Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 31-40

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 31-40 Teriakannya itu disambut oleh anak buahnya dengan serentak, mereka memang sejak tadi telah bersiap-siap dengan senjata masing-masing, segera juga mereka berluruk menyerang Oey Yok Su.
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 31-40
Teriakannya itu disambut oleh anak buahnya dengan serentak, mereka memang sejak tadi telah bersiap-siap dengan senjata masing-masing, segera juga mereka berluruk menyerang Oey Yok Su.

Anak buah Mo-in-kim-kun memang bukan anak buah sembarangan, mereka memiliki kepandaian yang bisa diandalkan. Telah dibuktikan ketika salah seorang dari mereka itu membunuh Sung Sie Coan dan membinasakan tiga orang adik angkat Sung Sie Coan. Dan sekarang dia telah menyerang dengan hebat sekali, tiap serangan mengandung kematian dan maut buat Oey Yok Su.

Sedangkan Oey Yok Su berulang kali harus mengelakan serangan lawannya. Dia berhasil. Cuma saja, dia didesak terus. Maka akhirnya dia berpikir: “Biarlah aku membuka pantangan membunuh!”

Seperti diketahui Oey Yok Su belakangan ini memang sudah mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to dan tidak mau melibatkan dirinya dengan pertempuran. Namun, justeru sekarang, melihat dirinya dikepung seperti itu, dia ingin membuka jalan darah. Dia seorang yang digelari sebagai Tong-shia, si sesat. dengan sendirinya membunuh bukanlah dianggap sesuatu yang hebat.

Dia pun mengeluarkan seruannya setelah mengelakan diri dari beberapa serangan lawannya, segera juga dia menghantam ke kiri dan ke kanan dengan kedua tangannya, bulak-balik sebanyak dua kali, seketika terdengar suara jeritan beberapa anak buah Mo-in-kim-kun karena mereka telah kena dihantam telak sekali.

Empat sosok tubuh terpental. Dua orang tercebur ke dalam kolam dan tidak bisa diharapkan lagi jadi manusia. Sedangkan yang dua orang rebah di atas bungkahan batu dengan tubuh yang di bagian atas mereka belum mati dan merintih menahan sakit.

Sebetulnya orang Pit-mo-gay memiliki peraturan, bahwa setiap anggotanya dilarang untuk mengeluarkan rintihan, walaupun menderita luka yang bagaimana hebat sekalipun.

Tapi justeru sekarang ini, dua orang itu karena tidak bisa menahan rasa sakit yang begitu hebat, telah membuat dia merintih juga. Walaupun mereka yakin, bahwa jika mereka pun memiliki nasib berumur panjang dan dapat hidup, nanti mereka akan menerima hukuman yang tidak ringan dari Mo-in-kim-kun Kauw-cu mereka.

Oey Yok Su tidak berhenti sampai di situ, dia telah menghantam berulang kali.

Seketika rubuh beberapa orang lagi.

Adanya kejadian seperti itu, membuat lawan-lawannya yang lain tidak berani untuk menerjang terlalu dekat mendesaknya dan mereka bersikap lebih hati-hati penuh perhitungan.

Cuma saja, Oey Yok Su yang sudah naik darah mana mau membiarkan mereka. Dia memang memiliki perangai yang luar biasa. Dan dia pun digelari si sesat, karena itu, segera juga dia membentak bengis, dia yang sekarang mengejar lawan-lawannya, menghantam dengan mempergunakan lwekang yang sangat hebat.

Jika memang seseorang kena terhajar dengan telak, tubuhnya terpental membentur dinding goa itu, maka dinding tersebut akan ikut melesak dan orang itu jika bukan tubuhnya yang remuk dan segera putus napas, justeru dia terluka hebat. Dan jika dia tertolong dapat hidup terus, jelas dia akan menjadi manusia bercacad.

Di waktu itu Oey Yok Su memperlihatkan bahwa tidak kecewa dia menjagoi rimba persilatan selama beberapa puluh tahun, di mana dia dijaman itu dikenal sebagai jago nomor wahid. Dan sekarang, walaupun lawannya berjumlah sangat banyak, yang umumnya memiliki kepandaian tinggi, tokh mereka itu semuanya telah bisa dibikin kalang kabut oleh amukan Oey Yok Su.

Kim Lo tetap duduk di pundak Kong-kongnya ini, malah anak itu sama sekali tidak merasa takut dibawa melompat ke sana ke mari, mendengar suara jeritan orang-orang Pit-mo-gay yang kena dihantam Kong-kongnya. Kim Lo malah bersorak-sorak sambil bertepuk tangan berulang kali.

“Bagus! Bagus! Kong-kong, hajar mereka!” Dia malah berseru-seru memukul dan menganjurkan Kong-kongnya untuk menghajar sisa anak buah Mo-in-kim-kun.

Oey Yok Su tertawa nyaring dan panjang sekali suara tertawanya, seakan juga suara raungan macan dan geruman naga, dan menggetarkan ruangan tersebut yang akan bisa rubuh karena tertawa yang luar biasa itu, yang disertai dengan tenaga lwekang!

“Jangan kuatir, Kim Lo, Kong-kong akan memperlihatkan kepadamu, bahwa manusia-manusia rendah ini memang harus dikirim ke akherat!” Dan sambil menyusuli dengan kata-katanya itu segera juga tubuhnya melesat ke sana ke mari.

Orang-orang Pit-mo-gay sebetulnya bukan orang-orang lemah, akan tetapi mereka tidak berdaya menghadapi Oey Yok Su. Entah mengapa mereka jadi mati kutu.

Setiap kali Oey Yok Su menggerakkan tangannya, maka tampak tubuh salah seorang dari mereka telah melontarkan. Dan juga telah membuat mereka terbanting dengan keras tidak keburu untuk memperbaiki posisi tubuh mereka. Disamping itu juga ada yang tercebur ke dalam kolam.

Mo-in-kim-kun yang melihat keadaan seperti itu diam-diam mengeluh. Memang tidak kecewa Oey Yok Su dianggap sebagai tokoh nomor wahid di jaman itu, karena memang kepandaiannya yang luar biasa.

Mo-in-kim-kun juga menyadari bahwa dia tidak bisa membiarkan keadaan seperti itu berlangsung lebih lama, karena anak buahnya akan dibabat habis oleh Oey Yok Su. Dia harus segera turun tangan, segera juga.

Mo-in-kim-kun membentak seperti gerungan singa: “Semuanya mundur!” Suara itu bergema nyaring bagaikan guntur, menggelegar keras sekali.

Semua anak buah Mo-in-kim-kun segera melompat mundur menjauhi diri dari Oey Yok Su. Mereka sendiri memang telah jeri melihat betapa tangguhnya Oey Yok Su. Namun mereka tidak berani mundur tanpa perintah Mo-in-kim-kun.

Tapi sekarang justeru Mo-in-kim-kun telah perintahkan mereka mundur. Tanpa membuang waktu lagi segera juga mereka melompat mundur untuk menjauhi diri dari tokoh sakti yang kepandaiannya benar-benar menakjubkan.

Oey Yok Su tertawa dingin.

“Sejak tadi telah kukatakan, kau harus maju sendiri, untuk memperhitungkan semua ini, tapi kau lebih rela mengorbankan anak buahmu! Sungguh manusia pengecut yang tidak terpuji!” mengejek Oey Yok Su.

Mo-in-kim-kun tidak membuang-buang waktu lagi, dia melesat gesit sekali, tubuhnya melompat ke dekat Oey Yok Su.

Oey Yok Su mengawasi dengan tenang, tanpa menurunkan Kim Lo dari pundaknya, karena ia kuatir jika memang dia tengah dilibat oleh Mo-in-kim-kun, maka anak buah Mo-in-kim-kun akan mempergunakan kesempatan tersebut buat membekuk Kim Lo, menawannya, berarti dapat saja Oey Yok Su ditekan dan diancam demi keselamatan Kim Lo.

Oey Yok Su yakin, walaupun dia mendudukkan Kim Lo di pundaknya, namun tidak nantinya ia akan berada di bawah angin kalau memang hanya menghadapi Mo-in-kim-kun seorang lawan seorang. Karena, memang kepandaian Mo-in-kim-kun tampak berimbang dan setingkat dengannya.

Cuma saja Oey Yok Su masih bisa melihat banyak kelemahan yang dimiliki Mo-in-kim-kun. Sedikitnya memang Mo-in-kim-kun kalah seurat, dan jika bukan orang yang benar-benar ahli tentu tidak mungkin bisa melihat kekurangan dari Mo-in-kim-kun.

Waktu itu tubuh Mo-in-kim-kun melayang di tengah udara, dia menghantam dengan pukulan yang gerakannya sangat aneh, sulit sekali untuk diterka arah mana yang ingin dijadikan sebagai sasaran utamanya. Oey Yok Su tetap berdiri tegak ditempatnya mengawasi datangnya pukulan itu.

Tangan kanan dari Mo-in-kim-kun meluncur ke kanan, dan melintang ke arah leher Oey Yok Su, karena dia bermaksud memiliki dua tujuan. Dia hendak mencengkeram dan menotok.

Mencengkeram Kim Lo yang berada di pundak Oey Yok Su atau memang menotok leher Oey Yok Su. Karena dari itu, tenaga yang dipergunakannya pun telah diperhitungkan masak-masak.

Tangannya yang satu malah dipergunakan buat menggempur. Dia mempergunakan tenaga yang tidak tanggung-tanggung, karena jurus ini merupakan ilmu pukulan andalannya.

Oey Yok Su tidak jeri, dia mengawasi dengan mata yang tajam berkilat. Waktu pukulan Mo-in-kim-kun tiba, dia tidak bisa berusaha berkelit, malah dia menyambuti dengan keras.

Dia menangkis dengan mengerahkan sin-kangnya. Dengan begitu tidak mudah buat Mo-in-kim-kun menyerangnya pada bagian di anggota tubuh Oey Yok Su sebab jago tua itu seperti dilindungi oleh lapisan dinding yang sangat tebal, yaitu dinding yang terbuat dari tenaga sin-kangnya,

“Bukk, dukk!” Dua kali terdengar benturan. Dan dua tubuh itu berdiri tegak saling berhadapan.

Sedangkan Kim Lo yang duduk di pundak Oey Yok Su jadi berseru: “Kong-kong, pundakmu panas sekali!”

Oey Yok Su masih bisa menyahuti : “Kau diam saja, jangan melompat turun, ini hanya sebentar!”

Setelah berkata begitu, dia mengempos semangatnya, dia mulai mendesak Mo-in-kim-kun dengan gelombang tenaga dalamnya. Tangannya yang menempel dengan tangan Mo-in-kim-kun telah saling tindih dan masing-masing memusatkan kekuatan sin-kang di tangan masing-masing.

Sedangkan Mo-in-kim-kun sendiri terkejut setelah merasakan gelombang tenaga dalam Oey Yok Su semakin lama semakin kuat. Dia segera tersadar, bahwa tindakan yang dilakukannya itu salah. Karena dengan menempelkan tangannya pada tangan Oey Yok Su dia yang akan menderita kerugian.

Bukankah tocu dari pulau Tho-hoa-to in memang memiliki ilmu jari sakti, yaitu Jari Tunggal Sakti, It-yang-cie? Jika disaat tangan mereka saling melekat seperti itu, dan Oey Yok Su mempergunakan It-yang-cie nya, akan celakalah Mo-in-kim-kun.

Tapi, belum lagi Mo-in-kim-kun sempat untuk menarik pulang tangannya, Oey Yok Su justeru telah mempergunakan It-yang-cienya karena jari telunjuknya itu telah menyentil, ke arah nadi di tangan Mo-in-kim-kun. Sentilan itu mendatangkan sambaran angin yang sangat tajam sekali. Dan juga, telah membuat sambaran angin itu, menghancurkan batu-batu yang ada di dekat mereka, karena batu kerikil kecil telah berhamburan.

Mo-in-kim-kun memang bisa bertahan pada pertamanya, tapi kemudian ia telah terdesak mundur dua langkah, disaat Oey Yok Su menyentil untuk ketiga kalinya, tenaga yang menerjang Mo-in-kim-kun jadi semakin kuat.

Karena menyadari bahwa dirinya terancam bahaya yang tidak kecil, Mo-in-kim-kun tidak berani berayal, segera ia membentak nyaring dan melompat mundur. Namun hatinya seketika terkesiap. Tangannya tidak bisa ditarik pulang.

Cepat-cepat Mo-in-kim-kun mengempos semangatnya, dia berusaha menarik tangannya tapi kembali gagal, sedangkan kedua kakinya telah terangkat terapung di tengah udara.

Kemudian, dia mendorong. Tetap saja ia tidak berhasil menguasai diri, tubuhnya terapung dengan sepasang tangan melekat keras di tangan Oey Yok Su.

Diam-diam semangat Mo-in-kim-kun serasa terbang, dia mengerti apa semuanya ini yaitu bahaya yang tidak kecil mengancam dirinya. Tapi sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, segera juga ia mencoba dengan jalan lain.

Dia telah menarik dan mendorong dengan berbareng, tangan kirinya menarik dengan kuat, tangan kanannya mendorong, dengan demikian membuat dua macam kekuatan saling tolak menolak, dan Oey Yok Su yang menyangka lawannya itu telah mempergunakan taktik yang seperti itu, seketika terdorong keras. Dan dia terhuyung dua langkah dengan menarik serta tubuh Mo-in-kim-kun, yang tertarik karena tubuhnya masih terapung di tengah udara.

Oey Yok Su sendiri tidak tinggal diam. Waktu kuda-kudanya tergempur, dia menyentil lagi dengan It-yang-cienya. Di saat itulah tampak Mo-in-kim-kun berhasil membebaskan sepasang tangannya. Dia melompat dan meluncur turun jauh sekali, terpisah tujuh atau delapan tombak.

Bersama itu tenaga serangan It-yang-cie dari Oey Yok Su menyambarnya. Dia menghindar, dan baru di ruang itu kena dihantam oleh tenaga It-yang-cie sampai hancur meluruk, menyebabkan adanya lobang yang dalam sekali!

Itulah kehebatan tenaga It-yang-cie membuat semua orang yang menyaksikan jadi menggidik ngeri, kalau sampai tadi Mo-in-kim-kun tidak keburu menghindarkan diri dari serangan It-yang-cie itu niscaya dia akan terbinasa dengan tubuh yang hancur.

Mo-in-kim-kun sendiri tertawa bergelak-gelak, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap gentar terhadap Oey Yok Su, walaupun tadi ia nyaris menerima bencana tidak ringan dari Oey Yok Su.

“Memang nama Oey Yok Su Lo-shia tidak kosong! Baik, baik! Kukira hari ini cukup kita main-main sampai di sini!” sambil berkata begitu, tangannya menolak batu dinding di sampingnya, tahu-tahu terbuka sebuah pintu batu. Ia melompat masuk ke dalam situ.

Oey Yok Su tidak mau melepaskannya ia meloloskan diri seperti itu, segera melesat mengejar. Dia menerobos masuk ke dalam ruangan batu itu, ia berhasil, sebelum pintu batu itu tertutup, ia telah bisa menerobos masuk berada di dalam ruangan. Itulah sebuah ruangan batu yang tidak terlalu besar, dan waktu Oey Yok Su mengawasi sekitarnya, tidak melihat Mo-in-kim-kun entah telah menyelinap hilang ke ruang mana lagi, pintu batu itu bergerak menutup.

Seketika Oey Yok Su tersadar, pintu batu itu tertutup kembali rapat-rapat dan Oey Yok Su berdua dengan Kim Lo terkurung di dalam ruangan batu yang tidak begitu besar, samar-samar Oey Yok Su mendengar suara tertawa Mo-in-kim-kun yang bergelak-gelak.

“Kau akan mampus kelaparan disitu, Oey Loshia!” Teriak Mo-in-kim-kun dari bagian lainnya, entah ia berada di ruang mana.

Tidak kepalang murkanya Oey Yok Su, karena ia telah kena diperdaya oleh Mo-in-kim-kun seperti itu. Dia menghantam pintu batu itu hancur meluruk sebagian. Tapi pintu batu itu sangat tebal dan tidak bergeming.

Oey Yok Su menghantam lagi. Batu sebagian telah meluruk lagi, tetap saja pintu batu itu tidak bergerak. Berulang kali Oey Yok Su menghantam, tetap saja tidak berhasil untuk menghancurkan pintu batu tersebut.

Akhirnya Oey Yok Su menurunkan Kim Lo, katanya. “Kim Lo kita terkurung disini kau tenang saja, nanti Kong-kong akan menghajar mampus mereka semuanya, manusia-manusia hina dan rendah itu!”

Kim Lo mengiakan.

Anak itu melihat mereka terkurung di ruangan batu yang berukuran tidak besar. Dan juga, keadaan di dalam kamar ‘tahanan’ yang merupakan jebakan tidak tersangka oleh Oey Yok Su, sangat panas sekali. Oey Yok Su yakin, di dalam ruangan ini terdapat dua pintu yang bisa dipergunakan keluar masuk.

Pintu yang pertama adalah pintu yang tadi terbuka dan telah menutup kembali dan telah dihajar oleh Oey Yok Su. Sedangkan pintu yang lainnya lagi entah berada di sebelah mana, karena lewat pintu yang satu itulah rupanya Mo-in-kim-kun telah menyelinap lenyap, menghilang dari ruangan ini.

Oey Yok Su memeriksa keadaan di sekitar ruangan itu. Dia tidak berhasil menemukan pintu yang satunya lagi. Dia adalah majikan pulau Tho-hoa-to, dia yang mengerti ilmu perbintangan selain ilmu silatnya yang luar biasa.

Dia pun menguasai Pak-tauw-tin, Pat-kwa-tin, dan lain-lain ilmu yang akan membuat orang memikirkannya sampai ubanan dan tidak bisa memecahkannya. Juga pulaunya telah diatur sedemikian rupa, membuat siapa saja yang berani lancang masuk ke Tho-hoa-to tanpa ijinnya, jangan harap dapat keluar lagi.

Keluar dan masuk di pulau Tho-hoa-to bukan pekerjaan yang mudah karena disana telah diperlengkapi dengan jalan-jalan rahasia! Siapa tahu, sekarang Oey Yok Su, tocu Tho-hoa-to yang sangat terkenal dan dihormati seluruh jago-jago rimba persilatan telah terpedaya dan terkurung di kamar rahasia ini.

Rupanya Mo-in-kim-kun memang sengaja mengambil sikap seakan-akan dia hendak melarikan diri, dan waktu Oey Yok Su menyusulnya, dia menghilang lewat pintu rahasia lainnya. Sedangkan Oey Yok Su yang sudah terlanjur masuk ke kamar rahasia ini tidak keburu keluar berdua dengan Kim Lo, terkurung di situ!

Oey Yok Su meneliti keadaan dinding di kamar rahasia tersebut, melihat bahwa di kamar batu itu memang dibangun kokoh sekali di samping itu memang kamar itu pun merupakan kamar batu yang tidak memiliki ruang tembus dengan ruangan lainnya, batunya tebal sekali.

Tapi Oey Yok Su yang memang cerdik segera mengetahui, selain pintu yang tadi telah tertutup lagi, yang menghubungi kamar tahanan dengan ruang di mana ada kolam yang airnya seperti air mendidih itu, maka terdapat pintu lainnya yang menghubungi dengan jalan keluar. Karena tadi Mo-in-kim-kun telah lenyap begitu cepat di ruangan ini.

Oey Yok Su berpikir sejenak, kemudian dia duduk bersemedhi di hadapan pintu tadi tertutup. Dia mengempos semangatnya, kemudian dia memusatkan tenaganya pada kedua telapak tangannya, dan menarik napasnya dalam-dalam. Waktu dia mengeluarkan bentakan, tangannya menghantam serentak ke arah pintu batu itu.

Pintu batu tergetar, dan sebagian sempal. Oey Yok Su mencoba sampai berulang kali. Sampai pada pukulan yang keduapuluh kali, daun pintu itu telah sempal besar sekali, malah ketika dia menghantam lagi, daun pintu itu jebol! Batunya telah gugur, dan terlihat lobang yang sangat besar.

Tapi rupanya di luar pintu itu telah menanti cukup banyak anak buah Mo-in-kim-kun, mereka menantikan sampai daun pintu batu itu jebol dan berlobang serentak mereka menghujani senjata rahasia ke dalam.

Serangan senjata rahasia yang berbagai macam jenis itu membuat Oey Yok Su harus mengibaskan tangannya berulang kali, dia juga telah perintahkan Kim Lo berdiam di belakangnya. Senjata rahasia itu yang berhamburan masuk telah disampoknya runtuh.

“Duduk dipundakku lagi!” Perintah Oey Yok Su kepada Kim Lo.

Setelah anak itu mematuhi perintahnya, tampak Oey Yok Su maju ke depan, mendekati lobang pada pintu itu, sambil mengibaskan terus kedua tangannya bergantian. Dia melakukan itu untuk melindungi dirinya dari sambaran senjata rahasia.

Setelah berada di dekat daun pintu, mendadak Oey Yok Su menghantam ke depan keluar, dan terdengar jeritan beberapa orang, membarengi itu, disaat beberapa orang di depan pintu batu tersebut terpukul terpental dan kaget.

Oey Yok Su telah menerobos keluar dengan mengibaskan kedua tangannya, untuk melindungi dirinya. Maka dia telah berhasil untuk menerobos keluar! Inilah berkat hebatnya ilmu jago tua yang tangguh ini, yang menjadi tocu dari pulau Tho-hoa-to.

Kim Lo bersorak-sorak beberapa kali memuji Kong-kongnya tersebut.

Oey Yok Su keluar dari pintu rahasia itu bukan untuk berdiam diri, karena ia segera menyambar dua orang musuh yang terdekat dengannya, dia telah melontarkan ke tengah udara. Waktunya musuh-musuh itu hendak berpok-say di tengah udara, justeru Oey Yok Su telah menghantamkan kedua tangannya ke arah mereka ke tengah udara.

Terdengar jerit kematian ke dua orang itu rubuh terbanting di lantai dengan napas yang sudah putus.

Kemudian Oey Yok Su menyambar lagi dua orang lawan, yang berontak sekuat tenaganya. Tapi Oey Yok Su mengerahkan tenaga dalamnya mencengkeram kuat sekali, seketika kedua orang tawanannya itu jadi lemas dan napasnya putus, lehernya tercekek. Oey Yok Su melemparkan dua mayat itu kepada yang lainnya.

Yang mengepung Oey Yok Su terdiri dari laki dan wanita yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka benar-benar tak berdaya untuk menghadapi amukan Oey Yok Su!

Waktu pada akhirnya mereka menyadari sudah tidak sanggup untuk menghadapi Oey Yok Su, segera mereka bermaksud melarikan diri. Oey Yok Su gesit sekali menyambar dua orang di antara mereka, yang lainnya keburu menyelamatkan diri dan lenyap dari ruangan itu.

Jago tua dari Tho-hoa-to tersebut tidak membunuh kedua orang itu. Dia menotok jalan darah Cing-lian-hiatnya, seketika kedua orang itu bergulingan menderita kesakitan yang hebat bukan main, mereka menjerit-jerit seperti babi dipotong.

“Beritahukan kepadaku, di mana persembunyian Mo-in-kim-kun?!” bentak Oey Yok Su, “Jika memang kalian keras kepala dan coba-coba berdusta, kalian akan menerima siksaan yang lebih hebat lagi!”

Kedua orang itu berteriak-teriak: “Ampun bebaskan dulu totokanmu……. aku....... aku akan memberitahukan Oey Locianpwe…… ampun….. aduhh!”

Mereka menjerit-jerit seperti itu karena memang mereka sudah tak tahan tubuh mereka berkelejetan berguling di tanah, karena mereka kesakitan hebat sekali. Dari hidung, telinga dan mulut mereka telah mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Oey Yok Su tertawa dingin, dia menendang kedua orang itu bergantian dengan kakinya.

Barulah dua orang itu berhenti menjerit-jerit. Muka mereka pucat pias, sikap mereka ketakutan sekali.

“Cepat beritahukan di mana tempat bersembunyinya Mo-in-kim-kun?” bentak Oey Yok Su bengis.

Dua orang itu mengetahui siapa Oey Yok Su, tocu Tho-hoa-to yang bisa saja menurunkan tangan bengis dan telengas kepada mereka. Segera juga mereka menyahuti, karena memang mereka tidak berani main gila terhadap tocu pulau Tho-hoa-to itu.

“Kauw-cu kami berada....... berada di pintu Awan.”

“Di mana letak pintu awan?” tanya Oey Yok Su, tidak kurang bengisnya.

“Di…… di luar…..!” menyahuti mereka dengan tubuh lemas tidak bertenaga. Walaupun totokan ditubuh mereka telah dibebaskan tapi akibat totokan itu, mereka telah terluka di dalam yang berat sekali, yang membuat mereka seperti tidak bertenaga lagi.

“Antarkan kami!” Bentak Oey Yok Su dengan suara bengis, dan menendang ke dua orang itu.

Tidak berani berayal, mereka merangkak bangun, membawa Oey Yok Su keluar dari ruangan itu. Di luar, di lembah Pit-mo-gay, terbentang lapangan rumput yang luas, dengan di samping kiri kanannya terdapat lamping tebing yang tinggi sekali.

“Pintu Awan berada di atas tebing itu…….!” Kata salah seorang anak buah Mo-in-kim-kun sambil menunjuk ke atas tebing itu yang di sebelah kanan.

Oey Yok Su mengangguk,

“Jika memang ternyata nanti kalian berdusta, hemm, walaupun kalian punya jiwa cadangan sebanyak tiga, tetap saja kalian akan pergi ke akherat!”

Setelah berkata begitu tanpa menoleh lagi Oey Yok Su menjejakan kedua kakinya, tubuhnya segera melesat ke tengah udara. Dia hinggap di sebuah batu yang menonjol, kemudian menjejak lagi, sikap seperti itu dilakukannya beberapa kali, maka dalam waktu yang singkat, dia telah sampai di atas puncak tebing.

Keadaan di situ sangat dingin, juga sekitar tebing itu, diselubungi oleh kabut yang sangat tebal. Tapi Oey Yok Su tidak melihat seorang manusiapun juga. Oey Yok Su murka bukan main, karena dia menduga kedua orang anak buah Mo-in-kim-kun telah membohonginya.

Baru saja dia mau melompat turun lagi, tiba-tiba ia melihat sesuatu terpisah kurang lebih tigapuluh tombak dari tempatnya berada, terdapat sepotong papan yang dipancangkan di situ, dan juga papan itu bertulisan:

“Pintu Awan”

Jadi kedua orang anak buah Mo-in-kim-kun tidak berdusta. Ini memang daerah yang disebut Pintu Awan, hanya saja di mana beradanya Mo-in-kim-kun? Adakah dia telah menyembunyikan diri.

Oey Yok Su mencari ke sana ke mari beberapa saat lamanya, hanya saja tetap dia tidak berhasil mencari Mo-in-kim-kun. Sedangkan orang lainnya pun tidak dilihatnya.

Setelah mencari-carinya sekian lama, akhirnya Oey Yok Su melompat turun lagi. Tapi tidak melihat ke dua orang anak buah Mo-in-kim-kun, rupanya mereka telah menyingkirkan diri. Oey Yok Su mengelilingi lembah itu tetap saja dia tidak berhasil menemukan seorang manusiapun juga.

Keadaan di lembah itu kosong. Karena memang lembah itu memiliki banyak sekali jalan rahasia. Untuk sejenak Oey Yok Su tidak bisa menemukan jejak orang-orang itu.

Dan dia menghampiri batang pohon yang dilihatnya Kwang It Siansu dulu mendorong dan memutar batang pohon tersebut, sehingga pintu batu terbuka! Dia mencobanya memutar batang pohon itu. Namun batang pohon tersebut tak bergeming.

Karena murkanya, Oey Yok Su menghantam beberapa kali. Batang pohon itu seketika sempal dan berguguran menjadi bubuk.

Akan tetapi pintu batu tetap saja tidak terbuka. Dan ini telah membuat Oey Yok Su penasaran. Dia mencobanya beberapa kali. Tapi batang pohon itu seperti telah dipantek mati dan tidak bisa digerak-gerakkan lagi. Rupanya telah diganjal di bagian bawah.

Oey Yok Su berdiri sekian lamanya dengan hati diliputi kemendongkolan, sampai akhirnya dia mencarinya di sekitar tempat itu, kalau-kalau ada jalan lain. Dia menelitinya, dan diapun mencari-cari dengan cermat. Tetap saja hasilnya nihil. Tidak seorang manusiapun yang dijumpainya.

Akhirnya Oey Yok Su menggumam sendiri: “Hemmm. aku ingin melihat, berapa lama kalian tidak keluar-keluar dari jalan rahasia itu? Atau memang kalian mau mati kelaparan! Sebanyak-banyaknya persediaan makanan tentu tidak akan mencukupi untuk bersembunyi terus menerus selama satu bulan! Biarlah aku yang akan menantinyi di sini!”

Setelah menggumam seperti itu, Oey Yok Su menoleh kepada Kim Lo, katanya: “Kim Lo, kita menuggu manusia-manusia rendah itu disini…….. Selama ini, untuk mengisi waktumu yang senggang, baiklah kau berlatih ilmu silat yang akan kuwariskan kepadamu.

“Kau harus belajar dengan tekun, karena seperti kau lihat, betapa di dunia ini terdapat banyak sekali manusia busuk. Jika kau tidak memiliki kepandaian, niscaya kelak engkau akan dihina orang…….”

Kim Lo tertawa,

“Kong-kong, bukankah ada kau? Siapa yang berani menghinaku,” katanya.

Oey Yok Su terpaksa tersenyum mendengar kata-kata Kim Lo, dia bilang kemudian: “Benar, selama Kong-kong masih hidup, tentu tidak ada orang yang berani menghinamu. Tapi, Kong-kong tokh akhirnya pasti mati, meninggalkanmu, dan usia tua akan menyebabkan Kong-kong akhirnya menemui ajal. Di waktu itulah kau akan sendirian, dan kau harus memiliki kepandaian yang tinggi……, dengan demikian tidak mudah orang menghina dirimu!”

Sambil berkata begitu. Oey Yok Su mengusap-usap kepala ‘cucu’ nya, diapun telah mengawasi mukanya karena dia merasa kasihan sekali, di mana muka Kim Lo demikian buruk, seperti muka seekor kera. Entah bagaimana kelak nasibnya anak ini, jika dia telah dewasa.

Dan tentu yang sulit lagi adalah mencarikan jodoh untuk Kim Lo kelak. Dan juga mungkin pula jarang atau sama sekali tidak ada gadis yang bersedia dipersunting untuk menjadi isteri Kim Lo.

Terpikir seperti itu, Oey Yok Su jadi menghela napas beberapa kali. Walaupun Kim Lo bukan darah dagingnya, tapi ia sangat sayang sekali. Dia telah merawatnya sejak bayi dengan sendirinya dia merasakan seperti juga kakek kandung anak ini. Itulah sebabnya, jika memang anak ini kelak mengalami kesulitan, tentu hatinya tidak akan tenang.

Begitulah, Oey Yok Su berjaga-jaga di lembah tersebut. dia tidak mau meninggalkan lembah itu sebelum Giok-sie berhasil diambilnya dari tangan Mo-in-kim-kun.

<> 

Angin berhembus dingin di luar kota Bun-an-kwan, sebuah kota kecil, di sebelah selatan dari kaki gunung Song-san. Cuaca tidak begitu baik, hujan gerimis memang telah turun menyiram bumi sejak pagi tadi, banyak orang yang berteduh di rumah makan ataupun warung arak.

Mereka tidak meneruskan perjalanan. Mereka kuatir kalau-kalau cuaca yang demikian buruk akan membuat mereka terangsang angin jahat dan akhirnya bisa membuat mereka sakit.

Tapi di antara rintik hujan gerimis, tampak seorang penunggang kuda yang tengah melarikan kuda tunggangannya dengan cepat sekali, kuda itu mencongklang seperti juga balap. Hujan yang turun rintik-rintik itu, tidak diperdulikan oleh penunggang kuda itu.

Dan iapun mahir sekali menunggang kuda, karena dijalan yang licin oleh air hujan, tak diacuhkannya. Ia tidak berkuatir kalau-kalau kudanya itu tergelincir dan bisa membuat dia terguling. Tetap saja kuda tunggangannya dilarikan untuk menghampiri pintu kota, yang sudah tampak di kejauhan.

Banyak orang-orang yang tengah berteduh melihat penunggang kuda itu, mereka menggeleng-gelengkan kepala masing-masing: Orang itu benar-benar mencari penyakit, melakukan perjalanan di kala turun hujan seperti ini! Mungkin dia memiliki urusan yang sangat penting sekali!

Penunggang kuda itu tidak memperdulikan sekelilingnya, juga tidak mengacuhkan tatapan mata dari orang-orang itu, dia membedal terus kudanya, karena ia tampaknya ingin cepat-cepat tiba di pintu kota. Dialah seorang pemuda yang mungkin baru berusia sembilanbelas tahun, wajahnya tampan sekali.

Sepasang alisnya tebal seperti potongan golok Thian-to dan tubuhnya yang tinggi itu tegap, kekar. Dia mengenakan baju dan celana putih, sehingga tampaknya gagah. Cuma saja baju maupun celana putihnya telah kotor kecipratan air lumpur.

Akhirnya pemuda baju putih itu tiba juga di pintu kota. Dia melihat ada sebuah rumah makan kecil di pintu kota, kudanya dilarikan menuju ke rumah makan itu. Begitu tiba dia segera melompat turun dari kudanya, gerakan tubuhnya sangat ringan, dia hinggap di atas rumah tanpa kurang suatu apapun juga.

Seorang pelayan yang menyambutnya dengan sikap hormat, telah diserahkan tali kendali kudanya.

“Beri makan secukupnya!” kata pemuda itu pada si pelayan. Dia juga telah mengeluarkan dua tail perak, diberikan kepada pelayan itu.

Tentu saja pelayan tersebut kegirangan, ia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dia juga berjanji akan merawat kuda si pemuda sebaik-baiknya.

Tapi waktu pelayan itu hendak memutar tubuhnya membawa kuda si pemuda baju putih itu telah mengulurkan tangannya, memegang pundak si pelayan,

“Tunggu dulu, Lopeh, apakah kau melihat rombongan kerajaan yang lewat di kota ini?” tanya pemuda itu kemudian kepada pelayan waktu pelayan itu telah menahan langkah kakinya.

Pelayan itu mengangkat kepalanya, mukanya berobah, kemudian dengan senyum dipaksakan dia bertanya: “Apakah kongcu teman mereka?”

Pemuda baju putih itu menggeleng. “Bukan! Jadi mereka telah lewat disini?”

Pelayan itu telah mengangguk.

“Bahkan sekarang mereka semua berkumpul di rumah penginapan ‘Say-koan’ dan ‘Cie-koan’. Mereka sangat galak sekali! Aku saja telah ditempelengnya beberapa kali waktu salah bertanya!”

Pemuda baju putih itu tampak girang. Dia segera bertanya: “Di mana letak dari dua rumah penginapan itu?”

“Di jalan Tie-cung……. itulah dua rumah penginapan yang terbaik dikota ini! Jika memang kongcu hendak pergi ke sana kau harus hati-hati. Bersalah sedikit saja, baik bicara atau, tingkah laku kita, pasti tentara kerajaan akan menderamu!

“Dan kau bisa pergi ke sana dengan. mengambil jalan di kiri ini, terus lurus. Nanti tiba di jalan bercagak tiga, kau mengambil jalan yang kanan, terus saja, nanti juga kau akan tiba di rumah penginapan itu!”

Pemuda baju putih itu mengangguk. “Terima kasih untuk keteranganmu ini. Lopeh!” katanya.

Dan ia telah melangkah masuk ke rumah makan, ia duduk dan memesan beberapa macam makanan. Kemudian makan dengan cepat ketika pelayan telah menyajikan makanan yang dipesannya.

Selesai makan ia membayarnya dan memberi hadiah dua tail perak kepada pelayan yang melayaninya. Walaupun hujan gerimis masih turun juga, pemuda baju putih itu tak memperdulikannya. Ia telah keluar dari rumah makan itu, menerobos hujan untuk mengikuti petunjuk si pelayan, guna mencapai rumah penginapan “Cie Koan” dan “Say-koan”.

Benar saja, setelah ia melewati jalan yang diberitahukan si pelayan, dari kejauhan dilihatnya dua rumah penginapan yang api penerangannya menyala terang menderang. Dan suasana sangat ramai sekali. Karena lebih dari duaratus tentara kerajaan berkumpul di sana.

Malah, beberapa rumah penduduk telah mereka tempati, dengan cara setengah memaksa. Penduduk yang rumahnya dipakai tentara kerajaan telah menyingkir, mereka kuatir kalau-kalau mereka akan menjadi korban keganasan tentara kerajaan itu.

Memang sudah menjadi rahasia umum, tentara kerajaan bukanlah manusia baik-baik. Jika mereka tengah mabok dan melakukan tindakan kasar, tidak mungkin dilawan. Jika memang dilawan, berarti orang itu mencari penyakitnya sendiri.

Dikala itu melihat pemuda baju putih tersebut tanpa tagu-ragu telah memasuki rumah penginapan “Say koan”. Dia melihat keadaan di dalam penuh sesak.

Semua tentara kerajaan itu tengah berpesta pora. Suara musikpun terdengar mengiringi acara makan-makan itu. Semacam pesta yang meriah sekali. Terdengar teriakan suara tertawa yang keras dan juga suara orang bernyanyi-nyanyi mengikuti musik.

Pelayan yang berada di dekat pintu segera menghampiri si pemuda baju putih.

“Kongcu!” panggilnya.

Pemuda baju putih itu menoleh, dia segera menanyakan apakah masih ada kamar.

“Menyesal sekali Kongcu....... seluruh kamar telah disewa oleh kerajaan....... bahkan inipun tidak cukup! Rumah penduduk dipergunakan juga.

“Menurut keterangan yang kami terima ini baru sebagian. Sebab tentara kerajaan yang akan datang ke mari berjumlah enampuluh tujuh kali lipat lebih banyak dari yang sekarang....... entah apa yang ingin mereka lakukan…….!”

Pemuda baju putih itu tersenyum.

“Apakah kau mengetahui siapa yang memimpin pasukan tentara kerajaan ini?” tanya pemuda baju putih itu.

“Menurut keterangan yang kuperoleh, Kongcu, mereka dipimpin seorang Lhama Merah yang bengis sekali. Juga Lhama itu.......” Berkata sampai di situ, si pelayan bimbang dia berdiam diri.

Pemuda baju putih itu merogoh sakunya dia mengeluarkan lima tail perak, disesapkan ke dalam tangan si pelayan, kemudian tanyanya, “Apa yang kau dengar tentang Lhama merah itu?”

Si pelayan terbeliak matanya melihat lima tail perak berada di tangannya, dia melirik ke kiri dan ke kanan, seakan-akan kuatir nanti kata-katanya itu akan ada yang dengar.

“Sesungguhnya....... sejak kedatangan para tentara kerajaan ini, kota ini jadi tidak aman!” Menjelaskan si pelayan, sikapnya takut-takut. Dan jika dia berani bicara karena adanya uang ditangannya itu.

“Mengapa begitu?” tanya si pemuda baju putih tersebut.

“Dalam waktu enam hari sejak mereka berada disini, sudah ada sembilan anak gadis penduduk yang lenyap....... kabarnya untuk pemimpin rombongan tentara kerajaan ini……!”

“Lhama merah itu?” Tanya si pemuda baju putih tersebut.

Si pelayan mengangguk.

“Benar…….!” Tapi menyahuti begitu dia melirik lagi kesekitarnya, karena dia kuatir kalau-kalau perkataannya itu didengar orang lain.

Di waktu itu si pemuda baju putih telah berkata dengan suara sabar: “Kau jangan takut! Ceritakan apa yang kau ketahui!” Sambil berkata begitu, dia telah menyesapkan lagi lima tail perak.

Pelayan itu membuka matanya lebar-lebar, “Kongcu....... kau?” Tanyanya dengan suara tergagap.

Pemuda baju putih tersebut segera mengulapkan tangannya. Katanya: “Mari kita pergi, di sana kita bicara lebih leluasa.”

Pelayan itu mengangguk.

Sedangkan saat itu ada seorang tentara kerajaan, yang duluk di meja, yang tidak jauh dari si pelayan, telah berteriak nyaring: “Hai pelayan, ke mari kau!”

Muka pelayan itu berobah pucat, tubuhnya menggigil, tampaknya dia ketakutan sekali.

“Pergilah kau melayani dia, nanti kau keluar, aku menunggu di pekarangan!” Bisik si pemuda baju putih, sambil memutar tubuhnya dan keluar lagi dari rumah penginapan tersebut.

Pelayan itu mengangguk mengiyakan dan ia telah pergi menghampiri tentara kerajaan itu, yang rupanya sudah tidak sabar.

Si pemuda baju putih menunggu sekian lama di pekarangan rumah makan tersebut, akhirnya ia melihat pelayan yang tadi ke luar juga. Dia telah melihat, pelayan itu keluar dengan muka yang pucat.

“Kenapa?' tanya si pemuda baju putih, yang menduga ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan muka yang pucat, dan mata sering mengawasi ke sekitarnya, pelayan itu bilang: “Mungkin pembicaraan kita didengar tentara yang tadi…….!”

“Kenapa begitu?” Tanya si pemuda baju putih.

“Karena tadi ia menanyakan apa yang telah kubicarakan dengan Kongcu, dan ia menanyakan siapa adanya kongcu?” menjelaskan pelayan itu.

“Kau jangan kuatir, Lopeh. Dia tak mendengar apa-apa, ia cuma heran mengapa kita bicara bisik-bisik!” Kata pemuda baju putih. “Nah sekarang kau ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang Lhama baju merah itu, yang menjadi pimpinan dari pasukan tentara kerajaan ini!”

“Lhama merah itu sesungguhnya seorang Lhama yang cabul sekali!” Menjelaskan si pelayan, “Dia….. dia selalu merusak kehormatan gadis-gadis yang diculiknya!”

“Apa kau yakin akan hal itu?” tanya si pemuda baju putih.

Pelayan itu mengangguk.

“Ya....... karena beberapa orang kawanku, yang kebetulan hendak mengantarkan makanan ke kamarnya, telah memergoki dia sedang melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk! Itulah sebabnya mengapa kami mengetahui bahwa gadis¬gadis yang belakangan ini lenyap terculik, tidak lain terjatuh di tangan Lhama tersebut.”

“Apakah kalian tidak melaporkan hal itu pada tie-kwan?” Tanya si pemuda baju putih.

“Kami mana berani? Untuk memberitahukan pada keluarganya saja kami tidak berani, kami tidak pernah bercerita kepada orang luar, dan baru kali ini aku bercerita kepada Kongcu! Bila dilaporkan kepada tie-kwan juga akan sia-sia belaka, malah mungkin kami membuang jiwa. Sebab Tie-kwan mana berani dengan pasukan tentara kerajaan itu? Kemungkinan, malah akan melindungi perbuatan jahat mereka!”

Waktu berkata begitu, muka si pelayan tampak pucat pias, ia telah berkata dengan suara yang perlahan: “Apa yang kuceritakan ini harap tidak diceritakan Kongcu kepada orang lain…….!”

“Jangan kuatir lopeh........ tentu rahasia ini akan kupegang teguh! Dan apa lagi yang lopeh ketahui?” tanya si pemuda baju putih. “Apa saja yang mereka lakukan selama ini?”

Si pelayan berpikir sejenak, kemudian ia bilang. “Ya, ya, ada sesuatu yang kukira penting! Beberapa orang kawanku sempat mendengarkan percakapan mereka. Bahkan aku sendiri pernah satu kali mendengar percakapan mereka, yaitu mereka menyebut-nyebut tentang Giok-sie, cap kerajaan!”

Muka si pemuda baju putih berobah. Dia serius sekali bertanya: “Apa saja yang mereka bicarakan tentang Giok-sie tersebut?”

“Mereka menyebut-nyebut Giok-sie berada di tangan Pit-mo-gay, kami tidak tahu apa itu Pit-mo-gay, jika memang lembah yang ada di gunung Song-san memang kami ketahui bernama Pit-mo-gay, tapi mereka menyebut orang-orang Pit-mo-gay. Setahu kami di Pit-mo-gay selain dari iblis dan setan, tidak ada manusia........ Apakah memang mereka bermaksud pergi ke Pit-mo-gay atau bukan, kami kurang mengetahui jelas!”

Pemuda berbaju putih itu mengangguk.

“Baiklah Lopeh, terima kasih atas keteranganmu. Nah, sekarang boleh pergi masuk kembali ke dalam!” katanya.

Pelayan itu memutar tubuhnya, dia bermaksud untuk kembali ke dalam rumah penginapan.

Tapi tiba-tiba si pemuda baju putih telah memanggiilnya: “Tunggu dulu lopeh.......!”

Pelayan itu menahan langkah kakinya, ia memutar tubuhnya.

“Ada apa lagi, Kongcu?” Tanyanya

“Di mana letak kamar si Lhama merah itu?” Tanya pemuda baju putih tersebut.

“Di kamar nomor dua…….!” menjelaskan si pelayan, tampaknya ia terkejut. “Apakah……. apakah Kongcu hendak mendatangi kamarnya?”

Pemuda baju putih itu menggeleng.

“Tidak!” sahutnya. “Cuma ingin tahu saja. Terima kasih Lopeh!” dan setelah berkata begitu, pemuda baju putih itu melesat gesit sekali menerobos hujan rintik-rintik dan dalam waktu sekejap mata saja telah lenyap dari pandangan mata si pelayan.

Pelayan itu telah berdiri tertegun di tempatnya, ia kagum atas kegesitan yang dimiliki pemuda itu.

“Tentu dia seorang Kang-ouw yang lihay kepandaiannya. Entah siapa dia dan entah apa maksudnya menyelidiki tentang Lhama merah itu?” berpikir si pelayan.

Diwaktu itu terlihat si pelayan sudah masuk kembali ke dalam rumah penginapan, sibuk melayani para tentara kerajaan, yang suara tertawa maupun teriakan mereka sangat berisik sekali.

<> 

Pemuda baju putih itu tidak memperdulikan air hujan yang turun semakin deras, dia terus berlari ke pintu kota yang ditujukan. Dia kembali ke rumah makan di mana kudanya di titipkan. Dia masuk dan duduk di sebuah meja, dia memanggil pelayan.

“Siapkan aku dua kati arak!” perintahnya

Pelayan itu melayani dengan segera, karena dia mengetahui pemuda ini terbuka tangannya dan memberi hadiah yang tidak kecil jumlahnya. Karenanya pelayan ini pun mengharapkan hadiah dari si pemuda.

Waktu itu, pemuda baju putih ini duduk mengerutkan alisnya, dia rupanya tengah memikirkan sesuatu, memeras pikirannya. Ketika pelayan mengantarkan pesanannya, dia tidak mengetahuinya. Barulah dia tersadar dari lamunannya dan mengucapkan banyak terimakasih waktu si pelayan mempersilahkan kepadanya untuk meminum araknya.

“Tunggu dulu Lopeh, ada yang ingin kutanyakan!” Kata pemuda baju putih itu.

Si pelayan berdiri dengen sikap hormat. Dia menduga tentu dia akan diberi hadiah.

Benar saja, pemuda itu mengeluarkan lima tail perak, diletakkan di atas meja.

“Uang ini akan menjadi milikmu!” Kata pemuda baju putih. “Jika memang engkau bisa menolongi aku!”

Mata pelayan itu jadi terbeliak lebar-lebar, mukanya berseri-seri.

“Katakanlah Kongcu, bantuan apakah yang bisa kuberikan?” Ternyata ia tidak sabar sambil mengawasi uang di atas meja itu.

“Aku tadi telah pergi ke rumah penginapan Say-koan, tapi di sana telah penuh, karena para tentara kerajaan yang berjumlah sangat besar itu, aku tidak kebagian kamar. Jika memang Lopeh bisa mencarikan kamar buat aku bermalam satu malaman ini saja, di sini, maka uang ini boleh Lopeh ambil. Dan orang yang memberikan kesempatan kamarnya kupakai, akan diberikan duapuluh tail perak!”

Pelayan itu tampak kebingungan sebentar, kemudian katanya: “Sebenarnya di sini tidak ada rumah penginapan lainnya selain dua rumah penginapan itu. Jika memang Kongcu tidak mencela, aku bersedia memberikan kamarku untuk Kongcu pakai. Kongcu bisa mempergunakannya sekehendak hati kongcu sampai beberapa hari.

Si pemuda baju putih tersenyum.

“Terima kasih Lopeh. Dan, apakah kamar itu kamarmu sendiri? Jadi tegasnya, aku membutuhkan sebuah kamar yang untuk seorang diri, tidak ikut serta tidur orang lainnya!”

“Ya, memang itu kamarku sendiri. Pintunya bisa dikunci jika memang Kongcu akan ke luar untuk melihat-lihat keramaian kota,” Menyahuti si pelayan.

Pemuda baju putih itu merogoh sakunya mengeluarkan dupuluh tail perak lagi, diletakkan menjadi satu dengan yang lima tail.

“Nah, ambilah buat Lopeh!” Kata pemuda baju putih itu.

Si pelayan jadi kegirangan bukan main. Pemuda itu menegak araknya, lalu dia bangun, tanyanya: “Di mana letak kamar lopeh!”

“Di belakang……!” Dan pelayan itu cepat-cepat membawakan cawan dan poci arak si pemuda untuk dibawa ke kamarnya!

Kamar pelayan itu tidak besar, juga tidak bersih. Tapi itu cukup bagi si pemuda. Dia memang membutuhkan sebuah kamar!

Dan setelah pelayan itu mengundurkan diri dengan berulangkali mengucapkan terima kasih, pemuda baju putih tersebut mengunci pintu kamarnya. Dia duduk bersemedhi di pembaringan, untuk mengatur pernapasannya sambil beristirahat dan memelihara tenaganya karena memang malam ini ia akan melakukan sesuatu yang membutuhkan tenaga yang sangat besar.

Waktu beredar terus dengan cepat, dan sebentar saja sang malam telah larut. Keadaan di warung arak itu sepi sekali, yang terdengar di kejauhan suara binatang malam.

Ketika kentongan kedua terdengar, pemuda baju putih itu merasa waktunya telah tiba, segera ia melompat dari pembaringan. Karena tadi dia bersemedhi dengan pakaian utuh dan tidak dibuka, segera ia bisa cepat sekali meninggalkan kamarnya lewat jendela kamarnya.

Gerakan tubuhnya sangat ringan, diapun telah melompat ke atas genting. Gin-kang pemuda itu memang mahir sekali.

Jika orang yang melakukan jalan malam tentu akan memakai baju Ya-heng-ie tapi justeru pemuda sengaja memakai baju putih, tanpa salin lagi, dan ia jadi terlihat jelas dalam kegelapan malam. Cuma saja, karena gin-kangnya yang sangat mahir gerakannya jadi begitu cepat, dan tubuhnya berkelebat seperti juga bayangan putih saja.

Jika ada orang yang melihatnya, niscaya akan menduga sosok bayangan putih yang seperti terbang itu adalah sosok bayangan hantu yang mengerikan sekali. Dan tentu saja, tidak akan ada seorang pun juga yang telah menduga bahwa itu adalah seorang pemuda, yang memang memiliki gin-kang telah mahir sekali.

Pemuda baju putih itu langsung menuju ke rumah penginapan di mana para tentara kerajaan bermalam.

Keadaan di rumah penginapan itu tampak ramai walaupun hari sudah larut malam. Dan ketika pemuda baju putih itu pergi ke rumah penginapan yang satunya lagi, keadaan sama saja tetap ramai, banyak tentara kerajaan yang belum lagi tidur, tengah mabok-mabok dengan minuman arak, berisik suara mereka, tertawa dan bercerita satu dengan yang lainnya.

Pemuda baju putih telah menyelusup ke dalam rumah penginapan yang satunya, yang siang tadi telah diselidikinya, di mana Lhama merah yang memimpin pasukan tentara kerajaan itu berada. Karena menyadari bahwa para tentara kerajaan yang berada di rumah penginapan itu bukan orang sembarangan. dan mereka tampaknya memang memiliki kepandaian dan ilmu silat yang tinggi, dengan sendirinya dia berlaku hati-hati sekali.

Dengan mengandalkan ginkangnya yang memang tinggi, dia bisa menyusup masuk ke penginapan itu, lewat atas genting, tanpa seorang tentara kerajaanpun yang mengetahuinya.

Dalam keadaan seperti itu, terlihat pemuda baju putih ini telah menempatkan diri di langkan belakang rumah penginapan. Dia melihat dua orang pelayan rumah penginapan tengah mengobrol di dapur, dan mereka tampaknya senang sekali:

“Lhama merah itu sangat pemurah hati karena dia telah memberi hadiah padaku sebesar sepuluh tail perak. Kata pelayan yang seorang.

“Ya…...” Mengangguk kawannya. “Dia pun telah memberikan hadiah padaku sepuluh tail perak juga!”

Pemuda baju putih itu tidak membuang-buang waktu lagi, dia melompat turun dengan ringan.

Dua orang pelayan itu kaget, mereka mengawasi dengan mata terbeliak lebar-lebar karena tahu-tahu ada sesosok bayangan putih berdiri di hadapan mereka.

Belum lagi mereka tersadar dari tertegunnya, justeru pemuda baju putih itu telah mengulurkan tangannya, dia mengcengkeram dada ke dua pelayan itu!

“Jika kalian menimbulkan keributan, maka kalian akan kubinasakan!” Katanya dengan suara yang dingin. “Hemmm rupanya memang kalian masih ingin hidup bukan? Kalian harus baik-baik menjawab pertanyaanku!”

Kedua pelayan itu ketakutan mereka merasakan cengkeraman tangan pemuda itu pada baju di dada mereka kuat sekali, sampai untuk bernapas saja sulit. Karenanya, mereka tahu, jika pemuda baju putih itu menambah tenaganya, niscaya mereka akan tercekat dan tidak bisa bernapas, berati kematian buat mereka.

“Apa....... apa yang Kongcu inginkan?” Tanya mereka dengan suara terbata-bata.

“Aku…….?” Pemuda itu mengawasi sekelilingnya, tidak ada urang lain, barulah dia meneruskan kata-katanya: “Beritahukan di mana letak kamar Lhama itu!”

Mata kedua pelayan itu terbeliak lebar-lebar.

“Apakah…... apakah Kongcu sahabat Taysu itu?” tanya salah seorang pelayan itu!

“Cepat beritahukan di mana kamar Lhama itu!?” Bentak si pemuda baju putih, dia pun mengerahkan tenaganya mencengkeram lebih kuat dari tadi sehingga napas kedua pelayan itu jadi sesak dan mereka jadi gelagapan!

Di waktu itu, salah seorang di antara ke dua pelayan itu telah berkata dengan ketakutan: “Kamar Lhama itu…… kamar Lhama itu terletak di lorong kedua….. di atas lorong…… dia menempati kamar yang paling depan karena kamar itu merupakan kamar nomor satu di rumah penginapan ini.”

Pemuda baju putih itu mengangguk.

“Baiklah! Aku akan pergi melihatnya! Jika memang kalian berdusta, aku akan datang lagi untuk mengambil jiwa kalian!”

Setelah berkata begitu, pemuda baju putih ini menotok jalan darah ke dua pelayan itu, mereka segera lemas dan tidak bertenaga, tubuh merekapun tidak dapat bergerak lagi. Malah mereka telah diseret ke pinggir, dan diletakkan di dalam dapur.

Pemuda baju putih itu melesat ke atas loteng, dan setelah berada di tingkat loteng itu dia bersikap hati-hati sekali. Rupanya pemuda baju putih ini menyadari bahwa Lhama itu memiliki kepandaian yang tinggi, belum lagi anak buahnya yang berada di kamar berdekatan dengan Lhama itu. Suara yang sekecil apapun juga akan membuat mereka bercuriga. Karena itu pemuda baju putih ini melangkah dengan tidak bersuara sedikitpun juga.

Setelah tiba di depan kamar yang paling besar, terletak di ujung lorong kedua, pemuda ini melesat ke atas. Dia berdiri di atas genting. Hati-hati sekali, dia menggeser genting, dia melihat ke bawah.

Sinar api penerangan memantul. Sengaja si pemuda berpakaian baju putih ini tidak membuka lebar-lebar genting itu, hanya cukup mengintai ke bawah saja. Dia melihat di dalam kamar itu memang terdapat seorang Lhama yang bertubuh tigggi besar, dan waktu itu di dalam kamar ada seorang gadis yang tengah menangis di hadapan Lhama itu.

Sedangkan Lhama tersebut tengah berkata:

“Kau harus mematuhi perintah-perintahku, jika memang kau masih ingin hidup, nona!”

Gadis itu tampaknya ketakutan sekali, di antara isak tangisnya, ia bilang, “Taysu….. ampunilah aku, jangan memperkosaku, karena bulan mendatang aku sudah akan menikah dengan tunanganku….. janganlah Taysu menghancurkan kebahagiaanku.......!”

Lhama itu tertawa. Dan tidak marah mendengar kata-kata gadis itu, dia bilang: “Aku tidak akan memperkosamu! Percayalah! Aku cuma ingin kau harus patuh pada setiap perintahku! Satu yang kujamin bahwa aku tidak akan memperkosa dirimu!

“Percayalah! Jika memang aku ingin memperkosa dirimu sangat mudah sekali, bukankah Lolap bisa menotok jalan darahmu, kau tidak bisa berdaya dan tidak bisa bergerak dan aku akan memperkosamu?

“Tapi percayalah, aku tidak akan memperkosamu. Nona mau mempercayai kata-kata Lolap, bukan? Dan lihatlah, Lolap adalah seorang Lhama suci, yang tidak akan berdusta!”

Gadis itu dengan air mata berlinang-linang mengangkat kepalanya menatap pendeta itu. Ia sangat cantik, usianya masih muda, mungkin baru duapuluh tahun, hidungnya mancung, matanya jeli. Tapi pipinya penuh dengan air mata, wajahnya juga pucat pasi, ia menatap tidak percaya akan kata-kata Lhama itu.

“Benarkah Taysu tidak akan memperkosaku?” tanya gadis itu kemudian.

Lhama baju merah itu mengangguk,

“Ya....... Lolap telah berjanji dan Lolap tak akan menarik kata-kata yang Lolap ucapkan! Percayalah bahwa lolap tidak akan memperkosamu!”

Si gadis mulai bisa menguasai dirinya.

“Jika memang........ jika memang Taysu tak akan memperkosa diriku, aku bersedia untuk mematuhi semua perintah Taysu walaupun harus mengerjakan apapun juga yang berat.......!”

“Bagus! Tidak ada pekerjaan yang berat untukmu, nona manis!” kata Lhama itu. “Sangat ringan sekali. Malah setelah selesai, kau diperbolehkan untuk pulang! Jangan mengambil sikap seperti gadis-gadis sebelumnya.

“Mereka dungu sekali. Mereka terlalu bodoh. Mereka tidak mau mempercayai Lolap. Mereka telah berusaha melawan dan hendak membunuh diri. Maka setelah mereka melakukan tugasnya, mereka dibinasakan!

“Tapi jika gadis seperti kau yang mengerti, dan mau melaksanakan perintah Lolap secara baik, lalu kau juga berjanji tidak akan membuka rahasia ini kepada siapapun juga akan menutup mulut, kau akan Lolap bebaskan. Mengertikah kau nona manis?”

Gadis itu mengangguk. Sekarang diwajahnya terdapat harapan lagi untuk hari-harinya yang baik. Semula waktu pertama kali ia merasa dari dirinya diculik, dia tengah ketakutan setengah mati, karena ia segera menduga dirinya pasti hendak diperkosa. Tapi sekarang setelah mendengar kata-kata Lhama itu, dia jadi lebih tenang.

“Katakanlah, perintahkanlah Taysu, apa yang harus kulakukan?” Tanya gadis itu, kemudian. “Akupun berjanji, demi langit dan bumi, bahwa aku setelah keluar dari ruangan ini akan menutup mulut rapat-rapat dan tidak akan membicarakan sepatah katapun tentang keadaan di sini!”

“Bagus! Kau seorang gadis yang pintar nona manis!” Kata Lhama itu, tampaknya dia senang sekali!

“Nah, sekarang perintahkan Taysu, apa yang harus kulakukan?” Tanya gadis itu.

“Sabar…...!” Lhama itu tertawa, dan dia telah menatap gadis itu dalam-dalam. Gadis itu menggidik melihat sinar mata itu, dia jadi ketakutan lagi dan menundukkan kepalanya.

“Taysu……!” suara gadis itu terdengar lirih sekali, rupanya ia mulai ketakutan lagi.

Lhama itu, yang tidak lain dari Bun Ong Hoat-ong, tertawa lebar, matanya bersinar tajam, dia bilang: “Jangan takut…… jangan kuatir, percayalah Lolap tidak bermaksud memperkosamu! Sebagai orang beribadat tentu saja Lolap tidak akan mendustai dirimu!”

Si gadis ragu-ragu, diwaktu itu dari matanya menitik butir-butir air mata yang deras lagi. Tangannya juga menggigil gemetar.

Bun Ong Hoat-ong mengawasi gadis itu, dia tersenyum dengan penuh arti, dia juga mengawasi si gadis dengan sinar matanya berkilat menyala.

Kembali gadis itu tertegun.

“Taysu…… apakah aku akan diperintahkan lagi?” tanya si gadis, gemetar suaranya di antara isak tangisnya.

Bun Ong Hoat-ong tertawa,

“Ya. Percayalah…… Lolap cuma ingin melatih ilmu tenaga dalam Lolap dengan sebaik-baiknya! Jika memang kau patuh terhadap semua perintahku tanpa rewel, tentu kau tidak memperoleh kesulitan!”

Gadis itu memandang Bun Ong Hoat-ong dengan sikap setengah percaya dan tidak. Akhirnya dia bilang: “Tapi, Taysu sungguh-sungguh berjanji tidak akan menggangguku, bukan? Tidak akan memperkosaku?”

Bun Ong Hoat-ong mengangguk.

“Ya........!” Kata Bun Ong Hoat-ong, sekarang dia bicara tanpa senyum.

“Ini…… ini…..” suaranya tergetar sangat dan dia memandang si pendeta dengan tubuh menggigil menahan rasa takut.

Tapi, dia teringat kepada janji Bun Ong Hoat-ong, yang berulang kali berjanji tidak akan memperkosa dirinya, bahkan tidak akan menyentuh tubuhnya. Karena dari itu, ia yakin, tentu ia akan dapat mempertahankan kehormatan dirinya, kalau saja ia mematuhi semua perintah si pendeta dan dia yakin pendeta itu tentu akan menepati janjinya. Bukankah dia seorang Lhama?

Dan dia bertekad di dalam hatinya kalau memang Lhama itu melanggar janjinya dan hendak memperkosanya, disaat itu ia akan menghabisi jiwanya sendiri, dia akan membunuh diri untuk mempertahankan kehormatannya.

Perlahan-lahan si gadis mematuhi perintah si pendeta. Di samping itu, air matanya menitik berlinang deras sekali. Gadis ini sangat ketakutan. Sampai dia berdiri menangis tanpa berani mengangkat kepalanya.

Disaat itu Bun Ong Hoat-ong telah tertawa, ramah tertawanya.

Sedangkan gadis itu mulai tenang. Dia mulai mempercayai kata-kata Bun Ong Hoat-ong, bukankah si pendeta tidak menubruk dan tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia hendak memperkosa dirinya? Bukankah pendeta itu juga telah berdiri tetap ditempatnya malah lengkap dengan jubah dan pakaiannya.

Perlahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya. Dia memandangi si pendeta.

“Apakah….. apakah sekarang ini aku sudah selesai, Taysu?” tanya si gadis, suaranya perlahan, dan dia tidak sekuat seperti tadi.

Bun Ong Hoat-ong berdiam diri sejenak, kemudian menggeleng perlahan.

“Belum! Kau masih harus memenuhi beberapa perintahku lagi! Kau harus melakukannya dengan sebaik-baiknya!”

“Apa lagi yang harus kulakukan, Taysu?” tanya gadis itu.

“Kau harus duduk bersemedhi di pembaringan itu. Duduk dengan bersila dan matamu dipejamkan rapat-rapat. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh membuka matamu. Dan jika kau melanggar, dan kau membuka matamu, hemm, jiwamu berarti akan dikirim ke akherat. Dan Lolap bicara ini tidak main-main kau harus sungguh-sungguh mematuhkannya!”

Gadis itu jadi heran, tapi perasaan takutnya jadi berkurang. Ia dipersilahkan duduk bersemedhi di pembaringan dengan mata tertutup. Tentu saja dalam keadaan duduk bersila dan bersemedhi seperti itu, tidak mungkin si pendeta bisa memperkosa dirinya, karenanya ia jadi girang dan terhibur.

Disamping itu timbul perasaan herannya. Hatinya bertanya-tanya, entah apa yang hendak dilakukan si pendeta, dengan mengawasi ia dalam keadaan duduk bersemedhi di pembaringan. Lalu, mengapa ia dilarang untuk membuka sepasang matanya, walaupun apa yang terjadi di sekitarnya.

Tapi gadis itu tidak berani berayal. Ia telah duduk di pembaringan, menyilangkan kakinya, duduk bersila, dan tangannya didekapkannya, bersemedhi, sepasang matanya juga dipejamkan. Jantungnya berdegup keras, ia berpikir-pikir, entah apa yang dialaminya selanjutnya.

Si pemuda berbaju putih yang sejak tadi menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar itu, sesungguhnya diliputi kemarahan yang bukan main. Dia bertekad jika Bun-ong Hoat-ong hendak memperkosa gadis itu, disaat itulah baru ia akan melompat turun dan akan menggempur si pendeta.

Tapi pemuda yang baju putih itu menjadi terheran-heran, karena si pendeta tidak memperlihatkan maksud dan keinginannya buat memperkosa gadis itu. Malah dilihat dari sikap si pendeta, sama sekali ia berniat tidak baik pada si gadis. Memang dari sinar matanya terlihat dia menginginkan apa yang dilakukan si gadis.

Namun tetap saja pendeta itu tidak melakukan gerakan dan tindakan yang menunjukkan dia hendak memperkosa gadis itu. Dan hati si pemuda bertanya-tanya, entah apa yang ingin dilakukan dengan memerintahkan gadis itu duduk bersila, bersemedhi di pembaringan dan memejamkan matanya?

Pemuda baju putih itu jadi mengawasi terus dengan penuh perhatian. Dan siap siaga karena begitu si pendeta bermaksud tidak baik dan memperkosa gadis itu dia akan segera mencegah dan menempur pendeta itu.

Dia juga telah mempersiapkan beberapa batang jarum di tangannya yang akan dipergunakannya jika memang si pendeta bermaksud buruk pada gadis itu. Jarum rahasia itu dapat dilontarkan pada saat yang tepat.

Waktu gadis itu masih duduk bersila di pembaringan dengan se-pasang mata yang terpejamkan. Dan ia terlihat gemetaran, tubuhnya tergoncang dan dadanya turun naik, karena memang dia tengah menekan perasaan takutnya.

Bun-ong Hoat-ong melangkah mendekatinya dan perlahan-lahan berdiri di pinggir pembaringan, matanya berkilat tajam sekali. Perlahan-lahan tangan kanannya mencabut sebatang pedang pendek, yang dihunus dari balik jubahnya.

Pemuda baju putih yang ada di atas genting jadi kaget tidak terkira. Apa yang hendak dilakukan pendeta itu terhadap diri si gadis?

Dan dia benar-benar jadi tergetar hatinya, tegang sendirinya. Ia mengawasi tajam dan bersiap-siap hendak bertindak jika telah tiba waktunya.

Pendeta itu terus mendekati pembaringan dia menundukkan kepalanya, seperti melihat sesuatu di tubuh gadis itu. Pendeta itu memburu napasnya.

Dilihat demikian, dengan tangan mencekal pedang, apakah si pendeta bermaksud mempergunakan pedang itu mengancam si gadis dan ia akan memperkosanya?

Tapi tidak mungkin!

Pendeta itu tidak membuka bajunya dan memang tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia ingin memperkosa gadis itu.

Disaat itu pedangnya perlahan-lahan diangkat dan didekatkan kepada paha si gadis.

Pemuda baju putih itu mengawasi terus dengan menahan napas. Dan dia berdebar hatinya, tegang sekali.

Tapi, tiba-tiba pendeta ini merandek, dia tertegun sebentar, seakan-akan ada sesuatu yang tengah diperhatikan. Tiba-tiba benar, sangat mendadak, tahu-tahu tubuh si pendeta telah berdiri tegak, memutar tubuhnya.

Sambil membentak, tangan kanannya bergerak, maka meluncurlah pedang pendeknya itu ke tengah udara, menyambar ke atas langit-langit kamar. Dan tujuannya pada jurusannya, tepat dimana si pemuda baju putih tengah bersembunyi di atas genting!

Pedang pendek itu meluncur pesat membolos ke atas, dan akan menghujam dada si pemuda baju putih. Untung saja pemuda baju putih itu berwaspada sejak tadi, dengan demikian, dia bisa menghindarkan dari sambaran pedang pendek itu cepat sekali, dia telah menggeser tubuhnya.

Walaupun pedang pendek itu ditimpukkan si pendeta dengan cepat, namun kenyataannya dia berhasil untuk menghindarkan diri dengan segera, dan dia telah bisa untuk memperbaiki kedudukan dirinya. Dia bersiap-siap untuk menghadapi si pendeta.

“Brakkk!” Belum lagi si pemuda baju putih mengintai ke bawah lagi, genting telah hancur di terjang suatu kekuatan dari bawah, menyusul mana tampak sesosok bayangan menerjang ke atas.

Rupanya Bun-ong Hoat-ong telah melesat ke atas, menghantam dengan telapak tangannya, pada langit-langit kamar yang hancur berikut gentingnya yang jebol, dan ia terus melesat ke atas keluar dari kamar itu lewat lobang yang dibuatnya itu. Dia telah berdiri di hadapan si pemuda baju putih.

“Monyet kecil, rupanya sejak tadi kau mengintai disini, heh?” Bentak Bun-ong Hoat-ong, bengis sekali suaranya.

Pemuda baju putih itu sangat kagum untuk tajamnya pendengaran Bun-ong Hoat-ong.

Kiranya, disebabkan si pemuda diliputi perasaan tegang dan ia menahan napasnya, sambil juga telah berdebar-debar hatinya, membuat ia jadi tegang dan menginjak lebih keras. Justeru Bun-ong Hoat-ong tadi tak mengetahui kedatangan pemuda baju putih, disebabkan seluruh perhatiannya tengah tertumpah ke diri si gadis.

Iapun tengah terangsang. Karena itu walaupun Bun-ong Hoat-ong memang liehay, tokh ia tak dapat mengetahui kehadiran pemuda baju putih itu.

Namun siapa tahu, justeru dikala ia ingin gadis itu, dijadikan korbannya, ia mendengar suara yang perlahan sekali. Suara atas injakan kaki si pemuda baju putih yang lebih keras dari sebelumnya.

Seketika ia tersadar, ada orang yang tengah mengintai di atas genting. Itulah sebabnya sebat luar biasa dia melontarkan pedang pendeknya, sehingga pedang pendeknya itu meluncur demikian cepat, disusul dengan tubuhnya yang menerjang ke atas.

Dan Bun-ong Hoat-ong membentak seperti itu pun bukan sekedar berdiam diri, tangannya bergerak dengan serentak. Ia telah mencengkeram ke arah pundak pemuda baju putih.

Semuanya dilakukan secepat kilat. Jika memang orang yang dijadikan sasaran itu hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja, jangan harap bisa menghindarkan diri dari cengkeraman tersebut.

Tapi justeru si pemuda baju putih itu selain mahir gin-kangnya, juga sangat cerdik. Melihat Bun-ong Hoat-ong muncul, dia memang kaget, tapi segera menjadi tenang, sama sekali dia tidak jadi gugup.

Ketika melihat tangan si pendeta bergerak akan mencengkeram pundaknya, cepat sekali dia membarengi dengan melontarkan jarum-jarum senjata rahasia di tangannya. Dan membarengi itu juga, tubuhnya mengelak ke samping.

Jarum-jarum yang menyambar kepada Bun-ong Hoat-ong memang dapat membendung gerakan si pendeta. Lhama itu harus mengibaskan tangannya buat meruntuhkan jarum-jarum sebab jika tidak, niscaya jarum-jarum itu akan bersarang di tubuhnya, disamping itu, juga membuat dia terluka.

Tapi justeru gerakannya itu yang terlambat. Si pemuda baju putih telah berhasil memperbaiki kedudukan dirinya.

Bun-ong Hoat-ong mengawasi bengis, matanya, seperti memancarkan api.

“Sebutkan namamu! Hud-ong (Raja Budha) tidak ingin membunuh manusia kurcaci yang tidak bernama!” Bentak Bun-ong Hoat-ong dengan suara bengis.

Pemuda baju putih tidak gentar, ia berdiri tegak sambil tertawa dingin.

“Kau ingin mengetahui namaku? Baiklah! Dengar baik-baik! Aku she Siangkoan bernama Yap. Sekarang kau telah mengetahui namaku, apa yang hendak kau lakukan?” Sambil bertanya begitu, pemuda baju putih berdiri tegap, menantang sekali.

Muka Bun-ong Hoat-ong merah padam. Dia seorang tokoh sakti yang sampai Kaisar pun sangat menghormatinya, maka dari itu, sekarang pemuda ini, yang dianggap masih bau kencur, telah berani bertindak demikian, kurang ajar. Selain menghina juga telah bersikap menantang seperti itu.

Tanpa mengeluarkan sepatah perkataan, dengan muka yang merah padam seperti kepiting direbus, Bun-ong Hoat-ong melangkah maju geram sekali tampaknya dia. Dan tangan kanannya diulurkannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram, seakan juga dia hendak mencapit pemuda itu.

Inilah jurus yang diberi nama. “Kepiting Menari” yang sesungguhnya merupakan jurus paling sulit dihindarkan oleh lawan. Apa lagi Bun-ong Hoat-ong itu telah melatih lebih tinggi dari pada kepandaiannya selama belakangan ini, dan dengan demikian, dia menyerang bukan main-main.

Siangkoan Yap juga mengetahui bahwa serangan lawan kali ini tidak boleh dianggap remeh, salah sedikit dalam perhitungannya, niscaya akan membuat dia terbang ke neraka! Karena itu ia segera mengempos semangatnya. Dia menghindar.

Gerakan Siangkoan Yap memang cepat dan gesit. Tapi rupanya jurus serangan dan Bun-ong Hoat-ong jauh lebih cepat lagi.

“Brettt!” Terdengar baju Siangkoan Yap kena dicengkeram robek. Untung saja pemuda itu segera berjumpalitan, jika tidak, lengan tangannya kena dijepit dan akan menjadi hancur remuk, berarti selanjutnya dia akan menjadi pemuda bercacad.

Dikala itu Bun-ong Hoat-ong tidak mau membuang-buang waktu, ia menyerang lagi dengan serangan yang jauh lebih hebat. Dua kali beruntun Siangkoan Yap harus terdesak, dan barulah akhirnya ia bisa meloloskan diri berdiri agak jauh dari si pendeta.

Tanpa ayal, tangan kanannya menghunus senjatanya, sebatang pedang panjang yang berkilauan. Pedang itu lemas, dan tadinya disimpan di pinggangnya, sebagai ganti dari ikat pinggangnya.

Memang dilihat dari tempat ditaruhnya pedang itu jelas pedang di tangan Siang-koan Yap merupakan pedang mustika, yang lemas dan tajam sekali. Segera juga pemuda itu menebaskan pedangnya ke arah perut Bun-ong Hoat-ong karena ia memang merupakan seorang ahli pedang yang tidak mengecewakan, pedang menyambar secepat kilat.

Bun-ong Hoat-ong segera menyadari pemuda ini bukan sembarangan. Pemuda ini memiliki kepandaian yang terlatih baik, ilmu pedangnya juga bukan ilmu pedang sembarangan.

Diam-diam Bun-ong Hoat-ong heran, dia jadi berpikir entah siapa pemuda itu adanya. Biasanya seorang lawan akan dapat di rubuhkan Bun-ong Hoat-ong dalam beberapa jurus saja, tapi kini pemuda ini telah bisa melewatkan lima jurus, tanpa kekurangan suatu apapun juga selain bajunya di lengan kanan yang robek kena dicengkeram.

Di bawah terdengar suara ramai-ramai. Rupanya anak buah Bun-ong Hoat-ong yang menempati kamar di dekat kamar Bun-ong Hoat-ong telah mendengar suara menggelegarnya hancur langit-langit kamar dihantam pendeta itu. Mereka segera keluar dari kamar masing-masing untuk melihat apa yang terjadi.

Siangkoan Yap menyadari, menghadapi Lhama seorang diri saja sudah sulit. Jika Lhama itu dibantu oleh para tentara kerajaan, yang umumnya terdiri dari para pahlawan istana Kaisar, ia akan memperoleh kesulitan yang lebih besar.

Cepat-cepat Siangkoan Yap mengempos semangatnya. Ia mengibaskan pedangnya dua kali, kakinya menjejak genting, tubuhnya mundur beberapa tindak.

“Kau mau kabur kemana?” teriak Bun-ong Hoat-ong murka.

Memang karena penasaran dalam bebetapa jurus tidak berhasil merubuhkan pemuda itu, dia bertekad hendak menangkap hidup-hidup pemuda ini.

Sambil membentak begitu, tubuh Bun-ong Hoat-ong telah menerjang lincah sekali. Bukan cuma melompat mendekat, juga dia telah menghantam dengan telapak tangannya.

Pemuda ini tertawa dingin dia menangkis dengan tangan kirinya, “Bukk!” Tubuh si pemuda tergoncang. Bahkan Siangkoan Yap merasakan pergelangan tangannya sakit bukan main seakan juga pergelangan tangan kirinya itu patah.

Tapi dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya di hadapan si Lhama, karena pedangnya segera juga bergerak, telah menikam dua kali. Benturan dengan itu, tangan kirinya yang dirasakan masih sakit itu telah merogoh kantong senjata rahasianya, tahu-tahu dia telah melontarkan belasan jarum kepada Bun-ong Hoat-ong.

Ditikam dua kali dan dihujani jarum itu, maka Bun-ong Hoat-ong membatalkan maksudnya hendak menerjang lagi. Dia melompat ke belakang.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Yap untuk melompat lebih menjauhi. Dia berhasil, kemudian dia memutar tubuhnya untuk menjauhi diri lebih jauh lagi.

Namun dari bawah telah melompat naik ke atas genting tiga sosok tubuh, yang segera menghadang larinya Siangkoan Yap.

Tiga sosok tubuh itu adalah tiga orang tentara kerajaan yang lengkap berpakaian seragam. Tapi gin-kang mereka tinggi sekali, tentunya mereka adalah pahlawan istana kerajaan yang ikut dalam rombongan Bun-ong Hoat-ong menyamar sebagai tentara kerajaan biasa.

Mereka pun membentak berbareng, sambil menyerang dengan senjata masing-masing. Dua orang memakai golok, sedangkan yang seorang pedang.

Pemuda baju putih itu mengibaskan pedangnya. Segera terdengar suara “Trang, trang, trang” tiga kali, karena sekaligus dia telah menangkis tiga senjata lawannya, dua golok satu pedang.

Tiga tentara kerajaan itu melangkah mundur selangkah ke belakang terkejut sekali, telapak tangan mereka pedih dan sakit. Tenaga tangkisan, pemuda itu kuat sekali.

Tapi Siangkoan Yap tak berdiam diri. Disaat lawannya membuka kepungannya ia membarengi dengan tikaman.

“Cepp…….!” Pundak salah seorang lawannya kena ditikamnya, sehingga menancap dalam sekali. Pemuda itu sambil mencabut pedangnya telah melompat untuk menjauhi diri.

Dari bawah melompat naik beberapa sosok tubuh lagi, tapi Siangkoan Yap sudah tidak memperdulikan itu. Ia segera membentangkan gin-kangnya untuk lari menjauhi diri.

“Kejar!” terdengar bentakan Bun-ong Hoat-ong yang mengguntur. “Tangkap hidup-hidup bocah itu!”

Jika Bun-ong Hoat-ong sendiri yang mengejar Siangkoan Yap, tentu ia bisa mengejarnya dengan sama cepatnya. Tak mungkin pemuda baju putih itu bisa melarikan diri.

Tapi justeru ia merasa malu, tahan gengsi, karena dialah pemimpin dari pasukan kerajaan sebagai orang yang terhormat. Karena dari itu, ia telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran pada Siangkoan Yap dia sendiri tidak ikut mengejar.

Bun-ong Hoat-ong yakin anak buahnya yang umumnya terdiri dari pahlawan istana yang memiliki kepandaian tinggi, tentu akan berhasil menangkap Siangkoan Yap. Walaupun pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi tokh dikepung demikian banyak jago-jago istana kaisar, tidak mungkin dia bisa melarikan diri terus.

Karena dari itu, tampak dengan tenang tapi mukanya merah padam karena penasaran dan murka. Bun-ong Hoat-ong telah kembali ke kamarnya.

Dia melihat si gadis masih duduk di pembaringan dalam keadaan sepasang mata terpejamkan. Karena bukankah tadi memang telah dipesannya, agar si gadis memejamkan matanya dan tidak boleh dibukanya walau apapun yang terjadi.

Dengan tubuh yang ringan, si pendeta melompat ke atas penglarian. Dia telah menyambar pedang pendek dan tubuhnya telah turun lagi meluncur ringan hinggap di lantai.

Si gadis yang masih duduk di pembaringan memang mendengar suara ribut-ribut. Cuma saja, si pendeta telah berpesan apa pun yang terjadi dia tidak boleh membuka matanya. Maka dia tidak berani melanggar pesan tersebut, dia terus saja memejamkan matanya, sambil duduk bersila dengan hati bertanya-tanya.

Bun-ong Hoat-ong menenangkan hatinya untuk memulihkan kesabaran hatinya. Dan ia berhasil cepat sekali.

Setelah menghela napas dalam-dalam, dia berusaha melenyapkan kemendongkolannya. Karena dia tahu, tidak lama lagi anak buahnya akan datang melaporkan kepadanya dengan menyeret pemuda kurang ajar itu.

Dia lalu mendekati pembaringan lagi dan mengangkat pedang pendeknya. Di awasi sejenak gadis itu, yang masih duduk dengan mata terpejam, dia menusukan pedangnya perlahan-lahan.

Gadis itu meringis kesakitan dan kaget hampir saja dia membuka matanya. Untung saja dia teringat pesan si pendeta, apapun juga yang terjadi, dia tidak boleh membuka matanya.

Cuma satu yang diyakininya bahwa dirinya bukan tengah diperkosa si pendeta, karena dia tidak merasakan tubuh si pendeta melekat pada dia, juga masih duduk bersila. Tidak mungkin dengan kaki bersilang seperti itu ia diperkosa, dan si pendeta tak mungkin tercapai maksudnya.

Tapi perasaan sakit itu membuat ia menduga bahwa ada sesuatu benda yang dimasukan si pendeta. Sakitnya sebentar kemudian berkurang. Didengarnya suara si pendeta:

“Nah, sekarang telah selesai!”

Gadis itu bertanya: “Apakah....... apakah aku boleh membuka mataku, Taysu?”

“Ya, bukalah!” Kata si pendeta. “Sekarang kau boleh bangun!”

Si gadis membuka matanya. Dia menunduk untuk melirik pada pahanya. Hatinya seperti hendak copot, dia kaget tidak terkira, karena seketika ia melihat pahanya berlumuran darah.

“Taysu!” Suaranya tergetar sangat keras menunjukkan dia kaget dan ketakutan sekali. “Ini…… ini……!”

“Tidak apa-apa…… tadi telah salah menyentuhnya, sehingga mengeluarkan darah. Tapi Lolap telah membuktikan janji Lolap bukan, bahwa Lolap tidak memperkosa dirimu? Nah pergilah kau……!”

Gadis itu menghela napas dalam-dalam, agak tenang hatinya. Walaupun ia tidak mempercayai keterangan si pendeta keseluruhannya akan tetapi memang dia merasakan bahwa dirinya tidak diperkosa oleh si pendeta. Sama sekali si pendeta tidak menyentuh tubuhnya. Dan memang pendeta itu memenuhi akan janjinya.

Dia segera turun dari pembaringan. Dirasakannya pahanya sakit bukan main. Dia meringis. Tapi dengan menahan rasa sakitnya itu, dia telah bangun kembali. Diam-diam dia masih bersyukur bahwa tidak sampai diperkosa oleh si pendeta itu.

Setelah selesai, si gadis bertanya kepada Bun-ong Hoat-ong: “Taysu apakah aku kini boleh pergi meninggalkan kamar ini?”

“Oh, jangan dulu. Duduklah dulu…… masih ada yang perlu kau lakukan! Tapi, percayalah, nanti kau tidak perlu takut........ hanya melakukan sesuatu saja……!”

Si gadis agak tenang, walaupun masih takut-takut, dia telah duduk di tepi pembaringan.

Dilihatnya, si pendeta memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, sesuatu yang mengandung darah pada jari tangan si pendeta. Hati si gadis tercekat lagi.

Apakah benda yang tadi menusuk pahanya itu adalah mata pedang si pendeta sehingga mendatangkan rasa sakit seperti itu? Tapi dia tidak berani menduga.

Begitu dia yakin, jika pedang itu yang menyebabkan rasa sakit itu, jelas pahanya akan rusak, karena pedang sangat tajam. Dan darah yang mengucur juga akan deras sekali, tidak sedikit seperti itu, dia jadi mengawasi tegang sendirinya.

Dilihatnya Bun-ong Hoat-ong telah duduk menghadapi dinding, bersemadhi. Tubuhnya semakin lama gemetar, dan keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Dari kepalanya, yang botak lanang itu mengeluarkan uap putih yang tipis, namun semakin lama jadi semakin tebal.

Si gadis heran, apa yang tengah dilakukan Bun-ong Hoat-ong?

Dia mengawasi sekian lama, sampai akhirnya dia memperoleh kenyataan tubuh si pendeta menggigil semakin keras. Dia semakin tidak mengerti.

“Apakah Lhama ini tengah melatih ilmu sesat dan ilmu hitam?”

Diam-diam si gadis berpikir di dalam hatinya. Timbul rasa takutnya lagi, tapi tidak sehebat tadi, karena dia telah dengar janji si pendeta, bahwa selanjutnya dia memang masih perlu melakukan sesuatu. Tapi yang pasti dia tidak akan diperkosa si pendeta itu.

Bun-ong Hoat-ong tengah melatih tenaga dalamnya. Tampaknya dia mengerahkan seluruh tenaga dari kekuatan lweekangnya, diapun telah mengempos seluruh hawa murni ditubuhnya. Dengan demikian dia herusaha menembus beberapa bagian dari jalan darahnya yang tertentu!

Keadaan diwaktu itu sangat sepi dan hening, cuma napas si gadis yang terdengar mendesah disamping rasa sakit dicekam juga oleh perasaan takut.

Namun dalam kesunyian seperti itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin.

“Hemmm, sekarang saatnya kau dimampusi kepala gundul!” Dan membarengi dengan kata-kata itu, tampak berkelebat beberapa titik sinar terang, yang menyambar ke punggung Bun-ong Hoat-ong.

Hati Bun-ong Hoat-ong tercekat. Dia kaget tidak terkira. Dia tengah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga lweekangnya, dengan demikian sedikitpun dia tidak boleh terganggu dan pikiran maupun konsentrasinya tidak boleh terpecahkan.

Justeru sekarang dia datang seperti itu dia sama sekali tidak boleh mempergunakan tenaganya untuk menyampuk datangnya jarum-jarum itu. Diapun tidak beleh membagi tenaganya yang tengah disalurkan pada jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya.

Menyusul dengan berkelebatnya beberapa sinar itu, justeru telah menyambar lagi sinar yang terang menuju ke arah batang leher Bun-ong Hoat-ong. Itulah sinar sebatang pedang yang akan menabas batang leher Bun-ong Hoat-ong.

Si gadis menjerit, dia melihat sesosok bayangan putih berkelebat menyerang si pendeta. Tapi dia tidak tahu apa yang akan terjadi.

Dalam beberapa detik itu Bun-ong Hoat-ong harus dapat memutuskan tindakan apa yang harus dilakukannya. Karenanya dia telah berseru nyaring, tenaga dalamnya telah dikumpulkan di Tan-tian, dan diapun mengibaskan tangannya.

Dia membuat seluruh jarum-jarum yang tengah menyambar ke arah pungungnya tersampok runtuh. Kemudian pedang yang tengah berkelebat ke arah batang lehernya, telah disentilnya.

“Tringgg…….!” Pedang itu telah kena disentil. Yang melakukan penyerangan itu tidak lain dari Siangkoan Yap.

Dia girang ketika melihat si pendeta tengah berlatih tenaga dalamnya seperti itu. Dia cepat-cepat melakuhan penyerangan, malah waktu pedangnya tengah meluncur, dia girang sekali dan yakin bahwa tebasan pedangnya akan berhasil mengenai sasarannya tanpa si pendeta sanggup melakukan suatu apa pun juga.

Tapi betapa kecewanya dia, karena Bun-ong Hoat-ong memang cerdik sekali. Tenaga dalamnya jika dipergunakan untuk menangkis akan membuat dia terluka parah, karena dia tengah berusaha membuka beberapa jalan darahnya.

Namun dasar dianya lihay, dia telah berseru nyaring dan disaat jalan darahnya tengah bergerak dan darah berkumpul kembali, hawa murni telah dikumpulkan di tan-tian, yaitu dipusarnya. Dengan demikian untuk beberapa detik dia bisa mempergunakan kekuatan tenaga dalam itu untuk menghadapi serangan Siangkoan Yap.

Pedang Siangkoan Yap yang kena disentilnya telah terpental ke samping, dan hampir saja terlepas dari cekalannya, karena cekalannya itu jadi mengendur waktu telapak tangannya terasa sakit sekali, tenaga menyentil dari pendeta itu memang luar biasa, disertai lweekang yang penuh.

Tapi Siangkoan Yap juga cukup lihay, dia telah melompat ke samping. Dengan demikian ia berhasil untuk menjauhi diri dari si pendeta, dia pun telah berhasil mempertahankan pedangnya tidak sampai terlepas.

Disaat itu tampak si pendeta masih memiliki waktu yang sedikit, tahu-tahu tubuhnya berputar, kedua telapak tangannya dipakai mendorong.

Siangkoan Yap seketika merasakan tubuhnya diterjang oleh kekuatan yang dahsyat sekali, bersamaan dengan itu terlihat tubuh si pemuda terhuyung mundur, karena Siangkoan Yap yang berusaha menangkis sepenuh tenaga, dirinya yang terdorong mundur. Untung saja ia mengimbangi dirinya dan melompat ke belakang satu tombak, lalu memperbaiki kuda-kuda ke dua kakinya.

Sedangkan si pendeta telah mendorong lagi kedua tangannya, dari kedua telapak tangan itu meluncur keluar kekuatan tenaga dalam yang lebih dahsyat.

Baru saja Siangkoan Yap mengeluh dan hendak melompat menyingkir, tiba-tiba matanya yang tajam melihat muka si pendeta meringis seakan juga dia menahan sakit mungkin akibat dia mempergunakan tenaga di dalamnya berlebihan. Dan juga disaat beberapa jalan darahnya tengah terbuka disebabkan belum lama lalu dia tengah berlatih tenaga dalamnya itu. Seketika berkelebat serupa ingatan di hati Siangkoan Yap, dia jadi nekad.

“Biarlah kucoba sekali lagi buat menghadapinya dengan kekerasan!!” pikirnya maka dia mengempos seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada padanya dan telah menangkis lagi.

“Bukk!” ternyata serangan dari Bun-ong Hoat-ong tidak sekuat tadi dan Siangkoan Yap merasakan, tenaga si pendeta jauh lebih lemah dari yang di duga. Dia girang bukan main, terlebih lagi melihat si pendeta duduk dengan tubuh bergoyang-goyang dan dia rupanya terluka di dalam yang demikian serius dan hebat.

Mata Bun-ong Hoat-ong mendelik, walaupun mukanya meringis menahan sakit. Waktu itu, sebetulnya hati Bun-ong Hoat-ong mengeluh karena dia menyadarinya, sulit buat dia untuk dapat menghindarkan diri dari si pemuda. Sekali lagi, si pemuda menyerangnya mereka mengadu kekuatan, niscaya dia tidak akan sanggup menghadapinya.

Sedangkan Siangkoan Yap sendiri pun kaget, di saat dia tengah kegirangan melihat si pendeta tampaknya terluka di dalam dan dia mengempos semangat maupun tenaga dalamnya, yang akan disalurkan pada kedua telapak tangannya, yang akan dipakai buat menyerang lagi. Dia jadi meringis kaget, karena dadanya terasa, sakit bukan main dan isi perutnya seperti jungkir balik.

Tanpa disadari oleh Siangkoan Yap, rupanya tadi waktu pertama kali dia menangkis hantaman kekuatan lweekang dari si pendeta dia pun telah terluka di dalam.

Kemudian menyusul ia menangkis serangan yang kedua dari pendeta itu dengan demikian membuat ia semakin terluka di dalam.

Jika tadi ia tak merasakan sakit dan perobahan pada tubuhnya, ia malah masih bisa menangkis, karena memang ia tengah girang dan juga tidak mengetahui bahwa dirinya telah terluka di dalam. Dengan demikian membuat ia dapat mengerahkan tenaga dalamnya satu kali pula buat menangkis tenaga dorongan dari si pendeta.

Cuma saja, akibat pengerahan tenaga dalamnya yang kedua kali itulah, membuat Siangkoan Yap justeru jadi terluka di dalam yang cukup serius. Dan waktu ia mengerahkan tenaga dalamnya buat ketiga kali, barulah ia merasakan dadanya sakit dan napasnya sesak, perutnya seperti jungkir balik.

Malah, waktu kedua tangannya diangkat, sepasang tangan itu lemas bagaikan tidak memiliki tenaga lagi.

Siangkoan Yap mengeluh, ia menyesali justeru disaat ia memiliki kesempatan yang sangat baik sekali buat membereskan pendeta cabul itu, ia telah mengalami luka di dalam yang parah seperti itu, sehingga ia tidak mungkin menghantam terus.

Tengah Siangkoan Yap berpikir untuk mempergunakan pedangnya menikam pendeta itu, walaupun menikam dengan tenaga yang tak berarti, tapi pedang itu akan sanggup membinasakan si pendeta, didengarnya suara ramai di luar kamar itu. Muka Siangkoan Yap jadi berobah, ia menyadari bahaya yang mengancamnya, rupanya para pengejar telah kembali dan tengah mendatangi.

Tanpa berpikir dua kali ia mambatalkan maksudnya untuk menikam dada si pendeta. Ia menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya melesat ke tengah udara, ia melarikan diri.

Tidak lama kemudian pintu kemar Bun-ong Hoat-ong diketuk orang. Juga orang bertanya, “Taysu....... apakah kau sehat-sehat saja?”

Bun-ong Hoat-ong berdiam saja dengan meringis. Ia memberikan isyarat kepada si gadis, agar pergi membuka pintu kamar itu.

Si gadis mengerti isyarat dari si pendeta, dia telah pergi membuka pintu kamar.

Dari luar menerobos masuk beberapa orang tentara kerajaan, dan mereka terkejut melihat keadaan Bun-ong Hoat-ong.

“Taysu……. kau…..?!” Mereka tampaknya terkejut.

Bun-ong Hoat-ong dengan suara sulit segera bilang: “Totok jalan darah, “Mie-pa-hiat ku” perintahnya.

Tentara itu yang berpakaian sebagai perwira segera memberi sandi kepada anak buahnya agar pergi keluar meninggalkan kamar. Dia sendiri melaksanakan perintah Bun-ong Hoat-ong, dia menotok darah yang diberitahukan si pendeta.

Begitu jalan darah itu ditotok, segera pendeta dapat bernapas lega.

“Totok lagi, lebih keras!” Perintah si pendeta.

Perwira itu tampak tertegun sejenak.

“Taysu......?” Dia rupanya ragu-ragu.

“Totok yang keras sekuat tenagamu!” Perintah Bun-ong Hoat-ong.

“Tapi Taysu……. jalan darah itu…..!”

“Hemmm, kau takut aku mampus?” tanya Bun-ong Hoat-ong dengan suara mengandung kemarahan. “Totok yang lebih keras, semakin keras semakin baik!”

Perwira itu tidak memiliki pilihan lain lagi, ia menotoknya. Memang jalan darah Mie-pa-hiat merupakan jalan darah yang bisa mematikan. Seseorang yang tertotok jalan darahnya niscaya akan kehilangan tenaganya dan seketika menemui ajalnya.

Justeru karena itu, si perwira jadi ragu-ragu waktu ia diminta untuk menotok jalan darah dengan keras. Jika memang menotoknya cuma mempergunakan tenaga yang tidak seberapa, itulah tidak membahayakan, tapi jika menotok dengan keras, dengan sekuat tenaganya, terus Bun-ong Hoat-ong jadi menghadapi bahaya tak kecil.

Tapi karena Bun-ong Hoat-ong adalah atasannya dan ia diperintahkan begitu, ia tak bisa berayal lagi. Dengan mengerahkan lweekangnya, perwira tersebut segera menotoknya. Keras sekali.

Wajah Bun-ong Hoat-ong tampak memerah lagi. Ia mengangguk sambil tersenyum, karena sekarang ia bisa bernapas jauh lebih lapang dibandingkan dengan tadi.

“Totok lagi, beberapa kali yang keras!” Kata Bun-ong Hoat-ong.

Perwira itu melihat Bun-ong Hoat-ong tak mengalami sesuatu apapun juga, walaupun ia telah ditotok seperti itu pada jalan darahnya. Ia diyakini bahwa, memang Bun-ong Hoat-ong tak akan mengalami sesuatu apapun juga.

Ia telah menotok lagi, tidak ragu-ragu seperti tadi, karena ia yakin tentunya Bun-ong Hoat-ong memang memiliki keistimewaan.

Setelah ditotok beberapa kali, maka muka Bun-ong Hoat-ong jadi berseri-seri dan ia telah tertawa sambil melompat berdiri.

“Terima kasih!” Katanya. “Aku telah pulih kembali!”

Dia segera menceritakan tentang pembokongan yang dilakukan Siangkoan Yap.

“Ya, kami datang untuk melapor bahwa telah kehilangan jejak penjahat….. rupanya dia masih memiliki nyali untuk datang kemari menyerang secara membokong kepada Taysu…….!”

Pendeta itu mengangguk sambil tertawa dingin. “Hemm, dia memang bisa meloloskan diri, tapi dia tidak mungkin hidup lebih lama lagi, dia telah terluka di dalam akibat pukulanku!

“Malah, dia masih sempat mempergunakan tenaga dalamnya, berarti dia akan terluka di dalam yang lebih parah……. Tidak lama lagi dia tentu akan mampus, paling lama tiga hari dia mempertahankan hidupnya…….!”

Setelah berkata begitu Bun-ong Hoat-ong mengibaskan tangannya, perintahkan kepada perwira itu buat mengundurkan diri.

Setelah si perwira mengundurkan diri, Bun-ong Hoat-ong mengunci pintu kamarnya. Dia telah memutar tubuhnya mengawasi si gadis, katanya sambil tersenyum, “Ada rintangan sedikit, dan kukira kau sabar sekali mau menunggu sampai latihanku selesai bukan?”

Si gadis mengangguk, dia bilang, “Ya, Taysu........!”

Bun-ong Hoat-ong telah duduk lagi di depan tembok, dia duduk bersila, dan telah melatih lagi tenaga dalamnya. Dia merasa sayang jika latihannya akhirnya sia-sia dan tidak dimanfaatkannya.

Setelah berdiam diri, bersila seperti itu tubuh Bun-ong Hoat-ong bergeletar lagi. Keringat telah mengucur keras dan uap putih telah mengepul dari atas kepalanya. Mulanya tipis, tapi lama kelamaan telah mengepul semakin tebal.

Sedangkan si gadis mengawasi lagi dengan hati bertanya-tanya, entah sesungguhnya apa yang tengah dikerjakan si pendeta, dan ilmu apa yang tengah dilatihnya.

Sekarang si gadis tidak setakut tadi, dia melihat bahwa Bun-ong Hoat-ong tidak bermaksud untuk memperkosanya. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda ke arah itu.

Jika pada pahanya sakit dan tadi dilihatnya berdarah sedikit, mungkin itu akibat salah dalam rabahan yang dilakukan oleh si pendeta. Dan dia tidak begitu menyesali karena asal dia mau dibebaskan oleh si pendeta dan tidak diganggu, juga tidak diperkosa, dia sudah bersyukur.

Terlebih lagi, jika dia bisa cepat-cepat pulang ke rumahnya. Dia berjanji di dalam hatinya kalau benar-benar pendeta ini tidak memperkosa dan tak mengganggu dirinya dan ia juga diperbolehkan untuk pulang, maka ia akan menutup mulut terhadap siapa pun juga. Dia tidak akan menceritakan kepada ayah ibunya atau siapa saja tentang pengalamannya yang semula sangat menakutkan itu.

Tengah si gadis tertegun termenung seorang diri mengawasi si pendeta yang tengah melatih diri, Bun-ong Hoat-ong tampak menyudahi latihannya, ia telah melompat berdiri.

“Selesai!” Kata Bun-ong Hoat-ong sambil tertawa.

Si gadis dengan penuh harap segera bertanya: “Apakah aku sudah boleh meninggalkan kamar ini, taysu….. Lihatlah taysu, tidak lama lagi fajar akan menyingsing.......”

“Tunggu dulu…….!” Kata Bun-ong Hoat-ong.

Mendengar itu, tubuh si gadis menggigil ketakutan lagi. Dia menunduk dan melirik takut-takut.

Apakah si pendeta telah merobah keputusannya dan hendak memperkosanya? Dia hampir saja menangis lagi.

Tapi Bun-ong Hoat-ong tertawa.

“Jangan takut. Kau tidak akan mengalami sesuatu apapun juga!”

Mata si gadis terbeliak lebar-lebar.

Tanpa memperdulikan sikap si gadis yang memandang padanya ketakutan, Bun-ong Hoat-ong telah menghampiri pembaringan, dan kemudian sambil melirik dia bilang,

“Ayo mulai!”

Gadis itu hampir saja menjerit ketakutan, dia cuma menangis. Dan dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.

Apakah pendeta ini telah sinting? Demikian pikir si gadis.

Melihat gadis itu masih tidak bergerak dari tempat dan hanya menangis. Bun-ong Hoat-ong jadi tidak sabar dan dengan suara yang nyaring dia bilang,

“Ayo mulai....... mengapa kau berdiam diri saja disitu? Dengan menangis tentu urusan tidak selesai!

“Jika engkau telah melaksanakan perintahku ini, maka kau akan segera kuperbolehkan untuk meninggalkan tempat ini! Ayo semakin cepat kau menyelesaikan tugasmu, semakin baik dan kau semakin cepat meninggalkan kamar ini!”

Gadis itu menghapus air matanya. Dia pikir-pikir biarlah asal dia tidak diperkosa. Dan ini tentu saja jauh lebih baik jika memang dibandingkan dia diperkosa. Karenanya, dia telah menghampiri ragu-ragu ke pembaringan.

Bun-ong Hoat-ong menantikan tidak sabar, dia telah perintahkan lagi agar gadis itu cepat-cepat melaksanakan perintahnya, karena pendeta ini telah bersiap-siap mengerahkan sin-kang nya, dia ingin mengempos dan melatih tenaga dalamnya.

Akhirnya gadis itu dengan air mata bercucuran, telah mulai! Si gadis benar-benar merasa tidak berdaya

Selain itu tubuhnyapun menggigil keras, dengan air mata yang telah menitik turun membasahi pipinya.

Gadis itu terus juga melakukan tugasnya sedangkan Bun-ong Hoat-ong mulai mengempos semangat dan tenaga dalamnya, dia mulai melatih dan menyalurkan tenaga dalamnya.

Dengan seperti itu, si pendeta, darahnya beredar lebih cepat dari sebelumnya. Dia telah mengempos semangatnya. Dengan kesempatan seperti inilah tentu dia dengan mudah dapat saja untuk mengempos dan menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni di tubuhnya.

Gadis itu jadi terbiasa. Dia akhirnya melakukan dengan cepat.

“Ya!” Tiba-tiba Bun-ong Hoat-ong berseru.

Gadis itu menyusut air matanya.

“Taysu, apakah aku boleh meninggalkan kamar ini?” tanya gadis itu.

“Ya……. kau boleh pergi!” mengangguk si pendeta.

Agak terhibur hati si gadis.

“Terima kasih, Taysu…...!” katanya.

Ia agak terhibur hatinya, karena memang kenyataan yang ada ia tidak diperkosa si pendeta itu. Segera ia memutar tubuhnya, ia ingin menuju ke pintu kamar, untuk meninggalkan kamar seperti neraka itu secepat-cepatnya.

“Tunggu dulu……!” Panggil Bun-ong Hoat-ong, suaranya agak keras.

Semangat si gadis terasa seperti terbang dan iapun kaget tak terkira. Apakah Bun-ong Hoat-ong telah merubah keputusannya dan hendak mengada-ada lagi dengan perintahnya. Atau ia akan diperkosa? Atau memang ia akan dibunuh, dibinasakan?

Dengan muka yang pucat pias dan tubuh agak menggigil menahan takut, gadis itu memutar tubuhnya, memandang takut pada Bun-ong Hoat-ong, suaranya juga gemetar waktu ia bertanya: “Ada apa lagi Taysu?”

“Kau dengarlah baik-baik!” kata Bun-ong Hoat-ong. “Sekarang kau Lolap bebaskan, kau boleh kembali ke rumah dan kepada keluargamu.

“Tapi kau harus ingat, jika memang kau banyak bercerita mengungkapkan apa yang terjadi di sini, hemm, disaat itu jiwamu tidak akan ada ampunnya lagi, niscaya engkau akan dibinasakan! Mengertikah kau?

“Karena semua gadis-gadis yang dibawa ke mari dibinasakan, agar mereka tutup mulut dan tidak bisa menceritakan kepada siapapun juga apa yang terjadi. Demikian juga halnya dengan kau, yang seharusnya dibinasakan, tapi mengingat kau memang patuh dan juga kau mau melakukan apa yang Lolap perintahkan dengan sebaik-baiknya, karena itu Lolap mau membebaskan kau!”

Setelah berkata begitu, si pendeta mengawasi si gadis tajam-tajam.

“Aku….. aku berjanji Taysu....... aku tidak akan menceritakan kepada siapapun apa yang telah kualami ini…… Aku berjanji Taysu....... aku pasti tidak menceritakan apa-apa....... dan aku hanya akan mengatakan kepada mereka bahwa aku malam ini menginap di rumah kawan!” Suara si gadis gemetar.

“Baiklah. Nah, sekarang kau pergilah!” Kata Bun-ong Hoat-ong sambil mengibaskan tangannya.

Tidak membuang-buang waktu lagi, gadis itu segera juga meninggalkan kamar seperti neraka itu.

Bun-ong Hoat-ong tersenyum menyeringai karena ia kini telah berhasil melatih tenaga dalamnya lebih baik dari yang ke marin. Jika memang dia bisa melatih diri dengan sepuluh atau duabelas gadis cantik lagi, kelak dia akan bisa menerobos untuk naik tingkat lagi. Satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu menjadi tingkat kedelapan dalam melatih tenaga dalamnya yang istimewa itu…….

Y

Pemuda berbaju putih itu, Siangkoan Yap berlari-lari cepat sekali, dengan tubuh yang sering terhuyung, menuju ke warung arak, tempat ia menginap. Ketika ia telah berada di dalam kamarnya, segera ditutup rapat jendela kamarnya diapun melompat ke atas pembaringan duduk bersamadhi, mengerahkan sin-kangnya.

Ternyata Siangkoan Yap telah terluka di dalam yang tidak ringan, yaitu tenaga dalamnya tergempur hebat oleh hantaman tenaga dalam Bun-ong Hoat-ong. Dia menyadari akan luka dalam tubuhnya, dan ia ingin menyembuhkannya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, karena jika saja ia berlambat-lambat tentu luka dalamnya itu, kelak akan sulit sembuhnya.

Disamping itu, sebagai seorang pemuda yang memiliki sin-kang atau hawa murni yang tinggi, dia dapat mengerahkan sin-kangnya untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Siapakah pemuda berbaju putih itu yang kepandaiannya sangat lihay itu? Dia tidak lain murid Yang-bun Siansu, dari Siauw-lim-sie.

Siangkoan Yap merupakan murid Siauw-lim-sie yang tidak mencukur rambut. Dia telah mengikuti Yang-bun Siansu selama tigabelas tahun.

Karena itu tidak mengherankan kalau kepandaian pemuda ini mencapai tingkat yang tinggi. Dia mempelajari ilmu tenaga dalam yang lurus dan ilmu silat yang bersih dari pendeta Siauw-lim-sie.

Dengan demikian walaupun kepandaiannya memang masih berada di bawah Bun-ong Hoat-ong ia bisa menghadapi pendeta beberapa saat lamanya. Cuma saja, karena kekuatan lwekangnya masih berada di bawah lweekang Bun-ong Hoat-ong, akhirnya ia terluka di dalam yang tidak ringan.

Jika saja ia tidak terluka di dalam, sesungguhnya waktu Siangkoan Yap memiliki kesempatan untuk membunuh atau sedikitnya mencelakai Bun-ong Hoat-ong yang tengah berada dalam keadaan sulit, sebab dia tengah melatih lweekangnya. Hanya saja sayang sekali, Siangkoan Yap baru terluka di dalam.

Dan itu pula asalnya mengapa Siangkoan Yap cepat-cepat meninggalkan kamar Bun-ong Hoat-ong. Pertama ia kuatir luka di dalamnya semakin parah dan si pendeta dapat mencelakainya.

Juga ia kuatir kawan-kawan Bun-ong Hoat-ong yang lainnya, para pahlawan istana berdatangan. Tentu, ia akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.

Sekarang Siangkoan Yap duduk bersamedhi di pembaringan karena ia ingin memusatkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan lukanya dan meluruskan pernapasannya. Sebagai murid Siauw-lim-sie yang sejak kecil berlatih dengan ilmu yang lurus dan bersih, ia memiliki lwewkang yang bisa dipergunakan buat menyembuhkan luka di dalam tubuhnya.

Yang-bun Siansu sendiri sesungguhnya merupakan salah seorang Siauw-lim-sie, dan ia hanya memiliki murid tunggal yang bernama Siangkoan Yap ini. Sebetulnya Yang-bun Siansu tidak berhasrat menerima murid, apa lagi murid yang cuma mencukur rambut dan menggundulkan kepala, dengan demikian dianggapnya hanya merepotkan dirinya.

Tapi siapa sangka, justeru dia suatu hari menemukan seorang anak lelaki yang tengah menangis kelaparan di tepi jalan dan waktu ditanyakan siapa anak itu, siapa orang tuanya, di mana tinggalnya, anak itu cuma menggeleng tidak mengetahui. Dan Yang-bun Siansu sebagai seorang pendeta yang soleh, segera juga membawa anak lelaki itu pulang ke gunung Siong-san ke kuil Siauw-lim-sie.

Dia merawatnya dan kemudian mendidiknya. Dilihatnya bahwa bakat di diri anak ini memang baik, iapun memiliki tulang-tulang yang bagus, karenanya ia segera mengangkat anak itu menjadi muridnya.

Yang-bun Siansu memang memiliki beberapa macam ilmu adalah dari warisan Siauw-lim-sie, yang berasal dari Tat-mo Cauwsu. Cuma saja ia tidak bercita-cita untuk menjadi jago silat yang nomor wahid, karena pendeta ini lebih menyukai dirinya menjadi pendeta yang benar-benar berhasil, yang lebih mementingkan sembahyang dari pada ilmu silat.

Yang-bun Siansu juga telah menolongi Kam Lian Cu. Memang dia seorang pendeta yang gemar sekali berkelana berbeda dengan saudara seperguruannya, dan dia kelak berkelana banyak hal yang dilakukau si pendeta.

Yang-bun Siansu tidak boleh menyaksikan sesuatu yang tidak beres, karena ia akan turun tangan untuk segera juga menangani menolongi orang-orang yang tengah kesulitan. Cuma saja sejauh itu Yang-bun Siansu selalu mengelakkan diri dari setiap pertempuran, dia lebih senang untuk menyelesaikan persoalan apa pun dengan baik-baik dengan kedamaian yang ada.

Sejak kecil Siangkoan Yap pun telah dilatihnya dengan prinsip itu yaitu setiap urusan dan persoalan, harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan mempergunakan jalan damai. Jika saja terjadi, memang urusan yang mengancam jiwanya, barulah Siangkoan Yap diperbolehkan mempergunakan ilmu silat.

Itu pun sekedar untuk membela diri. Dan Siangkoan Yap dilarang keras mempergunakan kepandaian dan ilmu silatnya untuk dipamerkan sembarangan kepada orang lain, jika tidak diperlukan benar.

Siangkoan Yap sendiri merupakan seorang yang lincah dan gemar bergurau. Dia pun sangat cerdik sekali, setiap kali menyaksikan sesuatu yang tidak wajar, tentu ia akan menanyakan langsung kepada gurunya.

Iapun paling senang mendengarkan cerita gurunya tentang keadaan dunia persilatan. Pengetahuan tentang Kang-ouw memang cukup luas, karena Yang-bun Siansu tidak pernah merahasiakannya tentang pengalaman yang pernah dialami oleh si pendeta sendiri.

Dan ketika Yang-bun berusia duapuluh dua tahunlah Yang-bun Siansu telah memanggil Siangkoan Yap. Diceritakannya kepada pemuda itu, bahwa di dalam kalangan Kang-ouw tengah tersebar berita mengenai Giok-sie cap kerajaan.

Tapi Giok-sie itu justeru menimbulkan badai dan maut di kalangan Kang-ouw banyak yang telah membuang jiwa dengan sia-sia, hanya ingin merebutkan Giok-sie.

Dan yang lebih menguatirkan lagi, kini pasukan kerajaan tengah dikerahkan buat pergi ke Pit-mo-gay, untuk membasmi orang-orang gagah yang berkumpul di sana, semua pencinta negeri, selain merampas Giok-sie, juga untuk membunuhi mereka.

Katanya Yang-bun Siansu, perintahkan murid tunggalnya ini pergi ke Pit-mo-gay, jika dapat mengganggu tentara kerajaan agar rencana mereka gagal. Walaupun bagaimana buruknya tabiat orang orang di lembah Pit-mo-gay, tentu masih ada baiknya Giok-sie berada di tangan mereka.

Karena justeru mereka pecinta negeri dan juga orang-orang Han, dibandingkan dengan tentara kerajaan yang merupakan penjajah dan juga musuh dari bangsa Han sendiri. Karena itulah Yang-bun Siansu perintahkan Siangkoan Yap untuk turun gunung.

Memang Siangkoan Yap baru pertama kali ini berkelana seorang diri di kalangan rimba persilatan, jika sebelumnya dia memang beberapa kali pernah ikut dengan gurunya.

Dan pemuda ini ingin mengganggu rombongan tentara kerajaan. Tapi usahanya gagal. Dia telah kebentur dengan Bun-ong Hoat-ong.

Itupun Bun-ong Hoat-ong tengah melatih tenaga dalamnya sehingga dia masih bisa meloloskan diri. Jika dalam keadaan biasa, terang Siangkoan Yap sudah tertangkap oleh Bun-ong Hoat-ong akibat dari kecerobohannya.

Setelah bersamedhi selama dua jam lebih, Siangkoan Yap akhirnya berhasil meluruskan pernapasannya. Tapi, ia masih merasakan dadanya sakit.

Untuk menyembuhkan dan memulihkan tenaga dalamnya secara keseluruhannya, ia harus memerlukan waktu dalam beberapa hari lagi. Tapi itu sudah tidak membahayakan dirinya lagi.

Dia bertekad, akan langsung pergi ke Pit-mo-gay, untuk memberikan kisikan kepada orang-orang Pit-mo-gay dan juga nanti bantu mereka menghadapi Bun-ong Hoat-ong dengan pasukannya itu.

Siangkoan Yap yakin, jika sekarang dia bermaksud mengganggu Bun-ong Hoat-ong dengan pasukannya, hanya seorang diri seperti itu tentu bahaya yang mengancam dirinya sangat besar. Lain jika memang dia menggabungkan diri dengan orang-orang Pit-mo-gay tentu mereka bisa bekerja sama dengan baik.

Tengah Siangkoan Yap bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan kamarnya di warung arak itu tiba-tiba didengarnya suara ribut-ribut di luar warung arak itu. Malah didengarnya ada beberapa suara yang halus di atas genting kamarnya.

Hatinya tercekat. Suara yang perlahan di atas genteng kamarnya bukanlah suara yang wajar dan juga bukan suara jatuhnya daun, melainkan hinggapan kaki-kaki orang yang memiliki gin-kang yang mahir.

Ia segera menduga kepada para pahlawan kerajaan. Segera Siangkoan Yap bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Anjing kurap, cepat kau keluar menyerahkan diri!”

Didengarnya suara membentak bengis sekali, menyusul itu, juga terdengar suara jerit kesakitan, rupanya ada beberapa orang pelayan warung arak itu yang telah dihajar oleh orang yang membentak itu.

Siangkoan Yap segera juga bersiap-siap di samping jendela kamarnya. Dia mengintai keluar.

Hatinya jadi terkesiap juga, di luar ada belasan orang berdiri dengan sikap bersiap sedia, di tangan mereka juga tergenggam senjata ta¬jam. Mereka berpakaian seragam kerajaan dan memang tidak lain dari tentara kerajaan, pasukan dari Bun-ong Hoat-ong.

Tanpa setahu Siangkoan Yap, rupanya Bun-ong Hoat-ong memang sangat keras dan tegas dalam menjalankan tugasnya, di mana anak buahnya harus mencari Siangkoan Yap sampai dapat. Karena mereka merasa yakin Siangkoan Yap memiliki hubungan dengan orang-orang di Pit-mo-gay.

Dan memang para pahlawan itu akhirnya menemukan jejak Siangkoan Yap. Dari seorang penduduk di sekitar tempat itu, yang sempat melihat betapa Siangkoan Yap tengah berlari-lari memasuki warung arak tersebut.

Penduduk itu tengah kepanasan dan tidak dapat tidur, dan berangin-angin di luar. Sampai akhirnya, datang pasukan tentara kerajaan yang bertanya padanya apakah melihat seorang pemuda berpakaian baju serba putih.

Maka penduduk itupun segera teringat kepadanya yang memberitahukan kepada tentara kerajaan itu bahwa orang yang mereka cari tadi memasuki warung arak. Karenanya pasukan tentara kerajaan itu segera juga mengepung warung arak itu.

Siangkoan Yap melihat pasukan tentara kerajaan mengepung warung arak itu, tidak bera¬yal lagi segera melesat menyambar pedangnya yang menggeletak di atas pembaringan. Dia bersiap-siap.

“Anjing kurap, kau cuma pandai menyembunyikan ekor!” terdengar lagi orang membentak bengis dari luar jendela kamar si pemuda membarengi dengan mana terdengar suara menggelegar yang sangat keras, dan daun jendela terpental, terbuka lebar dengan paksa. Ini disebabkan pukulan yang kuat sekali.

Membarengi dengan itu, juga terlihat daun pintu menjeblak terbuka.

Siangkoan Yap menyadari, bahwa kali ini dia harus melakukan pertempuran yang seru untuk mempertahankan diri, karena dirinya telah terkepung. Diapun mengibaskan pedangnya, dan membentak nyaring, “Majulah jika kalian ingin mampus!”

Tapi tanpa diminta untuk kedua kalinya, dua orang tentara kerajaan yang menyerbu tadi lewat jendela dan pintu kamar, telah melesat maju dan tangan mereka diulurkan untuk menabaskan golok masing-masing pada si pemuda. Siangkoan Yap melihat dari dua orang tentara kerajaan itu mengeluarkan suara berkesiuran, menunjukkan bahwa serangan mereka tentu disertai dengan tenaga lweekang yang terlatih baik.

Cepat-cepat Siangkoan Yap memutar pedangnya. Dia menangkis, pedangnya itu berguling-guling seperti juga titiran, melindungi tubuhnya dari sambaran golok lawan-lawannya, terdengar suara.

“Tranggg, tranggg!” tapi dua orang tentara kerajaan bukan cuma menyerang sampai disitu, waktu senjata mereka masing-masing tersampok pedang Siangkoan Yap mereka telah melontarkan lagi bacokan-bacokan beruntun sampai tiga kali.

Malah dari luar jendela dan pintu kamar telah melesat tiga orang dan dua orang tentara kerajaan lagi. Merekapun masing-masing mencekal senjata tajam dan menyerang dengan serentak kepada Siangkoan Yap.

Dikepung seperti itu, Siangkoan Yap mulai terdesak, walaupun bagaimana Siangkoan Yap tengah terluka tak ringan, sekarang ia dikepung seperti itu, maka ia terdesak.

Tapi, Siangkoan Yap tidak mau memperlihatkan kelemahan dirinya, dia memutar pedangnya dengan cepat sekali pedang itu menyambar ke sana ke mari, dengan jurus “Hong-san-lok-hoa” atau “Angin Puyuh Menyapu Bunga” dan pedangnya itu berputar bagaikan angin puyuh belaka. Sehingga lawan-lawannya sementara tidak bisa mendesaknya lebih jauh.

Mempergunakan kesempatan itu, seketika Siangkoan Yap mempergunakan lagi serangan dengan jurus “Hiat-jiu-in” atau “Telapak Tangan Berdarah”, dari tangan kirinya yang meluncur menyambar angin yang kuat kepada lawannya yang ada di sebelah kirinya. Ini untuk mendesak lawannya lebih jauh, ia pun kemudian membatengi dengan gerakan “In-lie-to-hoan” atau “Berjungkir Balik Di udara”.

Akan tetapi pasukan tentara kerajaan tidak mau memberikan kesempatan padanya melarikan diri. Mereka meruluk lagi menyerang.

Bahkan dari luar telah menerobos lagi belasan orang tentara kerajaan, mereka semua bersenjata tajam, dan segera mengepung. Siangkoan Yap harus melayani mereka lagi, lenyap kesempatan untuk dia menjauhi diri atau juga melarikan diri.

Bahkan sekarang ini dia terkepung semakin hebat, karena lawan-lawannya itu menyerang dengan gencar. Setiap serangan yang dilakukan merekapun bukannya serangan sembarangan.

Mereka umumnya pahlawan kerajaan yang tengah menyamar sebagai tentara kerajaan biasa. Mereka pahlawan istana yang sebetulnya bertugas menjaga keselamatan Kaisar, sekarang mereka menyamar sebagai tentara kerajaan, karena mereka ingin menumpas orang-orang di Pit-mo-gay.

Bisa dibayangankan betapapun kepandaian mereka memang tinggi sekali. Salah seorang di antara mereka, yang menggenggam “Tok-liong-pian” atau “Cambuk Naga Berbisa” telah mengayunkan cambuknya itu, ke arah leher Siangkoan Yap. Cambuk itu bagaikan permata dapat segera mengejar lagi akan melihat leher Siangkoan Yap, dikala pemuda itu hendak berkelit.

Siangkoan Yap benar-benar terdesak, apa lagi di antara tentara kerajaan itu ada yang menimpukkan “Tau-kut-ting” atau “Paku Menembus Tulang”, yang menghujani tubuh Siangkoan Yap.

Pemuda itu jadi mengeluh waktu merasakan dadanya sakit. Ini disebabkan ia memang mengerahkan tenaga dalam yang berkelebihan sehingga lukanya yang belum lagi sembuh keseluruhannya dan tenaga dalamnya yang belum dapat kumpul dengan sempurna, jadi tergoncang kembali, dia menderita kesakitan. Dirinya juga tengah terkepung dengan hebat, karenanya pemuda ini menyadari dirinya tengah terancam keselamatan.

Siangkoan Yap murid Yang-bun Siansu yang mempelajari ilmu lurus dan bersih. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau menyerah kalah, dia masih memberikan perlawanan, dengan berbagai cara dia berhasil untuk mempertahankan diri lebih lama lagi.

Pasukan tentara itu melihat, walaupun Siangkoan Yap berhasil mempertahankan diri tapi mereka menyadari pemuda itu telah terluka di dalam dan tenaganya tidak sepenuhnya lagi karena tangkisan pedangnya tidak sekuat tadi. Dan mereka berseru-seru menganjurkan kawan mereka agar mereka lebih ketat lagi mengepung Siangkoan Yap.

Mati-matian Siangkoan Yap memberikan perlawanan. Dia jadi nekad, karena walaupun dia harus mati, tentu dia tidak akan menyerah kalah.

“Lebih baik kau menyerahkan saja secara baik-baik, anjing kurap!” Bentak salah seorang tentara kerajaan itu. “Mungkin kami bisa memperlakukan engkau secara baik!

“Tapi jika memang kau berkepala batu, hemm, hemm, biarpun engkau memiliki jiwa cadangan sebanyak tiga tidak nantinya engkau akan bisa meloloskan diri dari tangan kami! Di luar telah menanti kawan-kawan kami lainnya!

“Jika kau bisa meloloskan diri dari kami, tentu engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari kawan-kawan kami! Menyerahlah!”

Siangkoan Yap menggigit bibirnya, dia berseru bengis: “Lebih baik aku mampus dari pada aku harus menyerah pada kalian!”

Dan setelah membentak begitu tangannya tampak bergerak sangat sebat. Pedangnya bergulung melindungi tubuhnya waktu ada kesempatan, dia telah menikam kepada leher dari tentara kerajaan yang mengengejeknya.

Tentara kerajaan itu bersenjata sebatang golok, ia menangkisnya. Lelatu api muncrat dan seketika Siangkoan Yap merasakan tangannya kesemutan, karena benturan itu sangat kuat sekali. Tentara kerajaan yang seorang itupun tidak kurang kagetnya, karena iapun merasakan telapak tangannya pedih dan sakit, hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya.

Kala itu, Siangkoan Yap sekali lagi memutar pedangnya, ia terlambat menghindar dari bacokan seorang lawan di belakangnya, pundaknya kena diserempet oleh mata golok lawannya, sampai bajunya terkoyak dan kulitnya terbacok cukup dalam.

Dia tidak menjerit cuma sebat sekali, tahu-tahu ia memutar tubuhnya, pedangnya menyambar menikam ke perut tentara kerajaan yang melukainya tersebut. Pedangnya meluncur begitu cepat dan tiba-tiba sekali, juga tenaga tikamannya sangat kuat.

Tentara kerajaan itu sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang seperti itu oleh Siangkoan Yap, dan hampir saja perutnya kena tikaman pedang si pemuda. Untung saja dia masih keburu buat menghindarkan diri tapi tidak urung lengan bajunya kena di tikam pedang.

Tentara kerajaan itu berseru kaget, dan melompat ke belakang. Dua orang kawannya segera menyerang dengan hebat kepada Siangkoan Yap, yang seorang bertangan kosong dia menghantam dengan pukulan Liu-jiu-sian-nio atau Dewa Bertangan Panas, dan benar-benar telapak tangannya itu seperti mengandung api yang panas bukan main.

Siangkoan Yap mengeluh, dia mengetahui sekali ini sulit buat dia menghindarkan diri dari kematian hebat, dia nekad. Dia ingin mengadu jiwa dengan lawan-lawannya. Sedikitnya dia hendak membinasakaa lima atau enam orang tentara kerajaan itu, untuk imbalan dari kematiannya sendiri.

Dalam keadaan Siangkoan Yap terancam, seperti itu, mendadak sekali terdengar suara wanita:

“Sungguh tidak tahu malu! Manusia tidak tahu malu dan bermuka tebal! Hem, beramai-ramai mengeroyok seorang yang tampaknya sudah tidak berdaya! sungguh memalukan!”

“Ya, memang mereka kuku-kuku garuda yang harus dibinasakan, sebab mereka merupakan manusia-manusia rendah....... Tidak ada perlunya kita bicara soal kepantasan dengan mereka!” Terdengar suara seorang menimpali perkataan wanita itu.

Siangkoan Yap tengah terdesak hebat, namun dia masih menyempatkan diri untuk melirik, sehingga dia melihat bahwa wanita yang berkata-kata tadi adalah seorang gadis berusia duapuluh dua tahun atau duapuluh tiga tahun, sedangkan lelaki yang menimpali perkataan si gadis tampaknya berusia belum lagi lebih dari duapuluh empat tahun. Dan mereka tampak sangat gagah sekali. Mereka berdiri dengan sikap agung.

Siangkoan Yap jadi girang. Apakah mereka akan membantu dirinya? Didengar dari kata-katanya, memang memihak padanya, segera juga Siangkoan Yap berseru. “Ya, mereka kuku garuda yang tidak tahu malu, mereka pembantu dari penjajah yang kita harus usir dari daratan Tiong-goan!”

Dengan berkata begitu, Siangkoan Yap memang ingin memancing emosi dari pasangan muda mudi itu, yang dilihatnya adalah orang Han. Karena itu, dia sengaja melontarkan kata-kata yang sekiranya bisa membangunkan semangat kedua orang tersebut dengan menyinggung soal tanah air dan bangsa Han yang dijajah oleh kerajaan Tay Goan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar