Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 31-40
Teriakannya itu disambut oleh
anak buahnya dengan serentak, mereka memang sejak tadi telah bersiap-siap
dengan senjata masing-masing, segera juga mereka berluruk menyerang Oey Yok Su.
Anak buah Mo-in-kim-kun memang
bukan anak buah sembarangan, mereka memiliki kepandaian yang bisa diandalkan.
Telah dibuktikan ketika salah seorang dari mereka itu membunuh Sung Sie Coan
dan membinasakan tiga orang adik angkat Sung Sie Coan. Dan sekarang dia telah
menyerang dengan hebat sekali, tiap serangan mengandung kematian dan maut buat
Oey Yok Su.
Sedangkan Oey Yok Su berulang
kali harus mengelakan serangan lawannya. Dia berhasil. Cuma saja, dia didesak
terus. Maka akhirnya dia berpikir: “Biarlah aku membuka pantangan membunuh!”
Seperti diketahui Oey Yok Su
belakangan ini memang sudah mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to dan tidak mau
melibatkan dirinya dengan pertempuran. Namun, justeru sekarang, melihat dirinya
dikepung seperti itu, dia ingin membuka jalan darah. Dia seorang yang digelari
sebagai Tong-shia, si sesat. dengan sendirinya membunuh bukanlah dianggap
sesuatu yang hebat.
Dia pun mengeluarkan seruannya
setelah mengelakan diri dari beberapa serangan lawannya, segera juga dia
menghantam ke kiri dan ke kanan dengan kedua tangannya, bulak-balik sebanyak
dua kali, seketika terdengar suara jeritan beberapa anak buah Mo-in-kim-kun
karena mereka telah kena dihantam telak sekali.
Empat sosok tubuh terpental.
Dua orang tercebur ke dalam kolam dan tidak bisa diharapkan lagi jadi manusia.
Sedangkan yang dua orang rebah di atas bungkahan batu dengan tubuh yang di
bagian atas mereka belum mati dan merintih menahan sakit.
Sebetulnya orang Pit-mo-gay
memiliki peraturan, bahwa setiap anggotanya dilarang untuk mengeluarkan
rintihan, walaupun menderita luka yang bagaimana hebat sekalipun.
Tapi justeru sekarang ini, dua
orang itu karena tidak bisa menahan rasa sakit yang begitu hebat, telah membuat
dia merintih juga. Walaupun mereka yakin, bahwa jika mereka pun memiliki nasib
berumur panjang dan dapat hidup, nanti mereka akan menerima hukuman yang tidak
ringan dari Mo-in-kim-kun Kauw-cu mereka.
Oey Yok Su tidak berhenti
sampai di situ, dia telah menghantam berulang kali.
Seketika rubuh beberapa orang
lagi.
Adanya kejadian seperti itu,
membuat lawan-lawannya yang lain tidak berani untuk menerjang terlalu dekat
mendesaknya dan mereka bersikap lebih hati-hati penuh perhitungan.
Cuma saja, Oey Yok Su yang
sudah naik darah mana mau membiarkan mereka. Dia memang memiliki perangai yang
luar biasa. Dan dia pun digelari si sesat, karena itu, segera juga dia
membentak bengis, dia yang sekarang mengejar lawan-lawannya, menghantam dengan
mempergunakan lwekang yang sangat hebat.
Jika memang seseorang kena
terhajar dengan telak, tubuhnya terpental membentur dinding goa itu, maka
dinding tersebut akan ikut melesak dan orang itu jika bukan tubuhnya yang remuk
dan segera putus napas, justeru dia terluka hebat. Dan jika dia tertolong dapat
hidup terus, jelas dia akan menjadi manusia bercacad.
Di waktu itu Oey Yok Su
memperlihatkan bahwa tidak kecewa dia menjagoi rimba persilatan selama beberapa
puluh tahun, di mana dia dijaman itu dikenal sebagai jago nomor wahid. Dan
sekarang, walaupun lawannya berjumlah sangat banyak, yang umumnya memiliki
kepandaian tinggi, tokh mereka itu semuanya telah bisa dibikin kalang kabut
oleh amukan Oey Yok Su.
Kim Lo tetap duduk di pundak
Kong-kongnya ini, malah anak itu sama sekali tidak merasa takut dibawa melompat
ke sana ke mari, mendengar suara jeritan orang-orang Pit-mo-gay yang kena
dihantam Kong-kongnya. Kim Lo malah bersorak-sorak sambil bertepuk tangan
berulang kali.
“Bagus! Bagus! Kong-kong,
hajar mereka!” Dia malah berseru-seru memukul dan menganjurkan Kong-kongnya
untuk menghajar sisa anak buah Mo-in-kim-kun.
Oey Yok Su tertawa nyaring dan
panjang sekali suara tertawanya, seakan juga suara raungan macan dan geruman
naga, dan menggetarkan ruangan tersebut yang akan bisa rubuh karena tertawa
yang luar biasa itu, yang disertai dengan tenaga lwekang!
“Jangan kuatir, Kim Lo,
Kong-kong akan memperlihatkan kepadamu, bahwa manusia-manusia rendah ini memang
harus dikirim ke akherat!” Dan sambil menyusuli dengan kata-katanya itu segera
juga tubuhnya melesat ke sana ke mari.
Orang-orang Pit-mo-gay
sebetulnya bukan orang-orang lemah, akan tetapi mereka tidak berdaya menghadapi
Oey Yok Su. Entah mengapa mereka jadi mati kutu.
Setiap kali Oey Yok Su
menggerakkan tangannya, maka tampak tubuh salah seorang dari mereka telah
melontarkan. Dan juga telah membuat mereka terbanting dengan keras tidak keburu
untuk memperbaiki posisi tubuh mereka. Disamping itu juga ada yang tercebur ke
dalam kolam.
Mo-in-kim-kun yang melihat
keadaan seperti itu diam-diam mengeluh. Memang tidak kecewa Oey Yok Su dianggap
sebagai tokoh nomor wahid di jaman itu, karena memang kepandaiannya yang luar
biasa.
Mo-in-kim-kun juga menyadari
bahwa dia tidak bisa membiarkan keadaan seperti itu berlangsung lebih lama,
karena anak buahnya akan dibabat habis oleh Oey Yok Su. Dia harus segera turun
tangan, segera juga.
Mo-in-kim-kun membentak
seperti gerungan singa: “Semuanya mundur!” Suara itu bergema nyaring bagaikan
guntur, menggelegar keras sekali.
Semua anak buah Mo-in-kim-kun
segera melompat mundur menjauhi diri dari Oey Yok Su. Mereka sendiri memang
telah jeri melihat betapa tangguhnya Oey Yok Su. Namun mereka tidak berani
mundur tanpa perintah Mo-in-kim-kun.
Tapi sekarang justeru
Mo-in-kim-kun telah perintahkan mereka mundur. Tanpa membuang waktu lagi segera
juga mereka melompat mundur untuk menjauhi diri dari tokoh sakti yang
kepandaiannya benar-benar menakjubkan.
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Sejak tadi telah kukatakan,
kau harus maju sendiri, untuk memperhitungkan semua ini, tapi kau lebih rela
mengorbankan anak buahmu! Sungguh manusia pengecut yang tidak terpuji!”
mengejek Oey Yok Su.
Mo-in-kim-kun tidak
membuang-buang waktu lagi, dia melesat gesit sekali, tubuhnya melompat ke dekat
Oey Yok Su.
Oey Yok Su mengawasi dengan
tenang, tanpa menurunkan Kim Lo dari pundaknya, karena ia kuatir jika memang dia
tengah dilibat oleh Mo-in-kim-kun, maka anak buah Mo-in-kim-kun akan
mempergunakan kesempatan tersebut buat membekuk Kim Lo, menawannya, berarti
dapat saja Oey Yok Su ditekan dan diancam demi keselamatan Kim Lo.
Oey Yok Su yakin, walaupun dia
mendudukkan Kim Lo di pundaknya, namun tidak nantinya ia akan berada di bawah
angin kalau memang hanya menghadapi Mo-in-kim-kun seorang lawan seorang.
Karena, memang kepandaian Mo-in-kim-kun tampak berimbang dan setingkat
dengannya.
Cuma saja Oey Yok Su masih
bisa melihat banyak kelemahan yang dimiliki Mo-in-kim-kun. Sedikitnya memang
Mo-in-kim-kun kalah seurat, dan jika bukan orang yang benar-benar ahli tentu
tidak mungkin bisa melihat kekurangan dari Mo-in-kim-kun.
Waktu itu tubuh Mo-in-kim-kun
melayang di tengah udara, dia menghantam dengan pukulan yang gerakannya sangat
aneh, sulit sekali untuk diterka arah mana yang ingin dijadikan sebagai sasaran
utamanya. Oey Yok Su tetap berdiri tegak ditempatnya mengawasi datangnya
pukulan itu.
Tangan kanan dari
Mo-in-kim-kun meluncur ke kanan, dan melintang ke arah leher Oey Yok Su, karena
dia bermaksud memiliki dua tujuan. Dia hendak mencengkeram dan menotok.
Mencengkeram Kim Lo yang
berada di pundak Oey Yok Su atau memang menotok leher Oey Yok Su. Karena dari
itu, tenaga yang dipergunakannya pun telah diperhitungkan masak-masak.
Tangannya yang satu malah
dipergunakan buat menggempur. Dia mempergunakan tenaga yang tidak
tanggung-tanggung, karena jurus ini merupakan ilmu pukulan andalannya.
Oey Yok Su tidak jeri, dia
mengawasi dengan mata yang tajam berkilat. Waktu pukulan Mo-in-kim-kun tiba,
dia tidak bisa berusaha berkelit, malah dia menyambuti dengan keras.
Dia menangkis dengan
mengerahkan sin-kangnya. Dengan begitu tidak mudah buat Mo-in-kim-kun
menyerangnya pada bagian di anggota tubuh Oey Yok Su sebab jago tua itu seperti
dilindungi oleh lapisan dinding yang sangat tebal, yaitu dinding yang terbuat
dari tenaga sin-kangnya,
“Bukk, dukk!” Dua kali
terdengar benturan. Dan dua tubuh itu berdiri tegak saling berhadapan.
Sedangkan Kim Lo yang duduk di
pundak Oey Yok Su jadi berseru: “Kong-kong, pundakmu panas sekali!”
Oey Yok Su masih bisa
menyahuti : “Kau diam saja, jangan melompat turun, ini hanya sebentar!”
Setelah berkata begitu, dia
mengempos semangatnya, dia mulai mendesak Mo-in-kim-kun dengan gelombang tenaga
dalamnya. Tangannya yang menempel dengan tangan Mo-in-kim-kun telah saling
tindih dan masing-masing memusatkan kekuatan sin-kang di tangan masing-masing.
Sedangkan Mo-in-kim-kun
sendiri terkejut setelah merasakan gelombang tenaga dalam Oey Yok Su semakin
lama semakin kuat. Dia segera tersadar, bahwa tindakan yang dilakukannya itu
salah. Karena dengan menempelkan tangannya pada tangan Oey Yok Su dia yang akan
menderita kerugian.
Bukankah tocu dari pulau
Tho-hoa-to in memang memiliki ilmu jari sakti, yaitu Jari Tunggal Sakti,
It-yang-cie? Jika disaat tangan mereka saling melekat seperti itu, dan Oey Yok
Su mempergunakan It-yang-cie nya, akan celakalah Mo-in-kim-kun.
Tapi, belum lagi Mo-in-kim-kun
sempat untuk menarik pulang tangannya, Oey Yok Su justeru telah mempergunakan
It-yang-cienya karena jari telunjuknya itu telah menyentil, ke arah nadi di
tangan Mo-in-kim-kun. Sentilan itu mendatangkan sambaran angin yang sangat
tajam sekali. Dan juga, telah membuat sambaran angin itu, menghancurkan
batu-batu yang ada di dekat mereka, karena batu kerikil kecil telah
berhamburan.
Mo-in-kim-kun memang bisa
bertahan pada pertamanya, tapi kemudian ia telah terdesak mundur dua langkah,
disaat Oey Yok Su menyentil untuk ketiga kalinya, tenaga yang menerjang
Mo-in-kim-kun jadi semakin kuat.
Karena menyadari bahwa dirinya
terancam bahaya yang tidak kecil, Mo-in-kim-kun tidak berani berayal, segera ia
membentak nyaring dan melompat mundur. Namun hatinya seketika terkesiap.
Tangannya tidak bisa ditarik pulang.
Cepat-cepat Mo-in-kim-kun
mengempos semangatnya, dia berusaha menarik tangannya tapi kembali gagal,
sedangkan kedua kakinya telah terangkat terapung di tengah udara.
Kemudian, dia mendorong. Tetap
saja ia tidak berhasil menguasai diri, tubuhnya terapung dengan sepasang tangan
melekat keras di tangan Oey Yok Su.
Diam-diam semangat
Mo-in-kim-kun serasa terbang, dia mengerti apa semuanya ini yaitu bahaya yang
tidak kecil mengancam dirinya. Tapi sebagai seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, segera juga ia mencoba dengan jalan lain.
Dia telah menarik dan
mendorong dengan berbareng, tangan kirinya menarik dengan kuat, tangan kanannya
mendorong, dengan demikian membuat dua macam kekuatan saling tolak menolak, dan
Oey Yok Su yang menyangka lawannya itu telah mempergunakan taktik yang seperti
itu, seketika terdorong keras. Dan dia terhuyung dua langkah dengan menarik
serta tubuh Mo-in-kim-kun, yang tertarik karena tubuhnya masih terapung di
tengah udara.
Oey Yok Su sendiri tidak
tinggal diam. Waktu kuda-kudanya tergempur, dia menyentil lagi dengan
It-yang-cienya. Di saat itulah tampak Mo-in-kim-kun berhasil membebaskan
sepasang tangannya. Dia melompat dan meluncur turun jauh sekali, terpisah tujuh
atau delapan tombak.
Bersama itu tenaga serangan
It-yang-cie dari Oey Yok Su menyambarnya. Dia menghindar, dan baru di ruang itu
kena dihantam oleh tenaga It-yang-cie sampai hancur meluruk, menyebabkan adanya
lobang yang dalam sekali!
Itulah kehebatan tenaga
It-yang-cie membuat semua orang yang menyaksikan jadi menggidik ngeri, kalau
sampai tadi Mo-in-kim-kun tidak keburu menghindarkan diri dari serangan
It-yang-cie itu niscaya dia akan terbinasa dengan tubuh yang hancur.
Mo-in-kim-kun sendiri tertawa
bergelak-gelak, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap gentar terhadap Oey
Yok Su, walaupun tadi ia nyaris menerima bencana tidak ringan dari Oey Yok Su.
“Memang nama Oey Yok Su
Lo-shia tidak kosong! Baik, baik! Kukira hari ini cukup kita main-main sampai
di sini!” sambil berkata begitu, tangannya menolak batu dinding di sampingnya,
tahu-tahu terbuka sebuah pintu batu. Ia melompat masuk ke dalam situ.
Oey Yok Su tidak mau
melepaskannya ia meloloskan diri seperti itu, segera melesat mengejar. Dia
menerobos masuk ke dalam ruangan batu itu, ia berhasil, sebelum pintu batu itu
tertutup, ia telah bisa menerobos masuk berada di dalam ruangan. Itulah sebuah
ruangan batu yang tidak terlalu besar, dan waktu Oey Yok Su mengawasi
sekitarnya, tidak melihat Mo-in-kim-kun entah telah menyelinap hilang ke ruang
mana lagi, pintu batu itu bergerak menutup.
Seketika Oey Yok Su tersadar,
pintu batu itu tertutup kembali rapat-rapat dan Oey Yok Su berdua dengan Kim Lo
terkurung di dalam ruangan batu yang tidak begitu besar, samar-samar Oey Yok Su
mendengar suara tertawa Mo-in-kim-kun yang bergelak-gelak.
“Kau akan mampus kelaparan
disitu, Oey Loshia!” Teriak Mo-in-kim-kun dari bagian lainnya, entah ia berada
di ruang mana.
Tidak kepalang murkanya Oey
Yok Su, karena ia telah kena diperdaya oleh Mo-in-kim-kun seperti itu. Dia
menghantam pintu batu itu hancur meluruk sebagian. Tapi pintu batu itu sangat
tebal dan tidak bergeming.
Oey Yok Su menghantam lagi.
Batu sebagian telah meluruk lagi, tetap saja pintu batu itu tidak bergerak.
Berulang kali Oey Yok Su menghantam, tetap saja tidak berhasil untuk
menghancurkan pintu batu tersebut.
Akhirnya Oey Yok Su menurunkan
Kim Lo, katanya. “Kim Lo kita terkurung disini kau tenang saja, nanti Kong-kong
akan menghajar mampus mereka semuanya, manusia-manusia hina dan rendah itu!”
Kim Lo mengiakan.
Anak itu melihat mereka
terkurung di ruangan batu yang berukuran tidak besar. Dan juga, keadaan di
dalam kamar ‘tahanan’ yang merupakan jebakan tidak tersangka oleh Oey Yok Su,
sangat panas sekali. Oey Yok Su yakin, di dalam ruangan ini terdapat dua pintu
yang bisa dipergunakan keluar masuk.
Pintu yang pertama adalah
pintu yang tadi terbuka dan telah menutup kembali dan telah dihajar oleh Oey
Yok Su. Sedangkan pintu yang lainnya lagi entah berada di sebelah mana, karena
lewat pintu yang satu itulah rupanya Mo-in-kim-kun telah menyelinap lenyap,
menghilang dari ruangan ini.
Oey Yok Su memeriksa keadaan
di sekitar ruangan itu. Dia tidak berhasil menemukan pintu yang satunya lagi.
Dia adalah majikan pulau Tho-hoa-to, dia yang mengerti ilmu perbintangan selain
ilmu silatnya yang luar biasa.
Dia pun menguasai
Pak-tauw-tin, Pat-kwa-tin, dan lain-lain ilmu yang akan membuat orang
memikirkannya sampai ubanan dan tidak bisa memecahkannya. Juga pulaunya telah
diatur sedemikian rupa, membuat siapa saja yang berani lancang masuk ke
Tho-hoa-to tanpa ijinnya, jangan harap dapat keluar lagi.
Keluar dan masuk di pulau
Tho-hoa-to bukan pekerjaan yang mudah karena disana telah diperlengkapi dengan
jalan-jalan rahasia! Siapa tahu, sekarang Oey Yok Su, tocu Tho-hoa-to yang
sangat terkenal dan dihormati seluruh jago-jago rimba persilatan telah
terpedaya dan terkurung di kamar rahasia ini.
Rupanya Mo-in-kim-kun memang
sengaja mengambil sikap seakan-akan dia hendak melarikan diri, dan waktu Oey
Yok Su menyusulnya, dia menghilang lewat pintu rahasia lainnya. Sedangkan Oey
Yok Su yang sudah terlanjur masuk ke kamar rahasia ini tidak keburu keluar
berdua dengan Kim Lo, terkurung di situ!
Oey Yok Su meneliti keadaan
dinding di kamar rahasia tersebut, melihat bahwa di kamar batu itu memang
dibangun kokoh sekali di samping itu memang kamar itu pun merupakan kamar batu
yang tidak memiliki ruang tembus dengan ruangan lainnya, batunya tebal sekali.
Tapi Oey Yok Su yang memang
cerdik segera mengetahui, selain pintu yang tadi telah tertutup lagi, yang
menghubungi kamar tahanan dengan ruang di mana ada kolam yang airnya seperti
air mendidih itu, maka terdapat pintu lainnya yang menghubungi dengan jalan
keluar. Karena tadi Mo-in-kim-kun telah lenyap begitu cepat di ruangan ini.
Oey Yok Su berpikir sejenak,
kemudian dia duduk bersemedhi di hadapan pintu tadi tertutup. Dia mengempos semangatnya,
kemudian dia memusatkan tenaganya pada kedua telapak tangannya, dan menarik
napasnya dalam-dalam. Waktu dia mengeluarkan bentakan, tangannya menghantam
serentak ke arah pintu batu itu.
Pintu batu tergetar, dan
sebagian sempal. Oey Yok Su mencoba sampai berulang kali. Sampai pada pukulan
yang keduapuluh kali, daun pintu itu telah sempal besar sekali, malah ketika
dia menghantam lagi, daun pintu itu jebol! Batunya telah gugur, dan terlihat
lobang yang sangat besar.
Tapi rupanya di luar pintu itu
telah menanti cukup banyak anak buah Mo-in-kim-kun, mereka menantikan sampai
daun pintu batu itu jebol dan berlobang serentak mereka menghujani senjata
rahasia ke dalam.
Serangan senjata rahasia yang
berbagai macam jenis itu membuat Oey Yok Su harus mengibaskan tangannya
berulang kali, dia juga telah perintahkan Kim Lo berdiam di belakangnya.
Senjata rahasia itu yang berhamburan masuk telah disampoknya runtuh.
“Duduk dipundakku lagi!”
Perintah Oey Yok Su kepada Kim Lo.
Setelah anak itu mematuhi
perintahnya, tampak Oey Yok Su maju ke depan, mendekati lobang pada pintu itu,
sambil mengibaskan terus kedua tangannya bergantian. Dia melakukan itu untuk
melindungi dirinya dari sambaran senjata rahasia.
Setelah berada di dekat daun
pintu, mendadak Oey Yok Su menghantam ke depan keluar, dan terdengar jeritan
beberapa orang, membarengi itu, disaat beberapa orang di depan pintu batu
tersebut terpukul terpental dan kaget.
Oey Yok Su telah menerobos
keluar dengan mengibaskan kedua tangannya, untuk melindungi dirinya. Maka dia
telah berhasil untuk menerobos keluar! Inilah berkat hebatnya ilmu jago tua
yang tangguh ini, yang menjadi tocu dari pulau Tho-hoa-to.
Kim Lo bersorak-sorak beberapa
kali memuji Kong-kongnya tersebut.
Oey Yok Su keluar dari pintu
rahasia itu bukan untuk berdiam diri, karena ia segera menyambar dua orang
musuh yang terdekat dengannya, dia telah melontarkan ke tengah udara. Waktunya
musuh-musuh itu hendak berpok-say di tengah udara, justeru Oey Yok Su telah menghantamkan
kedua tangannya ke arah mereka ke tengah udara.
Terdengar jerit kematian ke
dua orang itu rubuh terbanting di lantai dengan napas yang sudah putus.
Kemudian Oey Yok Su menyambar
lagi dua orang lawan, yang berontak sekuat tenaganya. Tapi Oey Yok Su
mengerahkan tenaga dalamnya mencengkeram kuat sekali, seketika kedua orang
tawanannya itu jadi lemas dan napasnya putus, lehernya tercekek. Oey Yok Su
melemparkan dua mayat itu kepada yang lainnya.
Yang mengepung Oey Yok Su
terdiri dari laki dan wanita yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
mereka benar-benar tak berdaya untuk menghadapi amukan Oey Yok Su!
Waktu pada akhirnya mereka
menyadari sudah tidak sanggup untuk menghadapi Oey Yok Su, segera mereka
bermaksud melarikan diri. Oey Yok Su gesit sekali menyambar dua orang di antara
mereka, yang lainnya keburu menyelamatkan diri dan lenyap dari ruangan itu.
Jago tua dari Tho-hoa-to
tersebut tidak membunuh kedua orang itu. Dia menotok jalan darah
Cing-lian-hiatnya, seketika kedua orang itu bergulingan menderita kesakitan
yang hebat bukan main, mereka menjerit-jerit seperti babi dipotong.
“Beritahukan kepadaku, di mana
persembunyian Mo-in-kim-kun?!” bentak Oey Yok Su, “Jika memang kalian keras
kepala dan coba-coba berdusta, kalian akan menerima siksaan yang lebih hebat
lagi!”
Kedua orang itu
berteriak-teriak: “Ampun bebaskan dulu totokanmu……. aku....... aku akan
memberitahukan Oey Locianpwe…… ampun….. aduhh!”
Mereka menjerit-jerit seperti
itu karena memang mereka sudah tak tahan tubuh mereka berkelejetan berguling di
tanah, karena mereka kesakitan hebat sekali. Dari hidung, telinga dan mulut
mereka telah mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Oey Yok Su tertawa dingin, dia
menendang kedua orang itu bergantian dengan kakinya.
Barulah dua orang itu berhenti
menjerit-jerit. Muka mereka pucat pias, sikap mereka ketakutan sekali.
“Cepat beritahukan di mana
tempat bersembunyinya Mo-in-kim-kun?” bentak Oey Yok Su bengis.
Dua orang itu mengetahui siapa
Oey Yok Su, tocu Tho-hoa-to yang bisa saja menurunkan tangan bengis dan
telengas kepada mereka. Segera juga mereka menyahuti, karena memang mereka
tidak berani main gila terhadap tocu pulau Tho-hoa-to itu.
“Kauw-cu kami berada.......
berada di pintu Awan.”
“Di mana letak pintu awan?”
tanya Oey Yok Su, tidak kurang bengisnya.
“Di…… di luar…..!” menyahuti
mereka dengan tubuh lemas tidak bertenaga. Walaupun totokan ditubuh mereka
telah dibebaskan tapi akibat totokan itu, mereka telah terluka di dalam yang
berat sekali, yang membuat mereka seperti tidak bertenaga lagi.
“Antarkan kami!” Bentak Oey
Yok Su dengan suara bengis, dan menendang ke dua orang itu.
Tidak berani berayal, mereka
merangkak bangun, membawa Oey Yok Su keluar dari ruangan itu. Di luar, di
lembah Pit-mo-gay, terbentang lapangan rumput yang luas, dengan di samping kiri
kanannya terdapat lamping tebing yang tinggi sekali.
“Pintu Awan berada di atas
tebing itu…….!” Kata salah seorang anak buah Mo-in-kim-kun sambil menunjuk ke
atas tebing itu yang di sebelah kanan.
Oey Yok Su mengangguk,
“Jika memang ternyata nanti
kalian berdusta, hemm, walaupun kalian punya jiwa cadangan sebanyak tiga, tetap
saja kalian akan pergi ke akherat!”
Setelah berkata begitu tanpa
menoleh lagi Oey Yok Su menjejakan kedua kakinya, tubuhnya segera melesat ke
tengah udara. Dia hinggap di sebuah batu yang menonjol, kemudian menjejak lagi,
sikap seperti itu dilakukannya beberapa kali, maka dalam waktu yang singkat,
dia telah sampai di atas puncak tebing.
Keadaan di situ sangat dingin,
juga sekitar tebing itu, diselubungi oleh kabut yang sangat tebal. Tapi Oey Yok
Su tidak melihat seorang manusiapun juga. Oey Yok Su murka bukan main, karena
dia menduga kedua orang anak buah Mo-in-kim-kun telah membohonginya.
Baru saja dia mau melompat
turun lagi, tiba-tiba ia melihat sesuatu terpisah kurang lebih tigapuluh tombak
dari tempatnya berada, terdapat sepotong papan yang dipancangkan di situ, dan
juga papan itu bertulisan:
“Pintu Awan”
Jadi kedua orang anak buah
Mo-in-kim-kun tidak berdusta. Ini memang daerah yang disebut Pintu Awan, hanya
saja di mana beradanya Mo-in-kim-kun? Adakah dia telah menyembunyikan diri.
Oey Yok Su mencari ke sana ke
mari beberapa saat lamanya, hanya saja tetap dia tidak berhasil mencari
Mo-in-kim-kun. Sedangkan orang lainnya pun tidak dilihatnya.
Setelah mencari-carinya sekian
lama, akhirnya Oey Yok Su melompat turun lagi. Tapi tidak melihat ke dua orang
anak buah Mo-in-kim-kun, rupanya mereka telah menyingkirkan diri. Oey Yok Su
mengelilingi lembah itu tetap saja dia tidak berhasil menemukan seorang
manusiapun juga.
Keadaan di lembah itu kosong.
Karena memang lembah itu memiliki banyak sekali jalan rahasia. Untuk sejenak
Oey Yok Su tidak bisa menemukan jejak orang-orang itu.
Dan dia menghampiri batang
pohon yang dilihatnya Kwang It Siansu dulu mendorong dan memutar batang pohon
tersebut, sehingga pintu batu terbuka! Dia mencobanya memutar batang pohon itu.
Namun batang pohon tersebut tak bergeming.
Karena murkanya, Oey Yok Su
menghantam beberapa kali. Batang pohon itu seketika sempal dan berguguran
menjadi bubuk.
Akan tetapi pintu batu tetap
saja tidak terbuka. Dan ini telah membuat Oey Yok Su penasaran. Dia mencobanya
beberapa kali. Tapi batang pohon itu seperti telah dipantek mati dan tidak bisa
digerak-gerakkan lagi. Rupanya telah diganjal di bagian bawah.
Oey Yok Su berdiri sekian
lamanya dengan hati diliputi kemendongkolan, sampai akhirnya dia mencarinya di
sekitar tempat itu, kalau-kalau ada jalan lain. Dia menelitinya, dan diapun
mencari-cari dengan cermat. Tetap saja hasilnya nihil. Tidak seorang manusiapun
yang dijumpainya.
Akhirnya Oey Yok Su menggumam
sendiri: “Hemmm. aku ingin melihat, berapa lama kalian tidak keluar-keluar dari
jalan rahasia itu? Atau memang kalian mau mati kelaparan! Sebanyak-banyaknya
persediaan makanan tentu tidak akan mencukupi untuk bersembunyi terus menerus
selama satu bulan! Biarlah aku yang akan menantinyi di sini!”
Setelah menggumam seperti itu,
Oey Yok Su menoleh kepada Kim Lo, katanya: “Kim Lo, kita menuggu
manusia-manusia rendah itu disini…….. Selama ini, untuk mengisi waktumu yang
senggang, baiklah kau berlatih ilmu silat yang akan kuwariskan kepadamu.
“Kau harus belajar dengan
tekun, karena seperti kau lihat, betapa di dunia ini terdapat banyak sekali
manusia busuk. Jika kau tidak memiliki kepandaian, niscaya kelak engkau akan
dihina orang…….”
Kim Lo tertawa,
“Kong-kong, bukankah ada kau?
Siapa yang berani menghinaku,” katanya.
Oey Yok Su terpaksa tersenyum
mendengar kata-kata Kim Lo, dia bilang kemudian: “Benar, selama Kong-kong masih
hidup, tentu tidak ada orang yang berani menghinamu. Tapi, Kong-kong tokh
akhirnya pasti mati, meninggalkanmu, dan usia tua akan menyebabkan Kong-kong
akhirnya menemui ajal. Di waktu itulah kau akan sendirian, dan kau harus
memiliki kepandaian yang tinggi……, dengan demikian tidak mudah orang menghina
dirimu!”
Sambil berkata begitu. Oey Yok
Su mengusap-usap kepala ‘cucu’ nya, diapun telah mengawasi mukanya karena dia
merasa kasihan sekali, di mana muka Kim Lo demikian buruk, seperti muka seekor
kera. Entah bagaimana kelak nasibnya anak ini, jika dia telah dewasa.
Dan tentu yang sulit lagi
adalah mencarikan jodoh untuk Kim Lo kelak. Dan juga mungkin pula jarang atau
sama sekali tidak ada gadis yang bersedia dipersunting untuk menjadi isteri Kim
Lo.
Terpikir seperti itu, Oey Yok
Su jadi menghela napas beberapa kali. Walaupun Kim Lo bukan darah dagingnya,
tapi ia sangat sayang sekali. Dia telah merawatnya sejak bayi dengan sendirinya
dia merasakan seperti juga kakek kandung anak ini. Itulah sebabnya, jika memang
anak ini kelak mengalami kesulitan, tentu hatinya tidak akan tenang.
Begitulah, Oey Yok Su
berjaga-jaga di lembah tersebut. dia tidak mau meninggalkan lembah itu sebelum
Giok-sie berhasil diambilnya dari tangan Mo-in-kim-kun.
<>
Angin berhembus dingin di luar
kota Bun-an-kwan, sebuah kota kecil, di sebelah selatan dari kaki gunung
Song-san. Cuaca tidak begitu baik, hujan gerimis memang telah turun menyiram
bumi sejak pagi tadi, banyak orang yang berteduh di rumah makan ataupun warung
arak.
Mereka tidak meneruskan
perjalanan. Mereka kuatir kalau-kalau cuaca yang demikian buruk akan membuat
mereka terangsang angin jahat dan akhirnya bisa membuat mereka sakit.
Tapi di antara rintik hujan
gerimis, tampak seorang penunggang kuda yang tengah melarikan kuda
tunggangannya dengan cepat sekali, kuda itu mencongklang seperti juga balap.
Hujan yang turun rintik-rintik itu, tidak diperdulikan oleh penunggang kuda
itu.
Dan iapun mahir sekali
menunggang kuda, karena dijalan yang licin oleh air hujan, tak diacuhkannya. Ia
tidak berkuatir kalau-kalau kudanya itu tergelincir dan bisa membuat dia
terguling. Tetap saja kuda tunggangannya dilarikan untuk menghampiri pintu
kota, yang sudah tampak di kejauhan.
Banyak orang-orang yang tengah
berteduh melihat penunggang kuda itu, mereka menggeleng-gelengkan kepala
masing-masing: Orang itu benar-benar mencari penyakit, melakukan perjalanan di
kala turun hujan seperti ini! Mungkin dia memiliki urusan yang sangat penting
sekali!
Penunggang kuda itu tidak
memperdulikan sekelilingnya, juga tidak mengacuhkan tatapan mata dari
orang-orang itu, dia membedal terus kudanya, karena ia tampaknya ingin
cepat-cepat tiba di pintu kota. Dialah seorang pemuda yang mungkin baru berusia
sembilanbelas tahun, wajahnya tampan sekali.
Sepasang alisnya tebal seperti
potongan golok Thian-to dan tubuhnya yang tinggi itu tegap, kekar. Dia
mengenakan baju dan celana putih, sehingga tampaknya gagah. Cuma saja baju
maupun celana putihnya telah kotor kecipratan air lumpur.
Akhirnya pemuda baju putih itu
tiba juga di pintu kota. Dia melihat ada sebuah rumah makan kecil di pintu
kota, kudanya dilarikan menuju ke rumah makan itu. Begitu tiba dia segera
melompat turun dari kudanya, gerakan tubuhnya sangat ringan, dia hinggap di atas
rumah tanpa kurang suatu apapun juga.
Seorang pelayan yang
menyambutnya dengan sikap hormat, telah diserahkan tali kendali kudanya.
“Beri makan secukupnya!” kata
pemuda itu pada si pelayan. Dia juga telah mengeluarkan dua tail perak,
diberikan kepada pelayan itu.
Tentu saja pelayan tersebut
kegirangan, ia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dia juga berjanji akan
merawat kuda si pemuda sebaik-baiknya.
Tapi waktu pelayan itu hendak
memutar tubuhnya membawa kuda si pemuda baju putih itu telah mengulurkan
tangannya, memegang pundak si pelayan,
“Tunggu dulu, Lopeh, apakah
kau melihat rombongan kerajaan yang lewat di kota ini?” tanya pemuda itu
kemudian kepada pelayan waktu pelayan itu telah menahan langkah kakinya.
Pelayan itu mengangkat
kepalanya, mukanya berobah, kemudian dengan senyum dipaksakan dia bertanya:
“Apakah kongcu teman mereka?”
Pemuda baju putih itu
menggeleng. “Bukan! Jadi mereka telah lewat disini?”
Pelayan itu telah mengangguk.
“Bahkan sekarang mereka semua
berkumpul di rumah penginapan ‘Say-koan’ dan ‘Cie-koan’. Mereka sangat galak
sekali! Aku saja telah ditempelengnya beberapa kali waktu salah bertanya!”
Pemuda baju putih itu tampak
girang. Dia segera bertanya: “Di mana letak dari dua rumah penginapan itu?”
“Di jalan Tie-cung……. itulah
dua rumah penginapan yang terbaik dikota ini! Jika memang kongcu hendak pergi
ke sana kau harus hati-hati. Bersalah sedikit saja, baik bicara atau, tingkah
laku kita, pasti tentara kerajaan akan menderamu!
“Dan kau bisa pergi ke sana
dengan. mengambil jalan di kiri ini, terus lurus. Nanti tiba di jalan bercagak
tiga, kau mengambil jalan yang kanan, terus saja, nanti juga kau akan tiba di
rumah penginapan itu!”
Pemuda baju putih itu
mengangguk. “Terima kasih untuk keteranganmu ini. Lopeh!” katanya.
Dan ia telah melangkah masuk
ke rumah makan, ia duduk dan memesan beberapa macam makanan. Kemudian makan
dengan cepat ketika pelayan telah menyajikan makanan yang dipesannya.
Selesai makan ia membayarnya
dan memberi hadiah dua tail perak kepada pelayan yang melayaninya. Walaupun
hujan gerimis masih turun juga, pemuda baju putih itu tak memperdulikannya. Ia
telah keluar dari rumah makan itu, menerobos hujan untuk mengikuti petunjuk si
pelayan, guna mencapai rumah penginapan “Cie Koan” dan “Say-koan”.
Benar saja, setelah ia
melewati jalan yang diberitahukan si pelayan, dari kejauhan dilihatnya dua
rumah penginapan yang api penerangannya menyala terang menderang. Dan suasana
sangat ramai sekali. Karena lebih dari duaratus tentara kerajaan berkumpul di
sana.
Malah, beberapa rumah penduduk
telah mereka tempati, dengan cara setengah memaksa. Penduduk yang rumahnya
dipakai tentara kerajaan telah menyingkir, mereka kuatir kalau-kalau mereka
akan menjadi korban keganasan tentara kerajaan itu.
Memang sudah menjadi rahasia
umum, tentara kerajaan bukanlah manusia baik-baik. Jika mereka tengah mabok dan
melakukan tindakan kasar, tidak mungkin dilawan. Jika memang dilawan, berarti
orang itu mencari penyakitnya sendiri.
Dikala itu melihat pemuda baju
putih tersebut tanpa tagu-ragu telah memasuki rumah penginapan “Say koan”. Dia
melihat keadaan di dalam penuh sesak.
Semua tentara kerajaan itu
tengah berpesta pora. Suara musikpun terdengar mengiringi acara makan-makan
itu. Semacam pesta yang meriah sekali. Terdengar teriakan suara tertawa yang
keras dan juga suara orang bernyanyi-nyanyi mengikuti musik.
Pelayan yang berada di dekat
pintu segera menghampiri si pemuda baju putih.
“Kongcu!” panggilnya.
Pemuda baju putih itu menoleh,
dia segera menanyakan apakah masih ada kamar.
“Menyesal sekali Kongcu.......
seluruh kamar telah disewa oleh kerajaan....... bahkan inipun tidak cukup!
Rumah penduduk dipergunakan juga.
“Menurut keterangan yang kami
terima ini baru sebagian. Sebab tentara kerajaan yang akan datang ke mari
berjumlah enampuluh tujuh kali lipat lebih banyak dari yang sekarang.......
entah apa yang ingin mereka lakukan…….!”
Pemuda baju putih itu
tersenyum.
“Apakah kau mengetahui siapa
yang memimpin pasukan tentara kerajaan ini?” tanya pemuda baju putih itu.
“Menurut keterangan yang
kuperoleh, Kongcu, mereka dipimpin seorang Lhama Merah yang bengis sekali. Juga
Lhama itu.......” Berkata sampai di situ, si pelayan bimbang dia berdiam diri.
Pemuda baju putih itu merogoh
sakunya dia mengeluarkan lima tail perak, disesapkan ke dalam tangan si
pelayan, kemudian tanyanya, “Apa yang kau dengar tentang Lhama merah itu?”
Si pelayan terbeliak matanya
melihat lima tail perak berada di tangannya, dia melirik ke kiri dan ke kanan,
seakan-akan kuatir nanti kata-katanya itu akan ada yang dengar.
“Sesungguhnya....... sejak
kedatangan para tentara kerajaan ini, kota ini jadi tidak aman!” Menjelaskan si
pelayan, sikapnya takut-takut. Dan jika dia berani bicara karena adanya uang
ditangannya itu.
“Mengapa begitu?” tanya si
pemuda baju putih tersebut.
“Dalam waktu enam hari sejak
mereka berada disini, sudah ada sembilan anak gadis penduduk yang lenyap.......
kabarnya untuk pemimpin rombongan tentara kerajaan ini……!”
“Lhama merah itu?” Tanya si
pemuda baju putih tersebut.
Si pelayan mengangguk.
“Benar…….!” Tapi menyahuti
begitu dia melirik lagi kesekitarnya, karena dia kuatir kalau-kalau
perkataannya itu didengar orang lain.
Di waktu itu si pemuda baju
putih telah berkata dengan suara sabar: “Kau jangan takut! Ceritakan apa yang
kau ketahui!” Sambil berkata begitu, dia telah menyesapkan lagi lima tail
perak.
Pelayan itu membuka matanya
lebar-lebar, “Kongcu....... kau?” Tanyanya dengan suara tergagap.
Pemuda baju putih tersebut
segera mengulapkan tangannya. Katanya: “Mari kita pergi, di sana kita bicara
lebih leluasa.”
Pelayan itu mengangguk.
Sedangkan saat itu ada seorang
tentara kerajaan, yang duluk di meja, yang tidak jauh dari si pelayan, telah berteriak
nyaring: “Hai pelayan, ke mari kau!”
Muka pelayan itu berobah
pucat, tubuhnya menggigil, tampaknya dia ketakutan sekali.
“Pergilah kau melayani dia,
nanti kau keluar, aku menunggu di pekarangan!” Bisik si pemuda baju putih,
sambil memutar tubuhnya dan keluar lagi dari rumah penginapan tersebut.
Pelayan itu mengangguk
mengiyakan dan ia telah pergi menghampiri tentara kerajaan itu, yang rupanya
sudah tidak sabar.
Si pemuda baju putih menunggu
sekian lama di pekarangan rumah makan tersebut, akhirnya ia melihat pelayan
yang tadi ke luar juga. Dia telah melihat, pelayan itu keluar dengan muka yang
pucat.
“Kenapa?' tanya si pemuda baju
putih, yang menduga ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan muka yang pucat, dan
mata sering mengawasi ke sekitarnya, pelayan itu bilang: “Mungkin pembicaraan
kita didengar tentara yang tadi…….!”
“Kenapa begitu?” Tanya si
pemuda baju putih.
“Karena tadi ia menanyakan apa
yang telah kubicarakan dengan Kongcu, dan ia menanyakan siapa adanya kongcu?”
menjelaskan pelayan itu.
“Kau jangan kuatir, Lopeh. Dia
tak mendengar apa-apa, ia cuma heran mengapa kita bicara bisik-bisik!” Kata
pemuda baju putih. “Nah sekarang kau ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang
Lhama baju merah itu, yang menjadi pimpinan dari pasukan tentara kerajaan ini!”
“Lhama merah itu sesungguhnya
seorang Lhama yang cabul sekali!” Menjelaskan si pelayan, “Dia….. dia selalu
merusak kehormatan gadis-gadis yang diculiknya!”
“Apa kau yakin akan hal itu?”
tanya si pemuda baju putih.
Pelayan itu mengangguk.
“Ya....... karena beberapa
orang kawanku, yang kebetulan hendak mengantarkan makanan ke kamarnya, telah
memergoki dia sedang melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk! Itulah sebabnya
mengapa kami mengetahui bahwa gadis¬gadis yang belakangan ini lenyap terculik,
tidak lain terjatuh di tangan Lhama tersebut.”
“Apakah kalian tidak
melaporkan hal itu pada tie-kwan?” Tanya si pemuda baju putih.
“Kami mana berani? Untuk
memberitahukan pada keluarganya saja kami tidak berani, kami tidak pernah
bercerita kepada orang luar, dan baru kali ini aku bercerita kepada Kongcu!
Bila dilaporkan kepada tie-kwan juga akan sia-sia belaka, malah mungkin kami
membuang jiwa. Sebab Tie-kwan mana berani dengan pasukan tentara kerajaan itu?
Kemungkinan, malah akan melindungi perbuatan jahat mereka!”
Waktu berkata begitu, muka si
pelayan tampak pucat pias, ia telah berkata dengan suara yang perlahan: “Apa
yang kuceritakan ini harap tidak diceritakan Kongcu kepada orang lain…….!”
“Jangan kuatir lopeh........
tentu rahasia ini akan kupegang teguh! Dan apa lagi yang lopeh ketahui?” tanya
si pemuda baju putih. “Apa saja yang mereka lakukan selama ini?”
Si pelayan berpikir sejenak,
kemudian ia bilang. “Ya, ya, ada sesuatu yang kukira penting! Beberapa orang
kawanku sempat mendengarkan percakapan mereka. Bahkan aku sendiri pernah satu
kali mendengar percakapan mereka, yaitu mereka menyebut-nyebut tentang
Giok-sie, cap kerajaan!”
Muka si pemuda baju putih
berobah. Dia serius sekali bertanya: “Apa saja yang mereka bicarakan tentang
Giok-sie tersebut?”
“Mereka menyebut-nyebut
Giok-sie berada di tangan Pit-mo-gay, kami tidak tahu apa itu Pit-mo-gay, jika
memang lembah yang ada di gunung Song-san memang kami ketahui bernama
Pit-mo-gay, tapi mereka menyebut orang-orang Pit-mo-gay. Setahu kami di Pit-mo-gay
selain dari iblis dan setan, tidak ada manusia........ Apakah memang mereka
bermaksud pergi ke Pit-mo-gay atau bukan, kami kurang mengetahui jelas!”
Pemuda berbaju putih itu
mengangguk.
“Baiklah Lopeh, terima kasih
atas keteranganmu. Nah, sekarang boleh pergi masuk kembali ke dalam!” katanya.
Pelayan itu memutar tubuhnya,
dia bermaksud untuk kembali ke dalam rumah penginapan.
Tapi tiba-tiba si pemuda baju
putih telah memanggiilnya: “Tunggu dulu lopeh.......!”
Pelayan itu menahan langkah
kakinya, ia memutar tubuhnya.
“Ada apa lagi, Kongcu?”
Tanyanya
“Di mana letak kamar si Lhama
merah itu?” Tanya pemuda baju putih tersebut.
“Di kamar nomor dua…….!”
menjelaskan si pelayan, tampaknya ia terkejut. “Apakah……. apakah Kongcu hendak
mendatangi kamarnya?”
Pemuda baju putih itu
menggeleng.
“Tidak!” sahutnya. “Cuma ingin
tahu saja. Terima kasih Lopeh!” dan setelah berkata begitu, pemuda baju putih
itu melesat gesit sekali menerobos hujan rintik-rintik dan dalam waktu sekejap
mata saja telah lenyap dari pandangan mata si pelayan.
Pelayan itu telah berdiri
tertegun di tempatnya, ia kagum atas kegesitan yang dimiliki pemuda itu.
“Tentu dia seorang Kang-ouw
yang lihay kepandaiannya. Entah siapa dia dan entah apa maksudnya menyelidiki
tentang Lhama merah itu?” berpikir si pelayan.
Diwaktu itu terlihat si
pelayan sudah masuk kembali ke dalam rumah penginapan, sibuk melayani para
tentara kerajaan, yang suara tertawa maupun teriakan mereka sangat berisik
sekali.
<>
Pemuda baju putih itu tidak
memperdulikan air hujan yang turun semakin deras, dia terus berlari ke pintu
kota yang ditujukan. Dia kembali ke rumah makan di mana kudanya di titipkan.
Dia masuk dan duduk di sebuah meja, dia memanggil pelayan.
“Siapkan aku dua kati arak!”
perintahnya
Pelayan itu melayani dengan
segera, karena dia mengetahui pemuda ini terbuka tangannya dan memberi hadiah
yang tidak kecil jumlahnya. Karenanya pelayan ini pun mengharapkan hadiah dari
si pemuda.
Waktu itu, pemuda baju putih
ini duduk mengerutkan alisnya, dia rupanya tengah memikirkan sesuatu, memeras
pikirannya. Ketika pelayan mengantarkan pesanannya, dia tidak mengetahuinya.
Barulah dia tersadar dari lamunannya dan mengucapkan banyak terimakasih waktu
si pelayan mempersilahkan kepadanya untuk meminum araknya.
“Tunggu dulu Lopeh, ada yang
ingin kutanyakan!” Kata pemuda baju putih itu.
Si pelayan berdiri dengen
sikap hormat. Dia menduga tentu dia akan diberi hadiah.
Benar saja, pemuda itu
mengeluarkan lima tail perak, diletakkan di atas meja.
“Uang ini akan menjadi
milikmu!” Kata pemuda baju putih. “Jika memang engkau bisa menolongi aku!”
Mata pelayan itu jadi
terbeliak lebar-lebar, mukanya berseri-seri.
“Katakanlah Kongcu, bantuan
apakah yang bisa kuberikan?” Ternyata ia tidak sabar sambil mengawasi uang di
atas meja itu.
“Aku tadi telah pergi ke rumah
penginapan Say-koan, tapi di sana telah penuh, karena para tentara kerajaan
yang berjumlah sangat besar itu, aku tidak kebagian kamar. Jika memang Lopeh
bisa mencarikan kamar buat aku bermalam satu malaman ini saja, di sini, maka
uang ini boleh Lopeh ambil. Dan orang yang memberikan kesempatan kamarnya
kupakai, akan diberikan duapuluh tail perak!”
Pelayan itu tampak kebingungan
sebentar, kemudian katanya: “Sebenarnya di sini tidak ada rumah penginapan
lainnya selain dua rumah penginapan itu. Jika memang Kongcu tidak mencela, aku
bersedia memberikan kamarku untuk Kongcu pakai. Kongcu bisa mempergunakannya
sekehendak hati kongcu sampai beberapa hari.
Si pemuda baju putih
tersenyum.
“Terima kasih Lopeh. Dan,
apakah kamar itu kamarmu sendiri? Jadi tegasnya, aku membutuhkan sebuah kamar
yang untuk seorang diri, tidak ikut serta tidur orang lainnya!”
“Ya, memang itu kamarku
sendiri. Pintunya bisa dikunci jika memang Kongcu akan ke luar untuk
melihat-lihat keramaian kota,” Menyahuti si pelayan.
Pemuda baju putih itu merogoh
sakunya mengeluarkan dupuluh tail perak lagi, diletakkan menjadi satu dengan
yang lima tail.
“Nah, ambilah buat Lopeh!”
Kata pemuda baju putih itu.
Si pelayan jadi kegirangan
bukan main. Pemuda itu menegak araknya, lalu dia bangun, tanyanya: “Di mana
letak kamar lopeh!”
“Di belakang……!” Dan pelayan
itu cepat-cepat membawakan cawan dan poci arak si pemuda untuk dibawa ke
kamarnya!
Kamar pelayan itu tidak besar,
juga tidak bersih. Tapi itu cukup bagi si pemuda. Dia memang membutuhkan sebuah
kamar!
Dan setelah pelayan itu
mengundurkan diri dengan berulangkali mengucapkan terima kasih, pemuda baju
putih tersebut mengunci pintu kamarnya. Dia duduk bersemedhi di pembaringan,
untuk mengatur pernapasannya sambil beristirahat dan memelihara tenaganya karena
memang malam ini ia akan melakukan sesuatu yang membutuhkan tenaga yang sangat
besar.
Waktu beredar terus dengan
cepat, dan sebentar saja sang malam telah larut. Keadaan di warung arak itu
sepi sekali, yang terdengar di kejauhan suara binatang malam.
Ketika kentongan kedua
terdengar, pemuda baju putih itu merasa waktunya telah tiba, segera ia melompat
dari pembaringan. Karena tadi dia bersemedhi dengan pakaian utuh dan tidak
dibuka, segera ia bisa cepat sekali meninggalkan kamarnya lewat jendela kamarnya.
Gerakan tubuhnya sangat
ringan, diapun telah melompat ke atas genting. Gin-kang pemuda itu memang mahir
sekali.
Jika orang yang melakukan
jalan malam tentu akan memakai baju Ya-heng-ie tapi justeru pemuda sengaja
memakai baju putih, tanpa salin lagi, dan ia jadi terlihat jelas dalam
kegelapan malam. Cuma saja, karena gin-kangnya yang sangat mahir gerakannya
jadi begitu cepat, dan tubuhnya berkelebat seperti juga bayangan putih saja.
Jika ada orang yang
melihatnya, niscaya akan menduga sosok bayangan putih yang seperti terbang itu
adalah sosok bayangan hantu yang mengerikan sekali. Dan tentu saja, tidak akan
ada seorang pun juga yang telah menduga bahwa itu adalah seorang pemuda, yang
memang memiliki gin-kang telah mahir sekali.
Pemuda baju putih itu langsung
menuju ke rumah penginapan di mana para tentara kerajaan bermalam.
Keadaan di rumah penginapan
itu tampak ramai walaupun hari sudah larut malam. Dan ketika pemuda baju putih
itu pergi ke rumah penginapan yang satunya lagi, keadaan sama saja tetap ramai,
banyak tentara kerajaan yang belum lagi tidur, tengah mabok-mabok dengan
minuman arak, berisik suara mereka, tertawa dan bercerita satu dengan yang
lainnya.
Pemuda baju putih telah
menyelusup ke dalam rumah penginapan yang satunya, yang siang tadi telah
diselidikinya, di mana Lhama merah yang memimpin pasukan tentara kerajaan itu
berada. Karena menyadari bahwa para tentara kerajaan yang berada di rumah
penginapan itu bukan orang sembarangan. dan mereka tampaknya memang memiliki
kepandaian dan ilmu silat yang tinggi, dengan sendirinya dia berlaku hati-hati
sekali.
Dengan mengandalkan ginkangnya
yang memang tinggi, dia bisa menyusup masuk ke penginapan itu, lewat atas
genting, tanpa seorang tentara kerajaanpun yang mengetahuinya.
Dalam keadaan seperti itu,
terlihat pemuda baju putih ini telah menempatkan diri di langkan belakang rumah
penginapan. Dia melihat dua orang pelayan rumah penginapan tengah mengobrol di
dapur, dan mereka tampaknya senang sekali:
“Lhama merah itu sangat pemurah
hati karena dia telah memberi hadiah padaku sebesar sepuluh tail perak. Kata
pelayan yang seorang.
“Ya…...” Mengangguk kawannya.
“Dia pun telah memberikan hadiah padaku sepuluh tail perak juga!”
Pemuda baju putih itu tidak
membuang-buang waktu lagi, dia melompat turun dengan ringan.
Dua orang pelayan itu kaget,
mereka mengawasi dengan mata terbeliak lebar-lebar karena tahu-tahu ada sesosok
bayangan putih berdiri di hadapan mereka.
Belum lagi mereka tersadar
dari tertegunnya, justeru pemuda baju putih itu telah mengulurkan tangannya,
dia mengcengkeram dada ke dua pelayan itu!
“Jika kalian menimbulkan
keributan, maka kalian akan kubinasakan!” Katanya dengan suara yang dingin.
“Hemmm rupanya memang kalian masih ingin hidup bukan? Kalian harus baik-baik
menjawab pertanyaanku!”
Kedua pelayan itu ketakutan
mereka merasakan cengkeraman tangan pemuda itu pada baju di dada mereka kuat
sekali, sampai untuk bernapas saja sulit. Karenanya, mereka tahu, jika pemuda
baju putih itu menambah tenaganya, niscaya mereka akan tercekat dan tidak bisa
bernapas, berati kematian buat mereka.
“Apa....... apa yang Kongcu
inginkan?” Tanya mereka dengan suara terbata-bata.
“Aku…….?” Pemuda itu mengawasi
sekelilingnya, tidak ada urang lain, barulah dia meneruskan kata-katanya:
“Beritahukan di mana letak kamar Lhama itu!”
Mata kedua pelayan itu
terbeliak lebar-lebar.
“Apakah…... apakah Kongcu
sahabat Taysu itu?” tanya salah seorang pelayan itu!
“Cepat beritahukan di mana
kamar Lhama itu!?” Bentak si pemuda baju putih, dia pun mengerahkan tenaganya
mencengkeram lebih kuat dari tadi sehingga napas kedua pelayan itu jadi sesak
dan mereka jadi gelagapan!
Di waktu itu, salah seorang di
antara ke dua pelayan itu telah berkata dengan ketakutan: “Kamar Lhama itu……
kamar Lhama itu terletak di lorong kedua….. di atas lorong…… dia menempati
kamar yang paling depan karena kamar itu merupakan kamar nomor satu di rumah
penginapan ini.”
Pemuda baju putih itu
mengangguk.
“Baiklah! Aku akan pergi
melihatnya! Jika memang kalian berdusta, aku akan datang lagi untuk mengambil
jiwa kalian!”
Setelah berkata begitu, pemuda
baju putih ini menotok jalan darah ke dua pelayan itu, mereka segera lemas dan
tidak bertenaga, tubuh merekapun tidak dapat bergerak lagi. Malah mereka telah
diseret ke pinggir, dan diletakkan di dalam dapur.
Pemuda baju putih itu melesat
ke atas loteng, dan setelah berada di tingkat loteng itu dia bersikap hati-hati
sekali. Rupanya pemuda baju putih ini menyadari bahwa Lhama itu memiliki
kepandaian yang tinggi, belum lagi anak buahnya yang berada di kamar berdekatan
dengan Lhama itu. Suara yang sekecil apapun juga akan membuat mereka bercuriga.
Karena itu pemuda baju putih ini melangkah dengan tidak bersuara sedikitpun
juga.
Setelah tiba di depan kamar
yang paling besar, terletak di ujung lorong kedua, pemuda ini melesat ke atas.
Dia berdiri di atas genting. Hati-hati sekali, dia menggeser genting, dia
melihat ke bawah.
Sinar api penerangan memantul.
Sengaja si pemuda berpakaian baju putih ini tidak membuka lebar-lebar genting
itu, hanya cukup mengintai ke bawah saja. Dia melihat di dalam kamar itu memang
terdapat seorang Lhama yang bertubuh tigggi besar, dan waktu itu di dalam kamar
ada seorang gadis yang tengah menangis di hadapan Lhama itu.
Sedangkan Lhama tersebut
tengah berkata:
“Kau harus mematuhi
perintah-perintahku, jika memang kau masih ingin hidup, nona!”
Gadis itu tampaknya ketakutan
sekali, di antara isak tangisnya, ia bilang, “Taysu….. ampunilah aku, jangan
memperkosaku, karena bulan mendatang aku sudah akan menikah dengan
tunanganku….. janganlah Taysu menghancurkan kebahagiaanku.......!”
Lhama itu tertawa. Dan tidak
marah mendengar kata-kata gadis itu, dia bilang: “Aku tidak akan memperkosamu! Percayalah!
Aku cuma ingin kau harus patuh pada setiap perintahku! Satu yang kujamin bahwa
aku tidak akan memperkosa dirimu!
“Percayalah! Jika memang aku
ingin memperkosa dirimu sangat mudah sekali, bukankah Lolap bisa menotok jalan
darahmu, kau tidak bisa berdaya dan tidak bisa bergerak dan aku akan
memperkosamu?
“Tapi percayalah, aku tidak
akan memperkosamu. Nona mau mempercayai kata-kata Lolap, bukan? Dan lihatlah,
Lolap adalah seorang Lhama suci, yang tidak akan berdusta!”
Gadis itu dengan air mata berlinang-linang
mengangkat kepalanya menatap pendeta itu. Ia sangat cantik, usianya masih muda,
mungkin baru duapuluh tahun, hidungnya mancung, matanya jeli. Tapi pipinya
penuh dengan air mata, wajahnya juga pucat pasi, ia menatap tidak percaya akan
kata-kata Lhama itu.
“Benarkah Taysu tidak akan
memperkosaku?” tanya gadis itu kemudian.
Lhama baju merah itu
mengangguk,
“Ya....... Lolap telah
berjanji dan Lolap tak akan menarik kata-kata yang Lolap ucapkan! Percayalah
bahwa lolap tidak akan memperkosamu!”
Si gadis mulai bisa menguasai
dirinya.
“Jika memang........ jika
memang Taysu tak akan memperkosa diriku, aku bersedia untuk mematuhi semua
perintah Taysu walaupun harus mengerjakan apapun juga yang berat.......!”
“Bagus! Tidak ada pekerjaan
yang berat untukmu, nona manis!” kata Lhama itu. “Sangat ringan sekali. Malah
setelah selesai, kau diperbolehkan untuk pulang! Jangan mengambil sikap seperti
gadis-gadis sebelumnya.
“Mereka dungu sekali. Mereka
terlalu bodoh. Mereka tidak mau mempercayai Lolap. Mereka telah berusaha
melawan dan hendak membunuh diri. Maka setelah mereka melakukan tugasnya,
mereka dibinasakan!
“Tapi jika gadis seperti kau
yang mengerti, dan mau melaksanakan perintah Lolap secara baik, lalu kau juga
berjanji tidak akan membuka rahasia ini kepada siapapun juga akan menutup
mulut, kau akan Lolap bebaskan. Mengertikah kau nona manis?”
Gadis itu mengangguk. Sekarang
diwajahnya terdapat harapan lagi untuk hari-harinya yang baik. Semula waktu
pertama kali ia merasa dari dirinya diculik, dia tengah ketakutan setengah
mati, karena ia segera menduga dirinya pasti hendak diperkosa. Tapi sekarang
setelah mendengar kata-kata Lhama itu, dia jadi lebih tenang.
“Katakanlah, perintahkanlah
Taysu, apa yang harus kulakukan?” Tanya gadis itu, kemudian. “Akupun berjanji,
demi langit dan bumi, bahwa aku setelah keluar dari ruangan ini akan menutup
mulut rapat-rapat dan tidak akan membicarakan sepatah katapun tentang keadaan
di sini!”
“Bagus! Kau seorang gadis yang
pintar nona manis!” Kata Lhama itu, tampaknya dia senang sekali!
“Nah, sekarang perintahkan
Taysu, apa yang harus kulakukan?” Tanya gadis itu.
“Sabar…...!” Lhama itu
tertawa, dan dia telah menatap gadis itu dalam-dalam. Gadis itu menggidik
melihat sinar mata itu, dia jadi ketakutan lagi dan menundukkan kepalanya.
“Taysu……!” suara gadis itu
terdengar lirih sekali, rupanya ia mulai ketakutan lagi.
Lhama itu, yang tidak lain
dari Bun Ong Hoat-ong, tertawa lebar, matanya bersinar tajam, dia bilang:
“Jangan takut…… jangan kuatir, percayalah Lolap tidak bermaksud memperkosamu!
Sebagai orang beribadat tentu saja Lolap tidak akan mendustai dirimu!”
Si gadis ragu-ragu, diwaktu
itu dari matanya menitik butir-butir air mata yang deras lagi. Tangannya juga
menggigil gemetar.
Bun Ong Hoat-ong mengawasi
gadis itu, dia tersenyum dengan penuh arti, dia juga mengawasi si gadis dengan
sinar matanya berkilat menyala.
Kembali gadis itu tertegun.
“Taysu…… apakah aku akan
diperintahkan lagi?” tanya si gadis, gemetar suaranya di antara isak tangisnya.
Bun Ong Hoat-ong tertawa,
“Ya. Percayalah…… Lolap cuma
ingin melatih ilmu tenaga dalam Lolap dengan sebaik-baiknya! Jika memang kau
patuh terhadap semua perintahku tanpa rewel, tentu kau tidak memperoleh
kesulitan!”
Gadis itu memandang Bun Ong
Hoat-ong dengan sikap setengah percaya dan tidak. Akhirnya dia bilang: “Tapi,
Taysu sungguh-sungguh berjanji tidak akan menggangguku, bukan? Tidak akan
memperkosaku?”
Bun Ong Hoat-ong mengangguk.
“Ya........!” Kata Bun Ong
Hoat-ong, sekarang dia bicara tanpa senyum.
“Ini…… ini…..” suaranya
tergetar sangat dan dia memandang si pendeta dengan tubuh menggigil menahan
rasa takut.
Tapi, dia teringat kepada
janji Bun Ong Hoat-ong, yang berulang kali berjanji tidak akan memperkosa
dirinya, bahkan tidak akan menyentuh tubuhnya. Karena dari itu, ia yakin, tentu
ia akan dapat mempertahankan kehormatan dirinya, kalau saja ia mematuhi semua perintah
si pendeta dan dia yakin pendeta itu tentu akan menepati janjinya. Bukankah dia
seorang Lhama?
Dan dia bertekad di dalam
hatinya kalau memang Lhama itu melanggar janjinya dan hendak memperkosanya,
disaat itu ia akan menghabisi jiwanya sendiri, dia akan membunuh diri untuk
mempertahankan kehormatannya.
Perlahan-lahan si gadis
mematuhi perintah si pendeta. Di samping itu, air matanya menitik berlinang
deras sekali. Gadis ini sangat ketakutan. Sampai dia berdiri menangis tanpa
berani mengangkat kepalanya.
Disaat itu Bun Ong Hoat-ong
telah tertawa, ramah tertawanya.
Sedangkan gadis itu mulai
tenang. Dia mulai mempercayai kata-kata Bun Ong Hoat-ong, bukankah si pendeta
tidak menubruk dan tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia hendak memperkosa
dirinya? Bukankah pendeta itu juga telah berdiri tetap ditempatnya malah
lengkap dengan jubah dan pakaiannya.
Perlahan-lahan gadis itu
mengangkat kepalanya. Dia memandangi si pendeta.
“Apakah….. apakah sekarang ini
aku sudah selesai, Taysu?” tanya si gadis, suaranya perlahan, dan dia tidak
sekuat seperti tadi.
Bun Ong Hoat-ong berdiam diri
sejenak, kemudian menggeleng perlahan.
“Belum! Kau masih harus
memenuhi beberapa perintahku lagi! Kau harus melakukannya dengan
sebaik-baiknya!”
“Apa lagi yang harus
kulakukan, Taysu?” tanya gadis itu.
“Kau harus duduk bersemedhi di
pembaringan itu. Duduk dengan bersila dan matamu dipejamkan rapat-rapat. Apapun
yang terjadi, kau tidak boleh membuka matamu. Dan jika kau melanggar, dan kau
membuka matamu, hemm, jiwamu berarti akan dikirim ke akherat. Dan Lolap bicara
ini tidak main-main kau harus sungguh-sungguh mematuhkannya!”
Gadis itu jadi heran, tapi
perasaan takutnya jadi berkurang. Ia dipersilahkan duduk bersemedhi di
pembaringan dengan mata tertutup. Tentu saja dalam keadaan duduk bersila dan
bersemedhi seperti itu, tidak mungkin si pendeta bisa memperkosa dirinya,
karenanya ia jadi girang dan terhibur.
Disamping itu timbul perasaan
herannya. Hatinya bertanya-tanya, entah apa yang hendak dilakukan si pendeta,
dengan mengawasi ia dalam keadaan duduk bersemedhi di pembaringan. Lalu,
mengapa ia dilarang untuk membuka sepasang matanya, walaupun apa yang terjadi
di sekitarnya.
Tapi gadis itu tidak berani
berayal. Ia telah duduk di pembaringan, menyilangkan kakinya, duduk bersila,
dan tangannya didekapkannya, bersemedhi, sepasang matanya juga dipejamkan.
Jantungnya berdegup keras, ia berpikir-pikir, entah apa yang dialaminya
selanjutnya.
Si pemuda berbaju putih yang
sejak tadi menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar itu, sesungguhnya
diliputi kemarahan yang bukan main. Dia bertekad jika Bun-ong Hoat-ong hendak
memperkosa gadis itu, disaat itulah baru ia akan melompat turun dan akan
menggempur si pendeta.
Tapi pemuda yang baju putih
itu menjadi terheran-heran, karena si pendeta tidak memperlihatkan maksud dan
keinginannya buat memperkosa gadis itu. Malah dilihat dari sikap si pendeta,
sama sekali ia berniat tidak baik pada si gadis. Memang dari sinar matanya
terlihat dia menginginkan apa yang dilakukan si gadis.
Namun tetap saja pendeta itu
tidak melakukan gerakan dan tindakan yang menunjukkan dia hendak memperkosa
gadis itu. Dan hati si pemuda bertanya-tanya, entah apa yang ingin dilakukan
dengan memerintahkan gadis itu duduk bersila, bersemedhi di pembaringan dan
memejamkan matanya?
Pemuda baju putih itu jadi
mengawasi terus dengan penuh perhatian. Dan siap siaga karena begitu si pendeta
bermaksud tidak baik dan memperkosa gadis itu dia akan segera mencegah dan
menempur pendeta itu.
Dia juga telah mempersiapkan
beberapa batang jarum di tangannya yang akan dipergunakannya jika memang si
pendeta bermaksud buruk pada gadis itu. Jarum rahasia itu dapat dilontarkan
pada saat yang tepat.
Waktu gadis itu masih duduk
bersila di pembaringan dengan se-pasang mata yang terpejamkan. Dan ia terlihat
gemetaran, tubuhnya tergoncang dan dadanya turun naik, karena memang dia tengah
menekan perasaan takutnya.
Bun-ong Hoat-ong melangkah
mendekatinya dan perlahan-lahan berdiri di pinggir pembaringan, matanya
berkilat tajam sekali. Perlahan-lahan tangan kanannya mencabut sebatang pedang
pendek, yang dihunus dari balik jubahnya.
Pemuda baju putih yang ada di
atas genting jadi kaget tidak terkira. Apa yang hendak dilakukan pendeta itu
terhadap diri si gadis?
Dan dia benar-benar jadi
tergetar hatinya, tegang sendirinya. Ia mengawasi tajam dan bersiap-siap hendak
bertindak jika telah tiba waktunya.
Pendeta itu terus mendekati
pembaringan dia menundukkan kepalanya, seperti melihat sesuatu di tubuh gadis
itu. Pendeta itu memburu napasnya.
Dilihat demikian, dengan
tangan mencekal pedang, apakah si pendeta bermaksud mempergunakan pedang itu
mengancam si gadis dan ia akan memperkosanya?
Tapi tidak mungkin!
Pendeta itu tidak membuka
bajunya dan memang tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia ingin memperkosa gadis
itu.
Disaat itu pedangnya
perlahan-lahan diangkat dan didekatkan kepada paha si gadis.
Pemuda baju putih itu
mengawasi terus dengan menahan napas. Dan dia berdebar hatinya, tegang sekali.
Tapi, tiba-tiba pendeta ini
merandek, dia tertegun sebentar, seakan-akan ada sesuatu yang tengah
diperhatikan. Tiba-tiba benar, sangat mendadak, tahu-tahu tubuh si pendeta
telah berdiri tegak, memutar tubuhnya.
Sambil membentak, tangan
kanannya bergerak, maka meluncurlah pedang pendeknya itu ke tengah udara,
menyambar ke atas langit-langit kamar. Dan tujuannya pada jurusannya, tepat
dimana si pemuda baju putih tengah bersembunyi di atas genting!
Pedang pendek itu meluncur
pesat membolos ke atas, dan akan menghujam dada si pemuda baju putih. Untung
saja pemuda baju putih itu berwaspada sejak tadi, dengan demikian, dia bisa
menghindarkan dari sambaran pedang pendek itu cepat sekali, dia telah menggeser
tubuhnya.
Walaupun pedang pendek itu
ditimpukkan si pendeta dengan cepat, namun kenyataannya dia berhasil untuk
menghindarkan diri dengan segera, dan dia telah bisa untuk memperbaiki
kedudukan dirinya. Dia bersiap-siap untuk menghadapi si pendeta.
“Brakkk!” Belum lagi si pemuda
baju putih mengintai ke bawah lagi, genting telah hancur di terjang suatu
kekuatan dari bawah, menyusul mana tampak sesosok bayangan menerjang ke atas.
Rupanya Bun-ong Hoat-ong telah
melesat ke atas, menghantam dengan telapak tangannya, pada langit-langit kamar
yang hancur berikut gentingnya yang jebol, dan ia terus melesat ke atas keluar
dari kamar itu lewat lobang yang dibuatnya itu. Dia telah berdiri di hadapan si
pemuda baju putih.
“Monyet kecil, rupanya sejak
tadi kau mengintai disini, heh?” Bentak Bun-ong Hoat-ong, bengis sekali
suaranya.
Pemuda baju putih itu sangat
kagum untuk tajamnya pendengaran Bun-ong Hoat-ong.
Kiranya, disebabkan si pemuda
diliputi perasaan tegang dan ia menahan napasnya, sambil juga telah
berdebar-debar hatinya, membuat ia jadi tegang dan menginjak lebih keras. Justeru
Bun-ong Hoat-ong tadi tak mengetahui kedatangan pemuda baju putih, disebabkan
seluruh perhatiannya tengah tertumpah ke diri si gadis.
Iapun tengah terangsang.
Karena itu walaupun Bun-ong Hoat-ong memang liehay, tokh ia tak dapat
mengetahui kehadiran pemuda baju putih itu.
Namun siapa tahu, justeru
dikala ia ingin gadis itu, dijadikan korbannya, ia mendengar suara yang
perlahan sekali. Suara atas injakan kaki si pemuda baju putih yang lebih keras
dari sebelumnya.
Seketika ia tersadar, ada
orang yang tengah mengintai di atas genting. Itulah sebabnya sebat luar biasa
dia melontarkan pedang pendeknya, sehingga pedang pendeknya itu meluncur
demikian cepat, disusul dengan tubuhnya yang menerjang ke atas.
Dan Bun-ong Hoat-ong membentak
seperti itu pun bukan sekedar berdiam diri, tangannya bergerak dengan serentak.
Ia telah mencengkeram ke arah pundak pemuda baju putih.
Semuanya dilakukan secepat
kilat. Jika memang orang yang dijadikan sasaran itu hanya memiliki kepandaian
biasa-biasa saja, jangan harap bisa menghindarkan diri dari cengkeraman
tersebut.
Tapi justeru si pemuda baju
putih itu selain mahir gin-kangnya, juga sangat cerdik. Melihat Bun-ong
Hoat-ong muncul, dia memang kaget, tapi segera menjadi tenang, sama sekali dia
tidak jadi gugup.
Ketika melihat tangan si
pendeta bergerak akan mencengkeram pundaknya, cepat sekali dia membarengi
dengan melontarkan jarum-jarum senjata rahasia di tangannya. Dan membarengi itu
juga, tubuhnya mengelak ke samping.
Jarum-jarum yang menyambar
kepada Bun-ong Hoat-ong memang dapat membendung gerakan si pendeta. Lhama itu
harus mengibaskan tangannya buat meruntuhkan jarum-jarum sebab jika tidak,
niscaya jarum-jarum itu akan bersarang di tubuhnya, disamping itu, juga membuat
dia terluka.
Tapi justeru gerakannya itu
yang terlambat. Si pemuda baju putih telah berhasil memperbaiki kedudukan
dirinya.
Bun-ong Hoat-ong mengawasi
bengis, matanya, seperti memancarkan api.
“Sebutkan namamu! Hud-ong
(Raja Budha) tidak ingin membunuh manusia kurcaci yang tidak bernama!” Bentak Bun-ong
Hoat-ong dengan suara bengis.
Pemuda baju putih tidak
gentar, ia berdiri tegak sambil tertawa dingin.
“Kau ingin mengetahui namaku?
Baiklah! Dengar baik-baik! Aku she Siangkoan bernama Yap. Sekarang kau telah
mengetahui namaku, apa yang hendak kau lakukan?” Sambil bertanya begitu, pemuda
baju putih berdiri tegap, menantang sekali.
Muka Bun-ong Hoat-ong merah
padam. Dia seorang tokoh sakti yang sampai Kaisar pun sangat menghormatinya,
maka dari itu, sekarang pemuda ini, yang dianggap masih bau kencur, telah
berani bertindak demikian, kurang ajar. Selain menghina juga telah bersikap
menantang seperti itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah
perkataan, dengan muka yang merah padam seperti kepiting direbus, Bun-ong
Hoat-ong melangkah maju geram sekali tampaknya dia. Dan tangan kanannya
diulurkannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram, seakan juga dia hendak
mencapit pemuda itu.
Inilah jurus yang diberi nama.
“Kepiting Menari” yang sesungguhnya merupakan jurus paling sulit dihindarkan
oleh lawan. Apa lagi Bun-ong Hoat-ong itu telah melatih lebih tinggi dari pada
kepandaiannya selama belakangan ini, dan dengan demikian, dia menyerang bukan
main-main.
Siangkoan Yap juga mengetahui
bahwa serangan lawan kali ini tidak boleh dianggap remeh, salah sedikit dalam
perhitungannya, niscaya akan membuat dia terbang ke neraka! Karena itu ia
segera mengempos semangatnya. Dia menghindar.
Gerakan Siangkoan Yap memang
cepat dan gesit. Tapi rupanya jurus serangan dan Bun-ong Hoat-ong jauh lebih
cepat lagi.
“Brettt!” Terdengar baju
Siangkoan Yap kena dicengkeram robek. Untung saja pemuda itu segera
berjumpalitan, jika tidak, lengan tangannya kena dijepit dan akan menjadi
hancur remuk, berarti selanjutnya dia akan menjadi pemuda bercacad.
Dikala itu Bun-ong Hoat-ong
tidak mau membuang-buang waktu, ia menyerang lagi dengan serangan yang jauh
lebih hebat. Dua kali beruntun Siangkoan Yap harus terdesak, dan barulah
akhirnya ia bisa meloloskan diri berdiri agak jauh dari si pendeta.
Tanpa ayal, tangan kanannya
menghunus senjatanya, sebatang pedang panjang yang berkilauan. Pedang itu
lemas, dan tadinya disimpan di pinggangnya, sebagai ganti dari ikat
pinggangnya.
Memang dilihat dari tempat
ditaruhnya pedang itu jelas pedang di tangan Siang-koan Yap merupakan pedang
mustika, yang lemas dan tajam sekali. Segera juga pemuda itu menebaskan
pedangnya ke arah perut Bun-ong Hoat-ong karena ia memang merupakan seorang
ahli pedang yang tidak mengecewakan, pedang menyambar secepat kilat.
Bun-ong Hoat-ong segera
menyadari pemuda ini bukan sembarangan. Pemuda ini memiliki kepandaian yang
terlatih baik, ilmu pedangnya juga bukan ilmu pedang sembarangan.
Diam-diam Bun-ong Hoat-ong
heran, dia jadi berpikir entah siapa pemuda itu adanya. Biasanya seorang lawan
akan dapat di rubuhkan Bun-ong Hoat-ong dalam beberapa jurus saja, tapi kini
pemuda ini telah bisa melewatkan lima jurus, tanpa kekurangan suatu apapun juga
selain bajunya di lengan kanan yang robek kena dicengkeram.
Di bawah terdengar suara
ramai-ramai. Rupanya anak buah Bun-ong Hoat-ong yang menempati kamar di dekat
kamar Bun-ong Hoat-ong telah mendengar suara menggelegarnya hancur
langit-langit kamar dihantam pendeta itu. Mereka segera keluar dari kamar
masing-masing untuk melihat apa yang terjadi.
Siangkoan Yap menyadari,
menghadapi Lhama seorang diri saja sudah sulit. Jika Lhama itu dibantu oleh
para tentara kerajaan, yang umumnya terdiri dari para pahlawan istana Kaisar,
ia akan memperoleh kesulitan yang lebih besar.
Cepat-cepat Siangkoan Yap
mengempos semangatnya. Ia mengibaskan pedangnya dua kali, kakinya menjejak
genting, tubuhnya mundur beberapa tindak.
“Kau mau kabur kemana?” teriak
Bun-ong Hoat-ong murka.
Memang karena penasaran dalam
bebetapa jurus tidak berhasil merubuhkan pemuda itu, dia bertekad hendak
menangkap hidup-hidup pemuda ini.
Sambil membentak begitu, tubuh
Bun-ong Hoat-ong telah menerjang lincah sekali. Bukan cuma melompat mendekat,
juga dia telah menghantam dengan telapak tangannya.
Pemuda ini tertawa dingin dia
menangkis dengan tangan kirinya, “Bukk!” Tubuh si pemuda tergoncang. Bahkan
Siangkoan Yap merasakan pergelangan tangannya sakit bukan main seakan juga
pergelangan tangan kirinya itu patah.
Tapi dia tidak mau
memperlihatkan kelemahannya di hadapan si Lhama, karena pedangnya segera juga
bergerak, telah menikam dua kali. Benturan dengan itu, tangan kirinya yang
dirasakan masih sakit itu telah merogoh kantong senjata rahasianya, tahu-tahu
dia telah melontarkan belasan jarum kepada Bun-ong Hoat-ong.
Ditikam dua kali dan dihujani
jarum itu, maka Bun-ong Hoat-ong membatalkan maksudnya hendak menerjang lagi.
Dia melompat ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan
oleh Siangkoan Yap untuk melompat lebih menjauhi. Dia berhasil, kemudian dia
memutar tubuhnya untuk menjauhi diri lebih jauh lagi.
Namun dari bawah telah
melompat naik ke atas genting tiga sosok tubuh, yang segera menghadang larinya
Siangkoan Yap.
Tiga sosok tubuh itu adalah
tiga orang tentara kerajaan yang lengkap berpakaian seragam. Tapi gin-kang
mereka tinggi sekali, tentunya mereka adalah pahlawan istana kerajaan yang ikut
dalam rombongan Bun-ong Hoat-ong menyamar sebagai tentara kerajaan biasa.
Mereka pun membentak
berbareng, sambil menyerang dengan senjata masing-masing. Dua orang memakai
golok, sedangkan yang seorang pedang.
Pemuda baju putih itu
mengibaskan pedangnya. Segera terdengar suara “Trang, trang, trang” tiga kali,
karena sekaligus dia telah menangkis tiga senjata lawannya, dua golok satu
pedang.
Tiga tentara kerajaan itu
melangkah mundur selangkah ke belakang terkejut sekali, telapak tangan mereka
pedih dan sakit. Tenaga tangkisan, pemuda itu kuat sekali.
Tapi Siangkoan Yap tak berdiam
diri. Disaat lawannya membuka kepungannya ia membarengi dengan tikaman.
“Cepp…….!” Pundak salah
seorang lawannya kena ditikamnya, sehingga menancap dalam sekali. Pemuda itu
sambil mencabut pedangnya telah melompat untuk menjauhi diri.
Dari bawah melompat naik
beberapa sosok tubuh lagi, tapi Siangkoan Yap sudah tidak memperdulikan itu. Ia
segera membentangkan gin-kangnya untuk lari menjauhi diri.
“Kejar!” terdengar bentakan
Bun-ong Hoat-ong yang mengguntur. “Tangkap hidup-hidup bocah itu!”
Jika Bun-ong Hoat-ong sendiri
yang mengejar Siangkoan Yap, tentu ia bisa mengejarnya dengan sama cepatnya.
Tak mungkin pemuda baju putih itu bisa melarikan diri.
Tapi justeru ia merasa malu,
tahan gengsi, karena dialah pemimpin dari pasukan kerajaan sebagai orang yang
terhormat. Karena dari itu, ia telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan
pengejaran pada Siangkoan Yap dia sendiri tidak ikut mengejar.
Bun-ong Hoat-ong yakin anak
buahnya yang umumnya terdiri dari pahlawan istana yang memiliki kepandaian
tinggi, tentu akan berhasil menangkap Siangkoan Yap. Walaupun pemuda itu
memiliki kepandaian yang tinggi tokh dikepung demikian banyak jago-jago istana
kaisar, tidak mungkin dia bisa melarikan diri terus.
Karena dari itu, tampak dengan
tenang tapi mukanya merah padam karena penasaran dan murka. Bun-ong Hoat-ong
telah kembali ke kamarnya.
Dia melihat si gadis masih
duduk di pembaringan dalam keadaan sepasang mata terpejamkan. Karena bukankah
tadi memang telah dipesannya, agar si gadis memejamkan matanya dan tidak boleh
dibukanya walau apapun yang terjadi.
Dengan tubuh yang ringan, si
pendeta melompat ke atas penglarian. Dia telah menyambar pedang pendek dan
tubuhnya telah turun lagi meluncur ringan hinggap di lantai.
Si gadis yang masih duduk di
pembaringan memang mendengar suara ribut-ribut. Cuma saja, si pendeta telah
berpesan apa pun yang terjadi dia tidak boleh membuka matanya. Maka dia tidak
berani melanggar pesan tersebut, dia terus saja memejamkan matanya, sambil
duduk bersila dengan hati bertanya-tanya.
Bun-ong Hoat-ong menenangkan
hatinya untuk memulihkan kesabaran hatinya. Dan ia berhasil cepat sekali.
Setelah menghela napas
dalam-dalam, dia berusaha melenyapkan kemendongkolannya. Karena dia tahu, tidak
lama lagi anak buahnya akan datang melaporkan kepadanya dengan menyeret pemuda
kurang ajar itu.
Dia lalu mendekati pembaringan
lagi dan mengangkat pedang pendeknya. Di awasi sejenak gadis itu, yang masih
duduk dengan mata terpejam, dia menusukan pedangnya perlahan-lahan.
Gadis itu meringis kesakitan
dan kaget hampir saja dia membuka matanya. Untung saja dia teringat pesan si pendeta,
apapun juga yang terjadi, dia tidak boleh membuka matanya.
Cuma satu yang diyakininya
bahwa dirinya bukan tengah diperkosa si pendeta, karena dia tidak merasakan
tubuh si pendeta melekat pada dia, juga masih duduk bersila. Tidak mungkin
dengan kaki bersilang seperti itu ia diperkosa, dan si pendeta tak mungkin tercapai
maksudnya.
Tapi perasaan sakit itu
membuat ia menduga bahwa ada sesuatu benda yang dimasukan si pendeta. Sakitnya
sebentar kemudian berkurang. Didengarnya suara si pendeta:
“Nah, sekarang telah selesai!”
Gadis itu bertanya:
“Apakah....... apakah aku boleh membuka mataku, Taysu?”
“Ya, bukalah!” Kata si
pendeta. “Sekarang kau boleh bangun!”
Si gadis membuka matanya. Dia
menunduk untuk melirik pada pahanya. Hatinya seperti hendak copot, dia kaget
tidak terkira, karena seketika ia melihat pahanya berlumuran darah.
“Taysu!” Suaranya tergetar
sangat keras menunjukkan dia kaget dan ketakutan sekali. “Ini…… ini……!”
“Tidak apa-apa…… tadi telah
salah menyentuhnya, sehingga mengeluarkan darah. Tapi Lolap telah membuktikan
janji Lolap bukan, bahwa Lolap tidak memperkosa dirimu? Nah pergilah kau……!”
Gadis itu menghela napas
dalam-dalam, agak tenang hatinya. Walaupun ia tidak mempercayai keterangan si
pendeta keseluruhannya akan tetapi memang dia merasakan bahwa dirinya tidak
diperkosa oleh si pendeta. Sama sekali si pendeta tidak menyentuh tubuhnya. Dan
memang pendeta itu memenuhi akan janjinya.
Dia segera turun dari
pembaringan. Dirasakannya pahanya sakit bukan main. Dia meringis. Tapi dengan
menahan rasa sakitnya itu, dia telah bangun kembali. Diam-diam dia masih
bersyukur bahwa tidak sampai diperkosa oleh si pendeta itu.
Setelah selesai, si gadis
bertanya kepada Bun-ong Hoat-ong: “Taysu apakah aku kini boleh pergi
meninggalkan kamar ini?”
“Oh, jangan dulu. Duduklah
dulu…… masih ada yang perlu kau lakukan! Tapi, percayalah, nanti kau tidak
perlu takut........ hanya melakukan sesuatu saja……!”
Si gadis agak tenang, walaupun
masih takut-takut, dia telah duduk di tepi pembaringan.
Dilihatnya, si pendeta
memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, sesuatu yang mengandung darah pada jari
tangan si pendeta. Hati si gadis tercekat lagi.
Apakah benda yang tadi menusuk
pahanya itu adalah mata pedang si pendeta sehingga mendatangkan rasa sakit
seperti itu? Tapi dia tidak berani menduga.
Begitu dia yakin, jika pedang
itu yang menyebabkan rasa sakit itu, jelas pahanya akan rusak, karena pedang
sangat tajam. Dan darah yang mengucur juga akan deras sekali, tidak sedikit
seperti itu, dia jadi mengawasi tegang sendirinya.
Dilihatnya Bun-ong Hoat-ong
telah duduk menghadapi dinding, bersemadhi. Tubuhnya semakin lama gemetar, dan
keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Dari kepalanya, yang botak lanang
itu mengeluarkan uap putih yang tipis, namun semakin lama jadi semakin tebal.
Si gadis heran, apa yang
tengah dilakukan Bun-ong Hoat-ong?
Dia mengawasi sekian lama,
sampai akhirnya dia memperoleh kenyataan tubuh si pendeta menggigil semakin
keras. Dia semakin tidak mengerti.
“Apakah Lhama ini tengah
melatih ilmu sesat dan ilmu hitam?”
Diam-diam si gadis berpikir di
dalam hatinya. Timbul rasa takutnya lagi, tapi tidak sehebat tadi, karena dia
telah dengar janji si pendeta, bahwa selanjutnya dia memang masih perlu
melakukan sesuatu. Tapi yang pasti dia tidak akan diperkosa si pendeta itu.
Bun-ong Hoat-ong tengah
melatih tenaga dalamnya. Tampaknya dia mengerahkan seluruh tenaga dari kekuatan
lweekangnya, diapun telah mengempos seluruh hawa murni ditubuhnya. Dengan
demikian dia herusaha menembus beberapa bagian dari jalan darahnya yang
tertentu!
Keadaan diwaktu itu sangat
sepi dan hening, cuma napas si gadis yang terdengar mendesah disamping rasa
sakit dicekam juga oleh perasaan takut.
Namun dalam kesunyian seperti
itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin.
“Hemmm, sekarang saatnya kau dimampusi
kepala gundul!” Dan membarengi dengan kata-kata itu, tampak berkelebat beberapa
titik sinar terang, yang menyambar ke punggung Bun-ong Hoat-ong.
Hati Bun-ong Hoat-ong
tercekat. Dia kaget tidak terkira. Dia tengah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
lweekangnya, dengan demikian sedikitpun dia tidak boleh terganggu dan pikiran
maupun konsentrasinya tidak boleh terpecahkan.
Justeru sekarang dia datang
seperti itu dia sama sekali tidak boleh mempergunakan tenaganya untuk menyampuk
datangnya jarum-jarum itu. Diapun tidak beleh membagi tenaganya yang tengah
disalurkan pada jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya.
Menyusul dengan berkelebatnya
beberapa sinar itu, justeru telah menyambar lagi sinar yang terang menuju ke
arah batang leher Bun-ong Hoat-ong. Itulah sinar sebatang pedang yang akan
menabas batang leher Bun-ong Hoat-ong.
Si gadis menjerit, dia melihat
sesosok bayangan putih berkelebat menyerang si pendeta. Tapi dia tidak tahu apa
yang akan terjadi.
Dalam beberapa detik itu
Bun-ong Hoat-ong harus dapat memutuskan tindakan apa yang harus dilakukannya.
Karenanya dia telah berseru nyaring, tenaga dalamnya telah dikumpulkan di
Tan-tian, dan diapun mengibaskan tangannya.
Dia membuat seluruh
jarum-jarum yang tengah menyambar ke arah pungungnya tersampok runtuh. Kemudian
pedang yang tengah berkelebat ke arah batang lehernya, telah disentilnya.
“Tringgg…….!” Pedang itu telah
kena disentil. Yang melakukan penyerangan itu tidak lain dari Siangkoan Yap.
Dia girang ketika melihat si
pendeta tengah berlatih tenaga dalamnya seperti itu. Dia cepat-cepat melakuhan
penyerangan, malah waktu pedangnya tengah meluncur, dia girang sekali dan yakin
bahwa tebasan pedangnya akan berhasil mengenai sasarannya tanpa si pendeta
sanggup melakukan suatu apa pun juga.
Tapi betapa kecewanya dia,
karena Bun-ong Hoat-ong memang cerdik sekali. Tenaga dalamnya jika dipergunakan
untuk menangkis akan membuat dia terluka parah, karena dia tengah berusaha
membuka beberapa jalan darahnya.
Namun dasar dianya lihay, dia
telah berseru nyaring dan disaat jalan darahnya tengah bergerak dan darah
berkumpul kembali, hawa murni telah dikumpulkan di tan-tian, yaitu dipusarnya.
Dengan demikian untuk beberapa detik dia bisa mempergunakan kekuatan tenaga
dalam itu untuk menghadapi serangan Siangkoan Yap.
Pedang Siangkoan Yap yang kena
disentilnya telah terpental ke samping, dan hampir saja terlepas dari
cekalannya, karena cekalannya itu jadi mengendur waktu telapak tangannya terasa
sakit sekali, tenaga menyentil dari pendeta itu memang luar biasa, disertai
lweekang yang penuh.
Tapi Siangkoan Yap juga cukup
lihay, dia telah melompat ke samping. Dengan demikian ia berhasil untuk
menjauhi diri dari si pendeta, dia pun telah berhasil mempertahankan pedangnya
tidak sampai terlepas.
Disaat itu tampak si pendeta
masih memiliki waktu yang sedikit, tahu-tahu tubuhnya berputar, kedua telapak
tangannya dipakai mendorong.
Siangkoan Yap seketika
merasakan tubuhnya diterjang oleh kekuatan yang dahsyat sekali, bersamaan
dengan itu terlihat tubuh si pemuda terhuyung mundur, karena Siangkoan Yap yang
berusaha menangkis sepenuh tenaga, dirinya yang terdorong mundur. Untung saja ia
mengimbangi dirinya dan melompat ke belakang satu tombak, lalu memperbaiki
kuda-kuda ke dua kakinya.
Sedangkan si pendeta telah
mendorong lagi kedua tangannya, dari kedua telapak tangan itu meluncur keluar
kekuatan tenaga dalam yang lebih dahsyat.
Baru saja Siangkoan Yap
mengeluh dan hendak melompat menyingkir, tiba-tiba matanya yang tajam melihat
muka si pendeta meringis seakan juga dia menahan sakit mungkin akibat dia
mempergunakan tenaga di dalamnya berlebihan. Dan juga disaat beberapa jalan
darahnya tengah terbuka disebabkan belum lama lalu dia tengah berlatih tenaga
dalamnya itu. Seketika berkelebat serupa ingatan di hati Siangkoan Yap, dia
jadi nekad.
“Biarlah kucoba sekali lagi
buat menghadapinya dengan kekerasan!!” pikirnya maka dia mengempos seluruh
kekuatan tenaga dalam yang ada padanya dan telah menangkis lagi.
“Bukk!” ternyata serangan dari
Bun-ong Hoat-ong tidak sekuat tadi dan Siangkoan Yap merasakan, tenaga si
pendeta jauh lebih lemah dari yang di duga. Dia girang bukan main, terlebih lagi
melihat si pendeta duduk dengan tubuh bergoyang-goyang dan dia rupanya terluka
di dalam yang demikian serius dan hebat.
Mata Bun-ong Hoat-ong
mendelik, walaupun mukanya meringis menahan sakit. Waktu itu, sebetulnya hati
Bun-ong Hoat-ong mengeluh karena dia menyadarinya, sulit buat dia untuk dapat
menghindarkan diri dari si pemuda. Sekali lagi, si pemuda menyerangnya mereka
mengadu kekuatan, niscaya dia tidak akan sanggup menghadapinya.
Sedangkan Siangkoan Yap
sendiri pun kaget, di saat dia tengah kegirangan melihat si pendeta tampaknya
terluka di dalam dan dia mengempos semangat maupun tenaga dalamnya, yang akan
disalurkan pada kedua telapak tangannya, yang akan dipakai buat menyerang lagi.
Dia jadi meringis kaget, karena dadanya terasa, sakit bukan main dan isi
perutnya seperti jungkir balik.
Tanpa disadari oleh Siangkoan
Yap, rupanya tadi waktu pertama kali dia menangkis hantaman kekuatan lweekang
dari si pendeta dia pun telah terluka di dalam.
Kemudian menyusul ia menangkis
serangan yang kedua dari pendeta itu dengan demikian membuat ia semakin terluka
di dalam.
Jika tadi ia tak merasakan
sakit dan perobahan pada tubuhnya, ia malah masih bisa menangkis, karena memang
ia tengah girang dan juga tidak mengetahui bahwa dirinya telah terluka di
dalam. Dengan demikian membuat ia dapat mengerahkan tenaga dalamnya satu kali
pula buat menangkis tenaga dorongan dari si pendeta.
Cuma saja, akibat pengerahan
tenaga dalamnya yang kedua kali itulah, membuat Siangkoan Yap justeru jadi
terluka di dalam yang cukup serius. Dan waktu ia mengerahkan tenaga dalamnya
buat ketiga kali, barulah ia merasakan dadanya sakit dan napasnya sesak,
perutnya seperti jungkir balik.
Malah, waktu kedua tangannya
diangkat, sepasang tangan itu lemas bagaikan tidak memiliki tenaga lagi.
Siangkoan Yap mengeluh, ia
menyesali justeru disaat ia memiliki kesempatan yang sangat baik sekali buat
membereskan pendeta cabul itu, ia telah mengalami luka di dalam yang parah
seperti itu, sehingga ia tidak mungkin menghantam terus.
Tengah Siangkoan Yap berpikir
untuk mempergunakan pedangnya menikam pendeta itu, walaupun menikam dengan
tenaga yang tak berarti, tapi pedang itu akan sanggup membinasakan si pendeta,
didengarnya suara ramai di luar kamar itu. Muka Siangkoan Yap jadi berobah, ia
menyadari bahaya yang mengancamnya, rupanya para pengejar telah kembali dan
tengah mendatangi.
Tanpa berpikir dua kali ia
mambatalkan maksudnya untuk menikam dada si pendeta. Ia menjejakkan kedua
kakinya, tubuhnya melesat ke tengah udara, ia melarikan diri.
Tidak lama kemudian pintu
kemar Bun-ong Hoat-ong diketuk orang. Juga orang bertanya, “Taysu....... apakah
kau sehat-sehat saja?”
Bun-ong Hoat-ong berdiam saja
dengan meringis. Ia memberikan isyarat kepada si gadis, agar pergi membuka
pintu kamar itu.
Si gadis mengerti isyarat dari
si pendeta, dia telah pergi membuka pintu kamar.
Dari luar menerobos masuk
beberapa orang tentara kerajaan, dan mereka terkejut melihat keadaan Bun-ong
Hoat-ong.
“Taysu……. kau…..?!” Mereka
tampaknya terkejut.
Bun-ong Hoat-ong dengan suara
sulit segera bilang: “Totok jalan darah, “Mie-pa-hiat ku” perintahnya.
Tentara itu yang berpakaian
sebagai perwira segera memberi sandi kepada anak buahnya agar pergi keluar
meninggalkan kamar. Dia sendiri melaksanakan perintah Bun-ong Hoat-ong, dia
menotok darah yang diberitahukan si pendeta.
Begitu jalan darah itu
ditotok, segera pendeta dapat bernapas lega.
“Totok lagi, lebih keras!”
Perintah si pendeta.
Perwira itu tampak tertegun
sejenak.
“Taysu......?” Dia rupanya
ragu-ragu.
“Totok yang keras sekuat
tenagamu!” Perintah Bun-ong Hoat-ong.
“Tapi Taysu……. jalan darah
itu…..!”
“Hemmm, kau takut aku mampus?”
tanya Bun-ong Hoat-ong dengan suara mengandung kemarahan. “Totok yang lebih
keras, semakin keras semakin baik!”
Perwira itu tidak memiliki
pilihan lain lagi, ia menotoknya. Memang jalan darah Mie-pa-hiat merupakan
jalan darah yang bisa mematikan. Seseorang yang tertotok jalan darahnya niscaya
akan kehilangan tenaganya dan seketika menemui ajalnya.
Justeru karena itu, si perwira
jadi ragu-ragu waktu ia diminta untuk menotok jalan darah dengan keras. Jika
memang menotoknya cuma mempergunakan tenaga yang tidak seberapa, itulah tidak
membahayakan, tapi jika menotok dengan keras, dengan sekuat tenaganya, terus
Bun-ong Hoat-ong jadi menghadapi bahaya tak kecil.
Tapi karena Bun-ong Hoat-ong
adalah atasannya dan ia diperintahkan begitu, ia tak bisa berayal lagi. Dengan
mengerahkan lweekangnya, perwira tersebut segera menotoknya. Keras sekali.
Wajah Bun-ong Hoat-ong tampak memerah
lagi. Ia mengangguk sambil tersenyum, karena sekarang ia bisa bernapas jauh
lebih lapang dibandingkan dengan tadi.
“Totok lagi, beberapa kali
yang keras!” Kata Bun-ong Hoat-ong.
Perwira itu melihat Bun-ong
Hoat-ong tak mengalami sesuatu apapun juga, walaupun ia telah ditotok seperti
itu pada jalan darahnya. Ia diyakini bahwa, memang Bun-ong Hoat-ong tak akan
mengalami sesuatu apapun juga.
Ia telah menotok lagi, tidak
ragu-ragu seperti tadi, karena ia yakin tentunya Bun-ong Hoat-ong memang
memiliki keistimewaan.
Setelah ditotok beberapa kali,
maka muka Bun-ong Hoat-ong jadi berseri-seri dan ia telah tertawa sambil
melompat berdiri.
“Terima kasih!” Katanya. “Aku
telah pulih kembali!”
Dia segera menceritakan
tentang pembokongan yang dilakukan Siangkoan Yap.
“Ya, kami datang untuk melapor
bahwa telah kehilangan jejak penjahat….. rupanya dia masih memiliki nyali untuk
datang kemari menyerang secara membokong kepada Taysu…….!”
Pendeta itu mengangguk sambil
tertawa dingin. “Hemm, dia memang bisa meloloskan diri, tapi dia tidak mungkin
hidup lebih lama lagi, dia telah terluka di dalam akibat pukulanku!
“Malah, dia masih sempat
mempergunakan tenaga dalamnya, berarti dia akan terluka di dalam yang lebih
parah……. Tidak lama lagi dia tentu akan mampus, paling lama tiga hari dia
mempertahankan hidupnya…….!”
Setelah berkata begitu Bun-ong
Hoat-ong mengibaskan tangannya, perintahkan kepada perwira itu buat
mengundurkan diri.
Setelah si perwira
mengundurkan diri, Bun-ong Hoat-ong mengunci pintu kamarnya. Dia telah memutar
tubuhnya mengawasi si gadis, katanya sambil tersenyum, “Ada rintangan sedikit,
dan kukira kau sabar sekali mau menunggu sampai latihanku selesai bukan?”
Si gadis mengangguk, dia
bilang, “Ya, Taysu........!”
Bun-ong Hoat-ong telah duduk
lagi di depan tembok, dia duduk bersila, dan telah melatih lagi tenaga
dalamnya. Dia merasa sayang jika latihannya akhirnya sia-sia dan tidak
dimanfaatkannya.
Setelah berdiam diri, bersila
seperti itu tubuh Bun-ong Hoat-ong bergeletar lagi. Keringat telah mengucur
keras dan uap putih telah mengepul dari atas kepalanya. Mulanya tipis, tapi
lama kelamaan telah mengepul semakin tebal.
Sedangkan si gadis mengawasi
lagi dengan hati bertanya-tanya, entah sesungguhnya apa yang tengah dikerjakan
si pendeta, dan ilmu apa yang tengah dilatihnya.
Sekarang si gadis tidak
setakut tadi, dia melihat bahwa Bun-ong Hoat-ong tidak bermaksud untuk
memperkosanya. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda ke arah itu.
Jika pada pahanya sakit dan
tadi dilihatnya berdarah sedikit, mungkin itu akibat salah dalam rabahan yang
dilakukan oleh si pendeta. Dan dia tidak begitu menyesali karena asal dia mau
dibebaskan oleh si pendeta dan tidak diganggu, juga tidak diperkosa, dia sudah
bersyukur.
Terlebih lagi, jika dia bisa
cepat-cepat pulang ke rumahnya. Dia berjanji di dalam hatinya kalau benar-benar
pendeta ini tidak memperkosa dan tak mengganggu dirinya dan ia juga
diperbolehkan untuk pulang, maka ia akan menutup mulut terhadap siapa pun juga.
Dia tidak akan menceritakan kepada ayah ibunya atau siapa saja tentang
pengalamannya yang semula sangat menakutkan itu.
Tengah si gadis tertegun
termenung seorang diri mengawasi si pendeta yang tengah melatih diri, Bun-ong
Hoat-ong tampak menyudahi latihannya, ia telah melompat berdiri.
“Selesai!” Kata Bun-ong
Hoat-ong sambil tertawa.
Si gadis dengan penuh harap
segera bertanya: “Apakah aku sudah boleh meninggalkan kamar ini, taysu…..
Lihatlah taysu, tidak lama lagi fajar akan menyingsing.......”
“Tunggu dulu…….!” Kata Bun-ong
Hoat-ong.
Mendengar itu, tubuh si gadis
menggigil ketakutan lagi. Dia menunduk dan melirik takut-takut.
Apakah si pendeta telah
merobah keputusannya dan hendak memperkosanya? Dia hampir saja menangis lagi.
Tapi Bun-ong Hoat-ong tertawa.
“Jangan takut. Kau tidak akan
mengalami sesuatu apapun juga!”
Mata si gadis terbeliak
lebar-lebar.
Tanpa memperdulikan sikap si
gadis yang memandang padanya ketakutan, Bun-ong Hoat-ong telah menghampiri
pembaringan, dan kemudian sambil melirik dia bilang,
“Ayo mulai!”
Gadis itu hampir saja menjerit
ketakutan, dia cuma menangis. Dan dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Apakah pendeta ini telah
sinting? Demikian pikir si gadis.
Melihat gadis itu masih tidak
bergerak dari tempat dan hanya menangis. Bun-ong Hoat-ong jadi tidak sabar dan
dengan suara yang nyaring dia bilang,
“Ayo mulai....... mengapa kau
berdiam diri saja disitu? Dengan menangis tentu urusan tidak selesai!
“Jika engkau telah
melaksanakan perintahku ini, maka kau akan segera kuperbolehkan untuk
meninggalkan tempat ini! Ayo semakin cepat kau menyelesaikan tugasmu, semakin
baik dan kau semakin cepat meninggalkan kamar ini!”
Gadis itu menghapus air
matanya. Dia pikir-pikir biarlah asal dia tidak diperkosa. Dan ini tentu saja
jauh lebih baik jika memang dibandingkan dia diperkosa. Karenanya, dia telah
menghampiri ragu-ragu ke pembaringan.
Bun-ong Hoat-ong menantikan
tidak sabar, dia telah perintahkan lagi agar gadis itu cepat-cepat melaksanakan
perintahnya, karena pendeta ini telah bersiap-siap mengerahkan sin-kang nya,
dia ingin mengempos dan melatih tenaga dalamnya.
Akhirnya gadis itu dengan air
mata bercucuran, telah mulai! Si gadis benar-benar merasa tidak berdaya
Selain itu tubuhnyapun
menggigil keras, dengan air mata yang telah menitik turun membasahi pipinya.
Gadis itu terus juga melakukan
tugasnya sedangkan Bun-ong Hoat-ong mulai mengempos semangat dan tenaga
dalamnya, dia mulai melatih dan menyalurkan tenaga dalamnya.
Dengan seperti itu, si
pendeta, darahnya beredar lebih cepat dari sebelumnya. Dia telah mengempos
semangatnya. Dengan kesempatan seperti inilah tentu dia dengan mudah dapat saja
untuk mengempos dan menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni di tubuhnya.
Gadis itu jadi terbiasa. Dia
akhirnya melakukan dengan cepat.
“Ya!” Tiba-tiba Bun-ong
Hoat-ong berseru.
Gadis itu menyusut air
matanya.
“Taysu, apakah aku boleh
meninggalkan kamar ini?” tanya gadis itu.
“Ya……. kau boleh pergi!”
mengangguk si pendeta.
Agak terhibur hati si gadis.
“Terima kasih, Taysu…...!”
katanya.
Ia agak terhibur hatinya,
karena memang kenyataan yang ada ia tidak diperkosa si pendeta itu. Segera ia
memutar tubuhnya, ia ingin menuju ke pintu kamar, untuk meninggalkan kamar
seperti neraka itu secepat-cepatnya.
“Tunggu dulu……!” Panggil
Bun-ong Hoat-ong, suaranya agak keras.
Semangat si gadis terasa
seperti terbang dan iapun kaget tak terkira. Apakah Bun-ong Hoat-ong telah
merubah keputusannya dan hendak mengada-ada lagi dengan perintahnya. Atau ia
akan diperkosa? Atau memang ia akan dibunuh, dibinasakan?
Dengan muka yang pucat pias
dan tubuh agak menggigil menahan takut, gadis itu memutar tubuhnya, memandang
takut pada Bun-ong Hoat-ong, suaranya juga gemetar waktu ia bertanya: “Ada apa
lagi Taysu?”
“Kau dengarlah baik-baik!”
kata Bun-ong Hoat-ong. “Sekarang kau Lolap bebaskan, kau boleh kembali ke rumah
dan kepada keluargamu.
“Tapi kau harus ingat, jika
memang kau banyak bercerita mengungkapkan apa yang terjadi di sini, hemm,
disaat itu jiwamu tidak akan ada ampunnya lagi, niscaya engkau akan
dibinasakan! Mengertikah kau?
“Karena semua gadis-gadis yang
dibawa ke mari dibinasakan, agar mereka tutup mulut dan tidak bisa menceritakan
kepada siapapun juga apa yang terjadi. Demikian juga halnya dengan kau, yang
seharusnya dibinasakan, tapi mengingat kau memang patuh dan juga kau mau
melakukan apa yang Lolap perintahkan dengan sebaik-baiknya, karena itu Lolap
mau membebaskan kau!”
Setelah berkata begitu, si
pendeta mengawasi si gadis tajam-tajam.
“Aku….. aku berjanji
Taysu....... aku tidak akan menceritakan kepada siapapun apa yang telah kualami
ini…… Aku berjanji Taysu....... aku pasti tidak menceritakan apa-apa....... dan
aku hanya akan mengatakan kepada mereka bahwa aku malam ini menginap di rumah
kawan!” Suara si gadis gemetar.
“Baiklah. Nah, sekarang kau
pergilah!” Kata Bun-ong Hoat-ong sambil mengibaskan tangannya.
Tidak membuang-buang waktu
lagi, gadis itu segera juga meninggalkan kamar seperti neraka itu.
Bun-ong Hoat-ong tersenyum
menyeringai karena ia kini telah berhasil melatih tenaga dalamnya lebih baik
dari yang ke marin. Jika memang dia bisa melatih diri dengan sepuluh atau
duabelas gadis cantik lagi, kelak dia akan bisa menerobos untuk naik tingkat
lagi. Satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu menjadi tingkat
kedelapan dalam melatih tenaga dalamnya yang istimewa itu…….
◄Y►
Pemuda berbaju putih itu,
Siangkoan Yap berlari-lari cepat sekali, dengan tubuh yang sering terhuyung,
menuju ke warung arak, tempat ia menginap. Ketika ia telah berada di dalam
kamarnya, segera ditutup rapat jendela kamarnya diapun melompat ke atas
pembaringan duduk bersamadhi, mengerahkan sin-kangnya.
Ternyata Siangkoan Yap telah
terluka di dalam yang tidak ringan, yaitu tenaga dalamnya tergempur hebat oleh
hantaman tenaga dalam Bun-ong Hoat-ong. Dia menyadari akan luka dalam tubuhnya,
dan ia ingin menyembuhkannya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, karena jika
saja ia berlambat-lambat tentu luka dalamnya itu, kelak akan sulit sembuhnya.
Disamping itu, sebagai seorang
pemuda yang memiliki sin-kang atau hawa murni yang tinggi, dia dapat
mengerahkan sin-kangnya untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Siapakah pemuda berbaju putih
itu yang kepandaiannya sangat lihay itu? Dia tidak lain murid Yang-bun Siansu,
dari Siauw-lim-sie.
Siangkoan Yap merupakan murid
Siauw-lim-sie yang tidak mencukur rambut. Dia telah mengikuti Yang-bun Siansu
selama tigabelas tahun.
Karena itu tidak mengherankan
kalau kepandaian pemuda ini mencapai tingkat yang tinggi. Dia mempelajari ilmu
tenaga dalam yang lurus dan ilmu silat yang bersih dari pendeta Siauw-lim-sie.
Dengan demikian walaupun
kepandaiannya memang masih berada di bawah Bun-ong Hoat-ong ia bisa menghadapi
pendeta beberapa saat lamanya. Cuma saja, karena kekuatan lwekangnya masih
berada di bawah lweekang Bun-ong Hoat-ong, akhirnya ia terluka di dalam yang
tidak ringan.
Jika saja ia tidak terluka di
dalam, sesungguhnya waktu Siangkoan Yap memiliki kesempatan untuk membunuh atau
sedikitnya mencelakai Bun-ong Hoat-ong yang tengah berada dalam keadaan sulit,
sebab dia tengah melatih lweekangnya. Hanya saja sayang sekali, Siangkoan Yap
baru terluka di dalam.
Dan itu pula asalnya mengapa
Siangkoan Yap cepat-cepat meninggalkan kamar Bun-ong Hoat-ong. Pertama ia
kuatir luka di dalamnya semakin parah dan si pendeta dapat mencelakainya.
Juga ia kuatir kawan-kawan
Bun-ong Hoat-ong yang lainnya, para pahlawan istana berdatangan. Tentu, ia akan
menghadapi kesulitan yang tidak kecil.
Sekarang Siangkoan Yap duduk
bersamedhi di pembaringan karena ia ingin memusatkan tenaga dalamnya, untuk
menyembuhkan lukanya dan meluruskan pernapasannya. Sebagai murid Siauw-lim-sie
yang sejak kecil berlatih dengan ilmu yang lurus dan bersih, ia memiliki
lwewkang yang bisa dipergunakan buat menyembuhkan luka di dalam tubuhnya.
Yang-bun Siansu sendiri
sesungguhnya merupakan salah seorang Siauw-lim-sie, dan ia hanya memiliki murid
tunggal yang bernama Siangkoan Yap ini. Sebetulnya Yang-bun Siansu tidak
berhasrat menerima murid, apa lagi murid yang cuma mencukur rambut dan
menggundulkan kepala, dengan demikian dianggapnya hanya merepotkan dirinya.
Tapi siapa sangka, justeru dia
suatu hari menemukan seorang anak lelaki yang tengah menangis kelaparan di tepi
jalan dan waktu ditanyakan siapa anak itu, siapa orang tuanya, di mana
tinggalnya, anak itu cuma menggeleng tidak mengetahui. Dan Yang-bun Siansu sebagai
seorang pendeta yang soleh, segera juga membawa anak lelaki itu pulang ke
gunung Siong-san ke kuil Siauw-lim-sie.
Dia merawatnya dan kemudian
mendidiknya. Dilihatnya bahwa bakat di diri anak ini memang baik, iapun
memiliki tulang-tulang yang bagus, karenanya ia segera mengangkat anak itu
menjadi muridnya.
Yang-bun Siansu memang
memiliki beberapa macam ilmu adalah dari warisan Siauw-lim-sie, yang berasal
dari Tat-mo Cauwsu. Cuma saja ia tidak bercita-cita untuk menjadi jago silat
yang nomor wahid, karena pendeta ini lebih menyukai dirinya menjadi pendeta
yang benar-benar berhasil, yang lebih mementingkan sembahyang dari pada ilmu
silat.
Yang-bun Siansu juga telah
menolongi Kam Lian Cu. Memang dia seorang pendeta yang gemar sekali berkelana
berbeda dengan saudara seperguruannya, dan dia kelak berkelana banyak hal yang
dilakukau si pendeta.
Yang-bun Siansu tidak boleh
menyaksikan sesuatu yang tidak beres, karena ia akan turun tangan untuk segera
juga menangani menolongi orang-orang yang tengah kesulitan. Cuma saja sejauh
itu Yang-bun Siansu selalu mengelakkan diri dari setiap pertempuran, dia lebih
senang untuk menyelesaikan persoalan apa pun dengan baik-baik dengan kedamaian
yang ada.
Sejak kecil Siangkoan Yap pun
telah dilatihnya dengan prinsip itu yaitu setiap urusan dan persoalan, harus
diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan mempergunakan jalan damai. Jika saja
terjadi, memang urusan yang mengancam jiwanya, barulah Siangkoan Yap
diperbolehkan mempergunakan ilmu silat.
Itu pun sekedar untuk membela
diri. Dan Siangkoan Yap dilarang keras mempergunakan kepandaian dan ilmu
silatnya untuk dipamerkan sembarangan kepada orang lain, jika tidak diperlukan
benar.
Siangkoan Yap sendiri
merupakan seorang yang lincah dan gemar bergurau. Dia pun sangat cerdik sekali,
setiap kali menyaksikan sesuatu yang tidak wajar, tentu ia akan menanyakan
langsung kepada gurunya.
Iapun paling senang
mendengarkan cerita gurunya tentang keadaan dunia persilatan. Pengetahuan
tentang Kang-ouw memang cukup luas, karena Yang-bun Siansu tidak pernah
merahasiakannya tentang pengalaman yang pernah dialami oleh si pendeta sendiri.
Dan ketika Yang-bun berusia
duapuluh dua tahunlah Yang-bun Siansu telah memanggil Siangkoan Yap.
Diceritakannya kepada pemuda itu, bahwa di dalam kalangan Kang-ouw tengah
tersebar berita mengenai Giok-sie cap kerajaan.
Tapi Giok-sie itu justeru
menimbulkan badai dan maut di kalangan Kang-ouw banyak yang telah membuang jiwa
dengan sia-sia, hanya ingin merebutkan Giok-sie.
Dan yang lebih menguatirkan
lagi, kini pasukan kerajaan tengah dikerahkan buat pergi ke Pit-mo-gay, untuk
membasmi orang-orang gagah yang berkumpul di sana, semua pencinta negeri,
selain merampas Giok-sie, juga untuk membunuhi mereka.
Katanya Yang-bun Siansu,
perintahkan murid tunggalnya ini pergi ke Pit-mo-gay, jika dapat mengganggu
tentara kerajaan agar rencana mereka gagal. Walaupun bagaimana buruknya tabiat
orang orang di lembah Pit-mo-gay, tentu masih ada baiknya Giok-sie berada di
tangan mereka.
Karena justeru mereka pecinta
negeri dan juga orang-orang Han, dibandingkan dengan tentara kerajaan yang
merupakan penjajah dan juga musuh dari bangsa Han sendiri. Karena itulah
Yang-bun Siansu perintahkan Siangkoan Yap untuk turun gunung.
Memang Siangkoan Yap baru
pertama kali ini berkelana seorang diri di kalangan rimba persilatan, jika
sebelumnya dia memang beberapa kali pernah ikut dengan gurunya.
Dan pemuda ini ingin
mengganggu rombongan tentara kerajaan. Tapi usahanya gagal. Dia telah kebentur
dengan Bun-ong Hoat-ong.
Itupun Bun-ong Hoat-ong tengah
melatih tenaga dalamnya sehingga dia masih bisa meloloskan diri. Jika dalam
keadaan biasa, terang Siangkoan Yap sudah tertangkap oleh Bun-ong Hoat-ong
akibat dari kecerobohannya.
Setelah bersamedhi selama dua
jam lebih, Siangkoan Yap akhirnya berhasil meluruskan pernapasannya. Tapi, ia
masih merasakan dadanya sakit.
Untuk menyembuhkan dan memulihkan
tenaga dalamnya secara keseluruhannya, ia harus memerlukan waktu dalam beberapa
hari lagi. Tapi itu sudah tidak membahayakan dirinya lagi.
Dia bertekad, akan langsung
pergi ke Pit-mo-gay, untuk memberikan kisikan kepada orang-orang Pit-mo-gay dan
juga nanti bantu mereka menghadapi Bun-ong Hoat-ong dengan pasukannya itu.
Siangkoan Yap yakin, jika
sekarang dia bermaksud mengganggu Bun-ong Hoat-ong dengan pasukannya, hanya
seorang diri seperti itu tentu bahaya yang mengancam dirinya sangat besar. Lain
jika memang dia menggabungkan diri dengan orang-orang Pit-mo-gay tentu mereka
bisa bekerja sama dengan baik.
Tengah Siangkoan Yap
bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan kamarnya di warung arak itu tiba-tiba
didengarnya suara ribut-ribut di luar warung arak itu. Malah didengarnya ada
beberapa suara yang halus di atas genting kamarnya.
Hatinya tercekat. Suara yang
perlahan di atas genteng kamarnya bukanlah suara yang wajar dan juga bukan
suara jatuhnya daun, melainkan hinggapan kaki-kaki orang yang memiliki gin-kang
yang mahir.
Ia segera menduga kepada para
pahlawan kerajaan. Segera Siangkoan Yap bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan.
“Anjing kurap, cepat kau
keluar menyerahkan diri!”
Didengarnya suara membentak
bengis sekali, menyusul itu, juga terdengar suara jerit kesakitan, rupanya ada
beberapa orang pelayan warung arak itu yang telah dihajar oleh orang yang
membentak itu.
Siangkoan Yap segera juga
bersiap-siap di samping jendela kamarnya. Dia mengintai keluar.
Hatinya jadi terkesiap juga,
di luar ada belasan orang berdiri dengan sikap bersiap sedia, di tangan mereka
juga tergenggam senjata ta¬jam. Mereka berpakaian seragam kerajaan dan memang
tidak lain dari tentara kerajaan, pasukan dari Bun-ong Hoat-ong.
Tanpa setahu Siangkoan Yap,
rupanya Bun-ong Hoat-ong memang sangat keras dan tegas dalam menjalankan
tugasnya, di mana anak buahnya harus mencari Siangkoan Yap sampai dapat. Karena
mereka merasa yakin Siangkoan Yap memiliki hubungan dengan orang-orang di Pit-mo-gay.
Dan memang para pahlawan itu
akhirnya menemukan jejak Siangkoan Yap. Dari seorang penduduk di sekitar tempat
itu, yang sempat melihat betapa Siangkoan Yap tengah berlari-lari memasuki
warung arak tersebut.
Penduduk itu tengah kepanasan
dan tidak dapat tidur, dan berangin-angin di luar. Sampai akhirnya, datang
pasukan tentara kerajaan yang bertanya padanya apakah melihat seorang pemuda
berpakaian baju serba putih.
Maka penduduk itupun segera
teringat kepadanya yang memberitahukan kepada tentara kerajaan itu bahwa orang
yang mereka cari tadi memasuki warung arak. Karenanya pasukan tentara kerajaan
itu segera juga mengepung warung arak itu.
Siangkoan Yap melihat pasukan
tentara kerajaan mengepung warung arak itu, tidak bera¬yal lagi segera melesat
menyambar pedangnya yang menggeletak di atas pembaringan. Dia bersiap-siap.
“Anjing kurap, kau cuma pandai
menyembunyikan ekor!” terdengar lagi orang membentak bengis dari luar jendela
kamar si pemuda membarengi dengan mana terdengar suara menggelegar yang sangat
keras, dan daun jendela terpental, terbuka lebar dengan paksa. Ini disebabkan
pukulan yang kuat sekali.
Membarengi dengan itu, juga
terlihat daun pintu menjeblak terbuka.
Siangkoan Yap menyadari, bahwa
kali ini dia harus melakukan pertempuran yang seru untuk mempertahankan diri,
karena dirinya telah terkepung. Diapun mengibaskan pedangnya, dan membentak
nyaring, “Majulah jika kalian ingin mampus!”
Tapi tanpa diminta untuk kedua
kalinya, dua orang tentara kerajaan yang menyerbu tadi lewat jendela dan pintu
kamar, telah melesat maju dan tangan mereka diulurkan untuk menabaskan golok
masing-masing pada si pemuda. Siangkoan Yap melihat dari dua orang tentara
kerajaan itu mengeluarkan suara berkesiuran, menunjukkan bahwa serangan mereka
tentu disertai dengan tenaga lweekang yang terlatih baik.
Cepat-cepat Siangkoan Yap
memutar pedangnya. Dia menangkis, pedangnya itu berguling-guling seperti juga
titiran, melindungi tubuhnya dari sambaran golok lawan-lawannya, terdengar
suara.
“Tranggg, tranggg!” tapi dua
orang tentara kerajaan bukan cuma menyerang sampai disitu, waktu senjata mereka
masing-masing tersampok pedang Siangkoan Yap mereka telah melontarkan lagi
bacokan-bacokan beruntun sampai tiga kali.
Malah dari luar jendela dan
pintu kamar telah melesat tiga orang dan dua orang tentara kerajaan lagi.
Merekapun masing-masing mencekal senjata tajam dan menyerang dengan serentak
kepada Siangkoan Yap.
Dikepung seperti itu,
Siangkoan Yap mulai terdesak, walaupun bagaimana Siangkoan Yap tengah terluka
tak ringan, sekarang ia dikepung seperti itu, maka ia terdesak.
Tapi, Siangkoan Yap tidak mau
memperlihatkan kelemahan dirinya, dia memutar pedangnya dengan cepat sekali
pedang itu menyambar ke sana ke mari, dengan jurus “Hong-san-lok-hoa” atau
“Angin Puyuh Menyapu Bunga” dan pedangnya itu berputar bagaikan angin puyuh
belaka. Sehingga lawan-lawannya sementara tidak bisa mendesaknya lebih jauh.
Mempergunakan kesempatan itu,
seketika Siangkoan Yap mempergunakan lagi serangan dengan jurus “Hiat-jiu-in”
atau “Telapak Tangan Berdarah”, dari tangan kirinya yang meluncur menyambar
angin yang kuat kepada lawannya yang ada di sebelah kirinya. Ini untuk mendesak
lawannya lebih jauh, ia pun kemudian membatengi dengan gerakan “In-lie-to-hoan”
atau “Berjungkir Balik Di udara”.
Akan tetapi pasukan tentara
kerajaan tidak mau memberikan kesempatan padanya melarikan diri. Mereka meruluk
lagi menyerang.
Bahkan dari luar telah
menerobos lagi belasan orang tentara kerajaan, mereka semua bersenjata tajam,
dan segera mengepung. Siangkoan Yap harus melayani mereka lagi, lenyap
kesempatan untuk dia menjauhi diri atau juga melarikan diri.
Bahkan sekarang ini dia terkepung
semakin hebat, karena lawan-lawannya itu menyerang dengan gencar. Setiap
serangan yang dilakukan merekapun bukannya serangan sembarangan.
Mereka umumnya pahlawan
kerajaan yang tengah menyamar sebagai tentara kerajaan biasa. Mereka pahlawan
istana yang sebetulnya bertugas menjaga keselamatan Kaisar, sekarang mereka
menyamar sebagai tentara kerajaan, karena mereka ingin menumpas orang-orang di
Pit-mo-gay.
Bisa dibayangankan betapapun
kepandaian mereka memang tinggi sekali. Salah seorang di antara mereka, yang
menggenggam “Tok-liong-pian” atau “Cambuk Naga Berbisa” telah mengayunkan
cambuknya itu, ke arah leher Siangkoan Yap. Cambuk itu bagaikan permata dapat
segera mengejar lagi akan melihat leher Siangkoan Yap, dikala pemuda itu hendak
berkelit.
Siangkoan Yap benar-benar
terdesak, apa lagi di antara tentara kerajaan itu ada yang menimpukkan
“Tau-kut-ting” atau “Paku Menembus Tulang”, yang menghujani tubuh Siangkoan
Yap.
Pemuda itu jadi mengeluh waktu
merasakan dadanya sakit. Ini disebabkan ia memang mengerahkan tenaga dalam yang
berkelebihan sehingga lukanya yang belum lagi sembuh keseluruhannya dan tenaga
dalamnya yang belum dapat kumpul dengan sempurna, jadi tergoncang kembali, dia
menderita kesakitan. Dirinya juga tengah terkepung dengan hebat, karenanya
pemuda ini menyadari dirinya tengah terancam keselamatan.
Siangkoan Yap murid Yang-bun
Siansu yang mempelajari ilmu lurus dan bersih. Dalam keadaan seperti itu, dia
tidak mau menyerah kalah, dia masih memberikan perlawanan, dengan berbagai cara
dia berhasil untuk mempertahankan diri lebih lama lagi.
Pasukan tentara itu melihat,
walaupun Siangkoan Yap berhasil mempertahankan diri tapi mereka menyadari
pemuda itu telah terluka di dalam dan tenaganya tidak sepenuhnya lagi karena
tangkisan pedangnya tidak sekuat tadi. Dan mereka berseru-seru menganjurkan
kawan mereka agar mereka lebih ketat lagi mengepung Siangkoan Yap.
Mati-matian Siangkoan Yap
memberikan perlawanan. Dia jadi nekad, karena walaupun dia harus mati, tentu
dia tidak akan menyerah kalah.
“Lebih baik kau menyerahkan
saja secara baik-baik, anjing kurap!” Bentak salah seorang tentara kerajaan
itu. “Mungkin kami bisa memperlakukan engkau secara baik!
“Tapi jika memang kau
berkepala batu, hemm, hemm, biarpun engkau memiliki jiwa cadangan sebanyak tiga
tidak nantinya engkau akan bisa meloloskan diri dari tangan kami! Di luar telah
menanti kawan-kawan kami lainnya!
“Jika kau bisa meloloskan diri
dari kami, tentu engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari kawan-kawan kami!
Menyerahlah!”
Siangkoan Yap menggigit
bibirnya, dia berseru bengis: “Lebih baik aku mampus dari pada aku harus
menyerah pada kalian!”
Dan setelah membentak begitu
tangannya tampak bergerak sangat sebat. Pedangnya bergulung melindungi tubuhnya
waktu ada kesempatan, dia telah menikam kepada leher dari tentara kerajaan yang
mengengejeknya.
Tentara kerajaan itu
bersenjata sebatang golok, ia menangkisnya. Lelatu api muncrat dan seketika
Siangkoan Yap merasakan tangannya kesemutan, karena benturan itu sangat kuat
sekali. Tentara kerajaan yang seorang itupun tidak kurang kagetnya, karena
iapun merasakan telapak tangannya pedih dan sakit, hampir saja goloknya
terlepas dari cekalannya.
Kala itu, Siangkoan Yap sekali
lagi memutar pedangnya, ia terlambat menghindar dari bacokan seorang lawan di
belakangnya, pundaknya kena diserempet oleh mata golok lawannya, sampai bajunya
terkoyak dan kulitnya terbacok cukup dalam.
Dia tidak menjerit cuma sebat
sekali, tahu-tahu ia memutar tubuhnya, pedangnya menyambar menikam ke perut
tentara kerajaan yang melukainya tersebut. Pedangnya meluncur begitu cepat dan
tiba-tiba sekali, juga tenaga tikamannya sangat kuat.
Tentara kerajaan itu sama
sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang seperti itu oleh Siangkoan
Yap, dan hampir saja perutnya kena tikaman pedang si pemuda. Untung saja dia
masih keburu buat menghindarkan diri tapi tidak urung lengan bajunya kena di
tikam pedang.
Tentara kerajaan itu berseru
kaget, dan melompat ke belakang. Dua orang kawannya segera menyerang dengan
hebat kepada Siangkoan Yap, yang seorang bertangan kosong dia menghantam dengan
pukulan Liu-jiu-sian-nio atau Dewa Bertangan Panas, dan benar-benar telapak
tangannya itu seperti mengandung api yang panas bukan main.
Siangkoan Yap mengeluh, dia
mengetahui sekali ini sulit buat dia menghindarkan diri dari kematian hebat,
dia nekad. Dia ingin mengadu jiwa dengan lawan-lawannya. Sedikitnya dia hendak
membinasakaa lima atau enam orang tentara kerajaan itu, untuk imbalan dari
kematiannya sendiri.
Dalam keadaan Siangkoan Yap
terancam, seperti itu, mendadak sekali terdengar suara wanita:
“Sungguh tidak tahu malu!
Manusia tidak tahu malu dan bermuka tebal! Hem, beramai-ramai mengeroyok
seorang yang tampaknya sudah tidak berdaya! sungguh memalukan!”
“Ya, memang mereka kuku-kuku
garuda yang harus dibinasakan, sebab mereka merupakan manusia-manusia
rendah....... Tidak ada perlunya kita bicara soal kepantasan dengan mereka!”
Terdengar suara seorang menimpali perkataan wanita itu.
Siangkoan Yap tengah terdesak
hebat, namun dia masih menyempatkan diri untuk melirik, sehingga dia melihat
bahwa wanita yang berkata-kata tadi adalah seorang gadis berusia duapuluh dua
tahun atau duapuluh tiga tahun, sedangkan lelaki yang menimpali perkataan si
gadis tampaknya berusia belum lagi lebih dari duapuluh empat tahun. Dan mereka
tampak sangat gagah sekali. Mereka berdiri dengan sikap agung.
Siangkoan Yap jadi girang.
Apakah mereka akan membantu dirinya? Didengar dari kata-katanya, memang memihak
padanya, segera juga Siangkoan Yap berseru. “Ya, mereka kuku garuda yang tidak
tahu malu, mereka pembantu dari penjajah yang kita harus usir dari daratan
Tiong-goan!”
Dengan berkata begitu,
Siangkoan Yap memang ingin memancing emosi dari pasangan muda mudi itu, yang
dilihatnya adalah orang Han. Karena itu, dia sengaja melontarkan kata-kata yang
sekiranya bisa membangunkan semangat kedua orang tersebut dengan menyinggung
soal tanah air dan bangsa Han yang dijajah oleh kerajaan Tay Goan.