Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 101-110
Sedangkan Tang-ting Hweshio
melirik beberapa kali melihat cara Hui-houw-to berlari.
“Hemm, kalau saja ia mau
berlatih dengan tekun, memperoleh petunjuk dari orang yang benar-benar memiliki
kepandaian tinggi, tentu akan memperoleh kemajuan yang pesat. Dia memiliki
bakat yang cukup baik, sayang jiwanya belum lagi tetap benar…….!”
Sambil berpikir begitu, tampak
Tang-ting Hweshio beberapa kali memperhatikan cara melompat Hui-houw-to. Ia
memperoleh kenyataan masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh Hui-houw-to.
Tapi pendeta itu berdiam diri saja. Ia tak memberi komentar apa-apa.
Waktu itu kota sudah sepi,
karena jarang sekali orang berlalu lalang. Dan rupanya kota sudah tidur dari
segala macam keramaian.
Hanya tampak beberapa kantor
Piauw-kiok yang masih buka, dengan beberapa orang piauwsu yang tengah
mengadakan penjagaan, untuk menerima tamu, kalau saja ada pedagang yang ingin
melakukan perjalanan malam.
Dengan gin-kang yang
diandalkannya, maka Tang-ting Hweshio dapat berlari di atas genting tanpa ada
orang yang bisa melihatnya.
Hui-houw-to sendiri karena
jalan darah Yu-nan-hiatnya sudah berhasil ditembus oleh hawa murninya, sehingga
bisa menerobos sampai pada Tan-tiannya membuat ia merasa segar dan ia bisa
berlari dengan baik.
Walaupun ia masih sering
tertinggal oleh si pendeta, tokh ia berusaha untuk sedapat mungkin
mengimbanginya. Ia berlari selalu dengan ringan dan mengejarnya.
Demikianlah, mereka
mengelilingi kota itu dengan mengambil jalan di atas genting, sampai akhirnya
mereka tiba di sebelah selatan kota Lu-shia.
Keadaan di tempat itu
benar-benar sepi sekali. Hanya terlihat seorang pedagang teh.
Cepat-cepat Hui-houw-to
melompat turun diikuti oleh Tang-ting Hweshio. Mereka menghampiri penjual teh.
“Aku akan menanyakannya pada
dia.......!” Kata Hui-houw-to dengan suara perlahan.
Tang-ting Hweshio tidak
mencegah, cuma mengangguk saja.
Hui-houw-to menghampiri
penjual teh itu. Dia melihat orang tua penjual teh tersebut tengah mengantuk,
menunggui barang dagangannya dengan kepala tertunduk mengantuk.
“Paman…….!” Panggil
Hui-houw-to dengan suara tak begitu keras.
Penjual teh itu terkejut, dia
mengangkat kepalanya.
“Ohh, maaf, toaya ingin
minum?” Tanyanya segera.
Hui-houw-to mengangguk.
Penjual teh itu mempersiapkan
air teh dan menuangkan dua cangkir ketika melihat bahwa di belakang Hui-houw-to
ada si pendeta. Dia juga mengeluarkan makanan kecil, kueh kering.
Waktu itu, Hui-houw-to sambil
mengangkat cangkirnya. Cawan yang cukup besar, dia bilang, “Lopeh, (paman) ada
yang hendak kutanyakan kepadamu…….!”
“Oh, silahkan.......
silahkan.......!” Kata penjual teh itu dengan segera, “Apakah yang Toaya hendak
tanyakan? Silahkan!”
“Dimana letak markas
Hek-pek-kauw?!”
“Apa?”
Tampak penjual teh itu jadi
kaget.
Hui-houw-to tersenyum.
“Kami baru saja menerima
undangan dari Hek-pek-kauw, yang meminta kami datang buat menjadi tamu
kehormatan mereka. Tapi karena tidak mengetahui, di mana letak markas besar
Hek-pek-kauw itu. Karenanya kami mencarinya seharian begini…….”
Penjual teh itu mengawasi
Hui-houw-to dan Tang-ting Hweshio bergantian, kemudian baru dia bilang dengan
ragu-ragu. “Jadi jiewie adalah sahabat-sahabat dari Hek-pek-kauw?”
Hui-houw-to mengangguk.
“Benar……. !” Sahutnya:
“Bukankah Hek-pek-Kauw-cu itu adalah Giok-tiauw Sian-lie?”
Si penjual teh mengangguk.
Wajahnya kembali pulih sebagaimana biasa. Dia rupanya sudah mulai tenang. Dia
malah bisa tertawa.
“Sebetulnya mencari markas
Hek-pek-kauw tidak sulit, karena semua orang di kota Lu-shia ini akan
mengetahuinya dimana letak markas besar perkumpulan Hek-pek-kauw. Juga gedung
markas besar Hek-pek-kauw adalah gedung yang paling megah mewah di kota ini,
maka paling mudah dikenali!”
Girang Hui-houw-to Khang Lam
Cu, dia mengangguk-angguk sambil tanyanya sabar. “Di mana letak markas besar
Hek-pek-kauw itu Lopeh?”
“Di sebelah utara kota ini,
yang akan menuju ke pintu kota sebelah utara. Dan kurang lebih masih terpisah
duapuluh lie dari pintu kota terdapat tikungan jalan yang cukup lebar.
“Kalian masuk saja ke jalur
jalan itu. Nanti kalian akan bertemu dengan gedung yang mewah megah. Itulah
markas Hek-pek-kauw!”
Hui-houw-to mengangguk dan dia
segera merogoh sakunya mengeluarkan satu tail perak.
“Ambillah kembali buat Lopeh!”
Kata Hui-houw-to, lalu tanpa bilang apa-apa lagi. Dia pergi meninggalkan
penjual teh itu. Demikian juga halnya dengan Tang-ting Hweshio.
Penjual teh itu keheranan. Dia
takjub bercampur girang, karena harga tehnya cuma dua cie. Tapi sekarang dia
memperoleh satu tail.
Untuk memperoleh satu tail
saja dalam satu hari dengan dagangnya seperti itu, sulitnya bukan main. Dan
sekarang dia memperoleh satu tail dengan percuma dengan memberikan dua cawan
besar air teh saja.
Hal ini bukan main
menggirangkan hatinya. Dan dia pun telah bersyukur kepada Thian, bahwa dia
malam ini memperoleh rejeki yang demikian besar.
Waktu itu tampak Hui-houw-to
berdua dengan Tang-ting Hweshio sudah menikung ke jalan kecil. Setelah yakin
bahwa si penjual teh tidak akan melihat mareka lagi, ke dua orang ini
menjejakkan kaki mereka.
Tubuh Hui-houw-to berdua
dengan Tang-ting Hweshio melompat ke atas genting ringan sekali. Mereka berdua
berlari-lari di atas genting, menuju ke arah utara kota ini.
Benar saja, sebelum mereka
sampai di pintu kota sebelah utara, mereka melihat tikungan yang cukup lebar.
Mereka berbelok dan memasuki
jalur jalan itu. Maju terus ke depan akhirnya tiba di sebuah gedung yang besar
dan mewah.
“Hati-hati,” bisik Tang-ting
Hweshio perlahan, kepada Hui-houw-to “Tentu di dalam markas Hek-pek-kauw ini,
berkumpul banyak orang pandai!”
Hui-houw-to mengangguk,
menyatakan bahwa dia memperhatikan pesan si pendeta.
Dengan ringan, Tang-ting
Hweshio melompat lebih dulu, waktu kakinya akan hinggap di atas tembok, dia
mengibaskan lengan jubahnya. Gerakan yang dilakukannya itu buat melindungi
dirinya, kalau-kalau dari sebelah dalam meluncur serangan membokong.
Tapi kenyataannya tidak ada
serangan gelap. Si pendeta melambaikan tangannya pada Hui-houw-to.
Cepat-cepat Khang Lam Cu
menyusulnya, dia melompat ke atas tembok dan berdiri, di samping si pendeta.
Merekapun bersama-sama melompat ke dalam pekarangan gedung itu.
Keadaan di sekitar gedung
sangat gelap, karena hanya tampak di ruang dalam gedung itu saja yang terdapat
sinar api penerangan. Bagian lainnya gelap, tidak memiliki api penerangan.
Dengan berani Tang-ting
Hweshio mengajak Hui-houw-to memasuki pekarangan gedung itu, yang sangat luas
dan mewah sekali. Si pendeta berlaku waspada, matanya jeli mengawasi tempat
itu.
Tidak tampak seorang
penjagapun juga.
“Hemm, mereka rupanya tidak
mengetahui bahwa kita akan menyatroni mereka, sehingga tidak ada penjagaan di
dalam gedung ini!” Kata Hui-houw-to dengan suara yang tidak keras.
“Huss!” Si pendeta mengingatkan
padanya agar dia tidak menimbulkan suara dulu. “Kita tidak boleh meremehkan
keadaan yang lengang ini, sebab siapa tahu, pihak Hek-pek-kauw menempatkan
penjaganya di tempat-tempat tertentu!”
Hui-houw-to meleletkan
lidahnya kemudian tertawa kecil! Dia kagum sekali untuk ketelitian si pendeta.
Mereka maju terus ke depan,
sampai akhirnya ada seseorang yang menegur mereka dengan suara yang tidak
begitu keras,
“Berhenti……! Siapa kalian?!”
Tang-ting Hweshio mendehem,
dia tidak menyahuti, dia melangkah maju menghampiri orang itu.
Keadaan gelap sekali, orang
itu berusaha melihat dengan jelas, tapi dia tidak berhasil melihat dengan baik
di tempat yang segelap itu. Sampai aknirnya tahu-tahu dia kaget, karena tubuh
si pendeta telah melesat berada di sampingnya.
Begitu si pendeta menggerakkan
tangannya seketika tubuh orang itu terjengkang. Dia kaget, tapi dia sudah
keburu rubuh dan tidak berdaya, membuat dia menjeritpun juga sudah tidak sempat
lagi.
Tang-ting Hweshio memberi
isyarat kepada Hui-houw-to untuk meneruskan jalan mereka membiarkan si penjaga
malam di gedung itu menggeletak dalam keadaan tertotok.
Lewat pekarangan gedung itu
mereka memasuki ruangan depan! Keadaan di tempat itu sunyi, hanya samar-samar
terdengar suara tertawa beberapa orang, tertawa yang tidak keras.
Mata Tang-ting Hweshio yang
tajam, segera melihat beberapa orang laki-laki tengah duduk berkerumun. Mereka
tengah bermain ma-ciok, dan rupanya mereka pun bertaruh.
Dengan berindap-indap
Tang-ting Hweshio mendekati mereka. Tahu-tahu tangan kanan si pendeta bergerak,
dia menimpukan beberapa batu kerikil kecil.
Batu-batu kerikil itu
menyambar dengan pesat sekali, menghantam jalan darah di tubuh laki-laki yang
tengah berkumpul, dan mereka tidak bisa mengeluarkan jeritan. Hanya tubuhnya
yang segera mengejang kaku dan mereka sudah tertotok tidak bisa bergerak.
Tang-ting Hweshio, maju lagi
ke sebelah depan.
Hui-houw-to takjub menyaksikan
apa yang dilakukan si pendeta, ia bertambah kagum saja dan dia menghomati si
pendeta Siauw-lim-sie ini, yang memiliki kepandaian benar-benar tinggi sebab
dengan mudah pendeta Siauw-lim-sie itu sudah merubuhkan orang-orang yang
bertemu dengan mereka.
Tanpa memperoleh kesulitan,
Tang-ting Hweshio berdua dengan Hui-houw-to pergi ke ruang tengah. Di situ api
penerangan menyala terang.
Waktu Tang-ting Hweshio berdua
Hui-houw-to melangkah hati-hati, tiba-tiba dari balik tikungan lorong itu
muncul seorang anak buah Hek-pek-kauw. Ia melihat si pendeta dan Hui-houw-to,
ia kaget.
Tapi ia tersadar dengan cepat,
segera ia memutar tubuhnya sambil berteriak-teriak: “Tangkap penjahat! Ada
penjahat! Tangkap penjahat!”
Tang-ting Hweshio menjejakkan
kakinya, tubuhnya melesat mengejar orang itu, segera juga dia dapat
mengejarnya. Dia mencekuknya dengan kuat, sehingga orang itu tidak dapat bisa
bergerak lagi.
Namun sebelum tertangkap, dia
justeru telah sempat berteriak-teriak. “Tangkap penjahat. Ada penjahat!” Yang
nyaring bukan main menggema di sekitar tempat itu.
Tang-ting Hweshio menotok
jalan darah Ah-hiat dan jalan darah kaku orang itu. Dengan demikian selain
tubuh orang tersebut menjadi kaku tidak bisa bergerak, justeru diapun seperti
gagu, karena Ah-hiatnya kena tertotok. Dia tidak bisa berteriak lagi.
Cuma saja, baru Tang-ting
Hweshio hendak menyeret orang itu ke pinggir, justeru dari dalam ruang itu
telah berlari mendatangi belasan orang yang masing-masing bertubuh tinggi tegap
dan tangan mereka semuanya mencekal senjata tajam.
Rupanya teriakan orang itu
yang nyaring bergema di markas itu telah mengejutkan belasan orang kawannya.
Merekapun datang dengan menimbulkan suara yang berisik.
Tang-ting Hweshio segera
memberikan isyarat kepada Hui-houw-to. Dia memutar tubuhnya kembali ke ruang
depan.
Hui-houw-to mengikuti dengan
cepat. Tang-ting Hweshio menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke penglari. Dan
Hui-houw-to dapat juga melompat, berdiam di penglari.
Belasan orang anak buah
Hek-pek-kauw telah sampai di ruang depan. Mereka tidak melihat si hweshio dan
Hui-houw-to. Mereka jadi tertegun sejenak.
“Kejar! Pencarkan diri bagi
jadi tiga rombongan!” teriak salah seorang di antara mereka.
Seketika belasan orang anak
buah Hek-pek-kauw itu membagi diri jadi tiga kelompok. Mereka mengejar sampai
ke depan ruangan dan mereka tidak menyangka, bahwa dua orang yang mereka kejar
mengejar itu masih berdiam di dalam ruangan itu, hanya bersembunyi di penglari.
Waktu itu dari ruang dalam
telah muncul lagi belasan orang lainnya. Rupanya suara ribut-ribut tersebut
membuat mereka terbangun dari tidur.
Sedangkan Hui-houw-to mendekam
terus dipelajari. Demikian juga si pendeta.
Sama seperti orang-orang
Hek-pek-kauw yang tadi, mereka semuanya telah berlari keluar untuk mengejar
‘penjahat’.
Setelah orang-orang itu
mengejar ke depan keadaan di dalam ruang itu jadi sepi.
Hui-houw-to ingin melompat
turun, tapi tangannya dicekal si pendeta.
“Jangan…….!”
“Kenapa Taysu?”
“Kita tunggu sejenak lagi…….!”
“Tapi kita bisa mempergunakan
kesempatan ini buat menyelusup masuk!”
Si pendeta menggeleng.
“Tidak! Berbahaya!”
Baru saja si pendeta berkata
begitu, justeru dari dalam telah menorobos beberapa orang. Mereka terdiri dari
laki-laki bertubuh ringan sekali, gin-kang mereka sangat tinggi sehingga kaki
mereka tidak terdengar.
Dan orang-orang ini semuanya
berjumlah tujuh orang. Berbeda dengan anak buah dari Hek-pek-kauw yang tadi,
maka mereka tidak mengejar keluar.
“Hemm, tentunya orang itu
memiliki kepandaian yang lumayan!” kata salah seorang yang memelihara kumis dan
jenggot hitam lebat berusia lebih empatpuluh tahun, di punggungnya tombak
gaetan rupanya. Itulah senjatanya.
“Ya!” Menyahuti yang lainnya,
“Mungkin dia telah melarikan diri!”
“Walaupun bagaimana, harus
dapat ditangkap, karena jika tidak, tentu di belakang hari akan terulang
peristiwa seperti ini, di mana ada orang yang berani lancang masuk ke mari.”
Yang lainnya menggumam
mengiakan.
Mereka tetap berdiam di ruang
itu tidak ikut mengejar. Tidak lama kemudian datang beberapa orang anak buah
Hek-pek-kauw yang telah kembali. Napas mereka memburu.
“Bagaimana? Apakah orang itu
berhasil dikejar?” Tanya orang yang kumis jenggotnya lebat.
Orang itu menggeleng.
“Tidak!” Katanya. “Dia telah
lenyap. Tapi, menurut yang dikatakan oleh sha-cie, orang itu berjumlah dua,
mereka terdiri dari seorang pendeta dan seorang laki-laki yang mungkin berusia
empatpuluh tahun !”
“Hemmm!” Orang berjenggot
lebat itu mendengus, tampaknya dia mendongkol dan tidak senang. Dia mengibaskan
tangannya memberi isyarat agar orang itu pergi.
“Siapa mereka?” Menggumam yang
lainnya.
“Apakah pendeta itu adalah
pendeta Siauw-lim-sie?” Tanya yang lainnya menduga.
“Entah pendeta dan kuil mana?!
Untuk menduga bahwa pendeta itu adalah pendeta Siauw-lim-sie tidak akan
bertindak sepengecut seperti itu, datang secara diam-diam. Kalau memang dia
orang Siauw-lim-sie, tentu akan datang secara berterang!”
“Ya……. lalu siapa pendeta
itu?”
“Hem, paling pendeta tidak
bernama.”
Demikianlah, tampaknya
orang-orang ini penasaran sekali.
Tiba-tiba dari ruang dalam
mendatangi seseorang. Dialah seorang wanita, langkah kakinya begitu ringan.
Dia tampaknya seperti tidak
bergerak karena pundaknya sama sekali tidak bergerak. Dan dia telah mendatangi
cepat, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah rombongan orang itu.
“Ada penjahat? Mana
penjahatnya? Apakah telah tertangkap?!” tanyanya beruntun.
Semua orang melihat wanita
itu, segera membungkukan tubuh mereka memberi hormat.
“Kauw-cu maafkan kami yang
telah mengejutkan Kauw-cu!” Kata yang jenggotnya lebat!
“Hemmm, gagal kalian menangkap
penjahat itu!” Mendengus wanita itu, yang tidak lain dari Kauw-cu Hek-pek-kauw,
yaitu Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling.
Muka orang-orang itu termasuk
yang berjenggot lebar, jadi berubah merah.
“Ampun kami yang tidak punya
guna……. penjahat itu sempat melarikan diri!” Katanya dengan suara
perlahan-lahan dan agak takut-takut.
Sepasang alis Giok-tiauw
Sian-lie berdiri terbangun. Dia bilang dengan suara yang amat dingin,
“Hemm, manusia tidak punya
guna dan cuma gentong nasi belaka! Menangkap penjahat saja tidak sanggup!
“Bagaimana jika mereka sempat
menerobos ke dalam, dan menimbulkan keonaran, sehingga tamu-tamu kita
mengetahui! Dan kita akan menderita malu, karena kita tidak sanggup menjaga
keamanan di markas sendiri!”
Waktu berkata begitu,
Giok-tiauw Sian-lie tampaknya sangat murka sekali.
“Kami mengaku bersalah! Kami
mengaku bersalah!” Kata orang-orang itu seperti ketakutan. “Dilain saat kami
akan berusaha buat mengadakan penjagaan yang ketat dan kami berjanji tidak akan
terulang lagi peristiwa ini.”
“Hemm!” Coa Mei Ling mendengus
begitu saja.
Hui-houw-to melihat Coa Mei
Ling merasakan hatinya jadi berdebar keras dibakar oleh api kemarahan. Dia
melirik kepada si pendeta, tapi Tang-ting Hweshio cuma mengedipkan mata,
memberikan isyarat agar dia tidak melakukan gerakan apa-apa dulu.
Waktu itu, Coa Mei Ling
tiba-tiba memutar tubuhnya, tanpa berkata apa-apa. Dia melangkah seperti tengah
memikirkan sesuatu.
Dia melangkah tepat dibawah
Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to berada di atas penglari.
Tiba-tiba Giok-tiauw Sian-lie
membentak nyaring, lutut kanannya ditekuk. Tangan kanannya bergerak, dia telah
menyebarkan sesuatu ke atas.
Beberapu titik terang telah
melesat menyambar ke atas penglari.
Tang-ting Hweshio dan
Hui-houw-to terkejut. Untung mereka berwaspada, sehingga seketika mereka
mengetahui diri mereka diserang Coa Mei Ling dengan timpukan jarum-jarum halus
itu.
Cepat-cepat Tang-ting Hweshio
menarik tangan Hui-houw-to, melompat turun.
Coa Mei Ling tertawa
bergelak-gelak. Walaupun serangan jarum-jarumnya itu tidak berhasil mengenai
sasarannya, cuma saja dia puas bisa memaksa kedua orang “penjahat” itu keluar
dari tempat persembunyiannya.
“Tentu saja kalian tidak akan
berhasil mengejarnya, sebab penjahatnya memang belum lagi pergi.” Kata Coa Mei
Ling dengan suara nyaring.
Anak buah Coa Mei Ling
tertegun, mereka seperti takjub. Tapi mereka segera tersadar dan cepat-cepat
menghunus senjata lalu melompat mengepung Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to di
tengah-tengah.
Mereka memperlihatkan sikap
mengancam akan membuka serangan dengan cara mengeroyok. Dan mereka tinggal
menantikan perintah dari Kauw-cu mereka yaitu Coa Mei Ling.
Giok-tiauw Sian-lie puas
tertawa, kemudian mengawasi Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to dengan sorot mata
yang sangat tajam. Sikapnya angkuh dan meremehkan ke dua orang yang ditatapnya
bergantian itu.
“Hemm, tidak tahunya malam ini
kami telah menerima kunjungan tamu terhormat yang tidak diundang, karena kami
kebetulan lupa untuk mengirimkan undangan! Jika memang kami boleh mengetahui,
siapakah nama dan gelaran terhormat dari tamu-tamu agung kami ini?”
Dingin sekali suara Giok-tiauw
Sian-lie ketika dia bertanya begitu. Dia membawa sikap yang angkuh sekali. Juga
dari sorot matanya, tampak dia seakan bersiap-siap hendak menyerang.
Tang-ting Hweshio tidak gugup
dan sikapnya sangat tenang sekali. Hui-houw-to sendiri sudah bersiap-siap
dengan golok pendeknya, karena dia bersiap untuk menghadapi terjangan lawannya.
Malah jika memang dapat, dia
akan menerjang kepada Giok-tiauw Sian-lie perempuan yang telah membuat dia
terluka di dalam dan telah merampas surat pentingnya.
Tapi Hui-houw-to tidak berani
bergerak sembarangan. Dia menantikan isyarat dari Tang-ting Hweshio.
Saat itu Tang-ting Hweshio
telah merangkapkan ke dua tangannya, membungkukkan tubuhnya sedikit, dia
bilang: “Pinceng Tang-ting Hweshio telah lancang datang ke mari dan karena
tidak sabar menantikan jemputan. Pinceng telah lancang masuk ke ruang dalam.
Maaf! Maaf! Maaf!”
Sabar sekali sikap dan suara
si pendeta, sedikitpun dia tidak memperlihatkan sikap jeri.
Muka Giok-tiauw Sian-lie
berobah. Tapi kemudian cepat keadaannya pulih sebagaimana biasa, dia malah
telah tertawa dingin.
“Hemmm, tidak tahunya kami
memperoleh kunjungan dari tamu terhormat berasal dari Siauw-lim-sie. Tang-ting
Hweshio yang terkenal sangat saleh!”
“Jangan nona berkata begitu
karena memang sebetulnya maksud kedatangan pinceng hanya ingin bertemu dengan
nona dan ingin mengadakan sedikit pembicaraan…….!”
“Jika seorang pendeta
Siauw-lim-sie, terlebih lagi dari tingkatan Tang, datang ke mari, niscaya akan
membawa persoalan yang sangat penting! Entah Taysu membawa berita penting
apakah buat siauw-moay?”
Waktu bertanya begitu, nada
suaranya sangat lembut, tapi sikapnya galak dengan tubuh yang tegak dengan mata
yang mendelik, memancarkan kemarahan yang sangat.
Belasan orang anak buah
Hek-pek-kauw itu kembali, napas mereka memburu keras. Mereka tidak berhasil
mencari penjahat dan berdiri di pekarangan gedung.
Mereka jadi kaget waktu
melihat orang yang mereka kejar ternyata masih berada di dalam ruangan itu.
Begitu mereka tersadar, cepat mereka mempersiapkan senjata tajam masing-masing.
Tang-ting Hweshio tetap
membawa sikap yang tenang, malah dia tetap merangkapkan sepasang tangannya
lagi.
“Siancay! Kedatangan Pinceng
ke mari justeru untuk membicarakan persoalan Giok-sie!”
“Apa?!”
“Membicarakan tentang Giok-sie
dengan kau nona…….!”
Muka Kauw-cu Hek-pek-kauw jadi
berobah hebat.
“Kau….. kau ingin berbicara
denganku tentang urusan Giok-sie? Pembicaraan apa itu?!”
“Pinceng kira, nona tentu
mengetahui jelas tentang Giok-sie dan juga Giok-sie yang telah menyebabkan
jatuh korban terlalu banyak menggoncangkan dunia persilatan baru-baru ini.
“Karena itu, Hong-thio Pinceng
telah perintahkan agar Pinceng mengurus persoalan ini, buat mencegah jatuh
korban lebih banyak lagi.......!”
Coa Mei Ling tertegun sejenak,
tampaknya dia ragu-ragu. Namun akhirnya dia tertawa dingin.
“Apa maksud Taysu sebenarnya?
Siauw-moay tidak mengerti?” Tanyanya.
“Tentu saja untuk melihat dan
mencari Giok-sie itu, lalu memusnahkannya.......!” Menyahuti Tang-ting Hweshio.
“Jadi Taysu hendak memusnahkan
Giok-sie?” Tanya Coa Mei Ling sambil membuka matanya lebar-lebar.
Tang-ting Hweshio mengangguk.
“Tidak salah! Siancay!
Siancay!”
“Hemmm!” Mendengus Coa Mei
Ling dengan muka yang merah padam. “Kekuasaan apa yang dimiliki Siauw-lim-sie,
sehingga bermaksud hendak memusnahkan Giok-sie? Dan juga semua orang mengetahui
Giok-sie jauh lebih berharga, dari pada satu Siauw-lim-sie.
Jika Siauw-lim-sie lenyap
musnah dari permukaan dunia ini mungkin semua orang dapat mengerti dan hanya
akan menyatakan sayang. Tapi Giok-sie, hemm, tentu saja jauh lebih berharga
bila dibandingkan, dengan sebuah Siauw-lim-sie! Bagaimana mungkin Siauw-lim-sie
memiliki pemikiran yang sinting seperti hendak memusnahkan Giok-sie?”
“Kata-kata nona memang
beralasan!” Kata Tang-ting Hweshio tetap tenang.
Dia tidak marah oleh kata-kata
yang kasar dari Coa Mei Ling. Dia masih tetap bersikap sabar dan halus. Dia tidak
memperlihatkan sedikitpun tanda-tanda tidak senang malah dia telah melanjutkan
kata-kata.
“Justeru memang Siauw-lim-sie
belum berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Giok-sie maka Siauw-lim-sie
ingin berusaha memperlihatkan kepada dunia luar, bahwa Siauw-lim-sie akan
berusaha untuk melakukan sesuatu yang besar. Suatu pekerjaan yang mulia, untuk
menyelamatkan jiwa manusia-manusia yang bisa kelak menjadi korban dari Giok-sie
itu!
“Kalau dibandingkan antara
perlu dan tidaknya Giok-sie ada di permukaan dunia ini, sebetulnya memang kita
harus mengakui bahwa tanpa adanya Giok-sie manusia di dunia inipun tidak akan
rugi apa-apa…….. Malah ada untungnya, yaitu dapat bernapas dengan aman sebab
tidak akan terjatuh korban-korban yang tidak perlu lagi yang hanya disebabkan
memperebutkan Giok-sie! Bukankah begitu nona?”
Muka Coa Mei Ling merah padam,
dia mendengus beberapa kali mengejek si pendeta.
“Jika memang Siauw-lim-sie
bermaksud untuk mencari Giok-sie dan memusnahkannya, pergilah! Aku tidak berhak
untuk melarangnya!
“Tapi apa hubungannya antara
keinginan Siauw-lim-sie memusnahkan Giok-sie itu dengan kedatangan Taysu ke
mari?!” Waktu bertanya pada kata-kata yang terakhir. Terdengarnya ketus dan
pedas sekali.
Sabar bukan main Tang-ting
Hweshio, karena dia telah bilang dengan sabar, “Sebetulnya, kedatangan pinceng
ke mari pun memiliki hubungan yang erat dengan masalah Giok-sie itu…….!”
“Hemmm, aku tidak sangkut
apapun dengan Giok-sie dan tidak mau Siauw-lim-sie melibatkan Hek-pek-kauw
dalam pencarian Giok-sie! Kalian pihak Siauw-lim-sie boleh berusaha sendiri
dengan jalan kalian…….!”
Tang-ting Hweshio tetap saja
tidak gusar malah tersenyum lembut.
“Dengar dulu nona…….! Jika tak
salah nona adalah Kauw-cu dari Hek-pek-kauw yang bergelar sebagai Giok-tiauw
Sian-lie, bukan?”
“Tidak salah! Namaku Coa Mei
Ling! Kalian dengar, namaku Coa Mei Ling!”
Setelah berkata begitu,
Giok-tiauw Sian lie melirik kepada Hui-houw-to yang berdiri di sisi si pendeta,
sikapnya sangat sinis sekali.
“Hemm…… dan kau…… kau masih
tidak kapok dan bermaksud untuk mencari urusan denganku? Apakah hantamanku
beberapa saat yang lalu belum cukup buat kau?”
Muka Hui-houw-to berobah merah
padam, dia gusar sekali, malah dia telah membentak dengan suara yang penuh
kemarahan, “Perempuan iblis!”
“Apakah kau bilang?” Meluap
darah Giok-tiauw Sian-lie, malah Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini sudah
bersiap-siap akan menerjang Hui-houw-to untuk menyerang lagi.
Namun Tang-ting Hweshio cepat
menghadang di depannya. Dia bilang dengan suara yang nyaring: “Dengar dulu
Kouw-nio….... sabar….... ada yang Pinceng perlu sampaikan!”
Mata Coa Mei Ling mendelik.
“Apa yang ingin kau katakan
lagi?!”
“Masih menyangkut urusan
Giok-sie!”
“Katakanlah!”
“Menurut keterangan Khang
Siecu, bahwa Kouwnio telah meminjam surat dari ketua Khong-tong-pay, yang di
dalamnya menjelaskan di mana beradanya si nelayan, yang kabarnya sudah berhasil
menemukan Giok-sie. Bukankah begitu?!”
Muka perempuan itu berobah
merah padam. Dia mengawasi mendelik pada Hui-houw-to, barulah kemudian dia
bilang:
“Ya. Memang benar. Jika kau
ingin mencampurinya!”
Si pendeta menggeleng.
“Bukan! Bukan begitu!”
“Bukan begitu bagaimana? Dengan
kedatanganmu ke mari, engkau ingin mencampuri urusan itu, bukan?!” Bengis waktu
Coa Mei Ling berkata seperti itu.
Tang-ting Hweshio tersenyum
sabar.
“Pinceng bukan hendak
mencampuri urusan tersebut, hanya saja Pinceng ingin menanyakan kepada kouwnio.
Apakah kouwnio bersedia memberitahukan di mana sebenarnya letak berdiamnya si
nelayan, agar nanti Pinceng dapat mengurusnya sendiri…….!”
“Hahaha…….!” Tiba-tiba Coa Mei
Ling tertawa dengan suara nyaring, di dalam nada suaranya itu mengandung sikap
yang bengis dan nafsu membunuh.
“Jika kau pun mengejar
Giok-sie! Hemm, justeru aku sekarang jadi ragu-ragu, apakah memang benar bahwa
kau ingin memusnahkan Giok-sie itu?
“Kalau saja kau berhasil
memperolehnya? Jangan-jangan nanti kau malah akan memanfaatkan Giok-sie itu
buat wujudkan cita-cita dan mimpimu untuk menjadi orang Kaisar! Bukankah
begitu?!”
Kali ini habislah sabar
Tang-ting Hweshio namun dia masih bisa menahan diri, karena dia dengan sikap
yang tetap sabar telah bilang:
“Sama sekali Pinceng tidak
memiliki pikiran seperti itu…….. Dan memang Pinceng telah menerima perintah
dari Hong-thio Siauw-lim-sie agar Pinceng berusaha mencari Giok-sie kemudian
berusaha mengambilnya buat memusnahkannya!
“Sama sekali Pinceng tidak
memiliki pikiran yang tidak-tidak….. dan jika tugas ini telah selesai, Pinceng
harus kembali ke Siauw-lim-sie, buat melanjutkan tapa Pinceng yang belum lagi
selesai.........!”
Tapi, Coa Mei Ling tertawa
bergelak-gelak dengan suara yang nyaring.
“Hemmm, aku tetap tidak bisa
mempercayai kata-katamu! Walaupun kau mencukur kepala sampai sepuluh kali
menjadi gundul, tetap saja engkau manusia! Dan jika memang Giok-sie telah
berada di tanganmu, jelas kau akan memanfaatkannya, untuk dipakai sendiri agar
bisa menjadi seorang yang paling berkuasa.”
“Kouwnio, terlalu kejam sekali
kata-kata Kouwnio yang menduga begitu buruk pada diri Pinceng…….”
“Lalu kau menginginkan aku
menyebut engkau sebagai seorang pendeta yang alim, yang layak untuk dipercaya?”
Mengejek Coa Mei Ling.
“Siancay! Siancay! Omitohud!”
Memuji si pendeta pada kebenaran sang Budha. Diapun menghela napas dalam-dalam.
Barulah kemudian berkata lagi:
“Baiklah, kouwnio, karena
Kouwnio memiliki perkiraan yang begitu buruk pada Pinceng, Pinceng pun tidak
bisa bilang apa-apa buat meyakinkan kouwnio. Tapi terus terang saja, kedatangan
Pinceng kemari memang ingin mengetahui alamat nelayan yang beruntung telah
berhasil memperoleh Giok-sie.
“Malah, bisa disebut untung,
tapi bisa disebut membawa sial, karena nelayan itu sendiri mengalami ancaman
yang tidak kecil. Banyak manusia yang tamak dan kemaruk akan keduniawian. Jelas
akan berusaha mengejarnya untuk merampas Giok-sie dari tangannya, bukankah
demikian keselamatan jiwa si nelayan terancam bahaya…….!”
“Hemm, mendengus Coa Mei Ling
sebelum si pendeta selesai dengan kata-katanya. “Aku tak perlu
khotbahmu.........!”
“Kouwnio, sekarang singkatnya.
Apakah Kouwnio bersedia memberitahukan alamat si nelayan itu pada Pinceng,
mengingat hanya Kouwniolah di sini yang mengetahui alamat si nelayan, lewat
surat penting yang Kouwnio ambil dari Hui-houw-to Khang Lam Cu siecu
ini.......!”
“Tidak! Jangan harap aku
memberitatukan segalanya kepadamu, kepala gundul!” Ketus sekali waktu Coa Mei
Ling bilang begitu.
Muka si pendeta berobah
sedikit, namun segera dia bisa menguasai dirinya menjadi tenang kembali.
“Apakah terpaksa Pinceng harus
meminjamnya dengan cara mencuri?”
Meledak tertawa Coa Mei Ling,
tertawa yang mengandung ejekan sinis.
“Hemm, terserah kepadamu!
Tentu saja aku tidak berani menganjurkan agar seorang pendeta menjadi seorang
pencuri!”
“Baiklah! Karena memang
Kouwnio tidak mau memberitahukan secara baik-baik, Pinceng juga terpaksa sekali
harus meminjamnya dengan mengambil surat itu secara mencuri!”
Baru saja si pendeta berkata
begitu, Coa Mei Ling, yaitu Giok-tiauw Sian-lie, sudah mengibaskan tangannya.
Dia memberikan isyarat kepada anak buahnya, agar mereka menyerang dan mengepung
si pendeta dan Hui-houw-to Khang Lam Cu.
Seketika, dengan serentak anak
buah Coa Mei Ling orang-orang Hek-pek-kauw sudah bergerak. Mereka menyerbu maju
dengan senjata tajam di tangan masing-masing.
Waktu itu tampak si pendeta
tenang-tenang saja, dia menantikan orang-orang itu datang dekat. Dia menyambuti
dengan mengibaskan lengan jubahnya berulang kali.
Sedangkan Hui-houw-to Khang
Lam Cu sudah menggerakkan golok pendeknya memberikan perlawanan.
Belasan orang anak buah
Hek-pek-kauw yang berada di pekarangan luar, juga sudah menyerbu masuk, untuk ikut
mengeroyok si pendeta dan Hui-houw-to.
Tapi si pendeta benar-benar
tangguh. Setiap kali dia mengibaskan lengan jubahnya, maka ada saja anak buah
Hek-pek-kauw yang terpental kena kibasannya itu.
Dan akhirnya, anak buah
Hek-pek-kauw tidak ada yang berani terlalu dekat dengan si pendeta, mereka cuma
mengepung dari jarak yang cukup jauh. Jika memang memiliki kesempatan baik,
barulah mereka berani menyerbu buat menyerang.
Hui-houw-to sendiri tidak
berani bertempur dengan berayal. Karena dia menyadari kepandaiannya masih
berada di bawah kepandaian si pendeta.
Dengan demikian, dia telah
bertempur dengan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya dimana golok pendeknya itu
telah menyambar ke sana ke mari dengan gencar sekali dan telah berhasil melukai
beberapa orang lawannya.
Dalam keadaan seperti itu, Coa
Mei Ling berdiri di pinggir ruangan, menyaksikan saja. Ia ingin memperhatikan
ilmu silat Tang-ting Hweshio karena di saat itu belum bisa menaksir dan menduga
berapa tinggi kepandaian si pendeta!
Setelah menyaksikan jalannya
pengeroyokan yang dilakukan anak buahnya terhadap Tang-ting Hweshio, barulah
dia memperoleh kenyataan si pendeta memang tangguh. Dan dia bisa menduga-duga
berapa tinggi kepandaian si pendeta ini dan bagaimana harus menghadapinya.
Setelah lewat beberapa saat
lagi, di saat dua orang anak buah Hek-pek-kauw kena dikibas lengan jubah si
pendeta sampai terpelanting ke belakang. Coa Mie Ling menjejakkan kakinya
melesat ke depan si pendeta. Diapun telah berseru: “Mundur semua!”
Ternyata Coa Mie Ling hendak
menghadapi sendiri si pendeta tangguh ini.
Semua anak buah Hek-pek-kauw
telah melompat mundur, membuka kepungan mereka.
Hui-houw-to juga telah
melompat ke pinggir, tidak mungkin dia membantui Tang-ting Hweshio buat
mengeroyok Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut.
Sedangkan saat itu Coa Mie
Ling, begitu melompat maju, sudah menghantam dengan telapak tangannya. Tenaga
dalamnya kuat sekali, walaupun dia seorang manusia, namun lweekangnya yang
mahir, membuat tenaga pukulannya mengandung kekuatan angin yang bisa
menghancurkan bungkahan batu yang besar!”
Si pendeta pun berhati-hati
karena Tang-ting Hweshio, menyadarinya, bahwa Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini
memiliki kepandaian yang bukan sembarangan, lain dibandingkan dengan anak
buahnya, yang umumnya berkepandaian tidak seberapa.
Di samping itu, serangan Coa
Mei Ling sudah tiba, dia berkelit ke samping kanan lengan jubahnya mengibas ke
arah pinggang Coa Mei Ling.
Tapi Coa Mei Ling cuma
meliukkan pinggangnya, dia sudah bisa meloloskan diri dari ujung lengan jubah
si pendeta. Malah diapun cepat sekali menyusuli dengan hantaman berikutnya.
Kali ini tangan kanannya
menghantam kuat sedangkan tangan kirinya terjulur cepat bukan main ke arah muka
Tang-ting Hweshio, dalam posisi dengan ke lima jari tangannya terbuka dan dia
hendak mencakar!
Itulah cakaran yang bukan
sembarangan, karena cara mencakar dari Coa Mie Ling disertai dengan ilmu Cakar
Setan, yang terkenal sangat tangguh sekali.
Jika seorang lawan dicakar
mukanya oleh jari tangan Coa Mie Ling, niscaya orang itu akan rusak dan
sebagian daging mukanya akan copot karena jari tangan Coa Mie Ling yang
mempergunakan jurus ilmu “Cakar Setan” tersebut sangat kuat.
Sedangkan, besi atau kayu saja
jika dibakar olehnya pasti akan gompal. Kayu akan terbelah, besi akan terbeset
oleh ujung jari ujung jari tangannya meninggalkan garis yang dalam! Bisa
dibayangkan betapa tangguhnya ilmu cakar perempuan ini!
Walaupun Tang-ting Hweshio pun
menyadari bahwa cakaran dari Coa Mie Ling tidak bisa diremehkan, karena dia
merasakan sambaran angin cakaran yang begitu tajam. Sebagai seorang pendeta
yang waspada dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, diapun menyadari tidak
membiarkan saja serangan itu meluncur ke dekat mukanya.
Sambil mengeluarkan seruan
nyaring, tampak kedua tangan Tang-ting Hweshio mendorong ke arah Coa Mie Ling.
Dia mendorong dengan menekuk
kedua lututnya. membuka ke dua telapak tangannya, dengan disertai delapan
bagian tenaga dalamnya.
“Wuttt…...!” Angin didorong
tersebut menyambar kuat sekali.
Coa Mie Ling mengeluarkan
seruan kaget, tubuhnya tergoncang, karena dia seperti diterjang oleh lempengan
besi yang sangat kuat sekali, dari angin serangan si pendeta yang tidak
kelihatan itu.
Tapi dia kaget, dia bisa
mengambil keputusan dengan cepat. Ia juga telah membatalkan serangannya,
menarik pulang tangannya. Dia segera melesat ke samping dan kemudian melompat
lagi ke belakang si pendeta, membarengi dengan itu, tangannya telah menghantam
pula.
Pukulannya kali ini datangnya
sangat cepat. Si pendeta hendak mengelakkannya. Namun dia perlu menarik pulang
tangannya dulu, karena dari itu dia jadi terlambat dengan gerakannya.
“Bukk!” Pundak si pendeta kena
dihantam telak oleh Coa Mei Ling.
Tapi si pendeta yang tadi
menyadari dia tidak akan keburu mengelakkan serangan itu. Walaupun dia kaget si
pendeta tidak menjadi gugup segera Tang-ting Hweshio sudah mengempos
lwekangnya, untuk melindungi pundaknya.
Begitu pundaknya kena dihantam
oleh pukulan Coa Mei Ling, dia hanya terguncang keras. Kemudian dia sudah bisa
berdiri tetap lagi, tanpa terluka di dalam.
Hui-houw-to Khang Lam Cu
melihat kejadian itu, kaget tidak terkira. Dia sangat mengandalkan sekali si
pendeta. Kalau memang si pendeta kena dirubuhkan Coa Mei Ling niscaya dia akan
kehilangan andalan.
Dia akan celaka ditangan
orang-orang Hek-pek-kauw ini. Karenanya dia berdua, jadi mengharapkan sekali
akan Tang-ting Hweshio bisa menghadapi Coa Mei Ling serta merubuhkan lawannya.
Beberapa kali dia telah
mengawasi dengan sikap tenang telapak tangannya yang mencekal gagang goloknya
juga berkeringat. Dia mencekal gagang goloknya itu kuat-kuat karena dia
sewaktu-waktu bisa mempergunakannya, buat menerjang menolongi Tang-ting
Hweshio, kalau saja si pendeta tengah berada dalam ancaman bahaya maut.
Tang-ting Hweshio sudah
membalikkan tubuhnya menghadapi Coa Mei Ling dengan kedua tangan siap di muka
dadanya. Waktu itulah tangan Coa Mei Ling sudah menyambar lagi dengan kuat
sekali.
Karena memang Coa Mei Ling
tidak memberikan kesempatan bernapas sedikit pun juga kepada si pendeta.
Serangannya itu mengandung suatu kekuatan yang dahsyat, sebab Kauw-cu dari
Hek-pek-kauw itu sudah mempergunakan enam bagian dari tenaga dalamnya.
Tang-ting Hweshio mengangkat
kedua tangannya. Iapun mendorong dengan kekuatan tenaga yang tidak kecil. Dua
kekuatan saling bentur, tangan mereka bentrok keras.
Tubuh Coa Mei Ling tergoncang
tapi kuda-kuda kedua kakinya tidak tergempur, dia tetap mengempos semangatnya
buat menindih kekuatan si pendeta.
Tang-ting Hweshio juga
mengempos semangatnya, semakin tenaga dorongan dari kedua tangannya jadi
semakin kuat, karena lweekang si pendeta adalah lweekang yang murni dari
Siauw-lim-sie. Dengan demikian telah membuat tenaga itu dapat disalurkan
bergelombang.
Celakanya buat Coa Mei Ling.
Ia merasakan desakan tenaga dalam dari si pendeta telah membuat dia tergoncang
keras, di mana tubuhnya seakan juga diterjang semakin kuat oleh gelombang yang
kian hebat juga.
Perlahan kuda-kuda dari ke dua
kaki Coa Mei Ling jadi terdorong, dan kakinya tergeser. Hati Coa Mei Ling
terkesiap. Ia berusaha hendak mendorong lagi dengan mengerahkan seluruh
kekuatannya. Namun gagal.
Waktu itu Coa Mei Ling
merasakan betapa tenaga dorongan dari Tang-ting Hweshio semakin kuat juga, dan
telah membuat Coa Mei Ling akhirnya menyadari, mungkin dalam beberapa detik
lagi dia tidak akan sanggup bertahan terus seperti itu.
Dalam waktu yang cuma beberapa
detik itu, Coa Mei Ling harus mengambil keputusan yang cepat. Kalau tidak, jika
dia bertahan terus seperti itu. niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak
ringan, kalau saja sampai dia terserang dan tergempur oleh kekuatan tenaga
dalam si pendeta.
Tang-ting Hweshio sendiri
merasakan bahwa ia sudah berada di atas angin. Jika memang dalam keadaan
seperti itu berlangsung lebih lama lagi, dia akan dapat merubuhkan Coa Mei
Ling.
Hanya saja, sebagai seorang
pendeta, hal itu tidak menggembirakan hatinya. Kalau sampai wanita im tergempur
kuda-kuda kedua kakinya, niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak ringan.
Maka dia segera menarik pulang kedua tangannya dengan tiba-tiba sekali.
“Sudahlah! Hentikan!” Kata si
pendeta dengan suara yang sabar. Dia ingin menyudahi pertempuran itu.
Diapun berpikir jauh, kalau
sampai Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini terluka dan rubuh di tangannya, niscaya
dia akan menanam dendam yang mendalam pada hati perempuan itu. Dia ingin
menyelesaikan persoalannya dengan cara yang baik.
Tapi justeru Coa Mie Ling
beranggapan lain. Melihat si pendeta menarik pulang tenaganya dan Coa Mie Ling
merasakan tindihan tenaga dalam Tang-ting Hweshio jadi ringan cepat-cepat dia
mengempos semangatnya. Dia bukannya menarik pulang tenaganya buat menyudahi
pertempuran itu, malah dia mengempos seluruh kekuatan sisa tenaganya.
Dia malah telah membentak
nyaring, dan ke dua tangannya bergerak menghantam. Gelombang kekuatan tenaga
dalam seperti gelombang air laut yang menerjang dahsyat sekali.
Tercekat hati Tang-ting
Hweshio, dia sampai berseru kaget dan berusaha untuk menangkis.
Namun sudah tidak keburu,
tubuh Tang-ting Hweshio tergempur hebat. Dia sampai terhuyung mundur empat
langkah ke belakang dengan wajah yang pucat tubuhnya gemetar, mulutnya segera
memuntahkan darah segar.........
Untung saja Tang-ting Hweshio
masih sempat mengempos semangat murninya buat menangkis, walaupun dia terlambat
dan tidak berhasil menangkis kekuatan tenaga dalam Coa Mie Ling.
Sedikitnya membantu membuat
dia tidak sampai terluka lebih parah lagi. Malah dia pun tidak sampai
terguling, cuma terhuyung ke belakang sampai empat langkah lebih saja.
Disamping itu, perlu diingat
bahwa lweekang yang dilatih Tang-ting Hweshio adalah lweekang dari aliran
murni, yang juga memang merupakan satu-satunya aliran lweekang sejati, dari
Siauw-lim-sie.
Dengan demikian, walaupun
dalam keadaan yang terancam seperti itu, lweekang itu bisa bekerja sendiri dan
masih membendung sebagian tenaga dalam penyerang membuat dia tidak sampai
terjungkal rubuh sampai terserang binasa.
Hui-houw-to kaget tidak
terkira. Dia melompat ke samping si pendeta. Dia pun bertanya dengan muka yang
pucat:
“Taysu....... bagaimana
keadaanmu?”
Si pendeta mengawasi Coa Mei
Ling sejenak, kemudian merangkapkan ke dua tangannya, “Omitohud! Siancay!
Siancay!”
Dia memejamkan matanya untuk
menyalurkan hawa murninya, agar luka di dalamnya bisa dibendungnya.
Hui-houw-to jadi gusar bukan
main. Dia juga berkuatir sekali untuk nasib si pendeta.
“Perempuan siluman, kau.......
kau!” Karena terlalu marah Hui-houw-to tidak bisa meneruskan kata-katanya
dimana dia berdiri dengan tubuh gemetar dan tangan mencekal kuat-kuat golok
pendeknya.
Sedangkan Coa Mei Ling tertawa
mengejek.
“Hemm, sekarang kau baru
menyaksikannya bukan? Betapapun pendeta sakti Siauw-lim-sie bukan berarti
apa-apa buatku! Dia tidak ada artinya di mataku!” Katanya angkuh sekali.
Anak buah Hek-pek-kauw
bersorak girang riuh sekali melihat Kauw-cu mereka sudah berhasil merubuhkan
dan melukai si pendeta yang memuntahkan darah segar.
Tang-ting Hweshio membuka
matanya, dia dengan sabar bilang: “Kouwnio, sesungguhnya kouwnio sudah
melakukan sesuatu yang tidak pantas. Di saat Pinceng menarik pulang tenaga
dalam pinceng, Kouwnio sudah mempergunakan kesempatan itu buat menyerang
pinceng……. itulah perbuatan yang tidak terpuji!”
Mata Coa Mei Ling mendelik.
“Hemm, di dalam pertempuran,
apakah terdapat suatu peraturan bahwa aku tidak boleh menyerang orang yang
tengah menarik tenaga dalamnya untuk merobah cara bertempurnya? Tentu saja di
dalam suatu pertempuran, seseorang berhak untuk mempergunakan cara apapun juga
buat merebut kemenangan!”
Mendengar kata-kata seperti
itu, tampak Tang-ting Hweshio menghela napas.
“Baiklah! Sekarang Kouwnio
sudah berhasil memperoleh kemenangan dengan cara yang licik. Dan ini memang
kesalahan Pinceng juga yang telah berlaku lemah, di mana sebetulnya tadi
pinceng hampir saja dapat merubuhkan Kouwnio.
“Hanya Pinceng rasa kasihan
jika seorang wanita seperti Kouwnio harus terluka di dalam yang parah, karena
dari itu Pinceng telah menarik pulang tenaga dalam Pinceng....... Hanya saja
Kouwnio tampaknya tidak dapat menerima kenyataan itu, malah merebutnya menjadi
kemenangan buat Kouwnio……”
Muka Coa Mie Ling merah padam.
Dia bukannya tidak mengetahui bahwa si pendeta tadi telah berlaku murah hati
padanya.
Tapi justeru diapun menyadari
bahwa dia harus dapat menutupi kelemahannya, karena tidak mungkin dia bisa menguasai
anak buahnya, kalau saja dia memperlihatkan dan menerima begitu saja kata-kata
si pendeta. Dan sekarang, diapun melihat betapa anak buahnya tengah mengawasi
dirinya.
Maka cepat-cepat Coa Mie Ling
telah bilang, “Hemm, kau bicara seperti anak kecil saja! Sekarang dalam keadaan
terluka kau buka mulut tidak karuan, dan merasa bahwa engkau hendak melepaskan
budi kebaikan padaku!
“Hemm! Hemm! Siapa yang bisa
mempercayai kata-katamu. Di dalam sebuah pertempuran, apakah ada seorang yang
baik hati seperti engkau, di saat akan merebut kemenangan, lalu menarik puIang
tenaga dalammu?!
“Mustahil dan tidak masuk
dalam akal sehat. Lain kalau memang orang yang telah sinting!” Ketus sekali
kata-kata Coa Mie Ling.
Tang-ting Hweshio menghela
napas,
“Kedatangan Pinceng ke mari
bukan untuk mengajak Kouwnio bertempur dan memperoleh kemenangan. Pinceng
memang bukan bermaksud untuk menempuh jalan kekerasan. Tapi rupanya pinceng
sudah salah menentukan sikap.
“Kau menyesal?”
“Bukan menyesal! Menyelamatkan
seseorang yang hampir saja rubuh, dan memang Pinceng memiliki kemampuan buat
menyelamatkan orang itu tentu saja hal ini merupakan suatu kebanggaan dan
kebahagiaan buat Pinceng.
“Itulah suatu perbuatan baik
yang berhasil Pinceng lalukan! Tapi rupanya Kouwnio memiliki pendirian dan
lain, itu pula, Pinceng bermaksud untuk menegaskan kepada Kouwnio, apakah
Kouwnio mau meminjamkan surat Ciangbunjin Khong-tong-pay itu pada Pinceng?”
Muka Coa Mei Ling tampak mesem
cemberut.
“Hemm, kau kira aku ini apa
sehingga mau begitu saja meminjamkan surat berharga itu padamu? Jika memang kau
hendak merampasnya dengan mempergunakan kekerasan, ambillah sendiri!
“Bukankah tadi kau telah
bicara terkebur, bahwa kau ingin mengambil surat penting itu dengan kekerasan?
Mengapa kau tak melakukannya dengan kekerasan? Ayo, sekarang ini aku masih
berusaha melayani kau, untuk main-main, guna melihat siapa yang lebih tangguh!”
Tang-ting Hweshio menyusut
mulutnya, ia telah menyeka darah yang melumuri ujung bibirnya, ia menghela
napas.
“Kouwnio kalau demikian
halnya, baiklah!” dan ia melangkah ke depan lagi, meghampiri Coa Mei Ling.
Hui-houw-to kuatir bukan main,
dia melihat betapa Tang-ting Hweshio melangkah maju menghampiri Coa Mei Ling,
hendak bertempur lagi dengan ketua dari Hek-pek-kauw.
“Taysu……!” Panggilnya dengan
suara yang bimbang.
Tang-ting Hweshio menoleh.
“Jangan kuatir, Khang Siecu,
tidak akan apa-apa.......!” Sabar suara si pendeta.
“Tapi Taysu tengah terluka.”
“Luka yang tidak ada artinya!”
“Taysu.......”
“Ya?”
“Biarlah aku yang menghadapi
dia!” Kata Khang Lam Cu dengan suara penuh kemarahan, karena dia murka sekali
atas kelicikan Coa Mei Ling. “Memang perempuan iblis itu harus dimampusi!”
Muka Coa Mei Ling merah
mendengar kata-kata Hui-houw-to seperti itu.
“Nah, kau maju sekalian, aku
malah akan menghancurkan batok kepalamu dan merobek mulutmu yang kotor dan
kurang ajar itu.” Tantang Coa Mei Ling sengit.
Waktu itu si pendeta telah
melangkah ke dekat si wanita yang menjadi ketua Hek-pek-kauw, dengan sabar dan
sepasang tangannya dirangkapkan, dia bilang: “Nah, Kouwnio silahkan…….!”
Coa Mei Ling mengawasi si
pendeta.
“Oho…... Nampaknya engkau
masih penasaran dan hendak main-main lagi? Tidak takut mampus?” Mengejek Coa
Mei Ling dengan suara yang dingin.
Tampak si pendeta tersenyum,
juga jelas terlihat sisa darah di mulutnya.
“Biarlah Pinceng akan
mencobanya sampai di mana pun, dan memang Pinceng juga ingin melihat, apakah
Kouwnio memiliki hati yang benar-benar keras buat membunuh Pinceng…….?” Sambil
berkata begitu, si pendeta telah mengawasi Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut.
Tergetar hati Coa Mei Ling.
Tapi, dia menggigit bibirnya, mengeraskan hatinya. Karena, dia melihat betapa
anak buahnya semua tengah mengawasi dia.
“Hemm, baik! Baik! Engkau
sendiri yang minta untuk mampus!” Kata Coa Mei Ling.
“Nah, kau menyeranglah!”
Si pendeta tersenyum tawar.
Melihat si pendeta tidak mau
membuka serangan, malah dirinya dipersilahkan untuk menyerang, Coa Mei Ling
tidak sungkan-sungkan. Segera dia mengempos semangatnya.
Dia mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menghantam dengan tangan kanannya, mempergunakan lima bagian
tenaga dalamnya. Tangan kirinya telah meluncur sama hebatnya untuk menotok
batok kepala si pendeta yang botak dan lonjong itu.
Tapi memang hebat pendeta
Siauw-lim-sie ini. Walaupun Tang-ting Hweshio sudah terluka di dalam yang tidak
ringan, setelah mengerahkan hawa murninya, dia bisa sementara waktu
mengendalikan. Dan dia bisa pulih kembali kesegarannya, serta bisa menghadapi
Coa Mei Ling dengan baik.
Waktu Coa Mei Ling sudah
berkata dengan suara dingin: “Kau yang meminta agar aku memampusi kau dan kau
jangan mempersalahkan aku jika engkau sudah dikirim ke neraka.
“Tidak Kouwnio, jika memang
benar sudah tiba waktunya Pinceng terpulang tentu saja Pinceng tidak akan
menyesali Kouwnio! Silahkan!”
Sambil berkata begitu,
Tang-ting Hweshio sudah mengelakkan serangan Coa Mei Ling. Malah beruntun dia
bergerak sebat sekali mengelakkan diri dari dua serangan ketua Hek-pek-kauw
tersebut, dan dia mengayunkan kaki kanannya menendang dengan tendangan yang
kuat sekali.
Coa Mie Ling merasakan betapa
angin tendangan itu dahsyat sekali. Dia telah menerpah dengan tangan kanannya.
Kaki si pendeta terpukul ke
samping. Tapi kaki itu seperti memiliki mata. Begitu terpah ke samping seketika
telah meluncur lagi menyambar ke dada Coa Mei Ling membuat ketua Hek-pek-kauw
itu kaget, tak terkira.
Cepat luar biasa tampak
Tang-ting Hweshio beruntun menyerang sampai lima jurus.
Untung saja, Coa Mie Ling
walaupun merasakan lweekangnya masih kalah tingkat dengan pendeta itu, dia
memiliki gin-kang yang tinggi. Dengan demikian dia masih bisa bertahan diri
dari serangan setiap si pendeta.
Malah diapun selalu membalas
menyerang dengan hebat sekali. Serangannya selalu merupakan jurus-jurus yang
bisa mematikan lawan kalau saja mengenai sasaran yang hebat.
Tang-ting Hweshio sekali ini
bertempur dengan sungguh-sungguh. Sebab dia memang ingin memperlihatkan bahwa
ilmu silat Siauw-lim-sie bukanlah ilmu silat sembarangan.
Bukankah si gadis tadi telah
mengejeknya bahwa seorang pendeta Siauw-lim-sie telah kena dirubuhkannya? Jika
si pendeta tidak membuktikan bahwa kepandaiannya menang seurat dari kepandaian
ketua Hek-pek-kauw itu, niscaya nama Siauw-lim-sie akan ternoda. Karena dari
itu, dia juga telah memutuskan, untuk merubuhkan Coa Mei Ling kalau saja ia
menginginkannya.
Hui-houw-to sendiri berdiri
dengan hati gelisah sekali. Dia melihat Tang-ting Hweshio sudah terluka akibat
gempuran Coa Mei Ling, sekarang mereka bertempur lagi. Kemudian dean demikian,
Hui-houw-to kuatir kalau saja kena dirubuhkan oleh ketua Hek-pek-kauw itu dan
akhirnya menemui ajalnya.
Karenanya, ia mencekal golok
pendeknya dengan erat. Ia sebetulnya sudah tak sabar hendak menerjang, guna
membantu si pendeta.
Cuma saja, ia kuatir jika
memang ia menerjang membantui si pendeta, nanti pendeta Siauw-lim-sie itu
tersinggung, karena jelas itu hanya akan menjatuhkan nama baik Siauw-lim-sie.
Pemikiran seperti membuat
Hui-houw-to akhirnya berdiam diri saja, ia tak meneruskan niatnya. Ia juga
tidak menerjang buat membantui si pendeta.
Yang membuat Hui-houw-to jadi
tercengang, walau Tang-ting Hweshio telah terluka di dalam yang tampaknya tak
ringan sebab si pendeta sempat memuntahkan darah segar, tokh kenyataannya ia
masih mau bergerak lincah sekali, kegesitannya tak berkurang malah lwekangnya
di dalam pukulan-pukulannya mendatangkan kesiuran angin yang dahsyat.
“Benar-benar tangguh sekali
pendeta Siauw-lim-sie ini!” Berpikir Hui-houw-to di dalam hatinya. “Dan memang
tidak salah Siauw-lim-sie di gelari sebagai pintu perguruan nomor satu seantaro
Tiong-goan, karena ilmunya yang sejati dan murni.
“Tampak memang pendeta ini
telah dapat mengangkat naik nama Siauw-lim-sie, karena tidak percuma dia
sebagai pendeta sakti dari Siauw-lim-sie. Tadi telah kecolongan oleh kelicikan
lawannya, namun dia masih bisa menghadapi lawannya dengan baik…….!”
Jika Hui-houw-to berpikir
seperti itu, justeru lain lagi yang dipikir Coa Mei Ling. Dia berpikir di dalam
hatinya.
“Hemm, pendeta busuk ini
ternyata memang tangguh! Tadi dia bermaksud baik, dia telah menarik pulang
tenaganya, dan dia telah kulukai gempuran tidak ringan.
“Namun sekarang ini, dia masih
bisa memberikan perlawanan yang gigih, tampaknya tenaga dalam pendeta busuk ini
tidak berkurang……. Memang Siauw-lim-sie hebat, pendeta ini sudah
mempertunjukkan kebolehannya ilmu Siauw-lim-sie.
“Aku memang harus hati-hati
untuk menghadapinya, karena aku harus cepat-cepat merubuhkannya. Jika sampai
aku rubuh, niscaya aku akan menjadi bahan tertawa orang-orangku!”
Karena berpikir seperti itu,
segera juga Coa Mei Ling memperhebat serangannya. Jika sebelumnya ia main
serang dari jarak jauh. Sekarang ia gencar sekali mendesak si pendeta, sebab ia
tak mau memberikan kesempatan bernapas kepada pendeta itu.
Tang-ting Hweshio walaupun
tengah terluka, ia dapat bersilat dengan baik, sama sekali tidak terdesak oleh
setiap terjangan Coa Mei Ling.
Bahkan setiap kali ada
kesempatan, terus ia akan membalas serangan ketua Hek-pek-kauw itu.
Jika selama ini ia main mundur
itulah disebabkan ia hendak melihat sampai di mana tingkat ilmu silat ketua
Hek-pek-kauw ini. Dan memang iapun ingin mencari kelemahan dari lawan yang
tangannya telengas serta ganas itu.
Beruntun tampak Tang-ting
Hweshio menghindarkan diri dari setiap terjangan lawannya malah diapun telah
dua kali membalas menyerang. Kerap serangannya, membuat lawannya itu jadi
terdesak. Coa Mei Ling mau atau tidak harus melompat mundur.
Sedangkan si pendeta
mempergunakan kesempatan itu telah melompat maju. Tangan kanannya diulurkan
buat mencengkeram, dan tangan yang satunya dipakai buat mendorong.
Hebat cara menyerang pendeta
ini. Malah tangan yang dipergunakan buat mendorong itu berputar, sehingga Coa
Mei Ling sulit menerka, ke arah mana sasaran serangan tersebut.
Beberapa kali memang Coa Mei
Ling mengalami ancaman seperti itu, seperti yang sebelumnya, selalu dia berlaku
licik. Jika dia dalam terdesak, maka jalan satu-satunya, hanyalah melompat
mundur sejauh mungkin, kemudian disusuli dengan lompatan berikutnya. Dia
berhasil menjauhi si pendeta.
Kala ini Tang-ting Hweshio
tidak mengejarnya, dia berdiri tegak mengawasi Coa Mei Ling dengan sorot mata
yang tajam.
Tampaknya Tang-ting Hweshio
sudah habis kesabarannya, dia pun bilang: “Siancay rupanya memang Kouwnio hendak
melihat ilmu sejati Siauw-lim-sie.”
Coa Mei Ling mendengus, dia
bilang: “Ya, kau keluarkanlah!”
Walaupun mulutnya bilang
begitu, tidak urung hatinya jadi tegang dan tergoncang. Karena sebentar lagi
dia akan menghadapi ilmu silat sejati Siauw-lim-sie.
Coa Mei Ling pun tidak tahu,
apa yang dimaksud si pendeta dengan perkataan ilmu silat sejati Siauw-lim-sie.
Tang-ting Hweshio tidak bilang
apa-apa lagi karena dia sudah melangkah maju. Dia memutar kedua tangannya,
semakin lama semakin cepat.
Waktu memutar sepasang
tangannya, si pendeta sudah mengempos semangatnya, iapun menerjang ke depan.
Dan yang luar biasa, putaran sepasang tangannya itu menyebabkan timbulnya
pusaran angin yang sangat kuat sekali bergulung-gulung menerjang kepada Coa Mei
Ling.
Ketua Hek-pek-kauw itu kaget.
Dia melompat mundur.
Namun Tang-ting Hweshio telah
melompat ke dekatnya, sepasang tangannya tetap saja berputar.
Dalam keadaan seperti itulah,
tampak Coa Mei Ling mulai panik dan terdesak.
Setiap kali angin serangan
dari sepasang tangan Tang-ting Hweshio yang berputar itu mendekatinya, maka ia
merasakan sekujur tubuhnya jadi kaku dan sulit untuk digerakkannya. Karenanya
ia selalu menempuh cara dengan hanya melompat ke belakang, untuk menghindarkan
diri dari setiap terjangan si pendeta.
Tapi si pendeta berulang kali
telah menerjang juga, ia sama sekali tak mau memberikan kesempatan pada si
ketua Hek-pek-kauw itu buat bernapas.
Sedangkan Coa Mei Ling sendiri
sambil berputar telah balas menyerang. Ia juga telah beberapa kali menerjang
untuk membuka desakan dari angin yang bergulung itu, namun selalu menemui
kegagalan, dengan begitu membuat ia jadi beberapa kali terdesak.
Sedangkan saat itu Tang-ting
Hweshio telah mendesak terus dengan hebat. Yang luar biasa angin yang berputar
semakin kuat dan semakin melibat diri Coa Mei Ling.
Beberapa kali Coa Mei Ling
mengerahkan lweekangnya. Dia mengempos semangatnya, dan berseru nyaring,
mendorong sekuat tenaga lweekangnya.
Dorongannya itu sangat kuat
sekali, dan telah membentur tenaga dalam si pendeta, sehingga untuk sementara
waktu dapat membendung sebagian dari terjangan Tang-ting Hweshio.
Namun Tang-ting Hweshio, tidak
berhenti dengan putaran sepasang tangannya. Karena dia terus bersikap seperti
itu dengan sepasang tangan berputar, keras sekali dia menerjang terus kepada
Coa Mei Ling.
Terjangannya itu berhasil
membuat Coa Mei Ling harus terdesak terus menerus.
Rupanya Tang-ting Hweshio
merasakan sakitnya sudah tiba. Ketika Coa Mei Ling tengah membentak dan
mendorong dengan ke dua tangannya dengan mempergunakan tenaga lweekangnya
sepenuhnya, Tang-ting Hweshio berseru mengguntur.
Seruannya itu adalah nada dari
bacaan bacaan Liam-kheng, dan ia membentak begitu dengan sepasang tangan
berhenti bergerak, tidak berputar lagi. Tapi mendorong dengan kuat sekali.
Hebat luar biasa tenaga
dorongannya itu karena kekuatan tenaga dalam itu telah menerjang dengan
dahsyat, dimana angin serangan tersebut membuat tubuh Coa Mei Ling jadi
terjengkang rubuh.
Sedangkan Tang-ting Hweshio
dengan ringan sudah melompat dan menghantam lagi.
Coa Mei Ling melompat untuk
bangkit.
Tapi terlambat.
Begitu tubuhnya melompat
berdiri, kakinya baru saja hinggap di lantai, justeru angin hantaman si pendeta
sudah menyambar datang. Dan dia berguling lagi. Malah kini dia terguling tidak
bisa segera bangun. Dia pun memuntahkan darah segar.
Waktu dia memuntahkan darah
segar seperti itu, hati Coa Mei Ling bukan main herannya dan takjub, disamping
penasaran sekali. Dia tidak mengerti, entah ilmu silat apa yang dipergunakan
oleh si pendeta, yang tenaga dalamnya berlipat ganda menjadi jauh lebih kuat.
Di waktu itu tampak Tang-ting
Hweshio sudah berdiri tegak, ia merangkapkan sepasang tangannya:
“Omitohud, siancay! Siancay!
Janganlah Kouwnio memiliki sikap sinis dan memandang rendah Siauw-lim-sie! Tadi
Pinceng sudah memperlihatkan sebagian kecil dari ilmu silat Siauw-lim-sie dan
memang tampaknya kouwnio sulit buat menghadapinya, bukan?”
Coa Mei Ling mendengus.
Baru saja is hendak merangkak
bangun justeru anak buahnya sudah menerjang pada si pendeta.
Rupanya anak buah Hek-pek-kauw
kuatir Kauw-cu mereka akan dibinasakan oleh Tang-ting Hweshio. Mereka kuatir
jika memang Tang-ting Hweshio akan mempergunakan kesempatan itu buat menyerang
Kauw-cu mereka lagi. Karenanya mereka mempergunakan kesempatan dengan senjata
tajam masing-masing menyerbu menyerang si pendeta.
Namun Tang-ting Hweshio memang
tangguh sekali. Ia bergerak dengan gesit, dan setiap serangan dari lawannya itu
dapat dihindarkannya, malah pendeta itu selalu bisa membuat lawannya jungkir
balik.
Tenaga dalam Tang-ting Hweshio
memang jauh terlatih dengan sempurna, dengan demikian ia selalu bisa membuat
lawannya terpental.
Juga, Tang-ting Hweshio tidak
berlaku lunak seperti sebelumnya, dia telah menyerang semakin dahsyat.
Waktu anak buah Hek-pek-kauw
menerjang dia semakin rapat. Dia menghadapi dengan sepasang tangannya yang
bergerak-gerak semakin cepat.
Sedangkan Hui-houw-to
menyaksikan hal itu dengan hati girang bukan main, karena si pendeta ternyata
memang sangat lihay sekali. Sedangkan Kauw-cu dari Hek-pek-kauw yaitu
Giok-tiauw Sian-lie, yang sangat terkenal itu, yang memiliki kepandaian tinggi,
tidak sanggup menghadapi si pendeta.
Sekarang Hui-houw-to baru
yakin bahwa tadi memang Tang-ting Hweshio berlaku mengalah kepada Kauw-cu dari
Hek-pek-kauw. Karena sekarang, walaupun dia telah terluka, jika dia
menghendakinya, dia bisa melukai dan merubuhkan Kauw-cu dari Hek-pek-kauw
tersebut.
Disaat itu tubuh Tang-ting
Hweshio melompat ke sana ke mari dengan cepat sekali. Setiap kali si pendeta
mengibas, maka tampak tubuh seorang lawannya terpental.
Hanya saja, sejauh itu
Tang-ting Hweshio tidak pernah menurunkan tangan kematian. Dia cuma membuat
lawannya terpental dan kemudian bisa bangkit kembali.
Melihat sejenak betapa si
pendeta telah dikeroyok seperti itu, maka segera Hui-houw-to, ketika tersadar
akan keadaannya, telah menjejakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat dengan
cepat, dia telah menghampiri dan menggerakkan golok pendeknya, menyerang dua
orang lawan Tang-ting Hweshio yang paling dekat dengannya.
Serangan golok pendek itu
demikian hebat, segera terdengar suara jerit kematian.
Tang-ting Hweshio terkejut.
“Khang Sicu, jangan turunkan
tangan kematian pada mereka!” Berseru si pendeta, mencegah Hui-houw-to dengan
suara nyaring sekali.
Tapi Hui-houw-to memang tengah
gusar dan penasaran atas kelicikan orang-orang Hek-pek-kauw tersebut.
Karenanya, dia telah berusaha dengan golok pendeknya itu merubuhkan beberapa
orang lawannya lagi.
Waktu itu, Tang-ting Hweshio
ketika melihat Hui-houw-to tidak melayani cegahannya, malah dia tengah bergerak
berkelebat ke sana ke mari dengan golok pendeknya itu merubuhkan beberapa orang
anak buah Hek-pek-kauw lagi. Cepat-cepat dia melompat mendekati Hui-houw-to,
dia juga berseru:
“Khang siecu, jangan melukai
mereka……. Pinceng mohon dengan sangat, jangan melukai mereka!”
Karena tengah memperhatikan
Hui-houw-to, di waktu itu si pendeta jadi lengah. Dan tahu-tahu beberapa pedang
telah menebas bahunya.
“Brettt!” bajunya di bagian
bahu telah terkoyakkan dan kulit bahunya tertebas, juga darah mengucur deras
sekali.
Hui-houw-to terkejut.
“Taysu…….!” Teriaknya.
Tubuh Hui-houw-to melompat
kepada orang yang bersenjata pedang yang melukai si pendeta. Golok pendeknya
menyambar cepat sekali.
Dan “Ceeppp!” Ujung golok
pendek itu menancap dalam sekali di dada orang itu, yang tubuhnya mengejang dan
kaku, napasnya seketika terhenti, matanya mendelik. Waktu Hui-houw-to mencabut
goloknya itu, maka tubuh orang itu terkulai rubuh tidak berkutik lagi.
Hui-hauw to sudah berada di
samping si pendeta, dia memeriksa luka Tang-ting hweshio.
“Apakah tidak berat luka
Taysu!?” Tanyanye kemudian dengan sikap kuatir.
Si pendeta menghela napas!
Memang dia merasa sakit pada lukanya, namun tidak membahayakan. Dia menggeleng
perlahan.
“Pinceng minta, janganlah
Khang siecu menurunkan tangan kematian kepada mereka........ Pinceng minta agar
Khang siecu mau meluluskan permintaan pinceng……!”
Hui-houw-to menghela napas.
“Tapi mereka terlalu jahat
sekali Taysu......... Lihatlah, Taysu pun telah mereka lukai! Jika memang bisa,
mereka tentu akan berusaha membunuh kita, Taysu dan aku!”
Si pendeta menggeleng
perlahan.
“Kita datang ke mari bukan
buat membunuh, kita hanya untuk berusaha mengambil kembali milik Khang siecu,
yaitu surat yang telah dirampas oleh ketua Hek-pek-kauw tersebut, bukan?”
Khang Lam Cu Hui-houw-to
menghela napas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa si pendeta benar-benar sangat
saleh. Dan dia bisa namun tidak mau menurunkan tangan kematian terhadap
lawan-lawannya ini.
Hui-houw-to bisa menyadari
betapa pun juga si pendeta memang sangat luhur budinya. Sebetulnya bila
Tang-ting Hweshio menghendaki maka mudah sekali dia melukai dan merubuhkan Coa
Mei Ling.
Cuma saja si pendeta menempuh
cara dan jalan lain, yaitu berusaha membujuk Coa Mei Ling dengan baik-baik. Dan
juga ia berusaha agar Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tersebut mau menyerahkan apa
yang pernah dirampasnya dari Hui-houw-to itu, atas kesadarannya sendiri.
Tadi memang Tang-ting Hweshio
sudah memperhatikan ilmu silatnya yang luar biasa ketika merubuhkan Kauw-cu
Hek-pek-kauw tersebut. Ia cuma untuk meruntuhkan semangat melawan Coa Mei Ling.
Dan ia tidak menginginkan
kalau nanti Hui-houw-to mengamuk menjatuhkan korban terlalu banyak di
Hek-pek-kauw bisa menimbulkan perobahan pula. Kalau anak buahnya banyak yang
terbinasa, mana mungkin Coa Mei Ling dibujuk kembali.
Karena dari itu, iapun
berusaha mencegah Hui-houw-to menurunkan tangan kematian kepada anak buah
Hek-pek-kauw. Tapi kini dia tengah terluka di bahunya, luka yang ringan dan
tidak membahayakan jiwanya. Cuma saja, ini akan membuat kegesitan si pendeta
berkurang banyak.
Sedangkan Hui-houw-to tengah
menghela napas dalam-dalam. Dia bilang: “Baiklah Taysu!”
Si pendeta menghela napas,
kemudian menoleh kepada Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling katanya,
“Bagaimana Kauw-cu, tentunya
kau telah memikirkan baik-baik permintaan pinceng? Kauw-cu seorang yang
terhormat dan tentu tidak akan berusaha memiliki barang orang lain. Sebagai
Kauw-cu dari sebuah perkumpulan besar, niscaya Kauw-cu akan mengembalikan
barang yang bukan menjadi hak dan milik dari Kauw-cu!”
Coa Mei Lang sudah bisa
berdiri tegak, mukanya agak pucat. Dia telah terluka di dalam.
Waktu itu juga ia tengah
mengerahkan tenaga dalamnya, berusaha mengempos hawa murni di tubuhnya. Karena
dia ingin meluruskan napasnya, melancarkan hawa murni di tubuhnya buat mengurangi
dan meringankan luka di dalam tubuhnya tersebut.
Mendengar kata-kata si
pendeta, Coa Mei Ling mendengus beberapa kali.
“Apakah Taysu benar-benar
hendak menanamkan permusuhan dengan Hek-pek-kauw?” tegurnya dengan suara yang
dingin.
Tang-ting Hweshio menghela
napas.
“Dengar dulu, Kouwnio…….!”
“Katakan saja, apakah Taysu
bermaksud menanamkan permusuhan dengan Hek-pek-kauw kami? Hemm, kami kira
Siauw-lim-sie merupakan pintu perguruan yang sangat besar dan Hek-pek-kauw
tidak akan jeri berurusan dengan Siauw-lim-sie…….”
“Nona....... Kouwnio,
dengarkanlah dulu kata-kata pinceng,” Kata si pendeta dengan sikap yang gugup,
“Kauw-cu jangan salah paham, jangan salah mengerti! Nona adalah Kauw-cu dari
sebuah perkumpulan yang sangat besar, karena dari itu, Pinceng ingin mengajak
Kouwnio buat bicara baik-baik, dan janganlah menanamkan permusuhan di antara
kita.
“Permusuhan tidak akan membawa
suatu keuntungan apapun buat kita ke dua belah pihak. Pinceng akan bertindak
semua hanya demi kemanusiaan belaka. Dan Kouwnio jangan sampai menuduh
Siauw-lim-sie yang bertindak, karena Pinceng memang bertindak atas nama
Siauw¬lim-sie.......!”
Setelah berkata begitu,
Tang-ting Hweshio ragu-ragu sejenak, barulah dia melanjutkan lagi kata-katanya.
“Menurut hemat pinceng, kalau Siauw-lim-sie yang ikut mencampuri urusan ini……
tentu….. tentu…….”
“Hemm, tentu kami akan dapat
disapu bersih, bukan?” Menyelak Coa Mei Ling dengan suara yang dingin, dia
memotong perkataan Tang-ting Hweshio yang tampaknya ragu-ragu pada akhirnya.
“Tentu Taysu ingin mengatakan
bahwa Hek-pek-kauw bukan berarti apa-apa bagi Siauw-lim-sie?!”
Tang-ting Hweshio merangkapkan
sepasang tangannya.
“Siancay! Siaucay! Jangan
Kouwnio memiliki tanggapan seperti itu........ janganlah kouwnio memiliki
perkiraan bahwa kami dari pihak Siauw-lim-sie akan bertindak sewenang-wenang
terhadap pihak Hek-pek-kauw. Pinceng hanya menghendaki agar milik Khang siecu
ini dikembalikan…….!”
Coa Mei Ling berdiri bimbang,
dia benar-benar sangat ragu!
“Bagaimana, nona?” Tanya si
pendeta, sabar sekali suaranya.
Coa Mei Ling tambah ragu-ragu.
“Tentu Kouwnio bersedia buat
mengembalikan?” Desak Tang-ting Hweshio. karena dia melihat Kauw-cu
Hek-pek-kauw itu bimbang.
“Baiklah!” Akhirnya Coa Mei
Ling mengangguk, karena Giok-tiauw Sian-lie yakin, jika bertempur terus berarti
pihaknya menderita kerugian, dimana anak buahnya akan banyak berjatuhan menjadi
korban!
Karena dari itu, setelah
berpikir beberapa saat dia mengangguk dan bersedia buat memberikan surat ketua
Khong-tong-pay kepada Hui-houw-to! Hal ini hanyalah buat mengulur waktu belaka!
Bukankah, diwaktu mendatang
dia bisa mempergunakan akal muslihat buat merampas kembali surat itu? Dan juga
memang dia telah membaca isi surat tersebut.
Hui-houw-to tampak girang
melihat Coa Mei Ling bersedia mmgembalikan suratnya. Mukanya jadi berseri-seri.
Demikian pula halnya dengan
Tang-ting Hweshio, dia cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya memberi
hormat kepada Kauw-cu Hek-pek-kauw. Katanya: “Siancay! Siancay! Semoga Kauw-cu
dilindungi oleh sang Buddha!”
Tang-ting Hweshio
membungkukkan tubuhnya, dia telah empat kali beruntun memberi hormat kepada
Giok-tiauw Sian-lie.
Namun Coa Mei Ling mengelak ke
samping menghindar tidak mau menerima pemberian hormat tersebut. Dia telah
bilang,
“Jangan….. tidak bisa aku
menerima penghormatan tersebut….. Aku menyerahkan surat itu kembali kepada
orang itu, bukan karena aku berbaik hati, cuma saja aku memandang kepada
Siauw-lim-sie, sebagai pintu perguruan tertua.........!” Sambil berkata begitu
dengan mata mendelik dia mengawasi Hui-houw-to dan menunjuk kepada Khang Lam Cu
itu dengan sikap yang sangat membenci sekali.
Sedangkan Khang Lam Cu telah
mengawasi Kauw-cu Hek-pek-kauw sambil tersenyum.
Tang-ting Hweshio menghela
napas.
“Jika ada kesadaran di hati
Kauw-cu, memang ini merupakan hal yang sangat menggembirakan sekali. Namun
janganlah hal ini berekor permusuhan. Dan juga dengan Kauw-cu mengembalikan hak
dari Khang siecu, berarti permusuhan telah dibikin habis!”
“Kami tidak akan dapat
melupakan semua ini!” tiba-tiba Coa Mei Ling bilang dengan suara yang nyaring
sekali. “Walaupun bagaimana kami tak bisa melupakan kejadian hari ini. Dan
suatu hari kelak kami akan datang ke Siauw-lim-sie untuk meminta pengajaran
dari para pendeta Siauw-lim-sie, yang memang terkenal sangat liehay-liehay
itu…….!”
Dingin sekali suara Coa Mei
Ling ketika dia berkata begitu. Sikapnya pun ketus dan bengis, seakan juga ia
memperlihatkan bahwa dia memang tidak senang dan sakit hati oleh tindakan
Tang-ting Hweshio.
Jelas tampak di mukanya. Jika
memang dia menyerahkan kembali surat itu dan bersedia untuk menghabisi urusan
hanya sampai di situ, dia dalam keadaan terpaksa.
Karena dari itu, dia telah
menahan diri, agar anak buahnya tidak berjatuhan lebih banyak lagi oleh pertempuran
dengan pendeta itu. Namun dia pun akan mempersiapkannya, suatu saat kelak, dia
memang akan mencari Tang-ting Hweshio ataupun juga pendeta Siauw-lim-sie
lainnya, buat mengadakan pertempuran lagi dan mengadakan pembalasan sakit
hatinya.
Bukan main mendongkol dan
kecewanya Coa Mei Ling dengan ikut campurnya Tang-ting Hweshio dalam persoalan
Hui-houw-to, sehingga dia bersakit hati kepada pendeta Siauw-lim-sie ini.
Menurut hematnya, jika memang Tang-ting Hweshio tidak mencampuri urusan ini
niscaya Hui-houw-to tidak bisa berbuat banyak, dan dia bisa saja membuat
Hui-houw-to tidak dapat mengadakan suatu gerakan apa pun juga buat merampas
kembali surat Ciangbunjin Kong-tong-pay itu…….
Tang-ting Hweshio cuma
tersenyum, dia tahu, sulit mengajak wanita itu bicara baik- baik.
Coa Mei Ling menoleh kepada
seorang anak buahnya. Dia memberikan isyarat dengan kibasan perlahan tangannya.
Dia rupanya perintahkan anak buahnya itu buat mengambil barang yang dikehendaki
Tang-ting Hweshio.
Sedangkan saat itu,
Hui-houw-to mengawasi sekitar tempat itu dengan penuh kewaspadaan. Karena dia
tahu, kalau saja memang Coa Mei Ling memperlihatkan kelicikannya dan bermaksud
tidak baik, maka dia akan mendahului buat membuka serangan.
Dia kuatir kalau Kauw-cu dari
Hek-pek-kauw tersebut nanti melakukan sesuatu akal muslihat yang bisa
membahayakan dia bersama Tang-ting Hweshio.
Waktu itu tampak Coa Mei Ling
mengawasi mendelik kepada Hui-houw-to.
“Setelah kau memperoleh
suratmu kembali, apakah kau akan menyerahkan kepada Taysu itu?” Tanya Kauw-cu
Hek-pek-kauw tersebut.
Hui-houw-to mengangguk.
“Dan apakah surat itu akan
dimusnahkan?” Tanya Kauw-cu Hek-pek-kauw lagi.
Kembali Hui-houw-to
mengangguk.
“Tidak salah!”
“Hem, jika memang surat itu
dimusnahkan, berarti di dalam dunia ini cuma aku yang mengetahui di mana tempat
beradanya nelayan yang beruntung memperoleh Giok-sie itu!” kata Coa Mei Ling
dengan suara yang dingin.
Hui-houw-to memandang heran
dan curiga, ia kemudian bertanya: “Kenapa begitu?”
“Karena aku sudah membacanya!”
“Dan kau kini telah menulisnya
di kertas lain?” tanya Hui-houw-to.
“Ya!”
“Hemm, kalau begitu salinannya
harus kau serahkan kepadaku!” Katanya dengan suara mengancam.
“Menyerahkan kepadamu?”
“Ya!”
“Enak saja kau bicara!”
“Tak dapat kau menyimpan
salinannya!”
“Aku akan memusnahkan salinan itu,
tapi sungguh aku tidak akan memusnahkannya begitu saja. Karena salinan itu
telah berada di dalam benakku, tersimpan baik-baik di dalam otakku!”
Setelah berkata begitu,
Kauw-cu Hek-pek-kauw tertawa bergelak-gelak nyaring sekali. Dia pun memandang
sinis kepada si pendeta.
Di waktu itulah tampak, dia
seakan juga hendak mengejek pendeta itu. Karena dengan dikembalikannya surat
yang pernah dirampasnya, biarpun si pendeta memusnahkan surat itu, tetap saja
tidak akan membuat Coa Mei Ling merasa dirugikan karena memang pernah
membacanya dan mengetahui dengan jelas, di mana tempat beradanya nelayan yang
beruntung memperoleh Giok-sie itu.
Muka si pendeta berobah, tapi
Tang-ting Hweshio cepat sekali bisa menguasai diri.
“Hemm apakah memang kau akan
menyiarkannya tempat di mana si nelayan itu berada?” tanya Tang-ting Hweshio,
dengan suara dan sikap menyelidik.
Kauw-cu Hek-pek-kauw itu
tertawa tawar.
“Itu urusanku, tidak perlu
Taysu mencampurinya!” Kata Coa Mei Ling dengan suara yang tawar. “Apakah aku
akan menyiarkannya di dalam kalangan Kang-ouw, agar semua orang banjir mengejar
si nelayan itu adalah urusanku, aku yang akan memutuskannya kelak…….! Dan Taysu
tidak bisa untuk mengekang diriku dengan syarat apapun juga!”
Muka Tang-ting Hweshio jadi
berobah. Ternyata Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini sangat licik sekali.
Belum lagi dia bilang apa-apa,
anak buah Giok-tiauw Sian-lie mengambil sesuatu yang sudah datang kembali. Di
tangannya membawa nampan yang cukup besar terbuat dari emas. Di nampannya itu
terdapat surat yang tergulung baik sekali.
“Nah, kau ambillah!” Kata
Giok-tiauw Sian-lie kepada Hui-houw-to, suaranya sangat dingin sekali.
Hui-houw-to mengenali surat
yang dirampas oleh Coa Mei Ling beberapa saat yang lalu. Dia mengambil.
“Hemm, kau telah membuka dan
membaca surat ini!”
Coa Mei Ling tertawa bergelak,
“Seperti apa yang kukakatakan
tadi, bahwa seluruh isi surat itu sudah berpindah ke dalam otakku....... Karena
dari itu, tergantung pada keputusan sendiri.
“Apakah aku akan membiarkannya
saja urusan Giok-sie ini habis sampai di sini. Atau memang nanti aku
menyiarkannya di dalam rimba persilatan, dimana tempat tinggalnya nelayan yang
memiliki Giok-sie itu, agar dapat untuk ramai-ramai mendatanginya, karena kami
akan memperebutkannya kembali.
“Dan itu tentu saja bukan
menjadi kewajibanku....... Karena aku dapat saja bertindak apa yang
kukehendaki, tanpa perlu aku kuatir Taysu akan melarangnya, bukan?!”
Muka Tang-ting Taysu berobah
jadi guram. Dia tahu, apa yang telah direncanakan oleh Coa Mei Ling. Sebagai
Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tentunya Coa Mei Ling memiliki hubungan yang sangat
luas sekali di dalam kalangan Kang-ouw.
Kalau memang surat telah
dibacanya dan isinya telah diingatnya itu, disiarkan kepada jago-jago dalam
kalangan Kang-ouw, niscaya akan membuat seluruh dunia persilatan, tergoncang
timbul pergolakan baru lagi. Dan ini akan menjatuhkan korban yang tidak
sedikit.
Orang-orang Kang-ouw yang
mendengar perihal Giok-sie terus, akan ramai-ramai memperebutannya. Dan mereka
tidak akan memperdulikan sesuatu apa pun juga.
Mereka tentu akan
mempertaruhkan jiwa masing-masing buat dapat memiliki Giok-sie. Karena dari itu
pula, mau atau tidak, memang Tang-ting Hweshio memikirkannya kemungkinan itu.
Dan dia pun kecewa, karena
sekarang dia baru mengetahui dan menyadarinya. Walaupun dia dapat mengambil
kembali surat itu, surat milik Hui-houw-to, namun surat itu sudah tidak ada
gunanya lagi.
Walaupun dimusnahkan, tokh
tetap saja isi surat itu telah dibaca oleh Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut. Dan
telah diingatnya, terus bisa saja ia salin lagi dan menyarkannya di dalam rimba
persilatan.
“Bagaimana Taysu? Bukankah aku
sudah mengambilkan surat itu? Apakah Taysu tidak memiliki urusan lainnya? Aku
ingin pergi untuk mengurus suatu persoalan……. Maaf tidak dapat aku menemani
terlalu lama……..!”
Setelah berkata begitu,
Kauw-cu, Hek-pek-kauw ini membungkukkan tubuhnya. Menjurah memberi hormat dan
telah memperlihatkan sikap seperti tengah mempersilahkan tamu buat berlalu. Dan
ini merupakan pengusiran secara halus kepada Tang-ting Hweshio maupun
Hui-houw-to.
Waktu itu Hui-houw-to dan
Tang-ting Hweshio berdiri bimbang. Mereka saling pandang beberapa saat, sampai
akhirnya Tang-ting Hweshio bilang:
“Baiklah Pinceng akan nanti
memutuskannya. Apakah surat ini dimusnakannya atau tidak. Dan terutama sekali,
memang Giok-sie itu harus dapat pinceng miliki.
“Jika Giok-sie telah berada di
tangan pinceng, tentu, persoalan tidak akan terjadi. Walaupun Kauw-cu
menyiarkan berita tentang Giok-sie itu…….!”
Setelah berkata begitu
Tang-ting Hweshio merangkapkan sepasang tangannya, dan memberi hormat. Katanya
lagi: “Kami pamitan.......!”
Hui-houw-to tidak memberi
hormat, dia cuma melirik dengan sikap yang sinis kepada Kauw-cu Hek-pek-kauw.
Dan memandang dengan sikap yang membenci. Dia berlalu dengan mendengus
memperdengarkan suara mengejek.
Melihat sikap Hui-houw-to
seperti itu, Giok-tiauw Sian-lie tertawa dingin.
“Hemm, kau jangan
mendelik-mendelik seperti itu, jika memang tak ada pendeta Siauw-lim-sie itu
jiwamu mudah sekali dikirim ke neraka!”
Sambil berkata begitu,
Giok-tiauw Sian-lie tertawa dingin beberapa kali dengan dengusan mengejek.
Sedangkan Hui-houw-to berdua
dengan Tang-ting Hweshio sudah berada di luar markas perkumpulan Hek-pek-kauw
itu. Mereka meneruskan jalan mereka meninggalkan tempat itu tanpa ada yang
berkata sepatah perkataan pun juga. Ke duanya berdiam diri seakan juga tengah
memikirkan sesuatu dan mereka tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri.
<>
Tapi baru saja mereka
meninggalkan markas Hek-pek-kauw tak jauh, paling tidak hanya beberapa lie
saja, tiba-tiba dari arah depan mereka berlari pesat sekali sesosok tubuh yang
berkilauan dengan warna putih.
Itulah seorang laki-laki tua
yang berjenggot sudah putih kemilau, memakai baju panjang yang berwarna putih,
juga berkilau. Sebab baju putihnya itu terbuat dari bahan sutera yang halus
sekali.
Orang itu yang mengenakan baju
putih tersebut, tertawa dingin.
“Serahkan surat itu kepadaku?”
Katanya dengan suara yang dingin.
Tang-ting Hweshio memandang
ragu-ragu pada orang itu. Dia tidak kenal padanya sedangkan orang tua ini main
minta begitu saja, membuat dia mendongkol.
“Hem!” Hui-houw-to mendengus
dingin, “Kau minta apa yang ingin diserahkan kepadamu? Golok pendeta ini?!”
Sambil bertanya begitu tampak Hui-houw-to mengeluarkan golok pendeknya yang
diacungkannya.
Orang tua itu mendelik kepada
Hui-houw-to, dia tertawa dingin.
“Kau berani banyak mulut
padaku?” Tanyanya dengan suara yang dingin. Tahu-tahu tubuhnya berkelebat cepat
sekali. Tangan kanannya bergerak menghantam. Dan “wuttt…….!”
Angin serangan itu kuat
sekali, di samping memang tangannya bergerak melebihi kecepatan kilat, membuat
Hui-houw-to tidak bisa melihat dengan jelas. Dan tahu-tahu tangan orang tua
baju putih itu telah menghantam dadanya.
Hui-houw-to kaget bukan main.
Disamping merasa kesakitan, malah yang membuat ia jadi lebih kaget, ketika
tahu-tahu jenggot orang tua itu yang berwarna putih juga telah mengibas
menyampoknya. Sampai tubuhnya terpental keras.
Rupanya jenggot orang tua
itupun bukan jenggot sembarangan, dia bisa mengerahkan lweekang pada
jenggotnya, dan waktu jenggot itu menghantam Hui-houw-to kuat bukan main
seperti juga sampokan lempengan baja belaka.
Tubuh Hui-houw-to yang
terpelanting di tanah bergulingan beberapa tombak. Tampak merangkak baagun,
pada sudut bibirnya darah mengucur cukup banyak.
Sedangkan si pendeta Tang-ting
Hweshio berdiri kaget seperti kesima. Ia tidak menyangka orang tua berjenggot
dan berbaju putih itu demikian cepat gerakannya. Gesit sekali.
Malah Tang-ting Hweshio yang
berada di samping Hui-houw-to sama sekali tidak keburu menolongi, tahu-tahu
Hui-houw-to sudah terguling-guling kena dihantam seperti itu. Itulah gin-kang
yang telah mencapai tinggi.
Orang tua berbaju panjang
berwarna putih sudah menoleh kepada Tang-ting Hweshio.
“Mana surat itu?” Tegurnya
dengan suara yang dingin.
Tang-ting Hweshio merangkapkan
sepasang tangannya.
“Siancay! Apa yang siecu
maksudkan?”
“Surat dari Giok-tiauw
Sian-lie. Cepat berikan kepadaku!” Desak orang tua berjenggot putih itu.
“Jangan cari penyakit sendiri, karena jika aku sudah naik darah kau akan
merasakan sesuatu yang tidak menggembirakan.
Waktu berkata begitu mata
orang tua berbaju putih itu berkilat tajam sekali.
Tang-ting Hweshio sebetulnya
merasa tidak senang dengan sikap orang itu. Akan tetapi ia menyabarkan hatinya.
Dia tersenyum kemudian dengan sabar ia bilang.
“Kenapa siecu harus
tergesa-gesa seperti itu tanpa siecu jelaskan hal yang sebenarnya dan apa
maunya siecu? Bagaimana mungkin Pinceng bisa mengetahui apa yang siecu
inginkan?”
Orang tua berbaju putih itu
tertawa bergelak-gelak mengejek, kemudian katanya dengan suara yang tawar tapi
mengandung nada ancaman.
“Hemm, kau pura-pura bodoh,
pendeta gundul, seharusnya engkau dihajar juga! Bukankah engkau berasal dari
Siauw-lim-sie, aku masih mau memberi muka kepadamu! Ayo cepat serahkan surat
itu kepadaku!”
Waktu berkata begitu, tangan
orang tua berbaju putih tersebut telah diulurkan. Dia meminta agar surat yang
diinginkannya itu diberikan.
Tang-ting Hweshio waktu itu
tengah berpikir diliputi keheranan yang sangat.
Orang tua berbaju putih ini
entah siapa. Dia baru saja tiba di tempat ini, bagaimana mungkin dia bisa,
mengetahui bahwa surat Hui-houw-to sudah diambil si pendeta?
Dan mengapa dia tahu-tahu
datang memintanya. Seakan dia yakin Tang-ting Hweshio sudah berhasil mengambil
pulang surat yang diperebutkan itu.
“Siapakah siecu?” Tanya
Tang-ting Hweshio kemudian sambil menahan diri.
“Hemm, aku Pek Lojie (Orang
Tua Putih), ayo cepat kau serahkan surat itu…….!” Kata orang tua itu, yang
tampaknya jadi semakin tidak sabar.
“Atau memang kau hendak minta
aku mengambilnya secara kekerasan? Terus terang saja kuberitahukan kepadamu,
aku mau menghormati Siauw-lim-sie karena itu juga aku masih memberi muka
kepadamu!”
Tang-ting Hweshio merangkapkan
tangannya. Dia memberi hormat.
“Terima kasih untuk
penghormatan siecu terhadap Siauw-lim-sie. Pinceng mewakili Siauw-lim-sie
menyatakan terima kasih atas penghargaan siecu.
“Tapi mengenai surat yang
siecu maksudkan itu, surat yang baru saja kami ambil dari Giok-tiauw Sian-lie,
Coa Mei Ling. Kauw-cu dari Hek-pek-kauw, bukanlah surat milik Pinceng bukan
pula milik Siauw-lim-sie!”
Rupanya Pek Lojie sudah
semakin tidak sabar saja. Dia cepat-cepat memotong dengan bentakan. “Aku tidak
mau tahu soal surat itu milik siapa. Cepat serahkan padaku!
“Tadi aku telah menerima
laporan dari salah seorang anak buah Hek-pek-kauw bahwa surat itu akan terjatuh
di tanganmu. Dan aku merasa yakin bahwa kalian sudah berhasil memperolehnya,
hemm cepat serahkan surat itu padaku!”
Tang-ting Hweshio tersenyum
memaksakan diri buat bersabar terus, karena hatinya sebetulnya sangat
mendongkol sekali oleh sikap Pek Lojie tersebut.
“Dengar dulu siecu, surat itu
milik Khang siecu!” Kata si pendeta.
“Khang siecu? Siapa dia?!”
tanya orang tua berbaju putih itu, “Cepat serahkan!”
Tang-ting Hweshio tersenyum.
“Sabarlah....... dengar dulu!”
“Kau mau menyerahkan atau
tidak?”
“Tunggu dulu, dengar dulu
keterangan Pinceng!”
“Apa yang ingin kau
beritahukan?”
“Sudah Pinceng beritahukan,
surat itu bukan milik Pinceng, juga bukan milik Siauw-lim-sie. Seharusnya siecu
memintanya kepada Khang siecu!”
“Siapa Khang siecu itu? Sejak
tadi kau hanya menyebut Khang siecu, Khang siecu saja. Atau memang Khang siecu
itu adalah engkau sendiri, pendeta gundul?”
Tang-ting Hweshio menahan
sabar. Dia menunjuk kepada Khang Lam Cu Hui-houw-to, katanya: “Dialah Khang siecu!”
Waktu itu Hui-houw-to Khang
Lam Cu tengah merangkak bangun. Mulutnya berdarah dan baru saja dia bisa
berdiri tetap, dia gusar bukan main.
Karena dia telah diserang
seperti tadi dan cara menyerang Pek Lojie seakan juga menyerang membokong
belaka. Namun di balik dari rasa marahnya itu, Khang Lam Cu menyadari juga
bahwa kepandaian Pek Lojie memang sangat tinggi.
Bukankah tadi dengan mudah
sekali Khang Lam Cu sudah dirubuhkan oleh Pek Lojie? Bukankah jika memang Pek
Lojie menghendaki jiwanya, sama mudahnya seperti dia membalikan telapak
tangannya? Bukankah tangannya tadi bergerak begitu cepat, sehingga dia tidak
bisa melihat gerakannya?
Hui-houw-to bilang dengan
suara, yang dingin: “Surat itu sudah dimusnahkan!”
Dan ia menyusut dengan ujung
bibirnya. Melihat darah di tangannya, ia jadi tambah meluap marahnya, ia
berteriak: “Sekarang aku ingin minta pengajaran dari kau!”
Pek Lojie mendelik.
“Surat itu sudah
dimusnahkan?!” tanyanya dan ia bertanya dengan tubuh melesat, tahu-tahu ia
sudah berada di depan Khang Lam Cu, tangan kanannya bergerak, cepat bukan main.
Ia sudah menjambak baju.
Melihat gerakan tangan Pek
Lojie dengan jelas, Khang Lam Cu tidak bisa mengelak dan tahu-tahu bajunya
sulah kena dicengkram. Malah Pek Lojie sudah mengerahkan tenaganya, tubuh Khang
Lam Cu terangkat ia bermaksud akan melemparkannya.
Melihat keadaan Hui-houw-to
yang terancam seperti itu, cepat luar biasa Tang-ting Hweshio melompat
menghampiri, ia berseru:
“Tahan!” tangan kanannya
meluncur menotok ke punggung Pek Lojie, ke arah jalan darah Uh-tiang-hiat.
Itulah jalan darah berbahaya, yang bisa membuat lumpuh separoh bagian badan.
Dan akan merupakan kelumpuhan
yang sulit disembuhkan, jika seseorang tertotok pada jalan darahnya itu.
Tang-ting Hweshio adalah
pendeta Siauw-lim-sie. Sedangkan Siauw-lim-sie terkenal sekali dengan kehebatan
ilmu silatnya, yang memang merupakan ilmu silat yang murni dan bersih lurus.
Karena dari itu, setiap
pendeta Siauw-lim-sie, walaupun yang paling rendah kepandaiannya tetap saja tak
boleh dipandang sebelah mata. Terlebih lagi memang Tang-ting Hweshio memiliki
kepandaian yang tinggi, sambaran angin totokannya saja begitu tajam.
Cepat-cepat Pek Lojie
melepaskan cengkeramannya pada dada Hui-houw-to. Ia memutar tubuhnya menangkis.
“Plakk!” tanganuya saling
bentur dengan Tang-ting Hweshio, benturan yang keras.
Hui-houw-to yang telah dilepas
dari cengkraman tangan Pek Lojie, tak segera melompat menyingkir, malah tangan
kanannya bergerak cepat sekali. Ia menghantam dada Pek Lojie dengan sekuat
tenaganya.
Pek Lojie melihat sambaran
tangan Hui-houw-to, tapi dia tidak mengelakkannya karena dia tengah
memusatkankan tenaga dalamnya buat menahan dan membendung kekuatan tenaga dalam
Tang-ting Hweshio. Dia cuma menyaluri lweekangnya ke dada untuk melindungi
dadanya.
Kepalan tangan Hui-houw-to
menghantam telak sekali.
“Dukkk!” Terdengar suara yang
nyaring. Tapi tubuh Pek Lojie tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Malah sebaliknya Hui-houw-to
merasakan kepalan tangannya yang nyeri dan sakit bukan main. Dan yang membuat
dia lebih kaget, tubuhnya sendiri yang terpental sampai tiga tombak.
Kali ini Hui-houw-to keburu
buat mengerahkan tenaga dalam pada sepasang kakinya, dia tidak sampai
terguling. Namun tenaga membalik yang dilancarkan oleh Pek Lojie yang membuat
Hui-houw-to terpental seperti itu, sempat membuat napas Hui-houw-to jadi sesak.
Mukanya juga pucat. Dia kaget
bukan main. Tidak disangka bahwa Pek Lojie benar-benar tangguh.
Tang-ting Hweshio sendiri
terkejut ketika tangannya saling bentur dengan tangan Pek Lojie. Dia kagum buat
kelihayan orang ini, di mana tampaknya memang Pek Lojie memiliki lwekang yang
kuat sekali. Tang-ting Hweshio mengempos lwekangnya, dia berusaha menindih
kekuatan tenaga dalam.
Namun dia gagal. Pek Lojie
tetap saja berhasil membendung kekuatan tenaga dalamnya, sehingga tangan
Tang-ting Hweshio tidak berhasil menekannya lebih jauh.
Pek Lojie sendiri gusar bukan
main. Dia melihat Hui-houw-to tidak berani maju lagi untuk menyerangnya.
Rupanya Hui-houw-to sekarang
menyadari bahwa kepandaiannya masih terpaut jauh sekali dibandingkan dengan Pek
Lojie. Jika memang Hui-houw-to menyerang juga, memaksakan diri mengerahkan
lweekangnya niscaya dia sendiri yang akan celaka.
Hal itu telah membuat
Hui-houw-to akhirnya berdiam diri saja, tidak maju buat menyerang pula!
Sedangkan Pek Lojie mengempos semangatnya, ia mengeluarkan seruan nyaring,
tangannya tahu-tahu terangkat, dia menghantam lagi kepada Tang-ting Hweshio.
Begitu berulang kali Tang-ting
Hweshio menangkis. Mereka sama-sama mempergunakan kekerasan, karena keduanya
telah mempergunakan lweekang mereka.
Ada yang mengejutkah Tang-ting
Hweshio yaitu ia merasakan tenaga lawannya luar biasa hebatnya seperti gunung ambruk
dan juga seperti terjangan gelombang air lautan yang sangat besar dan dahsyat
sekali. Tidak jarang Tang-ting Hweshio merasakan kuda-kuda sepasang kakinya
jadi goyah.
Untung saja Tang-ting Hweshio
memiliki lweekang yang murni. Dengan demikian dia masih bisa bertahan buat
menerima hantaman yang gencar dan begitu kuat dari Pek Lojie!
Pek Lojie penasaran. Dia sudah
mempergunakan kekuatan tenaga lweekangnya pada tingkat yang tinggi sekali, yang
selalu dapat diandalkannya.
Diapun yakin bisa merubuhkan
pendeta ini. Namun kenyataan yang ada justeru dia gagal dengan usahanya.
Tang-ting Hweshio masih
berdiri tegak, di tempatnya tanpa bergeming bahkan sama sekali terdesak. Setiap
kali rangsekannya selalu dapat diterima olen Tang-ting Hweshio dengan baik.
Diiringi bentakan nyaring,
tiba-tiba tubuh Pek Lojie berputaran mengelilingi Tang-ting Hweshio, sedangkan
sepasang tangannya menyambar-nyambar dengan cepat sekali, dan sepasang tangan
Pek Lojie seakan telah berobah menjadi beberapa pasang tangan yang gencar selalu
menyerang Tang-ting Hweshio. Hal itu bisa terjadi disebabkan memang gin-kang
Pek Lojie yang mengagumkan.
Hati Tang-ting Hweshio
tercekat, sampai akhirnya dia merobah cara bersilatnya. Tang-ting Hweshio
menyadari, jika memang dia menghadapi semua hantaman dan serangannya Pek Lojie
dengan caranya seperti itu juga, yakin menerima setiap serangan niscaya dirinya
yang bisa celaka.
Dengan suara yang nyaring,
Tang-ting Hweshio menyebut kebesaran sang Budha.
“Omitohud!” dan tangan
Tang-ting Hweshio bergerak sangat cepat, setiap gerakannya itu mengandung
kekuatan lweekang yang dahysat sekali. Angin sepasang tangan Tang-ting Hweshio
juga tidak kalah santernya dengan kekuatan lawannya.
Diam-diam Pek Lojie berpikir
di dalam hati. “Pendeta ini sebetulnya memiliki kepandaian yang masih kalah
seurat dengan kepandaianku, tapi dia masih bisa menghadapi seranganku dengan
sebaik-baiknya……. Inilah disebabkan ilmu silat Siauw-lim-sie yang benar-benar
murni!”
Karena berpikir begitu, Pek
Lojie berusaha mencari jalan untuk dapat merubuhkan Tang-ting Hweshio
secepat-cepatnya. Dia mengempos semangatnya menambah tenaga penyerangannya dan
tangannya bergerak semakin cepat, dibantu juga oleh sepasang kakinya yang
setiap kali memiliki kesempatan tentu akan memandang bagian-bagian yang
mematikan di tubuh Tang-ting Hweshio.
Demikianlah kedua orang itu
bertempur seru sekali.
Hui-houw-to mengawasi jalannya
pertempuran itu dengan mata terbuka lebar tidak berkedip, karena dia kagum
bukan main menyaksikan kepandaian kedua orang tersebut.
“Kepandaianku masih belum
berarti apa-apa, jika aku berlatih sepuluh tahun lagi, belum tentu aku bisa
memiliki kepandaian yang sehebat kepandaian kedua orang itu…....!”
Dan sambil berpikir begitu,
Hui-houw-to mengawasi jalannya pertempuran ke dua orang itu. Karena dia ingin
melihat bagian-bagian terpenting dari ilmu silat ke dua orang itu, jika dapat
untuk menambah pengalaman dan pengetahuannya.
Dan dia bertekad, memang dia
harus berlatih lagi dengan tekun selama beberapa tahun untuk memperoleh
kemajuan. Dia yakin, jika memang Tang-ting Hweshio kelak mau memberikan
petunjuknya padanya, niscaya dia bisa memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Bukankah selama ini Tang-ting Hweshio
juga sudah banyak memberikan petunjuk padanya dan dia bisa memiliki dan
memperoleh kemajuan yang tidak sedikit?”
Tengah Hui-houw-to tercenung
dengan pikirannya, mendadak sekali dia telah mendengar Pek Lojie mengeluarkan
bentakan nyaring. Suara bentakan itu seakan juga menggetarkan tempat itu, dan
membuat tanah dan pohon-pohon tergetar.
Pek Lojie rupanya sudah
merobah cara bertempurnya. Dia tak lagi merangsek seperti tadi.
Malah sepasang tangan Pek
Lojie tidak bergerak secepat tadi, dia telah menghantam dengan gerakan tangan
yang lambat. Cuma saja semakin lambat gerakan Pek Lojie maut yang terkandung di
dalamnya memang semakin hebat juga. Karena kekuatan tenaga dalam yang
dipergunakannya itu bisa mematikan.
Dalam saat-saat seperti itu,
Tang-ting Hweshio juga tidak berani berayal, karena dia harus dapat
menghadapinya dengan mempergunakan ilmu andalannya.
Jika terlambat dia merobah
cara bertempurnya, dia akan terdesak, malah kemungkinan dia akan terbinasa
rubuh di tangan Pek Lojie.
Dengan menghentak-hentak ke
sana ke mari segera tangan Tang-ting Hweshio menyambar ke berbagai arah. Cepat
sekali cara bergeraknya itu. Dengan demikian telah membuat dia jadi dapat
menghadapi cara bertempur Pek Lojie.
Malah di saat-saat seperti
itu, Tang-ting Hweshio dua kali dapat mendesak lawannya.
Tang-ting Hweshio melihat muka
Pek Lojie sudah berobah merah padam seperti juga dari atas kepalanya menguap
asap yang tipis. Dan juga keringat telah membasahi wajah maupun tubuhnya,
sedangkan serangan dari ke dua tangannya yang semakin perlahan itu mengeluarkan
angin yang panas sekali, menyambar ke sana ke mari.
Tang-ting Hweshio tidak
berayal lagi mengeluarkan Kiu-yang-cin-kie nya. Dia telah mempergunakan
lweekang yang paling kuat dan murni.
Dia telah menyerangnya hebat
sekali. Karena angin dari setiap sampokan tangannya itu selain dapat
memusnahkan kekuatan tenaga dalam lawan juga telah bisa membuat tenaga pukulan
dari Pek Lojie lenyap.
Pek Lojie semakin lama jadi
semakin penasaran. Dia berseru berulang kali seakan juga mulai kalap.
Tidak pernah terpikirkan olehnya
bahwa dia tidak berdaya menghadapi Tang-ting Hweshio, sebelumnya. Pek Lojie
memang sangat angkuh sekali, dia yakin dirinya pasti berhasil buat merubuhkan
lawannya hanya dalam beberapa jurus saja.
Di dalam rimba persilatan
memang Pek Lojie terkenal sekali sebagai tokoh rimba persilatan yang memiliki
kepandaian sulit untuk ditandingi oleh lawan yang sembarangan. Dan sekarang,
justeru dia menghadapi lawannya seperti Tang-ting Hweshio.
Malah dia seakan juga tidak
dapat dan mulai kewalahan buat menghadapi setiap serangan yang dilakukan
Tang-ting Hweshio. Karuan saja membuat Pek Lojie jadi semakin penasaran.
Dalam saat-saat seperti itu,
beberapa kali dia sudah merobah cara bertempurnya. Dia telah mengerahkan tenaga
dalamnya delapan bagian namun tidak memperoleh hasil. Dia menambah lagi, sampai
sembilan bagian, tetapi saja dia tidak berhasil mendesak Tang-ting Hweshio.
Sebetulnya Tang-ting Hweshio
sendiri tengah berada dalam keadaan terancam! Jika dia bertahan terus seperti
itu, jelas dia bisa celaka dan rubuh di tangan Pek Lojie.
Di luarnya memang tampak dia
tenang-tenang dan dapat menghadapi setiap terjangan dari Pek Lojie dengan baik,
setiap pukulan lawannya dapat dimusnahkan. Namun Tang-ting Hweshio sudah
mengerahkan hampir seluruh kekuatannya.
Sedikit lebih banyak lagi dia
memaksakan diri, niscaya dia akan celaka. Tenaga dalamnya akan berbalik buat
menghantam dirinya sendiri ini pun jika memang dia memaksakan diri buat
mengerahkan, tenaga yang berlebihan dari takarannya.
Diam-diam Tang-ting Hweshio
jadi bingung juga, dia berpikir di dalam hati.
“'Kepandaian Pek Lojie
benar-benar hebat, dia sulit dihadapi. Jika memang keadaan seperti ini
berlangsung terus lebih lama, tentu akan merugikan diriku. Karenanya, aku harus
dapat cepat-cepat menyudahi pertempuran ini!”
Sambil berpikir begitu, dua
kali beruntun Tang-ting Hweshio menghindarkan serangan lawannya. Dan selama dua
kali menghindar itu diam-diam dia sudah mempersiapkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya pada ke dua telapak tangannya. Dan dia membarengi dengan bentakan
nyaring, sepasang tangannya mendorong.
Pek Lojie menghindar, dia
menyangka bahwa lawannya menghantam dengan kekerasan.
Tapi kesudahannya, membuat Pek
Lojie jadi kaget bukan main, sebab tenaga pukulan sepasang tangan Tang-ting
Hweshio datang secara borgelombang. Tenaga yang pertama dapat dihindarkan oleh
Pek Lojie.
Akan tetapi, serangan yang
berikutnya tenaga dalam gelombang ke dua, membuat Pek Lojie tak dapat
menyingkir. Karena tahu-tahu angin serangan yang datang pada gelombang kedua
itu kuat sekali.
Terpaksa ia menangkis,
benturan tenaga dalam dahsyat terjadi lewat tangan mereka masing-masing. Tubuh
Pek Lojie tergetar.
Begitu juga tubuh Tang-ting
Hweshio tergetar keras. Malah ada yang membuat Pek Lojie tambah kaget.
Belum lagi ia menarik pulang
tangannya, justeru telah menyambar angin gelombang ketiga. Hantaman ketiga itu
jauh lebih kuat dari yang pertama maupun yang kedua.
Bukan kepalang kagetnya Pek
Lojie, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.
Tapi tenaga pukulan dari
Tang-ting Hweshio sudah dekat sekali, Pek Lojie juga tak keburu buat menjauhi
diri.
Walaupun bagaimana Pek Lojie
adalah seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi, tenaga dalamnya pun mahir
sekali. Dalam keadaan terjepit seperti itu ia tak jadi gugup.
Mendadak sekali Pek Lojie
sudah mengangkat kedua tangannya, dia melepaskan diri dari libatan tenaga dalam
Tang-ting Hweshio, ia sudah mengangkat tangannya dan ke lima jari tangan yang
terbuka. Dan jari-jari tangannya itu mengincar akan menoblos biji mata
Tang-ting Hweshio.
Memang dengan mengangkat
tangannya tersebut, Pek Lojie bisa saja terhantam terluka di dalam yang tidak
ringan oleh tenaga gelombang ketiga yang dilancarkan oleh Tang-ting Hweshio.
Akan tetapi Tang-ting Hweshio pun akan buta bila kedua biji matanya yang akan
terkorek keluar oleh jari tangan Pek Lojie.
Tang-ting Hweshio jelas tidak
mau cidera dalam pertempuran ini walaupun dia melihat bahwa lawannya akan dapat
dihantamnya dengan hebat. Tokh tetap saja dia tidak mau membiarkan matanya kena
diceblos seperti itu.
Cepat-cepat Tang-ting Hweshio
menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke belakang. Dengan demikian Tang-ting
Hweshio sudah menghindarkan jari-jari tangan Pek Lojie.
Tapi dengan melompatnya
Tang-ting Hweshio, maka hantaman Tang-ting Hweshio pada Pek Lojie pun jadi
gagal!
Mereka berdua berdiri
dihadapan, saling menatap dengan mata yang tajam sekali.
Tang-ting Hweshio merangkapkan
sepasang tangannya.
“Siancay! Pertempuran yang
tidak ada manfaatnya buat diteruskan!” Menggumam si pendeta.
Dan dia menoleh lagi kepada
Hui-houw-to, dia bilang: “Khang siecu, pergilah kau membawa surat itu,
baik-baiklah kau membawa diri! Nah, pergilah…….!”
Hui-houw-to tengah berdiri
tertegun di tempatnya. Tapi dia sempat menyaksikan pertempuran yang langka dan
seru sekali jarang bisa dijumpainya di lain waktu.
Dan sebelumnya, memang
Hui-houw-to tidak pernah menyaksikan pertempuran sehebat itu. Sekarang
mendengar si pendeta memintanya agar pergi, dia jadi tersadar.
“Taysu…….!” Dia tergagap.
“Pergilah! Dan mungkin jika
jodoh, kita bisa bertemu lagi dilain waktu!” Kata Tang-ting Hweshio dengan
suara yang sabar, dia juga telah memandang dengan sorot mata yang tajam sekali.
Dan Hui-houw-to tidak berani balas menatapnya.
Pek Lojie gusar bukan main.
Dia tertawa bergelak karena saking murkanya.
“Apakah enak begitu saja
hendak angkat kaki dari tempat ini?” Teriaknya dengan suara yang nyaring.
Tampaknya dia juga bersiap-siap hendak menerjang, menubruk Hui-houw-to.
Tapi Tang-ting Hweshio justeru
telah merintanginya. Pendeta ini sudah merobah kedudukan sepasang kakinya. Dia
sudah berada dihadapan Pek Lojie. Dia menantikan serangan Pek Lojie.
Kalau memang Pek Lojie
menyerang Hui-houw-to, si pendeta yang akan menerimanya, menyambutinya.
“Pergilah Khang siecu!
Baik-baiklah membawa diri!” Kata Tang-ting Hweshio lagi.
Waktu itu, tampak Hui-houw-to
ragu-ragu. Dia menyadari, dengan Tang-ting Hweshio meminta agar dia
meninggalkan tempat itu, mungkin si pendeta sudah merasakan bahwa lawannya ini
tangguh sekali, sulit buat dirubuhkan dan mencegah jangan sampai nanti terjadi hal
yang tidak diinginkan jika Tang-ting Hweshio gagal merubuhkan lawannya ini.
Dia telah meminta Hui-houw-to
pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan Tang-ting Hweshio yang akan merintangi
Pek Lojie, buat menghadapinya terus, sehingga Pek Lojie, tidak akan memiliki
kesempatan buat mengganggu Hui-houw-to.
Sedangkan saat itu Pek Lojie
yang sudah meluap marahnya, mengerang dan menubruk menghampiri dengan sepasang
tangannya.
Tangan mereka saling bentur
lagi dengan kuat, membuat keadaan di sekitar tempat itu tergetar.
“Khang siecu, menunggu sampai
kapan kau baru mau pergi?” Menegur Tang-ting Hweshio lagi.
Khang Lam Cu tersadar, dia
menghela napas. Dia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat ke arah si
pendeta. Dia bilang nyaring sekali,
“Terima kasih atas bantuan
Taysu, dan aku tidak akan melupakan budi kebaikan Taysu. Dan jika ada jodoh aku
akan mencari Taysu dan kita bertemu lagi……..!”
Setelah berkata begitu,
sesudah memberi hormat tiga kali, tampak Khang Lam Cu memutar tubuhnya, dia pun
menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat gesit meninggalkan tempat itu.
Khang Lam Cu menyadari si pendeta menyuruh dia pergi karena memang si pendeta
bermaksud melindungi surat dari Ciangbunjin, Khong-tong-pay.
Karena itu, Khang Lam Cu pun
tidak berani berayal. Jika sebelumnya dia bimbang harus meninggalkan Tang-ting
Hweshio yang tengah menghadapi lawan berat seperti Pek Lojie, namun mengingat
akan pentingnya surat itu maka diapun mau menuruti anjuran si pendeta.
“Khang siecu, kau boleh datang
ke Siauw-lim-sie buat menceritakan segalanya kepada Hong-thio pinceng…….!”
Berseru Tang-ting Hweshio ketika melihat Khang Lam Cu sudah mau menuruti
anjurannya, buat meninggalkan tempat itu.
Khang Lam Cu menginginkannya.
Ia cepat sekali meninggalkan tempat itu dan lenyap di kejauhan.
Yang murka bukan main adalah
Pek Lojie. Dengan mengerang murka, dia menerjang lagi.
Demikianlah, Tang-ting Hweshio
menghadapi lawannya jauh lebih tenang, karena Khang Lam Cu sudah tidak berada
di tempat itu. Dia mengempos hawa murninya, mengerahkan tenaga dalamnya dan dia
pun telah berusaha untuk menghadapi setiap terjangan Pek Lojie dengan sabar dan
penuh perhitungan.
Malah terakhir dia menutup
diri dengan lwekangnya, dia hanya berkelit dan memunahkan tenaga serangan
lawannya. Setiap kali Pek Lojie menerjangnya, maka dia selalu memunahkan
kekuatan serangan lawannya.
Pek Lojie semakin penasaran.
Dia menghantam semakin kuat mengerahkan seluruh kekuatannya. Dengan demikian
Pek Lojie sudah rugi banyak, di mana dia telah kehabisan tenaga pada akhirnya,
karena dia menghambur-hamburkan kekuatan tenaga dalamnya itu.
Dikala itu Hui-houw-to sendiri
sudah mengerahkan gin-kangnya. Dia berlari terus tidak berani berhenti. Dia
tidak tahu, entah bagaimana pertempuran antara Tang-ting Hweshio dengan Pek
Lojie.
Sesungguhnya kalau memang
Tang-ting Hweshio hendak meninggalkan lawannya bisa saja melakukannya. Dia
memiliki gin-kang istimewa milik Siauw-lim-sie. Dia bisa meninggalkan lawannya
setiap saat dia mau. Niscaya Pek Lojie tidak akan dapat mengejarnya.
Cuma saja yang dipikirkan
Tang-ting Hweshio justeru keselamatan Khang Lam Cu. Jika memang Tang-ting
Hweshio menyudahi pertempuran sampai disitu dan meninggalkan Pek Lojie,
bukankah Pek Lojie akan mengejar Hui-houw-to, yang waktu itu belum lagi pergi
jauh karenanya.
Sengaja Tang-ting Hweshio
melibatkan diri terus dalam pertempuran dengan Pek Lojie.
Setelah bertempur satu harian
barulah Tang-ting Hweshio memutuskan buat menyudahi pertempuran itu.
“Pek siecu tampaknya kau
memang berusaha untuk memperoleh surat Ciangbunjin Khong-tong-pai.
Sesungguhnya, apa perlunya! Bukankah itu hanya demi kepentingan Giok-sie
belaka?
“Dan pinceng kira, kita orang
seperti siecu, tidak memerlukan Giok-sie lagi! Buat apa kita bertempur
mati-matian seperti ini, sudahlah, bukankah antara pinceng dengan siecu memang
tak ada ganjalan apapun juga?”
Pek Lojie menunda serangannya,
ia tertawa bergelak.
“Hahaha, tidak ada ganjalan?
Bagus! Bagus! Justeru jika aku hari ini tak bisa memampusi kau, maka aku
bersumpah tak mau jadi manusia lagi!”
Membarengi dengan habisnya
bentakan itu, Pek Lojie menerjang lagi.
Benar-benar Pek Lojie sudah
kalap karena ia bertempur dengan sikap yang nekad, seakan juga ia hendak
mengadu jiwa.
Tang-ting Hweshio menghela
napas, ia melayani lagi. Lewat beberapa saat barulah ia bilang pula:
“Baiklah siecu, karena Pinceng
tak memiliki waktu banyak, Pinceng pamitan saja. Nanti kalau memang kita
memiliki jodoh, kita bertemu lagi!”
Setelah berkata begitu
Tang-ting Hweshio mengibaskan tangannya. Ia memunahkan serangan Pek Lojie,
kemudian tubuhnya melesat ke samping kanan.
“Kau ingin angkat kaki? Jangan
mimpi!” Kata Pek Lojie yang segera menyerangnya dan menyusuli dengan hantaman
berikutnya.
Dan terpaksa sekali Tang-ting
Hweshio melayani lagi. Waktu memiliki kesempatan pula, Tang-ting Hweshio segera
melompat ke samping, ia menghindar dan cepat sekali ia sudah bisa memunahkan
terjangan lawannya.
Di saat seperti itulah
Tang-ting Hweshio sudah menjauhi lawannya, ia mengerahkan gin-kang istimewanya,
yaitu “Lari Dipermukaan Air”. Tubuhnya seperti terbang saja dan sepasang
kakinya seperti tidak menginjak tanah telah meninggalkan tempat itu.
Pek Lojie murka bukan main,
dia mengejarnya.
Sengaja Tang-ting Hweshio
mengambil arah yang berlawanan dengan arah yang diambil Hui-houw-to, ia berlari
cepat sekali. Walaupun Pek Lojie memiliki gin-kang yang mahir, tokh lama
kelamaan ia semakin tertinggal.
Tang-ting Hweshio semakin jauh
juga. Hal ini membuat Pek Lojie tambah murka. Ia mengempos seluruh sisa
tenaganya, mengejar lebih cepat, ia mengerahkan gin-kangnya.
Tetap saja jarak mereka
terpisah semakin jauh, karena Tang-ting Hweshio berlari secepat terbang saja.
Pek Lojie penasaran, dia
mengejar terus. walaupun perlahan-lahan jarak mereka semakin jauh, malah
akhimya dia tidak melihat bayangan si pendeta lagi. Dia tetap berlari ke depan
mengejar terus, karena dia yakin, nanti dia akan berhasil mengejarnya.
<>
Hui-houw-to kuatir bukan main.
Kalau Pek Lojie bisa mengejarnya, di mana setelah dia merubuhkan Tang-ting
Hweshio dan mengejarnya, dia akan menghadapi bahaya yang tidak kecil.
Hui-houw-to juga menyadari.
Dengan Tang-ting Hweshio meminta dia meninggalkan mereka yang tengah bertempur
itu, disebabkan Tang-ting Hweshio telah kehilangan keyakinannya bahwa dia bisa,
menghadapi Pek Lojie.
Malah Hui-houw-to menduga.
Kemungkinan Tang-ting Hweshio merasa sudah jatuh dibawa angin, dan itu memang
membahayakan sekali buat Hui-houw-to. Dan dia berlari tanpa pernah berhenti,
dia berlari terus mengerahkan seluruh gin-kangnya.
Walaupun napasnya sudah
memburu keras, tetap saja dia tidak berani berhenti dan atau memperlambat
larinya. Dia terus juga mengerahkan seluruh, gin-kangnya berlari dengan cepat
sekali. Setiap kali dia menoleh ke belakang, dia bernapas lega, sebab tidak
melihat ada yang mengejarnya.
Sambil berlari begitu, hati
Hui-houw-to Khang Lam Cu kuatir sekali untuk keselamatan Tang-ting Hweshio.
Entah bagaimana keadaan si pendeta? Dan apakah mereka sampai sekarang ini masih
juga terlibat dalam pertempuran yang seru, pertempuran yang merupakan adu jiwa
satu dengan yang lainnya.
Hui-houw-to merasakan napasnya
pendek-pendek karena lelah bukan main, napasnya juga memburu keras sekali. Dia
ingin beristirahat namun hatinya masih kuatir dikejar Pek Lojie maka dia
berlari sekuat sisa tenaganya.
Sampai akhirnya, sepasang
kakinya lemas tidak bertenaga lagi. Dia seperti kehabisan tenaga, tubuhnya
terjungkal rubuh di tepi jalan.
Napasnyapun kini memburu.
Hui-houw-to merangkak ke dekat bawah batang pohon di tepi jalan itu dia
meneduh.
Setelah duduk mengasoh
beberapa waktu lamanya, akhirnya napasnya tidak memburu keras seperti tadi
lagi. Dia sudah bisa mengendalikan pernapasannya. Dia mengawasi ke arah dari
mana tadi dia mendatangi. Tidak ada yang mengejar.
Tentunya Tang-ting Hweshio
dengan Pek Lojie masih terlibat dalam pertempuran yang seru.
Teringat kepada si pendeta
Siauw-lim-sie itu Hui-houw-to menghela napas dalam-dalam.
Tang-ting Hweshio sangat baik.
Dia merupakan pendeta Siauw-lim-sie yang alim dan juga jujur. Dia selalu
bertindak welas asih, dan memang pendeta Siauw-lim-sie itu seorang pendeta yang
patut untuk dihormati.
Karena dari itu, Hui-houw-to
menghela napas berulang kali. Bukankah sekarang Tang-ting Hweshio tengah
bertempur dengan Pek Lojie?
Dan itu merupakan suatu
pertaruhan jiwa? Karenanya, Hui-houw-to akan mengingat selamanya kebaikan
pendeta itu.
Pendeta itu yang ingin mencari
Giok-sie, akan memusnahkan Giok-sie itu. Karena dia tidak mau di dalam rimba
persilatan timbul pergolakan dan jatuh korban yang tidak sedikit hanya
disebabkan Giok-sie itu.
Demikianlah, setelah mengasoh
beberapa saat dan semangatnya pulih, akkirnya Hui-houw-to melanjutkan lagi
perjalanannya. Dia tidak berlari seperti tadi.
Dia berjalan perlahan-lahan,
sepasang kakinya pegal dan letih bahkan bermaksud akan mencari seekor kuda.
Dengan menggunakan kuda, tentu dia bisa menjauhi tempat itu, tanpa perlu
terlalu menderita. Jika berlari terus, dengan hanya mempergunakan sepasang
kakinya, tentu dia akan sangat lelah dan akhirnya kehabisan tenaga.
Belum lagi jika memang Pek
Lojie berhasil melepaskan diri dari libatan Tang-ting Hweshio dan mengejarnya,
niscaya akan menyebabkan dia harus menghindar semakin cepat pula berlarinya,
dan dia harus mengerahkan seluruh tenaganya. Ini akan membuat dia akhirnya
terancam bisa terkejar oleh Pek Lojie.
Sambil berjalan begitu, dia
melihat-lihat sekitarnya. Memang cukup banyak rumah penduduk di sekitar itu.
Namun tidak terlihat seekor kuda pun juga.
Malah diwaktu itu terlihat
petani-petani yang tengah mengembalakan kerbaunya. Dan kerbau tidak berguna
buat Hui-houw-to.
Dikala itu tampak Hui-houw-to
sudah menghampiri sebuah rumah. Dia melihat di muka rumah itu berdiri seorang
anak laki-laki kecil. Dan tangan anak lelaki kecil itu tengah mempermainkan
tali kendali seekor kuda.
Kuda itu tidak terlalu gemuk,
juga tampaknya tidak terlalu kuat. Akan tetapi, kuda tersebut akan dapat
menolong Hui-houw-to. Karenanya dia menghampirinya, sambil tersenyum dan menyapa
anak tersebut, dia bilang:
“Adik yang manis, maukah kau
menjual kuda itu kepadaku?!”
Anak lelaki tersebut mengawasi
Hui-houw-to beberapa saat, kemudian menggeleng.
“Tidak, A-hauw adalah kuda
kesayangan kami…….!” Katanya menolak.
Hui-houw-to merogoh sakunya.
Dia mengeluarkan sepuluh tail emas, diberikan kepada anak itu.
“Aku beli kudamu sepuluh tail
emas…….!” bujuknya.
Namun anak itu tetap
menggeleng.
“Ditambah lima tail emas
lagi?!”
Anak itu tetap menggeleng.
“Tambah lagi lima tail emas,
jadi duapuluh tail emas!” tawar Hui-houw-to
Anak itu menggeleng juga,
mukanya memperlihatkan kebimbangan.
Hui-houw-to habis
kesabarannya, tahu-tahu ia menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya telah duduk
bercokol di atas punggung kuda itu. Tali les telah ditariknya dari tangan bocah
itu, ia kemudian menghentak kuda itu, menjepit perutnya, sehingga kuda itu
berlari dengan cepat sekali.
Sambil melarikan kuda itu,
Hui-houw-to telah melemparkan uang yang duapuluh tail emas pada bocah itu.
Bocah itu, jadi kaget, ia
telah berteriak-teriak dengan suara yang nyaring: “Maling! Maling
kuda.......!!”
Namun Hui-houw-to tidak
memperdulikannya, karena ia telah melarikan kuda itu cepat sekali. Dan dia bisa
bernapas lega, karena akhirnya dia memperoleh kuda juga, dengan demikian dia
bisa melakukan perjalanan jauh lebih cepat.
Nanti jika sudah tiba di kota
yang ada sebelah depan, barulah dia akan mencari kuda lainnya yang jauh lebih
kuat. Walaupun kuda yang dibelinya dari bocah dengan cara paksa merupakan kuda
yang kurang baik, tokh memang kenyataannya kuda ini membantu banyak sementara
ini.
Setelah melarikan kudanya
beberapa saat lamanya, dia tiba di sebuah perkampungan. Namun Hui-houw-to tidak
mau menghentikan perjalanannya, dia melarikan kuda itu terus lebih jauh.
Setelah melewati enampuluh lie
lebih, kuda itu sudah tidak kuat untuk meneruskan larinya. Napasnya sudah
memburu dan mulutnya berbusa. Malah, kaki depannya yang kanan telah tertekuk
dan terkilir, kuda itu jadi jalan terpincang-pincang.
Hui-houw-to memeriksa keadaan
kuda tersebut, setelah mengetahui kaki kuda itu terluka, dia menghela napas
dalam-dalam, lalu meninggalkan kuda itu. Dia melakukan perjalanan lagi dengan
hanya mengandalkan sepasang kakinya.
Dia kali ini bisa berlari lagi
dengan cepat karena selama menunggangi kuda itu, dia sudah pulih kesegarannya
dan tenaganya pun sudah kumpul kembali.
Hui-houw-to yakin, tidak
mungkin Pek Lojie bisa mengejarnya. Dia telah menempuh perjalanan yang cukup
jauh, seratus lie lebih. Dan tidak mungkin Pek Lojie bisa mengejar dan mencari
jejaknya.
Karena berpikir seperti itu,
Hui-houw-to jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Tetap saja dia berlari keras,
tidak berani dia berlaku lambat. Akhirnya dia tiba di sebuah perkampungan.
Ketika Hui-houw-to memasuki
pintu kampung itu, dia melihat seorang pengemis setengah baya yang tengah
menghampirinya.
Maksud Hui-houw-to singgah di
kampung itu untuk beristirahat, dan dia bermaksud juga untuk menangsal
perutnya. Melihat pengemis-pengemis itu menghampiri dirinya, dia menduga bahwa
pengemis itu hendak meminta derma padanya.
Pengemis itu sudah menghampiri
dekat sekali dengan Hui-houw-to. Tapi dia tidak mengulurkan tangannya untuk
meminta derma, malah dia mengawasi Hui-hauw-to tanpa berkedip!
“Apakah toaya adalah
Hui-houw-to Khang Lam Cu?!” Tanya pengemis itu dengan suara yang perlahan.
Tercekat Hui-houw-to. Tapi
kemudian ia mengangguk juga membenarkan.
“Siapa kau?!” Tanya
Hui-houw-to kemu¬dian sambil menatap tajam kepada pengemis itu.
Si pengemis tidak menyahuti,
dia memutar tubuhnya, lalu bilang perlahan: “Mari Toaya ikut denganku……..!”
Hui-houw-to jadi bimbang, dia
berdiri ragu-ragu, tidak segera ikut dengan pengemis itu.
Si pengemis menoleh melihat
Hui-houw-to berdiri diam di tempatnya, tidak mengikutinya. “Silahkan toaya ikut
denganku!”
“Ke mana?” Tanya Hui-houw-to.
“Menemui seseorang…….”
“Siapa?”
“Nanti Toaya akan tahu!”
“Katakan dulu siapa yang
hendak bertemu denganku?” Tanya Hui-houw-to.
“Seseorang yang toaya kenal?”
“Untuk keperluan apa?”
“Nanti akan kujelaskan……
tempat ini kurang aman!”
“Tapi tunggu dulu!”
Si pengemis memutar tuhuhnya,
berdiri berhadapan lagi dengan Hui-houw-to.
“Toaya tempat ini sungguh
tidak aman, dan aku ingin mengajak Toaya menemui seseorang, seorang sahabat
yang akan menyenangkan hati Toaya, di sana tentu toaya bisa bertanya dengan
jelas.”
“Apakah kau dari Kay-pang?”
Pengemis itu ragu-ragu.
“Benar!” Akhirnya dia
mengangguk.
“Hmmm, kalau memang demikian,”
kata Hui-houw-to kemudian, “Apakah orang yang akan kutemui nanti adalah orang
Kay-pang juga?”
Pengemis itu bimbang lagi.
“Bagaimana! Jika memang tidak
dijelaskan lebih dulu, aku tidak mau ikut dengan kau!” kata Hui-houw-to.
Pengemis itu terpaksa
mengangguk. Dia bilang, “Benar….., yang akan bertemu dengan Toaya nanti adalah
urusan yang penting sekali, sebab menyangkut dengan persoalan yang besar dan
sangat penting.”
“Persoalan penting dan besar!
Apakah itu?” Tanya Hui-houw-to kemudian heran bukan main. Aka tidak memiliki
hubungan dengan pihak Kay-pang. Kukira kau salah mengenali orang!”
Bola mata pengemis itu memain
mencilak kemudian dia tersenyum.
“Tidak mungkin salah mengenali
orang! Bukankah Toaya yang bergelar Hui-houw-to dan bernama Khang Lam Cu?
Apakah di dalam dunia persilatan ada dua orang yang bergelar Hui-houw-to dan
Khang Lam Cu?!”
Hui-houw-to masih bimbang,
tapi tidak ada salahnya jika dia menemui orang Kay-pang yang katanya hendak
bertemu dengannya. Sebab jika ia menolak, akan berarti mendatangkan kesulitan
buat dirinya. Juga bentrok dengan Kay-pang bukanlah persoalan yang ringan, bisa
membawa kesulitan buat dirinya.
Demikianlah, Hui-houw-to
akhirnya ikut dengan pengemis itu, ia dibawa keluar kampung dimana terdapat
sebuah kuil. Jarak dari tempat Hui-houw-to tadi dengan kuil itu terpisah
belasan lie, dan selama ikut di belakang si pengemis, otak Hui-houw-to bekerja
terus.
“Entah siapa orang Kay-pang
yang hendak bertemu denganku?!” Itu saja yang jadi tanda tanya di dalam
hatinya.
Si pengemis berjalan cepat
sekali, tanpa pernah menoleh. Ia juga tidak banyak bicara.