Buku 048
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Sudah terbayang di pelupuk matanya, ayahnya membangun sebuah penjara
khusus bagi pamannya Argajaya dan kakaknya Sidanti. Bangunan yang kuat,
dipagari oleh papan-papan yang tebal dan deriji-deriji kayu yang besar.
Sepasukan pengawal pilihan yang akan mengawasinya siang dan malam, siap dengan
senjata masing-masing.
“Sampai kapan?” ia berdesis di
dalam hatinya. Ketika terkilas wajah ayahnya yang pucat, maka terbayanglah
penderitaan batin orang tua itu, di masa mudanya, pada saat Arya Teja yang baru
saja memasuki jenjang perkawinn dengan Rara Wulan. Namun kemudian ternyata
bahwa semua impiannya telah buyar, karena merasa telah dikhianati oleh
perempuan itu. Dan perempuan itu kemudian melahirkan Sidanti.
Kepala Pandan Wangi menjadi
semakin tunduk. “Wajar sekali apabila ayah sangat membenci Ki Tambak Wedi dan
mungkin juga Kakang Sidanti,” katanya pula di dalam hatinya.
“Wangi,” Pandan Wangi terkejut
ketika ayahnya menyebut namanya, “sudahlah. Jangan tercengkam oleh keadaan
Sidanti itu. Kau akan kehilangan waktu, tenaga dan pikiran yang justru kini
sangat diperlukan oleh Tanah Perdikan ini.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. “Ya, Ayah. Aku mengerti.”
“Nah, karena itu, aku
percayakan saja pamanmu dan kakakmu kepada mereka yang mendapat beban untuk
itu. Lakukanlah tugas-tugasmu yang lain bersama pamanmu Samekta dan Kerti yang
barangkali kini masih nganglang membersihkan seluruh Tanah Perdikan ini dari
mereka yang berkeras hati dan berkeras kepala, bahkan mereka yang berputus asa.
Kita harus menubersihkan diri dahulu, dan barulah kita mulai membangun Tanah
ini.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. “Ya, Ayah.”
“Aku pun sudah menjadi semakin
baik, Wangi. Kau tidak usah menunggui aku seperti kemarin. Mintalah dua orang
pengawal yang dapat dipercaya, dan suruhlah ia berada di sini. Mungkin aku
memerlukan minum atau makan atau keperluan-keperluan apa pun.”
“Baik, Ayah.”
“Kau dapat keluar dari ruangan
ini, melihat reruntuhan Tanah Perdikanmu. Dengan demikiam mungkin dapat tumbuh
gagasan-gagasan yang akan sangat bermanfaat bagi Tanah ini. Tetapi di dalam
ruangan ini angan-anganmu seakan-akan terkunci oleh dinding-dinding yang mati.”
Pandan Wangi mengangguk pula
dan menjawab, “Ya, Ayah.”
“Nah, pergilah ke luar untuk
melihat-lihat,” berkata ayahnya pula. “Kalau kau selalu berada di ruangan ini
kau tidak ubahnya seperti pamanmu Argajaya dan kakakmu Sidanti. Mungkin kau
akan segera jemu, meskipun tanpa kau sadari, sehingga kau pun dapat
berangan-angan jauh ke dunia yang asing, Kadang-kadang ada baiknya, tetapi
kadang-kadang memang dapat menumbuhkan keinginan yang kurang pada tempatnya.”
“Baik, Ayah.”
“Jangan lupa, suruhlah dua
orang pengawal mengawani.”
“Baik, Ayah.”
“Sementara Samekta dan Kerti
masih sibuk, dalam masalah yang penting, kau dapat berbicara dengan gembala tua
itu.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. “Baik, ayah.
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah ke luar. Dua pengawal terpilih yang memang sudah disiapkannya,
dimintanya memasuki bilik ayahnya, untuk menjaga dan melayaninya.
“Kemana Ngger?” bertanya
gembala tua yang melihatnya keluar ruang dalam.
“Aku akan sekedar melepaskan
ketegangan, Kiai.”
“Bagus. Bagus. Itu perlu
sekali bagi Angger, yang selama ini seakan-akan selalu dicengkam oleh suasana
yang tidak menentu. Sekali-sekali Angger Pandan Wangi memang harus melihat
cerahnya matahari, hijaunya dedaunan dan silir angin di bawah pepohonan.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sambil melanjutkan langkahnya ia menjawab, “Ya, Kiai, supaya
jantungku tidak meledak karenanya.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia sadar, bahwa Pandan Wangi selalu
diganggu oleh kekesalan hati selama ini. Karena itu maka ia pun kemudian
kembali duduk di antara para pengawal yang mengawasi pintu bilik Sidanti di
bagian dalam.
Di ujung gandok, Gupala
berbaring sambil mendendangkan lagu macapat. Lamat-lamat. Suaranya memang tidak
begitu baik, tetapi ungkapannya berhasil menyentuh perasaan pendengarnya.
Beberapa orang pengawal yang mendengar suara tembangnya itu pun tersenyum
sambil menganggukkan kepalanya. Bahkan ada di antara mereka yang bergumam, “Ah,
anak muda yang gemuk itu membuat aku mengantuk.”
Tetapi Gupala berlagu terus
perlahan-lahan. Di sampingnya Gupita duduk sambil menggosok tangkai cambuknya
yang melilit di lambung, dengan angkup keluwih.
Langkah Pandan Wangi tertegun
ketika telinganya tersentuh suara tembang di kejauhan. Lamat-lamat saja. Tanpa
sesadarnya langkahnya seakan-akan dituntun oleh getaran suara Gupala yang
menyusuri halaman. Satu-satu langkah Pandan Wangi membawanya berjalan di
sepanjang emper gandok menyusup regol samping masuk ke dalam longkangan tengah,
kemudian lewat sebuah pintu ia sampai ke ujung belakang gandok.
Pandan Wangi terhenti ketika tiba-tiba
ia melihat Gupita yang duduk tepekur sambil menggosok-gosok tangkai cambuknya
di samping Gupala yang berbaring sambil berdendang.
“He,” tiba-tiba saja dendang
Gupala terputus, “marilah,” sapa Gupala dengan serta-merta. “Apakah kau
mendapat tugas untuk melihat tawanan kami?”
Gupita pun kemudian mengangkat
wajahnya. Dilihatnya Pandan Wangi berdiri kaku sambil menundukkan kepalanya.
Sementara beberapa orang pengawal yang bertebaran di halaman kebun belakang
sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka duduk terkantuk-kantuk dan bahkan ada
yang tidur mendekur bersandar pepohonan.
Gupala pun segera bangkit dan
duduk, di samping Gupita. Sejenak dipandanginya saja wajah gadis yang tunduk
itu. Sesaat kemudian ia berpaling ke arah Gupita yang masih juga berdiam diri.
Tiba-tiba suasana menjadi
kaku, seperti tiang-tiang serambi gandok yang tegak tanpa bergerak sama sekali.
Demikian juga ketiga anak-anak
muda itu. Gupala, Gupita, dan Pandan Wangi yang masih berdiri.
Namun kekakuan itu kemudian
dipecahkan oleh suara teriakan Gupala. Sambil berdiri ia berkata, “He, kenapa
tiba-tiba saja kita seperti dicekik hantu.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia
berkata, “Marilah, barangkali kau membawa perintah atau berita atau kau akan
bersama-sama berdendang dengan kami di sini?”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ketika tampak olehnya solah anak yang gemuk itu, maka ia pun tersenyum.
“Ha, kau sudah tersenyum,”
berkata Gupala. Tetapi kata-katanya terputus karena Gupita menggamitnya.
Tetapi tanpa ragu-ragu Gupala
malahan bertanya, “Kenapa? Apakah aku salah? Maksudku, aku ingin
mempersilahkannya.”
“Hus,” desis Gupita, “kenapa
kau? Aku tidak melarangmu.”
“Tetapi kau menggamit aku.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Dan sekali lagi ia melihat Pandan Wangi tersenyum.
“Kalau begitu,” berkata Gupala
selanjutnya, “marilah. Duduklah di sini.”
Pandan Wangi masih berdiri di
tempatnya.
“Kita bercakap-cakap,” berkata
Gupala. “Tetapi, apakah kau sedang bertugas?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Aku tidak sedang bertugas apa pun.”
“Bagus. Duduklah. Kita
berbicara tentang banyak hal. Tentang yang tidak menjemukan seperti kerjaku
selama aku di sini. Menunggui sangkar yang meskipun berisi, tetapi tidak pernah
berkicau.”
“Hus,” sekali lagi Gupita
berdesis. Dan tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi berkerut.
Perlahan-lahan Gupita
berbisik, “Bukankah orang itu pamannya.”
“O,” Gupala menjadi gelisah,
“tidak. Maksudku, bukan orang ini yang berkicau. Aku memang senang sekali
burung. Dan aku ingin memelihara seekor burung di dalam sangkar, supaya
berkicau setiap saat.”
Mau tidak mau Pandan Wangi
terpaksa tersenyum pula. Hampir tanpa disadarinya ia melangkah maju mendekati
kedua anak-anak muda itu. Sekilas dilihat wajah keduanya. Gupita yang tenang
datar dan Gupala yang riang dan cerah.
“Keduanya pasti bukan saudara
seperti yang mereka katakan,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. “Keduanya
pasti bukan anak gembala yang luar biasa itu. Aku kira keduanya adalah
murid-muridnya. Saudara seperguruan.”
Tetapi langkah Pandan Wangi
tertegun. Ia berdiri beberapa langkah dari kedua anak-anak muda itu ketika
tiba-tiba Gupala bertanya, “Ataukah kau akan melihat-lihat seluruh halaman
rumah ini? Marilah aku tunjukkan, barangkali kau ingin melihat apa yang ada di
seputar rumah yang sudah tidak terpelihara lagi ini.”
Tetapi sekali lagi kata-kata
Gupala terputus ketika Gupita berkata, “Rumah ini rumah Ki Argapati, ayah
Pandan Wangi. Kalau kau ingin melihat-lihat, Pandan Wangi-lah yang seharusnya
yang mengantar kau.”
“O,” Gupala menjadi semakin gelisah,
“lalu, apa yang akan aku lakukan?”
Sekali lagi Pandan Wangi harus
tersenyum melihat tingkah laku Gupala. Namun dengan demikian ia menjadi semakin
mengenal jiwanya. Jiwanya yang selama ini tertekan oleh berbagai masalah,
kesungguhan yang berlebih-lebihan. Lingkungan keluarga yang mengecewakannya
setelah ia mengetahui keadaannya yang sebenarnya, perang dan ketegangan di
bilik ayahnya yang sakit, maka sikap Gupala benar-benar merupakan kelainan yang
segar. Itulah sebabnya, perasaan Pandan Wangi seolah-olah terbuka. Angin yang
silir telah menyusup ke pusat jantungnya. Kedua anak-anak muda itu memberikan
nafas yang berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
“Atau, kalau begitu,” Gupala
tergagap, “duduklah di sini. Di dalam bilik ini tersimpan Ki Argajaya. Selama
ini kami mendapat tugas untuk menungguinya siang dan malam. Berganti-ganti.
Kadang-kadang harus berdua. Dan Tanah Perdikan ini serasa terlampau sepi bagi
kami.”
“Kenapa terlampau sepi?”
tiba-tiba Pandan Wangi bertanya.
“Di sini tidak ada penari, penabuh
gamelan yang cakap dan tidak ada pula tayub yang meriah.”
“Hus,” desis Gupita.
Pandan Wangi kini tertawa.
Katanya, “Tentu ada. Kalau keadaan tidak sepanas ini, kau dapat melihat
gadis-gadis Menoreh menari diiringi oleh para penabuh yang cakap. Tetapi ayah
memang tidak suka pada tayub.”
Gupala mengangguk, “Benar. Aku
juga tidak suka, ayah juga tidak suka. Bahkan melarang tayub di wilayahnya.”
“Siapakah ayahmu?” tiba-tiba
Pandan Wangi bertanya, “apakah bukan gembala tua itu?”
Sekali lagi Gupala tergagap.
Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia tertawa, “Tentu saja, ayah memang
melarang tayub di wilayahnya. Wilayah ayahku memang tidak mungkin
menyelenggarakan tayub karena rakyatnya terdiri dari kambing-kambing.”
Ketiganya tidak dapat menahan
tertawa lagi. Gupita, Gupala, dan bahkan Pandan Wangi. Sejenak Pandan Wangi
dapat melupakan kepahitan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya tentang
berbagai masalah yang serasa bertimbun-timbun di dalam dadanya.
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi
pun kemudian duduk di antara mereka. Wajahnya yang selalu suram itu menjadi
cerah. Dan wajah Pandan Wangi yang cerah, adalah wajah yang menyentuh perasaan
anak muda yang gemuk itu sampai ke pusat jantung.
Meskipun pembicaraan ketiga
anak-anak muda itu masih belum terlampau lancar, namun pembicaraan yang berbeda
dari pembicaraan yang setiap hari mencengkam perasaan Pandan Wangi itu, telah
berhasil membuatnya sedikit gembira. Kadang-kadang ia tersenyum dan bahkan
kadang-kadang ia tertawa.
Ternyata selingan yang demikian
itu sangat dibutuhkan oleh Pandan Wangi. Terasa kesegaran merayapi dadanya.
Seperti pada saat-saat ia pergi berburu bersama Kerti di hutan-hutan yang tidak
terlampau lebat, selagi Tanah ini masih belum dibakar oleh api pertentangan di
antara keluarga sendiri.
Dengan demikian, maka di
hari-hari berikutnya Pandan Wangi kadang-kadang memerlukan menemui kedua
gembala-gembala muda itu untuk sekedar berbicara tentang apa saja. Tentang
Tanah Pendikan Menoreh, tentang bukit-bukit kapur, Sungai Praga dan tentang
hutan perburuan yang menyenangkan.
“Apakah kau mau menunjukkan
hutan itu kepadaku?” bertanya Gupala.
“Tentu,” jawab Pandan Wangi,
“tetapi tidak sekarang.”
“Apakah salahnya kalau kita
sekarang atau besok pergi ke sana?” bertanya Gupala.
“Tentu tidak mungkin.”
“Besok kita berangkat
pagi-pagi benar, supaya sebelum tengah hari kita sudah kembali.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya, “Aku tidak sampai hati meninggalkan Ayah yang terluka itu sekedar
untuk melihat-lihat hutan perburuan.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Tetapi kepalanya kemudian terangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku pun tidak
dapat meninggalkan pintu sangkar batu itu.”
“Hus,” desis Gupita.
“Maksudku, pintu yang tentu
tidak disukai oleh penghuni ruangan itu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Tetapi sampai kapan aku harus
berada di sini?”
“Tidak terlampau lama. Ayah
akan membangun ruangan-ruangan yang kuat untuk menyimpan Paman dan Kakang
Sidanti.”
“Kapan?”
“Ayah ingin berbicara dahulu
dengan Paman dan Kakang Sidanti. Kalau mereka bersedia membantu ayah, maka ayah
tidak akan merasa perlu membangun sangkar-sangkar itu.”
“Kalau tidak?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun Gupala segera berkata, “Baiklah. Kita berbicara tentang hal
lain lagi. Sudah tentu yang tidak menyangkut masalah-masalah yang tidak kau
sukai.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
Dan Gupala pun kemudian
berusaha untuk berbicara tentang masalah-masalah yang sama sekali tidak
penting, namun yang dengan demikian dapat mengurangi ketegangan hati Pandan
Wangi.
Namun pertemuan yang sering
terjadi itu, telah memahat hati Gupala menjadi semakin dalam. Kadang-kadang
anak yang pada umumnya selalu bergembira itu menjadi perenung. Kadang-kadang ia
duduk sambil memandang jauh menerawang ke ketiadaan.
Gupita segera dapat menangkap
perasaan adik seperguruannya. Kali ini agaknya Gupala tidak bergurau. Ia
benar-benar telah terpikat oleh gadis Tanah Perdikan Menoreh.
Kadang-kadang hati Gupita
sendiri menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Sekilas membayang senyum Pandan Wangi
yang tertahan-tahan di dalam kepahitan perasaan, setelah ia mengalami
guncangan-guncangan yang tidak terkirakan.
Tetapi Gupita adalah seorang
anak muda yang sudah terlampau biasa menahan hati. Ia merasa bahwa ia tidak
berhak lagi untuk menilai kecantikan gadis Menoreh itu. Ia tidak mau ingkar
pada kesediaannya untuk mengikatkan diri kepada seorang gadis yang
ditinggalkannya di Sangkal Putung.
Karena itu, Gupita mencoba
untuk bersikap lebih dewasa dari Gupala menghadapi persoalannya. Sehingga ia
berusaha untuk menjauhkan segala kesan tentang perasaannya sendiri atas gadis
itu. Itulah sebabnya, kini ia menyimpan serulingnya. Ia hampir tidak pernah
lagi meniup seruling itu. Setiap nada yang dilontarkan oleh serulingnya akan
dapat menimbulkan getaran-getaran hati yang paling tersembunyi sekalipun.
Apalagi ia sadar, bahwa Pandan Wangi pun tertarik pula kepada nada-nada
serulingnya itu.
“Kakang,” pada suatu kali
Gupala berkata dengan wajah yang bersungguh-sungguh kepadanya, “apakah Kakang
Gupita mau menolong aku?”
Gupita menjadi heran. Karena
itu maka ia bertanya, “Apakah yang harus aku tolong?”
Gupala menelan ludahnya.
Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan hendak mengusir kenangan
yang tidak dikehendakinya.
“Tetapi aku tidak tahu, apakah
Guru setuju atau tidak.”
“Apa?”
“Kakang,” suara Gupala menjadi
semakin lambat.
“He, jangan seperti orang yang
kelaparan. Aku tidak mendengar lagi suaramu.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi sangat gelisah, sehingga keringat dinginnya mengalir
membasahi leher dan punggungnya.
“Katakan Gupala. Kalau aku
dapat membantumu, aku akan membantu.”
“Ya, ya. Aku percaya.”
“Tetapi aku tidak tahu, apa
yang harus aku lakukan untuk membantumu. Apa kesulitanmu dan apakah
keinginanmu.”
“Tetapi apakah Guru tidak akan
marah?”
“Kalau masalahnya masalah yang
wajar, Guru tentu tidak akan marah. Tetapi apa itu, katakanlah supaya aku dapat
memberitahukan pertimbangan.”
“Itulah.”
“Kenapa itulah? Kau belum
mengatakan apa-apa.”
Gupala menjadi semakin gugup.
Kini keringatnya sudah menitik dari keningnya.
Beberapa kali bibirnya
bergerak-gerak seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya
ditelannya kembali sebelum terucapkan.
Gupita melihat kegelisahan
yang mencengkam adik seperguruannya itu. Meskipun ia belum pasti, tetapi ia
dapat meraba apakah yang akan dikatakan oleh Gupala. Anak itu pada dasarnya
tidak ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Ia berkata apa yang ingin dikatakannya,
dan kadang-kadang ia melakukan apa saja yang menarik baginya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi gelisah, bimbang dan seakan-akan tidak menentu
lagi.
“Gupala,” berkata Gupita
sareh, “tenangkan hatimu. Aku kira masalahmu adalah masalah yang penting,
sehingga kau mendapat kesukaran untuk mengatakannya. Tetapi masalah yang
penting itu pasti langsung menyangkut pribadimu sendiri.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, memang menyangkut pribadiku
langsung.”
“Aku sudah menduga. Tetapi
katakanlah. Jangan ragu-ragu.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya tersendat-sendat, “Kakang, di sini tidak ada ayah tidak ada
ibu. Yang ada hanyalah Kakang dan Guru. Tetapi untuk mengatakannya kepada Guru,
aku masih ragu-ragu. Barangkali Kakang dapat menolongku.”
“Apakah aku harus
mengatakannya kepada Guru.”
“Tidak, bukan itu,” potong
Gupala cepat-cepat. “Maksudku, aku ingin meyakinkan dahulu, apakah aku tidak
sedang bermimpi. Apabila semuanya sudah pasti, barulah aku minta Kakang
menyampaikannya kepada Guru.”
“Lalu apakah sekarang yang
akan aku lakukan?”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku akan minta tolong kepadamu Kakang. Aku ingin
meyakinkan, apakah aku benar-benar tidak sedang bermimpi.”
“Ya, aku yakin, kau sekarang
memang tidak sedang bermimpi.”
“Bukan, bukan itu. Aku kira kau
sudah tahu maksudku.”
“Mungkin. Aku tahu masalahmu.
Tetapi aku tidak tahu, cara yang bagaimana yang harus aku lakukan untuk
meyakinkan kau.”
Gupala menelan ludahnya.
Dengan suara parau ia berkata lirih, “Tolong Kakang, tanyakan kepada Pandan
Wangi, apakah ia dapat mengerti perasaanku.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Sesuatu yang sama sekali tidak dikehendaki.
Namun dengan sekuat tenaganya perasaan itu ditekannya dalam-dalam. Dengan sadar
ia menghadapi keadaannya kini. Sekali lagi ia berkesimpulan, bahwa ia sama
sekali sudah tidak berhak menilai Pandan Wangi, apalagi di hadapan Gupala.
Karena itu, maka tiba-tiba
Gupita yang sudah terlampau biasa mengendalikan perasaannya itu tersenyum.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Hem, begitulah hendaknya.
Kau adalah seorang laki-laki. Kau harus berani menyatakan perasaanmu.”
“Tetapi, tetapi apakah Kakang
Gupita tidak mengalami kesukaran pada masa-masa seperti ini?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Hubungannya dengan gadis Sangkal Putung itu memang agak berbeda
dengan hubungan Gupala dengan Pandan Wangi. Ia tidak perlu menyatakan apa pun
kepadanya. Gadis itu seakan-akan langsung mengerti perasaannya, dan bahkan
gadis itu pun langsung pula membuka hatinya. Tanpa kata-kata, sikapnya memang
sudah meyakinkan. Bahkan kadang-kadang berlebih-lebihan menurut perasaan
Gupita.
Tetapi Pandan Wangi bersikap
lain. Pandan Wangi sama sekali tidak memberikan kesan apa pun terhadap Gupala.
Bahkan setiap kali Gupita mengenangkan masa-masa permulaan ia mengenal gadis
itu, dadanya berdesir. Ia melihat sesuatu tersirat di mata gadis itu, seperti
ia pernah melihat mata gadis Sangkal Putung itu pula. Namun gadis ini kemudian
menundukan kepalanya dan berjalan menjauh. Berbeda dengan sikap gadis Sangkal
Putung itu. Ia langsung tertawa sambil mendekatinya dan berkata, “Inilah aku.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam.
“Kakang,” berkata Gupala
kemudian, “aku minta tolong kepadamu, bukankah kau tidak berkeberatan? Kau
dapat menemui Pandan Wangi di mana kau kehendaki, membawanya sendiri dan
menanyakannya apakah ia dapat mengerti perasaanku.”
Gupita termenung sejenak.
Tugas itu pasti akan terasa sangat berat baginya. Ia harus menyatakan perasaan
seorang anak muda kepada Pandan Wangi. Tetapi anak muda itu adalah Gupala.
“Apakah kelak aku dapat
membedakan, bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aku ucapkan tidak atas
namaku sendiri, tetapi atas nama Gupala?” ia bertanya kepada diri sendiri di
dalam hatinya. Namun kemudian terasa hatinya itu menghentak, “Aku harus
menolongnya. Aku sama sekali tidak berkepentingan.”
Karena Gupita tidak segera
menjawab, maka Gupala bertanya dengan cemasnya, “Apakah kau berkeberatan?”
Dengan serta-merta, Gupita
menjawab, “Tidak, aku tidak berkeberatan. Tetapi bagaimana dan kapan aku
mendapat kesempatan itu.”
“Kapan saja,” jawab Gupala,
“kau dapat berpura-pura melihat-lihat hutan perburuan atau melihat apa yang
dapat ditunjukkannya kepadamu.”
“Bersama kau?”
“Tentu tidak. Tentu tidak.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Tetapi jangan tergesa-gesa. Aku harus mendapatkan waktu yang paling
baik.”
“Tentu tidak. Tetapi jangan
terlampau lama.”
“Lalu, bagamana dengan bilik
itu?”
“Serahkan kepadaku. Aku
mempunyai banyak kawan. Para pengawal akan siap membantuku kalau terjadi
sesuatu.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Hampir tanpa disadarinya ia berkata, “Baiklah, aku akan
menanyakan kepadanya tentang hal itu. Besok atau lusa atau kapan saja aku
mendapat kesempatan.”
“Terima kasih,” desis Gupala,
“tetapi kau harus pandai menyusun kalimat, agar gadis itu tidak mempunyai
kesempatan untuk menolaknya.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi
ia sudah membayangkan kesulitan yang bakal dihadapinya. Dalam masalah yang
wajar saja, ia tidak akan dapat menyatakan sesuatu dengan mudah. Apalagi dalam
masalah yang sulit serupa itu, meskipun bukan untuk kepentingannya sendiri.
Namun ia merasa berkewajiban
pula untuk menolong adik seperguruannya betapapun beratnya.
Dengan demikian, maka Gupita
selalu berusaha mencari kesempatan untuk dapat berbicara kepada Pandan Wangi
tanpa terganggu. Tetapi ia pun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan salah
paham kepada gadis itu, tentang tingkah lakunya sendiri.
Di halaman rumah itu, Gupita
sering menyingkir, apabila Pandan Wangi berkunjung ke ujung gandok. Ia hanya
ikut menemuinya sebentar, kemudian dengan alasan apa pun ia berusaha menjauhkan
dirinya.
Meskipun demikan Gupala tidak
pernah mendapat kesempatan untuk mengatakan sesuatu, sehingga ia benar-benar
tergantung kepada kakak seperguruannya.
“Jangan terlampau lama,”
berkata Gupala pada suatu saat kepada Gupita. “Setiap kali kau malah
meninggalkan kami sehingga aku menjadi seperti orang bisu karenanya.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memang harus melakukannya. Kalau ia menunda-nunda waktu, maka ia
sendiri akan selalu merasa dibebani oleh kewajiban yang seakan-akan tidak akan
pernah terselesaikan.
“Besok aku akan minta
kepadanya untuk menunjukkan daerah-daerah yang asing bagiku. Aku akan mencari
kesempatan.”
“Terima kasih, Kakang. Aku
kira memang lebih mudah mengatakan masalah orang lain dari masalah diri
sendiri.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Demikianlah, maka ketika
Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tangga pendapa rumahnya,
Gupita-lah yang berjalan mendekatinya, meskipun hatinya berdebar-debar. Ia
sudah mereka-reka alasan yang paling tepat untuk membawa Pandan Wangi
meninggalkan padukuhan induk. Ia ingin mendapat kesempatan yang benar tidak
akan terganggu. Kalau ia tidak berhasil, dan bahkan apalagi menumbuhkan salah
paham, maka kesan yang membayang di wajah Pandan Wangi akan segera dapat
dilihat orang lain. Kesan itu akan dapat menumbuhkan berbagai pertanyaan pada
orang-orang lain yang melihatnya. Tetapi apabila mereka hanya berdua, maka ia
akan mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahpahaman itu.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita
kemudian, “apakah kau pernah mendengar pesan Ki Argajaya kepada Ayah?”
“Apakah pesan itu?” bertanya
Pandan Wangi.
“Pamanmu minta agar Ayah
mencari puteranya yang ikut terlibat dalam persoalan Tanah Perdikan ini. Ia
minta agar Ki Argapati sudi memaafkannya.”
“Tentu, Ayah tentu akan
memaafkannya. Ia masih terlampau muda, sehingga sebenarnya ia masih belum tahu
apa yang telah terjadi.”
“Tetapi bukankah anak itu
sampai saat ini belum kita ketahui, di mana ia berada?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku
mengharap ia berada di rumahnya.”
“Apakah kau yakin?”
“Tentu tidak. Tetapi Bibi ada
di rumah. Seorang penghubung telah menemuinya, dan menyatakan pesan Ayah
kepadanya, bahwa bibi tidak perlu cemas. Ayah tidak menyangkutkannya dengan
kesalahan paman.”
“Sudah lama?”
“Belum. Tetapi penghubung
berikutnya, ternyata tidak kembali kepada Ayah.”
“Kenapa?”
“Memang masih ada satu dua
orang yang berkeliaran di padukuhan-padukuhan kecil. Mereka masih saja
menyebarkan dendam dan kekisruhan.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Pandan Wangi, apakah tidak sebaiknya
kita bertanya kepada Bibi Argajaya, apakah puteranya itu ada di rumah.”
“Ayah sudah bertanya lewat
penghubung yang pertama. Tetapi bibi menjawab, bahwa anak itu belum juga pulang
sejak berkobar peperangan.”
“Tetapi sekarang keadaan sudah
agak tenang. Sebenarnya bahwa Ki Argapati pun minta tolong kepada Ayah untuk
mencarinya, dan Ayah sendiri masih belum sempat meninggalkan rumah ini.”
“Kaulah yang harus
mencarinya?”
“Tidak harus. Tetapi aku ingin
menolong Ayah dan pamanmu. Apakah kau berkeberatan?”
“Kenapa berkeberatan?”
“Maksudku, apabila kita
bersama-sama pergi ke rumah pamanmu?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sekilas ditatapnya wajah anak muda itu. Tersirat suatu kenangan,
pada saat ia hampir saja terperosok ke dalam bencana yang tidak terbayangkan,
ketika ia berhasil melepaskan diri dari tangan beberapa laki-laki yang liar dan
buas karena pertolongan kakak dan pamannya. Saat itulah ia melihat gembala ini.
Tiba-tiba Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah ujung gandok. Tetapi
ia tidak dapat melihatnya, karena pagar dan sudut pendapa yang menjorok di
sebelah regol samping.
Pada saat yang mendebarkan
hati itu, Pandan Wangi belum pernah melihat gembala yang seorang lagi. Yang
gemuk tetapi pandai berkelakar, meskipun agak kurang hati-hati.
“Bagaimana?” desak Gupita,
“mumpung masih pagi.”
“Apakah Ayah akan
mengijinkan?” desis Pandan Wangi.
“Kita hanya pergi sebentar.
Tetapi kalau kita berhasil membawanya menghadap, ayahmu dan pamanmu akan sangat
senang sekali.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang hanya sebentar apabila ia pergi berkuda.
Tetapi apakah sudah tidak akan ada gangguan apa pun di perjalanan.
Sejenak gadis itu berpikir.
Sekali-sekali ia berpaling, seakan-akan ia ingin meyakinkan, bahwa ayahnya tidak
akan berkeberatan apabila ia pergi sejenak ke runah pamannya, untuk mencari
adik sepupunya.
Dalam keragu-raguan itu,
terlintas bayangan-bayangan yang menahannya. Tetapi hasrat di dasar hatinya
semakin lama menjadi semakin kuat mendorongnya pergi.
“Sudah lama aku tidak melihat
tlatah Menoreh,” katanya di dalarn hati. “Seandainya ada gangguan diperjalanan,
aku kira aku bersama Gupita akan mempunyai waktu dan kesempatan untuk
melepaskan diri. Peronda-peronda pasti akan hilir-mudik di segala jalan-jalan di
Tanah Perdikan Menoreh.”
Karena itu, maka tiba-tiba
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ada dorongan yang lain, kecuali
keinginannya untuk melihat-lihat wilayahnya dan sekedar untuk menemukan adik
sepupunya.
“Baiklah,” katanya kemudian,
“aku akan berkemas.”
“Aku akan memberitahukan
kepada Ayah. Apalagi Ki Samekta dan Ki Kerti tidak sedang berada di halaman
ini.”
“Mereka tidak meronda. Mereka
ada di banjar,” jawab Pandan Wangi.
“Karena itu, aku akan
memberitahukannya kepada Ayah, supaya ia mengerti, bahwa halaman ini sedang
kosong.”
“Terserahlah. Tetapi aku tidak
akan minta ijin kepada Ayah. Aku kira Ayah tidak akan mengijinkan. Aku hanya
akan mengatakan kepada Ayah, bahwa aku akan keluar sebentar, supaya tidak
mencari aku.”
“Baiklah,” sahat Gupita.
Maka keduanya pun segera
mempersiapkan diri. Menyiapkan kuda masing-masing, dan bukan hanya sekedar
mempersiapkan yang tampak oleh mata tetapi terlebih-lebih lagi, Gupita sedang
menyiapkan susunan kalimat-kalimat yang akan dikatakannya kepada Pandan Wangi
atas nama Gupala.
Ketika Gupita sudah siap, dan
Pandan Wangi sudah menunggunya di halaman. Gupala berbisik di telinga kakak
seperguruannya, “Kau harus berhasil.”
Gupita menganggukkan
kepalanya. Namun ia masih berpesan juga, “Hati-hatilah dengan Ki Argajaya.”
“Percayakan ia kepadaku.”
Gupita pun kemudian
meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan yang sudah dihuni kembali itu,
menyusur jalan padukuhan, menuju ke rumah Ki Argajaya. Sejenak kemudian mereka
telah melampaui gardu peronda yang terakhir. Kepada para penjaga Pandan Wangi
berpesan, bahwa ia akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan kecil di sekitar
padukuhan induk itu.
“Apakah masih ada hubungan
yang ajeg antara para pengawal di sini dan mereka yang ditempatkan di
padukuhan-padukuhan lain setiap saat?” bertanya Gupita.
“Ya. Setiap kali
penghubung-penghubung dan peronda-peronda hilir-mudik,” jawab Pandan Wangi.
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sebenarnya ia menjadi cemas. Kalau setiap kali ia bertemu
dengan para peronda dan penghubung di sepanjang jalan, apakah ia akan mendapat
kesempatan untuk mengatakan maksudnya kepada Pandan Wangi?
Meskipun demikian Gupita masih
tetap mengharap, bahwa ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Demikianlah maka mereka berdua
berpacu dengan kencangnya menuju ke rumah paman Pandan Wangi. Mereka menyusur
jalan yang berbatu-batu, namun kadang-kadang berdebu tebal. Sawah-sawah di
sebelah-menyebelah jalan kelihatan sangat kurang terpelihara. Parit-parit
menjadi kering, dan rerumputan tumbuh dengan liarnya.
“Keadaan ini harus segera
diakhiri,” desis Pandan Wangi, “Parit-parit harus segera mengalir dan
sawah-sawah harus ditanami. Kalau keadaan ini berlarut-larut, maka bahaya
paceklik yang dahsyat tidak akan dapat dicegah lagi.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti kecemasan yang merayap gadis itu. Sebagai anak
satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang masih dapat diharap, maka
Pandan Wangi sudah sewajarnya untuk langsung berbicara tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas tanahnya.
Tetapi hal itu ternyata kurang
menarik perhatian Gupita. Angan-angannya selalu dipenuhi oleh kalimat-kalimat
yang akan disampaikannya kepada Pandan Wangi, atas nama adik seperguruannya.
“Menoreh memang memerlukan
setiap tenaga yang ada,” berkata Pandan Wangi. Dan Gupita pun hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Kenapa kau diam saja?”
bertanya Pandan Wangi. Baginya Gupita bukannya seorang pendiam. Meskipun tidak
sebanyak Gupala namun anak muda ini dapat juga berbicara tentang berbagai macam
masalah. Tentang sawah, tanaman, ternak dan bahkan sampai ke jalan-jalan yang
silang-menyilang di atas Tanah perdikan ini.
“Aku sedang berpikir tentang
adik sepupumu,” jawab Gupita.
“Kita akan segera melihat,
apakah ia ada di rumahnya.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ia masih terlampau muda.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi.
“Ia masih agak lebih muda dari
Gupala.”
“Ya. Aku kira jaraknya ada
beberapa tahun.”
“Ya. Apalagi Gupala sekarang.
Ia sudah menjadi semakin dewasa.”
“Kenapa sekarang?” bertanya
Pandan Wangi.
“Ada perubahan yang terjadi
atas dirinya selama ia berada di atas Tanah Perdikan ini.”
“Apa?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Ia sudah mendapat jalan untuk mengatakannya. Tetapi tiba-tiba saja
terasa lehernya seakan-akan tersumbat.
“Perubahan apa yang sudah
terjadi pada adikmu itu?” Pandan Wangi mendesak.
Tetapi Gupita menggelengkan
kepalanya, “Aku hanya menduga-duga saja.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia merasakan bahwa tidak seluruh perasaan Gupita dituangkannya.
Sesuatu pasti masih tersimpan di dalam hatinya.
Namun Pandan Wangi tidak
bertanya lagi. Dibiarkannya Gupita menemukan kesempatan untuk mengatakan yang
masih bersisa di dalam hatinya.
Meskipun demikian terasa juga
jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Betapa ia ingin mengusir getar
yang menyentuh-nyentuh batinnya, namun setiap kali terasa sesuatu telah
mengguncang isi dadanya.
Pandan Wangi terperanjat
ketika tiba-tiba saja Gupita bertanya, “Apakah rumah pamanmu masih jauh?”
Pandan Wangi tergagap. Dengan
serta-merta ia menjawab, “Ya. Masih cukup jauh.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dilontarkannya pandangan matanya ke persawahan di sekitarnya.
Persawahan yang tidak terpelihara.
Tetapi setiap kali ia ingin
menyampaikan pesan Gupala terasa lehernya seakan-akan tersumbat. Bahkan
kalimat-kalimat yang sudah disusunnya rapi, menjadi pecah berserakan seperti
awan dihembus angin yang kencang.
“Kalau aku memang tidak
berkepentingan apa pun, kenapa aku menjadi begitu bodoh dan pengecut,” ia
mencoba memaksa dirinya untuk segera sampai pada persoalannya. Namun mulutnya
serasa benar-benar terkunci, sehingga yang dapat dilakukan hanyalah sekedar
menelan ludahnya.
“Kita masih akan melampaui dua
bulak panjang,” berkata Pandan Wangi.
“O,” Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dengan kuda, jarak itu tidak akan
terlampau lama dilampaui.
Dalam pada itu, ia berkata
kepada dirinya sendiri, “Ternyata aku masih belum siap benar-benar. Biarlah,
nanti setelah kami kembali dari rumah Ki Argajaya.”
Kuda-kuda itu pun kemudian
berpacu semakin cepat. Padukuhan yang berada di depan mereka sudah menjadi
semakin dekat, sehingga sejenak kemudian mereka telah sampai ke mulut lorong
yang memasuki padukuhan itu.
Seorang peronda yang berada di
gardu di regol padukuhan itu pun berdiri, sedang kawannya yang lain yang
bertugas di luar regol sudah lebih dahulu merundukkan tombaknya.
Tetapi ketika mereka melihat
bahwa yang berkuda itu adalah Pandan Wangi, maka mereka pun kemudian menepi.
Meskipun demikian petugas yang berdiri di luar regol itu masih bertanya,
“Kemanakah kau akan pergi?”
“Aku hanya sekedar
melihat-lihat,” jawab Pandan Wangi.
“Hati-hatilah,” berkata
penjaga itu, “keadaan masih belum cukup baik. Satu-dua orang dari mereka, masih
saja melakukan pengacauan dalam keputus-asaan.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab,
orang yang lain telah berkata, “Sebaiknya kalian singgah di sini saja. Kalian
akan mendapatkan apa saja yang kalian inginkan. Degan kambil ijo, buah-buahan
yang lain, sawo, duku dan salak? Di sini kalian tinggal mengambil langsung dari
pohonnya.”
Pandan Wangi tersenyum.
Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi aku akan meneruskan perjalanan.”
“Memang berbahaya.
Kadang-kadang orang-orang yang tidak terduga-duga muncul dari balik
gerumbul-gerumbul. Itu akan membahayakan.”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah Gupita yang menegang. Namun kemudian ia berkata,
“Kami akan berhati-hati. Dan kami memang tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Kau tahu,” berkata penjaga
itu, “padukuhan di seberang bulak itu adalah padukuhan Ki Argajaya. Banyak
orang di sekitar rumahnya yang masih tetap setia kepadanya. Dalam keadaan
sehari-hari mereka tampaknya sudah benar-benar menyerah, dan tidak akan berbuat
apa pun. Namun sudah tiga orang di antara kita yang hilang. Benar-benar hilang
tidak berbekas. Bahkan seorang penghubung Ki Argapati pun pernah hilang pula di
sekitar padukuhan itu.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Ki Samekta pernah
datang ke padukuhan itu dengan sepasukan pengawal. Tetapi kita tidak menemukan
apa-apa selain rumah-rumah yang kotor dan tua, petani-petani miskin yang
ketakutan dan anak-anak muda yang kehilangan pegangan.”
Buku 048
Pandan Wangi tidak segera
menjawab.
“Nah,” berkata pengawal itu,
“kalian pasti tahu, apakah artinya semua itu.”
Hampir bersamaan Gupita dan
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Terdengar suara Pandan Wangi lirih,
“Mereka telah meluluhkan diri dengan rakyat yang barangkali memang tidak
bersalah. Tetapi untuk menemukan mereka di antara sekian banyak orang memang
merupakan pekerjaan yang sulit. Apalagi kalau tetangga-tetangga mereka tidak
ada yang berani turun tangan, bahkan tidak berani melaporkannya kepada yang
berkewajiban.”
“Ya,” berkata pengawal itu,
“namun dalam keadaan yang menguntungkan bagi mereka, tiba-tiba saja mereka
menyergap.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia menyadari benar-benar bahwa memang tidak mudah membangun
Tanah Perdikan yang benar-benar sudah menjadi abu ini. Mungkin dalam waktu yang
terhitung tidak terlampau lama, rumah-rumah yang rusak, regol-regol padukuhan
yang terbakar, parit-parit dan sawah-sawah dapat segera diperbaiki. Tetapi
keutuhan dan kebulatan hati rakyatnya, pasti akan memerlukan waktu yang lama
untuk memulihkan kembali. Dendam sudah terlanjur ditaburkan karena kematian
demi kematian di peperangan. Kematian sanak-kadang, adik, suami dan kekasih
tidak akan mudah dilupakan. Sedang mereka mempunyai sasaran yang tepat untuk
menjatuhkan tuduhan, siapakah yang sudah membunuh orang-orang yang mereka kasihi
itu.
Dengan demikian sejenak Pandan
Wangi berdiam diri, seakan-akan membeku di atas punggung kudanya. Tetapi darah
Argapati yang mengalir di dalam dirinya, justru selalu mendorongnya untuk
berjalan terus.
Sebagai seorang putri Kepala
Tanah Perdikan maka Pandan Wangi justru merasa bertanggung jawab untuk melihat,
apakah yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu. Karena itu maka ia pun
bertanya, “Bukankah di padukuhan itu ada juga beberapa orang pengawal?”
“Ya, sepasukan kecil pengawal
telah ditempatkan di padukuhan itu,” jawab pengawal itu.
“Nah, apa lagi yang
dicemaskan.”
“Di sepanjang bulak dapat saja
sesuatu terjadi dengan tiba-tiba. Mungkin di pategalan dan di padukuhan kecil
di tengah-tengah bulak itu. Meskipun padukuhan itu hampir tidak pernah
diperhitungkan, namun kadang-kadang justru bahaya bersembunyi di sana.”
Dada Pandan Wangi berdesir
ketika ia mendengar padukuhan kecil dan pategalan di tengah bulak panjang itu.
Terkenang olehnya beberapa orang laki-laki yang mencegatnya dan hampir saja menjerumuskannya
ke dalam bencana yang tidak terkirakan.
Tetapi kini ia tidak seorang
diri. Apalagi ia yakin, bahwa beberapa orang peronda akan selalu hilir-mudik
dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.
Dengan demikian maka Pandan
Wangi itu pun berkata, “Aku perhatikan peringatanmu. Tetapi kami berdua akan
berjalan terus. Kami akan melihat-lihat apa yang kini ada di atas reruntuhan
Tanah yang harus kita bangun kembali ini.”
Pengawal itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhak melarangnya. Ia sudah mencoba
memperingatkan bahaya yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan. Tetapi
keduanya agaknya tetap pada pendirian mereka.
Karena itu, para pengawal
hanya dapat menundukkan kepala mereka ketika kuda-kuda itu meneruskan
perjalanannya.
“Kami akan berhati-hati,”
berkata Pandan Wangi.
Maka keduanya pun kemudian
meninggalkan regol itu, masuk ke dalam padukuhan yang sedang besarnya. Tetapi
jalan itu tidak membelah padukuhan itu di tengah-tengah. Beberapa jalur jalan
kecil menyusup ke setiap penjuru. Tetapi jalan induk itu segera berbelok dan
meninggalkan padukuhan itu, membujur di tengah-tengah bulak yang panjang,
meskipun ada juga pategalan dan sebuah padukuhan kecil yang seperti sebuah
pulau menjorok di tengah-tengah lautan yang luas, beberapa puluh langkah dari
jalan itu.
Sejenak keduanya saling
berdiam diri. Mereka sedang menilai jalan yang terbentang di hadapan mereka.
Panjang sekali.
Memang kemungkinan seperti
yang dikatakan oleh para pengawal itu dapat saja terjadi. Dari gerumbul-gerumbul
liar yang tumbuh di pematang sawah yang tidak terpelihara, memang mungkin
datang serangan-serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang berputus asa,
yang hanya sekedar ingin melepaskan dendam tanpa tujuan. Mereka merasa bahwa
mereka tidak akan lagi dapat hidup di atas Tanah Perdikan ini. Seolah-olah di
atas Tanah ini sudah tidak ada lagi tempat untuk berdiri.
Orang-orang yang demikianlah
yang sebenarnya berbahaya. Orang-orang yang berbuat tanpa tujuan dan
pertimbangan apa pun.
Karena itu, maka keduanya
memang harus berhati-hati. Mereka harus memperhatikan setiap gerumbul di
pinggir jalan. Mereka harus memperhatikan setiap gerak di sebelah-menyebelah di
antara tanaman-tanaman yang tidak terpelihara.
Tetapi kuda-kuda mereka
berlari terus dengan kencangnya. Bagaimanapun juga mereka menyadari bahaya yang
dapat menerkam mereka, namun keduanya adalah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Semakin lama mereka pun
menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju. Sekali-sekali mereka
berpaling memandang debu yang mengepul di belakang kaki-kaki kuda mereka, namun
jalan itu memang sepi.
“Tempat yang baik untuk
melepaskan dendam,” tiba-tiba terdengar Gupita berkata.
Pandan Wangi berpaling,”Kenapa
baik?” ia bertanya.
“Orang-orang yang bermaksud
jahat dapat melihat, apakah ada peronda yang lewat atau tidak,” jawab Gupita.
“Jalan ini terlampau panjang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang orang-orang yang bermaksud jahat dapat
memperhitungkan, apakah perbuatannya akan diketahui oleh para peronda atau
tidak. Apabila mereka melihat di kejauhan kepul debu, maka mereka akan segera
berlari dan bersembunyi.
“Kita memang harus
berhati-hati,” desis Pandan Wangi. Namun sampai pertengahan bulak yang panjang
itu mereka tidak mendapat gangguan apa pun. Sebentar lagi mereka akan melampaui
simpang tiga yang berbelok ke padukuhan kecil di tengah-tengah bulak yang
disambung oleh sebuah pategalan. Dengan demikian mereka menjadi semakin
berwaspada. Dapat saja seseorang meloncat dari dalam parit sambil mengayunkan
pedangnya, kemudian berlari menghilang di padukuhan kecil itu. Mungkin orang
itu akan terus masuk ke dalam pategalan dan berlari ke seberang. Tetapi mungkin
juga, mereka bersembunyi di sudut-sudut yang tidak tersentuh tangan di dalam
padukuhan itu, sedang orang-orang di sekitarnya tidak berani menunjukkannya
karena ancaman senjata.
Tetapi keduanya kemudian
melampaui simpang tiga tanpa ada kesulitan apa pun. Tidak ada seseorang yang
menyerang mereka. Bahkan tidak ada tanda yang mencurigakan sama sekali.
Dengan demikian mereka memacu
kuda-kuda mereka semakin cepat. Padukuhan yang mereka tuju pun menjadi semakin
dekat, sehingga tanpa mereka sadari, bulak yang panjang itu telah hampir
selurhhnya berada di belakang mereka.
“Kita telah sampai,” tiba-tiba
saja Pandan Wangi berdesis.
Gupita mengerutkan keningnya.
Di hadapan mereka adalah sebuah regol padukuhan. Beberapa orang pengawal
berdiri di sebelah-menyebelah jalan dengan senjata mereka masing-masing. Namun ketika
mereka ketahui, bahwa yang datang itu adalah Pandan Wangi dan Gupita, maka
mereka pun menarik nafas panjang-panjang.
Ketika keduanya telah berada
beberapa langkah saja di depan para pengawal, maka Pandan Wangi dan Gupita
segera menghentikan kuda mereka. Sambil memandang para pengawal seorang demi
seorang Pandan Wangi bertanya, “Bagaimanakah keadaan padukuhan ini?”
Seorang yang memimpin para
pengawal itu maju selangkah sambil menjawab, “Sampai hari ini tidak ada sesuatu
yang mencemaskan.”
“Apakah penduduk padukuhan ini
telah dapat ditenangkan, setelah Paman Argajaya tertangkap?”
“Sedikit demi sedikit. Tetapi
masih ada saja yang tidak berhasil kami jinakkan. Kadang-kadang masih juga ada
seorang pengawal yang tidak kembali ke pangkalan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan pengawal itu bertanya,
“Apakah kalian hanya berdua?”
“Ya.”
“Sangat berbahaya. Untung
kalian tidak menjumpai apa pun di perjalanan.”
Pandan Wangi dan Gupita
mengangguk-angguk.
“Kenapa kalian tidak membawa
pengawal?”
Pertanyaan itu memang
membingungkan Pandan Wangi. Dan ia pun bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa
tidak membawa pengawal?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa ia memang ingin berada
dalam perjalanan tanpa orang lain.
Sedang Gupita pun menjadi
berdebar-debar pula. Ia memang sangat berkepentingan bahwa tidak ada seorang
pengawal yang mengawani mereka berdua, karena ia memang mencari kesempatan
untuk menyampaikan perasaan Gupala.
“Kenapa?” desak pengawal itu.
“Kami tidak sengaja sampai ke
padukuhan ini,” jawab Pandan Wangi. Kami hanya sekedar melihat-lihat keadaan
Tanah Perdikan setelah perang selesai. Tetapi tanpa sesadar kami, kuda-kuda
kami telah membawa kami sampai ke tempat ini.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih bertanya lagi, “Kemanakah kalian akan pergi
kemudian?”
“Aku akan bertemu dengan
bibi,” sahut Pandan Wangi.
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya kemudian, “Sebaiknya kalian berkunjung saja ke tempat
lain.”
“Kenapa?”
“Kami belum dapat
membuktikannya. Tetapi sependengaran kami, kadang-kadang tempat itu
dipergunakan oleh orang-orang yang kini masih saja liar itu untuk bersembunyi
sehari dua hari, sebelum mereka merasa aman.”
“Apakah kalian tidak dapat
mencegahnya?”
“Kami sedang mencari bahan.
Tetapi kami sudah mempersiapkan perangkap bagi mereka.”
“Aku akan pergi ke rumah itu.
Apakah kau tahu, bahwa putra Paman Argajaya ada di rumah?”
Pengawal itu menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak tahu. Tetapi aku belum pernah melihatnya.”
“Mungkin anak itu memang
bersembunyi. Biarlah aku melihatnya.”
“Itu sangat berbahaya.”
“Mungkin aku dapat
mendekatinya dengan cara lain. Aku adalah saudara sepupunya.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudan ia berkata, “Ki Argajaya bukan sekedar saudara sepupu
Ki Argapati, tetapi keduanya adalah kakak-beradik seayah-ibu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian niatnya sama sekali tidak
mereda. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan
aku berhasil. Setidak-tidaknya aku dapat memberitahukan kepada bibi, agar ia
tidak terus-menerus dicengkam oleh kecemasan dan ketakutan, justru karena
pengikut paman yang putus asa itu selalu mengganggunya.”
Pengawal itu menarik nafas
panjang-panjang. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku sudah mencoba mencegah. Tetapi
kalau kalian tetap ingin memasuki rumah itu, aku akan nenyediakan empat atau
lima orang pengawal.”
“Jangan,” Pandan Wangi menolak
dengan serta-merta. “Kedatangan kami bersama beberapa orang pengawal akan
berkesan kurang baik. Kesan permusuhan akan membayangi pertemuan itu. Biarlah
kami berdua memasuki halaman rumah paman.” Pandan Wangi berhenti sejenak, namun
kemudian, “Tetapi aku tidak berkeberatan apabila kalian mengawasi keadaan di
luar halaman. Meski pun demikian jangan terlampau dekat. Dan jangan menampakkan
diri dalam kesiagaan, seakan-akan kalian memang mengepung rumah itu.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.”
Pandan Wangi dan Gupita pun
segera melanjutkan perjalanan mereka, memasuki padukuhan itu, menuju ke rumah
Argajaya. Rumah yang terletak hampir di tengah-tengah padukuhan. Rumah yang
besar dan berhalaman luas, meskipun tidak sebesar rumah Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi dan Gupita,
maka beberapa orang pengawal pun segera dipersiapkan. Lima orang bersama
pemimpin pengawal itu sendiri, diam-diam menyelusur jalan-jalan sempit
mendekati halaman rumah Ki Argajaya. Mereka tetap mencemasksn nasib Pandan
Wangi dan Gupita, karena rumah itu sampai saat terakhir memang masih merupakan
teka-teki yang belum terpecahkan. Meskipun sekali dua kali para pengawal pernah
memasuki rumah itu dengan tiba-tiba, namun mereka sama sekali tidak menemukan
apa pun, selain caci-maki dan umpatan-umpatan dari seluruh penghuninya. Bahkan
Nyai Argajaya pun marah bukun kepalang. Sambil menuding-nuding pemimpin
pengawal ia mengumpat tidak habis-habisnya.
Pemimpin pengawal itu mengira
bahwa ada tempat-tempat persembunyian rahasia yang tidak dapat mereka ketemukan
di halaman rumah itu.
Pandan Wangi dan Gupita
menghentikan kudanya ketika mereka sampai di muka regol halaman. Keduanya
berpandangan sejenak, kemudian Pandan Wangi berbisik, “Inilah rumah itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tidak dapat menghindari lagi. Sebenarnya ia sama sekali
tidak ingin memasuki halaman rumah itu. Ia hanya ingin mendapat kesempatan
menyampaikan pesan Gupala kepada Pandan Wangi. Tetapi akhirnya ia harus berdiri
di hadapan rumah Ki Argajaya.
Kalau putra Ki Argajaya itu
ada di dalam halaman itu, kemudian bersedia mereka bawa menghadap Ki Argapati,
maka kesempatannya untuk berbicara dengan Pandan Wangi akan lepas lagi, dan
Gupala pun pasti akan mengumpat-umpatnya pula.
Dengan demikian Gupita menjadi
ragu-ragu. Apakah dengan demikian ia tidak berbuat kekeliruan, sehingga
persoalan Gupala masih harus tertunda lagi.
Pandan Wangi yang tidak
mengerti, apa yang bergejolak di dalam dada Gupita berkata, “Apakah kau melihat
sesuatu yang mencurigakan?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
Ia kini menyadari keadaannya. Mau tidak mau ia harus memasuiki rumah yang ada
di hadapannya.
Tetapi ketika ia memandangi
halaman yang berada di belakang regol yang terbuka itu, memang terasa,
seakan-akan halaman rumah tu menyimpan suatu rahasia yang tidak mudah
dipecahkan. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin hanya sekedar prasangka.
Meskipun demikian kita memang harus berhati-hati.”
“Baklah,” jawab Pandan Wangi,
“marilah kita memasuki rumah itu. Mudah-mudahan bibi dapat menerima
kedatanganku.”
Gupita menganggukkan
kepalanya.
Keduanya pun kemudian meloncat
turun. Mereka menuntun kuda masing-masing memasuki regol halaman. Pandan Wangi
berjalan di depan, kemudian tiga-empat langkah di belakangnya Gupita berjalan
sambil mengawasi keadaan.
Halaman rumah itu memang
terasa terlampau sepi. Bahkan dedaunan pun sama sekali tidak ada yang bergetar.
Dalam kebimbangan, Pandan
Wangi dan Gupita kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon perdu
di halaman. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian, mereka
mengedarkan tatapan mata mereka ke seluruh sudut. Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
“Marilah kita naik ke pendapa”
ajak Pandan Wangi.
Gupita tidak menjawab, tetapi
kepalanya terangguk ragu.
Keduanya pun kemudian naik ke
pendapa dengan hati-hati. Mereka memandang daun pintu yang tertutup itu dengan
tajamnya, seolah-olah ingin melihat apa yang tersembunyi di dalamnya.
Memang mungkin sekali terjadi,
apabila pintu itu dengan tiba-tiba terbuka, ujung senjata terjulur lurus-lurus
ke dada mereka. Mungkin hanya sepucuk, tetapi mungkin tiga atau empat atau
bahkan sepuluh pucuk senjata.
Tetapi pintu itu tidak juga
terbuka, bahkan ketika mereka telah berdiri terlampau dekat.
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Aku akan mengetuk pintu ini.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia pun maju selangkah dan berdiri hampir merapat dinding, di
sebelah pintu itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Ternyata Gupita cukup
berhati-hati meskipun sama sekali tidak terdengar sesuatu di balik pintu itu
Perlahan-lahan Pandan Wangi
mengetuk pintu pringgitan yang tertutup rapat. Namun terasa bahwa jari-jari
tangannya agak gemetar.
Ia sudah mengenal rumah itu
seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Ia sudah terlampau sering datang sejak ia
masih kanak-kanak, bermain-main dengan paman dan bibinya. Pohon jambu di sudut
halaman, pohon kanci yang besar dan pohon sawo kecik di muka pendapa itu pun
sudah dikenalnya baik-baik. Ia sudah terlampau sering makan buah jambu dan sawo
kecik di halaman itu.
Namun kini semuanya terasa
sangat asing.
Ternyata ketukan pintu tidak
segera terjawab, sehingga Pandan Wangi mengulanginya sekali lagi agak lebih
keras.
Dengan dada yang berdebar
mereka pun kemudian mendengar langkah seseorang mendekat pintu. Kemudian
terdengar pula seseorang bertanya, “Siapa di luar?”
Pandan Wangi segera mengenal,
bahwa suara itu adalah suara bibinya. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku,
aku, Bibi.”
Sejenak tidak terdengar
sesuatu di dalam rumah itu. Namun kemudian langkah itu pun mendekat lagi. Kini
mereka mendengar daun pintu itu berderit.
Sejenak kemudian pintu itu pun
terbuka. Seorang perempun berdiri tegak di muka pintu. Seorang perempuan dengan
pakaian dan rambut yang kusut, muka yang pucat dan mata kemerah-merahan oleh
tangis.
Perempuan itu terbelalak
ketika ia melihat Pandan Wangi berdiri di luar pintu. Sejenak ia berdiri tegak
dengan dada yang berdebar-debar.
“Bibi, aku datang Bibi.”
Tetapi alangkah terperanjat
Pandan Wangi ketika tiba-tiba ia melihat perempuan itu menudingnya sambil
berkata lantang hampir berteriak, “He, betina tidak tahu diri! Kenapa kau
kemari, he? Apakah kau masih belum puas? Ayahmu sudah mencelakakan suamiku,
adiknya sendiri, adik kandungnya. Sekarang kau datang membawa pedang dan
seorang pengkhianat. Apakah kau ingin membunuh aku, he? Ayo, bunuhlah aku sama
sekali. Bunuh aku.”
Perempuan itu kemudian berdiri
bertolak pinggang. Matanya seakan-akan memancarkan api yang menyala di dadanya.
Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga Pandan Wangi surut selangkah.
“Bibi,” desis Pandan Wangi.
“Kau tdak usah memanggil aku
bibi. Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang tarik pedangmu dan tusukkan di dada
ini.”
Pandan Wangi justru berdiri
mematung. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah sambutan yang
diterimanya dari bibinya, yang dikenalnya sebagai seorang yang ramah dan baik.
Seorang yang terlampau dekat dengan dirinya dan seluruh keluarganya.
Karena itu maka Pandan Wangi
masih saja berdiri mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan
keadaan yang sama sekali tidak diduganya lebih dahulu.
Sedang bibinya masih saja
menunjuk wajahnya sambil berkata, “Kenapa kau diam saja? Ayo bunuh aku. Rumah
ini bagiku tidak lebih dari neraka yang paling jahanam. Suamiku telah difitnah
orang, anakku laki-laki hilang sampai saat ini. Setiap kali rumah ini dibongkar
oleh berandal-berandal yang tidak tahu diri itu. Dan sekarang kaulah yang
datang ke rumah ini. Apakah kau mau membongkar rumahku pula? Dan merampok
sisa-sisa milikku yang masih ada?”
Pandan Wangi tidak segera
dapat menjawab. Bibinya sudah benar-benar menjadi orang lain.
“Ayo cepat, lakukan yang kau
ingini? Bukankah kau disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya. Sekilas dipandangnya Gupita
yang berdiri termangu-mangu.
“Bibi,” berkata Pandan Wangi
kemudian, “tidak ada seorang pun yang menyuruh aku kemari.”
“Jadi, kau datang kemari atas
kehendakmu sendiri? Kalau demikian kau akan membunuh aku atas keinginanmu?”
“Tidak, Bibi. Aku sama sekali
tidak ingin berbuat demikian.”
“Bohong! Ayo cepat lakukan.
Aku memang sudah jemu mengalami keadaan yang paling menyakitkan hati. Orang
yang sebelumnya setiap hari datang minta sesuap nasi kepadaku untuk dirinya
sendiri, untuk anak-anaknya, dan untuk seluruh keluarganya, orang yang setiap
kali datang meminjam segala macam kebutuhan hidup, orang yang menggantungkan
hidup keluarganya pada pekerjaan yang kuberikan, tiba-tiba saja sudah memfitnah
suamiku. Kini suamiku menjadi korban bersama-sama dengan kemanakannya, Sidanti,
dan anaknya sendiri. Anakku. Ternyata aku kini hidup dalam sarang serigala yang
liar dan buas. Yang tidak lagi mengenal kebaikan hati dan peradaban.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Kini nafasnya sudah menjadi semakin teratur dan perasaannya tidak
lagi bergejolak tidak menentu. Ia sudah semakin mapan menanggapi sikap bibinya.
Karena itu, maka katanya, “Bibi, kita semua menyesal atas apa yang sudah
terjadi. Kini ayah sedang terluka parah. Bahkan bangun pun ayah sama sekali
tidak mampu.”
“Itu adalah karena salahnya
sendiri.”
“Mungkin, Bibi. Mungkin ayah
sudah bersalah. Tetapi yang melukai ayah itu adalah orang yang pernah melukai
hatinya beberapa puluh tahun yang lampau.”
“Omong kosong! Seandainya
benar demikian, dendamnya, sudah membakar Tanah Perdikan ini. Adiknya, anaknya,
kemanakannya dan semua orang di atas Tanah Perdikan ini harus mengalami akibat
yang paling pahit.”
“Bibi,” jawab Pandan Wangi,
“tidak seorang pun yang menghendaki hal itu terjadi. Ayah, paman, Kakang
Sidanti, aku, dan juga Bibi. Tetapi tanpa dapat dicegah lagi, api sudah
menjalar di seluruh Tanah Perdikan ini.”
“Ayahmulah sumber dari bencana
ini.”
“Mungkin orang lain
menganggapnya demikian, Bibi. Tetapi, ayah adalah orang yang paling menyesalkan
kejadian ini. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Berapa puluh tahun ayah
merintis Tanah ini sehingga menjadi sebuah Tanah Perdikan yang baik. Sudah
tentu, bukan maksud ayah untuk menghancurkan Tanah ini seperti apa yeng terjadi
sekarang. Kalau ayah dianggap bersalah, kesalahan ayah adalah menyerahkan
Kakang Sidanti kepada Ki Tambak Wedi. Apakah Bibi mengetahui siapakah Ki Tambak
Wedi itu?”
Nyai Argajaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak peduli siapakah orang yang
bernama Ki Tambak Wedi. Aku tidak peduli siapa pun. Tetapi keluargaku kini
sudah hancur. Hancur sama sekali. Karena itu, kalau kau akan membunuh aku,
bunuhlah.”
Pandan Wangi menjadi agak
bingung kembali menanggapi sikap bibinya. Bibinya seolah-olah sudah tidak mau
mendengar apa pun lagi. Ia menjadi demikian berputus asa sehingga hari-hari
mendatang adalah hari-hari yang gelap baginya.
Dalam pada itu, tiba-tiba
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Bibi. Aku
mengharap bibi dapat mendengarkan kata-kataku. Aku datang kemari karena aku
diutus oleh Paman Argajaya.”
“He?” mata bibinya seakan-akan
menjadi terbelalak karenanya. Namun kemudian, “Omong kosong! Kau juga sudah
pandai berbohong. Aku tidak mau kau bohongi lagi.”
“Tidak, Bibi, aku tidak
berbohong,” jawab Pandan Wangi. “Paman kini berada di rumahku, Bibi.”
“Aku sudah tahu, Kakang
Argajaya sekarang sudah ditangkap dan sebentar lagi ia harus digantung.”
Perempuan itu berhenti sejenak, lalu suaranya tiba-tiba meninggi, “Katakan!
Katakan kepada ayahmu, bahwa aku harus digantungnya pula bersama Ki Argajaya.
Mengerti?”
Tetapi Pandan Wangi
mnggelengkan kepalanya. “Paman tidak akan dihukum apa pun, karena ayah tahu,
apa yang terjadi bukan semata-mata kesalahan paman.”
Nyai Argajaya mengerutkan
keningnya.
“Paman Argajaya adalah
satu-satunya saudara sekandung ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian, lalu “dan
sekarang aku telah diutus oleh paman melihat-lihat keadaan rumah ini. Terutama
putra paman.”
Nyai Argajaya tidak segera
menjawab.
“Bibi jangan terlampau
berprasangka. Kalau ayah ingin melakukan tindakan kekerasan, bukan akulah yang
akan datang kemari. Aku adalah manusia yang mempunyai kenangan dan cita-cita.
Apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Bibi yang begitu baik terhadapku sebelum
terjadi sesuau? Di rumah ini aku merasa seperti di rumah sendiri. Sepeninggal
ibu, Bibi adalah ibuku.”
Nyai Argajaya masih tetap
berdiam diri. Ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh.
Kadang-kadang dari sepasang mata perempuan itu memancar kebencian yang tidak
ada taranya. Namun mata itu kemudian redup seolah-olah padam sama sekali.
“Bibi,” desis Pandan Wangi,
“apakah Bibi dapat mengerti? Apakah Bibi masih dapat mengenal aku sebagai
Pandan Wangi yang sering benar berada di rumah ini sebelum terjadi kekisruhan
di atas Tanah Perdikan ini?”
Nyai Argajaya masih tetap
berdiam diri.
“Bibi, ayah sama sekali tidak
bermakud jelek. Terhadap Bibi maupun terhadap paman. Ayah masih memerlukan
setiap tenaga yang ada untuk membangun Tanah yang sekarang sudah menjadi abu
ini. Anggaplah bahwa yang sudah terjadi itu akibat dari kesalahan kita
bersama.”
Tidak sepatah kata pun yang
terucapkan. Nyai Argajaya kini berdiri sambil merenung. Kadang-kadang
dipandanginya wajah Pandan Wangi, namun kadang-kadang tatapan matanya terlontar
jauh menerawang ke dunia angan-angan dan kenangan.
“Bibi,” desis Pandan Wangi
kemudian, “percayalah. Aku masih Pandan Wangi yang dahulu. Aku datang
mengunjungi Bibi seperti dahulu aku bermain di rumah ini.”
Pandan Wangi kemudian melihat
mata Nyai Argajaya menjadi basah. Sekali-sekali perempuan itu berpaling
memandang Gupita yang berdiri termangu-mangu. Kemudian dipandanginya sepasang
pedang di lambung Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang mengikuti
tatapan mata bibinya seolah-olah dapat mengerti apa yang tersirat di dalam hati
perempuan itu. Karena itu maka katanya, “Adalah karena keadaan yang tidak
menentu di sepanjang jalan maka aku membawa senjata ini, Bibi. Aku memang
pernah mendapat pengalaman pahit pada saat permulaan Tanah ini mulai kemelut.
Pada saat aku ingin berkunjung kemari, aku telah dicegat oleh beberapa orang
laki-laki tidak dikenal. Untunglah bahwa saat itu Paman Argajaya menolong aku.
Kalau tidak maka aku tidak akan dapat membayangkan aya yang terjadi atasku.”
Tiba-tiba Nyai Argajaya
mengangkat wajahnya dan bertanya, “Pamanmu yang telah menolongmu?”
“Ya, Bibi.”
“Siapakah laki-laki itu?”
“Aku tidak tahu, Bibi. Mereka
adalah laki-laki yang tidak dikenal di Tanah Perdikan ini.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ternyata bahwa air matanya menjadi semakin banyak
mengambang di matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berdesis, “Aku memang sudah
mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku tidak berhasil.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
Dengan serta-meta ia bertanya, “Apakah yang pernah Bibi cegah?”
“Aku pernah mencegah pamanmu
menghubungi orang-orang yang tidak mengenal peradaban itu. Kehadiran Ki Tambak
Wedi di rumah ini memang menumbuhkan kecemasan di dalam hatiku.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Agaknya ia telah berhasil mengungkap perasaan bibinya yang
sebenarnya. Sehingga karena itu maka katanya, “Ya, Bibi. Aku mengerti, bahwa
Bibi adalah Bibi yang aku kenal itu. Bibi yang mengerti banyak masalah yang
dapat tumbuh di atas Tanah Perdikan ini. Bukankah Bibi juga yang pernah
berceritera kepadaku, tentang lidi dan sapu lidi? Bukankah Bibi juga yang
berceritera kepadaku bahwa jari-jari tangan ini satu demi satu tidak banyak
berarti, tetapi apabila lima bersama-sama, maka artinya akan besar sekali?”
Nyai Argajaya terdiam sejenak.
“Bibi,” Pandan Wangi kini maju
selangkah, “aku itulah yang kini datang kepada Bibi.”
Sejenak Nyai Argajaya berdiri
mematung. Ditatapnya mata Pandan Wangi tajam-tajam. Namun sejenak kemudian ia
meloncat memeluk gadis itu. Meledaklah perasaannya yang selama ini tertekan di
dalam dadanya, sehingga rasa-rasanya dada itu akan pecah. Tidak ada seorang pun
yang dapat dibawanya berbincang di dalam rumah ini, apalagi sekali-sekali
jiwanya yang risau itu masih juga digoncang-goncang oleh ketakutan dan
kecemasan karena para pengawal yang memeriksa seisi rumahnya, mencari
orang-orang yang mereka sangka bersembunyi di dalam rumah itu.
“Pandan Wangi,” terdengar
suara perempuan itu di sela-sela tangisnya, “kau tidak disuruh oleh ayahmu
membunuh aku?”
Mata Pandan Wangi pun menjadi
basah pula. Meski pun tenggorokannya terasa tersumbat, namun ia menjawab,
“Tentu tidak, Bibi. Aku sengaja menengok Bibi sekaligus aku diutus oleb paman
Argajaya melihat apakah putra Bibi itu ada di rumah.”
Tangis Nyai Argajaya menjadi
semakin keras.
“Sudahlah, Bibi,” Pandan Wangi
mencoba menenteramkan hati bibinya, “tidak ada yang perlu ditangiskan. Semuanya
memang harus terjadi demikian. Yang penting kini, bagaimana masa-masa yang mendatang.”
“Masa yang mendatang itu
terlampau gelap bagiku, Pandan Wangi. Aku menyadari betapa besar kesalahan
pamanmu dan adikmu. Sebenarnya aku tdak dapat ingkar. Sejak kehadiran Ki Tambak
Wedi di rumah ini bersama Sidanti, maka aku sudah membayangkan bahwa rumah
tangga kecilku ini dan rumah tangga besar Tanah Perdikan Menoreh akan guncang.
Itulah sebabnya aku sudah mencoba mencegah pamanmu. Tetapi seperti kau ketahui,
Wangi, pamanmu adalah seorang yang keras hati. Ia tidak segera dapat menerima
pikiran orang lain, sehingga akhirnya ia sendiri terperosok ke dalam keadaan
seperti sekarang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, ia berbisik, “Bibi, apakah tidak
mempersilahkan aku dan kawanku masuk ke dalam?”
“O, tentu Wangi. Tentu,” jawab
Nyai Argajaya sambil melepaskan pelukannya. Namun titik air di matanya masih
juga melelah di pipinya. Dengan pandangan ragu, Nyai Argajaya menatap wajah
Gupita yang termanu-mangu.
Pandan Wangi menangkap
keragu-raguan yang tumbuh di dalam hati bibinya. Agaknya bibinya memang belum
pernah melihat anak muda itu. Karena itu maka Pandan Wangi berkata, “Anak muda
itu namanya Gupita, Bibi. Ia adalah seorang gembala menurut pengakuannya.”
“Kenapa menurut pengakuannya?”
bertanya Nyai Argajaya.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Ya, ia memang seorang gembala. Tetapi
ia mendapat kepercayaan ayah. Karena itu, maka kali ini ia harus mengantarkan
aku menghadap Bibi, justru karena keadaan yang masih belum tenang benar.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian, “Silahkan masuk.”
Keduanya pun kemudian masuk ke
dalam pringgitan yang agak luas. Tetapi pringgitan itu hampir tidak terpelihara
lagi. Dahulu, apabila Pandan Wangi datang ke rumah itu, ia selalu merasakan
tangan-tangan bibinya yang mengatur setiap sudut rumah ini dengan tertib.
Tetapi sekarang yang dilihatnya adalah sarang laba-laba yang tersangkut pada
dinding dan langit-langit.
“Aku tidak sempat lagi
melakukan apa pun juga,” desis bibinya, seolah-olah ia tahu apa yang terpercik
di dalam hati Pandan Wangi. “Bukan karena aku tidak mempunyai waktu, tetapi
hatiku sudah seolah-olah patah. Semuanya lepas dari rumah ini. Dan aku tidak
memerlukan apa-apa lagi.”
“Tidak, Bibi,” jawab Pandan
Wangi. “Semuanya masih dapat diharap.”
“Adikmu hilang bersama-sama
pasukan pamanmu yang tercerai-berai. Pamanmu tertangkap, sedang orang-orang
yang mendukungnya telah lenyap. Sidanti pun tidak lagi dapat berbuat apa-apa,
sepeninggal gurunya itu.”
“Kesalahpahaman ini akan
segera berakhir.”
“Apakah kau berkata
sebenarnya, Wangi.”
“Tentu, Bibi. Aku berkata
sebenarnya. Sejak Kakang Sidanti meninggalkan Ayah, maka akulah yang selalu
dibawanya berbicara. Aku adalah orang yang paling dekat, sehingga aku mengenal
benar-benar jalan pikiran Ayah. Itulah sebabnya aku mengetahui, bahwa
sebenarnya Ayah tidak menaruh dendam. Seseorang yang menyesali kesalahannya
sampai ke dasar hatinya, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu,
memang wajib diberi kesempatan.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ayahmu memang orang baik, Wangi. Menilik sifat-sifatnya, mungkin ia
berkata sebenarnya.”
“Aku yakin, Bibi.”
“Tetapi kadang-kadang aku
menjadi putus asa. Pamanmulah, yang terlampau keras hati.” Kepala perempuan itu
tiba-tiba menunduk. “Ayahmu juga keras hati.”
“Kadang-kadang, Bibi, tetapi
untuk mempertahankan keyakinan dan kepentingan harga dirinya pribadi. Tetapi
sebagai Kepala Tanah Perdikan, ayah dapat menimbang-nimbang. Apalagi kini Ayah
mendapat banyak kesempatan untuk menilai semua masalah yang dihadapi. Karena
luka-lukanya, sehingga Ayah mempergunakan seluruh waktunya untuk berbaring.
Dengan demikian Ayah tidak sekedar dikejar oleh kekecewaan semata-mata karena
Tanah yang selama ini dibinanya, telah menjadi abu. Tetapi Ayah sempat
memikirkan, bagaimana masa depan dari Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Nyai Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, Bibi, maka aku
telah datang kemari untuk mengunjungi Bibi dan membawa putra Bibi menghadap
Ayah. Ayah tidak akan menghukumnya. Dan terlebih-lebih lagi Paman memang
memerlukannya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya ketika ia melihat mata bibinya menjadi berkaca-kaca kembali. “Adikmu
tidak ada di rumah, Wangi. Sejak pertempuran di malam itu, ia seakan-akan
hilang dari padaku. Malam itu ia hanya singgah sejenak, mengambil beberapa
potong pakaian. Kemudan ia pergi lagi bersama beberapa orang yang sebagian dari
mereka tidak aku kenal.”
“Apakah anak itu tidak
mengatakan, kemana ia akan pergi?”
Bibinya menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian ia menggeleng. “Tidak, Wangi.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku benar-benar telah diutus oleh paman, Bibi. Paman
tentu akan sangat bersenang hati apabila aku dapat membawanya.”
Nyai Argajaya tidak segera
menjawab. Namun dada Gupita-lah yang menjadi berdebar-debar. Ia sependapat
dengan Pandan Wangi, seperti gurunya pernah berkata, bahw Ki Argajaya telah
minta agar putranya mendapat pengampunan, dan Ki Argapati sama sekali tidak
berkeberatan. Tetapi kalau anak itu dapat dibawanya bersama-sama saat ini, maka
ia akan kehilangan waktu.
“Hem,” Gupita berkata di dalam
hatinya, “ternyata aku telah dicengkam oleh masalah itu. Aku tidak sempat lagi
memikirkan persoalan lain lagi, kecuali persoalan Gupala.”
“Apakah bibi masih ragu-ragu?”
desak Pandan Wangi.
Tetapi Nyai Argajaya
menggeleng. “Tidak, Wangi. Aku tidak ragu-ragu. Tetapi aku benar-benar tidak
tahu kemanakah adikmu itu sekarang.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kadang-kadang aku, Ayah dan apalagi Paman,
menjadi cemas. Sangat cemas, bahwa anak itu akan terseret arus yang tidak
dikenalnya itu semakin lama semakin jauh. Kalau arus itu berbenturan dengan
kekuatan Menoreh yang tidak mengerti sama sekali tentang hubungan lain daripada
hubungan antara lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit.” Pandan
Wangi berhenti sejenak, lalu, “Bibi, Ayah sudah mengumumkan pengampunan umum.
Siapa pun yang menyesali perbuatannya dan menyerah, akan mendapat pengampunan,
meskipun mereka masih akan tetap mendapat pengawasan. Apalagi Paman, dan
orang-orang yang masih ada sangkut pautnya dalam hubungan darah seperti anak
itu.”
Tetapi yang dilihat oleh
Pandan Wangi adalah titik air mata dari mata bibinya. Suaranya menjadi parau,
“Menyesal sekali, Wangi. Anak itu seakan-akan telah hilang dari padaku.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya wajah bibinya tajam-tajam. Agaknya ia masih
ragu-ragu, apakah bibinya berkata sebenarnya, atau oleh kecurigaan, anak itu
dilindunginya, agar tidak diketahui di mana ia bersembunyi.
Namun oleh air mata bibinya
yang semakin deras, serta kepalanya yang semakin menunduk, Pandan Wangi
kemudian mempercayainya bahwa bibinya berkata dengan jujur, bahwa ia
benar-benar tidak tahu di mana anak laki-lakinya bersembunyi.
Dengan demikian maka sikap
Pandan Wangi pun kini berubah. Ia tidak berusaha membujuk bibinya lagi, agar ia
menunjukkan di mana anaknya berada, tetapi kini Pandan Wangi mencoba membujuk
bibinya agar menjadi tenang.
“Aku memang tidak
berpengharapan lagi,” berkata bibinya. “Apalagi setiap kali rumah ini
digeledah. Mereka juga mencari adikmu seperti kau. Bahkan mereka menyangka
rumah inii menjadi tempat persembunyian orang-orang yang berpihak pada pamanmu
dalam peperangan yang baru lalu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku akan berkata kepada mereka, Bibi, bahwa rumah ini sama
sekali tidak dipergunakan oleh orang-orang yang melawan Ayah waktu itu.”
“Hidupku sama sekali tidak
tenang, Wangi. Setiap kali aku selalu diguncang oleh kegelisahan.”
“Sejak sekarang Bibi dapat
menenangkan diri. Aku akan tetap membantu Ayah dan Paman untuk menemukan anak
nakal itu. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu.”
Nyai Argajaya tidak segera
menjawab.
“Sudah tentu bahwa aku akan
mencarinya sebagai seorang kakaknya, Bibi.”
Perlahan-lahan Nyai Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih, Wangi. Sejak peperangan itu,
baru sekarang aku dapat mempercayai seseorang. Aku mengenalmu baik-baik. Aku
percaya bahwa kau masih Pandan Wangi yang dulu.”
“Tentu, Bibi,” sahut Pandan
Wangi yang sejenak kemudian menatap wajah Gupita sambil mengangguk kecil. “Kita
kembali.”
Gupita pun mengangguk pula.
Pandan Wangi dan Gupita pun
segera minta diri setelah ia berjanji untuk mencegah para pengawal mengguncang-guncang
lagi hati perempuan yang malang itu.
Begitu Pandan Wangi dan Gupita
keluar dari regol halaman, mereka segera melihat beberapa sosok tubuh di
sela-sela gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di sana-sini. Sadarlah mereka
bahwa para pengawal yang mencemaskan nasib mereka, telah mengadakan pengawasan
sebaik-baiknya. Mereka siap bertindak apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Pandan Wangi dan Gupita
berpandangan sejenak. Kemudian terdengar Gupita berbisik, “Mereka adalah
pengawal-pengawal yang baik.”
“Terlau baik,” sahut Pandan
Wangi. Gupita terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Keduanya pun kemudian
meloncat ke punggung kuda masing-masing dan perlahan-lahan berjalan ke gardu di
mulut lorong.
Para pengawal yang
mengawasinya pun kemudian mengikuti mereka pula, untuk mendengar apa yang telah
mereka lihat di dalam rumah yang penuh dengan teka-teki itu.
Di gardu, Pandan Wangi dan
Gupta pun turun sejenak dari kuda-kuda mereka, untuk berbicara dengan para
pengawal di gardu itu.
“Aku tdak melihat apa pun yang
mencurigakan di rumah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Kami juga tidak melihat,”
berkata pemimpin pengawal. “Karena itulah kami menganggap bahwa ada
tempat-tempat rahasia yang tidak kami ketahui.”
“Kau salah,” jawab Pandan
Wangi kemudian. “Tidak ada tempat rahasia dan tidak ada orang-orang yang
bersembunyi di dalam rumah itu.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Sepintas lalu kita memang tdak melihat
apa pun. Agaknya sudah dua kali atau lebih aku memasuki rumah itu. Dan aku
memang tidak menemukan apa-apa. Tetapi setiap kali, sisa-sisa pasukan Tambak
Wedi masih berkeliaran di sekitar padukuhan itu. Bahkan seperti yang sudah
pernah aku katakan, satu-dua orang dari kami telah hilang. Apakah artinya ini?”
“Aku mengerti,” berkata Pandan
Wangi, “aku tidak menyangkal bahwa masih ada orang-orang yang berputus asa dan
berbuat apa pun tanpa tujuan, termasuk membunuh dan merampok. Tetapi mereka
tidak bersembunyi di rumah bibi. Aku sudah bertemu dengan Bibi. Dan aku percaya
bahwa Bibi berkata sebenarnya.”
Para pengawal itu saling
berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak segera dapat mempercayai keterangan
Pandan Wangi. Sehingga Pandan Wangi menjelaskan, “Putra Paman Argajaya itu pun
sudah lama tidak pulang. Bibi hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Setiap saat
ia selalu diganggu oleh perasaannya sendiri dan oleh peristwa-peristwa yang
sangat menyakiti hatinya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, kemudian, “Dengarlah.
Bukan aku tidak mempercayai kalian. Tetapi renungkan. Perhatian kalian hanya
tertuju kepada rumah itu. Setiap kali kalian menyangka bahwa orang-orang itu
bersembunyi di tempat yang rahasia di halaman rumah itu. Setiap ada seorang
pengawal hilang, mau tidak mau, menurut perhitungan kalian, orang-orang yang
menyergapnya bersembunyi di sana. Itu sudah titik tolak yang dapat mengaburkan
usaha kalian, karena kalian sama sekali tidak menaruh perhatian pada
tempat-tempat yang lain. Pada saat dengan marah kalian menggeledah rumah itu,
maka orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat itu dengan enaknya tidur
di tempat lain yang sudah pasti sama sekali tidak mendapat perhatian kalian,
karena kalian sudah beranggapan mutlak, bahwa rumah itulah satu-satunya tempat
mereka bersembunyi.”
“Tetapi,” pemimpn pengawal itu
masih tidak puas, “salah seorang dari kami pernah melihat seseorang meloncat
masuk ke dalam rumah itu.”
“Itulah kecakapan mereka.
Mereka memang membuat kesan seolah-olah rumah itu adalah tempat persembunyian
yang paling baik bagi mereka.”
Para pengawal yang ada di
sekitar gardu dan di regol itu pun mencoba merenungkan kata-kata Pandan Wangi.
Satu-dua orang mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian pemimpin
mereka pun berkata, “Masuk akal juga. Selama ini kami memang hanya mengawasi
rumah itu sehingga kami kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain.”
“Nah, sejak sekarang
bertindaklah lebih cermat,” berkata Pandan Wangi. “Awasi orang-orang yang masih
berkeras hati itu dengan saksama.”
“Baik,” jawab pemmpin
rombonaan itu.
“Aku akan segera kembali,”
berkata Pandan Wangi kemudian.
“Apakah kalian memerlukan
beberapa orang untuk mengawani perjalanan kalian,” bertanya pemimpin pengawal.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tidak sesadarnya dipandanginya bulak yang terbentang di hadapannya.
Namun sebelum Pandan Wangi menjawab, Gupita sudah mendahului, “Kami tidak akan
menyulitkan kalian.”
“Itu tugas kami,” jawab
pemimpin pengawal itu. “Dalam perjalanan kembali mungkin kalian akan berpapasan
dengan mereka dalam jumlah yang tidak seimbang. Apalagi kalian berdua.”
“Kami mempergunakan kuda-kuda
kami, sehingga apabila orang-orang itu tidak berkuda, kesempatan untuk
membebaskan diri cukup besar,” Gupita berhenti sejenak, dan Pandan Wangi
menyahut, “Sudah tentu orang-orang itu tidak mempergunakan kuda. Bukankah
begitu?”
“Ya, mereka memang tidak
berkuda.”
“Karena itu, biarlah kami
pergi berdua”
Para pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka, dan pemimpin mereka berkata, “Baiklah.”
Pandan Wangi dan Gupita pun
kemudian minta diri meninggalkan padukuhan yang masih belum terkuasai seluruh
segi-segi kehidupannya itu. Namun demikian, kekerasan-kekerasan yang
berpengaruh sudah tidak lagi pernah terjadi.
Pandan Wangi dan Gupita itu
pun segera meninggalkan padakuhan itu, melalui jalan di tengah-tengah sawah
yang luas. Matahari sudah menjadi kian tinggi sehingga panasnya sudah mulai
mengusik kulit.
Sepanjang jalan, dada Gupita
selalu berdebar-debar. Semakin lama bulak yang dilaluinya menjadi seakan-akan
semakin pendek. Kalau mereka melampaui padesan dan pategalan yang terletak
beberapa puluh langkah dari jalan ini, kemudian sampai di lengkungan jalan di
sebelah susukan, maka kesempatannya menjadi semakin sempit.
Karena itu, meskipun dadanya
serasa akan retak, namun dipaksakannya juga untuk mencoba menyampaikan pesan
Gupala itu kepada Pandan Wangi, meskipun dengan ancang-ancang yang panjang.
Hampir segenap tubuh Gupita
menjadi basah oleh keringat. Bukan saja karena panas matahari yang semakin
tinggi, tetapi juga karena gejolak di dalam dadanya.
“Persetan,” Gupta menggeram di
dalam hatinya, “bukan untuk kepentinganku sendiri. Apa pun akibatnya, bukan
menjadi tanggung jawabku. Aku hanya akan menyampaikan hasilnya saja kepada
Gupala.”
Dengan demikian, maka akhirnya
Gupita telah memaksa dirinya sendiri dengan mengerahkan segenap kemanpuan yang
ada padanya.
“Pandan Wangi,” suaranya
gemetar, “kenapa kau begitu tergesa-gesa?”
Pandan Wangi berpaling. Ia
melihat kegelisahan di wajah Gupita. “Apakah aku tergesa-gesa?” ia bertanya.
“Kita berkuda terlampau
kencang,” jawab Gupita.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Katanya, “Kita berada di daerah yang belum kita ketahui keadaan yang
sebenarnya.”
“Tetapi daerah ini sudah
aman.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin. Tetapi bukankah menurut keterangan
para pengawal masih juga ada satu-dua orang yang sering mengganggu di daerah
ini?”
“Ya,” jawab Gupita, “tetapi,
tetapi, perlambatlah kudamu.”
Pandan Wangi menjadi heran.
Namun tanpa sesadarnya ia pun menarik kendali kudanya dan dengan demikian maka
perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat.
“Pandan Wangi,” suara Gupita
menjadi semakin gemetar, sehingga Pandan Wangi pun menjadi semakin
berdebar-debar.
Hampir meledak Gupita kemudian
berkata, “Ada sesuatu yang ingin aku katakan, Wangi.”
Kini dada Pandan Wangi
benar-benar berdesir tajam. Dipandanginya wajah Gupita sesaat, kemudian
kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Gupita menyadari
keadaan dirinya. Betapa pun kegelisahan melanda jantungnya, namun ia masih
berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham, sehingga dengan suara gemetar ia
berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa Gupala sekarang menjadi semakin
dewasa?”
Pandan Wangi tiba-tiba
mengangkat wajahnya. Kerut-merut di keningnya membayangkan seribu satu macam
pertanyaan.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita
tergagap, “apakah kau mau kita berhenti sebentar, supaya aku tidak salah
mengucapkan kata-kata?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
Maka sejenak kemudian mereka
pun telah menghentikan kudanya. Gupita yang meloncat turun lebih dahulu dari
kudanya berkata, “Turunlah. Bukankah kau masih mempunyai sedikit waktu.”
Kini tiba-tiba saja tubuh
Pandan Wangi pun menjadi gemetar. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Sebagai
seorang gadis yang dewasa, maka ia sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan
oleh Gupita.
Namun justru karena itu, maka
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Gupita yang sudah basah kuyup
oleh keringatnya itu mencoba untuk menenangkan hatinya. Disekanya keringat di
keningnya. Lalu katanya, “Pandan Wangi, aku tidak tahu bagaimana aku akan
mengatakannya. Tetapi aku sebenarnya membawa pesan dari Gupala. Itulah
sebenarnya, mengapa aku memaksamu untuk pergi berdua.”
Sepercik warna merah membayang
di wajahnya, sedang kepalanya pun mejadi semakin tunduk karenanya.
Namun demikian, terjadi juga
kejutan yang menghentak di dada Pandan Wangi. Gupita sekedar membawa pesan
Gupala. Apa yang akan dikatakan oleh Gupita adalah ungkapan perasaan Gupala.
“Kenapa?” sebuah pertanyaan
telah menyeniuh hatinya. “Kenapa Gupita tidak mengatakan tentang dirinya
sendiri?”
Meskipun demikian sebuah
keragu-raguan telah mengisruhkan perasaannya pula. Gupala memang mempunyai
kesan yang tersendiri. Seorang periang dengan hati terbuka.
“Tetapt kenapa ia tidak
mengatakannya sendiri?”
Dalam kebimbangan itu
terdengar Gupita berkata, “Pandan Wangi, bukankah kau bersedia mendengarkannya.
Sebagai seorang saudara tua aku memang wajib menolongnya, memecahkan kesulitan
yang selalu mengganggunya siang dan malam.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kepalanya kini menjadi semakin menunduk. Gadis yang membawa sepasang
pedang itu pun kemudian perlahan-lahan duduk di bawah sebuah gerumbul perdu.
Setitik air matanya jatuh di pangkuannya. Dengan jari-jarinya gadis itu
mengusap sudut matanya yang membasah.
Gupita menjadi semakin
gelisah. Ia memang tidak biasa menghadapi seorang gadis yang sedang menangis.
Karena itu, maka ia pun berjalan hilir-mudik di belakang Pandan Wangi.
Keduanya sama sekali sudah tdak
ingat lagi kepada sisa-sisa pasukan Ki Tambak Wedi. Keduanya sudah tidak ingat
lagi bahwa kadang-kadang masih saja ada satu-dua orang yang hilang di dalam
perjalanan dari padukuhan yang baru ditinggalkannya ke padukuhan di seberang
bulak yang panjang itu.
Pandan Wangi yang duduk di
bawah gerumbul perdu itu tidak segera dapat menjawab. Terasa hatinya menjadi
kacau. Sebenarnya kerisauan itu sudah lama membayanginya. Kedua anak-anak muda
itu memang mempunyai kelebihannya masing-masing. Namun bagi Pandan Wangi,
Gupita pernah dikenalnya lebih dahulu, sehingga pahatan yang ada di dinding
jantungnya, agak lebih dalam dari adiknya yang menyusul kemudian.
Sekilas bahkan terbayang
seorang anak muda yang bertubuh rakassa, Wrahasta. Anak muda yang malang itu
sama sekali tidak berhasil menggetarkan hatinya, meskipun di saat terakhir ia
terpaksa menganggukkan kepalanya, Pandan Wangi sama sekali tidak menyangka,
bahwa anggukan kepala itu, anggukan yang hanya dilakukannya sekali, telah
membekas pula di dalam hatinya.
“Seandainya saat itu Wrahasta
dapat ditolong,” pertanyaan itu pun selalu mengejarnya, “apakah yang akan aku
lakukan.”
Kini ia dihadapkan pula pada
persimpangan jalan.
“Tetapi kedua-duanya adalah
kakak-beradik, meskipun menurut dugaanku hanya sekedar kakak-beradik
seperguruan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
Namun demikian sudah barang
tentu, Pandan Wangi tidak akan dapat mempertentangkan keduanya. Kini Gupita
datang kepadanya, menyatakan perasaan yang tersimpan di dalam hati, tapi hati
adiknya. Gupala.
Pandan Wangi memang menjadi
bingung. Ia tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakan hatinya. Apakah
Gupita menyatakan perasaannya sendiri, atau seperti yang dilakukannya kini.
Gupita pun menjadi semakin
gelisah karenanya. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti mengalir.
Ketika Pandan Wangi duduk tertunduk, tanpa sesadarnya, dipandanginya gadis itu.
Dalam sekilas, kenangannya langsung melontar ke Sangkal Putung. Tanpa
dikehendakinya sendiri, Gupita pun mulai membandingkan kedua gadis itu.
“Pandan Wangi mempunyai banyak
kelebihan,” terdengar kata-kata itu terlonjak di dasar hatinya. “Anak ini mampu
bermain pedang,” kata-kata itu terdengar terus, “tetapi ia sama sekali bukan
seorang anak yang manja dan tinggi hati. Ia tahu benar kewajibannya. Baik
sebagai seseorang yang berpedang, maupun sebagai seorang gadis. Sambil
menyandang pedang, Pandan Wangi berjongkok di muka api menanak nasi dan merebus
air.”
Tetapi Gupita tergagap ketika
tiba-tiba saja Pandan Wangi mengangkat wajahnya dan berpaling. Benturan
pandangan mata mereka, membuat keduanya menjadi gemetar.
Untuk mengusir kesan yang
tersirat di wajahnya, Gupita berkata dengan gugup, “Bagaimana, Wangi. Aku sudah
mengatakan apa yang harus aku katakan. Sekedar pesan Gupala.”
Pandan Wangi masih belum
menjawab. Tatapan matanya yang membentur pandangan Gupita itu pun segera
dilemparkannya jauh-jauh ke tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara itu.
Namun demikian serasa jantungnya berdenyut semakin cepat, sehingga dadanya
seakan-akan menjadi pepat.
Gupita masih saja berdiri
tegak di belakang Pandan Wangi. Tetapi kini ia tidak berani menatap rambut yang
hitam yang bergerak-gerak dibelai angin. Apabila sekali lagi Pandan Wangi
berpaling dan menatap matanya, mungkin ia akan terbungkam untuk selanjutnya.
“Kau belum menjawab, Pandan
Wangi,” desak Gupita yang gelisah.
Pandan Wangi menark nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Karena ia tidak
segera menemukan jawaban, maka tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah kalian
sebenarnya?”
Pertanyaan itu benar-benar
mengejutkan Gupita, sehingga kini ia-lah yang tidak segera dapat menjawab.
“Aku akan menjawab
pertanyaanmu apabila aku tahu pasti, siapakah sebenarnya kalian. Siapakah kau,
siapakah Gupala, dan siapakah gembala tua itu.”
Gupita masih tetap berdiam
diri. Kegelisahannya menjadi semakin meningkat. Sememtara itu Pandan Wangi
masih saja duduk memandang ke kaki langit di kejauhan.
Sejenak mereka berdua saling
berdiam diri. Hanya desah nafas dan detak jantung masing-masing sajalah yang
terdengar di sela-sela desir angin.
Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh gamerisik di seberang jalan di belakang mereka, sehingga dengan
gerak naluriah mereka meloncat berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Yang telah mereka lupakan itu
tiba-tiba kini berada di hadapan mereka. Enam orang dengan senjata telanjang di
tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak yang masih
sangat muda. Namun dengan tangkasnya ia merundukkan pedangnya sambil berkata
lantang, “Tak ada gunanya kalian melawan.”
Pandan Wangi terkejut bukan
kepalang. Tanpa sesadarnya ia memekik, “Prastawa. Kaukah itu?”
Anak yang masih terlampau muda
itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku, Kenapa?”
“Aku baru saja datang
mengunjungi Bibi. Kau sangat ditunggu oleh Bibi, dan bahkan oleh Paman.”
Tiba-tiba saja tenak itu
tertawa. Suara tertawanya meninggi dan menyakitkan hati.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia melihat perubahan yang tajam pada adik sepupunya itu.
“Apakah ini putra Ki Argajaya?”
Gupita berbisik.
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
Gupita tidak bertanya lagi.
Tetapi ia harus mempunyai cara yang disesuaikan dengan lawan yang dihadapinya.
“Aku sekarang tidak dapat
mempercayai siapa pun. Kau juga tidak,” berkata anak muda itu lantang. “Aku
hanya percaya kepada diriku sendiri.”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Tetapi ia mencoba mengenal kawan-kawan adik sepupunya itu seorang
demi seorang.
“Semula aku tidak menyangka
bahwa kaulah yang lewat berdua di jalan ini. Aku kira kau berdua adalah
sebangsa cucurut penjilat yang memuakkan, sehingga aku memutuskan untuk
membunuh saja kalian berdua dan kubawa kepalamu sebagai pangewan-ewan. Tetapi
aku tertegun ketika aku mengenal kau. Aku menjadi ragu, apakah aku akan
membunuhmu atau tidak. Namun agaknya keadaanmu yang memuakkan pula itu telah
mendorong aku untuk meneruskan rencana ini. Kau sudah bercumbu dengan orang
asing ini. Tanpa malu-malu kau sudah melakukan perbuatan tercela di tengah
jalan meskipun kau yakin bahwa jalan ini terlampau sepi. Seandainya yang
menemukan kau bukan aku, tetapi para perondamu sendiri pun, kau akan dicela dan
ditandai dengan noda hitam di keningmu. Apalagi kau putri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh yang hampir mati itu.”
“Prastawa,” suara Pandan Wangi
menyentak, “jangan salah sangka. Seharusnya kau bertanya, apa yang sedang aku
lakukan.”
“Kenapa aku harus bertanya?
Aku sudah melihat apa yang terjadi. Kau menyesali dirimu sendiri, sehingga kau
menangis. O, kau sudah menodai nama baik Tanah Perdikan ini. Karena itu, kalian
berdua harus mati.”
“Apa yang harus aku sesali?”
bertanya Pandan Wangi lantang.
“Tentu tentang dirimu sendiri.
Tetapi yang sudah teranjur itu tidak akan dapat kau perbaiki. Apakah aku harus
mengatakan? Apakah aku harus menunjuk percikan lumpur di wajahmu. He, apa yang
kalian kerjakan di semak-semak perdu itu? Lalu kenapa kau menangis? Jelas?”
“Prastawa!” Pandan Wangi
hampir menjerit. “Kau sudah kehilangan nalar.”
Tetapi anak muda itu tertawa
berkepanjangan. Katanya kemudian, “Sebagai seorang adik, aku malu sekali
mempunyai kakak perempuan seperti kau. Sebagai orang Menoreh, aku merasa
tersinggung, bahwa kau sudah menyerahkan dirimu pada orang asing, dan sebagai
putra ayah, Ki Argajaya, aku memang harus nembalas dendam.”
Tiba-tiba tubuh Pandan Wangi
menjadi gemetar. Tuduhan yang terlampau keji itu telah menddihkan darahnya,
sehingga hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang gadis, ia
tersinggung sekali oleh kata-kata adik sepupunya. Apalagi semuanya itu tidak
benar sama sekali.
“Prastawa,” berkata Pandan
Wangi dengan suara gemetar, “kau jangan asal berbicara saja. Kau salah sama
sekali. Tidak terjadi apa pun di sini.”
Tetapi suara tertawa anak itu
benar-benar menyakitkan hati.
Dalam pada itu, Gupita agak
lebih mengendalikan perasannya daripada Pandan Wangi, karena Gupita bukan
seorang gadis. Kini justru ia berhasil mengatur detak jantungnya yang semula
berdentangan di dadanya.
“Ki Sanak,” ia mencoba berkata
sareh, “Pandan Wangi memang menitikkan air mata. Tetapi sama sekali tidak
seperti yang kau duga. Kami berdua baru saja datang mengunjungi ibumu dengan
maksud yang sebaik-baiknya. Semula ibumu tidak dapat menerima kami, namun
perlahan-lahan ia dapat menyadari keadaannya.”
“Omong kosong!”
“Tunggu, aku belum selesai,” potong
Gupita. “Namun sebuah penyesalan yang dalam telah mengganggu perasaan Pandan
Wangi, karena usahanya untuk membawamu menghadap Ki Argajaya gagal.”
“O,” anak muda itu berteriak,
“jangan kalian sangka aku anak kecil yang masih ingusan. Sekarang jangan banyak
bicara. Tindakan kalian telah menodai Tanah Pendikan Menoreh. Kalian telah
membuat tanah di sekitar tempat ini menjadi sangar dan gersang. Karena itu,
tebusannya adalah darah kalian. Kalau darah kalian berhasil menyiram tanah ini,
maka tanah ini akan menjadi subur kembali. Dosa kalian sudah kalian tebus
dengan darah merah kalian.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Anak ini agaknya sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.
“Ayo kawan-kawan,” berkata
anak muda itu, “kita selesaikan saja orang-orang ini.”
“Tunggu,” berkata Gupita, “aku
tidak menyangka bahwa kau dapat berbuat demikian. Ketika kami melukai Ki Peda
Sura, kau agaknya masih dapat berpkir bening. Kau waktu itu bersikap sebagai
seorang adik yang baik. Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau sudah berubah?”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berdiam dan merenungkan kata-kata Gupita itu. Namun dalam
pada itu seorang yang bertubuh tinggi kurus berdesis, “Jangan hiraukan. Mereka
sekedar ingin dihidupi.”
Anak yang masih sangat muda
itu berpaling. Ditatapnya wajah orang yang tinggi kurus itu sejenak. Dan orang
yang tinggi kurus itu masih berkata terus, “Bukankah setiap orang Menoreh akan
berkata demikian apabila maut telah menyentuhnya? Itu semua hanya omong kosong.
Kalau kesempatan itu datang, maka kaulah yang akan dibunuhnya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan sejenak kemudian terdengar suara
tertawanya mengejutkan. Katanya lantang, “Ya. ya. Kau benar. Hampir saja aku
tertipu oleh orang ini.”
Tetapi Gupita masih tetap berhasil
menguasai perasaannya. Katanya, “Apakah setiap orang akan berkata kepadamu
bahwa kau pernah mempertahankan namanya di hadapan pasukanmu sendiri? Tetapi
itu benar-benar kau lakukan atas kakakmu Pandan Wangi. Bukankah kau saat itu
tampak bertengkar dengan pimpinan pasukanmu karena pemimpinmu itu menghina
Pandan Wangi justru karena Pandan Wangi berhasil melukai Ki Peda Sura?”
Sekali lagi anak yang masih
terlampau muda itu berkerut-merut. Tetapi sekali lagi orang yang tinggi kurus
itu berkata, “Kau sudah dipengaruhinya. Kau sudah mulai menyentuh getah yang
akan dapat menjeratmu. Berusahalah untuk melepaskan diri. Buat apa kita
berbicara terlampau banyak? Kalau keduanya sudah mati maka kau akan
berkesempatan mempertimbangkan kebenaran kata-kataku. Apalagi keduanya telah
membuat Tanah ini menjadi sangar dan gersang karena tindakannya yang tidak tahu
malu.”
“Ya, ya. Aku mengerti. Kau
memang benar. Orang-orang ini harus dibunuh.”
“Apakah kau meyakini kata-kata
orang kurus yang sedang berputus asa itu,” tiba-tiba Gupita menyela.
“Jangan hiraukan. Bunuh saja,”
teriak yang kurus.
“Dengar. Kata-katanya tidak
menentu,” sahut Gupita. “Kalau ia tidak sedang berputus asa, ia pasti mau
mendengarkan kata-kataku.”
“Omong kosong! Kau sedang
dipengaruhi. Kedua orang itulah yang sedang berputus asa.”
“Tentu tidak,” berkata Gupita.
“Bukan kami yang berputus asa. Kami yakin akan kemampuan kami. Ki Peda Sura
dapat kami kalahkan. Siapa lagi?”
“Tetapi kami bukan Ki Peda
Sura. Ki Peda Sura pun tidak akan mampu melawan kami berenam,” berkata orang
yang kurus itu. “Sekarang jangan berbicara lagi. Berdoalah, supaya arwahmu
tidak tersesat ke api neraka.”
Gupta menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya orang yang tinggi kurus ini sangat berpengaruh atas putra
Ki Argajaya, sehingga anak muda itu hampir tidak berkesempatan untuk
merenungkan dirinya sendiri.
Karena itu maka ia
berkeputusan, apabila keadaan terpaksa, maka orang yang tinggi kurus ini harus
dipisahkan dari putra Ki Argajaya itu.
Sebenarnyalah bahwa Gupita
memang tidak sempat untuk berbicara lagi. Orang-orang itu sudah siap untuk
menyergap mereka dengan senjata masing-masing
“Tidak ada jalan lain,” bisik
Gupita, “kita memang harus membela diri.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang anak itu.”
“Ia masih mempunyai harapan.
Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
“He,” teriak orang yang tinggi
kurus ini, “apa yang kau katakan?”
“Kami sedang membicarakan kau.
Dan kami berkeputusan untuk memisahkan kau dari putra Ki Argajaya. Hari
depannya masih panjang dan penuh harapan. Agaknya kau memang sudah meracuninya
perlahan-lahan, sehingga anak itu tidak mau kembali kepada ibu dan ayahnya.”
“O, jangan mengigau,” orang
yang tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menyerang. Ternyata ia tangkas juga
menggerakkan pedangnya. Yang pertama-tama menjadi sasarannya adalah Gupita.
Dengan demikian maka
kawan-kawannya yang lain pun segera berloncatan menyerang pula. Beberapa orang
bergeser mengambil arah yang yang lain. Tetapi Pandan Wangi pun tidak tinggal
diam. Segera ia meloncat menjauhi Gupita, sedang sepasang pedangnya pun telah
berada di dalam genggaman.
Seperti yang sudah mereka
duga, bahwa mereka masing-masing akan berhadapaa dengan tiga orang. Ternyata
putera Ki Argajaya itu memilih Gupita sebagai lawannya. Ada sesuatu yang
menahannya untuk bertempur melawan kakak sepupunya itu.
Gupita pun harus menarik
senjatanya pula. Anak muda itu cukup lincah. Pedangnya berputaran di antara
kedua senjata kawan-kawannya.
Sejenak kemudian menggetarlah
suara cambuk Gupita memenuhi udara. Suaranya serasa tidak segera mau lenyap
dari pendengaran. Suara itu seakan-akan berdesing-desing seperti lebah yang
terbang di sekitar lubang telinga.
Tetapi lawan-lawannya ternyata
orang-orang yang keras hati. Dengan sepenuh kemampuan mereka menyerang Gupita
dari segala arah.
Namun bagi Gupita sendiri,
orang yang kurus itulah yang menjadi sasaran utamanya. Ia harus dipisahkan dari
putra Ki Argajaya.
Dengan demikan, maka ujung
cambuk Gupita seolah-olah selalu mengejarnya. Kemana ia meloncat, terasa ujung
cambak itu selalu mengikutinya
“Setan alas!” ia menggeram.
Tetapi ia tidak berdaya. Ujung cambuk itu benar-benar selalu mengejar.
Orang yang tinggi kurus itu
sudah berusaha untuk menebas ujung cambuk Gupita dengan pedangnya. Tetapi ia
sama sekali tidak berhasil. Menyentuh pun terlampau sulit baginya, karena ujung
cambuk itu menyambar kemudian meledak dan seolah-olah meloncat menjauh dengan
kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan. Secepat kilat yang berloncatan di
langit.
Semakin lama orang yang tinggi
kurus itu merasa, bahwa ia benar-benar terancam.
Terhadap lawan-lawannya yang
lain Gupita seakan-akan hanya sekedar membela dirinya. Ia hanya sekedar
menghindar dan kadang-kadang menghalau mereka menjauh. Tetapi terhadap yang
tinggi kekurus-kurusan ini senjatanya benar-benar menyerang. Ketika ujung
cambuknya berhasil menyentuh kulit orang yang kekurus-kurusan itu, maka
terdengarlah keluhan yang tertahan. Bukan saja lengan bajunya yang sobek
karenanya, tetapi ternyata kulitnya pun terkelupas pula sehingga darahnya
segena mengalir memerahi pakaiannya.
“Setan alas!” ia mengumpat
pula.
Namun ujung cambuk Gupita
tidak juga berpindah daripadanya. Apalagi putra Ki Argajaya yang masih sangat
muda itu. Meskipun ia tidak kalah lincah dan berbahaya dari kawan-kawannya,
namun Gupita seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh menyerangnya.
Tiba-tiba orang yang tinggi
kurus itu merasa, bahwa Gupita benar-benar ingin membinasakannya, seperti yang
sudah dikatakaanya, memisahkannya dari putra Ki Argajaya. Karena itu, maka ia
merasa terancam untuk tetap berkelahi melawan Gupita. Dengan demikian maka
tiba-tiba ia meloncat surut dan berpindah ke lingkaran perkelahiam yang lain
sambil menyuruh seorang kawannya menggantikan tempatnya.
“Huh, kalian tidak segera
berbasil menyelesaikan perempuan ini,” katanya. “Tahanlah dahulu anak dungu
itu. Aku akan menyelesaikannya. Kemudian kita bantai bersama-sama kawan
laki-lakinya itu.”
Kawannya sama sekali tidak
berprasangka apa pun. Ia pun segera meninggalkan Pandan Wangi dan bergabung
dalam lingkaran perkelahian yang lain, bersama putra Ki Argajaya.
Melihat kehadiran orang yang
tinggi kurus itu Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia teringat
kata-kata Gupita, bahwa orang inilah agaknya yang telah meracuni jiwa adiknya.
Terngiang di telinganya suara
Gupita, “Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus
dipisahkan daripadanya.”
Tiba-tiba Pandan Wangi
menggeretakkan giginya. Agaknya memang orang inilah yang selama ini telah
menghasut adik sepupunya, sehingga adiknya itu seakan-akan menjadi liar.
Sejenak kemudian maka kedua
ujung pedang Pandan Wangi pun seakan-akan selalu mengitari tubuh orang itu.
Pandan Wangi tidak lagi menaruh minat kepada kedua lawannya yang lain. Seperti
Gupita ia hanya sekedar menghindar dan menangkis serangan kedua lawan-lawannya
yang lain, tetapi serangan-serangannya dipusatkannya kepada orang yang tinggi
kurus itu.
Sesaat setelah orang yang
tnggi kurus itu bergabung dalam lingkaran pertempuran yang baru, ia belum
merasakan tekanan ujung pedang Pandan Wangi. Tetapi sejenak kemudian, orang itu
terpaksa mengumpat-umpat lagi. Di dalam hatinya ia berkata, “Setan betina ini
pun agaknya memusatkan serangannya kepadaku.”
Semula orang yang tinggi itu
bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa serangan-serangan lawannya
dipusatkannya kepadanya. Tidak kepada orang lain, dan tidak kepada putra Ki
Argajaya. Namun akhirnya ia menyadari dirinya. Kedua orang itu memang
menganggap dirinya sebagai penghasut atas putra Ki Argajaya, sehingga anak itu
benar-benar berniat ingin membunuh mereka. Dengan demikian maka kedua orang itu
pasti mendendamnya.
Satu hal yang tidak diduganya,
bahwa kedua orang itu mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga
masing-masing mampu bertahan atas tiga orang sekaligus.
“Tetapi sebentar lagi tenaga
mereka pasti akan segera susut,” orang yang tinggi kurus itu mencoba
menenteramkan hatinya yang sudah mulai gelisah.
Tetapi duguan itu ternyata
keliru. Meskipun masing-masing harus berkelahi melawan tiga orang, namun
ternyata mereka berdua memang mempunyai kemampuan yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya.
Sepeninggal orang yang tinggi
kurus itu Gupita merasa seakan-akan kehilangan sasaran. Karena itu, maka
seolah-olah ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh. Ia hanya sekedar berusaha
menyelamatkan dirinya dari ujung-ujung senjata lawannya. Tetapi ia sama sekali
tidak berusaha untuk mengurangi jumlah lawannya itu dengan kematian apalagi
putra Ki Argajaya. Ia memang ingin membuat kesan bahwa apa yang dikatakan itu
memang benar-benar bermaksud baik.
Namun dalam pada itu, orang
yang tinggi kurus itu sudah mandi keringat di seluruh tubuhnya. Bukan saja ia
menjadi semakin gelisah, tetapi ternyata ia benar-benar telah hampir kehilangan
akal. Ujung-ujung pedang Pandan Wangi seakan-akan mempunyai mata yang tajam,
yang dapat melihat ke mana pun ia menghindar.
Ia terloncat surut sambil
menyeringai ketika segores luka telah menyobek pundaknya. Sambil
mengumpat-umpat ia meraba-raba pundaknya yang terluka itu. Ketika terpandang
olehnya jari-jarinya sendiri hatinya berdesir tajam. Warna merah yang tajam
telah membasahi tangannya.
“Setan alas! Apakah hanya aku
yang mereka anggap lawan,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Sejenak ia dihinggapi oleh
penyesalan, bahwa ia telah dengan terus terang menghasut putra Ki Argajaya,
sehingga orang-orang itu langsung dapat menilai dirinya.
“Tetapi aku tidak menyangka
bahwa mereka dapat bertahan,” katanya di dalam hati.
Kini, mau tidak mau ia harus
bertempur. Tetapi ia terdesak dalam keadaan sekedar membela diri.
Dalam pada itu, selagi mereka
bertempur dengan serunya, dua pasang mata mengawasi pertempuran itu dengan
tajamnya. Yang seorang dengan wajah yang tegang dan merah padam oleh kemarahan
yang serasa menyesakkan dadanya.
“Guru, bukankah kita mendengar
apa yang dikatakan oleh anak yang masih sangat muda itu, bahwa keduanya telah
melakukan pelanggaran yang memalukan?”
“Jangan percaya,” jawab yang
lain.
“Kenapa?”
“Kita dapat menemui mereka,
dan bertanya sebaik-baiknya.”
Sejenak mereka terdiam,
seolah-olah terpukau oleh pertempuran yang menjadi semakin seru. Sambil menahan
nafas mereka menyaksikan senjata baradu dan getarnya cambuk Gupita. Di dalam
hati keduanya mengakui bahwa Gupita memang seorang yang pilih tanding.
Tetapi gadis kawannya
bertempur itu pun mempunyai banyak kelebihan dari lawan-awannya. Ia mampu
melawan tiga orang tanpa menemui kesulitan apa pun. Bahkan ia masih juga dapat
melukai orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
“Aku tidak sabar lagi,” desis
yang seorang.
“Dengarlah kata-kataku,” sahut
yang lain, gurunya, “kau tidak perlu berbuat sesuatu. Kita dapat menunggu
sampai perkelahian itu berakhir.”
“Aku tidak sabar lagi, Guru.”
“Kau diombang-ambingkan oleh
perasaanmu. Pergunakanlah nalarnmu.”
Orang itu menggerarn. Tetapi
wajahnya justru menjadi semakin tegang. “Aku mengharap kedua orang itu berhasil
mengalahkan lawan-lawannya,” gumamnya.
“Tentu, menilik perhitunganku,
mereka akan menang.”
“Dan aku mendapat kesempatan
untuk berperang tanding.”
“Kau harus mencoba
mengendalikan diri.”
Muridnya tidak menjawab.
Tetapi sorot matanya. masih saja menyala seperti api yang tersiram minyak.
Pertempuran itu sendiri memang
berlangsung semakin seru. Gupita dan Pandan Wangi berhasil menekan lawan-lawan
mereka, sehingga keenam orang itu sama sekali sudah tidak mampu untuk berbuat
apa-apa. Apalagi orang yang tinggi kekurus-kurusan itu. Lukanya semakin lama
menjadi semakin banyak.
“Kau adalah sumber malapetaka
yang menimpa adikku,” desis Pandan Wangi. “Aku kira akan lebih baginya kalau
kau tidak mengganggunya lagi untuk seterusnya.”
Orang itu pun menggeram pula.
Tetap ia benar-benar sudah tidak berpengharapan. Meskipun demikian ia masih
juga melawan bersama-sama dengan kawan-kawannya.
Putra Ki Argajaya pun kemudian
harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Kawannya yang tinggi kekurus-kurusan
itu sudah terluka. Sedang kawan-kawannya yang lain sama sekali tidak berdaya
melindunginya.
Dengan demikian ia pun mulai
ragu-ragu. Kalau ia bersama kawan-kawannya meneruskan perlawanan, maka hampir
tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan dapat mempertahankan diri. Kalau
mereka gagal, dan apalagi berhasil ditangkap, maka nasibnya akan menjadi
terlampau jelek. Bukan karena takut digantung di alun-alun, tetapi untuk menjadi
tontonan adalah sama sekali tidak menarik.
Karena itu maka putra Ki
Argajaya itu pun segera membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia memang melihat
beberapa keanehan di dalam pertempuran itu. Lawannya agaknya sama sekali tidak
bernafsu untuk menyerangnya atau sama sekali membinasakannya. Orang yang
bersenjata cambuk itu seperti orang yang hanya sekedar membela dirinya saja,
betapapun beratnya. Hanya kadang-kadang saja ia berusaha menyerang
lawan-lawannya, untuk mengurangi tekanan-tekanan ketiga ujung senjata yang
kadang-kadang berbareng mematuknya.
Apalagi apabila dilihatnya
kawan-kawannya pun sama sekali sudah tidak banyak berdaya.
Karena itu akhirnya, dengan
pahit anak muda itu harus mengakui keunggulan lawannya kali ini. Biasanya
dengan penuh kebanggaan mereka membinasakan siapa pun yang dapat mereka jumpai
di tegah-tengah bulak yang panjang itu. Namun kali ini keadaan menjadi sangat
berbeda. Dua orang lawannya itu, dengan mudahnya mampu mendesak enam orang
kawan-kawannya yang terpilih.
“Tidak ada jalan lain,”
katanya di dalam hati, “lari adalah jalan yang jauh lebih baik dari digantung
di alun-alun.”
Akhirnya keputusan itu
jatuhlah. Putra Ki Argajaya itu tidak sempat minta pertimbangan kepada kawannya
yang tinggi kekurus-kurusan, karena ia sendiri masih terlampau sibuk dengan
ujung cambuk Gupita, sedang kawan-kawannya selalu saja digantungi oleh nasib
mereka masing-masing. Apalagi kawannya yang tinggi kurus itu.
Dengan demikian, maka anak
muda itu pun segera memberikan isyarat sehingga kawan-kawannya segera mengerti,
mereka harus melarikan diri.
Tidak seorang pun yang merasa
berkeberatan untuk melakukan perintah itu. Dengan demikian, maka sekejap
kemudian, mereka pun telah berloncatan meninggalkan arena.
Tetapi baik Gupita mau pun
Pandan Wangi merasa berkeberatan apabila orang yang tinggi kurus itu
meninggalkan arena pula bersama kawan-kawannya. Karena itu, hampir berbareng
keduanya memburu. Mereka hampir tidak menghiraukan lagi kelima orang yang lain,
juga putra Ki Argajaya. Di dalam hati keduanya, baik Pandan Wangi maupun
Gupita, berpendapat bahwa apabila orang yang tinggi kurus ini tidak lagi berada
bersama-sama dengan anak yang masih terlampau muda itu, maka ia akan mendapat
kesempatan untuk menilai segala perbuatannya. Mungkin ia akan segera teringat
kepada ibunya atau sanak saudaranya. Dengan demikian maka menjinakkan anak itu
akan menjadi jauh lebih mudah daripada sekarang.
Untuk menangkapnya dengan
kekerasan agaknya baik Pandan Wangi maupun Gupita masih belum sampai hati.
Mereka sadar, bahwa apabila anak muda itu diperlakukan demikian, maka hatinya
pasti akan benar-benar patah, dan tidak akan dapat disambungkannya lagi.
Seperti ayahnya, anak muda itu agaknya keras hati dan harga dirinya sama sekali
tidak mau tersentuh sama sekali.
Dengan demikian, maka tanpa
berjanji lebih dahulu, Pandan Wangi dan Gupita telah bersama-sama berusaha
untuk menghentikan orang yang tinggi kurus itu.
Dengan sekuat-kuat tenaganya,
orang itu mencoba untuk melepaskan dirinya. Ia merasa, bahwa pusat perhatian
lawan-lawannya ditujukan kepadanya. Karena itu, maka ia harus mencoba untuk
lari sekuat-kuatnya.
Tetapi agaknya langkah Gupita
cukup cepat untuk menyusulnya. Tiba-tiba saja terasa kaki orang yang tinggi
kurus itu seperti terkait sesuatu, sehingga ia kehilangan keseimbangannya.
Tiba-tiba saja ia telah terlempar dan jatuh terjerambab. Ternyata ujung cambuk
Gupita telah membelit pergelangan kakinya.
Baik Gupita maupun Pandan
Wangi memang berusaha untuk menangkapnya. Tetapi sama sekali tidak untuk
membunuhnya. Menurut perhitungan mereka, orang yang tinggi kurus itu akan dapat
menjadi sumber keterangan, di mana dan sampai seberapa jauh orang-orang yang
keras kepala itu mengadakan pemusatan-pemusatan kekuatan.
Tetapi nasib yang malang sama
sekali tidak dapat ditolak. Ketika orang yang tinggi kurus itu terlempar dan
jatuh menelungkup, maka ujung senjatanya sendiri telah terhunjam ke dalam
perutnya. Sejenak ia masih menggeliat, namun sejenak kemudian orang itu telah
terdiam untuk selama-lamanya.
Pandan Wangi dan Gupita saling
berpandangan sejenak. Mereka hampir-hampir telah terlupa kepada orang-orang
lain yang berlari semakin lama semakin jauh.
“Aku tidak sengaja,” desis
Gupita.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupita memang tidak sengaja.
Karena itu katanya, “Agaknya memang sudah menjadi batas hidupnya. Orang itu
haruss mengakhiri hidupnya dengan senjatanya sendiri.”
“Meskipun caranya agak berbeda
dengan Arya Penangsang,” desis Gupita.
Pandan Wangi masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak berhasil kali
ini,” desis Pandan Wangi sambil menyarungkan senjatanya, “tetapi aku mengharap
bahwa anak itu akan mendapat kesempatan untuk menilai dirinya sendiri.
“Sayang orang terbunuh,”
berkata Gupita kemudian. “Kalau tidak, kita akan banyak mendapat keterangan.”
“Sudahlah. Bukan salah kita.
Kita akan memberitahukan kepada para peronda untuk merawat mayat itu.”
“Tetapi mereka harus
berhati-hati.”
“Ya, mereka harus datang dalam
jumlah yang cukup.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Sekarang kita akan kembali.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Tetapi ketika tampak olehnya wajah Gupita yang ragu-ragu, maka ia
pun segera menundukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian
melangkah perlahan-lahan mendekati kuda-kuda mereka. Tetapi mereka tidak saling
berbicara apa pun. Gupita yang merasa bahwa ia belum menyampaikan pesan Gupala
seluruhnya menjadi kecewa. Tetapi suasananya sudah menjadi rusak sama sekali
karena kehadiran orang-orang yang berputus asa dan berbuat tanpa tujuan itu.
“Tetapi aku sudah mengatakan
sebagian,” katanya di dalam hati, “sehingga lain kali aku hanya tinggal
menanyakan jawabnya.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dikatakannya. Namun
tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, “Aku belum memintanya untuk Gupala. Aku
belum mengatakan pokok persoalannya.” Ia berkata pula di dalam hatinya, “Tetapi
Pandan Wangi sudah dapat menangkap maksudku. Dan ia sudah mengerti.”
Gupita terperanjat ketika ia
mendengar Pandan Wangi bertanya, “Apakah kita terus pulang ke rumah?”
Gupita heran mendengar
pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ya. Kita pulang. Tetapi
persoalan kita, maksudku persoalan yang dititipkan Gupala kepadaku masih belum
selesai.”
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi
kepalanya menjadi semakin tunduk.
Adalah diluar dugaan sama
sekali, bahwa tiba-tiba keduanya mendengar pula gemerisik dedaunan di belakang
mereka. Serentak mereka berbalik dan siap menghadapi kemungkinan apa pun yang
bakal datang.
Tetapi darah Gupita tiba-tiba
saja serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seseorang berdiri di
hadapannya. Seeorang yang berpakaian seperti seorang laki-laki. Tetapi dalam
sekilas Gupita langsung dapat mengenalnya, bahwa ia bukan seorang laki-laki.
Apalagi ketika ia melihat di
tangan orang itu tergenggam sebatang tongkat baja putih, dengan sebuah
tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan pada pangkalnya.
“Inikah Agung Sedayu yang
pernah aku kenal dahulu?” terdengar orang itu berdesis.
Sejenak Gupita membeku diam di
tempatnya. Ditatapnya orang itu dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.
“Apakah kau melihat sesuatu
yang lain padaku?” ia bertanya.
Gupita masih tetap membisu.
“Inikah putri kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang perkasa itu, dan bernama Pandan Wangi?”
Gupita masih tetap berdiam
diri, sedang Pandan Wangi menjadi terheran-heran melihat orang itu. Seperti
Gupita ia pun segera mengenal bahwa orang itu sama sekali bukan seorang
laki-laki.
“Adalah pantas sekali bahwa
putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh telah menggemparkan seluruh tlatah Pajang.
Kini aku melihat sendiri, betapa ia mampu melawan tiga orang laki-laki
sekaligus.”
Pandan Wangi menjadi semakin
heran. Ia sama sekali tidak merasa bahwa namanya pernah dikenal orang sampai di
luar tlatah Menoreh. Namun ia merasa, kata-kata itu sekedar suatu kata-kata
sindiran yang mengungkat kemarahannya.
“Namun saying,” berkata orang
bertongkat itu, “kebesaran namanya sama sekali tidak diimbanginya dengan
keluhuran trapsila seorang wanita.”
Pandan Wangi menjadi semakin
tidak mengerti, apakah yang dimakud oleh orang itu. Sekilas ia teringat kepada
orang-orang yang baru saja melarikan diri. Apakah orang ini termasuk salah
seorang dari mereka?
“He, kenapa kalian membeku
seperti patung?” orang itu hampir berteriak. “Kenapa? Dan inikah hasil
perjalananmu, Agung Sedayu?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia yakin siapakah yang dihadapinya, meskipun tongkat baja
putih itu semula telah membingungkannya. Tetapi tidak salah lagi, sehingga
karena itu ia berdesis, “Sekar Mirah.”
“Nah, kau masih ingat aku? Aku
adalah Sekar Mirah.”
“Tetapi kenapa kau tiba-tiba
mengucapkan kata-kata yang dapat menyakitkan hati Pandan Wangi?” Gupita masih
agak ragu.
“O, kau membelanya? Aku memang
sudah yakin, bahwa kau pasti akan membelanya.”
“Tunggu, Sekar Mirah. Biarlah
aku berbicara.”
“Tidak ada yang dibicarakan,
dan aku pun tidak akan berbicara apa pun. Aku hanya akan sekedar menyatakan
sakit hati yang hampir tidak tertahankan. Merendahkan derajat wanita adalah
perbuatan yang paling terkutuk.”
Pandan Wangi yang mendengar
tuduhan-tuduhan itu tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga karena itu ia
menggeram, “Apa maksudmu? Dan siapakah kau?”
“Kau sudah meadengar namaku
disebut. Aku Sekar Mirah. Tetapi kau tidak perlu tahu lebih banyak tentang aku.
Kau bukan seorang gadis yang pantas untuk dibawa bersahabat.”
“Diam!” Pandan Wangi
benar-benar tidak dapat menahan perasaannya lagi. Selangkah ia maju, “Apakah
kau termasuk salah seorang upahan dari gerombolan yang keras kepala, yang baru
saja kami usir dari tempat ini?”
“Tunggu. Tunggu!” Gupita
berteriak sekeras-kerasnya. Pertemuan yang aneh dan tiba-tiba ini sudah membuat
kepalanya menjadi pening. Katanya kemudian, “Kalian salah paham. Dengarlah. aku
akan memberikan penjelasan.”
“Tidak ada yang harus aku
dengar. Aku hanya sekedar ingin mengatakan sesuatu yang menyekat dadaku.
Sekarang dadaku terasa sudah lapang, dan aku akan pergi.”
“Nanti dulu.”
“Jangan menahanku.”
“Tidak!” Pandan Wangi-lah yang
berteriak. “Kau menghina aku. Aku harus mendapat penjelasan, apa yang telah kau
lakukan itu. Aku bukan seseorang yang begitu saja membiarkan diriku
direndahkan, meskipun kadang-kadang aku dapat juga menahan diri. Tetapi
tuduhanmu terlampau menyakitkan hati.”
“Aku memang ingin membuat kau
sakit hati, seperti hatiku yang pedih saat ini. Aku tidak dapat membiarkan aku
tersiksa sendiri, sedang kau sambil tertawa-tawa menikmati kesegaran tindakanmu
yang memalukan itu.”
“Apa yang sudah aku lakukan?
Apa?”
“Persetan! Sekarang aku akan
pergi. Aku tidak peduli lagi kepada kalian.”
“Tidak!” sahut Pandan Wangi
yang meloncat semakin maju. “Kau tidak dapat pergi sebelum kau memberi
penjelasan. Kau sudah menghina aku. Dan aku tidak akan membiarkan diriku kau
hinakan tanpa mengetahui persoalannya. Kalau aku memang bersalah, mungkin aku
dapat mengerti dan tidak akan bersakit hati. Tetapi dalam keadaan serupa ini,
aku tidak mau.”
Sekar Mirah tidak segera
menjawab. Tetapi suara tertawanya meninggi dan berkepanjangan. Benar-benar
menyakitkan hati.
Namun justru Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil hergumam, “Sekarang aku sudah mendapat
gambaran, dengan siapa aku berhadapan.”
Suara tertawa Sekar Mirah
tiba-tiba terputus. Dengan serta-merta ia bertanya, “Dengan siapa kau
berhadapan?”
“Seorang perempuan yang paling
tidak tahu diri yang pernah aku temui. Suara tertawamu mirip dengan suara
tertawa Ki Peda Sura, atau barangkali kau muridnya?”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya.
“Kalian ternyata telah menjadi
semakin jauh terlibat ke dalam kesalahpahaman. Aku akan menjelaskan, siapakah
kalian masing-masing,” potong Gupta.
Tetapi Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak perlu. Kau hanya akau menambah hatiku menjadi semakin parah.”
“Tidak. Tetapi kau tidak
mengerti.”
“Gupita,” berkata Pandan
Wangi, “kau kenal perempuan binal ini? Biarlah ia di sini. Aku ingin
mengenalnya lebih banyak lagi.”
“Kau keliru, Pandan Wangi.”
“Tidak. Seperti perempuan ini
yakin tentang diriku sebelum ia mengenalku, aku pun yakin tentang dirinya
sebelum aku mengenalnya.”
“Kalian adalah gadis-gadis
yang paling bodoh yang pernah aku temui,” akhirnya Gupita pun menjadi jengkel.
“Kalian telah dibakar oleh perasaam kalian tanpa nalar. Kalau kalian mempunyai
telinga, dengarkan aku akan berbicara.”
“Tidak perlu,” hampir
berbareng Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjawab. Namun keduanya menjadi
terkejut oleh jawaban itu.
“Kalau kalian tidak mau
mendengar keterangan, apa yang akan kalian lakukan?”
“Aku hanya ingin mengenalnya
lebih banyak,” sahut Pandan Wangi. “Kebinalan dan keliarannya memberi gambaran
yang semakin jelas padaku.”
“Tutup mulutmu perempuan yang
tidak tahu diri,” Sekar Mirah memotong.
Tetapi Pandan Wangi menyahut
lebih keras, “Ini daerahku. Aku dapat berbuat apa saja di sini. Aku dapat
mengusir kau, dan menangkap kau dan dapat memperlakukan kau menurut kehendakku.
Aku adalah putri Kepala Tanah Perdikan.”
“Itu kalau kau mampu menangkap
aku.”
“Aku akan mencoba dan
membawamu kepada Ayah. Aku mendapat sebuah permainan yang mengasyikkan.
Barangkali kau dapat menjadi tontonan di halaman rumahku.”
Ketika Pandan Wangi melihat
wajah Sekar Mirah menjadi merah, maka ia menjadi semakin mantap. Pandan Wangi
sadar, bahwa Sekar Mirah pun sedang membuatnya marah. Karena itu, supaya ia
tidak kehilangan keseimbangan, maka ia pun melakukan perbuatan yang serupa.
Akibatnya memang sudah
dibayangkan oleh Gupita. Kedua gadis itu menjadi marah bukan buatan.
Masing-masing masih saja berusaha mengungkat kemarahan dan sengaja menyinggung
perasaan.
Tetapi akhirnya keduanya
sama-sama tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ketika tongkat Sekar Marah
bergetar di tangannya, maka Pandan Wangi pun telah menggenggam sepasang
pedangnya.
“He, kalian telah gila!”
Gupita berteriak.
Tetapi keduanya seolah-olah
sudah tidak mendengar lagi. Sekejap kemudian keduanya sudah terlibat dalam
perkelahian. Sekar Mirah bersenjata tongkat baja putih berkepala sebuah
tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan, sedang Pandan Wangi mempergunakan
sepasang pedangnya yang selama berkecamuknya api peperangan di atas Tanah
Perdikan Menoreh seakan-akan tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
Gupita yang tidak herhasil
melerai keduanya, akhirnya hanya dapat melihat perkelahian itu dengan dada
berdebar-debar. Namun di sudut hatinya memang tumbuh pula keinginannya untuk
melihat, apakah yang sudah dapat dilakukan oleh Sekar Mirah dengan tongkat baja
putihnya.
Meski pun demikian Gupita
tidak berani menjauhi arena. Kalau keadaan memaksa ia barus cepat bertindak. Ia
tidak ingin salah seorang dari keduanya benar-benar tersentuh ujung senjata.
Ternyata Sekar Mirah
benar-benar membuat Gupita tercengang. Dalam waktu yang singkat ia telah
berhasil menyerap ilmu cabang perguruan tongkat baja putih itu.
“Satu-satunya kemungkinan
adalah Paman Sumangkar,” desisnya di dalam hati.
Perkelahian itu pun semakin
lama menjadi semakin. seru. Gupita yang berdiri tidak begitu jauh dari arena
perkeiahian itu segera melihat benturan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang
diturunkan lewat Ki Argapati dan yang lain bersumber dari Ki Sumangkar.
Ketika tangan kedua gadis itu
telah menjadi basah oleh keringat, maka mereka pun menjadi semakin bernafsu.
Senjata-senjata mereka menjadi semakin cepat berputar. Sinar matahari yang
semakin panas, memantul dari batang tongkat dan sepasang pedang Pandan Wangi.
Berkilat-kilat seperti pancaran sinar yang berlompatan dari senjata-senjata
itu.
Dengan dada berdebar-debar
Gupita mengikuti perkelahian itu. Semakin lama terasa semakin tegang. Setiap
kali ia menahan nafasnya, dan bahkan setiap kali ia melangkah maju. Kalau ia
melihat serangan-serangan yang berbahaya, maka ia tidak dapat berdiri saja di
tempatnya. Ia selalu berusaha berdiri di tempat yang memungkinkan ujung
cambuknya mencapai kedua gadis yang sedang bertempur itu.
Agaknya kedua gadis itu
menjadi semakin bersungguh-sungguh. Dengan kemarahan yang semakin membara di
dada masing-masing, mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada.
Namun dengan demikian maka
keadaan mereka menjadi semakin berbahaya, karena ujung-ujung senjata mereka
semakin lama menjadi semakin mendekati tubuh-tubuh lawan.
Kecuali Gupita, masih ada
sepasang mata yang mengikuti perkelahian itu. Dari balik gerumbul yang rapat,
orang itu berjongkok sambil mengintai dari celah-celah dedaunan.
Sekali-sekali ia menarik nafas
dalam-dalam. Sekali wajahnya menjadi tegang, namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia masih saja tetap
berada di tempatnya. Kadang-kadang ia memandang wajah Gupita yang semakin
tegang pula. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat ujung cambuk di tangan
Gupita yang setiap saat dapat meledak di antara dentang senjata yang beradu.
“Mudah-mudahan anak muda itu
tidak berpihak,” berkata orang itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Gupita
memang tidak ingin berpihak. Dengan susah payah ia menunggu kesempatan untuk
melerai perkelahian itu. Namun setiap kali ia kehilangan kesempatan karena
keduanya mampu bergerak begitu cepat dan lincah.
Sejenak Gupita teringat kepada
cara Tohpati berkelahi. Selain tangkas, ayunan tongkat itu memang benar-benar
berbahaya. Kalau Pandan Wangi lengah, maka benturan senjata mereka akan dapat
mematahkan pedang tipisnya.
Namun untunglah bahwa Pandan
Wangi menyadari akan hal itu. Itulah sebabnya, maka ia tidak pernah membentur
senjata lawannya dengan langsung. Dengan kecakapannya mempergunakan pedangnya.
Pandan Wangi selalu dapat menggeser arah senjata lawannya dengan sentuhan sisi,
sehingga pedangnya tidak menjadi cacat karenanya. Apalagi patah.
Dalam pada itu, perkelahian
itu menjadi semakin seru. Dalam puncak kemampuan masing-masing, kemudian dapat
diketahui, baik oleh Gupita maupun oleh sepasang mata yang berada di balik
dedaunan, bahwa Pandan Wangi memiliki pengalaman lebih banyak dari lawannya.
Agaknya Pandan Wangi telah lebih matang menyerap ilmu Ki Argapati, sehingga
semakin lama ia justru menjadi semakin mapan.
Berbeda dengan Sekar Mirah. Ia
masih belum mampu mengungkapkan ilmu Ki Sumangkar sebaik-baiknya. Ketika gerak
sepasang pedang Pandan Wangi menjadi semakin cepat, maka Sekar Mirah yang belum
cukup lama mempelajari ilmunya, tampak agak menjadi bingung.
“Keseimbangan telah
bergoncang,” desis Gupita di dalam hatinya, “perkelahian itu harus dihentikan
sebelum salah seorang dari mereka merasa menang atau kalah. Jika demikian maka
perkelahian ini akan mungkin membangkitkan dendam pada salah seorang dari
mereka, atau bahkan kedua-duanya.” Gupita mengerutkan keningnya, “Tetapi
bagaimana.”
Dalam pada itu perkelahian itu
masih berlangsung terus. Namun semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa Pandan
Wangi memang lebih banyak mempunyai pengalaman sehingga Sekar Mirah menjadi
semakin sulit menghadapinya.
“Tidak dapat ditunda-tunda
lagi,” pikir Gupita. Karena itu maka ia meloncat semakin dekat. Sementara itu
cambuknya meledak dahsyat sekali beberapa jengkal saja dari keduanya.
Baik Pandan Wangi maupun Sekar
Mirah terkejut karenanya. Ketika cambuk itu meledak untuk kedua kalinya, tepat
di antara keduanya, maka mereka berloncatan surut selangkah
“Berhentilah berkelahi!”
Gupita berteriak.
“Jangan ganggu kami,” sahut
Sekar Mirah.
“Kami belum selesai,” Pandan
Wangi hampir berteriak.
“Kalian sudah menjadi gila.
Kalau kalian hanya dapat berbicara dengan senjata, maka aku pun akan berbicara
dengan senjata.”
“Bagus,” jawab Sekar Mirah,
“aku bersedia.”
“Kau bermaksud agar aku
mempergunakan senjataku terhadapmu juga?” bertanya Pandan Wangi.
Ternyata sikap kedua gadis itu
membuat Gupita menjadi bingung.
Namun, dalam pada itu,
seseorang muncul dari balik gerumbul sambil berkata sareh, “Sudahlah, Ngger.
Aku sudah mengatakan, bahwa cara yang kau pilih agaknya kurang menguntungkan.
“Biarlah, Guru,” jawab Sekar
Mirah.
Gupita yang berpaling juga
mendengar suara itu, terperanjat pula. Dengan serta-merta ia berdesis, “Paman
Sumangkar.”
“Ya, Anakmas. Akulah yang
telah membawa Angger Sekar Mirah ke tlatah Menoreh.”
“Tetapi kenapa Paman biarkan
perkelahian ini terjadi? “
“Aku tidak dapat mencegahnya.
Tetapi aku tahu bahwa Angger ada di dekat arena, sehingga aku percaya bahwa
tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Tetapi aku menemui kesulitan untuk melerainya, Paman.”
“Angger Sekar Mirah akan
menghentikan perkelahian.”
“Tidak,” tiba-tiba Sekar Mirah
memotong, “aku akan berkelahi terus.”
“Jangan, Ngger. Sebaiknya kau
berhenti.”
“Aku tidak akan berhenti.
Gadis itu harus berlutut di bawah kakiku.”
“Bagus,” sahut Pandan Wangi,
“marilah kita teruskan. Aku atau kau yang akan mencium telapak kaki.”
“Tidak!” suara Sumangkar
meninggi. “Aku perintahkan Angger Sekar Mirah menghentikan perkelahian.”
Dada Sekar Mirah berdesir.
Tetapi ia tidak dapat membantah lagi. Ia sadar, bahwa gurunya benar-benar
menghendaki perkelahian berhenti.
Dan tiba-tiba saja Pandan
Wangi bertanya kepada Sumangkar, “Siapakah Kiai? Apakah perempuan ini murid
Kiai?”
“Ya, Ngger,” jawab Sumangkar,
“gadis ini adalah muridku.”
“Kenapa tiba-tiba saja ia
menyerangku? Baik dengan kata-kata maupun dengan tongkat itu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. “Maafkan, Ngger. Aku kira hal ini hanya terjadi karena
kesalahpahaman.”
“Tidak, bukan sekedar salah
paham,” sahut Pandan Wangi. “Kami belum berkenalan, belum berbicara tentang apa
pun. Apa yang dapat menimbulkan salah paham?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Kau benar, Ngger. Tetapi pembicaraan Angger dengan orang-orang yang
menyerang Angger berdua sebelum inilah yang dapat menumbuhkan salah paham.”
Gupita menarik nafas. “Itukah
sebabnya, Paman? Dan Paman tidak mencegahnya?”
“Aku sudah mencoba, Ngger.”
“Maksud Guru, akulah yang
telah berkeras hati untuk berkelahi melawan gadis ini?” bertanya Sekar Mirah.
“Apakah yang harus aku
katakan, Ngger?” Sumangkar ganti bertanya. “Tetapi aku memang tidak mencegahnya
dengan keras. Ada keinginanku untuk melihat sampai di mana Anger Sekar Mirah
mampu mengungkapkan ilmunya menghadapi ilmu dari perguruan lain. Kali ini ilmu
yang diturunkan oleh Ki Argapati, bukankah begitu?”
“Apakah Kiai mengenal ayah?”
bertanya Pandan Wangi.
“Berkenalan secara pribadi
belum. Tetapi sudah tentu aku mengenal namanya.”
“Siapakah Kiai sebenarnya?”
“Sumangkar. Namaku Sumangkar.”
Dan Gupita melanjutkannya,
“Salah seorang bekas Senapati Jipang.”
“Bukan senapati,” Sumangkar
membetulkan, “seorang juru masak.”
Gupita menarik nafas sekali
lagi.
“Tetapi,” tiba-tiba Sekar
Mirah berkata lantang, “apakah aku akan berdiam diri menghadapi kenyataan ini?”
“Kenyataan yang mana?”
bertanya Gupita.
“Aku mendengar apa yang
dikatakan oleh keenam orang itu tentang kalian. Keenam orang yang berhasil
kalian kalahkan. Yang seorang di antaranya terbunuh itu.”
“Jangan kau dengarkan igauan
mereka,” sahut Gupita. “Kau akan mendengar langsung tentang Pandan Wangi
daripadanya, atau dari Gupala.”
“Siapa itu Gupala?” bertanya
Sekar Mirah.
Gupita mengerenyitkan alisnya.
“Namaku Gupita dan adikku bemama Gupala.”
“Gila, aku tidak mengenal
nama-nama itu,” desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi pun menjadi
bingung. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya gembala ini?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia mengetahuinya, bahwa agaknya guru anak muda itu telah
merubah nama murid-muridnya seperti apa yang sering ia lakukan atas dirinya
sendiri.
Agaknya nama Agung Sedayu
telah dirubahnya menjadi Gupita dan Gupala pastilah Swandaru Geni. Karena itu,
maka sambil tersenyum ia berkata, “Angger Gupita. Di manakah gurumu dan siapakah
namanya kini?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam.
Dan Pandan Wangi pun bertanya
pula, “He, siapakah sebenarnya gembala ini?”
Gupita berpikir sejenak,
kemudian ia menyahut “Marilah kita ke rumah. Sebaiknya kalian bertemu dengan
Gupala.”
“Aku tidak kenal Gupala,”
Sekar Mirah berteriak. “Dan aku tidak mau kembali ke tempat yang sama sekali
tidak aku kenal.”
“Sekar Mirah,” berkata Gupita,
“aku dapat mengerti, kenapa salah paham ini dapat terjadi. Tetapi kita jangan
memperbesar salah paham ini. Kita harus berusaha menyelesaikannya. Kalau kau
sudah bertemu dengan Gupala, eh, maksudku Swandaru, maka semuanya akan menjadi
jelas.”
“Siapakah Swandaru itu?”
Pandan Wangi-lah yang memotong. “Dan apakah hubungan gadis ini dengan Swandaru
dan dengan kau Gupita?”
“Nah, agaknya ia tidak
mengatakannya,” sahut Sekar Mirah. “Memang, menilik namanya yang sekarang,
Gupita, ia ingin melupakan hidupnya yang lama, ketika ia bernama Agung Sedayu.”
“Itulah yang aku maksudkan
dengan salah paham. Karena itu semakin cepat kita bertemu dengan Swandaru akan
menjadi semakin baik. Salah paham ini akan segera hilang.”
“Apakah hubungannya semua ini
dengan Kakang Swandaru?” bertanya Sekar Mirah.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia menjawab ragu, “Sekar Mirah. Swandaru akan dapat
menjelaskan kepadamu.” Lalu kepada Pandan Wangi Gupita berkata, “Pandan Wangi,
gadis yang bernama Sekar Mirah ini adalah adik Gupala. Yang nama sebenarnya
adalah Swandaru Geni.”
“He?” Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Sekilas teringat olehnya pesan
Gupala yang telah disampaikan kepadanya oleh Gupita. Kalau ia menerima pesan
itu, maka Sekar Mirah akan menjadi saudara perempuannya.
Dalam keragu-raguan itu ia
mendengar Sekar Mirah bertanya, “Apakah hubunganmu dan Kakang Swandaru dan
dengan gadis ini.”
“Tidak ada hubungan apa-apa
antara aku dan Pandan Wangi, selain dalam usaha bersama mempertahankan hak di
atas Tanah Perdikan ini. Hubungan yang lain agaknya sudah mulai dijalin antara
Pandan Wangi dengan Adi Swandaru. Aku kini adalah seorang utusan Adi Swandaru.
Tetapi sayang, bahwa pembicaraan kami belum selesai, orang-orang itu sudah
mengganggu kami. Apalagi tuduhan mereka yang keji telah membuat kami marah dan
kehilangan kesabaran.”
Sebuah getaran yang aneh telah
menyentuh dada Sekar Mirah. Meski pun tidak jelas benar, tetapi ia melihat
remang-remang hubungan antara gadis yang bernama Pandan Wangi itu dengan
kakaknya dan dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka dadanya pun menjadi
berdebar-debar seperti dada Pandan Wangi pula.
Dalam pada itu, Sumangkar yang
mendengarkan penjelasan Gupita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lebih
cepat dapat menangkap maksudnya. Bahkan sesaat kemudian ia telah mulai
mempunyai gambaran, hubungan antara mereka.
Tanpa maksud apa pun Sumangkar
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambl berkata, “Begitulah kiranya.
Angger Sekar Mirah memang terlampau cepat dibakar oleh perasaan cemburu.”
“Guru,” Sekar Mirah hampir
berteriak. Tetapi suaranya terputus.
Sumangkar hanya tersenyum.
Dipandanginya wajah muridnya dan wajah Gupita yang juga bernama Agung Sedayu
yang kemerah-merahan itu.
Sementara itu dada Pandan
Wangi berdesir tajam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah sejenak. Kini ia sempat
menilai gadis itu. Meskipun ia tidak sedang berhias, namun Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang cantik.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Inilah agaknya kunci dari pertanyaan yang selama ini tersimpan di
hatinya. Kenapa Gupita bertanya tentang hatinya, tidak atas namanya sendiri,
tetapi atas nama Gupala? Agaknya Gupita telah meninggalkan seorang gadis di
kampung halamannya, atau di suatu tempat yang lain, yang kini mencarinya.
Dengan gambaran yang meskipun
masih samar-samar tetapi kedua gadis itu kini telah mengerti, bahwa
sebenarnyalah mereka telah terikat dalam suatu salah paham.
Tetapi yang paling menyessl
adalah Sekar Mirah. Ia telah melontarkan tuduhan-tuduhan yang paling
menyakitkan hati. Samar-samar ia dapat menangkap maksud Gupita, yang katanya,
“Aku kini adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa pembicaraan
kami belum selesai, orang-orang itu sudah mengganggu kami.”
Meskipun demikian Sekar Mirah
masih saja berdiam diri mematung di tempatnya.
“Angger Sekar Mirah,” berkata
Sumangkar yang melihat penyesalan di wajah muridnya, “apakah salahnya, kalau
kau memberanikan dirimu minta maaf kepada Angger Pandan Wangi?”
Sekar Mirah menundukkan
wajahnya.
“Itu pasti akan lebih baik
bagi hubunganmu selanjutnya. Meskipun belum begitu jelas, tetapi aku melihat
kaitan hubungan di antara kalian semuanya.”
Sekar Mirah masih menundukkan
kepalanya. Sementara Pandan Wangi menjadi ragu-ragu menanggapi keadaan.
“Kalian adalah gadis-gadis
yang berjiwa besar,” berkata Sumangkar kemudian. “Aku percaya, bahwa kalian
akan dapat saling memaafkan dan melupakan apa yang baru saja terjadi.”
Kedua gadis itu kini semakin
menunduk. Sedang di dada Pandan Wangi masih juga terjadi gejolak yang
kadang-kadang hampir menyesakkan nafasnya. Masih juga terkenang olehnya,
gembala muda itu bermain dengan serulingnya, kemudian lari bersama-sama
menghindari anak buah Ki Peda Sura. Anak muda yang bemama Agung Sedayu itu
seolah-olah menyeretnya saja di sepanjang pematang sawah yang tidak digarap.
Tetap saat itu ia sama sekali
belum mengenal anak muda yang bernama Gupala, yang juga disebut bernama
Swamdaru Geni. Ia belum melihat anak muda periang yang gemuk itu.
Kini ia harus melihat
kenyataan. Meski pun tidak jelas, namun ia mengerti seperti yang dikatakan oleh
orang tua yang bernama Sumangkar itu, bahwa Sekar Mirah diamuk oleh perasaan
cemburu.
“Inilah kenyataan yang aku
hadapi,” desisnya di dalam hati. Tetapi kini selain Gupita ia telah mengenal
pula Gupala.
Menurut penglihatannya
keduanya mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Mempunyai daya tariknya
masing-masing.
Gupala yang juga bernama
Swandaru-lah yang telah menyatakan perasaannya kepadanya lewat Gupita. Dan
kini, seorang gadis telah datang pula mencari Gupita yang juga bernama Agung
Sedayu itu.
Dengan demikian maka Pandan
Wangi masih juga merenung untuk sesaat. Ia sadar dari angan-angannya ketika ia
mendengar Sumangkar berkata kepada Sekar Mirah, “Sekar Mirah. Seharusnya kau
minta maaf kepadanya. Selanjutnya kalian berdua harus melupakan apa yang pernah
terjadi ini. Memang pahit agaknya untuk mengakui kesalahan. Tetapi itu adalah
sikap yang paling baik.”
Betapa pun beratnya, dan
betapa pun tinggi hatinya, namun Sekar Mirah akhirnya berkata, “Pandan Wangi.
Aku minta maaf atas keterlanjuranku.”
Kepala Pandan Wangi pun
tampaknya terlampau kaku untuk mengangguk. Namun akhirnya kepala itu tergerak
juga sambil berkata, “Baiklah kita lupakan semua peristiwa yang baru saja
terjadi.”
“Nah,” sahut Sumangkar, “aku
memang sudah menyangka, bahwa kalian memang berjiwa besar. Angger Agung
Sedayu,” katanya kemudian kepada Agung Sedayu yang juga menyebut dirinya
Gupita, “kita menjadi saksi, bahwa seterusnya peristiwa ini tidak akan
disebut-sebut lagi.”
“Ya,” jawab Gupita, “kita
semua melupakannya.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, marilah kita
kembali ke padukuhan induk. Kita akan bertemu dengan Gupala, eh, maksudku
Swandaru, dengan Guru dan sudah tentu apabila keadaan mengijinkan dengan Ki
Argapati.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Kami senang sekali apabila kami dapat bertemu dengan Ki
Argapati.”
“Sudah tentu,” jawab Pandan
Wangi, “Ayah sudah menjadi berangsur baik. Ayah akan senang sekali dapat
menerima kalian.”
“Marilah,” berata Agung
Sedayu. “Kita dapat membicarakannya sambil berjalan.” Agung Sedayu merenung
sejenak, kemudian, “Apakah kalian hanya berjalan kaki?”
“Ya, kami memang hanya
berjalan kaki.”
“Kalau begitu, kami akan
berjalan pula. Atau kami akan naik berdua di atas seekor kuda?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun sebelum ia menjawab, Sumangkar telah berdesis, “Aku melihat
debu yang mengepul ke udara.”
Serentak semuanya berpaling ke
arah pandangan mata Sumangkar. Dan mereka pun melihat pula, debu yang mengepul
itu.
“Serombongan orang-orang
berkuda,” desis Pandan Wangi.
Semuanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lamat-lamat mereka sudah mendengar derap kaki kuda-kuda itu. Semakin
lama semakin dekat.
“Siapakah mereka?” bertanya
Sekar Mirah.
“Aku belum tahu,” jawab Pandan
Wangi.
“Marilah kita lihat,” bertanya
Agung Sedayu.
“Bagaimana kalau mereka adalah
sisa-sisa pasukan yang telah memberontak itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Apabila mereka mengancam
keselamatan kami, apa boleh buat,” jawab Pandan Wangi.
Mereka berempat pun kemudian
justru melangkah ke pinggir jalan yang akan dilalui oleh beberapa orang berkuda
itu. Semakin lama semakin dekat.
Namun Pandan Wangi kemudian
menarik nafas dalam-dalam.
“Mereka adalah para pengawal.”
“Apakah mereka sedang
meronda?” bertanya Gupita
“Mungkin. Mungkin mereka
sedang mengawasi daerah ini.”
Orang-orang berkuda yang
berpacu di sepanjang jalan itu pun menjadi semakin lambat pula ketika mereka
melihat Pandan Wangi telah berdiri di pinggir jalan bersama Gupita dan dua
orang yang tidak mereka kenal.
“O, kau sudah mencemaskan
seluruh penjagaan,” berkata salah seorang dari para pengawal itu sambil
menghentikan kudanya dan meloncat turun. Yang lain pun kemudian berloncatan
pula seorang demi seorang.
“Kenapa?” bertanya Pandan
Wangi.
“Kami menunggu terlampau lama
dan kalian masih juga belum kembali. Kami menyangka bahwa terjadi sesuatu atas
kalian berdua.” Orang itu berhenti sejenak. “Tetapi kini kalian justru
berempat.”
“Apakah kalian mencari aku?”
“Begitulah. Karena kami
menjadi cemas, maka kami terpaksa melihat apakah yang terjadi atas kalian.
Syukurlah bila tidak ada sesuatu yang terjadi.”
“Memang ada yang terjadi.
Kalian akan mendapat pekerjaan karenanya.”
“Apa?”
“Sebelah gerumbul itu ada
sesosok mayat. Bawalah ke padukuhan dan kuburlah baik-baik.”
Para pengawal itu mengerutkan
keningnya.
“Masih ada lagi. Aku meminjam
dua ekor kuda kalian. Kemudian empat orang dari kalian naik di atas dua ekor
kuda yang lain. Sementara orang kelima membawa mayat itu di atas punggung
kudanya pula.”
Sejenak mereka saling
berpandangan. Tetapi Pandan Wangi sudah berkata pula, “Jangan merenung. Nanti
di gardu kalian, aku akan menceriterakan apa yang sudah terjadi di sini.”
Para pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dua di antara mereka menyerahkan dua ekor
kuda, kemudian yang lain meloncat ke balik gerumbul mencari mayat yang disebut
Pandan Wangi.
Tetapi sampai di gardu
perondaan pun Pandan Wangi tidak sempat mencetiterakan apa yang terjadi
seluruhnya. Ia hanya mengatakan bahwa ia memang bertemu dengan beberapa orang
yang keras kepala, dan mencoba menyerangnya. Tetapi mereka dapat diusirnya bersama
dengan Gupita.
“Salah seorang daripadanya
terbunuh,” berkata Pandan Wangi. “Kuburlah mayat itu baik-baik.”
Pandan Wangi pun kemudian
membawa Sekar Mirah bersama gurunya ke induk padukuhan. Namun di sepanjang
jalan, pikirannya serasa menjadi kalut menghadapi persoalannya sendiri.
Persoalan pribadinya.
Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat ingkar pula, bahwa pada suatu saat ia pasti akan menghadapi masalah
serupa ini. Masalahnya bukan sebagai putri Kepala Tanah Perdikan yang
berhadapan dengan persoalan-persoalan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi masalahnya
sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa. Bahkan sebelum kedatangan Gupita
dan Gupala, persoalan itu pun pernah membingungkannya ketika Wrahasta dalam
saat-saat yang memuncak, mencoba untuk mengetahui pendiriannya.
Dengan demikian, maka hampir
tidak seorang pun yang berbicara di perjalanan. Mereka membiarkan angan-angan
masing-masing terbang menerawang ke ujung langit.
Semakin dekat dengan rumahnya,
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti, kesimpulan
apakah yang ditangkap oleh Gupita atas sikapnya. Ia belum sampai mengatakan apa
pun kepadanya.
Tetapi bukan saja Pandan Wangi
yang berdebar-debar, namun juga Sekar Mirah. Ia akan bertemu dengan Swandaru
dan yang lebih mendebarkan jantungnya adalah nama yang selama ini selalu
menghantuinya, Sidanti.
“Apakah yang akan aku lakukan
atasnya?” desisnya. Karena Sekar Mirah telah mendengar dari orang-orang Menoreh
di sepanjang perjalanannya bahwa Sidanti dan Argajaya kini ditahan di rumah Kepala
Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dendamnya kepada anak
muda itu telah melonjak sampai ke ujung ubun-ubun.
Di sepanjang jalan, diam-diam
Pandan Wangi teringat pula ceritera kakaknya tentang seorang gadis yang bernama
Sekar Mirah. Seorang gadis yang menurut kakaknya telah melukai hatinya, dan
berbuat tidak sewajarnya. Tetapi setelah ia mengetahui sifat-sifat kakaknya,
maka ia sudah tidak begitu mempercayai lagi ceriteranya. Apalagi setelah ia
melihat sendiri gadis yang bernama Sekar Mirah itu.
Ketika mereka mendekati
halaman rumah Kepala Tanah Perdikan, dari kejauhan mereka sudah melihat para
peronda di muka regol. Namun kemudian mereka pun melihat, bahwa di antara
peronda yang berdiri sebelah-menyebelah jalan itu terdapat Gupala. Agaknya ia
hampir tidak sabar lagi menunggu, sehingga setelah menyerahkan pengawasan Ki
Argajaya kepada beberapa orang pengawal, ia sendiri menunggu dengan gelisah
kedatangan Gupita dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia melihat empat
orang datang bersama-sama. Di antaranya Pandan Wangi dan Gupita.
“Siapakah yang dua?” ia
bertanya di dalam hatinya. Semakin dekat, Gupala menjadi semakin jelas melihat
kedua orang kawan Pandan Wangi dan Gupita itu. Tetapi seperti orang bermimpi ia
memperhatikan mereka, Seorang gadis dengan tongkat baja putih dengan pangkal
sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuningan.
Tongkat serupa itu pulalah
senjata Tohpati. Tetapi menurut dugaannya tongkat itu pasti sudah dibawa oleh
Untara ke Pajang.
“Sumangkar,” ia berdesis.
Gupala menjadi berdebar-debar.
Ia tidak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi.
Tetapi ia tidak dapat
mengingkari kenyataan itu. Yang datang bersama Pandan Wangi dan Gupita adalah
Sekar Mirah dan Sumangkar.
Tiba-tiba Gupala tidak dapat
mengendalikan dirinya. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat berlari
menyongsong orang-orang berkuda itu. Belum lagi mereka mendekat, Gupala sudah
berteriak, “He, kau itu Mirah?”
Sekar Mirah tersenyum. Sudah
lama ia tidak melihat kakaknya. Perasaan rindu yang melonjak di dadanya
ditahankannya. Ketika Swandaru berdiri di samping kudanya ia masih tetap duduk
saja di atas pungguag kuda itu.
“Mirah.”
Sekar Mirah tidak beranjak
dari tempatnya.
“Mirah. Apakah kau kesurupan?”
tiba-tiba tangan Swandaru yang juga bernama Gupala itu menarik tangan Sekar Mirah
sehingga gadis itu hampir saja jatuh terpelanting dari kudanya. Tetapi dengan
tangkasnya ia justru meloncat dan atas bantuan Gupala, Sekar Mirah berhasil
tegak di atas tanah.
Gupala heran sejenak melihat
sikap adiknya. Namun kemudian diterkamnya pundak gadis itu dan
diguncang-guncangnya. “He, kenapa kau kemari, Mirah. Bagaimana dengan Ayah dan
Ibu?”
“Sakit,” desis adiknya.
“Lepaskan dahulu.”
“Bagaimana kau sampai kemari?”
Lalu, “He, Paman Sumangkar. Apakah Kiai yang membawa Mirah kemari dan memberinya
mainan serupa ini?”
“Ya, Ngger. Akulah yang
memberinya.”
“Apakah kau dapat juga
mempergunakan?” Gupala bertanya kepada adiknya, kemudian, “Tetapi bagaimana
dengan Ayah dan Ibu?”
“Ayah dan Ibu siapa?” Sekar
Mirah bertanya.
Gupala mengerutkan keningnya
mendengar pertanyaan itu.
“Ayah dan Ibuku” ia menjawab.
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya. “Aku belum mengenal ayah dan ibu seorang anak muda gemuk yang
bernama Gupala.”
“Hus,” Gupala berdesis,
“jangan main-main. Aku bertanya sebenarnya. Bagaimanakah Ayah dan Ibu?”
Sekar Mirah memandamg Gupala
dengan tajamnya. Dan sekali lagi ia berkata sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Aku tidak kenal dengan seorang yang bernama Gupala. Bagaimana aku
dapat mengatakan sesuatu tentang ayah dan ibunya.”
“Kemayu kau,” desis Gupala.
“Kalau kau tidak kenal Gupala, maka kau tidak akan mengenal Gupita. Kenapa kau
mengikutinya kemari?”
“Siapa yang mengikutinya?”
“Paman Sumangkar. Dan kau
mengikuti Paman Sumangkar, begitu?”
“Aku tidak mengikuti siapa
pun.”
“Omong kosong. Sekarang jawab,
bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Apakah mereka selamat?”
Sekar Mirah akhirnya tidak
dapat mengganggunya terus. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab,
“Ya. Ayah dan Ibu selamat.”
“Syukurlah.”
“Dan kau sudah terlampau lama pergi.
Ayah dan Ibu menunggu siang dan malam. Apalagi Ibu. Karena itu, aku
diijinkannya mencarimu kemari, asal diantar oleh Paman Sumangkar.”
“Ya, ya. Aku memang sudah
terlampau lama pergi.” Gupala mengerutkan keningnya, lalu, “Marilah. Marilah,
Paman Sumangkar,” tetapi tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Maaf. Bukan akulah tuan rumah. Tetapi di sini ada Putri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.” Lalu ia bertanya kepada Pandan Wangi, “Apakah kau akan mempersilahkan
mereka?”
Tiba-tiba saja sikap Pandan
Wangi menjadi sangat kaku. Ia tidak dapat mengesampingkan masalah dirinya
sendiri. Sehingga karena itu ia tidak segera menjawab. Tetapi ketika terpandang
olehnya mata Swandaru, kepalanya justru tertunduk.