Buku 039
“Aku sudah menyebarkan
perintah untuk menarik semua pasukan. Dan aku juga sudah menyiapkan pasukan
berkuda yang akan mengimbangi semua gerak lawan, kalau perlu dengan melakukan
kekerasan dan mengorbankan beberapa buah rumah penduduk yang kelak akan kita
perhitungkan.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya seakan-akan sekelompok burung
elang yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pasukan yang demikian
memang dapat mempengaruhi pertimbanggan lawan dan kadang-kadang dapat
mengalihkan gerakan pasukan. Tetapi orang-orang yang berada di dalam pasukan
itu harus benar-benar orang-orang terpilih. Bukan saja kemampuannya bertempur,
tetapi lebih dari pada itu, adalah ketabahan hati mereka menghadapi semua
keadaan, kesadaran mereka akan perjuangannya dan ketiadaan pamrih bagi diri
sendiri.
“Apakah orang-orangnya sudah
dipilih?” Wrahasta kemudian bertanya. “Sebab untuk menjadi anggauta pasukan
itu, beberapa syarat harus dipenuhi. Apalagi apabila ada di antara mereka yang
mempunyai cacad pribadi, maka mereka pasti akan melakukan hal-hal yang
merugikan nama baik pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini.”
“Aku mengharap demikian,”
sahut Samekta. “Pada saat terakhir aku sendirilah yang akan menentukan
orang-orangnya dari mereka yang telah ditunjuk.”
Wrahasta dan Kerti
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang
akan dapat terjadi apabila dalam waktu yang singkat kedua pihak harus
berbenturan lagi. Keduanya akan menjadi semakin parah. Tetapi terlebih parah
lagi adalah pasukan Ki Argapati. Sudah tentu Ki Tambak Wedi akan ikut di dalam
pasukan itu bersama Sidanti dan Ki Argajaya. Mungkin Ki Peda Sura dan
orang-orang lain yang belum diketahuinya.
Jika demikian, maka sulitlah
bagi pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk mempertahankan diri. Mungkin
pasukan berkuda itu akan mampu mengurai pemusatan pasukan Sidanti. Namun sudah
tentu tidak akan cukup kuat untuk ikut menentukan akhir dari keseluruhan.
“Tetapi kita berusaha. Kita
memang harus berbuat sesuatu,” tiba-tiba saja Kerti berdesis. “Kita tidak akan
menyerahkan diri kita untuk dibantai tanpa melakukan perlawanan. Setiap
laki-laki harus ikut di dalam pasukan.”
Samekta mengangguk-anggukan
kepalanya. Katanya, “Sampai saat ini hampir tidak ada laki-laki yang tersisa.
Yang kita harapkan untuk menambahkan kekuatan adalah orang-orang tua yang
sampai saat ini justru telah meletakkan senjata mereka, tetapi mereka cukup
mempunyai pengalaman dan kemampuan. Mereka harus kita bawa kembali ke
medan-medan dan menarik senjata-senjata mereka dari wrangkanya. Mereka akan
didampingi oleh anak-anak muda yang merupakan kekuatan mereka, sedang mereka,
dengan pengalaman dan kemampuan mereka, akan mengarahkan kekuatan itu ke
sasaran yang benar.”
Sekali lagi Kerti dan Wrahasta
itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku harus mendapat laporan
tentang perintahku,” berkata Samekta kemudian. Lalu katanya, “Kalian ada
pendapat?”
Kerti dan Wrahasta
menggelengkan kepala mereka. “Aku kira untuk sementara, gerakan itu sudah
cukup,” sahut Kerti.
“Kita memerlukan senjata jarak
jauh lebih banyak lagi,” berkata Wrahasta kemudian. “Tekanan pada pintu-pintu
masuk padesan ini perlu kita kurangi dengan panah-panah apabila mereka
benar-benar datang. Kita harus membuat tempat-tempat yang mapan di atas
bambu-bambu ori untuk menempatkan pasukan panah kita.”
“Ya, aku kira kau dapat
melakukannya. Berikan perintah itu kepada pasukan yang berkepentingan.”
Wrahasta menganggukkan
kepalanya. Ia tidak menunggu sehingga waktu akan terlalu habis oleh meningkatnya
keadaan. Segera ia berdiri dan melangkah ke luar, mempersiapkan keadaan pintu
gerbang masuk ke padesan di empat penjuru dengan menempatkan pasukan berpanah
di sela-sela pering ori.
Samekta dan Kerti masih saja
berbicara tentang keadaan pasukan mereka. Kesulitan-kesulitan yang akan mereka
hadapi dan cara-cara yang akan dapat ditempuh untuk mengatasi setiap kesulitan
itu.
“Pada saatnya kita harus
menyampaikan kepada Ki Argapati supaya kita tidak salah jalan,” berkata Kerti.
“Meskipun saat ini masih belum memungkinkan karena lukanya, namun aku mengharap
bahwa sesudah ia beristirahat, ia akan dapat dibawa berbincang-bincang.
Meskipun Ki Gede sendiri tidak akan ikut turun ke peperangan, tetapi nasehatnya
sangat kita perlukan.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat membayangkan, seandainya Ki Gede
mengetahui semua persoalan, apakah ada seseorang yang dapat mencegahnya, supaya
ia tidak meninggalkan pembaringannya, turun ke medan perang meskipun lukanya
belum sembuh?
“Tetapi kita harus
berhati-hati,” desis Samekta. “Kita mengenal sifat Ki Gede Menoreh baik-baik.”
“Ya,” sahut Kerti. “Hampir
saja aku tidak berhasil mengajaknya masuk ke desa ini. Demikian ia mendengar
bahwa Pandan Wangi terpisah dari pasukanya, hampir saja ia kehilangan kesadaran
dirinya.”
“Karena itu, maka untuk
sementara kita akan berusaha mengatasi semua persoalan di sini tanpa mengganggu
Ki Argapati,” berkata Samekta kemudian.
“Ya, tetapi bagaimanakah
kira-kira perasaan Ki Gede, apabila suatu ketika kita minta ia meninggalkan
desa ini karena pasukan Sidanti sudah di ambang pintu dan tidak dapat dibendung
lagi?”
Samekta mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa keadan yang
demikian tidak akan terlampau cepat terjadi. Aku percaya kepada Wrahasta dan
aku mengharap hahwa pasukan berkuda yang akan tersusun itu dapat mengganggu
susunan rencana Ki Tambak Wedi. Aku masih mengharap mudah-mudahan Ki Argapati
cepat sembuh dan mampu memimpin pasukannya.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Obat yang didapatkannya dari orang bercambuk itu
benar-benar baik. Setelah mengalami benturan yang dahsyat di dalam tubuhnya. Ki
Argapati tampak menjadi segar.”
“Tetapi apakah masih ada sisa
obat itu?”
Kerti menggelengkan
kepalannya. “Tidak. Semua sudah habis ditaburkan di atas lukanya. Kalau daya
penyembuh obat itu tidak berkurang, maka aku mengharap Ki Gede akan bisa lekas
sembuh.”
Samekta tidak menyahut. Tetapi
wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Biasanya obat hanya mempunyai daya
penyembuh yang sangat terbatas, sehingga setiap kali obat itu harus diganti.
Meskipun demikian Samekta tidak mengatakannya. Bahkan ia berdoa mudah-mudahan
obat yang satu ini mempunyai kelebihan dari obat-obat yang lain. Sehingga
terloncat dari bibirnya, “Apabila Ki Gede lekas sembuh, maka kita akan hidup
kembali. Kita akan menengadahkan kepala kita. Pasukan yang ada masih cukup kuat
untuk merebut kembali seluruh Tanah ini dari pengkhianatan.”
Kerti mengangguk-angguk pula.
Tetapi tiba-tiba ia bergumam, “Persoalan yang harus didengar oleh Ki Gede bukan
saja persoalan Tanah Perdikan ini.”
“Apa lagi?”
“Pandan Wangi.”
“Kenapa Pandan Wangi? Meskipun
ia seorang gadis tetapi ia adalah seorang senapati yang baik. Bahkan terlampau
baik. Bahwa ia terpisah dari pasukannya, adalah karena rasa tanggung jawabnya
yang berlebih-lebihan, apalagi ia sama sekali belum berpengalaman.”
“Bukan itu. Aku tahu bahwa ia
adalah seorang senapati yang baik di medan perang. Tetapi ia adalah seorang
gadis. Meihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh
persoalan yang harus diketahui oleh Ki Argapati.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Ia tidak segera menangkap maksud dari Kerti. Namun ia mengangguk-angukkan
kepalanya ketika ia mendengar Kerti berkata, “Maksudku, persoalan Pandan Wangi
sebagai seorang gadis. Bukankah kau pernah berkata, bahwa sesuatu tergetar di
dalam dada Wrahasta tentang Pandan Wangi.”
“O,” sahut Samekta penuh
pengertian, “ya, itu pun merupakan suatu persoalan bagi Ki Argapati.”
“Mudah-mudahan Pandan Wangi
tidak mempersoalkannya sekarang dengan ayahnya”
“Mungkin ia asyik berceritera
tentang gembala itu.” Tiba-tiba Samekta mengangkat wajahnya seolah-olah ia
sedang mengenang sesuatu “Gembala itu?”
“Kenapa dengan gembala itu?”
bertanya Kerti.
“Aku pernah menyangkanya
seorang gembala yang jujur tetapi dungu,” desis Samekta. “Tetapi ternyata
akulah yang dungu.”
“Kau pernah bertemu dengan
gembala itu?”
Samekta tersenyum. Jawabnya
“Terlalu sekali. Ketika aku mendengar ia menyebut namanya, aku katakan
kepadanya, bahwa namanya terlampau baik, lebih baik dari namaku. Apa jawabnya
setelah ia mengetahui namaku? Katanya, ‘Ya, memang namaku lebih baik dari
Samekta, meskipun Samekta juga sudah cukup baik, tetapi tidak sebaik Gupita.’”
“O,” Kerti pun tersenyum.
“Aku menyangkanya seorang yang
dungu. Ketika aku melihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi
oleh bayangan harapan dari seorang gembala untuk mendapatkan perlindungan,”
suara Samekta menurun. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Pantas, kata-katanya saat itu, betapa terasa kedunguannya, namun cukup membuat
aku pening. Ia bertanya, ‘Apakah kalau ada seseorang yang merampas
kambing-kambingku, merampas hakku, orang itu tidak dihukum?’ Dan pertanyaan itu
membuat aku pening.”
“Apa jawabmu?”
“Kalau aku tahu tentang anak
itu sebenarnya, jawabku pasti lain. Tetapi saat itu aku menjawab, ‘Bahwa mereka
yang melanggar peraturan, merampas kambing, merampas hak seseorang itu
mempunyai pedang di lambungnya. Untuk menghukumnya, diperlukan pedang yang
lebih tajam dari pedang mereka.’”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Samekta berkata, “Tentu ia mentertawakan jawabanku saat itu,
seolah-olah ketetapan dan tegaknya peraturan itu semata-mata berada di ujung
pedang.”
“Ternyata ia bukan anak yang
dungu seperti yang kau sangka.”
“Ya. Kalau benar kata Pandan
Wangi, bahwa Gupita itulah yang menolongnya, dan bersama-sama melukai Ki Peda
Sura, maka kilatan matanya saat itu adalah pertanda bahwa ia mempunyai sesuatu
yang tersimpan di dadanya. Sekarang aku menyadari keadaanya saat itu. Itulah
agaknya sebabnya ia sama sekali tidak menyingkirkan kambing-kambingnya ketika
orang-orang liar yang berada di pihak Sidanti mendatanginya. Ternyata ia siap
untuk menghadapi keenam orang yang tetah mencegat Pandan Wangi saat itu.”
Kerti masih
mengagguk-anggukkan kepalanya. Namun timbul kekhawatiran di dalam dadanya.
Pandan Wangi adalah seorang gadis. Kalau ia sudah mulai mengagumi seorang anak
muda, maka kadang-kadang seorang gadis tidak lagi mampu memisahkannya, apakah
ia mengaguminya sebagai seorang prajurit yang tangkas di peperangan, ataukah ia
mengaguminya sebagai seorang anak muda yang lembut, atau justru sikapnya yang
kasar, yang telah menyentuh hatinya, atau perasaan apa pun. Perasaan yang
berbeda-beda dalam bentuk dan sifatnya itu, kadang-kadang dibaurkan menjadi
satu di dalam hati seorang gadis.
Namun hal yang demikian adalah
suatu hal yang sudah wajar. Kalau tidak ada persoalan-persoalan yang lain, maka
hal itu tidak perlu dipersoalkan, atau dicemaskan.
Tetapi tidak demikian halnya
dengan Pandan Wangi. Sebelum Pandan Wangi berbicara tentang gembala itu, maka
seorang anak muda yang lain, yang hampir setiap hari keduanya bertemu pandang,
telah lebih dulu mengaitkan cita-cita hidupnya kepadanya. Dan anak muda itu
mempunyai peranan yang cukup penting bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Samekta agaknya menangkap
getar perasaan Kerti, sehingga ia berkata lirih, “Sudah tentu hadirnya gembala
itu merupakan persoaIaan baru bagi Ki Argapati. Mungkin persoalan ini akan
dapat berkepanjangan. Gembala itu pasti bukan tanpa maksud melibatkan dirinya
dalam masalah Tanah Perdikan Menoreh.”
Jawab Kerti, “Ternyata gembala
itu masih akan bertambah satu lagi dengan seorang anak muda yang gemuk, yang menyebut
dirinya bernama Gupala.”
Samekta tidak segera menyahut.
Kadang-kadang ia menyesali keadaan itu, keadaan yang kurang menguntungkan pada
saat-saat serupa ini. Justru karena Pandan Wangi seorang gadis. Kalau Pandan
Wangi bukan seorang gadis, kehadiran gembala itu akan dapat menumbuhkan harapan
yang pasti, selagi ia bermaksud baik dan tanpa pamrih yang dapat merugikan
tanah perdikan ini. Tetapi keadaannya agak berbeda karena Pandan Wangi adalah
seorang gadis.
Sementara itu, di induk Tanah
Perdikan Menoreh, Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan beberapa orang
pemimpin pasukannya sedang sibuk berbicara tentang Ki Argapati. Petugas
sandinya yang berhasil keluar dari padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh,
telah sampai dengan selamat di padukuhan induk dan langsung menemui pimpinan
tertingginya.
“Apakah kau pasti bahwa sakit
Argapati cukup parah?”
“Ya,” jawab orang tua itu,
“aku pasti. Aku melihat sendiri, bagaimana ia turun dari kuda, kemudian dengan
susah naik ke rumah yang disediakan untuk puterinya, Pandan Wangi. Aku
mendengar langsung dari seorang pengawal yang mendapat tugas untuk mencari
seorang dukun yang cukup baik.”
“Apakah kau tidak menawarkan
Ki Wasi. Bukankah Ki Wasi dahulu hampir tidak pernah terpisah dari Ki
Argapati.”
Kakek petugas sandi itu
mengerutkan keningnya. Ketika mengedarkan pandangan matanya ia melihat seorang
laki-laki, berkumis dan berjanggut pendek tersenyum kepadanya. Tanpa ditanya
orang itu berkata perlahan-lahan, “Sayang. Aku tidak dapat mengikuti jalan
pikiran Ki Argapati yang telah sampai hati memusuhi putranya sendiri. Adalah
tidak pantas bagi seorang ayah berbuat demikian. Betapapun besar kesalahan
seorang anak, tetapi ia adalah setitik dari darahnya. Apakah seorang anak
terpaksa melakukan perlawanan atas ayahnya, maka kesalahan yang sebenarnya
pasti terletak kepada ayah itu sendiri. Setidak-tidaknya ia tidak berbasil
membentuk anaknya menjadi seorang anak yang berbakti. Apalagi sikap yang
terlampau keras seperti yang dilakukan oleh Ki Gede saat ini terhadap satu-satunya
putranya yang justru kelak akan mewarisi Tanah ini.”
Setiap orang di dalam ruangan
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menjadi semakin yakin dan mantap
untuk berperang di pihak Sidanti. Namun beberapa orang yang lain acuh tidak
acuh saja mendengar kata-kata itu. Orang-orang yang datang dari luar Menoreh
sama sekali tidak peduli, apakah yang mereka persoalkan. Apakah ada
perselisihan antara anak dan ayah, apakah ada sekelompok yang sedang
mamperjuangkan cita-cita, apakah ada pihak-pihak yang sedang menuntut haknya,
apakah ada apa pun juga, namun semua itu akan dapat mereka manfaatkan untuk
kepentingan mereka masing-masing.
“Persetan,” berkata salah
seorang dari mereka di dalam hatinya. “Aku tidak peduIi. Tetapi persengketaan
ini harus segera menjalar. Sampai saat ini aku belum berhasil mendapatkan apa
pun. Ternyata setan-setan yang lain telah mendahului aku. Kecuali sebuah pendok
sepuhan dan sebuah timang kecil, aku belum mendapat apa-apa lagi.”
Berbeda dengan mereka, maka
getar dalam dada Sidanti terasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia menyadari
bahwa pemahaman Ki Wasi atas dirinya ternyata keliru. Apakah kata orang tua itu
seandainya ia tahu, bahwa Sidanti sama sekali bukan titik darah Ki Argapati?
Tetapi ditahankannya perasaan
itu jauh-jauh di dalam dadanya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada kakek
petugas sandi itu, “Siapakah yang memberi obat kepada Ki Argapati?”
Kakek tua itu menggeleng.
“Kami tidak tahu. Tetapi mereka sedang mencari.”
Tiba-tiba dari sela-sela
mereka yang berada di dalam ruangan itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh.
Seorang laki-laki tua, berkumis, berjanggut, dan berambut jarang, tertawa
sampai terangguk-angguk. Ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di
kepalanya tanpa menutupi sebagian daripadanya, menunjukkan kejarangan rambutnya
di ubun-ubun. Di kedua belah tangan laki-laki tua itu mempergunakan sepasang
binggel akar kayu berlian, dan di lehernya tersangkut berbagai macam
benda-benda yang dianggapnya keramat. Taring celeng mati ngurak, biji asam
berangkai genap, sepotong besi berwarna kuning, tiga bongkah batu kecil
berwarna telon bersap tiga, dan beberapa macam benda-benda yang lain. Sedang
pada ikat pinggangnya tergantung sebuah tempurung kecil berisikan berbagai
reramuan obat-obatnya dan sebuah kantong kain berisikan barbagai macam
bunga-bunga yang dianggapnya aneh. Bunga semboja bermahkota genap. Bunga
telasih putih, bunga pohung sungsang, dan bunga sekar jagad.
Sejenak semua mata terpancang
kepada orang tua itu. Dengan matanya yang tajam orang tua itu memandang kepada
petugas sandi yang memberitakan terutama keadaan Argapati. Sejenak kemudian ia
berkata, “Apakah Argapati atau orang-orangnya tidak menyebut namaku?”
Petugas sandi itu menggeleng.
Namun tiba-tiba ia berkata, “Ya, nama Kiai disebutnya juga.”
“Apa kata Argapati tentang
aku?”
“Bukan Argapati, tetapi salah
seorang pengawal yang bertugas mencari dukun yang dapat dipercaya.”
“Apa katanya?”
“Argapati mencari seorang
dukun. Tetapi bukan Ki Wasi dan Ki Muni.”
Sekali lagi suara tertawa
laki-laki tua, yang bernama Ki Muni itu meledak, sehingga tubuhnya
berguncang-guncang. Tetapi tiba-tiba suara tertawanya terputus. Dikerutkannya
dahinya sambil berkata, “Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang sama seperti Ki
Wasi. Pada saat Argapati masih berkuasa, Ki Wasi betah duduk sehari muput,
bahkan semalam suntuk, menjagainya dengan setia. Mengurut kakinya dan mengobati
luka-lukanya kalau kakinya terantuk tlundak pintu. Tetapi aku tidak. Sejak
semula aku menentangnya. Aku pernah menantangnya berperang tanding. Tetapi
Argapati tidak bersedia. Karena itu, sampai saat ini pun aku tetap
menentangnya.”
“Jangan ngundat-undat, Kakang
Muni,” potong Ki Wasi. “Kau tidak berkata dengan jujur. Apakah yang pernah kau
lakukan saat itu hampir setiap orang mengertahuinya. Tetapi aku tidak perlu
mengungkapnya kembali. Yang penting adalah apa yang kini sedang kita hadapi.
Syukurlah kau mampu menghadapi Ki Argapati itu dalam perang tanding seperti Ki
Tambak Wedi. Dengan demikian maka nama Ki Muni akan segera dipasang di samping
nama-nama Ki Argapati, Ki Tambak Wedi, dan nama-nama lain yang sejajar dengan
nama-nama itu.”
Sepercik warna merah menjalar
di wajah Ki Muni. Tiba-tiba wajah itu menjadi tegang. Dari sepasang matanya
memancar kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Dengan suara yang berat ia
menggeram, “Persetan dengan kau, Adi Wasi. Apa kau sangka aku tidak mampu
meremas mulutmu itu, he? Dahulu kau menjilat telapak kaki Argapati, sekarang
kau bersimpuh di hadapan Angger Sidanti. Huh, orang seperti kau memang tidak dapat
dipercaya sepenuh hati.”
Ki Wasi menarik nafas
dalam-dalam. Tampak betapa ia terlampau sulit menahan perasaannya. Tetapi ia
masih dapat berkata sareh, “Apakah kita akan berbantah dan saling mengungkapkan
kenistaan di masa lampau? Kalau itu yang kau kehendaki, maka aku akan bersedia.
Bahkan kalau kau masih juga belum puas, dan kau menghendaki yang lain, maka
meskipun aku sudah merasa cukup tua, tetapi aku masih ingin mencoba
mempertahankan harga diriku, Kakang.”
Sekali lagi suara tertawa Ki
Muni meledak memenuhi ruangan. Beberapa orang ikut terseret dalam ketegangan
itu. Sejenak mereka hanyut dalam perbantahan yang semakin seru. Tetapi
tiba-tiba Argajaya tersenyum dalam hatinya. Ia mengenal kedua orang itu dan ia
mengetahui apa yang telah mereka lakukan di masa-masa lampau mereka.
Karena itu, adalah sangat
menggelikan apabila orang berbicara tentang diri sendiri di saat ini, di mana
keadaan telah meningkat menjadi semakin panas.
Agaknya Ki Muni masih juga
ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi memotong, “Ya, aku tahu
semuanya. Aku bukan seorang yang tuli. Aku telah mendengar tentang kalian
selengkapnya. Tetapi marilah kita lupakan masa lampau itu. Kita kini sedang
menghadapi tugas yang cukup berat. Kami mengharap kalian berdua selau berada
dalam tugas kalian sebaik-baiknya. Aku tidak akan menempatkan Ki Muni di
medan-medan perang untuk menghadapi langsung Ki Argapati atau menempatkan Ki
Wasi sebagai seorang senapati perang untuk merebut Karang Sari atau Patemon,
atau daerah-daerah lain yang kini masih dikuasai oleh orang-orang Argapati.
Tetapi aku minta setiap saat kalian dapat menyembuhkan orang-orang yang terluka
di peperangan. Itu adalah tugas kalian. Kalian tidak usah bertengkar berebut
benar tentang pendirian masing-masing. Baik di saat ini maupun di saat-saat
lampau.”
Keduanya tidak menjawab.
Sesaat mereka saling memandang, namun kemudian mereka melemparkan pandangan
mata mereka jauh-jauh keluar dari ruangan itu ke titik-titik di kejauhan.
“Yang perlu kita pertimbangkan
sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau
benar-benar Argapati terluka parah, apakah ia akan dapat sembuh? Mungkin ada
dukun-dukun kecil yang mencoba mengobatinya pula. Tetapi apakah mereka mampu
membersihkan racun pada luka Ki Argapati itu. Kalau tidak, maka betapapun
lambatnya, luka itu akan menjalar dan akan menghancurkan kulit dan dagingnya.”
“Tetapi Ki Argapati sendiri
mengerti, bagaimana ia harus mengobati luka-luka,” berkata Ki Wasi.
“Ya, ilmu itu sekedar
dimilikinya seperti aku juga mengerti serba sedikit. Tetapi untuk melawan luka
yang parah, diperlukan sorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang itu
seperti Ki Wasi dan Ki Muni.”
“Tentu,” sahut Ki Muni. “Kalau
benar ia terluka parah, maka biarkan saja ia sehari dua hari. Ia akan mati
dengan sendirinya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang cukup mempunyai
pertimbangan tentang peperangan ia berpendirian lain. Ia tidak dapat menunggu
sampai Argapati itu mati dengan sendirinya. Ia tidak dapat menunggu waktu yang
tidak berkepastian. Sebagai seseorang yang mempunyai perhitungan medan,
pikirannya agak lain dari pikiran Ki Muni. Maka katanya, “Memang Argapati
mungkin akan mati dengan sendirinya. Tetapi kita tidak dapat melepaskan waktu
ini, di saat-saat Argapati menjelang hari terakhirnya. Kita harus mempergunakan
waktu sebaik-baiknya.”
“Apakah yang akan kita lakukan
Kiai?” bertanya Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Tetapi ia melihat kilatan mata Sidanti, bahwa anak ini telah menangkap
maksudnya. Bahkan Sidanti-lah yang mendahului berkata, “Kita hancurkan
sisa-sisa pasukan Argapati itu selagi mereka belum mampu bangun dari pingsan.
Kalau kita menunda-nunda lagi, mungkin ada sesuatu yang dapat menolong Argapati
sehingga keadaan akan segera berubah.”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Sebagai seorang senapati pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,
ia tidak dapat berpendirian lain, kecuali membenarkan sikap Sidanti. Tetapi
betapa pun juga terasa sesuatu berdesir di dadanya. Argapati yang sedang
dibicarakan itu adalah kakaknya.
“Tetapi aku sudah bertekad
untuk menyingkirkannya,” katanya di dalam hati. “Kemudian, aku harus menempuh
perjuangan dalam babak yang baru. Aku pasti tidak akan dapat melihat Sidanti
menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Dan aku juga tidak dapat mempercayai Ki
Tambak Wedi sepenuhnya, bahwa ia akan memberi kesempatan kepadaku ikut serta di
dalam pemerintahan. Apalagi apabila dengan landasan Tanah Perdikan ini Ki
Tambak Wedi dapat membawa Sidanti merayap ke singgasana Pajang.”
Argajaya terkejut ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi bertanya kepadanya, “Bagaimanakah sebaiknya? Apakah
kau sependapat dengan Sidanti.”
“Ya. Ya,” Argajaya tergagap,
“aku sependapat. Memang tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh sekarang.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang menurut perhitungan yang paling tepat,
pasukannya harus segera bergerak, memukul pasukan Argapati yang sedang terluka
parah itu. Menurut perhitungan keprajuritan, maka pasukan Argapati tidak akan
dapat bertahan. Mereka tidak mempunyai pimpinan yang dapat mengimbangi para
pemimpin dari pasukan Sidanti.
Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi
masih tampak ragu-ragu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Sidanti, kemudian
wajah Argajaya, lalu beredar kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan
itu.
“Kita harus segera
melakukannya, Guru,” berkata Sidanti kemudian. “Lebih cepat lebih baik. Selama
orang-orang Argapati masih berada dalam kegelisahan.”
“Ya, ya,” Ki Tambak Wedi
mengangguk-angguk, “tetapi kita jangan kehilangan perhitungan. Kita harus
mempertimbangkan keadaan dari segala segi.”
“Apalagi yang harus kita
pertimbangkan, Guru? Kita sudah siap. Seandainya sekarang pun kita sudah siap
untuk melakukannya. Tetapi menurut pertimbanganku, nanti malam kita bergerak.
Kita tidak usah menunggu besok.”
Tetapi Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita cukup kuat bergerak di siang hari.
Bagiku gerakan di siang hari dalam keadaan ini akan lebih menguntungkan.
Kesempatan untuk melarikan diri lebih kecil bagi Argapati yang sakit itu. Kita
akan dapat melihat segala gerakan timbal-balik. Kita akan dapat menunjukkan
kemenangan-kemenangan kita kepada para pengikut Argapati itu, sehingga nafsu
perlawanan mereka pun pasti akan terpengaruh.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Dapat banyak
terjadi dalam waktu semalam ini. Mungkin timbul berbagai macam perubahan
keadaan.”
“Itu memang mungkin sekali,”
jawab Ki Tambak Wedi, “tetapi kita jangan tergesa-gesa, sehingga kita
kehilangan pertimbangan nalar.”
“Apalagi yang dapat menghambat
gerakan kita?” bertanya Sidanti.
“Marilah kita perhitungkan,”
berkata Ki Tambak Wedi, kemudian. “Peristiwa yang terjadi atas sekelompok orang
yang telah aku persiapkan di sekitar Pucang Kembar telah menumbuhkan banyak
pertanyaan di hatiku.”
“Itu pasti pokal
pasukan-pasukan Argapati yang memang telah dipersiapkan dahulu.”
“Mereka sama sekali tidak
mengetahui, tentang sekelompok orang kita itu.”
“Kelompok mereka pun akan melakukan
seperti apa yang kita persiapkan atas Guru.”
“Aku tidak berkesan demikian,
Sidanti. Aku melihatnya lebih jauh dari sekedar kebetulan itu.”
“Lalu apakah yang telah
terjadi menurut pertimbangan Guru?”
“Aku menjumpai keanehan. Aku
telah menemukan bekas perkelahian antara sekelompok orang-orang kita itu dengan
lawan mereka. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, siapakah lawan mereka itu.
Kalau mereka adalah sekelompok orang-orang Menoreh, maka akibat dari
pertempuran itu pasti berbeda. Aku tidak banyak menemukan bekas-bekas dari
perkelahian itu. Aku hanya melihait tiga mayat yang terbaring di sana. Kemudian
ke manakah perginya yang lain?”
“Mereka berselisih dan saling
bertempur. Bukankah aku telah mengatakan, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi?”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Memang kemungkinan ini
dapat terjadi. Tetapi kemungkinan itu terlampau kecil. Mereka berangkat dalam
keadaan yang baik tanpa ada tanda-tanda perselisihan apa pun di antara mereka.
Sedangkan seandainya demikian, di antara kedua pihak itu yang masih hidup pasti
akan sampai kepada kita untuk melaporkan keadaan itu.”
“Tidak, Guru. Aku pasti bahwa
sebagian dari mereka ingin berkhianat. Sebagian ingin mencegah. Tetapi agaknya
mereka yang berada di pihak yang teguh itu terlampau lemah. Mungkin memang
hanya tiga orang itu yang semuanya mati terbunuh.”
“Lalu apakah yang dilakukan
oleh yang lain?”
“Mereka melarikan diri.”
Ki Tambak Wedi mengernyitkan
keningnya. Ia tidak melihat keuntungan apa pun dari mereka yang disangka
melarikan diri itu. Tetapi seandainya demikian, maka luka-luka pada ketiga
mayat itu pasti akan berbicara, bahwa mereka telah terbunuh dalam perkelahian
yang tidak seimbang. Tetapi luka-luka pada mayat itu sangat mencurigakannya.
“Apakah Guru masih tetap
ragu-ragu?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya. Dengan nada yang dalam ia bergumam, “Lalu siapakah yang telah
melukai Ki Peda Sura itu? Seorang anak muda yang tiba-tiba saja berkelahi di
pihak Pandan Wangi?”
Tidak seorang pun yang segera
dapat menjawab. Ki Peda Sura sendiri masih belum bernafsu untuk bercerita
tentang anak muda yang melukainya bersama Pandan Wangi. Agaknya orang itu
memang berusaha untuk berdiam diri tentang luka yang dideritanya.
“Tidak masuk akal,” gumam Ki
Peda Sura di dalam hatinya ketika orang-orang yang berusaha mengetahui
persoalannya telah pergi. “Anak muda itu hanya bersenjata sehelai cambuk.”
Dengan demikian maka
orang-orang lain tidak mendapat gambaran yang jelas tentang anak muda yang
telah berhasil melukai Ki Peda Sura itu bersama Pandan Wangi. Agaknya Ki Peda
Sura telah tersinggung harga dirinya, karena senjata lawannya hanya sehelai
cambuk.
Tetapi pertanyaan Ki Tambak
Wedi tentang orang yang telah melukai Ki Peda Sura itu memang menumbuhkan persoalan
di dalam hati Sidanti. Betapa pun juga ia berusaha menyembunyikan perasaannya
tentang hal itu, untuk sekedar menuruti nafsunya yang menyala-nyala, namun ia
tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya ia merasakan adanya suatu kekuatan yang
kurang dikenalnya ikut campur di dalam persoalan Tanah Perdikan Menoreh.
Kekuatan yang sampai saat ini masih diselubungi oleh kabut yang tebal.
Ketika angan-angannya terbang
melintasi Kali Praga dan melintasi Alas Mentaok, maka Sidanti tiba-tiba
menggeram, “Persetan, seandainya mereka hadir di sini, maka umur mereka pasti
akan tinggal seumur kembang bakung.”
Namun kadang-kadang tumbuh
pula getar di dalam hatinya. Angan-angannya kadang-kadang tidak hanya terhenti
pada jarak yang dekat dari Alas Mentaok. Namun kadang-kadang ia sampai pada
persoalan Tanah Alas Mentaok itu sendiri. Ia pernah mendengar betapa keras
tuntutan Ki Gede Pemanahan atas Bumi Mentaok yang oleh Adiwijaya telah
disanggupkan akan diberikan kepadanya setelah ia berhasil menyingkirkan Arya
Penangsang.
Terbayang di dalam
angan-angannya seorang anak muda dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
“Tidak mungkin. Anak itu tidak
akan berkeliaran di sini.”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya bayang-bayang dedaunan di
halaman yang bergerak-gerak.
“Apa yaug kau pikirkan,
Sidanti?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Memang mungkin ada kekuatan
dari luar Tanah ini, Guru.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itulah yang akan aku katakan
kepadamu, kepada Angger Argajaya, dan kepada semuanya di sini. Kekuatan yang
masih samar-samar tetapi sudah terasa kehadirannya ini harus kita pertimbangkan
sebaik-baiknya.”
“Kekuatan dari manakah menurut
dugaan Ki Tambak Wedi?” bertanya Ki Muni yang lehernya dikalungi dengan berbagai
macam jimat.
“Kami belum tahu.”
Sekali lagi Ki Muni tertawa.
Katanya, “Kita kadang-kadang memang dibayangi oleh dugaan-dugaan kita yang
samar-samar tetapi menakutkan. Kalau ada kekuatan itu, maka berapakah jumlah
mereka? Segelar sepapan atau berapa?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Ki Muni, kekuatan yang hanya satu dua orang, tetapi
memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan, akan sangat berarti
bagi kita masing-masing. Katakanlah bahwa pasukan kita di sini dan pasukan
Argapati telah sama-sama mengalami luka parah. Katakanlah bahwa kekuatan kami
kini seimbang. Maka setiap kehadiran kekuatan itu akan segera merubah
keseimbangan itu.”
“Ah,” Ki Muni mengeluh, “Kiai
adalah seorang yang memiliki pengalaman yang pasti jauh lebih banyak dari aku
di sini. Tetapi tampaknya Kiai terlampau hati-hati. Cobalah perhitungkan. Kalau
selama ini kekuatan pasukan kita seimbang dengan kekuatan Argapati, maka kita
pasti tidak akan berhasil mendesaknya. Padahal seperti yang kau ketahui, Kiai,
kita di sini belum mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ki Wasi dan aku
masih belum ikut berbuat sesuatu kecuali mengobati orang sakit. Meskipun kami
tidak setangkas Ki Tambak Wedi, tetapi cobalah, pada suatu ketika aku ingin
bertemu dengan orang yang bernama Argapati itu.”
Ki Tambak Wedi menarik
keningnya. Ia melihat wajah Sidanti yang berkerut. Tetapi ketika Sidanti itu
akan menjawab, maka segera anak muda itu digamitnya. Ia tahu benar bahwa
Sidanti dan Argajaya menjadi muak mendengar orang itu membual. Meskipun
demikian mereka tidak juga meniadakan kekuatan yang ada pada orang itu.
“Baiklah, Ki Muni,” sahut Ki
Tambak Wedi, “suatu ketika keinginanmu itu akan terjadi. Suatu ketika Argapati
akan sembuh dari sakitnya dan kau akan mendapat kesempatan pertama untuk
melawannya.”
Tiba-tiba wajah Ki Muni
menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Sejenak kemudian terdengar suara
tertawanya, “Sayang. Sayang sekali. Aku menjadi cemas bahwa cita-cita yang
demikian itu tidak akan pernah dapat terjadi. Besok atau lusa, Argapati akan
mati.”
“Bagaimana kalau ia tetap
hidup?”
“Tidak mungkin,” jawab orang
yang berkalung jimat di lehernya itu. “Seandainya ada obat untuknya, maka aku
akan melawannya dengan cara lain. Aku akan membunuhnya dengan caraku. Aku akan
menenungnya. Aku dapat membunuh tanpa meraba tubuhnya.” Dan suara tertawa orang
itu menggema lagi di seluruh ruangan.
Ki Wasi hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Kawannya yang seorang ini memang mempunyai tabiat yang aneh.
Tetapi tidak seorang pun yang berhasrat untuk mencegahnya. Hampir semua orang
telah mengenalnya sebagai seorang pembual terbesar di seluruh Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi kecuali seorang pembual sebenarnyalah bahwa memang ia seorang
dukun yang baik. Ia terkenal bukan hanya sekedar mengobati luka-luka lama dan
baru, mengobati penyakit di dalam tubuh seseorang, atau penyakit-penyakit yang
tiba-tiba, tetapi ia memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu. Setiap orang memperkatakannya sebagai seorang juru
tenung yang sakti.
“Baiklah,” berkata Ki Tambak
Wedi yang mempelajari juga ilmu semacam itu, meskipun ia lebih mementingkan
olah kanuragan. “Tetapi kita harus membuat perhitungan-perhitungan lahiriah.
Kita barus memperhitungkan setiap kemungkinan adanya kekuatan yang ikut campur
dalam persoalan ini.”
Ki Muni kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia tidak dapat ingkar, bahwa menghadapi
persoalan perang antara keluarga ini, perhitungan-perhitiungan atas dasar
penilaian keprajuritan harus dimatangkan. Hanya dalam perselisihan pribadi
sajalah, maka caranya itu dapat diterapkan. Kekuatan tenungnya pun ternyata
hanya terbatas. Dan mau tidak mau Ki Muni harus mengakui di dalam hatinya,
bahwa Ki Tambak Wedi pun memiliki pengetahuan yang serupa.
“Lalu apakah yang sebaiknya
kami lakukan menurut Guru?” bertanya Sidanti.
“Kita harus menjajagi
keadaan,” jawab gurunya.
Sidanti mengerutkan keningnya.
Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang dimaksud dengan gurunya. Namun Ki
Tambak Wedi pun kemudian menguraikan rencananya, menjajagi keadaan dalam waktu
sehari dua hari sambil mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede Menoreh yang
terluka parah itu.
Demikianlah kedua belah pihak
telah memperkuat diri sendiri, membuat rencana untuk menghadapi setiap
perkembangan keadaan dan mencoba untuk saling mengetahui rencana dan usaha
masing-masing pihak.
Sementara itu, malam pun
kemudian hadir di permukaan bumi. Semakin lama menjadi semakin gelap. Di tempat
pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta tempat pengungsian para
keluarga yang juga dijaga cukup kuat, para peronda telah hilir-mudik dengan
kewaspadaan tertinggi. Mereka berjalan dari gardu ke gardu, menyusuri setiap
lorong dan menjaga setiap pintu keluar dan masuk padesan.
Di mulut-mulut lorong, pada
tempat-tempat tertentu telah dibuat tempat-tempat di antara duri dari pring
ori, planggrangan untuk para pengawal yang akan memperkuat pertahanan
tempat-tempat kedudukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan
senjata-senjata jarak jauh, panah dan bandil, pelempar tombak kecil-kecil dan
pelempar batu-batu dengan ujung-ujung bambu yang lentur.
Namun begitu tegang hati para
pemimpin pengawal tanah perdikan, mereka sama sekali tidak ingin mengganggu Ki
Argapati pada saat-saat ia masih habis bergulat dengan lukanya. Dibiarkannya Ki
Argapati beristirahat ditemani oleh putrinya, meskipun Pandan Wangi sendiri
banyak bercerita tentang pertempuran yang telah dialaminya. Namun Pandan Wangi
tidak menggelisahkan ayahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
dalam waktu singkat. Pandan Wangi sendiri tidak tahu pasti, bahwa ada seorang
petugas sandi yang lolos dari tempat ini dan yang akan dapat mengabarkan
tentang keadaan Ki Gede, sehingga akibat daripadanya akan berbahaya bagi
pertahanan para pengawal.
Samekta sendiri pada saat itu
hilir-mudik bersama-sama dengan Wrahasta memeriksa setiap gardu-gardu
terpenting. Melihat kesiap-siagaan pasukan pengawal yang ditempatkan di depan
mulut-mulut lorong masuk di empat penjuru. Melihat kelengkapan senjata-senjata
jarak jauh dan bahkan Samekta sendiri telah mengunjungi padesan di sebelah,
tempat keluarga mereka diungsikan, dijaga oleh kekuatan yang cukup untuk
melindungi mereka dari setiap sergapan. Samekta telah mengatur pasukannya
sedemikian, sehingga kedua tempat itu akan selalu dapat diamatinya dengan baik.
Dan arus pasukannya akan dapat berpindah-pindah dengan cepat dan lancar. Telah
diperhitungkannya kemungkinan pasukan lawan berusaha untuk memotong hubungan
antara kedua tempat itu, atau menyerang dari arah yang lain.
Namun demikian, Ki Argapati
bukan seorang pemalas yang hanya ingin berbaring diam di pembaringannya.
Bagaimanapun juga, ketajaman perasaan keprajuritannya telah memperhitungkan
semua persoalan yang telah terjadi. Meskipun Ki Argapati tidak tahu bahwa ada
seorang yang telah melepaskan berita tentang sakitnya yang parah, namun ia
memperhitungkannya seandainya hal yang demikian itu terjadi. Karena itu, maka
setelah ia cukup puas berbicara dengan Pandan Wangi, seseorang disuruhnya
memanggil Samekta menghadapnya.
Tanpa diduga-duga Ki Gede
bertanya, “Bagaimana dengan persiapanmu, Samekta?”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam, jawabnya, “Cukup baik, Ki Gede. Tetapi kita tidak perlu cemas
untuk saat-saat yang pendek ini. Aku memperhitungkannya bahwa setidak-tidaknya
malam ini tidak akan terjadi sesuatu.”
Tetapi dada Samekta
berdebar-debar ketika ia melihat Ki Argapati mengernyitkan keningnya sambil
berkata, “Apakah kau tidak mempersiapkan pasukanmu dalam kesiagaan tertinggi?”
Samekta menjadi ragu-ragu.
“Kalau kau menganggap bahwa
malam ini tidak akan terjadi sesuatu maka kau ternyata telah lengah Samekta.”
Samekta menjadi semakin
ragu-ragu menghadapi pembicaraan itu.
“Samekta,” berkata Ki Gede
lirih, “kita sudah kehilangan waktu satu senja. Karena itu kejarlah keterlambatan
itu sekarang. Kau harus berusaha mempersiapkan orang-orangmu seolah-olah malam
ini pasukan lawan akan menyerang kita. Seharusnya kau memperhitungkan
kemungkinan itu. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan bahwa berita
tentang lukaku yang parah ini akan sampai ketelinga Ki Tambak Wedi. Bukankah
begitu? Dengan demikian maka apabila perhitungan Tambak Wedi sejalan dengan
perhitunganku, kesempatan ini pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada
seorang pun yang akan mampu berhadapan seorang lawan seorang dengan Ki Tambak
Wedi. Apalagi di dalam pasukannya telah ada Sidanti dan Argajaya. Peda Sura
yang barangkali telah berangsur baik dan beberapa orang lain.”
Sesaat Samekta tidak dapat
menyahut. Ternyata meskipun ia tidak membicarakannya dengan Ki Argapati tentang
perkembangan terakhir, maka itu tidak berarti bahwa ia telah memberi kesempatan
kepada Ki Argapati untuk beristirahat dengan tenang dan tanpa memikirkan
persoalan perang yang sedang berkobar itu.
Karena Samekta tidak segera
menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Apakah dasar perhitunganmu, bahwa
malam ini tidak akan terjadi sesuatu?”
Samekta tidak dapat ingkar
lagi. Maka dengan terus terang ia berkata, “Ki Gede. Sebenarnya kita memang
telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Sebenarnya aku mempunyai perhitungan
yang serupa. Tetapi kami tidak bermaksud untuk mengganggu Ki Gede sehingga kami
memang sengaja membuat suasana seolah-olah tidak menegang.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia merasakan, betapa
orang-orangnya berusaha dengan sungguh-sungguh membantunya dalam keadaan yang
paling sulit. Bukan saja untuk mempertahankan kekuasaannya di atas Tanah
Perdikan Menoreh, tetapi juga berusaha sungguh-sungguh untuk membuatnya tenang
dalam keadaannya kini.
Perlahan-lahan terdengar Ki
Argapati berkata, “Terima kasih, Samekta. Aku memang sudah menyangka, bahwa
kalian tidak akan sebodoh itu, membiarkan diri kita kehilangan kewaspadaan.
Usaha kalian untuk membuat hatiku tenteram sangat aku hargai. Namun sebaiknya
jangan membuat aku seperti kepompong yang tidak mengerti arah. Sebaiknya kalian
membicarakan semua masalah dengan aku.”
Samekta tidak menyahut.
Ditundukkanya kepalanya dalam-dalam. Ia sudah tidak akan dapat ingkar lagi.
Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar Ki Argapati berkata, “Tetapi aku
tahu bahwa maksud kalian baik. Dan karena itulah maka aku mengucapkan terima
kasih.”
Samekta hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun ia menjadi sadar, bahwa ketajaman
perasaan Ki Gede sebagai seorang prajurit memang tidak dapat diselebungi dengan
cara apa pun.
“Untuk seterusnya Samekta,”
berkata Ki Gede itu kemudian, “sampaikan semua persoalan kepadaku. Meskipun aku
sadar, bahwa aku masih belum mampu berbuat terlampau banyak, tetapi mudah-mudahan
aku masih dapat ikut berbicara dan berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita
lakukan.”
“Maafkan kami, Ki Gede,”
berkata Samekta kemudian. “Untuk seterusnya aku akan selalu melaporkan semua
perkembangan kepada Ki Gede.”
“Terima kasih,” Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Sekarang aku ingin mendengar apa yang telah kau kerjakan.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dengan singkat diberitahukannya apa saja yang telah
dipersiapkan. Pasukan yang bersenjata panah di mulut-mulut lorong, pasukan
berkuda dan kesiagaan di seluruh padesan ini dan padesan tempat para keluarga
ditempatkan. Jalur hubungan di antara keduanya dan segala macam kemungkinan
yang lain.
“Ternyata kalian benar-benar
tidak mengecewakan. Kalian telah mencoba membuat imbangan yang baik dalam
keadaan yang sulit serupa ini. Baiklah, sekarang pergilah ke pasukanmu yang
sedang bersiap-siap itu. Aku ingin mendengar laporan setiap kali. Kau dapat
menyuruh orang lain menemui aku. Kerti atau Wrahasta atau orang lain lagi.”
“Baiklah, Ki Gede,” sahut
Samekta yang kemudian minta diri kembali ke pasukannya. Ke rumah yang
dipergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal yang sedang tersisih dari
induk Tanah Perdikan Menoreh.
Belum lagi Samekta sampai
kerumah itu, ia tertegun melihat Wrahasta berjalan tergesa-gesa menemuinya.
Sebelum ia bertanya Wrahasta telah berkata, “Aku sangka kau masih berada di
tempat Ki Gede beristirahat.”
“Apakah ada sesuatu yang
penting?”
“Ya,” sahut anak muda bertubuh
raksasa itu,
“Apakah yang sudah terjadi?”
“Seorang petugas sandi melihat
gerakan pasukan lawan menuju kemari.”
Dada Samekta menjadi
berdebar-debar. Tetapi hal itu memang sudah termasuk dalam perhitungannya.
Karena itu maka sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Bukankah semua bagian di
dalam pasukan kita sudah siap pada tugasnya masing-masing”
Wrahasta mengangguk sambil
menjawab, “Ya. Semua sudah di tempatnya masing-masing.”
“Bagaimana dengan pasukan
berkuda?”
“Pasukan itulah yang menunggu
perintah.”
Samekta berpikir sejenak.
Kemudian katanya, “Panggilah pemimpin pasukan berkuda itu.”
Wrahasta pun kemudian dengan
tergesa-gesa pergi untuk memanggil orang yang mendapat kepercayaan memimpin
pasukan berkuda. Pasukan yang khusus dibentuk untuk menanggapi keadaan yang
sulit itu. Pasukan yang terdiri dari anak-anak muda yang sudah cukup
berpengalaman bertempur di atas punggung kuda. Memiliki keberanian dan
kecepatan berpikir. Pasukan ini adalah pasukan andalan yang akan dapat
mempengaruhi keadaan.
Sejenak kemudian, di rumah
tempat pimpinan pasukan Pengawal Tanah Perdikan, seorang anak muda yang
bertubuh tegap, berjambang lebat dan bermata tajam menghadap Samekta dengan
dada tengadah. Wajahnya memancarkan api tekad yang menyala di dadanya. Di
lehernya tersangkut secarik kain putih sebagai pertanda keikhlasan hatinya di
dalam pengabdiannya.
“Wigatri,” berkata Samekta,
“kepadamulah kami meletakkan harapan. Kami mengharap bahwa pasukanmu berhasil
setiap kali merubah suasana. Tetapi ingat, kalian jangan bertindak terlampau
jauh. Kalian harus tetap ingat, bahwa semua pihak yang sedang bertengkar ini
adalah saudara kita sendiri. Memang ada beberapa orang yang mencoba menarik
keuntungan dari peristiwa ini. Tetapi hal itu jangan kau jadikan alasan untuk
berbuat sewenang-wenang.” Samekta berhenti sejenak, lalu, “Kalian dapat berbuat
agak keras untuk menarik perhatian lawan ke arahmu. Tetapi jangan mengorbankan
rakyat yang tidak tahu-menahu tentang pertengkaran yang sedang terjadi ini.
Apakah kau dapat mengerti?”
Anak muda yang bernama Wigatri
itu menganggukkan kepalanya, “Ya, Paman, aku mengerti.”
“Nah, kuasai tugasmu
baik-baik. Kalian dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan dapat menyalakan api
di malam hari, namun korban yang kau berikan harus seimbang dengan tujuan
tindakanmu itu. Apakah kau mengerti?”
“Ya, Paman.”
“Mungkin ada anak buahmu yang
terlampau dikendalikan oleh perasaannya. Nah, itu adalah tanggung jawabmu.”
Samekta berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, kalian harus berusaha berada di luar
lingkaran pasukan Sidanti yang bergerak kemari.”
Anak muda yang bernama Wigatri
itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Hanya debar jantungnya
sajalah yang terasa rnenjadi semakin keras memukul dinding dadanya.
Dan ia mendengar Samekta
berkata seterusnya, “Sekarang pergilah. Atau masih ada pertanyaan?”
Wigatri menyahut, “Apakah
Sidanti sudah mulai bergerak?”
“Pasukannya bergerak kemari.
Tidak mustahil padesan ini dikepungnya. Karena itu, kau harus segera pergi,
supaya kalian tidak berada juga di dalam kepungan.
“Baik, Paman. Bukankah kami
harus membuat kesan bahwa pasukan Menoreh telah menyerang di tempat-tempat
tertentu?”
“Ya. Tetapi kalian harus
menunggu isyarat. Kalau tidak ada isyarat itu, kalian harus tetap berada di
sekitar tempat ini. Mungkin kalian kami perlukan untuk memecah kepungan Sidanti
dan menyerang mereka dari belakang”
“Baik.”
“Ingat, segala macam isyarat
akan kami berikan seperti yang sudah kami beritahukan.”
“Baik, Paman,” jawab Wigatri.
“Sekarang, perkenankan kami pergi.”
“Hati-hatilah.”
Wigatri pun segera minta diri
kepada para pemimpin yang lain. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pasukannya yang
ternyata selalu siap sedia di segala saat. Wigatri tidak memerlukan waktu lama
untuk mempersiapkan diri dan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian, kesepian
malam telah dipecahkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari-lari meninggalkan
padesan.
Sementara itu Samekta telah
mengirim penghubung menghadap Ki Gede menyampaikan semua berita tentang pasukan
Sidanti dan persiapan yang dilakukannya.
Di luar padesan itu, Wigatri
membawa pasukannya berpacu ke arah yang telah ditunjuk oleh para pemimpin
pasukan Pengawal Tanah Perdikan ke arah yang berbeda dari arah gerakan pasukan
Sidanti.
Tidak terlampau jauh dari
padesan mereka berhenti, menunggu perkembangan keadaan. Para pemimpin di
padesan yang baru saja ditinggalkan pasti akan memberinya isyarat untuk
melakukan sesuatu gerakan.
Meskipun demikian, Wigatri
tidak lengah dengan menempatkan beberapa orang anggautanya untuk mengawasi
keaadan.
Ketegangan yang merata telah
mencengkam seluruh padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh dan tempat-tempat pengungsian keluarga mereka. Para pengawal sama
sekali tidak melepaskan senjata-senjata mereka dari tangan. Bahkan hampir
setiap laki-laki, tua muda yang meskipun bukan pasukan pengawal, namun mereka
telah menempatkan diri dalam barisan.
Ketika malam menjadi semakin
malam, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Beberapa orang petugas
sandi secara terus-menerus melaporkan tentang gerakan lawan.
“Mereka telah berada di depan
hidung kita,” berkata salah seorang petugas sandi.
Samekta, Kerti, Wrahasta, dan
para pemimpin yang lain berdiri tegak di mulut lorong desa, di luar regol. Mata
mereka beredar di kegelapan, seolah-olah ingin melihat, apa saja yang
tersembunyi di balik layar yang hitam pekat itu.
Tiba-tiba hampir berbareng
mereka tersentak. Mereka melihat seleret api di kejauhan. Obor.
“Aku melihat obor,” desis
Kerti.
“Ya,” sahut Wrahasta.
Tetapi dada mereka menjadi
semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba obor itu seolah-olah terpecah menjadi
percikan api yang berpuluh-puluh jumlahnya dan berpencaran di hadapan pemimpin
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pada jarak yang tidak terlampau
jauh.
“Mereka berusaha untuk
mengepung padesan ini,” desis Samekta.
Kerti dan Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya mereka berpaling dan
melihat beberapa buah planggrangan pada carang-carang pering ori. Beberapa
orang pengawal dengan busur di tangan mereka telah siap untuk menyambut
kedatangan lawan.
“Mereka sudah siap,” desis
Wrahasta. “Pasukan yang lain pun telah siap. Kita akan menutup regol ini dan
menyambut mereka dengan lontaran tombak-tombak apabila mereka mencoba
memecahkan pintu. Pasukan kita tidak akan mendekati pintu itu, sehingga dengan
demikian tidak akan mungkin terjadi salah bidik.”
“Bagus,” sahut Samekta. “Kita
bertahan di dalam lingkungan pering ori. Tetapi siapakah yang memimpin pasukan
di tempat pengungsian itu?”
“Untuk sementara mereka
dipimpin oleh pimpinan kelompok masing-masing sambil menunggu perintah lebih
lanjut.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Salah satu orang dari kita harus ke sana.”
“Aku akan pergi” sahut Kerti.
Kerti tidak menunggu jawaban.
Segera ia pergi mengambil seekor kuda. Bersama dua orang pengawal ia
meninggalkan desa itu menuju ke desa sebelah untuk memimpin pasukan pengawal
yang sedang berusaha melindungi para pengungsi dan anak-anak.
Seorang penghubung telah
dikirim pula oleh Samekta untuk memberitahukan hal itu kepada Ki Argapati
sambil melaporkan segala persiapan yang telah dilakukannya.
Ki Argapati mendengarkan
laporan itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat
sesuatu. Setelah ia menjadi tenang, maka ia menyadari betapa lukanya itu sangat
berbahaya, apabila ia tidak berhasil mengendalikan diri. Tetapi apabila keadaan
menjadi semakin memuncak, apakah ia akan berbaring terus di pembaringannya?
Dengan pandangan mata yang
sayu dan wajah yang pucat ia berkata kepada Pandan Wangi, “Lihatlah apa yang
terjadi.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan
Wangi.
“Aku harus mendengar setiap
perkembangan yang terjadi.”
“Ya, Ayah”
Dan Pandan Wangi itu pun
segera minta diri kepada ayahnya, turun ke halaman dan pergi ke ujung lorong.
Dengan langkah yang tetap dan dada tengadah ia berjalan menyusuri jalan
padesan. Tangan kanannya tanpa disadarinya telah meraba-raba hulu pedangnya.
Tetapi langkahnya tiba-tiba
terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di
pinggir jalan sambil membungkuk hormat kepadanya.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
“Kemana kau, Wangi?” bertanya
Wrahasta.
“Ayah menyuruh aku melihat apa
yang sebenarnya terjadi ke ujung jalan.”
“Desa ini sudah dikepung.”
“Itulah yang akan aku lihat.”
“Kita harus bekerja dengan
sepenuh tenaga. Bukan kita berkecil hati, Wangi, tetapi kita tidak boleh
mengabaikan kenyataan, bahwa kita berada dalam kesulitan.”
Pandan Wangi menyadari pula
akan hal ini. Karena itu maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya Wrahasta. Kita semua menyadarinya. Tetapi kita tidak dapat berbuat lain
daripada bertempur. Bertempur sampai kemungkinan yang terakhir.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Mungkin masih ada jalan. Kita masih dapat surut beberapa
langkah ke padesan yang lain. Seandainya hal ini harus terjadi, maka kita harus
berdasar pada suatu kemungkinan, bahwa kita akan dapat merebut semua kedudukan
kembali.”
Pandan Wangi tidak menjawab,
Tetapi debar jantungnya menjadi semakin cepat. Apalagi ketika ia mendengar
Wrahasta berkata, “Meskipun demikian, Wangi, aku masih menyisihkan waktu untuk
kepentingan pribadiku.”
“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi
berdesah, “kita semua sedang disibukkan oleh tugas kita masing-masing.”
“Pandan Wangi,” kata-kata
Wrahasta menurun, “mungkin aku tidak akan dapat melihat matahari terbit esok
pagi. Namun sebelum itu aku ingin mendengar jawabanmu. Aku ingin kepastian,
Wangi, bukan sekedar teka-teki.”
Terasa tubuh Pandan Wangi
menjadi gemetar oleh debar yang semakin mengguncang dadanya. Namun dengan
demikian justru mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam.
“Kenapa kau diam saja, Wangi?”
Pandan Wangi menjadi semakin
bingung. Ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Beberapa saat
yang lalu ia telah mencoba memberikan harapan di hati anak muda yang bertubuh
raksasa itu, meskipun tidak memancar dari lubuk hatinya. Dan kini sekali lagi
ia dihadapkan pada kesulitan yang sama.
Untuk mengalihkan pembicaraan,
Pandan Wangi mencoba mengelak, “Ayah menunggu aku, Wrahasta. Aku harus segera
pergi ke gardu di ujung lorong ini.”
“Kau hanya memerlukan waktu
sekejap untuk mengucapkan sepatah kata, Wangi.”
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin pepat. Sedang punggungnya telah menjadi basah oleh keringat dingin.
Saat yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh adalah saat yang paling gawat.
Kalau saja ia bukan putri Kepala Tanah Perdikan, maka Wrahasta tidak akan dapat
mempergunakan saat-saat yang demikian ini untuk menekankan maksudnya.
Meskipun Pandan Wangi tidak
menyangsikan kesetiaan Wrahasta atas Tanah ini, namun ia menyadari, bahwa
keadaan anak muda ini dapat menggoncangkan perasaannya apabila ia menjadi kecewa.
Dalam kebingungan itu,
tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat sekelompok
peronda lewat. Dengan serta-merta ia bertanya, “Di manakah Paman Samekta dan
Paman Kerti?”
Tetapi yang menjawab adalah
Wrahasta, “Paman Samekta berada di regol desa, sedang Paman Kerti pergi ke
tempat pengungsian. Ia harus memimpin pasukan yang berada di sana.”
Dada Pandan Wangi kembali
menjadi berdebar-debar ketika para peronda itu meneruskan langkahnya.
Sejenak kemudian mereka berdua
berdiri mematung dalam kediaman. Yang terdengar lamat-lamat adalah suara angkup
nangka dan derik jengkerik di kebun.
Namun tiba-tiba mereka
berpaling ketika mereka mendengar langkah tergesa-gesa menuju ke arah mereka.
Beberapa langkah lagi orang itu berhenti, sambil berdesis, “Wrahasta?”
“Ya,” sahut Wrahasta.
“Ki Samekta memanggilmu.”
“Mengapa?”
“Obor-obor itu mulai
bergerak.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan Pandan Wangi
yang masih berdiri termangu-mangu, diikuti oleh orang yang memanggilnya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Untuk sementara ia dapat melepaskan dirinya dari cengkaman
kebingungan. Namun kemudian kakinya segera terayun menyusul Wrahasta. Ia pun
ingin segera tahu, apa yang telah terjadi.
Di muka regol Samekta berdiri
dengan tegangnya. Ketika Wrahasta kemudian telah berada di sampingnya, ia
berkata, “Lihat, orang-orang Sidanti benar-benar ingin mengepung padesan ini
dari segala arah.”
“Bodoh sekali,” desis
Wrahasta.
“Jangan segera mengambil
kesimpulan itu. Kita tidak tahu kemantapan pasukan mereka. Mereka mungkin hanya
menyebarkan obor keliling desa ini, sedang ia menempatkan kekuatan mereka pada
tempat yang telah mereka perhitungkan.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar suara Pandan
Wangi, “Tetapi gelar itu bukan gelar yang baik untuk menyerang.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan mantap ia menyahut, “Kau benar, Wangi. Ternyata pandanganmu
mengenai gelar keprajuritan cukup tajam meskipun kau belum pernah
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dengan menebarkan orang-orangnya,
Sidanti pasti akan mengambil sikap itu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi wajahnya menjadi berkerut mendengar pujian itu. Apalagi ketika
disadarinya bahwa beberapa orang memandanginya dengan berbagai macam tanggapan
yang kurang dimengertinya.
“Meskipun demikian,” berkata
Samekta, “kita tidak boleh lengah. Kita tidak dapat melihat apa yang telah
mereka persiapkan sebenarnya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan
itu. Kita hanya melihat obor-obor itu terpencar. Tetapi apakah orang-orang
mereka benar-benar terpencar, masih belum kita ketahui. Kita masih menunggu
beberapa petugas sandi kita.”
Pandan Wangi akan menyahut.
Tetapi terasa bahwa Samekta telah meluruskan tanggapannya atas pasukan lawan
meskipun sebagian terbesar pendapatnya dibenarkan.
“Ayah minta aku memberitahukan
apa yang terjadi,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Ya, tunggulah sampai ada
perkembangan seterusnya. Sampai saat ini kita tidak melihat sesuatu yang
mencemaskan.”
“Tetapi ayah menunggu.”
“Seseorang akan menghubungi Ki
Argapati dan menyampaikan laporan bahwa keadaan tidak berubah. Kau masih tetap
di sini menunggu perkembangan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada penghubung itu ia berpesan, bahwa
apabila keadaan meningkat, ia sendiri akan datang memberitahukan kepada
ayahnya.
“Kita dapat beristirahat
sejenak,” berkata Samekta, “sementara pengawasan akan diperketat.”
“Bagaimana dengan pasukan
berkuda?”
“Aku sudah memesan mereka,
agar mereka tidak meninggalkan padesan ini sebelum ada isyarat. Mereka akan
jemu menunggu perkembangan berikutnya tanpa berbuat sesuatu.”
“Tidak, mereka pasti juga
melihat obor-obor itu,”
Wrahasta tidak menjawab.
Sejenak kemudian para pemimpin
itu pun pergi ke tempat pimpinan untuk beristirahat dan berbicara tentang
keadaan. Pandan Wangi ikut bersama mereka. Ia tidak mau terpisah dari
orang-orang lain, supaya Wrahasta tidak mendapat kesempatan untuk
menyudutkannya ke dalam kesulitan.
Sementara itu, di seputar
padesan, pasukan Sidanti mengepung dengan seluruh kekuatan. Meskipun demikian,
mereka memang tidak akan segera menyerang. Mereka sedang mempertimbangkan
kekuatan yang ada di kedua belah pihak. Gerakannya kali ini hanya sekedar memberikan
tekanan-tekanan kepada hati pasukan Argapati, sambil menjajagi keadaan. Karena
itu, maka pasukan itu tidak segera mengadakan gerakan sama sekali. Mereka
berada di tempatnya sambil menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian
mereka memerlukan seluruh kekuatan yang ada, supaya apabila setiap saat justru
pasukan Argapati yang menyergap mereka, mereka tidak menjadi terpecah-belah dan
kalang kabut.
Bahkan di dalam pasukan itu
ikut pula Ki Tambak Wedi sendiri, beserta Sidanti dan Argajaya.
“Apakah yang dapat kita
ketahui dengan penjajagan ini, Guru?” bertanya Sidanti.
“Kita sekedar melihat suasana.
Apabila keadaan yang demikian ini terjadi berulang-ulang, maka pasti akan
berpengaruh atas kebulatan hati mereka. Semakin lama mereka pasti akan menjadi
kecut dan berkecil hati. sehingga pada saatnya, kita akan meruntuhkan segenap
keberanian mereka. Sementara itu kita akan dapat mengetahui apakah sebenarnya
kekuatan yang mencampuri keadaan ini cukup berat sehingga kita perlu
memperhitungkannya.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Sambil bertolak pinggang ia berdiri tegak memandangi cahaya lampu yang
berkeredipan di dalam padesan di hadapannya yang meloncat dari sela-sela
rimbunnya pering ori yang melingkari desa itu. Sebuah obor menyala di pintu
regol. Lamat-lamat Sidanti dapat melihat beberapa orang yang hilir-mudik di
bawah obor di luar regol itu.
“Mereka tidak menutup pintu
regol,” desis Sidanti
“Mereka bukan orang-orang yang
terlampau bodoh,” sahut Argajaya, “sehingga mereka mengerti, bahwa cara kita
ini sama sekali bukan gelar untuk menyerang mereka. Obor-obor yang tersebar itu
hanya sekedar memberikan kesan bahwa kita akan mengepung mereka supaya mereka
terpisah dari lingkungan di luar kedua desa sebelah-menyebelah ini. Tetapi
mereka pun sadar bahwa mereka pasti akan dapat memecahkan kepungan yang
terlampau tipis ini.”
“Ya,” sahut Tambak Wedi,
“memang bukan itu tujuan kita. Kita akan membuat mereka menjadi cemas, gelisah,
dan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. Apalagi dalam saat Argapati sedang
luka parah. Aku mengharap bahwa Argapati tidak dapat mengendalikan diri,
sehingga keadaan ini telah membuatnya semakin parah.”
Argajaya tidak menyahut. Ia
dapat mengerti tujuan Ki Tambak Wedi yang mempergunakan berbagai cara untuk
mtnghancurkan lawannya. Tidak saja dengan kekuatan badaniah, tetapi denggan
mempengaruhi segi kejiwaan lawannya, ia berusaha memperlemah daya perlawanaan
mereka.
Tetapi yang terlebih penting
adalah usaha Ki Tambak Wedi untuk menilai kekuatan lawan secara langsung.
Ternyata beberapa orang yang berhasil merayap mendekati regol di dalam
kegelapan, telah kembali kepadanya.
“Apa yang kau lihat?” bertanya
Sidanti tidak sabar.
“Beberapa orang pemimpin yang
berdiri di luar regol,” jawab penghubung itu. “Tetapi sekarang mereka telah
masuk lagi.”
“Ya, mereka pasti menganggap
bahwa gerakan ini tidak terlampau berbahaya, meskipun mereka cukup bersiaga,”
sahut Sidanti.
“Tetapi siapakah yang kau
lihat?”
“Samekta, Wrahasta, Pandan
Wangi, dan beberapa orang pemimpin pengawal yang lain.”
“Apakah ada orang yang belum
kau kenal yang pantas kau curigai sebagai orang yang bukan berasal dari tanah
perdikan ini di antara mereka?”
Orang Sidanti yang berhasil
mendekati regol padesan tempat pemusatan pasukan pengawal tanah perdikan itu
mencoba mengingat-ingat siapa sajakah di antara mereka yang berada di regol
desa. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang tidak asing lagi baginya,
meskipun ada di antara mereka yang belum dikenalnya. Tetapi sama sekali tidak
ada kesan bahwa di antara mereka ada orang yang tidak dikenal.
Karena itu maka jawabnya
sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak melihat yang pantas aku curigai.
Mereka adalah orang-orang Menoreh.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Teka-teki tentang kelompok kecilnya di Pucang Kembar sampai saat itu
masih belum terjawab.
“Tidak ada orang lain,”
tiba-tiba Sidanti berdesis.
“Belum dapat dipastikan,”
sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin mereka berada di dalam regol.”
Orang yang berhasil keluar
dari padesan itu pun tidak mengatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal
berada di dalam desa itu.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya.
“Yang datang bersama Ki
Argapati yang terluka itu pun hanya Pandan Wangi, Kerti, dan beberapa pengawal
yang semua telah di kenalnya sebagai orang-orang Menoreh,” sambung Sidanti
pula.
“Ya, ya,” sahut Ki Tambak
Wedi, “mungkin juga begitu. Tetapi hatiku belum mantap. Aku masih ingin melihat
dan menunggu beberapa hari. Tetapi padesan ini harus tetap kita awasi. Kita
akan meletakkan sebagian dari kekuatan kita di padesan terdekat, dengan
jalur-jalur penghubung yang baik dengan induk Tanah Perdikan ini.”
Sebelum Sidanti menjawab
terdengar suara tertawa Ki Muni yang berdiri di belakang Ki Tambak Wedi, “Kapan
pun kita melakukannya akibatnya tidak akan jauh berbeda. Kita tidak perlu
tergesa-gesa. Tetapi seandainya sekarang pun, tidak akan banyak terdapat
rintangan-rintangan. Aku sudah melihat apa yang akan terjadi. Dari ilmuku aku
tahu bahwa Argapati sekarang sedang sekarat. Malam nanti, selambat-lambatnya
besok pagi, ia akan mati. Memang terdapat perlawanan yang baik dari dalam
dirinya yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kekuatan itu juga
terbatas.” Ki Muni berhenti sejenak. Sambil mengerutkan dahinya ia
berkumat-kamit. Kemudian katanya, “Pada saat Argapati mati, maka seluruh
kekuatan pasukannya akan terpukul dari dalam diri mereka sendiri. Keberanian,
tekad, dan kemauan mereka akan runtuh bersama mayat Argapati yang akan
dikuburkan di dalam bumi. Nah, kalian tidak akan terlampau sulit untuk
mengalahkannya. Dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak saja kalian akan
dapat mematahkan perlawanan mereka. Dan mereka pun akan tidak ubahnya seperti
kerbau yang paling bodoh.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Ia tidak mempergunakan perhitungan serupa itu menghadapi Argapati.
Tetapi ia tidak menolak keterangan Ki Muni itu. Sebab menurut keyakinan Ki
Tambak Wedi sendiri, memang ada ilmu yang dapat melihat peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi, seperti apa yang pernah dipelajarinya meskipun tidak
mendalam. Tetapi menghadapi Argapati, ia lebih cenderung mempergunakan
perhitungan tata keprajuritan. Keteguhan hati Argapati pasti akan mempersulit
penglihatannya melalui ilmu-ilmunya yang masih belum sempurna.
Namun ia tidak mengerti,
betapa jauh Ki Muni menguasai ilmu serupa itu. Tetapi apa yang dikatakannya
memang masuk akal. Argapati akan mati, malam ini atau besok pagi-pagi.
Pasukannya akan kehilangan gairah perlawannya dan akan segera dapat dikalahkan.
Meskipun demikian Ki Tambak
Wedi masih juga ragu-ragu.
“Kita pasti tidak akan
memasuki tempat itu malam ini,” tiba-tiba ia bergumam. “Kita masih belum
mendapatkan kemantapan.”
“Itu pun tidak menjadi soal,”
jawab Ki Muni. “Adalah lebih baik apabila kita menunggu Argapati mati. Kita
tidak akan melepaskan korban terlampau banyak.”
“Tetapi bagaimana kalau ia
nanti dapat sembuh,” potong Sidanti.
“Penglihatanku tidak pernah
salah,” sahut Ki Muni. “Hanya oleh sebab yang tidak terduga-duga hal itu dapat
terjadi. Tetapi hal yang tidak terduga-duga itu pun tidak aku lihat, sehingga
sembilan dari sepuluh kemungkinan, Argapati akan mati.”
“Apakah Ki Muni dapat juga
melihat hadirnya kekuatan dari luar Menoreh pada pihak Ki Gede?” bertanya
Sidanti tiba-tiba.
Wajah Ki Muni menjadi
berkerut-merut. Ditatapnya wajah Sidanti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan
kepala ia menjawab, “Aku belum berusaha melihatnya. Aku baru berusaha melihat
kemungkinan yang akan terjadi pada Ki Gede. Aku ternyata khilaf, bahwa aku
tidak melihat kemungkinan itu sama sekali.”
Sidanti menarik keningnya.
Tetapi ia tidak berkata apa pun, ia agak kurang tertarik dengan cara yang
dipergunakan oleh Ki Muni. Baginya, perhitungan jasmaniahlah yang paling baik
dipergunakan didalam gelar perang seperti saat ini.
“Baiklah, kita menunggu segala
kemungkinan dan perkembangan keadaan. Tetapi kita tetap di tempat. Kita kepung
desa ini supaya pasukan Argapati menjadi tintrim dan cemas menghadapi keadaan
mereka di saat-saat mendatang. Seandainya kita masih belum mendapatkan
kepastian, maka besok malam hal yang serupa ini pun akan kita lakukan,
sementara itu petugas-petugas sandi akan berusaha melihat apa yang ada di dalam
lingkungan pagar pring ori itu.”
Tidak ada seorang pun yang
menjawab. Argajaya agaknya telah kehilangan gairah untuk ikut campur dalam
percakapan itu. Betapapun juga Argapati adalah saudara kandungnya. Kemungkinan
bahwa kakaknya itu akan mati, ternyata mempengaruhi pikirannya pula.
Kadang-kadang timbullah keragu-raguannya atas kemungkinan yang akan dapat
dicapai dengan caranya ini. Sesudah Argapati dikalahkan, bagaimana dengan
dirinya? Apakah ia akan berhasil mengusir Ki Tambak Wedi dan Sidanti?
“Tetapi Sidanti bukan trah
Argapati dan ia tidak akan berhak untuk mempergunakan nama itu dan gelar Ki
Gede Menoreh,” katanya di dalam hati, namun kemudian, “Tetapi apakah aku mampu
menghadapinya, dan apakah orang-orang Menoreh mempercayainya seandainya aku
mengatakan keadaan yang sebenarnya.”
Keragu-raguan yang tajam telah
meledak di dalam hati Argajaya. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti,
kemudian wajah Ki Tambak Wedi. Kedua wajah itu memang mirip. Sidanti memang
bukan hanya sekedar murid Ki Tambak Wedi.
Terbayang di rongga mata
Argajaya bayangan wajah kakak iparnya, Rara Wulan. Menurut anggapannya saat
itu, Rara Wulan adalah seorang perempuan yang paling baik yang dikenalnya.
Seorang penurut. Seorang yang sangat berbakti kepada suaminya. Seorang yang
tidak pernah menimbulkan persoalan di dalam rumah tangganya.
“Semua itu hanya sekedar
tebusan dari dosa-dosanya,” gumamnya di dalam hati.
Ketika Argajaya menarik nafas
dalam-dalam, ia melihat Sidanti memandanginya. Hanya sekilas, kemudian anak
muda itu melangkah beberapa langkah dan duduk di atas rerumputan yang basah
oleh embun. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi pun melangkah pergi diiringi oleh
Ki Muni, sedang Argajaya masih tetap berada di tempatnya.
Argajaya pun kemudian
meletakkan dirinya pula, duduk di atas sebuah batu sambil memandangi padesan di
depannya. Desa kecil yang berpagar rapat dengan batang-batang pring ori.
Beberapa berkas cahaya lampu memancar menggores gelapnya malam.
Sekali lagi Argajaya menarik
nafas dalam-dalam. Ia terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia
berpaling dilihatnya Ki Wasi duduk di belakang.
“He,” sapa Ki Wasi, “apakah
yang kau renungkan?”
“Tanah ini,” sahut Argajaya.
Ki Wasi bergeser selangkah
maju dan duduk di sisi Argajaya. Tanpa sesadarnya ia pun merenungi desa di
hadapannya. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tidak
ada orang lain yang berada di dekatnya.
“Akhirnya api berkobar tanpa dapat
dikendalikan,” desis Ki Wasi.
Argajaya menganggukkan
kepalanya. “Ya. Tanah ini telah terbakar hangus. Kelak kita hanya akan
mendapatkan abunya saja.”
Ki Wasi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku kehilangan pertimbangan, yang manakah sebenarnya yang
paling baik aku lakukan. Ketika aku melihat kau berdiri di pihak Sidanti, maka
aku yang dicengkam oleh keragu-raguan segera memisahkan diri dari Ki Argapati.”
“Ya,” sahut Argajaya.
“Sayang, bahwa Argapati lebih
senang kepada kedudukannya daripada kepada anak laki-lakinya, yang sebenarnya
dapat menjadi penerus cita-citanya.”
Terasa dada Argajaya berdesir.
Namun ia menjawab terbata-bata, “Ya, ya. Kakang Argapati tidak mau mengalah.”
“Angger Argajaya,” berkata Ki
Wasi, “apakah Angger Argajaya sama sekali tidak mempunyai pengaruh untuk
memperingatkan Ki Argapati agar ia mengurungkan niatnya memusuhi putranya
sendiri? Yang paling menderita dalam persoalan ini adalah Menoreh. Pertentangan
antara ayah dan anak itu akan membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
Tanah ini. Apabila Ki Argapati bersedia mengalah, kemudian memberikan
kesempatan kepada yang muda untuk ikut memimpin pemerintahan meskipun masih
tetap dalam pengawasan yang tua-tua, maka keadaan akan menjadi berbeda.
Sebaliknya Sidanti juga jangan meninggalkan ayahnya sama sekali, yang sampai
saat ini telah menunjukkan kemampuannya, menjadikan Menoreh Tanah Perdikan yang
besar dan disegani.”
Argajaya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ki Wasi. Memang seharusnya demikian.”
Tetapi Argajaya tidak
mengatakan kepada Ki Wasi hubungan yang sebenarnya antara Argapati dan Sidanti.
Juga hubungan antara Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan dirinya sendiri dengan
Pajang. Juga tidak tentang nafsu yang menyala-nyala di dalam dada Sidanti dan
sudah tentu di dalam dadanya sendiri, untuk meloncat ke jenjang yang paling
atas dari segala macam jabatan.
“Sekarang keadaan telah
menjadi parah,” sambung Ki Wasi. “Ki Argapati sendiri mengalami luka-luka parah
dan tidak seorang pun yang dapat menolongnya. Aku pun tidak, meskipun sebelum
ini aku terlampau dekat dengan Ki Gede.”
Argajaya tidak menyahut.
Ketika ia berpaling dilihatnya mata Ki Wasi menjadi suram. Pandangan mata yang
suram itu seolah-olah meluncur jauh menembus dinding pring ori yang rapat itu.
Dan tiba-tiba Argajaya mendengar Ki Wasi bergumam, “Lepas dari semua masalah,
adalah kewajibanku untuk menyembuhkan orang yang sakit. Sebenarnya aku ingin
pergi mendapatkan Ki Argapati. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri telah menutup
kemungkinan itu. Ki Argapati atau orang yang dekat dengannya, mungkin Samekta,
mungkin Kerti, atau mungkin Angger Wrahasta, telah melarang dan menolak aku dan
Ki Muni.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Tanpa ilmu macam apa pun,
memang sudah dapat diramalkan bahwa Ki Argapati akan menemui ajalnya.” suara Ki
Wasi merendah. “Sayang. Sayang sekali.”
Argajaya seolah-olah membeku
di tempatnya. Seperti Ki Wasi, ia pun kemudian memandangi keredip lampu minyak
di dalam padesan itu. Ditatapnya kemudian nyala obor di depan regol. Kemudian
terdengar ia berdesah perlahan-lahan.
Sementara itu, Samekta,
Wrahasta, dan Pandan Wangi sedang duduk melingkari lampu minyak di atas
ajuk-ajuk yang rendah. Mereka berkesimpulan bahwa Sidanti tidak akan menyerang
malam ini.
“Mereka ingin meruntuhkan
ketahanan hati kita,” berkata Samekta. “Meskipun demikian, kita tidak boleh
kehilangan kewaspadaan.”
“Mereka pasti menyangka bahwa
luka Ki Gede menjadi semakin parah,” sahut Wrahasta.
“Tetapi pasti ada sesuatu yang
menahan mereka. Kalau mereka yakin Ki Gede menjadi semakin parah, maka mereka
pasti akan menyerang malam ini. Dan sudah tentu mereka tidak akan memasang
gelar seperti saat ini.”
“Kita hanya dapat menunggu
perkembangan berikutnya.”
“Kita tahan dulu pasukan
berkuda itu untuk tidak melakukan gerakan apa pun. Terasa bahwa ada sesuatu
yang masih harus dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Sesuatu yang kita masih
belum tahu dengan pasti.”
Wrahasta menganguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa disengaja dipandanginya mata Pandan Wangi yang suram. Tetapi
gadis itu menunduk dalam-dalam.
Meskipun Pandan Wangi
seolah-olah tidak ikut di dalam pembicaraan itu, namun di dalam hatinya ia
sedang mencoba mencari-cari kebenaran kata-kata Samekta, bahwa Ki Tambak Wedi
masih harus mempertimbangkan sesuatu. Sesuatu yang belum dapat dimengertinya.
Tetapi dalam pada itu Pandan Wangi mencoba menghubungkannya dengan orang-orang
bercambuk yang telah memberi obat kepada ayahnya dan yang telah melepaskannya
dari tangan Ki Peda Sura.
“Mereka tidak hanya satu orang,”
berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. “Yang aku lihat pasti bukan yang dilihat
oleh ayah. Bukan karena namanya berbeda. Nama dapat dibuat seribu macam bagi
seseorang. Tetapi ciri orang yang menolongku itu sama sekali tidak sama dengan
anak muda yang menyerahkan obat itu kepada ayah. Yang menurut ayah, adalah
seorang anak muda yang gemuk. Persamaan di antara mereka adalah keduanya
mempergunakan cambuk sebagai senjata mereka, atau sebagai tanda pengenal
mereka. Orang-orang itulah agaknya yang sedang dipertimbangkan oleh Ki Tambak
Wedi. Mungkin yang dikatakan oleh Gupita ayahnya itulah yang harus
diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi. Ayah Gupita yang sampai saat ini masih
belum dapat dikenal siapakah orangnya.”
Tetapi Pandan Wangi menyimpan
pendapatnya itu di dalam hati. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia
tidak ingin mempersoalkan anak-anak muda bercambuk itu di hadapan Wrahasta.
Sementara itu malampun menjadi
semakin malam. Para penjaga dan para peronda tidak melihat gerakan-gerakan yang
berbahaya dari pasukan Sidanti. Beberapa di antara obor-obor mereka telah padam
karena kehabisan minyak. Tetapi petugas-petugas sandi telah tersebar di
tengah-tengah sawah, di antara kedua pasukan yang telah siap itu. Petugas sandi
dari kedua belah pihak. Mereka saling mengintai untuk melihat apabila ada
gerakan-gerakan yang aneh dan tanpa terduga-duga.
Di tepi pategalan, di ujung
bulak, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Wigatri menunggu dalam kegelisahan.
Tetapi karena mereka melihat obor yang berkeredipan di seputar desa tempat
pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka segera mereka
menyadari, bahwa pasukan Sidanti benar-benar telah mengepung desa itu. Karena
itu, maka mereka terpaksa menyabarkan diri mereka, menunggu isyarat yang akan
diberikan, apabila diperlukan.
“Apakah kita hanya akan
menunggu semalam suntuk?” bertanya salah seorang dari mereka kepada Wigatri.
“Kita hanya dapat menunggu.
Aku mendapat pesan, bahwa setiap gerakan yang akan kita lakukan, harus
berdasarkan kepada isyarat yang akan diberikan. Mungkin kita harus pergi dan
menarik perhatian pasukan lawan itu di tempat-tempat lain dengan menyalakan api
yang cukup besar. Tetapi mungkin juga kita diperlukan untuk membantu mengurangi
kepungan itu.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, anak muda yang bertanya kepadanya melangkah pergi, kembali ke
kudanya. Namun tampak kegelisahan menyekat rongga dadanya. Meskipun demikian
mereka masih cukup sabar menunggu segala macam perintah dan mentaatinya.
Sebenarnya Wigatri sendiri pun
telah menjadi gelisah pula. Sekali-sekali dibelainya leher kudanya yang
diikatkannya pada sebatang pohon. Kemudian berjalan hilir-mudik sambil
menundukkan kepalanya. Beberapa orang yang lain duduk terpencar di atas
rerumputan sambil membelai senjata-senjata mereka. Namun demikian, beberapa di
antara mereka yang sedang bertugas untuk mengawasi keadaan, telah berada di
tempatnya dengan sepenuh kewaspadaan.
“Kalian dapat beristirahat
sebaik-baiknya,” berkata Wigatri kepada kawan-kawannya yang tidak sedang
bertugas. “Kalian boleh berbaring atau apa pun. Tetapi setiap saat kalian harus
sudah siap meloncat ke punggung kuda kalian.”
Maka beberapa orang dari
mereka pun kemudian dengan tenangnya berbaring di rumput yang basah oleh embun.
Tetapi kehangatan dada mereka membuat mereka sama sekali tidak merasakan betapa
dinginnya malam. Bahkan ada di antara mereka yang duduk di antara sadar dan
tidak karena diserang oleh kantuk. Sebagian terbesar dari mereka
memperhitungkan, bahwa malam ini mereka hanya sekedar berpindah tidur saja dari
barak-barak mereka di dalam padesan.
Sebenarnyalah bahwa malam itu
tidak ada sesuatu yang terjadi. Menjelang fajar, Sidanti telah menarik
pasukannya. Namun seperti yang telah dipesankan Ki Tambak Wedi untuk
menempatkan beberapa bagian dari pasukannya di tempat yang lebih dekat dengan
padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita harus berusaha agar
mereka tidak mendapat kesempatan mengumpulkan bahan makanan,” berkata Ki Tambak
Wedi.
“Tetapi persediaan mereka
masih cukup banyak,” jawab Sidanti.
Tetapi Ki Muni menggeleng.
“Tidak. Aku yakin bahwa mereka akan kehabisan padi. Tetapi sebelum itu mereka
pasti sudah menyerah apabila Argapati mati. Hanya satu dua orang saja dari
mereka yang telah menjadi gila, akan mengadakan perlawanan terus.” Ki Muni
berhenti sejenak. “Lalu setelah fajar menyingsing, aku ingin mendengar suara
tangis Pandan Wangi, menangisi mayat ayahnya.”
“Seandainya benar Argapati
mati,” sahut Ki Wasi, “hal itu pasti akan dirahasiakan untuk sementara.”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya. “Ya. Pasti. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu mendengar berita
tentang Ki Argapati. Apakah sampai saat ini masih ada petugas sandi yang berada
di dalam desa itu?”
“Ya,” sahut Argajaya, “masih
ada dua orang kita di dalam desa itu. Keduanya adalah penduduk desa itu
sendiri. Mereka tidak akan mudah keluar dari desa itu. Sehingga mereka hanya
akan dapat memberikan isyarat-isyarat saja tentang keadaan di dalam.”
“Tetapi kita sulit untuk
mengerti isyarat itu,” jawab Sidanti. “Kita tidak sempat membuat persetujuan,
apakah yang akan dilakukan dan tanda-tanda apakah yang akan diberikan
seandainya Argapati meninggal atau ada orang lain yang ikut campur di dalam
peperangan ini.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi hal tersebut adalah memang benar.
Ki Tambak Wedi pun kemudian
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit baginya untuk dapat
mengetahui keadaan di dalam lingkaran pering ori itu. Tetapi ia tidak segera
menjadi putus asa. Kedua orang itu pasti akan menemukan akal untuk menyampaikan
berita terutama berita terpenting dari dalam, seandainya mereka benar-benar
tidak dapat lolos lagi dengan cara apa pun.
Dalamn pada itu, ketika
pasukan Tambak Wedi ditarik dari sekitar tempat pemusatan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, maka para penghuni desa itu pun merasa seolah-olah mereka dapat mulai
bernafas lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah
lenyap. Mereka menyadari, bahwa di siang hari pun kemungkinan yang sama akan
dapat terjadi. Bahkan mungkin pada saatnya Ki Tambak Wedi akan menyerang desa
itu di siang hari.
Pandan Wangi, yang telah
berada di samping ayahnya, melaporkan semua yang terjadi. Ternyata bahwa
pasukan kakaknya, Sidanti, hanya sekedar membuat suatu gerakan untuk mengetuk
ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Sidanti menuggu berita
kematianku.”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Tetapi aku heran bahwa
Sidanti tidak benar-benar menyerang malam ini,” gumam Ki Argapati kemudian.
“Berita tentang lukaku yang parah pasti telah sampai kepada mereka.”
Pandan Wangi kemudian
menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Kita memang menyangka bahwa Kakang
Sidanti akan mempergunakan kesempatan ini.”
“Ternyata serangan itu tidak
dilakukannya,” sambung ayahnya. “Dengan demikian kita akan dapat mengambil
kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti memperhitungkan kemungkinan lain yang
dapat terjadi.”
Pandan Wangi sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata perhitunggan ayahnya sesuai dengan
perhitungan Samekta dan para pemimpin yang lain. Bahkan Kerti yang kemudian
kembali ke desa itu pun mengatakan serupa itu pula.
“Wangi,” berkata ayahnya,
“agaknya Ki Tambak Wedi telah mencium hadirnya orang bercambuk itu di tlatah
Menoreh. Aku tidak tahu, dalam bentuk apakah gambaran Ki Tambak Wedi itu,
apakah ia memang sudah mengenalnya atau pernah mendengar namanya atau mungkin
ia hanya menduga-duga, tetapi aku kira Ki Tambak Wedi memperhitungkan hadirnya
kekuatan yang lain di atas tanah perdikan ini. Ketika kami bertempur di bawah
Pucang Kembar, dan Ki Tambak Wedi berhasil melukai aku agaknya memang telah
terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Tambak Wedi yang menunggu kehadiran
orang-orangnya yang memang sudah dipersiapkan menjadi kecewa. Bahkan yang
datang hanyalah seorang yang telah terluka parah. Inilah agaknya yang menahan
Ki Tambak Wedi untuk bertindak malam ini. Agaknya ia perlu menjajagi apa yang
ada di dalam lingkungan pertahanan ini.”
Pandan Wangi masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ayahnya meneruskannya, “Tetapi hati-hatilah
selanjutnya. Sebab sebagaimana kau ketahui, bahwa tidak ada kekuatan apa pun di
luar kekuatan kita sendiri. Aku berterima kasih bahwa aku telah diselamatkan
oleh obat yang diberikannya. Tetapi seandainya Ki Tambak Wedi tidak ragu-ragu
dan menyerang malam tadi, mungkin kita sudah terpecah menjadi kepingan-kepingan
yang sama sekali tidak berarti lagi.”
Ki Argapati berhenti sejenak,
lalu, “Namun sekarang kita pun masih harus berprihatin. Kalau daya kemampuan
obat ini kemudian lenyap, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat
melanjutkan pengobatan atas lukaku. Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang
akan terjadi kemudian. Mungkin aku dapat mencoba mencari dedaunan yarng dapat
menolong. Tetapi aku bukan seorang yang mempelajari ilmu pengobatan dengan
baik. Karena itu keragu-raguan Ki Tambak Wedi harus kita manfaatkan. Pasukan
berkuda itu mungkin dapat membantu. Mereka harus berbuat dan mencoba
menghilangkan jejak mereka supaya mereka tidak dikenal sebagai orang-orang
Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi akan tetap menganggap bahwa
memang ada kekuatan lain yang hadir di atas Tanah Perdikan ini untuk
mengimbanginya. Aku mempunyai pikiran, bahwa beberapa orang dari pasukan
berkuda itu supaya mempergunakan cambuk yang panjang juntainya, tetapi
bertangkai pendek. Aku mengharap, pasukan itu dapat menimbulkan persoalan baru
bagi Ki Tambak Wedi, sementara kita menunggu, apakah sebenarnya yang dikehendaki
oleh orang-orang bercambuk itu.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk
pula. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebelum ayahnya mampu berbuat sesuatu,
ayahnya akan mengaburkan perhitungan Ki Tambak Wedi dengan caranya. Orang-orang
bercambuk itu agaknya telah menumbuhkan pikiran baru pada ayahnya.
“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk
itu,” katanya di dalam hati.
“Panggillah Samekta,” berkata
Ki Argapati kemudian.
“Baik, Ayah,” jawab Pandan
Wangi yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Tetapi Pandan
Wangi tidak pergi sendiri. Ia masih selalu berusaha menghindari pertemuan
seorang diri dengan Wrahasta. Sehingga karena itu, maka disuruhnya seorang
pengawal untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Samekta.
Samekta mendengarkan cara Ki
Argapati itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti maksud Ki
Gede Menoreh. Namun ia bertanya, “Tetapi Ki Gede, bagaimanakah sikap orang
bercambuk itu sendiri? Apakah Gupala, Gupita, dan orang yang diakuinya sebagai
ayahnya itu tidak merasa terlanggar haknya?”
“Mudah-mudahan tidak, Samekta.
Aku mengharap seandainya demikian, mereka akan menemui aku.”
Sekali lagi Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah berdiam sejenak ia berkata, “Kami akan
mencoba Ki Gede. Aku akan membuat agar empat orang di antara mereka, menjadi
bayangan dari orang-orang bercambuk itu. Mudah-mudahan hal ini justru tidak
menumbuhkan persoalan baru bagi Menoreh.”
Demikianlah maka Samekta
mencoba untuk memenuhi cara yang harus ditempuhnya menurut petunjuk Ki Gede
Menoreh, untuk menunda gerakan Ki Tambak Wedi sampai pada suatu saat Ki
Argapati telah menjadi berangsur baik, maka ia harus mengaburkan perhatian Ki
Tambak Wedi dengan gelar sandi, seakan-akan ada unsur kekuatan baru yang harus diperhitungkan
setidak-tidaknya oleh Ki Tambak Wedi.
Maka ketika malam kemudian
mendekat, maka pasukan berkuda yang dipimpin Wigatri telah bersiap pula.
Demikian mereka mendengar laporan bahwa pasukan Sidanti bergerak seperti malam
kemarin mendekati desa, maka pasukan berkuda itu dilepas oleh Samekta dengan
tugas yang khusus. Sekali lagi Samekta berpesan, jangan menimbulkan korban yang
tidak berarti. Baik bagi anggauta pasukan berkuda itu sendiri, maupun pada
sasaran yang akan dituju.
Samekta sendiri bersama
Wrahasta dan Pandan Wangi berdiri tegak di muka regol desa untuk melihat
obor-obor yang seolah-olah merayap mendekati mereka. Tetapi seperti malam yang
lampau obor-obor itu berhenti pada jarak yang tidak terlampau dekat dalam gelar
yang sama seperti yang pernah terjadi.
“Mereka masih belum akan
menyerang,” desis Samekta. “Itu hanya sekedar pameran kekuatan.”
Wrahasta menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku juga menyangka demikian. Tetapi kemungkinan yang lain
dapat terjadi. Apakah paman Kerti sudah siap di tempatnya?”
“Ya. Ia telah pergi ke desa
sebelah.”
Kemudian mereka pun terdiam.
Ki Argapati pun telah mendengar laporan, bahwa pasukan Sidanti telah datang
untuk kedua kalinya. Dan bahwa pasukan Menoreh pun telah siap menghadapi
segenap kemungkinan.
Namun seperti malam yang telah
lewat, pasukan Sidanti itu tidak segera berbuat sesuatu. Mereka berada dalam
jarak yang tetap sambil duduk-duduk dan bahkan ada yang terkantuk-kantuk
bersandar sebatang pohon atau saling bersandar punggung.
Samekta dan para pemimpin yang
lain pun kemudian masuk ke dalam regol desa dan setelah sekedar memeriksa
pasukannya, maka mereka pun segera kembali ke tempat pimpinan. Namun tampak di
wajah-wajah mereka, sesuatu yang menegang di dadanya. Para pemimpin itu tidak
dapat melepaskan diri dari ingatan mereka tentang pasukan berkuda yang sudah
harus mulai melakukan tugas mereka.
Sejenak kemudian mereka
terkejut ketika seorang pengawal dengan teresa-gesa masuk ke rumah itu. Dengan
tergesa-gesa pula ia berkata, “Ki Samekta, aku, eh, para pengawas mendengar
suara titir di kejauhan. Kami melihat warna semburat merah di langit.”
“Kebakaran maksudmu?”
Pengawal itu mungangguk, “Ya.”
Sejenak para pemimpin itu
saling berpandangan. Segera mereka mengetahui, bahwa Wigatri telah berbuat sesuatu.
“Dari arah mana kau melihat
api itu?”
“Di padukuhan induk.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Wigatri masih juga dibakar oleh darah mudanya. Agaknya
pasukan berkuda itu langsung membuat huru-hara di padukuhan induk, atau padukuhan-padukuhan
lain dekat padukuhan induk.
“Mereka adalah anak-anak yang
berani,” gumam Wrahasta.
Samekta menganguk-anggukkan
kepalanya. Keberanian anak-anak muda itu memang tidak disangsikan lagi. Namun
yang masih perlu ditekankan kepada Wigatri adalah pertimbangan di samping
luapan perasaan yang hampir tidak terkendali.
“Marilah kita melihat,” desis
Samekta. “Dan Ki Argapati pun harus segera mendengar laporan ini pula.”
Sejenak kemudian maka Samekta,
Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin yang lain pun segera keluar
regol untuk melihat apa yang terjadi, sedang seorang penghubung telah langsung
pergi melaporkan kepada Ki Argapati.
Ketika para pemimpin pasukan
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melihat langit yang diwarnai oleh nyala api,
serta suara titir yang seolah-olah memekik-mekik, maka terasa dada mereka pun
tergetar.
“Rumah siapakah yang telah
menjadi korban pertama ini?” desis Samekta.
“Wigatri tahu benar, siapakah
yang masih harus mendapat perlindungan, dan siapakah yang benar-benar telah
berkhianat,” sahut Wrahasta yang masih dialiri oleh darah mudanya pula.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sejenak ia tidak menyahut. Yang dipandanginya kini adalah
obor-obor yang menjadi gelisah pula. Agaknya api dan suara titir itu telah
menarik perhatian pasukan Sidanti yang sedang mengepung padesan itu.
“Apakah yang sudah terjadi?”
bertanya Ki Tambak Wedi.
“Kebakaran,” jawab Argajaya.
“Tetapi titir itu adalah pertanda bahwa daerah itu dilanda oleh bahaya”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi ia tidak segera mengambil kesimpulan.
“Kita harus melihat apa yang
telah terjadi,” berkata Sidanti.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera terpengaruh oleh keadaan
itu. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman ia mampu mengendalikan diri dan
berbuat dengan kepala yang dingin.
“Kita harus segera menarik
pasukan ini,” tiba-tiba Ki Muni memotong dengan nafas tersengal-sengal, “aku
melihat api dan mendengar suara titir.”
“Kami telah melihatnya pula,”
sahut Argajaya.
“Kalau begitu, kita harus
segera kembali. Kita harus segera melawan serangan yang membabi buta itu.”
“Tunggu,” potong Ki Tambak
Wedi, “jangan seperti anak-anak kehilangan makanan.” Ki Tambak Wedi berhenti
sejenak, lalu, “Kita tetap di sini. Perintahkan dua orang untuk melihat apa
yang telah terjadi.”
“O, jadi kau menunggu seluruh
padukuhan induk menjadi karang abang?” teriak Ki Muni.
“Cepat!” Ki Tambak Wedi
seolah-olah tidak mendengar suara Ki Muni. “Kemudian mereka harus datang kemari
lagi. Berkuda.”
Sejenak kemudian maka dua
orang anak buah Sidanti meninggalkan pasukannya untuk kembali ke pedukuhan
induk. Mereka harus melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka pun harus segera
kembali, bahkan berkuda.
Dengan demikian, maka keduanya
segera berlari-lari kecil memintas persawahan. Berlari-lari sepanjang pematang
dan meloncat parit-parit kecil. Sementara itu di kejauhan masih dilihatnya
warna merah menjilat langit.
Samekta dan para pemimpin
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih berada di tempatnya. Mereka
rnenjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, sama sekali tidak ada perubahan
pada gelar lawannya. Betapa gelisah obor-obor yang melingkari padesan itu,
namun obor itu tidak beranjak dari daerah lingkarannya.
“Apakah Ki Tambak Wedi sama
sekali tidak memperhatikan kebakaran itu?” desis Wrahasta.
“Ki Tambak Wedi adalah orang
yang cukup berpengalaman” sahut Samekta. “Mungkin ia sedang menimbang-nimbang.
Mungkin ia sedang memerintahkan satu dua orang untuk melihat apa yang sedang
terjadi. Atau masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi aku yakin,
bahwa yang terjadi akan berpengaruh pada lawan kita.”
Wrahasta tidak menjawab.
Tetapi tatapan matanya seolah-olah menyala memandangi obor-obor yang masih saja
berada di kejauhan.
“Kita tidak perlu menungguinya
di sini,” berkata Samekta kemudian. “Kami akan mendapat laporan segera apabila
terjadi perubahan keadaan. Di tengah-tengah sawah itu bertebaran para petugas
sandi yang akan dapat memberitahukan setiap gerakan lawan.”
Wrahasta menganggukkan
kepalanya. “Baik. Sementara kita menunggu perkembangan keadaan.”
Samekta dan para pemimpin yang
lain pun segera masuk dan kembali ke tempat pimpinan. Sementara para petugas
tetap mengawasi keadaan dengan saksama.
Di luar padesan itu, agak di kejauhan,
Ki Tambak Wedi menunggu orang-orangnya dengan gelisah. Sementara itu Ki Muni
menggerutu tidak habis-habisnya. Sedang Sidanti, Argajaya, dan Ki Wasi duduk
merenung sambil sekali-sekali mengawasi warna merah di langit.
Ketika mereka telah hampir kehilangan
kesabaran, maka terdengarlah derap dua ekor kuda mendekat. Semakin lama semakin
dekat. Ternyata mereka adalah dua orang petugas yang telah dikirim oleh Sidanti
untuk melihat keadaan.
“Apa yang telah terjadi?”
bertanya Sidanti tidak sabar.
“Sebuah serangan dari
sepasukan berkuda,” jawab salah seorang dari mereka.
“Pasukan berkuda?” tanya
Argajaya meloncat berdiri.
“Siapakah mereka itu?” desak
Sidanti.
“Kami tidak dapat menyebutkan,
siapakah mereka itu. Hampir semua dari mereka memakai secarik kain putih di
lehernya, dan bahkan sebagian untuk menutup wajah mereka sehingga hanya mata
mereka sajalah yang tampak.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya, sedang Sidanti dan Argajaya menggeram hampir bersamaan.
“Jangan terkejut,” Ki Tambak
Wedi berkata dengan nada datar. “Dalam keadaan yang sulit, orang-orang Menoreh
pasti telah membuat permainan yang memuakkan.”
“Dalam sekaratnya Argapati
masih dapat membuat onar,” sahut Ki Muni.
“Tetapi bukankah Argapati
telah mati. Kalau tidak semalam maka pasti siang tadi. Bukankah begitu Ki
Muni?” sahut Sidanti yang mulai menjadi jengkel terhadap orang yang banyak
bicara itu.
Mata Ki Muni terbelalak
mendengar kata-kata Sidanti itu. Hampir saja ia berteriak, tetapi ketika
dilihatnya Ki Tambak Wedi maka maksudnya itu pun diurungkannya.
“Siapa tahu,” ia bergumam.
“Tidak seorang pun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Argapati.
Mungkin ia memang sudah mati sekarang.”
“Kita tidak berbicara tentang
kemungkinan,” sahut Sidanti, “kita sekarang berbicara tentang semua persoalan
yang benar-benar terjadi dan telah terjadi.” Lalu kepada kedua orang berkuda
itu ia bertanya, “Apakah yang dapat kau katakan tentang mereka itu?”
Kedua orang itu termenung
sejenak, katanya, “Mungkin bukan sesuatu yang penting untuk diketahui, tetapi
yang kami dengar pada mereka, adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di atas
Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Apa, apa yang kau dengar
itu?”
“Di antara mereka terdapat
beberapa orang yang bersenjata cambuk. Demikian keterangan yang aku dengar dari
mereka yang melihat langsung orang-orang berkuda itu.”
Hampir bersamaan Ki Tambak
Wedi, Argajaya, dan Sidanti terloncat maju. Dan hampir bersamaan pula mereka
bertanya, “Orang bercambuk?”
“Ya,” jawab orang itu. Tapi ia
sendiri menjadi heran. Kenapa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terperanjat
mendengar keterangannya.
“Apakah kau berkata
sebenarnya?” bertanya Sidanti.
“Demikianlah menurut
pendengaranku. Aku sendiri tidak sempat menyaksikan. Ketika aku sampai di
tempat itu mereka telah pergi sambil meninggalkan api.”
Ternyata berita itu bagi Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya adalah berita yang mendebarkan jantung.
Meskipun mereka belum dapat meyakinkan perasaan mereka, tapi tanggapan mereka
atas berita itu langsung meloncat ke peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di
seberang alas Mentaok.
Dua orang yang bertugas
melihat keadaan dan mengabarkanya itu menjadi semakin heran. Agaknya senjata
cambuk itu benar-benar telah menarik perhatian. Bahkan seorang yang telah
hampir mumpuni seperti Ki Tambak Wedi pun masih juga terkejut mendengar berita
tentang cambuk itu.
Sementara itu Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya saling berpandangan sejenak. Meskipun mereka tidak
mengucapkan kata-kata, tetapi seolah-olah mereka telah berbicara panjang lebar
tentang segala macam kemungkinan.
Dan sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi bertanya, “Apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang bersenjata
cambuk itu? Apakah mereka membunuh lawan-lawannya atau membuat para peronda
ketakutan?”
Salah seorang dari kedua
petugas itu menjawab, “Tidak, Kiai. Mereka tidak berbuat apa-apa. Memang mereka
berkelahi sejenak. Hanya sejenak, karena kemampuan mereka seolah-olah tidak
terlawan, sedang senjata mereka yang aneh itu terlampau liar. Tetapi mereka
tidak membunuh seorang pun. Mereka hanya membakar dua buah gubug kecil yang
sudah hampir roboh, sebuah gardu, dan dua buah kandang kuda yang kosong, karena
kuda-kudannya telah dikumpulkan dan dipakai oleh pasukan kita.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram. Mereka tidak melihat apa yang telah terjadi. Tetapi gambaran itu
samakin mendekatkannya kepada suatu dugaan tentang seseorang yang paling
dibencinya selama ini, sejak ia berada di Tambak Wedi. Bahwa orang-orang yang
bersenjata cambuk itu tidak melakukan pembunuhan dan sekedar membakar
barang-barang yang tidak penting seolah-olah sengaja dipilihnya, semakin
menguatkan dugaannya atas sifat dan watak orang ttu.
“Apakah pasukan kecil yang
telah aku persiapkan di Pucang Kembar juga telah dibinasakan oleh orang yang
bersenjata cambuk itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di hati Ki Tambak Wedi.
Sedang Sidanti dan Argajaya seolah-olah telah dicengkam oleh suatu perasaan
yang tidak menentu.
Dengan demikian maka sejenak
para pemimpin dari pasukan yang menentang kekuasaan Argapati itu terdiam dalam
cengkaman yang menggelora.
“Aku tidak tahu, apakah yang
sebenarnya telah terjadi?” bertanya Ki Muni. “Kenapa berita tentang orang-orang
yang bersenjata cambuk itu tampaknya terlampau membingungkan, bahkan
mencemaskan?”
Ki Tambak Wedi berpaling.
Katanya, “Pada saatnya kau akan tahu bahwa pengetahuanmu tentang obat-obatan
itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan orang yang bersenjata cambuk
itu.”
“He, siapakah orang itu?”
“Belum pasti. Tetapi sebaiknya
kau dan Ki Wasi pada saatnya berkenalan dengannya.”
Ki Wasi mengerutkan keningnya.
Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Siapakah orang itu?”
Tetapi Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Semuanya masih sekedar dugaan. Kalau
aku telah melihat sendiri, maka semua akan menjadi jelas.”
“Tetapi bagaimana Ki Tambak
Wedi akan melihat mereka? Apakah gerakan mereka dapat diduga sebelumnya?”
bertanya Ki Wasi kemudian.
Pertanyaan itu memang sulit
untuk dijawab. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi berkata, “Kita harus berusaha.
Tepatnya aku akan berusaha supaya suatu ketika aku dapat bertemu dengan mereka
di mana pun.”
Ki Wasi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara itu Ki Muni maju beberapa langkah. “Ki Tambak Wedi, tidak
seorang pun di dunia ini yang dapat melampaui kepandaian Ki Muni dalam hal
obat-obatan. Mungkin aku tidak dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam olah
kanuragan. Tegasnya kalau kita berkelahi dengan pedang, maka aku pasti akan
kalah. Tetapi aku punya cara lain untuk mengalahkan lawanku. Ilmu itu tidak
akan dapat dilawan. Seperti ilmu obat-obatan yang aku miliki. Aku menguasai
segala macam racun dan penawarnya, segala macam dedaunan dan akar-akaran, bisa
ular, kumbang, kemladean, kadal hijau berleher merah, semut salaka, laba-laba
hijau bergelang perak, dan segala macam binatang. Tidak ada seorang pun yang
mampu menguasai ilmu seperti itu.”
“Kita tidak perlu segala macam
ilmu tetek bengek itu,” potong Sidanti dengan kesalnya. “Aku memerlukan
kekuatan yang dapat mengalahkan orang-orang yang bersenjata cambuk itu. Habis
perkara. Aku tidak peduli dengan apa ia melawan. Dengan pedang, dengan tombak,
atau dengan mulutnya.”
Wajah Ki Muni itu serasa
disengat oleh api. Sejenak ia berdiri tegak di tempatnya, seperti tonggak yang
mati. Betapa dadanya menggelora, namun mulutnya serasa terkunci.
Ki Tambak Wedi menjadi
berdebar-debar juga mendengar kata-kata Sidanti yang terlampau tajam itu,
sehingga ia mencoba untuk menenangkan gelora di dada Ki Muni. “Jagalah sedikit
perasaanmu Sidanti. Kita masih belum tahu pasti siapa orang itu. Kegelisahanmu
terlampau berlebih-lebihan sehingga kau tidak sadar lagi apa yang kau ucapkan.”
Sidanti sudah hampir membuka
mulutnya, namun Ki Tambak Wedi segera mendahului, “Tetapi yang penting sekarang
mana yang pertama-tama harus kita lakukan.”
Ki Muni masih mengatupkan
mulutnya rapat-rapat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa, selagi Ki
Tambak Wedi masih ada di dekatnya. Ia merasa cukup mampu untuk membungkam mulut
Sidanti yang menyakitkan hati itu, tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia merasa
sama sekali tidak akan mampu mengimbanginya. Itulah sebabnya ia terpaksa
minyimpan segala macam perasaan di dalam dadanya.
Namun di dalam hatinya ia
bergumam, “Pada suatu saat anak itu pasti akan berlutut sambil minta maaf
kepadaku, apabila aku dapat membuktikan, bahwa dengan ilmuku aku mampu membunuh
siapa pun juga dari kejauhan. Kalau benar ada orang-orang bercambuk itu, aku
dapat menggendamnya sehingga tanpa sesadarnya mereka akan datang kepadaku.
Mudah-mudahan hatinya tidak berlapis baja, sehingga hal itu mungkin aku
lakukan. Sesuatu yang tidak akan terjadi pada Argapati yang berhati teguh itu.”
Berita tentang orang-orang
yang bersenjata cambuk itu benar-benar mencapai sasarannya. Ternyata sejak saat
itu, maka pertimbangan Ki Tambak Wedi menjadi semakin jelimet. Ia tidak dapat
berbuat dengan tergesa-gesa dan tidak dapat terlampau percaya bahwa Ki Argapati
benar-benar akan mati.
“Setan bercambuk itu adalah
dukun yang hampir tidak ada duanya,” desisnya. “Kalau benar-benar ia berada di
Menoreh, maka keadaan akan menjadi lain. Aku harus lebih berhati-hati.”
Sidanti yang duduk di
sampingnya tidak menyahut. Namun kerut-merut di keningnya membayangkan betapa
hatinya bergolak dengan dahsyatnya.
“Aku harus berusaha melihat,
apakah dugaanku benar,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau kita hanya
ditakut-takuti oleh bayangan kita sendiri, maka kita adalah orang yang paling
bodoh di muka bumi ini.”
Demikianlah Ki Tambak Wedi
benar-benar bertekad untuk dapat melihat sendiri, siapakah orang yang
bersenjata cambuk itu.
Dengan demikian maka di malam
berikutnya ia tidak ikut bersama-sama pasukan Sidanti yang masih berusaha
menurunkan ketabahan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan mengepung
pusat pertahanannya. Pasukannya kali itu dipercayakannya kepada Sidanti dan
Argajaya, didampingi oleh Ki Wasi dan Ki Muni beserta beberapa orang yang
datang dari luar Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Tambak Wedi sendiri telah
menyusup ke tempat yang mungkin akan didatangi atau dilewati pasukan berkuda
yang semalam telah membakar beberapa buah kandang dan gardu. Mungkin mereka
akan kembali lagi atau pergi ke daerah di sekitarnya.
Sebelum itu Ki Tambak Wedi
telah memerlukan menemui Ki Peda Sura untuk meyakinkan pendengarannya tentang
lawan Ki Peda Sura.
“Seorang anak muda,” jawab Ki
Peda Sura. Sebenarnya ia tidak senang untuk menyebutnya karena harga dirinya.
“Apakah Ki Peda Sura dapat
mengenal cirinya?”
“Tidak ada kekhususannya. Ia
adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Lebih tangkas dari Pandan Wangi,
sehingga mereka berdua berhasil melukai aku.”
“Apakah kau dapat menyebutkan
sesuatu yang aneh atau yang agak lain dari para pengawal tanah perdikan?”
“Aku yakin ia bukan anak tanah
perdikan ini.”
“Apakah jenis senjatanya?”
Ki Peda Sura tidak segera
menjawab. Sebenarnya terlampau berat untuk menyebutkan bahwa anak muda itu
bersenjatakan cambuk. Hanya sekedar cambuk.
Tetapi karena Ki Tambak Wedi
telah mendesaknya, maka mau tidak mau ia mengatakannya juga, “Memang aneh.
Senjata anak muda itu adalah sebuah cambuk. Cambuk yang berjuntai panjang dan
bertangkai pendek.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir
mendengar jawaban itu. Keyakinannya tentang lawannya yang paling diseganinya di
seberang Alas Mentaok menjadi semakin nyata terbayang di kepalanya. Karena itu,
maka tiba-tiba orang tua itu menggeram.
“Apakah kau pernah melihat
atau mendengar sesuatu tentang orang yang bersenjata cambuk itu?” bertanya Ki
Peda Sura.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab
pertanyaan itu, tetapi ia justru minta diri dan berkata, “Aku akan melihat,
apakah yang sebenarnya sedang kita hadapi ini. Apakah kita sedang berhadapan
dengan kelinci atau dengan harimau loreng.”
Ki Peda Sura yang masih belum
sembuh benar heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak sempat bertanya
sesuatu karena Ki Tambak Wedi segera pergi meninggalkannya.
Tetapi sayang bahwa malam itu
Ki Tambak Wedi tidak bertemu dengan orang-orang berkuda dan yang di antara
mereka itu bersenjata cambuk. Ternyata orang-orang berkuda itu telah menempuh
jalan yang lain sama sekali dari jalan yang diduga oleh Ki Tambak Wedi.
Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menimbulkan kerusakan dan bencana apa
pun. Mereka hanya mendatangi beberapa gardu. Membentak para peronda yang
sebenarnya mereka ketahui dengan pasti, bahwa orang-orang itu berpihak kepada
Sidanti, tetapi mereka sama sekali tidak dilukainya.
Seperti pada saat ia datang
dengan tiba-tiba, maka dengan tiba-tiba pula mereka pergi sambil meninggalkan
getar yang meledak dari ujung-ujung cambuk mereka.
“Beberapa orang bersenjata
cambuk,” bisik para peronda itu.
Kawannya menganggukkan
kepalanya sambil meraba lehernya. “He, apakah lehermu ini tidak putus?”
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Seharusnya mereka menyembelih
kita seperti menyembelih kambing. Tetapi mereka pergi tanpa berbuat sesuatu.”
Keheranan yang ternyata merata
di beberapa gardu yang lain. Agaknya orang-orang berkuda dan bercambuk itu
telah mendatangi beberapa buah gardu berturut-turut.
Sebenarnyalah bahwa
orang-orang berkuda itu telah mendapat pesan dari Ki Argapati untuk tidak membunuh
apabila tidak terpaksa. Mereka yang menyaksikan kehadiran orang-orang berkuda
itu harus dibiarkan hidup supaya mereka dapat berceritera tentang apa yang
dilihatnya. Tentang orang-orang berkuda dan tentang orang-orang yang bersenjata
cambuk.
Ketika laporan itu sampai ke
telinga Ki Tambak Wedi, maka kemarahannya pun meluap sampai ke ubun-ubun.
Memang terlampau sulit baginya untuk menjelajahi daerah seluas Tanah Perdikan
Menoreh untuk berusaha bertemu dengan orang-orang berkuda yang mempunyai tujuan
tidak menentu itu.
“Aku akan menjelajahi daerah
ini malam nanti dengan kuda pula. Aku akan menyilang semua jalan dan
lorong-lorong,” ia menggeram.
“Aku ikut pergi bersama Guru,”
minta Sidanti.
“Kau tetap berada di
pasukanmu. Kalau desa itu tidak kita kepung mungkin pasukan berkuda itu pun
tidak bergerak,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kau tidak usah
mencemaskanku. Aku pasti bahwa seandainya dugaan kita benar, yang pergi bersama
orang-orang berkuda itu bukan yang tua. Tetapi anak-anak yang masih sepanas
nafas mudamu.”
Demikianlah maka pada malam
berikutnya, Ki Tambak Wedi benar-benar pergi seorang diri di atas punggung
kuda, menyelusuri jalan dan lorong, untuk menemukan serombongan pasukan berkuda
yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Tetapi usaha Ki
Tambak Wedi itu tidak segera dapat berhasil karena ada beratus-ratus jalan
silang menyilang di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sementara itu kekuatan
Argapati benar-benar telah terkurung dalam daerah yang sangat sempit. Di siang
hari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang dapat berhubungan
dengan padesan-padesan di sekitar tempat mereka bertahan. Namun semakin lama
orang-orang di padesan itu pun menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Sidanti
selalu mengancam siapa saja yang berhuhungan dengan para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Apa lagi bagi mereka yang bersedia memberikan perbekalan.
Meskipun demikian, masih juga ada orang-orang yang dengan beraninya berusaha
membantu para pengawal yang seolah-olah terkurung dalam pemusatan pasukannya.
Sementara itu luka Ki Argapati
sendiri menjadi semakin berangsur berkurang. Tetapi betapa lambatnya
perkembangan kesehatannya, karena obat yang diterimanya dari orang bercambuk
itu seolah-olah sudah tidak dapat membantunya sama sekali. Kekuatannya menjadi
hambar setelah berhari-hari melekat di atas luka. Namun luka itu kini tidak
lagi berbahaya bagi jiwanya. Luka itu kini telah menjadi luka biasa, karena
racunnya telah menjadi tawar. Meskipun demikian, luka biasa yang sekian panjang
dan dalamnya di dada adalah luka yang terlampau parah.
Persoalan-persoalan itu,
tentang luka, tentang bahan makanan yang menipis, tentang kesempatan bergerak
yang semakin sempit, dan tentang berbagai macam hal, selalu menimbulkan masalah
bagi para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Setiap hari mereka berusaha
mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukan. Tetapi mereka masih
belum menemukan jalan yang lurus dan lapang. Yang dapat mereka lakukan adalah
mengatasi kesulitan buat sementara dan sementara.
Namun apa yang didengar oleh
Argapati, dapat memberinya sedikit harapan. Ternyata beberapa petugas sandinya
telah menangkap hasil usahanya, gelar sandi. Orang-orang di seluruh Menoreh
kini membicarakan orang-orang berkuda, dan orang-orang yang ada diantara mereka
yang mempergunakan cambuk sebagai senjata, menonjolkan senjata-senjata cambuk
itu, sehingga benar-benar berkesan pada orang-orang yang melihatnya dan bahkan
mengalami sekali dua kali disengat oleh ujung senjata yang aneh itu. Tetapi
kesan mereka pada umumnya adalah menganggap orang-orang berkuda dan terutama
orang yang bersenjatakan cambuk itu terlampau aneh.
Ternyata berita tentang
orang-orang bercambuk itu benar-benar telah merata sebelum Ki Tambak Wedi
berhasil menemukan mereka pada suatu saat. Hampir saja Ki Tambak Wedi menjadi
jemu. Namun adalah tugasnya untuk berusaha memecahkan teka-teki tentang
orang-orang berkuda itu.
“Kalau aku tidak segera
berhasil menemukan mereka, aku harus berada di mulut sumbernya, sehingga aku
dapat melihat mereka keluar dari padesan itu dan mengikuti sampai jarak yang
cukup, meskipun dapat berakibat mereka membatalkan perjalanan mereka apabila
mereka merasa seseorang mengikuti mereka,” berkata Ki Tambak Wedi dalam
hatinya. Memang agak sulit baginya untuk mengikuti mereka dengan berkuda pula
tanpa diketahui oleh orang-orang berkuda itu sampai jarak yang cukup jauh dari
padesan tempat pasukan pengawal yang masih setia kepada Argapati itu bertahan.
Tetapi apabila tidak ada jalan lain yang dapat dipilih, maka jalan itu pun akan
dilalukannya. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan menghentikan orang-orang
berkuda itu selagi mereka masih berada di sekitar pemusatan pasukan Menoreh
itu. Sebab dengan demikian, mereka masih akan dapat memberikan tanda-tanda
sandi untuk mengundang orang-orang tua yang mungkin berada di tempat itu,
terutama orang bercambuk itu.
Tetapi ternyata berita tentang
orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak hanya menggelisahkan Ki Tambak
Wedi saja. Pada saat Ki Tambak Wedi berusaha mati-matian untuk menjumpai
mereka, maka di sebuah gubug terpencil, di sudut desa yang kecil, dua orang
anak muda sedang duduk menghadapi seorang tua yang duduk tepekur di atas
sehelai tikar yang dibentangkan di atas jerami kering.
“Kami juga telah mendengar,
Guru,” berkata salah seorang anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita.
“Hampir setiap mulut
mengatakan tentang serombongan orang-orang berkuda dan bersenjata cambuk,”
sambung yang lain, seorang anak muda gemuk bulat, dan menamakan dirinya Gupala.
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kita terpaksa melibatkan diri
kita dengan langsung ke dalam persoalan ini?”
“Kita tidak akan dapat tinggal
diam, Guru,” sahut Gupita. “Kita akan berkepentingnn langsung. Apakah kita
dapat melihat Sidanti dan Ki Tambak Wedi menguasai daerah ini?”
Orang tua itu tidak segera
menjawab. Dan Gupita melanjutkannya, “Kalau kali ini mereka berhasil, maka
mereka akan menginginkan lebih banyak lagi.”
“Mereka akan melintasi alas
Mentaok, Guru. Prambanan akan terancam dan Sangkal Putung adalah pancadan yang
paling baik untuk pergi ke Pajang.”
“Ya. Ya,” jawab orang tua itu,
“kalian benar.”
“Adalah kewajiban kita untuk
berbuat sesuatu di sini.”
Orang tua itu masih
mengangguk-snggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku
menyesal, cara yang ditempuh oleh Argapati itu seolah-olah telah menyudutkan
kita ke dalam persoalan ini. Apa pun yang akan kita lakukan, kesan yang didapat
oleh Ki Tambak Wedi adalah bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu telah
ikut serta secara langsung. Mungkin Argapati menganggap dan memperhitungkan,
bahwa Ki Tambak Wedi pun pernah mendengar dan mengenal orang-orang yang
bersenjata cambuk. Sekalipun cara ini dipakai oleh Ki Argapati untuk memaksa
oang-orang bercambuk yang sesungguhnya untuk tampil di arena.”
Kedua anak-anak muda yang
bernama Gupita dan Gupala itu pun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka
menyadari kebenaran kata-kata gurunya. Tetapi dorongan di dalam hati mereka
sendiri menghendaki, agar mereka secara langsung ikut serta di dalam persoaan
ini. Apalagi anak muda yang gemuk itu, yang merasa langsung terancam apabila
Sidanti benar-benar dapat menguasai tanah perdikan yang besar ini.
Namun mereka tidak berani
menekankan pendapat mereka. Mereka pun menyadari bahwa gurunya itu sebenarnya
condong kepada sikapnya pula. Tetapi sebagai orang tua, gurunya pasti jauh
lebih berhati-hati daripada mereka sendiri.
“Sekarang kita tidak dapat
menghindar lagi,” berkata orang tua itu selanjutnya, “sehingga mau tidak mau
kita harus menentukan sikap.”
“Apakah yang akan kita
lakukan, Guru?” bertanya Gupita.
“Kita terpaksa melibatkan diri
kita. Meskipun demikian kita tidak akan berbuat tergesa-gesa,” jawab gurunya.
“Tetapi keadaan telah memanjat
semakin panas. Kalau malam yang pertama sejak Argapati terluka itu, Ki Tambak
Wedi mengambil langkah yang benar maka Ki Gede Menoreh pasti akan menjadi
semakin parah. Bukan saja lukanya tetapi juga kedudukannya.”
Gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kita sudah tentu tidak akan membiarkannya. Aku melihat
keragu-raguan sikap Tambak Wedi pada malam itu, menilik gelar yang
dipergunakan, sehingga aku pasti bahwa Tambak Wedi tidak akan segera berbuat
sesuatu. Kegagalan Tambak Wedi di Pucang Kembar pasti diperhitungkannya juga.
Kemudian kekalahan Ki Peda Sura dan tanda-tanda lain yang dapat menghambat
maksud Ki Tambak Wedi, ditambah kecerdasan berpikir orang-orang Argapati dengan
membentuk pasukan berkuda itu. Apalagi Argapati telah membuat tiruan dari
orang-orang yang bersenjata cambuk seperti kita. Sekaligus ia mendapat dua
keuntungan. Ia dapat membuat Ki Tambak Wedi semakin ragu-ragu dan memaksa kita
untuk tampil.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak segera menyahut.
“Sekarang,” berkata orang tua
itu, “kita harus mulai. Tetapi kita tidak akan dapat dengan serta-merta datang
menemui Argapati. Kita harus menilai suasana lebih dahulu, sementara Ki Tambak
Wedi jangan sampai melihat lebih dahulu, bahwa kita sebenarnya hadir di sini.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Ki
Tambak Wedi itu segera tahu bahwa orang-orang berkuda itu sama sekali bukan
orang-orang yang dibayangkannya? Bukankah dengan demikian ia akan segera
menyerang Ki Argapati?” bertanya Gupita.
“Mungkin,” jawab gurunya.
“Kita pun tidak akan menunda terlampau lama. Dalam pada itu, obat yang kita
berikan kepada Ki Argapati itu pun pasti sudah hambar. Ia memerlukan obat baru.
Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mencampur obat itu dengan jenis
obat-obatan yang lain yang dapat memperlemah daya penyembuhnya atau bahkan
saling memunahkan. Dan mudah-mudahan tidak pula disusupi oleh obat dari Ki Wasi
atau lebih-lebih lagi Ki Muni.”
“Jadi, apakah kita akan
menemui Ki Argapati untuk menyerahkan obat itu?” bertanya Gupala.
“Ya,” jawab gurunya, “tetapi
kita memerlukan cara yang tidak terlampau kasar.”
“Maksud Guru?”
“Salah seorang dari kita harus
dapat melihat suasana lebih dahulu, supaya kita tidak menemukan kesulitan. Kita
minta waktu kepada Argapati kapan ia dapat menerima kita. Kalau tidak, mungkin
kita akan berurusan dengan para peronda dan para pengawal. Apabila demikian
keadaan kita akan dapat menjadi sulit, sebab mereka sama sekali belum mengenal
kita.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian Gupala berkata, “Baiklah.
Aku akan nencoba mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Argapati.”
“Jangan kau, Gupala.”
“Kenapa Guru?”
“Bentuk tubuhmu terlampau
mudah untuk dikenal. Setiap orang akan mengatakan bahwa satu di antara
orang-orang bercambuk itu bertubuh gemuk bulat. Nah,setiap orang akan segera
mengenal siapa kau sebenarnya.”
“Bukankah kita tidak
berkeberatan, Guru, seandainya Ki Tambak Wedi segera mengetahui?”
“Sementara ini jangan. Aku
sebenarnya senang juga melihat Tambak Wedi kebingungan. Semalam aku melihat ia
berpacu dengan kudanya seperti orang gila. Mungkin ia ingin membuktikan dengan
mata kepalanya sendiri, siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk itu. Kalau ia
segera menemukan kepastian karena orang-orangnya mengenalmu, maka ia akan
segera menentukan sikap. Apa pun yang akan dilakukannya.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa disengajanya, ia memandangi anggota badannya. Tangannya yang
sebesar pring petung, kaki-kakinya dan jari-jarinya. “Hem,” ia menarik nafas
dalam-dalam.
“Jadi, Kakang Gupita lagi yang
mendapat kesempatan. Kali ini seperti waktu yang terdahulu?”
Gurunya tersenyum, dan Gupita
pun tersenyum.
“Baiklah,” Gupala seakan-akan
mengeluh.
“Lain kali kau akan mendapat
kesempatan pula dalam tugas yang yang lain.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun sorot matanya membayangkan hatinya yang kecewa.
“Kapan aku harus membawa obat
itu, Guru?” bertanya Gupita,
“Segera. Tetapi kau harus
berusaha, bahwa kau akan bertemu dengan Ki Argapati sendiri. Aku akan mengawasi
kau dari kejauhan bersama Gupala.”
“Tetapi,” tiba-tiba Gupala
memotong, “Ki Argapati justru pernah mengenal aku.”
“Tetapi bukan petugas sandi Ki
Tambak Wedi. Kalau salah seorang dari mereka melihat kau dan mengatakannya
kepada Ki Tambak Wedi, maka segera Ki Tambak Wedi yakin, bahwa orang bercambuk
yang gemuk bulat itu adalah kau. Sudah tentu bersama kita semua.”
Gupala tidak segera menyahut.
Tetapi ia tidak mengerti kenapa gurunya berkeberatan. Bukankah pada saatnya
nanti Ki Tambak Wedi akan tahu juga bahwa mereka berada di Tanah Perdikan
Menoreh ini bersama-sama?
Namun demikian Gupala memang
harus mematuhinya. Sehingga betapa ia berkeinginan untuk berperanan, namun niat
itu harus disimpannya saja di dalam hati.
Maka setelah menyediakan
beberapa jenis obat-obatan yang akan dapat menolong Ki Argapati dari lukanya
yang parah, maka Gupita pun segera harus berangkat. Gurunya memberinya beberapa
macam pesan apabila ia menghadapi kesulitan. Sementara ia mendekati padesan
tempat pemusatan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, gurunya dan Gupala akan
mengawasinya dari kejauhan.
“Kalau kau benar-benar tidak
dapat mengatasi kesulitan yang datang dengan tiba-tiba, maka panggillah kami
dengan ledakan cambukmu,” pesan gurunya. “Kami tidak akan terlampau jauh
daripadamu.”
“Baik, Guru,” jawab Gupita
yang segera minta diri kepada gurunya dan kepada adik seperguruannya.
Dengan hati-hati Gupita,
gembala yang bersenjata cambuk itu pun segera pergi mendekati padukuhan tempat
pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kali ini ia tidak
membawa seekor kambing pun. Ia harus dapat menerobos masuk dan menyerahkan obat
itu kepada Ki Argapati sendiri sambil membicarakan kemungkinan, bahwa gurunya
akan datang sendiri untuk menemui Ki Argapati.
Di padukuhan yang dilingkari dengan
pohon pring ori, para pemimpin pasukan pengawal selalu dipeningkan oleh
kesulitan-kesulitan yang setiap saat timbul. Kekurangan makanan telah mulai
membayang, meskipun di lumbung masih ada persediaan. Namun persediaan itu telah
menipis. Sedang tidak seorang pun dari orang-orang padukuhan itu yang dapat
keluar untuk menggarap sawah mereka, karena dengan demikian akan dapat
membahayakan kedudukan para prajurit. Yang mereka harapkan adalah bantuan bahan
makanan dari daerah di sekitar desa itu, yang kini semakin ketat diawasi oleh
orang-orang Sidanti yang agaknya lebih leluasa berkeliaran hampir di seluruh
daerah tanah perdikan ini.
Selain masalah-masalah yang
tumbuh pada lingkungan pasukan itu sendiri, maka Pandan Wangi juga dibebani
oleh persoalan pribadi yang kadang-kadang membuatnya kehilangan akal. Sebagai
seorang gadis, kadang-kadang Pandan Wangi mengurung dirinya di dalam biliknya
sambil menangis. Pertanyaan Wrahasta benar-benar telah membuatnya cemas. Tetapi
sampai begitu jauh, ia sama sekali tidak berani mengatakannya kepada ayahnya.
Sehingga kegelapan hati itu disimpannya sendiri di dalam dadanya.
Masalah-masalah yang
menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dapat diperbincangkannya dengan banyak orang.
Betapapun berat, namun agak lapanglah rasa dadanya, karena beban itu
ditanggungkan oleh orang-orang lain pula. Tetapi beban perasaannya yang satu
ini sama sekali harus dipikulnya sendiri. Tidak ada kawan untuk berbagi.
Ayahnya juga tidak. Karena luka ayahnya sendiri masih cukup parah, sedang
obatnya pun telah hampir punah daya penyembuhnya. Dengan demikian ia tidak
sampai hati untuk menambah beban perasaan Argapati yang sedang disaput oleh
keprihatinan itu.
Untuk sementara yang dapat
dilakukan oleh Pandan Wangi adalah selalu berusaha untuk menghindari pertemuan
seorang dengan seorang dari Wrahasta. Setiap kali ia selalu berusaha untuk
berada di dekat Kerti atau Samekta, bahkan pemimpin pasukan yang lain kecuali
Wrahasta, meskipun ia berusaha sedapat-dapat dilakukan, untuk tidak menimbulkan
kesan yang menyakitkan hati pada anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Sebenarnyalah bahwa Wrahasta
selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Pandan Wangi seorang diri. Namun
usahanya itu masih belum pernah berhasil. Setiap kali pasti ada orang lain di
antara mereka. Dan orang lain itu rasa-rasanya benar-benar mengganggunya.
Di siang hari, Pandan Wangi
lebih banyak bersama-sama dengan pamomongnya yang tua, Kerti. Hampir setiap
saat Kerti selalu dibawanya. Meskipun tidak jelas, tetapi Pandan Wangi telah
membayangkan kesulitannya kepada orang tua itu. Tetapi di malam hari, Kerti
selalu berada di desa sebelah untuk memimpin pasukan yang mengawal keluarga
dalam pengungsian.
“Apakah Paman Kerti harus
bertugas di sana setiap malam?” bertanya Pandan Wangi ketika mereka bersama-sama
berdiri di mulut regol.
Kerti menganggukkan kepalanya
sambil menjawab “Ya, aku harus pergi ke sana.”
“Apakah tidak dapat secara
bergilir, orang lain yang harus memimpin pasukan itu?”
“Tentu saja dapat,” jawab
Kerti, “tetapi kini masih belum waktunya.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sedang
memanjat langit. Cahayanya masih belum terlampau panas, namun kecerahan
sinarnya membuat dedaunan seakan-akan ikut bersinar.
Namun Pandan Wangi itu
tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sempat menikmati cahaya pagi yang
segar ini sepuas-puasnya seperti ketika tanah perdikan ini masih belum dibakar
oleh api kedengkian dan nafsu. Ketika itu, apabila ia berpakaian seperti yang
dikenakannya kini, adalah saat-saat yang menyenangkan. Karena dengan pakaian
ini ia pasti berada di padang perburuan bersamn Kerti dan satu dua pengawal.
Tetapi kini tidak. Kalau kali ini ia berada di padang perburuan, adalah
perburuan yang paling buas yang dikenalnya. Berburu sesamanya, manusia.
Angan-angan itu telah membuat
Pandan Wangi menjadi semakin muram. Dengan mata yang sayu ditatapnya sinar
matahari yang jatuh di atas rerumputan liar di tanah persawahan yang tidak
sempat disentuh oleh tangan.
“Tanah itu benar telah
kering,” desisnya.
Kerti berpaling. Ia mendengar
suara Pandan Wangi, tetapi ia tidak segera menyahut.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi
itu mengangkat wajahnya. Sesuatu telah menyentuh hatinya lewat telinganya.
Suara seruling.
Mula-mula Pandan Wangi ragu-ragu
atas pendengarannya sendiri. Di dalam keadaan serupa ini, apakah ada seseorang
yang sempat meniup serulingnya? Apalagi suara itu datang dari arah luar benteng
bambu berduri yang meugelilingi desa itu.
Tiba-tiba teringat olehnya
seorang gembala yang biasa bermain-main dengan serulingnya. Ia pernah menemui
gembala itu bermain seruling di muka pasukan pengawal tanah perdikan ini yang
sudah dalam kesiagaan tertinggi sewaktu masih berada di induk tanah perdikan.
Gembala itu bermain dengan nyamannya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di
sekitarnya.
Kini, ia mendengar suara
seruling itu pula. Juga di hadapan hidung para pengawal yang sedang dalam
kesiagaan tertinggi.
Dalam kebimbangan itu Pandan
Wangi berpaling, memandangi wajah Kerti. Sekilas Pandan Wangi melihat kening
orang tua itu bergerak-gerak. Dan tanpa disadarinya ia bertanya, “Apakah Paman
Kerti mendengar sesuatu?”
Kerti mengangguk ragu. Namun
ia menjawab, “Aku mendengar suara seruling dari balik rerungkudan di
tengah-tengah sawah yang tidak digarap itu.”
“Ya, aku mendengarnya pula,”
berkata Pandan Wangi kemudian.
“Aneh,” desis Kerti.
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Didengarkannya suara seruling itu dengan seksama. Semakin lama
rnenjadi semakin nyata mengalun bersama angin yang berhembus dari Utara.
Kadang-kadang meninggi, kemudian turun merendah, seperti kegelisahan yang
sedang merayap di hati Pandan Wangi.
“Gembala itu pula,” berkata
Pandan Wangi lambat.
“Gembala yang mana Wangi?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab, “Paman Samekta pernah melihatnya.”
“Lalu?”
“Apakah Paman Kerti tidak
melihatnya ketika aku menjumpainya di pinggir padukuhan induk tanah perdikan
ini, dahulu?”
Kerti mengerutkan keningnya.
“Mungkin Paman memang tidak
ada waktu itu. Tetapi seperti sekarang, ia bersenandung dengan serulingnya di
depan hidung para pengawal. Aku mencurigainya waktu itu. Aku sangka ia adalah
salah seorang petugas sandi Kakang Sidanti.”
“Sekarang pun kau harus
mencurigainya.”
Kerti menjadi heran ketika ia
melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan dapat
mencurigainya lagi, Paman.”
“Kenapa?”
“Orang itulah yang bernama
Gupita, yang telah membebaskan aku dari tangan Ki Peda Sura.”
Wajah Kerti yang tua itu
rnenjadi semakin berkerut-kerut. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Jadi orang inilah
yang kau katakan itu Wangi?”
“Ya, Paman.”
Kerti terdiam sejenak. Sekilas
melonjak di dalam kenangannya, seseorang yang gemuk bulat memberikan obat
kepada Ki Gede Menoreh, dan ternyata obat itu telah menolongnya. Anak muda yang
gemuk bulat itu juga bersenjata sebuah cambuk yang berjuntai panjangg dan
bertangkai pendek, seperti yang pernah diceriterakan oleh Pandan Wangi tentang
seorang gembala yang bernama Gupita, yang telah menolong melepaskannya dari
tangan Ki Peda Sura.
“Ternyata ceritera tentang
orang-orang bercambuk itu telah berkembang di Tanah ini,” gumam Kerti.
“Ya, apalagi setelah di antara
pasukan berkuda itu terdapat juga beberapa orang bercambuk,” jawab Pandan
Wangi.
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah bergulat
beberapa macam pendapat tentang orang yang menyebut dirinya Gupita itu. Ia
dapat mengerti bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat mencurigainya, tetapi ia
tidak dapat menolak seluruh pendapat Wrahasta yang dengan hati-hati menanggapi
peristiwa itu. Tidak mustahil bahwa Sidanti telah membuat gelar sandi seperti
yang dilakukan oleh Ki Argapati dengan menempatkan seseorang untuk dengan
sengaja menghubungi Pandan Wangi dan menolong membebaskannya dari tangan Ki
Peda Sura.
“Tetapi,” katanya di dalam
hati, “Ki Gede mempercayainya.”
Namun segera timbul persoalan
di dalam dirinya. “Apakah benar, bahwa Gupita dan Gupala itu bersumber pada
satu keluarga atau suatu perguruan? Apakah mereka tidak justru berdiri
berseberangan dengan berebut ciri dari manusia bercambuk itu, namun sebenarnya
mereka semuanya sama sekali bukan orang yang dimaksud oleh Ki Argapati. Atau
bahkan semuanya telah dipersiapkan dengan cermat oleh Ki Tambak Wedi? Namun
jika demikian, maka Ki Argapati itu pasti sudah tidak akan dapat tertolong
lagi. Obat itu pasti akan mempercepat kematiannya. Namun justru obat itu
ternyata bermanfaat baginya.”
Pertanyaan yang bersimpang
siur telah mengganggu jantung Kerti. Semuanya dapat terjadi. Semuanya dapat
keliru, tetapi mungkin juga semua tanggapan Ki Argapati dan Pandan Wangi
tentang orang-orang bercambuk itu benar. Dan apakah kira-kira sikap Wrahasta
terhadap orang itu nanti apabila ia mendengarnya juga?
Kerti tersedak dari
angan-angannya ketika ia mendengar suara Pandan Wangi, “Apa yang akan kau
lakukan?”
Ketika Kerti mengangkat
wajahnya dilihatnya dua orang pengawal dengan tombak di tangan telah berdiri
beberapa langkah di belakangnya.
“Aku mendengar suara
seruling,” sahut pengawal itu hampir bersamaan.
“Lalu?” desak Pandan Wangi.
“Kami ingin melihatnya.
Terlampau mencurigakan bahwa ada seseorang bermain seruling di tengah-tengah
sawah yang kering itu.”
“Aku juga mendengar,” berkata
Pandan Wangi. “Biarlah aku dan Paman Kerti sajalah melihatnya.”
Kedua pengawal itu saling
berpandangan sejenak. Bahkan Kerti pun rnenjadi termangu-mangu. Sehingga salah
seorang dari pengawal itu berkata, “Apakah tidak terlampau berbahaya apabila
kalian berdua yang pergi melihatnya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Di pandanginya wajah kedua pengawal yang berdiri tegak itu. Kemudian
berpindah kepada wajah Kerti yang tegang.
Sejenak kemudian terdengar
suara Pandan Wangi, “Apakah perbuatan yang serupa yang akan kalian lakukan
tidak berbahaya bagi kalian?”
“Bukan begitu,” jawab salah
seorang dari kedua pengawal itu. “Betapapun juga bahaya itu akan menimpa kami,
tetapi kami tidaklah sepenting kalian berdua bagi tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ia terdiam mendengar jawaban pengawal itu. Begitu besar
pengorbanan yang disediakan untuk kepentingannya dan kepentingan Tanah ini.
Tidak dihiraukannya lagi, apakah yang akan terjadi atas diri mereka sendiri.”
“Kita akan pergi
bersama-sama,” berkata Pandan Wangi kemudian.
Kedua pengawal itu masih
ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya berkata, “Kalau memang itu
yang kau kehendaki, baiklah. Kami akan melakukanya.”
Maka pergilah mereka berempat
dengan hati-hati kearah suara seruling yang masih saja mengalun di sela-sela
desir angin yang berhembus di antara dedaunan. Daun rerumputan yang liar dan
batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Para peronda di gardu melihat
keempatnya berjalan semakin lama semakin jauh. Beberapa orang menjadi cemas dan
berbisik di antara mereka, “Kenapa Ki Kerti dan Pandan Wangi pergi juga.”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “EntahIah. Tetapi meskipun ia seorang gadis. Pandan Wangi
mempunyai kelebihan dari kita semua. Bahkan Ki Kerti dan Ki Samekta tidak dapat
menyamainya. Ternyata pada saat ia berkelahi melawan Ki Peda Sura.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi adalah seorang
gadis yang luar biasa.
Meskipun demikian,
kepergiannya itu telah membuat para pengawal menjadi cemas. Sehingga dengan
demikian maka tanpa mereka kehendaki dan tanpa berjanji mereka telah bersiap,
berdiri berjajar di muka gardu di regol desa. Setiap saat mereka siap untuk
meloncat ke arah suara seruling di balik ilalang itu.
Dari sela-sela rerumputan yang
meninggi, gerumbul-gerumbul perdu yang liar, para peronda masih melihat bagian
kepala Pandan Wangi dan ketiga kawannya berjalan semakin jauh. Sedang suara
seruling yang melonjak-lonjak itu pun masih juga menyentuh telinga mereka.
Orang-orang di depan gardu itu
menahan nafas mereka ketika mereka melihat Pandan Wangi berhenti. Agaknya
Pandan Wangi telah menjumpai sumber suara seruling itu.
Sebenarnyalah bahwa kini
Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakang seorang anak muda yang
duduk di bekas pematang yang kering sambil meniup serulingnya. Agaknya ia
begitu asyik bermain sehingga kehadiran orang-orang yang mendekatinya itu tidak
dapat menggangunya. Meskipun Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di
belakangnya, namun anak muda itu masih saja berlagu dengan kesungguhan hatinya.
Kerti berdiri termangu-mangu
di belakang Pandan Wangi. Kalau anak muda ini yang dimaksud oleh Pandan Wangi,
bersama-sama mengalahkan Ki Peda Sura, maka adalah mustahil, bahwa ia tidak
mendengar kehadiran mereka berempat.
Berbeda dengan tanggapan
Pandan Wangi. Gadis itu yakin, bahwa gembala yang meniup seruling itu pasti
sudah mendengar kehadirannya, tetapi sengaja ia berbuat seolah-olah tidak
mengetahui kedatangannya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sikap anak muda yang meniup seruling itu terasa lain di dalam
hatinya. Kalau selama ini ia selalu dihadapkan kepada ketegangan, kecemasan dan
berbagai macam perasaan yang membuatnya terlampau lelah lahir dan batin maka,
sikap gembala itu memberinya suasana yang berbeda. Terasa bahwa gembala itu
sengaja ingin bergurau seperti kebiasaan anak yang pernah dilihatnya. Gembala
itu kadang-kadang bersikap seperti seorang gembala yang dungu, yang membuat Samekta
kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya ketika mereka bertemu setelah ia
dicegat oleh orang-orang liar yang berpihak kepada Sidanti.
Sepercik kesegaran melonjak di
dalam hati Pandan Wangi yang seolah-olah selama ini menjadi kering. Timbullah
niatnya untuk menanggapi sikap gembala yang pura-pura tidak tahu kehadirannya
itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berpaling. Sambil meletakkan jari telunjuknya
di depan bibirnya, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan menjauhi gembala yang
sedang bersenandung dengan serulingnya itu.
Kerti dan kedua pengawal yang
datang bersamanya menjadi bingung. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata
pun karena Pandan Wangi masih tetap meletakkan telunjuknya di muka bibirnya
yang terkatup rapat-rapat.
Kerti dan kedua pengawal itu
pun berjalan pula sambil kebingungan di belakang Pandan Wangi.
Namun tiba-tiba langkah mereka
tertegun ketika tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Tetapi sebelum mereka
berpaling Pandan Wangi telah berkata lantang, “Mari Paman, kita tidak akan mengganggu
orang yang sedang terlampau asyik bermain dengan serulingnya. Kita tidak akan
mematahkan arus perasaan yang sedang terungkap lewat nada-nada. Begitu mencekam
seperti batu karang dibelai angin pegunungan.”
“Maafkan aku,” tiba-tiba
terdengar gembala itu berkata, “maafkan aku. Aku tidak mendengar kehadiran
Tuan-tuan di sini.”
Namun suara Pandan Wangi masih
tetap lantang, “Kita sama sekali tidak cukup berharga untuk dapat mematahkan
kidung yang syahdu itu.”
“Bukan, bukan maksudku.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
berhenti. Ia masih terus melangkah meskipun perlahan-lahan. Sedang kedua
pengawal tanah perdikan yang mengikutinya berjalan dengan penuh kebingungan.
Sekali-sekali mereka berpaling. Dilihatnya gembala yang meniup seruling itu
melangkah tergesa-gesa di belakangnya.
Namun Kerti yang tua segera
tanggap atas keadaan itu. Karena itu, maka tanpa dikehendakinya ia menarik
nafas dalam sekali.
Pandan Wangi masih juga
melangkah menuju ke padesan kembali diikuti oleh ketiga kawan-kawannya.
Sedangkan gembala yang baru saja bersenandung dengan serulingnya itu masih saja
mengikutinya dari belakang sambil berkata, “Maafkan aku. Bukan maksudku untuk
mengabaikan kedatangan Tuan-tuan. Sebenarnya aku memang tidak mengetahuinya.”
“Bohong!” jawab Pandan Wangi.
“Kalau kau tidak mengetahui kedatangan kami, kenapa kau sekarang dapat
mengikuti kami.”
”Aku mendengar kalian berbalik
meninggalkan aku. Sebelum itu aku benar-benar tidak mendengarnya.”
“Aku tidak percaya. Kau
sengaja mengabaikan kedatangan kami.”
“Sungguh mati.”
“Dan sekarang, apakah alasanmu
mengikuti aku? Ini adalah daerah kami.”
“Aku akan minta maaf,” jawab
gembala itu, lalu, “dan aku akan menawarkan sebuah cerita yang sangat menarik.
Sama menariknya dengan cerita Arjuna Wiwaha.”
Langkah Pandan Wangi tertegun
sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Kerti yang tua. Tanpa sesadarnya
pula Kerti yang tua itu tersenyum.
Sepercik warna merah membayang
di pipi Pandan Wangi. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Sesuatu terasa
berdesir di dadanya.
Kini gembala yang menamakan
dirinya Gupita itu telah berdiri di hadapan Pandan Wangi dan Kerti. Sambil
membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia berkata, “Maafkan aku, Kiai.”
Kerti tidak menyahut, tetapi
ia berpaling kepada Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih menundukkan
kepalanya. Sedang kedua pengawal yang ikut bersama mereka itu pun menjadi
bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Tiba-tiba terdengar suara
Pandan Wangi lirih, “Silahkan, Paman. Aku hanya mengantarkan Paman mencari
suara seruling itu. Kalau Paman memang mencurigainya, silahkan Paman bertanya
dan memeriksanya.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Namun tiba-tiba terbayang di rongga matanya seorang anak muda yang
bertubuh raksasa, yang selama ini telah menggelisahkan dada Pandan Wangi. Sebagai
seorang yang telah cukup berpengalaman, segera Kerti menarik garis yang akan
bersilang di antara mereka.
Tanpa sesadarnya orang tua itu
menggelengkan kepalanya. Namun diangkatnya wajahnya ketika ia mendengar gembala
itu bertanya, “Kenapa Kiai mencurigai aku?”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia harus berbuat sesuai dengan keadaan yang menyudutkannya saat itu
untuk menolong Pandan Wangi.
“Ya, anak muda,” berkata
Kerti. “Adalah mencurigakan sekali, bahwa dalam keadaan yang demikian kau
bersenandung dengan serulingmu di muka regol desa kami.”
“Apakah aku telah melanggar
suatu peraturan di daerah ini?” bertanya gembala itu.
“Memang tidak ada peraturan
yang melarang seseorang membunyikan seruling di sini. Tetapi bahwa ada juga
yang melakukanya adalah menarik sekali.”
“Apakah anehnya, Kiai. Aku
berjalan lewat jalan di depan kita itu. Karena aku merasa lelah, aku
beristirahat di tempat yang teduh sambil membunyikan seruling untuk melupakan
kesibukanku sehari-hari.”
Sekali lagi Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Ia telah cukup tua untuk menangapi persoalan itu. Karena itu
maka katanya kemudian, “Sebaiknya kau mengatakan, apakah maksudmu dengan
perbuatanmu itu. Aku pernah mendengar cerita tentang kau, Ngger, bahwa kau
adalah seorang gembala yang bernama Gupita, bukankah begitu? Yang pernah
bertempur melawan Ki Peda Sura untuk menolong membantu Angger Pandan Wangi
membebaskan dirinya dari tangan hantu itu. Dengan demikian, maka akan sangat
menarik sekali cerita Angger yang menurut penilaianmu sendiri sama menariknya
dengan Arjuna Wiwaha. Atau barangkali harus ditegaskan, Arjuna Wiwaha yang
mendapat hadiah seorang bidadari karena jasa-jasanya bagi bumi ini?”
“Ah,” gembala itu berdesis.
Ketika ia memandang Pandan Wangi dengan sudut matanya maka dilihatnya gadis itu
masih saja menundukkan kepalanya. “Maaf Kiai. Ceritaku sebenarnya sama sekali
tidak menarik. Aku hanya ingin memaksa Kiai dan Tuan-tuan yang lain terhenti.
Sebab sebenarnya aku memang mempunyai sebuah cerita meskipun tidak akan dapat
memikat perhatian.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Kami sudah menyangka. Karena itu kami mencari suara
serulingmu. Kehadiranmu pasti bukan tanpa maksud. Bukankah begitu?”
“Begitulah. Tetapi kenapa
Tuan-tuan begitu saja akan meninggalkan aku sebelum bertanya sesuatu kepadaku
hanya karena aku terlambat menyapa Tuan-tuan?”
“Ah,” Kerti berdesah,
“bertanyalah kepada Angger Pandan Wangi.”
“Kenapa kepadaku,” dengan
serta-merta Pandan Wangi menyahut.
“Bukankah Angger yang
memerintahkan kepada kami untuk meninggalkannya.”
“Ah,” Pandan Wangi-lah yang
kemudian berdesah “Paman-lah pemimpin rombongan kami. Aku hanya tunduk kepada
perintah Paman.”
Kerti tersenyum di dalam hati.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah, biarlah aku yang
menyusun alasan.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Begini anak muda.
Sebenarnyalah bahwa kami sudah tahu. Seandainya kami melangkah pergi, kau pasti
akan menyusul kami. Bukankah begitu? Ternyata dugaan kami benar seluruhnya.
Dengan serta-merta kau mengikuti kami. Meskipun semula kau berpura-pura tidak
mengetahui kehadiran kami. Nah, begitulah kira-kira.”
Kini wajah gembala itulah yang
sejenak menjadi kemerah-merahan. Namun sejenak kemudian ia segera dapat
menguasai parasaannya dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan menyangkal.”
“Nah, sekarang apa ceritamu
itu?” bertanya Kerti.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu tiba-tiba matanya
terlempar kepada seseorang yang dengan tergesa-gesa datang ke arah mereka.
Seorang anak muda yang bertubuh raksasa bersama dua orang pengawal.
Dada Kerti berdesir ia melihat
Wrahasta datang. Orang tua itu mendapat firasat bahwa masalah yang akan terjadi
di antara mereka, bukanlah sekedar persoalan-persoalan yang menyangkut masalah
Tanah Perdikan ini dalam segala segi hubungannya. Tetapi masalahnya akan
menyentuh hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, sebagai persoalan pribadi,
meskipun dapat dibentuk menurut kepentingannya, sebagai persoalan Tanah ini.
Tetapi Kerti tidak
mengucapkannya dalam kalimat-kalimat. Namun pandangan matanya yang buram
agaknya telah berhasil menyentuh perasaan Pandan Wangi.
Sebelum Wrahasta itu mendekat,
ia sudah bertanya lantang “He, kenapa kau berada di situ, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah Wrahasta dengan tajamnya. Namun karena jarak
mereka masih agak jauh, maka ditunggunya saja Wrahasta itu mendekat.
“Kenapa, Pandan Wangi?” desak
Wrahasta.
Pandan Wangi masih belum
menjawab. Sekali-sekali disentuhnya wajah Kerti dengan sudut matanya. Tampaklah
wajah orang itu menyorotkan kecemasan hatinya.
Langkah Wrahasta semakin lama
menjadi semakin cepat. Beberapa langkah dari Pandan Wangi, sekali lagi ia
bertanya, “Kenapa kau berada di sini?”
“Aku menunggu kau mendekat
Wrahasta. Aku tidak dapat berteriak sekeras kau.”
“Hem,” Wrahasta berdesah,
“apakah kau tidak mempunyai kerja yang lain dari mengurusi seseorang macam anak
itu?”
Terasa sesuatu bergetar di
dada Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditunggunya Wrahasta
semakin dekat, dan yang kemudian berhenti beberapa langkah di hadapannya.
Tetapi setelah berada di
antara Pandan Wangi, Kerti, dan Gupita, Wrahasta tidak lagi bertanya kepada
Pandan Wangi. Ditatapnya wajah Gupita tajam-tajam. Kemudian meloncatlah
pertanyaannya, “Kaukah orang yang membunyikan seruling itu?”
“Ya, Tuan,” jawab Gupita.
“Kenapa?”
Gupita menjadi bingung
mendapat pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sekilas, kemudian Kerti,
para pengawal dan yang terakhir Wrahasta.
“Mengapa kau berada di tempat ini?”
“Kebetulan sekali, Tuan. Hanya
kebetulan saja aku berada di tempat ini.”
Sebelum Wrahasta bertanya
lebih banyak lagi. Pandan Wangi memotongnya, “Wrahasta, anak muda inilah
gembala yang pernah aku ceriterakan kepada ayah.”
Wrahasta mengerutkan keningnya.
Tanpa disangka-sangkanya ia menjawab, “Aku sudah menduga.”
“Apakah kau sudah tahu atau
mengenal ciri-cirinya.”
“Tidak. Tetapi bahwa kau
memerlukan turun sendiri ke tengah-tengah bulak untuk menyongsongnya, tentu
orang ini adalah seseorang yang pantas mendapat kehormatan.”
Jawaban itu telah
menggoncangkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis, maka langsung ia dapat
menangkap maksud kata-kata Wrahasta itu. Namun dengan demikian getar di dadanya
justru serasa membungkam mulutnya. Sejenak ia berdiri mematung dengan jantung
yang berdentangan.
Kerti yang tua menarik nafas
dalam-dalam. Dugaanya tidak akan terlampau jauh berkisar dari sasaran.
Sementara Gupita sendiri berdiri dengan gelisahnya. Di wajahnya membayang
keheranan dan kecemasan menghadapi sikap Wrahasta itu.
Karena tidak seorang pun yang
menjawab kata-katanya, maka Wrahasta berkata pula, “He anak muda. Apakah kau
tidak berpikir bahwa kehadiranmu di daerah ini dapat menumbuhkan kecurigaan
pada kami?”
Gupita tidak segera menyahut.
Namun wajahnya kini menjadi kian bersungguh-sungguh.
“Apakah kau kira bahwa
permainan serulingmu itu hanya sekedar dapat memikat hati gadis-gadis dan tidak
menumbuhkan persoalan pada para pengawal?”
Sekali lagi getar yang tajam
tergores di mata Pandan Wangi. Tetapi ia masih saja terbungkam, dan Kerti pun
masih belum dapat menyesuaikan dirinya dengan pembicaraan itu.
“Tuan,” Gupita-lah yang
kemudian menjawab, “bukan maksudku untuk berbuat yang bukan-bukan. Sudah tentu
bahwa aku bukan sekedar kebetulan sepenuhnya berada di tempat ini. Tetapi
benar-benar suatu kebetulan bahwa Tuan-tuan inilah yang datang melihat
seseorang yang dengan serulingnya berada di depan regol desa ini.”
“Nah, kau sudah mulai berubah.
Ternyata bahwa di dalam dirimu tersimpan persoalan yang kau selimuti dengan
berbagai macam dalih dan sikap yang pada saatnya akan terungkap satu demi satu.
Nah, sekarang sebutkan, kenapa kau berada di tempat ini? Meskipun aku tahu
bahwa kau akan dapat menyebut seribu macam alasan, namun aku akan mencoba mendengarnya.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Orang yang bertubuh raksasa ini tidak dapat ditanggapinya dengan sikap yang
aneh-aneh. Ia harus bersungguh-sungguh, namun ia tidak akan dapat melanggar
pesan gurunya, bahwa ia harus berusaha bertemu dengan Ki Argapati.
Tetapi kehadiran orang ini
telah membuat rencananya menjadi kabur. Pada saat Pandan Wangi datang
kepadanya, karena suara serulingnya, ia telah berbesar hati, bahwa ia akan
mendapat jalan yang cukup lancar. Tetapi ternyata kini ia berhadapan dengan
sikap yang lain.
Sekilas disambarnya wajah
Pandan Wangi. Ia mengharap gadis itu mengambil sikap sebagai seorang putri
Kepala Tanah Perdikan, dan memberinya jalan yang lurus untuk menghadap ayahnya.
Tetapi agaknya Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu
ternyata tidak berbuat sesuatu, seolah-olah Wrahasta-lah yang paling berkuasa
di dalam lingkungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak suasana menjadi
hening. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar memburu dari lubang-lubang
hidung. Wrahasta berdiri dengan sorot mata yang memancarkan kecurigaan dan
bahkan kebencian kepada orang yang belum dikenalnya itu.
“Cepat, katakan,” Wrahasta
menggeram, “kenapa kau berada di tempat ini dalam keadaan yang panas ini?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
Betapapun sulitnya tetapi ia harus tetap berusaha untuk dapat menghadap Ki
Argapati sesuai dengan pesan gurunya.
“Katakan!” berteriak Wrahasta,
“Baiklah,” jawab Gupita yang
tidak akan dapat menghindar lagi. Tetapi sekali lagi ia terperosok ke dalam
keadaan yang semakin sulit. Anak muda itu sama sekali tidak mengerti apa yang
tersimpan di dalam hati Wrahasta. Ia sama sekali tidak memperhitungkan
kemungkinan yang lain daripada kecurigaan seorang pengawal atas kehadirannya di
tempat yang tidak sewajarnya. Dan ia dapat mengerti. Karena itu, maka ia
mencoba mencari alasan lain, yang menurut perhitungannya tidak akan dapat
disangkutkan dengan kemelutnya keadaan, dengan pertentangan yang terjadi antara
Ki Argapati dan puteranya Sidanti.
Tetapi jawabnya ternyata telah
membuat telinga Wrahasta menjadi merah. Berkata gembala itu, “Sebenarnya
kedatanganku sama sekali tidak bersangkut paut dengan keadaan tanah perndikan
ini. Aku hanya ingin menemui seseorang yang pernah aku kenal. Beberapa kali
kami telah bertemu sebelumnya. Karena aku tidak berani mendekati regol desa
yang agaknya dijaga kuat maka aku berusaha memanggilnya dengan suara
serulingku. Ternyata ia benar-benar datang.”
Jawaban itu benar-benar
mengejutkan. Bukan saja dada Wrahasta yang terbakar oleh perasaannya sebagai
seorang laki-laki muda, tetapi juga Kerti, para pengawal dan bahkan Pandan
Wangi sendiri. Kerti yang tua itu dan Pandan Wangi, menjadi sangat cemas.
Mereka dapat menduga, apa yang akan menyala di hati Wrahasta.
Dugaan mereka itu ternyata
tepat. Wrahasta yang wajahnya menjadi merah padam itu terbungkam sesaat. Ia
tahu pasti bahwa yang dimaksud Gupita itu adalah Pandan Wangi.
Melihat sikap orang-orang
Menoreh itu Gupita menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
usahanya menghindari masalah yang dianggapnya dapat mengganggu rencananya itu
agaknya telah menumbuhkan persoalan yang lebih rumit.
Sejenak kemudian sambil
menggeretakkan giginya Wrahasta berkata lantang, “Kau kira apa he, gadis ini?
Apa kau kira sebegitu rendah dan bersedia secara sadar menghubungi seorang
gembala yang tidak punya sangkan paran macam kau?” Wrahasta berhenti sejenak
untuk mengatur getar darahnya, kemudian, “Ternyata kau tidak lebih dari
orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi di perjalanan meskipun caramu
lain. Kau mengelabuinya dengan macam-macam perbuatanmu untuk membuat Pandan
Wangi menjadi kagum. Kau bersepakat dengan Peda Sura agar kau dapat menimbulkan
kesan yang baik dari Pandan Wangi dan menganggapmu sebagai seorang pahlawan.
Tetapi justru karena itu, kau adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari
laki-laki yang kasar dan buas itu, tetapi juga lebih licik. Adalah lebih baik
bertempur beradu dada, daripada mempergunakan cara seperti yang kau lakukan
itu. Apalagi dengan demikian kau akan mendapatkan rahasia dan keterangan
mengenai apa pun juga di dalam daerah tertutup kami ini.”
Tuduhan itu benar-benar tidak
disangka-sangka oleh Gupita sehingga ia menjadi semakin bingung. Sejenak ia
masih saja berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya
dilakukan, karena ia sama sekali tidak menyangka akan menghadapi masalah serupa
itu.
Namun sebelum Gupita menyadari
keadaannya, ia semakin terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang,
“Kau menjadi tawananku.”
Gupita tersentak. Wajahnya
menegang sejenak. Namun kumudian dicobanya untuk menekan perasaannya. Dengan
gemetar ia berkata, “Apakah salahku?”
“Kau berada di daerah
terlarang. Apa pun alasanmu.”
“Tetapi aku mempunyai alasan.
Aku tidak akan mencampuri persoalan tanah perdikan ini. Persoalanku adalah
persoalan pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal apa pun.”
“Bohong, bohong!” Wrahasta
menjadi semakin marah. Justru persoalan pribadi itulah yang telah membakar
jantungnya. Tetapi ternyata hal itu sama sekali tidak disadari oleh Gupita yang
kebingungan.
“Jangan mencoba melawan.
Jangan kau sangka bahwa karena kau telah berhasil mengalahkan Ki Peda Sura,
maka kami akan menjadi ketakutan. Kami, para pengawal tahu benar, bahwa semua
itu hanyalah sebuah permainan yang sama sekali tidak menarik. Dan kami pun tahu
benar banwa dengan demikian kau akan mendapatkan keuntungan yang berganda, kau
akan mendapatkan rahasia yang diperlukan oleh Sidanti dari dalam lingkungan
kami, dan sekaligus kau akan mendapatkan seorang gadis yang masih terlampau
hijau. Pandan Wangi memang tidak akan berprasangka apa pun, karena hatinya yang
masih terlampau bersih. Ia bersikap terlalu jujur terhadap siapa pun. Tetapi
sayang, bahwa suatu ketika ia terperosok dalam suatu pertemuan dengan seorang
semacam kau.”
Gupita menjadi semakin
bingung. Sekilas dicobanya untuk memandang wajah Pandan Wangi, tetapi ia tidak
dapat melihat kesan yang tersirat pada wajah itu. Ia hanya melihat wajah gadis
itu pun menjadi tegang. Kemudian ditatapnya wajah Kerti yang tua. Wajah itu pun
menjadi tegang pula. Namun seperti pada wajah Pandan Wangi, ia tidak dapat
mengerti, apakah yang sebenarnya bergolak di hati orang tua itu.
Dada Gupita menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, “Ikutilah kami.
Jangan mencoba melawan perintah ini. Aku tidak bermain-main. Dalam keadaan
serupa ini, kesalahan yang kecil sekalipun dapat menyeret kami ke neraka.
Karena itu, kami tidak dapat bersikap lain terhadapmu.”
Darah Gupita serasa bergolak
di dalam jantungnya. Sikap Wrahasta benar-benar tidak menyenangkannya. Tetapi
meskipun demikian ia masih mencoba untuk mengerti. Ditrapkannya keadaan yang
dihadapi oleh Wrahasta itu pada dirinya sendiri. Apakah yang akan dilakukannya
seandainya ia menjadi pengawal tanah perdikan yang kemelut, dan menjumpai
seseorang yang mencurigakan seperti dirinya itu?
“Aku hanya dapat mengharap
bantuan Pandan Wangi,” katanya di dalam hati. “Sikap pemimpin pengawal yang
bertubuh raksasa itu adalah wajar.”
Tetapi dalam pada itu, Pandan
Wangi sendiri mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ia tahu benar, mengapa
Wrahasta bersikap terlampau keras terhadap gembala itu. Laki-laki muda yang
bertubuh raksasa itu tidak hanya sekedar bercuriga terhadap Gupita, tetapi
dadanya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Karena itu, maka gadis itu tidak
dapat segera mengambil sikap. Kalau ia mencoba untuk melindungi Gupita, maka
api yang menyala di dada Wrahasta pasti akan semakin berkobar. Sikap itu akan
menjadi minyak yang terpercik ke dalam api di dalam dada raksasa muda itu.
Tetapi untuk membiarkan Gupita menjadi tawanan Wrahasta, agaknya perasaannya
pun terasa terlampau berat.
Dalam kesulitan itu tanpa
disadarinya, dipandanginya wajah Kerti seakan-akan ia minta bantuan kepada
pemomongnya itu. Kerti menarik nafas. Pandangan mata Pandan Wangi itu ternyata
telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka kemudian ia melangkah maju sambil
berkata, “Angger Wrahasta, serahkan gembala ini kepadaku. Aku memang sudah
berpendirian serupa. Sebelum Angger datang, maka gembala ini sudah menjadi
tawananku, maksudku, tawanan kita. Aku berhasrat untuk membawanya kepada Ki
Samekta, atau bahkan langsung Ki Argapati. Sebab di Pucaang Kembar, Ki Argapati
memamg sudah berhubungan dengan seorang anak muda yang bernama Gupala yang
barangkali ada bersangkut paut dengan Gupita ini.”
“Ya, ya,” sela Gupita. “Gupala
adalah adikku.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi perasaannya sebagai seorang anak muda agaknya lebih tebal
menyelimuti pertimbangannya, sehingga ia menggeram.
“Ia harus berkata sebenarnya.
Aku tidak berhasrat membawanya kepada siapa pun juga. Aku ingin memaksanya
untuk mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah petugas sandi Sidanti.”
“Tidak. Sama sekali tidak,”
bantah Gupita.
“Diam!” bentak Wrahasta. Lalu,
“Sekali lagi aku katakan, kau adalah tawananku.”
Gupita masih akan menjawab,
tetapi sebelum mulutnya terbuka, maka ia melangkah surut. Ujung pedang Wrahasta
yang besar dan panjang itu telah menyentuh dadanya.
“Jangan banyak bicara!”
Wrahasta hampir berteriak. “Ayo berjalanlah!”
Sorot mata Gupita tiba-tiba
menyala. Tetapi dengan sepenuh tenaganya ia mencoba menekan perasaan yang
bergolak di dalam dadanya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk
memasuki pusat pertahanan para pengawal dan kemudian berusaha bertemu dengan Ki
Argapati. Tetapi apabila ia mengadakan perlawanan, maka jalan untuk menghadap
Ki Argapati akan menjadi semakin jauh.”