar itu, “marilah kita bawa saja istrimu ini masuk.”
Laki-laki itu tidak menjawab.
Tertatih-tatih ia berdiri. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan
saja Ki Waskita mengangkat tubuh istrinya yang terluka.
Perlahan-lahan Ki Waskita
meletakkan perempuan itu di pembaringannya. Kemudian ia pun berusaha dengan
kemampuan yang ada padanya untuk mengobati lukanya yang untung tidak terlampau
parah. Namun bagi perempuan itu, agaknya telah cukup mencengkam seluruh
syarafnya.
Dengan dedaunan yang
dikenalnya, Ki Waskita mengobati luka itu, sehingga perasaan pedih yang
menyengat kulit, rasa-rasanya berangsur-angsur berkurang meskipun tidak lenyap
sama sekali.
“Apakah di padukuhan ini ada
dukun yang cukup baik?” bertanya Ki Waskita.
Laki-laki yang tubuhnya lemah
dan gemetar itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya terbata-bata, “Ya, ya, Ki
Sanak.”
“Apakah kau dapat menyuruh
salah seorang pembantumu untuk memanggilnya.”
Orang itu mengangguk. Namun
keragu-raguan nampak di wajahnya.
“Cepatlah, agar ia segera
dapat mengobati luka istrimu dan engkau sendiri. Sementara itu, biarlah
anak-anak muda padukuhan ini membantuku menyelenggarakan mayat para penyamun
yang terbunuh itu.”
Laki-laki itu pun kemudian
tertatih-tatih memanggil seorang pembantunya yang juga ketakutan di belakang.
Kemudian disuruhnya pembantunya itu memanggil dukun yang pandai.
“Panggil juga anak-anak muda.
Kau dapat mengatakan apa yang telah terjadi. Penjahat-penjahat itu telah
terbunuh di halaman rumah ini,” sambung Ki Waskita.
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian ia pun meninggalkan rumah itu. Ketika ia lewat di halaman, maka
ia telah memalingkan wajahnya dan berlari melintas.
Ki Waskita yang kemudian
teringat kepada seorang penyamun yang masih hidup, segera melangkah ke halaman
pula. Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat penyamun itu masih
tetap berdiri di tempatnya.
Sejenak Ki Waskita termangu-mangu.
Namun kemudian ia pun bertanya, “Kau tidak lari? Kudamu masih tertambat di
tempatnya.”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tahu bahwa itu tidak akan berguna.”
“Kenapa?”
“Aku akan berputaran saja di
bulak karena kekuatan tenungmu. Kemudian akan terdampar kembali di halaman
ini.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku tidak menenungmu demikian. Kau dapat lari ke
mana pun juga kau kehendaki. Tetapi jika demikian, mungkin aku memang akan
mengejarmu dan membunuhmu di mana pun aku dapat menyusulmu.”
“Sudah aku katakan. Kematian
tidak menakutkan lagi bagiku. Aku memang sudah kehilangan kesempatan itu tanpa
belas kasihanmu.”
Ki Waskita tidak menjawab
lagi. Namun ia masih termangu-mangu sejenak di tempatnya.
Baru beberapa saat kemudian ia
berkata, “Minggirlah. Jangan menakut-nakuti orang yang akan datang ke halaman
ini. Duduklah di pojok rumah itu dan jangan berbuat apa-apa.”
Orang itu bagaikan telah
kehilangan kepribadiannya. Ia melangkah ke sudut rumah dan duduk di atas tangga
tanpa menjawab sepatah kata pun.
Dalam pada itu, maka pembantu
yang harus memanggil seorang dukun dan sekaligus anak-anak muda untuk membantu
Ki Waskita menyelenggarakan tiga sosok mayat di halaman itu, dengan suara yang
gagap mulai berbicara kepada beberapa orang anak muda yang berkerumun di
kejauhan. Mula-mula anak-anak muda itu merasa segan untuk mendekat, karena
mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Tetapi pembantu itu meskipun
kurang meyakinkan, namun memberikan sedikit gambaran dari peristiwa yang
sebenarnya.
“Jadi orang itu benar-benar
berhasil membunuh tiga orang sekaligus?” bertanya salah seorang dari anak-anak
muda itu.
“Ya. Tidak ada lagi yang dapat
kalian cemaskan. Orang yang telah berhasil membunuh ketiga orang itu masih berada
di sana. Jika timbul kesulitan, maka ia akan dapat menyelesaikannya.”
Anak-anak muda itu masih tetap
ragu-ragu. Tetapi pembantu itu berkata, “Baiklah jika kalian ragu-ragu.
Tunggulah aku di sini. Aku akan memanggil dukun di sudut padukuhan itu, untuk
mengobati luka-luka. Kita nanti akan bersama-sama memasuki halaman itu.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Baiklah. Aku menunggumu.”
Dengan tergesa-gesa orang itu
pun kemudian pergi ke sudut padukuhan memanggil seorang dukun tua yang memiliki
pengetahuan tentang berbagai macam obat-obatan. Ketika orang itu kembali
bersama dukun tua itu, maka anak-anak muda itu pun mengikutinya pula.
Betapa pun keragu-raguan masih
mencengkam hati tetangga-tetangga di sekeliling rumah yang menjadi ajang
perkelahian itu, namun mereka pun kemudian berdatangan pula. Apalagi setelah
mereka mengetahui bahwa orang yang telah berhasil membinasakan ketiga orang
penjahat itu masih ada di halaman itu pula.
Beberapa orang di antara para
tetangga itu sempat bertanya tentang beberapa hal kepada pemilik rumah yang
masih lemah itu. Namun setelah minum beberapa teguk air dingin dan telur mentah
bercampur madu lebah yang diberikan oleh dukun di padukuhan itu, rasa-rasanya badannya
menjadi segar.
Ketika dukun itu sedang
berusaha mengobati istri pemilik rumah yang terluka dengan obat-obatan yang
lebih baik, maka beberapa orang laki-laki telah membantu Ki Waskita
membersihkan halaman dan menyingkirkan tiga sosok mayat yang sudah membeku.
“Ketiganya harus segera
dikuburkan,” berkata Ki Waskita.
“Apakah kawan-kawan mereka
akan datang di kesempatan lain?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
tidak ada di antara mereka yang dapat melaporkan kepada pimpinannya, bahwa
ketiga orang kawannya terbunuh di sini. Seandainya mereka mendengar pula berita
kematian itu, maka kalian dapat menyebut bahwa akulah yang telah membunuh
mereka, dan aku adalah seorang prajurit dari Mataram.”
“O,” beberapa orang saling
berpandangan.
“Kalian jangan cemas. Aku akan
memberitahukan hal ini kepada Ki Gede Menoreh. Ki Gede tentu akan menaruh
perhatian terhadap peristiwa ini. Bukankah Menoreh mempunyai pengawal yang kuat
pada saat-saat lampau. Aku yakin, bahwa dari padukuhan ini, meskipun terletak
di ujung Tanah Perdikan, tentu mempunyai beberapa orang anak-anak muda yang
ikut menjadi pasukan pengawal.”
“Tetapi mereka berada di
padukuhan induk,” jawab salah seorang dari mereka.
“Tentu masih ada anak-anak
muda yang lain. Tetapi jika perlu aku dapat mengusulkan agar para pengawal,
setidak-tidaknya yang berasal dari padukuhan ini, untuk beberapa hari
diperkenankan pulang untuk menjaga kampung halamannya.”
Orang-orang yang mendengar
keterangan Ki Waskita itu mengangguk-angguk. Jika benar-benar demikian, maka
mereka akan menjadi lebih tenang, sementara anak-anak muda di padukuhan itu
sendiri sempat mempersiapkan diri.
Dengan bantuan para tetangga
dan anak-anak muda, maka semuanya pun segera dapat diselesaikan. Ketiga sosok
mayat itu telah dibawa ke kuburan untuk dikubur sewajarnya. Sementara Ki
Waskita telah mengambil dan menyarungkan kerisnya di wrangkanya.
“Jika Rudita melihat bekas
darah di kerisku,” katanya di dalam hati. Namun dalam keadaan yang demikian, ia
tidak dapat mengambil langkah yang lain. Ia sudah mencoba menghindari
kekerasan. Tetapi dalam keadaan yang masih serba kalut di dalam pergeseran
peradaban manusia, maka ternyata bahwa ia masih harus membasahi senjatanya
dengan darah sesama. Sesama manusia.
Meskipun demikian, persoalan
itu masih tetap bergejolak di dalam hati Ki Waskita, bahkan untuk waktu yang
lama.
Dengan hati yang buram Ki
Waskita pun kemudian merasa wajib untuk minta maaf kepada penghuni rumah itu
suami istri. Ia telah menimbulkan persoalan dan bahkan telah meneteskan darah.
“Aku sama sekali tidak
menduga, bahwa orang-orang itu adalah orang yang buas dan sama sekali tidak
mengenal perikemanusiaan,” berkata Ki Waskita.
“Sudahlah, Ki Sanak,” berkata
penghuni rumah itu, “jangan menyalahkan diri sendiri. Tidak ada orang yang
menduga, bahwa akan terjadi malapetaka seperti ini. Kita tentu tidak menduga
pula, bahwa ada orang yang berkelakuan seperti itu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku akan menyampaikan semuanya ini kepada Ki Gede Menoreh.”
“Apakah Ki Sanak akan pergi ke
padukuhan induk dan singgah di rumah Ki Gede?”
“Ya. Aku memang akan pergi ke
sana.”
Penghuni rumah itu
mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Gede benar-benar akan mengijinkan
beberapa orang anak muda dari padukuhan ini yang menjadi pengawal Tanah Perdikan
Menoreh untuk pulang beberapa hari. Meskipun seperti yang Ki Sanak katakan,
bahwa mungkin tidak akan ada seorang pun yang akan datang untuk menuntut balas,
namun kehadiran mereka akan dapat memberikan ketenangan di hati kami.”
“Aku akan menyampaikannya
kepada Ki Gede,” jawab Ki Waskita, “dan agaknya Ki Gede tidak akan
berkeberatan.”
Penghuni rumah itu
mengangguk-angguk. Namun wajahnya yang pucat sudah mulai dijalari warna merah.
Dan bahkan ia pun sudah dapat membantu merawat istrinya yang luka.
Sejenak kemudian Ki Waskita
pun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan. Ia akan berjalan dengan
seorang kawan. Tidak lagi seorang diri.
Seorang dari keempat penyamun
yang masih hidup itu, telah menumbuhkan kebencian yang tidak ada taranya.
Tetapi anak-anak muda di padukuhan itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa,
karena orang itu seolah-olah justru mendapat perlindungan dari Ki Waskita.
Namun sebelum Ki Waskita
meninggalkan padukuhan itu, Ia pun berpesan, “Masih ada tiga ekor kuda di sini.
Tiga ekor kuda itu akan dapat menumbuhkan persoalan jika ada seseorang yang
mengenalinya. Karena itu, hadapkan tiga ekor kuda itu ke hutan rindang di kaki
bukit. Kemudian lecutlah mereka, agar mereka berlari meninggalkan tempat ini.
Mungkin mereka akan tersesat dan diketemukan oleh orang lain, tetapi di tempat
yang jauh, sehingga tidak menjadi daerah jelajah orang-orang semacam keempat
orang penyamun ini.”
Orang-orang padukuhan itu
ternyata dapat mengerti maksud Ki Waskita. Mereka tidak mau terlibat persoalan
di luar kemampuan mereka justru karena ketiga ekor kuda itu.
Karena itulah, maka ketiga
ekor kuda itu pun kemudian dilepaskannya sambil mengejutkannya, agar mereka
berlari ke arah yang tidak diketahui. Seperti yang dikatakan Ki Waskita,
meskipun seandainya ketiga ekor kuda itu kemudian diketemukan oleh seseorang,
namun jaraknya di tempat itu tidak akan disentuh oleh kawanan penyamun yang
sedang mencari perbekalan untuk sebuah gerombolan yang besar, yang mempunyai
cita-cita yang jauh lebih besar dari sekedar mengumpulkan harta benda itu saja.
Dalam pada itu Ki Waskita
sendiri melanjutkan perjalanannya ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh
bersama seorang di antara keempat penyamun itu.
Tetapi seperti yang telah
diduga oleh Ki Waskita, orang itu pun tidak banyak mengetahui tentang usaha
para pemimpinnya.
“Kami memang mengetahui bahwa
Kiai Kalasa Sawit ada di lereng sebelah timur Gunung Merapi. Bahkan kami pun
sudah mendengar berita apa yang telah terjadi. Kiai Kalasa Sawit telah terdesak
dari Tambak Wedi dan hilang di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Sedangkan Kiai Jalawaja telah terbunuh pula di pertempuran itu.”
“Menurut pendengaranmu,
siapakah yang lebih penting. Kiai Kalasa Sawit atau Kiai Jalawaja?”
“Aku tidak dapat
mengatakannya,” jawab penyamun itu, “tetapi keduanya mempunyai kedudukan
tersendiri di dalam gerombolan masing-masing.”
“Dan kau? Siapa namamu dan
siapa nama pemimpinmu? Maksudku, pemimpin gerombolanmu yang setingkat dengan
Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja?”
Orang itu termangu-mangu.
“Siapa namamu?” desak Ki
Waskita.
“Marta Beluk,” jawab orang
itu.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Dengan nada datar ia mengulangi, “Marta Beluk. Kenapa kau disebut Beluk?
Mungkin hidungmu yang bengkok seperti burung Gagabeluk itu.”
Orang itu mengangguk kecil.
Jawabnya, “Mungkin begitu.”
“Tetapi kau belum menjawab.
Siapakah nama pemimpinmu yang setingkat dengan Kiai Kalasa Sawit?”
Orang itu tidak segera
menjawab.
“Ki Sanak,” berkata Ki
Waskita, “kau sudah berada di tanganku. Kau tentu tidak akan dapat ingkar lagi.
Lebih baik berterus terang daripada kau harus mengalami perlakuan yang kurang
baik. Mungkin di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin di Mataram.”
“Apakah aku akan kau bawa ke
Mataram?”
Ki Waskita memandang orang itu
sejenak, lalu dengan nada yang dalam ia bertanya, “Apakah kau berkeberatan?”
Orang itu menundukkan
kepalanya.
“Orang-orang Mataram bukannya
orang yang buas seperti yang barangkali kau bayangkan. Mungkin mereka
memerlukan keteranganmu. Mungkin juga satu dua orang pemimpin pengawal akan
mencoba memaksamu berbicara. Karena itu, berbicaralah terus terang. Mereka akan
memperlakukan kau dengan baik.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Apalagi jika kau mau
mengatakan, siapakah pemimpinmu, dengan siapa pemimpinmu itu berhubungan.”
“Aku adalah pengikut yang
paling rendah tingkatnya,” jawab orang itu, “yang paling aku kenal adalah
pemimpinku yang tadi terbunuh. Pemimpin kelompokku yang setingkat dengan Kiai
Kalasa Sawit adalah orang yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang terendah
seperti aku ini.”
“Tetapi kau mengetahui
namanya.”
“Ya.”
“Siapa?”
“Ki Sanak. Apakah nama itu
mempunyai arti yang penting bagimu dan bagi Mataram? Aku adalah orang yang
paling bodoh. Tetapi aku menganggap bahwa nama seseorang dapat berganti sepuluh
kali dalam satu hari. Atau seseorang dapat mempergunakan lima enam nama
sekaligus. Di satu tempat ia mempergunakan nama yang satu, di lain tempat nama
yang lain lagi.”
“Aku mengerti. Tetapi kau
dapat menyebut sebuah nama. Siapa pun. Bahkan seandainya kau berbohong
sekalipun, dengan menyebut nama siapa saja yang barangkali tidak ada hubungan
sama sekali dengan gerombolanmu, aku pun tidak akan mengetahui kebenarannya”
Orang itu mengerutkan
keningnya.
“Seperti juga nama yang kau
sebut sebagai namamu.”
Orang itu masih tetap berdiam
diri.
“Aku tahu, sebenarnya kau
bukan seorang pengecut. Aku tahu, bahwa sebenarnya lebih baik mati itu
menerkammu daripada kau menyerah dan dibawa ke Mataram atau Pajang, karena
dengan demikian rahasia yang kau simpan akan mungkin dengan cara apa pun juga
harus mengalir keluar dari mulutmu.”
“Ya, Ki Sanak,” ia berhenti
sejenak, lalu, “eh, barangkali aku dapat menyebut sebuah nama bagimu?”
“Kiai Jalawaja. Aku sudah
memakai nama itu. Bukankah seseorang dapat merubah namanya sepuluh kali dalam
satu hari?”
“O, ya, ya Kiai,” jawab orang
itu, “aku memang tidak pernah bermimpi untuk menyerah. Menyerah bagi seseorang
seperti aku ini, berarti siksaan yang tidak tertanggungkan. Tetapi aku melihat
kelainan padamu, sehingga karena itu, aku pun melakukan yang tidak mungkin
pernah aku lakukan kepada orang lain.”
Ki Waskita merenung sejenak.
Tetapi agaknya memang sulit baginya untuk mengetahui, apakah sebenarnya orang
yang dibawa itu seperti yang dikatakannya, tidak tahu-menahu terhadap
atasannya.
Sejenak mereka pun kemudian
saling berdiam diri untuk beberapa saat. Ki Waskita pun mencoba untuk
mempertimbangkan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas orang itu. Jika ia
membawa ke Menoreh, dan menahan orang itu di rumah Ki Argapati, maka mungkin
akan dapat menimbulkan beberapa kesulitan. Dalam kesibukan perelatan, ia akan
dapat melupakan orang itu dan jika ada sebuah kesempatan ia akan dapat lari.
“Jika ia akan lari, tentu ia
sudah melakukannya,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. “Ternyata ia tetap
berada di tempatnya selagi aku sibuk membantu mengurus istri pemilik rumah
itu.”
Namun kemudian dijawabnya
sendiri, “Saat itu ia tidak mempunyai kesempatan untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan. Tetapi setelah ia sempat memandang ke dirinya
sendiri dan kemungkinan yang dapat terjadi jika ia berada di Menoreh atau di
Mataram, ia akan dapat mengambil sikap yang lain. Bahkan mungkin watak yang
sebenarnya akan tumbuh kembali, dan sentuhan sesaat atas nuraninya itu pun akan
segera larut. Ia dapat lari dan justru memberikan banyak keterangan kepada
kawan-kawannya dan pemimpinnya tentang tanah perdikan Menoreh.”
Akhirnya Ki Waskita tidak
melihat kemungkinan lain kecuali menyerahkan orang itu ke Mataram.
“Terserahlah orang-orang
Mataram. Tentu Ki Gede Menoreh tidak akan berkeberatan. Tentu ia pun tidak akan
sempat mengurus orang itu di saat-saat ia sibuk dengan perelatannya.”
Dalam pada itu, orang yang
dibawa oleh Ki Waskita itu memang sebenarnya sedang mencoba menilai keadaannya.
Ia merasa bahwa ia memang tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki
Waskita. Ia menyangka bahwa Ki Waskita benar-benar seorang tukang tenung yang
akan dapat menenungnya. Seandainya ia lari, maka tukang tenung itu akan dapat
membuatnya bingung dan setelah berputar-putar maka ia akan kembali lagi
kepadanya. Atau lebih dari itu, tukang tenung itu akan dapat menenungnya
menjadi seekor binatang.
“Ia dapat mengadakan yang
tidak ada. Apalagi sekedar berubah bentuk. Aku mungkin dapat dijadikannya kera,
atau bahkan anjing, atau kerbau. Alangkah mengerikan jika setiap hari aku harus
menarik bajak di sawah berlumpur,” katanya di dalam hati.
Semakin dekat mereka dengan
induk tanah Perdikan Menoreh, maka orang itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Ada penyesalan di dalam hatinya, bahwa ia telah menyerah.
Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain.
“Kenapa aku tidak mati saja
seperti kawan-kawanku itu,” tiba-tiba saja ia berdesah di dalam hatinya.
Tetapi semuanya sudah lewat.
Tentu tidak akan mungkin baginya untuk menuntut agar dirinya dibunuh saja oleh
orang yang membawanya itu.
“Nampaknya ia tidak senang
melakukan kekerasan jika tidak terpaksa,” katanya di dalam hati.
Namun dalam pada itu, Ki
Waskita pun mulai menilai dirinya sendiri. Apakah yang dilakukannya itu sudah
tepat? Namun yang ditemukan adalah suatu sikap yang goyah pada dirinya. Sikap
yang kadang-kadang masih dibumbui oleh kepura-puraan yang seolah-olah dilandasi
oleh alasan yang kuat. Yang disusunnya baik-baik untuk mendukung langkahnya.
Tetapi Ki Waskita bukannya
orang yang takut melihat ke dalam dirinya. Betapapun pahitnya, ia dengan
tengadah melihat hatinya yang penuh cacat.
Sebuah desah yang panjang
lewat di kedua lubang hidungnya. Katanya, “Aku masih akan tetap
terombang-ambing oleh kelemahanku sendiri. Mudah-mudahan aku segera mendapat
keseimbangan. Pengaruh sikap Rudita tidak dapat aku abaikan. Namun aku masih
merasa tetap berdiri di atas kenyataan hidup seperti ini.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Di hadapannya telah nampak padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita akan sampai setelah kita
melalui bulak panjang ini,” berkata Ki Waskita kepada orang yang dibawanya itu.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Apakah yang akan terjadi atasku di ujung bulak itu?”
“Kau sebaiknya dibawa ke
Mataram. Mataram akan dapat menentukan, apakah yang sebaiknya dilakukan atasmu.
Mungkin kau dapat memberikan keterangan, meskipun hanya sepotong kecil. Tetapi
mungkin keteranganmu itu bermanfaat bagi mereka.”
“Kenapa aku harus dibawa ke
Mataram?” jawabnya. “Ki Sanak. Jika kau masih tetap ragu-ragu, apakah tidak
sebaiknya aku kau bunuh saja di sini daripada aku harus menjadi pangewan-ewan
di Mataram.”
“Seorang prajurit yang mana
pun juga, tidak akan membunuh lawannya yang sudah menyerah. Selebihnya, mayatmu
akan membuat aku menjadi bingung, bagaimana aku harus menyelenggarakannya di
tengah-tengah bulak ini.”
“Jika kau memang menghendaki,
biarlah aku membuat kuburku sendiri. Aku akan menggali lubang yang dalam di
tempat yang sepi. Bunuhlah aku dan kau tinggal menimbuni mayatku saja.”
“Kau memang aneh. Rasa-rasanya
aku tidak dapat mengerti sifat-sifatmu.”
“Aku menyesal bahwa kau tidak
membunuhku seperti ketiga kawan-kawanku. Dan aku menyesal bahwa aku telah
menyerah. Jika aku tidak menyerah, mungkin kau sudah membunuhku. Itu agaknya
lebih baik daripada menjadi tawanan di Mataram.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti, betapa seorang yang sudah menempatkan
diri dalam lingkungan seperti orang itu, harus menyerah dan menjadi tawanan.
Tetapi dalam pada itu Ki
Waskita berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya kau tidak sendiri. Nasib yang serupa
banyak menimpa anak buah Kiai Kalasa Sawit, Tetapi mereka tidak berada di
Mataram karena yang menangkap mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Sedangkan
kau akan berada di tangan para pengawal di Mataram.”
Orang itu memandang Ki Waskita
sejenak. Lalu, “Memang antara Pajang dan Mataram tidak akan banyak bedanya.
Setiap tawanan akan mengalami perlakuan yang tidak diinginkannya. Karena itu, aku
sama sekali tidak ingin menjadi tawanan.”
“Tetapi kau sudah menjadi
tawanan.”
“Masih ada satu cara. Mati.
Dan kematian itu akan menghapus bukan saja penderitaan tetapi juga penyesalan.”
“Kau mempunyai kesempatan
untuk melarikan diri di perjalanan. Apakah kau tidak ingin mencobanya.”
“Sudah aku katakan, tidak ada
gunanya. Kau dapat menenungku. Membuat diriku menjadi apa saja.”
Ki Waskita terdiam. Orang itu
sangat terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang sudah dibuatnya. Bahkan agak
berlebih-lebihan.
Sejenak kemudian, mereka pun
telah berada di mulut lorong di induk padukuhan Tanah Perdikan Menoreh. Ketika
mereka melintasi dua orang anak-anak muda yang berada di luar regol, Ki Waskita
mengangguk sambil bertanya, “Apakah kalian sudah mengenal aku?”
“Sudah, Kiai. Kami sudah
mengenalnya. Silahkan Kiai berjalan terus.”
Ki Waskita dan tawanannya yang
sama sekali tidak menunjukkan ciri-cirinya sebagai tawanan itu pun berjalan
terus menuju ke rumah kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku akan menjadi gila,” desis
tawanan itu, “apakah aku akan disimpan di Menoreh dahulu, sebelumnya aku dibawa
ke Pajang?”
“Ya. Kau akan berada di Tanah
Perdikan Menoreh untuk satu dua hari. Akulah tentu yang akan membawamu ke
Mataram.”
“Persetan,” ia menggeram,
“Kiai, bunuhlah aku sekarang jika kau memang laki-laki.”
“Aku tidak mau.”
“Ternyata kau tidak berbeda
dengan orang lain. Kau sudah membunuh tiga orang kawanku. Tetapi kau merasa
berdosa untuk melakukan yang ke empat. Apakah itu adil? Kenapa kau bunuh juga
ketiga anak-anak itu jika sebenarnya kau tidak ingin membunuh.”
“Kelakuan mereka sudah
terlampau melangkahi batas. Jika saja mereka berkelakuan sedikit terkendali,
mungkin aku tidak akan membunuh mereka. Tingkah laku mereka dan luka di badan
istri pemilik rumah itu membuat aku kehilangan pengamatan diri.”
“Apa bedanya dengan
kelakuanku?”
“Penyerahan yang kau lakukan
adalah pertaubatan yang telah menyelamatkan nyawamu. Itulah sebabnya aku merasa
bersalah jika aku masih juga membunuhmu.”
“Aku sekarang akan melawanmu.”
“Itu justru karena ketakutanmu
menghadapi kenyataan yang akan terjadi menurut angan-anganmu.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam.
Demikianlah mereka tidak
banyak berbicara lagi. Mereka menjadi semakin dekat dengan regol rumah Ki Gede
Menoreh yang nampak semakin ramai menjelang hari perkawinan Pandan Wangi.
“Kita akan mengunjungi sebuah
rumah yang siap mengadakan perelatan,” desis Ki Waskita.
“Aku akan lari jika ada
kesempatan. Atau kau membunuh aku sebelum aku melakukannya.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Pertentangan di dalam dirimu adalah suatu pertanda yang baik. Jangan cemas
menatap hati sendiri. Keragu-raguanmu dapat kau manfaatkan untuk memperbaiki
semua tingkah lakumu. He, bukankah kau tidak takut mati? Kenapa kau takut
melihat perubahan yang terjadi di dalam dirimu sendiri? Jika pada suatu saat
kau berada di Mataram, kau tidak akan lagi merahasiakan sesuatu. Kau akan
menjadi terbuka karena penyesalan dan niatmu menebus semua kesalahan yang
pernah kau lakukan.”
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi wajahnya menjadi semakin tunduk. Apalagi ketika mereka sudah sampai di
muka pendapa.
“Di sini kau bukannya
tawananku. Kau adalah seorang pembantuku yang ikut bersamaku mengunjungi dan
membantu perelatan ini.”
Orang itu menarik nafas.
Tetapi ia tidak sempat berpikir. Namun demikian ia masih bertanya, “Tetapi
siapakah namamu?”
Ki Waskita tertawa. Katanya,
“Panggil aku Waskita. Ki Waskita.”
Keduanya tidak sempat
berbicara lagi. Beberapa orang telah menyongsong mereka dan mempersilahkan
mereka masuk.
“Aku tidak seorang diri,”
berkata Ki Waskita, “aku datang bersama seorang pembantuku.”
Beberapa orang mengerutkan
keningnya. Mereka sejenak termangu-mangu melihat orang yang disebut pembantu Ki
Waskita itu. Meskipun tatap matanya tidak lagi nampak liar, tetapi masih ada
kesan, betapa orang itu berwajah sekeras batu padas di pegunungan.
Ki Waskita menyadari pula.
Cara berpakaian orang itu pun agak berbeda. Tetapi sekali lagi ia tekankan, “Ia
adalah pembantuku yang paling dungu. Tetapi ia mempunyai kecakapan untuk
membuat tarub dan hiasan-hiasan janur yang lain.”
Orang itu hanya menarik nafas
saja. Dipandanginya setiap orang di regol itu dengan sudut matanya.
Rasa-rasanya ia tidak berani menatap wajah-wajah yang memandanginya dengan
penuh pertanyaan di dalam dada.
Kedatangan mereka berdua
segera disambut dengan wajah-wajah yang cerah dari keluarga Ki Gede Menoreh
yang kecil, seperti kehadiran keluarga-keluarganya yang lain. Bahkan lebih dari
itu karena Ki Waskita mempunyai beberapa kelebihan dari saudara-saudara yang
lain itu.
“Aku membawa seorang kawan,”
berkata Ki Waskita, “biarlah ia berada di belakang. Ia dapat membantu membuat
tarub atau kerja kasar yang lain.”
“O,” Ki Gede Menoreh
mengangguk-angguk, “di sini sudah banyak tenaga yang dapat membantu sanak
kadang yang menyiapkan tarub dan uba rampe. Biarlah kawan Ki Waskita itu
beristirahat lebih dahulu. Mungkin ada kerja yang sesuai dengannya nanti.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih berkata, “Mungkin mengambil air, mengisi jambangan di dapur
atau pakiwan.”
“Biarlah ia beristirahat
dahulu, Ki Waskita,” sahut Ki Gede. Namun demikian, Ki Gede tidak dapat
menyembunyikan pertanyaan yang membersit di hatinya tentang orang itu.
Tatapan mata yang aneh itu
rasa-rasanya semakin menyiksa orang yang datang bersama Ki Waskita itu.
Rasa-rasanya bukan saja di Mataram ia akan dijadikan pengewan-ewan. Tetapi di
Tanah Perdikan Menoreh, ia sudah mulai menjadi tontonan yang aneh.
“Gila,” ia menggeram, “kenapa
aku tidak dibunuhnya saja?”
Tetapi ia sadar, bahwa Ki
Waskita memang bukan seorang pembunuh.
Setelah duduk sejenak dan
saling menceriterakan keadaan masing-masing dan keluarganya, maka Ki Waskita
pun kemudian dipersilahkan beristirahat di gandok bersama orang yang dibawanya
itu.
“Kau dapat beristirahat di
sini. Nanti kau akan mendapat kerja yang sesuai dengan kemampuanmu,” berkata Ki
Waskita.
“Aku tidak dapat membuat
tarub,” sahut orang itu.
“He, lalu apa yang dapat kau
lakukan?”
“Aku tidak pernah berbuat
apa-apa. Aku juga tidak pernah mengambil air dan apalagi kerja kasar yang
lain.”
Ki Waskita menarik nafas.
Katanya, “Kau terlalu biasa mendapatkan nafkah dengan cara yang paling buruk,
meskipun dengan dalih apa pun juga. Dengan dalih perjuangan untuk menempatkan
trah Majapahit kembali atau alasan apa pun. Tetapi cara itu harus berubah. Kau
tidak akan dapat melakukannya sepanjang umurmu. Karena itu, belajarlah hidup
sewajarnya seperti kebanyakan orang. Bekerja keras dan bahkan mungkin bekerja
keras tanpa mengenal lelah. Dengan demikian maka kau akan menemukan kehidupan
yang wajar, meskipun melelahkan, tetapi kau akan mendapat ketenangan, dan
ketenteraman hati.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Sekarang beristirahatlah. Aku
akan membersihkan diri dan barangkali aku masih akan membicarakan masalah
perkawinan anak Ki Gede sejenak di pendapa. Tinggal sajalah di sini. Jika aku
atau Ki Gede memerlukanmu, kau akan aku panggil.”
Orang itu tidak menjawab.
Dipandanginya wajah Ki Waskita sejenak. Namun wajah itu pun segera tertunduk.
Namun ketika Ki Waskita
melangkah ke luar dari bilik itu, orang itu pun berdesis, “Kenapa kau bersikap
aneh?”
“Apakah yang aneh?”
“Kau biarkan aku sendiri di
sini. Padahal kau tahu bahwa aku akan segera melarikan diri.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Aku menyerahkannya kepadamu. Jika kau ingin lari, larilah. Mungkin kau akan
kembali ke dalam kehidupan yang telah kau hayati beberapa lamanya. Tetapi jika
kau ingin mengenyam hidup baru, kau dapat melakukannya. Karena hidup yang lama
tidak akan memberikan apa-apa lagi kepadamu, selain kebencian, dendam, dan
kemaksiatan yang akan menyeretmu ke dalam kebinasaan yang kekal.”
Orang itu memandang Ki Waskita
sekilas. Namun kepalanya pun segera tertunduk kembali.
Ki Waskita tidak
menghiraukannya lagi. Ia pun segera pergi ke pendapa untuk menjumpai Ki Gede
Menoreh setelah berganti pakaian yang kotor oleh debu dan noda-noda darah yang
untungnya sudah mengering, sehingga tidak banyak menarik perhatian. Agaknya
perempuan yang luka itulah yang telah menodai pakaiannya dengan percikan
darahnya, ketika ia membantu menolongnya.
Ternyata bahwa Ki Waskita
tidak berbohong kepada Ki Gede Menoreh. Dalam satu kesempatan, tanpa didengar
oleh orang lain, juga Pandan Wangi, Ki Waskita pun segera menceriterakan apa
yang sudah terjadi atas dirinya di perjalanan, dan siapakah sebenarnya orang
yang dibawanya itu.
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Dan apakah Ki Waskita membiarkannya
tanpa pengawasan?”
“Ia tidak akan lari,” jawab Ki
Waskita.
Di luar sadarnya Ki Gede pun
memandang ke pintu gandok sebelah. Ia melihat orang itu berdiri termangu-mangu
di sisi pintu sambil memandang Ki Waskita, seolah-olah ingin menyampaikan
sesuatu kepadanya.
Agaknya Ki Waskita pun
menyadari bahwa Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Namun demikian Ki Waskita juga
melihat, bahwa agaknya ada sesuatu yang akan dikatakan oleh orang itu
kepadanya.
“Ki Gede,” berkata Ki Waskita,
“aku akan bertanya kepadanya. Mungkin ia ingin mengatakan sesuatu.”
“Aku juga melihat kegelisahan
itu,” sahut Ki Gede.
“Ia memang gelisah sejak ia
mengikuti aku. Ia ingin mati saja daripada menjadi tawanan orang Mataram.”
“Dan ia minta Ki Waskita
membunuhnya?”
“Ya. Tetapi aku berkeberatan.
Dan karena sentuhan perasaan itulah maka aku yakin ia tidak akan lari. Ia
merasa berhutang sesuatu kepadaku. Betapa pun jahatnya, orang ini agaknya masih
mempunyai perasaan juga. Tetapi mungkin juga karena hatinya memang terlalu
lemah sehingga ia tidak dapat menolak ketika ia terdorong ke dalam lingkungan
yang hitam.”
Ki Gede menangguk-angguk.
Rasa-rasanya ia pun sependapat, bahwa kadang-kadang seseorang tidak memiliki
ketetapan hati. Bahkan tidak dapat berdiri teguh pada sikapnya meskipun ia
mengerti, bahwa ia sedang menuju ke dalam kesakitan.
Ki Waskita pun kemudian
meninggalkan tempatnya mendekati tawanannya yang berdiri termangu-mangu di
depan pintu gandok.
“Apakah ada sesuatu yang akan
kau katakan?” bertanya Ki Waskita.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa diriku seperti berada di dalam tungku api.”
“Kenapa?”
“Setiap orang memandangku
seperti memandang hantu. Rasa-rasanya setiap bibir mencibir kepadaku dan jika
aku melihat dua orang atau lebih bercakap-cakap, rasa-rasanya mereka sedang
mempercakapkan aku.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
“Kiai,” berkata orang itu
kemudian, “apakah tidak ada cara yang lebih baik untuk menghukumku daripada
cara yang Kiai tempuh ini?”
“Aku tidak menghukummu,” jawab
Ki Waskita.
“Tetapi rasa-rasanya aku
tersiksa lebih parah dari dilecut dengan penjalin.”
“Lalu, apakah pendapatmu?”
“Jika Kiai mengijinkan, apakah
aku dapat Kiai serahkan saja kepada seseorang untuk melakukan kerja apa saja
yang diperintahkannya seperti yang Kiai katakan kepada Ki Gede, tetapi yang
terpisah dari orang-orang lain?”
“Ah,” desis Ki Waskita, “coba
katakan, kerja apakah yang kau maksud.”
Orang itu termenung sejenak.
Lalu, “Misalnya membuat tali tutus. Bukankah dalam kerja ini diperlukan banyak
tali tutus bambu apus. Aku dapat ditempatkan di sudut belakang kebun ini. Aku
akan membuat tali sebanyak-banyaknya. Meskipun aku tidak biasa melakukannya,
tetapi aku dapat.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Lucu sekali. Kau datang sebagai pembantuku ke rumah ini, hanya untuk membuat
tutus.”
“Itu di hari pertama. Bukankah
kita akan berada di sini lebih dari satu hari?”
Ki Waskita termangu-mangu.
“Apakah Kiai takut bahwa aku
akan lari?”
“Aku tidak peduli, apakah kau
akan lari atau tidak. Jika kau memang akan lari, aku banyak memberi kesempatan
itu. Tetapi aku tidak menghendaki kau lari, karena aku akan membawamu ke
Mataram.”
“Itu adalah siksaan yang tidak
ada taranya. Sudah aku katakan bahwa lebih baik aku kau bunuh saja.”
“Kau selalu mengulang-ulang.
Aku menjadi jemu karenanya. Lebih baik kau berkata sesuatu yang bermanfaat.”
“Beri aku pekerjaan itu, yang
tidak selalu menjadi tontonan orang.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku akan mengatakan kepada Ki Gede.”
Seperti yang dikatakannya,
maka Ki Waskita pun kemudian menyampaikannya pula kepada Ki Gede yang masih
berada di pendapa.
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, Ki Waskita. Biarlah aku
membawanya ke kebun belakang. Tetapi sebenarnyalah nanti jika kita mulai
memasang tarub dan tratag, kita memerlukan banyak tali tutus. Tetapi sebenarnya
tidak perlu seseorang yang khusus membuatnya.”
“Ia dalam kebingungan.”
“Baiklah. Aku akan menyetujui
jika Ki Waskita sendiri tidak berkeberatan atas permintaan itu.”
Demikianlah maka Ki Gede pun
membawa orang itu bersama Ki Waskita ke kebun agak jauh di belakang, ke dekat
serumpun bambu apus yang nampak subur dan rimbun.
“Terima kasih,” berkata orang
itu, “di sini aku akan merasa tenang. Tidak banyak orang yang memperhatikan
aku.”
“Di sana ada sumur,” berkata
Ki Waskita.
“Hanya satu dua orang saja
yang pergi ke sumur. Namun agaknya mereka tidak akan memperhatikan aku.”
“Terserahlah kepadamu,” sahut
Ki Waskita kemudian, “membuatlah tutus sebanyak-banyaknya. Kau dapat menebang
batang bambu apus itu dan membuatnya. Memang saatnya nanti, tutus akan banyak
diperlukan.”
Namun dalam pada itu, ketika
orang itu ditinggalkan di kebun belakang seorang diri, tanpa disangka-sangka
telah hadir pula orang yang sama sekali tidak dikehendaki, baik oleh Ki Waskita
mau pun oleh orang itu sendiri.
Di luar dugaan orang yang
sedang sibuk menebang batang-batang bambu apus itu, dua orang telah
mengamatinya dari kejauhan.
“Apakah kita akan mendekat?”
bertanya salah seorang dari keduanya.
Yang lain ragu-ragu. Tetapi
kemudian berdesis, “Bagaimana mungkin ia ditinggalkan seorang diri di kebun
itu?”
“Memang aneh. Tetapi baiklah
kita mencoba mendapat keterangan daripadanya.”
Kedua orang itu pun kemudian
melangkah mendekat. Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya orang yang
sedang menebang batang-batang bambu itu. Kemudian diedarkan tatapan mata kedua
orang itu berkeliling.
“Apakah ini sekedar pancingan,
sehingga apabila seseorang mendekatinya, akan ditangkap pula?”
“Pintu butulan dinding
penyekat halaman itu tertutup,” desis yang lain.
Keduanya memandang pintu
butulan pada dinding penyekat yang tinggi, yang membatasi kebun belakang itu
dengan bagian belakang halaman rumah Ki Gede Menoreh. Sedangkan kebun yang
luas, hanyalah dikelilingi oleh dinding batu yang tidak melampaui pundak.
Karena itulah, maka dari balik rimbunnya pohon-pohon perdu di kebun yang lain,
kedua orang itu dapat melihat tawanan yang sedang menebang batang bambu itu.
“Jika ini sebuah jebakan, apa
boleh buat.”
Keduanya pun segera berusaha
mendekat. Dengan hati-hati mereka menjenguk dinding batu yang tidak begitu
tinggi itu.
“Sst, sst,” desis salah
seorang dari keduanya.
Orang yang sedang menebang
batang bambu itu berpaling. Namun ia pun menjadi terkejut melihat dua orang
yang menjenguk dinding batu itu.
“Kau,” desisnya.
“Kemarilah. Apakah kau dalam
pengawasan.”
“Tidak,” jawab orang itu.
Tetapi ia melangkah mendekati dua orang di luar dinding itu. “Bagaimana kau
dapat mengetahui bahwa aku ada di sini?”
“Kami hanya mendapat petunjuk
ke arah mana kau pergi.”
“Dan kau menemukan aku di
sini?”
“Ketika aku melalui jalan di
depan rumah Ki Gede Menoreh, secara kebetulan aku melihatmu. Aku tidak tahu,
apakah yang kau lakukan di sana. Kami kemudian menyingkirkan kuda kami di luar
padukuhan dan kembali ke mari. Dari jalan sebelah aku melihat kau berada di
sini, sehingga aku berusaha untuk mendekat.”
“Dari siapa kau mengetahui
tentang aku?”
“Kami menyelusuri jalan yang
kau tempuh sampai ke padukuhan yang menjadi ajang pembantaian ketiga
kawan-kawan kita. Setiap orang mengetahuinya apa yang telah terjadi di sana. Di
sebuah warung aku mendengar peristiwa itu. Sebelum jejak kudamu hilang, aku
telah mencoba mengikutinya sampai ke padukuhan induk ini.”
“Dan kau yakin bahwa cerita
yang kau dengar di warung itu benar-benar telah terjadi atas kami berempat?”
“Meyakinkan sekali. Dan aku
benar-benar menemukan kau seorang diri di sini.”
Orang yang sedang menebang
batang-batang bambu itu termangu-mangu. Demikian cepatnya peristiwa itu dapat
didengar oleh kawan-kawannya. Meskipun orang-orang padukuhan itu berusaha
menyembunyikan jejak dengan melepaskan kuda-kuda kawannya yang terbunuh, namun
cerita dari mulut ke mulut yang menjalar, telah memungkinkan kawan-kawannya
yang lain mengetahui apa yang telah terjadi. Dan kini dua orang dari mereka
telah menyusulnya.
Sejenak terkilas di dalam
ingatannya, bahwa sudah menjadi kebiasaan di dalam lingkungannya untuk saling
mencurigai dan saling mengawasi. Pemimpinnya, yang telah memerintahkannya
menyamun sepanjang jalan, agaknya telah mengirimkan dua orang untuk meyakinkan
apa yang telah dilakukannya. Dan agaknya dua orang itu dengan segera dapat
mengetahui bahwa tiga dari antara mereka yang diperintahkan untuk mencari apa
yang mereka sebut dana bagi perjuangan yang agung itu telah mati terbunuh.
Sedang yang seorang telah ditawan.
“He,” desis kawannya yang
berada di luar dinding, “jangan termangu-mangu saja. Marilah kita pergi. Kau
mendapat banyak kesempatan sekarang.”
Orang yang sedang menebang
batang-batang bambu itu ragu-ragu. Tiba-tiba saja terbersit suatu keinginan
untuk menempuh suatu cara hidup yang baru meskipun ia belum mengetahui
bentuknya.
“Cepat. Kenapa kau menjadi
linglung?”
“Aku sedang berpikir,” jawab
orang yang berada di dalam dinding itu.
“Apa yang kau pikirkan? Kau
mendapat kesempatan untuk lari. Marilah. Marilah. Di luar padukuhan ini ada
seekor kuda. Seekor dari keduanya dapat kita pergunakan berdua.”
Orang itu masih saja
ragu-ragu. Katanya kemudian, “Ada sesuatu yang telah menyentuh hatiku. Aku
memang mendapat banyak kesempatan untuk lari sejak semula. Tetapi aku tidak
berani melakukannya. Orang yang menangkapku adalah seorang tukang tenung.”
“Tukang tenung?”
“Ya. Atau mungkin tukang
sihir. Ia dapat membuat apa saja yang dikehendaki. Ketiga orang kawan kita yang
mati itu tentu ditenungnya pula.”
“Dan kau?”
“Aku terpaksa menyerah. Bukan
karena takut mati. Tetapi aku takut ditenungnya atau disihirnya menjadi kerbau
atau lembu, atau bahkan kuda.”
“Kita lari di luar
pengetahuannya.”
“Aku tidak yakin bahwa aku
dapat melakukannya. Mungkin di luar sadarku aku akan kembali lagi kepadanya dan
disihir menjadi binatang melata, atau apa pun juga.”
Kedua kawannya yang berada di
luar dinding mengerutkan keningnya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun
kemudian salah seorang dari keduanya berkata, “Kau dipengaruhi oleh kecemasanmu
sendiri. Tidak mungkin seseorang dapat melakukannya.”
“Kami melihat dan mengalami
bagaimana barang-barang yang sebenarnya tidak ada, rasa-rasanya ada di tangan
kami. Kemudian hadir seorang anak-anak yang aneh yang ternyata tidak ada sama
sekali.”
Kawannya yang lain pun
berkata, “Orang itu mungkin dapat menimbulkan bentuk-bentuk yang nampaknya ada
tetapi sebenarnya tidak ada. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat merubah bentuk
yang memang sudah ada, karena sebenarnya ujud yang nampak, yang sebenarnya
tidak ada itu hanyalah sekedar pengaruh kemampuan ilmu yang langsung
mempengaruhi syaraf kita.”
“Kau mungkin tidak percaya.”
“Barangkali demikian. Tetapi
marilah. Selagi orang itu tidak ada. Seandainya ia dapat menenung, maka itu
hanya dapat dilakukan di bawah matanya.”
Orang yang berada di dalam
dinding batu ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebenarnya bukan hanya
sekedar sentuhan ketakutan, tetapi ada sentuhan yang lain.”
“Apa?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Orang itu adalah orang yang luar
biasa. Ia dapat membunuh tiga orang kawanku dalam perkelahian yang dahsyat,
tetapi ia sama sekali tidak berpijak kepada kemampuan ilmu yang luar biasa itu.
Ilmu olah kanuragan dan sekaligus ilmu tenung entah sihir atau jenis ilmu apa
pun.”
“Apa maksudmu?”
“Ketika kami mula-mula
merampoknya, ia menyerahkan barang-barang yang sebenarnya tidak ada. Bukan
karena ketakutan, tetapi kemudian aku tahu, bahwa sebenarnya ia menghindari
perselisihan. Hal ini semakin aku yakini, ketika kami menyusulnya. Ia mencoba
bersembunyi di dalam sebuah rumah. Juga sekedar untuk menghindari perkelahian,
bukan karena ketakutan. Tetapi ketika perasaan keadilannya tersinggung, karena
pemimpin kami menyakiti orang yang telah menyembunyikannya, maka tiba-tiba ia
kehilangan kesabaran dan mulai mempergunakan kekerasan yang sebenarnya sudah
dihindarinya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Yang seorang kemudian bertanya, “Lalu apa maumu sebenarnya?”
“Sikapnya sangat menarik
perhatian. Sebenarnya aku ingin mempelajari tata kehidupan yang lain dari tata
kehidupan yang pernah aku tempuh. Aku jadi teringat kepada kehidupan di kampung
halaman sebelum aku ikut dalam pengembaraan.”
Kedua kawannya menjadi tegang.
“Jadi kau mencoba untuk
memisahkan diri?”
“Aku tidak tahu apakah yang
sebaiknya aku lakukan?”
“Marilah, jangan terpengaruh
oleh hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu.”
“Tiba-tiba saja aku telah
dicengkam oleh kerinduan kepada hidup yang sewajarnya, tidak selalu diburu oleh
sikap kekerasan dan kebencian. Orang yang memiliki kemampuan jauh di atas
kemampuanku masih mencoba menghindarkan diri dan perkelahian yang pasti akan
dapat dimenangkannya. Bukankah dengan demikian kekerasan memang harus
dihindari.”
“Hatimu miyur seperti daun
ilalang.”
“Mungkin.”
“Tetapi kau tidak dapat
berkhianat kepada pimpinan kita yang telah bertekad untuk memenangkan
perjuangan ini. Kau harus menyadari, bahwa perjuangan memang memerlukan
pengorbanan.”
Orang itu termenung sejenak.
Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Sebenarnya apakah yang harus kita
perjuangkan?”
“Gila,” geram yang lain, “kau
memang ingin berkhianat.”
“Tidak. Aku tidak akan
berkhianat. Aku akan tetap diam. Bahkan aku sedang berpikir, jika aku
benar-benar akan diserahkan kepada prajurit-prajurit Mataram, aku akan membunuh
diri. Tetapi jika aku dibiarkannya hidup seperti sekarang ini mungkin aku akan
bertahan untuk hidup terus tanpa mengkhianati kalian.”
Kedua orang itu tiba-tiba saja
saling berpandangan dengan sorot mata yang aneh. Bahkan yang seorang dari
mereka pun kemudian berkata, “Aku memperingatkan kau sekali lagi. Tinggalkan
tempat ini. Kau dapat dikirim ke Mataram atau Pajang. Di tangan orang-orang
Mataram dan Pajang, kau tidak akan dapat mengelak lagi. Kau akan diperas sampai
darahmu kering jika kau tidak mau mengatakan apa pun juga yang kau ketahui
tentang kami.”
“Aku akan dapat bertahan. Aku
sudah mengatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa sama sekali.”
“Karena kau belum mengalami
tekanan badaniah yang keras. Nah, sekarang aku minta untuk yang terakhir
kalinya. Selagi belum ada orang lain yang mengetahuinya, marilah kita pergi.”
Keragu-raguan yang sangat,
nampak pada wajah orang itu. Dipandanginya dua orang kawannya itu
berganti-ganti. Namun, di luar dugaan kedua orang kawannya itu, ia
menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Sudahlah. Tinggalkan aku di sini. Aku
ingin mencari jalan yang barangkali tepat bagiku. Mungkin aku akan kembali,
tetapi mungkin aku akan memilih jalan lain. Tetapi aku sama sekali tidak akan
berkhianat, karena masih ada jalan yang mungkin aku tempuh. Membunuh diri.”
“Kau benar-benar sudah gila.
Jika kau memang ingin membunuh diri, lakukanlah sekarang, supaya aku yakin
bahwa kau sudah mati. Dengan demikian maka tidak ada kemungkinan bagimu untuk
berkhianat lagi.”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Keragu-raguan yang makin tajam telah menghunjam ke pusat jantung.
Dalam pada itu, kedua kawannya
yang masih ada di luar dinding yang tidak terlalu tinggi itu nampak menjadi
semakin gelisah. Satu dua orang yang lewat memperhatikan mereka sejenak, namun
mereka tidak menghiraukannya lagi.
“Cepatlah mengambil keputusan.
Ikut bersama kami atau membunuh diri.”
“Bagaimana jika kedua-duanya
tidak dapat aku lakukan sekarang?”
Kedua kawannya saling berpandangan
sejenak. Yang seorang kemudian berkata, “Jangan memaksa kami mengambil jalan
ketiga.”
“Jika itu kau anggap baik?”
“Cara itu sebenarnya membuat
hatiku sedih. Kau tahu, bahwa aku mendapat tugas mengamati tugas yang kau
lakukan. Aku memang mendapat wewenang penuh untuk mengambil keputusan. Ternyata
bahwa hal ini sudah terjadi.”
“Ambillah keputusan.”
“Apakah aku harus membunuhmu?
Itu sama sekali tidak menyenangkan. Kau adalah kawanku. Kau dan aku pernah
mengalami pahit getir di medan yang beraneka. Sekarang apakah aku akan sampai
hati membunuhmu?”
“Aku pernah melakukannya juga.
Ketika aku harus mengamati tugas sekelompok kawan kita di daerah utara.
Tiba-tiba saja mereka telah disergap oleh beberapa orang pengawal. Dua orang di
antara kawan kita tertangkap hidup-hidup meskipun mereka luka parah. Akulah
yang membunuh mereka di malam hari dengan paser beracun. Nah, sekarang
lakukanlah tugasmu sebaik-baiknya.”
“Gila. Kau memang sudah gila.
Tukang sihir itu sudah menyihir otakmu.”
“Mungkin kau benar. Aku merasa
kehilangan sebagian dari kesadaranku. Aku tidak tahu pasti, apa yang sebaiknya
aku lakukan. Kadang-kadang aku merasa muak berada di sini. Tetapi kadang-kadang
aku merindukan hidup yang sewajarnya seperti orang-orang yang tinggal di
padukuhan ini. Mereka rasa-rasanya hidup tenang dengan keluarga mereka seperti
yang pernah aku alami sebelum aku berada di antara kalian.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi mungkin juga tukang tenung itu sudah membuat aku menjadi
linglung seperti sekarang ini.”
“Marilah. Kau akan sembuh
setelah tiga hari tiga malam kau tidak berada di bawah sorot matanya. Kau akan
menyadari sepenuhnya keadaanmu.”
Orang itu menjadi semakin
ragu-ragu. Namun kemudian kepalanya digelengkannya, “Aku tidak dapat.”
“Gila. Kau jangan memaksa aku
untuk bertindak lebih jauh dari sikapku ini.”
Tetapi sekali lagi ia
menggeleng. Katanya, “Lakukanlah yang harus kau lakukan. Aku tidak tahu, apakah
aku masih akan dapat menguasai diriku sendiri dan dapat menguasai kehendakku.
Aku merasa seolah-olah aku telah kehilangan diri sendiri.”
Karena orang itu saling
berpandangan sejenak. Yang seorang berkata, “Tidak ada harapan lagi. Apa boleh
buat.”
Yang lain menarik natas
dalam-dalam. Katanya, “Sungguh suatu saat perpisahan yang tidak akan dapat aku lupakan.”
“Aku sudah siap,” berkata
orang yang berada di dalam dinding.
“Baiklah. Barangkali kau
benar-benar telah berputus asa. Kau agaknya telah diracun oleh sikap dan
perbuatan yang selama ini tidak kau mengerti. Atau barangkali benar katamu,
bahwa kau sudah disihirnya.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Aku akan membunuhmu
dengan cara yang selalu kita lakukan.”
“Kau membawa paser beracun?”
“Ya. Tetapi aku minta kau
membelakangi aku, agar aku tidak ragu-ragu.”
Orang yang berada di dalam
halaman itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti yang dikatakannya
sendiri, nalarnya bagaikan mengambang. Ia tidak lagi dapat meyakini apa yang
sedang dilakukannya.
Namun dalam pada itu, selagi
orang-orang itu dicengkam oleh keragu-raguan, tiba-tiba saja pintu butulan pada
dinding penyekat yang agak tinggi terbuka. Seorang gadis yang muncul dengan
tergesa-gesa tertegun melihat tiga orang yang berada di bawah rumpun bambu,
meskipun yang dua orang dari mereka berada di luar dinding.
Sejenak gadis itu
termangu-mangu. Dipandanginya ketiga orang itu dengan saksama.
“Siapa gadis itu?” desis salah
seorang yang berada di luar dinding.
“Gadis itulah yang akan kawin
beberapa hari mendatang,” jawab orang yang berada di dalam, “namanya Pandan
Wangi.”
“O,” desis orang yang di luar,
“kenapa tiba-tiba saja ia kemari?”
“Aku tidak tahu.”
Ternyata Pandan Wangi yang
heran melihat ketiga orang itu justru mendekatinya. Ia mengenal yang seorang
dari antara mereka. Orang yang datang bersama Ki Waskita. Namun sikapnya yang
aneh telah menarik perhatiannya.
Melihat kehadirannya, ketiga
orang itu menjadi semakin gelisah. Bahkan di luar sadarnya orang yang datang
bersama Ki Waskita itu bertanya, “Apa yang kau cari di sini?”
“Sebenarnya aku akan mengambil
daun sirih yang tumbuh di seputar sumur itu. Tetapi, apakah ada persoalan pada
kalian bertiga.”
“Tidak. Tidak ada persoalan
apa pun juga.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Yang nampak olehnya hanyalah bagian atas dari kedua orang yang berada
di luar dinding. Tetapi ia belum mengenal sama sekali keduanya.
Namun ternyata kedatangan
Pandan Wangi telah sangat menggelisahkan kedua orang yang berada di luar kebun
yang dibatasi oleh dinding batu yang tidak terlalu tinggi itu. Bahkan salah
seorang dari mereka bertanya, “Kenapa kau mendekat ke mari?”
Pandan Wangi bukanlah gadis
kebanyakan. Ia mempunyai ketajaman perasaan yang mengagumkan. Itulah sebabnya,
maka pertanyaan orang itu terasa aneh baginya.
“Ki Sanak,” berkata Pandan
Wangi kemudian, “jika kau mempunyai kepentingan dengan kami atau salah seorang
keluarga kami, marilah, silahkan masuk.”
“O, tidak. Aku hanya ingin
berbicara sedikit dengan seorang kawanku yang ternyata berada di sini.”
“Jika kalian ingin juga
bertemu dengan Ki Waskita, tentu kalian dapat melakukannya. Atau barangkali aku
harus memanggilnya?”
“Siapakah Ki Waskita itu?”
“O,” orang yang berada di
dalam lingkaran dinding batu itu menyahut dengan tergesa-gesa, “kawan-kawanku
ini tentu tidak mengenal Ki Waskita, karena mereka tidak mempunyai hubungan apa
pun dengannya.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk, “Aku kira kalian berasal dari satu padukuhan, juga dengan
pamanku itu.”
“Tidak. Tidak,” salah seorang
yang di luar menyahut.
Tetapi dengan demikian, Pandan
Wangi melihat gelagat yang aneh pada mereka. Karena itulah maka ia pun justru
mendekat sambil berkata, “Aku mengharap kalian masuk. Kalian tentu bukan orang
dari padukuhan induk ini, ternyata aku belum pernah mengenal kalian. Karena
itu, kedatangan kalian ke tempat ini tentu bukannya hanya kebetulan saja.”
Kedua orang itu menjadi
semakin berdebar-debar. Salah seorang dari keduanya berbisik, “Gadis ini akan
mengganggu tugas kita.”
“Jangan hiraukan,” desis yang
berada di dalam halaman.
“Ia pun harus dibungkam. Ia
akan dapat menjerit dan merusakkan rencana kita.”
“Jangan,” sahut yang di dalam,
“ia akan kawin beberapa hari lagi. Biarlah ia menikmati hari-hari bahagianya.”
“Itu bukan urusanku.”
“Kau dapat menunda rencanamu
barang beberapa saat. Ia tidak akan lama berada di kebun ini.”
Meskipun mereka seakan-akan hanya
saling berbisik, namun ketajaman perasaan Pandan Wangi dapat menangkap, bahwa
sesuatu yang gawat akan terjadi. Karena itulah maka justru ia melangkah semakin
dekat.
“Jangan mendekat,” tiba-tiba
orang yang telah datang bersama Ki Waskita itu mencegah.
“Kenapa?” bertanya Pandan
Wangi.
“Aku sedang menebangi
batang-batang bambu. Kau akan terkena lugutnya, yang akan membuatmu menjadi
gatal.”
Pandan Wangi tidak
menghiraukannya. Ia melangkah semakin dekat sambil berkata, “Masuklah. Ayah dan
Ki Waskita akan menerima kehadiran kalian dengan senang hati. Adalah lebih baik
bagi kalian untuk berbicara sambil duduk di pendapa, daripada kalian harus
berdiri di sudut kebun di bawah rumpun bambu.”
“Jangan mendekat,” kedua orang
yang berada di luar kebun itu pun mencegah.
Pandan Wangi tertegun sejenak.
Ia melihat wajah-wajah yang rasa-rasanya sangat asing. Bukan saja karena ia
belum mengenalnya, tetapi iuga karena pancaran tatapan mata mereka yang tidak
wajar.
“Apakah sebenarnya yang kalian
lakukan di sini?” tiba-tiba saja suara Pandan Wangi menjadi berat. “Aku sudah
mempersilahkan kalian masuk. Tetapi nampaknya ada sesuatu yang tersembunyi.”
“Gila,” geram salah seorang
yang berada di luar halaman, “marilah kita pergi. Aku akan membunuhmu di tempat
lain.”
Yang berada di dalam kebun
masih ragu-ragu, sementara Pandan Wangi sudah melangkah selangkah lagi semakin
dekat.
“Aku akan membungkamnya dengan
paser itu pula.”
“Jangan,” desis yang ada di
dalam halaman.
Tetapi Pandan Wangi segera
memotong, “Aku tahu, ada keragu-raguan pada kalian. Meskipun aku tidak tahu
pasti, apakah yang kalian maksud, namun kalian telah berbuat sesuatu yang dapat
menimbulkan pertanyaan. Hal ini harus diketahui oleh Paman. Karena Paman
Waskita-lah yang telah membawa salah seorang dari kalian kemari.”
“Jangan, jangan panggil Ki
Waskita.”
“Apakah keberatanmu?”
Sejenak mereka termangu-mangu.
Dan Pandan Wangi berkata selanjutnya, “Aku dapat memanggil seorang pelayan dari
tempatku ini. Dan ia akan dapat memanggil Ki Waskita untuk memecahkan teka-teki
yang sedang kalian lakukan sekarang ini.”
“Tetapi, tetapi ..,” orang
yang berada di dalam kebun itu menjadi bingung.
“Persetan,” tiba-tiba yang di
luar halaman menggeram, “tidak ada pilihan lain. Jika yang disebutnya Ki
Waskita itu adalah orang yang kau sebut tukang sihir itu, maka aku tidak akan
mengambil langkah yang bodoh untuk menunggunya. Tetapi juga tidak membiarkan
kau hidup.”
“Perempuan itu dapat
menjerit-jerit,” desis yang lain.
“Kita bungkam perempuan itu
lebih dahulu. Jika ia mendapatkan obat dari racun kita, itu adalah pertanda
bahwa calon suaminya tidak akan menangisi mayatnya. Tetapi jika ia mati, itu
adalah nasib buruk yang tidak terelakkan.”
“Kau gila,” geram yang ada di
dalam halaman.
Tetapi kawannya tidak
menghiraukannya lagi. Tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam sebuah paser
yang ujungnya mengadung racun yang tajam. Oleh kebingungan yang tidak
terpecahkan, maka ia telah menentukan langkah yang dianggapnya paling aman
tanpa menghiraukan akibat yang dapat timbul, meskipun ia sudah mengetahuinya
bahwa perempuan yang berdiri termangu-mangu itu adalah gadis yang beberapa hari
kemudian akan menginjak hari perkawinannya.
Dengan tanpa memikirkan akibat
apa pun yang dapat timbul, maka orang yang kehilangan nalarnya itu pun dengan
sekuat tenaganya telah melemparkan pasernya ke dada Pandan Wangi yang berdiri
termangu-mangu.
Kawannya yang ada di dalam
dinding batu terkejut. Ia tidak menduga, bahwa hal itu dapat dilakukan oleh
kawannya. Ia sudah memberitahukan, bahwa gadis itu akan kawin beberapa hari
lagi. Namun kawannya itu masih juga sampai hati melemparkan pasernya yang
beracun ke arah gadis itu.
Dengan demikian, ia pun
seolah-olah telah kehilangan nalar pula. Tiba-tiba saja parang di tangannya,
yang dipergunakannya untuk menebang batang-batang bambu, telah terayun dengan
derasnya menghantam leher kawannya yang melemparkan paser itu.
Terdengar jerit ngeri
mengumandang di kebun yang ditumbuhi runpun-rumpun bambu itu. Sepercik darah
memancar dari leher orang yang semula bersandar dengan bertelekan pada kedua
sikunya di dinding batu itu. Ternyata parang penebang batang bambu itu cukup
tajam untuk melukai leher orang yang melemparkan paser itu.
Seorang yang lain, yang
sejenak kebingungan, harus segera mengambil sikap. Seolah-olah di luar sadarnya
ia pun, segera mengambil pasernya pula dan dengan serta-merta melemparkannya
kepada kawannya yang memegang parang yang merah oleh darah itu.
Terasa ujung paser itu mematuk
dadanya, sehingga ia pun tertegun diam. Ia hanya dapat melihat kawannya itu
kemudian berlari sekencang-kencangnya menyusuri jalan padukuhan.
Racun yang ada di ujung paser
itu memang sangat kuat. Sejenak kemudian ia mulai merasa tubuhnya menjadi
lemas. Namun dalam pada itu, ia masih tetap teringat kepada Pandan Wangi.
Dengan sisa tenaganya ia
memutar diri dan memandang gadis yang masih berdiri termangu-mangu.
“Racun,” desisnya, “paser itu
beracun.”
Pandan Wangi mengangguk.
Jawabnya, “Ya. Aku sudah menduga.”
“Usahakanlah agar lukamu
diobati secepatnya. Kau akan kawin beberapa hari lagi.”
Pandan Wangi melangkah maju.
Wajah orang itu menjadi samakin pucat.
“Bukankah kau terkena paser
itu?” suaranya menjadi gemetar.
“Tidak,” Pandan Wangi
menggeleng.
Nampak keheranan hinggap di
wajah yang pucat itu.
“Aku sempat mengelak,” berkata
Pandan Wangi kemudian, “tetapi aku tidak dapat mengejar orang itu. Aku berkain
panjang dan tidak mengenakan pakaian khususku, sehingga jika aku mengejarnya,
aku harus menyingsingkan kainku tinggi-tinggi. Dan itu tidak dapat aku lakukan
sekarang ini justru menjelang hari perkawinanku.”
“O,” wajah orang itu menjadi
merah sesaat, “jadi kau tidak terluka oleh paser itu.”
Pandan Wangi menggeleng.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian, tubuhnya yang lemah itu pun tidak lagi dapat dipergunakannya
untuk berdiri, sehingga ia pun terhuyung-huyung duduk.
Namun ternyata bahwa jerit
orang yang terluka oleh ayunan parang itu terdengar oleh beberapa orang. Semula
mereka ragu-ragu. Namun kemudian seorang yang berada di kebun belakang, di
dalam dinding penyekat, berkata, “Pandan Wangi pergi ke luar lewat pintu
butulan. Apakah ada hubungannya dengan suara itu?”
Seorang yang lain mengerutkan
keningnya. Dalam kesibukan, jerit itu memang tidak begitu terdengar. Tetapi ia
pun kemudian melangkah sambil berkata, “Kita akan melihatnya.”
Dua orang itu pun kemudian
dengan tergesa-gesa pergi ke pintu butulan. Semula mereka menjadi agak
ragu-ragu. Namun kemudian mereka telah memaksa diri untuk keluar dari pintu
butulan itu.
Keduanya terkejut melihat
Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Bahkan ketika gadis itu melihat kedua
orang itu mendekat sambil berlari-lari, ia berkata, “Sampaikan kepada Ayah.
Mohon obat untuk menawarkan racun.”
Ketika orang itu masih tetap
termangu-mangu. Pandan Wangi membentaknya, “Cepat!”
Orang itu pun segera berlari
kembali memasuki kebun yang berada di dalam dinding penyekat dan langsung
berlari ke rumah Ki Gede di bagian depan.
Ki Gede dan Ki Waskita duduk
di pendapa rumah itu sambil bercakap-cakap. Pendapa yang jauh menjorok ke
depan, apalagi dalam suasana yang mulai sibuk dengan berbagai macam kerja
menjelang hari perkawinan Pandan Wangi itu, ternyata telah menyekat suara
nyaring jauh di kebun belakang di bawah rumpun bambu.
Ki Gede terkejut melihat
seseorang dengan berlari-lari naik ke pendapa. Karena itu dengan serta-merta ia
bertanya, “Ada apa kau berlari-lari?”
“Ki Gede,” orang itu
terengah-engah, “Pandan Wangi mohon obat penawar racun dan bisa, agaknya sangat
tergesa-gesa.”
“Kenapa dengan Pandan Wangi?”
Ki Gede menjadi semakin tegang.
“Obat itu segera diperlukan.”
Ki Gede tidak bertanya lagi.
Ia pun langsung berlari masuk ke dalam rumahnya. Meskipun kakinya agak
mengganggunya, tetapi desakan ketegangan di hatinya mendorongnya untuk berlari
cepat sekali. Dalam pada itu, Ki Waskita tidak menunggu Ki Gede lagi. Ia pun
memiliki obat penawar bisa, betapa pun tajamnya bisa itu. Tetapi ia tidak
sempat mengatakannya.
Karena itulah, maka ia pun
segera berlari pula turun ke halaman sambil bertanya, “Di manakah Pandan Wangi
sekarang?”
“Di bawah rumpun bambu di
belakang.”
Ki Waskita tidak menunggu
lagi. Ia pun segera mendahului berlari ke kebun belakang.
Hatinya tergetar ketika ia
melihat Pandan Wangi berjongkok di samping tubuh yang sudah terbaring diam.
Belum lagi Ki Waskita berbuat
sesuatu, Ki Gede pun telah dengan tergesa-gesa mendekati gadis itu.
“Apa yang terjadi, Pandan
Wangi?” bertanya ayahnya. “Apakah kau terkena racun?”
“Bukan aku, Ayah. Tetapi orang
itu.”
“Kenapa dengan orang itu?” Ki
Waskita memotong dengan serta-merta. “Apakah ia menyerangmu?”
“Jika Ayah membawa obat itu,
obatilah dahulu. Nanti aku akan menceritakan apa yang telah terjadi.”
Ternyata Ki Waskita tidak
mendahuluinya. Karena Ki Gede pun ternyata telah membawa pula, maka
dibiarkannya Ki Gede mencoba mengobati orang yang terbaring itu.
“Paser,” desis Ki Gede.
“Ya, Ayah.”
Ki Gede membuka baju orang itu
dan mengamati lukanya setelah paser beracun itu dicabutnya.
Tampaklah wajah Ki Gede
berkerut-merut. Sejenak dipandanginya wajah Ki Waskita yang tegang, agaknya
keduanya mempunyai pendapat yang sama, bahwa racun yang terdapat di ujung paser
itu sudah bekerja dengan cepatnya. Di sekitar luka yang sangat kecil itu nampak
warna merah kehitam-hitaman. Sementara beberapa bintik merah telah tumbuh di bagian
perut dan lehernya.
Tetapi keduanya tidak mau
membiarkan korban ini mati tanpa berusaha apa pun juga. Karena itu, maka dengan
tergesa-gesa Ki Gede pun menaburkan obatnya pada luka itu.
Orang itu menyeringai menahan
sengatan rasa panas pada luka itu. Namun kemudian ia pun menggeleng lemah,
“Tidak ada gunanya, Ki Gede.”
“Obatku mulai bekerja. Kau
merasakan panas itu?”
“Ya. Tetapi racun itu telah
melumpuhkan segenap tubuhku. Aku tidak akan mampu disembuhkan lagi. Karena itu,
biarlah aku minta diri. Kematian bukan lagi dapat menghantui aku.”
“Tenanglah. Dan cobalah
membantu peredaran obatku menyusuri urat nadimu yang telah dijamah oleh bisa
itu.”
Orang itu menggeleng lemah.
Ki Gede pun menarik nafas
pula. Agaknya orang itu sendiri sudah tidak mempunyai minat untuk sembuh.
Barangkali akhir yang demikian baginya adalah jauh lebih baik daripada menjadi
seorang tawanan. Bukan karena dirinya dikurung dalam ruang yang gelap dan
sempit, tetapi justru sikap Ki Waskita-lah yang seolah-olah telah menjeratnya sehingga
ia tidak sempat untuk bergerak sama sekali. Apalagi kematian yang menerkamnya
pun rasa-rasanya jauh lebih baik daripada harus membunuh diri sendiri.
Tetapi ternyata obat Ki Gede
bekerja juga pada tubuhnya. Perlahan-lahan. Namun agaknya baik Ki Gede Menoreh
maupun Ki Waskita menyadari bahwa obat itu hanyalah sekedar menunda kematian
saja.
“Apakah kau tidak dapat
mengatur pernafasanmu lebih baik?” bertanya Ki Waskita. “Cobalah bernafas
dengan teratur. Tekanlah urat-urat darahmu, agar obat penawar racun ini dapat
bekerja sebaik-baiknya.”
Tetapi orang itu menggeleng.
Katanya, “Tidak ada gunanya.”
Ki Gede memandang Ki Waskita
sejenak. Rasa-rasanya memang sulit untuk mengobati seseorang yang sudah tidak
berkeinginan untuk hidup terus.
“Ki Sanak,” berkata Ki Gede,
“kau masih mempunyai kesempatan.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Lalu katanya dengan suara gemetar tertahan-tahan, “Aku sudah tidak
kuat lagi. Aku akan mati. Dan dengarlah Ki Waskita.”
Ki Waskita bergeser mendekat.
“Aku tidak tahu pasti, apa
yang kau kehendaki. Tetapi aku mengetahui sesuatu yang barangkali penting.”
“Sebutlah,” desis Ki Waskita.
“Beberapa orang terpenting
akan mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu.”
“He? Sebutlah. Siapakah mereka
itu dan apakah tujuannya.”
Orang itu mencoba untuk
bertahan agar ia tidak kehilangan segenap kekuatannya. Sejenak ia memandang
wajah Ki Waskita, tetapi mata itu pun kemudian terpejam.
“Apakah kau dapat menyebut
sesuatu yang lain?” desis Ki Waskita ditelinga orang itu.
Orang itu membuka matanya.
Tetapi kepalanya tergeleng lemah sekali. Nampaknya ada sesuatu yang hendak
dikatakannya, tetapi mulutnya yang bergerak-gerak itu sama sekali tidak
melontarkan bunyi apa pun.
“Apakah kau dapat menyebutkan
waktunya,” bisik Ki Waskita.
Kepala itu tergeleng lagi.
Lemah sekali.
Ketika Ki Waskita akan
membisikkan sesuatu lagi di telinga orang itu, maka terdengar sebuah desah yang
panjang. Desah napasnya yang penghabisan.
Ki Waskita pun menarik nafas
dalam-dalam. Di luar sadarnya ia bergumam, “Ia meninggal setelah ia mencoba
melepaskan himpitan yang memepatkan dadanya. Tetapi memang tidak banyak yang
diketahuinya. Ia adalah orang yang berada di jenjang yang paling bawah. Namun
yang disebutnya agaknya sesuatu yang sangat penting.”
Ki Gede mengangguk-angguk.
Katanya, “Tentu ada hubungannya dengan kedua pusaka yang terpisah itu.”
Ki Waskita pun mengangguk
pula.
Namun kemudian Ki Gede pun
berkata, “Marilah. Aku akan memanggil beberapa orang untuk menyelenggarakan
mayat ini.”
“Di luar juga ada sesosok
mayat,”desis Pandan Wangi.
Ki Gede mengerutkan keningnya,
sementara Pandan Wangi menceritakan dengan singkat apa yang telah dilihatnya.
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa orang telah berdiri
berkerumun beberapa langkah agak jauh karena mereka takut mendekat sebelum
mendapat ijin dari Ki Gede Menoreh.
Ki Gede pun kemudian
melambaikan tangannya memanggil orang-orang yang termangu-mangu. Katanya dengan
samar-samar setelah orang-orang itu mendekat, “Selenggarakan mayat ini
baik-baik. Demikian juga mayat di luar dinding itu. Mereka ternyata telah
membawa dendam di dalam hati masing-masing. Ketika mereka bertemu di sini, maka
pertengkaran tidak dapat dihindarkan lagi.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Semua kebutuhan bagi
penguburan kedua mayat itu akan aku cukupi,” berkata Ki Gede, “nah, lakukan
secepatnya.”
Ki Gede dan Ki Waskita pun
kemudian meninggalkan kebun itu kembali ke pendapa, sementara orang-orangnya
sibuk menyelenggarakan kedua sosok mayat itu.
Pandan Wangi telah memusnahkan
paser beracun dengan membakarnya di sudut kebunnya dan menaburinya dengan
penawarnya. Namun dalam pada itu terasa betapa tatapan mata orang-orang seisi
rumahnya seakan-akan tertuju kepadanya.
Bahkan seolah-olah Pandan
Wangi mendengar seseorang berbisik di telinganya, “Sayang Pandan Wangi.
Menjelang hari-hari perkawinanmu, halaman rumah ini ditandai dengan kematian
dan tetesan darah.”
Pandan Wangi tiba-tiba telah
diraba oleh kecemasan. Meskipun demikian ia mencoba menghentakkan perasaannya
sambil menggeram, “Tidak. Sama sekali tidak ada hubungan apa pun antara
kematian itu dengan hari perkawinanku.”
Namun demikian, kadang-kadang
terasa bulu-bulunya meremang. Bahkan kemudian Pandan Wangi telah memasuki
biliknya dengan hati yang dibebani oleh beribu pertanyaan dan teka-teki.
Di pendapa Ki Waskita
berdesis, “Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku untuk membuat keributan di sini.
Maksudku membawa orang itu semata-mata karena ada harapan bagiku untuk
mengetahui serba sedikit tentang gerombolan yang menarik hati itu. Aku telah
mencoba mengikatnya dengan sikap yang baik, bukan dengan kekerasan dan ancaman.
Agaknya usahaku berhasil. Tetapi ternyata bahwa kawan-kawannya telah
menyusulnya dan membunuhnya. Bahkan hampir saja Pandan Wangi menjadi korbannya
pula. Seandainya Pandan Wangi adalah gadis biasa, maka aku kira persoalannya
akan menjadi berkepanjangan karena ia tentu tidak akan berhasil mengelakkan
diri dari patukan paser itu.”
“Sudahlah, Ki Waskita,”
berkata Ki Gede, “tentu bukan maksud Ki Waskita untuk membuat kesan yang agak
kurang baik menjelang hari-hari perkawinan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
meskipun demikian, Ki Waskita, aku adalah orang tua yang terombang-ambing oleh
sikap yang ragu-ragu. Ternyata aku masih harus bertanya kepada Ki Waskita,
apakah peristiwa ini dapat menjadi suatu isyarat bagi masa depan Pandan Wangi?”
“O, tidak. Tentu tidak ada
hubungannya sama sekali,” jawab Ki Waskita tegas. “Peristiwa ini sama sekali
tidak akan berpengaruh buruk maupun baik atas masa depan Pandan Wangi. Tetapi
yang jelas peristiwa ini berpengaruh buruk sekarang, karena menumbuhkan
kengerian dan barangkali juga ketakutan di antara isi rumah dan bahkan
padukuhan induk ini.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-angguk. Katanya, “Bagiku Ki Waskita adalah orang yang memiliki
kelebihan. Bukan saja olah kanuragan, tetapi juga penglihatan bagi masa depan.
Karena itulah aku mengharapkan sedikit bayangan bagi masa depan itu.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Jika ia melihat sesuatu yang buram pada hubungan yang sudah akan
terikat oleh suatu perkawinan antara Pandan Wangi dan Swandaru, bukanlah karena
peristiwa yang baru saja terjadi. Tetapi sejak beberapa saat yang lewat, ia
sudah dipengaruhi oleh kecemasan itu. Namun ketika Ki Gede Menoreh bertanya
kepadanya, maka ia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakannya.
“Aku telah membohongi diriku
sendiri dan menanam harapan yang salah,” berkata Ki Waskita. Namun ia tetap
tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk berterus terang.
“Ki Gede,” berkata Ki Waskita,
“tentu segala sesuatu mengalami pasang dan surut. Demikian juga masa-masa depan
Pandan Wangi dan Swandaru. Nampaknya ada kalanya pasang, tetapi ada kalanya
surut. Karena itu, hendaknya Ki Gede melengkapi bekal Pandan Wangi dengan mempersiapkan
dirinya, bahwa kadang-kadang ia akan diselubungi oleh kabut yang suram, tetapi
juga kadang-kadang oleh cerahnya sinar bulan. Dengan demikian Pandan Wangi
tidak akan terkejut apabila ia pada suatu saat mengalami kesulitan di dalam
rumah tangganya, seperti kesulitan yang ada di setiap rumah tangga yang lain.
Karena bagiku, setiap orang tentu mempunyai persoalannya masing-masing. Tetapi
juga dengan kemampuan masing-masing untuk mengatasinya, apalagi bagi mereka
yang mempunyai tuntunan hidup dalam hubunganya dengan Yang Maha Pencipta.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia terdiam sejenak, justru sekilas terkenang
kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya di dalam perjalanan hidup berumah
tangga. Ia pun pernah mengalami sesuatu yang hampir membuatnya gila. Apalagi
setelah Sidanti lahir.
Gelombang yang melanda
keluarganya benar-benar akan menelan dan menenggelamkannya ke dasar lautan
putus asa. Tetapi untunglah, bahwa permohonanya yang tidak henti-hentinya
kepada Yang Maha Agung untuk mendapatkan petunjuk dan ketenangan, akhirnya
dikabulkan-Nya.
Ki Waskita melihat kilasan
kenangan di wajah Ki Gede. Terasa sesuatu berdesir di hatinya. Sebagai kadang
yang meskipun bukan lagi kadang dekat, Ki Waskita pernah juga mengetahui apakah
yang telah terjadi. Apalagi setelah Sidanti terbunuh dan hubungannya yang
kemudian menjadi akrab dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Maka
pengetahuannya tentang Ki Gede menjadi semakin terang.
“Di usia dewasanya. Sidanti
benar-benar telah membuat Ki Gede terancam bukan saja kedudukannya, tetapi juga
nyawanya. Bahkan Ki Argajaya pun telah melibatkan dirinya pula,” berkata Ki
Waskita di dalam hatinya. Lalu, “Apakah kepahitan hidup itu masih harus
diwariskannya pula kepada Pandan Wangi?”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak berusaha mematahkan kenangan Ki Gede Menoreh yang terasa betapa
pahitnya.
Untuk beberapa saat lamanya,
Ki Gede benar-benar tenggelam dalam kenangan yang suram tentang dirinya
sendiri, istrinya, dan laki-laki yang pernah hadir di dalam hati istrinya dan
meninggalkan bekas yang kemudian justru merupakan api yang telah membakar Bukit
Menoreh.
Namun akhirnya Ki Gede pun
menyadari keadaannya. Ia tidak duduk seorang diri, sehingga seperti orang
terbangun dari mimpi yang buruk ia tergagap sambil berkata, “Oh, maaf Ki
Waskita. Agaknya aku telah hanyut di dalam arus kenangan yang keruh di masa
lampau.”
Ki Waskita mengangguk.
Katanya, “Aku mengerti, Ki Gede. Dan sudah barang tentu yang telah lampau pada
Ki Gede itu tidak akan kembali pada anak keturunan Ki Gede. Apalagi anak-anak
muda masa kini hatinya lebih terbuka. Mereka akan berkata terus-terang tentang
diri mereka, juga dalam hubungan dengan rencana berkeluarga mereka.”
Ki Gede mengangguk-angguk.
Katanya, “Mudah-mudahan tidak ada kesulitan seperti yang pernah terjadi padaku
meskipun dalam bentuk yang lain sama sekali. Aku ingin anakku menemukan
kebahagiaan di hari-hari mendatang.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku
percaya, Ki Waskita, bahwa yang terjadi memang tidak ada hubungan apa pun
dengan masa depan anakku yang menjelang hari perkawinannya beberapa hari
mendatang.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam Ternyata di sela-sela nada kata-kata Ki Gede terselip juga
kekhawatiran itu meskipun ditekannya dalam-dalam.
Demikianlah pada hari itu,
keluarga Ki Gede yang sedang sibuk mempersiapkan hari-hari perkawinan Pandan
Wangi itu telah diselingi dengan kesibukan yang sama sekali tidak mereka
sangka-sangka. Wajah-wajah yang sehari-hari nampak gembira meskipun mereka
kelelahan, kini nampak menjadi tegang dan penuh dengan keragu-raguan. Bahkan
wajah Pandan Wangi sendiri telah menjadi asing.
Kedua mayat itu tidak
ditempatkan di pendapa, tetapi di gandok sebelah kiri. Pada saatnya maka kedua
sosok mayat itu pun telah diusung ke tanah pekuburan, diiringi oleh beberapa
orang keluarga Ki Gede dan tetangga dekat.
Namun demikian agaknya
kematian dua orang itu benar-benar telah menggemparkan Tanah Perdikan Menoreh,
karena sebagian dari penghuninya menjadi sangat terpengaruh karenanya, seolah-olah
perkawinan Pandan Wangi telah didahului oleh sebuah pertanda yang buram.
Lebih dari itu, maka kematian
itu adalah suatu pertanda bahwa keamanan di Tanah Perdikan Menoreh masih belum
dapat dianggap jernih sepenuhnya. Masih ada debu yang kadang-kadang mengepul,
mengotori udara seperti yang baru saja terjadi itu.
Namun agaknya Ki Gede pun
telah bertindak dengan tangkas. Apalagi Ki Gede tahu dengan pasti, apakah yang
sebenarnya telah terjadi. Bahwa kedua orang yang mati itu adalah dua orang dari
lingkungan kelompok yang mempunyai kekuatan yang harus diperhitungkan. Selain
kedua orang itu, tiga orang yang lain telah terbunuh pula oleh Ki Waskita di
ujung Tanah Perdikan Menoreh itu pula.
Demikian upacara penguburan
itu selesai, maka di pendapa rumah itu telah berkumpul beberapa orang pemimpin
Tanah Perdikan Menoreh.
Kepada beberapa orang penting
itu, Ki Gede tidak dapat menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Bahkan
ternyata di antara mereka terdapat Pandan Wangi.
“Bagimu, Pandan Wangi,”
berkata Ki Gede, “adalah lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya daripada
kau harus mereka-reka hubungan antara peristiwa itu dengan hari-hari
perkawinanmu. Bagi ketenangan hatimu menjelang hari-hari perkawinanmu, lebih
baik kau mengerti bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah dijamah oleh beberapa
orang penjahat yang mempunyai lingkungan yang agak kuat daripada kau harus
membayangkan, seolah-olah yang terjadi adalah pertanda buruk dari
perkawinanmu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata keterangan ayahnya itu dapat dimengertinya. Dan ia tidak
perlu lagi berteka-teki atas peristiwa yang telah terjadi itu, yang
sebenarnyalah telah dihubungkannya dengan hari-hari perkawinannya.
“Yang harus kita lakukan
sekarang adalah meningkatkan pengawasan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh,”
berkata Ki Gede, “bukan merenung dan membayangkan isyarat apakah yang telah
terjadi itu.”
Yang mendengar keterangan Ki
Gede itu mengangguk-angguk. Juga Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun justru
Ki Waskita melihat, bahwa tatapan mata Ki Gede Menoreh sendiri tidak meyakinkan
kata-katanya. Bahwa keragu-raguan serupa itu ternyata masih juga membayang di
dalam hatinya. Namun bagaimana pun juga, keterangannya itu telah memberikan
ketenangan bagi Pandan Wangi. Bagi gadis itu, maka yang nampak betapa pun
berbahayanya, tidak terlampau mempengaruhi unsur kejiwaannya. Ia masih juga
tetap menggantungkan pedang di biliknya, meskipun biliknya sudah mulai
diwangikan dengan berbagai macam bunga menjelang hari perkawinannya. Apalagi
Pandan Wangi masih tetap percaya kepada kemampuan para pengawal yang cukup
berpengalaman.
“Apalagi selain Ayah, di sini
ada Ki Waskita,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
Terhadap pengantin laki-laki
yang akan datang beberapa hari mendatang, Pandan Wangi pun tidak cemas sama
sekali. Selain Swandaru sendiri yang tentu juga menyandang pedang, maka di
dalam iring-iringan itu tentu ada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan sudah tentu
Agung Sedayu dan beberapa orang pengawal.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kekeruhan yang terjadi di Mataram itu
telah melanda Tanah Perdikan Menoreh justru di saat menjelang hari
perkawinannya.
Ki Gede pun kemudian mulai
membicarakan kesiagaan yang lebih mantap di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Diperintahkannya kepada para pemimnpin pengawal, untuk mengatur pengawasan yang
terus-menerus.
“Terutama di padukuhan yang
telah menjadi ajang perkelahian dan yang telah menumbangkan beberapa orang
korban itu,” berkata Ki Gede.
“Mereka mengharap bahwa
anak-anak padukuhan mereka yang bertugas sebagai pengawal dapat bertugas di
kampung halaman,” sambung Ki Waskita.
Ki Gede mengangguk-angguk.
Memang ada beberapa orang anak muda dari padukuhan itu yang termasuk dalam
kesatuan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dapat dipercaya untuk mengawal
padukuhan mereka sendiri.
Karena itulah maka Ki Gede pun
kemudian menjawab, “Baiklah. Kita akan menempatkan pengawal khusus pada
padukuhan itu. Terutama anak-anak dari padukuhan itu sendiri.”
Demikianlah, maka sejak saat
itu pengawalan di Tanah Perdikan Menoreh nampak menjadi semakin meningkat
meskipun tidak mengejutkan. Gelombang pengawasan keliling menjadi semakin
sering dilakukan, dan gardu-gardu peronda menjadi semakin banyak ditunggui oleh
anak-anak muda. Alat-alat yang dapat memberikan tanda-tanda bahaya
disempurnakan. Setiap gardu tidak saja disediakan sebuah kentongan, tetapi juga
panah-panah sendaren dan panah api di malam hari.
Selain kesiagaan para
pengawal, maka anak-anak muda di setiap padukuhan seolah-olah telah dipersiapkan
pula untuk menghadapi segala macam kemungkinan. Bahkan bukan saja yang bertugas
ronda yang hadir di gardu perondan di malam hari, tetapi gardu-gardu itu
seolah-olah telah menjadi tempat untuk saling bertemu, bergurau, dan
kadang-kadang berbantah. Namun dengan demikian, padukuhan-padukuhan serasa
menjadi semakin hidup di malam hari.
Di setiap mulut lorong yang
memasuki setiap padukuhan, terdapat gardu-gardu di dalam regol. Gardu-gardu
yang rusak telah diperbaharui, sedangkan yang memang belum ada gardunya, segera
dibuat oleh anak-anak muda di sekitar regol padukuhan itu.
Para pengawal yang meronda di
malam hari, tidak lagi merasa kesepian. Jika semula mereka menemui gardu-gardu
yang sepi, karena tiga atau empat perondanya sedang nganglang atau bahkan tertidur,
maka kini mereka mendapatkan setiap gardu hampir penuh dengan anak-anak muda.
Tidak hanya empat atau lima. Tetapi kadang-kadang sepuluh dan bahkan lebih.
Sebagian dari mereka tidak pulang semalam suntuk, dan tidur berdesakan di dalam
gardu. Sedangkan mereka yang bertugas ronda, tidak mendapat tempat lagi di
gardu mereka, sehingga mereka terpaksa duduk bersandar regol sambil memegangi
senjata masing-masing,
Tetapi para peronda itu sama
sekali tidak mengeluh. Mereka membiarkan saja gardu-gardu itu dipenuhi oleh
anak-anak muda yang tidur silang-melintang. Meskipun mereka tertidur, tetapi
jika ada persoalan yang tiba-tiba harus diselesaikan, maka mereka merupakan
kawan yang tentu akan dapat meringankan segala macam tugas di malam hari.
Dalam pada itu, Ki Argapati
dan Ki Waskita pun tidak hanya tinggal diam di padukuhan induk. Sekali-sekali
mereka pun ingin melihat langsung kesiagaan rakyat Tanah Perdikan Menoreh
menanggapi peristiwa yang telah mengejutkan mereka, justru pada saat Pandan
Wangi, satu-satunya anak Ki Argapati menjelang hari perkawinannya.