Buku 046
Namun suara cambuk itu masih
juga terdengar. Sekali lagi dan sekali lagi.
“Persetan,” desis Ki Peda
Sura. “Mungkin akulah yang nanti akan menghentikannya. Tetapi kini lebih baik
menyelesaikan kelinci-kelinci bodoh ini. Begitu menyenangkan, seperti menebas
batang ilalang.”
Ki Peda Sura tersenyum.
Sepasang senjatanya pun kemudian berputar menyambar-nyambar.
Senjata Ki Peda Sura
benar-benar telah menimbulkan kengerian pada para pengawal yang bertempur di
sekitarnya. Setiap sepasang senjata itu menyentuh lawan, maka senjata lawan itu
hampir dapat dipastikan, terlempar dari tangan. Nasibnya kemudian sudah dapat
dibayangkan. Tanpa senjata di medan perang yang riuh.
Meskipun demikian para
pengawal Taman Perdikan Menoreh yang telah bertekad untuk merebut tanahnya
kembali, sama sekali tidak menghindar. Mereka sadar, bahwa kematian adalah
akibat yang mungkin akan terjadi. Tetapi harga tanahnya tidak ada ubahnya
dengan harga nyawanya.
Demikianlah, maka mereka telah
mencoba untuk mengurung Ki Peda Sura dalam sebuah arena yang sempit. Sedang
para pengawal yang lain mencoba menarik batas dengan keributan pertempuran di
sekitarnya. Namun usaha itu tidak pernah dapat berhasil, karena anak buah Ki
Peda Sura menyadari apa yang akan terjadi atas pemimpinnya itu. Karena itu,
setiap kali lingkaran itu selalu dapat dipecahkan. Bahkan semakin lama Ki Peda
Sura dan orang-orangnya semakin mendesak maju masuk ke dalam garis benturan
antara kedua pasukan itu.
“Orang-orang Menoreh berhasil
menahan gerak maju Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura di dalam hatinya,
“tetapi tidak bagi Ki Peda Sura. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan Ki Peda
Sura.”
Dan Ki Peda Sura pun menjadi
semakin ganas bersama beberapa orang anak buahnya yang terpercaya.
Dengan demikian maka arena di
seputarnya pun menjadi sangat menarik perhatian, sehingga kedua gembala muda
yang bernama Gupita dan Gupala pun akhimya berhasil menemukannya.
“Di situ,” desis Gupala,
“lihat, bukankah yang berputaran itu sepasang senjatanya?”
Gupita mengerutkan keningnya.
Mereka pun segera berlompatan mendekat ketika mereka melihat seorang pengawal
terlempar sambil berlumuran darah.
“Cepat!” geram Gupala.
“Kebuasan itu harus segera dihentikan. Beberapa orang korban akan berjatuhan
lagi tanpa ampun.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi
matanyalah yang memancarkan kemarahan yang menyala di dadanya. Ia tidak dapat
membiarkan para pengawal itu jatuh tersungkur, kemudian yang lain terlempar
untuk tidak pernah bangun kembali. Apalagi tindakan-tindakan anak buah Ki Peda
Sura yang melampaui sikap wajar di peperangan.
“Mereka sengaja berbuat
demikian untuk menakut-nakuti lawan,” berkata Gupita di dalam hatinya.
“Kesan-kesan yang mengerikan itu akan membuat setiap hati menjadi kecut.”
Dengan demikian maka keduanya
pun segera bergeser semakin mendekat.
Gupala yang agaknya tidak
dapat menahan diri lagi, segera meloncat di hadapan orang tua itu sambil
berteriak, “Cukup! Kau jangan berbuat gila. Aku sudah menjadi muak.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Kemudian dengan kasar ia bertanya, “Siapa kau? Apakah kau akan
melawan aku atau akan membunuh diri.”
“Aku memang akan membunuh.
Tetapi bukan diriku sendiri. Aku akan membunuhmu.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Namun kemudian terdengar suara tertawanya, “Jangan mimpi anak muda.
Kau lihat, berapa banyak korban yang telah jatuh di sekitarku,”
“Aku percaya, aku telah
melihatnya,” jawab Gupala, “tetapi korban berikutnya adalah kau sendiri.”
“Persetan!” Ki Peda Sura
menjadi semakin marah. Ia tidak menjawab lagi. Sepasang senjatanya segera
berputar menyerang Gupala dengan sangat tiba-tiba.
Gupala terkejut mengalami
serangan yang begitu cepatnya mengarah ke kepalanya. Dengan demikian maka ia
pun segera meloncat surut. Tetapi arena tidak begitu luas. Di sekitarnya telah
terjadi pertempuran yang seru pula, sehingga ia tidak leluasa mengambil jarak
dari lawannya.
Namun dalam kesulitan itu,
sebuah ledakan cambuk telah memekakkan telinga. Hampir saja ujung juntai cambuk
yang panjang itu melingkar di leher Ki Peda Sura. Namun ketangkasannya telah
melepaskannya dari sambaran ujung cambuk itu.
“Setan!” orang tua itu
mengumpat. Kini dilihatnya Gupala telah siap menyerangnya pula dengan
cambuknya. Sekilas Ki Peda Sura melihat kilatan yang melingkar di beberapa
bagian dari juntai cambuk itu. Semacam karah yang tajam, yang akan mampu
mengelupas kulitnya apabila ujung cambuk itu berhasil menyentuh.
Selain Gupala yang gemuk itu,
seorang anak muda yang lain, yang pertama-tama menyerangnya dengan cambuknya,
telah pula siap melontarkan serangan-serangan berikutnya.
Dan anak itu ternyata telah
pernah dikenalnya.
Ki Peda Sura menggeram.
Dipandanginya kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemantapan tatapan mata
keduanya telah membuat hati Ki Peda Sura menjadi berdebar-debar.
Tetapi ia tidak akan dapat
tinggal diam. Keduanya itu harus dilawannya dan dibinasakannya.
Karena itu, maka sejenak
kemudian Ki Peda Sura segera melibat keduanya dalam pertempuran. Ki Peda Sura
ternyata tidak menunggu kedua anak-anak muda itu menyerangnya lebih dahulu. Tetapi
dengan tangkasnya ia meloncat sambil memutar sepasang senjatanya.
Tetapi baik Gupita maupun
Gupala telah siap pula menghadapi segala kemungkinan, sehingga karena itu, maka
mereka pun segera dapat menanggapi serangan-serangan Ki Peda Sura yang datang
sedahsyat angin prahara.
Demikianlah medan pertempuran
itu semakin lama menjadi semakin ribut. Masing-masing telah menemukan lawannya.
Tidak saja para pemimpin, tetapi setiap orang di dalam masing-masing pasukan
yang bertempur itu sedang memeras tenaganya.
Sidanti yang bertempur melawan
Hanggapati harus memeras segenap kemampuannya apabila ia ingin menundukkan
lawannya. Tetapi lawannya pun telah berusaha sekuat-kuat tenaganya pula untuk
mempertahankan dirinya, bahkan Hanggapati pun berusaha untuk dapat mengalahkan
Sidanti pula.
Demikian pula Argajaya dengan
tombak pendeknya. Agaknya ia sama sekali tidak berpengharapan untuk dapat
mengalahkan Dipasanga. Tetapi ia yakin bahwa ia akan dapat bertahan untuk waktu
yang lama. Bahkan ia berpengharapan, bahwa ia akan dapat menyimpan tenaga lebih
lama dari lawannya.
Tetapi Argajaya adalah seorang
yang keras hati. Bagaimana pun juga dihadapinya lawannya dengan dada tengadah.
Apabila ia sudah mulai menggerakkan senjatanya, maka ia tidak akan
memperhitungkan lagi kemungkinan apa pun yang dapat terjadi atas dirinya.
Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal menghadapi kesulitan.
Dalam hiruk-pikuk pertempuran
itu, Wrahasta agaknya masih belum dapat melupakan kawan-kawannya yang telah
terbunuh di dalam tugasnya, selagi mereka mendahului pasukan induk membungkam
gardu-gardu. Apalagi ketika ternyata korban itu tidak menghasilkan penyelesaian
tugas seperti yang diharapkan, karena ternyata bahwa Ki Tambak Wedi masih
sempat mengetahui kedatangan pasukan Menoreh, meskipun dengan tergesa-gesa
mereka harus menyiapkan diri.
“Setiap orang harus mendapat
ganti sepuluh nyawa,” geramnya tidak henti-hentinya. Dan raksasa itu pun
kemudian mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi sudah barang tentu
bahwa lawannya tidak akan tinggal diam dan membiarkan diri mereka terbunuh.
Betapapun juga mereka pasti akan mengadakan perlawanan sekuat-kuat tenaga.
Apalagi Wrahasta tidak terlalu
banyak memiliki kelebihan dari lawan-lawannya. Orang-orang Ki Peda Sura yang
buas, yang menjadi marah melihat sikapnya, segera berusaha menghancurkannya
pula.
Tetapi Wrahasta tidak
mempedulikannya. Diayunkannya senjatanya ke segenap penjuru. Ia kehilangan
pengamatan yang mantap atas lawan-lawannya karena kemarahan yang meluap-luap di
dalam dadanya. Dengan demikian ia tidak dengan pasti melawan seorang demi
seorang. Dilawannya siapa pun yang dilihatnya. Dan perlawanan yang demikian
justru berbahaya bagi diri Wrahasta sendiri.
Hanggapati sempat melihat
sekilas cara bertempur raksasa yang sedang dipenuhi oleh berbagai macam
kekecewaan, kemarahan, dan bermacam-macam perasaan bercampur-baur di dalam
hatinya. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa pun karena tekanan Sidanti yang
tidak dapat dielakkannya. Sidanti yang marah itu pun menyerang lawannya tanpa
memberinya kesempatan untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Namun demikian Hanggapati
sempat pula menjadi cemas melihat sikap Wrahasta.
Di sayap lain Kerti bertempur
dengan cermatnya. Sambil membimbing pasukannya, ia berusaha setapak demi
setapak untuk mendesak maju. Bukan sekedar dirinya sendiri, tetapi seluruh
sayap yang dipimpinnya.
Tetapi itu bukan pekerjaan
yang mudah dapat dilakukan. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi dipersiapkan dengan
tergesa-gesa, namun pada dasarnya pasukan itu cukup kuat. Apalagi karena masih
saja ada kelompok-kelompok kecil yang mengalir dan menggabungkan diri ke dalam
hiruk-pikuknya peperangan.
Dipasanga masih saja berkelahi
dengan gigihnya. Ia mencoba untuk tetap dapat memberikan tekanan-tekanan kepada
lawannya, meskipun ada saat-saat terjadi sebaliknya.
Satu demi satu korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Di antara dentang senjata beradu, terdengarlah
pekik kesakitan dan rintih yang memelas. Tetapi tidak banyak di antara mereka
yang sempat mendapat pertolongan, karena setiap orang sibuk dengan persoalannya
masing-masing. Justru persoalan hidup dan mati. Bukan sekedar hidup dan mati
bagi diri sendiri, tetapi hidup dan mati bagi seluruh pasukan.
Namun tusukan pertama yang
langsung menghunjam ke jantung pertahanan Ki Tambak Wedi itu ada juga hasilnya.
Pada benturan yang pertama, pasukan Menoreh telah mampu mengurangi jumlah lawan
di gardu-gardu dan dengan anak-anak panah. Hal itu telah memberikan kejutan
yang berpengaruh pada seluruh pasukan Ki Tambak Wedi.
Mereka yang pada dasarnya bukan
bekas pengawal yang memalingkan wajahnya, bukan pula orang-orang Ki Peda Sura
dan orang-orang yang bertualang lainnya, kejadian itu sangat membekas di dalam
diri mereka.
Orang-orang yang selama ini
adalah petani-petani yang tekun, pedagang-pedagang dan mungkin juga bekas-bekas
pengawal, tetapi yang sudah lama meletakkan senjata-senjata mereka, yang karena
keadaan telah dikerahkan oleh Argajaya dan Sidanti, kali ini tidak dapat
menunjukkan perlawanan seperti yang diharapkan.
Dengan demikian, maka Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya kali ini tidak lagi dapat menepuk dada kekuatan
mereka. Tanpa mereka duga, ternyata pasukan Ki Argapati memiliki tekad yang
memang mendekati sikap putus asa. Karena mereka berjanji di dalam diri, merebut
padukuhan induk, atau tidak kembali sama sekali. Itulah agaknya yang telah
mendorong mereka untuk berbuat dan mengorbankan apa saja yang ada. Akibat
daripada itu, perlawanan mereka pun benar-benar ngedab-edabi.
Para pengawal itu merasa,
bahwa mereka telah terlalu lama terusir dari padukuhan induk. Kalau mereka
tidak berhasil sekarang, maka masa depan mereka tidak akan dapat mereka
bayangkan.
Beberapa lama pertempuran itu
sudah berlangsung dengan serunya. Namun nampaknya kedua pasukan itu mempunyai
kekuatan yang seimbang. Kemenangan-kemenangan kecil di garis pertempuran itu
terjadi silih berganti. Orang-orang Ki Peda Sura dan petualang-petualang yang
lain kadang-kadang tidak dapat menahan hati mereka yang liar.
Kemenangan-kemenangan kecil telah membuat mereka berteriak-teriak dan
bersorak-sorak. Bukan saja mereka, tetapi keliaran itu agaknya merambat ke
segenap pasukan, bahkan pasukan lawan.
Dengan demikian maka
berganti-ganti kedua belah pihak bersorak-sorak seperti hendak memecahkan
langit. Semakin lama menjadi semakin keras. Dan tandang mereka pun menjadi
semakin kasar. Mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan pekik kesakitan dan
rintihan mereka yang terluka. Bahkan sambil tertawa seperti orang yang
kehilangan ingatan, orang-orang yang bertualang di atas Tanah Perdikan Menoreh,
dan melibatkan diri dalam api peperangan itu, telah berbuat hal-hal yang
mendirikan bulu roma. Selagi lawannya mengaduh sambil memegangi lukanya, dengan
tanpa ragu-ragu, orang-orang itu menghunjamkan senjata-senjata mereka. Bahkan
kadang-kadang dengan perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi yang bertempur
sepenuh tenaga, kadang-kadang sempat juga melihat hal itu terjadi. Tetapi ia
sama sekali tidak berkeberatan. Orang-orang Menoreh harus ditakut-takuti dengan
perlakuan yang kasar dan buas.
Tetapi harapan mereka, bahwa
dengan demikian para pengawal akan gentar, ternyata meleset. Para pengawal
justru menjadi marah, dan mereka yang berdarah panas, segera ditumbuhi nafsu
untuk melakukan pembalasan.
Gupita yang berkelahi
berpasangan dengan Gupala melawan Ki Peda Sura, hampir saja terpekik ketika
tiba-tiba sebuah kepala berguling di hadapannya. Sejenak ia terpukau diam. Ia
tidak dapat segera mengatasi gejolak yang melanda dinding jantungnya.
“Oh, ternyata di dalam
peperangan manusia-manusia ini telah kehilangan sifat-sifatnya,” desisnya di
dalam hati.
Saat itu hampir saja dapat
dimanfaatkan oleh Ki Peda Sura. Hampir saja kepalanya sendiri pun akan pecah
karena pukulan senjata lawannya. Untunglah bahwa Gupala tidak begitu
terpengaruh oleh kengerian itu, sehingga ia masih sempat dengan tangkasnya
meledakkan cambuknya mengarah ke wajah Ki Peda Sura yang tegang.
Orang tua itu mengumpat-umpat
tidak habis-habisnya. Ia terpaksa mengurungkan serangannya dan menghindari
ujung cambuk Gupala. Namun yaug sesaat itu, telah memberi kesempatan kepada
Gupita untuk menyadari keadannya.
Anak muda itu menggeram sambil
menggeretakkan giginya. Kini ia tidak mempunyai pilihan lain. Pertempuran ini
telah berubah menjadi ajang pembantaian. Peluapan nafsu yang paling rendah,
nafsu yang buas dan mengerikan.
Sejenak kemudian Gupita telah
mempersiapkan dirinya. Sekilas terpandang olehnya hiruk-pikuk pertempuran di
sekitarnya. Kebuasan orang-orang yang mencari keuntungan dari perselisihan yang
terjadi di atas tanah perdikan ini.
Terasa darahnya menjadi
semakin panas. Kini ditatapnya lawannya yang kasar itu tajam-tajam. Kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah mendapatkan suatu kepastian di dalam
dadanya. Ia telah berhasil mengatasi keragu-raguan. Ia harus membinasakan
lawannya.
Sejenak kemudian maka Gupita
itu memutar juntai cambuknya di atas kepalanya sambil memusatkan segenap
kemampuan dan kegairahan tekadnya. Sesaat kemudian cambuknya itu pun meledak
seakan-akan memecahkan selaput telinga.
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Ia melihat sorot mata Gupita yang telah berubah. Kemudian
dipandangnya Gupala yang tertawa-tawa kecil sambil menyerangnya dengan ujung
cambuknya.
Orang tua itu melihat
perbedaan pada kedua anak-anak muda yang melawannya. Tetapi ia yakin bahwa
keduanya bersumber dari perguruan yang sama.
Demikianlah maka pertempuran
itu pun segera meningkat semakin seru. Serangan-serangan Gupita menjadi semakin
garang, sedang Gupala selalu menempatkan dirinya, dan mengisi setiap kelemahan
kakak seperguruannya, meskipun kadang-kadang ia sempat juga tertawa apabila
ujung cambuknya mengena.
Ki Peda Sura, yang
sekali-sekali tersentuh oleh kedua ujung cambuk itu semakin lama menjadi
semakin buas juga. Matanya menjadi semakin merah, dan sekali-sekali terdengar
mulutnya mengumpat dengan kata-kata kasar.
Seluruh medan perang menjadi
semakin kalut. Semua pihak menjadi semakin kasar, dan dalam keadaan yang
demikian nyawa seakan-akan tidak berharga lagi.
Di ujung pertempuran kedua
belah pihak saling mendesak, sedang di pusat pertempuran, dua orang tua-tua
masih saja berkelahi dengan dahsyatnya.
Ki Tambak Wedi semakin lama
menjadi semakin gelisah. Ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan orang
bercambuk itu. Sedangkan ia tidak dapat mengira-irakan apa yang terjadi di
seluruh medan. Tetapi ia kini tidak lagi mempunyai perhitungan bahwa
kekuatannya jauh melampaui kekuatan lawannya. Apalagi dengan kehadiran orang
bercambuk itu. Kemungkinan terbesar orang bercambuk itu pasti telah membawa
kedua murid-muridnya pula.
Tiba-tiba di samping Ki Tambak
Wedi telah digemparkan oleh sorak yang memekakkan telinga. Sejenak Ki Tambak
Wedi berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi demikian
garangnya serangan cambuk lawannya sehingga ia tidak berhasil. Karena itu,
sambil bertempur terus ia berteriak kepada seorang penghubungnya, “Lihat, apa
yang telah terjadi.”
Orang itu pun segera menyusup
di daerah pertempuran untuk melihat apakah yang telah terjadi di samping pusat
pertempuran itu.
Sorak yang riuh itu adalah
sorak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak dapat menahan perasaan
mereka yang sedang meluap-luap.
Sementara itu, pertempuran
masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sedang sorak-sorai para pengawal
semakin lama menjadi semakin riuh.
Dengan jantung yang mengembang,
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama-sama rakyat yang setia kepada
pemimpinnya, bertempur semakin mantap. Dengan sepenuh harapan mereka
menyaksikan bagaimana kedua anak-anak gembala itu berhasil menguasai lawannya,
meskipun lawan itu bernama Ki Peda Sura.
Sebenarnyalah bahwa Ki Peda
Sura berada dalam kesulitan. Setiap kali ia selalu terdesak. Betapa pun ia
berusaha untuk bertahan, tetapi kedua lawannya yang masih muda itu terlampau
cepat bergerak di arah yang berbeda-beda. Keduanya demikian baik menyusun
serangan yang kadang-kadang dapat membingungkan orang tua yang sudah cukup
banyak makan garam peperangan.
Ki Peda Sura adalah seorang
yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam pertempuran, peperangan, dan
perkelahian. Kekerasan, kekasaran, dan kelicikan adalah kelengkapannya
sehari-hari. Namun ketika ia harus melawan dua kakak-beradik seperguruan itu,
terasa bahwa ia mengalami kesulitan.
Gupita dan Gupala yang telah
menemukan kemenangan-kemenangan kecil, segera berusaha untuk memperbanyak
kemenangan-kemenangannya. Mereka berusaha agar Ki Peda Sura tidak berhasil
memperbaiki kedudukannya. Dengan demikian maka kedua ujung cambuk anak-anak
muda itu tanpa henti-hentinya menyerang dari segala arah, sehingga
kadang-kadang Ki Peda Sura tidak lagi berhasil menghindarinya.
Ketika terdengar keluhan Ki
Peda Sura yang tertahan, serta seleret warna merah membekas di pipinya, maka
Gupala telah mendesaknya semakin ketat. Sekali cambuknya berputar. Tetapi ia
kali ini tidak menyerang dengan ujung cambuk kali itu. Kali ini ia berusaha
membelit kaki lawannya, kemudian dengan suatu hentakan ia menariknya.
Serangan itu sama sekali tidak
terduga-duga. Selagi Ki Peda Sura menghindari serangan Gupita, maka begitu
kakinya menginjak tanah, kaki itu telah terbelit ujung cambuk Gupala. Dengan
demikian maka Ki Peda Sura sama sekali tidak dapat menghindarinya lagi ketika
sebelah kakinya terseret oleh ujung cambuk itu.
Sambil menggeretakkan giginya
Ki Peda Sura berusaha menarik kakinya. Tetapi keseimbangannya sudah tidak
begitu mantap lagi. Dengan demikian, maka Ki Peda Sura justru menjatuhkan
dirinya, dan berguling beberapa kali. Sebuah tarikan yang mengejutkan hampir
saja melepaskan pegangan Gupala pada pangkal cambuknya. Namun segera ia
menyadarinya, sehingga dengan sekuat-kuat tenaganya ia menahan genggamannya.
Sejenak kemudian, belitan itu
pun terlepas. Dengan sigapnya Ki Peda Sura meloncat berdiri sambil menggeram.
Jantungnya serasa telah terbakar oleh kemarahannya yang meluap-luap. Sementara
para pengawal yang menyaksikannya masih saja bersorak-sorak dengan riuhnya,
karena serangan-serangan berikutnya yang dilancarkan oleh Gupita telah membuat
Ki Peda Sura menjadi agak bingung.
Kesempatan yang demikian itu
tidak disia-siakan oleh Gupala dan Gupita. Serangan mereka pun menjadi semakin
cepat. Ujung cambuk Gupala berputaran menyambar-nyambar, sedang Gupita yang
merendahkan diri pada lututnya, menyerang mendatar dengan dahsyatnya.
Ternyata bahwa gabungan
kekuatan Gupita dan Gupala masih berada di atas kemampuan Ki Peda Sura yang
bersenjata sepasang bindi. Semakin lama ujung cambuk itu semakin sering
menyentuh tubuhnya, meskipun tidak berbahaya. Tetapi perasaan pedih telah mulai
merayapi kulitnya ketika keringatnya menjadi semakin banyak mengalir.
Orang tua itu menggeretakkan
giginya. Kini ia mencoba untuk berbuat lain. Ia melihat kelemahan pada anak
muda yang gemuk itu. Ternyata ia tidak selincah Gupita. Karena itu, timbul
niatnya untuk mengalahkan lawannya seorang demi seorang.
Dalam perkelahian berikutnya,
tiba-tiba saja tanpa menghiraukan serangan-serangan cambuk Gupita, Ki Peda Sura
langsung menerkam Gupala. Kedua bindinya berputaran melindungi dirinya.
Gupala terkejut menerima
serangan yang tiba-tiba itu. Dengan tangkasnya ia mencoba menghindar ke
samping.
Meskipun ia berhasil
menghindari serangan yang pertama, namun Ki Peda Sura agaknya telah benar-benar
menjadi wuru. Ia melenting pula seperti seekor bilalang, menyerang Gupala
dengan segenap kemampuannya.
Tetapi Gupita tidak tinggal
diam. Dengan, sigapnya ia melangkah maju, melecutkan cambuknya langsung
mengarah kekening lawan. Namun Ki Peda Sura benar-benar tidak menghiraukannya
lagi. Bahkan ia sama sekali tidak menghiraukan ketika ujung cambuk itu meledak
di keningnya, dan menyobek kulitnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan darah
yang menetes dari lukanya. Tetapi, serangannya atas Gupala menjadi semakin
dahsyat.
Gupala menjadi agak bingung
mendapat serangan yang membabi buta itu. Yang dapat dilakukan adalah melindungi
dirinya dengan putaran juntai cambuknya. Bahkan dengan ayunan bersilang, ia
masih mencoba menyerang lawannya.
Ki Peda Sura menyeringai
menahan sakit ketika juntai cambuk Gupala mengenai pundaknya. Tetapi ia sudah
mengayunkan bindinya mengarah ke dahi Gupala yang berada dalam kesulitan.
Gupala tidak dapat merundukkan kepalanya, kalau ia tidak ingin ubun-ubunnya
yang pecah, sementara ia tidak sempat meloncat lagi karena hiruk-pikuknya
pertempuran. Yang dapat dilakukannya adalah melawan ayunan bindi itu. Tetapi
senjatanya adalah senjata lentur yang tidak akan mampu membentur langsung bindi
lawan. Meskipun demikian, Gupala tidak berputus asa. Ia mencoba bergeser dan
memiringkan tubuhnya, sementara dengan cambuknya berusaha membelit lengan
lawannya untuk mencoba merubah arah ayunan bindinya.
Bersamaan dengan itu, Gupita
yang melihat bahaya yang hampir menerkam Gupala itu pun segera bertindak cepat.
Ujung cambuknya segera membelit pergelangan tangan Ki Peda Sura hampir
bersamaan ujung cambuk Gupala sendiri yang membelit lengan. Hampir bersamaan
pula keduanya menghentakkan ujung-ujung cambuk itu.
Tetapi ayunan tangan Ki Peda
Sura yang dilambari oleh sepenuh kekuatan itu benar-benar mengerikan.
Kedua ujung cambuk itu tidak
berhasil menahan ayunan tangan orang tua yang perkasa itu. Karena itu, bindi Ki
Peda Sura dengan derasnya menukik turun.
Namun demikian usaha kedua
anak-anak muda itu tidak sia-sia belaka. Hentakan ujung-ujung cambuk itu
ternyata telah berhasil mempengaruhi arah ayunan bindi Ki Peda Sura. Karena itu
maka bindi itu kemudian tidak lagi membentur dahi Gupala, tetapi bindi itu
kemudian menyentuh pundak.
Terdengar anak muda yang gemuk
itu berdesis pendek. Setapak ia melangkah surut. Terasa pundak kirinya menjadi
sakit bukan buatan, dan bahkan seluruh tangannya hampir-hampir tidak lagi dapat
digerakkan. Karena itu, maka sejenak kemudian ia menggeram. Matanya menjadi
semerah darah yang memerahi kulitnya yang terkelupas
Dalam pada itu, Gupita sama
sekali tidak membiarkan Ki Peda Sura mendapat kesempatan berikutnya. Dengan
garangnya cambuknya pun kemudian terayun deras sekali mengarah keleher
lawannya.
Ki Peda Sura yang sudah
terluka di beberapa tempat itu menyadari bahaya yang dapat mencekiknya. Karena
itu, maka ia telah mencoba bergeser, namun di luar dugaannya Gupala yang
terluka pundaknya menyerangnya dengan dahsyatnya. Sebuah ayunan mendatar
langsung mengenai lambungnya.
Sesaat Ki Peda Sura
menyeringai menahan pedih. Pedih di lambungnya, di kenignya, di pundaknya dan
di beberapa bagian lagi. Kakinya pun telah terkelupas pula pada saat cambuk
Gupala membelitnya.
Namun serangan-serangan
berikutnya datang beruntun seperti banjir bandang.
Sekali-sekali Ki Peda Sura
berloncatan menghindar. Namun di suatu saat ia masih juga mencoba menyerang.
Sepasang bindinya terayun-ayun mengerikan.
Tetapi ia menyadari, bahwa
agaknya ia telah memeras tenaganya hampir melampaui kemampuan yang ada padanya.
Sehingga karena itu maka nafasnya pun menjadi kian terengah-engah, dan bahkan
seakan-akan ujungnya telah tersangkut di lubang hidung. Sedang kedua lawannya yang
cukup terlatih itu masih berusaha menahan diri agar pada saatnya mereka dapat
melakukan tekanan terakhir atas lawannya.
Ki Peda Sura menyadari
kesalahannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia memang harus memeras
tenaganya, karena ia menyadari bahaya yang dapat menyentuhnya. Ia mengharap
bahwa dengan mencurahkan segenap kekuatan dan kemampuan ia akan segera
mengakhiri perkelahian, setidak-tidaknya ia dapat mengurangi satu dari kedua
lawannya. Tetapi rencana itu tidak dapat dilaksanakannya.
Gupita dan Gupala justru
menjadi semakin garang. Serangan-serangan mereka menjadi kian cepat. Apalagi
Gupala yang terluka pundaknya. Nafsunya serasa telah dibakar oleh titik
darahnya yang merah. Tandangnya menjadi kian cepat dan bahkan kadang-kadang
menjadi kasar.
Akhirnya, Ki Peda Sura tidak
dapat mengelak lagi. Memang timbul niatnya untuk melarikan diri, tetapi kedua
anak muda itu mengurungnya dengan ketat. Karena itu, maka tidak ada pilihan
lain kecuali bertempur terus. Sedang anak buahnya masih juga sibuk melayani
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak.
Namun terasa betapa tenaganya
menjadi semakin lama semakin lemah. Kedua bindinya sudah tidak lagi sebuas
semula. Ayunannya tidak lagi berdesing-desing seperti prahara.
Gupala yang sedang dibakar
oleh kemarahannya itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ketika Ki Peda
Sura sedang sibuk melayani serangan Gupita, maka Gupala tidak dapat bersabar
lagi. Tiba-tiba saja ia menggenggam cambuknya di tangan kirinya yang lemah
karena luka di pundaknya. Selagi Ki Peda Sura kehilangan keseimbangan, maka
anak yang wuru itu melompat yang memekik tinggi. Pedangnya terjulur lurus ke
depan.
Sejenak kemudian terdengar Ki
Peda Sura mengeluh tertahan. Terasa ia terdorong ke samping, kemudian perasaan
sakit yang amat sangat telah menyengat lambungnya. Ia sadar, bahwa yang
menyentuhnya kini bukanlah sekedar ujung cambuk yang meskipun berkarah rapat.
Tetapi yang menghunjam di lambungnya kini adalah ujung pedang. Pedang Gupala.
Dengan mata yang liar Ki Peda
Sura memandang wajah Gupala yang geram. Tetapi anak muda itu tidak segera
mencabut pedangnya, justru dengan segenap kekuatannya ia menghentakkan
tangannya, membenamkan pedang itu semakin dalam.
Ki Peda Sura menggeliat.
Tetapi kemudian terhuyung-huyung sejenak.
Sorak-sorai para pengawal
meledak seperti hendak meruntuhkan langit. Ujung-ujung senjata terangkat
tinggi-tinggi, sementara yang lain masih sibuk berkelahi di garis batas
benturan kedua pasukan itu.
Orang tua itu pun kemudian
jatuh terjerambab. Ia masih sempat menatap wajah kedua anak-anak muda yang
berdiri berdampingan. Tanpa sesadarnya Ki Peda Sura itu berdesis, “Kalian
memang luar biasa. Kalian memang anak-anak muda yang tangguh.”
Ki Peda Sura tidak dapat
melanjutkan kata-katanya. Sesaat ia masih memandangi wajah-wajah yang tegang di
atasnya. Namun kemudian semuanya menjadi kabur.
Ki Peda Sura menghembuskan
nafas yang penghabisan sebelum ia dapat merabai seluruh Tanah Perdikan. Sebelum
ia berhasil memasuki rumah demi rumah dengan leluasa. Yang baru dapat dilakukan
adalah merampas satu-dua rumah yang tidak mendapat perlindungan, di setiap
kerusuhan. Tetapi belum begitu banyak, dan ia mati terjebak oleh nafsunya itu.
Sejenak Gupita dan Gupala
saling berpandangan. Kini mereka telah kehilangan lawan. Sementara perang masih
berkecamuk.
“Pundakku harus ditukar dengan
seratus pundak,” geram Gupala.
“Kau sudah kejangkitan
penyakit Wrahasta itu,” sahut Gupita.
Gupala tidak segera menjawab.
Dipandanginya mayat Ki Peda Sura yang terbujur diam.
“Lalu apa kerja kita sekarang?
Membunuh sebanyak-banyaknya?” bertanya Gupala.
Gupita merenung sejenak Namun
kemudian ia menjawab, “Gupala, aku kira sekarang Guru sedang bertempur
mati-matian melawan Ki Tambak Wedi. Kalau mereka dibiarkan berkelahi seorang
melawan seorang, aku kira, sepuluh hari perkelahian yang demikian itu tidak
akan dapat selesai.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Sejenak ia terdiam di dalam hiruk-pikuknya perkelahian yang masih berkecamuk di
sekitarnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi maksudmu, kita membantu
Guru?” desis Gupala.
Gupita menganggukkan
kepalanya, “Begitulah.”
Gupala menjadi ragu-ragu
sejenak. Dilihat seorang lawan dengan sangat bernafsu menyerang seorang
pengawal yang sedang dalam kesulitan. Tiba-tiba saja Gupala meloncat sambil
menjulurkan pedangnya.
Ia tidak perlu mengulanginya.
Orang yang tersentuh ujung pedangnya itu terpelanting jatuh di tanah. Mati.
Gupita menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan adik seperguruannya. Kalau anak
muda yang gemuk itu tidak bertindak cepat, maka seorang pengawal pasti telah
terbunuh.
Gupala kemudian mengamat-amati
pedangnya yang berlumuran darah. Disarungkannya pedangnya itu sambil berkata,
“Mari, kita melihat bagaimana Guru berkelahi.”
Keduanya pun kemudian
meninggalkan medan. Mereka tidak begitu cemas lagi akan nasib para pengawal,
karena Ki Peda Sura sudah tidak ada lagi.
Namun demikian, Gupala masih
juga menyeringai karena pundaknya yang pedih, sehingga tangan kirinya terasa
seakan-akan menjadi lumpuh.
Kematian Ki Peda Sura segera
sampai ke telinga Ki Tambak Wedi. Wajah orang tua itu sejenak menjadi tegang.
Kematian Ki Peda Sura akan dapat berakibat dua kemungkinan. Anak buahnya
menjadi ketakutan dan sedikit demi sedikit meninggalkan arena, yang pasti akan
diikuti oleh orang-orang yang mereka bawa atau mereka akan menjadi gila dan
mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi kemungkinan yang
terakhir itu pun tidak akan banyak bermanfaat. Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh pasti menjadi berbesar hati sepeninggal Ki Peda Sura, sehingga mereka
akan menjadi bertambah berani.
Ki Tambak Wedi tidak dapat
lagi menyembunyikan kegelisahannya. Orang-orang yang berhasil membunuh Ki Peda
Sura itu sudah kehilangan lawan-lawannya. Lalu apakah yang akan mereka
kerjakan?
Dugaan Ki Tambak Wedi sama
sekali tidak meleset ketika tiba-tiba saja muncul dua orang anak-anak muda di
arenanya. Kedua anak-anak muda yang juga bersenjata cambuk.
Dengan isyarat Ki Tambak Wedi
kemudian memanggil orang-orangnya yang terpercaya. Mereka harus membantunya,
apabila kedua anak-anak muda bercambuk itu akan berkelahi bersama dengan
gurunya.
Sejenak Gupita dan Gupala
memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran antara dua orang yang berilmu jauh
lebih tinggi dari ilmu mereka. Keduanya memiliki kemampuan, dan pengalaman yang
seimbang, sehingga karena itu, maka pertempuran semakin lama menjadi kian seru.
Tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari mereka akan terdesak, apalagi
dikalahkan. Meskipun senjata Ki Tambak Wedi jauh lebih pendek dari juntai
cambuk lawannya, namun kelincahannya telah banyak menolongnya membebaskannya
dari ujung cambuk itu, sementara senjatanya yang berujung rangkap itu berputar
mengerikan.
Gupita dan Gupala merasa,
bahwa apabila mereka berdua harus melawan Ki Tambak Wedi seperti mereka melawan
Ki Peda Sura, mereka pasti akan mengalami banyak kesulitan. Tetapi di sini ada
gurunya. Keseimbangan itu pasti akan segera bergeser, apabila keduanya ikut
serta pula di dalam pertempuran itu.
Gupita dan Gupala masih tetap
termangu-mangu di tempatnya. Mereka berusaha untuk mengerti, kesan gurunya
tentang kehadirannya.
Ternyata gurunya pun tidak
berkeberatan. Sesaat, pada waktu pandangan gurunya menyambar mata Gupita, orang
tua itu menganggukkan kepalanya.
“Kita sudah mendapat ijin,” desis
Gupita.
“Ya, aku juga melihat Guru
mengangguk,” sahut Gupala.
Keduanya pun kemudian
mendekat. Dengan cambuk di tangan, mereka siap untuk menerjunkan diri di dalam
peperangan yang dahsyat itu.
Tetapi belum lagi mereka
berhasil masuk ke dalam arena itu, tiba-tiba beberapa orang pengawal
kepercayaan Ki Tambak Wedi telah menyergap mereka, setelah mereka menggeser
lawan-lawan mereka. Dengan berbagai macam senjata mereka mencoba membatasi
keduanya, agar mereka tidak dapat mempengaruhi perkelahian antara dua orang
tua-tua itu.
Gupala yang memang sedang
meluap karena pundaknya yang terluka, tidak dapat menahan diri lagi. Segera ia
berloncatan sambil memutar cambuknya. Sejenak kemudian cambuk itu pun telah
meledak-ledak di udara, kemudian menyambar satu dua orang yang berdiri di
paling dekat.
Gupita pun tidak dapat tetap
tinggal diam. Ia memang harus membuka jalan sebelum bersama adiknya ia akan
ikut di dalam pertempuran melawan Ki Tambak Wedi.
Sementara itu di bagian lain
dari pertempuran, masih saja berlangsung dengan sengitnya. Ternyata
kelompok-kelompok kecil masih saja mengalir dari padukuhan induk. Empat orang,
lima orang bahkan kadang-kadang delapan orang sekaligus. Dengan tergesa-gesa
mereka segera menggabungkan diri dalam riuhnya peperangan.
Meskipun demikian, ternyata
jumlah yang kecil itu semakin lama menjadi jumlah yang semakin besar, sehingga
akhirnya terasa juga pengaruhnya. Sidanti dan Argajaya agaknya berhasil memikat
orang-orang di berbagai padukuhan di sekitar padukuhan induk, dan bahkan di
padukuhan-padukuhan terpencil di lereng-lereng bukit, selain orang-orang yang
tidak dikenal di tlatah Menoreh.
Dengan demikian terasa, bahwa
kekuatan pasukan Ki Tambak Wedi yang bertambah-tambah itu menjadi semakin kuat,
sedang jumlah para pengawal menjadi kian susut karena korban yang berjatuhan di
peperangan.
Sidanti yang bertempur melawan
Ki Hanggapati, mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Kemarahan dan nafsu
yang menyala di dadanya seakan-akan telah menambah kemampuannya, sehingga Ki
Hanggapati terpaksa beberapa kali melangkah surut.
Serangan-serangan Sidanti
bagaikan badai yang tiada taranya menghantam bibir hutan yang lebat.
Namun Hanggapati bukan pula
anak ingusan di peperangan. Itulah sebabnya maka ia masih tetap bertahan
meskipun ia kadang-kadang harus menghindar dan menghindar.
Di sayap yang lain, Dipasanga
harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh
yang telah terlanjur memusuhi kakaknya itu, sama sekali tidak lagi dapat
melangkah surut. Karena itu, tidak ada jalan lain baginya, kecuali meneruskan
peperangan ini.
Sementara itu, Gupita dan
Gupala perlahan-lahan berhasil menguasai lawan-lawannya. Satu demi satu mereka
terlempar dari lingkaran. Sehingga akhirnya Gupita dan Gupala berhasil
mendekati arena pertempuran gurunya.
Sejenak mereka tertegun.
Mereka masih harus berusaha menyesuaikan diri. Di mana mereka hadir, dan
bagaimana sebaiknya mereka mempengaruhi peperangan itu.
Gupala mengerutkan keningnya
sambil mengangguk-anggukkan. Melawan Ki Tambak Wedi baginya lebih baik
mempergunakan senjata panjang, meskipun lentur. Adalah sangat berbahaya apabila
ia mempergunakan pedangnya.
Perlahan-lahan keduanya
menjadi semakin dekat. Kemudian mereka berpencar, mengambil arah masing-masing.
Sedang cambuk mereka telah tergenggam erat-erat. Sekali-sekali mereka terpaksa
menjauh, dan bahkan sekali-sekali mereka masih juga harus melayani para
pengawal Ki Tambak Wedi. Namun kemudian para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang lain telah berhasil menempatkan diri mereka melawan orang-orang Ki Tambak
Wedi untuk memberi kesempatan kepada Gupita dan Gupala membantu ayahnya melawan
Ki Tambak Wedi.
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan itu, Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi sepercik
kecemasan memang telah meraba hatinya. Betapa pun tidak berarti, tetapi kedua
anak-anak muda itu pasti akan dapat mempengaruhi keseimbangan peperangan.
“Keduamya pula yang telah
membunuh Ki Peda Sura,” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Namun yang
terlontar dari mulutnya adalah sebuah teriakan nyaring, “Ayo, majulah
bersama-sama, supaya pekerjaanku segera selesai.”
Gembala tua itu tidak
menjawab. Dipandanginya kedua murid-muridnya sejenak. Setelah mereka mendapat
tempatnya masing-masing, maka gembala tua itu pun segera mendesak lawannya.
Ki Tambak Wedi kini harus
berpikir sebaik-baiknya. Bagaimana ia harus melawan ketiga orang yang
bersenjata cambuk itu. Lawan yang sama sekali tidak diperhitungkannya, namun
yang agaknya justru ikut menentukan akhir dari peperangan ini.
Sejenak kemudian maka Ki
Tambak Wedi harus mengumpat-umpat di dalam hati. Tiga ujung cambuk
meledak-ledak di sekitarnya. Beruntun tanpa kendat. Yang satu disahut yang
lain, kemudian yang lain lagi meledak pula di sebelah telinganya.
“Gila, gila!” Ki Tambak Wedi
tiba-tiba berteriak. Suara cambuk yang memekakkan telinga itu sungguh-sungguh
memuakkan.
Namun demikian Ki Tambak Wedi
berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi untuk
melawan ketiganya, Ki Tambak Wedi akan segera mengalami kesulitan, karena satu
dari yang tiga itu, memiliki kemampuan yang seimbang dengan kemampuannya
sendiri.
Namun yang paling membakar
jantungnya adalah ledakan-ledakan cambuk yang seakan-akan berputaran di
telinganya. Ledakan-ledakan yang kadang-kadang membingungkannya.
“Setan alas!” ia mengumpat.
Dicobanya untuk menilai kekuatan kedua anak-anak muda itu, “Aku harus menerkam
mereka satu demi satu, sehingga kemudian aku tidak akan terganggu lagi oleh
suara-suara bising yang memuakkan.”
Ki Tambak Wedi menegangkan keningnya.
Kini arah serangannya justru dipusatkan kepada kedua anak-anak muda itu. Tetapi
sudah tentu bahwa gurunya tidak akan membiarkannya. Setiap kali Ki Tambak Wedi
melakukan tekanan, maka setiap kali gembala tua itu pun telah mendesaknya pula.
Iblis tua dari lereng Gunung
Merapi itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Bagaimana pun juga, kehadiran
kedua anak-anak muda itu telah berpengaruh atas perkelahian antara kedua
orang-orang tua yang pilih tanding itu.
Sementara itu, Ki Argapati
mengikuti pertempuran itu dari jarak yang tidak terlampau jauh. Dengan tegang
ia menyaksikan garis peperangan yang tidak rata, kadang-kadang ia melihat
gelombang-gelombang pasang dan surut dari keduanya. Sekali-sekali pasukannya di
satu sayap terdesak, tetapi di sayap lain maju beberapa langkah, dan kemudian
terjadi sebaliknya. Namun dengan cemas ia menyaksikan pula kelompok-kelompok
kecil yang masih saja mengalir, meskipun peperangan sudah berlangsung sekian
lamanya, bahkan menurut perhitungannya, sebentar lagi matahari pasti akan
segera menyingsing di ujung Timur.
Setiap kali Ki Argapati
menghentakkan tangannya. Ia tidak dapat melihat seorang demi seorang. Yang
diketahuinya hanyalah sebuah deretan hitam yang bergerak-gerak dan sorak-sorai
yang memekakkan telinga.
Namun demikian seorang
penghubung telah memberitahukan kepadanya, bahwa Ki Peda Sura telah terbunuh di
peperangan oleh kedua gembala-gembala muda yang bernama Gupita dan Gupala.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas kemenangan kecil itu, seperti
juga Pandan Wangi menjadi berdebar-debar mendengarnya. Bukan kematian Ki Peda
Sura yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak, tetapi kedua pembunuhnya.
Tetapi dalam pada itu, Ki
Argapati sama sekali tidak menduga, bahwa timbul suatu niat yang licik di hati
Ki Tambak Wedi. Karena ia merasa tidak akan dapat memenangkan pertempuran
melawan ketiga guru dan murid itu, maka kini ia mencoba memperhitungkan
kemungkinan yang lain.
“Sebaiknya aku menyerang
Argapati dengan tiba-tiba, selagi ia tidak berdaya. Aku yakin bahwa yang di
belakang garis perang itu adalah Argapati yang terluka parah. Kematiannya akan
sangat berpengaruh, meskipun kemudian aku harus berlari-lari menghindari ketiga
demit-demit kecil ini,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Demikianlah maka kini
perhatian Ki Tambak Wedi sebagian terbesar justru tertuju kepada seseorang yang
berada di belakang garis perang dan dikawal oleh beberapa orang termasuk Pandan
Wangi. Namun meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berani melengahkan
lawan-lawannya yang bersenjata cambuk itu.
“Aku akan mencari kesempatan
itu,” desisnya di dalam dadanya. “Aku harus mencapai kuda itu secepat-cepatnya.
Kemudian meloncat dan sekaligus membunuhnya,” Ki Tambak Wedi mulai
berangan-angan.
Namun tiba-tiba karena itu ia
terlonjak ketika ujung cambuk gembala tua menyentuh punggungnya.
Terdengar giginya gemeretak
menahan marah. Sentuhan yang pedih itu telah mendorongnya untuk lebih cepat
bertindak. Membunuh Ki Argapati yang pasti tidak akan menyangka, mendapat serangan
yang tiba-tiba.
Kini Ki Tambak Wedi hanya
sekedar menunggu kesempatan. Ia tidak lagi bernafsu untuk menerkam
gembala-gembala muda itu, atau bahkan gurunya sama sekali. Kini ia sedang
mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pertempuran itu dengan
tiba-tiba, dan dalam waktu yang singkat, sebelum orang-orang yang mengejarnya
kemudian dapat menyusulnya, ia sudah berhasil membunuh Argapati. Setelah itu,
ia harus berusaha melarikan dirinya dan kembali ke tengah-tengah medan ini
sambil meneriakkan kematian Argapati.
“Kematiannya akan merontokkan
setiap jantung di dada orang-orang Menoreh,” katanya di dalam hati, “dan
pertempuran ini pun akan segera berakhir. Mereka pasti tidak akan mempunyai
nafsu lagi untuk bertempur. Betapa saktinya orang-orang bercambuk itu, namun
melawan sekian banyak orang, mereka pasti tidak akan berdaya.”
Maka Ki Tambak Wedi pun
kemudian mengambil keputusan untuk segera melakukannya. Ketika ia mendapat
kesempatan, maka tiba-tiba serangannya datang membadai. Begitu dahsyatnya dan
seakan-akan menghentak dengan tiba-tiba, sehingga gembala tua itu terpaksa
mundur beberapa langkah untuk menghindarinya.
Tetapi yang terjadi kemudian
sangat mengejutkannya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memburunya. Bahkan
dengan tanpa disangka-sangka ia meloncat berlari meninggalkan arena, menerobos
hiruk-pikuknya peperangan.
Gembala tua dan kedua muridnya
untuk sejenak justru mematung, seakan-akan terpukau oleh peristiwa yang tidak
terduga-duga itu. Namun sekejap kemudian, gembala tua itu menyadari apa yang
akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia pun segera meloncat
pula mengejarnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi mendapat
kesempatan beberapa saat di muka. Dengan garangnya ia mengayunkan senjatanya
untuk merambas jalan. Tidak seorang pun yang dapat menahan langkahnya, sehingga
akhirnya ia berhasil muncul di belakang garis perang para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh.
Gembala tua beserta kedua
anaknya pun mencoba berlari menyusulnya. Mereka kini menyadari sepenuhnya, apa
yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.
Tetapi langkah Ki Tambak Wedi
yang sedang dilanda oleh nafsunya untuk membinasakan Argapati itu seakan-akan
menjadi semakin cepat. Kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah.
Ki Argapati melihat juga
seseorang berlari dari peperangan menuju ke arahnya. Tetapi ia tidak segera
mengenal siapakah orang itu. Karena itu maka ia bertanya kepada Pandan Wangi,
“Siapakah orang itu Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. “Entahlah, Ayah.”
“Apakah ada sesuatu yang
penting sekali sehingga ia terpaksa berlari-lari demikian cepatnya?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba saja ia mendapat firasat, bahwa orang yang berlari-lari
itu bukanlah orang Menoreh.
“Aku mencurigainya, Ayah,”
desis Pandan Wangi.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Aku juga tidak dapat mengerti sikapnya.”
Kedua ayah beranak itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja pedang Pandan Wangi telah
bergetar di tangannya. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil berkata kepada
para pengawal yang lain, “Berhati-hatilah.”
Apalagi ketika kemudian mereka
melihat orang-orang lain berlari-lari pula di belakang orang itu. Tiga orang.
Tetapi langkah Ki Tambak Wedi
terlampau cepat untuk dapat disusul oleh gembala tua bersama kedua anaknya.
Meskipun mereka telah mengerahkan semua tenaga, tetapi jarak antara mereka itu
tidak menjadi semakin pendek.
Karena itu, maka untuk
menghindarkan bencana yang bakal datang, maka gembala tua itu pun berteriak,
“Hati-hatilah, hati-hatilah dengan Ki Tambak Wedi yang menjadi gila.”
“Ki Tambak Wedi,” desis Ki
Argapati dan Pandan Wangi hampir bersamaan.
Dengan demikian, maka dada
gadis itu pun bergetar dengan dahsyat. Dan tiba-tiba saja ia maju semakin jauh
dari ayahnya sambil menggeram, “Biarlah aku yang menyongsongnya.”
“Pandan Wangi,” panggil
ayahnya, “jangan kau. Kemarilah.”
Tetapi Pandan Wangi
seakan-akan tidak mau mendengar panggilan ayahnya. Ia harus menahan orang tua
yang mengerikan itu agar tidak berhasil mendekati ayahnya.
Beberapa orang pengawal yang
lain mengikutinya sambil menggenggam senjata mereka erat-erat.
Tetapi ternyata Pandan Wangi
telah berbuat kesalahan seperti yang diperhitungkan oleh Ki Argapati. Beberapa
kali ia masih berusaha memanggil puterinya.
“Pandan Wangi. Pandan Wangi.
Jangan kehilangan akal. Kembalilah kemari.”
Tetapi Pandan Wangi yang hanya
memikirkan nasib ayahnya itu, tidak menghentikan langkanya, apalagi kembali
seperti yang diperintahkan ayahnya itu, meskipun ia masih mendengar ayahnya
memanggil-manggilnya, sementara Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin
dekat.
Semua orang memandang gadis
itu dengan mata yang tidak berkedip. Apalagi Ki Argapati sendiri. Bahkan serasa
ia telah melepaskan anaknya itu untuk tidak kembali lagi kepadanya.
Argapati yang sangat mencintai
anaknya itu pun tiba-tiba telah lupa diri. Lukanya serasa tiba-tiba saja telah
sembuh, dan sama sekali tidak mengganggunya. Itulah sebabnya, maka
dihentakkannya kudanya, sehingga kuda itu terloncat maju, menyusul Pandan
Wangi.
Sebagian para pengawal yang
tidak mengikuti Pandan Wangi menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak
dapat terbuat apa-apa. Kuda Ki Argapati itu tiba-tiba saja telah berlari maju.
Yang dapat mereka lakukan, adalah menyusul kuda itu. Terloncat-loncat mereka berlari
sekuat-kuat tenaga mereka.
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah
begitu dekat dengan Pandan Wangi. Ki Argapati hampir kehilangan akal ketika ia
melihat Pandan Wangi meloncat menghalang langkah Ki Tambak Wedi sambil
menyilangkan sepasang pedangnya di muka dada.
Bukan saja Ki Argapati, tetapi
Ki Tambak Wedi pun sama sekali tidak akan menduga, bahwa gadis itu seakan-akan
menjadi kehilangan akal dan berbuat karena putus asa.
“Pergi, pergi kau,” teriak Ki
Tambak Wedi.
Tetapi Pandan Wangi sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan pedangnya itu pun kemudian
bergetar siap untuk menyerang Ki Tambak Wedi.
“Kubunuh kau,” teriak Ki
Tambak Wedi.
Pandan Wangi sama sekali tidak
menghiraukannya
Tetapi Ki Tambak Wedi memang
tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Ia sadar bahwa di
belakangnya guru dan dua orang muridnya yang bersenjata cambuk itu sedang
mengejarnya.
Karena itu, maka ketika Pandan
Wangi tidak juga mau menepi, Ki Tambak Wedi meloncat sambil menggeram.
Senjatanya berputar dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian terjadilah
sebuah benturan yang dahsyat. Kedua belah pedang Pandan Wangi telah membentur
putaran senjata Ki Tambak Wedi. Begitu kerasnya, sehingga Pandan Wangi sama
sekali tidak mampu mempertahankannya. Kedua pedangnya itu terlempar beberapa
langkah daripadanya.
Kini terbuka kesempatan bagi
Ki Tambak Wedi untuk menusuk dada gadis yang sama sekali sudah tidak berdaya
itu. Meskipun tatapan matanya sama sekali tidak tergeser. Dengan tabah Pandan
Wangi yang segera dapat menguasai keseimbangannya kembali itu, berdiri tegak di
tempatnya sambil menengadahkan dadanya.
Namun dalam saat yang sekejap
itu, terbayang di rongga mata iblis tua itu seorang perempuan yang menatapnya
dengan tajam sambil menengadahkan dadanya dan berkata, “Disini, disini kau
menusukkan senjatamu. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan, Paguhan atau
Arya Teja.”
Bayangan itu telah menghambat
tangan Ki Tambak Wedi. Wajah Pandan Wangi memang hampir tidak ubahnya wajah
ibunya, Rara Wulan.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
dapat menghentikan loncatannnya yang tergesa-gesa. Ia diburu oleh waktu dan
oleh ketiga orang bercambuk itu.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi kemudian menjulurkan tangan kirinya dan mendorong Pandan Wangi ke samping
sementara ia berlari terus menyongsong kuda Ki Argapati yang sudah menjadi
begitu dekatnya.
Dorongan itu telah melemparkan
Pandan Wangi beberapa langkah, kemudian jatuh terbanting di tanah. Terasa
tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan sehingga sejenak matanya serasa menjadi
gelap dan berputaran. Hanya karena tekadnya yang luar biasa ia berhasil
mengangkat kepalanya untuk menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak
Wedi atas ayahnya.
Adalah di luar dugaan Ki
Tambak Wedi, bahwa Ki Argapati yang takut kehilangan anaknya itu telah
melupakan semua rasa sakitnya sendiri. Luka-lukanya dan bahkan
pembalut-pembalutnya sama sekali tidak dapat menahannya. Apalagi ketika ia
melihat Pandan Wangi terlempar kemudian terbanting jatuh. Ia tidak tahu akibat
apa yang akan menerkam Pandan Wangi. Mungkin gadis itu akan mati atau cacat
atau apa pun. Karena itu maka kemarahannya sama sekali tidak tertahankan lagi.
Sejenak kemudian maka kedua
orang yang selama bertahun-tahun telah merendam dendam dan permusuhan di dalam
dada masing-masing itu kini telah bertemu lagi.
Ki Tambak Wedi tidak mau
membuang waktu terlampau banyak. Dengan garangnya ia langsung menerkam Ki
Argapati yang duduk di atas punggung kudanya. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Argapati telah siap dengan tombak
pendeknya, menyongsong serangannya yang dahsyat itu.
Menurut perhitungan Ki Tambak
Wedi, Argapati sama sekali tidak akan berdaya melawan atau menangkis
serangannya. Kalau ia masih mampu berbuat demikian, menilik watak dan tanggung
jawabnya, ia tidak akan berada di belakang garis peperangan.
Ternyata perhitungan Ki Tambak
Wedi keliru untuk kesekian kalinya, seperti kekeliruannya memperhitungkan
kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata bahwa Ki
Argapati itu kini mampu mengatasi segala perasaan sakit dan gangguan-gangguan
yang ada di dalam dirinya, justru karena Pandan Wangi, satu-satunya anaknya
yang diharapkannya akan dapat melanjutkan tidak saja jabatannya tetapi juga
garis keturunan Menoreh, garis keturunan Argapati.
Dalam pada itu, maka benturan
dari kedua orang yang pilih tanding itu tidak dapat dihindarkan lagi.
Kedua-duanya memang tidak berusaha untuk menghindari sama sekali. Ki Tambak
Wedi yang diburu oleh waktu itu langsung meloncat menerkam orang yang berada di
atas punggung kuda yang berlari ke arahnya. Senjatanya yang mengerikan itu
sudah terangkat tinggi-tinggi. Terdengar orang tua dari Tambak Wedi itu
berteriak nyaring, dan sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat itu.
Beruntunglah bahwa senjata Ki
Argapati agak lebih panjang dari senjata lawannya, sehingga ia berhasil
mengungkit ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu, kemudian dengan
menumpahkan segenap kemampuan yang ada padanya memutar mata tombaknya langsung
menusuk tubuh yang dengan dahsyatnya telah menimpanya.
Ki Tambak Wedi benar-benar
tidak menyangka bahwa Ki Argapati masih mampu berbuat demikian. Ketika ujung
senjatanya terungkit, dadanya berdesir tajam, Tetapi ia sudah tidak sempat
memperbaiki keadaannya, Yang dapat dilakukan kemudian adalah memutar senjata
itu. Dengan ujung yang lain ia masih berusaha untuk menyerang Ki Argapati.
Tetapi Ki Tambak Wedi itu
menyeringai menahan sengatan di dadanya. Oleh dorongan kekuatannya sendiri,
maka ujung tombak Ki Argapati membenam di dadanya. Namun sementara itu, ujung
senjatanya berhasil mengenai pundak lawannya.
Sejenak kemudian keduanya
terlempar dari punggung kuda oleh dorongan loncatan Ki Tambak Wedi. Demikian
kerasnya sehingga mereka terpelanting dan terguling beberapa kali.
Beberapa langkah dari mereka,
Pandan Wangi berusaha untuk bangkit. Tertatih-tatih ia berdiri, namun kemudian
terdengar ia menjerit nyaring. Ayahnya terbaring darinya tiga empat langkah
dari Ki Tambak Wedi yang tergolek pula di tanah.
Ketika Pandan Wangi kemudian tersuruk-suruk
berlari ke ayahnya, maka pada saat yang bersamaan gembala tua beserta kedua
anaknya telah berdiri pula di sampingnya.
Sejenak mereka menatap kedua
orang itu berganti-ganti. Mereka melihat Ki Tambak Wedi menggeliat sambil
memegangi tangkai tumbak Ki Argapati yang masih menancap di dadanya.
“Gila!” terdengar suaranya
parau. “Gila kau Arya Teja.” Dan ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba
suaranya meninggi, “Wulan, Wulan, kemarilah Wulan.”
Tidak seorang pun yang
menyahut.
“Wulan. Wulan,” Ki Tambak Wedi
berusaha untuk bergeser. Dengan tangan yang gemetar seakan-akan ia ingin meraih
Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
“Wulan, apakah kau tidak
mendengar?” suara Ki Tambak Wedi menjadi parau dan lambat. “Anakmu, anakmu
itu.” Suaranya seolah-olah tertelan, “Anakmu laki-laki itu kini menjadi burung
rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan mendapat perlindungan dari Arya
Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu untuknya, karena anak itu adalah
anakku.”
“O,” Pandan Wangi menutup
wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Sementara gembala tua beserta
kedua muridnya saling berpandangan sesaat.
Bulu-bulu mereka meremang
ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara tertawanya
seakan-akan bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis di liang
pekuburan, “Wulan, anakku dan anakmu itulah yang akan melepaskan dendamku.
Ialah yang akan membunuh Arya Teja.”
Pandan Wangi yang menjadi
semakin ngeri membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua belah tangannya.
Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari sela-sela
jari-jarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya.
Tetapi tenaga orang tua itu
sama sekali sudah tidak mampu membawanya maju. Sejenak kemudian ia jatuh
terjerembab. Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang Pandan
Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah, “Sidanti.”
Suara itu lepas dari
tenggorokannya bersama tarikan nafasnya yang terakhir. Ki Tambak Wedi, iblis
yang selama ini menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba terkulai di tanah,
mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja ditelannya.
Gembala tua bersama kedua
muridnya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berjongkok di
sampingnya, menarik tombak Ki Argapati dan menyilangkan tangannya di dadanya.
Sedang senjatanya masih tetap berada di dalam genggamannya
Ketiganya tersadar ketika
mereka mendengar isak Pandan Wangi yang merenungi Ki Argapati yang masih
terbaring diam. Agaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami cedera
pada tubuhnya.
Dengan hati-hati gembala tua
itu pun kemudian mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain lukanya yang lama
yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya terdapat sebuah luka yang
baru. Sehingga karena itulah, maka Ki Argapati telah terpelanting dan menjadi
pingsan setelah memaksa dirinya mengerahkan segenap sisa-sisa kemampuannya.
“Bagaimana Kiai?” terdengar
suara Pandan Wangi di sela-sela tangisnya yang ditahankannya sekuat-kuat
tenaganya, justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di peperangan.
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan, bahwa luka Ki
Argapati justru menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang lama, maka luka
di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
“Aku akan mencoba menolongnya
untuk sementara,” desis gembala tua itu sambil mengeluarkan sebuah bumbung dari
kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya serbuk yang halus,
yang kemudian ditaburkannya di atas luka-luka Ki Argapati.
“Aku mencoba memampatkan
darahnya. Setelah perang ini nanti berakhir, aku akan mencoba mengobatinya
lebih saksama lagi,” desis gembala tua itu.
“Tetapi, tetapi, apakah luka
ayah berbahaya?” Pandan Wangi menjadi semakin cemas.
Gembala tua itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Kita harus mencoba. Tetapi
kita pun harus berdoa kepada Sumber dari semua kehidupan.”
Jawaban itu serasa
menghentakkan dada Pandan Wangi. Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya,
dan berteriak keras-keras untuk melepaskan pepat di dadanya.
“Tetapi kita tidak boleh
berputus asa,” berkata gembala tua itu, “dan demikian pulalah hendaknya dengan
Ki Argapati ini. Aku masih berpengharapan, bahwa ia akan tertolong.”
Dengan sekuat tenaga Pandan
Wangi berusaha menahan diri agar ia tidak menjerit dan menelungkup memekik
ayahnya yang terbaring diam itu. Namun dengan demikian terasa dadanya
seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian gembala tua
itu berkata, “Marilah. Kita baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap
bahwa peperangan akan dapat segera selesai. Pasukan lawan telah kehilangan dua
orang senapati mereka yang tertinggi, Ki Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi.
Kalau kita segera dapat mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki
Argapati. ke Padukuhan induk dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah
beberapa lama ditinggalkannya.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Hanya kepalanya saja yang terangguk kecil.
Sementara beberapa orang
berusaha mengangkat Ki Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya
menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil berkata, “Ini pedangmu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ditatapnya anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun kemudian
diterimanya sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk.
Terasa tangan gadis itu
bergetar ketika ia menerima pedang itu. Sedang Gupala sekali lagi menunduk
sambil melangkah surut.
“Tungguilah ayahmu Pandan
Wangi,” desis gembala tua itu. “Aku dan kedua anak-anakku akan melanjutkan
pcrtempuran. Kita bersama-sama mengharap agar pertempuran ini segera dapat
diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan senapati-senapatinya, tetapi agaknya
jumlah mereka agak lebih banyak dari pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian
kita memerlukan pengerahan semua tenaga yang ada.”
Sekali lagi Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jagalah ayahmu baik-baik.”
Pandan Wangi masih tetap diam.
Tetapi sekali lagi kepalanya terangguk-angguk.
Gembala tua bersama kedua
anak-anaknya itu pun kemudian melangkah meninggalkan Ki Argapati yang masih
terbaring diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal yang
terpercaya.
Namun langkah mereka segera
terhenti ketika mereka melihat seseorang yang dipapah oleh dua orang dan
dikawal oleh dua orang lainnya mendekati mereka.
“Siapa yang terluka?” desis
gembala tua itu.
Tetapi kedua murid-muridnya
tidak menjawab. Mereka menunggu dengan berdebar-debar rombongan kecil itu
mendekat.
“Siapa?” bertanya Gupala tidak
sabar.
Mereka yang memapah orang yang
terluka itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin dekat,
sehingga akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang dipapah oleh
kawan-kawannya itu.
“Wrahasta,” desis Gupita.
Dengan tergesa-gesa gembala
tua itu mendekatinya.
“Baringkan ia di sini, di atas
jerami ini,” desisnya.
Maka Wrahasta yang terluka itu
pun kemudian perlahan-lahan dan berhati-hati dibaringkan di atas setumpuk
jerami.
Sementara itu gembala tua itu
pun segera berjongkok di sampingnya dan memeriksa luka-lukanya.
Tanpa sesadarnya ia menarik
nafas dalam-dalam. Namun tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya, “Lukanya
terlampau parah.”
Meskipun demikian masih
terdengar Wrahasta itu berdesis, “Aku telah menunaikan kewajibanku.”
“Ya, ya, Ngger. Kau sudah
menunaikan kewajibanmu dengan baik.”
“Ya,” ia melanjutkan dengan
suara patah-patah, “sejak aku masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk
mengabdikan diriku kepada Tanah ini.”
“Ya, Ngger.”
Nafas Wrahasta semakin
berkejaran di rongga dadanya. Dan tiba-tiba saja ia membuka matanya, “Siapa
kau?”
“Aku, Ngger, gembala tua.”
“O, kau dukun yang pandai
mengobati itu?”
“Begitulah, Ngger, dan aku
akan mencoba mengobati luka-lukamu.”
Perlahan-lahan Wrahasta
mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan lemahnya.
“Jangan bergerak,” berkata
gembala itu, “darahmu akan semakin banyak mengalir.”
Wrahasta terdiam. Dibiarkannya
gembala tua itu menaburkan serbuk obat di atas luka-lukanya. Tetapi gembala tua
itu sendiri menjadi semakin cemas. Darah Wrahasta terlampau banyak mengalir
dari luka di dadanya, di lambungnya dan di bahu kanannya, selain luka di
pahanya.
Semua orang yang berjongkok
mengelilinginya berpaling ketika mereka mendengar desah lembut, “Wrahasta,
kaukah itu?”
Wrahasta membuka matanya.
Dilihatnya sebuah bayangan yang kabur berjongkok di antara bayangan-bayangan
hitam yang tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun demikian
telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan Wangi.
“Wangi,” suara Wrahasta kian
lambat. Di luar dugaan semua orang yang mengitarinya Wrahasta berkata lambat
sekali, “kau belum menjawab pertanyaanku.”
Terasa dada Pandan Wangi
bergetar dahsyat sekali. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan
seperti itu, Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang persoalan
pribadi mereka.
“Pandan Wangi,” suara Wrahasta
terputus, “aku ingin mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir
sepanjang umurku? Jawablah Wangi.”
Air mata Pandan Wangi yang
memang belum kering, kini menitik semakin deras. Pergolakan yang dahsyat telah
membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat keadaan Wrahasta, ia
tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya, selagi tubuhnya pasti sedang sakit
tiada taranya.
Dan tiba-tiba kepala gadis itu
terangguk kecil. Terdengar jawabnya ragu-ragu, “Baiklah, Wrahasta. Aku menerimamu.”
“Wangi,” tiba-tiba saja
Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu. Meskipun
demikian tampak bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir kalinya. Karena
sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menarik nafasnya yang
penghabisan.
Pandan Wangi yang berjongkok
di sampingnya menjadi semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia pun berdiri dan
berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh raksasa yang sudah
terbaring diam itu.
Dengan kepala yang masih
menunduk dalam-dalam Pandan Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga
terbaring diam.
Ketika ia kemudian berjongkok
lagi di antara para pengawal ayahnya, maka ia sudah tidak dapat bertahan lagi.
Tangisnya seakan-akan meledak dari dalam dadanya yang bengkak. Tangis seorang
gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada tertahankan lagi.
Sejenak gembala tua dan kedua
murid-muridnya saling berpandangan. Namun kemudian orang tua itu berdiri dan
berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di belakangnya, orang
tua itu berdesis, “Sudahlah, Ngger. Agaknya demikianlah yang dikehendaki oleh
Tuhan Yang Maha Adil. Tetapi pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud.
Marilah kita belajar untuk mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini. Kepada-Nya
kita mohon ketenteraman hati. Sebenarnyalah bahwa semua isi dan gerak alam ini
berada di tangan-Nya. Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih.”
Pandan Wangi masih terisak.
“Tidak ada kekuasaan yang
lebih mapan, bahkan yang sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha Kuasa itu.
Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak ditrapkan untuk sesuatu
pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi apa yang terjadi adalah mutlak ada dan
benar,” gembala tua ini berhenti sejenak lalu. “Angger, kita dapat menentang
kekuasaan duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu kadang-kadang
justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh pamrih. Tetapi kepada
kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha Kuasa kita harus pasrah dengan ikhlas.”
Perlahan-lahan kepala gadis
itu terangguk-angguk. Namun tanpa sesadarnya terpandanglah wajah ayahnya yang
terbaring diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya terbuka meskipun
yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama adalah kehitaman malam.
“Ayah,” Pandan Wangi terpekik.
Gembala tua itu pun kemudian
melihat Ki Argapati membuka matanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku memang
sudah menyangka, bahwa ia akan segera sadar.” Kemudian kepada salah seorang
yang ada di sampingnya ia berkata, “Kalau mungkin carilah air yang bersih. Air
dari sumur.”
Pengawal itu memandangnya
sejenak. Dan gembala tua itu berkata kepada Pandan Wangi, “Berikanlah titik air
di bibirnya. Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun diminta, itu
akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya akan tersumbat oleh
air yang tidak dapat mengalir dengan lancar di tenggorokannya.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan pengawal itu pun kemudian menggamit seorang
kawannya untuk pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu memang
dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena ketakutan.
Sepeninggal kedua pengawal
itu, gembala tua itu pun berkata kepada Pandan Wangi, “Sudahlah, Ngger, yang
penting cobalah kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari keadaannya. Tetapi
ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana pun juga terasa haus,
namun kau hanya dapat memberikan air itu setitik demi setitik. Jangan terlampau
banyak.”
Sambil mengangguk-angguk
Pandan Wangi menjawab, “Baik, Kiai.”
“Aku tidak dapat menungguinya
sekarang. Peperangan yang masih berkecamuk itu harus segera selesai, supaya
korban tidak berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan membawa Ki
Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu.”
“Baiklah, Kiai.”
Maka setelah meraba-raba
tangan Ki Argapati dan mendengarkan detak jantung di dadanya, gembala tua itu
pun kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki Argapati yang
dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya ditunggui oleh puterinya beserta
beberapa orang pengawal.
Bersama kedua murid-muridnya,
gembala tua itu pun kemudian menuju ke medan peperangan yang masih berlangsung
dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.
Sorak-sorai dari kedua belah
pihak telah jauh menurun, karena kini mereka lebih mementingkan memusatkan
perhatian atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh masing-masing
dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada pun seakan-akan menjadi
semakin panas.
Meskipun kekosongan senapati
terasa pula oleh setiap orang di dalam induk pasukan, tetapi karena tidak ada
kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing, maka pertempuran
berlangsung terus dengan sengitnya.
Namun pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh masih mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam suatu
tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak jauh lebih baik
dari setiap orang yang sedang bertempur, namun ia telah berhasil mengikat induk
pasukannya dalam gelar yang baik dan terarah.
Sejenak kemudian gembala tua
bersama kedua anak-anaknya itu pun sudah menjadi semakin dekat dengan
hiruk-pikuknya peperangan. Sejenak gembala tua itu berhenti. Kemudian katanya,
“Kita membagi pekerjaan agar cepat selesai. Kita harus melumpuhkan
senapati-senapatinya lebih dahulu, agar lawan kehilangan pegangan.”
“Bagus,” sahut Gupala
serta-merta.
“Kau keliru,” potong gurunya,
“aku tahu maksudmu. Kau akan membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan
Argajaya.”
“Bukankah itu yang harus kita
lakukan?”
Gembala tua itu menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Kalian harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu
Angger Hanggapati menangkap Sidanti dan kau berdua harus berusaha menangkap
Argajaya hidup-hidup.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Tampak kekecewaan membersit di wajahnya. Namun sambil mengngguk-anggukkan
kepalanya Gupita menjawab, “Baik, Guru. Kami akan berusaha menangkap mereka
hidup-hidup.”
“Mustahil,” tiba-tiba Gupala
bergumam seakan-akan kepada diri sendiri.
Gupita mengerutkan keningnya
mendengar gumam Gupala itu, sedang gurunya sejenak menjadi termangu-mangu.
Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian terlontar
pertanyaannya,”Kenapa mustahil?”
“Bukankah Kakang Gupita dan
Guru pernah melihat, bagaimana Argajaya berkelahi melawan Raden Sutawijaya di
pinggir kali opak itu?”
Gupita mengingat-ingat
sejenak. Namun kemudian tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayang di rongga matanya, betapa keras hati adik Kepada Tanah Perdikan
Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah melekat di dadanya, namun
Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan kepalanya. Baginya lebih baik mati
daripada harus mengakui kemenangan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi
kini ia berada di atas Tanah Perdikan ini, dan dengan sengaja telah melawan
kakaknya sendiri.
“Ia memang keras kepala,”
desis gurunya.
“Jadi, bagaimana pertimbangan
Guru?” bertanya Gupala.
“Aku tetap berpendapat, bahwa
sebaiknya ia tertangkap hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati yang mengambil
keputusan, hukuman apa yang harus diterimanya.”
“Ia tidak akan menyerah. Ia
akan melawan sampai mati.”
“Jangan terlalu bodoh. Kalian
dapat berbuat sesuatu, sehingga Argajaya akan kehilangan tenaga untuk melawan,”
sahut gurunya, “karena aku yakin, Sidanti pun akan berbuat demikian.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Baik, Guru, aku akan mencobanya.”
“Apakah kami harus membuatnya
tidak mampu membunuh diri sekalipun?”
Gurunya menganggukkan
kepalanya, “Ya. Begitulah.”
“Itulah yang sulit. Batas
antara kemungkinan itu dan selangkah lagi, mati, adalah sulit sekali. Dalam
perkelahian kita kadang-kadang sulit untuk mengekang diri.”
“Yang sulit itulah yang harus
kau coba,” desis gurunya.
Gupala menarik nafas
dalam-dalam.
“Nah, jangan terlampau lama.
Kita harus cepat melakukannya.”
Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian mereka pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua itu mencari
Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari Argajaya. Adalah suatu kesengajaan
bahwa bukan kedua murid-muridnyalah yang harus melawan Sidanti. Dendam yang tersimpan
di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda untuk sepanjang umur mereka.
Karena itu, apabila mereka bertemu di peperangan, maka kedua belah pihak tidak
akan dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya pun merupakan lawan
yang tangguh, didahului oleh pertentangan yang telah lama tergores di dalam
hati masing-masing tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang
langsung seperti persoalan mereka dengan Sidanti.
Maka masing-masing pun
kemudian memasuki kembali hiruk-pikuknya peperangan. Gembala tua itu masih
sempat menemui Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak Wedi
telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan lagi, meledaklah
sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian Ki Tambak Wedi telah menggelorakan
kembali dada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka pun kemudian
meneriakkan kematian itu sambil memutar senjata-senjata mereka lebih cepat
lagi.
“Ki Tambak Wedi telah mati! Ki
Tambak Wedi telah mati!”
Sorak-sorai yang gemuruh, yang
seolah-olah hendak memecahkan langit itu, telah menggoncangkan setiap dada anak
buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki Peda Sura telah membuat mereka
berdebar-debar. Dan kini orang yang paling mereka bangga-banggakan telah mati
pula.
Tetapi sebagian dari mereka
sama sekali tidak percaya sehingga mereka pun berteriak-teriak tidak kalah
kerasnya, “Bohong! Akal licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh siapa
pun.”
Dan yang lain berteriak pula,
“Jangan percaya! Jangan percaya!”
Sorak yang membahana itu pun
akhimya dapat didengar oleh Sidanti dan Argajaya. Dada mereka serasa
dihentakkan oleh suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat nadi.
Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan.
Tetapi lamat-lamat mereka pun
mendengar teriakan, “Bohong! Akal licik!”
Darah Sidanti dan Argajaya
yang rasa-rasanya hampir berhenti mengalir itu pun segera bergejolak kembali.
Bahkan api yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita yang
hampir saja melumpuhkan mereka.
“Akal licik,” Sidanti
menggeram. “Aku tidak percaya bahwa Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan
dapat membunuhnya.”
Dengan demikian maka Sidanti
pun kemudian justru menjadi semakin bernafsu. Senjatanya menggelepar
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali Hanggapati masih
tetap harus menghindari sambil melangkah surut berputar-putar. Apalagi ketika
Sidanti menjadi seakan-akan terbius oleh kemarahan mendengar berita yang
dianggapnya licik.
“Orang-orangmu sudah mulai
berputus asa,” ia menggeram, “sehingga mereka terpaksa mengarang cerita yang
sangat licik dan memalukan itu.”
“Apakah kau yakin bahwa berita
itu tidak benar?” berkata Hanggapati sambil melawan sekuat-kuat tenaganya.
“Aku yakin. Ki Tambak Wedi
tidak akan dapat terbunuh oleh siapa pun di dalam peperangan serupa ini.
Argapati pun tidak akan mampu menyentuhnya.”
Namun sebelum Hanggapati
menjawab, terdengarlah suara seseorang yang seakan-akan meledakkan jantung
Sidanti. Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil berkata,
“Sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh. Tombak Ki Argapati-lah yang
telah menembus dadanya, sebagai akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat.
Kematiannya akan mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini pun
pasti akan segera padam.”
Kehadiran orang tua yang tidak
disangka-sangka itu serasa membuat darah Sidanti membeku. Mungkin ia dapat
mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai teriakan-teriakan yang
bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi. Tetapi keterangan orang tua itu
serasa jatuhnya suatu kepastian, bahwa Ki Tambak Wedi memang sudah terbunuh.
Dengan demikian, sejenak
Sidanti seakan-akan membeku di tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki
Hanggapati yang tegak di tempatnya, berganti-ganti.
“Sidanti,” berkata orang tua
itu, “tidak ada kesempatan untuk menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya
adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah dilakukan
semasa hidupmya telah mendapatkan penilaian terakhir. Dengan demikian ia
tinggal menjalani akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.”
Sidanti memandang wajah
gembala tua itu dengan tajamnya. Sejenak ia mencoba mencernakan kata-kata itu.
“Tetapi kau belum Sidanti,”
berkata gembala tua itu selanjutnya, “kau masih tetap hidup. Kau masih
mempunyai kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang tidak akan bermanfaat
bagi siapa pun juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri. Semasa hidupmu dan juga
di masa langgeng.”
Sidanti masih berdiri tegak. Pedangnya
masih tergenggam erat di tangannya.
Namun tiba-tiba hiruk-pikuk
peperangan telah membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan kembali
darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik kesakitan disusul oleh
keluhan yang terputus, anak muda itu berteriak, “Aku bukan pengecut. Ayo, kalau
kalian memang mampu, bunuh Sidanti.”
Gembala tua itu memang sudah
memperhitungkan, bahwa demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti tidak akan menyerah
hidup-hidup. Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
“Tetapi kalau ia sudah
terlepas dari peperangan, mungkin ia akan bersikap lain,” berkata gembala tua
itu di dalam hatinya. “Di sini ia dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata.
Maka hatinya pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi kalau ia tidak lagi melihat
kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan, mungkin hatinya akan luluh
juga.”
Dengan demikian gembala tua
itu masih mencoba berkata, “Sidanti, apakah kau tidak juga mau melihat
kenyataan? Mungkin di saat-saat seperti ini kau tidak dapat melihat dengan
terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau mempunyai kesempatan, melihat
ke dalam dirimu sendiri dan membuat kesimpulan dari apa yang telah terjadi ini
dengan hati yang bening, maka aku kira kau akan menarik suatu kesimpulan yang
lain.”
“Diam!” tiba-tiba saja Sidanti
berteriak. “Jangan kau sangka hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap
tegak kemana pun angin bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh
prahara yang betapa pun dahsyatnya. Dan kematian guruku pun tidak akan dapat
merubah pendirianku. Tanah Perdikan Menoreh harus jatuh ke tanganku. Apa pun
yang akan terjadi.”
“Bukankah sudah seharusnya
demikian?” bertanya gembala tua yang tiba-tiba saja teringat kepada sikap Ki
Tambak Wedi sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
“Omong kosong,” sahut Sidanti.
“Bukankah sudah seharusnya,
bahwa jabatan Ki Argapati sebagai Kepala Tanah Perdikan akan temurun kepada
anaknya, apalagi anak laki-laki?”
Ternyata dalam keadaan itu,
Sidanti sudah tidak sempat lagi membuat pertimbangan yang wajar. Karena itu,
seolah-olah tanpa disadarinya ia berteriak, “Aku bukan anak Argapati.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenamya
Sidanti itu. Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah menangkapnya, dan apabila
Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini harus dihadapkannya. Kalau
Sidanti putra Ki Argapati maka orang tua itu pasti akan dapat mengambil
kebijaksanaan, seperti terhadap adiknya juga.
“Nafsu yang menyala-nyala di
dalam dadanya telah mendorongnya untuk membenci ayahnya sedemikian jauh,”
berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Atau mungkin Ki Tambak Wedi telah
meracuninya dengan pengertian yang lain?”
Tetapi gembala tua itu tidak
dapat menemukan jawabnya. Kini yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu
sehingga ia dapat melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu Gupita dan
Gupala telah menemukan pula lingkaran pertempuran Argajaya melawan Dipasanga.
Ternyata bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak mendesak.
Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut beberapa langkah, namun
kemudian ia berhasil mendesak lawannya beberapa langkah maju. Senjata-senjata
mereka menyambar-nyambar tidak henti-hentinya. Tombak pendek Argajaya berputar
dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari tubuh lawannya. Namun agaknya
Dipasanga pun tidak segera bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia
harus meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Namun agaknya sorak-sorai
tentang matinya Ki Tambak Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya.
Tanpa Tambak Wedi perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila benar Ki
Tambak Wedi terbunuh, maka api peperangan yang sudah terlanjur berkobar di atas
Tanah Perdikan ini tidak akan ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan
kekerasan yang bengis.
Tetapi seperti Sidanti,
Argajaya pun berusaha untuk tidak mempercayainya. Setiap kali ia berkata di
dalam hati, “Ki Tambak Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan
Kakang Argapati selagi ia saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak akan dapat
dikalahkannya, dan apalagi terbunuh. Justru kini Kakang Argapati sedang terluka
parah. Maka yang paling mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak
Wedi-lah yang membunuh Ki Argapati apabila ia terjun ke peperangan.”
Dengan demikian maka Ki
Argajaya pun mencoba untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat
menguasai lawannya segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya, maka sayap
ini akan sepera dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta tidak akan banyak berarti.
“Mudah-mudahan Sidanti pun
dapat membunuh lawannya pula,” katanya di dalam hati.
Namun, belum lagi Argajaya
berhasil mendesak Dipasanga, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran dua orang
anak-anak muda di arena peperangan.
Sejenak Argajaya terpaku diam
di tempatnya memandangi Gupita dan Gupala yang muncul hampir berbareng dengan
cambuk di tangan masing-masing.
“Jadi ………,” Argajaya berdesis,
“orang bercambuk yang selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan
orang-orang yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami.”
“Ya. kami memang berada di
peperangan selama ini,” jawab Gupala.
“Persetan! Kenapa kalian
selalu bersembunyi, dan baru sekarang menampakkan diri?”
“Kami tidak pernah
bersembunyi.”
“Tetapi kalian tidak pernah
menyatakan diri kalian dengan jujur. Kalian selalu curang dan licik.”
“Apakah kami tidak jujur? Aku
tidak tahu maksudmu. Aku bertempur di peperangan ini. Dan aku bersama kakakku
telah berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah mengantarkan Ki
Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati. Kenapa kami tidak jujur? Mungkin
karena kami baru sekarang bertemu dengan kau. Dan itu bukan berarti bahwa kami
bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai ke ujung gelar.
Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan pada kami untuk bertempur melawan
Ki Argajaya, bukan yang lain.”
Argajaya menggeram. Ditatapnya
wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemudian berpindah kepada
Dipasanga yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu terdengar
Gupala berkata kepada Dipasanga, “Ki Dipasanga, kami mendapat perintah untuk
menangkap Ki Argajaya hidup-hidup.”
“Persetan!” teriak Argajaya.
“Tidak seorang pun dapat menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas.”
Gupala mengerutkan keningnya,
sedang Gupita menarik nafas dalam-dalam. Adiknya memang selalu menuruti
perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah membakar hati Argajaya
yang memang sudah sekeras batu-batu padas di perbukitan.
Dipasanga pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesaat ia tidak menjawab.
Karena tidak seorang pun yang
menyahut, maka Gupala berkata seterusnya. Kali ini kepada Argajaya, “Nah,
bukankah kau bersedia membantu kami? Bukan untuk kepentingan kami, tetapi untuk
kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan yang kini sedang kisruh oleh
pokal Ki Tambak Wedi. Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati.”
Tubuh Argajaya telah menjadi
gemetar menahan kemarahan yang menyesak dadanya, sehingga jawabnya kasar,
“Bunuh aku, baru aku akan menyerah.”
“Bukan begitu,” sahut Gupita.
“Maksud kami, apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada
menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kalau peperangan ini berlangsung terus, maka
korban akan menjadi semakin banyak. Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah
pihak. Sedang kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan
keluarga sendiri selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi yang menurut
dugaanku telah menyalakan api peperangan ini, sekarang telah terbunuh.”
“Tidak. Aku bukan kepompong
yang paling bodoh,” Argajaya berteriak. “Apakah kau sangka bahwa aku tidak
mempunyai otak untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau menganggap aku sekedar
sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi? Tidak. Aku mempunyai
kepentingan dengan peperangan ini. Aku mempunyai suatu cita-cita. Tanah ini
tidak boleh menjadi Tanah yang banci, yang tidak mempunyai jangka sama sekali.
Tanah yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang Argapati apa pun yang
diinginkannya.”
Gupala tiba-tiba memotong,
“He, bukankah kau adik Ki Argapati itu? Kalau ada kekurangan di dalam
pemerintahannya, kau dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau harus
menempuh jalan ini? Apakah kau sendiri sebenarnya ingin menjadi Kepala Tanah
Perdikan? Tetapi dengan demikian kau harus berkelahi melawan Sidanti.”
“Diam!” terak Argajaya yang
menjadi semakin marah. Anak muda yang gemuk itu berbicara sekehendaknya sendiri
tanpa menghiraukan apa pun juga. “Apa pun yang akan aku lakukan. Aku tidak akan
menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku sekarang. Itu akan lebih baik.
Kenapa kau tidak membawa kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang
sombong.”
“Apakah kau akan bertemu? Ia
ada di sini pula sekarang.”
Wajah Argajaya menjadi semakin
membara. Sejenak ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum. Bahkan ia
melanjutkan, “Kalau kau mau ikut aku, mari, aku bawa kau kepadanya.”
“Persetan!” dada Argajaya
serasa akan meledak karenanya.
Dan anak yang gemuk itu masih
saja tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga, “Ki Dipasanga,
marilah. Aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk membantu Ki Dpasanga
menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup. Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.”
Tetapi sebelum Dipasanga
menjawab, Argajaya telah tidak dapat lagi menahan dirinya. Dengan garangnya ia
meloncat sambil berteriak, “Kubunuh kau lebih dahulu.”
Tetapi Gupala pun telah
menyiapkan dirinya. Segera ia bergeser menghindari serangan Argajaya yang
sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak
dapat dicapainya.
Dengan demikian, maka
pertempuranpun segera dimulai kembali. Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan
Dipasanga pun harus ikut pula.
Menangkap Argajaya hidup-hidup
bukanlah pekerjaan yang mudah meskipun mereka adalah Gupita, Gupala dan Dipasanga
yang masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang dengan Argajaya, bahkan
mungkin melampauinya meskipun hanya selapis.
Argajaya yang merasa dirinya
terkepung, sama sekali tidak berpikir lagi untuk mempertahankan hidupnya,
karena ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan ketiga lawannya yang sudah
dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa ketiganya mempunyai ilmu yang
memungkinkan untuk menangkapnya. Namun untuk mati tidaklah terlampau sukar
daripada bertahan untuk hidup. Karena itu, dibayangi oleh perasaan putus asa ia
mengamuk sejadi-jadinya. Tombaknya menyambar-nyambar tidak henti-hentinya ke
segenap arah untuk melindungi dirinya. Bukan karena ia tidak mau mati oleh
senjata lawannya, tetapi ia ingin membawa salah seorang dari mereka atau lebih,
untuk mati bersama-sama.
Gupala sekali-sekali menarik
nafas dalam-dalam. Sambil mengumpat ia berbisik kepada Gupita, “Kenapa kita
harus menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh di
peperangan?”
“Hus, jangan kehilangan akal.
Kita harus berusaha menangkapnya hidup-hidup. Betapa sulitnya.”
Gupala mengecutkan dahinya.
Tangannya seakan-akan menjadi gatal. Membunuh Argajaya dalam keadaan itu
sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk menyerah adalah
pekerjaan yang justru terlampau sulit.
“Kita harus merebut
senjatanya,” desis Gupita.
“Aku sudah terluka,” geram
Gupala, “kalau kita tidak berhasil maka lukaku akan bertambah, dan barangkali
aku akan mati untuk menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau dan
Ki Dipasanga, sementara Argajaya tidak akan tertangkap.”
“Kita akan mencoba.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Betapa pun dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk
seperti yang dipesankan oleh gurunya.
Dengan demikian maka sekali
lagi mereka mencoba, menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar.
Ia sama sekali sudah kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati bersama
lawan sebanyak-banyaknya dapat dilakukan.
Tetapi Gupita sama sekali
tidak kehilangan akal. Meskipun Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan
dengan sikap Argajaya itu, namun ternyata ia cukup dewasa menghadapi lawannya.
Ki Dipasanga lebih baik meloncat surut menghindari benturan-benturan yang
berbahaya daripada kemungkinan senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa
itu.
Gupalalah yang berkelahi tidak
dengan sepenuh kemauan. Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian bertolak
pinggang sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan Dipasanga
bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat melepaskan ketegangan di
dadanya dengan menyerang orang-orang Sidanti yang bertempur di sekitarnya
dengan ujung cambuknya.
Gupita yang kadang-kadang
melihat tingkah laku Gupala itu hanya dapat menarik nafas. Ia tahu, betapa anak
muda yang gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar tangannya tidak terlanjur
menyerang lawannya di tempat-tempat yang berbahaya.
Sementara itu Gupita sendiri
berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melumpuhkan Argajaya. Kalau ia mampu
melepaskan senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan menjadi semakin
luas.
“Buat apa membiarkannya
hidup-hidup?” Gupala masih saja bertanya.
Gupita mengerutkan keningnya.
Jawabnya hampir berbisik, “Kita hanya sekedar melakukan perintah Guru.”
Gupala tidak bertanya lagi.
Dipandanginya Argajaya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba ia berbalik dan
menyerang seorang dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika cambuk itu
menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak, kemudian seseorang
jatuh tersungkur.
“Jangan gila,” desis Gupita.
Tetapi Gupala sama sekali tidak mengacuhkannya.
Dengan susah payah Gupita dan
Dipasanga berhasil memeras tenaga Argajaya yang terbatas. Perlahan-lahan namun
pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya seakan-akan terperas
dari segenap permukaan kulitnya, dan bahkan nafasnya pun menjadi semakin dalam
di rongga dadanya.
Tetapi Argajaya benar-benar
berhati batu. Ia sama sekali tidak berpikir dan tidak mempertimbangkan, untuk
merubah pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan berkelahi terus sampai
mati.
“Lihat,” bisik Gupita,
“tenaganya sudah jauh susut.”
“Tidak ada gunanya. Ia akan
mati dengan sendirinya. Nafasnya akan terputus oleh kelelahan. Kita hanya akan
kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang itu, kita sendiri
tidak akan kehabisan nafas.”
“Aku tidak berani melanggar
perintah Guru. Bahkan Ki Dipasanga sama sekali tidak berhasrat melanggarnya.”
Gupala menarik dahinya
tinggi-tinggi, sehingga kerut-merut yang dalam tergores dari ujung sampai ke
ujung.
Ternyata Gupala pun kemudian
melihat betapa Argajaya hampir kehilangan seluruh kekuatannya. Kini ia berdiri
terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap tergenggam erat-erat. Bahkan
oleh dorongan nafsu yang melonjak-lonjak di dalam dadanya, ia masih mampu
menyerang dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia hampir-hampir kehilangan
keseimbangan.
Kini Gupita sampai pada
rencananya yang terakhir. Ia harus merebut tombak pendek itu. Kemudian
melumpuhkan lawannya dan menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan tenaga
untuk berbuat apa pun.
Dengan isyarat kedipan mata,
Gupita mengajak Ki Dipasanga untuk mencoba mengakhiri perkelahian itu. Kemudian
ia berbisik kepada Gupala, “Kesempatan sudah terbuka Gupala, bantulah melakukan
perintah Guru. Menangkap Argajaya hidup-hidup. Bagaimana pun juga ia adalah
adik Ki Argapati. Agaknya Guru tidak mau membuat Ki Argapati merasa
kehilangan.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Sejenak ia memandang Argajaya yang benar-benar sudah kehabisan nafas.
Sebenarnya membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat ujung dahi sendiri.
Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu, berdiri terhuyung-huyung
bertelekan tangkai tombaknya. Namun demikian Argajaya masih berkata lantang di
sela-sela desah nafasnya yang memburu, “Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan?
Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat darah. Ini dadaku. Ayo, bunuh
aku dengan segala macam senjata yang ada padamu.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Terbayang olehnya, Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir tepian
Kali Opak. Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya, namun
ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata, “Ayo, kalau kau jantan bunuh
aku.”
Dan kini sikap itu
diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih tetap di dalam genggaman.
“Jangan menunggu terlampau
lama, Gupala,” desis Gupita.
Gupala pun kemudian melangkah
maju. Mereka bertiga mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih
menggeram. Tatapan matanya menjadi liar, dan wajahnya seakan-akan menyala.
Sementara itu Gupala berdesis,
“Tidak mungkin menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian
membunuhnya, itu sama sekali bukan salah mereka yang melukainya.”
Namun Gupala terkejut ketika
ia mendengar suara cambuk meledak. Agaknya Gupita sudah mulai dengan usahanya
melepaskan senjata Argajaya dari tangannya.
Ledakan itu telah mendorong
Argajaya beberapa langkah. Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar. Meskipun
Gupita sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak beberapa
cengkang saja di depan wajahnya.
“Ayo anak iblis, kaulah yang
akan mati pertama-tama,” desis Argajaya di sela-sela desah nafasnya.
Gupita tidak menjawab. Tetapi
ia melangkah maju, sehingga Argajaya terpaksa mundur setapak. Tetapi Argajaya
itu terlonjak ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat oleh panasnya bara
api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Ternyata bahwa Gupala
telah menyerang mata kaki Argajaya dengan ujung cambuknya.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah adik seperguruannya, agar anak yang
gemuk itu tidak justru menjadi semakin nekat untuk melepaskan sesak di dadanya.
Tetapi Dipasanga pun ternyata
mengambil kesempatan itu. Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya.
Dengan susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun dengan cepatnya
Dipasanga menarik senjatanya dan mengurungkan serangannya.
Argajaya yang semakin lemah
itu justru terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri. Beberapa langkah ia
terseret ke samping. Dengan susah payah ia bertahan sehingga ia tidak terjatuh.
Tetapi Gupala benar-benar
tidak dapat menahan diri. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya
meledak. Dan sekali lagi Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala mematuk
kakinya.
Tetapi keadaan sama sekali
tidak menguntungkan. Keseimbangannya benar-benar tidak dapat dikuasainya lagi,
sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung jatuh
tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah tangannya. Tetapi ketika
sekali lagi cambuk Gupita menyambar tangan itu, maka Argajaya benar-benar
terguling di tanah yang berdebu.
Sejenak Gupita terpaku di
tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya
mencoba berguling menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita-lah yang
mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan tangan kanannya yang
masih menggenggam tombaknya erat-erat. Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun
tombak itu tidak terlepas dari tangannya.
Gupita mengerutkan keningnya.
Orang ini benar-benar bukan saja berhati batu, tetapi berhati baja.
Karena itu, sekali lagi Gupita
melecutkan cambuknya. Kali ini ujung cambuknya membelit tangkai tombak
Argajaya. Dengan sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya untuk memaksa
tombak Argajaya terlepas dari tangannya.
Gupala yang melihat usaha itu
segera membantu dengan caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar tombaknya tidak,
terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya dengan cambuknya.
Bertubi-tubi, sehingga karah-karah besi pada juntai cambuknya itu seakan-akan
telah mengelupaskan seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.
Betapa sakitnya tangan
Argajaya yang telah melelehkan darah itu. Tetapi ia sama sekali tidak membuka
genggaman tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah kedua tangannya
menggenggam senjatanya itu erat-erat.
Gupala hampir saja menjadi
waringuten. Hampir saja ia kehilangan kesabaran dengan menyerang Argajaya di
bagian yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih cepat.
Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat menimpa
Argajaya yang sudah kelelahan itu. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap
tangan Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling. Tetapi
kemudian Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu. Dengan demikian maka
Argajaya telah dipaksa untuk melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat
tenaganya merebut tembak itu dari tangannya, sedang Dipasanga memeganginya dari
belakang.
Tetapi usaha itu ternyata
tidak segera berhasil. Sejenak mereka tarik menarik, seperti kanak-kanak
berebut barang mainan.
Sekali lagi Gupala kehilangan
kesebaran. Tiba-tiba saja tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi
telapak tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan tiba-tiba
seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari tubuhnya. Perlawanannya pun tiba-tiba
berhenti, sehingga justru Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa
langkah sehingga hampir saja jatuh tertelentang.
Ketika Gupita kemudian
berhasil menguasai keseimbangannya dan berdiri tegak dengan kaki renggang, maka
dilihatnya Argajaya telah terkulai dengan lemahnya, menelungkup di tanah.
Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya wajah Gupala yang tegang dengan
tajamnya.
“Aku hanya menyentuhnya,”
desis Gupala.
“Mudah-mudahan kau tidak
membunuhnya,” suara Gupita tertahan-tahan.
Dipasanga-lah yang kemudian
berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Argajaya yang
lemah itu. Namun dengan serta-merta ia berkata, “Ia masih tetap hidup.”
Kemudian tubuh itu pun
dibaringkannya di tanah. Dengan pengetahuan yang ada, Gupita mencoba
memijit-mijit bagian di bawah telinganya. Kemudian menggerakkan tangannya
perlahan-lahan.
Nafas Ki Argajaya
perlahan-lahan mulai mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun
kemudian semakin lama menjadi semakin lancar.
“Kelelahan,” berkata
Dipasanga. “Sentuhan tangan Gupala tidak menentukan.”
“Nah, bukankah aku hanya
mendorongnya? Meskipun seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa pun
lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir terputus.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya. Ia terlampau banyak mencurahkan tenaganya.”
“Tentu. Ia tidak mau
tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar, maka ia akan melakukan perlawanan
lagi.”
“Kita harus membawanya ke
belakang garis peperangan.”
Gupita pun kemudian memanggil
beberapa orang pengawal untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan
Gupala-lah yang mendapat kesempatan.
“Tetapi kau sedang berhadapan
dengan manusia-manusia meskipun ia lawanmu,” berkata Gupita.
“Tentu. Justru aku berhadapan
dengan manusia-manusialah aku benar-benar harus mempertahankan hidupku. Karena
mereka sedang berusaha untuk membunuhku.”
“Kau dapat mempertahankan
hidupmu. Tetapi perlakuanmu terhadap lawan-lawanmu adalah perlakuan seorang
prajurit jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun peperangan.”
“Maksud Kakang?”
“Jangan bertindak
berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau lihat, bahwa kelakuan yang demikian
tidak memberikan apa-apa kepada kita.”
Gupala mengangguk. Tetapi ia
mengumpat di dalam hati, “Persetan. Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap
manusia-manusia yang buas dan liar itu?” Meskipun kemudian terdengar suara di
dasar hatinya, seolah-olah suara gurunya, “Apakah kau juga harus menjadi buas
dan liar?”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga telah mulai melibatkan diri di peperangan,
sedang para pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya ke belakang
garis perang bersama Gupita.
Tetapi untuk sejenak Gupala
masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga
mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di antara orang-orang yang
kasar, namun ia tetap dapat menguasai dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas
dan cepat.
Sekilas terbayang di rongga
matanya, prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung, selagi mereka bertempur
melawan pasukan Tohpati dan Ki Tambak Wedi di padukuhan Tambak Wedi.
Tanpa mengurangi nilai-nilai
peperangan dan ketahanan mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan
cara yang dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang bercampur-baur
dengan orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara yang dipergunakan oleh Ki
Dipasanga.
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Namun keningnya menjadi berkerut-merut apabila ia melihat bahwa
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun sebagian terbesar sama sekali tidak
mampu menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak ubahnya seperti cara-cara
yang dipergunakan oleh lawan-lawan mereka.
Tiba-tiba Gupala menggeleng,
“Aku tidak boleh mempergunakan cara itu.” Dan tanpa sesadarnya ia berkata
kepada diri sendiri, “Benar juga pesan Kakang Gupita.”
Dan sesaat kemudian Gupala pun
telah menerjunkan dirinya di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang.
Sekali-sekali terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik kesakitan.
Tetapi Gupala selalu mencoba mengekang dirinya untuk tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tercela di peperangan. Ia menghindari perlakuan yang
dapat menumbuhkan kesan kekejaman tanpa batas, meskipun kadang-kadang cambuknya
tanpa dikekendakinya sendiri, telah mengelupas kulit-kulit wajah lawannya.
Ternyata bahwa garis
peperangan telah bergeser semakin mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti
sudah tidak lagi dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan
pemimpin-pemimpin kelompok yang ada pun sama sekali sudah tidak berpengharapan
lagi. Berita tentang Argajaya pun segera merayap dari ujung ke ujung pasukan.
Bahkan orang-orang yang tidak
dapat melihat dengan pasti, apakah yang telah terjadi dengan Argajaya segera
meneriakkan kematiannya. Sehingga dengan demikian maka gairah perlawanan
orang-orang Sidanti itu sama sekali telah lenyap. Bahkan beberapa orang anak
buah Ki Peda Sura yang sama sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi
karena kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
“Buat apa kita bertempur?”
desis seseorang kepada kawannya.
Kawannya menggeleng, “Kami
masih mengharap dapat bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita
masih mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah Perdikan ini
sendiri. Tetapi agaknya keadaan berkembang lain.”
“Apakah kita menunggu leher
kita terputus di atas Tanah yang ternyata sangat gersang ini.”
“Sepeninggal Ki Peda Sura,
kita memang sudah tidak berpengharapan lagi.”
Demikianlah sikap itu menjalar
dari seorang keorang yang lain. Bahkan orang-orang yang datang ke Tanah
Perdikan itu dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda Sura pun telah
dijangkiti oleh pendirian itu. Mereka sama sekali tidak dapat mengharap apa-apa
lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu dua di antara
mereka telah meninggalkan peperangan itu dengan diam-diam.
Dengan demikian maka pasukan
yang tampaknya masih tetap berada di dalam gelar itu sama sekali sudah tidak
mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya adalah Sidanti.
Namun ternyata bahwa Sidanti
tidak mampu berbuat banyak. Ia tidak dapat menguasai seluruh medan, karena ia
sendiri sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati.
Apalagi disadarinya, bahwa
sepasang mata selalu mengawasinya, dari antara para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.
“Anak itu memang luar biasa,”
desis orang yang masih memandanginya hampir tanpa berkedip. “Tenaga dan
kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ke tangan yang salah, sehingga ia
pun telah tersesat jalan.”
Namun kesesatan itu tidak
mengurangi kekaguman gembala tua yang sedang menunggui pertempuran yang masih
saja berlangsung dengan sengitnya.
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya ketika ia melibat warna-warna semburat merah membayang di langit.
Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Semalam kami
telah bertempur. Mudah-mudahan setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya
akan dapat diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan mencengkam
Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat diuraikan. Dan api yang selama ini
berkobar akan dapat dipadamkan.”
Dan tiba-tiba orang tua itu
menyadari, bahwa kini ia masih menghadapi seorang anak muda yang berhati baja.
Kalau anak ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama sekali sudah
tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu pasti akan segera terpecah.
Karena itu, maka gembala tua
itu melangkah semakin dekat. Tetapi ia masih tertarik melihat cara Sidaniti
mempergunakan senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung sejenak memandangi
pertempuran itu.
Orang tua menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendengar beberapa meneriakkan kematian Argajaya.
Seakan-akan berita itu sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati
terbunuh.
Sidanti yang mendengar berita
itu dari teriakan-teriakan yang seakan menjalar itu mengangkat wajahnya sejenak.
Ia ingin meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat itu masih saja
menggema, “Argajaya mati! Argajaya mati!”
“Persetan!” Sidanti menggeram.
“Aku tidak memerlukan siapa pun lagi. Ayo, siapa lagi yang akan maju ke medan
ini? Kau orang tua bangka? Kenapa kau diam saja? Apakah kau takut melawan aku,
he?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Ketika dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya, seolah-olah bertanya
kepadanya seperti Sidanti, “Kenapa kau diam saja?”
Dan pertanyaan itulah yang
telah mendorongnya untuk maju lagi. Tetapi ia masih berkata, “Kenapa kau
mengeraskan niatmu serupa itu Sidanti?”
“Jangan banyak bicara. Bunuh
aku atau aku membunuhmu.”
“Kau menjadi putus asa,
seolah-olah hari-hari mendatang adalah hari-hari yang sangat gelap bagimu.
Seharusnya kau percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah
anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit hati, tetapi
apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya dengan penuh penyesalan, maka ia
akan dimaafkan.”
“Bohong. Kau mencoba menjebak
aku. Argapati bukan ayahku.”
Sekali lagi gembala tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap dada dengan
sebelah tangannya, “Kau benar-benar keras hati, Ngger.”
“Diam! Diam!”
Dan Sidanti tidak menunggu
lagi. Sekali lagi ia menyerang Hanggapati yang untuk sejenak masih sempat
memandang gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya, “Kiai mau apa
sebenarnya?”
Orang tua itu
menangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung
untuk sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat Hanggapati
berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.
Ternyata bahwa dalam keadaan
yang seakan-akan tidak terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat berbahaya.
Beberapa kali Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian, perhatian
Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak terbagi, selama
laki-laki tua itu belum berbuat apa-apa.
Namun kemudian hal itu
terjadi. Darah Sidanti seakan-akan jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia
merasa sebuah tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya. Sebuah
tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan sebuah jepitan besi telah
menghimpit lehernya. Perlahan-lahan namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya
serasa menjadi semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya sama
sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan matanya menjadi kabur
dan nafasnya menjadi kian sesak.
“Tidurlah anak manis,”
terdengar sebuah desis di telinganya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Bahkan kemudian matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati memandanginya
dengan penuh keheranan. Ia berdiri tegak di tempatnya sambil memandang Sidanti
yang pingsan terbaring di tanah, sedang laki-laki tua itu telah berjongkok di
sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
“Aku memerlukannnya
hidup-hidup,” berkata orang tua itu kepada Hanggapati.
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Ditatapnya Sidanti yang sama
sekali sudah tidak berdaya lagi. Agaknya orang tua itu telah berhasil menekan
simpul syaraf Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat syarafnya.
“Aku akan membawanya ke
belakang garis peperangan ini,” berkata laki-laki tua itu. “Mudah-mudahan api
yang membakar Tanah Perdikan ini segera akan padam.”
“Lalu, bagaimana dengan
pasukan lawan?” bertanya Hanggapati.
“Usirlah mereka bersama-sama
dengan Kerti, Samekta, dan para pengawal yang lain.”
“Tetapi,” orang tua itu mengerutkan
keningnya, “aku harus bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan
pengawal yang segera dapat digerakkan menguasai seluruh daerah peperangan,
terutama padukuhan induk.”
Hanggapati mengerutkan
keningnya.
“Orang-orang yang datang dari luar
Tanah Perdikan ini dan yang kemudian akan melarikan diri, pasti akan
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan ini kosong.”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Bantulah Kerti
menyelesaikan tugasnya di sini.”
“Baik, Kiai.”
Orang tua itu pun kemudian
memapah Sidanti di pundaknya dan membawanya mundur kebelakang garis peperangan.
Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang penghubung memanggilnya.
“Jangan terlambat,” berkata
orang tua itu mengakhiri pesannya. “Agaknya satu dua orang telah meninggalkan
peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah mereka akan mempergunakan
kesempatan.”
“Baik, Kiai,” jawab Samekta
kemudian.
Maka sepeninggal gembala tua
itu, Samekta menjadi semakin sibuk. Untunglah bahwa gairah perlawanan pasukan
Sidanti yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya itu telah menurun jauh
sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh bersama rakyat yang setia kepada pemimpinnya.
Dengan cepat Samekta menunjuk
beberapa orang yang dipercayanya. Mereka harus menebar ke segenap sudut
padukuhan induk yang mungkin akan dilalui oleh pendatang yang dibawa Ki Peda
Sura atau kawan-kawan mereka. Memang tidak mustahil bahwa sambil melarikan diri
mereka akan mencari kesempatan dalam kekosongan untuk merampok dan merampas
kekayaan yang tersisa.
Seperti juga para pemimpin
pasukan pengawal yang lain, Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan pasukan
lawan tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka sepasukan
pengawal yang telah dipilihnya segera diperintahkannya untuk mendahului. Mereka
mendapat tugas untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum pasukan pengawal
seluruhnya memasuki daerah itu.
Pertempuran itu kini
benar-benar telah menjadi berat sebelah. Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki
Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah.
Mereka menyadari bahwa tidak
ada lagi yang dapat mengikat mereka di dalam kesatuan karena pemimpin-pemimpin
mereka telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama sekali tidak lagi
dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa orang yang
menjadi berputus asa sajalah yang masih bertempur dengan gigih, karena mereka
merasa bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di hari-hari mendatang di
atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah tidak mendapat kesempatan untuk
berpikir lagi. Mereka merasa bahwa tidak akan ada gunanya menyesal, sehingga
karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama sekali. Sebab apabila
Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan orang-orang yang setia
kepadanya, maka mereka yang selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya
pasti akan dianggap sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya, maka kematian adalah
jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada juga yang memilih
jalan lain. Lari. Ke mana pun.
Demikianlah maka seperti awan
yang dihembus oleh angin, perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan
itu terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah di peperangan.
Sedang yang masih hidup berlari-larian tidak menentu.
Sementara itu, seperti yang
diperhitungkan oleh gembala tua, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura dan
kawan-kawan mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam kekisruhan
itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh Samekta, telah memasuki padukuhan
induk itu lebih dahulu. Mereka segera memencar ke segenap sudut, sehingga
mereka dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan mencoba
memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.
Perkelahian-perkelahian kecil
segera terjadi antara orang-orang liar itu melawan para pengawal. Tetapi hal
itu tidak terjadi terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan bingung
itu, segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat.
Sambil mengumpat-umpat tidak
habis-habisnya, mereka berusaha menemukan jalan untuk kembali ke sarang-sarang
mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang mereka segani, Ki Peda Sura
sudah terbunuh.
Namun sebagian dari mereka
tidak berhasil keluar dari padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari
para pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satu-satu.
Pasukan pengawal yang marah
merasa mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam yang membara di hati mereka
setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan induk, dari
padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada di antara mereka yang
terpaksa meninggalkan halaman dan milik mereka yang mereka kumpulkan, sedikit
demi sedikit. Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyala-nyala
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha mengejar lawan-lawan mereka.
Tetapi sejenak kemudian
beberapa penghubung telah menyebarkan perintah Samekta. Para pengawal tidak
diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masing-masing. Yang penting
mereka harus memasuki padukuhan induk tanpa menghiraukan lawan yang melarikan
diri terpecah belah.
“Kita harus segera menyusun
diri. Menguasai seisi Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya,” perintah Samekta.
Beberapa kelompok pengawal
menjadi ragu-ragu atas perintah itu. Sekian lama mereka menahan kemarahan yang
seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini mereka mendapat kesempatan
itu. Apalagi di dalam pertempuran yang baru saja terjadi, apakah mereka harus
melepaskan lawan itu begitu saja?
Namun dalam keragu-raguan itu,
mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Mereka
mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga dengan demikian maka
mereka harus patuh dan melakukan perintah itu.
Meskipun demikian ada juga
beberapa kelompok pengawal yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih
mempergunakan kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap pengikut
Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan seluruh rakyat Menoreh.
“Kita harus melepaskan
mereka,” berkata seorang penghubung kepada seorang pemimpin kelompok yang
sedang kalap.
“Persetan!” geramnya. “Aku
harus membunuh orang itu.”
Tanpa menghiraukan apa pun
lagi, ia mengejar seorang yang sudah tidak terlalu jauh di hadapannya. Agaknya
orang itu sudah begitu lelah, sehingga langkah kakinya sudah tidak begitu
cekatan.
“Tunggu, aku bunuh kau,”
teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang sedang berlari itu
berusaha untuk mempercepat langkahnya. Tetapi tenaganya tidak memungkinkannya
lagi. Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia pun terbanting jatuh di
tanah.
Betapapun penghubung itu
mencoba mencegah, tetapi pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak
menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha untuk bangkit,
maka ujung pedang pemimpin kelompok itu segera membenam di punggungnya.
Tidak ada keluhan sama sekali
yang terdengar. Orang itu terlempar dan jatuh tertelungkup, sementara langit
menjadi semakin cerah.
Beberapa langkah di belakang
mereka, beberapa orang pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan. Salah
seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera berteriak, “Cincang
saja. Pengkhianat.”
Yang lain menyahut, “Ya,
cincang pengkhianat itu.”
Pemimpin kelompok yang tidak
dapat menahan hati itu pun kemudian dengan geramnya mendorong orang yang sudah
terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun kemudian menelentang.
Tetapi demikian pemimpin
kelompok itu melihat wajah orang yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku.
Tangannya. Menjadi gemetar dan bibirnya bergerak-gerak. Terdengar suaranya
sendat, “Kakang. Kakang. Kaukah itu.”
Semua orang tiba-tiba saja
mematung di tempatnya. Ternyata orang yang terbunuh itu adalah kakak pemimpin
kelompok yang dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
“Kakang,” suaranya semakin
lirih, “kenapa kau berpihak kepada Sidanti? Aku menjadi gila karena aku
menyangka bahwa kau justru telah terbunuh oleh mereka,” suaranya tiba-tiba
merendah. “Sejak kita terusir dari padukuhan induk, kita tidak pernah bertemu
lagi. Ternyata kau terpikat oleh janji-janji mereka.”
Namun pemimpin pengawal itu
tidak dapat menahan diri ketika hatinya serasa seakan-akan terpecah.
Perlahan-lahan ia berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah membeku.
Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di dadanya. “Maafkan aku,
Kakang. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh.
Bukan maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau berpihak kepada
lawan.”
Dan kepalanya pun menjadi
semakin tertunduk ketika terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang
meninggal beberapa tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga tahun ia
kehilangan kedua orang tuanya. Selama itu kakaknya itulah yang mengasuhnya.
Memberinya tempat tinggal dan makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika pemimpin kelompok itu
berpaling, dilihatnya penghubung yang selama itu mencoba mencegahnya. Dengan
penuh sesal ia berkata, “Aku bersalah. Aku tidak mentaati perintah Ki Samekta.
Dan aku harus menebus kesalahan itu dengan taruhan yang terlampau mahal.”
Penghubung itu tidak menyahut.
Ternyata peperangan memang begitu kejam, sehingga memaksa seorang adik membunuh
kakaknya sendiri walaupun tanpa disadarinya.
“Sudahlah,” akhirnya
penghubung itu berkata. “Ki Samekta memerlukan kalian di padukuhan induk.
Berkumpullah. Kalian akan mendapat petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang
telah diperhitungkannya. Bukan saja pembunuhan adik atas kakaknya, tetapi juga
pelepasan dendam yang berlebih-lebihan di antara kita sendiri.”
Pemimpin kelompok itu berdiri
perlahan-lahan. Kepalanya masih tertunduk. Tetapi kepala yang tertunduk itu
mengangguk.
“Kita akan menyelesaikan
sisa-sisa persoalan ini dengan cara yang lain,” berkata penghubung itu. “Dan Ki
Samekta sudah mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya.”
“Ya. Aku telah terjebak oleh
nafsuku sendiri,” desis pemimpin kelompok yang kalap itu.
Sejenak kemudian maka dengan
kepala tunduk seluruh kelompok itu pun segera meninggalkan tempat itu. Namun
pemimpin kelompok itu masih berdesis, “Besok aku akan minta ijin khusus untuk
menguburkan mayat Kakang.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Sesal yang sangat telah melepaskan segala macam dendam di dalam dada
pemimpin kelompok itu.
Sementara itu, di bagian lain
dari medan peperangan, masih terjadi beberapa keributan kecil. Tetapi semuanya
segera dapat diatasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal telah berada di
padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat yang penting untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama dari orang-orang pendatang
yang jelas akan mempergunakan setiap kemungkinan yang terbuka dalam keadaan apa
pun.
Dalam pada itu, Ki Argapati
yang ditunggui oleh Pandan Wangi telah semakin menyadari keadaannya. Titik air
di bibirnya membuatnya sedikit segar.
Dan ketika perang itu
berakhir, Ki Argapati telah dapat mengerti, apa yang telah terjadi di
sekitarnya. Tetapi ia pun menyadari bahwa keadaannya menjadi semakin lemah,
karena luka-lukanya bertambah parah.
Tetapi hatinya seakan-akan
rontok ketika usungan yang membawanya memasuki pintu gerbang padukuhan induk
yang telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara yang lemah ia
berdesis, “Wangi, apakah aku tidak bermimpi.”
“Tidak, Ayah,” jawab Pandan
Wangi. “Ayah sedang memasuki padukuhan induk.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia menatap langit yang terbentang, maka cahaya fajar telah
menjadi semakin terang.
“Ternyata Tuhan masih
memperkenankan aku memasuki padukuhan ini kembali.”
“Bukankah kita memohonnya,”
sahut anaknya, “dan permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Permohonan yang ternyata diperkenankan oleh Tuhan.”
“Ya. Kita wajib berterima
kasih,” suara Argapati merendah di antara desah nafasnya. “Kau tidak boleh
melupakan apa yang telah terjadi hari ini, Wangi.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Ternyata kita tidak berjuang
sendiri. Tuhan telah mengirimkan kepada kita beberapa orang yang ternyata
memegang peranan di dalam perjuangan ini.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Sekilas ia melihat pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan.
Masih seperti pada saat ditinggalkannya.
Kemudian terbayang sekilas di
dalam ingatannya, dua orang anak-anak muda yang mengaku bernama Gupala dan
Gupita. Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut rahasia yang tak
terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar Tanah Perdikan ini, kedua
anak muda itu telah menunjukkan dirinya.
Tengkuk Pandan Wangi meremang
kalau terkenang olehnya, beberapa laki-laki yang kasar telah mencegatnya.
Kemudian di jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan seorang gembala
yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain seruling.
Namun sejalan dengan itu,
terbayang juga di dalam kenangannya, betapa Sidanti telah berusaha
melindunginya sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi berputus
asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orang-orang liar itu.
Tanpa disadarinya Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Kini kakaknya itu menjadi seorang tawanan, yang menurut
penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang pengkhianat bersama pamannya,
Argajaya. Pamannya yang sangat baik kepadanya sejak ia masih kanak-kanak. Yang
pernah mendukungnya pula bergantian dengan bibinya. Apalagi apabila ia sedang
menangis karena dimarahi oleh ayah dan ibunya, jika ia nakal.
“Cup, cup Wangi,” pamannya
selalu mencoba menghiburnya. “Ibu nakal. Ayah nakal. Mari bermain dengan paman
saja. Cup.” Dan ia pun kemudian didukung ke kebun di belakang rumah, di bawah
pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia tertidur di dalam dukungan.
Dan sekarang, seperti
kakaknya, pamannya adalah seorang tawanan.
Wajah Pandan Wangi menjadi
semakin menunduk. Dalam waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak
sekali perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang pula.
Yang sebelumnya belum pernah
dikenalnya, kini mereka bersama-sama justru berhadapan dengan orang-orang yang
ada di sekitarnya di masa kanak-kanak.
Argajaya dan Sidanti telah
tersisih dari lingkaran hidupnya, dan kini hadir gembala-gembala itu dengan
ayahnya yang tua.
Pandan Wangi terkejut ketika
ia mendengar ayahnya yang berada di usungan di sisinya bertanya lirih, “Kita
telah sampai di mana sekarang ini, Wangi?”
“Kita hampir sampai ke rumah,
Ayah.”
Terdengar sebuah desah pendek.
Tetapi Ki Argapati tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnyalah bahwa mereka
telah hampir sampai di rumah Ki Argapati di padukuhan induk. Sebentar kemudian
mereka telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah rumah yang
berhalaman luas.
“Hem,” Argapati menarik nafas
dalam-dalam.
Iring-iringan itu pun kemudian
menjadi semakin mendekati regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua
orang pengawal mendahului untuk melihat keadaan.
Ternyata Samekta telah berada
di halaman itu bersama Kerti. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki
Argapati yang masih berada di dalam usungan.
“Marilah, Ki Gede,” berkata
Samekta. “Semuanya sudah dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini
telah bersih dari kemungkinan-kemungkinan yang kurang menyenangkan. Para
pengawal telah menebar di segala sudut. Di halaman depan, samping dan di kebun
belakang. Isi rumah ini pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki Gede
kemudian dapat beristirahat dengan tenang.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Terasa luka-lukanya menjadi kian perih. Namun ia berdesis, “Terima kasih,
Samekta.”
Ki Gede pun kemudian diusung
memasuki regol halaman. Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya,
sehingga sepasang matanya pun menjadi basah. Tetapi ia bertahan untuk tidak
menitikkan air mata. Dicobanya berjalan dengan tegap di samping usungan
ayahnya. Dicobanya menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga pendapa
rumahnya.
Namun ketika tampak olehnya
tanaman-tanaman bunga yang dipeliharanya dengan hati-hati, pepohonan dan
seluruh halaman rumahnya menjadi sangat kotor seperti hutan perdu, maka terasa
kerongkongannya seakan-akan tersumbat.
Rumah itu seolah-olah sudah
berubah menjadi rumah hantu. Di sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih
kehitam-hitaman.
Agaknya selama rumah ini
ditinggalkannya, sama sekali tidak pernah dibersihkan. Ki Tambak Wedi, Sidanti
dan orang-orangnya yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak sempat
memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di halaman.
Tetapi saat itu Pandan Wangi
pun tidak sempat memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping
ayahnya ketika usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam.
Sebuah lampu minyak yang buram
masih menyala di atas ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang.
Tetapi sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama menjadi
semakin redup karena minyak di dalamnya sudah habis sama sekali.
“Apakah bilik ayah sudah
dibersihkan,” bertanya Pandan Wangi kepada Samekta.
Samekta tergagap sejenak. Ia
sama sekali tidak berpikir sampai begitu jauh. Ketika ia melihat bilik itu dan
menurut pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya yang tersembunyi, maka
ia merasa bahwa bilik itu sudah siap dipergunakan. Tetapi tidak terkilas sama
sekali di kepalanya, bahwa bilik itu memang harus dibersihkan.
Hanya karena Pandan Wangi
adalah seorang gadis meskipun berpedang di lambungnya sajalah, maka selain
pengamatan atas bahaya yang tersembunyi, maka kebersihannya pun mendapat
perhatiannya.
“Aku kira belum bukan, Paman?”
Samekta menganggukkan
kepalanya, “Memang belum. Aku tidak berpikir sampai ke sana.”
“Tungguilah ayah di sini. Aku
akan membersihkannya sebentar.”
Samekta menganggukkan
kepalanya, sedang Pandan Wangi segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan tergesa-gesa bilik yang
kotor itu pun dibersihkannya. Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersh dari
tikar yang terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga, tetapi
alangkah kotornya.
Setelah semuanya dianggapnya
selesai untuk sementara, maka dibaringkannya Ki Argapati di pembaringan.
Pembaringan yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara Samekta dan Kerti
segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya di tempat-tempat yang dianggap
perlu.
Namun sementara itu, yang sama
sekali kurang mendapat perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang
baru saja mereka tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di sebelah,
tempat orang-orang Menoreh menampung para pengungsi.
Padukuhan itu hanya sekedar
ditunggui oleh beberapa pegawal dan laki-laki yang menurut pertimbangan
badaniah sudah tidak mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena itu maka
kekuatan di kedua padukuhan itu hampir tidak berarti sama sekali.
Adalah di luar dugaan bahwa
beberapa orang liar yang datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan
bahkan memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
“Kita singgah sebentar ke
padukuhan itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Untuk apa?” bertanya yang
lain.
“Menoreh pasti telah
mengerahkan semua manusia yang ada. Karena itu, maka kedua padukuhan itu pasti
kosong.”
“Kenapa kita singgah di sana?”
“Kau memang bodoh. Sebagian
besar isi padukuhan induk telah mengungsi ke sana. Yang dapat mereka bawa pasti
barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat memasuki padukuhan
pengungsian itu, kita tinggal mengambil saja sesuka hati kita. Apa saja pasti sudah
tersedia.”
“Apakah sama sekali tidak ada
seorang penjaga pun?”
“Tentu ada, tetapi pasti bukan
orang-orang yang terpilih untuk ikut ke peperangan.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang yang lain berkata, “Aku
sependapat. Mari, sebelum sebagian dari mereka kembali.”
Segerombolan kecil orang liar
itu pun segera mempercepat langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh
sebagian dari para pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan
pasukan Menoreh.
“Apa pun yang kita dapatkan,
dapatlah sekedar menawarkan hati yang panas ini.”
Mereka mengangguk-anggukkan
kepala sambil melangkah semakin cepat.
Kehadiran mereka di
tempat-tempat pengungsian benar-benar membuat suasana yang tenang itu menjadi
kisruh. Beberapa orang pengawal yang bertugas segera mempersiapkan diri. Bahkan
laki-laki yang sudah berusia lanjut pun segera menyambar senjata-senjata yang
ada di dinding. Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas pun tidak mau
ketinggalan.
“He,” pemimpin dari para
pengawal itu berkata lantang di hadapan segerombolan orang yang akan memasuki
padukuhan itu, “Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?”
“Kami hanya sekedar akan
lewat. Bukankah jalan yang melintas di tengah-tengah padukuhan ini jalan untuk
umum.”
Pemimpin pengawal itu
menggelengkan kepalanya, “Tidak. Dalam keadaan serupa ini jalan ini tertutup
bagi siapa pun.”
“Tetapi kami akan lewat,”
teriak yang berkumis panjang.
“Minggir,” teriak yang
berkepala botak.
Tetapi pemimpin pengawal itu
pun berteriak, “Jangan memaksa. Kalian harus mencari jalan lain.”
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa berkepanjangan. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat
maju ke depan sambil mengacung-acungkan kelewangnya. “Minggir anak-anak marmot.
Jangan berbuat bodoh.”
Pemimpin pengawal itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Dipandanginya orang yang tampaknya buas dan liar itu. Namun
dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya akan mereka lakukan.
“Apa pun yang akan terjadi,
tetapi kalian tidak boleh lewat,” jawab pengawal itu.
Hampir serentak orang yang
liar itu mendesak maju.
Tetapi para pengawal yang
berdiri di mulut lorong pun tidak menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa
mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan mereka pun
menyadari bahwa mereka tidak mampunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan diri
terhadap segerombolan orang-orang liar itu.
Namun demikian mereka tidak
akan dapat pula membiarkan orang-orang itu memasuki padukuhan dan merampok
segala isinya. Apa pun yang terjadi, mereka harus bertahan sejauh-jauh dapat
mereka lakukan.
“He, orang-orang yang tidak
tahu diri,” berteriak seseorang yang berdada bidang dan berbulu lebat, “apakah
kalian tidak mengenal kami?”
“Siapa pun kalian, kami tetap
dalam pendirian kami.”
Orang-orang liar itu pun
kemudian tidak dapat tersabar lagi. Segera mereka pun memencar sambil
mengacung-acungkan senjata mereka. Salah seorang dari mereka berteriak, “Kalian
tidak akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan keras kepala.”
Para pengawal itu pun segera
mempersiapkan diri. Mereka masih juga mempunyai harapan, karena jumah mereka
lebih banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua dan anak-anak
tanggung. Meskipun demikian di antara yang tua-tua itu terdapat bekas-bekas
pengawal yang pernah mengenal bagaimana mempergunakan pedang dan tombak yang
ada di tangan mereka.
“Kami harus melindungi
perempuan dan anak-anak,” desis seorang tua yang sudah ubanan seluruh
kepalanya. Sambil membelai janggutnya yang sudah putih pula ia meneruskan,
“Kami masih cukup kuat untuk bertempur melawan berandal yang mana pun juga.”
Tetapi segerombolan orang yang
datang itu benar-benar orang-orang yang buas. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan apa pun juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan itu
terdapat harta-benda yang dapat sedikit melepaskan tekanan yang menghimpit dada
oleh kekalahan demi kekalahan yang pernah mereka alami selama mereka masih
berada di atas Tanah Perdikan ini.
Dengan demikian, maka
orang-orang itu pun kemudian mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan
mereka, para pengawal pun segera menebar. Mereka pun telah siap menghadapi
segala kemungkinan.
Seperti pesan pemimpin mereka,
maka para pengawal itu bersiap menghadapi lawan-lawan mereka dalam
pasangan-pasangan yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal
didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung. Dalam
pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi melawan orang liar yang menurut
perhitungan para pengawal memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Karena itu, para
pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang lebih banyak itu
sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka kedua
pasukan kecil itu pun segera berbenturan. Dengan teriakan-teriakan tinggi
berandal-berandal itu menggempur lawan-lawannya tanpa pengekangan diri. Dengan
kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka dibarengi oleh umpatan-umpatan
kasar pula yang dapat membakar telinga.
Adalah di luar dugaan
berandal-berandal itu bahwa pengawal yang berjumlah kecil bersama orang-orang
tua dan anak-anak itu ternyata telah berjuang dengan gigihnya. Mereka sama
sekali tidak mengenal takut menghadapi akibat yang bagaimana pun juga beratnya.
Sejenak kemudian, maka
mulailah darah menitik dari luka-luka. Seorang yang telah tidak bergigi lagi
ternyata tersentuh ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong surut, kemudian
jatuh berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba bangkit. Namun
lukanya terasa menjadi kian pedih.
“Minggirlah!” teriak seorang
pengawal. “Mundurlah dan bersihkan luka itu.”
Belum lagi ia beranjak dari
tempatnya, seorang anak muda berumur enam belas tahun terlempar dari
pertempuran. Sebuah goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya sebuah
bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan lawan, sehingga ia
masih mampu meloncat berdiri. Tetapi karena senjatanya terlempar dari
tangannya, maka ia pun segera meloncat mengambil senjata orang tua yang
terluka, “Pinjam senjatamu, Kek.”
Namun bagaimana pun juga,
sejenak kemudian segera terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak.
Hanya karena jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu bertahan. Pemimpin
pengawal itu memang masih mengharap sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan
pengawal kembali, atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah mengetahui
keadaan ini.
Pasukannya yang lengah,
ternyata tidak mempersiapkan alat-alat apa pun yang dapat dipergunakannya untuk
memberikan isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain kentongan.
Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak memadai.
Namun demikian, pemimpin
pengawal itu tidak berputus asa. Ketika pasukannya benar-benar terdesak, maka
diperintahkannya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat yang masih
dimilikinya
Sejenak kemudian terdengar
suara titir menggema dari padukuhan kecil itu. Beberapa buah kentongan berbunyi
bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara kentongan itu terdengar
orang yang berbulu lebat di dadanya berkata, “Darimana kau akan mendapatkan
bantuan? Dari padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori itu? Kasihan.
Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah mereka pun tidak akan
berarti apa-apa bagi kami.”
Pemimpin pengawal tidak
menghiraukannya. Ia sendiri berkelahi seperti harimau lapar. Sedang beberapa
orang pengawal terlatih yang lain pun mengikuti jejaknya pula.
Ternyata bahwa suara kentongan
itu tertangkap dari padukuhan di sebelah. Karena itu maka pemimpin pengawal
yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan pasukan kecilnya.
“Apakah yang telah terjadi?”
ia bertanya.
Tetapi tidak seorang pun yang
mengetahuinya.
“Biarlah beberapa orang pergi
ke sana melihat keadaan. Yang lain tetap berada di padukuhan ini,” perintah
penimpin pengawal itu.
Beberapa orang pun segera
pergi meninggalkan lingkungan pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan
tergesa-gesa mereka meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg sebenarnya
telah terjadi?
Akhirnya mereka pun melihat,
di pinggir desa itu telah terjadi pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada
di padukuhan itu terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda.
Para pengawal itu pun berlari
semakin cepat. Ketika mereka sampai di arena, mereka pun segera melibatkan diri
di dalam pertempuran itu.
Namun jumlah mereka tidak
terlampau banyak, sehingga pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada
saat-saat permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu berhasil
menahan desakan berandal yang kehausan, tetapi sejenak kemudian mereka pun
telah terdesak kembali betapa pun lambatnya.
“Menyerahlah,” teriak salah
seorang berandal yang berambut panjang.
Tetapi para pengawal sudah
bertekad untuk bertahan. Apalagi setelah mereka mendapat bantuan meskipun hanya
beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi bertambah. Jumlah mereka
yang lebih banyak pun dapat membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan
mereka.
Beberapa orang pengawal telah
mencoba untuk memecah perhatian orang-orang yang liar itu. Mereka menyerang
dari samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari mereka adalah
orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap menghadapi mereka dari depan.
Tetapi bagaimana pun juga para
pengawal tidak akan dapat menguasai lawan-lawan mereka yang ganas.
Dalam pada itu, sepasang mata
yang tajam mengikuti pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya.
Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan perkelahian segera menangkap
bahwa keadaan para pengawal semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun hanya
setapak demi setapak, namun mereka terdesak terus. Apalagi tenaga orang-orang
tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan segera menjadi lelah, dan
kehilangan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Sedang orang-orang liar itu
menjadi semakin liar. Apabila mereka merasa terganggu, maka mereka dapat
melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri kemanusiaan.
Orang yang mengawasi
pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berdesis,
“Untunglah, bahwa aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan
pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk menyerang
kekuatan Ki Tambak Wedi.”
Orang itu pun mencoba
mendekati medan. Di balik dedaunan dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya
sambil selangkah demi selangkah maju.
“Sebentar lagi pertahanan para
pengawal itu pasti akan pecah,” desis orang itu. “Lalu bagamana dengan pertempuran
di padukuhan induk? Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk, maka para
pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di semua medan.”
Orang itu menarik nafas.
Kemudian ia berdesis, “Apakah aku akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua
orang-orangku sudah mendahului aku berpihak kepada Ki Argapati?”
Sejenak ia termenung. Namun
kemudian ia berdesis, “Aku harus menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa
pun dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini persoalannya adalah
persoalan perikemanusiaan. Kalau pertahanan itu pecah, maka berandal-berandal
itu pasti akan mengaduk seisi padukuhan, terutama pengungsi-pengungsi.
Pengungsi-pengungsi yang selalu dalam kecemasan karena bermacam-macam hal itu,
masih harus mengalami bencana lagi di pengungsian.”
Karena itu, maka orang itu pun
tidak menunggu lebih lama lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia pun kemudian
melangkah, melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar menuju ke medan
pertempuran.
Semula tidak seorang pun yang
melihat kehadirannya. Tetapi kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak
muda yang berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
“He, siapakah orang itu?”
desis seorang pengawal sambil bertempur terus.
Kawannya yang melihat
kehadiran anak muda itu pula menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah orang itu salah
seorang dari berandal-berandal itu?”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindari
serangan lawannya. Seorang yang berkumis lebat.
Orang yang menjinjing tombak
itu berjalan saja seenaknya, semakin lama semakin dekat. Seperti seorang anak
muda yang pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat karibnya. Sama sekali
tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun di hadapannya berlangsung
pertempuran yang seru.
Akhirnya kedua belah pihak
yang bertempur pun melihat kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa
langkah dari peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring, “He, aku akan ikut di
dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Apakah kalian mendengar suaraku.”
Mereka yang sedang bertempur
menjadi heran. Tiba-tiba saja orang itu menyatakan diri berpihak. Sedangkan
kedua belah pihak sama sekali masih belum mengenalnya. Hampir berbareng
pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di padukuhan itu, dan
seorang dari berandal-berandal yang menyerangnya berteriak, “Siapakah kau?”
“Itu tidak penting. Tetapi aku
muak melihat berandal-berandal yang berkeliaran di manapun. Juga di atas Tanah Perdikan
ini. Selagi Tanah ini sedang kisruh, berandal-berandal itu mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu, apakah kalian memang dikirim oleh Ki
Tambak Wedi, atau karena maksud kalian sendiri, namun perbuatan kalian memang
harus dicegah.”
“Persetan!” teriak salah
seorang dari orang-orang liar itu. “Apakah pengaruhmu seorang diri. Mari,
ikutlah mati bersama para pengawal.”
“Tetapi aku tidak seorang
diri. Aku akan bertempur bersama para pengawal.”
Tidak seorang pun yang segera
menyahut. Tetapi kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia hanya
seorang diri. Meskipun demikian, orang-orang yang telah dicengkam oleh nafsu
untuk memiliki harta dan benda itu sama sekali tidak berhasrat untuk
mengurungkan niatnya. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak,
“He, kedatangan segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali tidak
berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri, meskipun kau akan bertempur
bersama-sama para pengawal.”
Orang yang baru datang itu mengerutkan
keningnya, kemudian jawabnya, “Memang, kedatangan segerombolan pengawal itu
baru membuat keadaan menjadi seimbang. Nah, meskipun kemudian aku datang
seorang diri, tetapi aku akan dapat merubah keseimbangan itu.”
“Omong kosong!” teriak seorang
yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berbulu lebat. Ia adalah orang yang
sama sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka katanya kemudian, “Aku
akan mencekik kelinci kecil itu. Teruskan pekerjaan kalian sampai tikus-tikus
Menoreh ini menyadari kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap,
kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian.”
Orang yang tinggi besar itu
segera keluar dari pertempuran. Dengan langkah yang berat ia maju mendekati
anak muda yang bersenjata tombak itu.
“Siapa kau. Aku ingin tahu
namamu sebelum kau mati.”
“Sudah aku katakan, itu tidak
penting.”
“Setan alas!” orang itu
mengumpat. Kemudian diputarnya senjatanya. Sebuah canggah bertangkai pendek.
Anak muda yang bersenjata
tombak itu masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia telah menyiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan.
Tanpa berjanji maka peperangan
yang seru itu pun mengendor. Hampir setiap orang di dalam peperangan itu ingin
melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka
benturan dari kedua pasukan kecil itu seakan-akan terhenti untuk sesaat, hanya
karena seorang anak muda yang datang mendekati arena.
“Lihatlah untuk yang terakhir
kalinya,” berkata orang yang tinggi besar itu, “tengadahkan wajahmu ke langit,
kemudian tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya lagi.”
“Jangan menipu aku. Kau akan
menusuk lambungku selagi aku menengadah,” jawab anak muda itu.
“Sombong! Kau kira aku tidak
dapat membunuhmu tanpa berbuat licik seperti itu.”
“Yakini kata-katamu sendiri.
Kau tidak dapat mengalahkan aku tanpa perbuatan licik.”
“Persetan!” orang itu menjadi
sangat marah. Ia merasa benar-benar terhina, sehingga dengan serta-merta ia
meloncat menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu langsung
mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak itu.
Tetapi semua mata yang melihat
serangan itu terbelalak karenanya.
Semula mereka menyangka bahwa
serangan yang demikian cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian yang
baru dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun perkelahian itu
benar-benar segera berakhir, tetapi bukan canggah orang bertubuh tinggi itulah
yang menyobek leher anak muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi adalah justru
sebaliknya. Dengan sigapnya anak muda itu mengelak, dan dengan sigapnya pula ia
mengangkat ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan kekuatan apa pun
untuk membenamkan tombaknya di dada lawannya, karena lawannya telah melontarkan
dirinya sendiri.
Adalah benar-benar di luar
dugaan. Anak muda itu pun kemudian mengkibaskan wiron kainnya. Kemudian
disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian belakang, di bawah
punggung.
“Lihat,” katanya, “aku
terpaksa mulai.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Mereka melihat orang yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung.
Dan ketika anak muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun kemudian
terbanting jatuh di tanah.
“Aku tidak sengaja
membunuhnya,” berkata anak muda itu, “tetapi ia telah membunuh dirinya
sendiri.”
Sejenak peperangan itu menjadi
sepi. Bahkan berhenti untuk sesaat. Semua mata terbelalak melihat apa yang baru
saja terjadi. Orang-orang liar yang sudah terlampau biasa melihat kematian itu
pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
“Hampir seperti Ki Gede
Menoreh sendiri,” desis seseorang kepada diri sendiri.
Sementara itu anak muda itu
pun berkata, “Nah. Sekarang aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri
termangu-mangu.”
Selangkah demi selangkah ia
maju. Tombaknya dijinjingnya dengan sebelah tangannya.
“Itu hanya suatu kebetulan,”
beberapa orang berandal berkata di dalam hati masing-masing untuk menenteramkan
diri sendiri. “Nafsu yang meluap-luap memang dapat menjerumuskan diri sendiri
ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhati-hati menghadapi anak itu.”
Sejenak kemudian maka
pertempuran pun segera berkobar kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang
senjata berkumandang di udara, dan bunga api pun memercik dari benturan senjata
yang beradu.
Dalam pada itu, setiap orang
di dalam peperangan itu pun segera melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh
anak muda yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia seorang diri, namun
pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang datang dari padukuhan
sebelah.
Dengan demikian maka
keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah. Para pengawal tidak lagi
terdesak. Bahkan karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi jumlah
lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu pun dapat menguasai keadaan.
Sehingga sejenak kemudian,
meskipun korban jatuh di kedua belah pihak, namun para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa mereka akan
berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu atas bantuan seorang anak muda
yang bersenjata tombak pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata tombak pendek
itu meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan bertempur yang luar biasa.
Seolah-olah para pengawal itu sedang bertempur bersama-sama Ki Argapati
sendiri.
Orang-orang yang semula
mengharapkan dapat merampas kekayaan yang tersembunyi di padukuhan kecil
bersama para pengungsi itu pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa orang
dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya sama sekali sudah tidak
mempunyai harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu.
Dengan demikian, maka setelah
mereka saling berbisik, terdengarlah salah seorang dari mereka bersuit nyaring.
Sejenak kemudian orang-orang
itu pun segera berloncatan, melarikan diri salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka
berlari ke mana pun untuk menjauhi para pengawal yang masih mengejar mereka
beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu pun segera menghentikan
pengejaran, karena mereka menyadari, bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu
pun tidak akan lebih dari kekuatan lawannya.
Demikianlah maka pertempuran
antara dua pasukan kecil itu pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi
Menoreh harus menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah kelahiran
mereka.
Ketika para pengawal itu sudah
mulai menjadi tenang, maka pemimpin pengawal itu pun segera bertanya sekali
lagi kepada anak muda itu, “Siapakah kau sebenarnya?”
Anak muda itu tersenyum. Ia
tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya pula, “Apakah pasukan Menoreh
seluruhnya berangkat ke padukuhan induk?”
“Ya,” jawab pemimpin pengawal.
“Kelengahan yang berbahaya.
Kalian melihat akibatnya.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah kalian
sudah mendengar kabar penyerangan itu?”
“Belum. Kami sedang menunggu.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah ia akan pergi juga ke padukuhan
induk, atau menunggu saja di tempat itu.
“Apakah di sini ada seekor
kuda.”
“Ada,” jawab pemimpin
pengawal, “apakah kau akan meminjamnya?”
Sekali lagi anak muda itu
termangu-mangu.