Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 1-10

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 1-10 Ketika Kublai Khan mulai membangun negara, ia memakai merek kerajaan Tay Goan, yaitu Goan Terbesar.
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 1-10
Ketika Kublai Khan mulai membangun negara, ia memakai merek kerajaan Tay Goan, yaitu Goan Terbesar. Ia berhasil menguasai seluruh daratan Tiong-goan. Ia berhasil menyapu bersih kerajaan Song selatan, menyambut Kublai Khan dari dalam.

Kublai Khan memang merupakan. leluhur pembangun negara Tay Goan. tapi tidak memiliki Giok-sie, yaitu cap kerajaan, untuk diwariskan kepada anak cucunya turun temurun. Giok-sie atau “Toan Kok Giok-sie” adalah cap kerajaan untuk meneruskan mengendalikan negara dan pemerintahan. Karena tidak memiliki Giok-sie, jelas Kublai Khan akan ditertawakan negara negara tetangga. Itulah urusan kecil yang terpenting adalah cap kerajaan negara itu adalah benda yang memiliki hubungan dengan kemakmuran negara.

Waktu Thio Hong Hoan mengkhianati Song selatan dan bekerja untuk Kublai Khan. Ia tidak berhasil memperoleh dan menemukan Giok-sie. Dan Kublai Khan beranggapan bahwa itu adalah sesuatu kesalahan dan dosa besar bagi Thio Hong Hoan maka walaupun jasanya “memusnahkan” kerajaan Song selatan berada di tangannya, jasanya itu tidak berhasil menambal kesalahannya. Thio Hong Hoan diturunkan pangkatnya. Malah ia diturunkan pangkatnya tiga tingkat oleh Kublai Khan.

Tentang Giok-sie telah dibawa mati oleh Kaisar Peng, raja Song selatan yang telah musnah itu. Peng Hong-te telah ceburkan diri ke laut berdua dengan Liok-siu-hu seorang menteri setianya, merangkul kaisar Peng dan mereka telah ceburkan dirinya dengan membawa serta cap kerajaan, sehingga Giok-sie lenyap tidak karuan parannya.

Kublai Khan perintahkan para pahlawannya untuk mencari Giok-sie, walaupun bagaimana besarnya biaya, Giok-sie harus diperoleh.

Riwayat Giok-sie itu pun memiliki cerita tersendiri. Waktu kaisar Cin She Wang (Cin Sie Hong) berhasil menaklukkan enam negeri saingannya menjadi satu dan tunduk di bawah kekuasaannya, ia telah memikirkan cara terbaik untuk mewariskan negara kepada anak cucunya. Untuk itu segera juga Kaisar Cin mempergunakan sepotong batu Kumala Mustika yang disebut Hoo-sie-pek, di atas batu ditulis delapan huruf model Toan yang dilakukan oleh Lie-su atas perintah kaisar Cin. Bunyi delapan huruf:

“Siu Beng Te Thian, Kie Tay Cun Ciang”

yang berarti:

“Menerima Firman Tuhan untuk Selama-lamanya.”

Lalu kaisar Cin perintahkan seorang ahli pemahat untuk mengukir Kumala Mustika tersebut, yang lalu selanjutnya dijadikan sebagai cap kerajaan. Rupanya Kaisar Cin percaya dengan bertindak demikian pemerintahannya akan hidup makmur untuk selama-lamanya.

Sesungguhnya apa yang kemudian terjadi? Berapa lamakah kekekalannya Cin She Wang (Cin Sie Hong)?

Baru pada giliran Jie-sie Hong-te, yaitu Kaisar yang kedua. Kerajaan Cin sudah musnah. Cin Sie Hong memang Kaisar pertama, yaitu Sie Hong Ke. Cap kerajaan itu harus diserahkan pada Lauw Pang. Kemudian Eng Ciang, yaitu `Hidup Makmur Selama-lamanya” akan tetapi empatratus tahun kemudian Giok-sie harus pindah tangan lagi kepada Co Pie.

Selanjutnya Giok-sie harus bergantian tangan tidak hentinya, entah berapa kaisar dari berbagai marga yang telah menguasai Giok-sie tersebut. Dan entah telah berapa banyak kerajaan yang lahir dan musnah di daratan Tiong-goan selama itu, dengan Giok-sie selalu dikuasai oleh Kaisar yang berhasil berkuasa.

Dengan demikian, bukannya hidup makmur dan kekal selama-lamanya, sebaliknya membawa kecelakaan. Negara musnah, keluarga habis tertumpas.

Hanya saja Kublai Khan justeru yakin, jika Giok-sie berhasil ditemukan dan menjadi miliknya, ia menjadi kaisar di daratan Tiong-goan yang bisa “Siu Beng Te Thian, Kie Tay Eng Ciang” ia akan makmur selama-lamanya. Karena itu, diperintahkan seluruh jagonya untuk mencari Giok-sie.

Banyak pahlawan kerajaan Tay-goan tersebut yang disebar sekitar Gay-bun, selain mencari Giok-sie di laut juga di daratan, seperti diketahui Peng Hong-te, Kaisar dari kerajaan Song selatan yang telah musnah itu membenamkan diri dengan ceburkan dirinya di laut Gay-bun. Dan juga iapun telah menyerahkan munculnya banyak sekali pergolakan dengan tersiarnya Giok-sie telah terangkat dari laut dan dimiliki seseorang. Banyak pertempuran yang meminta korban jiwa, banyak juga yang menderita, adanya perebutan Giok-sie tersebut.

Dan Yo Ko serta tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam peperangan melawan pasukan Tay Goan demi membela negara dan rakyatnya yaitu Kerajaan Song selatan, telah mensucikan diri. Mereka tidak terdengar kabar beritanya.

Hanya saja, justeru yang kini terlibat adalah orang-orang yang berusaha mencari Giok-sie dengan berbagai tujuan. Bahkan yang menyebabkan pergolakan akhirnya lebih menghebat adanya berita-berita yang tersiar, siapa yang berhasil mendapatkan Giok-sie, ia akan menjadi Kaisar selama-lamanya, karena dengan Giok-sie orang itu bisa menggerakkan rakyat untuk mengusir orang Mongol dari kerajaan Tay Goan, yang menjelajah daratan Tiong-goan.

Dan sebab itu pula yang merupakan salah satu faktor mengapa Kerajaan Tay Goan pun berusaha sekuat tenaga mengerahkan para pahlawan untuk memperoleh Giok-sie. Jika Giok-sie jatuh ke tangan Kaisar Tay Goan yang berkuasa disaat itu, niscaya kesempatan untuk berontak terhadap Kerajaan Tay Goan dapat dicegah.

Justeru disebabkan Giok-sie ini, kelak memang kerajaan Tay Goan dapat diusir oleh seorang yang berhasil memiliki Giok-sie, karena orang itu tidak lain dari Cu Goan Ciang, dengan Giok-sie ia berhasil menggerakkan seluruh rakyat di daratan Tiong-goan untuk mengusir orang Mongol dari daratan Tiong-goan. Usaha Cu Goan Ciang, walaupun menelan korban jiwa yang tidak sedikit, akhirnya ia berhasil dengan gemilang, sebab akhirnya ia berhasil duduk di atas takhta sebagai seorang Kaisar.

Dan juga, memang dalam hal ini, Cu Goan Ciang mempergunakaa Giok-sie berhasil menggerakkan seluruh orang orang gagah untuk membantunya. Seluruh harapan diletakkan di pundaknya Cu Goan Ciang, bahwa perbaikan untuk nasib rakyat segera dapat dilakukan, dengan diusirnya penjajah dari daratan Tiong-goan.

Cuma sayangnya, Cu Goan Ciang sebelum naik takhta, merupakan seorang yang bijaksana dan setelah resmi menjadi Kaisar dan mendapatkan negara, justru tabiatnya jadi berobah. Ia main membunuh-bunuhi menteri-menterinya yang berjasa. Perbuatan itu membangkitkan penasaran para orang-orang gagah. Cu Goan Ciang itulah yang bergelar Beng Tay-couw.

Dan sekarang, kisah ‘Pendekar Aneh Seruling Sakti, justru terjadi dikala Kerajaan Tay Goan masih menguasai daratan Tiong-goan, di mana Kaisar Kublai Khan tengah mencari Giok-sie untuk dimiliki dengan mengerahkan seluruh pahlawannya. Walaupun bagaimana Kaisar Kublai Khan berusaha memperoleh Giok-sie, untuk menyempurnakan kekuasaan yang ada padanya, Cap Kerajaan itu harus ditemukan dan menjadi miliknya. Entah berapa banyak pahlawan yang telah dikerahkannya.

Dalam usaha mencegah timbulnya pemberontakan. Kublai Khan pun sengaja memecah rakyat menjadi empat golongan. Yang pertama adalah golongan Mongol sendiri, golongan yang tertinggi. Kemudian golongan semu yaitu golongan rakyat dari Nai Mau atau Hui Bur. Golongan ketiga adalah golongan Han, yaitu rakyat Khitan maupun Nuchen. Lalu golongan keempat yaitu golongan Han Jin, terdiri dari suku bangsa Selatan yaitu bekas rakyat kerajaan Song Selatan yang telah dimusnahkan. Jadi bangsa Mongol adalah yang tertinggi dan termulia.

Cukup banyak usaha yang dilakukan Kublai Khan untuk memperkukuh kedudukannya di daratan Tiong-goan. Ia pun telah berhasil untuk mematahkan perlawanan-perlawanan dari para pahlawan pencinta negeri, seperti Yo Ko maupun lain-lainnya, termasuk Kay-pang perkumpulan lainnya. Semua itu dapat dihadapi Kaisar Kublai Khan dari kerajaan Tay Goan itu baik sekali. Malah akhirnya para pencinta negeri suku bangsa Han itu telah putus harapan sendirinya.

Hanya yang kurang justeru Kaisar dari kerajaan Tay Goan belum lagi berhasil memiliki Giok-sie. Karena itu pula mati-matian Kublai Khan tetap mengerahkan para pahlawannya untuk mencari Giok-sie. Apalagi kini sudah tidak ada “Pemberontakan” yang dilakukan oleh para pencinta negeri yang dipimpin Yo Ko dan Kay-pang atau lain-lainnya. Karenanya seluruh usaha Kaisar Kublai Khan dicurahkan untuk pencaharian Giok-sie.

Dan kemelut yang muncul karena ambisi Kaisar Kublai Khan dari kerajaan Tay Goan inilah yang menelan cukup banyak korban jiwa maupun darah yang membanjir cukup luas bagaikan telaga. Dan api yang membara berkobar semakin panas baik di kalangan Kang-ouw maupun di seluruh daratan Tiong-goan dalam kancah pemerintahan kaisar Kublai Khan ini yang melibatkan diri dengan “Toan Kok Giok Sie” yaitu cap kerajaan yang “diwariskan” oleh kaisar Cin Sie Hong (Cin She Wang) pada beberapa ratus tahun yang lalu, yang rupanya ekornyapun masih sanggup untuk memancing jatuhnya korban-korban jiwa yang tidak sedikit disamping banjir darah yang sangat luas…….

Y

Angin tenggara di selat Lay-ciu, termasuk dalam bilangan Shoa-tang, tampak berhembus cukup keras. Gelombang yang terkadang naik meninggi saling susul. Tapi, perahu kecil bertiang satu berlayar dengan pesat memecah gelombang demi gelombang, bagaikan anak panah pesatnya yang terlepas dari busur.

Juga gelombang yang tinggi-tinggi bagaikan gunung itu tidak merintangi perjalanan perahu kecil tersebut Di dalam perahu kecil tersebut hanya terdapat dua orang. Seorang laki-laki usia tua dengan kumis dan jenggot yang telah memutih rambutnya juga telah berwarna putih, menunjukan mungkin sedikitnya ia berumur delapanpuluh tahun lebih, memegang kayu pengayuh dengan kuat. Setiap kali ia mendayung, perahu kecil itu melesat pesat sekali.

Itulah tenaganya yang luar biasa. Pakaiannya terbikin dari bahan yang sederhana, sutera biasa berwarna hijau. Kopiahnyapun berwarna hijau. Tidak ada luar biasa pada orang tua ini, yang duduk di ujung perahu kecil tersebut sebelah selatan. Hanya yang luar biasa adalah wajahnya.

Walaupun telah berusia lanjut, wajah maupun sikapnya memperlihatkan ia sangat berwibawa sekali. Matanya, tidak seperti umumnya mata orang yang lanjut usia, yang buram. Justeru mata orang tua yang satu ini bersinar sangat tajam sekali, bagaikan kilatan matanya itu akan menembus segala apa yang dipandangnya.

Ia mendayung dengan membungkam, tidak pernah ada sepatah perkataanpun yang meluncur dari mulutnya. Hanya keganasan air laut juga yang menggulung-gulung menimbulkan suara yang cukup keras.

Lalu penumpang perahu kecil itu yang lainnya adalah seorang anak laki-laki kecil berusia muda sekali. Mungkin baru sepuluh tahun atau lebih sedikit. Jika dilihat ia melakukan perjalanan air laut itu bersama si kakek, orang segera menyangka bahwa anak lelaki itu adalah cucu si kakek tua tersebut.

Cuma saja, ada sesuatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki itu. Wajah maupun bentuk tubuhnya. Ia memang duduk di ujung kepala perahu di hadapan kakek tua. Sama seperti kakek tua berbaju hijau itu, yang mendayung dengan berdiam diri saja, iapun membungkam. Cuma matanya yang sekali-kali berkilat mengawasi gelombang air laut yang tinggi bagaikan mengejar dan akan mengubur perahu mereka.

Wajah anak laki-laki ini akan mengejutkan orang yang memandangnya. Wajah itu tidak wajar. Tidak tampan dan juga tidak dapat disebut terlalu bagus bentuknya sebagai raut wajah seorang anak manusia, mukanya lebih mirip muka seekor kera.

Sepasang matanya yang cekung dalam sekali, hidung yang bentuknya kecil, dengan bibir yang lebar, mulut yang monyong. Sungguh mengherankan sekali bentuk wajahnya yang lebih mirip seekor kera.

Dan juga tampak jelas sekali, tubuhnya ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Berwarna kuning keemas-emasan. Bajunya yang longgar, yang sering tertiup keras oleh angin sehingga tersingkap terbuka, menyebabkan tangannya yang berbulu kuning itu bisa dilihat dengan jelas.

Pada pipi kiri dan kanan mukanya pun ditumbuhi bulu kuning yang tidak terlalu tebal seperti di tangannya. Baju anak ini berwarna hijau juga, sama seperti si kakek di depannya. Model pakaiannya pun sama. Kopiah hijau dikenakan di atas kepalanya pun sama seperti kopiah si kakek. Malah bentuknya pun sama dengan sepatu si kakek, hanya ukurannya saja yang berbeda, yaitu ia memakai sepatu berukuran kecil.

Pakaiannya paling menarik perhatian. Anak laki-laki seusia seperti jubah panjang yang dikenakan kakek tua itu. Semuanya memang mirip dengan kakek tua itu dalam cara berpakaian. Cuma muka mereka yang berbeda satu dengan yang lain! Walaupun berusia lanjut kakek tua itu tetap memiliki raut wajah seorang manusia, juga tangan kakek tua itu tidak berbulu kuning.

Yang lebih lucu lagi, anak lelaki kecil dengan wajah berbentuk seperti muka seekor kera itu duduk dengan mengambil sikap seperti kakek tua itu, kaki kanan ditekuk, sedangkan kaki kiri dilonjorkan. Jika kakek tua itu merobah cara duduknya tentu ia akan mengikuti terus cara duduk kakek tua itu. Ia pun memegang sepasang dayung kecil pendek turut mendayung biarpun tenaga mendayungnya tidak membantu banyak untuk kakek tua itu, sebab tenaga bocah aneh ini tidak berarti, masih terlalu lemah untuk menghadapi ganasnya gelombang air laut dia hanya mendayung satu kali demi satu kali belaka.

Setelah mendayung sekian lama lagi, barulah kakek tua baju hijau itu bicara mengisi kesunyian di antara mereka, walaupun di luar mereka berdua, keadaan tidak sunyi karena suara di laut yang mendampar-damparkan dinding perahu:

“Kim Lo, kukira ada baiknya kau tidak ikut dalam pelayaran ini, diam bersama ibumu. Kukira kita baru tiba di Put-ciu di Put-hay tiga hari lagi. Perjalanan yang meletihkan tentunya ibumu tentu menguatirkan sekali keselamatan dirimu.”

Dan orang tua itu menghela napas dalam-dalam. Tapi matanya mengawasi tajam lepas ke arah laut yang luas membentang di depannya.

Anak itu, Kim Lo, tersenyum. Aneh suaranya ketika bicara, agak sember, juga kata-katanya semacam pekikan, walaupun cukup jelas untuk ditangkap artinya:

“Mengapa kong-kong (kakek) berkata begitu? Bukankah ibu selalu mengatakan jika aku bersama kong-kong, ibu percaya selalu akan dilindungi Thian?” dan anak itu tertawa. la merobah cara duduknya, kaki kanannya yang semula dilonjorkan, telah dimiringkan, sebab anak itu melihat kong-kongnya merobah cara duduknya. Ia mengikuti dan menyamakan cara duduknya.

Laki-laki tua itu diam saja. Ia tersenyum melirik kepada Kim Lo, kemudian mendayung.

Kim Lo juga cepat-cepat mendayung. Ia memang selalu mengikuti gerak-gerik dan apa yang dilakukan Kong-kongnya itu.

“Kong-kong...!” Kata Kim Lo kemudian.

Laki-laki tua itu menatapnya sambil tersenyum.

“Aku ingin menanyakan sesuatu kong-kong. Boleh aku tanyakan!” tanya Kim Lo lagi.

“Ya, katakanlah!” Bilang kakek tua itu tersenyum, sikapnya sabar dan halus. Jelas ia sangat sayang pada anak itu, walaupun muka anak kecil ini tidak enak dilihat, seperti muka seekor kera.

“Apakah Kong-kong tidak marah?” tanya Kim Lo lagi.

“Mengapa harus marah?”

“Sungguh?”

“Kong-kong tak pernah mendustaimu. Katakanlah! Sejak kapan kau mulai tak percaya pada Kong-kongmu?” kata kakek tua itu, tapi ia tokh tidak marah, malah kembali tertawa-tawa.

“Kong-kong, lihat air laut yang bergelombang tinggi-tinggi itu?” Tanya Kim Lo kemudian sambil menunjuk ke arah belakangnya, kepada gelombang yang besar-besar……. Lihat, bukan?”

“Ya, ya, Kong-kong telah melihatnya!” menyahuti kakek tua itu. Ia mulai heran, karena tidak mengerti mendadak Kim Lo bertanya tentang gelombang. “Apa maksud pertanyaanmu Kim Lo?”

Kim Lo tertawa. Tapi cuma sebentar, karena kemudian memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh waktu ia berkata: “Kong-kong selalu memberitahukan padaku, jika ingin bertanya haruslah menanyakan hal-hal yang penting. Dan kini, jelas urusan yang hendak kutanyakan pada Kong-kong adalah urusan yang penting.”

Kakek tua itu tertawa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menahan kayu penggayuhnya,

“Ya, ya, katakanlah Kim Lo. Jangan main teka teki seperti ini. Aku baru ingat, kau memang selalu menanyakan yang penting-penting!” Dan kakek tua itu tertawa lagi, senang tampaknya dia.

Senang Kim Lo mendengar ucapan Kong-kongnya, ia tersenyum sejenak namun kemudian berkata lagi sambil memperlihatkan sikap sungguh-sungguh:

“Air laut dapat bergelombang begitu tinggi, sangat tinggi sekali, tapi mengapa lwekang, yang kita latih tidak dapat mencapai tinggi seperti yang kita kehendaki?”

Kakek tua itu diam sejenak, ia tertegun. Tapi kemudian tertawa lagi.

“Kim Lo, kau berpikir terlalu jauh sekali. Tentang lwekang yang kau tanyakan, seseorang bisa melatihnya dari kekuatan gelombang air laut yang melebihi besar dari itu sekalipun!” katanya kemudian.

Kim Lo mementang matanya lebar-lebar, seakan juga ia tidak mempercayai apa yang diucapkan Kong-kong. “Benarkah itu, Kong-kong? Kau…… apakah kau bukan sedang mendustai aku?”

Kakek itu tersenyum, sambil geleng-gelengkan kepalanya, ia berkata perlahan: “Kau mengapa menduga Kong-kong mempermainkanmu? Pernahkah kong-kong mendustaimu?”

“Belum!” menyahuti Kim Lo sambil mengggeleng.

“Jika kelak kau berhasil melatih dengan baik sehingga memiliki lwekang yang sempurna maka gelombang air laut yang jauh lebih hebat dan lebih tinggi dari itu, tidak mungkin bisa merubuhkan dirimu!”

“Kong-kong…….!” Kim Lo mementang matanya seakan juga tak bisa mempercayai keterangan Kong-kongnya.

“Kau tidak percaya bukan? Baiklah, sejak dulu selalu bicara dengan kau disertai bukti. Nah, sekarang mari kau lihat buktinya!”

Setelah berkata begitu, kakek tua tersebut mengangkat sepasang dayungnya, ia letakkan di lantai perahu. Kemudian berdiri tegak. Tenang sekali. Ia menunjuk ke arah belakang Kim Lo, katanya:

“Kim Lo, sekarang lihatlah! Sebentar lagi akan datang gelombang yang besar. Kong-kong akan memperlihatkan gelombang besar itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap diri kong-kong yang telah lanjut usia seperti ini! Nah lihatlah, gelombang besar itu telah datang.”

Kim Lo menoleh. Benar saja segulungan gelombang yang sangat tinggi tengah mendatangi. Gelombang yang sebesar itu seharusnya dapat menggulung perahu mereka dan mendamparkan mereka jauh sekali, jika saja memang Kong-kongnya ini tidak memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Hatinya jadi tertarik sekali. Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh kakeknya.

Sedangkan waktu itu kakek tua itu telah menggerakkan tangannya. Ia menampar ke arah permukaan air laut. Aneh sekali. Begitu dia menghantam ke permukaan air laut di samping perahunya, perahu itu segera berputar. Maka Kim Lo berada di belakangnya dan orang tua itu yang berdiri tegak menghadapi gelombang yang sangat besar itu.

Kim Lo kagum sekali. Itulah kekuatan sin-kang yang sungguh-sungguh sempurna. Hanya dengan menggerakkan tangannya, dengan angin dari telapak tangannya, kakek tua itu bisa memutarkan perahu mereka mudah sekali. Dan Kim Lo tidak bisa untuk berpikir lebih jauh, karena gelombang yang besar dan tengah menggulung itu menyambar dekat sekali pada perahu mereka, seakan juga gelombang itu seekor harimau yang ingin menerkam perahu Kim Lo dan kakeknya.

Tenang sekali orang tua itu mengangkat kedua tangannya mendorong dengan kedua telapak tangannya.

“Brarrrr!” Gelombang itu terpukul hebat. Tapi, yang lebih luar biasa, gelombang air laut tidak berhasil menggulung perahu mereka.

Begitu orang tua menggerakkan sepasang tangannya, perahu tersebut seperti didorong sesuatu yang sangat kuat, bagaikan terbang, telah melesat ratusan tombak menjauh dari gelombang yang sangat ganas itu. Dengan demikian gelombang air laut itu tidak berhasil untuk menggulung perahu itu, yang hanya tergoncang akibat air laut yang bergelora, akibat dari menggulungnya gelombang yang sangat besar itu.

Kim Lo menepuk-nepuk tangannya cukup nyaring memuji Kong-kongnya. Dan juga beberapa kali orang tua itu melakukan hal seperti itu, yaitu menghantam setiap gelombang yang datang ke arah perahu mereka, melesat sejauh puluhan tombak tidak jarang sampai seratus tombak lebih!

Itulah tenaga yang terlatih baik sekali, bukan tenaga kasar, melainkan tenaga lwekang yang sempurna. Karenanya, orang tua yang lihay itu bisa meminjam tenaga dari kekuatan gelombang air laut untuk membuat perahunya itu melesat dengan pesat sekali menjauhi diri dari sambaran gelombang air laut.

Di kala itu Kim Lo berulang kali berseru-seru: “Bagus! Bagus Kong-kong! Ajari aku! Ajari aku!” dan tampaknya memang dia girang bukan main.

Juga Kim Lo semakin gembira acap kali perahu mereka melesat seperti terbang, ia tertawa-tawa girang sambil berpegangan pada tepian perahu, sebabnya jika tidak tubuhnya kemungkinan bisa terjungkal ke belakang dan tercebur ke dalam laut! Tapi Kim Lo biarpun masih kecil, namun ia memiliki kuda-kuda yang cukup kokoh dan kuat, iapun membantu dengan tangannya memegang ke dua tepian perahu, membuat tubuhnya tidak bergeming walaupun perahu itu selalu melesat dengan pesat sekali.

Kakek tua itu beberapa kali lagi menyambuti gelombang air laut, akhirnya kembali mendayung. Hanya, dengan sikap sungguh-sungguh ia bilang: “Kim Lo, kau telah menyaksikan, dengan memiliki sin-kang yang sempurna, kita bisa menghadapi kesukaran apapun, dengan mudah dapat mengatasinya dengan baik! Bukankah kini gelombang air laut yang tinggi dan ganas itu tidak berdaya apapun juga terhadapku?”

Kim Lo mengangguk beberapa kali.

“Benar Kong-kong. Aku akan berlatih giat untuk memiliki kepandaian seperti Kong-kong,” kata Kim Lo berjanji.

Orang tua itu mengangguk tersenyum senang.

“Aku tahu, kau anak rajin dan pandai, kau tentu dapat memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari yang kumiliki……!” kata Kong-kong itu dengan tersenyum senang, mendayung lagi. Setiap kayu dayungan digerakannya, dan perahu itu meluncur dengan pesat sekali.

Diwaktu itu, Kim Lo juga telah mengikuti gerak gerik Kong-kongnya lagi duduknya, cara mendayung, walaupun tenaga mendayungnya tidak berarti banyak untuk membantu si kakek, menggerakkan perahu tersebut.

Air laut masih bergelora terus dengan gelombangnya yang ganas, cuma saja orang tua yang bersama cucunya itu tetap tenang, perahunya tetap dapat dikendalikan dengan baik, malah dilihat dari cara ia menguasai dan mengendalikan perahu tersebut, memang jelas sekali dia merupakan seorang yang berpengalaman dalam pelayaran di laut.

Di waktu itu juga, terlihat menempuh ratusan lie dalam perjalanannya itu. Hari sudah mendekati sore, matahari yang doyong ke arah barat telah turun sekali, demikian indah permukaan air laut berkilauan juga memancarkan sinar kemerah-merahan yang indah menarik hati. Kim Lo yang menyaksikan pemandangan seperti itu tidak hentinya memuji.

“Apakah sejak dulu sampai sekarang tidak ada manusia yang bisa pergi ke matahari Kong-kong?” tanya Kim Lo lewat lagi beberapa saat. Ia bertanya sambil mengawasi ke matahari yang sebentar lagi akan tenggelam itu.

Si kakek tersenyum mendengar pertanyaan Kim Lo.

“Ada, dua kali terjadi manusia pernah mendatangi kerajaan matahari,” menyahuti Kong-kong itu.

“Benarkah Kong-kong?” tanya Kim Lo.

Laki-laki tua itu mengangguk ia mengawasi ke arah matahari itu, kemudian menghela napas.

“Ya, Kong-kong pun pernah pergi ke matahari,” katanya. “Itu terjadi dulu. Beberapa puluh tahun yang silam!”

“Ohhh, kalau begitu sekarang Kong-kong bisa mengajakku untuk pergi ke mata hari, bukan?” tanya Kim Lo tertarik.

“Ya, ya, Bisa. Tapi bukan sekarang, nanti.”

“Ceritakanlah Kong-kong, bagaimana caranya untuk pergi ke matahari?” tanya Kim Lo semakin tertarik.

“Dengan naik perahu...... seperti kita sekarang ini. Tapi matahari merupakan sumber panas yang hebat sekali. Dan orang harus mempelajari ilmu silat yang sangat sempurna, barulah bisa pergi ke sana! Nah, Kim Lo, setelah kembali ke pulau Tho-hoa-to, kau harus rajin-rajin berlatih ilmu yang Kong-kong ajarkan padamu?”

“Kalau kita memiliki kepandaian yang tinggi maka kita bisa pergi ke matahari, Kong-kong?”

“Ya. Kau harus berlatih baik-baik dan rajin usiamu baru sepuluh tahun. Jika berlatih sepuluh tahun lagi, niscaya kau memiliki kepandaian yang sempurna.” Setelah berkata begitu, si kakek menatap cucunya dengan sorot mata yang tajam sikapnya bersungguh-sungguh ketika ia bilang:

“Dan kau mau berjanji, bukan? Jika kita telah kembali ke Tho-hoa-to, kau akan berlatih dengan giat?!”

Kim Lo seperti berpikir sejenak, ia tidak menyahuti pertanyaan Kong-kongnya, malah ia balik bertanya.

“Kong-kong bukankah aku selalu menuruti kehendakmu berlatih dengan rajin? Apakah itu kurang rajin?”

Si kakek menggeleng. “Kau memang anak baik dan rajin. Tapi, kau memerlukan ketekunan yang lebih baik untuk mempelajari semua ilmu silat yang kuajarkan! Kau belakangan ini lebih banyak bermain saja…....”

“Baiklah Kong-kong, aku akan belajar dengan giat. Aku berjanji akan mematuhi semua kata-kata Kong-kong!” Kata Kim Lo.

“Kau memang seorang anak yang baik!” kata Kong-kong itu sambil tertawa senang. “Baiklah jika memang kau berlatih dengan rajin dan tekun, kelak kau bisa pergi ke matahari!”

Kim Lo juga senang. Dia mengawasi matahari yang semakin tenggelam itu beberapa saat. Dan barulah kemudian dia meniru lagi cara mendayung dari Kong-kongnya.

Lewat lagi beberapa saat, mereka telah melihat sebuah titik hitam di kejauhan. “Daratan, Kong-kong......!” berseru Kim Lo.

Lelaki tua itu mengangguk.

“Ya...... kita sebentar lagi akan tiba. Tapi ingat akan pesan Kong-kong, kau tidak boleh nakal……!” kata orang tua itu.

Kim Lo mengangguk saja. Tampaknya dia gembira. Kong-kongnya mengajaknya untuk berbelanja membeli keperluan mereka, baju, pakaian dan barang makanan, dan hanyak keramaian yang bisa disaksikannya nanti. Bersemangat sekali ia mendayung, tapi tenaganya yang kecil tidak membuat perahu itu lebih laju.

<> 

Siapakah kakek tua dengan Kim Lo itu?

Dialah tokoh rimba persilatan yang namanya, sangat terkenal dan menggetarkan Kang-ouw, karena dia tidak lain dari Oey Yok Su, majikan pulau Tho-hoa-to, yang berusia sangat lanjut.

Sebetulnya, Oey Yok Su sudah tidak mau mencampuri lagi urusan keduniawian. Tapi karena rasa ibanya terhadap Kim Lo, yang ternyata putera Kam Lian Cu yang diperoleh atas pemerkosaan seekor kera yang berbulu kuning peliharaan Bun Sian Cuan. (Baca Anak Rajawali)

Telah sepuluh tahun Oey Yok Su mengajak Kam Lian Cu tinggal di Tho-hoa-to, ia memperlakukannya seperti juga memperlakukan anaknya sendiri sampai akhirnya Kam Lian Cu melahirkan, dan ternyata anaknya itu seorang bayi yang memiliki muka kera, malah sekujur tubuh bayi tersebut penuh ditumbuhi rambut yang berwarna kuning.

Kam Lian Cu menangis sedih dan hampir kalap ingin mencekik mati bayinya itu, yang mendadak saja jadi dibencinya. Tapi Oey Yok Su dapat mencegah dan membujuknya.

Cuma saja, sikap selanjutnya Kam Lian Cu memperlakukan anaknya kurang baik dan acap kali kasar, membuat Oey Yok Su semakin kasihan pada anak itu, yang diberi nama Kim Lo. Dengan demikian, perasaan kasihan dan iba itu membuat Oey Yok Su melibatkan diri untuk bantu merawat anak tersebut, yang dianggap sebagai cucunya. Dan Kam Lian Cu tidak pernah memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Kim Lo, dan anak itu cuma memperoleh perlakuan kasih sayang dari Oey Yok Su.

Malah, jika ia dipukuli ibunya, Kim Lo segera mengadu kepada “kong-kongnya” tersebut dan Oey Yok Su yang akan melindunginya. Dan selama sepuluh tahun itulah Oey Yok Su berusaha mendidik anak itu, agar kelak ia memiliki kepandaian yang tinggi.

Tapi Kim Lo justeru seorang anak yang kurang begitu senang mempelajari ilmu silat, dia lebih senang melompat ke sana ke mari bermain-main. Dan ia pun selalu meniru gerak-gerik Kong-kongnya. Jika Kong-kongnya duduk bersemedhi, ia akan duduk bersemedhi, jika Kong-kongnya itu membaca, ia akan membaca, walaupun huruf-huruf yang dibacanya itu pun kurang begitu jelas masuk ke dalam otaknya.

Caranya duduk dari Oey Yok Su, gerak gerik lainnya dari majikan pulau Tho-hoa-to ini, selalu diikutinya dengan baik sekali. Dan Oey Yok Su tidak pernah menegurnya. Ia memaklumi, walaupun bagaimana dalam tubuh Kim Lo memang masih terdapat darah seekor kera, jelas sifat dan tabiat seekor kera, yang paling cepat meniru dan mengikuti gerak-gerik orang lain, selalu melekat didiri Kim Lo. Bukankah Kim Lo putera seekor kera berbulu kuning?

Malah Oey Yok Su jadi bertambah sayang pada anak ini, bertambah iba mengingat wajahnya yang buruk, kelakuan anak itu yang tidak jarang seperti kelakuan seekor kera. Dan juga Oey Yok Su sering merenungkan, entah bagaimana kelak Kim Lo mencari jodoh, jika ia telah dewasa? Wajahnya yang jelek seperti muka kera, dengan sekujur tubuh yang berbulu itu, dan juga kelakuannya yang seperti seekor kera, bagaimana mungkin ada gadis yang menyukai dan bersedia menjadi isterinya? Terpikir begitu, Oey Yok Su semakin sayang saja pada anak ini, ia jadi sedih hati, jika memikirkan kelak keadaan “cucu”nya ini.

Kalau saja Kim Lo terlahir sebagat anak laki-laki yang wajar, wajah yang cukup dan juga dengan keadaannya yang seperti umumnya seorang manusia biasa, tentu Oey Yok Su tidak akan begitu mengacuhkannya, terlebih lagi usianya yang semakin lanjut saja. Tentu adat Oey Yok Su yang ku-koay juga akan menguasai dirinya dalam menghadapi anak Kam Lian Cu. Tapi kekurangan-kekurangan yang dimiliki Kim Lo inilah yang membuat Oey Yok Su menyayangi dan mencintai anak tersebut melebihi dari pada kasih sayangnya pada Oey Yong, beberapa waktu yang lalu.

Kim Lo sendiri memang merasakan bahwa Oey Yok Su memanjakannya, malah kong-kongnya ini lebih memanjakannya dibandingkan ibunya, yang selalu bertindak keras padanya. Karena itu, Kim Lo lebih senang jika memang ia ikut serta dan selalu bersama Kong-kongnya.

Kam Lian Cu sendiri memperoleh tempat di sisi rumah Oey Yok Su, dibangun sebuah yang cukup besar. Kam Lian Cu mendiaminya berdua dengan Kim Lo.

Memang berulang kali Kim Lo telah merengek kepada kong-kongnya, untuk meminta Kong-kongnya itu mengijinkan dia tinggal dan tidur bersama Kong-kongnya. Namun Oey Yok Su sejauh itu menolak permintaan Kim Lo.

Ia mengerti kalau permintaan Kim Lo diterima Kam Lian Cu akan tersinggung, juga perempuan itu akan menjadi kesepian, walaupun bagaimana sikapnya terhadap Kim Lo, dia adalah ibu Kim Lo. Dan seorang ibu, yang galak bagaimanapun juga tidak akan “memakan” anaknya. Harimau yang ganas saja tidak akan membunuh anaknya!

Begitulah, Kim Lo telah dibesarkan dalam lingkungan pulau Tho-hoa-to. Dan ia sering bermain-main di taman pohon bunga Oey Yok Su, yang seluruhnya diatur dengan cara dan kedudukan Pat-kwa-tin. Namun, disebabkan setiap hari Kim Lo di taman bunga tersebut ia telah hafal dan kenal baik sekali seluk beluk tanaman bunga itu.

Dengan demikian pula membuat ia tidak sampai pernah tersesat. Malah, secara tidak disadarinya, iapun telah mempelajari barisan Pat-kwa-tin, yang kelak sangat berguna untuknya.

Oey Yok Su cuma menyesal satu, bahwa kecerdasan Kim Lo agak bodoh, daya tangkapnya kurang, walaupun ia lincah, tokh sesuatu apa harus dipelajarinya berulang kali. Dan ini yang menghambat Kim Lo bisa mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh Oey Yok Su dengan cepat. Dan ini pula yang membuat Oey Yok Su seringkali jadi berkuatir kalau saja Kim Lo tidak berhasil mewarisi kepandaiannya dengan sempurna.

Tapi Oey Yok Su bertekad, walaupun bagaimana ia ingin mempergunakan berbagai cara untuk mendidik Kim Lo agar anak ini bisa untuk mencernakan seluruh kepandaiannya. Oey Yok Su malah bertekad, walaupun bagaimana seluruh kepandaiannya itu akan diwarisi kepada Kim Lo.

Jika puteri sejatinya itu cuma menerima delapan bagian dari kepandaiannya, justeru kepada Kim Lo ini Oey Yok Su bermaksud hendak mewarisi seluruh kepandaiannya. Dan iapun telah memutuskan bahwa Kim Lo ini sebagai pewarisnya, sebagai murid penutupnya dan akan mewarisi kedudukan sebagai satu-satunya murid resmi dan penutup dari majikan Tho-hoa-to tersebut.

<> 

Pagi itu Oey Yok Su bermaksud pergi membeli persediaan makanan di Put-ciu, karena memang persediaan makanan di Tho-hoa-to sudah hampir habis. Kim Lo merengek hendak ikut serta Oey Yok Su biasanya tidak pernah mengajak anak ini. Tapi kali ini Kim Lo merengek terus dan berjanji tidak akan nakal, terpaksa ia mengajaknya, setelah hal itu diberitahukan kepada Kam Lian Cu tidak keberatan anaknya ikut serta, apalagi Oey Yok Su menjelaskan agar Kim Lo mulai berkenalan dengan masyarakat untuk memperoleh pengalaman.

Sesungguhnya, di hati Oey Yok Su terkandung sesuatu yang lain, ia justeru ingin melihat bagaimana sikap masyarakat menerima kehadiran Kim Lo, yang wajahnya menyerupai muka seekor kera itu, dengan demikian ia bisa memikirkan pula untuk masa depan anak ini.

Dan seperti biasanya Oey Yok Su mempergunakan perahunya yang kecil. Walaupun laut memang terkadang ganas dalam ketenangan yang ada, Oey Yok Su sanggup menghadapinya dikarenakan kepandaiannya yang tinggi dan telah sempurna.

Bagi Kim Lo justeru perjalanannya ini menyenangkan sekali. Belum pernah ia keluar meninggalkan pulau Tho-hoa-to, dan perjalanan ini merupakan pengalamannya yang pertama. Apa lagi memang nanti ia akan menyaksikan keramaian.

Begitulah, perahu kecil tersebut belayar terus, dan akhirnya tiba di pelabuhan di Put-ciu. Keadaan di sana sangat ramai. Banyak perahu yang berlabuh di sana, dengan ukuran yang besar-besar, dan tiang yang menjulang tinggi, sehingga barisan perahu itu dengan tiangnya seperti juga pohon cemara yang menjulang tinggi sekali.

Kim Lo telah ikut Kong-kongnya untuk melompat ke daratan. Dan ia pun telah menari-nari dengan sikapnya yang jenaka.

Beberapa orang yang berada di pelabuhan tersebut mengawasi heran padanya. Dan Oey Yok Su bisa melihat sikap orang-orang itu, tapi pura-pura tidak mengetahuinya.

Dengan menuntun tangan Kim Lo, Oey Yok Su memasuki sebuah rumah makan. Ia memesan beberapa macam makanan dan bersantap berdua dengan Kim Lo. Banyak yang ditanyakan oleh Kim Lo, dan Oey Yok Su dengan sabar menjelaskan segala sesuatunya.

Waktu mereka tengah bersantap, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah makan karena seseorang menjerit-jerit menerobos masuk ke dalam rumah makan itu. Baru memasuki beberapa langkah, tubuhnya terguling di lantai.

Oey Yok Su mengerutkan alisnya, melirik sedikit pada orang itu, yang ternyata sekujur tubuhnya terluka parah. Mukanyapun herlumuran darah, sebab mukanya telah rusak oleh cacahan benda tajam. Rupanya orang ini telah di aniaya oleh seseorang, malah tubuhnya berkelojotan beberapa kali, kemudian mengejang kaku, orang itu telah putus napasnya.

Kim Lo beran, ia bangkit dan duduknya, malah tanpa disadari anak itu terdorong oleh perasaan ingin tahu, telah menghampiri seorang yang menggeletak di lantai rumah makan, mengawasi seakan juga takjub. Orang-orang lainnya yang berada di rumah makan ini jadi gempar, mereka meninggalkan suara yang berisik sekali.

Banyak yang berseru-seru: “Pat-ong-say-mo! Pat-ong-say-mo (Delapan iblis raja singa).

Mendadak tamu-tamu di rumah makan itu tambah berisik, mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu. Pada waktu ada beberapa sosok tubuh melangkah masuk ke dalam rumah makan itu.

Rupanya tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan muka yang bengis, memakai baju ringkas warna biru dan hijau, mengawasi sosok tubuh yang telah mengejang kaku tidak bernapas.

“Mampus! Dia telah mampus!” kata salah seorang di antara mereka.

Di waktu itu juga tampak salah seorang di antara ke tiga orang itu telah menyepak dengan kaki kanannya, tubuh yang telah mengejang kaku tidak bernapas terbalik jadi menengadah, dan ia memperoleh keyakinan orang itu sudah tidak bernapas.

Di waktu itu justeru orang yang menyepak itu melihat Kim Lo. Alisnya terangkat naik.

“Monyet kecil kurang ajar, kau berani dekat-dekat dengan tuan besarmu?” Sambil berkata begitu tangan kanannya diulurkan, dia menjambak baju di punggung Kim Lo, kemudian melemparkan anak itu keluar rumah makan.

Kim Lo semula tidak menyangka orang akan menjambak baju di punggungnya, dia baru kaget disaat tubuhnya dilontarkan keluar rumah makan. Tapi sebagai seorang anak yang selama sepuluh tahun digembleng Oey Yok Su otaknya agak bebal dan kurang cerdas, tokh, ia telah memperoleh didikan yang baik dari seorang ahli. Waktu tubuhnya hinggap, sepasang kakinya lebih dulu mengenai tanah, dan berdiri tegak, tidak terjerunuk ke depan atau terhuyung.

Orang yang tadi melemparkan Kim Lo tadi sesungguhnya memiliki tenaga yang sangat besar, ia yakin tentu anak yang mukanya seperti muka kera itu akan terbanting keras setengah mati di luar rumah makan dan tubuhnya akan terguling-guling. Namun melihat apa yang dilakukan anak itu, orang jadi tertegun.

Kedua orang tamunya juga jadi mengawasi heran. Malah ketika tersadar, salah seorang temannya telah bilang: “Lo-jie, kau dipermainkannya! Ha, ha, tenagamu yang besar tidak ada gunanya sekarang mungkin semalam kau telah makan bunga raya he?!”

Orang yang tadi melempar Kim Lo, yang dipanggil dengan sebutan Lo-jie jadi penasaran. Dia menjejak kakinya, tubuhnya melompat keluar rumah makan, dia mengulurkan tangan kanannya hendak menjambak Kim Lo lagi, akan tetapi, kini Kim Lo tidak membiarkan baju di punggungnya dijambak pula. Dia berkelit. Gerakan Kim Lo membuat jambakan orang itu jatuh di tempat kosong.

Malah Kim Lo juga tidak tinggal diam, begitu ia merasakan tangan Lo-jie meluncur lewat di belakang punggungnya, segera juga kaki kanan diangkat ke belakang, ia telah menendang dengan dupakan yang keras ke arah selangkangan Lo-jie.

Seketika Lo-jie menjerit kesakitan, karena barang miliknya telah terdupak keras, ia terbungkuk-bungkuk sambil tangannya memegangi selangkangannya. Dan memang, ia telah kesakitan, sampai mengucurkan keringat dingin.

Kim Lo kaget sendirinya menyaksikan hasil tendangannya. Ia tidak menyangka Lo-jie akan mengaduh-aduh dengan muka pucat pias menahan sakit yang sangat.

“Kau…… kau kesakitan? Apakah tendanganku tadi terlalu keras, paman?” Tanya Kim Lo sambil menghampiri.

Dua orang kawan Lo-jie ketika tersadar dari tertegun mereka segera maju menghampiri Kim Lo dengan muka yang bengis, salah seorang di antara mereka telah memaki: “Setan cilik, kau ingin main-main dengan tuan besarmu, heh?” dan sambil berkata, yang seorang ini menghantam kepala Kim Lo.

Kim Lo merasakan dari belakangnya berkesiuran angin yang dingin dan hebat. Di Tho-hoa-to ia memang telah dilatih oleh Oey Yok Su selama beberapa tahun untuk mendengarkan sumber suara, dengan sendirinya ia juga secara spontan segera menggerakkan tangan kanannya ke belakang,

“Buk!”

“Aduuuuhhh!” lalu disusul dengan terlemparnya tubuh orang menyerang itu, tulang tangan kirinya patah karena benturan keras dari tangan Kim Lo.

Untung saja Kim Lo masih kecil ia hanya membuat tulang tangan orang itu patah. Coba jika Oey Yok Su yang melakukannya, mungkin orang itu akan putus napas di saat itu juga. Getaran tenaga tangkisan itu pasti akan membuat jantung orang itu terdengar dan berhenti mendenyut.

Oey Yok Su tepat duduk di tempatnya. Sama sekali ia tidak bergerak, malah menikmati terus makanan yang ada di mejanya.

Ia sudah bisa menduga berapa tinggi kepandaian tiga orang itu. Dan ia tahu Kim Lo tidak mungkin bisa dicelakai tiga orang itu. Karenanya ia membiarkan Kim Lo untuk menghadapi keadaan itu, untuk membiasakan anak ini berurusan dengan masyarakat, terutama sekali berurusan mengatasi persoalannya.

Tapi memang pada dasarnya Kim Lo tidak berpengalaman, dan baru pertama kali ini keluar dari pulau Tho-hoa-to, ia masih polos dan jujur. Karenanya melihat lawannya pada meringis kesakitan, ia jadi kasihan dan heran.

Sedangkan tangkisannya dan tendangannya yang hebat, dilakukan karena dari tahun ke tahun terbiasa berlatih diri belaka dan ia belum mengerti akan kehebatan setiap jurus yang dipelajarinya dari Oey Yok Su. Sedangkan diwaktu itu juga terlihat mencabut pedangnya, rupanya ia kaget melihat temannya terlontar oleb tangkisan Kim Lo dan sekarang justeru ia telah mencabut pedangnya untuk menikam pada Kim Lo.

“Setan cilik, kau harus mampus!” mendesis orang itu. Dan cepat sekali menikam Kim Lo.

Kim Lo kaget melihat berkeredepannya sinar pedang itu, yang tampaknya sangat tajam.

“Hei, hei…… tunggu dulu!” teriak Kim Lo kaget.

Tapi lawannya meneruskan tikamannya, malah tambah cepat. Waktu mata pedang hampir sampai di dada Kim Lo, diwaktu itulah gesit bukan main tubuh Kim Lo berkelit karena dia memang biasa berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Oey Yok Su, walaupun dia tidak tahu bagaimana harus berkelit, namun tangan dan kakinya telah bergerak sendirinya di luar keinginannya untuk menghindarkan diri dari tikaman itu.

Pedang melesat lewat disamping iga Kim Lo, dan waktu itu dengan gerakan seketika karena reflek, Kim Lo telah menghantam ke mata orang itu dengan dorongan telapak tangan.

“Ploookkk!”

Orang itu seketika jadi berkunang-kunang pandangannya, tubuhnya terhuyung. Belum lagi ia mengetahui keadaan, Kim Lo mempergunakan kaki kanannya menginjak ujung pedang orang itu, menekannya sampai ujung pedang menempel pada tanah, dan injakan Kim Lo keras sekali. Dengan teknik yang tepat meminjam kekuatan tenaga dengan injakan yang perlahan, pedang lawan menjadi patah!

Orang itu melompat mundur dengan muka pucat pias, dan mata masih berkunang-kunang, “Angin Keras!” teriaknya. Dan waktu itulah tampak sesosok bayangan melesat, terdengar suara “Bukk, bukkk!” tiga orang itu jatuh terbanting di tanah keras sekali.

Setelah rasa pusing mereka berkurang mereka merangkak berdiri siap untuk memapaki. Tapi ketika melihat sesosok tubuh berpakaian jubah hijau yang berdiri kaku di hadapan mereka, dengan muka yang dingin dan jenggot yang sudah memutih, tubuh ketiga orang itu menggigil.

“Oey locianpwe….?!” suara mereka ini tergetar keras, muka mereka pucat pias, tubuh menggigil dan mata terpentang lebar, mereka seperti melihat hantu di sore itu, mereka segera berlutut mengangguk-anggukkan kepala,

“Ampuni kami……, ampuni kami.......!”

“Hemmm, kalian minta diampuni? Baik! Aku mengampuni kalian, tapi kalian harus meninggalkan tanda mata atas kekurang ajaran kalian terhadap cucuku?!” kata Oey Yok Su dingin.

Muka ke tiga orang itu tambah pias, tubuhnya tambah menggigil.

“Oey locianpwe......!”

“Baik! Kalian tidak bersedia memberikan tanda mata kepadaku?” tanya Oey Yok Su. Dingin sekali suaranya.

Tiga orang itu tambah ketakutan, mereka saling pandang sejenak, dan kemudian mereka mengambil senjata masing-masing, yaitu pedang mereka, sinar berkilauan berkelebat, dan tampak tiga potong tangan telah jatuh menggeletak di tanah. Ternyata tiga orang itu telah memotong tangan kiri masing-masing sebatas siku.

Kemudian dengan meringis menahan sakit mereka memasukan pedang sedangkan pedang yang seorang, yang telah buntung, di buang kembali. Mereka membungkukan tubuh dengan luka di tangan kiri masih mengalirkan darah. Memberi hormat sambil berkata: “Kami mohon mengundurkan diri!”

“Tunggu dulu!” kata Oey Yoy Su dingin. “Jelaskah soal orang itu. Tentu kalian yang telah menyiksanya sampai ia menemui ajalnya!”

Berkata begitu Oey Yok Su menunjuk kepada sosok tubuh yang menggeletak di lantai rumah makan dalam keadaan tidak bernapas itu.

Semua orang yang menyaksikan jadi menggigil takjub, betapa tiga orang itu rela memotong membuntungkan tangan kiri mereka. Dan seketika mereka menduga betapa hebatnya Oey Yok Su ini, pasti kakek tua dengan baju hijau itu merupakan tokoh sakti rimba persilatan.

Tubuh tiga orang itu kembali menggigil.

“Dia…… dia bekerja untuk orang Mongol, kami….. kami membinasakannya karena dia seorang penghianat!” Menyahuti Lo-jie akhirnya dengan suara tergetar.

“Hemm, benarkah itu?” tanya Oey Yok Su dingin, muka tokoh persilatan yang menjadi majikan pulau Tho-hoa-to ini tampak dingin sekali “Apa yang dilakukannya?”

Tiga orang itu tambah ragu-ragu, akhirnya telah saling pandang sejenak lamanya.

“Apakah kalian tuli?” Bentak Oey Yok Su bengis suaranya, tubuh tiga orang itu menggigil lagi.

“Sesungguhnya…… sesungguhnya orang itu bekerja untuk Kublai........ ingin mencuri Giok sie…….!” menyahuti salah seorang di antara ke tiga orang itu

“Apa? Giok-sie?” Oey Yok Su mementang matanya lebar-lebar.

Tiga orang itu mengangguk.

“Ya…… Giok-sie telah jatuh di tangan pimpinan kami, orang ini bersama kawan-kawannya hendak merampas!” Menjelaskan Lo-jie pada akhirnya.

“Hemm, benarkah Giok-sie telah terangkat dari dalam laut di Gay-bun?” tanya Oey Yok Su seakan tak percaya.

“Kami mana berani main-main di depan Oey locianpwe?” menyahuti tiga orang itu, “Kami….. kami ingin pamitan dulu, kami, harus memberikan laporan kepada pemimpin kami. Harap Oey Locianpwe maafkan.”

“Tunggu dulu!” Dingin suara Oey Yok Su. “Kalian dari perkumpulan mana?”

“Kami….. kami dari Kim-giok-pang (Kumala Emas)...!” kata Lo-jie ragu-ragu.

“Ohhh, Kim-giok-pang tentunya kalian adalah anak buah Pangcu-sam?”

“Be…… benar!”

“Baiklah. Menggelindinglah kalian. Katakan pada Sam Tok bahwa aku akan berkunjung di dalam waktu dekat, untuk melihat Giok-sie,” Kata Oey Yok Su dingin.

“Oey Locianpwe……” tiga orang itu jadi kaget, muka mereka tetap pucat pias.

Oey Yok Su mengibas tangannya.

“Tidak cepat-cepat menggelinding pergi apakah kalian memang hendak aku ini meminta tanda mata lagi?” katanya.

Tidak berayal pula tiga orang itu membungkuk memberi hormat pada Oey Yok Su kemudian mengambil tangan mereka yang menggeletak di tanah, lalu berlari tanpa berani menoleh ke belakang.

Oey Yok Su menghela napas. Kim Lo yang telah berdiri disampingnya diusap-usap pundaknya.

Hati Oey Yok Su tergerak, ia telah mendengar munculnya Giok-sie. Inilah hebat, Giok-sie adalah cap kerajaan, dan cap kerajaan yang selama ini telah lenyap sekarang kabarnya telah muncul. Dan berada di tangan Pangcu Sam Tok dari Kim-giok-pang.

Inilah berita yang benar-benar tak pernah disangka-sangkanya. Dan Oey Yok Su di waktu itu telah berobah rencananya untuk berbelanja ia menunda maksudnya untuk membeli kebutuhan makanan dan barang-barang yang semula ingin dibelinya sore itu, agar besok pagi bisa kembali ke Tho-hoa-to. Dia memutuskan untuk menyelidiki dulu tentang Giok-sie cap kerajaan, yang menurut keterangan tiga orang itu telah berada di tangan Pang-cu Kim-giok-pang yaitu Sam Tok.

Memang belakangan ini banyak muncul pintu perguruan dan perkumpulan. Sejak kerajaan Song Selatan dimusnahkan Kublai, maka banyak bekas pecinta bangsa dan para pendekar yang semula mati-matian berjuang untuk menghadapi Kublai, ternyata akhirnya hidup terpencar-pencar. Dan mereka membuka pintu perguruan atau mendirikan perkumpulan.

Hal itu untuk memperkuat diri, menjaga kemungkinan kalau saja kerajaan yang baru itu, yaitu Tay Goan akan melakukan pengejaran terhadap diri mereka. Dengan didirikan perkumpulan, jelas mereka memiliki banyak anak buah yang bisa dipergunakannya menghadapi para pahlawan Kublai.

Telah sepuluh tahun Oey Yok Su tidak mencampuri urusan politik maupun Kang-ouw sejak ia bersama Yo Ko. Kay-pang maupun para pendekar lainnya gagal untuk menghadapi Kaisar Goan-sie Couw atau Kublai itu ia lebih banyak mencurahkan semua perhatiannya pada Kim Lo, cucunya itu. Dan memang ia tidak pernah pula ingin melibatkan diri dengan masalah-masalah yang menyangkut dengan kerajaan.

Tapi tentang Giok-sie justeru merupakan persoalan yang lain, dimana Giok-sie, merupakan mustika yang sangat berharga sekali. Dan jika bisa memperoleh Giok-sie, berarti Oey Yok Su bisa menyerahkan kepada seorang pendekar yang gagah perkasa memang ingin berjuang untuk memusnahkan kerajaan penjajah Tay Goan, mengerahkan rakyat dengan mengandalkan Giok-sie. Karena itu, dalam waktu yang singkat Oey Yok Su telah mengambil keputusan.

“Kong-kong, mengapa orang-orang itu jahat sekali, tahu-tahu telah menyerangku?” tanya Kim Lo menyadarkan Oey Yok Su dari termenungnya.

“Sudahlah, mereka manusia-manusia jahat yang memang perlu dihajar. Jika kau lebih rajin belajar ilmu silat yang kuajarkan, tentu dengan mudah kau bisa merubuhkan mereka, tanpa perlu dijambak atau dilontarkan seperti tadi.

“Ingatlah Kim Lo, kau belum lagi memiliki kepandaian yang berarti, kelak kau harus belajar dengan rajin, karena kalau sudah dewasa dan berkelana di masyarakat, maka kepandaian yang tinggi diperlukan sekali!”

Baru saja Oey Yok Su berkata sampai di situ tiba-tiba ia melihat serombongan polisi bergegas menuju ke sebuah rumah. Jumlah hamba negara yang terdiri dari bangsa Boan maupun bangsa Han yang menjual diri mereka bekerja pada pemerintah penjajah itu mengeluarkan suara yang berisik, galak sekali, membentak-bentak penduduk, yang ada di jalan itu agar menyingkir membuka jalan. Dan semua penduluk yang ketakutan menyingkir ke pinggir segera juga berbisik-bisik.

Kim Lo mau menanyakan sesuatu, tapi Oey Yok Su telah menarik tangannya menyingkir ke pinggir, menggabungkan diri dengan orang-orang lainnya, mereka melihat polisi itu memasuki sebuah rumah yang terpisah, tidak terlalu jauh dari rumah makan itu.

Oey Yok Su kemudian mengajak Kim Lo mengambil jalan berputar, ia menuju belakang rumah itu. Dengan ringan tubuhnya melesat ke atas genting dengan mengempit Kim Lo. Lalu menempatkan diri di para-para untuk melihat apa yang ingin dilakukan rombongan polisi.

Kim Lo yang sejak tadi berdiam diri dan terheran-heran, akhirnya tidak bisa menahan diri ia bertanya. “Kong-kong…... apa yang ingin kita lakukan?”

“Sttt…… kita lihat apa yang mereka ingin lakukan!” Bisik Oey Yok Su.

Tapi begitu Oey Yok Su menunduk, hatinya terkejut. Ia melihat belasan sosok mayat menggeletak di lantai, dalam keadaan luka parah tubuh mereka rusak. Ada yang mukanya hancur dicacah oleh senjata tajam.

Dan mereka semua menemui kematian dengan keadaan yang mengenaskan sekali. Banyak yang tangan maupun kakinya tidak utuh lagi. Rombongan polisi itu yang memasuki rumah tersebut menimbulkan suara yang berisik.

“Penjahatnya tentu telah melarikan diri.” Menggumam salah seorang polisi berbangsa Boan.

Dan memeriksa di ruangan lainnya Oey Yok Su mengawasi. Ternyata terdapat beberapa sosok mayat lagi yang menggeletak di ruang itu.

Demikian juga di bagian lain dari gedung tersebut. Ternyata, seluruh penghuni rumah itu telah di sapu bersih dibinasakan dengan cara yang kejam. Jumlahnya semua demikian banyak.

“Tidak ada satupun yang lolos dari kematian!” salah seorang polisi yang rupanya jadi pemimpin rombongan tersebut, setelah memeriksa seluruh rumah itu. “Jumlahnya empatpuluh tiga jiwa, tua muda kecil besar, laki-laki perempuan bahkan anjing dan ayampun tidak diberikan kesempatan hidup, semua telah di sapu bersih…….!”

Menggidik Kim Lo melihat mayat-mayat yang malang melintang dengan keadaan yang mengenaskan. Dia ingin bertanya sesuatu, tapi Oey Yok Su telah menutup mulutnya dengan tangannya, karena Oey Yok Su mencegah Kim Lo bicara. Jika Kim Lo bicara, tentu polisi di bawah itu akan mengetahui kehadiran mereka.

Di antara polisi-polisi itu tampaknya ada beberapa orang yang mengerti ilmu silat lumayan.

“Entah siapa yang melakukannya! Sayang, laporan yang sampai terlambat, tentu penjahatnya telah melarikan diri…….!” kata polisi yang lainnya.

Demikianlah rombongan polisi jadi sibuk memeriksa keadaan di sekitar rumah itu, dan di antara mereka mempergunakan kesempatan itu untuk mengantongi barang-barang permata dan perhiasan. Lewat beberapa saat lamanya, rombongan polisi itu menggagalkan rumah gedung itu.

Oey Yok Su menanti sesaat lamanya lagi barulah kemudian ia mengajak Kim Lo melompat turun untuk memeriksa keadaan di tempat itu. Pintu rumah itu telah disegel oleh rombongan polisi itu, sehingga hanya di luar saja terdengar orang-orang yang ribut membicarakan peristiwa berdarah itu.

Banyak mayat laki-laki tua dan muda yang menggeletak tidak bernapas dan dalam keadaan rusak. Demikian juga para wanita, sampai ada gadis kecil berusia tujuh tahun menggeletak dengan tubuh yang tidak utuh. Mengerikan sekali.

Melihat sekilas, Oey Yok Su sudah bisa menerka, tentu rumah ini telah diserbu oleh serombongan orang yang memiliki kepandaian tinggi dan membabat keluarga tersebut tua muda, besar kecil, tidak seorang diberi kesempatan hidup.

Dilihat dari pakaian mayat-mayat itu, mereka tampaknya dari keluarga bangsawan. Ada pelayan, ada yang berpakaian mewah dan ada juga yang berpakaian sebagai busu atau ahli silat yang mungkin bekerja sebagai tukang pukul keluarga tersebut. Namun mereka semuanya mati dengan muka yang hancur dan tubuh tidak utuh.

Oey Yok Su adalah seorang yang ku-koay dan telah banyak sekali peristiwa menyeramkan dan mengerikau ditemuinya. Ia pun memiliki adat yang aneh disamping telengas. Namun menyaksikan peristiwa ini, tidak urung hatinya ngiris juga.

Dulu, ia pernah menghukum murid-muridnya yang semuanya dipatahkan kakinya dibikin bercacad. Juga seluruh pelayan di Tho-hoa-to adalah manusia-manusia dari kalangan penjahat yang ditangkap dan dibawa kepulaunya, kemudian lidah mereka dipotong agar mereka tidak bisa bicara. Membunuh buat Oey Yok Su sama saja seperti melemparkan baju atau sepatunya dikala ia hendak beristirahat.

Tapi justeru menyaksikan puluhan jiwa yang mati dalam waktu yang singkat itu, juga dengan keadaannya yang tidak utuh dan muka hancur dibinasakan dengan ngiris, Oey Yok menghela napas.

“Tentu di pihak Kim-giok-pang yang melakukan semua ini!” diam-diam Oey Yok Su berpikir. “Hemmm, tapi apa hubungannya keluarga pembesar ini dengan Kim-giok-pang, lalu ada hubungan apa dengan Giok-sie.”

Oey Yok Su berpikir seperti itu, karena ia teringat kepada orang yang terluka hebat menerobos masuk ke dalam rumah makan dan akhirnya rubuh binasa.

“Mungkin juga orang itu ialah seorang dari keluarga ini yang telah berhasil melarikan diri untuk memberi laporan. Cuma saja dia keburu mati. Dan tiga orang yang mengejarnya adalah tiga orang anak buah dari Kim-giok-pang, disebabkan itulah Oey Yok Su memiliki kesimpulan bahwa yang telah turunkan tenaga demikian mengerikan membabat habis satu keluarga dilakukan oleh perkumpulan Kim-giok-pang.”

Kim Lo berlari ke sana ke mari untuk melihat apa yang ada di rumah itu. Mayat-mayat yang malang melintang diawasi dengan mata yang bersinar tajam. Dalam usia sekecil itu Kim Lo harus menyaksikan pemandangan hebat seperti itu.

Dan Oey Yok Su akhirnya mengajak anak itu untuk berlalu, sama seperti datangnya tadi, ia mengambil jalan di atas genting, mengandalkan gin-kangnya yang mahir, sehingga tidak ada seorangpun yang melihat apa yang dilakukan Oey Yok Su. Malah Oey Yok Su mengajak Kim Lo untuk mencari rumah penginapan. Hari sudah malam dan gelap.

Tapi, diluar tahu Oey Yok Su, setelah ia mengajak Kim Lo berlalu kira-kira sepemasangan satu bantang hio, tiba-tiba dari luar berkelebat sesosok bayangan yang gesit sekali melewati tembok gedung terjadinya pembantaian manusia tersebut.

Sosok tubuh itu ke ruang tengah, ia berdiri sejenak kemudian menangis terisak-isak. Tubuhnya menggigil. Kemudian ia berlari ke ruang lainnya. Ia memeriksa keadaan di situ. Seperti juga ada yang tengah dicarinya. Sampai akhirnya ia menubruk sesosok mayat dan menangis terisak-isak keras sekali.

Lama sosok tubuh yang berpakaian Ya-heng-ie atau peranti jalan malam yang berwarna hitam itu dan singsat, mendekam memeluki mayat itu sambil menangis, barulah akhirnya ia bisa menguasai dirinya. Dengan suara dalam tapi perlahan, mengandung kemurkaan yang sangat, ia seperti bersumpah:

“Ayah…… walaupun bagaimana sakit hati ini harus dibayar lunas…… harus di bayar lunas…… seluruhnya empatpuluh tiga jiwa dan anak akan mencari musuh-musuh yang telah menurunkan tangan kejam ini!”

Setelah berkata begitu, kembali ia menangis. Orang itu tidak lain seorang pemuda berusia duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun. Tubuhnya langsing tapi dari kelincahan, yang dimilikinya memperlihatkan pemuda ini memiliki gin-kang yang terlatih mahir. Dan ia menangisi sosok mayat yang berpakaian sebagai busu.

Ia memang putera dari busu itu, yang menggeletak dengan wajah remuk dan tangan kanan yang terpotong tiga. Di kala itu, pemuda ini, telah bersunpah berulang kali. Barulah ia menyusut air matanya, ia sambil mengangkat sosok mayat busu itu. Ia bermaksud meninggalkan gedung itu.

Siapakah pemuda itu? Lalu siapakah busu yang menjadi ayah pemuda tersebut, yang ikut terbinasa di dalam keluarga itu?

Ternyata busu itu she Bun bernama Lay San. Ia seorang ahli silat dari pintu perguruan Thay-kek-pay, kepandaiannya menggetarkan tembok besar di lima propinsi, senjata andalannya ialah sepasang ruyung. Justeru Bun Lay San bekerja sebagai pengawal pribadi dari pembesar pemilik gedung itu, yaitu seorang Boan-ciu yang berpangkat Cie-khoa, pengawas kota.

Nama pembesar itu Ngo-herlang-khan dan ia malam kemarin justeru telah memberitahukan pada Bun Lay San agar bersiap-siap dengan anak buahnya untuk mengadakan penjagaan yang ketat di gedungnya. Karena tidak diketahui waktunya dengan pasti, gedung pembesar Boan itu akan diserbu penjahat, dan ia telah menerima surat ancaman itu.

Tapi tidak di sangka-sangka justeru “penjahat” yang menyatroni gedung pembesar itu berjumlah banyak dan memiliki kepandaian yang tinggi. Mereka membabat habis keluarga Ngo-erlang-khan, bahkan pelayan, busu maupun pengawal keluarga Ngo-erlang-khan telah dibabat habis. Binatang peliharaan, seperti ayam dan anjing, juga tidak diberi kesempatan hidup.

Mati-matian Bun Lay San memberikan perlawanan untuk membela majikannya, akan tetapi dia terbinasa dengan cara yang mengenaskan itu. Dan justeru puteranya, yang bernama Bun Hong, mendengar peristiwa yang terjadi di gedung Ngo-erlang-khan, tempat ayahnya bekerja cepat-cepat pergi ke sana. Kebetulan waktu itu di dalam gedung ada belasan orang polisi yang tengah mengadakan pemeriksaan, menyebabkan Bun Hong harus menanti dengan sabar.

Setelah langit menjadi gelap dan rumah itu telah disegel barulah ia memasuki gedung itu dengan mengandalkan gin-kangnya. Mencari mayat ayahnya.

Pemuda itu membawa mayat ayahnya keluar dari gedung itu. Cuma saja, baru saja Bun Hong menancapkan kaki di tanah di luar tembok gedung tersebut, empat sosok bayangan bekelebat gesit, tahu-tahu telah menggurung Bun Hong apa lagi sekilas ia melihat gerakan orang-orang itu yang sangat lincah jelas mereka memiliki kepandaian yang tidak rendah.

“Bangsat kecil, rupanya kau termasuk salah seorang pembunuhnya!” teriak salah seorang pengepungnya. “Tangkap!”

Bun Hong dapat melihat jelas sekarang orang-orang yapg mengepungnya berpakaian sebagai alat negara dan ia tambah kaget. Dengan demikian ia bisa dicurigai dan ditangkap polisi-polisi negara tersebut. Segera juga Bun Hong menjejak kakinya, dengan mengempit mayat ayahnya, ia bermaksud melarikan diri.

Tapi waktu tubuhnya melayang di tengah udara, tiba-tiba terdengar suara bentakan: “Anak haram jadah, mau kemana kau?”

Menyusul mana dari belakang Bun Hong jadi berkesiuran angin yang sangat keras dan dingin, Bun Hong menyadari itulah serangan senjata tajam.

Tanpa menahan geraknya, Bun Hong mengerahkan tangan kanan menangkis dengan goloknya yang telah dicabutnya waktu ia merasakan menyambarnya angin serangan itu.

“Trang!” Goloknya membentur senjata lawan. Tapi Bun Hong kaget, ia merasakan telapak tangannya sakit, goloknya terlempar ke samping dan terlepas dari cekalannya. Dan belum lagi ia bisa menguasai diri di saat ke dua kakinya hinggap di tanah, ia merasakan lengan kanannya sakit karena tertikam pedang, sampai kempitannya pada mayat ayahnya terlepas. Mayat itu jatuh terbanting di tanah.

Tubuh Bun Hong terhuyung mundur, ia bermaksud akan maju mengamuk tapi didengarnya “Hemmm, kau menyerahlah dengan baik-baik!” Menyusul mana terasa pundak kirinya sakit sekali, karena tertikam lagi oleh pedang lawan.

Mati-matian Bun Hong menyerang dengan telapak tangannya, justeru ia menyerang, dia yang merasakan tangannya sakit, tulang sikunya seperti hendak patah, dan tubuhnya terhuyung, malah jatuh terjengkang. Muka Bun Hong kian pucat.

“Ringkus!” Ia mendengar orang memberikan perintah.

Dan beberapa sosok tubuh telah melompat ke dekatnya, untuk meringkusnya. Mereka berpakaian seragam sebagai tentara kerajaan dan polisi negara. Rupanya memang di depan gedung dari keluarga Ngo-erlang-khan yang telah dibinasakan penjahat sekeluarga itu dijaga ketat sekali oleh pihak kepolisian.

Dan mereka memang melihat Bun Hong melompat masuk ke dalam rumah itu, mereka sengaja tidak bergerak dulu, menantikan Bun Hong telah keluar dari gedung Ngo-erlang-khan barulah mereka bekerja untuk membekuknya.

Bun Hong mengeluh, tapi ia tak berdaya. Tubuhnya kena diringkus.

Pemimpin rombongan polisi itu seorang Boan berusia empatpuluh dua tahun. Matanya tajam, mulutnya kecil lancip seperti patuk burung, hidungnya pesek mekar ke samping, dan juga sikapnya bengis sekali, ia tertawa dingin.

“Mana teman-temanmu yang lainnya?” bentak pemimpin polisi itu.

“Aku….. aku putera Bun Lay San yang menjadi busu di keluarga Ngo-erlang-khan Tayjin…… aku datang hanya ingin mengambil mayat ayahku, untuk menguburnya dengan layak!” Bun Hong berusaha menjelaskan.

“Plokk!” muka Bug Hong di tempiling. “Kau jangan berdusta. Cepat beritahukan di mana bersembunyi kawan-kawanmu yang lainnya?”

“Aku....... aku telah bicara dari hal sebenarnya……, aku malah ingin mencari penjahat-penjahat itu untuk membalas sakit hati ayahku! Jika Tayjin tidak percaya silahkan ikut denganku, untuk pergi ke rumahku, boleh tanyakan pada tetanggaku di sana!”

Pemimpin polisi itu ragu-ragu, akhirnya ia tertawa dingin menoleh pada salah seorang anak buahnya, perintahnya: “Angkatlah dia ke kantor, nanti kita periksa lagi!” sambil berkata begitu, tangan kanannya dikibaskan sebagai isyarat untuk menggusur Bun Hong.

Kaget bukan main hati Bun Hong melihat polisi itu tidak mempercayainya, diapun penasaran sekali ingin digusur ke kantor polisi. Jika sampai di sana, habislah dayanya dan dia akan disiksa habis-habisan, untuk memberikan pengakuan yang palsu, karena biarpun dia tidak melakukan kejahatan apapun, namun jika disiksa hebat, terpaksa dia akan mengakui apa saja.

Sekuat tenaganya Bun Hong berusaha meronta, tapi empat orang polisi, yang meringkusnya kuat sekali. Bun Hong tidak berhasil. Dia berteriak-teriak:

“Penasaran! Penasaran! Lepaskan aku tidak bersalah! Ayahku justeru telah dibunuh penjahat........ mengapa aku yang dituduh melakukan kejahatan?”

“Gusur dia!” bentak pemimpin polisi itu bengis.

Empat orang anak buah segera juga menggusurnya dengan kasar. Namun menyeret belum terlalu jauh, mendadak berkelebat sesosok bayangan seperti juga sinar hijau belaka, dan terdengar jeritan kesakitan dari empat orang polisi yang ingin menggusur Bun Hong. Cekalan mereka pada Bun Hong terlepas, sebab dia terpelanting semuanya.

Malah Bun Hong yang tertegun di waktu menyaksikan kejadian ini mendengar bisikan perlahan: “Tidak cepat lari apakah menunggu mati?”

Bun Hong tersadar, cepat-cepat ia berlari meninggalkan tempat itu untuk mengambil mayat ayahnya. Ia kuatir tidak keburu, maka ia berlari sekuat tenaganya. Dalam keadaan seperti Bun Hong bisa berlari lebih cepat dari biasanya, dalam waktu singkat ia telah berlari belasan lie, malah ia menuju ke pinggiran kota.

Setelah berlari sekian lamanya lagi. Bun Hong menoleh ke belakang. Tidak ada yang mengejar. Juga, tidak melihat orang yang menolonginya. Bun Hong jadi heran, entah siapa orang sakti yang telah menolonginya itu, yang tampaknya sangat lihay sekali. Gerakannya yang begitu cepat membuat orang tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Bun Hong menjatuhkan diri dan menangis terisak-isak.

“Kau menangis seperti bocah cilik di situ, apakah menunggu sampai polisi-polisi itu datang lagi untuk menangkapmu?” Tiba-tiba ia mendengar orang menegurnya.

Kaget bukan main Bun Hong, ia menyusut air matanya mengangkat kepalanya mengawasi sekelilingnya. Suara tuan penolongnya, tapi di sekitarnya tidak terlihat seorang manusiapun juga.

Cepat-cepat Bun Hong menjatuhkan diri berlutut untuk menyatakan terima kasihnya: “Terima kasih atas pertolongan in-kong!”

“Ohh, bocah, kau benar-benar cari penyakit. Lihatlah tidak lama lagi rombongan polisi itu datang mengejar kemari dan kau akan ditangkap pula!”

Bun Hong kaget, ia memandang sekelilingnya, tetap saja penolongnya tidak terlihat. Malah yang membuat ia kaget adalah dikejauhan ia melihat beberapa sosok tubuh yang berlari-lari mendatangi, ramai suara mereka yang didengarnya samar-samar. Itulah rombongan polisi yang tengah mengejarnya, tanpa berpikir lagi Bun Hong melompat berdiri dan berlari pula.

Sekarang Bun Hong tidak berani berhenti berlari, dia mengerahkan seluruh kekuatannya, sampai akhirnya sepasang kakinya lemas, habis tenaganya, ia terguling di tanah berumput, napasnya memburu keras sekali.

“Bocah, kalau kau lemah seperti itu, kau akan celaka di tangan kuku garuda itu.”

Terdengar olehnya suara penolongnya lagi, kembali Bun Hong kaget bercampur kagum serta girang. Kaget karena penolongnya selain seperti berada di dekatnya, berkata-kata seperti di sampingnya, kata-katanya dapat didengar jelas namun ia tidak bisa melihat penolongnya entah berada di mana.

Kagum karena tentunya penolongnya itu seorang yang sakti. Girang karena ia yakin dengan penolongnya selalu berada di dekatnya, tidak mungkin ia terjatuh lagi di tangan para polisi yang ganas itu.

“In-kong…… maafkanlah, aku, aku tidak kuat untuk berlari pula…..!” Mengeluh Bun Hong.

Dan memang ia berkata dari hal sebenarnya. Ia tadi berlari dengan mengerahkan tenaga berlebihan, ia berlari cukup jauh dan sangat meletihkan, napasnya juga memburu seakan juga ingin tersendat berhenti, keringat membasahi sekujur tubuhnya, ia tidak memiliki tenaga berlari lebih jauh.

“Hemm!” Cuma terdengar suara mendengus seperti itu, kemudian Bun Hong merasakan tubuhnya jadi ringan terangkat, dan melayang-layang, angin menyampok mukanya. Ia berusaha membuka matanya untuk melihat orang yang mengempit dan membawanya berlari.

Tapi ia tidak bisa melihat jelas. Angin menampar matanya sangat kuat, dan orang itu berlari sambil mengempitnya cepat luar biasa, sehingga tidak bisa Bun Hong menyaksikan penolongnya itu.

Dalam waktu sekejap mata saja telah puluhan Bun Hong dilarikan penolongnya, dan tengah ia berdiam diri dengan memejamkan matanya, ia merasakan angin yang menyampok mukanya lenyap, menunjukkan orang itu telah berhenti berlari.

Baru saja ia ingin membuka matanya, Bun Hong merasakan tubuhnya melayang, kemudian terbanting di lantai dengan keras.

“Aduh!” menjerit kesakitan pemuda itu. Dan ia membuka matanya.

Ia tidak melihat, seorang manusiapun di tempat itu, sebuah ruangan dari kuil yang telah tidak terurus. Dan sunyi sekali keadaan di tempat itu. Betapa cepatnya penolongnya meninggalkannya hanya sekejap mata itu saja penolongnya telah lenyap.

“In-kong!” Panggil Bun Hong, tapi tidak diperolehnya jawaban.

Beberapa kali Bun Hong memanggil penolongnya, dengan maksud untuk mengucapkan terima kasih, tapi keadaan di sekitar kuil tersebut sepi sekali. Bun Hong berdiri termenung sejenak, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Teringat pada mayat ayahnya yang tidak keburu dibawanya, air matanya telah menitik turun.

Akhirnya ia merebah dirinya di bawah meja sembahyang yang tak terurus, tertidur karena terlalu letihnya. Entah berapa lama Bun Hong tertidur, ketika ia merasakan tubuhnya sakit bukan main ia membuka matanya pertama-tama yang dilihatnya adalah beberapa sosok tubuh berdiri tegak di dekatnya. Justeru ia tengah tidur rebah terlentang, dan salah seorang di dekatnya, berdiri tegak dengan kaki kanan menginjak dadanya.

Justeru Bun Hong merasakan tubuhnya sakit-sakit karena injakan kaki orang itu. Dua orang lainnya memegangi sepasang kakinya. Dua orang lagi memegangi, tangannya. Dengan demikian, walaupun Bun Hong hendak meronta ia tidak berhasil. Ia hanya rebah dengan kesakitan karena dadanya diinjak!

“Bocah, bukankah kau Bun Hong, putera dari Bun Lay San, busu di gedung Ngo-erlang-khan?” bentak orang yang menginjak dada Bun Hong dengan kakinya. Suaranya bengis, mukanya memancarkan sifatnya yang kejam. Usia orang itu mungkin tigapuluh tahun lebih.

“Lepaskan……. lepaskan dulu kakimu!” kata Bun Hong dengan napas yang sesak dan suaranya tidak lancar.

“Oho, begitu mudah kau meminta aku membebaskan dirimu?!” Mengejek orang itu. “Ang Kwang tidak akan semudah itu membiarkan orang yang terjatuh di tangannya untuk bersenang-senang!?”

Bukannya dia menarik dan melepaskan injakan kakinya, justeru dia menekannya lebih kuat menginjak dada Bun Hong, sekeras mungkin, malah terdengar suara “Krekk” entah ada tulang dada Bun Hong yang patah atau tidak, dan pemuda itu kesakitan bukan main.

“Cepat bicara aku bertanya kepadamu, apakah kau Bun Hong putera Bun Lay San.

“Be....... benar?” menyahuti Bun Hong, “Ada, ada urusan apa kau menanyakan hal itu?” tanya Bun Hong kemudian dangan suara tetap tergagap.

Walaupun dia murka, tapi ia murka tanpa berdaya, karena tangan dan kakinya diinjak seperti itu, jangankan untuk bangun sedangkan untuk bergerak saja tidak bisa. Dan dengan menahan sakit yang hebat pada dadanya akibat injakan orang itu, ia meringis menggigit bibirnya.

Ang Kwang, orang yang menginjak dada Bun Hong kembali tertawa keras.

“Bagus! Sekarang kau beritahukan kepadaku, dimana Giok-sie disimpan ayahmu?!” tanya Ang Kwang.

“Giok-sie?” tanya Bun Hong seakan-akan keheranan dalam menahan sakit.

“Ya! Giok-sie! Ayo katakan, dimana Giok-sie itu disembunyikan ayahmu!” Mengulangi Ang Kwang, suaranya semakin bengis. “Jika kau tidak mau bicara sejujurnya memberitahukan dimana beradanya Giok-sie, hem hemmm, jelas kau akan menerima perlakuan yang lebih baik manis dari kami…....”

Setelah berkata begitu, tampak Ang Kwang telah menginjak semakin kuat dan keras, terdengar suara “Krekk” lagi, dan Bun Hong menjerit kesakitan.

“Hayo katakan di mana Giok-sie disimpan ayahmu?” bentak Ang Kwang kemudian dengan sikap dan suara tetap bengis.

“Aku…… aku tidak tahu!”

“Ngekk,” kembali Bun Hong kesakitan bukan main, karena dadanya diinjak semakin keras oleh Ang Kwang.

“Bocah, kau jangan main-main dengan kami, sekali kuperintahkan anak buahku, kepalamu itu akan berpisah dari batang lehermu! Waktu itu walaupun kau menyesal tentu sudah terlambat?”

“Tapi….... sesungguhnya memang aku….. aku tidak mengetahui....... Lalu……. tentang Giok-sie, kudengar, justeru ayah memang hendak mencarinya. Tapi aku....... aku belum pernah mengetahui bahwa ayah telah memperoleh Giok-sie…....

“Sampai kemaren dulu ayahku masih bilang jika saja Giok-sie bisa memperolehnya niscaya akan mengangkat derajat keluarga kami, jasanya itu tidak kecil, ia akan memperoleh pangkat yang tidak rendah....... sedikitnya sebagai raja muda! Aduh.......! Aduh!”

Bun Hong teraduh-aduh seperti itu karena Ang Kwang menginjak dadanya semakin kuat, membuat ia kesakitan luar biasa. Ia berusaha meronta karena terlalu kesakitan, namun tidak berhasil. Dia mengeluh dan merintih, bibirnya digigit sampai terluka mengeluarkan darah, karena terlalu keras menggigitnya.

Ang Kwang mengeluarkan tertawa yang tidak sedap untuk telinga, ia memang sengaja menginjak semakin keras dan kuat, sehingga dua kali terdengar suara “krekk!” dan benar benar Bun Hong dalam keadaan setengah sadar dan kesakitan yang sangat. Keringat dingin menahan sakit juga telah membasahi sekujur tubuhnya!

Bibirnya yang gemetar telah berucap perlahan: “In-kong! In-kong........!” ia mengharapkan benar penolongannya yang tadi muncul kembali untuk menolongnya.

Cuma saja harapan Bun Hong merupakan harapan yang nihil dan kosong. Tuan penolongnya tidak juga muncul, sedangkan Ang Kwang menyiksanya semakin ganas, menyebabkan ia kesakitan tidak kira-kira sampai rasanya ia ingin mati saja.

Di waktu itu terlihat Ang Kwang menyuruh salah seorang anak buahnya menjambak rambut Bun Hong, kepala pemuda itu ditengadahkan ke atas, bentaknya: “Sekarang katakan. Dimana adanya Giok-sie itu, dan disimpan di mana oleh ayahmu?”

“Aduh....... aduh....... aku....... aku…… sungguh tidak mengetahuinya.......!” Mengeluh Bun Hong!

“Hemmm, sekali menebaskan pedangku batang lehermu itu akan putus! Apakah engkau tidak sayang pada jiwamu yang masih demikian muda belia?” mengejek Ang Kwang.

“Kalau….. kalau memang aku mengetahui di mana Giok-sie itu disimpan oleh ayah tentu akan memberitahukannya!” kata Bun Hong kemudian. “Tapi memang sesungguhnya aku tidak mengetahuinya, aku bicara dari hati yang sebenar-benarnya. Sesungguhnya aku tidak tahu menahu tentang Giok-sie!”

“Baik!” bentak Ang Kwang dengan muka yang bengis. “Rupanya jika belum memperoleh yang mengaysikkan, kau tidak mau bicara dengan jelas dan terang. Nah, kalian tariklah tubuhnya!”

Setelah berkata begitu Ang Kwang melepaskan injakan kakinya pada dada Bun Hong, malah dia mundur berapa langkah ke belakang, dan juga telah mengawasi dengan bibir merah tersenyum sinis mengandung ejekan.

Empat orang anak buahnya yang masing-masing memegang tangan dan kaki Bun Hong tiba-tiba sambil membentak bengis mereka serentak menarik tangan dan kaki Bun Hong pada arah yang berlawanan.

Bun Hong menjerit kesakitan dan kalap sekali berusaha meronta. Maju lagi empat orang dan mereka jadi berdelapan memegangi sepasang tangan dan kaki Bun Hong. Mereka membentak lagi, serentak telah menarik tangan dan kaki Bun Hong pada arah yang berlawanan. Karuan saja Bun Hong menjerit sejadi-jadinya karena ia kesakitan sekali tubuhnya seakan juga hendak dibeset seperti itu.

Ang Kwang tertawa mengejek.

“Jika memang kau tidak mau bicara, hemm, sekali kuperintahkan, tubuhmu akan robek-robek dibeset mereka!” Itulah kata Ang Kwang dengan ancaman yang akan dibuktikannya jika saja Bun Hong tidak mau menuruti perintahnya.

Bun Hong putus asa. Dia merasakan selangkangannya sakit bukan main sebab sepasang kakinya telah ditarik ke arah yang berlawanan. Demikian juga halnya dengan ketiaknya yang sakit sekali, akibat tangannya yang ditarik oleh masing-masing dua orang itu.

“Aku….. aku akan bicara…….!” kata Bun Hong akhirnya dengan suara terputus-putus.

Tarikan delapan orang itu mengendor dan berkurang rasa sakitnya. Dengan takut dan juga murka, Bun Hong berkata terputus-putus, “Sebenarnya….. sebenarnya Giok-sie berada….. berada........!” Dan Bun Hong tidak meneruskan kata-katanya lagi.

“Berada di mana?” Bola mata Ang Kwang terbuka lebar-lebar. “Cepat katakan!”

Pikiran Bun Hong berputar dengan segera ia mengetahui Ang Kwang dan kawan-kawannya itu merupakan manusia yang sanggup melakukan apa pun juga. Karena itu Bun Hong tidak mau mati di tangan mereka. Ia jawab yang sekiranya bisa mempengaruhi mereka.

“Di mana! Cepat katakan, di mana Giok-sie itu? Mengapa kau kini berobah seperti si gagu yang tidak bisa bicara?”

“Sebetulnya Giok-sie berada di sebuah tempat yang sangat dirahasiakan sekali oleh ayahku…… cuma aku yang mengetahuinya!” kata Bun Hong pada akhirnya.

“Cepat beritahukan kepada kami dan kau akan kami bebaskan! Aku Ang Kwang akan menyebutkan dua untuk bilangan satu, dan sekali bicara satu tidak mungkin akan menjadi dua! Kau akan kami bebaskan, juga akan kuberikan seribu tail emas....... ayo katakanlah!”

Tampaknya Ang Kwang tidak sabar, dan iapun ingin sekali cepat-cepat mengetahui di mana disimpannya Giok-sie. Hati Bun Hong tergerak, dia berusaha menenangkan hatinya, baru kemudian katanya dengan suara yang masih terbata-bata:

“Sebenarnya…... sebenarnya Giok-sie disimpan ayahku, di sebuah kuil kecil di luar kota Put-ciu……”

“Di sebuah kuil kecil?” tanya Ang Kwang sambil membuka matanya lebar-lebar. “Benar kah itu? Apakah kuil itu Put-liong-sie? Am-sie-sie? Atau kuil Biat-cong-sie?”

“Aku…… akan mengantarkan kalian dan menunjukkan kuil itu, juga bagian dari kuil itu yang dipergunakan buat menyimpan Giok-sie,” kata Bun Hong kemudian.

Ang Kwang tampak ragu-ragu, namun akhirnya mengangguk.

“Baiklah! Jika memang kau baik-baik menunjukan pada kami Giok-sie itu, niscaya kau akan kami berikan hadiah yang jauh lebih besar, tapi ingat, sekali-sekali kau jangan bermimpi untuk main gila dengan kami, hemm, walaupun kau memiliki sepuluh jiwa, tentu kau tidak akan lolos dari kematian!” Waktu berkata begitu, wajah Ang Kwang, maupun suaranya terdengar sangat menyeramkan.

Setelah itu, dia mengisyaratkan pada anak buahnya, agar membebaskan Bun Hong.

Pemuda she Bun tersebut merangkak bangun dengan merayap sulit sekali, dan ia melihatnya betapapun juga memang ia sangat sulit untuk bisa berdiri dengan baik, tubuhnya bergoyang-goyang karena seakan juga ingin rubuh akibat sudah tidak memiliki tenaga, selangkangannya masih sakit, juga ketiaknya. Dan ia merasakan sepasang kakinya lemas tidak bertenaga.

“Dari tempat ini….. dari tempat ini ke kuil itu masih cukup jauh!” Kata Bun Hong. “Aku....... aku ingin beristirahat dulu.”

“Jangan! Atau memang sengaja kau berayal kami tidak akan mengampuni kau lagi!”

Bun Hong terpaksa melangkah juga satu-satu dengan menahan sakit pada selangkangannya.

Sambil melangkah ia berpikir keras kalau memang dia membawa orang-orangnya Ang Kwang ke kota Put-ciu, berarti ia akan bertemu dengan para tentara kerajaan atau polisi negara. Jika dirinya terlihat oleh para hamba negara, niscaya dia akan ditangkap lagi. Teringat akan itu, segera juga Bun Hong menoleh kepada Ang Kwang, ia mengemukakan kekuatirannya itu.

“Hemmm, kami bisa melindungi kau! Jangan kuatir, gentong nasi itu semuanya tidak punya guna. Kami akan membabat habis mereka kalau saja berani menghalangi dan mengganggu dirimu……!”

Bun Hong tahu, itulah kata-kata dari bicara besar, belum tentu Ang Kwang bisa dan sanggup menghadapi para polisi jika kelak memang mereka bertemu.

Di waktu itu Ang Kwang tidak sabar melihat Bun Hong melangkah satu-satu dan lambat sekali, tangan kanannya mendorong tubuh Bun Hong, agar pemuda itu berjalan lebih cepat. Tapi mungkin dorongan yang dilakukan Ang Kwang jauh lebih kuat dari dorongan biasa, tubuh Bun Hong terhuyung-huyung, dan kemudian terjerunuk, mukanya mencium tanah, hidungnya juga bocor dan mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Tapi kali ini Bun Hong tidak menjerit, dia telah merangkak untuk bangkit, kemudian melirik kepada Ang Kwang dengan sorot mata tidak senang.

Kebetulan Ang Kwang tengah mengawasi dan dengan sikap yang bengis melihat sikap Bun Hong yang meliriknya dengan sorot mata yang bengis seperti itu, Ang Kwang tertawa bergelak-gelak.

“Hemmm, kau memandang benci padaku! Kau tentunya muak dan membenciku bukan? Hemmm, jika kau memiliki kesempatan tentu selain ingin melarikan diri, juga disebabkan dendammu ingin membunuhku! Bukankah begitu?!”

Bun Hong diam saja. Dia berusaha untuk melangkah lagi. Tapi berjalan belasan tindak, dia telah didorong pula dengan kasar oleh Ang Kwan sehingga ia jumpalitan terjerunuk mencium tanah lagi. Dia tetap merangkak bangun.

Ang Kwang tertawa bergelak-gelak. Namun tertawanya itu tidak selesai. Sesuatu benda kecil bulat telah menyambar ke arah mulutnya yang tengah terbentang.

Waktu Ang Kwang melihat benda yang tengah menyambar itu, dia kaget dan ingin menutup mulutnya dan berkelit, namun sudah tidak keburu lagi, karena benda itu telah menyambar cepat sekali terlambat buat Ang Kwang mengelakkan diri, giginya terhantam dengan kuat sehingga rontok.

Di kala itu Ang Kwang menjerit dengan muka yang merah padam kebiru-biruan akibat gusar yang bukan kepalang.

“Bangsat, siapa yang menyerang membokong…….?!” Teriaknya.

Tapi tengah dia memaki seperti itu, justeru telah menyambar lagi sebutir batu kerikil menghantam mukanya, tepat pada matanya. Seketika Ang Kwang menjerit kesakitan dan matanya yang kiri, yang disambar batu kerikil itu telah menjadi buta mengalirkan darah yang tidak sedikit.

Bagaikan kalap Ang Kwang mencak melompat-lompat ke sana ke mari, ia berseru-seru perintahkan anak buahnya untuk mencari orang yang menyerang padanya secara membokong itu.

Lain dengan orang-orang itu, justeru Bun Hong sangat girang sekali, malah dia telah menyebut: “In-kong akhirnya kau datang juga!” perlahan sekali.

Dan Bun Hong yakin, bahwa orang yang telah menepuk Ang Kwang dengan batu kerikil itu tidak lain dari penolongnya, yang telah datang lagi, akan tetapi di saat itu, Bun Hong sendiri tidak bisa melihatnya, entah di mana beradanya si tuan penolongnya itu, karena di sekitar tempat itu tidak terlihat orang lain, hanya rombongan Ang Kwang dan dia sendiri.

“Keluarlah jika seorang Ho-han, mengapa harus bersikap seperti Siauw-cut yang main sembunyi-sembunyi seperti itu?!” Teriakan Ang Kwang dengan murka.

Tapi kembali meluncur sebutir batu kerikil yang cepat sekali. Ang Kwang kini telah bersiap sedia. Dia juga memang memiliki kepandaian tidak rendah.

Melihat sambaran baru kerikil itu ke arah mulutnya dia cepat-cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi gerakannya terlambat lagi. Batu kerikil itu seperti juga memiliki mata, karena tahu-tahu batu kerikil itu telah melesat ke samping dan ……

“Tukk!” Batu kerikil itu telah menghantam mulut Ang Kwang pula malah sekarang jauh lebih besar keras, sampai gigi Ang Kwang copot tiga! Dia kembali teraduh-aduh.

Waktu itu terdengar suara orang berkata perlahan sekali, begitu aneh suara orang itu, terdengarnya aneh buat telinga, karena seperti jauh tapi terdengar jelas, dikatakan dekat, tapi tidak terlihat orangnya.

“Jika kalian tidak cepat-cepat angkat kaki, kalian menerima ganjaran yang lebih bagus lagi!” Ancam orang yang tidak terlihat ujudnya.

Ang Kwang tertegun sejenak. Seketika ia menyadari bahwa ia memang tengah menghadapi orang pandai yang sakti. Ia merangkapkan sepasang tangannya, menjura memberi hormat ke sumber datang suara itu, yaitu dari sebelah kanannya!

“Siapakah yang telah memberikan petunjuknya untuk Boanpwe, Ang Kwang harap keluar untuk memberikan petunjuk lebih jauh!”

“Hemm, jika aku keluar memperlihatkan diri, apakah kalian masih sempat untuk memiliki jiwa?” Itu adalah jawaban orang yang tidak terlihat ujudnya.

Ang Kwang mengerutkan sepasang alisnya, tapi kemudian dia telah berseru. “Baiklah? Boanpwe, Ang Kwang dari Kim-giok-pang, ingin sekali orang pandai untuk memperlihatkan diri dengan memandang muka Pangcu kami, yaitu Sam Tok Pangcu!”

“Hemmm, memang aku sebentar lagi ingin pergi menemui pangcu kalian! Sekarang pergilah kalian mengeliling dan sampaikan pesanku kepada pangcu kalian itu bahwa tidak lama lagi aku akan mengunjunginya, untuk menanyakan kesehatannya.......!”

Terbangun sepasang alis Ang Kwang. Didengar nada dan bicara orang itu, jelas orang tersebut tidak memandang sebelah mata pada Pangcunya, tapi ia tidak berdaya. Dia cuma mengawasi sekeliling kalau-kalau ia bisa melihat persembunyian orang itu. Tapi dia tidak berhasil.

Di kala Ang Kwang dan anak buahnya yang berjumlah belasan orang berdiam diri mengawasi sekitar tempat itu, justeru terdengar lagi suara orang itu yang dingin dan bengis:

“Mengapa masih belum menggelinding, atau memang menunggu kematian?”

Ang Kwang menghela napas.

“Tolong ditinggalkan nama kau karena kami akan menyampaikannya kepada Pangcu kami……!” Katanya.

“Menggelindinglah!” terdengar suara orang itu murka dan bengis, tampaknya dia mulai tidak sabar. Malah menyusuli dengan bentakannya, meluncur empat butir batu kerikil, yang sebutir menyambar kepada pundak Ang Kwang sedangkan tiga lainnya pada tiga orang anak buah Ang Kwang.

Mereka melihat menyambarnya batu-batu kerikil itu tapi, mereka tidak memiliki kegesitan yang melebihi kecepatan menyambarnya batu-batu kerikil itu. Ke empat batu kerikil tersebut tepat sekali mengenai sasarannya, dan Ang Kwang menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung malah hampir saja dia terjengkang. Ke tiga orang anak buahnya juga terpental ambruk terjengkang di dekatnya, mereka meringis kesakitan dan rupanya kerikil kecil itu telah menghantam jalan darah mereka masing-masing.

“Sekali ini aku masih mengampuni jiwa kalian, aku hanya menotok jalan darah. “Pay-cing-hiat” kalian masing-masing, sehingga setelah beristirahat sebulan lamanya, kalian akan sembuh seperti sediakala.

“Tapi jika kalian tidak cepat-cepat beristirahat, hemmm, hemmm, aku ingin melihat, dewa mana yang bisa menyembuhkan kalian! Tubuh kaupun akan menjadi layu, dan akhirnya mampus dengan tubuh rusak…….!”

Tubuh Ang Kwang dan anak buahnya menggigil ketakutan. Mereka melihat kini betapa lihaynya orang itu.

“Sekarang jika kalian berlambat-lambat, hemmmmm, aku tidak akan segan-segan untuk mencabut nyawa kalian! Nanti jika memang kalian ingin berlalu, disaat itu sudah terlambat.”

Ang Kwang dan anak buahnya mengeluarkan keringat dingin, tanpa mengucapkan sepatah perkataan lagi mereka telah berlari-lari meninggalkan tempat itu, juga meninggalkan Bun Hong. Mereka menyadari, orang itu bisa saja membuktikan ancamannya, karena jika sampai orang itu menyerang pada jalan darah mematikan, di tubuh mereka, jelas mereka akan seperti tadi, tidak bisa menghindar, berarti mereka menerima kematian. Dan bagi mereka jalan terbaik adalah cepat-cepat mengundurkan diri menjauhi diri dari tempat itu dan nanti barulah menyelidiki siapakah orang yang sakti itu sebenarnya.

Bun Hong berdiri termenung sejenak di tempatnya, ia tertegun, sampai akhirnya setelah bayangan Ang Kwang dengan anak buahnya lenyap dari pandangannya, barulah ia tersadar. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya memberi hormat ke seluruh penjuru.

“Terima kasih In-jin....... terima kasih In-kong……!” Ia berseru dengan nyaring, dengan suara mengandung perasaan syukur. “Jika In-jin tidak menolonginya, kali ini tentu aku akan mati, dengan tersiksa hebat....... terima kasih.......!”

Tapi di sekitar tempat itu cuma suara Bun Hong yang bergema, sepi dan sunyi, tidak ada yang menjawabnya, berulang kali Bun Hong mengulangi pertanyaannya, tapi tetap saja tak ada orang yang menyahuti.

Bun Hong masih ragu-ragu untuk bangkit mengawasi sekitarnya. Apakah penolongnya telah pergi lagi?

Benar-benar Bun-bong tak mengerti mengapa penolongnya selalu bersikap demikian, tidak mau memperlihatkan diri. Siapakah sebenarnya penolong itu? Mengapa ia tak mau memperlihatkan diri? Bukankah dua kali Bun Hong telah ditolongnya?

Dikala Bun Hong masih dicekam oleh keragu-raguan, tiba-tiba dikejauhan terdengar suara jeritan-jeritan yang menyayatkan hati, segera juga Bun Hong berusaha berdiri tetap, selangkangan dan ketiaknya masih sakit tapi suara jeritan yang menyayatkan hati itu membuat ia sementara waktu melupakan rasa sakitnya itu. Dia telah melangkah dengan tindakan lebar untuk mencari tempat persembunyian.

Akhirnya dia melihat sebatang pohon yang besar dan rindang, dia melompat naik ke atas pohon itu, bersembunyi di situ.

Suara bentakan dan jeritan menyayatkan masih terdengar jelas sekali malah semakin lama semakin mendekati ke tempat di mana Bun Hong bersembunyi, dari kejauhan tampak belasan sosok tubuh tengah melarikan diri mendatangi ke arah dekat persembunyian Bun Hong.

Dan sepasang mata Bun Hong jadi terbeliak lebar-lebar waktu melihat belasan orang yang tengah mendatangi itu lebih jelas. Dia mengenali belasan orang itu. Diapun jadi heran bukan main. Malah diapun telah mengenali seruan tertahan tanpa bisa dicegah.

Belasan orang yang tengah berlari sambil menjerit-jerit mendatangi ke arah tempat persembunyian Bun Hong, tidak lain dari Ang Kwang dan kawan-kawannya. Mereka pun masing-masing mencekal senjata, dan dengan senjata itu mereka berusaha untuk menangkis sesuatu.

Di belakang belasan orang tersebut tampak mengejar sesosok tubuh. Waktu Bun Hong menegasi, ia melihat sosok tubuh itu mengenakan baju warna kuning, dengan celana merah, dan tubuhnya bergerak sangat gesit sekali. Dialah seorang gadis berusia delapanbelas atau sembilanbelas tahun.

Cuma anehnya, pakaiannya yang tampak sangat indah dan terbuat dari bahan yang mahal, yaitu sutera yang halus, penuh dengan tambalan. Muka gadis itu pun tampak kotor sekali.

Di tangan gadis berpakaian aneh ini, yang tampaknya lebih mirip dengan cara berpakaian seorang pengemis, menggenggam sebatang pedang pendek. Pedang pendek itulah yang telah digerakan berulang kali untuk menikam buronannya. Malah, tidak jarang tangannya yang kiri melontarkan belasan butir biji kacang hijau.

Walaupun hanya biji kacang hijau, namun timpukan gadis berpakaian seperti pengemis itu merupakan timpukan yang mengandung maut, dan biji kacang hijau yang kecil itu menyambar dengan kuat sekali ke jalan darah dari belasan orang itu seperti juga senjata rahasia yang ampuh.

Dan itulah sebabnya mengapa Ang Kwang dengan belasan orang kawannya selalu menjerit-jerit kesakitan menyayatkan hati dan mereka sambil berlari sibuk sekali untuk menggerakkan senjata masing-masing seakan-akan ingin menangkis sesuatu.

“Kalian jangan harap bisa meloloskan diri dari nona besarmu!” teriak si gadis dengan suara yang jenaka, karena iapun kemudian tertawa nyaring, tubuhnya melesat sangat ringan, dan pedang pendeknya digerakkan dia bukan menikam hanya menebas.

“Brettt!” baju punggung salah seorang kawan Ang Kwang yang lari di belakang, telah robek kena tebasan pedang itu. Ia menjerit kesakitan, karena kulit punggungnya juga telah robek mengalirkan darah yang tidak sedikit.

Ia tambah ketakutan, karena menyadarinya jika saja gadis itu menghendaki jiwanya, sama mudahnya seperti membalikkan telapak tangan belaka. Bukankah tadi kalau memang gadis berpakaian seperti pengemis itu menikamkan pedangnya, maka punggungnya telah berlobang?

Hanya saja tampaknya gadis itu memang tidak bermaksud membunuh belasan orang ini, cuma ingin mempermainkannya saja. Timpukan biji kacang hijaunya pun selalu mengincar jalan darah yang tidak mematikan cuma mendatangkan rasa sakit belaka. Dia memang ingin mempermainkan belasan orang itu.

Ketika mengejar belasan orang itu di tempat yang dekat dengan pohon di mana Bun Hong tengah bersembunyi, tampak gadis itu menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti burung walet yang melesat di tengah udara, melambung tinggi dan kemudian hinggap tepat melintang menghadang di depan Ang Kwang dan kawan-kawannya!

“Berhenti!” Bentak gadis itu dengan suara yang bengis dan pedang pendeknya itu dilintangkan pada dasarnya, siap dipergunakan.

Ang Kwang merandek, kaget dan ketakutan karena ia bersama kawan-kawannya menyadari, kepandaian gadis itu memang tinggi dan tidak mungkin mereka hadapi dengan baik, walaupun mereka berjumlah belasan orang. Tadi mereka telah mencobanya dan karena mereka dipermainkan terus menerus oleh gadis itu.

“Jika memang kalian menyayangi jiwa kalian dan tetap ingin hidup, cepat kalian beritahukan, di mana Giok-sie disembunyikan?” Tanya gadis ini dengan suara yang bengis.

Ang Kwang tampaknya ragu-ragu. Namun akhirnya ia bilang juga. “Untuk itu…... itu…… hanya pangcu kami yang mengetahui……!”

“Hemm, karena kau tidak mau memberitahukan, baiklah, jiwa kalian kukirim ke neraka!” Bentak gadis itu. “Dan terimalah kematian untuk kalian!”

Setelah berkata begitu, segera juga si gadis bersiap-siap untuk menyerang lagi.

Ang Kwang tampak jeri, malah ia segera juga berseru: “Tahan…… tunggu dulu……!”

Si gadis berpakaian compang-camping, tapi tampaknya bukan pengemis sembarangan, sebab bahan baju dan celananya terbuat dari bahan sutera halus yang mahal harganya, telah menahan pedangnya, bentaknya: “Apakah kau ingin memberitahukan di mana adanya Giok-sie?”

“Jika memang nona....... nona ingin mengetahui di mana adanya Giok-sie, ada baiknya nona ikut dengan kami menghadap Pangcu kami....... Tentu Pangcu kami akan memberitahukan di mana adanya Giok-sie itu!” Menyahuti Ang Kwang dengan suara tidak lancar. “Kami sesungguhnya....... tidak mengetahui di mana beradanya Giok-sie!”

Gadis itu akhirnya menurunkan pedangnya dia menghela napas.

“Baiklah! Aku percaya memang kalian tidak mengetahui di mana adanya Giok-sie!” Kata gadis itu. “Nah, menggelinding pergilah kalian!”

Rupanya gadis itu telah melihatnya juga, bahwa Ang Kwang dengan kawan-kawannya itu, sesungguhnya tak mengetahui di mana adanya Giok-sie, karena sejak tadi ia telah mendesak dan mengancamnya, tetap saja ia melihat Ang Kwang dan kawan-kawannya tidak mengetahui adanya Giok-sie. Melihat sikap Ang Kwang dan kawan-kawannya itu, ia mau juga mempercayainya bahwa Ang Kwang dan kawan-kawan tak berdusta, karena itu ia membiarkan Ang Kwang dan kawan-kawannya pergi.

Ang kwang dan kawan-kawannya tanpa menunggu dua kali gadis itu perintahkan mereka pergi, segera juga memutar tubuh untuk berlari secepat-cepatnya meninggalkan tempat itu.

“Beritahukan Pangcu kalian, dalam beberapa hari aku akan datang meminta Giok-sie padanya!” berseru si gadis waktu Ang Kwang dan kawan-kawannya berlari belum begitu jauh.

Ang Kwang dan teman-tamannya tak menyahuti, mereka berlari terus dengan cepat.

Sedangkan si gadis menghela napas dalam-dalam ia menggumam perlahan: “Sayang! Sayang!”

Tadi memang dia telah menghadang Ang Kwang dan kawan-kawannya, memaksa mereka untuk memberitahukan di mana adanya Giok-sie karena gadis itu mengenali Ang Kwang sebagai orang Kim-giok-pang. Walaupun telah didesak dan diancam dengan serangan-serangannya, Ang Kwang dan teman-temannya yang tampaknya tidak berdaya menghadapi setiap serangan si gadis ternyata tetap memberitahukan bawa mereka tidak tahu menahu mengenai Giok-sie.

Dengan langkah perlahan gadis dengan pakaian yang luar biasa itu menuju ke bawah pohon di mana Bun Hong menyembunyikan diri. Ia duduk di bawah pohon tersebut, berulang kali ia menghela napas dalam-dalam, sepasang alisnya tampak mengkerut. Ia telah menggumam lagi:

“Hemmm, kepandaian Pangcu Kim-giok-pang tidak rendah, jika aku pergi sendiri belum tentu aku dapat bertindak leluasa di sarang mereka!”

Bun Hong menahan napas, ia kuatir gadis itu mengetahui, tentang dirinya yang bersembunyi di pohon tersebut. Tapi, tidak urung, karena terlalu hati-hati, kakinya justeru menginjak ranting kecil yang menjadi patah. Itulah disebabkan hatinya yang tegang, sehingga kakinya mengeluarkan tenaga yang berlebihan.

Gadis itu seperti seekor Lee-lie, atau ikan Gabus, mencelat dengan gesit dan lincah sekali dari bawah pohon tersebut, ia telah melesat dengan ringan dan tubuhnya waktu terapung di tengah udara, telah berputar, karenanya ketika kedua kakinya hinggap di atas tanah ia sudah berdiri tegak menghadapi pohon di mana Bun Hong bersembunyi. Pedangnya melintang di depan dadanya, ia mengawasi tajam ke atas pohon itu.

“Siauw-cut mana yang tidak tahu malu bersembunyi di situ. Mengapa tidak cepat-cepat memperlihatkan diri?” Bentak gadis tersebut dengan suara yang nyaring.

Bun Hong menyadari, percuma saja ia berdiam diri karena tempat persembunyiannya telah diketahui si gadis. Maka berpikir bahwa antara dirinya dengan gadis itu tidak terdapat ganjalan apapun juga, mengapa ia harus jeri memperlihatkan diri. Segera juga ia melompat turun dari atas pohon.

Gadis dengan pakaian luar biasa itu menatap Bun Hong, matanya bersinar tajam. Waktu Bun Hong merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat kepadanya, gadis itu berdiam diri dengan mendengus dingin saja.

“Maafkan aku, Kouwnio!” Kata Bun Hong dengan sabar dan halus. “Tadi kebetulan Siauwte tengah mengaso di atas pohon itu, dan menyaksikan mengejar belasan orang itu karenanya telah membuat siauwte berdiam diri saja di situ. Sesungguhnya siauwte tidak berkeinginan sesuatu apapun juga.......”

Mata gadis itu berkilauan tajam, ia tidak dapat mempercayai keterangan Bun Hong.

“Apakah engkaupun anak buah Sam Tok. Pangcu dari Kim-giok-pang?” Tegurnya dingin.

Bun Hong cepat-cepat menggelengkan kepala.

“Justeru aku baru saja ingin dianiaya oleh orang-orang Kim-giok-pang, beruntung ada seorang pandai yang telah menolongiku!” Menjelaskan Bun Hong.

Gadis itu tambah curiga. Belum lagi ia sempat bertanya, Bun Hong dengan sikap hormat bertanya pula: “Jika memang Kouwnio, siapakah nama Kouwnio yang mulia? Siauwte sendiri she Bun dan bernama Hong!”

“Hemm!” Gadis itu mendengus. “Apa perlunya kau menanyakan namaku? Demikian lancang, kau berani ceriwis di depanku, tentunya kau bukan sebangsa manusia baik-baik!” Sambil menyelesaikan perkataannya seperti itu, gadis ini telah menjajakan sepasang kakinya, tubuhnya telah melesat dengan ringan, malah pedang di tangan kanannya telah meluncur akan menikam ke dada Bun Hong.

Kaget tidak terkira Bun Hong melihat dirinya diserang begitu rupa oleh gadis memiliki perangai yang agak luar biasa, cepat-cepat dia menggeser kakinya, untuk berkelit. Namun gadis itu kembali, memperdengarkan dua kali suara.

“Hem! Hem!” yang dingin, pedangnya telah meluncur terus dengan pesat, menderu-deru karena tenaga menikam dan menambasnya memang kuat. Dalam waktu sekejap mata ia telah menyerang beruntun tiga kali!

Bun Hong mati-matian berkelit menghindari diri dari sambaran pedang si gadis. Diapun jadi sibuk sekali berseru-seru: “Tahan! Mari kita bicara dulu…..! Tahan nona.......!”

Gadis itu semakin penasaran beberapa kali menyerang Bun Hong dan belum jnga berhasil merubuhkan pemuda itu. Pedangnya digerakan semakin cepat dan sebat, dimana sinar yang berkilauan menyambar ke sana ke mari.

“Aduhhh!” Lengan Bun Hong yang kanan telah kena ditikam, darah mengucur keluar. Tubuh pemuda itupun terhuyung-huyung beberapa langkah dengan muka yang pucat dan memerah bergantian. Tampaknya dia murka bukan main.

“Kau…… kau……!” bentaknya dengan suara mengandung kemarahan dan menahan sakit.

“Hemm, ternyata kepandaianmu tidak seberapa!” Kata gadis yang berpakaian luar biasa itu. “Aku Ha Mo Giok mau mengampuni dirimu!”

Setelah berkata begitu, gadis yang luar biasa itu menjejakan kakinya, tubuhnya melesat ke belakang dan dalam beberapa kali lompatan saja, ia telah meninggalkan tempat itu.

Bun Hong benar-benar tak mengerti akan sikap gadis itu yang tabiatnya luar biasa, namanya juga luar biasa seperti tingkah lakunya, karena ia menyebut dirinya sebagai Ha Mo Giok atau Kodok Kumala. Nama yang benar-benar aneh.

Lama Bun Hong berdiri termenung di tempatnya, sampai akhirnya ia telah melangkah per lahan-lahan sambil memegangi lengannya yang terluka.

Kedukaannya timbul kembali, karena ia teringat kepada ayahnya yang telah terbunuh oleh rombongan penjahat di gedung Ngo-erlang-khan, dan mayatnya tidak juga berhasil dibawanya. Sekarang, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Waktu itu, tampak juga bahwa Bun Hong berputus asa. Ia tahu, jika kembali ke gedung Ngo-erlang-khan, niscaya dirinya akan dibekuk kembali oleh orang-orang kerajaan, dan jika tidak kembali, berarti mayat ayahnya tidak akan terurus.

Ia pun teringat pada Giok-sie cap kerajaan yang mendatangkan banjir darah. Dilihat dari keadaan yang ada, satu keluarga bangsawan seperti Ngo-erlang-khan, telah terbinasakan karena Cap Kerajaan itu. Begitu pula kematian ayahnya, memiliki hubungan pula dengan Giok-sie.

Dan sekarang dia terluka, karena dirinya terlibat dalam urusan Giok-sie, di mana gadis yang namanya agak luar biasa, Ha Mo Giok itu, memang tengah berusaha untuk mencari Giok-sie. Karena dari itu, telah membuat Bun Hong berpikir tidak tenang.

Ia memang pernah mendengar cerita ayahnya, ada barang berharga yang ingin dilindungi ayahnya. Tapi pada waktu itu ayahnya mengatakan juga, bahwa benda pusaka tersebut merupakan benda yang akan membawa mala petaka bagi yang memilikinya.

Dan segera .juga kini Bun Hong dapat menerkanya, pasti yang dimaksud oleh ayahnya itu dengan sebutan benda pusaka, tidak lain dari Giok-sie. Apakah Giok-sie memang berada di tangan Ngo-erlang-khan?

Kita tinggalkan Bun Hong, mari kita mengikuti Oey Yok Su.

Setelah menolongi Bun Hong, dua kali ia menyelamatkan pemuda itu, Oey Yok Su yakin tentunya Bun Hong akan lolos dari gangguan pihak kerajaan maupun orang-orang Kim-giok-pang, cepat-cepat Oey Yok Su kembali ke dalam kota. Ia bermaksud membangunkan Kim Lo, karena ingin mengajak cucunya itu ke Kim-giok-pang, untuk menyatroni dan meminta Giok-sie dari Pangcu perkumpulan tersebut.

Memang yang menolongi Bun Hong tadi adalah Oey Yok Su. Setelah Kim Lo tidur, ia keluar dari kamar penginapannya dan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya ia kembali ke gedung Ngo-erlang-khan, dengan demikian dia bisa menyaksikan bagaimana Bun Hong tengah dikeroyok oleh orang-orang kerajaan.

Kedatangan Oey Yok Su kembali ke gedung Ngo-erlang-khan adalah untuk menyelidiki lebih jauh, apa yang terjadi dan telah menimpa keluarga bangsawan Boan itu dan ia beranggapan Kim Lo masih kecil tidak baik menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu dimana mayat-mayat malang melintang.

Itulah sebabnya ia telah mengajak Kim Lo kembali ke rumah penginapan, dan ia pun menantikan Kim Lo sudah tertidur, baru kemudian dia kembali ke gedung Ngo-erlang-khan. Justeru ia menyaksikan Bun Hong yang tengah terancam, karenanya ia segera turun tangan menolonginya.

Tubuh Oey Yok Su berkelebat ringan waktu kembali ke rumah penginapan. Sekejap mata saja ia sudah berada di atas genting rumah penginapan itu. Cuma saja belum lagi ia melompat turun, segera matanya yang sangat awas telah melihat sesuatu yang ganjil.

Jendela kamarnya terbuka dan tampak sinar api penerang di kamar itu memancar keluar. Hati Oey Yok Su segera tercekat. Setelah ia melompat ke dalam kamar dan kamar itu kosong! Kim Lo tidak ada dipembaringan!

Keringat dingin segera keluar membasahi tubuhnya! Ia keluar melompati jendela kamarnya, mencari di sekitar rumah penginapan itu. Tetap saja ia tidak menemukan Kim Lo, ‘cucunya’ itu. Ia memanggil dua kali. Tidak diperoleh jawaban.

Dan hatinya semakin gelisah. Sebelumnya, tidak pernah Oey Yok Su mengalami, perasaan seperti ini. Sebagai tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi telah banyak pengalaman yang mendebarkan hati, tapi semua itu dihadapi oleh Oey Yok Su dengan tenang.

Hanya saja, disebabkan kini yang lenyap adalah ‘cucunya’ yang sangat disayanginya ia jadi menguatirkannya, kalau saja Kim Lo mengalami sesuatu yang tidak baik, atau memang anak itu diculik seseorang!

Teringat akan hal itu, tubuh Oey Yok Su menggigil.

“Akan kuhancurkan tubuh orang yang telah menculik Kim Lo!” menggumam Oey Yok Su.

Memang dia disebut dan digelari sebagai si tersesat dan dalam keadaan marah seperti itu jelas ia dapat menurunkan tangan yang paling telengas sekalipun, jika saja Oey Yok Su berhasil menemukan penculik Kim Lo.

Segera juga dengan mempergunakan gin-kangnya yang sempurna Oey Yok Su berlari ke sana ke mari mengitari sekitar tempat itu, tapi ia tidak berhasil menemukan jejak Kim Lo.

Tiba-tiba dalam kegelapan malam Oey Yok Su melihat sesosok tubuh yang berkelebat dengan gesit sekali, sehingga bayangan itu bagaikan terbang saja. Tidak membuang waktu Oey Yok Su mencelat mengejarnya. Dan dalam sekejap waktu saja, ia sudah berada di dekat orang itu. Sebat luar biasa tangan kanan Oey Yok Su manyambar mencengkeram punggung orang itu.

Sosok tubuh itu memang mengetahui dirinya tengah dikejar-kejar orang, dan ia merasakan sambaran angin serangan di belakangnya. Cepat sekali berkelit. Sambaran tangan Oey Yok Su jatuh di tempat kosong. Namun majikan pulau Tho-hoa-to mana bisa gagal dengan serangannya?

Begitu melihat sasarannya melesat dan orang itu berhasil mengelakan tangan, segera juga Oey Yok Su membarengi dengan sentilan jari telunjuknya. Ia menyentil bukan sembarangan menyentil, sebab Oey Yok Su menyentil dengan mempergunakan It-yang-cie, yaitu jari tunggal yang sakti.

Sosok bayangan itu mengeluarkan seruan tertahan, karena heran dan takjub. Dia masih berhasil mengelakkan diri tak urung membuat dia jadi kaku pada pundak kanannya, karena dia terserempet angin sentilan jari sakti itu.

Ternyata sosok tubuh itu, seorang gadis. Oey Yok Su yang telah melihat orang itu segera membatalkan keinginannya untuk menyerang lagi. Ia mengawasi tajam sekali, tegurnya: “Mengapa di malam buta seperti ini kau berlari-lari?”

Gadis itu yang pakaiannya compang-camping, namun bahan pakaiannya terbuat dari bahan sutera mahal, tertawa sambil menggosok hidungnya dengan mempergunakan punggung tangannya.

“Hei, tua bangka, kau bertanya mengapa aku malam-malam selarut ini berlari-lar? Lalu kau sendiri? Apa yang tengah kau lakukan?” Tanya gadis itu, yang bukannya menjawab pertanyaan Oey Yok Su, malah memperlihatkan sikap menantang.

Oey Yok Su tertegun, segera ia menyadarinya gadis yang bajunya compang-camping seperti pakaian seorang pengemis dan mukanya juga kotor, pasti tidak mengetahui siapa orang tua dihadapannya ini. Setelah berdiam sejenak, Oey Yok Su bilang suaranya dingin: “Hmm, aku tengah mencari penculik cucuku.”

Gadis itu mementang matanya lebar-lebar.

“Kau menyerangku mungkin kau mencurigai aku sebagai penculik cucumu itu bukan? Hemm, apakah kau anggap aku ini sudah gila anak sehingga perlu menculik cucu orang lain? Jangan sembarangan menuduh, karena jika nona besarmu tidak senang niscaya aku dapat membunuhmu!”

Oey Yok Su memiliki adat ku-koay, walau pun usianya telah lanjut, adatnya yang ku-koay itu belum juga lenyap. Tiba-tiba mukanya jadi tambah dingin.

“Baiklah! Jika kau dapat meloloskan diri dari tanganku, maka aku bersedia mengampuni kurang ajarmu dan membiarkan kau pergi!” kata majikan pulau Thu-hoa-to.

Si gadis tampaknya jadi mendongkol juga.

“Apa sulitnya angkat kaki dari depanmu! Hemm, Ha Mo Giok tak pernah dapat diperhina orang!” Dan sambil berkata begitu, seenaknya gadis itu, yang tidak lain dari Ha Mo Giok melangkah untuk pergi melewati Oey Yok Su.

Tapi Oey Yok Su diam saja. Ia tidak menghalanginya, karena jika gadis itu sudah lebih dekat, barulah dia akan menghantamnya dengan jurus yang akan memaksa gadis itu melompat mundur. Namun belum lagi Oey Yok Su sempat untuk menyerang, tiba-tiba gadis itu memegang perutnya.

“Aduh!” ia merintih

Oey Yok Su heran, ia tertegun, sampai akhirnya tanyanya dengan heran: “Kenapa kau?”

“Aku....... aduhhh, perutku.......!” Merintih gadis itu lagi.

“Apakah kau sakit perut?”

“Aku....... aduhlah, perutku…..!” Merintih gadis itu lagi

Oey Yok Su menghampiri. Namun di waktu itulah gadis ini tiba-tiba mengulurkah tangan kanannya ingin menotok jalan darah Ma-tung-hiat di dekat tulang iga ketiga di tubuh Oey Yok Su.

Oey Yok Su tertawa dingin, dia telah berkelit. Dan jari tangan gadis itu menotok telak sekali. Membarengi itu si gadis melesat akan melarikan diri.

Tapi betapa kagetnya Ha Mo Giok ketika merasakan punggungnya kena dicengkeram, disusul tubuhnya melambung di tengah udara, kemudian meluncurkan akan terbanting di tanah. Untung saja ia memiliki gin-kang yang terlatih dengan baik, sehingga dia tidak sampai terbanting dan kemudian bisa hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya.

Waktu Ha Mo Giok menoleh dengan muka merah karena murka dan kaget yang bercampur menjadi satu, dia sudah tidak melihat Oey Yok Su, jago tua yang sakti itu seperti lenyap begitu saja dari hadapannya.

“Baik-baiklah kau mengembara, karena kelak akan bertemu banyak rintangan! Sampaikan salamku Tong-shia kepada ayahmu……!” Suara itu terdengar seperti dari tempat yang jauhnya puluhan lie dan terdengar jelas.

Rupanya Oey Yok Su setelah melontarkan tubuh Ha Mo Giok sebat sekali ia meninggalkan tempat itu, dalam waktu sekejap mata saja, ia sudah meninggalkan jauh sekali si gadis.

Ha Mo Giok berdiri tertegun di tempatnya, ia kagum dan heran melihat orang tua itu yang benar-benar lihay, dan ia menggidik ketika mengetahui bahwa orang tua itu adalah Tong-shia Oey Yok Su, karenanya ia bersyukur ia tak terlanjur melakukan sesuatu kesalahan.

Apa alasannya juga, mengapa Oey Yok Su tidak jadi mempermainkan gadis itu, karena ia mendengar gadis itu menyebutkan namanya yang aneh itu, Ha Mo Giok, dan Oey Yok Su teringat kepada seorang sahabatnya. Ia memang segera mengetahui siapa ayahnya gadis itu, karenanya ia telah meninggalkannya.

Dikala itu terlihat juga Ha Mo Giok telah membanting-banting kakinya, karena ia tersadar, betapa pedangnya yang tadinya tergantung di pundaknya, sekarang menancap di kepalanya, di rambutnya, yang bergoyang-goyang. Ia menggidik lagi orang seperti Oey Yok Su memang hebat, seandainya Oey Yok Su itu adalah musuh bukankah si gadis telah menerima kematiannya, karena memang ia dapat dibunuh dengan mudah sekali?

Bukankah pedang itu dihunus dari sarungnya dan kemudian ditikamkan pada rambutnya yang bergulung itu, ia sama sekali tak merasakannya? Dan yang lebih hebat lagi dia pun tak mengetahui kapan dicabutnya pedang dari sarung dan kapan ditikamkan padanya, jika saja tikaman itu pada lehernya, bukankah berarti ia seketika terbinasa?

Setelah menghela napas beberapa kali. Ha Mo Giok menjejakan kakinya, lagi. Ia sebenarnya tengah menuju ke rumah penginapannya, dan bermaksud untuk tidur, setelah mempermainkan Ang Kwang dan kawan-kawannya itu, tapi siapa sangka ia justeru bertemu dengan Oey Yok Su.

Ia berlari-lari lagi sambil berpikir tak hentinya tentang jago tua yang baru saja ditemuinya itu, dimana ia melihat Oey Yok Su yang namanya menggetarkan rimba persilatan sebagai tokoh sakti, ternyata seorang tua yang nampak lemah dan tidak bertenaga. Ha Mo Giok memang sering mendengar kehebatan Oey Yok Su, namun baru ini ia melihat orangnya, dengan diam-diam, ia juga menyesal sekali, karena ia tidak teringat untuk membujuk orang tua itu, guna mengajarkan padanya satu atau dua jurus ilmu pukulan…….

Sekarang marilah kita melihat Kim Lo. Sebenarnya kemanakah perginya Kim Lo? Diculikkah dia oleh orang lain?

Ternyata anak itu mengalami sesuatu apapun juga, ia bukan diculik tapi justeru Kim Lo meninggalkan kamarnya sendiri.

Begitu melihat Oey Yok Su keluar meninggalkan kamar tersebut Oey Yok Su menduga anak itu telah tidur tapi sebenarnya Kim Lo pura-pura memejamkan matanya rapat-rapat seakan tidur nyenyak, justeru dia tidak tidur.

Melihat Kong-kongnya melompat keluar dari jendela, Kim Lo juga turun dari pembaringannya, kemudian keluar juga lewat jendela. Daun jendela ditutup rapat.

Jika Oey Yok Su waktu pulang melihat daun jendela terbuka, itulah disebabkan tiupan angin. Kim Lo memandang sekelilingnya. Gelap. Sepi. Tidak ada seorang manusiapun juga. Ia ragu-ragu sejenak.

Dan anak ini juga heran mengapa kakeknya itu keluar meninggalkan rumah penginapan di tengah malam seperti itu? Ada urusan apakah? Lagi pula, mengapa Kong-kongnya pergi diam-diam tidak mau mengajaknya? Bermacam-macam dugaan dan pertanyaan bercampur aduk menjadi satu di hati Kim Lo.

Tapi akhirnya Kim Lo menjejakkan kakinya, tubuhnya ringan melompat ke atas tembok. Selama bertahun-tahun ia dididik oleh Oey Yok Su, maka untuk melompati tembok pekarangan rumah penginapan itu bukanlah pekerjaan yang sulit baginya. Ia melompat keluar dari tembok pekarangan rumah penginapan itu dengan mudah.

Keadaan di sekitar tempat itu sepi sekali, tidak ada siapapun juga, malah angin berhembus cukup dingin. Kim Lo menggigil sejenak, kemudian menduga-duga, entah ke arah manakah kakeknya itu pergi. Ia mengambil arah ke utara.

Tengah Kim Lo berlari-lari, angin berhembus semakin dingin menusuk tulang, dan keadaan tempat yang dilaluinya sepi sekali, semua penduduk kota itu telah tertidur nyenyak, dan Kim Lo pun melihat keadaan di luar pintu kota semakin sepi juga, jarang sekali terdapat rumah penduduk. Kim Lo berdiri ragu-ragu setelah berlari-lari sekian lama di luar pintu kota, dan baru kemudian dia berlari lagi. Entah kakeknya itu pergi kemana?

Waktu Kim Lo tengah herlari seperti itu, mendadak ia mendengar suara rintihan dari sebelah depannya. Kim Lo menahan langkah kakinya, dia mementang matanya lebar-lebar untuk meneliti keadaan di depannya. Ia mendengar semakin jelas suara rintihan itu, rintih kesakitan.

Waktu Kim Lo tengah ragu-ragu, mendadak saja dari sebelah depannya ada orang berlari dengan langkah yang dingkluk, yaitu agak pincang, dan orang itupun mengeluarkan suara rintih kesakitan, tengah mendatangi ke arah Kim Lo.

Orang itu seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih, iapun tampaknya kaget waktu melihat Kim Lo, hanya sejenak saja, kemudian ia telah tenang kembali dan meneruskan larinya menghampiri bocah tersebut, ia malah telah bilang, “Anak, aku ingin minta pertolonganmu, bersediakah kau?”

Kim Lo ragu-ragu sejenak, namun melihat sekujur tubuh orang itu terluka dan berlumuran darah, ia merasa kesakitan, segera ia menyahuti: “Baik paman….. apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu?

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar