Hari itu mereka hampir tiba di
Kota Hangzhou. Di atas kapal, Xiang Wentian memperbaiki penyamarannya, dan juga
penyamaran Linghu Chong. Ia menggunting sedikit rambut Linghu Chong dan
membentuknya menjadi semacam kumis tipis, untuk kemudian ditempelkan di atas
bibir pemuda itu menggunakan bahan perekat. Setelah semuanya siap, mereka pun
turun ke darat dan membeli dua ekor kuda untuk memasuki kota.
Dahulu Hangzhou bernama Lin’an
saat menjadi ibukota Dinasti Song Selatan. Sejak lama kota ini memang menjadi tempat
wisata yang indah dan menarik untuk dikunjungi. Orang-orang ramai
berlalu-lalang melewati jalanan di dalam kota. Di mana-mana terdengar suara
musik dan nyanyian yang mengalun merdu.
Xiang Wentian dan Linghu Chong
berkuda sampai di tepi Danau Xihu yang terkenal sangat indah pemandangannya.
Air danau itu tampak bergelombang biru dan jernih laksana cermin. Pohon liu
tumbuh lebat melambai hampir menyentuh permukaan danau. Panorama yang sungguh
indah seakan-akan berada di surgaloka kediaman para dewa.
Linghu Chong berkata dengan
nada masygul, “Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada
Suzhou dan Hangzhou. Aku belum pernah pergi ke Suzhou dan tidak tahu seperti
apa keadaannya. Namun hari ini aku telah melihat sendiri betapa indah Danau
Xihu. Ternyata pujian yang menyamakan tempat ini dengan surga memang bukan
omong kosong belaka.”
Xiang Wentian hanya tertawa,
kemudian mempercepat langkah kudanya menuju ke suatu tempat. Tempat itu
terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, dan di sisi lain
menghadap ke sebuah bukit kecil. Suasananya sungguh sunyi dan terpencil. Mereka
berdua turun dari kuda dan menambatkan binatang tunggangan masing-masing pada
batang pohon liu di tepi danau. Keduanya lalu berjalan mengikuti undak-undakan
batu menuju ke atas bukit.
Xiang Wentian seperti sudah
kenal baik dengan tempat itu dan juga hafal harus berjalan ke mana. Sesudah
melewati beberapa tikungan, terlihat begitu banyak pohon plum yang tumbuh
subur. Batang-batang pohon di situ sudah tua, ranting yang melintang pun tampak
rimbun. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala
bunga plum bermekaran di musim semi bagaikan salju.
Setelah menembus hutan plum
lebat itu, sampailah mereka pada suatu jalan besar yang terbuat dari
balok-balok batu hijau, yang akhirnya mengantar mereka sampai di suatu kompleks
perumahan berpagar tembok putih dan berpintu gerbang warna merah. Begitu dekat,
dapat dilihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar berbunyi “Mei
Zhuang”. Kemudian di sisinya tertulis kata “Ditandatangani oleh Yu Yunwen”.
Linghu Chong tidak gemar
membaca sehingga tidak tahu bahwa Yu Yunwen merupakan seorang perwira zaman
Kerajaan Song Selatan yang berjasa dalam perjuangan melawan Kerajaan Jin. Namun
demikian, ia dapat merasakan pada tulisan yang terlihat indah dan kuat itu
terdapat semangat kepahlawanan.
Xiang Wentian mendekati pintu
gerbang berhiaskan dua buah gelang tembaga yang tampak mengkilap. Dipegangnya
gelang tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu.
Ia kemudian menoleh dan berbisik kepada Linghu Chong, “Adik, kau menurut saja
segalanya padaku. Dalam hal ini kita harus mempertaruhkan nyawa. Jika rencana
ini berhasil, kau masih harus mengalami kesulitan selama beberapa hari.”
Linghu Chong mengangguk
setuju. Dalam hati ia berkata, “Wisma Mei Zhuang ini sepertinya kediaman
saudagar besar di Kota Hangzhou. Apa mungkin penghuninya seorang tabib sakti?
Kenapa Kakak Xiang berkata kita harus mempertaruhkan nyawa? Apakah pengobatannya
menyakitkan?”
Terdengar Xiang Wentian
mengetuk pintu dengan menggunakan gelang tembaga tadi. Pertama ia mengetuk
empat kali kemudian berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi,
lalu mengetuk lima kali, berhenti lagi, lalu mengetuk tiga kali, setelah itu
baru melangkah mundur.
Selang agak lama, pintu
perlahan terbuka dan muncul dari dalamnya dua orang tua berdiri berdampingan,
dengan mengenakan pakaian pelayan.
Linghu Chong terperanjat
melihat kedua orang itu. Sorot mata mereka sangat tajam, langkahnya pun kuat,
jelas mereka menguasai ilmu silat dengan tenaga dalam tinggi. Entah apa
sebabnya mereka mau menjadi pelayan di tempat ini?
Seorang di antaranya yang
berdiri di sebelah kiri membungkukkan badan dan menyapa. “Ada keperluan apakah
Tuan-tuan berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini?”
Segera Xiang Wentian menjawab,
“Murid Perguruan Songshan dan murid Perguruan Huashan mohon diizinkan bertemu
dengan keempat sesepuh, Empat Sekawan dari Jiangnan.”
“Majikan kami selamanya tidak
menerima tamu,” sahut orang tua tadi. Usai berkata ia bermaksud menutup pintu.
Dengan cepat Xiang Wentian
mengeluarkan sesuatu dan dibentangnya. Linghu Chong kembali terkejut karena
benda yang dibentang itu adalah bendera kecil bersulamkan mutiara dan batu
permata. Benda itu tidak lain adalah Panji Pancawarna, pusaka kebesaran Serikat
Pedang Lima Gunung. Para anggota perserikatan sangat segan dan menghormati
benda tersebut. Melihat Panji Pancawarna sama artinya dengan melihat Ketua Zuo
yang datang memberi perintah.
Dalam hati Linghu Chong merasa
urusan ini agak ganjil. Ia menduga Xiang Wentian memperoleh panji tersebut
secara tidak beres, yaitu bukan mustahil dirampasnya dari tokoh penting
Perguruan Songshan yang mungkin dibunuhnya. Bisa jadi orang-orang aliran lurus
mengejarnya juga karena masalah ini. Lalu sekarang ia mengaku sebagai murid
Perguruan Songshan, entah apa maksud tujuannya? Namun Linghu Chong sudah
berjanji akan menurut segala rencana Xiang Wentian sehingga mau tidak mau ia
memilih untuk diam menantikan perkembangan selanjutnya.
Melihat Panji Pancawarna
dibentangkan, wajah kedua orang tua itu tampak terkejut. Mereka berkata
serentak, “Hah, panji pusaka kebesaran Ketua Zuo dari Perguruan Songshan?”
“Benar sekali,” jawab Xiang
Wentian.
Orang tua yang berdiri di
sebelah kanan berkata, “Empat Sekawan dari Jiangnan tidak ada hubungan dengan
Serikat Pedang Lima Gunung. Meskipun Ketua Zuo sendiri yang datang bertamu,
majikan kami juga belum tentu mau … belum tentu mau, hehe ….”
Orang itu tidak meneruskan perkataan,
tapi maksudnya sudah jelas terbaca. Zuo Lengchan memang memiliki kedudukan
terhormat di dunia persilatan, juga memiliki ilmu silat yang sangat hebat.
Namun dari nada ucapannya tadi, orang tua itu menganggap kedudukan Empat
Sekawan dari Jiangnan masih jauh lebih tinggi daripada Zuo Lengchan. Hanya
saja, ia tidak berani sembarangan bicara.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan itu? Jika begitu hebat
pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selama ini Guru dan Ibu Guru tidak
pernah bercerita tentang mereka? Selama aku berkelana juga belum pernah
mendengar adanya orang sakti angkatan tua yang berjuluk Empat Sekawan dari
Jiangnan segala.”
Sementara itu Xiang Wentian
hanya tersenyum kecil menanggapi kedua pelayan tersebut. Digulungnya kembali
Panji Pancawarna dan disimpannya ke balik baju. Lalu ia berkata, “Panji milik
Keponakan Zuo ini hanya pantas digunakan untuk menakuti orang lain. Padahal
tokoh seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan, rasanya panji ini pun tak akan
dipandang sebelah mata ….”
Linghu Chong semakin heran dan
berpikir, “Aneh, mengapa kau sebut ‘Keponakan Zuo’ segala? Jadi kau sengaja
memalsukan dirimu sebagai paman guru Ketua Zuo. Wah, semakin tidak beres ini.”
Terdengar Xiang Wentian
melanjutkan, “Aku sendiri selama ini belum beruntung bisa berjumpa dengan
keempat sesepuh dari Jiangnan. Panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai
tanda pengenal saja, tidak ada maksud yang lain.”
“Oh,” ujar kedua pelayan tua
itu bersama-sama. Nada ucapan Xiang Wentian yang terdengar menjunjung tinggi
kedudukan Empat Sekawan dari Jiangnan membuat wajah mereka seketika berubah
ramah.
“Jadi Tuan ini adalah paman
guru dari Ketua Zuo?” sahut seorang di antaranya menegas.
Kembali Xiang Wentian
tersenyum dan menjawab, “Benar sekali. Tapi aku hanyalah orang biasa yang tidak
punya nama di dunia persilatan, sudah tentu kalian berdua tidak mengenaliku.
Tapi aku mendengar kejadian di mana Saudara Ding sekali pukul merobohkan Empat
Gembong Pegunungan Qilian, serta Saudara Shi menolong anak yatim piatu di
Sungai Heng daerah Hubei dengan sebilah Golok Ungu Emas berhasil menumpas tiga
belas anggota Gerombolan Naga Hijau. Perbuatan-perbuatan yang mengagumkan itu
sampai sekarang masih aku ingat semua”
Kedua pelayan tua itu masing-masing
bernama Ding Jian dan Shi Lingwei. Sebelum mengasingkan diri di Wisma Mei
Zhuang, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang terhitung setengah baik dan
setengah jahat. Mereka sering bertindak kejam dan beringas. Keduanya mempunyai
kesamaan, yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama. Sebab
itulah meskipun ilmu silat mereka tinggi tapi nama mereka jarang dikenal. Kedua
peristiwa yang disebut Xiang Wentian tadi justru merupakan perbuatan yang
paling mereka banggakan. Pertama, karena musuh yang mereka kalahkan
masing-masing berjumlah banyak dan sangat kuat; kedua, karena dalam
peristiwa-peristiwa itu mereka bertindak sebagai pembela kebenaran. Walaupun
mereka tidak ingin membesar-besarkan kejadian itu, namun kalau ada orang lain
yang mendengarnya dan menceritakannya, diam-diam mereka merasa senang. Maka,
begitu mendengar pujian dari Xiang Wentian tersebut, wajah kedua pelayan
tersebut terlihat sangat gembira.
Ding Jian tersenyum dan
berkata, “Ah, hanya urusan kecil saja untuk apa harus diungkit-ungkit lagi?
Wawasan Tuan ternyata sangat luas.”
Xiang Wentian berkata, “Di
dunia persilatan banyak orang mencari nama dan gila hormat. Sebaliknya, jarang
sekali pendekar yang memiliki kepandaian sejati dan berwatak budiman, tidak
suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia. Aku sudah lama
mengagumi nama besar Kakak Ding, Si Pedang Kilat Satu Kata, dan juga Kakak Shi,
Si Dewa Lima Jalan. Keponakan Zuo berkata bahwa ada urusan penting yang harus
meminta pendapat Empat Sekawan dari Jiangnan, dan aku yang diminta untuk datang
kemari. Tanpa pikir panjang, aku pun bersedia untuk memenuhi permintaan ini,
meskipun diriku sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun
seandainya aku gagal bertemu dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, paling tidak
aku sudah merasa puas bisa bertemu dan berkenalan dengan Kakak Ding dan Kakak
Shi berdua. Jika Keponakan Zuo berkunjung secara pribadi, dikhawatirkan keempat
sesepuh tidak sudi menerimanya. Akhir-akhir ini reputasi Keponakan Zuo tersiar
ramai di dunia persilatan, sehingga ia khawatir jangan-jangan keempat sesepuh
akan memandang rendah kepadanya. Sebaliknya, aku sudah mengundurkan diri
sehingga kemungkinan tidak akan membuat keempat sesepuh jemu melihatku.
Hahahaha!”
Mendengar kepandaian bicara
Xiang Wentian itu, tentu saja Ding Jian dan Shi Lingwei merasa sangat senang
dan ikut tertawa beberapa kali. Melihat penampilan Xiang Wentian yang botak dan
gendut serta berpakaian serbamewah, meskipun wajahnya tidak sedap dipandang,
namun tutur katanya sangat sopan dan anggun, jelas menunjukkan kalau ia bukan
orang sembarangan. Apalagi ditambah kedudukannya sebagai paman guru dari Zuo
Lengchan, tentu memiliki ilmu silat tinggi, membuat rasa hormat pun tumbuh
dengan sendirinya di hati kedua pelayan itu.
Diam-diam dalam hati Shi
Lingwei ada niat untuk melaporkan kedatangan kedua tamu kepada keempat
majikannya. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Kalau Tuan
ini apakah murid dari Perguruan Huashan?”
Xiang Wentian buru-buru
menukas, “Benar. Adik Feng ini adalah paman guru dari Yue Buqun, Ketua
Perguruan Huashan yang sekarang.”
Linghu Chong semakin terkejut.
Ia sudah menduga kalau Xiang Wentian akan mengarang nama palsu untuknya, tetapi
ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan diperkenalkan sebagai paman
perguruan dari sang guru sendiri. Meskipun ia berwatak angin-anginan, namun
dengan menyamar sebagai paman dari guru yang sangat ia hormati, mau tidak mau
hal ini membuatnya gemetar. Untung saja saat itu ia memakai bedak tebal
sehingga wajahnya yang berubah pucat tidak nampak terlihat.
Sementara itu Ding Jian dan
Shi Lingwei saling pandang dengan rasa curiga. Melihat wajah Linghu Chong yang
seperti pria berusia empat puluhan, mana mungkin menjadi paman guru Yue Buqun?
Xiang Wentian memang
mendandani Linghu Chong sehingga kelihatan lebih tua. Namun demikian tetap
sulit untuk mengubahnya menjadi seorang tua. Riasan yang terlalu tebal justru
akan membongkar segala rahasia. Maka dengan cepat ia pun menambahkan, “Umur
Adik Feng ini memang lebih muda daripada Yue Buqun, tapi dia adalah saudara
seperguruan dari Feng Qingyang, dan merupakan ahli waris satu-satunya dari ilmu
pedang Saudara Feng yang mahasakti.”
Linghu Chong kembali
terperanjat. Dalam hati ia bertanya, “Hah? Dari mana Kakak Xiang tahu kalau aku
adalah satu-satunya ahli waris ilmu pedang Kakek Guru Feng?” Sejenak kemudian
ia menemukan jawaban, “Ah, ilmu pedang Kakek Guru Feng sangat hebat, tentu
dahulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Kakak Xiang sendiri berwawasan luas.
Sekali pandang ia langsung tahu kalau aku menggunakan ilmu Sembilan Pedang
Dugu. Kalau Biksu Fangsheng bisa tahu, tidak heran Kakak Xiang juga bisa tahu.”
“Ah!” Ding Jian berseru kaget.
Sebagai seorang ahli pedang ia sangat tertarik mendengar Linghu Chong ternyata
juga mahir ilmu pedang. Seketika timbul rasa penasaran dalam hatinya ingin
mencoba. Hanya saja, ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning
sembap seperti kurang sehat ini benar-benar mahir ilmu pedang? Maka, ia pun
bertanya, “Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan berdua yang mulia?”
“Aku bermarga Tong, namaku
Huajin,” jawab Xiang Wentian. “Adapun Adik Feng ini bernama Erzhong.”
“Oh, kami sudah lama kagum,
sudah lama kagum!” kata Ding Jian dan Shi Lingwei sambil memberi hormat.
Diam-diam Xiang Wentian merasa
geli. Tong Huajin dan Feng Erzhong jelas-jelas nama palsu hasil karangannya.
Tong Huajin bermakna “tembaga berubah menjadi emas”, yang merupakan sindiran
untuk sesuatu yang palsu. Sementara Er dan zhong adalah dua huruf yang diperoleh
dengan cara membelah huruf Chong. Namun, kedua pelayan tua itu justru
menyatakan “sudah lama kagum”. Tentunya hal ini sungguh menggelikan.
Ding Jian lantas berkata,
“Silakan Tuan-Tuan masuk untuk minum teh. Saya akan melaporkan ini kepada
majikan. Namun apakah Beliau bersedia menemui Tuan berdua, hal ini sulit untuk
dipastikan.”
Xiang Wentian mengumbar senyum
sambil menjawab, “Kalian berdua mengaku sebagai pelayan, padahal sebenarnya
sudah seperti saudara dengan Empat Sekawan dari Jiangnan. Rasanya keempat
sesepuh itu tidak mungkin untuk tidak memberi muka kepada Kakak Ding dan Kakak
Shi.”
Ding Jian tersenyum senang dan
bergeser ke samping untuk memberi jalan. Xiang Wentian segera melangkah masuk
ke dalam diikuti Linghu Chong.
Sesudah menyusuri sebuah
pekarangan dalam yang pada kedua sisinya terdapat dua pohon plum tua dengan
dahan-dahannya yang kokoh dan kuat, mereka sampai di ruang tamu. Shi Lingwei
mempersilakan kedua tamunya duduk, kemudian ia sendiri berdiri menemani;
sementara Ding Jian masuk ke dalam untuk melapor.
Melihat Shi Lingwei berdiri,
Xiang Wentian merasa kurang pantas. Namun karena kedudukan Shi Lingwei sebagai
pelayan, Xiang Wentian juga merasa rikuh untuk mengajaknya duduk bersama. Maka,
ia pun bangkit pura-pura mengamati keadaan sekeliling, kemudian berkata kepada
Linghu Chong, “Adik Feng, coba lihat lukisan ini. Walaupun cuma beberapa
goresan saja, tapi tampak kekuatannya sungguh luar biasa.” Sambil berkata
demikian ia melangkah mendekati sebuah lukisan yang tergantung pada dinding
ruangan tersebut.
Setelah bepergian bersama
selama beberapa hari, Linghu Chong dapat mengenali sifat Xiang Wentian yang
cerdik dan banyak akal. Namun dalam hal seni sastra dan seni lukis, kakak
angkatnya itu sama sekali bukan ahlinya. Kalau sekarang tiba-tiba ia memuji
lukisan itu tentu ada maksud tertentu. Maka, Linghu Chong lantas mengiakan
serta ikut mendekati lukisan itu.
Lukisan tersebut menggambarkan
punggung seorang dewa dengan warna yang serasi. Tintanya seperti masih basah,
dengan goresan yang sangat kuat. Meskipun Linghu Chong tidak paham seni lukis,
namun ia tetap dapat menikmati keindahan lukisan itu. Terlihat lukisan tersebut
ditandai pelukisnya dengan kata-kata: “Danqingsheng, dilukis sesudah mabuk
dengan cipratan tinta”. Goresan pena pada huruf-huruf itu juga sangat kuat dan
tajam, seperti digores menggunakan pedang.
“Kakak Tong, begitu melihat
kata ‘mabuk’ pada lukisan ini, aku langsung merasa senang,” kata Linghu Chong.
“Pada huruf dan goresan lukisan ini sepertinya mengandung ilmu pedang yang luar
biasa tingginya.” Rupanya goresan pada huruf-huruf tersebut dan juga gambar
punggung dewa telah mengingatkannya kepada suatu jurus ilmu pedang yang terukir
di dinding gua rahasia di puncak Gunung Huashan dulu.
Belum sempat Xiang Wentian menanggapi,
Shi Lingwei sudah berkata di belakang mereka, “Tuan Feng ini ternyata seorang
ahli pedang sejati. Menurut keterangan majikan keempatku, Tuan Danqingsheng,
hari itu saat Beliau mabuk berat dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa
sengaja Beliau melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan kuas. Karya
ini merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya. Setelah Beliau
sadar dari mabuk ternyata sukar untuk melukis lagi yang seperti ini. Sekarang
Tuan Feng ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisan ini, tentu Tuan
Danqingsheng akan sangat senang, dan menganggap Tuan Feng sebagai sahabat. Aku
akan melapor kepada Beliau.” Usai berkata demikian ia pun melangkah ke ruang
dalam dengan wajah berseri-seri.
Xiang Wentian berdehem, dan berkata,
“Adik Feng, sepertinya kau paham seni lukis dan kaligrafi, hah?”
“Paham apanya? Aku hanya
sembarangan mengoceh dan secara kebetulan kena sasaran. Padahal kalau nanti
yang bernama Danqingsheng itu bicara tentang seni lukis dan kaligrafi kepadaku
tentu aku bisa runyam,” sahut Linghu Chong.
Tiba-tiba dari ruangan dalam
terdengar suara seseorang berseru lantang, “Apa? Dia bisa melihat ilmu pedang
di dalam lukisanku? Di mana orangnya? Pandangannya sungguh tajam.”
Di tengah suara ribut itu
muncul seorang pria berjanggut panjang sampai sebatas perut, dengan tangan kiri
memegang sebuah cawan arak. Wajahnya tampak kemerah-merahan agak mabuk.
Shi Lingwei yang berjalan di
belakang orang itu segera berkata, “Kedua tuan ini adalah Tuan Tong dari
Perguruan Songshan dan Tuan Feng dari Perguruan Huashan. Tuan Majikan Keempat,
Tuan Feng inilah yang mengatakan bahwa di dalam lukisan Tuan mengandung suatu
ilmu pedang yang tinggi.”
Sambil mengedipkan sepasang
matanya yang merah karena mabuk, Danqingsheng si majikan keempat mengamat-amati
Linghu Chong dari ujung kepala sampai kaki, kemudian bertanya, “Kau paham seni
lukis? Bisa memainkan pedang?”
Pertanyaan ini dilontarkan
secara kasar, namun Linghu Chong tidak ambil peduli. Ia hanya mengamati tangan
Danqingsheng yang memegang sebuah cawan indah berwarna hijau zamrud. Dari
baunya pun dapat dikenali kalau arak pada cawan tersebut merupakan jenis arak
bunga pir. Hal ini langsung membuatnya teringat pada ucapan Zu Qianqiu si
sastrawan miskin di atas kapal tempo hari. Segera ia pun menjawab, “Konon
menurut puisi Bai Juyi yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou
disebutkan, ‘Kain lengan baju warna merah yang dipakai gadis penenun sutra
mencerminkan daun pohon kesemak, dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi
Arak Bunga Pir.’ Minum arak bunga pir memang harus menggunakan wadah cawan
zamrud. Ternyata Majikan Keempat benar-benar seorang ahli arak sejati.”
Linghu Chong sebenarnya jarang
membaca buku, dan ia juga tidak tahu menahu soal puisi atau syair. Namun
akalnya sangat cerdas, daya ingatnya juga bagus, sehingga perkataan Zu Qianqiu
dapat ia tirukan dengan baik.
Danqingsheng terlihat sangat
senang. Ia langsung merangkul Linghu Chong sambil berseru, “Aha, seorang sobat
datang berkunjung! Mari, mari kita minum tiga ratus cawan arak! Saudara Feng,
aku si tua ini gila arak enak, gila lukisan indah, dan gila ilmu pedang.
Orang-orang menyebutku ahli dalam tiga keistimewaan tadi. Arak adalah yang
nomor satu, lukisan nomor kedua, dan ilmu pedang nomor tiga.”
Linghu Chong gembira dan
berpikir, “Kalau melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku ke sini
hanya untuk mencari pengobatan dan tidak ada maksud hendak bertanding pedang
segala. Tapi kalau soal minum arak, inilah yang sangat kuharapkan.”
Maka tanpa banyak bicara ia
segera ikut Danqingsheng masuk ke ruang dalam. Xiang Wentian dan Shi Lingwei
berjalan di belakang mereka. Setelah melewati sebuah serambi yang
berkelok-kelok, sampailah mereka pada sebuah kamar di sisi barat. Begitu tirai
disingkap, seketika tercium bau wangi arak yang menyengat hidung.
Sejak kecil Linghu Chong sudah
gemar minum arak, namun tidak pernah mendapat banyak uang saku dari guru dan
ibu-gurunya sehingga ia hanya sembarangan minum. Setelah bertemu dengan
Luzhuweng barulah ia bisa mengenali bermacam-macam jenis arak bagus dan
menghafalnya. Pertama, karena ini sesuai dengan kegemarannya; kedua, karena ada
seorang ahli yang mengajarinya. Maka begitu mencium bau arak di ruangan
tersebut, ia langsung berseru, “Bagus, di sini ada Arak Fen kelas satu! Hah,
ada Arak Seratus Rumput juga! Hm, dari baunya sepertinya sudah tersimpan selama
tujuh puluh lima tahun. Wah, Arak Monyet ini sangat sukar diperoleh.” Begitu
menyebut Arak Monyet, ia langsung terkenang kepada Lu Dayou, adik keenamnya, sehingga
membuat hatinya menjadi pilu.
Danqingsheng bertepuk tangan
sambil berkata senang, “Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini,
Saudara Feng langsung dapat mengenali tiga jenis arak simpananku yang paling
bagus. Kau sungguh seorang ahli arak. Sungguh hebat, sungguh lihai!”
Linghu Chong mengamat-amati
sekeliling ruangan, ternyata penuh dengan guci arak, botol, dan sebagainya.
Maka, ia pun berkata, “Mana mungkin Tuan Danqingsheng hanya menyimpan tiga
jenis arak bagus saja? Sepertinya Arak Gadis Merah Shaoxing ini juga
berkualitas tinggi. Arak Anggur dari Turfan itu juga telah mengalami empat kali
penyulingan dan empat kali peragian. Tak ada tandingannya di dunia ini.”
Danqingsheng terkejut
bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Arak Anggur dari Turfan memang
mengalami empat kali penyulingan dan peragian, tapi kusimpan dalam gentong kayu
yang tertutup rapat itu. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
“Arak bagus seperti ini,
walaupun disimpan di gua bawah tanah juga tetap tercium baunya yang harum,”
ujar Linghu Chong tertawa.
“Mari, mari! Kita bisa
mencicipi arak anggur enak ini!” seru Danqingsheng. Segera ia mengangkat keluar
sebuah gentong kayu yang tertaruh di pojok ruangan. Gentong itu berwarna
kehitam-hitaman karena sudah tua, dengan tutup yang disegel lilin. Pada bagian
atas tertulis huruf-huruf Daerah Barat yang bengkok-bengkok. Perlahan-lahan
Danqingsheng membuka tutup gentong itu, seketika bau harum pun memenuhi seluruh
ruangan.
Shi Lingwei tidak suka dan
tidak pernah minum arak. Begitu mencium bau alkohol yang keras, tanpa terasa
mukanya menjadi merah karena mabuk.
“Kau keluar saja!” kata
Danqingsheng sambil mengibaskan tangan. “Jangan sampai kau mabuk di sini.” Lalu
ia mengambil tiga buah cawan dan ditaruhnya berdampingan. Gentong anggur itu
segera diangkat dan dituang isinya ke dalam cawan-cawan tersebut.
Arak Anggur dari Turfan itu
berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas bibir cawan,
dengan cepat Danqingsheng lantas berhenti menuang dan berpindah ke cawan
selanjutnya. Setetes pun tidak tumpah dari setiap cawan. Diam-diam Linghu Chong
memuji di dalam hati, “Ilmu silat orang ini hebat sekali. Ia dapat menuang arak
dari dalam gentong kayu yang seberat itu ke dalam cawan-cawan mungil tanpa
tercecer setetes pun.”
Sambil tetap menghimpit
gentong anggur itu dengan tangan kanan, Danqingsheng mengangkat cawan di tangan
kiri sambil berkata, “Mari silakan minum, silakan minum!” Matanya menatap tanpa
berkedip ke arah Linghu Chong, ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu setelah
minum arak anggurnya.
Linghu Chong lantas mengangkat
cawan dan meminum setengah isinya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk
membedakan rasa. Tapi karena wajahnya memakai polesan yang agak tebal sehingga
reaksinya sedikit pun tidak tampak, bahkan seperti terlihat acuh tak acuh dan
kurang menyukai arak yang diminumnya itu.
Tentu saja Danqingsheng
menjadi ragu-ragu. Ia berpikir, “Jangan-jangan ahli besar ini menganggap
segentong arak anggurku hanya minuman biasa saja.”
Linghu Chong tampak memejamkan
mata sejenak, kemudian membuka matanya kembali, dan tiba-tiba berseru, “Aneh
sekali, sungguh aneh!”
“Apanya yang aneh?” tanya
Danqingsheng menegas.
“Sangat sulit dijelaskan.
Sungguh aku tidak paham,” kata Linghu Chong.
Sorot mata Danqingsheng
bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ia bertanya, “Yang kau maksud apakah ….”
“Seumur hidup aku pernah
sekali minum arak anggur seperti ini di Kota Luoyang. Meski rasanya sangat
enak, tapi terselip sedikit rasa masam. Menurut temanku yang juga ahli arak, rasa
masam itu timbul akibat guncangan-guncangan selama perjalanan. Arak anggur ini
disuling sebanyak empat kali. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang
satu ke tempat lain, semakin berkurang pula mutunya. Entah betapa jauhnya
daerah Turfan ke Kota Hangzhou ini? Tapi benar-benar aneh, anggur Tuan ternyata
tidak sedikit pun terasa masam ….”
Danqingsheng bergelak tawa
sangat senang, kemudian berkata, “Ini berkat resep rahasiaku. Resep ini
kuperoleh dengan menukar tiga jurus pedangku kepada jago pedang Benua Barat
bernama Moore Watson. Apakah kau tidak ingin tahu resep rahasia ini?”
Linghu Chong menggeleng dan
menjawab, “Dapat merasakan arak anggur sebagus ini aku sudah merasa puas.
Tentang resep rahasia Tuan sama sekali aku tidak berani bertanya.”
“Mari minum, mari minum!” seru
Danqingsheng sambil kembali menuang tiga cawan arak. Karena Linghu Chong tidak
juga bertanya resep rahasianya, ia menjadi kesal sendiri. Akhirnya ia berkata,
“Tentang resep rahasia itu kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sama
sekali. Boleh dikata bukanlah sesuatu yang istimewa.”
Linghu Chong paham, semakin
dirinya tidak mau bertanya apa yang disebut resep rahasia itu, justru membuat
Danqingsheng semakin ingin bercerita kepadanya. Maka dengan cepat ia sengaja
menggoyang tangan dan berkata, “Tidak, tidak. Jangan sampai Tuan ceritakan
kepadaku. Ketiga jurus pedangmu itu pasti lain daripada yang lain. Rahasia yang
diperoleh dengan nilai setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada
orang lain? Aku akan merasa tak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata
peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ….”
Danqingsheng menukas, “Kau
menemani aku minum dan dapat menebak asal usul arak anggur ini, jasamu sungguh
sangat besar. Maka resep rahasia ini mau tidak mau harus kau dengarkan.”
Linghu Chong berkata, “Tuan
Keempat sudi menemui diriku dan menyuguhkan minuman sebagus ini kepadaku,
sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Aku mana boleh ….”
“Aku sendiri yang rela
memberitahukan padamu, kau cukup mendengarkan saja,” Danqingsheng kembali
menukas.
“Adik Feng, jangan kau tolak
lagi maksud baik Tuan Keempat,” sahut Xiang Wentian.
“Betul, betul,” seru
Danqingsheng tertawa. “Nah, aku akan mengujimu lagi. Apakah kau tahu usia arak
anggur ini?”
Linghu Chong meneguk habis isi
cawannya, lalu berkecap-kecap lagi. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata,
“Arak anggur ini masih menyimpan sesuatu keanehan lain. Rasanya seperti sudah
berusia seratus dua puluh tahun, tapi terasa pula seperti baru dua belas tahun.
Di dalam rasanya yang tua seperti ada rasa yang baru, dan di dalam rasa yang
baru seperti ada rasa yang tua. Dibandingkan dengan arak berumur seratus tahun
yang lain, jelas anggur ini memiliki keunikan.”
Diam-diam Xiang Wentian
mengerutkan kening dan berpikir, “Aduh, sekarang kau unjuk kebodohan. Antara
seratus dua puluh tahun dan dua belas tahun jelas berbeda jauh. Mana bisa
disejajarkan?” Ia khawatir ucapan Linghu Chong tadi jangan-jangan menyinggung
perasaan Danqingsheng.
Di luar dugaan, orang tua itu
justru tertawa terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang melambai-lambai.
Ia berkata, “Saudaraku, kau memang benar-benar lihai. Memang di situlah letak
rahasia resepku ini. Jago pedang Benua Barat yang bernama Moore Watson telah
menghadiahkan sepuluh gentong Arak Anggur Turfan berumur seratus dua puluh
tahun kepadaku. Untuk mengangkut kesepuluh gentong besar itu membutuhkan
sepuluh kereta. Sampai di sini aku mengolahnya lagi, melakukan penyulingan dan
peragian lagi. Arak anggur dari sepuluh gentong itu kucampur menjadi satu dalam
gentong besar. Kalau dihitung memang kejadiannya sudah dua belas tahun yang
lalu. Oleh karena itu, anggur ini mempunyai rasa yang aneh. Ada rasa baru dan
ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, gentong telah diisi penuh tanpa ruang
kosong sedikit pun sehingga isinya tidak sampai kocak. Dengan demikian tidak
menimbulkan rasa masam pula.”
“Hah, ternyata begitu!” seru
Xiang Wentian dan Linghu Chong bersamaan.
Linghu Chong menambahkan,
“Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus pedang juga pantas.
Apalagi Tuan Keempat cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, berarti Tuan sudah
untung besar. Tapi aku yakin, ketiga jurus pedang Tuan pasti luar biasa dan
lebih hebat dari sepuluh jurus pedang biasa.”
Xiang Wentian kembali
berpikir, “Adikku ini ternyata tidak hanya pandai bermain pedang, tapi juga
pandai bicara.” Rupanya ia tidak tahu kalau Linghu Chong memang pandai bersilat
lidah, bahkan karena itu sering mendapat marah dari Yue Buqun, gurunya.
Danqingsheng terlihat
bertambah senang. Ia berkata, “Saudara muda, kau ini benar-benar temanku yang
mengerti isi hatiku. Dulu Kakak Pertama dan Kakak Ketiga menyalahkan
perbuatanku yang telah menukar tiga jurus pedang dengan arak anggur, sehingga
ilmu pedang Daratan Tengah kita yang hebat menjadi bocor dan tersiar ke Benua
Barat. Kakak Kedua hanya tersenyum tanpa memberi komentar, tapi aku yakin dalam
hati dia juga tidak setuju kepadaku. Sekarang aku bertemu denganmu yang
ternyata mengerti betapa beruntungnya diriku dalam peristiwa itu. Bagus sekali!
Sekarang mari kita minum lagi!” Ia hanya bersulang dengan Linghu Chong, dan
tidak lagi memperhatikan Xiang Wentian karena dianggapnya kurang mengerti
tentang seni minum arak.
Setelah minum satu cawan,
Linghu Chong berkata, “Tuan Keempat, masih ada satu cara minum arak anggur,
namun sayang saat ini sukar dilakukan.”
“Bagaimana caranya? Mengapa
tidak bisa dilakukan?” tanya Danqingsheng cepat.
“Turfan adalah daerah yang
sangat panas. Konon, pada zaman dahulu sewaktu Biksu Xuanzhang pergi ke India mencari
kitab suci, ia melintasi Gunung Huoyan yang katanya terletak di daerah Turfan.”
“Benar sekali,” sahut
Danqingsheng. “Tempat itu memang panasnya bukan main. Pada musim panas meskipun
kau berendam dalam air dingin sepanjang hari tetap saja tidak dapat menahan
hawanya yang panas. Sebaliknya, pada musim dingin hawa di sana justru menusuk
tulang, dingin sekali. Tapi karena itulah arak anggur keluaran sana sangat
istimewa.”
Linghu Chong berkata, “Waktu
aku minum arak anggur di Kota Luoyang, kebetulan saat itu sedang musim dingin.
Ahli arak temanku mengambil sepotong es dan menaruh cawan di atas potongan es
itu. Setelah didinginkan dengan es, ternyata arak anggur mempunyai suatu rasa
yang lain lagi. Sayang sekali saat ini adalah permulaan musim panas, sehingga
tidak mungkin kita mendapatkan es untuk memperoleh rasa yang istimewa itu.”
“Waktu aku berada di Benua
Barat juga sedang musim panas sehingga di sana sulit mendapatkan es. Namun
Moore Watson juga bercerita kepadaku tentang kenikmatan arak anggur yang sudah
didinginkan seperti kau katakan tadi,” kata Danqingsheng. “Ah, ini bukan
perkara sulit. Adik, kau boleh tinggal di sini sampai setengah tahun lagi.
Kalau musim dingin tiba, kita dapat menikmatinya bersama-sama.” Ia berhenti
sejenak, lalu menyambung sambil mengerutkan dahi, “Tapi kalau harus menunggu
selama itu, benar-benar membuat tidak sabar.”
Xiang Wentian ikut bicara,
“Sayang sekali di daerah Jiangnan sini tidak ada pendekar yang memelajari ilmu
semacam Tapak Es, Cakar Dingin, atau sebagainya. Kalau ada tentunya ….”
Belum habis ucapannya
tiba-tiba Danqingsheng berteriak senang, “Aha! Ada, ada!” Ia kemudian menaruh
gentong araknya dan melangkah keluar dengan penuh semangat.
Linghu Chong terheran-heran
dan menoleh ke arah Xiang Wentian dengan penuh tanda tanya. Tapi Xiang Wentian
hanya tersenyum saja tanpa bicara.
Tidak lama kemudian
Danqingsheng telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua berpakaian hitam,
bertubuh kurus tinggi sambil berkata, “Kakak Kedua, bagaimanapun kali ini kau
harus membantu.”
Linghu Chong melihat orang tua
tinggi kurus ini bermuka pucat seperti kertas, agak kehijau-hijauan sehingga
mirip mayat hidup. Siapa saja yang melihatnya pasti merasa ngeri.
Danqingsheng memperkenalkan
orang tua jangkung itu yang ternyata adalah majikan kedua Wisma Mei Zhuang,
bernama Heibaizi. Namanya itu jelas bukan nama asli, tetapi semacam julukan
yang bermakna “hitam putih”. Itu karena rambutnya yang hitam legam, sedangkan
kulit badannya putih bersih.
Dengan sikap acuh tak acuh
Heibaizi bertanya, “Membantu apa?”
“Tolong kau keluarkan
kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini,”
kata Danqingsheng.
“Ah, kepandaian yang tiada
artinya seperti itu mana boleh dipamerkan kepada para jago. Bisa-bisa menjadi
bahan tertawaan saja,” jawab Heibaizi.
“Kakak Kedua, aku tidak akan
menutup-nutupi lagi,” kata Danqingsheng. “Saudara Feng ini mengatakan kalau
arak anggur dari Turfan jika direndam dengan es akan menghasilkan rasa yang
istimewa. Tapi di musim panas begini ke mana lagi harus mencari es?”
“Arak ini sudah wangi dan
enak. Untuk apa harus didinginkan segala?” tanya Heibaizi.
Linghu Chong menyahut, “Turfan
adalah tempat yang sangat panas ….”
Danqingsheng menukas, “Benar!
Panas sekali!”
Linghu Chong melanjutkan, “Meskipun
daerah itu menghasilkan arak anggur yang bagus, namun anggur dari sana juga
mengandung hawa panas.”
Danqingsheng menambahkan,
“Benar sekali. Itu memang wajar.”
Linghu Chong menyambung, “Hawa
panas itu ikut meresap ke dalam arak anggur sehingga setelah seratus tahun
sekalipun tetap meninggalkan rasa pedas. Hal ini sukar dihindari.”
Danqingsheng menanggapi,
“Benar sekali, benar sekali! Kalau saja Adik Feng tidak bicara, mana aku tahu
soal ini? Tadinya aku mengira hal ini disebabkan oleh api yang terlalu besar
saat menyuling arak. Sampai-sampai aku terlanjur menyalahkan si tukang masak
istana itu.”
Linghu Chong bertanya, “Tukang
masak istana apa?”
Danqingsheng menjawab sambil
tersenyum, “Aku khawatir ada kesalahan dalam penyulingan sehingga bisa merusak
mutu arak anggur bagus ini. Maka, aku pun pergi ke istana Beijing dan menangkap
tukang masak kaisar. Kemudian dia kusuruh membuat api untuk menyuling arak.”
Xiang Wentian menanggapi,
“Ternyata begitu. Kalau pendekar biasa yang minum arak panas dan pedas seperti
ini tentu tidak menjadi masalah. Namun, Tuan Kedua dan Tuan Keempat hidup
menyepi di tepi Danau Xihu yang indah permai ini tanpa memedulikan urusan
duniawi lagi, tentunya tidak dapat disamakan dengan orang-orang kasar dunia
persilatan. Kalau arak anggur ini didinginkan dan hilang hawa panasnya, barulah
sesuai dengan Tuan berdua sebagai jago-jago berkedudukan tinggi. Sama seperti
dalam bermain catur, hanya mengandalkan kekuatan saja adalah permainan kelas
rendah. Sedangkan permainan catur kaum papan atas tentu melibatkan jiwa dan
pikiran ….”
Belum selesai ia berkata
tahu-tahu bahunya sudah dicengkeram Heibaizi dengan mata terbelalak, yang
kemudian bertanya dengan cepat, “Kau juga mahir main catur?”
Xiang Wentian menjawab,
“Seumur hidup aku paling gemar main catur. Sayang sekali, bakatku kurang dan
kemampuanku rendah. Sebab itulah aku berkelana melewati utara dan selatan
Sungai Yangtze, juga ke hulu dan hilir Sungai Kuning demi mencari kitab-kitab
catur. Selama tiga puluhan tahun terakhir permainan catur yang terkenal dari
zaman dahulu tidak sedikit yang telah kuketahui dengan baik.”
“Permainan catur apa saja yang
telah kau pahami?” tanya Heibaizi bersemangat.
Xiang Wentian menjawab, “Cukup
banyak. Misalnya, permainan yang disaksikan Wang Zhi ketika bertemu dewa di
atas Gunung Tangkai Busuk; permainan antara Liu Zhongfu waktu bertanding
melawan nenek dewi di Pegunungan Lishan; juga permainan antara mertua dan
menantu siluman rubah yang didengar Wang Jixin ….”
“Ah, dongeng seperti itu mana
bisa dipercaya?” tukas Heibaizi sambil menggeleng-geleng kecewa dan kemudian
melepaskan cengkeramannya dari bahu Xiang Wentian. “Lagipula mana ada kitab
catur yang ditulis berdasarkan pada dongeng-dongeng begitu?”
“Dahulu aku juga mengira
kejadian-kejadian itu hanyalah dongeng belaka,” kata Xiang Wentian. “Tapi
sekitar dua puluh lima tahun yang lalu aku melihat sendiri ada kitab catur
bergambar yang menceritakan permainan Liu Zhongfu melawan si nenek dewi dari
Gunung Lishan. Langkah-langkahnya sungguh hebat. Orang biasa mana bisa
membuatnya? Mau tidak mau aku jadi percaya cerita itu bukan cuma dongeng.
Apakah Tuan juga gemar main catur?”
“Hahahaha!” Danqingsheng
terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang ikut melambai.
Xiang Wentian bertanya,
“Mengapa Tuan Keempat tertawa?”
Danqingsheng menjawab, “Kau
bertanya kakak keduaku apakah gemar main catur atau tidak? Hahaha, Kakak Kedua
bergelar Heibaizi, Si Hitam Putih. Dari namanya saja sudah ketahuan dia gemar
catur atau tidak. Ketahuilah, Kakak Kedua mencintai catur seperti aku mencintai
arak.”
“Oh, aku telah sembarangan
mengoceh di hadapan kaum ahli, laksana pamer kapak di hadapan Lu Ban. Mohon
Tuan Kedua sudi memaafkan,” kata Xiang Wentian.
Heibaizi menyahut, “Apa benar
kau pernah melihat sendiri kitab bergambar tentang permainan catur antara Liu
Zhongfu melawan nenek dewi Gunung Lishan itu? Aku hanya mengetahui dari kitab
kuno. Konon, pada zaman itu Liu Zhongfu menyombongkan diri sebagai juara catur
yang tiada tandingannya. Tapi di Gunung Lishan ia dikalahkan habis-habisan oleh
seorang nenek petani, sampai muntah darah karena sedih. Maka, kitab catur itu
disebut sebagai ‘Kitab Muntah Darah’. Memangnya di dunia ini benar-benar ada
Kitab Muntah Darah?” Jika tadi ia masuk ruangan dengan wajah acuh tak acuh, kini
ia terlihat begitu bersemangat.
Xiang Wentian menjawab, “Ya,
dua puluh lima tahun silam aku pernah melihat sendiri kitab bergambar itu di
sebuah keluarga kuno milik keluarga bangsawan di Kota Chengdu, daerah Sichuan.
Karena permainan yang dilukis dalam kitab itu sungguh mengesankan, sampai
sekarang aku masih ingat seluruhnya. Sebanyak seratus dua belas langkah dapat
kuingat semua satu per satu.”
“Seratus dua belas langkah?”
Heibaizi menegas, “Tolonglah kau susun untukku supaya aku juga bisa melihatnya.
Mari, mari ikut ke ruanganku untuk menyusun biji catur di sana.”
Danqingsheng segera
merentangkan tangan untuk menghalangi mereka. Ia berkata, “Tunggu dulu! Kakak
Kedua, kau tidak akan kubiarkan pergi sebelum membuatkanku es.” Usai berkata ia
lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang dipenuhi air bersih.
“Adik Keempat memang kurang
waras, apa boleh buat?” ujar Heibaizi menghela napas. Segera ia mencelupkan ibu
jari tangan kanan ke dalam air baskom itu. Dalam sekejap dari permukaan air
muncul uap putih tipis. Tak lama kemudian, dinding baskom itu telah diliputi
oleh selapis es, lalu di permukaan air juga muncul kepingan-kepingan es tipis
yang makin lama makin tebal. Akhirnya, seluruh air di dalam baskom itu telah
berubah menjadi es batu.
Xiang Wentian dan Linghu Chong
bersorak memuji. Xiang Wentian berkata, “Jurus Jari Angin Hitam yang luar biasa
ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan. Ternyata Tuan Kedua ….”
“Itu bukan jurus Jari Angin
Hitam, tapi jurus Jari Langit Sakti. Lebih hebat lagi!” tukas Danqingsheng.
Sambil berkata ia lantas menaruh empat cawan di atas es batu tersebut, lalu
menuangkan arak anggur ke dalam cawan-cawan itu.
Tidak lama kemudian, dari
cawan-cawan itu mulai mengepul uap dingin. Linghu Chong segera berseru, “Sudah
cukup!”
Danqingsheng mengambil satu
cawan dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Benar juga, arak itu terasa
matang dan lezat, sama sekali tidak berbau dan sangat menyegarkan, membuat
pikiran menjadi tenang. “Bagus sekali!” soraknya memuji. “Aku pandai membuat
arak, Adik Feng pandai mencicipi, Kakak Kedua pandai membuat es, dan kau … kau
….” ia berpaling kepada Xiang Wentian kemudian tertawa, “kau pandai menanggapi
ke sana dan kemari.”
Orang tua itu kemudian
membalik keempat cawan itu, dan segera menaruh baskom porselen berisi es batu
tadi di atasnya, sambil berkata, “Hawa dingin mengalir dari atas ke bawah.
Dengan cara ini, hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat.”
Linghu Chong menjawab, “Memang
hawa dingin akan mengalir ke bawah lebih cepat. Namun dengan cara ini, cawan
akan dingin seluruhnya, sehingga mutu arak yang dihasilkan tidak memadai untuk
disebut kelas satu. Kalau hawa es menembus dari bawah ke atas, maka dalam arak
akan terdapat beberapa lapis suhu yang berlainan. Kita akan dapat merasakan kenikmatan
arak anggur yang berbeda-beda dalam satu cawan.”
Danqingsheng kagum mendengar
uraian Linghu Chong tentang seni minum arak yang begitu mendalam. Ia kemudian
mencicipi arak yang sekarang, ternyata rasanya memang berbeda dengan yang
dihasilkan dari cara pertama tadi.
Heibaizi juga ikut minum arak
anggur namun tanpa peduli rasanya enak atau tidak. Ia kemudian menarik lengan
Xiang Wentian dan berkata, “Ayo ke kamarku! Susunlah permainan dalam Kitab
Tumpah Darah Liu Zhongfu itu supaya aku bisa melihatnya.”
Xiang Wentian juga lantas
menarik lengan baju Linghu Chong. Linghu Chong paham maksudnya, dan segera
berkata, “Aku ingin melihat juga!”
Danqingsheng berusaha
mencegah, “Apa bagusnya? Lebih enak kita berdua minum arak di sini saja.”
“Kita bisa minum arak sambil
melihat permainan catur,” ujar Linghu Chong sambil melangkah di belakang
Heibaizi dan Xiang Wentian. Tiada pilihan lain, Danqingsheng terpaksa membawa
gentong araknya dan ikut menyusul ke ruang catur.
Ruangan yang dimaksudkan itu
sangat luas namun kosong melompong, kecuali di tengahnya terdapat sebuah meja
batu dan dua buah kursi empuk. Di atas meja batu itu terukir sembilan belas
garis yang membujur dan melintang membentuk semacam papan catur. Pada kedua
sisi meja terdapat masing-masing satu kotak biji catur, yang satu berwarna
putih dan yang satu lagi berwarna hitam. Ruangan tersebut sengaja tidak diisi
barang-barang lain supaya tidak mengganggu konsentrasi orang yang bermain
catur.
Tanpa bicara Xiang Wentian
melangkah mendekati meja batu itu. Ia mengambil empat biji dan masing-masing
ditaruh pada keempat titik sudut papan catur yang disebut ping, shang, qu, dan
ru. Kemudian ia mengambil satu biji putih dan menaruhnya pada titik enam-tiga
“pingbu”, lalu satu biji hitam pada titik sembilan-tiga. Setelah itu pada titik
enam-lima ditaruhnya sebuah biji putih, dan pada titik sembilan-lima ditaruhnya
sebuah biji hitam, begitu seterusnya tanpa berhenti sampai papan catur tersebut
penuh.
Biji hitam dan biji putih yang
dimainkan Xiang Wentian tampak bertarung dengan sengit. Kedua pihak sama sekali
tidak pernah salah melangkah. Heibaizi menyaksikan permainan tersebut dengan
seksama. Dahinya terlihat basah oleh keringat dingin yang bercucuran.
Diam-diam Linghu Chong
terheran-heran. Tadi ia melihat sendiri bagaimana Heibaizi secara acuh tak acuh
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat mengubah air menjadi es dalam
baskom. Sebaliknya, hanya melihat permainan catur saja, ternyata bisa
membuatnya bercucur keringat. Sepertinya Xiang Wentian mengetahui kegemaran
orang tua itu dan berhasil memanfaatkannya dengan baik.
“Apa sebenarnya hubungan
antara tabib hebat itu dengan para majikan ini?” demikian Linghu Chong
berpikir.
Setelah langkah keenam puluh
enam, Xiang Wentian tidak lagi menaruh lagi biji caturnya untuk beberapa lama.
Heibaizi menjadi tidak sabar dan segera bertanya, “Bagaimana langkah
selanjutnya?”
“Di sinilah kunci
permainannya,” sahut Xiang Wentian. “Bagaimana menurut pendapat Tuan Kedua?”
Heibaizi berpikir cukup lama
kemudian menggumam sendiri, “Langkah ini … ya, memang agak repot. Biji catur
yang mana, ya? Kalau Duan tidak tepat, Lian juga tidak benar, Chong tidak bisa
dijalankan, Huo juga tidak dapat. Wah, ini … ini ….” Tangannya memegang satu
biji putih dan hanya diketuk-ketukkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai
sekian lama tetap tidak tahu harus dijalankan ke mana.
Sementara itu, Danqingsheng
dan Linghu Chong masing-masing sudah menghabiskan tujuh atau delapan belas
cawan anggur sambil menonton.
Melihat wajah Heibaizi makin lama
makin menghijau, Danqingsheng pun berkata, “Saudara Tong, apakah dengan Kitab
Muntah Darah kau ingin membuat Kakak Kedua benar-benar muntah darah? Lekas kau
katakan saja bagaimana langkah selanjutnya.”
“Baiklah,” jawab Xiang
Wentian. “Langkah keenam puluh tujuh adalah seperti ini.” Ia kemudian menaruh
sebuah biji pada titik tujuh-empat “sangbu”.
Heibaizi memukul keras-keras
pahanya sambil berseru, “Bagus! Semua langkah tidak bagus, sedangkan yang
paling bagus adalah langkah ‘tuo xian ta tou’ ini! Kalau biji catur ini ditaruh
di sini, memang sangat bagus!”
“Langkah ini memang sangat
bagus, dan inilah yang dilakukan Liu Zhongfu kala itu,” ujar Xiang Wentian
sambil tersenyum. “Namun langkah ini hanyalah langkah seorang juara catur
manusia biasa, tentu jauh bila dibandingkan dengan langkah ajaib nenek dewi
Gunung Lishan itu.”
“Bagaimana langkah ajaib nenek
dewi itu? Coba tunjukkan!” desak Heibaizi.
“Silakan Tuan Kedua
memikirkannya,” kata Xiang Wentian.
Heibaizi kembali memeras otak.
Namun sampai sekian lama ia merasa posisi sudah tidak menguntungkan,
bagaimanapun sukar untuk balas menyerang. Sambil menggeleng, ia kemudian
berkata, “Langkah ini adalah langkah dewa, manusia biasa seperti kita mana bisa
memikirkannya? Saudara Tong, tolong kau jangan membuatku semakin penasaran.”
“Langkah ajaib ini memang
hanya dapat dipikirkan oleh kaum dewa,” kata Xiang Wentian dengan tertawa.
Sebagai seorang pemikir, sudah
tentu Heibaizi mahir menjajaki pikiran lawan. Melihat sikap Xiang Wentian yang
tidak suka berterus terang itu, diam-diam ia menduga pasti ada maksud tertentu
di balik itu semua. Maka ia pun berkata, “Saudara Tong, tolong katakan kepadaku
bagaimana langkah ajaib itu. Aku jamin tidak akan menerima dengan cuma-cuma.”
Linghu Chong tertegun dan
berpikir, “Jangan-jangan Kakak Xiang sengaja berbelit-belit karena tahu ilmu
Jari Langit Sakti milik Tuan Kedua bisa menyembuhkan penyakitku?”
Di luar dugaan Xiang Wentian
justru mendongak dan bergelak tawa, kemudian berkata, “Aku dan Adik Feng sama
sekali tidak ingin meminta imbalan apa-apa dari keempat majikan. Jika Tuan
Kedua berkata seperti tadi, itu berarti memandang rendah terhadap kami berdua.”
“Mohon maaf, aku telah bicara
sembarangan!” kata Heibaizi sambil menunduk dan memberi hormat.
Sambil membalas hormat, Xiang
Wentian berkata, “Kedatangan kami berdua ke Wisma Mei Zhuang sebenarnya hendak
bertaruh dengan keempat majikan.”
“Bertaruh sesuatu?” Heibaizi
dan Danqingsheng bertanya serentak. “Bertaruh apa?”
“Begini,” kata Xiang Wentian.
“Aku bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada seorang pun yang mampu
mengalahkan ilmu pedang Adik Feng ini.”
Heibaizi dan Danqingsheng
serentak berpaling ke arah Linghu Chong. Wajah Heibaizi tampak acuh tak acuh,
sedangkan Danqingsheng bergelak tawa kemudian bertanya, “Apa yang menjadi
taruhanmu?”
“Jika kami kalah,” kata Xiang
Wentian, “maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Tuan Keempat.”
Sambil berbicara ia lantas
membuka bungkusan yang sejak tadi terikat di punggungnya. Ternyata bungkusan
itu berisi dua buah gulungan. Gulungan pertama dibuka, berisi sebuah lukisan
kuno yang ditandatangani pelukisnya menggunakan kalimat “Para Musafir di antara
Gunung dan Sungai oleh Fan Zhongli dari Dinasti Song Utara”. Lukisan itu adalah
lukisan pemandangan sebuah gunung yang menjulang tinggi menembus awan.
Goresannya tajam, warnanya indah, dan gambar gunung terlihat megah. Meskipun
tidak paham seni lukis, Linghu Chong langsung mengetahui kalau lukisan itu
adalah mahakarya yang hebat. Ia dapat melihat pemandangan gunung yang
diselimuti pepohonan tersebut seperti hidup. Meskipun hanya lukisan di atas
kertas, namun ia bagaikan melihat secara langsung sebuah gunung yang
benar-benar tinggi menjulang.
Danqingsheng berteriak,
“Aiiih!” Pandangannya sama sekali tidak bergeser dari lukisan itu. Sampai agak
lama barulah ia berkata, “Ini benar-benar lukisan asli Fan Kuan dari zaman
Dinasti Song Utara. Dari … dari mana kau mendapatkannya?”
Xiang Wentian hanya tersenyum
tanpa menjawab. Perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.
“Nanti dulu!” seru
Danqingsheng sambil menjulurkan tangan dengan maksud untuk mencegah supaya
lukisan itu jangan digulung. Tak disangka, baru saja tangannya menyentuh lengan
Xiang Wentian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat mengalir keluar
dan menolak tangannya dengan halus. Meskipun demikian, Xiang Wentian terlihat
tenang-tenang saja dan masih tetap menggulung lukisan.
Saat menjulurkan tangan tadi,
Danqingsheng sama sekali tidak menggunakan tenaga dalam karena takut merobek
lukisan kuno tersebut. Begitu mendapat penolakan halus dari Xiang Wentiang, ia
baru sadar kalau tamunya itu ternyata begitu kuat, jelas-jelas tenaga dalam
papan atas. Diam-diam ia sangat kagum karena yakin Xiang Wentian belum
mengeluarkan semua kemampuannya. Maka, pria berjanggut panjang itu kemudian
berkata, “Saudara Tong, ternyata ilmu silatmu sedemikian hebat. Jangan-jangan
tidak kalah dariku.”
“Ah, Tuan Keempat suka
bercanda,” ujar Xiang Wentian. “Kecuali ilmu pedang, keempat majikan di sini
memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Aku, Tong Huajin hanyalah seorang
keroco biasa, mana berani dibandingkan dengan Tuan Keempat?”
Raut muka Danqingsheng berubah
masam. Ia berkata, “Mengapa kau mengatakan ‘selain ilmu pedang’? Memangnya ilmu
pedangku tidak masuk hitungan?”
Xiang Wentian hanya tersenyum,
lalu berkata, “Bagaimana jika Tuan Kedua melihat kaligrafi ini?”
Kali ini ia membuka gulungan
yang lain, ternyata sebuah kaligrafi yang ditulis dengan huruf seperti rumput,
atau corat-coret belaka, namun dengan goresan yang terlihat hidup seperti naga
dan ular.
“Hei, hei, hei!” Danqingsheng
berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia berteriak, “Kakak Ketiga!
Kakak Ketiga! Ini dia harta karun terbesar seumur hidupmu ada di sini!”
Suara teriakannya ini sungguh
keras sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir juga
berhamburan dari atap. Karena jeritan yang tiba-tiba itu, Xiang Wentian dan
Linghu Chong ikut terkejut dibuatnya.
Maka terdengarlah dari
seseorang berseru dari kejauhan, “Ada apa teriak-teriak?”
“Kakak Ketiga,” seru
Danqingsheng, “jika kau tidak segera datang, sebentar lagi orang ini akan
menyimpan kembali barangnya dan kau pasti akan menyesal seumur hidup.”
“Ah, kau pasti menemukan
kaligrafi palsu lagi, bukan?” kata orang di luar kamar itu. Tahu-tahu suaranya
kini sudah berada di dekat pintu.
Begitu tirai pintu disingkap,
masuklah seorang bertubuh pendek gemuk, dengan kepala botak licin tanpa sehelai
rambut pun. Tangan kanannya tampak memegang sebuah pena besar, sedangkan bajunya
berlumuran bercak-bercak tinta hitam.
Begitu ia mendekat, tiba-tiba
matanya melotot dan napas pun terengah-engah. Dengan suara gemetar orang itu
berkata, “Haah, ini asli! Ini … benar … benar-benar tulisan Zhang Xu dari zaman
Dinasti Tang. Ini benar-benar Kitab Sesuka Hati! Tidak mungkin … tidak mungkin
palsu!”
Kaligrafi tersebut bergaya
caoshu, yaitu dibuat dengan corat-coret cepat yang terlihat sangat bebas dan
berani, bagaikan seorang pendekar sedang menerahkan ilmu ringan tubuh, melompat
tinggi dan merunduk rendah, dengan gerak-gerik yang gesit dan lincah, namun
tetap anggun. Linghu Chong sendiri paling banyak hanya mengenali satu di antara
kesepuluh huruf dalam kaligrafi tersebut, namun pada bagian akhir tulisan
terdapat banyak stempel, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarang
kaligrafi.
Danqingsheng berkata, “Ini
adalah Kakak Ketiga Tubiweng alias Si Kakek Pena Gundul. Ia mendapat julukan
demikian karena sangat mencintai seni kaligrafi, sehingga beribu-ribu pena
telah dipakainya sampai gundul. Jadi, bukan karena kepalanya yang botak. Hal
ini perlu diterangkan supaya tidak ada salah paham.”
“Ya, ya,” jawab Linghu Chong
sambil tertawa.
Tubiweng menggerakkan pena di
tangan kanan seolah menggores di udara naik-turun mengikuti contoh tulisan pada
Kitab Sesuka Hati itu. Tingkah lakunya seperti orang linglung, sama sekali ia
tidak peduli pada Xiang Wentian dan Linghu Chong yang berada di situ. Bahkan
ucapan Danqingsheng tadi juga tidak dihiraukan olehnya.
Linghu Chong sendiri sedang
memikirkan sesuatu, “Siasat Kakak Xiang ini apakah sudah direncanakan sejak
lama? Saat pertama kali bertemu dengannya di gardu waktu itu, memang di
punggungnya terdapat bungkusan. Tapi, apakah mungkin kedua gulungan lukisan dan
kaligrafi ini berada di dalam bungkusan itu?” Sejenak kemudian ia menemukan
jawaban, “Mungkin Kakak Xiang mendapatkan kedua gulungan tersebut sewaktu aku
beristirahat di penginapan. Demi memohon supaya keempat majikan di Wisma Mei
Zhuang ini supaya menyebuhkan penyakitku, dia sengaja membeli atau mungkin
mencuri kedua benda tersebut. Ah, kemungkinan besar Kakak Xiang telah
mencurinya. Harta karun yang tak ternilai harganya seperti itu mana mungkin ada
toko yang menjualnya?”
Gerakan pena Tubiweng
terdengar bersuara mendesir-desir lirih. Tenaga dalamnya jelas tidak kalah
dibanding Heibaizi. Linghu Chong kembali berpikir, “Penyakitku ini akibat
perbuatan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Namun tenaga dalam ketiga
majikan ini agaknya lebih tinggi daripada mereka semua. Bisa jadi kakak pertama
mereka juga jauh lebih hebat. Kalau ditambah dengan Kakak Xiang, tentu mereka
dapat bergabung menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang
tenaga dalam saat mengobatiku.”
Sebelum Tubiweng selesai
mencorat-coret di udara meniru kaligrafi Kitab Sesuka Hati tersebut, mendadak
Xiang Wentian menggulung dan menyimpannya kembali ke dalam bungkusan.
Tubiweng memandang bingung
kepada Xiang Wentian. Sampai agak lama barulah ia bertanya, “Hendak kau tukar
dengan apa?”
Xiang Wentian menggeleng, dan
menjawab, “Tidak akan kutukar dengan apa pun.”
“Bagaimana dengan dua puluh
delapan jurus ilmu menotok dengan pena Genderang Batu?” demikian Tubiweng
memberi penawaran.
“Tidak boleh!” serentak
Heibaizi dan Danqingsheng berseru.
“Boleh saja, mengapa tidak?”
sahut Tubiweng. “Jika aku bisa memperoleh tulisan asli Zhang Xu ini, maka kitab
dua puluh delapan jurus totokan Genderang Batu boleh dikata tidak ada artinya
lagi.”
Tapi Xiang Wentian tetap
menggeleng dan berkata, “Tidak bisa!”
“Jika begitu mengapa kau
perlihatkan tulisan itu kepadaku?” tanya Tubiweng agak heran.
“Ya, anggaplah aku yang salah.
Anggap saja Tuan Ketiga tidak pernah melihatnya,” ujar Xiang Wentian.
“Sudah dilihat, mana boleh
dianggap tidak pernah melihat?” balas Tubiweng.
“Apakah Tuan Ketiga
benar-benar ingin memiliki kaligrafi asli Zhang Xu ini?” tanya Xiang Wentian,
“Sebenarnya tidak susah. Tuan Ketiga cukup bertaruh dengan kami saja.”
“Bertaruh apa?” tanya Tubiweng
cepat.
“Kakak Ketiga,” sahut
Danqingsheng menanggapi, “orang ini sepertinya agak sinting. Dia bertaruh bahwa
di dalam Wisma Mei Zhuang ini tidak ada yang mampu menandingi ilmu pedang Adik
Feng dari Perguruan Huashan itu.”
“Kalau ada orang yang mampu
mengalahkannya, bagaimana?” tanya Tubiweng.
“Tidak peduli siapa pun dia,
kalau di dalam Wisma Mei Zhuang ini ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik
Feng, maka aku akan mempersembahkan kaligrafi Kitab Sesuka Hati ini kepada Tuan
Ketiga, dan menghadiahkan lukisan asli Fan Kuan berjudul Para Musafir di Antara
Gunung dan Sungai tadi kepada Tuan Keempat, juga akan kutuliskan satu per satu
kedua puluh permainan catur para dewa kepada Tuan Kedua.”
“Bagaimana dengan kakak
pertama kami? Apa yang akan kau berikan kepadanya?” tanya Tubiweng.
Xiang Wentian menjawab, “Untuk
Tuan Pertama, aku punya sebuah naskah kecapi kuno berjudul Guangling San.”
Linghu Chong terkejut
mendengarnya. Ia berpikir, “Naskah Guangling San digali Tetua Qu Yang dari
makam kuno, dan iramanya dimasukkan ke dalam lagu Menertawakan Dunia Persilatan.
Mengapa sekarang ada di tangan Kakak Xiang?” Tiba-tiba ia sadar dan mendapat
jawaban, “Ah, aku tahu! Kakak Xiang dan Tetua Qu sama-sama pemuka Sekte Iblis.
Kemungkinan mereka berteman baik. Sepertinya Tetua Qu sangat gembira setelah
menemukan naskah Guangling San dan menceritakannya kepada Kakak Xiang. Bisa
jadi Kakak Xiang telah meminjam dan menyalin naskah tersebut, sementara Tetua
Qu tidak merasa keberatan.” Ketika teringat naskah tersebut masih ada,
sedangkan orang yang telah menemukannya kini tiada, membuat Linghu Chong
menghela napas panjang.
Tubiweng menanggapi, “Sejak
kematian Ji Kang, lagu Guangling San sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Perkataan Saudara Tong sepertinya mengandung kebohongan.”
Xiang Wentian menjawab dengan
tersenyum, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tergila-gila pada musik kecapi.
Ia pernah bercerita bahawa setelah kematian Ji Kang, memang lagu Guangling San
ikut punah dari muka bumi. Ji Kang sendiri meninggal pada zaman Dinasti Jin
Barat, dan sejak saat itu lagu ini dilupakan orang. Namun, bagaimana dengan
zaman sebelum Dinasti Jin Barat?”
Tubiweng dan kedua saudaranya
saling pandang. Untuk sesaat mereka tidak mengerti maksud perkataan tersebut.
Xiang Wentian melanjutkan,
“Sahabatku itu sangat cerdas, juga pemberani. Demi menemukan naskah Guangling
San, ia menggali puluhan makam ahli kecapi kuno sebelum zaman Dinasti Jin. Di
mana ada kemauan, di situ ada jalan. Akhirnya ia menemukan naskah ini pada
makam Cai Yong dari Dinasti Han Timur.”
Tubiweng dan Danqingsheng
berseru kaget, sedangkan Heibaizi mengangguk-angguk perlahan sambil memuji,
“Benar-benar cerdas dan berani!”
Xiang Wentian membuka
bungkusannya dan mengeluarkan sebuah kitab tipis yang pada sampulnya
bertuliskan “Naskah Kecapi Guangling San”. Dengan santai ia membolak-balik
halaman pada naskah tersebut, dan isinya memang benar-benar naskah not kecapi.
Ia kemudian memberikan kitab itu kepada Linghu Chong, sambil berkata, “Adik
Feng, kalau di Wisma Mei Zhuang ini ada orang yang bisa mengalahkan ilmu
pedangmu, tolong kau serahkan naskah kuno ini kepada Tuan Pertama.”
Linghu Chong menerima kitab
itu dan memasukkannya ke balik baju, sambil terus-menerus berpikir, “Mungkin
kitab ini bukan salinan, tetapi kitab asli yang ditinggalkan Tetua Qu. Karena
Tetua Qu sudah meninggal, maka tidak sulit bagi Kakak Xiang untuk mengambil
kitab ini.”
Danqingsheng lantas menyela
dengan tertawa, “Adik Feng ini mahir seni minum arak, tentu ilmu pedangnya juga
sangat lihai. Hanya saja, ia masih sangat muda. Apa benar di dalam Wisma Mei
Zhuang kami ini …. Hehe, sungguh menggelikan.”
Sebelumnya Linghu Chong telah
berjanji kepada Xiang Wentian akan menuruti segala apa yang diatur oleh kakak
angkatnya itu. Namun sampai di sini suasana berubah menjadi tegang. Ia merasa
ucapan Xiang Wentian tadi sudah keterlaluan. Kunjungan ke Wisma Mei Zhuang
adalah dalam rangka mencari kesembuhan, mengapa justru menantang dan
merendahkan pihak tuan rumah? Lagipula dengan tenaga dalam yang sudah musnah,
bagaimana bisa menghadapi kehebatan empat sesepuh itu? Berpikir demikian
membuat pemuda itu berkata, “Ah, Kakak Tong memang suka bercanda. Aku masih
hijau dan kurang pengalaman, mana bisa dibandingkan dengan keempat majikan yang
berilmu tinggi?”
Xiang Wentian tertawa dan
menyambung, “Kata-kata yang rendah hati memang perlu diucapkan. Kalau tidak,
tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong.”
Tubiweng sepertinya tidak
ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua. Ia menggumam sendiri, “Dengan tiga
cawan arak, Zhang Xu menjadi Dewa Caoshu, membuka topi di hadapan para
bangsawan, mengayunkan kuas di atas kertas, bagai mega dan kabut. Kakak Kedua,
kutipan tadi adalah pujian untuk Zhang Xu yang ditulis oleh Du Yu dalam
puisinya yang berjudul ‘Lagu Delapan Dewa Mabuk’ dari zaman Dinasti Tang. Zhang
Xu memang salah satu dari Delapan Dewa Mabuk. Kau sudah melihat Kitab Sesuka
Hati tadi, tentunya kau bisa membayangkan bagaimana keadaannya saat mengayukan
kuasnya dalam keadaan mabuk berat. Aih, benar-benar seperti kuda sembrani yang
terbang di angkasa tanpa bisa dikekang. Sungguh tulisan yang indah! Tulisan
yang indah!”
Danqingsheng menyahut, “Benar.
Orang itu suka minum, tentu dia seorang yang hebat. Kaligrafinya tentu tidak
jelek.”
Tubiweng melanjutkan, “Penyair
Han Yu juga menulis tentang Zhang Xu, ‘Rasa girang, murka, malu, gelisah,
khawatir, sedih, gembira, nyaman, benci, kagum, mabuk berat, dan bosan. Apa pun
yang menggerakkan hatinya, akan diungkapkannya melalui kaligrafi caoshu, bagai
mengayunkan pedang.’ Betapa menyenangkan!” Ia kembali menggerakkan tangan untuk
menulis di udara. Setelah menulis beberapa huruf, pria berkepala botak itu
berkata kepada Xiang Wentian, “Hei, coba kau buka lagi supaya aku bisa
melihatnya!”
Xiang Wentian menggeleng
sambil tersenyum, “Asalkan Tuan Ketiga bisa menang, tentu kaligrafi ini menjadi
milik Tuan. Sekarang hendaknya jangan terburu-buru.”
Sebagai ahli catur, Heibaizi
selalu berpikir dengan hati-hati. Sebelum memikirkan kemenangan, lebih dulu ia
memperhitungkan kekalahan. Maka ia pun bertanya, “Jika di dalam Wisma Mei Zhuang
kami ini benar-benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang
Saudara Feng, lantas apa yang harus kami serahkan?”
“Kami datang ke Wisma Mei
Zhuang ini bukan untuk meminta suatu benda atau mohon bantuan atas suatu
urusan,” jawab Xiang Wentian. “Adik Feng hanya ingin menambah kehebatan ilmu
pedangnya dengan saling belajar bersama para jago sakti saat ini. Jika kami
beruntung bisa menang, maka kami akan mohon diri tanpa meminta barang taruhan
apa pun.”
“Oh, jadi Saudara Feng ini
hanya ingin mencari nama saja?” tanya Heibaizi. “Kalau dia bisa mengalahkan
Empat Sekawan dari Jiangnan, tentu namanya akan tersohor di dunia persilatan.”
“Tuan Kedua jangan salah
sangka,” kata Xiang Wentian sambil menggeleng. “Dalam pertandingan di Wisma Mei
Zhuang kali ini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu
kata saja dibocorkan ke luar, biarlah kami berdua mati tak terkubur, menjadi
manusia yang terkutuk dan rendah melebihi kotoran anjing.”
“Bagus, bagus!” seru
Danqingsheng. “Ucapanmu patut dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah di sini
saja aku bertanding sejurus-dua jurus dengan Adik Feng. Mana pedangmu, Adik
Feng?”
Xiang Wentian menanggapi
sambil tersenyum, “Kami menghormati Tuan berempat. Datang ke Wisma Mei Zhuang
mana kami berani membawa senjata?”
Segera Danqingsheng berteriak
keras, “Ambilkan dua pedang!”
Terdengar suara orang
mengiakan di luar. Tak lama kemudian datanglah Ding Jian dan Shi Lingwei yang
masing-masing membawa sebilah pedang untuk diserahkan kepada Danqingsheng.
Danqingsheng mengambil pedang
di tangan Ding Jian, kemudian berkata kepada Shi Lingwei, “Yang itu berikan
kepadanya!”
“Baik!” jawab Shi Lingwei yang
kemudian berjalan ke arah Linghu Chong sambil memegang pedang itu dengan kedua
tangan.
Linghu Chong merasa rikuh. Ia
kemudian berpaling ke arah Xiang Wentian. Xiang Wentian berkata kepadanya,
“Adik Feng, ilmu pedang Tuan Keempat sangat lihai. Asalkan dapat belajar
sejurus-dua jurus saja sudah sangat bermanfaat besar bagimu.”
Meski dalam hati tidak ingin
bertanding, Linghu Chong merasa tidak punya pilihan lain. Terpaksa ia pun
mengulurkan tangan menyambut pedang yang diberikan Shi Lingwei.
Tiba-tiba Heibaizi berkata,
“Tunggu dulu, Adik Keempat! Saudara Tong ini bertaruh bahwa di Wisma Mei Zhuang
ini tidak ada yang mampu mengalahkan ilmu pedang Saudara Feng. Ding Jian adalah
anggota wisma ini dan juga pintar bermain pedang. Rasanya Adik Keempat tidak
perlu turun tangan.”
Sebagai pemikir hebat,
Heibaizi bisa membaca gelagat Xiang Wentian yang terlihat penuh percaya diri.
Untuk itu, Ding Jian dipersilakan bertanding lebih dulu melawan Linghu Chong.
Meskipun Ding Jian memiliki ilmu pedang yang hebat, namun ia hanya seorang
pelayan. Jika nanti ia kalah juga tidak akan merugikan nama baik Wisma Mei
Zhuang. Selain itu, Ding Jian juga bisa digunakan untuk menguji sehebat apa
ilmu pedang laki-laki yang mengaku bernama Feng Erzhong tersebut.
Xiang Wentian menanggapi,
“Benar, benar. Asalkan ada orang di dalam Wisma Mei Zhuang ini yang mampu
mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka kami akan mengaku kalah. Memang tidak
perlu keempat majikan harus maju sendiri. Saudara Ding ini terkenal memiliki
ilmu pedang yang gencar dan ganas, jarang ada bandingannya di dunia. Nah, Adik
Feng, tiada jeleknya jika kau berkenalan dulu dengan Si Pedang Kilat Satu
Kata.”
Danqingsheng tertawa dan
melemparkan pedangnya kepada Ding Jian, kemudian berkata, “Awas, jika kau kalah
akan kuhukum mengambilkan Arak Anggur dari Turfan.”
Ding Jian membungkuk memberi
hormat sambil menangkap pedang itu. Ia kemudian berkata kepada Linghu Chong,
“Si marga Ding mohon petunjuk dari Tuan Feng!” Segera ia mendahului melolos
pedangnya.
Linghu Chong juga lantas
menghunus pedangnya, sedangkan sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu.
Xiang Wentian berkata,
“Tuan-tuan sekalian, juga Saudara Ding, kita harus tentukan peraturan.
Pertandingan ini hanya mengadu keterampilan jurus pedang saja. Tidak perlu
mengerahkan tenaga dalam sama sekali.”
“Ya, tentu saja. Kedua pihak
tahu kapan harus berhenti,” sahut Heibaizi.
Xiang Wentian melanjutkan,
“Adik Feng, kau tidak boleh mengeluarkan tenaga dalam sedikit pun. Pertandingan
ini hanya melulu ilmu pedang. Siapa yang melancarkan jurus-jurus bagus yang
dianggap menang, yang teledor dinyatakan kalah. Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan
terkenal di dunia persilatan. Jika kau menang karena menggunakan tenaga dalam,
kita bisa dianggap kalah.”
Dalam hati Linghu Chong
tertawa geli memuji kepandaian Xiang Wentian bersandiwara. Ia pun menjawab,
“Kalau aku sampai mengeluarkan tenaga dalam, maka hanya akan menjadi bahan
tertawaan ketiga majikan dan Saudara Ding, juga Saudara Shi. Sudah tentu aku
sama sekali tidak berani menggunakannya.”
“Adik Feng, kita datang ke
Wisma Mei Zhuang ini dengan tulus. Kalau kau merendah seperti itu justru akan
menyinggung perasaan keempat majikan,” kata Xiang Wentian. “Ilmu tenaga dalam
Awan Lembayung dari Perguruan Huashan lebih dahsyat dibanding ilmu tenaga dalam
Perguruan Songshan kami. Hal ini sudah banyak diketahui kawan-kawan persilatan.
Nah, Adik Feng, bagaimana kalau kau berdiri di bekas kedua tapak kakiku ini dan
jangan sampai bergeser keluar? Setelah itu kau bisa bertukar jurus dengan
Saudara Ding.”
Usai berkata demikian, Xiang
Wentian lantas bergeser ke samping. Tampak di atas ubin lantai telah tercetak
dua bekas tapak kaki yang dalamnya sekitar empat atau lima senti. Rupanya
sewaktu berbicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga
berhasil meninggalkan jejak pada ubin hijau yang keras tersebut.
“Tenaga dalam yang bagus!”
seru Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng memuji bersamaan. Mereka melihat
bagaimana Xiang Wentian berbicara dengan tenang, kemudian meninggalkan jejak
kaki yang tercetak pada ubin keras. Kedua jejak itu sama rata dan sama
dalamnya, seperti diukir menggunakan pisau tajam tanpa membuat ubin hancur
berkeping-keping. Sungguh tenaga dalam yang hebat, bahkan mungkin lebih hebat
daripada ketiga majikan itu. Mereka bertiga mengira Xiang Wentian sengaja pamer
kepandaian, yang mau tidak mau dinilai sebagai perbuatan yang dangkal, bukan
sikap seorang kesatria sejati. Tenaga dalam Xiang Wentian memang hebat dan
mengagumkan, namun mereka bertiga tidak mengerti apa maksud dan tujuan yang
sebenarnya.
Linghu Chong tentu saja
mengerti tujuan dari acara pamer tenaga dalam itu. Sejak tadi Xiang Wentian
memuji-muji tenaga dalam Perguruan Huashan lebih hebat daripada Perguruan
Songshan. Kemudian ia pamer tenaga dalam agar orang-orang di situ percaya bahwa
tenaga dalam Linghu Chong pasti jauh lebih hebat lagi. Dengan demikian, dalam pertandingan
nanti pihak lawan tentu tidak berani sembarangan mengerahkan tenaga dalam
karena sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Apalagi Xiang Wentian juga
sadar bahwa kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Ilmu ringan
tubuh dan melompat juga bukan keahliannya. Maka, dengan tetap berdiri menginjak
bekas tapak kaki Xiang Wentian itu, ia dapat menyembunyikan
kelemahan-kelemahannya yang lain. Dengan demikian ini adalah penangkal siasat
Heibaizi yang ingin menguji kehebatan Linghu Chong dengan mengajukan Ding Jian
sebelum Danqingsheng.
Begitulah, Linghu Chong lantas
melangkah maju dan berdiri menginjak bekas tapak kaki Xiang Wentian. Sambil
tersenyum ia berkata, “Silakan, Saudara Ding!”
“Maaf, Tuan Feng!” kata Ding
Jian. Ia kemudian mengayunkan pedang secara melintang, menimbulkan suara
desiran lirih. Para hadirin melihat gerakan pedang itu bagaikan kilat panjang
yang berkelebat dengan cepat. Meskipun sudah belasan tahun mengasingkan diri di
Wisma Mei Zhuang, tapi kepandaiannya ternyata tidak berkurang sedikit pun.
Setiap jurus “Pedang Kilat Satu Kata” yang ia lancarkan bagaikan kilat membelah
angkasa, menggetarkan jiwa dan menimbulkan kengerian bagi siapa saja yang
melihatnya. Beberapa tahun silam, Ding Jian pernah kalah sekali melawan seorang
pendekar buta. Itu semua dikarenakan pihak lawan tidak dapat melihat kelebatan
sinar “Pedang Kilat Satu Kata” sehingga tidak muncul rasa takut di hatinya.
Kali ini, Ding Jian
mengerahkan jurus andalannya dan membuat seluruh ruangan seolah dipenuhi cahaya
kilat yang menyilaukan. Namun ilmu “Sembilan Pedang Dugu” yang telah dipelajari
Linghu Chong juga bukan ilmu sembarangan. Begitu jurus pertama “Pedang Kilat
Satu Kata” dikerahkan, Linghu Chong segera dapat menemukan tiga celah kelemahan
di dalamnya.
Ding Jian sendiri tidak
buru-buru melancarkan serangan. Pedangnya hanya menebas kian-kemari seolah
memberi hormat kepada tamu. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah ia hendak
membuat silau mata Linghu Chong agar sukar menangkis serangan selanjutnya.
Tak disangka, ketika sampai
pada jurus kelima, Linghu Chong telah menemukan delapan belas titik kelemahan
pada ilmu pedang lawannya itu. Segera ia berkata, “Maaf!” Bersamaan itu
pedangnya lantas menusuk miring ke depan.
Saat itu Ding Jian sedang
mengayunkan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan. Jarak ujung pedang
Linghu Chong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ding Jian itu
seakan-akan mengantar tangan sendiri ke ujung pedang lawan. Gerakan itu teramat
cepat dan sukar dihentikan atau ditarik kembali secara mendadak.
Melihat itu, para hadirin
serentak berseru, “Awas!”
Heibaizi kebetulan sedang
menggenggam dua buah biji catur, hitam dan putih. Ia bermaksud melemparkan
biji-biji catur itu untuk menyelamatkan pergelangan tangan Ding Jian dari ancaman
pedang Linghu Chong, namun lantas terpikir olehnya jika sampai ikut turun
tangan berarti dua orang melawan satu, dan Wisma Mei Zhuang akan dinyatakan
sebagai pihak yang kalah. Dalam keragu-raguannya itu terlihat tangan Ding Jian
semakin mendekati pedang Linghu Chong.
“Aiiih!” teriak Shi Lingwei
khawatir.
Siapa sangka, pada detik yang
menegangkan itu tiba-tiba tangan Linghu Chong sedikit berputar sehingga ujung
pedang menjadi miring. Pada detik selanjutnya, tangan Ding Jian membentur bilah
pedang sehingga tidak terluka sama sekali.
Ding Jian terperanjat. Ia baru
sadar kalau pihak lawan sengaja bermurah hati sehingga pergelangan tangannya
tidak sampai terpotong. Kalau sampai ia kehilangan sebelah tangan, maka ilmu
silatnya akan musnah pula. Seketika itu ia pun gemetar dan berkeringat dingin.
Sambil membungkuk, orang tua itu berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan
hati Pendekar Feng.”
Linghu Chong membalas hormat
dan menjawab, “Aku tidak berani.”
Pihak lawan berusaha tidak
melukai Ding Jian membuat Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng merasa senang.
Danqingsheng segera menuang secawan arak dan berkata, “Adik Feng, ilmu pedangmu
sangat bagus. Terimalah secawan dariku.”
“Terima kasih. Aku tidak
berani menerima pujian ini,” jawab Linghu Chong sambil menerima cawan itu dan
meminum habis isinya.
Danqingsheng juga mengiringi
dengan minum satu cawan, lalu menuangkan arak lagi ke dalam cawan Linghu Chong
dan berkata, “Adik Feng, hatimu sangat baik sehingga tangan Ding Jian tidak
sampai buntung. Biarlah aku bersulang lagi secawan padamu.”
“Ah, ini hanya kebetulan
saja,” ujar Linghu Chong sambil menghabiskan isi cawan keduanya.
Danqingsheng kembali
mengiringi minum secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, “Cawan ketiga
ini jangan kita minum dulu. Marilah kita main-main sebentar. Barangsiapa yang
kalah dialah yang minum arak ini.”
“Jelas aku yang kalah,” ujar
Linghu Chong tertawa. “Biarlah aku meminumnya sekarang saja.”
“Jangan buru-buru!” seru
Danqingsheng sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu. Ia mengambil
pedang dari tangan Ding Jian, lalu berkata, “Adik Feng, silakan mulai lebih
dulu!”
Pada saat minum arak tadi
diam-diam Linghu Chong menimbang-nimbang pula, “Dia mengaku mempunyai tiga
kegemaran, yaitu minum arak, seni lukis, dan ilmu pedang. Maka, dapat
dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpasang di
ruang depan sana kulihat goresannya kuat dan cepat. Tapi sepertinya ia bersifat
kurang sabaran dan suka terburu-buru. Kalau ilmu pedangnya juga begitu, tentu
akan banyak celah kelemahan dapat kutemukan.”
Maka, ia pun membalas hormat
sambil berkata, “Mohon Tuan Keempat sudi mengalah sedikit.”
“Tidak perlu banyak adat.
Silakan!” kata Danqingsheng.
“Baik,” begitu Linghu Chong
berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke arah bahu lawan.
Tusukan ini tampaknya miring,
geyat-geyot tak bertenaga, dan tidak sesauai dengan aturan ilmu pedang yang
lazim. Belum pernah ada ilmu pedang di dunia persilatan yang memiliki jurus
serangan seperti itu.
Kontan saja Danqingsheng
tercengang dan berkata, “Apa-apaan ini?”
Danqingsheng memiliki wawasan
sangat luas dalam persoalan ilmu pedang. Begitu mengetahui Linghu Chong adalah
murid Perguruan Huashan, maka yang ia pikirkan sejak tadi adalah bermacam-macam
jurus serangan ilmu pedang Huashan. Siapa sangka permainan Linghu Chong kali
ini ternyata sama sekali di luar dugaannya? Serangan pertama tersebut bukan
termasuk jurus pedang Huashan, bahkan sama sekali bukan termasuk jenis ilmu
pedang.
Pengalaman berharga Linghu
Chong saat bertemu Feng Qingyang adalah memperoleh dua ilmu istimewa, yaitu
“Ilmu Sembilan Pedang Dugu” dan “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”. Kedua ilmu pedang
ini saling melengkapi satu di antara yang lain. “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”
sangat halus dan mendalam, dan merupakan puncak dari seni ilmu pedang. Namun
demikian, secara keseluruhan, jurus-jurus di dalam ilmu pedang ini masih bisa
ditelusuri. Apabila “Ilmu Pedang Tanpa Jurus” dimasukkan ke dalamnya, maka
“Ilmu Sembilan Pedang Dugu” semakin istimewa, bebas alami, juga gencar, tanpa
mampu ditebak lagi arah gerakannya oleh pihak lawan.
Menghadapi serangan pertama
yang aneh tersebut, Danqingsheng kebingungan dan merasa tidak bisa
menangkisnya. Terpaksa ia mundur dua langkah untuk menghindar.
Heibaizi dan Tubiweng yang menonton
mau tidak mau ikut terperanjat pula. Sewaktu Linghu Chong dapat mengalahkan
Ding Jian hanya dengan satu jurus, mereka tidak terlalu heran karena
bagaimanapun juga, Linghu Chong berani menantang Wisma Mei Zhuang pasti
berbekal ilmu pedang yang luar biasa. Jika melawan pelayan saja ia tidak mampu,
tentu hal itu akan sangat menggelikan. Namun kini hanya dengan serangan pertama
ia sudah dapat membuat Danqingsheng melangkah mundur, jelas ini pemandangan
yang jarang ada dan membuat kedua majikan yang lain terkesima.
Setelah mundur dua langkah
Danqingsheng segera maju kembali sehingga tetap berhadapan dengan Linghu Chong
pada jarak yang sama. Menyusul Linghu Chong menusuk lagi. Kali ini yang diincar
adalah bahu sebelah kiri dengan cara tetap seperti tadi, geyat-geyot tidak
teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main. Danqingsheng mengangkat
pedang hendak menangkis. Tapi sebelum kedua pedang beradu ia menyadari arah
serangan Linghu Chong sudah berubah ke sebelah kanan dan bisa-bisa melubangi
iga kanannya. Maka, pada detik terakhir itulah ia berganti haluan. Sekali
hentak kedua kakinya kembali melompat mundur sejauh dua meter lebih.
“Jurus pedang bagus!” serunya
memuji. Bersamaan itu ia kembali menerjang maju dan menusuk secepat kilat ke
arah Linghu Chong.
Linghu Chong dapat melihat
titik kelemahan di bawah lengan kanan Danqingsheng. Segera pedangnya pun
menjulur ke depan. Jika Danqingsheng tidak segera berganti haluan tentu sikunya
akan termakan lebih dulu. Namun pada dasarnya ilmu pedang Danqingsheng memang
hebat. Dalam keadaan genting, pedangnya segera dibelokkan menusuk ke lantai.
Dengan meminjam tenaga pentalan itulah ia lalu berjumpalitan ke belakang dan
mendarat di lantai sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah hampir
menyentuh dinding. Apabila sedikit saja ia menambah tenaga saat bersalto ke
belakang tadi, tentu tubuhnya akan menghantam dinding dan nama baiknya sebagai
jago sepuh akan tercoreng. Meskipun dapat mendarat dengan sempurna, mau tidak
mau muka Danqingsheng terlihat merah padam.
Sebagai seorang yang berjiwa
periang dan suka bergurau, Danqingsheng sama sekali tidak gusar, tetapi justru
bergelak tawa sambil mengacungkan ibu jari dan memuji, “Ilmu pedang bagus!”
Kembali ia mengayunkan pedang
dengan melancarkan jurus “Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari”, yang
kemudian berubah menjadi jurus “Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu”, lalu
berubah lagi menjadi jurus “Naga Mengangkasa, Burung Feng Terbang Tinggi”. Tiga
kali serangan itu dilancarkan sekaligus menjadi satu kesatuan yang begitu
halus, sampai-sampai gerakan kakinya yang bergeser tidak terlihat. Kini
tahu-tahu, ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Linghu Chong.
Linghu Chong segera
memiringkan pedangnya dan memukul pelan tepat mengenai bilah pedang lawan.
Pukulan ini sungguh tepat waktu dan jitu, karena saat itu Danqingsheng sedang
mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedang, sedangkan pada
bagian bilah pedangnya kurang bertenaga.
Maka terdengarlah suara
benturan logam perlahan. Pedang Danqingsheng terpukul ke bawah, sebaliknya
sinar pedang Linghu Chong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan
dadanya. Danqingsheng menjerit terkejut dan melompat ke samping kiri.
Rupanya ia belum jera juga.
Kembali pedangnya berputar dan menerjang maju. Kali ini ia mengayunkan pedang
sekuat tenaga dari atas sambil berseru, “Awas!” Sengaja ia memberi peringatan
supaya Linghu Chong berjaga-jaga. Jurus “Naga Kumala Menggelantung” ini sangat
ganas dan kuat. Kalau pihak lawan tidak berjaga-jaga bisa-bisa pertandingan
persahabatan ini berakhir dengan darah yang tertumpah.
“Baik!” jawab Linghu Chong
menanggapi peringatan itu. Pedangnya lantas menjungkit ke atas, dan mata
pedangnya pun menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.
Dalam keadaan demikian, jika
serangan Danqingsheng diteruskan, sebelum pedangnya mengenai ubun-ubun lawan,
tentu kelima jarinya sudah lebih dulu terpotong oleh pedang Linghu Chong. Tapi
kepandaian Danqingsheng memang jauh lebih tinggi daripada Ding Jian. Begitu
dilihatnya pedang lawan telah menempel pada batang pedangnya, terpaksa tangan
kirinya memukul ke lantai. Dengan meminjam tenaga tolakan tersebut, ia berhasil
melompat ke belakang sejauh dua-tiga meter. Selagi badannya masih terapung di
udara pedangnya berulang-ulang berputar tiga kali sehingga berwujud tiga
lingkaran sinar perak.
Lingkaran-lingkaran sinar itu
mirip seperti benda hidup, berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan
menggeser maju ke arah Linghu Chong.
Lingkaran-lingkaran sinar
pedang itu sepertinya tidak selihai sinar pedang Ding Jian tadi, tapi hawa
pedang ini lebih tebal dan angin dingin yang ditimbulkan membuat tubuh
menggigil. Pedang Linghu Chong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam
lingkaran-lingkaran sinar tersebut. Di situlah tempat lowong antara serangan
pertama Danqingsheng yang mulai lemah tenaganya dengan tenaga serangan kedua
belum sempat dikerahkan. Tentu saja Danqingsheng kembali terkejut heran sambil
melangkah mundur.
Lingkaran sinar pedang juga
ikut berputar mundur dan menyusut, tapi tiba-tiba mengembang kembali dan meluas
ke depan. Lingkaran sinar itu tampak semakin besar, dan untuk selanjutnya
menerjang ke arah Linghu Chong.
Kembali Linghu Chong
menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Danqingsheng berseru
heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur.
Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam
waktu sekejap ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali. Kumis
dan janggutnya yang panjang melambai-lambai, dengan wajah seperti dilapisi
cahaya kebiru-biruan karena terpantul oleh sinar pedang yang ia kerahkan.
Tiba-tiba Danqingsheng
menggertak keras. Puluhan lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke
arah Linghu Chong. Inilah puncak kemahiran Danqingsheng yang tiada taranya. Ia
telah mempersatukan puluhan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga
oleh musuh. Setiap jurus dalam serangan gabungan itu sangat mematikan, dan
masing-masing mengandung gerak perubahan yang beraneka ragam. Aapbila disatukan
tentu menghasilkan kerumitan yang benar-benar sukar dipecahkan.
Namun gerakan Linghu Chong
untuk mengatasinya tetap sederhana. Kembali pedangnya menusuk lemah ke depan
sebatas dada. Yang dituju adalah ulu hati Danqingsheng. Lagi-lagi Danqingsheng
menjerit dan melompat mundur sekuat tenaga. Kali ini ia sampai jatuh terduduk
di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh pertanda jatuhnya cawan arak
yang hancur berantakan.
Walaupun sudah kalah, tapi
Danqingsheng tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia tertawa terbahak-bahak dan
berseru, “Bagus, sungguh bagus! Adik Feng, ilmu pedangmu memang jauh lebih
tinggi dariku. Mari, mari, aku menyuguh kau tiga cawan lagi!”
Heibaizi dan Tubiweng telah
mengetahui kalau adik keempat mereka sudah mencapai puncak tertinggi dalam ilmu
pedang. Namun kini mereka menyaksikan Danqingsheng telah menyerang enam belas
kali namun kedua kaki Linghu Chong tetap di berada di tempat yang ditentukan
Xiang Wentian tanpa bergeser sedikit pun. Sebaliknya, adik keempat mereka
justru melompat mundur sebanyak delapan belas kali. Hal ini menunjukkan betapa
tinggi ilmu pedang Linghu Chong benar-benar membuat ngeri sekaligus hormat.
Sementara itu Danqingsheng
sudah menuang arak dan mengajak Linghu Chong minum sebanyak tiga cawan. Ia lalu
berkata, “Di antara Empat Sekawan dari Jiangnan, ilmu silatku adalah yang
paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Kakak Kedua dan Kakak Ketiga
belum tentu mau terima. Kemungkinan besar mereka juga ingin mencoba ilmu
pedangmu.”
“Kita berdua telah bertanding
belasan jurus, dan satu jurus pun Tuan Keempat belum kalah. Mengapa mengatakan
aku yang menang?” ujar Linghu Chong.
“Ah, sejak jurus pertama aku
sudah kalah. Jurus-jurus selanjutnya sudah tidak ada artinya lagi,” kata
Danqingsheng sambil menggeleng. “Biasanya Kakak Pertama mengatakan aku berjiwa
sempit. Ternyata ia memang tidak salah.”
“Tuan Keempat berjiwa besar.
Kekuatan minum arak pun setinggi langit,” kata Linghu Chong tertawa.
“Benar, benar! Aku hanya kuat
minum. Tapi soal ilmu pedang masih kalah darimu!” seru Danqingsheng.
Padahal biasanya Danqingsheng
sangat membanggakan ilmu pedangnya. Sekarang ia kalah telak di tangan seorang
pemuda yang belum terkenal. Anehnya, sedikit pun ia tidak marah juga menyesal.
Memiliki jiwa besar dan periang seperti ini sungguh sikap seorang manusia kelas
atas. Melihat budi pekertinya yang luhur, diam-diam Xiang Wentian dan Linghu
Chong menaruh kekaguman.
Tubiweng lantas berkata kepada
Shi Lingwei, “Tolong ambilkan pena gundulku.”
“Baik!” jawab Shi Lingwei yang
kemudian pergi mengambilkan semacam senjata untuk diserahkan kepada Tubiweng.
Linghu Chong melihat senjata
itu adalah sebuah pena yang terbuat dari baja, dengan tangkai sepanjang belasan
senti. Biasanya orang yang bersenjata pena memiliki ujung keras untuk menotok
titik nadi. Namun pena milik Tubiweng benar-benar pena asli yang memiliki ujung
terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta hitam seperti baru
saja dipakai untuk menulis.
Melihat senjata Tubiweng
berujung lemas, Linghu Chong yakin ilmu silat orang ini tentu sangat istimewa
dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat, sehingga melalui bulu domba yang
lemas itu sudah dapat untuk melukai orang.
Setelah menerima senjatanya,
Tubiweng tersenyum dan berkata, “Saudara Feng, apakah kau tetap berdiri di situ
tanpa berganti tempat?”
Lekas-lekas Linghu Chong
mundur dua langkah dan menjawab sambil membungkuk, “Saya ingin meminta petunjuk
dari Tuan Ketiga, mana berani banyak lagak?”
Danqingsheng menanggapi,
“Benar, benar! Jika melawanku kau bisa tetap terpaku tanpa berpindah sedikit
pun. Tapi kalau menghadapi Kakak Ketiga tentu kau tidak dapat melakukan itu.”
Tubiweng lantas mengangkat
penanya dan berkata sambil tersenyum, “Beberapa jurus goresanku ini adalah
mengikuti gaya tulisan para ahli kaligrafi ternama. Saudara Feng pandai ilmu
silat dan sastra, tentu dapat mengenali alur goresan penaku ini. Saudara Feng
sudah kami anggap sebagai sahabat. Maka, ujung penaku ini tidak perlu dicelup
tinta.”
Linghu Chong terperanjat.
Dalam hati ia bertanya-tanya, “Apa maksudnya? Kalau aku bukan sahabat apakah
ujung penanya harus dicelup tinta? Untuk apa?” Ia tidak tahu kalau tinta hitam
yang digunakan Tubiweng untuk bertempur melawan musuh terbuat dari berbagai
ramuan obat istimewa, yang apabila mengenai kulit manusia akan berbekas dan
tidak bisa dibersihkan selama bertahun-tahun, bahkan dikerik menggunakan pisau
juga tetap sulit dihilangkan. Dahulu ketika sejumlah jago persilatan bermusuhan
dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, mereka merasa pena gundul Tubiweng inilah
yang paling memusingkan. Asal lengah sedikit saja, maka pena gundul itu akan
mencoreng-coreng wajah mereka membentuk palang, garis, bahkan tulisan. Hal ini
tentu saja menjadi suatu penghinaan besar. Bagi mereka, lebih baik dibacok golok
atau dibuntungi sebelah lengannya daripada muka dicoreng-coreng seperti itu.
Saat pertandingan melawan Ding
Jian dan Danqingsheng tadi, Tubiweng melihat Linghu Chong selalu bersikap jujur
dan bermurah hati. Maka, ia sengaja tidak mencelupkan pena gundulnya untuk
membalas penghormatan dari pemuda itu. Meskipun tidak paham maksudnya, tapi
Linghu Chong dapat menduga pihak lawan tentu bermaksud baik kepadanya. Maka,
sambil membungkuk ia berkata, “Terima kasih banyak. Hanya saja saya ini kurang
berpendidikan, sehingga tulisan Tuan Ketiga mungkin sulit untuk saya kenali.”
Tubiweng agak kecewa. Ia
berkata, “Kau tidak paham seni kaligrafi? Baiklah, jika begitu biar kujelaskan
dulu kepadamu. Goresan-goresan penaku ini disebut ‘Syair Jenderal Pei’, yaitu
perubahan-perubahannya berdasarkan pada kitab kaligrafi Yang Zhenqing.
Seluruhnya ada dua puluh tiga huruf, dan pada setiap huruf terdapat tiga sampai
enam belas goresan. Hendaklah kau perhatikan dengan baik! Begini bunyinya:
‘Jenderal Pei! Penguasa enam penjuru, jenderal perwira yang membersihkan
sembilan ladang. Kuda perangnya bagai naga dan harimau. Betapa gagahnya
menunggang mendaki bukit!’”
“Terima kasih banyak atas
petunjuk Tuan Ketiga,” jawab Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Peduli apa
kau akan menulis syair atau kaligrafi segala? Aku tetap tidak paham sama
sekali.”
Segera Tubiweng mengangkat
penanya yang besar kemudian menotol tiga kali ke arah pipi Linghu Chong. Ini
adalah tiga titik permulaan dari huruf “pei”. Tiga kali serangan ini hanya
gerak tipu saja. Ketika penanya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah,
tiba-tiba pedang Linghu Chong sudah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.
Tubiweng tidak punya piihan
lain kecuali harus menarik penanya ke bawah untuk menangkis serangan itu. Namun
pedang Linghu Chong juga sudah ditarik kembali. Senjata kedua orang itu belum
sampai terbentur, dan yang mereka mainkan tadi hanya serangan kosong belaka.
Namun Tubiweng tadi baru menjalankan setengah gerakan pertama dari “Syair
Jenderal Pei” dan belum lengkap ia selesaikan.
Sesudah penanya menangkis
tempat kosong, Tubiweng segera melancarkan jurus kedua. Namun Linghu Chong
tidak memberinya kesempatan untuk bergerak lebih dulu. Pedangnya langsung
menyerang ke celah yang terbuka dan harus dipertahankan pihak lawan, membuat
Tubiweng mau tidak mau harus mengayunkan penanya ke belakang untuk menangkis.
Namun pedang Linghu Chong tahu-tahu sudah ditarik kembali. Pada jurus kedua ini
pun Tubiweng tidak bisa menuntaskannya dengan sempurna, hanya setengah jalan
saja.
Tubiweng merasa sangat kesal
karena kedua jurus serangannya sudah diputus oleh Linghu Chong, sehingga
serangkaian kaligrafi yang sangat dibanggakannya itu tidak dapat ia selesaikan.
Ini seperti seorang sastrawan yang baru saja mengangkat pena untuk menulis,
tahu-tahu diganggu seorang anak kecil yang datang mengacau sehingga tuliannya
menjadi hancur berantakan.
Dalam hati Tubiweng berpikir,
“Aku telah membacakan ‘Syair Jenderal Pei’ kepadanya, sehingga ia bisa menebak
ke arah mana penaku akan bergerak. Baiklah, untuk selanjutnya aku akan menulis
secara tidak berurutan.”
Karena berpikir demikian,
Tubiweng segera berganti haluan. Penanya bergerak dari pojok kanan atas
menyerong ke pojok kiri bawah dengan tenaga penuh. Rupanya yang ia gores adalah
huruf “ji” dalam gaya caoshu yang terkesan sembarangan. Namun pedang Linghu
Chong tetap menusuk ke depan, menuju ke iga kanan. Tubiweng terkejut, dan
penanya menangkis ke bawah dengan cepat. Ternyata tusukan Linghu Chong itu
tetap hanyalah serangan tipuan belaka. Lagi-lagi jurus serangan Tubiweng hanya
sempat dimainkan setengah saja.
Sebenarnya coretan-coretan
Tubiweng selalu diikuti dengan tenaga penuh dan semangat tinggi. Namun sampai
di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan berganti haluan. Akibatnya, tenaga
dalam pun ikut beralih. Hal ini membuat napasnya terasa sesak dan darah di
dalam rongga dada menjadi bergolak hebat dan sungguh menyakitkan.
Setelah mengambil napas
panjang, Tubiweng kembali memutar cepat penanya untuk menulis huruf “teng”.
Namun, lagi-lagi Linghu Chong menggagalkan serangannya di tengah jalan.
Tubiweng menjadi gusar dan membentak, “Kurang ajar, kau mengacau saja!”
Segera penanya berputar lebih
cepat. Namun tetap saja, paling banyak ia hanya dapat menggores dua kali,
setelah itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Linghu Chong. Tubiweng
menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis liar
seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan tebal dan kuat penuh tenaga.
Sudut-sudutnya tajam bagaikan pedang dan terlihat sangat lugas.
Linghu Chong tidak tahu kalau
gaya tulisan ini adalah menirukan “Prasasti Gunung Bameng” yang ditulis oleh
Zhang Fei, panglima perkasa Kerajaan Shu Han pada Zaman Tiga Negara. Pemuda itu
hanya dapat melihat kalau gaya tulisannya sudah berbeda dari yang tadi. Pada
dasarnya ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan pihak lawan.
Asalkan pena Tubiweng bergerak, segera ia mendahului menyerang titik
kelemahannya. Tubiweng berteriak keras-keras dengan perasaan kesal. Namun
bagaimanapun juga tetap saja setiap tulisannya tidak dapat diselesaikan dengan
baik, hanya setengah jalan saja sudah gagal.
Kembali gaya tulisannya
berubah lagi. Kali ini ia menulis dengan gaya caoshu dalam karya “Riwayat
Pribadi Huai Shu” dari zaman Dinasti Tang. Pena di tangannya bergerak cepat dan
bebas, berputar-putar tanpa aturan. Sambil menyerang ia berpikir, “Gaya caoshu
dalam kaligrafi Huai Shu memang sulit dibaca, dan kini akan aku buat semakin
sulit dibaca. Aku yakin bocah ini tidak akan mampu mengatasi gaya kuangcao
ciptaanku.”
Rupanya Tubiweng tidak tahu
kalau pada hakikatnya Linghu Chong tidak ambil pusing terhadap gaya kaligrafi
jenis apa pun yang dimainkan olehnya. Ia mengira Linghu Chong dapat mematahkan
gerak tulisannya karena pemuda itu dapat membaca ke arah mana pena di tangannya
akan bergerak. Padahal Linghu Chong sama sekali tidak paham mengenai tulisan
indah atau apa pun itu. Yang ia lihat di tangan Tubiweng bukanlah pena,
melainkan senjata yang harus diserang titik-titik lemahnya pada setiap gerakan.
Setelah jurus terakhir
mengalami kegagalan pula, rasa gusar Tubiweng pun mencapai puncaknya. Tiba-tiba
ia berteriak-teriak, “Sudahlah, aku tidak mau bertanding lagi! Aku tidak mau
bertanding lagi!”
Bersamaan itu ia melompat
mundur. Gentong arak anggur milik Danqingsheng diangkatnya dan dituang isinya
hingga memenuhi meja catur. Penanya yang besar itu dicelup pada cairan yang
membasahi meja, lalu mulai digunakan untuk menulis pada dinding ruangan yang
putih. Yang ia tulis adalah “Syair Jenderal Pei” tadi. Seluruhnya ada dua puluh
tiga huruf ditulisnya dengan hidup dan penuh semangat, terutama pada huruf
“ruo” yang mirip seekor naga terbang ke angkasa.
Usai menulis barulah ia
menghembuskan napas lega dan tertawa terbahak-bahak. Kepalanya lalu sedikit
dimiringkan untuk mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna
kuning gading seperti minyak itu. “Bagus sekali, bagus sekali! Selama hidupku,
tulisan inilah hasil karyaku yang paling bagus!” pujinya kepada diri sendiri
dengan puas.
Semakin memandangi tulisannya,
hati Tubiweng semakin bangga. Ia lalu berkata kepada Heibaizi, “Kakak Kedua,
berikanlah kamar catur ini kepadaku. Aku merasa berat berpisah dengan tulisan
ini. Aku khawatir setelah ini aku tidak mampu lagi menghasilkan tulisan sebagus
ini.”
“Boleh saja,” jawab Heibaizi.
“Dalam kamarku ini hanya terdapat sebuah meja catur dan tiada benda lain.
Seandainya kau tidak meminta juga aku tetap akan pindah dari sini. Huh, melihat
tulisanmu yang besar-besar seperti naga dan burung feng itu, mana bisa aku
tenang bermain catur?”
Tubiweng mengangguk-angguk
puas dan kembali memuji tulisannya, “Andaikan Adipati Yan dari Lu hidup
kembali, belum tentu ia bisa membuat kaligrafi seindah ini.” Kemudian ia
berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Saudara Feng, berkat ilmu pedangmu
yang memaksa diriku, segenap ilham kaligrafi yang terpendam di dalam perut
seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya
ini. Di muka bumi tidak ada kaligrafi sebagus ini. Ilmu pedangmu memang bagus,
tulisanku juga bagus. Ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian
sendiri-sendiri. Di antara kita tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Kita seri!”
“Benar, masing-masing
mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang
kalah,” tukas Xiang Wentian.
“Dan ini juga berkat arak
anggurku yang lezat,” sambung Danqingsheng.
Heibaizi terlihat serbasalah
dan berkata, “Adik Ketiga memang polos dan kekanak-kanakan. Ia suka lupa
daratan jika sudah bicara tentang kaligrafi. Sama sekali bukan maksudnya untuk
mengingkari kekalahan.”
“Aku paham,” ujar Xiang
Wentian. “Lagipula taruhan kita adalah di dalam Wisma Mei Zhuang ini tiada
seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng. Seandainya kedua
pihak dinyatakan seri, tetap saja pihak kami tidak dinyatakan kalah taruhan.”
“Benar,” kata Heibaizi
mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangannya ke bawah meja batu dan menarik keluar
lempengan besi berbentuk papan segi empat. Pada permukaan papan itu terukir
sembilan belas garis jalur catur. Rupanya benda itu adalah sebuah papan catur
yang terbuat dari besi. Sambil memegangi ujung papan catur tersebut, Heibaizi
lantas berkata, “Saudara Feng, papan catur ini adalah senjataku. Mohon petunjuk
darimu mengenai langkah-langkah yang hebat.”
Xiang Wentian menyahut,
“Kabarnya papan catur Tuan Kedua ini adalah sebuah benda pusaka yang dapat
menyedot bermacam-macam senjata musuh.”
Heibaizi menatap tajam ke arah
Xiang Wentian untuk beberapa saat, lalu berkata, “Saudara Tong benar-benar
berwawasan luas dan berpengetahuan tinggi. Sangat kagum, aku sangat kagum
kepadamu. Sebenarnya senjataku ini bukan benda pusaka, hanya terbuat dari besi
sembrani yang dapat menghisap biji-biji catur yang terbuat dari besi supaya
tidak jatuh terguncang ketika dulu aku suka bercatur dengan orang di atas
punggung kuda atau sambil menumpang perahu. Ada guncangan apa pun tidak akan
membuat posisi biji-biji catur berantakan.”
“Oh, ternyata begitu,” kata
Xiang Wentian.
Sambil mendengar dengan
seksama, diam-diam Linghu Chong berpikir, “Untung saja Kakak Xiang memberi
petunjuk. Jika tidak, bisa-bisa pedangku langsung tertarik oleh papan caturnya.
Kalau sudah demikian, tanpa bertanding aku langsung dinyatakan kalah. Untuk
bertanding melawan orang ini, aku tidak boleh membiarkan pedangku bersentuhan
dengan senjatanya.”
Ia lalu memberi hormat dan
berkata, “Mohon Tuan Kedua sudi memberi petunjuk!”
“Ilmu pedang Saudara Feng
sangat hebat, seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan,” ujar Heibaizi.
“Silakan kau mulai lebih dulu!”
Tanpa bicara lagi Linghu Chong
lantas memutar pedangnya dengan ringan, kemudian secara melingkar-lingkar
pedangnya bergetar dan menusuk ke depan.
Heibaizi tertegun dan
berpikir, “Jurus macam apa ini?”
Melihat ujung pedang Linghu
Chong telah mengarah ke tenggorokannya, segera ia mengangkat papan catur untuk
menangkis. Namun cepat sekali Linghu Chong sudah memutar ujung pedangnya untuk
menusuk bahu kanan lawan. Kembali Heibaizi berusaha menangkis, tapi di tengah
jalan Linghu Chong sudah menarik kembali pedangnya kemudian menusuk ke arah
perutnya.
Heibaizi berusaha menangkis
lagi sambil berpikir, “Jika aku tidak balas menyerang, bagaimana aku bisa
mendahului langkah?”
Menurut teori catur,
kemenangan dapat diperoleh dari keberhasilan mendahului langkah musuh. Dalam
ilmu silat juga begitu; mendahului langkah musuh sangatlah penting. Sebagai
seorang ahli catur sudah tentu Heibaizi paham apa artinya mendahului menyerang.
Maka ia tidak mau melulu bertahan saja. Segera ia mengangkat papan caturnya dan
menghantam ke arah bahu kanan Linghu Chong.
Papan catur itu berbentuk segi
empat dengan luas sekitar setengah meter persegi, dan tebalnya kira-kira dua
senti, tergolong semacam senjata berat. Andaikan papan itu terbuat dari besi
biasa yang tidak punya kemampuan menghisap, tetap saja dapat menghantam pedang
sampai patah.
Linghu Chong hanya sedikit
mengelak saja, bersamaan pedangnya menusuk miring ke arah iga kanan lawan.
Maksud hati ingin mendahului menyerang, namun Heibaizi melihat pihak lawan
justru melancarkan serangan juga. Meskipun terlihat sepele, tapi tusukan Linghu
Chong mengarah ke titik yang harus dipertahankan. Maka, dengan cepat ia memutar
papan catur untuk menangkis, menyusul dengan sodokan ke depan. Jurus ini
merupakan jurus bertahan sekaligus menyerang. Kalau pihak lawan menanggapi
jurus ini, maka serangan-serangan selanjutnya akan membanjir dengan cepat.
Di luar dugaan, Linghu Chong
sama sekali tidak peduli terhadap jurus Heibaizi tersebut. Ia lebih dulu
membelokkan pedang dan kembali menyerang ke atas. Akibatnya, jurus Heibaizi
hanya berhenti pada posisi bertahan, sedangkan serangan lanjutan putus di
tengah jalan.
Begitulah, berturut-turut
Linghu Chong melancarkan serangan sampai lebih dari empat puluh kali. Heibaizi
dipaksa menangkis ke kiri dan ke kanan, menjaga bagian depan dan belakang. Ia
bertahan dengan begitu rapat, seakan lalat pun tak bisa masuk. Ternyata dalam
pertandingan itu Heibaizi dipaksa bertahan melulu tanpa sempat membalas
serangan.
Tubiweng, Danqingsheng, Ding
Jian, dan Shi Lingwei tercengang menyaksikan pertarungan keduanya. Mereka dapat
melihat dengan jelas bahwa ilmu pedang Linghu Chong itu sebenarnya tidak
terlalu cepat, juga tidak teramat ganas. Perubahan-perubahan gerakannya tidak
terlalu istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Heibaizi merasa
kewalahan dan terpaksa harus melindungi titik-titik yang terbuka pada tubuhnya.
Tubiweng dan Danqingsheng
memahami bahwa pada setiap jurus pasti ada kelemahannya. Namun kalau seseorang
dapat mendahului menyerang titik lemah lawan, tentu titik lemah sendiri tak
harus menjadi kelemahan. Meskipun seseorang mempunyai ribuan titik lemah, hal
ini tidak akan banyak berarti jika ia lebih dulu menyerang secara gencar. Apa
yang dilakukan Linghu Chong, yaitu menyerang secara susul-menyusul sampai empat
puluh kali lebih adalah berdasarkan prinsip ini.
Heibaizi sendiri jelas merasa
cemas. Ingin sekali ia menyerang balik, namun begitu papan caturnya bergerak
sedikit saja, ujung pedang Linghu Chong langsung mengarah ke titik lemahnya
yang terbuka. Dalam pertarungan empat puluh jurus lebih itu, ia sama sekali
tidak bisa menyerang balik. Apa yang ia alami seperti sedang bermain catur
melawan seorang lawan yang jauh lebih cerdas. Ketika lawan melakukan lebih dari
empat puluh langkah secara susul-menyusul, ia terpaksa hanya mengikuti
langkah-langkah itu dan sama sekali tak dapat berbuat menurut kehendak hatinya
sendiri.
Dalam pertarungan seperti ini,
meskipun diteruskan sampai seratus atau dua ratus jurus lagi juga tidak ada
artinya. Heibaizi tetap berada di pihak yang terserang melulu. Diam-diam ia
berpikir, “Kalau hari ini aku tidak berani menempuh bahaya, maka nama besarku
yang sudah kubangun seumur hidup akan hancur berantakan.”
Berpikir demikian membuat
Heibaizi nekat mengayunkan papan caturnya untuk menghantam pinggang kiri Linghu
Chong. Namun Linghu Chong tidak berkelit, juga tidak menghindar. Sebaliknya, ia
tetap menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kali ini Heibaizi tidak lagi
menarik papan caturnya untuk membela diri, tapi tetap menghantamkannya ke
depan. Sepertinya ia sudah berniat mengadu jiwa, hancur bersama. Ketika ujung
pedang semakin mendekat, ia pun menjulurkan tangan kirinya untuk menjepit
senjata lawan tersebut menggunakan jari tengah dan telunjuknya. Ia telah mempelajari
ilmu Jari Langit Mahasakti, membuat jari-jari tangannya kuat bagaikan baja.
Melihat Heibaizi nekat
mengambil risiko, kelima penonton sampai berseru kaget. Mereka merasa
pertarungan kali ini sudah bukan lagi pertandingan persahabatan, tapi lebih
mirip pertarungan hidup dan mati. Jika jepitan jari Heibaizi meleset, tentu
pedang Linghu Chong akan terus meluncur menembus perutnya. Membayangkan itu
mereka berlima sama-sama menahan napas dengan keringat dingin membasahi tangan.
Kedua jari tangan Heibaizi sudah
hampir menyentuh ujung pedang. Tak peduli jepitan itu berhasil atau tidak,
seseorang pasti akan celaka. Jika jepitan itu tepat, maka pedang Linghu Chong
akan terhenti dan pinggangnya yang akan terhantam papan catur. Sebaliknya, jika
jepitan itu meleset –atau bisa menjepit tetapi tidak kuat menahan tenaga
tusukan pedang tersebut– maka Heibaizi sudah tidak memiliki kesempatan lagi
untuk menghindar atau melompat mundur, sehingga perutnya bisa dipastikan akan
berlubang.
Namun apa yang terjadi sungguh
di luar dugaan. Tepat ketika jari Heibaizi sudah hampir menyentuh pedang Linghu
Chong, tiba-tiba ujung pedang itu mengungkit ke atas dan berganti menusuk ke
arah tenggorokan.
Perubahan ini sama sekali
tidak terbayangkan oleh siapa pun juga. Dalam ilmu silat dari zaman dulu hingga
sekarang belum pernah ada jurus serangan semacam ini. Ternyata tusukan pertama
ke arah perut tadi hanyalah serangan palsu, yang nilainya hanya lelucon kalau
dipakai dalam pertarungan para jago. Apa yang dilakukan Linghu Chong memang di
luar aturan ilmu pedang, namun jelas sangat berbahaya. Dalam keadaan demikian
jika papan catur Heibaizi tetap dihantamkan ke depan, maka tenggorokannya pasti
lebih dulu tertembus oleh pedang lawan.
Sebagai seorang ahli catur,
Heibaizi terbiasa berpikir cepat. Ia menduga jika papan caturnya itu tidak jadi
dihantamkan ke pinggang lawan, tentu ujung pedang juga tidak akan menusuk ke
depan lagi. Ternyata memang benar. Ketika ia menahan papan caturnya sehingga
berhenti mendadak, Linghu Chong juga segera menghentikan laju pedangnya. Jarak
ujung pedangnya dengan tenggorokan Heibaizi saat itu hanya tinggal satu sampai
dua senti saja. Sebaliknya, jarak papan catur Heibaizi dengan pinggangnya juga
sekitar empat sampai lima senti. Keduanya sama-sama berdiri diam tanpa bergerak
sedikit pun.
Meskipun kedua pihak sama-sama
tidak sudi mengalah, para penonton dapat melihat Linghu Chong berada di atas
angin. Papan catur adalah senjata berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya
harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter, sedangkan saat ini
jaraknya dengan tubuh lawan terlalu dekat; sehingga meski disodokkan dengan
kuat, paling-paling hanya membuat sakit sedikit. Sebaliknya, pedang Linghu
Chong cukup didorong perlahan saja sudah bisa membuat tenggorokan Heibaizi berlubang.
Namun demikian, Xiang Wentian
berkata dengan tertawa, “Masing-masing tidak berani mendahului bergerak. Dalam
seni catur, keadaan seperti ini disebut ‘shuang huo’ atau ‘remis’. Tuan Kedua
memang cerdas dan pemberani. Pertarungan kali ini tidak ada yang menang atau
kalah.”
Linghu Chong lantas menarik
kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Mohon maaf, Tuan
Kedua!”
Heibaizi berkata, “Saudara
Tong pandai bercanda. Kenapa kau sebut ini remis? Ilmu pedang Saudara Feng
teramat lihai. Aku sudah kalah habis-habisan.”
Danqingsheng tiba-tiba
menyahut, “Hei, Kakak Kedua, bukankah kau punya senjata rahasia berupa biji
catur yang terkenal di dunia persilatan? Sebanyak 361 biji hitam-putih jika
ditebarkan sekaligus maka tiada seorang pun mampu menangkisnya. Mengapa kau
tidak mencoba kepandaian Saudara Feng dalam menghalau senjata rahasia?”
Tergerak juga hati Heibaizi
mendengar saran itu. Ia kemudian melihat Xiang Wentian yang manggut-manggut
perlahan-lahan dengan yakin. Sewaktu melirik ke arah Linghu Chong, tampak
pemuda itu hanya tenang-tenang saja, sama sekali tidak berubah raut wajahnya.
Maka ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng ini sungguh hebat.
Jangan-jangan di dunia tidak ada yang mampu mengunggulinya. Mereka berdua tetap
terlihat penuh percaya diri, sama sekali tidak gentar sedikit pun. Andaikan aku
bertanding senjata rahasia mungkin hanya akan menambah malu saja.”
Maka, sambil menggelengkan
kepala Heibaizi pun tersenyum dan berkata, “Tidak, tidak. Aku sudah mengaku
kalah, untuk apa bertanding senjata rahasia segala?”
Tubiweng semakin penasaran
dengan tulisan kaligrafi “Kitab Sesuka Hati” tadi. Ia pun berkata, “Saudara
Tong, sudikah kau perlihatkan lagi kitab itu kepadaku?”
“Sabar dulu,” jawab Xiang
Wentian dengan tersenyum. “Sebentar lagi kalau Tuan Pertama sudah mengalahkan
Adik Feng, maka kaligrafi ini akan menjadi milik Tuan Ketiga. Biarpun dilihat
tiga-hari tiga-malam juga terserah.”
“Aku akan memandanginya selama
tujuh-hari tujuh-malam,” kata Tubiweng.
“Baik, tujuh-hari tujuh-malam
juga boleh,” ujar Xiang Wentian.
Perasaan Tubiweng seperti
diiming-iming. Segera ia berkata, “Kakak Kedua, biar aku pergi memberi tahu
Kakak Pertama.”
“Kalian berdua tetap di sini
menemani kedua tamu kehormatan kita. Biar aku saja yang bicara dengan Kakak
Pertama,” sahut Heibaizi. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi.
“Benar,” seru Danqingsheng.
“Adik Feng, mari kita minum lagi. Aih, Kakak Ketiga sudah banyak membuang-buang
anggur sebagus ini dengan percuma.” Sambil berbicara ia menuang sisa arak
anggur pada gentong ke dalam cawan.
Tubiweng menyahut kesal, “Kau
bilang aku membuang-buang arakmu dengan percuma? Huh, arakmu itu kalau sudah
masuk perut paling-paling segera keluar menjadi kencing. Mana bisa dibandingkan
dengan kaligrafiku di atas dinding yang tetap abadi itu? Arakmu dijadikan
kaligrafi, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisan indahku itu,
baru kemudian mereka tahu kalau di dunia ada arak anggur Turfan yang kau
banggakan itu.”
Danqingsheng tetap tidak mau kalah.
Ia mengangkat cawan anggurnya dan berkata menghadap dinding, “Dinding, oh,
dinding, kau sungguh beruntung bisa menikmati arak anggur lezat buatan tuan
keempatmu ini. Meskipun Kakak Ketiga tidak mencorat-coret di atas wajahmu … kau
juga, kau juga akan tetap abadi.”
“Haha, dibandingkan dinding
yang tidak tahu apa-apa, boleh dikata aku jauh lebih beruntung. Karena, aku
bisa mencicipi arak bagus yang langka ini!” seru Linghu Chong tertawa sambil
menenggak isi cawannya.
Xiang Wentian juga mengiringi
minum sebanyak dua cawan, kemudian berhenti. Sementara itu, Danqingsheng dan
Linghu Chong terus-menerus menuang dan minum tanpa henti. Semakin minum, mereka
semakin bersemangat.
Setelah kedua orang itu
meneguk tujuh atau delapan belas cawan, Heibaizi muncul dan berkata, “Saudara
Feng, kakak pertama kami mengundangmu masuk ke dalam. Untuk Saudara Tong kami
persilakan minum-minum dulu di sini.”
Xiang Wentian tertegun dan
berkata, “Ini … ini ….” Ia melihat Heibaizi ternyata hanya mengundang Linghu
Chong seorang. Ia khawatir jangan-jangan urusan bisa menjadi runyam, namun ia
tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa ikut serta? Sambil menghela napas ia
pun berkata “Aih, aku tidak punya jodoh untuk bertemu Majikan Pertama. Ini akan
menjadi penyesalan seumur hidupku.”
“Harap Saudara Tong jangan
tersinggung,” kata Heibaizi. “Kakak Pertama sudah lama mengasingkan diri,
biasanya juga tidak pernah menerima tamu. Hanya saja, ia merasa kagum mendengar
kehebatan ilmu pedang Saudara Feng, sehingga berkenan mengundangnya masuk ke
dalam. Sama sekali kami tidak ada maksud untuk bersikap kurang hormat kepada
Saudara Tong.”
“Mana berani aku berpikir
demikian?” ujar Xiang Wentian.
Linghu Chong meletakkan cawan
araknya. Ia merasa tidak pantas menemui majikan utama dengan membawa senjata.
Maka, pedangnya pun ditaruh pula di atas meja batu dan ia kemudian berjalan
mengikuti Heibaizi meninggalkan ruang catur tersebut. Sesudah menyusuri sebuah
serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.
Di atas pintu bulat itu terdapat
sebuah papan bertuliskan kata “inti kecapi”. Kedua huruf itu dibuat dari kaca
berwarna biru, gaya tulisannya berani dan kuat, jelas tulisan tangan Tubiweng
sendiri. Di balik pintu bulat terdapat sebuah jalan setapak yang sunyi. Pada
kedua tepi jalan tumbuh pepohonan bambu. Batu-batu di tengah jalan itu tampak
berlumut, jelas jalanan ini jarang dilalui manusia.
Sesudah melalui jalanan
tersebut, sampailah mereka di depan tiga buah rumah batu yang dikelilingi oleh
tujuh atau delapan pohon cemara yang rimbun dan tua. Suasana menjadi agak redup
dan bertambah sunyi.
Perlahan Heibaizi mendorong
pintu dan berbisik kepada Linghu Chong, “Silakan masuk!”
Sewaktu melangkah masuk ke
dalam rumah batu itu, hidung Linghu Chong segera mencium bau harum kayu
cendana.
“Kakak Pertama, Saudara Feng
dari Perguruan Huashan sudah berada di sini,” kata Heibaizi.
Maka muncullah seorang tua
dari dalam kamar sambil menyapa dengan penuh hormat, “Pendekar Muda Feng
berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini, tapi kami tidak bisa memberikan
penyambutan yang pantas. Mohon maaf, mohon maaf!”
Usia orang tua ini lebih dari
enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan peyot,
sehingga mirip tengkorak hidup, namun kedua matanya tampak bersinar tajam dan
cemerlang. Lekas-lekas Linghu Chong membalas hormat dan menjawab, “Kedatangan
saya ini terlalu lancang, mohon Sesepuh sudi memaafkan!”
Orang tua kurus itu berkata,
“Tidak apa, tidak apa!”
Heibaizi menukas, “Kakak
Pertama memiliki gelar Huang Zhonggong, mungkin Saudara Feng pernah mendengar
namanya.”
“Sudah lama saya mengagumi
nama besar keempat majikan dan baru hari ini dapat berjumpa secara langsung.
Sungguh beruntung, sungguh beruntung!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia
berpikir, “Kakak Xiang benar-benar suka bercanda. Dia tidak menerangkan apa pun
kepadaku, hanya menyuruhku menuruti segala rencananya. Sekarang Kakak Xiang
tidak mendampingi aku. Jika Majikan Pertama menanyakan sesuatu yang sulit,
entah bagaimana caraku harus melayaninya?”
Huang Zhonggong berkata,
“Kabarnya Pendekar Muda Feng adalah ahli waris Sesepuh Feng Qingyang dari
Perguruan Huashan. Ilmu pedangmu sangat hebat. Selama ini aku si tua juga
sangat mengagumi ilmu silat dan kepribadian Sesepuh Feng, namun sayang belum
pernah bertemu muka dengan Beliau. Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar
kabar bahwa Sesepuh Feng sudah meninggal. Hal ini membuat diriku sangat
menyesal. Namun, hari ini aku dapat bertemu dengan ahli waris Beliau, boleh
dikata angan-anganku selama ini bisa terpenuhi. Menurut keterangan dari Adik
Kedua, Pendekar Muda Feng ini adalah sepupu dari Sesepuh Feng, benar demikian?”
Linghu Chong menjadi
serbasalah. Ia berpikir, “Aku sudah berjanji kepada Kakek Guru Feng untuk tidak
memberitahukan keadaan Beliau kepada siapa pun juga. Kakak Xiang bisa
mengetahui kalau aku adalah ahli waris Beliau juga dari hasil menebak
berdasarkan pengalamannya yang luas. Tapi kemudian Kakak Xiang menyiarkan
kepada orang-orang di sini kalau aku juga bermarga Feng, ini sungguh
keterlaluan dan mengada-ada. Namun kalau aku mengatakan jati diriku yang
sebenarnya juga tidak pantas.”
Merasa tidak punya pilihan
lain, ia pun berkata dengan kalimat samar-samar, “Saya pernah menerima
pelajaran dari Beliau. Namun sayang, saya kurang berbakat sehingga hanya bisa
mempelajari sepuluh atau dua puluh persen saja dari kepandaian Beliau.”
Huang Zhonggong menghela napas
dan berkata, “Jika kau hanya mempelajari sepuluh atau dua puluh persen dari
kepandaian Beliau namun sudah bisa mengalahkan ketiga saudaraku, maka dapat
dibayangkan betapa sukar diukur kepandaian Sesepuh Feng.”
Linghu Chong menjawab, “Ketiga
majikan hanya bertukar beberapa jurus dengan saya. Belum jelas pihak mana yang
menang atau kalah, kami sudah berhenti.”
Wajah Huang Zhonggong yang
cekung itu sekilas menampilkan senyuman. Sambil manggut-manggut ia berkata,
“Anak muda tidak sombong, tidak berangasan, sungguh patut dipuji.” Melihat
Linghu Chong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata, “Silakan duduk,
silakan mencicipi teh!”
Linghu Chong dan Heibaizi segera
masuk dan mengambil duduk. Sejenak kemudian seorang bocah pelayan muncul
menghidangkan tiga cangkir teh hijau.
Huang Zhonggong berkata,
“Kabarnya Pendekar Muda Feng memiliki sebuah kitab kuno ‘Guangling San’, apa
benar demikian? Aku si tua lumayan senang bermain musik. Setiap kali aku
membayangkan Ji Kang sebelum dihukum mati sempat memainkan kecapi sambil
berkata, ‘Sejak saat ini lagu Guangling San akan musnah dari dunia’, membuatku
selalu menghela napas. Andai saja lagu kuno itu berhasil ditemukan dan aku si
tua berkesempatan untuk memainkannya, maka tak akan ada lagi penyesalan di
hatiku.” Sampai di sini wajah laki-laki tua itu tampak bersemu merah, pertanda
semangatnya sedang tergugah.
Linghu Chong merenung sejenak.
Dalam hati ia berkata, “Kakak Xiang sudah membohongi mereka habis-habisan.
Tampaknya keempat majikan di Wisma Mei Zhuang ini adalah tokoh-tokoh luar
biasa, apalagi kedatangan kami adalah untuk memohon pengobatan kepada mereka.
Hm, rasanya tidaklah pantas kalau kami membuat mereka penasaran lagi. Kalau
kitab kecapi ini benar-benar naskah Guangling San, maka biarlah aku
memperlihatkannya kepada Tuan Pertama.” Ia kemudian mengeluarkan kitab
pemberian Xiang Wentian dari balik baju. Perlahan-lahan ia bangkit dan
menyerahkan kitab itu menggunakan kedua tangan kepada Huang Zhonggong, sambil
berkata, “Tuan Pertama, silakan membacanya.”
Dengan sedikit bangkit dari
duduknya, Huang Zhonggong menyambut kitab itu dan menjawab, “Lagu Guangling San
sudah lama menghilang. Hari ini aku sangat gembira bisa melihat kitab ternama
peninggalan orang hebat di masa lalu. Hanya saja … hanya saja … entah ….” Ia
berbicara seperti kurang yakin mengenai bagaimana caranya untuk membedakan
apakah kitab di tangannya tersebut asli ataukah hanya buatan orang iseng. Secara
acak ia membolak-balik beberapa halaman sambil berkata, “Lagu ini sangat
panjang.” Sekali lagi ia membaca halaman pertama. Hanya dalam waktu singkat
raut mukanya langsung berubah.
Sambil tangan kanan memegang
kitab tersebut, jari tangan kiri orang tua itu tampak bergerak-gerak seperti
sedang memetik kecapi di atas meja. Untuk beberapa saat, ia menggumam sendiri,
“Bagus sekali! Lembut dan tulus, tapi sangat jernih dan mendalam.”
Huang Zhonggong kemudian
membaca halaman kedua. Sejenak kemudian lagi-lagi ia memuji, “Sungguh anggun
dan berselera tinggi. Di dalamnya tersembunyi kebenaran-kebenaran yang
mendalam. Hanya dengan membayangkan iramanya saja aku sudah merasa penuh
semangat.”
Heibaizi melihat kakak
pertamanya baru membaca dua halaman saja sudah begitu tergila-gila. Ia khawatir
jika dibiarkan maka hal ini akan berlarut-larut sampai beberapa jam. Berpikir
demikian, lekas-lekas ia menyela, “Saudara Feng dari Perguruan Huashan ini
datang bersama Saudara Tong dari Perguruan Songshan. Mereka menyatakan bila di
dalam Wisma Mei Zhuang ini ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu
pedangnya ….”
“Oh, jadi harus ada orang yang
bisa mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan naskah Guangling San
ini kepadaku, benar begitu?” tanya Huang Zhonggong.
“Betul, dan kami bertiga sudah
kalah semua,” jawab Heibaizi. “Kini tinggal Kakak Pertama saja. Jika Kakak
Pertama tidak turun tangan tentu Wisma Mei Zhuang kita ini, hehe ….”
“Jika kalian gagal, aku turun
tangan juga tidak ada manfaatnya,” ujar Huang Zhonggong sambil tersenyum
hambar.
“Kami bertiga mana bisa
dibandingkan dengan Kakak Pertama?” desak Heibaizi.
“Ah, aku ini sudah tua, sudah
tidak berguna lagi,” kata Huang Zhonggong.
Linghu Chong lantas bangkit
dan berkata, “Tuan Pertama memiliki nama gelar Huang Zhonggong, sudah pasti
ahli dalam bermain kecapi. Naskah ini memang sulit didapatkan, tetapi bukan
berarti tidak boleh ditunjukkan kepada siapa pun. Silakan Tuan Pertama membaca
atau menyalinnya. Setelah tiga atau lima hari saya akan datang kemari untuk
mengambilnya.” Rupanya ia teringat pelajaran seni musik yang pernah diajarkan
Luzhuweng bahwa irama paling rendah disebut “Huang Zhong” yang merupakan sumber
dari irama-irama yang lain.
Huang Zhonggong dan Heibaizi
terpana melihatnya. Lebih-lebih Heibaizi yang saat di ruang catur tadi melihat
Xiang Wentian sangat jual mahal dan terus menerus mempersulit keadaan, sehingga
membuat hati merasa gatal dan penasaran. Tak disangka, pemuda yang bernama
“Feng Erzhong” ini ternyata begitu murah hati. Sebagai ahli catur, ia sudah
terbiasa berpikir jangka panjang. Jangan-jangan sikap Linghu Chong itu hanyalah
jebakan untuk sang kakak pertama. Namun demikian, Heibaizi tidak bisa melihat
di mana letak perangkap tersebut berada.
Huang Zhonggong berkata,
“Tanpa jasa mana boleh menerima imbalan? Kau dan aku juga tidak memiliki
hubungan apa pun, bagaimana aku bisa menerima hadiahmu yang istimewa ini?
Kalian berdua sudi berkunjung ke wisma kami yang sederhana, tentu menyimpan
maksud dan tujuan tertentu. Untuk itu, mohon sudilah berterus terang.”
Linghu Chong berpikir sejenak,
“Sebenarnya apa tujuan Kakak Xiang mengajakku datang kemari? Apakah untuk
meminta keempat majikan mengobati penyakitku? Namun mengapa Kakak Xiang
menjalankan rencananya dengan penuh rahasia? Apakah ada tujuan yang lain?
Keempat majikan ini tokoh luar biasa semua. Kalau aku berterus terang tentu ini
merupakan hal yang kurang pantas. Aku memang tidak mengetahui isi hati Kakak
Xiang. Baiklah, aku akan berbicara seperlunya saja. Semoga mereka tidak tersinggung.”
Maka, Linghu Chong pun
menjawab, “Saya datang ke wisma yang mulia ini hanya mengikuti Kakak Tong.
Terus terang, sebelum datang kemari, saya sama sekali belum pernah mendengar
nama keempat majikan, juga tidak tahu kalau di daerah sini terdapat Wisma Mei
Zhuang.” Sejenak ia berhenti, kemudian melanjutkan, “Hal ini mungkin disebabkan
pengalaman saya yang dangkal sehingga tidak mengenal Tuan berdua yang
terkemuka. Untuk itu mohon kedua majikan sudi memaafkan.”
Huang Zhonggong memandang
sejenak kepada Heibaizi, kemudian berkata dengan tersenyum tipis, “Pendekar
Muda Feng bersikap jujur dan terus terang, aku si tua sangat berterima kasih.
Tadinya aku memang agak heran. Kami berempat sudah mengundurkan diri dan hidup
menyepi dari keramaian. Kaum persilatan juga sedikit yang mengenal kami,
lebih-lebih Serikat Pedang Lima Gunung sama sekali tidak pernah berhubungan
dengan kami, tapi mengapa kalian bisa datang ke sini? Jadi, Pendekar Muda Feng
memang tidak mengetahui asal usul kami, begitu?”
“Sungguh saya merasa malu.
Harap kedua majikan banyak-banyak memberi petunjuk,” sahut Linghu Chong. “Tadi
saya mengatakan ‘sudah lama mengagumi nama besar keempat majikan’, namun
sesungguhnya … sesungguhnya … aih.”
“Baiklah, baiklah. Huang
Zhonggong, Heibaizi, dan yang lain hanyalah nama julukan yang kami pilih
sendiri. Kami sudah lama tidak memakai nama asli sehingga pantas kalau Pendekar
Muda tidak pernah mendengar sepak terjang kami,” kata Huang Zhonggong
manggut-manggut. Tangannya kembali membolak-balik naskah Guangling San sambil
berkata, “Jadi, kitab not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau pinjamkan
kepadaku untuk disalin?”
“Benar,” jawab Linghu Chong.
“Naskah Guangling San ini milik Kakak Tong, sehingga saya hanya bisa
meminjamkannya. Andai saja naskah ini milik saya, pasti saya akan memberikannya
kepada Tuan Pertama tanpa perlu dikembalikan. Pepatah mengatakan, ‘Pedang
pusaka hendaknya diberikan kepada pahlawan.’”
“Oh!” seru Huang Zhonggong.
Dari raut wajahnya yang cekung samar-samar terlihat perasaan gembira.
Heibaizi menukas, “Saudara
Feng, kau hendak meminjamkan naskah kecapi ini kepada Kakak Pertama, apakah
Saudara Tong sudah mengizinkannya?”
Linghu Chong menjawab, “Kakak
Tong dan aku adalah sahabat seumur hidup. Sifatnya pemurah dan gagah berani.
Kalau aku sudah berjanji untuk melakukan sesuatu sebesar apa pun, ia tidak
pernah melarangnya.”
Mendengar itu Heibaizi hanya
mengangguk-angguk tanpa menjawab.
Huang Zhonggong berkata, “Aku
si tua sangat berterima kasih kepada Pendekar Muda Feng. Namun karena belum
mendengar dari mulut Saudara Tong sendiri, membuat hatiku tidak tenang.
Kabarnya Saudara Tong tadi berkata, jika ada satu orang saja di Wisma Mei
Zhuang ini bisa mengalahkan ilmu pedang Pendekar Muda Feng, maka naskah kecapi
ini bisa menjadi milik kami. Aku tidak boleh mengambil keuntungan semudah ini
dari kemurahan hatimu. Untuk itu, marilah kita coba-coba beberapa jurus.”
Linghu Chong kembali berpikir,
“Tadi Tuan Kedua berkata, ‘Kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Kakak
Pertama?’ Dengan demikian, ilmu silat Tuan Pertama sudah tentu lebih hebat dari
mereka. Ilmu silat ketiga majikan sangat tinggi. Aku bisa mengalahkan mereka
hanya karena mengandalkan ilmu pedang yang diajarkan Kakek Guru Feng. Kalau aku
bertanding dengan Tuan Pertama, aku belum tentu bisa menang? Tanpa alasan yang
jelas, untuk apa aku harus mempermalukan diri sendiri. Kalau pun aku bisa
menang, manfaat apa yang kudapatkan?”
Berpikir demikian, ia pun
berkata, “Secara iseng Kakak Tong telah mengemukakan kata-kata seperti itu, sungguh
membuat malu saja. Keempat majikan tidak marah saja saya sudah merasa
bersyukur. Sekarang mana berani saya bertanding dengan Tuan Pertama?”
“Kau memang baik hati,” puji
Huang Zhonggong. “Tapi tiada salahnya kita coba-coba beberapa jurus, bagaimana?”
Orang tua itu berdiri dan
mengambil sebatang seruling kumala yang tergantung di dinding, kemudian
menyerahkannya kepada Linghu Chong. Ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi
yang tertaruh di atas meja sambil berkata, “Kau bisa gunakan seruling itu
sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata. Kedua alat
musik ini tidak berani kusebut sebagai harta karun, tapi juga terhitung barang
langka. Tentunya aku merasa sayang kalau keduanya sampai rusak begitu saja.
Untuk itu, kita cukup berlagak dan bergaya sekadarnya saja.”
Linghu Chong melihat seruling
di tangannya berwarna hijau tua, ternyata terbuat dari zamrud bermutu tinggi.
Di dekat bagian mulut terdapat beberapa titik sinabar, warnanya merah tua
bagaikan darah, sehingga nampak berlawanan dengan badan seruling. Sebaliknya,
kecapi yang dipegang Huang Zhonggong warnanya sudah gelap kusam karena tua,
jelas merupakan barang kuno yang berusia ratusan tahun, atau mungkin seribu
tahun lebih. Jika kedua alat musik itu sampai terbentur perlahan saja sudah
pasti akan hancur berkeping-keping, sehingga memang tak dapat digunakan untuk
bertarung yang sesungguhnya.
Linghu Chong merasa tidak
memiliki pilihan lain. Ia pun memegang seruling kumala itu dengan kedua
tangannya, lalu berkata, “Mohon Tuan Pertama memberi petunjuk.”
Huang Zhonggong menjawab,
“Sesepuh Feng adalah ahli pedang paling hebat pada zamannya. Dari dulu aku
sangat mengaguminya. Ilmu pedang yang ia ajarkan sudah pasti lain daripada yang
lain. Pendekar Muda Feng, silakan mulai!”
Linghu Chong segera mengangkat
seruling dan mengayunkannya perlahan ke samping. Angin pun meniup masuk melalui
lubang seruling itu dan menimbulkan beberapa nada lembut. Huang Zhonggong juga
memetik kecapinya beberapa kali. Begitu bunyi kecapi mengalun, ia segera
menyodokkan bagian ekor kecapi ke arah bahu kanan Linghu Chong.
Ketika mendengar suara kecapi,
pikiran Linghu Chong sedikit terguncang. Namun perlahan-lahan serulingnya
lantas ditotokkan ke depan, mengarah ke siku Huang Zhonggong. Dalam keadaan
demikian jika kecapi itu tetap ditumbukkan ke bahu lawan, maka titik nadi pada
siku sendiri tentu akan tertotok lebih dulu. Berpikir demikian, Huang Zhonggong
segera memutar balik kecapinya dan menghantamkannya ke pinggang Linghu Chong.
Ketika kecapi itu diputar, kembali ia memetik senar sehingga mengeluarkan suara
berdenting.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Bila aku menangkis kecapi dengan seruling ini tentu keduanya akan
hancur bersama. Aku yakin dia tidak akan membiarkan kedua alat musiknya yang langka
ini rusak sehingga pasti akan menggeser kecapinya. Tapi cara demikian itu
hanyalah akal bulus yang tidak boleh kulakukan.”
Maka dengan cepat ia pun
memutar serulingnya setengah lingkaran untuk menotok ketiak lawan. Sewaktu
Huang Zhonggong mengangkat kecapinya untuk menangkis, Linghu Chong segera
menarik kembali serulingnya. Lagi-lagi Huang Zhonggong memetik senar beberapa
kali. Nadanya pun berubah menjadi tinggi dan mendesak.
Mendengar itu wajah Heibaizi
tampak tegang. Lekas-lekas ia mundur keluar kamar sekaligus menutup rapat
pintunya.
Ternyata petikan kecapi Huang
Zhonggong itu bukan sekadar iseng, melainkan untuk mencurahkan tenaga dalam
tingkat tingginya melalui suara kecapi guna mengacaukan pikiran lawan.
Mendengar suara denting kecapi itu, pikiran dan tenaga lawan akan bereaksi
terhadap kecapi. Tanpa disadari, pihak lawan akan dikuasai oleh irama kecapi.
Jika suara kecapi perlahan, maka gerakan lawan juga ikut perlahan, dan jika
suara kecapi menjadi cepat, maka gerakan musuh juga ikut cepat.
Namun demikian, gerak serangan
Huang Zhonggong ternyata berkebalikan dengan suara denting kecapinya. Pada
waktu kecapi mengeluarkan suara halus dan lembut, ia justru menyerang dengan
cepat sehingga pihak lawan tentu akan sukar menangkisnya. Kepandaian membaurkan
suara kecapi ke dalam ilmu silat demikian adalah tingkatan tertinggi yang
dicapainya.
Heibaizi mengetahui dengan
baik betapa tinggi ilmu silat Huang Zhonggong tersebut. Ia menjadi khawatir
terhadap keselamatan diri sendiri. Maka, ia pun lekas-lekas mengundurkan diri
keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tapi dari balik pintu sayup-sayup
masih terdengar suara kecapi yang berubah-ubah, kadang cepat dan meninggi,
kadang lambat dan rendah nadanya; tiba-tiba sunyi tiada berbunyi, tapi kemudian
mendadak berdenting dengan keras. Mendengar itu perasaan Heibaizi menjadi
gelisah dan napas pun tersengal-sengal. Lagi-lagi ia mundur sampai ke luar
gerbang. Di balik pintu ini suara kecapi tidak lagi terdengar, hanya
kadang-kadang masih terdengar suara dentingan nyaring. Beberapa nada yang
menembus keluar membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Setelah
termangu-mangu agak lama, ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng itu
teramat tinggi, tak disangka tenaga dalamnya juga hebat. Bagaimana ia bisa bertahan
terhadap serangan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Kakak Pertama?”
Pada saat itulah Tubiweng dan
Danqingsheng datang menyusul. “Bagaimana?” tanya Danqingsheng dengan suara
lirih.
“Mereka sudah bertarung sangat
lama tapi pemuda itu masih terus bertahan. Aku takut dia akan terluka parah
oleh kehebatan Kakak,” jawab Heibaizi.
“Biar aku memohon belas
kasihan, supaya Kakak Pertama tidak sampai melukai sahabat yang baik itu,” ujar
Danqingsheng.
Heibaizi menggeleng dan
berkata, “Kau jangan masuk!”
Pada saat itulah mendadak
suara kecapi berdenting sangat nyaring. Serentak mereka bertiga mundur satu
langkah. Secara beruntun kecapi itu berbunyi lagi lima kali dan mereka pun
tanpa sadar juga mundur lima langkah.
Raut muka Tubiweng tampak
pucat pasi. Setelah menenangkan diri baru ia bisa berkata, “Itu adalah jurus
‘Dewa Pembelah Gunung’ dari ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’. Bagaimana
orang bermarga Feng mampu menahan serangan berantai Kakak Pertama yang sangat
ganas itu?”
Belum selesai ia bicara,
tiba-tiba terdengar lagi suara nyaring kecapi yang lebih keras dari sebelumnya.
Disusul kemudian terdengar suara seperti putusnya beberapa senar.
Kontan saja Heibaizi bertiga
sangat terkejut. Lekas-lekas mereka mendorong pintu besar dan selanjutnya membuka
pintu kamar dan berlari masuk ke dalam. Terlihat Huang Zhonggong sedang berdiri
terkesima sambil memegangi kecapinya. Tujuh utas senar sudah putus dan terkulai
di sisi kecapi. Sebaliknya, Linghu Chong tampak berdiri tenang dengan tetap
memegang serulingnya.
“Mohon maaf!” kata pemuda itu
sambil membungkuk.
Dari pemandangan itu sudah
dapat disimpulkan kalau Huang Zhonggong kalah dalam pertandingan ini. Heibaizi,
Tubiweng, dan Danqingsheng terperanjat tak percaya. Mereka bertiga tahu benar
bagaimana kehebatan tenaga dalam sang kakak pertama. Huang Zhonggong sebelum
mengasingkan diri sudah jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Apalagi
selama belasan tahun terakhir ia giat berlatih dalam kesendirian, tentu ilmu
andalannya itu sudah jauh lebih maju dan lihai. Siapa sangka kali ini ia kalah
telak di tangan seorang pemuda dari Perguruan Huashan? Kejadian ini kalau tidak
disaksikan dengan mata kepala sendiri tentu sulit untuk dipercaya.
Dengan tersenyum getir Huang
Zhonggong membuka suara, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng sangat hebat, sungguh
belum pernah kulihat sebelumnya. Bahkan, pencapaian tenaga dalam juga
sedemikian tinggi, sungguh patut dipuji dengan penuh kekaguman. Tadinya aku
mengira ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ terhitung ilmu yang hebat di
dunia persilatan. Siapa sangka di hadapan Pendekar Muda Feng hanya seperti
mainan saja. Kami berempat kakak beradik sudah belasan tahun mengundurkan diri
dari dunia persilatan den menyepi di Wisma Mei Zhuang ini. Hm, ternyata kami
seperti katak dalam tempurung.” Nada bicaranya itu terdengar murung dan lesu.
Linghu Chong berkata dengan
rendah hati, “Saya hanya mencoba bertahan sekuat tenaga saja. Semua ini berkat
kemurahan hati Tuan Pertama kepada saya.”
Huang Zhonggong menghela napas
panjang dan menggelengkan kepala. Ia kemudian duduk dengan kecewa. Sungguh,
perasaan masygulnya tergambar jelas di wajahnya yang muram.
Linghu Chong merasa tidak enak
hati melihatnya. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Xiang jelas tidak ingin mereka
mengetahui kalau tenaga dalamku sudah musnah, supaya mereka tidak tahu kalau
aku datang kemari untuk memohon pengobatan kepada mereka. Kakak Xiang mungkin
khawatir jika aku berterus terang justru akan menimbulkan banyak rintangan.
Tapi seorang laki-laki sejati harus mengutamakan kejujuran dan sikap berterus
terang. Aku tidak boleh menarik keuntungan dari mereka dengan cara seperti
ini.”
Maka, ia lantas berkata, “Tuan
Pertama, ada satu hal harus kukatakan terus terang. Sesungguhnya, saya tidak
gentar menghadapi hawa pedang tak berwujud yang keluar dari kecapi tadi bukan
karena tenaga dalam saya yang hebat, melainkan karena saya sudah tidak
mempunyai tenaga dalam lagi.”
Huang Zhonggong tercengang dan
bangkit kembali. “Apa katamu?” demikian ia menegas.
Linghu Chong menjawab, “Saya
pernah terluka beberapa kali. Tenaga dalam sudah punah semua, makanya tidak
merasakan apa-apa dan tidak pula bereaksi apa-apa terhadap serangan suara
kecapi Tuan Pertama tadi.”
“Apa benar begitu?” tukas
Huang Zhonggong. Suaranya terdengar senang bercampur kaget.
“Jika Tuan Pertama tidak
percaya, silakan periksa nadi saya, tentu akan mengetahui yang sebenarnya,”
ujar Linghu Chong sambil mengulurkan tangan kanannya.
Huang Zhonggong beserta ketiga
adiknya terheran-heran. Mereka berpikir meskipun Linghu Chong bersama Xiang
Wentian berkunjung ke Wisma Mei Zhuang secara baik-baik, namun mereka jelas
memiliki maksud untuk menantang. Namun sekarang Linghu Chong justru dengan
tenang menjulurkan tangan kanannya begitu saja, seolah menyerahkan hidup dan
mati kepada pihak yang ditantangnya.
Huang Zhonggong berpikir
pemuda itu hendak menantang adu tenaga dalam sekali lagi. Jika itu benar
terjadi, entah bagaimana caranya mengerahkan tenaga dalam sambil memeriksa
denyut nadi Linghu Chong. Seorang pendekar yang berkepandaian setinggi langit
pun tetap sulit untuk mengerahkannya, sehingga satu-ssatunya jalan hanya
menyerah pada kehebatan musuh. Apalagi barusan ia telah mengerahkan jurus “Enam
Dewa Pembelah Gunung” yang ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Linghu
Chong. Ketika orang tua itu mengerahkan segenap kekuatannya, ketujuh senar
kecapinya justru putus sekaligus. Kekalahan telak seperti itu jelas
meninggalkan kekecewaan mendalam dan membuat hati penasaran. Diam-diam ia pun
berpikir, “Kalau kau menarik tanganku dan menotok titik nadiku, maka aku akan
mengadu tenaga dalam denganmu.”
Perlahan-lahan Huang Zhonggong
lantas mengulurkan tangannya untuk meraba pergelangan Linghu Chong. Diam-diam
ia juga mempersiapkan jurus “Cakar Macan”, “Cakar Naga”, dan “Delapan Belas
Tapak Kecil”. Ketiganya adalah ilmu silat tangan kosong kelas satu. Jurus apa
pun yang akan dipakai lawan, tetap tidak akan mampu menangkap tangannya. Tak
disangka, begitu jarinya sudah mencengkeram nadi pergelangan Linghu Chong,
ternyata pemuda itu tampak diam saja, sedikit pun tidak memberikan perlawanan.
Huang Zhonggong terlihat
tegang, namun begitu merasakan denyut nadi Linghu Chong yang sangat lemah, ia
menjadi lega. Ternyata pemuda itu benar-benar sudah tidak memiliki tenaga dalam
lagi. Sejenak Huang Zhonggong termangu-mangu, kemudian tertawa terbahak-bahak
dan berseru, “Ternyata demikian, ternyata demikian! Anak muda, kau telah
menipuku, kau telah menipuku!”
Meskipun ia menyatakan telah
tertipu, namun raut mukanya terlihat gembira luar biasa. Ilmu “Pedang Tujuh
Senar Tanpa Wujud” hanyalah musik kecapi belaka. Suara musik yang ia mainkan
pada hakikatnya tidak dapat melukai, tetapi mampu merangsang tenaga dalam lawan
dan mengacaukan gerakannya. Semakin tinggi tenaga dalam lawan, semakin kuat
pula reaksinya terhadap suara kecapi itu. Namun tak disangka, ilmu tersebut
harus berhadapan dengan Linghu Chong yang tidak memiliki tenaga dalam sama
sekali, sehingga tidak menghasilkan reaksi apa-apa pula.
Setelah kalah telak, Huang
Zhonggong merasa sangat kecewa dan berkecil hati. Namun saat mengetahui bahwa
penyebab kekalahannya bukan karena ilmu kecapinya yang tidak ampuh, melainkan
karena pihak lawan tidak memiliki tenaga dalam, membuat orang tua itu gembira
luar biasa seperti orang gila. Tangan Linghu Chong dipegangnya erat-erat dan
digoyang-goyangkannya beberapa kali. Sambil tersenyum ia pun bertanya, “Sobat
baik, sobat baik! Mengapa kau memberitahukan rahasiamu kepadaku si tua?”
Linghu Chong menjawab dengan
tersenyum pula, “Tenaga dalam saya memang sudah lenyap. Tadi ketika bertanding
dengan Tuan Pertama, saya merasa tidak enak hati. Bagaimana saya bisa
terus-menerus berbohong? Tuan Pertama bagaikan memetik kecapi untuk seekor
sapi, dan sayalah sapi itu yang tidak mengerti keindahan permainan kecapi
Tuan?”
Huang Zhonggong bergelak
tertawa sambil mengelus-elus janggutnya, kemudian berkata, “Jika demikian,
jurus ‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Berwujud’ milik si tua ini bukanlah sesuatu
yang jelek. Aku hanya khawatir ilmuku itu berganti menjadi ‘Pedang Tujuh Senar
Putus Tanpa Guna’. Hahahaha!”
Heibaizi menyela, “Saudara
Feng, kau telah memberitahukan rahasiamu dengan jujur, sungguh kami empat
bersaudara merasa sangat berterima kasih. Akan tetapi, apakah kau tidak takut
dengan terbongkarnya rahasiamu ini, kami bersaudara bisa mencabut nyawamu
dengan sangat mudah?”
“Ucapan Tuan Kedua memang
tidak salah,” jawab Linghu Chong. “Tapi saya percaya keempat majikan adalah
kaum gagah sejati yang berjiwa kesatria. Itu sebabnya, saya tidak takut bicara
terus terang.”
“Benar, memang benar,” ucap
Huang Zhonggong. “Saudara Feng, lebih baik kau katakan saja apa maksud dan
tujuan kedatanganmu yang sebenarnya ke tempat kami ini. Meskipun baru kenal,
tapi kami sudah menganggapmu seperti kawan lama. Asalkan kami mampu pasti akan
kami laksanakan apa pun yang kau inginkan.”
Tubiweng menyambung, “Tenaga
dalam Saudara Feng sudah lenyap, mungkin disebabkan luka dalam yang sangat
parah. Aku mempunyai seorang sahabat baik, ilmu pengobatannya mahasakti. Hanya
sayang, wataknya terlalu aneh dan tidak sembarangan menerima orang sakit. Namun
mengingat hubungannya denganku mungkin dia mau mengobatimu. Ping Yizhi si Tabib
Pembunuh itu memang ….”
“Oh, Tabib Ping Yizhi?” tukas
Linghu Chong.
“Benar. Rupanya Saudara Feng
pernah mendengar namanya?” tanya Tubiweng.
Linghu Chong menjawab dengan
nada murung, “Tabib Ping sudah meninggal di Lembah Lima Tiran beberapa bulan
lalu.”
“Hah! Dia … dia sudah
meninggal dunia?” seru Tubiweng terkejut.
“Dia sanggup menyembuhkan
penyakit apa saja, mengapa tidak mampu mengobati penyakit sendiri?” sahut
Danqingsheng. “Ah, apakah dia terbunuh oleh musuhnya?”
Linghu Chong menggeleng.
Mengingat kematian Ping Yizhi membuatnya menyesal dan merasa bersalah. Ia
kemudian berkata, “Sebelum meninggal dunia, Tabib Ping masih sempat memeriksa
denyut nadiku dan mengatakan bahwa penyakitku ini sangat aneh. Ia mengaku tidak
sanggup mengobati.”
Mendengar berita kematian Ping
Yizhi itu, Tubiweng tampak sangat berduka. Ia duduk termangu-mangu dan air
matanya pun meleleh.
Setelah berpikir sejenak,
Huang Zhonggong berkata, “Saudara Feng, aku memberimu suatu jalan keluar yang
agak sukar dipastikan. Akan kutulis sepucuk surat yang bisa kau bawa menghadap
Mahabiksu Fangzheng, Kepala Biara Shaolin yang sekarang. Jika Beliau sudi mengajarkan
Ilmu Pengubah Urat yang tiada bandingannya itu, tentu tenaga dalammu ada
harapan bisa pulih kembali. Sebenarnya Ilmu Pengubah Urat adalah ilmu rahasia
Perguruan Shaolin yang tidak diajarkan kepada orang luar. Namun Mahabiksu
Fangzheng dulu pernah berhutang budi padaku. Mungkin dia akan memandang muka
kepadaku dan bersedia melakukannya.”
Apa yang dikatakan kedua
majikan itu sangat tepat, yaitu menyarankan Linghu Chong berobat kepada Ping
Yizhi atau Mahabiksu Fangzheng. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima
kasih atas ketulusan para majikan Wisma Mei Zhuang yang sungguh-sungguh hendak
menolongnya. Ia kemudian menjawab, “Ilmu Pengubah Urat hanya diajarkan kepada
murid Biara Shaolin saja. Diriku ini tidak pantas menjadi murid Perguruan Shaolin.”
Ia kemudian bangkit dan membungkuk dalam-dalam sambil melanjutkan perkataan,
“Maksud baik para majikan akan selalu kuingat seumur hidup. Tentang hidup dan
mati sudah suratan Langit. Lukaku tidak parah, tapi telah membuat para majikan
ikut khawatir. Biar aku mohon diri saja.”
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Huang
Zhonggong mencegah. Orang tua itu masuk ke ruang dalam, kemudian ia keluar
kembali dengan membawa sebuah botol porselen kecil. “Botol ini berisi dua butir
pil pemberian mendiang guruku. Sangat bagus khasiatnya untuk memperkuat tenaga
dan menyembuhkan penyakit. Sekarang kuberikan kepada Saudara Feng sekadar
kenang-kenangan perkenalan kita.”
Linghu Chong dapat melihat
tutup botol itu sudah tua dan usang, jelas pil tersebut adalah benda pusaka
yang tidak ternilai harganya dan selalu disimpan Huang Zhonggong sekian
lamanya. Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Obat ajaib ini tentu pemberian
guru Tuan Pertama yang istimewa. Lebih baik Tuan Pertama menyimpannya saja
untuk digunakan di kemudian hari.”
Huang Zhonggong berkata sambil
menggelengkan kepala, “Kami berempat sudah mengundurkan diri dari dunia
persilatan, dan tidak pernah bertempur lagi dengan orang luar. Maka itu, obat
ini pun tiada gunanya bagi kami. Kami berempat tidak punya murid juga keluarga.
Jika kau menolaknya, maka biarlah obat ini kubawa masuk ke liang kubur saja.”
Mendengar ucapan yang
mengharukan itu, terpaksa Linghu Chong menerima kedua pil tersebut dengan
ucapan terima kasih. Ia kemudian berpamitan mohon diri meninggalkan ruangan tersebut.
Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng segera mengantarkannya kembali ke ruang
catur.
Melihat wajah mereka berempat,
Xiang Wentian segera paham kalau Linghu Chong telah memenangkan pertandingan
pedang melawan majikan pertama. Jika Huang Zhonggong yang menang, tentu
Heibaizi tidak akan terlihat setenang itu, juga Tubiweng dan Dan Qingsheng
pasti akan bersemangat. Begitu bertemu muka, tentu keduanya segera menjulurkan
tangan, meminta kaligrafi karya Zhang Xu dan lukisan karya Fan Kuan. Namun
demikian, Xiang Wentian pura-pura bertanya, “Adik Feng, apakah Tuan Pertama
telah memberikan petunjuk ilmu pedang kepadamu?”
“Kepandaian Tuan Pertama
sangat tinggi sukar diukur,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, secara kebetulan
Beliau bertemu denganku yang sama sekali sudah tidak mempunyai tenaga dalam,
sehingga tidak terpengaruh pula oleh suara kecapi Tuan Pertama yang disertai
dengan tenaga dalam. Sekali lagi, ini semua karena kebetulan belaka.”
Danqingsheng melotot kepada
Xiang Wentian, kemudian berkata, “Adik Feng ini orang yang jujur. Segalanya
telah dikatakan dengan terus terang. Kau bilang tenaga dalamnya jauh di atasmu
sehingga kakak pertama kami tertipu mentah-mentah olehmu.”
“Dulu tenaga dalam Adik Feng
memang jauh di atasku sebelum akhirnya musnah,” jawab Xiang Wentian dengan
tertawa. “Yang kukatakan adalah masa lalu, bukan sekarang.”
“Huh, kau bukan manusia
baik-baik,” ejek Tubiweng.
Xiang Wentian memberi hormat
sambil berkata, “Karena di dalam Wisma Mei Zhuang ini ternyata tidak ada
seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Adik Feng, maka sekarang juga
kami mohon pamit.” Ia lalu berkata kepada Linghu Chong, “Adik Feng, mari kita
pergi!”
Linghu Chong lantas memberi
hormat pula kepada ketiga majikan itu, dan berkata, “Hari ini aku sangat beruntung
bisa berjumpa dengan keempat majikan. Sungguh aku sangat bersyukur. Kelak di
kemudian hari bila ada kesempatan, aku akan berkunjung lagi ke tempat yang
mulia ini.”
Danqingsheng menanggapi, “Adik
Feng, kapan pun kau boleh datang kemari untuk minum-minum denganku. Kau boleh
merasakan semua arak simpananku. Tapi kalau Saudara Tong ini, hehe.”
“Ah, aku tidak biasa minum
arak, sudah tentu tidak berani mencari penyakit ke sini,” ujar Xiang Wentian
dengan tersenyum dan memberi hormat. Ia lantas menarik tangan Linghu Chong dan
mengajaknya keluar. Heibaizi bertiga masih terus mengantar di belakang.
Xiang Wentian berkata, “Ketiga
Majikan silakan sampai di sini saja, tidak perlu mengantar jauh-jauh.”
“Hah, apa kau pikir kami
sedang mengantarmu?” ejek Tubiweng. “Yang kami antar adalah Saudara Feng, bukan
dirimu. Jika hanya dirimu, satu langkah pun kami tidak sudi mengantar.”
“Oh, ternyata begitu,” sahut
Xiang Wentian tertawa.
Setelah mengantar sampai di
luar pintu gerbang barulah Heibaizi bertiga mengucapkan selamat jalan kepada
Linghu Chong. Tubiweng dan Danqingsheng menatap dengan tajam. Andai saja bisa,
rasanya ingin sekali mereka merebut bungkusan di punggung Xiang Wentian itu.
Xiang Wentian tidak ambil
pusing. Digandengnya tangan Linghu Chong dan melangkah pergi. Sesudah agak jauh
meninggalkan Wisma Mei Zhuang, mereka masuk ke dalam hutan pohon liu yang
rimbun dan remang-remang. Ia kemudian bertanya dengan tertawa, “Adik, ilmu
‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ yang keluar dari kecapi majikan pertama itu sangat
ampuh. Bagaimana kau bisa mengalahkannya?”
“Ternyata Kakak Xiang sudah
mengetahui semuanya,” ujar Linghu Chong. “Untung saja tenaga dalamku sudah
musnah. Kalau tidak, mungkin saat ini jiwaku sudah melayang. Kakak, apa kau ada
permusuhan dengan keempat majikan itu?”
“Tidak, aku tidak ada
permusuhan apa pun dengan mereka,” jawab Xiang Wentian. “Bahkan sebelumnya aku
juga tidak pernah bertemu muka dengan mereka. Dari mana aku bisa bermusuhan
dengan mereka?”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seseorang memanggil, “Saudara Tong, Saudara Feng, harap kalian
kembali dulu!”
Linghu Chong menoleh dan
melihat sesosok bayangan berkelebat secepat kilat. Ternyata yang datang adalah
Danqingsheng.
Sebelah tangan Danqingsheng
membawa sebuah mangkuk arak terisi setengah lebih, tapi tidak tercecer setetes
pun meski dibawa lari secepat itu. Ia kemudian berkata, “Adik Feng, aku masih
menyimpan setengah botol Arak Bambu Hijau yang sudah berumur lebih dari satu
abad. Sungguh sayang kalau kau tidak mencicipinya.” Usai berkata ia lantas
menyodorkan mangkuk arak yang dibawanya itu.
Linghu Chong menerimanya.
Dilihatnya arak itu berwarna hijau bagaikan zamrud, begitu gelap sampai dasar
cawan tidak terlihat. Baunya juga sangat harum dan keras. Ia pun memuji,
“Benar-benar arak bagus!”
Segera ia minum seteguk dan
memuji kembali, “Bagus!” setelah meneguk empat kali, seluruh isi mangkuk
tersebut telah berpindah ke dalam perutnya. Ia kemudian berkata pula, “Arak ini
ringan tapi mengandung bermacam-macam rasa. Benar-benar arak termasyhur dari
daerah Zhenjiang di Yangzhou.”
“Benar sekali. Ini memang
harta karun dari Biara Jinshan di Lembah Zhenjiang. Jumlah seluruhnya ada enam
botol. Para biksu itu pantang minum arak tetapi memberikan satu botol kepadaku.
Aku meminumnya setengah, namun kemudian merasa sayang untuk menghabiskannya, ”
kata Danqingsheng. “Adik Feng, di wisma masih kusimpan beberapa jenis arak
bagus. Bagaimana kalau kau kembali ke sana untuk memberikan penilaian?”
Linghu Chong sudah merasa
akrab dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, apalagi ada arak bagus, sudah tentu
ia merasa sangat senang. Ia menoleh kepada Xiang Wentian, dengan maksud ingin
tahu pendapatnya.
Xiang Wentian pun menjawab,
“Adik Feng, jika Tuan Keempat mengundangmu minum arak, maka kau boleh pergi.
Mengenai diriku, jika Tuan Ketiga dan Tuan Keempat melihatku pasti langsung
merasa kesal. Maka itu, sebaiknya aku tidak ikut, hehe ….”
“Kapan aku merasa kesal jika
melihatmu?” tukas Danqingsheng dengan tertawa. “Sudahlah, ayo kita pergi
bersama! Kau adalah sahabat Adik Feng, berarti sahabatku juga. Ayo berangkat!”
Sebelum Xiang Wentian sempat
menolak, Danqingsheng sudah menggandeng tangannya dan juga tangan Linghu Chong
sambil berseru, “Ayo, ayo! Kita harus minum lagi beberapa cawan.”
Diam-diam Linghu Chong merasa
heran dan berpikir, “Ketika berpamitan tadi sikap Tuan Keempat agak ketus
terhadap Kakak Xiang, tapi mengapa sekarang tiba-tiba berubah simpatik begini?
Jangan-jangan dia masih mengincar kaligrafi dan lukisan di dalam bungkusan
Kakak Xiang sehingga sengaja mengatur tipu muslihat untuk merebutnya.”
Setibanya kembali di Wisma Mei
Zhuang, tampak Tubiweng sudah menunggu di depan pintu. Dengan mulut tersenyum
senang ia menyambut, “Bagus sekali! Saudara Feng sudah datang.”
Mereka kemudian masuk kembali ke
ruang catur. Danqingsheng menyuguhkan bermacam-macam arak bagus kepada Linghu
Chong, sedangkan Heibaizi sama sekali tidak terlihat. Saat itu hari sudah
senja. Tubiweng dan Danqingsheng seperti menanti seseorang. Berulang kali
mereka melirik ke luar pintu. Dua kali Xiang Wentian mohon pamit, tapi mereka
selalu menahan dengan sungguh-sungguh. Linghu Chong tidak menghiraukan semua
itu, karena baginya yang penting bisa minum arak sepuasnya.
Kemudian Xiang Wentian berkata
dengan tertawa, “Bila kedua majikan tidak menjamu kami, tentu si tukang makan
sepertiku akan mati kelaparan.”
“Benar sekali!” seru Tubiweng.
Lalu ia berteriak, “Pelayan Ding, lekas siapkan hidangan!”
Terdengar Ding Jian mengiakan
di luar ruangan. Pada saat itulah pintu terbuka. Ternyata yang datang Heibaizi.
Ia berkata kepada Linghu Chong, “Saudara Feng, di wisma kami ini masih ada
seorang lagi kawan lain yang ingin berkenalan dengan ilmu pedangmu.”
“Wah, ternyata Kakak Pertama
sudah mengabulkan!” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan sambil melonjak
kegirangan.
Mau tidak mau Linghu Chong
berpikir, “Untuk bisa bertanding pedang denganku, orang itu harus minta izin
dulu kepada Tuan Pertama. Jadi mereka sengaja menahan kami di sini untuk makan
minum, supaya memberi kesempatan kepada Tuan Kedua untuk berunding dengan Tuan
Pertama, sampai akhirnya Tuan Pertama mengabulkan permintaan mereka. Siapa lagi
yang akan kuhadapi? Mungkin orang itu adalah anak atau keponakan atau mungkin
murid dari Tuan Pertama. Apa mungkin ilmu silatnya lebih tinggi dari Tuan
Pertama?”
Tiba-tiba suatu pikiran
terlintas dalam benaknya, “Wah, celaka! Mereka sekarang sudah tahu kalau tenaga
dalamku musnah sama sekali. Untuk menjaga nama baik, mereka tidak turun tangan
sendiri, tetapi mengajukan seorang yang lebih muda untuk bertanding denganku.
Jika pertandingan ini sampai mengadu tenaga dalam, bukankah jiwaku bisa
melayang?”
Namun kemudian terpikir pula
olehnya, “Keempat majikan ini adalah kaum kesatria yang jujur dan mulia. Mana
bisa mereka melakukan perbuatan serendah itu? Hanya saja, Tuan Ketiga dan Tuan
Keempat sangat menginginkan kaligrafi dan lukisan yang diperlihatkan Kakak
Xiang, sementara Tuan Kedua meskipun bersikap tenang, tapi sesungguhnya juga
terpesona melihat kitab catur yang diuraikan Kakak Xiang. Untuk mendapatkan
barang-barang yang mereka inginkan itu, bukan mustahil mereka akan melakukan
hal-hal yang tidak terduga. Kalau lawanku nanti benar-benar hendak melukaiku
dengan tenaga dalam, terpaksa aku harus menyerang titik-titik penting pada
tubuhnya.”
Terdengar Heibaizi berkata,
“Saudara Feng, mohon ikut denganku sekali lagi.”
Linghu Chong menjawab, “Ah,
kalau bicara tentang kepandaian sejati, aku sama sekali bukan tandingan Tuan
Ketiga dan Tuan Keempat, apalagi Tuan Pertama dan Tuan Kedua. Ilmu silat keempat
majikan di Wisma Mei Zhuang sangat tinggi tak tertandingi. Hanya saja, keempat
majikan telah akrab denganku dan minum arak bersama, sehingga sudi mengalah
kepadaku. Padahal, sedikit permainanku yang kasar ini sebenarnya tidak perlu
dipertunjukkan lagi.”
“Adik Feng, ilmu silat orang
itu jauh lebih tinggi darimu,” kata Danqingsheng. “Tapi jangan takut, dia
seorang ….”
“Dia seorang ahli pedang di
wisma kami ini,” buru-buru Heibaizi menyela. “Ketika mendengar ilmu pedang
Saudara Feng sedemikian hebat, dia langsung berkata ingin mencoba ilmu
pedangmu. Maka itu, harap Saudara Feng sudi bertanding satu babak melawan dia.”
Linghu Chong merasa
serbasalah. Ia berpikir jika harus bertanding lagi bukan mustahil terpaksa
harus melukai lawan sehingga akan bermusuhan dengan Empat Sekawan dari
Jiangnan. Maka, dengan rendah hati ia menjawab, “Keempat majikan teramat baik
kepadaku. Jika harus bertanding lagi, entah bagaimana perangai sesepuh itu?
Kalau sampai aku terluka olehnya, tentu bisa merusak persahabatan kita ini.”
Danqingsheng berkata dengan
tertawa, “Jangan khawatir. Tidak mungkin ….”
“Tidak mungkin kami berempat
menyalahkan Saudara Feng,” sahut Heibaizi kembali menukas.
Xiang Wentian menanggapi,
“Baiklah, apa susahnya bertanding sekali lagi? Tapi sayang aku ada sedikit
urusan dan tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Biarlah aku berangkat lebih
dulu. Adik Feng, kita berjumpa lagi di Jiaxing.”
“Hei, mana boleh kau pergi
begitu saja?” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan.
“Kau boleh pergi, tapi
tinggalkan kaligrafi Zhang Xu itu,” ujar Tubiweng menambahkan.
“Benar. Jika Adik Feng kalah
nanti, ke mana kami harus mencarimu untuk meminta barang taruhan? Tidak boleh,
tidak boleh! Kau harus tinggal dulu di sini,” kata Danqingsheng. “Ding Jian,
lekas siapkan jamuan!”
Heibaizi lantas berkata pula,
“Saudara Feng, marilah pergi bersamaku. Saudara Tong, silakan makan dulu di
sini, sebentar lagi kami akan kembali untuk menemanimu.”
Xiang Wentian menggelengkan
kepala dan menjawab, “Dalam pertandingan ini jelas kalian bertekad harus
menang. Ilmu pedang Adik Feng memang hebat, namun pengalamannya bertarung masih
terbatas. Lebih-lebih, kalian sudah tahu kalau tenaga dalam Adik Feng sudah
musnah. Kalau aku tidak ikut mengawasi pertandingan ini, tentu kami akan merasa
penasaran jika nanti Adik Feng kalah.”
“Apa maksud perkataan Saudara
Tong ini?” tanya Heibaizi. “Memangnya kau menuduh kami akan berbuat curang?”
“Nama besar keempat majikan
Wisma Mei Zhuang di Kushan sebagai kesatria gagah sejati sudah lama kudengar.
Tentu saja aku mempercayai kalian sepenuh hati,” jawab Xiang Wentian. “Namun
yang akan bertanding dengan Adik Feng adalah orang lain, dan aku sama sekali
tidak pernah mendengar ada jago lain selain keempat majikan di Wisma Mei
Zhuang. Kalau boleh tahu, siapakah jago tersebut? Kalau ternyata dia juga
seorang gagah sejati yang jujur tanpa muslihat seperti keempat majikan, tentu
aku akan merasa lega.”
Danqingsheng menanggapi, “Nama
besar dan ilmu silat orang ini jauh lebih tinggi daripada kami berempat,
sehingga tidak pantas kalau disejajarkan.”
Xiang Wentian mendesak, “Tokoh
persilatan yang memiliki nama besar dan kepandaian di atas keempat majikan
boleh dikata dapat dihitung dengan jari. Mungkin aku mengenal namanya.”
Tubiweng menyahut, “Kami tidak
leluasa menyebutkan nama orang itu kepadamu.”
“Kalau begitu aku harus ikut
menyaksikan pertandingan ini. Kalau tidak diizinkan, lebih baik pertandingan
ini dibatalkan saja,” ucap Xiang Wentian.
“Kenapa kau begitu keras
kepala?” tanya Danqingsheng. “Tidak ada manfaatnya bagi Saudara Tong untuk
melihat pertandingan ini. Orang itu sudah lama hidup menyepi dan tidak suka
kalau orang luar melihat wajahnya.”
“Jika demikian bagaimana Adik
Feng bisa bertanding pedang dengannya?” balas Xiang Wentian.
“Kedua pihak sama-sama memakai
kedok, hanya kelihatan mata masing-masing sehingga tidak saling mengenal lagi,”
kata Heibaizi.
“Apakah ketiga majikan juga
memakai kedok?” Xiang Wentian menegas.
“Tentu saja,” jawab Heibaizi.
“Watak orang itu sangat aneh. Kalau tidak begitu, dia tak mau bertanding.”
“Jika demikian, aku juga akan
memakai kedok,” kata Xiang Wentian.
Sejenak Heibaizi terdiam
ragu-ragu, dan akhirnya berkata, “Jika Saudara Tong bersikeras ingin ikut
menyaksikan, kami terpaksa mengabulkannya. Namun Saudara Tong harus berjanji
dari awal sampai akhir sedikit pun tidak boleh bersuara.”
“Pura-pura bisu dan tuli
adalah soal mudah,” ujar Xiang Wentian tertawa.
Heibaizi lantas mendahului
berjalan di depan disusul Xiang Wentian dan Linghu Chong, sedangkan Tubiweng
dan Danqingsheng berjalan paling belakang.
Linghu Chong memperhatikan
jalan yang dilewati kali ini adalah jalan menuju kediaman majikan pertama.
Begitu sampai di luar ruangan kecapi, Heibaizi segera mengetuk perlahan,
kemudian mendorong daun pintu hingga terbuka. Ternyata di dalam kamar sudah ada
seseorang yang memakai kedok kain berwarna hitam, hanya sepasang matanya yang
terlihat. Dari pakaiannya jelas ia adalah Huang Zhonggong.
Heibaizi membungkuk mendekati
Huang Zhonggong dan berbisik di telinganya. Huang Zhonggong tampak
menggeleng-geleng. Sepertinya ia tidak setuju kalau Xiang Wentian ikut serta.
Heibaizi kembali berbisik, tapi Huang Zhonggong tetap menggeleng.
Akhirnya Heibaizi
manggut-manggut dan berpaling kepada Xiang Wentian, lalu berkata, “Kakak Pertama
berpendapat bahwa pertandingan ini hanya soal kecil, tapi kalau orang itu
sampai marah, inilah yang tidak bagus. Karena itu lebih baik pertandingan ini
dianggap batal saja.”
Kelima orang itu lantas
memberi hormat kepada Huang Zhonggong dan mohon diri keluar kamar.
“Saudara Tong,” kata
Danqingsheng dengan nada marah, “kau ini memang keras kepala. Apa kau khawatir
kami akan mengerubut Adik Feng sehingga kau memaksa harus ikut menyaksikan
pertandingan itu? Sekarang pertandingan yang seharusnya sangat menarik menjadi
gagal sama sekali. Sungguh sangat mengecewakan.”
“Kakak Kedua telah berusaha
dengan susah payah sehingga Kakak Pertama mengabulkan permintaan kami. Tapi kau
telah mengacaukan semuanya,” omel Tubiweng.
Xiang Wentian menjawab,
“Baiklah, baiklah. Biar aku mengalah saja. Aku tidak akan ikut menyaksikan
pertandingan ini. Tapi kalian harus berlaku seadil-adilnya, tidak boleh
mencurangi Adik Feng.”
Tubiweng dan Danqingsheng
terlihat sangat senang. Serentak mereka menjawab, “Memangnya kau kira kami ini
orang macam apa? Mana mungkin kami mencurangi Saudara Feng segala?”
“Baiklah, aku akan menunggu di
ruang catur,” kata Xiang Wentian. “Adik Feng, entah mereka sudah menyiapkan
permainan apa, hendaknya kau selalu berhati-hati dan selalu waspada.”
Linghu Chong menjawab dengan
tertawa, “Setiap penghuni Wisma Mei Zhuang ini adalah kaum terpelajar. Mana
mungkin mereka berbuat suatu hal licik?”
“Benar,” tukas Danqingsheng,
“Kau menganggap sifat Adik Feng sama denganmu karena kau suka mengukur sifat orang
lain seperti dirimu.”
Xiang Wentian berjalan menuju
ke tempat semula, namun setelah beberapa langkah ia menoleh dan melambaikan
tangan kepada Linghu Chong, “Adik Feng, coba kemari. Aku harus memberi petunjuk
kepadamu supaya tidak masuk perangkap mereka.”
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Kakak Xiang terlalu hati-hati. Aku bukan anak umur tiga tahun, apa
begitu mudah ditipu orang?” Namun demikian ia tetap berjalan ke arah Xiang
Wentian sambil tertawa.
Begitu Linghu Chong mendekat,
Xiang Wentian segera menarik tangannya. Seketika Linghu Chong merasa ada
sesuatu telah diselipkan ke dalam genggamannya, seperti bola kertas yang
membungkus sebuah benda keras.
Xiang Wentian tertawa dan
menarik tangan Linghu Chong lebih dekat, lalu berbisik di telinganya, “Sesudah
kau bertemu orang itu, jabatlah tangannya sambil diam-diam menyelipkan bola
kertas ini ke dalam genggamannya. Hal ini sangat penting, hendaknya kau jangan
sampai lupa. Hahaha, hahaha!” Ketika mengucapkan bisikan tersebut, suaranya
terdengar serius, namun raut wajahnya tetap menampilkan senyuman. Gelak tawa
yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisikan
tadi.
Heibaizi dan kedua adiknya
mengira Xiang Wentian sedang tertawa untuk mengolok-olok mereka. Danqingsheng
segera berkata, “Apa yang kau tertawakan? Ilmu pedang Adik Feng sangat tinggi,
tapi mengenai ilmu pedang Saudara Tong, kami belum pernah melihatnya.”
“Ilmu pedangku biasa-biasa
saja, tidak ada bagusnya untuk dilihat,” jawab Xiang Wentian sambil tetap
tertawa. Ia kemudian melangkah kembali menuju ruangan catur dengan sikap penuh
percaya diri.
Sepeninggalnya, Danqingsheng
segera berkata dengan gembira, “Mari kita temui Kakak Pertama sekali lagi.”
Mereka berempat lantas kembali menuju kamar Huang Zhonggong.
Rupanya Huang Zhonggong tidak
mengira kalau mereka akan datang kembali sehingga kedok hitam yang menutupi
kepalanya tadi sudah dilepaskan.
“Kakak Pertama,” kata
Heibaizi, “kami sudah membujuk Saudara Tong supaya membatalkan keinginannya
menonton pertandingan.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab
Huang Zhonggong. Segera ia mengambil kembali kedok kain hitam tadi dan
mengenakannya.
Danqingsheng membuka lemari
kayu dan mengambil tiga lembar kain kedok warna hitam kemudian
membagi-bagikannya kepada Heibaizi, Tubiweng, dan Linghu Chong, sambil berkata,
“Adik Feng, kau pakailah punyaku.” Kemudian ia berkata kepada Huang Zhonggong,
“Kakak Pertama, aku pinjam sarung bantalmu.” Usai berkata demikian ia lantas
masuk ke dalam, kemudian kembali dengan kepala sudah tertutup sarung bantal
berwarna hijau, dengan dua buah lubang pada bagian mata.
Huang Zhonggong
mengangguk-angguk lalu berkata kepada Linghu Chong, “Dalam pertandingan nanti,
kalian berdua akan memakai pedang kayu, supaya Adik Feng tidak dirugikan kalau
lawanmu memakai tenaga dalam.”
“Bagus sekali!” jawab Linghu
Chong gembira.
“Adik Kedua, ambilkan dua
bilah pedang kayu,” kata Huang Zhonggong kepada Heibaizi. Segera Heibaizi
membuka lemari kayu dan mengeluarkan dua senjata yang dimaksud itu.
Huang Zhonggong kembali berkata,
“Saudara Feng, dalam pertandingan nanti tidak peduli siapa yang menang atau
kalah, mohon supaya kau sama sekali tidak menceritakannya kepada orang lain.”
Linghu Chong menjawab, “Tentu
saja. Sebelumnya aku sudah berkata bahwa kedatanganku ke Wisma Mei Zhuang ini
bukan untuk mencari nama, mana mungkin aku sembarangan bicara di luar?
Lagipula, kemungkinan besar aku akan kalah, jadi untuk apa aku menyombongkan
diri?”
Huang Zhonggong berkata, “Soal
kalah atau menang belum dapat dipastikan. Namun aku percaya Saudara Feng tidak
akan memberi tahu kepada orang lain. Setelah pertandingan hari ini, mohon
supaya kau jangan mengungkit-ungkitnya lagi. Bahkan kepada Saudara Tong juga
jangan sampai kau bercerita. Apa kau dapat melakukannya?”
Linghu Chong menjawab dengan
bimbang, “Kepada Kakak Tong juga tidak boleh bercerita? Setelah pertandingan
ini, pasti ia akan bertanya apa saja yang telah terjadi. Kalau aku tidak
menjawab, bukankah ini akan mencederai persahabatan kami?”
Huang Zhonggong berkata,
“Saudara Tong itu sudah banyak pengalaman di dunia persilatan. Kalau dia tahu
dirimu sudah berjanji kepada aku si tua, tentu ia tidak akan memaksamu untuk
melakukan perbuatan yang tidak kau kehendaki. Janji seorang laki-laki sejati
setara dengan seribu keping emas. Kau tidak boleh melanggarnya.”
Linghu Chong akhirnya
mengangguk, “Baiklah, aku berjanji.”
Huang Zhonggong memberi hormat
dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Feng. Mari,
silakan!”
Linghu Chong berbalik hendak
melangkah keluar, tak disangka Danqingsheng justru menunjuk ke arah kamar
tidur, “Sebelah sini!”
Linghu Chong tercengang dan
berpikir, “Mengapa menuju kamar tidur?” Akhirnya ia pun menemukan jawaban di
dalam benaknya, “Ah, aku tahu! Orang yang akan bertanding denganku mungkin seorang
wanita. Bisa jadi dia adalah istri atau gundik Tuan Pertama, sehingga mereka
bersikeras tidak mengizinkan Kakak Xiang ikut menonton. Kami juga diharuskan
memakai kedok supaya tidak bisa saling melihat muka. Aku tidak bisa melihat
wajahnya, dia juga tidak bisa melihat wajahku. Hal ini tentu saja untuk menjaga
adat kebiasaan antara kaum pria dan wanita. Tuan Pertama juga berkali-kali
berpesan supaya aku tidak bercerita kepada orang lain. Kalau bukan masalah
wanita, mengapa begitu serius?”
Setelah menyimpulkan demikian,
segala kecurigaannya lenyap sudah. Namun ketika teringat di tangannya ada benda
kecil keras terbungkus gulungan kertas membuatnya kembali berpikir, “Sepertinya
Kakak Xiang sudah mengetahui kalau aku akan bertanding dengan wanita itu, sehingga
telah merencanakannya dengan teliti. Semua dilakukannya demi untuk bisa
berjumpa wanita itu. Namun karena ia sendiri belum tentu bisa bertemu dengan
wanita itu, terpaksa aku yang disuruh menyampaikan benda tanda cinta dan
selembar surat ini. Kurasa dalam hal ini ada masalah asmara. Meskipun Kakak
Xiang dan aku sudah mengangkat saudara, tapi keempat majikan juga sangat murah
hati dan memperlakukanku dengan baik. Kalau aku memberikan benda ini tentu akan
membuat kecewa keempat majikan. Lalu apa yang harus aku lakukan? Usia Kakak
Xiang dan keempat majikan sudah lima puluh atau enam puluh tahun, tentunya
wanita itu juga tidak muda lagi. Andaikan ada urusan asmara tentu sudah berlalu
sekian lama. Andaikan aku menyampaikan surat ini rasanya juga tidak akan merusak
nama baiknya.”
Sementara ia
menimbang-nimbang, tahu-tahu mereka sudah melangkah masuk ke dalam kamar tidur.
Di ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah ranjang, keduanya sangat
sederhana. Kelambu yang tergantung di atas ranjang pun tampak sudah
kekuning-kuningan, terbuat dari kain kasa yang modelnya kuno. Di atas meja
terdapat sebuah kecapi pendek, berwarna hitam mulus, seakan terbuat dari besi.
Linghu Chong kembali berpikir,
“Segala sesuatunya sudah diperhitungkan Kakak Xiang dengan sangat cermat. Aih,
cintanya begitu besar, apa salahnya kalau aku membantunya menyampaikan isi
hati?”
Pada dasarnya Linghu Chong
berwatak bebas dan merdeka, tidak pernah memperhatikan adat istiadat dan sopan
santun sesuai ajaran Kong Fuzi. Samar-samar ia merasa wanita itu bagaikan Yue
Lingshan, yang telah menikah dengan Lin Pingzhi, sedangkan dirinya bagaikan
Xiang Wentian yang telah terpisah bertahun-tahun. Dengan berbagai cara ia
berusaha bertemu dengan sang adik kecil. Namun karena tidak juga dapat bertemu
muka, cukuplah dengan menitipkan sebuah benda kenangan masa lalu. Benda itu
sekadar untuk mengungkapkan perasaan dan menjadi pengobat derita cinta yang tak
terbalas selama puluhan tahun. “Kakak Xiang keluar dari Sekte Iblis, bahkan
tidak segan-segan bermusuhan dengan Sang Ketua dan kawan-kawan seagamanya,
mungkin juga karena masalah asmara ini,” demikian ia berpikir.
Ketika ia tenggelam dalam
lamunan, Huang Zhonggong telah menyingkap kelambu dan mengangkat kasur tempat
tidurnya. Ternyata di bawah ranjang terdapat lempengan papan besi dan gelang
tembaga. Begitu gelang tembaga ditarik ke atas, papan besi selebar satu meter
persegi itu lantas terangkat dan terlihatlah sebuah lubang di bawahnya.
Papan besi tersebut tebalnya
sekitar enam senti, jelas sangat berat. Setelah menaruhnya di lantai, Huang
Zhonggong berkata, “Tempat tinggal orang itu agak aneh. Silakan Saudara Feng
ikut di belakangku.” Usai berkata ia lantas melompat ke dalam lubang tersebut.
Heibaizi menyambung, “Saudara
Feng, silakan turun duluan.”
Linghu Chong tertegun sejenak,
kemudian ikut melompat turun. Keadaan di bawah lubang tersebut remang-remang,
dengan diterangi sinar kekuningan dari sebuah pelita minyak yang tergantung di
dinding. Ternyata mereka berada di dalam sebuah lorong bawah tanah. Segera
Linghu Chong mengikuti Huang Zhonggong melangkah ke depan. Sementara itu,
Heibaizi bertiga berturut-turut juga sudah melompat turun ke dalam lubang.
Setelah berjalan belasan meter
jauhnya, lorong di depan tampaknya sudah buntu. Huang Zhonggong lantas mengeluarkan
serenceng kunci, dan memasukkan salah satunya ke dalam lubang kunci. Setelah
memutar beberapa kali, ia lalu mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara
berderit-derit, pertanda sebuah pintu batu terbuka perlahan-lahan.
Linghu Chong terheran-heran
menyadari apa yang telah terjadi. Ia pun semakin menaruh simpati kepada Xiang
Wentian. “Mereka mengurung seorang wanita di dalam ruang bawah tanah. Keempat
majikan ini terlihat seperti manusia-manusia gagah berbudi, tapi mengapa
melakukan perbuatan rendah seperti ini?” demikian pikirnya.
Sambil berpikir ia terus
mengikuti langkah kaki Huang Zhonggong. Jalan lorong di balik pintu batu itu
agak menurun ke bawah. Kira-kira belasan meter jauhnya mereka kembali
berhadapan dengan sebuah pintu. Huang Zhonggong mengeluarkan kunci kedua dan
pintu itu lantas terbuka. Pintu tersebut dibuka dengan cara digeser, dan
ternyata terbuat dari besi yang sangat tebal.
Lorong di balik pintu kedua
tampaknya terus menurun ke bawah, mungkin saat itu mereka sudah berada beberapa
puluh meter di bawah tanah. Setelah membelok beberapa kali kembali tampak
sebuah pintu lagi.
Diam-diam Linghu Chong merasa
geram dan kembali berpikir, “Tadinya aku mengira keempat majikan ini adalah
ahli kecapi, catur, kaligrafi, dan lukis yang anggun dan berbudi luhur.
Ternyata mereka adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, menyekap
seorang wanita di tempat gelap gulita seperti ini.”
Tadi sewaktu pertama kali
masuk ke dalam lubang di bawah ranjang, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga,
namun sekarang mau tidak mau timbul perasaan was-was di hatinya. Diam-diam ia
menduga-duga, “Mereka kalah bertanding pedang denganku. Jangan-jangan mereka
sengaja memancing diriku ke lorong bawah tanah ini untuk mengurungku. Di dalam
lorong ini terdapat pintu yang berlapis-lapis. Meskipun aku bisa terbang tetap
saja tidak mampu melarikan diri.”
Ia merasa bersikap waspada pun
tak ada gunanya lagi. Di depan ada Huang Zhonggong, di belakang ada Heibaizi,
Tubiweng, dan Danqingsheng. Tanpa senjata di tangan, tak ada yang bisa ia
perbuat.
Pintu ketiga terdiri dari
empat lapis, yaitu pintu besi yang dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi
kapuk, kemudian pintu besi lagi, dan dilapisi pintu kayu penuh paku yang diberi
kapuk pula. Linghu Chong menjadi heran dan berpikir, “Mengapa dua lapis pintu
besi harus diselingi dengan dua pintu kayu penuh paku yang berlapis kapuk? Ah,
mungkin tenaga dalam orang yang dikurung di sini sangat tinggi. Lapisan kapuk
ini digunakan untuk menyerap tenaga pukulannya agar tidak mampu membobol pintu
dan melarikan diri.”
Puluhan meter selanjutnya
tidak terlihat lagi adanya pintu, namun lorong itu masih terasa sangat panjang.
Jarak antara tiap pelita yang tergantung pada dinding semakin jauh sehingga
keadaan semakin gelap gulita. Pelita yang mereka bawa pun sudah padam, sehingga
mereka terpaksa harus berjalan meraba-raba. Belasan meter kemudian barulah
tampak sinar pelita lagi.
Linghu Chong merasa suasana di
lorong itu sangat menyesakkan dada, serta basah-basah lembab pula. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu, “Aih, Wisma Mei Zhuang berada di tepi Danau Xihu. Kami telah
menyusuri lorong bawah tanah sekian jauhnya. Mungkin sekali … mungkin sekali
kami sekarang sudah berada di dasar danau. Seseorang dikurung di bawah danau
jelas sulit untuk meloloskan diri. Andaikan ada orang luar hendak menolongnya
juga tidak mungkin bisa. Bila harus membobol atau menggali dinding penjara
tentu dia akan mati terbenam air danau yang membanjir.”
Setelah beberapa meter ke
depan, mendadak lorong itu menyempit, sehingga mereka berlima harus
membungkukkan badan. Semakin ke depan semakin membungkuk. Tidak lama kemudian,
Huang Zhonggong berhenti untuk memantik api dan menyalakan pelita yang
tergantung di dinding. Dalam suasana remang-remang terlihatlah sebuah pintu
besi yang tertutup, dengan lubang persegi pada bagian atas. Agaknya lubang ini
merupakan jalan untuk mengirimkan makanan atau keperluan lain.
“Tuan Ren,” seru Huang
Zhonggong melalui lubang persegi itu, “kami empat bersaudara datang
menjengukmu.”
Linghu Chong tertegun dan
berpikir, “Mengapa ‘Tuan Ren’? Apakah orang yang dikurung di sini bukan
perempuan?”
Huang Zhonggong melanjutkan
ucapannya, “Tuan Ren, sudah lama kami tidak berkunjung menjenguk dirimu, harap
dimaafkan. Hari ini kami sengaja datang untuk memberitahukan suatu urusan
penting kepadamu.”
Dari dalam terdengar suara
serak-serak berat memaki, “Persetan dengan urusan pentingmu segala! Mau kentut
lekas kentut, kalau tidak kentut lekas enyah sana!”
Linghu Chong terkejut
bercampur heran mendengarnya. Bermacam-macam dugaan dalam benaknya seketika
buyar bagaikan asap tertiup angin. Suara itu bukan hanya suara seorang
laki-laki tua, tapi juga kasar dan tidak terpelajar seperti bajingan pasar.
Kembali Huang Zhonggong
berkata, “Sejak dulu kami menyangka Tuan Ren adalah jago pedang nomor satu di
dunia persilatan. Siapa sangka dugaan ini ternyata tidak benar? Hari ini kami
kedatangan seorang tamu hebat, dan kami berempat kalah telak oleh ilmu
pedangnya. Kalau tamu kami itu bertanding pedang dengan Tuan Ren, maka ilmu
Tuan Ren pun akan seperti cebol bertemu raksasa di hadapannya.”
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Rupanya Majikan Pertama memanas-manasi orang tua itu supaya mau
bertanding pedang denganku.”
Terdengar suara dari dalam
penjara tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata, “Kalian berempat anak anjing,
sudah kalah bertanding lantas mengundang dia untuk melawan aku. Kalian ingin
aku membereskan musuh kalian, benar tidak? Hahahaha, jangan mimpi di siang
bolong! Sayang sekali sudah sepuluh tahun aku tidak memegang pedang, sehingga
semua ilmu pedangku sudah terlupakan semua. Nah, anak anjing sialan, lekas
kalian enyah dari sini sambil memegang ekor kalian!”
Linghu Chong terperanjat
mendengar makian itu. Ia berpikir, “Sungguh cerdik luar biasa orang ini dan
tebakannya sangat jitu. Begitu mendengar ucapan Tuan Pertama, dia langsung
mengetahui maksud dan tujuannya.”
Tiba-tiba Tubiweng menyahut,
“Kakak Pertama, sepertinya Tuan Ren sama sekali bukan tandingan tamu kita ini.
Dengan tegas tamu kita menyatakan bahwa di Wisma Mei Zhuang ini tidak ada
seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya, dan ucapannya terbukti
benar. Sudahlah, kita tidak perlu banyak bicara lagi dengan Tuan Ren.”
“Huh, apa gunanya kau
memanas-manasi aku?” dengus orang bermarga Ren itu. “Memangnya kau kira aku
sudi bekerja untuk anak-anak anjing seperti kalian?”
Tubiweng melanjutkan, “Kakak
Pertama, tamu kita ini adalah ahli waris ilmu pedang Feng Qingyang yang luar
biasa. Dulu sewaktu masih malang melintang di dunia persilatan, Tuan Ren tidak
kenal takut pada siapa pun, kecuali satu orang. Kabarnya Tuan Ren mempunyai
julukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’. Dan ‘angin’ yang dimaksud itu tidak
lain tidak bukan adalah Tuan Feng, bukan begitu?”
‘Feng’ pada nama Feng Qingyang
memang bermakna ‘angin’.
Mendengar itu, orang bermarga
Ren berteriak marah, kemudian mencaci maki, “Kentut ibumu busuk!”
Danqingsheng lantas
menyambung, “Ah, ucapan Kakak Ketiga tadi agak salah.”
“Di mana letak kesalahannya?”
tanya Tubiweng.
“Ada satu kata yang keliru,”
kata Danqingsheng. “Julukan Tuan Ren bukan ‘Melihat Angin Langsung Kabur’,
tetapi ‘Mendengar Angin Langsung Kabur’. Coba pikir, kalau Tuan Ren melihat
Tuan Feng, tentu tidak akan punya kesempatan untuk kabur. Lagipula, Tuan Feng
tidak mungkin mau membiarkan dia kabur begitu saja. Mungkin kalau mendengar
nama Tuan Feng dan segera lari barulah Tuan Ren masih ada harapan lolos seperti
anjing geladak ….”
“Atau seperti ikan lolos dari
jaring!” sambung Tubiweng.
“Tidak heran kalau sampai
sekarang Tuan Ren masih punya kepala,” lanjut Danqingsheng.
Namun orang bermarga Ren itu
ternyata tidak marah, sebaliknya justru tertawa, “Hahaha, kalian anak-anak
anjing sudah terdesak dan dalam keadaan tidak berdaya baru teringat padaku.
Huh, kalau aku begitu gampang tertipu akal-akalan kalian, maka margaku bukan
Ren lagi.”
Huang Zhonggong menghela
napas, lalu berkata, “Saudara Feng, rupanya begitu mendengar namamu, Tuan Ren
sudah ketakutan setengah mati. Pertandingan pedang ini tidak perlu dilanjutkan
lagi. Biarlah kami mengakui ilmu pedangmu memang nomor satu di dunia.”
Meskipun sekarang Linghu Chong
telah mengetahui kalau orang dalam penjara itu bukan wanita seperti dugaan
semula, tapi melihat penjara yang begitu ketat, jelas orang bermarga Ren sudah
sangat lama mendekam di situ; sehingga tanpa terasa timbul rasa simpati di
hatinya. Dari suara teriakannya, orang itu tentu seorang sesepuh berilmu
tinggi. Maka, begitu mendengar perkataan Huang Zhonggong tersebut, buru-buru ia
menjawab, “Ucapan Tuan Pertama kurang tepat. Dahulu bila Sesepuh Feng
membicarakan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu memuji … memuji Tuan Ren ini.
Beliau berkata, bahwa di zaman sekarang hanya Tuan Ren saja yang ilmu pedangnya
patut dikagumi. Jika aku ada kesempatan bertemu muka dengan Tuan Ren, maka aku
akan bersujud dan memohon petunjuk kepadanya dengan segala ketulusan hati dan
segala penghormatan.”
Kata-kata Linghu Chong ini
membuat Huang Zhonggong bersaudara tercengang. Sebaliknya orang bermarga Ren
itu terdengar sangat senang. Ia bergelak tawa dan berkata, “Sobat cilik,
ucapanmu sangat tepat. Feng Qingyang memang luar biasa. Hanya dia seorang yang
kenal betapa bagusnya ilmu pedangku.”
Huang Zhonggong berkata dengan
gemetar, “Apakah Tuan Feng … Tuan Feng mengetahui kalau dia berada … berada di
sini?” Nada suaranya terdengar sangat ragu-ragu dan takut setengah mati.
Sudah telanjur membual, Linghu
Chong segera melanjutkan, “Sesepuh Feng mengira Tuan Ren telah mengundurkan
diri ke pegunungan sunyi atau tempat indah lainnya. Beliau sering menyebut nama
Tuan Ren ketika mengajarkan ilmu pedang kepadaku. Beliau berkata bahwa aku
harus berlatih jurus-jurus pedang yang Beliau ajarkan semata-mata hanya untuk
menghadapi ahli waris Tuan Ren. Kalau di dunia ini tidak ada Tuan Ren, pada
hakikatnya tidak perlu mempelajari ilmu pedang yang begitu rumit dan
merepotkan.”
Saat ini dalam hati Linghu
Chong sudah berkurang rasa senangnya terhadap keempat majikan Wisma Mei Zhuang.
Ia menduga sesepuh bermarga Ren itu pasti seorang gagah kesatria, tapi disekap
di penjara bawah tanah yang gelap dan lembab, tentu tertangkap dengan cara-cara
licik. Tanpa bertanya, ia langsung menyimpulkan kalau keempat majikan telah
melakukan perbuatan yang tidak terpuji.