Buku 056
Kedua orang kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka
bertanya, “Apakah benar orang tua itu ayahmu?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya, “Ya, kenapa?” jawabnya.
“Wajahmu sama sekali tidak
mempunyai persamaan dengan orang tua itu. Apakah kau anak tirinya?”
“Bukan, aku memang anaknya.”
“Saudaramu, yang bernama
Sangkan itu pun tidak mirip sama sekali dengan ayahmu, dan dengan kau sendiri.”
Agung Sedayu tersenyum.
Jawabnya, “Kalau ia tidak segemuk itu, kalian akan segera melihat persamaan
itu. Tetapi ia menjadi sangat gemuk, sehingga kehilangan bentuk.”
Kedua orang yang mengawaninya
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba membayangkan wajah
Swandaru apabila ia tidak menjadi segemuk itu.
“Mungkin, mungkin,” yang
seorang berdesis.
“Apa yang mungkin?” bertanya
kawannya.
“Kalau anak muda itu tidak
terlampau gemuk. mungkin ia mirip dengan kakaknya dan ayahnya.”
“Tetapi,” bertanya yang lain,
“kenapa adikmu dapat segemuk itu, tetapi kau tidak?”
“Anak itu lahir di musim
hujan, dan aku lahir di musim kemarau,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
Kedua orang itu pun tersenyum
pula. Sekilas mereka melupakan kecemasan yang selama ini telah mencengkam
seluruh isi barak, dan orang-orang yang masih bersembunyi di sekitar tempat
itu.
Sejenak kemudian mereka saling
berdiam diri. Mereka melangkahkan kaki mereka dengan ayunan yang teratur,
justru karena mereka sedang tenggelam dalam angan-angan masing-masing.
Kadang-kadang terlintas di
kepala kedua orang yang mengawani Agung Sedayu itu, ketakutan dan kecemasan
yang selama ini selalu menghantui seisi barak dan bahkan para pengawas. Anak
muda itu, bersama adik dan ayahnya, ternyata telah melahirkan suasana yang baru
bagi mereka, meskipun mereka masih belum tahu pasti, apakah yang akan terjadi
selanjutnya tanpa orang yang kekar, yang kekurus-kurusan dan orang-orang lain
yang selama ini memegang sebagian besar peranan di dalam lingkungan mereka.
“Orang-orang ini akan segera
menggantikan mereka,” berkata kedua orang itu di dalam hatinya, “dan kami
semuanya masih belum mengetahui, apakah keadaan akan menjadi lebih baik atau
bahkan sebaliknya?”
Sambil merenungi angan-angan
masing-masing, maka mereka pun kemudian menjadi semakin dekat dengan barak yang
sebagian telah dipergunakan sebagai dapur.
“Kita sudah hampir sampai,”
desis Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi bagaimana kalau
kedua orang itu sudah menjadi pulih kembali dan melarikan diri?”
“Kita akan mencegah mereka.”
“Kalau mereka melawan?”
“Kita akan menangkap mereka.”
Kedua kawan Agung Sedayu itu
tidak menyahut. Tetapi mereka merasa ngeri apabila mereka pun harus berkelahi
menangkap kedua orang yang selama ini mereka takuti. Terlebih-lebih lagi orang
yang tinggi dan kekar itu, meskipun ternyata bahwa orang yang kekurus-kurusan
itu mempunyai peranan yang lebih penting dari orang yang tinggi kekar itu.
Ketika mereka memasuki pintu barak itu, mereka masih melihat perempuan dan
anak-anak duduk diam di tempatnya. Seakan-akan mereka sama sekali tidak berani
beranjak dari tempat mereka. Dengan wajah yang tegang dan dibayangi oleh
ketakutan, mereka memandang ketiga orang yang memasuki barak mereka itu.
Sejenak, Agung Sedayu dan
kedua kawannya berdiri saja di muka pintu nemandangi seisi barak. Namun sejenak
kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kami bertiga datang untuk menemani
kalian di barak ini, supaya kalian tidak terlampau ketakutan. Kami akan mencoba
menjaga kalian dari segala macam kemungkinan yang tidak kita kehendaki
bersama-sama.”
Beberapa orang perempuan
saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka masih tetap membayangkan
keragu-raguan dan kebimbangan.
“Ya,” sahut salah seorang
kawan Agung Sedayu, “kami akan berada di tempat ini untuk beberapa saat.
Bukankah kalian tidak berkeberatan?”
Sekali lagi perempuan-perempuan
yang ada di dalam barak itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap
berdiam diri. Namun demikian, karena kedua kawan Agung Sedayu itu telah mereka
kenal dengan baik sebelumnya, maka kedatangan mereka benar-benar telah
mengurangi perasaan takut yang mencengkam.
Sejenak kemudian, maka Agung
Sedayu pun berkata kepada kedua kawannya, “Tinggallah kalian di sini. Aku akan
melihat, apakah kedua orang itu masih ada di tempatnya?”
Agung Sedayu tidak menunggu
jawaban kawan-kawannya. Ia pun segera melangkah masuk lewat pintu butulan
sampai ke dapur. Kemudian seperti petunjuk yang sudah diberikan oleh Kiai
Gringsing, ia pergi ke pintu yang masih diselarak.
Di muka pintu. itu Agung
Sedayu berhenti sejenak. Dengan seksama ia mencoba mendengarkan tarikan nafas
dari dalamnya, sedang ia sendiri berusaha untuk menahan nafasnya
sebaik-baiknya.
“Mereka masih ada di dalam,”
desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian Agung Sedayu
menjadi curiga, karena ia mendengar suara gemerisik dan derak bambu yang patah.
“Apakah yang mereka lakukan?”
bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.
Kecurigaan Agung Sedayu pun
bertambah-tambah pula, karena suara itu semakin lama justru menjadi semakin
keras, sejalan dengan tarikan nafas yang semakin memburu.
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Ia tidak mendapat lubang yang cukup besar untuk mengintip apa saja
yang telah mereka lakukan di dalam bilik yang sempit itu.
Karena Agung Sedayu tidak
ingin menduga-duga saja untuk selanjutnya, maka Agung Sedayu pun dengan
hati-hati mendekati selarak pintu butulan. Perlahan-lahan pula ia mengangkat
selarak itu. Kemudian menyentak ia mendorong pintu butulan itu ke samping,
sehingga pintu itu pun terbuka.
Dada Agung Sedayu berdesir. Ia
melihat orang yang tinggi kekar itu, betapapun lemahnya masih mencoba untuk
membuka dinding bilik yang tidak terlampau kuat itu.
Betapa terkejut mereka berdua
ketika mereka menyadari, bahwa pintu yang diselarak itu kini sudah terbuka, dan
seorang anak muda berdiri di muka pintu itu sambil menyaksikan apa yang telah
mereka lakukan,
Sejenak Agung Sedayu berdiri
tegang memandang orang yang tinggi kekar, yang masih mencoba membuka dinding.
Namun tanpa sesadarnya ia pun kemudian melangkah maju mendekatinya sambil
berkata, “Apakah kau masih berusaha untuk lari?”
Tanpa diduga-duga, orang yang
tinggi kekar itu mengerahkan segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Dengan
serta-merta ia berdiri dan menyerang Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang mengerti
benar, bahwa orang itu sebenarnya sudah terlampau lemah, sama sekali tidak
melawan. Ia hanya mengelakkan dirinya. Selangkah ia bergeser ke samping sambil
memutar tubuhnya.
Ternyata, karena serangannya
sama sekali tidak menyentuh anak muda itu, orang yang kekar itu terdorong oleh
sisa kekuatannya sendiri, yang sudah dihentakkan sejauh-jauh dapat dilakukan.
Sehingga dengan demikian, ia terhuyung-huyung dan dengan kerasnya jatuh
terjerembab. Kepalanya membentur tiang barak itu, yang untung, terbuat dari
bambu, sehingga tidak begitu menyakitinya.
Namun demikian, sisa tenaga
orang itu seakan-akan benar-benar telah terkuras habis. Dengan demikian, maka
orang yang tinggi kekar itu sama sekali tidak lagi menyimpan tenaga yang cukup
dapat membawanya bangkit.
Agung Sedayu menarik nafas
menyaksikan orang itu terbaring diam. Namun dari sorot matanya, Agung Sedayu
masih dapat membaca apa yang tergores di hatinya. Agaknya orang itu cukup keras
kepala.
“Kau berbaring saja di situ?”
bertanya Agung Sedayu kepada orang yang tinggi kekar.
Orang itu menggeram, sekilas
dipandanginya kawannya yang masih juga terlampau lemah, berbaring di
tengah-tengah ruangan.
“Seandainya kau berhasil
membuka dinding ruangan ini, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu
pula.
Orang itu masih tidak
menjawab.
“Apakah kau akan lari?
Seandainya kau dapat melarikan dirimu, bagaimana dengan kawanmu yang sudah
sangat lemah ini?”
Sekali lagi orang yang tinggi
kekar itu menggeram. Tetapi ia masih belum dapat bangkit. Dipandanginya saja
Agung Sedayu dengan sorot mata yang semakin menyala.
“Kau telah melakukan sesuatu
yang ternyata merugikan dirimu sendiri,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Usahamu
untuk melarikan diri, telah menumbuhkan suatu keinginan padaku untuk mengikatmu
pada tiang barak ini.”
“Gila!” tiba-tiba orang itu
membentak.
“Kalau kemudian kekuatanmu
pulih kembali, dan kau memaksa untuk lari, maka tiang barak yang tidak begitu
kuat ini akan terseret dan atap ini akan runtuh menimpa kau dan kawanmu itu.”
“Gila, kau benar-benar anak
gila! Aku tidak mau, aku tidak mau!”
“Tentu kau tidak mau. Tetapi
seperti kawanmu yang lemah sekali itu pun pasti tidak mau apabila adikku
bertanya kepadanya, apakah ia mau dipukuli dengan cambuk? Juga pemimpin
pengawas itu akan membiarkan dirinya terluka di punggung? Tentu tidak. Tetapi
kita kadang-kadang memang harus menerima perlakuan yang tidak sesuai dengan
keinginan kita sendiri. Bukankah begitu?”
“Persetan!”
“Tetapi, terpaksa sekali.
Terpaksa sekali, aku berbuat demikian.”
Wajah orang yang tinggi kekar
itu tiba-tiba menyala. Ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya memang
sudah terlampau lemah, sehingga ia harus berpegangan pada dinding.
“Kau jangan berbuat gila!”
orang itu masih mencoba berteriak.
“Tidak. Aku berbuat demikian,
karena kau sama sekali tidak mau menunjukkan sikap bersahabat. Kau masih juga
ingin melarikan diri.”
Wajah orang itu kini berubah
menjadi liar. Sejenak ia memandang berkeliling. Kemudian dengan tiba-tiba saja
ia meloncat dan mencoba berlari menerobos pintu.
Agung Sedayu tidak segera
mengejarnya. Ia tahu bahwa orang itu tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk
melarikan diri dari bilik itu. Dengan demikian, maka dengan tenang Agung Sedayu
melangkah ke luar pintu ruangan itu.
Ia menarik nafas ketika ia
melihat orang yang tinggi kekar itu terjerembab di muka perapian. Untunglah
bahwa api memang sudah padam, sehingga tangannya yang terperosok ke dalamnya
tidak terbakar karenanya, meskipun abunya masih cukup panas.
“Sudah aku katakan,” berkata
Agung Sedayu, “kau masih terlampau lemah. Dan kau tidak akan dapat ingkar dari
perlakuan yang harus kau jalani. Marilah, aku tolong kau kembali ke ruang kecil
itu.”
“Tidak, tidak!”
Tetapi Agung Sedayu tidak
menghiraukannya lagi. Diangkatnya orang itu untuk berdiri dan dipapahnya
kembali ke dalam bilik sempit dan pengap itu.
Meskipun orang itu masih
berusaha melawan, bahkan mencoba mencekik Agung Sedayu yang memapahnya, namun
Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Dengan mudahnya ia mengibaskan tangan orang
itu sambil berkata, “Jangan berbuat demikian, nanti aku banting kau.”
Orang itu menggeram. Namun ia
memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tulang-tulangnya serasa sudah terlepas
dari tubuhnya, dan otot-ototnya menjadi tidak bertenaga.
Karena itu, ia tidak dapat
berbuat lain kecuali menurut saja, dibawa oleh Agung Sedayu ke dalam bilik yang
sempit itu.
“Tunggulah di sini sebentar,
aku akan mencari seutas tali.”
“Gila!” ia menggeram.
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ia melangkah keluar meninggalkan orang itu duduk bersandar di dinding. Namun
Agung Sedayu tidak lupa menyelarak pintu itu rapat-rapat.
Ketika ia masuk ke ruang
sebelah, ia masih tetap melihat orang-orang yang kecemasan. Bahkan kedua
kawannya pun tampaknya masih juga ragu-ragu menghadapi keadaan.
Ketika keduanya melihat Agung
Sedayu, maka dengan serta-merta keduanya bertanya hampir berbareng, “Sudah?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya, “Apa yang sudah?” ia bertanya.
“Apakah kita sudah selesai dan
dapat kembali ke barak kita sendiri?” bertanya salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya orang-orang di tempat ini benar-benar telah dicengkam oleh
ketakutan dan kecemasan. Namun jawabnya kemudian, “Kita tidak sekedar melihat
orang-orang yang ada di sebelah dapur itu. Kita harus menungguinya. Jadi, tugas
kita masih panjang.”
“Di sini?”
“Apa salahnya? Bukankah kita
memang harus melindungi perempuan dan anak-anak? Bukankah perempuan yang ada di
barak ini dan anak-anaknya adalah isteri kalian dan anak-anak kalian?”
“Aku belum beristeri,” berkata
salah seorang dari keduanya.
“Aku juga belum,” jawab Agung
Sedayu, “tetapi adalah kuwajiban kita melindungi perempuan dan anak-anak.”
Kedua kawannya itu saling
berpandangan. Dan mereka mendengar Agung Sedayu meneruskan, “Seharusnya kita
berbuat sesuatu yang dapat memberikan ketenteraman di hati perempuan dan
anak-anak di sini. Bukan sebaliknya.”
Kedua orang itu tidak
menyahut. Mereka menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat mengusir
begitu saja perasaan takut dan cemas yang seakan-akan sudah bersarang di dalam
hati mereka. Namun demikian, mereka mengerti apa yang dikatakan oleh Agung
Sedayu. Mereka memang tidak boleh menambah ketakutan dan kecemasan di dalam
barak ini.
“Duduklah di situ,” berkata
Agung Sedayu kemudian, “kawani perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Kalian
harus yakin bahwa untuk sementara pasti tidak akan terjadi apa-apa. Dan dalam
waktu yang sementara itu, para pengawas sudah akan dapat membuat hubungan
dengan induk pasukan mereka. Kalian tidak akan ditakut-takuti lagi.”
Kedua orang itu memandang
Agung Sedayu sejenak. Salah seorang dari keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, “Ya. Mudah-mudahan.”
“Aku yakin. Kalian pun harus
yakin.”
Keduanya mengangguk-angguk
pula. Namun salah seorang dari mereka kemudian bertanya, “Sekarang kau mau ke
mana?”
“Tidak ke mana-mana. Aku
memerlukan seutas tali.”
“Untuk apa?”
“Untuk mengikat pintu,” jawab
Agung Sedayu sambil melangkahkan kakinya ke luar barak.
Di halaman, Agung Sedayu
mendapatkan beberapa potong tali dari bambu bekas pengikat kayu. Tetapi ketika
ia mengambil tali itu, terasa tali itu terlampau keras.
“Tali-tali ini akan melukai
tangannya,” katanya kepada diri sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayu pun
tidak mau mempergunakannya, ia mencari tali yang lebih lunak lagi. Tali dari
sabut.
Akhirnya ia menemukannya di
sudut barak itu. Mungkin tali itu bekas tali pengikat barang-barang dan
alat-alat untuk dapur. Meskipun tali itu bukan dari sabut, tetapi dari lulup
kayu, namun tali itu cukup lunak untuk mengikat orang yang keras kepala itu.
Agung Sedayu pun kemudian
membawa tali itu masuk ke dalam bilik kecil di sebelah dapur. Orang yang tinggi
kekar itu telah merangkak dan bergeser dari tempatnya. Ia masih berusaha
melepas tali-tali dinding. Tetapi ia masih belum berhasil ketika Agung Sedayu
masuk ke dalam bilik itu.
“Tidak. Aku tidak mau!” orang
itu tiba-tiba berteriak ketika ia melihat Agung Sedayu membawa seutas tali.
“Jangan melawan,” berkata
Agung Sedayu, “kalau kau melawan, tanganmu mungkin akan terluka. Tetapi kalau
kau diam, maka tidak akan menumbuhkan gangguan apa pun padamu.”
“Aku bukan seekor kerbau yang
membiarkan hidungnya dicocok dengan tali keluh. Tidak. Aku tidak mau.”
“Apakah kau ingin aku
melubangi hidungmu seperti seekor kerbau?”
“Tidak, tidak!”
“Kalau begitu, serahkan
tanganmu. Aku akan mengikatnya pada tiang ini.”
Mata orang itu menjadi merah
menyala. Tetapi ia akhirnya harus menyadari, bahwa tenaganya benar-benar sudah
tidak dapat dipergunakannya lagi.
Meskipun demikian, ia masih
meronta juga ketika Agung Sedayu kemudian mengikat tangannya.
“Maaf. Kalau tidak, kau pasti
akan berusaha melarikan dirimu. Aku terpaksa berbuat demikian, karena aku tidak
akan dapat terus-menerus menunggui kau di dalam bilik yang pengap ini.”
“Gila!” orang itu berteriak. “Kau
sangka aku kerasan tinggal di dalam bilik ini?”
“Untuk sementara. Lebih baik
kau melepaskan segala pikiran dan angan-angan untuk keluar dalam waktu dekat.
Dengan demikian kau akan dapat tidur nyenyak.”
“Persetan!” orang itu
menggeram. Tetapi ia tidak dapat melawan, ketika Agung Sedayu kemudian mengikat
orang itu pada tiang bambu petung yang besar.
Sejenak, Agung Sedayu
memandangi seorang lagi yang berbaring dengan lemahnya. Luka-lukanya membujur
lintang di tubuhnya. Pakaiannya yang sudah terkoyak-koyak sama sekali tidak
lagi dapat menutupi dada dan lengannya yang sobek. Darah yang beku seakan-akan
telah membalut seluruh permukaan kulitnya.
“Guru masih belum
mengobatinya,” desis Agung Sedayu di dalam hati. Tetapi Agung Sedayu tahu benar
alasan gurunya, kenapa ia masih membiarkan saja orang itu.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu pun dengan tenang meninggalkan kedua orang itu. Yang seorang sudah
diikatnya erat-erat, dan tidak akan dapat lolos lagi, sedang yang seorang masih
terlampau lemah untuk meninggalkan tempatnya.
Sejenak kemudian, maka Agung
Sedayu pun keluar dari tempat itu dan kembali kepada kedua orang kawan-kawannya
yang masih duduk di tempatnya. Keduanya duduk dengan tegangnya, tetapi keduanya
tidak bercakap-cakap sama sekali.
Baru ketika mereka melihat
Agung Sedayu, salah seorang bertanya, “Bagaimana dengan kita?”
“Kita akan duduk-duduk di sini
untuk beberapa lama. Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa pun hari ini?”
“Apa yang akan kita kerjakan
hari ini?”
“Tidak apa-apa. Kita duduk-duduk
di sini. Kalau kita lapar, di dapur ada nasi cukup banyak.”
“Nasi?”
“Ya, nasi. Apakah kalian tidak
melihat? Kita mengharap bahwa mereka yang bertugas untuk menyediakan makan akan
segera kembali dan dapat membungkus nasi seperti biasanya. Kalau tidak, kita
akan kelaparan hari ini.”
Kedua orang itu tidak
menyahut.
“Kalau mereka menyadari
keadaan, maka seorang demi seorang pasti akan segera datang.”
Kedua kawannya masih tetap
berdiam diri.
“Marilah, kita duduk di
serambi depan. Di sini udaranya terlampau panas.”
Keduanya sama sekali tidak
menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu melangkah keluar, keduanya mengikutinya di
belakang.
Ketika Agung Sedayu sudah
hilang di balik pintu, tanpa sesadamya, beberapa orang di dalam barak itu
menarik nafas dalam-dalam. Mereka merasa seolah-olah tekanan yang menyesak di
dalam dada mereka sudah mulai mengendor, meskipun mereka masih tetap dicengkam
oleh ketakutan dan kecemasan.
Di serambi depan, Agung Sedayu
duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Desisnya, “Desir angin
membuat aku mengantuk.”
“Jangan tidur,” tiba-tiba
seorang kawannya menyahut.
“Kenapa?”
Sejenak ia terdiam, namun
kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa-apa.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Bangunkanlah kalau aku tertidur. Semalam suntuk aku hampir tidak
memejamkan mata sama sekali.”
Keduanya tampak ragu-ragu.
Tetapi mereka pun menganggukkan kepalanya.
Agaknya Agung Ssdayu yang
kemudian memejamkan matanya itu, dapat menimbulkan kesan tersendiri. Anak muda
itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ketakutan dan kecemasan. Bahkan begitu
mudahnya ia memejamkan mata meskipun barangkali tidak segera jatuh tertidur.
Sementara itu, Kiai Gringsing
yang telah selesai mengubur dukun yang terbunuh itu pun terpaksa mengantarkan
kembali beberapa orang yang pergi bersamanya dari barak. Sedang Swandaru
ditinggalkannya mengawani para pengawas yang masih belum sembuh dari kelelahan
dan kesakitan.
“Tidak akan ada apa-apa untuk
sementara,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawas dan Swandaru. “Tetapi
kalau terjadi sesuatu, panggil aku dengan tengara, kentongan, atau apa saja.”
“Baiklah,” jawab pemimpin
pengawas yang masih berbaring di amben bambu di dalam gardunya.
Kiai Gringsing pun kemudian
bersama-sama dengan beberapa orang berjalan kembali ke barak. Tetapi Kiai
Gringsing sengaja menempuh jalan melingkar. Katanya, “Kalau ada di antara
mereka yang bersembunyi melihat kita berjalan dari gardu pengawas,
mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa keadaan telah berangsur baik.”
Kawan-kawannya yang berjalan
bersamanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab,
“Tetapi apakah mereka akan melihat kita?”
“Mudah-mudahan. Mereka akan
keluar dari persembunyian mereka, setelah sekian lama duduk di bawah
gerumbul-gerumbul yang lebat dan di atas tanah yang lembab. Barangkali mereka
menjadi jemu digigit nyamuk dan semut merah. Tetapi karena mereka masih belum
berani keluar dari pinggir hutan, mereka pasti hanya mengintip saja.”
Orang-orang yang berjalan
bersama Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah bahwa memang
satu dua orang yang sedang bersembunyi melihat Kiai Gringsing berjalan bersama
beberapa orang menuju ke barak mereka. Dengan ragu-ragu mereka mengikuti saja
dengan tatapan mata yang suram. Sekali-kali mereka berdesah, dan mereka yang
bersembunyi dua tiga orang bersama-sama, saling berpandangan sejenak. Tetapi
mereka masih tetap saja berdiam diri.
Ternyata Kiai Gringsing
membawa mereka berjalan lewat bekas arena perkelahian. Dengan tengkuk yang
meremang, orang-orang itu melihat pengawas yang berkumis itu masih terbujur di
tempatnya,
“Tidak ada seorang pun yang
dapat menyentuhnya hari ini,” berkata Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan besok kita
dapat menguburkannya.”
Orang-orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bukankah kalian sudah
melihat, bahwa tidak akan ada apa-apa lagi untuk sementara?”
“Tetapi. Tetapi,” salah
seorang dari mereka menjawab, “bagaimana dengan orang yang tinggi kekar, dan
orang yang kekurus-kurusan itu?”
“Mereka ada di dapur. Mereka
sudah menjadi jinak,” jawab Kiai Gringsing. “Apakah kalian akan bertemu dengan
mereka?”
Tetapi agaknya orang-orang itu
sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengan kedua orang itu. Apalagi
membantu mengawasi mereka. Bagi mereka memang lebih baik ikut dengan orang tua
itu menguburkan mayat yang sudah pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa.
“Siapakah yang kemudian pergi
mengawani anak muda itu?” mereka pun bertanya di dalam hati, karena Kiai
Gringsing memang sudah memberitahukan sebelumnya, bahwa beberapa orang nanti
akan diajak oleh seorang anaknya menunggui kedua orang itu.
Namun demikian, perlahan-lahan
Kiai Gringsing berhasil menumbuhkan ketenangan di hati orang-orang yang
ketakutan itu. Meskipun untuk beberapa saat lamanya, mereka pasti masih selalu
dipengaruhi oleh perasaan takut dan ngeri.
Sejenak kemudian, mereka pun
melintasi sebuah tempat terbuka yang agak panjang. Tempat yang sudah bersih
dari pepohonan hutan, yang sedianya akan dipergunakan menjadi tanah pekarangan.
Tetapi karena orang-orang di tempat itu selalu dibayangi oleh ketakutan, maka
rencana itu masih belum dapat dilakukan.
Apalagi saat itu, daerah yang
terbuka itu benar-benar seperti kuburan. Sepi. Tidak ada sesosok tubuh pun yang
tampak melintas, selain Kiai Gringsing dan orang-orang yang mengikutinya.
Beberapa buah rumah yang sudah jadi pun seakan-akan seperti cungkup-cungkup
yang sepi.
Namun di belakang mereka,
beberapa orang yang bersembunyi di pinggir-pinggir hutan pun segera mengikuti.
Bahkan beberapa orang berlari-lari dan menggabungkan diri pada iring-iringan
kecil itu, sehingga tampaknya semakin lama menjadi semakin panjang.
Perasaan mereka menjadi
semakin tenang, ketika mereka sudah berada di barak. Mereka segera duduk di
tempat masing-masing dengan nafas yang tertahan-tahan. Beberapa orang kemudian
menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan sukur di dalam hati, bahwa mereka
tidak ikut serta menjadi korban pertentangan yang tiba-tiba saja terjadi.
“Nah,” bertanya Kiai
Gringsing, “siapakah di antara kalian yang mendapat tugas di dapur hari ini?”
Beberapa orang saling
berpandangan.
“Siapa? Sayang bahan-bahan
yang telah masak di dapur. Dan bukankah kita hari ini memerlukan makan pula?”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah,” ajak Kiai
Gringsing, “kita pergi ke dapur. Yang bertugas kami harapkan untuk melakukan
tugasnya seperti biasa. Semua persoalan yang terjadi, anggaplah sudah selesai
untuk sementara.”
Meskipun masih belum ada yang
menyahut, tetapi Kiai Gringsing sudah melihat kesanggupan pada beberapa wajah
di antara mereka. Karena itu katanya kemudian, “Marilah, siapa yang akan
membantu menyelesaikan makan kita, ikutlah aku. Yang lain kami harap tinggal di
sini sambil menunggu rangsum yang nanti akan segera kami kirimkan, meskipun
seandainya hanya sekedar nasi dengan garam atau dengan sambal kelapa.”
Kiai Gringsing menunggu
sesaat. Kemudian ia pun melangkah keluar barak itu. Beberapa orang pun kemudian
bergeser dari tempatnya. Ketika seseorang berdiri, maka beberapa orang yang
lain pun telah berdiri pula dan mengikuti langkah Kiai Gringsing pergi ke barak
yang lain. Mereka sebagian adalah orang-orang yang memang bertugas di dapur
hari ini, yang seharusnya dibantu oleh beberapa orang perempuan.
Jalan setapak yang
menghubungkan kedua barak itu yang biasanya di siang hari sering dilalui
orang-orang yang pergi hilir-mudik, masih juga terlampau sepi. Tidak ada
seorang pun yang berani berjalan sendiri, meskipun suasana sudah menjadi
semakin tenang.
Di serambi depan barak yang
lain, Agung Sedayu masih saja duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan
kakinya. Bahkan sekilas ia terlena oleh kelelahan. Sedang kedua kawannya yang
duduk di sampingnya, seakan-akan sedang menungguinya. Menunggui anak-anak yang
baru saja dapat tertidur setelah bermain-main sehari penuh.
Agung Sedayu terperanjat
ketika salah seorang kawannya itu tiba-tiba menggamitnya sambil berkata, “He,
lihat. Mereka sudah datang?”
“Siapa?” bertanya Agung
Sedayu.
Namun setelah menggosok
matanya yang kemerah-merahan, ia pun segera melihat bahwa yang datang adalah
gurunya bersama beberapa orang yang lain.
“Kenapa mereka kemari?” desis
kawan Agung Sedayu yang lain.
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya, “Entahlah. Tetapi mereka tampaknya sudah berhasil mengatasi
ketakutan mereka. Lihatlah, wajah-wajah mereka sudah menjadi bening.”
Kedua kawan Agung Sedayu itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing pun sudah ada di serambi itu pula. Sambil tersenyum ia berkata,
“Inilah beberapa orang yang akan membantu menyelenggarakan rangsum kita hari
ini. Apakah ada beberapa orang perempuan yang siap membantu pula?”
“Aku belum menanyakannya.
Tetapi kalau dapur itu sudah dipanasi oleh perapian, aku rasa mereka pun akan
segera melakukannya,” jawab Agung Sedayu.
“Baiklah. Silahkanlah. Kami
akan tetap tinggal di sini menunggu lauk masak. Apa pun wujudnya.”
Beberapa orang pun kemudian
pergi ke dapur. Mereka membenahi beberapa macam alat yang masih berserakan.
Beberapa orang perempuan kemudian telah berani bangkit dari tempatnya dan masuk
dengan ragu-ragu ke dalam dapur. Dengan hati yang berdebar-debar mereka
memandang dinding pintu yang diselarak oleh Agung Sedayu. Kepada laki-laki yang
ada di dalam dapur itu, mereka berdesis lambat sekali, “Jangan membuka pintu
itu.”
“Kenapa?”
“Di situlah kedua orang itu
bersembunyi.”
“O, bukankah mereka tidak
bersembunyi? Orang tua dan anaknya itu sudah mengetahuinya, bahwa mereka ada di
dalam.”
Perempuan itu tidak menyahut.
Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tatapan mata mereka,
masih membayangkan kecemasan.
Seorang laki-laki yang ingin
disebut lebih berani dari kawan-kawannya melangkah mendekati pintu yang
diselarak itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ia pun bertanya
kepada seorang perempuan, “Kenapa diselarak dari luar?”
Perempuan itu menggelengkan
kepalanya. Namun perempuan yang lain berdesis, “Aku mendengar mereka
bertengkar.”
“Siapa?”
“Anak muda itu. Tetapi aku
tidak tahu apa yang dipertengkarkan. Dari dalam barak, suara mereka tidak jelas
terdengar.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mendekati pintu, seolah-olah
ingin meyakinkan apakah pintu itu benar-benar tidak dapat lagi dibuka dari
dalam. Kemudian berlagak seperti seorang yang menyaksikan kerja bawahannya, ia
mengangguk-angguk sambil berdesis lambat, “Baik. Baik. Selarak itu sudah mapan.
Aku kira, mereka tidak akan dapat membuka lagi dari dalam.”
Dengan demikian maka
orang-orang yang bekerja di dapur itu merasa semakin tenang. Di dalam bilik
tertutup itu sama sekali tidak terdengar suara apa pun. Agaknya orang-orang
yang ada di dalam sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Karena itu, maka sebentar
kemudian bau masakan sudah mulai memenuhi dapur. Perlahan-lahan oleh kesibukan
masing-masing, mereka hampir melupakan peristiwa yang sudah mencengkam jantung
mereka. Kini mereka disibukkan oleh air yang sudah mendidih, santan yang harus
dituang, kemudian dedaunan yang sedang direbus, sedang yang lain menyiapkan daun
pisang untuk membungkus nasi yang akan dibagikan sebagai rangsum orang-orang
yang ada di barak dan para pengawas.
Kiai Gringsing dan Agung
Sedayu yang masih duduk di serambi depan, merasa bahwa usaha mereka sudah
sebagian berhasil. Perempuan-perempuan di dalam barak itu pun sudah tidak lagi
dibayangi oleh wajah-wajah yang gelap, penuh ketakutan dan kecemasan.
“Aku akan kembali ke gardu
pengawas,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan menunggui barak ini.
Menunggu nasi masak.”
“Kalau nasi masak jangan lupa,
bawa rangsum kami ke gardu itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Baiklah.”
“Tetapi, aku ingin melihat
orang-orang itu sejenak.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang?” ia bertanya.
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan melihatnya
sejenak sekarang.”
“Aku telah mengikatnya. Mereka
selalu berusaha melarikan diri dengan membuka dinding,” desis Agung Sedayu
perlahan-lahan sekali.
“Keduanya?”
“Orang yang tinggi kekar. Yang
seorang masih terlampau lemah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit dan
berkata, “Aku akan melihatnya sekarang.”
Agung Sedayu kemudian bangkit
pula dan mengikutinya. Beberapa orang memandangi keduanya dengan sorot mata
yang memancarkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu
tidak terucapkan.
Diiringi oleh agung Sedayu,
maka Kiai Gringsing segera masuk ke dalam dapur. Ia menjadi ragu-ragu ketika ia
melihat orang-orang di dalam dapur itu sedang sibuk. Kalau terjadi sesuatu,
maka hal itu pasti akan mengganggu. Karena itu, Kiai Gringsing tidak langsung
masuk ke dalam bilik yang tertutup itu. Bersama Agung Sedayu ia berputar-putar
sejenak di dalam dapur, melihat-lihat berbagai macam masakan yang sedang
dipanasi. Namun kemudian mereka berdua sampai pada dinding yang memisahkan
bilik kecil itu.
Sejenak mereka berdua berdiri
sambil berdiam diri. Namun sejenak kemudian, tampak kening Kiai Gringsing
menjadi berkerut. Perlahan-lahan ia berbisik kepada Agung Sedayu, “Kau
menangkap sesuatu yang tidak wajar di dalam bilik kecil itu?”
Agung Sedayu tidak segera
menyahut.
“Kau mendengar sesuatu di
dalam?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menggeleng,
“Tidak.”
“Justru tidak itulah, aku
menjadi curiga.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya, “Ya,” katanya di dalam hati, “aku justru tidak mendengar sesuatu.
Tarikan nafas pun tidak.”
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun ia tidak berkata apa
pun juga. Meskipun demikian wajahnya tampak menjadi tegang.
“Apakah kita melihat
sekarang?” bertanya Agung Sedayu.
“Tunggu. Justru ada sesuatu
yang kurang wajar, aku tidak ingin membuka pintu ini. Aku tidak mau mengganggu
kerja yang sudah mulai lancar.”
“Lalu?”
“Marilah kita melihatnya dari
luar.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian mengikuti gurunya melangkah
keluar dapur dan kemudian turun ke halaman. Dengan tanpa menarik perhatian
mereka segera melingkar lewat di sebelah barak itu langsung pergi ke belakang,
ke bagian luar dari bilik kecil di sebelah dapur.
Belum lagi mereka sampai,
mereka telah melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebuah dinding di sudut
bilik itu ternyata telah terbuka.
“Guru,” desis Agung Sedayu.
“Marilah kita lihat,” sahut
gurunya sebelum Agung Sedayu selesai berbicara.
Keduanya pun kemudian dengan
tergesa-gesa mendekati dinding yang ternyata sudah terbuka itu.
Sejenak mereka berdiri
termangu-mangu di muka dinding yang terbuka itu. Namun telah merayap di dalam
hati mereka, bahwa yang tidak mereka harapkan itu sudah terjadi. Orang-orang
yang mereka anggap sudah tidak akan dapat melarikan diri itu, ternyata berhasil
membuka dinding bambu.
“Marilah kita melihatnya,”
desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
Perlahan-lahan, Kiai Gringsing
mendekati lubang sudut dinding itu. Perlahan-lahan pula ia berjongkok dan
membuka dinding itu semakin lebar. Setelah ia yakin tidak ada bahaya apa pun,
maka ia pun segera menyuruk masuk ke dalamnya dengan hati-hati.
Agung Sedayu yang masih
berdiri di luar menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia mendapat
isyarat dari gurunya, agar ia pun masuk pula ke dalamnya.
Seperti gurunya, Agung Sedayu
pun menyuruk pula masuk. Tetapi begitu ia berdiri di dalam bilik itu, matanya
tiba-tiba terbelalak.
Dilihatnya orang yang tinggi
kekar, yang diikatnya dengan tampar lulup itu, ternyata telah tidak bernyawa
lagi. Sedang orang yang kekurus-kurusan, yang di anggapnya masih terlampau lemah,
telah tidak ada di dalam bilik yang pengap itu.
Terasa dada Agung Sedayu
bergetar dahsyat sekali. Ia merasa bahwa ia sudah salah hitung. Ternyata bahwa
ia kali ini tidak berbuat tepat atas kedua orang itu.
Tetapi ketika Agung Sedayu
akan membuka mulutnya, gurunya berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di
muka bibirnya. Kemudian ia berbisik, “Hati-hatilah. Jangan merusak suasana.
Orang-orang di dapur itu sudah mulai tenang. Kalau mereka tahu apa yang terjadi
di sini, mereka akan segera menjadi gelisah dan ketakutan.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Karena itu, maka ia pun bertanya perlahan-lahan sekali, “Kenapa
orang itu mati, Guru?”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut. Didekatinya orang yang tinggi kekar, yang ternyata memang sudah tidak
bernyawa lagi itu.
“Ia mati lemas,” berkata
gurunya, “pernafasannya agaknya telah tersumbat.”
“Maksud Guru, apakah karena ia
terikat, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kemungkinan pernafasannya
terganggu itu?”
Gurunya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Ia masih sempat menggelengkan kepalanya. Tetapi pasti
sudah terjadi sesuatu. Orang yang kekurus-kurusaan itu ternyata telah pergi.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya.
“Bagaimana pendapatmu tentang
orang itu?”
“Menurut dugaanku, ia masih
terlampau lemah, Guru.”
“Apakah yang telah
diperbuatnya ketika kau mengikat orang ini?”
“Tidak apa-apa. Ia berbaring
saja. Aku kira ia sama sekali sudah tidak sempat berbuat apa-apa.”
“Itulah kelebihannya. Dengan
demikian, maka kita memang telah salah hitung. Aku pun menyangka bahwa ia masih
terlampau lemah. Tetapi kini aku berpikir lain. Ia sengaja membuat dirinya
demikian, sehingga menumbuhkan kesan, bahwa ia masih terlampau lemah dan tidak
mampu berbuat apa-apa.”
“Jadi?”
“Ia sudah berhasil mengelabuhi
kita. Orang itu telah melarikan diri.”
“Tetapi bagaimana dengan orang
ini? Kenapa ia tidak berusaha melepaskan ikatannya dan membawanya pergi?
Bukankah orang ini justru masih lebih kuat dari padanya?”
“Begitulah tampaknya. Tetapi
aku kira, orang yang kekurus-kurusan itu menganggap peran orang ini sudah
selesai, ia tidak memerlukannya lagi, sehingga karena itu, maka orang ini telah
dibunuhnya. Kau telah membantunya dengan mengikat tangan dan kakinya.”
“Aku tidak sengaja.”
“Ya. Kau memang tidak sengaja.
Kau memang tidak bersalah. Tetapi hal itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya.
Ia tinggal menutup lubang pernafasannya saja, sehingga kawannya itu akan mati
lemas.”
Agung Sedayu menggeretakkan
giginya. Desisnya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu.”
Tetapi gurunya menggelengkan
kepalanya, “Jangan kau. Kau masih terlampau muda untuk menjelajahi hutan ini.”
“Meskipun ia berhasil keluar
dan tempat ini, tetapi ia pasti belum begitu jauh.”
“Mungkin, tetapi kita tidak
tahu dengan pasti, isi dari hutan belantara di sekitar tempat ini.”
“Jadi, apakah kita akan
membiarkan orang itu pergi?”
“Aku akan mencarinya. Tetapi
seandainya tidak aku ketemukan, apa boleh buat. Namun itu berarti bahwa kita
harus lebih berhati-hati, dan kita harus lebih cepat lagi menghubungi Ki Gede
Pemanahan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Para pengawas itu akan
menjadi segera baik kembali. Mereka akan pergi bertiga menemui Ki Gede
Pemanahan atau puteranya. Biarlah pemimpin pengawal dan kita bertiga di sini
mengambil alih untuk sementara tugas-tugas itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, biarlah aku mencarinya
sekarang. Namun meskipun aku menemukannya itu bukan berarti, bahwa kita dapat
melepaskan kewaspadaan. Ternyata daerah ini benar-benar telah dikelilingi oleh
suatu kelompok yang belum kita ketahui dengan pasti, maksud dan tujuannya.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
“Mudah-mudahan aku dapat
menemukan orang itu. Aku kira ia memang belum terlampau jauh dari tempat ini.
Tetapi aku masih harus mencari arah yang tepat untuk menemukannya.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Namun angan-angannya melambung ke segenap
penjuru. Terbayang di rongga matanya, orang yang lemah itu berjalan
tertatih-tatih menyuruk di antara semak-semak yang rimbun. Namun usaha untuk
melarikan diri itu benar telah menyakitkan hatinya.
“Guru,” berkata Agung Sedayu
kemudian, “apakah aku diperkenankan ikut mencari orang itu?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Kau tinggal di sini. Orang-orang itu harus tetap tenang. Kalau mereka
dihinggapi lagi oleh ketakutan, maka mereka hanya akan menyusahkan saja.
Usahakan agar mereka tetap bekerja di dapur, dan agar makan dapat dikirim ke
barak dan gardu pengawas.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan pergi sekarang.
Kalau ada kesempatan, beritahu adikmu, supaya ia tidak menunggu. Beritahukan
kepadanya apa yang sudah terjadi. Para pengawas memang perlu mengetahui, tetapi
orang lain tidak. Maksudku, tidak sekarang. Mungkin nanti atau kapan saja, mereka
pun perlu mengetahuinya.”
“Ya, Guru.”
“Kembalilah ke dapur. Kau
harus berlaku seperti orang-orang kebanyakan untuk sementara, meskipun mereka
sudah melihat kelebihanmu.”
“Ya, Guru.
“Hati-hatilah, aku akan
pergi.”
“Tetapi, apakah guru tidak
makan lebih dahulu? Aku kira semuanya sudah masak.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ditepuknya bahu Agung Sedayu sambil
berkata, “Ah, kenapa kau bertanya begitu? Kalau orang-orang di dapur itulah
yang bertanya kepadaku, itu sama sekali tidak aneh. Tetapi sekarang kau yang
bertanya tentang makan itu. Apakah aku belum pernah mengatakan kepadamu bahwa
aku pernah berpuasa sampai enam bulan penuh dan hanya sekedar makan seadanya di
sore hari? Kalau aku berbicara tentang nasi masak, lauk–pauk, dan rangsum
barangkali kau tahu maksudnya.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ternyata kadang-kadang ia masih
salah menangkap maksud gurunya. Sambil mengangguk-angguk keeil ia berdesis,
“Ya, agaknya Guru ingin membuat kesan bahwa semuanya sudah tenang, dan
membelokkan perhatian orang-orang ini.”
Sekali lagi Kiai Gringsing
menepuk pundak Agung Sedayu. Kemudian ia berkata pula, “Sudahlah. Tungguilah
mereka. Ikutlah dengan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Aku akan
mencoba mencari jejak orang yang hilang ini. Yang sebenarnya berbahaya bukan
orang yang aku cari itu sendiri, tetapi apa yang akan dikerjakannya kemudian.”
“Baik, Guru.”
“Sekarang, marilah kita keluar
dari tempat ini. Jangan kau sentuh dahulu mayat itu, supaya tidak menumbuhkan
kekacauan di ruang sebelah. Biarlah ia di tempatnya. Nanti apabila kita sudah
mendapatkan waktu yang tepat, baiklah kita selenggarakan sebagaimana
seharusnya.”
Agung Sedayu hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia pun kemudian mengikutinya, ketika
gurunya keluar dari bilik yang sempit itu.
Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing sudah mulai melihat-lihat jejak yang barangkali dapat menunjukkan,
kemana orang yang kekurus-kurusan itu pergi.
Ternyata rerumputan liar di sekitar
barak itu telah menolongnya. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak
sempat menghapus jejaknya. Rerumputan yang patah oleh injakan kakinya segera
dapat dilihat oleh Kiai Gringsing.
“Agung Sedayu,” katanya,
“untuk sementara aku dapat menemukan jejaknya. Aku akan mencoba mengikutinya.
Tetapi apabila ia sempat masuk ke hutan, maka pencaharian itu akan menjadi
semakin sulit. Meskipun begitu, aku akan mencoba mencarinya sehari ini. Kalau
aku gagal hari ini, aku akan menghentikannya.”
“Baiklah, Guru. Aku akan
berada di tengah-tengah mereka yang sedang bekerja di dapur itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya, mengikuti
jejak orang yang kekurus-kurusan.
Dari jejak itu Kiai Gringsing
dapat menduga bahwa orang itu pasti masih terlampau lemah. Kadang ia melihat
bekas kaki yang diseret di atas rerumputan.
“Mudah-mudahan orang itu masih
belum terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun sudah
jelas baginya, bahwa jejak itu menuju langsung ke dalam hutan belukar yang
masih belum digarap.
Kiai Gringsing pun kemudian
berhenti sejenak ketika ia sudah sampai di tempat yang liar, rerumputan
alang-alang, dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Ditatapnya daerah di
sekelilingnya dengan seksama, kemudian dipandanginya hutan yang lebat, beberapa
ratus langkah lagi di hadapannya.
“Orang itu pasti masuk ke
sana,” desisnya. Tetapi gerumbul-gerumbul liar, pohon-pohon perdu, dan bahkan
batu-batu besar, akan dapat menjadi tempat persembunyian yang baik.
Tetapi Kiai Gringsing masih
belum kehilangan jejak. Semakin tinggi batang-batang ilalang, semakin jelas
jejak itu pergi ke mana.
Sesekali Kiai Gringsing
melihat jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Tetapi ia masih dapat menemukan
jejak kelanjutannya, sehingga Kiai Gringsing masih berjalan mengikutinya. Dan
bahkan semakin jelas, bahwa orang itu telah masuk ke dalam hutan.
Kiai Gringsing tidak dapat
menganggap tugas itu dapat dikerjakan sambil lalu saja. Mungkin orang yang
kekurus-kurusan itu sendiri memang sudah tidak berbahaya, tetapi apa yang
berada di dalam hutan yang lebat itu merupakan suatu rahasia baginya. Rahasia
yang tidak mudah dapat dipecahkannya. Seolah-olah ia harus berjalan dan
meraba-raba di dalam gelap yang pekat.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
mengurungkan niatnya, ia tetap ingin mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan
itu. Ia ingin lebih hanyak tahu tentang keadaan yang sebenarnya, di sekitar
daerah pembukaan hutan ini.
Persoalan yang selama ini
menarik perhatiannya adalah ketakutan orang-orang di dalam barak dan bahkan
para pengawas terhadap hantu-hantu. Kemudian peristiwa yang timbul
berturut-turut di saat-saat terakhir. Namun dalam pada itu, bagi Kiai Gringsing
tidak lagi dapat memisah-misahkan, hantu-hantu yang menakutkan itu dengan
tindakan-tindakan, perbuatan-perbuatan orang-orang yang terpaksa mengorbankan
dirinya.
Demikianlah, maka dengan penuh
kewaspadaan, Kiai Gringsing bergerak maju mengikuti jejak kaki di atas
rerumputan. Semakin lama semakin dekat dengan hutan yang lebat.
“Apakah orang kekurus-kurusan,
yang telah terluka itu, tidak takut memasuki hutan yang liar itu?” bertanya
Kiai Gringsing kepada diri sendiri, “dalam keadaan itu, maka ia pasti tidak
akan dapat berbuat apa-apa seandainya ada seekor harimau lapar yang menjumpainya.”
Tetapi ternyata orang itu
telah memilih bersembunyi ke dalam hutan yang lebat itu. Agaknya menurut
perhitungannya, ia lebih baik bertemu, dan kalau perlu membuat perhitungan
dengan biatang buas daripada dengan manusia, jenisnya sendiri.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Memang pada suatu saat, seseorang lebih
merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari manusia lainnya,
meskipun ada kemungkinan ia harus berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada
suatu saat, memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan bagi manusia
lainnya dari segala jenis makhluk yang lain, termasuk binatang yang paling buas
sekalipun. Demikian juga agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia
saat ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusia-manusia
tertentu yang memang ingin menangkapnya.”
Kiai Gringsing pun kemudian
tertegun sejenak, ketika ia telah sampai di tempat yang mulai rimbun. Beberapa
batang pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat bertebaran di
sana-sini, di antara batang-batang ilalang setinggi dada.
Dengan demikian Kiai Gringsing
menjadi semakin berhati-hati. Setiap saat ia memperhatikan keadaan di
sekelilingnya. Bukan saja binatang buas, tetapi mungkin bahaya-bahaya yang lain
telah mengancamnya pula.
Sampai di tempat yang mulai
rimbun itu, Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat bekas
kaki yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat. Bahkan di beberapa
tempat, ia melihat orang yang diikutinya itu beristirahat. Bekas-bekas
rerumputan yang berpatahan menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang
kekurus-kurusan itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas rerumputan
liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing
memperhitungkan bahwa orang itu masih belum terlampau jauh di hadapannya.
Bahkan, mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya.
Dengan demikian, Kiai
Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Banyak kemungkinan yang dihadapinya di
balik rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan.
Langkah Kiai Gringsing pun
menjadi semakin perlahan-lahan. Ia mencoba mempergunakan segenap inderanya
untuk memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang disentuh angin,
atau derik ranting-ranting yang patah.
Dada Kiai Gringsing berdesir
ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara
burung kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya. Di tempat
Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing
menangkap irama yang berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya.
Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak terus seperti yang
pernah didengarnya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa suara burung itu,
bukanlah suara burung yang sewajarnya. Ia mencoba menarik hubungan antara suara
burung yang yang sering didengarnya dengan suara burung yang kini sedang
melengking hampir tidak putus-putusnya dalam irama yang berbeda.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
itu melangkah terus. Ia kini ingin melihat, siapa atau apakah yang telah
menimbulkan bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih, atau sama
sekali bukan seekor burung.
Dengan dada yang
berdebar-debar Kiai Gringsing berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi
itu. Ia harus menjaga langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi juga
pernafasannya.
Sekali lagi Kiai Gringsing
tertegun. Di kejauhan ia mendengar pula suara burung kedasih. Mirip dengan
suara yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan. Bahkan seolah-olah
suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.
“Akhirnya menjadi semakin
jelas,” desisnya, “usaha membuka hutan ini memang menghadapi tantangan yang
berat. Ternyata ada suatu kekuatan yang tersusun rapi dan luas, yang membayangi
usaha perluasan Tanah Mataram.”
Namun Kiai Gringsing tidak
dapat membayangkan apakah usaha untuk merintangi perluasan Tanah Mataram ini
hanya terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh medan kerja dari
rencana pembukaan hutan Mentaok ini?
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun menjadi semakin dekat dengan sumber bunyi yang menyerupai suara burung
kedasih itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas karenanya. Sedang di
kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain, yang seolah-olah sedang menjawab
keluhan yang memelas dari suara burung yang semakin dekat ini.
“Suatu cara yang baik,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “isyarat yang tidak mudah diketahui
oleh orang lain.”
Dengan demikian Kiai Gringsing
kini mempunyai dua petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas kaki yang menjadi
semakin samar karena semak-semak yang menjadi rimbun dan pepohonan kian lebat,
dan suara burung kedasih itu. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum yakin,
bahwa ada hubungan yang erat antara suara burung itu dengan orang yang
kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah membunuh kawannya, orang yang
tinggi kekar, yang sedang diikat oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing masih harus melihat dan membuktikan apakah sebenarnya yang sedang
dihadapinya.
Demikianlah, perlahan-lahan ia
bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini
seakan-akan sudah berada di depan hidungnya.
Dalam pada itu suara burung
kedasih yang lain pun, rasa-rasanya menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan
kedua bunyi itu sedang berusaha saling mendekati.
Dengan menahan nafasnya, Kiai
Gringsing menyusup ke dalam semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan
yang semakin lebat. Suara itu sudah terlampau dekat daripadanya.
Kiai Gringsing tertegun
sejenak. Dadanya berdesir ketika ia menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia
melihat dengan sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama sekali
bukan suara seekor burung. Di balik sebatang kayu yang besar, ia melihat dengan
jelas seseorang bersandar dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia
tengah menirukan suara burung kedasih yang seakan-akan sedang mengeluh. Dan
orang itu adalah orang yang kekurus-kurusan yang badannya dipenuhi oleh
luka-luka bekas ujung cambuk Swandaru.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ternyata orang itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah pada
keadaan. Meskipun tubuhnya sudah terlampau lelah, namun ia masih juga berusaha
untuk melarikan diri dan menghubungi kawan-kawannya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing
tidak segera bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin
melihat apa yang akan segera terjadi. Ia mengharap seseorang, yang menyambut
dengan suara burung kedasih itu pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong
kawannya yang terluka ini.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun dengan hati-hati sekali berusaha pula untuk mendapat tempat yang
mapan, yang dengan agak mudah dapat mengintip orang yang kini sedang bersandar
dengan lemahnya pada sebatang pohon besar.
Dengan dada yang berdebar-debar,
Kiai Gringsing pun menunggu. Seperti orang yang kekurus-kurusan itu, maka
terasa waktu berjalan dengan lambatnya. Dengan gelisah, setiap kali orang itu
menirukan suara burung kedasih, yang selalu disahut oleh suara yang lain, yang
terdengar semakin lama menjadi semakin dekat.
“Mudah-mudahan aku dapat
menemukan mereka,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau seseorang
datang, aku berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak keterangan
tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia bagi orang-orang yang sedang
membuka hutan ini. Tetapi aku sama sekali masih belum dapat menilai, berapa
banyak dan berapa tinggi kemampuan mereka.”
Kiai Gringsing menjadi semakin
berhati-hati, ketika ia mendengar suara burung kedasih itu semakin dekat. Semakin
lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian hampir tidak dapat menarik
nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang muncul dari balik
semak-semak.
Kiai Gringsing terkejut
melihat orang itu. Orang itu adalah dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang
mengaku dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas Mentaok.
Sejenak Kiai Gringsing
terpesona. Agaknya memang ada suatu kumpulan orang-orang yang telah menyusun
dirinya dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya sendiri di
tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di lingkungan pengawas, di
lingkungan pendatang dan bahkan dukun itu yang menampung persoalan-persoalan
yang tidak dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan masing-masing.
Dengan penuh minat Kiai
Gringsing memperhatikan, apa yang akan terjadi di hadapannya. Karena itu, maka
ia pun berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa pun yang akan dapat
mengganggu pertemuan itu.
“Hem,” dukun itu menarik nafas
dalam-dalam, “ternyata kau tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik.”
Orang yang kekurus-kurusan itu
menyahut, “Maaf. Bukan aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan
orang-orang gila yang harus diperhitungkan.”
“Kenapa kau?” bertanya dukun
itu.
“Aku tidak dapat melawan
senjata anak muda yang gemuk itu. Anak Truna Podang.”
“Anak yang menurut keterangan,
bernama Sangkan itu?”
“Ya. Tetapi aku kemudian
pasti, bahwa itu bukan namanya. Seperti Truna Podang itu pun pasti bukan
namanya pula.”
Dukun itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Apakah kau sudah berusaha sebaik-baiknya?”
“Tentu. Bahkan semua orang di
antara kami sudah bergerak saat itu.”
“Dan kalian tetap tidak
berhasil?”
Orang yang terluka itu
menggelengkan kepalanya, “Aku lemah sekali.”
“Di mana kawan-kawanmu sekarang?”
“Semuanya sudah terbunuh.”
“Semuanya? Juga pengawas itu?”
“Ya.”
“Gila! Bukankah kalian
mempunyai jenis senjata yang tidak dimiliki oleh orang lain? Bukankah kalian
telah dibekali dengan senjata-senjata beracun?”
“Ya. Tetapi kami tidak mampu
melawannya. Dan ternyata racun itu bukan tidak terlawan. Kami sudah
mempergunakan segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna
Podang beserta kedua anak-anaknya.”
Dukun itu mengerutkan
keningnya. Dipandanginya orang yang kekurus-kurusan itu dengan saksama
seolah-olah ia ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu benar.
Sejenak kemudian, ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat luka yang silang-melintang di tubuh
orang yang kekurus-kurusan itu.
“Untunglah bahwa kau masih
hidup,” desis dukun yang bernama Ki Damar itu. “Apakah semua kawan-kawanmu
sudah mati.”
“Ya. Semua sudah mati.”
Dukun itu menggeram., “Dan kau
pun luka-luka parah. Agaknya kau pun hampir mati pula.”
“Ya. Kalau aku dibiarkan
begini untuk tiga hari, barangkali aku memang akan mati. Tetapi kalau kau
mengobati aku, aku akan berusaha untuk bertahan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan mengobatimu. Mungkin kita
masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.”
“Aku masih melihat kemungkinan
itu. Terutama apabila Truna Podang dan kedua anaknya dapat disingkirkan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku sendiri akan menemuinya.
Aku sendiri akan membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi aku kira, kia tidak perlu
lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau pada suatu saat ia bekerja
di tanah garapannya, kita temui saja orang itu. Kita langsung membunuhnya.
Menusuk perutnya dengan pedang. Begitu?”
“Tetapi tidak semudah itu. Ia
mampu berkelahi. Kedua anak-anaknya adalah anak-anak muda yang berbahaya. Aku
tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya.”
“Aku tidak akan sendiri. Aku
akan datang dengan dua atau tiga orang, sehingga aku yakin bahwa aku akan dapat
membunuhnya.”
“Terserahlah. Sekarang, aku
memerlukan pertolongan.”
“Baiklah aku akan membawamu ke
gubugku.”
“Tetapi, aku sudah tidak mampu
lagi berjalan sendiri.”
“Apakah aku harus
mendukungmu?”
“Tidak perlu. Tetapi kau harus
membantu aku berjalan.”
“Baiklah, beruntunglah kau
bahwa aku tidak memutuskan untuk membunuhmu saja daripada kau menambah tugas
tanpa arti.”
“Jangan menganggap aku tidak
berarti lagi. Aku dapat banyak memberikan bahan kepadamu, tentang Truna Podang
dan kedua anak-anaknya.”
“Baiklah. Marilah, aku akan
memapahmu.”
Demikianlah, maka Kiai Damar
pun segera berusaha menolong orang yang kekurus-kurusan itu dan memapahnya
berjalan perlahan-lahan.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
yang menunggui keduanya menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera dapat
menentukan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia memutuskan
untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih memerlukannya, untuk mengetahui
hubungan yang lebih luas lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing memperhitungkan,
bahwa Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang lain. Dengan
demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia pada suatu saat akan dapat
menemukan sebagian besar dari anggauta kelompok dari orang-orang yang selama
ini selalu membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan itu.
Dengan demikian maka Kiai
Gringsing masih saja tetap di dalam persembunyiannya. Bahkan ia masih juga
mencoba menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua orang itu.
Dari tempatnya Kiai Gringsing
melihat keduanya berjalan tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat,
menyusup di antara pepohonan dan semak-semak berduri.
Namun Kiai Gringsing itu pun
berkata di dalam hatinya, “Tetapi apakah mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar
yang dahulu? Yang pernah aku datangi?”
Karena itu, maka timbullah
keinginan Kiai Gringsing untuk melihat dan mengikuti ke mana mereka itu pergi.
Demikianlah maka dengan
hati-hati Kiai Gringsing mencoba untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh
Kiai Gringsing dengan hati-hati menyusup pula di antara pepohonan dan meloncat
dari sebatang pohon yang besar ke batang yang lain, mengikuti kedua orang yang
berjalan perlahan-lahan.
“Orang itu termasuk orang yang
kuat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Ia memang pernah menjajagi
kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang kepadanya untuk mendapatkan
obat untuk Swandaru, yang bahkan bersamaan dengan beberapa orang pengawal Tanah
Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-raguan Kiai
Damar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Tetapi apabila mereka harus bertempur
dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar pasti akan dapat berbuat
lebih banyak lagi.
Beberapa saat lamanya, Kiai
Gringsing mengikuti keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar. Gubug yang terpencil di pinggir
hutan yang lebat, di antara batu-batu besar yang berserakan.
“Orang itu pasti mempunyai
suatu cita-cita,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau tidak, ia
pasti tidak akan mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing dan
bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan dengan binatang buas yang
tersesat sampai ke gubugnya.”
Setelah Kiai Gringsing yakin
bahwa kedua orang itu benar-benar berada di dalam gubug itu, maka iapun segera
beringsut menjauh.
“Rumah ini pasti akan menjadi
pusat pertemuan,” katanya di dalam hati. “Orang-orang lain dari lingkungan
mereka, apabila masih ada, pasti akan datang. Setidak-tidaknya malam nanti aku
harus melihat, apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi untuk bertindak
terlampau tergesa-gesa agaknya memang sangat berbahaya sekali. Karena itu aku
harus membuat perhitungan-perhitungan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan
ini.”
Kadang-kadang memang timbul
niat di hati Kiai Gringsing untuk berusaha menangkap keduanya sama sekali.
Tetapi niat itu dapat dicegahnya sendiri oleh perhitungan-perhitungan yang
lebih masak.
“Aku tidak perlu bersusah
payah setiap kali datang mengintip rumah ini,” katanya di dalam hati. “Mereka
akan mencari aku di tempat kerjaku.”
Namun dengan demikian Kiai
Gringsing harus menjadi lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat diserang oleh
Kiai Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya dua atau tiga orang,
sedang orang yang kekurus-kurusan itu telah dapat memberikan gambaran kekuatan
Swandaru dan Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu tentu dapat
mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan orang yang tinggi kekar, yang
justru kini terbunuh di dalam bilik sempit itu, setelah ia menolong orang yang
kekurus-kurusan itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri. Kemudian Agung
Sedayu telah berhasil mengalahkan pula pengawas berkumis yang ternyata adalah
anggauta dari kumpulan mereka pula.
Tanpa sesadarnya Kiai
Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin
jauh dari gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi semakin
cepat pula, menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Ia telah memilih jalan
di antara pepohonan dan perdu seperti pada saat ia datang.
Ketika ia sampai di dapur,
ternyata orang-orang di dapur telah selesai dengan kerja mereka. Mereka telah
membagikan rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung Sedayu-lah yang
mengawal mereka, yang mengirimkan rangsum ke barak yang lain, dan ke gardu
pengawas.
Ketika ia melihat gurunya
datang, segera ia mendapatkannya.
“Bagaimana, Guru?” bisiknya.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya, “Orang itu, orang yang mati di bilik sebelah, harus segera
kita kuburkan.”
“Bagaimana dengan orang yang
kekurus-kurusan itu?”
“Kita menghadapi suatu
lingkungan yang sama sekali tidak mengenal belas perikemanusiaan. Mereka yang
tidak dapat dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti orang yang
tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang menolong orang yang
kekurus-kurusan itu berjalan.”
“Kenapa tidak sebaliknya?
Kenapa bukan orang yang tinggi kekar itulah yang membunuh orang yang
kekurus-kurusan selagi ia tidak berdaya?”
“Agaknya orang yang
kekurus-kurusan itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau melihat
sikapnya terhadap orang yang tinggi kekar itu?”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
“Nantilah aku ceriterakan.
Sekarang, masuklah ke dalam bilik itu lewat belakang. Lepaskan talinya dan kita
akan mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang kawannya yang lain
telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu tidak menimbulkan persoalan baru bagi
orang di barak ini.”
Meskipun demikian, agaknya hal
itu telah menimbulkan kejutan pula bagi orang-orang di barak itu. Mereka untuk
beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan dan kecemasan. Tetapi Kiai
Gringsing telah berhasil mengatasinya dengan berbagai macam cara.
“Sebaiknya orang itu memang
pergi saja. Ia sudah tidak dapat menempatkan diri di antara kita,” berkata Kiai
Gringsing kepada mereka. “Kalau orang yang kekurus-kurusan itu masih ada di
sini, maka ia masih saja dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang tidak kita
inginkan.”
Orang-orang di barak itu
mengangguk-angguk.
“Karena itu,” berkata Kiai
Gringsing, “lupakan saja orang itu.”
“Apakah ia tidak mendendam?”
bertanya salah seorang dari orang-orang di dalam barak itu.
“Tetapi ia tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Ia hanya seorang diri. Kita di sini terdiri dari banyak orang.
Kenapa kita mesti mencemaskannya? Selama ini kita memang tidak pernah berbuat
apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?”
Orang-orang di barak itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang laki-laki yang
masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah
menguburkan mayat itu agak jauh dari barak mereka.
Ketika malam kemudian datang,
barak-barak di pinggir hutan itu agaknya telah dicengkam oleh ketakutan yang
sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk menjelaskan, bahwa malam
itu pasti tidak akan terjadi sesuatu.
Namun, hati yang telah
dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya untuk
menghalaukannya.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing berusaha untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu,
agar mereka menjadi agak tenang. Bahkan para pengawaslah yang dibawanya ke
dalam barak, bersama-sama menjadi suatu kelompok yang sedikit dapat memberikan
ketenangan. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berada di barak yang lain, bersama
perempuan dan anak-anak.
Namun Kiai Gringsing telah
sempat memberitahukan apa yang didengarnya dari Kiai Damar kepada kedua
muridnya, bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila mereka sedang
berada di lapangan kerja mereka.
“Kami akan menunggu,” desis
Swandaru. “Besok kita akan pergi ke tempat kerja itu.”
“Kita harus berhati-hati,
Swandaru,” berkata gurunya. Lalu, “Biarlah besok kita perbincangkan. Malam ini
kita akan beristirakat sebaik-baiknya.”
Kedua anak-anaknya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hal itu tetap menjadi beban pikiran
mereka hampir semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata kepada
Agung Sedayu, “Sudah cukup lama kita berada di sini. Sebaiknya kita segera
menyelesaikan masalah ini. Memang kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah
dengan segala macam tirai yang membosankan ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan
permainan yang mereka lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya
sebenarnya akan lebih senang tinggal di Kademangan Sangkal Putung. Daerah itu
pasti menjadi bertambah ramai setelah keadaan bertambah baik.
Namun tiba-tiba dadanya
berdesir tajam. Sekilas terbayang kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang
bersiaga penuh berada di Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah yang
sedang dibuka ini.
“Apakah salah paham antara
Pajang dan Mataram akan semakin berlarut-larut?” pertanyaan itu tumbuh di dalam
hatinya.
“Apakah orang-orang yang
berjiwa besar seperti Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang itu tidak dapat
menemukan jalan keluar dari kesalahpahaman ini?”
Tetapi Agung Sedayu sama
sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa seseorang,
apabila kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling berbenturan,
maka mereka akan kembali kepada sifat manusiawi yang berpijak pada kepentingan
sendiri.
“Apa yang kau renungkan?”
bertanya Swandaru tiba-tiba.
Agung Sedayu terkejut.
Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kau melamun?”
“Aku mengantuk.”
“Aku tidak percaya. Matamu
masih bening, dan tatapan matamu melambung ke dunia yang lain.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Kita harus tidur sekarang.”
“Kau belum menjawab. Bagaimana
pendapatmu tentang keadaan ini? Apakah kita akan berlarut-larut menghadapi
masalah yang menjemukan ini? Kalau aku menjadi guru, aku akan datang ke rumah
orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Damar itu. Aku tangkap saja orang itu
dan aku bawa menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah apa yang akan dilakukan
olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera dapat kembali ke Sangkal Putung supaya
ayah dan ibu segera dapat berbuat sesuatu.”
“Berbuat apa?” bertanya Agung
Sedayu. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak.
Tidak berbuat apa-apa.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Bukankah kau ingin ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?”
Swandaru tidak menjawab.
“Kenapa kau diam saja? Atau
barangkali tidak begitu?”
“Ah kau,” desis Swandaru
kemudian, “agaknya memang lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah
mengantuk?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Tidak. Mataku masih bening dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.”
“Ah kau,” sahut Swandaru.
Tetapi ia pun kemudian menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar di bawah kain
panjangnya.
Agung Sedayu tersenyum. Ia
masih juga berkata “Sst, apakah kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?”
“Aku tidak mendengar.”
“Apa yang tidak kau dengar.”
“Pertanyaanmu.”
“Tetapi kau dapat menjawab
dengan tepat.”
Swandaru tidak menyahut lagi.
Ia menutup kupingnya dengan ujung jari telunjuknya.
Agung Sedayu pun kemudian
terdiam pula. Dipandanginya ruangan yang luas di barak itu. Semua orang sudah
berbaring diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di antara mereka
yang tidak dapat tidur sama sekali karena ketakutan. Anak-anak kecil dipeluk
oleh ibunya dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang ibu yang
menitikkan air mata di kening anaknya.
“Kenapa aku membawamu ke
neraka ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain.
Suaminya sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya yang lama.
Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta membuka hutan untuk mendapatkan
lapangan pekerjaan baru sebagai seorang petani.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Tengah
malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, sementara
ayam-ayam jantan yang dipelihara oleh orang-orang yang membuka hutan itu masih
saja berkokok tidak henti-hentinya.
Ketika malam menjadi semakin
hening, pikiran Agung Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya membayangkan apa
yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi atas dirinya
sendiri.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru melingkar diam di tempatnya. Tetapi
ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih juga belum tidur,
sehingga Agung Sedayu tersenyum melihatnya. Katanya perlahan-lahan, “Kau akan
menjadi pening, justru karena kau berpura-pura tidur.”
Swandaru sama sekali tidak
menyahut. Dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa lirih, “Perutmu akan menjadi
semakin besar, kalau kau tidur dengan cara itu.”
Swandaru masih diam. Ia sama
sekali tidak bergerak. Bahkan ia memejamkan matanya semakin rapat.
Agung Sedayu masih juga duduk
di sisinya. Sekali lagi ia menyapu ruangan itu dengan tatapan matanya. Dan
ruangan itu menjadi kian hening karenanya.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
itu terkejut. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Semakin lama semakin
dekat, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar karenanya.
Agaknya Swandaru pun mendengarnya
pula. Perlahan-lahan ia menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki kuda
itu dengan saksama.
“Derap kaki kuda,” desisnya.
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
Ketika Swandaru bangkit, maka
Agung Sedayu pun memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan
orang-orang yang sedang tidur nyenyak.
“Siapakah mereka itu?” bisik
Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak mengerti.”
Swandaru pun kemudian terdiam.
Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengarkan derap yang semakin lama semakin
dekat itu.
Ternyata bahwa bunyi derap
kaki-kaki kuda itu telah membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan
wajah ketakutan mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk dengan tubuh gemetar.
Agung Sedayu dan Swandaru masih
belum beranjak dari tempatnya. Derap kaki kuda itu memang mendebarkan jantung.
Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat berbuat apa-apa. Ia melihat
ketakutan yang mencekam barak ini.
“Bagaimana dengan kita?”
bertanya Swandaru berbisik.
“Maksudmu?”
“Apakah kita akan melihat,
siapakah yang berkuda itu?”
“Kita menunggu di sini. Lihat,
orang-orang itu menjadi ketakutan. Kalau kita pergi, mereka akan kehilangan
ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu, siapakah yang datang
itu? Kita harus berhati-hati di daerah yang asing ini.”
“Kau memang terlampau
berhati-hati, Kakang.”
“Bukankah guru berpesan
begitu?”
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi dirabanya senjatanya yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah
gatal-gatal untuk meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah
malam itu?
Sejenak mereka mendengar derap
kuda itu berhenti. Namun sejenak kemudian mereka telah mendengarnya lagi. Bukan
saja derap kaki-kaki kuda, tetapi kini mereka telah mendengar suara gemerincing
yang menyentuh bulu-bulu roma mereka.
“Suara itu,” desis Swandaru.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara itu adalah suara yang telah mereka kenal,
suara hantu.
“Aku akan melihat,” desis
Swandaru.
“Jangan,” sahut Agung Sedayu.
“Biarlah guru mengambil sikap menanggapi keadaan ini.”
“Kau selalu ragu-ragu,
Kakang.”
“Kita harus mempunyai
perhitungan. Bukan sekedar menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk segera
melihat. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi. Apalagi
kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orang-orang di dalam barak ini
menjadi semakin ketakutan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tetap
duduk di tempatnya.
Suara derap kaki kuda dan
suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka
orang-orang di dalam barak itu hampir semuanya terbangun karenanya, kecuali
anak-anak. Mereka menjadi cemas dan ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti
kedinginan.
Sesekali Swandaru berpaling
memandang kakak seperguruannya. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah mereka
akan tetap diam saja?
Agaknya Agung Sedayu dapat
merasakan gejolak hati Swandaru. Sehingga ia pun berbisik, “Kita tetap di sini.
Kalau ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus berbuat
sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak kita kenal, kecuali
apabila tidak ada jalan lain.”
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi ia justru bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Seolah-olah ia
tidak mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat.
Setelah mengelilingi barak itu
dua kali, maka suara gemerincing itu pun kemudian menjauh. Semakin lama semakin
jauh.
Beberapa orang menarik nafas
dalam-dalam sambil mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda menitikkan air
matanya sambil memeluk anaknya.
Tetapi Swandaru menggeretakkan
giginya sambil menggeram, “Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka hal ini akan
terjadi terus menerus untuk selanjutnya. Kita akan kehilangan kesempatan untuk
mencari penyelesaian.”
“Kita harus yakin dan
mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi.”
“Dengan duduk diam di sini?”
Agung Sedayu menarik nafas.
Katanya, “Bukan begitu. Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru.”
Swandaru tidak menyahut.
Dipandanginya nyala api pelita yang bergetar disentuh angin.
“Kemana suara itu pergi?”
desis Swandaru.
“Aku kira kuda yang
bergemerincing itu pergi ke barak sebelah.”
“Guru pasti akan mendengar
juga.”
“Ya, Guru dan para pengawas
yang ada di sana akan mengambil kesimpulan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun ia sama sekali kecewa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, benarlah
dugaan Agung Sedayu. Derap kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara gemerincing
itu memang menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat dan kemudian
mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui oleh Agung Sedayu dan
Swandaru.
Kiai Gringsing yang ternyata
masih juga belum tidur, terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia
mengangkat wajahnya dengan tatapan mata yang tegang. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk sambil berkata di dalam hati, “Suatu kumpulan dari
orang-orang yang keras kepala dan teratur baik. Mereka bergerak demikian
cepatnya, sehingga malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu.”
Seperti orang-orang perempuan
dan anak-anak serta orang-orang yang ada di barak sebelah, maka barak itu pun
segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat, setelah orang-orang di barak
itu terbangun.
Sejenak mereka saling
memandang. Kemudian mereka menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang
ada di dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih orang-orang
yang hanya mendapat tempat di serambi yang terbuka. Mereka sama sekali tidak
berani mengangkat kepala mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan
selimut.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Keadaan itu memang harus dirubah. Orang itu tidak boleh terlampau
mudah dicengkam oleh ketakutan.
Tetapi suasana itu sudah
berlangsung untuk waktu yang lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi oleh
ketakutan dan kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa itu
lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada mereka.
Dan kini, selagi mereka baru
saja dicengkam oleh ketakutan sepanjang hari, mereka telah mendengar suara itu
kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di dalam barak itu
kehilangan akal.
Kiai Gringsing masih saja
berada di tempatnya. Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama. Semakin
lama semakin dekat.
“Tentu bukan orang
kebanyakan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Orang yang
kekurus-kurusan itu pasti sudah memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan
Agung Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini. Mereka pasti
yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama.”
Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar karenanya. Kalau Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menahan
dirinya, maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya. Apalagi
apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang
yang bermain-main dengan racun. Racun yang tajam sekalipun mereka pergunakan.
Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri sendiri.
“Kami di sini harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang mengerikan melawan orang-orang
itu. Melawan racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya.
Dalam kegelisahannya itu
tiba-tiba ia bergeser dan berdesis, “Aku akan melihatnya.”
“Jangan gila,” sahut pemimpin
penjaga yang terluka di punggungnya.
“Kenapa?”
“Kita sedang menghadapi suatu
lingkungan kelompok orang-orang gila yang sengaja membuat keributan. Sekarang
kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di sini.”
“Kau menganggap bahwa
orang-orang yang membuat onar itu tidak ada bubungannya dengan suara
gemerincing itu?”
“Tentu tidak,” jawab pemimpin
pengawas itu. “Aku tidak ingin melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang
sulit ini.”
“Kita harus membatasi diri,”
berkata Wanakerti kemudian.
“Jadi, kalian menganggap bahwa
kita sedang berada di hadapan dua lingkungan yang berbeda? Orang-orang yang
bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?”
Para pengawas itu tidak segera
menyahut. Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar karena suara
gemerincing yang semakin dekat.
“Dengarlah, Ki Wanakerti,”
desis Kiai Gringsing, “kita jangan terlampau tergoncang pada kepercayaan kita
selama ini. Kepercayaan yang membuat kita selalu dibayangi oleh ketakutan.
Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita atau lebih jelas lagi, kalau memang
ada hantu-hantu itu, maka mereka pasti sudah berbuat lebih banyak dari hanya
sekedar menakut-nakuti kita dengan suara gemerincing di kejauhan. Apalagi
apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar kuda hantu-hantu yang berkuasa di
Alas Mentaok, kita pasti tidak akan mendengar derap kakinya, karena kuda-kuda
itu pasti tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah kita pernah mendengar
gemerincing itu di atas atap barak kita?”
“Kami pernah mendengar suara
berdesing di atas barak kita di saat-saat tertentu.”
“Suara apa?”
“Kami tidak tahu. Suara
berdesing yang melingkar-lingkar.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Memang ia harus bersabar dan perlahan-lahan. Ketakutan yang sudah
terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera dapat dihapus begitu saja.
“Marilah kita besok
membuatnya,” berkata Kiai Gringsing.
“Membuat apa?”
“Suara berdesing yang
melingkar-lingkar itu.”
Wajah para pengawas itu
menjadi tegang. Dan Kiai Gringsing meneruskan, “Sudahlah. Aku akan keluar
sebentar. Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku akan melihat
anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru aku ingin agar anak-anakku
tidak mengganggu hantu-hantu itu.”
Para pengawas itu saling
berpandangan sejenak. Dan Kiai Gringsing berkata pula, “Aku tidak mau
membiarkan anak-anakku kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak
berkeberatan?”
Sejenak mereka saling
berpandangan.
Kiai Gringsing membiarkan
mereka bepikir sejenak. Namun ia melihat keragu-raguan yang memancar di hati
para pengawas itu. Agaknya mereka sama sekali belum dapat melepaskan diri dari
ketakutan yang selama ini mencengkam daerah yang sedang dibuka ini.
“Aku tidak dapat membiarkan
anak-anakku itu,” desak Kiai Gringsing.
Akhirnya pemimpin pengawas itu
mengangguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini.
Kami adalah orang-orang yang sudah sekian lama dan mengalami banyak masalah
yang kadang-kadang tidak masuk akal.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti,” katanya. “Aku hanya sekedar
menengok anak-anakku.”
Para pengawas kemudian hanya
memandangi saja ketika Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk kegelapan
malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas mereka ketika mereka
melihat orang tua yang mereka kenal bernama Truna Podang itu meninggalkan
barak. Sedang orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah tidak
melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani mengangkat wajah-wajah
mereka.
Ketika Kiai Gringsing
menjejakkan kakinya di halaman barak itu, ia mengerutkan keningnya. Ternyata
suara derap kaki kuda itu sudah menjauh.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, “Aku terlambat kali ini. Tetapi aku berharap, mereka
akan segera datang lagi.”
Namun Kiai Gringsing
meneruskan langkahnya pergi ke barak sebelah. Ia benar-benar ingin melihat
apakah Agung Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya.
Ketika ia sampai ke pintu
barak, dilihatnya suasana di barak itu pun tidak ada bedanya dengan barak yang
ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka selebar pintu
baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau banyak orang-orang yang sedang
tidur. Hanya laki-laki yang sudah kurang kuat bekerja di lapangan, yang
mendapat tugas membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi. Mereka
berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang menggigil dengan kain
panjang. Agaknya mereka pun telah dicengkam oleh ketakutan pula.
“Di manakah anak-anak itu?”
desis Kiai Gringsing. Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg ke samping.
Hati-hati sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang ketakutan itu.
Tetapi suara berderit yang
lambat itu justru telah mendebarkan hati Agung Sedayu dan Swandaru yang ada di
dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri. Perlahan-lahan mereka
bergeser mendekati pintu itu sambil meraba hulu senjata masing-masing.
Tetapi langkah mereka segera
terhenti ketika mereka mendengar suara berdesis, “Agung Sedayu, Swandaru,
apakah kalian ada di dalam?”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Desisnya, “Jantungku sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku
akan mendapat kesempatan malam ini.”
“Ah kau,” desis Agung Sedayu.
Sejenak kemudian mereka
melihat gurunya menjengukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan
Swandaru masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera bertanya kepada
mereka, “Kenapa kalian?”
“Aku kira hantu itu datang
kemari. Aku sudah ingin sekali berkenalan.”
“Kau tidak mengejarnya?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya sejenak. Lalu, “Kakang
Agung Sedayu mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan mengejarnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita duduk. Aku akan
berbicara sedikit.”
Mereka pun kemudian duduk di
serambi, di sisi pintu.
Beberapa orang yang ada di
dalam dan di luar barak, mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain
selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk dengan tenang, maka
mereka mulai berani menarik selimut mereka dan perlahan-lahan mengangkat
kepala. Seolah-olah mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu
benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya sekedar bayangan hantu
saja?
Kiai Gringsing yang duduk
bersama Agung Sedayu dan Swandaru menyadari akan hal itu. Tetapi mereka
seolah-olah tidak memperhatikannya sama sekali. Mereka memang sengaja membuat
kesan, bahwa mereka dapat berbicara dengan tenang meskipun hantu-hantu itu baru
saja lewat.
“Jadi kau memang ingin
mengejar hantu itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Aku berkeyakinan bahwa
yang naik kuda dengan suara gemerincing itu sama sekali bukan hantu. Tetapi
mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat suasana di daerah
ini menjadi buram.”
“Ya. Tetapi kita harus masih
membuktikan.”
“Karena itu aku ingin
menangkap satu atau dua hantu.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, ”Hal serupa inilah yang memang harus aku peringatkan. Jadilah
pengalaman Swandaru, supaya kau tidak terlibat dalam kesulitan.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, “Aku tidak mengerti maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku
untuk menangkap atau justru sebaliknya?”
Gurunya masih tersenyum.
Jawabnya, “Jangan berkecil hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain
kali, pikirkanlah setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa di sini ada
kakakmu, sehingga ia dapat mencegahmu.”
“O,” Swandaru berpaling ke
arah Agung Sedayu, “jadinya aku yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku.
Hampir saja aku menunjuk hidung Kakang Agung Sedayu sambil mencibir.”
Kiai Gringsing tertawa karenanya.
Katanya, “Begitulah kira-kira.”
“Jadi bagaimana seharusnya
yang kami lakukan, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.
“Dengarlah. Sekarang aku
berkata sebenarnya. Orang-orang yang kita hadapi adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar dugaan kita, bahwa
yang kita sangka hantu itu sama sekali bukan hantu, tetapi sebagian dari
mereka, maka kita akan berhadapan dengan segala jenis senjata racun itu.
Padahal kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah kau
mengerti?”
Swandaru mengerutkan keningnya
semakin tinggi. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Sedang gurunya berkata
terus, “Karena itu kita harus segera mempersiapkan diri kita, karena memang
mereka ingin membunuh kita apabila kita sudah ada di lapangan kerja itu.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menyadari, betapa
berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang yang tidak begitu
mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui, bahwa orang-orang itu telah
mempergunakan racun untuk membinasakan lawan.
“Nah, sudahlah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “hari sudah hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada
waktu sedikit buat beristirahat. Aku kira kalian memang perlu beristirahat.”
Tanpa disadari, kedua murid
Kiai Gringsing itu pun memandang warna kehitaman di halaman yang sudah mulai
dibayangi oleh warna merah.
“Aku akan kembali,” berkata
Kiai Gringsing kemudian.
“Baiklah, Guru,” berkata Agung
Sedayu, “kami menyadari kedudukan kami sekarang.”
“Ya. Perhitungkan setiap
tindakan. Kau mengerti, Swandaru?”
“Ya, Guru.”
“Sudahlah, beristirahatlah.
Waktu tinggal sempit sekali, sebelum fajar menyingsing. Aku kira di hari yang
akan datang ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi bekerja.”
“Tetapi bagaimana dengan mayat
pengawas itu, Guru?”
“Nanti akan kita lihat.”
Kiai Gringsing pun kemudian
meninggalkan barak itu. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru kemudian mencoba
membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di serambi barak itu. Agaknya
Swandaru masih dapat mempergunakan kesempatan itu, sehingga sekilas ia masih
dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa diri untuk sesaat.
Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap didengarnya. Demikian pula bunyi ayam
jantan di ujung pagi.
Orang-orang di kedua barak
itu, masih ragu-ragu untuk keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang
telah mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru di barak yang
satu dan Kiai Gringsing di barak yang lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan
dan membersihkan dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di
antara mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka menunggu hari menjadi
terang.
Ternyata dugaan Kiai Gringsing
tepat, bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai minat untuk pergi bekerja
pada hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap ragu-ragu.
Wanakerti dan kedua kawannya
sudah menjadi semakin sehat. Bahkan pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah
menjadi berangsur baik.
“Kenapa tiba-tiba kalian telah
diterkam oleh ketakutan itu kembali?” bertanya Kiai Gringsing kepada mereka.
“Bukankah kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil
menggelitik hati kalian, para pengawas? Tetapi ketika terdengar lagi suara
gemerincing itu, kalian benar-benar kehabisan akal.”
Para pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di siang hari mereka merasa, seakan-akan
mereka benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa mereka telah
terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada tempatnya. Tetapi apabila malam
tiba, terasa bulu tengkuk mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih
mempercayai bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.
“Agaknya kita tidak akan
bekerja hari ini,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku masih mempunyai kerja
khusus yang harus aku lakukan.”
“Apa?”
“Mengubur mayat itu, apabila
sudah memungkinkan.”
Para pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Wanakerti menyahut, “Ya.
Agaknya kita memang tidak akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun
agaknya telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini.”
Kiai Gringsing pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita akan segera pergi ke tempat itu,
apabila matahari sudah naik setinggi ujung pepohonan.”
Demikianlah, ketika matahari
menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah memanggil kedua muridnya yang akan
dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu. Beberapa orang yang
sedikit mempunyai keberanian, serta para pengawas yang tidak terluka, ikut
serta bersama Kiai Gringsing pergi ke tempat mayat itu.
“Yang lain, kami harap
melakukan tugas kalian dengan baik seperti biasanya,” berkata Kiai Gringsing.
“Yang bekerja di dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang lain
dipersilahkan ikut membantu.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing pun kemudian pergi melihat mayat yang kemarin mereka tinggalkan. Para
pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil membawa alat untuk
menguburkan mayat itu.
Tetapi langkah Kiai Gringsing
pun tertegun. Wajahnya menjadi tegang. Dan ia pun kemudian berhenti sambil
menebarkan pandangan matanya berkeliling.
“Apa, Guru?” bertanya Agung
Sedayu perlahan-lahan.
“Bukankah mayat itu kemarin
terletak di sini?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Kemarin
mayat itu ada di sini. Bukan begitu?” ia pun bertanya pula kepada Swandaru.
“Ya. Di sini. Betul di sini,”
desis Swandaru.
Sebelum mereka membicarakan
hal itu lebih lanjut, Wanakerti telah menggamit Truna Podang sambil bertanya,
“He, apakah aku keliru? Bukankah kemarin mayat itu tergolek di samping batang
perdu yang kering itu?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
”batang perdu itu kering oleh serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke
akarnya. Dan mayat itu memang tergolek beberapa langkah di dekatnya.”
“Mayat itu hilang,” desis
Wanakerti.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap menegang.
Tangan Kiai Gringsing segera
menangkap lengan Swandaru ketika anak muda itu hampir saja melangkah mendekati
bekas tempat mayat itu.
Swandaru tertegun karenanya.
Dipandanginya wajah gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik
tangan Swandaru gurunya berkata, “Jangan tergesa-gesa, Swandaru. Aku masih
belum yakin, apakah racun yang bertaburan di sekitar tempat itu sudah tidak
berbahaya lagi.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya. Hampir aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu sudah tidak ada
lagi, aku kira pasti sudah ada seseorang yang merabanya.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Diamatinya tempat itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja ia melangkah
maju sambil berdesis, “Mudah-mudahan aku berhasil. Lihat, seekor kadal.”
“Kenapa dengan kadal itu?”
bertanya kedua murid-nya hampir berbareng.
“Ia masih tetap hidup meskipun
ia berada di dalam daerah yang berbahaya. Aku kira, usahaku untuk mempercepat
lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun seandainya tidak seluruhnya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri
di samping mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.
“Tetapi,” bertanya Wanakerti,
“sudah barang tentu, mayat itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat
itu sama sekali tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun seandainya binatang
buas?”
“Tentu racun itu masih ada
pengaruhnya, meskipun seandainya binatang buas yang mengambilnya. Tetapi…..”
kata-kata Kiai Gringsing terhenti.
Wanakerti, para pengawas dan
orang-orang yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang tidak selesai itu
tiba-tiba mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar hatinya. Apalagi
ketika mereka mendengar Wanakerti menegaskan, ”Tetapi kau maksud bukan manusia
dan bukan pula binatang buas?”
“Ah,” Kiai Gringsing menyahut
dengan serta-merta, “hantu, begitu?”
Wanakerti memandang wajah Kiai
Gringsing dengan sorot mata yang aneh, sedang Kiai Gringsing berkata
selanjutnya, “Sama sekali tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya.”
“Jadi siapakah maksudmu?”
“Kawan-kawannya.”
“Kawan-kawan orang berkumis
itu?”
“Ya. Mereka yang terdiri dari
satu lingkungan dengan orang berkumis itu. Dengan orang yang tinggi kekar yang
meninggal di barak dan orang yang kekurus-kurusan.”
“Jadi, siapakah yang
mengambil? Orang yang kekurus-kurusan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Bukan. Tetapi bukankah semalam kita mendengar derap kaki kuda?”
“Ah,” hampir bersamaan
beberapa orang berdesah.
“Jadi kalian tetap menyangka
bahwa mereka itu hantu yang naik kuda semberani?”
Tidak seorang pun yang
menyahut.
“Kita dapat mencurigainya,”
berkata Kiai Gringsing kemudian. “Memang mungkin sekali orang berkuda semalam.”
Para pengawas itu masih tetap
berdiam diri.
“Baiklah, aku akan melihat,
kemana kira-kira mayat itu pergi,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Tunggulah
kalian di sini. Aku akan mendekat.”
Kedua muridnya menjadi tegang
sesaat. Tetapi kemudian mereka dapat menenangkan hati mereka, karena mereka
percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.
Para pengawal dan orang-orang
yang ikut serta ke tempat itu pun menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing
berjalan dengan hati-hati mendekati bekas tempat mayat itu terbaring.
Dengan seksama ia
memperhatikan tempat itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seolah-olah ia menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu mengikuti
beberapa langkah menjauhi tempat itu.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kiai Gringsing mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah
berada di luar daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh karena racun,
ia pun memanggil kedua muridnya dan para pengawas.
“Lihatlah,” berkata Kiai
Gringsing kepada mereka, “kalian dapat melihat bekas kaki kuda.”
Kedua muridnya dan para
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan yang di sini adalah bekas
sesuatu yang diseret begitu saja. Bekas rerumputan dan batang-batang perdu yang
roboh menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup berat.”
“Maksud Guru, mayat itu?”
bertanya Agung Sedayu.
“Demikianlah agaknya. Mereka
mengerti bahwa racun pada tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu mereka tidak
membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian menyeretnya.”
Bulu-bulu kuduk mereka yang
mendengar keterangan itu meremang. Ternyata orang-orang yang termasuk di dalam
kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak berperasaan.
“Kenapa mereka memerlukan
mayat itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan
menyelidiki hasil pekerjaan racun-racun pada tubuh seseorang. Tetapi apabila
mereka kurang teliti, maka mereka tidak akan memperhitungkan cairan yang sudah
aku berikan itu.
Para pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing
berkata, “Nah, apakah kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu suara
hantu?”
Para pengawas itu masih
ragu-ragu. Meskipun menurut pertimbangan nalar mereka, mereka memastikan bahwa
mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka masih juga tetap ragu-ragu.
“Apa pun yang kita hadapi,” berkata
Kiai Gringsing kemudian, “adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.”
Para pengawas dan murid-murid
Kiai Gringsing tidak menyahut. Mereka dapat membayangkan apa yang dikatakan
oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani, tangguh dan dapat
melakukan tindakan apa pun juga, meskipun bertentangan dengan perikemanusiaan.
Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.
“Tidak ada yang dapat kita
lakukan di sini sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “marilah kita
kembali ke barak.”
“Tetapi bagaimana dengan orang
itu?” bertanya Wanakerti.
“Siapa?”
“Yang mayatnya hilang itu.”
“Ia sudah berada di antara
kawan-kawannya. Biarlah, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Para pengawas itu pun kemudian
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam persoalan telah
bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di antara kebimbangan perasaan dan
tugas-tugas mereka sebagai seorang pengawas.
“Kita akan membicarakannya
nanti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Mereka, orang-orang yang ada
di tempat itu, yang berniat untuk mengubur orang berkumis itu, segera diikuti
Kiai Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.
“Laporan itu harus segera
sampai,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Ya,” Wanakerti menyahut, “Ki
Gede Pemanahan harus segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”
“Hanya ada satu jalan,”
berkata pemimpin pengawas yang terluka, “kita mengirimkan orang untuk
menghadap.”
Sejenak mereka berdiam diri.
Bagaimanapun juga, di dalam hati para pengawas masih juga berkecamuk
bayangan-bayangan yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga tumbuh pertanyaan,
“Kalau kita tidak berhadapan dengan hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang
pernah tampak sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang
bercahaya itu?”
Tetapi para pengawas itu tidak
mengucapkan pertanyaan itu.
Namun ternyata pertanyaan yang
serupa bergolak di setiap dada orang-orang yang ada di dalam barak. Bagi
mereka, hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat dibantah lagi.
Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran jerangkong,
kemamang, dan hantu-hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir merupakan
keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka adalah hantu-hantu yang
bermartabat tinggi, gendruwo dan prayangan, didampingi oleh peri yang
cantik-cantik.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “aku memang merasa wajib untuk membantu para pekerja,
segera mendapatkan ketenangan. Karena itu, biarlah kami akan mencobanya.”
“Apa yang akan kalian
lakukan?”
“Kalau kalian bersedia
melakukannya, kalian memang harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau
putranya. Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada yang
terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi apabila perlu kami akan
segera datang.”
“Kemana?” bertanya pemimpin
pengawas itu.
“Agaknya aku dan kedua
anak-anakkulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Pada saat kami menempati
rumah yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami. Mereka telah
memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah itu, kemudian mereka membakarnya
ketika mereka sadar, bahwa ular-ular itu tidak berhasil membinasakan kami.”
Para pengawas itu menjadi
tegang.
“Bagi kami sebenarnya sudah
jelas, bahwa kami tidak melawan hantu. Yang belum jelas, siapakah lawan kami
sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?”
Para pengawas masih belum
menjawab.
“Nah, apakah kalian
sependapat?”
“Lalu bagaimanakah dengan
orang-orang di dalam barak ini?”
“Biarlah, untuk sementara,
biarlah mereka berada di dalam keadaan itu. Supaya mereka tidak menjadi sasaran
pula seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi kalian, para pengawas.”
Pemimpin pengawas itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “Itu adalah tugas kami. Besok para
pengawas akan pergi ke Mataram, menghadap Raden Sutawijaya. Biarlah aku di sini
mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan kalian bertiga dapat membuat
rencana yang kalian anggap baik. Aku percaya kepada kalian.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah aneh sekali, bahwa
selama ini kami seolah-olah telah terbius. Kami tidak pernah gentar dan takut
mati menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi kenapa tiba-tiba kami
menjadi ketakutan apabila kami mendengar gemerincing di malam hari atau derap
kaki kuda dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir hutan?”
“Mudah-mudahan kalian
menemukan pribadi kalian kembali sebagai pengawas.”
“Baik, baik. Kami akan
mencoba. Sudah cukup lama kami dibayangi oleh perasaan yang tidak dapat kami
pahami sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu telah
berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjata-senjata kami.”
“Nah, agaknya kita akan dapat
bekerja bersama,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “kami akan berada di tempat
kerja kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini beristirahat dahulu
sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau menunggu keputusan Raden
Sutawijaya, agar tidak jatuh korban yang tidak berarti.”
Para pengawas menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi bagaimana kalian sendiri? Apakah kalian
sanggup mengatasi setiap kesulitan hanya bertiga?”
“Mudah-mudahan”
“Aku percaya kepada kalian.
Truna Podang sekarang bukan Truna Podang pada saat ia datang. Kalau anak-anakmu
yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu mampu berbuat demikian, maka aku
yakin, ayahnya pun dapat berbuat lebih banyak lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa ia akan segera berhasil
membangunkan para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh perasaan takut
dan cemas, meskipun mereka bukan penakut. Tetapi, mereka merasa bahwa mereka
tidak akan berdaya sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya maka
lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri mereka, apabila mereka
mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak
membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan pemimpin pengawas itu kemudian berpendapat, bahwa mereka harus
segera melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak merasa berkeberatan
apabila mereka harus segera pergi ke Mataram menghadap Raden Sutawijaya.
“Kami sudah sehat kembali,”
berkata Wanakerti.
“Kami akan pergi besok,” sahut
yang lain.
“Bagus,” jawab pemimpinnya,
“kalian adalah pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi
bahaya apa pun juga.”
“Kami akan melakukannya. Dan
kami menyadari setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang hari kami tidak
akan bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di balik pepohonan itu
memang banyak sekali terdapat rahasia yang belum dapat kami pecahkan. Namun
demikian, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang memang harus kami atasi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kalian
telah berada di tempat kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di
dalam arus yang tidak menentu.”
“Ya. Kami mengucapkan terima
kasih. Kehadiran kalian di sini banyak memberikan manfaat kepada kami dan
kepada tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan putranya akan dapat
mengerti, apa yang telah kalian lakukan di sini.”
Kiai Gringsing tersenyum. “Itu
tidak perlu.”
Dalam pada itu, maka baik Kiai
Gringsing maupun para pengawas berusaha untuk membiarkan orang-orang yang ada
di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara. Untuk sedikit
memberikan ketenangan kepada mereka, maka mereka harus menjalankan tugas mereka
sehari-hari, kecuali pergi ke hutan, menebang, dan membuka hutan.
Di pagi hari berikutnya,
orang-orang di barak itu menjadi heran melihat Kiai Gringsing dan kedua
anak-anaknya mempersiapkan alat-alat mereka, sehingga salah seorang dari mereka
bertanya. ”Kemanakah kau sepagi ini?”
“Aku akan mulai bekerja lagi.
Sudah cukup agaknya aku dan anak-anakku beristirahat.”
“Tetapi, bagaimana dengan
kami?”
Pemimpin pengawas yang
mendengar percakapan itu menyahut, “Biarlah kalian beristirahat dahulu. Orang
itu tidak dapat dicegah lagi. Semua akan menjadi tanggung jawabnya sendiri.”
Orang di barak itu saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Beberapa orang pun bergumam, “Orang itu adalah orang yang aneh. Tetapi
mereka seakan-akan tidak dapat diatur.”
Tetapi mereka tidak
mengatakannya kepada para pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut
mencampurinya apabila para pengawas memang sudah mengijinkannya.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan barak itu menuju ke tempat
kerja mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa bahaya agaknya
telah menunggunya bersama kedua anaknya itu. Tetapi ia harus melakukannya
apabila ia ingin mengetahui latar belakang dari semua yang pernah terjadi itu.
“Mudah-mudahan para pengawas
akan sampai ke hadapan Ki Gede Pemanahan atau putranya, Raden Sutawijaya.
Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi korban pula dari
keganasan orang-orang yang masih menjadi rahasia itu.
Di tengah perjalanannya menuju
ke tempat kerjanya, Kiai Gringsing masih juga mempersiapkan kedua muridnya
untuk menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi apabila mereka harus berhadapan
dengan racun seperti yang pernah terjadi dengan Swandaru. Karena itu, maka
diberinya kedua muridnya itu masing-masing sebutir obat reramuan yang akan
dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.
“Makanlah,” berkata Kiai
Gringsing, “mudah-mudahan kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena
racun. Setidak-tidaknya akan membantu daya tahan tubuh kalian sendiri. Obat itu
akan langsung berpengaruh atas darah kalian. Tetapi kalian jangan terkejut,
bahwa untuk beberapa lama tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali
sedikit pening. Tetapi itu tidak berbahaya. Perasaan-perasaan itu akan hilang
kemudian dan obat dari sejenis racun itu pula akan dapat sedikit memberikan
perlindungan kepada kalian untuk beberapa lama, apabila kalian benar-benar
harus bergulat melawan racun. Menurut penyelidikanku, racun yang dipergunakan
di sini pada umumnya adalah racun ular.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan obat yang diberikan
oleh gurunya itu.
“Kita tidak tahu, apakah
orang-orang itu akan bertindak cepat seperti yang mereka lakukan kemarin malam.
Kita sama sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka sudah sempat
membuat suara gemerincing itu sambil mengambil mayat kawan-kawannya sekaligus.
Agaknya mereka memang tidak ingin menunda-nunda waktu lagi. Dengan demikian,
maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula.”
Swandaru mengangguk-angguk
sambil berkata, “Kenapa kita tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru.
Misalnya, kita membuat ujung senjata kita beracun, sehingga tiap sentuhan akan
dapat membunuh mereka.”
Gurunya tidak segera menjawab.
Dipandanginya wajah Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang suram. Pertanyaan
itu agaknya telah menggetarkan dadanya.
Namun sejenak kemudian ia
menjawab, “Swandaru. Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan
kita tanpa membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya kita harus melukainya?
Kalau senjata kita beracun, kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau
kita sudah mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan pembunuhan,
berhasil atau tidak berhasil, tetapi niat itu sudah ada.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak, lalu, “Apalagi jenis senjata kita bukanlah jenis senjata yang
mempunyai wrangka. Kalau senjata kita beracun maka senjata itu akan berbahaya
bagi diri kita sendiri.”
Swandaru menjadi
berdebar-debar mendengar jawaban itu. Ia merasa bahwa pertanyaannya tidak
begitu menyenangkan gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian
berkata, “Aku mengerti, Guru.”
Mereka pun kemudian tidak
berbicara lagi sampai ke tempat tujuan. Mereka melihat batang-batang pohon
masih silang melintang seperti saat terakhir mereka datang beberapa hari yang
lalu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya tanpa sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi, “Hati-hatilah.”
Kedua muridnya tidak menjawab.
Tetapi mereka telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Marilah kita mulai,” berkata
gurunya kemudian.
Ketiga orang itu pun kemudian
mengambil beberapa jenis alat-alat mereka yang mereka simpan di bawah sebatang
pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka bawa kembali ke
barak.
Sebentar kemudian maka
ketiganya telah mulai dengan kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah
ditebang oleh pendatang sebelumnya, tetapi yang tidak sempat menyelesaikan
kerja itu, karena mereka terusir oleh perasaan takut.
Ketika matahari menjadi
semakin tinggi di langit, maka mereka pun segera menjadi basah oleh keringat yang
seakan-akan mengembun dari seluruh wajah kulit mereka. Sesekali mereka berhenti
sejenak untuk mengusap keringat yang mengalir di kening.
Tetapi setelah sekian lama
mereka terlibat dalam persoalan yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya
bekerja di alam terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau panas,
dan angin yang berhembus dari selatan. Dikejauhan terdengar burung-burung liar
berkicau, seakan-akan ikut memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih
yang bergerak didorong oleh angin yang lembut.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya ketika ia melihat gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan
pekerjaan itu harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu sesekali
menggeliat sambil menekan lambungnya.
Tetapi tiba-tiba saja, hampir
berbareng mereka mengangkat kepala ketika dari dalam hutan yang lebat,
terdengar suara burung kedasih.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa berpaling kepada murid-muridnya ia berkata, “Seperti yang
kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan waktu.”
Swandaru menyahut, “Baik
sekali, Guru. Pekerjaan kita pun akan segera selesai.” Ia terdiam sejenak, lalu
“Aku akan berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan itu akan
terdiam apabila ia terkejut.”
“Biar sajalah. Kalau ia lelah,
ia akan terdiam dengan sendirinya. Tetapi kita tidak boleh mengabaikan isyarat
itu. Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah berada di lapangan
kerja kita ini.”
Swandaru menggeliat sambil
menepuk punggungnya sendiri. Katanya, “Aku lebih senang berkelahi daripada
terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi sakit.”
“Kau terlampau gemuk,” desis
Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul
di sawah? Di sawah kita harus lebih dalam membungkukkan badan kita.”
Swandaru mengangguk-angguk.
“Ya. Tetapi di sawah aku tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang
menjemukan itu.”
“Bekerjalah,” potong Kiai
Gringsing. “Kita pura-purta tidak tahu tentang suara burung itu.”
Ketiganya pun kemudian melanjutkan
kerja mereka, memotong pepohonan yang silang melintang.
Dalam pada itu, tiga ekor kuda
sedang berlari dengan kencangnya di jalan setapak di tengah-tengah hutan.
Mereka adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka merasa bahwa tubuh
mereka telah menjadi baik dan pulih kembali, mereka merasa wajib untuk segera
melaporkan semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan mereka kepada Ki
Gede Pemanahan atau putranya, Raden Sutawijaya.
Dengan pedang di lambung
mereka berpacu secepat-cepatnya.
Bagaimanapun juga, namun hati
mereka tergetar ketika mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan,
lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui orang. Sesekali
kuda-kuda mereka harus meloncati pepohonan yang roboh melintang di jalan,
kemudian menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang terjuntai di atas
lorong sempit itu.
Tetapi para pengawas itu pun
telah bertekad, apa pun yang akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka
sebaik-baiknya.
Demikianlah maka derap kaki-kaki
kuda itu pun bergema di antara kekayuan. Gemeretak di atas tanah berbatu padas.
Wanakerti mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar derap kaki kuda yang lain. Bukan gema dari
kaki-kaki kuda mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di belakangnya ia
bertanya, “Apakah kau mendengar derap kaki kuda yang lain, bukan gema suara
kaki-kaki kuda kita sendiri?”
Orang itu mencoba mempertajam
pendengarannya Dan ia pun kemudian menjawab, “Ya, aku mendengar.”
Sejenak kemudian mereka pun
saling berdiam diri. Tetapi mereka mencoba untuk mengetahui dengan pasti, dari
arah manakah suara derap kaki-kaki kuda itn.
“Di belakang kita,” desis
orang yang paling belakang.
Wanakerti menganggukkan
kepalanya. “Ya, di belakang kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita.”
Kedua kawannva tidak segera
menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka
berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi pandangan mata mereka
sehingga mereka tidak melihat lagi jalur jalan yang baru saja mereka lalui.
“Apakah kita akan berhenti ?”
bertanya salah seorang dari kawan Wanakarti itu.
“Kenapa?”
“Kita melihat siapakah yang
mengejar kita itu.”
Wanakerti tidak segera
menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya. Namun kemudian ia berkata,
“Kita berjalan terus. Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita
akan melawan. Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan terus. Bukan karena
kita takut menghadapi siapa pun, tetapi lebih baik bagi kita apabila kita dapat
mencapai Mataram dan melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita.”
Kawan-kawannya tidak menyahut
lagi. Mereka justru memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa menghiraukan apa
pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat menyampaikan laporan mereka
tentang daerah pengawasan mereka.
Derap kuda yang mengejar
mereka pun menjadi semakin cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat
menyusul ketiga pengawas yang mendahului itu.
“Banyak sekali,” tiba-tiba
Wanakerti bergumam seperti kepada diri sendiri, ”lebih dari lima ekor kuda.”
“Ya. Lebih dari lima ekor
kuda.”
“Pasti bukan kawan-kawan kita.
Ternyata mereka juga mempunyai persiapan yang baik sekali.”
Tidak ada yang menjawab.
Mereka kini berpacu pada jalur jalan yang agak lurus dan panjang. Karena itu,
ketika mereka berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela dedaunan yang
mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda berpacu di belakang
mereka.
“Orang-oang yang tidak kita
kenal,” berkata pengawas yang paling belakang. “Memang lebih dari lima orang.”
“Kita tidak melayaninya. Kalau
kita gagal sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan segera
mengetahui apa yang sudah terjadi.”
Demikianiah maka Wanakerti dan
kedua kawannya berusaha mempercepat derap kuda mereka. Mereka benar-benar tidak
ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak dikenal yang mengejar di
belakang mereka. Tetapi mereka merasa wajib untuk segera menghadap para
pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.
Tetapi agaknya orang-orang
yang mengejar mereka itu pun tidak ingin melepaskan ketiga pengawas itu. Mereka
pun berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena itu, mereka pun telah
melecut kuda mereka agar berlari lebih cepat lagi.
Ternyata bahwa orang-orang
yang tidak dikenal itu lebih berpengalaman. Kuda-kuda mereka pun agaknya lebih
mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu, maka jarak mereka
pun semakin lama menjadi semakin dekat.
Meskipun demikian Wanakerti
dan kawan-kawannya masih tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya.
“Mereka akan mengejar kita
sebelum kita keluar dari hutan ini,” desis seorang kawannya. Lalu, “Pergi
dahulu. Aku, akan mencoba menghambat mereka.”
“Jangan gila,” sahut
Wanakerti.
“Ya. Kami berdua,” berkata
yang lain. “Salah seorang dari kita harus sampai ke tempat tujuan.”
“Kalian akan membunuh diri.
Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk membunuh kalian, kemudian
mengejar aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun. Kemudian mereka
sama sekali tidak perlu berhenti menunggui mayat kalian.”
“Tentu tidak semudah itu. Kami
akan mencoba menahan mereka meskipun hanya beberapa saat saja. Kau akan
mendapat kesempatan itu.”
“Tidak. Aku tidak sependapat.
Kita berpacu terus.”
Kedua kawannya tidak menyahut
lagi. Yang paling belakang menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi
semakin pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk menutup jarak
yang pendek itu memang memerlukan waktu.
Dengan demikian maka kedua
kelompok itu masih saja berpacu beriringan. Orang-orang yang mengejar para
pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak yang sedang
mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan demikian, perasaan para pengawas
itu terpengaruh karenanya.
Tetapi Wanakerti berkata
kepada kedua kawan-kawannya. “Jangan hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu
peronda yang pertama.”
“Berapa orang peronda yang ada
di sana?”
“Aku tidak tahu. Tetapi jumlah
kita akan bertambah. Aku dapat ikut menahan mereka, sedang salah seorang dari
kita akan meneruskan perjalanan.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena itu, mereka pun berpacu semakin
cepat.
Beberapa saat kemudian, maka
lorong yang sempit itu nampaknya menjadi semakin lapang. Dedaunan dan
sulur-sulur kayu tidak lagi banyak yang bergayutan di atas jalan itu. Dengan
demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar lagi mereka akan segera
keluar dari dalam hutan. Tetapi mereka masih harus melintasi sebuah hutan perdu
dan lapangan rumput yang agak luas di pinggir hutan yang tebal ini.
Demikianlah, maka kuda-kuda
itu pun berpacu semakin cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang.
Sejenak kemudian, hutan menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan mereka kini
terbentang sebuah hutan rindang. Padang perdu yang liar berserakan di antara
batang-batang ilalang setinggi dada.
“Sebentar lagi kita akan
sampai ke gardu pengawas yang pertama di daerah yang baru dipersiapkan untuk
dibuka itu,” desis Wanakerti. “Mudah-mudahan di sana terdapat cukup banyak
orang untuk melawan orang-orang yang mengejar kita itu.”
Kawan-kawannya tidak menyahut.
Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda
mereka.
Ternyata orang-orang yang
tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula.
Mereka masih saja berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai. Bahkan ada di
antara mereka yang sudah mengacu-acukan senjata mereka. Pedang yang mengkilap.
Namun dengan demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di dalam
hati ketika ia melihat kilatan pedang itu, “Agaknya pedang itu tidak beracun.”
Beberapa saat kemudian, mereka
pun telah melintasi padang perdu yang seakan-akan ditaburi oleh
gerumbul-gerumbul liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang ilalang yang
lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan rindang lagi. Hutan yang tidak
begitu lebat, yang kini sedang dipersiapkan untuk dibuka pula.
Dengan hati yang
berdebar-debar mereka berpacu terus. Di ujung lorong yang memasuki hutan yang
rindang itu terdapat sebuah gardu pengawas.
Agaknya orang-orang yang.
mengejar mereka mengetahui juga bahwa para pengawas itu ingin mencapai gardu di
pinggir padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun berusaha semakin
keras untuk mengejar buruannya.
Tetapi agaknya para pengawas
itu pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka. Karena
itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh orang-orang yang tidak
dikenal, yang mengejar mereka sambil mengacu-acukan senjata.
“Di depan kita itulah gardu
pengawas itu,” teriak Wanakerti tanpa sesadarnya.
“Ya” sahut kawan-kawannya
hampir berbareng.
“Mereka pasti sudah mendengar
derap kaki kuda kita,“ desis Wanakerti.
Kedua kawannya tidak menjawab.
Tetapi Wanakerti menjadi
berdebar-debar. Kalau mereka sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu, maka
mereka pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan kawannya tidak
melihat seorang pun di hadapan mereka.
“Kenapa gardu itu sepi?” desis
salah seorang.
Wanakerti tidak menyahut.
Tetapi ia berpacu semakin cepat, secepat dapat dilakukan oleh kudanya.
Sejenak kemudian mereka sudah
menjadi semakin dekat. Sekejap lagi mereka akan sampai ke depan gardu itu.
Mereka sudah melihat sebuah kentongan yang tergantung di depan. Tetapi mereka
sama sekali belum melihat seorang pun.
Dengan demikian maka Wanakerti
menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat menduga-duga karena
sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu.
Tetapi alangkah kecewa hati
para pengawas itu. Ternyata gardu itu memang kosong. Sama sekali kosong.
Menilik sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka gardu itu pasti
sudah beberapa hari tidak dipergunakan.
“Gardu ini kosong,” teriak
salah seorang dari ketiga pengawas itu.
Wajah Wanakerti pun tiba-tiba
menjadi tegang. Penunggang kuda yang mengejar mereka menjadi semakin dekat
pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.
“Kita berlari terus,”
perintahnya kepada kedua kawan-kawannya. ”Jangan membantah dahulu. Kita
berpikir sambil berjalan.”
Ketiganya pun kemudian berpacu
pula. Tetapi jarak mereka kini menjadi semakin dekat dari pengejarannya.
“Kau, salah seorang dari
kalian, ambil jalan simpang. Hati-hati. Kami berdua akan memancing mereka
terus,” berkata Wanakerti.
“Kaulah yang mengambil jalan
simpang. Kau yang mengetahui semua persoalan dengan gamblang. Biarlah kami
berdua yang melawan mereka.”
“Jalankan perintahku. Aku
mendapat kekuasaan dari pemimpin kita untuk memimpin perjalanan ini. Cepat.”
Keduanya saling berpandangan.
Tetapi Wanakerti berteriak sambil menunjuk orang yang bermata tajam, ”Kaulah
yang mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan. Lakukan perintah
ini.”
Orang yang bermata tajam itu
tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri
untuk mengambil simpangan di sebelah tikungan.
Ketika kuda-kuda itu berbelok,
maka sekali lagi Wanakerti berkata, “Sekarang. Lakukan. Hati-hatilah.”
Orang yang bermata tajam itu
pun kemudian menarik kendali kudanya kekanan, sehingga dengan serta-merta
kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun di
pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi orang itu tidak berpacu terus. Untuk
tidak menarik perhatian, maka ia pun segera menghentikan kudanya dan
bersembunyi di balik gerumbul yang lebat.
Ternyata perhatian orang-orang
yang mengejar mereka itu, tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya
yang berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan bahwa salah seorang dari
ketiganya telah berbelok dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat.
Demikian orang-orang yang
mengejarnya itu lewat, maka orang bermata tajam itu segera memacu kudanya pula,
justru menyeberangi lorong sempit itu beberapa langkah dari tempatnya berbelok
meninggalkan lorong itu.
Ternyata beberapa saat
kemudian, orang-orang yang mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari
buruannya telah hilang.
Sejenak kemudian mereka masih
mencoba meyakinkan apakah yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang.
Namun sejenak kemudian seseorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka
berteriak, “Yang dua di antara kalian kembali. Cari yang seorang. Ia pasti
hilang di tikungan. Jangan sampai lolos dari tanganmu berdua.”
Dua orang yang berkuda di
paling belakang segera menarik kendali kuda mereka. Dengan tergesa-gesa mereka
pun kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain mengejar
Wanakerti dan seorang kawannya.
Ketika dua orang yang berbalik
itu sampai di tikungan, mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak
segera menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu berlari?
“Pasti belum terlampau jauh.”
“Ya. Tetapi ke mana?”
Keduanya pun kemudian meloncat
turun. Dengan teliti mereka mencoba mengamati bekas-bekas telapak kaki kuda
yang bertebaran di lorong sempit itu.
Tiba-tiba saja seorang dari
mereka menemukan bekas kaki kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara
batang-batang ilalang. Dengan serta-merta ia berkata “Lihat. Bekas kaki kuda
ini.”
Yang seorang pun segera
mendekatinva. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ia
berbelok kemari.”
Keduanya pun segera berlari
kekuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan naik. dan sejenak
kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda yang masuk ke dalam
rimbunnya batang ilalang yang liar, sehingga mereka tidak begitu sulit untuk
menemukan jejak itu selanjutnya.
Tetapi mereka terhenti sejenak
karena bekas-bekas kaki itu menjadi kabur ketika jejak itu masuk ke dalam
gerumbul. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari mana bekas kaki
itu keluar lagi.
“Cepat, kita ikuti. Kita
jangan kehilangan lagi.” Sambil mengumpat-umpat mereka berhasil mengikuti jejak
itu, melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru menyilang kembali
jalan sempit yang sudah dilaluinya.
“Cerdik sekali,” desis yang
seorang dari mereka, “ia mencoba menghilangkan jejak.”
“Tetapi kita bukan anak kecil
yang dapat dikelabuinya. Kalau ia berhasil menghapus jejaknya, maka barulah
kita akan kehilangan pengamatan.”
Yang lain tidak menyahut.
Tetapi mereka kini berpacu di antara batang ilalang. Mereka tidak lagi melalui
jalan sempit yang sering dilalui orang meskipun jarang sekali. Tetapi kini
mereka benar-benar melintas padang yang liar.
“Jurusan ini sama sekali tidak
menguntungkannya,” berkata salah seorang dari mereka. ”Orang itu akan
terjerumus kedalam rawa-rawa.”
“Itu akan mempermudah
pekerjaan kita. Kita tinggal membenamkannya saja. Kita ikat sebuah batu di
lehernya. Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan terbenam
perlahan-lahan.”
“Tidak pada lehernya. Pada
kakinya. Mungkin akan lebih menyenangkan baginya. Akan diperlukan waktu dua
hari sebelum kepalanya terbenam sama sekali.”
Kawannya tidak menyahut.
Tetapi mereka berpacu semakin cepat. Mereka sama sekali tidak kehilangan jejak
yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi orang yang
mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan rerumputan yang tersibak, telah menuntun
kedua orang itu semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya.
Dalam pada itu, Wanakerti
masih berpacu secepat-cepatnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat
lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas berikutnya masih agak
jauh, sedang orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat.
“Agaknya kita akan bertempur,”
berkata Wanakerti kepada kawannya yang tinggal seorang.
“Ya. Tetapi mereka pun tinggal
tiga orang, Yang lain telah kembali berusaha mengejar kawan kita yang berbelok
di tikungan.”
“Mudah-mudahan ia dapat lolos
dan menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang daerah kerja
kita.”
Kawannya tidak menyahut.
Dilecutnya kudanya, dan kuda itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang di
atas jalan yang sempit.
Tetapi seperti yang
diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak yang sudah dekat itu pun menjadi semakin
dekat. Yang tiga orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil mengacungkan
pedangnya.
“Pedang itu agaknya tidak
beracun,” desis Wanakerti.
“Darimana kau tahu?”
“Senjata beracun biasanya
tidak mengkilap, tetapi buram dan hitam kemerah-merahanan seperti karat.”
“Mudah-mudahan,” desis
kawannya. Lalu, “Apakah kita tidak sebaiknya berhenti saja?”
“Kita harus berusaha sampai
sejauh-jauh dapat kita lakukan. Semakin dekat dengan gardu pengawas yang kedua
akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat mencapai gardu itu.”
“Terlampau sulit. Kuda-kuda
kita kalah berpengalaman.”
“Apa boleh buat,” desis
Wanakerti pula.
Namun demikian mereka masih
berpacu terus, sehingga pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar mereka itu
menjadi semakin dekat.
“Kita mencari tempat yang agak
lapang” desis Wanakerti.
“Kita akan bertempur
sekarang?”
“Tidak ada jalan lain. Kita
akan bertempur di atas punggung kuda.”
“Aku bekas pasukan berkuda
dari Demak,” sahut kawannya.
“Kau lupa akulah juara
watangan bagi para pengawal tanah ini, kecuali para pemimpin.”
Kedua orang itu pun kemudian
memencar ke daerah yang agak luas. Di atas batang ilalang setinggi dada, mereka
mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang mengejarnya.
“He, kalian akan menyerah?”
teriak salah seorang dari mereka yang mengejarnya.
Wanakerti tidak menjawab.
Tetapi ia mencabut pedangnya. Kudanya kini sudah berputar menghadap ke arah
ketiga penunggang kuda yang sudah semakin dekat.
Dengan isyarat Wanakerti pun
kemudian memerintahkan kepada kawannya untuk menyerang bersama-sama dari
jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu masih belum mapan.
Sejenak kemudian maka kedua
ekor kuda itu bagaikan melompat dan menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya
benar-benar mempunyai pengalaman yang baik untuk bertempur di atas punggung
kuda.
Tetapi ternyata pula bahwa
lawan mereka pun cukup mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil
mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak, “Bunuh saja tikus-tikus sombong itu.
Kalau kalian menyerah, kalian akan selamat.”
Wanakerti seolah-olah sudah
tidak sempat lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak
menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya. Namun pedangnya sajalah
yang berputar seperti baling-baling.
Sejenak kemudian maka
Wanakerti dan kawannya telah terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun
Wanakerti dan kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka harus
melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak membiarkan salah seorang dari
mereka dikerubut dua. Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai.
Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan, sehingga kesempatan
untuk mengalahkan yang lain pun menjadi semakin besar.
Karena itu, maka Wanakerti
bertempur seperti sepasang elang yang menyambar silang-menyilang. Sejenak ia
melayani seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan menyambar
lawannya yang lain. Demikian pula kawannya, bekas seorang prajurit berkuda.
Dengan garangnya ia menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian berputar
menjauh.
Meskipun demikian, mereka
harus mengakui, bahwa ketiga lawannya adalah orang-orang yang tangguh.
Orang-orang yang berpengalaman bertempur di atas punggung kuda pula.
Sekilas Wanakerti teringat
kepada seorang kawannya yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang
berkumis yang sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan para pengawas
itu. Ternyata orang itu mampu melawan tiga orang pengawas sekaligus.
“Waktu itu, hatiku telah
dibakar oleh kekecilan arti diri sendiri,” berkata Wanakerti kepada dirinya.
“Tetapi sekarang aku tidak.”
Meskipun demikian, ternyata
Wanakerti dan kawannya segera merasa, bahwa untuk melawan ketiga orang itu
adalah pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka.
Tetapi Wanakerti dan kawannya
sama sekali tidak berputus asa. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertempur.
Bahkan bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar berarti mengikat ketiga
orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya itu gugur, itu adalah kemungkinan
yang sudah diperhitungkan sejak ia memasuki lingkungan pengawal Tanah Mataram
yang baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas, kemungkinan itu pasti ada.
Yang diharapkan olehnya
satu-satunya adalah, agar kawannya yang seorang lagi mampu melepaskan dirinya
dan berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah kalau dapat langsung
menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar.
Dengan demikian maka Wanakerti
dan kawannya itu pun justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi, mati, sama
sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga dengan demikian
keduanya mampu bertempur sambil berpikir. Mereka tidak saja menumpahkan segenap
kemampuan, tetapi juga mereka mempergunakan otak mereka, bagaimana mereka dapat
bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
Maka, semakin lama perkelahian
itu pun menjadi semakin seru. Wanakerti dan kawannya ternyata dapat bekerja
bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi padang ilalang itu
dengan kuda mereka yang berlari-lari melingkari menyilang dan kadang-kadang
mereka bertempur beradu punggung.
“Selan alas!“ pemimpin
orang-orang yang mengejar Wanakerti itu mengumpat. “Kalian ternyata sangat
licik. Kalian tidak bertempur secara jantan.”
“Apakah ukuran kejantanan
itu?” bertanya Wanakerti.
“Berkelahi beradu dada. Tidak
berlari-lari dan berputar-putar.”
“Bertempur beradu dada seorang
lawan seorang, atau berapa saja jumlah yang ada ?”
“Persetan. Aku tidak peduli.”
“Kalian atau kamilah yang
tidak jantan?”
“Kalian memang harus mampus.”
“Kenapa?” bertanya kawan
Wanakerti sambil menyambar dengan pedangnya. Ketika lawannya mengelakkan pedang
itu, terdengar kedua senjata itu beradu.
“Kalian, para pengawas memang
harus mati.”
“Apa salah kami?”
Mereka tidak menjawab lagi.
Tetapi mereka menekan kedua pengawas itu semakin berat. Kadang-kadang mereka
memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya. Mereka akan membinasakan
keduanya seorang demi seorang. Tetapi hal itu disadari oleh kedua pengawas itu,
sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak dapat diurai
menjadi dua lingkaran pertempuran.
Namun, terasa tenaga kedua
pengawas itu menjadi semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan
mereka untuk tetap bertahan.