Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 101-110

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 101-110 Sedangkan Tang-ting Hweshio melirik beberapa kali melihat cara Hui-houw-to berlari.
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 101-110
Sedangkan Tang-ting Hweshio melirik beberapa kali melihat cara Hui-houw-to berlari.

“Hemm, kalau saja ia mau berlatih dengan tekun, memperoleh petunjuk dari orang yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi, tentu akan memperoleh kemajuan yang pesat. Dia memiliki bakat yang cukup baik, sayang jiwanya belum lagi tetap benar…….!”

Sambil berpikir begitu, tampak Tang-ting Hweshio beberapa kali memperhatikan cara melompat Hui-houw-to. Ia memperoleh kenyataan masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh Hui-houw-to. Tapi pendeta itu berdiam diri saja. Ia tak memberi komentar apa-apa.

Waktu itu kota sudah sepi, karena jarang sekali orang berlalu lalang. Dan rupanya kota sudah tidur dari segala macam keramaian.

Hanya tampak beberapa kantor Piauw-kiok yang masih buka, dengan beberapa orang piauwsu yang tengah mengadakan penjagaan, untuk menerima tamu, kalau saja ada pedagang yang ingin melakukan perjalanan malam.

Dengan gin-kang yang diandalkannya, maka Tang-ting Hweshio dapat berlari di atas genting tanpa ada orang yang bisa melihatnya.

Hui-houw-to sendiri karena jalan darah Yu-nan-hiatnya sudah berhasil ditembus oleh hawa murninya, sehingga bisa menerobos sampai pada Tan-tiannya membuat ia merasa segar dan ia bisa berlari dengan baik.

Walaupun ia masih sering tertinggal oleh si pendeta, tokh ia berusaha untuk sedapat mungkin mengimbanginya. Ia berlari selalu dengan ringan dan mengejarnya.

Demikianlah, mereka mengelilingi kota itu dengan mengambil jalan di atas genting, sampai akhirnya mereka tiba di sebelah selatan kota Lu-shia.

Keadaan di tempat itu benar-benar sepi sekali. Hanya terlihat seorang pedagang teh.

Cepat-cepat Hui-houw-to melompat turun diikuti oleh Tang-ting Hweshio. Mereka menghampiri penjual teh.

“Aku akan menanyakannya pada dia.......!” Kata Hui-houw-to dengan suara perlahan.

Tang-ting Hweshio tidak mencegah, cuma mengangguk saja.

Hui-houw-to menghampiri penjual teh itu. Dia melihat orang tua penjual teh tersebut tengah mengantuk, menunggui barang dagangannya dengan kepala tertunduk mengantuk.

“Paman…….!” Panggil Hui-houw-to dengan suara tak begitu keras.

Penjual teh itu terkejut, dia mengangkat kepalanya.

“Ohh, maaf, toaya ingin minum?” Tanyanya segera.

Hui-houw-to mengangguk.

Penjual teh itu mempersiapkan air teh dan menuangkan dua cangkir ketika melihat bahwa di belakang Hui-houw-to ada si pendeta. Dia juga mengeluarkan makanan kecil, kueh kering.

Waktu itu, Hui-houw-to sambil mengangkat cangkirnya. Cawan yang cukup besar, dia bilang, “Lopeh, (paman) ada yang hendak kutanyakan kepadamu…….!”

“Oh, silahkan....... silahkan.......!” Kata penjual teh itu dengan segera, “Apakah yang Toaya hendak tanyakan? Silahkan!”

“Dimana letak markas Hek-pek-kauw?!”

“Apa?”

Tampak penjual teh itu jadi kaget.

Hui-houw-to tersenyum.

“Kami baru saja menerima undangan dari Hek-pek-kauw, yang meminta kami datang buat menjadi tamu kehormatan mereka. Tapi karena tidak mengetahui, di mana letak markas besar Hek-pek-kauw itu. Karenanya kami mencarinya seharian begini…….”

Penjual teh itu mengawasi Hui-houw-to dan Tang-ting Hweshio bergantian, kemudian baru dia bilang dengan ragu-ragu. “Jadi jiewie adalah sahabat-sahabat dari Hek-pek-kauw?”

Hui-houw-to mengangguk.

“Benar……. !” Sahutnya: “Bukankah Hek-pek-Kauw-cu itu adalah Giok-tiauw Sian-lie?”

Si penjual teh mengangguk. Wajahnya kembali pulih sebagaimana biasa. Dia rupanya sudah mulai tenang. Dia malah bisa tertawa.

“Sebetulnya mencari markas Hek-pek-kauw tidak sulit, karena semua orang di kota Lu-shia ini akan mengetahuinya dimana letak markas besar perkumpulan Hek-pek-kauw. Juga gedung markas besar Hek-pek-kauw adalah gedung yang paling megah mewah di kota ini, maka paling mudah dikenali!”

Girang Hui-houw-to Khang Lam Cu, dia mengangguk-angguk sambil tanyanya sabar. “Di mana letak markas besar Hek-pek-kauw itu Lopeh?”

“Di sebelah utara kota ini, yang akan menuju ke pintu kota sebelah utara. Dan kurang lebih masih terpisah duapuluh lie dari pintu kota terdapat tikungan jalan yang cukup lebar.

“Kalian masuk saja ke jalur jalan itu. Nanti kalian akan bertemu dengan gedung yang mewah megah. Itulah markas Hek-pek-kauw!”

Hui-houw-to mengangguk dan dia segera merogoh sakunya mengeluarkan satu tail perak.

“Ambillah kembali buat Lopeh!” Kata Hui-houw-to, lalu tanpa bilang apa-apa lagi. Dia pergi meninggalkan penjual teh itu. Demikian juga halnya dengan Tang-ting Hweshio.

Penjual teh itu keheranan. Dia takjub bercampur girang, karena harga tehnya cuma dua cie. Tapi sekarang dia memperoleh satu tail.

Untuk memperoleh satu tail saja dalam satu hari dengan dagangnya seperti itu, sulitnya bukan main. Dan sekarang dia memperoleh satu tail dengan percuma dengan memberikan dua cawan besar air teh saja.

Hal ini bukan main menggirangkan hatinya. Dan dia pun telah bersyukur kepada Thian, bahwa dia malam ini memperoleh rejeki yang demikian besar.

Waktu itu tampak Hui-houw-to berdua dengan Tang-ting Hweshio sudah menikung ke jalan kecil. Setelah yakin bahwa si penjual teh tidak akan melihat mareka lagi, ke dua orang ini menjejakkan kaki mereka.

Tubuh Hui-houw-to berdua dengan Tang-ting Hweshio melompat ke atas genting ringan sekali. Mereka berdua berlari-lari di atas genting, menuju ke arah utara kota ini.

Benar saja, sebelum mereka sampai di pintu kota sebelah utara, mereka melihat tikungan yang cukup lebar.

Mereka berbelok dan memasuki jalur jalan itu. Maju terus ke depan akhirnya tiba di sebuah gedung yang besar dan mewah.

“Hati-hati,” bisik Tang-ting Hweshio perlahan, kepada Hui-houw-to “Tentu di dalam markas Hek-pek-kauw ini, berkumpul banyak orang pandai!”

Hui-houw-to mengangguk, menyatakan bahwa dia memperhatikan pesan si pendeta.

Dengan ringan, Tang-ting Hweshio melompat lebih dulu, waktu kakinya akan hinggap di atas tembok, dia mengibaskan lengan jubahnya. Gerakan yang dilakukannya itu buat melindungi dirinya, kalau-kalau dari sebelah dalam meluncur serangan membokong.

Tapi kenyataannya tidak ada serangan gelap. Si pendeta melambaikan tangannya pada Hui-houw-to.

Cepat-cepat Khang Lam Cu menyusulnya, dia melompat ke atas tembok dan berdiri, di samping si pendeta. Merekapun bersama-sama melompat ke dalam pekarangan gedung itu.

Keadaan di sekitar gedung sangat gelap, karena hanya tampak di ruang dalam gedung itu saja yang terdapat sinar api penerangan. Bagian lainnya gelap, tidak memiliki api penerangan.

Dengan berani Tang-ting Hweshio mengajak Hui-houw-to memasuki pekarangan gedung itu, yang sangat luas dan mewah sekali. Si pendeta berlaku waspada, matanya jeli mengawasi tempat itu.

Tidak tampak seorang penjagapun juga.

“Hemm, mereka rupanya tidak mengetahui bahwa kita akan menyatroni mereka, sehingga tidak ada penjagaan di dalam gedung ini!” Kata Hui-houw-to dengan suara yang tidak keras.

“Huss!” Si pendeta mengingatkan padanya agar dia tidak menimbulkan suara dulu. “Kita tidak boleh meremehkan keadaan yang lengang ini, sebab siapa tahu, pihak Hek-pek-kauw menempatkan penjaganya di tempat-tempat tertentu!”

Hui-houw-to meleletkan lidahnya kemudian tertawa kecil! Dia kagum sekali untuk ketelitian si pendeta.

Mereka maju terus ke depan, sampai akhirnya ada seseorang yang menegur mereka dengan suara yang tidak begitu keras,

“Berhenti……! Siapa kalian?!”

Tang-ting Hweshio mendehem, dia tidak menyahuti, dia melangkah maju menghampiri orang itu.

Keadaan gelap sekali, orang itu berusaha melihat dengan jelas, tapi dia tidak berhasil melihat dengan baik di tempat yang segelap itu. Sampai aknirnya tahu-tahu dia kaget, karena tubuh si pendeta telah melesat berada di sampingnya.

Begitu si pendeta menggerakkan tangannya seketika tubuh orang itu terjengkang. Dia kaget, tapi dia sudah keburu rubuh dan tidak berdaya, membuat dia menjeritpun juga sudah tidak sempat lagi.

Tang-ting Hweshio memberi isyarat kepada Hui-houw-to untuk meneruskan jalan mereka membiarkan si penjaga malam di gedung itu menggeletak dalam keadaan tertotok.

Lewat pekarangan gedung itu mereka memasuki ruangan depan! Keadaan di tempat itu sunyi, hanya samar-samar terdengar suara tertawa beberapa orang, tertawa yang tidak keras.

Mata Tang-ting Hweshio yang tajam, segera melihat beberapa orang laki-laki tengah duduk berkerumun. Mereka tengah bermain ma-ciok, dan rupanya mereka pun bertaruh.

Dengan berindap-indap Tang-ting Hweshio mendekati mereka. Tahu-tahu tangan kanan si pendeta bergerak, dia menimpukan beberapa batu kerikil kecil.

Batu-batu kerikil itu menyambar dengan pesat sekali, menghantam jalan darah di tubuh laki-laki yang tengah berkumpul, dan mereka tidak bisa mengeluarkan jeritan. Hanya tubuhnya yang segera mengejang kaku dan mereka sudah tertotok tidak bisa bergerak.

Tang-ting Hweshio, maju lagi ke sebelah depan.

Hui-houw-to takjub menyaksikan apa yang dilakukan si pendeta, ia bertambah kagum saja dan dia menghomati si pendeta Siauw-lim-sie ini, yang memiliki kepandaian benar-benar tinggi sebab dengan mudah pendeta Siauw-lim-sie itu sudah merubuhkan orang-orang yang bertemu dengan mereka.

Tanpa memperoleh kesulitan, Tang-ting Hweshio berdua dengan Hui-houw-to pergi ke ruang tengah. Di situ api penerangan menyala terang.

Waktu Tang-ting Hweshio berdua Hui-houw-to melangkah hati-hati, tiba-tiba dari balik tikungan lorong itu muncul seorang anak buah Hek-pek-kauw. Ia melihat si pendeta dan Hui-houw-to, ia kaget.

Tapi ia tersadar dengan cepat, segera ia memutar tubuhnya sambil berteriak-teriak: “Tangkap penjahat! Ada penjahat! Tangkap penjahat!”

Tang-ting Hweshio menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat mengejar orang itu, segera juga dia dapat mengejarnya. Dia mencekuknya dengan kuat, sehingga orang itu tidak dapat bisa bergerak lagi.

Namun sebelum tertangkap, dia justeru telah sempat berteriak-teriak. “Tangkap penjahat. Ada penjahat!” Yang nyaring bukan main menggema di sekitar tempat itu.

Tang-ting Hweshio menotok jalan darah Ah-hiat dan jalan darah kaku orang itu. Dengan demikian selain tubuh orang tersebut menjadi kaku tidak bisa bergerak, justeru diapun seperti gagu, karena Ah-hiatnya kena tertotok. Dia tidak bisa berteriak lagi.

Cuma saja, baru Tang-ting Hweshio hendak menyeret orang itu ke pinggir, justeru dari dalam ruang itu telah berlari mendatangi belasan orang yang masing-masing bertubuh tinggi tegap dan tangan mereka semuanya mencekal senjata tajam.

Rupanya teriakan orang itu yang nyaring bergema di markas itu telah mengejutkan belasan orang kawannya. Merekapun datang dengan menimbulkan suara yang berisik.

Tang-ting Hweshio segera memberikan isyarat kepada Hui-houw-to. Dia memutar tubuhnya kembali ke ruang depan.

Hui-houw-to mengikuti dengan cepat. Tang-ting Hweshio menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke penglari. Dan Hui-houw-to dapat juga melompat, berdiam di penglari.

Belasan orang anak buah Hek-pek-kauw telah sampai di ruang depan. Mereka tidak melihat si hweshio dan Hui-houw-to. Mereka jadi tertegun sejenak.

“Kejar! Pencarkan diri bagi jadi tiga rombongan!” teriak salah seorang di antara mereka.

Seketika belasan orang anak buah Hek-pek-kauw itu membagi diri jadi tiga kelompok. Mereka mengejar sampai ke depan ruangan dan mereka tidak menyangka, bahwa dua orang yang mereka kejar mengejar itu masih berdiam di dalam ruangan itu, hanya bersembunyi di penglari.

Waktu itu dari ruang dalam telah muncul lagi belasan orang lainnya. Rupanya suara ribut-ribut tersebut membuat mereka terbangun dari tidur.

Sedangkan Hui-houw-to mendekam terus dipelajari. Demikian juga si pendeta.

Sama seperti orang-orang Hek-pek-kauw yang tadi, mereka semuanya telah berlari keluar untuk mengejar ‘penjahat’.

Setelah orang-orang itu mengejar ke depan keadaan di dalam ruang itu jadi sepi.

Hui-houw-to ingin melompat turun, tapi tangannya dicekal si pendeta.

“Jangan…….!”

“Kenapa Taysu?”

“Kita tunggu sejenak lagi…….!”

“Tapi kita bisa mempergunakan kesempatan ini buat menyelusup masuk!”

Si pendeta menggeleng.

“Tidak! Berbahaya!”

Baru saja si pendeta berkata begitu, justeru dari dalam telah menorobos beberapa orang. Mereka terdiri dari laki-laki bertubuh ringan sekali, gin-kang mereka sangat tinggi sehingga kaki mereka tidak terdengar.

Dan orang-orang ini semuanya berjumlah tujuh orang. Berbeda dengan anak buah dari Hek-pek-kauw yang tadi, maka mereka tidak mengejar keluar.

“Hemm, tentunya orang itu memiliki kepandaian yang lumayan!” kata salah seorang yang memelihara kumis dan jenggot hitam lebat berusia lebih empatpuluh tahun, di punggungnya tombak gaetan rupanya. Itulah senjatanya.

“Ya!” Menyahuti yang lainnya, “Mungkin dia telah melarikan diri!”

“Walaupun bagaimana, harus dapat ditangkap, karena jika tidak, tentu di belakang hari akan terulang peristiwa seperti ini, di mana ada orang yang berani lancang masuk ke mari.”

Yang lainnya menggumam mengiakan.

Mereka tetap berdiam di ruang itu tidak ikut mengejar. Tidak lama kemudian datang beberapa orang anak buah Hek-pek-kauw yang telah kembali. Napas mereka memburu.

“Bagaimana? Apakah orang itu berhasil dikejar?” Tanya orang yang kumis jenggotnya lebat.

Orang itu menggeleng.

“Tidak!” Katanya. “Dia telah lenyap. Tapi, menurut yang dikatakan oleh sha-cie, orang itu berjumlah dua, mereka terdiri dari seorang pendeta dan seorang laki-laki yang mungkin berusia empatpuluh tahun !”

“Hemmm!” Orang berjenggot lebat itu mendengus, tampaknya dia mendongkol dan tidak senang. Dia mengibaskan tangannya memberi isyarat agar orang itu pergi.

“Siapa mereka?” Menggumam yang lainnya.

“Apakah pendeta itu adalah pendeta Siauw-lim-sie?” Tanya yang lainnya menduga.

“Entah pendeta dan kuil mana?! Untuk menduga bahwa pendeta itu adalah pendeta Siauw-lim-sie tidak akan bertindak sepengecut seperti itu, datang secara diam-diam. Kalau memang dia orang Siauw-lim-sie, tentu akan datang secara berterang!”

“Ya……. lalu siapa pendeta itu?”

“Hem, paling pendeta tidak bernama.”

Demikianlah, tampaknya orang-orang ini penasaran sekali.

Tiba-tiba dari ruang dalam mendatangi seseorang. Dialah seorang wanita, langkah kakinya begitu ringan.

Dia tampaknya seperti tidak bergerak karena pundaknya sama sekali tidak bergerak. Dan dia telah mendatangi cepat, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah rombongan orang itu.

“Ada penjahat? Mana penjahatnya? Apakah telah tertangkap?!” tanyanya beruntun.

Semua orang melihat wanita itu, segera membungkukan tubuh mereka memberi hormat.

“Kauw-cu maafkan kami yang telah mengejutkan Kauw-cu!” Kata yang jenggotnya lebat!

“Hemmm, gagal kalian menangkap penjahat itu!” Mendengus wanita itu, yang tidak lain dari Kauw-cu Hek-pek-kauw, yaitu Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling.

Muka orang-orang itu termasuk yang berjenggot lebar, jadi berubah merah.

“Ampun kami yang tidak punya guna……. penjahat itu sempat melarikan diri!” Katanya dengan suara perlahan-lahan dan agak takut-takut.

Sepasang alis Giok-tiauw Sian-lie berdiri terbangun. Dia bilang dengan suara yang amat dingin,

“Hemm, manusia tidak punya guna dan cuma gentong nasi belaka! Menangkap penjahat saja tidak sanggup!

“Bagaimana jika mereka sempat menerobos ke dalam, dan menimbulkan keonaran, sehingga tamu-tamu kita mengetahui! Dan kita akan menderita malu, karena kita tidak sanggup menjaga keamanan di markas sendiri!”

Waktu berkata begitu, Giok-tiauw Sian-lie tampaknya sangat murka sekali.

“Kami mengaku bersalah! Kami mengaku bersalah!” Kata orang-orang itu seperti ketakutan. “Dilain saat kami akan berusaha buat mengadakan penjagaan yang ketat dan kami berjanji tidak akan terulang lagi peristiwa ini.”

“Hemm!” Coa Mei Ling mendengus begitu saja.

Hui-houw-to melihat Coa Mei Ling merasakan hatinya jadi berdebar keras dibakar oleh api kemarahan. Dia melirik kepada si pendeta, tapi Tang-ting Hweshio cuma mengedipkan mata, memberikan isyarat agar dia tidak melakukan gerakan apa-apa dulu.

Waktu itu, Coa Mei Ling tiba-tiba memutar tubuhnya, tanpa berkata apa-apa. Dia melangkah seperti tengah memikirkan sesuatu.

Dia melangkah tepat dibawah Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to berada di atas penglari.

Tiba-tiba Giok-tiauw Sian-lie membentak nyaring, lutut kanannya ditekuk. Tangan kanannya bergerak, dia telah menyebarkan sesuatu ke atas.

Beberapu titik terang telah melesat menyambar ke atas penglari.

Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to terkejut. Untung mereka berwaspada, sehingga seketika mereka mengetahui diri mereka diserang Coa Mei Ling dengan timpukan jarum-jarum halus itu.

Cepat-cepat Tang-ting Hweshio menarik tangan Hui-houw-to, melompat turun.

Coa Mei Ling tertawa bergelak-gelak. Walaupun serangan jarum-jarumnya itu tidak berhasil mengenai sasarannya, cuma saja dia puas bisa memaksa kedua orang “penjahat” itu keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tentu saja kalian tidak akan berhasil mengejarnya, sebab penjahatnya memang belum lagi pergi.” Kata Coa Mei Ling dengan suara nyaring.

Anak buah Coa Mei Ling tertegun, mereka seperti takjub. Tapi mereka segera tersadar dan cepat-cepat menghunus senjata lalu melompat mengepung Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to di tengah-tengah.

Mereka memperlihatkan sikap mengancam akan membuka serangan dengan cara mengeroyok. Dan mereka tinggal menantikan perintah dari Kauw-cu mereka yaitu Coa Mei Ling.

Giok-tiauw Sian-lie puas tertawa, kemudian mengawasi Tang-ting Hweshio dan Hui-houw-to dengan sorot mata yang sangat tajam. Sikapnya angkuh dan meremehkan ke dua orang yang ditatapnya bergantian itu.

“Hemm, tidak tahunya malam ini kami telah menerima kunjungan tamu terhormat yang tidak diundang, karena kami kebetulan lupa untuk mengirimkan undangan! Jika memang kami boleh mengetahui, siapakah nama dan gelaran terhormat dari tamu-tamu agung kami ini?”

Dingin sekali suara Giok-tiauw Sian-lie ketika dia bertanya begitu. Dia membawa sikap yang angkuh sekali. Juga dari sorot matanya, tampak dia seakan bersiap-siap hendak menyerang.

Tang-ting Hweshio tidak gugup dan sikapnya sangat tenang sekali. Hui-houw-to sendiri sudah bersiap-siap dengan golok pendeknya, karena dia bersiap untuk menghadapi terjangan lawannya.

Malah jika memang dapat, dia akan menerjang kepada Giok-tiauw Sian-lie perempuan yang telah membuat dia terluka di dalam dan telah merampas surat pentingnya.

Tapi Hui-houw-to tidak berani bergerak sembarangan. Dia menantikan isyarat dari Tang-ting Hweshio.

Saat itu Tang-ting Hweshio telah merangkapkan ke dua tangannya, membungkukkan tubuhnya sedikit, dia bilang: “Pinceng Tang-ting Hweshio telah lancang datang ke mari dan karena tidak sabar menantikan jemputan. Pinceng telah lancang masuk ke ruang dalam. Maaf! Maaf! Maaf!”

Sabar sekali sikap dan suara si pendeta, sedikitpun dia tidak memperlihatkan sikap jeri.

Muka Giok-tiauw Sian-lie berobah. Tapi kemudian cepat keadaannya pulih sebagaimana biasa, dia malah telah tertawa dingin.

“Hemmm, tidak tahunya kami memperoleh kunjungan dari tamu terhormat berasal dari Siauw-lim-sie. Tang-ting Hweshio yang terkenal sangat saleh!”

“Jangan nona berkata begitu karena memang sebetulnya maksud kedatangan pinceng hanya ingin bertemu dengan nona dan ingin mengadakan sedikit pembicaraan…….!”

“Jika seorang pendeta Siauw-lim-sie, terlebih lagi dari tingkatan Tang, datang ke mari, niscaya akan membawa persoalan yang sangat penting! Entah Taysu membawa berita penting apakah buat siauw-moay?”

Waktu bertanya begitu, nada suaranya sangat lembut, tapi sikapnya galak dengan tubuh yang tegak dengan mata yang mendelik, memancarkan kemarahan yang sangat.

Belasan orang anak buah Hek-pek-kauw itu kembali, napas mereka memburu keras. Mereka tidak berhasil mencari penjahat dan berdiri di pekarangan gedung.

Mereka jadi kaget waktu melihat orang yang mereka kejar ternyata masih berada di dalam ruangan itu. Begitu mereka tersadar, cepat mereka mempersiapkan senjata tajam masing-masing.

Tang-ting Hweshio tetap membawa sikap yang tenang, malah dia tetap merangkapkan sepasang tangannya lagi.

“Siancay! Kedatangan Pinceng ke mari justeru untuk membicarakan persoalan Giok-sie!”

“Apa?!”

“Membicarakan tentang Giok-sie dengan kau nona…….!”

Muka Kauw-cu Hek-pek-kauw jadi berobah hebat.

“Kau….. kau ingin berbicara denganku tentang urusan Giok-sie? Pembicaraan apa itu?!”

“Pinceng kira, nona tentu mengetahui jelas tentang Giok-sie dan juga Giok-sie yang telah menyebabkan jatuh korban terlalu banyak menggoncangkan dunia persilatan baru-baru ini.

“Karena itu, Hong-thio Pinceng telah perintahkan agar Pinceng mengurus persoalan ini, buat mencegah jatuh korban lebih banyak lagi.......!”

Coa Mei Ling tertegun sejenak, tampaknya dia ragu-ragu. Namun akhirnya dia tertawa dingin.

“Apa maksud Taysu sebenarnya? Siauw-moay tidak mengerti?” Tanyanya.

“Tentu saja untuk melihat dan mencari Giok-sie itu, lalu memusnahkannya.......!” Menyahuti Tang-ting Hweshio.

“Jadi Taysu hendak memusnahkan Giok-sie?” Tanya Coa Mei Ling sambil membuka matanya lebar-lebar.

Tang-ting Hweshio mengangguk.

“Tidak salah! Siancay! Siancay!”

“Hemmm!” Mendengus Coa Mei Ling dengan muka yang merah padam. “Kekuasaan apa yang dimiliki Siauw-lim-sie, sehingga bermaksud hendak memusnahkan Giok-sie? Dan juga semua orang mengetahui Giok-sie jauh lebih berharga, dari pada satu Siauw-lim-sie.

Jika Siauw-lim-sie lenyap musnah dari permukaan dunia ini mungkin semua orang dapat mengerti dan hanya akan menyatakan sayang. Tapi Giok-sie, hemm, tentu saja jauh lebih berharga bila dibandingkan, dengan sebuah Siauw-lim-sie! Bagaimana mungkin Siauw-lim-sie memiliki pemikiran yang sinting seperti hendak memusnahkan Giok-sie?”

“Kata-kata nona memang beralasan!” Kata Tang-ting Hweshio tetap tenang.

Dia tidak marah oleh kata-kata yang kasar dari Coa Mei Ling. Dia masih tetap bersikap sabar dan halus. Dia tidak memperlihatkan sedikitpun tanda-tanda tidak senang malah dia telah melanjutkan kata-kata.

“Justeru memang Siauw-lim-sie belum berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Giok-sie maka Siauw-lim-sie ingin berusaha memperlihatkan kepada dunia luar, bahwa Siauw-lim-sie akan berusaha untuk melakukan sesuatu yang besar. Suatu pekerjaan yang mulia, untuk menyelamatkan jiwa manusia-manusia yang bisa kelak menjadi korban dari Giok-sie itu!

“Kalau dibandingkan antara perlu dan tidaknya Giok-sie ada di permukaan dunia ini, sebetulnya memang kita harus mengakui bahwa tanpa adanya Giok-sie manusia di dunia inipun tidak akan rugi apa-apa…….. Malah ada untungnya, yaitu dapat bernapas dengan aman sebab tidak akan terjatuh korban-korban yang tidak perlu lagi yang hanya disebabkan memperebutkan Giok-sie! Bukankah begitu nona?”

Muka Coa Mei Ling merah padam, dia mendengus beberapa kali mengejek si pendeta.

“Jika memang Siauw-lim-sie bermaksud untuk mencari Giok-sie dan memusnahkannya, pergilah! Aku tidak berhak untuk melarangnya!

“Tapi apa hubungannya antara keinginan Siauw-lim-sie memusnahkan Giok-sie itu dengan kedatangan Taysu ke mari?!” Waktu bertanya pada kata-kata yang terakhir. Terdengarnya ketus dan pedas sekali.

Sabar bukan main Tang-ting Hweshio, karena dia telah bilang dengan sabar, “Sebetulnya, kedatangan pinceng ke mari pun memiliki hubungan yang erat dengan masalah Giok-sie itu…….!”

“Hemmm, aku tidak sangkut apapun dengan Giok-sie dan tidak mau Siauw-lim-sie melibatkan Hek-pek-kauw dalam pencarian Giok-sie! Kalian pihak Siauw-lim-sie boleh berusaha sendiri dengan jalan kalian…….!”

Tang-ting Hweshio tetap saja tidak gusar malah tersenyum lembut.

“Dengar dulu nona…….! Jika tak salah nona adalah Kauw-cu dari Hek-pek-kauw yang bergelar sebagai Giok-tiauw Sian-lie, bukan?”

“Tidak salah! Namaku Coa Mei Ling! Kalian dengar, namaku Coa Mei Ling!”

Setelah berkata begitu, Giok-tiauw Sian lie melirik kepada Hui-houw-to yang berdiri di sisi si pendeta, sikapnya sangat sinis sekali.

“Hemm…… dan kau…… kau masih tidak kapok dan bermaksud untuk mencari urusan denganku? Apakah hantamanku beberapa saat yang lalu belum cukup buat kau?”

Muka Hui-houw-to berobah merah padam, dia gusar sekali, malah dia telah membentak dengan suara yang penuh kemarahan, “Perempuan iblis!”

“Apakah kau bilang?” Meluap darah Giok-tiauw Sian-lie, malah Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini sudah bersiap-siap akan menerjang Hui-houw-to untuk menyerang lagi.

Namun Tang-ting Hweshio cepat menghadang di depannya. Dia bilang dengan suara yang nyaring: “Dengar dulu Kouw-nio….... sabar….... ada yang Pinceng perlu sampaikan!”

Mata Coa Mei Ling mendelik.

“Apa yang ingin kau katakan lagi?!”

“Masih menyangkut urusan Giok-sie!”

“Katakanlah!”

“Menurut keterangan Khang Siecu, bahwa Kouwnio telah meminjam surat dari ketua Khong-tong-pay, yang di dalamnya menjelaskan di mana beradanya si nelayan, yang kabarnya sudah berhasil menemukan Giok-sie. Bukankah begitu?!”

Muka perempuan itu berobah merah padam. Dia mengawasi mendelik pada Hui-houw-to, barulah kemudian dia bilang:

“Ya. Memang benar. Jika kau ingin mencampurinya!”

Si pendeta menggeleng.

“Bukan! Bukan begitu!”

“Bukan begitu bagaimana? Dengan kedatanganmu ke mari, engkau ingin mencampuri urusan itu, bukan?!” Bengis waktu Coa Mei Ling berkata seperti itu.

Tang-ting Hweshio tersenyum sabar.

“Pinceng bukan hendak mencampuri urusan tersebut, hanya saja Pinceng ingin menanyakan kepada kouwnio. Apakah kouwnio bersedia memberitahukan di mana sebenarnya letak berdiamnya si nelayan, agar nanti Pinceng dapat mengurusnya sendiri…….!”

“Hahaha…….!” Tiba-tiba Coa Mei Ling tertawa dengan suara nyaring, di dalam nada suaranya itu mengandung sikap yang bengis dan nafsu membunuh.

“Jika kau pun mengejar Giok-sie! Hemm, justeru aku sekarang jadi ragu-ragu, apakah memang benar bahwa kau ingin memusnahkan Giok-sie itu?

“Kalau saja kau berhasil memperolehnya? Jangan-jangan nanti kau malah akan memanfaatkan Giok-sie itu buat wujudkan cita-cita dan mimpimu untuk menjadi orang Kaisar! Bukankah begitu?!”

Kali ini habislah sabar Tang-ting Hweshio namun dia masih bisa menahan diri, karena dia dengan sikap yang tetap sabar telah bilang:

“Sama sekali Pinceng tidak memiliki pikiran seperti itu…….. Dan memang Pinceng telah menerima perintah dari Hong-thio Siauw-lim-sie agar Pinceng berusaha mencari Giok-sie kemudian berusaha mengambilnya buat memusnahkannya!

“Sama sekali Pinceng tidak memiliki pikiran yang tidak-tidak….. dan jika tugas ini telah selesai, Pinceng harus kembali ke Siauw-lim-sie, buat melanjutkan tapa Pinceng yang belum lagi selesai.........!”

Tapi, Coa Mei Ling tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring.

“Hemmm, aku tetap tidak bisa mempercayai kata-katamu! Walaupun kau mencukur kepala sampai sepuluh kali menjadi gundul, tetap saja engkau manusia! Dan jika memang Giok-sie telah berada di tanganmu, jelas kau akan memanfaatkannya, untuk dipakai sendiri agar bisa menjadi seorang yang paling berkuasa.”

“Kouwnio, terlalu kejam sekali kata-kata Kouwnio yang menduga begitu buruk pada diri Pinceng…….”

“Lalu kau menginginkan aku menyebut engkau sebagai seorang pendeta yang alim, yang layak untuk dipercaya?” Mengejek Coa Mei Ling.

“Siancay! Siancay! Omitohud!” Memuji si pendeta pada kebenaran sang Budha. Diapun menghela napas dalam-dalam. Barulah kemudian berkata lagi:

“Baiklah, kouwnio, karena Kouwnio memiliki perkiraan yang begitu buruk pada Pinceng, Pinceng pun tidak bisa bilang apa-apa buat meyakinkan kouwnio. Tapi terus terang saja, kedatangan Pinceng kemari memang ingin mengetahui alamat nelayan yang beruntung telah berhasil memperoleh Giok-sie.

“Malah, bisa disebut untung, tapi bisa disebut membawa sial, karena nelayan itu sendiri mengalami ancaman yang tidak kecil. Banyak manusia yang tamak dan kemaruk akan keduniawian. Jelas akan berusaha mengejarnya untuk merampas Giok-sie dari tangannya, bukankah demikian keselamatan jiwa si nelayan terancam bahaya…….!”

“Hemm, mendengus Coa Mei Ling sebelum si pendeta selesai dengan kata-katanya. “Aku tak perlu khotbahmu.........!”

“Kouwnio, sekarang singkatnya. Apakah Kouwnio bersedia memberitahukan alamat si nelayan itu pada Pinceng, mengingat hanya Kouwniolah di sini yang mengetahui alamat si nelayan, lewat surat penting yang Kouwnio ambil dari Hui-houw-to Khang Lam Cu siecu ini.......!”

“Tidak! Jangan harap aku memberitatukan segalanya kepadamu, kepala gundul!” Ketus sekali waktu Coa Mei Ling bilang begitu.

Muka si pendeta berobah sedikit, namun segera dia bisa menguasai dirinya menjadi tenang kembali.

“Apakah terpaksa Pinceng harus meminjamnya dengan cara mencuri?”

Meledak tertawa Coa Mei Ling, tertawa yang mengandung ejekan sinis.

“Hemm, terserah kepadamu! Tentu saja aku tidak berani menganjurkan agar seorang pendeta menjadi seorang pencuri!”

“Baiklah! Karena memang Kouwnio tidak mau memberitahukan secara baik-baik, Pinceng juga terpaksa sekali harus meminjamnya dengan mengambil surat itu secara mencuri!”

Baru saja si pendeta berkata begitu, Coa Mei Ling, yaitu Giok-tiauw Sian-lie, sudah mengibaskan tangannya. Dia memberikan isyarat kepada anak buahnya, agar mereka menyerang dan mengepung si pendeta dan Hui-houw-to Khang Lam Cu.

Seketika, dengan serentak anak buah Coa Mei Ling orang-orang Hek-pek-kauw sudah bergerak. Mereka menyerbu maju dengan senjata tajam di tangan masing-masing.

Waktu itu tampak si pendeta tenang-tenang saja, dia menantikan orang-orang itu datang dekat. Dia menyambuti dengan mengibaskan lengan jubahnya berulang kali.

Sedangkan Hui-houw-to Khang Lam Cu sudah menggerakkan golok pendeknya memberikan perlawanan.

Belasan orang anak buah Hek-pek-kauw yang berada di pekarangan luar, juga sudah menyerbu masuk, untuk ikut mengeroyok si pendeta dan Hui-houw-to.

Tapi si pendeta benar-benar tangguh. Setiap kali dia mengibaskan lengan jubahnya, maka ada saja anak buah Hek-pek-kauw yang terpental kena kibasannya itu.

Dan akhirnya, anak buah Hek-pek-kauw tidak ada yang berani terlalu dekat dengan si pendeta, mereka cuma mengepung dari jarak yang cukup jauh. Jika memang memiliki kesempatan baik, barulah mereka berani menyerbu buat menyerang.

Hui-houw-to sendiri tidak berani bertempur dengan berayal. Karena dia menyadari kepandaiannya masih berada di bawah kepandaian si pendeta.

Dengan demikian, dia telah bertempur dengan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya dimana golok pendeknya itu telah menyambar ke sana ke mari dengan gencar sekali dan telah berhasil melukai beberapa orang lawannya.

Dalam keadaan seperti itu, Coa Mei Ling berdiri di pinggir ruangan, menyaksikan saja. Ia ingin memperhatikan ilmu silat Tang-ting Hweshio karena di saat itu belum bisa menaksir dan menduga berapa tinggi kepandaian si pendeta!

Setelah menyaksikan jalannya pengeroyokan yang dilakukan anak buahnya terhadap Tang-ting Hweshio, barulah dia memperoleh kenyataan si pendeta memang tangguh. Dan dia bisa menduga-duga berapa tinggi kepandaian si pendeta ini dan bagaimana harus menghadapinya.

Setelah lewat beberapa saat lagi, di saat dua orang anak buah Hek-pek-kauw kena dikibas lengan jubah si pendeta sampai terpelanting ke belakang. Coa Mie Ling menjejakkan kakinya melesat ke depan si pendeta. Diapun telah berseru: “Mundur semua!”

Ternyata Coa Mie Ling hendak menghadapi sendiri si pendeta tangguh ini.

Semua anak buah Hek-pek-kauw telah melompat mundur, membuka kepungan mereka.

Hui-houw-to juga telah melompat ke pinggir, tidak mungkin dia membantui Tang-ting Hweshio buat mengeroyok Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut.

Sedangkan saat itu Coa Mie Ling, begitu melompat maju, sudah menghantam dengan telapak tangannya. Tenaga dalamnya kuat sekali, walaupun dia seorang manusia, namun lweekangnya yang mahir, membuat tenaga pukulannya mengandung kekuatan angin yang bisa menghancurkan bungkahan batu yang besar!”

Si pendeta pun berhati-hati karena Tang-ting Hweshio, menyadarinya, bahwa Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini memiliki kepandaian yang bukan sembarangan, lain dibandingkan dengan anak buahnya, yang umumnya berkepandaian tidak seberapa.

Di samping itu, serangan Coa Mei Ling sudah tiba, dia berkelit ke samping kanan lengan jubahnya mengibas ke arah pinggang Coa Mei Ling.

Tapi Coa Mei Ling cuma meliukkan pinggangnya, dia sudah bisa meloloskan diri dari ujung lengan jubah si pendeta. Malah diapun cepat sekali menyusuli dengan hantaman berikutnya.

Kali ini tangan kanannya menghantam kuat sedangkan tangan kirinya terjulur cepat bukan main ke arah muka Tang-ting Hweshio, dalam posisi dengan ke lima jari tangannya terbuka dan dia hendak mencakar!

Itulah cakaran yang bukan sembarangan, karena cara mencakar dari Coa Mie Ling disertai dengan ilmu Cakar Setan, yang terkenal sangat tangguh sekali.

Jika seorang lawan dicakar mukanya oleh jari tangan Coa Mie Ling, niscaya orang itu akan rusak dan sebagian daging mukanya akan copot karena jari tangan Coa Mie Ling yang mempergunakan jurus ilmu “Cakar Setan” tersebut sangat kuat.

Sedangkan, besi atau kayu saja jika dibakar olehnya pasti akan gompal. Kayu akan terbelah, besi akan terbeset oleh ujung jari ujung jari tangannya meninggalkan garis yang dalam! Bisa dibayangkan betapa tangguhnya ilmu cakar perempuan ini!

Walaupun Tang-ting Hweshio pun menyadari bahwa cakaran dari Coa Mie Ling tidak bisa diremehkan, karena dia merasakan sambaran angin cakaran yang begitu tajam. Sebagai seorang pendeta yang waspada dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, diapun menyadari tidak membiarkan saja serangan itu meluncur ke dekat mukanya.

Sambil mengeluarkan seruan nyaring, tampak kedua tangan Tang-ting Hweshio mendorong ke arah Coa Mie Ling.

Dia mendorong dengan menekuk kedua lututnya. membuka ke dua telapak tangannya, dengan disertai delapan bagian tenaga dalamnya.

“Wuttt…...!” Angin didorong tersebut menyambar kuat sekali.

Coa Mie Ling mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya tergoncang, karena dia seperti diterjang oleh lempengan besi yang sangat kuat sekali, dari angin serangan si pendeta yang tidak kelihatan itu.

Tapi dia kaget, dia bisa mengambil keputusan dengan cepat. Ia juga telah membatalkan serangannya, menarik pulang tangannya. Dia segera melesat ke samping dan kemudian melompat lagi ke belakang si pendeta, membarengi dengan itu, tangannya telah menghantam pula.

Pukulannya kali ini datangnya sangat cepat. Si pendeta hendak mengelakkannya. Namun dia perlu menarik pulang tangannya dulu, karena dari itu dia jadi terlambat dengan gerakannya.

“Bukk!” Pundak si pendeta kena dihantam telak oleh Coa Mei Ling.

Tapi si pendeta yang tadi menyadari dia tidak akan keburu mengelakkan serangan itu. Walaupun dia kaget si pendeta tidak menjadi gugup segera Tang-ting Hweshio sudah mengempos lwekangnya, untuk melindungi pundaknya.

Begitu pundaknya kena dihantam oleh pukulan Coa Mei Ling, dia hanya terguncang keras. Kemudian dia sudah bisa berdiri tetap lagi, tanpa terluka di dalam.

Hui-houw-to Khang Lam Cu melihat kejadian itu, kaget tidak terkira. Dia sangat mengandalkan sekali si pendeta. Kalau memang si pendeta kena dirubuhkan Coa Mei Ling niscaya dia akan kehilangan andalan.

Dia akan celaka ditangan orang-orang Hek-pek-kauw ini. Karenanya dia berdua, jadi mengharapkan sekali akan Tang-ting Hweshio bisa menghadapi Coa Mei Ling serta merubuhkan lawannya.

Beberapa kali dia telah mengawasi dengan sikap tenang telapak tangannya yang mencekal gagang goloknya juga berkeringat. Dia mencekal gagang goloknya itu kuat-kuat karena dia sewaktu-waktu bisa mempergunakannya, buat menerjang menolongi Tang-ting Hweshio, kalau saja si pendeta tengah berada dalam ancaman bahaya maut.

Tang-ting Hweshio sudah membalikkan tubuhnya menghadapi Coa Mei Ling dengan kedua tangan siap di muka dadanya. Waktu itulah tangan Coa Mei Ling sudah menyambar lagi dengan kuat sekali.

Karena memang Coa Mei Ling tidak memberikan kesempatan bernapas sedikit pun juga kepada si pendeta. Serangannya itu mengandung suatu kekuatan yang dahsyat, sebab Kauw-cu dari Hek-pek-kauw itu sudah mempergunakan enam bagian dari tenaga dalamnya.

Tang-ting Hweshio mengangkat kedua tangannya. Iapun mendorong dengan kekuatan tenaga yang tidak kecil. Dua kekuatan saling bentur, tangan mereka bentrok keras.

Tubuh Coa Mei Ling tergoncang tapi kuda-kuda kedua kakinya tidak tergempur, dia tetap mengempos semangatnya buat menindih kekuatan si pendeta.

Tang-ting Hweshio juga mengempos semangatnya, semakin tenaga dorongan dari kedua tangannya jadi semakin kuat, karena lweekang si pendeta adalah lweekang yang murni dari Siauw-lim-sie. Dengan demikian telah membuat tenaga itu dapat disalurkan bergelombang.

Celakanya buat Coa Mei Ling. Ia merasakan desakan tenaga dalam dari si pendeta telah membuat dia tergoncang keras, di mana tubuhnya seakan juga diterjang semakin kuat oleh gelombang yang kian hebat juga.

Perlahan kuda-kuda dari ke dua kaki Coa Mei Ling jadi terdorong, dan kakinya tergeser. Hati Coa Mei Ling terkesiap. Ia berusaha hendak mendorong lagi dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Namun gagal.

Waktu itu Coa Mei Ling merasakan betapa tenaga dorongan dari Tang-ting Hweshio semakin kuat juga, dan telah membuat Coa Mei Ling akhirnya menyadari, mungkin dalam beberapa detik lagi dia tidak akan sanggup bertahan terus seperti itu.

Dalam waktu yang cuma beberapa detik itu, Coa Mei Ling harus mengambil keputusan yang cepat. Kalau tidak, jika dia bertahan terus seperti itu. niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak ringan, kalau saja sampai dia terserang dan tergempur oleh kekuatan tenaga dalam si pendeta.

Tang-ting Hweshio sendiri merasakan bahwa ia sudah berada di atas angin. Jika memang dalam keadaan seperti itu berlangsung lebih lama lagi, dia akan dapat merubuhkan Coa Mei Ling.

Hanya saja, sebagai seorang pendeta, hal itu tidak menggembirakan hatinya. Kalau sampai wanita im tergempur kuda-kuda kedua kakinya, niscaya dia akan terluka di dalam yang tidak ringan. Maka dia segera menarik pulang kedua tangannya dengan tiba-tiba sekali.

“Sudahlah! Hentikan!” Kata si pendeta dengan suara yang sabar. Dia ingin menyudahi pertempuran itu.

Diapun berpikir jauh, kalau sampai Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini terluka dan rubuh di tangannya, niscaya dia akan menanam dendam yang mendalam pada hati perempuan itu. Dia ingin menyelesaikan persoalannya dengan cara yang baik.

Tapi justeru Coa Mie Ling beranggapan lain. Melihat si pendeta menarik pulang tenaganya dan Coa Mie Ling merasakan tindihan tenaga dalam Tang-ting Hweshio jadi ringan cepat-cepat dia mengempos semangatnya. Dia bukannya menarik pulang tenaganya buat menyudahi pertempuran itu, malah dia mengempos seluruh kekuatan sisa tenaganya.

Dia malah telah membentak nyaring, dan ke dua tangannya bergerak menghantam. Gelombang kekuatan tenaga dalam seperti gelombang air laut yang menerjang dahsyat sekali.

Tercekat hati Tang-ting Hweshio, dia sampai berseru kaget dan berusaha untuk menangkis.

Namun sudah tidak keburu, tubuh Tang-ting Hweshio tergempur hebat. Dia sampai terhuyung mundur empat langkah ke belakang dengan wajah yang pucat tubuhnya gemetar, mulutnya segera memuntahkan darah segar.........

Untung saja Tang-ting Hweshio masih sempat mengempos semangat murninya buat menangkis, walaupun dia terlambat dan tidak berhasil menangkis kekuatan tenaga dalam Coa Mie Ling.

Sedikitnya membantu membuat dia tidak sampai terluka lebih parah lagi. Malah dia pun tidak sampai terguling, cuma terhuyung ke belakang sampai empat langkah lebih saja.

Disamping itu, perlu diingat bahwa lweekang yang dilatih Tang-ting Hweshio adalah lweekang dari aliran murni, yang juga memang merupakan satu-satunya aliran lweekang sejati, dari Siauw-lim-sie.

Dengan demikian, walaupun dalam keadaan yang terancam seperti itu, lweekang itu bisa bekerja sendiri dan masih membendung sebagian tenaga dalam penyerang membuat dia tidak sampai terjungkal rubuh sampai terserang binasa.

Hui-houw-to kaget tidak terkira. Dia melompat ke samping si pendeta. Dia pun bertanya dengan muka yang pucat:

“Taysu....... bagaimana keadaanmu?”

Si pendeta mengawasi Coa Mei Ling sejenak, kemudian merangkapkan ke dua tangannya, “Omitohud! Siancay! Siancay!”

Dia memejamkan matanya untuk menyalurkan hawa murninya, agar luka di dalamnya bisa dibendungnya.

Hui-houw-to jadi gusar bukan main. Dia juga berkuatir sekali untuk nasib si pendeta.

“Perempuan siluman, kau....... kau!” Karena terlalu marah Hui-houw-to tidak bisa meneruskan kata-katanya dimana dia berdiri dengan tubuh gemetar dan tangan mencekal kuat-kuat golok pendeknya.

Sedangkan Coa Mei Ling tertawa mengejek.

“Hemm, sekarang kau baru menyaksikannya bukan? Betapapun pendeta sakti Siauw-lim-sie bukan berarti apa-apa buatku! Dia tidak ada artinya di mataku!” Katanya angkuh sekali.

Anak buah Hek-pek-kauw bersorak girang riuh sekali melihat Kauw-cu mereka sudah berhasil merubuhkan dan melukai si pendeta yang memuntahkan darah segar.

Tang-ting Hweshio membuka matanya, dia dengan sabar bilang: “Kouwnio, sesungguhnya kouwnio sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Di saat Pinceng menarik pulang tenaga dalam pinceng, Kouwnio sudah mempergunakan kesempatan itu buat menyerang pinceng……. itulah perbuatan yang tidak terpuji!”

Mata Coa Mei Ling mendelik.

“Hemm, di dalam pertempuran, apakah terdapat suatu peraturan bahwa aku tidak boleh menyerang orang yang tengah menarik tenaga dalamnya untuk merobah cara bertempurnya? Tentu saja di dalam suatu pertempuran, seseorang berhak untuk mempergunakan cara apapun juga buat merebut kemenangan!”

Mendengar kata-kata seperti itu, tampak Tang-ting Hweshio menghela napas.

“Baiklah! Sekarang Kouwnio sudah berhasil memperoleh kemenangan dengan cara yang licik. Dan ini memang kesalahan Pinceng juga yang telah berlaku lemah, di mana sebetulnya tadi pinceng hampir saja dapat merubuhkan Kouwnio.

“Hanya Pinceng rasa kasihan jika seorang wanita seperti Kouwnio harus terluka di dalam yang parah, karena dari itu Pinceng telah menarik pulang tenaga dalam Pinceng....... Hanya saja Kouwnio tampaknya tidak dapat menerima kenyataan itu, malah merebutnya menjadi kemenangan buat Kouwnio……”

Muka Coa Mie Ling merah padam. Dia bukannya tidak mengetahui bahwa si pendeta tadi telah berlaku murah hati padanya.

Tapi justeru diapun menyadari bahwa dia harus dapat menutupi kelemahannya, karena tidak mungkin dia bisa menguasai anak buahnya, kalau saja dia memperlihatkan dan menerima begitu saja kata-kata si pendeta. Dan sekarang, diapun melihat betapa anak buahnya tengah mengawasi dirinya.

Maka cepat-cepat Coa Mie Ling telah bilang, “Hemm, kau bicara seperti anak kecil saja! Sekarang dalam keadaan terluka kau buka mulut tidak karuan, dan merasa bahwa engkau hendak melepaskan budi kebaikan padaku!

“Hemm! Hemm! Siapa yang bisa mempercayai kata-katamu. Di dalam sebuah pertempuran, apakah ada seorang yang baik hati seperti engkau, di saat akan merebut kemenangan, lalu menarik puIang tenaga dalammu?!

“Mustahil dan tidak masuk dalam akal sehat. Lain kalau memang orang yang telah sinting!” Ketus sekali kata-kata Coa Mie Ling.

Tang-ting Hweshio menghela napas,

“Kedatangan Pinceng ke mari bukan untuk mengajak Kouwnio bertempur dan memperoleh kemenangan. Pinceng memang bukan bermaksud untuk menempuh jalan kekerasan. Tapi rupanya pinceng sudah salah menentukan sikap.

“Kau menyesal?”

“Bukan menyesal! Menyelamatkan seseorang yang hampir saja rubuh, dan memang Pinceng memiliki kemampuan buat menyelamatkan orang itu tentu saja hal ini merupakan suatu kebanggaan dan kebahagiaan buat Pinceng.

“Itulah suatu perbuatan baik yang berhasil Pinceng lalukan! Tapi rupanya Kouwnio memiliki pendirian dan lain, itu pula, Pinceng bermaksud untuk menegaskan kepada Kouwnio, apakah Kouwnio mau meminjamkan surat Ciangbunjin Khong-tong-pay itu pada Pinceng?”

Muka Coa Mei Ling tampak mesem cemberut.

“Hemm, kau kira aku ini apa sehingga mau begitu saja meminjamkan surat berharga itu padamu? Jika memang kau hendak merampasnya dengan mempergunakan kekerasan, ambillah sendiri!

“Bukankah tadi kau telah bicara terkebur, bahwa kau ingin mengambil surat penting itu dengan kekerasan? Mengapa kau tak melakukannya dengan kekerasan? Ayo, sekarang ini aku masih berusaha melayani kau, untuk main-main, guna melihat siapa yang lebih tangguh!”

Tang-ting Hweshio menyusut mulutnya, ia telah menyeka darah yang melumuri ujung bibirnya, ia menghela napas.

“Kouwnio kalau demikian halnya, baiklah!” dan ia melangkah ke depan lagi, meghampiri Coa Mei Ling.

Hui-houw-to kuatir bukan main, dia melihat betapa Tang-ting Hweshio melangkah maju menghampiri Coa Mei Ling, hendak bertempur lagi dengan ketua dari Hek-pek-kauw.

“Taysu……!” Panggilnya dengan suara yang bimbang.

Tang-ting Hweshio menoleh.

“Jangan kuatir, Khang Siecu, tidak akan apa-apa.......!” Sabar suara si pendeta.

“Tapi Taysu tengah terluka.”

“Luka yang tidak ada artinya!”

“Taysu.......”

“Ya?”

“Biarlah aku yang menghadapi dia!” Kata Khang Lam Cu dengan suara penuh kemarahan, karena dia murka sekali atas kelicikan Coa Mei Ling. “Memang perempuan iblis itu harus dimampusi!”

Muka Coa Mei Ling merah mendengar kata-kata Hui-houw-to seperti itu.

“Nah, kau maju sekalian, aku malah akan menghancurkan batok kepalamu dan merobek mulutmu yang kotor dan kurang ajar itu.” Tantang Coa Mei Ling sengit.

Waktu itu si pendeta telah melangkah ke dekat si wanita yang menjadi ketua Hek-pek-kauw, dengan sabar dan sepasang tangannya dirangkapkan, dia bilang: “Nah, Kouwnio silahkan…….!”

Coa Mei Ling mengawasi si pendeta.

“Oho…... Nampaknya engkau masih penasaran dan hendak main-main lagi? Tidak takut mampus?” Mengejek Coa Mei Ling dengan suara yang dingin.

Tampak si pendeta tersenyum, juga jelas terlihat sisa darah di mulutnya.

“Biarlah Pinceng akan mencobanya sampai di mana pun, dan memang Pinceng juga ingin melihat, apakah Kouwnio memiliki hati yang benar-benar keras buat membunuh Pinceng…….?” Sambil berkata begitu, si pendeta telah mengawasi Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut.

Tergetar hati Coa Mei Ling. Tapi, dia menggigit bibirnya, mengeraskan hatinya. Karena, dia melihat betapa anak buahnya semua tengah mengawasi dia.

“Hemm, baik! Baik! Engkau sendiri yang minta untuk mampus!” Kata Coa Mei Ling.

“Nah, kau menyeranglah!”

Si pendeta tersenyum tawar.

Melihat si pendeta tidak mau membuka serangan, malah dirinya dipersilahkan untuk menyerang, Coa Mei Ling tidak sungkan-sungkan. Segera dia mengempos semangatnya.

Dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghantam dengan tangan kanannya, mempergunakan lima bagian tenaga dalamnya. Tangan kirinya telah meluncur sama hebatnya untuk menotok batok kepala si pendeta yang botak dan lonjong itu.

Tapi memang hebat pendeta Siauw-lim-sie ini. Walaupun Tang-ting Hweshio sudah terluka di dalam yang tidak ringan, setelah mengerahkan hawa murninya, dia bisa sementara waktu mengendalikan. Dan dia bisa pulih kembali kesegarannya, serta bisa menghadapi Coa Mei Ling dengan baik.

Waktu Coa Mei Ling sudah berkata dengan suara dingin: “Kau yang meminta agar aku memampusi kau dan kau jangan mempersalahkan aku jika engkau sudah dikirim ke neraka.

“Tidak Kouwnio, jika memang benar sudah tiba waktunya Pinceng terpulang tentu saja Pinceng tidak akan menyesali Kouwnio! Silahkan!”

Sambil berkata begitu, Tang-ting Hweshio sudah mengelakkan serangan Coa Mei Ling. Malah beruntun dia bergerak sebat sekali mengelakkan diri dari dua serangan ketua Hek-pek-kauw tersebut, dan dia mengayunkan kaki kanannya menendang dengan tendangan yang kuat sekali.

Coa Mie Ling merasakan betapa angin tendangan itu dahsyat sekali. Dia telah menerpah dengan tangan kanannya.

Kaki si pendeta terpukul ke samping. Tapi kaki itu seperti memiliki mata. Begitu terpah ke samping seketika telah meluncur lagi menyambar ke dada Coa Mei Ling membuat ketua Hek-pek-kauw itu kaget, tak terkira.

Cepat luar biasa tampak Tang-ting Hweshio beruntun menyerang sampai lima jurus.

Untung saja, Coa Mie Ling walaupun merasakan lweekangnya masih kalah tingkat dengan pendeta itu, dia memiliki gin-kang yang tinggi. Dengan demikian dia masih bisa bertahan diri dari serangan setiap si pendeta.

Malah diapun selalu membalas menyerang dengan hebat sekali. Serangannya selalu merupakan jurus-jurus yang bisa mematikan lawan kalau saja mengenai sasaran yang hebat.

Tang-ting Hweshio sekali ini bertempur dengan sungguh-sungguh. Sebab dia memang ingin memperlihatkan bahwa ilmu silat Siauw-lim-sie bukanlah ilmu silat sembarangan.

Bukankah si gadis tadi telah mengejeknya bahwa seorang pendeta Siauw-lim-sie telah kena dirubuhkannya? Jika si pendeta tidak membuktikan bahwa kepandaiannya menang seurat dari kepandaian ketua Hek-pek-kauw itu, niscaya nama Siauw-lim-sie akan ternoda. Karena dari itu, dia juga telah memutuskan, untuk merubuhkan Coa Mei Ling kalau saja ia menginginkannya.

Hui-houw-to sendiri berdiri dengan hati gelisah sekali. Dia melihat Tang-ting Hweshio sudah terluka akibat gempuran Coa Mei Ling, sekarang mereka bertempur lagi. Kemudian dean demikian, Hui-houw-to kuatir kalau saja kena dirubuhkan oleh ketua Hek-pek-kauw itu dan akhirnya menemui ajalnya.

Karenanya, ia mencekal golok pendeknya dengan erat. Ia sebetulnya sudah tak sabar hendak menerjang, guna membantu si pendeta.

Cuma saja, ia kuatir jika memang ia menerjang membantui si pendeta, nanti pendeta Siauw-lim-sie itu tersinggung, karena jelas itu hanya akan menjatuhkan nama baik Siauw-lim-sie.

Pemikiran seperti membuat Hui-houw-to akhirnya berdiam diri saja, ia tak meneruskan niatnya. Ia juga tidak menerjang buat membantui si pendeta.

Yang membuat Hui-houw-to jadi tercengang, walau Tang-ting Hweshio telah terluka di dalam yang tampaknya tak ringan sebab si pendeta sempat memuntahkan darah segar, tokh kenyataannya ia masih mau bergerak lincah sekali, kegesitannya tak berkurang malah lwekangnya di dalam pukulan-pukulannya mendatangkan kesiuran angin yang dahsyat.

“Benar-benar tangguh sekali pendeta Siauw-lim-sie ini!” Berpikir Hui-houw-to di dalam hatinya. “Dan memang tidak salah Siauw-lim-sie di gelari sebagai pintu perguruan nomor satu seantaro Tiong-goan, karena ilmunya yang sejati dan murni.

“Tampak memang pendeta ini telah dapat mengangkat naik nama Siauw-lim-sie, karena tidak percuma dia sebagai pendeta sakti dari Siauw-lim-sie. Tadi telah kecolongan oleh kelicikan lawannya, namun dia masih bisa menghadapi lawannya dengan baik…….!”

Jika Hui-houw-to berpikir seperti itu, justeru lain lagi yang dipikir Coa Mei Ling. Dia berpikir di dalam hatinya.

“Hemm, pendeta busuk ini ternyata memang tangguh! Tadi dia bermaksud baik, dia telah menarik pulang tenaganya, dan dia telah kulukai gempuran tidak ringan.

“Namun sekarang ini, dia masih bisa memberikan perlawanan yang gigih, tampaknya tenaga dalam pendeta busuk ini tidak berkurang……. Memang Siauw-lim-sie hebat, pendeta ini sudah mempertunjukkan kebolehannya ilmu Siauw-lim-sie.

“Aku memang harus hati-hati untuk menghadapinya, karena aku harus cepat-cepat merubuhkannya. Jika sampai aku rubuh, niscaya aku akan menjadi bahan tertawa orang-orangku!”

Karena berpikir seperti itu, segera juga Coa Mei Ling memperhebat serangannya. Jika sebelumnya ia main serang dari jarak jauh. Sekarang ia gencar sekali mendesak si pendeta, sebab ia tak mau memberikan kesempatan bernapas kepada pendeta itu.

Tang-ting Hweshio walaupun tengah terluka, ia dapat bersilat dengan baik, sama sekali tidak terdesak oleh setiap terjangan Coa Mei Ling.

Bahkan setiap kali ada kesempatan, terus ia akan membalas serangan ketua Hek-pek-kauw itu.

Jika selama ini ia main mundur itulah disebabkan ia hendak melihat sampai di mana tingkat ilmu silat ketua Hek-pek-kauw ini. Dan memang iapun ingin mencari kelemahan dari lawan yang tangannya telengas serta ganas itu.

Beruntun tampak Tang-ting Hweshio menghindarkan diri dari setiap terjangan lawannya malah diapun telah dua kali membalas menyerang. Kerap serangannya, membuat lawannya itu jadi terdesak. Coa Mei Ling mau atau tidak harus melompat mundur.

Sedangkan si pendeta mempergunakan kesempatan itu telah melompat maju. Tangan kanannya diulurkan buat mencengkeram, dan tangan yang satunya dipakai buat mendorong.

Hebat cara menyerang pendeta ini. Malah tangan yang dipergunakan buat mendorong itu berputar, sehingga Coa Mei Ling sulit menerka, ke arah mana sasaran serangan tersebut.

Beberapa kali memang Coa Mei Ling mengalami ancaman seperti itu, seperti yang sebelumnya, selalu dia berlaku licik. Jika dia dalam terdesak, maka jalan satu-satunya, hanyalah melompat mundur sejauh mungkin, kemudian disusuli dengan lompatan berikutnya. Dia berhasil menjauhi si pendeta.

Kala ini Tang-ting Hweshio tidak mengejarnya, dia berdiri tegak mengawasi Coa Mei Ling dengan sorot mata yang tajam.

Tampaknya Tang-ting Hweshio sudah habis kesabarannya, dia pun bilang: “Siancay rupanya memang Kouwnio hendak melihat ilmu sejati Siauw-lim-sie.”

Coa Mei Ling mendengus, dia bilang: “Ya, kau keluarkanlah!”

Walaupun mulutnya bilang begitu, tidak urung hatinya jadi tegang dan tergoncang. Karena sebentar lagi dia akan menghadapi ilmu silat sejati Siauw-lim-sie.

Coa Mei Ling pun tidak tahu, apa yang dimaksud si pendeta dengan perkataan ilmu silat sejati Siauw-lim-sie.

Tang-ting Hweshio tidak bilang apa-apa lagi karena dia sudah melangkah maju. Dia memutar kedua tangannya, semakin lama semakin cepat.

Waktu memutar sepasang tangannya, si pendeta sudah mengempos semangatnya, iapun menerjang ke depan. Dan yang luar biasa, putaran sepasang tangannya itu menyebabkan timbulnya pusaran angin yang sangat kuat sekali bergulung-gulung menerjang kepada Coa Mei Ling.

Ketua Hek-pek-kauw itu kaget. Dia melompat mundur.

Namun Tang-ting Hweshio telah melompat ke dekatnya, sepasang tangannya tetap saja berputar.

Dalam keadaan seperti itulah, tampak Coa Mei Ling mulai panik dan terdesak.

Setiap kali angin serangan dari sepasang tangan Tang-ting Hweshio yang berputar itu mendekatinya, maka ia merasakan sekujur tubuhnya jadi kaku dan sulit untuk digerakkannya. Karenanya ia selalu menempuh cara dengan hanya melompat ke belakang, untuk menghindarkan diri dari setiap terjangan si pendeta.

Tapi si pendeta berulang kali telah menerjang juga, ia sama sekali tak mau memberikan kesempatan pada si ketua Hek-pek-kauw itu buat bernapas.

Sedangkan Coa Mei Ling sendiri sambil berputar telah balas menyerang. Ia juga telah beberapa kali menerjang untuk membuka desakan dari angin yang bergulung itu, namun selalu menemui kegagalan, dengan begitu membuat ia jadi beberapa kali terdesak.

Sedangkan saat itu Tang-ting Hweshio telah mendesak terus dengan hebat. Yang luar biasa angin yang berputar semakin kuat dan semakin melibat diri Coa Mei Ling.

Beberapa kali Coa Mei Ling mengerahkan lweekangnya. Dia mengempos semangatnya, dan berseru nyaring, mendorong sekuat tenaga lweekangnya.

Dorongannya itu sangat kuat sekali, dan telah membentur tenaga dalam si pendeta, sehingga untuk sementara waktu dapat membendung sebagian dari terjangan Tang-ting Hweshio.

Namun Tang-ting Hweshio, tidak berhenti dengan putaran sepasang tangannya. Karena dia terus bersikap seperti itu dengan sepasang tangan berputar, keras sekali dia menerjang terus kepada Coa Mei Ling.

Terjangannya itu berhasil membuat Coa Mei Ling harus terdesak terus menerus.

Rupanya Tang-ting Hweshio merasakan sakitnya sudah tiba. Ketika Coa Mei Ling tengah membentak dan mendorong dengan ke dua tangannya dengan mempergunakan tenaga lweekangnya sepenuhnya, Tang-ting Hweshio berseru mengguntur.

Seruannya itu adalah nada dari bacaan bacaan Liam-kheng, dan ia membentak begitu dengan sepasang tangan berhenti bergerak, tidak berputar lagi. Tapi mendorong dengan kuat sekali.

Hebat luar biasa tenaga dorongannya itu karena kekuatan tenaga dalam itu telah menerjang dengan dahsyat, dimana angin serangan tersebut membuat tubuh Coa Mei Ling jadi terjengkang rubuh.

Sedangkan Tang-ting Hweshio dengan ringan sudah melompat dan menghantam lagi.

Coa Mei Ling melompat untuk bangkit.

Tapi terlambat.

Begitu tubuhnya melompat berdiri, kakinya baru saja hinggap di lantai, justeru angin hantaman si pendeta sudah menyambar datang. Dan dia berguling lagi. Malah kini dia terguling tidak bisa segera bangun. Dia pun memuntahkan darah segar.

Waktu dia memuntahkan darah segar seperti itu, hati Coa Mei Ling bukan main herannya dan takjub, disamping penasaran sekali. Dia tidak mengerti, entah ilmu silat apa yang dipergunakan oleh si pendeta, yang tenaga dalamnya berlipat ganda menjadi jauh lebih kuat.

Di waktu itu tampak Tang-ting Hweshio sudah berdiri tegak, ia merangkapkan sepasang tangannya:

“Omitohud, siancay! Siancay! Janganlah Kouwnio memiliki sikap sinis dan memandang rendah Siauw-lim-sie! Tadi Pinceng sudah memperlihatkan sebagian kecil dari ilmu silat Siauw-lim-sie dan memang tampaknya kouwnio sulit buat menghadapinya, bukan?”
Coa Mei Ling mendengus.

Baru saja is hendak merangkak bangun justeru anak buahnya sudah menerjang pada si pendeta.

Rupanya anak buah Hek-pek-kauw kuatir Kauw-cu mereka akan dibinasakan oleh Tang-ting Hweshio. Mereka kuatir jika memang Tang-ting Hweshio akan mempergunakan kesempatan itu buat menyerang Kauw-cu mereka lagi. Karenanya mereka mempergunakan kesempatan dengan senjata tajam masing-masing menyerbu menyerang si pendeta.

Namun Tang-ting Hweshio memang tangguh sekali. Ia bergerak dengan gesit, dan setiap serangan dari lawannya itu dapat dihindarkannya, malah pendeta itu selalu bisa membuat lawannya jungkir balik.

Tenaga dalam Tang-ting Hweshio memang jauh terlatih dengan sempurna, dengan demikian ia selalu bisa membuat lawannya terpental.

Juga, Tang-ting Hweshio tidak berlaku lunak seperti sebelumnya, dia telah menyerang semakin dahsyat.

Waktu anak buah Hek-pek-kauw menerjang dia semakin rapat. Dia menghadapi dengan sepasang tangannya yang bergerak-gerak semakin cepat.

Sedangkan Hui-houw-to menyaksikan hal itu dengan hati girang bukan main, karena si pendeta ternyata memang sangat lihay sekali. Sedangkan Kauw-cu dari Hek-pek-kauw yaitu Giok-tiauw Sian-lie, yang sangat terkenal itu, yang memiliki kepandaian tinggi, tidak sanggup menghadapi si pendeta.

Sekarang Hui-houw-to baru yakin bahwa tadi memang Tang-ting Hweshio berlaku mengalah kepada Kauw-cu dari Hek-pek-kauw. Karena sekarang, walaupun dia telah terluka, jika dia menghendakinya, dia bisa melukai dan merubuhkan Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tersebut.

Disaat itu tubuh Tang-ting Hweshio melompat ke sana ke mari dengan cepat sekali. Setiap kali si pendeta mengibas, maka tampak tubuh seorang lawannya terpental.

Hanya saja, sejauh itu Tang-ting Hweshio tidak pernah menurunkan tangan kematian. Dia cuma membuat lawannya terpental dan kemudian bisa bangkit kembali.

Melihat sejenak betapa si pendeta telah dikeroyok seperti itu, maka segera Hui-houw-to, ketika tersadar akan keadaannya, telah menjejakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat dengan cepat, dia telah menghampiri dan menggerakkan golok pendeknya, menyerang dua orang lawan Tang-ting Hweshio yang paling dekat dengannya.

Serangan golok pendek itu demikian hebat, segera terdengar suara jerit kematian.

Tang-ting Hweshio terkejut.

“Khang Sicu, jangan turunkan tangan kematian pada mereka!” Berseru si pendeta, mencegah Hui-houw-to dengan suara nyaring sekali.

Tapi Hui-houw-to memang tengah gusar dan penasaran atas kelicikan orang-orang Hek-pek-kauw tersebut. Karenanya, dia telah berusaha dengan golok pendeknya itu merubuhkan beberapa orang lawannya lagi.

Waktu itu, Tang-ting Hweshio ketika melihat Hui-houw-to tidak melayani cegahannya, malah dia tengah bergerak berkelebat ke sana ke mari dengan golok pendeknya itu merubuhkan beberapa orang anak buah Hek-pek-kauw lagi. Cepat-cepat dia melompat mendekati Hui-houw-to, dia juga berseru:

“Khang siecu, jangan melukai mereka……. Pinceng mohon dengan sangat, jangan melukai mereka!”

Karena tengah memperhatikan Hui-houw-to, di waktu itu si pendeta jadi lengah. Dan tahu-tahu beberapa pedang telah menebas bahunya.

“Brettt!” bajunya di bagian bahu telah terkoyakkan dan kulit bahunya tertebas, juga darah mengucur deras sekali.

Hui-houw-to terkejut.

“Taysu…….!” Teriaknya.

Tubuh Hui-houw-to melompat kepada orang yang bersenjata pedang yang melukai si pendeta. Golok pendeknya menyambar cepat sekali.

Dan “Ceeppp!” Ujung golok pendek itu menancap dalam sekali di dada orang itu, yang tubuhnya mengejang dan kaku, napasnya seketika terhenti, matanya mendelik. Waktu Hui-houw-to mencabut goloknya itu, maka tubuh orang itu terkulai rubuh tidak berkutik lagi.

Hui-hauw to sudah berada di samping si pendeta, dia memeriksa luka Tang-ting hweshio.

“Apakah tidak berat luka Taysu!?” Tanyanye kemudian dengan sikap kuatir.

Si pendeta menghela napas! Memang dia merasa sakit pada lukanya, namun tidak membahayakan. Dia menggeleng perlahan.

“Pinceng minta, janganlah Khang siecu menurunkan tangan kematian kepada mereka........ Pinceng minta agar Khang siecu mau meluluskan permintaan pinceng……!”

Hui-houw-to menghela napas.

“Tapi mereka terlalu jahat sekali Taysu......... Lihatlah, Taysu pun telah mereka lukai! Jika memang bisa, mereka tentu akan berusaha membunuh kita, Taysu dan aku!”

Si pendeta menggeleng perlahan.

“Kita datang ke mari bukan buat membunuh, kita hanya untuk berusaha mengambil kembali milik Khang siecu, yaitu surat yang telah dirampas oleh ketua Hek-pek-kauw tersebut, bukan?”

Khang Lam Cu Hui-houw-to menghela napas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa si pendeta benar-benar sangat saleh. Dan dia bisa namun tidak mau menurunkan tangan kematian terhadap lawan-lawannya ini.

Hui-houw-to bisa menyadari betapa pun juga si pendeta memang sangat luhur budinya. Sebetulnya bila Tang-ting Hweshio menghendaki maka mudah sekali dia melukai dan merubuhkan Coa Mei Ling.

Cuma saja si pendeta menempuh cara dan jalan lain, yaitu berusaha membujuk Coa Mei Ling dengan baik-baik. Dan juga ia berusaha agar Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tersebut mau menyerahkan apa yang pernah dirampasnya dari Hui-houw-to itu, atas kesadarannya sendiri.

Tadi memang Tang-ting Hweshio sudah memperhatikan ilmu silatnya yang luar biasa ketika merubuhkan Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut. Ia cuma untuk meruntuhkan semangat melawan Coa Mei Ling.

Dan ia tidak menginginkan kalau nanti Hui-houw-to mengamuk menjatuhkan korban terlalu banyak di Hek-pek-kauw bisa menimbulkan perobahan pula. Kalau anak buahnya banyak yang terbinasa, mana mungkin Coa Mei Ling dibujuk kembali.

Karena dari itu, iapun berusaha mencegah Hui-houw-to menurunkan tangan kematian kepada anak buah Hek-pek-kauw. Tapi kini dia tengah terluka di bahunya, luka yang ringan dan tidak membahayakan jiwanya. Cuma saja, ini akan membuat kegesitan si pendeta berkurang banyak.

Sedangkan Hui-houw-to tengah menghela napas dalam-dalam. Dia bilang: “Baiklah Taysu!”

Si pendeta menghela napas, kemudian menoleh kepada Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling katanya,

“Bagaimana Kauw-cu, tentunya kau telah memikirkan baik-baik permintaan pinceng? Kauw-cu seorang yang terhormat dan tentu tidak akan berusaha memiliki barang orang lain. Sebagai Kauw-cu dari sebuah perkumpulan besar, niscaya Kauw-cu akan mengembalikan barang yang bukan menjadi hak dan milik dari Kauw-cu!”

Coa Mei Lang sudah bisa berdiri tegak, mukanya agak pucat. Dia telah terluka di dalam.

Waktu itu juga ia tengah mengerahkan tenaga dalamnya, berusaha mengempos hawa murni di tubuhnya. Karena dia ingin meluruskan napasnya, melancarkan hawa murni di tubuhnya buat mengurangi dan meringankan luka di dalam tubuhnya tersebut.

Mendengar kata-kata si pendeta, Coa Mei Ling mendengus beberapa kali.

“Apakah Taysu benar-benar hendak menanamkan permusuhan dengan Hek-pek-kauw?” tegurnya dengan suara yang dingin.

Tang-ting Hweshio menghela napas.

“Dengar dulu, Kouwnio…….!”

“Katakan saja, apakah Taysu bermaksud menanamkan permusuhan dengan Hek-pek-kauw kami? Hemm, kami kira Siauw-lim-sie merupakan pintu perguruan yang sangat besar dan Hek-pek-kauw tidak akan jeri berurusan dengan Siauw-lim-sie…….”

“Nona....... Kouwnio, dengarkanlah dulu kata-kata pinceng,” Kata si pendeta dengan sikap yang gugup, “Kauw-cu jangan salah paham, jangan salah mengerti! Nona adalah Kauw-cu dari sebuah perkumpulan yang sangat besar, karena dari itu, Pinceng ingin mengajak Kouwnio buat bicara baik-baik, dan janganlah menanamkan permusuhan di antara kita.

“Permusuhan tidak akan membawa suatu keuntungan apapun buat kita ke dua belah pihak. Pinceng akan bertindak semua hanya demi kemanusiaan belaka. Dan Kouwnio jangan sampai menuduh Siauw-lim-sie yang bertindak, karena Pinceng memang bertindak atas nama Siauw¬lim-sie.......!”

Setelah berkata begitu, Tang-ting Hweshio ragu-ragu sejenak, barulah dia melanjutkan lagi kata-katanya. “Menurut hemat pinceng, kalau Siauw-lim-sie yang ikut mencampuri urusan ini…… tentu….. tentu…….”

“Hemm, tentu kami akan dapat disapu bersih, bukan?” Menyelak Coa Mei Ling dengan suara yang dingin, dia memotong perkataan Tang-ting Hweshio yang tampaknya ragu-ragu pada akhirnya.

“Tentu Taysu ingin mengatakan bahwa Hek-pek-kauw bukan berarti apa-apa bagi Siauw-lim-sie?!”

Tang-ting Hweshio merangkapkan sepasang tangannya.

“Siancay! Siaucay! Jangan Kouwnio memiliki tanggapan seperti itu........ janganlah kouwnio memiliki perkiraan bahwa kami dari pihak Siauw-lim-sie akan bertindak sewenang-wenang terhadap pihak Hek-pek-kauw. Pinceng hanya menghendaki agar milik Khang siecu ini dikembalikan…….!”

Coa Mei Ling berdiri bimbang, dia benar-benar sangat ragu!

“Bagaimana, nona?” Tanya si pendeta, sabar sekali suaranya.

Coa Mei Ling tambah ragu-ragu.

“Tentu Kouwnio bersedia buat mengembalikan?” Desak Tang-ting Hweshio. karena dia melihat Kauw-cu Hek-pek-kauw itu bimbang.

“Baiklah!” Akhirnya Coa Mei Ling mengangguk, karena Giok-tiauw Sian-lie yakin, jika bertempur terus berarti pihaknya menderita kerugian, dimana anak buahnya akan banyak berjatuhan menjadi korban!

Karena dari itu, setelah berpikir beberapa saat dia mengangguk dan bersedia buat memberikan surat ketua Khong-tong-pay kepada Hui-houw-to! Hal ini hanyalah buat mengulur waktu belaka!

Bukankah, diwaktu mendatang dia bisa mempergunakan akal muslihat buat merampas kembali surat itu? Dan juga memang dia telah membaca isi surat tersebut.

Hui-houw-to tampak girang melihat Coa Mei Ling bersedia mmgembalikan suratnya. Mukanya jadi berseri-seri.

Demikian pula halnya dengan Tang-ting Hweshio, dia cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat kepada Kauw-cu Hek-pek-kauw. Katanya: “Siancay! Siancay! Semoga Kauw-cu dilindungi oleh sang Buddha!”

Tang-ting Hweshio membungkukkan tubuhnya, dia telah empat kali beruntun memberi hormat kepada Giok-tiauw Sian-lie.

Namun Coa Mei Ling mengelak ke samping menghindar tidak mau menerima pemberian hormat tersebut. Dia telah bilang,

“Jangan….. tidak bisa aku menerima penghormatan tersebut….. Aku menyerahkan surat itu kembali kepada orang itu, bukan karena aku berbaik hati, cuma saja aku memandang kepada Siauw-lim-sie, sebagai pintu perguruan tertua.........!” Sambil berkata begitu dengan mata mendelik dia mengawasi Hui-houw-to dan menunjuk kepada Khang Lam Cu itu dengan sikap yang sangat membenci sekali.

Sedangkan Khang Lam Cu telah mengawasi Kauw-cu Hek-pek-kauw sambil tersenyum.

Tang-ting Hweshio menghela napas.

“Jika ada kesadaran di hati Kauw-cu, memang ini merupakan hal yang sangat menggembirakan sekali. Namun janganlah hal ini berekor permusuhan. Dan juga dengan Kauw-cu mengembalikan hak dari Khang siecu, berarti permusuhan telah dibikin habis!”

“Kami tidak akan dapat melupakan semua ini!” tiba-tiba Coa Mei Ling bilang dengan suara yang nyaring sekali. “Walaupun bagaimana kami tak bisa melupakan kejadian hari ini. Dan suatu hari kelak kami akan datang ke Siauw-lim-sie untuk meminta pengajaran dari para pendeta Siauw-lim-sie, yang memang terkenal sangat liehay-liehay itu…….!”

Dingin sekali suara Coa Mei Ling ketika dia berkata begitu. Sikapnya pun ketus dan bengis, seakan juga ia memperlihatkan bahwa dia memang tidak senang dan sakit hati oleh tindakan Tang-ting Hweshio.

Jelas tampak di mukanya. Jika memang dia menyerahkan kembali surat itu dan bersedia untuk menghabisi urusan hanya sampai di situ, dia dalam keadaan terpaksa.

Karena dari itu, dia telah menahan diri, agar anak buahnya tidak berjatuhan lebih banyak lagi oleh pertempuran dengan pendeta itu. Namun dia pun akan mempersiapkannya, suatu saat kelak, dia memang akan mencari Tang-ting Hweshio ataupun juga pendeta Siauw-lim-sie lainnya, buat mengadakan pertempuran lagi dan mengadakan pembalasan sakit hatinya.

Bukan main mendongkol dan kecewanya Coa Mei Ling dengan ikut campurnya Tang-ting Hweshio dalam persoalan Hui-houw-to, sehingga dia bersakit hati kepada pendeta Siauw-lim-sie ini. Menurut hematnya, jika memang Tang-ting Hweshio tidak mencampuri urusan ini niscaya Hui-houw-to tidak bisa berbuat banyak, dan dia bisa saja membuat Hui-houw-to tidak dapat mengadakan suatu gerakan apa pun juga buat merampas kembali surat Ciangbunjin Kong-tong-pay itu…….

Tang-ting Hweshio cuma tersenyum, dia tahu, sulit mengajak wanita itu bicara baik- baik.

Coa Mei Ling menoleh kepada seorang anak buahnya. Dia memberikan isyarat dengan kibasan perlahan tangannya. Dia rupanya perintahkan anak buahnya itu buat mengambil barang yang dikehendaki Tang-ting Hweshio.

Sedangkan saat itu, Hui-houw-to mengawasi sekitar tempat itu dengan penuh kewaspadaan. Karena dia tahu, kalau saja memang Coa Mei Ling memperlihatkan kelicikannya dan bermaksud tidak baik, maka dia akan mendahului buat membuka serangan.

Dia kuatir kalau Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tersebut nanti melakukan sesuatu akal muslihat yang bisa membahayakan dia bersama Tang-ting Hweshio.

Waktu itu tampak Coa Mei Ling mengawasi mendelik kepada Hui-houw-to.

“Setelah kau memperoleh suratmu kembali, apakah kau akan menyerahkan kepada Taysu itu?” Tanya Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut.

Hui-houw-to mengangguk.

“Dan apakah surat itu akan dimusnahkan?” Tanya Kauw-cu Hek-pek-kauw lagi.

Kembali Hui-houw-to mengangguk.

“Tidak salah!”

“Hem, jika memang surat itu dimusnahkan, berarti di dalam dunia ini cuma aku yang mengetahui di mana tempat beradanya nelayan yang beruntung memperoleh Giok-sie itu!” kata Coa Mei Ling dengan suara yang dingin.

Hui-houw-to memandang heran dan curiga, ia kemudian bertanya: “Kenapa begitu?”

“Karena aku sudah membacanya!”

“Dan kau kini telah menulisnya di kertas lain?” tanya Hui-houw-to.

“Ya!”

“Hemm, kalau begitu salinannya harus kau serahkan kepadaku!” Katanya dengan suara mengancam.

“Menyerahkan kepadamu?”

“Ya!”

“Enak saja kau bicara!”

“Tak dapat kau menyimpan salinannya!”

“Aku akan memusnahkan salinan itu, tapi sungguh aku tidak akan memusnahkannya begitu saja. Karena salinan itu telah berada di dalam benakku, tersimpan baik-baik di dalam otakku!”

Setelah berkata begitu, Kauw-cu Hek-pek-kauw tertawa bergelak-gelak nyaring sekali. Dia pun memandang sinis kepada si pendeta.

Di waktu itulah tampak, dia seakan juga hendak mengejek pendeta itu. Karena dengan dikembalikannya surat yang pernah dirampasnya, biarpun si pendeta memusnahkan surat itu, tetap saja tidak akan membuat Coa Mei Ling merasa dirugikan karena memang pernah membacanya dan mengetahui dengan jelas, di mana tempat beradanya nelayan yang beruntung memperoleh Giok-sie itu.

Muka si pendeta berobah, tapi Tang-ting Hweshio cepat sekali bisa menguasai diri.

“Hemm apakah memang kau akan menyiarkannya tempat di mana si nelayan itu berada?” tanya Tang-ting Hweshio, dengan suara dan sikap menyelidik.

Kauw-cu Hek-pek-kauw itu tertawa tawar.

“Itu urusanku, tidak perlu Taysu mencampurinya!” Kata Coa Mei Ling dengan suara yang tawar. “Apakah aku akan menyiarkannya di dalam kalangan Kang-ouw, agar semua orang banjir mengejar si nelayan itu adalah urusanku, aku yang akan memutuskannya kelak…….! Dan Taysu tidak bisa untuk mengekang diriku dengan syarat apapun juga!”

Muka Tang-ting Hweshio jadi berobah. Ternyata Kauw-cu dari Hek-pek-kauw ini sangat licik sekali.

Belum lagi dia bilang apa-apa, anak buah Giok-tiauw Sian-lie mengambil sesuatu yang sudah datang kembali. Di tangannya membawa nampan yang cukup besar terbuat dari emas. Di nampannya itu terdapat surat yang tergulung baik sekali.

“Nah, kau ambillah!” Kata Giok-tiauw Sian-lie kepada Hui-houw-to, suaranya sangat dingin sekali.

Hui-houw-to mengenali surat yang dirampas oleh Coa Mei Ling beberapa saat yang lalu. Dia mengambil.

“Hemm, kau telah membuka dan membaca surat ini!”

Coa Mei Ling tertawa bergelak,

“Seperti apa yang kukakatakan tadi, bahwa seluruh isi surat itu sudah berpindah ke dalam otakku....... Karena dari itu, tergantung pada keputusan sendiri.

“Apakah aku akan membiarkannya saja urusan Giok-sie ini habis sampai di sini. Atau memang nanti aku menyiarkannya di dalam rimba persilatan, dimana tempat tinggalnya nelayan yang memiliki Giok-sie itu, agar dapat untuk ramai-ramai mendatanginya, karena kami akan memperebutkannya kembali.

“Dan itu tentu saja bukan menjadi kewajibanku....... Karena aku dapat saja bertindak apa yang kukehendaki, tanpa perlu aku kuatir Taysu akan melarangnya, bukan?!”

Muka Tang-ting Taysu berobah jadi guram. Dia tahu, apa yang telah direncanakan oleh Coa Mei Ling. Sebagai Kauw-cu dari Hek-pek-kauw tentunya Coa Mei Ling memiliki hubungan yang sangat luas sekali di dalam kalangan Kang-ouw.

Kalau memang surat telah dibacanya dan isinya telah diingatnya itu, disiarkan kepada jago-jago dalam kalangan Kang-ouw, niscaya akan membuat seluruh dunia persilatan, tergoncang timbul pergolakan baru lagi. Dan ini akan menjatuhkan korban yang tidak sedikit.

Orang-orang Kang-ouw yang mendengar perihal Giok-sie terus, akan ramai-ramai memperebutannya. Dan mereka tidak akan memperdulikan sesuatu apa pun juga.

Mereka tentu akan mempertaruhkan jiwa masing-masing buat dapat memiliki Giok-sie. Karena dari itu pula, mau atau tidak, memang Tang-ting Hweshio memikirkannya kemungkinan itu.

Dan dia pun kecewa, karena sekarang dia baru mengetahui dan menyadarinya. Walaupun dia dapat mengambil kembali surat itu, surat milik Hui-houw-to, namun surat itu sudah tidak ada gunanya lagi.

Walaupun dimusnahkan, tokh tetap saja isi surat itu telah dibaca oleh Kauw-cu Hek-pek-kauw tersebut. Dan telah diingatnya, terus bisa saja ia salin lagi dan menyarkannya di dalam rimba persilatan.

“Bagaimana Taysu? Bukankah aku sudah mengambilkan surat itu? Apakah Taysu tidak memiliki urusan lainnya? Aku ingin pergi untuk mengurus suatu persoalan……. Maaf tidak dapat aku menemani terlalu lama……..!”

Setelah berkata begitu, Kauw-cu, Hek-pek-kauw ini membungkukkan tubuhnya. Menjurah memberi hormat dan telah memperlihatkan sikap seperti tengah mempersilahkan tamu buat berlalu. Dan ini merupakan pengusiran secara halus kepada Tang-ting Hweshio maupun Hui-houw-to.

Waktu itu Hui-houw-to dan Tang-ting Hweshio berdiri bimbang. Mereka saling pandang beberapa saat, sampai akhirnya Tang-ting Hweshio bilang:

“Baiklah Pinceng akan nanti memutuskannya. Apakah surat ini dimusnakannya atau tidak. Dan terutama sekali, memang Giok-sie itu harus dapat pinceng miliki.

“Jika Giok-sie telah berada di tangan pinceng, tentu, persoalan tidak akan terjadi. Walaupun Kauw-cu menyiarkan berita tentang Giok-sie itu…….!”

Setelah berkata begitu Tang-ting Hweshio merangkapkan sepasang tangannya, dan memberi hormat. Katanya lagi: “Kami pamitan.......!”

Hui-houw-to tidak memberi hormat, dia cuma melirik dengan sikap yang sinis kepada Kauw-cu Hek-pek-kauw. Dan memandang dengan sikap yang membenci. Dia berlalu dengan mendengus memperdengarkan suara mengejek.

Melihat sikap Hui-houw-to seperti itu, Giok-tiauw Sian-lie tertawa dingin.

“Hemm, kau jangan mendelik-mendelik seperti itu, jika memang tak ada pendeta Siauw-lim-sie itu jiwamu mudah sekali dikirim ke neraka!”

Sambil berkata begitu, Giok-tiauw Sian-lie tertawa dingin beberapa kali dengan dengusan mengejek.

Sedangkan Hui-houw-to berdua dengan Tang-ting Hweshio sudah berada di luar markas perkumpulan Hek-pek-kauw itu. Mereka meneruskan jalan mereka meninggalkan tempat itu tanpa ada yang berkata sepatah perkataan pun juga. Ke duanya berdiam diri seakan juga tengah memikirkan sesuatu dan mereka tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri.

<> 

Tapi baru saja mereka meninggalkan markas Hek-pek-kauw tak jauh, paling tidak hanya beberapa lie saja, tiba-tiba dari arah depan mereka berlari pesat sekali sesosok tubuh yang berkilauan dengan warna putih.

Itulah seorang laki-laki tua yang berjenggot sudah putih kemilau, memakai baju panjang yang berwarna putih, juga berkilau. Sebab baju putihnya itu terbuat dari bahan sutera yang halus sekali.

Orang itu yang mengenakan baju putih tersebut, tertawa dingin.

“Serahkan surat itu kepadaku?” Katanya dengan suara yang dingin.

Tang-ting Hweshio memandang ragu-ragu pada orang itu. Dia tidak kenal padanya sedangkan orang tua ini main minta begitu saja, membuat dia mendongkol.

“Hem!” Hui-houw-to mendengus dingin, “Kau minta apa yang ingin diserahkan kepadamu? Golok pendeta ini?!” Sambil bertanya begitu tampak Hui-houw-to mengeluarkan golok pendeknya yang diacungkannya.

Orang tua itu mendelik kepada Hui-houw-to, dia tertawa dingin.

“Kau berani banyak mulut padaku?” Tanyanya dengan suara yang dingin. Tahu-tahu tubuhnya berkelebat cepat sekali. Tangan kanannya bergerak menghantam. Dan “wuttt…….!”

Angin serangan itu kuat sekali, di samping memang tangannya bergerak melebihi kecepatan kilat, membuat Hui-houw-to tidak bisa melihat dengan jelas. Dan tahu-tahu tangan orang tua baju putih itu telah menghantam dadanya.

Hui-houw-to kaget bukan main. Disamping merasa kesakitan, malah yang membuat ia jadi lebih kaget, ketika tahu-tahu jenggot orang tua itu yang berwarna putih juga telah mengibas menyampoknya. Sampai tubuhnya terpental keras.

Rupanya jenggot orang tua itupun bukan jenggot sembarangan, dia bisa mengerahkan lweekang pada jenggotnya, dan waktu jenggot itu menghantam Hui-houw-to kuat bukan main seperti juga sampokan lempengan baja belaka.

Tubuh Hui-houw-to yang terpelanting di tanah bergulingan beberapa tombak. Tampak merangkak baagun, pada sudut bibirnya darah mengucur cukup banyak.

Sedangkan si pendeta Tang-ting Hweshio berdiri kaget seperti kesima. Ia tidak menyangka orang tua berjenggot dan berbaju putih itu demikian cepat gerakannya. Gesit sekali.

Malah Tang-ting Hweshio yang berada di samping Hui-houw-to sama sekali tidak keburu menolongi, tahu-tahu Hui-houw-to sudah terguling-guling kena dihantam seperti itu. Itulah gin-kang yang telah mencapai tinggi.

Orang tua berbaju panjang berwarna putih sudah menoleh kepada Tang-ting Hweshio.

“Mana surat itu?” Tegurnya dengan suara yang dingin.

Tang-ting Hweshio merangkapkan sepasang tangannya.

“Siancay! Apa yang siecu maksudkan?”

“Surat dari Giok-tiauw Sian-lie. Cepat berikan kepadaku!” Desak orang tua berjenggot putih itu. “Jangan cari penyakit sendiri, karena jika aku sudah naik darah kau akan merasakan sesuatu yang tidak menggembirakan.

Waktu berkata begitu mata orang tua berbaju putih itu berkilat tajam sekali.

Tang-ting Hweshio sebetulnya merasa tidak senang dengan sikap orang itu. Akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Dia tersenyum kemudian dengan sabar ia bilang.

“Kenapa siecu harus tergesa-gesa seperti itu tanpa siecu jelaskan hal yang sebenarnya dan apa maunya siecu? Bagaimana mungkin Pinceng bisa mengetahui apa yang siecu inginkan?”

Orang tua berbaju putih itu tertawa bergelak-gelak mengejek, kemudian katanya dengan suara yang tawar tapi mengandung nada ancaman.

“Hemm, kau pura-pura bodoh, pendeta gundul, seharusnya engkau dihajar juga! Bukankah engkau berasal dari Siauw-lim-sie, aku masih mau memberi muka kepadamu! Ayo cepat serahkan surat itu kepadaku!”

Waktu berkata begitu, tangan orang tua berbaju putih tersebut telah diulurkan. Dia meminta agar surat yang diinginkannya itu diberikan.

Tang-ting Hweshio waktu itu tengah berpikir diliputi keheranan yang sangat.

Orang tua berbaju putih ini entah siapa. Dia baru saja tiba di tempat ini, bagaimana mungkin dia bisa, mengetahui bahwa surat Hui-houw-to sudah diambil si pendeta?

Dan mengapa dia tahu-tahu datang memintanya. Seakan dia yakin Tang-ting Hweshio sudah berhasil mengambil pulang surat yang diperebutkan itu.

“Siapakah siecu?” Tanya Tang-ting Hweshio kemudian sambil menahan diri.

“Hemm, aku Pek Lojie (Orang Tua Putih), ayo cepat kau serahkan surat itu…….!” Kata orang tua itu, yang tampaknya jadi semakin tidak sabar.

“Atau memang kau hendak minta aku mengambilnya secara kekerasan? Terus terang saja kuberitahukan kepadamu, aku mau menghormati Siauw-lim-sie karena itu juga aku masih memberi muka kepadamu!”

Tang-ting Hweshio merangkapkan tangannya. Dia memberi hormat.

“Terima kasih untuk penghormatan siecu terhadap Siauw-lim-sie. Pinceng mewakili Siauw-lim-sie menyatakan terima kasih atas penghargaan siecu.

“Tapi mengenai surat yang siecu maksudkan itu, surat yang baru saja kami ambil dari Giok-tiauw Sian-lie, Coa Mei Ling. Kauw-cu dari Hek-pek-kauw, bukanlah surat milik Pinceng bukan pula milik Siauw-lim-sie!”

Rupanya Pek Lojie sudah semakin tidak sabar saja. Dia cepat-cepat memotong dengan bentakan. “Aku tidak mau tahu soal surat itu milik siapa. Cepat serahkan padaku!

“Tadi aku telah menerima laporan dari salah seorang anak buah Hek-pek-kauw bahwa surat itu akan terjatuh di tanganmu. Dan aku merasa yakin bahwa kalian sudah berhasil memperolehnya, hemm cepat serahkan surat itu padaku!”

Tang-ting Hweshio tersenyum memaksakan diri buat bersabar terus, karena hatinya sebetulnya sangat mendongkol sekali oleh sikap Pek Lojie tersebut.

“Dengar dulu siecu, surat itu milik Khang siecu!” Kata si pendeta.

“Khang siecu? Siapa dia?!” tanya orang tua berbaju putih itu, “Cepat serahkan!”

Tang-ting Hweshio tersenyum.

“Sabarlah....... dengar dulu!”

“Kau mau menyerahkan atau tidak?”

“Tunggu dulu, dengar dulu keterangan Pinceng!”

“Apa yang ingin kau beritahukan?”

“Sudah Pinceng beritahukan, surat itu bukan milik Pinceng, juga bukan milik Siauw-lim-sie. Seharusnya siecu memintanya kepada Khang siecu!”

“Siapa Khang siecu itu? Sejak tadi kau hanya menyebut Khang siecu, Khang siecu saja. Atau memang Khang siecu itu adalah engkau sendiri, pendeta gundul?”

Tang-ting Hweshio menahan sabar. Dia menunjuk kepada Khang Lam Cu Hui-houw-to, katanya: “Dialah Khang siecu!”

Waktu itu Hui-houw-to Khang Lam Cu tengah merangkak bangun. Mulutnya berdarah dan baru saja dia bisa berdiri tetap, dia gusar bukan main.

Karena dia telah diserang seperti tadi dan cara menyerang Pek Lojie seakan juga menyerang membokong belaka. Namun di balik dari rasa marahnya itu, Khang Lam Cu menyadari juga bahwa kepandaian Pek Lojie memang sangat tinggi.

Bukankah tadi dengan mudah sekali Khang Lam Cu sudah dirubuhkan oleh Pek Lojie? Bukankah jika memang Pek Lojie menghendaki jiwanya, sama mudahnya seperti dia membalikan telapak tangannya? Bukankah tangannya tadi bergerak begitu cepat, sehingga dia tidak bisa melihat gerakannya?

Hui-houw-to bilang dengan suara, yang dingin: “Surat itu sudah dimusnahkan!”

Dan ia menyusut dengan ujung bibirnya. Melihat darah di tangannya, ia jadi tambah meluap marahnya, ia berteriak: “Sekarang aku ingin minta pengajaran dari kau!”

Pek Lojie mendelik.

“Surat itu sudah dimusnahkan?!” tanyanya dan ia bertanya dengan tubuh melesat, tahu-tahu ia sudah berada di depan Khang Lam Cu, tangan kanannya bergerak, cepat bukan main. Ia sudah menjambak baju.

Melihat gerakan tangan Pek Lojie dengan jelas, Khang Lam Cu tidak bisa mengelak dan tahu-tahu bajunya sulah kena dicengkram. Malah Pek Lojie sudah mengerahkan tenaganya, tubuh Khang Lam Cu terangkat ia bermaksud akan melemparkannya.

Melihat keadaan Hui-houw-to yang terancam seperti itu, cepat luar biasa Tang-ting Hweshio melompat menghampiri, ia berseru:

“Tahan!” tangan kanannya meluncur menotok ke punggung Pek Lojie, ke arah jalan darah Uh-tiang-hiat. Itulah jalan darah berbahaya, yang bisa membuat lumpuh separoh bagian badan.

Dan akan merupakan kelumpuhan yang sulit disembuhkan, jika seseorang tertotok pada jalan darahnya itu.

Tang-ting Hweshio adalah pendeta Siauw-lim-sie. Sedangkan Siauw-lim-sie terkenal sekali dengan kehebatan ilmu silatnya, yang memang merupakan ilmu silat yang murni dan bersih lurus.

Karena dari itu, setiap pendeta Siauw-lim-sie, walaupun yang paling rendah kepandaiannya tetap saja tak boleh dipandang sebelah mata. Terlebih lagi memang Tang-ting Hweshio memiliki kepandaian yang tinggi, sambaran angin totokannya saja begitu tajam.

Cepat-cepat Pek Lojie melepaskan cengkeramannya pada dada Hui-houw-to. Ia memutar tubuhnya menangkis.

“Plakk!” tanganuya saling bentur dengan Tang-ting Hweshio, benturan yang keras.

Hui-houw-to yang telah dilepas dari cengkraman tangan Pek Lojie, tak segera melompat menyingkir, malah tangan kanannya bergerak cepat sekali. Ia menghantam dada Pek Lojie dengan sekuat tenaganya.

Pek Lojie melihat sambaran tangan Hui-houw-to, tapi dia tidak mengelakkannya karena dia tengah memusatkankan tenaga dalamnya buat menahan dan membendung kekuatan tenaga dalam Tang-ting Hweshio. Dia cuma menyaluri lweekangnya ke dada untuk melindungi dadanya.

Kepalan tangan Hui-houw-to menghantam telak sekali.

“Dukkk!” Terdengar suara yang nyaring. Tapi tubuh Pek Lojie tetap tidak bergeming dari tempatnya.

Malah sebaliknya Hui-houw-to merasakan kepalan tangannya yang nyeri dan sakit bukan main. Dan yang membuat dia lebih kaget, tubuhnya sendiri yang terpental sampai tiga tombak.

Kali ini Hui-houw-to keburu buat mengerahkan tenaga dalam pada sepasang kakinya, dia tidak sampai terguling. Namun tenaga membalik yang dilancarkan oleh Pek Lojie yang membuat Hui-houw-to terpental seperti itu, sempat membuat napas Hui-houw-to jadi sesak.

Mukanya juga pucat. Dia kaget bukan main. Tidak disangka bahwa Pek Lojie benar-benar tangguh.

Tang-ting Hweshio sendiri terkejut ketika tangannya saling bentur dengan tangan Pek Lojie. Dia kagum buat kelihayan orang ini, di mana tampaknya memang Pek Lojie memiliki lwekang yang kuat sekali. Tang-ting Hweshio mengempos lwekangnya, dia berusaha menindih kekuatan tenaga dalam.

Namun dia gagal. Pek Lojie tetap saja berhasil membendung kekuatan tenaga dalamnya, sehingga tangan Tang-ting Hweshio tidak berhasil menekannya lebih jauh.

Pek Lojie sendiri gusar bukan main. Dia melihat Hui-houw-to tidak berani maju lagi untuk menyerangnya.

Rupanya Hui-houw-to sekarang menyadari bahwa kepandaiannya masih terpaut jauh sekali dibandingkan dengan Pek Lojie. Jika memang Hui-houw-to menyerang juga, memaksakan diri mengerahkan lweekangnya niscaya dia sendiri yang akan celaka.

Hal itu telah membuat Hui-houw-to akhirnya berdiam diri saja, tidak maju buat menyerang pula! Sedangkan Pek Lojie mengempos semangatnya, ia mengeluarkan seruan nyaring, tangannya tahu-tahu terangkat, dia menghantam lagi kepada Tang-ting Hweshio.

Begitu berulang kali Tang-ting Hweshio menangkis. Mereka sama-sama mempergunakan kekerasan, karena keduanya telah mempergunakan lweekang mereka.

Ada yang mengejutkah Tang-ting Hweshio yaitu ia merasakan tenaga lawannya luar biasa hebatnya seperti gunung ambruk dan juga seperti terjangan gelombang air lautan yang sangat besar dan dahsyat sekali. Tidak jarang Tang-ting Hweshio merasakan kuda-kuda sepasang kakinya jadi goyah.

Untung saja Tang-ting Hweshio memiliki lweekang yang murni. Dengan demikian dia masih bisa bertahan buat menerima hantaman yang gencar dan begitu kuat dari Pek Lojie!

Pek Lojie penasaran. Dia sudah mempergunakan kekuatan tenaga lweekangnya pada tingkat yang tinggi sekali, yang selalu dapat diandalkannya.

Diapun yakin bisa merubuhkan pendeta ini. Namun kenyataan yang ada justeru dia gagal dengan usahanya.

Tang-ting Hweshio masih berdiri tegak, di tempatnya tanpa bergeming bahkan sama sekali terdesak. Setiap kali rangsekannya selalu dapat diterima olen Tang-ting Hweshio dengan baik.

Diiringi bentakan nyaring, tiba-tiba tubuh Pek Lojie berputaran mengelilingi Tang-ting Hweshio, sedangkan sepasang tangannya menyambar-nyambar dengan cepat sekali, dan sepasang tangan Pek Lojie seakan telah berobah menjadi beberapa pasang tangan yang gencar selalu menyerang Tang-ting Hweshio. Hal itu bisa terjadi disebabkan memang gin-kang Pek Lojie yang mengagumkan.

Hati Tang-ting Hweshio tercekat, sampai akhirnya dia merobah cara bersilatnya. Tang-ting Hweshio menyadari, jika memang dia menghadapi semua hantaman dan serangannya Pek Lojie dengan caranya seperti itu juga, yakin menerima setiap serangan niscaya dirinya yang bisa celaka.

Dengan suara yang nyaring, Tang-ting Hweshio menyebut kebesaran sang Budha.

“Omitohud!” dan tangan Tang-ting Hweshio bergerak sangat cepat, setiap gerakannya itu mengandung kekuatan lweekang yang dahysat sekali. Angin sepasang tangan Tang-ting Hweshio juga tidak kalah santernya dengan kekuatan lawannya.

Diam-diam Pek Lojie berpikir di dalam hati. “Pendeta ini sebetulnya memiliki kepandaian yang masih kalah seurat dengan kepandaianku, tapi dia masih bisa menghadapi seranganku dengan sebaik-baiknya……. Inilah disebabkan ilmu silat Siauw-lim-sie yang benar-benar murni!”

Karena berpikir begitu, Pek Lojie berusaha mencari jalan untuk dapat merubuhkan Tang-ting Hweshio secepat-cepatnya. Dia mengempos semangatnya menambah tenaga penyerangannya dan tangannya bergerak semakin cepat, dibantu juga oleh sepasang kakinya yang setiap kali memiliki kesempatan tentu akan memandang bagian-bagian yang mematikan di tubuh Tang-ting Hweshio.

Demikianlah kedua orang itu bertempur seru sekali.

Hui-houw-to mengawasi jalannya pertempuran itu dengan mata terbuka lebar tidak berkedip, karena dia kagum bukan main menyaksikan kepandaian kedua orang tersebut.

“Kepandaianku masih belum berarti apa-apa, jika aku berlatih sepuluh tahun lagi, belum tentu aku bisa memiliki kepandaian yang sehebat kepandaian kedua orang itu…....!”

Dan sambil berpikir begitu, Hui-houw-to mengawasi jalannya pertempuran ke dua orang itu. Karena dia ingin melihat bagian-bagian terpenting dari ilmu silat ke dua orang itu, jika dapat untuk menambah pengalaman dan pengetahuannya.

Dan dia bertekad, memang dia harus berlatih lagi dengan tekun selama beberapa tahun untuk memperoleh kemajuan. Dia yakin, jika memang Tang-ting Hweshio kelak mau memberikan petunjuknya padanya, niscaya dia bisa memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Bukankah selama ini Tang-ting Hweshio juga sudah banyak memberikan petunjuk padanya dan dia bisa memiliki dan memperoleh kemajuan yang tidak sedikit?”

Tengah Hui-houw-to tercenung dengan pikirannya, mendadak sekali dia telah mendengar Pek Lojie mengeluarkan bentakan nyaring. Suara bentakan itu seakan juga menggetarkan tempat itu, dan membuat tanah dan pohon-pohon tergetar.

Pek Lojie rupanya sudah merobah cara bertempurnya. Dia tak lagi merangsek seperti tadi.

Malah sepasang tangan Pek Lojie tidak bergerak secepat tadi, dia telah menghantam dengan gerakan tangan yang lambat. Cuma saja semakin lambat gerakan Pek Lojie maut yang terkandung di dalamnya memang semakin hebat juga. Karena kekuatan tenaga dalam yang dipergunakannya itu bisa mematikan.

Dalam saat-saat seperti itu, Tang-ting Hweshio juga tidak berani berayal, karena dia harus dapat menghadapinya dengan mempergunakan ilmu andalannya.

Jika terlambat dia merobah cara bertempurnya, dia akan terdesak, malah kemungkinan dia akan terbinasa rubuh di tangan Pek Lojie.

Dengan menghentak-hentak ke sana ke mari segera tangan Tang-ting Hweshio menyambar ke berbagai arah. Cepat sekali cara bergeraknya itu. Dengan demikian telah membuat dia jadi dapat menghadapi cara bertempur Pek Lojie.

Malah di saat-saat seperti itu, Tang-ting Hweshio dua kali dapat mendesak lawannya.

Tang-ting Hweshio melihat muka Pek Lojie sudah berobah merah padam seperti juga dari atas kepalanya menguap asap yang tipis. Dan juga keringat telah membasahi wajah maupun tubuhnya, sedangkan serangan dari ke dua tangannya yang semakin perlahan itu mengeluarkan angin yang panas sekali, menyambar ke sana ke mari.

Tang-ting Hweshio tidak berayal lagi mengeluarkan Kiu-yang-cin-kie nya. Dia telah mempergunakan lweekang yang paling kuat dan murni.

Dia telah menyerangnya hebat sekali. Karena angin dari setiap sampokan tangannya itu selain dapat memusnahkan kekuatan tenaga dalam lawan juga telah bisa membuat tenaga pukulan dari Pek Lojie lenyap.

Pek Lojie semakin lama jadi semakin penasaran. Dia berseru berulang kali seakan juga mulai kalap.

Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia tidak berdaya menghadapi Tang-ting Hweshio, sebelumnya. Pek Lojie memang sangat angkuh sekali, dia yakin dirinya pasti berhasil buat merubuhkan lawannya hanya dalam beberapa jurus saja.

Di dalam rimba persilatan memang Pek Lojie terkenal sekali sebagai tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian sulit untuk ditandingi oleh lawan yang sembarangan. Dan sekarang, justeru dia menghadapi lawannya seperti Tang-ting Hweshio.

Malah dia seakan juga tidak dapat dan mulai kewalahan buat menghadapi setiap serangan yang dilakukan Tang-ting Hweshio. Karuan saja membuat Pek Lojie jadi semakin penasaran.

Dalam saat-saat seperti itu, beberapa kali dia sudah merobah cara bertempurnya. Dia telah mengerahkan tenaga dalamnya delapan bagian namun tidak memperoleh hasil. Dia menambah lagi, sampai sembilan bagian, tetapi saja dia tidak berhasil mendesak Tang-ting Hweshio.

Sebetulnya Tang-ting Hweshio sendiri tengah berada dalam keadaan terancam! Jika dia bertahan terus seperti itu, jelas dia bisa celaka dan rubuh di tangan Pek Lojie.

Di luarnya memang tampak dia tenang-tenang dan dapat menghadapi setiap terjangan dari Pek Lojie dengan baik, setiap pukulan lawannya dapat dimusnahkan. Namun Tang-ting Hweshio sudah mengerahkan hampir seluruh kekuatannya.

Sedikit lebih banyak lagi dia memaksakan diri, niscaya dia akan celaka. Tenaga dalamnya akan berbalik buat menghantam dirinya sendiri ini pun jika memang dia memaksakan diri buat mengerahkan, tenaga yang berlebihan dari takarannya.

Diam-diam Tang-ting Hweshio jadi bingung juga, dia berpikir di dalam hati.

“'Kepandaian Pek Lojie benar-benar hebat, dia sulit dihadapi. Jika memang keadaan seperti ini berlangsung terus lebih lama, tentu akan merugikan diriku. Karenanya, aku harus dapat cepat-cepat menyudahi pertempuran ini!”

Sambil berpikir begitu, dua kali beruntun Tang-ting Hweshio menghindarkan serangan lawannya. Dan selama dua kali menghindar itu diam-diam dia sudah mempersiapkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya pada ke dua telapak tangannya. Dan dia membarengi dengan bentakan nyaring, sepasang tangannya mendorong.

Pek Lojie menghindar, dia menyangka bahwa lawannya menghantam dengan kekerasan.

Tapi kesudahannya, membuat Pek Lojie jadi kaget bukan main, sebab tenaga pukulan sepasang tangan Tang-ting Hweshio datang secara borgelombang. Tenaga yang pertama dapat dihindarkan oleh Pek Lojie.

Akan tetapi, serangan yang berikutnya tenaga dalam gelombang ke dua, membuat Pek Lojie tak dapat menyingkir. Karena tahu-tahu angin serangan yang datang pada gelombang kedua itu kuat sekali.

Terpaksa ia menangkis, benturan tenaga dalam dahsyat terjadi lewat tangan mereka masing-masing. Tubuh Pek Lojie tergetar.

Begitu juga tubuh Tang-ting Hweshio tergetar keras. Malah ada yang membuat Pek Lojie tambah kaget.

Belum lagi ia menarik pulang tangannya, justeru telah menyambar angin gelombang ketiga. Hantaman ketiga itu jauh lebih kuat dari yang pertama maupun yang kedua.

Bukan kepalang kagetnya Pek Lojie, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.

Tapi tenaga pukulan dari Tang-ting Hweshio sudah dekat sekali, Pek Lojie juga tak keburu buat menjauhi diri.

Walaupun bagaimana Pek Lojie adalah seorang jago yang memiliki kepandaian tinggi, tenaga dalamnya pun mahir sekali. Dalam keadaan terjepit seperti itu ia tak jadi gugup.

Mendadak sekali Pek Lojie sudah mengangkat kedua tangannya, dia melepaskan diri dari libatan tenaga dalam Tang-ting Hweshio, ia sudah mengangkat tangannya dan ke lima jari tangan yang terbuka. Dan jari-jari tangannya itu mengincar akan menoblos biji mata Tang-ting Hweshio.

Memang dengan mengangkat tangannya tersebut, Pek Lojie bisa saja terhantam terluka di dalam yang tidak ringan oleh tenaga gelombang ketiga yang dilancarkan oleh Tang-ting Hweshio. Akan tetapi Tang-ting Hweshio pun akan buta bila kedua biji matanya yang akan terkorek keluar oleh jari tangan Pek Lojie.

Tang-ting Hweshio jelas tidak mau cidera dalam pertempuran ini walaupun dia melihat bahwa lawannya akan dapat dihantamnya dengan hebat. Tokh tetap saja dia tidak mau membiarkan matanya kena diceblos seperti itu.

Cepat-cepat Tang-ting Hweshio menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke belakang. Dengan demikian Tang-ting Hweshio sudah menghindarkan jari-jari tangan Pek Lojie.

Tapi dengan melompatnya Tang-ting Hweshio, maka hantaman Tang-ting Hweshio pada Pek Lojie pun jadi gagal!

Mereka berdua berdiri dihadapan, saling menatap dengan mata yang tajam sekali.

Tang-ting Hweshio merangkapkan sepasang tangannya.

“Siancay! Pertempuran yang tidak ada manfaatnya buat diteruskan!” Menggumam si pendeta.

Dan dia menoleh lagi kepada Hui-houw-to, dia bilang: “Khang siecu, pergilah kau membawa surat itu, baik-baiklah kau membawa diri! Nah, pergilah…….!”

Hui-houw-to tengah berdiri tertegun di tempatnya. Tapi dia sempat menyaksikan pertempuran yang langka dan seru sekali jarang bisa dijumpainya di lain waktu.

Dan sebelumnya, memang Hui-houw-to tidak pernah menyaksikan pertempuran sehebat itu. Sekarang mendengar si pendeta memintanya agar pergi, dia jadi tersadar.

“Taysu…….!” Dia tergagap.

“Pergilah! Dan mungkin jika jodoh, kita bisa bertemu lagi dilain waktu!” Kata Tang-ting Hweshio dengan suara yang sabar, dia juga telah memandang dengan sorot mata yang tajam sekali. Dan Hui-houw-to tidak berani balas menatapnya.

Pek Lojie gusar bukan main. Dia tertawa bergelak karena saking murkanya.

“Apakah enak begitu saja hendak angkat kaki dari tempat ini?” Teriaknya dengan suara yang nyaring. Tampaknya dia juga bersiap-siap hendak menerjang, menubruk Hui-houw-to.

Tapi Tang-ting Hweshio justeru telah merintanginya. Pendeta ini sudah merobah kedudukan sepasang kakinya. Dia sudah berada dihadapan Pek Lojie. Dia menantikan serangan Pek Lojie.

Kalau memang Pek Lojie menyerang Hui-houw-to, si pendeta yang akan menerimanya, menyambutinya.

“Pergilah Khang siecu! Baik-baiklah membawa diri!” Kata Tang-ting Hweshio lagi.

Waktu itu, tampak Hui-houw-to ragu-ragu. Dia menyadari, dengan Tang-ting Hweshio meminta agar dia meninggalkan tempat itu, mungkin si pendeta sudah merasakan bahwa lawannya ini tangguh sekali, sulit buat dirubuhkan dan mencegah jangan sampai nanti terjadi hal yang tidak diinginkan jika Tang-ting Hweshio gagal merubuhkan lawannya ini.

Dia telah meminta Hui-houw-to pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan Tang-ting Hweshio yang akan merintangi Pek Lojie, buat menghadapinya terus, sehingga Pek Lojie, tidak akan memiliki kesempatan buat mengganggu Hui-houw-to.

Sedangkan saat itu Pek Lojie yang sudah meluap marahnya, mengerang dan menubruk menghampiri dengan sepasang tangannya.

Tangan mereka saling bentur lagi dengan kuat, membuat keadaan di sekitar tempat itu tergetar.

“Khang siecu, menunggu sampai kapan kau baru mau pergi?” Menegur Tang-ting Hweshio lagi.

Khang Lam Cu tersadar, dia menghela napas. Dia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat ke arah si pendeta. Dia bilang nyaring sekali,

“Terima kasih atas bantuan Taysu, dan aku tidak akan melupakan budi kebaikan Taysu. Dan jika ada jodoh aku akan mencari Taysu dan kita bertemu lagi……..!”

Setelah berkata begitu, sesudah memberi hormat tiga kali, tampak Khang Lam Cu memutar tubuhnya, dia pun menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat gesit meninggalkan tempat itu. Khang Lam Cu menyadari si pendeta menyuruh dia pergi karena memang si pendeta bermaksud melindungi surat dari Ciangbunjin, Khong-tong-pay.

Karena itu, Khang Lam Cu pun tidak berani berayal. Jika sebelumnya dia bimbang harus meninggalkan Tang-ting Hweshio yang tengah menghadapi lawan berat seperti Pek Lojie, namun mengingat akan pentingnya surat itu maka diapun mau menuruti anjuran si pendeta.

“Khang siecu, kau boleh datang ke Siauw-lim-sie buat menceritakan segalanya kepada Hong-thio pinceng…….!” Berseru Tang-ting Hweshio ketika melihat Khang Lam Cu sudah mau menuruti anjurannya, buat meninggalkan tempat itu.

Khang Lam Cu menginginkannya. Ia cepat sekali meninggalkan tempat itu dan lenyap di kejauhan.

Yang murka bukan main adalah Pek Lojie. Dengan mengerang murka, dia menerjang lagi.

Demikianlah, Tang-ting Hweshio menghadapi lawannya jauh lebih tenang, karena Khang Lam Cu sudah tidak berada di tempat itu. Dia mengempos hawa murninya, mengerahkan tenaga dalamnya dan dia pun telah berusaha untuk menghadapi setiap terjangan Pek Lojie dengan sabar dan penuh perhitungan.

Malah terakhir dia menutup diri dengan lwekangnya, dia hanya berkelit dan memunahkan tenaga serangan lawannya. Setiap kali Pek Lojie menerjangnya, maka dia selalu memunahkan kekuatan serangan lawannya.

Pek Lojie semakin penasaran. Dia menghantam semakin kuat mengerahkan seluruh kekuatannya. Dengan demikian Pek Lojie sudah rugi banyak, di mana dia telah kehabisan tenaga pada akhirnya, karena dia menghambur-hamburkan kekuatan tenaga dalamnya itu.

Dikala itu Hui-houw-to sendiri sudah mengerahkan gin-kangnya. Dia berlari terus tidak berani berhenti. Dia tidak tahu, entah bagaimana pertempuran antara Tang-ting Hweshio dengan Pek Lojie.

Sesungguhnya kalau memang Tang-ting Hweshio hendak meninggalkan lawannya bisa saja melakukannya. Dia memiliki gin-kang istimewa milik Siauw-lim-sie. Dia bisa meninggalkan lawannya setiap saat dia mau. Niscaya Pek Lojie tidak akan dapat mengejarnya.

Cuma saja yang dipikirkan Tang-ting Hweshio justeru keselamatan Khang Lam Cu. Jika memang Tang-ting Hweshio menyudahi pertempuran sampai disitu dan meninggalkan Pek Lojie, bukankah Pek Lojie akan mengejar Hui-houw-to, yang waktu itu belum lagi pergi jauh karenanya.

Sengaja Tang-ting Hweshio melibatkan diri terus dalam pertempuran dengan Pek Lojie.

Setelah bertempur satu harian barulah Tang-ting Hweshio memutuskan buat menyudahi pertempuran itu.

“Pek siecu tampaknya kau memang berusaha untuk memperoleh surat Ciangbunjin Khong-tong-pai. Sesungguhnya, apa perlunya! Bukankah itu hanya demi kepentingan Giok-sie belaka?

“Dan pinceng kira, kita orang seperti siecu, tidak memerlukan Giok-sie lagi! Buat apa kita bertempur mati-matian seperti ini, sudahlah, bukankah antara pinceng dengan siecu memang tak ada ganjalan apapun juga?”

Pek Lojie menunda serangannya, ia tertawa bergelak.

“Hahaha, tidak ada ganjalan? Bagus! Bagus! Justeru jika aku hari ini tak bisa memampusi kau, maka aku bersumpah tak mau jadi manusia lagi!”

Membarengi dengan habisnya bentakan itu, Pek Lojie menerjang lagi.

Benar-benar Pek Lojie sudah kalap karena ia bertempur dengan sikap yang nekad, seakan juga ia hendak mengadu jiwa.

Tang-ting Hweshio menghela napas, ia melayani lagi. Lewat beberapa saat barulah ia bilang pula:

“Baiklah siecu, karena Pinceng tak memiliki waktu banyak, Pinceng pamitan saja. Nanti kalau memang kita memiliki jodoh, kita bertemu lagi!”

Setelah berkata begitu Tang-ting Hweshio mengibaskan tangannya. Ia memunahkan serangan Pek Lojie, kemudian tubuhnya melesat ke samping kanan.

“Kau ingin angkat kaki? Jangan mimpi!” Kata Pek Lojie yang segera menyerangnya dan menyusuli dengan hantaman berikutnya.

Dan terpaksa sekali Tang-ting Hweshio melayani lagi. Waktu memiliki kesempatan pula, Tang-ting Hweshio segera melompat ke samping, ia menghindar dan cepat sekali ia sudah bisa memunahkan terjangan lawannya.

Di saat seperti itulah Tang-ting Hweshio sudah menjauhi lawannya, ia mengerahkan gin-kang istimewanya, yaitu “Lari Dipermukaan Air”. Tubuhnya seperti terbang saja dan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah telah meninggalkan tempat itu.

Pek Lojie murka bukan main, dia mengejarnya.

Sengaja Tang-ting Hweshio mengambil arah yang berlawanan dengan arah yang diambil Hui-houw-to, ia berlari cepat sekali. Walaupun Pek Lojie memiliki gin-kang yang mahir, tokh lama kelamaan ia semakin tertinggal.

Tang-ting Hweshio semakin jauh juga. Hal ini membuat Pek Lojie tambah murka. Ia mengempos seluruh sisa tenaganya, mengejar lebih cepat, ia mengerahkan gin-kangnya.

Tetap saja jarak mereka terpisah semakin jauh, karena Tang-ting Hweshio berlari secepat terbang saja.

Pek Lojie penasaran, dia mengejar terus. walaupun perlahan-lahan jarak mereka semakin jauh, malah akhimya dia tidak melihat bayangan si pendeta lagi. Dia tetap berlari ke depan mengejar terus, karena dia yakin, nanti dia akan berhasil mengejarnya.

<> 

Hui-houw-to kuatir bukan main. Kalau Pek Lojie bisa mengejarnya, di mana setelah dia merubuhkan Tang-ting Hweshio dan mengejarnya, dia akan menghadapi bahaya yang tidak kecil.

Hui-houw-to juga menyadari. Dengan Tang-ting Hweshio meminta dia meninggalkan mereka yang tengah bertempur itu, disebabkan Tang-ting Hweshio telah kehilangan keyakinannya bahwa dia bisa, menghadapi Pek Lojie.

Malah Hui-houw-to menduga. Kemungkinan Tang-ting Hweshio merasa sudah jatuh dibawa angin, dan itu memang membahayakan sekali buat Hui-houw-to. Dan dia berlari tanpa pernah berhenti, dia berlari terus mengerahkan seluruh gin-kangnya.

Walaupun napasnya sudah memburu keras, tetap saja dia tidak berani berhenti dan atau memperlambat larinya. Dia terus juga mengerahkan seluruh, gin-kangnya berlari dengan cepat sekali. Setiap kali dia menoleh ke belakang, dia bernapas lega, sebab tidak melihat ada yang mengejarnya.

Sambil berlari begitu, hati Hui-houw-to Khang Lam Cu kuatir sekali untuk keselamatan Tang-ting Hweshio. Entah bagaimana keadaan si pendeta? Dan apakah mereka sampai sekarang ini masih juga terlibat dalam pertempuran yang seru, pertempuran yang merupakan adu jiwa satu dengan yang lainnya.

Hui-houw-to merasakan napasnya pendek-pendek karena lelah bukan main, napasnya juga memburu keras sekali. Dia ingin beristirahat namun hatinya masih kuatir dikejar Pek Lojie maka dia berlari sekuat sisa tenaganya.

Sampai akhirnya, sepasang kakinya lemas tidak bertenaga lagi. Dia seperti kehabisan tenaga, tubuhnya terjungkal rubuh di tepi jalan.

Napasnyapun kini memburu. Hui-houw-to merangkak ke dekat bawah batang pohon di tepi jalan itu dia meneduh.

Setelah duduk mengasoh beberapa waktu lamanya, akhirnya napasnya tidak memburu keras seperti tadi lagi. Dia sudah bisa mengendalikan pernapasannya. Dia mengawasi ke arah dari mana tadi dia mendatangi. Tidak ada yang mengejar.

Tentunya Tang-ting Hweshio dengan Pek Lojie masih terlibat dalam pertempuran yang seru.

Teringat kepada si pendeta Siauw-lim-sie itu Hui-houw-to menghela napas dalam-dalam.

Tang-ting Hweshio sangat baik. Dia merupakan pendeta Siauw-lim-sie yang alim dan juga jujur. Dia selalu bertindak welas asih, dan memang pendeta Siauw-lim-sie itu seorang pendeta yang patut untuk dihormati.

Karena dari itu, Hui-houw-to menghela napas berulang kali. Bukankah sekarang Tang-ting Hweshio tengah bertempur dengan Pek Lojie?

Dan itu merupakan suatu pertaruhan jiwa? Karenanya, Hui-houw-to akan mengingat selamanya kebaikan pendeta itu.

Pendeta itu yang ingin mencari Giok-sie, akan memusnahkan Giok-sie itu. Karena dia tidak mau di dalam rimba persilatan timbul pergolakan dan jatuh korban yang tidak sedikit hanya disebabkan Giok-sie itu.

Demikianlah, setelah mengasoh beberapa saat dan semangatnya pulih, akkirnya Hui-houw-to melanjutkan lagi perjalanannya. Dia tidak berlari seperti tadi.

Dia berjalan perlahan-lahan, sepasang kakinya pegal dan letih bahkan bermaksud akan mencari seekor kuda. Dengan menggunakan kuda, tentu dia bisa menjauhi tempat itu, tanpa perlu terlalu menderita. Jika berlari terus, dengan hanya mempergunakan sepasang kakinya, tentu dia akan sangat lelah dan akhirnya kehabisan tenaga.

Belum lagi jika memang Pek Lojie berhasil melepaskan diri dari libatan Tang-ting Hweshio dan mengejarnya, niscaya akan menyebabkan dia harus menghindar semakin cepat pula berlarinya, dan dia harus mengerahkan seluruh tenaganya. Ini akan membuat dia akhirnya terancam bisa terkejar oleh Pek Lojie.

Sambil berjalan begitu, dia melihat-lihat sekitarnya. Memang cukup banyak rumah penduduk di sekitar itu. Namun tidak terlihat seekor kuda pun juga.

Malah diwaktu itu terlihat petani-petani yang tengah mengembalakan kerbaunya. Dan kerbau tidak berguna buat Hui-houw-to.

Dikala itu tampak Hui-houw-to sudah menghampiri sebuah rumah. Dia melihat di muka rumah itu berdiri seorang anak laki-laki kecil. Dan tangan anak lelaki kecil itu tengah mempermainkan tali kendali seekor kuda.

Kuda itu tidak terlalu gemuk, juga tampaknya tidak terlalu kuat. Akan tetapi, kuda tersebut akan dapat menolong Hui-houw-to. Karenanya dia menghampirinya, sambil tersenyum dan menyapa anak tersebut, dia bilang:

“Adik yang manis, maukah kau menjual kuda itu kepadaku?!”

Anak lelaki tersebut mengawasi Hui-houw-to beberapa saat, kemudian menggeleng.

“Tidak, A-hauw adalah kuda kesayangan kami…….!” Katanya menolak.

Hui-houw-to merogoh sakunya. Dia mengeluarkan sepuluh tail emas, diberikan kepada anak itu.

“Aku beli kudamu sepuluh tail emas…….!” bujuknya.

Namun anak itu tetap menggeleng.

“Ditambah lima tail emas lagi?!”

Anak itu tetap menggeleng.

“Tambah lagi lima tail emas, jadi duapuluh tail emas!” tawar Hui-houw-to

Anak itu menggeleng juga, mukanya memperlihatkan kebimbangan.

Hui-houw-to habis kesabarannya, tahu-tahu ia menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya telah duduk bercokol di atas punggung kuda itu. Tali les telah ditariknya dari tangan bocah itu, ia kemudian menghentak kuda itu, menjepit perutnya, sehingga kuda itu berlari dengan cepat sekali.

Sambil melarikan kuda itu, Hui-houw-to telah melemparkan uang yang duapuluh tail emas pada bocah itu.

Bocah itu, jadi kaget, ia telah berteriak-teriak dengan suara yang nyaring: “Maling! Maling kuda.......!!”

Namun Hui-houw-to tidak memperdulikannya, karena ia telah melarikan kuda itu cepat sekali. Dan dia bisa bernapas lega, karena akhirnya dia memperoleh kuda juga, dengan demikian dia bisa melakukan perjalanan jauh lebih cepat.

Nanti jika sudah tiba di kota yang ada sebelah depan, barulah dia akan mencari kuda lainnya yang jauh lebih kuat. Walaupun kuda yang dibelinya dari bocah dengan cara paksa merupakan kuda yang kurang baik, tokh memang kenyataannya kuda ini membantu banyak sementara ini.

Setelah melarikan kudanya beberapa saat lamanya, dia tiba di sebuah perkampungan. Namun Hui-houw-to tidak mau menghentikan perjalanannya, dia melarikan kuda itu terus lebih jauh.

Setelah melewati enampuluh lie lebih, kuda itu sudah tidak kuat untuk meneruskan larinya. Napasnya sudah memburu dan mulutnya berbusa. Malah, kaki depannya yang kanan telah tertekuk dan terkilir, kuda itu jadi jalan terpincang-pincang.

Hui-houw-to memeriksa keadaan kuda tersebut, setelah mengetahui kaki kuda itu terluka, dia menghela napas dalam-dalam, lalu meninggalkan kuda itu. Dia melakukan perjalanan lagi dengan hanya mengandalkan sepasang kakinya.

Dia kali ini bisa berlari lagi dengan cepat karena selama menunggangi kuda itu, dia sudah pulih kesegarannya dan tenaganya pun sudah kumpul kembali.

Hui-houw-to yakin, tidak mungkin Pek Lojie bisa mengejarnya. Dia telah menempuh perjalanan yang cukup jauh, seratus lie lebih. Dan tidak mungkin Pek Lojie bisa mengejar dan mencari jejaknya.

Karena berpikir seperti itu, Hui-houw-to jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Tetap saja dia berlari keras, tidak berani dia berlaku lambat. Akhirnya dia tiba di sebuah perkampungan.

Ketika Hui-houw-to memasuki pintu kampung itu, dia melihat seorang pengemis setengah baya yang tengah menghampirinya.

Maksud Hui-houw-to singgah di kampung itu untuk beristirahat, dan dia bermaksud juga untuk menangsal perutnya. Melihat pengemis-pengemis itu menghampiri dirinya, dia menduga bahwa pengemis itu hendak meminta derma padanya.

Pengemis itu sudah menghampiri dekat sekali dengan Hui-houw-to. Tapi dia tidak mengulurkan tangannya untuk meminta derma, malah dia mengawasi Hui-hauw-to tanpa berkedip!

“Apakah toaya adalah Hui-houw-to Khang Lam Cu?!” Tanya pengemis itu dengan suara yang perlahan.

Tercekat Hui-houw-to. Tapi kemudian ia mengangguk juga membenarkan.

“Siapa kau?!” Tanya Hui-houw-to kemu¬dian sambil menatap tajam kepada pengemis itu.

Si pengemis tidak menyahuti, dia memutar tubuhnya, lalu bilang perlahan: “Mari Toaya ikut denganku……..!”

Hui-houw-to jadi bimbang, dia berdiri ragu-ragu, tidak segera ikut dengan pengemis itu.

Si pengemis menoleh melihat Hui-houw-to berdiri diam di tempatnya, tidak mengikutinya. “Silahkan toaya ikut denganku!”

“Ke mana?” Tanya Hui-houw-to.

“Menemui seseorang…….”

“Siapa?”

“Nanti Toaya akan tahu!”

“Katakan dulu siapa yang hendak bertemu denganku?” Tanya Hui-houw-to.

“Seseorang yang toaya kenal?”

“Untuk keperluan apa?”

“Nanti akan kujelaskan…… tempat ini kurang aman!”

“Tapi tunggu dulu!”

Si pengemis memutar tuhuhnya, berdiri berhadapan lagi dengan Hui-houw-to.

“Toaya tempat ini sungguh tidak aman, dan aku ingin mengajak Toaya menemui seseorang, seorang sahabat yang akan menyenangkan hati Toaya, di sana tentu toaya bisa bertanya dengan jelas.”

“Apakah kau dari Kay-pang?”

Pengemis itu ragu-ragu.

“Benar!” Akhirnya dia mengangguk.

“Hmmm, kalau memang demikian,” kata Hui-houw-to kemudian, “Apakah orang yang akan kutemui nanti adalah orang Kay-pang juga?”

Pengemis itu bimbang lagi.

“Bagaimana! Jika memang tidak dijelaskan lebih dulu, aku tidak mau ikut dengan kau!” kata Hui-houw-to.

Pengemis itu terpaksa mengangguk. Dia bilang, “Benar….., yang akan bertemu dengan Toaya nanti adalah urusan yang penting sekali, sebab menyangkut dengan persoalan yang besar dan sangat penting.”

“Persoalan penting dan besar! Apakah itu?” Tanya Hui-houw-to kemudian heran bukan main. Aka tidak memiliki hubungan dengan pihak Kay-pang. Kukira kau salah mengenali orang!”

Bola mata pengemis itu memain mencilak kemudian dia tersenyum.

“Tidak mungkin salah mengenali orang! Bukankah Toaya yang bergelar Hui-houw-to dan bernama Khang Lam Cu? Apakah di dalam dunia persilatan ada dua orang yang bergelar Hui-houw-to dan Khang Lam Cu?!”

Hui-houw-to masih bimbang, tapi tidak ada salahnya jika dia menemui orang Kay-pang yang katanya hendak bertemu dengannya. Sebab jika ia menolak, akan berarti mendatangkan kesulitan buat dirinya. Juga bentrok dengan Kay-pang bukanlah persoalan yang ringan, bisa membawa kesulitan buat dirinya.

Demikianlah, Hui-houw-to akhirnya ikut dengan pengemis itu, ia dibawa keluar kampung dimana terdapat sebuah kuil. Jarak dari tempat Hui-houw-to tadi dengan kuil itu terpisah belasan lie, dan selama ikut di belakang si pengemis, otak Hui-houw-to bekerja terus.

“Entah siapa orang Kay-pang yang hendak bertemu denganku?!” Itu saja yang jadi tanda tanya di dalam hatinya.

Si pengemis berjalan cepat sekali, tanpa pernah menoleh. Ia juga tidak banyak bicara.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar