Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 121-130
Karena dari itu, dia mau
sekali melihat wajah apakah yang terdapat di balik kain penutup muka itu.
Menyaksikan kepandaian Kim Lo yang tinggi, dia jadi semakin penasaran dan
bertekad hendak bertempur dengan si Pendekar Aneh Seruling Sakti ini. Dia
berulangkali menghantam dengan kedua tangannya.
Sekarang dia bukan hanya
sekedar buat melepaskan penutup muka Kim Lo. Bukan sekedar untuk menjambret
kain itu, karena dia telah menyerang bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Kim
Lo.
Kim Lo sendiri melihat setiap
serangan yang dilakukan oleh nikouw ini memang sangat berbahaya. Kepandaiannya
juga tinggi sekali.
“Aneh, entah siapa nie-kouw
ini? Dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan juga iapun berulang kali
mendesakku, seakan juga memang ia memiliki ganjalan denganku!”
Sambil berpikir begitu, tampak
Kim Lo sudah melayani nie-kouw itu. Karena memang kepandaian Kim Lo sangat
tinggi, ia bisa menghadapi dengan baik sekali.
Tapi ia bisa mengakui dengan
jujur bahwa jarang ada orang yang memiliki kepandaian seperti nie-kouw itu.
Lawan-lawannya yang selalu dirubuhkannya, tak seliehay nie-kouw itu, dan Kim Lo
jadi hati-hati juga menghadapinya.
Pek Ie Siu-cay mengawasi
jalannya pertempuran tersebut dengan mata terpentang lebar. Ia merasa kagum
sekali menyaksikan pertempuran yang demikian seru, pertempuran yang sangat
hebat sekali.
Ia mengakui bahwa
kepandaiannya memang tinggi. Tapi dibandingkan dengan kedua orang itu,
kepandaiannya masih kalah satu atau dua tingkat.
Diam-diam Pek Ie Siu-cay jadi
menyesal juga bahwa ia sudah melatih keras dan semula dia menduga bahwa dirinya
sudah memperoleh kepandaian yang sempurna. Siapa tahu justeru dia tidak
berhasil untuk memperoleh kepandaian yang lebih tinggi dari kedua orang yang
tengah bertempur.
“Untuk memperoleh kepandaian
setinggi seperti mereka, aku sedikitnya harus berlatih selama sepuluh tahun
lagi…….!” Pikir Pek Ie Siu-cay di dalam hatinya.
Karena dari itu, dengan
tertarik sekali dia memperhatikan jalannya pertempuran tersebut. Banyak hal-hal
yang diperhatikannya, terutama sekali ilmu silat kedua orang itu, buat menambah
pengalamannya.
Hui-houw-to mengawasi
pertempuran yang tengah berlangsung dengan seru dengan bengong. Ketika melihat
Pek Ie Siu-cay pun mengawasi ke dua orang yang tengah bertempur itu dengan mata
terpentang lebar-lebar, diam-diam dia jadi bersyukur juga.
Dia harus memperoleh
kenyataan, bukan dirinya saja yang berkepandaian belum cukup tinggi dihina oleh
Pek Ie Siu-cay. Sebab Pek Ie Siu-cay sendiri sudah terhina oleh Kim Lo, orang
yang mengenakan penutup muka itu.
Hui-houw-to sendiri pun jadi
heran bertambah bingung, karena hari ini ia bertemu banyak sekali orang pandai
dan berkepandaian tinggi.
“Apakah orang yang mukanya
ditutupi kain dan nie-kouw itu bermaksud mencari Giok-sie?” pikir Hui-houw-to.
Tengah dia berpikir begitu,
terdengar bentakan Kim Lo yang berseru nyaring sekali, “Rubuh kau!” Tampak
sepasang tangan Kim Lo bergantian menghantam.
Angin pukulan itu kuat sekali.
Pukulan yang pertama disusul dengan pukulan yang kedua, yang jauh lebih kuat.
Pukulan yang ketiga jauh lebih kuat lagi.
Itulah pukulan yang dinamakan
“Selaksa kati menindih gunung” dimana nie-kouw itu tampak sibuk sekali
menghadapi terjangan angin pukulan tersebut. Ia berusaha untuk menghadapi
dengan kekerasan karena nie-kouw itu sudah mengempos semangatnya dia pun
menangkis dengan kekerasan juga.
Karena dari itu, dia pun tidak
dapat untuk membendung lebih lama ketika tiba pukulan ketujuh, yang jauh lebih
kuat dari yang sebelumnya. Tubuh nie-kouw itu tergetar, kuda-kuda sepasang
kakinya jadi tergetar, tubuhnya terdorong semakin jauh……. terdorong mundur?
Tanpa kaki melangkah!
Itulah disebabkan tenaga
serangan Kim Lo yang benar-benar sangat kuat sekali.
Di waktu seperti itu tampak
Kim Lo tidak segan-segan buat mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ia sudah
mengempos delapan bagian tenaga dalamnya. Ia berusaha untuk dapat menyerang
dengan kekuatan tenaga lweekang yang tidak tanggung-tanggung.
Memang di sini segera
terlihat, walaupun nie-kouw itu berusaha untuk bertahan, tokh dia gagal.
Tubuhnya terdorong seperti patung yang tergetar saja. Itulah tanda bahwa
lweekang nie-kouw ini masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan lweekang
Kim Lo.
Kim Lo melihat dia memang di
atas angin cepat-cepat mengempos dan mengerahkan tenaga dalamnya. Dia
menghantam semakin gencar juga telah berusaha untuk cepat-cepat merubuhkan
nie-kouw yang terlalu mendesak dirinya.
Nie-kouw itu tidak mau manda
menerima begitu saja. Dia berusaha memperbaiki kedudukan dirinya, demikian pula
kuda-kuda kedua kakinya dan berseru dengan teriakan yang nyaring sekali,
sepasang tangannya mendorong sekuat tenaganya.
“Wutttt.......!” Angin
dorongan itu memang sangat kuat, membuat tenaga serangan dari Kim Lo, sejenak
terbendung, dan nie-kouw itu bisa bernapas lega.
Sedangkan Kim Lo sendiri kagum
untuk kekuatan lweekang si nie-kouw, karena dalam keadaan terdesak seperti itu
dia masih bisa untuk membalas mendorong tenaga pukulan Kim Lo.
Karena dari itu, dia pun
segera dapat melihatnya nie-kouw ini seorang yang nekad. Dia memang dapat juga
untuk melakukan segala apa pun buat melakukan penyerangan dengan mempertahankan
jiwanya.
Itulah sifat wanita, karena
memang seorang wanita tidak pernah mau berlaku mengalah dan disaat penasaran,
jelas akan menyerang semakin hebat.
Sedangkan Kim Lo mana mau
mengadu jiwa dengan nie-kouw tersebut. Karena memang dia pun tahu tidak ada
gunanya jika dia harus mengadu jiwa dengan nie-kouw nekad seperti nie-kouw,
berjubah merah ini.
Waktu si nie-kouw mendorong
lagi buat membendung tenaga pukulan, Kim Lo sudah menarik pulang sepasang
tangannya. Dia menjejakkan sepasang kakinya, melompat sambil berjumpalitan
sejauh enam tombak lebih. Jarak yang cukup jauh memisah diri dari nie-kouw
tersebut.
Tapi nie-kouw itu benar-benar
nekad, dia tidak menyudahi urusan sampai di situ saja, karena ia sudah bersiul
nyaring, sepasang kakinya menjejak tanah, tubuhnya melesat melayang di tengah
udara. Waktu tubuhnya terapung seperti itu, dia menghantam dengan kedua
tangannya.
“Wutt……..!” Angin pukulan itu
menyambar kuat sekali, dan telah membuat Kim Lo tidak bisa menghindar lebih
jauh lagi.
Di saat seperti itu, nie-kouw
itu sudah mempergunakan kekuatan yang sangat hebat, dia ingin mengadu jiwa tampaknya.
Kim Lo mengeluarkan seruan
tertahan.
Di waktu itu nie-kouw itu
sudah mengempos sebagian besar kekuatan tenaga dalamnya dimana ia sudah
menghantam terus tanpa memperdulikan perlindungan dirinya. Tenaga dalamnya itu
semakin dekat.
Mau atau tidak, Kim Lo harus
menangkisnya. Kuat sekali tangkisan tersebut, karena membuat tubuh nie-kouw itu
jadi tergoncang, dan tubuhnya yang tengah melambung di tengah udara tidak bisa
meluncur maju terus seperti terbendung di tengah udara.
Mempergunakan kesempatan itu,
Kim Lo membentak lagi.
“Turunlah kau!”
Tangan Kim Lo mengibas.
Tubuh nie-kouw itu terpental.
Tapi dia tidak sampai
terbanting, karena nie-kouw tersebut berhasil untuk mengendalikan dirinya. Dia
bisa untuk membuat tubuhnya melayang ringan, jatuh dengan sepasang kaki
terlebih dulu.
Cepat sekali Kim Lo sudah
menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat pergi. Benar-benar dia tidak mau melayani
nie-kouw yang seperti sinting itu, yang berlaku nekad.
Sedangkan nie-kouw tidak
mengejar pula. Dia mengetahui di saat jarak mereka terpisah begitu jauh, tidak
mungkin dia bisa mengejarnya, terlebih lagi tampaknya Kim Lo yang sudah berlari
pesat sekali, dan telah lenyap di tikungan.
Nie-kouw ini menghela napas
dalam-dalam.
“Benar-benar luar biasa! Kepandaian
yang menakjubkan!” Dia bilang di dalam hatinya.
<>
Pek Ie Siu-cay sudah memandang
kepada nie-kouw itu dengan berdiam diri saja, Demikian juga Hui-houw-to.
Pelayan rumah makan dan
orang-orang lainnya bubar.
Pek Ie Siu-cay menghela napas.
Melihat nie-kouw itu termenung saja di tempatnya, mengawasi ke arah mana tadi
tubuh Kim Lo lenyap, Pek Ie Siu-cay bermaksud untuk berlalu juga meninggalkan
tempat ini.
Tanpa mengatakan suatu apapun
juga Pek Ie Siu-cay memutar tubuhnya. Cuma saja baru ia berputar dan kakinya
belum lagi melangkah, terdengar nie-kouw itu sudah berkata cukup nyaring,
“Kau mau pergi ke mana?”
Pek Ie Siu-cay menahan langkah
kakinya, dia berdiam diri beberapa saat, ragu- ragu.
“Katakanlah, kau mau pergi ke
mana pelajar tampan?”
Pek Ie Siu-cay bilang ragu-
ragu. “Aku ada urusan yang harus diselesaikan, tidak dapat aku berdiam terus di
tempat ini!”
“Tunggu dulu!” Tubuh nie-kouw
melesat dan tahu-tahu sudah ada di samping Pek Ie Siu-cay.
“Siapa namamu?!” Tanya
nie-kouw berjubah merah itu.
“Ang Ie Ciu!”
“Ang Ie Ciu?!”
“Benar!”
“Ohhh, kalau demikian kau yang
bergelar Pek Ie Siu-cay di dalam kalangan kang-ouw bukan?”
“Ya!”
“Hebat! Usiamu masih demikian
muda, tapi namamu menggetarkan rimba persilatan di sebelah selatan.”
Cepat-cepat Pek Ie Siu-cay
merangkapkan sepasang tangannya.
“Itulah hanya sahabat-sahabat
saja yang terlalu membesarkan, sesungguhnya kepandaianku tidak
seberapa.......!” Setelah mengucapkan kata-kata merendah seperti itu, Pek Ie
Siu-cay Ang Ie Ciu meneruskan kata-katanya: “Maaf, aku harus segera melanjutkan
perjalananku…….!”
“Kau ingin pergi ke mana?”
Ditanya seperti itu, kembali
Ang Ie Ciu ragu-ragu.
“Katakanlah, jangan bimbang!”
Karena mengetahui bahwa
nie-kouw ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi, jelas dia bukan nie-kouw
sembarangan. Ang Ie Ciu tidak berani memandang remeh padanya.
Dia akhirnya menjawab juga:
“Aku sendiri belum lagi mengetahui harus pergi ke mana, karena urusan yang
ingin kuurus itu belum lagi selesai.”
“Menemui kesulitan?!”
Ang Ie Ciu mengangguk.
“Ya!”
“Bagaimana kalau kubantu?!”
Ang Ie Ciu memandang dengan
sorot mata tajam kepada nie-kouw tersebut.
“Bagaimana?” Mendesak si
nie-kouw.
Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu
tersenyum.
“Sienie sangat baik
hati....... terima kasih atas kebaikan Sienie.”
“Hemmm, memang Pienie senang
sekali membantu dan menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan.”
“Kalau demikian, beruntung
sekali aku bisa bertemu dengan Sienie….. Hak-seng mengucapkan terima kasih
untuk kebaikan Sienie.”
“Jangan menyebut-nyebut dulu
tentang terima kasih, kau belum lagi menjelaskan kesulitan apa yang tengah kau
hadapi?!” Kata nie-kouw itu.
“Sesungguhnya…….” Berkata
sampai disitu Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu menoleh memandang pada Hui-houw-to,
yang kebetulan tengah mengawasi Pek Ie Siu-cay dan nie-kouw itu dengan mata
yang tajam. Mata mereka bentrok, Hui-houw-to kaget. Cepat-cepat ia menunduk.
Dan Ang Ie Ciu baru meneruskan
kata-katanya: “Sebetulnya Hak-seng (murid) ingin pergi mencari
Giok-sie.......!”
Nie-kouw itu tiba-tiba
tertawa.
“Oh....... Giok-sie? Bagaimana
jika pienie membantumu buat mencari Giok-sie! Nanti kau boleh memiliki, Pienie
hanya akan bertarung buat menghadapi jago- jago lainnya yang ingin
memperebutkan Giok-sie itu!”
Muka Pek Ie Siu-cay jadi cerah
berseri.
“Terima kasih Sienie, terima
kasih! Tentu saja saya senang sekali menerima pertolongan dan bantuan Sienie
yang sakti!” sambil bilang begitu, dia merangkapkan sepasang tangannya, memberi
hormat.
Sedangkan nie-kouw itu
tertawa. Dia memegang pundak Pek Ie Siu-cay.
“Jangan banyak
peradatan.......!” suaranya halus.
Pundaknya dipegang seperti
itu, membuat Pek Ie Siu-cay bergetar hatinya. Halus sekali cara memegang
nie-kouw tersebut.
Diwaktu itu Hui-houw-to tahu,
percuma dia berada di situ terus, hanya menimbulkan perasaan tidak senang bagi
Pek Ie Siu-cay maupun nie-kouw tersebut. Karenanya, dia sudah memutar tubuhnya
untuk berlalu.
Sedangkan Pek Ie Siu-cay sama
sekali tidak berusaha menahannya, ia melirik saja dan kemudian menoleh lagi
kepada si Nie-kouw.
Nie-kouw itu sudah mengawasi
Pek Ie Siu-cay, dia bilang. “Kau tampan sekali, Pek Ie Siu-cay!”
Muka Pek Ie Siu-cay berobah
merah, tapi hatinya sangat senang sekali.
Kembali nie-kouw itu bilang.
“Dalam rencanamu, kau ingin pergi ke mana buat mencari jejak Giok-sie? Siapa
tahu nanti setelah memperoleh Giok-sie kau bisa duduk di singgasana sebagai
Kaisar?!”
“Ohh, Sienie terlalu memuji,
Sienie terlalu memuji!” Kata Pek Ie Siu-cay segera, “Sesungguhnya saya ingin
pergi ke Yu-cung buat mencari seseorang, ia bernama Kam Yu dan ia tentu bisa
memberitahukan di mana sebetulnya letak Giok-sie itu, karena dialah orangnya
Ciangbunjin Khong-tong-pay yang akan pergi mengambil Giok-sie itu……..!”
“Baiklah, mari kita pergi ke
sana!”
Pek Ie Siu-cay mengangguk, dia
segera bersama nie-kouw itu berlalu.
Sedangkan Hui-houw-to yang
melihat ke dua orang itu sudah pergi, segera menghela napas, hatinya berduka
bukan main. Ia memang dalam keadaan bingung karena tugas yang tengah dipikulnya
sangat berat sekali.
Beruntung ia sudah bertemu
dengan orang-orang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena dari itu ia
bimbang buat melanjutkan tugasnya yang memang dilihatnya sekarang sangat
berbahaya sekali.
<>
Sejenak marilah kita ikuti
perjalanan Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu dengan nie-kouw berbaju merah itu. Dan
juga tampaknya memang mereka itu memiliki hubungan yang semakin dekat.
Karenanya pula ia pun telah
merasakan betapa nie-kouw yang berpakaian baju merah itu memperlakukannya
dengan manis di mana terlihat sekali dengan jelas. Ang Ie Ciu menyadari bahwa
dia seperti juga selalu dilibat oleh nie-kouw tersebut dengan kata-kata yang
mesra.
Si nie-kouw berbaju merah
tersebut juga selalu berusaha mengajak Ang Ie Ciu bicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan soal-soal wanita dan pria.
Semula Ang Ie Ciu heran juga,
karena ia melihat nie-kouw ini walaupun seorang pendeta, tapi pembicaraannya
selalu berkisar pada urusan laki-laki dan wanita. Mereka berlari-lari terus.
Terutama disebabkan Ang Ie Ciu memiliki gin-kang yang mahir begitu pula halnya
dengan nie-kouw itu yang gin-kangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi.
Siapakah nie-kouw berjubah
merah yang cantik jelita itu?
Sebetulnya nie-kouw tersebut
adalah seorang nie-kouw yang sangat terkenal sekali di dalam rimba persilatan
sebagai nie-kouw cabul, yang selalu gemar pada pemuda yang memiliki paras
tampan.
Tapi ada lagi kegemaran
nie-kouw tersebut selain memilih laki-laki yang memiliki muka tampan, juga ia
mencari laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi. Walaupun tidak dengan yang
tampan, tapi dengan kepandaian tinggi, tentu laki-laki mana saja akan diajaknya
untuk berkencan dengannya.
Nie-kouw jubah merah itu
bergelar sebagai Ang-sian Sienie, di mana dia telah berulang kali menggemparkan
rimba persilatan dengan sepak terjangnya.
Dalam keadaan seperti inilah
tampak ia pun selalu sulit ditandingi oleh orang sembarangan. Karena memang
ilmu silatnya yang tinggi.
Jarang ada orang yang bisa
sembarangan begitu saja berlaku kurang ajar padanya. Jika ada laki-laki yang
tidak disenangi nie-kouw itu melakukan sikap kurang ajar, atau menyapanya
dengan kata-kata yang kotor, justeru nie-kouw ini akan membunuhnya. Karena
Ang-sian Sinnie tidak mau diperlakukan sembarangan oleh siapa pun juga.
Tangannya telengas sekali,
hatinya kelam. Setiap orang yang dihajarnya tentu tidak mengharap untuk hidup
lebih lama lagi.
Pasti akan terbinasa dengan
keadaan yang menyedihkan sekali. Disamping itu, memang diapun hanya berusaha
mencari pemuda tampan yang menjadi pendampingnya.
Kurang lebih sudah seratus
laki-laki lebih yang menjadi korbannya. Tapi nie-kouw ini tidak pernah puas
dengan hanya seorang laki-laki karena ia akan selalu bosan cepat sekali pada
laki-laki yang telah menjadi korbannya.
Tak pernah bertahan lebih dari
tiga bulan pasti akan disepaknya. Dan Ang-sian Sienie mencari korbannya yang
baru.
Yang luar biasa, justeru
kepandaian Ang-sian Sienie ini kian hari kian memperoleh kemajuan yang pesat
sekali. Kepandaian yang sangat tinggi dan juga tokoh-tokoh rimba persilatan
saja mengakuinya bahwa kepandaian Ang-sian Sienie merupakan kepandaian yang
sulit sekali ditandingi.
Dalam keadaan-keadaan
tertentu, sering kali Ang-sian Sienie menyatroni Siauw-lim-sie, Bu-tong-pay
atau pintu perguruan silat terkenal lainnya, buat mencari korbannya. Seperti di
bagian depan sudah dijelaskan, betapapun ia menyukai laki-laki dengan kepandaian
tinggi.
Disamping orang itu akan
diajaknya menemani Ang-sian Sienie, juga memang nie-kouw tersebut akan berusaha
dengan licik sekali memancing keterangan tentang kepandaian yang paling
diandalkan oleh pintu perguruan korbannya.
Karena itu juga, telah membuat
Ang-sian Sienie memperoleh kepandaian yang beraneka ragam, karena semua ilmu
silat dan terutama sekali inti sarinya, telah dikumpulkannya dan kemudian
digabung dalam bentuk semacam kepandaian. Hal ini jelas membuatnya jadi tangguh
sekali.
Ang-sian Sienie tidak
memperdulikan apakah calon korbannya itu adalah seorang hweshio atau memang
seorang tojin. Tapi yang terpenting baginya orang yang menjadi korbannya itu
mempunyai kepandaian yang tangguh dan tinggi, maka korbannya itu harus
mempunyai muka yang tampan sekali.
Kali ini dia melihat Pek Ie
Siu-cay. Wajah yang tampan sekali dari pemuda itu, menarik benar hati si
Nie-kouw. Juga ia melihat kepandaian silat dari Ang Ie Ciu tidak lemah,
karenanya dia semakin tertarik saja. Dan itulah sebabnya dia telah melihat Ang
Ie Ciu agar mau melakukan perjalanan bersama-sama dengannya.
Ang Ie Ciu pun, walaupun
seorang pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi, dia mempunyai kelemahan,
yaitu, ia lemah dan takluk terhadap paras cantik. Karenanya, ketika melihat
atas nie-kouw ini sangat cantik, dan juga sikap nie-kouw itu terlalu manis
padanya, Pek Ie Siu-cay ini tidak mau membuang-buang kesempatan yang ada. Dia
menyambut gembira sekali uluran tangan nie-kouw itu untuk melakukan perjalanan
bersama-sama.
Demikianlah mereka berdua
telah melakukan perjalanan menuju ke Barat. Dan mereka pun selalu
bercakap-cakap dengan gembira.
“Jika memang nanti Sienie
sudah bisa membantuku memperoleh Giok-sie, entah dengan cara apa aku bisa
membalas budi kebaikan Sienie?” Tanya Ang Ie Ciu dalam perjalanan, sambil
melirik dan tersenyum kepada nie-kouw itu.
Ang-sian Sienie tersenyum. Dia
pun melirik kepada si pemuda itu.
“Janganlah kau berkata begitu,
Kongcu. Kau tahu Kongcu, betapa pun aku senang sekali bisa menolong kau
walaupun kau andaikata kelak kau tidak mau ingat budi kebaikanku, asal kita
bisa bersahabat.
“Persahabatan bagiku jauh
lebih penting dan berharga dibandingkan dengan hal-hal lainnya….. karenanya
kongcu jangan sungkan-sungkan terhadapku.......!”
Sambil berkata begitu, nie-kouw
melirik lagi, sikapnya manis sekali.
Senang hati Pek Ie Siu-cay.
“Kalau memang demikian,
sekarang saja Sienie menerima ucapan terima kasihku!” Sambil berkata, Pek Ie
Siu-cay menahan langkah kakinya, dia sendiri menghadapi si nie-kouw
merangkapkan sepasang tangannya dan menjura memberi hormat.
Nie-kouw itu cepat-cepat
menahan langkah kakinya juga, apapun membalas hormat Ang Ie Ciu.
“Jangan banyak peradatan!
Bukankah Kongcu, menerimaku sebagai sahabatmu? Dengan kedudukan sebagai seorang
sahabat, aku harus berusaha membantu Kongcu, harus dapat menolongi jika
sahabatku itu tengah dalam kesulitan.
“Jangan banyak peradatan…….
jangan banyak peradatan!” Dan setelah berkata begitu, nie-kouw itu
membungkukkan tubuhnya.
Karena nie-kouw tersebut
membungkuk terlalu dalam, baju kependetaannya yang longgar agak turun ke bawah.
Mata Pek Ie Siu-cay terbuka
lebar. Hatinya berdebar-debar.
Nie-kouw itu mengetahui sikap
si pemuda pelajar, dia tertawa manis, mengambil sikap seperti juga tidak
mengetahui. Mata Pek Ie Siu-cay seperti juga mata kucing yang rakus sekali
melihat sepotong daging.
“Kongcu, apakah malam ini kita
bisa mencapai kota Lu-shia?” Tanya nie-kouw tersebut akhirnya.
Pek Ie Siu-cay seperti
terdesak kaget. Dia tersadar bahwa tadi dia sudah membawa sikap tidak pantas.
Cepat-cepat dia menunduk, dengan suara tergagap dia jupa bilang:
“Mungkin……. mungkin bisa…….!”
“Mari kita lanjutkan perjalanan
kita…..!” Ajak si nie-kouw sambil tersenyum.
Pek Ie Siu-cay cuma
mengangguk. sambil menelan air liur lagi. Entah mengapa hatinya jadi tergoncang
keras oleh semacam perasaan yang aneh. Juga dia merasakan betapa hatinya itu
tergoda oleh semacam ingatan.
Perasaannya jadi tidak tenang!
Walaupun mereka telah melanjutkan perjalanan mereka, tokh dia seringkali
melirik pada nie-kouw yang ada disampingnya.
Dia mencuri-curi melirik
karena kuatir nie-kouw itu mengetahui. Betapa pun dia sering melirik dengan
penuh rasa kagum melihat kecantikan paras muka nie-kouw tersebut.
Setelah melakukan perjalanan
sejenak lamanya, akhirnya mereka tiba di kota Lu-shia, sebuah kota yang tidak
terlalu besar, sebuah kota yang memang tidak terlalu padat penduduknya.
Namun, bangunan rumah penduduk
di kota itu tampak baik-baik, karena memang penduduk kota ini sangat kaya dan
juga kota ini merupakan kota perdagangan, menyebabkan kota tersebut diliputi
kekayaan yang merata, membuat tidak ada seorang penduduk di kota itu yang terlanda
oleh kemiskinan.
Karenanya pula, rumah
penginapan tempat di mana Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian Sienie tempati, merupakan
rumah penginapan yang sangat besar dan luas.
Di waktu itu, si nie-kouw
meminta agar si pelayan mempersiapkan sebuah kamar saja.
Pelayan itu memandang heran.
Dia melihat nie-kouw tersebut bersama Pek Ie Siu-cay.
“Sienie, apakah……. apakah
Sienie akan bersama, sekamar dengan Kongcu itu…...?!” Tanya si pelayan, karena
ia kuatir telah salah dengar perintah si nie-kouw tersebut.
Nie-kouw tersebut tersenyum,
“Mengapa heran? Ini adalah
adik kandungku, di mana kami baru saja bertemu. Kami ingin bercakap-cakap
sepanjang malam ini, karenanya kami mengambil satu kamar.......!”
Walaupun nie-kouw tersebut
menyebut Pek Ie Siu-cay sebagai adik kandungnya, ia kurang yakin. Tapi diapun
tidak bisa menolak pesanan si nie-kouw. Segera dia pergi mempersiapkan kamar
nie-kouw tersebut.
Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian
Sienie duduk menghadapi meja. Di depan mereka tersedia dua poci arak dan juga
beberapa makanan kecil. Mereka minum perlahan-lahan.
“Mengapa kita mengambil sebuah
kamar saja?” Tanya Pek Ie Siu-cay perlahan sekali berbisik.
Ang-sian Sienie tersenyum.
“Tidak aneh, bukan? Bukankah
kita bisa bercakap-cakap gembira sambil beristirahat? Jika kita pisah kamar,
tentu kita akan kesepian, tidak ada orang-orang yang bisa kita ajak
bercakap-cakap…….!”
Pek Ie Siu-cay mengangguk.
Diam-diam hati pemuda pelajar
berbaju putih ini girang bukan main. Bukankah diwaktu itu si nie-kouw sudah
memberikan angin baik padanya, yaitu mereka akan tidur bersama di sebuah kamar?
Tapi, disaat itu juga Pek Ie
Siu-cay semakin yakin, bahwa nie-kouw ini bukanlah pendeta wanita yang alim dan
suci. Karena pendeta wanita ini pasti merupakan pendeta yang cabul dan senang
main serong dengan laki-laki mana saja.
Bukankah sekarang saja
tampaknya memang nie-kouw tersebut hendak memberikan angin kepada Pek Ie Siu-cay?
Dan dengan hanya memesan sebuah kamar saja, dimana mereka akan tidur bersama di
dalam kamar itu, nie-kouw ini sudah memberikan peluang buat Pek Ie Siu-cay
menyambutnya.
Walaupun masih berusia muda,
Pek Ie Siu-cay tidak bodoh. Dia memang sering bermain dengan wanita-wanita
bunga raya, yaitu pelacur, dan ia tahu nie-kouw ini membutuhkannya malam ini.
Pek Ie Siu-cay tidak merasa
rugi jika harus kencan dengan nie-kouw tersebut, karena iapun melihat wajah
nie-kouw itu sangat cantik sekali. Karenanya, membuat Pek Ie Siu-cay diam-diam
bergirang hati dan iapun tidak bosan-bosannya sering melirik kepada nie-kouw
itu, untuk mencuri lihat kecantikannya.
Matanya yang bagus bentuknya,
hidungnya yang bangir dan bibirnya yang berbentuk kecil mungil sangat indah sekali.
Bentuk tubuhnya, potongannya yang indah. Betapa pun juga, nie-kouw ini seorang
wanita yang sangat menarik sekali.
Dan diam-diam Pek Ie Siu-cay
tersenyum.
Ang-sian Sienie melihat si
pemuda senyum-senyum seperti itu, dia meletakkan cawannya di atas meja,
kemudian dia mengawasi si pemuda, tanyanya:
“Apa yang kau tertawakan,
Kong-cu?”
Tersentak Pek Ie Siu-cay.
“Tidak….. tidak ada…….!”
Katanya kemudian dengan menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada? Tapi kulihat tadi
engkau tersenyum-senyum saja!” Kata Ang-sian Sienie.
Kaget Pek Ie Siu-cay. Rupanya
sejak tadi si nie-kouw memang memperhatikannya.
“Ini……. Ini…..,” Pipi si
pemuda pelajar baju putih ini berobah memerah! “Sebetulnya……. sebetulnya aku
tengah berpikir betapa cantiknya Sienie…….!” dan setelah berkata begitu, si
pelajar tersenyum.
Girang nie-kouw itu, ia
membalas senyum si pelajar.
“Kalau demikian kau rupanya
menyukai kecantikan pienie bukan?”
“Ya!”
“Tapi, pienie tentunya tak
terlalu cantik, banyak siocia-siocia yang cantik dan halus!”
“Mungkin di dunia ini cuma
Sienie yang paling cantik….. cuma sayang…….!” setelah berkata begitu, Pek Ie
Siu-cay tidak meneruskan kata-katanya.
Nie-kouw menantikan terusan
kata-kata si pemuda pelajar itu, tapi pemuda pelajar berbaju putih itu tak
meneruskan kata-katanya.
“Kalau…… kalau memang Sienie
bukan seorang nie-kouw…….!” Kata si pemuda pelajar beberapa saat kemudian, ia
bicara dengan kata-kata yang tak lancar.
“Kenapa?”
“Tentu menggembirakan sekali!”
“Mengapa begitu?”
“Karena……. karena kita bisa
berhubungan sebagai sepasang merpati!”
Nie-kouw itu tersenyum, dia
tidak bilang suatu apapun juga lagi. Cuma hatinya jadi senang bukan main.
Pek Ie Siu-cay mengangguk.
“Ya, Dan sayang sekali Sienie
sudah mengikuti jalannya sang Buddha…..!”
Diwaktu itu Pek Ie Siu-cay
mengawasi si nie-kouw yang tengah menunduk dan meneguk minumannya. Betapa
cantiknya pendeta wanita ini.
Sayang ya. Memang sayang
sekali dia seorang nie-kouw. Dengan demikian jelas dia tidak dapat untuk
menghadapi si nie-kouw lebih dari bersahabat saja.
Walaupun selama dalam
perjalanan nie-kouw itu memperlihatkan sikap yang manis dan akrab, namun Pek Ie
Siu-cay tidak sembarangan untuk bersikap kurang ajar.
Tadi pun dia telah bicara
terus terang memuji akan kecantikan nie-kouw itu, itupun karena terpaksa
sekali, karena memang hatinya diliputi rasa aneh dan kagum menyaksikan
kecantikan wajah nie-kouw ini.
Pelayan datang memberitahukan
mereka, bahwa kamar yang dipesan sudah disiapkan.
Ang-sian Sienie mengajak Pek
Ie Siu-cay pergi ke kamar itu, sebuah kamar yang cukup luas, dengan sebuah
pembaringan yang cukup besar.
Nie-kouw itu menutup pintu,
kemudian menggeliat meluruskan pinggangnya.
“Betapa perjalanan tadi
melelahkan sekali!” menggumam nie-kouw itu.
“Ya!”
Nie-kouw itu menoleh kepada
Pek Ie Siu-cay, matanya itu tampak bersinar terang.
“Apakah Kongcu pun lelah?”
“Ya!”
“Nah kau rebahkanlah tubuhmu
di pembaringan untuk beristirahat!”
Pek Ie Siu-cay menggeleng.
“Jangan, buat Sienie
saja.......!”
“Aku nanti saja, silahkan
Kongcu yang lebih dulu…….!”
Namun Pek Ie Siu-cay
menggeleng.
“Aku tidak terlalu lelah. Aku
cukup duduk di kursi itu saja. Silahkan Sienie beristirahat!”
Dan benar-benar Pek Ie Siu-cay
menghampiri kursi di sudut ruang kamar itu, ia duduk di situ sambil tersenyum.
Nie-kouw itu rupanya
menyadari, percuma saja ia terus mendesak pemuda itu karena pemuda itu sudah
duduk di kursi tersebut.
“Baiklah…….!” kata nie-kouw
itu sambil melangkah ke pembaringan. Dia pun telah menggeliat lagi, kemudian
duduk di tepi pembaringan mengawasi Pek Ie Siu-cay.
Ditatap seperti itu, hati Pek
Ie Siu-cay jadi semakin tak tenang, berdebar keras hatinya, dikuasai oleh
sesuatu yang aneh sekali.
Nie-kouw itu tersenyum.
“Aku ingin membuka jubahku
dulu……. tapi….., tapi…….!”
Pek Ie Siu-cay jadi menunduk
dengan pipi yang berobah merah.
“Memang jika kita mengambil
sebuah kamar, tentu Sienie tidak akan leluasa….. Biarlah aku keluar saja, aku
akan meminta pada pelayan agar dipersiapkan sebuah kamar lainnya buat aku…….”
“Oh, bukan begitu maksud
pienie…..!” Kata si nie-kouw segera, “Duduklah kongcu! Pienie memang ingin
membuka jubah Pienie, tapi sama sekali tidak merasa terganggu adanya Kongcu.
Cuma saja pienie hendak memberitahukan saja dan jangan ditertawakan oleh Kongcu
sebagai nie-kouw yang tidak tahu malu!”
Hati Pek Ie Siu-cay semakin
berdebar.
“Tentu saja tidak, tentu saja
tidak!” Kata Pek Ie Siu-cay sambil menunduk terus. “Mana berani….. mana
berani.......”
“Kongcu…….!” Panggilnya.
“Ya?” Kaget Pek Ie Siu-cay,
sampai ia tersentak dan mengangkat kepalanya.
“Berani sumpah?”
Pek Ie Siu-cay sebetulnya
diwaktu itu merasakan hatinya tergoncang keras sekali. Diapun menyadari bahwa
dia tengah dikuasai oleh perasaan yang aneh itu.
Dia cepat-cepat mengangguk.
“Berani sumpah apa saja.”
“Sungguh?!”
“Ya, sumpah apa saja.”
“Coba bersumpah!”
“Sumpah apa, Sienie?”
“Kau yang bersumpah saja
sendiri untuk membuktikan pujianmu itu keluar dari hati yang jujur.”
Pek Ie Siu-cay ragu-ragu
sejenak, namun akhirnya dia mengangkat kepalanya, mengawasi si nie-kouw, dia
bilang: “Jika memang tadi saya berkata palsu pada Sienie, biarlah aku dikutuk
oleh Thian sehingga di waktu selanjutnya tidak akan dapat hidup dengan baik
dengan tubuhnya yang utuh dan mati dengan keadaan mengenaskan sekali, tidak
diterima oleh bumi mau pun langit.......!”
Mendengar sumpah Pek Ie
Siu-cay seperti itu, senang hati nie-kouw tersebut.
“Bagus!” katanya puas. “Jika
demikian kongcu memang berkata sungguh-sungguh.”
“Ya……. memang sebenarnya.”
Nie-kouw itu tertawa.
Nie-kouw itu seakan sudah
tidak memperdulikan si pelajar baju putih itu, dia rebah dengan tenang.
Pek Ie Siu-cay mengawasi
dengan mencuri pandangan pada nie-kouw itu karena Pek Ie Siu-cay tidak berani
langsung. Dia kuatir nanti dirinya disebut kurang ajar.
Bukankah nie-kouw yang cantik
ini sudah demikian baik dan mempercayainya? Bukankah dia diajak untuk tinggal
bersama-sama di dalam sebuah kamar? Bukankah nie-kouw itu benar-benar sudah
mempercayainya?
Karena dari itu, Pek Ie
Siu-cay tidak berani untuk memperlihatkan sikap kurang ajar.
Entah sudah lewat berapa lama,
mereka berdiam diri saja, kamar itu hening.
Sampai akhirnya si nie-kouw
menoleh pada si pelajar baju putih itu. Dilihatnya Pek Ie Siu-cay duduk tengah
mengawasi padanya. Wajah si Pelajar tampaknya kaget waktu tatapan mereka saling
bertemu, cepat-cepat ia berpaling, ke arah lain.
Waktu itu, si nie-kouw
tersenyum, malah tertawanya pun terdengar halus dan perlahan.
“Kongcu…….!” panggilnya
perlahan.
Tersentak lagi Pek Ie Siu-cay.
“Ya!”
“Mengapa diam saja! Bukankah
keheningan bukan saat yang menggembirakan.......?”
“Aku….. aku tidak tahu lagi
apa yang harus kukatakan kepada Sienie.
“Katakanlah, apa saja…….
dengan bercakap-cakap terus kita akan gembira? Bukankah sengaja pienie mengajak
Kongcu berdiam bersama di sebuah kamar ini, untuk teman bercakap-cakap agar
pienie tidak kesepian?”
Benar-benar Pek Ie Siu-cay
agak bingung karena dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dia seperti
kehabisan kata-kata.
Tampak si pelajar lebih kikuk
lagi.
Dengan duduk di tepi
pembaringan, dia mencium bau harum semerbak, yang membuat hatinya semakin
berdebar.
“Duduklah di sini kita bisa
bercakap-cakap dengan gembira sekali, bukankah begitu?”
“Tapi….. tapi….”
“Kenapa?”
“Bukan Sienie hendak
beristirahat?!”
Nie-kouw itu menggeleng.
“Aku rebah beristirahat dengan
mendengar suaramu! Bercakap-cakap dengan kau merupakan hal yang menyenangkan
sekali!” Kata nie-kouw tersebut.
Hati Pek Ie Siu-cay mulai agak
tenang. Tampaknya si nie-kouw memang bersikap terbuka sekali padanya, dan
tampaknya nie-kouw inipun memberikan kebebasan padanya.
“Apa yang hendak kita
percakapkan?” Tanya si pelajar baju putih itu.
Nie-kouw itu tersenyum.
“Apa saja, kau boleh
menceritakan sesuatu yang indah dan menarik pada Pinnie!”
“Cerita? Bercerita? Tentang
apa, Sienie?” Heran Pek Ie Siu-cay.
“Tentang apa saja.”
“Baiklah……. aku akan
menceritakan apa yang selama ini sering kutemui dalam rimba persilatan, selama
aku berkelana. Entah Sienie senang mendengarkan atau tidak?”
“Oh, tentu saja senang, ayo
mulailah!”
Pek Ie Siu-cay batuk-batuk
dulu beberapa kali, barulah dia kemudian menceritakan pengalamannya selama
berkelana di dalam rimba persilatan, sengaja Pek Ie Siu-cay memilih bagian yang
lucu, yang bisa memancing tertawa gembira itu.
Melihat Pek Ie Siu-cay
bercerita, akhirnya Ang-sian Sienie tertawa.
“Adakah cerita lain yang lebih
menarik?” Tanya si pendeta wanita tersebut sambil tersenyum.
Pek Ie Siu-cay menghela napas.
“Aku tidak memiliki cerita
yang baik....... Mungkin apa yang tadi kuceritakan padaa Sienie kurang
menarik!” Katanya sambil tersenyum.
Si pendeta wanita mengangguk
perlahan, dia bilang: “Cukup menarik. Tapi, Pienie memiliki cerita yang mungkin
lebih menarik!”
“Kalau begitu…….”
“Kenapa?”
“Maukah Sienie menceritakanya
padaku?”
“Baik! Pienie akan
menceritakan!”
Pek Ie Siu-cay memang
mengetahui betapapun juga Ang-sian Sienie seorang pendeta wanita yang tangguh,
malah Pek Ie Siu-cay bukan tandingannya. Karenanya juga membuat Pek Ie Siu-cay
tidak berani untuk bertindak kurang ajar.
Rupanya Ang-sian Sienie sudah
berpikir cukup dan sudah ingat cerita apa yang akan dikisahkannya buat Pek Ie
Siu-cay, ia membuka matanya kembali dan sambil tersenyum dia bilang.
“Sekarang Pinnie sudah ingat
apa yang mau Pinnie ceritakan buat Kongcu, tentu sangat menarik sekali! Inilah
tentang percintaan sepasang muda mudi…..!”
Pek Ie Siu-cay mengangguk.
“Tentunya cerita Sienie memang
menarik sekali!”
“Tentu! Tentang seorang gadis
yang mencintai seorang pemuda……!”
“Bagaimana ceritanya?!”
Si gadis mencintai si pemuda,
sedangkan pemuda itupun sangat mencintainya. Sayangnya, orang tua mereka
menentang hubungan mereka, sampai akhirnya, si gadis suka mengadakan pertemuan
gelap dengan kekasihnya.
“Tapi akhirnya mereka terjadi
dan menikah?!”
“Tidak.......”
“Tidak?”
“Ya, karena berakhir si gadis
meninggal, mati bunuh diri, sedangkan si pemuda pun akkirnya mengikuti jejak
kekasihnya, menghabisi jiwanya sendiri…….”
“Oh, menyedihkan sekali.”
“Ya, si gadis suatu hari mengajak
si pemuda bertemu di sebuah kuil rusak. Kuil itu sepi dan tidak terdapat orang
lainnya. Mereka leluasa sekali memupuk cinta mereka, sampai akhirnya si gadis
menyerahkan kegadisannya kepada kekasihnya.”
“Jadi, gadis itu rela
menyerahkan dirinya?”
“Ya.”
“Kalau demikian, tentunya
pemuda itu menerimanya?”
“Tidak. Dia menolaknya, dia
bilang, jika mereka nanti sudah menikah, barulah dia mengambil haknya.”
“Namun, akhirnya pemuda itu
menuruti juga keinginan si gadis?”
Ang-sian Sienie mengangguk.
“Sienie.......!” Bisiknya.
Nie-kouw itu menggeliat.
“Ya?”
“Kepandaianmu sangat hebat
sekali, ilmu silatmu sangat mahir dan tinggi. Aku memiliki sebuah permohonan
entah Sienie mau meluluskannya atau tidak?!”
“Apa itu?”
“Aku menginginkan Sienie mau
memberikan petunjuk kepadaku…….!”
“Tentang ilmu silat? Mengenai
jurus-jurus andalan?!”
“Benar…….!”
“Tentu saja mau!”
“Benarkah itu, Sienie?!”
“Benar……. aku memang akan
memberikan petunjuk kepadamu, asal engkaupun mau memenuhi semua yang
kuinginkan!”
“Tentu saja Sienie!”
Pek Ie Siu-cay sendiri heran,
mengapa nie-kouw ini mempunyai suatu kelainan dibandingkan dengan wanita-wanita
lain.
Sedangkan saat itu si nie-kouw
sendiri tengah berusaha untuk menghisap sari kelaki-lakian si pelajar baju
putih, karena memang dalam latihan yang semacam ilmu miliknya, dia telah
membutuhkan banyak sekali sari laki-laki.
Ang-sian Sienie pun tertidur.
Begitu pula dengan Pek Ie Siu-cay tertidur tidak sadarkan diri lagi……. napasnya
yang menderu-deru mengorok.
Ang-sian Sienie tidur dengan
bibir tersenyum seakan-akan juga dia tengah bermimpi indah sekali.
Hubungan Ang-sian Sienie
dengan Pek Ie Siu-cay Ang-sian Sienie semakin akrab.
Pagi itu tampak mereka duduk
di depan rumah penginapan, sedang bersantap. Memang seperti kebanyakan rumah
makan di daerah Put-hay, maka demikian pula dengan rumah penginapan yang
didiami oleh Pek Ie Siu-cay berdua Ang-sian Sienie selain merupakan rumah
penginapan, merekapun membuka rumah makan di ruang bawah, di sebelah depan
bagian dari rumah perginapan itu. Biasanya rumah makan di daerah itu merangkap
sebagai rumah penginapan.
Sambil makan, tidak hentinya
Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian Sienie bercakap dan tertawa-tawa gembira.
Tidak diperdulikan oleh mereka
pandangan aneh dari pelayan rumah penginapan itu ataupun para tamu lainnya.
Mereka tetap dengan kegembiraan mereka.
Tengah makan tiba-tiba tampak
Pek Ie Siu-cay menunda sumpitnya! Ia mengawasi ke arah pintu rumah penginapan
dengan biji mata tidak bergerak, malah matanya itu terpentang cukup besar.
Ang-sian Sinnie jadi heran,
dia menoleh mengikuti pandangan Pek Ie Siu-cay, segera juga darahnya tersirap,
dia terkesiap kaget. Namun cepat sekali dia bisa mengendalikan dirinya di
samping rasa kaget bercampur dengan perasaan gembira.
Karena dia mengenali segera
seseorang yang tengah melangkah masuk ke dalam rumah penginapan itu adalah
seorang laki-laki berpakaian jubah serba putih dengan bagian mukanya ditutup
oleh sehelai kain. Dan mukanya tidak terlihat, cuma saja Ang-sian Sinnie
mengenalinya. Itulah Kim Lo, si Pendekar Aneh Seruling Sakti.
“Jangan perdulikan dia!” Bisik
Pek Ie Siu-cay sambil menunduk.
Si pendeta wanita mengangguk.
“Ya…….!”
Mereka meneruskan makan
mereka.
Orang yang baru datang memang
Kim Lo. Dia juga melihat Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian Sinnie berada di ruang
makan rumah penginapan itu.
Dia bimbang, karena dia semula
mau memutar tubuhnya untuk meninggalkan rumah penginapan itu. Cuma saja
akhirnya Kim Lo membatalkan maksudnya, kini dia meneruskan langkahnya masuk ke
dalam ruang rumah makan merangkap rumah penginapan itu.
Seorang pelayan menyambut dan
melayaninya. Kim Lo diajak ke sebuah meja yang masih kosong terpisah cukup jauh
dengan meja Pek Ie Siu-cay maupun Ang-sian Sinnie, terpisah hampir tujuh meja.
Sikap Kim Lo tenang sekali, ia
duduk di kursi tanpa menoleh sekalipun pada Ang-sian Sinnie maupun Pek Ie
Siu-cay. Ia memesan makanan juga minuman. Sambil menunggu tibanya makanan yang
di pesannya, Kim Lo duduk dengan tubuh yang tegak tenang di tempatnya, ia
memainkan tangannya.
Tak lama kemudian didengarnya
Ang-sian Sinnie tertawa, suara tertawanya itu genit sekali. Tapi Kim Lo tetap
tak menoleh, hanya memandang dengan lurus ke depannya, tak memperdulikannya.
Karena Kim Lo tahu bahwa dirinya yang tengah dibicarakan oleh Ang-sian Sinnie
dengan Pek Ie Siu-cay.
Tidak lama kemudian terdengar
lagi tertawa Ang-sian Sinnie, disusul dengan kata-kata Pek Ie Siu-cay, “Benar,
memang kita, harus meninggalkan rumah penginapan itu....... tentu kita jadi
terganggu sekali dengan kedatangan siluman itu!”
“Tapi tunggu dulu!” tiba-tiba
terdengar kata-kata Ang-sian Sinnie lagi. “Jangan pergi dulu. Keinginanku buat
melihat mukanya belum lagi terlaksana dan belum tercapai. Jika memang sudah
bisa melihat mukanya, aku puas. Entah wajahnya sangat buruk atau tampan,
sehingga dia selalu menutupi mukanya dengan kain itu……”
Waktu itu Kim Lo tetap menahan
diri. Dia tidak melayani ocehan Pek Ie Siu-cay mau pun Ang-sian Sinnie.
“Hemm, kita lihat saja apa
maksudnya datang kemari!” kata Pek Ie Siu-cay.
“Benar, tentu iapun tengah
menyelidiki tentang jejak Giok-sie.......!”
“Giok-sie telah kuhancurkan,
sekarang apa pun sudah tak bisa memperolehnya!” kata Pek Ie Siu-cay. Waktu
bilang begitu suaranya sengaja dikeraskan, agar Kim Lo dapat mendengarnya.
Benar saja, Kim Lo tak bisa
menahan diri lebih jauh, ia tiba-tiba sekali bangun dari duduknya, melangkah
menghampiri Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian Sienie.
Setelah menghampiri dekat, ia
bilang dengan suara yang datar dan dingin, “Di mana adanya Giok-sie?!”
Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian
Sienie tertawa bergelak.
“Lihat! Lihat! Benar bukan apa
yang kukatakan tadi, bahwa dia pun mengincar Giok-sie?” tanya Ang-sian Sienie
di antara suara tawanya.
Pek Ie Siu-cay
mengangguk-angguk.
“Benar! Benar!” Katanya.
“Lucu! Dia bertanya pada kita
di mana adanya Giok-sie! Hemm, jika memang Giok-sie berada di tangan kita,
apakah kita akan memberitahukannya?”
Mereka tertawa lagi.
Kesabaran Kim Lo sudah habis.
Mendadak sekali tangannya menepuk meja.
“Bukk!” Mangkok dan juga
sumpit berjatuhan menimbulkan suara yang berisik.
Kaget tamu-tamu lainnya yang
sudah segera menoleh, sedangkan pelayan jadi sibuk sekali, untuk datang memisahkan
mereka, karena pelayan itu menduga terjadi keributan dan ingin mencegah
terjadinya keributan.
Kim Lo tidak melayani sikap
dan ocehan si pelayan, dengan sorot mata tajam sekali yang muncul dari dua
lobang topeng mukanya itu, dia bilang nyaring: “Sekarang kalian sebutkan, di
mana beradanya Giok-sie! Jangan sampai aku memaksa dengan kekerasan.......!”
Ang-sian Sienie tertawa
bergelak.
“Jika memang kami tidak
memberitahukan?”
“Aku akan memaksa.”
“Bisa kau memaksa Pinnie?”
“Bisa!”
Muka Ang-sian Sienie berobah
merah padam, karena dia tersinggung. Dia berdiri.
“Sekarang justeru aku ingin
melihat, dengan cara apa kau memaksa aku…..!”
“Ada caranya, tapi lebih baik
kalian memberitahukan di mana beradanya Giok-sie. Tadi kudengar kalian menyebut-nyebut
tentang Giok-sie!”
“Ya, memang aku memberitahukan
Giok-sie telah kuperoleh dan kuhancurkan! Aku ingin kau mendengar hal itu,”
Kata Pek Ie Siu-cay, “Maka tidak ada gunanya juga jika sekarang kalian hendak
memperebutkan Giok-sie, telah dimusnahkan. Kau dengan orang-orang Kang-ouw
lainnya jangan bermimpi bisa memperoleh Giok-sie dan jadi Kaisar.”
Ang-sian Sienie dengan suara
datar telah bilang: “Hemm, dulu tidak berhasil melihat wajahmu, sekarang Pinnie
ingin melihatnya…….!”
Nie-kouw itu tak menanti
sampai kata-katanya itu habis, ia sudah menggerakkan hud-timnya, dimana ujung
hud-tim menyambar cepat sekali ke arah muka Kim Lo.
Jika orang diserangnya itu
berkepandaian tanggung, niscaya orang itu tak berdaya buat mengelakan ujung
hud-tim itu, karena ujung hud-tim seperti memiliki mata dan akan menggaet tepi
kain penutup muka. Itulah disebabkan memang lweekang Ang-sian Sienie sangat
tinggi sekali. Ia bisa mempergunakan tenaga dalamnya yang disalurkan pada
tangan dan kemudian pada ujung hud-timnya itu.
Kim Lo tenang saja, ia cuma
memiringkan kepalanya sedikit, sambaran hud-tim itu sudah mengenai tempat
kosong.
“Benar-benar kalian tidak mau
baik-baik?” tegur Kim Lo.
“Ya, kau memang mencari
penyakit,” kata Ang-sian Sienie. “Kalau kau mau membuka penutup mukamu, mungkin
Pinnie bersedia bicara lebih jauh denganmu!”
“Hemmm!” sambil mendengus
begitu tangan Kim Lo bergerak buat menyentil hud-tim si pendeta wanita yang
tengah menyambar ke pundaknya.
Ujung hud-tim yang kena
disentil oleh Kim Lo jadi mencong arahnya. Diwaktu itu dipergunakan oleb Kim Lo
buat mencengkeram tangan nie-kouw.
Cuma saja, kepandaian Ang-sian
Sienie memang tidak rendah. Mudah sekali dia menarik pulang serangannya yang
gagal itu dan juga menarik pulang tangan maupun hud-timnya, sehingga gagal
dicekal oleh Kim Lo.
Kim Lo penasaran, tapi belum
lagi dia menyusuli dengan serangannya. Justeru Ang-sian Sienie sudah
mengulurkan tangan kirinya, dia hendak menjambret penutup muka Kim Lo.
Kim Lo berkelit.
Tangan Ang-sian Sienie
meluncur cepat sekali, begitu Kim Lo mengelak, dia menyusuli lainnya.
Demikianlah saling susul,
sampai akhirnya membuat Kim Lo harus menangkis juga tangan si nie-kouw yang
tengah menyambar ke dirinya.
“Buukkk!” tangan mereka saling
bentur, tapi tubuh Kim Lo tetap tegak ditempatnya tanpa kurang suatu apa pun
juga.
Tubuh Ang-sian Sienie masih
berdiri tegak di tempatnya. Cuma saja, dia merasakan tenaga tangkisan dan
tangan Kim Lo kuat sekali.
Dia tergetar walaupun
kuda-kuda sepasang kakinya tidak sampai tergempur. Dia tokh terkejut, dadanya
sakit, dan selanjutnya ia bersikap hati-hati.
Pek Ie Siu-cay tidak bisa
menahan sabar lagi, diapun maju dengan gerakan yang gesit.
“Sienie, jangan kuatir, aku
akan membekuk manusia siluman ini!” Sambil berkata begitu, dia sudah menyerang
dengan pedang yang dihunusinya.
Tikaman yang dilakukan Pek Ie
Siu-cay seperti serangan membokong, karena dia menikam dengan mendadak, juga
dari arah belakang Kim Lo, tanpa memperingati dulu.
Kim Lo mendengar berkesiuran
angin dingin ditekuknya, dia melesat ke samping.
Tikaman Pek Ie Siu-cay jatuh
ke tempat kosong.
Namun Pek Ie Siu-cay tidak mau
sudah sampai di situ saja. Dia ingin memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya,
di depan nie-kouw tersebut.
Memang benar Kim Lo memiliki
kepandaian yang lebih tinggi darinya. Hanya saja, diapun tidak jeri, karena
adanya si nie-kouw yang liehay disampingnya.
Pek Ie Siu-cay yakin tentu
Ang-sian Sienie tidak akan tinggal diam membiarkan dirinya dirubuhkan Kim Lo.
Semangatnya terbangun, diapun menyerang gencar sekali kepada Kim Lo, dengan
tikaman dan tabasan yang saling susul.
Kim Lo hanya mengelak ke sana
ke mari.
“Benarkah kalian sudah
berhasil memperoleh Giok-sie?” Tanya Kim Lo. Dia bertanya dengan nada menegur.
Pek Ie Siu-cay tertawa
bergelak sambil menikam terus dengan pedangnya.
“Tidak salah! Kau inginkan
Giok-sie itu?”
“Hemm, serahkan Giok-sie
padaku!”
Pek Ie Siu-cay tertawa
mengejek.
“Aduhhh, enak benar minta
diserahi Giok-sie begitu saja, menyerahkan benda pusaka yang tidak ternilai
harganya!”
“Serahkan…….!” Bentak Kim Lo
sengit.
Sambil membentak begitu, Kim
Lo juga sudah menyambar dengan tangan kanannya, mempergunakan jari telunjuk dan
ibu jarinya ingin menjepit pedangnya. Dia mau menjepit pedang itu, lalu
mematahkannya.
Namun Kim Lo jelas tidak mudah
untuk melakukan apa yang dipikirkannya. Selain Pek Ie Siu-cay mempunyai
kepandaian tinggi dan juga sudah berlaku waspada, diapun dapat menarik pulang
pedangnya dengan segera, lalu melompat mundur mengelakkan tangan Kim Lo.
Ang-sian Sienie pun tidak
tinggal diam. Melihat Pek Ie Siu-cay dalam beberapa jurus sudah dapat dipukul
mundur oleh Kim Lo, dia melompat maju.
Tangan si nie-kouw menyambar
kepada kain penutup muka Kim Lo. Hud-timnya juga menyambar dengan cepat.
Kim Lo harus menghadapi si
nie-kouw itu.
“Benar, benar kalian
menghendaki aku menurunkan tangan keras?!” Tanya Kim Lo karena mendongkol
melihat kedua orang itu sulit sekali diajak bicara baik-baik.
“Ya……. silahkan kau
mempergunakan serulingmu! Bukankah kau terkenal sebagai si pendekar aneh yang berseruling
sakti?”
Ejekan itu membuat hati Kim Lo
mendongkol.
“Kalau memang aku mengeluarkan
dan mempergunakan serulingku, berarti sudah saatnya kalian mati! Karena dari
itu, aku tidak mau jika menghadapi kalian belum waktunya untuk mati…….!”
“Hemm, apakah kepandaian ilmu
serulingmu itu hanyalah terlalu dibesar-besarkan, keterkenalan nama, lain
dengan rupa. Dan kau hanyalah sang kodok yang pandai mengibul dengan cara
bohong belaka. Sesungguhnya kau bukanlah orang yang memiliki kepandaian berarti
apa-apa.”
Sambil berkata begitu, tangan
Ang-sian Sienie bergerak gencar sekali. Tangan kiri dengan hud-tim di tangan ia
menerjang hebat kepada Kim Lo.
Berulangkali Kim Lo
mengelakkannya, diam-diam dia mengempos hawa murninya, sin-kangnya. Karena dia
hendak merubuhkan nie-kouw ini dulu barulah nanti dia akan menawan Pek Ie
Siu-cay, buat memaksanya agar Pek Ie Siu-cay mau memberikan pengakuan dan
bicara tentang Giok-sie.
Begitulah, waktu memperoleh
kesempatan di saat Ang-sian Sienie tengah menyerang dengan hud-timnya ke arah
perut Kim Lo, cepat sekali si Pendekar Aneh Berseruling Sakti itu sudah
bergerak lincah. Dia seakan tidak memperdulikan ujung hud-tim yang tengah
menyambar ke perutnya, tangan kanannya menyambar akan merampas hud-tim itu,
sedangkan tangan kirinya mendorong dengan kekuatan sin-kang yang menakjubkan,
karena menimbulkan kesiuran angin yang sangat kuat sekali.
Ang-sian Sienie kaget,
cepat-cepat dia mengelak.
Namun gerakannya terlambat.
Telapak tangan kiri Kim Lo
sudah menyambar masuk ke dadanya, memperdengarkan suara yang keras.
Walaupun pukulan itu bukan
mengenai telak, tokh Ang-sian Sienie mengelakkannya kalah cepat, dadanya masih
kena diserempet.
Namanya saja diserempet, namun
sesungguhnya Ang-sian Sienie memang sudah terpukul cukup keras. Tubuhnya
terhuyung dan juga ia kehilangan kuda-kuda sepasang kakinya.
Kim Lo tidak mau membuang
kesempatan yang ada, ia bergerak sangat lincah.
Waktu tubuh si nie-kouw
terhuyung seperti itu, Kim Lo sudah berada di sisi si nie-kouw. Tangan kanannya
diulurkan buat menjambak baju di punggung si pendeta wanita.
Hanya saja disaat tangan Kim
Lo tengah meluncur seperti itu, justeru dari arah belakangnya menyambar angin
serangan yang dingin. Penyerangnya adalah Pek Ie Siu-cay
Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu
melihat betapa keselamatan Ang-sian Sienie terancam, cepat-cepat dia melompat
maju buat menolongi nie-kouw itu.
Kepandaian Pek Ie Siu-cay pun
tidak terpaut terlalu jauh di bawah Kim Lo. Karena itu, Kim Lo pun, dengan
mendengar berkesiuran angin tikaman tersebut, dia tidak berani untuk
meremehkan. Itulah tikaman yang mengandung maut.
Batal Kim Lo buat menjambak
jubah di punggung nie-kouw tersebut. Dia memiringkan tubuhnya, pinggangnya
diputar, tahu-tahu tangan kanannya sudah diluruskan ke belakang, lalu jari
telunjuknya dengan ibu jari menjepit pedang Pek Ie Siu-cay, sambil menjepit
seperti itu Kim Lo mengerahkan lweekangnya.
“Trangg.......!” Pedang Pek Ie
Siu-cay patah.
Muka si pelajar baju putih itu
jadi pucat. Dia segera melompat mundur.
Hati Pek Ie Siu-cay tercekat
sebab menyaksikan kehebatan lawannya.
Sekarang ini barulah Pek Ie
Siu-cay yakin bahwa kepandaiannya belum lagi bisa menandingi Kim Lo.
Ang-sian Sienie yang sudah
pulih ketegangan hatinya, beruntun menyerang Kim Lo. Dia dengan hud-tim dan
telapak tangan kirinya, tidak mau jika Pek Ie Siu-cay kena dirubuhkan oleh Kim
Lo.
“Hemmm!” Kim Lo mendengus lagi
seperti diketahui, dulu Kim Lo selain menghindar dan tidak mau bertempur dengan
nie-kouw ini. Bertempur dengan seorang wanita dianggap Kim Lo bukan hal yang
membuatnya bangga.
Tapi sekarang karena
menyangkut urusan Giok-sie, Kim Lo sudah tidak segan-segan lagi. Tubuh Kim Lo
berputar cepat sekali, mengelilingi si nie-kouw. Malah tahu-tahu tangannya
mengancam bagian yang mematikan di tubuh si nie-kouw.
Menghadapi lawan tangguh
seperti ini tidak membuat Ang-sian Sienie jadi gentar. Dia pun mengeluarkan
ilmu silat andalannya dengan mengandalkan hud-timnya ia berusaha memberikan
perlawanan.
Demikianlah, ke dua orang itu
bertempur dengan gigih sekali.
Jika memang Kim Lo menghendaki
jiwa si nie-kouw, sama mudahnya dia membalik telapak tangannya. Tidak sampai
lima batang pemasangan hio niscaya dia sudah dapat merubuhkan si nie-kouw,
rubuh dalam keadaan terluka parah dan bisa mengancam jiwanya.
Karenanya Kim Lo tidak mau
mempergunakan tenaga andalannya. Dia menghendaki si nie-kouw rubuh serta nanti
bisa memberikan penjelasan tentang adaya Giok-sie yang diinginkannya.
Ang-sian Sienie menjerit
dengan suara pekikan nyaring, tubuhnya seperti burung elang menyambar kepada
Kim Lo.
Kim Lo tidak bergerak dari
tempatnya berada, dia berdiri tegak menyaksikan menyambarnya Ang-sian Sienie.
Dalam keadaan seperti itu Kim
Lo sudah memutuskan dia harus memperlihatkan sedikit kepandaiannya agar
Ang-sian Sienie dan Pek Ie Siu-cay, agar tak terlalu besar kepala.
Setelah memutuskan begitu,
segera juga ia bersiul nyaring sekali, tahu-tahu tubuhnya berputar dan entah
dengan cara bagaimana Kim Lo sudah mengeluarkan serulingnya. Dengan serulingnya
itu dia memutari Pek Ie Siu-cay maupun Ang-sian Sienie, buat mencari kesempatan
yang bisa dipergunakan merubuhkan lawannya.
Setelah berputar sekian lama,
serulingnya itu menyambar-nyambar seakan juga sinar petir cepat dan sulit untuk
di ikuti oleh pandangan, mata biasa.
Kim Lo memang sudah
mengeluarkan ilmu serulingnya yang tertinggi, hal ini membuat Ang-sian Sienie
harus berusaha mati-matian untuk menghindarkan diri dari setiap sambaran ujung
seruling itu.
Kim Lo melihat, dalam tiga
jurus lagi dia bisa merubuhkan Ang-sian Sienie, karena waktu itu rupanya
nie-kouw itu sudah mulai jatuh di bawah angin dan terdesak hebat.
Ketika melihat Kim Lo menjejak
tanah, tubuhnya melambung ke tengah udara, nie-kouw itu juga menjejakan kakinya.
Tubuh Kim Lo seperti burung rajawali layaknya, menyambar keprada Ang-sian
Sienie seperti seekor burung rajawali yang tengah mengincar jiwa mangsanya.
Tubuh mereka berdua saling
menyambar mendekati, sampai akhirnya tampak mereka sudah terpisah dekat sekali,
dimana masing-masing mengulurkan tangan mereka dan saling bentrok di tengah
udara.
Benturan tenaga mereka sangat
kuat sekali, kemudian tubuh mereka terpental ke belakang. Malah Ang-sian Sienie
terpental sampai delapan tombak lebih dan meluncur turun di tanah.
Tubuh Kim Lo cuma terpental
empat tombak, kemudian dapat turun berdiri di tanah, dengan baik. Memang
melihat dari peristiwa ini, di mana Kim Lo dengan Ang-sian Sienie mengadu jiwa,
tampaknya kepandaian Kim Lo menang setingkat dari si nie-kouw.
Waktu itu Kim Lo tidak mau
membuang-buang waktu di saat sepasang kakinya menginjak tanah, cepat bukan main
ia segera juga menjejak tanah lagi. Tubuhnya melesat pula menerjang kepada
nie-kouw tersebut, sambil sepasang tangannya sudah menghantam bertubi-tubi
kepala si nie-kouw.
Sebelumnya benturan tenaga
mereka yang terjadi tadi, telah membuat nie-kouw tersebut merasakan napasnya
sesak, juga matanya agak berkunang-kunang. Namun walaupun bagaimana dia tidak
bisa berdiam diri saja menerima hantaman yang dilakukan oleh Kim Lo, kalau
sampai dia menerima hantaman tersebut, niscaya akan menyebabkan dia terbinasa
atau sedikitnya terluka berat.
Cepat sekali si nie-kouw
memutar sepasang tangannya. Tangan kanannya mencekal hud-timnya sudah mengibas
juga. Karena dia dengan hud-timnya hendak menotok jalan darah di tubuh Kim Lo.
Sedangkan tangan kirinya berusaha membendung dan menahan tenaga terjangan Kim
Lo.
Tubuh mereka berada berhadapan
dengan posisi yang cukup berbahaya. Sebab memang di waktu itu Kim Lo sudah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sedangkan si nie-kouw pun telah
mengempos semangatnya.
Karena dari itu, mereka seakan
juga hendak mengadu jiwa. Tenaga mereka saling bentrok di tengah udara.
Kim Lo sudah menarik pulang
tenaganya begitu saling bentrok dengan tangan si nie-kouw berkelit juga dari
sambaran ujung hud-tim si nie-kouw.
Semuanya dilakukan oleh Kim Lo
cepat sekali, membuat si nie-kouw kehilangan keseimbangan tubuhnya. Karena
diwaktu ini dia tengah memusatkan seluruh tenaganya, malah tenaga mereka sudah
saling bentrok satu dengan yang lainnya, sehingga si nie-kouw mengempos seluruh
tenaganya.
Pendeta wanita itu ingin
mengadakan perlawanan, yang gigih dan untuk kagetnya, mendadak tenaga dorongan
dari Kim Lo sudah lenyap. Malah diwaktu itu seketika tubuhnya terjerunuk ke
depan.
Saking kagetnya Ang-sian
Sienie mengeluarkan seruan tertahan. Dia berusaha mengempos semangatnya
mengerahkan tenaganya pada kuda-kuda ke dua kakinya. Dia gagal, tubuh nie-kouw
itu terguling di tanah.
Pek Ie Siu-cay melihat keadaan
si nie-kouw seperti itu cepat-cepat menerjang maju.
Sedangkan Kim Lo telah tertawa
dingin mendadak sekali tangan kanan Kim Lo mengibas.
Angin kibasan tangannya
menderu-deru menerjang Pek Ie Siu-cay. Malah, tubuh Pek Ie Siu-cay terpental
keras, menubruk meja makan di dalam ruangan.
Si nie-kouw sudah merangkak
bangun, wajahnya muram sekali. Dia penasaran bukan main dan Ang-sian Sienie
memang bermaksud hendak mengadu jiwa. Dia seketika mengempos seluruh sisa
tenaganya, bersiap-siap buat mengadu jiwa dengan Kim Lo.
Kim Lo tertawa dingin sambil
berdiri tegak di tempatnya.
“Lebih baik kalian bicara
secara baik-baik tentang Giok-sie! Mungkin aku masih bisa mengampuni jiwa
kalian!”
“Baik! Kami akan bicara dengan
kau!” Teriak Pek Ie Siu-cay begitu dia bangun berdiri.
“Hemm, memang itu cara yang
terbaik! Di mana sekarang Giok-sie berada? Dan kau pernah mendengar bukan,
bahwa yang memperoleh Giok-sie itu adalah nelayan yang sangat beruntung di
Put-hay. Apakah kalian sudah membunuh nelayan itu?”
Pek Ie Siu-cay menggeleng!
“Tidak!”
“Lalu mengapa kalian bisa
memiliki Giok-sie?”
“Tadi kami hanya bergurau
saja…… kami sendiri belum pernah melihat
Giok-sie itu.”
“Hemmm, kalau demikian halnya,
tentunya kau memang sengaja mencari-cari urusan denganku!”
“Maafkan kami, Pendekar Aneh
Seruling Sakti memang seorang yang gagah perkasa…….!”
“Hemm,” Kim Lo mendengus,
kemudian tanpa mengatakan suatu apa pun, dia kembali ke mejanya.
Pelayan melayaninya dengan
baik sekali.
Selesai bersantap, Kim Lo
telah meninggalkan rumah makan tersebut. Sebelum meninggalkan rumah makan yang
merangkap rumah penginapan itu, ia melirik kepada Pek Ie Siu-cay yang tengah
membujuk Ang-sian Sienie. Rupanya, dia menghibur nie-kouw tersebut, yang rubuh
di tangan Kim Lo dengan penasaran sekali.
Memang Kim Lo berlalu,
Ang-sian Sienie mendengus, dengan suara yang mengandung kemarahan yang sangat,
dia bilang,
“Hemmm kalau memang kau tidak
menahan-nahanku. Kongcu tentu aku akan mengadu jiwa dengan siluman itu, pasti
wajahnya buruk sekali karena dia selalu mengenakan kain penutup mukanya!”
Pek Ie Siu-cay mengangguk.
“Benar….. aku pun menduga
begitu.”
“Kepandaiannya memang cukup
tinggi tapi jika aku menghadapi terus padanya, belum tentu dia bisa merubuhkan
aku! Aku memang tidak mungkin bisa merubuhkannya, namun buat dia merubuhkanku
pun tidak mudah.”
Pek Ie Siu-cay kemudian
mengajak si nie-kouw.
Namun Ang-sian Sienie
tampaknya belum lagi puas, dia terus menggumam buat melampiaskan kemarahan
hatinya yang bercampur dengan perasaan penasaran.
Pek Ie Siu-cay kemudian
mengajak si nie-kouw kembali ke kamar mereka.
Pelayan rumah makan yang
merangkap rumah penginapan itu sudah sibuk membereskan meja dan kursi yang
terbalik oleh perkelahian tadi. Mereka menggumam dengan sikap yang jengkel tapi
campur rasa takut juga.
Mereka jengkel karena
pertempuran terjadi di dalam rumah makan ini, dan takut kalau saja sikap tidak
senang mereka terlihat si nie-kouw. Mereka sudah menyaksikan betapa Ang-sian
Sienie memang seorang nie-kouw yang sangat galak.
Di dalam kamarnya, setelah
menutup pintu kamar, Pek Ie Siu-cay bilang pada si nie-kouw, “Sienie, apakah
tubuhmu ada yang terluka?”
Ang-sian Sienie melirik:
“Kukira……. memang ada yang
terluka. Di punggungku?” Katanya perlahan.
“Bukalah, aku akan mengobati!”
“Tapi…….!”
“Kok pakai malu-malu segala?”
Nie-kouw itu menggeleng.
“Bukan malu-malu! Tapi aku
merasa sakit sekali jika menggerakkan tanganku. Bagaimana dapat aku membuka
pakaianku itu.”
“Baiklah aku akan membantu.”
Begitulah Pek Ie Siu-cay telah
membantu si nie-kouw buat membuka pakaiannya.
Si nie-kouw meringis waktu dia
hendak mengeluarkan tangannya dari jubahnya.
Di waktu itu juga terlihat Pek
Ie Siu-cay sibuk sekali memijit dan menguruti punggung si nie-kouw.
Sedangkan nie-kouw itu sudah
rebah tengkurap di pembaringan, perlahan-lahan rasa sakit di punggungnya mulai
berkurang. Dia tidak merintih seperti tadi.
Sedangkan Pek Ie Siu-cay
memang merasa suka pada si nie-kouw. Dia memijit terus tanpa memikir untuk memperhitungkan
dirinya sendiri.
Sebetulnya pemuda itu
memerlukan perawatan. Karena tadi ia telah terkena hajaran Kim Lo, dengan
demikian, terluka di dalam yang tidak ringan.
Tapi untuk mengambil hati si
nie-kouw sengaja dia menguruti terus sampai akhirnya nie-kouw itu bernapas
lega.
“Sudah…… sudah! Rasa sakitnya
sudah hilang!” kata si nie-kouw.
Barulah Pek Ie Siu-cay
berhenti. Dia duduk bersemedhi, mengatur jalan pernapasannya.
Si pelajar baju putih ini
biarpun tengah memusatkan semangat dan tenaganya untuk mengempos lweekangnya,
namun ia tak bisa bertahan lebih lama. Karena ia pun akhirnya membatalkan
maksudnya hendak mengerahkan lweekangnya itu.
“Kau liehay sekali, Sienie!”
kata Pek Ie Siu-cay memuji nie-kouw. “Tadi Sienie bisa menghadapi Pendekar Aneh
itu dengan baik sekali…….!”
“Tapi ia memiliki kepandaian
yang luar biasa, dan jika tak ada Kongcu tentu aku telah terbinasa
ditangannya!”
“Berkat Sienie juga, maka aku
berani maju menyerangnya!” mengaku Pek Ie Siu-cay untuk menyenangkan hati
nie-kouw.
Memang Ang-sian Sienie jadi
girang bukan main.
“Kongcu....... !” bisiknya
“Ya…..?”
“Kepandaianku masih kalah
dibandingkan dengan Pendekar Aneh itu…..!”
“Tapi jika pertempuran itu
diteruskan, belum tentu Sienie akan kalah, ia yang mungkin rubuh di tangan
Sienie…….!”
“Benarkah begitu!”
“Benar?”
“Tapi, aku yang merasakannya
bahwa kepandaiannya memang masih lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan
kepandaianku, karena dari itu, apakah aku harus berlatih sepuluh tahun lagi
buat bisa memperoleh kepandaian seperti dia!” Sambil menggumam.
Pek Ie Siu-cay menghela napas.
“Jika memang Sienie harus
berlatih sepuluh tahun lagi, tentu aku harus berlatih tigapuluh tahun lagi.”
Si nie-kouw mengela napas
dalam-dalam.
“Tapi aku tidak puas, Kongcu.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku hendak mencari orang itu,
si Pendekar Aneh.”
“Tapi…….”
“Aku bukan hendak mengajak dia
bertempur lagi, tapi aku ingin mengetahui siapakah sebenarnya orang itu, yang
mukanya selalu ditutupi dengan kain?”
“Menurut apa yang kudengar, Si
Pendekar Aneh Seruling Sakti memang selalu menutupi mukanya. Di dalam kalangan
Kang-ouw belum ada seorang pun yang pernah melihat wajahnya, entah mengapa
selalu menutupi mukanya itu.”
Kembali nie-kouw menghela
napas.
“Selama aku belum berhasil
melihat mukanya, maka aku masih tetap penasaran…….!”
“Aku ada akal!” Tiba-tiba Pek
Ie Siu-cay berseru.
“Akal? Akal apa?”
Pek Ie Siu-cay tertawa.
“Akal itu tidak membahayakan
diri kita! Tapi kita dapat membahayakan si Pendekar Aneh.”
“Benarkah?”
“Ya…..!”
“Akal apa itu?”
“Kita racuni saja Si Pendekar
Aneh?”
“Meracuni??”
“Ya….. kita ikuti dia, dan nanti
dia singgah di sebuah rumah penginapan. Kita menghubungi pelayan rumah
penginapan itu, dan kita beri upah yang besar, kita suruh pelayan memasukan
racun dalam santapan si Pendekar Aneh.
“Bukankah dengan demikian kita
bisa membinasakannya? Dan kita pun dapat melihat mukanya setelah dia mampus!”
Muka si nie-kouw tampak
berseri-seri, dia mengangguk-angguk girang.
“Akal yang bagus! Sangat bagus
sekali! Tapi.......”
“Kenapa, Sienie?”
“Justeru aku kuatir kalau saja
kita gagal.”
“Jika gagal diapun tidak akan
mengetahui bahwa yang berusaha meracuninya bukanlah kita, karena kita tidak
menampakkan diri, bukan?”
Si nie-kouw menggeleng
perlahan.
“Bukan sebab itu……. tapi aku
kuatir nanti dia akan menyelidiki dan berusaha untuk mengetahui, siapa orang
yang telah menyuruh si pelayan.”
“Kita boleh angkat kaki!”
Nie-kouw itu terdiam beberapa
saat lamanya, sampai akhirnya iapun bilang: “Tapi itu rencana yang kurang baik!
Jika ia mampus kita tak memperoleh keuntungan apapun juga!”
Pek Ie Siu-cay mengawasi si
nie-kouw, kemudian ia bilang: “Hemm, tadi Sienie bilang bahwa Sienie sangat
penasaran sekali, maka dengan berhasilnya kita membunuh dia, bukankah itu suatu
keuntungan buat kita, dapat melampiaskan kemendongkolan hati dan penasaran yang
ada di hati Sienie?”
Sebetulnya si nie-kouw
ragu-ragu disebabkan perasaannya pada waktu itu tak tetap. Ia ingin sekali
mengetahui siapa sebenarnya Pendekar Aneh itu.
Di bagian depan pernah
disinggung bahwa nie-kouw ini selain menyukai pemuda berwajah tampan, iapun
senang sekali mencari korbannya di antara orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Melihat kepandaian si Pendekar
Aneh Berseruling Sakti itu tinggi, dia telah tertarik. Ang-sian Sienie hendak
mengejar Kim Lo.
Hanya saja apa yang dipikirkannya
itu tidak diutarakan di depan Pek Ie Siu-cay, karenanya ia sulit buat menerima
saran yang diberikan Pek Ie Siu-cay
Melihat nie-kouw itu berdiam
diri saja seperti itu, penuh dengan kebimbangan, Pek Ie Siu-cay tertawa.
“Sienie sudahlah, kita jangan
memusingi urusan itu, sekarang kita memang perlu bergembira…….!”
Nie-kouw sendiri memang
merasakan apa yang diutarakan oleh Pek Ie Siu-cay benar adanya, karena jika ia
memikirkan urusan Pendekar Aneh, hal itu tak ada manfaatnya, karena bukankah
waktu itu Pendekar Aneh sudah pergi entah ke mana?
<>
Sekarang kita tinggalkan dulu
Pek Ie Siu-cay yang tengah bersama dengan Ang- sian Sienie, si nie-kouw yang
memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari si pelajar baju putih itu.
Dan tampaknya, memang Pek Ie
Siu-cay sudah tidak bisa melepaskan diri dari nie-kouw itu karena dia rupanya
sudah bertekuk lutut di kaki si nie-kouw.
Marilah kita menengok sejenak
kepada Kim Lo yang sudah melanjutkan perjalanan.
Kim Lo memang sengaja meninggalkan
rombongannya dan melakukan perjalanan sendiri karena dia hendak melakukan
penyelidikan terlebih dulu. Sebelum rombongannya itu tiba di Put-hay, maka dia
yang akan melakukan penyelidikan.
Menurut Kim Lo, dengan
melakukan perjalanan seorang diri dia jauh lebih leluasa untuk melakukan segala
apa dalam penyelidikannya tentang Giok-sie.
Rombongannya mungkin terpisah
dalam perjalanan empat atau lima hari dari Kim Lo dan Kim Lo yakin, dalam waktu
lima hari ini dia bisa menyelidiki dimana beradanya Giok-sie.
Yang terpenting sekali, dia
harus bisa mencari di mana tempat tinggalnya si nelayan yang beruntung sudah
memperoleh Giok-sie.
Maka dari itu Kim Lo sudah
berusaha menyelidikinya, dia telah menanyai setiap orang rimba persilatan yang
ditemui.
Karena banyaknya bentrokan
yang terjadi di diri Kim Lo dengan orang-orang rimba persilatan yang semuanya
dapat dirubuhkan oleh Kim Lo dengan mudah, dengan sendirinya gelaran Kim Lo
semakin terkenal saja. Pendekar Aneh Bersuling Sakti memang tersiar luar biasa.
Justeru di hari itu Kim Lo
sudah mendengar perihal surat yang ditulis Ciangbunjin Khong-tong-pay yang
dibawa oleh Hui-houw-to. Dia memang hendak mencari Hui-houw-to, tapi dia gagal
menemui jejak Hui-houw-to.
Waktu pertemuannya dengan
Hui-houw-to terjadi, ketika dia menghajar Pek Ie Siu-cay, namun dia tidak
menyangka bahwa Hui-houw-to yang ikut menyaksikan pertandingan itu adalah orang
yang tengah dicarinya.
Dengan demikian sudah membuat
Kim Lo melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Hui-houw-to semakin jauh.
Waktu itu Hui-houw-to juga
tidak menyadari bahwa pendekar aneh ini sebetulnya tengah mencarinya. Jika
diwaktu itu Hui-houw-to mengetahui tentu dia yang akan memperlihatkan dan
memperkenalkan dirinya.
Malah kemungkinan besar
Hui-houw-to dengan senang hati menyerahkan surat Ciang-bunjin Khong-tong-pay
kepada Kim Lo.
Setelah melakukan perjalanan
setengah harian maka tampak Kim Lo sudah tiba di depan sebuah kedai teh.
Dia berdiri sejenak lamanya,
menunggu di situ, dan memasang mata. Dia mengawasi mata yang tajam sekali
kepada seorang laki-laki tua penjual teh.
Sebagai orang yang memiliki
kepandaian sangat tinggi, Kim Lo pun mengetahui bahwa si pedagang teh itu
bukanlah orang sembarangan. Dia tentunya memiliki kepandaian yang sangat tinggi
sebab dia tampaknya memiliki gerakan yang sebat dan matanya memancarkan sinar
yang tajam.
Memang bagi orang-orang yang
tidak memiliki ilmu silat, tentu tidak mengetahui bahwa kakek penjual teh itu
adalah orang Kang-ouw yang memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Hal ini
disebabkan kakek penjual teh itu dapat menyembuhkan keadaan dirinya sebaik
mungkin.
Dia pun dapat bersikap lesu,
seakan juga seorang kakek tua yang tidak bersemangat. Cuma saja, di mata Kim Lo
tidak lolos juga, dia bisa melihatnya, betapapun juga memang kakek tua itu
adalah seorang Kang-ouw yang tengah menyembunyikan kepandaiannya.
Setelah mengawasi sekian lama
si penjual teh itu menoleh padanya dan balas menatapnya. Si penjual teh itu
kemudian menundukkan kepalanya. Kim Lo melanjutkan langkah kakinya, dia
menghampiri penjual teh itu.
“Kongcu mau minum?!” Menawari
tukang teh itu sambil tersenyum dengan ramah.
Kim Lo mengangguk.
“Ya…….!”
Tukang teh itu menuangkan
secawan teh.
“Teh ini dari Hong-ciu, teh
yang harum sekali!” Kata pedagang teh itu dengan sikap menghormat, ketika dia
meletakan cawan itu di depan Kim Lo.
Kim Lo mengambil cawan itu,
dia membawa ke bibirnya untuk meminumnya.
Tiba-tiba dari arah samping
pintu kota melesat setitik sinar. Tepat sekali, sinar itu menyambar ke arah
cawan di tangan Kim Lo.
Kim Lo terkejut, namun dia
tidak jadi panik. Batal dia meminum teh dicawan itu. Dia mengelakan cawannya
dari sambaran benda itu.
“Jangan diminum, teh itu
beracun!” Berseru seseorang, yang telah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya.
Kim Lo mengawasi orang itu,
ternyata dia seorang gadis berusia duapuluh tahun lebih. Gerakannya sangat
gesit sekali. Dia mengenakan baju warna kuning dan hijau, dikombinasikan dengan
warna ungu merah!
Muka si penjual teh berobah.
Kim Lo menoleh kepada penjual
teh itu, dia bertanya: “Lopeh, benarkah tehmu beracun?”
Penjual teh itu menggelengkan
kepalanya berulangkali
“Tidak! Tidak! Kongcu jangan
mempercaya kata-kata siluman itu…….!” Sambil berkata begitu si penjual teh
tersebut menunjuk si gadis.
Gadis itu menghampiri dengan
tenang, dia melangkah dengan tindakan kaki yang ringan menghampiri Kim Lo
dengan mengedipkan matanya, genit sekali.
Rupanya, tadi gadis itu telah
menimpukkan sebatang jarum Bwee-hoa-ciam, kepada cawan di tangan Kim Lo, agar
Kim Lo tidak dapat meminum teh di dalam cawan itu.
Tapi karena Kim Lo memiliki
kepandaian yang tinggi, dia masih bisa menyelamatkan cawannya tidak sampai
hancur oleh jarum Bwee-hoa-ciam itu.
“Kalau memang engkau tidak
percaya keteranganku, dan kau bimbang, maka kau boleh membuktikannnya!”
“Bagaimana membuktikannya?”
“Kau suruh penjual teh itu
yang meminumnya!”
Sambil berkata begitu, si
gadis sudah menunjuk kepada si penjual teh.
Si penjual teh itu
tenang-tenang saja. Dia tersenyum malah.
“Mengapa harus takut? Aku yang
menjual teh itu, aku yang mengetahui apakah tehku itu beracun atau tidak…… Mari
Kongcu berikan kepadaku, agar aku yang meminumnya.
Kim Lo tambah bimbang,
sedikitpun si penjual teh tidak memperlihatkan sikap takut malah dia telah
minta agar cawan teh itu diserahkan kepadanya, agar dia yang meminumnya.
“Mari.......!” penjual teh
telah memintanya lagi.
Kim Lo mengulurkan tangannya
ia menyerahkan cawan di tangannya pada penjual teh.
Sedangkan penjual teh menerima
cawan itu, ia tak langsung meminumnya, ia telah menoleh pada si gadis.
“Hemm siluman rendah, jika
memang nanti terbukti bahwa tehku ini tak beracun, kau berani bertanggung jawab?”
“Berani! Aku akan memberikan
kepalaku ini padamu!” menyahuti si gadis dengan tenang. “Tapi ingat, sudah tiga
kali kau menyebut diriku siluman. Dua kali sekarang ini, sedangkan satu kali,
diwaktu kemarin. Nanti kau harus berhitungan denganku!”
“Baik! Baik! Memang aku ingin
sekali berhitungan dengan siluman seperti kau!”
Setelah berkata begitu,
mendadak penjual teh itu menggerakkan tangannya, dia telah mengangkat cawannya
itu dibawa ke bibirnya. Dia hendak meneguknya.
Dan sikapnya ini membuat Kim
Lo berkuatir juga. Dia mulai bimbang. Jika memang penjual teh itu berani
meminum tehnya, jelas teh itu memang tidak beracun dan gadis cantik itu cuma
memfitnahnya belaka.
Tapi jika benar-benar teh itu
beracun, dimana ada seseorang yang sengaja memasuki racun ke dalam teh jualan
si kakek, dengan demikian, tentu akan membuat si kakek keracunan. Karenanya
juga akan membuatnya dia keracunan. Dia akan mati. Inilah yang membuat Kim Lo
jadi berkuatir sekali.
Tapi, kakek tua itu bukan
meminum teh itu. Dia cuma membawa sikap hendak meminum tehnya lalu tangannya
itu tahu-tahu dilemparkannya ke samping. Dia telah menimpukkan cawan tehnya ke
arah muka si gadis.
Air teh itu menyambar ke arah
muka si gadis cepat sekali. Dia rupanya hendak menyiram muka gadis itu.
Tapi gadis ini pun gesit
sekali karena sejak tadi dia telah berwaspada, maka dia bisa berkelit ke
samping. Air teh itu tidak setetes pun juga mengenai mukanya.
Kim Lo terkejut, tapi dia jadi
tertegun saja tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kim Lo juga heran bukan
main.
Entah apa sebabnya, kakek tua
itu batal meminum air teh itu malah berusaha menyiram muka si gadis? Malah,
cawan yang ditimpukkan itu telah menyambar lewat di sisi muka si gadis,
kemudian menancap di batang pohon, dalam sekali.
Ini membuktikan betapa pun
juga lweekang kakek penjual teh itu memang sangat kuat. Karena begitu dia
menimpuk dengan cawannya tersebut, cawan itu sampai melesak masuk ke dalam
batang pohon.
Sedangkan si gadis yang
berhasil mengelakkan diri dari siraman air teh dan juga timpukan cawan itu,
rupanya jadi mendongkol bukan main. Dia tertawa dingin, kemudian dengan suara
yang datar dia bilang,
“Hemmm, kau mencari urusan
denganku?!”
“Bukan mencari urusan,
tapi…….!” Kakek penjual teh itu tidak meneruskan kata-katanya, dia melirik
kepada Kim Lo, seakan juga hendak mengatakan sesuatu.
“Kenapa? Apa yang tetapi…..
tetapi......?” Bentak si gadis dengan temberang sekali.
Kakek tua penjual teh itu
tersenyum.
“Hemmm, kau tidak melihat,
kongcu ini selalu menutupi mukanya dengan kain itu. Tadi pun ketika dia hendak
minum, hanya mengangkat sedikit sekali kainnya, diangkat ke dekat bibirnya, dan
aku jadi menduga-duga apakah memang Kongcu ini seorang yang belum lama lalu
santer sekali tersiar sebagai si Pendekar Aneh Berseruling Sakti?!”
Si gadis melirik kepada Kim Lo
kemudian tertawa dingin.
“Siapa pun adanya dia, aku
tidak peduli. Aku tidak berurusan dengan dia, tapi dengan kau!” ketus sekali
waktu si gadis bilang begitu, lain pula, si Pendekar Aneh Bersuling Sakti itu tentunya
bukan seorang yang masih berusia muda……!”
Si kakek penjual teh itu
tersenyum mengejek.
“Bagaimana kau tahu bahwa
Kongcu ini masih berusia muda?” Tanyanya sinis.
Si gadis mendengus.
“Hemmm, tua-tua juga kau
sangat bodoh. Lihat saja rambutnya yang masih hitam kelam dan lebat bukankah
itu saja menunjukkan bahwa dia masih muda usia!”
Kim Lo diam-diam di dalam hati
memuji bahwa si gadis memang sangat cerdik sekali.
“Sedangkan kakek tua itu sudah
bilang. Sekarang aku hendak minta pada Kongcu itu buat jadi saksi! Jika dalam
sepuluh jurus kau tidak bisa merubuhkan diriku, maka engkau harus angkat kaki
meninggalkan tempat ini!”
“Hemmm, jangankan sepuluh
jurus, sedangkan lima jurus saja aku mau menerima taruhan ini, aku masih mau
menerima kalah, jika dalam lima jurus aku tidak bisa merubuhkan dirimu!”
“Benar?”
“Benar!”
“Jangan, nanti engkau sepuluh
jurus saja! Aku kasihan jika engkau nanti kalah hanya dalam pertaruhan lima
jurus, engkau tidak puas!”
“Lima jurus saja!”
“Terserah padamu! Aku mau
memberikan sepuluh jurus? Kau boleh dengan pendirianmu, lima jurus! Jika dalam
lima jarus engkau belum berhasil merubuhkan diriku, maka aku masih bersedia
memberikan kesempatan kepadamu lima jurus lagi!”
Si gadis tidak banyak bicara
pula, dia tahu-tahu sudah melesat kepada kakek si penjual teh itu. Tangannya
juga sudah menyambar akan menotok.
Kakek tua penjual teh tersebut
ternyata memang memiliki kepandaian tinggi seperti yang diduga oleh Kim Lo,
karena dia bisa melakukannya dengan mudah. Gerakannya begitu gesit, dia juga
malah sudah berseru.
“Jurus pertama.”
Si gadis penasaran sekali
melihat serangan pertamanya gagal mengenai sasaran. Di waktu itu terlihat jelas
sekali gerakan si gadis bertambah gesit, ketika untuk ke dua kalinya dia
menyerang. Totokannya menyambar lagi.
Sekali ini tangan si gadis
bukan menotok langsung. Dia telah menotoknya dengan tangan yang berlingkar
seperti juga kitiran, karena tangan itu berputar- putar.
Dengan caranya seperti itu,
sulit buat kakek tua penjual teh itu menduga arah sasaran mana yang diincar
oleh gadis itu. Dia jadi berdiri dengan mata terpentang lebar-lebar mengawasi
tangan si gadis tengah meluncur menyambar ke arahnya.
Ketika jarak tangan si gadis
dengan arah sasarannya, yaitu dari sebelah kiri si kakek tua tersebut,
hampir-hampir terkena totokan itu, kakek tua itu dengan sebat sekali berkelit.
Dia bergerak lincah bukan main, dia juga berseru, “Jurus kedua....... Sudah dua
jurus tinggal delapan jurus lagi.
“Hemmm!” Gadis itu mendengus, tahu-tahu
tubuhnya seperti angin puyuh, telah menerjang kepada kakek penjual teh itu.
Tangannya terjulur hendak mencengkeram.
Kakek tua itu kaget tidak
terkira cara menyerang si gadis sudah berobah.
Malah sekali ini gerakan si
gadis jauh lebih cepat dan lebih kuat! Dia menyerang dengan kecepatan yang
sulit sekali diikuti oleh pandangan mata.
Kim Lo yang melihat cara
menyerang si gadis berobah jadi tercekat juga hatinya.
“Kepandaian gadis ini
tampaknya tinggi, tadi dia mengalah ketika dua kali menyerang si kakek, dia
tidak menyerang sungguh-sungguh! Tapi jurus ketiga itu dia menyerang hebat
sekali! Hemm, tampaknya kakek penjual teh itu tidak bisa bertahan lebih lama
lagi!”
Sambil berpikir begitu, Kim Lo
mengawasi terus jalannya pertempuran.
Sedangkan kakek penjual teh
itu, walaupun kaget, masih berusaha hendak menghindarkan diri dari sambaran
tangan si gadis. Dia menjengkangkan tubuhnya ke belakang.
Si gadis kembali mendengus,
tahu-tahu kakinya melayang, dia menyekat kaki si kakek.
Begitu disengkat, seketika
tubuh si kakek terjungkat rubuh bergulingan di tanah.
Dan belum lagi dia mengetahui
suatu apa pun juga, telapak tangan kiri si gadis sudah menyambar datang.
Kakek tua itu tengah
kesakitan, juga dia kaget, tapi dia melihat bahaya yang tengah mendatangi
mengancam keeelamatan dirinya. Cepat-cepat dia berusaha mengelak.
Tapi terlambat.
“Bukk! Dada kakek tua itu kena
dihantam telapak tangan kiri si gadis malah tubuh si kakek segera terjengkang
rubuh rebah di tanah sejenak lamanya dia tidak bisa bergerak buat bangun.
Kim Lo kaget, dia melihat
serangan telapak tangan gadis itu sudah mengenai sasarannya, si kakek juga
rebah tidak berdaya, mukanya meringis kesakitan.
Cepat-cepat Kim Lo melompat ke
samping si gadis.
“Nona, jangan turunkan tangan
keras lagi padanya!” mencegah Kim Lo.
Gadis itu menoleh kepada Kim
Lo dengan lirikannya yang tajam sekali.
“Kau hendak mencampuri?”
“Bukan mencampuri, tapi
memisahkan! bukankah tadi aku dianggap sebagai saksi oleh kakek tua itu?
Sekarang dia sudah tidak berdaya dan kalah.........!”
“Hanya dalam empat jurus, jadi
belum lewat dari lima jurus, bukan?”
“Benar!”
Muka si gadis berseri-seri
girang.
“Bagus! Kau saksi yang jujur!”
Katanya.
Kakek tua itu tengah berusaha
merangkak bangun, tampaknya dia menderita kesakitan. Malah ketika dia sudah
dapat duduk, mulutnya terbuka.
“Waahhh!” ia memuntahkan darah
segar. Darah yang dimuntahkannya sangat banyak.
Muka kakek itu pucat pias.
“Bagaimana? Kau menerima
kalah?” Menegur si gadis sambil tertawa dingin.
Mata si kakek mendelik.
“Sampai mati kelak aku tidak
akan menerima perlakuan seperti ini.......” Teriak si kakek.
Si gadis jadi mendongkol, dia
melompat ke samping si kakek.
“Kau bermaksud kelak membalas
sakit hati padaku?”
“Benar!” Berani sekali si
kakek mengangguk.
“Hemm, bukankah semula mulutmu
terlalu tekebur yaitu akan bertahan sepuluh jurus! Tapi sekarang baru empat
jurus saja engkau sudah tidak bisa bertahan.......”
“Justeru kau berbuat curang!”
“Curang?”
“Ya! Kau curang, siluman
rendah.”
Muka si gadis berobah merah
padam. Dia mengangkat tangannya, seakan juga hendak menyerang orang tua itu.
Tapi akhirnya ia menahan
tangannya itu. Batal ia menyerang si kakek.
Sebab dilihatnya orang tua itu
dalam keadaan terluka di dalam, telah memuntahkan darah segar yang banyak
sekali, tentu tubuhnya lemah. Jelas ia tak bisa menyerang lawan yang tengah
dalam keadaan tak berdaya.
Si gadis melirik pada Kim Lo.
“Sebagai saksi, sekarang kau
harus memberikan keputusan, apakah aku tadi telah berlaku licik, telah berbuat
curang padanya?!” teriak si gadis. Jelas ia penasaran sekali.
Kim Lo menghela napas
dalam-dalam.
“Kepandaian nona memang jauh
lebih tinggi dari kepandaian lopeh itu beberapa tingkat di atas kepandaian
Lopeh?” Kata Kim Lo dengan jujur.
“Benarkah itu?” si gadis jadi
girang kembali.
Kim Lo mengangguk.
Dan tadi memang nona tidak
berbuat curang, nona bertempur sangat baik sekali! Cuma saja, kepandaian lopeh
itu memang berada di bawah kepandaian nona, maka dia tidak bisa menghadapi
dengan baik. Dia rubuh tanpa dia mengetahui dengan cara apa dirubuhkan maka dia
telah menuduh nona berbuat curang.......!”
Si gadis tersenyum.
“Terimakasih! Kau benar-benar
saksi yang jujur.” Setelah berkata begitu, si gadis mendekati Kim Lo dia
merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat.
Kim Lo kaget, tidak mau dia
menerima hormat si gadis. Tapi belum lagi dia melompat menyingkir, justeru dia
merasakan angin yang kuat menerjang dirinya.
Kim Lo seketika tersadar,
bahwa si gadis tengah menggunakan sin-kangnya, menyerang padanya dengan cara diam-diam
dan pura-pura memberi hormat seperti itu. Penyerangan seperti itu sebenarnya
merupakan penyerangan yang membokong juga.
“Hemm, kau hendak mengujiku?”
Diam-diam Kim Lo berpikir di dalam hatinya mendongkol.
Dengan segera dia pun
merangkapkan sepasang tangannya membalas hormat gadis itu, dia bilang,
“Jangan banyak peradatan!
Jangan banyak peradatan!”
Si gadis terkejut. Dia
merasakan kekuatan tenaga dorongannya terbendung, sama sekali tidak bisa
menerobos ke depan, malah dia merasakan kuda-kuda sepasang kakinya goyah dan
tergempur, hampir saja dia terdesak mundur.
Untung Kim Lo menyudahi
pembalasan hormatnya, dengan demikian tenaga yang mendorong gadis itu telah
ditarik pulang olehnya dan dia tidak sampai terhuyung mundur terjungkal karena
Kim Lo rupanya tidak mau membuat dia malu.
Gadis itu dengan muka merah
padam, dan memperlihatkan sikap tidak senang, telah bilang, “Hemmm, ku memang
benar-benar hebat. Apakah engkau yang sesungguhnya orang yang digelari sebagai
si Pendekar Aneh Seruling Sakti?”
Kim Lo mengangguk.
“Ya, memang tidak salah!”
Muka si gadis berobah, tapi
sekarang dia sudah bisa tersenyum, dia bilang: “Siapa namamu?!”
Kim Lo tersenyum.
“Sudah lama aku melupakan
namaku, sehingga aku sendiri tidak ingat lagi namaku sendiri, karena akupun
tidak mempergunakan namaku itu…….!”
“Hemm, kau dari pintu
perguruan mana?”
Kim Lo tersenyum.
“Hal itupun sulit buat aku
jelaskan!”
“Hem, mengapa mukamu selalu
memakai penutup muka seperti itu? Apakah mukamu bercacad?”
Kim Lo tidak segera menyahuti,
hatinya mendongkol bukan main, tapi cepat dia bisa mengendalikan perasaannya.
“Untuk hal itu nona tidak
perlu tahu?”
“Tapi aku ingin
mengetahuinya!”
“Sayang sekali, walaupun nona
memaksa tidak mungkin nona bisa mengetahuinya!”
Si gadis tertawa.
“Semakin dilarang aku
mengetahui sebab-sebabnya, justeru aku sebaliknya semakin keras ingin
mengetahui!”
Kim Lo terdiam.
“Bagaimana, kau tidak mau
menjelaskan juga?”
“Kalau nanti aku membuka kain
penutup muka ini, nona bisa mati mendadak!” Akhirnya Kim Lo menyahuti.
Si gadis tertawa.
“Apakah mukamu demikian
hebatnya atau memang terlampau buruk, sehingga jika aku melihatnya akan mati
mendadak?”
Kim Lo tidak menyahuti.
“Nah, kau beritahukanlah!”
Kata si gadis masih juga tertawa.
“Sayang aku tidak bisa
memberitahukan!”
“Mengapa?!”
“Karena aku memiliki
kesulitan! Dan janganlah nona memaksa terus, karena nanti akhirnya nona
menyesal!”
“Hemm, justeru aku akan tetap
berusaha buat mengetahui apa sebabnya engkau selalu mengenakan penutup muka
itu?”
Kim Lo terdiam lagi.
“Ayo katakanlah, atau memang
kau menginginkan aku membukanya dengan cara paksa!”
Kim Lo tetap terdiam lagi.
“Atau kau memang
menghendakinya begitu, agar aku yang membukakan penutup mukamu itu?”
Kim Lo menghela napas.
“Bisakah nona melakukannya?!”
Si gadis mengangguk.
“Sudah jelas, bisa!”
Kim Lo tertawa tawar.
“Kukira nona akan gagal untuk
mengetahui siapa aku sebenarnya, terlebih lagi jika memang nona hendak membuka
penutup muka ini pasti nona tidak akan berhasil.”
“Benarkah begitu?!”
“Ya!”
“Boleh aku mencobanya?”
“Tapi nona tidak akan berhasil
dan akan menyesal!”
“Kenapa menyesal?”
“Karena sudah menjadi
peraturanku, setiap orang berusaha hendak membuka kain penutup mukaku, orang
itu harus terluka parah di tanganku, atau memang jika perlu harus melepaskan
jiwanya, yaitu mati!”
“Oh, mengerikan sekali. Tapi
aku sangat tertarik buat mencobanya!”
“Nanti, kau akan menyesalinya,
nona!”
“Aku tetap akan mencobanya!”
Malah setelah berkata begitu
mendadak sekali si gadis sudah melompat ke dekat Kim Lo tangannya bergerak
sangat cepat. Dia berusaha menjambret penutup muka Kim Lo, yang hendak
dibukanya.
Tapi Kim Lo mudah sekali
mengelakannya.
Saat-saat seperti itu
sebetulnya Kim Lo mendongkol sekali, karena si gadis demikian memaksa hendak
membuka kain penutup mukanya. Tapi dia pun tidak sampai hati jika harus melukai
si gadis yang demikian cantik. Maka dari itu, dia telah mengelakkan saja berusaha
menjauhi diri dari di gadis.
Cuma saja sayangnya, gadis itu
justeru telah merangsek terus. Dia tetap berusaha membuka penutup muka Kim Lo.
Sedangkan Kim Lo beberapa kali
mengelak lagi, sampai akhirnya dia bilang. “Baiklah, nona terlalu memaksa!”
Setelah berkata begitu, di
saat tangan si gadis tengah diulurkan hendak menjambret penutup muka Kim Lo,
pemuda ini mengibaskan tangannya. Tenaga yang menderu sangat kuat sekali keluar
dari kibasan tangan Kim Lo. membuat gadis itu seperti diterjang oleh suatu
kekuatan yang tidak dapat dibendungnya. Malah tubuhnya hampir saja kejengkang
rubuh bergulingan di lantai.
Kim Lo terkejut juga melihat
kuda-kuda si gadis tergempur, dia kuatir kalau sampai, gadis itu terjungkal
rubuh ke belakang, dia melompat ke samping si gadis setelah menarik pulang
tenaga kibasannya, diapun berseru,
“Hati-hati, Nona!”
Malah Kim Lo telah mengulurkan
tangannya, maksudnya hendak memegang lengan tangan si gadis.
Justeru diwaktu itu mendadak
sekali, tangan kanan si gadis telah meluncur akan menotok bawah ketiak Kim Lo.
Bukan main terkejutnya Kim Lo.
Jalan darah yang terdapat di
bawah ketiak seorang manusia adalah jalan darah terpenting, yang bernama
Thang-ie-hiat.
Kim Lo telah berusaha untuk
mengelakkannya dengan melompat ke samping. Namun tangan si gadis terus saja
meluncur.
Gadis itu tidak jadi rubuh,
karena dia tadi terhuyung rupanya memang hanya untuk memancing Kim Lo, dia
hanya berpura-pura saja.
Karena dari itu dia telah
berusaha untuk membokong dengan caranya yang licik dan hampir memberikan hasil
itu. Hal ini disebabkan Kim Lo tidak mmyangka bahwa si gadis akan menjalankan
tipu muslihat seperti itu.
Kim Lo sendiri bukan main
mendongkolnya .
“Kau……?”
Muka si gadis berseri-seri,
sedangkan dia sudah berdiri tegak kembali.
“Kenapa? Kaget?” Tanya si
gadis seperti mengejeknya. “Hemm, sudah kukatakan. Walaupun bagaimana aku akan
berusaha buat membuka kain penutup mukamu!”
Sambil berkata begitu, dia
menerjang mendekati Kim Lo. Sekarang Kim Lo tidak berlaku sungkan-sungkan lagi,
dia mengetahui bahwa gadis ini cerdik dan licik sekali.
Melihat gadis itu menerjang
lagi ke dekatnya, cepat luar biasa tangan Kim Lo sudah mengibas pula.
Si gadis diterjang kembali
oleh kekuatan yang bukan main besarnya. Tapi ia berusaha mengelaknya, tabuhnya
melejit ke samping, lalu menerjang maju terus.
Kim Lo kagum juga melihat cara
mengelak si gadis. Karena itulah semacam ilmu silat bagian pembelaan diri buat
mengelakkan dari serangan yang menjepitnya dan memang merupakan cara mengelakan
diri yang sangat baik sekali.
Kim Lo juga melihat gadis ini
sangat keras hati, ia kuatir kalau memang gadis itu mendesak terus sampai
akhirnya terpaksa ia turunkan tangan keras, niscaya si gadis terluka. Hal
itulah yang tak diinginkan Kim Lo.
“Tahan nona…….!” berseru Kim
Lo.
Tapi gadis itu tak menahan
gerakan kakinya, malah ia menerjang terus, dengan tertawanya yang renyai
sekali.
“Hemmm, kenapa? Kau jeri?!”
tanyanya dengan suara yang mengejek.
Kim Lo telah berseru lagi,
sambil melompat menjauhi diri dari si gadis.
“Hentikan, nona jangan memaksa
diriku buat turunkan tangan keras padamu!”
“Tentu! Tentu! Terserah padamu
sendiri! Terserah kau mau menurunkan tangan keras atau tangan lunak padaku!
Yang terpenting memang kau harus membuka tutup mukamu itu, baru aku akan
berhenti menyerangmu!”
Setelah berkata begitu, si
gadis menerjang ke arah Kim Lo.
Kim Lo jadi bergerak gesit,
dia tahu si gadis tidak bisa dicegah lagi dengan hanya mulut saja. Gadis itu
juga tidak mau kalah, karena dia pun sudah melompat ke sana ke mari mengejar
Kim Lo.
Beberapa kali gadis itu nekad
sekali. Tanpa perdulikan penjagaan dirinya, dia melompat ke dekat Kim Lo sambil
mengulurkan tangannya buat menjambret penutup muka Kim Lo.
Kalau memang Kim Lo hendak
melukainya, niscaya gadis itu dapat dilukainya dengan mudah. Tapi Kim Lo tentu
saja tidak tega dan tidak sampai hati jika harus melukai si gadis.
Kim Lo hanya berusaha hendak
mengelakan diri belaka. Tapi tetap saja dia memperoleh desakan si gadis.
Akhirnya, habislah kesabaran Kim Lo.
“Baiklah! Nona memang terlalu
mendesak! Dan setelah berkata begitu, secepat kilat tangan kanan Kim Lo telah
melibat tangan si gadis yang tengah diulurkan buat menjambret kain penutup
mukanya.
“Pergilah!”
Sambil membentak begitu, Kim
Lo sudah menggentak tangannya. Si gadis seperti digentak oleh kekuatan raksasa,
tubuhnya terpental ke tengah udara. Kim Lo memang sudah mempergunakan
sin-kangnya delapan bagian, maka tidak terlalu mengherankan kalau tubuh si
gadis terlontarkan ke tengah udara.
Dasar si gadis berkepala batu
dan keras hati, dia tidak kaget dengan terlemparnya tubuhnya, karena dia bisa berjumpalitan
di tengah udara. Ketika turun, ke dua kakinya yang terlebih dulu hinggap di
tanah.
Begitu kakinya hinggap di
tanah, seketika dia menjejak lagi. Tubuhnya melesat ke tengah udara dan
menerjang kembali kepada Kim Lo.
Apa yang dilakukan oleh si
gadis benar-benar merupakan perbuatan yang sangat nekad.
Sedangkan Kim Lo sudah
berusaha menjauhi diri, melihat si gadis tengah melesat menerjang kepada
dirinya, segera juga menyingkir ke belakang.
Tapi gadis itu begitu hinggap
di tanah, segera menjejakkan kakinya lagi. Tubuhnya melesat lagi.
“Jika aku belum berhasil
membuka kain penutup mukamu itu, aku tidak mau sudah!” Teriak si gadis.
“Hemmm, apa keuntungannya buat
kau?!” Teriak Kim Lo yang jadi mendongkol juga.
“Aku tetap hendak melihat
mukamu!” Kembali si gadis menerjang dengan cara melompat, dengan cara seperti
itu, dia bermaksud dapat mendesak Kim Lo.
Sebetulnya dalam keadaan
biasa, jika saja lawan yang mendesak Kim Lo itu bukanlah si gadis tentu dengan
mudah Kim Lo bisa merubuhkannya.
Caranya mudah sekali. Dia bisa
menantikan sampai tubuh si gadis sudah menerjang dekat, dia menyambuti dengan
kedua telapak tangannya yang telah dipenuhi oleh kekuatan sin-kangnya. Lalu
menghantamnya.
Dengan penyambutan seperti
itu, biasanya lawannya menjadi korban. Jika tidak mati, tentu akan terluka
berat sekali.
Karena itu Kim Lo memperoleh
kesulitan. Tidak mungkin dia melukai si gadis. Terlebih lagi memang tidak ada
persoalan di antara mereka, juga tidak terdapat ganjalan atau permusuhan di
antara mereka. Kim Lo masih berusaha membujuk si gadis agar tidak meneruskan
desakannya itu.
Tapi gadis itu benar-benar
nekad. Ia terus juga mendesak. Ia telah berusaha membuka tutup muka Kim Lo.
Dengan kenekatannya itu,
dimana ia menerjang tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya, ia berhasil
membuat Kim Lo terdesak. Berulang kali Kim Lo jadi mundur terus menerus, dan
dua kali penutup mukanya hampir terkena jambretan tangan si gadis.
Kim Lo benar-benar habis
sabar.
“Baiklah jika memang kau
mendesak terus maka aku akan turunkan tangan keras!” mengancam Kim Lo.
Gadis itu tertawa, ia malah
tak menganggap ancaman itu. Iapun menerjang terus.
Orang tua penjual teh itu,
yang telah terluka di dalam dan sudah memuntahkan darah segar, cuma berdiri
tertegun di tempatnya. Ia heran mengapa Kim Lo tak berusaha membalas menyerang
pada gadis itu, sebingga ia terdesak terus menerus.
Orang tua itu sudah
melihatnya, jika memang Kim Lo menghendaki, tentu dalam beberapa.jurus saja Kim
Lo dapat merubuhkan gadis itu.
Rupanya kakek penjual teh ini
sudah tidak bisa menahan perasaannya, dia berseru nyaring:
“Kongcu, mengapa kau tidak
menghajarnya? Ia bukan manusia baik-baik, dia seorang siluman jahat dan
rendah…..!”
Kim Lo menghela napas, dia
berkelit lagi menghindarkan jambretan tangan si gadis.
Kini Kim Lo bukan berdiam diri
saja waktu tangan si gadis terulur begitu. Tahu-tahu tangan Kim Lo sudah
meluncur juga menotok dada di sebelah kanan si gadis.
Begitu dia menotok tubuh si
gadis terjungkal, karena totokan Kim Lo mengenai telak sekali dadanya.
Tapi darah yang tertotok itu
adalah jalan darah Yu-king-hiat, sebuah jalan darah yang tidak terlalu
berbahaya, juga memang tidak membuat si gadis menjadi kaku atau kehilangan
kebebasan bergeraknya. Dia cuma merasa kesakitan.
“Kau……. kau laki-laki kurang
ajar dan ceriwis.......!” memaki si gadis dengan muka yang merah padam.
Justeru tadi jari telunjuk
sudah menotok dadanya, membuat gadis itu merasa malu.
Muka Kim Lo sendiri berobah
merah, dia pun jadi malu. Dia menunduk.
“Maaf, aku tidak
sengaja.......!” Dia bilang.
Si gadis mendengus.
“Tidak sengaja?”
“Ya!”
“Hemmm, kau memang sengaja
hendak berlaku kurang ajar padaku, manusia gendak!”
Muka Kim Lo tambah merah. Dia malu
sekali dan tampaknya menyesal.
“Sungguh, aku tidak sengaja!”
“Hemm tidak sengaja? Kau
bilang tidak sengaja, tapi kau telah berlaku ceriwis. Jika aku belum dapat
menebas kutung jari telunjukmu yang telah menotok bagian anggota tubuhku, aku
bersumpah tidak akan menyudahi urusan sampai di sini saja?”
Setelah berkata begitu, dia
bangkit dengan muka yang meringis, dia pun bersiap-siap hendak menerjang lagi.
“Nona…….!” Kim Lo ragu-ragu.
Si gadis mendelik.
“Hem, alasan apa lagi yang
hendak kau kemukakan!”
“Dengarkan dulu kata-kataku!”
“Apa gunanya?”
“Aku…… aku tidak bermaksud
berbuat kurang ajar padamu……. sungguh, nona!”
“Hemmm, apakah dengan cara
begitu saja kau berhasil meyakinkan aku bahwa kau tidak bersalah!”
Muka Kim Lo berobah merah. Dia
merangkapkan sepasang tangannya menjurah dalam-dalam.
“Maafkanlah, aku memang tak
sungguh-sungguh tadi waktu menotok. Siapa tahu, tanpa disengaja aku telah
menotokmu.......!” kata Kim Lo.
Tapi si gadis mendengus, malah
waktu Kim Lo tengah membungkuk begitu, ia tahu-tahu telah menjejakkan kakinya
menerjang sambil tangannya diulurkan buat menjambret kain penutup muka Kim Lo,
gerakannya sangat cepat sekali.
Kim Lo terkejut melihat
kelicikan gadis itu, yang telah menjampret kain penutup mukanya disaat ia
tengah membungkuk memberi hormat seperti itu. Terlebih lagi memang iapun tengah
tidak bersiap siaga, di mana gadis itu menjambret dengan sangat cepat sekali.
Segera juga Kim Lo
menggerakkan kepalanya, dia berusaha mengelakkannya. Tapi dia, sebab waktu itu
topengnya telah kena dicekal oleh si gadis. Malah ketika gadis itu
menghentaknya, disaat tubuhnya melesat lewat, seketika kain penutup muka Kim Lo
terbuka, dan kain itu telah berpisah tangan, berada di tangan si gadis.
Bukan main mendongkolnya Kim
Lo, untuk sejenak lamanya dia berdiri diam di tempatnya. Dia mematung dengan
wajah merah padam sebab gusar.
Saat itu si gadis tertawa
bergelak-gelak, dia bilang: “Sekarang sudah tampak jelas sekali wajah Pendekar
Aneh Seruling Sakti! Tidak tahunya, memang wajahnya itu terlampau buruk dan
membuat dia perlu menutupi wajahnya selalu dengan secarik kain!”
Setelah tertawa begitu si
gadis tertawa bergelak.
Sebetulnya saat dia melihat
wajah Kim Lo, hati si gadis itu kaget tidak terkira. Ia melihat seraut wajah
yang seperti kera, seraut wajah yang sangat mengerikan sekali, terlampau buruk.
Lain dengan apa yang
dibayangkannya tadi, ia menduga bahwa pemuda ini niscaya memiliki wajah yang
tampan karena kepandaiannya yang begitu tinggi. Siapa tahu wajah yang seperti
muka kera, dengan mulut yang lebar, dan sepasang mata yang cekung.
Walaupun Pendekar aneh
berseruling sakti itu sudah lama juga menggetarkan rimba persilatan, dengan
sepak terjangnya baru-baru ini tetap saja tidak membayangkan betapapun dia
seorang yang mukanya seperti kera begitu. Dengan demikian sudah membuat dia
jadi kaget tidak terkira, karena memang pemuda tersebut memiliki muka yang
demikian aneh sekali seperti muka kera.
Orang tua penjual teh itu pun
terkejut bukan main, dimana iapun memang kaget waktu melihat muka si pemuda
yang seperti kera. Rupanya dia tidak menyangka sama sekali, bahwa pemuda ini
memiliki muka yang demikian buruk yang hidungnya melesak seperti hidung kera,
matanya cekung seperti mata kera dan mulutnya juga lebar sekali, buruk bukan
main.
Waktu itulah ia telah
melihatnya betapapun juga, memang keadaan Kim Lo cocok dengan gelarannya
sebagai Pendekar Aneh. Tapi serulingnya yang disebut sakti itu belum lagi
dilihatnya.
Gadis itu setelah tertawa
tiba-tiba memutar tubuhnya, ia bermaksud menyingkirkan diri.
Kim Lo yang topengnya yang
sudah kena dilucuti dan direbut si gadis, sehingga mukanya dapat dilihat oleh
si gadis, benar-benar membuat ia jadi mendongkol bukan main. Melihat gadis itu
hendak pergi, cepat-cepat ia menjejakan kakinya, tubuhnya melesat ke tengah
udara, ia mengejarnya.
Tangan kanan Kim Lo juga telah
diayunkan, ia telah menghantam.
Gadis itu merasakan sambaran
angin pukulan itu, ia merandek, berkelit. Kemudian meneruskan larinya, dia
berlari dengan cepat sekali.
Dalam saat seperti itu, Kim Lo
yang tengah mendongkol mana mau membiarkan si gadis pergi begitu saja?
Karenanya ia sudah melompat dengan ringan mengejar lagi.
Gadis itu mengetahui dirinya
dikejar terus dia tertawa kecil, kemudian tangannya tahu-tahu telah melontarkan
belasan batang jarum Bwe-hoa-ciam. Disusul dengan suaranya yang nyaring,
“Lebih baik kau urusi si kakek
tua penjual teh itu. Tadi dia sudah ingin meracuni kau, mengapa kau harus
mengejar-ngejar diriku! Pergilah kau mengurusi kakek tua itu.
Kim Lo merandek.
Apa yang dikatakan si gadis
memang ada benarnya juga! Bukankah memang tadi kakek penjual teh itu hendak
meracuninya! Bukankah kakek tua itu tidak berani meminum air teh dalam cawan
itu, yang telah dibuangkannya, disiramkannya kepada si gadis? Mengapa dia
hendak meracuni Kim Lo?
Karena berpikir seperti itu,
Kim Lo jadi bimbang. Dia melirik ke arah orang tua penjual teh itu. Dia melihat
si kakek tua penjual teh itu tengah memutar tubuhnya hendak melarikan diri.
Dalam waktu yang singkat
itulah Kim Lo sudah mengambil keputusan. Cepat sekali dia menjejak kakinya,
tubuhnya melesat dengan gesit menyambar kepala orang tua penjual teh itu Dia
berlaku sebat sekali.
Kepandaian orang tua penjual
itu pun tidak setinggi kepandaian si gadis. Dengan demikian tidak membuat dia
terlalu sulit buat berada di dekat si kakek penjual teh itu.
Dia mengulurkan tangannya
menyambar si kakek penjual teh tersebut, dan dia mencekalnya dengan kuat
sekali. Sambil mencekal begitu dia mengerahkan tenaga dalamnya, dia
menghentaknya, maka tubuh si kakek penjual teh itu terlontarkan ke tengah
udara.
Kakek tua itu tengah terluka
di dalam yang tidak ringan, karena tadi saja dia sudah memuntahkan darah segar.
Sekarang Kim Lo sudah menyerangnya dengan gerakan tangan Kim Lo yang tidak bisa
dilihatnya atau juga dikelit olehnya. Karenanya juga, membuat dia akhirnya kena
dicekal lengannya, tubuhnya terasa ringan sekali dan melayang ke tengah udara.
Dalam keadaan seperti itu, si
kakek tua penjual teh masih ingat buat berusaha mengendalikan tubuhnya yang
tengah terlambung di tengah udara, dia berusaha berpok-say. Namun, waktu dia
berjumpalitan, tangan Kim Lo sudah mendarat di punggungnya.
“Bukk!” Tubuh kakek tua
penjual teh itu jumpalitan terbanting keras di tanah. Dia meringis menahan
sakit yang tidak terkira.
Kim Lo melirik ke belakangnya,
dia tidak melihat gadis tadi. Si gadis sudah pergi menghilang dengan membawa
kain menutup mukanya.
Bukan main mendongkol dan
penasaran hati Kim Lo. Gusar karena gadis itu sudah begitu lancang menarik
terbuka kain penutup mukanya, sehingga gadis itu bisa melihat mukanya. Demikian
juga kakek tua ini, yang telah bisa melihat mukanya.
Karenanya hal ini membuat Kim
Lo jadi menumpahkan dan melampiaskan kemendongkolannya kepada kakek tua penjual
teh! Waktu tadi dia memukul, dia menghantam dengan empat bagian tenaga dalamnya
membuat kakek itu mengalami patah di dadanya dan menderita kesakitan hebat
sebab dia terbanting keras sekali.
Kim Lo menghampiri kakek tua
ini, hatinya tambah gusar ketika teringat betapa kakek tua itu sesungguhnya
orang yang bermaksud meracuni dirinya. Dia sebetulnya heran bukan main, mengapa
gadis itu bisa mengetahui kakek tua ini hendak meracuni dirinya?
Siapakah gadis itu? Mengapa
kakek tua ini hendak meracuninya?
Dan mengapa pula si gadis
telah berusaha monolonginya? Apakah memang gadis itu cuma sekedar melihat
wajahnya saja?
Tapi, tadi begitu melihat
wajah Kim Lo, si gadis tertegun, kemudian tertawa. Tertawanya inilah yang
membuat Kim Lo jadi penasaran sekali, gusar juga, karena dia merasa seperti
diejek oleh tertawa si gadis terhadap wajahnya yang memang buruk.
Setelah berada di samping si
kakek penjual teh yang tengah merangkak buat berdiri dengan muka meringis
menahan sakit, Kim Lo mengawasi mendelik.
“Bicaralah yang jujur dan
terus terang, mengapa kau hendak meracuni aku?” Tanya Kim Lo dengan suara yang
galak, karena dia dalam keadaan marah.
Kakek penjual teh itu
merengket ketakutan. Dia melihat wajah yang buruk dari Kim Lo yang sedang
marah. Dia jadi ketakutan bukan main. Dia menggelengkan kepalanya berulang
kali, dengan wajah yang masih meringis menahan sakit.
“Tidak! Tidak! Lohu, tidak
berbuat jahat meracuni Kongcu....... siluman wanita itu cuma hendak memfitnah
Lohu saja…….!”
“Hemmm, jangan memaksa aku
bertindak dengan keras buat memaksa kau bicara!”
“Sungguh!”
“Apanya yang sungguh?”
“Sungguh Lohu tak bermaksud
buruk pada Kongcu!”
“Hemm, tadi mengapa kau tak
berani meminum teh yang semula disajikan buatku? Mengapa kau membuangnya, untuk
menyiram gadis itu?!”
Muka orang tua penjual teh itu
berobah.
“Karena....... karena Lohu
sudah tak kuat menahan emosi dan kemendongkolan hati, oleh sikap gadis itu, dan
akhirnya membuat Lohu menyiram si gadis dengan air teh tadi. Lohu menyesal
sekali, mengapa Lohu tak meminumnya saja tadi!!”
Kim Lo tertawa dingin.
“Hemmmm, kau hendak berdusta
bukan? Baiklah, aku bisa memaksa kau bicara yang jujur, karena aku memiliki
caranya!” Setelah berkata begitu, Kim Lo melangkah setindak, lebih mendekati
orang tua penjual teh itu.
Orang tua itu jadi ketakutan
bukan main. Ia segera menyingkir dengan merangkak, mukanya pucat pasi, ia tahu
dirinya pasti akan disiksa oleh Kim Lo agar ia mau bicara yang jujur.
Terlebih lagi melihat muka Kim
Lo yang buruk seperti kera. Dalam keadaan marah tengah menyeringai, menambah
rasa takut orang tua itu saja.
“Jangan....... jangan…..!”
Kata orang tua itu ketakutan.
“Hemm…..!” Kim Lo tertawa
dingin. “Kau tinggal pilih, apakah kau bicara yang jujur tanpa disiksa, atau
memang kau menghendaki disiksa dulu baru nanti bicara yang jujur!”
“Lohu tadi sudah bicara yang
jujur....... Lohu sudah bicara dari hal yang sebenarnya……!”
“Benar-benar, kau tak mau
bicara yang jujur?” bentak Kim Lo habis sabar.
“Antara Lohu dengan Kongcu tak
saling kenal, buat apa Lohu berusaha meracuni Kongcu?!”
“Hemm, kau benar-benar keras
kepala! Kau tak mau bicara yang jujur....... Baiklah, aku mau lihat, setelah
ditotok beberapa jalan darahmu, apakah kau masih akan bicara seperti itu?!”
Dan Kim Lo melangkah lagi satu
tindak.
Kakek tua itu tambah
ketakutan, dia merengket dan mundur beberapa jauh.
Namun Kim Lo sudah menjejakkan
kakinya, tubuhnya sudah berada di sisi kakek tua itu. Dia mengulurkan
tangannya, mencekal tangan kakek tersebut.
Kakek tua itu ketakutan,
tubuhnya menggigil keras sekali.
“Jangan…... menyiksaku, aku
akan bicara yang sejujurnya…….!”
“Hemmm, jadi kau bersedia
bicara secara baik-baik?!”
“Benar!”
“Kau, bicaralah!”
“Hal ini, sesungguhnya Lohu
telah bicara dari hal yang sebenarnya, tapi Kongcu hendak menyiksa Lohu. Apa
lagi yang harus Lohu katakan?”
Karena melihat kakek tua itu
memang selalu berusaha untuk mengelakan pertanyaan juga tidak bersedia
memberikan keterangan yang sejujurnya, Kim Lo habis sabar. Dia mengerahkan
sedikit tenaga dalamnya, mencekal lebih kuat tangan kakek tua itu.
“Kreekk!” Tulang tangan si
kakek remuk dan dia menjerit kesakitan, mukanya pucat pias, bibirnya juga
gemetar.
“Aku bicara! Aku bicara!”
Dalam kesakitan seperti itu si
kakek tua sudah berseru-seru karena dia takut jika Kim Lo nanti turunkan tangan
lebih jauh menyiksa dirinya.
Kim Lo tertawa dingin.
“Bukankah lebih baik dari tadi
kau bicara yang jujur sehingga tidak perlu lagi kau menderita kesakitan seperti
itu.”
Muka kakek itu jadi pucat
pias, dia tengah kesakitan bukan main! Juga dia telah terluka di dalam.
Tenaganya hampir lenyap sama sekali.
Jika saja ia memang mendesak
terus agar Kim Lo menurunkan tangan oleh ketidak jujurannya, niscaya dia
sendiri yang tersiksa hebat.
“Aku bicara….... aku bicara!”
“Nah bicaralah.”
“Memang....... memang.......!”
“Memang? Memang apa? Ayo
bicara yang benar!”
“Memang gadis itu bicara
benar…….!”
“Bicara benar bagaimana?”
“Ia memang benar dengan
keterangannya!”
“Maksudmu bahwa kau
benar-benar hendak meracuni diriku?”
Orang tua itu mengangguk dan
menunduk, tak berani balas menatap Kim Lo, karena mata pemuda yang mukanya
seperti kera ini memancar tajam sekali.
“Ya….. benar.......!” akhirnya
orang tua itu bilang dengan suara perlahan.
“Hemmm!” mendengus Kim Lo
dengan sikap yang marah sekali. “Mengapa kau hendak meracuni diriku?!”
Orang itu mengangkat
kepalanya, menatap Kim Lo ragu-ragu kemudian ia menunduk lagi, ia bilang,
“Sesungguhnya……. sesungguhnya........!”
“Cepat katakan!”
“Lohu cuma menerima perintah
dari seseorang…….!”
“Siapa orang itu?”
“Entahlah, Lohu memang tak
kenal orang itu, Lohu hanya menerima upah belaka!”
“Kau bohong! Pasti kau kenal
dengan orang itu!” muka Kim Lo jadi bengis lagi.
Orang tua itu tambah
ketakutan, ia merengket den berusaha untuk melindungi tangannya yang tulangnya
telah remuk. Dia kuatir jika Kim Lo mencengkeram tangannya lagi tentu akan
menyiksa sekali buat kakek tua itu yang akan kesakitan hebat.