Pendekar Hina Kelana Jilid 111-115

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid Jilid 111-115 Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng,
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng, namun kemudian mereka juga melihat pemuda itu sedang duduk santai di bangkunya sambil berkipas-kipas seperti tidak pernah pergi ke mana-mana. Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Mu Gaofeng menggertak kudanya agar segera berlari.

Namun, para pesilat papan atas seperti Linghu Chong, Ren Yingying, dan Yu Canghai dengan jelas dapat melihat Lin Pingzhi telah menjulurkan tangannya mencolok dua kali ke arah kuda Mu Gaofeng. Tentu ia telah melakukan sesuatu terhadap hewan kendaraan si bungkuk itu.

Benar juga, baru saja Mu Gaofeng melarikan kudanya beberapa langkah, tiba-tiba hewan tunggangannya itu menubruk tiang gubuk. Karena tumbukan tersebut cukup keras dan sangat mendadak, setengah gubuk pun menjadi ambruk. Dengan cepat Yu Canghai melompat keluar, sementara kepala Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan beberapa orang lainnya teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Zheng E membersihkan kepala Linghu Chong, sementara Lin Pingzhi tidak peduli dan tetap memandang tajam ke arah Mu Gaofeng tanpa berkata sedikit pun.

Sejenak kemudian Mu Gaofeng tampak bimbang, lalu ia melompat turun dari kudanya dan melepaskan tali kendali. Kudanya itu lantas berlari sendiri ke depan, tapi segera menubruk sebatang pohon, kemudian meringkik panjang dan roboh di tanah dengan kepala berlumuran darah. Begitu aneh kelakuan hewan malang tersebut, ternyata kedua matanya sudah buta karena dicolok Lin Pingzhi dengan kecepatan luar biasa tadi.

Perlahan-lahan Lin Pingzhi melipat kipasnya dan membersihkan ilalang kering yang berserakan di bahunya, lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda picak, sungguh berbahaya.”

Mu Gaofeng bergelak tawa dan berkata, “Sombong benar kau bocah! Ternyata kepandaianmu boleh juga. Yu Pendek bilang kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, coba kau tunjukkan padaku.” Meskipun kudanya dibuat buta, tetapi ia tidak gusar, sebaliknya justru tertawa terbahak-bahak. Sungguh harus diakui kehebatan orang bungkuk ini dalam mengendalikan amarah.

“Ya, aku memang hendak memperlihatkannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi. “Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu tidak lebih rendah daripada Yu Canghai itu.”

Mu Gaofeng termangu-mangu. Sungguh tak terduga olehnya bahwa pemuda berpenampilan mewah ini ternyata putra Lin Zhennan. Diam-diam ia pun menimbang, “Bocah ini berani terang-terangan menantang diriku, tentu ada sesuatu yang ia andalkan. Serikat Pedang Lima Gunung sekarang telah digabung menjadi satu. Kawanan biksuni dari Perguruan Henshan ini sudah pasti menjadi bala bantuannya. Hm, Nona Yue adalah istri bocah ini. Selama perempuan itu ada di tanganku, dia bisa apa?”

Segera tangannya berbalik untuk mencengkeram ke arah Yue Lingshan. Tak disangka, cengkeramannya itu hanya mengenai udara kosong, bahkan kemudian ia merasa ada angin menderu menyambar dari belakang. Sepertinya ada pedang seseorang telah menebas ke arahnya. Dengan cekatan, Mu Gaofeng segera mengelak ke samping. Ternyata si penyerang itu tidak lain adalah Yue Lingshan sendiri.

Rupanya Ren Yingying diam-diam telah memotong tali pengikat Yue Lingshan dan membuka totokan pada tubuhnya, lalu memberikan sebilah pedang pula. Yue Lingshan pun menggunakan pedang itu untuk menyerang Mu Gaofeng. Akan tetapi, karena tubuhnya masih kesemutan akibat tertotok cukup lama, juga karena lukanya di pundak masih terasa sakit, maka ia tidak melancarkan serangan kedua meskipun dalam hati merasa sangat gemas.

Terdengar Lin Pingzhi mendengus, “Huh, sebagai tokoh persilatan yang ternama, perbuatanmu sungguh tidak tahu malu. Sekarang jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menyembah tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali pula. Dengan demikian akan kuberi kau kesempatan hidup setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencarimu lagi untuk menagih nyawamu, bagaimana?”

Kembali Mu Gaofeng tertawa, “Hahaha, dasar bocah kurang ajar! Dulu di rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan kau menyamar sebagai pemuda bungkuk dan menyembah tiga kali kepadaku, serta memanggilku ‘kakek’. Kau juga memohon untuk menjadi muridku. Namun, karena aku tidak berminat, maka kau mengabdi pada si tua Yue dan menjadi menantunya pula, bukan begitu?”

Lin Pingzhi diam tidak menjawab. Matanya berkilat-kilat penuh amarah, namun bibirnya tampak tersenyum. Ia kemudian melipat kembali kipasnya dan kemudian melangkah ke arah Mu Gaofeng. Sambil berjalan tangan kanannya mengibas membersihkan rumput kering yang mengotori bajunya. Begitu bergerak seketika bau harum semakin semerbak, menyengat tajam.

Tiba-tiba terdengar dua jeritan ngeri. Dua orang murid Qingcheng tampak pucat pasi. Mereka tidak lain adalah Yu Renhao dan Ji Rentong yang sekejap kemudian roboh dengan dada bersimbah darah. Keadaan begitu tegang. Orang-orang yang lain tanpa sadar ikut menjerit karena terkejut. Jelas-jelas mereka melihat Lin Pingzhi berjalan tenang ke arah Mu Gaofeng. Namun, entah bagaimana ia bisa mencabut pedang dan membunuh dua lawan sekaligus, kemudian menyarungkan kembali pedangnya itu dalam beberapa detik saja.

Boleh dikata hanya Linghu Chong, Yu Canghai, dan Ren Yingying saja yang bisa melihat berkelebatnya pedang Lin Pingzhi tadi, sementara yang lain hanya melihat seberkas cahaya saja. Jangankan melihatnya menyerang, bahkan melihat bagaimana ia mencabut pedang saja mereka tidak mampu. Kontan orang-orang itu semakin kagum sekaligus ngeri pula.

Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, “Dahulu untuk menghadapi Tian Boguang saja aku sudah merasa kesulitan. Baru setelah mempelajari Sembilan Jurus Pedang Dugu, aku dapat mengimbangi kecepatan golok Tian Boguang dengan kecepatan mataku. Namun, untuk menghadapi kecepatan Lin Pingzhi ini, mungkin Tian Boguang hanya sanggup bertahan tiga jurus saja. Lantas, bagaimana denganku? Berapa jurus aku sanggup bertahan menghadapi kecepatan pedang Lin Pingzhi itu?” Berpikir demikian membuat keringat dingin membasahi tangannya.

Tampak Mu Gaofeng mencabut pedangnya yang berbentuk melengkung. Sungguh menarik, seorang bungkuk bersenjata pedang bengkok. Menghadapi Lin Pingzhi yang semakin mendekat itu, Mu Gaofeng pun menunduk rendah. Dasar tubuhnya bulat dan bungkuk, kini mukanya sampai-sampai hampir menyentuh tanah. Tiba-tiba ia meraung seperti serigala, lantas menyeruduk ke depan. Pedangnya yang bengkok itu kemudian menyambar ke pinggang Lin Pingzhi.

Cepat sekali Lin Pingzhi melolos pedangnya dan kemudian menusuk ke arah dada musuh. Serangannya lebih belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasaran. Kembali Mu Gaofeng meraung, tubuhnya lantas melompat ke arah lain. Ternyata bajunya sudah berlubang di bagian dada sehingga terlihat bulu dadanya yang lebat.

Serangan Lin Pingzhi itu kalau agak maju dua-tiga senti lagi, dada Mu Gaofeng pasti sudah berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan tercengang melihatnya.

Meskipun baru lolos dari maut, Mu Gaofeng tetap saja ganas dan sedikit pun tidak gentar. Berulang-ulang ia meraung seperti serigala dan kembali menubruk maju. Kembali Lin Pingzhi melancarkan tiga serangan kilat, disusul terdengar suara senjata beradu cukup nyaring. Rupanya serangan-serangan ini dapat ditangkis oleh si bungkuk.

Lin Pingzhi tertawa dingin. Pedangnya semakin cepat bergerak. Berkali-kali Mu Gaofeng terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah. Pedangnya yang bengkok itu diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud seperti jaringan sinar perak.

Setiap kali pedang Lin Pingzhi menusuk masuk ke dalam jaringan sinar pedang itu, dan terkadang membentur pedang lawan, seketika tangannya terasa kesemutan. Jelas tenaga dalam si bungkuk jauh lebih kuat dibanding dirinya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedangnya akan tergetar lepas. Karena itu Lin Pingzhi tidak berani gegabah lagi. Ia berusaha mengincar celah kelemahan musuh untuk kemudian melancarkan serangan maut.

Mu Gaofeng sendiri tidak peduli dengan serangan-serangan musuhnya. Ia hanya memusatkan perhatian untuk memutar pedang bengkok di tangan sekencang-kencangnya. Semua anggota tubuhnya terlindungi oleh jaringan sinar pedang yang rapat tersebut dan sedikit pun tidak memperlihatkan adanya lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Lin Pingzhi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya justru menempatkan Lin Pingzhi pada posisi yang menguntungkan. Sekalipun ia belum dapat menjatuhkan lawan, namun Mu Gaofeng sendiri jelas tidak mungkin melakukan serangan.

Linghu Chong dan yang lain dapat menilai, asalkan sedikit saja Mu Gaofeng bermaksud menyerang, tentu jaringan sinar pedangnya akan terbuka dan itu berarti peluang bagi Lin Pingzhi untuk melakukan serangan kilat. Jika hal itu terjadi, maka sukar bagi Mu Gaofeng untuk dapat menangkisnya.

Pertahanan rapat Mu Gaofeng dengan cara memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya sangat menguras banyak tenaga dalam. Karena hanya dengan kekuatan penuh jaringan sinar pedang dapat digunakan sebagai perlindungan tubuh bagai air terjun yang mengucur deras tanpa henti. Namun, sekuat apa pun tenaga dalam seorang pesilat, pasti akan habis juga jika terus-menerus dikerahkan seperti itu.

Di tengah jaringan sinar pedangnya yang rapat itu Mu Gaofeng masih juga meraung-raung tanpa berhenti, membuatnya terlihat semakin ganas. Pedangnya menebas berputar di atas dan di bawah tubuh. Beberapa kali Lin Pingzhi bermaksud membobol jaringan sinar pedang itu, tapi selalu saja tertangkis oleh pedang lawan yang bengkok tersebut.

Sekian lamanya Yu Canghai mengikuti pertarungan ini sampai akhirnya ia dapat melihat jaringan sinar pedang si bungkuk mulai menipis, pertanda Mu Gaofeng sudah mulai kehabisan tenaga dalam. Tanpa pikir lagi, ia pun bersuit nyaring dan menerjang maju. Tiga kali ia melancarkan serangan dengan cepat ke arah titik-titik mematikan pada punggung Lin Pingzhi. Segera Lin Pingzhi memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang. Pada saat itulah Mu Gaofeng mengayunkan pedangnya untuk menebas kaki lawan.

Kalau menurut tatakrama dunia persilatan, dua tokoh angkatan tua seperti Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh ini suatu perbuatan yang sangat memalukan. Namun, orang-orang Perguruan Henshan telah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Lin Pingzhi dalam membunuh murid-murid Perguruan Qingcheng, sehingga melihat pertempuran dua lawan satu itu mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Justru kalau kedua tokoh tua itu tidak bergabung, bagaimana mungkin mereka dapat melayani ilmu pedang Lin Pingzhi yang sangat hebat itu?

Setelah Yu Canghai turun tangan, Mu Gaofeng pun mengubah gerak pedangnya untuk bertahan dan menyerang pula. Melihat itu, Lin Pingzhi justru menjadi senang. Setelah berlalu sekitar dua puluh jurus, tiba-tiba kipas di tangan kirinya ikut bergerak. Gagang kipas yang berwarna keemasan itu berbalik lantas menusuk ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas tersebut menonjol keluar sebatang jarum tajam dan kemudian tepat menusuk titik Huantiao di paha kanan Mu Gaofeng.

Mu Gaofeng terkejut. Segera pedangnya menebas, namun tetap kalah cepat dibanding gerakan Lin Pingzhi. Akibat tusukan jarum itu kakinya kini terasa kesemutan. Ia tidak berani lagi sembarangan bergerak, hanya pedangnya yang masih saja berputar kencang melindungi tubuh. Lambat laun kedua kaki si bungkuk terasa lemas. Tak kuasa lagi menahan diri, akhirnya ia pun jatuh bertekuk lutut.

“Hahaha. Akhirnya baru sekarang kau mau menyembah padaku,” sahut Lin Pingzhi bergelak tawa sambil menangkis serangan Yu Canghai, kemudian menyambung, “namun sudah terlambat!” Sambil berkata demikian ia kembali menangkis serangan musuh dan seketika balas menyerang satu kali.

Meski kedua kaki Mu Gaofeng tidak bisa digerakkan lagi, namun pedang bengkoknya masih tetap diayun-ayunkan tanpa henti. Rupanya ia sadar bahwa kekalahannya sudah dapat dipastikan. Maka, setiap jurus serangannya kini dilancarkan secara nekat dan ganas. Jika tadi ia hanya bertahan tanpa menyerang sedikit pun, sekarang ia ganti menyerang tanpa bertahan sedikit pun. Ia sudah tidak memikirkan keselamatan jiwanya lagi. Jika memungkinkan, ia siap gugur bersama musuh.

Yu Canghai sendiri juga menyadari keadaan gawat tersebut. Jika ia tidak bisa segera mengalahkan Lin Pingzhi, maka begitu Mu Gaofeng roboh, tentu dirinya akan tertinggal sendiri dan menjadi sasaran empuk kehebatan pedang lawan. Maka, pendeta pendek itu pun semakin gencar dalam melancarkan serangan. Namun, tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi tertawa panjang. Sekejap kemudian Yu Canghai merasa pandangannya menjadi gelap, matanya tidak bisa melihat apa-apa lagi. Menyusul kemudian kedua bahunya juga terasa dingin. Ternyata kedua lengannya telah terpotong dan berpisah dari tubuhnya.

Terdengar Lin Pingzhi tertawa menyeramkan, “Hahahaha. Aku takkan membunuhmu. Kau cukup kubuat buta dan tidak punya lengan saja. Biar mulai sekarang kau mengembara di dunia sebatang kara. Murid-muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh semua, sehingga di dunia ini hanya tinggal musuh-musuhmu saja yang tersisa.”

Yu Canghai merasakan kedua bahunya yang buntung itu sungguh sakit luar biasa. Baginya, perlakuan Lin Pingzhi ini jauh lebih kejam daripada membuatnya mati dalam sekali tusuk. Dalam keadaan cacat seperti ini tiada artinya lagi hidup di dunia, dan tentu hanya akan menjadi bahan olok-olok kaum persilatan lainnya. Karena berpikir demikian, ia menjadi kalap. Dengan memperhatikan arah suara Lin Pingzhi, ia pun menyeruduk musuhnya itu.

Lin Pingzhi terbahak-bahak sambil menghindar ke samping. Tak disangka, karena terlalu senang ia menjadi lengah. Tanpa sadar gerakannya itu justru mendekati tempat Mu Gaofeng bertekuk lutut. Tentu saja Mu Gaofeng tidak membuang-buang kesempatan emas tersebut. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga, namun Lin Pingzhi masih dapat menangkis dan membuat pedang bengkoknya itu terlempar ke udara. Akan tetapi, Mu Gaofeng semakin nekat. Karena jaraknya yang cukup dekat, ia pun berhasil memeluk kedua kaki Lin Pingzhi sekencang-kencangnya.

Lin Pingzhi sangat terkejut dibuatnya. Tampak murid-murid Perguruan Qingcheng serentak memburu maju pula. Ia berusaha meronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pelukan Mu Gaofeng. Namun, kedua lengan si bungkuk itu terasa sangat kuat bagaikan jepitan baja. Tanpa pikir panjang, Lin Pingzhi pun menusuk tepat di punggung Mu Gaofeng.

Tiba-tiba saja dari punggung si bungkuk muncul cairan hitam menyembur keluar. Baunya sungguh bacin memuakkan. Lin Pingzhi yang sangat terkejut menjejakkan kedua kakinya hendak melompat untuk menghindar. Akan tetapi, ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuat tenaga oleh Mu Gaofeng. Maka, tanpa ampun lagi mukanya pun basah tersiram oleh cairan hitam tersebut. Sungguh perih rasanya tidak terbayangkan, sampai-sampai pemuda itu menjerit kesakitan.

Rupanya cairan hitam berbau bacin itu mengandung racun yang sangat menyakitkan. Sungguh tak disangka, Mu Gaofeng ternyata menyimpan kantong berisi air beracun pada punggungnya yang bungkuk sebagai senjata rahasia. Lin Pingzhi mengusap wajahnya yang kesakitan itu dengan tangan kiri. Kedua matanya pun sukar dibuka lagi. Hanya tangan kanannya yang berulang-ulang menusuk tubuh Mu Gaofeng. Tusukan-tusukan Lin Pingzhi ini sangat cepat luar biasa. Mu Gaofeng sama sekali tidak sempat untuk menghindar, karena pada dasarnya ia memang bertekad mati bersama musuh. Maka, ia pun semakin kencang memeluk kedua kaki Lin Pingzhi.

Pada saat itulah, Yu Canghai dapat menemukan di mana lawan berada. Dengan mengikuti arah suara Lin Pingzhi yang menjerit kesakitan, ia pun menubruk maju. Karena kedua lengannya sudah buntung, maka ia menggunakan mulut untuk menyerang, yaitu menggigit tepat pada pipi kanan Lin Pingzhi. Ketiga orang itu bergumul dalam keadaan kalap. Lambat laun ketiganya mulai kehilangan kesadaran. Serentak murid-murid Perguruan Qingcheng memburu maju untuk ikut menyerang Lin Pingzhi.

Pertempuran sengit ini dapat diikuti Linghu Chong dengan jelas dari dalam kereta. Ia merasa prihatin menyaksikan keadaan mereka bertiga yang mengenaskan itu. Namun, begitu melihat murid-murid Qingcheng telah memburu maju, tanpa pikir panjang ia pun berseru, “Yingying, tolong kau bantu Adik Lin!”

Tanpa menjawab Ren Yingying langsung menerjang secepat kilat. Dengan pedang pendek di tangan ia berhasil memukul mundur murid-murid Perguruan Qingcheng tersebut.

Terdengar suara raungan Mu Gaofeng sudah mulai reda, sementara pedang Lin Pingzhi masih terus menikam ke punggung si bungkuk lagi dan lagi. Sekujur badan Yu Canghai sendiri penuh berlumuran darah namun ia tetap menggigit pipi Lin Pingzhi dan tidak mau melepaskannya.

Tidak lama kemudian, Lin Pingzhi mengerahkan segenap tenaga di tangan kiri untuk mendorong tubuh Yu Canghai hingga terbanting jauh di tanah. Namun bersama itu pula, ia juga tampak menjerit kesakitan. Rupanya pipi kanannya telah berlubang dengan darah bercucuran. Jelas sepotong daging pipinya telah tergigit mentah-mentah oleh Yu Canghai.

Mu Gaofeng sudah mati sejak tadi, namun ia tetap memeluk erat kedua kaki Lin Pingzhi. Sambil meraba-raba, Lin Pingzhi lantas mengayunkan pedangnya untuk memotong kedua lengan si bungkuk. Dengan cara demikian barulah ia berhasil melepaskan diri.

Melihat keadaan Lin Pingzhi yang mengerikan itu, tanpa sadar Ren Yingying melangkah mundur. Sementara itu, murid-murid Perguruan Qingcheng beramai-ramai mendekati Yu Canghai untuk memberi pertolongan tanpa menghiraukan musuh lagi. Namun, kemudian terdengar suara mereka yang menangis sambil berteriak-teriak, “Guru, Guru, jangan tinggalkan kami!”

“Guru sudah meninggal! Guru sudah meninggal!”

Lin Pingzhi tertawa terbahak-bahak dan berteriak menyeramkan, “Hahaha. Sakit hatiku telah terbalas!”

Murid-murid Perguruan Henshan bergidik ngeri melihat keadaan pemuda itu. Wajah mereka pucat pasi dengan mulut terdiam tanpa suara sedikit pun. Sementara itu perlahan-lahan Yue Lingshan mendekati suaminya dan berkata, “Adik Ping, aku mengucapkan selamat atas keberhasilanmu membalas dendam.”

Namun, Lin Pingzhi masih saja berteriak-teriak seperti orang gila, “Sakit hatiku sudah terbalas, sakit hatiku sudah terbalas!”

Melihat sepasang mata suaminya masih terpejam, dengan suara lembut Yue Lingshan bertanya, “Bagaimana dengan kedua matamu? Air beracun ini harus dicuci.”

Lin Pingzhi langsung terdiam dan tampak tertegun. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak jatuh. Segera Yue Lingshan memapah dan membawanya ke gubuk selangkah demi selangkah. Di sana ia mengambil sepanci air jernih untuk kemudian diguyurkannya ke atas kepala Lin Pingzhi. Merasa sakit dan perih luar biasa, Lin Pingzhi pun menjerit keras, sampai-sampai para murid Perguruan Qingcheng terkejut mendengar jeritan tersebut dan tanpa sadar mereka melangkah mundur.

Linghu Chong berkata, “Adik Kecil, kau ambillah obat ini untuk Adik Lin, dan bawa dia ke dalam kereta kami untuk beristirahat.”

“Terima ... terima kasih banyak,” jawab Yue Lingshan.

“Tidak perlu, tidak perlu!” sahut Lin Pingzhi tiba-tiba. “Orang bermarga Lin mau mati atau hidup ada urusan apa dengan dia?”

Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, “Apa salahku padamu? Mengapa kau begitu benci padaku?”

Dengan suara lembut Yue Lingshan berusaha membujuk sang suami, “Obat luka Perguruan Henshan terkenal sangat mujarab. Kalau .…”

“Kalau apa?” bentak Lin Pingzhi gusar.

Yue Lingshan menghela napas. Kembali ia mengguyur perlahan muka Lin Pingzhi. Kali ini Lin Pingzhi hanya menyeringai untuk menahan sakit. Ia tidak menjerit lagi, tapi segera berkata, “Huh, kau selalu menyebut-nyebut kebaikannya. Dia memang sangat memperhatikanmu. Lantas, kenapa kau tidak ikut saja dengannya? Untuk apa kau masih mengurusi aku?”

Kata-kata Lin Pingzhi ini benar-benar mengejutkan murid-murid Perguruan Henshan sehingga mereka saling pandang dengan mulut ternganga. Yihe yang paling berangasan segera memaki dengan suara keras, “Kau ... kau benar-benar tidak tahu malu!”

Lekas-lekas Yiqing menarik lengan baju Yihe, “Kakak, jangan melayaninya. Dia hanya sedang kesakitan. Perasaannya sedang terganggu.”

“Cih!” seru Yihe. “Aku tidak terima ....”

Sementara itu, Yue Lingshan mengeluarkan saputangan untuk mengusap luka di pipi Lin Pingzhi. Di luar dugaan, tangan kanan Lin Pingzhi malah mendorong dengan kuat, sehingga Yue Lingshan yang tidak berjaga-jaga itu pun jatuh tersungkur.

Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Kenapa kau ….” tapi segera teringat olehnya bahwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sudah menikah. Tidak pantas orang luar ikut campur pertengkaran dua orang suami-istri, apalagi kata-kata Lin Pingzhi tadi jelas terkesan cemburu kepadanya. Perihal dirinya yang memendam cinta kepada sang adik kecil tentu diketahui dengan jelas oleh Lin Pingzhi. Maka, ia pun langsung terdiam tanpa suara, sementara tubuhnya gemetar menahan amarah.

Lin Pingzhi kemudian tertawa dan menanggapi perkataan Yihe tadi, “Hm, kau bilang aku tidak tahu malu? Sesungguhnya siapa yang tidak tahu malu?” Kemudian ia menunjuk keluar dan melanjutkan, “Si pendek Yu dan si bungkuk Mu itu yang tidak tahu malu. Lantaran ingin menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, dengan segala cara mereka berusaha mendesak dan mencelakai ayah-ibuku. Meski cara mereka cukup keji namun mereka masih terhitung bersikap jantan. Tidak seperti ... tidak seperti ....” ia kemudian menunjuk ke arah Yue Lingshan, dan melanjutkan, “Tidak seperti ayahmu yang bernama Yue Buqun alias Si Pedang Budiman Munafik itu. Dia telah menggunakan siasat yang rendah dan licik untuk merebut kitab pusaka Keluarga Lin kami.”

Saat itu Yue Lingshan sedang merangkak bangun. Begitu mendengar ucapan Lin Pingzhi tadi, badannya langsung gemetar dan kembali jatuh terduduk. Dengan terputus-putus ia menjawab, “Mana … mana mungkin begitu?”

“Huh, dasar perempuan hina!” ejek Lin Pingzhi. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku. Nona Yue putri ketua Perguruan Huashan sudi menikah dengan anak sebatang kara yang tidak punya tempat tinggal lagi. Untuk apa tujuannya kalau bukan demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami? Dan sekarang setelah kitab pusaka itu didapatkan, untuk apalagi kau masih mengurusi aku?”

Yue Lingshan menangis keras dengan perasaan pilu. Ia meratap, “Kau … kau jangan memfitnah orang yang tak bersalah. Jika benar seperti itu tujuanku sebagaimana yang kau tuduhkan, biarlah aku di… dikutuk dan mati tak terkubur.”

“Huh, dengan licik kalian memasang perangkap. Semula aku masih tidak menyadarinya,” lanjut Lin Pingzhi. “Tapi sekarang setelah kedua mataku buta, tiba-tiba saja hatiku dapat melihat dengan jelas. Coba katakan, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud dan tujuan tertentu, kenapa … kenapa ....”

Yue Lingshan bangkit dan berjalan perlahan-lahan sambil berkata, “Sudahlah, jangan menuruti pikiran liarmu. Sedikit pun perasaanku kepadamu tidak berubah dari dulu hingga sekarang.”

“Huh!” sahut Lin Pingzhi hanya mendengus.

Yue Lingshan kembali berkata, “Marilah kita pulang ke Gunung Huashan untuk merawat lukamu. Entah matamu akan sembuh atau tidak, sikapku kepadamu tak akan pernah berubah. Bila aku, Yue Lingshan, menyimpan maksud buruk, biarlah kematianku lebih mengenaskan daripada Yu Canghai ini.”

Lin Pingzhi menjawab, “Aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan atas diriku. Kau tidak perlu bicara manis lagi di depanku.”

Yue Lingshan tidak menjawab. Ia lantas berkata kepada Ren Yingying, “Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu kereta kalian?”

“Tentu saja boleh,” jawab Ren Yingying. “Apakah perlu satu-dua kakak dari Perguruan Henshan ikut mengawal perjalanan kalian?”

“Tidak … tidak usah,” jawab Yue Lingshan dengan tersedu-sedu. “Terima kasih banyak.”

Ren Yingying lantas menarik sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Yue Lingshan.

“Mari kita naik ke atas kereta ini!” ujar Yue Lingshan sambil perlahan-lahan memapah bahu Lin Pingzhi.

Lin Pingzhi terlihat malas. Namun, kedua matanya tidak bisa melihat lagi, setiap langkah perjalanannya akan menjadi susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun naik juga ke atas kereta itu.

Segera Yue Lingshan melompat dan hinggap di tempat duduk kusir. Setelah mengangguk kepada Ren Yingying, ia pun melecutkan cambuk dan menjalankan kereta itu ke arah barat. Sedikit pun ia tidak melirik ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri terus memandang tanpa berkedip mengikuti kepergian kereta itu yang semakin lama semakin jauh. Ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata pun berlinang-linang di kelopak matanya. Dalam hati ia berpikir, “Kedua mata Adik Lin sudah buta, Adik Kecil juga sedang terluka. Dalam keadaan begitu bagaimana kalau mereka sampai mendapat gangguan di tengah jalan? Jika murid-murid Perguruan Qingcheng mengejar mereka untuk balas dendam, apakah mereka mampu melawan?”

Dilihatnya murid-murid Qingcheng telah membungkus jenazah Yu Canghai dan mengangkutnya di atas punggung kuda. Mereka lantas berangkat menuju arah barat daya. Meskipun arah yang dituju berlainan dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, namun siapa yang menjamin kalau mereka tidak akan berputar haluan di tengah jalan dan kemudian mengejar pasangan itu?

Linghu Chong mencoba menyelami pertengkaran Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia merasa dalam hubungan suami-istri itu tentu terdapat berbagai rahasia yang sulit diketahui orang luar. Yang jelas, sejak menikah hubungan mereka tidak lagi mesra seperti dulu. Sang adik kecil masih muda belia dan disayang oleh kedua orang tuanya bagaikan mutiara, juga para saudara seperguruan sangat hormat dan mengasihinya. Namun, kini ia harus mendapat penghinaan lahir batin dari suami sendiri, membuat perasaan Linghu Chong menjadi pilu dan air matanya pun bercucuran.

Kini hanya tinggal rombongan Perguruan Henshan saja di tempat itu. Mereka lalu melanjutkan perjalanan pulang. Setelah belasan li mereka pun menginap di sebuah kuil tua. Linghu Chong sendiri tidak bisa tidur nyenyak karena beberapa kali terbangun oleh mimpi buruk. Lewat tengah malam, dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba ia mendengar suara lembut berbisik di telinganya, “Kakak Chong! Kakak Chong!”

Linghu Chong pun terbangun. Ternyata itu adalah suara Ren Yingying yang memanggilnya dari jauh. “Mari keluar, ada yang ingin kubicarakan.” Yang digunakan Ren Yingying adalah ilmu menyalurkan suara seperti yang pernah ia lakukan terhadap Enam Dewa Lembah Persik di Puncak Songshan tempo hari. Meskipun ia berada jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas masuk menyusup ke dalam telinga Linghu Chong.

Segera Linghu Chong bangkit dan keluar kuil. Dilihatnya Ren Yingying sedang duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu termenung-menung. Linghu Chong mendekati dan duduk di sebelahnya. Suasana malam itu begitu sunyi. Di sekitar mereka tiada terdengar suara sedikit pun.

Selang agak lama barulah Ren Yingying berkata, “Kau pasti mengkhawatirkan adik kecilmu, bukan?”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Banyak persoalan yang membuatku sukar mengerti.”

“Kau khawatir dia akan diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” sambung Ren Yingying.

Linghu Chong menghela napas, lalu menjawab, “Itu urusan suami-istri, orang luar mana boleh ikut campur?”

“Bukankah kau juga khawatir kalau murid-murid Qingcheng akan mengejar mereka untuk balas dendam?” tanya Ren Yingying.

“Orang-orang Qingcheng tentu sakit hati atas kematian guru mereka. Apalagi melihat Adik Lin dan Adik Kecil sedang terluka, tentu wajar kalau mereka mengambil kesempatan untuk balas dendam. Rasanya bukan sesuatu yang aneh,” jawab Linghu Chong lirih.

“Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?” desak Ren Yingying.

Kembali Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Dari nada bicara Adik Lin tadi, sepertinya ia agak cemburu kepadaku. Meski aku datang membantu mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membuat retak hubungan rumah tangga mereka.”

“Itu hanya salah satu alasanmu,” ujar Ren Yingying. “Tapi sebenarnya kau khawatir akan membuatku merasa tidak senang, bukan?”

Linghu Chong mengangguk, kemudian memegang tangan kiri Ren Yingying dengan erat. Telapak tangan gadis itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Yingying, di dunia ini hanya kau seorang satu-satunya yang kumiliki. Jika di antara kita masih timbul rasa curiga, lalu apa artinya semua ini?”

Perlahan-lahan Ren Yingying meletakkan kepalanya pada bahu Linghu Chong, kemudian berkata, “Jika demikian perasaanmu, sungguh tidak baik kalau kita masih saling curiga. Jangan sampai terlambat. Kita harus menyusul mereka secepatnya. Jangan sampai kau menyesal seumur hidup hanya karena ingin menghindari rasa curiga di antara kita.”

Mendengar perkataan “menyesal seumur hidup”, seketika Linghu Chong terkesiap dan seakan-akan terbayang dalam benaknya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sedang dikepung oleh murid-murid Perguruan Qingcheng dengan senjata terhunus. Tanpa terasa badannya pun gemetar memikirkan hal ini.

Terdengar Ren Yingying berkata, “Akan kubangunkan Kakak Yihe dan Kakak Yiqing supaya memimpin rombongan pulang ke Henshan lebih dulu. Kita berdua akan mengawal perjalanan adik kecilmu secara diam-diam, baru kemudian menyusul ke Biara Awan Putih.”

Setelah bangun, Yihe dan Yiqing segera mendatangi Linghu Chong. Mereka merasa khawatir melihat keadaan sang ketua yang belum benar-benar sembuh tapi ingin pergi menolong orang. Namun, karena Linghu Chong sudah bertekad bulat, terpaksa mereka tidak berani banyak membantah. Keduanya pun menyediakan obat-obat luka dalam sebuah bungkusan besar dan menaruhnya di dalam kereta. Ren Yingying sendiri hanya diam mematung dan sama sekali tidak berani memandang ketika Linghu Chong berpamitan kepada dua murid tertua itu. Ia membayangkan Yihe dan Yiqing pasti menertawakan kepergiannya bersama Linghu Chong malam-malam begini dalam satu kereta. Setelah cukup jauh meninggalkan kuil tua tersebut, barulah gadis itu menghembuskan napas panjang dengan wajah masih bersemu merah.

Ren Yingying ternyata mampu membedakan arah dengan baik. Begitu menemukan sebuah jalan raya menuju ke arah barat laut, ia langsung memacu kereta sekencang-kencangnya menyusuri jalur itu. Ia paham bahwa jalan raya ini adalah satu-satunya jalur menuju Gunung Huashan dan tidak mungkin salah arah. Kereta yang mereka tumpangi ditarik oleh seekor keledai yang kuat, sehingga ada kemungkinan besar bisa menyusul kereta Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriat-keriut roda kereta saja.

Linghu Chong termangu-mangu menyaksikan Ren Yingying mengemudikan kereta. Ia merenung, “Demi diriku, ia rela melakukan segalanya. Jelas-jelas ia sadar bahwa aku sedang mengkhawatirkan Adik Kecil, tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, malah mengajakku berangkat menyusul. Ia dapat memahami perasaanku dengan baik. Entah dalam kehidupan sebelumnya ada hubungan apa di antara kami berdua? Wahai Linghu Chong, betapa beruntung dan bahagianya dirimu mendapatkan istri secantik ini dan juga berbudi luhur seperti ini.”

Ren Yingying melarikan kereta keledai itu dengan sangat cepat. Beberapa li kemudian tiba-tiba ia melambat dan berkata, “Kita berusaha melindungi adik kecilmu secara diam-diam. Jika kita terpaksa turun tangan, maka sebaiknya mereka jangan sampai mengenal kita. Maka, yang paling baik adalah kita menyamar saja.”

“Benar, kau bisa menyamar sebagai si gemuk berewok lagi,” sahut Linghu Chong.

“Tidak. Waktu di Puncak Songshan tempo hari semua orang melihatku memapahmu. Penyamaranku yang itu tentu sudah diketahui oleh adik kecilmu,” jawab Ren Yingying.

“Lantas, bagaimana kita harus menyamar?” tanya Linghu Chong.

“Kau tunggu sebentar di sini,” ujar Ren Yingying. Kemudian cambuknya menunjuk sebuah rumah petani di depan sana dan ia pun berkata, “Aku akan mencuri pakaian di rumah itu, kemudian kita menyamar sebagai pasangan ... eh, dua orang petani kakak beradik.” Sebenarnya ia hendak mengatakan “pasangan petani suami-istri” namun hatinya merasa kurang pantas sehingga segera mencari kata-kata yang lain.

Linghu Chong yang cerdik tentu saja mengetahui hal itu. Sebenarnya ia hendak bercanda untuk meledek Ren Yingying namun mengingat gadis itu sangat pemalu, maka ia hanya tersenyum saja. Meski demikian, kebetulan Ren Yingying sedang menoleh dan melihat senyuman itu sehingga wajahnya pun bersemu merah.

“Apanya yang lucu?” sahutnya kemudian.

“Tidak ... tidak ....” jawab Linghu Chong. “Aku hanya berpikir seandainya di rumah itu tidak ada anak perempuan, dan ternyata yang menghuni di sana seorang pemuda dan neneknya, tentu aku harus memanggilmu ‘nenek’ lagi.”

Ren Yingying hanya mencibir kemudian tertawa kecil membayangkan masa-masa awal pertemuan mereka dulu. Tanpa bicara lagi ia pun melompat turun dari kereta dan berlari menuju rumah yang menjadi sasarannya. Dengan mudah ia melompati pagar rumah itu, menyusul kemudian terdengar suara anjing menggonggong sekali namun kemudian tidak terdengar lagi. Sepertinya binatang itu telah dilumpuhkan oleh si nona.

Tidak lama kemudian Ren Yingying telah kembali dengan membawa setumpuk pakaian. Wajahnya terlihat aneh. Seperti tersenyum tapi tidak tersenyum. Gadis itu lalu melompat ke dalam kereta dan tertawa terpingkal-pingkal setelah menaruh bungkusan itu di sampingnya. Linghu Chong penasaran dan memeriksa isi bungkusan itu, yang ternyata berisi pakaian petani suami-istri. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat kalau keduanya adalah pakaian petani tua yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi pakaian si wanita tampak sangat longgar dan bermotif bunga-bunga. Selain mencuri pakaian, Ren Yingying juga sempat mengambil topi petani dan ikat kepala perempuan, serta sebatang pipa cangklong.

Ren Yingying masih saja tertawa sambil berkata, “Hahaha. Kau benar-benar manusia setengah dewa. Tebakanmu memang benar. Di sana tidak ada pakaian anak gadis, yang ada hanya pakaian nenek tua. Tapi ... tapi di sana juga tidak ada pakaian pemuda ....” Entah mengapa ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Jadi, penghuni rumah itu benar-benar pasangan petani tua kakak beradik. Yang laki-laki tidak mau menikah, begitu pula dengan yang wanita. Keduanya tetap melajang sampai usia tujuh puluhan, dan tetap hidup bersama.”

Ren Yingying tersenyum simpul menjawab, “Tidak seperti itu.”

“Jadi mereka bukan kakak beradik? Aneh sekali,” ujar Linghu Chong pura-pura bingung.

Ren Yingying masih saja tertawa dan segera mengambil pakaian perempuan dan mengenakannya di belakang kereta. Kemudian dengan kedua tangan ia mengusapkan debu pada mukanya sendiri. Setelah itu barulah ia kembali ke dalam kereta untuk membantu Linghu Chong mengenakan pakaian penyamarannya.

Jarak mereka berdua kini hanya beberapa senti saja. Napas Ren Yingying terasa berhembus perlahan, membuat hati Linghu Chong berdebar-debar. Sungguh, ia ingin sekali memeluk gadis itu dan menciumnya, namun begitu teringat sifat Ren Yingying yang pemalu dan sangat keras, sedikit pun ia tidak berani memenuhi hasratnya. Kalau sampai membuat si nona marah, tentu akibatnya sangat sukar dibayangkan. Karena itu, ia pun berusaha menahan diri sebisa mungkin.

Ternyata kilatan sinar mata Linghu Chong yang aneh itu dapat diketahui oleh Ren Yingying. Dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan debu sambil berkata, “Anak baik, kalau seperti ini barulah Nenek sayang padamu.”

Linghu Chong memejamkan mata menikmati usapan tangan Ren Yingying yang halus itu. Dadanya terasa hangat dan perasannya begitu nyaman. Sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap wajahnya tanpa berhenti.

Sejenak kemudian Ren Yingying pun berkata, “Selesai sudah. Adik kecilmu tidak akan mengenalimu lagi di tengah malam seperti ini. Tapi awas, kau tidak boleh berbicara.”

“Usapkan debu di leherku juga,” ujar Linghu Chong kemudian.

“Untuk apa? Memangnya siapa yang akan mengenali lehermu?” jawab Ren Yingying. Begitu memahami maksud nakal Linghu Chong, ia pun mengetuk perlahan dahi pemuda itu dan kembali duduk di tempat kusir. Dengan bersuit ia kembali menjalankan kereta. Sepanjang jalan gadis itu tiada henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, membuat Linghu Chong merasa penasaran.

“Memangnya ada kejadian lucu apa di rumah petani tadi?” tanya Linghu Chong kemudian.

“Aku tidak melihat sesuatu yang lucu,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja kedua petani yang tinggal di sana itu adalah suami istri yang sudah tua.”

“O, jadi mereka bukan kakak beradik?” sahut Linghu Chong tersenyum.

“Kau menggodaku. Aku tidak mau bicara lagi,” ujar Ren Yingying.

“Baiklah, baiklah, mereka bukan suami-istri, tapi kakak beradik,” sahut Linghu Chong.

“Berhentilah menggoda,” kata Ren Yingying. “Tadi setelah aku melompati pagar, segera seekor anjing menggonggong kepadaku. Terpaksa aku memukul binatang itu sampai pingsan. Namun, suara gonggongannya terlanjur membuat petani kakek-nenek itu terbangun. Terdengar si nenek berkata, ‘Bapaknya A Mao, coba kau lihat, jangan-jangan ada maling ayam.’ Lalu si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana mungkin ada maling?’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin maling itu meniru caramu dulu. Saat tengah malam kau mengendap-endap ke rumahku sambil membawa sepotong daging untuk menyuap anjingku.’”

“Huh, nenek itu memang brengsek. Secara tidak langsung dia berani menyebutmu sebagai maling ayam,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. Karena sifat Ren Yingying sangat pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa kedua suami-istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka di masa lalu. Dengan demikian Ren Yingying akan terus bercerita. Kalau sedikit saja Linghu Chong menyinggung soal percintaan, tentu gadis itu tidak mau bicara lagi.

Ternyata Ren Yingying justru menjelaskan sambil tertawa, “Maksud nenek itu adalah kejadian sebelum mereka menikah ….” sampai di sini tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan mencambuk keledai agar kereta berjalan lebih cepat.

“Kejadian sebelum mereka menikah?” sahut Linghu Chong menegas. “Pasti kelakuan mereka berdua sangat baik. Sekalipun mereka berduaan di dalam kereta malam-malam, tentu mereka juga tidak berani saling peluk dan berciuman.”

“Huh!” sahut Ren Yingying mendengus, kemudian tidak berbicara lagi.

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Wahai adik manis, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan? Tolong kau kembali bercerita!”

Namun, Ren Yingying tetap saja diam. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai dan keriut roda melaju kencang dengan menimbulkan irama yang enak didengar.

Linghu Chong memandang ke depan. Cahaya bulan tampak menyinari jalan raya yang lurus dan lebar itu. Kabut pun telah turun menyelimuti pepohonan di kanan-kiri jalan. Suasana menjadi remang-remang. Perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut sehingga pemandangan di kejauhan mulai tidak terlihat, bahkan Ren Yingying yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut tipis tersebut.

Saat itu baru permulaan musim semi. Bau harum bunga-bunga hutan sayup-sayup semerbak mewangi membuat keduanya merasa begitu nyaman. Ditambah lagi dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah membuat keduanya sangat bahagia. Sudah lama Linghu Chong tidak minum arak, namun saat ini ia merasa seperti sedang mabuk kepayang.

Ren Yingying tetap mengemudikan kereta tanpa berbicara sedikit pun, namun bibirnya tiada henti-hentinya tersenyum simpul. Rupanya ia sedang teringat pada percakapan petani tua suami istri tadi. Kata si kakek, “Malam itu aku tidak mendapat daging, terpaksa aku mencuri seekor ayam tetangga dan membawanya sebagai umpan anjingmu. Oh ya, siapa nama anjingmu itu?”

Si nenek menjawab, “Namanya Si Belang.”

“Benar, Si Belang,” kata si kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, sehingga ayah-ibumu tidak tahu kedatanganku. Maka, pada malam itu pula jadilah si A Mao kita.”

“Hm, yang kau tahu hanya bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain,” sahut si nenek mengomel. “Kemudian setelah perutku membesar, apa kau tahu kalau aku dipukuli Ayah sampai hampir mampus?”

“Justru lebih baik kalau perutmu membesar,” jawab si kakek. “Kalau tidak, mana mungkin ayahmu sudi menikahkanmu dengan seorang miskin seperti aku ini? Waktu itu aku justru mengharapkan perutmu lekas membesar.”

Mendadak si nenek marah dan memaki, “Setan alas! Ternyata waktu itu kau memang sengaja membuat perutku besar, ya? Mengapa kau tidak bicara terus terang dan baru mengaku sekarang? Aku tidak … tidak dapat mengampunimu.”

“Ah jangan ribut lagi! A Mao sekarang sudah dewasa, sudah punya anak pula. Untuk apa kita ribut?” jawab si kakek.

Khawatir Linghu Chong menunggu terlalu lama, Ren Yingying tidak berani terus mendengarkan. Lekas-lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di atas meja. Petani suami-istri itu sudah tua, juga sedang asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumah mereka telah dimasuki orang.

Teringat percakapan suami-istri tadi wajah Ren Yingying bersemu merah. Untung saat itu malam gelap, kalau tidak, tentu ia akan sangat malu terlihat oleh Linghu Chong. Kini ia tidak lagi mempercepat lari keledainya. Kereta pun berjalan lebih perlahan. Tidak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah danau yang dikelilingi pepohonan rindang. Air danau tampak berkilauan tertimpa cahaya rembulan.

“Kakak Chong, apakah kau tertidur?” Ren Yingying bertanya perlahan.

“Ya, aku sudah tidur, bahkan sedang bermimpi,” jawab Linghu Chong.

“Mimpi apa?” tanya Ren Yingying.

“Aku bermimpi membawa sepotong daging dan mengendap-endap ke tempat tinggalmu di Tebing Kayu Hitam untuk memberi makan anjing ayahmu,” jawab Linghu Chong.

“Huh, dasar orang aneh, mimpinya juga aneh,” ujar Ren Yingying tersenyum.

Kedua muda-mudi itu duduk berdampingan di atas kereta sambil memandangi air danau. Tanpa terasa Linghu Chong mengulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ren Yingying. Tangan gadis itu agak gemetar namun tidak berusaha menghindar.

Linghu Chong berpikir, “Andai kami bisa selamanya seperti ini dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, sekalipun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia ini.”

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba Ren Yingying bertanya.

Linghu Chong pun berterus terang mengatakan apa yang ada di pikirannya itu.

Ren Yingying balas menggenggam erat-erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, sungguh aku merasa sangat bahagia.”

“Demikian pula aku,” sahut Linghu Chong.

“Dulu saat kau memimpin ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, aku sangat bersyukur dan berterima kasih, tetapi rasanya tidak sebahagia malam ini,” kata Ren Yingying. “Kau menyerbu Biara Shaolin untuk menolong diriku karena terdorong oleh rasa setiakawan sesama kaum persilatan, juga karena merasa berhutang budi padaku. Namun kali ini berbeda. Yang kau pikirkan hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada adik kecilmu ….”

Mendengar kata “adik kecilmu”, seketika hati Linghu Chong tergetar dan merasa harus lekas-lekas menyusul Yue Lingshan yang mungkin sedang terancam bahaya itu.

Ren Yingying kembali berkata perlahan, “Baru sekarang aku benar-benar percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam hatimu ternyata kau lebih banyak memikirkan aku daripada adik kecilmu.” Usai berkata demikian ia lantas menarik tali kendali sehingga kereta keledai kembali bergerak ke tengah jalan raya. Begitu cambuk dilecutkan, segera binatang itu berlari lebih cepat menarik kereta.

Setelah lebih dari dua puluh li terlewati, si keledai sudah mulai kelelahan dan memperlambat langkahnya. Begitu melewati dua tikungan kemudian, tampak hamparan ladang jagung yang luas berada di tepi jalan. Di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra hijau yang terbentang di bumi raya.

Ketika memperhatikan dengan seksama, tampak sebuah kereta lain berhenti agak jauh di tepi jalan raya itu.

“Dilihat dari bentuknya, itu seperti kereta yang ditumpangi Adik Lin dan Adik Kecil,” kata Linghu Chong.

“Mari kita mendekatinya pelan-pelan,” ujar Ren Yingying sambil menjalankan keretanya maju dengan perlahan sehingga jaraknya semakin dekat dengan kereta di depan itu.

Tidak lama kemudian, tampak dengan jelas bahwa kereta itu ternyata tidak berhenti, tetapi berjalan dengan sangat lambat. Di samping kereta terlihat seorang laki-laki berjalan kaki seorang diri. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi. Sementara itu, orang yang menjadi kusir jika dilihat dari belakang tentu adalah Yue Lingshan.

Ren Yingying terheran-heran melihatnya. Segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan kereta, kemudian bertanya dengan suara lirih, “Mengapa seperti itu?” Setelah diam sejenak, ia lalu berkata, “Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk memeriksa.”

Linghu Chong hendak menyertai namun lukanya belum sembuh benar sehingga tidak mungkin mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Terpaksa ia hanya mengangguk dan berbisik, “Silakan.”

Ren Yingying segera menyusup ke tengah ladang jagung itu dan menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Yue Lingshan. Ladang jagung itu sangat lebat sehingga tubuh Ren Yingying tidak terlihat sama sekali meski keadaan siang sekalipun. Hanya saja, tangkai-tangkai jagung itu belum terlalu tinggi, sehingga gadis itu harus berjalan dengan kepala merunduk. Setelah agak dekat, ia pun mengikuti jalannya kereta dengan memperhatikan suara kaki keledai penariknya.

Terdengar Lin Pingzhi berkata, “Kitab pusaka keluargaku sudah lama jatuh ke tangan ayahmu. Semua jurus sudah dilatihnya sampai tuntas. Tapi kenapa kau masih saja mengikutiku?”

Yue Lingshan menjawab, “Kenapa kau selalu curiga ayahku mengincar kitab pusakamu? Sungguh tidak beralasan. Coba pikir, ketika awal mula kau masuk Perguruan Huashan dulu, waktu itu apakah kau membawa kitab pusaka segala? Tapi sejak itu, aku sudah … sudah baik padamu. Apa karena itu kau lantas menuduhku bermaksud jahat terhadapmu?”

“Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami terkenal di seluruh jagat. Yu Canghai dan Mu Gaofeng tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah aku. Dari mana aku bisa yakin bahwa perbuatan baikmu kepadaku bukan atas perintah ayah-ibumu?”

“Jika kau berpikiran begitu, apa mau dikata? Terserah padamu!” sahut Yue Lingshan tersedu-sedu.

“Memangnya aku salah menuduhmu?” kata Lin Pingzhi marah. “Bukankah Kitab Pedang Penakluk Iblis milikku akhirnya jatuh ke tangan ayahmu? Semua orang berkata, barangsiapa ingin menguasai kitab pusaka itu, maka harus bisa menguasai Lin Kecil dulu. Hm, Yu Canghai, Mu Gaofeng, atau Yue Buqun, apa bedanya? Hanya saja, Yue Buqun berhasil dan dia menjadi pemenang, sementara Yu Canghai dan Mu Gaofeng gagal, maka mereka menjadi pecundang.”
“Kata-katamu sangat merendahkan ayahku. Memangnya kau anggap aku ini apa?” kata Yue Lingshan dengan gusar. “Coba kalau bukan … kalau bukan … huh ….”

“Kau mau bicara apa? Kalau bukan karena mataku buta dan terluka tentu akan kau akan membunuhku, begitu? Mataku ini sudah buta sejak lama,” tukas Lin Pingzhi sambil berdiri tegak.

“Jadi, perkenalanmu denganku serta hubungan baik kita dari dulu itu kau anggap karena kau buta?” sahut Yue Lingshan sambil menarik tali kendali sehingga keretanya berhenti mendadak.

“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi. “Mana aku tahu bahwa kedatanganmu ke Fuzhou dengan pura-pura membuka kedai arak ternyata menyimpan rencana jangka panjang? Tujuanmu yang utama sesungguhnya hanyalah mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis belaka. Kau membiarkan dirimu digoda oleh bajingan anak Yu Canghai itu padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada dia. Kau pura-pura tidak bisa silat untuk memancingku supaya turun tangan membelamu. Wahai Lin Pingzhi, dasar matamu memang buta, kepandaianmu hanya sedikit tapi berani menonjolkan diri sebagai pahlawan pembela si cantik segala. Apalagi kau adalah anak perempuan kesayangan ayah-ibumu. Kalau bukan karena suatu tujuan yang sangat penting mana mungkin mereka mengizinkanmu keluyuran di luar Huashan dan menjadi penjual arak rendahan segala?”

“Sebenarnya Kakak Kedua yang disuruh Ayah pergi ke Fuzhou,” Yue Lingshan menukas. “Aku hanya terdorong oleh keinginan berpesiar saja. Maka itu, aku bersikeras minta ikut menemani Kakak Kedua.”

“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi murid-muridnya. Bila dia menganggap sesuatu tidak pantas, maka walaupun kau berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dikabulkannya. Sudah tentu karena dia juga tidak percaya sepenuhnya pada Kakak Kedua, maka kau pun dikirim sekalian untuk mengawasinya.”

Yue Lingshan terdiam. Apa yang diucapkan Lin Pingzhi memang masuk akal. Sejenak kemudian barulah ia membuka suara, “Baiklah, percaya atau tidak terserah padamu. Yang pasti ketika datang ke Fuzhou aku belum pernah mendengar ada Kitab Pedang Penakluk Iblis segala. Aku hanya mendengar Ayah mengatakan bahwa Kakak Pertama baru saja menghajar dua orang murid Qingcheng dan ini membuat hubungan kedua perguruan menjadi kurang baik. Konon, orang-orang Perguruan Qingcheng telah dikerahkan ke timur dan mungkin akan merugikan Perguruan Huashan. Maka itu, aku dan Kakak Kedua pun ditugasi Ayah untuk menyelidiki gerak-gerik mereka.”

Lin Pingzhi menghela napas, pertanda hatinya sudah agak lunak. “Baiklah, untuk kali ini aku percaya padamu. Akan tetapi, keadaannya sudah terlanjur seperti ini, untuk apa kau masih tetap mengikutiku? Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan. Sebaiknya kau … kau kembali pada Linghu Chong saja.”

Mendengar kata-kata “Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan perawan,” kontan membuat Ren Yingying terkejut. Dalam hati ia bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Namun, segera mukanya bersemu merah dan menganggap seorang anak gadis seperti dirinya tidaklah pantas mencuri dengar percakapan pribadi orang lain suami-istri. Apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa begitu” segala, benar-benar tidak pantas.

Karena itu, ia pun bermaksud segera pergi. Namun, baru saja mundur beberapa langkah, rasa ingin tahunya mendesak untuk mendengarkan lebih lanjut percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi itu. Meski demikian, ia khawatir persembunyiannya akan diketahui oleh mereka sehingga berpindah agak jauh dari tempat semula.

Dengan menggunakan tenaga dalam dan memusatkan pikiran, ditambah keadaan memang sangat sunyi, ia masih dapat mendengar Yue Lingshan berkata dengan jelas, “Baru tiga hari kita menikah segera aku tahu ternyata kau sangat membenciku. Sekalipun satu kamar, namun kau tidak sudi tidur seranjang denganku. Jika kau tidak sudi satu ranjang denganku, kenapa… kenapa pula kau menikah denganku?”

“Aku tidak benci padamu,” sahut Lin Pingzhi sambil menghela napas.

“Kau tidak benci padaku? Tapi mengapa siang hari kau pura-pura baik kepadaku, namun begitu malam tiba saat kita di dalam kamar kau lantas bersikap dingin? Sepatah kata pun kau tidak mau bicara denganku. Berulang kali Ayah dan Ibu bertanya bagaimana perlakuanmu padaku, selalu saja kujawab sangat baik ….” Sampai di sini mendadak ia menangis keras-keras.

Lin Pingzhi lantas melompat ke dalam kereta dan memegangi bahu Yue Lingshan. Dengan suara bengis ia membentak, “Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar?”

“Sudah tentu benar, untuk apa aku berbohong?” sahut Yue Lingshan.

“Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, sama sekali belum pernah tidur seranjang denganmu, tapi kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?” desak Lin Pingzhi.

“Aku telah menikah denganmu, maka dengan sendirinya aku menjadi anggota Keluarga Lin,” jawab Yue Lingshan dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan adalah semoga tidak lama lagi kau berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku menjelek-jelekkan suami sendiri?”

Lin Pingzhi tidak menjawab, hanya giginya saja yang berkerut-kerut menahan gemas. Ia kemudian berkata perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga ia bermurah hati kepadaku. Andai saja kau tidak membela diriku seperti itu, mungkin sejak dulu nyawaku sudah melayang di Puncak Huashan.”

“Mana mungkin seperti itu?” tanya Yue Lingshan. “Kita ini pengantin baru. Meskipun terjadi sedikit selisih paham juga tidak mungkin seorang mertua lantas membunuh menantunya.”

“Dia ingin membunuhku bukan karena aku bersikap dingin padamu, tapi karena aku telah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi dengan gemas.

Mendengar ini Ren Yingying semakin penasaran dan maju beberapa langkah.

“Aku benar-benar tidak paham,” kata Yue Lingshan. “Ilmu pedang yang kau mainkan, juga yang Ayah mainkan benar-benar sangat aneh dan luar biasa sakti. Ayah berhasil mengalahkan Zuo Lengchan dan merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung, sementara kau sendiri berhasil membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Apakah … apakah ilmu pedang yang kalian mainkan itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis?”

“Benar, itulah Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami,” jawab Lin Pingzhi. “Dengan ilmu pedang mahasakti itulah leluhurku, Kakek Buyut Yuantu mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei dan malang melintang di dunia persilatan pada zamannya.” Sampai di sini suaranya terdengar jelas dan nyaring, penuh dengan rasa bangga.

“Tapi ... tapi kau tidak pernah bercerita padaku .… Kau mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!” kata Yue Lingshan.

“Mana berani aku berkata terus terang?” sahut Lin Pingzhi. “Linghu Chong berhasil merebut jubah biksu peninggalan kakek buyutku di Fuzhou. Tapi, rupanya sudah takdir kalau dia gagal memilikinya. Jubah yang bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis itu malah jatuh ke tangan ayahmu ….”

“Tidak mungkin, tidak mungkin!” seru Yue Lingshan dengan suara melengking. “Menurut Ayah, kitab pusaka itu telah dikuasai Kakak Pertama. Aku memintanya untuk mengembalikan kitab itu kepadamu, tapi Kakak Pertama menolak.”

Lin Pingzhi hanya mendengus dan tertawa dingin.

Yue Lingshan melanjutkan, “Ilmu pedang Kakak Pertama mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya. Apakah yang ia mainkan itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis? Apakah itu bukan hasil pelajaran dari Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kalian?”

Kembali Lin Pingzhi tertawa mengejek, lalu berkata, “Sekalipun Linghu Chong itu licik dan penuh muslihat, tapi kalau dibandingkan dengan ayahmu bisa dikatakan masih ketinggalan jauh. Lagipula ilmu pedang Linghu Chong kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Jurus Pedang Penakluk Iblis keluargaku? Bukankah dalam pertandingan di depan Panggung Fengshan di Puncak Songshan itu dia terluka oleh pedangmu?”

“Dia … dia sengaja mengalah padaku,” jawab Yue Lingshan lirih.

“Hm, sungguh dalam cintanya padamu,” sahut Lin Pingzhi mencibir.

Apabila Ren Yingying mendengar perkataan ini sehari sebelumnya mungkin ia akan jatuh lemas karena gusar. Meskipun ia sudah tahu kalau Linghu Chong sengaja mengalah, namun semalam mereka berdua telah berbicara mesra di tepi danau saling mengungkapkan perasaan dari lubuk yang paling dalam. Keduanya telah mengutarakan isi hati masing-masing, sehingga kini Ren Yingying merasa lebih yakin. Ia pun berpikir, “Dulu memang Kakak Chong sangat baik kepadamu, tapi sekarang dia jauh lebih baik kepadaku. Bukan salahnya telah berpaling darimu, tetapi karena kau sendiri yang terlalu keras melukai perasaannya.”

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Rupanya yang dimainkan Kakak Pertama itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi mengapa Ayah selalu menuduhnya sebagai pencuri kitab pusaka keluargamu itu? Pada saat Ayah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan, tuduhan ini diumumkan kepada kita sebagai salah satu dosa besar Kakak Pertama. Jika demikian, jika demikian … aku telah salah sangka kepadanya.”

“Hm, salah sangka apanya?” ejek Lin Pingzhi. “Jelas-jelas di Kota Fuzhou Linghu Chong ikut merebut kitab pusaka keluargaku. Hanya saja, nasibnya seperti maling ayam bertemu raja perampok. Dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, Linghu Chong digeledah oleh ayahmu, kemudian ayahmu sengaja menuduhnya menggelapkan kitab itu. Ini namanya maling berteriak maling ….”

“Maling apa? Kenapa kau pakai kata-kata yang tidak enak didengar begitu?” sahut Yue Lingshan gusar.

“Lantas, apakah perbuatan ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh menyebutnya maling?” balas Lin Pingzhi bengis.

Yue Lingshan menghela napas, kemudian berkata, “Waktu itu di Gang Xiangyang, orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu dari rumah leluhurmu. Untungnya, Kakak Pertama berhasil membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali jubah tersebut. Kau tidak pantas menuduhnya ingin mengangkangi jubah itu. Kakak Pertama berjiwa besar dan berhati jujur. Sejak kecil ia tidak pernah serakah terhadap milik orang lain. Sebenarnya aku pun sangsi ketika Ayah menuduhnya mencuri kitab pusakamu. Hanya saja, ilmu pedangnya yang tiba-tiba maju pesat bahkan lebih hebat daripada Ayah, telah membuatku ikut-ikutan menuduhnya.”

Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Hm, kau bisa berkata seperti itu, ternyata tidak sia-sia Kakak Chong mencintaimu.”

Lin Pingzhi berkata, “Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?”

“Adik Ping, sampai saat ini ternyata kau masih juga belum bisa menyelami perasaanku,” tukas Yue Lingshan. “Sejak kecil Kakak Pertama dibesarkan bersamaku. Dalam pandanganku dia tidak lebih seperti kakak kandungku belaka. Aku menghormati dan menyayanginya sebagai saudara tua, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya, sejak kau datang ke Gunung Huashan, dalam waktu singkat saja aku langsung merasa cocok denganmu. Satu detik tidak bertemu rasanya begitu rindu. Cintaku padamu selamanya takkan berubah.”

“Kau memang agak berbeda dengan ayahmu. Kau … kau lebih mirip ibumu,” kata Lin Pingzhi dengan nada halus. Rupanya hatinya telah tersentuh oleh perkataan sang istri.

Keduanya pun terdiam beberapa saat. Akhirnya Yue Lingshan membuka suara, “Adik Ping, kebencianmu kepada Ayah sangat mendalam. Untuk selanjutnya antara kalian berdua tentu sulit berdamai. Namun, aku telah menjadi anggota Keluarga Lin. Ke mana pun kau pergi tentu aku akan ikut serta. Lebih baik kita mencari suatu tempat yang damai, yang jauh dari dunia persilatan dan di sana kita hidup bahagia selamanya.”

“Huh, pikiranmu sungguh muluk-muluk,” sahut Lin Pingzhi. “Aku sudah membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng, berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana. Ayahmu pasti akan mengetahui bahwa aku juga telah berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mana mungkin dia sudi membiarkan aku hidup tenang di dunia ini?”

Yue Lingshan menghela napas dan berkata, “Adik Ping, kau mengatakan Ayah mengincar kitab pusakamu. Berdasarkan kenyataan yang ada, aku pun takkan membela Ayah. Tapi kau menuduh Ayah ingin membunuhmu hanya karena kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, kurasa ini tidak masuk akal. Kitab Pedang Penakluk Iblis memang milik Keluarga Lin kalian. Jika kau mempelajari ilmu pedang leluhurmu, bukankah itu adalah hal yang wajar? Bagaimanapun juga Ayah tidak mungkin membunuhmu hanya karena alasan itu.”

“Kau bicara demikian karena belum kenal watak ayahmu dan juga tidak tahu seperti apa isi Kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi.

“Bahkan terhadap isi hatimu pun aku juga tidak paham,” kata Yue Lingshan.

“Ya, tidak paham. Kau memang tidak paham! Untuk apa harus paham?” sahut Lin Pingzhi mulai gusar kembali.

Yue Lingshan tidak berani banyak membantah. Ia hanya berkata, “Mari kita berangkat saja.”

“Ke mana?” tanya Lin Pingzhi.

“Ke mana pun kau pergi, ke sana pula aku akan ikut. Pergi ke ujung langit sekalipun aku akan tetap bersamamu,” jawab Yue Lingshan tegas.

“Apa betul ucapanmu ini? Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal,” balas Lin Pingzhi.

“Aku sudah bertekad menjadi istrimu, hidup bersamamu. Sudah sejak lama ini menjadi tekadku. Lantas, kenapa aku harus menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan. Andaikan tidak bisa pulih juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua.”

Ucapan Yue Lingshan yang penuh perasaan ini sangat membuat Ren Yingying terharu. Ia merasa Yue Lingshan sebenarnya sangat baik, namun sayangnya bernasib malang.

Terdengar Lin Pingzhi mendengus. Sepertinya ia masih kurang percaya pada tekad Yue Lingshan itu.

Dengan suara halus Yue Lingshan kembali berkata, “Adik Ping, rupanya kau masih sangsi padaku. Biarlah malam ini juga aku … aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepadamu. Dengan demikian semoga kau dapat mempercayai aku. Biarlah malam ini kita melakukan malam pengantin di sini. Marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan untuk selanjutnya … untuk selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya ….” Makin lama suaranya makin lirih hingga akhirnya tidak terdengar lagi.

Ren Yingying merasa heran dan rikuh mendengar ucapan Yue Lingshan itu. Segera ia bermaksud pergi sambil berpikir, “Kalau aku masih menguping berarti aku bukan manusia. Nona Yue ini benar-benar tidak tahu malu. Di tengah jalan raya seperti ini bisa-bisanya ia mengajak ... mengajak ... huh ....”

Namun, tiba-tiba terdengar Lin Pingzhi berteriak dengan suara seram dan bengis. Kemudian ia membentak, “Enyah sana! Jangan dekat-dekat aku!”

Kontan Ren Yingying terkejut dan penasaran ingin tahu apa yang terjadi. “Apa yang membuat Lin Pingzhi menjadi beringas seperti itu?” pikirnya.

Menyusul kemudian terdengar suara Yue Lingshan menangis, namun Lin Pingzhi masih membentaknya, “Pergi sana, pergi yang jauh! Pergilah sejauh-jauhnya! Aku lebih suka mati dibunuh ayahmu daripada kau ikut denganku.”

“Mengapa kau menghina diriku seperti ini? Sesungguhnya apa … apa salahku padamu?” tanya Yue Lingshan sambil menangis.

“Aku … aku .…” Lin Pingzhi tertegun, lalu melanjutkan, “Kau … kau ….” tapi lantas ia terdiam.

“Apa yang hendak kau katakan? Bicaralah terus terang!” pinta Yue Lingshan. “Jika memang aku bersalah atau kau tidak dapat memaafkan kesalahan ayahku, tidak masalah asal kau bicara terus terang. Tanpa kau suruh pun aku akan bunuh diri di hadapanmu.” Usai berkata ia segera melolos pedangnya.

Mendengar itu Ren Yingying merasa keadaan berubah gawat. “Lin Pingzhi hendak memaksa Nona Yue bunuh diri. Aku harus menolongnya.” Ia pun maju beberapa langkah sehingga makin mendekati kereta itu.

“Aku … aku .…” kembali Lin Pingzhi tergagap-gagap. Selang sejenak, ia lalu menghela napas panjang dan menyambung, “Kau tidak bersalah. Sesungguhnya aku sendiri yang kurang baik.”

Kembali Yue Lingshan menangis sedih bercampur bingung.

Lin Pingzhi berkata, “Baiklah, akan kukatakan terus terang kepadamu.”

“Kau boleh memukulku, membunuhku, aku rela. Tapi jangan kau buat diriku merasa bingung,” kata Yue Lingshan.

“Karena perasaanmu padaku begitu tulus, maka aku akan berterus terang kepadamu, agar selanjutnya kau tak berharap-harap lagi atas diriku,” kata Lin Pingzhi.

“Kenapa?” tanya Yue Lingshan semakin bingung.

“Kenapa?” Lin Pingzhi balik bertanya. “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat terkenal di dunia persilatan. Ayahmu dan Yu Canghai masing-masing adalah ketua perguruan pedang. Ilmu silat mereka sangat tinggi, tapi kenapa mereka masih juga mengincarnya? Sebaliknya, mengapa ilmu pedang ayahku begitu rendah? Sampai-sampai dianiaya orang juga tidak mampu melawan. Coba jawab, apa sebabnya?”

“Mungkin bakat Ayah Mertua kurang bagus, atau mungkin badannya terlalu lemah,” jawab Yue Lingshan. “Anak cucu seorang jago silat hebat tidak berarti harus berilmu tinggi pula.”

“Bukan begitu. Sekalipun ilmu pedang ayahku sangat rendah, mungkin karena kurang berlatih saja. Tapi mengapa tenaga dalamnya lemah, ilmu silatnya juga payah? Ternyata Jurus Pedang Penakluk Iblis yang diajarkannya kepadaku pada dasarnya salah semua. Ilmu pedang yang kupelajari dari Ayah salah semua,” ujar Lin Pingzhi.

“Ini benar-benar aneh,” sahut Yue Lingshan.

“Kalau kuceritakan tentu tidak aneh lagi,” jawab Lin Pingzhi. “Apakah kau tahu orang macam apa sebenarnya kakek buyutku yang bernama Lin Yuantu?”

“Aku tidak tahu,” jawab Yue Lingshan.

“Pada mulanya ia seorang biksu,” ujar Lin Pingzhi.

“Jadi, ia seorang penganut ajaran Buddha?” ujar Yue Lingshan. “Banyak tokoh persilatan ternama yang pada hari tua meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi biksu. Bukankah ini sering terjadi?”

“Tidak begitu. Kakek buyutku tidak meninggalkan rumah pada hari tua,” sahut Lin Pingzhi, “tapi ia justru menjadi biksu lebih dulu baru kemudian kembali menjadi orang awam.”

“Tapi bukankah pendiri Dinasti Ming, yaitu Kaisar Zhu Yuanzhang pada mulanya juga seorang biksu dari Biara Huangjue?” sahut Yue Lingshan.

Mendengar itu Ren Yingying termenung, “Nona Yue sungguh baik. Kata-katanya selalu bertujuan membesarkan hati suaminya yang picik.”

Yue Lingshan menyambung, “Tentang masa muda Kakek Buyut Yuantu apakah kau mendengar dari cerita Ayah Mertua?”

“Tidak, selamanya Ayah tidak pernah bercerita, bahkan mungkin juga tidak tahu. Apa kau masih ingat kediaman lama keluarga kami di Gang Xiangyang di Kota Fuzhou yang pernah kita datangi pada suatu malam? Di rumah tua itu terdapat ruang sembahyang agama Buddha.”

“Aku masih ingat,” sahut Yue Lingshan.

“Mengapa Kitab Pedang Penakluk Iblis tertulis pada selembar jubah biksu? Karena pada awalnya Beliau memang seorang biksu. Pada suatu hari Kakek Buyut membaca kitab pusaka itu, lalu menulis ulang isinya pada jubah yang dipakainya. Setelah Beliau kembali hidup bermasyarakat, di rumah kediamannya dibangun sebuah ruang sembahyang Buddha dan tetap melakukan ibadah dengan taat.”

“Ceritamu cukup masuk akal. Namun, mungkin saja kitab pusaka itu diperoleh kakek buyut kita dari seorang biksu sakti atau kitab pusaka itu memang sejak awal tertulis pada selembar jubah. Jadi, kakek buyut kita memperoleh kitab pusaka itu dengan cara yang jujur, bukan mencuri baca,” bujuk Yue Lingshan.

“Bukan begitu,” ujar Lin Pingzhi.

“Bila kau mempunyai dugaan lain, tentu ada alasannya,”

“Aku tidak mengada-ada, tapi Kakek Buyut Yuantu sendiri yang mencatat kisahnya di atas jubah.”

“O, ternyata demikian,” kata Yue Lingshan.

“Pada bagian akhir catatan Beliau pada jubah itu tertulis, bahwa pada suatu hari Beliau mendapat keberuntungan bisa mendengar penuturan dari orang lain tentang sebuah ilmu sakti. Beliau lalu menulis ulang ilmu sakti tersebut di atas jubah dan kemudian berhenti menjadi biksu. Namun, Beliau memperingatkan bahwa ilmu sakti ini terlalu keji dan merugikan. Barangsiapa yang melatihnya pasti akan putus keturunan. Ilmu keji ini mungkin cocok untuk kaum biksu dan biksuni yang tidak berketurunan, tapi tetap saja bertentangan dengan sifat welas asih mereka. Apalagi sebagai orang awam, sebaiknya jangan mempelajarinya.”

“Akan tetapi, Beliau sendiri tetap saja berlatih ilmu itu?” kata Yue Lingshan.

“Tadinya aku pun berpikir demikian,” jawab Lin Pingzhi. “Seandainya ilmu sakti itu terlalu keji dan merugikan, namun mengapa setelah Kakek Buyut menguasainya tetap saja Beliau bisa memiliki keturunan?”

“Mungkin Beliau menikah dan mempunyai anak terlebih dulu, baru kemudian berlatih ilmu sakti tersebut?” ujar Yue Lingshan.

“Tidak mungkin,” sahut Lin Pingzhi. “Setiap orang persilatan bagaimanapun lihainya, bagaimanapun jujurnya, sekali ia sudah mengetahui kehebatan jurus pertama sebuah ilmu sakti, tentu akan berusaha mencari tahu bagaimana jurus kedua. Setelah mengetahui bagaimana jurus kedua, pasti ingin cepat-cepat berlatih jurus ketiga dan begitulah seterusnya. Sekalipun ia tahu bahwa ilmu silat tersebut mengandung suatu akibat buruk juga tak akan dihiraukannya.”

Mendengar sampai di sini, Ren Yingying merenung, “Ayah pernah bercerita bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis dan Kitab Bunga Mentari pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Pantas saja ilmu silat Yue Buqun dan Lin Pingzhi sangat mirip dengan Dongfang Bubai. Menurut Ayah, jika seorang ahli silat membaca halaman pertama kitab itu, pasti ia akan langsung terjebak pada keinginan kuat untuk mempelajarinya sampai tuntas. Padahal, ia tahu kalau kitab tersebut mendatangkan malapetaka, namun tidak akan dipedulikannya lagi. Ayah sendiri berusaha keras untuk tidak membaca Kitab Bunga Mentari sedikit pun. Sungguh suatu tindakan bijaksana.”

Tiba-tiba Ren Yingying terkenang sesuatu, “Tapi, mengapa Ayah memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai? Ah, aku paham. Rupanya waktu itu Ayah sudah mengetahui kalau Dongfang Bubai berniat memberontak kepadanya. Ia pun memberikan kitab itu dengan harapan Dongfang Bubai mendapat celaka. Bahkan, Paman Xiang yang cerdik juga tidak mengetahui rencana di balik itu semua. Paman Xiang mengira Ayah telah terpikat oleh mulut manis Dongfang Bubai dan menyerahkan kitab itu kepadanya sebagai hadiah. Dongfang Bubai menerima dengan gembira dan ia pun masuk perangkap Ayah. Namun, rencana manusia masih kalah melawan suratan takdir. Karena lengah, Ayah dapat diperdaya dan ditangkap oleh Dongfang Bubai, sehingga selama bertahun-tahun harus menderita dalam penjara gelap di dasar Danau Barat.”

Ren Yingying termenung-menung sejenak, kemudian kembali berpikir, “Sebenarnya Dongfang Bubai tidak terlalu kejam. Andaikan ia langsung membunuh Ayah, atau berhenti mengirim makanan, tentu Ayah sudah meninggal sejak lama. Ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari memang luar biasa. Andai saja bukan karena bantuan Kakak Chong, Paman Xiang, dan Paman Shangguan, tentu Ayah tidak akan bisa membunuh Dongfang Bubai. Andai saja tidak ada Yang Lianting yang dapat kusiksa, tentu pikiran Dongfang Bubai tidak akan terbagi, dan sampai saat ini pun ia masih pantas menyandang nama ‘tak terkalahkan’.”

Entah mengapa malam itu ia merasa begitu kasihan terhadap Dongfang Bubai? Ren Yingying kembali merenung, “Setelah menyingkirkan Ayah dan merebut jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, ia tetap bersikap baik padaku. Aku diperlakukannya bagaikan putri raja. Tapi, setelah Ayah kembali menjadi ketua, aku justru tidak memiliki kekuasaan sama sekali .... Aih, aku sekarang sudah memiliki Kakak Chong, untuk apa masih menginginkan kekuasaan segala? Tapi, Kakak Chong saat ini sedang menderita. Gara-gara berlatih Jurus Penyedot Bintang, kini di dalam tubuhnya berkumpul berbagai macam hawa murni liar yang berasal dari banyak aliran. Suatu saat nanti penderitaan Kakak Chong akan semakin bertambah berat. Selama ia tidak mampu membuyarkan dan mengendalikan hawa murni liar tersebut, tentu ia akan sangat kesakitan. Ayah berjanji akan mengajarkan cara mengatasi penyakit itu asalkan Kakak Chong bersedia masuk agama kami. Mungkin bukan hanya itu, Ayah juga akan menunjuk Kakak Chong sebagai calon ketua yang baru. Namun, sampai saat ini Kakak Chong masih saja menolak. Pasti kelak ia akan sangat menderita.”

Seorang diri Ren Yingying merenung di tengah kebun jagung. Pikirannya sebentar gembira, sebentar kemudian menjadi waswas. Perasaan senang dan sedih bercampur aduk namun selalu saja kembali kepada Linghu Chong.

Pada saat itu Yue Lingshan dan Lin Pingzhi juga sedang terdiam. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi membuka suara, “Setelah Kakek Buyut Yuantu menyalin ilmu sakti tersebut, Beliau langsung mempelajarinya.”

Yue Lingshan menanggapi, “Ilmu pedang itu mungkin memang menimbulkan malapetaka, tapi apakah jika dilatih langsung demikian? Bisa jadi Kakek Buyut Yuantu sempat menikah dan memiliki anak, baru kemudian malapetaka itu datang kepada Beliau.”

“Bukan, bukan demikian. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas paham bukan begitu yang sebenarnya,” sahut Lin Pingzhi. “Sepertinya kakekku bukan anak kandung Kakek Buyut Yuantu. Kakek Buyut menikah dan mengambil kakekku sebagai anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang.”

“Ah, untuk apa? Mana mungkin seperti itu?” ujar Yue Lingshan.

Lin Pingzhi hanya mendengus tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Ketika pertama kali menemukan jubah berisi kitab pusaka tersebut, hubungan kita masih mesra. Saat itu aku bermaksud menunda berlatih sampai kita menikah, sampai kita memiliki anak. Akan tetapi, aku tidak sanggup melakukannya. Aku sangat terdesak ingin segera mempelajarinya. Akhirnya ... akhirnya aku pun memotong kemaluanku sendiri.”

“Hah!” seru Yue Lingshan sambil melonjak karena terkejut. “Kau … kau mengebiri diri sendiri untuk mendalami ilmu pedang jahanam itu?”

“Benar sekali,” jawab Lin Pingzhi dingin. “Kalimat pertama dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis berbunyi: ‘Barangsiapa ingin menguasai dunia persilatan, segera ambil pisau dan kebiri diri sendiri.”

“Mengapa ... mengapa harus beg… begitu?” tanya Yue Lingshan dengan suara lemah.

“Untuk mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis harus dimulai dengan berlatih tenaga dalam,” jawab Lin Pingzhi. “Jika tidak mengebiri diri sendiri, maka latihan itu akan membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Dalam sekejap saja kau akan langsung lumpuh dan akhirnya mati kaku.”

“Begitukah?” ujar Yue Lingshan semakin lemah. Suaranya hampir-hampir bagaikan suara nyamuk.

Dalam hati Ren Yingying juga berkata, “O, ternyata demikian!” Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh hebat seperti Dongfang Bubai akhirnya memakai baju perempuan, menyulam, dan melayani seorang Yang Lianting yang gagah berewokan dengan mesra. Ternyata semua itu adalah karena ia berlatih ilmu silat keji, yang akhirnya membuat dirinya menjadi banci. Laki-laki bukan, perempuan pun bukan.

Terdengar Yue Lingshan menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kakek Buyut Yuantu menikah dan mengambil anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang. Jadi ... jadi ... kau juga demikian?”

“Tentu saja,” jawab Lin Pingzhi. “Aku telah menjadi banci demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku kemudian menikah denganmu untuk mengelabui semua orang, terutama ayahmu.”

Terdengar Yue Lingshan menangis semakin keras.

Lin Pingzhi menyambung, “Sekarang kau sudah tahu rahasiaku. Sekarang kau boleh membenciku sampai ke tulang sumsum.”

“Aku tidak akan membencimu,” jawab Yue Lingshan. “Kau hanya terdesak oleh keadaan. Tapi aku sangat benci kepada ... kepada pencipta ilmu iblis itu. Kenapa dia menciptakan ilmu silat sekeji itu? Apakah ia bermaksud mencelakai banyak orang?”

Lin Pingzhi tertawa kecil dan berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis diciptakan oleh seorang kasim istana.”

“Oh!” seru Yue Lingshan semakin pilu. Ia berkata, “Jadi ... jadi ... ayahku juga sama ... sama sepertimu?”

“Ia bahkan lebih dulu mempelajarinya daripada aku. Dalam hal ini keadaannya mana mungkin berbeda denganku?” ujar Lin Pingzhi. “Ayahmu seorang ketua perguruan ternama. Bila perbuatan ayahmu yang mengebiri diri sendiri sampai tersiar ke luar, sudah pasti dia akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan. Itulah sebabnya, apabila dia mendengar aku juga mendalami ilmu pedang ini, pasti aku akan dibunuhnya. Berulang kali dia bertanya tentang perlakuanku kepadamu adalah karena dia ingin tahu apakah aku masih mampu melakukan hubungan suami-istri denganmu atau tidak? Apakah aku telah mengebiri diri sendiri atau tidak? Andai saja waktu itu kau berkata terus terang, meski hanya mengeluh sedikit saja, mungkin nyawaku sudah lama melayang.”

“Dan sekarang tentu Ayah sudah tahu,” kata Yue Lingshan.

“Sudah pasti. Aku telah membunuh Yu Canghai, membunuh Mu Gaofeng. Dalam waktu beberapa hari saja berita ini tentu akan tersiar luas di dunia persilatan,” ujar Lin Pingzhi bangga.

“Jika benar demikian, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampunimu. Lalu sebaiknya, ke mana kita harus bersembunyi?” ujar Yue Lingshan.

“Kita?” Lin Pingzhi menegas. “Kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya dan masih juga mau mengikuti aku?”

“Tentu saja. Semua terjadi karena terpaksa. Kau tidak patut disalahkan. Adik Ping, cintaku padamu dari awal sampai akhir tak akan berubah. Nasibmu sungguh malang, pantas dikasihani ….” Belum selesai perkataannya, tiba-tiba ia menjerit dan terlempar ke bawah kereta. Sepertinya Lin Pingzhi telah mendorong tubuhnya.

Terdengar Lin Pingzhi berkata gusar, “Aku tidak mau dikasihani! Siapa pula yang minta belas kasihanmu? Ilmu pedang Lin Pingzhi sudah sempurna. Tak ada lagi yang kutakuti sekarang? Tunggu sampai mataku sembuh, aku akan menguasai dunia persilatan. Yue Buqun, Linghu Chong, Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, mereka semua bukan tandinganku!”

Diam-diam Ren Yingying memaki dalam hati, “Tunggu sampai matamu sembuh? Huh, apa mungkin matamu masih bisa sembuh?” Sebenarnya ia agak kasihan terhadap nasib Lin Pingzhi yang malang itu. Namun, begitu menyaksikan sikapnya yang kasar terhadap istri sendiri, juga mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tidak mau timbul rasa gemas dan gusar bukan main dalam hatinya.

Terdengar Yue Lingshan menghela napas, lalu berkata sambil naik kembali ke atas kereta, “Paling tidak kau perlu mencari tempat untuk bersembunyi. Sembuhkan dulu luka pada matamu itu.”

“Aku sudah mempunyai cara untuk mengatasi ayahmu,” kata Lin Pingzhi.

“Keadaanmu dan Ayah sama saja. Kalau kau tidak menyiarkan rahasia ini kepada pihak lain, tentu Ayah tidak perlu mencarimu,” ujar Yue Lingshan.

“Huh, aku jauh lebih kenal sifat ayahmu,” sahut Lin Pingzhi. “Mulai besok, terhadap siapa saja yang kutemui pasti akan kuberi tahu tentang rahasia ayahmu itu.”

“Untuk apa harus berbuat demikian? Bukankah kau sendiri ….” kata Yue Lingshan.

“Untuk apa? Justru inilah cara yang dapat menyelamatkan nyawaku. Berita itu akan segera tersebar sampai ke telinga ayahmu. Setelah Yue Buqun mengetahui bahwa aku telah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuhku untuk melenyapkan saksi. Justru sebaliknya, dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku,” ujar Lin Pingzhi.

“Cara berpikirmu sungguh aneh,” kata Yue Lingshan.

“Apanya yang aneh? Jika aku sebarkan rahasia itu tidak mungkin orang lain akan langsung percaya, karena ayahmu bisa saja memakai kumis dan janggut palsu dengan perekat jika yang asli mulai rontok. Namun sebaliknya, jika tiba-tiba aku mati secara tak wajar, tentu setiap orang akan langsung menuduh ayahmu telah membungkam mulutku,” kata Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menghela napas. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi.

Sementara itu Ren Yingying termenung di tempat persembunyiannya, “Lin Pingzhi ini memang berpikiran tajam. Rencananya sungguh jitu. Nona Yue benar-benar serbasalah. Jika rahasia ini sampai tersebar luas, tentu nama besar ayahnya akan hancur. Sebaliknya, kalau ia mencegah penyebaran rahasia itu, tentu ia akan kehilangan nyawa suami sendiri.

Lin Pingzhi melanjutkan, “Sekalipun kedua mataku buta, tapi hatiku tidak buta. Untuk selanjutnya aku memang tidak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah-ibuku sudah terbalas. Dulu Linghu Chong telah menyampaikan wasiat terakhir Ayah, bahwa ada benda pusaka disimpan di kediaman lama leluhurku di Gang Xiangyang. Ayah berpesan agar jangan sekali-kali aku sampai memeriksa ataupun melihatnya. Itu adalah wasiat Kakek Buyut turun-temurun. Namun, sekarang aku bahkan membacanya sampai tuntas dan juga mendalami isinya. Meski melanggar pesan leluhur, namun aku dapat membalas sakit hati ayah-ibuku. Kalau aku tidak berbuat demikian, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami hanya dikenal orang sebagai nama kosong belaka. Orang-orang Biro Ekspedisi Fuwei tentu akan dicap sebagai kaum pendusta.”

Yue Lingshan berkata, “Dulu kau dan Ayah mencurigai Kakak Pertama telah mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kakak Pertama juga difitnah telah memalsukan wasiat Ayah Mertua ....”

“Aku telah salah menuduh orang, memangnya kenapa?” sela Lin Pingzhi. “Bukankah waktu itu kau sendiri juga ikut mencurigai dia?”

Yue Lingshan menghela napas perlahan dan berkata, “Kau belum lama mengenal Kakak Pertama, sehingga wajar jika kau berprasangka buruk kepadanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia ini yang benar-benar percaya pada Kakak Pertama hanyalah Ibu seorang.”

Ren Yingying membantah dalam hati, “Siapa bilang hanya ibumu saja?”

Terdengar Lin Pingzhi menyahut, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Linghu Chong. Gara-gara bocah itu, entah sudah berapa kali ayah-ibumu bertengkar?”

“Ayah dan Ibu bertengkar karena Kakak Pertama? Ayah dan ibuku selamanya tidak pernah bertengkar. Dari mana kau tahu?” tanya Yue Lingshan heran.

“Selamanya tidak pernah bertengkar? Itu hanya sandiwara di depan orang lain saja,” ejek Lin Pingzhi. “Sampai-sampai hal seperti ini juga ditutupi dengan rapih oleh Yue Buqun. Benar-benar seorang munafik sempurna. Aku mendengar dengan telingaku sendiri pertengkaran mereka. Mana mungkin aku salah?”

“Aku tidak bilang kau salah, aku hanya merasa heran,” ujar Yue Lingshan. “Mengapa aku sebagai anaknya tidak tahu atau tidak pernah mendengar mereka bertengkar. Sebaliknya, kau malah mengetahui pertengkaran mereka.”

“Baiklah, tiada salahnya kalau kuceritakan semua kepadamu,” kata Lin Pingzhi. “Ketika di Fuzhou tempo hari, orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu peninggalan Kakek Buyut. Namun, mereka dapat dibinasakan oleh Linghu Chong dan berhasil merebut kembali jubah itu. Sebaliknya, ia sendiri juga terluka parah dan jatuh pingsan. Ketika aku menggeledah tubuhnya, ternyata jubah itu sudah hilang entah ke mana ….”

“Jadi, saat di Fuzhou kau sempat menggeledah tubuh Kakak Pertama?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Lantas kenapa?”

“Tidak apa-apa,” jawab Yue Lingshan.

Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Sungguh kasihan Nona Yue. Ia mendapat suami yang licik dan culas seperti itu. Jika terus menemani bocah yang angin-anginan dan suka menang sendiri seperti itu, tentu kelak ia akan banyak menderita.” Sejenak kemudian ia terkesiap, “Aku telah lama meninggalkan Kakak Chong sendiri. Tentu ia sangat khawatir.”

Gadis itu lalu memiringkan kepalanya agar salah satu telinga mengarah ke tempat Linghu Chong berada. Suasana begitu hening dan sunyi, pertanda Linghu Chong dalam keadaan baik-baik saja.

Terdengar Lin Pingzhi kembali berkata, “Karena jubah itu tidak ditemukan pada Linghu Chong, aku yakin pasti sudah diambil oleh orang tuamu. Maka, begitu pulang ke Gunung Huashan, diam-diam aku selalu menyelidiki gerak-gerik ayahmu. Akan tetapi, permainan ayahmu benar-benar rapih, sedikit pun tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit. Sudah tentu dia sakit karena baru saja mengebiri diri sendiri. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia orang tuamu. Aku ingin tahu di mana kitab pusaka keluargaku itu disembunyikan. Aku berusaha mendengar percakapan ayah-ibumu dengan bersembunyi di tepi jurang dekat kamar tidur mereka.”

“Jadi, kau bersembunyi di tepi Jurang Tiansheng untuk menguping pembicaraan Ayah dan Ibu?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Benar,” sahut Lin Pingzhi.

“Setiap malam?” desak Yue Lingshan.

“Benar,” jawab Lin Pingzhi kembali.

“Kau sungguh telaten. Benar-benar berkemauan baja,” ujar Yue Lingshan.

“Demi membalaskan sakit hati ayah-ibuku, terpaksa harus begitu,” jawab Lin Pingzhi.

Tempat tinggal Yue Buqun di Gunung Huashan memang berdekatan dengan Jurang Tiansheng yang dalam, curam, dan mengerikan. Orang lain akan mengira Yue Buqun sengaja memilih tempat yang sunyi agar bisa berlatih dengan baik. Namun sebenarnya, tempat itu dibangun sebagai benteng pertahanan terhadap serangan mendadak dari musuh-musuhnya, misalnya Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan sendiri.

Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan, “Setiap malam aku dengan tekun menguping pembicaraan mereka. Namun, yang kudengar hanyalah pembicaraan biasa-biasa saja. Akhirnya, setelah lebih dari sepuluh malam, aku mendengar ibumu berkata kepada ayahmu, ‘Kakak, kulihat raut wajahmu akhir-akhir ini agak berubah. Apakah itu akibat gangguan ilmu Awan lembayung yang sedang kau dalami? Hendaknya kau jangan terburu nafsu ingin lekas-lekas mencapai tahap sempurna, tapi malah mengundang masalah.’

Ayahmu menjawab, ‘Ah, tidak apa-apa. Latihanku berjalan lancar.’

Ibumu tidak percaya dan berkata, ‘Jangan berbohong padaku. Aku heran mengapa suaramu akhir-akhir ini agak berubah. Rasanya agak melengking tajam, mirip suara perempuan.’

Ayahmu menjawab, ‘Omong kosong! Selamanya suaraku juga begini?’ Menurut pendengaranku waktu itu, suara ayahmu memang melengking tajam, seperti perempuan cerewet yang sedang marah.”

Kemudian ibumu berkata, ‘Kenapa kau bilang tidak berubah? Kau belum pernah berbicara sekasar ini padaku. Kakak, sesungguhnya ada masalah apa yang menyusahkanmu? Kita sudah berpuluh-puluh tahun menjadi suami istri. Berterus teranglah kepadaku?’

Ayahmu menjawab, ‘Masalah apa yang menyulitkanku? Hm, pertemuan di Gunung Songshan sudah semakin dekat. Zuo Lengchan bermaksud mencaplok keempat perguruan yang lain. Masalah inilah yang membuatku kesal.’

Ibumu berkata, ‘Aku melihat ada persoalan yang lain,’

Ayahmu menjadi gusar. Dengan suara melengking ia berkata, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu mana ada persoalan lagi?’

Ibumu menjawab, ‘Kalau memang tidak ada yang lain kenapa kau marah? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan tuduhanmu yang salah terhadap Chong’er.’

Ayahmu menegas, ‘Chong’er? Dia jelas bergaul dengan Sekte Iblis dan menjalin hubungan dengan gadis bermarga Ren dari agama sesat itu. Semua orang sudah tahu akan hal ini. Kenapa kau sebut aku salah menuduh?’”

Mendengar hubungannya dengan Linghu Chong diungkit-ungkit, seketika Ren Yingying menjadi sangat geram. Wajahnya pun terasa panas. Namun kemudian, tiba-tiba saja perasaan mesra memenuhi rongga dadanya.

Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan kisahnya, “Ibumu menjawab, ‘Dia memang bergaul dengan kaum Sekte Iblis, sudah tentu ini bukan fitnah. Namun, kau juga telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Ping’er.’

Ayahmu berkata gusar, ‘Apa menurutmu kitab pusaka itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya mendadak maju pesat, bahkan lebih sakti daripada aku?’

Ibumu menjawab, ‘Mungkin dia memperoleh keberuntungan lain sehingga mendapat kesaktian mendadak. Aku yakin dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis. Sekalipun watak Chong’er ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia selalu hidup jujur, tidak sudi melakukan hal-hal yang memalukan. Apalagi Shan’er telah mengesampingkan dia dan lebih akrab dengan Ping’er. Orang berwatak angkuh seperti Chong’er, sekalipun Ping’er mempersembahkan kitab pusaka itu kepadanya juga ia tidak sudi menerimanya.’”

Sungguh tidak terkira betapa senang rasa hati Ren Yingying mendengarnya. Ia berharap bisa langsung bertemu Nyonya Yue dan memeluk wanita itu sebagai ungkapan terima kasih. “Sungguh tidak sia-sia Nyonya Yue membesarkan Kakak Chong sejak kecil. Dari sekian banyak orang-orang Perguruan Huashan hanya kau seorang yang mengenal sifat Kakak Chong dengan baik. Pantas selama ini Kakak Chong selalu memujimu. Kelak bila ada kesempatan ingin sekali aku membalas kebaikan Nyonya Yue itu,” demikian pikirnya.

Lin Pingzhi melanjutkan ceritanya, “Ayahmu berkata, ‘Jika demikian, kau menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari Perguruan?’

Ibumu menjawab, ‘Karena dia melanggar peraturan dan kau pun berusaha menegakkan tata tertib, maka sudah sepantasnya dia mendapatkan hukuman. Kau sudah menuduhnya bergaul dengan kaum aliran sesat, rasanya itu sudah cukup. Tapi, mengapa kau juga memfitnahnya mencuri kitab pusaka milik Keluarga Lin? Padahal kau sendiri jauh lebih tahu daripada aku. Jelas-jelas kau tahu dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis.’

Ayahmu tiba-tiba berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’”

Suara Lin Pingzhi yang menirukan teriakan Yue Buqun itu melengking tajam memecah kesunyian malam bagaikan jeritan seekor burung hantu. Bahkan, Ren Yingying sampai merinding mendengarnya.

Setelah diam sejenak barulah Lin Pingzhi melanjutkan, “Perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu, karena ... kau sendiri yang telah mengambil kitab pusaka itu.’

Dengan gusar ayahmu kembali menjerit, ‘Maksudmu, aku … aku ….’ namun hanya sekian saja ucapannya itu kemudian ia terdiam.

Suara ibumu terdengar semakin tenang. Ia berkata, ‘Waktu itu aku menemukan Chong’er jatuh pingsan di jalanan Kota Fuzhou. Aku membawanya pulang ke rumah Keluarga Lin untuk diobati. Saat hendak menghentikan pendarahannya, aku sempat melihat ia menggenggam erat selembar jubah biksu yang penuh bertuliskan semacam jurus-jurus ilmu pedang. Ketika aku memberikan obat untuk yang kedua kalinya serta mengganti perban, ternyata jubah biksu itu sudah tidak ada lagi. Padahal waktu itu Chong’er masih belum siuman sama sekali. Selama itu tiada orang lain yang masuk ke kamarnya selain kau dan aku. Namun yang pasti, aku jelas-jelas tidak pernah mengambil jubah biksu tersebut.’”

Terdengar Yue Lingshan menangis, “Ayahku... ayahku...”

Lin Pingzhi melanjutkan, “Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, namun hanya satu-dua kata yang tidak jelas dan langsung terhenti. Sebaliknya, suara ibumu terdengar semakin lembut saat berkata, ‘Kakak, ilmu pedang Huashan memiliki keistimewaan tersendiri. Ilmu Awan Lembayung juga merupakan ilmu tenaga dalam yang sukar dicari tandingannya. Ilmu silat Perguruaan Huashan memiliki nama harum di dunia persilatan, maka kita tidak perlu mencuri ilmu perguruan lain. Hanya saja, Zuo Lengchan memang sangat bernafsu mencaplok keempat perguruan. Bagaimanapun juga Perguruan Huashan yang berada di bawah kepemimpinanmu tidak boleh sampai jatuh ke dalam cengkeraman Zuo Lengchan. Mari kita bersekutu dengan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan. Empat lawan satu kurasa pihak kita tetap ada kemungkinan unggul. Seandainya kita pada akhirnya tidak bisa menang, namun kita harus tetap melawan mereka habis-habisan, sehingga di akhirat nanti kita tidak malu jika bertemu para leluhur Perguruan Huashan. Jika Zuo Lengchan membantai keempat perguruan, itu berarti cita-citanya untuk melebur kelima perguruan tidak akan terlaksana karena hanya tinggal Perguruan Songshan saja yang tersisa.’”

Mendengar sampai di sini, Ren Yingying memuji, “Nyonya Yue memang benar-benar wanita berjiwa kesatria. Ia jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.”

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Apa yang dikatakan Ibu memang tidak salah.”

Lin Pingzhi mendengus, “Huh, tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kitab pusakaku dan sudah mulai mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, mana mau dia mendengar nasihat Ibu Guru?” Tiba-tiba saja ia menyebut “Ibu Guru”, pertanda dalam hatinya masih menghormati Ning Zhongze alias Nyonya Yue itu.

Kemudian ia melanjutkan cerita, “Waktu itu ayahmu menjawab, ‘Kau hanyalah melihat dari sudut pandang kaum wanita saja. Apabila kita mati dalam pertempuran tetap saja Perguruan Huashan jatuh ke tangan Zuo Lengchan. Dia bisa saja menempatkan orang-orang kepercayaannya di setiap perguruan sebagai bonekanya, dan pura-pura membangun kembali Perguruan Taishan, Hengshan, Henshan, dan Huashan kita. Apa dengan demikian kita masih berani bertemu muka dengan para leluhur di akhirat?’

Ibumu terdiam beberapa saat, lalu berkata, ‘Sebenarnya tujuanmu menyelamatkan Perguruan Huashan dengan segala daya upaya adalah sangat mulia. Hanya saja, Jurus Pedang Penakluk Iblis lebih banyak ... lebih banyak merugikan jika dipelajari. Bukankah anak cucu Keluarga Lin tidak ada yang mendalami ilmu pedang tersebut? Saranku sebaiknya kau jangan melanjutkan berlatih ilmu pedang itu.’

Dengan suara keras ayahmu menjawab, ‘Dari mana kau tahu? Apa kau selalu mengintip gerak-gerikku?’

Ibumu menjawab, ‘Untuk apa susah payah mengintip kalau memang aku sudah tahu?’

Ayahmu berkata gusar, ‘Katakan, katakan padaku!’ Suaranya ini keras sekali sampai menggema di pegunungan yang sunyi malam itu. Meskipun keras, namun suara bentakannya ini terkesan agak gemetar.

Ibumu tetap tenang menjawab, ‘Akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat didengar jelas oleh siapa pun juga. Memangnya kau sendiri tidak sadar?’

Ayahmu masih saja mendebat, ‘Selamanya suaraku juga seperti ini.’

Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di atas bantalmu selalu terdapat kumis dan janggut yang rontok ....’

‘Kau melihatnya?’ sahut ayahmu.

Ibumu berkata, ‘Sudah lama aku melihatnya, namun aku diam saja. Kumis dan janggut palsu yang kau tempelkan dengan perekat mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui adik seperguruan sekaligus istrimu yang telah mendampingimu selama puluhan tahun ini?’

Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah ia bertanya, ‘Apakah orang lain ada yang tahu?’

Ibumu menjawab, ‘Tidak.’

Ayahmu bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Shan’er dan Ping’er?’

‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu.

Lalu ayahmu berkata, ‘Baik, aku menuruti nasihatmu. Jubah biksu ini akan kita usahakan agar bisa kembali ke tangan Pingzhi. Kemudian kita berusaha pula mencuci bersih nama baik Chong’er. Mulai malam ini aku pun takkan mendalami lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini.’

Ibumu menjadi senang dan berkata, ‘Begitulah sebaiknya. Namun, ilmu pedang Keluarga Lin ini jelas-jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kita mengembalikannya kepada Pingzhi? Kurasa lebih baik dimusnahkan saja.’”

Yue Lingshan menyahut, “Tentunya Ayah tidak setuju. Kalau Ayah setuju memusnahkan kitab pusaka itu tentu … tentu kau takkan berubah menjadi seperti ini.”

“Kau salah duga. Ayahmu ternyata setuju untuk memusnahkan kitab pusaka tersebut,” kata Lin Pingzhi. “Aku sendiri pun terkejut. Aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin kami. Tidak peduli kitab itu merugikan atau menguntungkan, bagaimanapun juga ayahmu tidak punya hak untuk memusnahkannya. Pada saat itulah kudengar daun jendela dibuka. Seketika aku pun menunduk ke bawah. Tiba-tiba suatu benda dilemparkan keluar lewat di atas kepalaku, ternyata jubah biksu tersebut yang dibuang, menyusul kemudian jendela lantas ditutup kembali. Melihat jubah biksu itu melayang menuju ke bawah, kalau kubiarkan tentu akan jatuh ke dalam jurang. Aku pun berusaha menangkapnya namun meleset. Waktu itu aku merasa jubah itu adalah satu-satunya harapanku untuk membalaskan kematian Ayah dan Ibu. Maka, tanpa pikir panjang aku segera menangkapnya dengan kaki sambil tanganku berpegangan pada batuan tebing. Hampir saja aku jatuh ke dasar jurang bersama jubah itu.”

Di tempat persembunyiannya Ren Yingying berpikir, “Kau akan lebih beruntung kalau membiarkan jubah itu hilang di dasar jurang.”

Tiba-tiba Yue Lingshan menyahut, “Ibu mengira Ayah telah membuang jubah biksu yang berisi salinan kitab pusaka keluargamu itu ke dalam Jurang Tiansheng, padahal sebenarnya Ayah telah menghafal semua isinya di luar kepala. Dengan demikian jubah biksu tersebut jadi tidak berguna lagi, dan karena itu kau bisa mempelajarinya dengan tenang.”

“Benar!” sahut Lin Pingzhi.

“Rupanya sudah suratan takdir,” kata Yue Lingshan. “Sepertinya semua sudah diatur oleh Kehendak Langit agar kau dapat membalas sakit hati Ayah dan Ibu Mertua. Benar-benar ... bagus.”

“Akan tetapi, masih ada satu hal yang membuatku bingung,” lanjut Lin Pingzhi. “Beberapa hari ini aku selalu pusing memikirkannya. Masalahnya adalah, kenapa Zuo Lengchan juga mampu memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis?”

“O,” sahut Yue Lingshan acuh tak acuh. Tampaknya ia tidak terlalu peduli apakah Zuo Lengchan benar-benar mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis atau tidak.

Sebaliknya, Lin Pingzhi lantas berkata, “Kau tidak pernah belajar Jurus Pedang Penakluk Iblis, sehingga kau tidak mengetahui di mana letak keistimewaan ilmu pedang itu. Tempo hari sewaktu Zuo Lengchan bertempur melawan ayahmu di Panggung Fengshan, ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sama-sama Jurus Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja, permainan Zuo Lengchan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun pada akhirnya menjadi kacau balau. Setiap jurus yang ia mainkan seolah-olah sengaja mengalah kepada ayahmu. Untung saja ilmu pedangnya memiliki dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak. Akan tetapi, tetap saja ia harus terjebak ke dalam lingkaran kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis ayahmu dan akhirnya kehilangan kedua matanya. Kalau waktu itu ia menggunakan jurus pedang Perguruan Songshan dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini cukup masuk akal karena Jurus Pedang Penakluk Iblis memang tiada tandingannya di muka bumi. Namun, Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan hanya setengah-setengah, dan sepertinya ia juga tidak mengebiri diri sendiri. Entah dari mana Zuo Lengchan mempelajari jurus pedang keluargaku itu?” Kata-katanya yang terakhir itu mencerminkan suasana hatinya yang dirundung kebingungan mendalam.

Ren Yingying berpikir, “Sepertinya sudah cukup aku mendengarkan percakapan mereka. Mungkin Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah hasil curian sehingga ia hanya menguasai beberapa gerakan saja. Andai saja kau tahu, ilmu silat Dongfang Bubai jauh lebih hebat daripada Yue Buqun, tentu kau akan semakin bingung memikirkannya dan bisa-bisa kepalamu pecah.

Ren Yingying kemudian melangkah mundur perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda dari jauh menuju ke tempat itu. Sepertinya ada lebih dari dua puluh orang penunggang kuda yang datang. Khawatir terjadi sesuatu atas diri Linghu Chong, ia pun lekas-lekas melangkah pergi menuju ke tempat keretanya sendiri.

Sesampainya di sana ia pun berbisik, “Kakak Chong, ada orang datang!”

“Eh, apa kau mencuri dengar lagi tentang orang membawa daging sebagai umpan anjing di rumah si gadis? Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” sahut Linghu Chong sambil tertawa mengolok-olok.

“Cih!” sahut Ren Yingying dengan wajah merah karena teringat ajakan Yue Lingshan yang ingin melakukan hubungan suami-istri dengan Lin Pingzhi di dalam kereta tadi. “Mereka … mereka sedang berbicara tentang … tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini dan ceritakan kepadaku dengan lebih jelas,” pinta Linghu Chong.

“Tidak mau, aku tidak mau!” sahut Ren Yingying.

“Kenapa tidak mau?” Linghu Chong memaksa.

“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ren Yingying.

Sementara itu suara derap kaki kuda yang riuh tersebut terdengar semakin mendekat. Ren Yingying berkata, “Dari jumlahnya tentu mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng yang tersisa. Rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas.”

Segera Linghu Chong bangkit untuk duduk. “Mari kita maju perlahan-lahan. Masih ada cukup waktu,” ajaknya.

Ren Yingying memahami perasaan Linghu Chong yang khawatir terhadap keselamatan sang adik kecil dan ingin melindunginya meskipun diri sendiri belum sembuh dari luka. Sebenarnya Ren Yingying siap melaksanakan keinginan Linghu Chong itu namun ia tidak tega jika harus meninggalkannya seorang diri. Maka, perlahan-lahan ia pun menurunkan tubuh kekasihnya itu dari kereta.

Ketika kaki Linghu Chong menyentuh tanah, lukanya kembali terasa sakit dan ia pun berdiri terhuyung-terhuyung. Tanpa sadar tangannya memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja. Kini begitu roda kereta sedikit bergerak, segera binatang menegakkan kepala hendak meringkik karena mengira perjalanan hendak dilanjutkan kembali.

Namun, gerakan Ren Yingying sungguh sangat cepat. Pedangnya lantas menebas satu kali dan kepala keledai itu langsung terpenggal jatuh ke tanah sebelum sempat bersuara. Diam-diam Linghu Chong memuji kehebatan Ren Yingying, bukan karena kecepatan jurus pedangnya, tetapi karena kecepatannya bertindak dengan tegas dan jitu. Dalam sekali tebas gadis itu telah mencegah si keledai hingga tidak sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Mengenai bagaimana kereta mereka nanti dapat berjalan, itu urusan belakangan.

Linghu Chong buru-buru melangkah ke depan karena mendengar derap kaki kuda-kuda itu semakin dekat. Melihat langkahnya yang tertatih-tatih Ren Yingying berpikir, “Kakak Chong ingin secepatnya mendekati tempat Nona Yue sebelum musuh datang. Tapi ini bisa membuat lukanya bertambah buruk. Namun jika aku menggendongnya, apakah ia tidak merasa malu?”

Sementara itu terdengar suara derap kuda sudah makin mendekat. Ren Yingying akhirnya berseru, “Permisi, Kakak Chong!” Tanpa menunggu jawaban ia lantas memegang punggung dan pinggang kekasihnya itu lalu mengangkat tubuhnya dengan mengerahkan tenaga dalam. Secepat kilat keduanya pun masuk dan menelusuri ladang jagung yang lebat.

Linghu Chong bersyukur namun juga merasa geli. Ia selaku ketua Perguruan Henshan, namun digendong oleh seorang gadis bagaikan bayi. Andai kejadian ini dilihat orang lain tentu bisa runyam. Namun, kalau Ren Yingying tidak cepat mengambil tindakan, bisa jadi orang-orang Perguruan Qingcheng tiba lebih dulu, tentu sang adik kecil akan celaka. Linghu Chong merasa Ren Yingying memang benar-benar bisa menyelami isi hatinya sehingga berbuat demikian.

Tidak lama kemudian, jarak kedua pihak sudah semakin dekat. Ren Yingying mencoba melongok keluar. Dalam kegelapan tampak satu barisan obor datang dari jurusan lain jalan raya tersebut.

“Berani sekali mereka mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ren Yingying.

“Mereka sudah gelap mata. Setelah kematian guru mereka, rupanya orang-orang Qingcheng ini ingin bertempur habis-habisan. Aduh, ini sungguh mengerikan,” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba Ren Yingying menyahut, “Celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta Nona Yue!”

“Lekas kita hadang mereka agar tidak sampai kemari,” kata Linghu Chong.

“Jangan khawatir. Kita masih mampu untuk menolong mereka,” ujar Ren Yingying.

Linghu Chong sadar kepandaian Ren Yingying cukup tinggi. Yu Canghai juga sudah mati, maka sisa orang-orang Perguruan Qingcheng yang datang itu tentu tidak perlu ditakuti lagi.

Ren Yingying menggendong tubuh Linghu Chong sampai pada jarak belasan meter dari kereta Yue Lingshan, kemudian perlahan-lahan ia pun menurunkan pemuda itu. “Duduklah yang tenang dan jangan bergerak,” ujarnya lirih.

Sementara itu, terdengar Yue Lingshan sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah datang secepat ini. Mereka pasti kawanan tikus dari Perguruan Qingcheng.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Lin Pingzhi.

“Mereka tahu kita terluka sehingga berani datang dengan membawa obor,” ujar Yue Lingshan.

“Mereka membawa obor?” sahut Lin Pingzhi menegas.

“Benar,” jawab Yue Lingshan.

“Lekas turun ke bawah. Kawanan tikus itu hendak membakar kereta ini!” seru Lin Pingzhi. Penderitaan bertubi-tubi yang sudah lama ia alami membuat pikirannya jauh lebih tajam dan waspada daripada Yue Lingshan.

“Baik,” jawab Yue Lingshan. Dengan cepat ia melompat turun dari kereta, lalu memegang tangan Lin Pingzhi untuk membantu suaminya itu melompat turun pula. Keduanya lantas menyingkir ke tepi jalan dan menyusup ke tengah ladang jagung. Tempat mereka kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat Ren Yingying dan Linghu Chong bersembunyi.

Sementara itu, orang-orang Perguruan Qingcheng sudah tiba dan mengepung kereta kosong tersebut. Seorang di antaranya lantas berteriak, “Anjing Lin Pingzhi! Apa kau ingin bersembunyi seperti bulus? Mengapa kau tidak menongolkan kepalamu keluar?”

Namun, keadaan kereta itu sunyi senyap tiada jawaban terdengar. Segera seorang di antara mereka kembali berkata, “Mungkin dia sudah melarikan diri dan meninggalkan kereta ini.”

Tiba-tiba api obor memecah kegelapan. Tampak sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sesosok tangan yang langsung menangkap obor itu dan melemparkannya kembali.

Kontan orang-orang Perguruan Qingcheng menjadi panik dan berteriak, “Bangsat! Anjing itu berada di dalam kereta!”

Melihat dari dalam kereta tiba-tiba menjulur keluar tangan seseorang, tentu saja membuat Ren Yingying dan Linghu Chong terheran-heran. Mereka tidak menyangka ada orang lain yang juga bersembunyi dan bermaksud menolong Lin Pingzhi. Sementara itu, Yue Lingshan jelas lebih terkejut lagi. Sekian lama ia berbicara dengan Lin Pingzhi, sama sekali tak menduga bahwa di dalam keretanya telah bersembunyi orang lain. Kalau dilihat dari cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, sepertinya ia memiliki ilmu silat yang tinggi.

Murid-murid Perguruan Qingcheng berturut-turut melemparkan obor di tangan masing-masing ke arah kereta, namun semuanya dapat ditangkap dan dilemparkan kembali oleh orang itu. Jumlah obor yang dilempar dan dikembalikan mencapai lebih dari delapan buah. Meskipun obor-obor itu tidak sampai melukai seorang pun di antara mereka, namun ini sudah cukup untuk membuat orang-orang Qingcheng tidak berani melempar lagi. Mereka lantas mengelilingi kereta itu sambil memaki-maki, “Anak bulus itu tidak berani keluar. Mungkin dia terluka parah dan hampir mampus!”

Di bawah cahaya obor yang masih tersisa tampak dengan jelas bahwa orang yang bersembunyi di dalam kereta itu memiliki lengan yang kecoklatan dan keriput, serta urat-uratnya yang menonjol, jelas merupakan lengan seorang tua.

“Dia bukan Lin Pingzhi,” seru salah seorang.

“Dia juga bukan istrinya,” seru yang lain.

Orang-orang Qingcheng itu menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Tiba-tiba sekitar dua puluhan di antara mereka serentak menusukkan pedang masing-masing ke dalam kereta. Maka, muncullah seorang laki-laki yang meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemerlapan. Tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Qingcheng tersebut. Begitu pedangnya bergerak, seketika dua orang lawan jatuh terkapar.

Orang itu memakai baju kuning seperti seragam Perguruan Songshan. Hanya saja wajahnya memakai cadar kain hitam, sehingga tidak bisa dikenali, kecuali sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya pun bergerak begitu cepat. Hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Qingcheng berguguran.

Melihat pertempuran itu, tanpa terasa tangan Linghu Chong menggenggam erat tangan Ren Yingying. Keduanya sama-sama berpikir, “Dia memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Ditinjau dari bentuk tubuhnya, orang itu jelas bukan Yue Buqun, apalagi Zuo Lengchan yang sudah buta. Kembali mereka berdua berpikiran sama, “Ternyata selain Yue Buqun, Lin Pingzhi, dan Zuo Lengchan, masih ada orang keempat yang bisa memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Sementara itu, Yue Lingshan berkata lirih kepada Lin Pingzhi, “Adik Ping, orang itu memainkan jurus pedang yang mirip denganmu.”

“Apa?” sahut Lin Pingzhi tidak percaya. “Dia … dia juga dapat memainkan ilmu pedang keluargaku? Apa kau tidak … tidak keliru?”

Dalam pertempuran tersebut kembali tiga orang murid Qingcheng roboh terkena pedang lawan. Kini Linghu Chong dan Ren Yingying sudah dapat melihat dengan jelas. Meski jurus yang dimainkan orang itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis, namun kecepatannya masih kalah jauh dibandingkan Yue Buqun dan Lin Pingzhi, apalagi terhadap Dongfang Bubai. Hanya saja, ilmu silat orang itu cukup tinggi, ditambah jurus-jurus Pedang Penakluk Iblis yang ia gunakan memang mengagumkan, sehingga masih lebih unggul menghadapi orang-orang Qingcheng yang berjumlah lebih banyak.

“Ilmu pedangnya mirip denganmu, tapi gerakannya masih tidak secepat dirimu,” kata Yue Lingshan lagi.

“Gerakannya masih kurang cepat? Ini jelas tidak sesuai dengan intisari ilmu pedang keluargaku,” ujar Lin Pingzhi. “Akan tetapi siapa … siapa dia? Mengapa dia dapat memainkan jurus pedang kami?”

Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang murid Perguruan Qingcheng dadanya tembus oleh pedang orang itu. Menyusul kemudian orang bercadar itu membentak keras, pedangnya lantas ditarik dan menebas pula. Kontan seorang di belakangnya terpotong menjadi dua sebatas pinggang. Orang-orang Perguruan Qingcheng yang lain menjadi ngeri dan sama-sama melompat mundur.

Kembali orang itu membentak keras dan menerjang maju. Tiba-tiba seorang murid Qingcheng menjerit ketakutan dan kemudian memutar tubuh melarikan diri. Kawan-kawannya yang lain menjadi takut pula dan beramai-ramai mereka menyusul kabur. Ada yang memacu kuda, ada pula yang lari tunggang langgang tak tentu arah.

Setelah semua murid Qingcheng menghilang, orang bercadar itu tampak berdiri tegak dengan napas terengah-engah. Linghu Chong dan Ren Yingying dapat menduga bahwa dalam pertempuran sengit tadi orang itu telah banyak kehilangan tenaga, bahkan mungkin juga terluka dalam.

Beberapa obor yang berserakan di tanah masih menyala sehingga dapat terlihat orang tua bercadar itu terengah-engah cukup lama. Setelah agak tenang, orang tua berbaju kuning itu menyarungkan kembali pedangnya, lalu berseru, “Pendekar Lin dan Nyonya Lin, aku dikirim Ketua Zuo dari Perguruan Songshan untuk datang memberi bantuan.” Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu sepertinya ia sedang mengulum sesuatu di mulutnya, seolah sedang menyamarkan suara agar tidak dikenali orang lain.

“Terima kasih banyak atas bantuan Tuan. Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan yang mulia ini?” sahut Lin Pingzhi sambil keluar dari tempat persembunyiannya bersama Yue Lingshan.

Orang tua itu berkata, “Ketua Zuo mendengar bahwa Pendekar Lin bersama Nyonya terluka parah setelah membasmi para penjahat. Kini Pendekar Lin berdua handak disergap musuh di tengah jalan. Aku diperintahkan Beliau untuk melindungi Pendekar Lin berdua dan mencari suatu tempat istirahat yang aman, supaya tidak bisa ditemukan oleh ayah-mertuamu.”

Baik Linghu Chong dan Ren Yingying maupun Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sama-sama heran dari mana Zuo Lengchan mendapat keterangan sejelas itu?

Lin Pingzhi lantas menjawab, “Maksud baik Ketua Zuo dan Tuan yang mulia sungguh sangat kuhargai. Mengenai luka ini bisa kupulihkan sendiri, dan aku tidak berani merepotkan Tuan.”

Orang tua itu kembali berkata, “Tapi kedua mata Pendekar Lin terkena racun Si Bungkuk, sungguh sukar kiranya untuk bisa melihat kembali. Kalau Pendekar Lin tidak diobati secara langsung oleh Ketua Zuo, bisa jadi … bisa jadi sepasang mata Pendekar Lin sukar untuk dipertahankan.”

Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punggung Mu Gaofeng, baik mata maupun wajah Lin Pingzhi terasa kaku dan gatal luar biasa. Bahkan karena gusarnya, hampir-hampir ia mencongkel kedua biji matanya sendiri. Syukurlah ia masih mampu bertahan sedapat mungkin.

Setelah termenung sejenak, Lin Pingzhi menjawab, “Aku bukan teman ataupun keluarga Ketua Zuo, tapi mengapa Ketua Zuo menaruh perhatian sedemikian rupa kepadaku? Silakan Tuan menjelaskan lebih dulu. Kalau tidak, sukar bagiku untuk menerima maksud baik Beliau.”

Orang bercadar itu tertawa terkekeh dan berkata, “Pepatah mengatakan, ‘Musuh dari musuhku adalah teman’. Ketua Zuo kehilangan penglihatan karena dicelakai secara licik oleh Yue Buqun. Kalau Yue Buqun mendengar Pendekar Lin mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, meski Pendekar Lin berusaha menyingkir ke ujung dunia sekalipun juga akan diburu olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Kekuasaannya besar, pengaruhnya pun luas. Memangnya kau seorang diri hendak bersembunyi ke mana lagi? Hehe, apalagi putri kesayangan Yue Buqun senantiasa mendampingimu siang dan malam. Meski Pendekar Lin memiliki kepandaian setinggi langit, namun tetap sulit berjaga-jaga terhadap musuh dalam selimut ….”

“Kakak Kedua, ternyata dirimu!” mendadak Yue Lingshan berteriak memanggil orang bercadar itu.

Seketika perasaan Linghu Chong terguncang mendengarnya. Suara orang tua yang samar-samar dan serak itu memang seperti sudah akrab di telinganya. Kini setelah Yue Lingshan berteriak, ia pun langsung sadar bahwa orang tua itu adalah Lao Denuo, bekas adik seperguruannya nomor dua. Namun, dulu ia mendengar kabar dari Yue Lingshan bahwa Lao Denuo mati terbunuh di Kota Fuzhou. Jika demikian, kabar tersebut bisa jadi tidak benar.

Terdengar orang tua itu berkata dingin, “Hm, bocah yang cukup cerdik. Kau dapat mengenali suaraku.” Kali ini ia bicara dengan menggunakan suara yang sebenarnya, sehingga semakin jelas bahwa orang itu memang benar-benar Lao Denuo.

Yue Lingshan berkata, “Kakak Kedua, di Kota Fuzhou dulu apa kau pura-pura mati dibunuh musuh? Kalau begitu, tentu … tentunya kau juga yang telah membunuh Kakak Kedelapan, bukan?”

“Bukan,” sahut Lao Denuo. “Ying Bailuo hanya seorang bocah ingusan. Apa untungnya aku membunuh dia?”

“Kau masih juga menyangkal?” desak Yue Lingshan gusar. “Kau juga telah melukai punggung Adik Ping waktu itu. Padahal selama ini ... selama ini aku telah menuduh Kakak Pertama. Huh, perbuatanmu sungguh keji! Kau telah memalsukan kematianmu dengan cara membunuh seorang tua dan merusak wajahnya hingga hancur, lalu kau dandani dia dengan pakaianmu. Akibatnya, kami semua mengira kau telah mati dibunuh musuh.”

“Dugaanmu memang tidak salah,” jawab Lao Denuo. “Kalau tidak, mana mungkin Yue Buqun membiarkan aku lolos? Hanya saja, luka di punggung Pendekar Lin itu bukanlah hasil perbuatanku.”

“Bukan kau? Memangnya masih ada orang lain?” kata Yue Lingshan.

“Memang bukan orang lain, karena pelakunya adalah ayahmu sendiri,” jawab Lao Denuo.

“Omong kosong!” teriak Yue Lingshan. “Kau sendiri yang berbuat, tapi masih memfitnah orang lain. Tanpa sebab yang jelas untuk apa ayahku melukai Adik Ping?”

“Masalahnya waktu itu ayahmu baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tubuh Linghu Chong,” jawab Lao Denuo. “Kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu tentu saja Adik Ping-mu ini. Bila Pendekar Lin masih hidup di dunia, mana mungkin ayahmu dapat mendalami ilmu itu dengan leluasa?”

Yue Lingshan berkata, “Omong kosong! Omong kosong! Jika ayahku hendak membunuh Adik Ping, mana mungkin dalam sekali serang tidak langsung membuatnya meninggal?”

Tiba-tiba Lin Pingzhi menukas, “Luka di punggungku waktu itu memang benar-benar hasil perbuatan Yue Buqun. Ucapan Kakak Kedua sama sekali tidak salah.”

“Kau ... kau juga percaya kepadanya?” ujar Yue Lingshan.

“Punggungku terluka sangat parah akibat serangan itu. Aku sadar tidak mampu melawan. Maka, begitu roboh aku langsung pura-pura mati dan tidak bergerak lagi. Waktu itu aku belum tahu kalau si penyerang adalah Yue Buqun sendiri,” ujar Lin Pingzhi. “Dalam keadaan setengah sadar, samar-samar kudengar suara Kakak Kedelapan memanggil ‘Guru!’. Kemudian ia tidak bersuara lagi.”

“Jadi menurutmu ... Kakak Kedelapan juga … juga dibunuh oleh ayahku?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Memang begitulah adanya,” jawab Lin Pingzhi. “Aku mendengar Kakak Kedelapan menjerit, ‘Guru!’ dan kemudian roboh. Aku sendiri lantas jatuh pingsan. Ucapan Kakak Kedelapan telah menolong nyawaku, tetapi dia harus kehilangan nyawanya sendiri.”

Lao Denuo menyambung, “Sebenarnya waktu itu Yue Buqun hendak menambah satu tusukan lagi padamu. Kebetulan aku sendiri baru saja menaruh mayat orang lain sebagai pengganti diriku di halaman rumahmu. Aku sempat mengintai perbuatan Yue Buqun itu. Di tempat persembunyianku, aku perlahan mendehem sehingga membuat Yue Buqun gentar dan lekas-lekas kembali ke kamarnya. Ternyata suara dehemku itulah yang menyelamatkan nyawamu, Pendekar Lin.”

Yue Lingshan semakin gugup dan berkata, “Kalau ... kalau Ayah benar berniat membunuhmu, kesempatan selanjutnya bukankah cukup banyak? Mengapa Ayah tidak turun tangan lagi?”

“Hm, setelah kejadian itu aku menjadi lebih waspada, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Yue Buqun untuk turun tangan,” ujar Lin Pingzhi. “Keberadaanmu juga sangat menguntungkan bagiku. Setiap hari kita selalu bersama, sehingga membuat ayahmu tidak leluasa untuk membunuhku.”

“Ternyata … selain kau menikah denganku hanya untuk mengelabui banyak orang, kau juga mendekati aku ... hanya untuk menjadikanku sebagai tameng belaka,” kata Yue Lingshan sambil menangis tersedu-sedu.

Lin Pingzhi tidak peduli dengan tangisan istrinya itu. Ia lalu berkata, “Saudara Lao, sejak kapan kau berhubungan dengan Ketua Zuo?”

Lao Denuo menjawab, “Ketua Zuo adalah guruku yang mulia. Aku adalah muridnya yang nomor tiga.”

“O, ternyata kau sudah berganti perguruan?” kata Lin Pingzhi.

“Aku tidak pindah perguruan,” jawab Lao Denuo. “Sejak dulu aku memang murid Perguruan Songshan. Hanya saja, selama ini aku ditugasi guruku untuk menyusup ke dalam Perguruan Huashan. Tujuannya adalah untuk menyelidiki ilmu silat Yue Buqun serta gerak-gerik setiap orang Huashan.”

Baru sekarang Linghu Chong paham permasalahannya. Ketika Lao Denuo masuk Perguruan Huashan memang ia sudah mahir beberapa ilmu silat. Hanya saja, yang diperlihatkannya adalah ilmu silat campuran dari berbagai golongan. Sungguh tak disangka kalau ia sebenarnya murid Perguruan Songshan. Rupanya memang sudah lama Zuo Lengchan merencanakan pencaplokan terhadap keempat perguruan yang lain. Ia telah menaruh mata-matanya di mana ia merasa perlu. Maka, kenapa Lao Denuo tega membunuh Lu Dayou serta mengapa ia mencuri Kitab Awan Lembayung kini terjawab sudah. Bahkan, seorang yang cerdik dan waspada seperti Yue Buqun ternyata dapat dikelabui juga oleh Lao Denuo.

Kembali terdengar Lin Pingzhi berkata, “Saudara Lao telah berhasil membawa Kitab Pedang Penakluk Iblis ke Gunung Songshan sehingga Ketua Zuo berhasil mendalami ilmu sakti tersebut. Jasa Saudara Lao terhadap perguruan sungguh besar.”

Linghu Chong dan Ren Yingying manggut-manggut sependapat dengan ucapan Lin Pingzhi itu. Kini terjawab pula mengapa Zuo Lengchan dan Lao Denuo dapat memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, meskipun tidak sempurna. Ternyata, pikiran Lin Pingzhi dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat pula.

Lao Denuo menjawab, “Saudara Lin, kita berdua, juga guruku yang mulia telah sama-sama ditipu mentah-mentah oleh si keparat Yue Buqun. Orang itu benar-benar culas dan keji. Kita semua telah diperdaya olehnya.”

“Hm, aku paham,” ujar Lin Pingzhi. “Tentu Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah palsu, yaitu hasil tulisan tangan Yue Buqun. Maka itu ….”

“Maka itu, dalam pertandingan di Panggung Fengshan tempo hari si bangsat Yue Buqun mampu mengalahkan guruku, begitu?” sahut Lao Denuo sambil mengertakkan gigi.

Lin Pingzhi mengangguk, “Aku paham sekarang. Jadi, Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah kitab palsu hasil tulisan tangan Yue Buqun sendiri, dengan mengubah beberapa bagian di dalamnya.”

Lao Denuo berkata dengan gemas, “Rupanya sudah sejak lama Yue Buqun menaruh curiga kepadaku. Selama di Gunung Huashan dia diam saja tidak pernah menunjukkan kecurigaannya. Waktu itu di Kota Fuzhou aku telah melarikan diri setelah ketahuan mencuri Kitab Awan Lembayung. Karena kegagalan itu, aku merasa tidak bisa kembali ke Perguruan Songshan begitu saja. Aku menyusup lagi ke rumah keluargamu sambil menaruh mayat palsu di halaman. Aku berharap bisa mencuri kembali Kitab Awan Lembayung, atau bahkan mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah dikuasai Yue Buqun. Tak disangka, Yue Buqun telah menyalin isi kitab milik keluargamu itu dengan banyak pengurangan di sana-sini. Kitab Pedang Penakluk Iblis yang kuperoleh itu ternyata palsu dan banyak bagiannya yang hilang. Itu sebabnya jurus-jurus pedang yang kami latih meskipun bagus, ternyata tidak secepat Yue Buqun dan Pendekar Lin. Kemudian pada pertandingan di Panggung Fengshan yang menentukan waktu itu, Yue Buqun telah memancing guruku untuk memainkan ilmu pedang palsu tersebut. Kalau tidak, mana mungkin dia mampu memenangkan pertandingan dan merebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung?”

“Benar, Yue Buqun memang sangat licik dan culas. Kita sama-sama telah masuk ke dalam perangkapnya,” ujar Lin Pingzhi menghela napas.

“Guruku sendiri seorang yang bijaksana. Meski aku telah membuat urusannya yang mahabesar menjadi kacau-balau, namun Beliau tidak pernah menyalahkanku,” kata Lao Denuo kemudian. “Namun, sebagai seorang murid jelas hatiku merasa tidak tenteram. Biarpun masuk lautan api atau mendaki gunung pedang juga aku akan berusaha membinasakan keparat Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati Guru.” Ucapan yang terakhir ini dilontarkannya dengan tegas dan gemas. Sepertinya ia memang benar-benar sangat dendam luar biasa terhadap Yue Buqun.

Lin Pingzhi tidak menanggapi. Ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang tua itu.

Lao Denuo pun melanjutkan, “Kedua mata guruku telah rusak. Saat ini Beliau menyepi di puncak barat Gunung Songshan bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Linghu Chong tempo hari. Bila Pendekar Lin sudi ikut bersamaku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Jurus Pedang Penakluk Iblis, tentu Beliau akan menyambutmu dengan penuh penghormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak, tinggal saja di sana bersama kami untuk bersama-sama memikirkan bagaimana cara menuntut balas sakit hati yang mendalam ini. Bukankah ini adalah jalan yang terbaik?”

Lin Pingzhi tertarik juga mendengarnya. Kedua matanya yang telah rusak tentu sukar untuk bisa sembuh kembali. Maka, apabila bisa berkumpul dengan orang-orang senasib yang sama-sama buta, tentu manfaatnya dapat saling bertukar pikiran demi menuntut balas. Sepertinya ini memang jalan yang paling baik. Hanya saja, ia pun kenal sifat Zuo Lengchan, bila tidak menyimpan maksud dan tujuan tertentu mustahil tiba-tiba begitu baik kepadanya. Maka, ia pun menjawab, “Terhadap maksud baik Ketua Zuo sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Saudara Lao dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap?”

Lao Denuo paham maksud pertanyaan Lin Pingzhi. Dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Pendekar Lin ternyata seorang yang suka berpikir secara terbuka dan terus terang. Baiklah, agar kelak kita dapat bekerja sama dengan lebih baik, tentu akan kujelaskan maksud guruku secara terus terang. Kami, guru dan murid telah tertipu mentah-mentah karena mendapatkan kitab palsu. Akan tetapi, di sepanjang jalan aku telah menyaksikan bagaimana Pendekar Lin memperlihatkan ilmu pedang yang sangat hebat untuk membunuh Mu Gaofeng, Yu Canghai, dan para begundal Qingcheng. Jelas sekali kau telah memperoleh ilmu pedang yang asli dari Kitab Pedang Penakluk Iblis yang sesungguhnya. Sungguh aku sangat kagum dan juga … dan juga sangat tertarik ….”

Lin Pingzhi dapat menangkap maksud orang tua itu. Ia pun menjawab, “Apakah maksud Saudara Lao hendak memintaku untuk memperlihatkan kitab pusaka yang asli kepada kalian?”

“Sebenarnya orang luar seperti kami tidaklah pantas mengincar harta pusaka milik keluargamu itu,” jawab Lao Denuo. “Tapi, kiranya Pendekar Lin dapat memaklumi, bahwa keadaan guruku dan Pendekar Lin saat ini jelas tidak mampu untuk membunuh keparat Yue Buqun itu, kecuali kalau guruku dan aku dapat ikut mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli.”

Sesungguhnya Lin Pingzhi memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan buta seperti itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak, tentu Lao Denuo akan menggunakan kekerasan untuk membunuhnya dan juga terhadap Yue Lingshan. Maka, ia lantas berkata, “Ketua Zuo sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Keluarga Lin kami hancur dan aku menjadi cacat memang gara-gara perbuatan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akan tetapi, tipu muslihat yang dirancang Yue Buqun juga terhitung sebagai penyebab utama pula. Sudah tentu, keinginanku membunuh Yue Buqun tidak ubahnya seperti kalian berdua, guru dan murid. Maka itu jika kita bersatu padu, Jurus Pedang Penakluk Iblis akan kuperlihatkan kepada kalian secara keseluruhan.”

Lao Denuo sangat senang dan berkata, “Pendekar Lin ternyata sudi berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat secara langsung Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli. Untuk selanjutnya, Adik Lin tak ubahnya seperti saudara sendiri bagi kami.”

“Terima kasih,” kata Lin Pingzhi. “Setelah sampai di Gunung Songshan, aku akan segera menguraikan Kitab Pedang Penakluk Iblis yang asli di luar kepala.”

“Menguraikannya di luar kepala?” Lao Denuo menegas.

“Ya,” jawab Lin Pingzhi. “Mungkin Saudara Lao tidak tahu kalau kitab pusaka yang asli itu telah ditulis leluhurku pada selembar jubah biksu. Jubah itu telah dikangkangi oleh Yue Buqun, dan dari situ dia dapat mencuri ilmu pedang keluargaku. Namun, secara kebetulan jubah biksu itu bisa jatuh kembali ke tanganku. Karena aku khawatir Yue Buqun mengetahuinya, maka aku pun menghafalkan isi kitab itu di luar kepala, lalu jubah biksu itu kumusnahkan. Bila aku masih menyimpan jubah biksu tersebut, padahal aku selalu didampingi seorang istri setia seperti dia, hehe, mana mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?”

Sejak tadi Yue Lingshan hanya diam tanpa bicara. Kini begitu mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kau … kau kenapa ….” Namun ia tidak sanggup melanjutkan lagi.

Karena Lao Denuo sejak awal telah bersembunyi di dalam kereta, maka ia pun mendengar semua percakapan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia pun percaya apa yang dikatakan Lin Pingzhi itu bukanlah omong kosong semata. Maka, ia lantas menjawab, “Baiklah kalau begitu. Apakah sekarang juga kita bisa berangkat ke Gunung Songshan?”

Tanpa pikir panjang Lin Pingzhi menjawab, “Tentu saja!”.

“Kita harus membuang kereta keledai ini dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil. Aku khawatir bertemu Yue Buqun jika tetap melewati jalan raya, karena kita bukan tandingannya,” kata Lao Denuo. Kemudian ia berpaling kepada Yue Lingshan dan bertanya, “Adik Kecil, apakah kau akan membantu ayah atau membantu suami?”

“Aku tidak akan membantu siapa pun!” sahut Yue Lingshan tegas. “Aku … aku memang bernasib buruk. Besok pagi aku akan mencukur rambut dan menjadi biksuni. Apakah dia ayah atau suami, selanjutnya aku tidak akan menemui mereka lagi.”

“Memang sangat tepat kalau kau menjadi biksuni di Henshan,” sahut Lin Pingzhi mengejek.

“Lin Pingzhi!” teriak Yue Lingshan gusar. “Dulu kau hampir mampus di Kota Hengshan, kalau bukan karena ditolong Ayah, bukankah jiwamu sudah melayang di tangan Mu Gaofeng? Andaikan ayahku berbuat suatu kesalahan, aku, Yue Lingshan tetap saja tidak berbuat suatu hal yang keliru padamu. Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?”

“Apa maksudku? Aku hanya ingin membuktikan tekadku kepada Ketua Zuo,” sahut Lin Pingzhi. Suaranya mendadak terdengar bengis dan kejam.

“Ah!” tiba-tiba Yue Lingshan menjerit ngeri.

“Celaka!” teriak Linghu Chong. Tanpa pikir panjang ia dan Ren Yingying melompat keluar dari tempat persembunyian. Linghu Chong lantas berteriak, “Lin Pingzhi, jangan kau sakiti Adik Kecil!”

Keduanya dalam keadaan menyamar serta suasana masih gelap pula. Sebenarnya Lao Denuo tidak mengenali mereka. Namun, begitu mendengar suara Linghu Chong itu seketika ia menjadi sangat terkejut. Hampir-hampir sukmanya lepas meninggalkan raga.

Saat ini yang paling ditakuti Lao Denuo selain Yue Buqun hanyalah Linghu Chong seorang. Maka, tanpa pikir lagi segera ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi lantas melompat hinggap di atas punggung kuda peninggalan orang-orang Qingcheng tadi. Dengan sekali hentak, ia pun memacu hewan itu melaju sekencang-kencangnya.

Karena mengkhawatirkan keselamatan Yue Lingshan, Linghu Chong tidak sempat berpikir untuk mengejar kedua musuh tersebut. Dilihatnya Yue Lingshan tersandar di tempat duduk kusir kereta. Pada bagian dada nyonya muda itu tampak menancap sebilah pedang. Keadaannya begitu parah, pernapasannya sudah sangat lemah, begitu pula denyut nadinya.

“Adik Kecil! Adik Kecil!” Linghu Chong berseru.

“Apakah … apakah Kakak Pertama?” jawab Yue Lingshan lemah.

“Ya … ya, ini aku!” sahut Linghu Chong senang.

Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Yue Lingshan itu, tapi Ren Yingying lebih dulu mencegahnya. Ternyata hampir separuh batang pedang itu telah masuk ke dalam tubuh Yue Lingshan sampai tembus ke punggung. Kalau pedang itu dicabut hanya akan mempercepat kematiannya.

Mengetahui adik kecilnya sukar diselamatkan lagi, Linghu Chong sangat berduka. Sambil menangis ia berkata, “Adik Kecil … Adik Kecil!”

“Kakak Pertama, kau berada di sini, sungguh baik sekali,” kata Yue Lingshan dengan suara lemah. “Adik Ping, apakah … apakah ia sudah pergi?”

“Jangan khawatir, aku pasti membunuhnya untuk membalas sakit hatimu,” kata Linghu Chong gemas.

“Tidak, jangan!” sahut Yue Lingshan. “Matanya sudah buta. Kalau kau hendak membunuhnya, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku … aku ingin kembali ke tempat Ibu.”

“Baik, akan kubawa kau menemui Ibu Guru,” kata Linghu Chong.

Melihat keadaan Yue Lingshan yang semakin lemah itu, jelas jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ren Yingying juga ikut mengucurkan air mata.

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan lirih. “Kau senantiasa sangat baik padaku, tapi aku … aku banyak bersalah padamu. Aku … akan mati sebentar lagi. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, hendaknya kau dapat … dapat meluluskan permintaanku ini.”

“Kau takkan meninggal. Aku akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Linghu Chong. “Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu.”

“Tetapi … tapi kau tentu tak dapat menerimanya. Ini hanya akan menyusahkanmu …” suaranya semakin lirih, napasnya juga makin lemah.

“Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja,” jawab Linghu Chong.

“Kakak Pertama, … Adik Ping, suamiku, dia … dia sudah buta. Kas… kasihanilah dia,” kata Yue Lingshan terputus-putus.

“Ya, aku tahu,” jawab Linghu Chong.

“Dia sebatang kara di dunia ini,” lanjut Yue Lingshan. “Semua … semua orang me… memusuhinya. Kakak Pertama … sesudah aku mati, tolong … tolong kau menjaganya dengan baik. Jangan … sampai dia dianiaya orang lagi ….”

Linghu Chong tercengang. Sama sekali tak disangka bahwa Yue Lingshan yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lin Pingzhi, sang suami yang tega menurunkan tangan keji terhadapnya secara telengas. Padahal, kalau bisa Linghu Chong malah ingin segera membekuk Lin Pingzhi dan mencincangnya hingga hancur luluh. Bagaimanapun juga tidak mungkin ia sudi mengampuni jiwa manusia rendah bermarga Lin itu. Namun, Yue Lingshan malah memintanya untuk mengampuni pemuda tersebut, mana mungkin ia sudi mengabulkannya?

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan, “dia … dia tidak sengaja hendak membunuhku. Dia hanya … karena takut pada Ayah, dia terpaksa … terpaksa memihak Zuo Lengchan. Aku … aku pun ditusuknya sekali … Kakak Pertama, aku mohon … mohon padamu … agar men… menjaganya dengan baik ….”

Dengan gusar Linghu Chong menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa … mengapa kau masih memikirkannya?”

“Tidak ... tidak,” sahut Yue Lingshan. “Dia hanya ... tangannya hanya ... hanya lepas kendali dan tidak sengaja ... menusukku. Aku mohon ... aku mohon jaga dia.”

Di bawah cahaya rembulan, wajah Yue Lingshan tampak pucat, sinar matanya suram, namun memancarkan permohonan sepenuh hati. Padahal, sejak kecil apa pun permintaan yang diucapkan Yue Lingshan belum pernah ditolak oleh Linghu Chong. Meskipun permintaan tersebut sangat sulit, Linghu Chong pasti berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya. Apalagi permintaan Yue Lingshan sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, suatu permintaan terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.

Seketika darah dalam rongga dada Linghu Chong menjadi bergolak. Ia sadar, sekali menerima permintaan Yue Lingshan itu, maka untuk selanjutnya pasti akan berakibat besar dan mungkin akan banyak memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya. Namun, menghadapi wajah dan suara Yue Lingshan yang penuh rasa memohon itu, Linghu Chong tidak tega untuk menolak. Terpaksa ia pun mengangguk dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu. Jangan khawatir!”

Mendengar itu, tanpa terasa Ren Yingying menyela, “Mana … mana bisa kau menyanggupinya?”

Yue Lingshan menggenggam erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, terima … terima kasih banyak … Aku tidak perlu … tak perlu khawatir lagi ….” Tiba-tiba sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum pertanda puas.

Linghu Chong yang melihat wajah gembira Yue Lingshan itu pun berpikir, “Melihat wajahnya berbahagia seperti ini, aku rela jika harus menghadapi kesulitan apa pun juga.”

Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan bernyanyi perlahan. Seketika dada Linghu Chong seperti dipalu godam, karena lagu yang dinyanyikan Yue Lingshan itu ternyata lagu rakyat daerah Fujian. Lagu tersebut berjudul “Mendaki Gunung Memetik Teh” yang pernah diajarkan Lin Pingzhi kepadanya. Dahulu ketika Linghu Chong dihukum kurung di Puncak Huashan, perasaannya sangat pedih mendengar Yue Lingshan menyanyikan lagu tersebut. Kini sang adik kecil kembali menyanyikan lagu yang sama, jelas sedang mengenang masa percintaannya dengan Lin Pingzhi di Huashan dulu. Suara Yue Lingshan makin melemah, tangannya yang menggenggam tangan Linghu Chong juga semakin kendur dan akhirnya terbuka. Perlahan matanya terpejam, nyanyiannya berhenti pula. Akhirnya, ia pun berhenti bernapas.

Perasaan Linghu Chong seperti hancur. Seketika langit seakan-akan runtuh pula. Dengan segala upaya ia berusaha melindungi Yue Lingshan dari serangan orang-orang Qingcheng, namun sang adik kecil justru meninggal di tangan suami sendiri. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat bersuara. Dipeluknya tubuh Yue Lingshan yang sudah tak bernyawa itu dan perlahan ia bergumam, “Adik Kecil, jangan khawatir, Adik Kecil! Akan kubawa kau ke tempat ibumu. Pasti tiada seorang pun yang berani mengganggumu.”

Ren Yingying melihat punggung Linghu Chong basah kuyup oleh darah. Baju pemuda itu semakin lama semakin basah, jelas lukanya kambuh kembali. Namun, dalam keadaan demikian Ren Yingying tidak tahu bagaimana cara untuk menghiburnya.

Sambil menggendong jenazah Yue Lingshan, dengan langkah sempoyongan Linghu Chong maju ke depan sambil menggumam, “Jangan khawatir, Adik Kecil, akan kubawa kau kepada ibumu!” Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan ia pun jatuh terguling tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama Linghu Chong pingsan, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara denting kecapi yang membuat pikirannya terasa segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang-ulang. Lagu yang dimainkan seperti sudah dikenalnya dengan baik. Sungguh nyaman sekali rasa hatinya. Seluruh tubuh terasa lemas sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk dibuka. Ia berharap senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi tersebut tanpa berhenti.

Suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Tak lama kemudian, sayup-sayup Linghu Chong kembali tertidur pulas. Ketika untuk kedua kalinya ia terjaga, telinganya tetap mendengar suara denting kecapi yang merdu itu, malah hidungnya mencium semerbak bau wangi bunga. Sewaktu membuka mata, di depannya ternyata penuh dengan bunga beraneka warna. Ada merah, kuning, putih, dan biru. Ia kemudian melihat punggung Ren Yingying yang sedang duduk dan memainkan kecapi membawakan lagu “Kahyangan Biru”.

Linghu Chong kemudian menjumpai dirinya sedang terbaring di atas tumpukan rumput empuk di dalam sebuah gua pegunungan. Sinar matahari menyorot masuk melalui mulut gua tersebut. Segera ia bermaksud bangkit untuk duduk, tapi Ren Yingying lebih dulu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh kasih sayang. Saat itu Linghu Chong merasa sangat bahagia. Ia tahu Ren Yingying yang telah membawa tubuhnya ke dalam gua tersebut ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian sang adik kecil yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ren Yingying yang lembut dan mesra itu ia merasa terhibur. Mereka berdua hanya saling pandang tanpa bicara sampai sekian lama.

Perlahan Linghu Chong mengelus tangan Ren Yingying. Tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu tercium pula bau sedap daging panggang. Ren Yingying lantas mengangkat setangkai kayu, dan di atas tangkai itu tertusuk beberapa ekor kodok panggang. “Wah, hangus lagi!” katanya dengan tersenyum.

Linghu Chong bergelak tawa teringat kejadian dahulu ketika mereka sedang makan kodok panggang di tepi sungai. Kini mereka hendak memakan kodok panggang lagi untuk yang kedua kalinya. Dalam selang waktu sekian lama itu mereka telah banyak mengalami bermacam-macam kejadian, namun sungguh bersyukur keduanya masih tetap berkumpul menjadi satu.

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali berduka karena teringat kepada Yue Lingshan. Ren Yingying memapahnya bangun. Sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua ia berkata, “Di situlah Nona Yue beristirahat untuk selamanya.”

“Terima kasih ... terima kasih banyak padamu,” kata Linghu Chong dengan menahan air mata. Dalam hati ia merasa rikuh, lalu menyambung, “Yingying, aku tidak pernah bisa melupakan perasaanku kepada Adik Kecil, hendaknya kau jangan marah.”

“Sudah tentu aku takkan marah,” jawab Ren Yingying. “Masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan pengalaman suka-duka pula,” Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, “Pertama kali bertemu di luar Kota Luoyang dulu, aku jatuh hati kepadamu justru karena kau menceritakan kisah cintamu terhadap adik kecilmu itu. Andai saja kau seorang pemuda tak berbudi yang mudah bergonta-ganti perasaan, tentu aku takkan menghargaimu.”

Setelah terdiam sejenak, Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya … sebenarnya Nona Yue seorang gadis yang baik, hanya saja ia tidak … tidak ada jodoh denganmu. Andai saja kau tidak dibesarkan bersamanya sejak kecil, kemungkinan besar dalam sekali pandang dia akan jatuh hati kepadamu.”

Linghu Chong merenung sejenak, kemudian menyahut, “Tidak mungkin. Adik Kecil sangat mengagumi kepribadian Guru. Laki-laki yang dia suka harus pendiam dan santun seperti ayahnya. Aku hanyalah teman bermain baginya. Selamanya dia tidak … tidak pernah menghormati aku.”

“Mungkin kau benar. Lin Pingzhi memang mirip gurumu,” jawab Ren Yingying. “Dari luar tampak alim, tapi jiwanya begitu kotor.”

Linghu Chong berkata, “Tapi pada saat-saat terakhirnya Adik Kecil tetap tidak percaya kalau Lin Pingzhi benar-benar sengaja membunuhnya. Dia masih tetap mencintai Lin Pingzhi sepenuh hati. Tapi ini juga ada … ada baiknya. Dia tidak meninggal dalam kesedihan. Aku ingin ... aku ingin melihat kuburannya.”

Segera Ren Yingying memapahnya keluar gua. Terlihat sebuah kuburan yang bagian atasnya ditumpuki batu dengan rapi, pertanda Ren Yingying tidak sembarangan menguburkan jenazah Yue Lingshan. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan itu terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipangkas tangkai dan daunnya. Pada kulit dahan itu terukir tulisan, “Tempat istirahat pendekar wanita dari Perguruan Huashan, Nona Yue Lingshan.”

Kembali Linghu Chong mencucurkan air mata. “Mungkin Adik Kecil lebih suka dipanggil Nyonya Lin,” katanya sedih.

“Lin Pingzhi manusia rendah dan tidak berbudi. Di alam baka Nona Yue pasti sadar dan tidak sudi disebut Nyonya Lin lagi,” ujar Ren Yingying. Dalam hati ia berpikir, “Sayang sekali kau tidak tahu bahwa Nona Yue dan Lin Pingzhi hanya sekadar menikah saja, tapi belum menjadi suami-istri yang sesungguhnya.”

Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi. Suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.

“Biarlah untuk sementara ini kita tinggal di sini sambil menyembuhkan lukamu. Kita juga bisa menemani kuburan Nona Yue,” kata Ren Yingying.

“Benar,” sahut Linghu Chong senang. “Adik Kecil sendirian di sini. Meskipun menjadi hantu tetap saja ia penakut.”

Ren Yingying hanya menghela napas menanggapi Linghu Chong yang bercanda di dalam kedukaan itu.

Begitulah, mereka berdua pun tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Berkat obat-obatan manjur dari Perguruan Henshan, ditambah tenaga dalamnya yang bagus, luka Linghu Chong akhirnya sembuh sembilan puluh persen dalam waktu dua puluh hari. Linghu Chong lalu melanjutkan belajar memetik kecapi kepada Yue Lingshan yang sempat tertunda lama. Pada dasarnya ia memang cerdas, serta tekun dan sabar pula, sehingga kemajuannya dalam seni musik pun cukup pesat.

Beberapa hari kemudian, ketika Linghu Chong bangun dari tidur di pagi hari, ia melihat pada kuburan Yue Lingshan telah tumbuh beberapa tunas rumput liar. Dengan sedih ia berpikir, “Ada rumput tumbuh di atas kuburan Adik Kecil. Entah bagaimana perasaannya di dalam sana?”

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang sangat merdu. Begitu menoleh, tampak Ren Yingying sedang meniup seruling sambil duduk di atas batu cadas. Lagu yang dimainkannya adalah “Kahyangan Biru” yang biasanya ia mainkan menggunakan kecapi. Linghu Chong pun melangkah mendekati gadis itu. Tampak seruling itu terbuat dari bambu yang masih segar, sepertinya baru saja diraut oleh Ren Yingying menggunakan pedang.

Segera Linghu Chong memangku kecapi dan mulai memetiknya mengikuti irama seruling Ren Yingying. Selesai membawakan sebuah lagu, ia merasa lebih bersemangat dan perasaannya jauh lebih segar. Kedua muda-mudi itu pun saling pandang dan tertawa bersama.

Ren Yingying berkata, “Kau sudah mahir memainkan lagu Kahyangan Biru. Bagaimana kalau kita berlatih lagu ‘Menertawakan Dunia Persilatan’ mulai hari ini?”

“Lagu itu sangat sukar. Entah sampai kapan aku baru bisa menyamaimu?” ujar Linghu Chong.

Ren Yingying tersenyum berkata, “Lagu ini memang sangat bagus. Aku sendiri masih belum paham secara keseluruhan. Ada sesuatu yang istimewa dalam lagu ini, namun sulit untuk dijelaskan. Sepertinya lagu ini memang harus dimainkan oleh dua orang, karena sifatnya saling melengkapi. Aku pernah memainkannya seorang diri namun rasanya seperti meraba-raba dalam kegelapan. Jika kita berlatih bersama pasti akan mendapatkan banyak kemajuan. Mungkin lagu ini memang menggambarkan perasaan mendalam Nie Zheng kepada kakak perempuannya di mana dua hati mereka telah bertaut.”

Linghu Chong bertepuk tangan dan menjawab, “Kau benar. Dulu aku pernah mendengar lagu ini dimainkan oleh Paman Liu dari Perguruan Hengshan dan Tetua Qu dari Sekte Ib... eh, Sekte Matahari dan Bulan kalian. Paduan seruling dan kecapi mereka sungguh selaras dan sangat enak didengar. Menurut Paman Liu, lagu Menertawakan Dunia Persilatan memang seharusnya dimainkan dengan paduan seruling dan kecapi.”

“Ya, kau memetik kecapi dan aku meniup seruling. Kita mulai berlatih setahap demi setahap,” kata Ren Yingying.

Linghu Chong menyahut, “Sayang sekali yang kau pegang itu seruling, bukan sitar. Kalau kecapi dan sitar pasti akan serasi seperti suami-istri.”

Wajah Ren Yingying memerah, dan ia pun menanggapi, “Beberapa hari ini kau jarang bercanda, kukira sifatmu sudah berubah.”

Linghu Chong buru-buru memasang wajah jenaka. Meskipun mereka hanya tinggal berdua di dalam lembah permai yang sunyi itu, namun keduanya tidak pernah bersenda gurau, apalagi mengucapkan lelucon nakal. Selama ini Linghu Chong hanya sibuk meminta petunjuk seni musik kepada Ren Yingying. Sekarang tanpa sengaja ia bergurau soal rumah tangga dan khawatir gadis yang pemalu itu tidak mau bicara lagi dengannya. Maka, ia pun kembali memasang wajah serius saat melihat Ren Yingying membuka kitab notasi lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan memberikan penjelasan kepadanya.

Begitulah, sejak hari itu Linghu Chong dan Ren Yingying mulai berlatih lagu Menertawakan Dunia Persilatan bersama-sama. Kemampuan seni musik Linghu Chong memang lebih rendah, namun karena pada dasarnya ia seorang pemuda cerdas sehingga cepat menangkap pelajaran yang diberikan Ren Yingying. Apalagi ia sudah mempelajari dasar-dasar bermain kecapi sejak di Hutan Bambu Hijau di luar Kota Luoyang dulu. Maka, sekitar sepuluh hari kemudian permainan Linghu Chong sudah semakin bagus, hampir mampu mengimbangi Ren Yingying. Meskipun paduan musik mereka masih kalah indah dibandingkan dengan permainan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, namun bisa dikatakan sudah mampu menangkap makna yang terkandung di dalam lagu tersebut.

Semakin dekat hubungan mereka, paduan musik yang mereka hasilkan pun semakin indah. Lembah sunyi dan permai yang mereka tinggali itu seolah-olah berada di luar dunia nyata. Untuk sesaat mereka lupa akan kilatan pedang dan percikan darah di dunia persilatan. Kedua muda-mudi ini sama-sama membayangkan dapat hidup berdampingan di lembah tersebut hingga hari tua, tentu rasanya akan sangat bahagia.

Pada suatu siang, setelah Linghu Chong berlatih musik sekian lamanya dengan Ren Yingying, tiba-tiba hawa murni liar di dalam tubuhnya sedikit mengganggu. Pikirannya terasa kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya terdengar salah.

“Tentu kau lelah. Silakan istirahat dulu saja,” ujar Ren Yingying.

“Dikatakan lelah juga tidak. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu,” kata Linghu Chong. “Aku ingin mencari buah persik dulu. Kita berlatih lagi nanti malam.”

“Baiklah, tapi jangan terlalu jauh,” kata Ren Yingying.

Linghu Chong mengetahui ada banyak pepohonan persik tumbuh di sebelah timur lembah tersebut. Apalagi saat itu adalah musim buah persik matang. Segera ia bergegas menuju ke sana. Kira-kira berjalan sepuluh li jauhnya, ia pun tiba di depan pepohonan persik yang lebat dengan buahnya yang sudah berwarna merah menggoda.

Tanpa pikir panjang ia lantas memetik sebanyak dua buah. Pada pohon selanjutnya ia memetik tiga buah. Lama-lama ia berpikir bahwa buah-buah tersebut beberapa hari lagi pasti akan bergururan di tanah dan membusuk. Maka, ia pun terus saja memetik sampai puluhan buah banyaknya.

“Nanti setelah memakan daging buah-buah ini, aku dan Yingying akan menebarkan biji-bijinya sehingga kelak lembah ini akan dikenal orang sebagai Lembah Persik. Aku dan Yingying akan dijuluki Sepasang Majikan Lembah Persik. Lalu kami memiliki enam orang anak, dan mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik. Entah bagaimana kacaunya apabila Enam Dewa Lembah Persik Cilik bertemu dan berdebat dengan Enam Dewa Lembah Persik Tua?” pikirnya sambil mulut tersenyum-senyum sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik bergeseknya ranting-ranting pohon. Segera ia pun bersembunyi di dalam semak belukar sambil berpikir, “Bagus sekali. Aku sudah bosan memakan kodok panggang dan buah-buahan. Mungkin ada hewan sebangsa kijang atau rusa yang datang dan bisa kutangkap.”

Ternyata dugaan Linghu Chong keliru, karena yang terdengar kemudian adalah suara langkah kaki beberapa orang berjalan. Ia pun terkejut dan berpikir, “Mengapa ada orang lain di lembah sunyi ini? Jangan-jangan mereka ke sini untuk mencariku dan Yingying?”

Sejenak kemudian, sayup-sayup terdengar salah seorang yang datang itu berkata, “Apakah kau tidak salah? Apakah benar keparat Yue Buqun itu sedang menuju kemari?”

Linghu Chong terkesiap dan berpikir, “Mereka menyebut-nyebut nama Guru. Siapa sebenarnya orang-orang ini?”

Kemudian terdengar suara seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Pengawas Shi, putri dan menantu Yue Buqun tiba-tiba menghilang entah ke mana. Jejak mereka sama sekali tidak ditemukan di kota, di pasar, di desa, ataupun di sungai mana pun juga. Kemungkinan besar mereka bersembunyi di lembah ini untuk merawat luka. Cepat atau lambat, Yue Buqun pasti akan ke sini untuk mencari mereka.”

Linghu Chong kembali berpikir, “Ternyata mereka mengetahui kalau Adik Kecil terluka, namun tidak mengetahui kalau ia sudah meninggal. Sepertinya banyak sekali yang mencari Adik Kecil dan Lin Pingzhi, terutama Guru dan Ibu Guru. Andai saja lembah ini tidak terpencil, pasti mereka sudah ke sini sejak lama.”

Lalu terdengar suara orang yang pertama tadi berkata, “Jika dugaanmu tidak salah dan Yue Buqun benar-benar kemari, maka kita perlu memasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”

Orang kedua yang bersuara agak serak menjawab, “Andaikan Yue Buqun tidak segera datang, kita tetap punya rencana untuk memancing kedatangannya.”

“Akalmu sungguh hebat Saudara Xue. Tadinya aku memandangmu sebelah mata. Tak disangka, ternyata kau menyimpan banyak kepandaian,” kata orang yang pertama.

Si marga Xue menjawab, “Terima kasih, Tetua Ge. Saya sangat mengharapkan bantuan Tetua Ge. Apapun perintah Tetua Ge kepada saya pasti akan saya laksanakan dengan sepenuh hati.”

Linghu Chong kecewa mendengarnya dan berpikir, “Hm, ternyata orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Sebaiknya mereka segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kami.” Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Rupanya mereka berniat mengincar Guru. Meskipun orang-orang ini mungkin memiliki kepandaian tinggi, rasanya tetap bukan tandingan Guru yang telah mengalami kemajuan pesat. Apalagi mengenai tipu muslihat, melawan guru sama seperti peribahasa ‘bertanding kapak melawan Lu Ban’. Sungguh tidak tahu diri.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara tepuk tangan tiga kali. Si marga Xue lantas berkata, “Tetua Du sudah tiba pula.”

Tetua Ge segera membalas dengan tiga kali tepuk tangan pula. Lalu terdengar suara langkah kaki sekitar empat orang berjalan dengan cepat. Dua orang di antaranya agak tertinggal di belakang, sepertinya ilmu meringankan tubuh mereka lebih rendah. Namun setelah dekat, Linghu Chong dapat mendengar bahwa kedua orang yang di belakang itu ternyata sedang menggotong sesuatu.

Tetua Ge merasa senang dan berseru, “Tetua Du, ternyata kau berhasil menangkap anak gadis keluarga Yue? Sungguh jasamu ini sangat besar!”

Lalu terdengar orang yang bermarga Du itu menjawab dengan suara lantang, “Orang ini memang berasal dari keluarga Yue. Namun, ini bukan anak gadisnya, melainkan induknya!”

“Hah!” terdengar Tetua Ge terkejut namun sangat senang. “Jadi ... jadi, orang ini istri Yue Buqun? Kau telah menangkap istri Yue Buqun?”

Linghu Chong sangat terkejut mendengar orang yang ditawan oleh para anggota Sekte Iblis itu ternyata ibu-gurunya sendiri. Ia bermaksud menerjang keluar untuk menolong, tapi segera teringat bahwa dirinya sedang tidak membawa pedang. Tanpa pedang di tangan jelas kepandaiannya tidak cukup untuk menandingi tokoh-tokoh semacam Tetua Ge dan Tetua Du itu. Maka, ia hanya bisa menunggu lebih lanjut di tempat persembunyian dengan perasaan khawatir.

Kemudian terdengar Tetua Du bertanya, “Kenapa tidak boleh?”

Tetua Ge menjawab, “Ilmu pedang Nyonya Yue sangat bagus. Entah bagaimana Saudara Du dapat menangkapnya? Ah, pasti kau memakai obat bius, bukan?”

Tetua Du tertawa menjawab, “Perempuan ini masuk ke dalam rumah makan dalam keadaan bingung seperti orang linglung. Tanpa banyak pikir ia lantas meminum semangkuk teh. Orang-orang sering memuji betapa hebat Pendekar Wanita Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Hm, ternyata dia begini ceroboh.”

Linghu Chong sangat gusar dalam hati, “Ibu Guru pasti sudah mendengar putri tersayangnya mendapat luka dan hilang entah ke mana. Sudah berhari-hari Ibu Guru mencari Adik Kecil dan tidak menemukan jejaknya, mana mungkin tidak bingung? Huh, berani-beraninya kalian menyebutnya ceroboh? Sebentar lagi aku akan keluar untuk membinasakan kalian semua dan menolong Ibu Guru.” Setelah terdiam sejenak ia kembali merenung, “Tapi bagaimana caraku menghadapi mereka kalau di tanganku tidak ada pedang? Sebaiknya aku merebut salah satu pedang dari mereka. Tapi kalau tidak ada pedang, golok pun jadi.”

Terdengar Tetua Ge berkata, “Setelah istri Yue Buqun berhasil kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah. Saudara Du, persoalan yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana cara memancing Yue Buqun agar datang kemari?”

“Juga bagaimana selanjutnya jika dia sudah terpancing kemari?” tanya Tetua Du.

Tetua Ge merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan istrinya sebagai sandera dan kita paksa dia menyerah. Suami-istri Yue terkenal sangat rukun dan serasi, sudah tentu dia tidak akan berani membangkang.”

“Apa yang disampaikan Saudara Ge sangat masuk akal,” kata Tetua Du. “Tapi aku khawatir kalau-kalau Yue Buqun ternyata berhati kejam. Cintanya kepada sang istri ternyata tidak mendalam, dan tidak setia pula. Kalau demikian bisa jadi urusan kita menjadi runyam.”

“Ini memang … memang … eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Xue?” tanya Tetua Ge tiba-tiba.

Si marga Xue menjawab, “Di hadapan kedua tetua, hamba merasa tidak berhak banyak bicara dan ikut perintah saja.”

Sampai di sini tiba-tiba dari arah barat terdengar suara orang bertepuk tangan tiga kali.

“Ah, Tetua Bao sudah datang,” ujar Tetua Du.

Dalam sekejap saja tampak dua orang datang berlari dari arah barat dengan kecepatan luar biasa.

“Tetua Mo juga ikut,” kata Tetua Ge.

Melihat itu Linghu Chong mengeluh dalam hati, “Mendengar cara mereka berlari, sepertinya kedua orang yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada si marga Ge dan Du. Entah bagaimana caraku bisa menyelamatkan Ibu Guru dengan tangan kosong?”

Terdengar Tetua Ge berkata, “Saudara Du telah berjasa besar. Ia berhasil menangkap istri Yue Buqun.”

“Bagus sekali, bagus sekali! Kalian sudah bekerja keras,” kata seorang tetua yang baru datang itu senang.

Tetua Ge menjawab, “Ini semua berkat jasa Saudara Du.”

Linghu Chong merasa suara gembong Sekte Iblis yang baru datang itu seperti sudah dikenalnya. “Mungkinkah aku pernah bertemu dengannya di Tebing Kayu Hitam?” Ia lantas mengerahkan tenaga dalam agar dapat mendengar lebih jelas suara percakapan orang-orang itu, namun sama sekali tidak berani melongok keluar untuk mengintai. Ia sadar gembong-gembong Sekte Iblis ini rata-rata berilmu tinggi, sehingga sedikit saja dirinya bergerak pasti akan langsung ketahuan.

Sementara itu, Tetua Ge terdengar berkata, “Saudara Bao dan Saudara Mo, kami di sini sedang berunding bagaimana cara memancing Yue Buqun kemari agar kita dapat menangkap dan membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”

“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang sesepuh yang baru datang itu.

Tetua Ge menjawab, “Kami belum menemukan cara yang tepat. Mungkin Saudara Bao dan Saudara Mo ada saran?”

Tetua yang tadi berkata, “Ketika orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung bertanding di Puncak Songshan memperebutkan jabatan ketua, Yue Buqun telah membutakan mata Zuo Lengchan. Setelah kejadian itu tak seorang pun yang berani lagi menantangnya. Konon ia telah mendapatkan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli dari Keluarga Lin, dan ilmu silatnya kini sangat lain daripada yang lain. Maka itu, jangan sekali-kali kita memandang remeh kepadanya.”

“Benar, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu kita kalah, juga belum tentu kita menang,” ujar Tetua Du.

Tetua Mo berkata, “Aku rasa Tetua Bao tentu sudah memiliki rencana bagus. Tolong katakan saja pada kami.”

Tetua Bao menyahut, “Sebenarnya aku memang mendapat suatu akal, tapi hanya akal biasa. Aku khawatir hanya menjadi bahan tertawaan kalian.”

“Mana mungkin? Tetua Bao terkenal sebagai gudang akal agama kita. Rencanamu pasti sangat bagus,” seru Tetua Mo, Ge, dan Du bersama-sama.

“Rencanaku ini sebenarnya hanya suatu akal bodoh,” ujar Tetua Bao. “Kita gali saja sebuah liang yang dalam, lalu di atasnya kita tutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak terlihat lagi. Setelah itu kita totok nadi perempuan ini dan kita letakkan ia di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Yue Buqun. Bila ia melihat sang istri tergeletak di situ, tentu ia akan bergegas datang untuk menolongnya dan … plung … aduuuh ….” sambil berbicara demikian ia bergaya seperti orang yang terperosok ke dalam lubang. Maka, tertawalah ketiga tetua lainnya bersama-sama.

“Akal Tetua Bao sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat bersembunyi di dekat liang jebakan itu. Maka, begitu Yue Buqun terjerumus, serentak kita mengacungkan senjata-masing-masing untuk menutup rapat mulut lubang tersebut sehingga tidak memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Tetua Mo dengan tertawa.

“Benar, namun dalam hal ini masih ada satu kesulitan,” ujar Tetua Bao.

“Kesulitan?” Tetua Mo menegas. “Benar juga. Tentu Saudara Bao khawatir pada ilmu pedang Yue Buqun yang sangat aneh itu. Setelah ia terjerumus ke dalam lubang tetap saja masih sukar bagi kita untuk membekuknya, bukan begitu?”

“Dugaan Saudara Mo memang tepat,” ujar Tetua Bao. “Kali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Ketua Ren adalah menghadapi tokoh utama Serikat Pedang Lima Gunung yang baru dilebur itu. Mati atau hidup diri kita nanti sukar diperkirakan. Bila kita sampai gugur saat menjalankan tugas sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak ternilai. Hanya saja, nama baik agama kita dan wibawa Ketua Ren tentu akan sangat dirugikan. Pepatah mengatakan, kalau tidak berani mengambil risiko bukanlah kesatria. Demi meringkus seorang munafik seperti Yue Buqun, terpaksa kita harus menggunakan cara yang licik. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sesuatu.”

“Aha, ucapan Tetua Bao benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Tetua Du. “Aku membawa ‘Bubuk Seratus Bunga Penghisap Jiwa’ dalam jumlah yang cukup banyak. Kita bisa menebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Yue Buqun terperosok, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas. Akan tetapi … hahaha ….” sampai di sini kembali mereka bergelak tawa bersama-sama.

“Nah, urusan ini jangan ditunda. Mari kita atur seperlunya,” kata Tetua Bao. “Di mana sebaiknya lubang jebakan itu kita gali?”

“Dari sini ke barat sana, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan setapak yang berbahaya. Di sebelahnya terdapat jurang yang curam, dan di sisi lain terdapat dinding tebing yang tinggi. Bila Yue Buqun benar-benar datang kemari, mau tidak mau dia harus melalui jalan setapak itu.”

“Bagus, mari kita melihat ke sana,” ajak Tetua Bao sambil mendahului melangkah pergi. Segera orang-orang yang lain ikut berjalan di belakangnya.

Linghu Chong berpikir, “Mereka pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggali lubang dalam itu. Ini kesempatanku untuk memberi tahu Yingying dan mengambil pedang guna menolong Ibu Guru.”

Setelah menunggu orang-orang Sekte Iblis itu pergi cukup jauh barulah ia melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, baru berjalan beberapa li, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang menggali tanah. “Hah, ternyata mereka menggali di sini?” ujarnya dalam hati. Segera ia bersembunyi di balik pohon dan mencoba mengintip orang-orang itu. Benar juga, keempat tetua Sekte Iblis tersebut sedang sibuk menggali tanah. Karena jaraknya cukup dekat, Linghu Chong dapat melihat wajah mereka. Ternyata ada satu di antaranya yang sudah ia kenali. Orang itu adalah Bao Dachu yang pernah dilihatnya di Wisma Meizhuang di tepi Danau Barat, di Kota Hangzhou dulu. Pantas saja yang lain memanggilnya Tetua Bao, ternyata ia adalah Bao Dachu.

Waktu itu Linghu Chong mengenal Bao Dachu sebagai utusan Dongfang Bubai yang datang untuk menghukum Empat Sekawan dari Jiangnan karena kelalaian mereka yang telah menyebabkan Ren Woxing dapat meloloskan diri dari penjara bawah danau. Bao Dachu inilah tetua pertama yang tunduk kepada Ren Woxing. Sebelum itu, ia sempat menundukkan Huang Zhonggong, pemimpin Empat Sekawan dari Jiangnan, sehingga Linghu Chong dapat mengetahui betapa tinggi ilmu silatnya.

Linghu Chong kembali berpikir, “Guru telah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, pasti Ketua Ren kini menganggapnya sebagai musuh yang paling berbahaya. Ketua Ren mengirim para tetua berilmu tinggi, jelas ia tidak memandang rendah terhadap Guru. Pasti selain keempat orang ini masih tersembunyi pula bala bantuan lainnya.”

Kini Linghu Chong tidak dapat mengambil pedang dan memberi tahu Ren Yingying karena penggalian liang itu telah menutup jalannya. Ia sempat terkejut menyaksikan orang-orang Sekte Iblis itu menggali tanah tidak menggunakan cangkul atau sekop dan sebagainya, namun memakai senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya. Mula-mula mereka mencongkel tanah, lalu dengan menggunakan tangan mereka untuk mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu lama. Namun, Linghu Chong tetap tidak berani meninggalkan sang ibu guru untuk mengambil senjata dengan cara mengambil jalan memutar menghindari jalan tersebut.

Linghu Chong merasa heran melihat perubahan tempat galian itu dan berpikir, “Aneh, bukankah tadi mereka hendak menggali di jalan setapak dekat tebing sana, tapi mengapa sekarang berpindah ke sini? Ah, aku paham sekarang. Tentu di sana tanahnya keras dan banyak mengandung bebatuan cadas. Rupanya si marga Ge ini tidak terlalu pandai dan hanya sembarang bicara saja.”

Tiba-tiba terdengar Tetua Ge tertawa dan berkata, “Yue Buqun itu sudah tua, tapi istrinya ternyata masih begini muda dan cantik.”

Tetua Du menanggapi dengan tertawa pula, “Dia memang cantik, tapi sudah tidak muda lagi. Paling tidak, usianya sudah sekitar empat puluhan. Kalau memang Saudara Ge tertarik, tunggu sampai kita menangkap Yue Buqun dan membawanya kepada Ketua Ren. Kemudian, kau dapat meminta wanita ini sebagai hadiah, bagaimana?”

Tetua Ge menjawab, “Mengambilnya sebagai hadiah aku rasa tidak perlu. Namun, kalau sekadar untuk bermain-main kurasa boleh juga.” Sambil berbicara ia tertawa terbahak-bahak.

Mendengar itu, Linghu Chong semakin gusar. Ia berpikir, “Dasar bajingan tak tahu malu! Berani kalian merendahkan ibu-guruku seperti ini? Tunggu saja, akan kubunuh kalian satu per satu.” Karena suara tertawa Tetua Ge yang menjijikkan itu, tanpa terasa Linghu Chong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata pria bermarga Ge itu sedang mencubit pipi ibu-gurunya satu kali. Ning Zhongze sendiri tidak mampu bergerak untuk melawan karena titik nadinya sedang tertotok. Terdengar pula orang-orang Sekte Iblis yang lain ikut bergelak tawa.

“Wah, tampaknya Saudara Ge sudah tidak sabar lagi. Apakah kau hendak bermain-main dengan perempuan ini sekarang juga?” kata Tetua Du dengan tertawa.

Linghu Chong yang sudah sangat murka bermaksud menerjang keluar menolong sang ibu-guru meski pedang tidak ada di tangannya. Namun, lantas terdengar Tetua Ge menjawab, “Bukan masalah berani atau tidak berani. Masalahnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Ketua Ren kepada kita. Andaikan aku punya seratus kepala juga akan dipenggal semua oleh Beliau.”

“Bagus sekali,” ujar Bao Dachu dengan nada dingin. “Sekarang Tetua Ge dan Tetua Du silakan pergi memancing kedatangan Yue Buqun. Ilmu ringan tubuh kalian sangat bagus. Kira-kira dua jam lagi segala sesuatu di sini sudah kami bereskan.”

“Baik,” jawab Tetua Ge dan Tetua Du bersama-sama, kemudian mereka berlari ke arah utara.

Kepergian kedua orang itu membuat suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi. Yang terdengar kini hanyalah suara tanah sedang digali saja. Kadang-kadang terdengar pula suara Tetua Mo memberi petunjuk ini dan itu.

Linghu Chong masih mendekam di tengah semak-semak rumput dan tidak berani bergerak sedikit pun. Ia merenung, “Aku sudah pergi terlalu lama, Yingying pasti sangat khawatir. Kalau ia menyusul kemari dengan mengikuti suara galian, tentu dapat menyelamatkan Ibu Guru. Bagaimanapun juga orang-orang Sekte Iblis ini pasti akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian aku juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Ah, makin lama aku tertahan di sini rasanya justru lebih baik. Lagipula si marga Ge sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggu Ibu Guru.”

Akhirnya, orang-orang Sekte Iblis itu telah selesai menggali lubang jebakan. Mulut lubang tersebut kemudian ditutupi dengan ranting-ranting kayu dan rerumputan, serta ditaburi pula dengan bubuk obat bius. Setelah itu, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Bao Dachu dan rekan-rekannya yang semua berjumlah enam orang lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Yue Buqun.

Perlahan-lahan Linghu Chong memungut sebongkah batu di sebelahnya dan berpikir, “Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan Guru. Jika nanti Guru datang, aku akan melemparkan batu ini untuk merusak lubang perangkap itu. Dengan demikian, Guru akan lebih waspada dan tidak terjebak ke dalamnya.”

Begitulah, baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama memasang telinga di tempat persembunyian masing-masing. Saat itu adalah permulaan musim panas. Selain suara serangga hutan dan sesekali kicauan burung liar, tidak terdengar lagi suara apa pun selain itu. Mereka benar-benar memusatkan perhatian kalau-kalau terdengar suara langkah kaki Yue Buqun sedang mengejar Tetua Ge dan Tetua Du.

Setelah lebih dari satu jam, tiba-tiba terdengar suara jerit seorang perempuan dari kejauhan. Linghu Chong terkejut seketika dan berpikir, “Itu suara Yingying. Apakah ia bertemu dengan Guru ataukah dengan kedua tetua tadi?”

Tidak lama lantas terdengar suara dua orang berlari mendekati tempat itu. Yang satu berlari di depan dan yang lain mengejar di belakang. Terdengar suara Ren Yingying kembali berteriak, “Kakak Chong, gurumu hendak membunuhmu, kau jangan keluar!” Suaranya ini dikerahkan sekuat tenaga. Rupanya ia tidak tahu di mana Linghu Chong berada dan ingin sekali memberitahukan tentang hal ini.

Linghu Chong sendiri terkejut mendengarnya. “Guru di sini hendak membunuhku?” pikirnya.

Ren Yingying kembali berteriak-teriak, “Kakak Chong, segeralah menyingkir! Gurumu hendak membunuhmu!” Tak lama kemudian gadis itu muncul dalam keadaan rambut acak-acakan. Tangannya menghunus pedang, tapi kakinya berlari kencang karena dikejar Yue Buqun dari belakang.

Tidak lebih dari sepuluh langkah lagi Ren Yingying pasti akan terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang Sekte Iblis tadi. Baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama bingung tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi, Yue Buqun lebih dahulu melompat ke depan. Tangan kirinya mencengkeram punggung Ren Yingying, sementara tangan kanannya menangkap dan menelikung kedua tangan gadis itu ke belakang pinggang. Pedangnya tampak jatuh ke tanah pula.

Linghu Chong dan Bao Dachu sama sekali tidak sempat memberi pertolongan karena kecepatan gerak Yue Buqun yang luar biasa itu. Padahal, ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi, namun sekarang tidak ada apa-apanya di hadapan Yue Buqun. Dalam sekali serang, gadis itu sudah dapat diringkus dan dilumpuhkan. Meskipun demikian, tetap saja ia berteriak-teriak, “Kakak Chong, lekas lari yang jauh! Gurumu hendak membunuhmu!”

Air mata hangat berlinang-linang di pelupuk mata Linghu Chong. Ia sangat terharu dan merenung, “Yingying hanya memikirkan keselamatanku meski bahaya sudah ada di dekatnya.”

Yue Buqun telah menotok beberapa titik nadi di punggung Ren Yingying sehingga gadis itu jatuh ke tanah tak bisa bergerak lagi. Pada saat yang sama ia juga melihat istrinya tergeletak di dekat situ tanpa bergerak.

Yue Buqun sangat terkejut namun dengan cepat menguasai perasaannya. Dengan tenang ia memeriksa keadaan di sekitar dan ternyata tiada sesuatu pun yang mencurigakan. Pada dasarnya Yue Buqun memang sangat cerdik, sehingga tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar, “Nona Ren, bajingan Linghu Chong telah membunuh putri kesayanganku. Tentunya kau pun ikut ambil bagian atas perbuatan itu, bukan?”

Kembali Linghu Chong terkejut di tempat persembunyiannya. Ia tidak habis pikir mengapa sang guru menuduhnya telah membunuh Yue Lingshan.

Maka, terdengar Ren Yingying menjawab, “Yang membunuh putrimu adalah Lin Pingzhi. Memangnya ada masalah apa antara kau dengan Linghu Chong? Mengapa kau menuduh Linghu Chong yang membunuh putrimu?”

Yue Buqun bergelak tawa dan berkata, “Lin Pingzhi adalah menantuku, memangnya kau tidak tahu? Mereka adalah pengantin baru. Betapa besar cinta kasih di antara mereka dapat kau bayangkan sendiri. Mana mungkin seorang suami tega membunuh istrinya?”

Ren Yingying menyambung, “Lin Pingzhi telah bergabung dengan Perguruan Songshan. Demi mendapatkan kepercayaan Zuo Lengchan bahwa dirinya benar-benar bermusuhan denganmu, maka ia sengaja membunuh anak perempuanmu.”

“Hahaha, omong kosong!” kembali Yue Buqun tertawa. “Kau menyebut Perguruan Songshan? Huh, di dunia ini Perguruan Songshan sudah tidak ada lagi. Perguruan Songshan telah dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung. Mana mungkin Lin Pingzhi menggabungkan diri ke dalam perguruan yang sudah punah? Lagipula ia juga tahu Zuo Lengchan sekarang ini adalah bawahanku. Tidak mungkin ia meninggalkan ayah mertuanya yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, kemudian mengekor kepada seorang buta semacam Zuo Lengchan yang membela diri sendiri saja susah. Sekalipun orang paling bodoh di dunia ini juga tidak mungkin berbuat demikian.”

“Persetan jika kau tidak percaya. Kau bisa mencari Lin Pingzhi dan bertanya sendiri kepadanya,” kata Ren Yingying.

“Yang kucari saat ini bukan Lin Pingzhi, tapi Linghu Chong,” seru Yue Buqun dengan nada bengis. “Setiap kaum persilatan saat ini mengatakan Linghu Chong telah memerkosa putriku. Karena putriku melawan sekuat tenaga, akhirnya ia dibunuh oleh bajingan itu. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Linghu Chong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik.”

“Huh!” ujar Ren Yingying hanya mendengus.

Yue Buqun melanjutkan, “Nona Besar Ren, ayahmu adalah ketua Sekte Matahari dan Bulan yang terhormat, seharusnya aku tidak perlu menyusahkanmu. Namun, demi untuk memaksa Linghu Chong muncul kemari, terpaksa aku harus menggunakan sedikit kekerasan atas dirimu. Aku akan memotong telapak tangan kirimu lebih dulu, kemudian telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan setelah itu kaki kanan. Apabila Linghu Chong mempunyai perasaan tentu dia akan segera muncul.”

“Memangnya kau berani?” sahut Ren Yingying dengan suara lantang. “Sekali kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan menyapu bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”

Yue Buqun menyahut dengan tertawa, “Aku tidak berani katamu?” Usai berkata ia lantas melolos pedang yang tergantung di pinggangnya.

Linghu Chong tidak tahan lagi. Segera ia menerobos keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru, “Guru, Linghu Chong ada di sini!”

Ren Yingying menjerit terkejut dan segera berseru, “Lekas lari, lekas lari! Dia tak mungkin berani mencelakai aku!”

Namun, Linghu Chong menggeleng sambil tetap melangkah maju, “Guru ….” katanya terputus.

“Bangsat cilik, kau masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ padaku?” bentak Yue Buqun bengis.

Dengan menahan air mata tiba-tiba Linghu Chong berlutut dan berkata, “Langit menjadi saksi, selamanya Linghu Chong sangat menghormati Nona Yue, tidak mungkin berani berlaku kasar sedikit pun. Linghu Chong merasa berhutang budi kepada Guru dan Ibu Guru yang telah membesarkan diriku ini. Jika hendak membunuhku, silakan lakukan saja.”

Ren Yingying menjadi khawatir dan berseru, “Kakak Chong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan. Dia sudah gila, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”

Raut muka Yue Buqun berubah merah mendengar perkataan gadis itu. Serentak ia pun berpaling dan berkata, “Apa maksud ucapanmu tadi?”

“Demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, kau telah … telah merusak dirimu sendiri ... kau telah menjadi … menjadi sebangsa siluman,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong, apakah kau masih ingat dengan Dongfang Bubai? Dia dan gurumu ini sudah gila semua. Mereka bukan lagi manusia normal.”

Dalam pikiran Ren Yingying adalah bagaimana agar Linghu Chong lekas-lekas lari menyelamatkan diri, meski ia sadar bahwa ucapannya itu pasti akan membangkitkan amarah Yue Buqun dan berakibat buruk baginya. Namun semua itu sudah tidak dipedulikannya lagi.

Dengan nada dingin Yue Buqun bertanya, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar dari mana?”

“Lin Pingzhi sendiri yang bicara demikian,” jawab Ren Yingying. “Kau telah mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin, memangnya kau kira dia tidak tahu? Saat kau melempar jubah biksu yang bertuliskan salinan kitab pusaka itu, Lin Pingzhi sedang bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkapnya. Maka itu, dia … dia juga berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Jika tidak, mana mungkin dia bisa membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng? Bagaimana dia berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis, dengan sendirinya dia pun tahu bagaimana kau berlatih sebelumnya. Nah, Kakak Chong, perhatikan baik-baik suara Yue Buqun yang mirip dengan perempuan ini. Dia … dia sama saja dengan Dongfang Bubai. Dia sudah … sudah bukan laki-laki normal lagi.”

Waktu itu Ren Yingying mendengar dengan jelas percakapan antara Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di dalam kereta, sementara Linghu Chong tidak ikut mendengarnya. Ia sadar betapa Linghu Chong sangat menghormati gurunya sehingga sengaja memendam rahasia itu rapat-rapat. Namun, kini keadaannya berbeda. Ia terpaksa membocorkan rahasia tersebut demi untuk menyadarkan Linghu Chong bahwa guru yang dihadapinya sekarang ini bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah tidak normal, seorang gila yang tidak mungkin bisa diajak bicara tentang budi kebaikan segala.

Benar juga, sorot mata Yue Buqun bertambah beringas. “Nona Ren, sebenarnya aku bermaksud mengampuni jiwamu. Namun, karena ucapanmu yang tidak jelas itu, terpaksa aku harus membereskan nyawamu. Maka, janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau harus mampus,” ujarnya.

“Lekas pergi, Kakak Chong, lekas pergi!” kembali Ren Yingying berteriak-teriak tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.

Sementara itu Yue Buqun sudah mulai mengangkat pedangnya. Linghu Chong hafal benar bagaimana kehebatan ilmu silat sang guru. Sekali pedangnya bergerak, tentu jiwa Ren Yingying akan langsung melayang. Maka dengan cepat ia berteriak, “Kalau mau bunuh, bunuh saja aku, jangan mencelakai dia!”

Tiba-tiba Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Hm, kau hanya mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia persilatan, hah? Baiklah, angkat pedangmu, akan kuhajar kau supaya mati dengan rela.”

“Sama sekali … sama sekali aku tidak berani bertarung melawan Gu… melawanmu!” jawab Linghu Chong.

“Dalam keadaan seperti ini kau masih juga berlagak bodoh?” bentak Yue Buqun gusar. “Dahulu, ketika di atas kapal di Sungai Kuning, juga ketika berada di Lembah Lima Tiran, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membuatku malu. Waktu itu sudah timbul niatku hendak membunuhmu, tapi kutahan sampai sekarang. Boleh dikata kau sangat beruntung. Waktu di Fuzhou pun kau sudah jatuh ke tanganku. Kalau bukan karena istriku yang berada di sana tentu sudah lama kuhabisi riwayatmu. Gara-gara salah perhitungan waktu itu akibatnya malah mengorbankan putriku yang harus mati di tangan bangsat semacam dirimu ini.”

“Aku tidak … aku tidak ….” sahut Linghu Chong tergagap-gagap.

“Siapkan pedangmu!” bentak Yue Buqun murka. “Jika kau mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka kau dapat langsung membunuhku pula. Kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni jiwamu. Siluman betina Sekte Iblis ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.” Usai berkata ia langsung menebaskan pedangnya ke arah leher Ren Yingying.

Tanpa pikir lagi Linghu Chong langsung melemparkan sebongkah batu yang dipegangnya tadi ke arah Yue Buqun. Yue Buqun terpaksa berkelit menghindar. Secepat kilat Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping untuk menyambar pedang Ren Yingying yang terjatuh di tanah tadi. Secepat kilat ia lantas menusuk pula ke arah paha kiri Yue Buqun.

Apabila serangan Yue Buqun tadi diarahkan kepada Linghu Chong, maka pemuda itu pasti tidak akan menghindar dan rela mati di tangan Sang Guru. Namun, melihat Yue Buqun berniat membunuh Ren Yingying karena telah membongkar rahasianya, maka Linghu Chong pun tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya bagian bawah ketiak kanan Yue Buqun adalah tempat yang terbuka, maka ia lantas menyerang titik itu dengan lemparan batu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya.

Benar juga, Yue Buqun segera menarik pedangnya untuk menangkis. Namun, berturut-turut Linghu Chong kembali menyerang tiga kali, terpaksa Yue Buqun mundur dua-tiga langkah dengan perasaan terkejut bercampur heran. Tiga kali pedang mereka beradu membuat tangan Yue Buqun terasa kesemutan. Memang dalam pertarungan di Biara Shaolin beberapa bulan yang lalu Linghu Chong tidak mengerahkan segenap kemampuannya, sementara kali ini ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Ren Yingying.

Setelah mendesak mundur lawan, Linghu Chong segera membalik sebelah tangannya hendak membuka totokan pada tubuh Ren Yingying.

Namun, Ren Yingying berseru, “Jangan khawatirkan aku, awas!”

Tampak sinar putih berkelebat, rupanya pedang Yue Buqun sudah menusuk kembali. Untungnya Linghu Chong pernah melihat ilmu silat Dongfang Bubai, Yue Buqun, dan Lin Pingzhi sebelumnya. Ia pun sadar bahwa gerakan ketiga orang itu sangat cepat seperti bayangan setan. Jika ia menunggu sampai titik kelemahan lawan terlihat, maka bisa-bisa dirinya akan terluka lebih dahulu. Oleh sebab itu, tanpa pikir panjang, Linghu Chong pun mengacungkan pedangnya lantas menusuk perut Yue Buqun secepat kilat.

Yue Buqun kelabakan dan terpaksa melompat mundur sambil memaki, “Sungguh keji kau, bangsat cilik!”

Padahal, sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Linghu Chong sejak kecil seharusnya Yue Buqun hafal watak pemuda itu. Apabila ia tidak peduli dengan serangan balasan Linghu Chong tadi dan tetap menyerang, tentu jiwa lawan sudah melayang di tangannya. Linghu Chong sendiri meskipun menggunakan siasat hancur bersama musuh, namun dalam hati ia tidak pernah melupakan budi baik Sang Guru. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh menusuk perut gurunya itu. Jadi, dalam hal ini Yue Buqun telah salah perhitungan. Ia terlanjur mengukur orang lain seperti dirinya sendiri, sehingga kehilangan satu kesempatan bagus untuk membinasakan lawan.

Setelah beberapa jurus berlalu, permainan pedang Yue Buqun bertambah gencar namun tetap tidak bisa mengalahkan lawan. Linghu Chong sendiri menghadapinya dengan tangkas dan penuh semangat. Semula ia rela mati di tangan sang guru. Namun, begitu teringat bahwa Ren Yingying telah membuat Yue Buqun sakit hati, maka ia yakin gurunya itu pasti akan menyiksa si nona sampai mati menderita demi melampiaskan amarah. Membayangkan hal itu membuat Linghu Chong pantang menyerah dan bertempur dengan sekuat tenaga.

Puluhan jurus telah terlewati. Serangan Yue Buqun tampak bertambah rumit. Linghu Chong menghadapi itu semua dengan memusatkan perhatiannya. Lambat laun pikirannya menjadi terbuka, dan bertambah paham pula. Yang dipandangnya kali ini hanyalah titik ujung pedang sang guru saja, sementara yang lainnya sudah tidak ia pedulikan lagi.

Rupanya intisari Sembilan Jurus Pedang Dugu yang ia mainkan adalah “semakin kuat pihak musuh semakin kuat pula diri sendiri.” Dahulu sewaktu bertanding melawan Ren Woxing dalam penjara di bawah Danau Barat, tak peduli bagaimanapun Ren Woxing menyerang dengan bermacam-macam gerak perubahan selalu saja Linghu Chong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal, ilmu silat Ren Woxing boleh dikata jarang ada bandingannya, namun ia harus mengakui kehebatan dan kecerdasan Linghu Chong.

Kini Linghu Chong sudah berhasil pula mendalami Jurus Penyedot Bintang, membuat kekuatan tenaga dalamnya sukar diukur lagi. Sebaliknya, Jurus Pedang Penakluk Iblis meski aneh, namun baru beberapa bulan saja dipelajari oleh Yue Buqun. Gerakannya belum secepat Dongfang Bubai. Tentu keadaannya berbeda dengan Linghu Chong yang telah setahun lebih menguasai Sembilan Jurus Pedang Dugu dan memperoleh banyak pengalaman bersama ilmu sakti tersebut. Oleh karena itu, setelah ratusan jurus berlalu, cara Linghu Chong melayani lawannya sudah tidak perlu menggunakan pikiran lagi. Betapapun aneh perubahan gerak serangan Jurus Pedang Penakluk Iblis selalu dapat disambutnya dengan jurus serangan yang sama anehnya pula.

Meskipun Jurus Pedang Penakluk Iblis memiliki tujuh puluh dua jurus utama, namun setiap jurus memiliki gerak perubahan yang bermacam-macam. Gerakan-gerakan perubahan dalam jurus pedang tersebut sangat rumit dan menakjubkan. Jika orang lain yang menghadapinya pasti akan mati seketika, atau mungkin mati pusing karena kebingungan. Sebaliknya, meskipun Sembilan Jurus Pedang Dugu hanya memiliki sembilan jurus utama saja, namun masing-masing tidak memiliki gerak perubahan yang pasti dan terikat. Ilmu pedang ini secara alami bergerak mengikuti kehebatan lawan. Jika lawan memainkan satu jurus, maka ia pun menghadapinya dengan satu jurus pula. Dan apabila lawan memainkan seribu jurus, maka ia pun mampu melayaninya dengan seribu jurus pula.

Dalam pandangan Yue Buqun kali ini gerak pedang Linghu Chong dirasakannya jauh lebih rumit daripada gerak serangannya. Rasanya sekalipun bertempur tiga hari tiga malam juga tetap akan lahir jurus-jurus baru dari tangan Linghu Chong untuk melayaninya.

Karena berpikir demikian seketika timbul rasa gentar di dalam hati Yue Buqun. Ia pun berpikir, “Siluman betina Sekte Iblis ini telah membongkar rahasiaku. Bila hari ini aku tidak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan persilatan. Lantas, apakah aku masih punya muka untuk menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lagi? Sepertinya segala rencana yang kurancang sekian lama akan hancur seluruhnya. Si keparat Lin Pingzhi telah membocorkan rahasiaku kepada siluman betina ini. Entah apa yang harus kulakukan untuk mencegah aib ini agar tidak tersebar luas?”

Karena merasa gelisah, serangan-serangannya pun bertambah ganas. Akan tetapi, pikiran yang kacau membuat kecepatan pedangnya agak menurun pula. Padahal, keistimewaan Jurus Pedang Penakluk Iblis adalah mengandalkan kecepatan untuk mengalahkan lawan. Maka, jika ratusan jurus telah berlalu dan tidak bisa mengalahkan lawan, dengan sendirinya semangat dari jurus pedang sehebat apa pun pasti akan berkurang.

Sebaliknya, pikiran Linghu Chong lebih terbuka dan ia mampu melihat celah kelemahan pada jurus lawan. Keistimewaan utama Sembilan Jurus Pedang Dugu adalah kehebatannya dalam mengincar titik-titik kelemahan ilmu silat lawan. Bagaimanapun serangannya, apa pun senjatanya, setiap jurus pasti memiliki celah kelemahan dan inilah yang selalu diincar dengan baik oleh Sembilan Jurus Pedang Dugu. Sekali celah kelemahan itu berhasil dimasuki, maka kemenangan sudah pasti dapat berada di tangan.

Dalam pertempuran di Tebing Kayu Hitam waktu itu, Linghu Chong bertarung melawan Dongfang Bubai yang hanya bersenjatakan sebatang jarum sulam. Meskipun pada gerakan Dongfang Bubai terlihat adanya celah kelemahan, namun karena kecepatannya yang luar biasa membuat Linghu Chong tidak mampu melancarkan serangan dengan tepat. Setiap kali ia menusukkan pedang, lawannya itu telah berganti jurus yang baru, sehingga kelemahan yang tadi langsung tertutup dengan sendirinya.

Selanjutnya, Linghu Chong juga menyaksikan bagaimana Yue Buqun bertarung melawan Zuo Lengchan di Puncak Songshan, serta bagaimana Lin Pingzhi membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akhir-akhir ini ia berusaha keras memikirkan bagaimana cara untuk mematahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut, namun selalu saja ada satu kesimpulan membayanginya, yaitu jurus pedang ini sangat-sangat cepat. Setiap kali satu celah kelemahan dalam suatu jurus dapat diincar selalu saja terlewatkan dan jurus yang lain pun menyusul datang.

Kini pertarungan Linghu Chong dan Yue Buqun itu telah berlangsung mendekati dua ratus jurus. Linghu Chong sempat melihat celah terbuka pada ketiak kanan Yue Buqun ketika lawannya itu mengangkat pedang. Seketika Linghu Chong teringat bahwa jurus ini sudah digunakan oleh Yue Buqun sebelumnya. Setelah beberapa gerakan terlewati, lagi-lagi Yue Buqun memperlihatkan titik kelemahan pada pinggang kirinya. Jurus ini pun sudah digunakan Yue Buqun sebelumnya. Rupanya rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis telah habis dan terpaksa harus diulangi lagi dari awal.

Tiba-tiba seberkas pikiran muncul dalam benak Linghu Chong, “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat cepat luar biasa. Celah kelemahannya yang kutemukan bukanlah celah kelemahan yang sesungguhnya, karena gerakannya begitu cepat, sehingga langsung tertutup oleh jurus-jurus selanjutnya yang susul-menyusul. Tapi, pada akhirnya aku berhasil menemukan celah kelemahan yang sebenarnya, yaitu ketika jurus ini diulangi dari awal.”

Dalam dunia persilatan, ilmu pedang aliran mana pun, meski bagaimanapun hebatnya, serta betapa pun banyak jurus-jurusnya, tetap saja pasti akan berakhir. Apabila musuh belum bisa dirobohkan mau tidak mau rangkaian jurus tersebut harus diulangi kembali dari awal. Namun demikian, seorang jago silat papan atas pasti memiliki banyak jurus cadangan sehingga tidak mudah untuk dikalahkan lawan. Akan tetapi, dalam hal ini Yue Buqun sudah kehabisan akal. Ia sadar tidak bisa menggunakan jurus pedang Perguruan Huashan ataupun empat perguruan yang lain karena semuanya sudah dikenal dengan baik oleh Linghu Chong. Satu-satunya yang ia andalkan kini hanyalah Jurus Pedang Penakluk Iblis dan itu pun harus diulangi lagi dari awal. Melihat datangnya kesempatan untuk meraih kemenangan, tanpa terasa Linghu Chong tampak tersenyum senang.

Melihat ujung bibir lawan sekilas tertarik ke atas membuat Yue Buqun menjadi penasaran. “Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah menemukan jalan untuk mengalahkan diriku?” pikirnya kemudian.

Maka, ia lantas mengerahkan segenap tenaga dalam dan kemudian mendesak maju serta mundur sekaligus. Secepat kilat ia sudah mengelilingi tubuh Linghu Chong dengan rapat. Serangannya pun bertambah gencar dan membadai. Betapa cepat Yue Buqun berputar membuat Ren Yingying yang tergeletak di tanah tidak dapat melihat dengan jelas ke mana serangannya itu ditujukan. Lambat laun ia merasa pusing dan mual pula seperti orang yang sedang mabuk laut.

Setelah lebih dari tiga puluh jurus berlalu, tampak jari tangan kiri Yue Buqun menunjuk ke depan. Pedangnya di tangan kanan pun ditarik. Linghu Chong paham bahwa ini adalah awal dari rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis yang akan diulangi lagi untuk yang ketiga kalinya. Setelah bertarung sekian lama, diam-diam Linghu Chong merasa lelah karena ia baru sembuh dari sakit akibat luka parah tempo hari. Namun, ia sadar bahwa keadaan begitu gawat. Di bawah serangan Yue Buqun yang gencar dan cepat itu, sedikit saja lengah pasti jiwanya akan melayang, bahkan Ren Yingying akan ikut menjadi korban pula. Oleh sebab itulah ketika melihat serangan lawan hendak diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan Yue Buqun. Tempat yang diincarnya tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Yue Buqun itu.

Rupanya gerakan demikian inilah yang ditemukan Linghu Chong untuk mengalahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum melancarkan serangannya. Maka, sebelum Yue Buqun sempat mengganti jurus yang lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Seketika Yue Buqun menjerit terkejut, suaranya penuh rasa tidak percaya, gusar dan putus asa pula.

Saat itu ujung pedang Linghu Chong sudah berada di bawah ketiak lawan. Sedikit saja didorong ke depan, tentu tubuh Yue Buqun akan tertembus. Namun begitu mendengar jeritan tajam Yue Buqun itu, seketika ia pun sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa diri? Dia ini guruku, mana boleh aku mencelakainya?”

Segera ia pun menahan pedangnya dan berkata, “Kalah atau menang sudah jelas. Bagaimana kalau kita sudahi saja pertandingan ini. Yang paling penting adalah men… nolong Ibu Guru.”

“Baiklah! Aku mengaku kalah,” jawab Yue Buqun dengan muka pucat seperti mayat.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar