Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 11-15

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 11-15 Si Kiam memandang sekedjap kepada anak muda itu, lalu serunja: “Siapakah jang berada diluar itu?”
 
Jilid 11

Si Kiam memandang sekedjap kepada anak muda itu, lalu serunja: “Siapakah jang berada diluar itu?”

“Hamba Tan Tiong-tji dari Say-wi-tong,” sahut orang itu.

“Atas perintah Pangtju hendaklah Tan-hiangtju tunggu sebentar,” seru Si Kiam pula.

“Baik,” sahut Tan Tiong-tji diluar kamar.

Segera sianak muda mengadjak Si Kiam kekamar dalam, lalu tanjanja dengan suara tertahan: “Sebenarnja aku ini siapa?”

Si Kiam mengerut kening, hatinja mendjadi sedih karena menjangka anak muda itu benar2 tidak ingat apa2 lagi atas dirinja sendiri. Djawabnja kemudian: “Engkau adalah Pangtju dari Tiang-lok-pang, she Tjiok bernama Boh-thian.

“She Tjiok bernama Boh-thian? Tjiok Boh-thian, kiranja aku ini bernama Tjiok Boh-thian, djadi namaku bukan Kau-tjap-tjeng lagi?” demikian sianak muda menggumam sendiri.

Melihat air muka anak muda merasa bingung dan gelisah, segera Si Kiam menghiburnja: “Siauya, kau tidak perlu risau, pelahan2 tentu kau dapat ingat kembali.”

“Tiang-lok-pang itu barang apa? Apa jang dilakukan Pangtjunja?” tanja pula si anak muda alias Tjiok Boh-thian.

Si Kiam menjadi serba sukar untuk menerangkan, sesudah memikir sedjenak, achirnja ia mendjawab: “Tiang-lok-pang mempunjai anggota2 sangat banjak, seperti Pwe-siansing, Bi-hiangtju dan Tan-hiangtju jang menunggu diluar itu. Engkau adalah Pangtju, maka mereka harus tunduk kepada perintahmu.”

“Lantas apa jang harus kubitjarakan dengan mereka?” tanja Tjiok Boh-thian.

“Aku sendiripun tidak tahu apa2,” sahut Si Kiam. “Siauya, djika engkau merasa susah mengambil keputusan, maka segala sesuatu boleh kau tanja kepada Pwe-siansing. Dia adalah Kunsu (penasehat) daripada Pang kita, dia sangat pintar.”

“Tapi sekarang Pwe-siansing tiada disini, apakah kau tahu Tan-hiangtju itu hendak melaporkan apa kepadaku? Djika dia tanja apa2 kepadaku, tentu aku tidak mampu mendjawabnja. Ada lebih baik kau suruh dia pergi sadja.”

“Suruh dia pergi mungkin bukan tjara jang baik,” udjar Si Kiam. “Kau boleh mendengarkan sadja apa jang dia katakan, apa jang dia laporkan, tjukup kau mengangguk sadja.”

“Baiklah, hanja mengangguk sadja tidak sukar,” kata Tjiok Boh-thian dengan girang.

Segera Si Kiam mengantar Tjiok Boh-thian menudju kesebuah ruangan tamu dibagian luar. Maka tertampaklah seorang laki2 tinggi besar lantas berbangkit dari tempat duduknja dan memberi hormat sambil menjapa: “Pangtju baik, terimalah salam hormat hamba Tan Tiong-tji.”

Tjiok Boh-thian membalas hormat dan berkata: “Tan…….Tan-hiangtju djuga baik, akupun memberi salam hormat padamu.”

Air muka Tan Tiong-tji berubah putjat dan tjepat melangkah mundur dua tindak.

Maklum, biasanja Tan Tiong-tji mengetahui sang Pangtju adalah seorang kasar, seorang sombong, kedjam dan suka main perempuan pula. Sebagai seorang bawahan ia memberi salam hormat padanja, siapa duga sang Pangtju djuga balas memberi salam hormat, hal ini menandakan pikiran djahatnja telah timbul dan segera akan membunuhnja. Walaupun takut, tapi dia adalah seorang kesatria jang berkepandaian tinggi, sudah tentu ia tidak mandah dibinasakan tanpa melawan, maka diam2 iapun sudah bersiap siaga, katanja dengan suara berat: “Entah hamba telah melanggar peraturan Pang kita pasal berapa? Djika Pangtju hendak mendjatuhkan hukuman djuga mesti mengadakan sidang terbuka dan mendjatuhkan keputusan didepan orang banjak.”

Dengan sendirinja Tjiok Boh-thian tidak paham apa jang dimaksudkan, katanja dengan heran: “Mendjatuhkan hukuman? Menghukum siapa?”

Tan Tiong-tji tambah penasaran, katanja dengan mendongkol: “Selamanja Tan Tiong-tji djudjur dan setia kepada Tiang-lok-pang dibawah pimpinan Pangtju, selama inipun tiada merasa berbuat salah, mengapa Pangtju ber-ulang2 menjindir?”

Tjiok Boh-thian mendjadi bingung. Tiba2 teringat pesan Si Kiam tadi jang menjuruhnja mengangguk sadja bila ada sesuatu jang tidak paham dan soalnja nanti boleh ditanjakan kepada Pwe Hay-tjiok. Maka ia lantas mengangguk sambil berkata: “Ja, ja, silakan Tan-hiangtju duduk dan djangan sungkan2.”

“Dihadapan Pangtju masakah ada tempat duduk bagi hamba,” sahut Tan Tiong-tji.

“Ja, ja!” kata Tjiok Boh-thian dengan bingung.

Djadi kedua orang hanja berdiri sadja dengan saling pandang, keduanja sama2 tidak membuka suara lagi. Kalau wadjah Tan Tiong-tji agak tjemas2 kuatir dan penuh kewaspadaan, sebaliknja air muka Tjiok Boh-thian mengundjuk rasa bingung, tapi bersenjum simpul ramah.

Menurut peraturan Tiang-lok-pang, dikala bawahan memberi laporan rahasia kepada sang Pangtju, maka orang lain harus menjingkir. Sebab itulah maka sedjak tadi Si Kiam sudah tingal keluar dari ruangan tamu itu. Kalau tidak tentu dia akan dapat memberi sekadar pendjelasan kepada Tan Tiong-tji tentang belum pulihnja kesehatan sang Pangtju dan minta Tan-hiangtju djangan kuatir.

Begitulah sesudah kedua orang itu tertegun sedjenak, tiba2 Tjiok Boh-thian melihat diatas medja ada dua mangkuk teh wangi, segera ia mengambil semangkuk, semangkuk lagi ia sodorkan kepasa Tan Tiong-tji: “Mari minum!”

Karena kuatir didalam teh itu ditaruh ratjun, pula kuatir mendadak diserang Tjiok Boh-thian, maka Tan Tiong-tji tidak berani menerima mangkuk teh itu, sebaliknja malah mundur selangkah. Maka terdengarlah suara “prang” jang njaring mangkuk itu djatuh kelantai dan petjah berantakan.

“Ai, maaf, maaf!” seru Tjiok Boh-thian, segera ia menjodorkan mangkuk jang satu lagi dan berkata: “Silakan minum jang ini sadja.”

Alis mata Tan Tiong-tji mendjengkit, ia pikir toh tidak dapat lolos dari maksud djahat sang Pangtju, seorang laki2 biarpun mati djuga tidak perlu takut. Maka tanpa pikir lagi ia lantas terima mangkuk itu dan sekali tenggak isi mangkuk itu lantas diminum habis. Ia gabrukan mangkuk the itu diatas medja, lalu berkata dengan rasa tjemas: “Sedemikianlah tjara Pangtju memperlakukan bawahanmu jang setia, semoga Tiang-lok-pang bahagia selamanja dan semoga Tjiok-pangtju pandjang umur.”

Sedikit banjak Tjiok Boh-thian dapat menangkap maksud kata2 “semoga Tjiok-pangtju berpandjang umur”, tjuma ia tidak tahu maksud utjapan Tan Tiong-tji itu adalah kebalikannja, maka ia lantas mendjawab: “Ja, semoga Tan-hiangtju djuga pandjang umur.”

Sudah tentu djawaban ini bagi pendengaran Tan Tiong-tji merupakan sindiran pula, ia tertawa dingin berkata didalam hati: “Djiwaku hanja tinggal sekedjap sadja, tapi kau masih mendoakan aku berpandjang umur, sungguh kedji amat kau.”

Namun demikian ia masih penasaran, serunja pula: “Entah dimana letak kesalahanku, makanja aku harus terima gandjaranku seperti sekarang, untuk ini Siok-he (bawahan) tidak ingin banjak omong lagi. Hanja sadja mengenai maksud kedatangan Siokhe ini jalah ingin memberi lapor kepada Pangtju, bahwasanja semalam ada dua wanita telah menjusup kemarkas Say-wi-tong, jang seorang adalah wanita setengah umur, jang satu lagi baru berusia 27-28 tahun. Kedua wanita itu semuanja menggunakan pedang, ilmu silat mereka seperti dari golongan Swat-san-pay. Siokhe bersama para kerabat berusaha menangkap mereka, tapi ilmu pedang kedua wanita itu terlalu lihay, tiga anak murid Siokhe telah mendjadi korban keganasan mereka, tapi wanita jang lebih muda itupun terluka kakinja dan achirnja tertawan. Untuk mana Siokhe sengadja datang kemari untuk minta keputusan Pangtju.”

“O, djadi jang satu tertangkap dan jang lain lolos,” kata Tjiok Boh-thian. “Entah kedua wanita itu mau apa datang kesini? Apakah hendak mentjuri ?”

“Dimarkas Say-wi-tong tiada kehilangan apa2,” sahut Tan Tiong-tji.

“Kedua wanita itu mengapa begitu kedjam, masakah sekaligus membunuh tiga orang,” kata Tjiok Boh-thian sambil mengerut kening. Tiba2 timbul rasa ingin tahunja, segera ia bertanja: “Eh, Tan-hiangtju, tjobalah kau membawa aku pergi melihat wanita itu.”

“Baik,” sahut Tan Tiong-tji dengan hormat.

Sesudah mereka keluar dari ruangan tamu, tiba2 timbul suatu pikiran dalam benak Tan Tiong-tji: “Wanita jang kutawan itu bermuka tjantik, boleh djadi Pangtju akan suka padanja dan dalam girangnja mungkin dia akan memberikan obat penawar padaku.” ~ Tapi lantas terpikir pula: “Tan Tiong-tji, wahai Tan Tiong-tji, Tjiok-pangtju adalah seorang jang kasar, girang dan marah tiada tertentu, rasanja Tiang-lok-pang ini bukanlah tempat bernaung jang baik bagimu. Kalau hari ini djiwamu beruntung dapat selamat, selandjutnja lebih baik kabur sadja sedjauh mungkin dan mengasingkan diri serta djangan berketjimpung pula didunia Kangouw.”

Begitulah Tjiok Boh-thian ikut Tan Tiong-tji menjusuri beberapa ruangan dan melalui dua buah taman, achirnja sampailah didepan sebuah pintu batu jang besar. Tertampak empat pendjaga bersendjata berdiri disitu. Melihat datangnja Tjiok Boh-thian dan Tan Tiong-tji, dengan gugup pendjaga2 itu memberi hormat. Ketika Tan Tiong-tji memberi tanda, segera dua pendjaga diantaranja mendorong daun pintu batu itu. Dibalik pintu batu itu kiranja masih ada sebuah pintu berterali besi jang dikuntji dengan gembok besar. Segera Tiong-tji mengeluarkan kuntji dan dibukanja sendiri.

Sesudah masuk, ternjata disitu adalah sebuah lorong jang pandjang, didalamnja ada api lilin besar. Pada udjung lorong ada empat pendjaga pula dan kembali menghadapi sebuah pintu berterali besi. Sesudah pintu terali dibuka, didalamnja ada sebuah pintu besi jang tebal. Setelah Tan Tiong-tji membuka gembok dan membuka pintu tebal itu, maka tertampaklah sebuah kamar batu kira2 tiga meter persegi. Seorang wanita berbadju putih tampak duduk mungkur. Waktu mendengar suara pintu terbuka, wanita itu lantas menoleh.

Segera Tan Tiong-tji menaruh Tjektay (tatakan lilin) diatas medja disamping pintu, tjahaja lilin dapat menerangi muka siwanita dengan djelas. Mendadak Tjiok Boh-thian berseru kaget: “Ha, bukankah engkau adalah nona Hoa, Hoa Ban-tji dari Swat-san-pay?”

Kiranja apa jang terdjadi di Hau-kam-tjip dulu masih teringat dengan baik olehnja. Walaupun sudah berselang beberapa tahun, namun wadjah Hoa Ban-tji itu tiada banjak berubah, maka begitu lihat Tjiok Boh-thian lantas mengenalnja. Sebaliknja dulu Tjiok Boh-thian adalah seorang pengemis ketjil jang dekil, hari ini pakaian sudah mewah dan berubah dewasa mendjadi seorang pemuda jang gagah dan tampan, dengan sendirinja Hoa Ban-tji tidak mengenalnja lagi.

Maka dengan marah2 Hoa Ban-tji berkata: “Mengapa kau mengenal diriku?”

Diam2 Tan Tiong-tji djuga kagum terhadap ketjerdasan sang Pangtju, hanja sekali lihat sadja lantas dapat mengatakan siapa dan dari mana asal-usul tawanannja itu. Segera ia membentak: “Ini adalah Pangtju kami, tjara bitjaramu harus tahu aturan sedikit!”

Hoa Ban-tji terkedjut. Sama sekali tak tersangka olehnja akan bertemu dengan Tiang-lok-pangtju Tjiok Boh-thian jang terkenal busuk itu. Kabarnja pangtju ini suka merusak kaum wanita, hari ini dirinja berada didalam tjengkeramannja, tentu lebih banjak tjelaka dari selamatnja. Karena itulah ia mendjadi kuatir dan tjepat berpaling kearah dinding agar wadjahnja jang tjantik itu tidak terlihat. Berbareng terdengar suara gemerintjingnja benda logam, kiranja kaki dan tangannja telah diborgol.

Diwaktu mendengarkan ibunja mendongeng, Tjiok Boh-thian pernah diberitahu tengan borgol dan lain2 dan baru hari ini ia melihat dengan mata sendiri bentuk borgol itu. Segera ia tanja Tan Tiong-tji: “Tan-Hiangtju, apa sih dosa nona Hoa ini sehingga kaki dan tangannja perlu diborgol.”

Sebabnja dia tanja adalah karena dia memang tidak paham. Tapi bagi pendengaran Tan Tiong-tji, disangkanja pertanjaan sang Pangtju itu bermaksud kebalikannja. Pikirnja: “Wah, tjelaka, mungkin Pangtju menganggap aku memperlakukan nona Hoa dengan tidak pantas, maka dia telah meratjuni diriku. Sedapat mungkin aku harus berusaha memperbaiki kesalahanku ini.” ~ Maka tjepat ia mendjawab: “Ja, ja, hamba memang salah.” ~ Segera ia mengeluarkan kuntji dan tjepat membuka borgol jang membelenggu kaki dan tangan Hoa Ban-tji itu.

Walaupun Hoa Ban-tji sekarang sudah merdeka, tapi ia mendjadi lebih2 kuatir sehingga gemetar.

Dalam hal ketjerdasan dan kepandaian silat Hoa Ban-tji jang berdjuluk Bwe-hoa-lihiap (pendekar bunga Bwe) itu tidaklah kalah daripada kesatria kaum lelaki. Kalau Tjiok Boh-thian mengantjam akan membunuhnja, betapapun tidak nanti dia menjerah. Tapi sekarang ia mendengar Tjiok Boh-thian malah menjalahkan Tan-hiangtju jang menawannja, terang dibalik utjapannja itu mengandung maksud tertentu atas dirinja, djelasnja dia telah dipenudjui oleh Tjiok Boh-thian. Padahal selama hidup ini dia selalu mendjaga diri dengan baik dan sampai saat ini masih sutji bersih, kalau sampai dinodai oleh Tjiok Boh-thian jang terkenal busuk itu, wah, benar2 bisa tjelaka.

Dalam pada itu Tan Tiong-tji djuga sengadja hendak membikin senang hati sang Pangtju, maka ia telah berkata: “Pangtju, mengapa nona Hoa tidak diadjak bitjara kekamar Pangtju sadja? Disini terlalu gelap dan kotor, bukan suatu tempat jang pantas untuk tetamu.”

“Ja, bagus,” sahut Tjiok Boh-thian dengan girang. “Marilah nona Hoa, disana tersedia sarang burung jang sangat enak, nanti kau boleh tjoba mentjitjipi satu mangkuk.”

“Tidak, tidak mau,” seru Hoa Ban-tji dengan suara gemetar.

“Enak, sungguh sangat enak, boleh kau tjoba dulu nanti”, kata Tjiok Boh-thian pula.

Hoa Ban-tji mendjadi gusar, sahutnja: “Kalau mau bunuh, lekas bunuh, nona adalah murid terhormat dari Swat-san-pay, tidak nanti sudi minta ampun padamu. Kau bangsat ini kalau menaruh maksud djahat padaku, aku lebih suka membunuh diri daripada…………datang kekamarmu.”

“Ai, mengapa kau bilang demikian, se-akan2 aku ini paling suka orang sadja, sungguh aneh, buat apa aku membunuh kau? Djika kau tidak dojan sarang burung ja sudah, ja, mungkin kau lebih suka makan ajam panggang dan bebek tim. Eh, Tan-hiangtju, apakah makanan2 demikian kita ada sedia?”

“Ada, ada, ada!” tjepat Tan Tiong-tji mendjawab. “Apa jang disukai nona Hoa, asal terdapat didunia ini tentu didapur kita djuga sedia.”

“Fui, biarpun mati djuga nona tidak sudi makan barang suguhan kalian jang hanja membikin kotor mulutku sadja,” sahut Ban-tji dengan marah.

“O, apa barangkali nona Hoa lebih suka belandja sendiri kepasar untuk dibawa pulang dan dimasak sendiri? Apakah kau mempunjai uang? Djika tidak punja, tentunja Tan-hiangtju punja, bukan? Harap kau berikan sedikit padanja,” demikian kata Tjiok Boh-thian.

“Ada, ada, segera kusuruh mengambilkan pada kasir!” ~ “Tidak, tidak, biar mati djuga aku tidak sudi!” demikian Tan Tiong-tji dan Hoa Ban-tji bersuara berbareng.

“Ah, mungkin kau sendiri sudah punja uang, Tan-hiangtju bilang kakimu terluka, kami akan minta Pwe-siansing mengobati lukamu, tapi tampaknja kau tidak suka kepada Tiang-lok-pang, maka bolehlah kau pergi mentjari tabib sendiri, kalau lukamu terlalu banjak mengeluarkan darah tentu akan kurang baik.”

Sudah tentu Hoa Ban-tji tidak pertjaja Tjiok Boh-thian mau membebaskan dia, ia menduga dirinja akan dipermainkan seperti kutjing menggoda tikus, maka dengan marah2 ia mendjawab: “Pendek kata aku takkan masuk perangkapmu biarpun kau pakai tipu muslihat apapun djuga.”

Tjiok Boh-thian mendjadi lebih heran, katanja: “Kamar batu ini mirip dengan pendjara, buat apa tinggal disini? Nona Hoa, lebih baik lekas kau keluar dari sini sadja.”

Karena mendengar utjapan itu agak sungguh2, Hoa Ban-tji mendengus dan berkata: “Hm, dimanakah pedangku, mau mengembalikan atau tidak?” ~ Ia pikir kalau sudah pegang sendjata, bila Tjiok Boh-thian akan berbuat tidak senonoh padanja tentu akan dapat membunuh diri biarpun tidak mampu melawannja.

“O, ja, nona Hoa suka pakai sendjata pedang. Tan-hiangtju, sukalah kau mengembalikan pedangnja ?” kata Tjiok Boh-thian.

“Ja, ja, pedangnja tersimpan diluar sana, silakan nona keluar dan segera akan kami kembalikan”, sahut Tan Tiong-tji.

Karena sudah bertekad akan membunuh diri maka Hoa Ban-tji tidak gentar terhadap tipu muslihat pula. Mendadak ia berbangkit terus melangkah keluar. Segera Tjiok Boh-thian dan Tan Tiong-tji mengikutinja dari belakang.

Sesudah tiba ditaman diluar pendjara itu, maka Hoa Ban-tji mendjadi silau oleh tjahaja sang surja. Walaupun demikian semangatnja lantas terbangkit.

Rupanja Tan Tiong-tji ingin mengambil hati sang Pangtju, sebelum disuruh ia sudah mengambilkan pedangnja Hoa Ban-tji dan diserahkan kepada Tjiok Boh-thian. Lalu Tjiok Boh-thian mengembalikan pedan itu kepada Hoa Ban-tji.

Kuatir kalau mendadak dirinja diserang, maka diwaktu menerima kembali pedangnja, tjepat sekali ia menjambar gagang pedang dan siap2 untuk melolosnja dari sarung pedang.

Tan Tiong-tji tahu ilmu pedang murid Swat-san-pay itu sangat hebat, maka berbareng iapun menjambar sebatang golok dari tangan seorang pendjaga dan siap untuk menghadapi Hoa Ban-tji.

Namun Tjiok Boh-thian telah berkata: “Nona Hoa, apakah lukamu tidak mendjadi halangan? Djika tulang kakimu patah, boleh djuga aku menjambungkan untukmu seperti aku menjambung tulang kaki si Kuning dahulu.”

Jang bitjara tidaklah sengadja, tapi jang mendengarkan merasa terhina. Apalagi Hoa Ban-tji masih seorang perawan sutji, ketika melihat sorot mata Tjiok Boh-thian memandang kearah kakinja, seketika mukanja mendjadi merah, damperatnja: “Dasar badjingan, tjara bitjaramu djuga kotor dan rendah.”

“He, apakah salah perkataanku?” seru Tjiok Boh-thian dengan heran. “Apakah boleh kuperiksa lukamu itu?”

Apa jang dikatakannja adalah timbul dari djiwanja jang masih ke-kanak2an dan tiada punja maksud lain, Hoa Ban-tji menganggap Tjiok Boh-thian hendak menggodanja. “Sret, pedang segera dilolosnja sambil membentak: “Manusia she Tjiok, djika kau berani madju setindak lagi segera nona mengadu djiwa dengan kau.”

“Nona Hoa, Pangtju kami sangat gagah dan tampan, djika beliau sudah penudjui kau, ini adalah redjekimu, biarpun kau membawa pedang djuga tiada bedanja bagi pandangan Pangtju kami. Padahal entah betapa banjak nona tjantik didunia ini jang ingin memikat Pangtju kami dan tak terkabul harapan mereka,” demikian kata Tan Tiong-tji.

Dengan muka putjat menahan gusar, tanpa pikir lagi pedang Hoa Ban-tji lantas menusuk kedada Tjiok Boh-thian dalam tipu “Tay-boh-hui-sah” (pasir terbang digurun luas).

Meski Lwekang Tjiok Boh-thian sekarang sudah maha kuat, tapi dalam hal ilmu silat untuk menghadapi musuh selamanja dia belum pernah beladjar. Sekarang dilihatnja pedang Hoa Ban-tji menjambar kepadanja, dalam gugupnja ia mendjadi kelabakan, tapi ia masih sempat membalik tubuh terus melarikan diri.

Untung Lsekangnja sekarang sudah sangat sempurna, walaupun tjara larinja agak ke-tolol2an dan menggelikan, tapi tjepatnja benar2 luar biasa, hanja beberapa langkah sadja dia sudah berlari sedjauh beberapa meter.

Sama sekali Hoa Ban-tji tidak menjangka Tjiok Boh-thian akan melarikan diri, bahkan sedemikian tjepat larinja, betapa aneh dan hebat Ginkangnja itu sungguh belum pernah dilihatnja, seketika Hoa Ban-tji sampai terkesima sendiri dan tak dapat bersuara.

“Wah, nona Hoa, kau djangan main2 dengan sendjatamu,” demikian Tjiok Boh-thian berseru sambil gojang2 kedua tangannja. “Ber-ulang2 kau menuduh aku suka membunuh orang, padahal kau sendirilah jang suka membunuh. Sudahlah, djika kau mau pergi boleh pergi sadja dan kalau ingin tinggal disini djuga boleh, aku tidak mau bitjara lagi dengan kau.”

Rupanja ia menduga Hoa Ban-tji tentu mempunjai alasannja, maka dirinja hendak dibunuh olehnja. Untuk ini ada lebih baik meminta keterangan kepada Si Kiam sadja. Maka sehabis bitjara ia lantas tinggal pergi.

Hoa Ban-tji mendjadi lebih heran, serunja: “Tjiok-pangtju, apakah kau benar2 telah membebaskan diriku? Djangan2 kau menjuruh orang untuk merintangi aku diluar sana.”

“Untuk apa aku merintangi kau? Djangan2 pedangmu akan menusuk aku lagi, wah, kan bisa runjam!” sahut Tjiok Boh-thian.

Betapapun Hoa Ban-tji masih ragu2. Tapi ia pikir daripada tetap tinggal disarang maut itu ada lebih baik tinggal pergi sadja. Maka tanpa bitjara lagi ia lantas putar tubuh dan melangkah pergi.

“Nona Hoa,” tiba2 Tan Tiong-tji berseru dengan tertawa. “Djelek2 Tiang-lok-pang kami djuga tidak kekurangan pendjaga, masakah nona Hoa sedemikian mudahnja pergi-datang sesukanja, memangnja kau anggap orang2 Tiang-lok-pang kami ini adalah sebangsa tukang gegares jang tak berguna?”

“Habis apa jang kau inginkan?” sahut Hoa Ban-tji dengan alis mendjengkit.

“Kukira, haha, adalah lebih baik aku jang mengantar nona Hoa keluar,” udjar Tan Tiong-tji dengan tertawa.

Diam2 Hoa Ban-tji berpikir: “Sekarang aku masih berada disarang mereka, terpaksa aku tunduk kepada keinginannja, kalau aku membangkang tentu akan sukar untuk keluar dari sini. Sekarang biarlah aku telan semua hinaan, kelak aku akan mengadjak para saudara seperguruan untuk mengobrak-abrik tempat ini dan membalas dendam.”

“Djika demikian, silakan antarkan,” katanja kemudian.

“Pangtju, Siokhe hendak mengantar nona Hoa keluar dari sini,” kaa Tiong-tji kepad Tjiok Boh-thian.

“Bagus, bagus!” sahut Boh-thian. Melihat sinar pedang Hoa Ban-tji jang gemilapan itu, dia mendjadi djeri, kalau Tan Tiong-tji bersedia mengantarnja keluar adalah kebetulan baginja. Maka ia lantas kembali ke kamarnja sendiri melalui djalan tadi. Setiap orang jang didjumpainja ditengah djalan selalu menjingkir dan memberi hormat padanja.

Setiba kembali dikamarnja, diatas medja ternjata sudah tersedia matjam2 daharan jang serba enak, segera Si Kiam melajaninja makan. Dengan lahap Tjiok Boh-thian melahap semua masakan2 djang disediakan itu dan ber-ulang2 memudji kelezatannja, sekaligus ia menghabiskan lima mangkuk nasi barulah merasa kenjang.

Selesai makan, baru sadja dia hendak tanja Si Kiam mengenai ditawannja Hoa Ban-tji oleh Tan-hiangtju dan mengapa nona itu hendak membunuhnja, tiba2 pendjaga diluar pintuk memberi lapor bahwa Pwe Hay-tjiok datang.

Boh-thian sangat girang, tjepat ia memapak keluar ruangan tamu. Segera ia berkata kepada Pwe Hay-tjiok: “Pwe-siansing, tadi telah terdjadi sesuatu jang aneh,” ~ Lalu ia mentjeritakan tentang Hoa Ban-tji tadi.

“Pangtju,” kata Pwe Hay-tjiok kemudian dengan sikap prihatin. “Siokhe ingin mohon sesuatu padamu. Jaitu tentang Tan hiangtju dari Say-wi-tong jang selamanja sangat setia dan berdjasa kepada Pang kita, haraplah Pangtju suka mengampuni djiwanja.”

“Mengampuni djiwanja?” Tjiok Boh-thian menegas dengan heran. “Ja, mengapa tidak? Bukankah dia seorang baik. Apakah dia sakit? Djika demikian hendaklah Pwe-siansing suka menolongnja sadja.”

Pwe Hay-tjiok sangat girang, ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Biasanja sang Pangtju itu sangat tak berbudi, orang jang dianggapnja bersalah djarang diampuni, tapi hari ini kebiasaan itu telah dilanggar, hal ini menandakan penghargaannja terhadap permohonan dirinja itu. Maka tjepat Pwe Hay-tjiok lantas mengundurkan diri.

Kiranja sesudah Tan Tiong-tji berpisah dengan Hoa Ban-tji, kemudian buru2 ia menemui Pwe Hay-tjiok dan minta bantuannja untuk memohon ampun kepada sang Pangtju dan memberi obat penawar ratjun (padahal sama sekali ia tidak keratjunan). Obat penawar ratjun milik Pwe Hay-tjiok jang bernama “Ban-leng-kay-tok-tan” sangat mudjarab bagi segala matjam ratjun, asal sang Pangtju mengidjinkan, dengan mudah sekali ia dapat menjelamatkan djiwa Tan Tiong-tji. Dan ternjata dengan tjepat sang Pangtju lantas meluluskan permintaannja, sudah tentu girang Pwe Hay-tjiok tak terkatakan, terutama mengingat kekuatan Tiang-lok-pang tidak djadi retak dengan urung perginja Tan Tiong-tji.

Begitulah, sesudah Pwe Hay-tjiok pergi, lalu Tjiok Boh-thian tanja berbagai urusan kepada Si Kiam, maka baru diketahui bahwa tempat markas besar Tiang-lok-pang berada itu adalah kota Yangtjiu. Dia adalah Pangtju dari Tiang-lok-pang jang susunan organisasinja terbagi mendjadi Lwe-sam-tong (tiga seksi dalam) dan Gwa-ngo-tong (lima seksi luar) dengan anggota jang tersebar luas di-mana2.

Djago2 pilihan didalam Tiang-lok-pang teramat banjak, beberapa tahun terachir ini perkembangan organisasi mereka madju dengan pesat, tokoh2 seperti Pwe Hay-tjiok sadja djuga mau masuk mendjadi anggota, maka dapat dibajangkan betapa hebat pengaruh dan kekuatan Tiang-lok-pang. Adapun bagaimana azas perdjuangan Tiang-lok-pang, siapa kawan dan siapa lawannja, hal2 ini Si Kiam tak dapat mentjeritakan, maklum ia hanja seorang pelajan jang masih hidjau.

Dengan sendirinja Tjiok Boh-thian tidak mendapatkan gambaran jang djelas tentang Tiang-lok-pang, apalagi dia sendiri tiada punja pengalaman apa2.

Sesudah merenung sedjenak, kemudian ia berkata: “Entji Si Kiam, tentu kalian telah salah mengenali orang. Djikalau aku tidak berada dalam mimpi, maka teranglah Pangtju kalian adalah seorang lain lagi. Aku adalah pemuda gunung, masakah dianggap Pangtju apa segala.”

“Sekalipun banjak manusia jang mirip didunia ini djuga tiada mungkin semirip ini,” kata Si Kiam dengan tertawa. “Siauya rupanja engkau sedang melatih sematjam ilmu dan mungkin telah mengguntjangkan otakmu sehingga kau melupakan kedjadian jang lalu. Hendaklah kau mengaso sadja, pelahan2 tentu dapat ingat kembali.”

“Tidak, tidak, masih banjak jang aku merasa tidak mengarti dan ingin tanja padamu,” kata Boh-thian. “Entji Si Kiam, sebab apa kau suka mendjadi pelajan?”

“Masakah ada orang sukarela mendjadi pelajan?” sahut Si Kiam dengan hati pedih. “Sedjak ketjil aku sudah jatim piatu, aku telah didjual orang kedalam Tiang-lok-pang sini dan To-tjongkoan (kepala rumah tangga, she To) menugaskan aku melajani kau, terpaksa aku harus melajani kau.”

“Djika demikian, djadi kau tidak suka, kalau begitu bolehlah kau pergi sadja, aku tidak perlu dilajani orang, segala apa aku dapat mengerdjakannja sendiri,” kata Boh-thian.

“Aku hanja sebatangkara, kau suruh aku pergi kemana? Djika To-tjongkoan mengetahui kau takmau dilajani diriku, tentu aku jang disalahkan dan mungkin akan dihadjarnja hingga mati.”

“Aku akan minta dia djangan menghadjar kau,” kata Boh-thian.

Namun Si Kiam tetap menggeleng, katanja: “Kesehatanmu belum pulih, akupun tidak boleh pergi dengan begini sadja. Pula asal kau tidak nakal padaku, sesungguhnja aku suka melajani kau, Siauya.”

“Bilakah aku nakal padamu? Selamanja aku tidak pernah nakal pada orang lain.”

Si Kiam mendongkol dan geli pula, katanja: “Djika demikian, orang tentu akan mengatakan Tjiok-pangtju kita benar-benar telah berubah sekarang mendjadi alim.”

Boh-thian tidak berkata lagi, tapi pikirnja: “Tjiok-pangtju jang sebenarnja itu tentulah seorang manusia djahat, nakal dan suka membunuh orang pula, maka setiap orang takut padanja. Wah, bagaimana baiknja ini? Biarlah besok dibitjarakan sedjelasnja dengan Pwe-siansing sadja, terang mereka telah salah mengenali diriku.”

Begitulah pikirannja timbul-tenggelam tak tertentu, sebenarnja ia merasa senang mendjadi Pangtju jang dihormati orang sebanjak itu, tapi lain saat ia merasa tidaklah pantas memalsukan orang lain, kelak kalau Pangtju tulen itu pulang tentu akan marah, boleh djadi dirinja akan dibunuh dan inilah suatu risiko baginja.

Petangnja sesudah makan malam, kembali ia mengobrol lagi dengan Si Kiam, ia tanja ini dan itu, ia merasa serba menarik dari keterangan2 jang diberikan Si Kiam itu. Sampai djauh malam, Si Kiam kuatir penjakit nakal sang Siauya akan kumat lagi, maka tjepat2 ia mengundurkan diri dan sekalian menutupkan pintu kamar.

Tinggal Tjiok Boh-thian sendirian didalam kamar, dalam isengnja ia lantas duduk bersila diatas randjang dan berlatih menurut petundjuk2 dibadan boneka2 kaju itu.

Dimalam jang sunji senjap itulah tiba2 terdengar suara “tik-tik-tik” tiga kali, suara daun djendela diselentik. Waktu Tjiok Boh-thian membuka mata, tertampaklah daun djendela pelahan2 terpentang, sebuah tangan jang halus tampak sedang meng-gape2 padanja, samar2 kelihatan pula lengan badjunja jang berwarna hidjau pupus.

Hati Tjiok Boh-thian tergerak, teringat olehnja wadjah sianak dara berbadju hidjau muda. Segera ia melompat turun dan membur kedepan djendela, serunja: “Tjitji!”

“Tjis, mengapa memanggil Tjitji sekarang? Lekas keluar sini!” demikian terdengar suara seorang anak dara menjahut dengan suara jang njaring merdu.

Segera Boh-thian melangkah keluar melalui djendela. Tapi tiada seorangpun tertampak olehnja. Tengah heran, mendadak pandangannja mendjadi gelap, sepasang tangan jang halus lemas telah mendekap kedua matanja, berbareng terdengar suara mengikik-tawa dibelakangnja, menjusul lantas terandus bau bunga anggrek jang harum.

Terkedjut dan senang pula hati Tjiok Boh-thian. Ia tahu si-anak dara sedang bergurau dengan dia. Padahal sedjak ketjil ia hidup ditengah gunung jang sepi, kawan satu2nja adalah si Kuning, andjing piaraannja. Sekarang mendadak ada seorang muda jang sebaja dan suka bergurau dengan dia, sudah tentu dia sangat senang.

“Nah, aku akan tangkap kau!” serunja sambil kedua tangannja merangkul kebelakang.

Tapi betapa tjepatnja dia bergerak, tahu2 dia hanja memegang tempat kosong, dengan tjepat sekali sianak dara sudah melompat pergi. Ketika ia menoleh, sekilas tertampak badju hidjau berkelebat di-semak2 pohon bunga sana, tjepat ia memburu madju dansegera menangkapnja, tapi jang terpegang adalah duri2 mawar sehingga dia mendjerit kesakitan.

Sianak dara tampak mengongol dari balik semak2 sana dan berkata pelahan dengan tertawa: “Tolol, djangan bersuara, lekas ikut padaku!”

Ketika melihat anak dara itu berdjalan pergi, segera Boh-thian mengikutinja. Waktu berlari sampai ditepi pagar tembok, baru sadja anak dari itu hendak melompat keatas, mendadak dari tempat gelap telah mengadang keluar dua orang bersendjata sambil membentak: “Djangan bergerak! Siapa kau?”

Pada saat itu pula djuga dengan ter-tawa2 Tjiok Boh-thian djuga sudah ikut tiba.

Rupanja kedua orang itu adalah anggota Tiang-lok-pang jang sedang meronda. Mereka mendjadi mengkeret demi nampak sang Pangtju bersama anak dara itu dalam keadaan tertawa senang, tjepat mereka melangkah mundurdan memberi hormat, kata mereka: “Hamba tidak tahu nona ini adalah teman Pangtju, harap memaafkan.” ~ Menjusul merekapun memberi hormat pada sianak dara sebagai tanda permintaan maaf.

Anak dara itu meleletkan lidah kepada mereka dengan muka djenaka, lalu ia menggape pula kepada Tjiok Boh-thian terus melompat keatas pagar tembok.

Melihat pagar tembok itu tjukup tinggi, Boh-thian merasa tidak sanggup melompat keatas sebagaimana tjara sianak dara itu. Tapi dilihatnja anak dara itu sedang menggape lagi padanja, bahkan kedua peronda tadi djuga sedang memandang padanja, ia pikir tidaklah mungkin menjuruh mereka membawakan tangga baginja, terpaksa ia harus melakukannja sebisa mungkin, segera ia tekuk lutut sedikit terus melontjat keatas. Eh, aneh djuga, entah darimana timbulnja sematjam tenaga pada kakinja, se-konjong2 tubuhnja terus membal keatas, bahkan tanpa hinggap diatas pagar tembok dan sekaligus melintas keluar sana.

Kedua peronda tadi sampai melondjak kaget, mereka lantas berseru memudji: “Gin-kang jang hebat !”

Namun lantas terdengar suara gedebukan diluar pagar tembok sana, suara djatuhnja benda berat. Kiranja Tjiok Boh-thian tidak tahu tjara bagaimana harus tantjapkan kakinja ketanah maka ia telah djatuh terbanting. Kedua peronda hanja saling pandang dengan bingung, sudah tentu mereka tidak tahu apa jang sudah terdjadi. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa Ginkang sang Pangtju sebagus itu achirnja dapat djatuh terbanting dalam keadaan jang lutju.

Sebaliknja sianak dara jang berdiri diatas pagar tembok dapat melihat dengan djelas, ia terkedjut dan tjepat melompat turun kesana. Ia lihat Tjiok Boh-thian sampai sedjenak belum lagi bangun, segera ia memajangnja dan bertanja: “Engkoh Thian, bagaimana? Agaknja kesehatanmu belum pulih betul2, djanganlah terlalu menggunakan tenaga.

Pantat Tjiok Boh-thian terasa kesakitan karena djatuh terbanting dengan keras, atas bantuan sianak dara achirnja dia dapat berdiri kembali.

“Maukah kita pergi ketempat biasanja sana,” adjak sianak dara. “Apakah kau masih sakit, dapat berdjalan tidak?”

Dasar Tjiok Boh-thian sangatlah bandel, biarpun sakit djuga takkan mengaku sakit, apalagi Lwekangnja sekarang sudah sangat tinggi, rasa sakit terbanting itu hanja sebentar sadja sudah lenjap, segera ia mendjawab: “Aku tidak merasa sakit lagi, marilah kita segera berangkat.”

“Sudah sekian lamanja kita tidak bertemu, kau kangen padaku atau tidak?” tanja sianak dara dengan mendongak, menatap muka Tjiok Boh-thian dan sambil menarik tangan kanannja.

Maka tertampaklah didepan Tjiok Boh-thian sebuah wadjah jang tjantik molek, dibawah pantulan tjahaja rembulan, keuda bidji mata anak dara itu se-akan2 dua titik bintang jang tjemerlang. Dari badan anak dara itupun terendus bau jang harum, mau-tak-mau hati pemuda itu terguntjang. Walaupun dia sama sekali tidak paham soal hubungan antara kaum pria dan wanita, tapi seorang pemuda berusia 20 tahun berada dalam keadaan dan adegan demikian, biarpun lebih tolol lagi djuga akan timbul rasa tjintanja kepada anak dara jang tjantik itu.

Sesudah tertegun sedjenak, lalu ia mendjawab: “Malam itu kau telah datang mendjenguk diriku dan segera kau pergi lagi. Sungguh aku sangat merindukan dikau.”

Sianak dara tertawa genit, katanja pula: ”Kau telah menghilang sekian lamanja, lalu tak sadarkan diri sekian lamanja pula, sungguh aku mendjadi kuatir sekali. Selama beberapa hari ini setiap malam aku pasti datang mendjenguk kau, apakah kau tahu? Kulihat kau sedang asjik berlatih, karena kuatir mengganggu, maka aku tidak memanggil kau.”

“Apa betul? Sungguh aku sama sekali tidak tahu. O, entji jang baik, mengapa kau se………..sedemikian baiknja padaku?” kata Boh-thian dengan girang.

Mendadak air muka sianak dara berubah, ia kipatkan tangan sianak muda dan omelnja: “Kau panggil aku apa? Ja, memang aku sudah………..sudah menduga sebabnja kau menghilang sekian lamanja, tentu……… tentu kau mempunjai teman wanita lagi dilain tempat. Hm, rupanja kau sudah terlalu biasa memanggil ‘entji jang baik’ kepada orang lain, maka sekarang djuga kau panggil aku demikian.”

Baru sadja anak dara itu masih tertawa riang dan menggiurkan, sekarang mendadak lantas berubah marah, keruan Tjiok Boh-thian tidak paham dan bingung, katanja dengan tergagap2: “Aku………..aku………….”

Sianak dara bertambah marah, tiba2 ia djewer telinga kanan Tjiok Boh-thian, katanja dengan gusar: “Selama ini sebenarnja kau telah berkumpul dengan wanita siapa? Bukankah kau memanggilnja sebagai ‘entji jang baik’? Hajo, lekas mengaku, lekas!” ~ Sambil bitjara djewerannja tambah keras dan makin keras.

Keruan Tjiok Boh-thian mendjerit kesakitan, serunja: “He, he! Kenapa kau segalak ini? Aku takmau bermain lagi dengan kau!”

Kembali sianak dara mendjewer lebih keras, katanja: ”Djadi kau hendak meninggalkan aku dan takkan menggubris lagi padaku? Hm, tidak boleh semudah ini. Siapa wanita jang berada bersama kau itu? Hajo, lekas mengaku!”

“Ja, aku memang berada bersama seorang wanita,” achirnja Boh-thian mengaku dengan meringis kesakitan. “Dia……….dia tidur sekamar dengan aku………….”

“Nah, apa kataku?” sela sianak dara dengan gusar. Kontan ia mendjewer terlebih keras sehingga kuping Tjiok Boh-thian sampai berdarah. Lalu teriaknja dengan suara melengking: “Biar sekarang djuga akan kubunuh dia!”

“Eh, eh, djangan! Dia adalah entji Si Kiam, dia telah membuatkan sarang burung dan memasakkan bubur untukku, walaupun bubur itu kedaluan dan hangus, tapi dia sangat baik. Kau………kau tidak boleh membunuhnja.”

Mestinja anak dara itu sudah mentjutjurkan air mata, mendadak ia tertawa kembali. “Fui!” semprotnja sambil mendjewer lagi dengan keras. “Kukira entji jang baik siapa, kiranja adalah budak busuk itu. Ah, kau berdusta, aku tidak pertjaja. Selama beberapa malam ini aku selalu mengawasi kau dari luar djendela, tampaknja kau dan budak busuk itu tjukup prihatin djuga, ja, anggaplah kau masih tahu batas.” ~ Habis berkata kembali ia hendak mendjewer lagi.

Boh-thian terkedjut dan tjepat hendak berusaha menghindar, tapi sekali ini anak dara itu ternjata tidak mendjewer lagi, sebaliknja ia meng-elus2 telinga pemuda itu, tanjanja dengan tertawa: “Apakah sakit?”

“Sudah tentu sakit,” sahut Boh-thian.

“Biar kau tahu rasa, hbais siapa suruh kau berdusta, setjara aneh kau memanggil aku ‘entji jang baik’ apa segala!”

“Menurut ibuku, katanja panggilan ‘Tjitji’ adalah tanda hormat pada orang lain, apa aku salah panggil?”

Sianak dara mempelototinja sekali. “Sedjak kapan kau menghormat padaku? Sudahlah, djika kau merasa penasaran, bolehlah kau balas mendjewer telingaku. Ini!” ~ Berbareng ia terus miringkan muka dan sodorkan telinganja kedepan.

Seketika Boh-thian mengendus bau harum jang teruar dari muka anak dara itu. Tanpa merasa hidungnja meng-endus2 beberapa kali seperti si Kuning piaraannja. Ia pegang2 kuping anak dara itu, lalu katanja: “Tidak, aku takmau mendjewer kau………….O, ja, tjara bagaimana aku mesti memanggil kau?”

“Tjara bagaimana kau panggil aku dahulu? Masakah sampai namaku djuga sudah kau lupakan?” omel sianak dara.

Boh-thian terdiam sedjenak, lalu katanja dengan sungguh2: “Nona, biarlah kukatakan terus terang padamu. Sesungguhnja kau telah salah mengenali aku. Aku bukanlah kau punja ‘engkoh Thian’ apa segala. Aku bukan Tjiok Boh-thian, tapi aku adalah Kau-tjap-tjeng.”

Jilid 12

Anak dara itu melengak, ia pegang pundak pemuda itu dan diputarnya ke kanan dan ke kiri, ia mengamat-amati pemuda itu sejenak di bawah cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Engkoh Thian, sungguh kau pintar berkelakar. Ucapanmu barusan sungguh membuat kaget padamu, kusangka benar-benar telah salah mengenali kau. Hayolah, mari kita berangkat.”

Segera ia tarik tangan Ciok Boh-thian dan mendahului bertindak ke depan.

“Ti ... tidak, aku tidak berkelakar,” seru Ciok Boh-thian dengan gugup. “Kau benar-benar telah salah mengenali diriku. Coba pikir, sedangkan namamu saja aku tidak tahu.”

Mendadak si anak dara menghentikan langkahnya, katanya dengan tertawa genit, “Ya, sudahlah, dasar kepala batu, tidak mau mengalah, biarlah aku tunduk padamu. Nah, dengarkan aku she Ting bersama Tong, biasanya kau suka panggil aku ting-tong, ting-tong, terkadang kau pun panggil aku ting-ting-tong-tong Sekarang sudah jelas, bukan?”

Habis berkata segera ia putar tubuh dan berlari ke depan secepat terbang.

Karena diseret si anak dara, tanpa kuasa Ciok Boh-thian ikut berlari juga, semula ia hampir keserimpet, untung tidak sampai jatuh. Akhirnya ia dapat membuang langkah dan mengikuti lari si anak dara dengan sama cepatnya. Bermula napasnya menjadi tersengal-sengal tapi lama-kelamaan tenaga dalamnya mulai merata, kakinya makin lama makin enteng, sedikit pun tidak terasa payah lagi.

Entah sudah berlari berapa jauhnya, tiba-tiba tertampak pantulan cahaya air mengambang di depan, nyata mereka telah sampai di tepi sebuah sungai. Segera Ting Tong menarik tangan Ciok Boh-thian dan melompat perlahan ke depan, menghinggap di haluan sebuah perahu kecil yang tertambat di tepi sungai.

Karena Ciok Boh-thian belum dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk dikerahkan sebagai Ginkang, maka lompatannya ke atas perahu itu seperti orang biasa saja, dengan antap menancapkan kaki di haluan perahu sehingga perahu tertekan dan air muncrat.

“Ai, apakah kau ingin menenggelamkan perahu ini?” jerit Ting Tong dengan tertawa.

Segera ia melepaskan tambatan perahu, ia angkat dengan galah bambu, sekali dorong dengan galahnya, dengan cepat perahu itu lantas meluncur ke tengah sungai.

Boh-thian melihat kedua tepi sungai itu banyak tumbuh pohon Yangliu, dari jauh tertampak beberapa buah rumah penduduk, malam sunyi, bulan terang, sayup-sayup hidungnya mendengus bau harum yang memabukkan, entah bau harum bunga yang tumbuh di tepi sungai atau bau wangi yang timbul dari badan Ting Tong?

Perahu itu meluncur dengan pesat di tengah sungai, sesudah membelok beberapa kali, setiba di bawah sebuah jembatan batu, Ting Tong lantas menambat perahunya di batang pohon Yangliu. Pohon-pohon Yangliu di sekitar jembatan itu tumbuh sangat rindang sehingga jembatan batu yang kecil itu hampir tertutup rapat. Sinar bulan menembus remang-remang melalui celah-celah daun pohon, perahu yang berlabuh itu menjadi mirip bermukim di dalam sebuah rumah alam yang kecil.

“Sungguh baik sekali tempat ini, andai kata siang hari juga orang mungkin tidak menyangka bahwa di sini berlabuh sebuah perahu kecil,” puji Boh-thian.

“Mengapa baru sekarang kau memuji tempat ini?” sahut Ting Tong dengan tertawa.

Segera anak dara itu membuka peti perahu, ia mengeluarkan sehelai tikar dan dibentang di haluan perahu, dikeluarkannya dua pasang sumpit dan mangkuk serta satu poci arak, katanya dengan tertawa, “Silakan duduk dan minum arak.”

Kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa macam makanan pengiring arak seperti kacang goreng, dendeng dan lain-lain.

Ketika anak dara itu baru menuangkan arak, Ciok Boh-thian lantas membau harum arak yang menusuk hidung. Sudah pernah dia mendengar cerita ibunya tentang minum arak, tapi macam apakah “arak” itu selamanya belum pernah dilihat dan dicobanya. Cia Yan-khek juga tidak suka minum arak, sebab itulah ketika tinggal di Mo-thian-kay juga tidak pernah kenal arak.

Sekarang ia melihat secawan arak yang disodorkan Ting Tong itu berwarna merah kekuning-kekuningan, tanpa pikir ia terus menenggaknya hingga habis. Ia merasakan hawa hangat menerjang ke dalam perut, dalam mulut terasa sedikit pedas dan sedikit pahit. Seketika ia mengerut dahi.

Ting Tong tertawa, katanya, “Ini adalah arak ‘Lu-ji-hong’ dari Siauhin simpanan dua puluh tahun, apakah enak rasanya?”

Tapi belum lagi Boh-thian menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar suara seorang tua berkata, “Hm, Lu-ji-hong simpanan 20 tahun masakah tidak enak rasanya?”

Tanpa terasa cawan arak yang dipegang Ting Tong jatuh ke papan perahu dan akhirnya menggelinding masuk ke dalam sungai, arak menciprat membasahi pakaiannya. Muka anak dara itu pucat seketika dengan badan gemetar, ia pegang tangan Ciok Boh-thian dan berbisik, “Celaka, itulah suara kakek!”

“Ya, betul memang inilah kakekmu,” kata suara orang tua di atas itu. “Budak setan, kau berkencan dengan kekasih tidaklah menjadi soal, tapi mengapa arak yang kudapatkan dengan susah payah itu juga kau curi untuk disuguhkan kepada kekasihmu?”

“Dia ... dia bukan kekasih, hanya ... hanya kawan biasa saja,” sahut Ting Tong.

“Huh, kawan biasa masakah perlu kau melayaninya sedemikian baik?” semprot si kakek. “Ya, sampai arak kesayangan kakek juga kau berani mencuri? Hayo, maling cilik, lekas-lekas keluar sini, ingin kulihat bagaimana macammu sehingga hati cucu perempuanku sampai tercuri olehmu?”

Waktu Ciok Boh-thian mendongak ke arah datangnya suara, terlihat sepasang kaki menjulai dan bergerak-gerak di atas kepalanya, terang orang tua itu duduk di atas jembatan sambil menjulurkan kedua kakinya ke bawah, kalau kakinya mengulur belasan senti lagi ke bawah tentu akan dapat menginjak di atas kepala Ciok Boh-thian.

Kedua kaki itu memakai kaus kaki katun warna putih, sepatu kain tebal bersulam indah. Baik kaus kaki dan sepatunya tampak sangat rajin dan resik.

Dalam pada itu Ting Tong telah menjawil-jawil Ciok Boh-thian sambil memberi macam-macam tanda, maksudnya agar pemuda itu jangan mengaku siapa sebenarnya dia, lalu nona itu berseru, “Yaya (kakek), kawanku ini bermuka jelek lagi tolol, kalau melihatnya pasti kakek takkan suka padanya. Arakmu yang kucuri ini hanya akan kuminum sendiri, orang macam dia masakah ada harganya untuk disuguhi arak seenak ini? Soalnya cucu merasa kesepian dan sembarangan mencari seorang teman mengobrol seperti dia ini.”

Sudah tentu Ciok Boh-thian sangat mendongkol, masakah dirinya dikatakan jelek dan dianggap tolol serta dikatakan tiada harganya disuguhi arak itu, segera ia mengipratkan tangan Ting Tong sehingga terlepas.

Tapi cepat Ting Tong memegang pula tangan pemuda itu dan menggoyang-goyang tangan serta menjawil-jawil, seperti tanda mesra dan seperti memberi pesan dengan sangat pula agar pemuda itu menurut.

Dengan sendirinya Ciok Boh-thian merasa bingung.

Sementara itu si orang tua yang duduk di atas itu telah berkata pula, “Hayo, kedua setan cilik lekas keluar semua. A Tong, hari ini kakek sudah membunuh beberapa orang?”

“Seperti ... seperti baru membunuh satu orang,” sahut Ting Tong dengan suara terputus-putus.

Diam-diam Ciok Boh-thian merasa heran mengapa ke sana kemari selalu ditemukan orang-orang yang suka membunuh, yang dibicarakan juga selalu soal membunuh.

Dalam pada itu si kakek di atas jembatan itu telah berkata, “Bagus, jadi hari ini aku baru membunuh satu orang, jika demikian masih boleh membunuh dua orang lagi. Membunuh dua orang lagi sebagai pengiring minum arak juga boleh.”

“Membunuh orang sebagai pengirim minum arak, di dunia ini mengapa ada kejadian demikian?” demikian pikir Ciok Boh-thian.

Pada saat lain mendadak terasa tangan yang dipegang Ting Tong tadi telah dilepaskan, berbareng suatu bayangan berkelebat, tahu-tahu di atas perahu mereka sudah bertambah satu orang dan tepat duduk di tengah-tengah antara Ting Tong dan Boh-thian.

Dalam kejutnya cepat Boh-thian menyurut mundur sedikit, waktu ia pandang orang itu, ternyata jenggot dan kumis orang itu sudah memutih perak, wajahnya berseri-seri, itulah seorang kakek yang tampaknya sangat welas asih. Tapi begitu tertatap sinar matanya, tanpa kuasa Ciok Boh-thian bergidik. Kiranya dari sorot mata orang tua itu terpantul sesuatu sifat jahat yang susah dilukiskan sehingga bagi yang melihatnya seketika akan merasa merinding ketakutan.

Kakek itu tampak tertawa dan mengangkat tangannya menepuk satu kali di atas pundak Ciok Boh-thian, katanya, “Anak bagus, mulutmu sungguh sangat beruntung dapat minum arak Lu-ji-hong simpanan 20 tahun milik kakek.”

Meski dia hanya menepuk perlahan saja, tapi tulang pundak Ciok Boh-thian seketika berkeriukan seakan-akan pecah dan rontok semua.

Ting Tong terperanjat dan cepat memegang tangan sang kakek sambil memohon, “Yaya, ja ... janganlah kau melukai dia.”

Tepukan yang perlahan tadi sebenarnya mengandung tenaga dalam yang mahadahsyat, maksud orang tua itu adalah untuk membikin remuk tulang pundak Ciok Boh-thian. Tak terduga ketika telapak tangannya menyentuh bahu pemuda itu, seketika dari bahunya timbul semacam tenaga tolakan yang mahakuat, tenaga dalam yang hebat itu bukan saja telah melindungi tubuh pemuda itu, bahkan tangan si kakek sendiri sampai tergetar membal ke atas.

Syukur kakek itu cepat mengerahkan tenaganya lagi sehingga tangannya tidak sampai terpental ke atas.

Keruan kejut si kakek melebihi Ting Tong, tapi ia lantas tertawa dan berkata pula, “Bagus, bagus! Anak bagus, kau memenuhi syarat untuk minum arakku. Hayo, A Tong, tuangkan lagi beberapa cawan arak, sekarang Yaya yang menjamu dia minum arak dan takkan menyalahkan kau yang mencuri arak ini.”

Ting Tong menjadi girang. Ia kenal watak sang kakek yang angkuh. Jarang ada tokoh-tokoh persilatan yang terpandang olehnya. Sekarang baru bertemu dengan Ciok Boh-thian sudah lantas menjamunya minum arak, sudah tentu anak dara itu merasa girang dan lega. Ia mengira sang kakek juga suka kepada kekasihnya yang gagah dan tampan ini. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Ciok Boh-thian tadi sebenarnya sudah terancam elmaut.

Sebabnya sang kakek berubah sikap adalah karena terkejut atas Lwekang Ciok Boh-thian yang luar biasa itu dan sekali-kali bukan karena pemuda itu “gagah dan tampan”, padahal muka Ciok Boh-thian meski tidak jelek, namun untuk dibilang tampan juga belum sesuai.

Begitulah dengan senang Ting Tong lantas mengeluarkan dua cawan arak lagi dan menuangkan secawan untuk sang kakek, secawan untuk Ciok Boh-thian, ia sendiri pun menuang secawan.

“Bagus, bagus! Jikalau A Tong sudah penujui kau, tentu kau mempunyai asal usul yang tidak sembarangan. Nah, coba katakan, siapa namamu?” demikian si kakek bertanya.

“Aku ... aku bernama ....” sahut Ciok Boh-thian dengan tergagap. Sekarang dia sudah tahu bahwa “Kau-cap-ceng” adalah kata-kata makian yang kotor, sudah tentu tidak boleh diucapkan di depan seorang tua. Tapi selain itu sesungguhnya dia tiada punya nama lain, maka sesudah mengucapkan, “Bernama ... bernama ....” ia tidak sanggup menyambung pula.

Si kakek tampak kurang senang, tegurnya, “Apakah kau tidak berani berkata terus terang kepada kakek?”

“Mengapa tidak berani?” tiba-tiba Boh-thian menjawab dengan tegas. “Hanya saja namaku agak kurang enak didengar. Aku ... bernama Kau-cap-ceng!”

Untuk sejenak si kakek tampak melengak. Tapi mendadak ia bergelak tertawa terpingkal-pingkal, suara tertawanya berkumandangan jauh, jenggotnya yang sudah putih semua itu sampai terguncang-guncang.

“Hah, bagus, bagus, namamu sungguh sangat baik,” kata si kakek sesudah berhenti tertawa. “Kau-cap-ceng!”

“Ya, kakek!” sahut Ciok Boh-thian.

Seketika Ting Tong tersenyum girang. Ia pandang sang kakek dan pandang pula Ciok Boh-thian. Sebabnya dia merasa senang adalah karena Ciok Boh-thian secara spontan memanggil kakek kepada kakeknya, malah waktu dipanggil dengan nama Kau-cap-ceng pemuda itu pun menurut saja.

Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ciok Boh-thian itu memang bersama Kau-cap-ceng, pula pemuda itu tidak tahu tata krama, bagaimana orang memanggil ia pun menirukan saja, si Ting Tong memanggil kakek, maka ia pun menirukan memanggil kakek. Jadi rasa puas Ting Tong dan kakek yaitu sebenarnya “salah wesel” belaka.

“A Tong,” si kakek berkata pula, “apakah nama kakek sudah kau katakan kepada kekasihmu?”

Ting Tong menggeleng dengan sikap malu-malu, jawabnya, “Tidak, belum kukatakan padanya.”

Mendadak si kakek menarik muka, katanya, “Sebenarnya kau suka atau tidak padanya. Jika suka, mengapa asal usul sendiri belum lagi diberitahukan padanya? Jikalau tidak suka mengapa kau berani mencuri arak simpanan kakek untuk disuguhkan kepadanya, bahkan selama beberapa malam berturut-turut kau mencuri arak Hian-peng-pek-hwe-ciu yang merupakan jimat simpanan kakek itu dan dicekokkan kepada bocah ini?” Makin lama makin keras suaranya, sampai akhirnya suaranya berubah menjadi bengis, ketika menyebut nama Hian-peng-pek-hwe-ciu (arak api hijau inti es) bahkan sorot matanya menjadi beringas. Ciok Boh-thian ikut-ikut kebat-kebit hatinya menyaksikan demikian itu.

Namun Ting Tong lantas menjatuhkan dirinya ke pangkuan si kakek sambil memohon, “O, Yaya, ternyata engkau sudah mengetahui semuanya. Harap ampunilah A Tong.”

“Mengampuni A Tong? Hm, enak saja bicara,” jengek si kakek. “Apakah kau tahu bahwa betapa mujarabnya Hian-peng-pek-hwe-ciu itu, sekarang telah kau habiskan, untuk memperolehnya apakah sedemikian mudahnya?”

“Ampun kakek,” pinta Ting Tong. “Soalnya karena A Tong tidak tega menyaksikan dia tersiksa oleh penyakit panas-dingin. Tiba-tiba A tong teringat kepada arak mustajab simpanan kakek itu, maka secara sembrono telah mencurinya untuk diminumkan padanya. Ternyata ada hasilnya sedikit, lalu berturut-turut kuminumkan dia lagi sehingga tanpa terasa habis terminum. Baiklah kakek memberitahukan resep membuat arak itu padaku, betapa pun A Tong pasti akan mengembalikan sebotol kepada kakek.”

Sesudah mendengarkan percakapan kakek dan cucu perempuan itu barulah Ciok Boh-thian paham duduknya perkara.

Kiranya sewaktu dirinya dalam keadaan tak sadar ketika diserang penyakit panas-dingin tempo hari, secara diam-diam Ting Tong telah mencuri dan mencekoki arak “Hian-peng-pek-hwe-ciu yang merupakan milik kesayangan kakeknya. Rupanya kesembuhannya ini sebagian adalah jasa si anak dara itu yang telah menolong jiwanya, sekarang terdengar si kakek sedang marah-marah kepada anak dara itu maka ia lantas menyela, “Kakek, jikalau arak itu telah diminumkan padaku, maka tanggung jawab mengembalikan arak itu harus kupikul. Biarlah aku akan berdaya untuk mengembalikannya padamu. Jika tidak dapat, terpaksa terserah kepada cara bagaimana kau akan ambil tindakan padaku.”

“Bagus, bagus!” seru si kakek dengan tertawa. “Jika demikian, soalnya menjadi agak lain. Eh, A Tong, mengapa kau tidak memberi tahu padanya tentang asal usul dirimu sendiri?”

Ting Tong tampak serbasalah, jawabnya, “Dia ... dia tidak pernah tanya padaku, maka aku pun tidak pernah katakan padanya. Hendaklah kakek jangan sangsi, sama sekali tiada maksud tertentu di dalam hal ini.”

“Tiada maksud tertentu?” si kakek menegas. “Kukira toh tidak demikian halnya. Apa isi hatimu masakah kakek tidak tahu? Tentunya kau sudah benar-benar menyukai dia dengan harapan bocah ini akan mengambil kau sebagai istri, tapi kalau kau katakan nama dan asal usulmu, hm, tentunya bocah ini akan kaget setengah mati. Sebab itulah kau berusaha mengelabui dia sedapat mungkin. Hm, betul tidak dugaanku?”

Uraian si kakek benar-benar tepat mengenai isi Ting Tong. Tapi kalau dia mengaku terus terang tentu sang kakek akan gusar. Sebab ia tahu sang kakek adalah tokoh yang disegani, ditakuti, dihormati, tapi juga dijauhi oleh setiap orang Bu-lim lantaran kejahatannya yang merontokkan nyali siapa saja yang mendengarnya.

Tapi orang tua itu ingin bersikap ramah dan suka padanya, asal orang memperlihatkan tanda takut atau muak padanya, orang itu tentu akan segera dibunuh olehnya.

Begitulah Ting Tong menjadi serbasusah. Kalau berdusta tentu akan makin membikin gusar sang kakek dan membikin urusan menjadi runyam. Tapi kalau mengatakan terus terang nama dan asal usul sang kakek sehingga benar-benar menakutkan kekasihnya, lalu melarikan diri dan tak mau berkumpul lagi dengan dirinya, lantas bagaimana. Ia khawatir dalam gusarnya sang kakek akan membinasakan sang kekasih, tapi ia pun khawatir sang kekasih akan meninggalkannya, jika demikian tentu ia pun tak bisa hidup sendirian lagi.

Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kakek aku ... aku ....”

“Hahaha! Kau khawatir kita dipandang rendah oleh orang lain bukan?” demikian si kakek memotong. “Haha, Ting-lothau sudah berumur selanjut ini, ternyata cucu perempuanku sendiri sampai tidak berani menyebut nama kakeknya sendiri, bukan saja tidak merasa bangga atas diri kakeknya, sebaliknya malah merasa malu bagi sang kakek. Haha, sungguh lucu, hahahahaha!”

Ting Tong insaf bahaya sedang mengancam. Ia tahu sang kakek sangat mementingkan arak “Hian-peng-pek-hwe-ciu,” agaknya arak mestika itu menyangkut sesuatu urusan yang menentukan mati atau hidupnya di kemudian hari. Sekarang dirinya telah mencuri arak itu untuk menolong jiwa sang kekasih, tapi selama ini tidak berani menyebut nama kakeknya. Sekarang orang tua itu bergelak tertawa sedemikian rupa, terang rasa murkanya sudah mencapai puncaknya. Mau tak mau Ting Tong harus menempuh segala risiko, dengan menggigit bibir akhirnya ia berkata, “Engkoh Thian, kakekku she Ting.”

“Ya, sudah tentu! Kau she Ting, dengan sendirinya kakekmu juga she Ting,” sela Boh-thian.

“Nama beliau bagian depan Put dan bagian belakang Sam, nama julukannya ialah ... ialah ... Ce-jit-put-ko-sam!” Ting Tong menyambung pula dengan tak lancar. Ia menyangka dengan tersebutnya nama julukan sang kakek itu tentu Ciok Boh-thian akan terperanjat. Sebab itulah dengan hati kebat-kebit ia telah pandang pemuda itu dengan mata tak berkedip.

Tak terduga air muka Ciok Boh-thian tenang-tenang saja, bahkan dengan tersenyum ia menjawab, “O, nama julukan Yaya ternyata sangat enak didengar!”

Hati Ting Tong tergetar keras, sekali ia bergirang. Tapi ia masih khawatir, segera ia menegas lagi, “Mengapa kau bilang sangat enak didengar?”

“Aku pun tidak tahu sebabnya. Aku hanya merasa nama itu enak didengar,” sahut Ciok Boh-thian.

Waktu Ting Tong melirik ke arah sang kakek dilihatnya orang tua itu sedang mengelus jenggot dan tampak sangat senang. Mendadak ia menepuk pula pundak Ciok Boh-thian, tapi sekali ini adalah tepukan biasa tanpa tenaga dalam. Terdengar dia berkata dengan manggut-manggut, “Orang hidup bisa mendapatkan seorang teman sepaham, maka hidup ini tidaklah tersia-sia lagi. Orang lain kalau mendengar nama julukanku, kalau orang itu berjiwa rendah tentu akan segera memuji dan menjilat padaku, bila orang itu bernyali kecil tentu akan ketakutan setengah mati, ada juga beberapa orang gila yang berani mencaci maki padaku. Hanya kau bocah ini sama sekali tidak terpengaruh oleh nama julukanku, bahkan memuji namaku enak didengar. Ehm, bagus, bagus! Untuk sikapmu ini kakek ingin memberi sesuatu hadiah. Hadiah apa ya ... biarlah kupikir sebentar dulu.” Lalu ia duduk berpeluk dengkul, sambil termenung-menung memandangi sang dewi malam yang menghias di tengah cakrawala.

Supaya diketahui bahwa “Ce-jit-put-ko-sam Ting Put-sam adalah seorang gembong, suatu iblis yang memiliki ilmu silat mahatinggi di dunia persilatan, sifatnya aneh dan kejam sedikit-sedikit suka membunuh orang. Kendati peraturan yang dia tetapkan sendiri menyatakan setiap orang yang dibunuhnya takkan melampaui tiga orang, tapi cobalah hitung, kalau satu hari tiga orang, sepuluh hari 30 orang dan 100 hari berarti 300 orang, maka selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa ribu orang yang telah menjadi korbannya, celakanya orang-orang yang telah dibunuhnya itu sering kali tidak sempat melihat mukanya dan tahu-tahu sudah dibinasakan olehnya.

Misalnya kedua murid Swat-san-pay, yaitu Sun Ban-lian dan Cu Ban-jing yang diceritakan di depan itu, mereka juga mati konyol tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.

Beberapa tahun yang lalu dia masih merahasiakan jejaknya, sehabis membunuh orang juga tidak pernah meninggalkan nama sehingga Bu-lim jarang yang kenal namanya. Tapi paling akhirnya ini mendadak ia sengaja menyiarkan namanya secara luas, cuma saja orang yang pernah melihat mukanya dan dapat tetap hidup jumlahnya adalah sangat sedikit.

Bagi Ciok Boh-thian yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk urusan Kangouw, biarpun nama Ting Put-sam itu lebih tersohor lagi juga tiada arti baginya. Tapi dalam pandangan Ting Put-sam sekarang, pemuda yang tidak jeri dan menjilat padanya ini adalah luar biasa, terutama dengan perasaan yang tulus dan jujur pemuda itu telah menyatakan rasa mesranya ketika mendengar nama julukan orang tua itu.

Sebagai seorang tua yang berusia lebih dari 60 tahun, sudah tentu Ting Put-sam sangat kenal watak manusia, setiap sikap manusia yang rendah dan palsu tentu susah mengelabui matanya. Di dunia ini selain cucu perempuan kesayangannya itu boleh dikata tiada orang kedua yang benar suka dan mencintainya, sekarang pemuda itu ternyata juga sedemikian baik padanya sudah tentu hal ini sangat menyenangkan hatinya.

Begitulah, sesudah termenung-menung memandangi rembulan, akhirnya orang tua itu berkata, “Kakek mempunyai tiga macam pusaka. Yang pertama adalah ‘Hiang-peng-pek-hwe-ciu’ yang telah kau minum itu, tapi arak ini hanya sebagai pinjaman saja, kelak kau bayar kembali, maka tak bisa dianggap sebagai pemberian. Pusaka kedua adalah ilmu silat yang dimiliki kakek, kalau kau dapat mempelajarinya tentu akan sangat besar manfaatnya. Tentang pusaka ketiga bukan lain adalah cucu perempuanku si A Tong ini. Di antara dua pusaka ini hanya dapat kuberikan satu saja. Nah Kau-cap-ceng, kau ingin belajar ilmu silat atau ingin mengambil si A Tong saja?”

Seketika Ting Tong dan Ciok Boh-thian melengak oleh karena pertanyaan itu.

Hati Ting Tong berdebar-debar dengan hebatnya. Pikirnya, “Ilmu silat kakek boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, walaupun kepandaian Engkoh Thian juga tidak lemah, tapi kalau dibandingkan kakek sudah tentu bedanya terlalu jauh. Kalau dia dapat mempelajari ilmu silat andalan kakek, selanjutnya namanya tentu akan lebih disegani dan dapat malang melintang di dunia Kangouw. Dia adalah Pangcu dari Tiang-lok-pang, kabarnya Pang mereka sedang menghadapi kesulitan yang sukar diselesaikan, jika bisa mendapatkan ilmu silat kakek tentu akan besar bantuannya bagi kesulitannya itu. Sebagai seorang lelaki, seorang kesatria, tentu lebih mengutamakan ilmu silat daripada soal asmara.”

Ia coba melirik Ciok Boh-thian, dilihatnya pemuda itu merasa bingung, terang sedang serbasulit mengambil keputusan. Diam-diam hati Ting Tong mencelus.

Ia tahu tabiat sang kekasih yang romantis, selama hidup entah sudah berapa banyak wanita yang telah disukainya. Selama setengah tahun terakhir ini walaupun memperlihatkan tanda cinta padanya, tapi dalam hati pemuda itu seorang Ting Tong mungkin hanya seperti awan saja yang sebentar sudah akan buyar tertiup angin. Apalagi kakek mempunyai nama buruk di dunia persilatan, meski nama Ciok Boh-thian dan Tiang-lok-pang mereka juga tidak begitu harum tapi toh tidak sejahat kakek yang telah membunuh orang tak terhitung jumlahnya. Dan kalau dia sudah tahu asal usulku masakah dia sudi mengambil aku sebagai istrinya? Demikianlah pikiran Ting Tong bergolak, air mata pun berlinang-linang.

Dalam pada itu Ting Put-sam sudah lantas mendesak, “Hayo, lekas katakan, lekas! Pendeknya kau jangan coba main gila bahwa sekarang kau ingin belajar ilmu silat lebih dulu kemudian akan dapat memperistrikan A Tong pula, atau sekarang minta A Tong, lalu secara diam-diam ingin belajar ilmu silatku. Biarlah kukatakan padamu, di dunia ini tiada seorang pun yang bisa main gila pada Ting Put-sam. Kau hanya boleh pilih satu di antara dua, kalau tidak jiwamu tentu akan melayang. Nah, lekas katakan, lekas!”

“Yaya, engkau dan Ting-ting Tong-tong telah salah mengenali orang, aku ... aku bukan ....”

“Aku tidak peduli kau ini siapa, apakah kau anak anjing, anak setan atau anak kura-kura, semua aku tak peduli,” demikian Ting Put-sam memotong sebelum Ciok Boh-thian menerangkan lebih lanjut. “Aku pun tidak peduli apakah A Tong suka padamu atau tidak. Yang terang adalah karena Ting Put-sam telah penujui kau, dan sekali Ting Put-sam sudah penujui kau maka kau harus memilih satu di antara dua pusaka yang kusebut tadi.”

Ciok Boh-thian menjadi serbasalah, ia pandang si kakek dan pandang pula si anak dara. Pikirnya, “Ting-ting Tong-tong ini telah salah menganggap diriku sebagai dia punya Engkoh Thian, sedangkan itu Engkoh Thian yang tulen tidak lama lagi tentu akan kembali, bukanlah dalam hal ini aku telah menipu si Ting Tong dan memalsukan Engkoh Thian itu pula? Sebaliknya kalau aku menyatakan tidak mau si Ting Tong dan pilih belajar ilmu silat saja, hal ini tentu akan melukai hati si Ting Tong. Ah, lebih baik tidak mau dua-duanya saja.”

Maka ia lantas menggeleng kepala dan berkata, “Yaya, aku telah minum kau punya Hian-peng-pek-hwe-ciu dan seketika tak dapat kubayar kembali padamu, maka bolehlah dianggap sebagai salah satu pusaka pemberianmu saja.”

“Tidak, tidak boleh jadi,” sahut Ting Put-sam dengan muka masam. “Sudah kukatakan tadi Hian-peng-pek-hwe-ciu itu hanya dipinjamkan saja dan kelak harus kau bayar kembali. Biar kau hendak mengangkangi juga tak bisa. Nah, kau sudah pilih dengan baik belum? Ingin ambil A Tong atau pilih ilmu silat?”

Ciok Boh-thian memandang sekejap ke arah Ting Tong, kebetulan anak dara itu pun sedang melirik padanya. Sinar mata kedua orang terbentur, cepat keduanya melengos lagi.

Wajah Ting Tong tampak pucat, air matanya berlinang-linang, kalau menuruti adatnya, kalau dia tidak lantas menjewer telinga Ciok Boh-thian, tentu akan ditinggal pergi dengan marah-marah. Tapi di hadapan sang kakek sekarang sedikit pun ia tidak berani main garang, sudah tentu perasaannya sangat tertekan.

Sekilas melihat air mata Ting Tong yang berlinang-linang itu, hati Ciok Boh-thian menjadi tidak tega. Segera ia berkata dengan suara halus, “Ting Ting Tong Tong, dengarkanlah keteranganku ini, kau sesungguhnya telah salah mengenal diriku. Jika aku benar-benar adalah kau punya Engkoh Thian masakah aku masih ragu-ragu untuk memilihnya? Sudah tentu aku akan memilih dirimu dan tidak sudi pilih ilmu silat segala.”

Air mata Ting Tong masih bercucuran, namun mulutnya sudah mengulum senyum, katanya, “Kau bukan Engkoh Thian? Habis di dunia ini apakah masih ada Engkoh Thian yang kedua?”

“Ya, boleh jadi mukaku agak mirip dengan Engkoh Thian-mu itu,” ujar Boh-thian.

“Kau masih tidak mengaku?” Ting Tong menegas dengan tertawa. “Baiklah, ingin kutanya padamu sekarang. Pada permulaan tahun ini, waktu kita baru mulai kenal, secara kasar kau telah pegang tanganku, maka kontan aku lantas pukul kau, betul tidak?”

Boh-thian tidak menjawab, tapi dengan ketolol-tololan ia pandang si anak dara dengan melenggong.

Wajah Ting Tong tampak mengunjuk rasa kurang senang lagi, katanya pula, “Apakah kau benar-benar sudah melupakan segala kejadian dahulu setelah menderita sakit payah atau cuma pura-pura saja dan berlagak bodoh?”

Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya, “Sudah terang kau telah salah mengenali diriku. Dari mana aku tahu apa yang terjadi antara kau dengan Ciok-pangcu itu?”

“Hm, apakah kau kira dapat menyangkal lagi,” kata Ting Tong pula, “Waktu itu kau telah pegang kedua tanganku, aku menjadi kelabakan, lebih-lebih ketika dengan cengar-cengir kau hendak ... hendak mencium aku. Cepat aku melengos dan menggigit sekali di atas pundakmu sehingga darah bercucuran, karena kesakitan barulah kau melepaskan aku. Sekarang boleh coba bu ... buka bajumu, bukankah di atas pundak kirimu masih ada bekas luka gigitan itu? Andaikan aku memang salah mengenali orang, betapa pun bekas luka itu tak dapat kau hapus.”

“Ya, kau tidak pernah menggigit aku, dengan sendirinya di atas pundak tak ada bekas luka itu,” sambil berkata Boh-thian lantas menyingkap bajunya sehingga kelihatan pundaknya, tapi mendadak ia menjerit kaget, “He, sungguh aneh, mana bisa jadi?”

Ternyata dengan terang dan gamblang ketiga orang dapat melihat dengan jelas bahwa di atas pundak pemuda itu benar-benar terdapat bekas luka gigitan. Bekas luka itu sudah menjadi belang yang menonjol dan terang adalah gigitan mulut orang.

“Nah, apa katamu sekarang? Apa kau berani menyangkal lagi?” jengek Ting Put-sam.

“Biarlah kukatakan padamu, orang yang sering naik gunung pada akhirnya tentu ketemu harimau. Kau suka main gila akhirnya tentu kecantol salah satu wanita dan susah melepaskan diri. Dalam hal demikian kakek juga pernah ditipu orang di waktu masih muda. Sudahlah, jadi jelasnya yang kau pilih adalah A Tong, bukan?”

Namun Ciok Boh-thian sedang terheran-heran, ia tidak ingat bilakah pundaknya pernah digigit orang? Kalau melihat bekas luka itu, terang gigitan itu sangat parah, luka sedemikian itu masakah dapat dilupakan? Selama beberapa hari ini dia telah banyak mengalami kejadian-kejadian aneh, untuk semua ini ia dapat memecahkan persoalannya dengan alasan “salah mengenali orang” dan hanya bekas luka gigitan inilah yang benar-benar susah dimengerti.

Melihat pemuda itu termangu-mangu dan tidak menjawab pertanyaannya, air mukanya tampak aneh sekali, diam-diam Ting Put-sam mengira pemuda itu merasa malu dan tidak berani mengaku terus terang isi hatinya. Maka ia lantas berkata dengan tertawa, “Baiklah, A Tong, hayo, dayung perahu dan pulang!”

Ting Tong terkejut dan bergirang pula, serunya, “Yaya, apa engkau maksudkan membawa dia pulang ke rumah kita?”

“Dia adalah cucu menantuku, mengapa tidak membawanya pulang?” sahut Ting Put-sam. “Jangan-jangan sedikit lena nanti dia terus kabur, kan urusan bisa runyam dan ke mana muka Ting Put-sam harus ditaruh?”

Dengan muka berseri-seri Ting Tong pelototi sekali pada Ciok Boh-thian, mendadak mukanya menjadi merah, cepat dia angkat galah dan menolak perahunya ke depan Sesudah menyusuri kolong jembatan, perahu itu lantas meluncur dengan lajunya.

“Ke rumahmu?” demikian mestinya Ciok Boh-thian ingin bertanya. Tapi di dalam benaknya sesungguhnya terlalu banyak tanda tanya, maka ucapan yang hampir dicetuskan itu telah ditelannya kembali.

Di tengah malam yang sunyi perahu itu menyusur sungai di bawah dahan-dahan pohon Yangliu yang lemas gemulai menjulur ke tengah sungai sehingga terkadang mengeluarkan suara gemeresik karena sentuhan badan perahu dengan dahan-dahan itu. Sayup-sayup hidung Boh-thian mengendus bau harum bunga, hampir ia tidak sadar lagi di mana ia berada.

Beberapa kali perahu itu menerobos kolong jembatan, jalanan air itu pun berliku-liku. Agak lama juga akhirnya sampailah mereka di tepi pekarangan rumah yang berundakan batu bertingkat-tingkat dan menurun ke tepi sungai.

Ting Tong menambat perahunya di sebuah cagak kayu, ia tersenyum kepada Ciok Boh-thian dan mendahului melompat ke undak-undakan batu.

“Hari ini kau adalah tamu sanjungan kami, mari, mari!” kata Ting Put-sam dengan tertawa.

Boh-thian tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. Dengan linglung ia ikut belakang Ting Tong menyusur sebuah jalan batu yang rata, sesudah menembus sebuah pintu bundar lalu melintasi sebuah taman bunga, kemudian mereka sampai di sebuah gardu pemandangan.

“Silakan duduk, tamu sanjungan!” kata Ting Put-sam dengan tertawa sesudah masuk ke dalam gardu itu.

Boh-thian tidak paham apa maksudnya “tamu sanjungan”, karena disilakan duduk, maka ia pun berduduk. Ting Put-sam sendiri lantas membawa cucu perempuannya meninggalkan taman bunga dan masuk ke rumah di sebelah sana.

Saat itu sang dewi malam sudah mendoyong ke sebelah barat, suasana sunyi senyap, angin meniup silir-silir. Sambil meraba bekas luka di atas pundaknya Ciok Boh-thian merasa serbabingung.

Agak lama kemudian terdengarlah suara orang mendatangi, dua wanita setengah umur muncul di depan gardu itu, mereka memberi hormat dan berkata dengan tersenyum, “Silakan Sin-koa-lang (pengantin baru) berganti pakaian ke ruangan dalam.”

Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham apa maksud mereka, ia menduga dirinya diundang ke ruangan dalam sana, maka ia lantas ikut kedua wanita itu. Sesudah lewat di sebuah kolam bunga teratai, menyusur pula sebuah serambi panjang, akhirnya ia sampai di sebuah kamar samping. Di dalam kamar sudah tersedia sebuah baskom besar dengan air hangat, di samping tertaruh dua helai handuk.

“Silakan Sin-koa-lang mencuci badan,” demikian kata salah seorang wanita tadi. “Kata Loyacu (tuan besar) waktunya sudah sangat mendesak sehingga tidak sempat menyediakan pakaian baru, terpaksa Sin-koa-lang diminta tetap menggunakan pakaian sendiri yang terpakai sekarang ini.”

Lalu dengan mengikik tawa kedua wanita itu mengundurkan diri sambil menutupkan pintu kamar.

Boh-thian bertambah bingung, pikirnya, “Sudah terang aku bernama Kau-cap-ceng, mengapa sebentar aku dianggap sebagai Ciok-pangcu, sebentar lagi berubah menjadi Engkoh Thian, dan sekarang aku dipanggil sebagai ‘Sin-koa-lang’ apa segala?”

Ia pikir toh sudah datang, tampaknya Ting Put-sam dan Ting Tong juga tiada bermaksud jahat padanya, maka tanpa pikir lagi segera ia mencuci badan dengan air hangat berbau harum yang tersedia itu. Habis mandi, ia merasa semangatnya menjadi segar.

Baru saja ia selesai berpakaian kembali, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berseru di luar pintu, “Silakan Sin-koa-lang ke ruangan tengah untuk sembahyang Thian!”

Boh-thian terkejut. Ia paham tentang “sembahyang Thian” berikutnya ia menjadi teringat juga tentang sebutan “Sin-koa-lang” itu. Sewaktu kecil pernah ia mendengar cerita ibunya tentang pengantin lelaki dan pengantin wanita bersembahyang kepada Thian. Maka sesaat itu ia menjadi melengong saja.

Dalam pada itu lelaki di luar tadi sedang bertanya pula, “Apakah Sin-koa-lang sudah selesai berpakaian?”

Terpaksa Boh-thian mengiakan. Lalu masuklah orang itu, tampak bicara lagi lelaki itu lantas menyampirkan sehelai kain merah di atas leher Ciok Boh-thian, sebuah bunga kain sutra merah disematkan pula di dadanya. Lalu katanya, “Kionghi! Kionghi!”

Segera ia gandeng tangan Boh-thian dan diajak keluar.

Dengan rasa bingung Boh-thian tahunya cuma ikut saja. Setibanya di ruangan besar, tertampaklah delapan lilin besar telah dinyalakan terletak di atas sebuah meja besar dengan Toh-wi (tirai meja) merah bersulam indah yang terdapat di tengah-tengah ruangan.

Kelihatan Ting Put-sam berdiri di sisi meja besar itu dengan senyum berseri-seri. Dan begitu Ciok Boh-thian melangkah masuk, serentak tiga orang lelaki di samping ruangan sana lantas membunyikan seruling.

Lelaki yang menggandeng Boh-thian tadi lantas berseru, “Silakan pengantin perempuan keluar!”

Maka terdengarlah suara kerincing-kerincing dan keriang-keriut, dari belakang keluarlah kedua orang wanita pertama tadi dengan memapah seorang gadis berbaju ungu mudah berkerudung kain sutra merah. Dilihat bangun tubuhnya terang itulah si Ting Tong.

Ketiga wanita itu lantas berdiri di sisi kiri Ciok Boh-thian. Sayup-sayup pemuda itu mendengus bau harum yang meresap. Hatinya menjadi bimbang, takut tapi juga girang.

“Menyembah kepada Thian (langit)!” seru pula lelaki tadi selaku protokol.

Segera Boh-thian melihat Ting Tong berlutut ke arah meja dan perlahan-lahan mulai menyembah.

Sudah tentu ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Untunglah si lelaki tadi telah membisikinya, “Lekas berlutut dan menyembah!”

Karena punggungnya didorong perlahan pula dari belakang, terpaksa Boh-thian berlutut dan menyembah beberapa kali secara ngawur. Melihat kelakuannya yang lucu itu, salah seorang wanita pengiring pengantin perempuan itu sampai tertawa geli.

“Menyembah kepada bumi!” si protokol berseru lagi.

Segera Boh-thian dan Ting Tong membalik tubuh dan menyembah ke arah ruangan dalam.

“Menyembah kakek!” seru pula protokol.

Ting Put-sam lantas siap di tengah, lebih dulu Ting Tong menyembah, dengan agak ragu-ragu Boh-thian juga menyembah.

“Suami istri saling menyembah!” teriak si protokol.

Melihat si Ting Tong telah miringkan tubuh dan berlutut ke arahnya, seketika otak Boh-thian berubah terang. Mendadak ia berseru, “He, Ting-ting Tong-tong! He Yaya! Aku sungguh-sungguh bukan Ciok-Pangcu dan bukan kau punya Engkoh Thian apa segala. Kalian telah salah mengenali diriku, kelak ... kelak kalian jangan menyalahkan aku, lho!”

Ting Put-sam terbahak-bahak, katanya, “Anak dungu, dalam keadaan begini masih bicara hal demikian? Tidak, tidak akan menyalahkan kau!”

“He, Ting-ting Tong-tong! Kita harus bicara di muka, lho! Kita sembahyang Thian ini hanya main-main saja atau sungguhan?” seru Ciok Boh-thian pula.

Dari balik kerudung muka Ting Tong menjawab dengan tertawa, “Sudah tentu sungguhan, urusan demikian masakah ... masakah boleh main-main?”

“Tapi ... tapi kau yang salah mengenali orang, aku ... aku tak mau tanggung, lho! Jangan-jangan kelak kau menjadi menyesal dan ... dan akan menjewer kupingku dan menggigit pundakku lagi, ini ... ini tidak boleh, ya?”

Seketika para hadirin tercengang. Ting Tong juga mengikik geli. Sahutnya dengan suara rendah, “Tidak, aku takkan menyesal, asal kau selalu baik padaku, tentu aku takkan ... takkan menjewer kau lagi.”

Sebaliknya Ting Put-sam lantas berseru, “Dijewer bini adalah sesuatu yang lumrah, kenapa mesti digegerkan? Nah, Kau-cap-ceng, sudah sekian lamanya A Tong berlutut padamu mengapa kau tidak lekas membalas hormat?”

“Ya, ya,” cepat Boh-thian menjawab. Dan segera ia pun berlutut dan saling menyembah dengan Ting Tong.

Protokol lantas berteriak lagi, “Upacara selesai, silakan sepasang pengantin baru masuk kamar. Semoga hidup bahagia, panjang umur, keturunan subur!”

Seketika suara seruling berbunyi pula. Lalu sepasang pengantin diiringkan ke dalam kamar baru. Kamar ini jauh lebih kecil daripada kamar Ciok Boh-thian di markas Tiang-lok-pang itu, perabotnya juga sederhana, hanya penerangan lilin lebih semarak, di dalam kamar penuh pajangan-pajangan kain merah dan benda-benda lain yang menambah suasana bahagia.

Sesudah menundukkan Ting Tong dan Ciok Boh-thian di pinggir ranjang, beberapa pengiring pengantin itu menuangkan dua cawan arak dan ditaruh di atas meja, kata mereka bersama, “Kionghi dan selamatlah sepasang pengantin baru, silakan saling tukar minum secawan arak ini!”

Lalu dengan tertawa terkekeh-kekeh mereka mengundurkan diri sambil merapatkan pintu kamar.

Hati Ciok Boh-thian menjadi berdebar-debar. Meskipun ia masih hijau dan sama sekali tidak paham kehidupan manusia umumnya, tapi ia pun insaf bahwa dengan upacara tadi, maka dirinya dan si Ting Tong telah menjadi suami istri. Ia lihat Ting Tong berduduk dengan diam saja di sebelahnya, kepalanya masih berkerudung kain sutra merah.

Jilid 13

Karena sampai sekian lamanya anak dara itu masih tidak bergerak akhirnya Boh-thian bicara mengada-ada, “Eh, Ting-ting Tong-tong, kau memakai kerudung itu, apakah tidak merasa gerah?”

“Sudah tentu gerah sekali, hendaklah kau menyingkapnya saja,” sahut Ting Tong dengan tertawa.

Maka dengan jari Ciok Boh-thian lantas memegang ujung kain kerudung dan perlahan-lahan menyingkapnya.

Di bawah cahaya lilin tertampaklah wajah si Ting Tong yang cantik molek. Girang dan berdebar-debar hati Ciok Boh-thian, dengan mata tak berkedip ia memandangi nona itu, katanya, “Kau ... kau sungguh cantik.”

Ting Tong tersenyum manis, pipi kirinya kelihatan sebuah dekik kecil, perlahan-lahan ia menunduk dengan malu-malu.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara Ting Put-sam di luar kamar, kedengaran sedang berkata di tempat yang agak tinggi, “Malam ini adalah malam pengantin cucu perempuanku entah kawan dari manakah itu yang datang silakan turun kemari sekadar minum secawan.”

Lalu di tempat yang tinggi sebelah sana ada orang menjawab, “Pwe Hay-ciok, pengabdi Tiang-lok-pang, dengan jalan menyampaikan salam hormat kepada Ting-samya, harap maaf atas kelancangan kami membikin ribut ke sini malam-malam begini.”

“O, kiranya Pwe-siansing yang telah datang,” bisik Ciok Boh-thian di dalam kamar.

Alis Ting Tong tampak terkerut, ia mendesis agar pemuda itu jangan bicara.

Maka terdengarlah Ting Put-sam sedang bergelak tertawa, katanya, “Eh, kukira kawan tukang gerayang dari mana, tak tahunya adalah orang dari Tiang-lok-pang. Kalian ingin minum arak pengantin atau tidak? Janganlah bergembar-gembor sehingga mengganggu cucu perempuanku dan menantu cucuku itu.”

Pwe Hay-ciok ternyata sangat sabar menghadapi ucapan yang kasar itu, ia terbatuk beberapa kali, lalu berkata, “Kiranya hari ini adalah hari nikah cucu perempuan Ting-samya, maafkan kedatangan kami yang sembrono ini sehingga tiada membawa kado apa-apa, lain hari tentu kami akan datang pula memberi selamat dan minta minum arak pengantin. Sekarang Pang kami sedang menghadapi sesuatu urusan genting dan harus bertemu sendiri dengan Ciok-pangcu kami, maka mohon Ting-samya sudi pertemukan kami kepada beliau, untuk mana sebelumnya kami mengucapkan terima kasih. Sesungguhnya kalau tiada urusan penting, biarpun nyali kami sebesar langit juga kami tidak berani sembarangan menerobos ke tempat kediaman Ting-samya ini.”

“Pwe-tayhu, kau juga seorang tokoh di dunia Kangouw dan tidak perlu main sungkan-sungkan kepadaku,” sahut Ting Put-sam. “Apa yang kau sebut sebagai Ciok-pangcu adalah cucu menantuku Kau-cap-ceng ini bukan? Tapi dia bilang kalian telah salah mengenali dia, maka tidak ingin bertemu dengan kalian.”

Orang-orang yang datang bersama Pwe Hay-ciok itu seluruhnya adalah delapan jago utama Tiang-lok-pang. Demi mendengar Ting Put-sam memaki Pangcu mereka sebagai “Kau-cap-ceng” atau anak anjing, seketika beberapa orang di antaranya mengeluarkan suara geraman, kalau bisa mereka ingin melabrak orang she Ting itu.

Tapi Pwe Hay-ciok sendiri pernah mendengar Ciok Boh-thian mengaku bernama Kau-cap-ceng, maka ia anggap apa yang diucapkan Ting Put-sam itu tiada bermaksud menghina sang Pangcu. Ia pun kenal tabiat sang pangcu yang bangor, boleh dikata seorang bajul buntung, ke mana pun pergi suka main perempuan, bermalam di tempat “Ca-bo-keng” (rumah perempuan) adalah soal biasa baginya. Tapi sekarang mendengar bahwa sang Pangcu telah diambil sebagai cucu menantu oleh iblis tua Ting Put-sam, mau tak mau hati Pwe Hay-ciok menjadi ragu-ragu dan khawatir. Ia pikir kejadian ini tentu akan membawa akibat buruk di kemudian hari, lebih celaka lagi kalau sampai bermusuhan dengan tokoh-tokoh sebagai Ting Put-sam dan Ting Put-si bersaudara ini.

Maka ia lantas berkata, “Ting-samya, urusan Pang kami ini sesungguhnya sangat genting dan harus segera dimintakan petunjuk Pangcu. Dalam hal Pangcu kami suka bicara main-main atau berkelakar adalah lazim saja.”

Mendengar ucapan Pwe Hay-ciok itu, agaknya sangat khawatir dan gelisah, Ciok Boh-thian menjadi teringat kepada pertolongan dan perhatian tabib itu ketika dirinya dirangsang oleh derita penyakit panas dingin tempo hari, maka ia menjadi tidak tega membiarkan dia gelisah sedemikian rupa, segera ia membuka jendela dan berseru, “Pwe-siansing, aku berada di sini! Apa kalian mencari aku?”

Pwe Hay-ciok sangat girang, cepat jawabnya, “Ya, betul! Siokhe ada urusan penting yang harus segera dilaporkan kepada Pangcu.”

“Aku adalah Kau-cap-ceng dan bukan Pangcu kalian apa segala,” ujar Boh-thian. “Jika kau ingin mencari diriku sih memang sudah ketemu, tapi bila ingin mencari Pangcu, terang kau telah keliru alamat.”

Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah, tapi lantas dijawabnya, “Ah, Pangcu suka bergurau lagi. Silakan Pangcu suka keluar sebentar agar kita bisa bicara lebih jelas.”

“Kau minta aku keluar?” Boh-thian menegas.

“Ya, Pangcu,” sahut Pwe Hay-ciok.

Tiba-tiba Ting Tong telah tarik-tarik lengan baju Ciok Boh-thian dan membisikinya, “Engkoh Thian, janganlah keluar!”

“Biar aku bicara sebentar saja dengan dia, segera aku akan kembali,” sahut si pemuda. Lalu ia melompat keluar melalui jendela.

Maka tertampaklah di atas pagar tembok pekarangan sebelah barat berdiri Pwe Hay-ciok, di atas wuwungan di belakangnya terdapat pula beberapa orang lagi. Sebaliknya di atas dahan pohon besar yang berada di sebelah timur pekarangan itu berduduk satu orang, ialah Ting Put-sam.

“Pwe-tayhu, kau ingin bicara dengan cucu menantuku, aku ikut mendengarkan, boleh tidak?” tiba-tiba Ting Put-sam bertanya.

Tentu saja Pwe Hay-ciok susah menjawab. Padahal Ting Put-sam sendiri sebagai seorang angkatan tua harus tahu peraturan Kangouw, urusan penting dan rahasia golongan lain adalah tidak pantas orang lain ikut-ikut mendengarkan, nyata tingkah laku iblis ini memang aneh sebagaimana disohorkan oleh orang Kangouw, demikian pikir Pwe Hay-ciok. Kemudian ia menjawab, “Urusan ini Cayhe tidak berani menjawab, Pangcu sendiri berada di sini, segala apa sudah seharusnya diputuskan oleh beliau.”

“Bagus, bagus! Segala urusan telah kau timpakan kepada cucu menantuku,” kata Ting Put-sam. “Hai, Kau-cap-ceng, Pwe-tayhu ingin bicara dengan kau aku pun ingin ikut mendengarkan.”

“Apa halangannya jika Yaya ingin ikut mendengarkan,” sahut Ciok Boh-thian.

“Hahaha! Bagus, bagus! Anak baik, cucu berbakti!” seru Ting Put-sam dengan tertawa. “Nah Pwe-tayhu, kalau ingin bicara lekaslah mulai. Maklum, waktu sangat berharga, apalagi, di malam pengantin cucu perempuanku ini kau sengaja datang membikin kacau, benar-benar runyam.”

Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menduga Ciok Boh-thian akan mengizinkan permintaan Ting Put-sam tadi, tapi apa daya hanya dalam hati saja ia merasa kurang senang. Lalu ia mulai berkata, “Pangcu, di markas telah mendapat kunjungan tamu dari Swat-san-pay.”

“Swat-san-pay?” Boh-thian manggut-manggut. “Apa barangkali nona Hoa Ban-ci dan kawan-kawannya?”

Banyak sekali golongan dan aliran di dunia persilatan, tapi yang dikenal Ciok Boh-thian hanya Swat-san-pay saja dan di antara orang-orang Swat-san-pay itu hanya dikenalnya Hoa Ban-ci seorang, sebab itulah ia lantas menyebut namanya.

“Nona Hoa juga terdapat di antara tamu-tamu itu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Selain itu masih ada pula beberapa orang di bawah pimpinan ‘Gi-han-se-pak’ Pek ....” sampai di sini ia lantas berhenti dan dengan penuh perhatian ia memandang air muka sang Pangcu.

Di bawah cahaya bulan dapat dilihat jelas ketika mendengar sebutan “Gi-han-se-pak”, sama sekali air muka Ciok Boh-thian tiada reaksi apa-apa. Maka lega dan tenteramlah hati Hay-ciok.

Dari sikap sang Pangcu yang tenang-tenang itu, ia yakin sang Pangcu tentu sudah mempunyai kepandaian yang lebih unggul untuk menghadapi orang-orang Swat-san-pay, dan apa yang dituduhkan pihak lawan itu hanya omong kosong belaka.

Maka ia lantas menyambung pula, “Tampaknya orang-orang Swat-san-pay yang datang itu adalah jago-jago pilihan semua.”

“Sekalipun si tua bangka Pek Cu-cay yang datang sendiri juga bisa apa?” tiba-tiba Ting Put-sam menyela. “Pwe-tayhu, kabarnya kau punya ‘Ngo-heng-liok-hap-ciang’ sangat lihai, mengapa kedatangan seorang bocah seperti Pek Ban-kiam saja kau sudah gugup?”

Mendengar orang memuji pukulannya, mau tak mau Pwe Hay-ciok menjadi senang. Dengan tersenyum ia menjawab, “Sedikit kepandaianku ini masakah ada harganya untuk disebut-sebut. Tiang-lok-pang kami meski suatu organisasi kecil juga tidak pernah takut kepada golongan dan aliran mana pun juga di dunia persilatan ini. Soalnya selama ini kami toh tiada percekcokan apa-apa dengan Swat-san-pay, tapi kedatangan Gi-han-se-pak ini tampaknya sangat garang dan ingin segera bertemu dengan Pangcu, kami minta dia suka menunggu sampai besok juga telah ditolak, maka teranglah dalam urusan ini ada sesuatu hal yang agak luar biasa, dan kami perlu minta petunjuk kepada Pangcu.”

“Kemarin nona Hoa itu telah ditawan oleh Tan-hiangcu dan pagi tadi dia telah kita lepaskan,” demikian kata Boh-thian. “Apa barangkali orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah karena kejadian ini?”

“Mungkin ada sedikit hubungan dengan kejadian itu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Tapi Siokhe sudah minta keterangan kepada Tan-hiangcu, katanya Pangcu bersikap sangat ramah kepada nona Hoa, bahkan seujung rambutnya juga tak disentuh, kesalahannya berani kasak-kusuk ke dalam markas kita juga tak diusut, hal ini boleh dikata telah memberi muka kepada orang-orang Swat-san-pay. Kalau melihat sikap Gi-han-se-pak yang garang itu, agaknya kedatangan mereka adalah untuk urusan lain.”

“Habis apa yang kau kehendaki dariku?” tanya Boh-thian.

“Itulah terserah kepada perintah Pangcu,” sahut Pwe Hay-ciok. “Jika Pangcu ingin cara halus, maka kami akan segera kembali dan memberi sedikit petuah kepada mereka. Sebaliknya kalau Pangcu bilang pakai kekerasan, maka kita lantas hajar mereka hingga kocar-kacir agar mereka kapok dan tidak berani sembarangan main gila dengan Tiang-lok-pang. Atau boleh juga Pangcu sendiri coba melihat-lihat ke sana dan bertindak menurut gelagat, jalan ini pun baik juga.”

Berada sendirian di dalam kamar bersama Ting Tong tadi memangnya Ciok Boh-thian lagi merasa bingung, ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sesudah masuk di dalam kamar pengantin itu. Ia merasa dirinya bukanlah Ciok-pangcu tulen, tentang pengantinan itu akibatnya kelak tentu akan membikin susah, untung Pwe Hay-ciok sekarang datang, kesempatan ini dapat dibuat alasan untuk meloloskan diri. Maka ia lantas berkata, “Jika demikian, baiklah aku akan pulang untuk melihatnya, mungkin ada salah paham di pihak mereka dan aku akan bicara secara terus terang kepada mereka,” lalu ia berpaling dan berkata pula, “Yaya, Ting-ting Tong-tong! Aku akan pergi dulu, ya!”

Ting Put-sam garuk-garuk kepala, katanya, “Wah, cara, demikian kurang baik. Kalau bocah-bocah kaum Swat-san-pay itu yang datang mengacau, biarlah aku saja yang pergi membereskan mereka. Toh aku memang sudah pernah membunuh dua orang murid mereka dan memang sudah mengikat permusuhan dengan si tua bangka she Pek, bagaimana kalau sekarang harus aku membunuh lagi beberapa orang mereka, maka utang piutang ini akan sama saja cara memperhitungkannya kelak.”

Tentang terbunuhnya Sun Ban-lian dan Cu Ban-jing oleh Ting Put-sam, karena hal ini menyangkut kehormatan Swat-san-pay, maka telah dirahasiakan, kecuali Ciok Jing suami istri yang telah diberi tahu.

Pwe Hay-ciok sendiri merasa tidak enak kalau Ting Put-sam ikut campur dalam urusan ini sehingga akan makin mempertajam pertentangan dengan Swat-san-pay yang luas pengaruhnya di dunia persilatan itu. Maka ia lantas berkata, “Jika Pangcu sendiri ingin pulang untuk menemui orang Swat-san-pay, sudah tentu jalan ini adalah paling baik. Dari itu urusan kecil Pang kami ini tidak perlu sampai membikin urusan ini tentu akan berkunjung lagi kemari.”

Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menyinggung tentang arak pengantin segala, sebab ia berharap sesudah pulang di markas Tiang-lok-pang nanti akan dapat membujuk sang Pangcu agar membatalkan maksudnya berbesanan dengan keluarga Ting itu.

Tak terduga Ting Put sam lantas berkata, “Ngaco-belo, kalau aku sudah mengatakan akan pergi, maka sudah pasti aku akan pergi. Pendek kata urusan Tiang-lok-pang ini, aku Ting-losam sudah pasti akan ikut campur.”

Setelah mengikuti percakapan di luar itu, Ting Tong menduga sebabnya orang-orang Swat-san-pay mendatangi markas Tiang-lok-pang tentu adalah gara-gara perbuatan kekasihnya yang bersifat bajul buntung ini, mungkin karena Hoa Ban-ci dari Swat-san-pay itu bermuka cantik, maka telah diganggunya dan bukan mustahil sudah dipaksa secara kasar. Padahal saat ini adalah malam pengantin baru mereka, tapi Ciok Boh-thian ternyata hendak pulang untuk menemui Hoa Ban-ci tanpa memedulikan dirinya, keruan Ting Tong sangat mendongkol. Maka tanpa pikir lagi segera ia melompat ke luar dan berseru, “Yaya, jikalau Engkoh Thian ada urusan penting dan harus pulang segera, walaupun berat juga terpaksa kita tak dapat merintanginya. Biar begini saja, kita kakek dan cucu berdua juga ikut Engkoh Thian ke sana untuk melihat tokoh-tokoh macam apakah dari Swat-san-pay yang datang itu.”

Meski Ciok Boh-thian ingin menghindari kesukaran di dalam kamar pengantin, tapi sesungguhnya ia pun merasa berat untuk berpisah dengan Ting Tong, kini mendengar nona itu mau ikut pulang padanya, ia menjadi girang dan segera menanggapi, “Bagus, bagus! Ting-ting Tong-tong, marilah kita berangkat. Yaya, marilah engkau pun ikut.”

Sekali sang Pangcu sudah berkata demikian, terpaksa Pwe Hay-ciok tak dapat bicara lain lagi. Beramai-ramai mereka lantas menuju ke tepi sungai dan naik ke atas perahu besar milik orang-orang Tiang-lok-pang dan segera mereka berlayar pulang ke markas.

Diam-diam Pwe Hay-ciok mengisiki Ciok Boh-thian, “Pangcu, hendaklah kau minta kepada Ting-samya agar jangan ikut turun tangan dan membunuh orang Swat-san-pay, tiada gunanya banyak mengikat permusuhan, sedapat mungkin kita harus menyelesaikan setiap persoalan secara damai.”

“Benar, tanpa sebab mana boleh sembarang membunuh orang, kan orang jahat namanya jika suka membunuh orang?” sahut Boh-thian.

Pwe Hay-ciok sampai melongo sendiri mendengar jawaban Ciok Boh-thian itu. Katanya di dalam hati, “Kau sendiri mengapa mendadak bicara seperti seorang mahaalim? Sungguh aneh!”

Setiba di markas Tiang-lok-pang, segera Ting Tong berkata, “Engkoh Thian, biar aku mengganti pakaian kaum lelaki ke kamarmu, lalu ikut bersama kau untuk menemui nona Hoa yang cantik molek itu.”

Sebagai pemuda yang masih hijau, Ciok Boh-thian merasa tertarik akan permainan si Ting Tong itu, jawabnya dengan tertawa, “Untuk apa kau menggunakan pakaian lelaki?”

“Aku tidak ingin diketahui sebagai istrimu agar nanti dapat lebih bebas bicara,” kata Ting Tong tertawa.

“Baiklah, mari kuantar kau ke kamarku,” sahut Boh-thian.

Mendadak Ting Put-sam juga berkata, “Biar aku pun ikut menyamar saja. Pwe-tayhu, apakah boleh aku menyaru sebagai anak buahmu?”

Memangnya Pwe Hay-ciok tidak ingin diketahui oleh orang Swat-san-pay tentang beradanya Ting Put-sam di dalam Tiang-lok-pang, maka kesediaan Ting Put-sam untuk menyamar itu menjadi kebetulan baginya. Segera ia menjawab dengan senang, “Apa yang Ting-samya kehendaki, boleh silakan saja.”

Begitulah Ciok Boh-thian lantas membawa Ting Put-sam dan Ting Tong ke kamarnya. Waktu itu Si Kiam masih mendengkur dengan nyenyaknya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, ia lantas terjaga bangun. Ia menjadi terheran-heran ketika melihat Ting Tong dan kakeknya.

Boh-thian merasa susah untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi, hanya dikatakannya, “Enci Si Kiam, mereka ini hendak menyamar, boleh ... boleh kau membantu mereka seperlunya.”

Dan karena khawatir ditanya oleh Si Kiam, maka cepat ia keluar lagi dari kamar dan menunggu di ruangan luar.

Tidak terlalu lama, datanglah Tan Tiong-ci dan memberi lapor, “Pangcu, para saudara sudah siap menantikan kedatangan Pangcu ke ruangan Hou-beng-tong.”

Pada saat itulah tampak Ting Tong juga telah muncul sambil berseru, “Baiklah, kita boleh segera pergi bersama.”

Mendadak Boh-thian melihat di depannya telah bertambah seorang pemuda dengan dandanan yang serbaindah. Ternyata Ting Tong telah memakai baju panjang warna hijau, pakai ikat kepala kaum pelajar, tangannya membawa kipas lempit.

Sebaliknya Ting Put-sam telah mengganti pakaian yang kasar berlengan pendek, mukanya sengaja dipoles hitam, memakai sepatu butut, pundak miring sebelah, jalannya dibikin pincang, kelakuannya sangat lucu.

Hampir-hampir Ciok Boh-thian tidak kenal lagi pada orang tua itu, selang sejenak barulah ia berseru dengan terbahak-bahak, “Yaya, kau sama sekali telah berubah rupa.”

Kemudian Tan Tiong-ci bertanya kepada Boh-thian, “Pangcu, apakah kita perlu membawa senjata?”

“Membawa senjata?” sahut Boh-thian dengan mata terbelalak lebar. “Untuk apa membawa senjata?”

Tiong-ci menyangka arti jawaban Boh-thian itu adalah kebalikannya, maka ia hanya mengiakan saja dan segera mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke ruang Hou-beng-tong (ruang harimau buas).

Di ruangan itu sudah menunggu beberapa puluh orang, ketika melihat kedatangan Ciok Boh-thian, serentak mereka berdiri dan memberi hormat.

Sama sekali Boh-thian tidak menyangka ruangan itu sedemikian besarnya serta sedemikian banyak orang yang berada di situ. Ia terkejut, lebih-lebih ketika orang-orang itu serentak memberi hormat, keruan ia menjadi bingung dan entah cara bagaimana harus bicara. Untuk sekian lamanya ia tertegun di ambang pintu.

Ia lihat meja-meja yang terletak di sekeliling ruangan itu semuanya terdapat lilin besar yang memancarkan cahaya yang terang, beberapa puluh orang lelaki berbaris di kanan-kiri, di tengah-tengah ruangan tersedia sebuah kursi besar berlapis kulit harimau yang loreng. Keangkeran ruangan besar itu seketika membikin pemuda gunung yang masih hijau itu tercengang bingung. Terpaksa ia memandang ke arah Pwe Hay-ciok yang juga terdapat di antara orang-orang yang menantikan kedatangannya itu, ia sangat mengharapkan nasihat Pwe Hay-ciok akan bagaimana harus diperbuatnya.

Syukurlah Pwe Hay-ciok lantas menyambut ke hadapannya dan berbisik padanya, “Pangcu, marilah kita ambil tempat duduk dulu, habis itu barulah sahabat dari Swat-san-pay itu diundang masuk kemari.”

Dalam keadaan demikian sudah tentu Ciok Boh-thian menurutkan saja segala petunjuk Pwe Hay-ciok. Di bawah iringan Pwe-tayhu, segera Boh-thian mendekati kursi besar berlapis kulit harimau itu dengan sangsi.

“Silakan Pangcu duduk saja,” Pwe Hay-ciok membisikinya.

“Aku ... aku duduk di sini?” Boh-thian menegas dengan bingung, sungguh ia merasa takut, tanpa merasa sorot matanya tertuju ke arah Ting Tong, ia berharap paling baik kalau nona itu lantas menyeretnya melarikan diri keluar dari ruangan itu dan kabur sejauh mungkin ke tempat yang sunyi.

Tapi Ting Tong hanya membalas dengan tersenyum saja dengan maksud memberi dorongan padanya.

Melihat sinar mata si nona yang mesra itu Boh-thian merasa nona itu seperti sedang menganjurkannya agar jangan takut dan siap membantunya jika ada kesukaran apa-apa. Sekarang semangat Boh-thian terbangkit, hatinya menjadi tabah, ia merasa terima kasih dan lega. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lantas duduk di atas kursi berkulit harimau itu.

Sesudah Boh-thian berduduk, lalu Ting Put-sam dan Ting Tong berdiri di belakang kursi besar itu. Segera para hadirin juga lantas mengambil tempat duduknya sendiri-sendiri menurut urutan dan kedudukan masing-masing.

Kemudian Pwe Hay-ciok mulai membuka suara, “Saudara-saudara yang terhormat. Selama ini Pangcu telah jatuh sakit parah sekali, untunglah kini kesehatan beliau telah sembuh kembali walaupun semangatnya belum lagi pulih seluruhnya. Seharusnya Pangcu masih perlu istirahat untuk beberapa hari lamanya barulah dapat bekerja seperti biasa. Tak terduga-duga sobat-sobat dari Swat-san-pay bersitegang harus bertemu dengan Pangcu, seakan-akan kalau Pangcu tidak menemui mereka, maka menandakan sakitnya Pangcu sudah tak bisa disembuhkan lagi. Hehe, masakah dengan Lwekang mahatinggi yang dimiliki Pangcu bisa terganggu oleh penyakit yang tiada artinya? Pangcu, apakah sekarang juga kita undang saja sobat-sobat dari Swat-san-pay itu masuk ke sini?”

Boh-thian mendengus sekali, ia tidak tahu apa mesti menyatakan baik atau tidak baik.

Tapi Pwe Hay-ciok lantas memerintahkan orang-orang Tiang-lok-pang mengatur tempat duduk mereka semua berduduk di sebelah timur, sembilan buah kursi di sebelah barat dikosongkan untuk para tamu.

Lalu Pwe Hay-ciok berseru, “Bi-hiangcu, boleh silakan para tamu masuk untuk bertemu dengan Pangcu.”

Bi Heng-ya mengiakan dan segera melangkah keluar. Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang di luar. Pintu ruangan terbuka Bi Heng-ya muncul dan berdiri di sisi pintu dan berseru, “Lapor Pangcu, para sobat dari Swat-san-pay telah tiba!”

“Marilah kita keluar menyambutnya,” Pwe Hay-ciok mengisiki Ciok Boh-thian dan perlahan-lahan menarik lengan bajunya.

“Menyambut?” Boh-thian menegas dengan ragu-ragu, perlahan-lahan ia berbangkit dan ikut Pwe Hay-ciok menuju keluar ruangan.

Tepat pada saat itu juga kesembilan jago Swat-san-pay telah melangkah masuk, mereka semuanya memakai baju panjang warna putih, orang yang berjalan paling depan bertubuh sangat tinggi, berumur antara 42-43 tahun, mukanya kereng, ketika dua-tiga meter berhadapan dengan Ciok Boh-thian mendadak ia berdiri tegak, sorot matanya menatap tajam kepada Boh-thian.

Tapi Boh-thian membalasnya dengan tersenyum ketolol-tololan sebagai tanda sambutan.

Lalu Pwe Hay-ciok berkata, “Pangcu, saudara ini adalah ‘Gi-han-se-pak’ (perbawa menggigilkan seluruh barat laut) Pek Ban-kiam, Pek-toako yang namanya disegani dan ilmu pedangnya tiada bandingannya di Bu-lim.”

Boh-thian hanya manggut-manggut saja dan kembali tersenyum ketolol-tololan. Karena dia hanya kenal Hoa Ban-ci seorang saja yang ikut di belakang Pek Ban-kiam itu, maka ia lantas berkata dengan tertawa, “Nona Hoa, kau telah datang lagi,”

Air muka kesembilan jago Swat-san-pay berubah seketika demi mendengar teguran itu.

Pek Ban-kiam adalah putra sulung Wi-tek Sian-sing Pek Cu-cay, itu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay. Nama seluruh saudara perguruan mereka memakai huruf “Ban” (laksa) semua, dia bernama “Ban-kiam” (selaksa pedang), maka dapat dibayangkan ilmu pedangnya tentu lain daripada yang lain. Dalam Swat-san-pay nama Pek Ban-kiam sejajar dengan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, orang Kangouw menjuluki mereka sebagai “Swat-san-siang-kiat” (dua jago dari Swat-san). Coba kalau bukan Pek Ban-kiam sendiri yang datang, tentu Pwe Hay-ciok tidak perlu malam-malam datang ke rumah Ting Put-sam untuk mencari Ciok Boh-thian. Dan kalau tokoh terkemuka sebagai Pwe Hay-ciok juga sedemikian hormat dan segan padanya, sebaliknya seorang Pangcu yang masih muda belia ternyata acuh tak acuh kepadanya, sudah tentu Pek Ban-kiam sangat mendongkol, apalagi dia sudah menunggu sekian lamanya di ruangan tamu sekarang ternyata disambut secara dingin saja, bahkan datang-datang yang disapa adalah Sumoaynya yang cantik itu, keruan dada Pek Ban-kiam hampir-hampir meledak saking menahan perasaannya.

Syukurlah dia adalah seorang kesatria yang bisa membawa diri dan tidak mau perhatikan perasaannya secara terbuka. Hanya dengan sikap dingin ia melirik Ciok Boh-thian, meski tidak bicara, namun air mukanya sudah kentara sangat menghinakan kelakuan Ciok Boh-thian tadi.

Hoa Ban-ci juga serbasalah atas teguran Boh-thian itu, ia pun tidak menjawab dan hanya mendengus sekali saja.

Sebaliknya Ciok Boh-thian masih terlalu polos dan kekanak-kanakan, ia tidak tahu bahwa orang-orang Swat-san-pay itu sudah marah padanya, ia masih bertanya pula, “Eh, nona Hoa, apa luka di kakimu itu sudah sembuh? Masih sakit atau tidak?”

Pertanyaan ini membuat muka Hoa Ban-ci merah jengah, seketika orang-orang Swat-san-pay yang lain juga lantas memegang gagang pedang dan siap dilolos.

Melihat ketegangan suasana itu, cepat-cepat Pwe Hay-ciok membuka suara, “Silakan duduk, saudara-saudara, silakan! Sebenarnya kesehatan Pangcu kami belum mengizinkan untuk menemui tamu, tapi karena kedatangan saudara-saudara dari tempat jauh, terpaksa beliau menemui kalian. Tadi saudara-saudara telah lama menunggu, haraplah suka dimaafkan.”

Pek Ban-kiam hanya mendengus saja dan segera mengambil tempat duduk pertama di sebelah barat tadi. Kheng Ban-ciong duduk di sisinya, lalu Kwa Ban-king, Ong Ban-jim dan seterusnya, Hoa Ban-ci duduk di tempat yang terakhir.

Diam-diam beberapa orang Tiang-lok-pang merasa senang mendengar ucapan sang Pangcu mengenai luka di kaki Hoa Ban-ci dan membikin orang-orang Swat-san-pay itu gemas setengah mati, tapi toh tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu Pwe Hay-ciok juga telah mengiringkan Ciok Boh-thian kembali ke tempat duduknya. Para pelayan lantas mengaturkan minuman.

Kemudian Hay-ciok membuka suara lagi, “Tiang-lok-pang kami sudah lama kagum kepada Wi-tek Siansing, Swat-san-siang-kiat dan para jago muda dari Swat-san-pay, cuma sayang tempat kami ini terpencil di daerah Kanglam sehingga susah mengadakan hubungan. Hari ini berkat kunjungan Pek-siheng dan saudara-saudara sekalian, sungguh kami merasa bahagia sekali.”

Pek Ban-kiam membalas hormat sambil berkata, “Pwe-tayhu Tiok-jin-seng-jun, Ngo-heng-liok-hap-ciang juga tiada bandingannya di dunia ini, meski selama ini kita tidak kenal, tapi Cayhe sudah lama mendengar nama kebesaranmu.”

Dia hanya memuji Pwe Hay-ciok saja, tapi tidak sebut-sebut Ciok Boh-thian.

Namun Pwe Hay-ciok pura-pura tidak tahu, sahutnya dengan merendah diri, “Ah, Pek-siheng terlalu memuji. Entah saudara-saudara sudah berapa hari tiba di Yangciu ini? Biarlah lain hari Pangcu akan bertindak selaku tuan rumah dan mengundang saudara-saudara sekalian mengadakan sekadar perjamuan.”

Pek Ban-kiam mulai tidak sabar karena maksud kedatangan mereka tidak ditanyakan, segera ia berseru lantang, “Di kalangan Kangouw orang menyohorkan ilmu silat Ciok-pangcu kalian sangat hebat, cuma tidak diketahui kepandaian Ciok-pangcu itu entah berasal dari golongan atau aliran mana?”

Pertanyaan ini membuat orang-orang Tiang-lok-pang mengerut kening semua. Memang kepandaian Ciok-pangcu mereka terkenal sangat hebat dan aneh, tapi tiada seorang pun yang tahu dari golongan atau aliran mana ilmu silat sang Pangcu itu. Kalau ditanya juga cuma dijawab dengan tersenyum saja. Jadi orang-orang Tiang-lok-pang sendiri sebenarnya juga ingin tahu, maka serentak pandangan semua orang beralih kepada Ciok Boh-thian.

Keruan Boh-thian gelagapan, sahutnya, “Ini ... itu ... kau tanya tentang ilmu silatku? Tapi aku se ... sedikit pun tidak bisa ilmu silat apa-apa.”

Memangnya Pek Ban-kiam sudah sangsi melihat sikap Ciok Boh-thian yang serbasalah itu dan mengatakan tidak bisa ilmu silat, keruan ia tambah curiga. Dengan tertawa menyindir ia berkata pula, “Tiada sedikit tokoh-tokoh dan jago-jago terkemuka di dalam Tiang-lok-pang kalian, kalau Ciok-pangcu tidak bisa ilmu silat, apakah engkau dapat mengepalai para jago-jago sebanyak itu? Hm, ucapanmu itu hanya dapat dipakai menipu anak kecil saja.”

“Kau bilang aku menipu anak kecil?” Boh-tian menegas dengan bingung. “Siapa anak kecil itu? O, apa barangkali kau maksudkan Ting-ting Tong-tong? Tapi dia ... dia bukan anak kecil lagi, aku pun tidak menipu dia, sebelumnya aku pun sudah katakan padanya bahwa aku bukan dia punya Engkoh Thian.”

Rupanya meski dia sedang tanya jawab dengan Pek Ben-kiam, tapi sayup-sayup hidungnya mengendus bau harum yang timbul dari badan si Ting Tong yang berdiri di belakangnya itu sehingga semangatnya sudah melayang kepada diri anak dara itu.

Dengan sendirinya Pek Ban-kiam tidak paham apa yang dikatakan tentang Ting-ting Tong-tong apa segala, disangkanya Ciok Boh-thian sudah merasa bersalah, maka sengaja bicara ke timur dan ke barat untuk mengaburkan pokok pembicaraan mereka. Seketika air muka Ban-kiam berubah masam, dengan suara geram ia berkata pula, “Ciok-pangcu, biarlah kita bicara secara terus terang dan blakblakan saja. Cobalah jawab, ilmu silat yang kau pelajari di Leng-siau-sia itu mungkin belum terlupa seluruhnya, bukan?”

Ucapan Pek Ban-kiam ini benar-benar telah menggemparkan orang Tiang-lok-pang termasuk Pwe Hay-ciok. Mereka tahu Leng-siau-sia (kota langit) adalah tempat kediaman kaum Swat-san-pay yang terletak di pegunungan Swat-san di wilayah barat sana. Jika menurut ucapan Pek Ban-kiam ini, apakah benar sang Pangcu dahulu pernah belajar silat kepada kaum Swat-san-pay? Jadi kedatangan orang-orang ini barangkali ada hubungannya dengan urusan perguruan mereka sendiri?

Namun terdengar Ciok Boh-thian telah menjawab dengan bingung, “Leng-siau-sia? Tempat apakah itu? Selamanya aku tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa. Jika pernah belajar tentu takkan melupakannya sama sekali.”

Jawaban ini bukan saja menusuk perasaan orang-orang Swat-san-pay, bahkan Pwe Hay-ciok juga merasa keterlaluan. Masakah nama “Leng-siau-sia” yang tersohor dikenal setiap orang Bu-lim dianggap oleh sang Pangcu sebagai tempat yang tak pernah dikenal, bahkan menyatakan tidak pernah belajar ilmu silat, omong kosong yang tak masuk di akal, betapa pun juga hanya akan menurunkan derajat sang Pangcu sendiri.

Sebaliknya bagi pendengaran orang-orang Swat-san-pay, terutama Pek Ban-kiam, sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian tadi merupakan suatu hinaan besar.

Yang pertama-tama tidak tahan ialah Ong Ban-jim, segera ia berteriak, “Ucapan Ciok-pangcu barusan ini benar-benar keterlaluan. Apa barangkali semua orang Swat-san-pay satu peser pun tiada harganya dalam pandangan Ciok-pangcu?”

Melihat orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah, Boh-thian menyangka ucapannya tadi tentu salah, maka cepat menjawab, “O, tidak, tidak! Masakah aku berani mengatakan orang-orang Swat-san-pay tidak laku sepeser pun. Seperti ... seperti ....”

Tiba-tiba teringat olehnya dahulu waktu dia ikut Cia Yan-khek berbelanja ke kota, ia tahu barang yang baik berharga lebih mahal, maka ia bermaksud mengucapkan kata-kata yang bisa membikin senang Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, tapi berulang-ulang ia berkata, “seperti ... seperti ....” namun tak bisa memberi contoh yang tepat. Dan karena di antara orang Swat-san pay yang dikenalnya itu hanya Hoa Ban-ci saja seorang, maka dalam keadaan serbasusah ia lantas berkata, “Seperti ... seperti nona Hoa Ban-ci tentulah berharga, ya, tentu sangat berharga ....”

“Sret”, serentak orang-orang Swat-san-pay berbangkit dari tempat duduk mereka dan senjata terlolos dari sarungnya, selain Pek Ban-kiam, delapan orang lainnya semua sudah menghunus pedang dan berdiri mengepung di depan Ciok Boh-thian. Bahkan Ong Ban-jim terus menuding dan mendamprat, “Orang she Ciok, kau sembarangan mengoceh dengan kata-kata rendah, sungguh kau terlalu menghina kami. Walaupun kami sudah berada di sarangmu juga tidak manda diperlakukan secara semena-mena.”

Jilid 14

Boh-thian tambah bingung melihat kemarahan orang-orang Swat-san-pay itu, pikirnya, “Apa yang kukatakan adalah bermaksud baik, mengapa kalian marah padaku malah?”

Dalam bingungnya ia lantas berpaling kepada Ting Tong dan bertanya, “He, Ting-ting Ting-tong, apakah barusan aku telah salah omong?”

Ting Tong tertawa, sahutnya “Entahlah, aku pun tidak tahu. Barangkali nona Hoa tidak laku dengan harga baik seperti katamu.”

Boh-thian manggut-manggut, katanya, “Ya, andaikan nona Hoa tidak begitu berharga dan harus dijual murah, toh hal demikian tidak perlu di buat marah?”

Seketika orang-orang Tiang-lok-pang tertawa gempar mendengar ucapan itu, mereka menduga sang Pangcu pasti sudah ambil keputusan akan melabrak pihak Swat-san-pay, maka sengaja menggunakan kata-kata demikian untuk mengolok-oloknya. Segera ada seorang menanggapi, “Ya, jika terlalu mahal tentu kita tidak mampu membelinya. Bila agak murah sedikit, hehe, tentu kita dapat ....”

“Cring”, mendadak terdengar suara nyaring disertai berkelebatnya sinar pedang. Kiranya Ong Ban-jim sudah tak dapat menahan rasa murkanya, pedangnya lantas menusuk ke dada Ciok Boh-thian. Untung Pek Ban-kiam keburu melolos pedang juga dan mengetok ke batang pedang sang Sute sehingga senjata Ong Ban-jim itu hampir-hampir terlepas dari cekalan, tangannya sampai pegal tergetar. Dan dengan sendirinya tusukan itu hanya mencapai setengah jalan saja dan tak dapat diteruskan.

Berbareng Pek Ban-kiam juga lantas membentak, “Sakit hati kita kepada orang ini sedalam lautan, mana boleh dibereskan dengan sekali tusuk saja?”

“Sret”, ia masukkan kembali pedangnya, lalu berkata kepada Boh-thian dengan suara geram, “Nah, Ciok-pangcu, sesungguhnya kau kenal padaku atau tidak?”

Boh-thian manggut-manggut, sahutnya, “Ya, aku kenal kau. Bukankah kau adalah Gi-han-se-pak Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay?”

“Bagus jika kau masih kenal padaku,” ujar Ban-kiam. “Nah apa yang pernah kau lakukan tentunya akan kau akui, bukan?”

“Apa yang pernah kulakukan sudah tentu aku mengakui,” sahut Boh-thian.

“Baik, dan sekarang aku ingin tanya padamu. Ketika berada di Leng-siau-sia dahulu siapa namamu?”

“Ketika di Leng-siau-sia?” Boh-thian menegas sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kapan sih aku pernah ke sana? O, ya, tempo dulu waktu aku turun gunung untuk mencari ibu dan si kuning, aku pernah menjelajahi beberapa buah kota, aku pun tidak tahu apa nama kota-kota itu, besar kemungkinan di antaranya ada sebuah kota yang bernama Leng-siau-sia.”

“Kau tidak perlu melantur-lantur dan berlagak pilon,” semprot Pek Ban-kiam. “Hendaklah bicara terus terang saja, namun aslimu toh bukan Ciok Boh-thian.”

“Benar, benar! Memangnya aku bukan Ciok Boh-thian,” seru Boh-thian dengan tersenyum. “Tapi merekalah yang telah salah mengenali diriku. Ya, betapa pun memang Pek-suhu lebih pintar, sekali tebak lantas tahu bahwa aku bukan Ciok Boh-thian.”

“Bagus! Dan siapakah namamu yang asli, cobalah katakan biar didengar oleh semua yang hadir di sini ini,” ujar Ban-kiam.

“Dia bernama apa? Hm, dia bernama Kau-cap-ceng!” sela Ong Ban-jim dengan makiannya.

Sekali ini bergilir orang-orang Tiang-lok-pang yang serentak berbangkit dengan marah dan sama melolos senjata. Namun Ong Ban-jim tidak menjadi gentar, ia sudah bertekad biarpun dicincang oleh orang-orang Tiang-lok-pang juga tiada takkan peduli asalkan dapat mencaci maki lebih dulu si Kau-cap-ceng (anak anjing) ini.

Tak terduga bahwa makiannya itu tidak membikin murka Ciok Boh-thian, sebaliknya pemuda itu malah bertepuk tangan dan bergelak tertawa, serunya, “Ya, benar, benar, sedikit pun tidak salah, memangnya aku ini bernama Kau-cap-ceng, entah dari mana kau mendapat tahu?”

Sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian ini membikin semua orang terlongong-longong bingung kecuali beberapa orang seperti Pwe Hay-ciok, Ting Put-sam dan lain-lain yang pernah mendengar pemuda itu mengaku bernama “Kau-cap-ceng”.

Diam-diam Pek Ban-kiam membatin, “Bocah ini benar-benar licin dan licik, benar-benar lain daripada yang lain, sampai caci maki Ong-sute barusan juga diterimanya bulat-bulat. Terhadap manusia licik demikian harus hati-hati, sedikit pun tidak boleh lengah.”

Sedangkan Ong Ban-jim lantas terbahak-bahak geli, serunya, “Hahahaha! Jadi kau memang benar adalah Kau-cap-ceng? Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!”

“Namaku memang Kau-cap-ceng, kenapa mesti dibuat geli?” sahut Boh-thian. “Dahulu kalau ibumu juga memanggil kau sebagai Kau-cap-ceng, maka sekarang kau tentu juga sudah menjadi Kau-cap-ceng.”

“Ngaco-belo!” bentak Ban-jim dengan murka. Berbareng pedangnya lantas bergerak dalam jurus “Hui-sah-cau-ciok” (pasir terbang batu bertebaran), sinar pedang gemerdep, kontan ia menusuk ke dada Ciok Boh-thian.

Pek Ban-kiam sengaja hendak melihat selama beberapa tahun ini ilmu silat aneh apa yang telah dipelajari Ciok Boh-thian sehingga dalam usianya yang masih muda belia itu sudah menjadi Pangcu suatu organisasi besar serta disegani tokoh-tokoh sebangsa Pwe Hay-ciok dan lain-lain. Maka tindakan Ong Ban-jim itu tidak dicegahnya, walaupun mulutnya pura-pura menegur, tapi sengaja membiarkan Ong Ban-jim menerjang ke depan.

Meski Boh-thian pernah belajar beberapa tahun ilmu Lwekang, tapi dalam hal bertempur sama sekali tiada pengalaman dan tak pernah belajar cara-cara berkelahi. Keruan ia menjadi kelabakan ketika melihat ujung pedang Ong Ban-jim menyambar ke arahnya, ia tak tahu cara bagaimana harus menangkis atau menghindar, dalam gugupnya secara otomatis kedua tangannya lantas menolak ke depan, karena dia memakai baju panjang yang berlengan panjang dan gondrong, maka lengan baju itu menjadi seakan-akan dikebutnya ke depan. Terdengarlah suara “krak” sekali menyusul tubuh Ong Ban-jim terus mencelat ke belakang dan “blung”, badannya tertumbuk di pintu ruangan besar itu.

Tadi ketika orang-orang Swat-san-pay sudah masuk ke dalam Hou-beng-tong, segera orang-orang Tiang-lok-pang menutup pintu, mereka menaksir bila terjadi pertengkaran, maka orang-orang Swat-san-pay akan dapat dibekuk dan tak bisa meloloskan diri.

Daun pintu ruangan itu terbuat dari kayu pilihan yang sangat kuat, dilapis pelat besi diberi berpaku tembaga. Begitu punggung Ong Ban-jim tertumbuk di atas pintu, menyusul lantas terdengar suara “crat-cret” dua kali, dua potong pedang patah berbalik menancap di atas badannya sendiri. Dengan lemas ia terbanting jatuh di atas lantai, darah segar merembes ke luar dan dalam sekejap saja sudah membasahi bajunya yang putih itu.

Cepat Kwa Ban-kin dan Hoa Ban-ci memburu maju, yang seorang memeriksa napasnya dan yang lain memeriksa nadinya.

Untung meski tenaga dalam Ciok Boh-thian sangat kuat, tapi dia tak tahu cara bagaimana menggunakannya, maka Ong Ban-jim selain menderita luka luar itu, jiwanya boleh dikata selamat.

Hanya satu jurus yang diperlihatkan Ciok Boh-thian ini bukan saja membikin panik orang-orang Swat-san-pay, bahkan di pihak orang Tiang-lok-pang juga gempar, mereka bergirang dan terheran-heran pula, sebab ilmu silat sang Pangcu itu hanya diketahui sangat aneh dan susah dijajaki, tapi belum pernah diketahui bahwa Lwekangnya ternyata sedemikian dahsyatnya.

Diam-diam Pwe Hay-ciok mengangguk dan membatin, “Pangcu hanya menghilang setengah tahun saja dan ternyata beliau memang sedang meyakinkan semacam Lwekang yang lihai, dengan hasilnya ini sungguh Tiang-lok-pang harus merasa bahagia sekali.”

Sebaliknya Pek Ban-kiam lantas menjengek, “Ciok-pangcu, sebagai orang Bu-lim kita harus mengutamakan tentang perbedaan kedudukan dan antara tua dan muda. Setiap orang yang berani melawan orang tua adalah khianat dan durhaka. Guru dipandang melebihi ayah sendiri. Engkau pernah belajar silat di perguruan Swan-san-pay kami maka jelek-jelek Ong-sute ini juga terhitung kau punya Susiok, tapi sekali gebrak kau sudah turun tangan keji, sebenarnya apa alasanmu? Segala persoalan di dunia ini tak bisa mengesampingkan tentang ‘kebenaran’, biarpun ilmu silatmu mahatinggi juga takkan terhindar dari keadilan.”

“Apa yang kau maksudkan, sedikit pun aku tidak paham,” demikian sahut Boh-thian dengan bingung. “Kapan aku pernah belajar ilmu silat di tempat Swat-san-pay kalian?”

“Sampai saat ini kau masih tidak mau mengaku?” Ban-kiam menegas dengan aseran. “Kau mengaku sebagai Kau-cap-ceng, hehe, kau rela merendahkan dirinya sendiri adalah urusanmu sendiri. Tapi ayah-ibumu adalah kesatria-kesatria terutama di dunia Kangouw. Kalau kau tidak mau mengaku perguruanmu, apa terhadap ayah-bundamu juga kau tidak mau mengaku?”

Boh-thian menjadi girang, cepat ia menjawab, “He, kau kenal ayah-ibuku? Wah, baik sekali kalau begitu. Pek-suhu, harap engkau suka memberitahukan padaku, di manakah ibuku? Siapakah ayahku?”

Sambil bicara lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan sikap yang sungguh-sungguh dan tulus.

Pek Ban-kiam menjadi bingung malah, ia tidak paham apa maksud tujuan sikap pura-pura pemuda itu.

Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Orang ini mahajahat dan mahalicin, sekali-kali tidak boleh diukur menurut orang biasa. Demi untuk menutupi asal usulnya sendiri sampai-sampai ayah-ibunya sendiri juga tak diakuinya. Kalau dia sudah mau mengaku dirinya sendiri sebagai Kau-cap-ceng, dengan sendirinya tentang perguruan dan orang tua tak terpikir lagi olehnya.”

Begitulah, seketika hati Pek Ban-kiam menjadi bimbang, ia menghela napas panjang dan berkata, “Bakat sebagus ini justru tidak mau belajar yang baik, sungguh sayang.”

“Pek-suhu, kau bilang sayang, ada apakah dengan ayah-ibuku?” tanya Boh-thian agak bingung.

“Jika kau masih mempunyai rasa khawatir atas diri ayah-ibumu, hal ini menandakan kau masih belum durhaka sama sekali,” ujar Ban-kiam. “Ilmu pedang ayah-ibumu sangat sakti, suami-istri berkelana di Kangouw bersama, sudah tentu mereka takkan menghadapi sesuatu bahaya apa-apa.”

Dalam pada itu dengan dipapah oleh Kwa Ban-kin dan Hoa Ban-ci, perlahan-lahan Ong Ban-jim telah sadar kembali dan terdengar suara rintihannya.

Hati Ciok Boh-thian memangnya sangat welas asih, segera ia bertanya, “Toako ini tadi mengapa mendadak terbang ke belakang dan seperti tertumbuk jatuh di sana? Pwe-siansing, apakah dia terluka parah?”

Pertanyaan Boh-thian ini sebenarnya timbul dari hati nuraninya yang baik, tapi bagi pendengaran orang lain semuanya menganggap dia sengaja menyindir. Seketika sebagian besar orang-orang Tiang-lok-pang bergelak tertawa, ada yang memuji kelihaian sang Pangcu ada pula yang mengolok-olok pihak Swat-san-pay. “Hm, hanya dengan sedikit kepandaian begitu saja juga berani main gila ke sini, sekarang sesudah kalian diberi tahu rasa oleh Pangcu baru nyaho!” demikian cemooh mereka.

Namun Pek Ban-kiam anggap tidak mendengar semua olok-olok itu, segera ia berseru pula dengan suara lantang, “Ciok-pangcu, kunjungan kami ke sini ini adalah untuk urusan pribadi Ciok-pangcu sendiri saja dan tiada sangkut pautnya dengan sahabat-sahabat yang lain, maka pihak Swat-san-pay kami tidak ingin bertengkar mulut seperti di tengah pasar. Nah, Ciok Tiong-giok, aku hanya ingin bertanya padamu, kau sebenarnya mau mengaku atau tidak?”

“Ciok Tiong-giok? Siapa itu Ciok Tiong-giok?” Kau ingin aku mengaku tentang apa?” Boh-thian menegas dengan melongo heran.

“Kau tidak perlu berlagak pilon,” ujar Ban-kiam. “Gurumu Hong-hwe-sin-liong telah berkorban sebelah lengan lantaran perbuatanmu yang rendah dan kotor itu. Padahal budi Hong-suko terhadapmu adalah lebih besar daripada gunung, apakah sedikit pun dalam hatimu tidak merasa menyesal dan merasa malu?”

Karena apa yang dikatakan Ban-kiam itu memang tidak bisa di pahami oleh Ciok Boh-thian, maka ia lantas bertanya lagi, “Hong-hwe-sin-liong? Hong-suko? Siapakah dia? Mengapa dia mengorbankan sebelah lengannya lantaran perbuatan yang rendah dan kotor? Apa sih per ... perbuatanku yang rendah dan kotor itu?”

Sungguh tidak kepalang rasa murka Pek Ban-kiam, sudah tetap tidak mau mengaku, bahkan akhirnya pemuda yang dianggap durhaka itu sengaja mendesaknya agar menguraikan apa yang terjadi di Leng-siau-sia seperti putrinya hendak diperkosa, akhirnya membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang, kejadian-kejadian yang memalukan dan mengenaskan itu masakah pantas untuk diceritakan di hadapan orang luar?

Saking murkanya “sret” pedangnya terlolos, tangannya bergerak, sinar pedang gemerlap, “tok” pedang sudah masuk kembali ke dalam sarungnya lagi.

Habis itu ia berkata pula sambil menunjuk bekas-bekas pedang di atas pilar di sebelahnya dan berseru, “Saudara-saudara sekalian, ilmu pedang Swat-san-pay kami adalah terlalu rendah dan menertawakan bagi kaum ahli. Tapi sejak cikal bakal kami mendirikan golongan kami sampai sekarang, turun-temurun kami ada suatu kebiasaan, yaitu, bila pedang kami beruntung dapat melukai pihak lawan, maka di tempat luka itu tentu akan kelihatan bentuk Swat-hoa (bunga salju) bersayap enam.”

Segera semua orang memandang ke arah pilar, maka tertampaklah di atas pilar yang bercat merah itu ada enam titik bekas tusukan pedang, setiap titik itu berbentuk bunga salju yang bersayap enam. Keenam titik bekas pedang itu berbaris dengan sangat rajin dalam bentuk segi enam. Padahal pedang Pek Ban-kiam tadi kelihatannya cuma berkelebat sekali saja, lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya, hanya dalam sekejap saja, dengan getaran pedangnya sudah terbentuk bunga salju sebanyak itu, betapa cepat dan jitunya ilmu pedang Pek Ban-kiam itu sungguh susah dibayangkan.

Kalau tadi banyak di antara orang-orang Tiang-lok-pang memandang hina kepada pihak Swat-san-pay karena sekali gebrak saja Ong Ban-jim sudah dibikin mencelat oleh Ciok Boh-thian, tapi sekarang sesudah menyaksikan kepandaian Pek Ban-kiam yang lihai ini, mau tak mau mereka merasa kagum dan bahkan ada yang bersorak memuji.

“Sedikit kepandaian orang she Pek ini sesungguhnya tiada artinya, aku percaya tentu tidak sedikit di antara para hadirin yang jauh lebih pandai daripada diriku,” demikian kata Ban-kiam dengan rendah hati. “Jadi sesungguhnya dengan kepandaianku yang rendah ini sekali-kali aku tidak berani main gila ke tempat kalian ini. Hanya saja ada satu urusan yang kami inginkan kesaksian para sahabat. Dahulu tujuh tahun yang lalu, dalam Swat-san-pay kami terdapat seorang murid celaka yang bernama Ciok Tiong-giok, secara sembrono dan kurang ajar dia telah berani coba-coba bertanding dengan Liau-susiok kami. Untuk memberi hajar adat padanya, maka Liau-susiok sengaja melukai paha anak durhaka itu dan meninggalkan bekas luka dalam bentuk bunga salju seperti di atas pilar ini.

“Meski ilmu pedang golongan kami hanya biasa saja dan tidak mengherankan, tapi di dunia ini tiada ilmu pedang lain yang dapat meninggalkan bekas bunga salju demikian. Nah, Ciok Tiong-giok, kau telah mendustai semua orang dan tidak berani memperlihatkan asal usulmu yang sebenarnya. Coba sekarang kau menyingsing lengan celanamu, biar dilihat oleh para hadirin apakah di pahamu ada bekas luka itu atau tidak?”

“Kau suruh aku menyingsing lengan celanaku?” Boh-thian menegas dengan heran.

“Benar, sahut Ban-kiam. “Jika di pahamu tiada terdapat bekas luka itu maka aku inilah yang buta dan dengan sendirinya akan minta maaf atas kelancangan kami ini. Sebaliknya kalau pahamu terdapat bekas luka itu lantas ... lantas bagaimana?”

“Jika di atas pahaku terdapat bekas luka demikian, itu benar-benar sangat aneh, sebab aku sendiri sama sekali tidak tahu,” ujar Boh-thian dengan tertawa.

Diam-diam Pek Ban-kiam menjadi ragu-ragu sendiri melihat sikap Ciok Boh-thian yang tenang itu. Tapi ia yakin pemuda ini pasti Ciok Tiong-giok yang dicarinya itu. Walaupun sudah selang beberapa tahun, tindak tanduknya tampak agak berbeda daripada dulu, tapi mukanya sedikit pun tidak salah.

Apalagi sesudah Hoa-sumoay bebas dari tawanan orang Tiang-lok-pang, dengan pasti dia yakin Ciok Boh-thian inilah sama orangnya dengan Ciok Tiong-giok, masakah beberapa pasang mata bisa salah lihat semua?

Selagi Ban-kiam termenung, dengan tertawa Tan Tiong-ci lantas berkata, “Haha, kau ingin melihat bekas luka Pangcu, sebaliknya Pangcu ingin melihat bekas luka di kaki nona Hoa. Di sini terlalu banyak orang, ada lebih baik silakan Pangcu dan nona Hoa saling lihat ke dalam kamar saja.”

Ban-kiam menjadi murka, mendadak ia maju ke depan dan membentak, “Ciok Tiong-giok, dasar orang berdosa, kau tidak mau memperlihatkan bekas luka di kakimu, maka boleh ikut aku pulang ke Leng-siau-sia saja!”

“Sret”, berbareng pedang sudah terhunus di tangannya.

“Eh-eh, Pek-suhu mengapa menjadi marah?” ujar Boh-thian. “Di atas kakiku selamanya tiada bekas luka apa-apa, jika tidak percaya bolehlah kuperlihatkan.”

Sambil berkata ia terus menyingsing lengan celananya sehingga kelihatan pahanya. Seketika suasana di ruang besar itu menjadi sunyi senyap, perhatian semua orang terpusat kepada paha Ciok Boh-thian.

Mendadak terdengar jeritan terkejut orang banyak.

Ternyata di sisi luar paha kiri Ciok Boh-thian memang benar ada enam titik bekas luka. Keruan di antara orang-orang itu yang paling terkejut adalah Boh-thian tersebut sendiri. Ia coba gosok-gosok bekas luka itu, tetapi bekas luka itu memang nyata dan berada di atas pahanya. Ia kucek-kucek matanya dan kembali mengamat-amati paha sendiri pula, namun bekas luka itu memang sama benar dengan bekas pedang di atas pilar tadi.

Sembilan pasang mata orang-orang Swat-san-pay sekarang menatap tajam kepada Ciok Boh-thian, mereka tidak bicara lagi, tapi menantikan pengakuan dosa Ciok Boh-thian sendiri.

Dahi Ciok Boh-thian sampai berkeringat. Ia meraba bekas luka di paha itu, lalu meraba-raba pula bekas luka di atas pundak sambil menggumam, “Aneh, di kaki ada bekas luka, di atas pundak juga ada luka, mengapa orang lain mengetahui, sebaliknya aku ... aku malah tidak tahu. Jangan-jangan aku benar-benar sudah melupakan segala kejadian di masa dahulu?”

Ia coba memandang Pwe Hay-ciok, dilihatnya penasihat itu menggeleng kepala perlahan. Ia menoleh ke arah Ting Tong, anak dara itu tampak mengerut hidung dan mencibir padanya. Ia coba memandang juga kepada Ting Put-sam, orang tua itu angkat lengan baju kanan untuk menutupi gerakan tangan kiri yang memberi tanda agar segera labrak pihak lawan saja.

Pada saat itulah Tan Tiong-ci telah mendekati sang Pangcu dan mengaturkan sebatang pedang sambil membisiki, “Pangcu, tidak perlu banyak bicara dengan mereka. Segala urusan biarlah diputuskan dengan kepandaian saja. Yang menang adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah.”

Rupanya Tan Tiong-ci yakin dengan kepandaian sang Pangcu yang aneh serta Lwekangnya yang hebat itu tentu dapat mengalahkan Pek Ban-kiam. Kalah berdebat terpaksa pakai kekerasan. Paling-paling main kerubut, dengan jumlah orang Tiang-lok-pang yang jauh lebih banyak pasti akan dapat membekuk orang-orang Swat-san-pay itu, demikian pikirnya.

Secara tak sadar Boh-thian telah terima pedang yang disodorkan padanya itu.

Di lain pihak Pek Ban-kiam lantas berseru dengan suara kereng, “Dengarkanlah Ciok Tiong-giok, hari ini Pek Ban-kiam mendapat titah Wi-tek Siansing selaku Ciangbunjin kita, agar melakukan pembersihan rumah tangga sendiri. Maka urusan ini adalah urusan dalam Swat-san-pay dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar. Jikalau di dalam markas Tiang-lok-pang ini tidak pantas digunakan gelanggang pertarungan, bagaimana kalau kita keluar saja untuk menentukan mati dan hidup?”

“Buat ... buat apa mesti menentukan mati dan hidup?” sahut Ciok Boh-thian dengan bingung.

Tiba-tiba Ting Tong mendorong perlahan di punggungnya dan membisikinya, “Engkoh Thian, hayo majulah! Labrak saja dia! Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dia, sekali tusuk bunuh saja dia!”

“Ti ... tidak, buat apa membunuh dia? Dia toh bukan orang jahat?” sahut Boh-thian dan tanpa merasa melangkah maju beberapa tindak.

Melihat tindakan pemuda itu sangat kukuh dan kuat, terang Lwekangnya sangat hebat. Tadi Pek Ban-kiam juga sudah menyaksikan Ong Ban-jim terpental hanya kena kebasan lengan bajunya saja, sekarang dengan sendirinya ia tidak berani ayal sedikit pun. Segera pedangnya menyendal sekali, dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun” (bunga Bwe dan bunga salju bertebaran), sinar pedangnya berkilau, ujung pedang dan mata pedang digunakan berbareng terus menyerang ke arah Ciok Boh-thian.

Seketika Boh-thian merasa pandangannya menjadi silau dan tak dapat membedakan yang mana ujung pedang dan yang mana mata pedang.

Dengan gugup kembali Ciok Boh-thian mengebutkan kedua lengan bajunya secara serabutan. Percuma saja dia memiliki Lwekang yang tinggi tapi sama sekali tak dapat menggunakan. Tadi Ong Ban-jim kena disengkelit dan terpental adalah karena kebetulan saja, sekarang dia mengebas lengan baju pula, karena tenaga dalamnya tak terpakai, pula kepandaian Pek-Ban-kiam juga tidak dapat disamakan dengan Ong Ban-jim, maka terdengarlah suara “brat-bret” beberapa kali, kedua lengan baju Ciok Boh-thian telah terkupas robek oleh pedang Pek Ban-kiam menyusul tenggorokan Boh-thian terasa “nyes” dingin, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah mengancam di lehernya.

Rupanya Pek Ban-kiam insaf jago-jago di pihak lawan teramat banyak, terutama tokoh-tokoh Pwe Hay-ciok dan si kakek berbaju kasar yang berdiri di belakang Ciok Boh-thian itu tentu ilmu silatnya susah diukur. Berada di tempat berbahaya, sekali mendapat kesempatan, mana boleh pihak lawan kelonggaran?

Maka segera ia mendesak maju, secepat kilat Ciok Boh-thian lantas dikempitnya dengan kencang berbareng lengannya menjepit sekuat-kuatnya di tempat Hiat-to bagian pinggang Ciok Boh-thian sehingga pemuda itu tak bisa berkutik berbareng ia terus membentak, “Para sobat, hari ini terpaksa kami harus lancang tangan, biarlah lain hari kami akan datang lagi untuk minta maaf.”

Melihat sang Suheng telah berhasil menawan musuh, tanpa diperintah serentak Kwa Ban-kin menggendong Ong Ban-jim yang terluka terus mendahului menerjang ke arah pintu.

Namun Tan Tiong-ci dan Bi Heng-ya telah melompat maju bersama sambil membentak, “Tinggalkan Pangcu!”

Berbareng golok mereka terus menyerang, yang satu membacok pundak dan yang lain menebas kedua kaki Pek Ban-kiam.

Tapi pedang Pek Ban-kiam hanya sedikit bergerak saja dan “cring-cring” dua kali berturut-turut, tapi selisih kedua tangkisan itu sebenarnya cuma sekejap mata saja cepatnya. Ketiga orang sama-sama terkejut dan sama-sama tergetar mundur satu tindak oleh tenaga dalam masing-masing.

Sekilas timbul pikirannya Pek Ban-kiam bahwa hanya ilmu silat kedua lawan ini saja sudah sedemikian lihainya apalagi kalau mereka mengerubut maju bersama maka pihak sendiri yang cuma berjumlah sembilan orang saja pasti akan gugur semua di situ. Secepat kilat ia lantas melompat ke samping dan berdiri membelakangi dinding, lalu bentaknya, “Ciok Tiong-giok sudah kutawan, kalau kalian main kerubut, terpaksa aku membinasakan dia dahulu untuk kemudian melayani kalian.”

Para jago Tiang-lok-pang itu tiada seorang pun yang menduga bahwa Pangcu mereka yang berkepandaian sedemikian tingginya hanya dalam satu gebrakan saja sudah kena ditawan musuh, keruan mereka menjadi panik dan bingung. Bahkan kejadian yang luar biasa ini pun di luar dugaan Ting Put-sam yang berpengalaman luas itu.

Ting Put-sam saling pandang sekejap dengan Ting-Tong. Air muka Ting Tong tampak sangat khawatir, berulang-ulang ia memberi tanda agar sang kakek turun tangan. Tapi Ting Put-sam hanya tersenyum-senyum saja tanpa memberi reaksi apa-apa. Ia anggap ilmu silat Ciok Boh-thian sangat tinggi, hal ini pernah dicobanya dengan tenaga dalam yang kuat, pemuda itu telah memunahkan tepukannya di atas perahu tempo hari itu, maka tidaklah mungkin dengan sedemikian gampangnya dia kena ditawan musuh, tentu di balik kejadian ini ada tujuan tertentu, kalau dirinya ikut campur tentu akan membikin runyam rencananya malah. Maka ia sengaja tinggal diam saja untuk menantikan perkembangan selanjutnya.

Melihat sikap sang kakek yang acuh tak acuh dan tenang-tenang itu, Ting Tong menjadi lega. Namun begitu ia tetap khawatir juga karena sang suami berada dalam tawanan musuh.

Dalam pada itu, dengan kedua tangannya menolak daun pintu, Kwa Ban-kin sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong pintu itu, tapi pintu itu hanya mengeluarkan suara berkeriutan saja dan tidak mau terbuka. Rupanya di luar pintu sana telah ditahan dengan balok-balok kayu yang kuat.

Melihat daun pintu yang didorong sekuatnya itu lambat laun mulai terpentang, cepat Pwe Hay-ciok melompat maju dan berseru, “Sobat Kwa jangan terburu-buru pergi dulu, biarlah kami suruh orang membuka pintu dan mengantar keberangkatan kalian,”

“Mundur!” bentak Hoa Ban-ci sebelum Pwe Hay-ciok mendekat, dengan pedang terhunus ia menjaga di belakang Kwa Ban-kin.

Namun Pwe-Hay-ciok tidak gentar, mendadak jarinya yang kuat sebagai kait itu terus mencengkeram ke atas pedang lawan.

Ban-ci terkejut, ia heran apakah tangan orang she Pwe itu kebal senjata tajam? Dan karena sedikit ayal itulah tahu-tahu jari Pwe Hay-ciok sudah mendekati, sekonyong-konyong cengkeramannya berubah menjadi menyelentik, “creng”, tangan Hoa Ban-ci sampai kesaktian, pedang terlepas dari cekalan dan jatuh ke lantai. Berbareng tangan kanan Pwe Hay-ciok lantas merangsang maju pula dan tepat pundak Banci kena ditepuk sekali.

Serangan Pwe Hay-ciok ini dilakukan dengan gesit dan cepat sekali, sungguh tidak kalah indahnya kalau dibandingkan betapa hebat caranya Pek Ban-kiam membuat enam titik bunga pedang di atas pilar tadi.

Diam-diam Ting Put-sam memberi pujian juga, sebabnya Pwe Hay-ciok terkenal di Bu-lim, nyata dia punya ilmu pukulan Ngo-heng-liok-hap-ciang memang mempunyai keunggulannya sendiri.

Pwe Hay-ciok masih menyusur kian kemari dengan cepat sekali, ia menyelentik di sini dan memukul di sana. Para murid Swat-san-pay itu kecuali Ong Ban-jim yang sudah terluka, sisanya beruntun-runtun telah dirobohkan semua.

Setiap orang paling-paling hanya mampu bergebrak tiga-empat jurus saja dengan Pwe Hay-ciok dan musuh dirobohkan.

“Kepandaian bagus, Ngo-heng-liok-hap-ciang yang hebat, orang she Pek kelak pasti akan belajar kenal padamu!” seru Pek Ban-kiam. Mendadak ia meloncat ke atas, “brak” atap rumah telah disundul olehnya sehingga berlubang, dengan mengempit Ciok Boh-thian ia lantas menerobos keluar.

“Kenapa tidak belajar kenal sekarang saja?” seru Pwe Hay-ciok, menyusul ia pun meloncat ke atas dan hendak menguber lawan melalui lubang atap yang bobol itu.

Tapi mendadak matanya menjadi silau, bintik sinar pedang sebagai hujan mencurah telah mengancam kepalanya.

Dalam keadaan terapung di udara, pula tidak bersenjata, sudah tentu Pwe Hay-ciok tidak dapat menangkis serangan itu, seketika ia membikin antap badannya dan anjlok kembali mentah-mentah ke bawah.

Gerakan itu tampaknya sepele saja, tapi dalam sekejap dapat mengubah daya loncat ke atas itu menjadi anjlok ke bawah, asal telat sekejap saja tentu sudah terluka oleh pedang lawan, ketangkasan Pwe Hay-ciok ini membikin para jago yang berada di ruangan situ sama memuji di dalam hati.

Namun berkat serangannya itu Pek Ban-kiam telah sempat membawa lari Ciok Boh-thian.

Sedangkan Pwe Hay-ciok begitu kakinya menyentuh lantai kembali ia meloncat ke atas untuk mengejar.

Ting Tong ikut sibuk, cepat ia pun bermaksud meloncat keluar melalui lubang atap yang bobol itu. Namun Ting Put-sam keburu menarik tangan anak dara itu dan membisikinya, “Tidak perlu buru-buru!”

Di tengah berhamburnya batu pasir rontokan genting atap itu sekonyong-konyong di antara murid-murid Swat-san-pay yang menggeletak di lantai itu, seorang yang bertubuh kurus kecil mendadak meloncat ke atas segesit kucing dan secepat kera menerobos keluar melalui lubang atap itu.

Tan Tiong-ci sempat menebas dengan goloknya, terdengar “sret” sekali, selapis tumit sepatu orang itu kena tertebas, hanya selisih beberapa senti saja kaki orang kurus kecil itu tentu terkutung.

Orang-orang Tiang-lok-pang sama melengak, tak terduga oleh mereka bahwa di antara jago-jago Swat-san-pay itu selain Pek Ban-kiam ternyata masih ada seorang jago selihai itu, sudah terang tadi orang itu sudah ditutuk roboh oleh Pwe Hay-ciok tapi mampu mengerahkan tenaga dalam dan membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu lalu meloloskan diri di depan orang banyak.

Khawatir kalau ketujuh orang tawanan yang lain akan kabur lagi, segera Bi Heng-ya menambahi beberapa kali tutukan pada setiap orang itu.

Dalam pada itu sudah ada belasan jago Tiang-lok-pang dengan bersenjata telah ikut mengejar keluar melalui lubang atap yang bobol itu. Orang-orang Tiang-lok-pang itu berpendapat, orang lain telah berani main gila ke sarang mereka dan bahkan menawan Pangcu mereka, kalau sang Pangcu tidak direbut kembali, maka untuk selanjutnya nama Tiang-lok-pang mereka pasti akan runtuh. Walaupun pihak musuh juga tertawan tujuh orang, tapi biarpun bagaimana juga tak dapat mengimbangi tertawannya sang Pangcu. Mereka yakin asal orang she Pek itu dapat dicegat, lalu dikerubut, akhirnya sang Pangcu tentu dapat diselamatkan dan hal ini akan merupakan pahala besar bagi mereka yang berjasa itu. Karena itulah dengan penuh semangat mereka lantas menguber musuh secara terpencar.

Sementara itu fajar sudah menyingsing, orang-orang Tiang-lok-pang yang dikerahkan untuk mencari musuh semakin banyak. Tapi meski sudah diuber dan dicari kian kemari dalam jarak seluas belasan li, ternyata jejak musuh itu sama sekali tak tertampak.

Kiranya Pek Ban-kiam sendiri pun terheran-heran bahwa dalam satu jurus saja Ciok Boh-thian sudah kena ditawannya. Ia tahu kejadian itu tentu hanya secara kebetulan saja, walaupun berhasil menawan orang yang dicarinya itu tapi orang-orang Tiang-lok-pang telah dikerahkan semua untuk mengejarnya, untuk melarikan diri tentu juga sukar.

Ia coba memandang sekelilingnya, tertampak di hulu sungai sebelah barat sana ada sebuah jembatan batu. Tanpa pikir lagi ia terus berlari ke sana dan menyusup ke bawah jembatan. Ia mengepit Ciok Boh-thian dengan tangan kiri, pedang di tangan kanan lantas ditusukkan ke dalam celah-celah batu jembatan sehingga terjepit dengan kencang. Lalu dengan sebelah tangan itu menggandul dan pepetkan tubuhnya di bawah jembatan itu.

Tidak lama kemudian lantas terdengar suara suitan orang-orang Tiang-lok-pang bahkan ada yang melintasi jembatan itu, getaran orang-orang itu waktu menginjak jembatan itu hampir-hampir membikin pedang Pek Ban-kiam terlepas dari celah-celah batu.

Diam-diam Pek Ban-kiam sudah ambil keputusan kalau jejaknya diketahui musuh, maka besar kemungkinan terpaksa harus membunuh dulu pemuda tawanannya itu.

Terdengar ada suatu rombongan orang-orang Tiang-lok-pang sedang mencarinya dengan menyusur tepi sungai. Ketika hampir mendekati jembatan itu, mendadak di semak alang-alang sana ada suara keresek, ada seorang secepat terbang telah berlari ke arah yang berlawanan sana. Dari suara tindakan dan gerakan orang itu Ban-kiam tahu adalah seorang Sutenya yang bernama Ang Ban-ek.

Ia bergirang dan merasa lega. Ang Ban-ek itu tergolong nomor satu dalam hal Ginkang di antara sesama jago-jago Swat-san-pay, larinya secepat terbang, tiada seorang pun yang mampu menyusulnya. Nyata sekali perbuatannya barusan ialah untuk membelokkan perhatian musuh dan memancing pihak musuh mengejarnya ke jurusan lain, dengan demikian dapat memberi kesempatan kepada Pek Ban-kiam untuk meloloskan diri dari tempat bahaya itu. Dan ternyata benar juga, orang-orang Tiang-lok-pang beramai-ramai lantas mengejar ke jurusan sana.

Tapi Pek Ban-kiam masih ragu-ragu orang-orang. Tiang-lok-pang terlalu banyak jumlahnya, asal dia memperlihatkan diri, tentu akan kepergok.

Tengah bersangsi, tiba-tiba terdengar suara mendeburnya air, suara dayung perahu mengayuh, tertampak dari arah timur sana sedang mendatangi tiga buah perahu beratap, kedua buah perahu di antaranya penuh memuat sayur-mayur, sebuah lagi penuh memuat rumput jerami. Rupanya orang kampung pagi-pagi hendak pergi ke pasar kota Yangcu untuk menjual hasil tanamannya. Ketiga perahu itu bereret-eretan menerobos di bawah jembatan batu.

Pek Ban-kiam sangat girang, ia tunggu waktu perahu ketiga lewat di bawah jembatan itu, segera ia tarik pedangnya, bersama Ciok Boh-thian mereka menjatuhkan diri ke atas tumpukan jerami di atas perahu itu. Karena tumpukan jerami itu sangat tinggi dan lunak, maka apa yang terjadi itu sama sekali tidak diketahui si tukang perahu.

Dengan membawa Ciok Boh-thian segera Ban-kiam menyusup ke dalam onggok jerami itu sehingga tidak kelihatan dari luar.

Sesudah tiba di pasar kayu bakar, sambil menantikan tengkulak yang biasa menerima barang dagangannya, si tukang perahu telah meninggalkan perahunya untuk pergi makan-minum.

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Pek Ban-kiam. Lebih dulu ia melongok ke tepi, ia lihat di dekat situ tiada orang lain.

Segera ia membawa Ciok Boh-thian melompat ke daratan. Dilihatnya di ujung kade sebelah barat sana berlabuh juga sebuah perahu beratap, segera ia mendatangi perahu itu, begitu melompat ke atas perahu segera ia sodorkan sepenceng uang perak seberat empat-lima tahil dan berkata, “Juragan perahu, kawanku ini sakit keras dan perlu segera ditolong, harap kau lekas mengantar kami ke Tingkang.”

Melihat biaya yang diberikan itu jauh melebihi biasanya, juragan perahu menjadi girang, tanpa banyak cincong lagi ia lantas angkat sauh dan meluncurkan perahunya ke depan.

Sambil sembunyi di dalam perahu beratap itu, diam-diam Pek Ban-kiam merancang apa yang harus diperbuatnya nanti. Ia tahu di sekitar daerah Yangciu itu Tiang-lok-pang mempunyai pengaruh kekuasaan sangat besar, asal jejaknya diketahui, dalam waktu singkat orang-orang Tiang-lok-pang tentu akan dapat menyusulnya.

Ia bergirang dan sedih pula, girangnya karena Ciok Tiong-giok yang telah dicarinya sekian lamanya itu sekarang telah dapat ditangkapnya secara mudah sekali. Sedangkan sedihnya adalah lantaran para Sute dan Sumoaynya juga ditawan pihak Tiang-lok-pang, entah cara bagaimana harus menolong mereka?

Khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian pura-pura saja, maka tidak sampai satu jam segera ia menutuk lagi beberapa tempat Hiat-to di tubuh pemuda itu. Ketika perahu itu sampai di muara sungai Kwaciu dan masuk di perairan Tiangkang, sementara itu Ciok Boh-thian sudah berulang-ulang ditutuk sehingga beberapa puluh kali banyaknya.

Sesudah perahu itu masuk perairan Tiangkang, segera Ban-kiam berkata, “Juragan perahu, perahumu boleh kau luncurkan saja ke hilir ini, kutambah lagi lima tahil perak untukmu.”

Juragan perahu itu girang setengah mati, berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, katanya, “Hadiah tuan penumpang ini sungguh teramat besar, cuma perahuku ini terlalu kecil dan tidak kuat menahan gelombang ombak Tiangkang ini, untuk bisa berlayar terus hanya bisa dilakukan dengan menyusur tepi sungai saja.”

“Terserah, asal menyusur tepi utara saja,” kata Ban-kiam.

Setelah perahu itu berlayar lebih 20 li jauhnya, tertampak di tepi sungai sana ada sebuah kelenteng kecil berdinding kuning. Segera Ban-kiam berdiri ke haluan perahu dan bersuit sekeras-kerasnya. Maka terdengarlah suara suitan pula dari dalam kelenteng itu.

“Menepi di sini, juragan perahu!” seru Ban-kiam.

Tanpa bicara juragan perahu lantas merapatkan perahunya ke tepi sungai. Ia menancapkan galahnya dan menambat perahunya, baru saja dia hendak pasang papan loncatan, tahu-tahu Pek Ban-kiam sudah melompat ke daratan dengan mengempit Ciok Boh-thian.

Juragan perahu itu sampai kaget dan kesima melihat cara penumpangnya melompat seperti terbang itu.

Dan baru saja Ban-kiam mendarat, seketika ia disambut dengan sorak gembira oleh belasan orang yang keluar dari kelenteng tadi. Kiranya mereka adalah rombongan kedua dari murid Swat-san-pay. Ketika melihat Ban-kiam mengepit seorang pemuda, serentak mereka bertanya, “Pek-suko, apakah dia?”

Jilid 15

Ban-kiam membanting Boh-thian ke tanah, katanya dengan gusar, “Para Sute, beruntung sekali akhirnya anak durhaka ini dapat kita tangkap. Masakah kalian sudah pangling padanya?”

Waktu semua orang mengamat-amati Ciok Boh-thian, lapat-lapat mereka masih mengenali dia adalah Ciok Tiong-giok, itu anak yang lincah dan nakal di Leng-siau-sia dahulu. Saking gemasnya segera ada yang mendepak, ada pula yang meludahi Boh-thian.

“Harap saudara-saudara jangan melukai dia,” ujar seorang murid yang berusia agak lanjut. “Hasil Pek-suko yang gilang-gemilang ini sungguh harus dibuat bersyukur dan diberi selamat.”

Namun Ban-kiam menggeleng kepala sahutnya, “Meski bocah ini dapat kita tangkap kembali, tapi tujuh orang Sute dan Sumoay kita telah jatuh di tangan musuh, sesungguhnya kita lebih banyak rugi daripada untungnya.”

Sambil bicara mereka lantas berjalan ke dalam kelenteng kecil itu.

Kelenteng kecil yang sudah bobrok itu adalah kelenteng Tho-te-bio (kelenteng Toapekong) yang tiada penghuninya, sebab itulah murid-murid Swat-san-pay telah menggunakannya sebagai pos penghubung.

Begitulah, orang-orang Swat-san-pay itu lantas mengeluarkan daharan yang tersedia untuk Pek Ban-kiam. Habis itu mereka lantas berunding apa tindakan selanjutnya.

Kata Ban-kiam, “Kita sudah dapat menangkap anak durhaka ini, maka kita harus mengirimnya pulang ke Leng-siau-sia untuk diserahkan kepada Ciangbunjin. Walaupun tujuh orang Sute dan Sumoay kita tertawan musuh, kukira jiwa mereka tidak perlu dikhawatirkan, rasanya orang Tiang-lok-pang takkan berani mengganggu mereka. Sekarang aku akan membagi tugas kepada kalian. Thio-sute, Ong-sute dan Tio-sute, kalian adalah orang selatan, maka boleh tinggal di kota Yangciu dengan menyamar untuk memata-matai pihak musuh dan memerhatikan keadaan ketujuh Sute dan Sumoay kita yang tertawan itu, tapi jangan sekali-kali bertindak sendiri-sendiri.”

Segera Thio, Ong dan Tio bertiga mengiakan.

Lalu Pek Ban-kiam menyambung, “Ang Ban-ek, Ang-sute, orangnya sangat cerdik, ilmu silatnya juga tinggi, sesudah kalian mengadakan kontak dengan dia, maka kalian harus menurut kepada pesannya. Janganlah kalian mentang-mentang sebagai Suheng, lalu berlagak sehingga membikin urusan menjadi runyam.”

Ketiga orang itu sangat hormat dan segan kepada Pek-suheng ini, maka berulang-ulang mereka mengiakan lagi.

“Sekarang kita harus lekas menyeberang ke selatan, lebih dulu kita mengitar ke sana baru kemudian pulang ke Leng-siau-sia,” kata Ban-kiam pula. “Walaupun perjalanan menjadi lebih jauh, tapi orang-orang Tiang-lok-pang pasti tidak menduga jurusan kita tempuh ini.” Dan ucapan ini nyata sekali tanpa tedeng aling-aling ia telah menunjukkan rasa jerinya kepada pihak Tiang-lok-pang.

Dalam pada itu hari sudah mulai gelap. Ban-kiam menghela napas dan berkata pula, “Perjalanan kita ini walaupun telah berhasil membakar Hian-soh-ceng serta dapat menangkap murid Ciok Tiong-giok ini, tapi kita telah kehilangan dua orang Sute yang terbunuh secara penasaran Kheng-sute dan lain ditawan musuh pula, semua ini benar-benar sangat memalukan golongan kita, Kalau diusut pokok pangkalnya segalanya adalah lantaran pimpinanku yang tidak becus ini.”

“Pek-suko tidak perlu mencela dirinya sendiri,” ujar Houyan Ban-sian, seorang Sutenya yang berumur paling tua. “Padahal sebab musababnya yang sesungguhnya adalah karena kita semua ini kurang tekun belajar, kita sudah mendapat didikan Suhu, tapi dalam perguruan kita selain Hong-suheng dan Pek-suheng berdua yang lain-lain hanya berhasil mendapatkan sedikit bulu dan kulit ajaran Suhu saja dan tidak dapat mempelajari intisarinya.”

“Ya, dasar kita ini memang seperti katak di dalam tempurung,” kata seorang Sutenya yang berbadan gemuk dan bernama Bun Ban-hu. “Di waktu kita saling bertanding di antara kita sendiri di Leng-siau-sia, kita semua sama menganggap dirinya sendiri sudah jagoan, sudah kampiun. Tak terduga setelah berada di dunia luar barulah kita sadar kita ini terlalu pecak. Pek-suko baru akan berangkat kalau hari sudah gelap, mumpung masih ada waktu dan kita juga lagi iseng, maka diharap Pek-suko suka menggunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk sejurus-dua kepada kami sekalian.”

Para Suheng dan Sutenya serentak bersorak menyatakan setuju.

Maka berkatalah Ban-kiam, “Sebenarnya ilmu silat yang diajarkan Tiatia (ayah) kepada para saudara sedikit pun tiada bedanya seperti apa yang diajarkannya kepadaku, sama sekali beliau tiada pernah pilih kasih. Seperti Hong-suheng, dia lebih giat dan lebih tekun belajar daripadaku, maka kepandaiannya juga lebih tinggi daripadaku.”

“Ya, bahwasanya Suhu tidak pernah pilih kasih, hal ini kita mengetahui semua,” kata Bun Ban-hu, “Soalnya kita sendirilah yang terlalu bodoh dan tak dapat memahami intisari ajaran beliau.”

“Baiklah, kepulangan kita ke Leng-siau-sia ini besar kemungkinan masih akan banyak mengalami rintangan-rintangan, kalau kita bisa tambah sedikit kepandaian akan berarti kekuatan kita bertambah pula,” kata Ban-kiam, “Nah, Houya-sute dan Bun-sute, kalian boleh coba-coba mulai bergebrak, Tio-sute dan Ong-sute silakan pasang mata di luar, kalau ada sesuatu yang mencurigakan hendaklah segera memberi tahu.”

Sebenarnya Tio dan Ong berdua sangat ingin menyaksikan latihan para Suheng dan Sute dengan petunjuk-petunjuk dari Pek-suheng, kesempatan ini biasanya jarang terjadi, tapi mereka justru disuruh meronda di luar, tentu saja dalam hati mereka merasa enggan, tapi mereka juga tidak berani menolak perintah sang Suheng itu, terpaksa mereka keluar dengan rasa kurang senang.

Segera Houyan Ban-sin dan Bun Ban-hu menghunus pedang masing-masing dan pasang kuda-kuda. Bun Ban-hu adalah Sute, ia berseru, “Silakan mulai, Houyan-suko!”

Dengan memegang pedangnya terbalik, lebih dulu Houyan Ban-sian memberi hormat kepada Ban-kim dan berkata, “Harap Pek-suko memberi petunjuk-petunjuk seperlunya!”

Dan sesudah Pek Ban-kiam mengangguk, segera Ban-sian memutar pedangnya ke atas terus membuka serangannya, ia menusuk ke bahu kiri Bun Ban-hu. Itulah jurus “Lau-ki-heng-sia” (ranting pohon bertumbuh miring) dari Swat-san-kiam-hoat.

Kiranya di dalam kota Leng-siau-sia banyak tumbuh Bwe-hoa. Cikal bakal mereka yang menciptakan ilmu pedang itu pun sangat suka kepada bunga Bwe, sebab itulah di dalam gerak ilmu pedangnya itu banyak diseling dengan gaya bunga Bwe, tangkai Bwe, dahan Bwe dan sebagainya. Bunga Bwe yang bagus biasanya tumbuh dalam keadaan gundul, dahannya jarang-jarang dan tak berdaun, sebaliknya kuntum bunganya lebat dan menggerombol.

Sebab itulah ilmu pedang yang dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu terkadang sangat lambat dan tenang, terkadang cepat dan kerap pula dengan sinar pedang kemilauan sebagai bunga salju yang bertebaran tertiup angin.

Dalam pada itu Ciok-Boh-thian yang tertutuk dan dilemparkan begitu saja di samping ruangan sana itu tiada seorang pun yang menggubrisnya.

Sebenarnya perutnya sudah sangat lapar, dalam keadaan iseng coba-coba ikut menonton latihan ilmu pedang yang dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu.

Lwekang Boh-thian sekarang sudah sangat sempurna, hanya saja mengenai ilmu pukulan atau ilmu pedang dan sebagainya sama sekali ia tidak becus, namun ilmu silat umumnya harus menggunakan Lwekang sebagai dasar, ilmu pukulan dan lain-lain hanya gerakan yang dikerahkan oleh tenaga dalam itu. Karena di waktu kecilnya Boh-thian sering berburu binatang dan menangkap burung, maka pada dasarnya gerak-geriknya sudah gesit dan cekatan. Sejak dia berhasil pula melatih Lo-han-hok-mo-kang yang berasal dari boneka-boneka itu, maka tokoh-tokoh kelas satu seperti Pwe Hay-ciok atau Cia Yan-khek sekalipun juga bukan tandingannya lagi.

Setelah mengikuti sejenak pertandingan dan serang-menyerang antara Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu, ia menjadi ketarik dan merasa dirinya juga bisa. Ia merasa serang-menyerang kedua orang itu seperti permainan anak kecil saja, sudah terang satu tusukan asal disorong maju sedikit lagi tentu akan mengenai sasarannya, tapi justru tenaga penyerangnya sudah habis dikerahkan dan terpaksa hanya mencapai jarak tertentu saja dan gagal mengenai lawannya.

Boh-thian pikir mungkin karena mereka adalah sesama saudara seperguruan dan hanya latihan saja, maka dengan sendirinya tidak saling menyerang dengan sungguh-sungguh.

Tiba-tiba terdengar Pek Ban-kiam membentak “Berhenti dulu!”

Lalu ia maju ke tengah, ia ambil pedangnya Houyan Ban-sian dan memberi contoh, katanya, “Tusukanmu barusan ini kalau disorong maju dua senti lagi tentu sudah memperoleh kemenangan.”

Boh-thian menjadi senang karena apa yang dikatakan Pek Ban-kiam itu cocok benar dengan pikirannya tadi, Tapi mengapa penyerangnya itu sengaja tidak mau menusuk dengan lebih maju sedikit?

Sementara itu kelihatan Houyan Ban-sian telah mengangguk dan menjawab, “Petunjuk Pek-suko memang tepat. Cuma serangan Siaute barusan ini telah dilakukan dengan sekuatnya dan sampai di sini tahu-tahu tenaga dalam sudah habis dikerahkan sehingga susah disorong maju lebih jauh lagi.”

Ban-kiam tersenyum, katanya, “Untuk mencapai tenaga dalam yang kuat memang bukan latihan dalam satu-dua hari saja. Lwekang yang kupelajari pada hakikatnya juga tiada bedanya dengan Lwekang yang dipelajari para Sute. Namun demikian, kekurangan tenaga dalam masih dapat dibantu dengan menggunakan perubahan-perubahan ilmu pedang. Sesungguhnya Lwekang golongan kita juga tiada sesuatu yang luar biasa, dibandingkan Lwekang golongan lain seperti Siau-lim-pay Go-bi-pay, Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, meski masing-masing golongan mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri tapi sejarah golongan kita masih terlalu muda sehingga tak dapat membandingi golongan-golongan yang bersejarah ratusan tahun itu. Namun begitu ilmu pedang golongan kita sesungguhnya dapat dikatakan tiada bandingannya di dunia ini. Maka dari itu di kala berhadapan dengan musuh hendaklah para Sute menggunakan keunggulan pihak sendiri untuk menyerang kelemahan musuh, janganlah mengadu tenaga dalam dengan orang, tapi gunakanlah perubahan-perubahan ilmu pedang kita yang hebat ini untuk merebut kemenangan.”

Para Sutenya sama mengangguk dan membenarkan analisis sang Suheng yang ternyata tepat sekali itu.

Kiranya ketua Swat-san-pay yang sekarang, Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam, pada waktu kecilnya secara kebetulan telah minum obat mukjizat sehingga tenaga dalamnya mendadak maju sangat pesat dan dapat menandingi latihan orang selama 40-50 tahun.

Sebenarnya Lwekang Swat-san-pay itu tidak dapat menandingi golongan lain, tapi Pek Cu-cay telah mengambil jalan lain yang lebih cepat sehingga tenaga dalamnya menjadi lebih tinggi malah dibandingkan tokoh-tokoh Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain.

Sudah tentu obat mukjizat begitu hanya bisa diketemukan secara kebetulan dan tak dapat dicari. Walaupun tenaga dalam Pek Cu-cay sendiri sangat kuat tapi anak muridnya yang berjumlah tidak sedikit itu justru lemah dalam hal Lwekang. Dasar watak Wi-tek Siansing itu memang suka unggul, maka selamanya ia tidak menjelaskan titik kelemahan golongannya sendiri kepada para muridnya.

Anak muridnya yang hidup terpencil di pegunungan bersalju itu karena kurang penerangan lantas menganggap ilmu pedang dan Lwekang golongannya tersendiri terhitung nomor wahid di kolong langit ini. Baru sesudah mereka berulang-ulang terjungkal di daerah Tionggoan, sekarang Pek Ban-kiam secara terus terang telah menguraikan titik kelemahan golongannya sendiri dan barulah mereka sadar semuanya.

Begitulah Pek Ban-kiam lantas memberi petunjuk-petunjuk tentang di mana letak kehebatan perubahan ilmu pedang Swat-san-pay itu sejurus demi sejurus. Sesudah Houyan Ban-sian dan Ban Ban-hu, lalu berganti pula dua orang Sutenya yang lain. Kemudian Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu disuruh menggantikan Tio dan Ong yang pasang mata di luar itu.

Ilmu pedang yang dimainkan orang-orang Swat-san-pay itu sebenarnya tidak banyak bedanya satu sama lain.

Dasar Ciok Boh-thian memang pintar, pondamen tenaga dalamnya sudah sangat kuat pula, ditambah lagi Pek Ban-kiam telah memberi petunjuk-petunjuk dengan sungguh-sungguh yang diikuti Ciok Boh-thian dengan saksama.

Maka sampai dengan pasangan ketujuh dari pertandingan anak murid Swat-san-pay itu, dari 72 jurus Swat-san-pay itu telah dipahami seluruhnya oleh Ciok Boh-thian, walaupun nama-nama dari jurus-jurus ilmu pedang itu tak teringat dengan lengkap, intisari dari perubahan-perubahan ilmu pedang itu pun susah dipahami seketika, tapi bilamana diserang lawan, maka cara menangkis dan cara balas menyerang sudah tercakup di dalam rekaannya, bahkan ilmu pedang yang dia reka itu jauh lebih bagus dan jitu daripada murid-murid Swat-san-pay itu, sebaliknya cocok sekali dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Pek Ban-kiam kepada Sute-sutenya.

Terkadang apa yang direka oleh Ciok Boh-thian itu juga agak bodoh, ilmu pedang yang digunakan murid Swat-san-pay itu ada lebih bagus daripada rekaannya, dan petunjuk yang diberikan Pek Ban-kiam juga lebih bagus setingkat lagi.

Jika demikian, maka ini berarti Ciok Boh-thian sudah lebih mendalami satu jurus ilmu pedang itu.

Begitulah dengan asyik sekali semua orang mencurahkan perhatian dalam mempelajari ilmu pedang, yang belajar lupa lelah, yang menonton lupa lapar, sehingga semua murid Swat-san-pay itu selesai latihan, Swat-san-kiam-hoat itu telah dimainkan beberapa kali secara berulang-ulang oleh anak murid Swat-san-pay, maka Ciok Boh-thian juga telah paham hampir seluruhnya dari ilmu pedang itu.

Diam-diam Boh-thian juga heran, “Sudah begitu lama orang-orang ini melatih ilmu pedang, mengapa permainan mereka sedemikian jeleknya, sudah terang jurus-jurus ilmu pedang ini sangat gampang, tapi mereka justru tidak dapat melakukannya dengan jitu.”

Ia tidak tahu bahwa Lo-han-hok-mo-kang yang telah dipelajarinya dari boneka-boneka itu adalah semacam Lwekang mahatinggi dari Siau-lim-pay yang merupakan ikhtisar atau saripati dari ilmu silat Siau-lim-pay yang paling dalam.

Dengan memiliki pengetahuan Lwekang yang tinggi itu, terhadap setiap ilmu silat umumnya adalah laksana orang memandang bumi dari puncak gunung, segala apa dapat dilihatnya dengan jelas dan boleh dikata tiada artinya lagi baginya.

Selagi Boh-thian termenung-menung sendiri, tiba-tiba terdengar Pek Ban-kiam menghela napas panjang sambil melemparkan pedangnya.

Keruan para Sutenya saling pandang dengan heran, mereka tidak paham apa maksud sang Suheng dengan menghela napas panjang dan membuang pedangnya itu.

Tertampak sorot mata Pek Ban-kiam kemudian beralih kepada Ciok Boh-thian yang mendoprok bersandar di pilar sana, dengan muka muram dan suara serak ia berkata, “Sejak bocah ini masuk perguruan kita, hanya dalam waktu dua-tiga tahun saja dia sudah dapat memahami intisari ilmu silat golongan kita, walaupun kekuatannya masih kalah daripada para paman gurunya yang sudah belajar belasan tahun, tapi dalam hal kecerdasan dan perubahan-perubahan gerak menurut keadaan dia ada lebih pintar, hal ini cocok benar dengan ilmu pedang kita yang memang mengutamakan kegesitan dan perubahan-perubahan cepat. Sebab itulah Hong-suko menaruh harapan sangat besar kepadanya, bahkan Ciangbunjin sendiri juga menunjukkan perhatian dan berharap dia yang akan mengembangkan kejayaan golongan kita. Tapi, siapa duga ... ai, at ... ai ....” berulang-ulang ia menghela napas panjang sampai tiga kali, betapa rasa sayang dan menyesalnya kentara sekali pada wajahnya itu.

Hendaklah maklum bahwa “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, bahkan pengalaman dan pengetahuannya juga sangat luas.

Sesudah menyaksikan latihan-latihan Sutenya itu, ia merasa semua Sute itu terbatas oleh bakat pembawaan masing-masing, biar betapa pun giatnya mereka berlatih juga susah mendapat tingkatan tertinggi. Ia menjadi teringat kepada nasib golongannya sendiri yang tiada mempunyai ahli waris yang baik maka ia sangat menyesal. Mestinya Ciok Boh-thian seorang pemuda pilihan yang jarang terdapat, tapi anak muda itu justru tidak baik kelakuannya, sebab itulah ia menghela napas dan bersedih mengingat nasib golongan Swat-san-pay kelak.

Ciok Boh-thian menjadi terharu juga ketika melihat sorot mata Pek Ban-kiam yang memandang ke arahnya itu penuh kasih sayang padanya, walaupun tidak paham kandungan hati tokoh Swat-san-pay itu tapi diam-diam timbul juga rasa terima kasihnya.

Begitulah suasana dalam kelenteng sunyi itu untuk sekian lamanya menjadi sunyi senyap.

Selang sebentar, mendadak Pek Ban-kiam menggunakan ujung kaki kanan untuk menutuk gagang pedang yang dilemparkan ke lantai tadi, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan kena dipegangnya. Dengan perlahan-lahan ia menuju ke pelataran. Tiba-tiba ia berseru, “Sobat dari manakah itu, silakan turun saja untuk bicara?”

Para murid Swat-san-pay menjadi terperanjat. Serempak mereka menduga tentu orang-orang Tiang-lok-pang yang telah datang? Anehnya mengapa Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu yang menjaga di luar itu sama sekali tidak memberi tanda bahaya apa-apa? Datangnya musuh juga sama sekali tak bersuara, mengapa Pek-suko dapat mengetahui?

Selagi semua orang berkebat-kebit, terdengarlah suara jatuhnya benda yang perlahan, tahu-tahu di tengah pelataran sana sudah bertambah dua orang.

Yang satu berbaju hitam mulus, yang lain adalah wanita yang berpakaian putih mulus.

Kedua orang itu sama-sama membawa pedang yang terselip di punggung mereka, di waktu melompat turun mereka hanya mengeluarkan suara yang perlahan, hal ini sudah menang angin lebih dulu, ditambah lagi kedua orang sama-sama gagah dan cantik sehingga membuat kesengsem setiap orang yang melihatnya.

Segera Pek Ban-kiam memberi hormat dan berseru pula, “Kiranya adalah Ciok-cengcu dan nyonya dari Hian-soh-ceng yang telah datang!”

Suami-istri yang datang ini memang benar adalah Ciok Jing dan Bin Ju. Wajah Ciok Jing tampak bersenyum simpul, ia membalas hormat dan berkata, “Pek-suheng telah berkunjung ke tempat kami, kebetulan kami suami-istri tiada di rumah dan tidak memberi penyambutan yang layak, untuk ini hendaklah suka memberi maaf.”

Anak murid Swat-san-pay yang pernah bertemu dengan Ciok Jing di Hau-kam-cip tempo hari semuanya telah tertawan di markas Tiang-lok-pang, sedangkan rombongan ini tiada yang kenal suami-istri itu, maka mereka menjadi tergetar ketika mendengar yang datang ini adalah Ciok Jing bersama istrinya. Pikir mereka, “Kami sudah membakar perkampungannya, entah mereka sudah tahu atau belum?”

Tak terduga Pek Ban-kiam lantas bicara secara terus terang saja, katanya, “Kunjungan kami ke Tionggoan ini adalah untuk mencari putramu, karena putramu tidak diketemukan, dalam gusarnya aku telah membakar kampung kediamanmu.”

Wajah Ciok Jing yang tersenyum itu sama sekali tidak berubah demi mendengar keterangan itu. Sahutnya, “Perkampungan kami itu memangnya tidak bagus bangunannya, kalau Pek-suheng merasa tidak suka dan telah mewakilkan Siaute membakarnya, hal ini menjadi kebetulan malah. Untuk mana aku mengucapkan banyak terima kasih atas kemurahan hati Pek-suheng yang telah sudi menyingkirkan dulu semua penghuni rumah sehingga tiada satu ekor ayam atau itik yang terbakar mati, ini menandakan hati Pek-suheng yang welas asih patut dipuji.”

“Pelayan dan penjaga kediaman Ciok-cengcu itu toh tiada berdosa, kami mana boleh sembarangan membikin susah orang lain? Buat apa Ciok-cengcu mesti berterima kasih segala?” sahut Ban-kiam.

“Para kesatria Swat-san-pay sesungguhnya sangat sayang kepada putraku itu, cuma sayang anak itulah yang tidak genah sehingga sangat mengecewakan harapan Pek-locianpwe, Hong-suheng dan Pek-suheng, sungguh kami merasa terima kasih dan malu pula,” demikian kata Ciok Jing. “Apakah Pek-locianpwe baik saja? Begitu pula tentunya Pek-lohujin (nyonya besar Pek, ibu Pek Ban-kiam)?”

Habis berkata bersama sang istri mereka sama membungkuk tubuh sebagai tanda menghormat kepada ayah dan ibunya Pek Ban-kiam.

Ban-kiam membalas hormat itu, sahutnya, “Atas doa Ciok-cengcu berdua, ayah sendiri dalam keadaan baik saja, sedangkan ibu berhubung dengan perkara putramu itu, sekarang beliau tidak berada di Leng-siau-sia lagi.”

Sampai di sini, tertampaklah air mukanya yang menyesal dan sedih.

“Pek-lohujin berkepandaian tinggi dan berbudi luhur, selama hidup beliau banyak melakukan kebajikan, siapa orangnya di dunia Kangouw yang tidak kagum padanya,” kata Ciok Jing. “Sekali ini beliau hanya keluar sekadar berlibur, tentulah keadaan beliau akan baik-baik dan sehat walafiat.”

“Banyak terima kasih atas pujian Ciok-cengcu, semoga dengan demikianlah adanya,” sahut Ban-kiam. “Cuma saja usia ibu sudah lanjut, sekarang berkelana pula di Kangouw, sebagai anak mau tak mau ikut berkhawatir juga.”

“Ini menandakan kebaktian Pek-suheng yang terpuji,” ujar Ciok Jing. “Sebagai anak orang harus berbakti kepada orang tua, sebagai orang tua wajib mendidik putra-putrinya, semua ini adalah sifat manusia yang umum. Sekalipun kelakuan putra-putrinya tidak pantas, di samping menyesal, sebagai orang tua terpaksa hanya dapat memberi ajaran lebih keras saja kepada anak-anaknya.”

“Ciok-cengcu adalah tokoh yang dihormati dan disegani orang-orang Bu-lim, kalau tidak salah di pendopo Hian-soh-ceng kalian tergantung sebuah pigura besar yang bertuliskan “Oh-pek-hun-beng (hitam atau putih harus dibeda-bedakan secara tegas). Entah betul tidak adanya pigura itu?”

“Betul,” sahut Ciok Jing. “Tapi entah pigura bertuliskan empat huruf itu sekarang berada di mana?”

“Sudah kubakar,” sahut Ban-kiam.

“Bagus!” kata Ciok Jing. “Putraku adalah murid Swat-san-pay kalian, jika melanggar peraturan perguruan adalah seharusnya mendapat hukuman setimpal dari pimpinan dan gurunya, apakah akan dihajar atau dibunuh, sebagai orang tua kami tak dapat ikut campur, ini adalah peraturan Bu-lim yang tak bisa di ganggu gugat. Untuk ini waktu di Hau-kam-cip tempo hari kami pernah menyerahkan pedang hitam putih kepada kawan-kawanmu dengan pernyataan kami akan menggiring anak durhaka itu ke Leng-siau-sia untuk menukar sepasang pedang kami itu, bukankah kejadian ini juga telah diketahui oleh Pek-suheng?”

Tentang sepasang pedang hitam-putih itu Pek Ban-kiam memang sudah mendapat tahu dari Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-kin dan lain-lain, diketahui pula bahwa sepasang pedang itu telah dirampas orang di tengah jalan, perampas pedang itu kemungkinan adalah tokoh-tokoh yang disegani orang-orang Bu-lim, yaitu Thian-kisu Cia Yan-khek. Sekarang didengarnya Ciok Jing menyinggung tentang sepasang pedangnya, tanpa terasa mukanya menjadi merah. Sahutnya kemudian, “Ya, betul. Cuma pedang kalian itu tiada kami bawa, kelak pasti akan kami aturkan kembali dengan baik.”

“Hahaha! Ucapan Pek-suheng ini sungguh terlalu memandang enteng kepadaku ini,” seru Ciok Jing dengan tertawa. “Kalian sekarang telah meringkus anakku, di samping itu senjata kami itu ditahan pula dan tak dikembalikan, apakah ada peraturan demikian di dalam dunia persilatan?”

“Habis bagaimana kalau menurut pendapat Ciok-cengcu?” tanya Ban-kiam.

“Ucapan seorang laki-laki sejati, biar bagaimanapun takkan ditarik kembali,” kata Ciok Jing. “Maka dari itu hanya ada satu di antara dua, inginkan anak harus kembalikan pedang, bila menahan pedang harus melepaskan anakku.”

Sebenarnya Pek Ban-kiam adalah seorang tokoh terkemuka, bahwasanya sepasang pedang hitam putih telah direbut orang, memangnya dia merasa malu terhadap Ciok Jing, maka pantasnya dia tidak boleh putar lidah dan main menang sendiri. Tapi dia juga pernah bertukar pikiran dengan Kheng Ban-ciong dan Sute-sute yang lain, menurut perkiraan mereka bukan mustahil secara diam-diam Ciok Jing telah bersekongkol dengan Cia Yan-khek, lebih dulu Ciok Jing pura-pura menyerahkan pedang-pedang pusaka mereka sebagai jaminan, lalu minta Cia Yan-khek mencegat di tengah jalan dan merebutnya kembali. Apalagi Ciok Tiong-giok telah menyebabkan kematian putri tunggal kesayangannya itu, sekarang anak muda yang merupakan biang keladi dari segala peristiwa menyedihkan ini sudah tertangkap, sudah tentu Ban-kiam tidak rela melepaskannya begitu saja hanya karena ucapan Ciok Jing tadi.

Begitulah, sesudah berpikir sejenak lalu ia berkata, “Permintaan Ciok-cengcu itu Cayhe tidak berani memutuskannya sendiri, harap Ciok-cengcu suka memaafkan. Tentang sepasang pedang kalian itu pendek kata adalah tanggung jawabku Pek Ban-kiam ini. Bila orang she Pek ternyata tidak mampu mengembalikan sepasang pedang hitam-putih itu, biarlah aku akan datang ke kediaman Ciok-cengcu dan menggorok leherku di depan kalian untuk menebus dosa.”

Pernyataan Pek Ban-kiam ini cukup tegas dan tanpa tawar-menawar lagi. Ciok Jing cukup kenal siapa Pek Ban-kiam, yaitu seorang kesatria yang selalu pegang janji, kata-kata sesuai dengan perbuatan. Sekarang dengan tegas Ban-kiam telah menanggung sepasang pedangnya dengan jiwa sendiri, maka mau tak mau dia harus memercayainya. Namun demikian dengan jelas dilihatnya putra kesayangan mereka meringkuk di lantai yang kotor itu, betapa pun ia tidak tega membiarkannya dibawa pulang orang-orang Swan-san-pay.

Lebih-lebih Bin Ju, sejak berada di dalam kelenteng itu pandangannya tidak pernah meninggalkan lagi tubuh si Boh-thian. Dia sudah berpisah sekian lamanya dengan putra kesayangannya, sekarang dapat bertemu di tempat yang jauh ini, sungguh ia sangat ingin menubruk maju untuk memeluknya. Sedari tadi air matanya sudah berlinang-linang dan hampir-hampir menetes, apa yang dikatakan Pek Ban-kiam sama sekali tak digubris olehnya. Cuma saja ia selalu tunduk kepada segala keputusan sang suami, maka dia tidak ikut bicara melainkan tetap berdiri di samping Ciok Jing.

Maka Ciok Jing telah menjawab, “Ah, ucapan Pek-suheng terlalu sungguh-sungguh, hanya sepasang senjata kami itu terhitung apa? Mana boleh dipersamakan dengan badan Pek-suheng yang berharga? Hanya saja sebagai orang Kangouw segala apa kita mengutamakan keadilan. Sekalipun ilmu pedang Swat-san-pay sangat hebat dan orangnya berjumlah banyak, tapi juga tidak boleh berbuat sesukanya, sudah mau pedangnya, ingin orangnya pula. Nah, Pek-suheng, sekarang juga bocah ini akan kami bawa pulang saja.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba pundak kirinya sedikit bergerak, ini adalah isyarat kepada istrinya agar lolos pedang dan menyerang bersama.

Benar juga, segera pandangan semua orang menjadi silau oleh gemerdepnya sinar pedang, tahu-tahu ujung pedang Ciok Jing dan Bin Ju sudah menusuk ke arah Pek Ban-kiam. Kira-kira belasan senti di depan dada sasarannya, mendadak kedua pedang itu berhenti serentak.

“Silakan, Pek-suheng!” seru Ciok Jing. Nyata, sebagai tokoh terkemuka mereka suami-istri tidak ingin menyerang secara mendadak di kala pihak lawan belum siap siaga. Kalau Pek Ban-kiam tidak meloloskan pedang untuk menangkis, maka tusukan mereka itu pun tidak diteruskan ke depan.

Dengan sorot matanya yang tajam Pek Ban-kiam menatap ujung pedang lawannya, mendadak ia melangkah maju setengah tindak. Segera Ciok Jing dan Bin Ju menarik mundur pedang mereka, jarak ujung pedang dengan dada sasarannya tetap belasan senti jauhnya.

Tapi mendadak Ban-kiam meluncur satu tindak ke belakang, ketika kedua pedang Ciok Jing dan Bin Ju ikut menjuju maju, maka terdengarlah suara “tring-tring” dua kali, Pek Ban-kiam sudah melolos pedangnya dan telah balas menyerang malah. Tiga batang pedang seketika menjangkitkan suatu lingkaran sinar yang kemilauan.

Pedang yang digunakan Ciok Jing mestinya berwarna hitam mulus, tapi karena pedang itu sudah diserahkan kepada orang Swat-san-pay sebagai jaminan bersama pedang istrinya, maka sekarang yang dia pakai adalah sebatang pedang biasa.

Biasanya orang-orang Swat-san-pay sangat mengagumi ilmu pedang Pek-suko mereka yang hebat, sekarang mereka berpendapat biarpun dikerubut orang dua juga sang Suheng akan lebih unggul. Maka mereka hanya menonton di samping saja dengan pedang terhunus.

Semula tertampak serangan-serangan Ciok Jing dan Bin Ju yang dapat bekerja sama dengan sangat baik itu dilakukan dengan lambat, tapi makin lama makin cepat sehingga sesudah 50 jurus lebih jurus-jurus serangan suami-istri itu susah dibedakan lagi.

Sebaliknya yang dimainkan Pek Ban-kiam adalah Swat-san-kiam-hoat yang meliputi 72 jurus itu. Ilmu pedang yang pasti dipelajari setiap murid Swat-san-pay ini tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, tapi di bawah permainan Pek Ban-kiam ternyata tidak kalah lihainya daripada ilmu pedang Ciok Jing berdua, baik bertahan maupun balas menyerang dapat dilakukan dengan tepat dan menimbulkan daya tekanan yang hebat kepada lawan.

Di dalam kelenteng kecil itu hanya tersulut sebatang lilin saja, sinarnya agak guram sehingga menambah seramnya suasana pertempuran itu.

Tadi waktu Ciok Jing dan istrinya tiba, segera Ciok Boh-thian dapat mengenali Bin Ju adalah si wanita cantik berhati luhur yang pernah memberi uang kepadanya di Hau-kam-cip tempo dulu. Begitu datang suami-istri itu lantas tiada hentinya bicara dengan Pek Ban-kiam, menyusul ketiga orang lantas lolos pedang dan bertempur sehingga tiada memberi kesempatan kepada Ciok Boh-thian untuk menyapa dan bicara.

Sedangkan apa yang dipercakapkan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam tadi juga tak dipahami Ciok Boh-thian, hanya lapat-lapat diketahuinya Ciok Jing telah minta kembali sepasang pedang kepada Pek Ban-kiam, selain itu mengenai diri seorang anak apa, cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa yang dimaksudkan itu justru adalah Ciok Boh-thian sendiri.

Tadi juga telah disaksikan latihan ilmu pedang dari murid-murid Swat-san-pay, sekarang dilihatnya pula Ciok Jing bertiga melolos pedang dan bertanding pula, ketiga orang tidak saling membentak atau memaki, sikap mereka pun ramah tamah saja, maka disangkanya mereka juga sedang latihan saja seperti tadi.

Sejenak kemudian ia lantas memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Ciok-Jing dan istrinya. Segera dapat diketahuinya bahwa ilmu pedang ketiga orang itu ternyata sangat berbeda.

Gerakan Ciok Jing sangat kuat dan tangkas, sebaliknya Bin Ju lemah gemulai. Jurus ilmu pedang yang dimainkan suami istri itu adalah sama, tapi yang satu keras dan yang lain lunak, yang satu Yang (positif) dan yang lain Im (negatif), yang satu cepat dan yang lain lambat, tenaga dalam yang digunakan berlawanan satu sama lain, tapi bila ketemu dengan pedang Pek Ban-kiam, segera jurus pedang suami-istri itu tampaknya dapat bekerja sama dengan sangat rapat dan dua menjadi satu.

Maklum bahwa suami-istri Ciok Jing dan Bin Ju yang telah menikah selama dua puluh tahun itu tidak pernah berpisah barang satu hari pun, juga tiada pernah absen satu hari tidak berlatih pedang, maka ilmu pedang mereka sudah boleh dikatakan mencapai dua raga satu pikiran. Dalam hal permainan berganda pedang, di dunia persilatan sudah tiada bandingannya lagi.

Tentang teori ilmu pedang yang mendalam itu sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham, tapi Lwekang yang telah dimilikinya sekarang adalah sangat aneh, lebih dulu ia melatih Lwekang mahadingin dari sesuatu orang, kemudian mendapat ajaran Lwekang mahapanas dari Cia Yan-khek, akhirnya melalui “Lo-han-hok-mo-kang” yang merupakan Lwekang yang paling sempurna itu sehingga kedua macam Lwekang dingin dan panas semula dapat dilebur menjadi satu.

Ilmu pedang Ciok Jin dan Bin Ju, sebenarnya dimainkan dengan Lwekang Im dan Yang yang tidak sama. Maka Ciok Boh-thian hanya menonton sebentar saja lantas seperti menyadari sesuatu, pikirannya, “Aneh, ilmu pedang mereka ini aku dapat memainkannya semua, tapi entah sejak kapan aku telah mempelajarinya?”

Karena merasa ilmu pedang yang dimainkan ketiga orang itu ia sendiri pun bisa, maka Ciok Boh-thian menjadi girang tak terkatakan.

Tidak lama kemudian ia lantas tahu juga bahwa dengan satu-lawan-dua keadaan Pek Ban-kiam lebih lemah dan mulai terdesak.

Kiranya ilmu pedang dan tenaga dalam Ciok Jing suami-istri masing-masing sebenarnya sama kuatnya, tapi sekarang mereka berdua mengerubut Pek Ban-kiam seorang, dengan sendirinya Ban-kiam kewalahan, cuma dalam ilmu pedang Ban-kiam itu ada suatu arus tenaga yang ganas dan lihai, dasar Bin Ju memang lemah lembut, di waktu menyerang selalu memberi kelonggaran, sebab itulah mereka bertiga dapat bertarung sampai sekian lamanya. Padahal walaupun Bin Ju kelihatan lemah gemulai, tapi dalam hal ilmu pedang sebenarnya sedikit pun tidak di bawah suaminya.

Begitulah, maka sesudah beberapa puluh jurus, beruntun-runtun Pek Ban-kiam dua kali hampir dimakan ujung pedang Bin Ju. Diam-diam Ban-kiam mengeluh. Namun dasar wataknya memang keras, sekalipun dia mesti binasa di bawah pedang Ciok Jing suami-istri juga dia pantang menyerah, maka dengan mati-matian ia masih terus bertahan.

Selang sejenak pula, sekarang beberapa orang Swat-san-pay sudah mulai mengetahui keadaan sang Suheng yang payah itu. Segera seorang di antaranya berteriak, “He, dua orang mengerubut satu orang, huh, tidak tahu malu! Ciok-cengcu, jika kau berani silakan bertempur satu-lawan satu dengan Pek-suko saja, kalau ingin main keroyokan terpaksa kami juga akan menerjang maju semua!”

Namun Ciok Jing hanya tersenyum saja, sahutnya sambil kerjakan pedangnya, “Apakah Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li Hong-suheng berada di sini? Kalau Hong-suheng berada di sini dia boleh main berganda bersama Pek-suheng dan kita berempat boleh coba-coba mengukur ilmu pedang masing-masing.”

Terang sekali maksudnya hendak mengatakan bahwa di antara anak murid Swan-san-pay sebanyak itu, selain Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, maka yang lain-lain pasti tidak mampu main ganda bersama Pek Ban-kiam untuk melawan mereka suami istri.

Padahal Ciok Jing juga tahu bahwa dengan suami-istri mereka mengerubut Pek Ban-kiam seorang terang mereka lebih kuat dan sebenarnya juga tidak pantas menurut peraturan Kangouw.

Tapi sekarang urusan menyangkut mati-hidup putra kesayangannya, kalau anak muda itu sampai dibawa pulang ke Leng-siau-sia, maka terang pasti akan dihukum mati.

Demi untuk menyelamatkan putranya itu, saat inilah suatu kesempatan yang paling baik, walaupun kelak akan dicerca sesama orang Bu-lim tentang mereka main kerubut dua lawan satu dan bukan perbuatan kesatria sejati, terpaksa mereka tak peduli lagi. Apalagi di dalam kelenteng ini di pihak Swat-san-pay masih ada belasan orang lagi, keadaan demikian pun boleh dikatakan mereka suami-istri melawan belasan orang musuh. Adapun soal kepandaian orang-orang Swat-san-pay yang lain itu terlalu rendah untuk dapat melawan mereka, adalah salah pihak Swat-san-pay sendiri, siapa sih yang suruh Swat-san-pay mendidik murid-murid segoblok itu?”

Di lain pihak Pek Ban-kiam menjadi gusar ketika mendengar Ciok Jing menyebut nama Hong-hwe-san-liong Hong Ban-li. Pikirnya, “Justru Hong-suko telah kehilangan sebelah lengannya gara-gara perbuatan putramu yang durhaka itu, sekarang kau masih coba-coba menyebut namanya dan ingin bertanding dengan dia?”

Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi sebenarnya tidak boleh lena sedikit pun, apalagi memencarkan pikirannya. Memangnya Pek Ban-kiam sudah terdesak, dalam gusarnya itu gerak pedangnya menjadi lambat, saat itu ia sedang menyerang, tapi Ciok Jing sempat menangkisnya dan segera dapat dilihatnya pula lubang kelemahan Ban-kiam itu, ia kerahkan tenaga dalam ke batang pedang dan sekuatnya menekan pedang lawan. Insaf keadaan yang berbahaya itu cepat Ban-kiam hendak menggeser ke samping, namun lubang kelemahan yang hanya terlintas dalam sekejap saja itu sudah digunakan oleh Bin Ju dengan baik, tahu-tahu ujung pedangnya sudah menyambar tiba dan tepat menjurus ke dada Pek Ban-kiam.

Ban-kiam tahu serangan ini tak bisa dielakkan lagi dan pasti akan menembus dadanya, maka ia pejamkan mata dan terima nasib.

Tak terduga ujung pedang Bin Ju hanya ditujukan kira-kira belasan senti berada di depan dadanya, lalu ditariknya kembali segera. Berbareng mereka suami-istri lantas melompat mundur, mereka menyimpan kembali pedang masing-masing dan berdiri tegak tanpa bicara.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar