Pendekar Hina Kelana Jilid 61-65

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 61-65 Hari itu mereka hampir tiba di Kota Hangzhou. Di atas kapal, Xiang Wentian memperbaiki penyamarannya,
Hari itu mereka hampir tiba di Kota Hangzhou. Di atas kapal, Xiang Wentian memperbaiki penyamarannya, dan juga penyamaran Linghu Chong. Ia menggunting sedikit rambut Linghu Chong dan membentuknya menjadi semacam kumis tipis, untuk kemudian ditempelkan di atas bibir pemuda itu menggunakan bahan perekat. Setelah semuanya siap, mereka pun turun ke darat dan membeli dua ekor kuda untuk memasuki kota.

Dahulu Hangzhou bernama Lin’an saat menjadi ibukota Dinasti Song Selatan. Sejak lama kota ini memang menjadi tempat wisata yang indah dan menarik untuk dikunjungi. Orang-orang ramai berlalu-lalang melewati jalanan di dalam kota. Di mana-mana terdengar suara musik dan nyanyian yang mengalun merdu.

Xiang Wentian dan Linghu Chong berkuda sampai di tepi Danau Xihu yang terkenal sangat indah pemandangannya. Air danau itu tampak bergelombang biru dan jernih laksana cermin. Pohon liu tumbuh lebat melambai hampir menyentuh permukaan danau. Panorama yang sungguh indah seakan-akan berada di surgaloka kediaman para dewa.

Linghu Chong berkata dengan nada masygul, “Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada Suzhou dan Hangzhou. Aku belum pernah pergi ke Suzhou dan tidak tahu seperti apa keadaannya. Namun hari ini aku telah melihat sendiri betapa indah Danau Xihu. Ternyata pujian yang menyamakan tempat ini dengan surga memang bukan omong kosong belaka.”

Xiang Wentian hanya tertawa, kemudian mempercepat langkah kudanya menuju ke suatu tempat. Tempat itu terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, dan di sisi lain menghadap ke sebuah bukit kecil. Suasananya sungguh sunyi dan terpencil. Mereka berdua turun dari kuda dan menambatkan binatang tunggangan masing-masing pada batang pohon liu di tepi danau. Keduanya lalu berjalan mengikuti undak-undakan batu menuju ke atas bukit.

Xiang Wentian seperti sudah kenal baik dengan tempat itu dan juga hafal harus berjalan ke mana. Sesudah melewati beberapa tikungan, terlihat begitu banyak pohon plum yang tumbuh subur. Batang-batang pohon di situ sudah tua, ranting yang melintang pun tampak rimbun. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala bunga plum bermekaran di musim semi bagaikan salju.

Setelah menembus hutan plum lebat itu, sampailah mereka pada suatu jalan besar yang terbuat dari balok-balok batu hijau, yang akhirnya mengantar mereka sampai di suatu kompleks perumahan berpagar tembok putih dan berpintu gerbang warna merah. Begitu dekat, dapat dilihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar berbunyi “Mei Zhuang”. Kemudian di sisinya tertulis kata “Ditandatangani oleh Yu Yunwen”.

Linghu Chong tidak gemar membaca sehingga tidak tahu bahwa Yu Yunwen merupakan seorang perwira zaman Kerajaan Song Selatan yang berjasa dalam perjuangan melawan Kerajaan Jin. Namun demikian, ia dapat merasakan pada tulisan yang terlihat indah dan kuat itu terdapat semangat kepahlawanan.

Xiang Wentian mendekati pintu gerbang berhiaskan dua buah gelang tembaga yang tampak mengkilap. Dipegangnya gelang tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu. Ia kemudian menoleh dan berbisik kepada Linghu Chong, “Adik, kau menurut saja segalanya padaku. Dalam hal ini kita harus mempertaruhkan nyawa. Jika rencana ini berhasil, kau masih harus mengalami kesulitan selama beberapa hari.”

Linghu Chong mengangguk setuju. Dalam hati ia berkata, “Wisma Mei Zhuang ini sepertinya kediaman saudagar besar di Kota Hangzhou. Apa mungkin penghuninya seorang tabib sakti? Kenapa Kakak Xiang berkata kita harus mempertaruhkan nyawa? Apakah pengobatannya menyakitkan?”

Terdengar Xiang Wentian mengetuk pintu dengan menggunakan gelang tembaga tadi. Pertama ia mengetuk empat kali kemudian berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi, lalu mengetuk lima kali, berhenti lagi, lalu mengetuk tiga kali, setelah itu baru melangkah mundur.

Selang agak lama, pintu perlahan terbuka dan muncul dari dalamnya dua orang tua berdiri berdampingan, dengan mengenakan pakaian pelayan.

Linghu Chong terperanjat melihat kedua orang itu. Sorot mata mereka sangat tajam, langkahnya pun kuat, jelas mereka menguasai ilmu silat dengan tenaga dalam tinggi. Entah apa sebabnya mereka mau menjadi pelayan di tempat ini?

Seorang di antaranya yang berdiri di sebelah kiri membungkukkan badan dan menyapa. “Ada keperluan apakah Tuan-tuan berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini?”

Segera Xiang Wentian menjawab, “Murid Perguruan Songshan dan murid Perguruan Huashan mohon diizinkan bertemu dengan keempat sesepuh, Empat Sekawan dari Jiangnan.”

“Majikan kami selamanya tidak menerima tamu,” sahut orang tua tadi. Usai berkata ia bermaksud menutup pintu.

Dengan cepat Xiang Wentian mengeluarkan sesuatu dan dibentangnya. Linghu Chong kembali terkejut karena benda yang dibentang itu adalah bendera kecil bersulamkan mutiara dan batu permata. Benda itu tidak lain adalah Panji Pancawarna, pusaka kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Para anggota perserikatan sangat segan dan menghormati benda tersebut. Melihat Panji Pancawarna sama artinya dengan melihat Ketua Zuo yang datang memberi perintah.

Dalam hati Linghu Chong merasa urusan ini agak ganjil. Ia menduga Xiang Wentian memperoleh panji tersebut secara tidak beres, yaitu bukan mustahil dirampasnya dari tokoh penting Perguruan Songshan yang mungkin dibunuhnya. Bisa jadi orang-orang aliran lurus mengejarnya juga karena masalah ini. Lalu sekarang ia mengaku sebagai murid Perguruan Songshan, entah apa maksud tujuannya? Namun Linghu Chong sudah berjanji akan menurut segala rencana Xiang Wentian sehingga mau tidak mau ia memilih untuk diam menantikan perkembangan selanjutnya.

Melihat Panji Pancawarna dibentangkan, wajah kedua orang tua itu tampak terkejut. Mereka berkata serentak, “Hah, panji pusaka kebesaran Ketua Zuo dari Perguruan Songshan?”

“Benar sekali,” jawab Xiang Wentian.

Orang tua yang berdiri di sebelah kanan berkata, “Empat Sekawan dari Jiangnan tidak ada hubungan dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Meskipun Ketua Zuo sendiri yang datang bertamu, majikan kami juga belum tentu mau … belum tentu mau, hehe ….”

Orang itu tidak meneruskan perkataan, tapi maksudnya sudah jelas terbaca. Zuo Lengchan memang memiliki kedudukan terhormat di dunia persilatan, juga memiliki ilmu silat yang sangat hebat. Namun dari nada ucapannya tadi, orang tua itu menganggap kedudukan Empat Sekawan dari Jiangnan masih jauh lebih tinggi daripada Zuo Lengchan. Hanya saja, ia tidak berani sembarangan bicara.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan itu? Jika begitu hebat pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selama ini Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang mereka? Selama aku berkelana juga belum pernah mendengar adanya orang sakti angkatan tua yang berjuluk Empat Sekawan dari Jiangnan segala.”

Sementara itu Xiang Wentian hanya tersenyum kecil menanggapi kedua pelayan tersebut. Digulungnya kembali Panji Pancawarna dan disimpannya ke balik baju. Lalu ia berkata, “Panji milik Keponakan Zuo ini hanya pantas digunakan untuk menakuti orang lain. Padahal tokoh seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan, rasanya panji ini pun tak akan dipandang sebelah mata ….”

Linghu Chong semakin heran dan berpikir, “Aneh, mengapa kau sebut ‘Keponakan Zuo’ segala? Jadi kau sengaja memalsukan dirimu sebagai paman guru Ketua Zuo. Wah, semakin tidak beres ini.”

Terdengar Xiang Wentian melanjutkan, “Aku sendiri selama ini belum beruntung bisa berjumpa dengan keempat sesepuh dari Jiangnan. Panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, tidak ada maksud yang lain.”

“Oh,” ujar kedua pelayan tua itu bersama-sama. Nada ucapan Xiang Wentian yang terdengar menjunjung tinggi kedudukan Empat Sekawan dari Jiangnan membuat wajah mereka seketika berubah ramah.

“Jadi Tuan ini adalah paman guru dari Ketua Zuo?” sahut seorang di antaranya menegas.

Kembali Xiang Wentian tersenyum dan menjawab, “Benar sekali. Tapi aku hanyalah orang biasa yang tidak punya nama di dunia persilatan, sudah tentu kalian berdua tidak mengenaliku. Tapi aku mendengar kejadian di mana Saudara Ding sekali pukul merobohkan Empat Gembong Pegunungan Qilian, serta Saudara Shi menolong anak yatim piatu di Sungai Heng daerah Hubei dengan sebilah Golok Ungu Emas berhasil menumpas tiga belas anggota Gerombolan Naga Hijau. Perbuatan-perbuatan yang mengagumkan itu sampai sekarang masih aku ingat semua”

Kedua pelayan tua itu masing-masing bernama Ding Jian dan Shi Lingwei. Sebelum mengasingkan diri di Wisma Mei Zhuang, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang terhitung setengah baik dan setengah jahat. Mereka sering bertindak kejam dan beringas. Keduanya mempunyai kesamaan, yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama. Sebab itulah meskipun ilmu silat mereka tinggi tapi nama mereka jarang dikenal. Kedua peristiwa yang disebut Xiang Wentian tadi justru merupakan perbuatan yang paling mereka banggakan. Pertama, karena musuh yang mereka kalahkan masing-masing berjumlah banyak dan sangat kuat; kedua, karena dalam peristiwa-peristiwa itu mereka bertindak sebagai pembela kebenaran. Walaupun mereka tidak ingin membesar-besarkan kejadian itu, namun kalau ada orang lain yang mendengarnya dan menceritakannya, diam-diam mereka merasa senang. Maka, begitu mendengar pujian dari Xiang Wentian tersebut, wajah kedua pelayan tersebut terlihat sangat gembira.

Ding Jian tersenyum dan berkata, “Ah, hanya urusan kecil saja untuk apa harus diungkit-ungkit lagi? Wawasan Tuan ternyata sangat luas.”

Xiang Wentian berkata, “Di dunia persilatan banyak orang mencari nama dan gila hormat. Sebaliknya, jarang sekali pendekar yang memiliki kepandaian sejati dan berwatak budiman, tidak suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia. Aku sudah lama mengagumi nama besar Kakak Ding, Si Pedang Kilat Satu Kata, dan juga Kakak Shi, Si Dewa Lima Jalan. Keponakan Zuo berkata bahwa ada urusan penting yang harus meminta pendapat Empat Sekawan dari Jiangnan, dan aku yang diminta untuk datang kemari. Tanpa pikir panjang, aku pun bersedia untuk memenuhi permintaan ini, meskipun diriku sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun seandainya aku gagal bertemu dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, paling tidak aku sudah merasa puas bisa bertemu dan berkenalan dengan Kakak Ding dan Kakak Shi berdua. Jika Keponakan Zuo berkunjung secara pribadi, dikhawatirkan keempat sesepuh tidak sudi menerimanya. Akhir-akhir ini reputasi Keponakan Zuo tersiar ramai di dunia persilatan, sehingga ia khawatir jangan-jangan keempat sesepuh akan memandang rendah kepadanya. Sebaliknya, aku sudah mengundurkan diri sehingga kemungkinan tidak akan membuat keempat sesepuh jemu melihatku. Hahahaha!”

Mendengar kepandaian bicara Xiang Wentian itu, tentu saja Ding Jian dan Shi Lingwei merasa sangat senang dan ikut tertawa beberapa kali. Melihat penampilan Xiang Wentian yang botak dan gendut serta berpakaian serbamewah, meskipun wajahnya tidak sedap dipandang, namun tutur katanya sangat sopan dan anggun, jelas menunjukkan kalau ia bukan orang sembarangan. Apalagi ditambah kedudukannya sebagai paman guru dari Zuo Lengchan, tentu memiliki ilmu silat tinggi, membuat rasa hormat pun tumbuh dengan sendirinya di hati kedua pelayan itu.

Diam-diam dalam hati Shi Lingwei ada niat untuk melaporkan kedatangan kedua tamu kepada keempat majikannya. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Kalau Tuan ini apakah murid dari Perguruan Huashan?”

Xiang Wentian buru-buru menukas, “Benar. Adik Feng ini adalah paman guru dari Yue Buqun, Ketua Perguruan Huashan yang sekarang.”

Linghu Chong semakin terkejut. Ia sudah menduga kalau Xiang Wentian akan mengarang nama palsu untuknya, tetapi ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan diperkenalkan sebagai paman perguruan dari sang guru sendiri. Meskipun ia berwatak angin-anginan, namun dengan menyamar sebagai paman dari guru yang sangat ia hormati, mau tidak mau hal ini membuatnya gemetar. Untung saja saat itu ia memakai bedak tebal sehingga wajahnya yang berubah pucat tidak nampak terlihat.

Sementara itu Ding Jian dan Shi Lingwei saling pandang dengan rasa curiga. Melihat wajah Linghu Chong yang seperti pria berusia empat puluhan, mana mungkin menjadi paman guru Yue Buqun?

Xiang Wentian memang mendandani Linghu Chong sehingga kelihatan lebih tua. Namun demikian tetap sulit untuk mengubahnya menjadi seorang tua. Riasan yang terlalu tebal justru akan membongkar segala rahasia. Maka dengan cepat ia pun menambahkan, “Umur Adik Feng ini memang lebih muda daripada Yue Buqun, tapi dia adalah saudara seperguruan dari Feng Qingyang, dan merupakan ahli waris satu-satunya dari ilmu pedang Saudara Feng yang mahasakti.”

Linghu Chong kembali terperanjat. Dalam hati ia bertanya, “Hah? Dari mana Kakak Xiang tahu kalau aku adalah satu-satunya ahli waris ilmu pedang Kakek Guru Feng?” Sejenak kemudian ia menemukan jawaban, “Ah, ilmu pedang Kakek Guru Feng sangat hebat, tentu dahulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Kakak Xiang sendiri berwawasan luas. Sekali pandang ia langsung tahu kalau aku menggunakan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Kalau Biksu Fangsheng bisa tahu, tidak heran Kakak Xiang juga bisa tahu.”

“Ah!” Ding Jian berseru kaget. Sebagai seorang ahli pedang ia sangat tertarik mendengar Linghu Chong ternyata juga mahir ilmu pedang. Seketika timbul rasa penasaran dalam hatinya ingin mencoba. Hanya saja, ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning sembap seperti kurang sehat ini benar-benar mahir ilmu pedang? Maka, ia pun bertanya, “Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan berdua yang mulia?”

“Aku bermarga Tong, namaku Huajin,” jawab Xiang Wentian. “Adapun Adik Feng ini bernama Erzhong.”

“Oh, kami sudah lama kagum, sudah lama kagum!” kata Ding Jian dan Shi Lingwei sambil memberi hormat.

Diam-diam Xiang Wentian merasa geli. Tong Huajin dan Feng Erzhong jelas-jelas nama palsu hasil karangannya. Tong Huajin bermakna “tembaga berubah menjadi emas”, yang merupakan sindiran untuk sesuatu yang palsu. Sementara Er dan zhong adalah dua huruf yang diperoleh dengan cara membelah huruf Chong. Namun, kedua pelayan tua itu justru menyatakan “sudah lama kagum”. Tentunya hal ini sungguh menggelikan.

Ding Jian lantas berkata, “Silakan Tuan-Tuan masuk untuk minum teh. Saya akan melaporkan ini kepada majikan. Namun apakah Beliau bersedia menemui Tuan berdua, hal ini sulit untuk dipastikan.”

Xiang Wentian mengumbar senyum sambil menjawab, “Kalian berdua mengaku sebagai pelayan, padahal sebenarnya sudah seperti saudara dengan Empat Sekawan dari Jiangnan. Rasanya keempat sesepuh itu tidak mungkin untuk tidak memberi muka kepada Kakak Ding dan Kakak Shi.”

Ding Jian tersenyum senang dan bergeser ke samping untuk memberi jalan. Xiang Wentian segera melangkah masuk ke dalam diikuti Linghu Chong.

Sesudah menyusuri sebuah pekarangan dalam yang pada kedua sisinya terdapat dua pohon plum tua dengan dahan-dahannya yang kokoh dan kuat, mereka sampai di ruang tamu. Shi Lingwei mempersilakan kedua tamunya duduk, kemudian ia sendiri berdiri menemani; sementara Ding Jian masuk ke dalam untuk melapor.

Melihat Shi Lingwei berdiri, Xiang Wentian merasa kurang pantas. Namun karena kedudukan Shi Lingwei sebagai pelayan, Xiang Wentian juga merasa rikuh untuk mengajaknya duduk bersama. Maka, ia pun bangkit pura-pura mengamati keadaan sekeliling, kemudian berkata kepada Linghu Chong, “Adik Feng, coba lihat lukisan ini. Walaupun cuma beberapa goresan saja, tapi tampak kekuatannya sungguh luar biasa.” Sambil berkata demikian ia melangkah mendekati sebuah lukisan yang tergantung pada dinding ruangan tersebut.

Setelah bepergian bersama selama beberapa hari, Linghu Chong dapat mengenali sifat Xiang Wentian yang cerdik dan banyak akal. Namun dalam hal seni sastra dan seni lukis, kakak angkatnya itu sama sekali bukan ahlinya. Kalau sekarang tiba-tiba ia memuji lukisan itu tentu ada maksud tertentu. Maka, Linghu Chong lantas mengiakan serta ikut mendekati lukisan itu.

Lukisan tersebut menggambarkan punggung seorang dewa dengan warna yang serasi. Tintanya seperti masih basah, dengan goresan yang sangat kuat. Meskipun Linghu Chong tidak paham seni lukis, namun ia tetap dapat menikmati keindahan lukisan itu. Terlihat lukisan tersebut ditandai pelukisnya dengan kata-kata: “Danqingsheng, dilukis sesudah mabuk dengan cipratan tinta”. Goresan pena pada huruf-huruf itu juga sangat kuat dan tajam, seperti digores menggunakan pedang.

“Kakak Tong, begitu melihat kata ‘mabuk’ pada lukisan ini, aku langsung merasa senang,” kata Linghu Chong. “Pada huruf dan goresan lukisan ini sepertinya mengandung ilmu pedang yang luar biasa tingginya.” Rupanya goresan pada huruf-huruf tersebut dan juga gambar punggung dewa telah mengingatkannya kepada suatu jurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua rahasia di puncak Gunung Huashan dulu.

Belum sempat Xiang Wentian menanggapi, Shi Lingwei sudah berkata di belakang mereka, “Tuan Feng ini ternyata seorang ahli pedang sejati. Menurut keterangan majikan keempatku, Tuan Danqingsheng, hari itu saat Beliau mabuk berat dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa sengaja Beliau melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan kuas. Karya ini merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya. Setelah Beliau sadar dari mabuk ternyata sukar untuk melukis lagi yang seperti ini. Sekarang Tuan Feng ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisan ini, tentu Tuan Danqingsheng akan sangat senang, dan menganggap Tuan Feng sebagai sahabat. Aku akan melapor kepada Beliau.” Usai berkata demikian ia pun melangkah ke ruang dalam dengan wajah berseri-seri.

Xiang Wentian berdehem, dan berkata, “Adik Feng, sepertinya kau paham seni lukis dan kaligrafi, hah?”

“Paham apanya? Aku hanya sembarangan mengoceh dan secara kebetulan kena sasaran. Padahal kalau nanti yang bernama Danqingsheng itu bicara tentang seni lukis dan kaligrafi kepadaku tentu aku bisa runyam,” sahut Linghu Chong.

Tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar suara seseorang berseru lantang, “Apa? Dia bisa melihat ilmu pedang di dalam lukisanku? Di mana orangnya? Pandangannya sungguh tajam.”

Di tengah suara ribut itu muncul seorang pria berjanggut panjang sampai sebatas perut, dengan tangan kiri memegang sebuah cawan arak. Wajahnya tampak kemerah-merahan agak mabuk.

Shi Lingwei yang berjalan di belakang orang itu segera berkata, “Kedua tuan ini adalah Tuan Tong dari Perguruan Songshan dan Tuan Feng dari Perguruan Huashan. Tuan Majikan Keempat, Tuan Feng inilah yang mengatakan bahwa di dalam lukisan Tuan mengandung suatu ilmu pedang yang tinggi.”

Sambil mengedipkan sepasang matanya yang merah karena mabuk, Danqingsheng si majikan keempat mengamat-amati Linghu Chong dari ujung kepala sampai kaki, kemudian bertanya, “Kau paham seni lukis? Bisa memainkan pedang?”

Pertanyaan ini dilontarkan secara kasar, namun Linghu Chong tidak ambil peduli. Ia hanya mengamati tangan Danqingsheng yang memegang sebuah cawan indah berwarna hijau zamrud. Dari baunya pun dapat dikenali kalau arak pada cawan tersebut merupakan jenis arak bunga pir. Hal ini langsung membuatnya teringat pada ucapan Zu Qianqiu si sastrawan miskin di atas kapal tempo hari. Segera ia pun menjawab, “Konon menurut puisi Bai Juyi yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou disebutkan, ‘Kain lengan baju warna merah yang dipakai gadis penenun sutra mencerminkan daun pohon kesemak, dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi Arak Bunga Pir.’ Minum arak bunga pir memang harus menggunakan wadah cawan zamrud. Ternyata Majikan Keempat benar-benar seorang ahli arak sejati.”

Linghu Chong sebenarnya jarang membaca buku, dan ia juga tidak tahu menahu soal puisi atau syair. Namun akalnya sangat cerdas, daya ingatnya juga bagus, sehingga perkataan Zu Qianqiu dapat ia tirukan dengan baik.

Danqingsheng terlihat sangat senang. Ia langsung merangkul Linghu Chong sambil berseru, “Aha, seorang sobat datang berkunjung! Mari, mari kita minum tiga ratus cawan arak! Saudara Feng, aku si tua ini gila arak enak, gila lukisan indah, dan gila ilmu pedang. Orang-orang menyebutku ahli dalam tiga keistimewaan tadi. Arak adalah yang nomor satu, lukisan nomor kedua, dan ilmu pedang nomor tiga.”

Linghu Chong gembira dan berpikir, “Kalau melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku ke sini hanya untuk mencari pengobatan dan tidak ada maksud hendak bertanding pedang segala. Tapi kalau soal minum arak, inilah yang sangat kuharapkan.”

Maka tanpa banyak bicara ia segera ikut Danqingsheng masuk ke ruang dalam. Xiang Wentian dan Shi Lingwei berjalan di belakang mereka. Setelah melewati sebuah serambi yang berkelok-kelok, sampailah mereka pada sebuah kamar di sisi barat. Begitu tirai disingkap, seketika tercium bau wangi arak yang menyengat hidung.

Sejak kecil Linghu Chong sudah gemar minum arak, namun tidak pernah mendapat banyak uang saku dari guru dan ibu-gurunya sehingga ia hanya sembarangan minum. Setelah bertemu dengan Luzhuweng barulah ia bisa mengenali bermacam-macam jenis arak bagus dan menghafalnya. Pertama, karena ini sesuai dengan kegemarannya; kedua, karena ada seorang ahli yang mengajarinya. Maka begitu mencium bau arak di ruangan tersebut, ia langsung berseru, “Bagus, di sini ada Arak Fen kelas satu! Hah, ada Arak Seratus Rumput juga! Hm, dari baunya sepertinya sudah tersimpan selama tujuh puluh lima tahun. Wah, Arak Monyet ini sangat sukar diperoleh.” Begitu menyebut Arak Monyet, ia langsung terkenang kepada Lu Dayou, adik keenamnya, sehingga membuat hatinya menjadi pilu.

Danqingsheng bertepuk tangan sambil berkata senang, “Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini, Saudara Feng langsung dapat mengenali tiga jenis arak simpananku yang paling bagus. Kau sungguh seorang ahli arak. Sungguh hebat, sungguh lihai!”

Linghu Chong mengamat-amati sekeliling ruangan, ternyata penuh dengan guci arak, botol, dan sebagainya. Maka, ia pun berkata, “Mana mungkin Tuan Danqingsheng hanya menyimpan tiga jenis arak bagus saja? Sepertinya Arak Gadis Merah Shaoxing ini juga berkualitas tinggi. Arak Anggur dari Turfan itu juga telah mengalami empat kali penyulingan dan empat kali peragian. Tak ada tandingannya di dunia ini.”

Danqingsheng terkejut bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Arak Anggur dari Turfan memang mengalami empat kali penyulingan dan peragian, tapi kusimpan dalam gentong kayu yang tertutup rapat itu. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”

“Arak bagus seperti ini, walaupun disimpan di gua bawah tanah juga tetap tercium baunya yang harum,” ujar Linghu Chong tertawa.

“Mari, mari! Kita bisa mencicipi arak anggur enak ini!” seru Danqingsheng. Segera ia mengangkat keluar sebuah gentong kayu yang tertaruh di pojok ruangan. Gentong itu berwarna kehitam-hitaman karena sudah tua, dengan tutup yang disegel lilin. Pada bagian atas tertulis huruf-huruf Daerah Barat yang bengkok-bengkok. Perlahan-lahan Danqingsheng membuka tutup gentong itu, seketika bau harum pun memenuhi seluruh ruangan.

Shi Lingwei tidak suka dan tidak pernah minum arak. Begitu mencium bau alkohol yang keras, tanpa terasa mukanya menjadi merah karena mabuk.

“Kau keluar saja!” kata Danqingsheng sambil mengibaskan tangan. “Jangan sampai kau mabuk di sini.” Lalu ia mengambil tiga buah cawan dan ditaruhnya berdampingan. Gentong anggur itu segera diangkat dan dituang isinya ke dalam cawan-cawan tersebut.

Arak Anggur dari Turfan itu berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas bibir cawan, dengan cepat Danqingsheng lantas berhenti menuang dan berpindah ke cawan selanjutnya. Setetes pun tidak tumpah dari setiap cawan. Diam-diam Linghu Chong memuji di dalam hati, “Ilmu silat orang ini hebat sekali. Ia dapat menuang arak dari dalam gentong kayu yang seberat itu ke dalam cawan-cawan mungil tanpa tercecer setetes pun.”

Sambil tetap menghimpit gentong anggur itu dengan tangan kanan, Danqingsheng mengangkat cawan di tangan kiri sambil berkata, “Mari silakan minum, silakan minum!” Matanya menatap tanpa berkedip ke arah Linghu Chong, ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu setelah minum arak anggurnya.

Linghu Chong lantas mengangkat cawan dan meminum setengah isinya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk membedakan rasa. Tapi karena wajahnya memakai polesan yang agak tebal sehingga reaksinya sedikit pun tidak tampak, bahkan seperti terlihat acuh tak acuh dan kurang menyukai arak yang diminumnya itu.

Tentu saja Danqingsheng menjadi ragu-ragu. Ia berpikir, “Jangan-jangan ahli besar ini menganggap segentong arak anggurku hanya minuman biasa saja.”

Linghu Chong tampak memejamkan mata sejenak, kemudian membuka matanya kembali, dan tiba-tiba berseru, “Aneh sekali, sungguh aneh!”

“Apanya yang aneh?” tanya Danqingsheng menegas.

“Sangat sulit dijelaskan. Sungguh aku tidak paham,” kata Linghu Chong.

Sorot mata Danqingsheng bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ia bertanya, “Yang kau maksud apakah ….”

“Seumur hidup aku pernah sekali minum arak anggur seperti ini di Kota Luoyang. Meski rasanya sangat enak, tapi terselip sedikit rasa masam. Menurut temanku yang juga ahli arak, rasa masam itu timbul akibat guncangan-guncangan selama perjalanan. Arak anggur ini disuling sebanyak empat kali. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang satu ke tempat lain, semakin berkurang pula mutunya. Entah betapa jauhnya daerah Turfan ke Kota Hangzhou ini? Tapi benar-benar aneh, anggur Tuan ternyata tidak sedikit pun terasa masam ….”

Danqingsheng bergelak tawa sangat senang, kemudian berkata, “Ini berkat resep rahasiaku. Resep ini kuperoleh dengan menukar tiga jurus pedangku kepada jago pedang Benua Barat bernama Moore Watson. Apakah kau tidak ingin tahu resep rahasia ini?”

Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Dapat merasakan arak anggur sebagus ini aku sudah merasa puas. Tentang resep rahasia Tuan sama sekali aku tidak berani bertanya.”

“Mari minum, mari minum!” seru Danqingsheng sambil kembali menuang tiga cawan arak. Karena Linghu Chong tidak juga bertanya resep rahasianya, ia menjadi kesal sendiri. Akhirnya ia berkata, “Tentang resep rahasia itu kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sama sekali. Boleh dikata bukanlah sesuatu yang istimewa.”

Linghu Chong paham, semakin dirinya tidak mau bertanya apa yang disebut resep rahasia itu, justru membuat Danqingsheng semakin ingin bercerita kepadanya. Maka dengan cepat ia sengaja menggoyang tangan dan berkata, “Tidak, tidak. Jangan sampai Tuan ceritakan kepadaku. Ketiga jurus pedangmu itu pasti lain daripada yang lain. Rahasia yang diperoleh dengan nilai setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada orang lain? Aku akan merasa tak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ….”

Danqingsheng menukas, “Kau menemani aku minum dan dapat menebak asal usul arak anggur ini, jasamu sungguh sangat besar. Maka resep rahasia ini mau tidak mau harus kau dengarkan.”

Linghu Chong berkata, “Tuan Keempat sudi menemui diriku dan menyuguhkan minuman sebagus ini kepadaku, sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Aku mana boleh ….”

“Aku sendiri yang rela memberitahukan padamu, kau cukup mendengarkan saja,” Danqingsheng kembali menukas.

“Adik Feng, jangan kau tolak lagi maksud baik Tuan Keempat,” sahut Xiang Wentian.

“Betul, betul,” seru Danqingsheng tertawa. “Nah, aku akan mengujimu lagi. Apakah kau tahu usia arak anggur ini?”

Linghu Chong meneguk habis isi cawannya, lalu berkecap-kecap lagi. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata, “Arak anggur ini masih menyimpan sesuatu keanehan lain. Rasanya seperti sudah berusia seratus dua puluh tahun, tapi terasa pula seperti baru dua belas tahun. Di dalam rasanya yang tua seperti ada rasa yang baru, dan di dalam rasa yang baru seperti ada rasa yang tua. Dibandingkan dengan arak berumur seratus tahun yang lain, jelas anggur ini memiliki keunikan.”

Diam-diam Xiang Wentian mengerutkan kening dan berpikir, “Aduh, sekarang kau unjuk kebodohan. Antara seratus dua puluh tahun dan dua belas tahun jelas berbeda jauh. Mana bisa disejajarkan?” Ia khawatir ucapan Linghu Chong tadi jangan-jangan menyinggung perasaan Danqingsheng.

Di luar dugaan, orang tua itu justru tertawa terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang melambai-lambai. Ia berkata, “Saudaraku, kau memang benar-benar lihai. Memang di situlah letak rahasia resepku ini. Jago pedang Benua Barat yang bernama Moore Watson telah menghadiahkan sepuluh gentong Arak Anggur Turfan berumur seratus dua puluh tahun kepadaku. Untuk mengangkut kesepuluh gentong besar itu membutuhkan sepuluh kereta. Sampai di sini aku mengolahnya lagi, melakukan penyulingan dan peragian lagi. Arak anggur dari sepuluh gentong itu kucampur menjadi satu dalam gentong besar. Kalau dihitung memang kejadiannya sudah dua belas tahun yang lalu. Oleh karena itu, anggur ini mempunyai rasa yang aneh. Ada rasa baru dan ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, gentong telah diisi penuh tanpa ruang kosong sedikit pun sehingga isinya tidak sampai kocak. Dengan demikian tidak menimbulkan rasa masam pula.”

“Hah, ternyata begitu!” seru Xiang Wentian dan Linghu Chong bersamaan.

Linghu Chong menambahkan, “Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus pedang juga pantas. Apalagi Tuan Keempat cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, berarti Tuan sudah untung besar. Tapi aku yakin, ketiga jurus pedang Tuan pasti luar biasa dan lebih hebat dari sepuluh jurus pedang biasa.”

Xiang Wentian kembali berpikir, “Adikku ini ternyata tidak hanya pandai bermain pedang, tapi juga pandai bicara.” Rupanya ia tidak tahu kalau Linghu Chong memang pandai bersilat lidah, bahkan karena itu sering mendapat marah dari Yue Buqun, gurunya.

Danqingsheng terlihat bertambah senang. Ia berkata, “Saudara muda, kau ini benar-benar temanku yang mengerti isi hatiku. Dulu Kakak Pertama dan Kakak Ketiga menyalahkan perbuatanku yang telah menukar tiga jurus pedang dengan arak anggur, sehingga ilmu pedang Daratan Tengah kita yang hebat menjadi bocor dan tersiar ke Benua Barat. Kakak Kedua hanya tersenyum tanpa memberi komentar, tapi aku yakin dalam hati dia juga tidak setuju kepadaku. Sekarang aku bertemu denganmu yang ternyata mengerti betapa beruntungnya diriku dalam peristiwa itu. Bagus sekali! Sekarang mari kita minum lagi!” Ia hanya bersulang dengan Linghu Chong, dan tidak lagi memperhatikan Xiang Wentian karena dianggapnya kurang mengerti tentang seni minum arak.

Setelah minum satu cawan, Linghu Chong berkata, “Tuan Keempat, masih ada satu cara minum arak anggur, namun sayang saat ini sukar dilakukan.”

“Bagaimana caranya? Mengapa tidak bisa dilakukan?” tanya Danqingsheng cepat.

“Turfan adalah daerah yang sangat panas. Konon, pada zaman dahulu sewaktu Biksu Xuanzhang pergi ke India mencari kitab suci, ia melintasi Gunung Huoyan yang katanya terletak di daerah Turfan.”

“Benar sekali,” sahut Danqingsheng. “Tempat itu memang panasnya bukan main. Pada musim panas meskipun kau berendam dalam air dingin sepanjang hari tetap saja tidak dapat menahan hawanya yang panas. Sebaliknya, pada musim dingin hawa di sana justru menusuk tulang, dingin sekali. Tapi karena itulah arak anggur keluaran sana sangat istimewa.”

Linghu Chong berkata, “Waktu aku minum arak anggur di Kota Luoyang, kebetulan saat itu sedang musim dingin. Ahli arak temanku mengambil sepotong es dan menaruh cawan di atas potongan es itu. Setelah didinginkan dengan es, ternyata arak anggur mempunyai suatu rasa yang lain lagi. Sayang sekali saat ini adalah permulaan musim panas, sehingga tidak mungkin kita mendapatkan es untuk memperoleh rasa yang istimewa itu.”

“Waktu aku berada di Benua Barat juga sedang musim panas sehingga di sana sulit mendapatkan es. Namun Moore Watson juga bercerita kepadaku tentang kenikmatan arak anggur yang sudah didinginkan seperti kau katakan tadi,” kata Danqingsheng. “Ah, ini bukan perkara sulit. Adik, kau boleh tinggal di sini sampai setengah tahun lagi. Kalau musim dingin tiba, kita dapat menikmatinya bersama-sama.” Ia berhenti sejenak, lalu menyambung sambil mengerutkan dahi, “Tapi kalau harus menunggu selama itu, benar-benar membuat tidak sabar.”

Xiang Wentian ikut bicara, “Sayang sekali di daerah Jiangnan sini tidak ada pendekar yang memelajari ilmu semacam Tapak Es, Cakar Dingin, atau sebagainya. Kalau ada tentunya ….”

Belum habis ucapannya tiba-tiba Danqingsheng berteriak senang, “Aha! Ada, ada!” Ia kemudian menaruh gentong araknya dan melangkah keluar dengan penuh semangat.

Linghu Chong terheran-heran dan menoleh ke arah Xiang Wentian dengan penuh tanda tanya. Tapi Xiang Wentian hanya tersenyum saja tanpa bicara.

Tidak lama kemudian Danqingsheng telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua berpakaian hitam, bertubuh kurus tinggi sambil berkata, “Kakak Kedua, bagaimanapun kali ini kau harus membantu.”

Linghu Chong melihat orang tua tinggi kurus ini bermuka pucat seperti kertas, agak kehijau-hijauan sehingga mirip mayat hidup. Siapa saja yang melihatnya pasti merasa ngeri.

Danqingsheng memperkenalkan orang tua jangkung itu yang ternyata adalah majikan kedua Wisma Mei Zhuang, bernama Heibaizi. Namanya itu jelas bukan nama asli, tetapi semacam julukan yang bermakna “hitam putih”. Itu karena rambutnya yang hitam legam, sedangkan kulit badannya putih bersih.

Dengan sikap acuh tak acuh Heibaizi bertanya, “Membantu apa?”

“Tolong kau keluarkan kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini,” kata Danqingsheng.

“Ah, kepandaian yang tiada artinya seperti itu mana boleh dipamerkan kepada para jago. Bisa-bisa menjadi bahan tertawaan saja,” jawab Heibaizi.

“Kakak Kedua, aku tidak akan menutup-nutupi lagi,” kata Danqingsheng. “Saudara Feng ini mengatakan kalau arak anggur dari Turfan jika direndam dengan es akan menghasilkan rasa yang istimewa. Tapi di musim panas begini ke mana lagi harus mencari es?”

“Arak ini sudah wangi dan enak. Untuk apa harus didinginkan segala?” tanya Heibaizi.

Linghu Chong menyahut, “Turfan adalah tempat yang sangat panas ….”

Danqingsheng menukas, “Benar! Panas sekali!”

Linghu Chong melanjutkan, “Meskipun daerah itu menghasilkan arak anggur yang bagus, namun anggur dari sana juga mengandung hawa panas.”

Danqingsheng menambahkan, “Benar sekali. Itu memang wajar.”

Linghu Chong menyambung, “Hawa panas itu ikut meresap ke dalam arak anggur sehingga setelah seratus tahun sekalipun tetap meninggalkan rasa pedas. Hal ini sukar dihindari.”

Danqingsheng menanggapi, “Benar sekali, benar sekali! Kalau saja Adik Feng tidak bicara, mana aku tahu soal ini? Tadinya aku mengira hal ini disebabkan oleh api yang terlalu besar saat menyuling arak. Sampai-sampai aku terlanjur menyalahkan si tukang masak istana itu.”

Linghu Chong bertanya, “Tukang masak istana apa?”

Danqingsheng menjawab sambil tersenyum, “Aku khawatir ada kesalahan dalam penyulingan sehingga bisa merusak mutu arak anggur bagus ini. Maka, aku pun pergi ke istana Beijing dan menangkap tukang masak kaisar. Kemudian dia kusuruh membuat api untuk menyuling arak.”

Xiang Wentian menanggapi, “Ternyata begitu. Kalau pendekar biasa yang minum arak panas dan pedas seperti ini tentu tidak menjadi masalah. Namun, Tuan Kedua dan Tuan Keempat hidup menyepi di tepi Danau Xihu yang indah permai ini tanpa memedulikan urusan duniawi lagi, tentunya tidak dapat disamakan dengan orang-orang kasar dunia persilatan. Kalau arak anggur ini didinginkan dan hilang hawa panasnya, barulah sesuai dengan Tuan berdua sebagai jago-jago berkedudukan tinggi. Sama seperti dalam bermain catur, hanya mengandalkan kekuatan saja adalah permainan kelas rendah. Sedangkan permainan catur kaum papan atas tentu melibatkan jiwa dan pikiran ….”

Belum selesai ia berkata tahu-tahu bahunya sudah dicengkeram Heibaizi dengan mata terbelalak, yang kemudian bertanya dengan cepat, “Kau juga mahir main catur?”

Xiang Wentian menjawab, “Seumur hidup aku paling gemar main catur. Sayang sekali, bakatku kurang dan kemampuanku rendah. Sebab itulah aku berkelana melewati utara dan selatan Sungai Yangtze, juga ke hulu dan hilir Sungai Kuning demi mencari kitab-kitab catur. Selama tiga puluhan tahun terakhir permainan catur yang terkenal dari zaman dahulu tidak sedikit yang telah kuketahui dengan baik.”

“Permainan catur apa saja yang telah kau pahami?” tanya Heibaizi bersemangat.

Xiang Wentian menjawab, “Cukup banyak. Misalnya, permainan yang disaksikan Wang Zhi ketika bertemu dewa di atas Gunung Tangkai Busuk; permainan antara Liu Zhongfu waktu bertanding melawan nenek dewi di Pegunungan Lishan; juga permainan antara mertua dan menantu siluman rubah yang didengar Wang Jixin ….”

“Ah, dongeng seperti itu mana bisa dipercaya?” tukas Heibaizi sambil menggeleng-geleng kecewa dan kemudian melepaskan cengkeramannya dari bahu Xiang Wentian. “Lagipula mana ada kitab catur yang ditulis berdasarkan pada dongeng-dongeng begitu?”

“Dahulu aku juga mengira kejadian-kejadian itu hanyalah dongeng belaka,” kata Xiang Wentian. “Tapi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu aku melihat sendiri ada kitab catur bergambar yang menceritakan permainan Liu Zhongfu melawan si nenek dewi dari Gunung Lishan. Langkah-langkahnya sungguh hebat. Orang biasa mana bisa membuatnya? Mau tidak mau aku jadi percaya cerita itu bukan cuma dongeng. Apakah Tuan juga gemar main catur?”

“Hahahaha!” Danqingsheng terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang ikut melambai.

Xiang Wentian bertanya, “Mengapa Tuan Keempat tertawa?”

Danqingsheng menjawab, “Kau bertanya kakak keduaku apakah gemar main catur atau tidak? Hahaha, Kakak Kedua bergelar Heibaizi, Si Hitam Putih. Dari namanya saja sudah ketahuan dia gemar catur atau tidak. Ketahuilah, Kakak Kedua mencintai catur seperti aku mencintai arak.”

“Oh, aku telah sembarangan mengoceh di hadapan kaum ahli, laksana pamer kapak di hadapan Lu Ban. Mohon Tuan Kedua sudi memaafkan,” kata Xiang Wentian.

Heibaizi menyahut, “Apa benar kau pernah melihat sendiri kitab bergambar tentang permainan catur antara Liu Zhongfu melawan nenek dewi Gunung Lishan itu? Aku hanya mengetahui dari kitab kuno. Konon, pada zaman itu Liu Zhongfu menyombongkan diri sebagai juara catur yang tiada tandingannya. Tapi di Gunung Lishan ia dikalahkan habis-habisan oleh seorang nenek petani, sampai muntah darah karena sedih. Maka, kitab catur itu disebut sebagai ‘Kitab Muntah Darah’. Memangnya di dunia ini benar-benar ada Kitab Muntah Darah?” Jika tadi ia masuk ruangan dengan wajah acuh tak acuh, kini ia terlihat begitu bersemangat.

Xiang Wentian menjawab, “Ya, dua puluh lima tahun silam aku pernah melihat sendiri kitab bergambar itu di sebuah keluarga kuno milik keluarga bangsawan di Kota Chengdu, daerah Sichuan. Karena permainan yang dilukis dalam kitab itu sungguh mengesankan, sampai sekarang aku masih ingat seluruhnya. Sebanyak seratus dua belas langkah dapat kuingat semua satu per satu.”

“Seratus dua belas langkah?” Heibaizi menegas, “Tolonglah kau susun untukku supaya aku juga bisa melihatnya. Mari, mari ikut ke ruanganku untuk menyusun biji catur di sana.”

Danqingsheng segera merentangkan tangan untuk menghalangi mereka. Ia berkata, “Tunggu dulu! Kakak Kedua, kau tidak akan kubiarkan pergi sebelum membuatkanku es.” Usai berkata ia lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang dipenuhi air bersih.

“Adik Keempat memang kurang waras, apa boleh buat?” ujar Heibaizi menghela napas. Segera ia mencelupkan ibu jari tangan kanan ke dalam air baskom itu. Dalam sekejap dari permukaan air muncul uap putih tipis. Tak lama kemudian, dinding baskom itu telah diliputi oleh selapis es, lalu di permukaan air juga muncul kepingan-kepingan es tipis yang makin lama makin tebal. Akhirnya, seluruh air di dalam baskom itu telah berubah menjadi es batu.

Xiang Wentian dan Linghu Chong bersorak memuji. Xiang Wentian berkata, “Jurus Jari Angin Hitam yang luar biasa ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan. Ternyata Tuan Kedua ….”

“Itu bukan jurus Jari Angin Hitam, tapi jurus Jari Langit Sakti. Lebih hebat lagi!” tukas Danqingsheng. Sambil berkata ia lantas menaruh empat cawan di atas es batu tersebut, lalu menuangkan arak anggur ke dalam cawan-cawan itu.

Tidak lama kemudian, dari cawan-cawan itu mulai mengepul uap dingin. Linghu Chong segera berseru, “Sudah cukup!”

Danqingsheng mengambil satu cawan dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Benar juga, arak itu terasa matang dan lezat, sama sekali tidak berbau dan sangat menyegarkan, membuat pikiran menjadi tenang. “Bagus sekali!” soraknya memuji. “Aku pandai membuat arak, Adik Feng pandai mencicipi, Kakak Kedua pandai membuat es, dan kau … kau ….” ia berpaling kepada Xiang Wentian kemudian tertawa, “kau pandai menanggapi ke sana dan kemari.”

Orang tua itu kemudian membalik keempat cawan itu, dan segera menaruh baskom porselen berisi es batu tadi di atasnya, sambil berkata, “Hawa dingin mengalir dari atas ke bawah. Dengan cara ini, hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat.”

Linghu Chong menjawab, “Memang hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat. Namun dengan cara ini, cawan akan dingin seluruhnya, sehingga mutu arak yang dihasilkan tidak memadai untuk disebut kelas satu. Kalau hawa es menembus dari bawah ke atas, maka dalam arak akan terdapat beberapa lapis suhu yang berlainan. Kita akan dapat merasakan kenikmatan arak anggur yang berbeda-beda dalam satu cawan.”

Danqingsheng kagum mendengar uraian Linghu Chong tentang seni minum arak yang begitu mendalam. Ia kemudian mencicipi arak yang sekarang, ternyata rasanya memang berbeda dengan yang dihasilkan dari cara pertama tadi.

Heibaizi juga ikut minum arak anggur namun tanpa peduli rasanya enak atau tidak. Ia kemudian menarik lengan Xiang Wentian dan berkata, “Ayo ke kamarku! Susunlah permainan dalam Kitab Tumpah Darah Liu Zhongfu itu supaya aku bisa melihatnya.”

Xiang Wentian juga lantas menarik lengan baju Linghu Chong. Linghu Chong paham maksudnya, dan segera berkata, “Aku ingin melihat juga!”

Danqingsheng berusaha mencegah, “Apa bagusnya? Lebih enak kita berdua minum arak di sini saja.”

“Kita bisa minum arak sambil melihat permainan catur,” ujar Linghu Chong sambil melangkah di belakang Heibaizi dan Xiang Wentian. Tiada pilihan lain, Danqingsheng terpaksa membawa gentong araknya dan ikut menyusul ke ruang catur.

Ruangan yang dimaksudkan itu sangat luas namun kosong melompong, kecuali di tengahnya terdapat sebuah meja batu dan dua buah kursi empuk. Di atas meja batu itu terukir sembilan belas garis yang membujur dan melintang membentuk semacam papan catur. Pada kedua sisi meja terdapat masing-masing satu kotak biji catur, yang satu berwarna putih dan yang satu lagi berwarna hitam. Ruangan tersebut sengaja tidak diisi barang-barang lain supaya tidak mengganggu konsentrasi orang yang bermain catur.

Tanpa bicara Xiang Wentian melangkah mendekati meja batu itu. Ia mengambil empat biji dan masing-masing ditaruh pada keempat titik sudut papan catur yang disebut ping, shang, qu, dan ru. Kemudian ia mengambil satu biji putih dan menaruhnya pada titik enam-tiga “pingbu”, lalu satu biji hitam pada titik sembilan-tiga. Setelah itu pada titik enam-lima ditaruhnya sebuah biji putih, dan pada titik sembilan-lima ditaruhnya sebuah biji hitam, begitu seterusnya tanpa berhenti sampai papan catur tersebut penuh.

Biji hitam dan biji putih yang dimainkan Xiang Wentian tampak bertarung dengan sengit. Kedua pihak sama sekali tidak pernah salah melangkah. Heibaizi menyaksikan permainan tersebut dengan seksama. Dahinya terlihat basah oleh keringat dingin yang bercucuran.

Diam-diam Linghu Chong terheran-heran. Tadi ia melihat sendiri bagaimana Heibaizi secara acuh tak acuh mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat mengubah air menjadi es dalam baskom. Sebaliknya, hanya melihat permainan catur saja, ternyata bisa membuatnya bercucur keringat. Sepertinya Xiang Wentian mengetahui kegemaran orang tua itu dan berhasil memanfaatkannya dengan baik.

“Apa sebenarnya hubungan antara tabib hebat itu dengan para majikan ini?” demikian Linghu Chong berpikir.

Setelah langkah keenam puluh enam, Xiang Wentian tidak lagi menaruh lagi biji caturnya untuk beberapa lama. Heibaizi menjadi tidak sabar dan segera bertanya, “Bagaimana langkah selanjutnya?”

“Di sinilah kunci permainannya,” sahut Xiang Wentian. “Bagaimana menurut pendapat Tuan Kedua?”

Heibaizi berpikir cukup lama kemudian menggumam sendiri, “Langkah ini … ya, memang agak repot. Biji catur yang mana, ya? Kalau Duan tidak tepat, Lian juga tidak benar, Chong tidak bisa dijalankan, Huo juga tidak dapat. Wah, ini … ini ….” Tangannya memegang satu biji putih dan hanya diketuk-ketukkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai sekian lama tetap tidak tahu harus dijalankan ke mana.

Sementara itu, Danqingsheng dan Linghu Chong masing-masing sudah menghabiskan tujuh atau delapan belas cawan anggur sambil menonton.

Melihat wajah Heibaizi makin lama makin menghijau, Danqingsheng pun berkata, “Saudara Tong, apakah dengan Kitab Muntah Darah kau ingin membuat Kakak Kedua benar-benar muntah darah? Lekas kau katakan saja bagaimana langkah selanjutnya.”

“Baiklah,” jawab Xiang Wentian. “Langkah keenam puluh tujuh adalah seperti ini.” Ia kemudian menaruh sebuah biji pada titik tujuh-empat “sangbu”.

Heibaizi memukul keras-keras pahanya sambil berseru, “Bagus! Semua langkah tidak bagus, sedangkan yang paling bagus adalah langkah ‘tuo xian ta tou’ ini! Kalau biji catur ini ditaruh di sini, memang sangat bagus!”

“Langkah ini memang sangat bagus, dan inilah yang dilakukan Liu Zhongfu kala itu,” ujar Xiang Wentian sambil tersenyum. “Namun langkah ini hanyalah langkah seorang juara catur manusia biasa, tentu jauh bila dibandingkan dengan langkah ajaib nenek dewi Gunung Lishan itu.”

“Bagaimana langkah ajaib nenek dewi itu? Coba tunjukkan!” desak Heibaizi.

“Silakan Tuan Kedua memikirkannya,” kata Xiang Wentian.

Heibaizi kembali memeras otak. Namun sampai sekian lama ia merasa posisi sudah tidak menguntungkan, bagaimanapun sukar untuk balas menyerang. Sambil menggeleng, ia kemudian berkata, “Langkah ini adalah langkah dewa, manusia biasa seperti kita mana bisa memikirkannya? Saudara Tong, tolong kau jangan membuatku semakin penasaran.”

“Langkah ajaib ini memang hanya dapat dipikirkan oleh kaum dewa,” kata Xiang Wentian dengan tertawa.

Sebagai seorang pemikir, sudah tentu Heibaizi mahir menjajaki pikiran lawan. Melihat sikap Xiang Wentian yang tidak suka berterus terang itu, diam-diam ia menduga pasti ada maksud tertentu di balik itu semua. Maka ia pun berkata, “Saudara Tong, tolong katakan kepadaku bagaimana langkah ajaib itu. Aku jamin tidak akan menerima dengan cuma-cuma.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Jangan-jangan Kakak Xiang sengaja berbelit-belit karena tahu ilmu Jari Langit Sakti milik Tuan Kedua bisa menyembuhkan penyakitku?”

Di luar dugaan Xiang Wentian justru mendongak dan bergelak tawa, kemudian berkata, “Aku dan Adik Feng sama sekali tidak ingin meminta imbalan apa-apa dari keempat majikan. Jika Tuan Kedua berkata seperti tadi, itu berarti memandang rendah terhadap kami berdua.”

“Mohon maaf, aku telah bicara sembarangan!” kata Heibaizi sambil menunduk dan memberi hormat.

Sambil membalas hormat, Xiang Wentian berkata, “Kedatangan kami berdua ke Wisma Mei Zhuang sebenarnya hendak bertaruh dengan keempat majikan.”

“Bertaruh sesuatu?” Heibaizi dan Danqingsheng bertanya serentak. “Bertaruh apa?”

“Begini,” kata Xiang Wentian. “Aku bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng ini.”

Heibaizi dan Danqingsheng serentak berpaling ke arah Linghu Chong. Wajah Heibaizi tampak acuh tak acuh, sedangkan Danqingsheng bergelak tawa kemudian bertanya, “Apa yang menjadi taruhanmu?”

“Jika kami kalah,” kata Xiang Wentian, “maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Tuan Keempat.”

Sambil berbicara ia lantas membuka bungkusan yang sejak tadi terikat di punggungnya. Ternyata bungkusan itu berisi dua buah gulungan. Gulungan pertama dibuka, berisi sebuah lukisan kuno yang ditandatangani pelukisnya menggunakan kalimat “Para Musafir di antara Gunung dan Sungai oleh Fan Zhongli dari Dinasti Song Utara”. Lukisan itu adalah lukisan pemandangan sebuah gunung yang menjulang tinggi menembus awan. Goresannya tajam, warnanya indah, dan gambar gunung terlihat megah. Meskipun tidak paham seni lukis, Linghu Chong langsung mengetahui kalau lukisan itu adalah mahakarya yang hebat. Ia dapat melihat pemandangan gunung yang diselimuti pepohonan tersebut seperti hidup. Meskipun hanya lukisan di atas kertas, namun ia bagaikan melihat secara langsung sebuah gunung yang benar-benar tinggi menjulang.

Danqingsheng berteriak, “Aiiih!” Pandangannya sama sekali tidak bergeser dari lukisan itu. Sampai agak lama barulah ia berkata, “Ini benar-benar lukisan asli Fan Kuan dari zaman Dinasti Song Utara. Dari … dari mana kau mendapatkannya?”

Xiang Wentian hanya tersenyum tanpa menjawab. Perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.

“Nanti dulu!” seru Danqingsheng sambil menjulurkan tangan dengan maksud untuk mencegah supaya lukisan itu jangan digulung. Tak disangka, baru saja tangannya menyentuh lengan Xiang Wentian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat mengalir keluar dan menolak tangannya dengan halus. Meskipun demikian, Xiang Wentian terlihat tenang-tenang saja dan masih tetap menggulung lukisan.

Saat menjulurkan tangan tadi, Danqingsheng sama sekali tidak menggunakan tenaga dalam karena takut merobek lukisan kuno tersebut. Begitu mendapat penolakan halus dari Xiang Wentiang, ia baru sadar kalau tamunya itu ternyata begitu kuat, jelas-jelas tenaga dalam papan atas. Diam-diam ia sangat kagum karena yakin Xiang Wentian belum mengeluarkan semua kemampuannya. Maka, pria berjanggut panjang itu kemudian berkata, “Saudara Tong, ternyata ilmu silatmu sedemikian hebat. Jangan-jangan tidak kalah dariku.”

“Ah, Tuan Keempat suka bercanda,” ujar Xiang Wentian. “Kecuali ilmu pedang, keempat majikan di sini memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Aku, Tong Huajin hanyalah seorang keroco biasa, mana berani dibandingkan dengan Tuan Keempat?”

Raut muka Danqingsheng berubah masam. Ia berkata, “Mengapa kau mengatakan ‘selain ilmu pedang’? Memangnya ilmu pedangku tidak masuk hitungan?”

Xiang Wentian hanya tersenyum, lalu berkata, “Bagaimana jika Tuan Kedua melihat kaligrafi ini?”

Kali ini ia membuka gulungan yang lain, ternyata sebuah kaligrafi yang ditulis dengan huruf seperti rumput, atau corat-coret belaka, namun dengan goresan yang terlihat hidup seperti naga dan ular.

“Hei, hei, hei!” Danqingsheng berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia berteriak, “Kakak Ketiga! Kakak Ketiga! Ini dia harta karun terbesar seumur hidupmu ada di sini!”

Suara teriakannya ini sungguh keras sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir juga berhamburan dari atap. Karena jeritan yang tiba-tiba itu, Xiang Wentian dan Linghu Chong ikut terkejut dibuatnya.

Maka terdengarlah dari seseorang berseru dari kejauhan, “Ada apa teriak-teriak?”

“Kakak Ketiga,” seru Danqingsheng, “jika kau tidak segera datang, sebentar lagi orang ini akan menyimpan kembali barangnya dan kau pasti akan menyesal seumur hidup.”

“Ah, kau pasti menemukan kaligrafi palsu lagi, bukan?” kata orang di luar kamar itu. Tahu-tahu suaranya kini sudah berada di dekat pintu.

Begitu tirai pintu disingkap, masuklah seorang bertubuh pendek gemuk, dengan kepala botak licin tanpa sehelai rambut pun. Tangan kanannya tampak memegang sebuah pena besar, sedangkan bajunya berlumuran bercak-bercak tinta hitam.

Begitu ia mendekat, tiba-tiba matanya melotot dan napas pun terengah-engah. Dengan suara gemetar orang itu berkata, “Haah, ini asli! Ini … benar … benar-benar tulisan Zhang Xu dari zaman Dinasti Tang. Ini benar-benar Kitab Sesuka Hati! Tidak mungkin … tidak mungkin palsu!”

Kaligrafi tersebut bergaya caoshu, yaitu dibuat dengan corat-coret cepat yang terlihat sangat bebas dan berani, bagaikan seorang pendekar sedang menerahkan ilmu ringan tubuh, melompat tinggi dan merunduk rendah, dengan gerak-gerik yang gesit dan lincah, namun tetap anggun. Linghu Chong sendiri paling banyak hanya mengenali satu di antara kesepuluh huruf dalam kaligrafi tersebut, namun pada bagian akhir tulisan terdapat banyak stempel, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarang kaligrafi.

Danqingsheng berkata, “Ini adalah Kakak Ketiga Tubiweng alias Si Kakek Pena Gundul. Ia mendapat julukan demikian karena sangat mencintai seni kaligrafi, sehingga beribu-ribu pena telah dipakainya sampai gundul. Jadi, bukan karena kepalanya yang botak. Hal ini perlu diterangkan supaya tidak ada salah paham.”

“Ya, ya,” jawab Linghu Chong sambil tertawa.

Tubiweng menggerakkan pena di tangan kanan seolah menggores di udara naik-turun mengikuti contoh tulisan pada Kitab Sesuka Hati itu. Tingkah lakunya seperti orang linglung, sama sekali ia tidak peduli pada Xiang Wentian dan Linghu Chong yang berada di situ. Bahkan ucapan Danqingsheng tadi juga tidak dihiraukan olehnya.

Linghu Chong sendiri sedang memikirkan sesuatu, “Siasat Kakak Xiang ini apakah sudah direncanakan sejak lama? Saat pertama kali bertemu dengannya di gardu waktu itu, memang di punggungnya terdapat bungkusan. Tapi, apakah mungkin kedua gulungan lukisan dan kaligrafi ini berada di dalam bungkusan itu?” Sejenak kemudian ia menemukan jawaban, “Mungkin Kakak Xiang mendapatkan kedua gulungan tersebut sewaktu aku beristirahat di penginapan. Demi memohon supaya keempat majikan di Wisma Mei Zhuang ini supaya menyebuhkan penyakitku, dia sengaja membeli atau mungkin mencuri kedua benda tersebut. Ah, kemungkinan besar Kakak Xiang telah mencurinya. Harta karun yang tak ternilai harganya seperti itu mana mungkin ada toko yang menjualnya?”

Gerakan pena Tubiweng terdengar bersuara mendesir-desir lirih. Tenaga dalamnya jelas tidak kalah dibanding Heibaizi. Linghu Chong kembali berpikir, “Penyakitku ini akibat perbuatan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Namun tenaga dalam ketiga majikan ini agaknya lebih tinggi daripada mereka semua. Bisa jadi kakak pertama mereka juga jauh lebih hebat. Kalau ditambah dengan Kakak Xiang, tentu mereka dapat bergabung menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang tenaga dalam saat mengobatiku.”

Sebelum Tubiweng selesai mencorat-coret di udara meniru kaligrafi Kitab Sesuka Hati tersebut, mendadak Xiang Wentian menggulung dan menyimpannya kembali ke dalam bungkusan.

Tubiweng memandang bingung kepada Xiang Wentian. Sampai agak lama barulah ia bertanya, “Hendak kau tukar dengan apa?”

Xiang Wentian menggeleng, dan menjawab, “Tidak akan kutukar dengan apa pun.”

“Bagaimana dengan dua puluh delapan jurus ilmu menotok dengan pena Genderang Batu?” demikian Tubiweng memberi penawaran.

“Tidak boleh!” serentak Heibaizi dan Danqingsheng berseru.

“Boleh saja, mengapa tidak?” sahut Tubiweng. “Jika aku bisa memperoleh tulisan asli Zhang Xu ini, maka kitab dua puluh delapan jurus totokan Genderang Batu boleh dikata tidak ada artinya lagi.”

Tapi Xiang Wentian tetap menggeleng dan berkata, “Tidak bisa!”

“Jika begitu mengapa kau perlihatkan tulisan itu kepadaku?” tanya Tubiweng agak heran.

“Ya, anggaplah aku yang salah. Anggap saja Tuan Ketiga tidak pernah melihatnya,” ujar Xiang Wentian.

“Sudah dilihat, mana boleh dianggap tidak pernah melihat?” balas Tubiweng.

“Apakah Tuan Ketiga benar-benar ingin memiliki kaligrafi asli Zhang Xu ini?” tanya Xiang Wentian, “Sebenarnya tidak susah. Tuan Ketiga cukup bertaruh dengan kami saja.”

“Bertaruh apa?” tanya Tubiweng cepat.

“Kakak Ketiga,” sahut Danqingsheng menanggapi, “orang ini sepertinya agak sinting. Dia bertaruh bahwa di dalam Wisma Mei Zhuang ini tidak ada yang mampu menandingi ilmu pedang Adik Feng dari Perguruan Huashan itu.”

“Kalau ada orang yang mampu mengalahkannya, bagaimana?” tanya Tubiweng.

“Tidak peduli siapa pun dia, kalau di dalam Wisma Mei Zhuang ini ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka aku akan mempersembahkan kaligrafi Kitab Sesuka Hati ini kepada Tuan Ketiga, dan menghadiahkan lukisan asli Fan Kuan berjudul Para Musafir di Antara Gunung dan Sungai tadi kepada Tuan Keempat, juga akan kutuliskan satu per satu kedua puluh permainan catur para dewa kepada Tuan Kedua.”

“Bagaimana dengan kakak pertama kami? Apa yang akan kau berikan kepadanya?” tanya Tubiweng.

Xiang Wentian menjawab, “Untuk Tuan Pertama, aku punya sebuah naskah kecapi kuno berjudul Guangling San.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya. Ia berpikir, “Naskah Guangling San digali Tetua Qu Yang dari makam kuno, dan iramanya dimasukkan ke dalam lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Mengapa sekarang ada di tangan Kakak Xiang?” Tiba-tiba ia sadar dan mendapat jawaban, “Ah, aku tahu! Kakak Xiang dan Tetua Qu sama-sama pemuka Sekte Iblis. Kemungkinan mereka berteman baik. Sepertinya Tetua Qu sangat gembira setelah menemukan naskah Guangling San dan menceritakannya kepada Kakak Xiang. Bisa jadi Kakak Xiang telah meminjam dan menyalin naskah tersebut, sementara Tetua Qu tidak merasa keberatan.” Ketika teringat naskah tersebut masih ada, sedangkan orang yang telah menemukannya kini tiada, membuat Linghu Chong menghela napas panjang.

Tubiweng menanggapi, “Sejak kematian Ji Kang, lagu Guangling San sudah tidak ada lagi di dunia ini. Perkataan Saudara Tong sepertinya mengandung kebohongan.”

Xiang Wentian menjawab dengan tersenyum, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tergila-gila pada musik kecapi. Ia pernah bercerita bahawa setelah kematian Ji Kang, memang lagu Guangling San ikut punah dari muka bumi. Ji Kang sendiri meninggal pada zaman Dinasti Jin Barat, dan sejak saat itu lagu ini dilupakan orang. Namun, bagaimana dengan zaman sebelum Dinasti Jin Barat?”

Tubiweng dan kedua saudaranya saling pandang. Untuk sesaat mereka tidak mengerti maksud perkataan tersebut.

Xiang Wentian melanjutkan, “Sahabatku itu sangat cerdas, juga pemberani. Demi menemukan naskah Guangling San, ia menggali puluhan makam ahli kecapi kuno sebelum zaman Dinasti Jin. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Akhirnya ia menemukan naskah ini pada makam Cai Yong dari Dinasti Han Timur.”

Tubiweng dan Danqingsheng berseru kaget, sedangkan Heibaizi mengangguk-angguk perlahan sambil memuji, “Benar-benar cerdas dan berani!”

Xiang Wentian membuka bungkusannya dan mengeluarkan sebuah kitab tipis yang pada sampulnya bertuliskan “Naskah Kecapi Guangling San”. Dengan santai ia membolak-balik halaman pada naskah tersebut, dan isinya memang benar-benar naskah not kecapi. Ia kemudian memberikan kitab itu kepada Linghu Chong, sambil berkata, “Adik Feng, kalau di Wisma Mei Zhuang ini ada orang yang bisa mengalahkan ilmu pedangmu, tolong kau serahkan naskah kuno ini kepada Tuan Pertama.”

Linghu Chong menerima kitab itu dan memasukkannya ke balik baju, sambil terus-menerus berpikir, “Mungkin kitab ini bukan salinan, tetapi kitab asli yang ditinggalkan Tetua Qu. Karena Tetua Qu sudah meninggal, maka tidak sulit bagi Kakak Xiang untuk mengambil kitab ini.”

Danqingsheng lantas menyela dengan tertawa, “Adik Feng ini mahir seni minum arak, tentu ilmu pedangnya juga sangat lihai. Hanya saja, ia masih sangat muda. Apa benar di dalam Wisma Mei Zhuang kami ini …. Hehe, sungguh menggelikan.”

Sebelumnya Linghu Chong telah berjanji kepada Xiang Wentian akan menuruti segala apa yang diatur oleh kakak angkatnya itu. Namun sampai di sini suasana berubah menjadi tegang. Ia merasa ucapan Xiang Wentian tadi sudah keterlaluan. Kunjungan ke Wisma Mei Zhuang adalah dalam rangka mencari kesembuhan, mengapa justru menantang dan merendahkan pihak tuan rumah? Lagipula dengan tenaga dalam yang sudah musnah, bagaimana bisa menghadapi kehebatan empat sesepuh itu? Berpikir demikian membuat pemuda itu berkata, “Ah, Kakak Tong memang suka bercanda. Aku masih hijau dan kurang pengalaman, mana bisa dibandingkan dengan keempat majikan yang berilmu tinggi?”

Xiang Wentian tertawa dan menyambung, “Kata-kata yang rendah hati memang perlu diucapkan. Kalau tidak, tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong.”

Tubiweng sepertinya tidak ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua. Ia menggumam sendiri, “Dengan tiga cawan arak, Zhang Xu menjadi Dewa Caoshu, membuka topi di hadapan para bangsawan, mengayunkan kuas di atas kertas, bagai mega dan kabut. Kakak Kedua, kutipan tadi adalah pujian untuk Zhang Xu yang ditulis oleh Du Yu dalam puisinya yang berjudul ‘Lagu Delapan Dewa Mabuk’ dari zaman Dinasti Tang. Zhang Xu memang salah satu dari Delapan Dewa Mabuk. Kau sudah melihat Kitab Sesuka Hati tadi, tentunya kau bisa membayangkan bagaimana keadaannya saat mengayukan kuasnya dalam keadaan mabuk berat. Aih, benar-benar seperti kuda sembrani yang terbang di angkasa tanpa bisa dikekang. Sungguh tulisan yang indah! Tulisan yang indah!”

Danqingsheng menyahut, “Benar. Orang itu suka minum, tentu dia seorang yang hebat. Kaligrafinya tentu tidak jelek.”

Tubiweng melanjutkan, “Penyair Han Yu juga menulis tentang Zhang Xu, ‘Rasa girang, murka, malu, gelisah, khawatir, sedih, gembira, nyaman, benci, kagum, mabuk berat, dan bosan. Apa pun yang menggerakkan hatinya, akan diungkapkannya melalui kaligrafi caoshu, bagai mengayunkan pedang.’ Betapa menyenangkan!” Ia kembali menggerakkan tangan untuk menulis di udara. Setelah menulis beberapa huruf, pria berkepala botak itu berkata kepada Xiang Wentian, “Hei, coba kau buka lagi supaya aku bisa melihatnya!”

Xiang Wentian menggeleng sambil tersenyum, “Asalkan Tuan Ketiga bisa menang, tentu kaligrafi ini menjadi milik Tuan. Sekarang hendaknya jangan terburu-buru.”

Sebagai ahli catur, Heibaizi selalu berpikir dengan hati-hati. Sebelum memikirkan kemenangan, lebih dulu ia memperhitungkan kekalahan. Maka ia pun bertanya, “Jika di dalam Wisma Mei Zhuang kami ini benar-benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Saudara Feng, lantas apa yang harus kami serahkan?”

“Kami datang ke Wisma Mei Zhuang ini bukan untuk meminta suatu benda atau mohon bantuan atas suatu urusan,” jawab Xiang Wentian. “Adik Feng hanya ingin menambah kehebatan ilmu pedangnya dengan saling belajar bersama para jago sakti saat ini. Jika kami beruntung bisa menang, maka kami akan mohon diri tanpa meminta barang taruhan apa pun.”

“Oh, jadi Saudara Feng ini hanya ingin mencari nama saja?” tanya Heibaizi. “Kalau dia bisa mengalahkan Empat Sekawan dari Jiangnan, tentu namanya akan tersohor di dunia persilatan.”

“Tuan Kedua jangan salah sangka,” kata Xiang Wentian sambil menggeleng. “Dalam pertandingan di Wisma Mei Zhuang kali ini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu kata saja dibocorkan ke luar, biarlah kami berdua mati tak terkubur, menjadi manusia yang terkutuk dan rendah melebihi kotoran anjing.”

“Bagus, bagus!” seru Danqingsheng. “Ucapanmu patut dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah di sini saja aku bertanding sejurus-dua jurus dengan Adik Feng. Mana pedangmu, Adik Feng?”

Xiang Wentian menanggapi sambil tersenyum, “Kami menghormati Tuan berempat. Datang ke Wisma Mei Zhuang mana kami berani membawa senjata?”

Segera Danqingsheng berteriak keras, “Ambilkan dua pedang!”

Terdengar suara orang mengiakan di luar. Tak lama kemudian datanglah Ding Jian dan Shi Lingwei yang masing-masing membawa sebilah pedang untuk diserahkan kepada Danqingsheng.

Danqingsheng mengambil pedang di tangan Ding Jian, kemudian berkata kepada Shi Lingwei, “Yang itu berikan kepadanya!”

“Baik!” jawab Shi Lingwei yang kemudian berjalan ke arah Linghu Chong sambil memegang pedang itu dengan kedua tangan.

Linghu Chong merasa rikuh. Ia kemudian berpaling ke arah Xiang Wentian. Xiang Wentian berkata kepadanya, “Adik Feng, ilmu pedang Tuan Keempat sangat lihai. Asalkan dapat belajar sejurus-dua jurus saja sudah sangat bermanfaat besar bagimu.”

Meski dalam hati tidak ingin bertanding, Linghu Chong merasa tidak punya pilihan lain. Terpaksa ia pun mengulurkan tangan menyambut pedang yang diberikan Shi Lingwei.

Tiba-tiba Heibaizi berkata, “Tunggu dulu, Adik Keempat! Saudara Tong ini bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Saudara Feng. Ding Jian adalah anggota wisma ini dan juga pintar bermain pedang. Rasanya Adik Keempat tidak perlu turun tangan.”

Sebagai pemikir hebat, Heibaizi bisa membaca gelagat Xiang Wentian yang terlihat penuh percaya diri. Untuk itu, Ding Jian dipersilakan bertanding lebih dulu melawan Linghu Chong. Meskipun Ding Jian memiliki ilmu pedang yang hebat, namun ia hanya seorang pelayan. Jika nanti ia kalah juga tidak akan merugikan nama baik Wisma Mei Zhuang. Selain itu, Ding Jian juga bisa digunakan untuk menguji sehebat apa ilmu pedang laki-laki yang mengaku bernama Feng Erzhong tersebut.

Xiang Wentian menanggapi, “Benar, benar. Asalkan ada orang di dalam Wisma Mei Zhuang ini yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka kami akan mengaku kalah. Memang tidak perlu keempat majikan harus maju sendiri. Saudara Ding ini terkenal memiliki ilmu pedang yang gencar dan ganas, jarang ada bandingannya di dunia. Nah, Adik Feng, tiada jeleknya jika kau berkenalan dulu dengan Si Pedang Kilat Satu Kata.”

Danqingsheng tertawa dan melemparkan pedangnya kepada Ding Jian, kemudian berkata, “Awas, jika kau kalah akan kuhukum mengambilkan Arak Anggur dari Turfan.”

Ding Jian membungkuk memberi hormat sambil menangkap pedang itu. Ia kemudian berkata kepada Linghu Chong, “Si marga Ding mohon petunjuk dari Tuan Feng!” Segera ia mendahului melolos pedangnya.

Linghu Chong juga lantas menghunus pedangnya, sedangkan sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu.

Xiang Wentian berkata, “Tuan-tuan sekalian, juga Saudara Ding, kita harus tentukan peraturan. Pertandingan ini hanya mengadu keterampilan jurus pedang saja. Tidak perlu mengerahkan tenaga dalam sama sekali.”

“Ya, tentu saja. Kedua pihak tahu kapan harus berhenti,” sahut Heibaizi.

Xiang Wentian melanjutkan, “Adik Feng, kau tidak boleh mengeluarkan tenaga dalam sedikit pun. Pertandingan ini hanya melulu ilmu pedang. Siapa yang melancarkan jurus-jurus bagus yang dianggap menang, yang teledor dinyatakan kalah. Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan terkenal di dunia persilatan. Jika kau menang karena menggunakan tenaga dalam, kita bisa dianggap kalah.”

Dalam hati Linghu Chong tertawa geli memuji kepandaian Xiang Wentian bersandiwara. Ia pun menjawab, “Kalau aku sampai mengeluarkan tenaga dalam, maka hanya akan menjadi bahan tertawaan ketiga majikan dan Saudara Ding, juga Saudara Shi. Sudah tentu aku sama sekali tidak berani menggunakannya.”

“Adik Feng, kita datang ke Wisma Mei Zhuang ini dengan tulus. Kalau kau merendah seperti itu justru akan menyinggung perasaan keempat majikan,” kata Xiang Wentian. “Ilmu tenaga dalam Awan Lembayung dari Perguruan Huashan lebih dahsyat dibanding ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan kami. Hal ini sudah banyak diketahui kawan-kawan persilatan. Nah, Adik Feng, bagaimana kalau kau berdiri di bekas kedua tapak kakiku ini dan jangan sampai bergeser keluar? Setelah itu kau bisa bertukar jurus dengan Saudara Ding.”

Usai berkata demikian, Xiang Wentian lantas bergeser ke samping. Tampak di atas ubin lantai telah tercetak dua bekas tapak kaki yang dalamnya sekitar empat atau lima senti. Rupanya sewaktu berbicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga berhasil meninggalkan jejak pada ubin hijau yang keras tersebut.

“Tenaga dalam yang bagus!” seru Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng memuji bersamaan. Mereka melihat bagaimana Xiang Wentian berbicara dengan tenang, kemudian meninggalkan jejak kaki yang tercetak pada ubin keras. Kedua jejak itu sama rata dan sama dalamnya, seperti diukir menggunakan pisau tajam tanpa membuat ubin hancur berkeping-keping. Sungguh tenaga dalam yang hebat, bahkan mungkin lebih hebat daripada ketiga majikan itu. Mereka bertiga mengira Xiang Wentian sengaja pamer kepandaian, yang mau tidak mau dinilai sebagai perbuatan yang dangkal, bukan sikap seorang kesatria sejati. Tenaga dalam Xiang Wentian memang hebat dan mengagumkan, namun mereka bertiga tidak mengerti apa maksud dan tujuan yang sebenarnya.

Linghu Chong tentu saja mengerti tujuan dari acara pamer tenaga dalam itu. Sejak tadi Xiang Wentian memuji-muji tenaga dalam Perguruan Huashan lebih hebat daripada Perguruan Songshan. Kemudian ia pamer tenaga dalam agar orang-orang di situ percaya bahwa tenaga dalam Linghu Chong pasti jauh lebih hebat lagi. Dengan demikian, dalam pertandingan nanti pihak lawan tentu tidak berani sembarangan mengerahkan tenaga dalam karena sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Apalagi Xiang Wentian juga sadar bahwa kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Ilmu ringan tubuh dan melompat juga bukan keahliannya. Maka, dengan tetap berdiri menginjak bekas tapak kaki Xiang Wentian itu, ia dapat menyembunyikan kelemahan-kelemahannya yang lain. Dengan demikian ini adalah penangkal siasat Heibaizi yang ingin menguji kehebatan Linghu Chong dengan mengajukan Ding Jian sebelum Danqingsheng.

Begitulah, Linghu Chong lantas melangkah maju dan berdiri menginjak bekas tapak kaki Xiang Wentian. Sambil tersenyum ia berkata, “Silakan, Saudara Ding!”

“Maaf, Tuan Feng!” kata Ding Jian. Ia kemudian mengayunkan pedang secara melintang, menimbulkan suara desiran lirih. Para hadirin melihat gerakan pedang itu bagaikan kilat panjang yang berkelebat dengan cepat. Meskipun sudah belasan tahun mengasingkan diri di Wisma Mei Zhuang, tapi kepandaiannya ternyata tidak berkurang sedikit pun. Setiap jurus “Pedang Kilat Satu Kata” yang ia lancarkan bagaikan kilat membelah angkasa, menggetarkan jiwa dan menimbulkan kengerian bagi siapa saja yang melihatnya. Beberapa tahun silam, Ding Jian pernah kalah sekali melawan seorang pendekar buta. Itu semua dikarenakan pihak lawan tidak dapat melihat kelebatan sinar “Pedang Kilat Satu Kata” sehingga tidak muncul rasa takut di hatinya.

Kali ini, Ding Jian mengerahkan jurus andalannya dan membuat seluruh ruangan seolah dipenuhi cahaya kilat yang menyilaukan. Namun ilmu “Sembilan Pedang Dugu” yang telah dipelajari Linghu Chong juga bukan ilmu sembarangan. Begitu jurus pertama “Pedang Kilat Satu Kata” dikerahkan, Linghu Chong segera dapat menemukan tiga celah kelemahan di dalamnya.

Ding Jian sendiri tidak buru-buru melancarkan serangan. Pedangnya hanya menebas kian-kemari seolah memberi hormat kepada tamu. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah ia hendak membuat silau mata Linghu Chong agar sukar menangkis serangan selanjutnya.

Tak disangka, ketika sampai pada jurus kelima, Linghu Chong telah menemukan delapan belas titik kelemahan pada ilmu pedang lawannya itu. Segera ia berkata, “Maaf!” Bersamaan itu pedangnya lantas menusuk miring ke depan.

Saat itu Ding Jian sedang mengayunkan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan. Jarak ujung pedang Linghu Chong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ding Jian itu seakan-akan mengantar tangan sendiri ke ujung pedang lawan. Gerakan itu teramat cepat dan sukar dihentikan atau ditarik kembali secara mendadak.

Melihat itu, para hadirin serentak berseru, “Awas!”

Heibaizi kebetulan sedang menggenggam dua buah biji catur, hitam dan putih. Ia bermaksud melemparkan biji-biji catur itu untuk menyelamatkan pergelangan tangan Ding Jian dari ancaman pedang Linghu Chong, namun lantas terpikir olehnya jika sampai ikut turun tangan berarti dua orang melawan satu, dan Wisma Mei Zhuang akan dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Dalam keragu-raguannya itu terlihat tangan Ding Jian semakin mendekati pedang Linghu Chong.

“Aiiih!” teriak Shi Lingwei khawatir.

Siapa sangka, pada detik yang menegangkan itu tiba-tiba tangan Linghu Chong sedikit berputar sehingga ujung pedang menjadi miring. Pada detik selanjutnya, tangan Ding Jian membentur bilah pedang sehingga tidak terluka sama sekali.

Ding Jian terperanjat. Ia baru sadar kalau pihak lawan sengaja bermurah hati sehingga pergelangan tangannya tidak sampai terpotong. Kalau sampai ia kehilangan sebelah tangan, maka ilmu silatnya akan musnah pula. Seketika itu ia pun gemetar dan berkeringat dingin. Sambil membungkuk, orang tua itu berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Pendekar Feng.”

Linghu Chong membalas hormat dan menjawab, “Aku tidak berani.”

Pihak lawan berusaha tidak melukai Ding Jian membuat Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng merasa senang. Danqingsheng segera menuang secawan arak dan berkata, “Adik Feng, ilmu pedangmu sangat bagus. Terimalah secawan dariku.”

“Terima kasih. Aku tidak berani menerima pujian ini,” jawab Linghu Chong sambil menerima cawan itu dan meminum habis isinya.

Danqingsheng juga mengiringi dengan minum satu cawan, lalu menuangkan arak lagi ke dalam cawan Linghu Chong dan berkata, “Adik Feng, hatimu sangat baik sehingga tangan Ding Jian tidak sampai buntung. Biarlah aku bersulang lagi secawan padamu.”

“Ah, ini hanya kebetulan saja,” ujar Linghu Chong sambil menghabiskan isi cawan keduanya.

Danqingsheng kembali mengiringi minum secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, “Cawan ketiga ini jangan kita minum dulu. Marilah kita main-main sebentar. Barangsiapa yang kalah dialah yang minum arak ini.”

“Jelas aku yang kalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Biarlah aku meminumnya sekarang saja.”

“Jangan buru-buru!” seru Danqingsheng sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu. Ia mengambil pedang dari tangan Ding Jian, lalu berkata, “Adik Feng, silakan mulai lebih dulu!”

Pada saat minum arak tadi diam-diam Linghu Chong menimbang-nimbang pula, “Dia mengaku mempunyai tiga kegemaran, yaitu minum arak, seni lukis, dan ilmu pedang. Maka, dapat dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpasang di ruang depan sana kulihat goresannya kuat dan cepat. Tapi sepertinya ia bersifat kurang sabaran dan suka terburu-buru. Kalau ilmu pedangnya juga begitu, tentu akan banyak celah kelemahan dapat kutemukan.”

Maka, ia pun membalas hormat sambil berkata, “Mohon Tuan Keempat sudi mengalah sedikit.”

“Tidak perlu banyak adat. Silakan!” kata Danqingsheng.

“Baik,” begitu Linghu Chong berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke arah bahu lawan.

Tusukan ini tampaknya miring, geyat-geyot tak bertenaga, dan tidak sesauai dengan aturan ilmu pedang yang lazim. Belum pernah ada ilmu pedang di dunia persilatan yang memiliki jurus serangan seperti itu.

Kontan saja Danqingsheng tercengang dan berkata, “Apa-apaan ini?”

Danqingsheng memiliki wawasan sangat luas dalam persoalan ilmu pedang. Begitu mengetahui Linghu Chong adalah murid Perguruan Huashan, maka yang ia pikirkan sejak tadi adalah bermacam-macam jurus serangan ilmu pedang Huashan. Siapa sangka permainan Linghu Chong kali ini ternyata sama sekali di luar dugaannya? Serangan pertama tersebut bukan termasuk jurus pedang Huashan, bahkan sama sekali bukan termasuk jenis ilmu pedang.

Pengalaman berharga Linghu Chong saat bertemu Feng Qingyang adalah memperoleh dua ilmu istimewa, yaitu “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” dan “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”. Kedua ilmu pedang ini saling melengkapi satu di antara yang lain. “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” sangat halus dan mendalam, dan merupakan puncak dari seni ilmu pedang. Namun demikian, secara keseluruhan, jurus-jurus di dalam ilmu pedang ini masih bisa ditelusuri. Apabila “Ilmu Pedang Tanpa Jurus” dimasukkan ke dalamnya, maka “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” semakin istimewa, bebas alami, juga gencar, tanpa mampu ditebak lagi arah gerakannya oleh pihak lawan.

Menghadapi serangan pertama yang aneh tersebut, Danqingsheng kebingungan dan merasa tidak bisa menangkisnya. Terpaksa ia mundur dua langkah untuk menghindar.

Heibaizi dan Tubiweng yang menonton mau tidak mau ikut terperanjat pula. Sewaktu Linghu Chong dapat mengalahkan Ding Jian hanya dengan satu jurus, mereka tidak terlalu heran karena bagaimanapun juga, Linghu Chong berani menantang Wisma Mei Zhuang pasti berbekal ilmu pedang yang luar biasa. Jika melawan pelayan saja ia tidak mampu, tentu hal itu akan sangat menggelikan. Namun kini hanya dengan serangan pertama ia sudah dapat membuat Danqingsheng melangkah mundur, jelas ini pemandangan yang jarang ada dan membuat kedua majikan yang lain terkesima.

Setelah mundur dua langkah Danqingsheng segera maju kembali sehingga tetap berhadapan dengan Linghu Chong pada jarak yang sama. Menyusul Linghu Chong menusuk lagi. Kali ini yang diincar adalah bahu sebelah kiri dengan cara tetap seperti tadi, geyat-geyot tidak teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main. Danqingsheng mengangkat pedang hendak menangkis. Tapi sebelum kedua pedang beradu ia menyadari arah serangan Linghu Chong sudah berubah ke sebelah kanan dan bisa-bisa melubangi iga kanannya. Maka, pada detik terakhir itulah ia berganti haluan. Sekali hentak kedua kakinya kembali melompat mundur sejauh dua meter lebih.

“Jurus pedang bagus!” serunya memuji. Bersamaan itu ia kembali menerjang maju dan menusuk secepat kilat ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong dapat melihat titik kelemahan di bawah lengan kanan Danqingsheng. Segera pedangnya pun menjulur ke depan. Jika Danqingsheng tidak segera berganti haluan tentu sikunya akan termakan lebih dulu. Namun pada dasarnya ilmu pedang Danqingsheng memang hebat. Dalam keadaan genting, pedangnya segera dibelokkan menusuk ke lantai. Dengan meminjam tenaga pentalan itulah ia lalu berjumpalitan ke belakang dan mendarat di lantai sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah hampir menyentuh dinding. Apabila sedikit saja ia menambah tenaga saat bersalto ke belakang tadi, tentu tubuhnya akan menghantam dinding dan nama baiknya sebagai jago sepuh akan tercoreng. Meskipun dapat mendarat dengan sempurna, mau tidak mau muka Danqingsheng terlihat merah padam.

Sebagai seorang yang berjiwa periang dan suka bergurau, Danqingsheng sama sekali tidak gusar, tetapi justru bergelak tawa sambil mengacungkan ibu jari dan memuji, “Ilmu pedang bagus!”

Kembali ia mengayunkan pedang dengan melancarkan jurus “Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari”, yang kemudian berubah menjadi jurus “Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu”, lalu berubah lagi menjadi jurus “Naga Mengangkasa, Burung Feng Terbang Tinggi”. Tiga kali serangan itu dilancarkan sekaligus menjadi satu kesatuan yang begitu halus, sampai-sampai gerakan kakinya yang bergeser tidak terlihat. Kini tahu-tahu, ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Linghu Chong.

Linghu Chong segera memiringkan pedangnya dan memukul pelan tepat mengenai bilah pedang lawan. Pukulan ini sungguh tepat waktu dan jitu, karena saat itu Danqingsheng sedang mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedang, sedangkan pada bagian bilah pedangnya kurang bertenaga.

Maka terdengarlah suara benturan logam perlahan. Pedang Danqingsheng terpukul ke bawah, sebaliknya sinar pedang Linghu Chong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Danqingsheng menjerit terkejut dan melompat ke samping kiri.

Rupanya ia belum jera juga. Kembali pedangnya berputar dan menerjang maju. Kali ini ia mengayunkan pedang sekuat tenaga dari atas sambil berseru, “Awas!” Sengaja ia memberi peringatan supaya Linghu Chong berjaga-jaga. Jurus “Naga Kumala Menggelantung” ini sangat ganas dan kuat. Kalau pihak lawan tidak berjaga-jaga bisa-bisa pertandingan persahabatan ini berakhir dengan darah yang tertumpah.

“Baik!” jawab Linghu Chong menanggapi peringatan itu. Pedangnya lantas menjungkit ke atas, dan mata pedangnya pun menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.

Dalam keadaan demikian, jika serangan Danqingsheng diteruskan, sebelum pedangnya mengenai ubun-ubun lawan, tentu kelima jarinya sudah lebih dulu terpotong oleh pedang Linghu Chong. Tapi kepandaian Danqingsheng memang jauh lebih tinggi daripada Ding Jian. Begitu dilihatnya pedang lawan telah menempel pada batang pedangnya, terpaksa tangan kirinya memukul ke lantai. Dengan meminjam tenaga tolakan tersebut, ia berhasil melompat ke belakang sejauh dua-tiga meter. Selagi badannya masih terapung di udara pedangnya berulang-ulang berputar tiga kali sehingga berwujud tiga lingkaran sinar perak.

Lingkaran-lingkaran sinar itu mirip seperti benda hidup, berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan menggeser maju ke arah Linghu Chong.

Lingkaran-lingkaran sinar pedang itu sepertinya tidak selihai sinar pedang Ding Jian tadi, tapi hawa pedang ini lebih tebal dan angin dingin yang ditimbulkan membuat tubuh menggigil. Pedang Linghu Chong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam lingkaran-lingkaran sinar tersebut. Di situlah tempat lowong antara serangan pertama Danqingsheng yang mulai lemah tenaganya dengan tenaga serangan kedua belum sempat dikerahkan. Tentu saja Danqingsheng kembali terkejut heran sambil melangkah mundur.

Lingkaran sinar pedang juga ikut berputar mundur dan menyusut, tapi tiba-tiba mengembang kembali dan meluas ke depan. Lingkaran sinar itu tampak semakin besar, dan untuk selanjutnya menerjang ke arah Linghu Chong.

Kembali Linghu Chong menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Danqingsheng berseru heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur. Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam waktu sekejap ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali. Kumis dan janggutnya yang panjang melambai-lambai, dengan wajah seperti dilapisi cahaya kebiru-biruan karena terpantul oleh sinar pedang yang ia kerahkan.

Tiba-tiba Danqingsheng menggertak keras. Puluhan lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke arah Linghu Chong. Inilah puncak kemahiran Danqingsheng yang tiada taranya. Ia telah mempersatukan puluhan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga oleh musuh. Setiap jurus dalam serangan gabungan itu sangat mematikan, dan masing-masing mengandung gerak perubahan yang beraneka ragam. Aapbila disatukan tentu menghasilkan kerumitan yang benar-benar sukar dipecahkan.

Namun gerakan Linghu Chong untuk mengatasinya tetap sederhana. Kembali pedangnya menusuk lemah ke depan sebatas dada. Yang dituju adalah ulu hati Danqingsheng. Lagi-lagi Danqingsheng menjerit dan melompat mundur sekuat tenaga. Kali ini ia sampai jatuh terduduk di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh pertanda jatuhnya cawan arak yang hancur berantakan.

Walaupun sudah kalah, tapi Danqingsheng tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Bagus, sungguh bagus! Adik Feng, ilmu pedangmu memang jauh lebih tinggi dariku. Mari, mari, aku menyuguh kau tiga cawan lagi!”

Heibaizi dan Tubiweng telah mengetahui kalau adik keempat mereka sudah mencapai puncak tertinggi dalam ilmu pedang. Namun kini mereka menyaksikan Danqingsheng telah menyerang enam belas kali namun kedua kaki Linghu Chong tetap di berada di tempat yang ditentukan Xiang Wentian tanpa bergeser sedikit pun. Sebaliknya, adik keempat mereka justru melompat mundur sebanyak delapan belas kali. Hal ini menunjukkan betapa tinggi ilmu pedang Linghu Chong benar-benar membuat ngeri sekaligus hormat.

Sementara itu Danqingsheng sudah menuang arak dan mengajak Linghu Chong minum sebanyak tiga cawan. Ia lalu berkata, “Di antara Empat Sekawan dari Jiangnan, ilmu silatku adalah yang paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Kakak Kedua dan Kakak Ketiga belum tentu mau terima. Kemungkinan besar mereka juga ingin mencoba ilmu pedangmu.”

“Kita berdua telah bertanding belasan jurus, dan satu jurus pun Tuan Keempat belum kalah. Mengapa mengatakan aku yang menang?” ujar Linghu Chong.

“Ah, sejak jurus pertama aku sudah kalah. Jurus-jurus selanjutnya sudah tidak ada artinya lagi,” kata Danqingsheng sambil menggeleng. “Biasanya Kakak Pertama mengatakan aku berjiwa sempit. Ternyata ia memang tidak salah.”

“Tuan Keempat berjiwa besar. Kekuatan minum arak pun setinggi langit,” kata Linghu Chong tertawa.

“Benar, benar! Aku hanya kuat minum. Tapi soal ilmu pedang masih kalah darimu!” seru Danqingsheng.

Padahal biasanya Danqingsheng sangat membanggakan ilmu pedangnya. Sekarang ia kalah telak di tangan seorang pemuda yang belum terkenal. Anehnya, sedikit pun ia tidak marah juga menyesal. Memiliki jiwa besar dan periang seperti ini sungguh sikap seorang manusia kelas atas. Melihat budi pekertinya yang luhur, diam-diam Xiang Wentian dan Linghu Chong menaruh kekaguman.

Tubiweng lantas berkata kepada Shi Lingwei, “Tolong ambilkan pena gundulku.”

“Baik!” jawab Shi Lingwei yang kemudian pergi mengambilkan semacam senjata untuk diserahkan kepada Tubiweng.

Linghu Chong melihat senjata itu adalah sebuah pena yang terbuat dari baja, dengan tangkai sepanjang belasan senti. Biasanya orang yang bersenjata pena memiliki ujung keras untuk menotok titik nadi. Namun pena milik Tubiweng benar-benar pena asli yang memiliki ujung terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta hitam seperti baru saja dipakai untuk menulis.

Melihat senjata Tubiweng berujung lemas, Linghu Chong yakin ilmu silat orang ini tentu sangat istimewa dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat, sehingga melalui bulu domba yang lemas itu sudah dapat untuk melukai orang.

Setelah menerima senjatanya, Tubiweng tersenyum dan berkata, “Saudara Feng, apakah kau tetap berdiri di situ tanpa berganti tempat?”

Lekas-lekas Linghu Chong mundur dua langkah dan menjawab sambil membungkuk, “Saya ingin meminta petunjuk dari Tuan Ketiga, mana berani banyak lagak?”

Danqingsheng menanggapi, “Benar, benar! Jika melawanku kau bisa tetap terpaku tanpa berpindah sedikit pun. Tapi kalau menghadapi Kakak Ketiga tentu kau tidak dapat melakukan itu.”

Tubiweng lantas mengangkat penanya dan berkata sambil tersenyum, “Beberapa jurus goresanku ini adalah mengikuti gaya tulisan para ahli kaligrafi ternama. Saudara Feng pandai ilmu silat dan sastra, tentu dapat mengenali alur goresan penaku ini. Saudara Feng sudah kami anggap sebagai sahabat. Maka, ujung penaku ini tidak perlu dicelup tinta.”

Linghu Chong terperanjat. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Apa maksudnya? Kalau aku bukan sahabat apakah ujung penanya harus dicelup tinta? Untuk apa?” Ia tidak tahu kalau tinta hitam yang digunakan Tubiweng untuk bertempur melawan musuh terbuat dari berbagai ramuan obat istimewa, yang apabila mengenai kulit manusia akan berbekas dan tidak bisa dibersihkan selama bertahun-tahun, bahkan dikerik menggunakan pisau juga tetap sulit dihilangkan. Dahulu ketika sejumlah jago persilatan bermusuhan dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, mereka merasa pena gundul Tubiweng inilah yang paling memusingkan. Asal lengah sedikit saja, maka pena gundul itu akan mencoreng-coreng wajah mereka membentuk palang, garis, bahkan tulisan. Hal ini tentu saja menjadi suatu penghinaan besar. Bagi mereka, lebih baik dibacok golok atau dibuntungi sebelah lengannya daripada muka dicoreng-coreng seperti itu.

Saat pertandingan melawan Ding Jian dan Danqingsheng tadi, Tubiweng melihat Linghu Chong selalu bersikap jujur dan bermurah hati. Maka, ia sengaja tidak mencelupkan pena gundulnya untuk membalas penghormatan dari pemuda itu. Meskipun tidak paham maksudnya, tapi Linghu Chong dapat menduga pihak lawan tentu bermaksud baik kepadanya. Maka, sambil membungkuk ia berkata, “Terima kasih banyak. Hanya saja saya ini kurang berpendidikan, sehingga tulisan Tuan Ketiga mungkin sulit untuk saya kenali.”

Tubiweng agak kecewa. Ia berkata, “Kau tidak paham seni kaligrafi? Baiklah, jika begitu biar kujelaskan dulu kepadamu. Goresan-goresan penaku ini disebut ‘Syair Jenderal Pei’, yaitu perubahan-perubahannya berdasarkan pada kitab kaligrafi Yang Zhenqing. Seluruhnya ada dua puluh tiga huruf, dan pada setiap huruf terdapat tiga sampai enam belas goresan. Hendaklah kau perhatikan dengan baik! Begini bunyinya: ‘Jenderal Pei! Penguasa enam penjuru, jenderal perwira yang membersihkan sembilan ladang. Kuda perangnya bagai naga dan harimau. Betapa gagahnya menunggang mendaki bukit!’”

“Terima kasih banyak atas petunjuk Tuan Ketiga,” jawab Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Peduli apa kau akan menulis syair atau kaligrafi segala? Aku tetap tidak paham sama sekali.”

Segera Tubiweng mengangkat penanya yang besar kemudian menotol tiga kali ke arah pipi Linghu Chong. Ini adalah tiga titik permulaan dari huruf “pei”. Tiga kali serangan ini hanya gerak tipu saja. Ketika penanya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah, tiba-tiba pedang Linghu Chong sudah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.

Tubiweng tidak punya piihan lain kecuali harus menarik penanya ke bawah untuk menangkis serangan itu. Namun pedang Linghu Chong juga sudah ditarik kembali. Senjata kedua orang itu belum sampai terbentur, dan yang mereka mainkan tadi hanya serangan kosong belaka. Namun Tubiweng tadi baru menjalankan setengah gerakan pertama dari “Syair Jenderal Pei” dan belum lengkap ia selesaikan.

Sesudah penanya menangkis tempat kosong, Tubiweng segera melancarkan jurus kedua. Namun Linghu Chong tidak memberinya kesempatan untuk bergerak lebih dulu. Pedangnya langsung menyerang ke celah yang terbuka dan harus dipertahankan pihak lawan, membuat Tubiweng mau tidak mau harus mengayunkan penanya ke belakang untuk menangkis. Namun pedang Linghu Chong tahu-tahu sudah ditarik kembali. Pada jurus kedua ini pun Tubiweng tidak bisa menuntaskannya dengan sempurna, hanya setengah jalan saja.

Tubiweng merasa sangat kesal karena kedua jurus serangannya sudah diputus oleh Linghu Chong, sehingga serangkaian kaligrafi yang sangat dibanggakannya itu tidak dapat ia selesaikan. Ini seperti seorang sastrawan yang baru saja mengangkat pena untuk menulis, tahu-tahu diganggu seorang anak kecil yang datang mengacau sehingga tuliannya menjadi hancur berantakan.

Dalam hati Tubiweng berpikir, “Aku telah membacakan ‘Syair Jenderal Pei’ kepadanya, sehingga ia bisa menebak ke arah mana penaku akan bergerak. Baiklah, untuk selanjutnya aku akan menulis secara tidak berurutan.”

Karena berpikir demikian, Tubiweng segera berganti haluan. Penanya bergerak dari pojok kanan atas menyerong ke pojok kiri bawah dengan tenaga penuh. Rupanya yang ia gores adalah huruf “ji” dalam gaya caoshu yang terkesan sembarangan. Namun pedang Linghu Chong tetap menusuk ke depan, menuju ke iga kanan. Tubiweng terkejut, dan penanya menangkis ke bawah dengan cepat. Ternyata tusukan Linghu Chong itu tetap hanyalah serangan tipuan belaka. Lagi-lagi jurus serangan Tubiweng hanya sempat dimainkan setengah saja.

Sebenarnya coretan-coretan Tubiweng selalu diikuti dengan tenaga penuh dan semangat tinggi. Namun sampai di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan berganti haluan. Akibatnya, tenaga dalam pun ikut beralih. Hal ini membuat napasnya terasa sesak dan darah di dalam rongga dada menjadi bergolak hebat dan sungguh menyakitkan.

Setelah mengambil napas panjang, Tubiweng kembali memutar cepat penanya untuk menulis huruf “teng”. Namun, lagi-lagi Linghu Chong menggagalkan serangannya di tengah jalan. Tubiweng menjadi gusar dan membentak, “Kurang ajar, kau mengacau saja!”

Segera penanya berputar lebih cepat. Namun tetap saja, paling banyak ia hanya dapat menggores dua kali, setelah itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Linghu Chong. Tubiweng menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis liar seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan tebal dan kuat penuh tenaga. Sudut-sudutnya tajam bagaikan pedang dan terlihat sangat lugas.

Linghu Chong tidak tahu kalau gaya tulisan ini adalah menirukan “Prasasti Gunung Bameng” yang ditulis oleh Zhang Fei, panglima perkasa Kerajaan Shu Han pada Zaman Tiga Negara. Pemuda itu hanya dapat melihat kalau gaya tulisannya sudah berbeda dari yang tadi. Pada dasarnya ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan pihak lawan. Asalkan pena Tubiweng bergerak, segera ia mendahului menyerang titik kelemahannya. Tubiweng berteriak keras-keras dengan perasaan kesal. Namun bagaimanapun juga tetap saja setiap tulisannya tidak dapat diselesaikan dengan baik, hanya setengah jalan saja sudah gagal.

Kembali gaya tulisannya berubah lagi. Kali ini ia menulis dengan gaya caoshu dalam karya “Riwayat Pribadi Huai Shu” dari zaman Dinasti Tang. Pena di tangannya bergerak cepat dan bebas, berputar-putar tanpa aturan. Sambil menyerang ia berpikir, “Gaya caoshu dalam kaligrafi Huai Shu memang sulit dibaca, dan kini akan aku buat semakin sulit dibaca. Aku yakin bocah ini tidak akan mampu mengatasi gaya kuangcao ciptaanku.”

Rupanya Tubiweng tidak tahu kalau pada hakikatnya Linghu Chong tidak ambil pusing terhadap gaya kaligrafi jenis apa pun yang dimainkan olehnya. Ia mengira Linghu Chong dapat mematahkan gerak tulisannya karena pemuda itu dapat membaca ke arah mana pena di tangannya akan bergerak. Padahal Linghu Chong sama sekali tidak paham mengenai tulisan indah atau apa pun itu. Yang ia lihat di tangan Tubiweng bukanlah pena, melainkan senjata yang harus diserang titik-titik lemahnya pada setiap gerakan.

Setelah jurus terakhir mengalami kegagalan pula, rasa gusar Tubiweng pun mencapai puncaknya. Tiba-tiba ia berteriak-teriak, “Sudahlah, aku tidak mau bertanding lagi! Aku tidak mau bertanding lagi!”

Bersamaan itu ia melompat mundur. Gentong arak anggur milik Danqingsheng diangkatnya dan dituang isinya hingga memenuhi meja catur. Penanya yang besar itu dicelup pada cairan yang membasahi meja, lalu mulai digunakan untuk menulis pada dinding ruangan yang putih. Yang ia tulis adalah “Syair Jenderal Pei” tadi. Seluruhnya ada dua puluh tiga huruf ditulisnya dengan hidup dan penuh semangat, terutama pada huruf “ruo” yang mirip seekor naga terbang ke angkasa.

Usai menulis barulah ia menghembuskan napas lega dan tertawa terbahak-bahak. Kepalanya lalu sedikit dimiringkan untuk mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna kuning gading seperti minyak itu. “Bagus sekali, bagus sekali! Selama hidupku, tulisan inilah hasil karyaku yang paling bagus!” pujinya kepada diri sendiri dengan puas.

Semakin memandangi tulisannya, hati Tubiweng semakin bangga. Ia lalu berkata kepada Heibaizi, “Kakak Kedua, berikanlah kamar catur ini kepadaku. Aku merasa berat berpisah dengan tulisan ini. Aku khawatir setelah ini aku tidak mampu lagi menghasilkan tulisan sebagus ini.”

“Boleh saja,” jawab Heibaizi. “Dalam kamarku ini hanya terdapat sebuah meja catur dan tiada benda lain. Seandainya kau tidak meminta juga aku tetap akan pindah dari sini. Huh, melihat tulisanmu yang besar-besar seperti naga dan burung feng itu, mana bisa aku tenang bermain catur?”

Tubiweng mengangguk-angguk puas dan kembali memuji tulisannya, “Andaikan Adipati Yan dari Lu hidup kembali, belum tentu ia bisa membuat kaligrafi seindah ini.” Kemudian ia berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Saudara Feng, berkat ilmu pedangmu yang memaksa diriku, segenap ilham kaligrafi yang terpendam di dalam perut seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya ini. Di muka bumi tidak ada kaligrafi sebagus ini. Ilmu pedangmu memang bagus, tulisanku juga bagus. Ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri. Di antara kita tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kita seri!”

“Benar, masing-masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah,” tukas Xiang Wentian.

“Dan ini juga berkat arak anggurku yang lezat,” sambung Danqingsheng.

Heibaizi terlihat serbasalah dan berkata, “Adik Ketiga memang polos dan kekanak-kanakan. Ia suka lupa daratan jika sudah bicara tentang kaligrafi. Sama sekali bukan maksudnya untuk mengingkari kekalahan.”

“Aku paham,” ujar Xiang Wentian. “Lagipula taruhan kita adalah di dalam Wisma Mei Zhuang ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng. Seandainya kedua pihak dinyatakan seri, tetap saja pihak kami tidak dinyatakan kalah taruhan.”

“Benar,” kata Heibaizi mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangannya ke bawah meja batu dan menarik keluar lempengan besi berbentuk papan segi empat. Pada permukaan papan itu terukir sembilan belas garis jalur catur. Rupanya benda itu adalah sebuah papan catur yang terbuat dari besi. Sambil memegangi ujung papan catur tersebut, Heibaizi lantas berkata, “Saudara Feng, papan catur ini adalah senjataku. Mohon petunjuk darimu mengenai langkah-langkah yang hebat.”

Xiang Wentian menyahut, “Kabarnya papan catur Tuan Kedua ini adalah sebuah benda pusaka yang dapat menyedot bermacam-macam senjata musuh.”

Heibaizi menatap tajam ke arah Xiang Wentian untuk beberapa saat, lalu berkata, “Saudara Tong benar-benar berwawasan luas dan berpengetahuan tinggi. Sangat kagum, aku sangat kagum kepadamu. Sebenarnya senjataku ini bukan benda pusaka, hanya terbuat dari besi sembrani yang dapat menghisap biji-biji catur yang terbuat dari besi supaya tidak jatuh terguncang ketika dulu aku suka bercatur dengan orang di atas punggung kuda atau sambil menumpang perahu. Ada guncangan apa pun tidak akan membuat posisi biji-biji catur berantakan.”

“Oh, ternyata begitu,” kata Xiang Wentian.

Sambil mendengar dengan seksama, diam-diam Linghu Chong berpikir, “Untung saja Kakak Xiang memberi petunjuk. Jika tidak, bisa-bisa pedangku langsung tertarik oleh papan caturnya. Kalau sudah demikian, tanpa bertanding aku langsung dinyatakan kalah. Untuk bertanding melawan orang ini, aku tidak boleh membiarkan pedangku bersentuhan dengan senjatanya.”

Ia lalu memberi hormat dan berkata, “Mohon Tuan Kedua sudi memberi petunjuk!”

“Ilmu pedang Saudara Feng sangat hebat, seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan,” ujar Heibaizi. “Silakan kau mulai lebih dulu!”

Tanpa bicara lagi Linghu Chong lantas memutar pedangnya dengan ringan, kemudian secara melingkar-lingkar pedangnya bergetar dan menusuk ke depan.

Heibaizi tertegun dan berpikir, “Jurus macam apa ini?”

Melihat ujung pedang Linghu Chong telah mengarah ke tenggorokannya, segera ia mengangkat papan catur untuk menangkis. Namun cepat sekali Linghu Chong sudah memutar ujung pedangnya untuk menusuk bahu kanan lawan. Kembali Heibaizi berusaha menangkis, tapi di tengah jalan Linghu Chong sudah menarik kembali pedangnya kemudian menusuk ke arah perutnya.

Heibaizi berusaha menangkis lagi sambil berpikir, “Jika aku tidak balas menyerang, bagaimana aku bisa mendahului langkah?”

Menurut teori catur, kemenangan dapat diperoleh dari keberhasilan mendahului langkah musuh. Dalam ilmu silat juga begitu; mendahului langkah musuh sangatlah penting. Sebagai seorang ahli catur sudah tentu Heibaizi paham apa artinya mendahului menyerang. Maka ia tidak mau melulu bertahan saja. Segera ia mengangkat papan caturnya dan menghantam ke arah bahu kanan Linghu Chong.

Papan catur itu berbentuk segi empat dengan luas sekitar setengah meter persegi, dan tebalnya kira-kira dua senti, tergolong semacam senjata berat. Andaikan papan itu terbuat dari besi biasa yang tidak punya kemampuan menghisap, tetap saja dapat menghantam pedang sampai patah.

Linghu Chong hanya sedikit mengelak saja, bersamaan pedangnya menusuk miring ke arah iga kanan lawan. Maksud hati ingin mendahului menyerang, namun Heibaizi melihat pihak lawan justru melancarkan serangan juga. Meskipun terlihat sepele, tapi tusukan Linghu Chong mengarah ke titik yang harus dipertahankan. Maka, dengan cepat ia memutar papan catur untuk menangkis, menyusul dengan sodokan ke depan. Jurus ini merupakan jurus bertahan sekaligus menyerang. Kalau pihak lawan menanggapi jurus ini, maka serangan-serangan selanjutnya akan membanjir dengan cepat.

Di luar dugaan, Linghu Chong sama sekali tidak peduli terhadap jurus Heibaizi tersebut. Ia lebih dulu membelokkan pedang dan kembali menyerang ke atas. Akibatnya, jurus Heibaizi hanya berhenti pada posisi bertahan, sedangkan serangan lanjutan putus di tengah jalan.

Begitulah, berturut-turut Linghu Chong melancarkan serangan sampai lebih dari empat puluh kali. Heibaizi dipaksa menangkis ke kiri dan ke kanan, menjaga bagian depan dan belakang. Ia bertahan dengan begitu rapat, seakan lalat pun tak bisa masuk. Ternyata dalam pertandingan itu Heibaizi dipaksa bertahan melulu tanpa sempat membalas serangan.

Tubiweng, Danqingsheng, Ding Jian, dan Shi Lingwei tercengang menyaksikan pertarungan keduanya. Mereka dapat melihat dengan jelas bahwa ilmu pedang Linghu Chong itu sebenarnya tidak terlalu cepat, juga tidak teramat ganas. Perubahan-perubahan gerakannya tidak terlalu istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Heibaizi merasa kewalahan dan terpaksa harus melindungi titik-titik yang terbuka pada tubuhnya.

Tubiweng dan Danqingsheng memahami bahwa pada setiap jurus pasti ada kelemahannya. Namun kalau seseorang dapat mendahului menyerang titik lemah lawan, tentu titik lemah sendiri tak harus menjadi kelemahan. Meskipun seseorang mempunyai ribuan titik lemah, hal ini tidak akan banyak berarti jika ia lebih dulu menyerang secara gencar. Apa yang dilakukan Linghu Chong, yaitu menyerang secara susul-menyusul sampai empat puluh kali lebih adalah berdasarkan prinsip ini.

Heibaizi sendiri jelas merasa cemas. Ingin sekali ia menyerang balik, namun begitu papan caturnya bergerak sedikit saja, ujung pedang Linghu Chong langsung mengarah ke titik lemahnya yang terbuka. Dalam pertarungan empat puluh jurus lebih itu, ia sama sekali tidak bisa menyerang balik. Apa yang ia alami seperti sedang bermain catur melawan seorang lawan yang jauh lebih cerdas. Ketika lawan melakukan lebih dari empat puluh langkah secara susul-menyusul, ia terpaksa hanya mengikuti langkah-langkah itu dan sama sekali tak dapat berbuat menurut kehendak hatinya sendiri.

Dalam pertarungan seperti ini, meskipun diteruskan sampai seratus atau dua ratus jurus lagi juga tidak ada artinya. Heibaizi tetap berada di pihak yang terserang melulu. Diam-diam ia berpikir, “Kalau hari ini aku tidak berani menempuh bahaya, maka nama besarku yang sudah kubangun seumur hidup akan hancur berantakan.”

Berpikir demikian membuat Heibaizi nekat mengayunkan papan caturnya untuk menghantam pinggang kiri Linghu Chong. Namun Linghu Chong tidak berkelit, juga tidak menghindar. Sebaliknya, ia tetap menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kali ini Heibaizi tidak lagi menarik papan caturnya untuk membela diri, tapi tetap menghantamkannya ke depan. Sepertinya ia sudah berniat mengadu jiwa, hancur bersama. Ketika ujung pedang semakin mendekat, ia pun menjulurkan tangan kirinya untuk menjepit senjata lawan tersebut menggunakan jari tengah dan telunjuknya. Ia telah mempelajari ilmu Jari Langit Mahasakti, membuat jari-jari tangannya kuat bagaikan baja.

Melihat Heibaizi nekat mengambil risiko, kelima penonton sampai berseru kaget. Mereka merasa pertarungan kali ini sudah bukan lagi pertandingan persahabatan, tapi lebih mirip pertarungan hidup dan mati. Jika jepitan jari Heibaizi meleset, tentu pedang Linghu Chong akan terus meluncur menembus perutnya. Membayangkan itu mereka berlima sama-sama menahan napas dengan keringat dingin membasahi tangan.

Kedua jari tangan Heibaizi sudah hampir menyentuh ujung pedang. Tak peduli jepitan itu berhasil atau tidak, seseorang pasti akan celaka. Jika jepitan itu tepat, maka pedang Linghu Chong akan terhenti dan pinggangnya yang akan terhantam papan catur. Sebaliknya, jika jepitan itu meleset –atau bisa menjepit tetapi tidak kuat menahan tenaga tusukan pedang tersebut– maka Heibaizi sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar atau melompat mundur, sehingga perutnya bisa dipastikan akan berlubang.

Namun apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Tepat ketika jari Heibaizi sudah hampir menyentuh pedang Linghu Chong, tiba-tiba ujung pedang itu mengungkit ke atas dan berganti menusuk ke arah tenggorokan.

Perubahan ini sama sekali tidak terbayangkan oleh siapa pun juga. Dalam ilmu silat dari zaman dulu hingga sekarang belum pernah ada jurus serangan semacam ini. Ternyata tusukan pertama ke arah perut tadi hanyalah serangan palsu, yang nilainya hanya lelucon kalau dipakai dalam pertarungan para jago. Apa yang dilakukan Linghu Chong memang di luar aturan ilmu pedang, namun jelas sangat berbahaya. Dalam keadaan demikian jika papan catur Heibaizi tetap dihantamkan ke depan, maka tenggorokannya pasti lebih dulu tertembus oleh pedang lawan.

Sebagai seorang ahli catur, Heibaizi terbiasa berpikir cepat. Ia menduga jika papan caturnya itu tidak jadi dihantamkan ke pinggang lawan, tentu ujung pedang juga tidak akan menusuk ke depan lagi. Ternyata memang benar. Ketika ia menahan papan caturnya sehingga berhenti mendadak, Linghu Chong juga segera menghentikan laju pedangnya. Jarak ujung pedangnya dengan tenggorokan Heibaizi saat itu hanya tinggal satu sampai dua senti saja. Sebaliknya, jarak papan catur Heibaizi dengan pinggangnya juga sekitar empat sampai lima senti. Keduanya sama-sama berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.

Meskipun kedua pihak sama-sama tidak sudi mengalah, para penonton dapat melihat Linghu Chong berada di atas angin. Papan catur adalah senjata berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter, sedangkan saat ini jaraknya dengan tubuh lawan terlalu dekat; sehingga meski disodokkan dengan kuat, paling-paling hanya membuat sakit sedikit. Sebaliknya, pedang Linghu Chong cukup didorong perlahan saja sudah bisa membuat tenggorokan Heibaizi berlubang.

Namun demikian, Xiang Wentian berkata dengan tertawa, “Masing-masing tidak berani mendahului bergerak. Dalam seni catur, keadaan seperti ini disebut ‘shuang huo’ atau ‘remis’. Tuan Kedua memang cerdas dan pemberani. Pertarungan kali ini tidak ada yang menang atau kalah.”

Linghu Chong lantas menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Mohon maaf, Tuan Kedua!”

Heibaizi berkata, “Saudara Tong pandai bercanda. Kenapa kau sebut ini remis? Ilmu pedang Saudara Feng teramat lihai. Aku sudah kalah habis-habisan.”

Danqingsheng tiba-tiba menyahut, “Hei, Kakak Kedua, bukankah kau punya senjata rahasia berupa biji catur yang terkenal di dunia persilatan? Sebanyak 361 biji hitam-putih jika ditebarkan sekaligus maka tiada seorang pun mampu menangkisnya. Mengapa kau tidak mencoba kepandaian Saudara Feng dalam menghalau senjata rahasia?”

Tergerak juga hati Heibaizi mendengar saran itu. Ia kemudian melihat Xiang Wentian yang manggut-manggut perlahan-lahan dengan yakin. Sewaktu melirik ke arah Linghu Chong, tampak pemuda itu hanya tenang-tenang saja, sama sekali tidak berubah raut wajahnya. Maka ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng ini sungguh hebat. Jangan-jangan di dunia tidak ada yang mampu mengunggulinya. Mereka berdua tetap terlihat penuh percaya diri, sama sekali tidak gentar sedikit pun. Andaikan aku bertanding senjata rahasia mungkin hanya akan menambah malu saja.”

Maka, sambil menggelengkan kepala Heibaizi pun tersenyum dan berkata, “Tidak, tidak. Aku sudah mengaku kalah, untuk apa bertanding senjata rahasia segala?”

Tubiweng semakin penasaran dengan tulisan kaligrafi “Kitab Sesuka Hati” tadi. Ia pun berkata, “Saudara Tong, sudikah kau perlihatkan lagi kitab itu kepadaku?”

“Sabar dulu,” jawab Xiang Wentian dengan tersenyum. “Sebentar lagi kalau Tuan Pertama sudah mengalahkan Adik Feng, maka kaligrafi ini akan menjadi milik Tuan Ketiga. Biarpun dilihat tiga-hari tiga-malam juga terserah.”

“Aku akan memandanginya selama tujuh-hari tujuh-malam,” kata Tubiweng.

“Baik, tujuh-hari tujuh-malam juga boleh,” ujar Xiang Wentian.

Perasaan Tubiweng seperti diiming-iming. Segera ia berkata, “Kakak Kedua, biar aku pergi memberi tahu Kakak Pertama.”

“Kalian berdua tetap di sini menemani kedua tamu kehormatan kita. Biar aku saja yang bicara dengan Kakak Pertama,” sahut Heibaizi. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi.

“Benar,” seru Danqingsheng. “Adik Feng, mari kita minum lagi. Aih, Kakak Ketiga sudah banyak membuang-buang anggur sebagus ini dengan percuma.” Sambil berbicara ia menuang sisa arak anggur pada gentong ke dalam cawan.

Tubiweng menyahut kesal, “Kau bilang aku membuang-buang arakmu dengan percuma? Huh, arakmu itu kalau sudah masuk perut paling-paling segera keluar menjadi kencing. Mana bisa dibandingkan dengan kaligrafiku di atas dinding yang tetap abadi itu? Arakmu dijadikan kaligrafi, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisan indahku itu, baru kemudian mereka tahu kalau di dunia ada arak anggur Turfan yang kau banggakan itu.”

Danqingsheng tetap tidak mau kalah. Ia mengangkat cawan anggurnya dan berkata menghadap dinding, “Dinding, oh, dinding, kau sungguh beruntung bisa menikmati arak anggur lezat buatan tuan keempatmu ini. Meskipun Kakak Ketiga tidak mencorat-coret di atas wajahmu … kau juga, kau juga akan tetap abadi.”

“Haha, dibandingkan dinding yang tidak tahu apa-apa, boleh dikata aku jauh lebih beruntung. Karena, aku bisa mencicipi arak bagus yang langka ini!” seru Linghu Chong tertawa sambil menenggak isi cawannya.

Xiang Wentian juga mengiringi minum sebanyak dua cawan, kemudian berhenti. Sementara itu, Danqingsheng dan Linghu Chong terus-menerus menuang dan minum tanpa henti. Semakin minum, mereka semakin bersemangat.

Setelah kedua orang itu meneguk tujuh atau delapan belas cawan, Heibaizi muncul dan berkata, “Saudara Feng, kakak pertama kami mengundangmu masuk ke dalam. Untuk Saudara Tong kami persilakan minum-minum dulu di sini.”

Xiang Wentian tertegun dan berkata, “Ini … ini ….” Ia melihat Heibaizi ternyata hanya mengundang Linghu Chong seorang. Ia khawatir jangan-jangan urusan bisa menjadi runyam, namun ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa ikut serta? Sambil menghela napas ia pun berkata “Aih, aku tidak punya jodoh untuk bertemu Majikan Pertama. Ini akan menjadi penyesalan seumur hidupku.”

“Harap Saudara Tong jangan tersinggung,” kata Heibaizi. “Kakak Pertama sudah lama mengasingkan diri, biasanya juga tidak pernah menerima tamu. Hanya saja, ia merasa kagum mendengar kehebatan ilmu pedang Saudara Feng, sehingga berkenan mengundangnya masuk ke dalam. Sama sekali kami tidak ada maksud untuk bersikap kurang hormat kepada Saudara Tong.”

“Mana berani aku berpikir demikian?” ujar Xiang Wentian.

Linghu Chong meletakkan cawan araknya. Ia merasa tidak pantas menemui majikan utama dengan membawa senjata. Maka, pedangnya pun ditaruh pula di atas meja batu dan ia kemudian berjalan mengikuti Heibaizi meninggalkan ruang catur tersebut. Sesudah menyusuri sebuah serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.

Di atas pintu bulat itu terdapat sebuah papan bertuliskan kata “inti kecapi”. Kedua huruf itu dibuat dari kaca berwarna biru, gaya tulisannya berani dan kuat, jelas tulisan tangan Tubiweng sendiri. Di balik pintu bulat terdapat sebuah jalan setapak yang sunyi. Pada kedua tepi jalan tumbuh pepohonan bambu. Batu-batu di tengah jalan itu tampak berlumut, jelas jalanan ini jarang dilalui manusia.

Sesudah melalui jalanan tersebut, sampailah mereka di depan tiga buah rumah batu yang dikelilingi oleh tujuh atau delapan pohon cemara yang rimbun dan tua. Suasana menjadi agak redup dan bertambah sunyi.

Perlahan Heibaizi mendorong pintu dan berbisik kepada Linghu Chong, “Silakan masuk!”

Sewaktu melangkah masuk ke dalam rumah batu itu, hidung Linghu Chong segera mencium bau harum kayu cendana.

“Kakak Pertama, Saudara Feng dari Perguruan Huashan sudah berada di sini,” kata Heibaizi.

Maka muncullah seorang tua dari dalam kamar sambil menyapa dengan penuh hormat, “Pendekar Muda Feng berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini, tapi kami tidak bisa memberikan penyambutan yang pantas. Mohon maaf, mohon maaf!”

Usia orang tua ini lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan peyot, sehingga mirip tengkorak hidup, namun kedua matanya tampak bersinar tajam dan cemerlang. Lekas-lekas Linghu Chong membalas hormat dan menjawab, “Kedatangan saya ini terlalu lancang, mohon Sesepuh sudi memaafkan!”

Orang tua kurus itu berkata, “Tidak apa, tidak apa!”

Heibaizi menukas, “Kakak Pertama memiliki gelar Huang Zhonggong, mungkin Saudara Feng pernah mendengar namanya.”

“Sudah lama saya mengagumi nama besar keempat majikan dan baru hari ini dapat berjumpa secara langsung. Sungguh beruntung, sungguh beruntung!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Xiang benar-benar suka bercanda. Dia tidak menerangkan apa pun kepadaku, hanya menyuruhku menuruti segala rencananya. Sekarang Kakak Xiang tidak mendampingi aku. Jika Majikan Pertama menanyakan sesuatu yang sulit, entah bagaimana caraku harus melayaninya?”

Huang Zhonggong berkata, “Kabarnya Pendekar Muda Feng adalah ahli waris Sesepuh Feng Qingyang dari Perguruan Huashan. Ilmu pedangmu sangat hebat. Selama ini aku si tua juga sangat mengagumi ilmu silat dan kepribadian Sesepuh Feng, namun sayang belum pernah bertemu muka dengan Beliau. Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar bahwa Sesepuh Feng sudah meninggal. Hal ini membuat diriku sangat menyesal. Namun, hari ini aku dapat bertemu dengan ahli waris Beliau, boleh dikata angan-anganku selama ini bisa terpenuhi. Menurut keterangan dari Adik Kedua, Pendekar Muda Feng ini adalah sepupu dari Sesepuh Feng, benar demikian?”

Linghu Chong menjadi serbasalah. Ia berpikir, “Aku sudah berjanji kepada Kakek Guru Feng untuk tidak memberitahukan keadaan Beliau kepada siapa pun juga. Kakak Xiang bisa mengetahui kalau aku adalah ahli waris Beliau juga dari hasil menebak berdasarkan pengalamannya yang luas. Tapi kemudian Kakak Xiang menyiarkan kepada orang-orang di sini kalau aku juga bermarga Feng, ini sungguh keterlaluan dan mengada-ada. Namun kalau aku mengatakan jati diriku yang sebenarnya juga tidak pantas.”

Merasa tidak punya pilihan lain, ia pun berkata dengan kalimat samar-samar, “Saya pernah menerima pelajaran dari Beliau. Namun sayang, saya kurang berbakat sehingga hanya bisa mempelajari sepuluh atau dua puluh persen saja dari kepandaian Beliau.”

Huang Zhonggong menghela napas dan berkata, “Jika kau hanya mempelajari sepuluh atau dua puluh persen dari kepandaian Beliau namun sudah bisa mengalahkan ketiga saudaraku, maka dapat dibayangkan betapa sukar diukur kepandaian Sesepuh Feng.”

Linghu Chong menjawab, “Ketiga majikan hanya bertukar beberapa jurus dengan saya. Belum jelas pihak mana yang menang atau kalah, kami sudah berhenti.”

Wajah Huang Zhonggong yang cekung itu sekilas menampilkan senyuman. Sambil manggut-manggut ia berkata, “Anak muda tidak sombong, tidak berangasan, sungguh patut dipuji.” Melihat Linghu Chong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata, “Silakan duduk, silakan mencicipi teh!”

Linghu Chong dan Heibaizi segera masuk dan mengambil duduk. Sejenak kemudian seorang bocah pelayan muncul menghidangkan tiga cangkir teh hijau.

Huang Zhonggong berkata, “Kabarnya Pendekar Muda Feng memiliki sebuah kitab kuno ‘Guangling San’, apa benar demikian? Aku si tua lumayan senang bermain musik. Setiap kali aku membayangkan Ji Kang sebelum dihukum mati sempat memainkan kecapi sambil berkata, ‘Sejak saat ini lagu Guangling San akan musnah dari dunia’, membuatku selalu menghela napas. Andai saja lagu kuno itu berhasil ditemukan dan aku si tua berkesempatan untuk memainkannya, maka tak akan ada lagi penyesalan di hatiku.” Sampai di sini wajah laki-laki tua itu tampak bersemu merah, pertanda semangatnya sedang tergugah.

Linghu Chong merenung sejenak. Dalam hati ia berkata, “Kakak Xiang sudah membohongi mereka habis-habisan. Tampaknya keempat majikan di Wisma Mei Zhuang ini adalah tokoh-tokoh luar biasa, apalagi kedatangan kami adalah untuk memohon pengobatan kepada mereka. Hm, rasanya tidaklah pantas kalau kami membuat mereka penasaran lagi. Kalau kitab kecapi ini benar-benar naskah Guangling San, maka biarlah aku memperlihatkannya kepada Tuan Pertama.” Ia kemudian mengeluarkan kitab pemberian Xiang Wentian dari balik baju. Perlahan-lahan ia bangkit dan menyerahkan kitab itu menggunakan kedua tangan kepada Huang Zhonggong, sambil berkata, “Tuan Pertama, silakan membacanya.”

Dengan sedikit bangkit dari duduknya, Huang Zhonggong menyambut kitab itu dan menjawab, “Lagu Guangling San sudah lama menghilang. Hari ini aku sangat gembira bisa melihat kitab ternama peninggalan orang hebat di masa lalu. Hanya saja … hanya saja … entah ….” Ia berbicara seperti kurang yakin mengenai bagaimana caranya untuk membedakan apakah kitab di tangannya tersebut asli ataukah hanya buatan orang iseng. Secara acak ia membolak-balik beberapa halaman sambil berkata, “Lagu ini sangat panjang.” Sekali lagi ia membaca halaman pertama. Hanya dalam waktu singkat raut mukanya langsung berubah.

Sambil tangan kanan memegang kitab tersebut, jari tangan kiri orang tua itu tampak bergerak-gerak seperti sedang memetik kecapi di atas meja. Untuk beberapa saat, ia menggumam sendiri, “Bagus sekali! Lembut dan tulus, tapi sangat jernih dan mendalam.”

Huang Zhonggong kemudian membaca halaman kedua. Sejenak kemudian lagi-lagi ia memuji, “Sungguh anggun dan berselera tinggi. Di dalamnya tersembunyi kebenaran-kebenaran yang mendalam. Hanya dengan membayangkan iramanya saja aku sudah merasa penuh semangat.”

Heibaizi melihat kakak pertamanya baru membaca dua halaman saja sudah begitu tergila-gila. Ia khawatir jika dibiarkan maka hal ini akan berlarut-larut sampai beberapa jam. Berpikir demikian, lekas-lekas ia menyela, “Saudara Feng dari Perguruan Huashan ini datang bersama Saudara Tong dari Perguruan Songshan. Mereka menyatakan bila di dalam Wisma Mei Zhuang ini ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya ….”

“Oh, jadi harus ada orang yang bisa mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan naskah Guangling San ini kepadaku, benar begitu?” tanya Huang Zhonggong.

“Betul, dan kami bertiga sudah kalah semua,” jawab Heibaizi. “Kini tinggal Kakak Pertama saja. Jika Kakak Pertama tidak turun tangan tentu Wisma Mei Zhuang kita ini, hehe ….”

“Jika kalian gagal, aku turun tangan juga tidak ada manfaatnya,” ujar Huang Zhonggong sambil tersenyum hambar.

“Kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Kakak Pertama?” desak Heibaizi.

“Ah, aku ini sudah tua, sudah tidak berguna lagi,” kata Huang Zhonggong.

Linghu Chong lantas bangkit dan berkata, “Tuan Pertama memiliki nama gelar Huang Zhonggong, sudah pasti ahli dalam bermain kecapi. Naskah ini memang sulit didapatkan, tetapi bukan berarti tidak boleh ditunjukkan kepada siapa pun. Silakan Tuan Pertama membaca atau menyalinnya. Setelah tiga atau lima hari saya akan datang kemari untuk mengambilnya.” Rupanya ia teringat pelajaran seni musik yang pernah diajarkan Luzhuweng bahwa irama paling rendah disebut “Huang Zhong” yang merupakan sumber dari irama-irama yang lain.

Huang Zhonggong dan Heibaizi terpana melihatnya. Lebih-lebih Heibaizi yang saat di ruang catur tadi melihat Xiang Wentian sangat jual mahal dan terus menerus mempersulit keadaan, sehingga membuat hati merasa gatal dan penasaran. Tak disangka, pemuda yang bernama “Feng Erzhong” ini ternyata begitu murah hati. Sebagai ahli catur, ia sudah terbiasa berpikir jangka panjang. Jangan-jangan sikap Linghu Chong itu hanyalah jebakan untuk sang kakak pertama. Namun demikian, Heibaizi tidak bisa melihat di mana letak perangkap tersebut berada.

Huang Zhonggong berkata, “Tanpa jasa mana boleh menerima imbalan? Kau dan aku juga tidak memiliki hubungan apa pun, bagaimana aku bisa menerima hadiahmu yang istimewa ini? Kalian berdua sudi berkunjung ke wisma kami yang sederhana, tentu menyimpan maksud dan tujuan tertentu. Untuk itu, mohon sudilah berterus terang.”

Linghu Chong berpikir sejenak, “Sebenarnya apa tujuan Kakak Xiang mengajakku datang kemari? Apakah untuk meminta keempat majikan mengobati penyakitku? Namun mengapa Kakak Xiang menjalankan rencananya dengan penuh rahasia? Apakah ada tujuan yang lain? Keempat majikan ini tokoh luar biasa semua. Kalau aku berterus terang tentu ini merupakan hal yang kurang pantas. Aku memang tidak mengetahui isi hati Kakak Xiang. Baiklah, aku akan berbicara seperlunya saja. Semoga mereka tidak tersinggung.”

Maka, Linghu Chong pun menjawab, “Saya datang ke wisma yang mulia ini hanya mengikuti Kakak Tong. Terus terang, sebelum datang kemari, saya sama sekali belum pernah mendengar nama keempat majikan, juga tidak tahu kalau di daerah sini terdapat Wisma Mei Zhuang.” Sejenak ia berhenti, kemudian melanjutkan, “Hal ini mungkin disebabkan pengalaman saya yang dangkal sehingga tidak mengenal Tuan berdua yang terkemuka. Untuk itu mohon kedua majikan sudi memaafkan.”

Huang Zhonggong memandang sejenak kepada Heibaizi, kemudian berkata dengan tersenyum tipis, “Pendekar Muda Feng bersikap jujur dan terus terang, aku si tua sangat berterima kasih. Tadinya aku memang agak heran. Kami berempat sudah mengundurkan diri dan hidup menyepi dari keramaian. Kaum persilatan juga sedikit yang mengenal kami, lebih-lebih Serikat Pedang Lima Gunung sama sekali tidak pernah berhubungan dengan kami, tapi mengapa kalian bisa datang ke sini? Jadi, Pendekar Muda Feng memang tidak mengetahui asal usul kami, begitu?”

“Sungguh saya merasa malu. Harap kedua majikan banyak-banyak memberi petunjuk,” sahut Linghu Chong. “Tadi saya mengatakan ‘sudah lama mengagumi nama besar keempat majikan’, namun sesungguhnya … sesungguhnya … aih.”

“Baiklah, baiklah. Huang Zhonggong, Heibaizi, dan yang lain hanyalah nama julukan yang kami pilih sendiri. Kami sudah lama tidak memakai nama asli sehingga pantas kalau Pendekar Muda tidak pernah mendengar sepak terjang kami,” kata Huang Zhonggong manggut-manggut. Tangannya kembali membolak-balik naskah Guangling San sambil berkata, “Jadi, kitab not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau pinjamkan kepadaku untuk disalin?”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Naskah Guangling San ini milik Kakak Tong, sehingga saya hanya bisa meminjamkannya. Andai saja naskah ini milik saya, pasti saya akan memberikannya kepada Tuan Pertama tanpa perlu dikembalikan. Pepatah mengatakan, ‘Pedang pusaka hendaknya diberikan kepada pahlawan.’”

“Oh!” seru Huang Zhonggong. Dari raut wajahnya yang cekung samar-samar terlihat perasaan gembira.

Heibaizi menukas, “Saudara Feng, kau hendak meminjamkan naskah kecapi ini kepada Kakak Pertama, apakah Saudara Tong sudah mengizinkannya?”

Linghu Chong menjawab, “Kakak Tong dan aku adalah sahabat seumur hidup. Sifatnya pemurah dan gagah berani. Kalau aku sudah berjanji untuk melakukan sesuatu sebesar apa pun, ia tidak pernah melarangnya.”

Mendengar itu Heibaizi hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.

Huang Zhonggong berkata, “Aku si tua sangat berterima kasih kepada Pendekar Muda Feng. Namun karena belum mendengar dari mulut Saudara Tong sendiri, membuat hatiku tidak tenang. Kabarnya Saudara Tong tadi berkata, jika ada satu orang saja di Wisma Mei Zhuang ini bisa mengalahkan ilmu pedang Pendekar Muda Feng, maka naskah kecapi ini bisa menjadi milik kami. Aku tidak boleh mengambil keuntungan semudah ini dari kemurahan hatimu. Untuk itu, marilah kita coba-coba beberapa jurus.”

Linghu Chong kembali berpikir, “Tadi Tuan Kedua berkata, ‘Kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Kakak Pertama?’ Dengan demikian, ilmu silat Tuan Pertama sudah tentu lebih hebat dari mereka. Ilmu silat ketiga majikan sangat tinggi. Aku bisa mengalahkan mereka hanya karena mengandalkan ilmu pedang yang diajarkan Kakek Guru Feng. Kalau aku bertanding dengan Tuan Pertama, aku belum tentu bisa menang? Tanpa alasan yang jelas, untuk apa aku harus mempermalukan diri sendiri. Kalau pun aku bisa menang, manfaat apa yang kudapatkan?”

Berpikir demikian, ia pun berkata, “Secara iseng Kakak Tong telah mengemukakan kata-kata seperti itu, sungguh membuat malu saja. Keempat majikan tidak marah saja saya sudah merasa bersyukur. Sekarang mana berani saya bertanding dengan Tuan Pertama?”

“Kau memang baik hati,” puji Huang Zhonggong. “Tapi tiada salahnya kita coba-coba beberapa jurus, bagaimana?”

Orang tua itu berdiri dan mengambil sebatang seruling kumala yang tergantung di dinding, kemudian menyerahkannya kepada Linghu Chong. Ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi yang tertaruh di atas meja sambil berkata, “Kau bisa gunakan seruling itu sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata. Kedua alat musik ini tidak berani kusebut sebagai harta karun, tapi juga terhitung barang langka. Tentunya aku merasa sayang kalau keduanya sampai rusak begitu saja. Untuk itu, kita cukup berlagak dan bergaya sekadarnya saja.”

Linghu Chong melihat seruling di tangannya berwarna hijau tua, ternyata terbuat dari zamrud bermutu tinggi. Di dekat bagian mulut terdapat beberapa titik sinabar, warnanya merah tua bagaikan darah, sehingga nampak berlawanan dengan badan seruling. Sebaliknya, kecapi yang dipegang Huang Zhonggong warnanya sudah gelap kusam karena tua, jelas merupakan barang kuno yang berusia ratusan tahun, atau mungkin seribu tahun lebih. Jika kedua alat musik itu sampai terbentur perlahan saja sudah pasti akan hancur berkeping-keping, sehingga memang tak dapat digunakan untuk bertarung yang sesungguhnya.

Linghu Chong merasa tidak memiliki pilihan lain. Ia pun memegang seruling kumala itu dengan kedua tangannya, lalu berkata, “Mohon Tuan Pertama memberi petunjuk.”

Huang Zhonggong menjawab, “Sesepuh Feng adalah ahli pedang paling hebat pada zamannya. Dari dulu aku sangat mengaguminya. Ilmu pedang yang ia ajarkan sudah pasti lain daripada yang lain. Pendekar Muda Feng, silakan mulai!”

Linghu Chong segera mengangkat seruling dan mengayunkannya perlahan ke samping. Angin pun meniup masuk melalui lubang seruling itu dan menimbulkan beberapa nada lembut. Huang Zhonggong juga memetik kecapinya beberapa kali. Begitu bunyi kecapi mengalun, ia segera menyodokkan bagian ekor kecapi ke arah bahu kanan Linghu Chong.

Ketika mendengar suara kecapi, pikiran Linghu Chong sedikit terguncang. Namun perlahan-lahan serulingnya lantas ditotokkan ke depan, mengarah ke siku Huang Zhonggong. Dalam keadaan demikian jika kecapi itu tetap ditumbukkan ke bahu lawan, maka titik nadi pada siku sendiri tentu akan tertotok lebih dulu. Berpikir demikian, Huang Zhonggong segera memutar balik kecapinya dan menghantamkannya ke pinggang Linghu Chong. Ketika kecapi itu diputar, kembali ia memetik senar sehingga mengeluarkan suara berdenting.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Bila aku menangkis kecapi dengan seruling ini tentu keduanya akan hancur bersama. Aku yakin dia tidak akan membiarkan kedua alat musiknya yang langka ini rusak sehingga pasti akan menggeser kecapinya. Tapi cara demikian itu hanyalah akal bulus yang tidak boleh kulakukan.”

Maka dengan cepat ia pun memutar serulingnya setengah lingkaran untuk menotok ketiak lawan. Sewaktu Huang Zhonggong mengangkat kecapinya untuk menangkis, Linghu Chong segera menarik kembali serulingnya. Lagi-lagi Huang Zhonggong memetik senar beberapa kali. Nadanya pun berubah menjadi tinggi dan mendesak.

Mendengar itu wajah Heibaizi tampak tegang. Lekas-lekas ia mundur keluar kamar sekaligus menutup rapat pintunya.

Ternyata petikan kecapi Huang Zhonggong itu bukan sekadar iseng, melainkan untuk mencurahkan tenaga dalam tingkat tingginya melalui suara kecapi guna mengacaukan pikiran lawan. Mendengar suara denting kecapi itu, pikiran dan tenaga lawan akan bereaksi terhadap kecapi. Tanpa disadari, pihak lawan akan dikuasai oleh irama kecapi. Jika suara kecapi perlahan, maka gerakan lawan juga ikut perlahan, dan jika suara kecapi menjadi cepat, maka gerakan musuh juga ikut cepat.

Namun demikian, gerak serangan Huang Zhonggong ternyata berkebalikan dengan suara denting kecapinya. Pada waktu kecapi mengeluarkan suara halus dan lembut, ia justru menyerang dengan cepat sehingga pihak lawan tentu akan sukar menangkisnya. Kepandaian membaurkan suara kecapi ke dalam ilmu silat demikian adalah tingkatan tertinggi yang dicapainya.

Heibaizi mengetahui dengan baik betapa tinggi ilmu silat Huang Zhonggong tersebut. Ia menjadi khawatir terhadap keselamatan diri sendiri. Maka, ia pun lekas-lekas mengundurkan diri keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tapi dari balik pintu sayup-sayup masih terdengar suara kecapi yang berubah-ubah, kadang cepat dan meninggi, kadang lambat dan rendah nadanya; tiba-tiba sunyi tiada berbunyi, tapi kemudian mendadak berdenting dengan keras. Mendengar itu perasaan Heibaizi menjadi gelisah dan napas pun tersengal-sengal. Lagi-lagi ia mundur sampai ke luar gerbang. Di balik pintu ini suara kecapi tidak lagi terdengar, hanya kadang-kadang masih terdengar suara dentingan nyaring. Beberapa nada yang menembus keluar membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Setelah termangu-mangu agak lama, ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng itu teramat tinggi, tak disangka tenaga dalamnya juga hebat. Bagaimana ia bisa bertahan terhadap serangan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Kakak Pertama?”

Pada saat itulah Tubiweng dan Danqingsheng datang menyusul. “Bagaimana?” tanya Danqingsheng dengan suara lirih.

“Mereka sudah bertarung sangat lama tapi pemuda itu masih terus bertahan. Aku takut dia akan terluka parah oleh kehebatan Kakak,” jawab Heibaizi.

“Biar aku memohon belas kasihan, supaya Kakak Pertama tidak sampai melukai sahabat yang baik itu,” ujar Danqingsheng.

Heibaizi menggeleng dan berkata, “Kau jangan masuk!”

Pada saat itulah mendadak suara kecapi berdenting sangat nyaring. Serentak mereka bertiga mundur satu langkah. Secara beruntun kecapi itu berbunyi lagi lima kali dan mereka pun tanpa sadar juga mundur lima langkah.

Raut muka Tubiweng tampak pucat pasi. Setelah menenangkan diri baru ia bisa berkata, “Itu adalah jurus ‘Dewa Pembelah Gunung’ dari ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’. Bagaimana orang bermarga Feng mampu menahan serangan berantai Kakak Pertama yang sangat ganas itu?”

Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar lagi suara nyaring kecapi yang lebih keras dari sebelumnya. Disusul kemudian terdengar suara seperti putusnya beberapa senar.

Kontan saja Heibaizi bertiga sangat terkejut. Lekas-lekas mereka mendorong pintu besar dan selanjutnya membuka pintu kamar dan berlari masuk ke dalam. Terlihat Huang Zhonggong sedang berdiri terkesima sambil memegangi kecapinya. Tujuh utas senar sudah putus dan terkulai di sisi kecapi. Sebaliknya, Linghu Chong tampak berdiri tenang dengan tetap memegang serulingnya.

“Mohon maaf!” kata pemuda itu sambil membungkuk.

Dari pemandangan itu sudah dapat disimpulkan kalau Huang Zhonggong kalah dalam pertandingan ini. Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng terperanjat tak percaya. Mereka bertiga tahu benar bagaimana kehebatan tenaga dalam sang kakak pertama. Huang Zhonggong sebelum mengasingkan diri sudah jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Apalagi selama belasan tahun terakhir ia giat berlatih dalam kesendirian, tentu ilmu andalannya itu sudah jauh lebih maju dan lihai. Siapa sangka kali ini ia kalah telak di tangan seorang pemuda dari Perguruan Huashan? Kejadian ini kalau tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri tentu sulit untuk dipercaya.

Dengan tersenyum getir Huang Zhonggong membuka suara, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng sangat hebat, sungguh belum pernah kulihat sebelumnya. Bahkan, pencapaian tenaga dalam juga sedemikian tinggi, sungguh patut dipuji dengan penuh kekaguman. Tadinya aku mengira ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ terhitung ilmu yang hebat di dunia persilatan. Siapa sangka di hadapan Pendekar Muda Feng hanya seperti mainan saja. Kami berempat kakak beradik sudah belasan tahun mengundurkan diri dari dunia persilatan den menyepi di Wisma Mei Zhuang ini. Hm, ternyata kami seperti katak dalam tempurung.” Nada bicaranya itu terdengar murung dan lesu.

Linghu Chong berkata dengan rendah hati, “Saya hanya mencoba bertahan sekuat tenaga saja. Semua ini berkat kemurahan hati Tuan Pertama kepada saya.”

Huang Zhonggong menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Ia kemudian duduk dengan kecewa. Sungguh, perasaan masygulnya tergambar jelas di wajahnya yang muram.

Linghu Chong merasa tidak enak hati melihatnya. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Xiang jelas tidak ingin mereka mengetahui kalau tenaga dalamku sudah musnah, supaya mereka tidak tahu kalau aku datang kemari untuk memohon pengobatan kepada mereka. Kakak Xiang mungkin khawatir jika aku berterus terang justru akan menimbulkan banyak rintangan. Tapi seorang laki-laki sejati harus mengutamakan kejujuran dan sikap berterus terang. Aku tidak boleh menarik keuntungan dari mereka dengan cara seperti ini.”

Maka, ia lantas berkata, “Tuan Pertama, ada satu hal harus kukatakan terus terang. Sesungguhnya, saya tidak gentar menghadapi hawa pedang tak berwujud yang keluar dari kecapi tadi bukan karena tenaga dalam saya yang hebat, melainkan karena saya sudah tidak mempunyai tenaga dalam lagi.”

Huang Zhonggong tercengang dan bangkit kembali. “Apa katamu?” demikian ia menegas.

Linghu Chong menjawab, “Saya pernah terluka beberapa kali. Tenaga dalam sudah punah semua, makanya tidak merasakan apa-apa dan tidak pula bereaksi apa-apa terhadap serangan suara kecapi Tuan Pertama tadi.”

“Apa benar begitu?” tukas Huang Zhonggong. Suaranya terdengar senang bercampur kaget.

“Jika Tuan Pertama tidak percaya, silakan periksa nadi saya, tentu akan mengetahui yang sebenarnya,” ujar Linghu Chong sambil mengulurkan tangan kanannya.

Huang Zhonggong beserta ketiga adiknya terheran-heran. Mereka berpikir meskipun Linghu Chong bersama Xiang Wentian berkunjung ke Wisma Mei Zhuang secara baik-baik, namun mereka jelas memiliki maksud untuk menantang. Namun sekarang Linghu Chong justru dengan tenang menjulurkan tangan kanannya begitu saja, seolah menyerahkan hidup dan mati kepada pihak yang ditantangnya.

Huang Zhonggong berpikir pemuda itu hendak menantang adu tenaga dalam sekali lagi. Jika itu benar terjadi, entah bagaimana caranya mengerahkan tenaga dalam sambil memeriksa denyut nadi Linghu Chong. Seorang pendekar yang berkepandaian setinggi langit pun tetap sulit untuk mengerahkannya, sehingga satu-ssatunya jalan hanya menyerah pada kehebatan musuh. Apalagi barusan ia telah mengerahkan jurus “Enam Dewa Pembelah Gunung” yang ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Linghu Chong. Ketika orang tua itu mengerahkan segenap kekuatannya, ketujuh senar kecapinya justru putus sekaligus. Kekalahan telak seperti itu jelas meninggalkan kekecewaan mendalam dan membuat hati penasaran. Diam-diam ia pun berpikir, “Kalau kau menarik tanganku dan menotok titik nadiku, maka aku akan mengadu tenaga dalam denganmu.”

Perlahan-lahan Huang Zhonggong lantas mengulurkan tangannya untuk meraba pergelangan Linghu Chong. Diam-diam ia juga mempersiapkan jurus “Cakar Macan”, “Cakar Naga”, dan “Delapan Belas Tapak Kecil”. Ketiganya adalah ilmu silat tangan kosong kelas satu. Jurus apa pun yang akan dipakai lawan, tetap tidak akan mampu menangkap tangannya. Tak disangka, begitu jarinya sudah mencengkeram nadi pergelangan Linghu Chong, ternyata pemuda itu tampak diam saja, sedikit pun tidak memberikan perlawanan.

Huang Zhonggong terlihat tegang, namun begitu merasakan denyut nadi Linghu Chong yang sangat lemah, ia menjadi lega. Ternyata pemuda itu benar-benar sudah tidak memiliki tenaga dalam lagi. Sejenak Huang Zhonggong termangu-mangu, kemudian tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Ternyata demikian, ternyata demikian! Anak muda, kau telah menipuku, kau telah menipuku!”

Meskipun ia menyatakan telah tertipu, namun raut mukanya terlihat gembira luar biasa. Ilmu “Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud” hanyalah musik kecapi belaka. Suara musik yang ia mainkan pada hakikatnya tidak dapat melukai, tetapi mampu merangsang tenaga dalam lawan dan mengacaukan gerakannya. Semakin tinggi tenaga dalam lawan, semakin kuat pula reaksinya terhadap suara kecapi itu. Namun tak disangka, ilmu tersebut harus berhadapan dengan Linghu Chong yang tidak memiliki tenaga dalam sama sekali, sehingga tidak menghasilkan reaksi apa-apa pula.

Setelah kalah telak, Huang Zhonggong merasa sangat kecewa dan berkecil hati. Namun saat mengetahui bahwa penyebab kekalahannya bukan karena ilmu kecapinya yang tidak ampuh, melainkan karena pihak lawan tidak memiliki tenaga dalam, membuat orang tua itu gembira luar biasa seperti orang gila. Tangan Linghu Chong dipegangnya erat-erat dan digoyang-goyangkannya beberapa kali. Sambil tersenyum ia pun bertanya, “Sobat baik, sobat baik! Mengapa kau memberitahukan rahasiamu kepadaku si tua?”

Linghu Chong menjawab dengan tersenyum pula, “Tenaga dalam saya memang sudah lenyap. Tadi ketika bertanding dengan Tuan Pertama, saya merasa tidak enak hati. Bagaimana saya bisa terus-menerus berbohong? Tuan Pertama bagaikan memetik kecapi untuk seekor sapi, dan sayalah sapi itu yang tidak mengerti keindahan permainan kecapi Tuan?”

Huang Zhonggong bergelak tertawa sambil mengelus-elus janggutnya, kemudian berkata, “Jika demikian, jurus ‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Berwujud’ milik si tua ini bukanlah sesuatu yang jelek. Aku hanya khawatir ilmuku itu berganti menjadi ‘Pedang Tujuh Senar Putus Tanpa Guna’. Hahahaha!”

Heibaizi menyela, “Saudara Feng, kau telah memberitahukan rahasiamu dengan jujur, sungguh kami empat bersaudara merasa sangat berterima kasih. Akan tetapi, apakah kau tidak takut dengan terbongkarnya rahasiamu ini, kami bersaudara bisa mencabut nyawamu dengan sangat mudah?”

“Ucapan Tuan Kedua memang tidak salah,” jawab Linghu Chong. “Tapi saya percaya keempat majikan adalah kaum gagah sejati yang berjiwa kesatria. Itu sebabnya, saya tidak takut bicara terus terang.”

“Benar, memang benar,” ucap Huang Zhonggong. “Saudara Feng, lebih baik kau katakan saja apa maksud dan tujuan kedatanganmu yang sebenarnya ke tempat kami ini. Meskipun baru kenal, tapi kami sudah menganggapmu seperti kawan lama. Asalkan kami mampu pasti akan kami laksanakan apa pun yang kau inginkan.”

Tubiweng menyambung, “Tenaga dalam Saudara Feng sudah lenyap, mungkin disebabkan luka dalam yang sangat parah. Aku mempunyai seorang sahabat baik, ilmu pengobatannya mahasakti. Hanya sayang, wataknya terlalu aneh dan tidak sembarangan menerima orang sakit. Namun mengingat hubungannya denganku mungkin dia mau mengobatimu. Ping Yizhi si Tabib Pembunuh itu memang ….”

“Oh, Tabib Ping Yizhi?” tukas Linghu Chong.

“Benar. Rupanya Saudara Feng pernah mendengar namanya?” tanya Tubiweng.

Linghu Chong menjawab dengan nada murung, “Tabib Ping sudah meninggal di Lembah Lima Tiran beberapa bulan lalu.”

“Hah! Dia … dia sudah meninggal dunia?” seru Tubiweng terkejut.

“Dia sanggup menyembuhkan penyakit apa saja, mengapa tidak mampu mengobati penyakit sendiri?” sahut Danqingsheng. “Ah, apakah dia terbunuh oleh musuhnya?”

Linghu Chong menggeleng. Mengingat kematian Ping Yizhi membuatnya menyesal dan merasa bersalah. Ia kemudian berkata, “Sebelum meninggal dunia, Tabib Ping masih sempat memeriksa denyut nadiku dan mengatakan bahwa penyakitku ini sangat aneh. Ia mengaku tidak sanggup mengobati.”

Mendengar berita kematian Ping Yizhi itu, Tubiweng tampak sangat berduka. Ia duduk termangu-mangu dan air matanya pun meleleh.

Setelah berpikir sejenak, Huang Zhonggong berkata, “Saudara Feng, aku memberimu suatu jalan keluar yang agak sukar dipastikan. Akan kutulis sepucuk surat yang bisa kau bawa menghadap Mahabiksu Fangzheng, Kepala Biara Shaolin yang sekarang. Jika Beliau sudi mengajarkan Ilmu Pengubah Urat yang tiada bandingannya itu, tentu tenaga dalammu ada harapan bisa pulih kembali. Sebenarnya Ilmu Pengubah Urat adalah ilmu rahasia Perguruan Shaolin yang tidak diajarkan kepada orang luar. Namun Mahabiksu Fangzheng dulu pernah berhutang budi padaku. Mungkin dia akan memandang muka kepadaku dan bersedia melakukannya.”

Apa yang dikatakan kedua majikan itu sangat tepat, yaitu menyarankan Linghu Chong berobat kepada Ping Yizhi atau Mahabiksu Fangzheng. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih atas ketulusan para majikan Wisma Mei Zhuang yang sungguh-sungguh hendak menolongnya. Ia kemudian menjawab, “Ilmu Pengubah Urat hanya diajarkan kepada murid Biara Shaolin saja. Diriku ini tidak pantas menjadi murid Perguruan Shaolin.” Ia kemudian bangkit dan membungkuk dalam-dalam sambil melanjutkan perkataan, “Maksud baik para majikan akan selalu kuingat seumur hidup. Tentang hidup dan mati sudah suratan Langit. Lukaku tidak parah, tapi telah membuat para majikan ikut khawatir. Biar aku mohon diri saja.”

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Huang Zhonggong mencegah. Orang tua itu masuk ke ruang dalam, kemudian ia keluar kembali dengan membawa sebuah botol porselen kecil. “Botol ini berisi dua butir pil pemberian mendiang guruku. Sangat bagus khasiatnya untuk memperkuat tenaga dan menyembuhkan penyakit. Sekarang kuberikan kepada Saudara Feng sekadar kenang-kenangan perkenalan kita.”

Linghu Chong dapat melihat tutup botol itu sudah tua dan usang, jelas pil tersebut adalah benda pusaka yang tidak ternilai harganya dan selalu disimpan Huang Zhonggong sekian lamanya. Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Obat ajaib ini tentu pemberian guru Tuan Pertama yang istimewa. Lebih baik Tuan Pertama menyimpannya saja untuk digunakan di kemudian hari.”

Huang Zhonggong berkata sambil menggelengkan kepala, “Kami berempat sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan, dan tidak pernah bertempur lagi dengan orang luar. Maka itu, obat ini pun tiada gunanya bagi kami. Kami berempat tidak punya murid juga keluarga. Jika kau menolaknya, maka biarlah obat ini kubawa masuk ke liang kubur saja.”

Mendengar ucapan yang mengharukan itu, terpaksa Linghu Chong menerima kedua pil tersebut dengan ucapan terima kasih. Ia kemudian berpamitan mohon diri meninggalkan ruangan tersebut. Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng segera mengantarkannya kembali ke ruang catur.

Melihat wajah mereka berempat, Xiang Wentian segera paham kalau Linghu Chong telah memenangkan pertandingan pedang melawan majikan pertama. Jika Huang Zhonggong yang menang, tentu Heibaizi tidak akan terlihat setenang itu, juga Tubiweng dan Dan Qingsheng pasti akan bersemangat. Begitu bertemu muka, tentu keduanya segera menjulurkan tangan, meminta kaligrafi karya Zhang Xu dan lukisan karya Fan Kuan. Namun demikian, Xiang Wentian pura-pura bertanya, “Adik Feng, apakah Tuan Pertama telah memberikan petunjuk ilmu pedang kepadamu?”

“Kepandaian Tuan Pertama sangat tinggi sukar diukur,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, secara kebetulan Beliau bertemu denganku yang sama sekali sudah tidak mempunyai tenaga dalam, sehingga tidak terpengaruh pula oleh suara kecapi Tuan Pertama yang disertai dengan tenaga dalam. Sekali lagi, ini semua karena kebetulan belaka.”

Danqingsheng melotot kepada Xiang Wentian, kemudian berkata, “Adik Feng ini orang yang jujur. Segalanya telah dikatakan dengan terus terang. Kau bilang tenaga dalamnya jauh di atasmu sehingga kakak pertama kami tertipu mentah-mentah olehmu.”

“Dulu tenaga dalam Adik Feng memang jauh di atasku sebelum akhirnya musnah,” jawab Xiang Wentian dengan tertawa. “Yang kukatakan adalah masa lalu, bukan sekarang.”

“Huh, kau bukan manusia baik-baik,” ejek Tubiweng.

Xiang Wentian memberi hormat sambil berkata, “Karena di dalam Wisma Mei Zhuang ini ternyata tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka sekarang juga kami mohon pamit.” Ia lalu berkata kepada Linghu Chong, “Adik Feng, mari kita pergi!”

Linghu Chong lantas memberi hormat pula kepada ketiga majikan itu, dan berkata, “Hari ini aku sangat beruntung bisa berjumpa dengan keempat majikan. Sungguh aku sangat bersyukur. Kelak di kemudian hari bila ada kesempatan, aku akan berkunjung lagi ke tempat yang mulia ini.”

Danqingsheng menanggapi, “Adik Feng, kapan pun kau boleh datang kemari untuk minum-minum denganku. Kau boleh merasakan semua arak simpananku. Tapi kalau Saudara Tong ini, hehe.”

“Ah, aku tidak biasa minum arak, sudah tentu tidak berani mencari penyakit ke sini,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum dan memberi hormat. Ia lantas menarik tangan Linghu Chong dan mengajaknya keluar. Heibaizi bertiga masih terus mengantar di belakang.

Xiang Wentian berkata, “Ketiga Majikan silakan sampai di sini saja, tidak perlu mengantar jauh-jauh.”

“Hah, apa kau pikir kami sedang mengantarmu?” ejek Tubiweng. “Yang kami antar adalah Saudara Feng, bukan dirimu. Jika hanya dirimu, satu langkah pun kami tidak sudi mengantar.”

“Oh, ternyata begitu,” sahut Xiang Wentian tertawa.

Setelah mengantar sampai di luar pintu gerbang barulah Heibaizi bertiga mengucapkan selamat jalan kepada Linghu Chong. Tubiweng dan Danqingsheng menatap dengan tajam. Andai saja bisa, rasanya ingin sekali mereka merebut bungkusan di punggung Xiang Wentian itu.

Xiang Wentian tidak ambil pusing. Digandengnya tangan Linghu Chong dan melangkah pergi. Sesudah agak jauh meninggalkan Wisma Mei Zhuang, mereka masuk ke dalam hutan pohon liu yang rimbun dan remang-remang. Ia kemudian bertanya dengan tertawa, “Adik, ilmu ‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ yang keluar dari kecapi majikan pertama itu sangat ampuh. Bagaimana kau bisa mengalahkannya?”

“Ternyata Kakak Xiang sudah mengetahui semuanya,” ujar Linghu Chong. “Untung saja tenaga dalamku sudah musnah. Kalau tidak, mungkin saat ini jiwaku sudah melayang. Kakak, apa kau ada permusuhan dengan keempat majikan itu?”

“Tidak, aku tidak ada permusuhan apa pun dengan mereka,” jawab Xiang Wentian. “Bahkan sebelumnya aku juga tidak pernah bertemu muka dengan mereka. Dari mana aku bisa bermusuhan dengan mereka?”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil, “Saudara Tong, Saudara Feng, harap kalian kembali dulu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat sesosok bayangan berkelebat secepat kilat. Ternyata yang datang adalah Danqingsheng.

Sebelah tangan Danqingsheng membawa sebuah mangkuk arak terisi setengah lebih, tapi tidak tercecer setetes pun meski dibawa lari secepat itu. Ia kemudian berkata, “Adik Feng, aku masih menyimpan setengah botol Arak Bambu Hijau yang sudah berumur lebih dari satu abad. Sungguh sayang kalau kau tidak mencicipinya.” Usai berkata ia lantas menyodorkan mangkuk arak yang dibawanya itu.

Linghu Chong menerimanya. Dilihatnya arak itu berwarna hijau bagaikan zamrud, begitu gelap sampai dasar cawan tidak terlihat. Baunya juga sangat harum dan keras. Ia pun memuji, “Benar-benar arak bagus!”

Segera ia minum seteguk dan memuji kembali, “Bagus!” setelah meneguk empat kali, seluruh isi mangkuk tersebut telah berpindah ke dalam perutnya. Ia kemudian berkata pula, “Arak ini ringan tapi mengandung bermacam-macam rasa. Benar-benar arak termasyhur dari daerah Zhenjiang di Yangzhou.”

“Benar sekali. Ini memang harta karun dari Biara Jinshan di Lembah Zhenjiang. Jumlah seluruhnya ada enam botol. Para biksu itu pantang minum arak tetapi memberikan satu botol kepadaku. Aku meminumnya setengah, namun kemudian merasa sayang untuk menghabiskannya, ” kata Danqingsheng. “Adik Feng, di wisma masih kusimpan beberapa jenis arak bagus. Bagaimana kalau kau kembali ke sana untuk memberikan penilaian?”

Linghu Chong sudah merasa akrab dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, apalagi ada arak bagus, sudah tentu ia merasa sangat senang. Ia menoleh kepada Xiang Wentian, dengan maksud ingin tahu pendapatnya.

Xiang Wentian pun menjawab, “Adik Feng, jika Tuan Keempat mengundangmu minum arak, maka kau boleh pergi. Mengenai diriku, jika Tuan Ketiga dan Tuan Keempat melihatku pasti langsung merasa kesal. Maka itu, sebaiknya aku tidak ikut, hehe ….”

“Kapan aku merasa kesal jika melihatmu?” tukas Danqingsheng dengan tertawa. “Sudahlah, ayo kita pergi bersama! Kau adalah sahabat Adik Feng, berarti sahabatku juga. Ayo berangkat!”

Sebelum Xiang Wentian sempat menolak, Danqingsheng sudah menggandeng tangannya dan juga tangan Linghu Chong sambil berseru, “Ayo, ayo! Kita harus minum lagi beberapa cawan.”

Diam-diam Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Ketika berpamitan tadi sikap Tuan Keempat agak ketus terhadap Kakak Xiang, tapi mengapa sekarang tiba-tiba berubah simpatik begini? Jangan-jangan dia masih mengincar kaligrafi dan lukisan di dalam bungkusan Kakak Xiang sehingga sengaja mengatur tipu muslihat untuk merebutnya.”

Setibanya kembali di Wisma Mei Zhuang, tampak Tubiweng sudah menunggu di depan pintu. Dengan mulut tersenyum senang ia menyambut, “Bagus sekali! Saudara Feng sudah datang.”

Mereka kemudian masuk kembali ke ruang catur. Danqingsheng menyuguhkan bermacam-macam arak bagus kepada Linghu Chong, sedangkan Heibaizi sama sekali tidak terlihat. Saat itu hari sudah senja. Tubiweng dan Danqingsheng seperti menanti seseorang. Berulang kali mereka melirik ke luar pintu. Dua kali Xiang Wentian mohon pamit, tapi mereka selalu menahan dengan sungguh-sungguh. Linghu Chong tidak menghiraukan semua itu, karena baginya yang penting bisa minum arak sepuasnya.

Kemudian Xiang Wentian berkata dengan tertawa, “Bila kedua majikan tidak menjamu kami, tentu si tukang makan sepertiku akan mati kelaparan.”

“Benar sekali!” seru Tubiweng. Lalu ia berteriak, “Pelayan Ding, lekas siapkan hidangan!”

Terdengar Ding Jian mengiakan di luar ruangan. Pada saat itulah pintu terbuka. Ternyata yang datang Heibaizi. Ia berkata kepada Linghu Chong, “Saudara Feng, di wisma kami ini masih ada seorang lagi kawan lain yang ingin berkenalan dengan ilmu pedangmu.”

“Wah, ternyata Kakak Pertama sudah mengabulkan!” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan sambil melonjak kegirangan.

Mau tidak mau Linghu Chong berpikir, “Untuk bisa bertanding pedang denganku, orang itu harus minta izin dulu kepada Tuan Pertama. Jadi mereka sengaja menahan kami di sini untuk makan minum, supaya memberi kesempatan kepada Tuan Kedua untuk berunding dengan Tuan Pertama, sampai akhirnya Tuan Pertama mengabulkan permintaan mereka. Siapa lagi yang akan kuhadapi? Mungkin orang itu adalah anak atau keponakan atau mungkin murid dari Tuan Pertama. Apa mungkin ilmu silatnya lebih tinggi dari Tuan Pertama?”

Tiba-tiba suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Wah, celaka! Mereka sekarang sudah tahu kalau tenaga dalamku musnah sama sekali. Untuk menjaga nama baik, mereka tidak turun tangan sendiri, tetapi mengajukan seorang yang lebih muda untuk bertanding denganku. Jika pertandingan ini sampai mengadu tenaga dalam, bukankah jiwaku bisa melayang?”

Namun kemudian terpikir pula olehnya, “Keempat majikan ini adalah kaum kesatria yang jujur dan mulia. Mana bisa mereka melakukan perbuatan serendah itu? Hanya saja, Tuan Ketiga dan Tuan Keempat sangat menginginkan kaligrafi dan lukisan yang diperlihatkan Kakak Xiang, sementara Tuan Kedua meskipun bersikap tenang, tapi sesungguhnya juga terpesona melihat kitab catur yang diuraikan Kakak Xiang. Untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan itu, bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang tidak terduga. Kalau lawanku nanti benar-benar hendak melukaiku dengan tenaga dalam, terpaksa aku harus menyerang titik-titik penting pada tubuhnya.”

Terdengar Heibaizi berkata, “Saudara Feng, mohon ikut denganku sekali lagi.”

Linghu Chong menjawab, “Ah, kalau bicara tentang kepandaian sejati, aku sama sekali bukan tandingan Tuan Ketiga dan Tuan Keempat, apalagi Tuan Pertama dan Tuan Kedua. Ilmu silat keempat majikan di Wisma Mei Zhuang sangat tinggi tak tertandingi. Hanya saja, keempat majikan telah akrab denganku dan minum arak bersama, sehingga sudi mengalah kepadaku. Padahal, sedikit permainanku yang kasar ini sebenarnya tidak perlu dipertunjukkan lagi.”

“Adik Feng, ilmu silat orang itu jauh lebih tinggi darimu,” kata Danqingsheng. “Tapi jangan takut, dia seorang ….”

“Dia seorang ahli pedang di wisma kami ini,” buru-buru Heibaizi menyela. “Ketika mendengar ilmu pedang Saudara Feng sedemikian hebat, dia langsung berkata ingin mencoba ilmu pedangmu. Maka itu, harap Saudara Feng sudi bertanding satu babak melawan dia.”

Linghu Chong merasa serbasalah. Ia berpikir jika harus bertanding lagi bukan mustahil terpaksa harus melukai lawan sehingga akan bermusuhan dengan Empat Sekawan dari Jiangnan. Maka, dengan rendah hati ia menjawab, “Keempat majikan teramat baik kepadaku. Jika harus bertanding lagi, entah bagaimana perangai sesepuh itu? Kalau sampai aku terluka olehnya, tentu bisa merusak persahabatan kita ini.”

Danqingsheng berkata dengan tertawa, “Jangan khawatir. Tidak mungkin ….”

“Tidak mungkin kami berempat menyalahkan Saudara Feng,” sahut Heibaizi kembali menukas.

Xiang Wentian menanggapi, “Baiklah, apa susahnya bertanding sekali lagi? Tapi sayang aku ada sedikit urusan dan tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Biarlah aku berangkat lebih dulu. Adik Feng, kita berjumpa lagi di Jiaxing.”

“Hei, mana boleh kau pergi begitu saja?” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan.

“Kau boleh pergi, tapi tinggalkan kaligrafi Zhang Xu itu,” ujar Tubiweng menambahkan.

“Benar. Jika Adik Feng kalah nanti, ke mana kami harus mencarimu untuk meminta barang taruhan? Tidak boleh, tidak boleh! Kau harus tinggal dulu di sini,” kata Danqingsheng. “Ding Jian, lekas siapkan jamuan!”

Heibaizi lantas berkata pula, “Saudara Feng, marilah pergi bersamaku. Saudara Tong, silakan makan dulu di sini, sebentar lagi kami akan kembali untuk menemanimu.”

Xiang Wentian menggelengkan kepala dan menjawab, “Dalam pertandingan ini jelas kalian bertekad harus menang. Ilmu pedang Adik Feng memang hebat, namun pengalamannya bertarung masih terbatas. Lebih-lebih, kalian sudah tahu kalau tenaga dalam Adik Feng sudah musnah. Kalau aku tidak ikut mengawasi pertandingan ini, tentu kami akan merasa penasaran jika nanti Adik Feng kalah.”

“Apa maksud perkataan Saudara Tong ini?” tanya Heibaizi. “Memangnya kau menuduh kami akan berbuat curang?”

“Nama besar keempat majikan Wisma Mei Zhuang di Kushan sebagai kesatria gagah sejati sudah lama kudengar. Tentu saja aku mempercayai kalian sepenuh hati,” jawab Xiang Wentian. “Namun yang akan bertanding dengan Adik Feng adalah orang lain, dan aku sama sekali tidak pernah mendengar ada jago lain selain keempat majikan di Wisma Mei Zhuang. Kalau boleh tahu, siapakah jago tersebut? Kalau ternyata dia juga seorang gagah sejati yang jujur tanpa muslihat seperti keempat majikan, tentu aku akan merasa lega.”

Danqingsheng menanggapi, “Nama besar dan ilmu silat orang ini jauh lebih tinggi daripada kami berempat, sehingga tidak pantas kalau disejajarkan.”

Xiang Wentian mendesak, “Tokoh persilatan yang memiliki nama besar dan kepandaian di atas keempat majikan boleh dikata dapat dihitung dengan jari. Mungkin aku mengenal namanya.”

Tubiweng menyahut, “Kami tidak leluasa menyebutkan nama orang itu kepadamu.”

“Kalau begitu aku harus ikut menyaksikan pertandingan ini. Kalau tidak diizinkan, lebih baik pertandingan ini dibatalkan saja,” ucap Xiang Wentian.

“Kenapa kau begitu keras kepala?” tanya Danqingsheng. “Tidak ada manfaatnya bagi Saudara Tong untuk melihat pertandingan ini. Orang itu sudah lama hidup menyepi dan tidak suka kalau orang luar melihat wajahnya.”

“Jika demikian bagaimana Adik Feng bisa bertanding pedang dengannya?” balas Xiang Wentian.

“Kedua pihak sama-sama memakai kedok, hanya kelihatan mata masing-masing sehingga tidak saling mengenal lagi,” kata Heibaizi.

“Apakah ketiga majikan juga memakai kedok?” Xiang Wentian menegas.

“Tentu saja,” jawab Heibaizi. “Watak orang itu sangat aneh. Kalau tidak begitu, dia tak mau bertanding.”

“Jika demikian, aku juga akan memakai kedok,” kata Xiang Wentian.

Sejenak Heibaizi terdiam ragu-ragu, dan akhirnya berkata, “Jika Saudara Tong bersikeras ingin ikut menyaksikan, kami terpaksa mengabulkannya. Namun Saudara Tong harus berjanji dari awal sampai akhir sedikit pun tidak boleh bersuara.”

“Pura-pura bisu dan tuli adalah soal mudah,” ujar Xiang Wentian tertawa.

Heibaizi lantas mendahului berjalan di depan disusul Xiang Wentian dan Linghu Chong, sedangkan Tubiweng dan Danqingsheng berjalan paling belakang.

Linghu Chong memperhatikan jalan yang dilewati kali ini adalah jalan menuju kediaman majikan pertama. Begitu sampai di luar ruangan kecapi, Heibaizi segera mengetuk perlahan, kemudian mendorong daun pintu hingga terbuka. Ternyata di dalam kamar sudah ada seseorang yang memakai kedok kain berwarna hitam, hanya sepasang matanya yang terlihat. Dari pakaiannya jelas ia adalah Huang Zhonggong.

Heibaizi membungkuk mendekati Huang Zhonggong dan berbisik di telinganya. Huang Zhonggong tampak menggeleng-geleng. Sepertinya ia tidak setuju kalau Xiang Wentian ikut serta. Heibaizi kembali berbisik, tapi Huang Zhonggong tetap menggeleng.

Akhirnya Heibaizi manggut-manggut dan berpaling kepada Xiang Wentian, lalu berkata, “Kakak Pertama berpendapat bahwa pertandingan ini hanya soal kecil, tapi kalau orang itu sampai marah, inilah yang tidak bagus. Karena itu lebih baik pertandingan ini dianggap batal saja.”

Kelima orang itu lantas memberi hormat kepada Huang Zhonggong dan mohon diri keluar kamar.

“Saudara Tong,” kata Danqingsheng dengan nada marah, “kau ini memang keras kepala. Apa kau khawatir kami akan mengerubut Adik Feng sehingga kau memaksa harus ikut menyaksikan pertandingan itu? Sekarang pertandingan yang seharusnya sangat menarik menjadi gagal sama sekali. Sungguh sangat mengecewakan.”

“Kakak Kedua telah berusaha dengan susah payah sehingga Kakak Pertama mengabulkan permintaan kami. Tapi kau telah mengacaukan semuanya,” omel Tubiweng.

Xiang Wentian menjawab, “Baiklah, baiklah. Biar aku mengalah saja. Aku tidak akan ikut menyaksikan pertandingan ini. Tapi kalian harus berlaku seadil-adilnya, tidak boleh mencurangi Adik Feng.”

Tubiweng dan Danqingsheng terlihat sangat senang. Serentak mereka menjawab, “Memangnya kau kira kami ini orang macam apa? Mana mungkin kami mencurangi Saudara Feng segala?”

“Baiklah, aku akan menunggu di ruang catur,” kata Xiang Wentian. “Adik Feng, entah mereka sudah menyiapkan permainan apa, hendaknya kau selalu berhati-hati dan selalu waspada.”

Linghu Chong menjawab dengan tertawa, “Setiap penghuni Wisma Mei Zhuang ini adalah kaum terpelajar. Mana mungkin mereka berbuat suatu hal licik?”

“Benar,” tukas Danqingsheng, “Kau menganggap sifat Adik Feng sama denganmu karena kau suka mengukur sifat orang lain seperti dirimu.”

Xiang Wentian berjalan menuju ke tempat semula, namun setelah beberapa langkah ia menoleh dan melambaikan tangan kepada Linghu Chong, “Adik Feng, coba kemari. Aku harus memberi petunjuk kepadamu supaya tidak masuk perangkap mereka.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kakak Xiang terlalu hati-hati. Aku bukan anak umur tiga tahun, apa begitu mudah ditipu orang?” Namun demikian ia tetap berjalan ke arah Xiang Wentian sambil tertawa.

Begitu Linghu Chong mendekat, Xiang Wentian segera menarik tangannya. Seketika Linghu Chong merasa ada sesuatu telah diselipkan ke dalam genggamannya, seperti bola kertas yang membungkus sebuah benda keras.

Xiang Wentian tertawa dan menarik tangan Linghu Chong lebih dekat, lalu berbisik di telinganya, “Sesudah kau bertemu orang itu, jabatlah tangannya sambil diam-diam menyelipkan bola kertas ini ke dalam genggamannya. Hal ini sangat penting, hendaknya kau jangan sampai lupa. Hahaha, hahaha!” Ketika mengucapkan bisikan tersebut, suaranya terdengar serius, namun raut wajahnya tetap menampilkan senyuman. Gelak tawa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisikan tadi.

Heibaizi dan kedua adiknya mengira Xiang Wentian sedang tertawa untuk mengolok-olok mereka. Danqingsheng segera berkata, “Apa yang kau tertawakan? Ilmu pedang Adik Feng sangat tinggi, tapi mengenai ilmu pedang Saudara Tong, kami belum pernah melihatnya.”

“Ilmu pedangku biasa-biasa saja, tidak ada bagusnya untuk dilihat,” jawab Xiang Wentian sambil tetap tertawa. Ia kemudian melangkah kembali menuju ruangan catur dengan sikap penuh percaya diri.

Sepeninggalnya, Danqingsheng segera berkata dengan gembira, “Mari kita temui Kakak Pertama sekali lagi.” Mereka berempat lantas kembali menuju kamar Huang Zhonggong.

Rupanya Huang Zhonggong tidak mengira kalau mereka akan datang kembali sehingga kedok hitam yang menutupi kepalanya tadi sudah dilepaskan.

“Kakak Pertama,” kata Heibaizi, “kami sudah membujuk Saudara Tong supaya membatalkan keinginannya menonton pertandingan.”

“Baiklah kalau begitu,” jawab Huang Zhonggong. Segera ia mengambil kembali kedok kain hitam tadi dan mengenakannya.

Danqingsheng membuka lemari kayu dan mengambil tiga lembar kain kedok warna hitam kemudian membagi-bagikannya kepada Heibaizi, Tubiweng, dan Linghu Chong, sambil berkata, “Adik Feng, kau pakailah punyaku.” Kemudian ia berkata kepada Huang Zhonggong, “Kakak Pertama, aku pinjam sarung bantalmu.” Usai berkata demikian ia lantas masuk ke dalam, kemudian kembali dengan kepala sudah tertutup sarung bantal berwarna hijau, dengan dua buah lubang pada bagian mata.

Huang Zhonggong mengangguk-angguk lalu berkata kepada Linghu Chong, “Dalam pertandingan nanti, kalian berdua akan memakai pedang kayu, supaya Adik Feng tidak dirugikan kalau lawanmu memakai tenaga dalam.”

“Bagus sekali!” jawab Linghu Chong gembira.

“Adik Kedua, ambilkan dua bilah pedang kayu,” kata Huang Zhonggong kepada Heibaizi. Segera Heibaizi membuka lemari kayu dan mengeluarkan dua senjata yang dimaksud itu.

Huang Zhonggong kembali berkata, “Saudara Feng, dalam pertandingan nanti tidak peduli siapa yang menang atau kalah, mohon supaya kau sama sekali tidak menceritakannya kepada orang lain.”

Linghu Chong menjawab, “Tentu saja. Sebelumnya aku sudah berkata bahwa kedatanganku ke Wisma Mei Zhuang ini bukan untuk mencari nama, mana mungkin aku sembarangan bicara di luar? Lagipula, kemungkinan besar aku akan kalah, jadi untuk apa aku menyombongkan diri?”

Huang Zhonggong berkata, “Soal kalah atau menang belum dapat dipastikan. Namun aku percaya Saudara Feng tidak akan memberi tahu kepada orang lain. Setelah pertandingan hari ini, mohon supaya kau jangan mengungkit-ungkitnya lagi. Bahkan kepada Saudara Tong juga jangan sampai kau bercerita. Apa kau dapat melakukannya?”

Linghu Chong menjawab dengan bimbang, “Kepada Kakak Tong juga tidak boleh bercerita? Setelah pertandingan ini, pasti ia akan bertanya apa saja yang telah terjadi. Kalau aku tidak menjawab, bukankah ini akan mencederai persahabatan kami?”

Huang Zhonggong berkata, “Saudara Tong itu sudah banyak pengalaman di dunia persilatan. Kalau dia tahu dirimu sudah berjanji kepada aku si tua, tentu ia tidak akan memaksamu untuk melakukan perbuatan yang tidak kau kehendaki. Janji seorang laki-laki sejati setara dengan seribu keping emas. Kau tidak boleh melanggarnya.”

Linghu Chong akhirnya mengangguk, “Baiklah, aku berjanji.”

Huang Zhonggong memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Feng. Mari, silakan!”

Linghu Chong berbalik hendak melangkah keluar, tak disangka Danqingsheng justru menunjuk ke arah kamar tidur, “Sebelah sini!”

Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Mengapa menuju kamar tidur?” Akhirnya ia pun menemukan jawaban di dalam benaknya, “Ah, aku tahu! Orang yang akan bertanding denganku mungkin seorang wanita. Bisa jadi dia adalah istri atau gundik Tuan Pertama, sehingga mereka bersikeras tidak mengizinkan Kakak Xiang ikut menonton. Kami juga diharuskan memakai kedok supaya tidak bisa saling melihat muka. Aku tidak bisa melihat wajahnya, dia juga tidak bisa melihat wajahku. Hal ini tentu saja untuk menjaga adat kebiasaan antara kaum pria dan wanita. Tuan Pertama juga berkali-kali berpesan supaya aku tidak bercerita kepada orang lain. Kalau bukan masalah wanita, mengapa begitu serius?”

Setelah menyimpulkan demikian, segala kecurigaannya lenyap sudah. Namun ketika teringat di tangannya ada benda kecil keras terbungkus gulungan kertas membuatnya kembali berpikir, “Sepertinya Kakak Xiang sudah mengetahui kalau aku akan bertanding dengan wanita itu, sehingga telah merencanakannya dengan teliti. Semua dilakukannya demi untuk bisa berjumpa wanita itu. Namun karena ia sendiri belum tentu bisa bertemu dengan wanita itu, terpaksa aku yang disuruh menyampaikan benda tanda cinta dan selembar surat ini. Kurasa dalam hal ini ada masalah asmara. Meskipun Kakak Xiang dan aku sudah mengangkat saudara, tapi keempat majikan juga sangat murah hati dan memperlakukanku dengan baik. Kalau aku memberikan benda ini tentu akan membuat kecewa keempat majikan. Lalu apa yang harus aku lakukan? Usia Kakak Xiang dan keempat majikan sudah lima puluh atau enam puluh tahun, tentunya wanita itu juga tidak muda lagi. Andaikan ada urusan asmara tentu sudah berlalu sekian lama. Andaikan aku menyampaikan surat ini rasanya juga tidak akan merusak nama baiknya.”

Sementara ia menimbang-nimbang, tahu-tahu mereka sudah melangkah masuk ke dalam kamar tidur. Di ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah ranjang, keduanya sangat sederhana. Kelambu yang tergantung di atas ranjang pun tampak sudah kekuning-kuningan, terbuat dari kain kasa yang modelnya kuno. Di atas meja terdapat sebuah kecapi pendek, berwarna hitam mulus, seakan terbuat dari besi.

Linghu Chong kembali berpikir, “Segala sesuatunya sudah diperhitungkan Kakak Xiang dengan sangat cermat. Aih, cintanya begitu besar, apa salahnya kalau aku membantunya menyampaikan isi hati?”

Pada dasarnya Linghu Chong berwatak bebas dan merdeka, tidak pernah memperhatikan adat istiadat dan sopan santun sesuai ajaran Kong Fuzi. Samar-samar ia merasa wanita itu bagaikan Yue Lingshan, yang telah menikah dengan Lin Pingzhi, sedangkan dirinya bagaikan Xiang Wentian yang telah terpisah bertahun-tahun. Dengan berbagai cara ia berusaha bertemu dengan sang adik kecil. Namun karena tidak juga dapat bertemu muka, cukuplah dengan menitipkan sebuah benda kenangan masa lalu. Benda itu sekadar untuk mengungkapkan perasaan dan menjadi pengobat derita cinta yang tak terbalas selama puluhan tahun. “Kakak Xiang keluar dari Sekte Iblis, bahkan tidak segan-segan bermusuhan dengan Sang Ketua dan kawan-kawan seagamanya, mungkin juga karena masalah asmara ini,” demikian ia berpikir.

Ketika ia tenggelam dalam lamunan, Huang Zhonggong telah menyingkap kelambu dan mengangkat kasur tempat tidurnya. Ternyata di bawah ranjang terdapat lempengan papan besi dan gelang tembaga. Begitu gelang tembaga ditarik ke atas, papan besi selebar satu meter persegi itu lantas terangkat dan terlihatlah sebuah lubang di bawahnya.

Papan besi tersebut tebalnya sekitar enam senti, jelas sangat berat. Setelah menaruhnya di lantai, Huang Zhonggong berkata, “Tempat tinggal orang itu agak aneh. Silakan Saudara Feng ikut di belakangku.” Usai berkata ia lantas melompat ke dalam lubang tersebut.

Heibaizi menyambung, “Saudara Feng, silakan turun duluan.”

Linghu Chong tertegun sejenak, kemudian ikut melompat turun. Keadaan di bawah lubang tersebut remang-remang, dengan diterangi sinar kekuningan dari sebuah pelita minyak yang tergantung di dinding. Ternyata mereka berada di dalam sebuah lorong bawah tanah. Segera Linghu Chong mengikuti Huang Zhonggong melangkah ke depan. Sementara itu, Heibaizi bertiga berturut-turut juga sudah melompat turun ke dalam lubang.

Setelah berjalan belasan meter jauhnya, lorong di depan tampaknya sudah buntu. Huang Zhonggong lantas mengeluarkan serenceng kunci, dan memasukkan salah satunya ke dalam lubang kunci. Setelah memutar beberapa kali, ia lalu mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara berderit-derit, pertanda sebuah pintu batu terbuka perlahan-lahan.

Linghu Chong terheran-heran menyadari apa yang telah terjadi. Ia pun semakin menaruh simpati kepada Xiang Wentian. “Mereka mengurung seorang wanita di dalam ruang bawah tanah. Keempat majikan ini terlihat seperti manusia-manusia gagah berbudi, tapi mengapa melakukan perbuatan rendah seperti ini?” demikian pikirnya.

Sambil berpikir ia terus mengikuti langkah kaki Huang Zhonggong. Jalan lorong di balik pintu batu itu agak menurun ke bawah. Kira-kira belasan meter jauhnya mereka kembali berhadapan dengan sebuah pintu. Huang Zhonggong mengeluarkan kunci kedua dan pintu itu lantas terbuka. Pintu tersebut dibuka dengan cara digeser, dan ternyata terbuat dari besi yang sangat tebal.

Lorong di balik pintu kedua tampaknya terus menurun ke bawah, mungkin saat itu mereka sudah berada beberapa puluh meter di bawah tanah. Setelah membelok beberapa kali kembali tampak sebuah pintu lagi.

Diam-diam Linghu Chong merasa geram dan kembali berpikir, “Tadinya aku mengira keempat majikan ini adalah ahli kecapi, catur, kaligrafi, dan lukis yang anggun dan berbudi luhur. Ternyata mereka adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, menyekap seorang wanita di tempat gelap gulita seperti ini.”

Tadi sewaktu pertama kali masuk ke dalam lubang di bawah ranjang, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga, namun sekarang mau tidak mau timbul perasaan was-was di hatinya. Diam-diam ia menduga-duga, “Mereka kalah bertanding pedang denganku. Jangan-jangan mereka sengaja memancing diriku ke lorong bawah tanah ini untuk mengurungku. Di dalam lorong ini terdapat pintu yang berlapis-lapis. Meskipun aku bisa terbang tetap saja tidak mampu melarikan diri.”

Ia merasa bersikap waspada pun tak ada gunanya lagi. Di depan ada Huang Zhonggong, di belakang ada Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng. Tanpa senjata di tangan, tak ada yang bisa ia perbuat.

Pintu ketiga terdiri dari empat lapis, yaitu pintu besi yang dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi kapuk, kemudian pintu besi lagi, dan dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi kapuk pula. Linghu Chong menjadi heran dan berpikir, “Mengapa dua lapis pintu besi harus diselingi dengan dua pintu kayu penuh paku yang berlapis kapuk? Ah, mungkin tenaga dalam orang yang dikurung di sini sangat tinggi. Lapisan kapuk ini digunakan untuk menyerap tenaga pukulannya agar tidak mampu membobol pintu dan melarikan diri.”

Puluhan meter selanjutnya tidak terlihat lagi adanya pintu, namun lorong itu masih terasa sangat panjang. Jarak antara tiap pelita yang tergantung pada dinding semakin jauh sehingga keadaan semakin gelap gulita. Pelita yang mereka bawa pun sudah padam, sehingga mereka terpaksa harus berjalan meraba-raba. Belasan meter kemudian barulah tampak sinar pelita lagi.

Linghu Chong merasa suasana di lorong itu sangat menyesakkan dada, serta basah-basah lembab pula. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Aih, Wisma Mei Zhuang berada di tepi Danau Xihu. Kami telah menyusuri lorong bawah tanah sekian jauhnya. Mungkin sekali … mungkin sekali kami sekarang sudah berada di dasar danau. Seseorang dikurung di bawah danau jelas sulit untuk meloloskan diri. Andaikan ada orang luar hendak menolongnya juga tidak mungkin bisa. Bila harus membobol atau menggali dinding penjara tentu dia akan mati terbenam air danau yang membanjir.”

Setelah beberapa meter ke depan, mendadak lorong itu menyempit, sehingga mereka berlima harus membungkukkan badan. Semakin ke depan semakin membungkuk. Tidak lama kemudian, Huang Zhonggong berhenti untuk memantik api dan menyalakan pelita yang tergantung di dinding. Dalam suasana remang-remang terlihatlah sebuah pintu besi yang tertutup, dengan lubang persegi pada bagian atas. Agaknya lubang ini merupakan jalan untuk mengirimkan makanan atau keperluan lain.

“Tuan Ren,” seru Huang Zhonggong melalui lubang persegi itu, “kami empat bersaudara datang menjengukmu.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Mengapa ‘Tuan Ren’? Apakah orang yang dikurung di sini bukan perempuan?”

Huang Zhonggong melanjutkan ucapannya, “Tuan Ren, sudah lama kami tidak berkunjung menjenguk dirimu, harap dimaafkan. Hari ini kami sengaja datang untuk memberitahukan suatu urusan penting kepadamu.”

Dari dalam terdengar suara serak-serak berat memaki, “Persetan dengan urusan pentingmu segala! Mau kentut lekas kentut, kalau tidak kentut lekas enyah sana!”

Linghu Chong terkejut bercampur heran mendengarnya. Bermacam-macam dugaan dalam benaknya seketika buyar bagaikan asap tertiup angin. Suara itu bukan hanya suara seorang laki-laki tua, tapi juga kasar dan tidak terpelajar seperti bajingan pasar.

Kembali Huang Zhonggong berkata, “Sejak dulu kami menyangka Tuan Ren adalah jago pedang nomor satu di dunia persilatan. Siapa sangka dugaan ini ternyata tidak benar? Hari ini kami kedatangan seorang tamu hebat, dan kami berempat kalah telak oleh ilmu pedangnya. Kalau tamu kami itu bertanding pedang dengan Tuan Ren, maka ilmu Tuan Ren pun akan seperti cebol bertemu raksasa di hadapannya.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Rupanya Majikan Pertama memanas-manasi orang tua itu supaya mau bertanding pedang denganku.”

Terdengar suara dari dalam penjara tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata, “Kalian berempat anak anjing, sudah kalah bertanding lantas mengundang dia untuk melawan aku. Kalian ingin aku membereskan musuh kalian, benar tidak? Hahahaha, jangan mimpi di siang bolong! Sayang sekali sudah sepuluh tahun aku tidak memegang pedang, sehingga semua ilmu pedangku sudah terlupakan semua. Nah, anak anjing sialan, lekas kalian enyah dari sini sambil memegang ekor kalian!”

Linghu Chong terperanjat mendengar makian itu. Ia berpikir, “Sungguh cerdik luar biasa orang ini dan tebakannya sangat jitu. Begitu mendengar ucapan Tuan Pertama, dia langsung mengetahui maksud dan tujuannya.”

Tiba-tiba Tubiweng menyahut, “Kakak Pertama, sepertinya Tuan Ren sama sekali bukan tandingan tamu kita ini. Dengan tegas tamu kita menyatakan bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya, dan ucapannya terbukti benar. Sudahlah, kita tidak perlu banyak bicara lagi dengan Tuan Ren.”

“Huh, apa gunanya kau memanas-manasi aku?” dengus orang bermarga Ren itu. “Memangnya kau kira aku sudi bekerja untuk anak-anak anjing seperti kalian?”

Tubiweng melanjutkan, “Kakak Pertama, tamu kita ini adalah ahli waris ilmu pedang Feng Qingyang yang luar biasa. Dulu sewaktu masih malang melintang di dunia persilatan, Tuan Ren tidak kenal takut pada siapa pun, kecuali satu orang. Kabarnya Tuan Ren mempunyai julukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’. Dan ‘angin’ yang dimaksud itu tidak lain tidak bukan adalah Tuan Feng, bukan begitu?”

‘Feng’ pada nama Feng Qingyang memang bermakna ‘angin’.

Mendengar itu, orang bermarga Ren berteriak marah, kemudian mencaci maki, “Kentut ibumu busuk!”

Danqingsheng lantas menyambung, “Ah, ucapan Kakak Ketiga tadi agak salah.”

“Di mana letak kesalahannya?” tanya Tubiweng.

“Ada satu kata yang keliru,” kata Danqingsheng. “Julukan Tuan Ren bukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’, tetapi ‘Mendengar Angin Langsung Kabur’. Coba pikir, kalau Tuan Ren melihat Tuan Feng, tentu tidak akan punya kesempatan untuk kabur. Lagipula, Tuan Feng tidak mungkin mau membiarkan dia kabur begitu saja. Mungkin kalau mendengar nama Tuan Feng dan segera lari barulah Tuan Ren masih ada harapan lolos seperti anjing geladak ….”

“Atau seperti ikan lolos dari jaring!” sambung Tubiweng.

“Tidak heran kalau sampai sekarang Tuan Ren masih punya kepala,” lanjut Danqingsheng.

Namun orang bermarga Ren itu ternyata tidak marah, sebaliknya justru tertawa, “Hahaha, kalian anak-anak anjing sudah terdesak dan dalam keadaan tidak berdaya baru teringat padaku. Huh, kalau aku begitu gampang tertipu akal-akalan kalian, maka margaku bukan Ren lagi.”

Huang Zhonggong menghela napas, lalu berkata, “Saudara Feng, rupanya begitu mendengar namamu, Tuan Ren sudah ketakutan setengah mati. Pertandingan pedang ini tidak perlu dilanjutkan lagi. Biarlah kami mengakui ilmu pedangmu memang nomor satu di dunia.”

Meskipun sekarang Linghu Chong telah mengetahui kalau orang dalam penjara itu bukan wanita seperti dugaan semula, tapi melihat penjara yang begitu ketat, jelas orang bermarga Ren sudah sangat lama mendekam di situ; sehingga tanpa terasa timbul rasa simpati di hatinya. Dari suara teriakannya, orang itu tentu seorang sesepuh berilmu tinggi. Maka, begitu mendengar perkataan Huang Zhonggong tersebut, buru-buru ia menjawab, “Ucapan Tuan Pertama kurang tepat. Dahulu bila Sesepuh Feng membicarakan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu memuji … memuji Tuan Ren ini. Beliau berkata, bahwa di zaman sekarang hanya Tuan Ren saja yang ilmu pedangnya patut dikagumi. Jika aku ada kesempatan bertemu muka dengan Tuan Ren, maka aku akan bersujud dan memohon petunjuk kepadanya dengan segala ketulusan hati dan segala penghormatan.”

Kata-kata Linghu Chong ini membuat Huang Zhonggong bersaudara tercengang. Sebaliknya orang bermarga Ren itu terdengar sangat senang. Ia bergelak tawa dan berkata, “Sobat cilik, ucapanmu sangat tepat. Feng Qingyang memang luar biasa. Hanya dia seorang yang kenal betapa bagusnya ilmu pedangku.”

Huang Zhonggong berkata dengan gemetar, “Apakah Tuan Feng … Tuan Feng mengetahui kalau dia berada … berada di sini?” Nada suaranya terdengar sangat ragu-ragu dan takut setengah mati.

Sudah telanjur membual, Linghu Chong segera melanjutkan, “Sesepuh Feng mengira Tuan Ren telah mengundurkan diri ke pegunungan sunyi atau tempat indah lainnya. Beliau sering menyebut nama Tuan Ren ketika mengajarkan ilmu pedang kepadaku. Beliau berkata bahwa aku harus berlatih jurus-jurus pedang yang Beliau ajarkan semata-mata hanya untuk menghadapi ahli waris Tuan Ren. Kalau di dunia ini tidak ada Tuan Ren, pada hakikatnya tidak perlu mempelajari ilmu pedang yang begitu rumit dan merepotkan.”

Saat ini dalam hati Linghu Chong sudah berkurang rasa senangnya terhadap keempat majikan Wisma Mei Zhuang. Ia menduga sesepuh bermarga Ren itu pasti seorang gagah kesatria, tapi disekap di penjara bawah tanah yang gelap dan lembab, tentu tertangkap dengan cara-cara licik. Tanpa bertanya, ia langsung menyimpulkan kalau keempat majikan telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar