Buku 086
Pembicaraan mereka pun
kemudian dengan lancar merambat kepada berbagai macam persoalan. Kiai Gringsing
sengaja tidak dengan tergesa-gesa menyampaikan pesan-pesan dari Ki Demang
Sangkal Putung. Agaknya Ki Argapati tentu akan mengumpulkan beberapa orang
tua-tua di Tanah Perdikan Menoreh dan membicarakannya sama sekali. Karena itu,
maka Kiai Gringsing pun menunggu apabila saatnya telah datang.
Seperti yang diduga, maka Ki
Argapati kemudian telah siap menyuruh memanggil orang-orang tua yang biasa dibawanya
berbincang. Dan kepada Kiai Gringsing ia berkata, “Kiai. Jika sekiranya perlu,
aku akan memanggil orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku tidak
salah tanggapan, Kiai kali ini datang atas nama Ki Demang Sangkal putung.”
“Sebenarnyalah demikian, Ki
Gede. Dan aku beserta kedua kawanku seperjalanan dengan senang hati akan
menyampaikan semua pesan-pesan Ki Demang Sangkal Putung, kapan saja yang
sebaiknya bagi Ki Argapati.”
“Baiklah. Malam nanti kita
akan berkumpul di pendapa. Apakah Kiai sudah tidak terlampau letih?”
“Tentu tidak.”
“Kami pun ingin segera
mendengarnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Memang semakin cepat semakin
baik. Seakan-akan aku telah meletakkan beban yang tersangkut di dalam dada
ini.”
Ki Argapati tertawa. Tetapi ia
tidak menduga sama sekali bahwa beban yang tersangkut di hati Kiai Gringsing
dan kawan-kawannya adalah beban ganda. Jika mereka telah menyampaikan pesan Ki
Demang Sangkal Putung, maka akan datang gilirannya, mereka menyampaikan pesan
tentang kedua pusaka yang hilang itu, meskipun hanya kepada Ki Argapati seorang
diri.
Sebelum malam turun di atas
Tanah Perdikan Menoreh, maka tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh itu pun
dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kiri. Mereka segera mendapat
jamuan makan setelah mereka membersihkan diri di pakiwan.
Beberapa lamanya mereka
menunggu di gandok sambil berbicara di antara mereka. Tetapi mereka tidak lagi
membicarakan pesan Ki Demang di Sangkal Putung, tetapi mereka membicarakan
persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu.
“Besok,” berkata Ki Waskita
tiba-tiba, “aku akan minta waktu barang satu malam untuk singgah sebentar ke
rumah. Aku harus memberitahukan bahwa aku akan memperpanjang waktu kepergianku
dengan hilangnya pusaka-pusaka itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi, lusa kami sudah akan kembali.”
“Ya. Besok pagi-pagi aku
pergi, di pagi berikutnya aku tentu sudah berada di sini kembali.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun keduanya pun kemudian mengangguk.
“Kami tidak berkeberatan,”
berkata Kiai Gringsing, “tetapi di pagi hari berikutnya, Ki Waskita kami harap
sudah berada di antara kami, karena kita bersama-sama akan segera pergi ke
Mataram. Persoalannya akan segera beralih kepada persoalan yang barangkali
tidak kalah pentingnya dengan hari-hari perkawinan Swandaru. Justru dalam
lingkungan yang lebih luas. Tetapi kita pun tidak akan dapat mengabaikan
hari-hari yang sudah ditunggu oleh Ki Demang Sangkal Putung sekeluarga.”
“Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan
tidak ada persoalan apa pun yang menghambat perjalananku. Namun demikian, jika
pada saatnya aku tidak datang, tentu ada sesuatu yang menahan aku. Mungkin di
rumah, mungkin di perjalanan..”
“Apakah kami harus menyusul?”
bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu.
Namun kemudian ia menggeleng, “Aku kira tidak perlu. Dengan demikian aku justru
akan memperlambat perjalanan kalian dalam tugas ganda yang berat itu.”
“Tetapi Ki Waskita adalah
kawan yang terpercaya bagi kami berdua,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Waskita tersenyum. Sambil
menggeleng ia berkata, “Tentu tidak. Aku adalah pupuk bawang saja di dalam
persoalan ini. Baik persoalan Ki Demang Sangkal Putung maupun persoalan
hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu.”
“Jika Ki Waskita pupuk bawang,
lalu apakah kedudukanku?” bertanya Ki Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Tetapi Ki
Waskita tidak menjawab pertanyaan Ki Sumangkar.
Ketika kemudian malam turun
perlahan-lahan menyelubungi perbukitan Menoreh, maka beberapa orang-orang tua
di Menoreh mulai berdatangan di pendapa Ki Gede. Mereka adalah orang-orang yang
dipanggil oleh Ki Argapati untuk ikut membicarakan persoalan Pandan Wangi.
Sementara Pandan Wangi sendiri seolah-olah tidak mau keluar dari ruang dalam.
Hanya sekali-sekali saja ia pergi ke dapur. Tetapi jika beberapa orang gadis
yang membantu menyediakan jamuan buat para tamu mulai mengganggunya, maka ia
pun berlari masuk lagi ke ruang dalam.
Setelah orang-orang tua yang
diundang oleh Ki Argapati berkumpul di pendapa, dan Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Ki Sumangkar telah duduk pula bersama mereka, maka mulailah Ki Argapati
membuka pertemuan itu dan mempersilahkan Kiai Gringsing menyampaikan
kepentingan yang dipesankan oleh Ki Demang Sangkal Putung kepada orang-orang
tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku menyerahkan keputusan
persoalan ini kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan ini,” berkata Ki
Argapati. “Karena itu, kami ingin mempertemukan orang-orang tua di Menoreh
langsung dengan utusan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia harus menyisihkan persoalan pusaka-pusaka yang hilang untuk
sesaat, dan memusatkan pembicaraannya kepada pesan Ki Demang Sangkal Putung.
“Nah,” berkata Ki Gede Menoreh
kemudian, “aku persilahkan Kiai untuk memulainya.”
Kiai Gringsing beringsut
sedikit. Kemudian ia pun memandang berkeliling. Sambil mengangguk-angguk kecil
ia pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa aku membawa pesan Ki Demang
Sangkal Putung. Aku akan menyampaikan pesan itu kepada Ki Argapati di hadapan Ki
Sanak semuanya.”
Orang yang hadir di pendapa
itu pun mengangguk-angguk. Dan Ki Argapati pun menyahut, “Kami sudah siap,
Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Agaknya Ki Argapati sendiri ingin segera mendengar pesan itu.
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “yang penting yang harus kami sampaikan tinggallah masalah
waktu. Sudah barang tentu kami tidak akan mengulangi semua basa-basi seperti
pada saat kami mengantarkan Ki Demang melamar Angger Pandan Wangi. Pembicaraan
sudah berkembang lebih jauh daripada itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak,
lalu, “Untuk menyampaikan persoalan waktu itulah maka kami datang kemari.”
Kiai Gringsing pun kemudian
menyampaikan hasil pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung, sebagai pihak
bakal pengantin laki-laki. Namun karena ajang perkawinan yang pokok adalah pada
pihak pengantin perempuan, maka semuanya terserah kepada keluarga dan
orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Jadi, menurut perhitungan Ki
Demang, perkawinan itu akan berlangsung kira-kira empat puluh hari lagi?”
bertanya seorang yang rambut dan janggutnya sudah putih.
“Ya, Ki Sanak,” jawab Kiai
Gringsing. “Itu adalah permohonan waktu yang diberikan oleh Ki Demang atas
perhitungan orang-orang tua di Sangkal Putung.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih belum mengambil kesimpulan. Namun
rasa-rasanya ia tidak mempunyai keberatan apa pun tentang hari yang ditetapkan
itu, kecuali apabila menurut orang-orang tua hal itu merupakan hari pantangan.
“Empat puluh hari bagi
persiapan sebuah perkawinan adalah waktu yang pendek,” berkata salah seorang
dari orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Hari itu sendiri tidak
mengandung keberatan apa pun. Tetapi persoalannya adalah waktu yang pendek
itu,” berkata orang lain, “sehingga dengan demikian persoalannya tergantung
sekali kepada Ki Gede Menoreh.”
Semua orang memandang ke arah
Ki Gede Menoreh yang terangguk-angguk. Keningnya nampak berkerut. Agaknya ia
sedang mempertimbangkan berbagai kemungkinan tentang saat yang diminta oleh K i
Demang Sangkal Putung itu.
Untuk beberapa saat pendapa
kademangan itu menjadi sepi. Agaknya masing-masing sedang membuat
pertimbangan-pertimbangan di dalam hati.
Ki Gede Menoreh agaknya
menyadari bahwa persoalannya banyak tergantung kepadanya. Jika ia tidak berkeberatan
melaksanakan perkawinan anaknya dalam waktu singkat itu, muka semuanya akan
dapat menerimanya, karena tidak ada seorang pun yang mengajukan keberatan
sesuai dengan waktu yang disebutkan oleh Kiai Gringsing.
“Rabu Manis,” desis Ki Gede
Menoreh di dalam hatinya, “hari itu adalah hari lahir Swandaru. Waktunya tepat
saat matahari terbenam.”
Bagi Ki Argapati sendiri, hari
bukannya ketentuan yang paling penting. Baginya tidak ada hari yang mempunyai
kelebihan dari hari-hari yang lain. Jika ia memerlukan memanggil orang-orang
tua untuk memperhitungkan saat, maka hal itu semata-mata untuk memberikan
kesan, bahwa ia tidak meninggalkan perhitungan dan pertimbangan dari
orang-orang tua. Jika terjadi sesuatu kelak, orang-orang tua dan tetangga di
seputarnya tidak akan menyalahkannya.
Baginya kini yang terpenting
adalah pertimbangan jarak waktu. Kira-kira empat puluh hari lagi.
“Untunglah bahwa selama ini
aku sudah membuat beberapa persiapan. Perempuan-perempuan tua sudah mulai
menyediakan beberapa macam keperluan yang dapat disimpan. Kayu bakar telah
tertimbun di belakang kandang. Padi yang paling baik sudah disisihkan dan
dikeringkan. Setiap saat padi itu dapat ditumbuk dan menjadi beras yang putih.”
Sementara Ki Argapati membuat
pertimbangan di dalam hatinya, maka orang-orang tua di Menoreh pun seakan-akan
menunggunya untuk memberikan jawaban.
“Kiai,” berkata Ki Argapati
kemudian, “agaknya aku tidak mendengar pendapat yang tidak menyetujui saat
perkawinan yang diusulkan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sebagian dari
orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh agaknya menyerahkan persoalan itu
kepadaku. Bukan atas perhitungan hari, karena agaknya hari yang diusulkan oleh
Ki Demang itu tidak merupakan saat pantangan, tetapi tekanannya kepada waktu
yang sempit.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk sambil menjawab, “Demikilanlah agaknya Ki Gede. Namun segala
sesuatunya terserah kepada Ki Gede Menoreh.”
“Kiai,” berkata Ki Gede,
“sebenarnyalah bahwa hari-hari itu memang sudah kita tunggu. Sedikit atau
banyak, kami di sini sebenarnya telah membuat beberapa persiapan yang mungkin.
Karena itu, agaknya aku pun tidak berkeberatan atas jarak waktu yang dipesankan
oleh Ki Demang Sangkal Putung itu.”
“Jadi tegasnya?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Aku dapat menerima dengan baik
hari itu, kecuali jika ada pertimbangan lain dari orang-orang tua.”
Seorang tua menggelengkan
kepalanya sambil berkata, “Seperti yang sudah dikatakan. Hari itu bukan hari
pantangan. Apabila Ki Gede mempertimbangkan pelaksanaannya dapat dilakukan pada
hari itu, maka agaknya tidak ada persoalan lagi. Rabu Manis, selapan hari lebih
sedikit, karena besok, hari Rabu itu pun hari Rabu Manis pula.”
“Ya, kira-kira empat puluh
hari lagi,” sahut Ki Gede Menoreh.
“Semuanya terserah kepada Ki
Gede,” berkata seorang tua yang lain. “Hari itu memang bukan hari pantangan,
apa lagi hari itu merupakan hari lahir Angger Swandaru.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah. Semuanya merupakan
pertimbangan yang menentukan bagiku. Biarlah aku berpikir semalam. Besok aku
akan memberikan jawaban kepada Kiai Gringsing sebagai wakil dari Ki Demang di
Sangkal Putung.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Yang penting bagiku, bahwa tidak
ada keberatan apa pun juga dengan hari yang sudah ditentukan oleh Ki Demang itu.”
Dengan demikian maka pertemuan
itu pun sudah mencapai pokok persoalannya. Pertemuan seterusnya tinggallah
membicarakan tentang rangkaian dari upacara itu. Pakaian yang akan dikenakan.
Berapa hari pengantin laki-laki harus berada di rumah pengantin perempuan
sebelum saat perkawinan dan kelengkapan upacara yang lain sambil menikmati
hidangan yang satu persatu disuguhkan.
Tetapi pembicaraan itu sudah
tidak begitu penting lagi. Meskipun demikian satu demi satu Kiai Gringsing dan
kedua kawannya harus ingat benar apa saja yang sudah dibicarakan, supaya pada
saatnya tidak terjadi kesalahan dan kekisruhan.
Akhirnya pembicaraan itu pun
berakhir. Meskipun Ki Gede masih akan memberi keterangan besok, tetapi
rasa-rasanya semuanya sudah pasti.
Demikianlah maka orang-orang
tua di Tanah Perdikan Menoreh itu pun minta diri ketika malam menjadi semakin
larut. Udara menjadi bertambah dingin dan angin yang basah bertiup menyusup
masuk ke pendapa yang terbuka, mengguncang nyala pelita yang berwarna
kemerahan.
Sepeninggal orang-orang tua
itu, maka Ki Gede pun segera mempersilahkan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan
Ki Waskita untuk beristirahat. Ki Argapati mengerti, bahwa mereka tentu merasa
letih karena perjalanan mereka dan pembicaraan yang melelahkan pula.
Tetapi Kiai Gringsing pun
berkata, “Ki Gede. Kami minta maaf, bahwa kami masih minta waktu sedikit. Kami
masih ingin berbicara dengan Ki Gede seorang diri tanpa orang lain.”
Wajah Ki Argapati menjadi
tegang. Dipandangnya ketiga tamunya itu berganti-ganti. Namun ia tidak segera
dapat menangkap kesan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang
rasa-rasanya tetap tenang dan tidak melontarkan kesan kegelisahan sama sekali.
“Apakah masih ada yang kurang
dari pembicaraan kita?” bertanya Ki Argapai.
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Ditatapnya wajah Ki Argapati yang tegang.
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “memang masih ada yang kurang. Agaknya yang kurang itu
tidak kalah pentingnya dari yang sudah kita bicarakan.”
Ki Argapati menjadi semakin
tegang. Sejengkal ia bergeser maju mendekat.
“Tetapi Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing, “aku mempunyai permintaan. Persoalan yang akan kami sampaikan nanti,
hendaknya jangan sampai mengganggu persoalan yang tengah dihadapi oleh Ki Gede
dan seluruh warga Tanah Perdikan Menoreh.”
“Aku tidak mengerti,” desis Ki
Argapati.
“Persoalan yang akan kami
kemukakan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencana Ki Gede untuk
menyelenggarakan perelatan perkawinan Angger Pandan Wangi dan Swandaru.
Meskipun demikian, sebaiknya Ki Gede mengetahuinya agar dapat membuat
persiapan-persiapan yang masak menghadapi masa-masa perkawinan itu.”
“Baiklah Kiai. Meskipun aku
tidak mengerti apa yang akan Kiai katakan, tetapi aku sudah lebih dahulu
mempersiapkan diri melakukan semua pesan Kiai.”
“Ki Gede,” Kiai Gringsing pun
bergeser mendekat, “menjelang perkawinan Angger Pandan Wangi, ternyata Tanah
Perdikan Menoreh telah disusupi lagi dengan sebuah masalah yang dapat
menimbulkan kesulitan.”
Ki Gede Menoreh hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Sebenarnya ia ingin segera mendengar persoalan apa yang akan
dikatakan oleh Kiai Gringsing itu, tetapi ia masih tetap menahan diri.
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “yang mula-mula perlu kami sampaikan adalah sebuah berita
yang agak menggetarkan hati.”
“Tentang wafatnya Ki Gede
Pemanahan?”
“Bukan. Aku yakin bahwa berita
itu telah tersebar sampai ke ujung barat dan timur dari Tanah Pajang.”
“Jadi?”
“Sepeninggal Ki Gede
Pemanahan, Mataram telah di guncang oleh hilangnya dua buah pusaka. Pusaka yang
merupakan kekuatan batiniah bagi tegaknya Mataram. Bahkan beberapa orang
percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat menuntun wahyu keraton.”
“Maksud Kiai?”
“Kanjeng Kiai Pleret dan
Kanjeng Kiai Mendung telah jengkar dari ruang pusaka di Mataram.”
“He,” Ki Argapati terkejut
bukan kepalang. Wajahnya yang tegang menjadi bertambah tegang.
“Kedua pusaka itu hilang
diambil oleh beberapa orang yang berhasil memasuki ruang pusaka di Mataram.”
“Jadi Mataram telah dimasuki pencuri-pencuri
ulung?”
“Bukan saja pencuri, tetapi
perampok.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Keheranan yang sangat telah terpancar di wajahnya.
“Apakah Mataram saat itu
sedang kosong sama sekali?”
“Ki Juru Martani dan Raden
Sutawijaya ada di Mataram.”
“Ki Juru Martani ada?
Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?”
Kiai Gringsing pun kemudian
menceritakan serba sedikit dari beberapa hal yang diketahuinya tentang
hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu
Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. Rasa-rasanya cerita Kiai Gringsing itu sulit untuk dipercayai.
Namun dalam persoalan yang penting ini, Kiai Gringsing tidak sedang bergurau.
“Peristiwa itu memang aneh,”
berkata Kiai Gringsing
“Tentu ada sekelompok
orang-orang sakti. Bukan hanya satu atau dua orang.”
“Ya. Agaknya memang demikian.
Dan agaknya orang-orang itu dengan sengaja telah meninggalkan tanda-tanda
tertentu.”
“Tanda-tanda?”
Kiai Gringsing pun kemudian
menceritakan pula mengenai tanda-tanda yang dengan sengaja ditinggalkan oleh orang-orang
yang mengambil pusaka-pusaka itu.
“Tanda-tanda yang aneh. Aku
belum pernah melihat ciri-ciri yang demikian. Mungkin suatu perguruan yang
kurang terkenal. Mungkin suatu perguruan yang baru sekali meskipun pimpinannya
mengaku mempunyai tetesan darah Majapahit.”
“Mungkin sekali.”
“Tetapi apakah Ki Sumangkar
dan Ki Waskita juga belum pernah melihatnya?”
Keduanya menggelengkan
kepalanya
“Selagi Ki Sumangkar berada di
Jipang, apakah ada tanda-tanda yang mirip dengan tanda-tanda itu?”
“Aku belum pernah melihat
ciri-ciri seperti itu,” sahut Sumangkar kemudian. “Beberapa buah perguruan
kecil yang pada waktu itu membantu Adipati Jipang tidak ada yang memiliki
ciri-ciri yang mirip, atau mempunyai arti serupa dengan ciri-ciri yang
ditinggalkan itu.”
“Jika demikian, orang itu
sengaja menimbulkan kebingungan. Mereka menanggalkan tantangan yang tidak
bertanggung jawab, karena siapa pun dapat membuat ciri-ciri yang aneh-aneh
sekalipun,” berkata Ki Gede Menoreh.
“Mungkin memang demikian,”
sahut Kiai Gringsing. “Besok jika aku kembal ke Sangkal Putung, aku akan
mengambil tiruan dari ciri-ciri itu. Mudah-mudahan dapat aku pergunakan untuk
menemukan kelompok yang mengaku keturunan Majapahit itu.”
“Mudah-mudahan Kiai. Aku akan
menunggu pemberitahuan berikutnya. Mungkin persoalan ini akan merambat sampai
ke tlatah Menoreh seperti persoalan Panembahan Agung beberapa saat lampau.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sekilas ia memandang wajah Ki Waskita dan Ki Sumangkar
berganti-ganti. Kemudian katanya, “Ki Gede. Masih ada yang ingin aku
sampaikan.”
Ki Gede tidak menyahut.
“Adalah kebetulan sekali, pada
saat kami menyeberang Kali Praga, dengan tidak kami sengaja kami mendapat
sedikit petunjuk arah kepergian salah satu dari kedua pusaka yang hilang itu.”
Ki Argapati menjadi tegang.
Bahkan ia pun bergeser setapak sambil bertanya, “Ke mana arah itu, Kiai?”
Kiai Gringsing pun kemudian
menceritakan pendengarannya pada saat itu menyeberang Kali Praga. Tentang
sekelompok orang yang membawa sebuah songsong dan yang kemudian membunuh para
tukang perahu.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku sudah menduga, bahwa mau tidak mau aku
pasti akan terlibat lagi. Jadi salah satu dari pusaka yang hilang itu dibawa
menyeberang Kali Praga dan pergi ke tlatah Menoreh?”
“Begitulah kira-kira Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-angguk.
Katanya, “Terima kasih, Kiai. Memang seharusnya Kiai memberitahukan kepadaku.
Dengan demikian aku dapat berjaga-jaga.”
“Tetapi semuanya ini adalah
rahasia, Ki Gede. Bukan saja untuk ketenangan tlatah Menoreh yang akan
melaksanakan perelatan, tetapi bagi Mataram, kehilangan kedua pusaka itu pun
merupakan rahasia pula. Rakyat Mataram tidak boleh mengetahui bahwa kedua
pusaka itu telah hilang. Sebab jika demikian, maka seluruh rakyat Mataram akan
menjadi gelisah, dan barangkali akan mempengaruhi kepercayaan mereka kepada
pemimpinnya.”
Ki Argapati masih
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti, Kiai. Aku akan
merahasiakannya, demi kepentinganku sendiri dan kepentingan Mataram yang baru
tumbuh itu.”
“Terima kasih, Ki Gede. Kelak,
jika tiruan ciri-ciri itu sudah siap, aku akan membawa sekeping buat Ki Gede.
Mungkin akan berguna bagi Ki Gede dan bagi Mataram. Namun sebelum keperluan Ki
Gede sendiri selesai, maka sebaiknya Ki Gede tidak perlu merisaukannya. Karena
sebenarnyalah bahwa keperluan Ki Gede sendiri adalah keperluan yang penting
bagi masa depan anak perempuan Ki Gede itu.”
“Terima kasih, Kiai. Tetapi
justru dalam kesibukan itu aku harus berwaspada. Sudah barang tentu, ada satu
atau dua orang kepercayaanku yang akan aku beritahu hal itu. Tetapi dengan
jaminan bahwa mereka akan dapat memegang rahasia.”
Kai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk.
“Kepada mereka itulah aku akan
menyerahkan pengamanan Menoreh selama perelatan itu nanti berlangsung.”
“Ya, Ki Gede. Memang agaknya
tidak akan dapat diabaikan kemungkinan yang sama sekali tidak kita harapkan.
Mungkin mereka akan mempergunakan kelengahan masa-masa perelatan itu untuk
kepentingan mereka.”
“Memang tidak mustahil.
Untunglah bahwa Kiai kebetulan mendengar bahwa salah satu dari kedua pusaka itu
berada di tlatah Menoreh. Setidak-tidaknya lewat tlatah Menoreh. Bahkan mungkin
kedua-duanya, meskipun tidak bersama-sama atau mengambil jalan penyeberangan
yang lain.”
“Mungkin sekali, Ki Gede.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan
mencoba mencari keterangan lewat orang-orangku yang paling aku percaya. Aku
akan mencoba mencari berita, apakah ada orang atau sekelompok orang-orang yang
membawa sejenis pusaka yang menyeberang di tempat-tempat penyeberangan yang
lain.”
“Keterangan yang demikian akan
berguna sekali, Ki Gede.”
“Agaknya persoalan yang
menghambat tumbuhnya Mataram masih saja timbul.”
“Usaha itu akan dilakukan
terus-menerus dalam usaha sekelompok orang untuk menggagalkan Mataram. Bahkan
lebih jauh lagi, hancurnya Pajang sama sekali. Dan mereka adalah sekelompok
orang yang berada di bawah pengaruh orang yang menyebut dirinya mempunyai
keturunan darah Majapahit.”
“Aku semula menyangka bahwa
setelah Panembahan Agung dapat diselesaikan, maka tekanan pada Mataram akan
menjadi semakin ringan. Tetapi ternyata justru sebaliknya.”
“Karena itulah maka kita tidak
akan dapat tinggal diam, Ki Gede.”
“Apakah selama ini Kiai hanya
tinggal diam?”
Kiai Gringsing tersenyum. SekiIas
dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian katanya,
“Seharusnya aku berkata lain. Kita selama ini memang tidak tinggal diam. Juga
Ki Argapati.”
Yang lain pun tersenyum pula.
Betapa pahitnya peristiwa yang terjadi atas Mataram, namun orang-orang tua itu
masih juga sempat berkelakar.
Demikianlah, maka akhirnya
pembicaraan mereka pun berakhir. Ki Argapati mengerti sepenuhnya, apa yang
harus dilakukan, seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing dan kedua
kawan-kawannya. Bahkan, ia merasa bersyukur, bahwa dengan demikian ia dapat
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, dan tidak tenggelam dalam
kesibukan hari-hari perelatan.
“Orang-orang itu mungkin akan
menyalakan pertentangan seperti yang mereka lakukan atas Mataram dan Pajang.
Kehadiran pusaka itu di Menoreh akan dapat menumbuhkan salah paham, apabila
belum saling dimengerti,” berkata Ki Argapati kemudian. “Karena itu, kami
mengharap agar Kiai menyampaikan persoalan pusaka yang menyeberang ke Menoreh
itu kepada Ki Juru Martani.”
“Tentu. Dengan demikian kami
akan mendapat keterangan yang lengkap, dan untuk selanjutnya saling
melengkapi.”
Ternyata keterangan itu sangat
penting artinya bagi Ki Argapati. Meskipun mungkin pusaka itu hanya dibawa
lewat saja tlatah Menoreh, namun hal itu akan dapat menumbuhkan berbagai macam
masalah apabila Ki Argapati tidak mendapat keterangan lebih dahulu tentang
pusaka itu.
Ketika malam menjadi semakin
larut, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera kembali ke
dalam bilik yang disediakan bagi mereka.
Beberapa saat mereka masih
membicarakan masalah pusaka-pusaka itu. Namun kemudian mereka pun segera pergi
ke pembaringan dan tidur dengan nyenyaknya.
Pagi-pagi benar mereka telah
terbangun. Ki Waskita tetap pada rencananya untuk mengunjungi keluarganya
semalam agar mereka tidak terlampau gelisah karena kepergiannya yang
berlarut-larut.
“Aku menunggu sampai besok,”
berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Dan perjalanan Kiai
jangan sampai tertunda karena aku. Jika aku tidak datang besok, aku harap Kiai
melanjutkan perjalanan seperti rencana. Jika ada kesempatan, aku akan menyusul
sampai ke Sangkal Putung.”
Ki Waskita pun kemudian minta
diri pula kepada Ki Argapati untuk mengunjungi keluarganya barang satu malam.
“Jadi, aku hanya dapat
menyampaikan jawaban resmiku kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar malam
nanti?” bertanya Ki Argapati.
Sambil tersenyum Ki Waskita
menjawab, “Jawaban Ki Argapati sudah aku ketahui dengan pasti meskipun baru
malam nanti diucapkan dengan resmi.”
“O. Aku lupa bahwa aku
berbicara dengan seorang Ki Waskita yang benar-benar waskita.”
“Ah. Tidak. Bukan berdasarkan
atas ilmu apa pun. Sekedar pertimbangan lahiriah saja. Bukan saja aku, tetapi
agaknya Ki Demang Sangkal Putung yang tidak ikut serta datang ke Menoreh pun
sudah mengetahui jawaban Ki Gede yang akan diucapkan nanti.”
“Ah. Ki Waskita tidak boleh
mengurangi ketegangan kami,” berkata Ki Sumangkar, “biar saja kami menunggu
jawaban itu dengan tegang.”
Mereka pun tertawa. Ki
Sumangkar meneruskan, “Bukankah, kadang-kadang kita senang mengalami ketegangan
oleh sebuah teka-teki? Seperti kanak-kanak senang melakukannya?”
Ketika matahari kemudian
memanjat semakin tinggi, maka Ki Waskita pun kemudian berangkat meninggalkan
Menoreh, kembali ke rumahnya untuk sekedar mengurangi ketegangan keluarganya
yang telah menunggunya beberapa lama.
Dengan demikian, maka di malam
hari berikutnya, Kiai Gringsing hanya berdua saja dengan Ki Sumangkar, duduk di
antara orang-orang tua di Menoreh untuk mendengarkan jawaban Ki Argapati.
Jawaban yang sebenarnya sudah diketahui sebelumnya
Dengan demikian maka pertemuan
itu pun berjalan dengan cepat Tidak ada persoalan lagi di antara Ki Argapati
dan Kiai Gringsing sebagai wakil Ki Demang Sangkal Putung.
Karena itu, maka pertemuan itu
pun kemudian sebagian hanya sekedar pembicaraan yang tidak penting dari
acara-acara perkawinan yang bakal diadakan itu.
Namun sementara itu, Ki
Waskita yang telah berada di rumahnya, dirisaukan oleh persoalan yang tidak
dsangkanya. Ternyata Rudita tidak ada di rumah. Ia minta diri kepada ibunya
untuk pergi beberapa hari. Meskipun ibunya tidak mengijinkannya, tetapi ia
memaksanya juga.
“Aku sudah dewasa, Ibu. Dan
aku bukan sekedar sebuah golek yang hanya pantas diemban dengan cinde. Aku pun
ingin mengenal dunia ini dengan segala macam isinya. Yang halus, yang kasar,
dan segala bentuknya,” berkata Rudita.
Bagaimana pun juga ibunya
menahannya, bahkan dengan air mata, namun Rudita tetap juga pergi meninggalkan
rumahnya.
“Aku akan mencarinya,” berkata
Ki Waskita.
“Kau harus menemukannya,”
berkata ibunya, “bukankah Kakang dapat mengetahui di mana Rudita sekarang
berada?”
“Aku dapat menduga arahnya,”
berkata Ki Waskita, “tetapi aku tidak tahu tepat, di mana ia sekarang.”
“Ia tidak pernah pergi ke mana
pun juga selama ini. Apalagi sepeninggalmu, Kakang. Ia berada saja di dalam
biliknya. Siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berjalan-jalan di
halaman. Bergurau dengan pelayan-pelayan. Tetapi sejenak kemudian ia sudah
berada di dalam biliknya lagi.”
“Apa saja yang dilakukannya di
dalam biliknya?”
“Membaca rontal.”
“Rontal?”
“Ya. Rontal yang diambilnya
dari atas belandar, di dalam sebuah peti kecil.”
Dada Ki Waskita menjadi
berdebar-debar. Ia pun kemudian pergi ke tempat ia menyimpan rontal. Tetapi peti
itu masih ada di tempatnya.
“Rontal itu dikembalikannya
ketika ia berangkat.”
“Ia membacanya dengan tekun?”
“Ya. Hampir tidak pernah
berhenti. Seperti yang aku katakan, kadang-kadang saja ia keluar dari biliknya,
menghirup udara dan berkelakar sejenak, kemudian kembali lagi ke dalam bilik
itu.”
Ki Waskita pun kemudan
mengambil peti kecil di atas belandar di dalam biliknya. Ketika ia membuka peti
itu, sebuah rontal yang disimpan di dalamnya masih utuh. Dengan hati yang
berdebar-debar diambilnya rontal itu dan diamat-amatinya. Ia melihat beberapa
goresan tanda yang tentu dibuat oleh Rudita.
“Ia telah mempelajari ilmu itu
tanpa tuntunanku,” katanya di dalam hati, “sungguh mendebarkan, jika ia
mengambil arah yang salah, maka semuanya akan rusak.”
Tetapi hati Ki Waskita pun
menjadi agak terhibur. Tidak cukup waktu bagi Rudita untuk mempelajari ilmu itu
sebaik-baiknya, sehingga seandainya ia dapat menguasai beberapa bagian dan
terbenam dalam tujuan yang dikendalikan oleh nafsu, maka ia bukan seorang yang
sangat berbahaya.
Meskipun demikian Ki Waskita
masih juga cemas, jika Rudita ternyata mengembara di daerah yang sederhana dan
tenang, daerah yang hampir tidak pernah terjadi keributan apa pun juga, maka ia
akan dapat menjadi hantu yang paling menakutkan.
Tetapi Ki Waskita tidak
mengatakan kepada istrinya, bahwa Rudita telah menyadap ilmu di dalam rontal
itu, karena ia pun masih belum yakin bahwa Rudita berbuat demikian.
“Mungkin ia hanya sekedar
membaca dan ingin mengetahui serba sedikit tentang isinya Kemudian
mengembalikannya lagi,” katanya di dalam hati.
Namun ternyata ketika Ki
Waskita merenungi bilik anaknya, ia menemukan sehelai rontal di bawah tikar di
pembaringannya. Dengan dada yang bergetar ia mengamati rontal itu. Rontal yang
berisi goresan-goresan huruf-huruf dan gambar.
“Rudita telah mengutipnya,” ia
bergumam di dalam hati.
Kegelisahan Ki Waskita pun
melonjak di dalam dadanya. Rasa-rasanya ia ingin segera berlari menemukan
anaknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya bertambah glisah, sehingga
karena itu, maka ia telah menekan segala perasaan itu di dalam dirinya sendiri.
Selama di rumahnya, Ki Waskita
mencoba untuk bersikap wajar. Tanpa menumbuhkan berbagai prasangka dan
pertanyaan pada istrinya. Ia sempat menceriterakan, bahwa ia telah terlibat
daham pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan Swardaru dengan Pandan Wangi.
“Aku tidak dapat mengelak,”
katanya, “justru karena Rudita penah dengan berterus terang menunjukkan sikap
yang tidak sewajarnya terhadap Pandan Wangi.”
“Tetapi Rudita adalah anak
yang sangat baik. Ia sama sekali tidak menjadi kecewa dan berkecil hati karena
keangkuhan Swandaru,” jawab istrinya.
“Anak itu sama sekali tidak
angkuh.”
“Ia merasa dirinya menang.
Apalagi Ki Argapati agaknya berpihak kepadanya.”
“Kau salah sangka. Sama sekali
tidak ada perasaan yang demikian. Anggapanmu bahwa Rudita adalah anak yang baik
itu sudah benar. Ia, menarik diri tanpa tekanan dari siapa pun juga sehingga
tidak seorang pun merasa menang atasnya.”
“Tetapi ternyata, ada semacam
endapan di dalam hatinya. Semakin lama semakin padat, sehingga akhirnya
meledak. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan meninggalkan rumah ini dan
pergi tanpa arah. Bukankah itu semacam ledakan yang tidak tertahankan?”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Katanya, “Aku kira bukan, ia pergi karena desakan jiwa
petualangannya yang tumbuh setelah beberapa lamanya ia terkungkung dalam
sifat-sifat kemanjaannya.”
“Tentu tidak. Aku tidak pernah
mengajarinya menjadi seorang petualang. Aku mengerti, betapa jauh bedanya kehidupan
seorang petualang dengan kehidupan orang-orang kebanyakan. Aku pernah mengalami
hidup menjadi istri seorang petualang. Sehingga karena itu, aku ingin anakku
tidak menjadi petualang seperti ayahnya.”
Ki Waskita justru tersenyum
mendengarnya. Katanya, “Aku sudah berhenti menjadi petualang. Dan aku sudah
hidup seperti orang kebanyakan. Jika pada suatu saat aku pergi agak terlalu
lama, bukanlah karena aku bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain
seperti waktu aku masih muda. Sudah aku katakan, bahwa aku terlibat dalam
pembicaraan tentang hari perkawinan Angger Swandaru. Dan karena itu pula maka
aku masih harus kembali ke Menoreh dan bersama-sama Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pergi ke Sangkal Putung.”
“Dan kau biarkan saja anakmu
tidak pulang?”
“Tentu tidak. Aku mempunyai
dugaan atas isyarat yang aku tangkap, Rudita pergi ke daerah Sangkal Putung.
Mungkin ia memang sengaja mencari Agung Sedayu dan Swandaru di sana. Jika
demikian, maka adalah kebetulan sekali, karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak
ikut bersama kami ke Menoreh. Jika ia benar pergi ke sana, maka ia akan dapat
menemui Agung Sedayu dan Swandaru.”
“Sejak kapan kau meninggalkan
Sangkal Putung? Jika sekiranya Rudita pergi ke sana, maka ia pasti sudah sampai
di Sangkal Putung sebelum kau pergi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan mencarinya. Aku baru meninggalkan
Sangkal Putung lewat dua malam.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku
berkuda, dan Rudita berjalan. Apalagi ia belum melihat jalan yang langsung
menuju ke Sangkal Putung itu.”
“Terserahlah kepadamu,”
berkata istrinya, “tetapi aku minta pertanggungan jawabmu untuk mengembalikan
anakku itu kepadaku.”
Dengan demikian, maka yang
semalam suntuk itu adalah malam yang menggelisahkan bagi Ki Waskita meskipun ia
sama sekali tidak menunjukkan kesan yang demikian. Di dalam bilik Rudita ia
menemukan bukti-bukti yang lain, bahwa Rudita memang telah mengutip beberapa
bagian dari isi rontalnya.
Oleh selembar rontal yang
tertinggal karena terdapat beberapa kesalahan, dan yang agaknya sudah diganti
dengan yang baru, Ki Waskita mempunyai dugaan bagian-bagian yang manakah yang
telah menarik hati Rudita.
“Agaknya ia ingin mempelajari
ilmu ketahanan diri,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Dalam kegelisahan itu Ki
Waskita mencoba menghibur dirinya sendiri. Sifat-sifat Rudita pada saat
terakhir ia meninggalkan rumahnya mengarah kepada sifat-sifat yang baik. Sifat
damai dan rendah hati.
“Memang segalanya dapat
berubah. Tetapi aku masih berpengharapan, bahwa Rudita tidak ditelan oleh nafsu
yang ganas seperti Panembahan Agung dan orang-orang yang mengaku dirinya
keturunan Majapahit itu,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Kepergian Rudita juga dapat
dipakai alasan oleh Ki Waskita untuk segera meninggalkan rumahnya. Bahkan
istrinya bagaikan tidak sabar lagi menunggu fajar, agar suaminya segera
berangkat mencari anaknya.
“Aku harap kau masih lebih
mementingkan anakmu dari pada hari-hari perkawinan Angger Swandaru. Seandainya
kita dapat melupakan semua persoalan yang timbul antara Swandaru dan Rudita
sekalipun, kau masih harus mementingkan Rudita. Sangkal Putung tentu sudah
diurus oleh banyak orang karena mereka akan mengadakan perelatan. Mereka
menunggu hari-hari gembira. Sebaliknya dengan Rudita. Ia sedang diintai oleh
bahaya di setiap saat.”
“Tetapi keadaannya tentu tidak
segawat yang kau bayangkan. Keadaan sekarang sudah jauh lebih baik, setelah
Panembahan Agung tidak ada lagi. Padukuhan-padukuhan menjadi tenang dan damai.
Pada dasarnya kebanyakan orang akan tetap menghormati perantau yang singgah di
padukuhan masing-masing. Mereka biasanya, memberikan tempat dan kesempatan,
meskipun masih ada kecurigaan di antara mereka, karena keadaan memang masih
suram. Tetapi, jika sikap Rudita baik, maka ia akan mendapat sambutan dan sikap
yang baik di mana-mana.”
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa Rudita tidak akan menjumpai kesulitan di perjalanan.”
“Mudah-mudahan tidak. Aku akan
selalu berusaha mendapat hubungan dengan anak itu meskipun samar-samar. Sampai saat
ini, aku tidak melihat isyarat mau pun firasat yang mencemaskan keadaan anak
itu.”
“Jika kau tenggelam ke dalam
persoalan Swandaru, maka kau tidak akan sempat mencari anakmu. Bahkan hubungan
isyarat itu pun tidak dapat kau lakukan.”
“Ah, sudah barang tentu aku
tidak akan berbuat demikian. Rudita adalah anakku. Bukan saja aku merasa
bertanggung jawab. Tetapi aku memerlukannya sebagai penyambung namaku. Bukankah
karena Rudita aku memberanikan diri masuk ke dalam sarang Panembahan Agung
itu?”
Istrinya tidak menjawab lagi.
Namun nampak kemurungan yang mencengkam di wajahnya.
Meskipun demikian, menjelang
keberangkatan Ki Waskita di dini hari, istrinya masih juga tidak melupakan
kewajibannya. Menyediakan beberapa lembar pakaian yang dibungkus dengan kain berwarna
gelap.
Seperti biasanya Ki Waskita
tidak pernah memerlukan bekal yang lain. Juga tidak sepotong dua potong
makanan. Tetapi karena Ki Waskita termasuk orang yang berkecukupan, maka ia pun
membawa bekal uang secukupnya.
“Sampaikan permintaan maafku
kepada mereka yang datang kemari, tetapi tidak dapat aku temui karena
kepergianku,” berkata Ki Waskita.
“Pada saatnya tidak akan ada
orang yang mencarimu lagi, karera kau tidak pernah ada di rumah.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Sayang sekali bagi mereka yang benar-benar memerlukan pertolongan.”
Demikianlah, maka Ki Waskita
pun telah meninggalkan rumahnya lagi sebelum ia sempat melihat sawahnya yang
luas dan ternak di kandang. Namun ia masih sempat memberikan pesan kepada
beberapa orang pembantunya di rumah, agar mereka bekerja sebaik-baiknya,
sehingga tanaman di sawah akan tetap hijau, dan ternaknya pun tetap gemuk dan
terpelihara.
Sebelum matahari terbit, Ki
Waskita sudah berpacu kembali di atas punggung kudanya menuju ke rumah Ki
Argapati.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar menunggu aku barang sejenak, karena aku tidak dapat datang
tepat pada waktunya.”
Sebenarnyalah, Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar sudah siap pula untuk berangkat. Tetapi agaknya Ki
Argapati-lah yang menahan mereka barang setengah hari, menunggu kedatangan Ki
Waskita.
“Tentu agak berbeda dengan
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,” berkata Ki Argapati, “Ki Waskita harus
menyesuaikan diri dengan sikap istri dan anaknya.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tersenyum. Sambil mengangguk-angguk Kiai Gringsing berkata, “Baiklah,
aku akan menunggu sampai lewat tengah hari.”
Dalam pada itu, di sepanjang
jalan Ki Waskita digelisahkan oleh berbagai masalah yang baginya cukup penting.
Seperti kata istrinya, masalah Swandaru adalah masalah yang tidak banyak
memerlukan perhatiannya, karena persoalannya adalah persoalan yang
menggembirakan. Namun apabila setiap kali ia melihat bayangan yang suram pada
jalur jalan yang akan ditempuh oleh Swandaru dan Pandan Wangi, maka ada juga
sepercik kegelisahan di hatinya.
“Kenapa aku melihat bayangan
yang buram itu?” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat
menutup mata hatinya, bahwa ia sudah melihatnya.
Selebihnya adalah
pusaka-pusaka yang hilang itu, dan akhirnya kepergian Rudita setelah mengutip
beberapa bagian dari rontal yang disimpannya dengan baik.
Dalam pada itu, sementara Ki
Waskita berpacu dengan gelisah, Rudita sedang berada di kaki Gunung Merapi.
Badannya nampak menjadi kurus, dan pakaian yang melekat di badannya menjadi
kumal.
Namun demikian wajahnya nampak
tetap cerah, meskipun ia tidak dapat menyembunyikan keletihan yang mencengkam.
Sudah beberapa hari Rudita
berada di lereng Gunung Merapi di tepi sebuah sungai kecil yang memercik di
antara pepohonan liar. Suatu tempat yang hampir tidak pernah disentuh kaki
manusia.
Di sebuah lekuk batu padas
Rudita duduk sambil mempelajari rontal yang dibawanya. Seperti dugaan ayahnya,
Rudita memang telah mengutip beberapa bagian yang dianggapnya penting.
Dengan tekun rontal itu dipelajarinya.
Dimengerti dan beberapa petunjuk dilakukannya dengan tekun.
Setiap hari ia mengikuti
petunjuk yang tertulis di dalam rontal itu. Melakukan latihan jasmaniah.
Berlari-lari dan meloncat-loncat. Kemudian merangkak seperti seekor harimau.
Memanjat seperti seekor kera. Dan di antara gerakan-gerakan yang penting, maka
ia melakukan pula latihan-latihan ketahanan dan penguasaan tubuh.
Setiap hari ia melakukan
latihan-latihan lain yang agak asing bagi orang lain. Berjalan dengan kedua
belah tangannya. Berdiri tegak dengan alas kepalanya dan kedua kakinya di atas.
Duduk bersila sambil merentangkan tangannya lurus ke samping. Bahkan melenting
seperti ulat dan melingkar seperti luwing.
Perlahan-lahan Rudita berhasil
menguasai dirinya sendiri. Menguasai setiap gerak atas kehendak, meskipun tidak
mutlak. Bahkan akhirnya ia dapat menguasai perasaan sakit dan lelah.
Meskipun demikian Rudita tetap
menyadari, bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Karena itu ia tetap menyadari
betapa keterbatasan kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian, maka setiap
latihan Rudita telah memadukannya dengan permohonan yang tekun kepada
Penciptanya, agar ia diperkenankan mempergunakan segala kurnia yang ada padanya
di dalam ketahanan dan penguasaan tubuhnya.
Tetapi landasan utama dari
segala latihan Rudita, bukannya penguasaan tubuh itu saja, tetapi juga
penguasaan nafsu. Segala macam nafsu. Yang baik dan yang buruk.
Seperti yang ditulis di dalam
rontal itu pula, Rudita pun menyesuaikan makanan yang dimakannya sehari-hari.
Meskipun ia membawa bekal uang, tetapi ia tidak memanjakan lidahnya dengan
makanan yang enak setelah letih berlatih. Tetapi ia makan apa yang ada. Bekal
yang dibelinya berhari-hari yang lewat, ketika memutuskan untuk tinggal
beberapa lama di tempat terpencil itu.
Selain jenis akar, Rudita
makan juga beberapa jenis dedaunan. Tetapi tidak segala jenis buah. Karena itu,
maka Rudita tidak pernah menyentuh nasi beras mau pun jagung, meskipun
seandainya ia ingin, ia dapat membelinya, berapa saja yang dikehendaki.
Selain jenis ubi, Rudita juga
makan setiap hari jenis empon-empon. Kunir, lempuyang, temu ireng dan beberapa
jenis yang lain.
Dalam pada itu, Rudita
menyadari sepenuhnya, bahwa latihan-latihan itu tidak akan dapat diselesaikan
dalam waktu beberapa hari, bahkan beberapa pekan. Tetapi ia harus tetap
menekuninya untuk beberapa tahun. Namun yang beberapa pekan itu akan sangat
berarti baginya. Ia akan dapat menguasai persoalan-persoalan pokok dari ilmu
yang disadapnya dari rontal yang disimpan oleh ayahnya. Rontal yang bukan saja
berisikan huruf-huruf tetapi juga gambar-gambar.
Tetapi agaknya perhatian
Rudita agak berbeda dengan ayahnya, sehingga bagian-bagian yang ditekuni pun
agak berbeda pula dari ayahnya, meskipun secara umum ia sudah membaca seluruh
isi rontal itu.
Meskipun demikian, setiap kali
Rudita masih juga bertanya di dalam dirinya. Apakah ia akan dapat berhasil
menguasai bagian dari ilmu itu tanpa seorang guru.
“Isi rontal itu baru sebagian
kecil dari ilmu yang dimiliki oleh Ayah seluruhnya. Bahkan sebagian besar ilmu
Ayah disadap dari gurunya, bukan dari rontal itu,” berkata Rudita kepada diri
sendiri. “Namun jika aku berhasil menguasai sebagian saja dari isi rontal itu,
agaknya sudah cukup baik bagiku.”
Dan sebenarnyalah Rudita
dengan tekun mempelajarinya sejauh-jauh dapat dilakukan.
Ternyata usahanya dari hari ke
hari itu pun mendapat kemajuan, ia mulai merasa jasmaninya bagian mutlak dari
penguasaan kehendak. Ia mulai menguasai dengan pasti setiap gerakan. Ia dapat
menguasai gerak-gerak naluriahnya dengan sebaik-baiknya, mempergunakan segenap
tubuhnya seperti yang dikehendakinya. Penguasaan perasaan sakit dan lelah.
Tetapi seperti yang
disadarinya sepenuhnya, ia adalah seorang manusia wantah. Yang tidak akan dapat
melampaui batas kemampuan manusia yang memang lemah.
Namun Rudita menjadi seorang
manusia yang pada ujud lahirahnya mempunyai banyak kelebihan dari sesamanya.
Tubuhnya mempunyai daya tahan
yang luar biasa. Meskipun ia tetap menyadari sentuhan saraf dan peraba, tetapi
ia seolah-olah dapat mengesampingkan perasaan sakit, lelah dan sejenisnya.
Meskipun demikian, Rudita
tetap berusaha seperti yang dilakukan atas jasmaninya, juga atas rohaninya. Ia
menjaga agar tetap merasa dirinya sejemput debu di bawah kaki Yang Maha Kuasa, sehingga
dengan demikian, ia tidak akan melakukan perbuatan yang menyimpang dari
kehendak-Nya.
“Tak ada yang dapat aku
lakukan berdasarkan atas kemampuanku sendiri,” katanya di dalam hati, “semuanya
adalah karena kurnia-Nya, dan terlebih-lebih kurnia penggunaan-Nya.”
Dengan demikian, maka Rudita
adalah tetap Rudita seperti pada saat ia ditinggalkan oleh ayahnya. Ia tetap
seorang yang menyadari dirinya sepenuhnya. Tanpa dikuasai oleh nafsu dan
ketamakan. Bahkan sebaliknya, dengan latihan-latihan yang berat itu ia berhasil
menguasai bukan saja jasmaninya, tetapi juga nafsunya.
Seperti biasanya di setiap
pagi Rudita turun ke sungai kecil di sebelah lekuk batu tempatnya berteduh di
hujan dan panas. Mengambil air dengan upih dan membawanya naik setelah mandi. Air
yang disediakan untuk minum dan membersihkan tangan dan kakinya.
Tetapi baru saja Rudita
menyuruk masuk ke dalam lekuk batu karang di lereng, tiba-tiba ia merasa tanah
tempatnya berpijak tergetar. Air ditangannya bagaikan direnggut dengan kasar
dan tertumpah di tanah.
Segera Rudita sadar, bahwa
lereng Gunung Merapi telah diguncang oleh gempa. Karena itu ia pun segera
melangkah surut, karena lekuk batu padas itu akan dapat runtuh dan menimbunnya
sekaligus.
Di luar sadarnya, bahwa lereng
Gunung Merapi yang di guncang itu telah longsor. Suaranya gemuruh memekakkan
telinga. Beberapa butir batu bergulung-gulung di lereng yang terjal.
Rudita termangu-mangu sejenak.
Ia menyadari bahaya yang dapat melumatkannya. Karena itu, maka ia pun segera
berusaha menyelamatkan dirinya, menghindar dari timbunan batu-batu di lereng
Gunung Merapi itu.
Dengan sekuat tenaganya
meloncat menjauh. Di hadapannya adalah sebuah sungai kecil tempat ia mandi
setiap pagi.
Karena itu, maka ia pun harus
terjun ke dalamnya dan meloncat naik ke seberang.
Adalah di luar dugaan Rudita
sendiri, bahwa tubuhnya menjadi terasa jauh lebih ringan. Dalam pengerahan
tenaga, ia mempergunakan kemampuan yang telah dipelajarinya selama itu. Agaknya
ada juga pengaruhnya. Ia telah mampu mempergunakan tenaga cadangan yang ada di
dalam dirinya sebaik-baiknya. Ia tidak saja mampu meloncat jauh lebih panjang
apabila ia dikejar oleh ketakutan di masa kanak-kanak. Tetapi kini ia menguasai
tenaga yang pada masa lampaunya hanya dapat terungkap justru di luar sadar.
Itulah sebabnya, Rudita mampu
meloncat dengan sigap turun ke sungai kecil itu, kemudian dengan sekali loncat
pula, ia telah berada di seberang.
Namun lemparan batu-batu yang
tergelincir itu ternyata mampu mengejarnya. Beberapa buah batu sebesar kepalan
tangan telah berguguran seperti hujan, terlempar agak jauh dari lereng itu,
meloncati sungai kecil itu pula.
Rudita terkejut bukan buatan
ketika ia sempat menengadahkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat lagi
menghindari batu-batu yang meluncur ke arahnya.
Meskipun demikian, Rudita
tidak menjadi putus asa. Ia pun segera berusaha meloncat sejauh-jauh dapat
dilakukan dengan segenap tenaga yang dapat dipergunakannya.
Dengan demikian, Rudita
bagaikan dilontarkan oleh kekuatan yang luar biasa besarnya, beberapa kali
lipat kekuatan yang dapat dilakukan sebelumnya.
Namun batu-batu yang runtuh
itu telah terlampau rendah, sehingga betapa pun ia meloncat dengan cepat dan
jauh, tetapi ia masih tetap merasakan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya. Beberapa
buah batu sebesar kepalan tangan yang bagaikan dilontarkan dari puncak gunung
itu telah memukulnya pada beberapa bagian tubuhnya. Pada pundaknya,
punggungnya, kaki dan lengannya.
Bagaimana pun juga, hati
Rudita telah dicengkam oleh kecemasan. Kulit dan dagingnya akan menjadi sobek
dan tersayat. Bahkan mungkin ia akan jatuh terbanting di tanah dan tertimbun
oleh bebatuan itu.
Tetapi ternyata yang terjadi
adalah berbeda dengan dugaan Rudita sendiri. Loncatannya telah berhasil
menjauhkannya dari guguran lereng gunung itu. Dan bahkan Rudita sendiri menjadi
heran. Tubuhnya sama sekali tidak terluka oleh sentuhan-sentuhan batu yang
berguguran.
Ketika ia sudah berdiri agak
jauh dari reruntuhan yang semakin lama menjadi semakin mereda itu, ia sempat
menilai dirinya sendiri. Ternyata ia masih tetap dirangsang oleh sentuhan pada
tubuhnya. Namun ada sesuatu yang dapat dikembangkannya sebaik-baiknya. Ia tidak
terluka dan dapat menguasai perasaan sakit yang menyengat meskipun sentuhan
batu-batu itu membekas kebiru-biruan. Meskipun perasaan sakit itu ada, namun ia
berhasil mengatasinya dan mengendapkannya.
Sejenak Rudita berdiri
termangu-mangu. Ketika guguran batu-batu itu berhenti, ia pun mulai menyadari,
bahwa sebenarnya ia telah berhasil menguasai dasar dari ilmu yang dipelajarinya.
Pada saat yang bersamaan,
ketika Gunung Merapi mengguncang bukan saja lerengnya sendiri, Ki Waskita yang
sudah berada di tlatah Menoreh merasakan guncangan itu pula. Bukan saja
guncangan lahirlah, tetapi rasa-rasanya getaran yang dahsyat telah menggetarkan
jantungnya. Sekilas terpercik isyarat tentang anaknya. Rasa-rasanya sesuatu
telah terjadi dengan Rudita.
Namun ia pun kemudian menjadi
tenang kembali setelah gempa berhenti. Ia masih tetap dapat berhubungan dengan
getar yang seolah-olah memancar dari pusat dasar jantung anaknya. Bahkan
seolah-olah menjadi semakin jelas.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat meraba isyarat yang diterimanya. Rudita tentu telah
mengalami sesuatu. Tetapi ia tentu masih tetap selamat dan keadaannya tetap baik.
Karena itu, maka Ki Waskita
pun melanjutkan perjalanannya yang tinggal beberapa puluh tonggak saja,
langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh dengan harapan, bahwa ia masih akan
bertemu dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar di sana.
Di Menoreh, Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar sudah menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka merasakan goncangan
yang keras seolah-olah telah mengayunkan lampu-lampu minyak yang bergantungan.
“Gempa,” desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar mengangguk lemah.
Beberapa orang nampak berlari-larian membawa anak-anak mereka ke halaman.
Mereka menjadi ketakutan karena rumah mereka bagaikan akan roboh.
Tetapi gempa itu tidak terlalu
lama. Hanya beberapa saat saja. Dan ketika gempa berhenti maka semuanya menjadi
tenang kembali.
Namun, beberapa orang mulai
mencari-cari arti daripada gempa itu. Mereka menghubungkan dengan
persoalan-persoalan penting di dalam keluarga masing-masing. Orang-orang tua di
Menoreh mencoba mencari kelemahan-kelemahan pada pembicaraan mereka tentang
akan dilangsungkannya perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Tetapi beberapa
orang Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan yang mengetahui hilangnya kedua
pusaka dari Mataram, mencoba mencari hubungan dengan hilangnya pusaka-pusaka
itu. Sedang di Pajang, beberapa Senapati yang berprihatin melihat perkembangan
Pajang menjadi semakin muram. Apakah Pajang benar-benar akan semakin susut?
Namun dalam pada itu, orang
yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit, dan yang telah
berhasil mengambil kedua pusaka dari Mataram, tertawa gembira. Mereka
menganggap bahwa gempa itu adalah isyarat akan runtuhnya Pajang dan Mataram
sekaligus.
Tetapi sementara itu, Rudita
yang berada di kaki Gunung Merapi merasakan, bahwa Gunung itulah yang bergetar.
Segumpal awan yang putih seakan-akan merambat menuruni lereng. Awan yang
mengandung nafas maut, karena awan itu panasnya melampaui panasnya bara.
Untunglah bahwa awan itu
meluncur ke arah yang lain, sehingga Rudita tidak harus melarikan diri dari
tempatnya.
Dengan demikian, Rudita tidak
menghubungkan gempa itu dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya atau
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Baginya, Gunung Merapi-lah
yang agaknya terganggu, sehingga terjadi sesuatu di puncaknya. Mungkin
guguran-guguran batu-batu padas sebesar kerbau. Mungkin guguran awan panas, dan
mungkin karena lubangnya tersumbat, atau sebab-sebab yang lain. Tetapi yang
penting bagi Rudita kemudian adalah pergi menjauhi gunung itu. Karena gunung
itulah yang telah mengguncang hampir seluruh daerah Pajang. Bukan karena
sebab-sebab yang dapat dicari pada persoalan di daerah yang telah diguncangnya,
tetapi persoalannya harus dicari pada perut gunung itu sendiri.
“Aku dapat melanjutkan
latihan-latihan sambil berjalan,” berkata Rudita kepada diri sendiri, “aku
harus mulai dengan perjalanan yang sebenarnya. Merantau melihat luasnya pulau
ini.”
Di luar sadarnya, Rudita
meraba kantong yang selalu tergantung di ikat pinggangnya. Kantong kecil yang
berisi rontal dan beberapa keping uang. Rontal itu sangat penting artinya,
sehingga hampir tidak pernah terpisah dari padanya.
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Bekal itulah yang akan dibawanya untuk menempuh petualangan yang
lain dengan petualangan yang pernah dijalani oleh ayahnya. Ketika ayahnya
merasa dirinya orang yang tidak terkalahkan di masa mudanya, maka ia pun telah
pergi bertualang pula, sebelum akhirnya jiwanya mengendap dan menemukan bentuk
kehidupan yang jauh lebih manis dari melumuri jari-jari tangannya dengan darah.
Namun dalam pada itu, Rudita yang
merasa bahwa ilmu yang dipelajari itu baru pada dasarnya saja, dan tidak lebih
dari sebutir batu kerikil dibanding dengan ilmu yang dimiliki oleh ayahnya yang
jauh berlipat dari ilmu yang tercantum di dalam rontal itu, mulai dengan
petualangan yang berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh ayahnya itu.
Sementara itu, Ki Waskita
menjadi semakin dekat dengan pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih
mengharap akan dapat pergi bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Selain ia mempunyai kawan di perjalanan, ia akan mendapat tempat untuk
mengurangi beban perasaannya, atas kepergian anaknya.
Pada saat anaknya hilang, Ki
Sumangkar telah ikut serta menyusuri bahaya, langsung ke tempat anak tersebut
disembunyikan oleh orang-orang Panembahan Agung. Dan kini tentu Ki Sumangkar,
setidak-tidaknya akan merasa tersentuh perasaannya karena Rudita telah pergi
dengan selapis ilmu yang dipilihnya dari keseluruhan isi rontalnya.
Dengan dada yang
berdebar-debar Ki Waskita mendekati regol halaman Ki Argapati. Tiba-tiba saja
jantungnya serasa disiram dengan air embun ketika ia masih melihat Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar duduk di pendapa dengan gelisah.
“Ah,” berkata Kiai Gringsing
dengan serta-merta, “hampir saja kami berangkat. Ki Waskita sudah terlambat beberapa
lama. Sudah barang tentu jaman sudah berbalik jika seseorang seperti Ki Waskita
masih harus terlambat.”
Ki Waskita menambatkan
kudanya. Sambil tersenyum ia berjalan menuju ke tangga pendapa, sementara Ki
Argapati dan beberapa orang bebahunya berdiri menyongsongnya. Demikian juga
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Setelah mereka duduk di
pendapa, dan Ki Argapati sempat menanyakan keselamatan keluarga Ki Waskita,
maka rasa-rasanya Ki Waskita tidak sabar lagi untuk menceritakan kepergian
anaknya, meskipun ia masih belum mengatakan apa pun juga tentang rontalnya.
“Jadi Angger Rudita pergi?
Atas kehendak sendiri, atau hilang seperti yang pernah terjadi?” bertanya Ki
Argapati.
“Atas kehendak sendiri, Ki
Gede,” berkata Ki Waskita, “ia minta diri kepada ibunya, dan tidak dapat
ditahan lagi.”
Ki Argapati, Kiai Gringsing,
dan Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah melihat arah
perkembangan jiwa Rudita pada saat terakhir. Agaknya Rudita yang kemudian
menyadari akan dirinya sebagai seorang laki-laki telah memilih jalannya
sendiri.
Dalam pada itu, hampir di luar
sadarnya Ki Argapati berkata, “Angger Rudita telah berubah. Tetapi apakah jalan
yang ditempuhnya tidak terlampau berbahaya baginya?”
“Aku kira sangat berbahaya,”
sahut Ki Sumangkar.
Ki Waskita menggangguk-angguk.
Katanya, “Ya. Jalan yang dipilihnya ternyata jalan yang berbahaya. Tetapi
ibunya sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya. Dengan menangis ibunya
minta agar ia menunggu kedatanganku. Kemudian terserah kepadaku, apakah aku
mengijinkan atau tidak. Tetapi Rudita tidak mau mendengarnya. Dengan demikian,
maka rasa-rasanya ibunya telah kehilangan anaknya. Rudita adalah seorang anak
laki-laki yang lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya. Tetapi tiba-tiba
ibunya merasa seolah-olah anak itu telah memberontak terhadapnya dan pergi
meninggalkannya.”
“Apakah Ki Waskita tidak dapat
mengetahui, kira-kira atau menurut isyarat, ke manakah perginya Angger Rudita
itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku dapat menduga arah
kepergiannya, Kiai,” jawab Ki Waskita, “tetapi tentu tidak pasti, karena Rudita
sendiri selalu bergerak. Berbeda dengan saat ia berada di tangan Panembahan
Agung. Anak itu seolah-olah berhenti pada suatu titik tertentu sehingga arahnya
tidak begitu sulit aku ketemukan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi di wajahnya tergurat kecemasan tentang keselamatan
anak yang masih terlampau hijau itu.
“Ki Waskita,” berkata Kiai
Gringsing, “Angger Rudita seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi buruk.
Tiba-tiba saja ia sudah melangkah menempuh perjalanan yang berbahaya tanpa
bekal apa pun.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian serba sedikit dikatakannya tentang rontalnya.
“Rudita agaknya telah mengutip
beberapa bagian dari rontal itu. Meskipun aku tidak tahu pasti, pada
bagian-bagian yang mana, tetapi setidak-tidaknya ia telah memilih beberapa
bagian yang menyangkut ilmu ketahanan tubuh.”
“Dan Angger Rudita berusaha
untuk menguasai ilmu itu tanpa tuntunan seorang guru, atau petunjuk dari siapa
pun juga?”
“Itulah yang mencemaskan.
Mungkin ia dapat menguasai ilmunya, tetapi kegunaannya? Aku cemas, bahwa Rudita
akan menjadi kambuh pada sifat-sifat pemanjaannya. Dengan bekal ilmu yang
separo masak itu, ia dapat memanjakan dirinya dan memaksa orang lain untuk memanjakannya
pula.”
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Ia melihat keseluruhan dari peristiwa yang terjadi beruntun. Sebelum
Swandaru sempat duduk bersanding, maka persoalan yang terjadi di sekitarnya
telah berkembang demikian cepat, dan yang mencemaskan adalah perkembangan yang
memburuk.
Hilangnya pusaka-pusaka yang
penting dari Mataram, kemudian hilangnya Rudita. Betapa pun juga, ia tidak akan
dapat seolah-olah tidak mendengar dan tidak melihat persoalan-persoalan itu.
Dalam pada itu, agaknya Ki
Waskita pun melihat gejolak perasaan Kiai Gringsing, sehingga karena itu maka
katanya, “Kiai, jika Ki Juru Martani dapat mengatakan, bahwa hilangnya kedua
pusaka dari Mataram itu hendaknya jangan mempengaruhi persoalan yang sedang
Kiai bawa dari Sangkal Putung ke Menoreh, maka sudah barang tentu aku pun akan
berkata demikian. Kepada Kiai Gringsing, dan kepada Ki Argapati. Hilangnya
Rudita bukan merupakan persoalan yang harus merenggut segala rencana dan
persiapan yang sudah masak. Bahkan aku akan tetap membantu menyelenggarakannya.
Bukankah persoalannya dapat diselesaikan bersama-sama? Perjalanan hilir-mudik
antara Tanah Perdikan Menoreh, lewat Mataram ke Sangkal Putung dan sekaligus
mencari Rudita di sepanjang jalan.”
“Apakah Rudita itu ada di arah
perjalanan itu?”
“Bahkan aku menduga Rudita
akan pergi ke Sangkal Putung. Ada isyarat yang menunjukkan arahnya meskipun
tidak tepat. Tetapi agaknya karena Rudita belum mengetahui jalan ke kademangan
itu, sehingga ia tersesat dan sedang berusaha untuk menemukan jalan yang benar.
Agaknya ia ingin bertemu lagi dengan Angger Agung Sedayu dan Swandaru.” Ki
Waskita berhenti sejenak, lalu, “Setelah arah perkembangan jiwanya berubah,
maka agaknya Rudita mengagumi Angger Agung Sedayu dan Swandaru. Ternyata
beberapa kali ia menanyakan kepadaku tentang kedua anak-anak muda itu.”
“Memang mungkin sekali. Tetapi
apakah menurut dugaan Ki Waskita, Angger Rudita akan segera dapat menemukan
jalan ke Sangkal Putung?”
“Kita akan segera ke Sangkal
Putung, lewat Mataram. Jika kedatangan kita lebih cepat dari anak itu, maka aku
akan mencarinya. Mungkin dapat aku pergunakan untuk mencari kesibukan sambil
menunggu empat puluh hari lagi.”
“Ah,” Ki Argapati berdesah,
“aku harus mengucapkan terima kasih, bahwa kalian telah menempatkan
kepentinganku pada urutan yang pertama, meskipun sebenarnya dibandingkan dengan
kepentingan yang lain jauh kurang berarti. Namun dengan demikian maka itu akan
berarti bahwa aku tidak boleh tenggelam dalam kesibukanku sendiri. Seperti Ki
Waskita yang masih juga memperhatikan hari perkawinan anakku, maka aku akan
ikut serta mencari Angger Rudita, setidak-tidaknya di tlatah Menoreh.”
“Terima kasih, Ki Gede.
Mudah-mudahan kita semuanya akan berhasil. Perkawinan Angger Swandaru dan
Angger Pandan Wangi dapat berlangsung seperti yang direncanakan, anakku dapat
segera aku ketemukan, dan terlebih-lebih lagi kedua pusaka yang hilang itu.”
Ki Argapati mengangguk-angguk,
ia melihat kebesaran jiwa Ki Waskita. Karena itu, maka di dalam hati Ki
Argapati pun berjanji untuk sejauh-jauh dapat dilakukan, membantu mencari anak
yang hilang itu, dan selebihnya, ia pun merasa berkewajiban untuk ikut mencari
pusaka-pusaka yang tercuri dari Mataram meskipun dengan cara yang sangat
terbatas, karena kerahasiaan kehilangan itu sendiri.
Demikianlah maka setelah Ki
Waskita beristirahat sejenak, dan kemudian menikmati hidangan, ketiga orang tua
itu pun segera mohon diri. Mereka akan mulai dengan perjalanan kembali ke
Sangkal Putung. Namun seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan singgah
lebih dahulu ke Mataram. Karena mereka berangkat setelah tengah hari, maka
ketiganya akan bermalam di Mataram semalam, baru esok pagi mereka akan
meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.
Dengan beberapa persoalan yang
menyangkut di hati, Ki Argapati pun kemudian melepaskan ketiga tamunya
meninggalkan regol halaman. Pandan Wangi ikut mengantarkan mereka sampai ke
tepi jalan yang membelah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kau harus banyak
berprihatin,” desis Kiai Gringsing.
Pandan Wangi menundukkan kepalanya
sambil tersenyum. Namun wajah itu menjadi semburat merah.
Ki Argapati yang mendengar
pesan itu tertawa. Sementara Ki Waskita meneruskan, “Kau akan menjadi bertambah
langsing. Cahaya sorot matamu akan mengandung pengaruh yang dalam,
terlebih-lebih bagi bakal suamimu.”
“Ah,” desah Pandan Wangi,
dengan kepala yang menjadi semakin tunduk.
“Jangan kau hiraukan,” sahut
Ki Sumangkar kemudian, “kau malahan harus berbuat sebaliknya agar dalam upacara
timbangan kelak jika saat perkawinan itu tiba, dan kau duduk di pangkuan ayahmu
sebelah-menyebelah dengan pengantin laki-laki, kalian akan menjadi benar-benar
seimbang.”
Pandan Wangi tidak dapat
menahan suara tertawanya meskipun ia berusaha menutup mulutnya dengan
tangannya. Dengan wajah yang masih tertunduk ia bergeser dan berdiri berlindung
di belakang ayahnya.
“He, kenapa kau tidak
menjawab,” ayahnya justru bertanya kepadanya.
Hampir di luar sadarnya Pandan
Wangi pun mendorong ayahnya sambil berdesah. Kemudian ia pun berdiri menghadap
dinding halaman di sisi regol.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun sekali lagi minta diri. Di wajah
mereka yang telah dibayangi oleh garis-garis umur yang semakin dalam itu, sama
sekali tidak membayang kegelisahan hati. Baik karena hilangnya pusaka-pusaka
dari Mataram mau pun karena kepergian Rudita, sehingga mereka yang tidak
berkepentingan, sama sekali tidak mengerti bahwa orang-orang tua itu sebenarnya
telah dibebani oleh ketegangan yang berat.
Ki Argapati dan Pandan Wangi
berdiri termangu-mangu ketika ketiganya kemudian meninggalkan halaman rumahnya.
Beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh pun ikut melepas mereka di regol
halaman.
Sesaat kemudian, maka tiga
ekor kuda yang berlari menjauhi regol itu pun telah hilang di balik tikungan,
meninggalkan segumpal debu yang kelabu, seperti secercah noda yang melekat di
udara terbuka.
Namun selain debu, Kiai
Gringsing dan kedua kawannya pun meninggalkan pula sejemput kegelisahan di hati
Ki Argapati. Meskipun seperti juga ketiga tamu-tamunya, kegelisahan itu sama
sekali tidak membayang di wajahnya.
Ki Argapati harus berhati-hati
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ia harus benar-benar memilih
orang yang dapat diajak berbicara, terutama atas hilangnya kedua pusaka dari
Mataram. Orang-orang itu harus orang-orang yang memiliki kemampuan cukup
sebagai bekal dan orang yang sepenuhnya dapat dipercaya untuk tetap menyimpan
rahasia itu bagi dirinya sendiri. Jika rahasia itu merembes kepada orang lain
yang tidak mengetahui betapa gawatnya keadaan, maka dalam waktu sekejap, berita
semacam itu akan segera menebar jauh lebih cepat dari tebaran mendung di
langit. Setiap telinga akan segera mendengarnya dan setiap mulut akan
memperkatakannya. Dengan demikian, maka rakyat Mataram akan segera dilanda oleh
kegelisahan yang luar biasa.
“Hilangnya Angger Rudita akan
dapat aku bicarakan dengan Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati di dalam hati,
“tetapi hilangnya pusaka itu dapat juga didengarnya, tetapi tanpa mempengaruhi
ketenangannya.”
Agaknya hal itulah yang sulit
bagi Ki Argapati.
Namun sebagai seorang yang
memiliki pandangan yang tajam dan pengalaman, yang luas, maka Ki Argapati akan
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan kedua kawannya berpacu meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Rasa-rasanya kehidupan di atas Tanah Perdikan itu menjadi semakin tenang dalam
kesibukan yang meningkat. Rasa-rasanya sawahnya menjadi semakin luas.
Jalur-jalur jalan menjadi semakin panjang dan lebar. Di lewat tengah hari masih
terdengar suara pande besi di kejauhan menempa alat-alat pertanian. Beberapa
buah pedati, nampak merangkak di bulak-bulak yang panjang penuh berisi muatan.
Hampir di luar sadarnya, Kiai
Gringsing berkata, “Sebaiknya mereka memang tidak mengetahui bahwa
pusaka-pusaka itu hilang, dan apalagi satu di antara kedua pusaka yang hilang
itu telah melintasi Kali Praga. Jika demikian, kedamaian yang hidup ini akan
segera menjadi terganggu karenanya.”
Demikianlah, maka ketiganya
pun berpacu semakin cepat menuju ke Mataram. Di tempat penyeberangan Kali
Praga, mereka terhenti sejenak. Agaknya masih belum ada orang-orang yang mulai
dengan kerja mereka, menyeberangkan orang-orang lewat dengan perahu-perahu dan
getek.
Untuk beberapa lama mereka
berdiri termangu-mangu. Dengan tajamnya mereka mencoba mengamati seberang kali
Praga. Jika kebetulan orang-orang yang membawa mereka menyeberang dari Mataram
ke Menoreh nampak di tepian sebelah timur sungai, mereka akan memberikan
isyarat.
Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
“Apakah kita harus
menyeberangi sungai ini tanpa perahu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Jika terpaksa, kita akan
mencobanya. Jika tidak ada hujan di ujung, maka airnya tidak begitu besar dan
dalam. Mungkin kita akan dapat menyeberanginya,” sahut Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berpaling kearah Ki Waskita,
seolah-olah menunggu pertimbangannya.
Namun sebelum Ki Waskita
mengatakan sesuatu, seseorang muncul dari balik gerumbul agak jauh dari mereka.
Dengan ragu-ragu orang itu berjalan mendekati ketiga orang yang datang dari
Menoreh itu.
“Bukankah Kiai bertiga
termasuk orang-orang yang menyeberang dua hari yang lalu?” berkata orang itu.
“Darimana kau tahu?” bertanya
Kiai Gringsing.
“Aku melihatnya. Tetapi aku
masih belum berani turun ke sungai waktu itu. Tetapi agaknya di antara kalian
telah ada yang dikenal baik oleh kawanku di seberang, dan karena itulah ia
bersedia membawa kalian menyeberang.”
“Begitulah.”
“Apakah kalian sekarang akan
menyeberang ke timur?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Aku dan dua orang kawanku
bersedia membawa kalian menyeberang. Tetapi, karena keadaan yang lain dari
kebiasaan ini, kami minta imbalan dua kali lipat yang seharusnya.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi Ki Waskita mengangguk sambil berkata, “Aku tidak
berkeberatan.”
Dengan demikian, maka mereka
pun kemudian naik ke atas sebuah getek bersama dengan kuda-kuda mereka, dan
perlahan-lahan bergeser menyeberangi Kali Praga, dengan imbalan dua kali lipat
dari imbalan yang biasa mereka berikan.
Tetapi yang dua kali lipat itu
bukan merupakan masalah bagi Ki Waskita, yang kebetulan membawa bekal cukup.
Namun, ketika mereka mulai
bergerak, dengan didorong oleh tiga orang tukang satang, terasa bahwa ada
sesuatu yang kurang wajar. Ketiga tukang satang itu nampaknya agak lain dengan
tukang satang yang membawa mereka menyeberang ke barat.
Tetapi ketiga orang yang
sedang menyeberang itu mencoba untuk menenangkan hati mereka sendiri.
“Mungkin memang ada perbedaan
antara orang-orang di seberang timur dan di seberang barat Kali Praga,” berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya. Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan Ki
Waskita.
Namun agaknya, kecurigaan
mereka menjadi semakin meningkat. Ketiga orang tukang perahu itu tidak dapat
menggerakkan satang mereka sebaik-baiknya. Bahkan kadang-kadang mereka harus
berusaha untuk meluruskan jalan perahu mereka apabila sebuah gelombang kecil
menyentuh sisi perahu mereka.
Ketiga orang penumpang perahu
itu pun saling berpandangan. Agaknya mereka memang sedang disentuh oleh
perasaan curiga meskipun mereka tidak saling mengatakannya.
Kecurigaan itu pun memuncak
ketika mereka berada di tengah-tengah sungai. Tiba-tiba saja perahu itu menuju
ke sebuah onggokan pasir dan batu padas yang menjulang di atas air. Tanpa
berkata sepatah kata pun, maka perahu itu akhirnya tersangkut kandas pada pasir
yang menyembul ke atas air itu.
“Kenapa kita berhenti di
sini?” bertanya Kiai Gringsing.
Salah seorang dari tukang
perahu itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang berat, orang itu
berkata, “Sayang Ki Sanak, kalian termasuk orang-orang yang malang, karena
kalian telah mendengar cerita tentang songsong yang menyeberangi sungai ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya, “Songsong yang manakah yang saudara maksud?”
“Bukankah di tengah-tengah
sungai ini pula kalian mendengar tukang satang di seberang timur itu
menceritakan, bahwa serombongan orang-orang yang menyeberang ke barat beberapa
hari yang telah lalu, membawa sebuah benda bertangkai panjang dan diselubungi
dengan selongsong putih?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing
yang merasa tidak perlu lagi untuk mengelak.
“Akhirnya cerita itu sampai
kepada kami. Dan kami merasa bertanggung jawab untuk melenyapkan semua orang
yang mengetahui bahwa songsong itu memang sudah menyeberang.”
“Jadi kalian bukan
tukang-tukang perahu yang sebenarnya?”
“Bukan. Aku menunggu
orang-orang yang menyeberang itu lewat. Tetapi agaknya mereka terlambat pulang.
Baru kalian bertiga sajalah yang datang. Aku harus bertindak tegas terhadap
setiap kemungkinan yang dapat merembeskan rahasia kepergian pusaka-pusaka yang
dapat kami ambil dari Mataram itu.”
Kiai Gringsing memandang kedua
kawan-kawannya sejenak. Namun kedua kawannya tidak memberikan kesan apa pun
kepadanya. Karena itu maka Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Apakah kalian
juga akan melenyapkan pedagang-pedagang yang menyeberang bersama kami itu?”
“Sudah tentu Ki Sanak. Kami
akan menunggu sampai saatnya mereka lewat.”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Dilihatnya Ki Sumangkar dan Ki Waskita masih berdiri di tempatnya
sambil memegang kendali kudanya.
Tetapi Kiai Gringsing
mengetahui bahwa kedua kawannya itu sedang menilai keadaan seluruhnya. Mereka
memandang air yang mengalir di bawah perahu itu. Kemudian onggokan padas dan
pasir yang bermunculan di permukaan air pada saat air Kali Praga tidak sedang
banjir.
“Tempat itu tentu tidak begitu
dalam,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Lalu, “Jika terpaksa kami turun
ke air, agaknya kami akan dapat menyeberang tanpa perahu sekalipun, karena
daerah yang paling dalam telah lalu.”
Tanpa berkata sepatah pun Ki
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah Ki Waskita yang
gelisah. Tetapi Ki Sumangkar tidak mengetahui, apakah sebenarnya Ki Waskita
sedang gelisah.
“Jangan menyesali nasib, Ki
Sanak,” berkata tukang perahu yang palsu itu, “kalian akan kami bunuh. Mayat
kalian akan kami hanyutkan, sedang kuda kalian akan menjadi milik kami. Jika
ada orang yang melihat dari kejauhan, di luar pengetahuan kami maka orang-orang
itu akan menganggap bahwa tukang-tukang perahu di daerah penyeberangan ini
sedang membalas dendam, karena beberapa hari yang lalu, kawan-kawannya telah
mati terbunuh. Kemudian mereka pun telah membunuh orang-orang yang sedang
menyeberang, yang diduga telah membunuh kawan-kawannya itu.”
Kiai Gringsing memandang
orang-orang itu dengan tegang. Kemudian ia berkata, “Kenapa kalian mulai dari
kami bertiga? Apakah tukang perahu yang pernah menceriterakan tentang payung
itu juga sudah kau bunuh?”
“Mereka adalah orang-orang
yang bodoh. Tentu lebih bodoh dari kalian. Kami tidak terlampau cemas terhadap
mereka. Kapan saja kami kehendaki, kami akan dapat membunuh mereka dengan
mudah. Tetapi tidak dengan kalian. Kalian adalah pedagang-pedagang keliling yang
dapat membawa berita itu sampai ke daerah yang jauh. Ke Mataram dan Pajang.”
“Bagaimana jika kami berjanji
untuk menutup mulut?”
“Ah, apakah kami dapat
mempercayai kalian?”
“Kenapa tidak?”
Orang itu tersenyum. Katanya,
“Maaf, Ki Sanak. Agaknya akan lebih aman bagi kami, jika kami membunuh saja
kalian bertiga.”
Kiai Gringsing memandang
orang-orang yang mengaku tukang perahu itu berganti-ganti. Kemudian katanya,
“Jadi, ada di antara para pedagang yang lewat itu kaki tanganmu?”
“Kaki tangan kami berada di
mana-mana. Di Mataram, di Pajang, di Menoreh bahkan di daerah pesisir utara
sekalipun, karena orang-orang kami tersebar di seluruh wilayah Majapahit. Dan
kami akan segera membangunkan kerajaaan yang jaya seperti pada masa kejayaan
Majapahit itu dahulu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Agaknya sulit baginya untuk mencari jalan lain keluar dari
perahu itu tanpa mempergunakan kekerasan. Namun demikian Kiai Gringsing pun
tidak dapat melupakan, bahwa orang-orang yang menyebut dirinya keturunan
Majapahit itu memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Jika tidak, maka
mereka tidak akan dapat membawa kedua pusaka yang ada di depan hidung Ki Juru
Martani itu dari Mataram.
“Nah Ki Sanak,” berkata orang
yang mengaku tukang perahu itu, “apakah kau akan meninggalkan pesan? Mungkin
aku akan dapat menolong kalian menyampaikan pesan itu kelak, kepada keluargamu,
atau kepada sahabat-sahabatmu.”
Kai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kami tidak mempunyai pesan bagi apa pun. Tetapi kami ingin
bertanya sekali lagi kepada kalian, apakah kalian tidak dapat merubah cara
kalian menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Mataram selain membunuh kami
dan pedagang-pedagang yang masih akan lewat, kemudian tukang perahu yang
menyeberangkan kami dari timur itu?”
“Tidak. Dan agaknya
pembicaraan ini sudah terlalu panjang dan menjemukan. Jika pada saat ini
pedagang-pedagang itu lewat, dan melihat pembunuhan yang kami lakukan, mereka
akan segera melarikan diri.”
“Mereka belum datang,”
tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyahut, “kau masih mempunyai waktu.”
Orang-orang yang menyebut
dirinya tukang perahu itu serentak berpaling. Mereka melihat Ki Sumangkar
menambatkan tali kudanya pada bambu yang menyilang di perahu geteknya. Bahkan
kemudian Ki Waskita pun melakukan perbuatan serupa.
“Kau masih dapat memikirkan
kuda-kuda kalian?” bertanya orang yang menyamar sebagai tukang perahu itu.
“Biarlah kami mengurusnya. Sekarang, kami akan membunuh kalian. Kami mempunyai
senjata-senjata yang khusus. Pisau-pisau kecil yang panjang, yang langsung
dapat menyentuh jantung.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“jangan begitu. Jangan dengan mudah mempermainkan nyawa orang lain.
Kawan-kawanmu telah membunuh tukang-tukang perahu itu, sekarang kau akan
membunuh kami. Akibatnya bukan saja kami akan mati, tetapi juga penyeberangan
ini akan mati, dan berpuluh-puluh orang akan kehilangan nafkah karenanya.”
“Gila. Kau mencoba untuk
memperlunak sikapku? He, apakah kalian tidak menganggap bahwa aku benar-benar
akan membunuh kalian sekarang? Kenapa kalian masih menganggap aku
bermain-main.”
“Bukan begitu, Ki Sanak.
Tetapi sudah barang tentu kami tidak akan dengan suka rela menyerahkan jantung
kami. Bukankah jumlah kami sama dengan jumlah kalian? Dan bukankah kami berhak
untuk membela diri?” berkata Ki Waskita yang sudah selesai menambatkan kudanya.
Tukang perahu itu tertawa.
Katanya, “Jangan main-main. Agaknya kalian memang orang-orang yang suka
berkelakar.”
Ki Sumangkar yang sudah
selesai pula menambatkan kudanya berkata, “Bagaimana kami dapat berkelakar
dalam keadaan seperti ini. Jantung kami menjadi tegang, dan darah kami serasa
membeku. Tetapi sebenarnyalah kami ingin bertanya, apakah kalian
bersungguh-sungguh akan membunuh kami meskipun kami tidak bersalah? Hanya
karena kebetulan kami mendengar cerita tentang songsong yang dibawa menyeberang
itu sajalah, maka kami harus menyerahkan nyawa kami?”
“Ya. Hanya karena kebetulan
kalian mendengarnya. Karena itu sudah aku katakan bahwa nasib kalianlah yang
terlampau jelek.”
“Ki Sanak,” bertanya Ki
Sumangkar, “jika kalian akan membunuh kami, maka sudah menjadi hak kami untuk
mempertahankan diri. Ada atau tidak ada gunanya, tetapi itu adalah kewajiban
kami. Tetapi sebelumnya, apakah Ki Sanak mau mengatakan kepada kami, mungkin
untuk yang terakhir kalinya kami mendengar suara kalian, darimana kalian
mendapatkan songsong itu dan akan kalian bawa ke mana?”
“Tidak ada gunanya kalian
mengetahuinya.”
“Mungkin dapat memberikan
sedikit ketenangan di hati kami di saat-saat yang paling gawat seperti sekarang
ini.”
“Tidak. Kami tidak akan
mengatakan kepada siapa pun. Juga sepada orang-orang yang akan mati. Karena
dengan demikian, maka jika ada orang-orang yang mempunyai ilmu memanggil roh
orang mati, maka rohmu akan dapat menceritakan kepada orang itu, di mana pusaka
itu dibawa.”
“Bagus,” tiba-tiba Ki
Sumangkar berkata lantang, “jika demikian, sebaiknya kami memaksa kalian
berbicara dengan cara lain. Sekarang kalian tidak mau berbicara. Tetapi,
bagaimana jika kalian kami bunuh, dan roh kalianlah yang kami paksa untuk berbicara.”
Kata-kata Ki Sumangkar yang
seakan-akan diucapkan asal saja meloncat dari bibirnya itu ternyata telah
mengejutkan orang-orang yang menyebut dirinya tukang-tkang perahu itu. Sejenak
mereka seolah-olah membeku, sambil memandang Ki Sumangkar dengan tajamnya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun sebenarnya sudah jemu berbicara
berkepanjangan tanpa ujung pangkal. Agaknya Ki Sumangkar akan mengambil jalan
yang lebih pendek. Meskipun dengan demikian akan dapat menimbulkan akibat yang
gawat, karena mereka bertiga sama sekali belum dapat menjajagi sampai di mana
kemampuan ketiga orang yang menyamar menjadi tukang perahu itu.
Sejenak kemudian, agaknya
setelah gejolak jantungnya menjadi reda, orang yang agaknya paling tua di antara
ketiga tukang perahu itu berkata, “Ternyata kalian sudah mulai kehilangan akal.
Memang, orang-orang yang ketakutan sekali, bagaimana pun juga ia mencoba
menyembunyikannya, dapat membuatnya menjadi gila. Dan agaknya salah seorang
dari kalian bertiga sudah menjadi gila.”
“Siapa?” Kiai Gringsing masih
juga bertanya.
“Kawanmu sudah mengigau,”
berkata orang yang menyebut dirinya tukang perahu itu sambil menunjuk Ki
Sumangkar.
Ki Sumangkar hampir tidak
menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia sempat memberikan isyarat untuk
mempercepat saja persoalan yang menjemukan sekali itu.
Kiai Gringsing agaknya
mengerti maksudnya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Ki Sanak. Jika tidak
ada pilihan lain bagi kami, maka apa boleh buat. Kami akan mempertahankan diri
kami, sejauh-jauh dapat kami lakukan. Karena sebenarnyalah jiwa kami sangat
berharga bagi kami. Jauh lebih berharga dari benda apa pun juga. Apalagi yang
tidak kami ketahui ujung pangkal persoalannya itu.”
“Bagus,” berkata orang yang
bertubuh raksasa di antara ketiga orang yamg menyebut dirinya tukang perahu
itu, “aku biasanya membunuh dengan tanganku. Aku pilin kepala korbanku sehingga
tulang lehernya patah. Aku akan melepaskannya setelah nafasnya terputus sama
sekali.”
“Kau bunuh tukang perahu itu
dengan cara itu pula.”
“Ya. Aku membunuh salah
seorang dari mereka. Yang lain, kawan-kawankulah yang menyobek perutnya. Tentu
orang lain menyangka bahwa perut itu sobek oleh senjata tajam. Tetapi salah.
Jari merekalah yang dipergunakannya. Karena jari-jari mereka melampaui tajamnya
ujung senjata yang mana pun juga.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ketika ia memandang Ki Waskita dan Ki Sumangkar, maka mereka pun
menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, Ki
Waskita telah menilai lawan-lawannya dengan saksama. Mereka benar-benar orang
berbahaya. Orang yang dapat membunuh lawannya sambil tersenyum dingin. Orang
yang membunuh tanpa penyesalan sama sekali.
Dengan demikian, maka mereka
bertiga memang harus berhati-hati. Apalagi mereka masih berada di tengah-tengah
sungai. Pada sebuah pulau kecil yang terdiri dari seonggok batu padas dan
pasir. Mereka belum mengenal medan sebaik-baiknya sehingga mungkin kedalaman
sungai itu pun akan dapat mempengaruhi perkelahian yang pasti akan timbul.
Ternyata bahwa orang-orang yang
mengaku sebagai tukang perahu itu pun sudah jemu pula berbicara. Mereka pun
segera bergeser seolah-olah ingin mengepung ketiga orang yang menumpang
perahunya. Salah seorang berkata, “Jika memang kalian laki-laki, matilah dengan
jantan. Kalian memang harus bertempur.”
“Kami akan bertempur,” berkata
Kiai Gringsing, “meskipun kami sudah terlalu tua untuk berkelahi, tetapi kami
yang sudah biasa menempuh perjalanan jauh, tentu tidak akan gentar meskipun
kami harus berkubur di tengah-tengah sungai ini.”
“Bagus,” teriak salah seorang
dari ketiga tukang satang itu, “kau yang harus mati pertama kali.”
Kiai Gringsing mendengar
terakan itu, dan ia sadar sepenuhnya bahwa yang dikatakan harus mati pertama
kali adalah dirinya. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri
menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi getek itu tidak terlampau luas, sehingga
kesempatan untuk menghindar terlampau sempit.
Tetapi ternyata orang yang
menyebut dirinya tukang satang itu tidak langsung menyerangnya. Bahkan ia pun
kemudian berkata, “Kau benar-benar akan mempertahankan dirimu. Menilik sikapmu
kau memang mampu untuk berkelahi. Barangkali agak lebih baik dari tukang-tukang
perahu yang pernah kami bunuh dengan merobek tubuhnya dengan jari. Karena itu,
marilah kita turun ke pulau padas kecil itu. Agaknya tempat itu cukup untuk
berkelahi kita semuanya. Aku akan menjadi lebih puas melihat caramu mati
daripada di atas perahu. Di sini kau akan segera terdorong jatuh ke dalam air,
dan aku tidak sempat melihat kau menahan sakit di saat kematianmu tiba. Dan kau
tentu menjadi heran dan kagum melihat kemampuanku menyobek lambungmu, atau
melubangi lehermu hanya dengan jari-jariku.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ketenangan orang itu membuatnya sangat berhati-hati. Orang itu tidak
langsung menyerangnya saat-saat ia menjadi marah. Tetapi ia masih sempat
mempergunakan otaknya.
“Cepat sedikit Ki Sanak,”
berkata orang itu.
Kiai Gringsing pun kemudian
mengangguk sambil menyahut, “Baiklah. Biarlah kudaku tertambat di sini. Kita
akan berkelahi di atas onggokan padas dan pasir itu. Aku tidak peduli siapakah
yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Tetapi aku sudah bersikap
seperti seorang laki-laki yang selalu bertualang.”
Orang yang menantang Kiai
Gringsing itu mengerutkan keningnya. Ia pun dijalari oleh keheranan di dalam
hati. Orang tua itu nampaknya sama sekali tidak menjadi gentar dan ketakutan.
Bahkan dengan tenang ia melayani tantangannya.
Sesaat kemudian orang yang
menyebut dirinya tukang perahu itu pun segera bersiap untuk meloncat turun ke
atas pasir. Sekali lagi ia berpaling, namun kemudian ia pun segera meninggalkan
perahu yang kandas itu.
Kiai Gringsing memandang
langkah orang itu sejenak. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas,
maka ia pun segera mengetahui, bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan yang
tinggi.
Sejenak kemudian Kiai
Gringsing segera menyusulnya. Ia pun kemudian melangkah turun.
Dua orang yang menyamar
sebagai tukang satang, dan kawan-kawan Kiai Gringsing masih berada di atas
perahu. Salah seorang dari orang-orang yang menyebut dirinya tukang satang itu
adalah orang yang bertubuh raksasa.
“Nah, bagaimana dengan kita?”
geram raksasa itu. “Apakah kita akan menunggu sampai kalian selesai, atau aku
akan menyelesaikan yang lain bersamaan dengan kau?”
“Kita harus bertindak lebih
cepat. Selesaikan kawan-kawannya itu. Bukankah seolah-olah sudah diatur, bahwa
kita masing-masing harus mencekik seekor kelinci.”
Orang bertubuh raksasa itu
tertawa. Katanya, “Jadi kita akan berkelahi pada saat yang bersamaan?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku pun akan membawa
korbanku turun.”
“Cepat, lakukanlah.”
Orang bertubuh raksasa itu
memandang kepada Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian kepada
kawannya ia berkata sambil menunjuk Ki Waskita, “Aku akan membunuh yang ini
saja. Bunuhlah orang tua yang malas itu.”
Kawannya mengangguk. Ia pun
agaknya seorang pemalas. Dengan nada datar ia berkata, “Baiklah. Orang ini
agaknya akan terlampau cepat mati.”
Namun agaknya ia pun tidak
senang terlalu banyak berbicara. Demikian mulutnya terkatup, maka ia pun segera
meloncat menyenang Ki Sumangkar, yang berdiri di bibir perahu.
Serangan itu benar-benar tidak
terduga. Orang itu maju selangkah. Kemudian lutut kakinya yang berada di depan
ditekuknya bersamaan dengan sambaran tangannya dengan jari-jari lurus merapat.
Ki Sumangkar terkejut oleh
serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari orang itu tentu sudah terlatih
sebaik-baiknya. Dengan kekuatan jari-jarinya ia memang dapat menyobek lambung.
Bahkan jari-jari yang demikian, akan dapat dipergunakan untuk menusuk seperti
ujung tombak yang pipih.
Karena Sumangkar berdiri di
bibir perahu, maka ia tidak dapat meloncat surut jika ia tidak mau masuk ke
dalam arus Kali Praga. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat ke samping searah
dengan ayunan tangan lawannya.
Sumangkar masih sempat
menghindari jari-jari yang berbahaya itu. Namun ia sadar bahwa akan datang
serangan berikutnya. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan.
Dugaan Sumangkar benar-benar
terjadi. Orang yang menyerang itu pun terkejut bahwa lawannya sempat
menghindar. Karena itu, ia meloncat sekali lagi maju mendekat. Dan sekali lagi
tangannya bergerak mendatar.
Sumangkar tidak sempat
meloncat lagi. Ia benar-benar sudah tersudut. Namun ia menyadari keadaannya dan
ia pun telah bersiap menghadapi kemungkinan yang demikian.
Karena itu, sebelum tangan
orang itu terayun, Sumangkar justru meloncat maju. Dengan gerakan yang cepat
sekali ia menyerang dengan kakinya, tepat pada siku tangan lawannya yang sudah
mulai bergerak.
Yang terjadi kemudian, adalah
sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara siku lawannya dan tumit
Sumangkar.
Akibat dari benturan itu
ternyata sama sekali tidak diduga oleh orang-orang yang mengaku sebagai tukang
satang itu. Benturan dengan kaki Sumangkar itu rasa-rasanya seperti benturan
dengan sebuah dinding besi. Bahkan oleh kekuatan ayunan tangannya sendiri dan
daya dorong kaki Sumangkar, maka orang itu pun seakan-akan terdorong surut.
Untunglah bahwa ia tidak terlempar
ke dalam air. Meskipun ia masih akan dapat mengatasi, namun ia pasti berada
dalam kedudukan yang lemah sekali.
Meskipun demikian, namun orang
itu terjatuh juga karena kakinya terperosok di sela-sela bambu yang melintang
di atas perahunya.
Tetapi ternyata kawannya dapat
bertindak cepat. Sekali loncat ia sudah berada di hadapan Sumangkar, siap
melindungi kawannya yang terjatuh.
Sumangkar berdiri
termangu-mangu. Nampaknya Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu. Ia masih saja
berdiri di tempatnya sambil mengamati kedua orang yang mengaku tukang perahu
itu berganti-ganti.
Sejenak kemudian orang yang
terjatuh itu pun telah berdiri. Terasa siku tangannya menjadi sakit karena
benturan dengan tumit Sumangkar.
Tetapi lebih dari perasaan
sakit itu, ia pun menjadi heran. Ternyata orang yang dianggapnya pemalas itu
memiliki kekuatan yang luar biasa. Orang-orang kebanyakan akan tersobek kulit
dagingnya, tersentuh jari-jari tangannya. Tetapi orang ini bergerak terlampau
cepat. Dan ternyata kekuatannya mampu menahan ayunan tangannya, dan bahkan
melontarkannya beberapa langkah surut.
Dengan demikian maka orang itu
pun menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia melangkah maju, sementara
perahunya masih terguncang.
“Bagaimana” bertanya kawannya
yang bertubuh raksasa, “apakah kau memilih orang yang dungu itu? Biarlah
pemalas yang ternyata memiliki kekuatan yang dapat dibanggakannya itu aku
remukkan tulang-tulang lengannya.”
“Serahkan ia kepadaku,” geram
orang yang terjatuh itu, “aku terlampau lengah dan menganggapnya seperti tukang
perahu yang mati itu.”
“Kau kurang memperhatikan
keadaan,” berkata orang yang bertubuh raksasa itu, “seharusnya kau sudah
mengetahui, bahwa pemalas itu mempunyai sedikit kekuatam.”
“Aku akan mencincangnya dengan
jari-jariku. Aku akan membiarkan mayatnya tergolek di atas pasir. Dan biarlah
orang-orang lain melihat, siapa yang berani menentang aku, akan mengalami nasib
yang serupa.”
“Terserahlah kepadamu. Yang
seorang itu akan segera aku selesaikan pula.”
Lawan Sumangkar itu pun
kemudian melangkah maju. Katanya, “Kita pun akan bertempur di atas pasir,
supaya kita menjadi lebih puas.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Katanya, “Baiklah. Turunlah. Aku akan menyusul.”
Lawannya termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun segera meloncat turun dari perahunya dan menunggu
Sumangkar di atas pasir di tengah Kali Praga.
Sementara itu, Kiai Gringsing
yang memperhatikan perkelahian Ki Sumangkar dengan saksama, segera tersenyum di
dalam hati. Ia mendapat kesimpulan bahwa Ki Sumangkar akan dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Namun ia masih belum tahu, apakah Ki Waskita dan dirinya
sendiri dapat mengatasi lawannya.
“Jika orang bertubuh raksasa
itu tidak mempunyai penglihatan batin yang tajam, Ki Waskita tentu akan dapat
mengelabuinya. Tetapi jika ia gagal, maka ia harus bertempur mati-matian.
Agaknya orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.”
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing pun kemudian mendengar lawannya bertanya, “He, apakah kita akan
mulai? Kau tentu memiliki sedikit ilmu pula seperti kawanmu. Agaknya kami
memang salah hitung. Kami menganggap kalian tidak lebih dari tukang-tukang
satang itu. Seharusnya kami memperhitungkan kemungkinan seperti ini, karena
biasanya perantau dan petualang seperti kalian ini memang memiliki sekedar
bekal ilmu untuk melindungi diri dan kadang-kadang sekedar untuk bersombong.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita tidak akan menghiraukan orang lain.
Kita sudah mempunyai lawan kita masing-masing. Biarlah kawanmu itu akan
berkubur di dasar Kali Praga.”
“Persetan.”
“Bukankah kau melihat benturan
itu?”
“Kawanku kurang berhati-hati.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Justru Ki Sumangkar dan lawannya sudah mulai bertempur lagi. Kali ini di atas
pasir yang mencuat seperti sebuah pulau di tengah-tengah Kali Praga yang
kebetulan tidak sedang banjir.
Sejenak Kiai Gringsing melihat
perkelahian itu. Namun sejenak kemudian, ia pun harus bersiap menghadapi
lawannya yang mulai mengembangkan tangannya.
“Kekuatannya ada pada
jari-jari tangannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati. Karena itu maka
pusat perhatiannya atas lawannya itu adalah jari-jarinya.
Sesaat kemudian lawannya itu
pun melangkah semakin dekat. Wajahnya menjadi tegang oleh pemusatan kekuatan.
Sorot matanya memancarkan nafsu membunuh yang tidak terkendalikan lagi.
Dalam pada itu, di atas
perahu, Ki Waskita berdiri termangu. Ditatapnya wajah lawannya yang bertubuh
raksasa itu. Seienak ia dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah ia harus
mempergunakan tenaganya, atau sekedar ilmu tipuannya.
Namun akhirnya Ki Waskita
mengambil kesimpulan bahwa ia akan mempergunakan tenaganya terlebih dahulu,
karena jika ia mencobakan ilmu semunya, dan ternyata ia gagal, maka hal itu
agaknya mempengaruhi pertempuran yang terjadi kemudian.
“Jika aku tidak dapat mengatasi
kekuatan tenaga dan ilmunya, barangkali aku memang harus bersembunyi di balik
bayangan-bayangan semu. Tetapi jika ia dapat menembus bayangan-bayangan itu
dengan penglihatan matanya yang tajam, maka untuk selanjutnya aku akan menemui
kesulitan,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Karena itulah maka Ki Waskita
pun mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Dipandanginya lawannya yang bertubuh
raksasa itu kemudian mendekati selangkah demi selangkah.
“Gila,” pikir Ki Waskita.
Raksasa itu berjalan saja
seenaknya. Seakan-akan membiarkan dirinya di serang di mana pun juga yang
dikehendaki oleh lawannya.
“Apakah ia memiliki ilmu
kebal?” bertanya Ki Waskita kepada diri sendiri.
Ia menjadi berdebar-debar
ketika ia melihat raksasa itu menjulurkan tangannya sambil berkata, “Aku akan
mencekik lehermu. Jika kau meronta, mungkin lehermu akan terputus sama sekali.”
Ki Waskita menjadi heran
melihat sikapnya. Namun ia masih juga menjawab, “Apakah kau dapat memutuskan
leherku hanya dengan tanganmu.”
“Tentu. Tanganku mempunyai
kekuatan yang tentu tidak kau duga. Aku dapat meremas batu padas itu sampai
lumat.”
“Batu padas yang mana. Apakah
aku boleh melihatnya? Jika kau benar dapat memutuskan leherku dengan remasan
tanganmu, maka apakah kau dapat menunjukkan kepadaku, sebelum leherku patah
oleh kekuatan tanganmu itu?”
Raksasa itu termangu-mangu.
Katanya kemudian, “Apakah yang harus aku remas?”
“Batu itu.”
“Batu yang mana?”
“Di atas batu-batu padas itu.
Kau lihat batu sebesar kepalamu.”
Orang itu termangu-mangu sejenak.
Ia melihat sebuah batu hitam tergolek di atas batu padas di sebelah
kawan-kawannya yang sudah mulai bertempur.
“Kawan-kawanmu mempunyai ilmu
serba sedikit. Tetapi itu hanya memperpanjang waktu saja. Perut mereka akan
sobek oleh jari-jari kawanku.”
“Ya. Tetapi bagaimana dengan
batu itu.”
Orang itu ragu-ragu. Katanya,
“Lehermu tidak sekeras batu. Mungkin aku tidak dapat meremas batu hitam itu.
Tetapi batu padas aku dapat meremukkannya dan sudah barang tentu kepalamu.”
“Aku minta waktu sedikit,” berkata
Ki Waskita, “sebelum kau memecahkan kepalaku, apakah kau dapat bermain-main
dengan batu itu,” tiba-tiba saja Ki Waskita ingin menjajagi kemampuan lawannya
sebelum ia bertempur. Raksasa itu tentu memiliki kekuatan yang besar. Tetapi
apakah kekuatannya itu dilambari oleh ilmu yang dapat memancarkan tenaga
cadangan yang ada di dalam dirinya, atau sekedar kekuatan jasmaniah wantahnya
saja.
“Apakah yang akan kau
lakukan?”
“Kita turun juga dari perahu
ini. Agaknya tidak menyenangkan bertempur di atas perahu yang setiap kali
terguncang-guncang oleh gerakan kita. Selebihnya, kita bermain-main dengan batu
itu lebih dahulu sebelum kau bermain-main dengan kepalaku.”
Ki Waskita tidak menunggu
jawaban. Ia pun kemudian melangkah ke bibir perahu dan meloncat turun. Sejenak
ia memandang kedua kawannya yang telah berkelahi, dengan sengitnya. Seperti
Kiai Gringsing ia melihat, bahwa Ki Sumangkar akan dapat melindungi dirinya
sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing sendiri harus bertempur dengan
hati-hati, karena lawannya adalah orang yang cukup trengginas, dan sudah tentu
tidak sia-sia jika ia mengatakan bahwa jari-jarinya mampu menyobek lambung.
Ketika orang bertubuh raksasa
itu turun pula ke atas batu padas yang membujur seperti sebuah pulau itu, maka
Ki Waskita pun sudah berjalan mendekati sebuah batu hitam yang tergolek di atas
pasir.
“Batu ini hampir sebesar
kepalaku,” berkata Ki Waskita, “cobalah meremasnya sampai menjadi debu sebelum
kau meremas leherku.”
“Persetan,” orang itu
menggeram, “aku lebih senang meremas lehermu. Sudah aku katakan bahwa lehermu
tidak sekeras batu itu.”
Ki Waskita menjadi
termangu-mangu. Agaknya kemampuan orang itu semata-mata karena tenaga wantahnya
yang luar biasa. Mungkin oleh bentuk tubuhnya dan mungkin oleh latihan-latihan
yang keras.
Namun Ki Waskita memiliki
kemampuan lain. Ia melatih diri bukan hanya sekedar mempergunakan tenaga
lahiriahnya saja. Tetapi ia melatih diri melepaskan tenaga cadangan yang ada di
dalam dirinya dan membentuk dirinya menurut ilmu yang dipelajarinya. Karena
itu, maka ia memiki arus kekuatan yang lain dari kekuatan wantahnya saja.
Dalam pada itu, agaknya orang
bertubuh raksasa itu berkeberatan untuk mencoba memecahkan batu hitam itu.
Karena itu maka Ki Waskita pun berkata, “Kenapa kau tidak mau mencoba untuk
menakut-nakuti aku, atau untuk meyakinkan aku agar aku dengan suka rela
menyerahkan leherku? Jika aku sudah tidak mungkin lagi berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan diri, maka aku akan membiarkan kau mencekik leherku sampai
putus.”
“Gila. Aku tidak perlu berbuat
apa pun juga untuk meyakinkan kau. Aku akan langsung meremas lehermu dan
meremukkan tulang-tulangnya. Kepalamu akan segera terpisah dari tubuhmu.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun ia belum mulai bertempur melawan orang bertubuh raksasa
itu, namun agaknya ia sudah dapat menjajagi kekuatan lawannya.
“Kekuatan tenaganya tidak
terlampau mengecilkan hati,” berkata Ki Waskita, “tetapi mungkin ia memiliki
ilmu lain yang dapat menjadikannya seorang yang tangguh tanggon.”
Ternyata Ki Waskita tidak
dapat bermain-main lebih lama lagi. Agaknya orang bertubuh raksasa itu tidak
sabar lagi membiarkan lawannya berbicara tentang batu hitam itu.
Sekali lagi Ki Waskita melihat
orang itu berjalan langsung ke arahnya tanpa mencoba melindungi dirinya apabila
ia menyerang. Agaknya ia terlampau yakin akan kekuatan dan ketahanan tubuhnya.
Dengan langkah yang panjang ia mendekat sambil menjulurkan tangannya, siap
menangkap leher Ki Waskita.
Ki Waskita melangkah surut, ia
melihat lawannya dengan heran. Seolah-olah lawannya tidak memiliki ilmu tata
bela diri yang cukup.
“Tentu bukan begitu,” berkata
Ki Waskita kepada dirinya sendiri sambil melangkah menjahui orang yang bertubuh
raksasa itu.
“Kau tidak dapat lari,”
berkata orang yang masih saja menjulurkan tangannya, “aku tentu akan dapat
menangkapmu. Aku juga memiliki kemampuan berlari melampaui orang lain.”
“Gila,” desis Ki Waskita di
dalam hatinya sambil memandang orang itu dengan ragu. “Jika aku menyerang
dadanya, maka apakah ia akan dapat bertahan tanpa berbuat apa pun juga.”
Namun Ki Waskita benar-benar
menjadi bimbang. Jika ia tidak mempergunakan segenap tenaganya, mungkin ia akan
terpental oleh kekuatannya sendiri. Tetapi jika ia memusatkan segenap
kemampuannya dan memusatkan kekuatan itu pada serangan pertamanya membentur
lawan yang sama sekali tidak berusaha menahannya, apakah ia tidak akan
melumatkan dada itu dan membunuh lawannya dengan cara yang sangat mengerikan.
Dalam keragu-raguan itu,
akhirnya Ki Waskita menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan,
perlahan-lahan ia bergeser terus diikuti oleh raksasa yang sedang menjulurkan
tangannya untuk menangkap lehernya itu.
Namun tiba-tiba saja Ki
Waskita meloncat, mengambil batu yang tergolek di atas padas. Sejenak ia sempat
memusatkan kekuatannya. Dipeganginya batu hampir sebesar kepalanya itu dengan
tangan kirinya. Kemudian tangan kanannya terangkat perlahan-lahan. Sejenak
kemudian dengan derasnya tangannya terayun, dan sisi telapak tangannya
menghantam batu yang berada di tangan kirinya itu.
Akibat dari pukulan itu
ternyata dahsyat sekali. Batu hitam hampir sebesar kepalanya itu pun pecah
berkeping-keping.
Orang bertubuh raksasa itu
terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa lawannya itu mampu
berbuat demikian, sehingga karena itu, maka untuk beberapa saat ia justru
berdiri mematung.
Kedua kawannya pun ternyata
sempat melihat apa yang terjadi. Mereka pun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja
mereka seolah-olah telah terperosok ke dalam kandang serigala lapar.
Tetapi mereka sudah terlanjur
berhadapan dengan orang-orang yang semula disangkanya seperti pedagang-pedagang
yang lain, yang dengan mudah akan dapat dibinasakannya. Namun ternyata salah
seorang dari mereka telah memperagakan suatu kekuatan yang tiada taranya.
“Pantas aku tidak dapat segera
membunuh orang malas ini,” berkata lawan Ki Sumangkar di dalam hati, sementara
lawan Kiai Gringsing pun sudah mulai berkeringat di seluruh tubuhnya.
Namun keduanya masih
berpengharapan untuk dapat menguasai lawannya dengan kekuatan jari-jari mereka.
Jika lawan-lawan mereka itu lengah, maka mereka tentu akan dapat menyobek
lambungnya dengan ujung jarinya.
Selagi kedua kawannya
bertempur semakin sengit dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka orang
bertubuh raksasa itu menjadi termangu-mangu. Kini ia tidak lagi berjalan sambil
menjulurkan tangannya dan membiarkan lawannya menyerang di mana pun
dikehendaki.
Tetapi ia pun menjadi heran,
kenapa lawannya yang mampu memecahkan batu hitam itu tidak langsung menyerang
dadanya yang seakan-akan dengan sengaja dibiarkannya terbuka. Jika tangan yang
mampu memecahkan batu itu menghantam dadanya, maka tulang-tulang iganya tentu
akan rontok sama sekali.
Dalam kebimbangan itu, ia
melihat Ki Waskita berdiri tegak di hadapannya. Tiba-tiba saja Ki Waskita itu
sama sekali telah berubah di dalam pandangannya. Orang itu bukannya orang yang
ketakutan dan menjadi pucat. Melangkah surut sambil mengerutkan lehernya.
Tetapi Ki Waskita itu kemudian seolah-olah telah berubah menjadi seorang yang
lain sama sekali. Seorang yang sorot matanya mampu memecahkan dadanya, dan yang
senyumnya bagaikan senyuman hantu yang akan menghisap darah dari ubun-ubunnya.
Untuk beberapa saat lamanya,
orang yang bertubuh raksasa itu berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apa yang
akan dilakukannya. Sudah barang tentu ia tidak akan dapat mendekati orang yang
mampu memecah batu hitam dengan tangannya itu, sekedar dengan menjulurkan
tangannya saja. Agaknya tangan yang mampu memecah batu hitam itu jauh berbahaya
dari tangan kawanannya yang dapat menyobek perut.
Ki Waskita yang telah
menunjukkan kekuatan tangannya itu pun masih berdiri tegak. Ia sedang mengamati
akibat apakah yang timbul pada lawannya. Pada orang yang bertubuh raksasa itu.
Jika ia sama sekali tidak mengacuhkan permainannya, maka ia adalah orang yang
sangat berbahaya, sehingga ia harus menjadi hangat berhati-hati.
Tetapi ternyata ia melihat
dengan jelas, perubahan sikap dan tatapan mata orang bertubuh raksasa itu.
Untuk beberapa saat nampaknya ia berdiri saja bagaikan membeku, namun kemudian
wajah itu menjadi pucat dan bahkan tubuhnya gemetar.
Ternyata bahwa ketabahan hati
orang bertubuh raksasa itu tidak seimbang dengan bentuk lahiriahnya. Tubuhnya
yang gagah tinggi dan besar. Dadanya bidang ditumbuhi oleh rambut yang lebat.
Raut wajahnya menunjukkan betapa ia telah ditempa oleh alam yang keras. Kumis
dan jambang yang lebat terawat sebaik-baiknya.
Namun hatinya tidak lebih
besar dari biji otek terbagi seribu. Sikapnya yang kasar dan sombong, adalah
selubung yang rapat bagi kekerdilan jiwanya.
Karena itulah, ketika ia
melihat tangan Ki Waskita memecahkan batu hitam yang hampir sebesar kepalanya
itu, hatinya segera menjadi kuncup. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang
yang memiliki kekuatan luar biasa. Jauh di atas kekuatannya sendiri. Meskipun
tangannya mampu mematahkan leher orang lain, namun ia tidak akan dapat
memecahkan batu dengan sisi telapak tangannya itu. Bahkan agaknya
kawan-kawannya yang mampu menyobek perut lawan dengan jari-jari itu pun tidak
akan mampu memecahkan batu hitam itu.
Ketakutan yang melanda dadanya
ternyata tidak dapat dilawannya lagi. Dengan demikian, maka ia tidak mempunyai
pilihan lain daripada menghindar dari arena perkelahian itu.
Orang bertubuh raksasa itu
tidak sempat berpikir. Ia pun kemudian meloncat berlari naik ke atas perahu.
Tidak ada pikiran lain padanya, kecuali menjauhi orang yang dapat memecahkan
batu sebesar kepalanya itu.
Ki Waskita benar-benar
terkejut melihat orang itu berlari. Yang melintas di angan-angannya adalah, bahwa
orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Ia akan membunuh siapa pun yang
dianggapnya dapat mengganggu dirinya dan kelompoknya. Ia bahkan telah siap
untuk membunuh para pedagang dan tukang-tukang perahu yang pernah menyebut arah
larinya pusaka yang hilang dari Mataram.
Karena itulah maka hampir di
luar sadarnya, Ki Waskita pun berteriak, “Berhenti, he, berhenti kau raksasa
yang dungu.”
Tetapi orang bertubuh raksasa
itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian ia meloncat naik ke atas perahu, maka
ia pun segera mengambil satang bambu tanpa menghiraukan kedua kawannya yang
sedang bertempur.
Ki Waskita tidak dapat berbuat
lain daripada menghentikannya. Karena jarak yang ada antara dirinya dan raksasa
yang sudah berada di atas perahu itu, maka Ki Waskita harus bertindak cepat.
Itulah sebabnya, maka Ki
Waskita pun segera memungut pecahan batu hitam yang telah terbelah oleh
tangannya. Dengan sekuat tenaga ia melontarkan batu itu kearah lawannya yang
sedang berusaha melarikan diri sebelum bertempur yang sebenarnya itu.
Ternyata akibatnya adalah
mengerikan sekali. Batu hitam itu tepat mengenai tengkuk orang bertubuh raksasa
itu.
Terdengar sebuah teriakan
nyaring. Kemudian disusul tubuh raksasa itu menggeliat dan terjatuh ke dalam
air Kali Praga yang berwarna lumpur.
Ki Waskita melihat dengan
jelas, bahwa orang itu masih sempat menggelepar, karena lontaran batu itu tidak
membunuhnya. Tetapi dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itu agaknya telah
kehilangan sebagian dari kesadarannya, sehingga ia tidak mampu lagi melepaskan
dirinya dari tarikan, air yang sebenarnya tidak begitu deras.
Ki Waskita berlari-lari
mendekati perahu itu. Dengan serta-merta ia pun meloncat naik mendekati raksasa
yang terlempar ke dalam air itu.
Namun agaknya oleh kekuatan
yang tersisa pada orang bertubuh raksasa itu, yang menggelepar kesakitan dan
kehilangan kesadarannya, ia pun telah terdorong ke tengah dan hanyut dibawa
oleh arus Kali Praga yang cukup kuat menyeretnya ke Lautan Selatan.
Ki Waskita pun kemudian
berdiri termangu-mangu di atas perahu yang masih terguncang itu. Ia melihat
tubuh itu diseret oleh air yang keruh. Namun semakin lama semakin jauh, semakin
jauh. Sekali-sekali Ki Waskita masih melihat raksasa itu menggelepar di dalam
setengah sadar. Tetapi agaknya ia telah sampai pada batas hidupnya, sehingga
tidak seorang pun akan dapat menyelamatkannya lagi.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia masih berdiri di atas perahu. Namun
kemudian ia pun seolah-olah tersadar, bahwa kedua kawannya masih bertempur
dengan sengitnya.
Ki Waskita pun kemudian
berpaling. Ia melihat perkelahian di atas pasir itu masih berjalan dengan
sengitnya. Ki Sumangkar sekali-sekali masih harus meloncat surut menghindari
serangan jari-jari lawannya. Sedang Kiai Gringsing pun masih harus bertempur
dengan sepenuh tenaga.
Perlahan-lahan Ki Waskita
mendekati arena. Ia berusaha untuk sedikit menarik perhatian lawan-lawan Ki
Sumangkar dan Kiai Gringsing. Sekilas kedua orang itu sempat melihatnya. Namun
mereka pun kemudian bertempur lagi dengan gígihnya.
Tetapi yang sekejap itu sudah
cukup bagi Ki Waskita, karena dengan demikian, keduanya telah menyadari
kehadiran Ki Waskita di arena itu.
Untuk beberapa saat lamanya,
perkelahian itu nampaknya justru semakin seru. Namun mereka mulai terganggu
oleh mendung yang tiba-tiba saja hanyut dari atas samudra mengalir ke utara.
Mendung yang semakin lama menjadi semakin pekat.
Setiap kali mereka yang
bertempur mencoba untuk melihat wajah langit yang menjadi suram. Namun mereka
tidak sempat memperhatikan awan yang hitam itu terlalu lama karena mereka
masing-masing harus mempertahankan hidup mereka.
Perkelahian itu ternyata
berlangsung lama. Kedua belah pihak mencoba untuk menguasai lawan-lawannya
dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi dengan demikian, maka mereka
justru terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit.
Agaknya mereka adalah
orang-orang yang pilih tanding. Yang mampu bertempur dengan kekuatan yang tiada
bandingnya sehingga Ki Waskita pun menjadi sadar, bahwa orang yang bertubuh
raksasa itu adalah orang yang paling kuat, tetapi orang yang paling lemah di
dalam pendalaman ilmu kanuragan. Kekuatannya semata-mata terletak pada kekuatan
badaniahnya yang wantah.
Tetapi Ki Waskita tidak
mercoba untuk terjun ke dalam pertempuran itu. Ia masih saja berdiri di
tempatnya sambil memperhatikan perkelahian yang seru itu.
Sementara itu, langit pun
menjadi semakin gelap. Bukan saja gelapnya mendung di langit. Tetapi Matahari
memang sudah menjadi semakin rendah di sisi langit sebelah barat
Apalagi mendung memang menjadi
semakin tebal dan di beberapa bagian hujan pun mulai turun dengan derasnya.
Bahkan di bagian ujung sungai, di lereng pegunungan, hujan nampaknya turun
dengan lebatnya.
Meskipun mereka dicengkam oleh
pemusatan perhatian terhadap lawan masing-masing, namun orang-orang yang sedang
bertempur itu sempat juga sekali-sekali melihat hujan yang turun dengan
derasnya di ujung utara. Sekilas mereka mulai memperhitungkan kemungkinan yang
dapat terjadi atas Kali Praga. Jika air tidak tertampung lagi, maka Kali Praga
akan segera menjadi banjir. Dan setiap orang mengetahui, banjir Kali Praga
adalah banjir yang sangat dahsyat dan mengerikan.
Tetapi mereka masing-masing
tidak segera dapat mengakhiri perkelahian itu. Ki Sumangkar yang nampak
memiliki beberapa kelebihan, masih harus bertempur dengan mengerahkan segenap
tenaga yang ada padanya. Setiap kali ia masih harus menghindari sambaran
jari-jari tangan lawannya yang mengerikan itu.
Dalam pada itu, selagi
perkelahian itu masih berlangsung dengan seru, terasa bahwa riak-riak air yang
berbuih mulai merambat ke atas pasir di tengah-tengah Kali Praga itu.
Bahkan kemudian perlahan-lahan
air itu merambat semakin tinggi sehingga akhirnya air itu mulai menyentuh kaki
mereka yang sedang bertempur.
Ki Waskita masih berdiri
termangu-mangu. Ia ingin melihat akibat yang dapat timbul karena air yang
semakin tinggi itu.
Ternyata bahwa sentuhan air di
kaki mereka yang sedang bertempur itu dapat menarik perhatian untuk beberapa
saat. Mereka seolah-olah saling mencari kesempatan untuk memperhatikan keadaan.
Dalam kesempatan itu, maka Ki
Waskita pun berkata, “Nah, sebentar lagi, arus Kali Praga akan menjadi semakin
deras Kita bersama-sama akan terbenam jika kita tidak segera menyingkir dari
tempat ini, sedang kalian masih saja bertempur seolah-olah tidak berkesudahan.”
Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Karena itu, setelah kawan kalian berkurang
satu, sebaiknya kalian menyerah saja. Kalian akan kami perlakukan dengan baik.
Kami tidak akan berbuat apa-apa atas kalian.”
“Persetan,” lawan Kiai
Gringsing itu pun menggeram.
“Barangkali itu lebih baik
daripada kita bersama-sama terbenam.”
“Itu lebih baik. Kita akan
mati bersama-sama,” berkata orang itu.
Kiai Gringsing yang kemudian
surut selangkah mengerutkan keningnya memandang air yang semakin tinggi. Namun
kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jika kau menyerah,
kau tidak akan mati. Tetapi jika kita bertempur terus, kau akan mati seperti
kawanmu itu, karena kami akan bertempur bertiga, dan kalian hanya berdua saja.
Apalagi kami adalah orang-orang yang sudah terbiasa berkelahi di dalam air.”
Lawan Kiai Gringsing itu
menjadi tegang sejenak. Sesaat ia berpaling memandang kawannya yang juga
berdiri tegak dengan wajah tengadah.
Namun lawan Kiai Gringsing itu
pun berkata, “Biarlah kita bersama-sama tenggelam di dalam arus banjir Kali
Praga.”
Ki Sumangkar menggigit
bibirnya. Kemudian katanya, “Air Kali Praga akan menelan orang-orang yang
bersalah. Bukan orang-orang yang benar.”
Lawan Ki Sumangkar itu menjadi
semakin tegang. Dan dengan sorot mata yang aneh ia memandang kawannya yang
berdiri termangu-mangu.
Namun tiba-tiba saja lawan
Kiai Gringsing itu berteriak, “Gila. Kalian mencoba membohongi aku dengan
tipuan-tipuan yang licik itu he? Kau sangka kami tidak dapat menembus batas
bentuk semumu dengan penglihatan batin. He, orang-orang dungu. Kalian jangan
memperbodoh kami seperti memperbodoh anak-anak yang baru pandai berjalan.”
Dada Ki Waskita berdesir.
Ternyata kedua orang itu benar-benar orang pilihan. Mereka mampu melihat
keadaan yang sebenarnya dan mengesampingkan bentuk semunya
Sejenak kemudian, maka air
yang sudah mulai merambat sampai ke mata kaki itu pun seolah-olah menjadi surut
dengan tiba-tiba. Awan yang hitam kelam di langit pun bagaikan pecah ditiup
prahara, sedang hujan yang turun dengan lebatnya segera disapu pula oleh
penglihatan mata hati dari orang-orang yang menyebut diri mereka tukang satang
itu.
“Luar biasa,” desis Kiai
Gringsing, “kalian benar-benar memiliki ilmu yang mengagumkan. Tidak sia-sia
kalian mendapat tugas untuk melenyapkan semua orang yang dapat menunjukkan
jejak kepergian pusaka-pusaka dari Mataram itu.”
Lawan Kiai Gringsing sama
sekali tidak menyahut. Agaknya kemarahan yarg melonjak di dadanya tidak dapat
dibendungnya lagi, sehingga tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat menyerang
dengan garangnya.
Tetapi Kiai Gringsing pun
sudah bersiap sepenuhnya. Ia sempat mengelak. Bahkan kemudian ia pun segera
membalas dengan serangan pula. Sebuan loncatan yang panjang dengan kaki
terjulur lurus menyamping.
Lawannya tidak membiarkan
dirinya lumpuh oleh serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping.
Kemudian tangannya pun segera terayun memukul pergelangan kaki Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing sadar, bahwa
tangan itu bagaikan senjata yang sangat tajam. Jika jari-jari tangan lawannya
itu menyentuh pergelangan kakinya, maka telapak kakinya tentu akan terlepas dan
itu akan berarti bahwa perlawanannya pun akan terhenti.
Dengan kecepatan yang sama,
Kiai Gringsing menarik kakinya yang terjulur, dan melingkar di belakang kakinya
yang lain. Sekejap kemudian kaki yang lain itulah yang terangkat menyambar
lambung lawannya.
Lawannya tidak sempat memutar
tubuhnya dan menghantam kaki Kiai Gringsing dengan jari-jarinya. Yang dapat
dilakukannya adalah melindungi lambungnya dengan siku.
Tetapi ternyata bahwa kekuatan
Kiai Gringsing masih mampu mendorongnya beberapa langkah surut, meskipun
lawannya telah mengerahkan tenaganya pula. Sekilas nampak wajah itu semakin
menegang menahan sakit. Agaknya benturan yang terjadi itu terasa terlampau
keras baginya.
Lawan Kiai Gringsing itu pun
kemudian sadar sepenuhnya, bahwa ia telah berhadapan dengan seorang yang luar
biasa. Seorang yang tidak akan dapat ditundukkannya begitu saja. Apalagi ketika
sekilas ia melihat kawannya yang sudah mulai bertempur pula melawan Ki
Sumangkar. Maka sudah terasa baginya, bahwa apabila ia bertempur dengan cara
itu, dengan membanggakan kekuatan jari-jarinya, maka ia tidak akan dapat
memenangkannya.
Betapa pun juga tajamnya
kekuatan jari-jarinya, namun ternyata bahwa orang itu masih merasa perlu untuk
mempergunakan senjata.
Karena itulah, maka sejejak
kemudian ia pun melangkah surut menjauhi Kiai Gringsing untuk mendapat
kesempatan melepaskan senjata-senjatanya.
Ki Waskita masih berdiri
dengan tegang. Ia menjadi ragu-ragu, apakah pantas baginya untuk ikut bertempur
pula di antara kedua kawannya. Nanun ketika ia menjadi yakin bahwa kedua orang
yang menyamar menjadi tukang perahu itu tidak akan dapat mengimbangi kedua
kawannya, ia pun menjadi semakin tenang.
Tetapi sikap terakhir lawan
Kiai Gringsing sangat menarik perhatiannya. Ia hampir berteriak ketika ia
melihat tangan orang itu dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata meraba
tengkuknya.
Namun Kiai Gringsing pun sudah
berwaspada. Ketika tangan itu kemudian terayun, Kiai Gringsing dengan
tangkasnya meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya.
Sebuah pisau belati yang kecil
dengan kecepatan seperti angin yang kencang telah menyambarnya.
Untunglah bahwa kecepatan
bergerak Kiai Gringsing berhasil melampaui kecepatan sambaran pisau belati
kecil itu sehingga pisau itu tidak menyambar dadanya dan menghunjam tembus ke
jantungnya.
Namun agaknya, orang itu tidak
hanya membawa sebuah pisau saja di punggungnya. Ternyata kemudian sebuah lagi
meluncur seperti tatit di langit.
Sekali lagi Kiai Gringsing
terpaksa meloncat menghindar, agar pisau itu tidak menyobek tubuhnya.
Tetapi ternyata orang itu
membawa beberapa pisau yang kecuali terselip di punggungnya, juga di ikat
pinggangnya. Beberapa buah pisau belati nampak berderet melingkar di seluruh
bagian ikat pinggang itu.
Sudah barang tentu Kiai
Gringsing akan menghadapi kesulitan apabila setiap kali ia harus berloncatan
menghindari serangan pisau itu. Karena itu, ia harus mengambil sikap lain. Ia
tidak boleh sekedar menunggu dan berloncatan. Tetapi ia pun harus menyerang dan
apabila mungkin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itulah, maka ketika ia
harus sekali lagi meloncat maka tangannya pun segera mengurai senjatanya yang
melingkar di lambungnya, sehingga ketika lawannya sekali lagi mencabut sebuah
pisau di ikat pinggangnya, ia telah dikejutkan oleh ledakan cambuk Kiai
Gringsing yang seolah-olah memecahkan selaput telinga.
“Gila,” orang itu tiba-tiba
berteriak, “jadi kaukah yang disebut orang bercambuk itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Ialah yang kemudian menyerang dengan ujung cambuknya yang berkarah besi baja.
Meskipun demikian lawannya
tidak segera menyerah. Ia masih juga sempat melontarkan pisau belatinya. Tetapi
kecepatan gerak ujung cambuk Kiai Gringsing berhasil menyentuh pisau itu,
sehingga pisau itu pun seolah-olah terpelanting masuk ke dalam arus sungai.
Sementara itu, selagi Kiai
Gringsing dan lawannya bertempur semakin seru, tiba-tiba saja terdengar sebuah
keluhan tertahan. Kemudian disusul pula dengan keluhan berikutnya.
Kiai Gringsing dan lawannya
sempat berpaling. Dan mereka pun melihat darah menyembur dari dada lawan Ki
Sumangkar. Agaknya ia pun tidak mempunyai pilihan lain daripada mengakhiri
pertempuran itu dengan memaksa lawannya menyerahkan nyawanya.
Ki Sumangkar pun kemudian
berdiri termangu-mangu. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan
serupa itu.
Perlahan-lahan Ki Sumangkar
mendekati mayat yang masih mengalirkan darah yang mewarnai pasir. Namun
perlahan-lahan darah itu pun mulai membeku.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat lawan Kiai Gringsing menjadi gelisah. Tetapi agaknya ia
justru menjadi putus asa dan dengan membabi buta menyerang Kiai Gringsing
dengan pisau-pisau belatinya.
Dengan ragu-ragu Ki Waskita
pun mendekati Ki Sumangkar. Tiga buah lubang dari ketiga ujung trisula kecil Ki
Sumangkar telah menganga di dada lawannya.
“Aku tidak dapat berbuat
lain,” desis Ki Sumangkar. Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang kita dihadapkan pada satu-satunya kemungkinan. Jika orang-orang itu
tidak mati terbunuh, maka beberapa orang justru akan dibunuhnya.”
“Masih ada seorang,” desis Ki
Sumangkar, “jika kita berhasil menangkapnya hidup-hidup, maka kita akan dapat
mencari jawab tentang pusaka yang hilang itu.”
“Aku kira kita tidak akan
mendapatkannya,” berkata Ki Waskita, “ia adalah orang yang yakin akan segala
perbuatannya. Ia akan menutup mulutnya, betapa pun kita mencoba memerasnya.”
“Mungkin kita justru akan
dapat membujuknya dengan jalan yang paling baik. Bukan dengan kekerasan.”
“Kemungkinan yang sangat
kecil. Tetapi kita akan dapat mencobanya.”
Ki Sumangkar memalingkan
wajahnya dari mayat yang terkapar di pasir itu. Dipandanginya perkelahian yang
masih berkobar dengan sengitnya.
“Orang itu agaknya pemimpin
dari kelompok kecil yang dipasang di tempat penyeberangan ini,” berkata Ki
Sumangkar.
“Ya. Dan orang yang sudah mati
ini pun memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu
agaknya sekedar membanggakan kekuatan wantahnya.”
Ki Sumangkar mengangguk-angguk
kecil. Namun kemudian katanya, “Marilah kita coba. Kita berdiri di tiga arah
dan minta kepadanya untuk menyerah. Ia tidak mempunyai kemungkinan apa pun
lagi.”
“Baiklah kita memang dapat
mencobanya. Tetapi aku meragukan, apakah kita akan dapat berhasil.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
pun kemudian mulai berpencar. Mereka mengambil tempatnya masing-masing,
sehingga seolah-olah lawan Kiai Gringsing itu sudah terkepung rapat-rapat, dan
tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan dirinya.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar
kemudian, “apakah Kiai tidak dapat minta kepada lawan Kiai itu untuk berbicara
saja dengan baik?”
Kiai Gringsing meloncat surut.
Ia mencoba untuk melepaskan diri dari lawannya. Tetapi lawannya sama sekali
tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara.
Tetapi akhirnya pisau-pisau
kecil lawan Kiai Gringsing itu pun telah terlemparkan semuanya tanpa satu pun
yang dapat menyentuh lawannya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin marah
dan berkelahi semakin kasar.
“Ki Sanak,” akhirnya Kiai
Gringsing mendapat juga kesempatan ketika pisau-pisau belati itu sudah habis,
“sebaiknya kita menghentikan perkelahian yang tidak berarti lagi ini.”
“Persetan,” orang itu
menggeram. Namun serangannya justru menjadi semakin dahsyat meskipun sudah
mulai nampak ia kehilangan keseimbangan nalar.
“Marilah kita berbicara,”
berkata Ki Sumangkar.
Sama sekali tidak ada jawaban.
“Kita dapat berbuat lain
daripada sekedar memanjakan kekasaran dan nalar yang buram,” desis Ki Waskita.
“Aku tidak peduli,” teriak
orang itu sambil menyerang Kiai Gringsing, “kalian harus mati.”
“Kau tidak mau melihat
kenyataan. Kedua kawanmu sudah mati, meskipun sama-sama tidak kita kehendaki.
Tetapi agaknya memang tidak ada pilihan lain.”
“Memang tidak ada pilihan lain
bagi kalian kecuali mati,” teriak orang itu pula.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam, sedang Kiai Gringsing masih harus bertempur dengan serunya.
Agaknya orang itu benar-benar telah berputus asa.
Namun agaknya orang itu
mempunyai pertimbangan lain. Ia memang sudah berputus asa, dan merasa tidak
akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi ia masih mempunyai satu harapan
untuk dapat melarikan diri. Ia dapat mencebur ke dalam air dan mencoba berenang
menyeberangi Kali Praga. Beberapa saat ia akan mengikuti aliran air yang menuju
ke Lautan Selatan, kemudian ia dapat berenang ke tepian sebelah timur atau
sebelah barat.
Sambil bertempur orang itu
mencoba mencari jalan untuk keluar dari kepungan. Ia tidak memikirkan lagi
nilai-nilai kejantanan dan sifat satria. Licik pun akan dilakukannya untuk
melepaskan diri dari tangan orang bercambuk dan kawan-kawannya itu, karena ia
sadar, bahwa keterangan yang diperlukan oleh orang-orang itu dari dirinya akan
membuatnya mengalami kesulitan yang tidak berkesudahan.
Tetapi ia pun sadar
sepenuhnya, bahwa ternyata ia sudah berhadapan dengan orang-orang yang jauh
lebih kuat dari yang diduganya semula. Apalagi di antara mereka terdapat orang
bercambuk, dan salah seorang dari mereka pasti seorang yang memiliki ilmu yang
dapat membingungkan orang lain dengan bentuk-bentuk semu. Untunglah bahwa ia
mampu mengatasi gangguan bentuk semu itu. Namun untuk berhadapan dengan ketiga
orang itu sekaligus, memang suatu hal yang tidak mungkin dapat dilakukan.
Orang yang bertempur melawan
Kiai Gringsing itu masih beruntung, karena Ki Sumangkar dan Ki Waskita tidak
segera turun ke gelanggang dan mengeroyoknya beramai-ramai. Kesempatan yang
masih ada itu harus dipergunakannya sebaik-baiknya untuk mencari jalan keluar
dari kepungan mereka.
Sejenak kemudian orang itu
masih mendengar Ki Sumangkar berkata, “Kenapa kau tidak menghentikan
perlawananmu.”
“Persetan,” orang itu
berteriak.
“Menyerahlah,” desis Ki
Waskita.
“Jangan banyak bicara,” teriak
orang itu.
“Kau tidak mempunyai pilihan,”
berkata Kiai Gringsing.
“Diam, diam. Aku bunuh kau,”
orang itu berteriak semakin keras.
Seperti berjanji maka Ki
Sumangkar, Ki Waskita, dan Kiai Gringsing berganti-ganti mengucapkan kata-kata
yang membuat orang itu semakin marah, tetapi juga semakin bingung.
Namun ia masih juga tidak mau
menyerah. Bahkan dengan tiba-tiba ia berusaha untuk meloncat melarikan diri
dari gelanggang.
Tetapi Ki Sumangkar meloncat
cepat. Karena itu, maka lawan Kiai Gringsing itu pun terhenti beberapa langkah
di hadapan Ki Sumangkar.
“Kau tidak akan dapat
melarikan diri,” desis Ki Sumangkar.
Orang itu tidak menjawab.
Dengan serta-merta ia menyerang Ki Sumangkar dengan sambaran jari-jari mautnya.
Tetapi Ki Sumangkar sempat
mengelak. Ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu maka
sejenak kemudian Ki Sumangkar-lah yang harus bertempur dengan seorang lawannya
yang tersisa itu.
Sesaat kemudaan, pertempuran
itu pun telah beralih. Ki Sumangkar-lah yang harus bertempur dengan sepenuh
kemampuannya untuk melawan orang yang sudah kehilangan harapan itu.
Sementara keduanya bertempur,
maka Ki Waskita dan Kiai Gringsing selalu mencoba mengganggunya dengan
kata-kata yang semakin membingungkannya.
Ternyata bahwa orang itu tidak
berhasil menembus Ki Sumangkar. Orang itu pun kemudian memalingkan usahanya
kepada Ki Waskita. Ketika Ki Sumangkar menghindari serangannya, maka ia dengan
kecepatan yang mampu dilakukan meloncat berlari meninggalkan lawannya dan
berusaha untuk menembus kepungan yang rapat itu di sisi yang lain.
Tetapi di sisi yang lain, Ki
Waskita pun segera berdiri di hadapannya. Sekali lagi orang itu harus
bertempur. Kali ini dengan Ki Waskita.
Sekali lagi orang itu harus
mengakui, bahwa ia tidak akan mampu menembus pertahanan Ki Waskita, yang bukan
saja mampu menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi seorang yang memiliki
kemampuan bertempur melampaui orang kebanyakan.
Dalam kebingungan itulah, maka
dengan tidak terduga-duga orang itu telah berbuat licik sekali. Dengan
serta-merta ia meraih segenggam pasir, dan ditebarkannya ke wajah Ki Waskita.
Ki Waskita sama sekali tidak
menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian sehingga karena itu, maka
tiba-tiba rasa-rasanya matanya telah disengat oleh kepedihan.
Di luar sadarnya, dengan gerak
naluriah, Ki Waskta segera memejamkan matanya sambil merunduk. Ia tidak mampu
berbuat apa pun juga menghadapi lawannya yang licik itu.
Kesempatan itu rupa-rupanya
akan dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawannya. Dengan jari-jari mautnya ia
mencoba menyerang tengkuk Ki Waskita yang sedang menutup matanya dengan
tangannya.
Kecurangan itu telah
mengejutkan Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing. Mereka melihat akibat kecurangan
itu telah membahayakan jiwa Ki Waskita. Karena itu, mereka tidak dapat
membiarkan kecurangan itu tanpa berusaha berbuat apa pun juga.
Karena itulah, selagi tangan
orang itu terayun, maka hampir bersamaan Kiai Gringsing mengayunkan cambuknya
pula. Sedang Ki Sumangkar berbuat hampir di luar sadarnya pula. Sebelum
jari-jari maut itu menyentuh tengkuk Ki Waskta, maka dengan ledakan yang
memekakkan telinga, ujung cambuk Kiai Gringsing telah berhasil membelit
pergelangan tangan itu dan dengan sekuat tenaga, tangan itu dihentakkannya.
Orang itu tidak dapat menahan
dirinya sehingga ia pun bagaikan diguncang oleh kekuatan raksasa. Jari-jarinya
tidak lagi dapat menyentuh tubuh Ki Waskita.
Tetapi bukan itu saja. Ki
Sumangkar yang bergerak dengan cepat pula, telah melemparkan trisulanya, tepat
mengenai punggung orang itu.
Sejenak kemudian terdengar
jerit ngeri. Orang itu masih sempat melonjak dan menggeliat. Namun kemudian ia
pun terhuyung-huyung sambil membelalakkan matanya, memandang ketiga lawannya
berganti-ganti.
“Setan yang licik,” geramnya,
“kalian berkelahi seperti perempuan. Kalian hanya berani menghadapi lawan
dengan bertempur berpasangan tiga orang sekaligus.”
Kai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskta yang sudah berhasil menguasai dirinya sama sekali tidak menjawab.
“Kalian akan mampus oleh
tangan-tangan perkasa dari darah Majapahit,” ia masih menggeram.
“Siapakah darah Majapahit
itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu menjadi semakin
lemah. Dan tiba-tiba saja ia terjatuh di pasir. Tetapi ia masih berdesis, “Pembalasannya
akan segera datang.”
“Siapa? Siapakah yang kau
maksud itu?”
Orang itu menggeliat.
Dipandanginya ketiga orang lawannya berganti-ganti dengan sorot mata penuh
kebencian.
Kiai Gringsing berjongkok di
sampingnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Siapakah yang kau maksud dengan darah
keturunan Majapahit itu?”
Nampak bibir orang itu
bergerak. Agaknya ia memang menyebut sebuah nama dengan penuh kebanggaan.
Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak dapat mendengarnya.
Ketika Kiai Gringsing mencoba
mendekatkan telinganya ke mulut orang itu, maka orang itu pun telah
menghembuskan nafas yang terakhir.
“Ia telah mati,” desis Ki
Sumangkar.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia pun berpaling memandang lawan Ki Sumangkar
yang telah mati terlebih dahulu, kemudian mayat yang terkapar di hadapannya.
“Kitalah yang telah menjadi
pembunuh kali ini,” desis Kiai Gringsing.
“Ya. Jika kita tidak membunuh
tiga orang, maka beberapa orang yang lain akan terbunuh pula di tengah-tengah
Kali Praga. Bahkan kemudian setelah mereka membunuh orang-orang yang mereka
anggap melihat dan mendengar berita bahwa songsong yang mereka ambil telah
dibawa menyeberang ke sebelah barat Kali Praga, mereka pasti masih akan
membunuh orang-orang lain lagi,” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sementara Ki Waskita masih mengusap matanya yang sudah mulai dapat
melihat lagi setelah ia mencuci mukanya di air kali yang keruh.
“Ya,” berkata Ki Waskita
kemudian, “meskipun bukan maksudnya kita menghitung untung rugi dalam
pembunuhan ini, namun agaknya orang-orang ini pantas untuk disingkirkan
selama-lamanya. Kita tidak akan dapat mengharapkan bahwa jiwa mereka dapat
berubah, sehingga masih ada kemungkinan di masa datang mereka merubah sikap dan
sifat-sifatnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Namun, jika salah seorang
dari mereka masih hdup, kita akan dapat mendengar keterangan lebih banyak lagi
tentang pusaka yang hilang itu.”
“Itu pun tentu sukar
diharapkan dari orang seperti orang-orang ini. Mungkin orang bertubuh raksasa
itu dapat diperas keterangannya. Sayang, ialah orang yang pertama menjerumuskan
diri ke dalam Kali Praga ini. Tetapi agaknya kedua kawan-kawannya yang lain
tentu akan menutup mulutnya meskipun seandainya kita memperlakukannya dengan
kasar,” berkata Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Agaknya memang demikian,”
berkata Ki Waskita, “atau katakanlah, meskipun ia akan dihukum picis.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Jadi kesimpulan kalian, tidak ada pilihan apa pun
juga selain ketiga orang itu memang harus mati.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
“Memang tidak ada pilihan
lain,” desis Ki Sumangkar.
Sejenak Kiai Gringsing terdiam
sambil mengamat-amati mayat itu. Kemudian katanya, “Apa yang akan kita lakukan
seterusnya?”
“Kita akan menguburkannya di
tepian,” desis Ki Waskita.
Ki Sumangkar dan Kiai
Gringsing pun sependapat. Adalah menjadi kewajiban mereka untuk menguburkan
mayat-mayat itu, siapa pun mereka itu.
“Kita bawa mereka
menyeberang,” berkata Kiai Gringsing, “bukankah kita dapat menjadi tukang
satang pula?”
“Ya. Kita akan mencobanya.”
Demikianlah maka kedua mayat
itu pun segera dinaikkan ke atas perahu. Meskipun belum pernah mengalami, maka
ketiga orang itu pun mencoba untuk memegang satang, dan membawa perahu getek
mereka menyeberang ke tepain di sebelah Timur.
Ketiga orang itu sama sekali
tidak menghubungi siapa pun juga, karena mereka tidak ingin membawa siapa pun
ke dalam kesulitan. Jika ada seorang atau beberapa orang yang ikut membantu
mereka menguburkan mayat-mayat itu, maka di saat yang lain mungkin orang-orang
yang tidak mengetahui apa pun juga itu akan menjadi sumber keterangan yang
bersimpang siur dan dapat membuat mereka sendiri kesulitan.
Dengan alat yang dapat mereka
ketemukan, mereka menggali tanah berpasir dan menguburkan kedua orang itu di
tepian yang cukup jauh dari arus air.
“Mudah-mudahan tidak ada orang
lain yang melihat hal ini terjadi,” berkata Ki Sumangkar.
“Ya, jika ada orang yang
melihat dan yang kemudian membicarakannya, cerita ini mungkin akan sampai ke
telinga orang-orang yang mereka sebut keturunan Majapahit itu. Sudah barang
tentu mereka akan segera mencari orang-orang yang mereka sangka telah membunuh
kawan-kawannya,” berkata Ki Waskita. Lalu, “Terutama adalah seorang tua yang
disebut orang bercambuk.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sementara Ki Waskita meneruskan, “Ciri itu adalah ciri yang paling
mudah di kenal di daerah ini. Semakin lama orang bercambuk itu menjadi semakin
banyak dibicarakan orang.”
“Mungkin demikian,” berkata
Kiai Gringsing, “jika mereka langsung bertemu dengan kita, maka kita akan
mempertanggung-jawabkannya. Tetapi jika mereka menyangka bahwa hal itu
dilakukan oleh Agung Sedayu atau Swandaru yang juga dapat disebut orang-orang
bercambuk?”
“Mudah-mudahan tidak,” Ki
Sumangkar-lah yang kemudian menyahut, “masih dapat dibedakan, orang bercambuk
yang sudah ubanan dan orang-orang bercambuk yang masih muda.”
“Tetapi di antara keduanya
tentu ada hubungan yang rapat,” gumam Kiai Gringsing, “karena itu agaknya kita
tidak dapat melepaskan anak-anak itu terlampau lama.”
Kedua kawannya
mengangguk-angguk. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka sudah terlibat
langsung dengan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu. Cepat atau lambat,
maka kawan-kawan orang yang terbunuh itu tentu akan menyebut orang bercambuk
dan kawannya yang mencoba untuk menghambat usaha mereka. Suara cambuk Kiai
Gringsing tentu didengar oleh satu dua orang yang meskipun tidak dengan
sengaja, menyaksikan pertempuran itu.
“Apa boleh buat,” desis Kiai
Gringsing yang seolah-olah melihat gejolak perasaan kedua kawannya, karena
perasaan semacam itu juga bergetar di dalam dadanya sendiri, “kita memang harus
melibatkan diri.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia sudah pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung
antara Jipang dan Pajang. Ia melihat betapa peperangan telah memeras terlampau
banyak korban. Ia melihat bahwa di dalam perang, seseorang akan terlampau sulit
untuk mengendalikan diri sendiri, apalagi apabila tangan mereka telah dibasahi
dengan darah. Karena itulah maka seolah-olah ia telah tersisih dari peperangan
itu dan terlempar ke dapur sebagai seorang juru masak di dalam pasukan Macan
Kepatihan yang menjadi semakin lama semakin liar dan buas karena kehilangan
arah dan tuntunan.
“Seharusnya perang yang
demikian itu sudah berhenti,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Tetapi Ki Sumangkar pun sadar,
bahwa kekerdilan jiwa manusia telah menyeret manusia ke dalam tindakan-tindakan
yang sebenanya bertentangan dengan nurani mereka yang murni. Ketamakan,
kedengkian, dan bibit kebencian dan dendam yang tiada berkeputusan, telah
melibatkan manusia ke dalam benturan di antara mereka.
Namun, manusia yang lain,
mencoba mengetrapkan susunan kehidupan yang terpahat di dalam cita-citanya
dengan cara yang serupa. Tanpa menghiraukan jeritan nuraninya sendiri, gambaran
cita-cita kehidupan yang dianggapnya lebih baik telah mendorongnya untuk
memaksakan pendapatnya itu terhadap orang lain. Dan perang telah terjadi untuk
tujuan-tujuan yang disebutnya bagi kemanusiaan sejagat. Namun di dalam perang,
kemanusiaan itu sendiri telah dikorbankannya. Dan menarilah cita-cita yang
disebutnya luhur itu di atas cara-cara yang paling pahit, karena bagi mereka
cara apa pun dapat dipergunakannya tanpa menghiraukan pertimbangan-pertimbangan
lain, apalagi pertimbangan hidup di seberang kehidupan yang wantah. Kehidupan
abadi di sisi Sumber dari segala hidup itu sendiri.
Seperti Ki Sumangkar, Kiai
Gringsing pun merasa berdiri di simpang jalan. Ia harus memilih. Menghindarkan
diri dari tindakan-akan kekerasan, atau harus terlibat ke dalamnya.
Namun seperti Ki Sumangkar,
maka Kiai Gringsing maupun Ki Waskita, masih harus berdiri di tempatnya
berpijak. Bahwa mereka masih harus melindungi bukan saja dirinya sendiri,
tetapi setiap sasaran dan akibat dari ketamakan, kedengkian, dan bibit-bibit
kebencian dan dendam. Juga melindungi sasaran korban-korban tanpa arti yang
dijadikan pancadan membangun dunia menurut selera segolongan manusia yang telah
kehilangan pedoman hidup abadi, karena bagi mereka hidup adalah yang dapat
mereka hayati dengan badan wadag mereka. Bukan kehidupan yang lembut dan tanpa
akhir. Karena mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi suara agung yang
mengumandang di setiap hati, bahwa akhirnya setiap manusia harus pasrah kepada
kekuasaan Yang Maha Kuasa. Di hadapan-Nya-lah akan terjadi tangis dan geretak
gigi yang tiada berkeputusan, tetapi juga senyum jernih yang abadi.
Ketiga orang yang berdiri
termangu-mangu di dekat kuburan kedua orang yang terbunuh itu bagaikan
terbangun dari mimpi. Ketika mereka mendengar jerit seekor burung gagak yang
hitam pekat yang berterbangan di langit. Hampir bersamaan mereka menengadahkan
wajah. Mereka melihat burung itu membentangkan sayapnya, seperti mengapung di
atas desir angin yang lembut.
“Marilah kita melanjutkan
perjalanan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “rasa-rasanya aku ingin cepat
sampai bukan saja di Mataram, tetapi di Sangkal Putung.”
“Ya,” Ki Waskita mengangguk,
“mudah-mudahan anakku sudah berada di sana, meskipun kadang-kadang aku masih
diganggu oleh sentuhan getaran pribadi anakku di arah yang berbeda.”
Demikianlah maka ketiganya pun
kemudian melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda mereka berderap di atas tanah
berbatu-batu dan mengandung pasir. Tidak ada seorang pun yang mereka jumpai di
sekitar Kali Praga. Agakya tukang-tukang satang masih belum berani turun ke
sungai. Apalagi tukang-tukang satang di sebelah barat Kali Praga. Sehingga
dengan demikian jalan itu menjadi sunyi.
“Jika ada yang melihat
meskipun dari kejauhan, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan membuat
jalur jalan ini menjadi semakin sepi untuk waktu yang agak lama,” berkata Ki
Sumangkar.
“Ya. Dan tukang-tukang perahu
akan kehilangan sebagian dari penghasilan mereka. Tanah di sekitar tempat ini
bukannya tanah yang terlampau subur, sehingga hasil sawah yang mereka kerjakan
tidak akan memberikan hasil yang mencukupi,” sahut Ki Waskita.
Kiai Gringsing hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi terbayang bahwa sebuah perjuangan
yang cukup panjang harus dilakukan oleh Mataram, baik untuk mendapatkan kembali
pusaka-pusaka yang hilang itu mau pun untuk menjadikan Mataram pusat kekuatan
di banyak bidang. Kekuatan perdagangan, kebudayaan, dan pertumbuhannya sendiri
di samping Pajang yang rasa-rasanya memang sudah berhenti. Seolah-olah Pajang
telah sampai ke puncak kemungkinannya tanpa dapat berkembang lebih jauh lagi.