Jilid 11
Si Kiam memandang sekedjap
kepada anak muda itu, lalu serunja: “Siapakah jang berada diluar itu?”
“Hamba Tan Tiong-tji dari
Say-wi-tong,” sahut orang itu.
“Atas perintah Pangtju
hendaklah Tan-hiangtju tunggu sebentar,” seru Si Kiam pula.
“Baik,” sahut Tan Tiong-tji
diluar kamar.
Segera sianak muda mengadjak
Si Kiam kekamar dalam, lalu tanjanja dengan suara tertahan: “Sebenarnja aku ini
siapa?”
Si Kiam mengerut kening,
hatinja mendjadi sedih karena menjangka anak muda itu benar2 tidak ingat apa2
lagi atas dirinja sendiri. Djawabnja kemudian: “Engkau adalah Pangtju dari
Tiang-lok-pang, she Tjiok bernama Boh-thian.
“She Tjiok bernama Boh-thian?
Tjiok Boh-thian, kiranja aku ini bernama Tjiok Boh-thian, djadi namaku bukan
Kau-tjap-tjeng lagi?” demikian sianak muda menggumam sendiri.
Melihat air muka anak muda
merasa bingung dan gelisah, segera Si Kiam menghiburnja: “Siauya, kau tidak
perlu risau, pelahan2 tentu kau dapat ingat kembali.”
“Tiang-lok-pang itu barang
apa? Apa jang dilakukan Pangtjunja?” tanja pula si anak muda alias Tjiok
Boh-thian.
Si Kiam menjadi serba sukar
untuk menerangkan, sesudah memikir sedjenak, achirnja ia mendjawab:
“Tiang-lok-pang mempunjai anggota2 sangat banjak, seperti Pwe-siansing,
Bi-hiangtju dan Tan-hiangtju jang menunggu diluar itu. Engkau adalah Pangtju,
maka mereka harus tunduk kepada perintahmu.”
“Lantas apa jang harus kubitjarakan
dengan mereka?” tanja Tjiok Boh-thian.
“Aku sendiripun tidak tahu
apa2,” sahut Si Kiam. “Siauya, djika engkau merasa susah mengambil keputusan,
maka segala sesuatu boleh kau tanja kepada Pwe-siansing. Dia adalah Kunsu
(penasehat) daripada Pang kita, dia sangat pintar.”
“Tapi sekarang Pwe-siansing
tiada disini, apakah kau tahu Tan-hiangtju itu hendak melaporkan apa kepadaku?
Djika dia tanja apa2 kepadaku, tentu aku tidak mampu mendjawabnja. Ada lebih
baik kau suruh dia pergi sadja.”
“Suruh dia pergi mungkin bukan
tjara jang baik,” udjar Si Kiam. “Kau boleh mendengarkan sadja apa jang dia
katakan, apa jang dia laporkan, tjukup kau mengangguk sadja.”
“Baiklah, hanja mengangguk
sadja tidak sukar,” kata Tjiok Boh-thian dengan girang.
Segera Si Kiam mengantar Tjiok
Boh-thian menudju kesebuah ruangan tamu dibagian luar. Maka tertampaklah
seorang laki2 tinggi besar lantas berbangkit dari tempat duduknja dan memberi
hormat sambil menjapa: “Pangtju baik, terimalah salam hormat hamba Tan
Tiong-tji.”
Tjiok Boh-thian membalas
hormat dan berkata: “Tan…….Tan-hiangtju djuga baik, akupun memberi salam hormat
padamu.”
Air muka Tan Tiong-tji berubah
putjat dan tjepat melangkah mundur dua tindak.
Maklum, biasanja Tan Tiong-tji
mengetahui sang Pangtju adalah seorang kasar, seorang sombong, kedjam dan suka
main perempuan pula. Sebagai seorang bawahan ia memberi salam hormat padanja,
siapa duga sang Pangtju djuga balas memberi salam hormat, hal ini menandakan
pikiran djahatnja telah timbul dan segera akan membunuhnja. Walaupun takut,
tapi dia adalah seorang kesatria jang berkepandaian tinggi, sudah tentu ia
tidak mandah dibinasakan tanpa melawan, maka diam2 iapun sudah bersiap siaga,
katanja dengan suara berat: “Entah hamba telah melanggar peraturan Pang kita
pasal berapa? Djika Pangtju hendak mendjatuhkan hukuman djuga mesti mengadakan
sidang terbuka dan mendjatuhkan keputusan didepan orang banjak.”
Dengan sendirinja Tjiok
Boh-thian tidak paham apa jang dimaksudkan, katanja dengan heran: “Mendjatuhkan
hukuman? Menghukum siapa?”
Tan Tiong-tji tambah
penasaran, katanja dengan mendongkol: “Selamanja Tan Tiong-tji djudjur dan
setia kepada Tiang-lok-pang dibawah pimpinan Pangtju, selama inipun tiada
merasa berbuat salah, mengapa Pangtju ber-ulang2 menjindir?”
Tjiok Boh-thian mendjadi
bingung. Tiba2 teringat pesan Si Kiam tadi jang menjuruhnja mengangguk sadja
bila ada sesuatu jang tidak paham dan soalnja nanti boleh ditanjakan kepada Pwe
Hay-tjiok. Maka ia lantas mengangguk sambil berkata: “Ja, ja, silakan
Tan-hiangtju duduk dan djangan sungkan2.”
“Dihadapan Pangtju masakah ada
tempat duduk bagi hamba,” sahut Tan Tiong-tji.
“Ja, ja!” kata Tjiok Boh-thian
dengan bingung.
Djadi kedua orang hanja
berdiri sadja dengan saling pandang, keduanja sama2 tidak membuka suara lagi.
Kalau wadjah Tan Tiong-tji agak tjemas2 kuatir dan penuh kewaspadaan,
sebaliknja air muka Tjiok Boh-thian mengundjuk rasa bingung, tapi bersenjum
simpul ramah.
Menurut peraturan
Tiang-lok-pang, dikala bawahan memberi laporan rahasia kepada sang Pangtju,
maka orang lain harus menjingkir. Sebab itulah maka sedjak tadi Si Kiam sudah
tingal keluar dari ruangan tamu itu. Kalau tidak tentu dia akan dapat memberi
sekadar pendjelasan kepada Tan Tiong-tji tentang belum pulihnja kesehatan sang
Pangtju dan minta Tan-hiangtju djangan kuatir.
Begitulah sesudah kedua orang
itu tertegun sedjenak, tiba2 Tjiok Boh-thian melihat diatas medja ada dua
mangkuk teh wangi, segera ia mengambil semangkuk, semangkuk lagi ia sodorkan
kepasa Tan Tiong-tji: “Mari minum!”
Karena kuatir didalam teh itu
ditaruh ratjun, pula kuatir mendadak diserang Tjiok Boh-thian, maka Tan
Tiong-tji tidak berani menerima mangkuk teh itu, sebaliknja malah mundur
selangkah. Maka terdengarlah suara “prang” jang njaring mangkuk itu djatuh
kelantai dan petjah berantakan.
“Ai, maaf, maaf!” seru Tjiok
Boh-thian, segera ia menjodorkan mangkuk jang satu lagi dan berkata: “Silakan
minum jang ini sadja.”
Alis mata Tan Tiong-tji
mendjengkit, ia pikir toh tidak dapat lolos dari maksud djahat sang Pangtju,
seorang laki2 biarpun mati djuga tidak perlu takut. Maka tanpa pikir lagi ia
lantas terima mangkuk itu dan sekali tenggak isi mangkuk itu lantas diminum
habis. Ia gabrukan mangkuk the itu diatas medja, lalu berkata dengan rasa
tjemas: “Sedemikianlah tjara Pangtju memperlakukan bawahanmu jang setia, semoga
Tiang-lok-pang bahagia selamanja dan semoga Tjiok-pangtju pandjang umur.”
Sedikit banjak Tjiok Boh-thian
dapat menangkap maksud kata2 “semoga Tjiok-pangtju berpandjang umur”, tjuma ia
tidak tahu maksud utjapan Tan Tiong-tji itu adalah kebalikannja, maka ia lantas
mendjawab: “Ja, semoga Tan-hiangtju djuga pandjang umur.”
Sudah tentu djawaban ini bagi
pendengaran Tan Tiong-tji merupakan sindiran pula, ia tertawa dingin berkata
didalam hati: “Djiwaku hanja tinggal sekedjap sadja, tapi kau masih mendoakan
aku berpandjang umur, sungguh kedji amat kau.”
Namun demikian ia masih
penasaran, serunja pula: “Entah dimana letak kesalahanku, makanja aku harus
terima gandjaranku seperti sekarang, untuk ini Siok-he (bawahan) tidak ingin
banjak omong lagi. Hanja sadja mengenai maksud kedatangan Siokhe ini jalah
ingin memberi lapor kepada Pangtju, bahwasanja semalam ada dua wanita telah
menjusup kemarkas Say-wi-tong, jang seorang adalah wanita setengah umur, jang
satu lagi baru berusia 27-28 tahun. Kedua wanita itu semuanja menggunakan
pedang, ilmu silat mereka seperti dari golongan Swat-san-pay. Siokhe bersama
para kerabat berusaha menangkap mereka, tapi ilmu pedang kedua wanita itu
terlalu lihay, tiga anak murid Siokhe telah mendjadi korban keganasan mereka,
tapi wanita jang lebih muda itupun terluka kakinja dan achirnja tertawan. Untuk
mana Siokhe sengadja datang kemari untuk minta keputusan Pangtju.”
“O, djadi jang satu tertangkap
dan jang lain lolos,” kata Tjiok Boh-thian. “Entah kedua wanita itu mau apa
datang kesini? Apakah hendak mentjuri ?”
“Dimarkas Say-wi-tong tiada
kehilangan apa2,” sahut Tan Tiong-tji.
“Kedua wanita itu mengapa
begitu kedjam, masakah sekaligus membunuh tiga orang,” kata Tjiok Boh-thian
sambil mengerut kening. Tiba2 timbul rasa ingin tahunja, segera ia bertanja:
“Eh, Tan-hiangtju, tjobalah kau membawa aku pergi melihat wanita itu.”
“Baik,” sahut Tan Tiong-tji
dengan hormat.
Sesudah mereka keluar dari
ruangan tamu, tiba2 timbul suatu pikiran dalam benak Tan Tiong-tji: “Wanita jang
kutawan itu bermuka tjantik, boleh djadi Pangtju akan suka padanja dan dalam
girangnja mungkin dia akan memberikan obat penawar padaku.” ~ Tapi lantas
terpikir pula: “Tan Tiong-tji, wahai Tan Tiong-tji, Tjiok-pangtju adalah
seorang jang kasar, girang dan marah tiada tertentu, rasanja Tiang-lok-pang ini
bukanlah tempat bernaung jang baik bagimu. Kalau hari ini djiwamu beruntung
dapat selamat, selandjutnja lebih baik kabur sadja sedjauh mungkin dan
mengasingkan diri serta djangan berketjimpung pula didunia Kangouw.”
Begitulah Tjiok Boh-thian ikut
Tan Tiong-tji menjusuri beberapa ruangan dan melalui dua buah taman, achirnja
sampailah didepan sebuah pintu batu jang besar. Tertampak empat pendjaga
bersendjata berdiri disitu. Melihat datangnja Tjiok Boh-thian dan Tan
Tiong-tji, dengan gugup pendjaga2 itu memberi hormat. Ketika Tan Tiong-tji
memberi tanda, segera dua pendjaga diantaranja mendorong daun pintu batu itu.
Dibalik pintu batu itu kiranja masih ada sebuah pintu berterali besi jang
dikuntji dengan gembok besar. Segera Tiong-tji mengeluarkan kuntji dan
dibukanja sendiri.
Sesudah masuk, ternjata disitu
adalah sebuah lorong jang pandjang, didalamnja ada api lilin besar. Pada udjung
lorong ada empat pendjaga pula dan kembali menghadapi sebuah pintu berterali
besi. Sesudah pintu terali dibuka, didalamnja ada sebuah pintu besi jang tebal.
Setelah Tan Tiong-tji membuka gembok dan membuka pintu tebal itu, maka
tertampaklah sebuah kamar batu kira2 tiga meter persegi. Seorang wanita
berbadju putih tampak duduk mungkur. Waktu mendengar suara pintu terbuka,
wanita itu lantas menoleh.
Segera Tan Tiong-tji menaruh
Tjektay (tatakan lilin) diatas medja disamping pintu, tjahaja lilin dapat
menerangi muka siwanita dengan djelas. Mendadak Tjiok Boh-thian berseru kaget:
“Ha, bukankah engkau adalah nona Hoa, Hoa Ban-tji dari Swat-san-pay?”
Kiranja apa jang terdjadi di
Hau-kam-tjip dulu masih teringat dengan baik olehnja. Walaupun sudah berselang
beberapa tahun, namun wadjah Hoa Ban-tji itu tiada banjak berubah, maka begitu
lihat Tjiok Boh-thian lantas mengenalnja. Sebaliknja dulu Tjiok Boh-thian
adalah seorang pengemis ketjil jang dekil, hari ini pakaian sudah mewah dan
berubah dewasa mendjadi seorang pemuda jang gagah dan tampan, dengan sendirinja
Hoa Ban-tji tidak mengenalnja lagi.
Maka dengan marah2 Hoa Ban-tji
berkata: “Mengapa kau mengenal diriku?”
Diam2 Tan Tiong-tji djuga
kagum terhadap ketjerdasan sang Pangtju, hanja sekali lihat sadja lantas dapat
mengatakan siapa dan dari mana asal-usul tawanannja itu. Segera ia membentak:
“Ini adalah Pangtju kami, tjara bitjaramu harus tahu aturan sedikit!”
Hoa Ban-tji terkedjut. Sama
sekali tak tersangka olehnja akan bertemu dengan Tiang-lok-pangtju Tjiok
Boh-thian jang terkenal busuk itu. Kabarnja pangtju ini suka merusak kaum
wanita, hari ini dirinja berada didalam tjengkeramannja, tentu lebih banjak
tjelaka dari selamatnja. Karena itulah ia mendjadi kuatir dan tjepat berpaling
kearah dinding agar wadjahnja jang tjantik itu tidak terlihat. Berbareng
terdengar suara gemerintjingnja benda logam, kiranja kaki dan tangannja telah
diborgol.
Diwaktu mendengarkan ibunja
mendongeng, Tjiok Boh-thian pernah diberitahu tengan borgol dan lain2 dan baru
hari ini ia melihat dengan mata sendiri bentuk borgol itu. Segera ia tanja Tan
Tiong-tji: “Tan-Hiangtju, apa sih dosa nona Hoa ini sehingga kaki dan tangannja
perlu diborgol.”
Sebabnja dia tanja adalah
karena dia memang tidak paham. Tapi bagi pendengaran Tan Tiong-tji, disangkanja
pertanjaan sang Pangtju itu bermaksud kebalikannja. Pikirnja: “Wah, tjelaka,
mungkin Pangtju menganggap aku memperlakukan nona Hoa dengan tidak pantas, maka
dia telah meratjuni diriku. Sedapat mungkin aku harus berusaha memperbaiki
kesalahanku ini.” ~ Maka tjepat ia mendjawab: “Ja, ja, hamba memang salah.” ~
Segera ia mengeluarkan kuntji dan tjepat membuka borgol jang membelenggu kaki dan
tangan Hoa Ban-tji itu.
Walaupun Hoa Ban-tji sekarang
sudah merdeka, tapi ia mendjadi lebih2 kuatir sehingga gemetar.
Dalam hal ketjerdasan dan
kepandaian silat Hoa Ban-tji jang berdjuluk Bwe-hoa-lihiap (pendekar bunga Bwe)
itu tidaklah kalah daripada kesatria kaum lelaki. Kalau Tjiok Boh-thian
mengantjam akan membunuhnja, betapapun tidak nanti dia menjerah. Tapi sekarang
ia mendengar Tjiok Boh-thian malah menjalahkan Tan-hiangtju jang menawannja,
terang dibalik utjapannja itu mengandung maksud tertentu atas dirinja,
djelasnja dia telah dipenudjui oleh Tjiok Boh-thian. Padahal selama hidup ini
dia selalu mendjaga diri dengan baik dan sampai saat ini masih sutji bersih,
kalau sampai dinodai oleh Tjiok Boh-thian jang terkenal busuk itu, wah, benar2
bisa tjelaka.
Dalam pada itu Tan Tiong-tji
djuga sengadja hendak membikin senang hati sang Pangtju, maka ia telah berkata:
“Pangtju, mengapa nona Hoa tidak diadjak bitjara kekamar Pangtju sadja? Disini
terlalu gelap dan kotor, bukan suatu tempat jang pantas untuk tetamu.”
“Ja, bagus,” sahut Tjiok
Boh-thian dengan girang. “Marilah nona Hoa, disana tersedia sarang burung jang
sangat enak, nanti kau boleh tjoba mentjitjipi satu mangkuk.”
“Tidak, tidak mau,” seru Hoa
Ban-tji dengan suara gemetar.
“Enak, sungguh sangat enak,
boleh kau tjoba dulu nanti”, kata Tjiok Boh-thian pula.
Hoa Ban-tji mendjadi gusar,
sahutnja: “Kalau mau bunuh, lekas bunuh, nona adalah murid terhormat dari
Swat-san-pay, tidak nanti sudi minta ampun padamu. Kau bangsat ini kalau
menaruh maksud djahat padaku, aku lebih suka membunuh diri daripada…………datang
kekamarmu.”
“Ai, mengapa kau bilang
demikian, se-akan2 aku ini paling suka orang sadja, sungguh aneh, buat apa aku
membunuh kau? Djika kau tidak dojan sarang burung ja sudah, ja, mungkin kau
lebih suka makan ajam panggang dan bebek tim. Eh, Tan-hiangtju, apakah makanan2
demikian kita ada sedia?”
“Ada, ada, ada!” tjepat Tan
Tiong-tji mendjawab. “Apa jang disukai nona Hoa, asal terdapat didunia ini
tentu didapur kita djuga sedia.”
“Fui, biarpun mati djuga nona
tidak sudi makan barang suguhan kalian jang hanja membikin kotor mulutku
sadja,” sahut Ban-tji dengan marah.
“O, apa barangkali nona Hoa
lebih suka belandja sendiri kepasar untuk dibawa pulang dan dimasak sendiri?
Apakah kau mempunjai uang? Djika tidak punja, tentunja Tan-hiangtju punja,
bukan? Harap kau berikan sedikit padanja,” demikian kata Tjiok Boh-thian.
“Ada, ada, segera kusuruh
mengambilkan pada kasir!” ~ “Tidak, tidak, biar mati djuga aku tidak sudi!”
demikian Tan Tiong-tji dan Hoa Ban-tji bersuara berbareng.
“Ah, mungkin kau sendiri sudah
punja uang, Tan-hiangtju bilang kakimu terluka, kami akan minta Pwe-siansing
mengobati lukamu, tapi tampaknja kau tidak suka kepada Tiang-lok-pang, maka
bolehlah kau pergi mentjari tabib sendiri, kalau lukamu terlalu banjak
mengeluarkan darah tentu akan kurang baik.”
Sudah tentu Hoa Ban-tji tidak
pertjaja Tjiok Boh-thian mau membebaskan dia, ia menduga dirinja akan
dipermainkan seperti kutjing menggoda tikus, maka dengan marah2 ia mendjawab:
“Pendek kata aku takkan masuk perangkapmu biarpun kau pakai tipu muslihat
apapun djuga.”
Tjiok Boh-thian mendjadi lebih
heran, katanja: “Kamar batu ini mirip dengan pendjara, buat apa tinggal disini?
Nona Hoa, lebih baik lekas kau keluar dari sini sadja.”
Karena mendengar utjapan itu
agak sungguh2, Hoa Ban-tji mendengus dan berkata: “Hm, dimanakah pedangku, mau
mengembalikan atau tidak?” ~ Ia pikir kalau sudah pegang sendjata, bila Tjiok
Boh-thian akan berbuat tidak senonoh padanja tentu akan dapat membunuh diri
biarpun tidak mampu melawannja.
“O, ja, nona Hoa suka pakai
sendjata pedang. Tan-hiangtju, sukalah kau mengembalikan pedangnja ?” kata
Tjiok Boh-thian.
“Ja, ja, pedangnja tersimpan
diluar sana, silakan nona keluar dan segera akan kami kembalikan”, sahut Tan
Tiong-tji.
Karena sudah bertekad akan
membunuh diri maka Hoa Ban-tji tidak gentar terhadap tipu muslihat pula.
Mendadak ia berbangkit terus melangkah keluar. Segera Tjiok Boh-thian dan Tan
Tiong-tji mengikutinja dari belakang.
Sesudah tiba ditaman diluar
pendjara itu, maka Hoa Ban-tji mendjadi silau oleh tjahaja sang surja. Walaupun
demikian semangatnja lantas terbangkit.
Rupanja Tan Tiong-tji ingin
mengambil hati sang Pangtju, sebelum disuruh ia sudah mengambilkan pedangnja
Hoa Ban-tji dan diserahkan kepada Tjiok Boh-thian. Lalu Tjiok Boh-thian
mengembalikan pedan itu kepada Hoa Ban-tji.
Kuatir kalau mendadak dirinja
diserang, maka diwaktu menerima kembali pedangnja, tjepat sekali ia menjambar
gagang pedang dan siap2 untuk melolosnja dari sarung pedang.
Tan Tiong-tji tahu ilmu pedang
murid Swat-san-pay itu sangat hebat, maka berbareng iapun menjambar sebatang
golok dari tangan seorang pendjaga dan siap untuk menghadapi Hoa Ban-tji.
Namun Tjiok Boh-thian telah
berkata: “Nona Hoa, apakah lukamu tidak mendjadi halangan? Djika tulang kakimu
patah, boleh djuga aku menjambungkan untukmu seperti aku menjambung tulang kaki
si Kuning dahulu.”
Jang bitjara tidaklah
sengadja, tapi jang mendengarkan merasa terhina. Apalagi Hoa Ban-tji masih
seorang perawan sutji, ketika melihat sorot mata Tjiok Boh-thian memandang
kearah kakinja, seketika mukanja mendjadi merah, damperatnja: “Dasar badjingan,
tjara bitjaramu djuga kotor dan rendah.”
“He, apakah salah
perkataanku?” seru Tjiok Boh-thian dengan heran. “Apakah boleh kuperiksa lukamu
itu?”
Apa jang dikatakannja adalah
timbul dari djiwanja jang masih ke-kanak2an dan tiada punja maksud lain, Hoa
Ban-tji menganggap Tjiok Boh-thian hendak menggodanja. “Sret, pedang segera
dilolosnja sambil membentak: “Manusia she Tjiok, djika kau berani madju
setindak lagi segera nona mengadu djiwa dengan kau.”
“Nona Hoa, Pangtju kami sangat
gagah dan tampan, djika beliau sudah penudjui kau, ini adalah redjekimu, biarpun
kau membawa pedang djuga tiada bedanja bagi pandangan Pangtju kami. Padahal
entah betapa banjak nona tjantik didunia ini jang ingin memikat Pangtju kami
dan tak terkabul harapan mereka,” demikian kata Tan Tiong-tji.
Dengan muka putjat menahan
gusar, tanpa pikir lagi pedang Hoa Ban-tji lantas menusuk kedada Tjiok
Boh-thian dalam tipu “Tay-boh-hui-sah” (pasir terbang digurun luas).
Meski Lwekang Tjiok Boh-thian
sekarang sudah maha kuat, tapi dalam hal ilmu silat untuk menghadapi musuh
selamanja dia belum pernah beladjar. Sekarang dilihatnja pedang Hoa Ban-tji
menjambar kepadanja, dalam gugupnja ia mendjadi kelabakan, tapi ia masih sempat
membalik tubuh terus melarikan diri.
Untung Lsekangnja sekarang
sudah sangat sempurna, walaupun tjara larinja agak ke-tolol2an dan menggelikan,
tapi tjepatnja benar2 luar biasa, hanja beberapa langkah sadja dia sudah
berlari sedjauh beberapa meter.
Sama sekali Hoa Ban-tji tidak
menjangka Tjiok Boh-thian akan melarikan diri, bahkan sedemikian tjepat
larinja, betapa aneh dan hebat Ginkangnja itu sungguh belum pernah dilihatnja,
seketika Hoa Ban-tji sampai terkesima sendiri dan tak dapat bersuara.
“Wah, nona Hoa, kau djangan
main2 dengan sendjatamu,” demikian Tjiok Boh-thian berseru sambil gojang2 kedua
tangannja. “Ber-ulang2 kau menuduh aku suka membunuh orang, padahal kau
sendirilah jang suka membunuh. Sudahlah, djika kau mau pergi boleh pergi sadja
dan kalau ingin tinggal disini djuga boleh, aku tidak mau bitjara lagi dengan
kau.”
Rupanja ia menduga Hoa Ban-tji
tentu mempunjai alasannja, maka dirinja hendak dibunuh olehnja. Untuk ini ada
lebih baik meminta keterangan kepada Si Kiam sadja. Maka sehabis bitjara ia
lantas tinggal pergi.
Hoa Ban-tji mendjadi lebih
heran, serunja: “Tjiok-pangtju, apakah kau benar2 telah membebaskan diriku?
Djangan2 kau menjuruh orang untuk merintangi aku diluar sana.”
“Untuk apa aku merintangi kau?
Djangan2 pedangmu akan menusuk aku lagi, wah, kan bisa runjam!” sahut Tjiok
Boh-thian.
Betapapun Hoa Ban-tji masih
ragu2. Tapi ia pikir daripada tetap tinggal disarang maut itu ada lebih baik
tinggal pergi sadja. Maka tanpa bitjara lagi ia lantas putar tubuh dan
melangkah pergi.
“Nona Hoa,” tiba2 Tan
Tiong-tji berseru dengan tertawa. “Djelek2 Tiang-lok-pang kami djuga tidak
kekurangan pendjaga, masakah nona Hoa sedemikian mudahnja pergi-datang
sesukanja, memangnja kau anggap orang2 Tiang-lok-pang kami ini adalah sebangsa
tukang gegares jang tak berguna?”
“Habis apa jang kau inginkan?”
sahut Hoa Ban-tji dengan alis mendjengkit.
“Kukira, haha, adalah lebih
baik aku jang mengantar nona Hoa keluar,” udjar Tan Tiong-tji dengan tertawa.
Diam2 Hoa Ban-tji berpikir:
“Sekarang aku masih berada disarang mereka, terpaksa aku tunduk kepada
keinginannja, kalau aku membangkang tentu akan sukar untuk keluar dari sini.
Sekarang biarlah aku telan semua hinaan, kelak aku akan mengadjak para saudara
seperguruan untuk mengobrak-abrik tempat ini dan membalas dendam.”
“Djika demikian, silakan
antarkan,” katanja kemudian.
“Pangtju, Siokhe hendak
mengantar nona Hoa keluar dari sini,” kaa Tiong-tji kepad Tjiok Boh-thian.
“Bagus, bagus!” sahut
Boh-thian. Melihat sinar pedang Hoa Ban-tji jang gemilapan itu, dia mendjadi
djeri, kalau Tan Tiong-tji bersedia mengantarnja keluar adalah kebetulan
baginja. Maka ia lantas kembali ke kamarnja sendiri melalui djalan tadi. Setiap
orang jang didjumpainja ditengah djalan selalu menjingkir dan memberi hormat
padanja.
Setiba kembali dikamarnja,
diatas medja ternjata sudah tersedia matjam2 daharan jang serba enak, segera Si
Kiam melajaninja makan. Dengan lahap Tjiok Boh-thian melahap semua masakan2
djang disediakan itu dan ber-ulang2 memudji kelezatannja, sekaligus ia menghabiskan
lima mangkuk nasi barulah merasa kenjang.
Selesai makan, baru sadja dia
hendak tanja Si Kiam mengenai ditawannja Hoa Ban-tji oleh Tan-hiangtju dan
mengapa nona itu hendak membunuhnja, tiba2 pendjaga diluar pintuk memberi lapor
bahwa Pwe Hay-tjiok datang.
Boh-thian sangat girang,
tjepat ia memapak keluar ruangan tamu. Segera ia berkata kepada Pwe Hay-tjiok:
“Pwe-siansing, tadi telah terdjadi sesuatu jang aneh,” ~ Lalu ia mentjeritakan
tentang Hoa Ban-tji tadi.
“Pangtju,” kata Pwe Hay-tjiok
kemudian dengan sikap prihatin. “Siokhe ingin mohon sesuatu padamu. Jaitu
tentang Tan hiangtju dari Say-wi-tong jang selamanja sangat setia dan berdjasa
kepada Pang kita, haraplah Pangtju suka mengampuni djiwanja.”
“Mengampuni djiwanja?” Tjiok
Boh-thian menegas dengan heran. “Ja, mengapa tidak? Bukankah dia seorang baik.
Apakah dia sakit? Djika demikian hendaklah Pwe-siansing suka menolongnja
sadja.”
Pwe Hay-tjiok sangat girang,
ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Biasanja sang Pangtju itu
sangat tak berbudi, orang jang dianggapnja bersalah djarang diampuni, tapi hari
ini kebiasaan itu telah dilanggar, hal ini menandakan penghargaannja terhadap
permohonan dirinja itu. Maka tjepat Pwe Hay-tjiok lantas mengundurkan diri.
Kiranja sesudah Tan Tiong-tji
berpisah dengan Hoa Ban-tji, kemudian buru2 ia menemui Pwe Hay-tjiok dan minta
bantuannja untuk memohon ampun kepada sang Pangtju dan memberi obat penawar
ratjun (padahal sama sekali ia tidak keratjunan). Obat penawar ratjun milik Pwe
Hay-tjiok jang bernama “Ban-leng-kay-tok-tan” sangat mudjarab bagi segala
matjam ratjun, asal sang Pangtju mengidjinkan, dengan mudah sekali ia dapat
menjelamatkan djiwa Tan Tiong-tji. Dan ternjata dengan tjepat sang Pangtju
lantas meluluskan permintaannja, sudah tentu girang Pwe Hay-tjiok tak
terkatakan, terutama mengingat kekuatan Tiang-lok-pang tidak djadi retak dengan
urung perginja Tan Tiong-tji.
Begitulah, sesudah Pwe
Hay-tjiok pergi, lalu Tjiok Boh-thian tanja berbagai urusan kepada Si Kiam,
maka baru diketahui bahwa tempat markas besar Tiang-lok-pang berada itu adalah
kota Yangtjiu. Dia adalah Pangtju dari Tiang-lok-pang jang susunan organisasinja
terbagi mendjadi Lwe-sam-tong (tiga seksi dalam) dan Gwa-ngo-tong (lima seksi
luar) dengan anggota jang tersebar luas di-mana2.
Djago2 pilihan didalam
Tiang-lok-pang teramat banjak, beberapa tahun terachir ini perkembangan
organisasi mereka madju dengan pesat, tokoh2 seperti Pwe Hay-tjiok sadja djuga
mau masuk mendjadi anggota, maka dapat dibajangkan betapa hebat pengaruh dan
kekuatan Tiang-lok-pang. Adapun bagaimana azas perdjuangan Tiang-lok-pang,
siapa kawan dan siapa lawannja, hal2 ini Si Kiam tak dapat mentjeritakan,
maklum ia hanja seorang pelajan jang masih hidjau.
Dengan sendirinja Tjiok
Boh-thian tidak mendapatkan gambaran jang djelas tentang Tiang-lok-pang,
apalagi dia sendiri tiada punja pengalaman apa2.
Sesudah merenung sedjenak,
kemudian ia berkata: “Entji Si Kiam, tentu kalian telah salah mengenali orang.
Djikalau aku tidak berada dalam mimpi, maka teranglah Pangtju kalian adalah
seorang lain lagi. Aku adalah pemuda gunung, masakah dianggap Pangtju apa
segala.”
“Sekalipun banjak manusia jang
mirip didunia ini djuga tiada mungkin semirip ini,” kata Si Kiam dengan
tertawa. “Siauya rupanja engkau sedang melatih sematjam ilmu dan mungkin telah
mengguntjangkan otakmu sehingga kau melupakan kedjadian jang lalu. Hendaklah
kau mengaso sadja, pelahan2 tentu dapat ingat kembali.”
“Tidak, tidak, masih banjak
jang aku merasa tidak mengarti dan ingin tanja padamu,” kata Boh-thian. “Entji
Si Kiam, sebab apa kau suka mendjadi pelajan?”
“Masakah ada orang sukarela
mendjadi pelajan?” sahut Si Kiam dengan hati pedih. “Sedjak ketjil aku sudah
jatim piatu, aku telah didjual orang kedalam Tiang-lok-pang sini dan
To-tjongkoan (kepala rumah tangga, she To) menugaskan aku melajani kau,
terpaksa aku harus melajani kau.”
“Djika demikian, djadi kau
tidak suka, kalau begitu bolehlah kau pergi sadja, aku tidak perlu dilajani
orang, segala apa aku dapat mengerdjakannja sendiri,” kata Boh-thian.
“Aku hanja sebatangkara, kau
suruh aku pergi kemana? Djika To-tjongkoan mengetahui kau takmau dilajani
diriku, tentu aku jang disalahkan dan mungkin akan dihadjarnja hingga mati.”
“Aku akan minta dia djangan
menghadjar kau,” kata Boh-thian.
Namun Si Kiam tetap
menggeleng, katanja: “Kesehatanmu belum pulih, akupun tidak boleh pergi dengan
begini sadja. Pula asal kau tidak nakal padaku, sesungguhnja aku suka melajani
kau, Siauya.”
“Bilakah aku nakal padamu?
Selamanja aku tidak pernah nakal pada orang lain.”
Si Kiam mendongkol dan geli
pula, katanja: “Djika demikian, orang tentu akan mengatakan Tjiok-pangtju kita
benar-benar telah berubah sekarang mendjadi alim.”
Boh-thian tidak berkata lagi,
tapi pikirnja: “Tjiok-pangtju jang sebenarnja itu tentulah seorang manusia
djahat, nakal dan suka membunuh orang pula, maka setiap orang takut padanja.
Wah, bagaimana baiknja ini? Biarlah besok dibitjarakan sedjelasnja dengan
Pwe-siansing sadja, terang mereka telah salah mengenali diriku.”
Begitulah pikirannja
timbul-tenggelam tak tertentu, sebenarnja ia merasa senang mendjadi Pangtju
jang dihormati orang sebanjak itu, tapi lain saat ia merasa tidaklah pantas
memalsukan orang lain, kelak kalau Pangtju tulen itu pulang tentu akan marah,
boleh djadi dirinja akan dibunuh dan inilah suatu risiko baginja.
Petangnja sesudah makan malam,
kembali ia mengobrol lagi dengan Si Kiam, ia tanja ini dan itu, ia merasa serba
menarik dari keterangan2 jang diberikan Si Kiam itu. Sampai djauh malam, Si
Kiam kuatir penjakit nakal sang Siauya akan kumat lagi, maka tjepat2 ia
mengundurkan diri dan sekalian menutupkan pintu kamar.
Tinggal Tjiok Boh-thian
sendirian didalam kamar, dalam isengnja ia lantas duduk bersila diatas randjang
dan berlatih menurut petundjuk2 dibadan boneka2 kaju itu.
Dimalam jang sunji senjap
itulah tiba2 terdengar suara “tik-tik-tik” tiga kali, suara daun djendela
diselentik. Waktu Tjiok Boh-thian membuka mata, tertampaklah daun djendela
pelahan2 terpentang, sebuah tangan jang halus tampak sedang meng-gape2 padanja,
samar2 kelihatan pula lengan badjunja jang berwarna hidjau pupus.
Hati Tjiok Boh-thian tergerak,
teringat olehnja wadjah sianak dara berbadju hidjau muda. Segera ia melompat
turun dan membur kedepan djendela, serunja: “Tjitji!”
“Tjis, mengapa memanggil
Tjitji sekarang? Lekas keluar sini!” demikian terdengar suara seorang anak dara
menjahut dengan suara jang njaring merdu.
Segera Boh-thian melangkah
keluar melalui djendela. Tapi tiada seorangpun tertampak olehnja. Tengah heran,
mendadak pandangannja mendjadi gelap, sepasang tangan jang halus lemas telah
mendekap kedua matanja, berbareng terdengar suara mengikik-tawa dibelakangnja,
menjusul lantas terandus bau bunga anggrek jang harum.
Terkedjut dan senang pula hati
Tjiok Boh-thian. Ia tahu si-anak dara sedang bergurau dengan dia. Padahal sedjak
ketjil ia hidup ditengah gunung jang sepi, kawan satu2nja adalah si Kuning,
andjing piaraannja. Sekarang mendadak ada seorang muda jang sebaja dan suka
bergurau dengan dia, sudah tentu dia sangat senang.
“Nah, aku akan tangkap kau!”
serunja sambil kedua tangannja merangkul kebelakang.
Tapi betapa tjepatnja dia
bergerak, tahu2 dia hanja memegang tempat kosong, dengan tjepat sekali sianak
dara sudah melompat pergi. Ketika ia menoleh, sekilas tertampak badju hidjau
berkelebat di-semak2 pohon bunga sana, tjepat ia memburu madju dansegera
menangkapnja, tapi jang terpegang adalah duri2 mawar sehingga dia mendjerit
kesakitan.
Sianak dara tampak mengongol
dari balik semak2 sana dan berkata pelahan dengan tertawa: “Tolol, djangan
bersuara, lekas ikut padaku!”
Ketika melihat anak dara itu
berdjalan pergi, segera Boh-thian mengikutinja. Waktu berlari sampai ditepi
pagar tembok, baru sadja anak dari itu hendak melompat keatas, mendadak dari
tempat gelap telah mengadang keluar dua orang bersendjata sambil membentak:
“Djangan bergerak! Siapa kau?”
Pada saat itu pula djuga
dengan ter-tawa2 Tjiok Boh-thian djuga sudah ikut tiba.
Rupanja kedua orang itu adalah
anggota Tiang-lok-pang jang sedang meronda. Mereka mendjadi mengkeret demi
nampak sang Pangtju bersama anak dara itu dalam keadaan tertawa senang, tjepat
mereka melangkah mundurdan memberi hormat, kata mereka: “Hamba tidak tahu nona
ini adalah teman Pangtju, harap memaafkan.” ~ Menjusul merekapun memberi hormat
pada sianak dara sebagai tanda permintaan maaf.
Anak dara itu meleletkan lidah
kepada mereka dengan muka djenaka, lalu ia menggape pula kepada Tjiok Boh-thian
terus melompat keatas pagar tembok.
Melihat pagar tembok itu
tjukup tinggi, Boh-thian merasa tidak sanggup melompat keatas sebagaimana tjara
sianak dara itu. Tapi dilihatnja anak dara itu sedang menggape lagi padanja,
bahkan kedua peronda tadi djuga sedang memandang padanja, ia pikir tidaklah
mungkin menjuruh mereka membawakan tangga baginja, terpaksa ia harus
melakukannja sebisa mungkin, segera ia tekuk lutut sedikit terus melontjat
keatas. Eh, aneh djuga, entah darimana timbulnja sematjam tenaga pada kakinja,
se-konjong2 tubuhnja terus membal keatas, bahkan tanpa hinggap diatas pagar
tembok dan sekaligus melintas keluar sana.
Kedua peronda tadi sampai
melondjak kaget, mereka lantas berseru memudji: “Gin-kang jang hebat !”
Namun lantas terdengar suara
gedebukan diluar pagar tembok sana, suara djatuhnja benda berat. Kiranja Tjiok
Boh-thian tidak tahu tjara bagaimana harus tantjapkan kakinja ketanah maka ia
telah djatuh terbanting. Kedua peronda hanja saling pandang dengan bingung,
sudah tentu mereka tidak tahu apa jang sudah terdjadi. Sungguh tak tersangka
oleh mereka bahwa Ginkang sang Pangtju sebagus itu achirnja dapat djatuh
terbanting dalam keadaan jang lutju.
Sebaliknja sianak dara jang
berdiri diatas pagar tembok dapat melihat dengan djelas, ia terkedjut dan
tjepat melompat turun kesana. Ia lihat Tjiok Boh-thian sampai sedjenak belum
lagi bangun, segera ia memajangnja dan bertanja: “Engkoh Thian, bagaimana?
Agaknja kesehatanmu belum pulih betul2, djanganlah terlalu menggunakan tenaga.
Pantat Tjiok Boh-thian terasa
kesakitan karena djatuh terbanting dengan keras, atas bantuan sianak dara
achirnja dia dapat berdiri kembali.
“Maukah kita pergi ketempat
biasanja sana,” adjak sianak dara. “Apakah kau masih sakit, dapat berdjalan
tidak?”
Dasar Tjiok Boh-thian
sangatlah bandel, biarpun sakit djuga takkan mengaku sakit, apalagi Lwekangnja
sekarang sudah sangat tinggi, rasa sakit terbanting itu hanja sebentar sadja
sudah lenjap, segera ia mendjawab: “Aku tidak merasa sakit lagi, marilah kita
segera berangkat.”
“Sudah sekian lamanja kita
tidak bertemu, kau kangen padaku atau tidak?” tanja sianak dara dengan
mendongak, menatap muka Tjiok Boh-thian dan sambil menarik tangan kanannja.
Maka tertampaklah didepan
Tjiok Boh-thian sebuah wadjah jang tjantik molek, dibawah pantulan tjahaja
rembulan, keuda bidji mata anak dara itu se-akan2 dua titik bintang jang
tjemerlang. Dari badan anak dara itupun terendus bau jang harum, mau-tak-mau
hati pemuda itu terguntjang. Walaupun dia sama sekali tidak paham soal hubungan
antara kaum pria dan wanita, tapi seorang pemuda berusia 20 tahun berada dalam
keadaan dan adegan demikian, biarpun lebih tolol lagi djuga akan timbul rasa
tjintanja kepada anak dara jang tjantik itu.
Sesudah tertegun sedjenak,
lalu ia mendjawab: “Malam itu kau telah datang mendjenguk diriku dan segera kau
pergi lagi. Sungguh aku sangat merindukan dikau.”
Sianak dara tertawa genit,
katanja pula: ”Kau telah menghilang sekian lamanja, lalu tak sadarkan diri
sekian lamanja pula, sungguh aku mendjadi kuatir sekali. Selama beberapa hari
ini setiap malam aku pasti datang mendjenguk kau, apakah kau tahu? Kulihat kau
sedang asjik berlatih, karena kuatir mengganggu, maka aku tidak memanggil kau.”
“Apa betul? Sungguh aku sama
sekali tidak tahu. O, entji jang baik, mengapa kau se………..sedemikian baiknja padaku?”
kata Boh-thian dengan girang.
Mendadak air muka sianak dara
berubah, ia kipatkan tangan sianak muda dan omelnja: “Kau panggil aku apa? Ja,
memang aku sudah………..sudah menduga sebabnja kau menghilang sekian lamanja,
tentu……… tentu kau mempunjai teman wanita lagi dilain tempat. Hm, rupanja kau
sudah terlalu biasa memanggil ‘entji jang baik’ kepada orang lain, maka
sekarang djuga kau panggil aku demikian.”
Baru sadja anak dara itu masih
tertawa riang dan menggiurkan, sekarang mendadak lantas berubah marah, keruan
Tjiok Boh-thian tidak paham dan bingung, katanja dengan tergagap2:
“Aku………..aku………….”
Sianak dara bertambah marah,
tiba2 ia djewer telinga kanan Tjiok Boh-thian, katanja dengan gusar: “Selama
ini sebenarnja kau telah berkumpul dengan wanita siapa? Bukankah kau
memanggilnja sebagai ‘entji jang baik’? Hajo, lekas mengaku, lekas!” ~ Sambil
bitjara djewerannja tambah keras dan makin keras.
Keruan Tjiok Boh-thian
mendjerit kesakitan, serunja: “He, he! Kenapa kau segalak ini? Aku takmau
bermain lagi dengan kau!”
Kembali sianak dara mendjewer
lebih keras, katanja: ”Djadi kau hendak meninggalkan aku dan takkan menggubris
lagi padaku? Hm, tidak boleh semudah ini. Siapa wanita jang berada bersama kau
itu? Hajo, lekas mengaku!”
“Ja, aku memang berada bersama
seorang wanita,” achirnja Boh-thian mengaku dengan meringis kesakitan.
“Dia……….dia tidur sekamar dengan aku………….”
“Nah, apa kataku?” sela sianak
dara dengan gusar. Kontan ia mendjewer terlebih keras sehingga kuping Tjiok
Boh-thian sampai berdarah. Lalu teriaknja dengan suara melengking: “Biar
sekarang djuga akan kubunuh dia!”
“Eh, eh, djangan! Dia adalah
entji Si Kiam, dia telah membuatkan sarang burung dan memasakkan bubur untukku,
walaupun bubur itu kedaluan dan hangus, tapi dia sangat baik. Kau………kau tidak
boleh membunuhnja.”
Mestinja anak dara itu sudah
mentjutjurkan air mata, mendadak ia tertawa kembali. “Fui!” semprotnja sambil
mendjewer lagi dengan keras. “Kukira entji jang baik siapa, kiranja adalah
budak busuk itu. Ah, kau berdusta, aku tidak pertjaja. Selama beberapa malam
ini aku selalu mengawasi kau dari luar djendela, tampaknja kau dan budak busuk
itu tjukup prihatin djuga, ja, anggaplah kau masih tahu batas.” ~ Habis berkata
kembali ia hendak mendjewer lagi.
Boh-thian terkedjut dan tjepat
hendak berusaha menghindar, tapi sekali ini anak dara itu ternjata tidak
mendjewer lagi, sebaliknja ia meng-elus2 telinga pemuda itu, tanjanja dengan
tertawa: “Apakah sakit?”
“Sudah tentu sakit,” sahut
Boh-thian.
“Biar kau tahu rasa, hbais
siapa suruh kau berdusta, setjara aneh kau memanggil aku ‘entji jang baik’ apa
segala!”
“Menurut ibuku, katanja
panggilan ‘Tjitji’ adalah tanda hormat pada orang lain, apa aku salah panggil?”
Sianak dara mempelototinja
sekali. “Sedjak kapan kau menghormat padaku? Sudahlah, djika kau merasa
penasaran, bolehlah kau balas mendjewer telingaku. Ini!” ~ Berbareng ia terus
miringkan muka dan sodorkan telinganja kedepan.
Seketika Boh-thian mengendus
bau harum jang teruar dari muka anak dara itu. Tanpa merasa hidungnja
meng-endus2 beberapa kali seperti si Kuning piaraannja. Ia pegang2 kuping anak
dara itu, lalu katanja: “Tidak, aku takmau mendjewer kau………….O, ja, tjara
bagaimana aku mesti memanggil kau?”
“Tjara bagaimana kau panggil
aku dahulu? Masakah sampai namaku djuga sudah kau lupakan?” omel sianak dara.
Boh-thian terdiam sedjenak,
lalu katanja dengan sungguh2: “Nona, biarlah kukatakan terus terang padamu.
Sesungguhnja kau telah salah mengenali aku. Aku bukanlah kau punja ‘engkoh
Thian’ apa segala. Aku bukan Tjiok Boh-thian, tapi aku adalah Kau-tjap-tjeng.”
Jilid 12
Anak dara itu melengak, ia
pegang pundak pemuda itu dan diputarnya ke kanan dan ke kiri, ia mengamat-amati
pemuda itu sejenak di bawah cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, “Engkoh Thian, sungguh kau pintar berkelakar. Ucapanmu
barusan sungguh membuat kaget padamu, kusangka benar-benar telah salah
mengenali kau. Hayolah, mari kita berangkat.”
Segera ia tarik tangan Ciok
Boh-thian dan mendahului bertindak ke depan.
“Ti ... tidak, aku tidak
berkelakar,” seru Ciok Boh-thian dengan gugup. “Kau benar-benar telah salah
mengenali diriku. Coba pikir, sedangkan namamu saja aku tidak tahu.”
Mendadak si anak dara
menghentikan langkahnya, katanya dengan tertawa genit, “Ya, sudahlah, dasar
kepala batu, tidak mau mengalah, biarlah aku tunduk padamu. Nah, dengarkan aku
she Ting bersama Tong, biasanya kau suka panggil aku ting-tong, ting-tong, terkadang
kau pun panggil aku ting-ting-tong-tong Sekarang sudah jelas, bukan?”
Habis berkata segera ia putar
tubuh dan berlari ke depan secepat terbang.
Karena diseret si anak dara,
tanpa kuasa Ciok Boh-thian ikut berlari juga, semula ia hampir keserimpet, untung
tidak sampai jatuh. Akhirnya ia dapat membuang langkah dan mengikuti lari si
anak dara dengan sama cepatnya. Bermula napasnya menjadi tersengal-sengal tapi
lama-kelamaan tenaga dalamnya mulai merata, kakinya makin lama makin enteng,
sedikit pun tidak terasa payah lagi.
Entah sudah berlari berapa
jauhnya, tiba-tiba tertampak pantulan cahaya air mengambang di depan, nyata
mereka telah sampai di tepi sebuah sungai. Segera Ting Tong menarik tangan Ciok
Boh-thian dan melompat perlahan ke depan, menghinggap di haluan sebuah perahu
kecil yang tertambat di tepi sungai.
Karena Ciok Boh-thian belum
dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk dikerahkan sebagai Ginkang, maka
lompatannya ke atas perahu itu seperti orang biasa saja, dengan antap
menancapkan kaki di haluan perahu sehingga perahu tertekan dan air muncrat.
“Ai, apakah kau ingin
menenggelamkan perahu ini?” jerit Ting Tong dengan tertawa.
Segera ia melepaskan tambatan
perahu, ia angkat dengan galah bambu, sekali dorong dengan galahnya, dengan
cepat perahu itu lantas meluncur ke tengah sungai.
Boh-thian melihat kedua tepi
sungai itu banyak tumbuh pohon Yangliu, dari jauh tertampak beberapa buah rumah
penduduk, malam sunyi, bulan terang, sayup-sayup hidungnya mendengus bau harum
yang memabukkan, entah bau harum bunga yang tumbuh di tepi sungai atau bau
wangi yang timbul dari badan Ting Tong?
Perahu itu meluncur dengan
pesat di tengah sungai, sesudah membelok beberapa kali, setiba di bawah sebuah
jembatan batu, Ting Tong lantas menambat perahunya di batang pohon Yangliu.
Pohon-pohon Yangliu di sekitar jembatan itu tumbuh sangat rindang sehingga
jembatan batu yang kecil itu hampir tertutup rapat. Sinar bulan menembus
remang-remang melalui celah-celah daun pohon, perahu yang berlabuh itu menjadi
mirip bermukim di dalam sebuah rumah alam yang kecil.
“Sungguh baik sekali tempat
ini, andai kata siang hari juga orang mungkin tidak menyangka bahwa di sini
berlabuh sebuah perahu kecil,” puji Boh-thian.
“Mengapa baru sekarang kau
memuji tempat ini?” sahut Ting Tong dengan tertawa.
Segera anak dara itu membuka
peti perahu, ia mengeluarkan sehelai tikar dan dibentang di haluan perahu,
dikeluarkannya dua pasang sumpit dan mangkuk serta satu poci arak, katanya
dengan tertawa, “Silakan duduk dan minum arak.”
Kemudian ia mengeluarkan lagi
beberapa macam makanan pengiring arak seperti kacang goreng, dendeng dan
lain-lain.
Ketika anak dara itu baru
menuangkan arak, Ciok Boh-thian lantas membau harum arak yang menusuk hidung.
Sudah pernah dia mendengar cerita ibunya tentang minum arak, tapi macam apakah
“arak” itu selamanya belum pernah dilihat dan dicobanya. Cia Yan-khek juga
tidak suka minum arak, sebab itulah ketika tinggal di Mo-thian-kay juga tidak
pernah kenal arak.
Sekarang ia melihat secawan
arak yang disodorkan Ting Tong itu berwarna merah kekuning-kekuningan, tanpa
pikir ia terus menenggaknya hingga habis. Ia merasakan hawa hangat menerjang ke
dalam perut, dalam mulut terasa sedikit pedas dan sedikit pahit. Seketika ia
mengerut dahi.
Ting Tong tertawa, katanya,
“Ini adalah arak ‘Lu-ji-hong’ dari Siauhin simpanan dua puluh tahun, apakah
enak rasanya?”
Tapi belum lagi Boh-thian
menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar suara seorang tua berkata, “Hm,
Lu-ji-hong simpanan 20 tahun masakah tidak enak rasanya?”
Tanpa terasa cawan arak yang
dipegang Ting Tong jatuh ke papan perahu dan akhirnya menggelinding masuk ke
dalam sungai, arak menciprat membasahi pakaiannya. Muka anak dara itu pucat
seketika dengan badan gemetar, ia pegang tangan Ciok Boh-thian dan berbisik,
“Celaka, itulah suara kakek!”
“Ya, betul memang inilah
kakekmu,” kata suara orang tua di atas itu. “Budak setan, kau berkencan dengan
kekasih tidaklah menjadi soal, tapi mengapa arak yang kudapatkan dengan susah
payah itu juga kau curi untuk disuguhkan kepada kekasihmu?”
“Dia ... dia bukan kekasih,
hanya ... hanya kawan biasa saja,” sahut Ting Tong.
“Huh, kawan biasa masakah
perlu kau melayaninya sedemikian baik?” semprot si kakek. “Ya, sampai arak
kesayangan kakek juga kau berani mencuri? Hayo, maling cilik, lekas-lekas
keluar sini, ingin kulihat bagaimana macammu sehingga hati cucu perempuanku
sampai tercuri olehmu?”
Waktu Ciok Boh-thian mendongak
ke arah datangnya suara, terlihat sepasang kaki menjulai dan bergerak-gerak di
atas kepalanya, terang orang tua itu duduk di atas jembatan sambil menjulurkan
kedua kakinya ke bawah, kalau kakinya mengulur belasan senti lagi ke bawah
tentu akan dapat menginjak di atas kepala Ciok Boh-thian.
Kedua kaki itu memakai kaus
kaki katun warna putih, sepatu kain tebal bersulam indah. Baik kaus kaki dan
sepatunya tampak sangat rajin dan resik.
Dalam pada itu Ting Tong telah
menjawil-jawil Ciok Boh-thian sambil memberi macam-macam tanda, maksudnya agar
pemuda itu jangan mengaku siapa sebenarnya dia, lalu nona itu berseru, “Yaya
(kakek), kawanku ini bermuka jelek lagi tolol, kalau melihatnya pasti kakek
takkan suka padanya. Arakmu yang kucuri ini hanya akan kuminum sendiri, orang
macam dia masakah ada harganya untuk disuguhi arak seenak ini? Soalnya cucu
merasa kesepian dan sembarangan mencari seorang teman mengobrol seperti dia
ini.”
Sudah tentu Ciok Boh-thian
sangat mendongkol, masakah dirinya dikatakan jelek dan dianggap tolol serta
dikatakan tiada harganya disuguhi arak itu, segera ia mengipratkan tangan Ting
Tong sehingga terlepas.
Tapi cepat Ting Tong memegang
pula tangan pemuda itu dan menggoyang-goyang tangan serta menjawil-jawil,
seperti tanda mesra dan seperti memberi pesan dengan sangat pula agar pemuda
itu menurut.
Dengan sendirinya Ciok
Boh-thian merasa bingung.
Sementara itu si orang tua
yang duduk di atas itu telah berkata pula, “Hayo, kedua setan cilik lekas
keluar semua. A Tong, hari ini kakek sudah membunuh beberapa orang?”
“Seperti ... seperti baru
membunuh satu orang,” sahut Ting Tong dengan suara terputus-putus.
Diam-diam Ciok Boh-thian
merasa heran mengapa ke sana kemari selalu ditemukan orang-orang yang suka
membunuh, yang dibicarakan juga selalu soal membunuh.
Dalam pada itu si kakek di
atas jembatan itu telah berkata, “Bagus, jadi hari ini aku baru membunuh satu
orang, jika demikian masih boleh membunuh dua orang lagi. Membunuh dua orang
lagi sebagai pengiring minum arak juga boleh.”
“Membunuh orang sebagai pengirim
minum arak, di dunia ini mengapa ada kejadian demikian?” demikian pikir Ciok
Boh-thian.
Pada saat lain mendadak terasa
tangan yang dipegang Ting Tong tadi telah dilepaskan, berbareng suatu bayangan
berkelebat, tahu-tahu di atas perahu mereka sudah bertambah satu orang dan
tepat duduk di tengah-tengah antara Ting Tong dan Boh-thian.
Dalam kejutnya cepat Boh-thian
menyurut mundur sedikit, waktu ia pandang orang itu, ternyata jenggot dan kumis
orang itu sudah memutih perak, wajahnya berseri-seri, itulah seorang kakek yang
tampaknya sangat welas asih. Tapi begitu tertatap sinar matanya, tanpa kuasa
Ciok Boh-thian bergidik. Kiranya dari sorot mata orang tua itu terpantul
sesuatu sifat jahat yang susah dilukiskan sehingga bagi yang melihatnya
seketika akan merasa merinding ketakutan.
Kakek itu tampak tertawa dan
mengangkat tangannya menepuk satu kali di atas pundak Ciok Boh-thian, katanya,
“Anak bagus, mulutmu sungguh sangat beruntung dapat minum arak Lu-ji-hong
simpanan 20 tahun milik kakek.”
Meski dia hanya menepuk
perlahan saja, tapi tulang pundak Ciok Boh-thian seketika berkeriukan
seakan-akan pecah dan rontok semua.
Ting Tong terperanjat dan
cepat memegang tangan sang kakek sambil memohon, “Yaya, ja ... janganlah kau
melukai dia.”
Tepukan yang perlahan tadi
sebenarnya mengandung tenaga dalam yang mahadahsyat, maksud orang tua itu
adalah untuk membikin remuk tulang pundak Ciok Boh-thian. Tak terduga ketika
telapak tangannya menyentuh bahu pemuda itu, seketika dari bahunya timbul
semacam tenaga tolakan yang mahakuat, tenaga dalam yang hebat itu bukan saja
telah melindungi tubuh pemuda itu, bahkan tangan si kakek sendiri sampai
tergetar membal ke atas.
Syukur kakek itu cepat
mengerahkan tenaganya lagi sehingga tangannya tidak sampai terpental ke atas.
Keruan kejut si kakek melebihi
Ting Tong, tapi ia lantas tertawa dan berkata pula, “Bagus, bagus! Anak bagus,
kau memenuhi syarat untuk minum arakku. Hayo, A Tong, tuangkan lagi beberapa
cawan arak, sekarang Yaya yang menjamu dia minum arak dan takkan menyalahkan
kau yang mencuri arak ini.”
Ting Tong menjadi girang. Ia
kenal watak sang kakek yang angkuh. Jarang ada tokoh-tokoh persilatan yang
terpandang olehnya. Sekarang baru bertemu dengan Ciok Boh-thian sudah lantas
menjamunya minum arak, sudah tentu anak dara itu merasa girang dan lega. Ia
mengira sang kakek juga suka kepada kekasihnya yang gagah dan tampan ini. Sama
sekali tak terduga olehnya bahwa Ciok Boh-thian tadi sebenarnya sudah terancam
elmaut.
Sebabnya sang kakek berubah
sikap adalah karena terkejut atas Lwekang Ciok Boh-thian yang luar biasa itu
dan sekali-kali bukan karena pemuda itu “gagah dan tampan”, padahal muka Ciok
Boh-thian meski tidak jelek, namun untuk dibilang tampan juga belum sesuai.
Begitulah dengan senang Ting
Tong lantas mengeluarkan dua cawan arak lagi dan menuangkan secawan untuk sang
kakek, secawan untuk Ciok Boh-thian, ia sendiri pun menuang secawan.
“Bagus, bagus! Jikalau A Tong
sudah penujui kau, tentu kau mempunyai asal usul yang tidak sembarangan. Nah,
coba katakan, siapa namamu?” demikian si kakek bertanya.
“Aku ... aku bernama ....”
sahut Ciok Boh-thian dengan tergagap. Sekarang dia sudah tahu bahwa
“Kau-cap-ceng” adalah kata-kata makian yang kotor, sudah tentu tidak boleh
diucapkan di depan seorang tua. Tapi selain itu sesungguhnya dia tiada punya
nama lain, maka sesudah mengucapkan, “Bernama ... bernama ....” ia tidak
sanggup menyambung pula.
Si kakek tampak kurang senang,
tegurnya, “Apakah kau tidak berani berkata terus terang kepada kakek?”
“Mengapa tidak berani?”
tiba-tiba Boh-thian menjawab dengan tegas. “Hanya saja namaku agak kurang enak
didengar. Aku ... bernama Kau-cap-ceng!”
Untuk sejenak si kakek tampak
melengak. Tapi mendadak ia bergelak tertawa terpingkal-pingkal, suara
tertawanya berkumandangan jauh, jenggotnya yang sudah putih semua itu sampai
terguncang-guncang.
“Hah, bagus, bagus, namamu
sungguh sangat baik,” kata si kakek sesudah berhenti tertawa. “Kau-cap-ceng!”
“Ya, kakek!” sahut Ciok
Boh-thian.
Seketika Ting Tong tersenyum
girang. Ia pandang sang kakek dan pandang pula Ciok Boh-thian. Sebabnya dia
merasa senang adalah karena Ciok Boh-thian secara spontan memanggil kakek
kepada kakeknya, malah waktu dipanggil dengan nama Kau-cap-ceng pemuda itu pun
menurut saja.
Nyata ia tidak tahu bahwa
sebenarnya Ciok Boh-thian itu memang bersama Kau-cap-ceng, pula pemuda itu
tidak tahu tata krama, bagaimana orang memanggil ia pun menirukan saja, si Ting
Tong memanggil kakek, maka ia pun menirukan memanggil kakek. Jadi rasa puas
Ting Tong dan kakek yaitu sebenarnya “salah wesel” belaka.
“A Tong,” si kakek berkata
pula, “apakah nama kakek sudah kau katakan kepada kekasihmu?”
Ting Tong menggeleng dengan
sikap malu-malu, jawabnya, “Tidak, belum kukatakan padanya.”
Mendadak si kakek menarik
muka, katanya, “Sebenarnya kau suka atau tidak padanya. Jika suka, mengapa asal
usul sendiri belum lagi diberitahukan padanya? Jikalau tidak suka mengapa kau
berani mencuri arak simpanan kakek untuk disuguhkan kepadanya, bahkan selama
beberapa malam berturut-turut kau mencuri arak Hian-peng-pek-hwe-ciu yang
merupakan jimat simpanan kakek itu dan dicekokkan kepada bocah ini?” Makin lama
makin keras suaranya, sampai akhirnya suaranya berubah menjadi bengis, ketika
menyebut nama Hian-peng-pek-hwe-ciu (arak api hijau inti es) bahkan sorot
matanya menjadi beringas. Ciok Boh-thian ikut-ikut kebat-kebit hatinya
menyaksikan demikian itu.
Namun Ting Tong lantas
menjatuhkan dirinya ke pangkuan si kakek sambil memohon, “O, Yaya, ternyata
engkau sudah mengetahui semuanya. Harap ampunilah A Tong.”
“Mengampuni A Tong? Hm, enak
saja bicara,” jengek si kakek. “Apakah kau tahu bahwa betapa mujarabnya
Hian-peng-pek-hwe-ciu itu, sekarang telah kau habiskan, untuk memperolehnya
apakah sedemikian mudahnya?”
“Ampun kakek,” pinta Ting
Tong. “Soalnya karena A Tong tidak tega menyaksikan dia tersiksa oleh penyakit
panas-dingin. Tiba-tiba A tong teringat kepada arak mustajab simpanan kakek
itu, maka secara sembrono telah mencurinya untuk diminumkan padanya. Ternyata
ada hasilnya sedikit, lalu berturut-turut kuminumkan dia lagi sehingga tanpa terasa
habis terminum. Baiklah kakek memberitahukan resep membuat arak itu padaku,
betapa pun A Tong pasti akan mengembalikan sebotol kepada kakek.”
Sesudah mendengarkan
percakapan kakek dan cucu perempuan itu barulah Ciok Boh-thian paham duduknya
perkara.
Kiranya sewaktu dirinya dalam
keadaan tak sadar ketika diserang penyakit panas-dingin tempo hari, secara
diam-diam Ting Tong telah mencuri dan mencekoki arak “Hian-peng-pek-hwe-ciu
yang merupakan milik kesayangan kakeknya. Rupanya kesembuhannya ini sebagian
adalah jasa si anak dara itu yang telah menolong jiwanya, sekarang terdengar si
kakek sedang marah-marah kepada anak dara itu maka ia lantas menyela, “Kakek,
jikalau arak itu telah diminumkan padaku, maka tanggung jawab mengembalikan
arak itu harus kupikul. Biarlah aku akan berdaya untuk mengembalikannya padamu.
Jika tidak dapat, terpaksa terserah kepada cara bagaimana kau akan ambil
tindakan padaku.”
“Bagus, bagus!” seru si kakek
dengan tertawa. “Jika demikian, soalnya menjadi agak lain. Eh, A Tong, mengapa
kau tidak memberi tahu padanya tentang asal usul dirimu sendiri?”
Ting Tong tampak serbasalah,
jawabnya, “Dia ... dia tidak pernah tanya padaku, maka aku pun tidak pernah
katakan padanya. Hendaklah kakek jangan sangsi, sama sekali tiada maksud
tertentu di dalam hal ini.”
“Tiada maksud tertentu?” si
kakek menegas. “Kukira toh tidak demikian halnya. Apa isi hatimu masakah kakek
tidak tahu? Tentunya kau sudah benar-benar menyukai dia dengan harapan bocah
ini akan mengambil kau sebagai istri, tapi kalau kau katakan nama dan asal
usulmu, hm, tentunya bocah ini akan kaget setengah mati. Sebab itulah kau
berusaha mengelabui dia sedapat mungkin. Hm, betul tidak dugaanku?”
Uraian si kakek benar-benar
tepat mengenai isi Ting Tong. Tapi kalau dia mengaku terus terang tentu sang
kakek akan gusar. Sebab ia tahu sang kakek adalah tokoh yang disegani,
ditakuti, dihormati, tapi juga dijauhi oleh setiap orang Bu-lim lantaran
kejahatannya yang merontokkan nyali siapa saja yang mendengarnya.
Tapi orang tua itu ingin
bersikap ramah dan suka padanya, asal orang memperlihatkan tanda takut atau
muak padanya, orang itu tentu akan segera dibunuh olehnya.
Begitulah Ting Tong menjadi
serbasusah. Kalau berdusta tentu akan makin membikin gusar sang kakek dan
membikin urusan menjadi runyam. Tapi kalau mengatakan terus terang nama dan
asal usul sang kakek sehingga benar-benar menakutkan kekasihnya, lalu melarikan
diri dan tak mau berkumpul lagi dengan dirinya, lantas bagaimana. Ia khawatir
dalam gusarnya sang kakek akan membinasakan sang kekasih, tapi ia pun khawatir
sang kekasih akan meninggalkannya, jika demikian tentu ia pun tak bisa hidup
sendirian lagi.
Akhirnya dengan suara
terputus-putus ia berkata, “Kakek aku ... aku ....”
“Hahaha! Kau khawatir kita
dipandang rendah oleh orang lain bukan?” demikian si kakek memotong. “Haha,
Ting-lothau sudah berumur selanjut ini, ternyata cucu perempuanku sendiri
sampai tidak berani menyebut nama kakeknya sendiri, bukan saja tidak merasa
bangga atas diri kakeknya, sebaliknya malah merasa malu bagi sang kakek. Haha,
sungguh lucu, hahahahaha!”
Ting Tong insaf bahaya sedang
mengancam. Ia tahu sang kakek sangat mementingkan arak “Hian-peng-pek-hwe-ciu,”
agaknya arak mestika itu menyangkut sesuatu urusan yang menentukan mati atau
hidupnya di kemudian hari. Sekarang dirinya telah mencuri arak itu untuk
menolong jiwa sang kekasih, tapi selama ini tidak berani menyebut nama
kakeknya. Sekarang orang tua itu bergelak tertawa sedemikian rupa, terang rasa
murkanya sudah mencapai puncaknya. Mau tak mau Ting Tong harus menempuh segala
risiko, dengan menggigit bibir akhirnya ia berkata, “Engkoh Thian, kakekku she
Ting.”
“Ya, sudah tentu! Kau she Ting,
dengan sendirinya kakekmu juga she Ting,” sela Boh-thian.
“Nama beliau bagian depan Put
dan bagian belakang Sam, nama julukannya ialah ... ialah ...
Ce-jit-put-ko-sam!” Ting Tong menyambung pula dengan tak lancar. Ia menyangka
dengan tersebutnya nama julukan sang kakek itu tentu Ciok Boh-thian akan
terperanjat. Sebab itulah dengan hati kebat-kebit ia telah pandang pemuda itu
dengan mata tak berkedip.
Tak terduga air muka Ciok
Boh-thian tenang-tenang saja, bahkan dengan tersenyum ia menjawab, “O, nama julukan
Yaya ternyata sangat enak didengar!”
Hati Ting Tong tergetar keras,
sekali ia bergirang. Tapi ia masih khawatir, segera ia menegas lagi, “Mengapa
kau bilang sangat enak didengar?”
“Aku pun tidak tahu sebabnya.
Aku hanya merasa nama itu enak didengar,” sahut Ciok Boh-thian.
Waktu Ting Tong melirik ke
arah sang kakek dilihatnya orang tua itu sedang mengelus jenggot dan tampak
sangat senang. Mendadak ia menepuk pula pundak Ciok Boh-thian, tapi sekali ini
adalah tepukan biasa tanpa tenaga dalam. Terdengar dia berkata dengan
manggut-manggut, “Orang hidup bisa mendapatkan seorang teman sepaham, maka
hidup ini tidaklah tersia-sia lagi. Orang lain kalau mendengar nama julukanku,
kalau orang itu berjiwa rendah tentu akan segera memuji dan menjilat padaku,
bila orang itu bernyali kecil tentu akan ketakutan setengah mati, ada juga
beberapa orang gila yang berani mencaci maki padaku. Hanya kau bocah ini sama
sekali tidak terpengaruh oleh nama julukanku, bahkan memuji namaku enak
didengar. Ehm, bagus, bagus! Untuk sikapmu ini kakek ingin memberi sesuatu
hadiah. Hadiah apa ya ... biarlah kupikir sebentar dulu.” Lalu ia duduk
berpeluk dengkul, sambil termenung-menung memandangi sang dewi malam yang menghias
di tengah cakrawala.
Supaya diketahui bahwa
“Ce-jit-put-ko-sam Ting Put-sam adalah seorang gembong, suatu iblis yang
memiliki ilmu silat mahatinggi di dunia persilatan, sifatnya aneh dan kejam
sedikit-sedikit suka membunuh orang. Kendati peraturan yang dia tetapkan
sendiri menyatakan setiap orang yang dibunuhnya takkan melampaui tiga orang,
tapi cobalah hitung, kalau satu hari tiga orang, sepuluh hari 30 orang dan 100
hari berarti 300 orang, maka selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa ribu
orang yang telah menjadi korbannya, celakanya orang-orang yang telah dibunuhnya
itu sering kali tidak sempat melihat mukanya dan tahu-tahu sudah dibinasakan
olehnya.
Misalnya kedua murid
Swat-san-pay, yaitu Sun Ban-lian dan Cu Ban-jing yang diceritakan di depan itu,
mereka juga mati konyol tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Beberapa tahun yang lalu dia
masih merahasiakan jejaknya, sehabis membunuh orang juga tidak pernah
meninggalkan nama sehingga Bu-lim jarang yang kenal namanya. Tapi paling
akhirnya ini mendadak ia sengaja menyiarkan namanya secara luas, cuma saja
orang yang pernah melihat mukanya dan dapat tetap hidup jumlahnya adalah sangat
sedikit.
Bagi Ciok Boh-thian yang sama
sekali tidak tahu seluk-beluk urusan Kangouw, biarpun nama Ting Put-sam itu
lebih tersohor lagi juga tiada arti baginya. Tapi dalam pandangan Ting Put-sam
sekarang, pemuda yang tidak jeri dan menjilat padanya ini adalah luar biasa,
terutama dengan perasaan yang tulus dan jujur pemuda itu telah menyatakan rasa
mesranya ketika mendengar nama julukan orang tua itu.
Sebagai seorang tua yang
berusia lebih dari 60 tahun, sudah tentu Ting Put-sam sangat kenal watak
manusia, setiap sikap manusia yang rendah dan palsu tentu susah mengelabui
matanya. Di dunia ini selain cucu perempuan kesayangannya itu boleh dikata
tiada orang kedua yang benar suka dan mencintainya, sekarang pemuda itu
ternyata juga sedemikian baik padanya sudah tentu hal ini sangat menyenangkan
hatinya.
Begitulah, sesudah
termenung-menung memandangi rembulan, akhirnya orang tua itu berkata, “Kakek
mempunyai tiga macam pusaka. Yang pertama adalah ‘Hiang-peng-pek-hwe-ciu’ yang
telah kau minum itu, tapi arak ini hanya sebagai pinjaman saja, kelak kau bayar
kembali, maka tak bisa dianggap sebagai pemberian. Pusaka kedua adalah ilmu
silat yang dimiliki kakek, kalau kau dapat mempelajarinya tentu akan sangat
besar manfaatnya. Tentang pusaka ketiga bukan lain adalah cucu perempuanku si A
Tong ini. Di antara dua pusaka ini hanya dapat kuberikan satu saja. Nah
Kau-cap-ceng, kau ingin belajar ilmu silat atau ingin mengambil si A Tong
saja?”
Seketika Ting Tong dan Ciok
Boh-thian melengak oleh karena pertanyaan itu.
Hati Ting Tong berdebar-debar
dengan hebatnya. Pikirnya, “Ilmu silat kakek boleh dikata tiada bandingannya di
dunia ini, walaupun kepandaian Engkoh Thian juga tidak lemah, tapi kalau
dibandingkan kakek sudah tentu bedanya terlalu jauh. Kalau dia dapat
mempelajari ilmu silat andalan kakek, selanjutnya namanya tentu akan lebih
disegani dan dapat malang melintang di dunia Kangouw. Dia adalah Pangcu dari
Tiang-lok-pang, kabarnya Pang mereka sedang menghadapi kesulitan yang sukar
diselesaikan, jika bisa mendapatkan ilmu silat kakek tentu akan besar
bantuannya bagi kesulitannya itu. Sebagai seorang lelaki, seorang kesatria, tentu
lebih mengutamakan ilmu silat daripada soal asmara.”
Ia coba melirik Ciok
Boh-thian, dilihatnya pemuda itu merasa bingung, terang sedang serbasulit
mengambil keputusan. Diam-diam hati Ting Tong mencelus.
Ia tahu tabiat sang kekasih
yang romantis, selama hidup entah sudah berapa banyak wanita yang telah
disukainya. Selama setengah tahun terakhir ini walaupun memperlihatkan tanda
cinta padanya, tapi dalam hati pemuda itu seorang Ting Tong mungkin hanya
seperti awan saja yang sebentar sudah akan buyar tertiup angin. Apalagi kakek
mempunyai nama buruk di dunia persilatan, meski nama Ciok Boh-thian dan
Tiang-lok-pang mereka juga tidak begitu harum tapi toh tidak sejahat kakek yang
telah membunuh orang tak terhitung jumlahnya. Dan kalau dia sudah tahu asal usulku
masakah dia sudi mengambil aku sebagai istrinya? Demikianlah pikiran Ting Tong
bergolak, air mata pun berlinang-linang.
Dalam pada itu Ting Put-sam
sudah lantas mendesak, “Hayo, lekas katakan, lekas! Pendeknya kau jangan coba
main gila bahwa sekarang kau ingin belajar ilmu silat lebih dulu kemudian akan
dapat memperistrikan A Tong pula, atau sekarang minta A Tong, lalu secara
diam-diam ingin belajar ilmu silatku. Biarlah kukatakan padamu, di dunia ini
tiada seorang pun yang bisa main gila pada Ting Put-sam. Kau hanya boleh pilih
satu di antara dua, kalau tidak jiwamu tentu akan melayang. Nah, lekas katakan,
lekas!”
“Yaya, engkau dan Ting-ting
Tong-tong telah salah mengenali orang, aku ... aku bukan ....”
“Aku tidak peduli kau ini
siapa, apakah kau anak anjing, anak setan atau anak kura-kura, semua aku tak
peduli,” demikian Ting Put-sam memotong sebelum Ciok Boh-thian menerangkan
lebih lanjut. “Aku pun tidak peduli apakah A Tong suka padamu atau tidak. Yang
terang adalah karena Ting Put-sam telah penujui kau, dan sekali Ting Put-sam
sudah penujui kau maka kau harus memilih satu di antara dua pusaka yang kusebut
tadi.”
Ciok Boh-thian menjadi
serbasalah, ia pandang si kakek dan pandang pula si anak dara. Pikirnya,
“Ting-ting Tong-tong ini telah salah menganggap diriku sebagai dia punya Engkoh
Thian, sedangkan itu Engkoh Thian yang tulen tidak lama lagi tentu akan
kembali, bukanlah dalam hal ini aku telah menipu si Ting Tong dan memalsukan
Engkoh Thian itu pula? Sebaliknya kalau aku menyatakan tidak mau si Ting Tong
dan pilih belajar ilmu silat saja, hal ini tentu akan melukai hati si Ting
Tong. Ah, lebih baik tidak mau dua-duanya saja.”
Maka ia lantas menggeleng
kepala dan berkata, “Yaya, aku telah minum kau punya Hian-peng-pek-hwe-ciu dan
seketika tak dapat kubayar kembali padamu, maka bolehlah dianggap sebagai salah
satu pusaka pemberianmu saja.”
“Tidak, tidak boleh jadi,”
sahut Ting Put-sam dengan muka masam. “Sudah kukatakan tadi
Hian-peng-pek-hwe-ciu itu hanya dipinjamkan saja dan kelak harus kau bayar
kembali. Biar kau hendak mengangkangi juga tak bisa. Nah, kau sudah pilih
dengan baik belum? Ingin ambil A Tong atau pilih ilmu silat?”
Ciok Boh-thian memandang
sekejap ke arah Ting Tong, kebetulan anak dara itu pun sedang melirik padanya.
Sinar mata kedua orang terbentur, cepat keduanya melengos lagi.
Wajah Ting Tong tampak pucat,
air matanya berlinang-linang, kalau menuruti adatnya, kalau dia tidak lantas
menjewer telinga Ciok Boh-thian, tentu akan ditinggal pergi dengan marah-marah.
Tapi di hadapan sang kakek sekarang sedikit pun ia tidak berani main garang,
sudah tentu perasaannya sangat tertekan.
Sekilas melihat air mata Ting
Tong yang berlinang-linang itu, hati Ciok Boh-thian menjadi tidak tega. Segera
ia berkata dengan suara halus, “Ting Ting Tong Tong, dengarkanlah keteranganku
ini, kau sesungguhnya telah salah mengenal diriku. Jika aku benar-benar adalah
kau punya Engkoh Thian masakah aku masih ragu-ragu untuk memilihnya? Sudah
tentu aku akan memilih dirimu dan tidak sudi pilih ilmu silat segala.”
Air mata Ting Tong masih
bercucuran, namun mulutnya sudah mengulum senyum, katanya, “Kau bukan Engkoh
Thian? Habis di dunia ini apakah masih ada Engkoh Thian yang kedua?”
“Ya, boleh jadi mukaku agak
mirip dengan Engkoh Thian-mu itu,” ujar Boh-thian.
“Kau masih tidak mengaku?”
Ting Tong menegas dengan tertawa. “Baiklah, ingin kutanya padamu sekarang. Pada
permulaan tahun ini, waktu kita baru mulai kenal, secara kasar kau telah pegang
tanganku, maka kontan aku lantas pukul kau, betul tidak?”
Boh-thian tidak menjawab, tapi
dengan ketolol-tololan ia pandang si anak dara dengan melenggong.
Wajah Ting Tong tampak
mengunjuk rasa kurang senang lagi, katanya pula, “Apakah kau benar-benar sudah
melupakan segala kejadian dahulu setelah menderita sakit payah atau cuma
pura-pura saja dan berlagak bodoh?”
Boh-thian garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, sahutnya, “Sudah terang kau telah salah mengenali
diriku. Dari mana aku tahu apa yang terjadi antara kau dengan Ciok-pangcu itu?”
“Hm, apakah kau kira dapat
menyangkal lagi,” kata Ting Tong pula, “Waktu itu kau telah pegang kedua
tanganku, aku menjadi kelabakan, lebih-lebih ketika dengan cengar-cengir kau
hendak ... hendak mencium aku. Cepat aku melengos dan menggigit sekali di atas
pundakmu sehingga darah bercucuran, karena kesakitan barulah kau melepaskan
aku. Sekarang boleh coba bu ... buka bajumu, bukankah di atas pundak kirimu
masih ada bekas luka gigitan itu? Andaikan aku memang salah mengenali orang,
betapa pun bekas luka itu tak dapat kau hapus.”
“Ya, kau tidak pernah
menggigit aku, dengan sendirinya di atas pundak tak ada bekas luka itu,” sambil
berkata Boh-thian lantas menyingkap bajunya sehingga kelihatan pundaknya, tapi
mendadak ia menjerit kaget, “He, sungguh aneh, mana bisa jadi?”
Ternyata dengan terang dan
gamblang ketiga orang dapat melihat dengan jelas bahwa di atas pundak pemuda
itu benar-benar terdapat bekas luka gigitan. Bekas luka itu sudah menjadi
belang yang menonjol dan terang adalah gigitan mulut orang.
“Nah, apa katamu sekarang? Apa
kau berani menyangkal lagi?” jengek Ting Put-sam.
“Biarlah kukatakan padamu,
orang yang sering naik gunung pada akhirnya tentu ketemu harimau. Kau suka main
gila akhirnya tentu kecantol salah satu wanita dan susah melepaskan diri. Dalam
hal demikian kakek juga pernah ditipu orang di waktu masih muda. Sudahlah, jadi
jelasnya yang kau pilih adalah A Tong, bukan?”
Namun Ciok Boh-thian sedang
terheran-heran, ia tidak ingat bilakah pundaknya pernah digigit orang? Kalau
melihat bekas luka itu, terang gigitan itu sangat parah, luka sedemikian itu
masakah dapat dilupakan? Selama beberapa hari ini dia telah banyak mengalami
kejadian-kejadian aneh, untuk semua ini ia dapat memecahkan persoalannya dengan
alasan “salah mengenali orang” dan hanya bekas luka gigitan inilah yang
benar-benar susah dimengerti.
Melihat pemuda itu
termangu-mangu dan tidak menjawab pertanyaannya, air mukanya tampak aneh
sekali, diam-diam Ting Put-sam mengira pemuda itu merasa malu dan tidak berani
mengaku terus terang isi hatinya. Maka ia lantas berkata dengan tertawa,
“Baiklah, A Tong, hayo, dayung perahu dan pulang!”
Ting Tong terkejut dan
bergirang pula, serunya, “Yaya, apa engkau maksudkan membawa dia pulang ke
rumah kita?”
“Dia adalah cucu menantuku,
mengapa tidak membawanya pulang?” sahut Ting Put-sam. “Jangan-jangan sedikit
lena nanti dia terus kabur, kan urusan bisa runyam dan ke mana muka Ting
Put-sam harus ditaruh?”
Dengan muka berseri-seri Ting
Tong pelototi sekali pada Ciok Boh-thian, mendadak mukanya menjadi merah, cepat
dia angkat galah dan menolak perahunya ke depan Sesudah menyusuri kolong
jembatan, perahu itu lantas meluncur dengan lajunya.
“Ke rumahmu?” demikian
mestinya Ciok Boh-thian ingin bertanya. Tapi di dalam benaknya sesungguhnya
terlalu banyak tanda tanya, maka ucapan yang hampir dicetuskan itu telah
ditelannya kembali.
Di tengah malam yang sunyi
perahu itu menyusur sungai di bawah dahan-dahan pohon Yangliu yang lemas
gemulai menjulur ke tengah sungai sehingga terkadang mengeluarkan suara
gemeresik karena sentuhan badan perahu dengan dahan-dahan itu. Sayup-sayup
hidung Boh-thian mengendus bau harum bunga, hampir ia tidak sadar lagi di mana
ia berada.
Beberapa kali perahu itu
menerobos kolong jembatan, jalanan air itu pun berliku-liku. Agak lama juga akhirnya
sampailah mereka di tepi pekarangan rumah yang berundakan batu
bertingkat-tingkat dan menurun ke tepi sungai.
Ting Tong menambat perahunya
di sebuah cagak kayu, ia tersenyum kepada Ciok Boh-thian dan mendahului
melompat ke undak-undakan batu.
“Hari ini kau adalah tamu
sanjungan kami, mari, mari!” kata Ting Put-sam dengan tertawa.
Boh-thian tidak tahu cara
bagaimana harus menjawab. Dengan linglung ia ikut belakang Ting Tong menyusur
sebuah jalan batu yang rata, sesudah menembus sebuah pintu bundar lalu
melintasi sebuah taman bunga, kemudian mereka sampai di sebuah gardu
pemandangan.
“Silakan duduk, tamu
sanjungan!” kata Ting Put-sam dengan tertawa sesudah masuk ke dalam gardu itu.
Boh-thian tidak paham apa
maksudnya “tamu sanjungan”, karena disilakan duduk, maka ia pun berduduk. Ting
Put-sam sendiri lantas membawa cucu perempuannya meninggalkan taman bunga dan
masuk ke rumah di sebelah sana.
Saat itu sang dewi malam sudah
mendoyong ke sebelah barat, suasana sunyi senyap, angin meniup silir-silir.
Sambil meraba bekas luka di atas pundaknya Ciok Boh-thian merasa serbabingung.
Agak lama kemudian
terdengarlah suara orang mendatangi, dua wanita setengah umur muncul di depan
gardu itu, mereka memberi hormat dan berkata dengan tersenyum, “Silakan
Sin-koa-lang (pengantin baru) berganti pakaian ke ruangan dalam.”
Sudah tentu Ciok Boh-thian
tidak paham apa maksud mereka, ia menduga dirinya diundang ke ruangan dalam
sana, maka ia lantas ikut kedua wanita itu. Sesudah lewat di sebuah kolam bunga
teratai, menyusur pula sebuah serambi panjang, akhirnya ia sampai di sebuah
kamar samping. Di dalam kamar sudah tersedia sebuah baskom besar dengan air
hangat, di samping tertaruh dua helai handuk.
“Silakan Sin-koa-lang mencuci
badan,” demikian kata salah seorang wanita tadi. “Kata Loyacu (tuan besar)
waktunya sudah sangat mendesak sehingga tidak sempat menyediakan pakaian baru,
terpaksa Sin-koa-lang diminta tetap menggunakan pakaian sendiri yang terpakai
sekarang ini.”
Lalu dengan mengikik tawa
kedua wanita itu mengundurkan diri sambil menutupkan pintu kamar.
Boh-thian bertambah bingung,
pikirnya, “Sudah terang aku bernama Kau-cap-ceng, mengapa sebentar aku dianggap
sebagai Ciok-pangcu, sebentar lagi berubah menjadi Engkoh Thian, dan sekarang
aku dipanggil sebagai ‘Sin-koa-lang’ apa segala?”
Ia pikir toh sudah datang,
tampaknya Ting Put-sam dan Ting Tong juga tiada bermaksud jahat padanya, maka
tanpa pikir lagi segera ia mencuci badan dengan air hangat berbau harum yang
tersedia itu. Habis mandi, ia merasa semangatnya menjadi segar.
Baru saja ia selesai
berpakaian kembali, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berseru di luar
pintu, “Silakan Sin-koa-lang ke ruangan tengah untuk sembahyang Thian!”
Boh-thian terkejut. Ia paham
tentang “sembahyang Thian” berikutnya ia menjadi teringat juga tentang sebutan
“Sin-koa-lang” itu. Sewaktu kecil pernah ia mendengar cerita ibunya tentang
pengantin lelaki dan pengantin wanita bersembahyang kepada Thian. Maka sesaat
itu ia menjadi melengong saja.
Dalam pada itu lelaki di luar
tadi sedang bertanya pula, “Apakah Sin-koa-lang sudah selesai berpakaian?”
Terpaksa Boh-thian mengiakan.
Lalu masuklah orang itu, tampak bicara lagi lelaki itu lantas menyampirkan
sehelai kain merah di atas leher Ciok Boh-thian, sebuah bunga kain sutra merah
disematkan pula di dadanya. Lalu katanya, “Kionghi! Kionghi!”
Segera ia gandeng tangan
Boh-thian dan diajak keluar.
Dengan rasa bingung Boh-thian
tahunya cuma ikut saja. Setibanya di ruangan besar, tertampaklah delapan lilin
besar telah dinyalakan terletak di atas sebuah meja besar dengan Toh-wi (tirai
meja) merah bersulam indah yang terdapat di tengah-tengah ruangan.
Kelihatan Ting Put-sam berdiri
di sisi meja besar itu dengan senyum berseri-seri. Dan begitu Ciok Boh-thian
melangkah masuk, serentak tiga orang lelaki di samping ruangan sana lantas
membunyikan seruling.
Lelaki yang menggandeng
Boh-thian tadi lantas berseru, “Silakan pengantin perempuan keluar!”
Maka terdengarlah suara
kerincing-kerincing dan keriang-keriut, dari belakang keluarlah kedua orang
wanita pertama tadi dengan memapah seorang gadis berbaju ungu mudah berkerudung
kain sutra merah. Dilihat bangun tubuhnya terang itulah si Ting Tong.
Ketiga wanita itu lantas
berdiri di sisi kiri Ciok Boh-thian. Sayup-sayup pemuda itu mendengus bau harum
yang meresap. Hatinya menjadi bimbang, takut tapi juga girang.
“Menyembah kepada Thian
(langit)!” seru pula lelaki tadi selaku protokol.
Segera Boh-thian melihat Ting
Tong berlutut ke arah meja dan perlahan-lahan mulai menyembah.
Sudah tentu ia tidak tahu apa
yang harus diperbuatnya. Untunglah si lelaki tadi telah membisikinya, “Lekas
berlutut dan menyembah!”
Karena punggungnya didorong
perlahan pula dari belakang, terpaksa Boh-thian berlutut dan menyembah beberapa
kali secara ngawur. Melihat kelakuannya yang lucu itu, salah seorang wanita
pengiring pengantin perempuan itu sampai tertawa geli.
“Menyembah kepada bumi!” si
protokol berseru lagi.
Segera Boh-thian dan Ting Tong
membalik tubuh dan menyembah ke arah ruangan dalam.
“Menyembah kakek!” seru pula
protokol.
Ting Put-sam lantas siap di
tengah, lebih dulu Ting Tong menyembah, dengan agak ragu-ragu Boh-thian juga
menyembah.
“Suami istri saling
menyembah!” teriak si protokol.
Melihat si Ting Tong telah
miringkan tubuh dan berlutut ke arahnya, seketika otak Boh-thian berubah
terang. Mendadak ia berseru, “He, Ting-ting Tong-tong! He Yaya! Aku
sungguh-sungguh bukan Ciok-Pangcu dan bukan kau punya Engkoh Thian apa segala.
Kalian telah salah mengenali diriku, kelak ... kelak kalian jangan menyalahkan
aku, lho!”
Ting Put-sam terbahak-bahak,
katanya, “Anak dungu, dalam keadaan begini masih bicara hal demikian? Tidak,
tidak akan menyalahkan kau!”
“He, Ting-ting Tong-tong! Kita
harus bicara di muka, lho! Kita sembahyang Thian ini hanya main-main saja atau
sungguhan?” seru Ciok Boh-thian pula.
Dari balik kerudung muka Ting
Tong menjawab dengan tertawa, “Sudah tentu sungguhan, urusan demikian masakah
... masakah boleh main-main?”
“Tapi ... tapi kau yang salah
mengenali orang, aku ... aku tak mau tanggung, lho! Jangan-jangan kelak kau
menjadi menyesal dan ... dan akan menjewer kupingku dan menggigit pundakku
lagi, ini ... ini tidak boleh, ya?”
Seketika para hadirin
tercengang. Ting Tong juga mengikik geli. Sahutnya dengan suara rendah, “Tidak,
aku takkan menyesal, asal kau selalu baik padaku, tentu aku takkan ... takkan
menjewer kau lagi.”
Sebaliknya Ting Put-sam lantas
berseru, “Dijewer bini adalah sesuatu yang lumrah, kenapa mesti digegerkan?
Nah, Kau-cap-ceng, sudah sekian lamanya A Tong berlutut padamu mengapa kau
tidak lekas membalas hormat?”
“Ya, ya,” cepat Boh-thian
menjawab. Dan segera ia pun berlutut dan saling menyembah dengan Ting Tong.
Protokol lantas berteriak
lagi, “Upacara selesai, silakan sepasang pengantin baru masuk kamar. Semoga
hidup bahagia, panjang umur, keturunan subur!”
Seketika suara seruling
berbunyi pula. Lalu sepasang pengantin diiringkan ke dalam kamar baru. Kamar
ini jauh lebih kecil daripada kamar Ciok Boh-thian di markas Tiang-lok-pang
itu, perabotnya juga sederhana, hanya penerangan lilin lebih semarak, di dalam
kamar penuh pajangan-pajangan kain merah dan benda-benda lain yang menambah
suasana bahagia.
Sesudah menundukkan Ting Tong
dan Ciok Boh-thian di pinggir ranjang, beberapa pengiring pengantin itu
menuangkan dua cawan arak dan ditaruh di atas meja, kata mereka bersama,
“Kionghi dan selamatlah sepasang pengantin baru, silakan saling tukar minum
secawan arak ini!”
Lalu dengan tertawa
terkekeh-kekeh mereka mengundurkan diri sambil merapatkan pintu kamar.
Hati Ciok Boh-thian menjadi
berdebar-debar. Meskipun ia masih hijau dan sama sekali tidak paham kehidupan
manusia umumnya, tapi ia pun insaf bahwa dengan upacara tadi, maka dirinya dan
si Ting Tong telah menjadi suami istri. Ia lihat Ting Tong berduduk dengan diam
saja di sebelahnya, kepalanya masih berkerudung kain sutra merah.
Jilid 13
Karena sampai sekian lamanya
anak dara itu masih tidak bergerak akhirnya Boh-thian bicara mengada-ada, “Eh,
Ting-ting Tong-tong, kau memakai kerudung itu, apakah tidak merasa gerah?”
“Sudah tentu gerah sekali,
hendaklah kau menyingkapnya saja,” sahut Ting Tong dengan tertawa.
Maka dengan jari Ciok
Boh-thian lantas memegang ujung kain kerudung dan perlahan-lahan menyingkapnya.
Di bawah cahaya lilin
tertampaklah wajah si Ting Tong yang cantik molek. Girang dan berdebar-debar
hati Ciok Boh-thian, dengan mata tak berkedip ia memandangi nona itu, katanya,
“Kau ... kau sungguh cantik.”
Ting Tong tersenyum manis,
pipi kirinya kelihatan sebuah dekik kecil, perlahan-lahan ia menunduk dengan
malu-malu.
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara Ting Put-sam di luar kamar, kedengaran sedang berkata di tempat
yang agak tinggi, “Malam ini adalah malam pengantin cucu perempuanku entah
kawan dari manakah itu yang datang silakan turun kemari sekadar minum secawan.”
Lalu di tempat yang tinggi
sebelah sana ada orang menjawab, “Pwe Hay-ciok, pengabdi Tiang-lok-pang, dengan
jalan menyampaikan salam hormat kepada Ting-samya, harap maaf atas kelancangan
kami membikin ribut ke sini malam-malam begini.”
“O, kiranya Pwe-siansing yang
telah datang,” bisik Ciok Boh-thian di dalam kamar.
Alis Ting Tong tampak
terkerut, ia mendesis agar pemuda itu jangan bicara.
Maka terdengarlah Ting Put-sam
sedang bergelak tertawa, katanya, “Eh, kukira kawan tukang gerayang dari mana,
tak tahunya adalah orang dari Tiang-lok-pang. Kalian ingin minum arak pengantin
atau tidak? Janganlah bergembar-gembor sehingga mengganggu cucu perempuanku dan
menantu cucuku itu.”
Pwe Hay-ciok ternyata sangat
sabar menghadapi ucapan yang kasar itu, ia terbatuk beberapa kali, lalu
berkata, “Kiranya hari ini adalah hari nikah cucu perempuan Ting-samya, maafkan
kedatangan kami yang sembrono ini sehingga tiada membawa kado apa-apa, lain
hari tentu kami akan datang pula memberi selamat dan minta minum arak
pengantin. Sekarang Pang kami sedang menghadapi sesuatu urusan genting dan
harus bertemu sendiri dengan Ciok-pangcu kami, maka mohon Ting-samya sudi
pertemukan kami kepada beliau, untuk mana sebelumnya kami mengucapkan terima
kasih. Sesungguhnya kalau tiada urusan penting, biarpun nyali kami sebesar
langit juga kami tidak berani sembarangan menerobos ke tempat kediaman
Ting-samya ini.”
“Pwe-tayhu, kau juga seorang
tokoh di dunia Kangouw dan tidak perlu main sungkan-sungkan kepadaku,” sahut
Ting Put-sam. “Apa yang kau sebut sebagai Ciok-pangcu adalah cucu menantuku
Kau-cap-ceng ini bukan? Tapi dia bilang kalian telah salah mengenali dia, maka
tidak ingin bertemu dengan kalian.”
Orang-orang yang datang
bersama Pwe Hay-ciok itu seluruhnya adalah delapan jago utama Tiang-lok-pang.
Demi mendengar Ting Put-sam memaki Pangcu mereka sebagai “Kau-cap-ceng” atau
anak anjing, seketika beberapa orang di antaranya mengeluarkan suara geraman,
kalau bisa mereka ingin melabrak orang she Ting itu.
Tapi Pwe Hay-ciok sendiri
pernah mendengar Ciok Boh-thian mengaku bernama Kau-cap-ceng, maka ia anggap
apa yang diucapkan Ting Put-sam itu tiada bermaksud menghina sang Pangcu. Ia
pun kenal tabiat sang pangcu yang bangor, boleh dikata seorang bajul buntung,
ke mana pun pergi suka main perempuan, bermalam di tempat “Ca-bo-keng” (rumah
perempuan) adalah soal biasa baginya. Tapi sekarang mendengar bahwa sang Pangcu
telah diambil sebagai cucu menantu oleh iblis tua Ting Put-sam, mau tak mau
hati Pwe Hay-ciok menjadi ragu-ragu dan khawatir. Ia pikir kejadian ini tentu
akan membawa akibat buruk di kemudian hari, lebih celaka lagi kalau sampai
bermusuhan dengan tokoh-tokoh sebagai Ting Put-sam dan Ting Put-si bersaudara
ini.
Maka ia lantas berkata,
“Ting-samya, urusan Pang kami ini sesungguhnya sangat genting dan harus segera
dimintakan petunjuk Pangcu. Dalam hal Pangcu kami suka bicara main-main atau
berkelakar adalah lazim saja.”
Mendengar ucapan Pwe Hay-ciok
itu, agaknya sangat khawatir dan gelisah, Ciok Boh-thian menjadi teringat
kepada pertolongan dan perhatian tabib itu ketika dirinya dirangsang oleh
derita penyakit panas dingin tempo hari, maka ia menjadi tidak tega membiarkan
dia gelisah sedemikian rupa, segera ia membuka jendela dan berseru,
“Pwe-siansing, aku berada di sini! Apa kalian mencari aku?”
Pwe Hay-ciok sangat girang,
cepat jawabnya, “Ya, betul! Siokhe ada urusan penting yang harus segera
dilaporkan kepada Pangcu.”
“Aku adalah Kau-cap-ceng dan
bukan Pangcu kalian apa segala,” ujar Boh-thian. “Jika kau ingin mencari diriku
sih memang sudah ketemu, tapi bila ingin mencari Pangcu, terang kau telah
keliru alamat.”
Pwe Hay-ciok menjadi
serbasusah, tapi lantas dijawabnya, “Ah, Pangcu suka bergurau lagi. Silakan
Pangcu suka keluar sebentar agar kita bisa bicara lebih jelas.”
“Kau minta aku keluar?”
Boh-thian menegas.
“Ya, Pangcu,” sahut Pwe
Hay-ciok.
Tiba-tiba Ting Tong telah
tarik-tarik lengan baju Ciok Boh-thian dan membisikinya, “Engkoh Thian,
janganlah keluar!”
“Biar aku bicara sebentar saja
dengan dia, segera aku akan kembali,” sahut si pemuda. Lalu ia melompat keluar
melalui jendela.
Maka tertampaklah di atas
pagar tembok pekarangan sebelah barat berdiri Pwe Hay-ciok, di atas wuwungan di
belakangnya terdapat pula beberapa orang lagi. Sebaliknya di atas dahan pohon
besar yang berada di sebelah timur pekarangan itu berduduk satu orang, ialah
Ting Put-sam.
“Pwe-tayhu, kau ingin bicara
dengan cucu menantuku, aku ikut mendengarkan, boleh tidak?” tiba-tiba Ting
Put-sam bertanya.
Tentu saja Pwe Hay-ciok susah
menjawab. Padahal Ting Put-sam sendiri sebagai seorang angkatan tua harus tahu
peraturan Kangouw, urusan penting dan rahasia golongan lain adalah tidak pantas
orang lain ikut-ikut mendengarkan, nyata tingkah laku iblis ini memang aneh
sebagaimana disohorkan oleh orang Kangouw, demikian pikir Pwe Hay-ciok.
Kemudian ia menjawab, “Urusan ini Cayhe tidak berani menjawab, Pangcu sendiri
berada di sini, segala apa sudah seharusnya diputuskan oleh beliau.”
“Bagus, bagus! Segala urusan
telah kau timpakan kepada cucu menantuku,” kata Ting Put-sam. “Hai,
Kau-cap-ceng, Pwe-tayhu ingin bicara dengan kau aku pun ingin ikut
mendengarkan.”
“Apa halangannya jika Yaya
ingin ikut mendengarkan,” sahut Ciok Boh-thian.
“Hahaha! Bagus, bagus! Anak
baik, cucu berbakti!” seru Ting Put-sam dengan tertawa. “Nah Pwe-tayhu, kalau
ingin bicara lekaslah mulai. Maklum, waktu sangat berharga, apalagi, di malam
pengantin cucu perempuanku ini kau sengaja datang membikin kacau, benar-benar
runyam.”
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak
menduga Ciok Boh-thian akan mengizinkan permintaan Ting Put-sam tadi, tapi apa
daya hanya dalam hati saja ia merasa kurang senang. Lalu ia mulai berkata,
“Pangcu, di markas telah mendapat kunjungan tamu dari Swat-san-pay.”
“Swat-san-pay?” Boh-thian
manggut-manggut. “Apa barangkali nona Hoa Ban-ci dan kawan-kawannya?”
Banyak sekali golongan dan
aliran di dunia persilatan, tapi yang dikenal Ciok Boh-thian hanya Swat-san-pay
saja dan di antara orang-orang Swat-san-pay itu hanya dikenalnya Hoa Ban-ci
seorang, sebab itulah ia lantas menyebut namanya.
“Nona Hoa juga terdapat di
antara tamu-tamu itu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Selain itu masih ada pula beberapa
orang di bawah pimpinan ‘Gi-han-se-pak’ Pek ....” sampai di sini ia lantas
berhenti dan dengan penuh perhatian ia memandang air muka sang Pangcu.
Di bawah cahaya bulan dapat
dilihat jelas ketika mendengar sebutan “Gi-han-se-pak”, sama sekali air muka
Ciok Boh-thian tiada reaksi apa-apa. Maka lega dan tenteramlah hati Hay-ciok.
Dari sikap sang Pangcu yang
tenang-tenang itu, ia yakin sang Pangcu tentu sudah mempunyai kepandaian yang
lebih unggul untuk menghadapi orang-orang Swat-san-pay, dan apa yang dituduhkan
pihak lawan itu hanya omong kosong belaka.
Maka ia lantas menyambung
pula, “Tampaknya orang-orang Swat-san-pay yang datang itu adalah jago-jago
pilihan semua.”
“Sekalipun si tua bangka Pek
Cu-cay yang datang sendiri juga bisa apa?” tiba-tiba Ting Put-sam menyela.
“Pwe-tayhu, kabarnya kau punya ‘Ngo-heng-liok-hap-ciang’ sangat lihai, mengapa
kedatangan seorang bocah seperti Pek Ban-kiam saja kau sudah gugup?”
Mendengar orang memuji
pukulannya, mau tak mau Pwe Hay-ciok menjadi senang. Dengan tersenyum ia
menjawab, “Sedikit kepandaianku ini masakah ada harganya untuk disebut-sebut.
Tiang-lok-pang kami meski suatu organisasi kecil juga tidak pernah takut kepada
golongan dan aliran mana pun juga di dunia persilatan ini. Soalnya selama ini kami
toh tiada percekcokan apa-apa dengan Swat-san-pay, tapi kedatangan
Gi-han-se-pak ini tampaknya sangat garang dan ingin segera bertemu dengan
Pangcu, kami minta dia suka menunggu sampai besok juga telah ditolak, maka
teranglah dalam urusan ini ada sesuatu hal yang agak luar biasa, dan kami perlu
minta petunjuk kepada Pangcu.”
“Kemarin nona Hoa itu telah
ditawan oleh Tan-hiangcu dan pagi tadi dia telah kita lepaskan,” demikian kata
Boh-thian. “Apa barangkali orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah karena
kejadian ini?”
“Mungkin ada sedikit hubungan
dengan kejadian itu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Tapi Siokhe sudah minta keterangan
kepada Tan-hiangcu, katanya Pangcu bersikap sangat ramah kepada nona Hoa,
bahkan seujung rambutnya juga tak disentuh, kesalahannya berani kasak-kusuk ke
dalam markas kita juga tak diusut, hal ini boleh dikata telah memberi muka
kepada orang-orang Swat-san-pay. Kalau melihat sikap Gi-han-se-pak yang garang
itu, agaknya kedatangan mereka adalah untuk urusan lain.”
“Habis apa yang kau kehendaki
dariku?” tanya Boh-thian.
“Itulah terserah kepada
perintah Pangcu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Jika Pangcu ingin cara halus, maka kami
akan segera kembali dan memberi sedikit petuah kepada mereka. Sebaliknya kalau
Pangcu bilang pakai kekerasan, maka kita lantas hajar mereka hingga kocar-kacir
agar mereka kapok dan tidak berani sembarangan main gila dengan Tiang-lok-pang.
Atau boleh juga Pangcu sendiri coba melihat-lihat ke sana dan bertindak menurut
gelagat, jalan ini pun baik juga.”
Berada sendirian di dalam
kamar bersama Ting Tong tadi memangnya Ciok Boh-thian lagi merasa bingung, ia
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sesudah masuk di dalam kamar pengantin
itu. Ia merasa dirinya bukanlah Ciok-pangcu tulen, tentang pengantinan itu
akibatnya kelak tentu akan membikin susah, untung Pwe Hay-ciok sekarang datang,
kesempatan ini dapat dibuat alasan untuk meloloskan diri. Maka ia lantas
berkata, “Jika demikian, baiklah aku akan pulang untuk melihatnya, mungkin ada
salah paham di pihak mereka dan aku akan bicara secara terus terang kepada
mereka,” lalu ia berpaling dan berkata pula, “Yaya, Ting-ting Tong-tong! Aku
akan pergi dulu, ya!”
Ting Put-sam garuk-garuk
kepala, katanya, “Wah, cara, demikian kurang baik. Kalau bocah-bocah kaum Swat-san-pay
itu yang datang mengacau, biarlah aku saja yang pergi membereskan mereka. Toh
aku memang sudah pernah membunuh dua orang murid mereka dan memang sudah
mengikat permusuhan dengan si tua bangka she Pek, bagaimana kalau sekarang
harus aku membunuh lagi beberapa orang mereka, maka utang piutang ini akan sama
saja cara memperhitungkannya kelak.”
Tentang terbunuhnya Sun
Ban-lian dan Cu Ban-jing oleh Ting Put-sam, karena hal ini menyangkut
kehormatan Swat-san-pay, maka telah dirahasiakan, kecuali Ciok Jing suami istri
yang telah diberi tahu.
Pwe Hay-ciok sendiri merasa
tidak enak kalau Ting Put-sam ikut campur dalam urusan ini sehingga akan makin
mempertajam pertentangan dengan Swat-san-pay yang luas pengaruhnya di dunia
persilatan itu. Maka ia lantas berkata, “Jika Pangcu sendiri ingin pulang untuk
menemui orang Swat-san-pay, sudah tentu jalan ini adalah paling baik. Dari itu
urusan kecil Pang kami ini tidak perlu sampai membikin urusan ini tentu akan
berkunjung lagi kemari.”
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak
menyinggung tentang arak pengantin segala, sebab ia berharap sesudah pulang di
markas Tiang-lok-pang nanti akan dapat membujuk sang Pangcu agar membatalkan
maksudnya berbesanan dengan keluarga Ting itu.
Tak terduga Ting Put sam
lantas berkata, “Ngaco-belo, kalau aku sudah mengatakan akan pergi, maka sudah
pasti aku akan pergi. Pendek kata urusan Tiang-lok-pang ini, aku Ting-losam
sudah pasti akan ikut campur.”
Setelah mengikuti percakapan
di luar itu, Ting Tong menduga sebabnya orang-orang Swat-san-pay mendatangi
markas Tiang-lok-pang tentu adalah gara-gara perbuatan kekasihnya yang bersifat
bajul buntung ini, mungkin karena Hoa Ban-ci dari Swat-san-pay itu bermuka
cantik, maka telah diganggunya dan bukan mustahil sudah dipaksa secara kasar.
Padahal saat ini adalah malam pengantin baru mereka, tapi Ciok Boh-thian
ternyata hendak pulang untuk menemui Hoa Ban-ci tanpa memedulikan dirinya,
keruan Ting Tong sangat mendongkol. Maka tanpa pikir lagi segera ia melompat ke
luar dan berseru, “Yaya, jikalau Engkoh Thian ada urusan penting dan harus
pulang segera, walaupun berat juga terpaksa kita tak dapat merintanginya. Biar
begini saja, kita kakek dan cucu berdua juga ikut Engkoh Thian ke sana untuk
melihat tokoh-tokoh macam apakah dari Swat-san-pay yang datang itu.”
Meski Ciok Boh-thian ingin
menghindari kesukaran di dalam kamar pengantin, tapi sesungguhnya ia pun merasa
berat untuk berpisah dengan Ting Tong, kini mendengar nona itu mau ikut pulang
padanya, ia menjadi girang dan segera menanggapi, “Bagus, bagus! Ting-ting
Tong-tong, marilah kita berangkat. Yaya, marilah engkau pun ikut.”
Sekali sang Pangcu sudah
berkata demikian, terpaksa Pwe Hay-ciok tak dapat bicara lain lagi.
Beramai-ramai mereka lantas menuju ke tepi sungai dan naik ke atas perahu besar
milik orang-orang Tiang-lok-pang dan segera mereka berlayar pulang ke markas.
Diam-diam Pwe Hay-ciok
mengisiki Ciok Boh-thian, “Pangcu, hendaklah kau minta kepada Ting-samya agar
jangan ikut turun tangan dan membunuh orang Swat-san-pay, tiada gunanya banyak
mengikat permusuhan, sedapat mungkin kita harus menyelesaikan setiap persoalan
secara damai.”
“Benar, tanpa sebab mana boleh
sembarang membunuh orang, kan orang jahat namanya jika suka membunuh orang?”
sahut Boh-thian.
Pwe Hay-ciok sampai melongo
sendiri mendengar jawaban Ciok Boh-thian itu. Katanya di dalam hati, “Kau
sendiri mengapa mendadak bicara seperti seorang mahaalim? Sungguh aneh!”
Setiba di markas
Tiang-lok-pang, segera Ting Tong berkata, “Engkoh Thian, biar aku mengganti
pakaian kaum lelaki ke kamarmu, lalu ikut bersama kau untuk menemui nona Hoa
yang cantik molek itu.”
Sebagai pemuda yang masih
hijau, Ciok Boh-thian merasa tertarik akan permainan si Ting Tong itu, jawabnya
dengan tertawa, “Untuk apa kau menggunakan pakaian lelaki?”
“Aku tidak ingin diketahui
sebagai istrimu agar nanti dapat lebih bebas bicara,” kata Ting Tong tertawa.
“Baiklah, mari kuantar kau ke
kamarku,” sahut Boh-thian.
Mendadak Ting Put-sam juga
berkata, “Biar aku pun ikut menyamar saja. Pwe-tayhu, apakah boleh aku menyaru
sebagai anak buahmu?”
Memangnya Pwe Hay-ciok tidak
ingin diketahui oleh orang Swat-san-pay tentang beradanya Ting Put-sam di dalam
Tiang-lok-pang, maka kesediaan Ting Put-sam untuk menyamar itu menjadi
kebetulan baginya. Segera ia menjawab dengan senang, “Apa yang Ting-samya
kehendaki, boleh silakan saja.”
Begitulah Ciok Boh-thian
lantas membawa Ting Put-sam dan Ting Tong ke kamarnya. Waktu itu Si Kiam masih
mendengkur dengan nyenyaknya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, ia lantas
terjaga bangun. Ia menjadi terheran-heran ketika melihat Ting Tong dan
kakeknya.
Boh-thian merasa susah untuk
menjelaskan apa yang sudah terjadi, hanya dikatakannya, “Enci Si Kiam, mereka
ini hendak menyamar, boleh ... boleh kau membantu mereka seperlunya.”
Dan karena khawatir ditanya
oleh Si Kiam, maka cepat ia keluar lagi dari kamar dan menunggu di ruangan
luar.
Tidak terlalu lama, datanglah
Tan Tiong-ci dan memberi lapor, “Pangcu, para saudara sudah siap menantikan
kedatangan Pangcu ke ruangan Hou-beng-tong.”
Pada saat itulah tampak Ting
Tong juga telah muncul sambil berseru, “Baiklah, kita boleh segera pergi
bersama.”
Mendadak Boh-thian melihat di
depannya telah bertambah seorang pemuda dengan dandanan yang serbaindah.
Ternyata Ting Tong telah memakai baju panjang warna hijau, pakai ikat kepala
kaum pelajar, tangannya membawa kipas lempit.
Sebaliknya Ting Put-sam telah
mengganti pakaian yang kasar berlengan pendek, mukanya sengaja dipoles hitam,
memakai sepatu butut, pundak miring sebelah, jalannya dibikin pincang,
kelakuannya sangat lucu.
Hampir-hampir Ciok Boh-thian
tidak kenal lagi pada orang tua itu, selang sejenak barulah ia berseru dengan
terbahak-bahak, “Yaya, kau sama sekali telah berubah rupa.”
Kemudian Tan Tiong-ci bertanya
kepada Boh-thian, “Pangcu, apakah kita perlu membawa senjata?”
“Membawa senjata?” sahut
Boh-thian dengan mata terbelalak lebar. “Untuk apa membawa senjata?”
Tiong-ci menyangka arti
jawaban Boh-thian itu adalah kebalikannya, maka ia hanya mengiakan saja dan
segera mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke ruang Hou-beng-tong
(ruang harimau buas).
Di ruangan itu sudah menunggu
beberapa puluh orang, ketika melihat kedatangan Ciok Boh-thian, serentak mereka
berdiri dan memberi hormat.
Sama sekali Boh-thian tidak
menyangka ruangan itu sedemikian besarnya serta sedemikian banyak orang yang
berada di situ. Ia terkejut, lebih-lebih ketika orang-orang itu serentak
memberi hormat, keruan ia menjadi bingung dan entah cara bagaimana harus
bicara. Untuk sekian lamanya ia tertegun di ambang pintu.
Ia lihat meja-meja yang
terletak di sekeliling ruangan itu semuanya terdapat lilin besar yang
memancarkan cahaya yang terang, beberapa puluh orang lelaki berbaris di
kanan-kiri, di tengah-tengah ruangan tersedia sebuah kursi besar berlapis kulit
harimau yang loreng. Keangkeran ruangan besar itu seketika membikin pemuda
gunung yang masih hijau itu tercengang bingung. Terpaksa ia memandang ke arah
Pwe Hay-ciok yang juga terdapat di antara orang-orang yang menantikan
kedatangannya itu, ia sangat mengharapkan nasihat Pwe Hay-ciok akan bagaimana
harus diperbuatnya.
Syukurlah Pwe Hay-ciok lantas
menyambut ke hadapannya dan berbisik padanya, “Pangcu, marilah kita ambil
tempat duduk dulu, habis itu barulah sahabat dari Swat-san-pay itu diundang
masuk kemari.”
Dalam keadaan demikian sudah
tentu Ciok Boh-thian menurutkan saja segala petunjuk Pwe Hay-ciok. Di bawah
iringan Pwe-tayhu, segera Boh-thian mendekati kursi besar berlapis kulit
harimau itu dengan sangsi.
“Silakan Pangcu duduk saja,”
Pwe Hay-ciok membisikinya.
“Aku ... aku duduk di sini?”
Boh-thian menegas dengan bingung, sungguh ia merasa takut, tanpa merasa sorot
matanya tertuju ke arah Ting Tong, ia berharap paling baik kalau nona itu
lantas menyeretnya melarikan diri keluar dari ruangan itu dan kabur sejauh
mungkin ke tempat yang sunyi.
Tapi Ting Tong hanya membalas
dengan tersenyum saja dengan maksud memberi dorongan padanya.
Melihat sinar mata si nona
yang mesra itu Boh-thian merasa nona itu seperti sedang menganjurkannya agar
jangan takut dan siap membantunya jika ada kesukaran apa-apa. Sekarang semangat
Boh-thian terbangkit, hatinya menjadi tabah, ia merasa terima kasih dan lega.
Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lantas duduk di atas kursi berkulit harimau itu.
Sesudah Boh-thian berduduk,
lalu Ting Put-sam dan Ting Tong berdiri di belakang kursi besar itu. Segera
para hadirin juga lantas mengambil tempat duduknya sendiri-sendiri menurut
urutan dan kedudukan masing-masing.
Kemudian Pwe Hay-ciok mulai
membuka suara, “Saudara-saudara yang terhormat. Selama ini Pangcu telah jatuh
sakit parah sekali, untunglah kini kesehatan beliau telah sembuh kembali
walaupun semangatnya belum lagi pulih seluruhnya. Seharusnya Pangcu masih perlu
istirahat untuk beberapa hari lamanya barulah dapat bekerja seperti biasa. Tak
terduga-duga sobat-sobat dari Swat-san-pay bersitegang harus bertemu dengan
Pangcu, seakan-akan kalau Pangcu tidak menemui mereka, maka menandakan sakitnya
Pangcu sudah tak bisa disembuhkan lagi. Hehe, masakah dengan Lwekang mahatinggi
yang dimiliki Pangcu bisa terganggu oleh penyakit yang tiada artinya? Pangcu,
apakah sekarang juga kita undang saja sobat-sobat dari Swat-san-pay itu masuk
ke sini?”
Boh-thian mendengus sekali, ia
tidak tahu apa mesti menyatakan baik atau tidak baik.
Tapi Pwe Hay-ciok lantas
memerintahkan orang-orang Tiang-lok-pang mengatur tempat duduk mereka semua
berduduk di sebelah timur, sembilan buah kursi di sebelah barat dikosongkan
untuk para tamu.
Lalu Pwe Hay-ciok berseru,
“Bi-hiangcu, boleh silakan para tamu masuk untuk bertemu dengan Pangcu.”
Bi Heng-ya mengiakan dan
segera melangkah keluar. Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang
di luar. Pintu ruangan terbuka Bi Heng-ya muncul dan berdiri di sisi pintu dan
berseru, “Lapor Pangcu, para sobat dari Swat-san-pay telah tiba!”
“Marilah kita keluar
menyambutnya,” Pwe Hay-ciok mengisiki Ciok Boh-thian dan perlahan-lahan menarik
lengan bajunya.
“Menyambut?” Boh-thian menegas
dengan ragu-ragu, perlahan-lahan ia berbangkit dan ikut Pwe Hay-ciok menuju
keluar ruangan.
Tepat pada saat itu juga
kesembilan jago Swat-san-pay telah melangkah masuk, mereka semuanya memakai
baju panjang warna putih, orang yang berjalan paling depan bertubuh sangat
tinggi, berumur antara 42-43 tahun, mukanya kereng, ketika dua-tiga meter
berhadapan dengan Ciok Boh-thian mendadak ia berdiri tegak, sorot matanya
menatap tajam kepada Boh-thian.
Tapi Boh-thian membalasnya
dengan tersenyum ketolol-tololan sebagai tanda sambutan.
Lalu Pwe Hay-ciok berkata,
“Pangcu, saudara ini adalah ‘Gi-han-se-pak’ (perbawa menggigilkan seluruh barat
laut) Pek Ban-kiam, Pek-toako yang namanya disegani dan ilmu pedangnya tiada
bandingannya di Bu-lim.”
Boh-thian hanya
manggut-manggut saja dan kembali tersenyum ketolol-tololan. Karena dia hanya
kenal Hoa Ban-ci seorang saja yang ikut di belakang Pek Ban-kiam itu, maka ia
lantas berkata dengan tertawa, “Nona Hoa, kau telah datang lagi,”
Air muka kesembilan jago
Swat-san-pay berubah seketika demi mendengar teguran itu.
Pek Ban-kiam adalah putra
sulung Wi-tek Sian-sing Pek Cu-cay, itu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay.
Nama seluruh saudara perguruan mereka memakai huruf “Ban” (laksa) semua, dia
bernama “Ban-kiam” (selaksa pedang), maka dapat dibayangkan ilmu pedangnya
tentu lain daripada yang lain. Dalam Swat-san-pay nama Pek Ban-kiam sejajar
dengan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, orang Kangouw menjuluki mereka sebagai
“Swat-san-siang-kiat” (dua jago dari Swat-san). Coba kalau bukan Pek Ban-kiam
sendiri yang datang, tentu Pwe Hay-ciok tidak perlu malam-malam datang ke rumah
Ting Put-sam untuk mencari Ciok Boh-thian. Dan kalau tokoh terkemuka sebagai
Pwe Hay-ciok juga sedemikian hormat dan segan padanya, sebaliknya seorang
Pangcu yang masih muda belia ternyata acuh tak acuh kepadanya, sudah tentu Pek
Ban-kiam sangat mendongkol, apalagi dia sudah menunggu sekian lamanya di
ruangan tamu sekarang ternyata disambut secara dingin saja, bahkan
datang-datang yang disapa adalah Sumoaynya yang cantik itu, keruan dada Pek
Ban-kiam hampir-hampir meledak saking menahan perasaannya.
Syukurlah dia adalah seorang
kesatria yang bisa membawa diri dan tidak mau perhatikan perasaannya secara
terbuka. Hanya dengan sikap dingin ia melirik Ciok Boh-thian, meski tidak
bicara, namun air mukanya sudah kentara sangat menghinakan kelakuan Ciok
Boh-thian tadi.
Hoa Ban-ci juga serbasalah
atas teguran Boh-thian itu, ia pun tidak menjawab dan hanya mendengus sekali
saja.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
masih terlalu polos dan kekanak-kanakan, ia tidak tahu bahwa orang-orang
Swat-san-pay itu sudah marah padanya, ia masih bertanya pula, “Eh, nona Hoa,
apa luka di kakimu itu sudah sembuh? Masih sakit atau tidak?”
Pertanyaan ini membuat muka
Hoa Ban-ci merah jengah, seketika orang-orang Swat-san-pay yang lain juga
lantas memegang gagang pedang dan siap dilolos.
Melihat ketegangan suasana
itu, cepat-cepat Pwe Hay-ciok membuka suara, “Silakan duduk, saudara-saudara,
silakan! Sebenarnya kesehatan Pangcu kami belum mengizinkan untuk menemui tamu,
tapi karena kedatangan saudara-saudara dari tempat jauh, terpaksa beliau
menemui kalian. Tadi saudara-saudara telah lama menunggu, haraplah suka
dimaafkan.”
Pek Ban-kiam hanya mendengus
saja dan segera mengambil tempat duduk pertama di sebelah barat tadi. Kheng
Ban-ciong duduk di sisinya, lalu Kwa Ban-king, Ong Ban-jim dan seterusnya, Hoa
Ban-ci duduk di tempat yang terakhir.
Diam-diam beberapa orang
Tiang-lok-pang merasa senang mendengar ucapan sang Pangcu mengenai luka di kaki
Hoa Ban-ci dan membikin orang-orang Swat-san-pay itu gemas setengah mati, tapi
toh tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok
juga telah mengiringkan Ciok Boh-thian kembali ke tempat duduknya. Para pelayan
lantas mengaturkan minuman.
Kemudian Hay-ciok membuka
suara lagi, “Tiang-lok-pang kami sudah lama kagum kepada Wi-tek Siansing, Swat-san-siang-kiat
dan para jago muda dari Swat-san-pay, cuma sayang tempat kami ini terpencil di
daerah Kanglam sehingga susah mengadakan hubungan. Hari ini berkat kunjungan
Pek-siheng dan saudara-saudara sekalian, sungguh kami merasa bahagia sekali.”
Pek Ban-kiam membalas hormat
sambil berkata, “Pwe-tayhu Tiok-jin-seng-jun, Ngo-heng-liok-hap-ciang juga
tiada bandingannya di dunia ini, meski selama ini kita tidak kenal, tapi Cayhe
sudah lama mendengar nama kebesaranmu.”
Dia hanya memuji Pwe Hay-ciok
saja, tapi tidak sebut-sebut Ciok Boh-thian.
Namun Pwe Hay-ciok pura-pura
tidak tahu, sahutnya dengan merendah diri, “Ah, Pek-siheng terlalu memuji.
Entah saudara-saudara sudah berapa hari tiba di Yangciu ini? Biarlah lain hari
Pangcu akan bertindak selaku tuan rumah dan mengundang saudara-saudara sekalian
mengadakan sekadar perjamuan.”
Pek Ban-kiam mulai tidak sabar
karena maksud kedatangan mereka tidak ditanyakan, segera ia berseru lantang,
“Di kalangan Kangouw orang menyohorkan ilmu silat Ciok-pangcu kalian sangat
hebat, cuma tidak diketahui kepandaian Ciok-pangcu itu entah berasal dari
golongan atau aliran mana?”
Pertanyaan ini membuat
orang-orang Tiang-lok-pang mengerut kening semua. Memang kepandaian Ciok-pangcu
mereka terkenal sangat hebat dan aneh, tapi tiada seorang pun yang tahu dari
golongan atau aliran mana ilmu silat sang Pangcu itu. Kalau ditanya juga cuma
dijawab dengan tersenyum saja. Jadi orang-orang Tiang-lok-pang sendiri
sebenarnya juga ingin tahu, maka serentak pandangan semua orang beralih kepada
Ciok Boh-thian.
Keruan Boh-thian gelagapan,
sahutnya, “Ini ... itu ... kau tanya tentang ilmu silatku? Tapi aku se ...
sedikit pun tidak bisa ilmu silat apa-apa.”
Memangnya Pek Ban-kiam sudah
sangsi melihat sikap Ciok Boh-thian yang serbasalah itu dan mengatakan tidak
bisa ilmu silat, keruan ia tambah curiga. Dengan tertawa menyindir ia berkata
pula, “Tiada sedikit tokoh-tokoh dan jago-jago terkemuka di dalam
Tiang-lok-pang kalian, kalau Ciok-pangcu tidak bisa ilmu silat, apakah engkau
dapat mengepalai para jago-jago sebanyak itu? Hm, ucapanmu itu hanya dapat
dipakai menipu anak kecil saja.”
“Kau bilang aku menipu anak
kecil?” Boh-tian menegas dengan bingung. “Siapa anak kecil itu? O, apa
barangkali kau maksudkan Ting-ting Tong-tong? Tapi dia ... dia bukan anak kecil
lagi, aku pun tidak menipu dia, sebelumnya aku pun sudah katakan padanya bahwa
aku bukan dia punya Engkoh Thian.”
Rupanya meski dia sedang tanya
jawab dengan Pek Ben-kiam, tapi sayup-sayup hidungnya mengendus bau harum yang
timbul dari badan si Ting Tong yang berdiri di belakangnya itu sehingga
semangatnya sudah melayang kepada diri anak dara itu.
Dengan sendirinya Pek Ban-kiam
tidak paham apa yang dikatakan tentang Ting-ting Tong-tong apa segala,
disangkanya Ciok Boh-thian sudah merasa bersalah, maka sengaja bicara ke timur
dan ke barat untuk mengaburkan pokok pembicaraan mereka. Seketika air muka
Ban-kiam berubah masam, dengan suara geram ia berkata pula, “Ciok-pangcu,
biarlah kita bicara secara terus terang dan blakblakan saja. Cobalah jawab,
ilmu silat yang kau pelajari di Leng-siau-sia itu mungkin belum terlupa
seluruhnya, bukan?”
Ucapan Pek Ban-kiam ini
benar-benar telah menggemparkan orang Tiang-lok-pang termasuk Pwe Hay-ciok.
Mereka tahu Leng-siau-sia (kota langit) adalah tempat kediaman kaum
Swat-san-pay yang terletak di pegunungan Swat-san di wilayah barat sana. Jika
menurut ucapan Pek Ban-kiam ini, apakah benar sang Pangcu dahulu pernah belajar
silat kepada kaum Swat-san-pay? Jadi kedatangan orang-orang ini barangkali ada
hubungannya dengan urusan perguruan mereka sendiri?
Namun terdengar Ciok Boh-thian
telah menjawab dengan bingung, “Leng-siau-sia? Tempat apakah itu? Selamanya aku
tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa. Jika pernah belajar tentu takkan
melupakannya sama sekali.”
Jawaban ini bukan saja menusuk
perasaan orang-orang Swat-san-pay, bahkan Pwe Hay-ciok juga merasa keterlaluan.
Masakah nama “Leng-siau-sia” yang tersohor dikenal setiap orang Bu-lim dianggap
oleh sang Pangcu sebagai tempat yang tak pernah dikenal, bahkan menyatakan
tidak pernah belajar ilmu silat, omong kosong yang tak masuk di akal, betapa
pun juga hanya akan menurunkan derajat sang Pangcu sendiri.
Sebaliknya bagi pendengaran
orang-orang Swat-san-pay, terutama Pek Ban-kiam, sudah tentu jawaban Ciok
Boh-thian tadi merupakan suatu hinaan besar.
Yang pertama-tama tidak tahan
ialah Ong Ban-jim, segera ia berteriak, “Ucapan Ciok-pangcu barusan ini
benar-benar keterlaluan. Apa barangkali semua orang Swat-san-pay satu peser pun
tiada harganya dalam pandangan Ciok-pangcu?”
Melihat orang-orang
Swat-san-pay itu marah-marah, Boh-thian menyangka ucapannya tadi tentu salah,
maka cepat menjawab, “O, tidak, tidak! Masakah aku berani mengatakan
orang-orang Swat-san-pay tidak laku sepeser pun. Seperti ... seperti ....”
Tiba-tiba teringat olehnya
dahulu waktu dia ikut Cia Yan-khek berbelanja ke kota, ia tahu barang yang baik
berharga lebih mahal, maka ia bermaksud mengucapkan kata-kata yang bisa
membikin senang Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, tapi berulang-ulang ia
berkata, “seperti ... seperti ....” namun tak bisa memberi contoh yang tepat.
Dan karena di antara orang Swat-san pay yang dikenalnya itu hanya Hoa Ban-ci
saja seorang, maka dalam keadaan serbasusah ia lantas berkata, “Seperti ...
seperti nona Hoa Ban-ci tentulah berharga, ya, tentu sangat berharga ....”
“Sret”, serentak orang-orang
Swat-san-pay berbangkit dari tempat duduk mereka dan senjata terlolos dari
sarungnya, selain Pek Ban-kiam, delapan orang lainnya semua sudah menghunus
pedang dan berdiri mengepung di depan Ciok Boh-thian. Bahkan Ong Ban-jim terus
menuding dan mendamprat, “Orang she Ciok, kau sembarangan mengoceh dengan
kata-kata rendah, sungguh kau terlalu menghina kami. Walaupun kami sudah berada
di sarangmu juga tidak manda diperlakukan secara semena-mena.”
Jilid 14
Boh-thian tambah bingung
melihat kemarahan orang-orang Swat-san-pay itu, pikirnya, “Apa yang kukatakan
adalah bermaksud baik, mengapa kalian marah padaku malah?”
Dalam bingungnya ia lantas
berpaling kepada Ting Tong dan bertanya, “He, Ting-ting Ting-tong, apakah
barusan aku telah salah omong?”
Ting Tong tertawa, sahutnya
“Entahlah, aku pun tidak tahu. Barangkali nona Hoa tidak laku dengan harga baik
seperti katamu.”
Boh-thian manggut-manggut,
katanya, “Ya, andaikan nona Hoa tidak begitu berharga dan harus dijual murah,
toh hal demikian tidak perlu di buat marah?”
Seketika orang-orang
Tiang-lok-pang tertawa gempar mendengar ucapan itu, mereka menduga sang Pangcu
pasti sudah ambil keputusan akan melabrak pihak Swat-san-pay, maka sengaja
menggunakan kata-kata demikian untuk mengolok-oloknya. Segera ada seorang
menanggapi, “Ya, jika terlalu mahal tentu kita tidak mampu membelinya. Bila
agak murah sedikit, hehe, tentu kita dapat ....”
“Cring”, mendadak terdengar
suara nyaring disertai berkelebatnya sinar pedang. Kiranya Ong Ban-jim sudah
tak dapat menahan rasa murkanya, pedangnya lantas menusuk ke dada Ciok
Boh-thian. Untung Pek Ban-kiam keburu melolos pedang juga dan mengetok ke
batang pedang sang Sute sehingga senjata Ong Ban-jim itu hampir-hampir terlepas
dari cekalan, tangannya sampai pegal tergetar. Dan dengan sendirinya tusukan
itu hanya mencapai setengah jalan saja dan tak dapat diteruskan.
Berbareng Pek Ban-kiam juga
lantas membentak, “Sakit hati kita kepada orang ini sedalam lautan, mana boleh
dibereskan dengan sekali tusuk saja?”
“Sret”, ia masukkan kembali
pedangnya, lalu berkata kepada Boh-thian dengan suara geram, “Nah, Ciok-pangcu,
sesungguhnya kau kenal padaku atau tidak?”
Boh-thian manggut-manggut,
sahutnya, “Ya, aku kenal kau. Bukankah kau adalah Gi-han-se-pak Pek Ban-kiam dari
Swat-san-pay?”
“Bagus jika kau masih kenal
padaku,” ujar Ban-kiam. “Nah apa yang pernah kau lakukan tentunya akan kau
akui, bukan?”
“Apa yang pernah kulakukan
sudah tentu aku mengakui,” sahut Boh-thian.
“Baik, dan sekarang aku ingin
tanya padamu. Ketika berada di Leng-siau-sia dahulu siapa namamu?”
“Ketika di Leng-siau-sia?”
Boh-thian menegas sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kapan sih aku
pernah ke sana? O, ya, tempo dulu waktu aku turun gunung untuk mencari ibu dan
si kuning, aku pernah menjelajahi beberapa buah kota, aku pun tidak tahu apa
nama kota-kota itu, besar kemungkinan di antaranya ada sebuah kota yang bernama
Leng-siau-sia.”
“Kau tidak perlu
melantur-lantur dan berlagak pilon,” semprot Pek Ban-kiam. “Hendaklah bicara
terus terang saja, namun aslimu toh bukan Ciok Boh-thian.”
“Benar, benar! Memangnya aku
bukan Ciok Boh-thian,” seru Boh-thian dengan tersenyum. “Tapi merekalah yang
telah salah mengenali diriku. Ya, betapa pun memang Pek-suhu lebih pintar,
sekali tebak lantas tahu bahwa aku bukan Ciok Boh-thian.”
“Bagus! Dan siapakah namamu
yang asli, cobalah katakan biar didengar oleh semua yang hadir di sini ini,”
ujar Ban-kiam.
“Dia bernama apa? Hm, dia
bernama Kau-cap-ceng!” sela Ong Ban-jim dengan makiannya.
Sekali ini bergilir
orang-orang Tiang-lok-pang yang serentak berbangkit dengan marah dan sama
melolos senjata. Namun Ong Ban-jim tidak menjadi gentar, ia sudah bertekad
biarpun dicincang oleh orang-orang Tiang-lok-pang juga tiada takkan peduli
asalkan dapat mencaci maki lebih dulu si Kau-cap-ceng (anak anjing) ini.
Tak terduga bahwa makiannya
itu tidak membikin murka Ciok Boh-thian, sebaliknya pemuda itu malah bertepuk
tangan dan bergelak tertawa, serunya, “Ya, benar, benar, sedikit pun tidak
salah, memangnya aku ini bernama Kau-cap-ceng, entah dari mana kau mendapat
tahu?”
Sudah tentu jawaban Ciok
Boh-thian ini membikin semua orang terlongong-longong bingung kecuali beberapa
orang seperti Pwe Hay-ciok, Ting Put-sam dan lain-lain yang pernah mendengar
pemuda itu mengaku bernama “Kau-cap-ceng”.
Diam-diam Pek Ban-kiam
membatin, “Bocah ini benar-benar licin dan licik, benar-benar lain daripada
yang lain, sampai caci maki Ong-sute barusan juga diterimanya bulat-bulat.
Terhadap manusia licik demikian harus hati-hati, sedikit pun tidak boleh
lengah.”
Sedangkan Ong Ban-jim lantas
terbahak-bahak geli, serunya, “Hahahaha! Jadi kau memang benar adalah
Kau-cap-ceng? Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!”
“Namaku memang Kau-cap-ceng,
kenapa mesti dibuat geli?” sahut Boh-thian. “Dahulu kalau ibumu juga memanggil
kau sebagai Kau-cap-ceng, maka sekarang kau tentu juga sudah menjadi
Kau-cap-ceng.”
“Ngaco-belo!” bentak Ban-jim
dengan murka. Berbareng pedangnya lantas bergerak dalam jurus
“Hui-sah-cau-ciok” (pasir terbang batu bertebaran), sinar pedang gemerdep,
kontan ia menusuk ke dada Ciok Boh-thian.
Pek Ban-kiam sengaja hendak
melihat selama beberapa tahun ini ilmu silat aneh apa yang telah dipelajari
Ciok Boh-thian sehingga dalam usianya yang masih muda belia itu sudah menjadi
Pangcu suatu organisasi besar serta disegani tokoh-tokoh sebangsa Pwe Hay-ciok
dan lain-lain. Maka tindakan Ong Ban-jim itu tidak dicegahnya, walaupun
mulutnya pura-pura menegur, tapi sengaja membiarkan Ong Ban-jim menerjang ke
depan.
Meski Boh-thian pernah belajar
beberapa tahun ilmu Lwekang, tapi dalam hal bertempur sama sekali tiada
pengalaman dan tak pernah belajar cara-cara berkelahi. Keruan ia menjadi
kelabakan ketika melihat ujung pedang Ong Ban-jim menyambar ke arahnya, ia tak
tahu cara bagaimana harus menangkis atau menghindar, dalam gugupnya secara
otomatis kedua tangannya lantas menolak ke depan, karena dia memakai baju
panjang yang berlengan panjang dan gondrong, maka lengan baju itu menjadi
seakan-akan dikebutnya ke depan. Terdengarlah suara “krak” sekali menyusul tubuh
Ong Ban-jim terus mencelat ke belakang dan “blung”, badannya tertumbuk di pintu
ruangan besar itu.
Tadi ketika orang-orang
Swat-san-pay sudah masuk ke dalam Hou-beng-tong, segera orang-orang
Tiang-lok-pang menutup pintu, mereka menaksir bila terjadi pertengkaran, maka
orang-orang Swat-san-pay akan dapat dibekuk dan tak bisa meloloskan diri.
Daun pintu ruangan itu terbuat
dari kayu pilihan yang sangat kuat, dilapis pelat besi diberi berpaku tembaga.
Begitu punggung Ong Ban-jim tertumbuk di atas pintu, menyusul lantas terdengar
suara “crat-cret” dua kali, dua potong pedang patah berbalik menancap di atas
badannya sendiri. Dengan lemas ia terbanting jatuh di atas lantai, darah segar
merembes ke luar dan dalam sekejap saja sudah membasahi bajunya yang putih itu.
Cepat Kwa Ban-kin dan Hoa
Ban-ci memburu maju, yang seorang memeriksa napasnya dan yang lain memeriksa
nadinya.
Untung meski tenaga dalam Ciok
Boh-thian sangat kuat, tapi dia tak tahu cara bagaimana menggunakannya, maka
Ong Ban-jim selain menderita luka luar itu, jiwanya boleh dikata selamat.
Hanya satu jurus yang
diperlihatkan Ciok Boh-thian ini bukan saja membikin panik orang-orang
Swat-san-pay, bahkan di pihak orang Tiang-lok-pang juga gempar, mereka
bergirang dan terheran-heran pula, sebab ilmu silat sang Pangcu itu hanya
diketahui sangat aneh dan susah dijajaki, tapi belum pernah diketahui bahwa
Lwekangnya ternyata sedemikian dahsyatnya.
Diam-diam Pwe Hay-ciok
mengangguk dan membatin, “Pangcu hanya menghilang setengah tahun saja dan
ternyata beliau memang sedang meyakinkan semacam Lwekang yang lihai, dengan
hasilnya ini sungguh Tiang-lok-pang harus merasa bahagia sekali.”
Sebaliknya Pek Ban-kiam lantas
menjengek, “Ciok-pangcu, sebagai orang Bu-lim kita harus mengutamakan tentang
perbedaan kedudukan dan antara tua dan muda. Setiap orang yang berani melawan
orang tua adalah khianat dan durhaka. Guru dipandang melebihi ayah sendiri.
Engkau pernah belajar silat di perguruan Swan-san-pay kami maka jelek-jelek
Ong-sute ini juga terhitung kau punya Susiok, tapi sekali gebrak kau sudah
turun tangan keji, sebenarnya apa alasanmu? Segala persoalan di dunia ini tak
bisa mengesampingkan tentang ‘kebenaran’, biarpun ilmu silatmu mahatinggi juga
takkan terhindar dari keadilan.”
“Apa yang kau maksudkan, sedikit
pun aku tidak paham,” demikian sahut Boh-thian dengan bingung. “Kapan aku
pernah belajar ilmu silat di tempat Swat-san-pay kalian?”
“Sampai saat ini kau masih
tidak mau mengaku?” Ban-kiam menegas dengan aseran. “Kau mengaku sebagai
Kau-cap-ceng, hehe, kau rela merendahkan dirinya sendiri adalah urusanmu
sendiri. Tapi ayah-ibumu adalah kesatria-kesatria terutama di dunia Kangouw.
Kalau kau tidak mau mengaku perguruanmu, apa terhadap ayah-bundamu juga kau
tidak mau mengaku?”
Boh-thian menjadi girang,
cepat ia menjawab, “He, kau kenal ayah-ibuku? Wah, baik sekali kalau begitu.
Pek-suhu, harap engkau suka memberitahukan padaku, di manakah ibuku? Siapakah
ayahku?”
Sambil bicara lantas ia
berdiri dan memberi hormat dengan sikap yang sungguh-sungguh dan tulus.
Pek Ban-kiam menjadi bingung
malah, ia tidak paham apa maksud tujuan sikap pura-pura pemuda itu.
Tapi lantas terpikir pula
olehnya, “Orang ini mahajahat dan mahalicin, sekali-kali tidak boleh diukur
menurut orang biasa. Demi untuk menutupi asal usulnya sendiri sampai-sampai
ayah-ibunya sendiri juga tak diakuinya. Kalau dia sudah mau mengaku dirinya
sendiri sebagai Kau-cap-ceng, dengan sendirinya tentang perguruan dan orang tua
tak terpikir lagi olehnya.”
Begitulah, seketika hati Pek
Ban-kiam menjadi bimbang, ia menghela napas panjang dan berkata, “Bakat sebagus
ini justru tidak mau belajar yang baik, sungguh sayang.”
“Pek-suhu, kau bilang sayang,
ada apakah dengan ayah-ibuku?” tanya Boh-thian agak bingung.
“Jika kau masih mempunyai rasa
khawatir atas diri ayah-ibumu, hal ini menandakan kau masih belum durhaka sama
sekali,” ujar Ban-kiam. “Ilmu pedang ayah-ibumu sangat sakti, suami-istri
berkelana di Kangouw bersama, sudah tentu mereka takkan menghadapi sesuatu
bahaya apa-apa.”
Dalam pada itu dengan dipapah
oleh Kwa Ban-kin dan Hoa Ban-ci, perlahan-lahan Ong Ban-jim telah sadar kembali
dan terdengar suara rintihannya.
Hati Ciok Boh-thian memangnya
sangat welas asih, segera ia bertanya, “Toako ini tadi mengapa mendadak terbang
ke belakang dan seperti tertumbuk jatuh di sana? Pwe-siansing, apakah dia
terluka parah?”
Pertanyaan Boh-thian ini
sebenarnya timbul dari hati nuraninya yang baik, tapi bagi pendengaran orang
lain semuanya menganggap dia sengaja menyindir. Seketika sebagian besar
orang-orang Tiang-lok-pang bergelak tertawa, ada yang memuji kelihaian sang
Pangcu ada pula yang mengolok-olok pihak Swat-san-pay. “Hm, hanya dengan
sedikit kepandaian begitu saja juga berani main gila ke sini, sekarang sesudah
kalian diberi tahu rasa oleh Pangcu baru nyaho!” demikian cemooh mereka.
Namun Pek Ban-kiam anggap
tidak mendengar semua olok-olok itu, segera ia berseru pula dengan suara
lantang, “Ciok-pangcu, kunjungan kami ke sini ini adalah untuk urusan pribadi
Ciok-pangcu sendiri saja dan tiada sangkut pautnya dengan sahabat-sahabat yang
lain, maka pihak Swat-san-pay kami tidak ingin bertengkar mulut seperti di
tengah pasar. Nah, Ciok Tiong-giok, aku hanya ingin bertanya padamu, kau
sebenarnya mau mengaku atau tidak?”
“Ciok Tiong-giok? Siapa itu
Ciok Tiong-giok?” Kau ingin aku mengaku tentang apa?” Boh-thian menegas dengan
melongo heran.
“Kau tidak perlu berlagak
pilon,” ujar Ban-kiam. “Gurumu Hong-hwe-sin-liong telah berkorban sebelah
lengan lantaran perbuatanmu yang rendah dan kotor itu. Padahal budi Hong-suko
terhadapmu adalah lebih besar daripada gunung, apakah sedikit pun dalam hatimu
tidak merasa menyesal dan merasa malu?”
Karena apa yang dikatakan
Ban-kiam itu memang tidak bisa di pahami oleh Ciok Boh-thian, maka ia lantas bertanya
lagi, “Hong-hwe-sin-liong? Hong-suko? Siapakah dia? Mengapa dia mengorbankan
sebelah lengannya lantaran perbuatan yang rendah dan kotor? Apa sih per ...
perbuatanku yang rendah dan kotor itu?”
Sungguh tidak kepalang rasa
murka Pek Ban-kiam, sudah tetap tidak mau mengaku, bahkan akhirnya pemuda yang
dianggap durhaka itu sengaja mendesaknya agar menguraikan apa yang terjadi di
Leng-siau-sia seperti putrinya hendak diperkosa, akhirnya membunuh diri dengan
terjun ke dalam jurang, kejadian-kejadian yang memalukan dan mengenaskan itu
masakah pantas untuk diceritakan di hadapan orang luar?
Saking murkanya “sret”
pedangnya terlolos, tangannya bergerak, sinar pedang gemerlap, “tok” pedang
sudah masuk kembali ke dalam sarungnya lagi.
Habis itu ia berkata pula
sambil menunjuk bekas-bekas pedang di atas pilar di sebelahnya dan berseru,
“Saudara-saudara sekalian, ilmu pedang Swat-san-pay kami adalah terlalu rendah
dan menertawakan bagi kaum ahli. Tapi sejak cikal bakal kami mendirikan
golongan kami sampai sekarang, turun-temurun kami ada suatu kebiasaan, yaitu,
bila pedang kami beruntung dapat melukai pihak lawan, maka di tempat luka itu
tentu akan kelihatan bentuk Swat-hoa (bunga salju) bersayap enam.”
Segera semua orang memandang
ke arah pilar, maka tertampaklah di atas pilar yang bercat merah itu ada enam
titik bekas tusukan pedang, setiap titik itu berbentuk bunga salju yang
bersayap enam. Keenam titik bekas pedang itu berbaris dengan sangat rajin dalam
bentuk segi enam. Padahal pedang Pek Ban-kiam tadi kelihatannya cuma berkelebat
sekali saja, lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya, hanya dalam sekejap
saja, dengan getaran pedangnya sudah terbentuk bunga salju sebanyak itu, betapa
cepat dan jitunya ilmu pedang Pek Ban-kiam itu sungguh susah dibayangkan.
Kalau tadi banyak di antara
orang-orang Tiang-lok-pang memandang hina kepada pihak Swat-san-pay karena
sekali gebrak saja Ong Ban-jim sudah dibikin mencelat oleh Ciok Boh-thian, tapi
sekarang sesudah menyaksikan kepandaian Pek Ban-kiam yang lihai ini, mau tak
mau mereka merasa kagum dan bahkan ada yang bersorak memuji.
“Sedikit kepandaian orang she
Pek ini sesungguhnya tiada artinya, aku percaya tentu tidak sedikit di antara
para hadirin yang jauh lebih pandai daripada diriku,” demikian kata Ban-kiam
dengan rendah hati. “Jadi sesungguhnya dengan kepandaianku yang rendah ini
sekali-kali aku tidak berani main gila ke tempat kalian ini. Hanya saja ada
satu urusan yang kami inginkan kesaksian para sahabat. Dahulu tujuh tahun yang
lalu, dalam Swat-san-pay kami terdapat seorang murid celaka yang bernama Ciok
Tiong-giok, secara sembrono dan kurang ajar dia telah berani coba-coba
bertanding dengan Liau-susiok kami. Untuk memberi hajar adat padanya, maka
Liau-susiok sengaja melukai paha anak durhaka itu dan meninggalkan bekas luka
dalam bentuk bunga salju seperti di atas pilar ini.
“Meski ilmu pedang golongan
kami hanya biasa saja dan tidak mengherankan, tapi di dunia ini tiada ilmu
pedang lain yang dapat meninggalkan bekas bunga salju demikian. Nah, Ciok
Tiong-giok, kau telah mendustai semua orang dan tidak berani memperlihatkan
asal usulmu yang sebenarnya. Coba sekarang kau menyingsing lengan celanamu,
biar dilihat oleh para hadirin apakah di pahamu ada bekas luka itu atau tidak?”
“Kau suruh aku menyingsing
lengan celanaku?” Boh-thian menegas dengan heran.
“Benar, sahut Ban-kiam. “Jika
di pahamu tiada terdapat bekas luka itu maka aku inilah yang buta dan dengan
sendirinya akan minta maaf atas kelancangan kami ini. Sebaliknya kalau pahamu
terdapat bekas luka itu lantas ... lantas bagaimana?”
“Jika di atas pahaku terdapat
bekas luka demikian, itu benar-benar sangat aneh, sebab aku sendiri sama sekali
tidak tahu,” ujar Boh-thian dengan tertawa.
Diam-diam Pek Ban-kiam menjadi
ragu-ragu sendiri melihat sikap Ciok Boh-thian yang tenang itu. Tapi ia yakin
pemuda ini pasti Ciok Tiong-giok yang dicarinya itu. Walaupun sudah selang
beberapa tahun, tindak tanduknya tampak agak berbeda daripada dulu, tapi
mukanya sedikit pun tidak salah.
Apalagi sesudah Hoa-sumoay
bebas dari tawanan orang Tiang-lok-pang, dengan pasti dia yakin Ciok Boh-thian
inilah sama orangnya dengan Ciok Tiong-giok, masakah beberapa pasang mata bisa
salah lihat semua?
Selagi Ban-kiam termenung,
dengan tertawa Tan Tiong-ci lantas berkata, “Haha, kau ingin melihat bekas luka
Pangcu, sebaliknya Pangcu ingin melihat bekas luka di kaki nona Hoa. Di sini
terlalu banyak orang, ada lebih baik silakan Pangcu dan nona Hoa saling lihat
ke dalam kamar saja.”
Ban-kiam menjadi murka,
mendadak ia maju ke depan dan membentak, “Ciok Tiong-giok, dasar orang berdosa,
kau tidak mau memperlihatkan bekas luka di kakimu, maka boleh ikut aku pulang
ke Leng-siau-sia saja!”
“Sret”, berbareng pedang sudah
terhunus di tangannya.
“Eh-eh, Pek-suhu mengapa
menjadi marah?” ujar Boh-thian. “Di atas kakiku selamanya tiada bekas luka
apa-apa, jika tidak percaya bolehlah kuperlihatkan.”
Sambil berkata ia terus
menyingsing lengan celananya sehingga kelihatan pahanya. Seketika suasana di ruang
besar itu menjadi sunyi senyap, perhatian semua orang terpusat kepada paha Ciok
Boh-thian.
Mendadak terdengar jeritan
terkejut orang banyak.
Ternyata di sisi luar paha
kiri Ciok Boh-thian memang benar ada enam titik bekas luka. Keruan di antara
orang-orang itu yang paling terkejut adalah Boh-thian tersebut sendiri. Ia coba
gosok-gosok bekas luka itu, tetapi bekas luka itu memang nyata dan berada di
atas pahanya. Ia kucek-kucek matanya dan kembali mengamat-amati paha sendiri
pula, namun bekas luka itu memang sama benar dengan bekas pedang di atas pilar
tadi.
Sembilan pasang mata
orang-orang Swat-san-pay sekarang menatap tajam kepada Ciok Boh-thian, mereka
tidak bicara lagi, tapi menantikan pengakuan dosa Ciok Boh-thian sendiri.
Dahi Ciok Boh-thian sampai
berkeringat. Ia meraba bekas luka di paha itu, lalu meraba-raba pula bekas luka
di atas pundak sambil menggumam, “Aneh, di kaki ada bekas luka, di atas pundak
juga ada luka, mengapa orang lain mengetahui, sebaliknya aku ... aku malah
tidak tahu. Jangan-jangan aku benar-benar sudah melupakan segala kejadian di
masa dahulu?”
Ia coba memandang Pwe
Hay-ciok, dilihatnya penasihat itu menggeleng kepala perlahan. Ia menoleh ke
arah Ting Tong, anak dara itu tampak mengerut hidung dan mencibir padanya. Ia
coba memandang juga kepada Ting Put-sam, orang tua itu angkat lengan baju kanan
untuk menutupi gerakan tangan kiri yang memberi tanda agar segera labrak pihak
lawan saja.
Pada saat itulah Tan Tiong-ci
telah mendekati sang Pangcu dan mengaturkan sebatang pedang sambil membisiki,
“Pangcu, tidak perlu banyak bicara dengan mereka. Segala urusan biarlah
diputuskan dengan kepandaian saja. Yang menang adalah yang benar dan yang kalah
adalah yang salah.”
Rupanya Tan Tiong-ci yakin
dengan kepandaian sang Pangcu yang aneh serta Lwekangnya yang hebat itu tentu
dapat mengalahkan Pek Ban-kiam. Kalah berdebat terpaksa pakai kekerasan.
Paling-paling main kerubut, dengan jumlah orang Tiang-lok-pang yang jauh lebih
banyak pasti akan dapat membekuk orang-orang Swat-san-pay itu, demikian
pikirnya.
Secara tak sadar Boh-thian
telah terima pedang yang disodorkan padanya itu.
Di lain pihak Pek Ban-kiam
lantas berseru dengan suara kereng, “Dengarkanlah Ciok Tiong-giok, hari ini Pek
Ban-kiam mendapat titah Wi-tek Siansing selaku Ciangbunjin kita, agar melakukan
pembersihan rumah tangga sendiri. Maka urusan ini adalah urusan dalam
Swat-san-pay dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar. Jikalau di dalam
markas Tiang-lok-pang ini tidak pantas digunakan gelanggang pertarungan, bagaimana
kalau kita keluar saja untuk menentukan mati dan hidup?”
“Buat ... buat apa mesti
menentukan mati dan hidup?” sahut Ciok Boh-thian dengan bingung.
Tiba-tiba Ting Tong mendorong
perlahan di punggungnya dan membisikinya, “Engkoh Thian, hayo majulah! Labrak
saja dia! Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dia, sekali tusuk bunuh saja
dia!”
“Ti ... tidak, buat apa
membunuh dia? Dia toh bukan orang jahat?” sahut Boh-thian dan tanpa merasa
melangkah maju beberapa tindak.
Melihat tindakan pemuda itu
sangat kukuh dan kuat, terang Lwekangnya sangat hebat. Tadi Pek Ban-kiam juga
sudah menyaksikan Ong Ban-jim terpental hanya kena kebasan lengan bajunya saja,
sekarang dengan sendirinya ia tidak berani ayal sedikit pun. Segera pedangnya
menyendal sekali, dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun” (bunga Bwe dan bunga salju
bertebaran), sinar pedangnya berkilau, ujung pedang dan mata pedang digunakan
berbareng terus menyerang ke arah Ciok Boh-thian.
Seketika Boh-thian merasa
pandangannya menjadi silau dan tak dapat membedakan yang mana ujung pedang dan
yang mana mata pedang.
Dengan gugup kembali Ciok
Boh-thian mengebutkan kedua lengan bajunya secara serabutan. Percuma saja dia
memiliki Lwekang yang tinggi tapi sama sekali tak dapat menggunakan. Tadi Ong
Ban-jim kena disengkelit dan terpental adalah karena kebetulan saja, sekarang
dia mengebas lengan baju pula, karena tenaga dalamnya tak terpakai, pula
kepandaian Pek-Ban-kiam juga tidak dapat disamakan dengan Ong Ban-jim, maka
terdengarlah suara “brat-bret” beberapa kali, kedua lengan baju Ciok Boh-thian
telah terkupas robek oleh pedang Pek Ban-kiam menyusul tenggorokan Boh-thian
terasa “nyes” dingin, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah mengancam di lehernya.
Rupanya Pek Ban-kiam insaf
jago-jago di pihak lawan teramat banyak, terutama tokoh-tokoh Pwe Hay-ciok dan
si kakek berbaju kasar yang berdiri di belakang Ciok Boh-thian itu tentu ilmu
silatnya susah diukur. Berada di tempat berbahaya, sekali mendapat kesempatan,
mana boleh pihak lawan kelonggaran?
Maka segera ia mendesak maju,
secepat kilat Ciok Boh-thian lantas dikempitnya dengan kencang berbareng
lengannya menjepit sekuat-kuatnya di tempat Hiat-to bagian pinggang Ciok
Boh-thian sehingga pemuda itu tak bisa berkutik berbareng ia terus membentak,
“Para sobat, hari ini terpaksa kami harus lancang tangan, biarlah lain hari
kami akan datang lagi untuk minta maaf.”
Melihat sang Suheng telah
berhasil menawan musuh, tanpa diperintah serentak Kwa Ban-kin menggendong Ong
Ban-jim yang terluka terus mendahului menerjang ke arah pintu.
Namun Tan Tiong-ci dan Bi
Heng-ya telah melompat maju bersama sambil membentak, “Tinggalkan Pangcu!”
Berbareng golok mereka terus
menyerang, yang satu membacok pundak dan yang lain menebas kedua kaki Pek
Ban-kiam.
Tapi pedang Pek Ban-kiam hanya
sedikit bergerak saja dan “cring-cring” dua kali berturut-turut, tapi selisih
kedua tangkisan itu sebenarnya cuma sekejap mata saja cepatnya. Ketiga orang
sama-sama terkejut dan sama-sama tergetar mundur satu tindak oleh tenaga dalam
masing-masing.
Sekilas timbul pikirannya Pek
Ban-kiam bahwa hanya ilmu silat kedua lawan ini saja sudah sedemikian lihainya
apalagi kalau mereka mengerubut maju bersama maka pihak sendiri yang cuma
berjumlah sembilan orang saja pasti akan gugur semua di situ. Secepat kilat ia
lantas melompat ke samping dan berdiri membelakangi dinding, lalu bentaknya,
“Ciok Tiong-giok sudah kutawan, kalau kalian main kerubut, terpaksa aku
membinasakan dia dahulu untuk kemudian melayani kalian.”
Para jago Tiang-lok-pang itu
tiada seorang pun yang menduga bahwa Pangcu mereka yang berkepandaian
sedemikian tingginya hanya dalam satu gebrakan saja sudah kena ditawan musuh,
keruan mereka menjadi panik dan bingung. Bahkan kejadian yang luar biasa ini
pun di luar dugaan Ting Put-sam yang berpengalaman luas itu.
Ting Put-sam saling pandang
sekejap dengan Ting-Tong. Air muka Ting Tong tampak sangat khawatir,
berulang-ulang ia memberi tanda agar sang kakek turun tangan. Tapi Ting Put-sam
hanya tersenyum-senyum saja tanpa memberi reaksi apa-apa. Ia anggap ilmu silat
Ciok Boh-thian sangat tinggi, hal ini pernah dicobanya dengan tenaga dalam yang
kuat, pemuda itu telah memunahkan tepukannya di atas perahu tempo hari itu,
maka tidaklah mungkin dengan sedemikian gampangnya dia kena ditawan musuh,
tentu di balik kejadian ini ada tujuan tertentu, kalau dirinya ikut campur
tentu akan membikin runyam rencananya malah. Maka ia sengaja tinggal diam saja
untuk menantikan perkembangan selanjutnya.
Melihat sikap sang kakek yang
acuh tak acuh dan tenang-tenang itu, Ting Tong menjadi lega. Namun begitu ia
tetap khawatir juga karena sang suami berada dalam tawanan musuh.
Dalam pada itu, dengan kedua
tangannya menolak daun pintu, Kwa Ban-kin sedang mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mendorong pintu itu, tapi pintu itu hanya mengeluarkan suara berkeriutan
saja dan tidak mau terbuka. Rupanya di luar pintu sana telah ditahan dengan
balok-balok kayu yang kuat.
Melihat daun pintu yang
didorong sekuatnya itu lambat laun mulai terpentang, cepat Pwe Hay-ciok
melompat maju dan berseru, “Sobat Kwa jangan terburu-buru pergi dulu, biarlah
kami suruh orang membuka pintu dan mengantar keberangkatan kalian,”
“Mundur!” bentak Hoa Ban-ci
sebelum Pwe Hay-ciok mendekat, dengan pedang terhunus ia menjaga di belakang
Kwa Ban-kin.
Namun Pwe-Hay-ciok tidak
gentar, mendadak jarinya yang kuat sebagai kait itu terus mencengkeram ke atas
pedang lawan.
Ban-ci terkejut, ia heran
apakah tangan orang she Pwe itu kebal senjata tajam? Dan karena sedikit ayal
itulah tahu-tahu jari Pwe Hay-ciok sudah mendekati, sekonyong-konyong
cengkeramannya berubah menjadi menyelentik, “creng”, tangan Hoa Ban-ci sampai
kesaktian, pedang terlepas dari cekalan dan jatuh ke lantai. Berbareng tangan
kanan Pwe Hay-ciok lantas merangsang maju pula dan tepat pundak Banci kena
ditepuk sekali.
Serangan Pwe Hay-ciok ini
dilakukan dengan gesit dan cepat sekali, sungguh tidak kalah indahnya kalau
dibandingkan betapa hebat caranya Pek Ban-kiam membuat enam titik bunga pedang
di atas pilar tadi.
Diam-diam Ting Put-sam memberi
pujian juga, sebabnya Pwe Hay-ciok terkenal di Bu-lim, nyata dia punya ilmu
pukulan Ngo-heng-liok-hap-ciang memang mempunyai keunggulannya sendiri.
Pwe Hay-ciok masih menyusur
kian kemari dengan cepat sekali, ia menyelentik di sini dan memukul di sana.
Para murid Swat-san-pay itu kecuali Ong Ban-jim yang sudah terluka, sisanya
beruntun-runtun telah dirobohkan semua.
Setiap orang paling-paling
hanya mampu bergebrak tiga-empat jurus saja dengan Pwe Hay-ciok dan musuh
dirobohkan.
“Kepandaian bagus,
Ngo-heng-liok-hap-ciang yang hebat, orang she Pek kelak pasti akan belajar
kenal padamu!” seru Pek Ban-kiam. Mendadak ia meloncat ke atas, “brak” atap
rumah telah disundul olehnya sehingga berlubang, dengan mengempit Ciok
Boh-thian ia lantas menerobos keluar.
“Kenapa tidak belajar kenal
sekarang saja?” seru Pwe Hay-ciok, menyusul ia pun meloncat ke atas dan hendak
menguber lawan melalui lubang atap yang bobol itu.
Tapi mendadak matanya menjadi
silau, bintik sinar pedang sebagai hujan mencurah telah mengancam kepalanya.
Dalam keadaan terapung di
udara, pula tidak bersenjata, sudah tentu Pwe Hay-ciok tidak dapat menangkis
serangan itu, seketika ia membikin antap badannya dan anjlok kembali
mentah-mentah ke bawah.
Gerakan itu tampaknya sepele
saja, tapi dalam sekejap dapat mengubah daya loncat ke atas itu menjadi anjlok
ke bawah, asal telat sekejap saja tentu sudah terluka oleh pedang lawan, ketangkasan
Pwe Hay-ciok ini membikin para jago yang berada di ruangan situ sama memuji di
dalam hati.
Namun berkat serangannya itu
Pek Ban-kiam telah sempat membawa lari Ciok Boh-thian.
Sedangkan Pwe Hay-ciok begitu
kakinya menyentuh lantai kembali ia meloncat ke atas untuk mengejar.
Ting Tong ikut sibuk, cepat ia
pun bermaksud meloncat keluar melalui lubang atap yang bobol itu. Namun Ting
Put-sam keburu menarik tangan anak dara itu dan membisikinya, “Tidak perlu
buru-buru!”
Di tengah berhamburnya batu
pasir rontokan genting atap itu sekonyong-konyong di antara murid-murid
Swat-san-pay yang menggeletak di lantai itu, seorang yang bertubuh kurus kecil
mendadak meloncat ke atas segesit kucing dan secepat kera menerobos keluar melalui
lubang atap itu.
Tan Tiong-ci sempat menebas
dengan goloknya, terdengar “sret” sekali, selapis tumit sepatu orang itu kena
tertebas, hanya selisih beberapa senti saja kaki orang kurus kecil itu tentu
terkutung.
Orang-orang Tiang-lok-pang
sama melengak, tak terduga oleh mereka bahwa di antara jago-jago Swat-san-pay
itu selain Pek Ban-kiam ternyata masih ada seorang jago selihai itu, sudah
terang tadi orang itu sudah ditutuk roboh oleh Pwe Hay-ciok tapi mampu
mengerahkan tenaga dalam dan membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu lalu
meloloskan diri di depan orang banyak.
Khawatir kalau ketujuh orang
tawanan yang lain akan kabur lagi, segera Bi Heng-ya menambahi beberapa kali
tutukan pada setiap orang itu.
Dalam pada itu sudah ada
belasan jago Tiang-lok-pang dengan bersenjata telah ikut mengejar keluar
melalui lubang atap yang bobol itu. Orang-orang Tiang-lok-pang itu berpendapat,
orang lain telah berani main gila ke sarang mereka dan bahkan menawan Pangcu
mereka, kalau sang Pangcu tidak direbut kembali, maka untuk selanjutnya nama
Tiang-lok-pang mereka pasti akan runtuh. Walaupun pihak musuh juga tertawan
tujuh orang, tapi biarpun bagaimana juga tak dapat mengimbangi tertawannya sang
Pangcu. Mereka yakin asal orang she Pek itu dapat dicegat, lalu dikerubut,
akhirnya sang Pangcu tentu dapat diselamatkan dan hal ini akan merupakan pahala
besar bagi mereka yang berjasa itu. Karena itulah dengan penuh semangat mereka
lantas menguber musuh secara terpencar.
Sementara itu fajar sudah
menyingsing, orang-orang Tiang-lok-pang yang dikerahkan untuk mencari musuh
semakin banyak. Tapi meski sudah diuber dan dicari kian kemari dalam jarak
seluas belasan li, ternyata jejak musuh itu sama sekali tak tertampak.
Kiranya Pek Ban-kiam sendiri
pun terheran-heran bahwa dalam satu jurus saja Ciok Boh-thian sudah kena
ditawannya. Ia tahu kejadian itu tentu hanya secara kebetulan saja, walaupun
berhasil menawan orang yang dicarinya itu tapi orang-orang Tiang-lok-pang telah
dikerahkan semua untuk mengejarnya, untuk melarikan diri tentu juga sukar.
Ia coba memandang
sekelilingnya, tertampak di hulu sungai sebelah barat sana ada sebuah jembatan
batu. Tanpa pikir lagi ia terus berlari ke sana dan menyusup ke bawah jembatan.
Ia mengepit Ciok Boh-thian dengan tangan kiri, pedang di tangan kanan lantas
ditusukkan ke dalam celah-celah batu jembatan sehingga terjepit dengan kencang.
Lalu dengan sebelah tangan itu menggandul dan pepetkan tubuhnya di bawah
jembatan itu.
Tidak lama kemudian lantas
terdengar suara suitan orang-orang Tiang-lok-pang bahkan ada yang melintasi
jembatan itu, getaran orang-orang itu waktu menginjak jembatan itu
hampir-hampir membikin pedang Pek Ban-kiam terlepas dari celah-celah batu.
Diam-diam Pek Ban-kiam sudah
ambil keputusan kalau jejaknya diketahui musuh, maka besar kemungkinan terpaksa
harus membunuh dulu pemuda tawanannya itu.
Terdengar ada suatu rombongan
orang-orang Tiang-lok-pang sedang mencarinya dengan menyusur tepi sungai.
Ketika hampir mendekati jembatan itu, mendadak di semak alang-alang sana ada
suara keresek, ada seorang secepat terbang telah berlari ke arah yang
berlawanan sana. Dari suara tindakan dan gerakan orang itu Ban-kiam tahu adalah
seorang Sutenya yang bernama Ang Ban-ek.
Ia bergirang dan merasa lega.
Ang Ban-ek itu tergolong nomor satu dalam hal Ginkang di antara sesama
jago-jago Swat-san-pay, larinya secepat terbang, tiada seorang pun yang mampu
menyusulnya. Nyata sekali perbuatannya barusan ialah untuk membelokkan
perhatian musuh dan memancing pihak musuh mengejarnya ke jurusan lain, dengan
demikian dapat memberi kesempatan kepada Pek Ban-kiam untuk meloloskan diri
dari tempat bahaya itu. Dan ternyata benar juga, orang-orang Tiang-lok-pang
beramai-ramai lantas mengejar ke jurusan sana.
Tapi Pek Ban-kiam masih
ragu-ragu orang-orang. Tiang-lok-pang terlalu banyak jumlahnya, asal dia
memperlihatkan diri, tentu akan kepergok.
Tengah bersangsi, tiba-tiba
terdengar suara mendeburnya air, suara dayung perahu mengayuh, tertampak dari
arah timur sana sedang mendatangi tiga buah perahu beratap, kedua buah perahu
di antaranya penuh memuat sayur-mayur, sebuah lagi penuh memuat rumput jerami.
Rupanya orang kampung pagi-pagi hendak pergi ke pasar kota Yangcu untuk menjual
hasil tanamannya. Ketiga perahu itu bereret-eretan menerobos di bawah jembatan
batu.
Pek Ban-kiam sangat girang, ia
tunggu waktu perahu ketiga lewat di bawah jembatan itu, segera ia tarik
pedangnya, bersama Ciok Boh-thian mereka menjatuhkan diri ke atas tumpukan
jerami di atas perahu itu. Karena tumpukan jerami itu sangat tinggi dan lunak,
maka apa yang terjadi itu sama sekali tidak diketahui si tukang perahu.
Dengan membawa Ciok Boh-thian
segera Ban-kiam menyusup ke dalam onggok jerami itu sehingga tidak kelihatan
dari luar.
Sesudah tiba di pasar kayu
bakar, sambil menantikan tengkulak yang biasa menerima barang dagangannya, si
tukang perahu telah meninggalkan perahunya untuk pergi makan-minum.
Kesempatan baik itu tidak
disia-siakan Pek Ban-kiam. Lebih dulu ia melongok ke tepi, ia lihat di dekat
situ tiada orang lain.
Segera ia membawa Ciok
Boh-thian melompat ke daratan. Dilihatnya di ujung kade sebelah barat sana
berlabuh juga sebuah perahu beratap, segera ia mendatangi perahu itu, begitu
melompat ke atas perahu segera ia sodorkan sepenceng uang perak seberat
empat-lima tahil dan berkata, “Juragan perahu, kawanku ini sakit keras dan
perlu segera ditolong, harap kau lekas mengantar kami ke Tingkang.”
Melihat biaya yang diberikan
itu jauh melebihi biasanya, juragan perahu menjadi girang, tanpa banyak cincong
lagi ia lantas angkat sauh dan meluncurkan perahunya ke depan.
Sambil sembunyi di dalam
perahu beratap itu, diam-diam Pek Ban-kiam merancang apa yang harus
diperbuatnya nanti. Ia tahu di sekitar daerah Yangciu itu Tiang-lok-pang
mempunyai pengaruh kekuasaan sangat besar, asal jejaknya diketahui, dalam waktu
singkat orang-orang Tiang-lok-pang tentu akan dapat menyusulnya.
Ia bergirang dan sedih pula,
girangnya karena Ciok Tiong-giok yang telah dicarinya sekian lamanya itu
sekarang telah dapat ditangkapnya secara mudah sekali. Sedangkan sedihnya
adalah lantaran para Sute dan Sumoaynya juga ditawan pihak Tiang-lok-pang,
entah cara bagaimana harus menolong mereka?
Khawatir kalau-kalau Ciok
Boh-thian pura-pura saja, maka tidak sampai satu jam segera ia menutuk lagi
beberapa tempat Hiat-to di tubuh pemuda itu. Ketika perahu itu sampai di muara
sungai Kwaciu dan masuk di perairan Tiangkang, sementara itu Ciok Boh-thian
sudah berulang-ulang ditutuk sehingga beberapa puluh kali banyaknya.
Sesudah perahu itu masuk
perairan Tiangkang, segera Ban-kiam berkata, “Juragan perahu, perahumu boleh
kau luncurkan saja ke hilir ini, kutambah lagi lima tahil perak untukmu.”
Juragan perahu itu girang
setengah mati, berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, katanya, “Hadiah
tuan penumpang ini sungguh teramat besar, cuma perahuku ini terlalu kecil dan
tidak kuat menahan gelombang ombak Tiangkang ini, untuk bisa berlayar terus
hanya bisa dilakukan dengan menyusur tepi sungai saja.”
“Terserah, asal menyusur tepi
utara saja,” kata Ban-kiam.
Setelah perahu itu berlayar
lebih 20 li jauhnya, tertampak di tepi sungai sana ada sebuah kelenteng kecil
berdinding kuning. Segera Ban-kiam berdiri ke haluan perahu dan bersuit
sekeras-kerasnya. Maka terdengarlah suara suitan pula dari dalam kelenteng itu.
“Menepi di sini, juragan
perahu!” seru Ban-kiam.
Tanpa bicara juragan perahu
lantas merapatkan perahunya ke tepi sungai. Ia menancapkan galahnya dan
menambat perahunya, baru saja dia hendak pasang papan loncatan, tahu-tahu Pek
Ban-kiam sudah melompat ke daratan dengan mengempit Ciok Boh-thian.
Juragan perahu itu sampai
kaget dan kesima melihat cara penumpangnya melompat seperti terbang itu.
Dan baru saja Ban-kiam
mendarat, seketika ia disambut dengan sorak gembira oleh belasan orang yang
keluar dari kelenteng tadi. Kiranya mereka adalah rombongan kedua dari murid
Swat-san-pay. Ketika melihat Ban-kiam mengepit seorang pemuda, serentak mereka
bertanya, “Pek-suko, apakah dia?”
Jilid 15
Ban-kiam membanting Boh-thian
ke tanah, katanya dengan gusar, “Para Sute, beruntung sekali akhirnya anak
durhaka ini dapat kita tangkap. Masakah kalian sudah pangling padanya?”
Waktu semua orang
mengamat-amati Ciok Boh-thian, lapat-lapat mereka masih mengenali dia adalah
Ciok Tiong-giok, itu anak yang lincah dan nakal di Leng-siau-sia dahulu. Saking
gemasnya segera ada yang mendepak, ada pula yang meludahi Boh-thian.
“Harap saudara-saudara jangan
melukai dia,” ujar seorang murid yang berusia agak lanjut. “Hasil Pek-suko yang
gilang-gemilang ini sungguh harus dibuat bersyukur dan diberi selamat.”
Namun Ban-kiam menggeleng
kepala sahutnya, “Meski bocah ini dapat kita tangkap kembali, tapi tujuh orang
Sute dan Sumoay kita telah jatuh di tangan musuh, sesungguhnya kita lebih
banyak rugi daripada untungnya.”
Sambil bicara mereka lantas
berjalan ke dalam kelenteng kecil itu.
Kelenteng kecil yang sudah
bobrok itu adalah kelenteng Tho-te-bio (kelenteng Toapekong) yang tiada
penghuninya, sebab itulah murid-murid Swat-san-pay telah menggunakannya sebagai
pos penghubung.
Begitulah, orang-orang
Swat-san-pay itu lantas mengeluarkan daharan yang tersedia untuk Pek Ban-kiam.
Habis itu mereka lantas berunding apa tindakan selanjutnya.
Kata Ban-kiam, “Kita sudah
dapat menangkap anak durhaka ini, maka kita harus mengirimnya pulang ke
Leng-siau-sia untuk diserahkan kepada Ciangbunjin. Walaupun tujuh orang Sute
dan Sumoay kita tertawan musuh, kukira jiwa mereka tidak perlu dikhawatirkan, rasanya
orang Tiang-lok-pang takkan berani mengganggu mereka. Sekarang aku akan membagi
tugas kepada kalian. Thio-sute, Ong-sute dan Tio-sute, kalian adalah orang
selatan, maka boleh tinggal di kota Yangciu dengan menyamar untuk memata-matai
pihak musuh dan memerhatikan keadaan ketujuh Sute dan Sumoay kita yang tertawan
itu, tapi jangan sekali-kali bertindak sendiri-sendiri.”
Segera Thio, Ong dan Tio
bertiga mengiakan.
Lalu Pek Ban-kiam menyambung,
“Ang Ban-ek, Ang-sute, orangnya sangat cerdik, ilmu silatnya juga tinggi,
sesudah kalian mengadakan kontak dengan dia, maka kalian harus menurut kepada
pesannya. Janganlah kalian mentang-mentang sebagai Suheng, lalu berlagak
sehingga membikin urusan menjadi runyam.”
Ketiga orang itu sangat hormat
dan segan kepada Pek-suheng ini, maka berulang-ulang mereka mengiakan lagi.
“Sekarang kita harus lekas
menyeberang ke selatan, lebih dulu kita mengitar ke sana baru kemudian pulang
ke Leng-siau-sia,” kata Ban-kiam pula. “Walaupun perjalanan menjadi lebih jauh,
tapi orang-orang Tiang-lok-pang pasti tidak menduga jurusan kita tempuh ini.”
Dan ucapan ini nyata sekali tanpa tedeng aling-aling ia telah menunjukkan rasa
jerinya kepada pihak Tiang-lok-pang.
Dalam pada itu hari sudah
mulai gelap. Ban-kiam menghela napas dan berkata pula, “Perjalanan kita ini
walaupun telah berhasil membakar Hian-soh-ceng serta dapat menangkap murid Ciok
Tiong-giok ini, tapi kita telah kehilangan dua orang Sute yang terbunuh secara
penasaran Kheng-sute dan lain ditawan musuh pula, semua ini benar-benar sangat
memalukan golongan kita, Kalau diusut pokok pangkalnya segalanya adalah
lantaran pimpinanku yang tidak becus ini.”
“Pek-suko tidak perlu mencela
dirinya sendiri,” ujar Houyan Ban-sian, seorang Sutenya yang berumur paling
tua. “Padahal sebab musababnya yang sesungguhnya adalah karena kita semua ini
kurang tekun belajar, kita sudah mendapat didikan Suhu, tapi dalam perguruan
kita selain Hong-suheng dan Pek-suheng berdua yang lain-lain hanya berhasil
mendapatkan sedikit bulu dan kulit ajaran Suhu saja dan tidak dapat mempelajari
intisarinya.”
“Ya, dasar kita ini memang
seperti katak di dalam tempurung,” kata seorang Sutenya yang berbadan gemuk dan
bernama Bun Ban-hu. “Di waktu kita saling bertanding di antara kita sendiri di
Leng-siau-sia, kita semua sama menganggap dirinya sendiri sudah jagoan, sudah
kampiun. Tak terduga setelah berada di dunia luar barulah kita sadar kita ini
terlalu pecak. Pek-suko baru akan berangkat kalau hari sudah gelap, mumpung
masih ada waktu dan kita juga lagi iseng, maka diharap Pek-suko suka
menggunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk sejurus-dua kepada kami
sekalian.”
Para Suheng dan Sutenya
serentak bersorak menyatakan setuju.
Maka berkatalah Ban-kiam,
“Sebenarnya ilmu silat yang diajarkan Tiatia (ayah) kepada para saudara sedikit
pun tiada bedanya seperti apa yang diajarkannya kepadaku, sama sekali beliau
tiada pernah pilih kasih. Seperti Hong-suheng, dia lebih giat dan lebih tekun
belajar daripadaku, maka kepandaiannya juga lebih tinggi daripadaku.”
“Ya, bahwasanya Suhu tidak
pernah pilih kasih, hal ini kita mengetahui semua,” kata Bun Ban-hu, “Soalnya
kita sendirilah yang terlalu bodoh dan tak dapat memahami intisari ajaran
beliau.”
“Baiklah, kepulangan kita ke
Leng-siau-sia ini besar kemungkinan masih akan banyak mengalami
rintangan-rintangan, kalau kita bisa tambah sedikit kepandaian akan berarti
kekuatan kita bertambah pula,” kata Ban-kiam, “Nah, Houya-sute dan Bun-sute,
kalian boleh coba-coba mulai bergebrak, Tio-sute dan Ong-sute silakan pasang
mata di luar, kalau ada sesuatu yang mencurigakan hendaklah segera memberi
tahu.”
Sebenarnya Tio dan Ong berdua
sangat ingin menyaksikan latihan para Suheng dan Sute dengan petunjuk-petunjuk
dari Pek-suheng, kesempatan ini biasanya jarang terjadi, tapi mereka justru
disuruh meronda di luar, tentu saja dalam hati mereka merasa enggan, tapi
mereka juga tidak berani menolak perintah sang Suheng itu, terpaksa mereka
keluar dengan rasa kurang senang.
Segera Houyan Ban-sin dan Bun
Ban-hu menghunus pedang masing-masing dan pasang kuda-kuda. Bun Ban-hu adalah
Sute, ia berseru, “Silakan mulai, Houyan-suko!”
Dengan memegang pedangnya
terbalik, lebih dulu Houyan Ban-sian memberi hormat kepada Ban-kim dan berkata,
“Harap Pek-suko memberi petunjuk-petunjuk seperlunya!”
Dan sesudah Pek Ban-kiam
mengangguk, segera Ban-sian memutar pedangnya ke atas terus membuka
serangannya, ia menusuk ke bahu kiri Bun Ban-hu. Itulah jurus “Lau-ki-heng-sia”
(ranting pohon bertumbuh miring) dari Swat-san-kiam-hoat.
Kiranya di dalam kota Leng-siau-sia
banyak tumbuh Bwe-hoa. Cikal bakal mereka yang menciptakan ilmu pedang itu pun
sangat suka kepada bunga Bwe, sebab itulah di dalam gerak ilmu pedangnya itu
banyak diseling dengan gaya bunga Bwe, tangkai Bwe, dahan Bwe dan sebagainya.
Bunga Bwe yang bagus biasanya tumbuh dalam keadaan gundul, dahannya
jarang-jarang dan tak berdaun, sebaliknya kuntum bunganya lebat dan
menggerombol.
Sebab itulah ilmu pedang yang
dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu terkadang sangat lambat dan tenang,
terkadang cepat dan kerap pula dengan sinar pedang kemilauan sebagai bunga
salju yang bertebaran tertiup angin.
Dalam pada itu Ciok-Boh-thian
yang tertutuk dan dilemparkan begitu saja di samping ruangan sana itu tiada
seorang pun yang menggubrisnya.
Sebenarnya perutnya sudah
sangat lapar, dalam keadaan iseng coba-coba ikut menonton latihan ilmu pedang
yang dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu.
Lwekang Boh-thian sekarang
sudah sangat sempurna, hanya saja mengenai ilmu pukulan atau ilmu pedang dan
sebagainya sama sekali ia tidak becus, namun ilmu silat umumnya harus
menggunakan Lwekang sebagai dasar, ilmu pukulan dan lain-lain hanya gerakan
yang dikerahkan oleh tenaga dalam itu. Karena di waktu kecilnya Boh-thian
sering berburu binatang dan menangkap burung, maka pada dasarnya gerak-geriknya
sudah gesit dan cekatan. Sejak dia berhasil pula melatih Lo-han-hok-mo-kang
yang berasal dari boneka-boneka itu, maka tokoh-tokoh kelas satu seperti Pwe
Hay-ciok atau Cia Yan-khek sekalipun juga bukan tandingannya lagi.
Setelah mengikuti sejenak
pertandingan dan serang-menyerang antara Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu, ia
menjadi ketarik dan merasa dirinya juga bisa. Ia merasa serang-menyerang kedua
orang itu seperti permainan anak kecil saja, sudah terang satu tusukan asal
disorong maju sedikit lagi tentu akan mengenai sasarannya, tapi justru tenaga
penyerangnya sudah habis dikerahkan dan terpaksa hanya mencapai jarak tertentu
saja dan gagal mengenai lawannya.
Boh-thian pikir mungkin karena
mereka adalah sesama saudara seperguruan dan hanya latihan saja, maka dengan
sendirinya tidak saling menyerang dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba terdengar Pek
Ban-kiam membentak “Berhenti dulu!”
Lalu ia maju ke tengah, ia
ambil pedangnya Houyan Ban-sian dan memberi contoh, katanya, “Tusukanmu barusan
ini kalau disorong maju dua senti lagi tentu sudah memperoleh kemenangan.”
Boh-thian menjadi senang
karena apa yang dikatakan Pek Ban-kiam itu cocok benar dengan pikirannya tadi,
Tapi mengapa penyerangnya itu sengaja tidak mau menusuk dengan lebih maju
sedikit?
Sementara itu kelihatan Houyan
Ban-sian telah mengangguk dan menjawab, “Petunjuk Pek-suko memang tepat. Cuma
serangan Siaute barusan ini telah dilakukan dengan sekuatnya dan sampai di sini
tahu-tahu tenaga dalam sudah habis dikerahkan sehingga susah disorong maju
lebih jauh lagi.”
Ban-kiam tersenyum, katanya,
“Untuk mencapai tenaga dalam yang kuat memang bukan latihan dalam satu-dua hari
saja. Lwekang yang kupelajari pada hakikatnya juga tiada bedanya dengan Lwekang
yang dipelajari para Sute. Namun demikian, kekurangan tenaga dalam masih dapat
dibantu dengan menggunakan perubahan-perubahan ilmu pedang. Sesungguhnya
Lwekang golongan kita juga tiada sesuatu yang luar biasa, dibandingkan Lwekang
golongan lain seperti Siau-lim-pay Go-bi-pay, Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, meski
masing-masing golongan mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri tapi sejarah
golongan kita masih terlalu muda sehingga tak dapat membandingi
golongan-golongan yang bersejarah ratusan tahun itu. Namun begitu ilmu pedang
golongan kita sesungguhnya dapat dikatakan tiada bandingannya di dunia ini.
Maka dari itu di kala berhadapan dengan musuh hendaklah para Sute menggunakan
keunggulan pihak sendiri untuk menyerang kelemahan musuh, janganlah mengadu
tenaga dalam dengan orang, tapi gunakanlah perubahan-perubahan ilmu pedang kita
yang hebat ini untuk merebut kemenangan.”
Para Sutenya sama mengangguk
dan membenarkan analisis sang Suheng yang ternyata tepat sekali itu.
Kiranya ketua Swat-san-pay
yang sekarang, Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam, pada
waktu kecilnya secara kebetulan telah minum obat mukjizat sehingga tenaga
dalamnya mendadak maju sangat pesat dan dapat menandingi latihan orang selama 40-50
tahun.
Sebenarnya Lwekang
Swat-san-pay itu tidak dapat menandingi golongan lain, tapi Pek Cu-cay telah
mengambil jalan lain yang lebih cepat sehingga tenaga dalamnya menjadi lebih
tinggi malah dibandingkan tokoh-tokoh Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain.
Sudah tentu obat mukjizat
begitu hanya bisa diketemukan secara kebetulan dan tak dapat dicari. Walaupun
tenaga dalam Pek Cu-cay sendiri sangat kuat tapi anak muridnya yang berjumlah
tidak sedikit itu justru lemah dalam hal Lwekang. Dasar watak Wi-tek Siansing
itu memang suka unggul, maka selamanya ia tidak menjelaskan titik kelemahan
golongannya sendiri kepada para muridnya.
Anak muridnya yang hidup
terpencil di pegunungan bersalju itu karena kurang penerangan lantas menganggap
ilmu pedang dan Lwekang golongannya tersendiri terhitung nomor wahid di kolong
langit ini. Baru sesudah mereka berulang-ulang terjungkal di daerah Tionggoan,
sekarang Pek Ban-kiam secara terus terang telah menguraikan titik kelemahan
golongannya sendiri dan barulah mereka sadar semuanya.
Begitulah Pek Ban-kiam lantas
memberi petunjuk-petunjuk tentang di mana letak kehebatan perubahan ilmu pedang
Swat-san-pay itu sejurus demi sejurus. Sesudah Houyan Ban-sian dan Ban Ban-hu,
lalu berganti pula dua orang Sutenya yang lain. Kemudian Houyan Ban-sian dan
Bun Ban-hu disuruh menggantikan Tio dan Ong yang pasang mata di luar itu.
Ilmu pedang yang dimainkan
orang-orang Swat-san-pay itu sebenarnya tidak banyak bedanya satu sama lain.
Dasar Ciok Boh-thian memang
pintar, pondamen tenaga dalamnya sudah sangat kuat pula, ditambah lagi Pek
Ban-kiam telah memberi petunjuk-petunjuk dengan sungguh-sungguh yang diikuti
Ciok Boh-thian dengan saksama.
Maka sampai dengan pasangan
ketujuh dari pertandingan anak murid Swat-san-pay itu, dari 72 jurus
Swat-san-pay itu telah dipahami seluruhnya oleh Ciok Boh-thian, walaupun
nama-nama dari jurus-jurus ilmu pedang itu tak teringat dengan lengkap,
intisari dari perubahan-perubahan ilmu pedang itu pun susah dipahami seketika,
tapi bilamana diserang lawan, maka cara menangkis dan cara balas menyerang
sudah tercakup di dalam rekaannya, bahkan ilmu pedang yang dia reka itu jauh
lebih bagus dan jitu daripada murid-murid Swat-san-pay itu, sebaliknya cocok
sekali dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Pek Ban-kiam kepada
Sute-sutenya.
Terkadang apa yang direka oleh
Ciok Boh-thian itu juga agak bodoh, ilmu pedang yang digunakan murid
Swat-san-pay itu ada lebih bagus daripada rekaannya, dan petunjuk yang
diberikan Pek Ban-kiam juga lebih bagus setingkat lagi.
Jika demikian, maka ini
berarti Ciok Boh-thian sudah lebih mendalami satu jurus ilmu pedang itu.
Begitulah dengan asyik sekali
semua orang mencurahkan perhatian dalam mempelajari ilmu pedang, yang belajar
lupa lelah, yang menonton lupa lapar, sehingga semua murid Swat-san-pay itu
selesai latihan, Swat-san-kiam-hoat itu telah dimainkan beberapa kali secara
berulang-ulang oleh anak murid Swat-san-pay, maka Ciok Boh-thian juga telah
paham hampir seluruhnya dari ilmu pedang itu.
Diam-diam Boh-thian juga heran,
“Sudah begitu lama orang-orang ini melatih ilmu pedang, mengapa permainan
mereka sedemikian jeleknya, sudah terang jurus-jurus ilmu pedang ini sangat
gampang, tapi mereka justru tidak dapat melakukannya dengan jitu.”
Ia tidak tahu bahwa
Lo-han-hok-mo-kang yang telah dipelajarinya dari boneka-boneka itu adalah
semacam Lwekang mahatinggi dari Siau-lim-pay yang merupakan ikhtisar atau
saripati dari ilmu silat Siau-lim-pay yang paling dalam.
Dengan memiliki pengetahuan
Lwekang yang tinggi itu, terhadap setiap ilmu silat umumnya adalah laksana
orang memandang bumi dari puncak gunung, segala apa dapat dilihatnya dengan
jelas dan boleh dikata tiada artinya lagi baginya.
Selagi Boh-thian
termenung-menung sendiri, tiba-tiba terdengar Pek Ban-kiam menghela napas
panjang sambil melemparkan pedangnya.
Keruan para Sutenya saling
pandang dengan heran, mereka tidak paham apa maksud sang Suheng dengan menghela
napas panjang dan membuang pedangnya itu.
Tertampak sorot mata Pek
Ban-kiam kemudian beralih kepada Ciok Boh-thian yang mendoprok bersandar di
pilar sana, dengan muka muram dan suara serak ia berkata, “Sejak bocah ini
masuk perguruan kita, hanya dalam waktu dua-tiga tahun saja dia sudah dapat
memahami intisari ilmu silat golongan kita, walaupun kekuatannya masih kalah
daripada para paman gurunya yang sudah belajar belasan tahun, tapi dalam hal
kecerdasan dan perubahan-perubahan gerak menurut keadaan dia ada lebih pintar,
hal ini cocok benar dengan ilmu pedang kita yang memang mengutamakan kegesitan
dan perubahan-perubahan cepat. Sebab itulah Hong-suko menaruh harapan sangat
besar kepadanya, bahkan Ciangbunjin sendiri juga menunjukkan perhatian dan
berharap dia yang akan mengembangkan kejayaan golongan kita. Tapi, siapa duga
... ai, at ... ai ....” berulang-ulang ia menghela napas panjang sampai tiga
kali, betapa rasa sayang dan menyesalnya kentara sekali pada wajahnya itu.
Hendaklah maklum bahwa
“Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, bahkan
pengalaman dan pengetahuannya juga sangat luas.
Sesudah menyaksikan
latihan-latihan Sutenya itu, ia merasa semua Sute itu terbatas oleh bakat
pembawaan masing-masing, biar betapa pun giatnya mereka berlatih juga susah
mendapat tingkatan tertinggi. Ia menjadi teringat kepada nasib golongannya
sendiri yang tiada mempunyai ahli waris yang baik maka ia sangat menyesal.
Mestinya Ciok Boh-thian seorang pemuda pilihan yang jarang terdapat, tapi anak
muda itu justru tidak baik kelakuannya, sebab itulah ia menghela napas dan
bersedih mengingat nasib golongan Swat-san-pay kelak.
Ciok Boh-thian menjadi terharu
juga ketika melihat sorot mata Pek Ban-kiam yang memandang ke arahnya itu penuh
kasih sayang padanya, walaupun tidak paham kandungan hati tokoh Swat-san-pay
itu tapi diam-diam timbul juga rasa terima kasihnya.
Begitulah suasana dalam
kelenteng sunyi itu untuk sekian lamanya menjadi sunyi senyap.
Selang sebentar, mendadak Pek
Ban-kiam menggunakan ujung kaki kanan untuk menutuk gagang pedang yang
dilemparkan ke lantai tadi, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan kena
dipegangnya. Dengan perlahan-lahan ia menuju ke pelataran. Tiba-tiba ia
berseru, “Sobat dari manakah itu, silakan turun saja untuk bicara?”
Para murid Swat-san-pay
menjadi terperanjat. Serempak mereka menduga tentu orang-orang Tiang-lok-pang
yang telah datang? Anehnya mengapa Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu yang menjaga
di luar itu sama sekali tidak memberi tanda bahaya apa-apa? Datangnya musuh juga
sama sekali tak bersuara, mengapa Pek-suko dapat mengetahui?
Selagi semua orang
berkebat-kebit, terdengarlah suara jatuhnya benda yang perlahan, tahu-tahu di
tengah pelataran sana sudah bertambah dua orang.
Yang satu berbaju hitam mulus,
yang lain adalah wanita yang berpakaian putih mulus.
Kedua orang itu sama-sama
membawa pedang yang terselip di punggung mereka, di waktu melompat turun mereka
hanya mengeluarkan suara yang perlahan, hal ini sudah menang angin lebih dulu,
ditambah lagi kedua orang sama-sama gagah dan cantik sehingga membuat kesengsem
setiap orang yang melihatnya.
Segera Pek Ban-kiam memberi
hormat dan berseru pula, “Kiranya adalah Ciok-cengcu dan nyonya dari
Hian-soh-ceng yang telah datang!”
Suami-istri yang datang ini
memang benar adalah Ciok Jing dan Bin Ju. Wajah Ciok Jing tampak bersenyum
simpul, ia membalas hormat dan berkata, “Pek-suheng telah berkunjung ke tempat
kami, kebetulan kami suami-istri tiada di rumah dan tidak memberi penyambutan
yang layak, untuk ini hendaklah suka memberi maaf.”
Anak murid Swat-san-pay yang
pernah bertemu dengan Ciok Jing di Hau-kam-cip tempo hari semuanya telah
tertawan di markas Tiang-lok-pang, sedangkan rombongan ini tiada yang kenal
suami-istri itu, maka mereka menjadi tergetar ketika mendengar yang datang ini
adalah Ciok Jing bersama istrinya. Pikir mereka, “Kami sudah membakar
perkampungannya, entah mereka sudah tahu atau belum?”
Tak terduga Pek Ban-kiam
lantas bicara secara terus terang saja, katanya, “Kunjungan kami ke Tionggoan
ini adalah untuk mencari putramu, karena putramu tidak diketemukan, dalam
gusarnya aku telah membakar kampung kediamanmu.”
Wajah Ciok Jing yang tersenyum
itu sama sekali tidak berubah demi mendengar keterangan itu. Sahutnya,
“Perkampungan kami itu memangnya tidak bagus bangunannya, kalau Pek-suheng
merasa tidak suka dan telah mewakilkan Siaute membakarnya, hal ini menjadi
kebetulan malah. Untuk mana aku mengucapkan banyak terima kasih atas kemurahan
hati Pek-suheng yang telah sudi menyingkirkan dulu semua penghuni rumah
sehingga tiada satu ekor ayam atau itik yang terbakar mati, ini menandakan hati
Pek-suheng yang welas asih patut dipuji.”
“Pelayan dan penjaga kediaman
Ciok-cengcu itu toh tiada berdosa, kami mana boleh sembarangan membikin susah
orang lain? Buat apa Ciok-cengcu mesti berterima kasih segala?” sahut Ban-kiam.
“Para kesatria Swat-san-pay
sesungguhnya sangat sayang kepada putraku itu, cuma sayang anak itulah yang
tidak genah sehingga sangat mengecewakan harapan Pek-locianpwe, Hong-suheng dan
Pek-suheng, sungguh kami merasa terima kasih dan malu pula,” demikian kata Ciok
Jing. “Apakah Pek-locianpwe baik saja? Begitu pula tentunya Pek-lohujin (nyonya
besar Pek, ibu Pek Ban-kiam)?”
Habis berkata bersama sang
istri mereka sama membungkuk tubuh sebagai tanda menghormat kepada ayah dan
ibunya Pek Ban-kiam.
Ban-kiam membalas hormat itu,
sahutnya, “Atas doa Ciok-cengcu berdua, ayah sendiri dalam keadaan baik saja,
sedangkan ibu berhubung dengan perkara putramu itu, sekarang beliau tidak
berada di Leng-siau-sia lagi.”
Sampai di sini, tertampaklah
air mukanya yang menyesal dan sedih.
“Pek-lohujin berkepandaian
tinggi dan berbudi luhur, selama hidup beliau banyak melakukan kebajikan, siapa
orangnya di dunia Kangouw yang tidak kagum padanya,” kata Ciok Jing. “Sekali
ini beliau hanya keluar sekadar berlibur, tentulah keadaan beliau akan
baik-baik dan sehat walafiat.”
“Banyak terima kasih atas
pujian Ciok-cengcu, semoga dengan demikianlah adanya,” sahut Ban-kiam. “Cuma
saja usia ibu sudah lanjut, sekarang berkelana pula di Kangouw, sebagai anak
mau tak mau ikut berkhawatir juga.”
“Ini menandakan kebaktian
Pek-suheng yang terpuji,” ujar Ciok Jing. “Sebagai anak orang harus berbakti
kepada orang tua, sebagai orang tua wajib mendidik putra-putrinya, semua ini
adalah sifat manusia yang umum. Sekalipun kelakuan putra-putrinya tidak pantas,
di samping menyesal, sebagai orang tua terpaksa hanya dapat memberi ajaran
lebih keras saja kepada anak-anaknya.”
“Ciok-cengcu adalah tokoh yang
dihormati dan disegani orang-orang Bu-lim, kalau tidak salah di pendopo
Hian-soh-ceng kalian tergantung sebuah pigura besar yang bertuliskan
“Oh-pek-hun-beng (hitam atau putih harus dibeda-bedakan secara tegas). Entah
betul tidak adanya pigura itu?”
“Betul,” sahut Ciok Jing.
“Tapi entah pigura bertuliskan empat huruf itu sekarang berada di mana?”
“Sudah kubakar,” sahut
Ban-kiam.
“Bagus!” kata Ciok Jing.
“Putraku adalah murid Swat-san-pay kalian, jika melanggar peraturan perguruan
adalah seharusnya mendapat hukuman setimpal dari pimpinan dan gurunya, apakah
akan dihajar atau dibunuh, sebagai orang tua kami tak dapat ikut campur, ini
adalah peraturan Bu-lim yang tak bisa di ganggu gugat. Untuk ini waktu di
Hau-kam-cip tempo hari kami pernah menyerahkan pedang hitam putih kepada
kawan-kawanmu dengan pernyataan kami akan menggiring anak durhaka itu ke
Leng-siau-sia untuk menukar sepasang pedang kami itu, bukankah kejadian ini
juga telah diketahui oleh Pek-suheng?”
Tentang sepasang pedang
hitam-putih itu Pek Ban-kiam memang sudah mendapat tahu dari Kheng Ban-ciong,
Kwa Ban-kin dan lain-lain, diketahui pula bahwa sepasang pedang itu telah
dirampas orang di tengah jalan, perampas pedang itu kemungkinan adalah tokoh-tokoh
yang disegani orang-orang Bu-lim, yaitu Thian-kisu Cia Yan-khek. Sekarang
didengarnya Ciok Jing menyinggung tentang sepasang pedangnya, tanpa terasa
mukanya menjadi merah. Sahutnya kemudian, “Ya, betul. Cuma pedang kalian itu
tiada kami bawa, kelak pasti akan kami aturkan kembali dengan baik.”
“Hahaha! Ucapan Pek-suheng ini
sungguh terlalu memandang enteng kepadaku ini,” seru Ciok Jing dengan tertawa.
“Kalian sekarang telah meringkus anakku, di samping itu senjata kami itu
ditahan pula dan tak dikembalikan, apakah ada peraturan demikian di dalam dunia
persilatan?”
“Habis bagaimana kalau menurut
pendapat Ciok-cengcu?” tanya Ban-kiam.
“Ucapan seorang laki-laki
sejati, biar bagaimanapun takkan ditarik kembali,” kata Ciok Jing. “Maka dari
itu hanya ada satu di antara dua, inginkan anak harus kembalikan pedang, bila
menahan pedang harus melepaskan anakku.”
Sebenarnya Pek Ban-kiam adalah
seorang tokoh terkemuka, bahwasanya sepasang pedang hitam putih telah direbut
orang, memangnya dia merasa malu terhadap Ciok Jing, maka pantasnya dia tidak
boleh putar lidah dan main menang sendiri. Tapi dia juga pernah bertukar
pikiran dengan Kheng Ban-ciong dan Sute-sute yang lain, menurut perkiraan
mereka bukan mustahil secara diam-diam Ciok Jing telah bersekongkol dengan Cia
Yan-khek, lebih dulu Ciok Jing pura-pura menyerahkan pedang-pedang pusaka
mereka sebagai jaminan, lalu minta Cia Yan-khek mencegat di tengah jalan dan
merebutnya kembali. Apalagi Ciok Tiong-giok telah menyebabkan kematian putri
tunggal kesayangannya itu, sekarang anak muda yang merupakan biang keladi dari
segala peristiwa menyedihkan ini sudah tertangkap, sudah tentu Ban-kiam tidak
rela melepaskannya begitu saja hanya karena ucapan Ciok Jing tadi.
Begitulah, sesudah berpikir
sejenak lalu ia berkata, “Permintaan Ciok-cengcu itu Cayhe tidak berani
memutuskannya sendiri, harap Ciok-cengcu suka memaafkan. Tentang sepasang
pedang kalian itu pendek kata adalah tanggung jawabku Pek Ban-kiam ini. Bila
orang she Pek ternyata tidak mampu mengembalikan sepasang pedang hitam-putih
itu, biarlah aku akan datang ke kediaman Ciok-cengcu dan menggorok leherku di
depan kalian untuk menebus dosa.”
Pernyataan Pek Ban-kiam ini
cukup tegas dan tanpa tawar-menawar lagi. Ciok Jing cukup kenal siapa Pek
Ban-kiam, yaitu seorang kesatria yang selalu pegang janji, kata-kata sesuai
dengan perbuatan. Sekarang dengan tegas Ban-kiam telah menanggung sepasang
pedangnya dengan jiwa sendiri, maka mau tak mau dia harus memercayainya. Namun
demikian dengan jelas dilihatnya putra kesayangan mereka meringkuk di lantai
yang kotor itu, betapa pun ia tidak tega membiarkannya dibawa pulang
orang-orang Swan-san-pay.
Lebih-lebih Bin Ju, sejak
berada di dalam kelenteng itu pandangannya tidak pernah meninggalkan lagi tubuh
si Boh-thian. Dia sudah berpisah sekian lamanya dengan putra kesayangannya,
sekarang dapat bertemu di tempat yang jauh ini, sungguh ia sangat ingin
menubruk maju untuk memeluknya. Sedari tadi air matanya sudah berlinang-linang
dan hampir-hampir menetes, apa yang dikatakan Pek Ban-kiam sama sekali tak
digubris olehnya. Cuma saja ia selalu tunduk kepada segala keputusan sang
suami, maka dia tidak ikut bicara melainkan tetap berdiri di samping Ciok Jing.
Maka Ciok Jing telah menjawab,
“Ah, ucapan Pek-suheng terlalu sungguh-sungguh, hanya sepasang senjata kami itu
terhitung apa? Mana boleh dipersamakan dengan badan Pek-suheng yang berharga?
Hanya saja sebagai orang Kangouw segala apa kita mengutamakan keadilan.
Sekalipun ilmu pedang Swat-san-pay sangat hebat dan orangnya berjumlah banyak,
tapi juga tidak boleh berbuat sesukanya, sudah mau pedangnya, ingin orangnya
pula. Nah, Pek-suheng, sekarang juga bocah ini akan kami bawa pulang saja.”
Bicara sampai di sini,
tiba-tiba pundak kirinya sedikit bergerak, ini adalah isyarat kepada istrinya
agar lolos pedang dan menyerang bersama.
Benar juga, segera pandangan
semua orang menjadi silau oleh gemerdepnya sinar pedang, tahu-tahu ujung pedang
Ciok Jing dan Bin Ju sudah menusuk ke arah Pek Ban-kiam. Kira-kira belasan
senti di depan dada sasarannya, mendadak kedua pedang itu berhenti serentak.
“Silakan, Pek-suheng!” seru
Ciok Jing. Nyata, sebagai tokoh terkemuka mereka suami-istri tidak ingin
menyerang secara mendadak di kala pihak lawan belum siap siaga. Kalau Pek
Ban-kiam tidak meloloskan pedang untuk menangkis, maka tusukan mereka itu pun
tidak diteruskan ke depan.
Dengan sorot matanya yang
tajam Pek Ban-kiam menatap ujung pedang lawannya, mendadak ia melangkah maju
setengah tindak. Segera Ciok Jing dan Bin Ju menarik mundur pedang mereka, jarak
ujung pedang dengan dada sasarannya tetap belasan senti jauhnya.
Tapi mendadak Ban-kiam
meluncur satu tindak ke belakang, ketika kedua pedang Ciok Jing dan Bin Ju ikut
menjuju maju, maka terdengarlah suara “tring-tring” dua kali, Pek Ban-kiam
sudah melolos pedangnya dan telah balas menyerang malah. Tiga batang pedang
seketika menjangkitkan suatu lingkaran sinar yang kemilauan.
Pedang yang digunakan Ciok
Jing mestinya berwarna hitam mulus, tapi karena pedang itu sudah diserahkan
kepada orang Swat-san-pay sebagai jaminan bersama pedang istrinya, maka
sekarang yang dia pakai adalah sebatang pedang biasa.
Biasanya orang-orang
Swat-san-pay sangat mengagumi ilmu pedang Pek-suko mereka yang hebat, sekarang
mereka berpendapat biarpun dikerubut orang dua juga sang Suheng akan lebih
unggul. Maka mereka hanya menonton di samping saja dengan pedang terhunus.
Semula tertampak
serangan-serangan Ciok Jing dan Bin Ju yang dapat bekerja sama dengan sangat
baik itu dilakukan dengan lambat, tapi makin lama makin cepat sehingga sesudah
50 jurus lebih jurus-jurus serangan suami-istri itu susah dibedakan lagi.
Sebaliknya yang dimainkan Pek
Ban-kiam adalah Swat-san-kiam-hoat yang meliputi 72 jurus itu. Ilmu pedang yang
pasti dipelajari setiap murid Swat-san-pay ini tampaknya tiada sesuatu yang
luar biasa, tapi di bawah permainan Pek Ban-kiam ternyata tidak kalah lihainya
daripada ilmu pedang Ciok Jing berdua, baik bertahan maupun balas menyerang
dapat dilakukan dengan tepat dan menimbulkan daya tekanan yang hebat kepada
lawan.
Di dalam kelenteng kecil itu
hanya tersulut sebatang lilin saja, sinarnya agak guram sehingga menambah
seramnya suasana pertempuran itu.
Tadi waktu Ciok Jing dan
istrinya tiba, segera Ciok Boh-thian dapat mengenali Bin Ju adalah si wanita
cantik berhati luhur yang pernah memberi uang kepadanya di Hau-kam-cip tempo
dulu. Begitu datang suami-istri itu lantas tiada hentinya bicara dengan Pek
Ban-kiam, menyusul ketiga orang lantas lolos pedang dan bertempur sehingga
tiada memberi kesempatan kepada Ciok Boh-thian untuk menyapa dan bicara.
Sedangkan apa yang
dipercakapkan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam tadi juga tak dipahami Ciok Boh-thian,
hanya lapat-lapat diketahuinya Ciok Jing telah minta kembali sepasang pedang
kepada Pek Ban-kiam, selain itu mengenai diri seorang anak apa, cuma sama
sekali tak terduga olehnya bahwa yang dimaksudkan itu justru adalah Ciok Boh-thian
sendiri.
Tadi juga telah disaksikan
latihan ilmu pedang dari murid-murid Swat-san-pay, sekarang dilihatnya pula
Ciok Jing bertiga melolos pedang dan bertanding pula, ketiga orang tidak saling
membentak atau memaki, sikap mereka pun ramah tamah saja, maka disangkanya
mereka juga sedang latihan saja seperti tadi.
Sejenak kemudian ia lantas
memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Ciok-Jing dan istrinya. Segera
dapat diketahuinya bahwa ilmu pedang ketiga orang itu ternyata sangat berbeda.
Gerakan Ciok Jing sangat kuat
dan tangkas, sebaliknya Bin Ju lemah gemulai. Jurus ilmu pedang yang dimainkan
suami istri itu adalah sama, tapi yang satu keras dan yang lain lunak, yang
satu Yang (positif) dan yang lain Im (negatif), yang satu cepat dan yang lain lambat,
tenaga dalam yang digunakan berlawanan satu sama lain, tapi bila ketemu dengan
pedang Pek Ban-kiam, segera jurus pedang suami-istri itu tampaknya dapat
bekerja sama dengan sangat rapat dan dua menjadi satu.
Maklum bahwa suami-istri Ciok
Jing dan Bin Ju yang telah menikah selama dua puluh tahun itu tidak pernah
berpisah barang satu hari pun, juga tiada pernah absen satu hari tidak berlatih
pedang, maka ilmu pedang mereka sudah boleh dikatakan mencapai dua raga satu
pikiran. Dalam hal permainan berganda pedang, di dunia persilatan sudah tiada
bandingannya lagi.
Tentang teori ilmu pedang yang
mendalam itu sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham, tapi Lwekang yang telah
dimilikinya sekarang adalah sangat aneh, lebih dulu ia melatih Lwekang
mahadingin dari sesuatu orang, kemudian mendapat ajaran Lwekang mahapanas dari
Cia Yan-khek, akhirnya melalui “Lo-han-hok-mo-kang” yang merupakan Lwekang yang
paling sempurna itu sehingga kedua macam Lwekang dingin dan panas semula dapat
dilebur menjadi satu.
Ilmu pedang Ciok Jin dan Bin
Ju, sebenarnya dimainkan dengan Lwekang Im dan Yang yang tidak sama. Maka Ciok
Boh-thian hanya menonton sebentar saja lantas seperti menyadari sesuatu,
pikirannya, “Aneh, ilmu pedang mereka ini aku dapat memainkannya semua, tapi
entah sejak kapan aku telah mempelajarinya?”
Karena merasa ilmu pedang yang
dimainkan ketiga orang itu ia sendiri pun bisa, maka Ciok Boh-thian menjadi
girang tak terkatakan.
Tidak lama kemudian ia lantas
tahu juga bahwa dengan satu-lawan-dua keadaan Pek Ban-kiam lebih lemah dan
mulai terdesak.
Kiranya ilmu pedang dan tenaga
dalam Ciok Jing suami-istri masing-masing sebenarnya sama kuatnya, tapi
sekarang mereka berdua mengerubut Pek Ban-kiam seorang, dengan sendirinya
Ban-kiam kewalahan, cuma dalam ilmu pedang Ban-kiam itu ada suatu arus tenaga yang
ganas dan lihai, dasar Bin Ju memang lemah lembut, di waktu menyerang selalu
memberi kelonggaran, sebab itulah mereka bertiga dapat bertarung sampai sekian
lamanya. Padahal walaupun Bin Ju kelihatan lemah gemulai, tapi dalam hal ilmu
pedang sebenarnya sedikit pun tidak di bawah suaminya.
Begitulah, maka sesudah
beberapa puluh jurus, beruntun-runtun Pek Ban-kiam dua kali hampir dimakan
ujung pedang Bin Ju. Diam-diam Ban-kiam mengeluh. Namun dasar wataknya memang
keras, sekalipun dia mesti binasa di bawah pedang Ciok Jing suami-istri juga
dia pantang menyerah, maka dengan mati-matian ia masih terus bertahan.
Selang sejenak pula, sekarang
beberapa orang Swat-san-pay sudah mulai mengetahui keadaan sang Suheng yang
payah itu. Segera seorang di antaranya berteriak, “He, dua orang mengerubut
satu orang, huh, tidak tahu malu! Ciok-cengcu, jika kau berani silakan
bertempur satu-lawan satu dengan Pek-suko saja, kalau ingin main keroyokan
terpaksa kami juga akan menerjang maju semua!”
Namun Ciok Jing hanya tersenyum
saja, sahutnya sambil kerjakan pedangnya, “Apakah Hong-hwe-sin-liong Hong
Ban-li Hong-suheng berada di sini? Kalau Hong-suheng berada di sini dia boleh
main berganda bersama Pek-suheng dan kita berempat boleh coba-coba mengukur
ilmu pedang masing-masing.”
Terang sekali maksudnya hendak
mengatakan bahwa di antara anak murid Swan-san-pay sebanyak itu, selain
Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, maka yang lain-lain pasti tidak mampu main
ganda bersama Pek Ban-kiam untuk melawan mereka suami istri.
Padahal Ciok Jing juga tahu
bahwa dengan suami-istri mereka mengerubut Pek Ban-kiam seorang terang mereka
lebih kuat dan sebenarnya juga tidak pantas menurut peraturan Kangouw.
Tapi sekarang urusan
menyangkut mati-hidup putra kesayangannya, kalau anak muda itu sampai dibawa
pulang ke Leng-siau-sia, maka terang pasti akan dihukum mati.
Demi untuk menyelamatkan
putranya itu, saat inilah suatu kesempatan yang paling baik, walaupun kelak
akan dicerca sesama orang Bu-lim tentang mereka main kerubut dua lawan satu dan
bukan perbuatan kesatria sejati, terpaksa mereka tak peduli lagi. Apalagi di
dalam kelenteng ini di pihak Swat-san-pay masih ada belasan orang lagi, keadaan
demikian pun boleh dikatakan mereka suami-istri melawan belasan orang musuh.
Adapun soal kepandaian orang-orang Swat-san-pay yang lain itu terlalu rendah
untuk dapat melawan mereka, adalah salah pihak Swat-san-pay sendiri, siapa sih
yang suruh Swat-san-pay mendidik murid-murid segoblok itu?”
Di lain pihak Pek Ban-kiam
menjadi gusar ketika mendengar Ciok Jing menyebut nama Hong-hwe-san-liong Hong
Ban-li. Pikirnya, “Justru Hong-suko telah kehilangan sebelah lengannya
gara-gara perbuatan putramu yang durhaka itu, sekarang kau masih coba-coba
menyebut namanya dan ingin bertanding dengan dia?”
Pertandingan di antara
jago-jago kelas tinggi sebenarnya tidak boleh lena sedikit pun, apalagi
memencarkan pikirannya. Memangnya Pek Ban-kiam sudah terdesak, dalam gusarnya
itu gerak pedangnya menjadi lambat, saat itu ia sedang menyerang, tapi Ciok
Jing sempat menangkisnya dan segera dapat dilihatnya pula lubang kelemahan
Ban-kiam itu, ia kerahkan tenaga dalam ke batang pedang dan sekuatnya menekan
pedang lawan. Insaf keadaan yang berbahaya itu cepat Ban-kiam hendak menggeser
ke samping, namun lubang kelemahan yang hanya terlintas dalam sekejap saja itu
sudah digunakan oleh Bin Ju dengan baik, tahu-tahu ujung pedangnya sudah
menyambar tiba dan tepat menjurus ke dada Pek Ban-kiam.
Ban-kiam tahu serangan ini tak
bisa dielakkan lagi dan pasti akan menembus dadanya, maka ia pejamkan mata dan
terima nasib.
Tak terduga ujung pedang Bin
Ju hanya ditujukan kira-kira belasan senti berada di depan dadanya, lalu
ditariknya kembali segera. Berbareng mereka suami-istri lantas melompat mundur,
mereka menyimpan kembali pedang masing-masing dan berdiri tegak tanpa bicara.