Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 20

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 20
 
Anak rajawali Jilid 20

Ternyata di tempat tersebut, entah dengan cara bagaimana datangnya, tahu-tahu telah ada seorang pemuda yang tubuhnya pendek, seperti anak belasan tahun. Dia yang telah bertepuk tangan dan menganjurkan biruang salju dan rajawali putih itu bertarung terus tampaknya dia girang sekali. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang girang menyaksikan keramaian.

Dia berdiri di sebungkah batu gunung yang diselubungi salju, dan berdiri tenang sekali, dengan ke dua kaki seperti menancap di tempat yang sebetulnya sangat licin itu. Melihat cara berdirinya itu dengan sepasang kaki yang mantap dan tubuh yang tetap walaupun dia bergerak-gerak, membuktikan dia memiliki gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang tinggi, karena kedatangannya saja juga tidak diketahui oleh biruang salju atau burung rajawali putih itu, yang sesungguhnya merupakan dua binatang yang tidak sembarangan.

Biruang salju mengerang menghadapi pemuda bertubuh pendek tersebut.

Sama sekali si pemuda tidak merasa takut melihat gigi-gigi biruang yang runcing, malah dia tertawa. katanya: “Mengapa kalian berhenti bertempur?!”

Di waktu itu si biruang salju merasa tidak senang, karena pemuda yang tampaknya berusia hampir tigapuluh tahun itu, ternyata seperti menganjurkan ingin mengadunya dengan rajawali putih. Dia mengerang sambil menghampiri lebih dekat. Maksud biruang salju tersebut ingin menangkap pemuda itu, dan melemparkannya jauh.

Pemuda itu tetap berdiri di tempatnya tanpa memperlihatkan perasaan takut sedikitpun juga. Dia telah tertawa-tawa melihat kelakuan biruang salju.

Hal ini malah membuat biruang salju itu tambah penasaran. Dia mempercepat langkahnya, dan setelah tiba di depan pemuda tersebut, ke dua tangannya, dengan kuku-kuku jari tangannya yang runcing tajam itu diulurkan kepada si pemuda.

Pemuda pendek itu tertawa, dia berkata tanpa perasaan jeri sedikitpun juga: “Aha, kau hendak main-main dengan Auwyang Phu?”

Sambil bertanya begitu, tubuh si pemuda pendek itu berkelebat, tahu-tahu telah lenyap dari hadapan biruang salju, dan berdiri di tempat lain, terpisah empat tombak lebih. Gesit sekali gerakannya tadi, membuktikan gin-kangnya memang tinggi.

Siapakah pemuda itu? Mendengar dia menyebut namanya sebagai Auwyang Phu, tentu pembaca telah dapat menerkanya siapa adanya pemuda bertubuh pendek tersebut.

Benar! Bahwa dia memang Auwyang Phu, putera Auwyang Hong! Seperti di dalam Kisah Biruang Salju, pemuda ini telah muncul dan bersama ibunya, Cek Tian, telah menimbulkan persoalan yang tidak kurang menariknya.

Dan kini, dalam perjalanan berkelana, dia telah tiba di gunung Heng-san tersebut, di mana kebetulan sekali di saat dia tengah beristirahat di tempat itu didengarnya suara pekik rajawali putih dan mengerangnya biruang salju.

Segera juga hatinya tertarik membuatnya pergi ke arah tempat datangnya suara itu. Dan dia menyaksikan rajawali putih dan biruang salju yang tengah bertempur. Timbul kegembiraannya, terlebih lagi dilihatnya ke dua binatang itu bertempur seperti juga memiliki ilmu silat, gerakan mereka merupakan gerakan yang mengagumkan, seperti dua orang tokoh persilatan yang tengah mengadu ilmu.

Itulah sebabnya Auwyang Phu telah bersorak sambil bertepuk tangan menganjurkan agar ke dua binatang tersebut bertempur terus.

Siapa tahu, justeru biruang salju merasa tidak senang dengan sikap Auwyang Phu, segera juga dia menghampiri buat menghalau pemuda itu, yang semula diduga si biruang salju sebagai pemuda biasa saja dan akan mudah dilontarkannya. Namun setelah gagal buat menjangkau tubuh pemuda itu, barulah biruang salju tersebut sadar, pemuda pendek ini tentunya bukan pemuda sembarangan.

Auwyang Phu sendiri merasa girang dan tertarik hatinya buat main-main dengan biruang salju itu, ketarik sekali dia melihat gerakan biruang salju yang seperti gerakan seorang ahli silat. Dia melambai-lambaikan tangannya, katanya:

“Mari! Mari! Mari kita main-main..... aku akan menemani kau..... mari..... mari ke marilah engkau……!” Dan dia melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa-tawa.

Karuan saja biruang salju itu merasa dipermainkan, dia bertambah gusar, dengan segera dia menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya biarpun tinggi besar dan tampaknya berat itu, dapat bergerak sebat dan ringan sekali, dalam dua kali lompatan dia telah berada dihadapan Auwyang Phu.

Kali ini Auwyang Phu sama sekali tidak menghindar dari tempatnya berada, dia mengawasi biruang salju itu sesaat lamanya dengan tertawa-tawa. Disaksikannya biruang salju itu mengangkat ke dua tangannya.

Namun biruang salju itu bukannya menyerang seperti tadi dengan sekaligus mengulurkan kedua tangannya, melainkan dia menghantam dengan ilmu pukulan Inti Es, yang menimbulkan angin serangan yang kuat dan dingin sekali, bisa membekukan, karena itulah memang ilmu pukulan andalan Swat Tocu, yang telah dapat diwarisi si biruang salju berkat didikan Swat Tocu. Walaupun sebagai seekor binatang ia tidak bisa mewarisi sempurna seperti yang dialami Ko Tie, tetap saja pukulan yang dilakukannya itu hebat bukan main.

Auwyang Phu semula menganggap enteng biruang salju itu. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja ia sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap serangan tersebut, di mana biarpun biruang salju itu memiliki ukuran tubuh sangat besar dan tentu tenaganya sangat kuat, namun dia akan dapat merubuhkannya dengan mudah.

Hanya saja sekarang, setelah biruang salju itu menyerangnya dengan tenaga pukulan Inti Es nya, membuat Auwyang Phu jadi kaget bukan main, itulah bukan pukulan sembarangan, karena seorang jago silat biasa saja, tidak mungkin dapat memukul sehebat itu, membuat Auwyang Phu tertegun sejenak, namun ia segera tersadar, tidak bisa ia berayal.

Cepat sekati, tahu-tahu dia menekuk ke dua kakinya, dan memperdengarkan suara “Krokk, krokk!” di mana ke dua tangannya didorong ke arah biruang salju itu.

“Bukkk!” terdengar benturan tenaga yang dahsyat sekali menggetarkan sekitar tempat itu dan biruang salju itu mengeluarkan suara erangan seperti kaget, tubuhnya terpental dan ambruk di bumi keras sekali!

Rupanya Auwyang Phu telah mempergunakan Ha-mo-kang, ilmu warisan dari mendiang ayahnya, yaitu Auwyang Hong! Itulah Ha-mo-kang yang telah menggemparkan rimba persilatan dan Auwyang Phu telah berhasil menguasai ilmu tersebut pada tingkat yang hampir mendekati kemahiran.

Karena dari itu, biruang salju tersebut mana bisa dan mana sanggup buat membendung kekuatan Ha-mo-kang yang dilancarkan Auwyang Phu? Hal itu membuat tubuhnya yang tinggi besar jadi terpental dan lalu terbanting di atas tanah!

Auwyang Phu girang bukan main melihat tangkisannya berhasil membuat biruang itu terpental cukup jauh, hampir tiga tombak. Cuma saja, Auwyang Phu agak menggigil karena hawa dingin, sisa serangan biruang salju itu. Belum lagi dia memperbaiki kedudukan tubuhnya yang masih berjongkok itu, dari atas di dekat punggungnya berkesiuran angin serangan yang menderu-deru hebat sekali.

Auwyang Phu terkejut, dan dia melirik, dilihatnya burung rajawali putih itu tengah menukik dan menyampok dengan sayapnya. Inilah hebat, karena rajawali putih itu, yang tadi menjadi lawan biruang salju tersebut, rupanya telah berbalik membela biruang salju, ketika melihat si biruang salju terpental seperti itu diganggu oleh orang asing! Mereka memang saling mengetahui, bahwa majikan mereka bersahabat, karena itulah terdapat rasa saling tolong menolong di antara mereka.

Jika tadi antara rajawali putih dengan biruang salju itu bertempur, hal itu hanya disebabkan mereka penasaran dan berusaha buat saling merubuhkan satu dengan yang lainnya.

Tetapi sekarang salah sekor di antara mereka mengalami ancaman orang asing, burung rajawali tersebut tidak bisa berdiam diri saja, dia berusaha membantunya.

Sampokan sayap yang dilakukannya benar-benar kuat. Dia juga merupakan seekor burung rajawali yang aneh sekali, bukan rajawali sembarangan.

Sejak kecilnya, waktu ditetaskan, dia sudah merupakan rajawali luar biasa, yang di didik dan dibesarkan oleh seekor ular yang luar biasa. Maka dari itu, cara menyampok sayapnya itu juga aneh, kuat dan meliuk seperti gerakan seekor ular. Angin serangan yang menyambar datang itu sulit diterka, ke arah sasaran bagian mana yang diincarnya.

Auwyang Phu tidak mau membuang-buang waktu, dia tertawa sambil melompat ke samping. Dengan posisi tubuh masih tetap berjongkok, ke dua tangannya telah didorongkan lagi, dengan mengeluarkan suara seperti mengkeroknya seekor kodok, dan hebat sekali tenaga yang meluncur dari ke dua telapak tangannya.

Rajawali putih itu liehay dan cerdik, karena dia segera menyadari bahwa tadi telapak tangan Auwyang Phu dapat membuat biruang salju itu terpental. Mau tidak mau rajawali putih tersebut mengadu kekuatan keras dilawan keras dengan tenaga pemuda pendek tersebut. Dia tahu-tahu meliuk-liuk dan tubuhnya dapat terbang lolos dari hantaman Ha-mo-kang nya Auwyang Phu, karena dia telah membawakan gerakan seekor ular, dan tubuhnya secara luar biasa lolos dari hantaman Ha-mo-kang itu!

Rajawali itu terbang lebih tinggi, namun Auwyang Phu jadi penasaran, dia mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya itu digerakkan lagi. Sepasang tangan yang mengandung Ha-mo-kang yang terlatih dengan baik telah meluncur ke arah si rajawali putih, tapi rajawali putih itu telah terbang semakin tinggi, dengan demikian tenaga ke dua tangan Auwyang Phu sudah tidak memiliki arti lagi, karena tenaga Ha-mo-kang tersebut tidak bisa menyambar ke atas lebih tinggi lagi.

Bukan main mendongkol dan gusarnya Auwyang Phu. Dia melompat berdiri dan memaki: “Rajawali laknat, turunlah, akan kuhancurkan tubuhmu….. Turunlah binatang celaka!”

Sambil berteriak-teriak keras seperti itu dia mengawasi dengan sorot mata yang tajam sekali mengandung ancaman kepada burung rajawali putih yang tengah terbang semakin tinggi berputar-putar di tengah udara.

Sedangkan biruang salju yang telah berhasil berdiri lagi, walaupun kepalanya masih agak pusing, dengan marah dia menerjang lagi kepada Auwyang Phu.

Sekali ini Auwyang Phu tidak mempergunakan Ha-mo-kangnya, tubuhnya berkelebat ke sana ke mari mengelilingi biruang salju itu. Kepandaian Auwyang Phu memang telah mencapai tingkat yang tinggi, sehingga dia bisa mempermainkan biruang salju tersebut.

Setiap terkaman dari biruang salju dapat dihindarkannya dengan mudah, membuat biruang salju itu tambah penasaran dan kalap.

Burung rajawali putih itu, yang tengah terbang di tengah-tengah udara, menyaksikan biruang salju itu dipermainkan seperti itu oleh Auwyang Phu, segera juga dia terbang menukik dan sekali-sekali menyerang Auwyang Phu, buat membantui biruang salju.

Demikianlah, Auwyang Phu dikeroyok oleh ke dua binatang tersebut, yang seekor terbang di tengah udara, berputaran dan mencari kesempatan disembarang waktu buat menyerang sedangkan saat itu terjangan biruang salju juga bukan merupakan terjangan sembarangan. Sehingga Auwyang Phu telah mengeluarkan gin-kangnya, melompat ke sana ke mari dengan gesit sekali, biruang salju itu juga bergerak dengan lincah.

Setiap kali tubuhnya telah melompat ke kiri menerkam, jika gagal, cepat luar biasa tanpa memutar tubuh dia menerkam ke kanan. Dengan demikian, dia seperti juga seorang jago silat yang tengah bertempur hebat dengan seorang lawannya. Karenanya, telah membuat Auwyang Phu tidak bisa memandang ringan juga.

Hati kecil Auwyang Phu diliputi tanda tanya dan perasaan heran, karena biar bagaimana dia heran juga, melihat biruang salju dan rajawali putih itu dapat bertempur dengan segesit itu. Malah gerakan mereka semuanya merupakan gerakan-gerakan silat, langkah kaki mereka menurut peraturan ilmu silat yang memiliki kelihayan menakjubkan.

Dikala itulah, Auwyang Phu sambil mengawasi cara bertempur biruang salju tersebut dia pun melihat-lihat di mana kelemahan dari binatang itu, di samping diapun sekali-kali sibuk harus melayani sambaran rajawali putih.

Setelah menyaksikan sekian lama lagi, tiba-tiba Auwyang Phu melompat cukup tinggi. Waktu dia meluncur turun, bukan dengan kedua kaki dulu, tetapi dengan kepalanya, yang hinggap di atas tanah dan berputaran cepat sekali. Ke dua tangannya segera bergerak-gerak menghantam bagian bawah biruang salju itu, sepasang kakinya juga sekali-sekali mengancam dengan tendangan yang kuat sekali.

Biruang salju itu jadi bingung menghadapi cara bertempur lawannya. Tidak biasanya dia memperoleh lawan yang main di bawah seperti Auwyang Phu, yang tubuhnya bisa terbalik seperti itu, malah kepandaian Auwyang Phu pun memang sangat tinggi!

Karena dari itu biruang salju tersebut jadi sibuk melindungi sepasang kakinya, walaupun dua kali kena disapu, satu kali dia rubuh terguling karena sapuan tangan Auwyang Phu pada kakinya. Sedangkan satu kali dia hanya terhuyung.

Dengan demikian membuat biruang salju itu lebih hati-hati. Sementara ini dia hanya main mundur mengelakkan diri belaka.

Rajawali putih itu tidak kurang dari herannya melihat cara bertempur Auwyang Phu yang kepalanya berada di bawah dan sepasang kakinya di atas. Dengan cara demikian, cara yang tidak biasa mereka hadapi, membuat rajawali putih itu agak bingung juga.

Namun karena melihat biruang salju itu terdesak dan main mundur tidak berdaya buat balas menyerang, rajawali putih itu berulang kali menukik dan menyerang. Ke dua sayapnya semakin gencar buat menyampok kepada Auwyang Phu.

Cuma saja Auwyang Phu benar-benar liehay, walaupun dia dalam keadaan jungkir balik seperti itu,di mana kepala di bawah dan sepasang kaki di atas, namun dia masih bisa menyerang ke atas. Kedua tangannya dengan mempergunakan Ha-mo-kang telah menyerang bertubi-tubi kepada rajawali putih tersebut, sehingga membuat bulu sayap dari burung rajawali putih tersebut rontok dan banyak yang terlepas jatuh ke atas tanah!

Begitulah, seorang manusia dikeroyok oleh dua binatang yang berlainan jenis itu, seekor biruang dan seekor rajawali putih, mereka bertempur begitu hebat. Dengan demikian membuat Auwyang Phu sendiri sebetulnya merasa mendongkol, di mana dia belum lagi bisa merubuhkan ke dua orang “lawan”nya yang luar biasa ini.

Tidak biasanya Auwyang Phu mengalami kesulitan merubuhkan lawannya. Terlebih lagi jika hanya menghadapi binatang buas.

Seekor harimau saja bisa dirubuhkannya dengan mudah, sekali menghantam kepala harimau itu akan hancur dan mati. Tetapi sekarang menghadapi seekor biruang salju dan burung rajawali itu, dia seperti mati kutu. Walaupun dia tidak bisa dirubuhkan juga oleh ke dua ekor binatang itu, dia sendiri juga tidak bisa merubuhkan lawannya!

Padahal, jika menghampiri jago-jago rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Auwyang Phu jarang memperoleh kesulitan, dan dia selalu dapat merubuhkan lawannya dengan mudah. Hanya saja, sekarang dia jadi tidak berdaya buat menyudahi pertempuran itu secepat mungkin, membuat benar-benar jadi penasaran sekali, sampai dia berjingkrak berdiri dengan ke dua kakinya lagi. Dia telah menghantam berulang kali dengan telapak tangannya yang disertai dengan sin-kangnya yang sangat kuat.

Tetap saja Auwyang Phu tidak berhasil merubuhkan ke dua lawannya. Dia hanya berhasil membuat bulu burung rajawali putih itu banyak yang rontok akibat terkena sambaran angin pukulan Auwyang Phu yang dahsyat. Dan biruang salju itu tampak telah berdarah mulutnya karena telah beberapa kali berhasil dibikin jungkir balik terbanting di tanah.

Maka Auwyang Phu semakin mengempos tenaga dalamnya, karena dia ingin sekali cepat-cepat menyudahi pertempuran itu, yang memang telah berlangsung sampai puluhan jurus.

Suatu kali, melihat biruang salju yang kedot dan selalu dapat bangun lagi cepat bukan main setelah terbanting, malah lebih ganas menyerangnya, membuat Auwyang Phu telah menyalurkan sin-kangnya yang paling kuat. Dia telah mendorong tiba-tiba sekali dengan ke dua telapak tangannya dengan salah satu jurus Ha-mo-kang, ilmu kodoknya, dia pun bermaksud kali ini, begitu serangannya mengenai sasaran, tubuh biruang salju itu akan ambruk, sebab tenaga serangannya ini memang sangat kuat sekali.

Biruang salju itu yang diserang hebat seperti itu juga jadi kaget karena dia merasakan, belum lagi angin serangan itu tiba, dia sudah merasakan sambaran angin yang hebat sekali. Biruang salju itu bermaksud hendak menghindarkan diri, namun terlambat.

Pundaknya terkena hantaman itu, biruang salju itu memekik nyaring kesakitan tubuhnya terguling dan beberapa kali menggelinding menjauhi diri dari Auwyang Phu.

Baru saja Auwyang Phu bermaksud mengejarnya buat menyusuli pukulan berikutnya, di waktu itu rajawali putih itu telah meluncur turun menyampoknya dengan sepasang sayapnya bergantian. Dengan demikian membuat dia harus membatalkan maksudnya menyerang biruang salju itu, ia menghadapi tenaga sampokan dari burung rajawali putih tersebut.

Dengan sengit, Auwyang Phu menghantam sama hebatnya seperti tadi. Burung rajawali putih yang tengah berkuatir akan nasib biruang salju, telah nekad dan menyambuti serangan telapak tangan Auwyang Phu dengan sayap kanannya.

“Bukkk!” bulu-bulu sayap burung rajawali tersebut telah banyak yang rontok.

Kasihan juga nasib burung rajawali itu, karena terdengar suara “krak”, rupanya sayapnya ini mengalami sesuatu cidera yang tidak ringan, disebabkan kuatnya tenaga Ha-mo-kang Auwyang Phu, membuat tulang sayap burung itu hampir patah, namun dia masih sempat memaksakan diri buat terbang terus di tengah udara!

Dikala itu terlihat betapa Auwyang Phu sengit sekali menyusuli dengan pukulannya lagi, karena dia mengharapkan dapat merubuhkan burung rajawali tersebut, agar dia dapat memberesi burung rajawali itu.

Namun dugaannya itu meleset, tenaga serangannya telah menghantam tempat kosong sebab burung rajawali putih itu telah terbang tinggi sekali, sambil mengeluarkan suara pekikan yang nyaring sehingga kekuatan tenaga dalam dari pukulan Auwyang Phu sama sekali tidak memberikan hasil.

Di waktu itulah Auwyang Phu memutar tubuhnya, dia melihat biruang salju tengah merangkak berusaha untuk berdiri lagi, namun biruang salju itu telah terluka di dalam yang tidak ringan, membuatnya tidak bisa segera berdiri tetap, dia masih mengerang-erang kesakitan.

Segera Auwyang Phu telah melompat ke dekat biruang itu, dia bermaksud akan menghantam buat menghabisi riwayat biruang salju itu. Namun, justeru waktu dia mengangkat tangannya di waktu itulah dia telah melihat biruang salju itu cepat sekali telah menubruk nekad kepadanya.

Sebagai binatang yang memiliki perasaan yang halus, dia menyadari bahwa dirinya akan dibunuh oleh Auwyang Phu dengan kejam.

Dan belum lagi orang itu sempat turun tangan buat membunuhnya, justeru dia telah mendahului dengan nekad sekali buat menubruknya.

Tetapi Auwyang Phu biarpun diserang mendadak seperti itu, dan memang biruang salju tersebut telah menghantam dengan pukulan Inti Es, tokh kenyataannya tetap saja Auwyang Phu berhasil berkelit, sehingga tubuh biruang salju itu terhuyung ke depan.

Bersamaan dengan itu, segera juga Auwyang Phu telah menghantamkan telapak tangannya ke punggung biruang salju tersebut.

Seketika tubuh biruang salju itu tersungkur, dan dia mengeluarkan erangan perlahan, luka di dalam tubuhnya semakin parah dan dia malah telah mengeluarkan darah dari mulutnya, memuntahkan dua kali, karena dengan terhantam punggungnya oleh pukul Ha-mo-kangnya Auwyang Phu, membuat dia tergempur di bagian dalam tubuhnya tidak ringan. Malah ketika dia berusaha untuk bangkit lagi, dia sudah tidak sanggup, karena di saat itulah tubuhnya gemetaran dan juga ke dua kakinya lemas tidak memiliki tenaga, dia rubuh terguling dan tidak bisa bangun lagi.

Auwyang Phu tertawa dingin, tubuhnya lincah sekali telah melompat ke dekat biruang tersebut, dia bermaksud akan menghadapi biruang salju tersebut.

“Manusia jahat dan kejam!” tiba-tiba terdengar suara orang berseru dengan disusul berkelebatnya sesosok bayangan ke arahnya. Sinar putih berkelebat kepadanya, dengan gerakan yang sangat cepat sekali.

Auwyang Phu terkejut, dia menyadari ada seseorang yang menyerangnya dengan pedang, dan dia heran juga di tempat ini bisa bertemu dengan seorang yang memiliki ilmu pedang demikian liehay dan tampaknya tidak boleh dipandang remeh. Juga gerakan tubuh penyerangnya itu gesit sekali, dibarengi dengan suaranya itu, tubuhnya telah meluncur dengan pesat sekali, dan dalam waktu yang singkat dia telah diserang dengan tiga kali tikaman!

Auwyang Phu tidak membuang-buang waktu, segera mengelakkannya.

Tiga tikaman itu menyambar ke sasaran yang kosong dan orang yang telah datang menyerangnya itu penasaran, pedangnya berkelebat-kelebat lagi, lima jurus sekaligus menyerang Auwyang Phu.

Selama itu Auwyang Phu telah berusaha mengelak ke sana ke mari, dan dia mementang matanya lebar-lebar buat melihat jelas siapa penyerang itu.

Buat kaget dan herannya, ternyata penyerangnya adalah seorang wanita berusia muda dan cantik sekali, yang tampak tengah marah dengan muka merah. Segera juga Auwyang Phu berseru genit: “Akh, kiranya seorang bidadari cantik!”

Dan Auwyang Phu, walaupun bertubuh pendek, memiliki pikiran yang panjang dan cerdik, dia dapat menduga dengan segera bahwa orang yang menyerangnya ini pasti merupakan majikan dari ke dua binatang yang tadi telah bertempur dengannya.

Jika memang ke dua binatang itu dapat dididik memiliki kepandaian yang lumayan, tentu gadis ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi, karenanya, biarpun memang Auwyang Phu tidak memandang sebelah mata kepada gadis penyerangnya yang selalu gencar menikam dan menabasnya, namun tetap saja dia berlaku hati-hati dan memperhatikan ilmu pedang si gadis.

Buat kagetnya,setelah menyaksikan belasan jurus dari ilmu pedang gadis itu, segera ia mengenalinya bahwa ilmu pedang yang dipergunakan gadis tersebut tidak lain dari Giok-lie-kiam-hoat. Ilmu pedang yang sangat terkenal di dalam rimba persilatan, milik Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie.

Karenanya, hal itu membuat Auwyang Phu menjejakkan kaki tahu-tahu melesat dan menjauhi pertempuran tersebut, dia telah membentak: “Tahan……bukankah engkau mempergunakan pedang Giok-lie-kiam-hoat?!”

Disebut ilmu pedang yang tengah dipergunakannya, gadis itu juga jadi heran. Mengapa orang asing ini, yang tubuhnya demikian pendek bisa kenal dan mengetahui nama ilmu pedangnya? Segera juga dia menahan serangannya, dan berdiri mendelik kepada Auwyang Phu.

◄Y►

Dialah Giok Hoa, yang kebetulan tengah keluar dan melihat biruang salju serta rajawali putih itu tidak berada di dekat rumah gurunya. Segera dia bersiul memanggil rajawali. Tidak biasanya, burung rajawali putih tersebut tidak segera datang, padahal sebelum-sebelumnya rajawali itu segera akan datang jika ia bersiul menanggilnya.

Karenanya Giok Hoa jadi bercuriga, segera juga ia berlari-lari sambil bersiul memanggil rajawali putihnya. Sampai dia mendengar suara erangan biruang salju itu, dan dia menyaksikan pemandangan yang membuat darahnya meluap, di mana burung rajawali mengalami kerusakan, dengan bulu-bulunya yang rontok dan juga biruang salju itu yang telah terluka berat. Segera dia mencabut pedangnya, telah menerjang menikam Auwyang Phu, yang diduganya tentu bukan sebangsa manusia baik- baik.

Auwyang Phu memang heran melihat gadis ini mempergunakan Giok-lie-kiam-hoat, dia menduga tentunya Giok Hoa memiliki hubungan dengan Sin-tiauw-tay-hiap.

Memang dia merasa tidak senang dengan Sin-tiauw-tay-hiap, karena dari itu, matanya segera bersinar tajam memandang si gadis. Dia bermaksud akan membekuknya dan nanti memaksa gadis itu agar memberitahukan kauw-hoat atau teori ilmu silat Giok-lie-kiam-hoat kepadanya!

Giok Hoa tidak menyahuti pertanyaan Auwyang Phu, diiringi seruannya yang nyaring sekali, dia menikam lagi. Gerakan yang dilakukannya sangat cepat sekali, sehingga pedangnya itu berkelebat-kelebat dengan sinarnya yang putih keperak-perakan, menyambar seperti juga kilat.

Auwyang Phu tertawa dingin, dia berkelit.

“Ternyata memang benar ilmu pedangmu adalah Giok-lie-kiam-hoat! Tentu engkau masih memiliki hubungan dekat dengan si buntung Yo Ko!”

Mendengar ayah dari gurunya disebut si buntung, bukan main marahnya Giok Hoa. Dia sampai kalap, dan pedangnya berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, diiringi bentakannya: “Akan kurobek mulutmu!” Dan dia menyerang dengan gencar sekali.

Sedangkan Auwyang Phu bermaksud mempermainkan Giok Hoa, yang dilihatnya memang cantik. Segera dia berkelit kesana ke mari.

Sekarang Auwyang Phu telah mengeluarkan kepandaiannya, namun dia tidak balas menyerang. Dia sengaja mempermainkan si gadis di mana setiap kali mengelak dia mengejeknya, membuat gadis itu tambah gusar saja.

Di waktu itu tampak jelas sekali betapapun juga Giok Hoa semakin marah, karena dia merasa mendongkol atas ejekan lawannya. Yang membuat dia penasaran setiap tikaman dan tabasan pedangnya selalu dapat dielakkan lawannya dengan gerakan yang mudah sekali.

Maka dia telah mengeluarkan seluruh kelihayan ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat yang telah dipahaminya. Sehingga setiap serangan itu menyambar semakin hebat.

Pedangnya itu berkelebat-kelebat seperti juga titiran, dan angin dari serangan pedang itu tajam sekali. Bagian-bagian yang diincar oleh Giok Hoa pun merupakan bagian-bagian yang bisa mematikan.

Cuma saja dia tidak mudah buat menyerang Auwyang Phu, sebab orang itu selalu dapat memunahkan serangannya. Selama itu Auwyang Phu masih belum membalas menyerang kepadanya, dengan demikian, jika dia membalas menyerang, niscaya Giok Hoa akan menghadapi kesulitan yang tidak ringan.

Giok Hoa pun segera menyadari bahwa kepandaiannya yang sesungguhnya masih berada di sebelah bawah kepandaian Auwyang Phu.

Waktu itu Auwyang Phu dengan centil telah berkata mengejek. “Nona manis, jangan galak-galak seperti itu kepadaku, karena percuma saja. Jika memang aku menginginkan, dengan mudah aku dapat merampas pedangmu dan merubuhkan engkau! Tetapi aku merasa sayang jika seorang gadis secantik engkau harus rubuh dan terluka di tanganku. Karenanya, pergilah kau…… aku membebaskan engkau dari kematian!”

Sambil mengakhiri perkataannya tersebut Auwyang Phu telah menghantam dengan tangan kanannya. Inilah hantamannya yang pertama kali dia membalas menyerang.

Dari telapak tangannya itu menderu-deru angin yang kuat sekali, membuat tubuh Giok Hoa jadi tergoncang dan tidak bisa berdiri berimbang, kuda-kuda sepasang kakinya hampir saja tergempur oleh serangan itu. Mati-matian Giok Hoa berusaha menahan kuda-kuda ke dua kakinya, namun gagal, dan dia terhuyung mundur beberapa langkah.

Dikala itu Auwyang Phu sambil tertawa menyerang lagi dengan telapak tangannya: “Rubuhlah engkau! Kuberikan kesempatan kepadamu buat pergi, engkau tidak mau pergi! Sekarang pergilah!”

Sambil berkata begitu, telapak tangannya itu telah meluncur pula, sehingga membuat Giok Hoa jadi tidak bisa membendung lagi keadaan dirinya. Kuda-kuda ke dua kakinya benar-benar tergempur dan tubuhnya terjungkal.

Auwyang Phu tidak mendesak lebih jauh, dia berdiri tegak di tempatnya, dengan congkak dia tertawa bergelak-gelak, sehingga tubuhnya yang pendek itu bergoyang-goyang.

“Hahaha, sudah kukatakan, engkau tidak mungkin dapat menghadapi diriku, dengan mudah sebetulnya aku bisa membunuhmu! Akan tetapi, seorang gadis semanis engkau apakah harus dibunuh? Sayang! Sayang sekali!

“Dan tentu saja aku bukan orang bodoh, yang akan membunuh seorang gadis secantik engkau! Jika memang engkau tidak mau pergi juga, biarlah aku akan membawamu pergi berkelana bersama-sama denganku…..!”

Sambil berkata begitu, tampak Auwyang Phu melangkah menghampiri si gadis. Dia telah mengulurkan tangannya buat menyolek muka gadis itu.

Tetapi Giok Hoa sendiri walaupun telah terluka akibat gempuran yang kuat dari Auwyang Phu, jadi nekad dan tidak mau membiarkan dirinya dihina seperti itu. Karenanya, dia tahu-tahu telah mencelat dengan pedangnya menikam dengan segera. Apa yang dilakukannya begitu mendadak sekali dan juga diiringi dengan tenaga lweekang yang kuat.

Auwyang Phu kaget, karena jarak mereka memang terlalu dekat sekali, tahu-tahu pedang Giok Hoa telah meluncur dan terpisah tidak jauh dari dadanya. Dia berusaha menghindar tetapi tidak urung pundaknya kena tergores mata pedang, sehingga darah seketika mengucur deras. Bukan main marahnya Auwyang Phu, sampai matanya itu mendelik kepada Giok Hoa, mengandung ancaman.

“Hemmm, gadis kurang ajar dan tidak tahu diuntung!” katanya kemudian dengan suara mendesis. “Rupanya memang engkau ingin memaksa aku menurunkan tangan keras kepadamu.....!”

Sambil berkata begitu, dia telah melangkah maju lagi, tadi dia terluka karena memang dia tidak menyangka bahwa si gadis bisa menyerang nekad dan cepat seperti itu. Dan sekarang, melihat si gadis tengah berusaha untuk bangun, segera Auwyang Phu berjongkok dari mulutnya keluar suara “krokkk”, yang sangat nyaring dan panjang, seperti suara kodok, kedua tangannya didorong ke depan, akan menghantam Giok Hoa dengan Ha-mo-kang nya!

Giok Hoa mengawasi kelakuan Auwyang Phu yang dianggapnya aneh, karena gadis ini sama sekali tidak mengetahui apa yang ingin dilakukan Auwyang Phu.

Tetapi buat kagetnya, segera dia merasakan sambaran angin yang dahsyat sekali menerjang kepadanya, membuat tubuhnya terhuyung akan rubuh ke belakang. Jika saja dia tidak mati-matian berusaha berkelit dengan membuang dirinya bergulingan di tanah!

Segera juga Giok Hoa menyadari bahwa itulah ilmu yang luar biasa tangguhnya, yang bisa mematikannya, jika saja pukulan itu berhasil mengenainya. Dan Giok Hoa tidak berani berayal, dia melompat bangun dengan menahan sakit pada dadanya, dia berusaha untuk menyingkir lebih jauh.

Tetapi Auwyang Phu justeru telah mengempos semangat dan tenaganya, dia mengulangi lagi serangan Ha-mo-kangnya, menyebabkan angin pukulan tersebut menderu-deru sangat hebat kepada Giok Hoa.

Mati-matian Giok Hoa mempergunakan seluruh kemahiran gin-kangnya, dia berusaha berkelit. Namun biarpun Giok Hoa telah bergerak sangat cepat, tokh tidak urung pundaknya kena dihantam oleh angin pukulan Ha-mo-kang itu, yang menyerempet dan membuat tubuh Giok Hoa jungkir balik bergulingan, di tanah beberapa kali!

Auwyang Phu tertawa bergelak dan bermaksud akan menghantam lagi. Tetapi buat kagetnya, dia merasakan dari belakangnya menyambar angin serangan yang sangat dahsyat. Dan dia melihat rajawali putih tersebut rupanya menyadari bahaya yang mengancam majikannya, dia telah terbang menukik dan menyerang Auwyang Phu. Demikian juga biruang salju itu, telah menerjang akan mencengkeram dan merobek tubuh Auwyang Phu.

Akan tetapi, kenyataannya Auwyang Phu benar-benar sangat lincah, karena dia dapat menghindar dari makhluk-makhluk luar biasa tersebut.

Dikala itulah terlihat bahwa Auwyang Phu bukan hanya sekedar berkelit. Dia masih tetap berjongkok dengan melompat ke sana kemari seperti seekor kodok, dan tahu-tahu sepasang tangannya itu didorongkannya ke depan, di mana dia menghantam dengan dahsyat.

“Bukk!” terdengar suara yang nyaring sekali, paha biruang salju itu kena dihantamnya dengan keras sampai biruang salju itu mengerang kesakitan, dan tubuhnya rubuh terguling-guling.

Angin pukulan Ha-mo-kang itu bukan hanya melukai biruang salju belaka, karena di waktu itulah telah menyampok sayap burung rajawali putih itu, membuat burung rajawali patih tersebut hampir tidak bisa menggerakkan sayapnya sementara waktu dan hinggap di tanah.

Melihat keadaan rajawali putih seperti itu, bukan main girangnya Auwyang Phu, tahu-tahu tubuhnya melesat ke tengah udara seperti sikap seekor kodok. Dia hinggap di tanah yang tidak berjauhan dengan burung rajawali putih itu dalam keadaan berjongkok dan ke dua tangannya siap diulurkan buat menghantam lagi.

Burung rajawali putih itu rupanya menyadari bahaya yang mengancamnya, mati-matian dia menggerakkan sayapnya itu, yang dirasakan sakit bukan main. Dia berhasil terbang, namun terbangnya rendah sekali, jika keburu Auwyang Phu menghantam dengan tenaga Ha-mo-kangnya, niscaya dia akan menemui kematiannya.

Biruang salju di waktu itu telah dapat bangun, melihat ancaman yang tengah mengincar kawannya, maka dengan tidak memperdulikan keselamatan dirinya, dia menubruk Auwyang Phu yang dipeluknya dengan kuat sekali.

Auwyang Phu kaget waktu tahu-tahu tubuhnya dirangkul biruang salju itu.

Malah tangan biruang salju itu berusaha dengan sekuat tenaganya merobek tubuh Auwyang Phu.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi tentu saja Auwyang Phu tidak mau membiarkan tubuhnya dirobek oleh biruang salju.

Dia mengempos tenaganya, sin-kangnya dipergunakan buat membangun semua otot-ototnya, tahu-tahu dia menyikut ke arah ketiak biruang salju. Dikala binatang itu tengah kesakitan, dia telah meronta dengan kuat.

Rangkulan biruang salju itu terlepas, dan Auwyang Phu tanpa membuang waktu lagi telah memutar tubuhnya, telapak tangan kanannya hinggap telak sekali pada biruang salju itu!

“Bukkk!” tubuh biruang salju itu terpental ke tengah udara, dan kemudian terbanting di atas tanah dengan keras. Dan biruang salju yang sesungguhnya telah menerima warisan kepandaian dari Swat Tocu, menggeletak pingsan tidak ingat diri!

Giok Hoa melihat keadaan biruang salju dan ancaman buat burung rajawali putihnya jadi kalap. Ketika itu rajawali putihnya belum berhasil terbang tinggi. Auwyang Phu tengah bersiap-siap hendak menghantam dengan pukulan Ha-mo-kangnya lagi, segera juga tampak Giok Hoa merogoh sakunya, tahu-tahu beberapa batang jarum Bwee-hoa-ciam menyambar kepada Auwyang Phu.

Auwyang Phu terpaksa batal menyerang rajawali putih itu, dia harus mengibas meruntuhkan menyambarnya jarum-jarum bwee-hoa-ciam tersebut.

Kesempatan itu dipergunakan rajawali putih itu buat terbang lebih tinggi dan dia berhasil menjauhi diri dari Auwyang Phu, dengan demikian dia terhindar dari ancaman bahaya yang tidak kecil dan dapat terbang menjauhi Auwyang Phu.

Sedangkan Auwyang Phu yang melihat dia gagal buat merubuhkan rajawali putih itu, yang sesungguhnya tadi dia memiliki kesempatan yang bagus sekali, jadi murka. Dia mendelik kepada si gadis, katanya:

“Bagus! Memang engkau harus dihajar!” Sambil berkata begitu, tubuh Auwyang Phu cepat sekali telah melompat dan mengayun ke dua tangannya, ia menghantam kepada Giok Hoa. Itulah pukulan yang dahsyat dan berbahaya.

Giok Hoa menabaskan pedangnya menyambuti tangan Auwyang Phu, memaksa pemuda itu menarik pulang ke dua tangannya, dan sepasang kakinya dengan bergantian menendang di saat dia masih berada di tengah udara.

Giok Hoa benar-benar terdesak menghadapi pemuda pendek yang tangguh ini. Dia berulang kali harus mengelak dan menjauhi diri dengan membuang tubuhnya bergulingan di tanah.

Dengan cara demikian dia berhasil menyelamatkan dirinya. Namun semakin lama dia semakin terdesak dan juga berulang kali hampir terkena serangan Auwyang Phu.

Segera juga Giok Hoa bersiul. Dia memberikan isyarat kepada rajawali putih agar burung itu pergi memberitahukan kepada gurunya perihal Auwyang Phu, orang asing ini.

Rajawali putih itu seperti mengerti, dalam keadaan “rusak” dengan bulunya yang banyak rontok, dia terbang meninggalkan tempat itu. Sedangkan Giok Hoa menerima serangan yang gencar sekali dari Auwyang Phu, yang semakin lama jiwa gadis ini semakin terancam.

Bahkan satu kali, dengan gerakan yang sebat luar biasa Auwyang Phu telah berhasil merampas pedang si gadis. Dan Giok Hoa melompat mundur, karena waktu itu dia kaget tidak terkira.

Dengan pedang di tangan saja dia masih terdesak hebat oleh pemuda itu, apalagi sekarang pedangnya telah dapat dirampas.Tentu dengan mudah ia akan dapat dicelakai oleh Auwyang Phu. Tentu saja Giok Hoa kuatir jika ia sampai dihina oleh pemuda tangguh ini!

Auwyang Phu memandang si gadis sambil tersenyum mengejek. Pedang rampasannya dibolang-balingkannya, ia berkata dengan suara yang sombong: “Hemmmm, sekarang apakah kau masih ingin memusuhi aku? Atau memang engkau bersedia bersahabat denganku?”

Walaupun hatinya berkuatir, Giok Hoa tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ia mengawasi dengan mata mendelik kepada Auwyang Phu, katanya: “Jika memang engkau mau membunuhku, bunuhlah! Aku tidak takut dan engkau jangan harap dapat menghinaku!”

Setelah berkata begitu si gadis membusungkan dadanya, sikapnya gagah sekali, walaupun waktu ia membusungkan dadanya itu, terasa sakit bukan main akibat terluka di dalam namun Giok Hoa tidak mau meringis ia tetap memperlihatkan sikap gagah, karena sama sekali ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya di hadapan pemuda yang agak ceriwis tersebut.

Auwyang Phu tertawa bergelak-gelak!

“Seorang gadis cantik manis yang sangat gagah dan mengagumkan sekali! Sekarang justeru aku jadi tertarik buat berkawan denganmu! Nah, jika memang engkau mau bersahabat denganku, tentu aku akan memperlakukan engkau dengan baik-baik, sebagai sahabatku! Tentu engkau tidak akan kecewa bersahabat denganku?!”

“Hemmm, jangan banyak bicara, jika memang engkau hendak membunuhku, bunuhlah! Mengapa engkau masih berdiri cengar-cengir di situ? Bunuhlah! Aku tidak takut!”

Lenyap senyum Auwyang Phu. Ia mengawasi si gadis beberapa saat dengan mata terbuka lebar-lebar, karena ia tampaknya jadi mendongkol melihat sikap kepala batu dan bermusuhan dari Giok Hoa, maka dari itu, dia telah mengawasi dengan sikap yang agak mengerikan bagi Giok Hoa.

Matanya bersinar tajam sekali, dan juga di waktu itu terlihat ia melangkah selangkah demi selangkah mendekati Giok Hoa. Pedang di tangannya diayun-ayunkan beberapa kali, seperti juga pedang di tangannya itu merupakan pedang main-mainan saja.

“Jadi engkau tidak takut untuk mati?!” tanya Auwyang Phu setelah berada di dekat si gadis.

Bukan main takutnya Giok Hoa melihat Auwyang Phu menghampirinya, tetapi tetap saja gadis ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya, ditindih perasaan takutnya, dan ia berkata dengan suara yang angkuh:

“Bunuhlah!” Dan dia membusungkan dadanya. Rasa sakit pada dadanya begitu hebat, sehingga membuat Auwyang Phu yang melihat keadaan si gadis, jadi mengerutkan alisnya.

“Hemmmmm, engkau rupanya telah terluka di dalam!” kata Auwyang Phu. “Mari, mari...... mari kuobati lukamu itu!”

Sesungguhnya Giok Hoa hendak menindih rasa sakitnya, agar tidak tampak kelemahannya, tetapi rasa sakitnya itu terlalu hebat menyebabkan dadanya ketika dibusungkan, dia tidak bisa menahan lagi rasa sakitnya, sehingga ia jadi meringis kesakitan.

Tetapi melihat Auwyang Phu melangkah mendekatinya dan katanya ingin mengobati lukanya, Giok Hoa jadi bingung, karena jelas ia tidak mungkin dapat melakukan perlawanan kepada pemuda tangguh itu jika saja Auwyang Phu bermaksud hendak berlaku kurang ajar padanya.

“Pergi! Jangan mendekati aku!” bentak Giok Hoa akhirnya sambil mundur dengan sikap yang bingung dan kelakuannya memang panik.

Buat melarikan diri sudah tidak mungkin dia dalam keadaan terluka di dalam, sehingga dia tidak mungkin mempergunakan seluruh tenaganya. Dan juga, memang pemuda itu tangguh, sehingga kalau sampai Giok Hoa berusaha melarikan diri, jelas pemuda itu dapat mengejarnya dengan mudah.

Auwyang Phu tersenyum, kemudian katanya: “Heemmm, mengapa engkau harus takut. Kulihat engkau begitu panik! Aku seorang pemuda baik-baik, engkau jangan kuatir, tidak kecewa engkau bersahabat denganku!

“Dan tadi, aku telah kesalahan tangan melukai di dalam tubuhmu, tentu akan membuat aku menyesal seumur hidup jika saja terjadi sesuatu pada dirimu! Karenanya pula, aku pun bermaksud mengobati dirimu!”

Setelah berkata begitu, tampak Auwyang Phu melangkah menghampiri Giok Hoa.

Benar-benar Giok Hoa bingung, dia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Yang pasti tentu saja dia tidak ingin dihina oleh pemuda ini. Dia sudah memutuskannya jika sampai Auwyang Phu memaksa juga mengobati dirinya, sehingga menyebabkan dia tersentuh oleh pemuda tersebut, tentu dia akan mengadu jiwa dengan pemuda tersebut agar dapat mati sama-sama.

Diam-diam Giok Hoa mengerahkan lweekangnya, disalurkan pada ke dua telapak tangannya, dia mengawasi tajam kepada Auwyang Phu, karena jika benar-benar pemuda itu sudah datang dekat sekali, tentu dia akan menghantamnya sekuat tenaga dengan seluruh sisa kekuatan yang masih ada padanya.

Auwyang Phu melihat sikap si gadis, jadi tersenyum dan katanya: “Kau tidak keberatan bukan buat ditolong olehku? Nah, terimalah pedangmu ini!”

Sambil berkata begitu, Auwyang Phu menyodorkan pedangnya itu kepada Giok Hoa, mengembalikan pedang rampasan tersebut, akan tetapi Giok Hoa tidak mengangsurkan tangannya buat menyambuti pedangnya. Dia berdiam diri saja.

Auwyang Phu semakin mendekati, sambil tersenyum dan membuka matanya lebar-lebar, dia berkata: “Ambillah, bukankah ini pedangmu?!”

Di saat itu jarak Auwyang Phu dengan Giok Hoa sudah dekat sekali, dan kesempatan ini tidak disia-siakan Giok Hoa, karena dia tahu-tahu menggerakkan tangannya sekaligus menyerang Auwyang Phu.

Auwyang Phu memang benar-benar tangguh, karena dia segera melihat apa yang dilakukan Giok Hoa. Walaupun hatinya terkejut tokh dia tidak menjadi bingung, malah dengan mudah dia bisa berkelit dari pukulan ke dua telapak tangan Giok Hoa, dan hanya lengannya yang kena terserempet oleh tenaga serangan Giok Hoa, mendatangkan sedikit rasa sakit.

Bukan main marahnya Auwyang Phu. “Wanita tidak tahu diuntung, engkau rupanya memang tidak bisa diperlakukan dengan baik! Hemmm, aku akan mencacatkan wajahmu, aku ingin melihat, apakah setelah wajahmu bercacat, engkau akan bertingkah seperti sekarang ini?!”

Dan Auwyang Phu tertawa bergelak-gelak, menyeramkan sekali. Dalam keadaan marah seperti itu, memang Auwyang Phu sudah tidak mau berpikir panjang lagi, dia telah mengangkat pedangnya, mata pedang ditujukan kepada muka Giok Hoa.

“Nah, aku akan mulai!” kata Auwyang Phu sambil menggerakkan pedangnya itu. Mata Auwyang Phu benar-benar mengerikan sekali.

Giok Hoa jadi sangat ketakutan. Dia lebih baik-baik mati dari pada wajahnya yang cantik itu, dirusak oleh pedang di tangan Auwyang Phu. Karena dari itu, cepat-cepat dia mempergunakan ke dua tangannya untuk menutup mukanya.

Auwyang Phu menahan pedangnya, dia tertawa bergelak-gelak. “Hahaha, engkau rupanya sangat sayang wajahmu yang cantik bukan? Baik-baik! Aku akan membuktikan bahwa aku akan sungguh-sungguh membuat bercacat mukamu itu……!”

Setelah berkata begitu, tangan kirinya bergerak, dia menotok jalan darah Giok Hoa, sehingga si gadis tertotok dan tubuhnya rebah tanpa bisa menggerakkan tangan buat menutupi mukanya pula.

Bukan main kaget dan ketakutan Giok Hoa. Untuk mati dia tidak takut, diapun tidak mau dihina oleh siapapun juga. Tetapi justeru yang membuat dia takut adalah maksud Auwyang Phu, yang ingin merusak wajahnya. Karena jika dalam keadaan sekarang Auwyang Phu membuktikan ancamannya Giok Hoa tidak akan berdaya mencegahnya.

Dan diapun tidak mungkin bisa meminta pertolongan, di tempat itu tidak terdapat siapapun juga. Sedangkan burung rajawali putihnya telah pergi dan belum kembali, orang-orang yang diberitahukan burung rajawali putih itupun belum juga datang, gurunya, Swat Tocu maupun Ko Tie belum lagi bisa terlihat batang hidungnya.

Disitu memang ada biruang salju, tetapi biruang salju itupun dalam keadaan terluka yang parah, dan jatuh pingsan. Karena dari itu, benar-benar Giok Hoa tidak berdaya di saat tengah tertotok seperti itu, tidak mungkin ada orang yang bisa menolonginya!”

Auwyang Phu telah melangkah menghampirinya, dan menggerakkan pedang di tangannya, katanya: “Hemmmmm, hemmmmmmm sekarang aku mulai! Wajahmu yang cantik itu, sebentar lagi akan berobah menjadi muka yang menyeramkan! Aku ingin melihat dengan muka yang bercacad seperti itu apakah engkau bisa bertingkah seperti sekarang ini?”

Dan Auwyang Phu menggerakkan pedang di tangannya. Mata pedang itu meluncur menuju kemuka Giok Hoa, sedangkan Giok Hoa hanya bisa membuka matanya lebar-lebar mengawasi ngeri mata pedang itu meluncur ke arah mukanya.

Sampai ketika dilihatnya telah dekat mata pedang itu meluncur ke arah mukanya, dia memejamkan matanya rapat-rapat buat pasrah, karena ia tahu, walaupun bagaimana dia tidak bisa menghindarkan mukanya yang akan jadi bercacad dicacah mata pedang di tangan Auwyang Phu......

◄Y►

Yo Kouw-nio tengah mempersiapkan hidangan buat tamu-tamunya, dan ia sama sekali tidak memperhatikan di mana berada Giok Hoa, karena memang biasa Yo Kouw-nio yang mempersiapkan semua masakan untuk mereka.

Sedangkan Ko Tie bersama Swat Tocu, gurunya, tengah bercakap-cakap dengan asyik. Sampai akhirnya Ko Tie teringat kepada Giok Hoa, dia memandang sekelilingnya, tidak dilihatnya si gadis yang cantik manis dan menggetarkan hatinya itu.

Dia bertanya kepada gurunya, apakah gurunya melihat Giok Hoa keluar. Swat Tocu sambil tersenyum penuh arti menggeleng.

“Pergilah kau cari di luar, mungkin dia tengah menantikan kau! Hemm, mungkin ada kata-kata yang ingin dirundingkan olehnya, tetapi dia tidak leluasa dengan adanya aku si tua bangka yang tidak mau mampus ini! Ha ha ha, dasar anak muda!”

Muka Ko Tie berobah memerah karena likat bukan main. Gurunya telah mengetahui akan isi hatinya, dan juga hubungannya dengan Giok Hoa. Memang tajam mata Swat Tocu, dia telah bisa melihat dari sinar mata sepasang muda-mudi itu, karena pandangan mata mereka lebih banyak bercerita mengenai isi hati mereka.

Dan Swat Tocu tidak mau merintangi, dia membiarkan saja pasangan remaja itu berhubungan. Bahkan setelah perintahkan Ko Tie pergi mencari Giok Hoa di luar, dia memejamkan matanya bermaksud untuk beristirahat sejenak.

Ko Tie memberi hormat kepada gurunya kemudian melangkah keluar. Di waktu itu, dia pun telah memandang sekeliling tempat itu, dan tidak dilihatnya Giok Hoa, sehingga membuat dia jadi heran bukan main.

“Ke mana perginya Hoa-moy?!” pikir Ko Tie di dalam hati terheran-heran. “Dia tidak memberitahukan dulu ke mana dia ingin pergi!”

Dan setelah berpikir begitu, tampak Ko Tie memandang ke tengah udara, untuk melihat apakah di tempat itu burung rajawali putih terbang, untuk dimintai bantuan mencari Giok Hoa. Tetapi burung rajawali putih itupun tidak terlihat bayangannya, langit cerah dan terang tetapi burung rajawali itu sama sekali tidak terlihat.

Akhirnya Ko Tie melangkah keluar dari rumah tersebut menyusuri jalan gunung yang semakin naik tinggi itu. Dia memandang sekelilingnya lagi, dan memanggil biruang salju.

Tetapi biruang salju itupun tidak terlihat bayangannya. Beberapa kali Ko Tie memanggil, tetapi biruang saljunya tidak terlihat juga.

“Ke mana perginya mereka?!° pikir Ko Tie heran, diapun segera menduga apakah mungkin Giok Hoa pergi mengajak burung rajawali putihnya bersama biruang salju buat main-main?

Tetapi segera Ko Tie terpikir, betapapun juga suatu kemungkinan terjadi bahwa Giok Hoa tengah menghadapi bahaya yang tidak kecil! Bukankah burung rajawali dan juga biruang saljunya tidak tampak? Maka dari itu, segera juga dia berlari-lari menyusuri jalan gunung itu.

Dia melihat di atas tanah yang berselubung salju itu, bekas-bekas tapak kaki kecil, dilihat dari bentuk telapak kaki yang berbekas di atas tumpukan salju, jelas itulah bekas telapak kaki seorang wanita. Dan mungkin ini bekas telapak kaki Giok Hoa.

Di waktu itu tampak Ko Tie memperhatikan telapak kaki tersebut beberapa saat. Kemudian menjejakkan kakinya, dia berlari-lari sambil berteriak-teriak: “Giok Hoa! Hoa-moay!”

Namun tidak diperoleh jawaban Giok Hoa, dan Ko Tie masih berlari-lari terus.

Tiba-tiba sekali terdengar seseorang tertawa-tawa dengan suara yang agak menyeramkan. Ko Tie mendengarnya jelas suara orang yang tengah memaki juga.

Waktu ia mengangkat kepalanya di atas puncak sebuah bukit, yang terselubung salju cukup tebal, berkelebat-kelebat ringan sekali dua sosok tubuh.

Dilihat dari gerakan ke dua orang itu, menunjukkan betapa tingginya gin-kang ke dua orang tersebut, yang dapat bergerak secepat bayangan di tempat yang bersalju dan tentunya sangat licin itu. Juga tampaknya mereka tengah bertempur, satu dengan yang lainnya saling menyerang dan mengelak.

Suara tertawa menyeramkan itu berasal dari suara seorang wanita, dan suara mencaci maki suara seorang laki-laki tua! Di mana tampak ke dua sosok tubuh itu bertempur beberapa jurus, dan Ko Tie selama itu masih tetap tertegun di tempatnya, karena dia terheran-beran dua orang itu bertempur di tempat tersebut, karena dia tidak mengetahui entah siapa kedua orang itu.

Setelah tersadar dari tertegunnya, dan hatinya tertarik sekali menyaksikan pertempuran dari ke dua orang tersebut, yang tampaknya bukan orang-orang sembarangan. Cepat-cepat Ko Tie melesat ke belakang sebungkah batu. Dia menempatkan dirinya di situ, buat bersembunyi dan menyaksikan jalannya pertempuran ke dua orang di atas bukit bersalju itu.

“Wanita iblis, jangan harap engkau bisa lolos dari tanganku biarpun kau lari ke ujung langit sekalipun, tetap akan kukejar!” memaki lelaki yang menyerang terus menerus gencar sekali, disusul dengan suara yang menyeramkan wanita lawannya.

“Jangan bicara tekebur, lidah memang mudah digoyangkan, tetapi jangan harap engkau dapat menandingi kepandaianku.Walaupun engkau memiliki kepandaian dua kali lipat dari yang sekarang, tidak mungkin engkau bisa menandingiku!

“Hemmm, sebetulnya aku merasa kasihan kepadamu. Aku ingin membiarkan engkau hidup terus lebih lama, dan tidak membunuhmu, tetapi rupanya engkau tidak memilih jalan ke sorga dan malah memilih jalan ke neraka! Karena dari itu, akupun tidak akan mengecewakan engkau lagi dan memenuhi keinginanmu buat pergi ke neraka……!”

Setelah mengejek seperti itu tubuh wanita itu berkelebat-kelebat lincah sekali, juga dari sepasang tangannya mengeluarkan deruan angin yang berbunyi, “Wuttttt, wuttttt!” menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang wanita itu.

Sedangkan laki-laki tua yang menjadi lawannya ternyata memakai sebatang tongkat dari bambu hijau, yang digerakkan sebat sekali, disertai tenaga yang kuat, men-dengung-dengung setiap kali dia menyerang lawannya. Bambu hijau itu tampaknya tidak bisa diremehkan dan dipandang ringan, karena memang merupakan senjata yang ampuh sekali, juga lelaki itu rupanya seorang ahli tenaga lweekeh atau tenaga dalam.

Ko Tie bersembunyi di balik batu gunung, memperhatikan dengan tertarik dan seksama.

Dilihatnya betapa ke dua sosok tubuh itu masih bergerak-gerak dengan lincah dan sama gesitnya, malah setelah memperhatikan sekian lama, dia melihat jelas, yang wanita merupakan seorang nenek tua berusia enampuluh tahun lebih, dengan baju berwarna kuning dan gaun berwarna ungu.

Dia bertangan kosong, hanya saja sepasang tangannya itu justeru sangat liehay sekali, mengandung kekuatan yang menakjubkan. Biarpun dia tidak mencekal senjata tajam, sama sekali dia tidak terdesak oleh serangan senjata lawannya.

Yang lelaki merupakan seorang kakek tua berusia antara enampuluh lima tahun dengan kumis dan jenggot yang telah memutih seluruhnya senjatanya bambu hijau yang lihay itu, mendengung-dengung menyambar hebat sekali kepada lawannya. Pakaiannya penuh tambalan, dan dilihat keadaannya ia adalah seorang pengemis tua.

Ko Tie semakin heran. “Tentu pengemis tua itu adalah seorang tokoh Kay-pang? Lalu mengapa dia bisa muncul di tempat ini dan bentrok dengan si nenek. Siapakah mereka berdua sebenarnya? Sungguh mengherankan jika melihat kepandaian mereka, tampaknya ke dua orang itu bukan orang sembarangan, karena kepandaian mereka sangat tinggi sekali!”

Tengah Ko Tie berpikir seperti itu, terdengar pengemis tua itu berseru nyaring: “Sekarang hati-hatilah kau menjaga seranganku, aku jamin dalam sepuluh jurus engkau akan dapat dirubuhkan!”

Dan tongkat hijaunya itu berkelebat-kelebat sangat cepat sekali. Dia menyerang dengan rangsekan yang gencar, sehingga tongkat bambu hijaunya itu menderu-deru, seperti juga berobah menjadi puluhan batang dan mengelilingi si nenek tua.

Dengan demikian membuat si nenek jadi sibuk sekali menghindari diri dari serangan tongkat lawannya yang menyerangnya dengan jurus-jurus yang mengalami perobahan semakin hebat. Karena dari itu si nenek tua tersebut telah mengempos semangat dan tenaganya lebih kuat, dia menghadapinya dengan gagah. Walaupun demikian, jelas oleh Ko Tie, betapa nenek tua itu mulai terdesak, sehingga dia lebih banyak diserang oleh si pengemis tua itu, di samping itu kesempatan dia balas menyerang jarang sekali.

Ko Tie mengerut alisnya, dia berpikir ingin memberitahukan kepada gurunya apa yang disaksikannya ini, namun dia batal sendirinya karena dia tertarik sekali buat menyaksikan lebih jauh ke dua orang itu bertempur.

Jika memang dia pergi memberitahukan kepada gurunya, dikuatirkannya ke dua orang itu akan pergi dan menyudahi pertempurannya sehingga Ko Tie tidak bisa menyaksikan pertandingan yang menarik hati itu.

Di waktu itu si nenek setelah beberapa kali berkelit, cepat bukan main dia melompat mundur, katanya dengan suara mendesis kejam:

“Baik! Baik! Aku Cek Tian akan memperlihatkan, bahwa sesungguhnya bukan sebangsa manusia yang mudah diperhina. Aku akan membuktikan pula, bahwa engkau sama sekali tidak memiliki kepandaian yang berarti!”

Setelah berkata begitu, si nenek Cek Tian, telah melompat maju, tahu-tahu tubuhnya jungkir balik, kepala di bawah dengan sepasang kaki di atas. Diapun menghantam dengan kedua telapak tangannya di mana dia memiliki kesempatan tubuhnya itu berputar-putar.

Cara bertempur si nenek tua Cek Tian yang terbalik kepala di bawah dan kaki di atas, membuat lawannya jadi bingung juga, karena setiap serangannya jadi terbalik! Jika dia mengincar jalan darah yang mematikan di dada si nenek tua itu, tentu yang akhirnya diincar ujung tongkatnya adalah jalan darah lain di kakinya, dengan demikian agak bingung juga kakek pengemis tersebut. Dia sementara ragu-ragu buat merangsek, dia memperlahankan gerakan tongkatnya, sambil mengawasi tubuh lawannya yang masih berputar-putar dengan kepala di bawah dan sepasang kaki di atas.

Di kala itu, Cek Tian, wanita tua itu tertawa, dia justeru merangsek terus. Karena tubuhnya terbalik dengan kepala di bawah dan sepasang kaki yang di atas, membuat dia jadi bisa main di bawah, menyerang bagian-bagian mematikan dan berbahaya di anggota tubuh sebelah bawah dari pengemis itu. Juga tubuhnya yang berputar-putar seperti gangsing itu sempat membuat pengemis tua tersebut menjadi bingung.

Tentunya para pembaca telah mengetahui siapa adanya Cek Tian. Seperti kita ketahui, di dalam Biruang Salju, dia telah kita kenal sebagai ibu Auwyang Phu, isteri gelap Auwyang Hong, yang telah berhasil mempelajari ilmu warisan Auwyang Hong.

Walaupun tidak menerima bimbingan langsung dari Auwyang Hong tetap saja dia berhasil meyakinkan sebagian besar kepandaian Auwyang Hong. Terlebih lagi beberapa waktu belakangan ini, Cek Tian bersama putera tunggalnya, Auwyang Phu, cepat sekali melatih diri, kepandaiannya memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Demikian juga Auwyang Phu, yang memperoleh kemajuan yang pesat, bisa menyamai kelihayan ibunya. Mereka ibu dan anak telah bersama-sama merantau ke mana-mana, dan mereka berusaha memiliki kepandaian yang setinggi-tingginya, sebab jika mereka memiliki kesempatan, mereka ingin mencari Yo Ko, guna mengadakan perhitungan dengan Sin-tiauw-tay-hiap itu, yang diduga memiliki sangkut paut dengan pembongkaran kuburan Auwyang Hong.

Sin-tiauw-tay-hiap memang pernah menjadi anak angkat Auwyang Hong, dan dilatih serta digembleng oleh Auwyang Hong, karena dari itu dia tentu memiliki ilmu Ha-mo-kang yang dikuasainya baik sekali. Jika ibu dan anak ini berhasil merubuhkan Yo Ko, mereka bermaksud lebih jauh memaksa Yo Ko agar memberitahukan seluruh isi dari Kauw-hoat ilmu Ha-mo-kang, agar mereka dapat melihat berapa tinggi kepandaian mereka yang telah dilatih?

Tetapi sejauh itu, belum juga Cek Tian bersama puteranya, Auwyang Phu, berhasil mencari Yo Ko. Di samping itu, mereka memang masih jeri, karena mereka menyadari kepandaian Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko sangat tinggi. Jika mereka berkepandaian tanggung-tanggung belaka, tentu mereka sendiri yang akan bercelaka dan menderita malu.

Itulah sebahnya Cek Tian hanya mengajak puteranya berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, sejauh itu merekapun berusaha mendatangi tokoh-tokoh rimba persilatan menantang mereka bertempur.

Karena kepandaian Cek Tian dan Auwyang Phu telah mencapai tingkat yang tinggi dari ilmu Ha-mo-kang yang liehay itu, warisan Auwyang Hong, ilmu yang pernah menggemparkan rimba persilatan karena hebatnya, selalu dapat merubuhkan lawan-lawan mereka. Dengan demikian mereka jadi disegani oleh jago-jago rimba persilatan.

Sedangkan Cek Tian dan puteranya semakin yakin bahwa kepandaian mereka memang telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Mereka hanya perlu melatih sin-kang mereka. Dan mereka jadi congkak, terhadap siapa saja mereka sama sekali tidak memandang sebelah mata dan selalu bertindak sekehendak hati mereka, sebab ke duanya sudah tidak memiliki rasa takut kepada siapapun juga!

Siapa tahu, dikala mereka berada di Heng-san, ternyata Auwyang Phu sendiri bertemu dengan Giok Hoa, sehingga dia berhasil merubuhkan Giok Hoa. Sedangkan Cek Tian yang ingin menyusul anaknya ke puncak gunung Heng-san, siapa tahu telah bertemu dengau pengemis tua itu.

Pengemis tua itu sendiri sesungguhnya seorang tokoh Kay-pang, yang bergelar Kiu-cie-sin-kay (Pengemis Sakti Berjari Sembilan) Thio Kim Beng, dia merupakan salah seorang dari lima Tiang-lo Kay-pang yang membantu Yeh-lu Chi mengatur Kay-pang.

Pertemuan Thio Kim Beng dengan Cek Tian kebetulan saja, di mana justeru Thio Kim Beng tengah melakukan perjalanan di gunung Heng-san dan dia memang seorang pengemis yang gemar merantau. Berbeda dengan ke empat Tiang-lo pengemis lainnya justeru Tiang-lo yang seorang ini memperoleh tugas dari Pangcu Kay-pang, Yeh-lu Chi, harus pergi ke kota-kota dan kampung-kampung di seluruh daratan Tiong-goan, buat melihat-lihat, apakah seluruh cabang Kay-pang melakukan peraturan Kay-pang dengan baik!

Tugas ini sesungguhnya merupakan tugas yang disesuaikan kegemaran Thio Kim Beng yang suka berkelana, sehingga dia tidak merasa berat. Malah dalam berkelananya itu tangan Thio Kim Beng ringan sekali buat menolongi orang-orang, yang berada dalam kesulitan. Sehingga Thio Kim Beng memiliki nama yang sangat terkenal di dalam rimba persilatan dan dia dihormati sekali, karena biar bagaimana kepandaiannya yang tinggi dan yang jarang sekali ketemu tandingan, serta hatinya yang mulia, yang senang menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan, membuatnya dia dijuluki sebagai pengemis budiman.

Hari itu, menjelang tengah hari, justeru dia tengah berjalan di lamping gunung Heng-san, ketika seorang nenek tua yaitu Cek Tian telah menghadangnya. Dan nenek itu aseran sekali, mengejek-ejek Thio Kim Beng sebagai pengemis tidak punya guna dan Kay-pang sebagai perkumpulan pengemis yang bau, dan tidak becus, karena banyak anggota pengemis yang melakukan pekerjaan korupsi dan juga menindas rakyat mengandalkan kepandaian mereka.

Tentu saja hinaan yang dilontarkan Cek Tian membuat Thio Kim Beng naik darah. Dia menanyakan siapa adanya nenek tua yang cari urusan dengannya. Setelah mengetahui bahwa sinenek tua itu adalah Cek Tian, isteri gelap Auwyang Hong, yang di dalam rimba persilatan belakangan ini cukup terkenal, Thio Kim Beng baru mengerti duduk persoalannya.

Cek Tian membenci Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko, sedangkan Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko memiliki hubungan akrab dengan pihak Kay-pang. Waktu Yeh-lu Chi mengadakan rapat besar Kay-pang, Yo Ko dan tokoh-tokoh pendekar lainnya yang mendukungnya.

Dengan demikian Cek Tian pun tidak menyukai Kay-pang. Setiap kali melihat pengemis, tentu dia akan mencari urusan mempermainkan pengemis itu, hanya saja justeru sekarang ini yang dihadangnya itu bukan pengemis sembarangan, yaitu salah seorang Tiang-lo dari Kay-pang membuat Cek Tian jadi menghadapi lawan yang tidak ringan.

Waktu mereka bertempur barulah Cek Tian menyadari bahwa pengemis tua Kay-pang itu adalah seorang pengemis yang tangguh dan kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya.

Hanya saja disebabkan telah terlanjur dia mencari urusan dengan Thio Kim Beng, dia terus juga merangsek Kim Beng dengan serangan-serangan yang hebat sekali.

Telah ratusan jurus mereka lewati, tetapi belum juga berhasil menentukan siapakah yang lebih tinggi atau lebih rendah kepandaiannya. Mereka berimbang, saling menyerang dan saling memusnahkan serangan lawan.

Cek Tian sendiri jadi semakin penasaran. Selama ini dia merasa bahwa kepandaiannya telah mencapai tingkat tinggi sekali, sudah jarang ada orang yang bisa menandingi kepandaiannya.

Hanya, sekarang Thio Kim Beng justeru telah dapat menghadapinya begitu tangguh, membuat Cek Tian benar-benar penasaran dan berusaha buat merubuhkan lawannya, karenanya dia telah mengeluarkan seluruh kepandaian dan juga ilmu silatnya.

Bahkan ketika sampai di puncak bukit bersalju itu, Thio Kim Beng masih sanggup memberikan perlawanan yang gigih dan dalam keadaan marah sebab Cek Tian tidak hentinya mengejek dan membusuk-busukan nama Kay-pang, membuat Cek Tian menerima serangan yang gencar sekali dan Thio Kim Beng telah mempergunakan seluruh kekuatannya untuk merangsek si nenek. Dalam keadaan seperti itu terpaksa Cek Tian telah mempergunakan ilmu Ha-mo-kang, ilmu andalannya.

Memang benar, setelah nenek Cek Tian mempergunakan Ha-mo-kang nya dengan kepala di bawah dan sepasang kaki di sebelah atas, membuat si pengemis tua Thio Kim Beng sementara waktu tidak bisa terlalu merangseknya. Tampaknya Kim Beng pun bingung, karena semua serangannya jadi terbalik tiba disasarannya, sebab lawannya berjungkir balik seperti itu.

Thio Kim Beng seorang pengemis tangguh karena dia telah terhitung satu di antara ke lima Tiang-lo Kay-pang, tidak terlalu mengherankan, di samping kepandaiannya sangat tinggi juga dia sangat cerdas sekali.

Setelah mengawasi sekian lama, dengan hanya mengelak dan berkelit dari serangan-serangan Cek Tian, akhirnya Thio Kim Beng mulai memahami ilmu Ha-mo-kang itu dan sudah bisa melihat kelemahan dari lawannya dengan ilmu kodoknya tersebut!

Hinaan yang dilontarkan Cek Tian buat Kay-pang merupakan hinaan yang terlalu menyakitkan telinga Thio Kim Beng, sehingga dia sudah memutuskan, buat merubuhkan Cek Tian dan tidak menyudahi urusan sampai di situ.

Sekarang setelah mengetahui kelemahannya ilmu Ha-mo-kang lawannya, segera dia mengerahkan sin-kangnya, tongkat bambu hijaunya itu digerakkan, mendengung nyaring sekali dan berkelebat-kelebat di sekitar tubuh Cek Tian, mengandung ancaman maut!

Sedangkan Cek Tian pun memberikan perlawanan yang gigih, kedua tangannya berkelebat-kelebat dengan sin-kang yang dahsyat sekali. Angin pukulannya menderu-deru membuat salju beterbangan.

Dan Cek Tian tetap dengan kepala di bawah dan sepasang kaki di atas, tubuhnya itu berputaran tidak hentinya sebat sekali. Malah tongkat bambu dari Thio Kim Beng seperti juga tidak berdaya buat menyerang nenek Cek Tian.

Ko Tie menyaksikan jalannya pertempuran antara ke dua tokoh sakti rimba persilatan itu memandang dengan perasaan kagum, karena jarang sekali dia menyaksikan pertempuran dari orang-orang lihay seperti Cek Tian atau pengemis tua Thio Kim Beng, Karenanya Ko Tie jadi tertarik sekali.

Sebagai seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian tinggi, maka setiap kali melihat ada orang-orang berilmu tinggi tengah bertempur mengukur tenaga, dia jadi tertarik buat menyaksikannya. Demikian pula halnya kali ini, di mana dia seperti terpaku di tempat persembunyiannya.

Cek Tian berulang kali selalu mengejek Kay-pang, membuat Thio Kim Beng semakin sakit hati dan gusar, tongkat bambu hijaunya berkelebat-kelebat cepat sekali. Dia selalu menyerang ke sana ke mari dengan dahsyat, karena dalam marahnya.

Thio Kim Beng telah mempergunakan seluruh ilmu yang ada padanya. Dia berusaha merubuhkan si nenek tua Cek Tian. Jika dapat, diapun bermaksud hendak melukainya cukup berat, buat memperlihatkan bahwa Kay-pang bukanlah sebangsa perkumpulan pengemis yang mudah dihina.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar