Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 121-130

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 121-130 Karena dari itu, dia mau sekali melihat wajah apakah yang terdapat di balik kain penutup muka itu. Menyaksikan kepandaian Kim Lo yang tinggi,
Pendekar Aneh Seruling Sakti  Jilid 121-130
Karena dari itu, dia mau sekali melihat wajah apakah yang terdapat di balik kain penutup muka itu. Menyaksikan kepandaian Kim Lo yang tinggi, dia jadi semakin penasaran dan bertekad hendak bertempur dengan si Pendekar Aneh Seruling Sakti ini. Dia berulangkali menghantam dengan kedua tangannya.

Sekarang dia bukan hanya sekedar buat melepaskan penutup muka Kim Lo. Bukan sekedar untuk menjambret kain itu, karena dia telah menyerang bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Kim Lo.

Kim Lo sendiri melihat setiap serangan yang dilakukan oleh nikouw ini memang sangat berbahaya. Kepandaiannya juga tinggi sekali.

“Aneh, entah siapa nie-kouw ini? Dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan juga iapun berulang kali mendesakku, seakan juga memang ia memiliki ganjalan denganku!”

Sambil berpikir begitu, tampak Kim Lo sudah melayani nie-kouw itu. Karena memang kepandaian Kim Lo sangat tinggi, ia bisa menghadapi dengan baik sekali.

Tapi ia bisa mengakui dengan jujur bahwa jarang ada orang yang memiliki kepandaian seperti nie-kouw itu. Lawan-lawannya yang selalu dirubuhkannya, tak seliehay nie-kouw itu, dan Kim Lo jadi hati-hati juga menghadapinya.

Pek Ie Siu-cay mengawasi jalannya pertempuran tersebut dengan mata terpentang lebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan pertempuran yang demikian seru, pertempuran yang sangat hebat sekali.

Ia mengakui bahwa kepandaiannya memang tinggi. Tapi dibandingkan dengan kedua orang itu, kepandaiannya masih kalah satu atau dua tingkat.

Diam-diam Pek Ie Siu-cay jadi menyesal juga bahwa ia sudah melatih keras dan semula dia menduga bahwa dirinya sudah memperoleh kepandaian yang sempurna. Siapa tahu justeru dia tidak berhasil untuk memperoleh kepandaian yang lebih tinggi dari kedua orang yang tengah bertempur.

“Untuk memperoleh kepandaian setinggi seperti mereka, aku sedikitnya harus berlatih selama sepuluh tahun lagi…….!” Pikir Pek Ie Siu-cay di dalam hatinya.

Karena dari itu, dengan tertarik sekali dia memperhatikan jalannya pertempuran tersebut. Banyak hal-hal yang diperhatikannya, terutama sekali ilmu silat kedua orang itu, buat menambah pengalamannya.

Hui-houw-to mengawasi pertempuran yang tengah berlangsung dengan seru dengan bengong. Ketika melihat Pek Ie Siu-cay pun mengawasi ke dua orang yang tengah bertempur itu dengan mata terpentang lebar-lebar, diam-diam dia jadi bersyukur juga.

Dia harus memperoleh kenyataan, bukan dirinya saja yang berkepandaian belum cukup tinggi dihina oleh Pek Ie Siu-cay. Sebab Pek Ie Siu-cay sendiri sudah terhina oleh Kim Lo, orang yang mengenakan penutup muka itu.

Hui-houw-to sendiri pun jadi heran bertambah bingung, karena hari ini ia bertemu banyak sekali orang pandai dan berkepandaian tinggi.

“Apakah orang yang mukanya ditutupi kain dan nie-kouw itu bermaksud mencari Giok-sie?” pikir Hui-houw-to.

Tengah dia berpikir begitu, terdengar bentakan Kim Lo yang berseru nyaring sekali, “Rubuh kau!” Tampak sepasang tangan Kim Lo bergantian menghantam.

Angin pukulan itu kuat sekali. Pukulan yang pertama disusul dengan pukulan yang kedua, yang jauh lebih kuat. Pukulan yang ketiga jauh lebih kuat lagi.

Itulah pukulan yang dinamakan “Selaksa kati menindih gunung” dimana nie-kouw itu tampak sibuk sekali menghadapi terjangan angin pukulan tersebut. Ia berusaha untuk menghadapi dengan kekerasan karena nie-kouw itu sudah mengempos semangatnya dia pun menangkis dengan kekerasan juga.

Karena dari itu, dia pun tidak dapat untuk membendung lebih lama ketika tiba pukulan ketujuh, yang jauh lebih kuat dari yang sebelumnya. Tubuh nie-kouw itu tergetar, kuda-kuda sepasang kakinya jadi tergetar, tubuhnya terdorong semakin jauh……. terdorong mundur? Tanpa kaki melangkah!

Itulah disebabkan tenaga serangan Kim Lo yang benar-benar sangat kuat sekali.

Di waktu seperti itu tampak Kim Lo tidak segan-segan buat mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ia sudah mengempos delapan bagian tenaga dalamnya. Ia berusaha untuk dapat menyerang dengan kekuatan tenaga lweekang yang tidak tanggung-tanggung.

Memang di sini segera terlihat, walaupun nie-kouw itu berusaha untuk bertahan, tokh dia gagal. Tubuhnya terdorong seperti patung yang tergetar saja. Itulah tanda bahwa lweekang nie-kouw ini masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan lweekang Kim Lo.

Kim Lo melihat dia memang di atas angin cepat-cepat mengempos dan mengerahkan tenaga dalamnya. Dia menghantam semakin gencar juga telah berusaha untuk cepat-cepat merubuhkan nie-kouw yang terlalu mendesak dirinya.

Nie-kouw itu tidak mau manda menerima begitu saja. Dia berusaha memperbaiki kedudukan dirinya, demikian pula kuda-kuda kedua kakinya dan berseru dengan teriakan yang nyaring sekali, sepasang tangannya mendorong sekuat tenaganya.

“Wutttt.......!” Angin dorongan itu memang sangat kuat, membuat tenaga serangan dari Kim Lo, sejenak terbendung, dan nie-kouw itu bisa bernapas lega.

Sedangkan Kim Lo sendiri kagum untuk kekuatan lweekang si nie-kouw, karena dalam keadaan terdesak seperti itu dia masih bisa untuk membalas mendorong tenaga pukulan Kim Lo.

Karena dari itu, dia pun segera dapat melihatnya nie-kouw ini seorang yang nekad. Dia memang dapat juga untuk melakukan segala apa pun buat melakukan penyerangan dengan mempertahankan jiwanya.

Itulah sifat wanita, karena memang seorang wanita tidak pernah mau berlaku mengalah dan disaat penasaran, jelas akan menyerang semakin hebat.

Sedangkan Kim Lo mana mau mengadu jiwa dengan nie-kouw tersebut. Karena memang dia pun tahu tidak ada gunanya jika dia harus mengadu jiwa dengan nie-kouw nekad seperti nie-kouw, berjubah merah ini.

Waktu si nie-kouw mendorong lagi buat membendung tenaga pukulan, Kim Lo sudah menarik pulang sepasang tangannya. Dia menjejakkan sepasang kakinya, melompat sambil berjumpalitan sejauh enam tombak lebih. Jarak yang cukup jauh memisah diri dari nie-kouw tersebut.

Tapi nie-kouw itu benar-benar nekad, dia tidak menyudahi urusan sampai di situ saja, karena ia sudah bersiul nyaring, sepasang kakinya menjejak tanah, tubuhnya melesat melayang di tengah udara. Waktu tubuhnya terapung seperti itu, dia menghantam dengan kedua tangannya.

“Wutt……..!” Angin pukulan itu menyambar kuat sekali, dan telah membuat Kim Lo tidak bisa menghindar lebih jauh lagi.

Di saat seperti itu, nie-kouw itu sudah mempergunakan kekuatan yang sangat hebat, dia ingin mengadu jiwa tampaknya.

Kim Lo mengeluarkan seruan tertahan.

Di waktu itu nie-kouw itu sudah mengempos sebagian besar kekuatan tenaga dalamnya dimana ia sudah menghantam terus tanpa memperdulikan perlindungan dirinya. Tenaga dalamnya itu semakin dekat.

Mau atau tidak, Kim Lo harus menangkisnya. Kuat sekali tangkisan tersebut, karena membuat tubuh nie-kouw itu jadi tergoncang, dan tubuhnya yang tengah melambung di tengah udara tidak bisa meluncur maju terus seperti terbendung di tengah udara.

Mempergunakan kesempatan itu, Kim Lo membentak lagi.

“Turunlah kau!”

Tangan Kim Lo mengibas.

Tubuh nie-kouw itu terpental.

Tapi dia tidak sampai terbanting, karena nie-kouw tersebut berhasil untuk mengendalikan dirinya. Dia bisa untuk membuat tubuhnya melayang ringan, jatuh dengan sepasang kaki terlebih dulu.

Cepat sekali Kim Lo sudah menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat pergi. Benar-benar dia tidak mau melayani nie-kouw yang seperti sinting itu, yang berlaku nekad.

Sedangkan nie-kouw tidak mengejar pula. Dia mengetahui di saat jarak mereka terpisah begitu jauh, tidak mungkin dia bisa mengejarnya, terlebih lagi tampaknya Kim Lo yang sudah berlari pesat sekali, dan telah lenyap di tikungan.

Nie-kouw ini menghela napas dalam-dalam.

“Benar-benar luar biasa! Kepandaian yang menakjubkan!” Dia bilang di dalam hatinya.

<> 

Pek Ie Siu-cay sudah memandang kepada nie-kouw itu dengan berdiam diri saja, Demikian juga Hui-houw-to.

Pelayan rumah makan dan orang-orang lainnya bubar.

Pek Ie Siu-cay menghela napas. Melihat nie-kouw itu termenung saja di tempatnya, mengawasi ke arah mana tadi tubuh Kim Lo lenyap, Pek Ie Siu-cay bermaksud untuk berlalu juga meninggalkan tempat ini.

Tanpa mengatakan suatu apapun juga Pek Ie Siu-cay memutar tubuhnya. Cuma saja baru ia berputar dan kakinya belum lagi melangkah, terdengar nie-kouw itu sudah berkata cukup nyaring,

“Kau mau pergi ke mana?”

Pek Ie Siu-cay menahan langkah kakinya, dia berdiam diri beberapa saat, ragu- ragu.

“Katakanlah, kau mau pergi ke mana pelajar tampan?”

Pek Ie Siu-cay bilang ragu- ragu. “Aku ada urusan yang harus diselesaikan, tidak dapat aku berdiam terus di tempat ini!”

“Tunggu dulu!” Tubuh nie-kouw melesat dan tahu-tahu sudah ada di samping Pek Ie Siu-cay.

“Siapa namamu?!” Tanya nie-kouw berjubah merah itu.

“Ang Ie Ciu!”

“Ang Ie Ciu?!”

“Benar!”

“Ohhh, kalau demikian kau yang bergelar Pek Ie Siu-cay di dalam kalangan kang-ouw bukan?”

“Ya!”

“Hebat! Usiamu masih demikian muda, tapi namamu menggetarkan rimba persilatan di sebelah selatan.”

Cepat-cepat Pek Ie Siu-cay merangkapkan sepasang tangannya.

“Itulah hanya sahabat-sahabat saja yang terlalu membesarkan, sesungguhnya kepandaianku tidak seberapa.......!” Setelah mengucapkan kata-kata merendah seperti itu, Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu meneruskan kata-katanya: “Maaf, aku harus segera melanjutkan perjalananku…….!”

“Kau ingin pergi ke mana?”

Ditanya seperti itu, kembali Ang Ie Ciu ragu-ragu.

“Katakanlah, jangan bimbang!”

Karena mengetahui bahwa nie-kouw ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi, jelas dia bukan nie-kouw sembarangan. Ang Ie Ciu tidak berani memandang remeh padanya.

Dia akhirnya menjawab juga: “Aku sendiri belum lagi mengetahui harus pergi ke mana, karena urusan yang ingin kuurus itu belum lagi selesai.”

“Menemui kesulitan?!”

Ang Ie Ciu mengangguk.

“Ya!”

“Bagaimana kalau kubantu?!”

Ang Ie Ciu memandang dengan sorot mata tajam kepada nie-kouw tersebut.

“Bagaimana?” Mendesak si nie-kouw.

Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu tersenyum.

“Sienie sangat baik hati....... terima kasih atas kebaikan Sienie.”

“Hemmm, memang Pienie senang sekali membantu dan menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan.”

“Kalau demikian, beruntung sekali aku bisa bertemu dengan Sienie….. Hak-seng mengucapkan terima kasih untuk kebaikan Sienie.”

“Jangan menyebut-nyebut dulu tentang terima kasih, kau belum lagi menjelaskan kesulitan apa yang tengah kau hadapi?!” Kata nie-kouw itu.

“Sesungguhnya…….” Berkata sampai disitu Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu menoleh memandang pada Hui-houw-to, yang kebetulan tengah mengawasi Pek Ie Siu-cay dan nie-kouw itu dengan mata yang tajam. Mata mereka bentrok, Hui-houw-to kaget. Cepat-cepat ia menunduk.

Dan Ang Ie Ciu baru meneruskan kata-katanya: “Sebetulnya Hak-seng (murid) ingin pergi mencari Giok-sie.......!”

Nie-kouw itu tiba-tiba tertawa.

“Oh....... Giok-sie? Bagaimana jika pienie membantumu buat mencari Giok-sie! Nanti kau boleh memiliki, Pienie hanya akan bertarung buat menghadapi jago- jago lainnya yang ingin memperebutkan Giok-sie itu!”

Muka Pek Ie Siu-cay jadi cerah berseri.

“Terima kasih Sienie, terima kasih! Tentu saja saya senang sekali menerima pertolongan dan bantuan Sienie yang sakti!” sambil bilang begitu, dia merangkapkan sepasang tangannya, memberi hormat.

Sedangkan nie-kouw itu tertawa. Dia memegang pundak Pek Ie Siu-cay.

“Jangan banyak peradatan.......!” suaranya halus.

Pundaknya dipegang seperti itu, membuat Pek Ie Siu-cay bergetar hatinya. Halus sekali cara memegang nie-kouw tersebut.

Diwaktu itu Hui-houw-to tahu, percuma dia berada di situ terus, hanya menimbulkan perasaan tidak senang bagi Pek Ie Siu-cay maupun nie-kouw tersebut. Karenanya, dia sudah memutar tubuhnya untuk berlalu.

Sedangkan Pek Ie Siu-cay sama sekali tidak berusaha menahannya, ia melirik saja dan kemudian menoleh lagi kepada si Nie-kouw.

Nie-kouw itu sudah mengawasi Pek Ie Siu-cay, dia bilang. “Kau tampan sekali, Pek Ie Siu-cay!”

Muka Pek Ie Siu-cay berobah merah, tapi hatinya sangat senang sekali.

Kembali nie-kouw itu bilang. “Dalam rencanamu, kau ingin pergi ke mana buat mencari jejak Giok-sie? Siapa tahu nanti setelah memperoleh Giok-sie kau bisa duduk di singgasana sebagai Kaisar?!”

“Ohh, Sienie terlalu memuji, Sienie terlalu memuji!” Kata Pek Ie Siu-cay segera, “Sesungguhnya saya ingin pergi ke Yu-cung buat mencari seseorang, ia bernama Kam Yu dan ia tentu bisa memberitahukan di mana sebetulnya letak Giok-sie itu, karena dialah orangnya Ciangbunjin Khong-tong-pay yang akan pergi mengambil Giok-sie itu……..!”

“Baiklah, mari kita pergi ke sana!”

Pek Ie Siu-cay mengangguk, dia segera bersama nie-kouw itu berlalu.

Sedangkan Hui-houw-to yang melihat ke dua orang itu sudah pergi, segera menghela napas, hatinya berduka bukan main. Ia memang dalam keadaan bingung karena tugas yang tengah dipikulnya sangat berat sekali.

Beruntung ia sudah bertemu dengan orang-orang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena dari itu ia bimbang buat melanjutkan tugasnya yang memang dilihatnya sekarang sangat berbahaya sekali.

<> 

Sejenak marilah kita ikuti perjalanan Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu dengan nie-kouw berbaju merah itu. Dan juga tampaknya memang mereka itu memiliki hubungan yang semakin dekat.

Karenanya pula ia pun telah merasakan betapa nie-kouw yang berpakaian baju merah itu memperlakukannya dengan manis di mana terlihat sekali dengan jelas. Ang Ie Ciu menyadari bahwa dia seperti juga selalu dilibat oleh nie-kouw tersebut dengan kata-kata yang mesra.

Si nie-kouw berbaju merah tersebut juga selalu berusaha mengajak Ang Ie Ciu bicarakan hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal wanita dan pria.

Semula Ang Ie Ciu heran juga, karena ia melihat nie-kouw ini walaupun seorang pendeta, tapi pembicaraannya selalu berkisar pada urusan laki-laki dan wanita. Mereka berlari-lari terus. Terutama disebabkan Ang Ie Ciu memiliki gin-kang yang mahir begitu pula halnya dengan nie-kouw itu yang gin-kangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi.

Siapakah nie-kouw berjubah merah yang cantik jelita itu?

Sebetulnya nie-kouw tersebut adalah seorang nie-kouw yang sangat terkenal sekali di dalam rimba persilatan sebagai nie-kouw cabul, yang selalu gemar pada pemuda yang memiliki paras tampan.

Tapi ada lagi kegemaran nie-kouw tersebut selain memilih laki-laki yang memiliki muka tampan, juga ia mencari laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi. Walaupun tidak dengan yang tampan, tapi dengan kepandaian tinggi, tentu laki-laki mana saja akan diajaknya untuk berkencan dengannya.

Nie-kouw jubah merah itu bergelar sebagai Ang-sian Sienie, di mana dia telah berulang kali menggemparkan rimba persilatan dengan sepak terjangnya.

Dalam keadaan seperti inilah tampak ia pun selalu sulit ditandingi oleh orang sembarangan. Karena memang ilmu silatnya yang tinggi.

Jarang ada orang yang bisa sembarangan begitu saja berlaku kurang ajar padanya. Jika ada laki-laki yang tidak disenangi nie-kouw itu melakukan sikap kurang ajar, atau menyapanya dengan kata-kata yang kotor, justeru nie-kouw ini akan membunuhnya. Karena Ang-sian Sinnie tidak mau diperlakukan sembarangan oleh siapa pun juga.

Tangannya telengas sekali, hatinya kelam. Setiap orang yang dihajarnya tentu tidak mengharap untuk hidup lebih lama lagi.

Pasti akan terbinasa dengan keadaan yang menyedihkan sekali. Disamping itu, memang diapun hanya berusaha mencari pemuda tampan yang menjadi pendampingnya.

Kurang lebih sudah seratus laki-laki lebih yang menjadi korbannya. Tapi nie-kouw ini tidak pernah puas dengan hanya seorang laki-laki karena ia akan selalu bosan cepat sekali pada laki-laki yang telah menjadi korbannya.

Tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan pasti akan disepaknya. Dan Ang-sian Sienie mencari korbannya yang baru.

Yang luar biasa, justeru kepandaian Ang-sian Sienie ini kian hari kian memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kepandaian yang sangat tinggi dan juga tokoh-tokoh rimba persilatan saja mengakuinya bahwa kepandaian Ang-sian Sienie merupakan kepandaian yang sulit sekali ditandingi.

Dalam keadaan-keadaan tertentu, sering kali Ang-sian Sienie menyatroni Siauw-lim-sie, Bu-tong-pay atau pintu perguruan silat terkenal lainnya, buat mencari korbannya. Seperti di bagian depan sudah dijelaskan, betapapun ia menyukai laki-laki dengan kepandaian tinggi.

Disamping orang itu akan diajaknya menemani Ang-sian Sienie, juga memang nie-kouw tersebut akan berusaha dengan licik sekali memancing keterangan tentang kepandaian yang paling diandalkan oleh pintu perguruan korbannya.

Karena itu juga, telah membuat Ang-sian Sienie memperoleh kepandaian yang beraneka ragam, karena semua ilmu silat dan terutama sekali inti sarinya, telah dikumpulkannya dan kemudian digabung dalam bentuk semacam kepandaian. Hal ini jelas membuatnya jadi tangguh sekali.

Ang-sian Sienie tidak memperdulikan apakah calon korbannya itu adalah seorang hweshio atau memang seorang tojin. Tapi yang terpenting baginya orang yang menjadi korbannya itu mempunyai kepandaian yang tangguh dan tinggi, maka korbannya itu harus mempunyai muka yang tampan sekali.

Kali ini dia melihat Pek Ie Siu-cay. Wajah yang tampan sekali dari pemuda itu, menarik benar hati si Nie-kouw. Juga ia melihat kepandaian silat dari Ang Ie Ciu tidak lemah, karenanya dia semakin tertarik saja. Dan itulah sebabnya dia telah melihat Ang Ie Ciu agar mau melakukan perjalanan bersama-sama dengannya.

Ang Ie Ciu pun, walaupun seorang pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi, dia mempunyai kelemahan, yaitu, ia lemah dan takluk terhadap paras cantik. Karenanya, ketika melihat atas nie-kouw ini sangat cantik, dan juga sikap nie-kouw itu terlalu manis padanya, Pek Ie Siu-cay ini tidak mau membuang-buang kesempatan yang ada. Dia menyambut gembira sekali uluran tangan nie-kouw itu untuk melakukan perjalanan bersama-sama.

Demikianlah mereka berdua telah melakukan perjalanan menuju ke Barat. Dan mereka pun selalu bercakap-cakap dengan gembira.

“Jika memang nanti Sienie sudah bisa membantuku memperoleh Giok-sie, entah dengan cara apa aku bisa membalas budi kebaikan Sienie?” Tanya Ang Ie Ciu dalam perjalanan, sambil melirik dan tersenyum kepada nie-kouw itu.

Ang-sian Sienie tersenyum. Dia pun melirik kepada si pemuda itu.

“Janganlah kau berkata begitu, Kongcu. Kau tahu Kongcu, betapa pun aku senang sekali bisa menolong kau walaupun kau andaikata kelak kau tidak mau ingat budi kebaikanku, asal kita bisa bersahabat.

“Persahabatan bagiku jauh lebih penting dan berharga dibandingkan dengan hal-hal lainnya….. karenanya kongcu jangan sungkan-sungkan terhadapku.......!”

Sambil berkata begitu, nie-kouw melirik lagi, sikapnya manis sekali.

Senang hati Pek Ie Siu-cay.

“Kalau memang demikian, sekarang saja Sienie menerima ucapan terima kasihku!” Sambil berkata, Pek Ie Siu-cay menahan langkah kakinya, dia sendiri menghadapi si nie-kouw merangkapkan sepasang tangannya dan menjura memberi hormat.

Nie-kouw itu cepat-cepat menahan langkah kakinya juga, apapun membalas hormat Ang Ie Ciu.

“Jangan banyak peradatan! Bukankah Kongcu, menerimaku sebagai sahabatmu? Dengan kedudukan sebagai seorang sahabat, aku harus berusaha membantu Kongcu, harus dapat menolongi jika sahabatku itu tengah dalam kesulitan.

“Jangan banyak peradatan……. jangan banyak peradatan!” Dan setelah berkata begitu, nie-kouw itu membungkukkan tubuhnya.

Karena nie-kouw tersebut membungkuk terlalu dalam, baju kependetaannya yang longgar agak turun ke bawah.

Mata Pek Ie Siu-cay terbuka lebar. Hatinya berdebar-debar.

Nie-kouw itu mengetahui sikap si pemuda pelajar, dia tertawa manis, mengambil sikap seperti juga tidak mengetahui. Mata Pek Ie Siu-cay seperti juga mata kucing yang rakus sekali melihat sepotong daging.

“Kongcu, apakah malam ini kita bisa mencapai kota Lu-shia?” Tanya nie-kouw tersebut akhirnya.

Pek Ie Siu-cay seperti terdesak kaget. Dia tersadar bahwa tadi dia sudah membawa sikap tidak pantas. Cepat-cepat dia menunduk, dengan suara tergagap dia jupa bilang:

“Mungkin……. mungkin bisa…….!”

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita…..!” Ajak si nie-kouw sambil tersenyum.

Pek Ie Siu-cay cuma mengangguk. sambil menelan air liur lagi. Entah mengapa hatinya jadi tergoncang keras oleh semacam perasaan yang aneh. Juga dia merasakan betapa hatinya itu tergoda oleh semacam ingatan.

Perasaannya jadi tidak tenang! Walaupun mereka telah melanjutkan perjalanan mereka, tokh dia seringkali melirik pada nie-kouw yang ada disampingnya.

Dia mencuri-curi melirik karena kuatir nie-kouw itu mengetahui. Betapa pun dia sering melirik dengan penuh rasa kagum melihat kecantikan paras muka nie-kouw tersebut.

Setelah melakukan perjalanan sejenak lamanya, akhirnya mereka tiba di kota Lu-shia, sebuah kota yang tidak terlalu besar, sebuah kota yang memang tidak terlalu padat penduduknya.

Namun, bangunan rumah penduduk di kota itu tampak baik-baik, karena memang penduduk kota ini sangat kaya dan juga kota ini merupakan kota perdagangan, menyebabkan kota tersebut diliputi kekayaan yang merata, membuat tidak ada seorang penduduk di kota itu yang terlanda oleh kemiskinan.

Karenanya pula, rumah penginapan tempat di mana Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian Sienie tempati, merupakan rumah penginapan yang sangat besar dan luas.

Di waktu itu, si nie-kouw meminta agar si pelayan mempersiapkan sebuah kamar saja.

Pelayan itu memandang heran. Dia melihat nie-kouw tersebut bersama Pek Ie Siu-cay.

“Sienie, apakah……. apakah Sienie akan bersama, sekamar dengan Kongcu itu…...?!” Tanya si pelayan, karena ia kuatir telah salah dengar perintah si nie-kouw tersebut.

Nie-kouw tersebut tersenyum,

“Mengapa heran? Ini adalah adik kandungku, di mana kami baru saja bertemu. Kami ingin bercakap-cakap sepanjang malam ini, karenanya kami mengambil satu kamar.......!”

Walaupun nie-kouw tersebut menyebut Pek Ie Siu-cay sebagai adik kandungnya, ia kurang yakin. Tapi diapun tidak bisa menolak pesanan si nie-kouw. Segera dia pergi mempersiapkan kamar nie-kouw tersebut.

Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian Sienie duduk menghadapi meja. Di depan mereka tersedia dua poci arak dan juga beberapa makanan kecil. Mereka minum perlahan-lahan.

“Mengapa kita mengambil sebuah kamar saja?” Tanya Pek Ie Siu-cay perlahan sekali berbisik.

Ang-sian Sienie tersenyum.

“Tidak aneh, bukan? Bukankah kita bisa bercakap-cakap gembira sambil beristirahat? Jika kita pisah kamar, tentu kita akan kesepian, tidak ada orang-orang yang bisa kita ajak bercakap-cakap…….!”

Pek Ie Siu-cay mengangguk.

Diam-diam hati pemuda pelajar berbaju putih ini girang bukan main. Bukankah diwaktu itu si nie-kouw sudah memberikan angin baik padanya, yaitu mereka akan tidur bersama di sebuah kamar?

Tapi, disaat itu juga Pek Ie Siu-cay semakin yakin, bahwa nie-kouw ini bukanlah pendeta wanita yang alim dan suci. Karena pendeta wanita ini pasti merupakan pendeta yang cabul dan senang main serong dengan laki-laki mana saja.

Bukankah sekarang saja tampaknya memang nie-kouw tersebut hendak memberikan angin kepada Pek Ie Siu-cay? Dan dengan hanya memesan sebuah kamar saja, dimana mereka akan tidur bersama di dalam kamar itu, nie-kouw ini sudah memberikan peluang buat Pek Ie Siu-cay menyambutnya.

Walaupun masih berusia muda, Pek Ie Siu-cay tidak bodoh. Dia memang sering bermain dengan wanita-wanita bunga raya, yaitu pelacur, dan ia tahu nie-kouw ini membutuhkannya malam ini.

Pek Ie Siu-cay tidak merasa rugi jika harus kencan dengan nie-kouw tersebut, karena iapun melihat wajah nie-kouw itu sangat cantik sekali. Karenanya, membuat Pek Ie Siu-cay diam-diam bergirang hati dan iapun tidak bosan-bosannya sering melirik kepada nie-kouw itu, untuk mencuri lihat kecantikannya.

Matanya yang bagus bentuknya, hidungnya yang bangir dan bibirnya yang berbentuk kecil mungil sangat indah sekali. Bentuk tubuhnya, potongannya yang indah. Betapa pun juga, nie-kouw ini seorang wanita yang sangat menarik sekali.

Dan diam-diam Pek Ie Siu-cay tersenyum.

Ang-sian Sienie melihat si pemuda senyum-senyum seperti itu, dia meletakkan cawannya di atas meja, kemudian dia mengawasi si pemuda, tanyanya:

“Apa yang kau tertawakan, Kong-cu?”

Tersentak Pek Ie Siu-cay.

“Tidak….. tidak ada…….!” Katanya kemudian dengan menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada? Tapi kulihat tadi engkau tersenyum-senyum saja!” Kata Ang-sian Sienie.

Kaget Pek Ie Siu-cay. Rupanya sejak tadi si nie-kouw memang memperhatikannya.

“Ini……. Ini…..,” Pipi si pemuda pelajar baju putih ini berobah memerah! “Sebetulnya……. sebetulnya aku tengah berpikir betapa cantiknya Sienie…….!” dan setelah berkata begitu, si pelajar tersenyum.

Girang nie-kouw itu, ia membalas senyum si pelajar.

“Kalau demikian kau rupanya menyukai kecantikan pienie bukan?”

“Ya!”

“Tapi, pienie tentunya tak terlalu cantik, banyak siocia-siocia yang cantik dan halus!”

“Mungkin di dunia ini cuma Sienie yang paling cantik….. cuma sayang…….!” setelah berkata begitu, Pek Ie Siu-cay tidak meneruskan kata-katanya.

Nie-kouw menantikan terusan kata-kata si pemuda pelajar itu, tapi pemuda pelajar berbaju putih itu tak meneruskan kata-katanya.

“Kalau…… kalau memang Sienie bukan seorang nie-kouw…….!” Kata si pemuda pelajar beberapa saat kemudian, ia bicara dengan kata-kata yang tak lancar.

“Kenapa?”

“Tentu menggembirakan sekali!”

“Mengapa begitu?”

“Karena……. karena kita bisa berhubungan sebagai sepasang merpati!”

Nie-kouw itu tersenyum, dia tidak bilang suatu apapun juga lagi. Cuma hatinya jadi senang bukan main.

Pek Ie Siu-cay mengangguk.

“Ya, Dan sayang sekali Sienie sudah mengikuti jalannya sang Buddha…..!”

Diwaktu itu Pek Ie Siu-cay mengawasi si nie-kouw yang tengah menunduk dan meneguk minumannya. Betapa cantiknya pendeta wanita ini.

Sayang ya. Memang sayang sekali dia seorang nie-kouw. Dengan demikian jelas dia tidak dapat untuk menghadapi si nie-kouw lebih dari bersahabat saja.

Walaupun selama dalam perjalanan nie-kouw itu memperlihatkan sikap yang manis dan akrab, namun Pek Ie Siu-cay tidak sembarangan untuk bersikap kurang ajar.

Tadi pun dia telah bicara terus terang memuji akan kecantikan nie-kouw itu, itupun karena terpaksa sekali, karena memang hatinya diliputi rasa aneh dan kagum menyaksikan kecantikan wajah nie-kouw ini.

Pelayan datang memberitahukan mereka, bahwa kamar yang dipesan sudah disiapkan.

Ang-sian Sienie mengajak Pek Ie Siu-cay pergi ke kamar itu, sebuah kamar yang cukup luas, dengan sebuah pembaringan yang cukup besar.

Nie-kouw itu menutup pintu, kemudian menggeliat meluruskan pinggangnya.

“Betapa perjalanan tadi melelahkan sekali!” menggumam nie-kouw itu.

“Ya!”

Nie-kouw itu menoleh kepada Pek Ie Siu-cay, matanya itu tampak bersinar terang.

“Apakah Kongcu pun lelah?”

“Ya!”

“Nah kau rebahkanlah tubuhmu di pembaringan untuk beristirahat!”

Pek Ie Siu-cay menggeleng.

“Jangan, buat Sienie saja.......!”

“Aku nanti saja, silahkan Kongcu yang lebih dulu…….!”

Namun Pek Ie Siu-cay menggeleng.

“Aku tidak terlalu lelah. Aku cukup duduk di kursi itu saja. Silahkan Sienie beristirahat!”

Dan benar-benar Pek Ie Siu-cay menghampiri kursi di sudut ruang kamar itu, ia duduk di situ sambil tersenyum.

Nie-kouw itu rupanya menyadari, percuma saja ia terus mendesak pemuda itu karena pemuda itu sudah duduk di kursi tersebut.

“Baiklah…….!” kata nie-kouw itu sambil melangkah ke pembaringan. Dia pun telah menggeliat lagi, kemudian duduk di tepi pembaringan mengawasi Pek Ie Siu-cay.

Ditatap seperti itu, hati Pek Ie Siu-cay jadi semakin tak tenang, berdebar keras hatinya, dikuasai oleh sesuatu yang aneh sekali.

Nie-kouw itu tersenyum.

“Aku ingin membuka jubahku dulu……. tapi….., tapi…….!”

Pek Ie Siu-cay jadi menunduk dengan pipi yang berobah merah.

“Memang jika kita mengambil sebuah kamar, tentu Sienie tidak akan leluasa….. Biarlah aku keluar saja, aku akan meminta pada pelayan agar dipersiapkan sebuah kamar lainnya buat aku…….”

“Oh, bukan begitu maksud pienie…..!” Kata si nie-kouw segera, “Duduklah kongcu! Pienie memang ingin membuka jubah Pienie, tapi sama sekali tidak merasa terganggu adanya Kongcu. Cuma saja pienie hendak memberitahukan saja dan jangan ditertawakan oleh Kongcu sebagai nie-kouw yang tidak tahu malu!”

Hati Pek Ie Siu-cay semakin berdebar.

“Tentu saja tidak, tentu saja tidak!” Kata Pek Ie Siu-cay sambil menunduk terus. “Mana berani….. mana berani.......”

“Kongcu…….!” Panggilnya.

“Ya?” Kaget Pek Ie Siu-cay, sampai ia tersentak dan mengangkat kepalanya.

“Berani sumpah?”

Pek Ie Siu-cay sebetulnya diwaktu itu merasakan hatinya tergoncang keras sekali. Diapun menyadari bahwa dia tengah dikuasai oleh perasaan yang aneh itu.

Dia cepat-cepat mengangguk. “Berani sumpah apa saja.”

“Sungguh?!”

“Ya, sumpah apa saja.”

“Coba bersumpah!”

“Sumpah apa, Sienie?”

“Kau yang bersumpah saja sendiri untuk membuktikan pujianmu itu keluar dari hati yang jujur.”

Pek Ie Siu-cay ragu-ragu sejenak, namun akhirnya dia mengangkat kepalanya, mengawasi si nie-kouw, dia bilang: “Jika memang tadi saya berkata palsu pada Sienie, biarlah aku dikutuk oleh Thian sehingga di waktu selanjutnya tidak akan dapat hidup dengan baik dengan tubuhnya yang utuh dan mati dengan keadaan mengenaskan sekali, tidak diterima oleh bumi mau pun langit.......!”

Mendengar sumpah Pek Ie Siu-cay seperti itu, senang hati nie-kouw tersebut.

“Bagus!” katanya puas. “Jika demikian kongcu memang berkata sungguh-sungguh.”

“Ya……. memang sebenarnya.”

Nie-kouw itu tertawa.

Nie-kouw itu seakan sudah tidak memperdulikan si pelajar baju putih itu, dia rebah dengan tenang.

Pek Ie Siu-cay mengawasi dengan mencuri pandangan pada nie-kouw itu karena Pek Ie Siu-cay tidak berani langsung. Dia kuatir nanti dirinya disebut kurang ajar.

Bukankah nie-kouw yang cantik ini sudah demikian baik dan mempercayainya? Bukankah dia diajak untuk tinggal bersama-sama di dalam sebuah kamar? Bukankah nie-kouw itu benar-benar sudah mempercayainya?

Karena dari itu, Pek Ie Siu-cay tidak berani untuk memperlihatkan sikap kurang ajar.

Entah sudah lewat berapa lama, mereka berdiam diri saja, kamar itu hening.

Sampai akhirnya si nie-kouw menoleh pada si pelajar baju putih itu. Dilihatnya Pek Ie Siu-cay duduk tengah mengawasi padanya. Wajah si Pelajar tampaknya kaget waktu tatapan mereka saling bertemu, cepat-cepat ia berpaling, ke arah lain.

Waktu itu, si nie-kouw tersenyum, malah tertawanya pun terdengar halus dan perlahan.

“Kongcu…….!” panggilnya perlahan.

Tersentak lagi Pek Ie Siu-cay.

“Ya!”

“Mengapa diam saja! Bukankah keheningan bukan saat yang menggembirakan.......?”

“Aku….. aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan kepada Sienie.

“Katakanlah, apa saja……. dengan bercakap-cakap terus kita akan gembira? Bukankah sengaja pienie mengajak Kongcu berdiam bersama di sebuah kamar ini, untuk teman bercakap-cakap agar pienie tidak kesepian?”

Benar-benar Pek Ie Siu-cay agak bingung karena dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dia seperti kehabisan kata-kata.

Tampak si pelajar lebih kikuk lagi.

Dengan duduk di tepi pembaringan, dia mencium bau harum semerbak, yang membuat hatinya semakin berdebar.

“Duduklah di sini kita bisa bercakap-cakap dengan gembira sekali, bukankah begitu?”

“Tapi….. tapi….”

“Kenapa?”

“Bukan Sienie hendak beristirahat?!”

Nie-kouw itu menggeleng.

“Aku rebah beristirahat dengan mendengar suaramu! Bercakap-cakap dengan kau merupakan hal yang menyenangkan sekali!” Kata nie-kouw tersebut.

Hati Pek Ie Siu-cay mulai agak tenang. Tampaknya si nie-kouw memang bersikap terbuka sekali padanya, dan tampaknya nie-kouw inipun memberikan kebebasan padanya.

“Apa yang hendak kita percakapkan?” Tanya si pelajar baju putih itu.

Nie-kouw itu tersenyum.

“Apa saja, kau boleh menceritakan sesuatu yang indah dan menarik pada Pinnie!”

“Cerita? Bercerita? Tentang apa, Sienie?” Heran Pek Ie Siu-cay.

“Tentang apa saja.”

“Baiklah……. aku akan menceritakan apa yang selama ini sering kutemui dalam rimba persilatan, selama aku berkelana. Entah Sienie senang mendengarkan atau tidak?”

“Oh, tentu saja senang, ayo mulailah!”

Pek Ie Siu-cay batuk-batuk dulu beberapa kali, barulah dia kemudian menceritakan pengalamannya selama berkelana di dalam rimba persilatan, sengaja Pek Ie Siu-cay memilih bagian yang lucu, yang bisa memancing tertawa gembira itu.

Melihat Pek Ie Siu-cay bercerita, akhirnya Ang-sian Sienie tertawa.

“Adakah cerita lain yang lebih menarik?” Tanya si pendeta wanita tersebut sambil tersenyum.

Pek Ie Siu-cay menghela napas.

“Aku tidak memiliki cerita yang baik....... Mungkin apa yang tadi kuceritakan padaa Sienie kurang menarik!” Katanya sambil tersenyum.

Si pendeta wanita mengangguk perlahan, dia bilang: “Cukup menarik. Tapi, Pienie memiliki cerita yang mungkin lebih menarik!”

“Kalau begitu…….”

“Kenapa?”

“Maukah Sienie menceritakanya padaku?”

“Baik! Pienie akan menceritakan!”

Pek Ie Siu-cay memang mengetahui betapapun juga Ang-sian Sienie seorang pendeta wanita yang tangguh, malah Pek Ie Siu-cay bukan tandingannya. Karenanya juga membuat Pek Ie Siu-cay tidak berani untuk bertindak kurang ajar.

Rupanya Ang-sian Sienie sudah berpikir cukup dan sudah ingat cerita apa yang akan dikisahkannya buat Pek Ie Siu-cay, ia membuka matanya kembali dan sambil tersenyum dia bilang.

“Sekarang Pinnie sudah ingat apa yang mau Pinnie ceritakan buat Kongcu, tentu sangat menarik sekali! Inilah tentang percintaan sepasang muda mudi…..!”

Pek Ie Siu-cay mengangguk.

“Tentunya cerita Sienie memang menarik sekali!”

“Tentu! Tentang seorang gadis yang mencintai seorang pemuda……!”

“Bagaimana ceritanya?!”

Si gadis mencintai si pemuda, sedangkan pemuda itupun sangat mencintainya. Sayangnya, orang tua mereka menentang hubungan mereka, sampai akhirnya, si gadis suka mengadakan pertemuan gelap dengan kekasihnya.

“Tapi akhirnya mereka terjadi dan menikah?!”

“Tidak.......”

“Tidak?”

“Ya, karena berakhir si gadis meninggal, mati bunuh diri, sedangkan si pemuda pun akkirnya mengikuti jejak kekasihnya, menghabisi jiwanya sendiri…….”

“Oh, menyedihkan sekali.”

“Ya, si gadis suatu hari mengajak si pemuda bertemu di sebuah kuil rusak. Kuil itu sepi dan tidak terdapat orang lainnya. Mereka leluasa sekali memupuk cinta mereka, sampai akhirnya si gadis menyerahkan kegadisannya kepada kekasihnya.”

“Jadi, gadis itu rela menyerahkan dirinya?”

“Ya.”

“Kalau demikian, tentunya pemuda itu menerimanya?”

“Tidak. Dia menolaknya, dia bilang, jika mereka nanti sudah menikah, barulah dia mengambil haknya.”

“Namun, akhirnya pemuda itu menuruti juga keinginan si gadis?”

Ang-sian Sienie mengangguk.

“Sienie.......!” Bisiknya.

Nie-kouw itu menggeliat.

“Ya?”

“Kepandaianmu sangat hebat sekali, ilmu silatmu sangat mahir dan tinggi. Aku memiliki sebuah permohonan entah Sienie mau meluluskannya atau tidak?!”

“Apa itu?”

“Aku menginginkan Sienie mau memberikan petunjuk kepadaku…….!”

“Tentang ilmu silat? Mengenai jurus-jurus andalan?!”

“Benar…….!”

“Tentu saja mau!”

“Benarkah itu, Sienie?!”

“Benar……. aku memang akan memberikan petunjuk kepadamu, asal engkaupun mau memenuhi semua yang kuinginkan!”

“Tentu saja Sienie!”

Pek Ie Siu-cay sendiri heran, mengapa nie-kouw ini mempunyai suatu kelainan dibandingkan dengan wanita-wanita lain.

Sedangkan saat itu si nie-kouw sendiri tengah berusaha untuk menghisap sari kelaki-lakian si pelajar baju putih, karena memang dalam latihan yang semacam ilmu miliknya, dia telah membutuhkan banyak sekali sari laki-laki.

Ang-sian Sienie pun tertidur. Begitu pula dengan Pek Ie Siu-cay tertidur tidak sadarkan diri lagi……. napasnya yang menderu-deru mengorok.

Ang-sian Sienie tidur dengan bibir tersenyum seakan-akan juga dia tengah bermimpi indah sekali.

Hubungan Ang-sian Sienie dengan Pek Ie Siu-cay Ang-sian Sienie semakin akrab.

Pagi itu tampak mereka duduk di depan rumah penginapan, sedang bersantap. Memang seperti kebanyakan rumah makan di daerah Put-hay, maka demikian pula dengan rumah penginapan yang didiami oleh Pek Ie Siu-cay berdua Ang-sian Sienie selain merupakan rumah penginapan, merekapun membuka rumah makan di ruang bawah, di sebelah depan bagian dari rumah perginapan itu. Biasanya rumah makan di daerah itu merangkap sebagai rumah penginapan.

Sambil makan, tidak hentinya Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian Sienie bercakap dan tertawa-tawa gembira.

Tidak diperdulikan oleh mereka pandangan aneh dari pelayan rumah penginapan itu ataupun para tamu lainnya. Mereka tetap dengan kegembiraan mereka.

Tengah makan tiba-tiba tampak Pek Ie Siu-cay menunda sumpitnya! Ia mengawasi ke arah pintu rumah penginapan dengan biji mata tidak bergerak, malah matanya itu terpentang cukup besar.

Ang-sian Sinnie jadi heran, dia menoleh mengikuti pandangan Pek Ie Siu-cay, segera juga darahnya tersirap, dia terkesiap kaget. Namun cepat sekali dia bisa mengendalikan dirinya di samping rasa kaget bercampur dengan perasaan gembira.

Karena dia mengenali segera seseorang yang tengah melangkah masuk ke dalam rumah penginapan itu adalah seorang laki-laki berpakaian jubah serba putih dengan bagian mukanya ditutup oleh sehelai kain. Dan mukanya tidak terlihat, cuma saja Ang-sian Sinnie mengenalinya. Itulah Kim Lo, si Pendekar Aneh Seruling Sakti.

“Jangan perdulikan dia!” Bisik Pek Ie Siu-cay sambil menunduk.

Si pendeta wanita mengangguk.

“Ya…….!”

Mereka meneruskan makan mereka.

Orang yang baru datang memang Kim Lo. Dia juga melihat Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian Sinnie berada di ruang makan rumah penginapan itu.

Dia bimbang, karena dia semula mau memutar tubuhnya untuk meninggalkan rumah penginapan itu. Cuma saja akhirnya Kim Lo membatalkan maksudnya, kini dia meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruang rumah makan merangkap rumah penginapan itu.

Seorang pelayan menyambut dan melayaninya. Kim Lo diajak ke sebuah meja yang masih kosong terpisah cukup jauh dengan meja Pek Ie Siu-cay maupun Ang-sian Sinnie, terpisah hampir tujuh meja.

Sikap Kim Lo tenang sekali, ia duduk di kursi tanpa menoleh sekalipun pada Ang-sian Sinnie maupun Pek Ie Siu-cay. Ia memesan makanan juga minuman. Sambil menunggu tibanya makanan yang di pesannya, Kim Lo duduk dengan tubuh yang tegak tenang di tempatnya, ia memainkan tangannya.

Tak lama kemudian didengarnya Ang-sian Sinnie tertawa, suara tertawanya itu genit sekali. Tapi Kim Lo tetap tak menoleh, hanya memandang dengan lurus ke depannya, tak memperdulikannya. Karena Kim Lo tahu bahwa dirinya yang tengah dibicarakan oleh Ang-sian Sinnie dengan Pek Ie Siu-cay.

Tidak lama kemudian terdengar lagi tertawa Ang-sian Sinnie, disusul dengan kata-kata Pek Ie Siu-cay, “Benar, memang kita, harus meninggalkan rumah penginapan itu....... tentu kita jadi terganggu sekali dengan kedatangan siluman itu!”

“Tapi tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar kata-kata Ang-sian Sinnie lagi. “Jangan pergi dulu. Keinginanku buat melihat mukanya belum lagi terlaksana dan belum tercapai. Jika memang sudah bisa melihat mukanya, aku puas. Entah wajahnya sangat buruk atau tampan, sehingga dia selalu menutupi mukanya dengan kain itu……”

Waktu itu Kim Lo tetap menahan diri. Dia tidak melayani ocehan Pek Ie Siu-cay mau pun Ang-sian Sinnie.

“Hemm, kita lihat saja apa maksudnya datang kemari!” kata Pek Ie Siu-cay.

“Benar, tentu iapun tengah menyelidiki tentang jejak Giok-sie.......!”

“Giok-sie telah kuhancurkan, sekarang apa pun sudah tak bisa memperolehnya!” kata Pek Ie Siu-cay. Waktu bilang begitu suaranya sengaja dikeraskan, agar Kim Lo dapat mendengarnya.

Benar saja, Kim Lo tak bisa menahan diri lebih jauh, ia tiba-tiba sekali bangun dari duduknya, melangkah menghampiri Pek Ie Siu-cay dan Ang-sian Sienie.

Setelah menghampiri dekat, ia bilang dengan suara yang datar dan dingin, “Di mana adanya Giok-sie?!”

Pek Ie Siu-cay dengan Ang-sian Sienie tertawa bergelak.

“Lihat! Lihat! Benar bukan apa yang kukatakan tadi, bahwa dia pun mengincar Giok-sie?” tanya Ang-sian Sienie di antara suara tawanya.

Pek Ie Siu-cay mengangguk-angguk.

“Benar! Benar!” Katanya.

“Lucu! Dia bertanya pada kita di mana adanya Giok-sie! Hemm, jika memang Giok-sie berada di tangan kita, apakah kita akan memberitahukannya?”

Mereka tertawa lagi.

Kesabaran Kim Lo sudah habis. Mendadak sekali tangannya menepuk meja.

“Bukk!” Mangkok dan juga sumpit berjatuhan menimbulkan suara yang berisik.

Kaget tamu-tamu lainnya yang sudah segera menoleh, sedangkan pelayan jadi sibuk sekali, untuk datang memisahkan mereka, karena pelayan itu menduga terjadi keributan dan ingin mencegah terjadinya keributan.

Kim Lo tidak melayani sikap dan ocehan si pelayan, dengan sorot mata tajam sekali yang muncul dari dua lobang topeng mukanya itu, dia bilang nyaring: “Sekarang kalian sebutkan, di mana beradanya Giok-sie! Jangan sampai aku memaksa dengan kekerasan.......!”

Ang-sian Sienie tertawa bergelak.

“Jika memang kami tidak memberitahukan?”

“Aku akan memaksa.”

“Bisa kau memaksa Pinnie?”

“Bisa!”

Muka Ang-sian Sienie berobah merah padam, karena dia tersinggung. Dia berdiri.

“Sekarang justeru aku ingin melihat, dengan cara apa kau memaksa aku…..!”

“Ada caranya, tapi lebih baik kalian memberitahukan di mana beradanya Giok-sie. Tadi kudengar kalian menyebut-nyebut tentang Giok-sie!”

“Ya, memang aku memberitahukan Giok-sie telah kuperoleh dan kuhancurkan! Aku ingin kau mendengar hal itu,” Kata Pek Ie Siu-cay, “Maka tidak ada gunanya juga jika sekarang kalian hendak memperebutkan Giok-sie, telah dimusnahkan. Kau dengan orang-orang Kang-ouw lainnya jangan bermimpi bisa memperoleh Giok-sie dan jadi Kaisar.”

Ang-sian Sienie dengan suara datar telah bilang: “Hemm, dulu tidak berhasil melihat wajahmu, sekarang Pinnie ingin melihatnya…….!”

Nie-kouw itu tak menanti sampai kata-katanya itu habis, ia sudah menggerakkan hud-timnya, dimana ujung hud-tim menyambar cepat sekali ke arah muka Kim Lo.

Jika orang diserangnya itu berkepandaian tanggung, niscaya orang itu tak berdaya buat mengelakan ujung hud-tim itu, karena ujung hud-tim seperti memiliki mata dan akan menggaet tepi kain penutup muka. Itulah disebabkan memang lweekang Ang-sian Sienie sangat tinggi sekali. Ia bisa mempergunakan tenaga dalamnya yang disalurkan pada tangan dan kemudian pada ujung hud-timnya itu.

Kim Lo tenang saja, ia cuma memiringkan kepalanya sedikit, sambaran hud-tim itu sudah mengenai tempat kosong.

“Benar-benar kalian tidak mau baik-baik?” tegur Kim Lo.

“Ya, kau memang mencari penyakit,” kata Ang-sian Sienie. “Kalau kau mau membuka penutup mukamu, mungkin Pinnie bersedia bicara lebih jauh denganmu!”

“Hemmm!” sambil mendengus begitu tangan Kim Lo bergerak buat menyentil hud-tim si pendeta wanita yang tengah menyambar ke pundaknya.

Ujung hud-tim yang kena disentil oleh Kim Lo jadi mencong arahnya. Diwaktu itu dipergunakan oleb Kim Lo buat mencengkeram tangan nie-kouw.

Cuma saja, kepandaian Ang-sian Sienie memang tidak rendah. Mudah sekali dia menarik pulang serangannya yang gagal itu dan juga menarik pulang tangan maupun hud-timnya, sehingga gagal dicekal oleh Kim Lo.

Kim Lo penasaran, tapi belum lagi dia menyusuli dengan serangannya. Justeru Ang-sian Sienie sudah mengulurkan tangan kirinya, dia hendak menjambret penutup muka Kim Lo.

Kim Lo berkelit.

Tangan Ang-sian Sienie meluncur cepat sekali, begitu Kim Lo mengelak, dia menyusuli lainnya.

Demikianlah saling susul, sampai akhirnya membuat Kim Lo harus menangkis juga tangan si nie-kouw yang tengah menyambar ke dirinya.

“Buukkk!” tangan mereka saling bentur, tapi tubuh Kim Lo tetap tegak ditempatnya tanpa kurang suatu apa pun juga.

Tubuh Ang-sian Sienie masih berdiri tegak di tempatnya. Cuma saja, dia merasakan tenaga tangkisan dan tangan Kim Lo kuat sekali.

Dia tergetar walaupun kuda-kuda sepasang kakinya tidak sampai tergempur. Dia tokh terkejut, dadanya sakit, dan selanjutnya ia bersikap hati-hati.

Pek Ie Siu-cay tidak bisa menahan sabar lagi, diapun maju dengan gerakan yang gesit.

“Sienie, jangan kuatir, aku akan membekuk manusia siluman ini!” Sambil berkata begitu, dia sudah menyerang dengan pedang yang dihunusinya.

Tikaman yang dilakukan Pek Ie Siu-cay seperti serangan membokong, karena dia menikam dengan mendadak, juga dari arah belakang Kim Lo, tanpa memperingati dulu.

Kim Lo mendengar berkesiuran angin dingin ditekuknya, dia melesat ke samping.

Tikaman Pek Ie Siu-cay jatuh ke tempat kosong.

Namun Pek Ie Siu-cay tidak mau sudah sampai di situ saja. Dia ingin memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya, di depan nie-kouw tersebut.

Memang benar Kim Lo memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Hanya saja, diapun tidak jeri, karena adanya si nie-kouw yang liehay disampingnya.

Pek Ie Siu-cay yakin tentu Ang-sian Sienie tidak akan tinggal diam membiarkan dirinya dirubuhkan Kim Lo. Semangatnya terbangun, diapun menyerang gencar sekali kepada Kim Lo, dengan tikaman dan tabasan yang saling susul.

Kim Lo hanya mengelak ke sana ke mari.

“Benarkah kalian sudah berhasil memperoleh Giok-sie?” Tanya Kim Lo. Dia bertanya dengan nada menegur.

Pek Ie Siu-cay tertawa bergelak sambil menikam terus dengan pedangnya.

“Tidak salah! Kau inginkan Giok-sie itu?”

“Hemm, serahkan Giok-sie padaku!”

Pek Ie Siu-cay tertawa mengejek.

“Aduhhh, enak benar minta diserahi Giok-sie begitu saja, menyerahkan benda pusaka yang tidak ternilai harganya!”

“Serahkan…….!” Bentak Kim Lo sengit.

Sambil membentak begitu, Kim Lo juga sudah menyambar dengan tangan kanannya, mempergunakan jari telunjuk dan ibu jarinya ingin menjepit pedangnya. Dia mau menjepit pedang itu, lalu mematahkannya.

Namun Kim Lo jelas tidak mudah untuk melakukan apa yang dipikirkannya. Selain Pek Ie Siu-cay mempunyai kepandaian tinggi dan juga sudah berlaku waspada, diapun dapat menarik pulang pedangnya dengan segera, lalu melompat mundur mengelakkan tangan Kim Lo.

Ang-sian Sienie pun tidak tinggal diam. Melihat Pek Ie Siu-cay dalam beberapa jurus sudah dapat dipukul mundur oleh Kim Lo, dia melompat maju.

Tangan si nie-kouw menyambar kepada kain penutup muka Kim Lo. Hud-timnya juga menyambar dengan cepat.

Kim Lo harus menghadapi si nie-kouw itu.

“Benar, benar kalian menghendaki aku menurunkan tangan keras?!” Tanya Kim Lo karena mendongkol melihat kedua orang itu sulit sekali diajak bicara baik-baik.

“Ya……. silahkan kau mempergunakan serulingmu! Bukankah kau terkenal sebagai si pendekar aneh yang berseruling sakti?”

Ejekan itu membuat hati Kim Lo mendongkol.

“Kalau memang aku mengeluarkan dan mempergunakan serulingku, berarti sudah saatnya kalian mati! Karena dari itu, aku tidak mau jika menghadapi kalian belum waktunya untuk mati…….!”

“Hemm, apakah kepandaian ilmu serulingmu itu hanyalah terlalu dibesar-besarkan, keterkenalan nama, lain dengan rupa. Dan kau hanyalah sang kodok yang pandai mengibul dengan cara bohong belaka. Sesungguhnya kau bukanlah orang yang memiliki kepandaian berarti apa-apa.”

Sambil berkata begitu, tangan Ang-sian Sienie bergerak gencar sekali. Tangan kiri dengan hud-tim di tangan ia menerjang hebat kepada Kim Lo.

Berulangkali Kim Lo mengelakkannya, diam-diam dia mengempos hawa murninya, sin-kangnya. Karena dia hendak merubuhkan nie-kouw ini dulu barulah nanti dia akan menawan Pek Ie Siu-cay, buat memaksanya agar Pek Ie Siu-cay mau memberikan pengakuan dan bicara tentang Giok-sie.

Begitulah, waktu memperoleh kesempatan di saat Ang-sian Sienie tengah menyerang dengan hud-timnya ke arah perut Kim Lo, cepat sekali si Pendekar Aneh Berseruling Sakti itu sudah bergerak lincah. Dia seakan tidak memperdulikan ujung hud-tim yang tengah menyambar ke perutnya, tangan kanannya menyambar akan merampas hud-tim itu, sedangkan tangan kirinya mendorong dengan kekuatan sin-kang yang menakjubkan, karena menimbulkan kesiuran angin yang sangat kuat sekali.

Ang-sian Sienie kaget, cepat-cepat dia mengelak.

Namun gerakannya terlambat.

Telapak tangan kiri Kim Lo sudah menyambar masuk ke dadanya, memperdengarkan suara yang keras.

Walaupun pukulan itu bukan mengenai telak, tokh Ang-sian Sienie mengelakkannya kalah cepat, dadanya masih kena diserempet.

Namanya saja diserempet, namun sesungguhnya Ang-sian Sienie memang sudah terpukul cukup keras. Tubuhnya terhuyung dan juga ia kehilangan kuda-kuda sepasang kakinya.

Kim Lo tidak mau membuang kesempatan yang ada, ia bergerak sangat lincah.

Waktu tubuh si nie-kouw terhuyung seperti itu, Kim Lo sudah berada di sisi si nie-kouw. Tangan kanannya diulurkan buat menjambak baju di punggung si pendeta wanita.

Hanya saja disaat tangan Kim Lo tengah meluncur seperti itu, justeru dari arah belakangnya menyambar angin serangan yang dingin. Penyerangnya adalah Pek Ie Siu-cay

Pek Ie Siu-cay Ang Ie Ciu melihat betapa keselamatan Ang-sian Sienie terancam, cepat-cepat dia melompat maju buat menolongi nie-kouw itu.

Kepandaian Pek Ie Siu-cay pun tidak terpaut terlalu jauh di bawah Kim Lo. Karena itu, Kim Lo pun, dengan mendengar berkesiuran angin tikaman tersebut, dia tidak berani untuk meremehkan. Itulah tikaman yang mengandung maut.

Batal Kim Lo buat menjambak jubah di punggung nie-kouw tersebut. Dia memiringkan tubuhnya, pinggangnya diputar, tahu-tahu tangan kanannya sudah diluruskan ke belakang, lalu jari telunjuknya dengan ibu jari menjepit pedang Pek Ie Siu-cay, sambil menjepit seperti itu Kim Lo mengerahkan lweekangnya.

“Trangg.......!” Pedang Pek Ie Siu-cay patah.

Muka si pelajar baju putih itu jadi pucat. Dia segera melompat mundur.

Hati Pek Ie Siu-cay tercekat sebab menyaksikan kehebatan lawannya.

Sekarang ini barulah Pek Ie Siu-cay yakin bahwa kepandaiannya belum lagi bisa menandingi Kim Lo.

Ang-sian Sienie yang sudah pulih ketegangan hatinya, beruntun menyerang Kim Lo. Dia dengan hud-tim dan telapak tangan kirinya, tidak mau jika Pek Ie Siu-cay kena dirubuhkan oleh Kim Lo.

“Hemmm!” Kim Lo mendengus lagi seperti diketahui, dulu Kim Lo selain menghindar dan tidak mau bertempur dengan nie-kouw ini. Bertempur dengan seorang wanita dianggap Kim Lo bukan hal yang membuatnya bangga.

Tapi sekarang karena menyangkut urusan Giok-sie, Kim Lo sudah tidak segan-segan lagi. Tubuh Kim Lo berputar cepat sekali, mengelilingi si nie-kouw. Malah tahu-tahu tangannya mengancam bagian yang mematikan di tubuh si nie-kouw.

Menghadapi lawan tangguh seperti ini tidak membuat Ang-sian Sienie jadi gentar. Dia pun mengeluarkan ilmu silat andalannya dengan mengandalkan hud-timnya ia berusaha memberikan perlawanan.

Demikianlah, ke dua orang itu bertempur dengan gigih sekali.

Jika memang Kim Lo menghendaki jiwa si nie-kouw, sama mudahnya dia membalik telapak tangannya. Tidak sampai lima batang pemasangan hio niscaya dia sudah dapat merubuhkan si nie-kouw, rubuh dalam keadaan terluka parah dan bisa mengancam jiwanya.

Karenanya Kim Lo tidak mau mempergunakan tenaga andalannya. Dia menghendaki si nie-kouw rubuh serta nanti bisa memberikan penjelasan tentang adaya Giok-sie yang diinginkannya.

Ang-sian Sienie menjerit dengan suara pekikan nyaring, tubuhnya seperti burung elang menyambar kepada Kim Lo.

Kim Lo tidak bergerak dari tempatnya berada, dia berdiri tegak menyaksikan menyambarnya Ang-sian Sienie.

Dalam keadaan seperti itu Kim Lo sudah memutuskan dia harus memperlihatkan sedikit kepandaiannya agar Ang-sian Sienie dan Pek Ie Siu-cay, agar tak terlalu besar kepala.

Setelah memutuskan begitu, segera juga ia bersiul nyaring sekali, tahu-tahu tubuhnya berputar dan entah dengan cara bagaimana Kim Lo sudah mengeluarkan serulingnya. Dengan serulingnya itu dia memutari Pek Ie Siu-cay maupun Ang-sian Sienie, buat mencari kesempatan yang bisa dipergunakan merubuhkan lawannya.

Setelah berputar sekian lama, serulingnya itu menyambar-nyambar seakan juga sinar petir cepat dan sulit untuk di ikuti oleh pandangan, mata biasa.

Kim Lo memang sudah mengeluarkan ilmu serulingnya yang tertinggi, hal ini membuat Ang-sian Sienie harus berusaha mati-matian untuk menghindarkan diri dari setiap sambaran ujung seruling itu.

Kim Lo melihat, dalam tiga jurus lagi dia bisa merubuhkan Ang-sian Sienie, karena waktu itu rupanya nie-kouw itu sudah mulai jatuh di bawah angin dan terdesak hebat.

Ketika melihat Kim Lo menjejak tanah, tubuhnya melambung ke tengah udara, nie-kouw itu juga menjejakan kakinya. Tubuh Kim Lo seperti burung rajawali layaknya, menyambar keprada Ang-sian Sienie seperti seekor burung rajawali yang tengah mengincar jiwa mangsanya.

Tubuh mereka berdua saling menyambar mendekati, sampai akhirnya tampak mereka sudah terpisah dekat sekali, dimana masing-masing mengulurkan tangan mereka dan saling bentrok di tengah udara.

Benturan tenaga mereka sangat kuat sekali, kemudian tubuh mereka terpental ke belakang. Malah Ang-sian Sienie terpental sampai delapan tombak lebih dan meluncur turun di tanah.

Tubuh Kim Lo cuma terpental empat tombak, kemudian dapat turun berdiri di tanah, dengan baik. Memang melihat dari peristiwa ini, di mana Kim Lo dengan Ang-sian Sienie mengadu jiwa, tampaknya kepandaian Kim Lo menang setingkat dari si nie-kouw.

Waktu itu Kim Lo tidak mau membuang-buang waktu di saat sepasang kakinya menginjak tanah, cepat bukan main ia segera juga menjejak tanah lagi. Tubuhnya melesat pula menerjang kepada nie-kouw tersebut, sambil sepasang tangannya sudah menghantam bertubi-tubi kepala si nie-kouw.

Sebelumnya benturan tenaga mereka yang terjadi tadi, telah membuat nie-kouw tersebut merasakan napasnya sesak, juga matanya agak berkunang-kunang. Namun walaupun bagaimana dia tidak bisa berdiam diri saja menerima hantaman yang dilakukan oleh Kim Lo, kalau sampai dia menerima hantaman tersebut, niscaya akan menyebabkan dia terbinasa atau sedikitnya terluka berat.

Cepat sekali si nie-kouw memutar sepasang tangannya. Tangan kanannya mencekal hud-timnya sudah mengibas juga. Karena dia dengan hud-timnya hendak menotok jalan darah di tubuh Kim Lo. Sedangkan tangan kirinya berusaha membendung dan menahan tenaga terjangan Kim Lo.

Tubuh mereka berada berhadapan dengan posisi yang cukup berbahaya. Sebab memang di waktu itu Kim Lo sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sedangkan si nie-kouw pun telah mengempos semangatnya.

Karena dari itu, mereka seakan juga hendak mengadu jiwa. Tenaga mereka saling bentrok di tengah udara.

Kim Lo sudah menarik pulang tenaganya begitu saling bentrok dengan tangan si nie-kouw berkelit juga dari sambaran ujung hud-tim si nie-kouw.

Semuanya dilakukan oleh Kim Lo cepat sekali, membuat si nie-kouw kehilangan keseimbangan tubuhnya. Karena diwaktu ini dia tengah memusatkan seluruh tenaganya, malah tenaga mereka sudah saling bentrok satu dengan yang lainnya, sehingga si nie-kouw mengempos seluruh tenaganya.

Pendeta wanita itu ingin mengadakan perlawanan, yang gigih dan untuk kagetnya, mendadak tenaga dorongan dari Kim Lo sudah lenyap. Malah diwaktu itu seketika tubuhnya terjerunuk ke depan.

Saking kagetnya Ang-sian Sienie mengeluarkan seruan tertahan. Dia berusaha mengempos semangatnya mengerahkan tenaganya pada kuda-kuda ke dua kakinya. Dia gagal, tubuh nie-kouw itu terguling di tanah.

Pek Ie Siu-cay melihat keadaan si nie-kouw seperti itu cepat-cepat menerjang maju.

Sedangkan Kim Lo telah tertawa dingin mendadak sekali tangan kanan Kim Lo mengibas.

Angin kibasan tangannya menderu-deru menerjang Pek Ie Siu-cay. Malah, tubuh Pek Ie Siu-cay terpental keras, menubruk meja makan di dalam ruangan.

Si nie-kouw sudah merangkak bangun, wajahnya muram sekali. Dia penasaran bukan main dan Ang-sian Sienie memang bermaksud hendak mengadu jiwa. Dia seketika mengempos seluruh sisa tenaganya, bersiap-siap buat mengadu jiwa dengan Kim Lo.

Kim Lo tertawa dingin sambil berdiri tegak di tempatnya.

“Lebih baik kalian bicara secara baik-baik tentang Giok-sie! Mungkin aku masih bisa mengampuni jiwa kalian!”

“Baik! Kami akan bicara dengan kau!” Teriak Pek Ie Siu-cay begitu dia bangun berdiri.

“Hemm, memang itu cara yang terbaik! Di mana sekarang Giok-sie berada? Dan kau pernah mendengar bukan, bahwa yang memperoleh Giok-sie itu adalah nelayan yang sangat beruntung di Put-hay. Apakah kalian sudah membunuh nelayan itu?”

Pek Ie Siu-cay menggeleng!

“Tidak!”

“Lalu mengapa kalian bisa memiliki Giok-sie?”

“Tadi kami hanya bergurau saja…… kami sendiri belum pernah   melihat Giok-sie itu.”

“Hemmm, kalau demikian halnya, tentunya kau memang sengaja mencari-cari urusan denganku!”

“Maafkan kami, Pendekar Aneh Seruling Sakti memang seorang yang gagah perkasa…….!”

“Hemm,” Kim Lo mendengus, kemudian tanpa mengatakan suatu apa pun, dia kembali ke mejanya.

Pelayan melayaninya dengan baik sekali.

Selesai bersantap, Kim Lo telah meninggalkan rumah makan tersebut. Sebelum meninggalkan rumah makan yang merangkap rumah penginapan itu, ia melirik kepada Pek Ie Siu-cay yang tengah membujuk Ang-sian Sienie. Rupanya, dia menghibur nie-kouw tersebut, yang rubuh di tangan Kim Lo dengan penasaran sekali.

Memang Kim Lo berlalu, Ang-sian Sienie mendengus, dengan suara yang mengandung kemarahan yang sangat, dia bilang,

“Hemmm kalau memang kau tidak menahan-nahanku. Kongcu tentu aku akan mengadu jiwa dengan siluman itu, pasti wajahnya buruk sekali karena dia selalu mengenakan kain penutup mukanya!”

Pek Ie Siu-cay mengangguk.

“Benar….. aku pun menduga begitu.”

“Kepandaiannya memang cukup tinggi tapi jika aku menghadapi terus padanya, belum tentu dia bisa merubuhkan aku! Aku memang tidak mungkin bisa merubuhkannya, namun buat dia merubuhkanku pun tidak mudah.”

Pek Ie Siu-cay kemudian mengajak si nie-kouw.

Namun Ang-sian Sienie tampaknya belum lagi puas, dia terus menggumam buat melampiaskan kemarahan hatinya yang bercampur dengan perasaan penasaran.

Pek Ie Siu-cay kemudian mengajak si nie-kouw kembali ke kamar mereka.

Pelayan rumah makan yang merangkap rumah penginapan itu sudah sibuk membereskan meja dan kursi yang terbalik oleh perkelahian tadi. Mereka menggumam dengan sikap yang jengkel tapi campur rasa takut juga.

Mereka jengkel karena pertempuran terjadi di dalam rumah makan ini, dan takut kalau saja sikap tidak senang mereka terlihat si nie-kouw. Mereka sudah menyaksikan betapa Ang-sian Sienie memang seorang nie-kouw yang sangat galak.

Di dalam kamarnya, setelah menutup pintu kamar, Pek Ie Siu-cay bilang pada si nie-kouw, “Sienie, apakah tubuhmu ada yang terluka?”

Ang-sian Sienie melirik:

“Kukira……. memang ada yang terluka. Di punggungku?” Katanya perlahan.

“Bukalah, aku akan mengobati!”

“Tapi…….!”

“Kok pakai malu-malu segala?”

Nie-kouw itu menggeleng.

“Bukan malu-malu! Tapi aku merasa sakit sekali jika menggerakkan tanganku. Bagaimana dapat aku membuka pakaianku itu.”

“Baiklah aku akan membantu.”

Begitulah Pek Ie Siu-cay telah membantu si nie-kouw buat membuka pakaiannya.

Si nie-kouw meringis waktu dia hendak mengeluarkan tangannya dari jubahnya.

Di waktu itu juga terlihat Pek Ie Siu-cay sibuk sekali memijit dan menguruti punggung si nie-kouw.

Sedangkan nie-kouw itu sudah rebah tengkurap di pembaringan, perlahan-lahan rasa sakit di punggungnya mulai berkurang. Dia tidak merintih seperti tadi.

Sedangkan Pek Ie Siu-cay memang merasa suka pada si nie-kouw. Dia memijit terus tanpa memikir untuk memperhitungkan dirinya sendiri.

Sebetulnya pemuda itu memerlukan perawatan. Karena tadi ia telah terkena hajaran Kim Lo, dengan demikian, terluka di dalam yang tidak ringan.

Tapi untuk mengambil hati si nie-kouw sengaja dia menguruti terus sampai akhirnya nie-kouw itu bernapas lega.

“Sudah…… sudah! Rasa sakitnya sudah hilang!” kata si nie-kouw.

Barulah Pek Ie Siu-cay berhenti. Dia duduk bersemedhi, mengatur jalan pernapasannya.

Si pelajar baju putih ini biarpun tengah memusatkan semangat dan tenaganya untuk mengempos lweekangnya, namun ia tak bisa bertahan lebih lama. Karena ia pun akhirnya membatalkan maksudnya hendak mengerahkan lweekangnya itu.

“Kau liehay sekali, Sienie!” kata Pek Ie Siu-cay memuji nie-kouw. “Tadi Sienie bisa menghadapi Pendekar Aneh itu dengan baik sekali…….!”

“Tapi ia memiliki kepandaian yang luar biasa, dan jika tak ada Kongcu tentu aku telah terbinasa ditangannya!”

“Berkat Sienie juga, maka aku berani maju menyerangnya!” mengaku Pek Ie Siu-cay untuk menyenangkan hati nie-kouw.

Memang Ang-sian Sienie jadi girang bukan main.

“Kongcu....... !” bisiknya

“Ya…..?”

“Kepandaianku masih kalah dibandingkan dengan Pendekar Aneh itu…..!”

“Tapi jika pertempuran itu diteruskan, belum tentu Sienie akan kalah, ia yang mungkin rubuh di tangan Sienie…….!”

“Benarkah begitu!”

“Benar?”

“Tapi, aku yang merasakannya bahwa kepandaiannya memang masih lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan kepandaianku, karena dari itu, apakah aku harus berlatih sepuluh tahun lagi buat bisa memperoleh kepandaian seperti dia!” Sambil menggumam.

Pek Ie Siu-cay menghela napas.

“Jika memang Sienie harus berlatih sepuluh tahun lagi, tentu aku harus berlatih tigapuluh tahun lagi.”

Si nie-kouw mengela napas dalam-dalam.

“Tapi aku tidak puas, Kongcu.”

“Lalu bagaimana?”

“Aku hendak mencari orang itu, si Pendekar Aneh.”

“Tapi…….”

“Aku bukan hendak mengajak dia bertempur lagi, tapi aku ingin mengetahui siapakah sebenarnya orang itu, yang mukanya selalu ditutupi dengan kain?”

“Menurut apa yang kudengar, Si Pendekar Aneh Seruling Sakti memang selalu menutupi mukanya. Di dalam kalangan Kang-ouw belum ada seorang pun yang pernah melihat wajahnya, entah mengapa selalu menutupi mukanya itu.”

Kembali nie-kouw menghela napas.

“Selama aku belum berhasil melihat mukanya, maka aku masih tetap penasaran…….!”

“Aku ada akal!” Tiba-tiba Pek Ie Siu-cay berseru.

“Akal? Akal apa?”

Pek Ie Siu-cay tertawa.

“Akal itu tidak membahayakan diri kita! Tapi kita dapat membahayakan si Pendekar Aneh.”

“Benarkah?”

“Ya…..!”

“Akal apa itu?”

“Kita racuni saja Si Pendekar Aneh?”

“Meracuni??”

“Ya….. kita ikuti dia, dan nanti dia singgah di sebuah rumah penginapan. Kita menghubungi pelayan rumah penginapan itu, dan kita beri upah yang besar, kita suruh pelayan memasukan racun dalam santapan si Pendekar Aneh.

“Bukankah dengan demikian kita bisa membinasakannya? Dan kita pun dapat melihat mukanya setelah dia mampus!”

Muka si nie-kouw tampak berseri-seri, dia mengangguk-angguk girang.

“Akal yang bagus! Sangat bagus sekali! Tapi.......”

“Kenapa, Sienie?”

“Justeru aku kuatir kalau saja kita gagal.”

“Jika gagal diapun tidak akan mengetahui bahwa yang berusaha meracuninya bukanlah kita, karena kita tidak menampakkan diri, bukan?”

Si nie-kouw menggeleng perlahan.

“Bukan sebab itu……. tapi aku kuatir nanti dia akan menyelidiki dan berusaha untuk mengetahui, siapa orang yang telah menyuruh si pelayan.”

“Kita boleh angkat kaki!”

Nie-kouw itu terdiam beberapa saat lamanya, sampai akhirnya iapun bilang: “Tapi itu rencana yang kurang baik! Jika ia mampus kita tak memperoleh keuntungan apapun juga!”

Pek Ie Siu-cay mengawasi si nie-kouw, kemudian ia bilang: “Hemm, tadi Sienie bilang bahwa Sienie sangat penasaran sekali, maka dengan berhasilnya kita membunuh dia, bukankah itu suatu keuntungan buat kita, dapat melampiaskan kemendongkolan hati dan penasaran yang ada di hati Sienie?”

Sebetulnya si nie-kouw ragu-ragu disebabkan perasaannya pada waktu itu tak tetap. Ia ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya Pendekar Aneh itu.

Di bagian depan pernah disinggung bahwa nie-kouw ini selain menyukai pemuda berwajah tampan, iapun senang sekali mencari korbannya di antara orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Melihat kepandaian si Pendekar Aneh Berseruling Sakti itu tinggi, dia telah tertarik. Ang-sian Sienie hendak mengejar Kim Lo.

Hanya saja apa yang dipikirkannya itu tidak diutarakan di depan Pek Ie Siu-cay, karenanya ia sulit buat menerima saran yang diberikan Pek Ie Siu-cay

Melihat nie-kouw itu berdiam diri saja seperti itu, penuh dengan kebimbangan, Pek Ie Siu-cay tertawa.

“Sienie sudahlah, kita jangan memusingi urusan itu, sekarang kita memang perlu bergembira…….!”

Nie-kouw sendiri memang merasakan apa yang diutarakan oleh Pek Ie Siu-cay benar adanya, karena jika ia memikirkan urusan Pendekar Aneh, hal itu tak ada manfaatnya, karena bukankah waktu itu Pendekar Aneh sudah pergi entah ke mana?

<> 

Sekarang kita tinggalkan dulu Pek Ie Siu-cay yang tengah bersama dengan Ang- sian Sienie, si nie-kouw yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari si pelajar baju putih itu.

Dan tampaknya, memang Pek Ie Siu-cay sudah tidak bisa melepaskan diri dari nie-kouw itu karena dia rupanya sudah bertekuk lutut di kaki si nie-kouw.

Marilah kita menengok sejenak kepada Kim Lo yang sudah melanjutkan perjalanan.

Kim Lo memang sengaja meninggalkan rombongannya dan melakukan perjalanan sendiri karena dia hendak melakukan penyelidikan terlebih dulu. Sebelum rombongannya itu tiba di Put-hay, maka dia yang akan melakukan penyelidikan.

Menurut Kim Lo, dengan melakukan perjalanan seorang diri dia jauh lebih leluasa untuk melakukan segala apa dalam penyelidikannya tentang Giok-sie.

Rombongannya mungkin terpisah dalam perjalanan empat atau lima hari dari Kim Lo dan Kim Lo yakin, dalam waktu lima hari ini dia bisa menyelidiki dimana beradanya Giok-sie.

Yang terpenting sekali, dia harus bisa mencari di mana tempat tinggalnya si nelayan yang beruntung sudah memperoleh Giok-sie.

Maka dari itu Kim Lo sudah berusaha menyelidikinya, dia telah menanyai setiap orang rimba persilatan yang ditemui.

Karena banyaknya bentrokan yang terjadi di diri Kim Lo dengan orang-orang rimba persilatan yang semuanya dapat dirubuhkan oleh Kim Lo dengan mudah, dengan sendirinya gelaran Kim Lo semakin terkenal saja. Pendekar Aneh Bersuling Sakti memang tersiar luar biasa.

Justeru di hari itu Kim Lo sudah mendengar perihal surat yang ditulis Ciangbunjin Khong-tong-pay yang dibawa oleh Hui-houw-to. Dia memang hendak mencari Hui-houw-to, tapi dia gagal menemui jejak Hui-houw-to.

Waktu pertemuannya dengan Hui-houw-to terjadi, ketika dia menghajar Pek Ie Siu-cay, namun dia tidak menyangka bahwa Hui-houw-to yang ikut menyaksikan pertandingan itu adalah orang yang tengah dicarinya.

Dengan demikian sudah membuat Kim Lo melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Hui-houw-to semakin jauh.

Waktu itu Hui-houw-to juga tidak menyadari bahwa pendekar aneh ini sebetulnya tengah mencarinya. Jika diwaktu itu Hui-houw-to mengetahui tentu dia yang akan memperlihatkan dan memperkenalkan dirinya.

Malah kemungkinan besar Hui-houw-to dengan senang hati menyerahkan surat Ciang-bunjin Khong-tong-pay kepada Kim Lo.

Setelah melakukan perjalanan setengah harian maka tampak Kim Lo sudah tiba di depan sebuah kedai teh.

Dia berdiri sejenak lamanya, menunggu di situ, dan memasang mata. Dia mengawasi mata yang tajam sekali kepada seorang laki-laki tua penjual teh.

Sebagai orang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, Kim Lo pun mengetahui bahwa si pedagang teh itu bukanlah orang sembarangan. Dia tentunya memiliki kepandaian yang sangat tinggi sebab dia tampaknya memiliki gerakan yang sebat dan matanya memancarkan sinar yang tajam.

Memang bagi orang-orang yang tidak memiliki ilmu silat, tentu tidak mengetahui bahwa kakek penjual teh itu adalah orang Kang-ouw yang memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Hal ini disebabkan kakek penjual teh itu dapat menyembuhkan keadaan dirinya sebaik mungkin.

Dia pun dapat bersikap lesu, seakan juga seorang kakek tua yang tidak bersemangat. Cuma saja, di mata Kim Lo tidak lolos juga, dia bisa melihatnya, betapapun juga memang kakek tua itu adalah seorang Kang-ouw yang tengah menyembunyikan kepandaiannya.

Setelah mengawasi sekian lama si penjual teh itu menoleh padanya dan balas menatapnya. Si penjual teh itu kemudian menundukkan kepalanya. Kim Lo melanjutkan langkah kakinya, dia menghampiri penjual teh itu.

“Kongcu mau minum?!” Menawari tukang teh itu sambil tersenyum dengan ramah.

Kim Lo mengangguk.

“Ya…….!”

Tukang teh itu menuangkan secawan teh.

“Teh ini dari Hong-ciu, teh yang harum sekali!” Kata pedagang teh itu dengan sikap menghormat, ketika dia meletakan cawan itu di depan Kim Lo.

Kim Lo mengambil cawan itu, dia membawa ke bibirnya untuk meminumnya.

Tiba-tiba dari arah samping pintu kota melesat setitik sinar. Tepat sekali, sinar itu menyambar ke arah cawan di tangan Kim Lo.

Kim Lo terkejut, namun dia tidak jadi panik. Batal dia meminum teh dicawan itu. Dia mengelakan cawannya dari sambaran benda itu.

“Jangan diminum, teh itu beracun!” Berseru seseorang, yang telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Kim Lo mengawasi orang itu, ternyata dia seorang gadis berusia duapuluh tahun lebih. Gerakannya sangat gesit sekali. Dia mengenakan baju warna kuning dan hijau, dikombinasikan dengan warna ungu merah!

Muka si penjual teh berobah.

Kim Lo menoleh kepada penjual teh itu, dia bertanya: “Lopeh, benarkah tehmu beracun?”

Penjual teh itu menggelengkan kepalanya berulangkali

“Tidak! Tidak! Kongcu jangan mempercaya kata-kata siluman itu…….!” Sambil berkata begitu si penjual teh tersebut menunjuk si gadis.

Gadis itu menghampiri dengan tenang, dia melangkah dengan tindakan kaki yang ringan menghampiri Kim Lo dengan mengedipkan matanya, genit sekali.

Rupanya, tadi gadis itu telah menimpukkan sebatang jarum Bwee-hoa-ciam, kepada cawan di tangan Kim Lo, agar Kim Lo tidak dapat meminum teh di dalam cawan itu.

Tapi karena Kim Lo memiliki kepandaian yang tinggi, dia masih bisa menyelamatkan cawannya tidak sampai hancur oleh jarum Bwee-hoa-ciam itu.

“Kalau memang engkau tidak percaya keteranganku, dan kau bimbang, maka kau boleh membuktikannnya!”

“Bagaimana membuktikannya?”

“Kau suruh penjual teh itu yang meminumnya!”

Sambil berkata begitu, si gadis sudah menunjuk kepada si penjual teh.

Si penjual teh itu tenang-tenang saja. Dia tersenyum malah.

“Mengapa harus takut? Aku yang menjual teh itu, aku yang mengetahui apakah tehku itu beracun atau tidak…… Mari Kongcu berikan kepadaku, agar aku yang meminumnya.

Kim Lo tambah bimbang, sedikitpun si penjual teh tidak memperlihatkan sikap takut malah dia telah minta agar cawan teh itu diserahkan kepadanya, agar dia yang meminumnya.

“Mari.......!” penjual teh telah memintanya lagi.

Kim Lo mengulurkan tangannya ia menyerahkan cawan di tangannya pada penjual teh.

Sedangkan penjual teh menerima cawan itu, ia tak langsung meminumnya, ia telah menoleh pada si gadis.

“Hemm siluman rendah, jika memang nanti terbukti bahwa tehku ini tak beracun, kau berani bertanggung jawab?”

“Berani! Aku akan memberikan kepalaku ini padamu!” menyahuti si gadis dengan tenang. “Tapi ingat, sudah tiga kali kau menyebut diriku siluman. Dua kali sekarang ini, sedangkan satu kali, diwaktu kemarin. Nanti kau harus berhitungan denganku!”

“Baik! Baik! Memang aku ingin sekali berhitungan dengan siluman seperti kau!”

Setelah berkata begitu, mendadak penjual teh itu menggerakkan tangannya, dia telah mengangkat cawannya itu dibawa ke bibirnya. Dia hendak meneguknya.

Dan sikapnya ini membuat Kim Lo berkuatir juga. Dia mulai bimbang. Jika memang penjual teh itu berani meminum tehnya, jelas teh itu memang tidak beracun dan gadis cantik itu cuma memfitnahnya belaka.

Tapi jika benar-benar teh itu beracun, dimana ada seseorang yang sengaja memasuki racun ke dalam teh jualan si kakek, dengan demikian, tentu akan membuat si kakek keracunan. Karenanya juga akan membuatnya dia keracunan. Dia akan mati. Inilah yang membuat Kim Lo jadi berkuatir sekali.

Tapi, kakek tua itu bukan meminum teh itu. Dia cuma membawa sikap hendak meminum tehnya lalu tangannya itu tahu-tahu dilemparkannya ke samping. Dia telah menimpukkan cawan tehnya ke arah muka si gadis.

Air teh itu menyambar ke arah muka si gadis cepat sekali. Dia rupanya hendak menyiram muka gadis itu.

Tapi gadis ini pun gesit sekali karena sejak tadi dia telah berwaspada, maka dia bisa berkelit ke samping. Air teh itu tidak setetes pun juga mengenai mukanya.

Kim Lo terkejut, tapi dia jadi tertegun saja tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kim Lo juga heran bukan main.

Entah apa sebabnya, kakek tua itu batal meminum air teh itu malah berusaha menyiram muka si gadis? Malah, cawan yang ditimpukkan itu telah menyambar lewat di sisi muka si gadis, kemudian menancap di batang pohon, dalam sekali.

Ini membuktikan betapa pun juga lweekang kakek penjual teh itu memang sangat kuat. Karena begitu dia menimpuk dengan cawannya tersebut, cawan itu sampai melesak masuk ke dalam batang pohon.

Sedangkan si gadis yang berhasil mengelakkan diri dari siraman air teh dan juga timpukan cawan itu, rupanya jadi mendongkol bukan main. Dia tertawa dingin, kemudian dengan suara yang datar dia bilang,

“Hemmm, kau mencari urusan denganku?!”

“Bukan mencari urusan, tapi…….!” Kakek penjual teh itu tidak meneruskan kata-katanya, dia melirik kepada Kim Lo, seakan juga hendak mengatakan sesuatu.

“Kenapa? Apa yang tetapi….. tetapi......?” Bentak si gadis dengan temberang sekali.

Kakek tua penjual teh itu tersenyum.

“Hemmm, kau tidak melihat, kongcu ini selalu menutupi mukanya dengan kain itu. Tadi pun ketika dia hendak minum, hanya mengangkat sedikit sekali kainnya, diangkat ke dekat bibirnya, dan aku jadi menduga-duga apakah memang Kongcu ini seorang yang belum lama lalu santer sekali tersiar sebagai si Pendekar Aneh Berseruling Sakti?!”

Si gadis melirik kepada Kim Lo kemudian tertawa dingin.

“Siapa pun adanya dia, aku tidak peduli. Aku tidak berurusan dengan dia, tapi dengan kau!” ketus sekali waktu si gadis bilang begitu, lain pula, si Pendekar Aneh Bersuling Sakti itu tentunya bukan seorang yang masih berusia muda……!”

Si kakek penjual teh itu tersenyum mengejek.

“Bagaimana kau tahu bahwa Kongcu ini masih berusia muda?” Tanyanya sinis.

Si gadis mendengus.

“Hemmm, tua-tua juga kau sangat bodoh. Lihat saja rambutnya yang masih hitam kelam dan lebat bukankah itu saja menunjukkan bahwa dia masih muda usia!”

Kim Lo diam-diam di dalam hati memuji bahwa si gadis memang sangat cerdik sekali.

“Sedangkan kakek tua itu sudah bilang. Sekarang aku hendak minta pada Kongcu itu buat jadi saksi! Jika dalam sepuluh jurus kau tidak bisa merubuhkan diriku, maka engkau harus angkat kaki meninggalkan tempat ini!”

“Hemmm, jangankan sepuluh jurus, sedangkan lima jurus saja aku mau menerima taruhan ini, aku masih mau menerima kalah, jika dalam lima jurus aku tidak bisa merubuhkan dirimu!”

“Benar?”

“Benar!”

“Jangan, nanti engkau sepuluh jurus saja! Aku kasihan jika engkau nanti kalah hanya dalam pertaruhan lima jurus, engkau tidak puas!”

“Lima jurus saja!”

“Terserah padamu! Aku mau memberikan sepuluh jurus? Kau boleh dengan pendirianmu, lima jurus! Jika dalam lima jarus engkau belum berhasil merubuhkan diriku, maka aku masih bersedia memberikan kesempatan kepadamu lima jurus lagi!”

Si gadis tidak banyak bicara pula, dia tahu-tahu sudah melesat kepada kakek si penjual teh itu. Tangannya juga sudah menyambar akan menotok.

Kakek tua penjual teh tersebut ternyata memang memiliki kepandaian tinggi seperti yang diduga oleh Kim Lo, karena dia bisa melakukannya dengan mudah. Gerakannya begitu gesit, dia juga malah sudah berseru.

“Jurus pertama.”

Si gadis penasaran sekali melihat serangan pertamanya gagal mengenai sasaran. Di waktu itu terlihat jelas sekali gerakan si gadis bertambah gesit, ketika untuk ke dua kalinya dia menyerang. Totokannya menyambar lagi.

Sekali ini tangan si gadis bukan menotok langsung. Dia telah menotoknya dengan tangan yang berlingkar seperti juga kitiran, karena tangan itu berputar- putar.

Dengan caranya seperti itu, sulit buat kakek tua penjual teh itu menduga arah sasaran mana yang diincar oleh gadis itu. Dia jadi berdiri dengan mata terpentang lebar-lebar mengawasi tangan si gadis tengah meluncur menyambar ke arahnya.

Ketika jarak tangan si gadis dengan arah sasarannya, yaitu dari sebelah kiri si kakek tua tersebut, hampir-hampir terkena totokan itu, kakek tua itu dengan sebat sekali berkelit. Dia bergerak lincah bukan main, dia juga berseru, “Jurus kedua....... Sudah dua jurus tinggal delapan jurus lagi.

“Hemmm!” Gadis itu mendengus, tahu-tahu tubuhnya seperti angin puyuh, telah menerjang kepada kakek penjual teh itu. Tangannya terjulur hendak mencengkeram.

Kakek tua itu kaget tidak terkira cara menyerang si gadis sudah berobah.

Malah sekali ini gerakan si gadis jauh lebih cepat dan lebih kuat! Dia menyerang dengan kecepatan yang sulit sekali diikuti oleh pandangan mata.

Kim Lo yang melihat cara menyerang si gadis berobah jadi tercekat juga hatinya.

“Kepandaian gadis ini tampaknya tinggi, tadi dia mengalah ketika dua kali menyerang si kakek, dia tidak menyerang sungguh-sungguh! Tapi jurus ketiga itu dia menyerang hebat sekali! Hemm, tampaknya kakek penjual teh itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi!”

Sambil berpikir begitu, Kim Lo mengawasi terus jalannya pertempuran.

Sedangkan kakek penjual teh itu, walaupun kaget, masih berusaha hendak menghindarkan diri dari sambaran tangan si gadis. Dia menjengkangkan tubuhnya ke belakang.

Si gadis kembali mendengus, tahu-tahu kakinya melayang, dia menyekat kaki si kakek.

Begitu disengkat, seketika tubuh si kakek terjungkat rubuh bergulingan di tanah.

Dan belum lagi dia mengetahui suatu apa pun juga, telapak tangan kiri si gadis sudah menyambar datang.

Kakek tua itu tengah kesakitan, juga dia kaget, tapi dia melihat bahaya yang tengah mendatangi mengancam keeelamatan dirinya. Cepat-cepat dia berusaha mengelak.

Tapi terlambat.

“Bukk! Dada kakek tua itu kena dihantam telapak tangan kiri si gadis malah tubuh si kakek segera terjengkang rubuh rebah di tanah sejenak lamanya dia tidak bisa bergerak buat bangun.

Kim Lo kaget, dia melihat serangan telapak tangan gadis itu sudah mengenai sasarannya, si kakek juga rebah tidak berdaya, mukanya meringis kesakitan.

Cepat-cepat Kim Lo melompat ke samping si gadis.

“Nona, jangan turunkan tangan keras lagi padanya!” mencegah Kim Lo.

Gadis itu menoleh kepada Kim Lo dengan lirikannya yang tajam sekali.

“Kau hendak mencampuri?”

“Bukan mencampuri, tapi memisahkan! bukankah tadi aku dianggap sebagai saksi oleh kakek tua itu? Sekarang dia sudah tidak berdaya dan kalah.........!”

“Hanya dalam empat jurus, jadi belum lewat dari lima jurus, bukan?”

“Benar!”

Muka si gadis berseri-seri girang.

“Bagus! Kau saksi yang jujur!” Katanya.

Kakek tua itu tengah berusaha merangkak bangun, tampaknya dia menderita kesakitan. Malah ketika dia sudah dapat duduk, mulutnya terbuka.

“Waahhh!” ia memuntahkan darah segar. Darah yang dimuntahkannya sangat banyak.

Muka kakek itu pucat pias.

“Bagaimana? Kau menerima kalah?” Menegur si gadis sambil tertawa dingin.

Mata si kakek mendelik.

“Sampai mati kelak aku tidak akan menerima perlakuan seperti ini.......” Teriak si kakek.

Si gadis jadi mendongkol, dia melompat ke samping si kakek.

“Kau bermaksud kelak membalas sakit hati padaku?”

“Benar!” Berani sekali si kakek mengangguk.

“Hemm, bukankah semula mulutmu terlalu tekebur yaitu akan bertahan sepuluh jurus! Tapi sekarang baru empat jurus saja engkau sudah tidak bisa bertahan.......”

“Justeru kau berbuat curang!”

“Curang?”

“Ya! Kau curang, siluman rendah.”

Muka si gadis berobah merah padam. Dia mengangkat tangannya, seakan juga hendak menyerang orang tua itu.

Tapi akhirnya ia menahan tangannya itu. Batal ia menyerang si kakek.

Sebab dilihatnya orang tua itu dalam keadaan terluka di dalam, telah memuntahkan darah segar yang banyak sekali, tentu tubuhnya lemah. Jelas ia tak bisa menyerang lawan yang tengah dalam keadaan tak berdaya.

Si gadis melirik pada Kim Lo.

“Sebagai saksi, sekarang kau harus memberikan keputusan, apakah aku tadi telah berlaku licik, telah berbuat curang padanya?!” teriak si gadis. Jelas ia penasaran sekali.

Kim Lo menghela napas dalam-dalam.

“Kepandaian nona memang jauh lebih tinggi dari kepandaian lopeh itu beberapa tingkat di atas kepandaian Lopeh?” Kata Kim Lo dengan jujur.

“Benarkah itu?” si gadis jadi girang kembali.

Kim Lo mengangguk.

Dan tadi memang nona tidak berbuat curang, nona bertempur sangat baik sekali! Cuma saja, kepandaian lopeh itu memang berada di bawah kepandaian nona, maka dia tidak bisa menghadapi dengan baik. Dia rubuh tanpa dia mengetahui dengan cara apa dirubuhkan maka dia telah menuduh nona berbuat curang.......!”

Si gadis tersenyum.

“Terimakasih! Kau benar-benar saksi yang jujur.” Setelah berkata begitu, si gadis mendekati Kim Lo dia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat.

Kim Lo kaget, tidak mau dia menerima hormat si gadis. Tapi belum lagi dia melompat menyingkir, justeru dia merasakan angin yang kuat menerjang dirinya.

Kim Lo seketika tersadar, bahwa si gadis tengah menggunakan sin-kangnya, menyerang padanya dengan cara diam-diam dan pura-pura memberi hormat seperti itu. Penyerangan seperti itu sebenarnya merupakan penyerangan yang membokong juga.

“Hemm, kau hendak mengujiku?” Diam-diam Kim Lo berpikir di dalam hatinya mendongkol.

Dengan segera dia pun merangkapkan sepasang tangannya membalas hormat gadis itu, dia bilang,

“Jangan banyak peradatan! Jangan banyak peradatan!”

Si gadis terkejut. Dia merasakan kekuatan tenaga dorongannya terbendung, sama sekali tidak bisa menerobos ke depan, malah dia merasakan kuda-kuda sepasang kakinya goyah dan tergempur, hampir saja dia terdesak mundur.

Untung Kim Lo menyudahi pembalasan hormatnya, dengan demikian tenaga yang mendorong gadis itu telah ditarik pulang olehnya dan dia tidak sampai terhuyung mundur terjungkal karena Kim Lo rupanya tidak mau membuat dia malu.

Gadis itu dengan muka merah padam, dan memperlihatkan sikap tidak senang, telah bilang, “Hemmm, ku memang benar-benar hebat. Apakah engkau yang sesungguhnya orang yang digelari sebagai si Pendekar Aneh Seruling Sakti?”

Kim Lo mengangguk.

“Ya, memang tidak salah!”

Muka si gadis berobah, tapi sekarang dia sudah bisa tersenyum, dia bilang: “Siapa namamu?!”

Kim Lo tersenyum.

“Sudah lama aku melupakan namaku, sehingga aku sendiri tidak ingat lagi namaku sendiri, karena akupun tidak mempergunakan namaku itu…….!”

“Hemm, kau dari pintu perguruan mana?”

Kim Lo tersenyum.

“Hal itupun sulit buat aku jelaskan!”

“Hem, mengapa mukamu selalu memakai penutup muka seperti itu? Apakah mukamu bercacad?”

Kim Lo tidak segera menyahuti, hatinya mendongkol bukan main, tapi cepat dia bisa mengendalikan perasaannya.

“Untuk hal itu nona tidak perlu tahu?”

“Tapi aku ingin mengetahuinya!”

“Sayang sekali, walaupun nona memaksa tidak mungkin nona bisa mengetahuinya!”

Si gadis tertawa.

“Semakin dilarang aku mengetahui sebab-sebabnya, justeru aku sebaliknya semakin keras ingin mengetahui!”

Kim Lo terdiam.

“Bagaimana, kau tidak mau menjelaskan juga?”

“Kalau nanti aku membuka kain penutup muka ini, nona bisa mati mendadak!” Akhirnya Kim Lo menyahuti.

Si gadis tertawa.

“Apakah mukamu demikian hebatnya atau memang terlampau buruk, sehingga jika aku melihatnya akan mati mendadak?”

Kim Lo tidak menyahuti.

“Nah, kau beritahukanlah!” Kata si gadis masih juga tertawa.

“Sayang aku tidak bisa memberitahukan!”

“Mengapa?!”

“Karena aku memiliki kesulitan! Dan janganlah nona memaksa terus, karena nanti akhirnya nona menyesal!”

“Hemm, justeru aku akan tetap berusaha buat mengetahui apa sebabnya engkau selalu mengenakan penutup muka itu?”

Kim Lo terdiam lagi.

“Ayo katakanlah, atau memang kau menginginkan aku membukanya dengan cara paksa!”

Kim Lo tetap terdiam lagi.

“Atau kau memang menghendakinya begitu, agar aku yang membukakan penutup mukamu itu?”

Kim Lo menghela napas.

“Bisakah nona melakukannya?!”

Si gadis mengangguk.

“Sudah jelas, bisa!”

Kim Lo tertawa tawar.

“Kukira nona akan gagal untuk mengetahui siapa aku sebenarnya, terlebih lagi jika memang nona hendak membuka penutup muka ini pasti nona tidak akan berhasil.”

“Benarkah begitu?!”

“Ya!”

“Boleh aku mencobanya?”

“Tapi nona tidak akan berhasil dan akan menyesal!”

“Kenapa menyesal?”

“Karena sudah menjadi peraturanku, setiap orang berusaha hendak membuka kain penutup mukaku, orang itu harus terluka parah di tanganku, atau memang jika perlu harus melepaskan jiwanya, yaitu mati!”

“Oh, mengerikan sekali. Tapi aku sangat tertarik buat mencobanya!”

“Nanti, kau akan menyesalinya, nona!”

“Aku tetap akan mencobanya!”

Malah setelah berkata begitu mendadak sekali si gadis sudah melompat ke dekat Kim Lo tangannya bergerak sangat cepat. Dia berusaha menjambret penutup muka Kim Lo, yang hendak dibukanya.

Tapi Kim Lo mudah sekali mengelakannya.

Saat-saat seperti itu sebetulnya Kim Lo mendongkol sekali, karena si gadis demikian memaksa hendak membuka kain penutup mukanya. Tapi dia pun tidak sampai hati jika harus melukai si gadis yang demikian cantik. Maka dari itu, dia telah mengelakkan saja berusaha menjauhi diri dari di gadis.

Cuma saja sayangnya, gadis itu justeru telah merangsek terus. Dia tetap berusaha membuka penutup muka Kim Lo.

Sedangkan Kim Lo beberapa kali mengelak lagi, sampai akhirnya dia bilang. “Baiklah, nona terlalu memaksa!”

Setelah berkata begitu, di saat tangan si gadis tengah diulurkan hendak menjambret penutup muka Kim Lo, pemuda ini mengibaskan tangannya. Tenaga yang menderu sangat kuat sekali keluar dari kibasan tangan Kim Lo. membuat gadis itu seperti diterjang oleh suatu kekuatan yang tidak dapat dibendungnya. Malah tubuhnya hampir saja kejengkang rubuh bergulingan di lantai.

Kim Lo terkejut juga melihat kuda-kuda si gadis tergempur, dia kuatir kalau sampai, gadis itu terjungkal rubuh ke belakang, dia melompat ke samping si gadis setelah menarik pulang tenaga kibasannya, diapun berseru,

“Hati-hati, Nona!”

Malah Kim Lo telah mengulurkan tangannya, maksudnya hendak memegang lengan tangan si gadis.

Justeru diwaktu itu mendadak sekali, tangan kanan si gadis telah meluncur akan menotok bawah ketiak Kim Lo.

Bukan main terkejutnya Kim Lo.

Jalan darah yang terdapat di bawah ketiak seorang manusia adalah jalan darah terpenting, yang bernama Thang-ie-hiat.

Kim Lo telah berusaha untuk mengelakkannya dengan melompat ke samping. Namun tangan si gadis terus saja meluncur.

Gadis itu tidak jadi rubuh, karena dia tadi terhuyung rupanya memang hanya untuk memancing Kim Lo, dia hanya berpura-pura saja.

Karena dari itu dia telah berusaha untuk membokong dengan caranya yang licik dan hampir memberikan hasil itu. Hal ini disebabkan Kim Lo tidak mmyangka bahwa si gadis akan menjalankan tipu muslihat seperti itu.

Kim Lo sendiri bukan main mendongkolnya .

“Kau……?”

Muka si gadis berseri-seri, sedangkan dia sudah berdiri tegak kembali.

“Kenapa? Kaget?” Tanya si gadis seperti mengejeknya. “Hemm, sudah kukatakan. Walaupun bagaimana aku akan berusaha buat membuka kain penutup mukamu!”

Sambil berkata begitu, dia menerjang mendekati Kim Lo. Sekarang Kim Lo tidak berlaku sungkan-sungkan lagi, dia mengetahui bahwa gadis ini cerdik dan licik sekali.

Melihat gadis itu menerjang lagi ke dekatnya, cepat luar biasa tangan Kim Lo sudah mengibas pula.

Si gadis diterjang kembali oleh kekuatan yang bukan main besarnya. Tapi ia berusaha mengelaknya, tabuhnya melejit ke samping, lalu menerjang maju terus.

Kim Lo kagum juga melihat cara mengelak si gadis. Karena itulah semacam ilmu silat bagian pembelaan diri buat mengelakkan dari serangan yang menjepitnya dan memang merupakan cara mengelakan diri yang sangat baik sekali.

Kim Lo juga melihat gadis ini sangat keras hati, ia kuatir kalau memang gadis itu mendesak terus sampai akhirnya terpaksa ia turunkan tangan keras, niscaya si gadis terluka. Hal itulah yang tak diinginkan Kim Lo.

“Tahan nona…….!” berseru Kim Lo.

Tapi gadis itu tak menahan gerakan kakinya, malah ia menerjang terus, dengan tertawanya yang renyai sekali.

“Hemmm, kenapa? Kau jeri?!” tanyanya dengan suara yang mengejek.

Kim Lo telah berseru lagi, sambil melompat menjauhi diri dari si gadis.

“Hentikan, nona jangan memaksa diriku buat turunkan tangan keras padamu!”

“Tentu! Tentu! Terserah padamu sendiri! Terserah kau mau menurunkan tangan keras atau tangan lunak padaku! Yang terpenting memang kau harus membuka tutup mukamu itu, baru aku akan berhenti menyerangmu!”

Setelah berkata begitu, si gadis menerjang ke arah Kim Lo.

Kim Lo jadi bergerak gesit, dia tahu si gadis tidak bisa dicegah lagi dengan hanya mulut saja. Gadis itu juga tidak mau kalah, karena dia pun sudah melompat ke sana ke mari mengejar Kim Lo.

Beberapa kali gadis itu nekad sekali. Tanpa perdulikan penjagaan dirinya, dia melompat ke dekat Kim Lo sambil mengulurkan tangannya buat menjambret penutup muka Kim Lo.

Kalau memang Kim Lo hendak melukainya, niscaya gadis itu dapat dilukainya dengan mudah. Tapi Kim Lo tentu saja tidak tega dan tidak sampai hati jika harus melukai si gadis.

Kim Lo hanya berusaha hendak mengelakan diri belaka. Tapi tetap saja dia memperoleh desakan si gadis. Akhirnya, habislah kesabaran Kim Lo.

“Baiklah! Nona memang terlalu mendesak! Dan setelah berkata begitu, secepat kilat tangan kanan Kim Lo telah melibat tangan si gadis yang tengah diulurkan buat menjambret kain penutup mukanya.

“Pergilah!”

Sambil membentak begitu, Kim Lo sudah menggentak tangannya. Si gadis seperti digentak oleh kekuatan raksasa, tubuhnya terpental ke tengah udara. Kim Lo memang sudah mempergunakan sin-kangnya delapan bagian, maka tidak terlalu mengherankan kalau tubuh si gadis terlontarkan ke tengah udara.

Dasar si gadis berkepala batu dan keras hati, dia tidak kaget dengan terlemparnya tubuhnya, karena dia bisa berjumpalitan di tengah udara. Ketika turun, ke dua kakinya yang terlebih dulu hinggap di tanah.

Begitu kakinya hinggap di tanah, seketika dia menjejak lagi. Tubuhnya melesat ke tengah udara dan menerjang kembali kepada Kim Lo.

Apa yang dilakukan oleh si gadis benar-benar merupakan perbuatan yang sangat nekad.

Sedangkan Kim Lo sudah berusaha menjauhi diri, melihat si gadis tengah melesat menerjang kepada dirinya, segera juga menyingkir ke belakang.

Tapi gadis itu begitu hinggap di tanah, segera menjejakkan kakinya lagi. Tubuhnya melesat lagi.

“Jika aku belum berhasil membuka kain penutup mukamu itu, aku tidak mau sudah!” Teriak si gadis.

“Hemmm, apa keuntungannya buat kau?!” Teriak Kim Lo yang jadi mendongkol juga.

“Aku tetap hendak melihat mukamu!” Kembali si gadis menerjang dengan cara melompat, dengan cara seperti itu, dia bermaksud dapat mendesak Kim Lo.

Sebetulnya dalam keadaan biasa, jika saja lawan yang mendesak Kim Lo itu bukanlah si gadis tentu dengan mudah Kim Lo bisa merubuhkannya.

Caranya mudah sekali. Dia bisa menantikan sampai tubuh si gadis sudah menerjang dekat, dia menyambuti dengan kedua telapak tangannya yang telah dipenuhi oleh kekuatan sin-kangnya. Lalu menghantamnya.

Dengan penyambutan seperti itu, biasanya lawannya menjadi korban. Jika tidak mati, tentu akan terluka berat sekali.

Karena itu Kim Lo memperoleh kesulitan. Tidak mungkin dia melukai si gadis. Terlebih lagi memang tidak ada persoalan di antara mereka, juga tidak terdapat ganjalan atau permusuhan di antara mereka. Kim Lo masih berusaha membujuk si gadis agar tidak meneruskan desakannya itu.

Tapi gadis itu benar-benar nekad. Ia terus juga mendesak. Ia telah berusaha membuka tutup muka Kim Lo.

Dengan kenekatannya itu, dimana ia menerjang tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya, ia berhasil membuat Kim Lo terdesak. Berulang kali Kim Lo jadi mundur terus menerus, dan dua kali penutup mukanya hampir terkena jambretan tangan si gadis.

Kim Lo benar-benar habis sabar.

“Baiklah jika memang kau mendesak terus maka aku akan turunkan tangan keras!” mengancam Kim Lo.

Gadis itu tertawa, ia malah tak menganggap ancaman itu. Iapun menerjang terus.

Orang tua penjual teh itu, yang telah terluka di dalam dan sudah memuntahkan darah segar, cuma berdiri tertegun di tempatnya. Ia heran mengapa Kim Lo tak berusaha membalas menyerang pada gadis itu, sebingga ia terdesak terus menerus.

Orang tua itu sudah melihatnya, jika memang Kim Lo menghendaki, tentu dalam beberapa.jurus saja Kim Lo dapat merubuhkan gadis itu.

Rupanya kakek penjual teh ini sudah tidak bisa menahan perasaannya, dia berseru nyaring:

“Kongcu, mengapa kau tidak menghajarnya? Ia bukan manusia baik-baik, dia seorang siluman jahat dan rendah…..!”

Kim Lo menghela napas, dia berkelit lagi menghindarkan jambretan tangan si gadis.

Kini Kim Lo bukan berdiam diri saja waktu tangan si gadis terulur begitu. Tahu-tahu tangan Kim Lo sudah meluncur juga menotok dada di sebelah kanan si gadis.

Begitu dia menotok tubuh si gadis terjungkal, karena totokan Kim Lo mengenai telak sekali dadanya.

Tapi darah yang tertotok itu adalah jalan darah Yu-king-hiat, sebuah jalan darah yang tidak terlalu berbahaya, juga memang tidak membuat si gadis menjadi kaku atau kehilangan kebebasan bergeraknya. Dia cuma merasa kesakitan.

“Kau……. kau laki-laki kurang ajar dan ceriwis.......!” memaki si gadis dengan muka yang merah padam.

Justeru tadi jari telunjuk sudah menotok dadanya, membuat gadis itu merasa malu.

Muka Kim Lo sendiri berobah merah, dia pun jadi malu. Dia menunduk.

“Maaf, aku tidak sengaja.......!” Dia bilang.

Si gadis mendengus.

“Tidak sengaja?”

“Ya!”

“Hemmm, kau memang sengaja hendak berlaku kurang ajar padaku, manusia gendak!”

Muka Kim Lo tambah merah. Dia malu sekali dan tampaknya menyesal.

“Sungguh, aku tidak sengaja!”

“Hemm tidak sengaja? Kau bilang tidak sengaja, tapi kau telah berlaku ceriwis. Jika aku belum dapat menebas kutung jari telunjukmu yang telah menotok bagian anggota tubuhku, aku bersumpah tidak akan menyudahi urusan sampai di sini saja?”

Setelah berkata begitu, dia bangkit dengan muka yang meringis, dia pun bersiap-siap hendak menerjang lagi.

“Nona…….!” Kim Lo ragu-ragu.

Si gadis mendelik.

“Hem, alasan apa lagi yang hendak kau kemukakan!”

“Dengarkan dulu kata-kataku!”

“Apa gunanya?”

“Aku…… aku tidak bermaksud berbuat kurang ajar padamu……. sungguh, nona!”

“Hemmm, apakah dengan cara begitu saja kau berhasil meyakinkan aku bahwa kau tidak bersalah!”

Muka Kim Lo berobah merah. Dia merangkapkan sepasang tangannya menjurah dalam-dalam.

“Maafkanlah, aku memang tak sungguh-sungguh tadi waktu menotok. Siapa tahu, tanpa disengaja aku telah menotokmu.......!” kata Kim Lo.

Tapi si gadis mendengus, malah waktu Kim Lo tengah membungkuk begitu, ia tahu-tahu telah menjejakkan kakinya menerjang sambil tangannya diulurkan buat menjambret kain penutup muka Kim Lo, gerakannya sangat cepat sekali.

Kim Lo terkejut melihat kelicikan gadis itu, yang telah menjampret kain penutup mukanya disaat ia tengah membungkuk memberi hormat seperti itu. Terlebih lagi memang iapun tengah tidak bersiap siaga, di mana gadis itu menjambret dengan sangat cepat sekali.

Segera juga Kim Lo menggerakkan kepalanya, dia berusaha mengelakkannya. Tapi dia, sebab waktu itu topengnya telah kena dicekal oleh si gadis. Malah ketika gadis itu menghentaknya, disaat tubuhnya melesat lewat, seketika kain penutup muka Kim Lo terbuka, dan kain itu telah berpisah tangan, berada di tangan si gadis.

Bukan main mendongkolnya Kim Lo, untuk sejenak lamanya dia berdiri diam di tempatnya. Dia mematung dengan wajah merah padam sebab gusar.

Saat itu si gadis tertawa bergelak-gelak, dia bilang: “Sekarang sudah tampak jelas sekali wajah Pendekar Aneh Seruling Sakti! Tidak tahunya, memang wajahnya itu terlampau buruk dan membuat dia perlu menutupi wajahnya selalu dengan secarik kain!”

Setelah tertawa begitu si gadis tertawa bergelak.

Sebetulnya saat dia melihat wajah Kim Lo, hati si gadis itu kaget tidak terkira. Ia melihat seraut wajah yang seperti kera, seraut wajah yang sangat mengerikan sekali, terlampau buruk.

Lain dengan apa yang dibayangkannya tadi, ia menduga bahwa pemuda ini niscaya memiliki wajah yang tampan karena kepandaiannya yang begitu tinggi. Siapa tahu wajah yang seperti muka kera, dengan mulut yang lebar, dan sepasang mata yang cekung.

Walaupun Pendekar aneh berseruling sakti itu sudah lama juga menggetarkan rimba persilatan, dengan sepak terjangnya baru-baru ini tetap saja tidak membayangkan betapapun dia seorang yang mukanya seperti kera begitu. Dengan demikian sudah membuat dia jadi kaget tidak terkira, karena memang pemuda tersebut memiliki muka yang demikian aneh sekali seperti muka kera.

Orang tua penjual teh itu pun terkejut bukan main, dimana iapun memang kaget waktu melihat muka si pemuda yang seperti kera. Rupanya dia tidak menyangka sama sekali, bahwa pemuda ini memiliki muka yang demikian buruk yang hidungnya melesak seperti hidung kera, matanya cekung seperti mata kera dan mulutnya juga lebar sekali, buruk bukan main.

Waktu itulah ia telah melihatnya betapapun juga, memang keadaan Kim Lo cocok dengan gelarannya sebagai Pendekar Aneh. Tapi serulingnya yang disebut sakti itu belum lagi dilihatnya.

Gadis itu setelah tertawa tiba-tiba memutar tubuhnya, ia bermaksud menyingkirkan diri.

Kim Lo yang topengnya yang sudah kena dilucuti dan direbut si gadis, sehingga mukanya dapat dilihat oleh si gadis, benar-benar membuat ia jadi mendongkol bukan main. Melihat gadis itu hendak pergi, cepat-cepat ia menjejakan kakinya, tubuhnya melesat ke tengah udara, ia mengejarnya.

Tangan kanan Kim Lo juga telah diayunkan, ia telah menghantam.

Gadis itu merasakan sambaran angin pukulan itu, ia merandek, berkelit. Kemudian meneruskan larinya, dia berlari dengan cepat sekali.

Dalam saat seperti itu, Kim Lo yang tengah mendongkol mana mau membiarkan si gadis pergi begitu saja? Karenanya ia sudah melompat dengan ringan mengejar lagi.

Gadis itu mengetahui dirinya dikejar terus dia tertawa kecil, kemudian tangannya tahu-tahu telah melontarkan belasan batang jarum Bwe-hoa-ciam. Disusul dengan suaranya yang nyaring,

“Lebih baik kau urusi si kakek tua penjual teh itu. Tadi dia sudah ingin meracuni kau, mengapa kau harus mengejar-ngejar diriku! Pergilah kau mengurusi kakek tua itu.

Kim Lo merandek.

Apa yang dikatakan si gadis memang ada benarnya juga! Bukankah memang tadi kakek penjual teh itu hendak meracuninya! Bukankah kakek tua itu tidak berani meminum air teh dalam cawan itu, yang telah dibuangkannya, disiramkannya kepada si gadis? Mengapa dia hendak meracuni Kim Lo?

Karena berpikir seperti itu, Kim Lo jadi bimbang. Dia melirik ke arah orang tua penjual teh itu. Dia melihat si kakek tua penjual teh itu tengah memutar tubuhnya hendak melarikan diri.

Dalam waktu yang singkat itulah Kim Lo sudah mengambil keputusan. Cepat sekali dia menjejak kakinya, tubuhnya melesat dengan gesit menyambar kepala orang tua penjual teh itu Dia berlaku sebat sekali.

Kepandaian orang tua penjual itu pun tidak setinggi kepandaian si gadis. Dengan demikian tidak membuat dia terlalu sulit buat berada di dekat si kakek penjual teh itu.

Dia mengulurkan tangannya menyambar si kakek penjual teh tersebut, dan dia mencekalnya dengan kuat sekali. Sambil mencekal begitu dia mengerahkan tenaga dalamnya, dia menghentaknya, maka tubuh si kakek penjual teh itu terlontarkan ke tengah udara.

Kakek tua itu tengah terluka di dalam yang tidak ringan, karena tadi saja dia sudah memuntahkan darah segar. Sekarang Kim Lo sudah menyerangnya dengan gerakan tangan Kim Lo yang tidak bisa dilihatnya atau juga dikelit olehnya. Karenanya juga, membuat dia akhirnya kena dicekal lengannya, tubuhnya terasa ringan sekali dan melayang ke tengah udara.

Dalam keadaan seperti itu, si kakek tua penjual teh masih ingat buat berusaha mengendalikan tubuhnya yang tengah terlambung di tengah udara, dia berusaha berpok-say. Namun, waktu dia berjumpalitan, tangan Kim Lo sudah mendarat di punggungnya.

“Bukk!” Tubuh kakek tua penjual teh itu jumpalitan terbanting keras di tanah. Dia meringis menahan sakit yang tidak terkira.

Kim Lo melirik ke belakangnya, dia tidak melihat gadis tadi. Si gadis sudah pergi menghilang dengan membawa kain menutup mukanya.

Bukan main mendongkol dan penasaran hati Kim Lo. Gusar karena gadis itu sudah begitu lancang menarik terbuka kain penutup mukanya, sehingga gadis itu bisa melihat mukanya. Demikian juga kakek tua ini, yang telah bisa melihat mukanya.

Karenanya hal ini membuat Kim Lo jadi menumpahkan dan melampiaskan kemendongkolannya kepada kakek tua penjual teh! Waktu tadi dia memukul, dia menghantam dengan empat bagian tenaga dalamnya membuat kakek itu mengalami patah di dadanya dan menderita kesakitan hebat sebab dia terbanting keras sekali.

Kim Lo menghampiri kakek tua ini, hatinya tambah gusar ketika teringat betapa kakek tua itu sesungguhnya orang yang bermaksud meracuni dirinya. Dia sebetulnya heran bukan main, mengapa gadis itu bisa mengetahui kakek tua ini hendak meracuni dirinya?

Siapakah gadis itu? Mengapa kakek tua ini hendak meracuninya?

Dan mengapa pula si gadis telah berusaha monolonginya? Apakah memang gadis itu cuma sekedar melihat wajahnya saja?

Tapi, tadi begitu melihat wajah Kim Lo, si gadis tertegun, kemudian tertawa. Tertawanya inilah yang membuat Kim Lo jadi penasaran sekali, gusar juga, karena dia merasa seperti diejek oleh tertawa si gadis terhadap wajahnya yang memang buruk.

Setelah berada di samping si kakek penjual teh yang tengah merangkak buat berdiri dengan muka meringis menahan sakit, Kim Lo mengawasi mendelik.

“Bicaralah yang jujur dan terus terang, mengapa kau hendak meracuni aku?” Tanya Kim Lo dengan suara yang galak, karena dia dalam keadaan marah.

Kakek penjual teh itu merengket ketakutan. Dia melihat wajah yang buruk dari Kim Lo yang sedang marah. Dia jadi ketakutan bukan main. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali, dengan wajah yang masih meringis menahan sakit.

“Tidak! Tidak! Lohu, tidak berbuat jahat meracuni Kongcu....... siluman wanita itu cuma hendak memfitnah Lohu saja…….!”

“Hemmm, jangan memaksa aku bertindak dengan keras buat memaksa kau bicara!”

“Sungguh!”

“Apanya yang sungguh?”

“Sungguh Lohu tak bermaksud buruk pada Kongcu!”

“Hemm, tadi mengapa kau tak berani meminum teh yang semula disajikan buatku? Mengapa kau membuangnya, untuk menyiram gadis itu?!”

Muka orang tua penjual teh itu berobah.

“Karena....... karena Lohu sudah tak kuat menahan emosi dan kemendongkolan hati, oleh sikap gadis itu, dan akhirnya membuat Lohu menyiram si gadis dengan air teh tadi. Lohu menyesal sekali, mengapa Lohu tak meminumnya saja tadi!!”

Kim Lo tertawa dingin.

“Hemmmm, kau hendak berdusta bukan? Baiklah, aku bisa memaksa kau bicara yang jujur, karena aku memiliki caranya!” Setelah berkata begitu, Kim Lo melangkah setindak, lebih mendekati orang tua penjual teh itu.

Orang tua itu jadi ketakutan bukan main. Ia segera menyingkir dengan merangkak, mukanya pucat pasi, ia tahu dirinya pasti akan disiksa oleh Kim Lo agar ia mau bicara yang jujur.

Terlebih lagi melihat muka Kim Lo yang buruk seperti kera. Dalam keadaan marah tengah menyeringai, menambah rasa takut orang tua itu saja.

“Jangan....... jangan…..!” Kata orang tua itu ketakutan.

“Hemm…..!” Kim Lo tertawa dingin. “Kau tinggal pilih, apakah kau bicara yang jujur tanpa disiksa, atau memang kau menghendaki disiksa dulu baru nanti bicara yang jujur!”

“Lohu tadi sudah bicara yang jujur....... Lohu sudah bicara dari hal yang sebenarnya……!”

“Benar-benar, kau tak mau bicara yang jujur?” bentak Kim Lo habis sabar.

“Antara Lohu dengan Kongcu tak saling kenal, buat apa Lohu berusaha meracuni Kongcu?!”

“Hemm, kau benar-benar keras kepala! Kau tak mau bicara yang jujur....... Baiklah, aku mau lihat, setelah ditotok beberapa jalan darahmu, apakah kau masih akan bicara seperti itu?!”

Dan Kim Lo melangkah lagi satu tindak.

Kakek tua itu tambah ketakutan, dia merengket dan mundur beberapa jauh.

Namun Kim Lo sudah menjejakkan kakinya, tubuhnya sudah berada di sisi kakek tua itu. Dia mengulurkan tangannya, mencekal tangan kakek tersebut.

Kakek tua itu ketakutan, tubuhnya menggigil keras sekali.

“Jangan…... menyiksaku, aku akan bicara yang sejujurnya…….!”

“Hemmm, jadi kau bersedia bicara secara baik-baik?!”

“Benar!”

“Kau, bicaralah!”

“Hal ini, sesungguhnya Lohu telah bicara dari hal yang sebenarnya, tapi Kongcu hendak menyiksa Lohu. Apa lagi yang harus Lohu katakan?”

Karena melihat kakek tua itu memang selalu berusaha untuk mengelakan pertanyaan juga tidak bersedia memberikan keterangan yang sejujurnya, Kim Lo habis sabar. Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya, mencekal lebih kuat tangan kakek tua itu.

“Kreekk!” Tulang tangan si kakek remuk dan dia menjerit kesakitan, mukanya pucat pias, bibirnya juga gemetar.

“Aku bicara! Aku bicara!”

Dalam kesakitan seperti itu si kakek tua sudah berseru-seru karena dia takut jika Kim Lo nanti turunkan tangan lebih jauh menyiksa dirinya.

Kim Lo tertawa dingin.

“Bukankah lebih baik dari tadi kau bicara yang jujur sehingga tidak perlu lagi kau menderita kesakitan seperti itu.”

Muka kakek itu jadi pucat pias, dia tengah kesakitan bukan main! Juga dia telah terluka di dalam. Tenaganya hampir lenyap sama sekali.

Jika saja ia memang mendesak terus agar Kim Lo menurunkan tangan oleh ketidak jujurannya, niscaya dia sendiri yang tersiksa hebat.

“Aku bicara….... aku bicara!”

“Nah bicaralah.”

“Memang....... memang.......!”

“Memang? Memang apa? Ayo bicara yang benar!”

“Memang gadis itu bicara benar…….!”

“Bicara benar bagaimana?”

“Ia memang benar dengan keterangannya!”

“Maksudmu bahwa kau benar-benar hendak meracuni diriku?”

Orang tua itu mengangguk dan menunduk, tak berani balas menatap Kim Lo, karena mata pemuda yang mukanya seperti kera ini memancar tajam sekali.

“Ya….. benar.......!” akhirnya orang tua itu bilang dengan suara perlahan.

“Hemmm!” mendengus Kim Lo dengan sikap yang marah sekali. “Mengapa kau hendak meracuni diriku?!”

Orang itu mengangkat kepalanya, menatap Kim Lo ragu-ragu kemudian ia menunduk lagi, ia bilang, “Sesungguhnya……. sesungguhnya........!”

“Cepat katakan!”

“Lohu cuma menerima perintah dari seseorang…….!”

“Siapa orang itu?”

“Entahlah, Lohu memang tak kenal orang itu, Lohu hanya menerima upah belaka!”

“Kau bohong! Pasti kau kenal dengan orang itu!” muka Kim Lo jadi bengis lagi.

Orang tua itu tambah ketakutan, ia merengket den berusaha untuk melindungi tangannya yang tulangnya telah remuk. Dia kuatir jika Kim Lo mencengkeram tangannya lagi tentu akan menyiksa sekali buat kakek tua itu yang akan kesakitan hebat.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar