Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 61-70
“Jangan bicara ngaco dan
sembarangan!” bentak si pendeta dengan suara yang bengis dan galak. “Kau kira
siapa lolap ini sehingga kau bisa bicara sembarangan seperti itu?”
“Hemmm, tentu saja kau seorang
pendeta pengecut yang tak tahu malu, yang tak berani mempertanggung jawabkan
perbuatanmu!” menyahuti Kim Lo.
“Kurang ajar! Un Ma Siansu
disegani oleh semua orang, tapi kau, kau terlalu temberang dan takabur!
Orang-orang Kay-pang saja yang berani bicara kurang ajar telah kubinasakan.
Kukira sekarang Kay-pang tak akan berani untuk berlaku lancang lagi pada Un Ma
Siansu! Hahaha! Hahaha!”
Waktu tertawa begitu, suara Un
Ma Siansu terdengar bengis sekali.
“Apa?” Tanya Kim Lo terkejut
bercampur girang. “Jadi, orang-orang Kay-pang yang belum lama lalu terbunuh
itu, telah dilakukan oleh kau?”
Un Ma Siansu mendengus.
“Hemm, sekarang kau baru tahu
bukan? Dan tentunya kau jeri dan ingin meminta ampun padaku?” kata si pendeta.
Tapi waktu itu Kim Lo jadi
girang bukan main, karena justru ia pernah berjanji kepada orang Kay-pang,
bahwa ia akan berusaha membantu mereka mencari pembunuh orang-orang Kay-pang.
Siapa tahu tanpa disengaja telah berhasil menemuinya di sini. Maka ia jadi bertepuk
tangan saking girangnya.
“Bagus! Jika demikian kau
harus menyerahkan dirimu padaku!” Kata Kim Lo dengan suara yang tegas. “Kau
harus diserahkan kepada tetua-tetua Kay-pang!”
“Apa?” Kini sebaliknya pendeta
itu yang jadi kaget. “Apa kau bilang?”
“Aku pernah berjanji kepada
orang-orang Kay-pang, bahwa aku akan berusaha untuk merangkap pembunuh beberapa
orang-orang Kay-pang. Ternyata aku telah bertemu dengan si pembunuh itu.”
Muka Un Ma Siansu berobah.
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa
begitu pengecut, sampai mukamu sekalipun tidak berani kau perlihatkan!” Kata Un
Ma Siansu dengan muka yang merah padam.
Kim Lo tertawa dingin.
“Hemmm…… kau tidak perlu
banyak bertanya, nanti jika telah kuserahkan kepada tetua-tetua Kay-pang, di
waktu itu, kau bisa bicara dan bertanya kepada mereka……” Sambil berkata begitu,
Kim Lo telah melangkah mendekati dan mengayunkan tangan kanannya untuk
menjambret lengan si pendeta.
Tapi Un Ma Siansu bukan
pendeta yang berkepandaian lemah, ia cepat mengelak. Waktu itu iapun tengah
gusar, karena setelah berkelit cepat sekali membalas menyerang.
“Kau akan kubikin tahu rasa
dan agar mengetahui Un Ma Siansu bukanlah orang yang mudah untuk diremehkan!”
Bentaknya dangan suara bengis.
Serangan balasan dari Un Ma
Siansu ternyata cukup kuat, karena rupanya ia memiliki lweekang yang tinggi.
“Mengapa kau membunuh
orang-orang Kay-pang itu?” Tanya Kim Lo sambil mengelakkan pukulan tersebut.
“Hemm mereka berani kurang
ajar terhadapku. Mereka berusaha untuk mencampuri urusanku, dimana mereka berusaha
untuk mencegah keinginanku mengambil beberapa orang gadis menjadi gundikku.
Karena mereka tidak kenal selatan, sudah selayaknya jika mereka dikirim ke
kerajaan langit!”
Setelah berkata begitu, gencar
sekali Un Ma Siansu menyerang Kim Lo. Yang dimaksudkannya dengan kata-kata
kerajaan langit, ia mau mengartikan sebagai akherat.
Kim Lo mudah mengelakan.
Walaupun kepandaian Un Ma Siansu tidak lemah, tapi kepandaian pendeta itu tidak
berarti banyak buat Kim Lo yang kepandaiannya sudah mahir sekali.
Tiga kali ia mengelak
tahu-tahu tubuhnya melesat ke samping kanan. Ia menghantam dengan tangan kiri.
Un Ma Siansu mengelak, tapi baru saja si pendeta berkelit belum lagi ia bisa
berdiri tetap di saat itu justeru tampak Kim Lo menyentil dengan jari telunjuknya.
Un Ma Siansu kaget, sentilan
jari telunjuk tersebut sangat hebat sekali. Itulah sentilan jari tunggal
It-yang-cie.
Karena tidak mengherankan Un
Ma Siansu seketika merasakan tubuhnya seperti digempur suatu tenaga yang tajam
sekali dan tubuhnya menggigil, karena tenaga dalamnya seperti menjali buyar
oleh sentilan tersebut. Ia sampai mengeluarkan seruan tertahan.
Kim Lo tidak bekerja sampai
disitu saja, cepat sekali ia menotok lagi beberapa jalan darah si pendeta.
Kemudian ia melompat dengan gesit, tenaganya menenteng tubuh si pendeta. Iapun
pergi ke jalan raya sambil menawan Un Ma Siansu.
Siu Lo pendeta muda yang
menjadi murid Un Ma Siansu sejak tadi menanti di luar rumah penginapan. Melihat
gurunya ditawan Kim Lo, ia pun kaget tidak terkira.
Sebelumnya ia telah berharap
agar Kim Lo dapat dirubuhkan gurunya yang dikenalnya sangat lihay. Tapi siapa
tahu, kini melihat Kim Lo telah muncul dengan menenteng gurunya!
Lemaslah Siu Lo, ia segera
menyingkir ke pinggir. Tidak mau ia terlihat oleh Kim Lo karena iapun kuatir
kalau menemui kesulitan.
Kim Lo cepat sekali pergi ke
jalan raya. Ia melihat seorang pengemis, segera ia menghampiri.
“Lopeh!” Katanya kemudian pada
pengemis tua itu. “Aku ingin bertemu dengan tetua Lopeh!”
Pengemis itu tengah berdiri di
tepi jalan dengan tangan terulurkan. Ia tengah melakukan pekerjaan mengemisnya.
Dan ketika mendengar sapaan
Kim Lo, ia menoleh dengan mata terbuka lebar. Sebab ia melihat orang yang
menegurnya itu menenteng seorang pendeta yang tidak berdaya, dan iapun telah
dapat segera mengenali siapakah orang yang mengenakan pakaian serba putih
tersebut yang mukanya tertutup.
Melihat pengemis itu
ragu-ragu, segera juga Kim Lo bilang: “Apakah lopeh tahu peristiwa dibunuhnya
beberapa orang Kay-pang beberapa waktu yang lalu?”
Muka pengemis tersebut berobah
lagi, ia memandang tambah cukup curiga pada Kim Lo.
“Inilah pembunuhnya yang akan
kuserahkan kepada tetua lopeh,” menjelaskan Kim Lo lebih jauh.
Pengemis itu memandang pada si
pendeta, yang tidak berdaya berada di tangan Kim Lo.
“Mari ikut aku……!” Kata si
pengemis kemudian.
Kim Lo mengiyakan dengan
menenteng pendeta itu, Kim Lo mengikuti si pengemis.
Mereka dibawa terus ke sebuah
kuil rusak, namun bagian dalam kuil itu telah dirombak dengan beberapa
perabotannya rapi yang bentuknya seperti di ruang di dalam rumah.
Dan keadaan disitu sangat
bersih. Walaupun tempat ini merupakan pusat dan markas Kay-pang di daerah
tersebut, namun sepi saja dan tidak terlihat terlalu banyak pengemis.
Kim Lo mengikuti pengemis itu
sambil menenteng Un Ma Siansu memasuki kuil tersebut.
“Silahkan tunggu di sini,
tuan!” Kata pengemis itu.
Kemudian ia meninggalkan Kim
Lo dan masuk ke dalam. Tidak lama kemudian ia keluar lagi diiringi oleh
beberapa orang pengemis dan mereka tidak lain dari Tiang Su, Yu An dan Yang
Tiam. Mereka girang melihat Kim Lo.
“Maaf! Kami tidak
diberitahukan lebih dulu sehingga kami tidak mengadakan persiapan untuk
menyambut tuan!” kata Yang Tiam sambil memberi hormat.
Kim Lo mengelak pemberian
hormat itu, ia kemudian bilang: “Locianpwe, inilah pembunuh yang mencelakai
murid-murid Kay-pang beberapa waktu yang lalu.”
Yang Tiam memandang Un Ma
Siansu tampaknya ia bimbang.
“Apakah….... apakah benar dia
yang yang telah bertelengas tangan pada orang-orang kami!” menggumam pengemis
tua itu.
Kim Lo tertawa.
“Tadi ia yang mengakui sendiri
bahwa ia yang telah membinasakan murid-murid Kay-pang, karena mereka hendak
mencegah perbuatannya menculik beberapa orang gadis yang akan dijadikan
gundiknya! Karena itu ia membunuh orang-orang Kay-pang. Nah, silahkan Locianpwe
mendengar sendiri pengakuannya!”
Setelah berkata begitu, Kim Lo
melepaskan cekalannya pada Un Ma Siansu.
Begitu bebas dari cekalan Kim
Lo, Un Ma Siansu berteriak murka: “Manusia kurang ajar, kau jangan memfitnah
tak karuan!”
Sambil membentak begitu, ia
juga bergerak menyerang.
Kim Lo tertawa dingin, ia
berkelit. Malah kemudian tahu-tahu menyentil dengan telunjuknya, seketika tubuh
Un Ma Siansu terjengkang ke belakang.
Menghadapi pendeta yang jahat
ini Kim Lo tidak sungkan lagi. Ia turunkan tangan keras. Karena dari sekali
sentil saja ia sudah membuat pendeta itu terjungkal rubuh.
Dalam keadaan seperti itu Un
Ma Siansu masih penasaran dan murka, kalap sekali ia berusaha melompat bangun.
Namun begitu ia melompat berdiri, seketika ia meringis, tangannya memegang
dadanya.
“Jalan darah Hiang-mo-hiatmu
telah ditotok, sehingga kalau kau mempergunakan tenagamu berkelebihan, niscaya
disaat itu juga kau akan menemui ajalmu!” Kata Kim Lo dengan suara yang dingin.
Pendeta itu meringis, ia
mengempos hawa murninya. Hatinya terkesiap, kaget tidak terkata. Karena begitu
ia menyalurkan lweekangnya, justeru ia merasa nyeri sekali pada dadanya yang
seperti tertusuk hebat.
Ia pun tahu apa artinya jika
jalan darah Hiang-mo-hiat seseorang tertotok, yang akan membawa kematian buat
korban tersebut kalau saja mempergunakan tenaganya lebih besar.
“Jika kau tidak mau mengakui
perbuatanmu, maka aku akan menyiksa hebat kepadamu! Totokan itu tidak mungkin
dibuka orang lain.
“Itulah ilmu menotok jari
tunggal sakti It-yang-cie, dan selain aku, tidak akan ada orang yang sanggup
membuka kembali jalan darah tersebut! Kalau sampai tiga hari totokan itu tidak
dibuka, walaupun kau memperoleh obat dewa, jangan harap kau bisa sembuh. Jelas
kau akan menjadi manusia bercacad yang tidak punya guna lagi.”
Muka Un Ma Siansu berobah
pucat pias. Ia mengigil sangat murka, tapi iapun ketakutan.
“Baiklah! Sekarang kau buka
totokanmu. Aku akan mengakui apa yang telah kulakukan!” kata Un Ma Siansu
dengan lesu.
“Akui dulu apa yang telah
pernah kau katakan padaku beberapa waktu yang lalu,” kata Kim Lo, “Jika kau
telah memberikan pengakuanmu, totokan itu akan kubebaskan, dan terserah kepada
tetua-tetua Kay-pang, apakah mereka ingin menghukummu atau tidak, itu urusan
mereka.”
Un Ma Siansu menghela napas
lesu sekali wajahnya muram.
“Ya, memang benar aku yang
telah membinasakan tiga orang murid Kay-pang, karena mereka terlalu kurang
ajar, berusaha mencegah keinginanku dan terlalu mencampuri urusanku!” Kata Un
Ma Siansu pada akhirnya.
Muka Yang Tiam dan
pengemis-pengemis lainnya jadi berobah, mereka murka bukan main.
Kim Lo menepati janjinya,
setelah si pendeta mengakui perbuatannya, segera ia menyentil membuka totokan
pada jalan darah ditubuh Un Ma Siansu.
“Hemmm, kini urusan Kay-pang
yang menyelesaikan persoalan kalian dengan pembunuh murid-murid Kay-pang! Nah,
selamat tinggal!” Kata Kim Lo sambil menjejakan kakinya, tubuhnya melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
Yang Tiam hendak mencegah
kepergian Kim Lo, tapi ia tidak berhasil. Kim Lo telah melesat pergi jauh dan
lenyap.
Bukan main kagumnya
pengemis-pengemis itu, yang semuanya sangat tunduk untuk kelihayan Kim Lo.
Itulah gin-kang yang sangat mahir sekali.
Setelah Kim Lo pergi, Yang
Tiam menoleh kepada Un Ma Siansu bentaknya: “Kepala gundul rupanya kau pembunuh
kejam yang membinasakan tiga orang kami! Sekarang kau harus menerima balasan
sakit hati mereka!”
Sambil berkata begitu, Yang
Tiam menyerang si pendeta. Un Ma Siansu coba memberikan perlawanan.
Ia memiliki kepandaian yang
tinggi. Jika tadi ia dengan mudah ditawan Kim Lo karena memang kepandaian Kim
Lo sangat hebat, berada di atas kepandaiannya.
Tiang Su dan Yu An maupun
pengemis yang lainnya pun telah maju menyerangnya. Un Ma Siansu jadi kewalahan,
terdesak hebat. Akhirnya ia terluka.
Dan dengan adanya pertempuran
yang berlangsung puluhan jurus tersebut, membuat pengemis-pengemis yang keluar
dari ruang dalam semakin banyak. Dan mereka mengepung Un Ma Siansu, menyerang
buat melampiaskan kemarahan mereka.
Akhirnya si pendeta terbinasa
dengan keadaan yang mengenaskan sekali. Mukanya rusak dan tubuhnya hancur
berkeping-keping. Yang Tiam memang tidak berusaha melindungi dan menyelamatkan
jiwa si pendeta yang jadi pembunuh murid-murid Kay-pang, karena ia menduga
tentunya si pendeta seorang yang telengas dan kejam, yang tidak perlu dibiarkan
hidup terus.
Murid-murid Kay-pang yang
terbinasa dalam keadaan menyedihkan sekali. Itulah sebabnya ia membiarkan
murid-murid Kay-pang lainnya ikut menyerang si pendeta dan membinasakannya.
Tubuh Un Ma Siansu menggeletak
tidak bernapas lagi dengan keadaan yang mengenaskan.
Yang Tiam bersama
pengemis-pengemis lainnya berdiri diam dengan wajah memperlihatkan rasa tidak
puas. Karena mereka telah membalaskan sakit hati tiga orang anggota Kay-pang
yang dibinasakan pendeta itu.
Yang Tiam menghela napas
dalam-dalam, ia teringat kepada orang yang berpakaian serba putih dan muka
selalu tertutup itu. Dan setiap gerak-geriknya sangat aneh sekali, dengan
kepandaian yang dahsyat.
Ia seorang pendekar yang
sungguh-sungguh aneh. Tapi kepandaiannya sangat sakti. Terlebih lagi dengan
serulingnya, ia merupakan pendekar yang menakjubkan sekali bagaikan naga yang
dahsyat atau harimau yang perkasa.
Dan karena tidak mengetahui
jalan asal usul Kim Lo, Yang Tiam maupun pengemis-pengemis lainnya dalam
kesempatan berikutnya bercerita kepada kawan-kawan mereka, selalu meyebut Kim
Lo sebagai Pendekar Aneh Berseruling Sakti.
Memang sesungguhnya kehadiran
Kim Lo di dalam rimba persilatan dalam waktu yang sangat singkat telah
menggemparkan. Karena sepak terjangnya yang aneh dengan selubung muka di mana
sebagian besar wajahnya tertutup.
Dan juga kepandaiannya yang
begitu hebat, memang di saat itu kenyataan telah bicara. Telah lahir seorang
pendekar, Pendekar Aneh Berseruling Sakti.
<>
Kim Lo pagi itu sudah
melakukan perjalanan lagi, karena ia ingin cepat-cepat tiba di Yang-cung dusun
kecil tempat dimana ia harus menemui Ko Tie dan yang lain-lainnya, seperti yang
telah dijanjikan Oey Yok Su. Sedangkan saat untuk bertemu itu sudah kian dekat
juga hanya kurang dari satu bulan lagi.
Dari tempatnya berada untuk
mencapai Yang-cung mungkin memakan waktu dua minggu. Itupun jika memang dalam
perjalanan tidak ada rintangan yang menghambat perjalanannya.
Pagi itu Kim Lo sudah berada
di daerah sebelah Utara Su-coan. Ia harus melewati lagi seratus lie lebih,
barulah ia dapat keluar dari daerah Su-coan Utara dan akan tiba di kota
Wie-cun.
Daerah Wie-cun merupakan
daerah yang masih liar. Liar di sini dimaksudkan karena di daerah tersebut
pihak kerajaan boleh dibilang tidak berhasil menancapkan kekuasaannya.
Dan orang di Wie-cun umumnya
selalu menggunakan hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Dan tentu
saja daerah seperti itu akan membuat siapapun harus berusaha memperoleh
kekuatan dan kekuasaan dengan menghimpun anak buah sebanyak mungkin. Tidak jarang
pula kekacauan terjadi di daerah tersebut.
Memang Kim Lo pun selama dalam
perjalanan telah mendengar keganasan penduduk di Wie-cun. Namun mau atau tidak
ia harus melewati daerah itu, untuk mempersingkat perjalanannya, dengan
mempercepat jalan dan memotong tiba di Yang-cung.
Kalau memang Kim Lo mengambil
jalan ke arah barat niscaya ia harus mempergunakan waktu yang lebih banyak,
karena tentu ia harus jalan berputar lagi akhirnya ke utara. Karena itu, Kim Lo
akhirnya memutuskan untuk menempuh perjalanan dengan melalui Wie-cun.
Kepandaian pemuda ini memang
telah tinggi dan mahir sekali. Karenanya ia tidak perlu merasa kuatir, nanti di
Wie-cun ia akan memperoleh kesulitan.
Setelah melakukan perjalanan
sampai tengah hari, Kim Lo berada di sebuah lapangan rumput yang sebagian masih
terbungkus oleh salju. Ia merasa letih juga. Karena selama melakukan perjalanan
ia mempergunakan gin-kangnya, berlari cepat.
Ia bermaksud beristirahat. Kim
Lo memandang sekelilingnya mencari tempat yang sekiranya cocok untuk dijadikan
tempat peristirahatannya.
Ketika melihat sebungkah batu
yang berada di samping sebatang pohon sehingga tempat di bawah batu itu
terlindung dari salju. Ia memutuskan tempat itu cocok untuknya. Ia menghampiri
dan duduk di situ.
Duduk beristirahat seorang
diri di tempat sesunyi tersebut, hati Kim Lo jadi teringat kembali kepada pulau
Tho-hoa-to. Juga kepada Oey Yok Su. Pada ibunya, walaupun ibunya kurang begitu
sayang padanya, tokh tetap saja wanita itu adalah ibunya.
Dan ia menyesali juga mengapa
ia dilahirkan dengan bentuk kurang begitu baik membuat ia harus mempergunakan
selalu kain putih yang buat menutupi sebagian wajahnya.
Sambil menghela napas, Kim Lo
merogoh sakunya mengeluarkan semacam benda. Ia menimang-nimang dan
memperhatikannya.
Ternyata itulah Giok-sie yang
pernah diperebutkan oleh pihak kerajaan maupun para pendekar gagah di dalam
rimba persilatan. Giok-sie yang memiliki kekuatan sangat dahsyat sekali sebagai
penarik bagi siapa saja untuk memiliki. Cap Kerajaan, yang dapat menempatkan
seseorang di tempat yang paling mulia di negeri tersebut.
Kim Lo menghela napas.
“Giok-sie ini sesungguhnya
tidak berarti apa-apa. Jika semua orang mau mengerti, bahwa mereka tidak
seharusnya dikendalikan oleh benda ini!”
Menggumam Kim Lo dengan suara
perlahan. Ia menimang-nimang lagi Giok-sie tersebut, dan memasukkannya ke dalam
sakunya. Ia jadi teringat pesan Oey Yok Su dikala Kim Lo berpamitan akan
meninggalkan Tho-hoa-to:
“Kim Lo kau harus ingat
baik-baik Giok-sie ini harus kau lindungi sebaik mungkin! Dan jangan
sembarangan memperlihatkan kepada orang lain!
“Jika telah waktunya, di saat
mana kau telah bertemu dengan pamanmu, para orang gagah dan lainnya di
Yang-cung, kau akan menerima petunjuk mereka! Kau harus baik-baik memperhatikan
nasehat dari paman-pamanmu sekalian itu!”
Kim Lo menghela napas. Ia
memang masih muda belia. Dan dalam usia semuda dia ternyata telah memiliki
kepandaian yang demikian tinggi, yang jarang sekali terjadi di dalam rimba
persilatan!
Terlebih lagi memang ia
langsung menerima warisan dan Oey Yok Su salah seorang tokoh sakti Lima Jago
Luar Biasa. Bisa dibayangkan betapa kepandaian yang dimiliki Kim Lo sekarang
ini seharusnya sudah sulit sekali mencari tandingannya.
Tapi, disamping itu Kim Lo
harus mengakuinya, ia masih kurang pengalaman. Terutama sekali di dalam rimba
persilatan. Jelas ia harus baik-baik mendengar nasehat dari paman-pamannya
nanti di Yang-cung. Menurut keterangan yang diberikan oleh Oey Yok Su, justeru
jago tua itu berpesan, jika dapat Kim Lo meminta petunjuk dari Kwee Ceng, atau
juga Yo Ko.
Dua orang tokoh itulah yang
akan dapat membimbing Kim Lo dengan baik. Mereka merupakan dua orang tokoh
rimba persilatan yang benar-benar jujur dan bersih hatinya, sehingga semua
nasehat mereka tentu untuk kebaikan Kim Lo.
Teringat, kepda orang-orang
yang harus dihubunginya, Kim Lo menghela napas.
“Bagaimana nanti jika mereka
memaksa ingin melihat mukaku?!” berpikir pemuda itu lagi. “Jika aku menolak,
tentu mereka akan tersinggung, namun jika aku memenuhi permintaan mereka aku
akan malu sekali....... bagaimana ini…..?” Dan Kim Lo menghela napas berulang
kali.
Tengah Kim Lo termenung-menung
seperti itu, ia melihat dari kejauhan beberapa orang anak kecil tengah
berlari-lari sambil bersorak gembira. Mereka rupanya tengah bermain saling
kejar.
“Betapa bahagianya mereka!”
berpikir Kim Lo. “Aku sejak kecil tak pernah memperoleh kebahagiaan seperti
mereka, selalu hidup terasing tanpa kawan di Tho-hoa-to!”
Dan pemuda ini jadi melambung
lagi pikirannya. Tanpa diinginkannya ia teringat kepada gadis berbaju merah
yang sangat galak itu, entah siapa gadis itu?
Anak-anak yang berlari main
petak itu lewat di dekat Kim Lo, salah seorang sambil tertawa-tawa telah
menunjuk ke arah Kim Lo, ia berseru: “Lihat, di siang hari ada hantu!”
Kawan-kawannya menoleh, mereka
tampaknya kaget dan takut-takut, karena melihat Kim Lo yang duduk di bawah batu
itu berpakaian serba putih dengan sebagian wajahnya yang ditutupi oleh sehelai
kain putih. Merekapun berseru-seru takut sambil berlari-lari meninggalkan
tempat itu.
Kim Lo menghela napas
dalam-dalam. Ia tak bisa marah oleh ulah anak-anak itu, dan duduk beristirahat
beberapa saat lagi di tempat itu.
Waktu Kim Lo ingin melanjutkan
perjalanannya, justeru ia melihat dua orang tengah berlari-lari mendatangi. Ia
jadi batal berdiri dan mengawasi dua orang yang tengah mendatangi agak cepat
itu, karena berlari mempergunakan gin-kang yang cukup tinggi.
Tidak lama kemudian Kim Lo
sudah bisa melihat jelas, bahwa dua orang itu adalah dua laki-laki berusia
pertengahan. Mereka tegap dan juga gagah, tangan mereka tampak mencekal senjata
masing-masing, sebatang pedang yang belum lagi dihunus.
Cepat mereka tiba di dekat
tempat di mana Kim Lo tengah duduk beristirahat. Mereka berhenti berlari
mengawasi Kim Lo sejenak lalu salah seorang di antara mereka maju beberapa
langkah tanyanya:
“Engkaukah yang menakut-nakuti
anak-anak kami sebagai hantu?” Tegurnya, suaranya menunjukkan dia tidak senang.
Kim Lo tahu, orang ini tentu
salah paham, mungkin juga mereka menerima laporan dari anak-anak mereka yang
mengatakan bertemu hantu. Hampir saja Kim Lo tertawa karena gelinya.
Perlahan-lahan Kim Lo bangun
berdiri. Dua orang laki-laki usia pertengahan itu bersiap-siap untuk menghadapi
segala kemungkinannya.
“Maaf siapakah lopeh berdua?”
tanya Kim Lo dengan suara yang sabar.
Orang yang tadi menegur Kim
Lo, yang mengenakan baju hijau, telah mendelik.
“Hemm, jadi benar kau yang
menakut-nakuti anak kami?” Tegurnya, matanya memandang tidak senang.
Kawannya, yang mengenakan baju
kuning juga telah ikut bicara, “Apa maksudmu menakut-nakuti anak-anak kami,
heh?”
Kim Lo tertawa.
“Jangan salah paham lopeh!”
kata Kim Lo yang berusaha menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya pada
mereka. “Justeru aku tengah duduk beristirahat di sini, mereka melihatku dan
menyangka hantu lalu lari ketakutan, apakah itu yang disebut menakut-nakuti?”
Kedua orang itu memandang Kim
Lo dengan mata tatap yang tajam, sikap mereka tetap saja memperlihatkan hati
mereka tidak puas dan tidak senang.
“Jika memang kau tidak
bermaksud menakut-nakuti anak kami, lalu mengapa kau mempergunakan kain putih
itu menutupi wajahmu? Hemm, jika kau hanya memakai baju berwarna putih dengan
celanamu yang putih juga hal itu kami memang tidak bisa mengomentari. Tapi
dengan sengaja menutupi juga mukamu dengan kain serba putih, jelas memang ada
unsur kesengajaan dari kau untuk menakut-nakuti anak-anak kami!”
Kim Lo jadi tidak senang
melihat sikap ke dua orang laki-laki itu. Ia kemudian bertanya,
“Lalu apa yang jiewie lopeh
kehendaki? Jika memang aku menakuti mereka, apa yang ingin kalian lakukan?
Kalau tidak, apa yang ingin kalian katakan?”
Ditanya begitu dua orang
laki-laki setengah baya itu saling pandang, lalu yang baju hijau maju beberapa
langkah lagi.
“Buka kain penutup mukamu
itu!” Katanya dengan suara yang ketus.
Hati Kim Lo tambah tidak
senang.
“Hemm, ada urusan apa dengan
penutup mukaku ini? Aku menutupi mukaku ini tokh tidak merugikan kalian?” tanya
Kim Lo tambah mendongkol.
“Kau dengar tidak
perintahku?!” Bentak orang berpakaian hijau dengan suara yang kasar. “Buka kain
penutup mukamu itu dan perlihatkan mukamu yang sebenarnya! Hemm, jangan-jangan
kau ini maling kecil yang ingin melakukan keonaran dan pencurian di daerah
kami,” sambil berkata begitu, ia mengibaskan golok yang masih bersarung itu!
Kim Lo tambah mendongkol,
sikap dan kelakuan dua orang ini kasar sekali. Justeru telah menuduh dirinya
dengan tuduhan yang tidak-tidak, membuat ia benar-benar jadi tidak senang.
“Baiklah! Mulutmu terlalu
kotor!” Kata Kim Lo kemudian.
Tahu-tahu tubuhnya berkelebat.
Ia menghantam mulut orang itu dengan satu kali tempelengan.
“Plokk!” Mulut orang itu
seketika jadi jontor dan ia kesakitan bukan main, tubuhnya terhuyung lima langkah.
Matanya juga berkunang-kunang.
“Kau……. kau berani memukul?”
Katanya dengan suara tergagap dengan murka.
Walaupun merasa heran Kim Lo
bisa bergerak begitu cepat, tanpa ia bisa melihat jelas tahu-tahu ia telah
ditempiling oleh Kim Lo, “Kau rupanya sengaja ingin menimbulkan keonaran di
sini, heh?”
Dan setelah berkata begitu,
tangan kanannya mencabut goloknya dari sarungnya. Kawannya pun melakukan hal
yang sama, yaitu mencabut keluar goloknya.
Kim Lo berdiri dengan sikap
mendongkol dan keren. Ia telah berpikir untuk memberikan pelajaran pahit pada
dua orang kasar dan juga ketus itu.
“Ya, mari pergunakan golok
kalian menyerangku! Aku ingin lihat, apa yang kalian bisa lakukan?” sambil
berkata begitu, Kim Lo melambaikan tangannya.
Dua orang itu yang tengah
marah, telah melompat maju.
“Ciang Kim Ie dan Ciang Kim
San pantang sekali untuk menolak tantangan!” teriak yang berpakaian baju hijau,
yang bernama Ciang Kim Ie. Ia telah mengayunkan goloknya menerjang maju, ia
membacok dengan jurus yang telengas.
Sedangkan Ciang Kim San pun
tak tinggal diam, ia sudah manyerang juga dengan goloknya.
Dua serangan dari dua jurusan
menyambar pada Kim Lo, tapi Kim Lo tetap berdiri tegap di tempatnya.
Waktu dua senjata tajam itu
menyambar dekat dengannya, sebat sekali Kim Lo tahu-tahu melesat lenyap dari
hadapan Ciang Kim San dan Ciang Kim Ie. Dua orang itu kaget dan heran.
Tahu tahu Ciang Kim San dan
Ciang Kim Ie merasakan punggung mereka sakit. Juga tubuh mereka terpelanting.
Rupanya Kim Lo telah menepuk
pundak mereka. Tepukan yang cuma mempergunakan tiga bagian tenaga dalam itu
membuat mereka terjungkal.
Kim Lo tidak memiliki hasrat
melukai mereka, karenanya ia cuma ingin memberikan pelajaran pahit kepada dua
orang yang kasar ini. Ia tidak menurunkan tangan keras.
Justeru diwaktu itu Ciang Kim
San dan Ciang Kim Ie sudah merangkak bangun. Mereka penasaran sekali dan
bermaksud ingin menyerang lagi.
Kim Lo bergerak ke sana ke
mari sebat sekali. Ia seakan juga lenyap tiada hentinya dari hadapan Ciang Kim
Ie dan Ciang Kim San. Ke dua orang itu jadi tidak bisa menerka, ke arah mana
Kim Lo bergerak dan berada, dan dengan sendirinya mereka pun tidak bisa
menyerang lebih jauh.
Justeru diwaktu itu, Ciang Kim
San teringat bahwa orang ini adalah ‘hantu’ maka ia jadi menggidik.
“Apakah memang sebenarnya ia
ini hantu?” pikir Ciang Kim San. Hal ini disebabkan ia melihat tubuh Kim Lo
bergerak begitu lincah seperti juga dapat terbang ke sana ke mari.
Teringat itu tidak buang waktu
lagi Ciang Kim San berseru nyaring: “Angin keras....... mungkin dia benar-benar
hantu!”
Ciang Kim Ie mendengar
teriakan itu, jadi kaget. Iapun segera berpikir sama seperti yang terpikir oleh
Ciang Kim San. Tanpa membuang waktu lagi mereka berdua telah berlari
meninggalkan tempat itu.
Kim Lo tidak mengejar, ia cuma
tertawa geli melihat ke dua orang itu melarikan diri.
Kemudian Kim Lo melanjutkan
perjalanannya. Ia bersiul-siul kecil untuk mengisi kesenangannya.
Berjalan beberapa lie,
tiba-tiba ia melihat seseorang yang tengah berjongkok di tepi jalan.
Itulah seorang laki-laki
berpakaian aneh sekali. Kopiah yang dipakainya terbuat dari bulu binatang, dari
juga bentuknya memperlihatkan bahwa orang itu bukan orang Tiong-goan.
Corak pakaiannya juga. Ia
tengah berjongkok di tepi jalan di bawah sebatang pohon, seperti tengah
memperhatikan sesuatu.
Kim Lo menghampiri, hatinya
tertarik dan ingin mengetahui apa yang tengah dilakukan orang tersebut. Tapi
orang itu seperti juga tidak mengetahui ada orang yang memperhatikan
gerak-geriknya. Ia tengah mencurahkan seluruh perhatiannya pada sebuah lobang
yang terdapat di bawah batang pohon itu.
Waktu Kim Lo menghampiri lebih
dekat, ia baru bisa melihat, orang itu seperti tengah menantikan sesuatu, yang
diharapkan keluar dari lobang tersebut.
“Maaf, apa yang saudara cari?”
tanya Kim Lo, didesak oleh perasaan ingin tahunya.
Orang itu seperti kaget, dan
tiba-tiba mukanya jadi berobah merah padam. Ia seorang laki-laki berusia antara
tigapuluh lima atau empatpuluh tahun, matanya tajam sekali.
“Kurang ajar!” Bentaknya
kemudian sambil berdiri dan membanting banting kakinya. “Siapa kau? Mengapa kau
menggagalkan usahaku untuk menangkap Kim-coa (Ular Emas). Kau mencari mampus
dan minta dihajar, heh?”
Dimaki begitu tanpa hujan
tidak angin, tentu saja Kim Lo jadi heran bercampur mendongkol. Ia bertanya
baik-baik, tapi orang ini berangasan dari tampaknya bengis.
Ia segera menjawab: “Jika
memang kau tidak memberitahukan itupun tidak jadi soal, akupun tidak akan
memaksa!” Dan Kim Lo mendehem beberapa kali barulah ia meneruskan kata-katanya:
“Mengapa anda harus marah seperti itu?”
Biji mata orang itu seperti
terbalik karena gusarnya. Ia membanting-banting kakinya lagi.
“Manusia tidak tahu diuntung!
Tahukah kau, bahwa Kim-coa tadi hampir saja keluar, dari lobang itu? Sekali
saja ia keluar, berarti aku akan berhasil menangkapnya!
“Tapi kau! Hemm, kau telah
menggagalkan usahaku itu! Kau telah membuat Kim-coa kaget dan batal keluar, dan
binatang itu telah masuk lebih dalam lagi di lobang itu! Kau harus ganti
kerugian ini!”
Kim Lo tercengang, aneh sekali
perangai orang ini. Ia yang gagal menangkap binatang yang dikehendakinya, yaitu
Kim-coa, justeru sekarang ia minta Kim Lo agar ganti rugi padanya.
“Ganti rugi?” tanya Kim Lo
sambil membeliakkan matanya lebar-lebar.
“Ya!” mengangguk orang itu
dengan tegas. “Kau harus menggantinya, karena kau telah mengejutkan Kim-coa,
membuat ular itu kembali masuk ke dalam lobangnya…….!”
Kim Lo tertawa.
“Ganti rugi yang kau inginkan
itu berapa besar?” tanyanya kemudian, karena ia ingin tahu, berapa banyak ganti
rugi yang diinginkannya.
Orang itu terdiam sejenak,
seperti juga ia tengah berpikir keras, sampai akhirnya ia bilang, “Untuk menangkap
Kim-coa dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan Kim-coa tidak bisa diperoleh di
sembarang tempat. Ular itu sangat berkhasiat sekali untuk membuat semacam obat,
dan harganya sangat mahal.
“Aku telah sebulan lebih
menunggu di sini buat menangkapnya, baru hari ini ia mau keluar dari lobangnya.
Justeru dikala aku hampir dapat menangkapnya kau telah mengejutkannya, sehingga
Kim-coa kembali masuk ke dalam lobang itu! Nah, kau harus menggantinya seratus
ribu tail emas!”
“Apa?” Mata Kim Lo terbeliak.
“Mungkin kau sudah sinting!”
Mata orang itu terbeliak
lebar.
“Apa kau bilang? Ohh, kau
berani mengucapkan kata-kata kurang ajar itu padaku?”
Dan membarengi dengan
kata-katanya, tampak tubuhnya melesat cepat sekali pada Kim Lo. Tangan kanannya
menyerang.
Kim Lo coba mengelakkan. Tapi
hatinya terkesiap, karena orang itu ternyata memiliki gin-kang yang mahir
sekali. Tangannya tahu-tahu hanya terpisah beberapa dim lagi dari pundak Kim
Lo.
Untung saja Kim Lo memang
memiliki kepandaian yang tinggi, dengan demikian ia tidak jadi gugup. Cepat ia
berkelit, ia menduduk dan juga menurunkan pundaknya!
Ia bermaksud membiarkan
pukulan tangan orang itu lewat di samping pundaknya. Ia yakin, pukulan itu
tidak akan mengenai sasarannya.
Kembali apa yang dipikirkan
Kim Lo tidak tepat, sebab semuanya berada diluar dugaannya.
Orang itu yang mengetahui
pukulannya akan jatuh di tempat kosong karena Kim Lo dapat menggerakkan
badannya dengan gerakan yang sangat manis sekali, segera menurunkan sedikit
tangannya. Dengan begitu, pukulannya terus menyambar ke arah pundak Kim Lo.
Tentu saja apa yang dilakukan
orang itu membuat Kim Lo terkesiap. Ia tidak menyangka orang tersebut memiliki
kepandaian yang tinggi dan juga perhitungan yang cepat serta tepat.
“Orang ini tampaknya bukan orang
sembarangan, kepandaiannyapun tidak bisa diremehkannya!” pikir Kim Lo. Dan ia
tidak bisa berpikir lebih lama lagi, sebab waktu itu justeru telah terlihat
tangan orang itu cuma terpisah beberapa dim saja, dan akan segera menghantam
pundaknya, kalau ia tidak cepat-cepat mengibaskan tangannya buat menangkis.
“Bukkk!” Kuat sekali tangannya
mengibas tangan orang itu. Ia menangkis sambil mempergunakan lima bagian tenaga
dalamnya. Dengan harapan bahwa orang itu akan terjengkang ke belakang.
Namun Kim Lo kecele kembali.
Ternyata tenaga orang itu kuat sekali, tubuhnya sama sekali tidak bergeming.
Dan ia tetap berdiri tegak di tempatnya. Malah iapun telah melanjutkan dengan
serangan berikutnya.
Kim Lo segera menyadarinya
bahwa lawannya bukanlah orang lemah, dan ia harus waspada! Segera ia juga
mengerahkan tenaga dalamnya menangkis dan balas menyerang. Setiap kali ada
kesempatan ia berusaha untuk mendesak.
Orang itu pun rupanya heran
bukan main. Ia menduga dalam satu-dua jurus akan merubuhkan Kim Lo. Tapi kenyataannya
walaupun mereka telah bertempur sampai puluhan jurus, tetap saja ia tidak bisa
merubuhkan Kim Lo. Malah untuk mendesak saja ia tidak bisa. Ia jadi berpikir,
entah siapa di balik tutup muka kain putih itu?
Kim Lo merobah cara
bertempurnya. Sekarang ia lebih banyak menutup diri, untuk memperhatikan cara
hertempur orang tersebut, guna mencari kelemahannya.
Sedangkan orang itupun
menyerang semakin berhati-hati penuh perhitungan!
Di kala itu orang tersebut
melompat mundur memisahkan diri. Dan ia bukan mundur untuk berdiri, melainkan
tahu-tahu jungkir balik. Sepasang kakinya di atas, dengan kepala di tanah.
Berputar, dan kemudian menyerang Kim Lo.
Cara bertempur orang ini
benar-benar aneh. Namun Kim Lo seketika teringat akan cerita Oey Yok Su, yang
menceritakan salah seorang dari lima jago luar biasa adalah Auwyang Hong.
Seorang yang memiliki kepandaian hebat yang diberi nama Ha-mo-kang.
Dan Auwyang Hong menguasai
ular berbisa. Ia memiliki barisan ular yang ditakuti orang gagah dalam rimba
persilatan. Namun akhirnya Auwyang Hong mati dengan cara kurang menggembirakan!
Apakah orang inipun
mempergunakan ilmu Ha-mo-kang itu? Kim Lo mendengar cerita dari Oey Yok Su,
Kong-kongnya itu bahwa Ha-mo-kang adalah ilmu silat kodok yang dapat
dipergunakan dengan jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas atau
mempergunakan dengan cara berjongkok sambil mengeluarkan suara mengkeroknya
kodok.
Orang yang menjadi lawan Kim
Lo pun sebentar-sebentar memperdengarkan suara aneh dari mulutnya, seperti
suara kodok yang tengah mengkerok. Dan suara aneh itu semakin diperhatikan
memang mirip sekali dengan suara mengkerok. Dan dugaan Kim Lo bahwa orang yang
menjadi lawannya mempergunakan ilmu Ha-mo-kang semakin kuat juga.
“Siapakah dia? Apakah dia
memiliki hubungan dengan Auwyang Hong?” diam-diam Kim Lo berpikir di dalam
hatinya.
Tapi ia tidak bisa berpikir
terlalu lama. Ia harus mencurahkan perhatiannya, sebab ia gencar sekali
diserang terus menerus oleh lawannya, dengan ilmunya yang aneh itu.
Namun tidak percuma Kim Lo
telah memperoleh didikan yang baik sekali dari Oey Yok Su. Walaupun lawannya
lihay dan juga ilmunya sangat aneh namun ia masih bisa menghadapinya dengan
baik.
Akhirnya Kim Lo tidak mau
memikirkan tentang lawannya ini, sebab ia harus mencurahkan seluruh
perhatiannya buat menghadapi lawan tersebut. Karenanya ia cepat-cepat mengempos
semangatnya dan balas menyerang setiap kali memiliki kesempatan.
Mereka bertempur seru sekali.
Sama sekali Kim Lo tidak jeri. Kalau saja ia telah berpengalaman, niscaya ia
tidak akan memperoleh kesulitan merubuhkan lawannya. Hanya saja justeru biarpun
kepandaian Kim Lo telah tinggi tokh kenyataannya ia masih kalah dan kurang
pengalaman dari lawannya, membuat beberapa kali kesempatan yang sangat baik
terlewatkan begitu saja.
Lawannya juga heran bukan main
melihat beberapa puluh jurus telah lewat tanpa ia memiliki kesempatan untuk
merubuhkan Kim Lo. Jangan merubuhkan, sedangkan mendesak saja ia tidak
berhasil.
“Siapa orang ini? Atau memang
termasuk salah seorang dari musuh-musuhku? Bukankah mukanya ditutupi oleh kain
putih itu, sehingga tampak tidak tampak wajahnya?
“Hemm, jika memang ia termasuk
sebagai salah seorang musuhku, maka ia harus dibinasakan! Melihat ilmu silat
yang dipergunakannya, memang mirip-mirip dengan ilmu silat seseorang.”
Karena berpikir begitu, lawan
Kim Lo tiba-tiba melesat cepat sekali ke belakang. Ia juga menyusuli bentakan.
“Hentikan!”
Tubuhnya gesit sekali telah
melompat berjungkir balik lagi, untuk berdiri dengan sepasang kakinya, matanya
memancarkan sinar sangat tajam.
Kim Lo menahan tangannya, ia
berhenti bersilat. Cuma saja ia mengambil sikap bersiap sedia.
“Hemm, apakah sekarang kau mau
membatalkan tuntutanmu yang meminta ganti rugi dariku?” Tanya Kim Lo dengan
suara mengejek.
“Siapa kau sebenarnya?” Tanya
orang itu tanpa memperdulikan ejekan Kim Lo. “Mengapa kau tidak berani
memperlihatkan wajahmu padaku, sehingga perlu kau tutupi dengan kain putih
itu?”
Kim Lo tertawa dingin.
“Tentang diriku tidak perlu
kau pusing! Sekarang katakan dulu, siapa kau?” Kim Lo berbalik bertanya.
Lawan Kim Lo jadi mendongkol
bukan main. Ia telah memandang bengis.
“Aku seorang yang tidak senang
selalu menyembunyikan she dan nama! Dengarlah baik-baik! Aku Auwyang Phu! Kau
sudah dengar? Aku she Auwyang dan bernama tunggal Phu!”
“Auwyang Phu?” Tanya Kim Lo
agak terkejut juga bercampur dengan perasaan heran.
“Benar! Kau kaget?!” Mengejek
orang itu yang ternyata memang tidak lain dari Auwyang Phu. Ternyata, ia putera
Auwyang Hong hasil hubungan gelap Auwyang Hong dengan Cek Tian.
Di dalam kisah Anak Rajawali
telah dijelaskan betapa Cek Tian dan Auwyang Phu dilukai oleh Swat Tocu, Ko
Tie, Giok Hoa, dan guru Giok Hoa, yaitu Yo Kouwnio. Dan ia bersama ibunya telah
pergi ke suatu tempat untuk melatih diri lebih baik.
Peristiwa itu terjadi duapuluh
tahun yang lalu, dan kini Auwyang Phu sudah berusia empatpuluh tahun lebih.
Ibunya, Cek Tian sudah menutup mata.
Dan sejak saat itu Auwyang Phu
berkelana seorang diri. Ia selalu mencari binatang-binatang berbisa untuk
ditangkapnya dan diambil racunnya. Ia selalu berusaha menciptakan racun yang
paling dahsyat dari campuran bisa binatang beracun itu. Kepandaiannya pun telah
pulih dan lebih tinggi dari beberapa waktu yang lalu.
Bisa dibayangkan, dulu dengan
dikeroyok oleh Swat Tocu, Ko Tie, Yo Kouwnio dan Giok Hoa, dia baru bisa
dilukai. Dan bisa dibayangkan juga betapa tinggi kepandaian Auwyang Phu yang
sebenarnya.
Hanya saja disebabkan luka di
dalam yang tidak ringan, sepuluh tahun terbuang percuma saja buat Auwyang Phu
memulihkan kesehatan dan tenaga dalamnya. Lalu sepuluh tahun lainnya ia baru
bisa melatih diri untuk mempertinggi kepandaiannya.
Auwyang Phu sekarang sudah
berbeda dengan Auwyang Phu duapuluh tahun yang lalu. Sekarang selain
kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi, juga ia jadi pendiam. Dan
iapun bermaksud suatu saat kelak mencari Swat Tocu, Ko Tie, Giok Hoa dan Yo
Kouwnio, serta beberapa orang musuh lainnya.
Disamping mempelajari ilmu
racun, ia juga selalu berusaha untuk dapat melatih tenaga dalam dan ilmu
silatnya lebih tinggi lagi. Dan segala macam usaha telah dilakukannya.
Kini siapa tahu dikala ia
hendak menangkap Kim-coa, ia bertemu dengan Kim Lo. Telah sebulan lebih ia
menanti di luar lobang Kim-coa, dan memang ular yang terkenal sangat berbisa
itu, juga ular yang langka.
Ular yang berukuran tubuh
kecil cuma belasan dim dan juga memiliki racun yang paling berbisa. Dan ular
itu sulit sekali dicari dan ditangkap sabar sekali.
Auwyang Phu menunggui di luar
lobang ular tersebut. Dan justeru pada hari itu ia mengetahui ular tersebut
akan menggeleser keluar dari dalam lobangnya.
Ia mendengar dengan baik-baik
mempergunakan telinganya yang tajam. Ia tahu ular itu tengah menggeleser
ragu-ragu di dalam lobangnya.
Auwyang Phu menahan napasnya.
Malah ia telah melihat kepala ular itu mulai muncul di lobang, dan ia
bersiap-siap akan menangkapnya. Siapa sangka, justeru di saat seperti itu Kim
Lo tiba dan bertanya padanya, mengejutkan Kim-coa, yang segera menarik
kepalanya menghilang ke dalam lobangnya.
Maka wajar kalau Auwyang Phu
sangat murka pada Kim Lo. Tapi setelah bertempur sekian lama ia seakan tidak
berdaya buat merubuhkan Kim Lo.
Ia jadi berbalik heran, ia
menduga tentunya orang yang menutupi wajahnya dengan kain putih itu adalah
seorang tokoh rimba persilatan. Dengan begitu, jelas akan membuat ia memperoleh
kesulitan kalau ia main desak begitu saja. Dan di hatinya timbul rangsangan
ingin mengetahui siapakah sebenarnya orang itu.
“Masih ada hubungan apa kau
dengan Auwyang Hong?” tanya Kim Lo setelah perasaan herannya berkurang.
Auwyang Phu tertawa dingin.
“Aku puteranya! Kau kaget,
bukan?”
“Bohong!” kata Kim Lo.
“Bohong??”
“Ya, kau bohong! Kau cuma
ingin mendustai aku dengan mengaku-ngaku sebagai putera Auwyang Hong!”
“Mengapa kau berkata begitu
dan tidak mempercayai keteranganku?” Tanya Auwyang Phu menahan amarahnya.
“Hemmm, Auwyang Hong seorang
tokoh sakti. Yak mungkin memiliki keturunan seperti cecongor kau!” kata Kim Lo.
Muka Auwyang Phu berobah merah
padam. Ia telah mengawasi Kim Lo tajam sekali.
“Baik! Terserah padamu,
percaya atau tidak! Yang jelas dan pasti aku adalah putera Auwyang Hong! Hemm,
aku akan menghajar kau mampus dengan Ha-mo-kang……..!”
Sambil berkata begitu, Auwyang
Phu bersiap-siap untuk mulai menyerang lagi.
Sedangkan Kim Lo berpikir
keras. Ia bukannya tidak mempercayai Auwyang Phu. Ia cuma mengejek hendak
memanas-manasi Auwyang Phu.
Bukankah ia telah
mempergunakan ilmu silat Ha-mo-kang, ilmu andalan dari Auwyang Hong, ilmu
pusaka keluarga Auwyang? Dan juga memang kepandaian Auwyang Phu tidak rendah
malah jika harus diakui dengan jujur, ia yakin kepandaian Auwyang Phu tidak
berada di sebelah bawah kepandaiannya. Karena dari itu Kim Lo berlaku sangat
hati-hati sekali buat menghadapi segala kemungkinan.
“Sebutkan namamu dan buka kain
penutup mukamu. Aku tidak mau membunuh manusia pengecut dan tidak bernama!”
Kata Auwyang Phu waktu ia bersiap hendak menyerang.
Kim Lo tertawa dingin.
“Kau tengah bermimpi? Hemm,
jangankan membunuhku, sedangkan untuk melindungi jiwamu sendiri belum tentu
sanggup melakukannya!” mengejek Kim Lo.
Auwyang Phu sudah tidak bisa
menahan diri, menggelegar bentakannya sambil tubuhnya melesat cepat sekali
menghantam pada Kim Lo. Ia mendorong telapak tangannya. Jurus yang
dipergunakannya merupakan salah satu dari ilmu pukulan Ha-mo-kang. Angin yang
berkesiuran sangat kuat.
Latihan Auwyang Phu memang
jauh lebih baik dari duapuluh tahun yang lalu. Sedangkan duapuluh tahun yang
silam kepandaiannya sudah tinggi, maka sekarang bisa dibayangkan dalam keadaan
murka seperti itu, betapa hebatnya kekuatan tenaga dalam yang dipergunakannya.
Karenanya Kim Lo yang
diterjang oleh angin serangan berkesiuran kuat seperti itu, tidak berani
berayal. Ia sudah mengetahui bahwa lawannya putera Auwyang Hong, yang memiliki
kepandaian tinggi, karenanya ia harus menghadapinya dengan sebaik-baiknya.
Cepat sekali Kim Lo mengelak
ke samping kiri. Ia mempergunakan ilmu gin-kang Bayangan Setan, yang diwarisi
Oey Yok Su. Gin-kang seperti itu memang merupakan ilmu gin-kang istimewa dari
Oey Yok Su, yang dapat membuat seseorang bergerak secepat setan.
Dan pukulan Auwyang Phu jatuh
di tempat kosong, menghantam batang pohon dan pohon itu tumbang dengan
mengeluarkan suara berisik sekali. Karena pohon tersebut seperti diterjang satu
kekuatan yang sangat dahsyat.
Kim Lo menggidik juga.
“Hebat tenaga dalamnya. Jika
tadi aku berayal dan terlambat mengelakkan, sehingga aku kena diserang,
bukankah aku akan celaka?” Pikir Kim Lo.
Dan selanjutnya Kim Lo lebih
mencurahkan perhatian pada setiap gerakan Auwyang Phu.
Auwyang Phu penasaran sekali.
Ia tahu lawannya sangat lihay. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tadi ia
melihat gin-kang lawannya mahir sekali, sebab bisa menghilang begitu saja dari
hadapannya, dan mengelakkan pukulannya.
Berulang kali Auwyang Phu
mengulangi serangannya, bahkan tidak jarang ia berjongkok, seperti seekor
kodok, dan mendorong hebat mempergunakan dua telapak tangannya.
Kim Lo sekarang sudah tidak
main kelit. Ia memusatkan hawa murni Kim-im-cin-keng dan ia berusaha membendung
tenaga terjangan dari Auwyang Phu. Ia ingin mencoba untuk keras dilawan keras.
Kalau memang dibandingkan ilmu
silat Kim Lo dengan Auwyang Phu, sesungguhnya kepandaian Kim Lo akan berada di
atas Auwyang Phu. Karena Kim Lo menerima warisan langsung dari Oey Yok Su,
sedangkan Auwyang Phu mewarisi kepandaian Auwyang Hong tidak secara langsung,
dari ibunya, Cek Tian.
Demikian juga Cek Tian, yang
tidak menerima langsung warisan Auwyang Hong, melainkan lewat sejilid kitab.
Karena itu, banyak bagian-bagian yang sulit dimengerti dan tidak dapat dipahami
oleh Cek Tian maupun Auwyang Phu.
Padahal bagian-bagian tersebut
yang terpenting. Karena itu ilmu yang dimiliki Kim Lo sebetulnya murni dan
hebat dari ilmu Auwyang Phu, jauh lebih sempurna. Hanya saja Kim Lo kurang
latihan dan pengalaman.
Waktu itu pertempuran
berlangsung terus, mereka masih tetap berimbang. Dan diam-diam Auwyang Phu jadi
heran.
Ia tidak hentinya memikirkan,
entah siapa orang yang menjadi lawannya ini. Dan sepintas ia masih bisa
mengenali ilmu yang dipergunakan Kim Lo mirip-mirip dengan ilmu tocu dari pulau
Tho-hoa-to. Cuma saja ia kurang begitu jelas untuk mengenali, asal-usul orang
tersebut dari ilmu silatnya itu.
Kim Lo sendiri telah
mempergunakan berbagai ilmu simpanannya, karena ia melihat beberapa kali
dirinya hampir saja terdesak oleh rangsekan Auwyang Phu. Namun tetap saja
mereka berimbang membuat Kim Lo jadi penasaran. Ia semakin memusatkan seluruh
kekuatannya untuk mengadakan perlawanan.
Suatu kali, ketika Auwyang Phu
menghantam dengan dua telapak tangannya, Kim Lo mengelak ke samping kanan. Dan
bersamaan dengan itu, tampak tangan Auwyang Phu yang kiri telah melayang lagi,
mendengar angin pukulan yang kuat Kim Lo mengelak lagi. Tapi terlam¬bat.
“Breett…....” Justeru itu kain
putih penutup mukanya keserempet angin serangan Auwyang Phu dan kain itu
tersingkap, sehingga terbuka dan tampak mukanya!
Auwyang Phu kaget. Ia sampai
berseru. Dan ia melompat ke belakang.
Kim Lo cepat-cepat menutupi
mukanya dengan kain putih itu. Bukan main gusarnya Kim Lo, karena wajahnya
telah sempat dilihat oleh Auwyang Phu.
“Hahaha!” Tertawa Auwyang Phu
setelah rasa herannya berkurang: “Tidak tahunya aku tengah bertempur dengan
seekor monyet! Haha haha!” Sambil tertawa tidak hentinya, ia telah melompat dan
menerjang lagi.
Kim Lo yang juga sudah naik darah
dan gusar, tidak tinggal diam, karena iapun segera menerjang dengan hebat,
setiap serangannya sekarang ini jauh lebih hebat. Ia tidak main-main lagi, ia
bermaksud untuk berusaha merubuhkan Auwyang Phu.
Begitulah, mereka terlibat
dalam pertempuran yang seru sekali. Tubuh mereka berkelebat ke sana ke mari
seperti juga bayangan.
Ada yang menguntungkan Kim Lo,
yaitu gin-kang yang dimiliki Kim Lo memang sangat tinggi dan mahir, gin-kang
yang merupakan ilmu istimewa Oey Yok Su. Dan ia mempergunakan gin-kangnya itu
untuk mengepung Auwyang Phu, membuatnya jadi pusing.
Auwyang Phu sendiri tengah
diliputi perasaan heran.
“Dilihat usianya, mungkin ia
baru duapuluh tahun, tapi mengapa ia demikian lihay? Dan mengapa mukanya
seperti muka kera?” Sambil berpikir begitu, tidak hentinya ia mendesak Kim Lo
bertubi-tubi.
Waktu itu Kim Lo terus juga
mendesak Auwyang Phu, sampai akhirnya Auwyang Phu melompat kebelakang
berjumpalitan tidak hentinya, menjatuhkan diri.
“Sekali ini aku mengampuni
jiwamu, karena aku harus mengolah obatku yang tidak dapat tertunda dan aku akan
membiarkan jiwamu dititipkan pada batok kepalamu. Tapi dilain kesempatan kita
akan bertemu lagi.” Sambil berkata begitu Auwyang Phu terus juga melesat dengan
cepat, dan Kim Lo mengejarnya.
Mereka jadi saling kejar,
karena Kim Lo tidak mau melepaskannya. Auwyang Phu tetap hendak memisahkan
diri. Karena Auwyang Phu berpikir tidak ada gunanya ia melayani terus Kim Lo
yang hanya akan membuang-buang tenaga.
“Berhenti pengecut!” teriak
Kim Lo.
Namun Auwyang Phu terus juga
lari.
Waktu itu mereka telah melalui
puluhan lie tapi mereka masih saling kejar terus menerus.
Sambil mengejar Kim Lo pun
berpikir: “Ia mengaku sebagai putera Auwyang Hong. Tentunya dia bukan sebangsa
munusia baik-baik terlebih lagi tadi dalam pertempuran setiap jurus yang
dipergunakannya adalah ilmu silat yang sesat. Hemm, jika aku terus juga
mengejarnya dan bisa melukainya, jelas aku tidak akan disesali suhu…….!”
Karena berpikir begitu, Kim Lo
mengejar terus. Tubuhnya seperti bayangan setan saja, berkelebat sangat cepat.
Auwyang Phu sendiri mengempos
semangatnya dan mengerahkan tenaganya, berlari terus dengan cepat. Dan ia pun
tidak mau melayani Kim Lo.
Tengah Kim Lo asyik mengejar
lawannya mendadak terdengar suara derap kaki kuda. Kim Lo melirik ke
belakangnya. Segera terlihat seorang penunggang kuda tengah melarikan binatang
tunggangannya dengan cepat sekali.
Dan yang membuat hati Kim Lo
terkesiap, justru orang di atas punggung kuda itu dikenalinya sebagai orang
yang membuat hatinya berdebar. Seorang gadis yang berpakaian merah. Dan gadis
itulah yang pernah bertempur dengannya, karena gadis itu sangat galak sekali
main cambuk dan main menyerang dengannya.
Kim Lo tersentak bingung dan
gugup, karena seketika hatinya berdebar. Ia memang tertarik pada gadis itu.
Sekarang melihat gadis
tersebut muncul di situ, tentu saja membuat ia jadi tergoncang perasaannya. Ia
merandek, dan karena itu Auwyang Phu telah lari semakin jauh dan akhirnya
lenyap.
Gadis itu melarikan kudanya
cepat sekali. Belum lagi kuda itu dihentikan tubuhnya telah melesat melompat
turun dari punggung kudanya tersebut.
“Hemm, kembali kau mengganas!”
Mengejek gadis itu dengan suara yang dingin. “Kau ingin merampok di siang hari
bolong?”
Muka Kim Lo jadi merah, untung
saja waktu itu mukanya diselubungi oleh sehelai kain putih sehingga gadis itu
tidak bisa melihat perobahan wajahnya.
“Jangan nona sembarangan
menuduh!” katanya dengan sikap kurang senang.
“Siapa yang menuduh?! Aku
telah menyaksikan, betapa kau mengejar-ngejar calon korban untuk dirampok
bukan?” Kata gadis baju merah itu.
Kim Lo menghela napas
dalam-dalam.
“Nona, mengapa kau selalu usil
mencampuri urusanku?” Kata Kim Lo akhirnya.
“Mencampuri urusanmu? Terlalu
usil? Oh, mulutmu selalu jahat sekali! Siapa yang usil mencampuri urusanmu?
Hemm, justeru aku tidak akan membiarkan penjahat manapun berbuat
sewenang-wenang di depan pucuk hidungku!”
“Bukan sekedar mencampuri saja
tapi akan kubuktikan kau tidak berani menyebutkan namamu!” Mengejek Kim Lo,
girang bukan main, karena ia telah mengetahui bahwa gadis baju merah yang
selalu membuat hatinya berdebar adalah orang she Yo.
“Namaku....... Bie Lan!” Kata
si gadis kemudian karena saking terpojokkan, dan pedangnya meluncur menyerang
Kim Lo.
“Yo Bie Lan! Nama yang bagus!”
Teriak Kim Lo sambil tertawa dan mengelakan serangan gadis itu.
Yo Bie Lan, gadis baju merah
itu benar-benar kalap dan mati kutu tidak berdaya, walaupun ia menyerang
gencar, tokh Kim Lo selalu dapat mengelakannya. Ia benar penasaran tapi tidak
bisa melampiaskannya, sehingga membuat dia seperti ingin menangis buat
melampiaskan kemendongkolan dan penasarannya itu.
“Kau she Yo, nona Bie Lan.
Tentunya kau masih ada hubungan dengan keluarga Yo dari Sin-tiauw Tay-hiap?
Bukankah begitu nona Bie Lan?” Tanya Kim Lo yang sengaja tetap mempermainkan
Bie Lan.
Ia sembarangan saja berkata
begitu. Ia sering mendengar tentang kependekaran dan kesaktian Sin-tiauw
Tay-hiap Yo Ko, di mana Oey Yok Su selalu menceritakannya dengan penuh perasaan
kagum.
Dan Kim Lo yang cuma mendengar
sepak terjang Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko telah tertanam perasaan kagumnya. Karena
mendengar gadis itu she Yo, sembarangan saja ia bilang begitu.
Tapi tidak terduga, gadis itu
justeru jadi tahu-tahu ia melompat ke belakang dengan muka yang berobah dan
mata yang terbuka lebar-lebar.
“Ihhh, dari mana kau
mengetahuinya?” Tanya gadis itu dengan suara tidak sekeras tadi.
Kim Lo juga kaget. Ia bicara
sembarangan. Siapa tahu tampaknya memang gadis ini benar-benar dari keluarga
Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko. Ia jadi menyesal telah mempermainkan gadis ini, jika
memang benar-benar si gadis dari keluarga Yo yang dikaguminya itu.
“Jadi…….. jadi benar nona
memiliki hubungan dengan Sin-tiauw Tay-hiap?” tanya Kim Lo.
Gadis itu mengawasi tajam pada
Kim Lo dengan mata tidak berkedip.
“Jadi kau sekarang baru
mengetahui bahwa aku bukan sebangsa manusia rendah?” Kata si gadis.
Kim Lo memperlihatkan sikap
menyesal. Malah ia segera juga memasukkan serulingnya ke dalam sakunya.
Seruling itu saja hadiah pemberian dari Yo Him, putera Sin-tiauw Tay-hiap.
Karenanya cepat merangkapkan tangannya memberi hormat kepada si gadis.
“Maaf…… maaf, sungguh aku
tidak bermaksud menghina nona!” Katanya. “Maafkan atas kecerobohanku tadi.”
Gadis itu menjadi lebih sabar
dari tadi, karena ia melihat Kim Lo meminta maaf dengan sikap sungguh-sungguh.
“Hemm, sesungguhnya siapa kau?
Apakah kau sahabat Kong-kong?” Tanya si gadis.
Kim Lo tambah kaget.
“Jadi....... jadi Sin-tiauw
Tay-hiap adalah Kong-kongmu?” Tanya Kim Lo.
Gadis itu mengangguk.
“Benar…...!” Katanya.
“Tapi.......” namun gadis itu tidak meneruskan kata-katanya.
“Jadi……. nona puteri Yo Him
Tay-hiap?” Tanya Kim Lo lagi.
“Benar!” Mengangguk gadis itu.
“Akh, bagaimana kesehatan Yo
Him Pehpeh (paman Yo Him)?” Tanya Kim Lo girang dan kaget.
“Hemm, sebenarnya kau, kau
sahabat atau musuh dari keluarga Yo?” Tanya gadis itu dengan pandangan
menyelidik.
“Sahabat! Sahabat!” kata Kim
Lo segera.
“Lalu mengapa kau memusuhi
aku?” Tanya Yo Bie Lan sambil mengawasi lagi dengan tajam dan mulut
dimonyongkan.
Kim Lo tercekat kaget,
kemudian ia geleng-gelengkan kepalanya. “Aneh gadis ini! Dia yang selalu
memusuhi aku, galak dan selalu menyerangku tanpa keruan juntrungannya. Sekarang
malah ia berbalik menuduh aku yang memusuhinya!”
Tapi Kim Lo setelah mengetahui
bahwa gadis itu adalah cucu Sin-tiauw Tay-hiap, tidak berani main-main lagi. Ia
tetap menghormati dan katanya mengalah,
“Sebenarnya....... sebenarnya
hanya terjadi satu salah paham belaka……. Harap nona mau memaafkan…….!”
Gadis itu jadi lebih tenang
dan lebih sabar. Senang hatinya mendengar Kim Lo mengaku bersalah.
“Siapa kau sebenarnya?” Tanya
Yo Bie Lan sambil terus menatap tajam.
“Seperti yang telah
kuberitahukan tadi, aku bernama Kim Lo.” Menjelaskan Kim Lo.
“Ya, memang tadi telah
kudengar, namamu Kim Lo tapi……. kau ini sesungguhnya siapa? Sedangkan mukamu
itu saja telah ditutupi kain putih dan tidak pernah kulihat wajahmu.”
Kim Lo jadi kikuk.
“Ini…… nanti akan
kuceritakan,” kata Kim Lo. “Maafkanlah, sementara waktu ini tidak dapat aku
membuka tutup muka ini!”
“Mengapa kau bertempur dengan
orang yang melarikan diri?” Tanya Yo Bie Lan.
“Dia putera Auwyang Hong, ia
meminta ganti untuk hal yang tidak masuk akal,” menjelaskan Kim Lo.
“Puteranya Auwyang Hong?
See-tok Auwyang Hong?” tanya Bie Lan sambil membeliakan matanya.
“Ya, menurut dia memang
begitu, ia mengaku sebagai putera Auwyang Hong. Entah benar atau tidak. Tapi
yang pasti ia memang memiliki kepandaian yang tinggi dan rupanya ia pun mahir
sekali menguasai ilmu Ha-mo-kang.”
“Lalu mengapa kalian
berselisih?”
Kim Lo menceritakan
sebab-sebabnya.
Mendengar cerita Kim Lo, Bie
Lan tertawa bergelak-gelak.
“Lucu! Mana ada aturan seperti
itu?” kata Bie Lan kemudian di antara tertawanya.
“Nah karena aku menolak
tuntutannya, ia menyerangku, kami jadi bertempur. Namun akhirnya entah mengapa,
ia telah memisahkan diri dan berusaha melarikan diri!”
Gadis itu memandang kagum.
“Kalau demikian memang
kepandaianmu tinggi sekali. Putera Auwyang Hong saja dapat kau rubuhkan,
sehingga ia ketakutan dan melarikan diri.” Memuji Bie Lan.
“Bukan begitu!” Kim Lo
cepat-cepat memotong perkataan si gadis. “Sebenarnya kepandaian dia tidak
berada di sebelah bawah kepandaianku, kami berimbang. Tapi entah mengapa,
mendadak sekali ia telah memisahkan diri dan katanya ia ingin meramu
obat-obatan yang tidak bisa ditundanya lagi, sehingga ia berusaha meninggalkan
aku.
“Aku mengejarnya. Namun
seperti yang kukatakan tadi, kepandaian kami memang hampir berimbang, kami jadi
saling kejar saja!”
Bie Lan tersenyum, manis
sekali.
“Sekarang kau tentu tidak
keberatan buat membuka kain penutup mukamu itu?” Tanya si gadis.
Kaget Kim Lo. Bagaimana
mungkin ia bisa membiarkan gadis itu melihat wajahnya yang aneh dan kurang baik
bentuknya, yang seperti kera itu.
“Ini……. Ini…...!” Katanya
gugup dan sangat kikuk, ia jadi serba salah tingkah.
“Mengapa? Apakah kau ada
kesulitan?” Tanya Bie Lan kemudian sambil menatap tajam.
Kim Lo mengangguk.
“Ya, ada sedikit kesulitan
yang tidak dapat kuceritakan padamu sekarang, nona…… harap kau maklum dan mau
memaafkannya!” Kata Kim Lo. Malah ia segera membungkukkan tubuhnya, memberi
hormat kepada Bie Lan.
Si gadis menyingkir tidak mau
menerima pemberian hormat Kim Lo, ia bilang: “Jika aku melihat sebentar saja
tokh tidak jadi persoalan, sekarang aku tidak tahu bagaimana bentuk mukamu,
berapa usiamu dan juga siapa kau sebenarnya?”
“Maafkan nona nanti juga nona
akan mengetahui!” kata Kim Lo dengan sikap menyesal sekali.
“Baiklah kalau memang kau
keberatan memperlihatkan mukamu padaku, sekarang maukah kau memberitahukan kau
berasal dari mana? Pintu perguruan mana? Siapa gurumu? Dan berapa usiamu?”
“Aku….. aku tahun ini berumur
duapuluh tahun!” Menjelaskan Kim Lo setengah ragu-ragu sejenak.
“Apa? Jika begini kau masih
muda sekali!” berseru Bie Lan.
Kim Lo tertawa.
“Apakah sebelumnya kau
menyangka aku sebagai seorang kakek tua jompo?” tanya Kim Lo.
Gadis itu mengangguk.
“Ya, melihat kepandaianmu,
semula aku menduga tentu sedikitnya kau seorang tokoh sakti rimba persilatan,
yang telah berusia lanjut. Siapa sangka, kau ternyata masih muda sekali.
Kim Lo senang mendengar ucapan
si gadis ia kemudian bilang lagi: “Sesungguhnya, untuk urusan pintu perguruanku
tak bisa dibicarakan dengan sembarang orang, tapi aku bersedia memberitahukan
hanya untukmu, nona!”
“Tunggu dulu!” memotong si
gadis.
Kim Lo memandang heran pada si
gadis.
“Apa nona Yo?” tanyanya
kemudian.
“Jika memang kau kesulitan
yang membuat engkau tidak bisa memberitahukan asal dan pintu perguruanmu, kau
tidak perlu memberitahukannya kepadaku! Aku pun tidak akan memaksanya,”
tampaknya gadis itu tersinggung.
“Aneh gadis ini,” pikir Kim
Lo. “Ia galak sekali dan cepat tersinggung.”
Namun Kim Lo segera berkata
sabar. “Tapi untukmu lain, nona, aku bersedia memberitahukannya! Aku
sesungguhnya dari Tho-hoa-to.”
“Dari Tho-hoa-to?” tanya Bie
Lan heran dan tampaknya ia terkejut, karena wajahnya berobah.
Kim Lo mengangguk,
“Benar, nona!”
“Pulau Tho-hoa-to milik Oey
Yok Su Locianpwe?” tanya Bie Lan lagi menegasi.
Kim Lo sekali lagi mengangguk.
“Oey Yok Su adalah
Kong-kongku! Aku cucunya!” Menyahuti Kim Lo.
Si gadis mementang matanya
lebar-lebar seakan-akan tidak mempercayai apa yang didengarnya.
“Kau cucu Oey Yok Su
Locianpwe?” tanya nya kemudian.
Kim Lo mengiakan.
“Kalau begitu, kau tentunya
putera dari Oey Yong Pehbo dengan Kwee Ceng peh-hu?” Kata gadis itu.
Kim Lo cepat-cepat gelengkan
kepala.
“Bukan! Bukan!” Katanya.
Yo Bie Lan memandang curiga
pada Kim Lo. Barulah kemudian ia berkata ragu-ragu.
“Jika memang kau bukan putera
dari Oey Yong Pehbo atau Kwee Ceng pehhu, tentunya kau berdusta dengan
keteranganmu! Oey Yok Su Lo-cianpwe cuma memiliki seorang puteri, yaitu Oey
Yong pehbo. Bagaimana mungkin kau mengakui dirimu sebagai cucu Oey Yok Su
Locianpwe.
Kim Lo tertawa perlahan.
“Aku anak orang lain, tapi Oey
locianpwe telah mengakui aku sebagai cucunya! Semua ilmu yang kumiliki juga
diwarisi olehnya!” menjelaskan Kim Lo.
Bie Lan mengangguk beberapa
kali, tapi jelas pada sikapnya itu tampak bahwa ia masih bimbang dan ragu-
ragu.
“Nah nona, kau telah
mengetahui asal-usulku, apakah ada yang perlu kau tanyakan lagi?” Tanya Kim Lo.
Bie Lan menggeleng.
“Tidak, kukira cukup, tapi
nanti aku akan menanyakan pada ayah, apakah Oey Yok Su Locianpwe memang
sebenar-benarnya telah mengambil cucu angkat?”
“Ya, kukira itu ada baiknya
juga!” Kata Kim Lo.
“Baiklah! Aku akan melanjutkan
perjalanan!” Kata Yo Bie Lan. Ia bersiul nyaring, kudanya yang tengah makan
rumput jinak sekali menghampirinya.
“Tunggu dulu, nona Yo!” Kata
Kim Lo agak tergesa-gesa karena kuatir gadis itu keburu melompat naik ke atas
kudanya.
Bie Lan menoleh.
“Ada apa lagi?” Tanyanya.
“Nona mau pergi kemana? Ke
mana tujuan nona?” Tanya Kim Lo agak gugup. Ia merasakan, betapa ia sangat
berat sekali jika harus berpisah dengan gadis ini. Walaupun mereka baru saja
bertemu, tapi mereka bisa bicara dengan mengasyikan.
“Aku.......” Gadis itu ragu-ragu.
“Mungkin nona berat untuk
memberi tahukannya?” Tanya Kim Lo kemudian.
“Bukan begitu! Tapi.......
sesungguhnya tidak ada artinya apa-apa jika aku pun memberitahukan ke mana
tujuanku!” menjelaskan Yo Bie Lan sambil tersenyum.
“Ya, sudahlah! Jika memang
nona keberatan untuk memberitahukan, aku pun tidak akan memaksa,” Kata Kim Lo.
“Aku....... aku sesungguhnya
ingin pergi ke Yang-cung, dusun kecil.......!” Kata gadis itu pada akhirnya.
“Ihh!” Kim Lo mengeluarkan
seruan heran.
“Kenapa? Tampaknya kau takut?”
Tanya Bie Lan.
“Aku pun ingin pergi ke
Yang-cung. Kalau demikian kita satu arah dan satu tujuan,” menjelaskan Kim Lo
Muka si gadis berobah merah.
“Kau ini ada-ada saja. Tentu
itu hanya alasanmu yang mengada-ngada saja! Bagaimana mungkin bisa demikian
kebetulan. Aku ingin pergi ke Yang-cung lalu kau juga mengatakan bahwa akan
pergi ke Yang-cung juga! Tentu itu hanya alasanmu belaka!”
Kim Lo tergagap, namun
akhirnya ia bisa juga bilang: “Aku tidak berdusta nona! Aku memang tengah
melakukan perjalanan untuk pergi ke Yang-cung untuk menemui beberapa orang
sababat Kong-kongku!”
Alis si gadis mengerut.
“Siapa yang ingin kau ketemui
di sana?” Tanya Bie Lan pada akhirnya.
“Salah seorang dari
orang-orang yang kujumpai di sana adalah ayah nona…….!” Menjelaskan Kim Lo.
“Dan juga, aku harus menemui paman Ko Tie, bibi Giok Hoa dan paman Siangkoan
Yap dan lain-lainnya!”
Muka si gadis berobah.
“Kau tidak berdusta?”
Tanyanya.
Kim Lo menggeleng.
“Justeru akupun pergi ke
Yang-cung untuk menemui mereka!” Kata si gadis.
Kembali Kim Lo mengeluarkan
seruan heran.
“Aneh sekali, bisa demikian
kebetulan kita memiliki tujuan yang sama. Juga memiliki keperluan yang sama!”
Kata Kim Lo.
“Tapi aku tidak bisa
mempercayai sepenuhnya kata-katamu sebelum menanyakan pada ayahku perihal kau
dan Oey Yok Su locianpwe!” Kata Bie Lan. “Nah, coba sekarang kau buka tutup
mukamu itu, biar kita bisa berkenalan lebih baik lagi!”
Kaget Kim Lo, ia tergagap.
“Sayang sekali tidak dapat aku
penuhi permintaan nona!” Kata Kim Lo dengan penuh penyesalan.
“Jika memang kau tak mau
memperlihatkan mukamu padaku, maaf, aku belum lagi bisa mempercayai
kata-katamu!” Kata si gadis.
Diam-diam Kim Lo berpikir di
dalam hatinya: “Tujuan kami sama, yaitu ke Yang-cung, tapi jika aku melakukan
perjalanan bersamanya tentu akan menimbulkan banyak kerewelan, di mana ia
selalu akan merengek minta melihat wajahku! Lebih baik, kita berpisah saja!”
Walaupun hatinya ingin sekali
pergi melakukan perjalanan bersama-sama si gadis she Yo tersebut, akan tetapi
akhirnya Kim Lo bilang:
“Nanti kita bertemu lagi nona
Yo! Nah, selamat tinggal!” Sambil berkata begitu, Kim Lo menjejakkan kakinya,
tubuhnya melesat pergi.
Yo Bie Lan berdiri tertegun
sejenak di tempatnya mengawasi kepergian Kim Lo. Akhirnya gadis ini menghela
napas dan melompat naik ke punggung kudanya.
Lalu binatang tunggangannya
itu dilarikan cepat sekali. Cambuknya juga digerakan berulang kali, sehingga
terdengar suara “Tarrr! Tarrr!” yang semakin lama semakin jauh dan samar.
Yo Bie Lan memang puteri
tunggal Yo Him, hasil perkawinannya dengan Sasana. Dia sejak kecil, Bie Lan
dididik langsung oleh Yo Him dan Sasana.
Terlebih lagi, Yo Bie Lan
merupakan cucu satu-satunya bagi Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie.
Sebagai kakek dan neneknya, Siauw Liong Lie dan Yo Ko pun selalu mewarisi
kepandaian mereka.
Setiap ada kesempatan tentu
mereka akan mengunjungi Yo Him untuk melihat cucu mereka. Longokan mereka
selalu membawa keberuntungan buat Bie Lan. Selalu ia memperoleh ilmu yang baru
dari kakek dan neneknya.
Tidak mengherankan jika dalam
usia sembilanbelas tahun seperti itu, gadis ini memiliki kepandaian yang
tinggi. Cuma pengalaman belaka yang kurang.
Seperti yang dialami Kim Lo,
maka Bie Lan pun sama kurang latihan dan pengalaman, hanya saja, ilmu yang
dimilikinya sangat hebat. Kalau memang ia berlatih dengan tekun dan rajin,
tentu ia kelak bisa menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh sekali.
Wajah Bie Lan cantik jelita,
Siauw Liong Lie yang dulu diwaktu mudanya terkenal sangat cantik, diam-diam
mengakui bahwa cucunya sangat cantik sekali. Mungkin melebihi kecantikan Siauw
Liong Lie sendiri dikala mudanya.
Hanya saja, sejak kecil Yo Him
mengajak Bie Lan menetap di sebuah tempat yang sunyi. Jarang sekali yang
mengetahui bahwa cucu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sesungguhnya sekarang telah
dewasa dan memiliki kepandaian yang tinggi.
Maksud kepergian Yo Bie Lan ke
Yang-cung justeru atas perintah ayah dan ibunya. Yo Him dan Sasana menghendaki
puteri mereka ini memperoleh pengalaman.
Sebagai orang yang memiliki
pandangan luas, Yo Him tahu jika ia mengekang puterinya ini selalu di rumah,
niscaya akhirnya Yo Bie Lan selamanya kembali ke dunia asal mereka yaitu
Akherat!
Maka jika bukan sejak sekarang
Bie Lan dibimbing dan memiliki pengalaman yang banyak untuk dapat berdiri
sendiri, bukankah di saat ke dua orang tuanya pergi buat selamanya meninggalkan
ia, gadis ini akan memperoleh kesulitan?
Selain memiliki paras yang
cantik, Yo Bie Lan memiliki adat yang agak luar biasa. Ia sangat cerdik, cuma
cepat sekali marah dan galak. Ia selalu ingin membela yang lemah.
Dan jika ia menyaksikan urusan
yang tidak beres, tentu ia akan jadi marah dan galak sekali. Untuk membela yang
lemah dan menghajar yang jahat dan kuat, ia tidak pernah takut menghadapi
siapapun juga.
Dari ayah dan ibunya, maupun
dari kakek dan neneknya, banyak yang didengar Yo Bie Lan. Karena itu, ia selalu
tertarik untuk berkelana. Dan kebetulan sekali, ayah dan ibunya perintahkan ia
pergi ke Yang-cung, dan kesempatan ini menggembirakan benar hatinya.
Yo Him dan Sasana sendiri akan
menyusul puterinya ke Yang-cung, karena merekapun akan datang ke sana! Cuma
saja mereka perintahkan Yo Bie Lan melakukan perjalanan lebih dulu, mereka akan
menyusul belakangan.
Cukup banyak yang dialami Yo
Bie Lan. Cuma saja disebabkan kepandaiannya memang tinggi dan mahir sekali,
terutama ilmu silat yang dimilikinya berasal dari tokoh-tokoh sakti dengan
begitu, tidak pernah Yo Bie Lan kena dirubuhkan orang. Dengan mudah selalu ia
menghajar penjahat.
Sebagai seorang gadis yang
sangat cantik dan jelita, tentu saja sepanjang perjalanan ia selalu menarik
perhatian kaum laki-laki hidung belang. Juga tidak sedikit kaum penjahat yang
naksir melihat kecantikannya dan mengandung maksud buruk. Selalu saja Yo Bie
Lan dapat menghadapi mereka dan menghajarnya malah.
Sampai akhirnya Yo Bie Lan
bertemu dengan Kim Lo dan memang ia merasa aneh untuk sepak terjang Kim Lo.
Orang yang akhirnya diketahui baru berusia duapuluh tahun itu.
Ia tidak mengerti Kim Lo
selalu menutupi mukanya. Kepandaiannya juga sangat tinggi. Malah yang membuat
Yo Bie Lan akhir-akhir ini sering memikirkan Kim Lo, ialah pemuda itu mengakui
ia sebagai cucu Oey Yok Su!
Sepanjang perjalanan, ia jadi
semakin penasaran memikirkan hal Kim Lo, karena belum lagi bisa melihat
bagaimana rupa dan tampang muka si pemuda. Tampankah ia? Cakapkah ia? Atau
memang pemuda itu memiliki wajah yang buruk atau terlalu buruk sekali, sehingga
mukanya perlu selalu ditutupi dengan kain putih?
Benar-benar Bie Lan tidak
habis mengerti. Dan ia bertekad di dalam hatinya, kelak di Yang-cung, ia akan
berusaha membuka tutup muka Kim Lo, agar ia bisa melihat bentuk muka Kim Lo.
Dan ia memang akan melakukan itu dengan cara apapun juga.
Selama belum berhasil melihat
muka Kim Lo yang sebenarnya, selama itu pula Bie Lan akan penasaran. Terlebih
lagi memang ia mewarisi adat dan tabiat dari kakeknya, yaitu Sin-tiauw Tay-hiap
Yo Ko yang paling terkenal keras hati dan tidak mau menyerah dengan kesukaran
apapun yang dihadapinya.
Dan Bie Lan pun demikian pula
halnya. Selama ia belum berhasil memenuhi keinginannya, selama itu pula ia akan
berusaha sekuat tenaganya!
<>
Bulan mengambang sepotong di
langit, awan tidak tampak. Cukup gelap, menyelimuti kota Yu-kang. Sebuah kota
yang tidak begitu besar, tapi cukup padat penduduknya, karena sebelah selatan
kota itu terletak kota Li-sung.
Dan jika berjalan ke arah
barat orang akan tiba di dusun Yang-cung dan akhirnya pergi tigapuluh lie lebih
lagi akan sampai di kota Lam-shia, sebuah kota yang besar dan sangat ramai.
Tidak terlalu mengherankan kalau kota Yu-kang pun termasuk kota yang ramai.
Dalam kesunyian malam tampak
keadaan kota Yu-kang seperti mati dan sepi sekali. Tidak terlihat orang berlalu
lalang. Cuma tampak lampu tengloleng menyala dan juga memang terlihat keadaan
di kota itu keamanan rupanya terjamin, sebab jarang sekali terlihat penjaga
malam.
Dalam kesunyian seperti itu,
di antara desir angin yang berkesiuran sangat kencang, tampak sesosok bayangan
yang tinggi besar, tengah berlari-lari di atas genting. Gerakan orang itu
sangat lincah sekali, karena ia berlari dengan mempergunakan gin-kang yang
tinggi sehingga ringan sekali.
Ia melompat dengan pesat sekali,
seakan juga bayangan hantu yang tengah gentayangan di tengah malam buta.
Samar-samar dikejauhan terdengar suara kentongan dipukul dua kali, malam telah
larut benar.
Sosok bayangan tersebut terus
juga melompat di atas genting-genting rumah dan akhirnya berhenti di sebuah
bangunan. Ia tidak segera turun. Ia mendekam di atas genting, seakan juga
tengah melihat situasi dan keadaan.
Setelah merasa bahwa gedung
bertingkat dua itu aman dan tidak ada yang jaga, ia baru melompat turun, ringan
sekali. Kakinya hinggap di tanah tidak menimbulkan suara sedikitpun juga.
Gin-kang yang mahir sekali.
Segera ia menuju ke belakang
gedung. Ia melihat jendela kamar yang masih terang benderang. Ia telah mengetuk
perlahan jendela itu dua kali.
Api penerangan di dalam kamar itu
padam. Keadaan sunyi sekali. Kemudian tampak daun jendela terbuka
perlahan-lahan.
Yang membuka daun jendela itu
ternyata seorang wanita cantik. Usianya tidak muda lagi, mungkin telah
tigapuluh tahun, atau mungkin juga lebih.
Tapi kecantikan wajahnya
sangat menyala sekali, mungkin jarang ada gadis-gadis jelita yang bisa
menandingi kecantikan wanita ini. Ia tampak berseri-seri girang.
“Akhirnya Taysu datang
juga.......!” Katanya dengan suara yang gembira. “Sst, jangan ribut-ribut,
mereka baru saja tidur...... mari masuk, Taysu!”
Orang bertubuh tinggi besar
itu mengiakan dengan suara perlahan. Mudah saja ia melompat masuk ke dalam
kamar itu melewati jendela yang terbuka.
Daun jendela tertutup lagi.
Keadaan di dalam kamar itu gelap
pekat, tapi memang keadaan seperti itulah yang dikehendaki wanita cantik dan
tamu tidak diundang itu.
Malah, orang yang dipanggil
Taysu itu telah melangkah menghampiri wanita cantik tersebut. Ia merangkul
wanita ini. Iapun bernapas memburu dan hangat sekali.
“Ahh, kekasihku……. kau rupanya
setia menantikan aku!” bisik orang yang dipanggil dengan sebutan kebesaran
seorang pendeta itu, “Aku benar-benar sangat merindukan kau!”
Wanita cantik itupun membalas
merangkul orang tersebut. Akhirnya ia menghela napas dalam-dalam.
“Taysu, semula kuduga kau akan
menyalahi janji dan batal datang, mengingat suamiku akhir-akhir ini menempatkan
penjagaan yang ketat sekali di sekitar tempat ini!” Perlahan suara wanita
cantik itu, seperti berbisik.
“Walaupun suamimu menempatkan
seribu tentara untuk menjaga gedung ini, tidak nantinya ia bisa membendung
kedatanganku ini! Hemm, aku tetap akan datang menemui kau, kekasihku!”
Begitulah, dua orang itu
bercumbu dengan asyik. Keadaan di luar kamar sangat sunyi dan sepi. Cuma samar-samar
terdengar suara binatang malam.
Akhirnya laki-laki bertubuh
tinggi besar itu telah membuka kopiahnya. Ia ternyata berkepala gundul.
Memang tadi ia mempergunakan
kopiahnya itu untuk melindungi kepalanya yang gundul. Ia ternyata seorang
pendeta, karena jubah luarnya telah dibuka dan tampak jubah kependetaannya yang
melekat di tubuhnya.
Wanita cantik merangkul dan
memeluk si pendeta lagi, ia bilang: “Taysu, kau sebagai guru negara, tentu
kekuasaanmu sangat besar sekali! Minta saja kepada Hong-siang, agar suamiku ini
dilempar ke daerah yang jauh sekali untuk menjalankan tugasnya yang baru.
“Aku dengan berbagai alasan
tidak akan ikut serta dengannya. Aku akan berusaha untuk berdiam terus di sini!
Dengan demikian kita bisa melakukan segala apa pun dengan sebaik-baiknya!”
Pendeta itu tertawa.
“Jangan berpikir seperti anak
kecil!” Katanya kemudian dengan suara yang sabar. “Dengan cara inipun suamimu
tidak bisa membendung rasa rindu kita!
“Bukankah sampai sekarang pun
mereka tidak mengetahui apa yang kita lakukan? Suamimu dan juga anak buahnya,
mereka merupakan manusia-manusia bodoh tidak punya guna!”
Wanita cantik itu tertawa
kecil dan genit sekali. Ia mencubit perut si pendeta.
“Taysu, memang yang enak
adalah barang curian, ya?” tanya wanita itu berbisik genit. “Dengan cara
mencuri-curi seperti ini mungkin lebih mengasyikkan, kan?”
Pendeta itu mengangguk.
“Kukira memang begitu, dengan
cara mencuri-curi seperti ini kita melakukannya lebih mengasyikan dengan
sepenuhnya dan juga kebahagiaan yang lebih tebal…….!”
“Tapi Taysu…….!” Ragu-ragu
wanita cantik itu seperti berpikir
“Ada apa sayang?” tanya si
pendeta.
“Ohh, Taysu, aku sangat takut
kalau kelak kehilangan kau. Jika kelak kau telah bosan padaku, kau tak akan
datang mengunjungi aku lagi…… di saat itu tentu aku akan berduka sekali karena
kehilangan kau!”
“Jangan kuatir kekasihku! Aku
tak mungkin meninggalkan kau! Akupun tidak mungkin bisa hidup tanpa kau di
sisiku! Aku akan selalu setia mengunjungimu,” bujuk si pendeta.
Wanita cantik itu menghela
napas.
Pendeta itu menundukkan
kepalanya, menciumi wanita cantik itu. Iapun membisiki mesra: “Janganlah acara
asyik bahagia ini kita rusak dengan pikiran yang tidak-tidak!”
Akhirnya ia berbisik lagi:
“Taysu.......”
“Ya.”
“Mengapa nasibku begini
buruk?”
“Mengapa kau bicara seperti
itu kekasihku? Bukankah sekarang kau bahagia?”
“Ya!” Kata wanita cantik
tersebut. “Jika saja suamiku itu seperti kau, alangkah bahagianya aku. Walaupun
sekarang ia sebagai pembesar negeri yang memiliki kekuasaan besar, namun ia
tidak berarti apa-apa untukku!
“Aku lebih bahagia jika ia
sebagai rakyat biasa tapi bisa melakukan kewajibannya segagah kau, Taysu…….!”
Pendeta itu tersenyum.
“Bukankah kekurangan yang
selama ini kau rasakan telah terpenuhi olehku?” bisik si pendeta.
“Ya, tapi aku tak akan
kekal……. Sewaktu-waktu akan hancur dan punah.......!”
“Mengapa begitu?”
“Aku yakin……. sewaktu-waktu
kita akan berpisah! Dan diwaktu itulah aku tak akan memperoleh lagi
segalanya…….!”
Pendeta itu tertawa lagi.
“Sudahlah, kita jangan
memusingkan urusan yang akan datang! Yang terpenting sekarang, kita menikmati
kebahagiaan kita!”
“Taysu…….betapa bahagianya
aku…..!”
“Ya, kau memang akan bahagia
kekasihku!”
“Dan aku akan lebih bahagia
lagi, jika lelaki yang bisa memberikan kebahagiaan kepadaku menjadi milikku!”
“Sudahlah kekasihku, mengapa
kau berpikiran sejauh itu.......”
“Kau seorang pendeta jelas kau
tidak mungkin bisa mengawini aku…….!”
“Kau ada-ada saja, kasihku!”
“Sering terpikir olehku,
betapa bahagianya jika Taysu mau mengajakku meninggalkan tempat ini, menjadi
suamiku, dan kita tinggal di sebuah tempat yang sepih jauh dari keramaian. Kita
berdua menikmati kebahagiaan kita…….!” Menggumam wanita itu lagi.
Pendeta itu tidak menyahuti
lagi.
“Aku telah terpikiran
Taysu…….,” Kata wanita cantik itu lagi.
“Ya!”
“Alangkah baiknya jika…....
jika…....”
“Jika apa, kekasihku?”
“Bagaimana kalau Taysu
membantu membinasakan suamiku?” Tanya wanita cantik itu.
Pendeta itu agak terkejut. Ia
mengangkat kepalanya.
“Maksudmu kasihku?” Tanyanya.
“Sesungguhnya, jika saja kita
bisa membereskan tua bangka itu, berarti seluruh hartanya akan jatuh ke
tanganku! Dan kita boleh menikah! Kau boleh meninggalkan kependetaanmu, kau
memelihara rambut lagi. Kau menjadi suamiku. Dan kau akan memperoleh seluruh
harta warisan suamiku!”
Pendeta itu tertawa kecil.
“Aku tidak tertarik dengan
harta kekasihmu? Aku lebih tertarik padamu yang cantik jelita!” Kata si
pendeta.
“Tapi Taysu…….!”
“Sudahlah, kita jangan
mempersulit diri kita dengan urusan yang bukan-bukan,” Kata si pendeta.
“Bukankah dengan demikian, tanpa perlu menempuh sesuatu yang ada resikonya,
kita sudah bisa menikmati kebahagiaan kita?”
Perempuan cantik itu menghela
napas.
“Baiklah Taysu…...!” Katanya.
Dan ia pun telah merobah sikap
Wanita cantik itu memang
benar-benar seorang wanita yang hebat dalam segalanya.
Pendeta itu sudah ditunggangi
oleh iblis yang menari-nari di atas kepalanya yang gundul.
Pendeta itu terkulai lemas di
samping perempuan itu. Dan mereka tampaknya lesu sekali.
“Aku sesungguhnya ingin tidur
disini sampai menjelang fajar!”
“Tidurlah…..!”
“Aku kuatir nanti suamimu
datang mengunjungimu!”
“Jangan kuatir! Dia tak
mungkin datang seperti hari-hari sekarang. Tua bangka tidak berguna. Ia datangpun
untuk apa?”
Pendeta itu menghela napas.
Mendadak si pendeta seperti
teringat sesuatu, ia tersentak.
“Aku harus pergi.......!”
katanya.
“Ohh, jangan……. nanti saja,
Taysu!” perempuan cantik itu memeganginya, mencegah ia pergi.
“Tapi kekasihku, aku tokh akan
sering-sering datang kembali ke mari!” kata si pendeta membujuk. “Lepaskanlah!”
“Jangan Taysu…….!”
“Tapi ada sesuatu yang perlu
kuurus!”
“Nanti saja....... tidak kau
kasihan padaku, Taysu?” kata wanita cantik itu manja.
“Jika terlambat bisa
membahayakan jiwa kawan-kawanku!” Kata pendeta itu.
“Tapi aku masih membutuhkan
kau, Taysu…….!” Kata wanita cantik itu.
Namun si pendeta tetap tak
memperdulikannya. Ia menarik tangannya sehingga terlepas dari cekalan si wanita
cantik.
Kemudian ia bilang:
“Sebenarnya kami sedang menuju ke Yang-cung, untuk menumpas kaum pemberontak!
Jika memang berhasil, maka aku akan segera kemari lagi!”
“Taysu…….!”
“Ya…..!”
“Tentunya lama sekali kau baru
bisa datang ke mari?” Tanya wanita cantik itu.
“Aku usahakan untuk
cepat-cepat berada di sisimu kekasihku. Akupun sangat merindukan kau!” Kata
pendeta itu.
“Tapi Taysu....... kau jangan
membohongi aku, ya?”
“Percayalah, aku tidak
membohongi kau, kekasihku!”
“Taysu…….!”
“Aku pergi sekarang…….!”
“Ohh, kau tega meninggalkan
aku sekarang? Fajar masih akan lama menyingsing, aku masih membutuhkan kau,
Taysu!”
“Maafkan kekasihku, aku perlu
pergi cepat-cepat.......!” Dan si pendeta menghampiri jendela membukanya, ia
melompat keluar.
Tapi waktu tubuhnya tengah
melayang ke luar melewati jendela itu, tiba-tiba dari arah luar jendela itu
menyambar serangkum angin keras dan kuat sekali.
Si pendeta yang tak menyangka
akan terjadi hal seperti itu, seketika dadanya kena terhajar telak, tubuhnya
terjengkang masuk ke dalam kamar.
Bukan main kagetnya wanita
cantik itu. Ia melompat turun dari pembaringan.
“Kenapa kau, Taysu?” Tanya
perempuan cantik itu berkuatir sekali.
Pendeta itu banar-benar
tangguh. Walaupun ia terhantam kuat sekali di dadanya oleh pukulan lawannya
yang membokong dari luar jendela, namun ia bisa segera melompat bangun berdiri.
“Tidak apa-apa......., ada
orang yang menyerangku!” Sambil berkata begitu, segera si pendeta melompat
keluar jendela. Ia masih sempat melihat sesosok bayangan tengah berlari menjauh
ke arah selatan.
Tidak buang waktu lagi ia
mengejar orang itu.
“Bangsat! Jika dapat kukejar
akan kupatahkan batang lehermu!” Menggumam si pendeta sambil mengerahkan
gin-kangnya dan mengejar dengan cepat!
Waktu itu orang yang tadi
menyerang si pendeta, telah berlari terus dengan gesit. Gin-kangnya pun tidak
lemah. Dari genting yang satu ia melompat ke genting rumah yang lainnya.
Kemudian iapun membelok ke barat.
Pendeta itu tidak mau
melepaskan orang buruannya, karenanya ia mengejar terus!
Setelah kejar mengejar sampai
di luar kota, tampak sosok bayangan yang di depan berhenti berlari berdiri
tegak menantikan tibanya si pendeta.
Pendeta itu cepat sekali tiba
di dekat orang yang tadi membokongnya. Di bawah sinar rembulan, ternyata si
pendeta berusia antara empatpuluh tahun lebih.
Tubuhnya tinggi tegap dan
alisnya sangat tebal sekali. Wajahnya juga bengis dan rupanya ia seorang
pendeta yang kasar dan tegas dalam memutuskan suatu tindakan.
Sedangkan orang yang diburu si
pendeta itu adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih. Tubuhnya
sedang-sedang saja. Ia memelihara kumis dan jenggot yang sudah dua warna
kelabu. Dengan berani orang itu tegak menantikan si pendeta.
“Hemmm, manusia pengecut kau
tidak mungkin lolos dari tangan Loceng!” bentak si pendeta dengan suasa yang
bengis, dan ia tidak menahan langkah kakinya. Ia menerjang terus ke depan
dibarengi dengan tangannya sudah mencengkeram.
Tapi orang itu mengelaknya. Ia
mendengus.
“Pendeta cabul, kau harus
dimusnahkan! Kali ini kau jangan harap bisa lolos dari kematian!”
Dan sambil berkata begitu,
orang ini selesai berkelit segera membalas menyerang. Tidak ringan hantaman
tangannya.
Menyusul dengan mana
berkelebat sinar terang yang keperak-perakan. Rupanya sambil menyerang, tangan
kanan orang itu telah menghunus pedangnya, yang dipakai menikam perut si
pendeta.
Pendeta itu merandek. Ia
melihat pukulannya telah digagalkan orang itu, malah orang tersebut balas
menyerangnya. Dengan demikian ia tidak berani. Segera ia berobah kedudukannya.
Ia menarik pulang tangannya.
Kemudian ia mengebut dengan lengan jubahnya bergantian.
Kebutan lengan bajunya itu
mengandung tenaga yang kuat sekali, berkesiuran dengan membuat pedang orang itu
yang menikam tersampok ke samping dan hampir saja pedang itu terlepas dari
cekalannya. Untung saja orang tersebut cepat-cepat mencekal lebih kuat sehingga
pedangnya tidak sampai terlepas.
Waktu itu dengan mengeluarkan
suara erangan perlahan tampak orang tua itu menikam lagi. Apa yang dilakukannya
memang cukup hebat, karena pedangnya menyambar sambil mengeluarkan kesiuran
angin yang tajam sekali.
Ia rupanya memang menyadari
pendeta itu memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dia tidak boleh main-main,
berarti ia harus secepat mungkin merubuhkan lawannya ini.
Si pendeta benar-benar
tangguh. Walaupun ia bertangan kosong dengan mengandalkan lengan bajunya, ia
selalu bisa menghalau serangan lawannya. Bahkan ia telah mendesak orang tua
itu, yang jadi main mundur.
Diam-diam orang tua itu jadi
terkejut bukan main. Ia tidak menyangka pendeta ini memiliki kepandaian yang
demikian tinggi.
Ia memang mendengar dari
beberapa orang kawannya, kepandaian si pendeta sangat liehay. Namun ia tidak
menyangka akan setinggi ini, sedangkan kepandaian orang tua itu sendiri
sebetulnya pun sangat tinggi karena ia termasuk salah seorang dari tokoh rimba
persilatan.
Sebelumnya ia menganggap
enteng si pendeta, namun setelah bertempur ia ketemu batunya. Iapun baru
menyadari bahwa kepandaiannya masih berada satu tingkat di bawah si pendeta.
Waktu itu terlihat jelas, si
pendeta tidak pernah menghentikan desakannya, karena ia terus mendesak dengan
hantamam lengan jubahnya dengan bertubi-tubi dan memaksa lawannya selalu main
mundur akibat desakan itu.
“Kawan-kawan keluarlah
kalian!”
Tiba-tiba orang tua itu
berseru dengan suara nyaring sekali. Rupanya ia sudah tidak sanggup menghadapi
terjangan si pendeta, dan ia terdesak jatuh di bawah angin.
Waktu itu tampak dari balik
tempat yang gelap, dari genting rumah penduduk, telah melompat empat sosok
tubuh yang sangat gesit sekali. Di tangan empat sosok itu mencekal senjata
tajam.
Mereka tidak bicara sepatah
katapun juga, begitu menyerang si pendeta dengan senjata masing-masing. Mereka
inilah rupanya empat orang kawan si orang tua yang jadi lawan si pendeta.
Dikeroyok berlima seperti itu,
terjadi perubahan. Si pendeta mengalami kesulitan.
Karena jika tadi dia bisa
mendesak orang tua yang menjadi lawannya jatuh di bawah angin. Sekarang ia
tidak leluasa lagi buat mendesak terus, karena ia harus menghadapi empat orang
lawannya yang lainnya.
Kepandaian empat orang yang
baru muncul itu tidak selihay orang tua yang menjadi lawannya. Akan tetapi
jumlah mereka banyak dan ini telah membuat si pendeta benar-benar jadi terdesak
juga.
Malah suatu kali, murka sekali
si pendata. Dia menghantam kuat, karena lengan jubahnya kena diserempet golok
lawannya yang seorang sampai robek! Ia jadi ganas, dan hendak membunuh lawannya
itu.
Akan tetapi orang tua itu
dengan empat orang kawannya selalu bertempur dengan cara bergerilya. Dan mereka
tidak pernah menyerang dari jarak dekat.
“Kalian akan Loceng mampusi!”
teriak si pendeta dengan suara bengis. “Sebutkan dulu siapa kalian?”
Orang tua itu mendengus
dingin.
“Kami adalah orang-orang yang
ingin membasmi kecabulan!” Menyahuti orang tua itu.
Ke empat orang kawan orang tua
itu adalah orang-orang yang setengah baya. Tubuh mereka rata-rata tinggi tegap
dan memiliki tenaga yang kuat, di samping memang mereka memiliki kepandaian
yang tinggi.
Karena itu, mereka menyerang
membuat si pendeta tidak memiliki banyak kesempatan. Tidak sepatah perkataan
juga yang mereka ucapkan, karena mereka cuma menyerang terus dengan penuh
perhitungan.
“Jika memang kalian tidak mau
menyebutkan nama kalian, terpaksa hari ini Loceng memberitahukan pantangan
membunuh manusia tidak bernama!” Berseru si pendeta. Sepasang tangannya
bergerak-gerak sangat hebat, tubuhnya melompat ke sana ke mari dengan gin-kang
yang tinggi sekali.
Namun lawan-lawannya juga
telah bertempur dengan penuh perhatian dan mengerahkan kepandaian mereka.
Dengan begitu mereka jadi bertempur tambah seru seakan juga hendak
mempertaruhkan jiwa.
Ada yang membuat pendeta itu
sakit hati dan mendongkol bukan main. Dia memiliki kepandaian yang tinggi, cuma
saja kali ini ia seakan juga tidak berdaya buat menghadapi dan merubuhkan
lawan-lawannya.
Suatu kali, karena darahnya
meluap, cepat sekali ia menghantam lawannya yang di sebelah kanan, di mana ia
telah menghantam dengan mengerahkan tenaga lweekang yang kuat. Orang itu
menjerit dengan suara menyayatkan. Tubuhnya terhuyung dan mukanya pucat pias, malah
tidak lama kemudian dia memuntahkan darah segar!
Mempergunakan kesempatan si
pendeta tengah menyerang kawannya, orang tua itu menikam dengan pedangnya. Ia
mempergunakan jurus “Naga Mengangguk Tiga Kali”. Pedangnya itu menyambar hebat
sekali, dan “Cep!”
Pundak si pendeta kena
ditikam. Si pendeta kaget dan kesakitan.
Namun waktu itu justeru orang
tua itu menggentak pedangnya, maka terkoyak daging si pendeta. Darah menyembur
keluar.
Tubuh si pendeta terhuyung,
dia kaget dan kesakitan dengan tangan kirinya memegangi lukanya itu.
“Pendeta cabul, sekali ini kau
harus mampus di tangan kami!” Teriak orang tua dengan pedangnya
berkelebat-kelebat lagi menyambar si pendeta.
Pendeta itu tengah kesakitan,
dia juga tengah kaget. Tapi melihat ancaman buat keselamatan jiwanya, dia
mengelak ke sana ke mari cepat sekali. Dia berlaku gesit.
Cuma saja, pikirannya juga
bekerja keras. Ia tengah memikirkan cara untuk meloloskan diri.
Ia tahu, percuma saja ia
melayani terus lawan-lawannya itu. Kalau tokh dia bisa merubuhkan
lawan-lawannya lebih banyak, tentu ia sendiri pun terancam oleh lawan-lawannya
itu kemungkinan saja dia bisa terluka lebih parah.
“Baik! Kali ini Loceng
mengampuni jiwa anjing kalian!” Teriak si pendeta bengis. “Nanti Loceng akan
datang melakukan perhitungan.......!”
Setelah berkata begitu, ia
mengelakkan dua serangan lawannya, kemudian menjejakkan kakinya. Dia telah
melesat menjauhi diri, memutar tubuhnya dan kemudian berlari dengan mengempos
gin-kangnya.
Orang tua itu mana mau
membiarkan si pendeta meloloskan diri begitu saja. Terlebih lagi ia melihat si
pendeta sudah berhasil dilukai, sehingga si pendeta niscaya tidak leluasa buat
bergerak guna menghadapi mereka lagi.
Ia yakin, jika pertempuran itu
berlangsung lebih lama lagi akhirnya dia bersama kawan-kawannya akan dapat
merubuhkan si pendeta dapat membunuhnya. Maka ia membentak, “Mau lari ke mana
kau?” sambil membentak begitu, dia mengejar.
Kemudian dia pun berseru
kepada kawan-kawan: “Kejar…….! Mampusi keledai gundul itu!”
Tiga orang kawannya mengejar
juga, sedangkan yang seorang, yang terluka, berdiri dengan muka pucat. Dia
tidak ikut mengejar.
Pendeta itu berlari dengan
pesat, akhirnya dia bisa melenyapkan jejaknya dengan masuk menerobos ke dalam
sebuah rimba. Memang orang tua itu bersama tiga orang kawannya tak berani
menyusul masuk ke dalam rimba tersebut.
Di dalam kalangan Kang-ouw
memang terdapat pantangan, bahwa musuh yang lari masak ke dalam hutan, tak usah
dikejar terus.
Si pendeta berlari terus
menerobos ke dalam hutan itu. Matahari pagi mulai muncul sinarnya belum begitu
terang. Fajar sudah menyingsing.
Akhirnya setelah merasa aman
dan mengetahui lawan-lawannya tak mengejar lebih jauh, si pendeta menjatuhkan
diri duduk bersila beristirahat di bawah sebatang pohon.
Hatinya penasaran bukan main.
Coba jika saja malam itu ia tidak dengan perempuan cantik itu, jelas tenaganya
tak akan berkurang.
Ia akan lebih baik lagi
menghadapi lawan-lawannya. Justeru disaat tubuhnya tengah lemah, ia harus
bertempur dengan lima orang lawannya yang memiliki kepandaian tidak rendah.
Setelah duduk mengasoh
sejenak, si pendeta bangkit lagi. Ia melihat lawan-lawannya memang tidak
mengejarnya. Ia menghela napas dalam-dalam.
“Hemmm, tentu mereka kaki
tangannya Wie Taijin…….!” Berpikir si pendeta. “Lihatlah! Pu San Hoat-ong tidak
akan menyudahi urusan sampai di sini saja. Akan ada buntutnya dan
pembalasannya!”
Sambil menggerutu seperti itu,
ia telah melangkah pergi ke luar dari hutan itu, untuk kembali masuk ke dalam
kota.
Siapakah pendeta itu, yang
cabul? Dia memang Pu San Hoat-ong, salah seorang dari empat orang Guru Negara
yang bekerja pada Kaisar Tay Goan Kublai Khan!
Empat orang Guru Negara
tersebut merupakan pembunuh yang paling bisa diandalkan oleh Hoat-su ataupun
Penasehat Negara, yaitu Bun Ong Hoat-ong. Memang sengaja Pu San Hoat-ong
bersama tiga orang saudara seperguruannya yaitu Pu-lie Puyang dan Pumie, diundang
ke kota raja bekerja pada Kublai Khan dan semua itu adalah usaha Bun Ong
Hoat-ong.
Dengan adanya mereka, sangat
jelas kekuatan pasukan inti Kublai Khan ini benar jauh lebih kuat. Juga memang
Kublai Khan memiliki maksud tertentu, yaitu memiliki jago-jago gagah yang bisa
mengawasi gerak-gerik jago-jago bangsa Han yang bekerja di bawah panji
kerajaannya.
Walaupun jago-jago Han itu
memperlihatkan sikap setia mereka, justeru Kublai Khan kuatir sewaktu-waktu
mereka bisa berontak ataupun mengadakan sesuatu yang merugikannya. Dengan
adanya empat guru negara ini maka mereka semua bisa awasi.
Justeru belakangan ini Kublai
Khan mendengar bahwa di Yang-cung akan diselenggarakan pertemuan orang-orang
gagah, buat menyambut seseorang yang akan datang ke sana, untuk bertemu dengan
para orang gagah. Malah Kublai Khan pun telah menerima berita bahwa orang itu
adalah cucu Oey Yok Su!
Kuatir nanti timbul pergerakan
lagi di antara orang-orang itu, Kublai Khan perintahkan Pu San Hoat-ong untuk
memimpin beberapa orang jago silat kelas satu yang memiliki kepandaian tinggi.
Mereka terdiri dari jago-jago Mongol dan bangsa Han, buat mengacau pertemuan
yang, akan diadakan oleh para pendekar gagah di Yang-cung!
Justeru Pu San Hoat-ong dengan
orang-orangnya tiba di Yu-kang, kota yang terpisah tidak jauh lagi dari
Yang-cung. Ia mengajak rombongannya buat berdiam di kota itu dulu, guna
menantikan waktu yang ditunggunya tiba. Disamping itu merekapun bisa
mempersiapkan segalanya.
Cuma saja, Pu San Hoat-ong
seorang pendeta cabul yang senang wanita cantik, diam-diam setiap kali ia
berkeliaran. Ia mencari mangsanya. Anak isteri penduduk diperkosanya.
Selama berada di kota Yu-kang
tersebut, rombongan Pu San Hoat-ong dilayani oleh Walikota, Wie Sung. Ia setiap
hari menyelenggarakan pesta buat rombongan pahlawan istana Kaisar tersebut.
Wie Sung Taijin memiliki
isteri yang cantik, tapi tidak setia, bernama Ko Lie Lie. Memang Wie Sung
Taijin setiap hari sibuk dengan tugas dan pekerjaannya, maka dari itu ia seakan
juga menelantarkan isterinya.
Terlebih lagi belakangan ini
Wie Sung Taijin telah mengambil dua orang isteri muda sehingga giliran buat Ko
Lie Lie kurang sekali.
Dalam suatu perjamuan yang
diadakan oleh Wie Sung Taijin buat rombongan pahlawan istana Kaisar tersebut,
Ko Lie Lie bertemu dengan Pu San Hoat-ong. Justeru malamnya Pu San Hoat-ong
menyatroni gedungnya, di mana justeru Ko Lie Lie memberikan sambutan.
Ia melayani Pu San Hoat-ong.
Terlebih lagi memang Pu San Hoat-ong memiliki lweekang dan ilmu silat yang
tinggi. Dengan begitu hubungan gelap mereka berlangsung terus dari hari ke
hari.
Pu San Hoat-ong pun puas
menerima layanan Ko Lie Lie, yang justeru, seorang perempuan itu cantik.
Demikianlah Pu San Hoat-ong
tidak pernah mencari mangsa lainnya. Ia selalu datang buat mengadakan hubungan
gelap dengan Ko Lie Lie.
Apa lacur, justeru hubungan
gelap mereka akhirnya terendus oleh Wie Sung Taijin. Walikota ini murka bukan
main waktu seorang pelayan Ko Lie Lie melaporkannya.
Semula Walikota tersebut
bermaksud menangkap Pu San Hoat-ong dan mengadilinya, kemudian menghukumnya.
Tapi akhirnya Wie Sung Taijin berpikir jauh lagi.
Kalau sampai ia menangkap Pu
San Hoat-ong dan menghukumnya, jelas Kaisar tidak senang. Dan hal ini akan
menimbulkan urusan buat keselamatan Wie Sung Taijin sendiri.
Akhirnya ia menekan perasaan
murkanya. Ia perintahkan agar anak buahnya yang memiliki ilmu tinggi buat
menangkap basah Pu San Hoat-ong dan membunuhnya.
Dengan cara demikian Wie Sung
Taijin ingin mengatur segalanya itu terjadi seakan-akan Pu San Hoat-ong dibunuh
penjahat. Dan bisa saja dosa itu ditimpahkan nanti pada orang-orang Han yang
akan berkumpul di Yang-cung, para pendekar gagah yang memang menantang
kekuasaan Kublai khan. Dengan demikian Wie Sung Taijin bisa mencuci tangan.
Siapa tahu, kepandaian Pu San
Hoat-ong memang sangat tinggi. Walaupun orang-orang yang dikirim Wie Sung
Taijin terdiri dari jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi, tokh mereka tak
bisa berbuat apa-apa.
Dengan begitu, Pu San Hoat-ong
terlepas dari kematian.
Dan sekarang justeru yang
ketakutan adalah Wie Sung Taijin dengan orang-orangnya. Mereka kuatir kalau
saja Pu San Hoat-ong mengetahui yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang
dikirim Wie Sung Taijin, berarti mereka akan memperoleh kesulitan.
Wie Sung Taijin mengambil
keputusan yang cepat setelah gagal untuk membunuh Pu San Hoat-ong. Ia
perintahkan anak buahnya untuk membunuh isterinya sendiri, yaitu Ko Lie Lie.
Malam itu juga Ko Lie Lie dibinasakan.
Besok paginya, penduduk gempar
dengan kematian Ko Lie Lie, isteri Walikota tersebut. Sedangkan Walikota
tersebut mengeluarkan pengumuman buat mencari penjahat yang telah membunuh
isterinya untuk menutupi perbuatannya sendiri! Ia seakan-akan sibuk mengerahkan
orang-orang buat menyelidiki siapa pembunuhnya Ko Lie Lie itu!
Ia pun telah mengumumkan,
penjahat yang membunuh isterinya adalah orang-orang Han yang akan berkumpul di
Yang-cung! Dengan demikian Wie Sung Taijin cuci tangan melempar kesalahan
kepada jago-jago yang akan berkumpul di Yang-cung, dan ia pun ingin mengalihkan
perhatian Pu San Hoat-ong.
Ke lima orang jago Wie Sung
Taijin yang telah mengeroyok si pendeta pun telah disingkirkan. Sementara waktu
itu mereka menyingkir ke tempat yang jauh, menghindarkan diri dari pertemuan
dengan si pendeta.
Pu San Hoat-ong memang jadi
ragu-ragu. Sebelumnya ia menduga yang mengeroyok adalah kaki tangan Wie Sung
Taijin.
Akan tetapi sekarang justeru
ia mengetahui isteri Wie Sung Taijin terbunuh pada malam itu, dan Wie Sung
Taijin mengutus orang-orangnya untuk melakukan pengejaran dan pengusutan.
Pembesar tersebut selalu murung dan.
Terjadinya pada malam itu
juga, pembunuhan Ko-lie-lie terjadi setelah gagalnya pengeroyok terhadap si
pendeta. Malah, ia melihat Wie Sung Taijin telah mengerahkan jago-jagonya untuk
menyebar diri di sekitar kota tersebut, mencari si pembunuh yang diduga adalah
pendekar-pendekar gagah dari golongan bangsa Han, yang memang memusuhi
kerajaan, yang tidak lama lagi akan mengadakan pertemuan di Yang-cung!
Hati Pu San Hoat-ong jadi
ragu-ragu. Ia jadi tidak bisa menuduh orang Wie Sung Taijin yang perintah
orang-orangnya mengeroyok dia.
Cuma saja sebagai orang yang
cerdas, Pu San Hoat-ong pun merasakan adanya permainan dalam usaha Wie Sung
Taijin mengejar penjahat yang telah membinasakan isterinya.......
Cuma sekarang Pu San Hoat-ong
jadi ragu-ragu. Bahkan siang itu, waktu ia dijamu oleh Wie Sung Taijin, di
tengah-tengah rombongannya, Pu San Hoat-ong menyampaikan ikut berduka cita atas
kematian isteri pembesar tersebut. Malah Pu San Hoat-ong berjanji akan membantu
menyelidiki siapa pembunuh itu!
Wie Sung Taijin sepanjang hari
selalu kelihatan murung sekali. Sikapnya pada Pu San Hoat-ong dan rombongannya
tetap manis, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia membenci si
pendeta.
Maka hal ini, benar- benar
membuat Pu San Hoat-ong jadi tambah ragu-ragu dan tidak yakin bahwa yang malam
itu mengeroyoknya adalah anak buah Wie Sung Taijin…….
Beberapa hari di kota Yu-kang
selalu penduduk membicarakan soal pembunuhan isteri Wie Sung Taijin. Mereka
juga memang sebelumnya telah digemparkan peristiwa-peristiwa perkosaan yang
terjadi pada anak isteri penduduk.
Keras dugaan mereka, semua itu
dilakukan oleh rombongan Pu San Hoat-ong. Karena begitu rombongan tiba di kota
tersebut, maka peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
Terlebih lagi memang Wie Sung
Taijin pun merupakan pembesar yang kurang disenangi penduduk. Sebagai pejabat
kerajaan besar ini, ia seringkali bertindak sewenang-wenang dengan mempergunakan
tangan besi!
Maka penduduk kota itu tidak
yakin bahwa isteri pembesar itu maupun isteri penduduk diganggu oleh para
pendekar gagah yang akan mengadakan pertemuan di Yang-cung.
Karena itu, banyak sekali
kabar-kabar yang bertebaran di antara penduduk. Bahkan mereka ingin
menyaksikan, apa yang akan bergolak pula di kota Yu-kang ini.
Memang pada dasarnya Pu San
Hoat-ong seorang pendeta cabul yang senang wanita cantik. Setelah Ko Lie Lie
mati, maka ia mencari mangsa lainnya. Yang jadi sasarannya adalah isteri dan
anak-anak penduduk yang diperkosanya.
Dengan begitu, keamanan di
kota Yu-kang benar-benar tergoncang dan menggelisahkan penduduk.
Keadaan itu berlangsung terus,
karena rombongan Pu San Hoat-ong memang tengah menantikan tiba saatnya di mana
para pendekar gagah bangsa Han mengadakan pertemuan di Yang-cung. Dan selama
itu pula, perkosaan terhadap isteri dan anak gadis penduduk berlangsung terus,
menggelisahkan penduduk.
Juga Pu San Hoat-ong selain
berusaha menyelidiki, siapa pembunuh Ko Lie Lie, membuat Wie Sung Taijin
sementara waktu tidak berani mengadakan gerakan apa-apa. Ia berpura-pura buta
dan tuli terhadap malapetaka yang menimpa penduduk kota yang dipimpinnya
tersebut.
Ia kuatir jika memang
melakukan suatu tindakan, bisa menyebabkan perbuatannya terbongkar oleh Pu San
Hoat-ong.
Karena Wie Sung Taijin berdiam
tidak mengambil tindakan apa pun juga. Akhirnya membuat Pu San Hoat-ong dengan
rombongannya dapat bertindak lebih sewenang-wenang. Juga iapun dapat melakukan
perkosaan setiap malam terhadap anak isteri penduduk.
Pu San Hoat-ong seakan juga
lupa diri. Ia sudah tidak memperdulikan isteri atau anak penduduk yang mana.
Jika memang ia menyukai tentu akan di perkosanya.
Tak jarang, jika Pu San
Hoat-ong membongkar jendela dan masuk ke kamar seorang isteri penduduk. Jika
bertemu dengan suami dari wanita yang hendak diperkosanya, Pu San Hoat-ong tak
segan-segan turunkan tangan membunuh suami korbannya itu.
Semakin lama keadaan di kota
Yu-kang semakin menggelisahkan dan tidak aman. Sedangkan Pu San Hoat-ong dengan
rombongannya semakin merajalela, di samping itu juga, Pu San Hoat-ong tidak
segan-segan buat merampas harta penduduk yang tak berdaya.
Wie Sung Taijin sendiri kian
menaruh dendam yang semakin dalam pada si pendeta dan rombongannya. Cuma saja
ia dalam keadaan tak berdaya.
Ia cuma memendam perasaan
sakit hati dan dendamnya di dalam dasar hatinya. Ia cuma seperti juga bom
waktu, yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Keamanan di kota Yu-kang kian
hari kian memburuk. Dan perihal ini pun telah tersiar luas ke kota-kota
lainnya, bahkan banyak penduduk yang merasa keamanan mereka tak terlindung.
Juga yang memiliki isteri
maupun anak gadis yang cantik, mereka akan menyingkir dulu ke kota lain, guna
berlindung dari gangguan yang tengah terjadi di kota Yu-kang.
Keadaan di kota tersebut kian
hari kian sepi. Pu San Hoat-ong tak memperdulikannya. Tetap saja ia mengganas
dengan rombongannya, tanpa ada keberanian sedikitpun pada Wie Sung Taijin buat
menegur mereka.
Boleh dibilang di kota Yu-kang
sudah jarang sekali terlihat wanita maupun gadis-gadis cantik. Mereka semuanya
sudah disingkirkan keluarga masing-masing ke kota lainnya.
Menyingkir buat sementara
waktu sampai badai dan topan di kota Yu-kang meredah. Barulah mereka akan
diambil pulang ke kota ini lagi……..
<>
Yo Bie Lan heran ketika
memasuki kota Yu-kang. Karena ia melihat kota itu sepi dan juga hampir semua
penduduk kota yang bertemu dengannya memperlihatkan sikap yang lesu dan wajah
yang murung. Tak ada kegembiraan di wajah mereka.
Memang cukup banyak orang yang
berdagang, akan tetapi mereka umumnya murung dan seakan menyimpan sesuatu
rahasia yang membuat mereka bingung dan ketakutan, seakan juga mereka tengah
bersedih. Dan tidak ada kegairahan pada mereka.
Yang membuat Yo Bie Lan jadi
lebih heran, dia pun tidak pernah melihat wanita di antara penduduk kota itu.
Juga tampaknya memang semua penduduk kota itu terdiri dari laki-laki belaka.
Memang ada di antara
orang-orang yanp bersikap riang dan berseru dengan girang seakan mereka tidak
merasakan kemalangan yang tengah menimpah kota Yu-kang tersebut. Mereka umumnya
terdiri orang berwajah menyeramkan dan bertubuh kasar.
Mereka adalah jago-jago kota
tersebut, buaya darat atau juga memang orang-orang kasar....... Jika
sekali-kali Bie Lan bertemu dengan seorang wanita, tentu itulah wanita yang
telah lanjut usia.
Hadirnya Bie Lan di
tengah-tengah kota Yu-kang tentu saja menarik perhatian penduduk kota itu.
Hampir semua orang yang bertemu dengan gadis ini semuanya memandang dengan
sorot mata yang bertanya-tanya. Banyak juga yang memandang dengan penuh
perasaan berkuatir buat keselamatan si gadis.
Gadis ini pun merasa canggung,
karena ia melihat sikap mereka memandang padanya seakan juga mereka melihat
sesuatu yang aneh sekali!
Bie Lan semula tidak senang
dan ingin menegur. Tapi setelah melihat hampir semua orang memandang
terheran-heran padanya, juga ada yang memandang dengan kuatir, ia jadi
membatalkan maksudnya.
Ia justeru malah merasakan
apakah di dirinya terdapat sesuatu yang tidak beres sehingga orang-orang itu
semua memandangnya dengan tatapan mata seperti itu.
Akhirnya Bie Lan memasuki
sebuah rumah makan. Ia pun dipandang oleh pelayan maupun tamu-tamu rumah makan
itu dengan sorot mata yang aneh. Mereka semua seperti melihat sesuatu yang aneh
sekali.
Ada lagi yang membuat hati Bie
Lan jadi tidak enak. Karena ia melihat dalam rumah makan itu pun tidak terlihat
seorang tamu wanita!
Dia seorang belaka yang
menjadi tamu di rumah makan tersebut, tamu wanita. Sedangkan tamu-tamu lainya
adalah tamu laki-laki yang semuanya memperlihatkan sikap yang kasar dan lesu
bercampur baur!
Tapi sebagai orang Kang-ouw,
Bie Lan tidak jeri melihat keadaan seperti itu. Terus juga ia memilih meja dan
telah duduk dengan tenang. Sikapnya tetap waspada, merasakan ada sesuatu yang
tidak beres di kota Yu-kang ini.
Waktu itu pelayan
menghampirinya ragu-ragu. Kemudian sambil tersenyum takut-takut, ia bertanya:
“Kouwnio……. Kau ingin makan santapan apa?”
“Sediakan apa saja! Asal yang
enak! Dan dua kati air teh!” kata si gadis.
Pelayan itu mengangguk, tapi
ia belum juga pergi, untuk mempersiapkan pesan si gadis. Tetap saja mengawasi
si gadis dengan sikap takjub.
Habislah sabarnya si gadis.
“Mengapa kau mengawasiku terus
menerus?” Tegur si gadis tidak senang, “Apakah ada sesutu yang aneh dan ganjil
pada diriku ini, heh?”
Pelayan itu kaget.
“Oh, maaf! Tidak Kouwnio…….
tidak Kouwnio!” Kata pelayan tersebut.
Segera ia memutar tubuhnya
bergegas pergi ke belakang buat mempersiapkan pesanan si gadis.
Kelakuan si pelayan membuat
hati Bie Lan semakin heran dan tidak mengerti. Ganjil sekali kelakuan si
pelayan. Sama seperti laki-laki yang lainnya, yang selalu memandang Bie Lan
dengan tatapan seperti juga pada diri Bie Lan ada sesuatu yang ganjil.
Tidak lama kemudian pelayan
datang mengantarkan makanan yang dipesan Bie Lan. Tapi sambil mempersiapkan
makanan itu, mata si pelayan sering mencuri pandang pada si gadis.
Selama itu, tamu-tamu lainnya
di rumah makan tersebut pun mengawasi si gadis terus menerus dengan sikap
bertanya-tanya membuat Bie Lan mau atau tidak akhirnya menjadi kikuk juga.
“Di mana rumah penginapan yang
baik di kota ini?” Tanya Bie Lan waktu pelayan tersebut tengah mempersiapkan
santapannya di atas meja.
Pelayan itu merandek.
“Nona ingin bermalam di kota
ini?” tanyanya, tampak sikap ragu-ragu.
Gadis itu mengangguk.
“Ya!”
“Tapi Kouwnio…….!” Pelayan itu
sangsi, kemudian dia mendekati si gadis, dengan suara perlahan, ia membisiki
perlahan sekali. “Lebih baik setelah bersantap nona segera melanjutkan
perjalananmu meninggalkan kota ini….. itu jalan yang terbaik buat nona!”
Tentu saja Bie Lan jadi heran
oleh kata-kata dan sikap si pelayan. Tapi iapun jadi tidak senang, walaupun
dari sikap si pelayan ia mengetahui bahwa pemuda itu tidak bermaksud jelek
padanya.
“Mengapa begitu?!” tanya Bie
Lan pada akhirnya. “Adakah memang aku dilarang untuk menginap di kota ini? Atau
memang ada larangan dari Walikota yang melarang siapapun tamu asing bermalam di
kota ini?”
Pelayan itu menggeleng.
“Bukan....... bukan
begitu.......!” Kata si pelayan sambil mengawasi si gadis dengan tatapan mata yang
ragu-ragu.
“Hemmm, kau bicara yang
jelas.......!”
“Tapi tidak bisa sekarang,
Kouwnio.......!”
“Kenapa…….?”
“Banyak orang! Nanti akan
Siauwjin ceritakan!”
“Tidak apa-apa, mereka tidak
akan mendengarnya........!” Desak si gadis.
Bie Lan ingin mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi di kota ini. Bukankah sejak kedatangannya di kota ini
ia selalu diawasi oleh semua laki-laki yang berjumpa dengannya dengan pandangan
yang aneh. Dan melihat keadaan kota tersebut seperti ini, tentunya ada sesuatu
yang tidak beres.
Pelayan itu baru saja ingin
menyahuti dari sebelah kanan, terpisah kurang lebih lima meja, terdengar
teriakan:
“Pelayan.......!”
Pelayan itu tersentak kaget,
ia segera menoleh, ia juga segera menyahuti: “Baik! Baik! Siauwjin segera
datang.......!”
Kemudian tanpa berani
mengucapkan kata-kata apapun juga pada si gadis, pelayan itu meninggalkan si
gadis buat menghampiri orang yang memanggilnya itu.
Orang yang memanggil pelayan
itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan agak gemuk. Namun
mukanya berewok dan bengis. Disampingnya duduk seorang kawannya, yang mukanya
juga bengis, tetapi tanpa berewok.
Pelayan itu cepat sekali
sampai di depan kedua orang itu.
“Apakah ada tambahan makanan
yang ingin dipesan, Loya?” tanya si pelayan.
Orang itu tersenyum.
“Tunggu, nanti kami
beritahukan!” Kata orang itu. “Sekarang kami ingin tanya kepadamu, siapa gadis
itu?”
Muka pelayan itu berobah.
“Siauwjin mana tahu?” Jawabnya
sambil membuka matanya lebar-lebar. “Baru pertama kali gadis itu datang ke
mari.”
“Kau tidak tanya siapa
namanya?”
“Tidak!”
“Kau juga tidak tanya apa
maksudnya ia datang ke kota ini?” Tanya orang itu lagi.
Pelayan itu menggeleng.
“Juga, tidak!”
“Kau harus
memancing-mancingnya, agar gadis itu bicara! Nanti laporkan kepada kami.”
Pelayan itu ragu-ragu sejenak,
namun segera ia mengangguk sambil bilang.
“Baik loya.”
Orang itu merogoh sakunya, ia
memberikan hadiah buat si pelayan tiga tail.
Pelayan itu jadi kegirangan.
Tapi, hatinya tidak tenang. Ia tahu siapa dua orang tamu ini yang ia hormati
dan juga menguatirkan sekali keselamatan si gadis.
Walaupun bagaimana, sebetulnya
hati kecil si pelayan tidak setuju untuk memberitahukan perihal si gadis itu
kepada ke dua orang itu. Juga sebetulnya berat buat melaksanakan tugas yang
diberikan orang itu.
“Pelayan!” Panggil Bie Lan,
sambil menghentikan sumpitnya yang tengah menjepit sepotong bai-som,
Pelayan itu setengah berlari
menghampiri,
“Ada apa, Kouwnio?” tanyanya.
“Bikinkan Cap-sai-sah-bai!”
pesan si gadis.
“Baik, Kouwnio!”
“Ayo pergi, mengapa masih
berdiri di situ saja seperti patung?” kata Bie Lan karena melihat pelayan itu
tak segera pergi.