Buku 085
Terbayang sebuah ngarai yang
luas berbatasan gunung-gunung padas yang ditumbuhi batang-batang perdu. Di kaki
pegunungan itu terbentang sebuah hutan yag besar, panjang dan lebat.
Tetapi Nyai Demang
menggelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri, “Tentu gambaranku keliru.
Bukit-bukit itu panjang membujur ke utara. Ah entahlah.”
Sekilas terbayang gunung
Merapi yang megah, berjajar dengan gunung Merbabu, bagaikan sepasang penganten
abadi yang berdiri di belakang Kademangan Jati Anom.
“Tetapi yang lebih penting
dari semuanya,” berkata Ki Demang Sangkal Putung seterusnya, “aku sudah melihat
sendiri bakal menantumu, Nyai. Seorang gadis yang cantik dan luruh. Jika kita
melihat sepintas, kita tidak akan menduga, bahwa gadis itu pantas menyandang
sepasang pedang di lambungnya.” Ki Demang berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
sebenarnyalah ia gadis yang mengagumkan. Di rumah ia bagaikan seorang ibu yang
memelihara dengan lembut seluruh isi rumahnya. Perabot-perabot rumahnya
dibersihkannya setiap hari dengan tangannya. Ia memasak sendiri di dapur,
sementara pelayan-pelayannya hanya membantunya saja.” Sekali lagi Ki Demang
berhenti, lalu, “Tetapi jika keadaan memaksa, ia tampil di peperangan dengan
sepasang pedang di lambung, ia bertempur melawan penjahat-penjahat yang
menakutkan tanpa gentar.”
“Ah,” Nyai Demang tiba-tiba
berdesah.
“Kenapa?”
“Aku justru menjadi ngeri.”
“Kenapa ngeri?”
“Jika suatu kali, seperti
lazimnya suami istri mengalami pertengkaran, apa jadinya nanti. Swandaru adalah
seorang anak laki-laki yang manja, agak kasar, dan kurang berhati-hati
menyatakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi kepada istrinya. Sedang
istrinya adalah seorang yang memiliki ilmu kanuragan seperti suaminya.”
“Tetapi mereka tentu saja
selalu mengekang diri masing-masing, Nyai. Seperti yang juga kita harapkan atas
Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
“Kenapa Sekar Mirah dan Angger
Agung Sedayu.”
Ki Demang termangu-mangu
sebentar. Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak apa-apa.”
“Ya, tidak apa-apa. Sampai
sekarang, tidak ada persoalan apa-apa yang pernah kita terima, baik dari Angger
Agung Sedayu sendiri, maupun dari keluarganya.”
“Tetapi Kiai Gringsing secara
tidak langsung pernah mengatakan serba sedikit tentang hubungan antara Agung
Sedayu dan Sekar Mirah,”
“Tetapi kita tidak dapat
berpegangan kata-katanya. Ia orang lain, baik bagi Agung Sedayu maupun bagi
kita.”
“Tidak. Ia bukan orang lain.
Ia adalah guru Agung Sedayu. Seorang guru tidak ubahnya dengan orang tua
sendiri.”
“Dalam olah kanuragan. Tetapi
di dalam hubungan seperti Swandaru dan putra Kepala Tanah Pendikan Menoreh,
bukankah Ki Demang sendiri yang harus datang melamarnya? Bukan sekedar Kiai
Gringsing yang juga guru Swandaru itu.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Dan ia pun berkata,
“Kau benar, Nyai. Harus ada pernyataan yang mapan dari keluarganya. Karena
Angger Agung Sedayu sudah tidak berkeluarga, maka Angger Untara-lah yang pantas
mewakilinya dengan resmi.”
“Nah, begitulah. Dalam
persoalan Sekar Mirah, kita adalah orang tua dari seorang gadis. Kita harus
lebih berhati-hati. Sudah barang tentu persoalannya berbeda dengan Swandaru.
Secara kasar dapat kita katakan, seandainya tanpa sepengetahuan kita,
perkawinan Swandaru tidak akan menimbulkan banyak persoalan. Ia adalah anak
laki-laki. Jika ia tidak senang, ia dapat menceraikan istrinya dan kawin lagi
dengan perempuan yang dipilihnya kemudian.”
“Ah, apakah begitu, Nyai?”
“Tentu saja. Karena itulah
kita harus menjaga Sekar Mirah sebaik-baiknya agar Sekar Mirah tidak mengalami
nasib buruk seperti itu. Kita harus mengikat pembicaraan dengan orang tua
Angger Agung Sedayu, seperti orang tua Pandan Wangi mengharap kedatanganmu
sendiri betapa pun jauhnya.”
“Sebagian aku sependapat,
Nyai. Tetapi sebaiknya kau tidak terlampau mencemaskan nasib anak gadismu
seperti yang kau katakan. Sudah tentu persoalan kawin dan cerai bukannya
persoalan pinjam-pakai atau katakanlah seperti memilih pakaian saja. Swandaru
tentu tidak boleh bersikap demikian terhadap istrinya, meskipun seandainya
istrimya itu bukan anak gadis Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Demikian juga anak
gadis kita tidak boleh diperlakukan seperti itu. Laki-laki yang demikian adalah
laki-laki yang buruk.”
“Tetapi itu sudah sifat
laki-laki. Ia ingin memperistri setiap perempuan yang mana pun juga. Dan itu
adalah haknya. Sedang perempuan harus menyerahkan diri sebulatnya kepada
hubungan perkawinan yang telah diterimanya.”
Ki Demang tertawa. Katanya,
“Aku mengerti. Nampaknya kau mengatakan hubungan yang sering kita temui di
dalam tata kehidupan masyarakat kita. Tetapi sebenarnya hatimu menjerit menolak
kepincangan itu. Bukankah begitu? Justru karena kita mempunyai seorang anak
gadis?”
Nyai Demang tidak menjawab.
“Percayalah, bahwa dugaanmu
keliru. Tidak setiap laki-laki berbuat demikian. Gambaran yang salah itu dapat
menimbulkan persoalan di hati gadis-gadis sebelum persoalan yang sebenarnya
dihadapinya. Dan gambaran-gambaran yang salah itu akan menyuramkan rumah
tangganya tanpa sebab, selain ketakutan yang tumbuh di dalam dirinya sendiri.
Selebihnya, perasaan cemburu.”
Nyai Demang tidak segera
menjawab. Tetapi nampak bahwa ada sesuatu yang belum terpecahkan di dalam
hatinya.
“Tentu kau tidak akan segera
dapat meyakini,” berkata Ki Demang, “tetapi lambat laun kau akan mengerti. Atau
barangkali kau mempunyai pendapat bahwa Agung Sedayu mempunyai ciri-ciri
seperti yang kau cemaskan itu?”
Nyai Demang menggeleng.
Katanya, “Sampai sekarang tidak. Tetapi siapa tahu. Mungkin memang ada
laki-laki yang baik seperti yang kau katakan, tetapi perbandingannya terlampau
kecil dengan sifat-sifat umum yang kita lihat.”
“Tetapi menurut penglihatanku,
Angger Agung Sedayu termasuk yang sedikit itu.”
Nyai Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga tidak berkeberatan. Tetapi orang
tuanya atau yang mewakilinya, mungkin Angger Untara atau mungkin Adi Widura
atau siapa pun, dengan adat yang lazim datang kepada kita.”
“Tentu, pada suatu saat mereka
akan datang.”
“Ki Demang,” suara Nyai Demang
merendah, “sebenarnya bukan saja aku khawatir terhadap Angger Agung Sedayu
tetapi juga kepada Sekar Mirah. Jika pada suatu saat terjadi keretakan, maka
Sekar Mirah yang sifatnya menjadi semakin keras karena ilmu kanuragan yang
dimilikinya itu akan berbuat terlampau jauh. Jika pada suatu saat, sifat
laki-laki pada umumnya itu hinggap pada Agung Sedayu, tanpa ada pertanggungan
jawab dari keluarga dan orang tuanya sama sekali, maka Sekar Mirah akan
melepaskan sakit hatinya dengan tindakan serupa.”
“Ah, kau dibayangi oleh ketakutanmu
sendiri. Jangan kau katakan hal yang serupa ini kepada anak-anakmu,” potong Ki
Demang. “Kau boleh berprasangka terhadap Angger Agung Sedayu, dan kau dapat
menuntut agar orang tuanya atau yang mewakilinya ikut bertanggung jawab, tetapi
kau jangan berprasangka demikian terhadap Sekar Mirah. Sejauh tuntutan keadilan
di hatinya ia tidak akan membalas dengan tindakan serupa itu. Ataukah tindakan
serupa itu yang disebut berbuat adil atas laki-laki dan perempuan?”
“Aku tidak mengatakan demikian
Ki Demang.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan ia menjadi curiga, apakah Sekar Mirah sendiri pernah
mengatakan dalam suatu pembicaraan dengan ibunya, bahwa apabila seorang
laki-laki yang menjadi suaminya kelak berbuat sisip, ia akan mengimbanginya
dengan tindakan yang sama? Dan apakah tindakan serupa itu yang dituntutnya
sebagai tindakan yang adil?
Ki Demang justru menjadi
cemas. Jika benar demikian, maka Sekar Mirah memerlukan penjelasan yang dapat
menjernihkan tanggapan batinnya terhadap hidup kekeluargaan.
Namun Ki Demang itu pun
tiba-tiba menyadari bahwa pembicaraan mereka telah bergeser. Karena itu, maka
katanya sambil tertawa, “Nyai. Bukankah yang kita bicarakan sekarang adalah
Swandaru, bukan Sekar Mirah.”
“Ya, Ki Demang. Meskipun
masing-masing tidak akan dapat dibicarakan tersendiri, namun barangkali memang
ada baiknya kita berbicara sekarang tentang Swandaru. Namun demikian, aku masih
akan bertanya serba sedikit, apakah sebenarnya Ki Demang mengetahui, gambaran
masa depan bagi Angger Agung Sedayu? Kakaknya, Angger Untara sudah jelas bagi
kita. Ia adalah seorang prajurit. Bahkan seorang Senapati. Tetapi apakah Angger
Agung Sedayu sudah menentukan sikap menghadapi masa depannya. Sepengetahuanku,
sampai saat ini ia tidak lebih adalah seorang petualang seperti Swandaru.
Tetapi Swandaru mempunyai kedudukan yang jelas.”
“Sudahlah, Nyai. Marilah kita
berbicara tentang Swandaru. Pada saatnya kita memang akan berbicara tentang
Angger Agung Sedayu.”
“Baiklah, Kakang. Barangkali
Ki Demang dapat memberikan banyak keterangan tentang perjalanan Kakang.”
Ki Demang menarik nafas.
Katanya, “Nah, barangkali akan lebih baik demikian.”
Nyai Demang pun
mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Demang
melanjutkan ceritanya tentang perjalanannya. Terutama semua pembicaraan yang
sudah dilakukan dengan Ki Gede Menoreh. Dan agaknya semuanya sudah mapan.
“Kita tinggal menentukan hari.
Mempersiapkan sebuah kelengkapan, bukan saja pakaian dan benda-benda upacara
yang lain, tetapi juga sebuah pasukan yang kuat.”
“Kenapa pasukan?”
“Perjalanan ke Tanah Perdikan
Menoreh adalah perjalanan yang jauh, sedang di sekitar Tanah Perdikan itu,
agaknya masih tersembunyi kelompok-kelompok yang setiap saat dapat mengganggu
perjalanan. Tetapi jangan kau pikirkan. Yang penting persoalan Swandaru sudah
sebagian besar rampung.”
Nyai Demang mendengarkan semua
cerita dan penjelasan yang diberikan oleh Ki Demang dengan penuh harapan. Namun
sejalan dengan itu, kegelisahannya mengenai Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun
semakin berkembang di dalam hatinya. Tetapi seperti kata-kata Ki Demang, ia
lebih senang membicarakan persoalan Swandaru daripada persoalan Sekar Mirah.
Meskipun demikian, Nyai Demang
tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya sehingga Ki Demang berkata,
“Sudahlah. Kita akan berbicara lagi besok. Sekarang, aku terlampau lelah.”
“Baiklah, Ki Demang. Sebaiknya
Kakang beristirahat. Besok kita dapat berbicara lebih banyak tentang anak-anak
kita. Keduanya.”
Ki Demang itu pun kemudian
pergi ke biliknya. Ketika ia lewat di depan bilik Sekar Mirah, dilihatnya anak
gadisnya telah tertidur lebih dahulu.
Sambil berbaring di
pembaringan, Ki Demang masih saja diliputi oleh berbagai macam bayangan.
Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah, Agung Sedayu, dan persoalan-persoalan yang
menyangkut mereka itu.
Malam semakin lama menjadi
semakin dalam. Angin yang dingin berhembus semakin kencang. Terasa udara yang
basah menyusup dari sela-sela dinding kayu mengusap nyala lampu yang
kemerah-merahan.
Sepi malam membuat hati Ki
Demang semakin ngelangut. Yang kemudian selalu mengambang di angan-angannya
adalah justru persoalan anak gadisnya.
Agung Sedayu adalah seorang
anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni. Tetapi seperti
yang dikatakan oleh istrinya apakah untuk seterusnya Agung Sedayu akan tetap
menjadi seorang petualang? Apakah ia akan mengikuti jejak gurunya, pergi dari
satu tempat ke tempat yang lain dengan mempergunakan seribu nama dan
penyamaran? Apakah Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi seorang ayah yang
baik, yang bekerja dengan tekun untuk menghidupi seluruh keluarganya dalam
segala seginya. Bukan hanya sekedar menyusupi kebutuhan lahiriah, tetapi juga
batiniah?
“Ah,” desis Ki Demang, “kenapa
aku justru dibingungkan oleh persoalan yang tidak menentu? Siapa tahu Agung Sedayu
mempunyai simpanan yang cukup untuk mulai dengan suatu kehidupan baru, atau apa
pun yang dapat dilakukan.”
Namun Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Ia pernah mendengar bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak tertarik
kepada tawaran kakaknya untuk menjadi seorang prajurit di Pajang.
Angan-angan itulah yang
membuat Ki Demang tidak segera dapat tertidur seperti juga istrinya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
sendiri pun telah dihinggapi oleh kerisauan yang sama. Tetapi ia tidak ingin
menunjukkannya kepada orang lain.
Yang juga diganggu oleh
kerisauan hati, tetapi dalam persoalan yang lain adalah Kiai Gringsing, Ki
Waskita, dan Ki Sumangkar. Mereka seolah-olah digelitik oleh perasaan yang sama
tanpa saling membicarakannya terlebih dahulu.
Desir angin di atap terdengar
gemerisik. Kadang-kadang keras, kemudian menjadi semakin lembut.
Meskipun mereka mengerti,
bahwa yang mereka dengar adalah benar-benar suara angin, namun ingatan mereka
segera melayang kembali ke Tanah Mataram. Di malam terakhir mereka merasa,
seolah-olah desah angin itu mengandung ancaman yang dapat membahayakan.
Dengan segenap ketajaman
indra, orang-orang tua itu pun mencoba menangkap kesan yang timbul dari desah
angin malam yang dingin itu. Namun mereka tidak merasakan sesuatu yang dapat menumbuhkan
kecurigaan apa pun.
“Agaknya ada sesuatu yang
tidak sewajarnya di Tanah Mataram,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
seperti juga Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
Namun mereka pun menjadi agak
tenang, karena di Mataram masih ada Ki Juru Martani yang tentu memiliki
ketajaman indra yang cukup baik untuk melindungi Tanah Mataram dari
kemungkinan-kemungkinan yang buruk.
Karena itulah maka mereka pun
kemudian mencoba menyingkirkan kecemasan hati mereka. Apalagi ketika kemudian
gerimis turun perlahan-lahan. Gerimis yang gemericik di sela-sela desah angin
malam yang dingin.
Terasa sejuknya udara telah
membuat mereka semakin tenggelam dalam perasaan kantuk sehingga mereka pun
kemudian segera tertidur dengan nyenyaknya. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung,
Nyai Demang, Agung Sedayu, dan mereka yang gelisah pun telah melupakan
kegelisahan mereka barang sejenak.
Waktu-waktu berikutnya
berjalan selangkah demi selangkah. Di hari-hari berikutnya, Ki Demang Sangkal
Putung nampak sibuk berbicara dengan orang-orang tua dari kademangannya dan
tamu-tamunya. Mereka mulai menghitung-hitung hari dan saat yang paling baik
untuk menentukan hari perkawinan Swandaru.
“Ki Argapati juga akan
menghitung hari dan saat yang paling tepat. Kita akan membicarakannya kelak
apabila ada dua atau tiga saat yang baik dipergunakan,” berkata Ki Demang
kepada orang-orang tua dari Sangkal Putung dan tamu-tamunya yang masih berada
di kademangan.
“Tetapi, bukankah Kiai
Gringsing adalah seorang dukun yang pandai?” bertanya salah seorang yang
berjanggut putih kepada Ki Demang.
“Ya,” jawab Ki Demang, “Kiai
Gringsing adalah seorang dukun yang jarang ada duanya.”
“Nah, bukankah Kiai Gringsing
dapat memilih hari yang paling baik buat saat perkawinan Angger Swandaru,
apalagi Angger Swandaru adalah muridnya?”
Ki Demang memandang Kiai
Gringsing yang tersenyum. Berkata dukun tua itu, “Maaf, Ki Sanak. Aku adalah
seorang dukun yang hanya dapat mengingat beberapa jenis dedaunan yang dapat
dipergunakan untuk mengobati luka-luka kecil. Tetapi sudah barang tentu bukan
untuk menentukan hari dan waktu seperti itu.”
“Ah, Kiai selalu merendahkan
diri. Tetapi Kiai adalah orang yang paling tepat,” berkata seorang yang usianya
sudah lanjut meskipun nampaknya masih segar.
Kiai Gringsing bergeser
sejenak lalu, “Maaf, seribu maaf. Bagiku hari-hari tidak ada bedanya. Itu
justru karena kebodohanku.”
Orang-orang Sangkal Putung
saling berpandangan sejenak. Namun seorang tua yang lain tersenyum sambil
berkata, “Aku sudah menduga bahwa Kiai akan berkata begitu. Tetapi aku pun tahu
bahwa Kiai adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luar biasa.”
Kiai Gringsing menjadi semakin
bingung. Karena itu ia berkata, “Bukan maksudku untuk berpura-pura. Tetapi aku
benar-benar tidak mengerti perbedaan hari yang satu dengan yang lain.”
Ki Demang yang mengerti serba
sedikit tentang Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Baiklah, Kiai. Agaknya
Kiai terlampau yakin akan diri sendiri, sehingga untuk berbuat sesuatu yang
penting sekali pun Kiai tidak memerlukan waktu yang khusus.”
Kiai Gringsing tertawa,
katanya, “Tentu bukan begitu. Yang benar, aku adalah orang yang terlampau bodoh
untuk mengerti kelainan waktu.”
“Nah,” berkata Ki Demang
kemudian, “kita akan kembali kepada orang-orang tua dari Sangkal Putung.
Kalianlah yang harus menentukan hari-hari yang paling baik itu.”
Orang-orang tua di Sangkal
Putung itu pun terdiam. Sekilas mereka memandang Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
Bagi mereka, tamu-tamu Ki Demang adalah orang-orang yang terhormat, dan sudah
barang tentu mereka menganggap tamu-tamu itu adalah orang-orang yang cukup
pandai. Mereka telah pernah mendengar, bahwa tamu-tamu Ki Demang adalah
orang-orang yang memiliki ilmu yang tiada taranya.
Tetapi mereka pun sudah
menduga, bahwa seperti Kiai Gringsing, tamu-tamu itu tentu akan merendahkan
dirinya dan menolak untuk mengatakan saat-saat yang paling baik bagi perkawinan
Swandaru.
Yang paling gelisah diantara
tamu-tamu Ki Demang adalah justru Ki Waskita. Ia mengerti, bahwa Ki Demang
Sangkal Putung itu serba sedikit telah mengenalnya. Ki Demang mengetahui bahwa
kadang-kadang ia dapat melihat isyarat apa yang akan terjadi di masa depan.
Jika Ki Demang bertanya kepadanya tentang Swandaru, maka ia tentu akan mendapat
kesulitan untuk menjawab. Selama ini ia sendiri telah digelisahkan oleh
penglihatannya atas isyarat tentang masa depan Swandaru. Bahkan kadang-kadang
ia memaksa dirinya untuk mengingkari penglihatannya sendiri.
“Swandaru anak baik,” katanya
dalam hati.
Ketika Ki Demang memandangnya,
maka Ki Waskita pun segera menundukkan kepalanya. Ia berharap bahwa Ki Demang
tidak akan bertanya kepadanya tentang Swandaru.
Ternyata Ki Demang tidak
bertanya kepadanya. Ia pun kemudian menyerahkan kepada orang-orang tua di
Sangkal Putung untuk menentukan hari yang paling baik bagi saat perkawinan
Swandaru itu.
Tetapi Ki Demang memang tidak
terlampau tergesa-gesa. Ia tidak ingin mendengar keputusan hari pada saat itu
juga.
“Masih banyak yang akan kita
bicarakan,” berkata Ki Demang, “kita memerlukan beberapa orang Patah, paling sedikit
dua orang gadis kecil dan dua orang anak muda. Kita memerlukan barang-barang
yang akan kita siapkan dan akan kita bawa. Kita akan memerlukan orang-orang
yang mengerti tentang jenis dan jumlah sesaji bukan saja di sekitar rumah,
halaman dan Kademangan ini, tetapi juga di sepanjang jalan yang akan dilalui
oleh Swandaru. Kita harus tahu pasti, upacara apa yang harus dilakukan di
sepanjang jalan. Misalnya, melemparkan telur ke sungai yang akan kita lalui,
mengelilingi Istana Kiai Sempok, sebatang randu Alas di ujung bulak Kali Asat.
Dan yang lain lagi, yang masih banyak harus kita pelajari. Karena itu, juga
tentang hari akan kita tentukan di saat lain. Kalian masih mempunyai waktu
untuk menghitungnya.”
Oramg-orang tua dari Sangkal
Patung itu mengangguk- angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Melempar
telur, mengelilingi Istana Randu Aras Kiai Sempok dan yang lain hanya harus
dilakukan jika kelak kita akan ngunduh pengantin. Jelasnya apabila dalam
iring-iringan pengantin terdapat pengantin laki-laki dan perempuan.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, “Ya, kelak jika Swandaru membawa istrinya pulang ke Sangkal Putung.”
“Ya.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Tetapi timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Lalu bagaimana dengan Tanah
Perdikan Menoreh? Ki Argapati hanya mempunyai seorang anak. Anak itu adalah
Pandan Wangi. Jika Pandan Wangi harus meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, lalu
siapakah yang akan memimpin Tanah Perdikan itu?”
Sekilas teringat oleh Ki
Demang, seorang laki-laki yang pernah ikut membakar Tanah Perdikan Menoreh.
Orang itu adalah orang kedua di Tanah Perdikan Menoreh. Jika tidak ada Ki
Argapati, maka orang yang bernama KI Argajaya itulah yang berhak atas Tanan
Perdikan Menoreh. Bahkan ia pernah berusaha bersama Sidanti, anak-laki-laki Ki
Argapati itu sendiri, untuk menyingkirkan Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
sebenarnya.
“Ah, itu persoalan yang dapat
dibicarakan nanti,” berkata Ki Demang di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka
orang-orang tua itu pun kemudian minta diri. Mereka masih harus datang lagi
lain kali dan tidak hanya sekali, tetapi dua kali, tiga kali dan berulang-ulang
kali untuk melanjutkan pembicaraan yang penting bagi keluarga Ki Demang Sangkal
Patung itu, dan sudah barang tentu dengan hidangan yang mbanyu-mili.
Dengan demikian, maka setiap
kali Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun selalu ikut serta
mendengarkan setiap pembicaraan yang merambat dengan lamban itu. Namun mereka
benar-benar menginginkan saat dan keadaan yang paling baik.
Sehingga akhirnya, semua rencana
pun telah tersusun. Ki Demang Sangkal Putung telah menentukan hari yang paling
baik yang akan disampaikan kepada Ki Argapati. Dan Ki Demang pun telah
mendapatkan dua orang gadis kecil sebagai Patah dan dua anak muda yang cukup
tampan, dan yang kebetulan adalah dua orang saudara kembar.
“Kita akan segera mengirimkan
utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika semuanya sudah mendapat persetujuan,
maka dalam waktu singkat kita akan mempunyai kesibukan,” berkata Ki Demang
kepada istrinya pada suatu saat.
“Jadi, kita akan mengantarkan
Swandaru lebih dahulu?” bertanya istrinya.
“Kenapa kau bertanya begitu?
Bukankah Swandaru memang lebih tua dari Sekar Mirah.”
“Tetapi di dalam perguruannya,
Agung Sedayu dianggapnya sebagai saudara tua.”
“Ah, biarlah. Yang penting
bagi kita adalah urutan anak-anak kita. Meskipun tidak ada salahnya seorang
gadis mendahului kakaknya, tetapi lebih baik jika kakaknya lebih dahulu baru
adiknya, sehingga kita tidak perlu menyediakan kelengkapan untuk melakukan
upacara nglangkahi.”
Nyai Demang hanya
mengangguk-angguk saja.
“Nah Nyai, kita harus sudah
mulai bersiap. Perkawinan ini tentu merupakan perkawinan yang meriah. Pandan
Wangi adalah satu-satunya anak Ki Gede Menoreh.”
“Dan dalam upacara ngunduh
penganten, kita tidak boleh kalah. Peralatan disini harus seimbang dengan
peralatan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun barangkali
Ki Gede Menoreh lebih berada daripada kita.”
“Maksudnya bukan begitu. Kita
tidak perlu saling bersaing di dalam upacara itu. Tetapi setidak-tidaknya kita
harus menghormati bakal mertua Swandaru.”
Sekali lagi Nyai Demang
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah Kademangan Sangkal
Putung mulai bersiap-siap. Nyai Demang mulai menyisihkan padi yang paling baik,
ketan yang putih dan beberapa ekor ayam dan kambing yang paling gemuk. Bahkan
Ki Demang kemudian telah memilih seekor lembu muda yang putih mulus.
Dalam pada itu, Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita justru bagaikan terikat untuk tetap
tinggal di Sangkal Putung. Bahkan Ki Demang meskipun belum resmi sudah mulai
menyinggung kemungkinan sekelompok utusan yang akan dimintanya pergi untuk
membuat keputusan terakhir ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku sendiri tidak dapat pergi
meninggalkan persiapan yang sedang kita lakukan,” berkata Ki Demang.
“Agaknya memang demikian,”
sahut Kiai Gringsing yang sudah merasa bahwa sebentar lagi ia akan menempuh
perjalanan sekali lagi ke Menoreh. Tentu bersama Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
“Tetapi perjalanan itu tentu
akan merupakan perjalanan pulang bagi Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya, “dan aku bersama Ki Sumangkar akan kembali berdua saja ke
Sangkal Putung.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita tinggal menunggu saja, kapan mereka
harus berangkat.
Sementara itu, selagi mereka
menunggu saat yang akan ditentukan oleh Ki Demang, mereka telah dikejutkan oleh
kedatangan sekelompok utusan dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah
Branjangan.
Ketika sekelompok pengawal
dari Mataram itu memasuki padukuhan induk, beberapa orang anak muda sudah
mendahului menghadap Ki Demang, dan melaporkan bahwa beberapa orang dengan
ciri-ciri yang mereka kenal sebagai pengawal-pengawal dari Mataram telah
datang.
“Apakah mereka hanya sekedar
singgah sejenak, atau ada kepentingan yang lain?”
“Kami tidak tahu Ki Demang.
Kami baru melihat mereka dari kejauhan.”
Karena itulah maka dengan
berdebar-debar Ki Demang bersama Kiai Gríngsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar
serta para bebahu yang kebetulan sedang berada diinduk Kademangan segera
menyongsong mereka ke regol halaman
Sebenamyalah bahwa sejenak
kemudian iring-iringan itu pun telah mendekati regol. Yang paling depan dari
sekelompok pengawal itu adalah Ki Lurah Branjangan.
Dengan berbagai pertanyaan
yang bergejolak di dalam hati, maka orang-orang Sangkal Putung itu pun
menyambut tamunya dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Meskipun Ki Lurah Branjangan
berusaha untuk tersenyum, namun nampak bahwa ada kegelisahan yang memancar di
wajahnya.
Betapa pun keinginan mendesak
di setiap dada mereka yang menyambut pengawal-pengawal itu, namun mereka tidak
dapat dengan serta merta menanyakan, apakah keperluan kedatangan sekelompok
kecil pengawal-pengawal itu.
Yang mula-mula mereka
tanyakan, seperti kebiasaan yang berlaku adalah keselamatan tamu-tamu itu di
sepanjang perjalanan.
“Tidak ada kesulitan apa pun
juga di perjalanan, Ki Demang,” jawab Ki Lurah Branjangan, “bagaimana dengan Ki
Demang sekeluarga, Kiai Gríngsíng dan kedua murid-muridnya, Ki Sumangkar dan Ki
Waskita?”
“Semuanya selamat. Seperti
yang Ki Lurah lihat, mereka sehat-sehat saja.”
“Sokurlah. Agaknya Ki Demang
sudah mempersiapkan segala sesuatu bagi peralatan perkawinan Angger Swandaru.”
Ki Demang tersenyum sambil
memandang Swandaru yang duduk di sisi pendapa itu bersama Agung Sedayu. Sambil
menarik nafas ia menyahut, “Begitulah Ki Lurah. Tetapi darimana Ki Lurah
mengetahuinya?”
“Setumpuk kayu di halaman
samping yang sudah dibelah-belah menjadi kayu bakar. Dinding-dinding yang mulai
dibersihkan. Halaman dan kebun yang menjadi semakin asri. Dan kesibukan yang
sudah nampak di Kademangan ini.”
“Tetapi waktunya masih cukup
lama Ki Lurah.”
“Berapa hari lagi perkawinan
itu akan berlangsung?”
“Menurut rencana kami, tetapi
masih harus disampaikan lebih dahulu kepada Ki Argapati, kira-kira selapan hari
lebih sedikit.”
“O, sudah terlampau dekat bagi
sebuah peralatan perkawinan yang besar.”
“Bukan peralatan yang besar,”
sahut Ki Demang, “hanya sekedar syarat agar tetangga di sebelah menyebelah
menjadi saksi perkawinan Swandaru kelak.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak akan membicarakan masalah perkawinan
Swandaru untuk seterusnya. Wajahnya yang sudah berkesan kegelisahan semakin
nampak, bahwa memang ada sesuatu yang akan di katakannya.
“Ki Demang,” berkata Ki Lurah
kemudian, “sebenarnyalah bahwa kedatangan kami membawa suatu kabar yang
barangkali penting bagi Ki Demang, dan tamu-tamu Ki Demang.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah ada sangkut pautnya dengan Kademangan
Sangkal Putung Ki Lurah?”
Ki Lurah menggeleng. Katanya,
“Tidak ada hubungan langsung dengan Kademangan Sangkal Putung. Tetapi meskipun
demikian, Ki Juru Martani menganggap perlu untuk memberitahukan persoalan ini
kepada Ki Demang dan tamu-tamu Ki Demang.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak ketika ia memandang wajah Kiai Gringsing, nampak wajah itu pun menjadi
tegang.
“Nampaknya penting sekali Ki
Lurah, sehingga Ki Lurah tidak sempat menunggu minuman dan makanan
dihidangkan,” berkata Kiai Gringsing.
“Terima kasih. Tentu kami akan
menunggu sampai minuman dan makanan dihidangkan, bahkan seandainya Ki Demang
menangkap beberapa ekor ayam dan disembelih. Tetapi rasa-rasanya aku ingin
mencampakkan pesan yang seolah-olah menyumbat dadaku agar kemudian aku dapat
duduk tenang dengan dada yang lapang.”
Kiai Gringsing pun menjadi
semakin ingin mengetahui, persoalan apakah yang sedang dibawa oleh Ki Lurah
Branjangan.
“Ki Demang,” berkata Ki Lurah
kemudian, “agaknya kedatangan kami dengan sekelompok pengawal yang bersenjata
lengkap seperti pergi ke medan perang, telah mengejutkan Sangkal Putung.”
Ki Demang mengangguk sambil
menjawab, “Ya Ki Lurah. Bukan karena pengawal yang bersenjata lengkap, karena
hal itu wajar sekali dilakukan dalam keadaan yang belum mantap benar seperti
sekarang ini bagi Mataram. Tetapi justru kedatangan Ki Lurahlah yang telah
mengejutkan kami.”
Ki Lurah Branjangan tersenyum,
meskipun nampak senyumnya agak dipaksakannya karena kegelisahan.
Ki Demang yang sebenarnya juga
ingin segera mengetahui persoalanya yang dibawa oleh Ki Lurah itu pun kemudian
bertanya, “Apakah sebenarnya persoalan itu, Ki Lurah?”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas. Wajahnya yang gelisah menjadi semakin bersugguh-sungguh. Dan diluar
sadarnya ia memandang Kiai Gringsing sambil berkata, “Kiai, berita ini akan
terasa sangat penting bagi Kiai.”
“Aku?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Ya. Baru beberapa hari Kiai
meninggalkan Mataram. Tetapi telah terjadi sesuatu yang sangat gawat. Justru
dalam keadaan seperti sekarang.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi wajahnya yang sudah berkerut oleh umurnya menjadi semakin berkerut.
“Kiai, sepeninggal Kiai,
Mataram telah mengalami bencana, sebenarnya bencana.”
Kiai Gringsing yang
bertanya-tanya di dalam hati itu pun masih juga terperanjat mendengar
keterangan itu. Tetapi ia masih menahan diri dan membiarkan Ki Lurah Branjangan
berkata seterusnya.
Tetapi Ki Lurah pun kemudian
berkata, “Maaf Ki Demang, agaknya berita yang aku bawa hanya boleh didengar
oleh orang tua-tua yang berkepentingan.”
Kata-kata Ki Lurah itu menjadi
semakin menggelisahkan hati. Karena itu, maka Ki Demang pun kemudian berkata
kepada bebahunya yang ada di pendapa itu, “Maaf, tinggalkan pendapa ini.
Agaknya memang ada sesuatu yang penting. Tetapi jangan pergi terlampau jauh.”
Bebahu Sangkal Putung yang ada
dipendapa itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka harus tunduk kepada Ki
Demang yang minta mereka meninggalkan pendapa itu. Mereka pun menyadari, bahwa
jika tidak dikehendaki, mereka tidak sewajarnya ikut membicarakan
persoalan-persoalan penting yang barangkali langsung menyangkut perkembangan
Mataram. Persoalan yang terlampau tinggi untuk mereka ketahui dan apalagi ikut
memikirkannya.
Swandaru dan Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sesaat. Apakah ia boleh ikut mendengarkan atau tidak. Karena
itu, mereka masih duduk saja ditempatnya ketika bebahu Sangkal Putung sudah
mulai bergeser dari pendapa.
Tetapi agaknya Ki Luran
Branjangan tidak berkeberatan. Ketika Ki Lurah mengangguk kedua anak muda itu
justru mendekatinya.
Sejenak Ki Lurah Branjangan
memandang berkeliling seakan-akan ingin meyakinkan, bahwa tidak ada lagi orang
yang dapat mendengar kata-katanya.
“Silahkan Ki Lurah,” berkata
Kiai Gringsing yang agaknya didesak oleh keinginannya untuk mengetahui
persoalan yang dibawa oleh Ki Lurah itu.
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Mataram telah kehilangan barang yang
paling berharga bagi Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang hilang?”
“Kanjeng Kiai Mendung.”
“Kanjeng Kiai Mendung,” hampir
bersamaan orang-orang yang mendengar itu mengulang dengan wajah yang tegang.
Ki Lurah Branjangan
mengangguk. Sekali lagi ia memandang berkeliling, seakan-akan ia masih belum
yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, “Bahkan lebih dari itu,”
desisnya kemudian.
“Apalagi?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Kanjeng Kiai Pleret.”
Setiap dada terguncang
mendencar jawaban itu, sehingga justru sesaat mereka diam membeku.
“Keduanya hilang dalam satu
saat.”
“Kapan?” bertanya Kiai
Gringsing dengan nada yang dalam.
“Semalam. Baru semalam.”
“Apakah Ki Juru Martani tidak
ada di Mataram?” bertanya Ki Waskita.
“Ada. Tetapi ia tidak kuasa
mencegahnya.”
“Bagaimana mungkin,” potong Ki
Sumangkar, “di Mataram ada Ki Juru Martani, Raden Sutawjaya, K Lurah dan
pengawal-pengawal yang sudah memiliki kemampuan dan tata gerak seperti prajurit
yang sebenarnya, karena sebagian dari mereka pun pernah menjadi prajurit.”
Ki Lurah menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Semua terjadi diluar dugaan kami. Agaknya sekelompok
orang-orang jahat telah dengan cermat mengamati keadaan sejak sebelum Ki Gede
Pemanahan wafat.”
Terdengar Kiai Gringsing
berdesis. Namun ia tidak berkata apa pun juga. Meskipun demikian nampak
wajahnya menjadi semakin tegang.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
selanjutnya, “tetapi dalam hal ini Ki Juru berpesan, agar kehilangan itu
dirahasiakan. Mataram akan kehilangan arti perkembangannya tanpa kedua pusaka
itu. Selebihnya, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani menjadi sangat takut,
jika Kanjeng Sultan di Pajang menjadi sangat marah dan mengambil
langkah-langkah yang dapat mematahkan sama sekali pertumbuhan Mataram.”
“Hampir tidak dapat
dimengerti,” desis Ki Sumangkar.
“Memang hampir tidak dapat
dimengerti,” gumam Ki Waskita.
“Apakah tidak ada isyarat atau
tanda-tanda apa pun yang pernah nampak oleh Ki Waskita,” tiba-tiba saja Ki
Lurah Branjangan bertanya, “hilangnya kedua pusaka Mataram adalah suatu
peristiwa yang besar. Karena itu, barangkali meskipun hanya seleret pernah
nampak isyarat itu.”
Ki Waskita menggeleng lemah,
katanya, “Aku tidak pernah menyangka bahwa hal serupa itu dapat terjadi,
sehingga karena itu, maka seandainya ada isyarat, namun tentu berada diluar
pengamatanku.”
“Meskipun demikian, barangkali
tanda-tanda itu ada.”
“Inilah ciri kepicikan
kemampuan seseorang Ki Lurah,” berkata Ki Waskita, “meskipun kadang-kadang aku
dapat melihat isyarat itu, tetapi aku adalah seorang yang dibatasi oleh banyak
sekali kekurangan.”
Ki Lurah menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Semula kami hanya pernah mendengar bahwa keris
Kanjeng Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten pernah hilang. Bahkan langsung dari
gedung perbendaharaan istana Demak. Dan kini Mataram mengalami peristiwa yang
hampir serupa.”
“Bagaimana hal itu terjadi?”
bertanya Kiai Gringsing. Sekilas terkenang olehnya udara yang mencurigakan pada
saat-saat terakhir ia berada di Mataram.
“Tentu ada hubungannya dengan
hilangnya pusaka-pusaka itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam harinya.
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Sesuatu telah terjadi semalam. Udara di Mataram
bagaikan ditaburi dengan racun. Semua orang yang bertugas telah kehilangan
kesadaran diri. Mereka tertidur ditempat tugas mereka masing-masing.”
“Sirep,” desis Ki Sumingkar,
“masih juga ada orang yang mempergunakannya saat ini. Dan masih juga ada orang
yang terpengaruh oleh kekuatannya.”
“Mungkin tidak akan dapat
mempengaruhi kesadaran Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Juga Ki
Juru Martani. Tetapi mereka yang tidak memiliki ilmu yang cukup kuat akan segera
terpengaruh. Aku tidak tahu, kenapa saat itu aku pun hampir kehilangar
kesadaran. Juga Raden Sutawijaya. Hanya dengan berjuang sekuat-kuatnya kami
dapat tetap sadar. Beberapa orang pemimpin di Mataram pun harus memusatkan
segenap kemampuannya agar mereka tidak tertidur.”
“Jadi, bagaimana mungkin
pusaka-pusaka itu hilang jika Ki Juru, Raden Sutawijaya, Ki Lurah sendiri dan
beberapa orang pemimpin masih tetap menyadari dirinya. Dan apakah dalam keadaan
yang demikian, Ki Juru dan para pemimpin di Mataram tidak segera menyadari
bahwa pusat perhatian orang lain terhadap Mataram, sepeninggal Ki Gede, adalah
kedua pusaka itu?”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung, seolah-olah ingin mengingat seluruh
peristiwa itu kembali.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “seakan-akan memang tidak mungkin terjadi. Sekelompok orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi telah menyerang Mataram pada malam itu. Dan kami
yang tetap mampu menyadari diri betapa pun pengaruh sirep itu menusuk ke dalam
jantung kami telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada.”
“Agaknya Ki Juru telah
terpancing keluar rumah malam itu,”geram Kiai Gringsing.
“Memang sulit mengatakannya.
Tetapi agaknya memang demikian. Ki Juru memang tidak mau meninggalkan bilik penyimpanan
pusaka itu. Ia hanya bertempur di depan pintu karena seorang yang memiliki
kelebilhan ilmu dari para penyerang yang lain telah mencoba masuk ke dalam
bilik itu. Namun ketika orang itu berhasil diusirnya, bahkan Ki Juru sudah
menahan diri tanpa mengejarnya, ternyata pusaka-pusaka itu sudah tidak ada di
dalam bilik.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian sekurang-kurangnya, diantara kelompok
penyerang itu ada dua orang yang memiliki ilmu setingkat dengan Ki Juru. Yang
pertama adalah yang bertempur di depan pintu, sedang yang lain yang berhasil
mengambil pusaka itu dari dalam bilik.”
“Demikianlah agaknya. Orang
yang mengambil pusaka itu ternyata telah memecahkan dinding kayu dan justru
masuk dari ruang dalam.”
Mereka yang mendengar
keterangan itu menjadi semakin tegang. Agung Sedayu dan Swandaru tanpa
menyadarinya telah bergeser semakin dekat. Dengan suara bergetar Swandaru
menyela, “Berapa orang yang datang malam itu Ki Lurah.”
“Tidak kurang dari tujuh atau
delapan orang. Meskipun jumlah kami yang mampu melepaskan diri dari sirep yang
kuat itu lebih dari sepuluh orang dan yang dengan sikap naluriah telah
berkumpul di pendapa rumah Raden Sutawijaya, namun kami tidak mampu menahan
mereka karena sebagian dari kami memang sudah dipengaruhi oleh gangguan
kekuatan sirep itu. Sebagian dari kami harus berjuang melawan kekuatan sirep
dan bertempur sekaligus melawan orang-orang yang memiliki kemàmpuan yang cukup
tinggi.”
Ki Sumangkar yang tegang itu
pun tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jarang sekali orang yang
dapat melontarkan kekuatan sirep yang sebenarnya. Jika orang-orang Mataram itu
kemudian tertidur di tempat tugasnya, maka sirep itu tentu dilontarkan oleh
seseorang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.”
“Mungkin. Tetapi gerombolan
itu mungkin memiliki dua atau tiga orang yang bersama-sama mempergunakan
ilmunya, sehingga kekuatan sirep itu menjadi berlipat,” desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa sesuatu mencengkam jantungnya. Hilangnya
kedua pusaka itu tentu akan mempunyai arti yang jauh bagi Mataram.
Karena itu, Kiai Gringsing
sependapat, bahwa hilangnya kedua pusaka itu memang harus dirahasiakan. Bahkan
orang-orang Mataram sendiri pun harus tidak mengetahuinya, selain beberapa orang
pemimpin yang sangat terbatas.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
kemudian, “sebagian dari kami percaya, bahwa kedua pusaka itu adalah
kelengkapan yang menentukan dari seseorang yang akan menjadi pemimpin. Bahkan
ada diantara kami dan barangkali juga beberapa pihak yang percaya bahwa siapa
yang dapat memiliki Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung akan dapat
menjadi raja yang besar, meskipun masih harus dilengkapi dengan pusaka-pusaka
yang lain, terutama Kanjeng Kiai Sangkelat.”
“Bagaimana dengan Kanjeng Kiai
Nagasasra dan Kanjeng Kiai Sabuk Inten?”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Katanya, “Pusaka-pusaka itu memang harus dipersatukan
jika seseorang ingin memiliki kedudukan yang kuat. Tetapi tidak mustahil bahwa
gerombolan yang mengambil Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung akan
berusaha untuk memiliki pusaka-pusaka yang lain, karena dengan memiliki
sebagian dari pusaka-pusaka itu, masih belum berhasil dapat memegang pimpinan
pemerintahan. Sekelompok kekuatan yang pernah menyimpan Kanjeng Kiai Nagasasra
dan Sabuk Inten untuk beberapa lamanya ketika kedua pusaka itu hilang, ternyata
sama sekali tidak berhasil merebut pemerintahan yang saat itu berada di tangan
Sultan Trenggana di Demak. Bahkan kedua pusaka itu telah menyeret mereka ke dalam
malapetaka dan kemusnahan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebenarnyalah bahwa pusaka-pusaka itu mempunyai
pengaruh pada seseorang yang memilikinya. Tetapi hubungan timbal balik antara
kekuatan-kekuatan yang ada pada diri seseorang dan kemampuannya menyesuaikan
diri dengan pengaruh yang ada pada pusaka-pusaka itulah sebenarnya yang dapat
menentukan sifat-sifat yang terpancar dari pusaka-pusaka itu yang harus di
dalami dan luluh di dalam diri seseorang. Barulah pusaka itu mempunyai arti.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Lalu, “Kegelisahan yang besarlah yang kini tengah
mencengkam Mataram.”
“Sudah tentu. Terlebih-lebih
adalah Ki Juru Martani,” desis Ki Waskita.
“Ya,” sahut Ki Lurah, lalu
tiba-tiba saja berkata kepada Ki Waskita, “Ki Waskita, sebagian harapan kami
ada pada Ki Waskita. Tentu Ki Waskita dapat mengetahui siapakah yang telah
mengambil pusaka-pusaka itu.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Aku mengerti maksud Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah memerlukan
penjelasan.”
Ki Lurah Branjangan memandang
Ki Waskita dengan tatapan mata yang mengandung harapan. Meskipun demikian ada
sesuatu yang agaknya harus diterimanya sebagai suatu kenyataan.
“Ki Lurah,” berkata Ki
Waskita, “sebenarnyalah bahwa aku mendapat anugerah dapat melihat isyarat dari
berbagai peristiwa dimasa mendatang. Tetapi sudah barang tentu amat sulit untuk
mengetahui dimanakah kedua pusaka itu berada. Aku tidak dapat mengatakan dengan
pasti, apa yang sebenarnya akan terjadi selain sebuah uraian tentang isyarat.
Sedangkan pusaka-pusaka yang ada di Mataram itu telah hilang. Dan aku tidak
dapat melihat, siapakah yang mengambilnya.”
“Tetapi setidak-tidaknya Ki
Waskita dapat menunjukkan, apakah yang harus kami lakukan? Ki Waskita dapat
mencari anak Ki Waskita yang hilang itu dengan arah yang tepat. Sudah barang
tentu sekarang Ki Waskita dapat juga menunjukkan kepada kami, dimanakah pusaka
itu berada. Di barat, di timur, di selatan atau di utara, atau dimana saja.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia memang belum mencoba untuk menangkap isyarat dari pusaka yang
hilang itu. Tetapi seandainya ia berusaha sekalipun, belum tentu ia dapat
menangkapnya. Hubungan antara dirinya dan pusaka itu tidak sedekat hubungan
antara dirinya dengan anaknya, sehingga getaran yang paling halus pun mampu
menyentuh mata hatinya. Apalagi jarak jangkau kemampuannya pun terbatas,
sehingga tidak semua masalah dapat dicapainya dengan ketajaman penglihatan
batinnya.
“Jika aku melihat seisi bumi
peristiwa yang sudah dan yang akan terjadi, maka aku adalah Yang Maha Melihat.
Dan jika aku berani menyangka diriku demikian, maka itu adalah alamat
keruntuhanku sendiri,” berkata Ki Waskita kepada dirinya sendiri.
“Ki Lurah,” katanya kemudian,
“keterbatasan pengetahuan manusia tidak dapat diingkari. Karena itu jangan
terlampau banyak mengharap. Barangkali aku dapat berusaha melihat sesuatu yang
dapat nampak, dalam hubungannya dengan pusaka-pusaka itu. Tetapi itu pun tentu
terbatas sekali.”
“Cobalah Ki Waskita,” sahut Ki
Lurah Branjangan, “Raden Sutawijaya mengharap bantuan Ki Waskita.”
“Tetapi sudah barang tentu Ki
Lurah tidak tergesa-gesa. Ki Lurah akan beristirahat sebentar di Sangkal
Putung. Atau barangkali bermalam satu atau dua malam.”
“Tentu tidak. Aku harus segera
kembali. Bahkan jika mungkin, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita
diharap pergi bersamaku ke Mataram.”
Undangan itu membuat hati Ki
Demang menjadi berdebar-debar. Belum lagi ia dapat melaksanakan keinginannya
untuk segera mengawinkan anaknya, tiba-tiba datang lagi persoalan yang mungkin
dapat menunda saat-saat yang sudah lama ditunggunya itu.
Tetapi untuk memotong
pembicaraan itu rasa-rasanya Ki Demang agak segan juga, karena ia mengerti
bahwa masalahnya adalah masalah yang sangat penting bagi Mataram.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing
dapat menangkap kegelisahan itu sehingga katanya, “Ki Lurah. Sudah barang tentu
kami tidak akan berkeberatan. Tetapi kami mohon waktu sedikit. Dengan demikian
kami mohon maaf bahwa kami tidak dapat pergi bersama Ki Lurah hari ini. Kami
akan segera menyusul, mungkin besok, mungkin lusa.”
Ki Lurah Branjangan merasa
menjadi sangat kecewa. Tetapi ia pun dapat mengerti, agaknya Kademangan Sangkal
Putung sudah disibukkan oleh persiapan saat-saat perkawinan Swandaru.
Kiai Gringsing pun dapat
membaca kekecewaan yang tersirat di wajah Ki Lurah itu. Katanya, “Ki Lurah.
Agaknya aku sudah dipastikan oleh Ki Demang untuk sekali lagi pergi ke Tanah
Perdikan Menoreh untuk menyampaikan keputusan terakhir dari pembicaraan yang
berkepanjangan tentang Angger Swandaru. Aku akan datang ke Tanah Perdikan
Menoreh dengan kepastian waktu, saat dan upacara yang akan sama-sama dilakukan,
baik di Tanah Perdikan Menoreh, mau pun di Sangkal Putung.”
“Dalam perjalanan itu Kiai
akan singgah di Mataram?” bertanya Ki Lurah.
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
“mungkin aku dapat melakukan tugas yang dibebankan oleh Ki Demang, sekaligus
menghadap Ki Juru Martani. Aku ingin lebih banyak mengetahui persoalan yang
sedang menggelisahkan Mataram.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk.
Namun kemudian ia bergeser maju. Sekali lagi ia memandang berkeliling.
Dilihatnya diregol halaman, beberapa orang bebahu dan pengawal sedang
bercakap-cakap.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “ada sesuatu yang harus aku tunjukkan kepada Kiai. Kecuali isyarat
yang kami harapkan dapat dilihat oleh Ki Waskita, maka barangkali pertanda yang
kami ketemukan setelah terjadi pertempuran di pintu bilik pusaka itu dapat
memberikan sedikit petunjuk.”
Kiai Gringsing menjadi semakin
tegang. Bahkan ia pun bergeser setapak sambil bertanya, “Pertanda apa yang
dapat kau lihat?”
“Bukan saja aku lihat, tetapi
diketemukan oleh Ki Juru. Sekarang tanda itu ada padaku dan atas perintah Ki
Juru, tanda itu supaya aku tunjukkan kepada Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku ingin sekali melihat tanda itu.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian mengambil sebuah kampil kecil dari kantung ikat pinggang kulitnya yang
lebar. Kemudian kampil kecil itu pun diberikannya kepada Kiai Gringsing sambil
berkata, “Kampil itulah yang diketemukan oleh Ki Juru Martani. Silahkan melihat
isinya. Barangkali Kiai dapat memberikan tanggapan atas benda itu.”
Dengan dada yang
berdebar-debar Kiai Gringsing menerima kampil kecil itu dari tangan Ki Lurah
Branjangan. Sebuah kampil dari kain berwarna putih, meskipun agaknya sudah
cukup tua sehingga menjadi kekuning-kuningan.
Pada saat Kiai Gringsing
menerima kampil itu sudah terasa ditangannya sebuah benda yang pipih di
dalamnya. Sebuah benda yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak.
“Ternyata kedua pusaka itu
benar-benar telah mengundang kesulitan bagi Mataram,” berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya, “namun kedua benda itu memang dapat memberikan pengaruh bagi
mereka yang memilkinya. Kanjeng Kiai Pleret adalah pusaka yang tidak ada
duanya. Sentuhan ujung tombak itu, dan goresan setebal rambut terbagi tujuh,
telah dapat melepaskan nyawa orang yang paling sakti sekalipun, bahkan yang
memiliki ilmu kebal rangkap lima. Ilmu Lembu Sekilan, ilmu Tameng Waja dan
segala macam ilmu keteguhan jasmaniah yang lain yang terpancar dari tenaga
cadangan di dalam diri seseorang. Sedangkan Kanjeng Kiai Mendung adalah
perlambang kekuasaan yang dilimpahkan oleh Kanjeng Sultan Pajang bagi putra
angkatnya, seolah-olah memang demikianlah yang dikehendakinya, bahwa Pajang
akan mengalirkan kekuasaannya ke Mataram. Dan kini kedua pusaka itu telah
hilang.”
Tanpa disadarinya, dengan dada
yang berdebar-debar Kiai Grinsing mencoba untuk mengetahui isi kampil kecil itu
dengan jari-jarinya. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdentangan.
Rasa-rasanya benda di dalam kampil itu akan sangat mengejutkannya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
dapat menduga, apakah yang akan ditemukannya di dalam kampil itu. Sehingga
karena itu, ia pun kemudian dengan tangan yang gemetar membuka ikatannya
perlahan-lahan.
Bukan saja Kiai Gringsing yang
menjadi tegang. Tetapi mereka yang menunggu tangan Kiai Gringsing mengambil
benda yang berada di dalam kampil itu pun menjadi tegang pula. Ki Sumangkar, Ki
Waskita, Agung Sedayu, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung seolah-olah tidak
sabar lagi menunggu, apakah yang akan dilihatnya.
Ki Lurah Branjangan dan
beberapa orang pengawal terpercaya dari Mataram, yang merupakan orang-orang
tertentu yang boleh mengetahui rahasia hilangnya kedua pusaka itu, menjadi
tegang pula meskipun mereka sudah melihat benda yang berada di dalam kampil
itu.
Sesaat kemudian maka Kiai
Gringsing pun menarik benda yang berada di dalam kampil itu. Sebuah benda yang
pipih kehitam-hitaman, yang ternyata adalah kepingan perak hitam yang dipahat
dengan sebuah lukisan.
Sejenak Kiai Gringsing
mengamat-amati lukisan itu. Semakin lama nampak ia menjadi semakin tegang dan
gelisah. Keningnya yang memang sudah berkerut-merut menjadi semakin berkerut
lagi.
Pendapa itu bagaikan dicengkam
oleh kesenyapan yang tegang. Tidak seorang pun yang bergerak, apalagi berdesah.
Bahkan mereka seolah-olah menahan nafas masing-masing.
Dengan tanpa berkedip mereka
memandang benda yang dipegang oleh Kiai Gringsing itu.
Meskipun tidak terucapkan,
namun seolah-olah setiap sorot mata yang menatap benda itu memancarkan
pertanyaan yang menyesak di dalam hati. Benda yang rasa-rasanya mempunyai arti
yang besar bagi hilangnya kedua pusaka itu dari Mataram.
Tiba-tiba dalam keheningan
yang menyesak itu, terdengar suara Kiai Gringsing, “Benda ini mempunyai arti
tersendiri. Tetapi apakah benda ini terjatuh selagi pemiliknya bertempur
melawan Ki Juru Martani, atau dengan sengaja dijatuhkannya untuk memberikan
tekanan atas tindakannya mengambil kedua puasaka itu?”
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “di dalam kampil itu masih ada secabik kain yang bertuliskan
beberapa kata yang tentu akan sangat menarik.”
Kiai Gringsing rasa-rasanya
tidak sabar lagi. Dengan tergesa-gesa tangannya meraih sesobek kain yang memang
terdapat di dalam kampil itu.
Mereka yang menyaksikan
sesobek kain itu pun sekali lagi terperanjat. Kain itu ditulisi dengan
huruf-huruf berwarna merah.
“Darah,” desis Ki Sumangkar.
“Ya. Agaknya kain ini ditulisi
dengan darah,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-nya, “Ki Juru juga berkata demikian.”
“Cobalah membaca Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Memang ada kesengajaan. Benda itu dengan
sengaja di jatuhkannya.”
“Apakah bunyi surat berwarna
darah itu Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing mengamat-amati
sesobek kain itu. Kemudian membacanya, “Kamilah yang berhak atas pusaka-pusaka
itu, karena hanya kamilah yang berhak mewarisi kejayaan tahta Majapahit.”
“Kiai,” desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas.
Katanya, “Agaknya pertanda ini adalah pertanda dari sebuah perguruan yang
semula tidak pernah berkembang. Tetapi pimpinan dari perguruan itu langsung
merupakan keturunan dari Majapahit.”
“Kiai,” Ki Waskita bergeser,
“yang dikenal oleh Ki Juru Martani keturunan langsung dari Majapahit adalah
Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita dengan tegang. Ia mengerti maksud Ki Waskita, sehingga karena itu maka
ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Tetapi Ki Juru tentu tidak
akan dengan tergesa-gesa menyangka, bahwa akulah yang telah datang mengambil
pusaka-pusaka itu.”
Ki Lurah Branjangan nampak
menjadi semakin gelisah.
Kemudian katanya, “Memang
tidak Kiai. Meskipun semula Ki Juru terganggu juga untuk menyebut nama Kiai
Gringsing, tetapi benda itu memberikan petunjuk kepada Ki Juru bahwa bukan
perguruan Empu Windujatilah yang telah mengambil pusaka-pusaka itu.”
Kiai Gringsing terkejut.
Katanya, “Apakah kau mengetahui beberapa hal tentang Empu Windujati.”
“Dalam keadaan yang tegang, Ki
Juru Martanl mengucapkannya. Seperti juga baru saja diucapkan oleh Ki Waskita
tanpa sadar bahwa Kiai adalah keturunan langsung dari Majapahit.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tanpa sesadarnya ia memandang kedua muridnya yang terheran-heran.
Tetapi Kiai Gringsing masih sempat berkata, “Hampir setiap orang dapat menyebut
dirinya keturunan Majapahit. Aku pun dapat menganggap diriku demikian. Tetapi,
jarak antara Majapahit dan aku sudah terlampau jauh.”
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “pengawal-pengawalku adalah orang-orang yang terpercaya dan terikat
sumpah akan kesetiaannya. Mereka tidak akan berbuat sesuatu diluar kehendak
kami bersama.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi ia pun kemudian berkata, “Lihatlah Ki Lurah Branjangan. Benda perak
hitam ini menunjukkan ciri-ciri khusus. Lihatlah bentuk perisai yang aneh itu.
Bulat tetapi bergerigi. Kemudian ditengah-tengahnya terdapat perlambang yang
aneh pula. Bukan binatang yang garang dan mempunyai lambang kekuatan. Tetapi
seekor kelelawar. Perlambang dari salah satu bentuk kehidupan malam yang
hitam.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali ia memandang wajah Kiai Gringsing
dan kawan-kawannya yang masih saja diliputi oleh ketegangan. Terlebih-lebih Ki
Waskita yang bukan saja karena benda dan surat yang masih dipegang oleh Kiai
Gringsing, tetapi juga keterlanjurannya menyebut hubungan antara Kiai Gringsing
dengan Majapahit.
“Tetapi pada suatu saat kedua
muridnya itu pun harus mengetahuinya pula. Apalagi peristiwa hilangnya kedua
pusaka itu akan memaksa Kiat Gringsing berbuat sesuatu atas nama perguruan Empu
Windujati meskipun dalam lingkungan yang sangat terbatas. Tetapi karena
seseorang telah menyebut dirinya keturunan Majapahit yang merasa berhak atas
warisan tahta dan kejayaan Majapahit, maka pada suatu saat tidak ada jalan lain
bagi Kiai Gringsing untuk menyebut dirinya keturunan Majapahit pula dalam
menghadapi orang yang mempunyai perlambang yang aneh itu.”
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun kemudian berkata, “Ki Lurah Branjangan, menurut pengamatanku, bahwa
orang-orang yang mempergunakan ciri binatang dalam kehidupan kelam itu memang
mungkin keturunan Majapahit. Tetapi aku masih harus mencari hubungan dengan
nama-nama yang masih aku kenal. Seperti yang kita ketahui, orang yang menyebut
dirinya keturunan Majapahit terlampau banyak. Bahkan siapa pun dapat menyebut
dirinya keturunan raja-raja Majapahit, karena terlampau sulit untuk
membuktikannya apakah pengakuannya itu benar atau tidak.”
“Tetapi yang meninggalkan
benda ini?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Menurut dugaanku, orang yang
menimggalkan benda ini benar-benar orang yang merasa dirinya berhak mewarisi
kerajaan Majapahit.”
“Apakah ada tanda yang Kiai
kenal?”
“Aku masih harus
menyelidikinya. Tetapi rasa-rasanya aku mendapat firasat, bahwa masih ada
keturunan yang sebenarnya, yang merindukan kejayaan Majapahit. Tetapi bukan
kejayaan Majapahit sebagi suatu negeri, namun yang diimpikannya adalah
semata-mata kamukten yang akan didapatkannya apabila benar-benar wahyu keraton
dapat di-milikinya dengan menyimpan pusaka-pusaka yang memiliki pengaruh yang
kuat terhadap tegaknya sebuah kerajaan.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Lalu, “Kiai, sebaiknya Kiai bertemu dengan Ki Juru Martani. Mungkin Kiai dan Ki
Juru akan dapat memecahkan teka-teki yang terdapat pada benda yang aneh dan
menyimpan rahasia itu.”
“Baiklah Ki Lurah. Besok atau
lusa aku tentu akan singgah di Mataram.”
“Jangan terlampau lama Kiai.
Pusaka itu tentu sudah menjadi terlampau jauh, sehingga kemungkinan untuk
segera diketemukan menjadi semakin kecil.”
“Tentu, segera,” jawab Kiai
Gringsing, “sebenarnyalah bahwa aku pun berkepentingan dengan diketemukannya
pusaka-pusaka itu. Bukan karena kepentingan pribadi, tetapi jika pusaka-pusaka
itu masih berada di tangan orang-orang yang merasa dapat mewarisi kedudukan
tahta Majapahit dengan mengumpulkan pusaka-pusaka serupa itu, maka ketenteraman
tidak akan dapat terwujud. Orang-orang itu tentu akan berusaha untuk mendapatkan
pusaka-pusaka yang lain dan yang lain, sehingga keributan akan terjadi
dimana-mana.”
“Terima kasih Kiai.
Mudah-mudahan Kiai akan segera berada di Mataram.”
“Lalu, bagaimana dengan benda
ini? Jika tidak berkeberatan, apakah benda ini dapat aku pinjam sejenak. Pada
saat aku singgah di Mataram, benda ini akan aku kembalikan kepada Ki Juru
Martani.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Beberapa saat ia menimbang-nimbang. Tetapi agaknya Ki
Juru Martani tidak akan marah karena benda itu berada di tangan orang yang
dapat dipercaya.
“Tentu orang yang mengambil
pusaka-pusaka itu tidak ada hubungannya dengan Kiai Gringsing. Ciri Kiai
Gringsing berbeda sekali dengan ciri yang terpahat pada benda pipih dari perak
hitam itu,” berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya.
Dengan demikian maka akhirnya
ia mengangguk sambil berkata, “Aku percayakan benda itu kepada Kiai. Dan tentu
Kiai akan membawanya dan mengembalikannya kepada Ki Juru dalam waktu yang
singkat. Apalagi agaknya Ki Juru ingin segera berbicara dengan Kiai dalam
persoalan ini.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Jawabnya, “Aku mengerti. Dan aku benar-benar akan segera datang.”
“Jika demikian, maka agaknya
keperluanku untuk datang ke Sangkal Putuing sudah selesai. Karena itu, maka
kami akan segera mohon diri.”
“Ah,” potong Ki Demang,
“demikian tergesa-gesa.”
“Mataram baru dalam keadaan
yang gawat.”
“Tetapi nanti dulu. Bagaimana
pun juga aku belum dapat melepaskan Ki Lurah dan para pengawal meninggalkan
pendapa ini, karena jika demikian, maka perempuan-perempuan yang sedang dengan
tergesa-gesa menyiapkan hidangan makan akan menjadi sangat kecewa. Sebentar
lagi, dan kita akan makan bersama-sama.”
Ki Lurah tidak dapat memaksa,
karena dengan demikian Ki Demang akan benar-benar menjadi kecewa. Karena itu maka
mereka pun terpaksa menunggu sejenak.
Sementara itu Ki Lurah masih
sempat berkata, “Bahwa semuanya yang terjadi, tetap merupakan rahasia bagi
rakyat Mataram. Selain orang-orang yang sangat terbatas, tidak ada yang
mengetahui bahwa kedua pusaka itu hilang. Rakyat Mataram sama sekali tidak akan
pernah membicarakan kedua pusaka itu, karena mereka sama sekali tidak
mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi.”
“Baiklah,” jawab Kiat
Gringsing, “kami pun akan membatasi diri. Tidak akan ada orang lain yang mengetahui
bahwa pusaka-pusaka itu telah hilang, dan tidak ada orang lain yang akan
mengatakan bahwa langsung atau tidak langsung Kiai Gringsing mempunyai hubungan
dengan darah keturunan Majapahit.”
Ki Lurah mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baik Kiai. Kami akan memegang
semua rahasia itu sebaik-bailknya. Jika rahasia itu terlontar dari antara kita
dan didengar oleh banyak orang, maka kegelisahan akan segera timbul dan
mengganggu perkembangan Mataiam selanjutnya.”
“Kita akan berbuat sebaik-baiknya.
Kami di sini pun akan dapat berbuat dengan sikap dewasa.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Ia memang percaya sepenuhnya kepada orang-orang yang kini
berada di Kademangan Sangkal Putung itu, bahwa mereka adalah orang-orang yang
matang di dalam sikap dan perbuatan. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung pun tentu
akan berbuat serupa pula.
Demikianlah maka mereka pun
segera mengakhiri pembicaraan yang mereka anggap rahasia itu. Karena itu maka
para bebahu dan orang-orang lain yang berada di luar pendapa, segera
dipersilahkannya naik lagi ketika kemudian hidangan mulai mengalir dari dapur.
Sejenak kemudian maka mulailah
Ki Demang menjamu tamu-tamunya. Beberapa orang bebahu tidak ikut makan bersama
karena mereka baru saja makan di rumah masing-masing. Meskipun demikian mereka
ikut pula di pendapa melingkari hidangan yang masih panas.
Sambil menyuapi mulut
masing-masing, mereka yang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung itu pun
berbicara tentang berbagai macam persoalan. Tetapi sebagian besar pembicaraan
mereka berkisar kepada saat-saat mendekati perkawinan Swandaru.
Namun Swandaru sendiri tidak
terlampau banyak ikut campur dalam pembicaraan itu. Hanya sekali-sekali saja ia
tertawa dan menyahut menurut tanggapannya yang kadang-kadang memang dapat
menumbuhkan gelak tertawa.
Tetapi sebenarnya Swandaru
sendiri sedang diganggu oleh persoalan yang dihadapi oleh Mataram, ditambah
lagi persoalan yang samar-samar tentang gurunya.
“Apakah hubungannya
pusaka-pusaka yang hilang itu dengan keturunan darah Majapahit. Dan apakah
hubungannya Guru dengan darah Majapahit itu pula,” bertanya Swandaru di dalam
hatinya.
Namun demikian ia harus
menyimpan pertanyaan itu dalam hati karena yang selalu terdengar di antara
mereka justru persoalan Swandaru itu sendiri.
Kecuali Swandaru, Agung Sedaya
pun selalu diganggu oleh pertanyaan yang serupa. Namun ia berusaha menyisihkan
persoalan itu untuk beberapa saat, karena ia tidak akan dapat merenunginya
sebaik-baiknya di dalam pertemuan itu, justru karena mereka yang ada di pendapa
itu dengan sengaja berusaha untuk mengesampingkannya pula.
Setelah mereka selesai dengan
jamuan makan, dan setelah beristirahat sejenak, Ki Lurah Branjangan tidak dapat
ditahan lebih lama lagi. Ia pun segera mohon diri kepada Ki Demang Sangkal Putung
sambil berkata, “Ki Demang, lain kali kami akan datang lagi. Bukankah Ki Demang
akan segera menyelenggarakan peralatan perkawinan Angger Swandaru, dan yang
akan segera disusul pula dengan adiknya? Ki Demang, agaknya beruntung pula
Angger Agung Sedayu, karena ternyata Sekar Mirah pandai pula memasak. Aku kira
hidangan yang baru saja kita nikmati adalah hasil tangan Sekar Mirah.”
Ki Demang hanya tersenyum
saja. Agung Sedayu bahkan menundukkan kepalanya dengan wajah yang
kemerah-merahan.
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan, bersama para pengawalnya pun segera bergeser dari tempatnya. Mereka
benar-benar akan meninggalkan Sangkal Putung untuk segera kembali ke Mataram.
Ki Demang Sangkal Putung tidak
dapat menahan mereka lagi. Ia mengerti, persoalan yang sedang dihadapi oleh
Mataram adalah persoalan yang memang gawat. Karena itu, maka dilepaskannya
tamunya meninggalkan Kademangannya.
Setelah sekali lagi minta
diri, maka Ki Lurah Branjangan pun segera menuntun kudanya ke regol halaman. Ia
masih sempat minta diri pula kepada Sekar Mirah yang ikut mengantar
tamu-tamunya sampai ke pintu halaman.
“Aku menunggu undangan yang
akan diberikan oleh Ki Demang,” berkata Ki Lurah kepada Sekar Mirah, “setelah
kakakmu, tentu segera kau akan menyusul.”
“Ah,” desah Sekar Mirah.
Tetapi ia tidak melanjutkannya. Ki Lurah Branjangan adalah seorang yang belum
terlampau dikenalnya, meskipun ia mengerti bahwa Ki Lurah itu adalah salah
seorang pemimpin dari Mataram yang sedang tumbuh dan berkembang.
Sepeninggal tamu-tamunya dari
Mataram, dan setelah orang-orang lain meninggalkan pendapa, maka mulailah Kiai
Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Ki Demang berbincang tentang hilangnya
pusaka-pusaka yang dirahasiakan itu.
“Kiai Gringsing,” berkata Ki
Waskita, “apakah Kiai sama sekali tidak mengerti, ciri-ciri yang nampak pada
benda yang agaknya dengan sengaja ditinggalkan itu, sesuai dengan bunyi kalimat
yang ditulis pada sesobek kain dengan warna darah itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Banyak orang yang merasa dirinya keturunan Majapahit.
Seperti yang Ki Waskita ketahui, saat Majapahit pecah, banyaklah para penghuni
Istana, yang berpencaran mengungsi. Bahkan sebelum itu pun sudah banyak
keturunan Majapahit yang bertebaran karena sudah barang tentu tidak semuanya
akan selalu berada dalam lingkungan yang sama. Dan mereka serta keturunan
mereka pun berhak menyebut diri mereka keturunan langsung dari Majapahit.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Arya Penangsang pun dapat menyebut dirinya keturunan
Majapahit. Karena itulah maka ia merasa dirinya lebih dekat dengan tahta Demak
daripada Mas Karebet, anak dari Pengging itu.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Mas Karebet hanyalah seorang
menantu dari Sultan Trenggana. Tetapi Arya Penangsang adalah putra dari
Pangeran Sekar Seda Lepen.”
“Apakah sekarang akan tumbuh
lagi orang-orang yang merasa dirinya berhak atas tahta dan berbuat seperti Arya
Penangsang itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak dapat menjawab, Justru karena ia merasa salah seorang
yang pernah berada di dalam lingkungan Arya Penangsang. Ia adalah adik
seperguruan Patih Jipang yang pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap.
“Korban telah cukup banyak,”
berkata Ki Sumangkar kemudian, “memang tidak seharusnya terjadi lagi
pertentangan yang apalagi melahirkan peperangan seperti yang pernah terjadi
antara Jipang dan Pajang.”
“Bukan hanya Jipang dan
Pajang,” desis Kiai Gringsing.
“Ya. Kematian yang disebar
oleh Arya Penangsang mencengkam daerah yang sangat luas. Prawata, Kalinyamat,
dan Pajang. Memang seperti yang aku katakan, sudah cukup banyak. Karena itu,
bukanlah berita yang menggembirakan jika masih ada orang yang beralaskan
keturunan darah Majapahit kemudian dengan sengaja menumbuhkan pertentangan.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi nampak betapa pahitnya kenyataan yang harus dihadapinya. Benda yang
masih ada ditangannya itu di timangnya, kemudian setelah diamat-amatinya
beberapa saat, dimasukkannya kembali ke dalam kampil kecil dan disimpannya di
dalam kantung ikat pinggangnya yang lebar. Namun setiap kali dengan kerut merut
dikening, benda itu diambilnya, diamat-amati sejenak, dan disimpannya lagi.
“Kiai,” berkata Ki Waskita
kemudian, “persoalan yang dihadapi oleh Mataram kali ini adalah persoalan yang
gawat sekali. Beberapa kali ada usaha untuk membenturkan Mataram dengan Pajang.
Tetapi usaha itu tidak pernah berhasil. Kini ternyata ada tindakan lain yang
dilakukan. Langsung memasuki rumah Raden Sutawijaya. Bukankah cara yang
ditempuhnya semakin mendekati kekerasan langsung terhadap Mataram.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu mengharap hilangnya kedua pusaka itu,
setidak-tidaknya akan mematahkan gairah perjuangan Raden Sutawijaya. Seandainya
kedua pusaka itu tidak cukup mempunyai pengaruh yang menentukan dalam
memperebutkan wahyu keraton, maka jika benar Raden Sutawijaya menjadi
kehilangan cita-citanya, maka selangkah mereka telah maju sebelum mereka akan
mengambil pusaka-pusaka yang lain yang mereka anggap akan dapat menentukan
kedudukan mereka dari Istana Pajang, tanpa lagi perlu menghiraukan Mataram,
karena Mataram telah menjadi buram dan akhirnya akan padam dengan sendirinya.”
Yang mendengar pendapat itu
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala. Gambaran-gambaran yang buram memang
telah mencengkam hati. Namun mereka adalah orang-orang tua yang cukup dewasa
menilai keadaan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Namun dalam pada itu, Ki
Demang Sangkal Putung, selain menjadi ikut berprihatin atas hilangnya kedua
pusaka dari Mataram itu, ia pun dibebani pula oleh perasaan gelisah, bahwa
perkawinan anaknya akan terganggu. Meskipun demikian untuk menjaga perasaan
tamu-tamunya, Ki Demang sama sekali tidak mengatakannya.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing
dapat menangkap perasaan yang tersirat pada tatapan mata yang gelisah itu,
sehingga katanya, “Ki Demang, agaknya Ki Demang tidak usah ikut melibatkan diri
kedalam kericuhan yang terjadi. Seperti rakyat Mataram pada umumnya, mereka
tidak akan terpengaruh sama sekali oleh hilangnya kedua pusaka itu, karena
mereka memang tidak mengetahuinya. Sebaiknya Ki Demang tetap melanjutkan semua
pembicaraan dan rencana yang telah tersusun.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Tetapi ia bergumam, “Jalan ke Menoreh melintasi daerah yang gawat jika terjadi
sesuatu dengan Mataram. Kekisruhan yang mungkin tumbuh di daerah itu akan dapat
menghambat perjalanan Swandaru dan pengiringnya.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Tentu tidak akan timbul
pergolakan apa pun juga dalam satu dua pekan mendatang. Bahkan mungkin sebulan
lagi karena Mataram sedang mengumpulkan keterangan-keterangan yang akan dapat
dipakainya sebagai pancadan untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang. Seandainya
terjadi benturan-benturan kekuatan dalam waktu dekat, tentu tidak akan terjadi
di sekitar Mataram.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
“Ki Demang, sebaiknya Ki
Demang tidak terpengaruh oleh berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan.
Kapan Ki Demang memerlukan, kami akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Kami akan mengatakan semua pesan Ki Demang. Semua keputusan yang sudah diambil
dan semua persiapan yang harus dilakukan oleh pihak Pandan Wangi.”
“Terima kasih Kiai. Tetapi
rasa-rasanya memang sukar untuk melepaskan diri sama sekali dari pengaruh
berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan.”
“Kami mengerti. Tetapi kami
harus dapat membagi perhatian kami. Memang mungkin kami akan melakukan dua
tugas sekaligus jika kami pada saatnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Demang mengangguk-angguk
sekali lagi. Katanya, “Semuanya sudah tersusun. Terserah kepada Kiai, kapan
Kiai akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Keputusan kami sekeluarga,
berdasarkan keputusan pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung.”
“Tetapi keputusan itu harus
dimatangkan, dan suatu kepastian harus diambil agar kelak tidak akan dapat
menumbuhkan persoalan lagi.” .
“Baiklah. Aku akan mengundamg
orang-orang tua sekali lagi. Lalu semuanya akan pasti. Dan Kiai akan segera
berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Memang ia pun ingin segera pergi, sekaligus menemui Ki Juru Martani di Mataram
yang tentu sedang dicengkam oleh kegelisahan dan kekhawatiran atas hilangnya
kedua pusaka itu.
“Mudah-mudahan hilangnya dua
pusaka itu akan tetap merupakan rahasia yang tidak akan pecah dan mengalir ke
luar dinding rumah Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Demikianlah maka
persoalan-persoalan yang susul menyusul tumbuh di hati Ki Demang di Sangkal
Putung dan tamu-tamunya. Betapa mereka berusaha untuk memisahkan persoalan yang
satu dengan yang lain, namun di dalam diri mereka, keduanya saling berdesakkan
berebut tempat.
Di dalam biliknya, Kiai
Gringsing masih selalu mengamati benda yang berlukiskan ciri-ciri yang belum
dapat dikenalnya itu. Bahkan Kiai Gringsing pun kemudian mengambil kesimpulan,
bahwa ciri-ciri yang terpahat pada benda pipih yang terbuat dari perak bakar
yang berwarna kehitam-hitaman itu tentu ciri-ciri yang baru saja dibuat oleh
sebuah perguruan yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit.
Ciri-ciri itu tentu bukan seperti ciri-ciri yang terdapat di pergelangan
tangannya, karena hampir setiap perguruan mengenal perguruan yang dipimpin oleh
Empu Windujati. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Ia pun teringat betapa
orang-orang dari goa yang disebut Susuhing Angin mencoba mencampuri persoalan
yang saat itu membakar Demak oleh api pertentangan antara Pajang dan Jipang.
Dalam keadaan yang mendesak sekali, ia pun mulai melepaskan ciri-ciri perguruan
Windujati, Dan ternyata ciri-ciri itu membawa pengaruh atas orang-orang dari
goa yang disebut Susuhing Angin itu. Mereka dengan diam-diam menarik diri dari
persoalan yang sedang membakar Pajang dan Jipang, karena mereka tidak bersedia
berhadapan dengan orang-orang dari perguruan Windujati.
“Apakah orang-orang yang
mengambil pusaka-pusaka itu dan menyatakan dirinya keturunan darah Majapahit
itu akan dapat dipengaruhi dengan ciri-ciri perguruan Windujati?” bertanya Kiai
Gringsing kepada diri sendiri.
“Semuanya masih samar-samar,”
ia menjawab sendiri, “mungkin mereka justru memancing timbulnya orang-orang
yang menganggap diri mereka keturunan Majapahit pula,” berkata Kiai Gringsing
kemudian di dalam hatinya, “karena itu, agaknya lebih baik bagiku untuk
menunggu. Jika datang saatnya, maka perkembangan keadaan akan dapat menentukan,
apakah yang sebaiknya aku lakukan.”
Dengan demikian, maka akhirnya
Kiai Gringsing tidak berusaha untuk mengambil sikap apa pun juga sebelum ia
dapat bertemu dengan Ki Juru. Yang dapat dilakukannya segera adalah pergi ke
Tanah Perdikan Menoreh membawa pesan Ki Demang dan ikut membantu
penyelenggaraan peralatan perkawinan itu.
Namun demikian, sekali-sekali
Kiai Gringsing tanpa disadarinya, memandang lukisan yang ada di pergelangan
tangannya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan dirinya, bahwa ciri-ciri itu masih
akan tetap mempunyai pengaruh terhadap mereka yang mengaku keturunan darah
Majapahit.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
berbuat apa-apa. Ia benar-benar menunggu sampai saatnya ia akan pergi ke Mataram.
Selain Kiai Gringsing
sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar dan Ki Waskita pun selalu dipengaruhi oleh
berita hilangnya kedua pusaka yang diambil oleh orang-orang yang dengan sengaja
menyebut dirinya keturunan Majapahit itu. Tetapi agaknya mereka mengerti, bahwa
Kiai Gringsing masih belum ingin membicarakannya, sampai saatnya mereka berada
di Mataram.
Karena itu, maka mereka pun
tanpa berjanji tidak menanyakan lebih lanjut tentang kedua pusaka yang hilang
dan tentang ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil
pusaka-pusaka itu. Seolah-olah mereka pun telah bersepakat untuk
membicarakannya kelak apabila di antara mereka terdapat Ki Juru Martani..
Yang menjadi persoalan
seterusnya adalah hari-hari perkawinan Swandaru. Ki Demang memanggil orang-orang
tua di Kademangannya untuk sekali lagi mematangkan pembicaraan. Seterusnya,
mereka bersama telah sependapat, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki
Waskitalah yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan
keputusan yang terakhir itu.
Kiai Gringsing tanpa
mempertimbangkannya lagi langsung menerima tugas itu. Semula ia berniat untuk
mengantarkan saja satu atau dua orang tua dari Sangkal Putung yang akan dengan
resmi mewakili Ki Demang. Tetapi karena keadaan yang berkembang tanpa dikehendakinya,
maka ia mengurungkan niatnya, dan langsung mengambil tugas itu di atas
pundaknya.
“Jika ada orang lain di antara
kami, maka ia justru hanya akan mengganggu tugas kami dan terlebih-lebih lagi
semua pembicaraan dengan Ki Juru,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, lalu,
“adalah kebetulan sekali aku adalah guru Swandaru yang dapat mewakili orang
tuanya sepenuhnya, seperti orang-orang tua dari Sangkal Putung.”
“Perkawinan akan berlangsung
kira-kira empat puluh hari lagi,” berkata Ki Demaug kepada Kiai Gringsing,
“masih ada waktu untuk memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede
mempunyai pertimbangan lain, masih ada waktu pula untuk merubah saat itu.
Mudah-mudahat perjalanan Kiai tidak terganggu oleh peristiwa apa pun sehingga
Kiai baru dapat kembali ke Sangkal Putung setelah lewat empat puluh hari.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Kami akan secepatnya kembali. Jika ada persoalan yang menghambat
perjalanan kami, maka salah seorang dari kami akan mendahului dan
memberitahukan hasil perjalanan kami.”
Ternyata yang kemudian menjadi
tergesa-gesa adalah Kiai Gringsing. Sebelum Ki Demang menentukan saat
keberangkatan mereka, Kiai Gringsing sudah berkata, “Besok pagi-pagi aku akan
berangkat.”
Hampir saja Ki Demang menebak
maksud Kiai Gringsing, bahwa ia akan segera menemui Ki Juru untuk membicarakan
masalah pusaka-pusaka yang hilang. Untunglah ia pun segera menyadari bahwa
hilangnya kedua-pusaka itu merupakan rahasia yang harus disimpan rapat-rapat.
Namun oleh karena Ki Demang
mengerti kepentingan yang sebenarnya mendorong Kiai Gringsinn untuk pergi
dengan segera, maka ia pun menjawab, “Baiklah Kiai. Bagi kami semakin cepat
semakin baik. Juga bagi Ki Gede Menoreh. Kira-kira selapan hari adalah waktu
yang sangat pendek bagi persiapan peralatan perkawinan. Apalagi bagi seorang
anak perempuan Kepala Tanah Perdikan. Meskipun sebelumnya Ki Argapati tentu
sudah membuat beberapa persiapan, namun kepastian hari baru akan didengarnya
setelah Kiai sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“Kami menyadari,” sahut Kiai
Gringsing, “karena itu kami akan segera pergi.”
Ternyata bahwa waktu
keberangkatan itu telah menjadi keputusan. Kiai Gringsing dan kedua kawannya
akan berangkat pada pagi-pagi di hari berikutnya.
Di malam hari menjelang
keberangkatan Kiai Gringsing, maka dipanggilnyalah kedua murid-muridnya. Kepada
Swandaru ia berkata, “Kau akan menempuh suatu masa yang paling penting di dalam
kehidupanmu. Karena itu, sebaiknya untuk sementara kau tinggal di rumah. Tidak
baik kau ikut dalam perjalanan yang mungkin akan dapat membahayakan dirimu.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Ia mengerti bahwa calon pengantin tidak dibenarkan untuk menempuh
perjalanan yang jauh apalagi berbahaya.
Kemudian Kiai Gringsing
berpaling kepada Agung Sedayu, “Kau pun tidak perlu mengikuti perjalanan kami
kali ini. Kau kawani Swandaru di rumah. Lebih daripada itu, kalian harus
mengerti, bahwa kemungkinan-kemungkinan yang gawat dapat terjadi pula atas
Sangkal Putung. Karena itu, tenagamu mungkin sangat diperlukan disini. Kau, Swandaru
dan Sekar Mirah, di samping pengawal-pengawal Kademangan, akan merupakan
kekuatan yang cukup untuk melindungi Kademangan ini. Hilangnya pusaka-pusaka
itu dari Mataram memerlukan pengamatan yang bersungguh-sungguh dari setiap
pihak. Apalagi apabila ada diantara orang-orang itu yang mengerti bahwa di
Kademangan ini sering singgah orang-orang yang bersenjata cambuk.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia sangat kecewa, bahwa ia tidak dapat ikut pergi bersama
gurunya. Namun ia mengerti, bahwa memang sebaiknya ia mengawani Swandaru di
rumahnya.
Meskipun demikian, Agung
Sedayu masih juga bertanya kepada gurunya , “Kapankah kira-kira Kiai akan
kembali?”
“Aku tidak dapat mengatakan,”
jawab Kiai Gringsing, “tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mengabaikan
saat-saat perkawinan Swandaru. Dengan demikian kami harus segera kembali. Jika
ada sesuatu yang penting sehingga aku sendiri tertahan di perjalanan, maka
salah seorang dari kami akan mendahului. Dalam keadaan seperti ini aku berharap
agar Ki Waskita tidak sekedar minta diantar pulang.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Baiklah. Aku akan singgah saja sebentar agar keluargaku tidak selalu dibayangi
oleh kecemasan. Aku kemudian akan minta diri untuk mengantar Kiai Gringsing
yang sedang membicarakan masalah perkawinan. Dengan demikian keluargaku
mendapat gambaran yang selalu baik terhadap perjalananku yang kemudian.”
“Terima kasih,” sahut Kiai
Gringsing, lalu katanya kepada kedua muridnya, “Hati-hatilah kalian di rumah.
Kita tidak tahu perkembangan apa saja yang akan terjadi di Mataram dan juga di
Pajang. Kademangan ini berada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi termangu-mangu.
“Aku tidak membayangkan yang
bukan-bukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi agaknya ada orang-orang
yang tidak sabar lagi melihat perkembangan Mataram. Dan orang-orang itu adalah
orang-orang Pajang. Kau tentu tidak akan dapat melupakan Ki Gede Pemanahan dan
kemudian Ki Juru Martani sendiri harus melihat kenyataan yang pahit itu.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
menarik nafas. Namun pada Agung Sedayu terasa tekanan yang sangat berat. Jika
benar-benar terjadi sesuatu, yang paling mencemaskannya bukannya garis lurus
antara Pajang dan Mataram. Jika datang pasukan segelar sepapan dari Pajang yang
dipimpin oleh orang-orang yang sekedar dibakar perasaan iri, maka ia tidak akan
gentar meskipun tidak dapat dikatakan dengan pasti, bahwa Sangkal Putung akan
dapat melindungi dirinya sendiri.
Tetapi yang paling pahit
baginya, apabila ia harus berhadapan dengan pasukan yang justru tidak datang
langsung dari Pajang. Bagaimana jika pada suatu saat Untara dapat di pengaruhi
oleh orang-orang yang menentang berdirinya Mataram dan membawa pasukannya turun
dari Jati Anom?
Agung Sedayu menjadi sangat
gelisah. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapa pun. Ia tetap menyimpan
perasaan-perasaan itu, dan menghibur dirinya sendiri, “Agaknya aku di
gelisahkan oleh angan-angan yang sama sekali belum nampak kemungkinannya akan
terjadi.”’
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
masih memberikan beberapa pesan kepada murid-muridnya. Ia tidak lupa
memperingatkan bahwa yang mereka ketahui tentang pusaka-pusaka yang hilang itu
adalah rahasia yang paling besar bagi Mataram di saat pertumbuhannya.
“Apakah Sekar Mirah boleh
mengetahuinya?” bertanya Ki Sumangkar.
“Jika Ki Sumangkar yakin bahwa
Sekar Mirah pun dapat memegang rahasia seperti Agung Sedayu dan Swandaru, maka
tidak ada keberatannya ia mengetahuinya. Tetapi aku kira tidak dengan Nyai
Demang. Dan aku berharap bahwa Ki Demang tidak mengatakannya pula kepada Nyai
Demang.”
“Tentu Ki Demang tidak akan
mengatakannya kepada Nyai Demang,” sahut Ki Waskita, “Ki Demang dapat
membeda-bedakan manakah yang dapat dan manakah yang tidak dapat dikatakannya.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.
“Malam sudah larut,” berkata
Kiai Gringsing, “kami yang esok akan pergi, perlu beristirahat barang sejenak.
Namun demikian, aku masih perlu memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Swandaru
bahwa kau harus berusaha untuk mengatasi setiap kesulitan yang dapat terjadi
sebelum kesulitan yang sebenarnya. Maksudku, seperti Mataram, sebe-lum kedua
pusaka itu hilang, rumah Ki Gede Pemanahan telah diliputi oleh suasana yang
tidak wajar karena kekuatan sirep. Aku telah memberikan petunjuk kepada kalian
berdua, bagaimana melawan kekuatan sirep itu. Jika kalian merasakan ketidak
wajaran menyelimuti suasana Kademangan ini, maka kalian harus dengan cepat
berusaha memusatkan semua daya tahan yang ada di dalam diri kalian untuk
melawannya. Pemusatan pikiran dan getaran diri akan dapat membebaskan kalian
sebelum kalian dapat membebaskan orang lain yang memiliki kekuatan betapa pun
kecilnya, dan yang masih belum terlanjur dicengkam oleh pengaruh itu.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengangguk-angguk. Sejak terasa suasana yang tidak wajar selagi mereka akan
meninggalkan Mataram, Kiai Gringsing sudah memperdalam ilmu yang ada di dalam
diri murid-muridnya untuk melawan kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata seperti
ilmu sirep.
Demikianlah maka mereka pun
kemudian pergi ke pembaringan masing-masing. Untuk beberapa saat mereka masih
tetap berangan-angan. Tetapi kemudian mereka pun segera tertidur dengan
nyenyaknya. Hanya Swandaru sajalah yang menjadi gelisah. Bukan saja karena
pusaka-pusaka yang hilang, tetapi ia selalu dibayangi oleh berbagai macam
kecemasan tentang hari-hari perkawinannya.
Namun akhirnya Swandaru pun
tertidur pula menjelang dini hari.
Ketika cahaya merah mulai
membayang, maka Kiai Gringsing telah bangkit dari pembaringannya, diikuti oleh
Ki Waskita dan Sumangkar. Mereka pun segera pergi ke pakiwan untuk mandi dan
kemudian berbenah, karena mereka ingin berangkat pagi-pagi benar agar mereka
tidak kepanasan di sepanjang perjalanan, sementara Agung Sedayu telah mengisi
jambangan di pakiwan itu.
Seluruh keluarga Kademangan
Sangkal Putung mengantar Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar sampai ke
pintu gerbang halaman ketika mereka berangkat. Sambil menepuk pundak Swandaru,
Kiai Gringsing yang sudah memegangi kendali kudanya berkata, “Hati-hatilah. Kau
harus banyak berprihatin menghadapi hari-hari yang sangat penting di dalam
hidupmu,” ia berhenti sejenak, lalu, “dan yang penting, agar kau menjadi
bertambah langsing.”
Yang mendengar pesan itu tertawa.
Swandaru pun tertawa pula sambil menjawab, “Baik Guru. Aku akan mengurangi
makar dan tidur. Sehari tidak lebih dari tiga kali makan dan tidak lebih banyak
lagi dari batas kekenyangan.”
Sekar Mirah mencubit lengan
kakaknya sambil berdesis, “Pantas. Di hari perkawinan itu kau akan benar-benar
menjadi bulat seperti jeruk bali.”
Demikianlah sejenak kemudian
Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera meloncat kepnnggung kudanya.
Sambil, tersenyum Ki Sumangkar berkata, “Kini kami yang tua-tualah yang akan
bertamasya.”
“Selamat jalan,” berkata Ki
Demang, “salamku kepada semuanya. Ki Gede Menoreh, Ki Juru, Raden Sutawijaya
dan siapa saja.”
Agung Sedayu yang berdiri di
sebelah Swandaru memandang ketiga orang yang segera berangkat itu dengan wajah
yang tegang. Seolah-olah ia tidak melihat perjalanan itu sebagai sebuah
perjalanan utusan yang akan membicarakan masalah perkawinan. Tetapi yang
menempuh perjalanan itu adalah orang-orang yang memiliki Ilmu yang tinggi yang
sedang digelisahkan oleh hilangnya dua buah pusaka dari Tanah Mataram.
Pusaka-pusaka yang sangat penting artinya bagi gairah perjuangan Raden
Sutawijaya. Apalagi di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
pusaka-pusaka itu akan menjadi pendorong untuk melakuKan tindakan-tindakan yang
lebih jauh lagi.
Sekali-sekali Kiai Gringsing
masih juga berpaling. Ada sesuatu yang terasa melonjak di dalam hati.
Kepergiannya bertiga memang akan menjadi sebuah perjalanan yang penting. Tetapi
jika orang-orang yang mengambil pusaka itu mempunyai tujuan yang lain pula,
apalagi apabila mereka mengenal bahwa orang-orang bercambuk yang ada di Sangkal
Putung adalah orang-orang yang mempunyai sentuhan ilmu dengan perguruan
Windujati yang sudah lama tidak terdengar lagi, maka murid-muridnya akan dapat
mengalami kemungkinan yang pahit.
“Mudah-mudahan tidak
demikian,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “mudah-mudahan perhatian
mereka terpusat kepada pusaka-pusaka yang ada di Mataram itu saja.”
Namun demikian Kiai Gringsing
tidak mengatakannya kepada kedua kawannya di perjalanan. Kecemasannya itu
disimpannya saja di dalam hatinya.
Namun, meskipun Kiai Gringsing
tidak mengatakannya, agaknya kedua kawan seperjalanannya pun merasakannya juga
kecemasan yang serupa.. Bahkan Ki Sumangkar berkata di dalam hatinya, “Jika
orang-orang yang mengambil pusaka itu sengaja menunggu kami meninggalkan
Mataram karena mengetahui bahwa di antara kami terdapat seseorang keturunan
Empu Windujati, maka kesulitan yang dialami oleh Mataram itu akan dapat
menjalar ke Sangkal Putung, justru karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak pergi
bersama kami.” Tetapi kemudian, “Mudah-mudahan tidak.”
Berbeda dengan Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar, maka Ki Waskita mencoba melihat sesuatu yang barangkali akan
dapat menjadi isyarat apa pun yang dapat memberinya sekedar petunjuk, apakah
yang bakal terjadi kemudian di Sangkal Putung. Namun ia tidak melihat sesuatu.
Dan Ki Waskita mengambil kesimpulan, bahwa untuk waktu yang pendek, Sangkal
Putung tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi waktu yang pendek itu merupakan
sebuah teka-teki pula baginya.
“Persoalan yang terlampau
banyak mengandung segi-segi kemungkinan, memang sulit untuk dilihat,” berkata
Ki Waskita di dalam hatinya. Namun kemudian, “Memang penglihatan seseorang
betapa pun sempurnanya, tentu akan menjadi sangat terbatas untuk mengetahui
seluruh rahasia dari alam ini.”
Dengan demikian, maka di
perjalanan ke Mataram, tidak banyak yang dipercakapkan oleh ketiga orang
tua-tua itu. Mereka lebih banyak berbicara dengan angan-angan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, yang mereka
tinggalkan di Sangkal Putung pun menjadi sibuk pula dengan kerja masing-masing.
Kademangan Sangkal Putung mendapat perbaikan yang cukup banyak. Sudah lama
rumah itu tidak mendapat perbaikan apalagi perubahan.
Maka menjelang saat-saat
perkawinan anak laki-laki satu-satunya dari Ki Demang Sangkal Putung, rumahnya
pun mendapat perhatian sepenuhnya.
Dalam pada itu, meskipun masih
juga ada ingatan Swandaru atas pusaka-pusaka yang hilang, namun perhatiannya
semakin lama semakin condong kepada kepentingannya sendiri yang sudah dekat.
Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu saat yang sudah ditentukan oleh
ayahnya dan orang-orang tua di Sangkal Putung itu. Apalagi apabila Ki Gede
Menoreh kemudian justru menunda saat-saat perkawinan itu dengan berbagai macam
alasan.
Berbeda dengan Swandaru,
perhatian Agung Sedayu masih lebih banyak tertumpah kepada perjalanan Kiai
Gringsing dan kedua orang kawannya itu. Rasa-rasanya ada hubungan yang rapat
antara hilangnya kedua pusaka itu dengan kehadiran gurunya yang juga disebut
sebagai keturunan dari Majapahit, meskipun ia tidak tahu lebih banyak lagi
tentang gurunya selain sekedar seorang yang memiliki darah keturunan Majapahit
seperti yang didengarnya.
Meskipun demikian Agung Sedayu
ikut pula sibuk membantu keluarga Ki Demang di Sangkal Putung. Pada dasarnya
Agung Sedayu memang seorang anak muda yang rajin dan ringan tangan. Namun di
Sangkal Putung, ia mendapat tanggapan yang lain. Seorang anak muda Sangkal
Putung sambil tersenyum menggamit kawannya dan berbisik, “Lihat calon menantu
Ki Demang itu. Betapa rajinnya.”
Yang lain tertawa tertahan.
Jawabnya, “Tetapi aku tidak iri hati.”
“Ah, macam kau. Pantasnya kau
menjadi pekatiknya.”
Keduanya pun tertawa. Tetapi
mereka berusaha untuk menyembunyikan wajahnya, agar Agung Sedayu tidak merasa
bahwa mereka sedang memperhatikannya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
memperhatikan apa pun juga. Perhatiannya benar-benar tertambat kepada gurunya.
Ia dapat merasa betapa Kiai Gringsing ikut merasa bertanggung jawab akan
hilangnya Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung dari Mataram. Jika
ternyata ada darah keturunan Majapahit yang berbuat berdasarkan nafsu
semata-mata, maka mereka tentu akan mencemarkan seluruh keturunan Majapahit.
Betapa besarnya Majapahit yang pernah hadir di persada Tanah Kelahiran yang
terbentang meliputi beribu-ribu pulau sebagai ujud hasrat persatuan rakyatnya,
namun jika keturunannya adalah orang-orang yang sekedar dikuasai oleh nafsu
justru setelah Majapahit surut, maka kesan yang tumbuh adalah, bahwa sebenarnya
Majapahit adalah sekedar perbendaharaan nafsu semata-mata. Kekuasaan yang
dilandasi olen kekuatan dan kemampuan mempertahankan kekuasaan itu.
Kesan yang demikian itulah
yang tentu sangat mengganggu Kiai Gringsing. Seorang keturunan Majapahit yang
sama sekali tidak pernah memikirkan kekuasaan dan mempergunakan kekuatannya
untuk membangunkan kekuasaan.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan kedua kawan-kawannya berpacu semakin cepat. Perjalanan ke Mataram bukan
perjalanan yang sulit lagi. Meskipun belum sempurna, tetapi jalur-jalur jalan
sudah dapat dilalui dengan mudah. Di antara lebatnya hutan Tambak Baya, seleret
jalan setapak bagaikan segores garis yang sangat tebal yang menyobek rimbun-nya
pepohonan.
Ternyata jalan itu sudah
menjadi semakin ramai dan semakin banyak dilalui orang, karena keamanan memang
menjadi semakin baik. Tidak banyak lagi gangguan-gangguan yang dijumpai oleh
para pedagang. Tidak ada lagi perampok-perampok yang kuat mencegat perjalanan
mereka. Apalagi pasukan pengawal Mataram bagaikan hilir mudik melalui jalan
yang membelah hutan itu.
Di sepanjang jalan Kiai
Gringsing dan kedua kawannya bertemu juga dengan serombongan pedagang. Mereka
masih tetap merasa lebih aman melintas dalam kelompok yang agak besar karena
kadang-kadang masih saja mereka ingat tentang perampokan yang pernah terjadi di
hutan yang lebat itu. Namun ada juga dua tiga orang yang lewat dengan tenang,
karena mereka yakin bahwa perjalanan mereka tidak akan terganggu lagi, atau
karena mereka percaya kepada diri sendiri bahwa mereka akan dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan kecil yang mungkin terjadi disepanjang perjalanan.
Meskipun nampaknya Kiai
Gringsing hampir tidak menghiraukan sama sekali orang-orang yang lewat itu,
namun kadang-kadang terpercik juga pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah
orang-orang ini tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan hilangnya kedua
pusaka itu?”
Tetapi Kanjeng Kiai Pleret dan
Kanjeng Kiai Mendung adalah pusaka-pusaka yang bertangkai panjang. Dengan
demikian maka untuk membawanya tentu agak lebih sulit dari pusaka-pusaka yang
pendek, seperti Kanjeng Kiai Naga Sasra dan Kanjeng Kiai Sabuk Inten, atau
Kanjeng Kiai Sangkelat.
Dalam pada itu, perjalanan
mereka tidak menemui kesulitan apa pun juga. Sekali-sekali mereka harus
berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum barang seteguk dan
beristirahat sejenak. Kemudian mereka pun segera meneruskan perjalanan ke
Mataram.
Demikian mereka melintasi
sisa-sisa Alas Mentaok, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Di
hadapan mereka terbentang padukuhun-padukuhan kecil yang sedang tumbuh,
ditembus oleh jalan yang semakin baik dan lebar. Rumah-rumah yang bertebaran di
antara pepohonan yang masih muda. Hanya disana-sini beberapa batang pohon-pohon
besar sengaja ditinggalkan sebagai perindang bagi padukuhan-padukuhan yang
masih muda itu.
Namun demikian, di atas sawah
yang terbentang, tumbuh batang-batang padi yang hijau rimbun. Dalam silirnya
angin, wajah batang-batang padi itu, bagaikan gelombang di permukaan telaga
yang hijau kebiruan, seolah-olah mengalir dari tepi ke tepi yang lain, jauh
sampai batas tatapan mata.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah kedua kawan seperjalanannya, agaknya
mereka pun sedang merenungi suburnya tanah yang baru dibuka itu.
“Mataram memang akan dapat
menjadi sebuah negeri yang ramai,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Bukan
saja karena ia melihat sawah yang luas, batang-batang padi yang hijau, subur,
pedukuhan yang tumbuh dengan cepatnya, tetapi ia juga melihat isyarat yang
cerah yang dapat memercikkan arti kecerahan bagi masa mendatang.
Demikianlah, hampir tanpa
pembicaraan yang berarti, akhirnya mereka memasuki gerbang kota. Para penjaga
yang; memang sudah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya, segera
mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan menyusuri jalan kota, langsung
menuju ke rumah Raden Sutawijaya. Mereka bertiga sudah bersepakat untuk singgah
barang sehari di Mataram sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Menoreh.
Kedatangan ketiga orang itu di
Mataram, disambut dengan gembira oleh Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya, dan Ki
Lurah Branjangan. Bagi Ki Juru, Kiai Gringsing dan kawan-kawannya adalah
orang-orang tua yang akan dapat diajaknya berbicara agak jauh mengenai
hilangnya kedua pusaka yang ada di Mataram meskipun keduanya dapat disebut
orang lain bagi Mataram. Namun menilik apa yang pernah dilakukan oleh ketiga
orang itu, maka Ki Juru berpengharapan bahwa mereka pun akan dapat dibawa
berbicara sebaik-baiknya.
Seperti biasanya, maka
ketiganya pun kemudian disambut dengan berbagai macam pertanyaan tentang
keselamatan mereka di perjalanan, dan orang-orang yang mereka tinggalkan.
Mereka tidak langsung dibawa ke dalam pembicaraan pokok atas hilangnya
pusaka-pusaka dari Mataram. Apalagi hilangnya kedua pusaka itu merupakan puncak
rahasia bagi orang-orang Mataram sendiri, selain beberapa orang tertentu saja.
“Kami hanya singgah sejenak,”
berkata Kiai Gringsing kemudian kepada Ki Juru, “besok kami akan meneruskan
perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Katanya, “Kami sudah mendengar. Bukankah Kiai akan memberikan keputusan
terakhir tentang saat perkawinan Angger Swandaru dengan Angger Pandan Wangi?”
“Ya Ki Juru.”
“Kami akan ikut bersenang
hati. Karena itu, kami tidak akan menahan Kiai untuk singgah di sini lebih dari
satu hari satu malam.”
“Sejauh-jauhnya satu hari satu
malam,” jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tertawa.
Katanya, “Ya. Sejauh-jauhnya satu hari satu malam.”
“Karena kami akan berangkat besok
pagi-pagi benar, bukankah kehadiran kami di sini tidak cukup satu hari satu
malam?”
Ki Juru tertawa, meskipun nada
suara tertawanya agak sumbang karena perasaannya yang tertekan.
Untuk beberapa lama mereka
yang ada di pendapa Mataram itu berbicara tentang berbagai macam persoalan yang
justru tidak menyangkut masalah pusaka-pusaka itu.
Dengan demikian, maka bagi
kebanyakan pemimpin Mataram, menganggap bahwa kehadiran Kiai Gringsing adalah
sekedar singgah dalam perjalanannya ke Menoreh. Mereka tidak tahu sama sekali,
bahwa kedatangan Kiai Gringsing ke Mataram saat itu mempunyai arti yang jauh
lebih penting dari sekedar singgah saja.
Baru ketika matahari tenggelam
di sisi langit sebelah Barat, dan kegelapan mulai menyelubungi Tanah Mataram,
Ki Juru Martani membawa tamu-tamunya masuk ke ruang dalam. Tanpa orang lain
yang tidak mengetahui persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu, Ki Juru ingin
mengadakan pembicaraan dengan tamu-tamunya.
Sutawijaya dan Ki Luran
Branjangan yang memang sudah mengerti serba sedikit mengenai Kiai Gringsing dan
hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu pun diperkenankan untuk ikut serta
dalam pembicaraan dengan ketiga tamu-tamu Ki Juru Martani.
“Aku bawa kepingan perak bakar
yang berwarna hitam itu,” berkata Kiai Gringsing setelah mereka terdiam
sejenak.
Ki Juru mengangguk-angguk.
Katanya, “Sebenarnya memang sebuah tantangan yang langsung ditujukan kepada
Mataram. Seolah-olah orang-orang yang mewarisi Mataram dari Ki Gede Pemanahan
itu tidak berhak untuk memimpin pemerintahan bagaimana pun juga bentuknya.”
“Ya Ki Juru. Seolah-olah hanya
mereka yang mempunyai darah keturunan Majapahit langsung sajalah yang berhak
untuk memegang pimpinan.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Kemudian ia pun bertanya, “Bagaimana pendapat Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dari kantong ikat pinggangnya ia mengambil sebuah kampil kecil
yang berisi sekeping perak yang dipahatkan lukisan yang sangat menarik bagi
orang-orang tua itu dan secarik kain yang ditulisi dengan darah.
“Kiai,” berkata Ki Juru
Martani, “pusaka adalah lambang kekuasaan, pangkat dan derajad. Meskipun
pangkat dan derajad bukan kebutuhan mutlak dari seseorang, tetapi pangkat dan
derajad adalah pakaian seseorang di dalam riuhnya pergaulan hidup. Memang tidak
dapat dibenarkan seseorang menghambakan diri pada derajad dan pangkat. Tetapi
bahwa derajad dan pangkat mempunyai akibat yang luas pada diri seseorang tidak
akan dapat diingkari lagi. Karena itulah, maka kadang-kadang seseorang mempuyai
tanggapan yang salah sehingga dengan segala jalan dan cara ia mempertahankan
dan mengejar derajad dan pangkat yang setinggi-tingginya.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Juru berkata seterusnya. “Kiai
Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Jika aku dan Angger Raden Sutawijaya
menjadi sangat berprihatin atas hilangnya pusaka-pusaka itu dari Mataram,
sebenarnyalah bahwa kami mempunyai tanggapan dan penilaian yang tinggi terhadap
sih yang diberikan oleh Kanjeng Sultan di Pajang kepada kami, khususnya Raden Sutawijaya.
Kemudian atas penilaian kami dalam hubungannya dengan derajad dan pangkat,
cobalah Kiai bertanya langsung kepada Angger Sutawijaya karena ialah sebenarnya
yang mendapat anugrah dari Kanjeng Sultan di Pajang.
Kiai Gringsing menarik natas
dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Dari sorot
matanya memancar sepercik pertanyaan yang menusuk langsung ke pusat jantung
Raden Sutawijaya, seolah-olah ia ingin melihat, apakah yang sebenarnya terpahat
di dinding jantung itu.
Raden Sutawijaya justru
menundukkan kepalanya, ia mengerti, bahwa Kiat Gringsing dan kedua kawannya
ingin mengerti tanggapannya dengan jujur atas kedua pusaka lambang derajad dan
pangkat itu.
“Raden,” berkata Kiai
Gringsing, “cobalah Raden menyatakan sesuai dengan hati nurani, apakah yang
sebenarnya Raden kehendaki dengan Mataram.”
“Kiai,” jawab Raden
Sutawijaya, “Mataram adalah tanah yang tumbuh atas jerih payah kami
bersama-sama yang kini menjadi penghuninya, tanpa melupakan jasa Kiai, Ki
Waskita, Ki Sumangkar dan anak-anak muda murid Kiai, serta jasa siapa pun juga
yang telah membantu kami. Tanpa melupakan anugrah dari Ayahanda Sultan Pajang
yang dengan hati terbuka memberikan kesempatan kepada Mataram untuk berkembang.
Bahkan di Mataram telah ada dua buah pusaka yang memiliki arti yang besar bagi
seseorang yaug memilikinya. Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung.
Bahkan ada beberapa orang yang percaya bahwa hadirnya Kiai Pleret dan Kiai
Mendung di Mataram adalah pertanda bahwa Kanjeng Sultan di Pajang telah
menyerahkan kekuasaan meskipun perlahan-lahan kepada Mataram. Dan ada orang
yang percaya, bahwa kedua pusaka yang berada di Mataram itu adalah kelengkapan
dari beberapa pusaka yang lain untuk mendapatkan wahyu keraton, sehingga ada
orang-orang yang dengan segala cara berusaha untuk memilikinya. Tetapi ternyata
kedua pusaka itu kini hilang dari Mataram.” Raden Sutatwijaya berhenti sejenak,
lalu, “Kiai, tanggapanku atas derajad dan pangkat, tidak dapat aku jelaskan
dengan beberapa kalimat saja. Tetapi dalam garis besarnya, bagiku yang
terpenting adalah cita-cita atas bentuk kekuasaan di Mataram dan bahkan di
Pajang. Kiai, sebenarnya aku tidak ingin untuk memiliki derajad dan pangkat itu
sendiri. Yang ada padaku adalah cita-cita bagaimana derajad dan pangkat itu
dipergunakan dalam bentuk kekuasaan. Siapa pun yang memiliki derajad dan
pangkat, dan dalam bentuknya sebagai kekuasaan dipergunakan sebaik-baiknya
seperti yang aku cita-citakan bagi kepentingan Mataram seisinya dan bahkan
Pajang, maka aku tidak akan berkeberatan. Apakah yang memegang kekuasaan itu
seorang yang bernama Raden Sutawi jaya, seorang yang bergelar Sultan
Hadiwijaya, Adimas Benawa atau keturunan-keturunan langsung dari Majapahit,
bagiku bukannya soal yang pokok. Tetapi jika tidak ada orang lain yang dapat
membawakan derajad dan pangkatnya dalam bentuk kekuasaan seperti yang aku
cita-citakan, maka barulah aku memikirkan, kenapa bukan aku sajalah yang
memegang kekuasaan itu.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya memperhatikan penjelasan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketika
Raden Sutawijaya berhenti sejenak, Ki Waskita pun menyela, “Bagaimanakah
menurut Raden, bentuk dari kekuasaan sebagal ujud dari derajad dan pangkat
itu.”
Raden Sutatwijaya memandang Ki
Juru sejenak. Kemudian barulah ia menjawab, “Ki Waskita. Bagiku kekuasaan
adalah tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah sekedar kesempatan untuk dapat
memaksakan kehendak atas orang lain. Kekuasaan bukan minat untuk dihormati dan
disegani.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “seandainya demikian
halnya, maka kekuasaan adalah nafsu semata-mata.”
“Jadi bagaimanakah sebenarnya
yang Raden kehendaki,” sela Ki Sumangkar pula.
“Jika derajad dan pangkat
sekedar pamrih dari pribadi seseorang, maka itu adalah nafsu ketamakan. Bagiku,
derajad dan pangkat harus berarti bagi keseluruhan. Sebenarnyalah kekuasaan
adalah semata-mata kesempatan pelayanan. Kekuasaan yang ada di dalam diri
seseorang harus bermanfaat bagi semuanya di dalam lingkungannya. Karena itulah
maka kekuasaan yang bertanggung jawab harus dilandasi oleh kesediaan
pengabdian. Bukan sebaliknya.”
“Jelasnya?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Kekuasaan, yang menjadi ujud
dari derajad dan pangkat, adalah suatu alat. Jika kita memegang suatu alat,
maka terserahlah kepada kita bagaimana kita mempergunakannya. Kita dapat
menentukan pilihan seperti yang kita kehendaki. Pilihan itulah yang penting
untuk dinilai. Apakah pilihan itu berlandaskan cita-cita yang bertanggung
jawab, atau sekedar dilandasi oleh nafsu pribadi. Kita masing-masinglah yang
harus menentukan pilihan, dan orang akan menilai kita masing-masing atas dasar
pilihan itu. Apakah kita manusia yang berarti bagi sesama atau justru
sebaliknya.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun di luar sadar mereka mengerling kepada Ki
Juru Martani meskipun tidak sepatah kata pun yang mereka katakan kepada orang
tua itu.
Namun di luar dugaan, maka
Raden Sutawijayalah yang kemudian dengan jujur berkata, “Kiai, sebenarnyalah
yang aku katakan itu adalah dasar dari pendirianku. Tetapi bukanlah semata-mata
lahir karena kemampuanku untuk menyatakannya dengan lisan,” Raden Sutawijaya
berhenti sejenak, ia pun kemudaan berpaling kepada Ki Juru Martani sambil
berkata, “Uwa Juru Martanilah yang mengajari aku.”
Ketiga tamu Raden Sutawijaya
itu pun tersenyum. Mereka memang sudah menduga, bahwa Ki Juru akan dapat
menuntun Raden Sutawijaya sebaik-baiknya tanpa mematahkan perjuangan anak muda
itu. Tetapi agaknya Ki Juru telah berhasil memberikan pengarahan yang sangat
berarti bagi Raden Sutawijaya sebagai landasan jalan hidupnya mendatang. Dengan
landasan itu pulalah agaknya Raden Sutawijaya bertekad untuk menemukan kembali
pusaka-pusakanya yang hilang yang akan dapat menjadi kelengkapan derajad dan
pangkatnya, dalam arti pertanggungan jawab dan pengabdian.
Bagi Kiai Gringsing, maka
tekad Raden Sutawijaya itu merupakan suatu pilihan yang harus dipertimbangkan
sebaik-baiknya. Meskipun ia bukan orang yang wajib menentukan, siapakah yang
sebaiknya memegang kekuasaan pemerintahan setelah Sultan Hadiwijaya, namun ia
merasa bahwa ia akan dapat ikut memikirkannya.
“Aku akan dapat berbuat
sesuatu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Dalam keadaan yang memang
mendesak, barangkali aku dapat mempergunakan pengaruh perguruan Windujati.”
Tetapi Kiai Gringsing masih
harus menemukan, siapakah orang yang dengan sengaja meninggalkan ciri-ciri yang
baginya masih asing, dan yang dengan sengaja meninggalkan isyarat tantangan
buat Mataram. Orang itu tentu mengetahui bahwa di Mataram ada seorang yang pantas
disegani, Ki Juru Martani. Namun agaknya orang yang menyebut dirinya keturunan
langsung dari Majapahit itu sudah bertekad untuk melawan dan mengalahkan orang
yang bernama Ki Juru Martani itu.
“Tetapi bagaimanakah halnya,
jika orang yang mengambil pusaka itu menurut penilaianku akan dapat menjadi
lebih baik dari Sutawijaya? Apakah aku akan terkait kepada nama Sutawijaya yang
sudah aku kenal baik-baik, atau aku akan dapat menjatuhkan pilihan dengan
jujur?” pertanyaan itu tumbuh pula di dalam hati Kiai Gringsing .
Tetapi Kiai Gringsing masih
belum akan memikirkannya. Ia akan melihat lebih dahulu perkembangan Mataram dan
Raden Sutawijaya itu sendiri.
“Keinginan Raden Sutawijaya
untuk menemukan kembali kedua pusaka itu agaknya memang tidak semata-mata dilandasi
oleh nafsu ketamakan untuk berkuasa semata-mata. Tetapi seperti ayahandanya,
Raden Sutawijaya tentu bercitia-cita bagi Mataram seisinya,” kesimpulan itulah
yang untuk sementara telah diambil oleh Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, sambil
meletakkan kepingan perak yang berwarna kehitam-hitaman itu Kiai Gringsing
berkata, “Nah Ki Juru, sekarang, apakah yang dapat kita perbincangkan mengenai
lukisan yang terpahat pada kepingan perak itu?”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti
seolah-olah ingin mendapatkan bahan pembicaraan dari mereka. Tetapi baik Ki
Waskita maupun Ki Sumangkar masih tetap berdiam diri sambil memandang benda
yang kehitam-hitaman itu.
“Lukisan yang terpahat itu
memang sangat menarik,” berkata Kiai Gringsing, ‘seakan-akan memberikan kesan,
bahwa pemiliknya adalah orang-orang yang hatinya kelam, seperti kelamnya
malam.”
“Ya, golongan yang
kadang-kadang disebut golongan hitam,” sahut Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Sedangkan Ki Juru berkata selanjutnya, “Karena itulah
kita berhadapan dengan lawan yang memiliki banyak kelebihan. Dan lebih dari
itu, mereka akan. mempergunakan segala macam cara untuk mencapai tujuan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun mulai membayangkan, siapakah yang sedang mereka hadapi.
Namun sedemikian jauh, ia sama sekali masih belum dapat menghubungkan ciri-ciri
yang ada itu dengan segolongan orang yang pernah dikenalnya, juga mereka yang
tergolong keturunan langsung dari Majapahit.
“Ki Juru,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “sebenarnyalah bahwa semuanya masih gelap bagi kita. Karena
itu, apakah Ki Juru tidak berkeberatan, apabila ciri-ciri yang terpahat pada
kepingan perak itu diperbanyak?”
“Maksud Kiai?”
“Kita masing-masing akan
membawa satu. Selama kami menempuh perjalanan kembali dari Tanah Perdikan
Menoreh, kami dapat selalu mempelajari, apakah arti dari ciri-ciri yang
terpahat pada kepingan perak itu, sementara aslinya masih tetap ada pada Ki
Juru, yang mungkin memerlukan untuk mencari maknanya pula.”
Ki Juru merenung sejenak.
Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak
berkeberatan Kiai. Tetapi aku akan memilih seorang ahli yang dapat aku percaya
sehingga ia tidak membuat lebih dari yang kita perlukan. Mungkin ia tidak
mengerti makna dari yang dibuatnya, sehingga kelebihan itu akan mengakibatkan
kesulitan baginya kelak.”
“Baiklah Ki Juru. Pada saatnya
kami kembali dari Menoreh, kami akan singgah pula. Kami akan mengambil tiruan
dari ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang telah mengambil
pusaka-pusaka itu. Mungkin kami memerlukan satu dua hari, tetapi mungkin satu
dua pekan atau bulan untuk dapat mencari jalan memecahkan persoalan yang sangat
rumit itu.”
“Kami akan mencoba menyediakannya
Kiai. Berapa hari menurut rencana Kiai akan berada di Tanah Perdikan Menoreh?”
“Tidak terlampau lama. Apalagi
menghadapi persoalan yang pelik ini. Mungkin aku hanya akan bermalam satu atau
dua malam saja. Jika persoalan yang kami bawa sudah selesai, maka kami pun akan
segera kembali.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan kita bersama akan segera
dapat memecahkan persoalan itu. Tetapi kami di Mataram, tidak ingin selalu
mengganggu niat Ki Demang untuk mengawinkan anak laki-lakinya. Jika Kiai
Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar terlibat terlampau jauh di dalam masalah
hilangnya kedua pusaka itu dari Mataram, maka kedatangan kalian akan terlambat
di Sangkal Putung. Dan itu berani mengundurkan rencana perkawinan Angger
Swandaru.”
“Kami akan mencoba minum
sambil mandi,” jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tersenyum.
Meskipun ia belum terlampau lama bergaul dengan Kiai Gringsing, tetapi ia sudah
mengerti sifat-sifatnya. Istilah yang nampaknya sekedar merupakan pelepasan dan
bahkan terasa tidak lebih dari sebuah sendau gurau, namun memiliki arti yang
dalam dan bersungguh-sungguh.
Demikianlah maka Ki Juru
Martani pun kemudian memanggil seorang yang pandai membuat barang-barang
perhiasan dari perak. Selebihnya orang itu sudah dikenalnya baik-baik dan dapat
dipercaya. Kepadanyalah tugas itu diserahkan.
“Buatlah lima tiruan dari
benda ini,” berkata Ki Juru Martani, “hanya lima. Tidak lebih.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diamatinya kepingan perak bakar yang kehitam-hitaman itu. Pada
kepingan perak itu terpahat lukisan sebuah perisai yang bulat bergerigi dan
ditengahnya seekor kelelawar dengan sayapnya yang mengembang.
Sambil masih
mengangguk-anggukan kepalanya ia menyahut, “Aku akan membuatnya, sejauh-jauhnya
mendekati pahatan perak itu. Tetapi, apakah gunanya benda-benda serupa itu?”
“Itulah yang akan aku
beritahukan,” berkata Ki Juru, lalu, “benda ini adalah benda keramat. Kau tidak
akan dapat membuat lebih dari lima keping tiruan. Jika kau melanggar, aku takut
bahwa kau akan mendapat kesulitan.”
Wajah orang itu menjadi
tegang.
“Tetapi jangan takut,” dengan
cepat Ki Juru menyambung, “asal kau tidak melanggar pantangan, maka tidak akan
terjadi apa-apa. Kami sudah mengadakan selamatan sebelum kami memanggilmu.
Tetapi ingat, benda ini jangan sampai berada dibawah pusarmu.”
“O,” orang itu bertambah
tegang.
“Lakukanlah.”
“Jadi aku harus menaruhnya
dimana?”
“Selipkan pada ikat kepalamu.”
Orang itu termangu-mangu
sejenak, lalu, “Ah, sebaiknya aku tidak bermain-main dengan benda-benda keramat
seperti itu.”
Ki Juru tersenyum. Katanya,
“Tidak apa-apa. Semua persoalan yang dapat timbul menjadi tanggung jawabku.
Tetapi ingat pesanku, jangan membuat lebih dari lima, dan jangan mengatakan
kepada siapa pun juga bahwa kau membuat benda-benda tiruan itu. Kepada anak
istrimu pun jangan. Apalagi kepada pembantu-pembantumu di rumah, atau anak-anak
muda yang belajar membuat barang-barang perak di rumahmu.”
Orang itu menjadi semakin
ragu-ragu.
“Kerjakanlah. Jika kau memenuhi
semua syarat, maka kau akan mendapat rejeki.”
Orang itu tidak menyahut,
sedang Kiai Gringsing melanjutkan, “Setidak-tidaknya kau akan mendapat upah
yang baik dari kerjamu itu.”
Ketika orang itu kemudian
minta diri, setelah menyelipkan kampil berisi sekeping perak bakar itu di ikat
kepalanya. Ki Waskita dani Ki Sumangkar tersenyum. Ki Sumangkar bahkan kemudian
tertawa kecil sambil berkata, “Apakah orang itu masih perlu ditakut-takuti?”
Ki Juru pun tersenyum pula.
Jawabnya, “Ia orang yang baik dan dapat dipercaya. Tetapi kadang-kadang
seseorang di luar sadarnya melakukan kesalahan. Aku ingin bahwa dengan demikian
ia menjadi lebih berhati-hati.”
“Tetapi Ki Juru memberikan
kampil itu seluruhnya. Bukankah di dalam kampil itu terdapat secarik kain yang
bertulisan darah?” bertanya Ki Waskita.
Ki Juru tersenyum. Katanya,
“Aku sudah menyimpannya.”
Kiai Gringsing yang hampir
saja menanyakan hal itu pula, mengangguk-angguk sambil berkata, “Jika ia
melihat tulisan itu, ia akan menjadi semakin ketakutan. Barangkali ia akan
mengembalikannya, dan tidak mau mengerjakannya lagi.”
Demikianlah untuk beberapa
saat mereka masih saja memperbincangkan kepingan perak bakar itu. Namun mereka
masih belum dapat mengambil kesimpulan yang agak meyakinkan. Mereka masih bertanya-tanya
di dalam hati, “Perguruan manakah yang kemudian mempergunakan tanda-tanda yang
aneh itu?”
Namun seperti pendapat Kiai
Gringsing, perguruan itu tentu perguruan yang semula tidak pernah berkembang.
“Atau justru sebuah kelompok
yang baru sama sekali,” gumam Ki Juru Martani.
Demikianlah, seperti yang,
direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar benar-benar
hanya bermalam semalam saja di Mataram. Ketika kemudian pagi mulai pecah di
hari berikutnya, ketiganya pun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
Ketiga orang-orang tua itu sengaja menampakkan diri sebagai pedagang keliling
yang menempuh perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, meskipun mereka
tidak membawa barang-barang apa pun selain beberapa lembar pakaian yang
terbungkus rapi dan diikat pada pelana kuda masing-masing.
“Ki Waskita dan Ki Sumangkar,”
berkata Kiai Gringsing ketika mereka sudah berada diluar kota Mataram yang
sedang berkembang itu, “jika kita menghadap Ki Argapati, apakah kita sebaiknya
mengatakan tentang hilangnya kedua pusaka itu atau tidak?”
Keduanya mengerutkan
keningnya. Sejenak mereka merenung. Kemudian Ki Sumangkar pun menjawab,
“Menurut pertimbanganku, tidak ada salahnya kita mengatakannya. Ki Argapati
adalah seorang yang cukup masak menanggapi setiap keadaan, seperti pada saat
Raden Sutawijaya berusaha menghancurkan Panembahan Agung yang berada di ujung
kekuasaan Ki Argapati.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sedang Ki Waskita pun berkata, “Kita wajib mempercayainya.
Apalagi tidak ada kesulitan hubungan antara Mataram dan Menoreh.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-angguk. Jawaban-jawaban itu agaknya memang sesuai dengan sikapnya.
Baginya, Ki Argapati adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
yang sedang dihadapi. Ia bukan orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja,
tetapi ia juga memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain.
Karena itu maka Kiai Gringsing
pun kemudian berkata, “Aku sependapat. Memang Ki Argapati adalah orang yang
cukup matang, dan memang tidak ada persoalan apa pun juga antara Menoreh dan
Mataram.”
“Mudah-mudahan Mataram tidak
mempunyai persoalan pula dengan tetangga-tetangganya yang lain,” desis Ki
Sumangkar.
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi seperti Ki Waskita maka Kiai Gringsing pun segera melontarkan
angan-angannya ke laladan Mangir. Daerah yang sudah mulai mapan pula, di
sebelah selatan Alas Mentaok. Beberapa Kademangan yang merasa wajib membuat
semacam ikatan yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir, berkembang pula di samping
Mataram. Tetapi agaknya Mataram maju jauh lebih pesat dari Mangir meskipun
sebenarnya Mangir lebih tua dari Mataram yang tumbuh di atas tanah Alas
Mentaok.
Demikianlah sambil berbicara
tentang berbagai kemungkinan maka mereka pun semakin lama semakin mendekati
Kali Praga. Untuk mencapai daerah Menoreh mereka harus menyeberangi sungai yang
cukup lebar itu. Dalam musim basah, maka mereka harus menyeberang dengan
mempergunakan getek, karena arus airnya menjadi agak deras dan dalam.
Ketika mereka kemudian
melewati sebuah padang ilalang, dan kemudian sampai ke daerah yang sudah
berpasir mendekati tepian, mereka menjadi berdebar-debar. Biasanya di tempat
itu banyak getek yang siap untuk menyeberang dengan upah sekedarnya, Tetapi
saat itu, tepian itu pun menjadi sepi, meskipun masih nampak beberapa buah
getek yang tertlambat pada patok-patok bambu yang kuat.
Kiai Gringsing memandang air
yang berwarna lumpur itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Ki Waskita dan
Ki Sumangkar menebarkan pandangan matanya berkeliling.
“Aneh,” desis Kiai Gringsing.
“Ya, aneh,” Ki Waskita dan Ki
Sumangkar pun menyahut hampir bersamaan.
“Tidak seorang pun yang
nampak. Biasanya di saat begini, ada beberapa buah getek yang hilr mudik.”
“Marilah kita mendekat,”
berkata Ki Sumangkar kemudian.
Mereka bertiga pun kemudian
bergerak mendekati getek-getek yang tertambat. Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian mereka melihat beberapa orang yang agaknya akan menyeberang
pula.
“Marilah kita mendekati
mereka,” ajak Kiai Gringsing.
Ketiganya pun kemudian
mendekati orang-orang yang berjalan dengan ragu-ragu. Agaknya mereka pun
menjadi heran, bahwa tidak sebuah pun dari getek-getek itu yang menyeberangi
sungai.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing sambil meloncat turun dari kudanya ketika ia sudah berada di dekat
orang yang termangu-mangu, “apakah Ki Sanak akan menyeberang?”
“Ya. Kami akan menyeberang,”
jawab salah seorang; dari mereka, “tetapi aneh, agaknya telah terjadi sesuatu
sehingga sungai itu menjadi sangat sepi.”
“Apakah kira-kira baru saja
ada getek yang hanyut atau terbalik di tengah sungai sehingga yang lain menjadi
ketakutan?” bertanya Ki Sumangkar yang telah turun pula bersama Ki Waskita.
“Tentu tidak,” jawab orang
itu, “meskipun ada di antara mereka yang terbenam sekali pun yang lain tidak
akan menjadi ketakutan. Apalagi air tidak begitu deras. Tetapi tentu kami tidak
akan dapat menyeberanginya.”
“Kami juga akan menyeberang,”
berkata Ki Waskita, “kami mempunyai sedikit keperluan di seberang sungai,”
Orang-orang itu
mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku mempunyai kenalan
baik diantara para tukang perahu. Mungkin aku dapat bertanya kepadanya, apa
yang sudah terjadi sehingga mereka tidak turun ke sungai hari ini.”
“Bertanyalah. Dan jika ia
tidak berkeberatan., bawa ia kemari khusus untuk menyeberangkan kita. Bukankah
mereka tidak akan menolak ajakanmu jika kau sudah kenal dengan baik.”
“Aku akan mencoba.”
Salah seorang dari mereka pula
segera pergi meninggalkan kawan-kawannya melintasi pasir tepian menuju ke padukuhan
yang berada tidak begitu jauh dari Kali Praga itu.
Sambil menunggu orang yang
menjemput tukang perahu yang sudah dikenalnya baik-baik itu, maka Kiai
Gringsing dan kawan-kawannya pun berbicara tentang berbagai hal dengan
orang-orang yang akan menyeberang itu pula. Ternyata mereka adadah
pedagang-pedagang yang akan pergi ke tlatah Menoreh untuk mengambil berbagai
jenis rempah-rempah yang kemudian akan mereka bawa ke daerah Pajang.
“Kita tidak pernah mengalami
hal seperti ini akhir-akhir ini,” berkata salah seorang dari mereka, “beberapa
saat yang lalu, ketika jalan yang melintas dari timur ke barat sering
terganggu, memang kadang-kadang tidak seorang pun yang mau menyeberangkan kami.
Tetapi kemudian keadaan menjadi bertambah baik, dan jalan kami pun menjadi
aman.”
“Mengherankan,” berkata yang
lain.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah Ki Sanak bertiga ini?”
“Kami adalah orang-orang
Sangkal Putung,” jawab Kiai Gringsing, “kami mempunyai keperluan untuk menengok
sanak kami yang ada di Menoreh.”
Orang-orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, “Kami kira kalian adalah
pedagang mas dari Pajang, atau blantik lembu dan kerbau yang akan mencari
dagangan ke tlatah Menoreh.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
menahan senyum yang hampir saja menggerakkan di bibir mereka. Agaknya
orang-orang itu tidak mengenal mereka sebagai petualang yang datang dan pergi
dari satu daerah ke daerah yang lain.
“Kami memang mengharapkan
dugaan yang demikian,” berkata Ki Waskita dan Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Karena dengan demikian tidak akan banyak orang yang memperhatikan perjalanan
mereka.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing menjawab, “Dugaan Ki Sanak tidak banyak meleset. Meskipun kami akan
mengunjungi saudara kami di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kami memang tidak
semata-mata pergi tanpa keperluan yang lain. Kami adalah perantara jual dan
beli besi-besi aji.”
“Maksud Ki Sanak,
pusaka-pusaka?”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Yang Ki Sanak pentingkan,
wilahan-wilahan besi keramat atau pakaian dari pusaka-pusaka itu. Maksudku,
pendok mas tretes berlian, ukiran dengan batu-batu permata dan serupa itu.”
“Keduanya. Jika ternyata ada
yang jodoh, maka kami dapat mencarikan pusaka-pusaka yang mempunyai kasiat bagi
pemiliknya. Tetapi kami juga berdagang barang-barang mas dan permata, termasuk
pendok keris.”
“Dan akik,” sambung Ki
Waskita.
Kiai Gringsing berpaling.
Tetapi tidak ada kesan apa pun yang nampak pada wajahnya.
“Ya,” jawab orang yang
bertanya tentang barang-barang mas dan permata itu, “biasa pedagang wesi aji
juga membawa batu-batu bertuah. Akik, ujung tanduk menjangan mati, ngurak yang
ujudnya sudah membatu, watu ireng belah putih dan sebagainya. Nah, apakah Ki
Sanak membawa batu akik? Aku pernah mendengar ada batu akik yang dapat
memberikan pengaruh baik dan buruk pada pemiliknya.”
“Memang,” jawab Kiai
Gringsing, “tetapi sayang, bahwa kami sekarang tidak membawa apa pun juga. Kami
sebenarnya sedang dalam perjalanan mengambil beberapa pusaka dari saudara kami
yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang itu mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu tentang pusaka-pusaka yang dikenalnya.
Sementara itu, kawannya yang
pergi menjemput beberapa orang tukang satang telah datang bersama dengan empat
orang yang barangkali bersedia menyeberangkan orang yang sudah dikenalnya
dengan baik itu.
“Sebenarnya kami tidak ingin
turun ke sungai hari ini,” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi kawan
yang sudah kami kenal ini memaksa kami.”
“Kami minta pertolongan Ki
Sanak,” berkata salah seorang dari mereka yang datang dalam kelompok kecil itu.
Beberapa orang tukang perahu
itu termangu-mangu. Mereka memandang orang-orang itu satu demi satu. Kemudian
tatapan mata mereka hinggap pada Kiai Gringsing dan kedua kawannya.
Meskipun tidak ada kata-kata
yang mereka ucapkan, tetapi nampak kecurigaan memancar di wajah mereka,
sehingga karena itu maka Kiai Gringsing pun berkata, “Aku juga termasuk dalam
rombongan yang akan menyeberang Sungai Praga. Aku tidak membawa apa-apa selain
pakaian beberapa lembar.”
Orang-orang itu tidak segera
menjawab. Tetapi mereka agaknya masih tetap bercuriga.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “mungkin kalian melihat kelainan pada kami bertiga. Bukan
karena pakaian dan kuda-kuda kami, tetapi barangkali dalam sikap dan kata-kata
kami. Tetapi kelainan itu wajar sekali, karena pekerjaan kami yang berbeda dan
daerah tempat tinggal kami.”
Orang-orang itu masih
memandang dengan penuh curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata,
“Sebenarnya kami tidak pernah memilih siapa saja yang akan kami seberangkan.
Tetapi peristiwa kemarin malam, membuat kami agak ketakutan.”
“Apakah yang sudah terjadi?”
bertanya Kiai Gringsing, “dan apakah karena kejadian itu maka kalian tidak
turun ke sungai hari ini?”
Orang-orang itu
mengangguk-angguk.
“Mengerikan sekali,” berkata
salah seorang dari mereka.
“Apa?”
“Menjelang dini hari, beberapa
orang akan menyeberangi sungai ini. Adalah kebetulan sekali aku tidur di atas
perahu yang tertambat di tepian. Dengan demikian aku melihat apa yang telah
terjadi.”
“Apa yang terjadi?”
“Beberapa orang yang
menyeberangi sungai ini telah membangunkan tiga orang kawanku yang tidur di
tepian, di atas sehelai ketepe. Agaknya mereka tidak melihat aku sehingga mereka
tidak menghiraukan sama sekali, karena perahuku memang tertambat agak jauh.”
“Mereka akan menyeberang?”
“Ya. Aku tidak mendengar apa
yang mereka bicarakan. Tetapi agaknya mereka sedang tawar menawar. Menyeberang
di malam hari kadang-kadang merupakan penghasilan khusus yang agak baik bagi
kami. Mereka tentu orang-orang yang tergesa-gesa sehingga tidak sempat menunggu
pagi. Dan kadang-kadang kami juga berbuat salah dengan memanfaatkan kesulitan
orang lain dengan memaksakan upah yang lebih tinggi,” orang itu berhenti
sejenak, lalu, “yang aku ketahui mereka pun kemudian menyeberang. Tetapi
sungguh di luar dugaan. Ketika mereka sudah mencapai tepi sebelah barat, maka
mereka sama sekali tidak memberikan upah. Tetapi ketiga orang kawan-kawanku itu
pun dibunuhnya dengan tanpa belas kasihan.”
“Dibunuh?” Ki Waskita
mengulang.
“Ya. Mereka dibunuh hanya
karena orang-orang yang menyeberang itu tidak mau membayar upah, sedangkan
tukang-tukang perahu itu menuntutnya.”
Ki Waskita dan kawan-kawannya
terkejut mendengar jawaban itu. Demikian juga sekelompok orang yang akan
menyeberang Sungai Praga itu pula.
“Kami tidak mau mengulangi
peristiwa yang mengerikan itu lagi,” berkata tukang perahu itu.
“Tetapi kalian sudah mengenal
aku,” berkata salah seorang dari sekelompok orang yang ingin menyeberang itu.
“Kami sudah mengenal kau,
tetapi…..” orang itu tidak meneruskan.
Meskipun demikian, orang yang
sudah di kenal oleh tukang perahu itu mengerti dan menyahut dengan serta-merta,
“Mereka adalah kawan-kawanku. Aku akan bertanggung jawab bahwa mereka tidak
akan berbuat seperti orang-orang yang kejam itu. Kami adalah pedagang yang
setiap kali memerlukan bantuan kalian. Jika kami berbuat salah, maka jalan kami
akan tertutup, dan itu berarti kesulitan bagi kehidupan kami.”
Tukang-tukang perahu itu
saling berpandangan sejenak. Namun hampir di luar sadar, mereka bersama-sama
memandang Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
“Aku mengerti bahwa kalian pun
mencurigai aku,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku berharap bahwa kalian dapat
mengerti dan mempercayai kami. Kami sudah sering menyeberang sungai ini pula
meskipun barangkali orang-orang lain yang menolong kami. Tetapi kami pun tidak
mau kehilangan kesempatan dengan berbuat demikian tidak berperikemanusiaan.
Berapa sebenarnya upah yang harus dibayar? Seandainya lipat lima sekali pun
dari yang seharusnya? Sedangkan nyawa orang mempunyai nilai yang tidak dapat
disebutkan dengan nilai uang. Selebihnya, kami akan berdosa dengan melakukan
kejahatan serupa itu.”
Sejenak tukang perahu itu
ragu-ragu. Agaknya mereka sedang mempertimbangkannya.
“Sudah barang tentu kami tidak
dapat berbuat apa-apa di hadapan sekian banyak orang,” berkata Ki Sumangkar,
“seandainya ada niat di hati kami untuk melakukan kejahatan yang sangat
merugikan itu, kami tentu tidak akan melakukannya di hadapan orang lain.”
Seorang yang bertubuh tinggi
kekar, yang agaknya orang tertua di antara tukang perahu itu menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah. Aku percaya kepada kalian, karena ada di
antara kalian yang sudah aku kenal baik.”
Demikianlah maka sekelompok
orang itu, termasuk Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar beserta kuda
mereka pun segera naik ke atas sebuah getek yang besar. Perlahan getek itu
mulai bergerak. Mula-mula menyusur tepian menurut arus air, kemudian perlahan
lahan semakin ke tengah, dan memotong Kali Praga.
Tidak banyak yang meresa
percakapkan di tengah-tengah Kali Praga. Namun ada yang penting yang didengar
oleh Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
Salah seorang dari sekelompok
pedagang yang menyeberang itu bertanya, “Apakah kau dapat mengenal ciri-ciri
dari orang-orang yang berbuat kejam itu?”
“Tentu tidak. Malam cukup
gelap, dan jarak kami pun menjadi teramat jauh karena mereka sudah sampai di
seberang.”
“Apa yang kau ketahui tentang
mereka?”
“Tidak ada. Kami hanya
mendengar pertengkaran sejenak. Kemudian jerit ngeri dari tiga orang kawan
kami. Di pagi hari berikutnya, kami menemukan mayat-mayat itu. Perutnya sobek
dan darah memerah di bibir perahu. Bahkan sudah menjadi hitam pula.”
“Tanpa mengenal ciri-ciri
mereka, kita tidak akan dapat mencarinya, atau berhati-hati terhadap orang yang
demikian di saat yang lain.”
“Aku tidak menyangka bahwa hal
itu terjadi,” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi yang pasti menurut
penglihatanku, salah seorang dari mereka membawa sebatang benda yang panjang.”
“Benda panjang,” di luar
sadarnya Kiai Gringsing bertanya.
Orang itu berpaling sambil
mengangguk, “Ya. Mungkin sebuah payung.”
“Payung?”
“Payung itu dibungkus rapi
dengan sehelai kain putih.”
Dada Kiai Gringsing serasa
semakin cepat berdetak. Demikian juga agaknya Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
“Hanya satu?” bertanya Kiai
Gringsing sambil menahan perasaannya yang bergejolak.
“Ya. Menurut penglihatanku
hanya satu.”
Kiai Gringsing tidak bertanya
lagi. Ia menahan semua desakan di dalam hatinya. Demikian juga agaknya kedua
kawannya.
Namun keterangan itu
memberikan banyak bahan bagi Kiai Gringsing dan kedua kawannya. Agaknya
orang-orang yang mengambil pusaka dari Mataram itulah yang telah menyeberangi
Kali Praga. Tetapi mereka tidak membawa kedua pusaka itu bersama-sama.
“Mereka berusaha untuk
memisahkannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, dan agaknya demikian
juga Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Tanpa membicarakannya lebih dahulu ketiganya
dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk mengamankan pusaka yang tidak ada duanya
itu, maka mereka membawa ke arah yang berbeda. Yang satu dibawa menyeberang
Kali Praga, sedang yang lain dibawa ke arah lain pula.
“Tetapi mungkin juga mereka
membagi pusaka-pusaka itu agar mereka untuk sementara terikat di dalam satu
kelompok yang tidak akan saling mengkhianati,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
Tetapi ia tidak bertanya lebih
lanjut. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan bahan lebih banyak dari itu.
Bahkan kemudian ia berpura-pura tidak menghiraukannya lagi, ketika justru
orang-orang lainlah yang bertanya tentang payung itu.
Seorang yang bertubuh kurus
agaknya tertarik juga pada cerita payung itu sehingga ia pun kemudian bertanya,
“Payung itu memiliki kelebihan apa sehingga diselongsong dengan kain putih?”
“Tentu aku tidak tahu. Aku
hanya melihat dari kejauhan, Aku pernah melihat sebuah payung bertangkai
panjang seperti yang dibawa orang itu, ketika aku masih kecil.”
“Dimana?” bertanya yang lain.
“Ketika aku ikut Biyung
mengunjungi sanak keluarga kami yang berada di Pajang. Ia menghambakan diri
kepada seorang bangsawan. Dan aku melihat di rumah itu ada payung bertangkai
panjang.”
“Seperti songsong orang mati?”
“Ya,” tukang perahu itu berhenti
sejenak ketika perahunya menjadi sedikit oleng. Kemudian, “Payung di rumah
bangsawan itu pun diselongsongi pula dengan kain putih.”
Dan tiba-tiba saja diluar
dugaan Kiai Gringsing dan kawan-kawannya salah seorang dari pedagang yang
bersama menyeberang itu berkata, “Agaknya yang membawa payung itu pencuri.
Mereka mencuri payung dan dibawanya lari di malam hari.”
Tetapi tukang perahu itu
menjawab, “Apakah seseorang mempertaruhkan dirinya sekedar untuk mendapat
sebuah payung yang dibuat dari kayu dan sesobek kain itu?”
“O, bodoh kau. Yang kau lihat
adalah payung itu. Tetapi apakah kau mengetahui bahwa mereka membawa sebungkus
emas dan permata?”
“Ah. Aku tidak tahu.”
Demikianlah maka mereka pun
kemudian terdiam. Perahu itu perlahan-lahan maju memotong arus sungai yang
tidak begitu deras, meskipun masih terlalu berbahaya untuk diseberangi tanpa
perahu.
Setelah mereka sampai di
seberang, maka sambil mengucapkan terima kasih, maka Kiai Gringsing dan kedua
kawannya pun segera membayar upah yang harus mereka berikan. Demikian juga
pedagang-pedagang yang akan mengambil rempah di tlatah Menoreh itu.
“Bagaimana aku menyeberang
kembali besok,” bertanya salah seorang pedagang itu, “jika masih belum ada
orang yang berani melintas sungai ini? Dari arah timur aku dapat memanggil kau
ke rumah. Tetapi dari arah barat, aku belum mempunyai kenalan yang rapat.”
“Kapan kau akan kembali?”
“Mungkin besok,
selambat-lambatnya lusa.”
“Menjelang tengah hari aku ada
di seberang meskipun tidak di tempat penyeberangan karena kami masih ketakutan.
Jika kau berdiri di tepian dan bersuit dua kali sambil melambaikan tangan, aku
akan menjemputmu jika masin belum ada orang lain. Tetapi jika ada, maka rejeki
itu adalah hak kawan-kawan dari seberang barat. Aku tidak dapat merampas dari
mereka.”
“Jika mereka tidak ada.”
“Kecuali. Seperti aku katakan,
beri aku tanda. Aku ada di tepian meskipun barangkali aku bersembunyi.”
Demikianlah maka mereka yang
telah menyeberang itu pun meninggalkan tepian. Kiai Gringsing dan kedua
kawannya minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika kuda-kuda mereka telah
berlari meskipun tidak begitu cepat, melintasi bulak persawahan memasuki tlatah
Menoreh, maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya mulai menilai keterangan tukang
perahu yang telah melihat sekelompok orang yang membawa payung bertangkai
panjang dan berselongsong putih itu.
“Aku hampir memastikan,”
berkata Kiai Gringsing, “bahwa payung yang mereka bawa itu adalah songsong yang
hilang dari Mataram.”
“Ya,” sahut Ki Waskita, “jika
payung itu bukan payung yang bernilai melampaui nilai orang-orang yang membawa
itu sendiri menurut dugaan mereka, maka mereka tidak akan membunuh tukang
perahu yang tidak berdosa itu.”
“Mereka berusaha menghilangkan
jejak agar tidak seorang pun yang mengetahui arah kepergian mereka,” sambung Ki
Sumangkar.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan kedua kawannya bahwa payung itu adalah
Kanjeng Kiai Mendung.
“Tetapi kemana Kanjeng Kiai
Pleret mereka bawa?” desis Ki Waskita.
“Dengan memisahkan kedua
pusaka itu, maka mereka akan merasa semakin aman. Aman dari segi penelitian
orang-orang Mataram, dan aman bagi mereka sendiri. Jika salah satu pihak dari
mereka membawa keduanya, maka wahyu itu akan berada pada pihak yang membawa
kedua pusaka itu,” desis Kiai Gringsing.
“Menurut dugaan Kiai, apakah
ada semacam pertentangan yang meskipun tersembunyi di antara mereka yang
mengambil pusaka itu?” bertanya Ki Waskita.
“Aku belum dapat mengambil
kesimpulan. Mungkin saja hal itu terjadi, tetapi mungkin sekedar untuk
pengamanan.”
“Tetapi pada suatu saat, kedua
pusaka itu akan berkumpul,” berkata Ki Sumangkar selanjutnya, “mungkin setelah
mereka berhasil mengambil pusaka-pusaka yang lain dari Pajang.”
“Ya. Agaknya harus demikian.”
Ketiganya mengangguk-angguk.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Meskipun tatapan mata mereka manyapu
kehijauan dedaunan di tlatah Tanah Perdikan Menoreh, namun pikiran mereka masih
tetap dicengkam oleh cerita tukang perahu itu.
Namun seperti terbangun dari
mimpi, mereka pun kemudian mulai mempersiapkan diri ketika mereka mulai
berpapasan dengan beberapa orang petani yang lewat di tanggul parit di tepi
jalan. Beberapa orang dari mereka menganggukkan kepalanya, karena agaknya
mereka pernah melihat orang yang bernama Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing dan kedua kawannya pun segera mengatur diri, membenahi rambut yang
berjuntai ditiup angin selama perjalanan dan mengatur kata-kata yang nanti akan
disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, sesuai dengan pesan Ki Demang Sangkal
Putung.
Tidak seperti saat-saat yang
lampau, mereka selalu berpapasan dengan kelompok-kelompok peronda, maka kini
agaknya Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar menjadi tenang. Meskipun
agaknya Tanah Perdikan Menoreh tidak lengah sama sekali, namun mereka tidak
diganggu oleh kegelisahan persiapan bersenjata di sepanjang jalan. Hanya
sekali-sekali saja mereka melihat dua orang pengawal berkuda melintas dan
apabila mereka berpapasan, pengawal-pengawal itu pun mengangguk hormat, karena
mereka pun telah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya itu.
Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun telah memasuki padukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Namun kedatangan mereka bertiga, sama sekali tidak mengejutkan
orang-orang di Menoreh. Terlebih-lebih Ki Gede Menoreh sendiri yang sebenarnya
memang sedang menunggu kedatangan tamu-tamu dari Sangkal Putung. Dan bahkan Ki
Gede sudah memastikan, bahwa yang akan datang adalah Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar. Tetapi ternyata di antara mereka terdapat pula Ki Waskita.
Sebelum mereka memasuki
halaman rumah Ki Argapati, maka sekali lagi mereka menyesuaikan pendapat
mereka, bahwa sebaiknya Ki Argapati mendapat sedikit keterangan tentang
hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu dan menyampaikan pula keterangan tukang
perahu yang melihat, bahwa satu di antara kedua pusaka yang hilang telah
menyeberang Kali Praga.
“Mereka membunuh tukang-tukang
perahu itu untuk menghapuskan jejak mereka bahwa Kiai Mendung telah melintasi
Kali Praga,” berkata Kiai Gringsing.
Kawan-kawannya pun
mengangguk-angguk. Mereka sependapat sepenuhnya dengan Kiai Gringsing itu,
karena Ki Argapati pun agaknya akan terlibat pula seperti saat-saat Mataram
berusaha menemukan sarang Panembahan Agung, Apalagi ketika mereka yakin bahwa
Tanah Perdikan Menoreh setidak-tidaknya menjadi tempat atau jalur jalan orang
orang yang membawa salah satu dari pusaka yang hilang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Gringsing dan kedua kawan-kawannya pun telah memasuki regol halaman rumah Ki
Argapati. Ki Argapati sendiri telah turun dari tangga rumahnya dan menyongsong
tamu-tamunya yang memang sudah ditunggunya.
Kedatangan Kiai Gringsing dan
kedua kawannya disambut oleh keluarga Ki Argapati dengan wajah-wajah yang
cerah. Mereka sudah tahu persoalan apa yang dibawa oleh Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya. Namun berita yang sekarang dibawa itu adalah berita kepastian
tentang saat-saat yang sudah lama dinantikan itu.
Demikianlah mereka pun
kemudian duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan dipendapa. Seperti
kebiasaan yang berlaku, maka mereka pun segera saling menanyakan keselamatan
dan berita tentang keluarga masing-masing. Keluarga Tanah Perdikan Menoreh dan
keluarga di Sangkal Putung.