Buku 045
Dengan darah yang bergelora
mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki
oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula
bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu.
Ki Argapati ternyata
benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas
punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu.
“Aku sudah menjadi semakin
baik,” katanya. “Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada
di atas tandu seperti seorang perempuan.”
“Tetapi bagi luka Ayah, aku
kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi.
Ki Argapati menggeleng, “Aku
akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang
kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.”
Gembala tua yang mengobati
luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia
berpesan, “Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak
parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan
hal itu.”
“Ya, ya. Aku akan selalu
ingat.”
Demikanlah ketika gelap malam
mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh
keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus
mengamat-amati jalan.
Maka merayaplah sebuah pasukan
seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar
di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk.
Setiap hati dari setiap orang
yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara
dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka
sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk,
maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di
saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang
pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi pun akan menjadikan
padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka.
Karena itu, maka pertempuran
kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan
semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para
pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak
akan berarti apa-apa lagi.
Namun demikian, masih juga ada
di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada
juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah
yang tegang.
“Paman,” berkata Wrahasta
kepada Kerti, “supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya
beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus
membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk
itu.”
“Ya, pasukan itu memang sudah
tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.”
“Kapan mereka akan kita
lepaskan?”
“Kalau kita telah melampaui
bulak di depan kita itu.”
“Aku sendiri akan memimpin
mereka.”
“Kenapa kau?”
“Pekerjaan ini adalah
pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini
gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri
mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.”
“Sebaiknya bukan kau,
Wrahasta.”
“Perang kali ini harus
menentukan. Kita pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala
usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri
yang harus pergi mendahului?
“Bagaimana, Paman?” desak
Wrahasta.
“Kau sudah cukup banyak
berbuat.”
“Belum, Paman. Aku harus
menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar
hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.”
“Tugas kita masih banyak.”
“Aku sangsi, apakah aku akan
dapat ikut seterusnya.”
“He?” Kerti terbelalak.
“Jangan berkata begitu.”
Tetapi Wrahasta justru
tersenyum. Katanya, “Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang
kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan
memberikan tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun
itu.”
Kerti menggelengkan kepalanya.
Tetapi ia berkata, “Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil
keputusan.”
“Ya,” sahut Wrahasta sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan
sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putra Tanah Perdikan Menoreh.”
Wrahasta pun kemudian
meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal,
kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu.
“Aku akan mendahului pasukan,”
berkata Wrahasta.
“He?” Samekta mengerutkan
keningnya.
“Aku akan memimpin langsung
kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan
kita lalui.”
“Ah,” desah Samekta, “bukan
kau. Kau masih nnempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.”
“Aku tahu, tetapi sebelum
sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali
di tempatku.”
“Tetapi itu terlampau
berbahaya bagimu.”
“Aku tidak mau gagal. Aku
minta ijin.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu,
Samekta tidak dapat mencegahnya lagi.
“Tetapi kau harus
berhati-hati.”
“Tentu, tetapi apabila maut
memang sudah merabaku, apa boleh buat.”
“Hus,” desis Samekta. “Jangan
mengigau.”
Wrahasta tertawa. Adalah
sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa.
“Aku akan pergi. Berapa orang
yang sudah siap di dalam kelompok itu?”
“Sepuluh,” jawab Samekta.
“Bagus, berapa orang petugas
sandi jang menyertai kami?”
“Tiga.”
“Terima kasih. Di ujung bulak
itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin
ada di sepanjang jalan ini.”
Wrahasta tidak menunggu
jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal
pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi.
“Kemana raksasa itu?” bertanya
Gupala sambil berbisik kepada Gupita.
Gupita mengerutkan keningnya.
Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan
beberapa langkah di depannya bersama gurunya.
“Ke gardu-gardu. Supaya
pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.”
“Sulit. Aku yakin bahwa salah
seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan
demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.”
Gupita tidak segera menyahut.
Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya.
Hilang.
Gupita tiba-tiba saja menjadi
berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal
Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia
dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak
perlu seorang pemimpin.
“Gupala,” berkata Gupita,
“Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini
menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang
melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda.
Gupala mengerutkan keningnya,
“Biarlah mereka mengurusinya.”
“Hus,” desis Gupita, “kita
ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.”
“Lalu, apakah kita akan
melarangnya?”
“Bukan begitu maksudku.
Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.”
“Malas.”
“He?” Gupita membelalakkan
matanya. “Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu
itu.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta
telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan
hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan.
“Bagaimana dengan guru?”
berkata Gupala.
“Kita akan minta ijin.”
“Baiklah,” jawab Gupala
kemudian. “Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada
para peronda itu.”
“Jangan mengingau.”
Gupala tidak menjawab.
Keduanya pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian
menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan
menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk
menyergap gardu-gardu peronda.
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Kalau pimpinan
pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun tidak
berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu
menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.”
“Guru sajalah yang
mengatakannya kepada Ki Samekta.”
Gurunya mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Baiklah.”
Gembala tua itu pun kemudian
bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua
anak-anaknya.
“Aku berterima kasih,” berkata
Samekta, “tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh
kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang
sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat
jalan-jalan yang bukan seharusnya.”
“Tetapi bukankah anak-anak itu
tidak sendiri?”
“Dalam keadaan yang memaksa,
mungkin mereka harus menebar.”
“Tetapi anak-anakku adalah
gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi.
Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian
biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu
sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha
memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam
barisan.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya, “Bagaimana
kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya.
“Nah, suruhlah anak-anakmu itu
pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak
muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang
kecewa itu.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, “Kenapa Angger Wrahasta
kecewa?”
“Tidak. Tidak apa-apa,” jawab
Samekta dengan serta-merta.
Orang tua itu pun tidak
bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari
pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata, “Jadi, kami
diperkenankan menyusul pasukan itu?”
“Pergilah. Tetapi
hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan
ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa
manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada
Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya.
“Huh, Kakang Gupita
menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati.
“Pergilah dan ingat, hati-hatilah
dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya.
“Baik, Guru,” jawab keduanya
hampir bersamaan.
Maka keduanya pun kemudian
melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul
Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka
tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para
peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda
apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera
diketahui oleh lawan.
Beberapa saat kemudian mereka
telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah
tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi.
“Wrahasta,” berkata Gupita
ketika mereka telah berhadapan, “aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku
berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah kedua
anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam
pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka
menduga-duga bagaimanakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Dan sejenak kemudian mereka
mendengar Wrahasta bertanya, “Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan
kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat
diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung.
Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.”
“O,” tiba-tiba Wrahasta
tertawa, “jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus
mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?”
Gupita menjadi ragu-ragu
sejenak. Kemudian jawabnya, “Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang
ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.”
“Aku sudah tahu. Dan aku pun
tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.”
“Memang mati di dalam
perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.”
“Kembalilah kepada Ki Samekta.
Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita
akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului
perjalanan kalian.”
Gupita terdiam sejenak. Ia
memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan
kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah
apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu pun kemudian berkata, “Kami
hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang
apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di
dalam kelompok ini.”
“Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta
memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku
diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta
menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.”
Gupala yang selama itu berusaha
membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah
ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang
bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam
gelapnya malam.
Gupita tidak segera dapat
menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh
raksasa ini sangat perasa.
Dan karena kedua anak-anak
muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya, “Kemudian terserahlah
kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta,
maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki
Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi
pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan.
“Apakah dengan demikian aku
akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya.
Gupala mengerutkan keningnya
ketika ia mendengar Gupita berkata, “Kami berdua akan tetap berada di dalam
kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah
pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Kau berada
di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup
baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan
penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.”
“Ya. Kami akan tetap berada di
dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar.
Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.”
“Persetan istilah yang kau
pergunakan.”
“Bukan sekedar istilah.
Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.”
“He?” Wrahasta mengerutkan
keningnya, “Jadi bagaimana?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan
tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu.
“Maksudku, mereka dapat diikat
tanpa membunuhnya.”
Wrahasta tertawa
berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. “O, kau adalah manusia
yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas
kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.”
Gupita dan Gupala saling
berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi
heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan
mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka
belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian.
“He, Gupita,” bertanya
Wrahasta, “apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah
Perdikan ini?”
Gupita heran mendengar
pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.”
“O, apakah kau tidak pernah
melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?”
Gupita tidak menjawab. Sekilas
dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala
itu berbisik, “Kaulah yang aneh Kakang.”
Gupita menarik nafas. Tetapi
ia tidak menjawab.
“Akulah pimpinan kelompok ini.
Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap
gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka
tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita sudah
sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului
pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati
kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.”
Gupala dan Gupita saling
berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap
akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah
Wrahasta.
Sementara itu orang-orang lain
dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung
sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang
pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil.
“Di pategalan itu terdapat
gardu pengawasan,” berkata Wrahasta, “karena itu pasukan ini harus berhenti
sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.”
Wrahasta kemudian
memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada
Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh
pasukan.
Gupala dan Gupita akhirnya
turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua
dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan.
Kelompok itu kemudian berjalan
dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di
pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki
Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih
besar, di seberang pategalan itu. Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang
sempit, di mulut sebuah padesan kecil.
Meskipun demikian, mereka
memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua
atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan.
Pasukan kecil itu berhenti
beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak
pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju.
Namun ternyata gardu kecil itu
memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak
memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki
Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan
Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak.
“Tetapi di gardu di depan
pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta.
“Pasti,” jawab salah seorang
petugas sandi.
“Mari kita lihat.” Kemudian
katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula., “Suruh pasukan Ki Samekta
maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini,
supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di
sawah di depan pategalan ini.”
Petugas itu pun kemudian
meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu
merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah
beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka
turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati
padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan.
Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos
dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan.
Dan tiba-tiba saja Wrahasta
menggeram, “Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya
bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali
tidak kita perlukan lagi.”
“Kenapa?” tanpa sesadarnya
Gupita bertanya.
“Mereka sama sekali tidak
mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang
tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing
dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti
sejenak, kemudian, “Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?”
“Berlebih-lebihan,” sahut
Gupita. “Sebenarnya mereka pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka
telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita
perlukan?”
“Hanya satu dua orang saja.
Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.”
“Jangan dinilai begitu.
Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia
membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang
membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang
yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak
ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang
untuk mengintai gardu di ujung lorong.
Seorang petugas sandi pun
kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur
dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung
merupakan regol masuk.
Ternyata mereka pun kurang
berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan
telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka
tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka
saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat,
seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol.
Sejenak ia mencoba melihat
keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan
menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu.
Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam
gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau
tujuh orang.
Setelah ia menemukan
kesimpulan, maka segera ia pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan
beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali.
Kelompok itu akhirnya berhasil
berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu
penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga
berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan
pengamatan petugas sandi itu.
Lamat-lamat mereka masih
mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka
telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya.
“Mereka harus dibungkam untuk
selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu.
“He, kemarilah,” desis
Wrahasta memanggil Gupala.
Gupala memandang wajah Gupita
sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap
mendekat.
“Tugasmu adalah menyergap
orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol.
Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya
tidak seorang pun sempat melarikan diri.”
Sekali lagi Gupala memandangi
wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya.
“Baiklah,” jawab Gupala
kemudian.
“Nah kau,” berkata Wrahasta
kepada Gupita, “bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap
dari dalam.”
“Ya,” jawab Gupita.
“Aku akan berada di luar
bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara
cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian
akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.”
Gupita menganggukkan
kepalanya.
“Cepatlah, bersama lima
orang.”
Gupita tidak menjawab lagi.
Tetapi ia berdesis, “Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku
meloncati dinding batu ini?”
Beberapa orang kemudian
bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya.
“Yang lain tinggal di sini,”
perintah Wrahasta.
Akhirnya Gupita mendapatkan
kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu
yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan
dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di
antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil
memasuki padukuhan itu.
“Sakit?” bertanya Gupita
kepada kawannya yang terluka di dadanya.
“Ah tidak apa-apa. Hanya lecet
sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.”
Gupita mengangguk-angguk.
Kemudian katanya, “Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita
yang merangkak maju mendekati regol.
Semakin dekat, suara mereka
menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan
berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak
sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan
atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak
kehabisan tenaga dan tertidur.
Gupita yang merangkak semakin
dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi
aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan
tangannya.
Di luar dinding batu, Wrahasta
pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal.
Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk
mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah,
ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang.
Sejenak kemudian terdengar
suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut.
Tetapi ternyata suara
cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga
yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti.
Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh
terdengar di telinganya itu.
Wrahasta pun melihat sikap
pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru
beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya.
Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan
termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja
berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal.
Dalam ketegangan itulah
tiba-tiba Wrahasta berdesis, “Sekarang, Gupala.”
Orang yang berdiri
termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat
berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka
hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya.
Penjaga itu memang tidak
sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam
regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam.
Wrahasta menjadi tegang
melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia
terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar
biasa.
Namun sejenak kemudian ia
menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah
mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan
tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata
masing-masing.
“Hampir terlambat,” desis Gupala
di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta.
Dan perintah itu pun menyusul
beberapa saat kemudian. Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk
menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu.
Orang-orang itu pun terkejut
bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri
mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol
bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita.
Wrahasta memang tidak
memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan.
Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa
bergerak sama sekali.
Gupita melihat mayat-mayat
yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang
yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan
orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup.
Ketika Gupita memandang adik
seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata
telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan
sebilah pedang.
Gupita mengangkat kepalanya
ketika ia mendengar suara Wrahasta datar, “Terima kasih. Kalian telah melakukan
tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di
mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka pun harus kita
binasakan pula.”
Sekali lagi Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu
tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan
adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati.
Sementara itu seorang
penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi.
Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus
menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain.
Demikianlah mereka pun
kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan
padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu.
Seorang petugas sandi yang
berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur
mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan
mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka.
Wrahasta pun kemudian
memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding
batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang
berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Agaknya orang itu memang tidak
bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang.
Namun tiba-tiba ia
membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya
meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat.
Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak
kemudian gelap malam pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya pun putus
karenanya.
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang
itu pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu.
“Lemparkan ke balik pagar
batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya.
Gupita yang melihat mayat itu
menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak
bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Ini adalah salah satu wajah
peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas
dirinya. Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa.”
Namun yang lebih pahit lagi
baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa
itu.
Dengan jantung yang berdenyut
semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu
saja ke balik pagar batu di pinggir jalan.
“Kita melanjutkan perjalanan
ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata
Wrahasta kemudian.
Tanpa dapat menahan diri lagi
Gupita menyahut, “Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.”
Wrahasta memandang wajah
Gupita dengan tajamnya.
Kemudian jawabnya, “Kau sangka
orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?”
“Aku menyadari. Tetapi orang
setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada
membunuhnya?”
“Ah, kau.” geram Wrahasta.
“Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit
dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan
dapat diselesaikan.”
Gupita tidak menjawab lagi.
Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik, “Memang kau benar-benar
aneh, Kakang.”
Gupita menggigit bibirnya.
Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak
menjawab lagi.
“Cepat, kita maju ke gardu di
depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,”
perintah Wrahasta selanjutnya.
Maka pasukan kecil itu pun
kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat
dengan gardu di mulut lorong.
“Lihat, apakah yang ada di
dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya.
Orang itu pun kemudian
mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang,
tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih
tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup
kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil
mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur.
“Tidak lebih dari lima orang,”
berkata orang itu kepada Wrahasta. “Apalagi sebagian dari mereka telah
tertidur.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.”
Kelompok kecil itu pun semakin
mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok
itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari
gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk
selama-lamanya.
Wrahasta menarik nafas
panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada
rendah ia berkata, “Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan.
Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.”
Kelompok kecil itu pun sejenak
mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh
perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu.
Sesaat kemudian maka para
petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan
demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului
untuk merambas jalan.
“Pasukan induk telah maju,”
lapor petugas itu.
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Bagus,” katanya, “semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin
baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.”
“Ya.”
Wrahasta kemudian terdiam
sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar,
bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena
desa itu agak lebih besar.
“Ada tiga jalan memasuki desa
itu,” berkata salah seorang petugas sandi.
“Ketiganya pasti diisi oleh
pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua.
Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan
pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan
mereka tertidur nyenyak.”
“Sebenarnya mereka tidak
berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah
kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama.
Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti
sejenak. “Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka pun lengah.”
Kelompok kecil itu merayap
semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang
lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal
daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu
sering bermain-main di tempat ini.
“Memang mereka tidak sedang
tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta, “tetapi mereka tidak lebih
dari lima orang.”
Wrahasta menganggukkan
kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti
seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu.
Ternyata perhitungan Wrahasta
tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu
yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka
mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan
itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu.
Tanpa melepaskan korban,
kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka
merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci.
Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan
menjadi kenyang sama sekali.
Ternyata di desa itu terdapat
tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa,
meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh
Wrahasta itu terluka di pundaknya.
“Jalan telah terbuka,” geram
Wrahasta. “Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian
sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan
menyusun gelar.”
“Terlampau dekat,” tiba-tiba
salah seorang pengawal menyahut.
Wrahasta menggeleng, “Tidak.
Tidak terlampau dekat.”
“Selama kita menyusun gelar di
bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh
pengawas.”
“Tetapi kita akan segera siap
untuk menyerang mereka.”
“Bukankah lebih baik, apabila
dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata, “Kita mempunyai banyak
kelebihan dari lawan.”
Dada Gupita berdesir mendengar
jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat
Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula.
Gupala yang tidak pernah
membuat terlampau banyak pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa
dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba
berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan
pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya.
“Marilah kita lintasi bulak
ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda,
dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian.
Raksasa itu tidak menunggu
jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di
tengah-tengah tanah persawahan yang luas.
Gupita yang melihat tingkah
laku Wrahasta merasa wajib untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh
pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia
berkata, “Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di
tengah-tengah bulak ini.”
Wrahasta berpaling. Jawabnya,
“Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih
banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah
Perdikan.”
Jawaban itu sama sekali tidak
disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan
apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang
Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak
acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh
telinganya.
“Kalau aku mendengarkannya,
maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Dan
mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak
mengerti apa yang dikatakannya.”
Dan kelompok itu pun merayap
maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah
bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka
kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan
berarti bahwa mereka sedang membunuh diri.
Namun agaknya Ki Tambak Wedi
dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak
menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya
orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa
kemungkinan itu akan dapat terjadi.
Menurut perhitungan Ki Tambak
Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun
Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng
pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang
telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.
Samekta, pemimpin tertinggi
yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang
terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat,
berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak
Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir.
“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi
belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di
padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan,
mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini
Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata
Samekta di dalam haitinya. “Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi
akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik,
namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi
pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah
melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
“Meskipun jumlah pasukan Ki
Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka
bingung,” desis Samekta. “Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.”
Sekilas dipandanginya gembala
tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh
keragu-raguan di dalam hatinya. “Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya
untuk, melawan Ki Tambak Wedi?”
Sementara itu induk pasukan
Menoreh itu pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman
ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan.
Namun tiba-tiba terasa betapa
Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di
antara keluarga sendiri.
Samekta menarik nafas
dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, Wrahasta
tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata, “Para
peronda di desa itu pun akan segera binasa.”
“Hati-hatilah,” desis Gupita
dengan serta-merta.
“Aku sudah cukup mengerti,”
bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.”
“Tetapi kita sudah terlampau
dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan
melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut
Gupita.
“Persetan,” jawab Wrahasta,
“kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.”
Gupita adalah seseorang yang
selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa
dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan.
“Kita akan langsung menyergap
gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta.
Gupita menahan geletar
jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak
saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun
menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu
segera berkata, “Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan.
Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi.
Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang
sebaik-baiknya.”
“Kita bukan pengecut,” jawab
Wrahasta, “pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.”
“Bukan. Bukan sikap pengecut,”
jawab petugas sandi itu. “Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di
peperangan.”
“Aku akan maju terus lewat
jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam
gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan
beradu dada kita dapat membinasakan mereka.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis, “Lihatlah
bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa
malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama
Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang
lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil
maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak.
Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah
berbicara kepada bintang-bintang di langit, “He, bintang gemintang. Apabila
kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas
tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang
yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.”
Orang-orang yang berada di
dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang
berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka,
“Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.”
Gupala yang terheran-heran
pula mendekati Gupita sambil berbisik, “He, apakah Wrahasta menjadi gila?”
“Hus,” desis Gupita. “Tetapi
cara ini memang sangat berbahaya.”
“Tetapi menyenangkan,” desis
Gupala. “Aku sependapat.”
“Ah, kau pun telah menjadi
gila pula.”
Gupita menjadi jengkel melihat
Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun
Gupala tidak berkata sesuatu.
Tetapi Gupita pun menyadari,
bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya
ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh
kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk
melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang
kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin
mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan
penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan
mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya
telah berebutan menghunjamkan pedangnya.
“Apakah menariknya perkelahian
serupa itu?” katanya di dalam hati.
Gupita menarik nafas. Tetapi
ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut
padesan di depan mereka.
“Wrahasta,” berkata Gupita
kemudian, “bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi
apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan
gagal.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya.
“Yang pengecut sama sekali
bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut,
akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan Menoreh
akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Itulah susahnya kalau kita tidak yakin
bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.”
“Dan pengecut yang demikian
akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera
memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.”
“Bagus,” jawab Wrahasta yang
dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita, “sebagian dari kalian harus
berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan
menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini
seorang diri.”
“Kenapa?” bertanya Gupita.
“Aku akan datang dari depan.
Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya
melihat aku seorang diri.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula.
Demikianlah ketika mereka
telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk
memecah. Katanya kemudian, “Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus
segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali
untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.”
Para pengawal di dalam
kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi
saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala
mereka pula.
Meskipun demikian salah
seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu,
apa saja yang terdapat di dalam gardu?”
“Tidak perlu. Seandainya ada
sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?”
“Bukan takut.”
“Nah, kalau begitu, kita akan
melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang,
kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih dari
sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga
tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari
seorang?”
Jawaban Wrahasta itu sama
sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba
menjelaskan, “Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan
kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau
satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah
seluruh tugas kita.”
“Itu akan tergantung kepada
kemampuan kita,” sahut Wrahasta. “Seandainya ada di antara mereka yang sempat
membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang
tidak mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut
pahlawan.”
Petugas itu sama sekali tidak
puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba
sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benar-benar menjadi
seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi
pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah
seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya melawan anak
muda yang gemuk itu.
Karena itu, maka tidak ada
yang lebih baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah
Wrahasta. Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang
mengairi tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di
balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit.
Sedang yang lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang
jalan. Sedang Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan
dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan.
Anak muda yang bertubuh
raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang
digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di
langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk
selama-lamanya.
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia
sadar, bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia
sudah siap, dan dengan dada terbuka akan menghadapinya.
Sementara itu, di gardu di
regol desa, beberapa orang penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu,
mereka bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara
mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh
mereka. Dingin malam menjadi semakin terasa menggigit tulang.
Namun di antara mereka itu
terdapat seorang yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang
telah telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara
dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia
menyapu keremangan malam di depannya dengan tatapan matanya yang tajam.
Tiba-tiba dadanya berdesir.
Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan mendekatinya.
Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap.
Orang itu menggosok matanya,
seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin
lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya.
Ketika bayangan itu tinggal
beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil
bertanya, “Siapa kau, he?”
Tidak segera terdengar
jawaban.
“Berhenti di situ!” penjaga
itu mulai curiga. “Siapa kau?”
Masih belum terdengar jawaban,
sedang bayangan itu masih melangkah maju.
Orang-orang yang berada di
dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil
bertanya, “Kau berbicara dengan siapa?”
Penjaga itu tidak menjawab,
namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang
melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka maju.
Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung masing-masing.
“Siapa kau?” pertanyaan itu
terdengar kembali membelah sepinya malam.
Kini bayangan itu berhenti.
Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa.
“Berapa orang kalian?”
bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada.
“Siapa kau? Jawab pertanyaanku!”
bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah setapak maju.
Ketika jarak kedua orang itu
menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis, “Kau Wrahasta?”
Mendengar desis itu, maka
kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang
pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki Argapati. Karena
itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata masing-masing, berdiri
berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil
bersilang tangan.
“Hem,” Wrahasta menggeram,
“Tanda, Nala, Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan
kau? Aku mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa,
karena kalian adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.”
Beberapa orang segera mendesak
maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin
akan dirinya sendiri.
“Apa kerjamu di sini
Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala.
“Kau masih bertanya juga?” jawab
Wrahasta. “Seharusnya kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas
Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.”
Nala mengerutkan keningnya.
Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya, “Kau jangan asal membuka
mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang
berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di
dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak
memerintah aku lagi dengan cara apa pun juga.”
“Aku memang tidak akan
memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang pengkhianat,” sahut
Wrahasta.
“Diam!” bentak Nala, “Aku
telah mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah
mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah
mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?”
“Jangan banyak bicara, Nala.
Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama
saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini adalah
persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.”
“Wrahasta, ada dua kemungkinan
yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati,
atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan berbuat
demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang barangkali
memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat kebenaran
perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.”
Wrahasta tertawa pendek. “Berapa
orang seluruhnya.”
“Tiga belas orang,” jawab
Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak.
“Tetapi orang-orangku
berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan Gupita,” berkata
Wrahasta di dalam hatinya.
“Nah, kau dengar jumlah itu,”
berkata Nala kemudian. “Apakah kau mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona
atau Narantaka?”
Tetapi Wrahasta justru
tertawa. Jawabnya, “Jangan berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu.
Sebentar lagi kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu,
kami bunuh.”
“Persetan. Menyerahlah.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan. “Kepung raksasa
yang sedang bingung ini.”
Beberapa orang segera
bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri
saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut.
Dengan demikian maka
orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar
semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis lengkung yang
sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas
para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga
itu masih tetap berada di depan regol.
“Hati-hati,” teriak Nala
kemudian, “aku belum mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang
paling dekat. Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat
membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya.”
Mendengar kata-kata Nala itu
Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar
melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para pengawal, begitu ia
memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan Wrahasta yang sudah
hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah tiba.
Dengan demikian maka tiba-tiba
saja terdengar suaranya menggeletar, “Sekarang. Hancurkan seisi regol ini.”
Suara itu segera disambut oleh
Nala, “Benar kataku. Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.”
Para pengawal yang memang
sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan
batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap
menyongsong mereka.
Kali ini para pegawal
benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan
senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur.
“Gila kau, Wrahasta,” geram
Nala.
Terdengar suara tertawa
Wrahasta. Kemudian jawabnya, “Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu
demi satu.”
Pertempuran pun segera
berkobar. Setiap orang mendapat lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa
jumlah orang-orang yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas sandi,
masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di regol itu. Apalagi yang
datang bersama Wrahasta terdapat Gupita dan Gupala.
Meskipun Gupita masih tetap
berusaha mengekang dirinya, namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah
permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari
ia berloncatan mempermainkan pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak
muda yang gemuk itu benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya.
Para penjaga regol itu segera
merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama
kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam
kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan
tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol.
Wrahasta yang melihat orang
itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, “ He,
orang itu. Orang itu.”
Tetapi jarak mereka tidak
cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian yang masih
menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul
kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk membunyikan tanda.
“Tahan orang itu!” terak
Wrahasta.
Tidak akan ada seorang pun
yang mampu meloncat sejauh itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang
pun yang dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk mengayunkan pemukul
itu.
Namun tiba-tiba orang itu
menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya ketika terasa
sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi
ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai oleh
sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh
tertelungkup.
Sejenak kemudian matanya
menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan.
Ternyata Gupita yang menjadi
cemas pula melihat orang yang hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu
bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik
yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk menyentuh
kentongannya.
Melihat kawannya jatuh
terjerembab, Nala menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah
lambung Wrahasta. Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung
senjata itu tidak menyentuhnya.
Dalam pada itu perkelahian pun
berkobar terus semakin lama semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian
seakan-akan menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta.
Namun satu-satu mereka jatuh
di tanah untuk tidak bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang
terakhir, Nala, tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata
Wrahasta, disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar salah
seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata kepadanya, “Hukuman yang pantas
bagi seorang pengkhianat.”
Nala menggeliat. Dengan nanar
ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya.
Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya. Matanya pun
menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya.
Wrahasta berdiri dekat di
samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat tertawa sambil
menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang
pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka Wrahasta.
“He, kenapa dia?”
“Ia terbunuh dalam pertempuran
ini.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya, “Jadi, ada juga yang mati di antara kita?”
Pengawal itu mengangguk.
“Gila, siapa yang membunuh?”
“Salah satu dari mayat-mayat
yang bergelimpangan ini.”
“Gila. Sungguh-sungguh gila.
Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami
kehilangan seorang kawan.”
“Dan tiga orang telah
terluka.”
Wrahasta seakan-akan membeku
di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya
gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga.
“Kita berjumlah lebih banyak.
Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala
itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?” geram Wrahasta.
Tidak seorang pun merasa wajib
untuk menjawab. Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam.
“Kita harus menukar nyawa ini
dengan sepuluh nyawa lawan.”
Para pengawal itu masih belum
juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala,
“Lebih dari sepuluh.”
Wrahasta berpaling ke arah
suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba
perutnya, “Berapa orang yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh,
dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain
di dalam desa ini yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi
seperti gardu ini. Dan kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak
ingin diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, lebih dari sepuluh.”
“Tetapi akan lebih baik kalau
kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara Gupita,
“Setidak-tidaknya kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan
seorang kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi
terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam
pertempuran-pertempuran yang mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga
di gardu-gardu.”
“Tentu. Kita tidak akan
menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi
adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab
Wrahasta.
“Benar. Namun kita harus
berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita
harus menghemat tenaga.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Kita tidak perlu bersikap
sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik kita
mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak
kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi
semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku
yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan
induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung
lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu
kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur,
sehingga karena itu ia bertanya, “Lalu, bagaimana sebaiknya?”
“Kita berjalan terus. Tetapi
kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan cara-cara yang
paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.”
Wrahasta tidak segera
menjawab.
“Kita akan mendekati setiap
gardu dengan diam-diam.”
“Kemudian berkelahi melawan
orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala.
Gupita mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Memang kita tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka
pingsan. Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan
berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian
sadar, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Bodoh. Terlalu bodoh,” bantah
Wrahasta. “Aku sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk
membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang
kau maksudkan.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi
sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya, “Kau memang aneh,
Kakang.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu membisikkan
kalimat-kalimat itu.
“Baiklah, kita akan maju lagi.
Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai,
barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk.”
Setelah meletakkan mayat
seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga
orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata bahwa
luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih mungkin untuk bertempur.
Demikianlah ketika mereka
mendekati gardu kedua di dalam padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan
Wrahasta tenggelam di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok
itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus
berusaha mengetahui dan mencoba untuk menilai kekuatan lawan.
“Paling sedikit mereka
berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan hasil
pengamatannya kepada Wrahasta.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada beberapa
orang yang terluka.
“Tetapi tugas ini harus kita
laksanakan,” geramnya.
“Kita harus menyergap dengan tiba-tiba,”
desis Gupala, “Kali ini kita tidak boleh bermain-main.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Marilah, kita mendekat.”
Dengan sangat hati-hati
kelompok itu pun maju mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di
luar regol. Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan.
“Jangan beri kesempatan mereka
mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta.
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat
terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa senjatanya
pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini ternyata bahwa jumlah lawan agak
lebih banyak, meskipun tidak berselisih terlalu jauh.
Sejenak kemudian Wrahasta diam
dalam ketegangan. Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk
membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia
mengangkat tangannya perlahan-lahan.
Setiap orang di dalam kelompok
kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian
tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya.
Wrahasta tidak menunggu lebih
lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka
tangannya tiba-tiba telah diayunkannya.
Demikian tangan itu bergerak,
maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok
kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang tidak dapat
menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah menggeram sambil
menghentakkan dirinya.
Orang-orang yang sedang duduk
di tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan
hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah
orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara
mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang
cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata.
Karena itu, maka dengan gerak
naluriah, mereka pun berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka.
Hanya Gupala dan Gupita
sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka.
Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang pedang Gupita
melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian sebuah pukulan
mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata
pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya.
Ternyata Gupita telah memukul
punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya
itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang itu mencoba
merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi telah
menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan itu serasa
menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan.
Barulah sekejap kemudian
kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi
lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat kesempatan
mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Kemudian dengan
senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian terjadilah
pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan diri mereka di
sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda
bahaya.
Pemimpin penjaga itu marah
bukan buatan. Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka.
Dua orang di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena
itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk menuntut balas.
Dengan demikian, maka tandang
mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi
buas dan liar.
Ternyata pekerjaan kelompok
kecil itu kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan
lambung orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus
bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam
pertempuran yang singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang
mengalami kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar.
Gupita dan Gupala segera
melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala
bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja
mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi terlampau berat
bagi Wrahasta dan pasukannya.
Kini tidak ada pilihan lain
bagi keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi
lawan secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban
akan berjatuhan di pihaknya.
Dengan demikian, maka mereka
tidak dapat lagi menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain.
Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan
terdapat beberapa perbedaan antara keduanya.
Gupala dengan garangnya
kemudian memutar pedangnya. Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa
lawannya telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka
hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada.
Di bagian lain dari
pertempuran itu, Gupita telah melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia
menghindari kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila pedangnya
terpaksa menyentuh leher dan dada.
Pertempuran kali ini telah
benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta
berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir yang
mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala.
Namun ia tidak dapat menahan
kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah
pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang
kawannya telah terbunuh.
“Gila. Benar-benar gila. Tiga
orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau
banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka.”
“Dan kita masih belum
selesai,” desis Gupala.
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda
itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa kedua
anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak dapat
menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini.
“Jadi,” kini Wrahastalah yang
bertanya, “apakah kita akan melanjutkan tugas ini?”
Gupita terdiam sejenak.
Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur
diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak akan
mampu lagi bertempur sewajarnya.
“Tinggal tujuh orang yang
masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya.
Gupala yang berdiri beberapa
langkah daripadanya pun menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang
sekali membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu
kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang
diharapkan.
“Tetapi tanpa perambas jalan,
maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala di dalam
hatinya.
Sejenak kemudian Gupita
menarik nafas. Katanya, “Terserah pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita
tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar
membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu menggerakkan
tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak ikut bertempur, supaya mereka
tidak menjadi korban di gardu berikutnya.”
Wrahasta memandang anak
buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya, “Nah,
bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus
menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu.
Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap
kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Kita sebaiknya melanjutkan
tugas ini,” desis Gupala.
Wrahasta mengangguk. “Ya, itu
adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya,
ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik kembali
bersama induk pasukan.”
Orang-orang itu masih
mematung.
“Nah, siapakah yang
berkeberatan?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Terima kasih,” geram
Wrahasta, “semua akan pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka
aku persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua
kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya.
Kalau kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka
tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki
Tambak Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun
kesempatan itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi
semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali
tidak menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.”
Meskipun demikian di antara
yang terluka itu ada yang menjawab, “Aku akan ikut bertempur.”
Wrahasta menarik nafas.
Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian
harus kembali ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus
maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan.”
Mereka yang memang sudah tidak
mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah
terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena itu, maka
setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk
pasukan.
Kini tujuh orang yang masih
utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka.
Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di seberang
padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh akan memasang gelar
untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah
bentuknya, apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar
padukuhan.
Dengan sangat hati-hati,
mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini
pun pasti dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi.
Dugaan mereka ternyata tidak
meleset. Seorang petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan
kepada Wrahasta. “Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya
sendiri.
Dengan penuh kebimbangan
Wrahasta memandang Gupita dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia
bertanya, “Bagaimanakah pertimbangan kalian?”
Yang menjawab adalah Gupala,
“Kita sudah berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita.
“Baiklah kita selesaikan tugas
kita,” desis Gupita pula. “Kita harus berjuang mati-matian. Mungkin di dalam
gardu itu masih ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus
kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita harus menghadapi
dua orang sekaligus. Karena itu kita harus lebih berhati-hati. Kita akan
merayap sedekat mungkin sehingga kita akan dapat menerkam mereka dengan
tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.”
Wrahasta menganggukkan
kepalanya.
Demikianlah maka kesembilan
orang itu segera merayap. Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok.
Sekelompok dipimpin langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok
yang lain dipimpin oleh Gupala.
Kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih
arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang jumlahnya
agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului menyerang, sedang dalam
kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua
kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu.
Semakin dekat
kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka.
Beberapa langkah di hadapan
gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah.
Gupita yang menyusur dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk.
Kini para pengawal itu dapat
melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu.
Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi terasa
bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing dengan
penuh tanggung jawab.
Setiap orang yang berada di
dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka
benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang
tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari sembilan orang, sedang
yang dua di antaranya telah terluka meskipun tidak terlampau parah.
Wrahasta mencoba mengatur
pernafasannya. Dipandanginya arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya,
kemudian ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam.
Sejenak kemudian Wrahasta itu
menyiapkan dirinya. Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka
siap untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah
langit. “Sekarang. Binasakan mereka.”
Setiap orang di dalam gardu
itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang
yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka.
Tetapi Wrahasta kini sama
sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang
penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang berloncatan itu, tombaknya
segera merunduk dan menyongsongnya.
Wrahasta segera menyerang
orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya
yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang hanya
sekejap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum para
penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta
dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan pedang.
Para penjaga yang lain pun
berteriak marah sekali. Dengan penuh kemarahan mereka berlari menyerang
Wrahasta dengan kedua kawannya.
Tetapi tanpa mereka duga-duga,
Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba,
sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal beberapa langkah.
Beberapa orang tertegun
melihat kedatangan ketiga orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak
mendapat kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi
menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu
dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya memegang senjata ciri
perguruannya. Sebuah cambuk panjang.
“Orang-orang di seberang bulak
itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan
sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Apabila
ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan
mengganggu.”
Dan ternyata serangan cambuk
Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada
serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang lawan. Namun kali
ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah lawannya itu
dengan demikian telah terbunuh.
Dengan segera Gupala telah
menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun
bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia
berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah
karena kemarahan yang tidak ada taranya.
Dalam kekisruhan itulah Gupita
hadir bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk
sejenak, para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman
mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur
diri dalam perlawanan yang teratur.
Meskipun di saat-saat
permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah mereka
masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu.
Namun ternyata bahwa senjata
Gupala yang lentur dan agak panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi
dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya agak
berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata
itu segera dapat mengurangi kemampuan lawan.
Gupita agaknya sependapat pula
dengan adik seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia
pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya.
Dengan demikian, maka sepasang
cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka
sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk
yang mampu menyayat kulit.
Sejenak kemudian, maka
perkelahian itu menjadi semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta
mengamuk seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuat-kuat tenaga
untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu.
Namun agaknya Gupita dan
Gupala-lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan
demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anak-anak
muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban yang semakin
banyak.
Untuk menghadapi mereka,
Gupita dan Gupala tidak lagi sempat bermain-main. Kini mereka bertempur,
sebenarnya bertempur.
Namun keduanya memang memiliki
banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya
sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau banyak mengalami
kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka segera berhasil
mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah segera membinasakan
lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu untuk menolong
kawan-kawannya.
Demikianlah maka pertempuran
kecil itu segera mencapai puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para
penjaga itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan
demikian maka kawan-kawannya yang lain mendapat kesempatan untuk menghadapi
lawan seorang dengan seorang.
Meskipun demikian ternyata
bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah mereka kuasai.
Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal.
Lawan Wrahasta pun ternyata
bukan seorang yang dapat diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap
kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah bertempur beberapa lama, namun
belum ada tanda-tanda bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya.
Yang sealu mendapat perhatian
dari para pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan
diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu
maka para pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak
seorang pun yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain.
Ternyata Gupita dan Gupala
memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka
sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala menyambar leher
seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu dihentakkannya, sehingga
orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya,
maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya. Ketika Gupala
menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati.
Kawan-kawan orang yang mati
itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk
Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka terdapat
orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang mampu
berkelahi dengan cara itu.
Di bagian lain, Gupita pun
segera menguasai lawan-lawannya. Setiap kali salah seorang lawannya terlempar
dari gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk
bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu pun telah menyengatnya pula.
Ternyata ujung-ujung cambuk
itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya,
terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang lawannya. Tanpa
dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan senjata di dalam
genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan,
maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan,
sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah batu yang
menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk waktu yang
tidak dapat diperhitungkan.
Demikianlah kedua anak-anak
muda itu telah berhasil menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan
demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun segera berusaha
membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya.
Meskipun tugas kelompok kecil
itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun
karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap kekuatannya, maka
tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai.
Para penjaga itu seorang demi
seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang
berhasil untuk bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh
tiga orang gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka.
Bahkan Wrahasta sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang
mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung
tombak itu masih juga mengenainya.
“Ternyata kita telah
menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis Wrahasta.
Gupita dan Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh
sebagai banten.
“Tetapi pengorbanan mereka
tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan. “Adalah wajar setiap orang yang
memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga.”
Gupita dan Gupala masih tetap
berdiam dri.
“Nah, siapakah di antara
kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya Wrahasta.
Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada
orang-orangnya yang telah terluka itu.
Dan tiba-tiba saja Gupita
menyahut, “Biarlah aku pergi ke induk pasukan.”
“Bukan, bukan kau,” jawab Wrahasta
dengan serta-merta. “Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang
yang dengan sukarela telah membantu kami.”
“Aku akan pergi dengan suka
rela pula”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya terhadap anak
muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakan-akan ia
telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang dari kedua gembala
yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi.
“Apakah keberatanmu kalau aku
melakukannya?” bertanya Gupita.
“Aku tidak mempunyai keberatan
apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa kepada kami.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata, “Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi
pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu sudah terbuka, dan kita
akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki Tambak Wedi.”
Gupala mengangguk. Jawabnya,
“Baiklah. Aku akan menunggu di sini.”
Gupita pun kemudian
meninggalkan kelompok yang sudah menjadi semakin kecil itu menghubungi induk
pasukan untuk melaporkan apa yang telah terjadi.
Dengan tergesa-gesa ia
berjalan melalui jalan yang baru saja dilewatinya, dengan arah yang berlawanan.
Ia ingin segera sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin
cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan
lain yang dapat timbul dengan tiba-tiba.
Namun setiap kali Gupita
menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya.
Ia masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan.
“Korban masih akan
berjatuhan,” desisnya, “dan mayat pun akan bertambah-tambah. Besok tanah
perdikan ini akan meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling
membunuh di peperangan.”
Tetapi Gupita tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya,
maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi. Betapa
pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari jalan
penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk menentukan
kebenaran.
Yang menang akan menjadi
kebanggaan, dan yang kalah menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi
timbal-balik tanpa menghiraukan tuntutan nurani kemanusiaan.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Terbayang di wajahnya dua orang yang kini sedang beradu
kepentingan. Kalau Argapati menang, maka ia adalah pahlawan yang telah
menyelamatkan Tanah Perdikan ini, namun apabila Ki Tambak Wedi menang, maka
pengikutnya akan meneriakkan kidung kemenangannya itu sebagai seorang yang
telah membebaskan Tanah Perdikan ini dan membawa udara pembaharuan.
“Tetapi betapa dalamnya, namun
di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh peradaban
manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Mereka akan berbicara
tentang hak dan tentang keadilan.”
Gupita mengerutkan lehernya
ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya. Kemudian langkahnya pun
menjadi semakin cepat.
Sementara itu, Gupala,
Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup meskipun terluka, duduk di bibir
gardu sekedar melepaskan ketegangan hati. Namun dalam pada itu, Gupala pun
kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam, “Kalau aku tertidur, jangan
tinggalkan aku di sini.”
Wrahasta menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Bukan main orang ini,”
berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Perang yang telah membayang di pelupuk,
bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar permainan kejar-kejaran
saja.”
Tetapi Wrahasta tidak
mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak kemudian nafasnya
pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam.
Tetapi telinga Gupala memang
telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia pun segera terbangun
ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang semakin lama menjadi
semakin dekat. Dua ekor kuda.
Dengan sigapnya Gupala
meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri
tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis, “Kuda
itu datang dari sana. Dari padukuhan induk.”
Wrahasta dan kawan-kawannya
yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula. “Ya. Suara itu
datang dari sana.”
Sementara itu dua orang sedang
berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya telah membuat
mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi.
“Barangkali Sidanti sedang
diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang.
Yang lain tertawa. Katanya,
“Apa salahnya kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena
ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah
terganggu.”
“Kalau terjadi sesuatu, mereka
pasti akan memberikan tanda apa pun.”
“Kecuali kalau mereka sudah
berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.”
“Sebenarnya kita tidak perlu
pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar di gardu.”
“Tetapi telinga Sidanti yang
sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya memang mendengar
ledakan cambuk.”
Kawannya tertawa dan berkata,
“Sekali lagi aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.”
Keduanya kemudian terdiam.
Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang semakin dekat,
seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam.
“Sepi,” desis yang seorang.
“Tetapi di gardu itu terdapat
orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.”
Kawannya tidak menjawab.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Ketika mereka telah menjadi
semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu
terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka
sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam gardu itu.
“Aneh,” bisik yang seorang.
“Marilah kita lihat.”
Keduanya menjadi semakin
dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya dengan
serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.”
Yang lain pun segera bersiap.
Dengan sigapnya pula dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan.
Tenyata mereka telah melihat
mayat yang terbujur di tanah.
“Mereka telah mati,” desis
salah seorang dari mereka. “Nah, kau lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi
buruk? Ternyata memang telinga kitalah yang tuli.”
“Sekarang bagaimana?”
“Kita bunyikan tanda bahaya.”
Kawannya menganggukkan
kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati. Pedang-pedang
mereka telah siap di tangan.
Tetapi mereka tertegun karena
di gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun.
Sejenak kedua orang itu saling
berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di manakah
kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama sekali
tidak menemukannya.
“Gila,” desis salah seorang
dari mereka. “Agaknya orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah
pergi sambil melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan
tanda-tanda.”
“Tetapi induk pasukan harus
segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan. Jika
demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang bersenjata
cambuk itu.”
“Kita harus menemukan
jejaknya.”
“Terlampau berbahaya. Mereka
pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi gardu ini terbunuh.
Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak
sempat membunyikan tanda bahaya.”
“Kalau begitu?”
“Kita kembali. Kita laporkan
semuanya kepada Sidanti.”
“Ya. Begitulah.”
Tetapi sebelum kuda-kuda
mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara, “He, bukankah
kalian bernama Kirti dan Juki?”
Kedua orang berkuda itu
terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi mereka sama
sekali belum melihat dari manakah arah suara itu.
Dalam kebingungan mereka
mendengar suara dari suatu arah, “Kirti dan Juki, kenapa kau menjadi bingung?”
Kedua orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He,
setan alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.”
Tetapi terdengar suara yang
lain lagi, “Jangan marah Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.”
Keduanya menjadi semakin
bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah. Tetapi keduanya
bukan penakut yang segera kehilangan akal. Karena suara yang mereka dengar juga
selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di
sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang.
Sejenak mereka saling berpandangan.
Namun sejenak kemudian Kirti berdesis, “Tidak ada gunanya untuk melawan. Kita
harus melaporkannya.”
Juki menganggukkan kepalanya.
Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali kuda mereka sehingga
kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu.
Namun kuda-kuda itu segera
terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang, ketika
tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki mereka.
Hampir saja penunggangnya
terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka tidak
terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar telah
menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir berbareng.
Dengan sigapnya mereka
berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri di atas kedua kaki masing-masing.
Sedang pedang mereka masih tetap di dalam genggaman.
“Siapa kalian, setan!”
bertanya Juki.
Yang berdiri di hadapan
keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia berkata,
“Kalian harus tetap berada di sini.”
“Siapa kau?”
“Kami telah terpaksa membunuh
orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa. Tetapi tidak terhadap
kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat lain. Apalagi
kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci, maka aku pasti akan
dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu ini. Sebagai bukti
ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan kami tunjukkan
kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa sekali. Dan
bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan pula selama
pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.”
Kedua orang itu menggeretakkan
giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu
telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam.
“Jangan melawan.”
“Persetan dengan kau!” teriak
Kirti. “Kaulah yang harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan
segala kesalahanmu.”
“Ah, jangan berpura-pura. Aku
tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian berterus terang. Kami
tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin mengikat kalian di dalam
gardu itu.”
“Lihat, aku bersenjata.
Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.”
Gupala tiba-tiba saja tertawa,
“Ah, jangan berbicara seperti dalang wayang beber.”
“Persetan!” kedua orang itu
merasa benar-benar terhina.
“Berlakulah jujur. Kalian
ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga menjadi ngeri.
Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita bertempur, maka
baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini pasti akan
bertambah.”
Kedua orang itu tidak menjawab
lagi. Serentak mereka melangkah maju.
Namun langkah itu tertegun
mendengar anak yang gemuk itu berkata, “Kalian telah terkepung. Kami mampu
membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun ada juga
korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau menyerah, kami
akan menghidupi kalian.”
Kedua orang itu tertegun.
Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi untuk
menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan
serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke
pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia
menghindar sambil berkata, “Jangan membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat
kenyataan yang kalian hadapi.”
Tetapi kedua orang itu sama
sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan serangan
berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya.
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu banyak berbicara.
Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya.
“He, jangan gila.” Gupala
masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan seorang nelayan
yang sendiri di lautan lepas.
Kedua lawannya masih tetap
menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar.
Tetapi ternyata Gupala bukan
seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi lawan-lawannya yang demikian.
Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap sewenang-wenang lagi, karena ia
sudah mencoba memberi pringatan kepada lawan-lawannya. Tetapi karena mereka
tidak menghiraukannya, maka apa boleh buat.
Dan Gupala memang tidak begitu
berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua orang yang baginya terlampau sombong itu,
sama sekali tidak diberinya kesempatan lagi.
Kali ini Gupala bertempur
dengan pedang. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia memukul senjata lawannya.
Sentuhan pertama membuat tangan lawannya menjadi pedih. Sedang sentuhan
berikutnya telah melemparkan senjata lawannya beberapa langkah dari padanya.
Gupala segera menyerang
lawannya yang sudah tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka
berloncatan dan mencoba memencar.
Namun nasib mereka memang
terlampau malang. Tanpa mereka duga, tiba-tiba saja muncul beberapa orang di
belakang mereka, sehingga mereka telah terkepung rapat.
Dan ternyata bukan sekedar
sebuah kepungan yang rapat. Sejenak kemudian kepungan itu telah menyempit, dan
tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, beberapa ujung senjata telah hampir melukai
tubuhnya.
“Nah, apakah kau masih akan
melawan?” terdengar suara yang bernada dalam.
Kedua orang itu berpaling.
Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab.
“Sudah terlampau banyak korban
di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain, “sedang kita masih belum cukup
mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.”
“Sudah sekian banyak kita
membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan?”
Namun tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Adalah kurang
bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.”
Ketika mereka berpaling,
mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang.
Gupala dan beberapa orang yang
lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat mengenal orang itu, “Ki
Peda Sura.”
Karena itu, maka dada mereka
pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan
tajamnya. Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata, “Memang luar biasa.
Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua orang yang
ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi
sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun
memerlukan kalian sebagai gantinya. Setuju?”
Darah Gupala segera menjadi
panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura adalah seorang
yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama dengan beberapa
orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan bertahan
beberapa lama.
“He, kau anak yang gemuk,”
desis Ki Peda Sura. “Kau memang anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh.
Tetapi kau kurang cermat. Kedua ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu
aku jumpai di pinggir padukuhan induk. Dan salah satu di antaranya telah aku
pergunakan kemari, karena aku menjadi curiga karenanya.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Dan tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang
berkuda, aku akan mendengar derap kakinya.”
Ki Peda Sura tertawa. Katanya,
“Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan
telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa
melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum
kuda itu mendekat.”
Gupala tidak menyahut.
Dan Ki Peda Sura berkata, “Aku
berhenti beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu
ini, tempat kalian menjebak orang-orang Sidanti.”
Gupala menjadi semakin marah.
Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena
itu maka katanya, “Wrahasta. Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci
itu. Kita akan menangkap musang.”
Suara tertawa Ki Peda Sura
menjadi berkepanjangan. Katanya, “Kau memang terlampau sombong. Aku tidak
peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin menjadi pembunuh-pembunuh licik,
maka bunuhlah orang-orang yang sudah tdak berdaya itu apa pun alasannya.
Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan aku lakukan adalah menuntut
kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo dari mereka yang terbumuh
adalah orang-orangku.”
“Dan sebentar lagi kau
sendiri.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras. “Kau memang sedang
mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.”
Namun tiba-tiba suara tertawa
itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah kaki di balik rimbunnya
dedaunan.
“Siapa yang bersembunyi?”
teriak Ki Peda Sura, “Apakah masih belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku
persilahkan kalian keluar dari persembunyiannya.”
Sejenak suasana menjadi sepi.
Tidak seorang pun yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri
tegang dan bersiaga, sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di
antara beberapa orang yang mengacungkan senjatanya.
Suara gemerisik di balik
rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba
mendengarkan setiap suara, namun suara desir itu sama sekali tidak mereka
dengar.
“Kita tidak tahu,” berkata
Gupala, “apakah suara itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang
itu kawanmu, baiklah ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap
bersembunyi agar aku sempat membunuh kau lebih dahulu.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang berdiri
tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat diharapkannya
lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan membinasakan mereka.
Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya. Ditambah seorang yang
cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya.
Orang tua itu menimbang
sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan demikian ia
mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki Tambak Wedi
dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para peronda di
gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya.
“Berita ini sangat penting.
Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan banyak waktu,”
katanya di dalam hati.
Tiba-tiba saja maka Ki Peda
Sura itu menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju.
Gupala terkejut, segera
pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping
menjauhi Gupala.
Namun yang terjadi benar-benar
di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru menjauhi
lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar padesan.
“He, kemana kau akan lari?”
bertanya Gupala.
Tetapi Gupala tidak dapat
berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari balik dedaunan
mencoba mengejarnya.
Ternyata Ki Peda Sura
menambatkan kudanya agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan
sidatan. Dengan lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik
kendali yang disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil.
Sebelum orang-orang yang
mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti
disentuh hantu.
Dalam saat yang sekejap itu,
ternyata kedua orang yang telah tidak bersenjata itu pun sempat melarikan
dirinya. Tetapi mereka tidak mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan
serta-merta mereka meloncat pagar batu dan menghilang di dalam rimbunnya
dedaunan.
Gupala, Gupita yang mencoba
mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala
perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan
pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu.
Beberapa orang yang sedang
mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang
terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu sehingga
dapatlah kedua orang yang hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan
dirinya.
Sejenak mereka berkejaran,
namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam gelapnya malam,
dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Dengan wajah yang merah padam
Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul, Wrahasta itu
menggeram, “Sia-sialah semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita
akan diketahui oleh Ki Tambak Wedi.”
Tetapi Gupita menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Tidak sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau
dekat. Aku telah melaporkan semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan
yang khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura
dapat melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya
ia berkata, “Aku sudah mendengar derap pasukan induk itu.”
“Mereka harus segera mendengar
apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta.
“Ya, dan mereka harus segera
memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan induk.”
Wrahasta tidak menjawab. Ujung
pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya, pasukan itu muncul
dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan seksama mendengarkan
laporan Wrahasta tentang tugasnya.
“Tetapi disaat terakhir mereka
mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata Wrahasta kemudian.
“Belum dapat disebut demikian.
Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu ini dan
membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta.
“Namun ia akan dapat menarik
kesmpulan.”
“Kita sudah cukup dekat. Kita
akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk, sebelum mereka
berhasil menyusun kekuatan.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala tua, Hanggapati,
dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta menyampaikan semuanya itu
kepada Ki Argapati.
“Kau sudah bertindak tepat.
Lakukanlah.”
Samekta pun kemudian kembali
ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian disalurkan ke setiap pemimpin
kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang gelar di depan padukuhan itu.
Sejenak kemudian pasukannya
menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang sedang menghijau di
sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula tanah berlumpur dan
pematang-pematang.
Demikianlah, sejenak kemudian
Samekta telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua
anak-anaknya berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing
berada di sayap.
Seperti yang pernah
direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga masing-masing harus berada di sayap
sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan, Sidanti dan Argajaya pun akan berada
dan memimpin masing-masing sebelah sayap.
Sedang Gupita dan Gupala di
pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut dugaan orang-orang
Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak Wedi.
“Kalau mereka tidak sempat
menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta, “maka Ki Hanggapati
dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari Sidanti dan
Argajaya.”
Keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada dalam susunan gelar
prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada umumnya pangkat mereka
telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak, tingkat tanggung jawab
dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan menempatkan orang demi orang
yang harus saling berhadapan, selain senapati-senapatinya.
Sejenak kemudian maka Samekta
pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera berderap maju. Dalam gelar,
mereka menembus tanah persawahan yang sedang ditanami.
Para pengawal Tanah Perdikan,
yang sebagian terbesar terdiri dari keluarga petani yang telah agak lama tidak
mendapat kesempatan bersentuhan dengan daun padi muda, merasa sangat sayang
menginjak-injak tanaman itu. Tetapi apa boleh buat. Mereka harus maju dalam
gelar yang siap melawan pasukan lawan.
Baru beberapa langkah mereka
maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan menggema di padukuhan
induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan melaporkan apa yang telah
mereka 1ihat.
“Setan alas!” teriak Ki Tambak
Wedi. “Tidak seorang pun yang dapat hidup di gardu itu?”
“Ya.”
“Berapa orang yang telah
menyerang mereka?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada di sana
sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh korban
pula.”
“Terlalu,” Ki Tambak Wedi
menggeram. “Tetapi, apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam
ini bersama seluruh kekuatan?”
“Aku tidak tahu. Tetapi hal
itu mungkin mereka lakukan.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. “Apakah Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan
Argapati telah mati, sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk
padukuhan ini?”
“Salah satu dari dua
kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi orang yang
sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih berat.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan
saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya.
Para penjaga menjadi semakin
bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka, “Kenapa suara
tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?”
Dengan tergesa-gesa Ki Tambak
Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin
Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang mendapat tugas untuk memimpin sayap
pasukan mereka.
“Aku mendengar suara cambuk
sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku menyangka salah
seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering mempergunakan cambuk seperti
yang selama ini kita lihat.”
“Maksudmu orang-orang yang
mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit
Pajang itu?”
“Ya, meskipun pada keadaan
tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.”
“Berhati-hatilah. Kita tidak
boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus mengerahkan
segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun pasti akan
membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk merebut
kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.”
Sidanti, Argajaya dan Ki Peda
Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu, sehingga karena itu,
maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua kekuatan yang ada
telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di gardu-gardu pun telah
mereka tarik sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan.
“Kita dapat mengirimkan dua
orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang mendekat,”
berkata Ki Tambak Wedi.
Ketika kedua orang itu
meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura telah
hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa petunjuk
untuk menghadapi lawan.
“Kita melawan di depan
padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan. Kita akan
menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka
mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi
kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan
orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.”
Pasukan yang belum lengkap
benar itu pun kemudian bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah
Perdikan dan lapangan kecil di muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil
menunggu kelompok-kelompok yang akan segera menyusul.
“Cepat, kita tidak boleh
tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti.
Pasukan itu pun maju semakin
cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari regol. Namun
bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari.
Setiap orang menjadi
berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau menjawab
setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus
dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu.
Karena itu maka kedua orang
itu langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti.
Mereka menemukan Ki Tambak
Wedi dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura.
“He, apa yang kau lihat?”
bertanya Sidanti.
Dengan nafas terengah-engah
salah seorang dari mereka berkata, “Aku melihat sebuah barisan mendatang.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata, “Sebuah barisan
yang kuat.”
“Ya,” Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya. “Apa kau dapat mengetahui, siapakah yang memimpin
pasukan itu?”
Keduanya menggelengkan
kepalanya.
“Baik,” berkata Ki Tambak
Wedi, “kita songsong mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa
Argapati tidak akan mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang
itu sudah mati.”
Dengan tergesa-gesa Ki Tambak
Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan isyarat ia mengembangkan
tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera menebar. Kali ini Sidanti
dan Argajaya langsung pergi ke sayap sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura
berada di induk pasukan bersama Ki Tambak Wedi.
Meskipun pasukan Ki Tambak
Wedi masih belum utuh, namun sebagian besar dari kekuatannya sudah berkumpul,
sementara kelompok-kelompok kecil masih mengalir dan menggabungkan dirinya.
Demikianlah maka dua pasukan
yang telah berada dalam gelar telah saling mendekat.
Ternyata usaha Wrahasta untuk
membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan korban yang
tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti tidak berguna
sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan pasukannya
dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan kurang
cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang mendapat
perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk dan
bimbingan kepada mereka.
Sementara itu Samekta pun
telah mendapat laporan pula bahwa ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan
pasukannya. Dan kini pasukan itu telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh.
“Kita memang harus bertempur
sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada di ujung
pasukan.
“Ya, tetapi bagaimanapun juga,
persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka mendapat cukup
kesempatan.”
“Mereka tidak akan sempat
membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah bersiap menyongsong
kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar seperti yang dapat
kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan mereka.”
“Ya, dan mereka sengaja
menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di pinggir padukuhan,”
desis gembala tua itu. Lalu, “Kita harus mulai dengan mengejutkan mereka.”
Samekta mengerutkan keningnya.
“Kita berhenti apabila kita
sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh. Kita akan
menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak siap untuk
menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak mempersiapkan
perisai secukupnya,” berkata gembala itu.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata, “Siapkan mereka yang
bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri. Apabila keadaan
tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke tempatnya dan
mempergunakan senjata pendek.”
Perintah itu sejenak kemudian
telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera maju di depan
pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun
mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak kebingungan.
Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh untuk peperangan
berikutnya.
Mereka yang membawa busur dan
anak panah itu kemudian menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada
yang berdebar-debar mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada
busurnya.
Wrahasta yang berada dan memimpin
sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya. Kepada salah seorang yang
memegang busur ia berkata, “Berikan busur dan panah itu.”
Orang itu termangu-mangu
sejenak.
“Aku akan mempergunakannya.”
“Tetapi?”
“Aku akan tetap memimpin sayap
ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan anak panahmu.”
Orang itu tidak dapat menolak.
Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya.
Hanggapati yang kebetulan
berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau
memerlukannya?”
“Ya. Aku harus mendapat korban
yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali pahlawan di saat
kita belum mulai.”
“Tetapi kalian telah berhasil
membinasakan jauh lebih banyak.”
“Belum cukup. Setiap orang
sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya dengan sepuluh
orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang sekaligus.”
“Ah,” desah Hanggapati, “kau
akan membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.”
Tetapi Wrahasta tertawa. Dan
tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?”
Hanggapati mengerutkan
keningnya, “Kenapa?”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku
adalah seorang perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak
mungkin dapat diusahakan oleh ayahku.”
Hanggapati tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak. Sambil
menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali tidak
dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya.
Dan tiba-tiba Wrahasta
meneruskan, “Tetapi ibu tidak panjang umurnya.”
“O,” Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah juga tidak panjang
umur.”
“O,” Hanggapati masih
mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?”
“Ya. Ibu sudah tidak ada sejak
sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.”
“Kau satu-satunya anak?”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Aku adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Satu adikku ada di dalam
barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku tidak tahu
apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau tidak. Tetapi
aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang lain berada di
padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.”
Hanggapati menganggukkan
kepalanya.
“Kakakku sudah beranak empat
orang,” berkata Wrahasta, kemudian, “sehingga dengan demikian aku tidak akan
mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu akan terputus.”
Hanggapati mengerutkan
keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta yang suram.
Dan tiba-tiba saja ia
berdesis, “Kedua anak gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan
apa-apanya.”
“Apakah maksudmu?” bertanya
Hanggapati.
“Tidak. Aku tidak bermaksud
apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh sebelumnya tanpa
melihat kelebihan yang ada pada mereka.”
Hanggapati menjadi semakin
heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal, seolah-olah begitu saja
berloncatan dari mulutnya.
Dan tiba-tiba saja Wrahasta
tertawa pendek. “Di depan kita pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita.
Apakah kau sudah siap, Ki Hanggapati?”
“Ya. Aku sudah siap.”
“Apakah kau akan bersenjata
cambuk atau pedang atau keduanya?”
“Aku biasa mempergunakan
pedang.”
Wrahasta tertawa. Tetapi
tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi
semakin dekat. Bahkan karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi
tidak sempat memadamkan obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk
gelapnya malam itu telah tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan
setiap orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula.
Ternyata kedua belah pihak
selalu mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti
jarak antara kedua pasukan itu.
Karena itu, ketika pengawas
yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan bahwa pasukan Ki
Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir bersamaan
seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa pasukan
Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah
mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar.
“Apakah pasukan Ki Tambak Wedi
telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas itu.
“Aku kurang tahu. Tetapi
mereka telah berada di dalam gelar.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baik. Kita akan segera mulai.”
Sejenak kemudian Samekta
memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan seksama mengikuti
perkembangan keadaan.
“Kita hampir mulai, Ki Gede,”
desis Samekta.
“Apakah semua sudah berada di
tempatnya?”
“Sudah, Ki Gede.”
“Bagus. Kembalilah ke
tempatmu.”
Samekta menganggukkan
kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki Argapati seakan-akan
telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang akan dihadapinya telah
membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri. Sedang di tangannya masih
tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan Menoreh, meskipun
sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya.
Sebelum meninggalkan Ki
Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan Wangi, “Hati-hatilah,
Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan
liar.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya,
“Kami telah siap, Paman.”
Samekta menyapu wajah para
pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu memberinya kepercayaan, bahwa
mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati. Apalagi apabila para senapati
lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan orang-orang yang memiliki
kemampuan yang seimbang.
Sejenak kemudian Samekta pun
kembali ke tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di
belakangnya kedua anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian Samekta
memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi
semakin dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang
bersenjatakan panah.
“Kalian menunggu mereka
mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak kalian dapat
melepaskan anak-anak panah.”
Para pengawal yang telah
menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri.
Di hadapan mereka, pasukan Ki
Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap dapat melawan pasukan
Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka tidak mempergunakan
cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati. Menunggu di belakang
pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh.
Kecuali pedukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan pagar-pagar batu yang
tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan yang luas, maka
pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka masih melampaui
kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati pasti belum
dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini.
Orang-orang itu, bahkan
termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan ketergesa-gesaan
mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan yang kini
dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan segenap
kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka.
Meskipun demikian, ketika Ki
Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung mereka,
diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati.
Tetapi gelapnya malam masih
tetap menyaput pemandangan.
Namun demikian, mata Ki Tambak
Wedi yang setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di
kaki langit, seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru
kehitam-hitaman. Tetapi bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam.
Ki Tambak Wedi yang berada di
induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan
penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan
Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan
mereka. Karena itu mereka pun harus berhati-hati.
“Orang-orang Ki Argapati
adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya. “Mungkin mereka akan melakukan
sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu, kalian harus
berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan dipergunakan. Juga
senjata-senjata jarak jauh.”
Dan pesan itu segera ternyata
kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula tidak begitu
menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya yang lain,
hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya.
“Semua yang berperisai berada
di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat masing-masing. Meskipun mereka
tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang pertama terbang di atas
pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah serupa.
Beberapa orang yang bersenjata
perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil melindungi bukan saja
diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan perisai-perisai.
Tetapi anak panah terlampau
kecil untuk dapat dibendung oleh perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya.
Kadang-kadang satu dua ada saja anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai
itu dan langsung mematuk dada.
“Setan!” Sidanti mengumpat.
Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di antara mereka.
Sementara itu, para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan anak panah
mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya sekedar
mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang kehitam-hitaman.
Ternyata bahwa serangan
pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang terlampau banyak
berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan mereka. Satu dua
korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah teriakan terkejut,
telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi kecut. Sementara
anak-anak panah terus mengalir seperti hujan.
Ki Tambak Wedd menggeram
melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka tiba-tiba ia
berterak, “Jangan bodoh. Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk
menghentikan perbuatan licik ini.”
Kemudian Ki Tambak Wedi pun
mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke depan, disusul
oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang menjadi
penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan itu pun
kemudian segera berderap dengan cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju
paling depan adalah induk pasukan, kemudian kedua sayapnya pun segera menyusul.
Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang Ki Peda
Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka
menggetarkan senjata masing-masing.
Samekta pun kemudian menyadari
bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan lawan. Karena itu, maka ia pun
segera mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan,
kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari
mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi
yang langsung memimpin pasukannya, Samekta pun segera memacu barisannya
menyongsong lawan.
Mereka yang semula berada di
depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur mereka di
punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah tergenggam
pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok masing-masing.
Kedua pasukan yang maju itu bagaikan
arus yang berlawanan. Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun
berbenturan di antara sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi
oleh umpatan-umpatan yang sangat liar.
Dalam waktu yang sekejap, maka
ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib malang, pada benturan
pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya dari dorongan senjata
lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang bersimpang-siur, tanpa
menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang tergolek di tanah,
betapa pun ia berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang
kaki-kaki kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tidak akan sempat
menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap ujung senjata lawan
yang mengarah ke dadanya.
Dalam hiruk-pikuk perang itu,
beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar
mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya.
Sambil melindungi dirinya dari
sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan Dipasanga yang sudah terlanjur
ikut terlibat di dalam perang yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu, segera
berusaha menemukan lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka.
Ternyata bahwa pekerjaan itu
tidak terlampau sulit, karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari
lawan-lawan mereka, sebelum mereka membuat terlalu banyak korban.
Dalam pertempuran itu,
Hanggapati akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur
melawan Argajaya. Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang
pimpinan sayap-sayap pasukan mereka.
Tetapi seperti yang pernah
terjadi sebelumnya, baik Sidanti mau pun Argajaya tidak segera dapat mengatasi
lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Kadang-kadang
seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah seorang dari
mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya.
Di pusat gelar, Ki Tambak Wedi
telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan berarti maut. Bahkan bukan
saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas kematian, tetapi tangan
kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut dan sikunya pun ikut
pula membunuh atau setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang berani mendekatinya.
Di ujung gelar lawan, gembala
tua itu melihat seseorang mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera
ia mengenal bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
“Apa boleh buat,” berkata
gembala itu di dalam hatinya. “Tidak ada pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak
Wedi kini telah sampai ke puncaknya, sehingga benar-benar harus dihentikan.”
Dengan demikian, maka tanpa
ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak Wedi
yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan.
“Mana Argapati, he, mana Argapati?”
iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
Dalam keremangan cahaya
bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap bayangan seseorang yang
berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa orang bersenjata lengkap.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, siapa yang berada di belakang barisan ini?
He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti sebentar. Kemudian, “Kau pasti Argapati.
Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa pasukanmu
membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.”
Suaranya menggelepar di dalam
hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang menggema di sela-sela deru
angin pusaran.
Setiap hati mereka yang
mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan duri yang
langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan.
Ki Argapati yang tidak
terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap kata-kata Ki
Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu pasti berisi
lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya tergerak dan
ujungnya merunduk ke depan.
“Ayah tetap di sini
bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam.
Sementara itu Ki Tambak Wedi
berteriak lagi, “He, kenapa kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya
kau dapat bersembunyi di dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka
tetapi kau berada jauh-jauh di belakang?”
Ki Argapati masih belum
mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya gemeretak.
“Baik, baik,” berkata Ki
Tambak Wedi kemudian. “Kalau kau tidak mau maju, akulah yang akan datang
kepadamu.”
Ternyata Ki Tambak Wedi tidak
hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar mendekati Ki
Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan lawan dengan
memutar senjatanya.
Para pengawal Menoreh
benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu,
sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan
dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti
membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa
pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu benar akan tugasnya, sehingga langkah
Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin lancar.
Namun tiba-tiba, langkah iblis
itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di hadapannya, di jalur jalan yang telah
tersibak, berdiri seseorang dengan tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak
Wedi mengerutkan keningnya. Namun betapa pun suramnya malam, ia segera dapat
mengenal orang yang berdiri di hadapannya itu. Hanya beberapa langkah.
Tiba-tiba pula Ki Tambak Wedi
menggeram sambil mengumpat, “Setan alas, kau ada di sini pula?”
Orang itu maju selangkah.
Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya.
“Kelakuanmu telah sampai ke
ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya. “Karena itu, sebaiknya kau
mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di atas tanah
perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar dari
seluruh Tanah ini.”
“Jangan menggurui aku Setan
Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga ini.”
“Kau telah memaksa Sidanti
mengkhianati ayahnya.”
“Argapati bukan ayahnya.”
Sepercik keheranan merambat di
hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya. Perang menjadi semakin
lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di sekitarnya. Karena itu maka
gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di
lambungnya.
“Aku tidak akan bermain-main
lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.”
Ki Tambak Wedi menatap ujung
cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar cambuk seorang
gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya bintang dari
bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik yang
berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar.
Kini Ki Tambak Wedi merasa,
bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari segala-galanya.
Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya selama ini.
Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu digemparkan
oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk itu tidak
memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di
peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya
memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa
orang ini ada di antara pasukan Argapati.
Sepercik ingatan tentang Ki
Peda Sura telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia
melawan Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini
bersenjata cambuk.
Namun senjata cambuk itu
kemudian menjadi kabur oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang
dari pengawal berkuda yang berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk.
Kemudian dua orang prajurit yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur
melawan Sidanti dan Argajaya pun bersenjata cambuk.
Tetapi kini ia bertemu dengan
orang yang sebenanya. Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk.
Karena itu Ki Tambak Wedi
tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata, “Kalian sedang membunuh
diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya bersama Ki
Argapati.
Sejenak mereka masih saling
berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi berkata, “Apa boleh buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung
kemampuan dalam peperangan yang dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan
langsung dengan aku. Tetapi sejak aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak
Sidanti berada di Sangkal Putung, kau selalu mengganggu aku dan muridku. Aku
kira kini sudah saatnya pula aku menghindarkan diriku dari gangguanmu.”
“Kita berpendapat sama. Aku
dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau menganggap bahwa aku
harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh gangguanku seperti yang
terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa kelakuanmu benar-benar telah
berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah berkeputusan bahwa kita akan
mempertaruhkan nyawa kali ini.”
“Aku tidak akan ingkar.”
“Kau jangan lari lagi seperti
di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau pakai untuk
menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia maju. Senjatanya
di tangannya telah mulai bergetar.
Gembala tua itu pun menyadari,
bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya, sehingga karena
itu, ia pun harus sangat berhati-hati.
Pertempuran di sekitar
keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Satu-dua di antara mereka ada
juga yang berusaha menyerang kedua orang tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan
yang demikian tidak akan banyak berarti, apalagi di sekeliling mereka, berdiri
kedua belah pihak.
Kedua orang itu berkisar
selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai dengan sebuah
tarian maut.
Sejenak kemudian maka
perkelahian yang dahsyat itu pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang
mempunyai tingkat ilmu yang tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata
mereka pun merupakan senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada
taranya di tangan pemiliknya masing-masing.
Begitu perkelahian itu
dimulai, maka meledaklah suara cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini
benar-benar telah mengejutkan seisi medan.
Selama ini mereka telah sering
mendengar ledakan-ledakan cambuk di peperangan atau dalam perjalanan sebagian
dari mereka yang ikut dalam pasukan berkuda. Tetapi mereka belum pernah
mendengar cambuk yang meledak demikian dahsyatnya.
Dan seterusnya cambuk itu
meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan sigapnya
berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di sela-sela ujung
cambuk itu langsung menyerang dada.
Demkianlah keduanya segera
terbenam dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya berloncatan saling menyerang
dan menghindar. Semakin lama semakin cepat.
Kedahsyatan pekelahian di
antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para pengawal dan
orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing
masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian yang
hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti.
Ternyata gembala tua itu tidak
kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi
benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri.
Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan
keningnya. Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki
Tambak Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit
harus dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya
harus meledak-ledak tidak henti-hentinya.
Pada saat gembala tua itu
bertempur melawan Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan
seksama. Tetapi mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya.
Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan lawannya.
Karena itu, segera mereka pun
menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan
berusaha melawannya.
Dengan demikan maka keduanya
meninggalkan arena yang dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang
luas untuk menemukan lawan yang telah ditentukan untuk mereka.
Sementara itu Ki Peda Sura
berkelahi dengan kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak
akan ada seorang lawan pun yang dapat mengimbanginya.
Seperti Ki Tambak Wedi, ia
menyangka bahwa Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki
Tambak Wedi pula ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri
karena putus asa.
Tetapi terasa dadanya
berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun tanpa ada
henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam dadanya,
rnengguncang jantung.
“Siapakah orang itu?” desisnya
di dalam hati. “Apakah Ki Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam
suara cambuk yang memekakkan telinga itu?”