Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 1-10
Ketika Kublai Khan mulai
membangun negara, ia memakai merek kerajaan Tay Goan, yaitu Goan Terbesar. Ia
berhasil menguasai seluruh daratan Tiong-goan. Ia berhasil menyapu bersih
kerajaan Song selatan, menyambut Kublai Khan dari dalam.
Kublai Khan memang merupakan.
leluhur pembangun negara Tay Goan. tapi tidak memiliki Giok-sie, yaitu cap
kerajaan, untuk diwariskan kepada anak cucunya turun temurun. Giok-sie atau
“Toan Kok Giok-sie” adalah cap kerajaan untuk meneruskan mengendalikan negara
dan pemerintahan. Karena tidak memiliki Giok-sie, jelas Kublai Khan akan
ditertawakan negara negara tetangga. Itulah urusan kecil yang terpenting adalah
cap kerajaan negara itu adalah benda yang memiliki hubungan dengan kemakmuran
negara.
Waktu Thio Hong Hoan
mengkhianati Song selatan dan bekerja untuk Kublai Khan. Ia tidak berhasil
memperoleh dan menemukan Giok-sie. Dan Kublai Khan beranggapan bahwa itu adalah
sesuatu kesalahan dan dosa besar bagi Thio Hong Hoan maka walaupun jasanya
“memusnahkan” kerajaan Song selatan berada di tangannya, jasanya itu tidak
berhasil menambal kesalahannya. Thio Hong Hoan diturunkan pangkatnya. Malah ia
diturunkan pangkatnya tiga tingkat oleh Kublai Khan.
Tentang Giok-sie telah dibawa
mati oleh Kaisar Peng, raja Song selatan yang telah musnah itu. Peng Hong-te
telah ceburkan diri ke laut berdua dengan Liok-siu-hu seorang menteri setianya,
merangkul kaisar Peng dan mereka telah ceburkan dirinya dengan membawa serta
cap kerajaan, sehingga Giok-sie lenyap tidak karuan parannya.
Kublai Khan perintahkan para
pahlawannya untuk mencari Giok-sie, walaupun bagaimana besarnya biaya, Giok-sie
harus diperoleh.
Riwayat Giok-sie itu pun
memiliki cerita tersendiri. Waktu kaisar Cin She Wang (Cin Sie Hong) berhasil
menaklukkan enam negeri saingannya menjadi satu dan tunduk di bawah
kekuasaannya, ia telah memikirkan cara terbaik untuk mewariskan negara kepada
anak cucunya. Untuk itu segera juga Kaisar Cin mempergunakan sepotong batu
Kumala Mustika yang disebut Hoo-sie-pek, di atas batu ditulis delapan huruf
model Toan yang dilakukan oleh Lie-su atas perintah kaisar Cin. Bunyi delapan
huruf:
“Siu Beng Te Thian, Kie Tay
Cun Ciang”
yang berarti:
“Menerima Firman Tuhan untuk
Selama-lamanya.”
Lalu kaisar Cin perintahkan
seorang ahli pemahat untuk mengukir Kumala Mustika tersebut, yang lalu
selanjutnya dijadikan sebagai cap kerajaan. Rupanya Kaisar Cin percaya dengan
bertindak demikian pemerintahannya akan hidup makmur untuk selama-lamanya.
Sesungguhnya apa yang kemudian
terjadi? Berapa lamakah kekekalannya Cin She Wang (Cin Sie Hong)?
Baru pada giliran Jie-sie
Hong-te, yaitu Kaisar yang kedua. Kerajaan Cin sudah musnah. Cin Sie Hong
memang Kaisar pertama, yaitu Sie Hong Ke. Cap kerajaan itu harus diserahkan
pada Lauw Pang. Kemudian Eng Ciang, yaitu `Hidup Makmur Selama-lamanya” akan
tetapi empatratus tahun kemudian Giok-sie harus pindah tangan lagi kepada Co
Pie.
Selanjutnya Giok-sie harus
bergantian tangan tidak hentinya, entah berapa kaisar dari berbagai marga yang
telah menguasai Giok-sie tersebut. Dan entah telah berapa banyak kerajaan yang
lahir dan musnah di daratan Tiong-goan selama itu, dengan Giok-sie selalu
dikuasai oleh Kaisar yang berhasil berkuasa.
Dengan demikian, bukannya
hidup makmur dan kekal selama-lamanya, sebaliknya membawa kecelakaan. Negara
musnah, keluarga habis tertumpas.
Hanya saja Kublai Khan justeru
yakin, jika Giok-sie berhasil ditemukan dan menjadi miliknya, ia menjadi kaisar
di daratan Tiong-goan yang bisa “Siu Beng Te Thian, Kie Tay Eng Ciang” ia akan
makmur selama-lamanya. Karena itu, diperintahkan seluruh jagonya untuk mencari
Giok-sie.
Banyak pahlawan kerajaan
Tay-goan tersebut yang disebar sekitar Gay-bun, selain mencari Giok-sie di laut
juga di daratan, seperti diketahui Peng Hong-te, Kaisar dari kerajaan Song
selatan yang telah musnah itu membenamkan diri dengan ceburkan dirinya di laut
Gay-bun. Dan juga iapun telah menyerahkan munculnya banyak sekali pergolakan
dengan tersiarnya Giok-sie telah terangkat dari laut dan dimiliki seseorang.
Banyak pertempuran yang meminta korban jiwa, banyak juga yang menderita, adanya
perebutan Giok-sie tersebut.
Dan Yo Ko serta tokoh-tokoh
yang pernah terlibat dalam peperangan melawan pasukan Tay Goan demi membela
negara dan rakyatnya yaitu Kerajaan Song selatan, telah mensucikan diri. Mereka
tidak terdengar kabar beritanya.
Hanya saja, justeru yang kini
terlibat adalah orang-orang yang berusaha mencari Giok-sie dengan berbagai
tujuan. Bahkan yang menyebabkan pergolakan akhirnya lebih menghebat adanya
berita-berita yang tersiar, siapa yang berhasil mendapatkan Giok-sie, ia akan menjadi
Kaisar selama-lamanya, karena dengan Giok-sie orang itu bisa menggerakkan
rakyat untuk mengusir orang Mongol dari kerajaan Tay Goan, yang menjelajah
daratan Tiong-goan.
Dan sebab itu pula yang
merupakan salah satu faktor mengapa Kerajaan Tay Goan pun berusaha sekuat
tenaga mengerahkan para pahlawan untuk memperoleh Giok-sie. Jika Giok-sie jatuh
ke tangan Kaisar Tay Goan yang berkuasa disaat itu, niscaya kesempatan untuk
berontak terhadap Kerajaan Tay Goan dapat dicegah.
Justeru disebabkan Giok-sie ini,
kelak memang kerajaan Tay Goan dapat diusir oleh seorang yang berhasil memiliki
Giok-sie, karena orang itu tidak lain dari Cu Goan Ciang, dengan Giok-sie ia
berhasil menggerakkan seluruh rakyat di daratan Tiong-goan untuk mengusir orang
Mongol dari daratan Tiong-goan. Usaha Cu Goan Ciang, walaupun menelan korban
jiwa yang tidak sedikit, akhirnya ia berhasil dengan gemilang, sebab akhirnya
ia berhasil duduk di atas takhta sebagai seorang Kaisar.
Dan juga, memang dalam hal
ini, Cu Goan Ciang mempergunakaa Giok-sie berhasil menggerakkan seluruh orang
orang gagah untuk membantunya. Seluruh harapan diletakkan di pundaknya Cu Goan
Ciang, bahwa perbaikan untuk nasib rakyat segera dapat dilakukan, dengan
diusirnya penjajah dari daratan Tiong-goan.
Cuma sayangnya, Cu Goan Ciang
sebelum naik takhta, merupakan seorang yang bijaksana dan setelah resmi menjadi
Kaisar dan mendapatkan negara, justru tabiatnya jadi berobah. Ia main
membunuh-bunuhi menteri-menterinya yang berjasa. Perbuatan itu membangkitkan
penasaran para orang-orang gagah. Cu Goan Ciang itulah yang bergelar Beng
Tay-couw.
Dan sekarang, kisah ‘Pendekar
Aneh Seruling Sakti, justru terjadi dikala Kerajaan Tay Goan masih menguasai
daratan Tiong-goan, di mana Kaisar Kublai Khan tengah mencari Giok-sie untuk
dimiliki dengan mengerahkan seluruh pahlawannya. Walaupun bagaimana Kaisar
Kublai Khan berusaha memperoleh Giok-sie, untuk menyempurnakan kekuasaan yang
ada padanya, Cap Kerajaan itu harus ditemukan dan menjadi miliknya. Entah
berapa banyak pahlawan yang telah dikerahkannya.
Dalam usaha mencegah timbulnya
pemberontakan. Kublai Khan pun sengaja memecah rakyat menjadi empat golongan.
Yang pertama adalah golongan Mongol sendiri, golongan yang tertinggi. Kemudian
golongan semu yaitu golongan rakyat dari Nai Mau atau Hui Bur. Golongan ketiga
adalah golongan Han, yaitu rakyat Khitan maupun Nuchen. Lalu golongan keempat
yaitu golongan Han Jin, terdiri dari suku bangsa Selatan yaitu bekas rakyat
kerajaan Song Selatan yang telah dimusnahkan. Jadi bangsa Mongol adalah yang
tertinggi dan termulia.
Cukup banyak usaha yang
dilakukan Kublai Khan untuk memperkukuh kedudukannya di daratan Tiong-goan. Ia
pun telah berhasil untuk mematahkan perlawanan-perlawanan dari para pahlawan
pencinta negeri, seperti Yo Ko maupun lain-lainnya, termasuk Kay-pang
perkumpulan lainnya. Semua itu dapat dihadapi Kaisar Kublai Khan dari kerajaan
Tay Goan itu baik sekali. Malah akhirnya para pencinta negeri suku bangsa Han
itu telah putus harapan sendirinya.
Hanya yang kurang justeru
Kaisar dari kerajaan Tay Goan belum lagi berhasil memiliki Giok-sie. Karena itu
pula mati-matian Kublai Khan tetap mengerahkan para pahlawannya untuk mencari
Giok-sie. Apalagi kini sudah tidak ada “Pemberontakan” yang dilakukan oleh para
pencinta negeri yang dipimpin Yo Ko dan Kay-pang atau lain-lainnya. Karenanya
seluruh usaha Kaisar Kublai Khan dicurahkan untuk pencaharian Giok-sie.
Dan kemelut yang muncul karena
ambisi Kaisar Kublai Khan dari kerajaan Tay Goan inilah yang menelan cukup
banyak korban jiwa maupun darah yang membanjir cukup luas bagaikan telaga. Dan
api yang membara berkobar semakin panas baik di kalangan Kang-ouw maupun di
seluruh daratan Tiong-goan dalam kancah pemerintahan kaisar Kublai Khan ini
yang melibatkan diri dengan “Toan Kok Giok Sie” yaitu cap kerajaan yang
“diwariskan” oleh kaisar Cin Sie Hong (Cin She Wang) pada beberapa ratus tahun
yang lalu, yang rupanya ekornyapun masih sanggup untuk memancing jatuhnya
korban-korban jiwa yang tidak sedikit disamping banjir darah yang sangat luas…….
◄Y►
Angin tenggara di selat
Lay-ciu, termasuk dalam bilangan Shoa-tang, tampak berhembus cukup keras.
Gelombang yang terkadang naik meninggi saling susul. Tapi, perahu kecil
bertiang satu berlayar dengan pesat memecah gelombang demi gelombang, bagaikan
anak panah pesatnya yang terlepas dari busur.
Juga gelombang yang
tinggi-tinggi bagaikan gunung itu tidak merintangi perjalanan perahu kecil
tersebut Di dalam perahu kecil tersebut hanya terdapat dua orang. Seorang
laki-laki usia tua dengan kumis dan jenggot yang telah memutih rambutnya juga
telah berwarna putih, menunjukan mungkin sedikitnya ia berumur delapanpuluh
tahun lebih, memegang kayu pengayuh dengan kuat. Setiap kali ia mendayung,
perahu kecil itu melesat pesat sekali.
Itulah tenaganya yang luar
biasa. Pakaiannya terbikin dari bahan yang sederhana, sutera biasa berwarna
hijau. Kopiahnyapun berwarna hijau. Tidak ada luar biasa pada orang tua ini,
yang duduk di ujung perahu kecil tersebut sebelah selatan. Hanya yang luar
biasa adalah wajahnya.
Walaupun telah berusia lanjut,
wajah maupun sikapnya memperlihatkan ia sangat berwibawa sekali. Matanya, tidak
seperti umumnya mata orang yang lanjut usia, yang buram. Justeru mata orang tua
yang satu ini bersinar sangat tajam sekali, bagaikan kilatan matanya itu akan
menembus segala apa yang dipandangnya.
Ia mendayung dengan
membungkam, tidak pernah ada sepatah perkataanpun yang meluncur dari mulutnya.
Hanya keganasan air laut juga yang menggulung-gulung menimbulkan suara yang
cukup keras.
Lalu penumpang perahu kecil
itu yang lainnya adalah seorang anak laki-laki kecil berusia muda sekali.
Mungkin baru sepuluh tahun atau lebih sedikit. Jika dilihat ia melakukan
perjalanan air laut itu bersama si kakek, orang segera menyangka bahwa anak
lelaki itu adalah cucu si kakek tua tersebut.
Cuma saja, ada sesuatu yang
luar biasa pada diri anak laki-laki itu. Wajah maupun bentuk tubuhnya. Ia
memang duduk di ujung kepala perahu di hadapan kakek tua. Sama seperti kakek
tua berbaju hijau itu, yang mendayung dengan berdiam diri saja, iapun
membungkam. Cuma matanya yang sekali-kali berkilat mengawasi gelombang air laut
yang tinggi bagaikan mengejar dan akan mengubur perahu mereka.
Wajah anak laki-laki ini akan
mengejutkan orang yang memandangnya. Wajah itu tidak wajar. Tidak tampan dan
juga tidak dapat disebut terlalu bagus bentuknya sebagai raut wajah seorang
anak manusia, mukanya lebih mirip muka seekor kera.
Sepasang matanya yang cekung
dalam sekali, hidung yang bentuknya kecil, dengan bibir yang lebar, mulut yang
monyong. Sungguh mengherankan sekali bentuk wajahnya yang lebih mirip seekor
kera.
Dan juga tampak jelas sekali,
tubuhnya ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Berwarna kuning keemas-emasan.
Bajunya yang longgar, yang sering tertiup keras oleh angin sehingga tersingkap
terbuka, menyebabkan tangannya yang berbulu kuning itu bisa dilihat dengan
jelas.
Pada pipi kiri dan kanan
mukanya pun ditumbuhi bulu kuning yang tidak terlalu tebal seperti di
tangannya. Baju anak ini berwarna hijau juga, sama seperti si kakek di
depannya. Model pakaiannya pun sama. Kopiah hijau dikenakan di atas kepalanya
pun sama seperti kopiah si kakek. Malah bentuknya pun sama dengan sepatu si
kakek, hanya ukurannya saja yang berbeda, yaitu ia memakai sepatu berukuran
kecil.
Pakaiannya paling menarik perhatian.
Anak laki-laki seusia seperti jubah panjang yang dikenakan kakek tua itu.
Semuanya memang mirip dengan kakek tua itu dalam cara berpakaian. Cuma muka
mereka yang berbeda satu dengan yang lain! Walaupun berusia lanjut kakek tua
itu tetap memiliki raut wajah seorang manusia, juga tangan kakek tua itu tidak
berbulu kuning.
Yang lebih lucu lagi, anak
lelaki kecil dengan wajah berbentuk seperti muka seekor kera itu duduk dengan
mengambil sikap seperti kakek tua itu, kaki kanan ditekuk, sedangkan kaki kiri
dilonjorkan. Jika kakek tua itu merobah cara duduknya tentu ia akan mengikuti
terus cara duduk kakek tua itu. Ia pun memegang sepasang dayung kecil pendek
turut mendayung biarpun tenaga mendayungnya tidak membantu banyak untuk kakek
tua itu, sebab tenaga bocah aneh ini tidak berarti, masih terlalu lemah untuk
menghadapi ganasnya gelombang air laut dia hanya mendayung satu kali demi satu
kali belaka.
Setelah mendayung sekian lama
lagi, barulah kakek tua baju hijau itu bicara mengisi kesunyian di antara
mereka, walaupun di luar mereka berdua, keadaan tidak sunyi karena suara di
laut yang mendampar-damparkan dinding perahu:
“Kim Lo, kukira ada baiknya
kau tidak ikut dalam pelayaran ini, diam bersama ibumu. Kukira kita baru tiba
di Put-ciu di Put-hay tiga hari lagi. Perjalanan yang meletihkan tentunya ibumu
tentu menguatirkan sekali keselamatan dirimu.”
Dan orang tua itu menghela
napas dalam-dalam. Tapi matanya mengawasi tajam lepas ke arah laut yang luas
membentang di depannya.
Anak itu, Kim Lo, tersenyum.
Aneh suaranya ketika bicara, agak sember, juga kata-katanya semacam pekikan,
walaupun cukup jelas untuk ditangkap artinya:
“Mengapa kong-kong (kakek)
berkata begitu? Bukankah ibu selalu mengatakan jika aku bersama kong-kong, ibu
percaya selalu akan dilindungi Thian?” dan anak itu tertawa. la merobah cara
duduknya, kaki kanannya yang semula dilonjorkan, telah dimiringkan, sebab anak
itu melihat kong-kongnya merobah cara duduknya. Ia mengikuti dan menyamakan
cara duduknya.
Laki-laki tua itu diam saja.
Ia tersenyum melirik kepada Kim Lo, kemudian mendayung.
Kim Lo juga cepat-cepat
mendayung. Ia memang selalu mengikuti gerak-gerik dan apa yang dilakukan
Kong-kongnya itu.
“Kong-kong...!” Kata Kim Lo
kemudian.
Laki-laki tua itu menatapnya
sambil tersenyum.
“Aku ingin menanyakan sesuatu
kong-kong. Boleh aku tanyakan!” tanya Kim Lo lagi.
“Ya, katakanlah!” Bilang kakek
tua itu tersenyum, sikapnya sabar dan halus. Jelas ia sangat sayang pada anak
itu, walaupun muka anak kecil ini tidak enak dilihat, seperti muka seekor kera.
“Apakah Kong-kong tidak
marah?” tanya Kim Lo lagi.
“Mengapa harus marah?”
“Sungguh?”
“Kong-kong tak pernah
mendustaimu. Katakanlah! Sejak kapan kau mulai tak percaya pada Kong-kongmu?”
kata kakek tua itu, tapi ia tokh tidak marah, malah kembali tertawa-tawa.
“Kong-kong, lihat air laut
yang bergelombang tinggi-tinggi itu?” Tanya Kim Lo kemudian sambil menunjuk ke
arah belakangnya, kepada gelombang yang besar-besar……. Lihat, bukan?”
“Ya, ya, Kong-kong telah melihatnya!”
menyahuti kakek tua itu. Ia mulai heran, karena tidak mengerti mendadak Kim Lo
bertanya tentang gelombang. “Apa maksud pertanyaanmu Kim Lo?”
Kim Lo tertawa. Tapi cuma
sebentar, karena kemudian memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh waktu ia
berkata: “Kong-kong selalu memberitahukan padaku, jika ingin bertanya haruslah
menanyakan hal-hal yang penting. Dan kini, jelas urusan yang hendak kutanyakan
pada Kong-kong adalah urusan yang penting.”
Kakek tua itu tertawa
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menahan kayu penggayuhnya,
“Ya, ya, katakanlah Kim Lo.
Jangan main teka teki seperti ini. Aku baru ingat, kau memang selalu menanyakan
yang penting-penting!” Dan kakek tua itu tertawa lagi, senang tampaknya dia.
Senang Kim Lo mendengar ucapan
Kong-kongnya, ia tersenyum sejenak namun kemudian berkata lagi sambil
memperlihatkan sikap sungguh-sungguh:
“Air laut dapat bergelombang
begitu tinggi, sangat tinggi sekali, tapi mengapa lwekang, yang kita latih
tidak dapat mencapai tinggi seperti yang kita kehendaki?”
Kakek tua itu diam sejenak, ia
tertegun. Tapi kemudian tertawa lagi.
“Kim Lo, kau berpikir terlalu
jauh sekali. Tentang lwekang yang kau tanyakan, seseorang bisa melatihnya dari
kekuatan gelombang air laut yang melebihi besar dari itu sekalipun!” katanya
kemudian.
Kim Lo mementang matanya
lebar-lebar, seakan juga ia tidak mempercayai apa yang diucapkan Kong-kong.
“Benarkah itu, Kong-kong? Kau…… apakah kau bukan sedang mendustai aku?”
Kakek itu tersenyum, sambil
geleng-gelengkan kepalanya, ia berkata perlahan: “Kau mengapa menduga Kong-kong
mempermainkanmu? Pernahkah kong-kong mendustaimu?”
“Belum!” menyahuti Kim Lo
sambil mengggeleng.
“Jika kelak kau berhasil
melatih dengan baik sehingga memiliki lwekang yang sempurna maka gelombang air
laut yang jauh lebih hebat dan lebih tinggi dari itu, tidak mungkin bisa
merubuhkan dirimu!”
“Kong-kong…….!” Kim Lo
mementang matanya seakan juga tak bisa mempercayai keterangan Kong-kongnya.
“Kau tidak percaya bukan?
Baiklah, sejak dulu selalu bicara dengan kau disertai bukti. Nah, sekarang mari
kau lihat buktinya!”
Setelah berkata begitu, kakek
tua tersebut mengangkat sepasang dayungnya, ia letakkan di lantai perahu.
Kemudian berdiri tegak. Tenang sekali. Ia menunjuk ke arah belakang Kim Lo,
katanya:
“Kim Lo, sekarang lihatlah!
Sebentar lagi akan datang gelombang yang besar. Kong-kong akan memperlihatkan
gelombang besar itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap diri kong-kong yang
telah lanjut usia seperti ini! Nah lihatlah, gelombang besar itu telah datang.”
Kim Lo menoleh. Benar saja
segulungan gelombang yang sangat tinggi tengah mendatangi. Gelombang yang
sebesar itu seharusnya dapat menggulung perahu mereka dan mendamparkan mereka
jauh sekali, jika saja memang Kong-kongnya ini tidak memiliki kepandaian yang
sangat tinggi.
Hatinya jadi tertarik sekali.
Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh kakeknya.
Sedangkan waktu itu kakek tua
itu telah menggerakkan tangannya. Ia menampar ke arah permukaan air laut. Aneh
sekali. Begitu dia menghantam ke permukaan air laut di samping perahunya,
perahu itu segera berputar. Maka Kim Lo berada di belakangnya dan orang tua itu
yang berdiri tegak menghadapi gelombang yang sangat besar itu.
Kim Lo kagum sekali. Itulah
kekuatan sin-kang yang sungguh-sungguh sempurna. Hanya dengan menggerakkan
tangannya, dengan angin dari telapak tangannya, kakek tua itu bisa memutarkan
perahu mereka mudah sekali. Dan Kim Lo tidak bisa untuk berpikir lebih jauh,
karena gelombang yang besar dan tengah menggulung itu menyambar dekat sekali
pada perahu mereka, seakan juga gelombang itu seekor harimau yang ingin
menerkam perahu Kim Lo dan kakeknya.
Tenang sekali orang tua itu
mengangkat kedua tangannya mendorong dengan kedua telapak tangannya.
“Brarrrr!” Gelombang itu
terpukul hebat. Tapi, yang lebih luar biasa, gelombang air laut tidak berhasil
menggulung perahu mereka.
Begitu orang tua menggerakkan
sepasang tangannya, perahu tersebut seperti didorong sesuatu yang sangat kuat,
bagaikan terbang, telah melesat ratusan tombak menjauh dari gelombang yang
sangat ganas itu. Dengan demikian gelombang air laut itu tidak berhasil untuk
menggulung perahu itu, yang hanya tergoncang akibat air laut yang bergelora,
akibat dari menggulungnya gelombang yang sangat besar itu.
Kim Lo menepuk-nepuk tangannya
cukup nyaring memuji Kong-kongnya. Dan juga beberapa kali orang tua itu
melakukan hal seperti itu, yaitu menghantam setiap gelombang yang datang ke
arah perahu mereka, melesat sejauh puluhan tombak tidak jarang sampai seratus
tombak lebih!
Itulah tenaga yang terlatih
baik sekali, bukan tenaga kasar, melainkan tenaga lwekang yang sempurna.
Karenanya, orang tua yang lihay itu bisa meminjam tenaga dari kekuatan
gelombang air laut untuk membuat perahunya itu melesat dengan pesat sekali
menjauhi diri dari sambaran gelombang air laut.
Di kala itu Kim Lo berulang
kali berseru-seru: “Bagus! Bagus Kong-kong! Ajari aku! Ajari aku!” dan
tampaknya memang dia girang bukan main.
Juga Kim Lo semakin gembira
acap kali perahu mereka melesat seperti terbang, ia tertawa-tawa girang sambil
berpegangan pada tepian perahu, sebabnya jika tidak tubuhnya kemungkinan bisa
terjungkal ke belakang dan tercebur ke dalam laut! Tapi Kim Lo biarpun masih
kecil, namun ia memiliki kuda-kuda yang cukup kokoh dan kuat, iapun membantu dengan
tangannya memegang ke dua tepian perahu, membuat tubuhnya tidak bergeming
walaupun perahu itu selalu melesat dengan pesat sekali.
Kakek tua itu beberapa kali
lagi menyambuti gelombang air laut, akhirnya kembali mendayung. Hanya, dengan
sikap sungguh-sungguh ia bilang: “Kim Lo, kau telah menyaksikan, dengan
memiliki sin-kang yang sempurna, kita bisa menghadapi kesukaran apapun, dengan
mudah dapat mengatasinya dengan baik! Bukankah kini gelombang air laut yang
tinggi dan ganas itu tidak berdaya apapun juga terhadapku?”
Kim Lo mengangguk beberapa
kali.
“Benar Kong-kong. Aku akan
berlatih giat untuk memiliki kepandaian seperti Kong-kong,” kata Kim Lo
berjanji.
Orang tua itu mengangguk
tersenyum senang.
“Aku tahu, kau anak rajin dan
pandai, kau tentu dapat memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari yang
kumiliki……!” kata Kong-kong itu dengan tersenyum senang, mendayung lagi. Setiap
kayu dayungan digerakannya, dan perahu itu meluncur dengan pesat sekali.
Diwaktu itu, Kim Lo juga telah
mengikuti gerak gerik Kong-kongnya lagi duduknya, cara mendayung, walaupun
tenaga mendayungnya tidak berarti banyak untuk membantu si kakek, menggerakkan
perahu tersebut.
Air laut masih bergelora terus
dengan gelombangnya yang ganas, cuma saja orang tua yang bersama cucunya itu
tetap tenang, perahunya tetap dapat dikendalikan dengan baik, malah dilihat
dari cara ia menguasai dan mengendalikan perahu tersebut, memang jelas sekali
dia merupakan seorang yang berpengalaman dalam pelayaran di laut.
Di waktu itu juga, terlihat
menempuh ratusan lie dalam perjalanannya itu. Hari sudah mendekati sore,
matahari yang doyong ke arah barat telah turun sekali, demikian indah permukaan
air laut berkilauan juga memancarkan sinar kemerah-merahan yang indah menarik
hati. Kim Lo yang menyaksikan pemandangan seperti itu tidak hentinya memuji.
“Apakah sejak dulu sampai
sekarang tidak ada manusia yang bisa pergi ke matahari Kong-kong?” tanya Kim Lo
lewat lagi beberapa saat. Ia bertanya sambil mengawasi ke matahari yang
sebentar lagi akan tenggelam itu.
Si kakek tersenyum mendengar
pertanyaan Kim Lo.
“Ada, dua kali terjadi manusia
pernah mendatangi kerajaan matahari,” menyahuti Kong-kong itu.
“Benarkah Kong-kong?” tanya
Kim Lo.
Laki-laki tua itu mengangguk
ia mengawasi ke arah matahari itu, kemudian menghela napas.
“Ya, Kong-kong pun pernah
pergi ke matahari,” katanya. “Itu terjadi dulu. Beberapa puluh tahun yang
silam!”
“Ohhh, kalau begitu sekarang
Kong-kong bisa mengajakku untuk pergi ke mata hari, bukan?” tanya Kim Lo
tertarik.
“Ya, ya, Bisa. Tapi bukan
sekarang, nanti.”
“Ceritakanlah Kong-kong,
bagaimana caranya untuk pergi ke matahari?” tanya Kim Lo semakin tertarik.
“Dengan naik perahu......
seperti kita sekarang ini. Tapi matahari merupakan sumber panas yang hebat
sekali. Dan orang harus mempelajari ilmu silat yang sangat sempurna, barulah
bisa pergi ke sana! Nah, Kim Lo, setelah kembali ke pulau Tho-hoa-to, kau harus
rajin-rajin berlatih ilmu yang Kong-kong ajarkan padamu?”
“Kalau kita memiliki
kepandaian yang tinggi maka kita bisa pergi ke matahari, Kong-kong?”
“Ya. Kau harus berlatih
baik-baik dan rajin usiamu baru sepuluh tahun. Jika berlatih sepuluh tahun
lagi, niscaya kau memiliki kepandaian yang sempurna.” Setelah berkata begitu,
si kakek menatap cucunya dengan sorot mata yang tajam sikapnya
bersungguh-sungguh ketika ia bilang:
“Dan kau mau berjanji, bukan?
Jika kita telah kembali ke Tho-hoa-to, kau akan berlatih dengan giat?!”
Kim Lo seperti berpikir
sejenak, ia tidak menyahuti pertanyaan Kong-kongnya, malah ia balik bertanya.
“Kong-kong bukankah aku selalu
menuruti kehendakmu berlatih dengan rajin? Apakah itu kurang rajin?”
Si kakek menggeleng. “Kau
memang anak baik dan rajin. Tapi, kau memerlukan ketekunan yang lebih baik
untuk mempelajari semua ilmu silat yang kuajarkan! Kau belakangan ini lebih
banyak bermain saja…....”
“Baiklah Kong-kong, aku akan
belajar dengan giat. Aku berjanji akan mematuhi semua kata-kata Kong-kong!”
Kata Kim Lo.
“Kau memang seorang anak yang
baik!” kata Kong-kong itu sambil tertawa senang. “Baiklah jika memang kau
berlatih dengan rajin dan tekun, kelak kau bisa pergi ke matahari!”
Kim Lo juga senang. Dia
mengawasi matahari yang semakin tenggelam itu beberapa saat. Dan barulah
kemudian dia meniru lagi cara mendayung dari Kong-kongnya.
Lewat lagi beberapa saat,
mereka telah melihat sebuah titik hitam di kejauhan. “Daratan,
Kong-kong......!” berseru Kim Lo.
Lelaki tua itu mengangguk.
“Ya...... kita sebentar lagi
akan tiba. Tapi ingat akan pesan Kong-kong, kau tidak boleh nakal……!” kata
orang tua itu.
Kim Lo mengangguk saja.
Tampaknya dia gembira. Kong-kongnya mengajaknya untuk berbelanja membeli
keperluan mereka, baju, pakaian dan barang makanan, dan hanyak keramaian yang
bisa disaksikannya nanti. Bersemangat sekali ia mendayung, tapi tenaganya yang kecil
tidak membuat perahu itu lebih laju.
<>
Siapakah kakek tua dengan Kim
Lo itu?
Dialah tokoh rimba persilatan
yang namanya, sangat terkenal dan menggetarkan Kang-ouw, karena dia tidak lain
dari Oey Yok Su, majikan pulau Tho-hoa-to, yang berusia sangat lanjut.
Sebetulnya, Oey Yok Su sudah
tidak mau mencampuri lagi urusan keduniawian. Tapi karena rasa ibanya terhadap
Kim Lo, yang ternyata putera Kam Lian Cu yang diperoleh atas pemerkosaan seekor
kera yang berbulu kuning peliharaan Bun Sian Cuan. (Baca Anak Rajawali)
Telah sepuluh tahun Oey Yok Su
mengajak Kam Lian Cu tinggal di Tho-hoa-to, ia memperlakukannya seperti juga
memperlakukan anaknya sendiri sampai akhirnya Kam Lian Cu melahirkan, dan
ternyata anaknya itu seorang bayi yang memiliki muka kera, malah sekujur tubuh
bayi tersebut penuh ditumbuhi rambut yang berwarna kuning.
Kam Lian Cu menangis sedih dan
hampir kalap ingin mencekik mati bayinya itu, yang mendadak saja jadi
dibencinya. Tapi Oey Yok Su dapat mencegah dan membujuknya.
Cuma saja, sikap selanjutnya
Kam Lian Cu memperlakukan anaknya kurang baik dan acap kali kasar, membuat Oey
Yok Su semakin kasihan pada anak itu, yang diberi nama Kim Lo. Dengan demikian,
perasaan kasihan dan iba itu membuat Oey Yok Su melibatkan diri untuk bantu
merawat anak tersebut, yang dianggap sebagai cucunya. Dan Kam Lian Cu tidak
pernah memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Kim Lo, dan anak itu cuma
memperoleh perlakuan kasih sayang dari Oey Yok Su.
Malah, jika ia dipukuli
ibunya, Kim Lo segera mengadu kepada “kong-kongnya” tersebut dan Oey Yok Su
yang akan melindunginya. Dan selama sepuluh tahun itulah Oey Yok Su berusaha
mendidik anak itu, agar kelak ia memiliki kepandaian yang tinggi.
Tapi Kim Lo justeru seorang
anak yang kurang begitu senang mempelajari ilmu silat, dia lebih senang
melompat ke sana ke mari bermain-main. Dan ia pun selalu meniru gerak-gerik
Kong-kongnya. Jika Kong-kongnya duduk bersemedhi, ia akan duduk bersemedhi,
jika Kong-kongnya itu membaca, ia akan membaca, walaupun huruf-huruf yang
dibacanya itu pun kurang begitu jelas masuk ke dalam otaknya.
Caranya duduk dari Oey Yok Su,
gerak gerik lainnya dari majikan pulau Tho-hoa-to ini, selalu diikutinya dengan
baik sekali. Dan Oey Yok Su tidak pernah menegurnya. Ia memaklumi, walaupun
bagaimana dalam tubuh Kim Lo memang masih terdapat darah seekor kera, jelas
sifat dan tabiat seekor kera, yang paling cepat meniru dan mengikuti
gerak-gerik orang lain, selalu melekat didiri Kim Lo. Bukankah Kim Lo putera
seekor kera berbulu kuning?
Malah Oey Yok Su jadi
bertambah sayang pada anak ini, bertambah iba mengingat wajahnya yang buruk,
kelakuan anak itu yang tidak jarang seperti kelakuan seekor kera. Dan juga Oey
Yok Su sering merenungkan, entah bagaimana kelak Kim Lo mencari jodoh, jika ia
telah dewasa? Wajahnya yang jelek seperti muka kera, dengan sekujur tubuh yang
berbulu itu, dan juga kelakuannya yang seperti seekor kera, bagaimana mungkin
ada gadis yang menyukai dan bersedia menjadi isterinya? Terpikir begitu, Oey
Yok Su semakin sayang saja pada anak ini, ia jadi sedih hati, jika memikirkan
kelak keadaan “cucu”nya ini.
Kalau saja Kim Lo terlahir
sebagat anak laki-laki yang wajar, wajah yang cukup dan juga dengan keadaannya
yang seperti umumnya seorang manusia biasa, tentu Oey Yok Su tidak akan begitu
mengacuhkannya, terlebih lagi usianya yang semakin lanjut saja. Tentu adat Oey
Yok Su yang ku-koay juga akan menguasai dirinya dalam menghadapi anak Kam Lian
Cu. Tapi kekurangan-kekurangan yang dimiliki Kim Lo inilah yang membuat Oey Yok
Su menyayangi dan mencintai anak tersebut melebihi dari pada kasih sayangnya
pada Oey Yong, beberapa waktu yang lalu.
Kim Lo sendiri memang
merasakan bahwa Oey Yok Su memanjakannya, malah kong-kongnya ini lebih
memanjakannya dibandingkan ibunya, yang selalu bertindak keras padanya. Karena
itu, Kim Lo lebih senang jika memang ia ikut serta dan selalu bersama
Kong-kongnya.
Kam Lian Cu sendiri memperoleh
tempat di sisi rumah Oey Yok Su, dibangun sebuah yang cukup besar. Kam Lian Cu
mendiaminya berdua dengan Kim Lo.
Memang berulang kali Kim Lo
telah merengek kepada kong-kongnya, untuk meminta Kong-kongnya itu mengijinkan
dia tinggal dan tidur bersama Kong-kongnya. Namun Oey Yok Su sejauh itu menolak
permintaan Kim Lo.
Ia mengerti kalau permintaan
Kim Lo diterima Kam Lian Cu akan tersinggung, juga perempuan itu akan menjadi
kesepian, walaupun bagaimana sikapnya terhadap Kim Lo, dia adalah ibu Kim Lo.
Dan seorang ibu, yang galak bagaimanapun juga tidak akan “memakan” anaknya.
Harimau yang ganas saja tidak akan membunuh anaknya!
Begitulah, Kim Lo telah
dibesarkan dalam lingkungan pulau Tho-hoa-to. Dan ia sering bermain-main di
taman pohon bunga Oey Yok Su, yang seluruhnya diatur dengan cara dan kedudukan
Pat-kwa-tin. Namun, disebabkan setiap hari Kim Lo di taman bunga tersebut ia
telah hafal dan kenal baik sekali seluk beluk tanaman bunga itu.
Dengan demikian pula membuat
ia tidak sampai pernah tersesat. Malah, secara tidak disadarinya, iapun telah
mempelajari barisan Pat-kwa-tin, yang kelak sangat berguna untuknya.
Oey Yok Su cuma menyesal satu,
bahwa kecerdasan Kim Lo agak bodoh, daya tangkapnya kurang, walaupun ia lincah,
tokh sesuatu apa harus dipelajarinya berulang kali. Dan ini yang menghambat Kim
Lo bisa mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh Oey Yok Su dengan cepat. Dan
ini pula yang membuat Oey Yok Su seringkali jadi berkuatir kalau saja Kim Lo
tidak berhasil mewarisi kepandaiannya dengan sempurna.
Tapi Oey Yok Su bertekad,
walaupun bagaimana ia ingin mempergunakan berbagai cara untuk mendidik Kim Lo
agar anak ini bisa untuk mencernakan seluruh kepandaiannya. Oey Yok Su malah
bertekad, walaupun bagaimana seluruh kepandaiannya itu akan diwarisi kepada Kim
Lo.
Jika puteri sejatinya itu cuma
menerima delapan bagian dari kepandaiannya, justeru kepada Kim Lo ini Oey Yok
Su bermaksud hendak mewarisi seluruh kepandaiannya. Dan iapun telah memutuskan
bahwa Kim Lo ini sebagai pewarisnya, sebagai murid penutupnya dan akan mewarisi
kedudukan sebagai satu-satunya murid resmi dan penutup dari majikan Tho-hoa-to
tersebut.
<>
Pagi itu Oey Yok Su bermaksud
pergi membeli persediaan makanan di Put-ciu, karena memang persediaan makanan
di Tho-hoa-to sudah hampir habis. Kim Lo merengek hendak ikut serta Oey Yok Su
biasanya tidak pernah mengajak anak ini. Tapi kali ini Kim Lo merengek terus
dan berjanji tidak akan nakal, terpaksa ia mengajaknya, setelah hal itu
diberitahukan kepada Kam Lian Cu tidak keberatan anaknya ikut serta, apalagi
Oey Yok Su menjelaskan agar Kim Lo mulai berkenalan dengan masyarakat untuk
memperoleh pengalaman.
Sesungguhnya, di hati Oey Yok
Su terkandung sesuatu yang lain, ia justeru ingin melihat bagaimana sikap
masyarakat menerima kehadiran Kim Lo, yang wajahnya menyerupai muka seekor kera
itu, dengan demikian ia bisa memikirkan pula untuk masa depan anak ini.
Dan seperti biasanya Oey Yok
Su mempergunakan perahunya yang kecil. Walaupun laut memang terkadang ganas
dalam ketenangan yang ada, Oey Yok Su sanggup menghadapinya dikarenakan
kepandaiannya yang tinggi dan telah sempurna.
Bagi Kim Lo justeru
perjalanannya ini menyenangkan sekali. Belum pernah ia keluar meninggalkan
pulau Tho-hoa-to, dan perjalanan ini merupakan pengalamannya yang pertama. Apa
lagi memang nanti ia akan menyaksikan keramaian.
Begitulah, perahu kecil
tersebut belayar terus, dan akhirnya tiba di pelabuhan di Put-ciu. Keadaan di
sana sangat ramai. Banyak perahu yang berlabuh di sana, dengan ukuran yang
besar-besar, dan tiang yang menjulang tinggi, sehingga barisan perahu itu
dengan tiangnya seperti juga pohon cemara yang menjulang tinggi sekali.
Kim Lo telah ikut Kong-kongnya
untuk melompat ke daratan. Dan ia pun telah menari-nari dengan sikapnya yang
jenaka.
Beberapa orang yang berada di
pelabuhan tersebut mengawasi heran padanya. Dan Oey Yok Su bisa melihat sikap
orang-orang itu, tapi pura-pura tidak mengetahuinya.
Dengan menuntun tangan Kim Lo,
Oey Yok Su memasuki sebuah rumah makan. Ia memesan beberapa macam makanan dan bersantap
berdua dengan Kim Lo. Banyak yang ditanyakan oleh Kim Lo, dan Oey Yok Su dengan
sabar menjelaskan segala sesuatunya.
Waktu mereka tengah bersantap,
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah makan karena seseorang
menjerit-jerit menerobos masuk ke dalam rumah makan itu. Baru memasuki beberapa
langkah, tubuhnya terguling di lantai.
Oey Yok Su mengerutkan
alisnya, melirik sedikit pada orang itu, yang ternyata sekujur tubuhnya terluka
parah. Mukanyapun herlumuran darah, sebab mukanya telah rusak oleh cacahan
benda tajam. Rupanya orang ini telah di aniaya oleh seseorang, malah tubuhnya
berkelojotan beberapa kali, kemudian mengejang kaku, orang itu telah putus
napasnya.
Kim Lo beran, ia bangkit dan
duduknya, malah tanpa disadari anak itu terdorong oleh perasaan ingin tahu,
telah menghampiri seorang yang menggeletak di lantai rumah makan, mengawasi
seakan juga takjub. Orang-orang lainnya yang berada di rumah makan ini jadi
gempar, mereka meninggalkan suara yang berisik sekali.
Banyak yang berseru-seru:
“Pat-ong-say-mo! Pat-ong-say-mo (Delapan iblis raja singa).
Mendadak tamu-tamu di rumah
makan itu tambah berisik, mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu. Pada
waktu ada beberapa sosok tubuh melangkah masuk ke dalam rumah makan itu.
Rupanya tiga orang laki-laki
bertubuh tinggi besar, dengan muka yang bengis, memakai baju ringkas warna biru
dan hijau, mengawasi sosok tubuh yang telah mengejang kaku tidak bernapas.
“Mampus! Dia telah mampus!”
kata salah seorang di antara mereka.
Di waktu itu juga tampak salah
seorang di antara ke tiga orang itu telah menyepak dengan kaki kanannya, tubuh
yang telah mengejang kaku tidak bernapas terbalik jadi menengadah, dan ia
memperoleh keyakinan orang itu sudah tidak bernapas.
Di waktu itu justeru orang
yang menyepak itu melihat Kim Lo. Alisnya terangkat naik.
“Monyet kecil kurang ajar, kau
berani dekat-dekat dengan tuan besarmu?” Sambil berkata begitu tangan kanannya
diulurkan, dia menjambak baju di punggung Kim Lo, kemudian melemparkan anak itu
keluar rumah makan.
Kim Lo semula tidak menyangka
orang akan menjambak baju di punggungnya, dia baru kaget disaat tubuhnya
dilontarkan keluar rumah makan. Tapi sebagai seorang anak yang selama sepuluh
tahun digembleng Oey Yok Su otaknya agak bebal dan kurang cerdas, tokh, ia
telah memperoleh didikan yang baik dari seorang ahli. Waktu tubuhnya hinggap,
sepasang kakinya lebih dulu mengenai tanah, dan berdiri tegak, tidak terjerunuk
ke depan atau terhuyung.
Orang yang tadi melemparkan
Kim Lo tadi sesungguhnya memiliki tenaga yang sangat besar, ia yakin tentu anak
yang mukanya seperti muka kera itu akan terbanting keras setengah mati di luar
rumah makan dan tubuhnya akan terguling-guling. Namun melihat apa yang
dilakukan anak itu, orang jadi tertegun.
Kedua orang tamunya juga jadi
mengawasi heran. Malah ketika tersadar, salah seorang temannya telah bilang:
“Lo-jie, kau dipermainkannya! Ha, ha, tenagamu yang besar tidak ada gunanya
sekarang mungkin semalam kau telah makan bunga raya he?!”
Orang yang tadi melempar Kim
Lo, yang dipanggil dengan sebutan Lo-jie jadi penasaran. Dia menjejak kakinya,
tubuhnya melompat keluar rumah makan, dia mengulurkan tangan kanannya hendak
menjambak Kim Lo lagi, akan tetapi, kini Kim Lo tidak membiarkan baju di
punggungnya dijambak pula. Dia berkelit. Gerakan Kim Lo membuat jambakan orang
itu jatuh di tempat kosong.
Malah Kim Lo juga tidak
tinggal diam, begitu ia merasakan tangan Lo-jie meluncur lewat di belakang
punggungnya, segera juga kaki kanan diangkat ke belakang, ia telah menendang
dengan dupakan yang keras ke arah selangkangan Lo-jie.
Seketika Lo-jie menjerit
kesakitan, karena barang miliknya telah terdupak keras, ia terbungkuk-bungkuk
sambil tangannya memegangi selangkangannya. Dan memang, ia telah kesakitan,
sampai mengucurkan keringat dingin.
Kim Lo kaget sendirinya
menyaksikan hasil tendangannya. Ia tidak menyangka Lo-jie akan mengaduh-aduh
dengan muka pucat pias menahan sakit yang sangat.
“Kau…… kau kesakitan? Apakah
tendanganku tadi terlalu keras, paman?” Tanya Kim Lo sambil menghampiri.
Dua orang kawan Lo-jie ketika
tersadar dari tertegun mereka segera maju menghampiri Kim Lo dengan muka yang
bengis, salah seorang di antara mereka telah memaki: “Setan cilik, kau ingin
main-main dengan tuan besarmu, heh?” dan sambil berkata, yang seorang ini
menghantam kepala Kim Lo.
Kim Lo merasakan dari
belakangnya berkesiuran angin yang dingin dan hebat. Di Tho-hoa-to ia memang
telah dilatih oleh Oey Yok Su selama beberapa tahun untuk mendengarkan sumber
suara, dengan sendirinya ia juga secara spontan segera menggerakkan tangan
kanannya ke belakang,
“Buk!”
“Aduuuuhhh!” lalu disusul
dengan terlemparnya tubuh orang menyerang itu, tulang tangan kirinya patah
karena benturan keras dari tangan Kim Lo.
Untung saja Kim Lo masih kecil
ia hanya membuat tulang tangan orang itu patah. Coba jika Oey Yok Su yang
melakukannya, mungkin orang itu akan putus napas di saat itu juga. Getaran
tenaga tangkisan itu pasti akan membuat jantung orang itu terdengar dan
berhenti mendenyut.
Oey Yok Su tepat duduk di
tempatnya. Sama sekali ia tidak bergerak, malah menikmati terus makanan yang ada
di mejanya.
Ia sudah bisa menduga berapa
tinggi kepandaian tiga orang itu. Dan ia tahu Kim Lo tidak mungkin bisa
dicelakai tiga orang itu. Karenanya ia membiarkan Kim Lo untuk menghadapi
keadaan itu, untuk membiasakan anak ini berurusan dengan masyarakat, terutama
sekali berurusan mengatasi persoalannya.
Tapi memang pada dasarnya Kim
Lo tidak berpengalaman, dan baru pertama kali ini keluar dari pulau Tho-hoa-to,
ia masih polos dan jujur. Karenanya melihat lawannya pada meringis kesakitan,
ia jadi kasihan dan heran.
Sedangkan tangkisannya dan
tendangannya yang hebat, dilakukan karena dari tahun ke tahun terbiasa berlatih
diri belaka dan ia belum mengerti akan kehebatan setiap jurus yang
dipelajarinya dari Oey Yok Su. Sedangkan diwaktu itu juga terlihat mencabut
pedangnya, rupanya ia kaget melihat temannya terlontar oleb tangkisan Kim Lo
dan sekarang justeru ia telah mencabut pedangnya untuk menikam pada Kim Lo.
“Setan cilik, kau harus
mampus!” mendesis orang itu. Dan cepat sekali menikam Kim Lo.
Kim Lo kaget melihat
berkeredepannya sinar pedang itu, yang tampaknya sangat tajam.
“Hei, hei…… tunggu dulu!”
teriak Kim Lo kaget.
Tapi lawannya meneruskan
tikamannya, malah tambah cepat. Waktu mata pedang hampir sampai di dada Kim Lo,
diwaktu itulah gesit bukan main tubuh Kim Lo berkelit karena dia memang biasa
berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Oey Yok Su, walaupun dia tidak tahu
bagaimana harus berkelit, namun tangan dan kakinya telah bergerak sendirinya di
luar keinginannya untuk menghindarkan diri dari tikaman itu.
Pedang melesat lewat disamping
iga Kim Lo, dan waktu itu dengan gerakan seketika karena reflek, Kim Lo telah
menghantam ke mata orang itu dengan dorongan telapak tangan.
“Ploookkk!”
Orang itu seketika jadi
berkunang-kunang pandangannya, tubuhnya terhuyung. Belum lagi ia mengetahui
keadaan, Kim Lo mempergunakan kaki kanannya menginjak ujung pedang orang itu,
menekannya sampai ujung pedang menempel pada tanah, dan injakan Kim Lo keras
sekali. Dengan teknik yang tepat meminjam kekuatan tenaga dengan injakan yang
perlahan, pedang lawan menjadi patah!
Orang itu melompat mundur
dengan muka pucat pias, dan mata masih berkunang-kunang, “Angin Keras!”
teriaknya. Dan waktu itulah tampak sesosok bayangan melesat, terdengar suara
“Bukk, bukkk!” tiga orang itu jatuh terbanting di tanah keras sekali.
Setelah rasa pusing mereka
berkurang mereka merangkak berdiri siap untuk memapaki. Tapi ketika melihat
sesosok tubuh berpakaian jubah hijau yang berdiri kaku di hadapan mereka,
dengan muka yang dingin dan jenggot yang sudah memutih, tubuh ketiga orang itu
menggigil.
“Oey locianpwe….?!” suara
mereka ini tergetar keras, muka mereka pucat pias, tubuh menggigil dan mata
terpentang lebar, mereka seperti melihat hantu di sore itu, mereka segera
berlutut mengangguk-anggukkan kepala,
“Ampuni kami……, ampuni
kami.......!”
“Hemmm, kalian minta diampuni?
Baik! Aku mengampuni kalian, tapi kalian harus meninggalkan tanda mata atas
kekurang ajaran kalian terhadap cucuku?!” kata Oey Yok Su dingin.
Muka ke tiga orang itu tambah
pias, tubuhnya tambah menggigil.
“Oey locianpwe......!”
“Baik! Kalian tidak bersedia
memberikan tanda mata kepadaku?” tanya Oey Yok Su. Dingin sekali suaranya.
Tiga orang itu tambah
ketakutan, mereka saling pandang sejenak, dan kemudian mereka mengambil senjata
masing-masing, yaitu pedang mereka, sinar berkilauan berkelebat, dan tampak
tiga potong tangan telah jatuh menggeletak di tanah. Ternyata tiga orang itu
telah memotong tangan kiri masing-masing sebatas siku.
Kemudian dengan meringis
menahan sakit mereka memasukan pedang sedangkan pedang yang seorang, yang telah
buntung, di buang kembali. Mereka membungkukan tubuh dengan luka di tangan kiri
masih mengalirkan darah. Memberi hormat sambil berkata: “Kami mohon mengundurkan
diri!”
“Tunggu dulu!” kata Oey Yoy Su
dingin. “Jelaskah soal orang itu. Tentu kalian yang telah menyiksanya sampai ia
menemui ajalnya!”
Berkata begitu Oey Yok Su
menunjuk kepada sosok tubuh yang menggeletak di lantai rumah makan dalam
keadaan tidak bernapas itu.
Semua orang yang menyaksikan
jadi menggigil takjub, betapa tiga orang itu rela memotong membuntungkan tangan
kiri mereka. Dan seketika mereka menduga betapa hebatnya Oey Yok Su ini, pasti
kakek tua dengan baju hijau itu merupakan tokoh sakti rimba persilatan.
Tubuh tiga orang itu kembali
menggigil.
“Dia…… dia bekerja untuk orang
Mongol, kami….. kami membinasakannya karena dia seorang penghianat!” Menyahuti
Lo-jie akhirnya dengan suara tergetar.
“Hemm, benarkah itu?” tanya
Oey Yok Su dingin, muka tokoh persilatan yang menjadi majikan pulau Tho-hoa-to
ini tampak dingin sekali “Apa yang dilakukannya?”
Tiga orang itu tambah
ragu-ragu, akhirnya telah saling pandang sejenak lamanya.
“Apakah kalian tuli?” Bentak
Oey Yok Su bengis suaranya, tubuh tiga orang itu menggigil lagi.
“Sesungguhnya…… sesungguhnya
orang itu bekerja untuk Kublai........ ingin mencuri Giok sie…….!” menyahuti
salah seorang di antara ke tiga orang itu
“Apa? Giok-sie?” Oey Yok Su
mementang matanya lebar-lebar.
Tiga orang itu mengangguk.
“Ya…… Giok-sie telah jatuh di
tangan pimpinan kami, orang ini bersama kawan-kawannya hendak merampas!”
Menjelaskan Lo-jie pada akhirnya.
“Hemm, benarkah Giok-sie telah
terangkat dari dalam laut di Gay-bun?” tanya Oey Yok Su seakan tak percaya.
“Kami mana berani main-main di
depan Oey locianpwe?” menyahuti tiga orang itu, “Kami….. kami ingin pamitan
dulu, kami, harus memberikan laporan kepada pemimpin kami. Harap Oey Locianpwe
maafkan.”
“Tunggu dulu!” Dingin suara
Oey Yok Su. “Kalian dari perkumpulan mana?”
“Kami….. kami dari
Kim-giok-pang (Kumala Emas)...!” kata Lo-jie ragu-ragu.
“Ohhh, Kim-giok-pang tentunya
kalian adalah anak buah Pangcu-sam?”
“Be…… benar!”
“Baiklah. Menggelindinglah
kalian. Katakan pada Sam Tok bahwa aku akan berkunjung di dalam waktu dekat,
untuk melihat Giok-sie,” Kata Oey Yok Su dingin.
“Oey Locianpwe……” tiga orang
itu jadi kaget, muka mereka tetap pucat pias.
Oey Yok Su mengibas tangannya.
“Tidak cepat-cepat
menggelinding pergi apakah kalian memang hendak aku ini meminta tanda mata
lagi?” katanya.
Tidak berayal pula tiga orang
itu membungkuk memberi hormat pada Oey Yok Su kemudian mengambil tangan mereka
yang menggeletak di tanah, lalu berlari tanpa berani menoleh ke belakang.
Oey Yok Su menghela napas. Kim
Lo yang telah berdiri disampingnya diusap-usap pundaknya.
Hati Oey Yok Su tergerak, ia
telah mendengar munculnya Giok-sie. Inilah hebat, Giok-sie adalah cap kerajaan,
dan cap kerajaan yang selama ini telah lenyap sekarang kabarnya telah muncul.
Dan berada di tangan Pangcu Sam Tok dari Kim-giok-pang.
Inilah berita yang benar-benar
tak pernah disangka-sangkanya. Dan Oey Yok Su di waktu itu telah berobah
rencananya untuk berbelanja ia menunda maksudnya untuk membeli kebutuhan
makanan dan barang-barang yang semula ingin dibelinya sore itu, agar besok pagi
bisa kembali ke Tho-hoa-to. Dia memutuskan untuk menyelidiki dulu tentang
Giok-sie cap kerajaan, yang menurut keterangan tiga orang itu telah berada di
tangan Pang-cu Kim-giok-pang yaitu Sam Tok.
Memang belakangan ini banyak
muncul pintu perguruan dan perkumpulan. Sejak kerajaan Song Selatan dimusnahkan
Kublai, maka banyak bekas pecinta bangsa dan para pendekar yang semula
mati-matian berjuang untuk menghadapi Kublai, ternyata akhirnya hidup
terpencar-pencar. Dan mereka membuka pintu perguruan atau mendirikan
perkumpulan.
Hal itu untuk memperkuat diri,
menjaga kemungkinan kalau saja kerajaan yang baru itu, yaitu Tay Goan akan
melakukan pengejaran terhadap diri mereka. Dengan didirikan perkumpulan, jelas
mereka memiliki banyak anak buah yang bisa dipergunakannya menghadapi para
pahlawan Kublai.
Telah sepuluh tahun Oey Yok Su
tidak mencampuri urusan politik maupun Kang-ouw sejak ia bersama Yo Ko.
Kay-pang maupun para pendekar lainnya gagal untuk menghadapi Kaisar Goan-sie
Couw atau Kublai itu ia lebih banyak mencurahkan semua perhatiannya pada Kim
Lo, cucunya itu. Dan memang ia tidak pernah pula ingin melibatkan diri dengan
masalah-masalah yang menyangkut dengan kerajaan.
Tapi tentang Giok-sie justeru
merupakan persoalan yang lain, dimana Giok-sie, merupakan mustika yang sangat
berharga sekali. Dan jika bisa memperoleh Giok-sie, berarti Oey Yok Su bisa
menyerahkan kepada seorang pendekar yang gagah perkasa memang ingin berjuang
untuk memusnahkan kerajaan penjajah Tay Goan, mengerahkan rakyat dengan
mengandalkan Giok-sie. Karena itu, dalam waktu yang singkat Oey Yok Su telah mengambil
keputusan.
“Kong-kong, mengapa
orang-orang itu jahat sekali, tahu-tahu telah menyerangku?” tanya Kim Lo
menyadarkan Oey Yok Su dari termenungnya.
“Sudahlah, mereka
manusia-manusia jahat yang memang perlu dihajar. Jika kau lebih rajin belajar
ilmu silat yang kuajarkan, tentu dengan mudah kau bisa merubuhkan mereka, tanpa
perlu dijambak atau dilontarkan seperti tadi.
“Ingatlah Kim Lo, kau belum
lagi memiliki kepandaian yang berarti, kelak kau harus belajar dengan rajin,
karena kalau sudah dewasa dan berkelana di masyarakat, maka kepandaian yang
tinggi diperlukan sekali!”
Baru saja Oey Yok Su berkata
sampai di situ tiba-tiba ia melihat serombongan polisi bergegas menuju ke
sebuah rumah. Jumlah hamba negara yang terdiri dari bangsa Boan maupun bangsa
Han yang menjual diri mereka bekerja pada pemerintah penjajah itu mengeluarkan
suara yang berisik, galak sekali, membentak-bentak penduduk, yang ada di jalan
itu agar menyingkir membuka jalan. Dan semua penduluk yang ketakutan menyingkir
ke pinggir segera juga berbisik-bisik.
Kim Lo mau menanyakan sesuatu,
tapi Oey Yok Su telah menarik tangannya menyingkir ke pinggir, menggabungkan
diri dengan orang-orang lainnya, mereka melihat polisi itu memasuki sebuah
rumah yang terpisah, tidak terlalu jauh dari rumah makan itu.
Oey Yok Su kemudian mengajak
Kim Lo mengambil jalan berputar, ia menuju belakang rumah itu. Dengan ringan
tubuhnya melesat ke atas genting dengan mengempit Kim Lo. Lalu menempatkan diri
di para-para untuk melihat apa yang ingin dilakukan rombongan polisi.
Kim Lo yang sejak tadi berdiam
diri dan terheran-heran, akhirnya tidak bisa menahan diri ia bertanya.
“Kong-kong…... apa yang ingin kita lakukan?”
“Sttt…… kita lihat apa yang
mereka ingin lakukan!” Bisik Oey Yok Su.
Tapi begitu Oey Yok Su
menunduk, hatinya terkejut. Ia melihat belasan sosok mayat menggeletak di lantai,
dalam keadaan luka parah tubuh mereka rusak. Ada yang mukanya hancur dicacah
oleh senjata tajam.
Dan mereka semua menemui
kematian dengan keadaan yang mengenaskan sekali. Banyak yang tangan maupun
kakinya tidak utuh lagi. Rombongan polisi itu yang memasuki rumah tersebut
menimbulkan suara yang berisik.
“Penjahatnya tentu telah
melarikan diri.” Menggumam salah seorang polisi berbangsa Boan.
Dan memeriksa di ruangan
lainnya Oey Yok Su mengawasi. Ternyata terdapat beberapa sosok mayat lagi yang
menggeletak di ruang itu.
Demikian juga di bagian lain
dari gedung tersebut. Ternyata, seluruh penghuni rumah itu telah di sapu bersih
dibinasakan dengan cara yang kejam. Jumlahnya semua demikian banyak.
“Tidak ada satupun yang lolos
dari kematian!” salah seorang polisi yang rupanya jadi pemimpin rombongan
tersebut, setelah memeriksa seluruh rumah itu. “Jumlahnya empatpuluh tiga jiwa,
tua muda kecil besar, laki-laki perempuan bahkan anjing dan ayampun tidak
diberikan kesempatan hidup, semua telah di sapu bersih…….!”
Menggidik Kim Lo melihat
mayat-mayat yang malang melintang dengan keadaan yang mengenaskan. Dia ingin
bertanya sesuatu, tapi Oey Yok Su telah menutup mulutnya dengan tangannya,
karena Oey Yok Su mencegah Kim Lo bicara. Jika Kim Lo bicara, tentu polisi di
bawah itu akan mengetahui kehadiran mereka.
Di antara polisi-polisi itu
tampaknya ada beberapa orang yang mengerti ilmu silat lumayan.
“Entah siapa yang
melakukannya! Sayang, laporan yang sampai terlambat, tentu penjahatnya telah
melarikan diri…….!” kata polisi yang lainnya.
Demikianlah rombongan polisi
jadi sibuk memeriksa keadaan di sekitar rumah itu, dan di antara mereka
mempergunakan kesempatan itu untuk mengantongi barang-barang permata dan
perhiasan. Lewat beberapa saat lamanya, rombongan polisi itu menggagalkan rumah
gedung itu.
Oey Yok Su menanti sesaat
lamanya lagi barulah kemudian ia mengajak Kim Lo melompat turun untuk memeriksa
keadaan di tempat itu. Pintu rumah itu telah disegel oleh rombongan polisi itu,
sehingga hanya di luar saja terdengar orang-orang yang ribut membicarakan
peristiwa berdarah itu.
Banyak mayat laki-laki tua dan
muda yang menggeletak tidak bernapas dan dalam keadaan rusak. Demikian juga
para wanita, sampai ada gadis kecil berusia tujuh tahun menggeletak dengan
tubuh yang tidak utuh. Mengerikan sekali.
Melihat sekilas, Oey Yok Su
sudah bisa menerka, tentu rumah ini telah diserbu oleh serombongan orang yang
memiliki kepandaian tinggi dan membabat keluarga tersebut tua muda, besar
kecil, tidak seorang diberi kesempatan hidup.
Dilihat dari pakaian
mayat-mayat itu, mereka tampaknya dari keluarga bangsawan. Ada pelayan, ada
yang berpakaian mewah dan ada juga yang berpakaian sebagai busu atau ahli silat
yang mungkin bekerja sebagai tukang pukul keluarga tersebut. Namun mereka
semuanya mati dengan muka yang hancur dan tubuh tidak utuh.
Oey Yok Su adalah seorang yang
ku-koay dan telah banyak sekali peristiwa menyeramkan dan mengerikau
ditemuinya. Ia pun memiliki adat yang aneh disamping telengas. Namun
menyaksikan peristiwa ini, tidak urung hatinya ngiris juga.
Dulu, ia pernah menghukum
murid-muridnya yang semuanya dipatahkan kakinya dibikin bercacad. Juga seluruh
pelayan di Tho-hoa-to adalah manusia-manusia dari kalangan penjahat yang
ditangkap dan dibawa kepulaunya, kemudian lidah mereka dipotong agar mereka tidak
bisa bicara. Membunuh buat Oey Yok Su sama saja seperti melemparkan baju atau
sepatunya dikala ia hendak beristirahat.
Tapi justeru menyaksikan
puluhan jiwa yang mati dalam waktu yang singkat itu, juga dengan keadaannya
yang tidak utuh dan muka hancur dibinasakan dengan ngiris, Oey Yok menghela
napas.
“Tentu di pihak Kim-giok-pang
yang melakukan semua ini!” diam-diam Oey Yok Su berpikir. “Hemmm, tapi apa
hubungannya keluarga pembesar ini dengan Kim-giok-pang, lalu ada hubungan apa
dengan Giok-sie.”
Oey Yok Su berpikir seperti
itu, karena ia teringat kepada orang yang terluka hebat menerobos masuk ke
dalam rumah makan dan akhirnya rubuh binasa.
“Mungkin juga orang itu ialah
seorang dari keluarga ini yang telah berhasil melarikan diri untuk memberi laporan.
Cuma saja dia keburu mati. Dan tiga orang yang mengejarnya adalah tiga orang
anak buah dari Kim-giok-pang, disebabkan itulah Oey Yok Su memiliki kesimpulan
bahwa yang telah turunkan tenaga demikian mengerikan membabat habis satu
keluarga dilakukan oleh perkumpulan Kim-giok-pang.”
Kim Lo berlari ke sana ke mari
untuk melihat apa yang ada di rumah itu. Mayat-mayat yang malang melintang
diawasi dengan mata yang bersinar tajam. Dalam usia sekecil itu Kim Lo harus
menyaksikan pemandangan hebat seperti itu.
Dan Oey Yok Su akhirnya
mengajak anak itu untuk berlalu, sama seperti datangnya tadi, ia mengambil
jalan di atas genting, mengandalkan gin-kangnya yang mahir, sehingga tidak ada
seorangpun yang melihat apa yang dilakukan Oey Yok Su. Malah Oey Yok Su mengajak
Kim Lo untuk mencari rumah penginapan. Hari sudah malam dan gelap.
Tapi, diluar tahu Oey Yok Su,
setelah ia mengajak Kim Lo berlalu kira-kira sepemasangan satu bantang hio,
tiba-tiba dari luar berkelebat sesosok bayangan yang gesit sekali melewati tembok
gedung terjadinya pembantaian manusia tersebut.
Sosok tubuh itu ke ruang
tengah, ia berdiri sejenak kemudian menangis terisak-isak. Tubuhnya menggigil.
Kemudian ia berlari ke ruang lainnya. Ia memeriksa keadaan di situ. Seperti
juga ada yang tengah dicarinya. Sampai akhirnya ia menubruk sesosok mayat dan
menangis terisak-isak keras sekali.
Lama sosok tubuh yang
berpakaian Ya-heng-ie atau peranti jalan malam yang berwarna hitam itu dan
singsat, mendekam memeluki mayat itu sambil menangis, barulah akhirnya ia bisa
menguasai dirinya. Dengan suara dalam tapi perlahan, mengandung kemurkaan yang
sangat, ia seperti bersumpah:
“Ayah…… walaupun bagaimana
sakit hati ini harus dibayar lunas…… harus di bayar lunas…… seluruhnya
empatpuluh tiga jiwa dan anak akan mencari musuh-musuh yang telah menurunkan
tangan kejam ini!”
Setelah berkata begitu,
kembali ia menangis. Orang itu tidak lain seorang pemuda berusia duapuluh tiga
atau duapuluh empat tahun. Tubuhnya langsing tapi dari kelincahan, yang
dimilikinya memperlihatkan pemuda ini memiliki gin-kang yang terlatih mahir.
Dan ia menangisi sosok mayat yang berpakaian sebagai busu.
Ia memang putera dari busu
itu, yang menggeletak dengan wajah remuk dan tangan kanan yang terpotong tiga.
Di kala itu, pemuda ini, telah bersunpah berulang kali. Barulah ia menyusut air
matanya, ia sambil mengangkat sosok mayat busu itu. Ia bermaksud meninggalkan
gedung itu.
Siapakah pemuda itu? Lalu
siapakah busu yang menjadi ayah pemuda tersebut, yang ikut terbinasa di dalam
keluarga itu?
Ternyata busu itu she Bun
bernama Lay San. Ia seorang ahli silat dari pintu perguruan Thay-kek-pay,
kepandaiannya menggetarkan tembok besar di lima propinsi, senjata andalannya
ialah sepasang ruyung. Justeru Bun Lay San bekerja sebagai pengawal pribadi
dari pembesar pemilik gedung itu, yaitu seorang Boan-ciu yang berpangkat
Cie-khoa, pengawas kota.
Nama pembesar itu
Ngo-herlang-khan dan ia malam kemarin justeru telah memberitahukan pada Bun Lay
San agar bersiap-siap dengan anak buahnya untuk mengadakan penjagaan yang ketat
di gedungnya. Karena tidak diketahui waktunya dengan pasti, gedung pembesar
Boan itu akan diserbu penjahat, dan ia telah menerima surat ancaman itu.
Tapi tidak di sangka-sangka
justeru “penjahat” yang menyatroni gedung pembesar itu berjumlah banyak dan
memiliki kepandaian yang tinggi. Mereka membabat habis keluarga
Ngo-erlang-khan, bahkan pelayan, busu maupun pengawal keluarga Ngo-erlang-khan
telah dibabat habis. Binatang peliharaan, seperti ayam dan anjing, juga tidak
diberi kesempatan hidup.
Mati-matian Bun Lay San
memberikan perlawanan untuk membela majikannya, akan tetapi dia terbinasa
dengan cara yang mengenaskan itu. Dan justeru puteranya, yang bernama Bun Hong,
mendengar peristiwa yang terjadi di gedung Ngo-erlang-khan, tempat ayahnya
bekerja cepat-cepat pergi ke sana. Kebetulan waktu itu di dalam gedung ada
belasan orang polisi yang tengah mengadakan pemeriksaan, menyebabkan Bun Hong
harus menanti dengan sabar.
Setelah langit menjadi gelap
dan rumah itu telah disegel barulah ia memasuki gedung itu dengan mengandalkan
gin-kangnya. Mencari mayat ayahnya.
Pemuda itu membawa mayat
ayahnya keluar dari gedung itu. Cuma saja, baru saja Bun Hong menancapkan kaki
di tanah di luar tembok gedung tersebut, empat sosok bayangan bekelebat gesit,
tahu-tahu telah menggurung Bun Hong apa lagi sekilas ia melihat gerakan
orang-orang itu yang sangat lincah jelas mereka memiliki kepandaian yang tidak
rendah.
“Bangsat kecil, rupanya kau
termasuk salah seorang pembunuhnya!” teriak salah seorang pengepungnya.
“Tangkap!”
Bun Hong dapat melihat jelas
sekarang orang-orang yapg mengepungnya berpakaian sebagai alat negara dan ia
tambah kaget. Dengan demikian ia bisa dicurigai dan ditangkap polisi-polisi
negara tersebut. Segera juga Bun Hong menjejak kakinya, dengan mengempit mayat
ayahnya, ia bermaksud melarikan diri.
Tapi waktu tubuhnya melayang
di tengah udara, tiba-tiba terdengar suara bentakan: “Anak haram jadah, mau
kemana kau?”
Menyusul mana dari belakang
Bun Hong jadi berkesiuran angin yang sangat keras dan dingin, Bun Hong
menyadari itulah serangan senjata tajam.
Tanpa menahan geraknya, Bun
Hong mengerahkan tangan kanan menangkis dengan goloknya yang telah dicabutnya
waktu ia merasakan menyambarnya angin serangan itu.
“Trang!” Goloknya membentur
senjata lawan. Tapi Bun Hong kaget, ia merasakan telapak tangannya sakit,
goloknya terlempar ke samping dan terlepas dari cekalannya. Dan belum lagi ia
bisa menguasai diri di saat ke dua kakinya hinggap di tanah, ia merasakan
lengan kanannya sakit karena tertikam pedang, sampai kempitannya pada mayat
ayahnya terlepas. Mayat itu jatuh terbanting di tanah.
Tubuh Bun Hong terhuyung
mundur, ia bermaksud akan maju mengamuk tapi didengarnya “Hemmm, kau
menyerahlah dengan baik-baik!” Menyusul mana terasa pundak kirinya sakit
sekali, karena tertikam lagi oleh pedang lawan.
Mati-matian Bun Hong menyerang
dengan telapak tangannya, justeru ia menyerang, dia yang merasakan tangannya
sakit, tulang sikunya seperti hendak patah, dan tubuhnya terhuyung, malah jatuh
terjengkang. Muka Bun Hong kian pucat.
“Ringkus!” Ia mendengar orang
memberikan perintah.
Dan beberapa sosok tubuh telah
melompat ke dekatnya, untuk meringkusnya. Mereka berpakaian seragam sebagai
tentara kerajaan dan polisi negara. Rupanya memang di depan gedung dari
keluarga Ngo-erlang-khan yang telah dibinasakan penjahat sekeluarga itu dijaga
ketat sekali oleh pihak kepolisian.
Dan mereka memang melihat Bun
Hong melompat masuk ke dalam rumah itu, mereka sengaja tidak bergerak dulu,
menantikan Bun Hong telah keluar dari gedung Ngo-erlang-khan barulah mereka
bekerja untuk membekuknya.
Bun Hong mengeluh, tapi ia tak
berdaya. Tubuhnya kena diringkus.
Pemimpin rombongan polisi itu
seorang Boan berusia empatpuluh dua tahun. Matanya tajam, mulutnya kecil lancip
seperti patuk burung, hidungnya pesek mekar ke samping, dan juga sikapnya
bengis sekali, ia tertawa dingin.
“Mana teman-temanmu yang
lainnya?” bentak pemimpin polisi itu.
“Aku….. aku putera Bun Lay San
yang menjadi busu di keluarga Ngo-erlang-khan Tayjin…… aku datang hanya ingin
mengambil mayat ayahku, untuk menguburnya dengan layak!” Bun Hong berusaha menjelaskan.
“Plokk!” muka Bug Hong di
tempiling. “Kau jangan berdusta. Cepat beritahukan di mana bersembunyi
kawan-kawanmu yang lainnya?”
“Aku....... aku telah bicara
dari hal sebenarnya……, aku malah ingin mencari penjahat-penjahat itu untuk
membalas sakit hati ayahku! Jika Tayjin tidak percaya silahkan ikut denganku,
untuk pergi ke rumahku, boleh tanyakan pada tetanggaku di sana!”
Pemimpin polisi itu ragu-ragu,
akhirnya ia tertawa dingin menoleh pada salah seorang anak buahnya,
perintahnya: “Angkatlah dia ke kantor, nanti kita periksa lagi!” sambil berkata
begitu, tangan kanannya dikibaskan sebagai isyarat untuk menggusur Bun Hong.
Kaget bukan main hati Bun Hong
melihat polisi itu tidak mempercayainya, diapun penasaran sekali ingin digusur
ke kantor polisi. Jika sampai di sana, habislah dayanya dan dia akan disiksa
habis-habisan, untuk memberikan pengakuan yang palsu, karena biarpun dia tidak
melakukan kejahatan apapun, namun jika disiksa hebat, terpaksa dia akan
mengakui apa saja.
Sekuat tenaganya Bun Hong
berusaha meronta, tapi empat orang polisi, yang meringkusnya kuat sekali. Bun
Hong tidak berhasil. Dia berteriak-teriak:
“Penasaran! Penasaran!
Lepaskan aku tidak bersalah! Ayahku justeru telah dibunuh penjahat........
mengapa aku yang dituduh melakukan kejahatan?”
“Gusur dia!” bentak pemimpin
polisi itu bengis.
Empat orang anak buah segera
juga menggusurnya dengan kasar. Namun menyeret belum terlalu jauh, mendadak
berkelebat sesosok bayangan seperti juga sinar hijau belaka, dan terdengar
jeritan kesakitan dari empat orang polisi yang ingin menggusur Bun Hong.
Cekalan mereka pada Bun Hong terlepas, sebab dia terpelanting semuanya.
Malah Bun Hong yang tertegun
di waktu menyaksikan kejadian ini mendengar bisikan perlahan: “Tidak cepat lari
apakah menunggu mati?”
Bun Hong tersadar, cepat-cepat
ia berlari meninggalkan tempat itu untuk mengambil mayat ayahnya. Ia kuatir
tidak keburu, maka ia berlari sekuat tenaganya. Dalam keadaan seperti Bun Hong
bisa berlari lebih cepat dari biasanya, dalam waktu singkat ia telah berlari
belasan lie, malah ia menuju ke pinggiran kota.
Setelah berlari sekian lamanya
lagi. Bun Hong menoleh ke belakang. Tidak ada yang mengejar. Juga, tidak
melihat orang yang menolonginya. Bun Hong jadi heran, entah siapa orang sakti
yang telah menolonginya itu, yang tampaknya sangat lihay sekali. Gerakannya
yang begitu cepat membuat orang tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Bun Hong menjatuhkan diri dan
menangis terisak-isak.
“Kau menangis seperti bocah
cilik di situ, apakah menunggu sampai polisi-polisi itu datang lagi untuk
menangkapmu?” Tiba-tiba ia mendengar orang menegurnya.
Kaget bukan main Bun Hong, ia
menyusut air matanya mengangkat kepalanya mengawasi sekelilingnya. Suara tuan
penolongnya, tapi di sekitarnya tidak terlihat seorang manusiapun juga.
Cepat-cepat Bun Hong
menjatuhkan diri berlutut untuk menyatakan terima kasihnya: “Terima kasih atas
pertolongan in-kong!”
“Ohh, bocah, kau benar-benar
cari penyakit. Lihatlah tidak lama lagi rombongan polisi itu datang mengejar
kemari dan kau akan ditangkap pula!”
Bun Hong kaget, ia memandang
sekelilingnya, tetap saja penolongnya tidak terlihat. Malah yang membuat ia
kaget adalah dikejauhan ia melihat beberapa sosok tubuh yang berlari-lari
mendatangi, ramai suara mereka yang didengarnya samar-samar. Itulah rombongan
polisi yang tengah mengejarnya, tanpa berpikir lagi Bun Hong melompat berdiri
dan berlari pula.
Sekarang Bun Hong tidak berani
berhenti berlari, dia mengerahkan seluruh kekuatannya, sampai akhirnya sepasang
kakinya lemas, habis tenaganya, ia terguling di tanah berumput, napasnya
memburu keras sekali.
“Bocah, kalau kau lemah
seperti itu, kau akan celaka di tangan kuku garuda itu.”
Terdengar olehnya suara
penolongnya lagi, kembali Bun Hong kaget bercampur kagum serta girang. Kaget
karena penolongnya selain seperti berada di dekatnya, berkata-kata seperti di
sampingnya, kata-katanya dapat didengar jelas namun ia tidak bisa melihat
penolongnya entah berada di mana.
Kagum karena tentunya
penolongnya itu seorang yang sakti. Girang karena ia yakin dengan penolongnya
selalu berada di dekatnya, tidak mungkin ia terjatuh lagi di tangan para polisi
yang ganas itu.
“In-kong…… maafkanlah, aku,
aku tidak kuat untuk berlari pula…..!” Mengeluh Bun Hong.
Dan memang ia berkata dari hal
sebenarnya. Ia tadi berlari dengan mengerahkan tenaga berlebihan, ia berlari
cukup jauh dan sangat meletihkan, napasnya juga memburu seakan juga ingin
tersendat berhenti, keringat membasahi sekujur tubuhnya, ia tidak memiliki
tenaga berlari lebih jauh.
“Hemm!” Cuma terdengar suara
mendengus seperti itu, kemudian Bun Hong merasakan tubuhnya jadi ringan
terangkat, dan melayang-layang, angin menyampok mukanya. Ia berusaha membuka
matanya untuk melihat orang yang mengempit dan membawanya berlari.
Tapi ia tidak bisa melihat
jelas. Angin menampar matanya sangat kuat, dan orang itu berlari sambil
mengempitnya cepat luar biasa, sehingga tidak bisa Bun Hong menyaksikan
penolongnya itu.
Dalam waktu sekejap mata saja
telah puluhan Bun Hong dilarikan penolongnya, dan tengah ia berdiam diri dengan
memejamkan matanya, ia merasakan angin yang menyampok mukanya lenyap,
menunjukkan orang itu telah berhenti berlari.
Baru saja ia ingin membuka
matanya, Bun Hong merasakan tubuhnya melayang, kemudian terbanting di lantai
dengan keras.
“Aduh!” menjerit kesakitan
pemuda itu. Dan ia membuka matanya.
Ia tidak melihat, seorang
manusiapun di tempat itu, sebuah ruangan dari kuil yang telah tidak terurus.
Dan sunyi sekali keadaan di tempat itu. Betapa cepatnya penolongnya
meninggalkannya hanya sekejap mata itu saja penolongnya telah lenyap.
“In-kong!” Panggil Bun Hong,
tapi tidak diperolehnya jawaban.
Beberapa kali Bun Hong
memanggil penolongnya, dengan maksud untuk mengucapkan terima kasih, tapi
keadaan di sekitar kuil tersebut sepi sekali. Bun Hong berdiri termenung
sejenak, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Teringat pada mayat ayahnya
yang tidak keburu dibawanya, air matanya telah menitik turun.
Akhirnya ia merebah dirinya di
bawah meja sembahyang yang tak terurus, tertidur karena terlalu letihnya. Entah
berapa lama Bun Hong tertidur, ketika ia merasakan tubuhnya sakit bukan main ia
membuka matanya pertama-tama yang dilihatnya adalah beberapa sosok tubuh berdiri
tegak di dekatnya. Justeru ia tengah tidur rebah terlentang, dan salah seorang
di dekatnya, berdiri tegak dengan kaki kanan menginjak dadanya.
Justeru Bun Hong merasakan
tubuhnya sakit-sakit karena injakan kaki orang itu. Dua orang lainnya memegangi
sepasang kakinya. Dua orang lagi memegangi, tangannya. Dengan demikian,
walaupun Bun Hong hendak meronta ia tidak berhasil. Ia hanya rebah dengan
kesakitan karena dadanya diinjak!
“Bocah, bukankah kau Bun Hong,
putera dari Bun Lay San, busu di gedung Ngo-erlang-khan?” bentak orang yang
menginjak dada Bun Hong dengan kakinya. Suaranya bengis, mukanya memancarkan
sifatnya yang kejam. Usia orang itu mungkin tigapuluh tahun lebih.
“Lepaskan……. lepaskan dulu
kakimu!” kata Bun Hong dengan napas yang sesak dan suaranya tidak lancar.
“Oho, begitu mudah kau meminta
aku membebaskan dirimu?!” Mengejek orang itu. “Ang Kwang tidak akan semudah itu
membiarkan orang yang terjatuh di tangannya untuk bersenang-senang!?”
Bukannya dia menarik dan
melepaskan injakan kakinya, justeru dia menekannya lebih kuat menginjak dada
Bun Hong, sekeras mungkin, malah terdengar suara “Krekk” entah ada tulang dada
Bun Hong yang patah atau tidak, dan pemuda itu kesakitan bukan main.
“Cepat bicara aku bertanya
kepadamu, apakah kau Bun Hong putera Bun Lay San.
“Be....... benar?” menyahuti
Bun Hong, “Ada, ada urusan apa kau menanyakan hal itu?” tanya Bun Hong kemudian
dangan suara tetap tergagap.
Walaupun dia murka, tapi ia
murka tanpa berdaya, karena tangan dan kakinya diinjak seperti itu, jangankan
untuk bangun sedangkan untuk bergerak saja tidak bisa. Dan dengan menahan sakit
yang hebat pada dadanya akibat injakan orang itu, ia meringis menggigit
bibirnya.
Ang Kwang, orang yang
menginjak dada Bun Hong kembali tertawa keras.
“Bagus! Sekarang kau
beritahukan kepadaku, dimana Giok-sie disimpan ayahmu?!” tanya Ang Kwang.
“Giok-sie?” tanya Bun Hong
seakan-akan keheranan dalam menahan sakit.
“Ya! Giok-sie! Ayo katakan,
dimana Giok-sie itu disembunyikan ayahmu!” Mengulangi Ang Kwang, suaranya
semakin bengis. “Jika kau tidak mau bicara sejujurnya memberitahukan dimana
beradanya Giok-sie, hem hemmm, jelas kau akan menerima perlakuan yang lebih
baik manis dari kami…....”
Setelah berkata begitu, tampak
Ang Kwang telah menginjak semakin kuat dan keras, terdengar suara “Krekk” lagi,
dan Bun Hong menjerit kesakitan.
“Hayo katakan di mana Giok-sie
disimpan ayahmu?” bentak Ang Kwang kemudian dengan sikap dan suara tetap
bengis.
“Aku…… aku tidak tahu!”
“Ngekk,” kembali Bun Hong
kesakitan bukan main, karena dadanya diinjak semakin keras oleh Ang Kwang.
“Bocah, kau jangan main-main
dengan kami, sekali kuperintahkan anak buahku, kepalamu itu akan berpisah dari
batang lehermu! Waktu itu walaupun kau menyesal tentu sudah terlambat?”
“Tapi….... sesungguhnya memang
aku….. aku tidak mengetahui....... Lalu……. tentang Giok-sie, kudengar, justeru
ayah memang hendak mencarinya. Tapi aku....... aku belum pernah mengetahui
bahwa ayah telah memperoleh Giok-sie…....
“Sampai kemaren dulu ayahku
masih bilang jika saja Giok-sie bisa memperolehnya niscaya akan mengangkat
derajat keluarga kami, jasanya itu tidak kecil, ia akan memperoleh pangkat yang
tidak rendah....... sedikitnya sebagai raja muda! Aduh.......! Aduh!”
Bun Hong teraduh-aduh seperti
itu karena Ang Kwang menginjak dadanya semakin kuat, membuat ia kesakitan luar
biasa. Ia berusaha meronta karena terlalu kesakitan, namun tidak berhasil. Dia
mengeluh dan merintih, bibirnya digigit sampai terluka mengeluarkan darah,
karena terlalu keras menggigitnya.
Ang Kwang mengeluarkan tertawa
yang tidak sedap untuk telinga, ia memang sengaja menginjak semakin keras dan
kuat, sehingga dua kali terdengar suara “krekk!” dan benar benar Bun Hong dalam
keadaan setengah sadar dan kesakitan yang sangat. Keringat dingin menahan sakit
juga telah membasahi sekujur tubuhnya!
Bibirnya yang gemetar telah
berucap perlahan: “In-kong! In-kong........!” ia mengharapkan benar
penolongannya yang tadi muncul kembali untuk menolongnya.
Cuma saja harapan Bun Hong
merupakan harapan yang nihil dan kosong. Tuan penolongnya tidak juga muncul,
sedangkan Ang Kwang menyiksanya semakin ganas, menyebabkan ia kesakitan tidak
kira-kira sampai rasanya ia ingin mati saja.
Di waktu itu terlihat Ang
Kwang menyuruh salah seorang anak buahnya menjambak rambut Bun Hong, kepala
pemuda itu ditengadahkan ke atas, bentaknya: “Sekarang katakan. Dimana adanya
Giok-sie itu, dan disimpan di mana oleh ayahmu?”
“Aduh....... aduh.......
aku....... aku…… sungguh tidak mengetahuinya.......!” Mengeluh Bun Hong!
“Hemmm, sekali menebaskan
pedangku batang lehermu itu akan putus! Apakah engkau tidak sayang pada jiwamu
yang masih demikian muda belia?” mengejek Ang Kwang.
“Kalau….. kalau memang aku
mengetahui di mana Giok-sie itu disimpan oleh ayah tentu akan
memberitahukannya!” kata Bun Hong kemudian. “Tapi memang sesungguhnya aku tidak
mengetahuinya, aku bicara dari hati yang sebenar-benarnya. Sesungguhnya aku
tidak tahu menahu tentang Giok-sie!”
“Baik!” bentak Ang Kwang dengan
muka yang bengis. “Rupanya jika belum memperoleh yang mengaysikkan, kau tidak
mau bicara dengan jelas dan terang. Nah, kalian tariklah tubuhnya!”
Setelah berkata begitu Ang
Kwang melepaskan injakan kakinya pada dada Bun Hong, malah dia mundur berapa
langkah ke belakang, dan juga telah mengawasi dengan bibir merah tersenyum
sinis mengandung ejekan.
Empat orang anak buahnya yang
masing-masing memegang tangan dan kaki Bun Hong tiba-tiba sambil membentak
bengis mereka serentak menarik tangan dan kaki Bun Hong pada arah yang
berlawanan.
Bun Hong menjerit kesakitan
dan kalap sekali berusaha meronta. Maju lagi empat orang dan mereka jadi
berdelapan memegangi sepasang tangan dan kaki Bun Hong. Mereka membentak lagi,
serentak telah menarik tangan dan kaki Bun Hong pada arah yang berlawanan.
Karuan saja Bun Hong menjerit sejadi-jadinya karena ia kesakitan sekali
tubuhnya seakan juga hendak dibeset seperti itu.
Ang Kwang tertawa mengejek.
“Jika memang kau tidak mau
bicara, hemm, sekali kuperintahkan, tubuhmu akan robek-robek dibeset mereka!”
Itulah kata Ang Kwang dengan ancaman yang akan dibuktikannya jika saja Bun Hong
tidak mau menuruti perintahnya.
Bun Hong putus asa. Dia
merasakan selangkangannya sakit bukan main sebab sepasang kakinya telah ditarik
ke arah yang berlawanan. Demikian juga halnya dengan ketiaknya yang sakit
sekali, akibat tangannya yang ditarik oleh masing-masing dua orang itu.
“Aku….. aku akan bicara…….!”
kata Bun Hong akhirnya dengan suara terputus-putus.
Tarikan delapan orang itu
mengendor dan berkurang rasa sakitnya. Dengan takut dan juga murka, Bun Hong
berkata terputus-putus, “Sebenarnya….. sebenarnya Giok-sie berada….. berada........!”
Dan Bun Hong tidak meneruskan kata-katanya lagi.
“Berada di mana?” Bola mata
Ang Kwang terbuka lebar-lebar. “Cepat katakan!”
Pikiran Bun Hong berputar
dengan segera ia mengetahui Ang Kwang dan kawan-kawannya itu merupakan manusia
yang sanggup melakukan apa pun juga. Karena itu Bun Hong tidak mau mati di
tangan mereka. Ia jawab yang sekiranya bisa mempengaruhi mereka.
“Di mana! Cepat katakan, di
mana Giok-sie itu? Mengapa kau kini berobah seperti si gagu yang tidak bisa
bicara?”
“Sebetulnya Giok-sie berada di
sebuah tempat yang sangat dirahasiakan sekali oleh ayahku…… cuma aku yang
mengetahuinya!” kata Bun Hong pada akhirnya.
“Cepat beritahukan kepada kami
dan kau akan kami bebaskan! Aku Ang Kwang akan menyebutkan dua untuk bilangan
satu, dan sekali bicara satu tidak mungkin akan menjadi dua! Kau akan kami
bebaskan, juga akan kuberikan seribu tail emas....... ayo katakanlah!”
Tampaknya Ang Kwang tidak
sabar, dan iapun ingin sekali cepat-cepat mengetahui di mana disimpannya
Giok-sie. Hati Bun Hong tergerak, dia berusaha menenangkan hatinya, baru
kemudian katanya dengan suara yang masih terbata-bata:
“Sebenarnya…... sebenarnya
Giok-sie disimpan ayahku, di sebuah kuil kecil di luar kota Put-ciu……”
“Di sebuah kuil kecil?” tanya
Ang Kwang sambil membuka matanya lebar-lebar. “Benar kah itu? Apakah kuil itu
Put-liong-sie? Am-sie-sie? Atau kuil Biat-cong-sie?”
“Aku…… akan mengantarkan
kalian dan menunjukkan kuil itu, juga bagian dari kuil itu yang dipergunakan
buat menyimpan Giok-sie,” kata Bun Hong kemudian.
Ang Kwang tampak ragu-ragu,
namun akhirnya mengangguk.
“Baiklah! Jika memang kau
baik-baik menunjukan pada kami Giok-sie itu, niscaya kau akan kami berikan
hadiah yang jauh lebih besar, tapi ingat, sekali-sekali kau jangan bermimpi
untuk main gila dengan kami, hemm, walaupun kau memiliki sepuluh jiwa, tentu
kau tidak akan lolos dari kematian!” Waktu berkata begitu, wajah Ang Kwang,
maupun suaranya terdengar sangat menyeramkan.
Setelah itu, dia
mengisyaratkan pada anak buahnya, agar membebaskan Bun Hong.
Pemuda she Bun tersebut
merangkak bangun dengan merayap sulit sekali, dan ia melihatnya betapapun juga
memang ia sangat sulit untuk bisa berdiri dengan baik, tubuhnya bergoyang-goyang
karena seakan juga ingin rubuh akibat sudah tidak memiliki tenaga,
selangkangannya masih sakit, juga ketiaknya. Dan ia merasakan sepasang kakinya
lemas tidak bertenaga.
“Dari tempat ini….. dari
tempat ini ke kuil itu masih cukup jauh!” Kata Bun Hong. “Aku....... aku ingin
beristirahat dulu.”
“Jangan! Atau memang sengaja
kau berayal kami tidak akan mengampuni kau lagi!”
Bun Hong terpaksa melangkah
juga satu-satu dengan menahan sakit pada selangkangannya.
Sambil melangkah ia berpikir
keras kalau memang dia membawa orang-orangnya Ang Kwang ke kota Put-ciu,
berarti ia akan bertemu dengan para tentara kerajaan atau polisi negara. Jika
dirinya terlihat oleh para hamba negara, niscaya dia akan ditangkap lagi.
Teringat akan itu, segera juga Bun Hong menoleh kepada Ang Kwang, ia
mengemukakan kekuatirannya itu.
“Hemmm, kami bisa melindungi
kau! Jangan kuatir, gentong nasi itu semuanya tidak punya guna. Kami akan
membabat habis mereka kalau saja berani menghalangi dan mengganggu dirimu……!”
Bun Hong tahu, itulah
kata-kata dari bicara besar, belum tentu Ang Kwang bisa dan sanggup menghadapi
para polisi jika kelak memang mereka bertemu.
Di waktu itu Ang Kwang tidak
sabar melihat Bun Hong melangkah satu-satu dan lambat sekali, tangan kanannya
mendorong tubuh Bun Hong, agar pemuda itu berjalan lebih cepat. Tapi mungkin
dorongan yang dilakukan Ang Kwang jauh lebih kuat dari dorongan biasa, tubuh
Bun Hong terhuyung-huyung, dan kemudian terjerunuk, mukanya mencium tanah,
hidungnya juga bocor dan mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Tapi kali ini
Bun Hong tidak menjerit, dia telah merangkak untuk bangkit, kemudian melirik
kepada Ang Kwang dengan sorot mata tidak senang.
Kebetulan Ang Kwang tengah
mengawasi dan dengan sikap yang bengis melihat sikap Bun Hong yang meliriknya
dengan sorot mata yang bengis seperti itu, Ang Kwang tertawa bergelak-gelak.
“Hemmm, kau memandang benci
padaku! Kau tentunya muak dan membenciku bukan? Hemmm, jika kau memiliki
kesempatan tentu selain ingin melarikan diri, juga disebabkan dendammu ingin
membunuhku! Bukankah begitu?!”
Bun Hong diam saja. Dia
berusaha untuk melangkah lagi. Tapi berjalan belasan tindak, dia telah didorong
pula dengan kasar oleh Ang Kwan sehingga ia jumpalitan terjerunuk mencium tanah
lagi. Dia tetap merangkak bangun.
Ang Kwang tertawa
bergelak-gelak. Namun tertawanya itu tidak selesai. Sesuatu benda kecil bulat
telah menyambar ke arah mulutnya yang tengah terbentang.
Waktu Ang Kwang melihat benda
yang tengah menyambar itu, dia kaget dan ingin menutup mulutnya dan berkelit,
namun sudah tidak keburu lagi, karena benda itu telah menyambar cepat sekali
terlambat buat Ang Kwang mengelakkan diri, giginya terhantam dengan kuat
sehingga rontok.
Di kala itu Ang Kwang menjerit
dengan muka yang merah padam kebiru-biruan akibat gusar yang bukan kepalang.
“Bangsat, siapa yang menyerang
membokong…….?!” Teriaknya.
Tapi tengah dia memaki seperti
itu, justeru telah menyambar lagi sebutir batu kerikil menghantam mukanya,
tepat pada matanya. Seketika Ang Kwang menjerit kesakitan dan matanya yang
kiri, yang disambar batu kerikil itu telah menjadi buta mengalirkan darah yang
tidak sedikit.
Bagaikan kalap Ang Kwang
mencak melompat-lompat ke sana ke mari, ia berseru-seru perintahkan anak
buahnya untuk mencari orang yang menyerang padanya secara membokong itu.
Lain dengan orang-orang itu,
justeru Bun Hong sangat girang sekali, malah dia telah menyebut: “In-kong
akhirnya kau datang juga!” perlahan sekali.
Dan Bun Hong yakin, bahwa
orang yang telah menepuk Ang Kwang dengan batu kerikil itu tidak lain dari
penolongnya, yang telah datang lagi, akan tetapi di saat itu, Bun Hong sendiri
tidak bisa melihatnya, entah di mana beradanya si tuan penolongnya itu, karena
di sekitar tempat itu tidak terlihat orang lain, hanya rombongan Ang Kwang dan
dia sendiri.
“Keluarlah jika seorang
Ho-han, mengapa harus bersikap seperti Siauw-cut yang main sembunyi-sembunyi
seperti itu?!” Teriakan Ang Kwang dengan murka.
Tapi kembali meluncur sebutir
batu kerikil yang cepat sekali. Ang Kwang kini telah bersiap sedia. Dia juga
memang memiliki kepandaian tidak rendah.
Melihat sambaran baru kerikil
itu ke arah mulutnya dia cepat-cepat melompat ke samping untuk menghindarkan
diri. Akan tetapi gerakannya terlambat lagi. Batu kerikil itu seperti juga
memiliki mata, karena tahu-tahu batu kerikil itu telah melesat ke samping dan
……
“Tukk!” Batu kerikil itu telah
menghantam mulut Ang Kwang pula malah sekarang jauh lebih besar keras, sampai
gigi Ang Kwang copot tiga! Dia kembali teraduh-aduh.
Waktu itu terdengar suara
orang berkata perlahan sekali, begitu aneh suara orang itu, terdengarnya aneh
buat telinga, karena seperti jauh tapi terdengar jelas, dikatakan dekat, tapi
tidak terlihat orangnya.
“Jika kalian tidak cepat-cepat
angkat kaki, kalian menerima ganjaran yang lebih bagus lagi!” Ancam orang yang
tidak terlihat ujudnya.
Ang Kwang tertegun sejenak.
Seketika ia menyadari bahwa ia memang tengah menghadapi orang pandai yang
sakti. Ia merangkapkan sepasang tangannya, menjura memberi hormat ke sumber
datang suara itu, yaitu dari sebelah kanannya!
“Siapakah yang telah
memberikan petunjuknya untuk Boanpwe, Ang Kwang harap keluar untuk memberikan
petunjuk lebih jauh!”
“Hemm, jika aku keluar
memperlihatkan diri, apakah kalian masih sempat untuk memiliki jiwa?” Itu
adalah jawaban orang yang tidak terlihat ujudnya.
Ang Kwang mengerutkan sepasang
alisnya, tapi kemudian dia telah berseru. “Baiklah? Boanpwe, Ang Kwang dari
Kim-giok-pang, ingin sekali orang pandai untuk memperlihatkan diri dengan
memandang muka Pangcu kami, yaitu Sam Tok Pangcu!”
“Hemmm, memang aku sebentar
lagi ingin pergi menemui pangcu kalian! Sekarang pergilah kalian mengeliling
dan sampaikan pesanku kepada pangcu kalian itu bahwa tidak lama lagi aku akan
mengunjunginya, untuk menanyakan kesehatannya.......!”
Terbangun sepasang alis Ang
Kwang. Didengar nada dan bicara orang itu, jelas orang tersebut tidak memandang
sebelah mata pada Pangcunya, tapi ia tidak berdaya. Dia cuma mengawasi
sekeliling kalau-kalau ia bisa melihat persembunyian orang itu. Tapi dia tidak
berhasil.
Di kala Ang Kwang dan anak
buahnya yang berjumlah belasan orang berdiam diri mengawasi sekitar tempat itu,
justeru terdengar lagi suara orang itu yang dingin dan bengis:
“Mengapa masih belum
menggelinding, atau memang menunggu kematian?”
Ang Kwang menghela napas.
“Tolong ditinggalkan nama kau
karena kami akan menyampaikannya kepada Pangcu kami……!” Katanya.
“Menggelindinglah!” terdengar
suara orang itu murka dan bengis, tampaknya dia mulai tidak sabar. Malah
menyusuli dengan bentakannya, meluncur empat butir batu kerikil, yang sebutir
menyambar kepada pundak Ang Kwang sedangkan tiga lainnya pada tiga orang anak
buah Ang Kwang.
Mereka melihat menyambarnya
batu-batu kerikil itu tapi, mereka tidak memiliki kegesitan yang melebihi
kecepatan menyambarnya batu-batu kerikil itu. Ke empat batu kerikil tersebut
tepat sekali mengenai sasarannya, dan Ang Kwang menjerit kesakitan, tubuhnya
terhuyung malah hampir saja dia terjengkang. Ke tiga orang anak buahnya juga
terpental ambruk terjengkang di dekatnya, mereka meringis kesakitan dan rupanya
kerikil kecil itu telah menghantam jalan darah mereka masing-masing.
“Sekali ini aku masih
mengampuni jiwa kalian, aku hanya menotok jalan darah. “Pay-cing-hiat” kalian
masing-masing, sehingga setelah beristirahat sebulan lamanya, kalian akan
sembuh seperti sediakala.
“Tapi jika kalian tidak
cepat-cepat beristirahat, hemmm, hemmm, aku ingin melihat, dewa mana yang bisa
menyembuhkan kalian! Tubuh kaupun akan menjadi layu, dan akhirnya mampus dengan
tubuh rusak…….!”
Tubuh Ang Kwang dan anak
buahnya menggigil ketakutan. Mereka melihat kini betapa lihaynya orang itu.
“Sekarang jika kalian
berlambat-lambat, hemmmmm, aku tidak akan segan-segan untuk mencabut nyawa
kalian! Nanti jika memang kalian ingin berlalu, disaat itu sudah terlambat.”
Ang Kwang dan anak buahnya
mengeluarkan keringat dingin, tanpa mengucapkan sepatah perkataan lagi mereka
telah berlari-lari meninggalkan tempat itu, juga meninggalkan Bun Hong. Mereka
menyadari, orang itu bisa saja membuktikan ancamannya, karena jika sampai orang
itu menyerang pada jalan darah mematikan, di tubuh mereka, jelas mereka akan
seperti tadi, tidak bisa menghindar, berarti mereka menerima kematian. Dan bagi
mereka jalan terbaik adalah cepat-cepat mengundurkan diri menjauhi diri dari
tempat itu dan nanti barulah menyelidiki siapakah orang yang sakti itu
sebenarnya.
Bun Hong berdiri termenung
sejenak di tempatnya, ia tertegun, sampai akhirnya setelah bayangan Ang Kwang
dengan anak buahnya lenyap dari pandangannya, barulah ia tersadar. Cepat-cepat
ia menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya memberi hormat ke
seluruh penjuru.
“Terima kasih In-jin.......
terima kasih In-kong……!” Ia berseru dengan nyaring, dengan suara mengandung
perasaan syukur. “Jika In-jin tidak menolonginya, kali ini tentu aku akan mati,
dengan tersiksa hebat....... terima kasih.......!”
Tapi di sekitar tempat itu
cuma suara Bun Hong yang bergema, sepi dan sunyi, tidak ada yang menjawabnya,
berulang kali Bun Hong mengulangi pertanyaannya, tapi tetap saja tak ada orang
yang menyahuti.
Bun Hong masih ragu-ragu untuk
bangkit mengawasi sekitarnya. Apakah penolongnya telah pergi lagi?
Benar-benar Bun-bong tak
mengerti mengapa penolongnya selalu bersikap demikian, tidak mau memperlihatkan
diri. Siapakah sebenarnya penolong itu? Mengapa ia tak mau memperlihatkan diri?
Bukankah dua kali Bun Hong telah ditolongnya?
Dikala Bun Hong masih dicekam
oleh keragu-raguan, tiba-tiba dikejauhan terdengar suara jeritan-jeritan yang
menyayatkan hati, segera juga Bun Hong berusaha berdiri tetap, selangkangan dan
ketiaknya masih sakit tapi suara jeritan yang menyayatkan hati itu membuat ia
sementara waktu melupakan rasa sakitnya itu. Dia telah melangkah dengan
tindakan lebar untuk mencari tempat persembunyian.
Akhirnya dia melihat sebatang
pohon yang besar dan rindang, dia melompat naik ke atas pohon itu, bersembunyi
di situ.
Suara bentakan dan jeritan menyayatkan
masih terdengar jelas sekali malah semakin lama semakin mendekati ke tempat di
mana Bun Hong bersembunyi, dari kejauhan tampak belasan sosok tubuh tengah
melarikan diri mendatangi ke arah dekat persembunyian Bun Hong.
Dan sepasang mata Bun Hong
jadi terbeliak lebar-lebar waktu melihat belasan orang yang tengah mendatangi
itu lebih jelas. Dia mengenali belasan orang itu. Diapun jadi heran bukan main.
Malah diapun telah mengenali seruan tertahan tanpa bisa dicegah.
Belasan orang yang tengah berlari
sambil menjerit-jerit mendatangi ke arah tempat persembunyian Bun Hong, tidak
lain dari Ang Kwang dan kawan-kawannya. Mereka pun masing-masing mencekal
senjata, dan dengan senjata itu mereka berusaha untuk menangkis sesuatu.
Di belakang belasan orang tersebut
tampak mengejar sesosok tubuh. Waktu Bun Hong menegasi, ia melihat sosok tubuh
itu mengenakan baju warna kuning, dengan celana merah, dan tubuhnya bergerak
sangat gesit sekali. Dialah seorang gadis berusia delapanbelas atau
sembilanbelas tahun.
Cuma anehnya, pakaiannya yang
tampak sangat indah dan terbuat dari bahan yang mahal, yaitu sutera yang halus,
penuh dengan tambalan. Muka gadis itu pun tampak kotor sekali.
Di tangan gadis berpakaian
aneh ini, yang tampaknya lebih mirip dengan cara berpakaian seorang pengemis,
menggenggam sebatang pedang pendek. Pedang pendek itulah yang telah digerakan
berulang kali untuk menikam buronannya. Malah, tidak jarang tangannya yang kiri
melontarkan belasan butir biji kacang hijau.
Walaupun hanya biji kacang hijau,
namun timpukan gadis berpakaian seperti pengemis itu merupakan timpukan yang
mengandung maut, dan biji kacang hijau yang kecil itu menyambar dengan kuat
sekali ke jalan darah dari belasan orang itu seperti juga senjata rahasia yang
ampuh.
Dan itulah sebabnya mengapa
Ang Kwang dengan belasan orang kawannya selalu menjerit-jerit kesakitan
menyayatkan hati dan mereka sambil berlari sibuk sekali untuk menggerakkan
senjata masing-masing seakan-akan ingin menangkis sesuatu.
“Kalian jangan harap bisa
meloloskan diri dari nona besarmu!” teriak si gadis dengan suara yang jenaka,
karena iapun kemudian tertawa nyaring, tubuhnya melesat sangat ringan, dan
pedang pendeknya digerakkan dia bukan menikam hanya menebas.
“Brettt!” baju punggung salah
seorang kawan Ang Kwang yang lari di belakang, telah robek kena tebasan pedang
itu. Ia menjerit kesakitan, karena kulit punggungnya juga telah robek
mengalirkan darah yang tidak sedikit.
Ia tambah ketakutan, karena
menyadarinya jika saja gadis itu menghendaki jiwanya, sama mudahnya seperti
membalikkan telapak tangan belaka. Bukankah tadi kalau memang gadis berpakaian
seperti pengemis itu menikamkan pedangnya, maka punggungnya telah berlobang?
Hanya saja tampaknya gadis itu
memang tidak bermaksud membunuh belasan orang ini, cuma ingin mempermainkannya
saja. Timpukan biji kacang hijaunya pun selalu mengincar jalan darah yang tidak
mematikan cuma mendatangkan rasa sakit belaka. Dia memang ingin mempermainkan
belasan orang itu.
Ketika mengejar belasan orang
itu di tempat yang dekat dengan pohon di mana Bun Hong tengah bersembunyi,
tampak gadis itu menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti burung walet yang
melesat di tengah udara, melambung tinggi dan kemudian hinggap tepat melintang
menghadang di depan Ang Kwang dan kawan-kawannya!
“Berhenti!” Bentak gadis itu
dengan suara yang bengis dan pedang pendeknya itu dilintangkan pada dasarnya,
siap dipergunakan.
Ang Kwang merandek, kaget dan
ketakutan karena ia bersama kawan-kawannya menyadari, kepandaian gadis itu
memang tinggi dan tidak mungkin mereka hadapi dengan baik, walaupun mereka
berjumlah belasan orang. Tadi mereka telah mencobanya dan karena mereka
dipermainkan terus menerus oleh gadis itu.
“Jika memang kalian menyayangi
jiwa kalian dan tetap ingin hidup, cepat kalian beritahukan, di mana Giok-sie
disembunyikan?” Tanya gadis ini dengan suara yang bengis.
Ang Kwang tampaknya ragu-ragu.
Namun akhirnya ia bilang juga. “Untuk itu…... itu…… hanya pangcu kami yang
mengetahui……!”
“Hemm, karena kau tidak mau
memberitahukan, baiklah, jiwa kalian kukirim ke neraka!” Bentak gadis itu. “Dan
terimalah kematian untuk kalian!”
Setelah berkata begitu, segera
juga si gadis bersiap-siap untuk menyerang lagi.
Ang Kwang tampak jeri, malah
ia segera juga berseru: “Tahan…… tunggu dulu……!”
Si gadis berpakaian
compang-camping, tapi tampaknya bukan pengemis sembarangan, sebab bahan baju
dan celananya terbuat dari bahan sutera halus yang mahal harganya, telah
menahan pedangnya, bentaknya: “Apakah kau ingin memberitahukan di mana adanya
Giok-sie?”
“Jika memang nona....... nona
ingin mengetahui di mana adanya Giok-sie, ada baiknya nona ikut dengan kami
menghadap Pangcu kami....... Tentu Pangcu kami akan memberitahukan di mana
adanya Giok-sie itu!” Menyahuti Ang Kwang dengan suara tidak lancar. “Kami sesungguhnya.......
tidak mengetahui di mana beradanya Giok-sie!”
Gadis itu akhirnya menurunkan
pedangnya dia menghela napas.
“Baiklah! Aku percaya memang
kalian tidak mengetahui di mana adanya Giok-sie!” Kata gadis itu. “Nah,
menggelinding pergilah kalian!”
Rupanya gadis itu telah
melihatnya juga, bahwa Ang Kwang dengan kawan-kawannya itu, sesungguhnya tak
mengetahui di mana adanya Giok-sie, karena sejak tadi ia telah mendesak dan
mengancamnya, tetap saja ia melihat Ang Kwang dan kawan-kawannya tidak mengetahui
adanya Giok-sie. Melihat sikap Ang Kwang dan kawan-kawannya itu, ia mau juga
mempercayainya bahwa Ang Kwang dan kawan-kawan tak berdusta, karena itu ia
membiarkan Ang Kwang dan kawan-kawannya pergi.
Ang kwang dan kawan-kawannya
tanpa menunggu dua kali gadis itu perintahkan mereka pergi, segera juga memutar
tubuh untuk berlari secepat-cepatnya meninggalkan tempat itu.
“Beritahukan Pangcu kalian,
dalam beberapa hari aku akan datang meminta Giok-sie padanya!” berseru si gadis
waktu Ang Kwang dan kawan-kawannya berlari belum begitu jauh.
Ang Kwang dan teman-tamannya
tak menyahuti, mereka berlari terus dengan cepat.
Sedangkan si gadis menghela
napas dalam-dalam ia menggumam perlahan: “Sayang! Sayang!”
Tadi memang dia telah
menghadang Ang Kwang dan kawan-kawannya, memaksa mereka untuk memberitahukan di
mana adanya Giok-sie karena gadis itu mengenali Ang Kwang sebagai orang
Kim-giok-pang. Walaupun telah didesak dan diancam dengan serangan-serangannya,
Ang Kwang dan teman-temannya yang tampaknya tidak berdaya menghadapi setiap
serangan si gadis ternyata tetap memberitahukan bawa mereka tidak tahu menahu
mengenai Giok-sie.
Dengan langkah perlahan gadis
dengan pakaian yang luar biasa itu menuju ke bawah pohon di mana Bun Hong
menyembunyikan diri. Ia duduk di bawah pohon tersebut, berulang kali ia
menghela napas dalam-dalam, sepasang alisnya tampak mengkerut. Ia telah
menggumam lagi:
“Hemmm, kepandaian Pangcu
Kim-giok-pang tidak rendah, jika aku pergi sendiri belum tentu aku dapat
bertindak leluasa di sarang mereka!”
Bun Hong menahan napas, ia
kuatir gadis itu mengetahui, tentang dirinya yang bersembunyi di pohon
tersebut. Tapi, tidak urung, karena terlalu hati-hati, kakinya justeru
menginjak ranting kecil yang menjadi patah. Itulah disebabkan hatinya yang
tegang, sehingga kakinya mengeluarkan tenaga yang berlebihan.
Gadis itu seperti seekor
Lee-lie, atau ikan Gabus, mencelat dengan gesit dan lincah sekali dari bawah
pohon tersebut, ia telah melesat dengan ringan dan tubuhnya waktu terapung di
tengah udara, telah berputar, karenanya ketika kedua kakinya hinggap di atas
tanah ia sudah berdiri tegak menghadapi pohon di mana Bun Hong bersembunyi.
Pedangnya melintang di depan dadanya, ia mengawasi tajam ke atas pohon itu.
“Siauw-cut mana yang tidak
tahu malu bersembunyi di situ. Mengapa tidak cepat-cepat memperlihatkan diri?”
Bentak gadis tersebut dengan suara yang nyaring.
Bun Hong menyadari, percuma
saja ia berdiam diri karena tempat persembunyiannya telah diketahui si gadis.
Maka berpikir bahwa antara dirinya dengan gadis itu tidak terdapat ganjalan
apapun juga, mengapa ia harus jeri memperlihatkan diri. Segera juga ia melompat
turun dari atas pohon.
Gadis dengan pakaian luar
biasa itu menatap Bun Hong, matanya bersinar tajam. Waktu Bun Hong merangkapkan
sepasang tangannya memberi hormat kepadanya, gadis itu berdiam diri dengan
mendengus dingin saja.
“Maafkan aku, Kouwnio!” Kata
Bun Hong dengan sabar dan halus. “Tadi kebetulan Siauwte tengah mengaso di atas
pohon itu, dan menyaksikan mengejar belasan orang itu karenanya telah membuat
siauwte berdiam diri saja di situ. Sesungguhnya siauwte tidak berkeinginan
sesuatu apapun juga.......”
Mata gadis itu berkilauan
tajam, ia tidak dapat mempercayai keterangan Bun Hong.
“Apakah engkaupun anak buah
Sam Tok. Pangcu dari Kim-giok-pang?” Tegurnya dingin.
Bun Hong cepat-cepat
menggelengkan kepala.
“Justeru aku baru saja ingin
dianiaya oleh orang-orang Kim-giok-pang, beruntung ada seorang pandai yang
telah menolongiku!” Menjelaskan Bun Hong.
Gadis itu tambah curiga. Belum
lagi ia sempat bertanya, Bun Hong dengan sikap hormat bertanya pula: “Jika
memang Kouwnio, siapakah nama Kouwnio yang mulia? Siauwte sendiri she Bun dan
bernama Hong!”
“Hemm!” Gadis itu mendengus.
“Apa perlunya kau menanyakan namaku? Demikian lancang, kau berani ceriwis di
depanku, tentunya kau bukan sebangsa manusia baik-baik!” Sambil menyelesaikan
perkataannya seperti itu, gadis ini telah menjajakan sepasang kakinya, tubuhnya
telah melesat dengan ringan, malah pedang di tangan kanannya telah meluncur
akan menikam ke dada Bun Hong.
Kaget tidak terkira Bun Hong
melihat dirinya diserang begitu rupa oleh gadis memiliki perangai yang agak
luar biasa, cepat-cepat dia menggeser kakinya, untuk berkelit. Namun gadis itu
kembali, memperdengarkan dua kali suara.
“Hem! Hem!” yang dingin,
pedangnya telah meluncur terus dengan pesat, menderu-deru karena tenaga menikam
dan menambasnya memang kuat. Dalam waktu sekejap mata ia telah menyerang
beruntun tiga kali!
Bun Hong mati-matian berkelit
menghindari diri dari sambaran pedang si gadis. Diapun jadi sibuk sekali
berseru-seru: “Tahan! Mari kita bicara dulu…..! Tahan nona.......!”
Gadis itu semakin penasaran
beberapa kali menyerang Bun Hong dan belum jnga berhasil merubuhkan pemuda itu.
Pedangnya digerakan semakin cepat dan sebat, dimana sinar yang berkilauan
menyambar ke sana ke mari.
“Aduhhh!” Lengan Bun Hong yang
kanan telah kena ditikam, darah mengucur keluar. Tubuh pemuda itupun terhuyung-huyung
beberapa langkah dengan muka yang pucat dan memerah bergantian. Tampaknya dia
murka bukan main.
“Kau…… kau……!” bentaknya
dengan suara mengandung kemarahan dan menahan sakit.
“Hemm, ternyata kepandaianmu
tidak seberapa!” Kata gadis yang berpakaian luar biasa itu. “Aku Ha Mo Giok mau
mengampuni dirimu!”
Setelah berkata begitu, gadis
yang luar biasa itu menjejakan kakinya, tubuhnya melesat ke belakang dan dalam
beberapa kali lompatan saja, ia telah meninggalkan tempat itu.
Bun Hong benar-benar tak
mengerti akan sikap gadis itu yang tabiatnya luar biasa, namanya juga luar
biasa seperti tingkah lakunya, karena ia menyebut dirinya sebagai Ha Mo Giok
atau Kodok Kumala. Nama yang benar-benar aneh.
Lama Bun Hong berdiri
termenung di tempatnya, sampai akhirnya ia telah melangkah per lahan-lahan
sambil memegangi lengannya yang terluka.
Kedukaannya timbul kembali,
karena ia teringat kepada ayahnya yang telah terbunuh oleh rombongan penjahat
di gedung Ngo-erlang-khan, dan mayatnya tidak juga berhasil dibawanya.
Sekarang, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Waktu itu, tampak juga bahwa
Bun Hong berputus asa. Ia tahu, jika kembali ke gedung Ngo-erlang-khan, niscaya
dirinya akan dibekuk kembali oleh orang-orang kerajaan, dan jika tidak kembali,
berarti mayat ayahnya tidak akan terurus.
Ia pun teringat pada Giok-sie
cap kerajaan yang mendatangkan banjir darah. Dilihat dari keadaan yang ada,
satu keluarga bangsawan seperti Ngo-erlang-khan, telah terbinasakan karena Cap
Kerajaan itu. Begitu pula kematian ayahnya, memiliki hubungan pula dengan
Giok-sie.
Dan sekarang dia terluka,
karena dirinya terlibat dalam urusan Giok-sie, di mana gadis yang namanya agak
luar biasa, Ha Mo Giok itu, memang tengah berusaha untuk mencari Giok-sie.
Karena dari itu, telah membuat Bun Hong berpikir tidak tenang.
Ia memang pernah mendengar
cerita ayahnya, ada barang berharga yang ingin dilindungi ayahnya. Tapi pada
waktu itu ayahnya mengatakan juga, bahwa benda pusaka tersebut merupakan benda
yang akan membawa mala petaka bagi yang memilikinya.
Dan segera .juga kini Bun Hong
dapat menerkanya, pasti yang dimaksud oleh ayahnya itu dengan sebutan benda
pusaka, tidak lain dari Giok-sie. Apakah Giok-sie memang berada di tangan
Ngo-erlang-khan?
Kita tinggalkan Bun Hong, mari
kita mengikuti Oey Yok Su.
Setelah menolongi Bun Hong,
dua kali ia menyelamatkan pemuda itu, Oey Yok Su yakin tentunya Bun Hong akan
lolos dari gangguan pihak kerajaan maupun orang-orang Kim-giok-pang,
cepat-cepat Oey Yok Su kembali ke dalam kota. Ia bermaksud membangunkan Kim Lo,
karena ingin mengajak cucunya itu ke Kim-giok-pang, untuk menyatroni dan
meminta Giok-sie dari Pangcu perkumpulan tersebut.
Memang yang menolongi Bun Hong
tadi adalah Oey Yok Su. Setelah Kim Lo tidur, ia keluar dari kamar
penginapannya dan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya ia kembali ke gedung
Ngo-erlang-khan, dengan demikian dia bisa menyaksikan bagaimana Bun Hong tengah
dikeroyok oleh orang-orang kerajaan.
Kedatangan Oey Yok Su kembali
ke gedung Ngo-erlang-khan adalah untuk menyelidiki lebih jauh, apa yang terjadi
dan telah menimpa keluarga bangsawan Boan itu dan ia beranggapan Kim Lo masih
kecil tidak baik menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu dimana mayat-mayat
malang melintang.
Itulah sebabnya ia telah
mengajak Kim Lo kembali ke rumah penginapan, dan ia pun menantikan Kim Lo sudah
tertidur, baru kemudian dia kembali ke gedung Ngo-erlang-khan. Justeru ia
menyaksikan Bun Hong yang tengah terancam, karenanya ia segera turun tangan
menolonginya.
Tubuh Oey Yok Su berkelebat
ringan waktu kembali ke rumah penginapan. Sekejap mata saja ia sudah berada di
atas genting rumah penginapan itu. Cuma saja belum lagi ia melompat turun,
segera matanya yang sangat awas telah melihat sesuatu yang ganjil.
Jendela kamarnya terbuka dan
tampak sinar api penerang di kamar itu memancar keluar. Hati Oey Yok Su segera
tercekat. Setelah ia melompat ke dalam kamar dan kamar itu kosong! Kim Lo tidak
ada dipembaringan!
Keringat dingin segera keluar
membasahi tubuhnya! Ia keluar melompati jendela kamarnya, mencari di sekitar
rumah penginapan itu. Tetap saja ia tidak menemukan Kim Lo, ‘cucunya’ itu. Ia
memanggil dua kali. Tidak diperoleh jawaban.
Dan hatinya semakin gelisah.
Sebelumnya, tidak pernah Oey Yok Su mengalami, perasaan seperti ini. Sebagai
tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi telah banyak
pengalaman yang mendebarkan hati, tapi semua itu dihadapi oleh Oey Yok Su
dengan tenang.
Hanya saja, disebabkan kini
yang lenyap adalah ‘cucunya’ yang sangat disayanginya ia jadi menguatirkannya,
kalau saja Kim Lo mengalami sesuatu yang tidak baik, atau memang anak itu
diculik seseorang!
Teringat akan hal itu, tubuh
Oey Yok Su menggigil.
“Akan kuhancurkan tubuh orang
yang telah menculik Kim Lo!” menggumam Oey Yok Su.
Memang dia disebut dan
digelari sebagai si tersesat dan dalam keadaan marah seperti itu jelas ia dapat
menurunkan tangan yang paling telengas sekalipun, jika saja Oey Yok Su berhasil
menemukan penculik Kim Lo.
Segera juga dengan
mempergunakan gin-kangnya yang sempurna Oey Yok Su berlari ke sana ke mari
mengitari sekitar tempat itu, tapi ia tidak berhasil menemukan jejak Kim Lo.
Tiba-tiba dalam kegelapan
malam Oey Yok Su melihat sesosok tubuh yang berkelebat dengan gesit sekali,
sehingga bayangan itu bagaikan terbang saja. Tidak membuang waktu Oey Yok Su
mencelat mengejarnya. Dan dalam sekejap waktu saja, ia sudah berada di dekat
orang itu. Sebat luar biasa tangan kanan Oey Yok Su manyambar mencengkeram
punggung orang itu.
Sosok tubuh itu memang
mengetahui dirinya tengah dikejar-kejar orang, dan ia merasakan sambaran angin
serangan di belakangnya. Cepat sekali berkelit. Sambaran tangan Oey Yok Su jatuh
di tempat kosong. Namun majikan pulau Tho-hoa-to mana bisa gagal dengan
serangannya?
Begitu melihat sasarannya
melesat dan orang itu berhasil mengelakan tangan, segera juga Oey Yok Su
membarengi dengan sentilan jari telunjuknya. Ia menyentil bukan sembarangan
menyentil, sebab Oey Yok Su menyentil dengan mempergunakan It-yang-cie, yaitu jari
tunggal yang sakti.
Sosok bayangan itu
mengeluarkan seruan tertahan, karena heran dan takjub. Dia masih berhasil
mengelakkan diri tak urung membuat dia jadi kaku pada pundak kanannya, karena
dia terserempet angin sentilan jari sakti itu.
Ternyata sosok tubuh itu,
seorang gadis. Oey Yok Su yang telah melihat orang itu segera membatalkan
keinginannya untuk menyerang lagi. Ia mengawasi tajam sekali, tegurnya:
“Mengapa di malam buta seperti ini kau berlari-lari?”
Gadis itu yang pakaiannya
compang-camping, namun bahan pakaiannya terbuat dari bahan sutera mahal,
tertawa sambil menggosok hidungnya dengan mempergunakan punggung tangannya.
“Hei, tua bangka, kau bertanya
mengapa aku malam-malam selarut ini berlari-lar? Lalu kau sendiri? Apa yang
tengah kau lakukan?” Tanya gadis itu, yang bukannya menjawab pertanyaan Oey Yok
Su, malah memperlihatkan sikap menantang.
Oey Yok Su tertegun, segera ia
menyadarinya gadis yang bajunya compang-camping seperti pakaian seorang
pengemis dan mukanya juga kotor, pasti tidak mengetahui siapa orang tua
dihadapannya ini. Setelah berdiam sejenak, Oey Yok Su bilang suaranya dingin:
“Hmm, aku tengah mencari penculik cucuku.”
Gadis itu mementang matanya
lebar-lebar.
“Kau menyerangku mungkin kau
mencurigai aku sebagai penculik cucumu itu bukan? Hemm, apakah kau anggap aku
ini sudah gila anak sehingga perlu menculik cucu orang lain? Jangan sembarangan
menuduh, karena jika nona besarmu tidak senang niscaya aku dapat membunuhmu!”
Oey Yok Su memiliki adat
ku-koay, walau pun usianya telah lanjut, adatnya yang ku-koay itu belum juga
lenyap. Tiba-tiba mukanya jadi tambah dingin.
“Baiklah! Jika kau dapat
meloloskan diri dari tanganku, maka aku bersedia mengampuni kurang ajarmu dan
membiarkan kau pergi!” kata majikan pulau Thu-hoa-to.
Si gadis tampaknya jadi
mendongkol juga.
“Apa sulitnya angkat kaki dari
depanmu! Hemm, Ha Mo Giok tak pernah dapat diperhina orang!” Dan sambil berkata
begitu, seenaknya gadis itu, yang tidak lain dari Ha Mo Giok melangkah untuk
pergi melewati Oey Yok Su.
Tapi Oey Yok Su diam saja. Ia
tidak menghalanginya, karena jika gadis itu sudah lebih dekat, barulah dia akan
menghantamnya dengan jurus yang akan memaksa gadis itu melompat mundur. Namun
belum lagi Oey Yok Su sempat untuk menyerang, tiba-tiba gadis itu memegang
perutnya.
“Aduh!” ia merintih
Oey Yok Su heran, ia tertegun,
sampai akhirnya tanyanya dengan heran: “Kenapa kau?”
“Aku....... aduhhh,
perutku.......!” Merintih gadis itu lagi.
“Apakah kau sakit perut?”
“Aku....... aduhlah,
perutku…..!” Merintih gadis itu lagi
Oey Yok Su menghampiri. Namun
di waktu itulah gadis ini tiba-tiba mengulurkah tangan kanannya ingin menotok
jalan darah Ma-tung-hiat di dekat tulang iga ketiga di tubuh Oey Yok Su.
Oey Yok Su tertawa dingin, dia
telah berkelit. Dan jari tangan gadis itu menotok telak sekali. Membarengi itu
si gadis melesat akan melarikan diri.
Tapi betapa kagetnya Ha Mo
Giok ketika merasakan punggungnya kena dicengkeram, disusul tubuhnya melambung
di tengah udara, kemudian meluncurkan akan terbanting di tanah. Untung saja ia
memiliki gin-kang yang terlatih dengan baik, sehingga dia tidak sampai
terbanting dan kemudian bisa hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya.
Waktu Ha Mo Giok menoleh
dengan muka merah karena murka dan kaget yang bercampur menjadi satu, dia sudah
tidak melihat Oey Yok Su, jago tua yang sakti itu seperti lenyap begitu saja
dari hadapannya.
“Baik-baiklah kau mengembara,
karena kelak akan bertemu banyak rintangan! Sampaikan salamku Tong-shia kepada
ayahmu……!” Suara itu terdengar seperti dari tempat yang jauhnya puluhan lie dan
terdengar jelas.
Rupanya Oey Yok Su setelah
melontarkan tubuh Ha Mo Giok sebat sekali ia meninggalkan tempat itu, dalam
waktu sekejap mata saja, ia sudah meninggalkan jauh sekali si gadis.
Ha Mo Giok berdiri tertegun di
tempatnya, ia kagum dan heran melihat orang tua itu yang benar-benar lihay, dan
ia menggidik ketika mengetahui bahwa orang tua itu adalah Tong-shia Oey Yok Su,
karenanya ia bersyukur ia tak terlanjur melakukan sesuatu kesalahan.
Apa alasannya juga, mengapa
Oey Yok Su tidak jadi mempermainkan gadis itu, karena ia mendengar gadis itu
menyebutkan namanya yang aneh itu, Ha Mo Giok, dan Oey Yok Su teringat kepada
seorang sahabatnya. Ia memang segera mengetahui siapa ayahnya gadis itu,
karenanya ia telah meninggalkannya.
Dikala itu terlihat juga Ha Mo
Giok telah membanting-banting kakinya, karena ia tersadar, betapa pedangnya
yang tadinya tergantung di pundaknya, sekarang menancap di kepalanya, di
rambutnya, yang bergoyang-goyang. Ia menggidik lagi orang seperti Oey Yok Su
memang hebat, seandainya Oey Yok Su itu adalah musuh bukankah si gadis telah
menerima kematiannya, karena memang ia dapat dibunuh dengan mudah sekali?
Bukankah pedang itu dihunus
dari sarungnya dan kemudian ditikamkan pada rambutnya yang bergulung itu, ia
sama sekali tak merasakannya? Dan yang lebih hebat lagi dia pun tak mengetahui
kapan dicabutnya pedang dari sarung dan kapan ditikamkan padanya, jika saja
tikaman itu pada lehernya, bukankah berarti ia seketika terbinasa?
Setelah menghela napas
beberapa kali. Ha Mo Giok menjejakan kakinya, lagi. Ia sebenarnya tengah menuju
ke rumah penginapannya, dan bermaksud untuk tidur, setelah mempermainkan Ang
Kwang dan kawan-kawannya itu, tapi siapa sangka ia justeru bertemu dengan Oey
Yok Su.
Ia berlari-lari lagi sambil
berpikir tak hentinya tentang jago tua yang baru saja ditemuinya itu, dimana ia
melihat Oey Yok Su yang namanya menggetarkan rimba persilatan sebagai tokoh
sakti, ternyata seorang tua yang nampak lemah dan tidak bertenaga. Ha Mo Giok
memang sering mendengar kehebatan Oey Yok Su, namun baru ini ia melihat
orangnya, dengan diam-diam, ia juga menyesal sekali, karena ia tidak teringat
untuk membujuk orang tua itu, guna mengajarkan padanya satu atau dua jurus ilmu
pukulan…….
Sekarang marilah kita melihat
Kim Lo. Sebenarnya kemanakah perginya Kim Lo? Diculikkah dia oleh orang lain?
Ternyata anak itu mengalami
sesuatu apapun juga, ia bukan diculik tapi justeru Kim Lo meninggalkan kamarnya
sendiri.
Begitu melihat Oey Yok Su
keluar meninggalkan kamar tersebut Oey Yok Su menduga anak itu telah tidur tapi
sebenarnya Kim Lo pura-pura memejamkan matanya rapat-rapat seakan tidur
nyenyak, justeru dia tidak tidur.
Melihat Kong-kongnya melompat
keluar dari jendela, Kim Lo juga turun dari pembaringannya, kemudian keluar
juga lewat jendela. Daun jendela ditutup rapat.
Jika Oey Yok Su waktu pulang
melihat daun jendela terbuka, itulah disebabkan tiupan angin. Kim Lo memandang
sekelilingnya. Gelap. Sepi. Tidak ada seorang manusiapun juga. Ia ragu-ragu
sejenak.
Dan anak ini juga heran
mengapa kakeknya itu keluar meninggalkan rumah penginapan di tengah malam
seperti itu? Ada urusan apakah? Lagi pula, mengapa Kong-kongnya pergi diam-diam
tidak mau mengajaknya? Bermacam-macam dugaan dan pertanyaan bercampur aduk
menjadi satu di hati Kim Lo.
Tapi akhirnya Kim Lo
menjejakkan kakinya, tubuhnya ringan melompat ke atas tembok. Selama
bertahun-tahun ia dididik oleh Oey Yok Su, maka untuk melompati tembok
pekarangan rumah penginapan itu bukanlah pekerjaan yang sulit baginya. Ia
melompat keluar dari tembok pekarangan rumah penginapan itu dengan mudah.
Keadaan di sekitar tempat itu
sepi sekali, tidak ada siapapun juga, malah angin berhembus cukup dingin. Kim
Lo menggigil sejenak, kemudian menduga-duga, entah ke arah manakah kakeknya itu
pergi. Ia mengambil arah ke utara.
Tengah Kim Lo berlari-lari,
angin berhembus semakin dingin menusuk tulang, dan keadaan tempat yang
dilaluinya sepi sekali, semua penduduk kota itu telah tertidur nyenyak, dan Kim
Lo pun melihat keadaan di luar pintu kota semakin sepi juga, jarang sekali
terdapat rumah penduduk. Kim Lo berdiri ragu-ragu setelah berlari-lari sekian
lama di luar pintu kota, dan baru kemudian dia berlari lagi. Entah kakeknya itu
pergi kemana?
Waktu Kim Lo tengah herlari
seperti itu, mendadak ia mendengar suara rintihan dari sebelah depannya. Kim Lo
menahan langkah kakinya, dia mementang matanya lebar-lebar untuk meneliti
keadaan di depannya. Ia mendengar semakin jelas suara rintihan itu, rintih
kesakitan.
Waktu Kim Lo tengah ragu-ragu,
mendadak saja dari sebelah depannya ada orang berlari dengan langkah yang
dingkluk, yaitu agak pincang, dan orang itupun mengeluarkan suara rintih
kesakitan, tengah mendatangi ke arah Kim Lo.
Orang itu seorang laki-laki
berusia limapuluh tahun lebih, iapun tampaknya kaget waktu melihat Kim Lo,
hanya sejenak saja, kemudian ia telah tenang kembali dan meneruskan larinya
menghampiri bocah tersebut, ia malah telah bilang, “Anak, aku ingin minta
pertolonganmu, bersediakah kau?”
Kim Lo ragu-ragu sejenak,
namun melihat sekujur tubuh orang itu terluka dan berlumuran darah, ia merasa
kesakitan, segera ia menyahuti: “Baik paman….. apa yang bisa kulakukan untuk
menolongmu?