Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 41-50
Benar saja, sepasang muda-mudi
itu mengeluarkan suara tertawa tawar, tubuh mereka bergerak sangat lincah.
Entah kapan, tahu-tahu di tangan mereka telah tercekal sebatang pedang dan
mereka seperti juga bayangan saja, melesat ke sana ke mari, dan mereka
menyerang dengan hebat sekali mempergunakan pedangnya.
Para tentara kerajaan itu jadi
terkejut, mereka melihat Siangkoan Yap memperoleh bantuan, malah tenaga bantuan
yang datang itu, merupakan pasangan muda-mudi yang memiliki kepandaian sangat
tinggi, karena tubuh mereka bergerak ke sana ke mari seperti bayangan saja,
sehingga para tentara itu telah merasakan, kepandaian dua orang ini mungkin
berada di atas kepandaian mereka semuanya.
Di antara berkesiuran angin
serangan itu, kedua muda-mudi itu sulit dilihat jelas, mereka hanya tampak
dalam bentuk sosok bayangan belaka. Dan juga, setelah senjata lawan menyerang
padanya, tentu mereka dapat menghalaunya dengan mudah dan balas menyerang lagi.
Dalam waktu yang singkat
pasangan muda mudi itu telah dapat mengacaukan kepungan para tentara kerajaan
itu, karena ilmu pedang mereka ternyata sangat lihay.
Mereka telah berhasil melukai
empat orang tentara kerajaan.
“Cepat menyingkir!” Berseru
pemuda yang tampan itu sambil melirik kepada Siangkoan Yap. “Bukankah kau
tengah terluka?”
Siangkoan Yap tersadar. Memang
dia semula masih memberikan perlawanan pada para tentara kerajaan yang
mengepungnya. Tapi mendengar peringatan dari pemuda itu, seketika Siangkoan Yap
tersadar.
Bahwa dia tidak ada gunanya
melayani terus para tentara kerajaan tersebut, karena bukankah pasangan
muda-mudi itu sengaja telah membuka jalan membantunya agar ia bisa
menyingkirkan diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Siangkoan Yap segera
memutar pedangnya, dikala tiga orang tentara kerajaan yang mengepung dirinya
tengah melompat mundur menghindarkan diri. Ia segera melompat ke sampingnya dan
menerobos keluar dari pintu kamar, karena ia ingin melarikan diri meninggalkan
kamar tersebut.
Tapi, waktu dia menerobos
keluar dari pintu, menyambar dua batang golok, untung saja dia berlaku waspada.
Ia menyampok dengan pedangnya, kemudian ia meneruskan larinya.
Pasangan muda mudi itu juga
tidak tinggal diam, setelah berhasil melukai dua tentara kerajaan lagi, diwaktu
lawan-lawan mereka tengah berdiri bimbang, justeru keduanyapun telah menerobos
ke pintu, untuk menyingkirkan diri.
Para tentara kerajaan itu
membentak berisik sekali, mereka berusaha untuk merintangi, akan tetapi mereka
tidak berhasil. Kepandaian sepasang muda mudi itu memang lihay dan sebentar
saja mereka telah meninggalkan dua lie lebih para tentara kerajaan itu.
Mereka telah meninggalkan
warung arak itu, meninggalkan juga kota tersebut. Mereka telah berada di luar
kota.
◄Y►
Siapakah pasangan muda mudi
itu? Mereka tidak lain dari Ko Tie dan Giok Hoa, pasangan suami isteri muda
itu.
Sesungguhnya mereka telah
berusia lebih dari apa yang diduga orang jika melihat wajah mereka yang tetap
awet muda karena latihan lweekang mereka yang murni. Usia mereka sebetulnya
sudah duapuluh tujuh buat Ko Tie sedangkan Giok Hoa berusia duapuluh lima
tahun.
Tapi, lweekang yang mereka
latih merupakan tenaga dalam beraliran lurus dan bersih, mereka pun menerima
petunjuk dari Yo Ko maupun Swat Tocu, dengan demikian, membuat mereka tetap
awet muda selalu terlihat segar. Kepandaian mereka selama sepuluh tahun ini,
sejak mereka menikah pun telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena
mereka terus berlatih diri.
Tidak terlalu mengherankan
kalau tentara kerajaan itu tidak berhasil untuk menghadapi mereka. Karena Ko
Tie dan Giok Hoa merupakan pasangan suami istri yang kepandaiannya sekarang ini
jarang sekali bisa dicari tandingannya.
Setelah Ko Tie dan Giok Hoa
berlari sekian lama, mereka berhasil menyusul Siangkoan Yap, yang dilihatnya
tengah berlari sekuat tenaga.
Di belakang mereka suara
teriakan para tentara kerajaan tengah mengejarnya terdengar semakin jauh.
“Mari kita kejar!” Ajak Ko Tie
kepada Giok Hoa.
Isterinya mengangguk, dan
mereka mengerahkan gin-kang masing-masing. Dalam waktu singkat mereka telah
berada dekat sekali dengan Siangkoan Yap.
Siangkoan Yap mengetahui
dirinya dikejar orang, dia melirik ke belakang tanpa mengendorkan larinya.
Ketika memperoleh kenyataan yang mengejarnya adalah sepasang muda mudi yang
telah menolongi dirinya, segara ia menghentikan langkah kakinya.
Dia menunggu, sampai Ko Tie
dan Giok Hoa tiba dihadapannya, baru dia merangkapkan sepasang tangannya, dia
bilang: “Terima kasih atas pertolongan kalian, Siauwte dengan ini mengucapkan
rasa syukur dan terima kasih yang tidak terhingga. Terimalah pemberian hormat
siauwte.......!”
“Jangan anda berlaku seperti
itu dengan segala peradatan. Kami hanya melakukan kewajiban sebagai seorang
Kang-ouw, yang harus menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan.
“Perbuatan para tentara
kerajaan itu bukan perbuatan yang terpuji. Mereka mengepungmu dengan tidak tahu
malu, karena itu kami turun tangan untuk membantu dan menghajar para tentara
itu!”
Kata Ko Tie sambil tersenyum.
Iapun kemudian melanjutkan perkataannya lagi,
“Jika memang kami tidak salah
lihat, tampaknya saudara dari Siaum-lim-sie, bukan?”
Muka Siangkoan Yap berobah
merah, tampaknya dia jengah sekali.
“Benar!” Katanya kemudian,
“Sayangnya aku seorang yang bodoh, sehingga sia-sia belaka jerih payah guruku
yang telah mendidik bersusah payah, namun aku tidak berhasil menguasai ilmu
silat Siauw-lim-sie yang sejati dan hebat itu, membuat aku tidak berdaya
menghadapi para tentara kerajaan……”
“Itulah disebabkan mereka
berjumlah sangat banyak dan juga tampaknya para tentara kerajaan itu bukan
tentara kerajaan biasa. Mereka semuanya memiliki kepandaian yang tinggi!
“Mungkin mereka orang-orang
Kaisar, para pahlawan istana yang menyamar sebagai tentara kerajaan! Hemmm,
kami memang paling membenci mereka yang telah memperhamba diri kepada
pemerintah penjajah itu!”
Waktu berkata begitu, Ko Tie
memperlihatkan sikap yang sangat keren. Rupanya ia teringat betapa dulu
perjuangan dari para pendekar gagah yang berusaha membendung dan menghalau
penjajahan dari daratan Tiong-goan.
“Siauwte she Siangkoan bernama
Yap. Jika memang in-kong tidak keberatan sudi kiranya memberi tahukan nama
in-kong berdua yang sangat harum…….”
“Jangan memanggil kami dengan
sebutan In-kong, kami tak merasa menolong anda!” kata Ko Tie. “Jika aku she Lie
dan bernama Ko Tie, ini istriku, bernama Giok Hoa!”
Merekapun saling memberi
hormat untuk berkenalan. Setelah bercakap-cakap mereka tampaknya jadi intim dan
juga menceritakan ke mana tujuan mereka sebenarnya.
“Siangkoan, heng-tay,” kata Ko
Tie kemudian, dalam suatu kesempatan, waktu mereka tengah melangkah
perlahan-perlahan. “Sesungguhnya kami tengah melakukan perjalanan ke Pit-mo-gay
lembah iblis itu. Kami kebetulan sekali melihat kau tengah dikeroyok oleh para
tentara itu, maka kami turun tangan!
“Jika memang dilain waktu kita
masih ada kesempatan dan jodoh, tentu kita bertemu lagi! Urusan kami ke
Pit-mo-gay sangat penting sekali, sehingga maafkanh kami tidak bisa menemani
terlebih lama lagi!”
Muka Siangkoan Yap berobah.
“Kalian berdua hendak…….
hendak ke Pit-mo-gay?” tanyanya tidak lancar.
Ko Tie dan Giok Hoa melihat
perobahan muka Siangkoan Yap, mereka jadi heran. Tapi kemudian Ko Tie
mengangguk, katanya: “Benar. Kami memang ingin pergi ke Pit-mo-gay.”
“Aku……. akupun ingin pergi ke
sana!” Kata Siangkoan Yap sambil memperlihatkan sikap sungguh-sungguh. “Siauwte
pun ingin melakukan sesuatu yang cukup penting di sana! Atau mungkin juga kita
memiliki tujuan yang sama?”
Ko Tie dan Giok Hoa saling
pandang, kemudian dengan tenang Ko Tie bilang: “Jika memang Heng-tay memiliki
urusan pergi ke Pit-mo-gay, maka mari kita pergi melakukan perjalanan
bersama-sama, bukankah kita satu tujuan?”
“Tapi.......!” Siangkoan Yap
ragu-ragu.
“Kenapa?” Tanya Ko Tie.
“Sesungguhnya....... jika
memang siauwte boleh tahu urusan apakah yang ingin kalian lakukan?” tanya
Siangkoan Yap.
Ko Tie tidak segera menyahuti.
“Kami ingin menemui
Mo-in-kim-kun,” menyahuti Giok Hoa yang mewakili suaminya.
“Menemui Mo-in-kim-kun?” Tanya
Siangkoan Yap. “Untuk apa?”
Giok Hoa tidak segera
menyahuti, tampak ia ragu-ragu untuk memberikan penjelasan. Ko Tie sendiri
telah ragu-ragu sejenak kemudian tersenyum.
“Itulah urusan yang tidak
dapat kami bicarakan dengan sembarangan orang, dan maafkanlah atas kesulitan
kami ini!” Kata Ko Tie kemudian sambil merangkapkan kedua tangannya memberi hormat.
“Dan, Heng-tay pergi ke Pit-mo-gay tentu ingin menemui seseorang juga?”
Siangkoan Yap mengangguk.
“Ya….. memang benar!” sahutnya
kemudian. “Dan orang itu, yang hendak kutemui adalah Mo-in-kim-kun juga!”
“Apa?” Ko Tie Gan Giok Hoa
tampaknya jadi heran.
“Seperti juga jie-wi berdua,
maka akupun ingin pergi menemui Mo-in-kim-kun ada urusan yang penting harus
kusampaikan kepadanya.”
“Apakah heng-tay orang
Pit-mo-gay juga?” Tanya Ko Tie dan Giok Hoa sambil menatap heran mengandung
kecurigaan.
Siangkoan Yap menggeleng.
“Bukan! Ini semua hanya untuk
memenuhi dan melaksanakan perintah guruku, Yang-bun Siansu!
“Beliau perintahkan aku turun
gunung untuk mengacaukan tentara kerajaan yang hendak menumpas orang-orang
Pit-mo-gay, dan jika memang usahaku gagal, maka aku harus pergi ke Pit-mo-gay
dan menggabungkan diri dengan mereka, sebab menurut guruku, mereka itu
merupakan pendekar-pendekar yang cinta pada tanah air.......!”
Ko Tie dan Giok Hoa saling
pandang mereka menghela napas. Malah Ko Tie kemudian bilangi,
“Jika menurut kami, pandangan
gurumu itu salah heng-tay. Karena justeru yang kami ketahui, orang yang berada
di lembah Pit-mo-gay bukanlah sebangsa manusia baik........
“Justeru dengan adanya mereka,
telah timbul kekacauan di dalam rimba persilatan. Mereka berkedok sebagai
pencinta tanah air, tapi sesungguhnya mereka tengah berjuang untuk memenuhi
keinginan pribadi masing-masing belaka. Dan merekapun tidak bersungguh-sungguh
ingin mengusir penjajah Tay Goan!”
“Mengapa begitu?!” Tanya
Siangkoan Yap heran.
“Karena mereka justeru ingin
berjuang menggerakkan rakyat dan rakyat diperalat oleh mereka, agar kelak
mereka bisa memiliki kerajaan. Bisa naik takhta.
“Dan terutama sekali
Mo-in-kim-kun, pemimpin mereka, yang seperti sinting ingin menjadi Kaisar. Ia
ingin mempergunakan Giok-sie, cap kerajaan, menggerakkan rakyat.
“Di samping itu, mereka juga
mengganas. Rakyat yang tidak bersedia melibatkan diri dengan pergolakan yang
ada tentu mereka binasakan. Demikian juga orang-orang rimba persilatan yang
tidak bersedia tunduk padanya, Mo-in-kim-kun selalu menurunkan kematian! Kami
justeru datang ke lembah Pit-mo-gay ingin meminta Giok-sie dari tangannya…….!”
“Giok sie?” Tanya Siangkoan
Yap sambil mementang matanya lebar-lebar.
“Ya!” mengangguk Ko Tie.
“Soal Giok-sie memang pernah
diberitahukan oleh guruku tapi guruku tidak perintahkan untuk merebut Giok-sie.
Malah, guruku mengatakan, aku harus membantu pendekar yang ingin berjuang
mengusir penjajah, mendukung dan membantu berjuang menghadapi kerajaan Tay-goan!”
“Mungkin juga Yang-bun Siansu
locianpwe telah menerima berita yang tidak lengkap, sehingga memiliki penilaian
yang keliru seperti itu. Dan mungkin saja, Yang-bun Siansu locianpwe belum lagi
mengetahui bahwa Mo-in-kim-kun sesungguhnya bukan manusia baik-baik.
“Dan juga dia bukannya seorang
manusia yang dapat dipercaya untuk menggerakkan perjuangan. Di tangannya,
niscaya rakyat akan menjadi korban yang jatuh tentu saja tidak sedikit…….!”
Siangkoan Yap berdiri
termenung sejenak, sampai akhirnya barulah dia bilang,
“Kalau begitu biarlah aku akan
melihat perkembangannya saja setelah aku berada di lembah Pit-mo-gay, jika
memang ada yang perlu di jelaskan jie-wi berdua benar adanya, maka aku malah
akan meminta dan merampas Giok-sie dari tangan Mo-in-kim-kun.”
“Ada yang harus kau ingat dan
perhatikan, Siangkoan heng-tay. Sesungguhnya Mo-in-kim-kun bukan orang
sembarangan.
“Ia memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Anak buahnyapun umumnya memiliki kepandaian yang tinggi, kukira
tidak mudah heng-tay ingin meminta Giok-sie dari tangannya.”
Muka Siangkoan Yap memerah,
tapi tidak tersinggung, dia tertawa.
“Ya, tentu saja siauwte bukan
bekerja sendiri, siauw-te hanya sekedar membantu jie-wie berdua untuk merampas
Giok-sie, dan jika memang Giok-sie telah berhasil dirampas Siauwte tidak akan
menginginkannya, akan menyerahkan kepada jie-wi berdua.
“Dengan demikian, tentu saja
siauwte berhasil untuk bertindak dengan benar. Dan nanti setelah kembali ke
gunung menemui guruku, maka siauwte akan memberikan penjelasan kepadanya!”
Ko Tie dan Giok Hoa
mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Tapi Giok-sie itu pun bukan
untuk kami,” kata Giok Hoa sambil tersenyum. “Kami hanya akan merampasnya dan
kelak diserahkan kepada seorang pendekar yang benar-benar sejati! Dan kami
sendiri, memang hanya akan membantu untuk berjuang mengusir penjajah.”
Sambil berjalan
perlahan-lahan, Ko Tie menceritakan kepada Siangkoan Yap, bahwa di dalam rimba
persilatan telah tersiar berita tentang Giok-sie, karena itu mereka segera
datang ke Pit-mo-gay. Dan justeru berita Giok-sie yang ada di tangan
Mo-in-kim-kun tersebar sangat luas serta banyak orang-orang gagah rimba
persilatan yang bermaksud untuk mencari Giok-sie merampasnya dari tangan
Mo-in-kim-kun, dan kemudian memiliki Giok-sie, untuk dirinya sendiri.
Bukankah ada kata-kata yang
menyatakan jika seseorang berhasil memiliki Giok-sie, maka orang itu akan
menjadi Kaisar, dan bisa duduk di singgasana sebagai junjungan rakyat di
daratan Tiong-goan?
Siangkoan Yap menyatakan, dia
baru hari ini mendengar urusan yang lebih jelas perihal Giok-sie. Gurunya
memberikan gambaran yang belum begitu jelas. Dia pun bersyukur bahwa ia bertemu
pasangan suami isteri ini, Ko Tie dan Giok Hoa, sehingga dia tidak salah
melangkah dan berbuat.
Dan jika dia tidak mendengar
keterangan itu dari Ko Tie niscaya setibanya di Pit-mo-gay ia akan menyatakan
bahwa dirinya bersedia bekerja membantu Mo-in-kim-kun, berarti dia melakukan
sesuatu yang tidak benar membela orang yang tidak pantas untuk dibelanya. Dan
tentu diapun akan ditertawakan oleh orang-orang gagah rimba persilatan.
Ko Tie menyatakan pada
Siangkoan Yap juga setibanya mereka di Pit-mo-gay, mereka harus hati-hati
karena di sana berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh rimba persilatan, yang
bekerja untuk Mo-in-kim-kun. Mereka umumnya merupakan tokoh-tokoh dari kalangan
sesat.
Demikianlah setelah melakukan
perjalanan sekian lama, mereka tiba di kaki gunung Song-san, mereka pun mendaki
dan selang setengah hari tibalah mereka di mulut lembah Pit mo-gay.
Waktu itu Giok Hoa menunjuk
kepada seseorang yang tengah berlari-lari di mulut lembah itu
“Lihatlah! Seekor mahluk
aneh!” Berseru Giok Hoa.
Dia menyebutnya dengan sebutan
“seekor mahluk aneh” karena dilihatnya dari dalam lembah itu, berlari-lari
keluar sesosok tubuh kecil, yang berpakaian seperti manusia, kanak-kanak. Tapi
mukanya penuh bulu kuning, demikian pula dengan tangannya yang berbulu.
Mukanya pun tidak mirip-mirip
muka manusia, melainkan muka seekor kera. Dengan bulu-bulu yang tumbuh cukup
lebat berwarna kuning.
Mahluk ini juga berlari gesit
sekali. Mulutnya yang lebar dan monyong itu benar-benar seperti mulut kera,
hidungnya yang pesek sekali, sehingga terlihat kedua lobang hidungnya.
Dan kepalanya di bagian atas yang
berbentuk kecil lancip. Benar-benar merupakan mahluk yang sangat aneh sekali.
Cepat sekali anak kecil itu,
yang keadaannya mirip seperti kera, telah berada di depan Giok Hoa bertiga.
“Siapa kalian?” tegur mahluk
kecil itu dengan suara yang lancar, cuma saja suaranya agak nyaring, seperti
juga pekik seekor kera.
Giok Hoa memandang Ko Tie dan
Siangkoan Yap sejenak, akhirnya ia tertawa geli.
Melihat wanita ini tertawa
geli, makhluk aneh itu jadi kurang senang, tampaknya ia tersinggung.
“Apa yang kau tertawakan,
Cie-cie?” tegurnya dengan napas tak tenang.
“Lucu! Lucu! Kau pandai sekali
bicara!” kata Giok Hoa sambil diselingi tertawanya, karena ia masih juga
tertawa.
“Apa yang lucu?”
“Kau bicara seperti seorang
manusia!”
“Bisa bicara seperti manusia?
Mengapa? Atau memang aku ini tidak mirip manusia?” Tanya mahluk kecil itu.
“Bukankah kau……kau.......!”
Anak kecil itu, mementang
matanya lebar-lebar kemudian tanyanya.
“Bukankah kenapa?”
“Jadi kau manusia?” Tanya Giok
Hoa.
Anak kecil yang mukanya
seperti kera itu sekali ini tidak bisa menahan kemendongkolan hatinya, dia
bilang, “Jika memang aku bukan manusia adakah aku bisa bercakap-cakap dengan
kalian?”
Mendengar nada suaranya yang
melengking nyaring seperti itu, Giok Hoa bertiga ketika menyadari bahwa mahluk
aneh ini yang mirip manusia tadi juga mirip seekor kera, mereka tahu bahwa
mahluk aneh ini tengah gusar. Giok Hoa berhenti tertawa.
“Siapa namamu?” Tanya Giok Hoa
kemudian.
“Kim Lo!” menyahuti anak itu.
“Kim Lo?” Tanya Ko Tie.
“Ya! Apakah namaku juga aneh?”
“Oh tidak....... !”
Cepat-cepat Ko Tie menyahuti. “Siapa ayah ibumu?”
“Tidak perlu kalian
mengetahuinya! Sejak tadi kalian tampaknya kalian kurang ajar sekali!
Tertawa-tawa tidak karuan, rupanya hendak mengejek diriku, heh?”
“Oh tidak! Tidak!” Menyahuti
Ko Tie segera. “Kami cuma heran, karena tadinya kami mengira bahwa kau adalah
orang dari lain belahan bumi ini.”
“Hemm, apakah kalian
beranggapan mukaku buruk sekali?” Tanya anak itu, yang memang tidak lain dari
Kim Lo, putera Kam Lian Cu.
“Mana berani! Mana berani kami
memiliki perkiraan dan pandangan sejelek itu?” Menyahuti Siangkoan Yap.
“Jika saja Kong-kongku
mengetahui akan tindak tanduk kalian, yang memang kelihatannya hendak mengejek
aku, hemmm, hemmm, Kong-kongku tidak mau mengerti!”
“Siapa Kong-kongmu, adik?”
“Tidak perlu kalian tahu!”
“Mengapa tidak boleh tahu?”
“Kalian tampaknya bukan
sebangsa manusia baik-baik!”
“Hemm,” mendengus Giok Hoa
tidak senang, “Kau kecil sudah memiliki mulut yang pedas!” katanya, “Dan kau
juga memiliki tabiat yang buruk sekali, cepat tersinggung dan marah!”
Kim Lo tertawa dingin, tanyanya
kemudian dengan suara nyaring: “Sekarang katakanlah apa yang ingin kalian
lakukan datang ke Lembah Pit-mo-gay ini?!”
“Apakah kami tidak boleh
datang ke Pit-mo-gay?” Balik tanya Giok Hoa jadi mendongkol.
Walaupun anak ini yang mukanya
seperti kera, dan berbulu merupakan seorang anak kecil, namun Giok Hoa tidak
senang diperlakukan seperti itu.
“Tidak diijinkan siapapun juga
memasukkan lembah Pit-mo-gay ini, karena jika orang sembarangan nama ke lembah
Pit-mo-gay, orang itu akan menemui kematian!”
“Mengapa?” tanya Ko Tie,
tertawa.
“Mo-in-kim-kun akan membunuh
dengan cara keji sekali!”
“Lalu mengapa kau berada
disini?” Tanya Ko Tie.
“Karena aku bersama Kong-kong
ingin meminta kembali Giok-sie dari tangan Mo-in-kim-kun. Giok-sie sebetulnya
milik Kong-kong, tapi telah dirampas oleh Mo-in-kim-kun dengan cara licik.
Sebelum Mo-in-kim-kun menyerahkan dan mengembalikan Giok-sie, kami tidak
meninggalkan lembah Pit-mo-gay ini!”
“Adik Kim Lo, siapa
Kong-kongmu?” tanya Ko Tie sambil memperhatikan anak itu.
Mata anak itu dipentang
lebar-lebar.
“Sudahlah, kalian tidak perlu
mendengar nama Kong-kongku, karena jika kuberitahukan kalian akan kaget.
“Mengapa kaget?” tanya Ko Tie.
“Kalian tentu akan kaget dan
melarikan diri!”
“Kami tidak memiliki kesalahan
apa-apa dengan Kong-kongmu, mengapa kami harus melarikan diri?” tanya Giok Hoa
tidak bisa menahan diri.
“Ya, beritahukan kepada kami,
adik Kim Lo, siapa nama Kong-kongmu?” membujuk Siangkoan Yap. “Siapa tahu
Kong-kongmu itu kenalan kami!”
Kim Lo mengawasi mereka satu
persatu. Matanya tajam sekali, kemudian barulah dia bilang: “Hemm kenalan
kalian? Apakah Kong-kongku bisa memiliki kenalan seperti kalian?
“Umur kalian saja masih muda!
Kong-kongku mana mungkin punya kenalan seorang masih muda? Kalian hendak mendustai
aku?”
Ditegur seperti itu muka Ko
Tie bertiga jadi berobah merah, mereka merasa lucu juga, karena anak ini
ternyata cerdik dan teliti, padahal wajahnya seperti wajah seekor kera.
Tapi Ko Tie, kemudian dengan
sabar bilang: “Kong-kong mu itu tentunya seorang yang memiliki kepandaian
tinggi bukan?”
“Tentu saja!” Menyahuti Kim
Lo, “kepandaian kong-kongku tidak ada duanya. Dia tokoh sakti rimba persilatan,
setiap orang menghor¬matinya.”
“Tentunya jika seorang tokoh
sakti tidak akan menyembunyikan nama!” kata Giok Hoa.
Mata Kim Lo mencilak.
“Menyembunyikan nama? Siapa
yang menyembunyikan nama?!” Tanyanya sengit.
“Kong-kongmu!” Menyahuti Giok
Hoa sambil tertawa. “Bukankah sampai sekarang kau menyembunyikan nama kakekmu
itu, seakan juga Kong-kongmu itu pernah melakukan kesalahan besar, sehingga
malu untuk disebutkan namanya.”
“Ohhh, mulutmu terlalu jahat,
Cie-cie?” Kata Kim Lo sengit. “Jika kong-kongku mendengarnya, tentu kau akan
dihukumnya! Siapa bilang kong-kongku telah melakukan kesalahan sehingga takut
dan menyembunyikan nama. Kong-kongku itu she Oey.......!!”
Tapi berkata sampai di sini,
bocah ini ragu-ragu lagi untuk menyebutkan namanya.
“Oey apa?” tanya Ko Tie, “Oey
An? Oey Sie Keng? Atau Oey apa?”
“Tidak perlu! Aku tidak mau
memberitahukan kepada kalian!” kata Kim Lo sambil menggelengkan kepalanya.
“Hemmm, kami tahu sekarang!”
kata Giok Hoa.
“Tahu apa?”
Kong-kongmu itu tentu terlalu
jelek sehingga malu memperlihatkan diri! Dan sampai namanya saja kau malu
menyebutkannya!”
“Mengapa harus menyebutkan
nama Kong-kongku?” bentak Kim Lo sengit.
“Buktinya kau malu untuk
menyebutkannya!”'
“Aku tidak malu!”
“Jika memang tidak malu
menyebutkan nama Kong-kongmu, tentu kau akan memberitahukan kepada kami siapa
nama Kong-kongmu itu!” Kata Giok Hoa.
Kim Lo tertawa dingin.
“Hemmm, kau angin memancing
aku agar menyebutkan nama Kong-kong? Jangan harap!” Kata Kim Lo.
Giok Hoa kecele lagi. Tadinya
dia menduga bisa memancing anak itu.
“Baiklah adik!” kata Ko Tie
kemudian, “kami akan memberikan hadiah kepadamu, jika kau mau menyebutkan nama
kakekmu itu?!”
“Cisss, siapa yang kesudian
hadiah kalian?” Tanya Kim Lo sengit. “Apapun Kong-kong punya, dan apa saja yang
aku inginkan tentu bisa diberikan oleh Kong-kong! Mengapa harus mengharapkan
hadiah dari kalian?”
Buntu jalan buat Ko Tie
bertiga, akhirnya dengan jengkel Giok Hoa bilang: “Sudahlah! Jika memang engkau
tidak mau memberitahukan nama kakekmu itu, kami juga tidak membutuhkannya untuk
mendengar! Kami juga tidak perlu mengetahui siapa kakekmu itu!”
“Hemmm, memang aku tidak mau
memberitahukannya! Kalian justru yang mendesak terus menerus agar aku
memberitahukan! Jika benar-benar kaliau tidak mau mengetahui, ya pergilah! Aku
memang tidak akan menyebutkannya.”
“Hemmm, aku tahu!” Tiba-tiba
Siangkoan Yap berseru.
“Tahu apa?” Tanya Ko Tie.
“Aku tahu, tentunya Kong-kong
adik Kim Lo ini bernama Oey Su Ling, seorang bajak laut yang paling ganas yang
telah membunuh ratusan jiwa di sungai Tiang-kang!”
“Jangan bicara ngaco kalau
tidak karuan!” bentak Kim Lo sengit, “Jangan bicara sembarangan! Itu bukan
kakekku?”
“Hemmm, pasti, pasti! Kakekmu
tentu Oey Su Ling, penjahat laut itu!” Kata Siangkoan Yap.
“Bukan, bukan, bukan?” Teriak
Kim Lo, sengit bukan main. “Kakekku bukan seorang penjahat, kakekku seorang
pendekar besar yang dihormati oleh seluruh orang rimba persilatan?”
Ko Tie yang tahu bahwa
Siangkoan Yap tengah sengaja memanas-manaskan anak itu, segera menimpalnya:
“Atau jika memang bukan Oey Su
Ling, tentunya Oey Tang seorang begal sungai di Ho-pak. Bukankah benar kakekmu
bernama Oey Tang?”
“Bukan! Bukan! Kakekku, bukan
Oey Tang….!” menyahuti Kim Lo tambah sengit.
“Hemmm sudahlah memang
kakeknya manusia busuk nomor satu di dunia ini, dia mana mau memberitahukan
namanya. Dia malu untuk menyebut nama kakeknya.” Kata Giok Hoa menimpali.
Kim Lo mendidih darahnya.
Dasar dia masih anak-anak dan kurang pengalaman dia kena di bakar, akhirnya
setengah berteriak ia bilang,
“Aku akan memberitahukan!
Siapa bilang aku malu menyebutkan nama kakekku! Kong-kongku bukan manusia
busuk, dan malah pendekar sakti nomor satu! Dia she Oey bernama Yok........”
Berkata sampai disitu, kembali Kim Lo ragu-ragu.
Muka Ko Tie bertiga berobah
seketika, mereka teringat sesuatu. Malah Ko Tie tidak sabar telah bertanya:
“Apakah kau maksudkan Oey Yok Su Locianpwe?”
Kini giliran Kim Lo yang
kaget.
“Mengapa kau bisa mengetahui?”
tanyanya.
“Aha, benar Oey Locianpwe!”
berseru Ko Tie sambil tertawa. “Sudah kukatakan pada adik Kim Lo, kami adalah
sahabat-sahabat Oey locianpwe, Kong-kongmu itu!”
Kim Lo mementang matanya
lebar-lebar.
“Benarkah itu?” Tanyanya.
Ko Tie mengangguk. Giok Hoa
mengangguk dan Siangkoan Yap juga mengangguk, walaupun dia agak ragu-ragu.
Kim Lo mengawasi mereka,
kemudian katanya: “Sekarang kalian katakan, ayo apakah kakekku itu seorang
manusia busuk atau seorang bajak laut atau seorang begal?” tanya anak itu.
Ko Tie tertawa.
“Ya, jika memang benar kakekmu
itu Oey Yok Su locianpwe, tentu saja Kong-kongmu itu seorang pendekar nomor
satu, tokoh sakti yang tidak ada duanya di jaman ini!”
Muka Kim Lo berseri-seri.
“Lihatlah!” Kata Kim Lo.
“Bukankah aku tidak membohongi kalian bahwa Kong-kongku adalah seorang tokoh
sakti nomor satu, seperti apa yang kukatakan tadi.”
“Benar! Benar!” Kata Siangkoan
Yap sambil mengangguk-angguk dan tertawa.
“Di mana Kong-kongmu sekarang
berada?” Tanya Ko Tie. “Kami ingin menghadap untuk memberi hormat.”
“Hemmm, Kong-kong sedang
beristirahat! Kong-kong sudah berpesan, jika aku bertemu dengan orang dan tidak
boleh manyebutkan siapa adanya Kong-kong. Aku kuatir, nanti Kong-kong menghukumku
karena telah melanggar pesannya!”
“Kami tidak akan
memberitahukan kepadanya!” Berjanji Ko Tie.
Tiba tiba Kim Lo teringat
sesuatu, dia menepuk pahanya, dan bilang: “Tidak memberitahukan kepada
Kong-kong? Jadi kalian menduga aku bersalah? Ciss! Aku tidak bersalah! Kalian
yang mendesak terus.
“Dan akupun tidak
memberitahukan nama Kong-kong selengkapnya kepada kalian! Cuma kalian belaka
yang menerka-nerka dan akhirnya menyebutkan nama Kong-kong! Jadi bukan aku yang
menyebutkannya?”
Ko Tie bertiga tersenyum
memang Kim Lo tampaknya licin dan cerdik. “Ya! Ya, memang kami yang
menyebutkannya!” Kata Ko Tie, mengalah.
“Sekarang cepat kalian
tinggalkan tempat ini sebelum kalian dilemparkan kakekku!” kata Kim Lo serius.
“Mengapa harus pergi?” Tanya
Ko Tie.
“Kakekku tidak mau diganggu
siapapun juga, jika memang kakek tengah marah, hemmm, siapapun tidak berani
padanya! Aku sendiri tidak berani pada kong-kong kalau beliau tengah marah!”
Kata Kim Lo sambil mementang matanya lebar-lebar.
Ko Tie bertiga tertawa.
“Kau ajak kami menemui
kong-kongmu adik Kim Lo! Yakinlah kong-kongmu tidak akan memarahimu!”
“Kami tidak mendustaimu!”
“Hemmm, jika kau berdusta?”
tanya Kim Lo mementang matanya lebar-lebar.
“Bukankah kong-kongmu seorang
tokoh sakti nomor wahid dijaman ini? Jika kami berbohong, tentu kakekmu itu
kelak yang akan menghukum kami.”
Kim Lo berpikir sejenak, namun
akhirnya mengangguk.
“Baiklah! Mari kuantarkan!”
katanya kemudian dengan berlari-lari setengah melompat dan gayanya mirip
lompatan yang dilakukan seekor kera. Kim Lo masuk ke dalam Lembah, diikuti oleh
Giok Hoa dan Siangkoan Yap.
Setelah memasuki lembah itu
agak dalam tiba-tiba Kim Lo berdiri mengejang di tempatnya, matanya terpentang
lebar-lebar, mulutnya juga menggumam perlahan.
“Ihhh....... mengapa tidak
ada?”
“Apanya yang tidak ada?” Tanya
Ko Tie sambil mengawasi ke arah yang ditatap oleh Kim Lo sebatang pohon.
“Kakekku?” Menyahuti Kim Lo.
“Kong-kongmu tidak ada?”
“Tadi Kong-kong tidur di
situ!”
“Lalu, sekarang di mana?”
“Aku mana tahu! Tadi di situ!”
“Mungkin kau berdusta!”
“Berdusta??” Tanya Kim Lo.
“Mengapa aku harus berdusta?”
“Mungkin kau menjual nama Oey
Yok Su locianpwe!” kata Siangkoan Yap.
“Tadi……. tadi Kong-kong tidur
disitu.”
Ko Tie mengawasi sekitar
tempat itu, merangkapkan sepasang tangannya. Katanya. “Oey locianpwe, kami
datang untuk menanyakan kesehatan kau si orang tua!” Seruannya itu disertai
tenaga dalam, tentu akan terdengar jauh sekali.
“Hemmm, tidak ada jawaban!”
Kata Giok Hoa. “Mungkin juga dia memang berdusta?!” berkata begitu Giok Hoa
melirik kepada Kim Lo.
Kim Lo sendiri telah berlari
untuk memasuki lembah itu lebih jauh sambil memanggil!
“Kong-kong! Kong-kong! Dimana
kau?”
Tidak terdengar jawaban.
Mendadak sekali, dalam
kesunyian seperti itu terdengar suara tertawa yang nyaring. Menyusul di puncak
sebuah tebing yang tinggi, sesosok bayangan yang tengah berlari-lari
mendatangi.
“Aku datang Kim Lo…….!”
terdengar orang itu menyahuti suaranya seperti juga tengah berbisik, tapi jelas
sekali. Samar-samar tapi dapat didengar jelas.
Dan itu menunjukkan lweekang
yang telah mahir sekali yang mengirim suaranya dari tempat yang terpisah begitu
jauh dengan jelas. Suaranya begitu halus tapi jelas terdengar dan juga seperti
berbisik di telinga seperti suara kelenengan yang halus sekali.
Muka Ko Tie bertiga berobah.
Mereka segera mengetahui, itulah suara seorang yang lihay sekali. Terutama Ko
Tie dan Giok Hoa mereka berdua melihat orang itu memang tidak lain dari tocu
pulau Tho-hoa-to yang mengenakan jubah warna hijau.
Oey Yok Su segera tiba di
depan mereka, sambil tertawa Oey Yok Su menegur: “Kalian berada di sini?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada Giok Hoa dari Ko Tie.
Mereka berdua tidak ayal lagi
terus berlutut memberi hormat.
Siangkoan Yap juga cepat-cepat
memberi hormat kepada tokoh sakti itu. Ia sering mendengar cerita dari gurunya,
Yang-bun Siansu, perihal kehebatan tokoh sakti yang seorang ini.
Oey Yok Su perintahkan, mereka
bangun, malah iapun bilang, “Bagus tidak disangka kalian berada di sini! Kita
bisa lebih leluasa menghajar orang-orang Pit-mo-gay yang kurang ajar itu!”
Sambil berkata begitu, Oey Yok Su melemparkan sosok tubuh yang dikempitnya.
Kim Lo memegang lengan baju
Kong-kongnya, manja sekali: “Kong-kong, kemana tadi kau pergi? Kukira Kong-kong
sudah meninggalkan tempat ini!”
Oey Yok Su tersenyum sambil
mengusap-usap kepala anak itu!
“Tentu saja Kim Lo!” Katanya
sabar, “Tadi Kong-kong pergi menangkap kelinci buduk ini!”
Sambil berkata begitu, Oey Yok
Su menunjuk sosok tubuh yang meringkuk di tanah tanpa bisa bergerak, cuma
matanya saja yang terbeliak mencilak-cilak tidak bisa diam. Rupanya dia dalam
keadaan tertotok.
Dan dia seorang lelaki berusia
empatpuluh tahun tubuhnya tegap, dan seharusnya dialah seorang yang
berkepandaian tinggi, terlihat dari sinar matanya yang memancar tajam, di balik
dari kemarahannya. Cuma saja, dengan Oey Yok Su, dia seperti seekor kutu yang
tidak berdaya.
“Siapa dia, Kong-kong?” Tanya
Kim Lo.
“Dia anak buah Mo-in-kim-kun,
yang rupanya diperintahkan untuk mengintai kita, apakah kita telah pergi atau
belum!” Menerangkan Oey Yok Su, sambil berkata begitu Oey Yok Su menoleh kepada
Ko Tie, dia bilang:
“Apakah kau masih ingat kepada
seseorang, yaitu Kam Lian Cu Kouwnio?”
“Ko Tie mengangguk, Giok Hoa
juga mengangguk sambil mengiakan. Mereka memandang heran kepada Oey Yok Su.
Sambil tertawa Oey Yok Su
berkata, “Nah sekarang kau terka, siapa Kim Lo ini sebenarnya.”
Ko Tie dan Giok Hoa memandangi
Kim Lo, dihati mereka menduga tentunya anak Kam Lian Cu. Hal ini disebabkan
merekapun cerdik, mereka segera dapat menangkap ke arah mana perkataan Oey Yok
Su. Cuma saja, mereka tokh masih bertanya; “Anak siapa Locianpwe?”
“Putera Kam Lian Cu Kouwnio!”
Menyahuti Oey Yok Su.
Baru tersadar Ko Tie dan Giok
Hoa. Sesungguhnya, anak ini mirip dengan seekor kera. Bukankah Kam Lian Cu dulu
diperkosa oleh seekor kera berbulu kuning emas, Kim Go dan bukankan dulu dia
dalam keadaan hamil waktu ikut Oey Yok Su ke pulau Tho-hoa-to.
“Nah, Kim Lo! Cepat kau
memberi hormat, kepada paman dan bibimu itu!” Perintah Oey Yok Su.
Kim Lo tidak berani berayal,
cepat-cepat dia menekuk ke dua kakinya, dia berlutut memberi hormat kepada Ko
Tie dan Giok Hoa bergantian. Katanya:
“Kim Lo memberi hormat kepada
paman dan bibi, harap kau memberikan petunjuk kepada Kim Lo.”
Ko Tie dan Giok Hoa tersenyum
mereka cepat-cepat memimpin bangun bocah itu.
“Bangunlah adik Kim Lo. Jangan
banyak peradatan,” Kata Ko Tie, “Sayang sekali paman dan bibi tidak tahu akan
bertemu dengan kau, sehingga kami tidak mempersiapkan hadiah untukmu,”
Setelah berkata begitu Ko Tie
berdiam sejenak, dia merabah pinggangnya mengeluarkan sebuah seruling. Dan
seruling itu diberikannya kepada Kim Lo. “Ambilah seruling ini sebagai hadiah
kami Kim Lo!”
Bukan main girangnya Kim Lo.
Dia menyambuti dengan kedua tangannya.
“Terima kasih paman! Terima
kasih!” Dan ia mengawasi seruling itu dengan tertarik. “Kong-kong juga sering
meniup seruling! Kong-kong telah mengajarkan aku beberapa lagu! Aku akan coba
memainkannya, sekarang kau tidak perlu meminjam seruling Kong-kong karena aku
telah memiliki seruling sendiri.”
Sambil berkata begitu, Kim Lo
mulai meniup serulingnya membawakan lagu yang bersemangat. Ternyata bocah ini
memang pandai dan mahir sekali meniup serulingnya.
Rupanya waktu Ko Tie dan Giok
Hoa meresmikan pernikahan mereka. Yo Him telah menghadiahkan mereka sebuah kado
yang berisi seruling yang merupakan senjata pusaka dulu dipergunakan Yo Him.
Dan dengan dihadiahkan
seruling itu sebagai hadiah perkawinan Ko Tie, Yo Him mengharapkan Ko Tie bisa
mempergunakan sebagai senjatanya. Karena memang Yo him tidak mau mempergunakan
seruling pusaka itu sebagai senjatanya.
Akan tetapi Ko Tie justru
telah melatih ilmu pedang bersama Giok Hoa, mereka berdua mempergunakan pedang
sebagai senjata mereka. Seruling itu tidak pernah dipergunakan. Tapi selalu
dibawanya ke mana saja mereka pergi sebagai kenang-kenangan yang diberikan Yo
Him.
Siapa tahu sekarang mereka
bertemu dengan Kim Lo, bocah yang telah dianggap sebagai cucu dari Oey Yok Su.
Mereka tidak memiliki hadiah untuk pertemuan pertama ini, karenanya Ko Tie
berpikir pada seruling pusakanya itu, dan menghadiahkannya kepada Kim Lo.
Siangkoan Yap sendiri tidak
memiliki barang berharga, dia telah mengeluarkan sebatang kipas biasa. Dia
berikan kepada Kim Lo, katanya: “Paman cuma bisa memberikan kipas ini. Kipas
ini bukan kipas luar biasa, tapi memiliki kelebihan dibandingkan kipas biasa,
lihatlah!”
Sambil berkata begitu, kipas
itu dilontarkannya, kipas meluncur seperti terbang, karena terbuka lebar,
menyambar keranting pohon. Ranting pohon itu terbabat putus, karena seperti
bumerang saja kipas itu berkelebat tajam.
Rupanya kipas itu selain
terbuat dari dasar kain cita yang kuat juga rangkanya terbikin dari besi
campuran beberapa macam logam yang keras, juga pada rangkai rangka itu dibuat
sedemikian rupa, sangat tajam. Kipas itu bisa sewaktu-waktu dipergunakan
sebagai pengganti senjata jika memang tidak dipergunakan sebagai pengipas.
Kim Lo girang bukan main, dia
mengucapkan terima kasih.
Oey Yok Su sendiri segera
menceritakan pengalamannya dia berada di Lembah Pit-mo-gay berdua dengan Kim
Lo.
“Kalau begitu!” Kata Ko Tie
sengit. “Kita harus merampas pulang Giok-sie!”
“Ya! Memang kita akan
merampasnya pulang. Jika mereka tidak mau menyerahkan juga biarlah aku akan
mengambilnya dengan membuka jalan berdarah!”
Berkata sampai disitu, Oey Yok
Su teringat kepada tawanannya, lelaki berusia pertengahan baya yang tengah
rebah tidak berkutik karena tertotok. Kaki kanan Oey Yok Su melayang mendadak
ke pinggang orang itu.
Dia menjerit kesakitan dan
terbebas dari totokan. Dengan wajah ketakutan dicampur mendongkol orang itu
merangkak untuk berdiri.
“Ceritakan yang jujur, apa
saja yang tengah dilakukan Mo-in-kim-kun?” bentak Oey Yok Su.
“Ini……. ini.......!”
Oey Yok Su tidak sabar. Lengan
bajunya dikibaskan. “Plokk” keras sekali menyampok muka orang itu, seketika
mata orang tersebut berkunang-kunang.
Jika sampokan biasa memang tidak
membawa akibat apa-apa padanya, tapi sampokan Oey Yok Su tentu saja jauh lebih
hebat jika disampok dengan lempengan besi sekali pun. Malah giginya ada yang
rontok. Dan orang itu tambah ketakutan, karena dia memang tidak mungkin berdaya
menghadapi tokoh sakti yang hebat kepandaiannya ini.
“Kauw-cu....... kauw-cu tengah
berunding…….!” Katanya kemudian.
“Apa yang dirundingkan?”
“Ingin mencari jalan keluar
dari kesulitan yang tengah kami hadapi! Kauw-cu bermaksud menyerbu keluar dan
mengepung….. mengepung…….. mengepung…….!”
“Mengepungku?” Tanya Oey Yok
Su dengan tertawa sinis mengejek.
“Benar. Tapi yang lainnya
berpendapat lebih baik membiarkan saja Locianpwe berdiam di sini, beberapa
waktu lagi, sampai nanti lenyap kesabaran locianpwe dan meninggalkan lembah ini
dengan sendirinya.
“Lalu apa yang diputuskan oleh
Kauw-cumu.......” Tanya Oey Yok Su dingin!
“Belum lagi ada keputusan!”
“Dan kau diperintahkan untuk
mengintaiku?” Tanya Oey Yok Su lagi.
“Be….. benar……. untuk melihat
apakah locianpwe sudah pergi atau belum?” Menyahuti orang itu sambil menunduk.
Oey Yok Su tertawa dingin.
Rupanya tadi waktu Oey Yok Su tengah beristirahat tidur di bawah sebatang
pohon, dikala Kim Lo tengah bermain-main ke mulut lembah.
Tiba-tiba Oey Yok Su membuka
matanya, karena perasaannya menyatakan, ada seseorang yang tengah mengawasi
dirinya. Matanya yang memang tajam segera melihat, di puncak tebing itu ada
sesosok tubuh.
Segera juga Oey Yok Su pergi
melesat ke arah puncak tebing itu, ia memiliki gin-kang yang sempurna,
karenanya cepat dan mudah sekali ia berada di hadapan orang yang tengah
mengintai tersebut.
Orang ini ingin melarikan
diri, tapi sudah tidak keburu, sebab tahu-tahu Oey Yok Su telah berada di
depannya. Karena terpojokan, ia ingin melakukan penyerangan bersikap nekad.
Cuma saja, apa yang bisa
dilakukannya? Mudah sekali ia ditawan oleh Oey Yok Su, yang kemudian membawanya
turun.
Setelah mendengar keterangan
anak buah Mo-in-kim-kun, segera Oey Yok Su menendang lagi.
Orang itu menjerit kesakitan
tubuhnya menggigil, ia juga kemudian berjingkrak.
“Ampun….. ampun Locianpwe!”
Tampaknya ia menderita
kesakitan hebat, mukanya pucat pias dan juga keringat membasahi sekujur
tubuhnya. “Jika memang locianpwe ingin membunuhku, bunuhlah, jangan menyiksa
seperti ini!”
Siangkoan Yap heran, betapa
hebatnya Oey Yok Su. Dengan satu kali tendangan ia telah membuat orang itu
berjingkrak-jingkrak dan bergulingan, karena tersiksa rasa sakit yang luar
biasa. Dan karenanya, Siangkoan Yap jadi kagum bukan main.
Sedangkan Oey Yok Su tertawa
dingin.
“Rasa sakit itu satu jam lagi
akan lenyap dan kepandaianmu diwaktu itu akan lenyap. Dan kau akan menjadi
manusia yang bercacad, dengan tenaga yang lemah, jauh lebih lemah dari orang-orang
yang sehat umumnya.
“Semua ini mencegah jangan
sampai kelak kau menimbulkan ancaman buat masyarakat, karena memang kau bukan
manusia baik-baik! Masih bagus aku mau mengampuni jiwamu! Hemmm, walaupun kau
tunggang tungging memohon ampun, tapi jika memang aku tidak bersedia mengampuni
jiwamu, jelas kau tidak bisa hidup!
“Sekarang pergilah kau kembali
ke markasmu. Sampaikan pesanku kepada Kauw-cumu, bahwa kami akan segera
mendatangi tempatnya!”
Muka orang itu semakin pucat.
“Locianpwe, ijinkanlah aku
pergi meninggalkan lembah ini……. jika kembali ke dalam dengan keadaan seperti
ini, tentu aku akan di hukum mati oleh Kauw-cu.......!”
Suara orang itu tergetar dan
tubuhnya menggigil ketakutan, sambil meringis menahan rasa sakitnya.
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Pergilah…..!” Katanya dengan suara yang tawar.
Orang itu sambil menahan sakit
yang tidak terhingga telah pergi dari lembah itu, entah dia mau pergi ke mana?
Setelah orang itu pergi, Ko
Tie bilang kepada Oey Yok Su: “Oey-locianpwe, apakah tidak lebih baik kita
menyerbu saja ke dalam sarang mereka?”
Oey Yok Su tertawa perlahan,
dia bilang, “Sarang mereka diperlengkapi alat-alat rahasia sehingga tidak mudah
ditemukan!”
“Kalau begitu……. biarlah
boanpwe pergi membekuk lagi orang itu agar dia mau menunjukan jalan menuju ke
sarang mereka!” Kata Ko Tie segera.
“Jangan, biarkan dia pergi!
Memang aku tidak mau mempergunakan kekerasan. Jika aku memaksa menyerbu ke
dalam, untuk merampas Giok-sie, niscaya akan jatuh korban yang banyak sekali!
“Inilah yang tidak
kukehendaki, dalam usia demikian lanjut aku harus membunuh sekian banyak
manusia….. jika memang Mo-in-kim-kun dapat dihadapi dengan satu-satu tentu
Giok-sie bisa kita rampas pulang……. sedangkan yang lain kita hanya perlu, memusnahkan
kepandaian mereka, jika perlu baru membinasakannya.
Ko Tie mengangguk, dia tidak
mendesak lagi.
“Rencanaku selanjutnya ialah
menanti di lembah ini, sampai akhirnya persediaan makanan mereka habis,
mustahil mereka tidak ke luar lagi dari sarang mereka?”
Yang lainnya menyatakan
setuju.
◄Y►
Mo-in-kim-kun duduk di dalam
ruangan yang mewah itu dengan muka yang murung. Ia menyadari, Oey Yok Su
bukanlah sebangsa manusia yang mudah dihadapi, karena tong-shia memang
merupakan seorang yang sulit sekali untuk dihadapi.
Dia aneh adatnya dan sesat perangainya
disamping kepandaiannya yang tinggi sekali. Jika ingin diukur dengan
sejujurnya, Mo-in-kim-kun masih berada satu tingkat di bawah kepandaian Oey Yok
Su, dan ia mengakuinya di dalam hati.
Kalau memang beberapa saat
yang lalu dia bisa meloloskan diri dari kejaran Oey Yok Su, pertama-tama dia
memperoleh kelonggaran sebab mempergunakan Kim Lo sebagai tameng, kedua dia pun
memiliki gin-kang istimewa, yaitu ilmu lari cepat bagaikan iblis.
Itulah yang diandalkannya,
walaupun Oey Yok Su memiliki gin-kang yang sama mahirnya, tokh dengan
menggendong Kim Lo, niscaya Oey Yok Su tidak akan dapat mendahuluinya dan
mengejarnya sampai terlalu dekat.
Tapi, sekarang disaat dia
terkurung di dalam sarangnya bersama semua anak buahnya dia tahu keadaan ini
tidak menguntungkan dirinya. Jika keluar, jelas dia harus menghadapi Oey Yok
Su.
Walaupun anak buahnya banyak
yang memiliki kepandaian tinggi, tokh mereka tidak mungkin bisa menghadapi tocu
pulau Tho-hoa-to. Dan dia sendiri yang akhirnya harus berhadapan dengan Oey Yok
Su.
Mo-in-kim-kun bukan jeri
bertempur satu-satu dengan Oey Yok Su, justru sekarang ini dia tengah
dilambungkan cita-cita dan khayalan yang ingin memperoleh negeri, dia ingin
jadi Kaisar. Bukankah Giok-sie berada di tangannya.
Ia kuatir kalau bertempur
dengan Oey Yok Su, akhirnya malah membuat dia tercelaka, terluka berat atau
terbinasa. Itulah yang tidak diinginkannya.
Hari itu, persediaan makanan
mereka hampir habis. Beberapa orang anak buahnya telah menganjurkan agar mereka
bersama-sama menerjang keluar untuk mengepung Oey Yok Su.
Mustahil dengan jumlah yang
banyak dan juga mereka umumnya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi,
tidak akan dapat menghadapi Oey Yok Su?
Tapi Mo-in-kim-kun justeru
tidak menyetujui usul itu. Dia beranggapan jika mereka keluar mengepung Oey Yok
Su, berarti dia telah mempertaruhkan nasibnya.
Dia akan berhadapan dengan Oey
Yok Su, sebagai Kauw-cu, pimpinan jika sampai anak buahnya tidak sanggup
mengatasi Oey Yok Su berarti dia yang akan muncul untuk menghadapinya. Inilah
yang membuat Mo-in-kim-kun harus berpikir dua kali terhadap usul yang diberikan
anak buahnya.
Memang tempatnya ini
diperlengkapi dengan pintu rahasia dan berada di dalam perut tebing. Dengan
demikian tentu Oey Yok Su tidak mudah, untuk mencari tempat bersembunyinya ini.
Dan juga tidak banyak yang
bisa dilakukan, Oey Yok Su. Cuma saja terkurung terus menerus seperti itu
bukanlah hal yang menggembirakan, juga jika kelak persediaan makanan mereka
habis, jelas mereka kelaparan dan diwaktu itu mereka harus terpaksa keluar.
Tadi dia telah perintahkan
salah seorang anak buahnya keluar untuk menyelidiki, melihat-lihat, apakah Oey
Yok Su masih menunggu di dalam lembah. Tapi dia telah menanti sekian lama, anak
buahnya itu belum juga kembali. Dia memiliki dugaan bahwa anak buahnya itu
telah dibinasakan oleh Oey Yok Su.
Tengah Mo-in-kim-kun termenung
dengan muka yang murung sekali, tiba-tiba didengarnya suara langkah kaki dari
luar kamar itu. Dia meliriknya, dilihatnya Pang Tauw, seorang pembantunya,
telah melangkah masuk.
Pang Tauw memberi hormat,
kemudian duduk dihadapan Mo-in-kim-kun, katanya.
“Hong-siang, seharusnya kita
bertindak sekarang! Dengan ratusan kawan kita menyerbu sekaligus, dan
Hong-siang ikut mengepungnya.
“Mustahil Oey Yok Su bisa
menghadapi kita? Walaupun dia memiliki tiga kepala tiga pasang tangan tidak
nantinya dia bisa meloloskan diri dari pengepungan kita……..!”
“Jangan sekarang belum
waktunya!” kata Mo-in-kim-kun. “Kita harus menanti beberapa saat lagi, siapa
tahu akhirnya dia merasa jemu untuk menanti dan meninggalkan lembah ini…..!”
“Tapi dia mengincar Giok-sie
juga tentu dia tidak akan pergi…….!”
“Sesungguhnya kita harus
mengusahakan menangkap bocah yang bersamanya itu, barulah kita bisa menekannya
jadi tidak berdaya!” Kata Mo-in-kim-kun dengan suara setengah menggumam.
“Kalau begitu biarlah kami
pergi keluar untuk berusaha menangkap bocah itu!”
“Jangan, kalian akan celaka di
tangan Oey Yok Su!”
“Kami akan hati-hati
menghadapinya, Hong-siang!”
Tapi Mo-in-kim-kun
menggelengkan kepalanya beberapa kali, kemudian berdiam diri lagi.
Diwaktu itu tampak Pang Tauw
tidak sabar, dia bilang: “Ijinkanlah kami, Hong-siang, tentu kami akan berusaha
sekuat kemampuan kami untuk menculik bocah yang bersama Oey lo-shia!”
Mo-in-kim-kun menggeleng lagi.
“Nanti akan kupanggil.
Sekarang kau keluar dulu, jangan ganggu aku!” kata Mo-in-kim-kun.
Dengan wajah yang memancarkan
rasa tidak puas, Pang Tauw telah keluar dari kamar Kauw-cunya, yang dipanggil
oleh mereka dengan sebutan Hong-siang, yaitu Kaisar.
Mo-in-kim-kun yang berada
seorang diri telah berpikir keras untuk mencari jalan sebaik-baiknya, sampai
akhirnya dia menepuk pahanya.
“Mengapa aku tidak berpikir
sejak tadi?” Menggumam Kauw-cu dari orang Pit-mo-gay itu. Diapun telah melompat
berdiri, memanggil Pang Tauw.
Pang Tauw, segera menghadap,
dan Mo-in-kim-kun membisikan sesuatu padanya. Dia tampak berseri-seri dan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Cepat-cepat dia berlalu dari kamar Kauw-cunya
setelah memberi hormat.
◄Y►
Oey Yok Su bersama Kim Lo, Ko
Tie, Giok Hoa dan Siangkoan Yap tengah duduk bercakap.cakap di bawah sebatang
pohon yang rindang setelah mereka terhindar dari sinar mata hari yang terik.
Tiba-tiba dari kejauhan, di
puncak tebing yang tinggi sekali terlihat beberapa sosok tubuh yang tengah
melompat dan berlari-lari menuruni tebing itu. Yang berlari di depan rombongan
orang itu tubuhnya tegap, di tangan kanannya membawa sebatang bendera putih,
yang dikibarkannya, sebagai tanda bahwa mereka datang tidak dengan maksud yang
jahat.
Oey Yok Su mengerutkan
alisnya. Ko Tie melompat berdiri menantikan datangnya orang-orang itu.
Setelah dekat, mereka melihat
jumlah orang itu mungkin duapuluh orang, semuanya bertubuh tinggi tegap. Dan
yang di depan tidak lain dari Pang Tauw, dia yang mengibarkan bendera putih
itu.
Waktu berada di dekat Oey Yok
Su, terpisah beberapa belas tombak, rombongan Pang Tauw memberikan bendera
putihnya kepada kawannya yang disamping kanan, ia sendiri telah merangkapkan
kedua tangannya memberi hormat.
“Oey Locianpwe, kami
mengundang Oey locianpwe bersama cucu locianpwe untuk makan, Kauw-cu kami ingin
mengundang Oey Lo-cianpwe untuk di jamu.........!”
Oey Yok Su mendengarkan suara,
“Hemmmm!” Kemudian melompat berdiri. Dengan suara yang bengis dan lantang ia
menyahuti:
“Kalian jangan berusaha
mencoba berbagai jalan licik untuk memperdayakan aku si tua bangka. Lebih baik
kalian menyerahkan Giok-sie kepadaku, Oey Loshia akan segera meninggalkan
lembah ini!
“Tapi jika kalian tak mau
menyerahkan Giok-sie, hemmm, aku mau lihat berapa lama kalian bisa bertahan
berkurung di dalam goa batu tempat sarang kalian itu!”
Pang Tauw tak berobah mukanya,
walaupun hatinya mendongkol, tetap memperlihatkan sikap yang manis.
“Kauw-cu mengatakan, memang ia
telah memikirkannya bulak balik selama dua hari ini. Dia akhirnya, Kauw-cu kami
menyadari, orang yang paling tepat memiliki Giok-sie adalah Locianpwe! Memang
maksud Kauw-cu memang kami mengundang Oey Locianpwe untuk sekalian nanti
menyerahkan Giok-sie!”
Oey Yok Su tertawa dingin,
mana dia bisa dipercaya? Dia seorang yang cerdik, dan kecerdikannya yang telah
diwariskan kepada Oey Yong saja memperlihatkan betapa pun Oey Yok Su merupakan
tokoh yang paling cerdas dan cerdik. Oey Yong, putrinya pun tidak kalah
cerdiknya.
Sekarang mendengar perkataan,
Pang Tauw seperti itu, Oey Yok Su tertawa dingin.
“Aku tidak perlu makanan
kalian, dan kalian silahkan membawa saja Giok-sie untuk diserahkan kepadaku! Jangan
rewel, karena tetap aku tidak akan meninggalkan lembah ini sebelum Giok-sie
diberikan kepadaku!”
Pang Tauw tertawa,
“Locianpwe……!” Baru saja
berkata begitu tiba-tiba diluar mulut lembah terdengar suara tambur dan
gembreng yang ramai bukan main, menyusul mana tampak menyerbu masuk ratusan
orang berpakaian seragam kerajaan.
Di depan pasukan kerajaan yang
menyerbu masuk itu, berlari pesat dan ringan seorang Lhama. Dialah Bun-ong
Hoat-ong.
Oey Yok Su mengerutkan alis.
Melihat keadaan ini, jelas mereka telah berada dalam posisi yang tidak
memungkinkan lagi menghindarkan pertempuran, karena pasukan tentara kerajaan
telah menjadi pihak ketiga untuk memperebutkan Giok-sie.
Karena itu, Oey Yok Su segera
bilang kepada Pang Tauw, “Sekarang sudah tidak ada waktu untuk bicara lagi!
Kalian lihatlah, pasukan tentara kerajaan telah menyerbu kemari!”
Pang Tauw pun telah berobah
mukanya. Dia segera memutar tubuhnya tanpa mengucapkan sepatah perkataan juga.
Dia bermaksud mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke tempat semula.
Hanya saja, belum lagi mereka
bisa berlalu jauh, beberapa sosok tubuh telah berkelebat mengejarnya. Mereka
adalah Oey Yok Su, Siangkoan Yap dan Giok Hoa.
Tiga orang itu bermaksud
menawan Pang Tauw, untuk menyerbu ke dalam sarang Mo-in-kim-kun karena dalam
waktu yang singkat itu Oey Yok Su segera menyadari, percuma saja dicari lebih
jauh dengan Pang Tauw, bukan pasukan tentara kerajaan telah menyerbu masuk ke
lembah itu?
Dan pertempuran tentu tidak
bisa dielakan lagi. Jika nanti telah timbul pertempuran yang menentukan antara
orang-orang Pit-mo-gay dengan tentara kerajaan, kesempatan memperoleh Giok-sie
jadi lebih sulit. Sebab di dalam pasukan tentara kerajaan itu pasti banyak
terdapat orang-orang pandai berkepandaian sangat tinggi.
“Berhenti!” Bentak Oey Yok Su.
Pang Tauw tahu bahwa mereka
tidak mungkin bisa meloloskan diri dari Oey Yok Su, karena jika mereka meneruskan
lari untuk kembali ke pintu rahasia yang menghubungi dengan tempat
persembunyiannya itu mereka, niscaya Oey Yok Su pun akan dapat ikut masuk
serta, karena jarak mereka terpisah tidak jauh lagi, sedangkan Oey Yok Su
memiliki gin-kang yang sempurna.
Ko Tie tetap menunggu
disamping Kim Lo untuk melindungi bocah tersebut. Dia tidak ikut mengejar Pang
Tauw.
Oey Yok Su bukan hanya
membentak Pang Tauw, melainkan tangannya dipakai untuk menyerang.
Pang Tauw menangkis, dia
mengelak juga sambil membalas menyerang. Duapuluh orang lebih anak buahnya
meluruk untuk mengepung Oey Yok Su.
Tapi mereka kebingungan juga
melihat di mulut lembah tentara kerajaan tengah menyerbu masuk dalam jumlah
yang besar. Suara tambur dan gembreng juga terdengar ramai.
Oey Yok Su bekerja cepat.
Dalam lima jurus, dia berhasil membekuk Pang Tauw.
“Cepat bawa aku ke tempat
Kauw-cumu!” bentaknya bengis sambil mencekal jalan darah Pu-siang-hiat di
pundak lawannya.
Pang Tauw yang sudah mati
kutu, tidak berdaya cuma mengangguk-angguk saja.
Dua orang anak buah Pang Tauw
bermaksud menolongi Pang Tauw, mereka melompat akan menerjang Oey Yok Su.
Tapi dua orang ini mudah
sekali telah didepak keras oleh Oey Yok Su, sampai mereka terguling-guling,
memuntahkan darah tiga kali lalu masing-masing menggeletak di tanah tanpa
bergerak lagi, pingsan.
Yang lainnya jadi gugup,
mereka ingin melarikan diri secepat-cepatnya.
Siangkoan Yap dan Giok Hoa
tidak diam, mereka berdua menggerakkan pedangnya menahan enam orang anak buah
Pang Tauw yang mau melarikan diri. Mereka bertempur belasan jurus, lalu dua
orang di antara mereka berhasil dilukai oleh Siangkoan Yap dan Giok Hoa.
Pasukan tentara kerajaan telah
menyerbu datang semakin dekat. Ko Tie yang menjaga keselematan Kim Lo jadi
mengerutkan sepasang alisnya, akhirnya dia melihat tidak mungkin berdiam terus
di situ.
Dia berpaling kepada Kim Lo,
katanya: “Adik Kim Lo, kau lompat naik ke atas pundak, aku akan membawamu ke
tempat yang aman!”
Kim Lo tertawa senang.
“Baik paman!” Berseru Kim Lo,
dia juga menjejakan sepasang kakinya, tubuhnya ringan hinggap di pundak Ko Tie.
Ia memang memiliki gin-kang
terlatih baik, karena oleh Oey Yok Su ia selama sepuluh tahun telah dididik,
cuma penggemblengan serius belaka yang belum diterimanya.
Menurut Oey Yok Su, dalam usia
duabelas tahun barulah Kim Lo dapat dididik dengan baik, dan dapat menerima
pelajaran ilmu silat dengan sempurna. Sedangkan selama sepuluh tahun ini cuma
sekedar menerima pelajaran dasar belaka.
Setelah Kim Lo duduk di
pundaknya, cepat sekali Ko Tie mengerahkan gin-kangnya. Ia melesat menyerbu
kepada orang-orang Pit-mo-gay. Begitu tangannya bergerak, dua orang terjungkal
rubuh, sebab Ko Tie mempergunakan jurus-jurus dari ilmu pukulan Cap-lak-kan
yang diterimanya dari Oey Yok Su sepuluh tahun yang lalu.
Oey Yok Su segera berteriak:
“Bawa Kim Lo ke tempat yang aman!” Rupanya Oey Yok Su juga kuatir untuk
keselamatan Kim Lo.
Ko Tie sebetulnya hendak
melabrak lagi orang-orang Pit-mo-gay, cuma saja mendengar perintah Oey Yok Su
ia sama sekali tidak berani membantah. Dan segera juga telah membawa Kim Lo ke
tempat yang tinggi di atas tebing,
Ko Tie tidak berani
meninggalkan Kim Lo di situ seorang diri, karena ia kuatir kalau-kalau nanti
ada orang Pit-mo-gay sengaja menawan Kim Lo untuk dijadikan sandera, sedangkan
Kim Lo masih terlalu kecil. Biarpun dia memang telah dididik oleh Oey Yok Su
ilmu yang hebat-hebat, akan tetapi tetap saja tangannya masih terlalu kecil dan
juga belum berpengalaman.
Jika sampai ia dikepung dua
atau tiga orang Pit-mo-gay yang berkepandaian biasa saja, belum tentu Kim Lo
bisa menghadapinya, disebabkan ilmu-ilmu yang sangat hebat dan telah
dipelajarinya dari Oey Yok Su belum bisa dipergunakannya dengan sebaik-baiknya
dan pada cara yang sesempurna mungkin.
Sedangkan Oey Yok Su kali ini
turun tangan tidak tanggung-tanggung, ia bergerak ke sana ke mari sambil
menenteng Pang Tauw, tangan kiri maupun ke dua kakinya bergerak ke sana ke mari
menendang dengan kekuatan yang mengejutkan, sebab orang-orang Pit-mo-gay itu
jungkir balik bagaikan diterjang oleh badai angin puyuh.
Demikian juga Giok Hoa dan
Siangkoan Yap, mereka bergerak lincah sekali dengan pedang masing-masing
melukai orang-orang Pit-mo-gay.
“Di mana Mo-in-kim-kun?”
bentak Oey Yok Su dengan suara bengis kepada Pang Tauw.
“Ada…… ada di dalam……!”
menyahuti Pang Tauw dengan sikap dan ketakutan, sebab ia merasakan cengkraman
Oey Yok Su sangat kuat, juga lehernya seperti tercekik, disamping itu ia
tertotok, membuat tenaganya seperti lenyap meninggalkan tubuhnya.
“Bawa aku ke sana!” perintah
Oey Yok Su. “Tunjukkan jalannya!”
Pang Tauw tidak berani
membantah, segera ia memberitahukan jalan untuk mencapai ruang dalam di perut
tebing ruangan rahasia. Oey Yok Su memasuki lorong itu cepat sekali dengan Pang
Tauw masih ditentengnya terus.
Di waktu itu tampak Pang Tauw
beberapa kali hendak mencoba membebaskan diri dari totokan, dia mengempos
semangatnya, namun gagal, sebab totokan di tubuhnya tidak juga bisa
dipunahkannya. Malah dia merasakan sekujur tubuhnya lemas dan benar-benar
sekali ini dia di tangan Oey Yok Su jadi mati kutu.
Waktu Oey Yok Su melesat
ringan memasuki lorong itu, dari depan, menyerbu puluhan orang yang menggenggam
berbagai senjata tajam. Tapi Oey Yok Su tidak menghentikan langkah kakinya, dia
berlari terus.
Waktu orang-orang hendak
mengepungnya justeru Oey Yok Su bagaikan mengamuk. Tubuhnya melesat ke sana ke
mari dengan telapak tangan kirinya dia menghajar ke sana ke mari, maka tampak
tubuh orang-orang Pit-mo-gay itu terpental saling menabrak sesama kawan.
Suara mereka berisik sekali,
suara jerit dan teriakan kaget, karena banyak senjata yang makan tuan.
Oey Yok Su nembuka jalan
dengan kehebatannya yang menakjubkan, karena tidak ada seorangpun di antara
orang-orang Pit-mo-gay yang sanggup membendungnya.
Siangkoan Yap berdua dengan
Giok Hoa berusaha mengikuti di belakang Oey Yok Su. Mereka memang lebih leluasa,
karena boleh dibilang orang-orang Pit-mo-gay telah dihajar oleh tocu pulau
Tho-hoa-to tersebut.
Merekapun mempergunakan ilmu
pedang mereka yang hebat karenanya tidak ada anak buah Pit-mo-gay yang bisa
membendung mereka. Ko Tie tetap berada di tempatnya untuk menjaga keselamatan
Kim Lo.
Cuma saja yang menguatirkan
buat hati Ko Tie, justeru ia melihat pasukan tentara kerajaan sudah berada di
mulut lembah. Mereka akan segera menerjang maju.
Kalau sampai tentara kerajaan
sudah menyerbu maju ke dalam lembah, banjir darah sulit dihindarkan.
Oey Yok Su cepat sekali
menerobos sampai di dalam tebing kamar rahasia di mana orang-orang Pit-mo-gay
menyembunyikan diri. Dan banyak orang orang Pit-mo-gay yang sudah dirubuhkan,
sehingga yang lainnya tidak berani maju menghalangi Oey Yok Su sebab menyadari
mereka akan menjadi korban empuk tangan besi Oey Yok Su.
“Hentikan!” Tiba-tiba suara
bentakan menggelegar terdengar memecahkan serta suara ribut-ribut di dalam
tebing itu.
Semua anak buah Pit-mo-gay
rupanya mengenali suara siapa itu karena mereka segera mematuhi. Mereka telah
mundur dengan cepat untuk membiarkan Oey Yok Su berdiri dengan tangan masih
menenteng Pang Tauw.
Dengan sorot mata yang tajam
Oey Yok Su melirik ke arah orang yang membentak keras itu. Ia segera mengenali
orang itu adalah orang yang tengah dicarinya, segera juga tangan kanannya
mengibas tubuh Pang Tauw terlontar jauh sekali bergulingan di tanah, karena ia
sudah tidak diperlukan lagi oleh Oey Yok Su.
“Bagus! akhirnya kau keluar
juga!” kata Oey Yok Su dingin. “Cepat kau serahkan Giok-sie jika memang kau
masih ingin bernapas lebih lama di dunia ini!”
Orang yang baru muncul itu
memang tak lain dari Mo-in-kim-kun yang diiringi anak buahnya. Para pembantunya
berdiri dalam keadaan bersiap-siap. Dan diwaktu itu merekapun telah mencekal
senjata masing-masing, sikap mereka seakan juga hendak menerjang untuk
mengeroyok cuma menantikan perintah dari Mo-in-kim-kun saja.
Mo-in-kim-kun tertawa dingin,
sikapnya angkuh. Waktu itu otaknya tengah berpikir keras. Ia menyadari percuma
saja ia perintahkan para pembantunya pergi mengeroyok Oey Yok Su, sebab hanya
akan menyebabkan anak buahnya itu akan menjadi korban di tangan Oey Yok Su.
Karenanya ia bermaksud hendak
menghadapi Oey Yok Su satu dengan satu. Ia memang ingin memperlihatkan juga
bahwa ia tidak jeri pada tocu pulau Tho-hoa-to tersebut.
“Oey Loshia, kau keterlaluan!”
kata Mo-in-kim-kun dingin suaranya.
“Keterlaluan?” mendengus Oey
Yok Su, tawar. “Kau telah merampas secara kurang ajar Giok-sie dari tanganku.
Jika sekarang kau tidak cepat-cepat mengembalikan Giok-sie itu kepadaku, jangan
harap kau terus bernapas di dunia ini dengan tenang! Cepat serahkan kembali
Giok-sie itu!”
Mo-in-kim-kun tertawa dingin.
Tangannya merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sesuatu yang dibolang-balingkannya
di depan mukanya.
“Inikah yang kau cari dan
kehendaki?” Tanya Mo-in-kim-kun mengejek, karena di tangannya itu memang
Giok-sie. “Tapi kukira tidak mudah buat kau mengambil Giok-sie ini dari
tanganku!”
Setelah berkata begitu,
Mo-in-kim-kun memasukan kembali Giok-sie ke dalam sakunya. Ia berobah
berdirinya, sikapnya angkuh sekali. Ia bilang: “Hemmm, sekarang ingin kutanya,
apakah kau bersedia bekerja sama denganku atau ingin kumusnahkan? Kau tidak
perlu tekebur karena dunia Kang-ouw telah mengagul-ngagulkan dirimu sebagai
tocu Tho-hoa-to yang berkepandaian tinggi.
“Dimataku kau tidak berarti
apa-apa! Jika kau mengenal selatan, kau membantu dan bekerja sama denganku,
maka jika kelak aku berhasil dengan cita-citaku engkaupun akan kuangkat pada
kedudukan yang paling mulia!”
Muka Oey Yok Su merah padam.
Tadi waktu melihat Giok-sie dikeluarkan Mo-in-kim-kun, sebetulnya ia sudah
ingin menerjang untuk merebutnya dengan kekerasan. Namun sebagai orang yang
cerdik, seketika ia berpikir,
“Kepandaian iblis ini tidak
rendah, jika aku menggunakan kekerasan, mungkin beberapa ratus jurus masih
belum berhasil merebut Giok-sie itu. Lebih baik aku mempergunakan tipu muslihat!”
Seketika muka Oey Yok Su
berobah lunak, sikapnyapun jadi sabar.
“Baiklah! Apa maksudmu dengan
perkataan mengajakku bekerja sama?” Tanya Oey Yok Su kemudian.
Girang Mo-in-kim-kun melihat
perobahan sikap Oey Yok Su, dengan sikap tidak seangkuh tadi ia bilang:
“Oey Loshia, seperti kau
ketahui Giok-sie akan kupergunakan untuk mengatur negeri. Jika memang kelak aku
telah duduk di singgasana sebagai Kaisar, kau tentu tidak akan kulupakan, kau
akan kutempati di tempat kemuliaan tertinggi! Yang terpenting sekali kau mau
bekerjasama denganku, untuk menghadapi pihak kerajaan.”
Oey Yok Su tidak segera
menyahuti, seakan juga ia tengah berpikir.
“Tapi, kukira aku sudah
terlalu tua untuk ikut-ikutan mengurus negeri…..!” Kata Oey Yok Su kemudian
dengan suara yang perlahan, seperti tengah menggumam.
“Nah, jika memang begitu
pikiran Oey Loshia, baiklah! Oey Loshia tidak perlu menggangguku, kelak aku
akan ingat budi kebaikanmu!” Kata Mo-in-kim-kun cepat.
“Tapi…….!”
“Ada lagi yang hendak kau
katakan?”
“Sesungguhnya aku ingin
memberikan Giok-sie kepada seseorang yang sesuai untuk mengatur negeri kelak!”
kata Oey Yok Su.
Mo-in-kim-kun tertawa, malah
sampai terbahak-bahak.
“Oey Loshia, sesungguhnya
untuk urusan ini kau tidak perlu pusingkan lagi, karena aku berjanji kelak akan
mengatur negeri sebaik-baiknya!”
Oey Yok Su menghela napas, ia
melangkah mendekati Mo-in-kim-kun, sedangkan Mo-in-kim-kun mengawasi sambil
tersenyum senang, karena ia beranggapan Oey Yok Su sudah merobah pikirannya.
Oey Yok Su tak bilang apa-apa,
waktu sudah dekat dengan Mo-in-kim-kun, ia menggumam lagi: “Apa benar kau cocok
untuk memikul tugas yang begitu berat?”
Sambil mengguman seakan-akan
tidak yakin seperti itu Oey Yok Su mengelilingi Mo-in-kim-kun.
Senang hati Mo-in-kim-kun, ia
yakin bisa menguasai Oey Yok Su dengan jalan lunak.
“Oey Loshia, percayalah akupun
sudah tua jika tokh aku berhasil duduk di singgasana, itupun tidak akan lama
lagi, karena memang aku hanya ingin memperbaiki nasib rakyat belaka. Nanti
Giok-sie akan diturunkan kepada penerus yang benar-benar terampil. Tapi
sekarang jika kau coba merintangi aku, berarti hanya akan menghambat perbaikan
nasib rakyat, dan kasihan nasib mereka.......!”
Oey Yok Su menghela napas. Ia
menepuk beberapa kali pundak Mo-in-kim-kun.
“Baiklah, dilihat demikian
jelas maksudmu luhur. Karena itu, selayaknya kalau saja aku pun tidak
mencampuri lagi urusan tersebut. Sambil berkata begitu, Oey Yok Su merangkapkan
tangannya, membungkukkan tubuhnya, ia memberi hormat.
Mo-in-kim-kun cepat-cepat
membalas hormat Oey Yok Su. Dan belum lagi mereka berdiri tetap di tempat
masing-masing justeru di luar terdengar suara ramai-ramai.
Mo-in-kim-kun melirik kepada
orangnya yang terdekat, dan orang itu mengerti berlalu cepat untuk pergi
melihat apa yang terjadi di luar ruang rahasia.
Tidak lama kemudian ia
kembali, membisiki sesuatu pada Mo-in-kim-kun.
Wajah Mo-in-kim-kun berobah,
ia menoleh pada Oey Yok Su, katanya: “Oey Loshia, lihatlah, betapa tentara
kerajaan sudah datang! Kita harus pergi menghadapinya!”
Habis berkata begitu ia
menjurah memberi hormat kepada Oey Yok Su, katanya lagi: “Laote harap,
Oey-loshia bersedia membantuku, untuk menghadapi mereka!”
Oey Yok Su mengangguk girang.
“Ya, Mari kita lihat!” Kata
Oey Yok Su.
Bukan kepalang girangnya
Mo-in-kim-kun karena ia sama sekali tidak menyangka bahwa Oey Yok Su bisa
beralih dan merobah haluan di mana kini Oey Yok Su berdiri di pihaknya malah
akan membantunya menghadapi pasukan tentara kerajaan.
Mereka cepat sekali berada di
luar tebing sedangkan Giok Hoa berdua Siangkoan Yap berdiri disamping Oey Yok
Su dengan sikap kebingungan.
“Oey locianpwe…….!” Bisik
Siangkoan Yap dengan sikap ragu-ragu.
Oey Yok Su melirik kepadanya.
“Kau ingin menanyakan mengapa
aku membantu pihak iblis itu bukan?” tanya Oey Yok Su sambil tersenyum, tenang
sekali tampaknya.
Siangkoan Yap mengangguk, Giok
Hoa pun segera bilang, “Oey Locianpwee….. apakah……. apakah memang kita harus
membantu iblis itu?”
Oey Yok Su melirik
kelilingnya, dan mengetahui Mo-in-kim-kun dengan orang-orangnya tidak
memperhatikan mereka, karena tengah mengawasi ke arah di mana tampak pasukan
tentara kerajaan tengah berduyun-duyun menyerbu masuk ke dalam lembah dengan
sikap yang garang dan hiruk pikuk, ia baru bilang.
“Kalian jangan kuatir urusan
telah beres.”
“Urusan telah beres?” Tanya
Giok Hoa berdua Siangkoan Yap seperti takjub.
Mereka benar-benar tidak
mengerti. Bukankah Oey Yok Su ingin merampas Giok-sie? Dan Giok-sie memang
belum lagi jatuh ke tangan mereka?
Mengapa justeru sekarang Oey
Yok Su bilang urusan telah beres? Apa maksud Oey Yok Su sebenarnya?
Oey Yok Su tidak memperdulikan
sikap keheranan Giok Hoa dan Siangkoan Yap, ia hanya bilang, “Kalian jangan
kuatir, percayalah padaku, urusan telah beres. Kalian pergi ajak Ko Tie
mengajak Kim Lo berlalu dari lembah ini. Kalian menanti di sebelah Selatan lembah,
nanti aku menyusul kalian!”
Walaupun masih tidak mengerti,
namun Siangkoan Yap berdua Giok Hoa mengiakan juga. Mereka segera meninggalkan
Oey Yok Su, dan mengerahkan gin-kang mereka, agar cepat-cepat tiba di tempat Ko
Tie dan Kim Lo berada, karena mereka kuatir kalau-kalau nanti tentara kerajaan
keburu sampai dan ditimbul korban pertempuran?
Pasukan tentara kerajaan sudah
tiba, orang-orang Pit-mo-gay pun tidak sempat berpikir lagi, karena mereka
harus segera menghadapinya. Mo-in-kim-kun menoleh kapada Oey Yok Su, ia melihat
pendekar tua yang jadi tocu pulau Tho-hoa-to tersebut berdiri tenang-tenang
saja disampingnya. Cuma Siangkoan Yap berdua dengan Giok Hoa tidak berada di
situ.
Dan memang ia tidak menaruh
kecurigaan, sebab ia menduga tentunya kedua muda mudi itu ingin pergi untuk
menghindarkan diri dari serbuan tentara kerajaan. Bukankah Oey Yok Su sudah
berdiri di pihaknya? Karena dari itu, ia segera juga tersenyum kepada Oey Yok
Su.
Waktu itulah tampak Oey Yok Su
bilang dengan suara perlahan kepada Mo-in-kim-kun, “Sayang sekali aku tidak
dapat membantumu untuk menghadapi kurcaci itu! Aku ingin pergi!”
“Oey Loshia….. tunggu dulu!”
Mo-in-kim-kun kaget dan coba mencegah kepergian Oey Yok Su.
Tapi Oey Yok Su tidak
memperdulikan sikap dan kata-kata Mo-in-kim-kun, sebab ia telah menjejakan
kakinya. Tubuhnya seketika melesat ke tengah udara. Ia telah melesat seperti
juga terbang, menuju ke mulut lembah.
Memang pasukan tentara
kerajaan tengah menyerbu dari mulut lembah. Namun Oey Yok Su tidak jeri, karena
mudah saja ia mempergunakan gin-kangnya, melesat di tengah udara dan dengan,
melompat ke sana ke mari, dia sudah bisa menghindarkan diri dari para tentara
kerajaan tersebut.
Ada dua orang perwira yang
melompat ke depan Oey Yok Su, coba untuk mencegah jago tua itu pergi
meninggalkan tempat itu dengan serangan yang beruntun. Namun Oey Yok Su tetap,
tidak mau melayani karena dengan mengibaskan tangannya, ia berhasilkan merubuhkan
dua orang perwira tersebut yang terjengkang ke belakang. Untung saja mereka
tidak sampai terguling rubuh di tanah, cuma terhuyung ke belakang dan mereka
hampir rubuh.
Oey Yok Su berlari dengan
cepat sebentar saja ia sudah berhasil mencapai mulut lembah.
Ia melihat Giok Hoa dengan
Siangkoan Yap tengah dikeroyok oleh pasukan tentara kerajaan. Ia cepat-cepat
menyerbu uatuk membantu mereka.
Mudah sekali Oey Yok Su
melemparkan mereka seorang demi seorang, untuk membuka jalan. Giok Hoa dan
Siangkoan Yap bersorak girang. Karena mereka girang melihat datangnya Oey Yok
Su, berarti mereka tak memperoleh kesulitan lagi.
Cepat bukan main mereka
bertiga berlari terus meninggalkan lembah itu. Mereka melihat Ko Tie dengan
memanggul Kim Lo tengah berlari cepat menjauhi diri dari mulut lembah itu,
menuju ke arah selatan.
Oey Yok Su bersiul. Tubuhnya
melesat cepat sekali, sebentar saja ia sudah bisa mengejar Ko Tie.
“Lontarkan Kim Lo kepadaku!”
teriaknya kemudian.
Perintahnya dipatuhi Ko Tie,
yang segera melontarkan Kim Lo kepada Oey Yok Su.
Kim Lo berseru kaget, karena
tubuhnya melayang di tengah udara ringan sekali, secara cepat ia segera
bergerak berputar di tengah udara mempergunakan gin-kang yang pernah
dipelajarinya dari Oey Yok Su. Tubuhnya berputar tiga kali.
Waktu tubuhnya telah hinggap
di pundak Oey Yok Su, tangan Oey Yok Su menjambret menurunkannya sambil
tertawa-tawa: “Anak nakal, enaknya kau dibawa berlari-lari seperti tadi…….?”
“Kong-kong! Kong-kong!” teriak
Kim Lo kemudian dengan sikap yang manja. “Tadi Kongkong pergi ke mana? Aku
berkuatir sekali kalau saja Kong-kong mengalami sesuatu yang tidak enak.”
“Ayo kita tinggalkan tempat
ini secepatnya.......!” Ajak Oey Yok Su.
“Tunggu dulu Oey
Locianpwee.......!” Kata Ko Tie dengan sikap ragu-ragu dan saling melirik
kepada Giok Hoa dan Siangkoan Yap.
Oey Yok Su menoleh, “Kenapa?”
tanyanya
“Bukan….. bukankah kita belum
lagi memperoleh.......” Kata Ko Tie ragu-ragu.
“Kau maksud Giok-sie?” tanya
Oey Yok Su.
Ko Tie mengangguk.
“Ya, apakah kita pergi begitu
saja?” Tanya Ko Tie kemudian.
Oey Yok Su tersenyum.
“Inikah yang kau maksudkan?”
Tanyanya
Mata Ko Tie, Siangkoan Yap dan
Giok Hoa terbuka lebar-lebar, mereka memandang heran. Karena benda yang ada di
tangan Oey Yok Su tidak lain dari Giok-sie.
“Jadi……. jadi Giok-sie sudah
berada di tangan Oey Locianpwe?” tanya Ko Tie bertiga dengan suara agak
tergagap.
Oey Yok Su mengangguk.
“Ya, memang Giok-sie sudah
berada di tanganku! Tadi aku telah berhasil mengambilnya dari iblis itu…….!”
menjelaskan Oey Yok Su.
Ko Tie bertiga dengan
Siangkoan Yap dan Giok Hoa memandang takjub, seakan juga mereka tidak
mempercayai keterangan Oey Yok Su, karena tidaklah mudah untuk merebut Giok-sie
dari tangan Mo-in-kim-kun yang mereka ketahui memiliki kepandaian sangat
tinggi, hanya setingkat di bawah kepandaian Oey Yok Su.
Walaupun Oey Yok Su memang
memiliki kepandaian tinggi, tapi merebut begitu saja dari tangan Mo-in-kim-kun
bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukannya begitu cepat.
Oey Yok Su tersenyum, ia
memasukan kembali Giok-sie ke dalam sakunya.
“Nanti akan kujelaskan
sekarang mari kita tinggalkan dulu tempat ini, nanti akan timbul kesulitan yang
tidak kita inginkan!” Kata Oey Yok Su.
Ia kemudian melesat dengan
pesat sambil meggempit Kim Lo. Ko Tie bersama Giok Hoa dan Siangkoan Yap tidak
berani berayal, mereka pun cepat menyusulnya.
Pertempuran di dalam lembah
ternyata berlangsung sangat hebat. Walaupun kepandaian orang-orang Pit-mo-gay
umumnya tidak rendah tapi jumlah pasukan tentara kerajaan melebihi dari jumlah
mereka.
Karenanya membuat mereka
terdesak. Banyak korban yang berjatuhan. Di lembah tersebut terjadi banjir
darah.
Mo-in-kim-kun yang murka bukan
main telah mengamuk hebat dengannya telengas dan ganas sekali. Ia selalu
menggerakkan tangannya meminta korban. Karena tidak ada satu kali pun ia gagal
membunuh korbannya setiap kali ia menggerakkan tangannya.
Pertempuran mati-matian dua
pihak itu berlangsung terus selama setengah harian.
Pihak kerajaan pun telah
berusaha untuk dapat memusnahkan orang-orang Pit-mo-gay. Malah, beberapa orang
perwira kerajaan telah berseru-seru agar Mo-in-kim-kun menyerahkan saja
Giok-sie dan mereka akan diampuni serta akan diberikan kedudukan maupun pangkat
jika mereka mau menyerah dan patuh pada kerajaan.
Mo-in-kim-kun bertempur terus,
sampai suatu saat ia teringat pada Giok-sie nya. Ia meraba sakunya. Mukanya
seketika berobah pucat pias.
Kantongnya kosong, ia menekan
saku yang kempis, ia berseru kalap ketika mengetahui Giok-sie lenyap dari
sakunya. Tapi ia cerdas sekali, segera teringat kepada Oey Yok Su.
Tentu ia telah dikerjakan oleh
Oey Yok Su yang telah merampas Giok-sie secara diam-diam diluar tahunya. Dengan
membentak bengis, tubuhnya segera melesat berlari ke mulut lembah, ia bermaksud
ingin mengejar Oey Yok Su.
Namun Oey Yok Su sudah tidak
terlihat bayangan lagi. Dan Mo-in-kim-kun yang kecewa dan marah, melampiaskan
kemurkaannya itu pada tentara kerajaan. Bengis dan telengas sekali ia membunuh
tidak sedikit tentara kerajaan.
Banjir darah yang sangat
mengerikan. Tapi Mo-in-kim-kun justeru seperti kerasukan setan karena tidak
hentinya ia membinasakan lawan- lawannya.
Belasan orang perwira segera
juga mengeroyoknya. Tapi mereka seorang demi seorang cepat sekali dirubuhkan
Mo-in-kim-kun, yang tengah kalap dan murka.
Waktu itu tampak jelas sekali,
betapa Mo-in-kim-kun memang merupakan orang yang sangat tangguh sekali, pihak
kerajaan tidak berdaya untuk membendung amukannya.
Cuma saja, anak buah
Mo-in-kim-kun umumnya sebagian besar telah jatuh menjadi korban, jumlah mereka
tinggal sedikit. Menyaksikan itu selera bertempur Mo-in-kim-kun terlebih lagi
ia teringat kepada Giok-sie yang telah lenyap maka ia segera setelah membunuh
empat orang perwira kerajaan, kemudian meninggalkan lembah itu. Tidak seorang
pun yang dapat mencegah kepergiannya, sambil berlari seperti terbang, ia
berseru nyaring sekali…….
Sisa orang-orang Pit-mo-gay
mudah sekali dirubuhkan dan ditangkap oleh pihak kerajaan. Dan mereka telah
tidak berdaya, jumlah mereka yang semakin sedikit, juga memang mereka pun sudah
kehilangan semangat sebab melihat pemimpin mereka pun telah pergi meninggalkan
lembah itu. Dengan begitu, mereka mudah ditawan.
<>
Oey Yok Su mengajak Siangkoan
Yap, Ko Tie, Giok Hoa dan Kim Lo ke sebuah dusun kecil. Mereka beristirahat
disitu. Dan setelah bersantap malam, mereka berunding, apa yang akan mereka
lakukan selanjutnya.
“Kita berpisah di sini saja!”
Kata Oey Yok Su pada akhirnya dengan keputusannya. “Aku akan membawa Kim Lo
pulang, dan mendidiknya dengan baik, agar kelak ia bisa mewarisi kepandaian
Lohu! Dan juga, tentang Giok-sie, kelak akan Lohu serahkan kepada Kim Lo, jika
ia telah berusia duapuluh tahun.
“Waktu itulah Kim Lo akan lohu
perintahkan mencari kalian, untuk bekerja sama dengan kalian membangun satu
kerajaan yang sungguh-sungguh adil membawa kesentausaan buat rakyat! Jadi
tegasnya, sembilan tahun mendatang, di bulan tujuh pada tanggal limabelas,
kalian akan bertemu dengan Kim Lo di dusun Yang-cung ini! Mengertikah kalian?”
Ko Tie bertiga Giok Hoa dan
Siangkoan Yap segera menyatakan mereka mengerti. Bahkan mereka girang mendengar
Oey Yok Su mencanangkan Kim Lo sebagai calon pendekar yang akan dididiknya
dengan sebaik-baiknya.
Tentu saja mereka yakin, jika
kelak Kim Lo telah dewasa, niscaya ia akan muncul sebagai seorang pendekar yang
tangguh sekali. Karena Oey Yok Su bertekad hendak mendidik dan mewarisi seluruh
kepandaiannya.
“Juga selama sembilan tahun
menantikan tibanya hari pertemuan itu, kalian beritahukan kepada
pendekar-pendekar lainnya. Juga pada puteriku Oey Yong dan lain-lainnya.
“Jika dapat mereka berkumpul
di dusun kecil ini, buat menyambut Kim Lo, yang kelak harus mereka dukung
dengan sebaik-baiknya! Itulah harapan lohu agar kalian bersungguh-sungguh hati
mendukung Kim Lo, agar ia bisa menperoleh tempat yang selayaknya!”
Ko Tie tersenyum, ia bilang:
“Kami tentu tidak akan melupakan pesan Locianpwe…..!”
Oey Yok Su perintahkan Kim Lo
bersiap-siap untuk berangkat pulang ke Tho-hoa-to.
Kim Lo tampak merasa berat
buat berpisah dengan Ko Tie dan yang lainnya.
“Paman, ikut saja kalian
dengan kami ke Tho-hoa-to!” Kata Kim Lo dengan wajah muram.
Ko Tie menggeleng sambil
tersenyum.
“Tugas berat berada di
pundakmu. Kau harus belajar ilmu silat yang tinggi, Kim Lo. Karena itu, selama
ini baik-baiklah kau belajar ilmu silat yang tinggi, agar kau tidak
mengecewakan harapan kami!” Kata Ko Tie, “kelak kita tokh akan bertemu lagi!”
Setelah berkata begitu, Ko Tie
memutar tubuhnya, ia berdiri di hadapan Oey Yok Su merangkapkan sepasang
tangannya, memberi hormat meminta pamit. Kemudian ia melesat pergi. Demikian
juga Giok Hoa dan Siangkoan Yap.
Setelah berada berdua dengan
Kim Lo, Oey Yok Su menghela napas, ia melihat dua butir air mata menitik dari
pelupuk mata Kim Lo, katanya:
“Kim Lo mulai detik ini dan
selanjutnya Kong-kong tidak mau melihat hatimu lemah dan mudah menitikkan air
mata. Ingatlah kata-kata Kong-kong!”
Kim Lo menyusut air matanya,
ia mengiakan dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
Oey Yok Su menuntun anak itu,
untuk di ajak pergi meninggalkan desa Yang-cung. Sebentar saja, mereka telah
berada di tepi pantai, di mana mereka menyewa sebuah perahu, dan Oey Yok Su
mendayungnya cepat sekali untuk kembali ke Tho-hoa-to.
Keadaan di desa Yang-cung
tampak sunyi.
Pihak kerajaan terus juga
mencari Giok-sie.
Cuma saja sejauh itu belum
juga diketahui lagi, dimana beradanya Giok-sie. Sedangkan Mo-in-kim-kun seperti
juga lenyap tidak diketahui jejaknya.
Kemanakah Mo-in-kim-kun?
Ternyata ketika mengetahui
Giok-sie lenyap dari sakunya, ia marah bukan main. Ternyata waktu Oey Yok Su
menepuk-nepuk pundaknya, kesempatan itu dipergunakan Oey Yok Su diam-diam
mengambil Giok-sie dari saku Mo-in-kim-kun.
Kepandaian Mo-in-kim-kun boleh
tinggi, tapi ia mana bisa menghadapi Loshia yang sangat ku-koay dan
kepandaiannya hebat itu? Dengan mengandalkan tangannya yang hebat luar biasa,
Oey Yok Su berhasil mengambil Giok-sie tanpa Mo-in-kim-kun mengetahuinya.
Karena itu, bukan kepalang
marahnya Mo-in-kim-kun setelah mengetahui lenyapnya Giok-sie. Segera juga ia
meninggalkan lembah tersebut, meninggalkan semua anak buahnya, orang-orang
Pit-mo-gay itu, dan langsung pergi mencari Oey Yok Su.
Sebagai orang yang sangat
cerdik, segera ia menduga tentunya Oey Yok Su setelah berhasil mengambil
Giok-sie, akan segera menuju ke Tho-hoa-to, segera juga Mo-in-kim-kun pergi ke
Tho-hoa-to.
Hanya saja sangat sayang,
bahwa di Tho-hoa-to bukan seperti tempat yang lainnya. Pulau Tho-hoa-to
merupakan pulau yang penuh misteri dan telah diatur sedemikian rupa oleh Oey
Yok Su.
Mo-in-kim-kun boleh saja
berkepandaian tinggi tapi ia tak berdaya buat menerobos masuk ke pulau
Tho-hoa-to. Karenanya ia berputar-putar selama lima hari di pulau itu,
kelaparan dan kehausan. Karenanya, juga membuat ia jadi jeri sendirinya.
Jika memang ia tetap
bersikeras untuk mencari jalan menerobos masuk ke Tho-hoa-to, niscaya dirinya
sendiri yang akan menderita kerugian. Karenanya ia telah berusaha untuk mengingat
setiap letak dan kedudukan tempat-tempat di pulau Tho-hoa-to, barulah ia
meninggalkan Tho-hoa-to.
Ia mencari tempat yang sunyi
untuk menyembunyikan diri. Dan ia memilih gunung Hoa-san sebagai tempat yang
dianggapnya sangat cocok buat dia hidup mengasingkan diri sambil memeras
otaknya untuk memecahkan jalan-jalan rahasia di pulau tersebut.
Ia sangat cerdik dan cerdas
sekali, namun ia tidak bisa segera untuk memecahkan rahasia yang terdapat di
pulau Tho-hoa-to dan tetap saja dari tahun ke tahun ia tidak pernah berhasil
untuk memecahkan misteri yang menyelubungi pulau Tho-hoa-to.
Enam tahun kemudian ia pergi
lagi ke Tho-hoa-to. Tetap saja ia tidak berhasil menembus jalan rahasia di
pulau itu. Malah lebih parah lagi, ia terkurung sampai setengah bulan dalam
kelaparan dan kehausan, beruntung akhirnya ia bisa keluar pula dan meninggalkan
pulau Tho-hoa-to.
Lewat empat tahun lagi, ia
kembali mendatangi pulau Tho-hoa-to dengan penasaran. Apa yang dialaminya tetap
saja sama, dan akhirnya ia jadi putus asa. Ia mengurung diri dan ia masih
berusaha terus untuk memecahkan rahasia yang menyelubungi pulau Tho-hoa-to
tersebut.
◄Y►
Pagi itu dingin sekali. Bunga
salju turun rintik-rintik. Jalan sepi. Hanya tampak sebuah kereta yang dalam
cuaca buruk seperti itu masih melakukan perjalanan.
Kusir kereta itu seorang
lelaki tua yang lanjut sekali usianya. Mungkin sudah berumur tujuhpuluh tahun
lebih tubuhnya kurus kering dan kerempeng, tapi ia ulet sekali. Dengan baju
tebal menyelubungi tubuhnya, ia berusaha memaksa kuda-kuda keretanya berjalan
terus, sedangkan di dalam kereta berkuda dua itu, duduk sepasang laki-laki dan
perempuan berusia pertengahan.
Tampaknya yang laki-laki agak
miring duduknya, nyender di pundak wanita itu, yang rupanya isterinya. Ia
tengah sakit parah sekali. Mukanya pucat dan tubuhnya menggigil.
“A Sam, apakah Po-sinshe mau
menolongi suami ini?” Tanya wanita tengah baya itu, suaranya berkuatir sekali.
“Tampaknya suamiku sudah tidak kuat lagi diserang angin buruk seperti ini!”
Kusir itu, A Sam, tersenyum
dengan bibir yang menggigil dan pucat. “Tan hujin tak perlu kuatir, tentu Tan
Hengte (adik Tan) akan dapat ditolong oleh Po-sinshe, ia seorang tabib yang
sangat pandai serta murah hati.”
Kemudian tangannya mengayun
cambuknya kembali, bunyinya yang membeletar tak hentiya memecahkan kesunyian di
tempat itu. Kereta itu, terus juga meluncur perlahan-lahan, karena roda kereta
itu sulit sekali melewati tumpukan-tumpukan salju, cuaca benar-benar buruk.
A Sam, kusir kereta itu terus
juga berusaha mengendalikan keretanya, agar dapat maju terus, tampaknya ia
bekerja keras.
Laki-laki setengah baya di
dalam kereta yang tengah sakit itu, mengerang menggigil, mukanya pucat sekali.
“Sudahlah….. aku tidak tahan
lagi, aku mau mati di rumah saja. Percayalah, belum lagi kita bisa bertemu
dengan tabib itu, aku sudah tidak kuat dan mati.......!”
Isterinya menghela napas.
“Sabarlah…… percayalah kita
pasti bisa menemui Po-sinshe. Ia terkenal sangat luhur dan mulia hatinya, tentu
bersedia menolong kita kau jangan putus asa. Bukankah kau ingin cepat-cepat
sembuh suamiku?”
Suaminya cuma mengerang saja.
Kereta itu masih terus juga
meluncur merangkak perlahan-lahan dihela dua ekor kuda.
Tiba-tiba roda kereta yang
sebelah kanan kejeblos masuk ke dalam tumpukan salju dan sulit untuk digerakkan
lagi. Dua ekor kuda penghela telah didera terus menerus oleh A Sam, akan tetapi
tetap saja kedua ekor kuda tersebut tidak berhasil untuk menarik kereta itu
maju lebih jauh.
A Sam tampaknya jadi gugup
sekali, ia menyumpah serapah. Yang lebih gugup adalah wanita setengah baya di
dalan kereta itu. Tan Hujin berdoa kepada Thian untuk memperoleh kelancaran
dalam perjalanan ini agar bisa bertemu dengan Po-sinshe dapat mengobati
suaminya ini yang tampaknya semakin lemah.
Yang membuat Tan Hujin tambah
kuatir justeru tubuh suaminya menggigil semakin keras juga, suara erangan nya
semakin lemah. Di antara kepucatan wajahnya, pada pipinya tampak warna gelap
kebiru-biruan, dan inilah membuat Tan Hujin tambah berkuatir saja.
A Sam telah melompat turun
dari tempat duduknya. Ia mendorong kereta tersebut buat menolong kedua ekor
kuda itu menghelanya. Namun tetap saja tidak berhasil, ini benar-benar membuat
A Sam jadi gugup bukan main.
“Celaka! Celaka! Jika memang
roda kereta tak bisa digerakkan, kita akan terhambat di sini!” Menggerutu kusir
tua tersebut putus asa.
Waktu itu tampak jelas bahwa
Tan Hujin sudah tidak bisa menahan perasaan kuatir dan cemasnya.
“Suamiku kau rebah saja dulu
di sini, aku ingin membantu A Sam untuk menggerakkan kereta agar rodanya tidak
terpendam terus ditumpukan salju!” kata Tan Hujin pada suaminya! Suaranya cuma
menggerang menggigil tidak menyahuti.
Tan Hujin melompat turun bersama
A Sam berusaha mengangkat roda kereta yang terpendam itu. Tapi usaha mereka
gagal. Roda kereta terpendam cukup dalam.
Waktu itu tampak Tan Hujin
putus asa benar. Ia menangis duduk mendeprok di tumpukan salju. Ia putus asa
dan mulai kuatir bahwa suaminya sulit dapat ditolong dari keadaannya itu.
A Sam juga jadi ikut panik dan
gugup melihat Tan Hujin menangis, sibuk sekali ia menghiburnya, ia juga tidak
hentinya berusaha menghela kudanya agar menarik kereta itu. Dia pun mencoba
untuk bantu menggerakkan roda kereta sambil mencambuk bertubi-tubi pada kudanya
tersebut.
Waktu itu tampak seorang
melangkah mendekati ke tempat mereka. Orang itu mengenakan baju putih,
seluruhnya putih. Dari baju panjangnya maupun celananya, berwarna putih.
Demikian juga sepatunya
berwarna putih. Kopiahnya pun berwarna putih. Jika dilihat sepintas lalu ia
seperti seorang pelajar. Tapi yang aneh, ia mengenakan sehelai kain putih
menutupi sebagian wajahnya, sehingga yang tampak sepasang matanya belaka.
Ada lagi keanehan pada diri orang
yang baru datang ini. Ia mengenakan baju dan celana putih itu terbuat dari
bahan sutera yang tipis dibawa udara demikian dingin. Sedangkan A Sam dan Tan
Hujin yang mengenakan mantel bulu yang tebal masih kedinginan.
Tapi orang itu justeru
tampaknya tenang-tenang saja, seakan juga hawa udara yang demikian dingin dan
buruk tidak mengganggunya. Walaupun ia memakai baju tipis, sama sekali ia tidak
kedinginan.
“Tampaknya kalian tengah
menghadapi kesulitan?” tanya orang itu pada A Sam. Suaranya halus. Tapi
mulutnya tidak terlihat, karena tertutup kain putih yang menutupi sebagian
wajahnya.
A Sam girang melihat orang
ini.
“Benar! Benar!” Katanya cepat.
“Dapatkah saudara membantu kami untuk mengangkat roda kereta yang terpendam di
dalam tumpukkan salju? Di dalam kereta itu ada orang yang tengah sakit keras,
kami sedang tergesa-gesa untuk pergi menemui tabib, tapi apa celaka justeru
roda kereta kami telah terpendam seperti ini. Tolonglah kami, saudara!”
A Sam berkata begitu, karena
ia yakin, jika ditambah satu tenaga lagi, mereka tentu akan dapat mengangkat
roda kereta yang terpendam ditumpukkan salju.
Sedangkan Tan Hujin setelah
memandang tertegun sejenak segera berlutut dengan sepasang kaki tertekuk, ia
menggangguk-anggukan kepalanya berulang kali,
“Tolonglah kami, tuan.......
tolonglah kami....... kami benar-benar manusia yang tengah ditimpah kemalangan.
Suamiku tengah sakit keras sekali dan membutuhkan pertolongan tabib…….” sambil
memohon dan mengangguk-anggukan kepalanya. Tan Hujin pun sudah menangis terisak-isak.
Orang itu mengangguk-angguk
beberapa kali.
“Ya, biarlah aku membantu
kalian!” Katanya dengan suara menggumam perlahan. “Kong-kong selalu berkata,
setiap kali ada kesempatan untuk menolong, aku harus segera menolong orang yang
tengah dalam kesulitan!”
Tan Hujin bukan main girang
mendengar kata-kata orang berpakaian serba putih itu, ia tetap berlutut sambil
memanggut-manggutkan kepalanya lebih gencar mengucapkan terima kasihnya.
A Sam juga girang bukan main,
ia berlari mendekati kereta untuk mengangkat. A Sam yakin, dengan dibantu orang
itu sebentar lagi roda kereta akan dapat diangkat dari tumpukan salju itu.
Tapi belum lagi A Sam memegang
kereta tersebut, orang berpakaian serba putih tersebut telah mencegah.
“Kau mundur saja paman!”
Katanya, sabar suaranya, iapun melangkah mendekati kereta.
A Sam tertegun.
“Apa…..?” tanyanya
terheran-heran.
“Biarkan aku saja yang
mengangkatnya!” kata orang berpakaian serba putih itu, tenang sekali.
A Sam tertegun lagi, tapi
kemudian ia jadi tidak senang. Ia melihat orang itu terlalu angkuh.
Mana mungkin ia bisa
mengangkat keluar roda kereta yang terpendam di dalam tumpukan salju itu?
Sedangkan tadi saja dibantu dengan tarikan sepasang kudanya, A Sam dengan Tan
Hujin masih tidak berhasil menarik keluar roda kereta yang terpendam itu.
Tapi, orang berpakaian serba
putih itu tidak memperdulikan sikap A Sam dan Tan Hujin yang mengawasi padanya
dengan sorot mata tidak mempercayai. Ia mengulurkan tangannya mementang roda
kereta.
Kemudian ringan sekali, seakan
juga tidak mempergunakan tenaga, ia mendorong. Roda kereta itu bergerak,
bergerak dan akhirnya roda keluar dari tumpukan salju itu!
Suatu pertunjukan yang
menakjubkan sekali. A Sam berdua dengan Tan Hujin mengawasi seperti tidak
mempercayai apa yang mereka lihat. Tadi mereka mati-matian mengerahkan seluruh
tenaga mereka, tapi tetap saja tidak berhasil menggeser roda kereta itu
walaupun hanya untuk satu dim.
Tapi sekarang orang berpakaian
serba putih tersebut cuma menggunakan tangan kirinya, mendorong perlahan, namun
roda kereta itu bergerak, bahkan akhirnya telah dapat dikeluarkan dari tumpukan
salju! Benar-benar menakjubkan sekali.
Sedangkan orang yang
berpakaian serba putih telah menoleh kepada A Sam.
“Sekarang kalian sudah bisa
melanjutkan perjalanan kalian!” katanya sabar.
A Sam tertegun terus, sampai
akhirnya ia tersadar dan telah memberi hormat kepada orang berpakaian serba
putih itu.
“Terima kasih atas pertolongan
Sianjin (manusia dewa)! Sungguh menakjubkan sekali! Tentu Sianjin memang
seorang dewa yang sengaja turun ke dunia untuk menolong kami....... Inilah
berkat kebesaran Thian.......!”
Sedangkan Tan Hujin berlutut
terus dengan gencar manggut-manggutkan kepala sambil menangis kegirangan.
“Terima kasih, Sianjin! Terima
kasih, Sianjin…..!” Katanya di antara isak tangisnya.
“Bukankah suami nyonya tengah
sakit keras dan membutuhkan pertolongan?” Tanya orang itu. “Jika tidak
cepat-cepat pergi ke tabib bagaimana mungkin orang di dalam kereta itu dapat
ditolong jiwanya?”
Ditegur seperti itu, tampak
Tan Hujin dan A Sam tersadar. Mereka mengucapkan terima kasih lagi. Lalu,
cepat-cepat pergi ke kereta.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba orang
itu berseru dengan suara yang nyaring.
A Sam dan Tan-hujin merandek.
Mereka segera pikir, apakah orang itu bermaksud meminta upah atas
pertolongannya.
“Ada....... apa Sianjin?”
Tanya A Sam kemudian sambil tersenyum dan cepat-cepat menghampiri.
Orang itu yang tidak bisa
dilihat mukanya tampak berdiam sejenak.
“Orang di dalam kereta itu
sakit apa?” Tanyanya kemudian.
A Sam angkat pundaknya. Ia
bilang: “Sangat membingungkan sekali Sianjin....... sakitnya tampaknya parah
sekali….. entah sakit apa....... Kami akan pergi ke Po-sinshe, mungkin juga
Po-sinshe bisa menolongnya........!”
Orang berpakaian serba putih
itu menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian ia bilang! “Jika aku
coba-coba uutuk mengobatinya apakah kalian mengijinkan?”
A Sam tertegun sejenak, tapi
kemudian ia jadi girang bukan main. Bukankah tadi ia telah menyaksikan bahwa
orang yang berpakaian serba putih ini bukan orang sembarangan dan juga memiliki
kepandaian hebat!
Bukankah ini memang seorang
dewa yang turun ke dunia untuk menolongi suami Tan Hujin? Karena itu
cepat-cepat A Sam menjura memberi hormat mengucapkan terima kasih.
“Kami sangat bersyukur sekali
jika memang Sianjin mau menolongi suami Tan Hujin!” Katanya.
Tan Hujin yang mendengar orang
yang berpakaian serba putih itu ingin mencoba mengobati suaminya, bukan main
bersyukurnya. Segera juga dengan terisak-isak menangis ia berlutut memohon
bantuan dan pertolongan orang berpakaian serba putih itu.
Tanpa mengatakan sesuatu apa
pun juga orang berpakaian serba putih tersebut menghampiri kereta. Ketika ia
melihat keadaan orang she Tan yang rebah menggigil mengerang dengan muka pucat,
ia menghela napas.
“Sesungguhnya, sakitnya adalah
sakit biasa, ia hanya terganggu angin jahat saja!” Kata orang berpakaian serba
putih tersebut dengan suara yang perlahan. “Dan, ia cuma perlu diobati dan
kemudian beristirahat…..!”
Setelah berkata begitu, orang
berpakaian serba putih tersebut merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sesuatu, yaitu
obat. Disesapkan dalam mulut suami Tan Hujin.
Ajaib sekali, begitu obat
tertelan segera juga suara erangan orang she Tan lenyap. Ia segera dapat tidur,
tidak menggigil lagi. Jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Tan Hujin bersyukur sekali. Ia
yakin, tentu orang yang berpakaian serba putih itu adalah dewa yang turun dari
Kerajaan Langit. Begitu pula A Sam.
Selain tenaga dan kepandaian
yang menakjubkan, dengan mudah sekali mempergunakan tangan kirinya, mendorong
roda kereta itu keluar dari tumpukan salju, juga kini dengan sebutir obat saja,
ia sudah mengurangi penderitaan orang she Tan itu.
Tak hentinya Tan Hujin
mengucapkan terima kasih. Kemudian orang berpakaian serba putih tersebut
mengeluarkan dua butir obat lagi.
“Nyonya, anda tidak usah
kuatir, besok pagi berikan satu butir kepadanya. Yang tinggal sebutir diberikan
lusanya, ia akan segera sembuh!” dan obat itu diberikan pada Tan Hujin.
Tan Hujin menyahuti obat
tersebut dan tidak hentinya mengucapkan terima kasih.
Kemudian Tan Hujin setelah
menyimpan obat tersebut, ia menanyakan nama tuan penolongnya tersebut, tapi
orang berpakaian serba putih itu cuma menggelengkan kepala belaka.
Tan Hujin, A Sam baru saja
ingin menanyakan sesuatu lagi, orang berpakaian serba putih itu telah memutar
tubuh melangkah meninggalkan mereka.
A Sam dan Tan Hujin bengong
sejenak, waktu mereka tersadar, segera keduanya berlutut sambil
memanggut-manggut kepala mereka semakin yakin juga mereka orang berpakaian
serba putih itu adalah seorang dewa turun ke dunia.
Tengah A Sam dan Tan Hujin
berlutut, dari belakang mereka terdengar suara orang bersenandung.
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Perlahan suara senandung itu,
namun terdengar jelas sekali.
Waktu Tan Hujin dan A Sam
berpaling mereka jadi heran, seorang pengemis setengah baya melangkah di atas
salju tertatih-tatih. Dia yang bersenandung dan jaraknya terpisah puluhan
tombak. Namun langkah kakinya bagitu cepat, karena sebentar saja ia sudah
sampai di dekat Tan Hujin.
Inilah yang membuat A Sam dan
Tan Hujin jadi heran sekali karena mereka melihat jelas pengemis itu melangkah
tertatih-tatih sulit sekali di atas tumpukan salju. Namun mengapa bisa tiba di
dekat mereka begitu cepat? Bukankah tadi masih puluhan tombak tentu saja hal
ini membuat Tan Hujin dan A Sam jadi heran memandang tercengang.
Pengemis itu tidak mengacuhkan
Tan Hujin dan A Sam. Ia cuma melirik, kemudian sambil bersenandung terus, ia
telah menghampiri orang berpakaian serba putih itu.
Sebentar saja ia sudah berada
di dekat orang berbaju putih itu, sedangkan orang berpakaian serba putih pun
menghentikan langkah kakinya, ia berdiri sambil berpaling. Ia melihat si
pengemis. Matanya jadi bersinar, ia seakan juga terkejut.
Pengemis itu telah sampai di
depan orang berpakaian serba putih tersebut, ia masih bersenandung:
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Orang berpakaian serba putih
diam saja, ia mengawasi si pengemis, sedangkan si pengemis telah berdiam diri
waktu berada di depan orang berpakaian serba putih. Mulutnya terbuka sedikit
bergerak-gerak untuk bersenandung, namun suara apa pun tidak terdengar, dia
mengawasi orang berpakaian serba putih itu dari atas sampai ke ujung sepatunya.
Dan akhirnya pengemis itu
bilang: “Sungguh mulia sekali apa yang telah tuan lakukan! Tuankah yang tadi
berada di kota Loan-san.......?”
Orang yang memakai baju serba
putih itu terdiam sejenak, alisnya tampak mengkerut lalu ia menggeleng
perlahan. Tapi tak sepatah perkataan pun juga yang diucapkannya.
Pengemis itu tertawa.
“Ohh, tuan ingin mengartikan
bahwa tuan bukan orang yang tadi di kota Loan-san?” tanyanya lagi.
Orang berpakaian serba putih
itu menggeleng lagi.
Pengemis itu tertawa, tapi
diluar dugaan, tangan kanannya sebat sekali diulurkan untuk menyambret kain
putih penutup muka orang tersebut.
“Coba aku si pengemis miskin
melihat wajah tuan……!” katanya.
“Hemmm!” mendengus orang
berpakaian serba putih itu, ia memiringkan sedikit kepalanya. Biarpun tangan
pengemis itu cepat sekali menyambar ke arah kain penutup mukanya, tokh ia tidak
berhasil menjambretnya.
Pengemis itu tertegun sejenak.
“Ihhh, hebat memang
kepandaianmu!” Menggumam pengemis itu yang jadi penasaran. Ia sebetulnya
merupakan pengemis yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
Tadi ia telah mempergunakan
gerakan dari ilmu menjambret Eng-jiauw-kang atau Cakar Garuda. Biasanya tak
pernah ia dengan jambretannya terlebih lagi ia melakukannya setengah membokong
dan cepat sekali. Namun, hasilnya memang nihil. Tentu saja ia jadi penasaran.
Cepat sekali bertubi-tubi
tangannya telah menjambret lagi. Ia mengulangi sampai tiga kali.
Orang berpakaian serba putih
itu sama sekali tidak menggeser kedudukan kakinya. Ia cuma mengelak ke sana ke
mari dan berhasil menghindarkan mukanya dari jambretan tangan si pengemis.
Kakinya sama sekali tidak tergeser satu dim saja.
Pengemis itu jadi penasaran,
namun ia tidak meneruskan jambretannya.
“Aku si pengemis miskin yakin
bahwa tuan adalah orang yang tadi di kota Loan-san!” Katanya kemudian matanya
memandang tajam kepada orang berpakaian serba putih itu.
Orang itu hanya menjawab,
“Hemm!” Mendengus perlahan, menggelengkan kepalanya.
Tetap saja, tidak sepatah
perkataan juga terdengar diucapkan olehnya. Cuma saja matanya yang memancarkan
sinar sangat tajam.
Dikala itu, Tan Hujin dan A
Sam memandang berkuatir. Mereka jadi takut dan berkuatir takut karena menduga
bahwa pengemis itu orang jahat.
Bukankah pengemis itu
datang-datang tidak hujan tidak angin telah menyerang orang berpakaian serba
putih itu. Tuan penolong mereka mengalami sesuatu yang tidak mereka inginkan di
tangan si pengemis.
Waktu itu pengemis tersebut
telah bilang, “Jika memang tuan seorang Ho-han dan mau mengakui serta
bertanggung jawab apa yang telah tuan lakukan, perkenalkanlah diri tuan kepada
aku si pengemis miskin!
“Dan juga, jika tuan mau untuk
mempertanggung jawabkan perbuatan tuan, tentu kami tidak akan melakukan
tindakan yang dapat memojokkan tuan sebagai pencuri cilik yang tidak bernama!
Mari silahkan ikut dengan kami buat menemui tetua-tetua kami.”
Pengemis tersebut bicara
dengan sikap yang sabar, tapi jelas bahwa ia tengah menindih perasaan tidak
senang dan penasaran di hatinya. Ia tidak bertindak lagi dengan ceroboh karena
dalam beberapa jurus itu ia segera memperoleh kenyataan kepandaian orang
berpakaian serba putih tersebut memang sangat tinggi sekali.
Dan jelas, bahwa ia tak bisa
meremehkannya. Karena itu, ia berusaha menempuh jalan lunak.
Tapi orang berpakaian serba
putih itu menggelengkan kepalanya. Malah disusul kemudian dengan kata-katanya:
“Sayang sekali aku masih memiliki urusan penting yang perlu kuselesaikan. Maaf,
tidak bisa aku ikut dengan kau…...!”
“Tuan, jika memang tuan tidak
mau berterang, dan memperkenalkan diri, tentu aku si pengemis miskin So Pang
akan lancang meminta pelajaran dari tuan!”
“Hemmm, jangan memaksa
aku.......!” menggumam orang berpakaian serba putih itu.
“Maaf, aku meminta
pengajaran!” kata pengemis itu, yang katanya bernama So Pang. Ia bukan bicara
saja, tangan kanannya tahu-tahu meluncur lurus ke arah dada orang berpakaian
serba putih itu!
Tapi orang berpakaian serba
putih tersebut sama sekali tidak berusaha mengelakkan tangan si pengemis. Ia
tetap berdiri di tempatnya. Waktu tangan si pengemis hampir tiba di dekat
dadanya, tahu-tahu ia menyentil dengan jari telunjuknya.
“Tukkkk!” Pelahan suaranya
tapi hebat kesudahannya.
Tubuh Si pengemis terjengkang,
bergulingan sampai tiga tombak ke belakang. So Pang juga mengeluarkan jerit
kesakitan. Itulah hebat.
Ia seorang pengemis
berkepandaian tidak rendah tapi cuma disentil perlahan, ia sudah terpelanting
saperti itu. Yang membuat dia kaget lagi tulang pergelangan tangannya sakit
sekali seperti retak, membuat ia meringis kesakitan.
“Maaf……. aku tidak bisa
menemani lebih lama lagi!” Kata orang berpakaian serba putih itu sambil memutar
tubuhnya dan melangkah pergi.
So Pang tidak bilang apa-apa
lagi, ia duduk dengan muka meringis menahan sakit. Dan memandang takjub bercampur
kagum pada orang aneh itu, yang menutupi sebagian besar wajahnya dan
kepandaiannya hampir tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Karena dengan hanya sentilan
jari telunjuk tangannya, membuat So Pang tidak berdaya seperti itu. Tentu saja
setelah menerima pelajaran pahit seperti itu So Pang tidak berani lancang untuk
menerjang orang berpakaian serba putih itu.
Dalam sekejap mata saja orang
berpakaian serba putih itu, telah lenyap dari pandangan mata So Pang.
Dengan muka meringis menahan
sakit So Pang bangun dan menghampiri Tan Hujin dan A Sam.
“Siapa nama orang itu? Apakah
ia menyebut namanya pada kalian?” Tanya So Pang kemudian.
Tan Hujin dan A Sam
menggeleng.
Waktu So Pang mendesak, A Sam
menjelaskan apa yang telah mereka alami, yaitu mereka telah ditolong oleh orang
berpakaian serba putih itu, juga menceritakan obat orang aneh berpakaian putih
itu sangat manjur.
So Pang menghela napas.
“Aneh! Memang benar apa yang
dikatakan kawan-kawanku, bahwa ia seorang aneh yang luar biasa, tapi siapakah
dia?”
Dan So Pang menghela napas
lagi, setelah memandang ke arah tempat di mana tadi orang aneh berpakaian serba
putih itu pergi. Iapun pergi ke tempat dari arah mana tadi ia mendatangi. Dan
ia melangkah cepat sekali, sekejap mata ia telah lenyap dari pandangan Tan
Hujin dan A Sam.
A Sam dan Tan hujin jadi
saling pandang satu dengan yang lain, dan akhirnya mereka mengangguk dan
mengangkat bahu. Mereka benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya telah
terjadi tadi.
Dan melihat apa yang dilakukan
oleh orang yang berpakaian serba putih itu, memang luar biasa sekali, sebab ia
begitu tenang dan, malah biarpun ia diserang begitu gencar oleh pengemis yang
bernama So Pang tersebut kenyataannya ia bisa menghindarkan diri tanpa merobah
kedudukan kakinya.
Dan juga waktu ia diserang
dengan pukulan yang hebat, mudah saja ia menyentil dengan jari telunjuk
tangannya dan So Pang dibuat tidak berdaya. Siapakah sebenarnya orang yang
berpakaian serba putih itu, yang mukanya sebagian besar, tertutup oleh kain
putih, sehingga tidak bisa dilihat wajahnya dan serba mistertus itu?
<>
Ya, siapakah orang berpakaian
serba putih itu?
Ternyata ia seorang yang
benar-benar diselubungi oleh rahasia. Setelah meninggalkan So Pang yang
dirubuhkan oleh sentilan jari tangannya, ia menuju ke arah barat.
Gerakan tubuhnya perlahan dan
langkah kakinya satu-satu. Tapi kesudahannya buat orang yang melihatnya akan
menakjubkan sekali karena tubuhnya seperti juga mengambang di atas salju dan
meluncur sangat cepat luar biasa.
Orang berpakaian putih itu
memang tidak ingin mencari keributan dengan So Pang jika sedikit lagi saja ia
menambahkan tenaga dalamnya. niscaya So Pang akan menerima pelajaran yang lebih
pahit lagi. Di samping itu, sedikit saja ia menambah tenaganya, niscaya So Pang
akan. terluka di dalam yang tidak ringan.
Dan sekarang ia menuju ke arah
barat dengan langkah yang tetap dan seperti terbang melayang di atas salju.
Kalau saja orang diwaktu itu melihatnya, niscaya akan menduga bahwa orang ini
tidak berjalan, melainkan melayang di atas salju.
Setelah melewati beberapa
belas lie, ia berdiam diri sejenak, berdiri tegak dan mengawasi sekitarnya.
Sekeliling tempat itu berwarna putih oleh salju, sejauh memandang cuma warna
putih yang tampak. Salju juga masih turun, bunga-bunga salju, tampak semakin
lebat juga.
Dilihat dari keadaan seperti
itu, orang berpakaian serba putih itu mengetahui tentunya hujan salju bukannya
semakin redah dan kecil, malah sebaliknya. Akan tambah besar dan lebat.
Setelah menghela napas, ia
melanjutkan lagi jalannya. Dan ia pun telah menuju ke arah barat daya. Ia
menuju ke kampung Ta-sien, sebuah kampung yang tidak begitu besar. Ia
menghampiri sebuah rumah penginapan yang tidak terlalu besar, dan memesan
kamar.
Kemudian ia rebah di dalam
rumah penginapan itu, ia beristirahat. Dalam cuaca demikian buruk, berdiam diri
di dalam kamar rumah penginapan, dengan tubuh diselubungi selimut tebal memang
jauh lebih nyaman dibandingkan ketika ia masih berada diperjalanan.
Setelah rebah sejenak, orang
yang berpakaian serba putih itu bangun duduk. Ia duduk bersila, mengerahkan
tenaga dalamnya, dan meluruskan lweekangnya.
Ia mulai melatih tenaga
dalamnya. Dengan melatih tenaga dalam seperti itu akan 1enyap keletihan yang
menguasai dirinya.
Dan juga memang ia memiliki
sin-kang yang tinggi. Hanya kurang lebih sebakaran satu batang boa, ia sudah
bisa memperoleh kesegarannya memulihkan semangatnya.
Selesai melatih sin-kangnya,
iapun perlahan-lahan membuka kain putih yang menutupi wajahnya. Luar biasa
mukanya itu. Usianya memang masih muda.
Akan tetapi pada sekujur tubuh
maupun mukanya sampai ke dagu dan lehernya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna
kuning ke emas-emasan. Keadaan seperti itu benar-benar menakjubkan sekali.
Mungkin itu pula sebabnya
mengapa ia selalu menutupi sebagian besar wajahnya dengan kain putih dan tidak
mau orang lain melihatnya.
Setelah meletakan kain putih
itu di pinggir pembaringan, ia turun dari pembaringan. Menghampiri cermin dan
memandangi wajahnya. Lama ia memandangi wajahnya, sampai akhirnya ia menghela
napas dalam-dalam. Wajahnya jadi muram.
Dilihat dari bentuk wajahnya,
memang ia tidak buruk rupa. Juga tidak terlalu tampan. Tapi, hidung maupun
mulutnya lumayan baik bentuknya.
Cuma saja, adanya bulu-bulu
kuning memenuhi seluruh wajahnya membuat ia seperti juga seekor kera berbulu
kuning. Dan juga mulutnya yang lebar dan agak monyong, memberikan kesan seperti
mulut seekor kera.
Mungkin juga keadaannya
seperti itu yang membuat ia berkesal hati. Dan ia tampak murung. Duduk di tepi
pembaringan. Kemudian menghela napas beberapa kali lagi.
“Kong-kong telah berpesan,
bahwa aku harus menemui para paman-paman dan sahabat-sahabat yang akan
mendukungku melakukan sesuatu pekerjaan besar….. tapi....... apakah mereka
sungguh-sungguh akan membantuku?”
Menggumam pemuda itu, pemuda
yang mukanya seperti kera ini mungkin baru duapuluh tahun.
Waktu itu, tampak ia menghela
napas lagi. Siapakah sebenarnya pemuda yang keadaan mukanya luar biasa ini,
yang seperti muka kera dengan bulu-bulu yang halus kuning memenuhi seluruh muka
dan tubuhnya?
Ternyata dia tidak lain dari
Kim Lo. Dan ia memang sudah tiba waktunya untuk berkelana.
Selama sembilan tahun ia
berlatih ilmu silat yang lebih tinggi dari Oey Yok Su. Di mana selama ini Oey
Yok Su bertekad hendak mendidik Kim Lo agar kelak menjadi seorang yang
berkepandaian sangat tinggi tanpa tandingan lagi di dalam rimba persilatan!
Sebagai seorang tokoh rimba
persilatan yang terkenal sangat ku-koay dan disegani oleh semua orang gagah,
Oey Yok Su tentu saja tidak mau kalau Kim Lo memiliki kepandaian biasa saja.
Murid yang sudah dianggap sebagai cucunya itu, dididik dengan sebaik-baiknya.
Mungkin juga, dibandingkan
dengan apa yang dilakukan Oey Yok Su dulu-dulu, waktu ia mendidik Oey Yong,
kepada Kim Lo jauh lebih teliti dan lebih sayang. Karena seluruh perhatiannya
benar-benar ditumpahkannya kepada Kim Lo.
Tidak terlalu mengherankan
kalau Kim Lo telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali, walaupun usianya
masih muda. Dan memang ia telah berhasil menguasai seluruh ilmu silat yang
diwarisi Oey Yok Su.
Cuma yang masih kurang adalah
latihan, mengingat usianya yang masih begitu muda. Juga pengalaman. Karena itu
Oey Yok Su telah perintahkan kepadanya buat berkelana, terlebih lagi memang Oey
Yok Su ingin memenuhi janjinya pada Ko Tie, Giok Hoa dan Siangkoan Yap.
Juga tentunya pada orang-orang
gagah lainnya yang telah diberitahukan oleh Ko Tie begitu, bahwa pada tanggal
limabelas bulan tujuh mendatang, Kim Lo akan mencari mereka, menemui untuk
minta dukungan mereka, guna melakukan sesuatu pekerjaan besar. Dan mereka akan
bertemu di Yang-cung, dusun kecil itu.
Kim Lo telah memenuhi perintah
Kong-kongnya itu. Telah dua bulan ia meninggalkan pulau Tho-hoa-to, dan ia
menuju ke tempat yang ditentukan oleh Oey Yok Su beberapa waktu yang lain,
yaitu dusun kecil Yang-cung.
Perjalanan yang dilakukan Kim
Lo sesungguhnya perjalanan yang kurang menyenangkan karena waktu itu telah tiba
musim dingin dan karenanya telah membuat ia kurang gembira. Hujan salju yang
berkepanjangan membuat perjalanan itu dilakukannya agak lambat.
Memang benar, salju tidak
membuat kesukaran buat Kim Lo, karena ia sudah memiliki sin-kangnya buat
menghangatkan tubuhnya melawan hawa dingin.
Musim dingin yang datang lebih
cepat dari biasanya ini, merupakan musim dingin yang benar-benar buruk sekali.
Dan Kim Lo tetap melakukan perjalanan, dengan menutup sebagian mukanya dengan
kain putih, karena ia tidak mau kalau sampai timbul kerewelan dalam
perjalanannya, di mana orang-orang yang melihat bentuk mukanya yang berbulu itu
tentu akan banyak tanya dan juga memandanginya dengan keadaan yang sangat
menjengkelkannya.
Karena dari itu telah membuat
Kim Lo mengaturnya sebaik-baiknya. Jika memang dapat ia tidak akan
memperlihatkan mukanya pada siapa pun juga.
Pakaiannya yang serba putih
itu, merupakan warna paling disenanginya, karena memang ia menyukai warna
putih. Dan salju yang sepanjang perjalanannya dilihat merupakan apa yang
disenangi. Cuma saja, justeru kesepian yang ada di dalam perjalanan itulah yang
membuat Kim Lo jadi kurang gembira.
Sedangkan selama dalam
perjalanan, Kim Lo juga turun tangan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
Bukan sekedar orang-orang yang ditindas oleh penjajah, tapi orang-orang yang
membutuhkan tenaganya buat urusan lainnya.
Seperti yang dialami Tan
Hujin, dimana tampak Kim Lo telah turun tangan tanpa diminta, buat menolongi
mereka, menolong orang she Tan dari sakitnya, dan memberi obatnya.
Banyak orang yang
menduga-duga, entah siapa orang berpakaian serba putih ini. Tapi sama sekali
tidak ada yang menduga bahwa wajah yang ada dibalik kain putih itu sesungguhnya
wajah seorang pemuda yang baru berusia duapuluh tahun.
Mereka umumnya menduga orang
yang selalu berpakaian putih itu adalah seorang tokoh persilatan ternama, yang
sementara itu tidak mau memperhatikan dirinya.
Dan karena itu, mereka semakin
yakin dengan kepandaian yang diperlihatkan Kim Lo, bahwa orang yang berpakaian
serba putih itu adalah tokoh persilatan yang sangat terkenal.
Kim Lo sendiri jika tidak
dalam keadaan terpaksa dan terpojokkan sekali, ia tidak pernah mau
memperlihatkan ilmu silatnya, seperti yang kita ketahui. Ketika So Pang
mendesaknya terus menerus, sampai akhirnya ia mempergunakan ilmu It-yang-cie
untuk merubuhkan So Pang dengan hanya satu sentilan jari telunjuk saja.
Untuk bicara soal kepandaian
yang sudah dimiliki Kim Lo, mungkin dijaman itu sudah tidak ada orang kedua
yang bisa menandinginya. Cuma saja Kim Lo masih kurang pengalaman dan juga
latihan.
Semua ilmu yang diwarisi oleh
Oey Yok Su merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang hebat-hebat dan jarang
sekali ada yang memilikinya. Karena ilmusilat tocu pulau Tho-hoa-to merupakan
ilmu silat yang benar-benar sangat dahsyat.
Seperti kita ketahui, dulu Oey
Yok Su terhitung satu dari lima jago luar biasa di daratan Tiong-goan. Kita
bisa membayangkan, betapa ilmu silat yang diwarisi Oey Yok Su pada Kim Lo
merupakan ilmu yang hebat bukan main.
Sedangkan pada puteri kandungnya
sendiri Oey Yong, tak pernah Oey Yok Su menurunkan ilmu silatnya keseluruhan,
mungkin Oey Yong yang pendekar wanita yang sangat lihay cuma menguasai tiga
bagian dari ilmu silatnya.
Lalu sekarang pada Kim Lo
disebabkan rasa kasihan dan iba terhadap nasib anak ini, Oey Yok Su telah
mewarisi seluruh kepandaiannya. Dan memang ia merupakan suatu keberuntungan
yang tidak kecil buat Kim Lo sendiri.