Di bawah cahaya rembulan,
terlihat tetesan darah berhamburan di antara kilatan kedua pedang yang beradu.
Makin lama percikan darah itu semakin banyak. Fei Bin terlihat pucat dan
berusaha membalas serangan namun keadaan dirinya sudah sangat payah dan terkurung
sinar pedang lawan. Tidak lama kemudian ia pun melompat mundur sambil
mengeluarkan jeritan mengerikan. Sebaliknya, Tuan Besar Mo juga melangkah
mundur sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebab.
Perlahan-lahan Tuan Besar Mo
berbalik dan melangkah pergi. Ia kembali menggesek rebabnya memainkan lagu
sendu yang menyayat hati, sementara Fei Bin masih berdiri tegak tanpa bergerak
sedikit pun. Selang sejenak bayangan ketua Perguruan Hengshan itu sudah lenyap
ditelan peohonan cemara yang lebat.
Tiba-tiba tubuh Fei Bin roboh
di tanah. Darah tampak memancar deras dari dadanya. Rupanya sewaktu menghadapi
serangan Tuan Besar Mo tadi ia mengerahkan semua tenaga dalam sehingga
jantungnya berpacu lebih cepat. Akibatnya, ketika dadanya terluka, darah pun
menyembur keluar bagaikan air mancur yang sangat deras. Sungguh pemandangan
yang sangat mengerikan.
Yilin yang masih ketakutan
memegangi lengan Linghu Chong dengan jantung berdebar-debar. “Lenganmu terluka.
Apa masih sakit?” bisiknya lirih.
Linghu Chong hanya
menggelengkan kepala. Ia masih termangu-mangu menyaksikan Fei Bin yang
tergeletak di tanah dan kehilangan nyawa.
Sementara itu, alunan suara
rebab Tuan Besar Mo terdengar semakin lama semakin menjauh dan akhirnya hilang
ditelan keheningan malam. Perlahan Qu Yang menghela napas dan berkata, “Adik
Liu, kau pernah bercerita bahwa antara dirimu dan kakakmu kurang rukun satu
sama lain. Namun, pada saat-saat gawat seperti tadi, tidak disangka-sangka
justru kakakmu yang datang untuk menolong.”
“Benar,” jawab Liu Zhengfeng.
“Tingkah laku Kakak Mo memang aneh dan sulit ditebak. Sesungguhnya perselisihan
kami bukan karena perbedaan miskin dan kaya, tapi semata-mata karena watak dan
prinsip kami yang tidak cocok, itu saja.”
“Ilmu pedangnya sangat hebat,
tapi irama rebabnya terdengar sedih memilukan. Sungguh tidak pantas dimainkan
oleh seorang kesatria pembela kebenaran,” ujar Qu Yang.
“Benar sekali,” sahut Liu
Zhengfeng. “Permainan musiknya selalu sedih dan memilukan. Setiap mendengar
suara rebabnya aku sering merasa kesal dan ingin cepat-cepat pergi
menghindarinya,”
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Kedua orang ini benar-benar keranjingan musik. Mereka masih saja
sibuk membahas lagu sedih atau gembira. Padahal, jika bukan karena Paman Mo
turun tangan, mungkin kami semua sudah mati di tangan Fei Bin. Aih, si gadis
kecil Qu Feiyan sungguh bernasib malang.”
Terdengar Liu Zhengfeng
melanjutkan, “Tapi kalau bicara ilmu silat, sama sekali aku bukan tandingannya.
Selama ini aku memang kurang menghormatinya. Namun, sekarang aku merasa sangat
menyesal.”
“Kehebatan ketua Perguruan
Hengshan sungguh bukan nama kosong,” ujar Qu Yang. Ia lantas menoleh kepada
Linghu Chong dan berkata, “Adik cilik, kau berani bertaruh nyawa demi menolong
cucuku. Sikap kesatria sepertimu benar-benar susah ditemui. Ada suatu hal yang
aku ingin kuminta darimu, entah kau sudi menyanggupinya atau tidak?”
“Sayang sekali Nona Qu telah
dicelakai oleh Fei Bin. Apapun yang menjadi permintaan Sesepuh Qu, dengan
senang hati saya akan melaksanakannya,” jawab Linghu Chong.
Qu Yang memandang sekilas
kepada Liu Zhengfeng, kemudian melanjutkan, “Adik Liu dan aku sangat
tergila-gila pada musik. Entah sudah berapa lama kami bekerja sama untuk
menggubah sebuah lagu indah berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kami yakin,
dalam seribu tahun terakhir belum pernah ada lagu sebagus yang kami ciptakan
ini. Kelak, andaikata ada seseorang yang bisa seperti diriku, belum tentu ada
yang bisa menyamai Adik Liu. Andaikata ada yang bisa seperti Adik Liu, belum
tentu ada yang sama denganku. Sebaliknya, andai saja ada dua orang yang
berkepandaian seperti kami, belum tentu mereka hidup sezaman atau saling
berteman. Untuk menemukan dua orang yang pandai memainkan musik dan memiliki
tenaga dalam setara, sehingga dapat menggubah lagu seperti ini, jauh lebih
sulit daripada mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Apabila lagu ini sampai
punah dan dilupakan orang, tentu Adik Liu dan aku akan mati penasaran dan tidak
tenang di alam sana.”
Qu Yang berhenti sejenak
kemudian mengeluarkan sebuah kitab dari balik bajunya lalu berkata, “Kitab ini
berisi catatan not lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Aku mohon Adik Linghu
sudi menyimpan hasil jerih payah kami dan mencari ahli waris yang tepat untuk
melestarikan lagu ini.”
Liu Zhengfeng menambahkan,
“Kami mohon Keponakan Linghu sudi menyimpan kitab not lagu ini, dan
memberikannya kepada seseorang yang tepat. Asalkan lagu Menertawakan Dunia
Persilatan kelak bisa tetap berkumandang dan tidak punah, maka kami bisa mati
dengan tenang.”
Dengan penuh hormat Linghu
Chong menerima kitab tersebut sambil menjawab, “Sesepuh berdua jangan khawatir.
Saya akan melaksanakan amanat Sesepuh berdua dengan segenap tenaga.”
Tadinya Linghu Chong merasa
khawatir jangan-jangan Qu Yang hendak menyuruhnya berbuat sesuatu yang bersifat
merusak perguruannya, atau golongan putih lainnya dalam dunia persilatan. Tak
disangka, wasiat kedua sahabat itu adalah menyampaikan sebuah kitab lagu kepada
seseorang yang pantas. Baginya ini termasuk urusan yang mudah. Mencari orang
yang bisa memetik kecapi dan meniup seruling tentu bukan hal yang sulit. Begitu
hatinya merasa lega, tanpa sadar ia pun menghela napas panjang.
Liu Zhengfeng berkata,
“Keponakan Linghu, kitab yang telah kau terima bukan sekadar hasil jerih payah
kami, namun juga menyangkut seorang ahli musik ternama dalam sejarah. Lagu
Menertawakan Dunia Persilatan ini digubah oleh Kakak Qu berdasarkan lagu indah
berjudul Guang Lingsan, yang telah punah sejak zaman Kerajaan Jin ratusan tahun
silam.”
Qu Yang tersenyum bangga
menanggapi, “Konon kabarnya, setelah Ji Kang dihukum mati oleh pemerintah
Dinasti Jin, lagu Guang Lingsan ikut menghilang selamanya. Apakah kau pernah
mendengar cerita ini?”
Linghu Chong menggeleng dan
merasa ingin tahu. Ia hanya bisa berkata, “Saya kurang mengerti soal musik.
Andai saja Sesepuh Qu dan Paman Liu tidak mengatakannya, mungkin selamanya saya
tidak akan mengetahui akan hal ini.”
Qu Yang tersenyum dan berkata,
“Ji Kang seorang manusia hebat pada zamannya. Berdasarkan catatan sejarah, dia
seorang yang sangat ahli dalam bermain musik, pandai dalam ajaran Lao Zi, serta
gemar bergaul dengan orang-orang luar biasa. Andai saja aku hidup pada
zamannya, tentu aku ingin sekali bisa berteman dengannya. Suatu hari datang
seorang pembesar kerajaan bernama Zhong Hui untuk mengunjunginya. Sebenarnya
ini adalah kunjungan istimewa, namun Ji Kang tidak ambil peduli dan tetap
menjalankan pekerjaan sehari-harinya sebagai pandai besi. Merasa kecewa, Zhong
Hui berniat pergi. Pada saat itulah Ji Kang bertanya, ‘Apa yang kau dengar
sebelum kau datang, dan apa yang kau lihat sebelum kau pergi?’ – Zhong Hui
menjawab, ‘Aku telah mendengar apa yang telah kudengar sebelum aku datang, dan
telah melihat apa yang kulihat sebelum aku pergi.’ – Sebenarnya Zhong Hui
sangat pandai namun sayang, dia itu seorang yang mudah marah dan berpikiran
sempit. Karena pertemuan tersebut sangat memalukan baginya, ia pun memfitnah Ji
Kang dengan menyampaikan laporan palsu kepada Sima Zhao, kaisar Kerjaan Jin.
Akhirnya, kaisar pun memutuskan Ji Kang harus dihukum mati. Sebelum menjalani
hukumannya, Ji Kang mengajukan permintaan supaya bisa bermain kecapi untuk yang
terakhir kalinya. Permintaan ini dikabulkan. Ji Kang pun memainkan lagu Guang
Lingsan dengan sangat merdu. Namun setelah memainkannya, dengan angkuh ia
berkata bahwa lagu Guang Lingsan akan segera punah bersama kematiannya. Hm, ia
benar-benar meremehkan generasi selanjutnya. Sebenarnya lagu itu bukan ciptaan
Ji Kang. Apabila lagu tersebut punah pada zaman Kerajaan Jin, menurutmu kapan
lagu tersebut diciptakan?”
Linghu Chong menjawab lirih,
“Mungkin sebelum zaman Kerajaan Jin.”
“Tepat sekali!” jawab Qu Yang
sambil mengangguk. “Aku merasa penasaran dengan ucapan Ji Kang, seolah-olah
hanya dia yang bisa memainkan lagu Guang Lingsan dengan baik. Maka, aku pun
pergi membongkar makam keluarga kaisar dan pembesar Kerajaan Han. Setelah
membongkar dua puluh sembilan tempat yang berbeda, akhirnya aku berhasil
menemukan naskah asli lagu Guang Lingsan di dalam makam Cai Yong. Hahahaha!”
Melihat Qu Yang bergelak tawa,
Linghu Chong merasa sangat heran. Diam-diam ia berpikir, “Hanya demi sebuah
lagu ia tega membongkar dua puluh sembilan makam kuno. Benar-benar aneh.”
Terdengar Qu Yang melanjutkan,
“Adik cilik, kau adalah murid tertua dari perguruan golongan putih terkemuka,
seharusnya aku tidak meminta pertolonganmu. Hanya saja, dalam keadaan terdesak
seperti ini, aku tidak punya pilihan lain. Liu Zhengfeng dan Qu Yang boleh
mati, namun lagu Menertawakan Dunia Persilatan tidak boleh sampai punah. Mohon
Adik Linghu bisa memakluminya. Nah, mengenai Lagu Guang Lingsan tadi berkisah
tentang Nie Zheng membunuh raja Han. Lagu ini sangat panjang, sehingga kami
dalam menggubah lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini hanya mengambil bagian
yang terindah saja. Adik Liu menambahkan bagian seruling untuk mengambarkan
adegan kakak perempuan Nie Zheng menerima dan menguburkan jasad adiknya itu.
Nie Zheng bersama dengan Jing Ke, memiliki kesetiaan yang luar biasa, dan
mereka adalah leluhur kita. Aku mohon kepadamu untuk mewarisi lagu ini karena
aku mengagumi sifat kesatriamu.” Usai berkata demikian ia pun menyerahkan kitab
kedua yang berisi not lagu Guang Lingsan.
Linghu Chong menunduk hormat
menerima kitab tersebut sambil menjawab, “Saya tidak berani menerima pujian
Sesepuh.”
Perlahan-lahan senyum gembira
Qu Yang menghilang dan berganti dengan paras sedih. Sejenak kemudian ia pun
berpaling kepada Liu Zhengfeng dan berkata, “Adik Liu, kita bisa pergi
sekarang.”
“Baik,” sahut Liu Zhengfeng
sambil menjulurkan kedua tangannya.
Qu Yang menyambut kedua tangan
sahabatnya itu. Keduanya saling berpegangan dengan sangat erat. Sambil bergelak
tawa terbahak-bahak, mereka mengerahkan sisa-sisa tenaga dalam sampai pembuluh
darah pada tubuh masing-masing pecah dan putus. Sejenak kemudian, kedua sahabat
itu menutup mata dan terdiam untuk selama-lamanya.
“Sesepuh Qu! Paman Liu!” seru
Linghu Chong sambil memeriksa keadaan keduanya. Namun yang ia temukan adalah –
kedua sahabat itu sudah tidak bernapas lagi.
“Apakah mereka telah... telah
meninggal?” tanya Yilin dengan nada bingung. Linghu Chong hanya mengangguk
tanpa bicara.
Air mata Yilin pun berlinangan
di kedua pipinya. Buru-buru Linghu Chong berkata, “Adik Yilin, kita harus
segera menguburkan keempat jenazah ini. Aku yakin pasti akan segera ada yang
datang untuk mencari mereka, terutama dari pihak Perguruan Songshan.” Sampai di
sini ia lantas mengecilkan suara, “Terutama kematian Fei Bin di tangan Paman Mo
jangan sampai diketahui oleh orang lain. Kalau sampai hal itu terjadi,
bisa-bisa Paman Mo menuduh kita telah membocorkan peristiwa ini.”
“Benar,” sahut Yilin. “Tapi
bagaimana kalau Guru bertanya kepadaku? Apakah aku harus menjawab sejujurnya?”
“Kau tidak boleh mengatakan
kepada siapa pun,” sahut Linghu Chong. “Kalau kau sampai bercerita, bisa-bisa
terjadi pertengkaran antara Bibi Dingyi dengan Paman Mo. Ini akan sangat
mengerikan.”
Yilin bergidik ngeri saat
teringat betapa hebat kesaktian Tuan Besar Mo. Ia akhirnya berkata, “Baiklah,
aku tidak akan bercerita kepada siapa pun.”
Linghu Chong kemudian memungut
pedang Fei Bin dan menusuk-nusuk mayat jagoan Songshan itu sehingga lukanya
bertambah banyak dan lebar.
Yilin terheran-heran dan
bertanya, “Kakak Linghu, dia sudah mati. Kenapa kau sedemikian benci kepada
Paman Fei sehingga merusak jenazahnya?”
“Apa kau lupa kalau pedang
Paman Mo sangat tipis dan menimbulkan luka sempit?” jawab Linghu Chong.
“Apabila orang lain menemukan mayat Fei Bin, maka akan langsung ketahuan kalau
pembunuhnya adalah Paman Mo. Oleh sebab itu, aku harus menyamarkan bekas luka
ini dengan belasan luka palsu yang lebih lebar.”
“Aih, urusan di dunia
persilatan sungguh rumit dan sulit dibayangkan,” ujar Yilin dalam hati. Begitu
melihat Linghu Chong mengumpulkan batu-batu untuk menutupi mayat Fei Bin, ia
pun berkata, “Kakak Linghu, kau masih lemah. Istirahat saja.”
Tanpa banyak bicara lagi Yilin
pun mengambil alih pekerjaan mengumpulkan bebatuan di sekitar tempat itu. Ia
lalu menumpuk bebatuan tersebut dengan lembut dan perlahan-lahan, seolah Fei
Bin masih bernyawa dan bisa merasakan sakit.
Setelah itu, Yilin menutupi
jasad Liu Zhengfeng dan Qu Yang dengan bebatuan pula. Ketika tiba giliran
menutupi jasad Qu Feiyan, ia pun bergumam, “Adik Qu, demi diriku kau rela
mengorbankan nyawa. Aku berdoa semoga kau naik ke istana langit dan menikmati
segala kebahagiaan di sana. Semoga di kelahiran berikutnya, kau menjadi
laki-laki sehingga memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong sesama manusia
dan berbuat banyak kebaikan. Dengan demikian, kelak kau bisa memasuki alam
surga dan kekal abadi di dalamnya. Semoga Sang Buddha mengampuni semua
dosa-dosamu. Semoga semua makhluk berbahagia....”
Linghu Chong sendiri duduk
termenung di atas batu. Ia terharu mengingat bagaimana Qu Feiyan telah
menyelamatkan jiwanya, namun kini lebih dulu meninggal dalam usia yang masih
sangat muda. Meskipun dirinya bukan penganut ajaran Buddha, namun dalam hati
ikut berharap semoga doa Yilin menjadi kenyataan.
Setelah merasa lumayan dalam
beristirahat, Linghu Chong membuka kitab not lagu Menertawakan Dunia Persilatan
dan Guang Lingsan. Kitab tersebut berisi simbol-simbol yang menurutnya aneh dan
tidak ia mengerti sama sekali. Memang, kemampuan baca tulis Linghu Chong agak
terbatas. Karena tidak mengetahui apa-apa mengenai isi kitab tersebut, ia pun
memasukkannya kembali ke balik baju sambil merenung, “Demi persahabatan, Paman
Liu telah memberikan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, meskipun temannya
itu seorang anggota aliran sesat. Mereka berdua telah memperlihatkan keberanian
luar biasa saat menghadapi kematian. Benar-benar laki-laki sejati. Sungguh
mengagumkan! Aku mengira hari ini Paman Liu tengah mengadakan upacara Cuci
Tangan Baskom Emas, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Aih, apa yang
sebenarnya terjadi? Bagaimana ia bisa berubah menjadi musuh Perguruan Songshan?
Benar-benar membingungkan.”
Di tengah-tengah lamunannya,
tiba-tiba Linghu Chong melihat sekelebat bayangan pedang di sisi utara agak
jauh dari tempatnya duduk. Di bawah remang-remang cahaya rembulan, ia mengenali
gerakan pedang tersebut merupakan ilmu silat perguruannya. Seketika jantungnya
berdebar saat menyimpulkan bahwa seseorang dari Huashan tengah bertarung
melawan musuh.
Buru-buru Linghu Chong bangkit
dan berkata, “Adik, kau tunggu di sini dulu. Aku pergi sebentar.”
Yilin yang masih sibuk
merapikan keempat makam tidak melihat kilatan pedang tersebut. Ia hanya
mengangguk karena mengira Linghu Chong pamit pergi untuk buang air kecil.
Linghu Chong berjalan
tertatih-tatih dengan bantuan ranting kayu sebagai tongkat. Ia juga memungut
pedang peninggalan Fei Bin dan menggantungkannya di pinggang. Setelah agak jauh
berjalan, suara pertarungan terdengar semakin jelas. Dalam hati ia
bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh dari perguruannya yang sedang bertarung
itu? Sepertinya yang sedang dihadapi adalah kaum silat papan atas dari
perguruan lain.
Semakin keras suara
pertarungan tersebut pertanda jarak mereka juga sudah sangat dekat. Linghu
Chong pun memilih bersembunyi di balik sebatang pohon besar untuk mengintai. Di
bawah cahaya rembulan, ia melihat seorang pria berpakaian sarjana sedang
bertarung melawan seorang pendeta agama Tao bertubuh pendek. Si sarjana yang
terlihat berdiri di tanah lapang tidak lain adalah Yue Buqun, gurunya sendiri.
Sementara itu, si pendeta pendek yang menjadi lawannya tidak lain adalah Yu
Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Yu Canghai dengan segenap
tenaga berputar mengelilingi Yue Buqun dengan melancarkan sejumlah serangan.
Dalam sekali berputar ia dapat melancarkan puluhan tusukan. Namun, kesemuanya
itu dapat ditangkis oleh Yue Buqun.
Melihat sang guru bertempur
melawan seorang ketua perguruan ternama, Linghu Chong merasa sangat terkesan.
Ia juga melihat betapa indah dan anggun cara bertempur gurunya itu. Setiap kali
Yu Canghai menusukkan pedangnya, Yue Buqun selalu menangkis dengan halus.
Sewaktu Yu Canghai berputar ke belakang dan melancarkan serangan, Yue Buqun
tidak ikut berputar, melainkan hanya mengayunkan pedangnya melindungi punggung
dari serangan tersebut. Semakin lama serangan Yu Canghai semakin gencar,
sementara Yue Buqun terlihat hanya melakukan gerakan bertahan tanpa berusaha
membalas sedikit pun.
Sungguh kagum perasaan Linghu
Chong menyaksikan kehebatan gurunya. Diam-diam ia berpikir, “Pantas saja dunia
persilatan memberi julukan kepada Guru sebagai Si Pedang Budiman. Guru memang
berperangai halus dan lembut dalam tutur kata, maupun tindakan. Bahkan, dalam
pertempuran sekalipun ia tetap bersikap tenang dan penuh sopan santun. Ah, Guru
bisa mengatur emosi bukan hanya karena sifatnya yang sabar, namun juga karena
ilmu silatnya yang sangat tinggi.”
Yue Buqun memang jarang
bertarung melawan seseorang. Linghu Chong hanya pernah menyaksikan gurunya itu
bertarung melawan sang istri di depan para murid. Tentu saja ini hanya sekadar
berlatih, bukan pertarungan yang sebenarnya. Namun, pertarungan kali ini sudah
tentu berbeda dengan yang pernah ia saksikan sebelumnya.
Linghu Chong kemudian berganti
mengamati gerakan Yu Canghai yang lincah dan cepat luar biasa. Dalam hati ia
berpikir, “Biasanya aku suka memandang rendah ilmu pedang Perguruan Qingcheng.
Bahkan, pada saat di rumah pelacuran kemarin aku berani mencari perkara dengan
pendeta pendek itu. Tak disangka, ilmu silatnya begitu hebat dan mematikan.
Meskipun dalam keadaan sehat tidak mungkin aku bisa menandinginya. Dalam satu
menit mungkin aku sudah roboh olehnya. Hm, lain kali aku tidak boleh gegabah
jika bertemu lagi dengannya. Jalan yang paling baik tentu saja menjaga jarak
dan menghindari perselisihan dengan orang ini.”
Pertarungan antara kedua
pemimpin perguruan itu berlangsung semakin seru. Yu Canghai berputar semakin
cepat mengelilingi Yue Buqun sambil melancarkan tusukan-tusukan pedang. Begitu
cepatnya seakan yang terlihat hanyalah bayangan warna ungu saja. Suara pedangnya
pun menderu-deru pula, serta menimbulkan debu yang cukup tebal.
Melihat itu Linghu Chong
berpikir, “Jika aku yang menghadapi jurus pedang itu, tentu sudah sejak tadi
tubuhku berlubang-lubang. Kepandaian pendeta pendek ini sepertinya setingkat di
atas Tian Boguang. Aih, sejak tadi Guru hanya bertahan tanpa membalas sama
sekali. Semoga Guru tidak lengah sedikit pun agar tidak kalah olehnya.”
Beberapa saat kemudian, Yu
Canghai tampak melompat mundur dan kemudian berdiri tegak di atas sebongkah
batu. Entah bagaimana tahu-tahu ia sudah menyarungkan pedangnya kembali. Linghu
Chong lalu memandang ke arah Yue Buqun dan ternyata gurunya itu juga telah
menyimpan kembali pedangnya. Melihat keduanya sama-sama diam tanpa bersuara,
Linghu Chong tidak dapat menentukan siapa di antara mereka yang menang ataupun
kalah. Ia juga tidak mengetahui apakah masing-masing mengalami luka dalam atau
tidak.
Selang agak lama, Yu Canghai
berkata sambil tersenyum getir, “Baiklah, kita berpisah dulu, Kakak Yue. Sampai
jumpa kembali!” Usai berkata demikian ia langsung melesat pergi.
“Pendeta Yu, bagaimana dengan
pasangan suami-istri Lin? Kau sekap di mana mereka?” sahut Yue Buqun sambil
kemudian bergegas mengejar Yu Canghai. Dalam sekejap bayangan mereka sudah
hilang ditelan kegelapan malam.
Mendengar itu Linghu Chong
merasa lega dan berpikir, “Sepertinya Guru berhasil mengalahkan Yu Canghai.
Dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin aku mampu mengejar mereka. Mungkin
keduanya sudah berada jauh di sana. Ah, lebih baik aku kembali saja.”
Namun baru saja Linghu Chong
hendak melangkah menuju ke tempat Yilin, tiba-tiba terdengar suara jeritan
memilukan dari arah hutan sebelah kiri. Suara tersebut seperti suara seorang
pria kesakitan, yang diselingi suara seorang wanita pula.
Dengan langkah hati-hati dan
perasaan terkejut, Linghu Chong pun berjalan menuju ke arah tersebut. Setelah
melewati beberapa pepohonan, samar-samar ia melihat sebuah kuil tua berwarna
kuning berdiri di tepi hutan. Khawatir jangan-jangan di dalam kuil sedang terjadi
pertempuran antara murid-murid Huashan melawan pihak Qingcheng, ia pun tidak
berani langsung masuk, melainkan berdiri merapat di dekat dinding luar.
Sejenak kemudian terdengar
suara seorang tua berteriak kasar, “Di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis kau
simpan? Asalkan kau menunjukkan di mana kitab itu berada, maka kau akan kubantu
membalas dendam. Urusan menumpas Perguruan Qingcheng hanyalah masalah kecil
bagiku.”
Samar-samar Linghu Chong
teringat kalau itu adalah suara Mu Gaofeng, alias Si Bungkuk dari Utara, yang
beberapa hari lalu dijumpainya di rumah pelacuran Wisma Kumala. Padahal,
gurunya sedang mencari pasangan suami-istri Lin Zhennan, tak tahunya mereka
sudah jatuh ke tangan orang bungkuk itu.
Kemudian terdengar suara
seorang pria merintih kesakitan dan menjawab dengan suara lemah, “Aku tidak
tahu apa-apa mengenai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Ilmu itu diturunkan secara
lisan, turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum pernah melihat ada kitab
seperti itu dalam keluarga kami.”
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Ah, itu pasti suara Lin Zhennan, ketua Biro Ekspedisi Fuwei.”
Sejenak kemudian kembali
terdengar suara Lin Zhennan menyambung, “Terhadap kesediaan Tuan Pendekar
membalaskan sakit hati kami, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Yu
Canghai dari Perguruan Qingcheng sudah melakukan banyak kejahatan. Kelak dia
pasti mati secara mengerikan. Meskipun tidak mati di tangan Tuan, tetap saja
dia akan mati di tangan pendekar lainnya.”
“Oh, jadi kau tetap tidak mau
mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” sahut Mu Gaofeng
menegas. “Apa kau tidak pernah mendengar nama besar Si Bungkuk dari Utara,
hah?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu
saja saya tahu. Semua orang pernah mendengar nama besar Tuan Pendekar Mu.”
“Bagus sekali, bagus sekali!”
ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Aku memang terkenal, tapi bukan karena
kebaikanku. Yang sering didengar orang pasti caraku turun tangan yang ganas dan
kejam. Kau sendiri pasti pernah mendengar kalau selama ini aku tidak kenal
belas kasihan, bukan?”
Dengan angkuh Lin Zhennan
menjawab, “Aku tahu Pendekar Mu terkenal kejam dan suka menyiksa. Meskipun
seandainya di dalam keluarga kami benar-benar terdapat Kitab pedang Penakluk
Iblis, tetap saja aku tidak akan memberikannya kepada siapa pun. Aku tidak peduli
meskipun dipaksa dengan cara disiksa ataupun dibujuk rayu. Sesudah jatuh ke
tangan Perguruan Qingcheng, setiap hari kami kenyang oleh siksaan. Meskipun
ilmu silatku rendah, namun di dalam tubuhku masih tersisa seonggok tulang yang
keras.”
“Bagus, bagus, bagus sekali!”
ujar Mu Gaofeng sambil manggut-manggut. “Kau bilang tulangmu keras, tahan
dianiaya, kuat disiksa. Setiap hari si pendek hidung kerbau itu menyiksamu,
tapi kau belum juga menyerah. Hal itu membuktikan kalau di dalam Keluarga Lin
memang benar-benar terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kau berusaha
mati-matian melindunginya, membuktikan kalau kitab tersebut memang benar-benar
ada. Huh, untuk apa kau tetap bersikeras? Serahkan saja kitab itu kepadaku!
Ilmu silatmu yang rendah menunjukkan kalau ilmu pedang dalam kitab itu tidak
istimewa. Kalau Ilmu Pedang Penakluk Iblis benar-benar luar biasa, mengapa
melawan murid Qingcheng saja kau tidak becus?”
“Memang betul,” jawab Lin
Zhennan. “Justru itu aku heran mengapa Pendekar Mu berusaha merebut kitab itu?
Andaikan kitab itu benar-benar ada, mengapa isinya sedemikian tidak bermanfaat,
sehingga untuk melawan murid Qingcheng saja tidak berguna? Sungguh aneh, kenapa
Pendekar Mu begitu menginginkannya?”
Mu Gaofeng menjawab, “Aku
hanya heran, mengapa si pendeta pendek itu mati-matian menginginkannya.
Sampai-sampai, dia mengerahkan semua begundal Qingcheng untuk mendapatkannya.
Hal itu membuatku yakin di dalam kitab tersebut pasti tersembunyi rahasia
besar. Hanya saja, kau ini terlalu bodoh dan juga kurang berbakat. Pantas saja
Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang kau kuasai sedemikian rendahnya. Kalau
demikian, apa tidak sayang leluhurmu susah payah menciptakannya, tapi sekarang
ilmu itu harus terkubur begitu saja? Setelah kau perlihatkan kitab itu kepadaku,
maka aku pasti bisa memecahkan rahasianya sehingga intisari Ilmu Pedang
Penakluk Iblis dapat kau kuasai. Dengan demikian, nama Keluarga Lin akan
kembali harum di dunia persilatan. Bukankah ini akan menguntungkan perusahaanmu
juga?”
“Maksud baik Pendekar Mu
biarlah kuterima dalam hati saja,” jawab Lin Zhennan sambil tersenyum pahit.
“Tapi sudah kukatakan kalau aku benar-benar tidak mempunyai Kitab Pedang
Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya, kenapa tidak kau geledah saja tubuhku
ini?”
“Untuk apa?” sahut Mu Gaofeng.
“Andai saja kitab itu ada di tubuhmu tentu sejak kemarin sudah ditemukan oleh
begundal-begundal dari Qingcheng itu. Ketua Lin, kau ini pura-pura bodoh atau
bagaimana?”
“Ya, aku memang bodoh,” ujar
Lin Zhennan. “Sudah sejak lama aku menyadari kalau diriku ini memang bodoh. Aku
tidak membutuhkan penilaian dari Pendekar Mu.”
Mu Gaofeng menggelengkan
kepalanya dan berkata, “Hm, ternyata kau belum tahu juga. Mungkin Nyonya Lin
lebih memahami maksud perkataanku. Maklum saja, cinta kasih seorang ibu
biasanya melebihi cinta kasih seorang ayah.”
“Apa katamu?” seru Nyonya Lin.
“Apa yang terjadi dengan Pingzhi-ku? Ada hubungan apa dia dengan urusan ini? Di
mana... di mana dia sekarang?”
“Anakmu itu pintar dan cerdik.
Begitu melihatnya aku langsung merasa suka,” kata Mu Gaofeng. “Dia sangat
cerdas dan berbakat. Dia bisa melihat kalau aku ini memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Maka, anakmu itu lantas memohon untuk menjadi muridku.”
Lin Zhennan sudah hafal sifat
putra tunggalnya yang pantang menundukkan kepala di hadapan orang lain yang
berhati busuk. Maka, ia pun pura-pura menjawab, “Oh, rupanya putra kami sudah
mengangkat Pendekar Mu sebagai guru. Tentu hal ini menjadi keberuntungan besar
baginya. Sayang sekali, kami berdua sudah disiksa sedemikian hebatnya. Luka
kami sudah terlalu parah. Kami hanya tinggal menunggu ajal. Jika Pendekar Mu
tidak keberatan, sudilah kiranya membawa Pingzhi kemari. Biar kami bisa melihat
wajah putra kami untuk yang terakhir kalinya.”
Mu Gaofeng menjawab, “Itu
hanya masalah kecil. Permintaan kalian sangat mudah untuk aku kabulkan.”
“Kalau begitu, di mana anak
kami berada?” tanya Nyonya Lin. “Kami mohon dengan sangat, Pendekar Mu sudi
memanggil Pingzhi kemari. Budi baik Tuan Pendekar tidak akan kami lupakan.”
“Baik, aku akan segera
memanggilnya ke sini,” sahut Mu Gaofeng. “Tapi selamanya si marga Mu tidak sudi
disuruh orang dengan cuma-cuma. Untuk memanggil putramu kemari itu urusan
mudah. Asalkan lebih dulu kalian memberitahukan di mana Kitab Pedang Penakluk
Iblis disimpan.”
Sebagai seorang pengusaha
terkenal, Lin Zhennan sudah hafal dengan tipu muslihat yang dilancarkan Mu
Gaofeng. Ia pun menghela napas dan berkata, “Rupanya Pendekar Mu tidak
memercayai ucapanku tadi. Sudah kubilang kalau kami benar-benar tidak mempunyai
kitab tersebut. Andai saja kami memilikinya tentu sudah kami titipkan kepada
Pendekar Mu untuk disampaikan kepada Pingzhi, mengingat umur kami tinggal
sekejap. Kami mohon Pendekar Mu sudi membawa Pingzhi kemari agar kami bisa
bertemu muka dengannya untuk yang terakhir kali.”
“Huh, ternyata benar ucapanku
tadi – kau ini memang benar-benar bodoh!” bentak Mu Gaofeng. “Urat jantungmu
sudah pecah. Meskipun aku tidak menyentuhmu, tetap saja kau akan mati dengan
sendirinya. Andai saja satu jam yang lalu kau berterus terang kepadaku, mungkin
aku sudah membantu mengobati luka-lukamu. Hm, kau bersikeras tidak mau membuka
mulut meskipun disiksa sampai mati, tentu saja karena kau tidak ingin ilmu
silat leluhurmu itu jatuh ke tangan orang lain. Akan tetapi kau lupa, setelah
dirimu mati, maka anggota Keluarga Lin yang tesisa hanya tinggal anakmu
seorang. Jadi, kalau dia mati pula, siapa lagi yang akan mempelajari ilmu
pedang leluhurmu? Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak akan ada gunanya lagi.”
Nyonya Lin tersentak dan berseru
khawatir, “Ada apa dengan putraku? Apa dia... apa dia mendapat celaka?”
“Saat ini keadaannya masih
baik-baik saja,” jawab Mu Gaofeng. “Tentu saja dia akan tetap sehat dan selamat
apabila kalian sudi mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis itu
disimpan. Sesudah kuterima, tentu aku akan segera memberikannya kepada putramu.
Jika dia kurang paham isinya, maka aku yang akan memberinya petunjuk. Dengan
demikian putramu itu bisa melestarikan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Lin,
tidak seperti dirimu yang bodoh dan tidak becus ini. Bukankah ini pilihan yang
baik daripada aku memukulnya sampai hancur lebur?”
Begitu si bungkuk mengucapkan
kata “memukulnya” seketika Linghu Chong mendengar suara benda keras hancur
berkeping-keping. Rupanya Mu Gaofeng telah memukul hancur patung dewa di dalam
kuil tersebut untuk mempertegas ucapannya.
Melihat itu Nyonya Lin semakin
khawatir. Ia berkata, “Kenapa kau... kau ingin membunuh putra kami?”
Mu Gaofeng bergelak tawa dan
menjawab, “Lin Pingzhi adalah muridku. Hidup matinya terserah kepadaku. Bila
aku ingin membinasakannya, sekali hantam saja dia akan hancur seperti patung
itu.” Usai berkata ia kembali menakut-nakuti dengan memukul hancur benda-benda
lainnya di dalam kuil.
Lin Zhennan menyahut,
“Istriku, kau jangan bertanya lagi. Putra kita tidak ada padanya. Kalau dia
benar-benar menawan Pingzhi, kenapa dia tidak langsung menyeretnya kemari?
Bukankah dengan cara begitu kita bisa lebih mudah dipaksa menyerah?”
Mu Gaofeng tertawa semakin
keras meskipun kebohongannya telah diketahui. Ia kembali berkata, “Kau ini
memang benar-benar bodoh. Sangat bodoh! Anggap saja dugaanmu itu benar. Lantas,
apakah aku tidak bisa membunuhnya? Kau salah besar, Ketua Lin. Kawan-kawanku
tersebar di dunia persilatan. Menemukan dan membunuh Lin Pingzhi hanya masalah
sederhana.”
Nyonya Lin yang masih
ketakutan berkata lirih kepada sang suami, “Aku takut... aku takut dia
mencelakai Ping’er....”
Mu Gaofeng menukas, “Benar
sekali! Sekali kau mengatakan di mana kitab itu berada, maka Lin Pingzhi akan
tetap selamat. Sekalipun ajal kalian tiba, dia akan tetap meneruskan nama besar
Keluarga Lin kalian.”
Lin Zhennan tetap bersikap
tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak. “Istriku, apabila kita menuruti
perintahnya, yaitu menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis kepadanya, maka yang
pertama dia lakukan adalah membunuh Ping’er,” ujarnya kemudian. “Selama kita
tidak memberitahukan kepadanya, maka Ping’er akan baik-baik saja. Aku jamin si
bungkuk ini tidak akan berani macam-macam terhadap anak kita. Kau jangan
terkecoh oleh tipuan rendah seperti ini.”
Nyonya Lin pun sadar akan
sandiwara Mu Gaofeng. Ia lantas berseru, “Bungkuk tua, kau tidak perlu
mengancam anak kami. Bunuh saja kami sekarang juga!”
Linghu Chong yang menguping di
luar hanya bisa membayangkan wajah Mu Gaofeng pasti sangat merah menahan murka.
Dalam waktu singkat si bungkuk itu pasti menyiksa suami-istri Lin Zhennan
sampai mati. Maka ia pun berteriak, “Pendekar Mu, aku adalah Linghu Chong,
murid Perguruan Huashan. Guru kami mengundangmu untuk keluar sebentar. Ada
urusan penting yang ingin Beliau tanyakan kepadamu.”
Saat itu Mu Gaofeng sudah
mengepalkan tangan siap memukul wajah Lin Zhennan. Ia sangat terkejut mendengar
seruan Linghu Chong tersebut. Dalam urusan ini sebenarnya ia tidak ingin
mengalah kepada siapapun. Tapi, peristiwa di Wisma Kumala kemarin membuat Mu Gaofeng
bertambah segan dan takut kepada Yue Buqun. Dari seruan Linghu Chong tadi, ia
mengira Yue Buqun sudah lama menunggu di luar untuk membuat perhitungan
dengannya. Sebagai seorang pemimpin perguruan golongan putih, sudah tentu Yue
Buqun akan menindak tegas perbuatan sewenang-wenang yang ia lakukan terhadap
pasangan suami-istri Lin tersebut.
Maka, tanpa pikir panjang Mu
Gaofeng pun berteriak, “Maaf, aku sedang sibuk. Tolong sampaikan kepada gurumu
bahwa aku tidak bisa memenuhi undangannya. Kelak jika Saudara Yue pergi ke
utara, aku persilakan mampir di rumahku yang sederhana. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian Mu
Gaofeng langsung melompat menjebol atap kuil dan kemudian melesat ke arah
hutan. Khawatir Yue Buqun mengejar dan menanyainya, ia pun berlari
sekencang-kencangnya dan menghilang dalam waktu sekejap.
Mendengar Mu Gaofeng telah
menjauh, Linghu Chong sangat gembira. Diam-diam ia berpikir, “Rupanya si
bungkuk itu benar-benar takut kepada Guru. Padahal, kalau tadi dia benar-benar
keluar memenuhi panggilanku, bisa-bisa aku sekarang sudah mati di tangannya.”
Perlahan-lahan Linghu Chong
masuk ke dalam kuil tua tersebut. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat dua
orang duduk di lantai dengan tubuh diikat saling membelakangi pada sebatang
tiang. Keduanya terlihat begitu lemah, pertanda sudah berkali-kali mendapatkan
siksaan fisik dan mental.
Melihat pasangan tersebut,
Linghu Chong membungkuk dan menyapa, “Saya Linghu Chong dari Perguruan Huashan
memberi hormat kepada Paman dan Bibi Lin. Saat ini putra kalian, yaitu Pingzhi,
telah menjadi adik seperguruan kami.”
“Jangan terlalu sungkan, anak
muda,” sahut Lin Zhennan gembira. “Keadaan kami sudah payah, sehingga tidak
bisa membalas hormatmu. Tapi, apakah benar yang baru saja kau katakan tadi? Apa
benar Pingzhi telah menjadi murid Pendekar Yue dari Perguruan Huashan?” Saat
mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, suaranya terdengar agak gemetar.
Sebagai seorang pengusaha
terkenal, tentu saja Lin Zhennan yang berwawasan luas mengetahui bahwa Yue
Buqun ketua Perguruan Huashan memiliki nama besar di atas Yu Canghai. Setiap
tahun ia berusaha menjalin hubungan dengan Perguruan Qingcheng, namun sama
sekali belum pernah mengirimkan hadiah kepada Perguruan Huashan. Rupanya Lin
Zhennan merasa Biro Ekspedisi Fuwei belum sederajat untuk bisa berteman dengan
Perguruan Huashan ataupun anggota Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Maka,
begitu mendengar putranya diterima sebagai murid Huashan, tentu saja Lin
Zhennan merasa sangat bahagia. Apalagi ia menyaksikan sendiri bagaimana seorang
Mu Gaofeng yang kejam dan bengis bisa lari terbirit-birit hanya karena
mendengar nama Yue Buqun diucapkan.
Menanggapi pertanyaan Lin
Zhennan tadi, Linghu Chong berkata sambil membuka ikatan kedua suami-istri itu,
“Benar sekali. Kemarin Adik Pingzhi telah diterima sebagai murid perguruan
kami. Tadinya si bungkuk Mu Gaofeng berusaha memaksa Adik Pingzhi supaya
bersedia menjadi muridnya. Tapi Adik Pingzhi sungguh pemberani dan bersikeras
menolaknya. Kebetulan waktu itu Guru datang dan berhasil mengusir Mu Gaofeng.
Adik Pingzhi kemudian memohon supaya diterima sebagai murid Guru. Melihat
keberanian dan kesungguhan hati putra Paman dan Bibi, guru kami pun menerima
permohonannya. Beberapa saat yang lalu, Guru juga telah mengalahkan Yu Canghai
dalam sebuah pertarungan pedang. Kali ini Guru sedang mengejar pendeta pendek
itu yang melarikan diri entah ke mana. Sayang sekali, Guru tidak tahu kalau
Paman dan Bibi Lin ada di sini.”
Lin Zhennan dan istrinya
sangat gembira mendengar cerita Linghu Chong. Ia pun berkata dengan napas
tersengal-sengal, “Semoga... semoga Pingzhi bisa segera... segera datang. Kalau
tidak... kalau tidak, kami mungkin sudah....” Dari suaranya yang sangat payah
itu, sepertinya ajal Lin Zhennan sudah semakin dekat.
Linghu Chong ingin sekali
membantu menyalurkan tenaga dalam untuk mengobati lukanya, namun saat itu ia
sendiri juga belum sembuh benar. Maka, yang bisa ia lakukan hanya berkata,
“Paman Lin hendaknya jangan bicara lagi. Sebentar lagi Guru mungkin melewati
tempat ini. Beliau pasti bisa menyembuhkan luka kalian berdua.”
Lin Zhennan tersenyum getir.
Sejenak ia memejamkan mata kemudian berkata lagi dengan suara lirih, “Keponakan
Linghu, aku... aku sudah tidak... tidak tahan lagi. Aku sangat gembira...
Pingzhi bisa menjadi murid... Huashan. Kumohon kau... kau sudi menjaganya....”
“Paman Lin tidak perlu
khawatir,” sahut Linghu Chong. “Tentu saja Adik Pingzhi tidak hanya kuanggap
sebagai adik seperguruan, tetapi juga akan kuperlakukan seperti adik kandung
sendiri. Apalagi Paman Lin sudah berpesan seperti itu, tentu aku akan lebih
melindunginya lagi.”
“Budi baik Keponakan Linghu
tidak akan pernah kami lupakan,” ujar Nyonya Lin ikut bicara. “Kami akan selalu
mengingatnya... meskipun berada di alam baka sana.”
“Aku mohon Paman dan Bibi
beristirahat saja. Jangan bicara lagi,” ujar Linghu Chong.
Namun Lin Zhennan tidak
menghiraukan larangan Linghu Chong. Ia tetap saja berbicara meskipun dengan
napas tersengal-sengal, “Tolong sampaikan... pesan terakhir kami kepada
Pingzhi..... Katakan kepadanya... bahwa, di dalam rumah lama Keluarga Lin... di
Gang Matahari, di Kota Fuzhou... terdapat benda pusaka... warisan leluhur.
Seharusnya dia... menjaga benda itu dengan baik. Tapi... tapi menurut pesan
leluhur, setiap anggota keluarga Lin, jangan sampai... jangan sampai membuka
dan memeriksa... benda itu, karena... karena bisa mendatangkan... malapetaka
besar.”
“Baiklah, pesan Paman Lin akan
kusampaikan kepada Adik Pingzhi,” sahut Linghu Chong.
“Terima... terima... kas....”
belum sempat kata-katanya selesai, napas Lin Zhennan sudah lebih dulu berhenti.
Ketua Biro Ekspedisi Fuwei itu telah meninggal dunia.
Rupanya selama beberapa hari
ini Lin Zhennan telah merasakan berbagai macam siksaan yang dilakukan Yu
Canghai. Demi untuk menyampaikan wasiat leluhur tersebut kepada Lin Pingzhi, ia
berusaha keras melawan kematian. Kini begitu mendengar nasib putranya ternyata
dalam keadaan aman, ia merasa sangat lega. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga
ia menyampaikan wasiat tersebut kepada Linghu Chong, dan setelah itu ia pun
merasa tenang meninggalkan dunia fana.
Terdengar Nyonya Lin berkata,
“Pendekar Muda Linghu, tolong kau sampaikan kepada Pingzhi supaya tidak
melupakan sakit hati ayah-ibunya.” Usai berkata demikian ia lantas membenturkan
kepalanya pada tiang batu tempat tangannya tadi diikat. Wanita itu pun
meninggal pula dengan kepala remuk, menyusul sang suami.
Linghu Chong menghela napas
menyaksikan kematian pasangan suami-istri Lin tersebut. Dalam hati ia berpikir,
“Yu Canghai dan Mu Gaofeng memaksa Paman dan Bibi Lin membocorkan di mana Kitab
Pedang Penakluk Iblis disimpan. Meskipun dianiaya sampai setengah mati, mereka
berdua pantang menyerah. Sekarang pun ketika ajal di depan mata, Paman Lin
masih juga berusaha merahasiakannya kepadaku. Dia takut aku menggelapkan benda
pusaka tersebut sehingga menjelaskan bahwa benda itu bisa mendatangkan
malapetaka besar. Hm, kau pikir Linghu Chong ini manusia macam apa? Padahal,
mempelajari semua ilmu silat Perguruan Huashan saja aku belum tuntas. Lalu,
untuk apa aku harus bersusah payah mengincar ilmu silat orang lain?
Kekhawatiran kalian sungguh sia-sia.”
Linghu Chong kemudian duduk di
lantai bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan kakinya sambil memejamkan
mata. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara Yue Buqun berkata, “Pendeta Yu,
apakah kau masuk ke dalam kuil ini?”
Seketika Linghu Chong pun
berteriak, “Guru! Guru!”
Yue Buqun menjawab, “Chong’er,
apa kau berada di dalam?”
“Benar, saya di sini!” jawab
Linghu Chong sambil perlahan-lahan berdiri dengan bersandar pada tiang.
Yue Buqun segera masuk ke
dalam kuil. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga ia dapat melihat
jasad suami-istri Lin Zhennan dengan mudah.
“Apakah mereka ini Ketua Lin
dan istrinya?” tanya Yue Buqun kemudian.
“Benar,” jawab Linghu Chong.
Ia lantas menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari pemaksaan yang
dilakukan Mu Gaofeng; bagaimana ia menakut-nakuti dan mengusir Mu Gaofeng
pergi; bagaimana kematian Lin Zhennan dan istrinya; serta bagaimana isi wasiat
terakhir ketua Biro Pengawalan Fuwei tersebut.
“Apa? Mereka sudah mati?”
sahut Yue Buqun ketika melihat pasangan tersebut ternyata telah menjadi mayat
dengan keadaan masih terikat di tiang kuil.
Sejenak Yue Buqun termenung,
baru kemudian ia berkata, “Dosa Yu Canghai semakin bertambah banyak, tapi ia
tidak memperoleh apa-apa.”
“Apakah pendeta kerdil itu
memohon belas kasihan kepada Guru?” tanya Linghu Chong dengan perasaan ingin
tahu.
“Pendeta Yu memiliki sepasang
kaki yang sangat gesit. Aku sudah berusaha keras mengejarnya namun jarak kami
semakin jauh dan jauh saja,” ujar Yue Buqun. Sejenak ia menghela napas kemudian
melanjutkan, “Ilmu meringankan tubuh Perguruan Qingcheng memang lebih bagus
daripada Perguruan Huashan kita.”
“Benar, Guru!” jawab Linghu
Chong sambil tetawa. “Apalagi jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat mereka
paling hebat di dunia persilatan.”
Yue Buqun memasang wajah
bengis dan membentak, “Chong’er, jaga mulutmu! Lidahmu memang tajam dan suka
bicara tanpa dipikir lebih dulu. Mana bisa kau menjadi teladan bagi
adik-adikmu?”
Linghu Chong langsung berhenti
tertawa, kemudian berpaling sambil menjulurkan lidah dan menjawab, “Baik,
Guru!” Ia memang dipungut Yue Buqun sejak kecil sehingga gurunya itu sudah
seperti ayah sendiri baginya. Namun demikian, meskipun sangat menghormati sang
guru, ia tetap suka bergurau di hadapan ketua Perguruan Huashan tersebut.
“Apakah Guru melihatku
menjulurkan lidah?” ujar Linghu Chong kemudian.
Yue Buqun menjawab, “Meskipun
kau berpaling, tapi aku melihat urat di bawah telingamu sedikit tegang. Sudah
pasti kau menjulurkan lidahmu untuk meledek diriku. Huh, kau ini memang suka
usil dan membuat onar. Kali ini tentu kau sudah kenyang menderita. Bagaimana
dengan lukamu?”
“Sudah jauh lebih baik,” jawab
Linghu Chong. “Semakin banyak menderita di masa kini, maka akan semakin pintar
di masa depan.”
Yue Buqun mendengus dan
berkata, “Apa kau merasa tidak cukup pintar saat ini?”
Usai berkata demikian ia
lantas mengeluarkan kembang api dan berjalan ke luar kuil. Sesampainya di
halaman, kembang api itu segera dinyalakan dan dilemparkannya ke atas. Kembang
api tersebut melesat ke angkasa dan meletus menjadi seberkas cahaya terang
berbentuk pedang berwarna putih keperakan. Beberapa menit kemudian, pedang
cahaya tersebut perlahan turun ke bawah dan kemudian pecah menjadi titik-titik
terang berhamburan. Ternyata nyala kembang api tersebut merupakan tanda isyarat
Yue Buqun alias Si Pedang Budiman untuk memanggil segenap murid-murid Perguruan
Huashan.
Tidak lama kemudian dari jauh
terdengar suara langkah kaki seseorang sedang berlari menuju ke arah kuil kecil
tersebut.
“Guru!” sahut orang itu
setelah sampai di pelataran. Ternyata ia adalah Gao Genming si murid kelima.
“Ya, aku berada di dalam,”
jawab Yue Buqun yang saat itu telah masuk kembali ke dalam kuil.
Gao Genming segera masuk dan
memberi hormat kepada sang guru. Begitu melihat Linghu Chong, ia langsung
berseru gembira, “Kakak Pertama, kau sudah sembuh? Kami sungguh mengkhawatirkan
keadaanmu.”
Linghu Chong tersenyum haru.
Ia menjawab, “Aku baik-baik saja. Langit telah melindungi aku. Kali ini aku
benar-benar beruntung tidak sampai mati.”
Sayup-sayup terdengar suara
langkah dua orang mendatangi kuil tersebut. Kali ini yang datang adalah Lao
Denuo si murid kedua dan Lu Dayou si murid keenam. Begitu melihat Linghu Chong,
tanpa memberi hormat lebih dulu kepada sang guru, Lu Dayou langsung melompat
memeluknya sambil berseru gembira, “Kakak Pertama, kami sangat
mengkhawatirkanmu!”
Sejenak kemudian muncul Liang
Fa si murid ketiga bersama Shi Daizi si murid keempat. Selang agak lama,
muncullah Tao Jun si murid ketujuh, Ying Bailuo si murid kedelapan, Yue
Lingshan putri sang guru, dan akhirnya Lin Pingzhi si murid baru.
Begitu melihat ayah dan ibunya
telah meninggal dunia, Lin Pingzhi langsung menubruk dan memeluk jenazah
mereka. Melihat tangisan pemuda itu, murid-murid Huashan yang lain ikut merasa
prihatin.
Sebenarnya Yue Lingshan sangat
senang melihat Linghu Chong telah sembuh dari luka. Namun melihat Lin Pingzhi
sedang menangisi jasad kedua orang tuanya, maka ia pun menahan diri untuk tidak
bersorak gembira. Perlahan-lahan gadis itu mendekat dan mencubit si kakak
pertama sambil bertanya, “Apa kau... baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja,” jawab
Linghu Chong.
Selama beberapa hari ini Yue
Lingshan selalu dilanda kekhawatiran tentang berita kematian Linghu Chong.
Kini, begitu melihat si kakak pertama tiba-tiba muncul dalam keadaan selamat,
ia tidak dapat lagi menahan perasaannya yang sudah menyesakkan dada. Maka,
tanpa pikir lagi ia pun menarik lengan baju Linghu Chong dan menangis
keras-keras.
Perlahan Linghu Chong
menyandarkan kepala Yue Lingshan di bahunya sambil berkata lirih, “Adik Kecil,
mengapa kau menangis? Siapa yang telah mengganggumu?”
Yue Lingshan tidak menjawab,
melainkan terus saja mencucurkan air mata. Setelah perasaannya agak lega, ia
pun berkata, “Kau tidak mati, kau tidak mati!”
“Tentu saja aku masih hidup,”
jawab Linghu Chong sambil menggeleng.
“Aku dengar kau terkena
pukulan Yu Canghai. Aku tahu ketua Perguruan Qingcheng itu menguasai Tapak
Penghancur Jantung yang bisa membunuh orang tanpa mengeluarkan darah. Aku
melihat sendiri bagaimana ia membantai banyak orang. Aku sangat takut dia...
dia....” sampai di sini Yue Lingshan tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya
dan kembali menangis.
“Aku sangat beruntung karena
bisa menghindari pukulan itu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Tapi aku
baru saja melihat pertarungan Guru melawan Yu Canghai, serta bagaimana pendeta
kerdil itu lari terbirit-birit. Sayang sekali kau melewatkan peristiwa menarik
itu.”
“Jangan kau ceritakan hal ini
kepada orang lain,” sahut Yue Buqun menukas.
“Baik, Guru!” jawab Linghu
Chong disertai murid-murid Huashan lainnya.
Yue Lingshan lantas memandangi
wajah Linghu Chong yang terlihat kurus dan pucat pasi. Gadis itu lantas
berkata, “Kakak Pertama, kali ini kau terluka sangat parah. Kau harus segera
kembali ke Gunung Huashan untuk beristirahat.”
Sementara itu, Yue Buqun
mendekati Lin Pingzhi yang masih menangisi jasad ayah dan ibunya. Ia pun
berkata, “Pingzhi, jangan terus-menerus menangisi kedua orang tuamu. Lebih baik
mari kita urus jenazah mereka.”
“Baik, Guru!” jawab Lin
Pingzhi sambil bangkit berdiri. Namun begitu melihat wajah ayah dan ibunya yang
berlumuran darah, mau tidak mau air matanya kembali bercucuran. Ia pun berkata
dengan suara parau, “Ayah dan Ibu tidak melihatku pada saat-saat terakhir
mereka. Mungkin mereka ingin... ingin memberikan nasihat perpisahan kepadaku.”
“Adik Lin,” sahut Linghu
Chong, “aku berada di sini mendampingi ayah dan ibumu menjelang wafat. Beliau
berdua berpesan kepadaku supaya selalu menjaga dirimu. Sudah tentu ini adalah
kewajibanku. Selain itu, ayahmu juga meninggalkan sebuah wasiat untuk
disampaikan kepadamu.”
“Oh... jadi Kakak Pertama
mendampingi Ayah dan Ibu ketika mereka meninggal? Terima kasih banyak, terima
kasih banyak, Kakak,” ujar Lin Pingzhi menahan haru.
“Paman dan Bibi Lin sungguh
pantang menyerah. Meskipun Beliau berdua disiksa oleh para keparat dari
Perguruan Qingcheng sampai terluka parah, namun keduanya tidak mau mengatakan
di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan,” ujar Linghu Chong. “Kemudian Mu
Gaofeng datang pula untuk memaksa Paman dan Bibi Lin menyerahkan kitab
tersebut. Si bungkuk itu memang seorang penjahat, sehingga tidak mengherankan
kalau dia berbuat kejam seperti itu. Tapi Yu Canghai seorang ketua perguruan
golongan putih. Tindakannya yang memalukan sudah tentu akan membuatnya
dipandang rendah oleh seisi dunia persilatan.”
“Benar, Kakak Pertama!” sahut
Lin Pingzhi dengan menggertakkan gigi. “Jika sakit hati ini tidak bisa kubalas,
maka Lin Pingzhi lebih hina daripada babi.” Usai berkata demikian, pemuda itu
mengepalkan tangan dan menghantam tiang batu di sebelahnya. Meskipun ilmu
silatnya sangat rendah, namun karena kebenciannya sudah memuncak membuat
pukulan itu sangat keras, sampai-sampai merontokkan debu dan kotoran di
langit-langit kuil.
Yue Lingshan menyahut, “Adik
Lin, semua ini terjadi karena kau membela diriku di kedai arak waktu itu. Tentu
saja kelak jika kau mendapat kesempatan membalas dendam, aku tidak akan
berpeluk tangan.”
“Terima kasih banyak, Kakak,”
sahut Lin Pingzhi.
Yue Buqun menghela napas dan
berkata, “Perguruan Huashan selama ini selalu bersikap teguh pendirian. Jika
orang lain tidak mengganggu, maka kita tidak akan mengganggu mereka pula. Oleh
sebab itu, perguruan kita jarang terlibat perselisihan dengan pihak mana pun.
Namun sejak saat ini kita tidak bisa lagi hidup tenang. Mulai saat ini,
Perguruan Qingcheng... Perguruan Qingcheng... Hm, sekali tercebur di dunia
persilatan sulit sekali bagi kita untuk menghindari perselisihan.”
“Adik Kecil dan Adik Lin,”
sahut Lao Denuo ikut berbicara, “Yu Canghai membunuh keluargamu bukan karena
perbuatanmu menolong Adik Kecil, tapi sejak awal semua ini memang sudah ia
rencanakan. Orang itu berambisi memiliki Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Benih-benih dendamnya muncul sejak gurunya yang bernama Tang Qingzi dikalahkan
oleh kakek buyut Adik Lin yang perkasa.”
“Benar,” sahut Yue Buqun.
“Kaum persilatan memang sukar terhindar dari keinginan untuk menjadi yang
terhebat. Begitu mendengar adanya sebuah kitab rahasia ilmu silat –tidak peduli
apakah berita itu benar atau tidak– tentu setiap orang berusaha mati-matian
mendapatkannya, entah dengan cara gagah ataupun dengan cara licik. Padahal
seorang guru besar seperti Pendeta Yu yang memiliki kepandaian tinggi dan nama
besar, tidak sepantasnya mengincar ilmu silat pihak lain.”
“Guru, dalam keluarga kami
sama sekali tidak terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Lin Pingzhi.
“Selama ini Ayah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis secara lisan, dan
menyuruh saya mengingat-ingat di dalam otak. Seandainya kitab itu benar-benar
ada, mustahil Ayah tidak memberitahukannya kepada saya. Bukankah saya ini putra
tunggalnya?”
Yue Buqun mengangguk dan
berkata, “Aku sendiri tidak yakin apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis
benar-benar ada. Jika kitab itu sungguh ada, tentu Yu Canghai tidak mampu
mengalahkan ayahmu. Bukankah ini merupakan bukti nyata?”
Tiba-tiba terlintas pikiran
dalam benak Linghu Chong. Ia segera berkata, “Adik Lin, sebelum meninggal
dunia, ayahmu sempat berkata bahwa di Gang Matahari di Kota Fuzhou....”
Yue Buqun menukas, “Wasiat
Ketua Lin hanya boleh kau sampaikan kepada Pingzhi seorang. Orang lain tidak
perlu ikut mendengar.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
sambil mengangguk paham.
Yue Buqun kembali berkata,
“Denuo dan Genming, kalian berdua pergilah ke Kota Hengshan untuk membeli dua
buah peti mati.”
Kedua murid Huashan itu pun
berangkat melaksanakan perintah sang guru. Singkat cerita mereka telah kembali
dengan disertai beberapa orang kuli membawa dua buah peti mati besar. Setelah
memasukkan jasad kedua orang tua Lin Pingzhi ke dalam masing-masing peti, Yue
Buqun memutuskan untuk pulang ke Gunung Huashan melalui jalur sungai.
Pada sore harinya, rombongan
Perguruan Huashan telah sampai di tepi sungai. Di sana Yue Buqun menyewa sebuah
kapal untuk mengangkut rombongannya, beserta kedua peti mati yang berisi jasad
Lin Zhennan dan istrinya.
Kapal pun berlayar menyusuri
sungai menuju ke arah barat. Sesampainya di wilayah Provinsi Henan, rombongan
tersebut berganti menempuh jalur darat. Saat itu Yue Buqun telah menyewa pedati
untuk mengangkut kedua peti. Linghu Chong yang belum sembuh benar juga ikut
menumpang di dalam pedati tersebut.
Beberapa hari kemudian,
rombongan Yue Buqun itu akhirnya tiba di kaki Gunung Huashan. Setelah sampai di
Puncak Gadis Cantik, kedua peti mati diletakkan di dalam sebuah kuil kecil,
untuk selanjutnya tinggal mencari tanggal yang tepat guna menguburkan jasad
pasangan suami-istri Lin Zhennan tersebut.
Gao Genming dan Lu Dayou
lantas mendahului pulang untuk menyampaikan kabar kepulangan sang guru. Tak
lama kemudian murid-murid Huashan lainnya tampak berdatangan menyambut
rombongan. Murid-murid yang tidak ikut ke Hengshan berjumlah sekitar dua
puluhan atau lebih. Satu per satu mereka diperkenalkan kepada Lin Pingzhi
selaku murid baru. Beberapa di antaranya sudah berusia tiga puluhan, namun ada
juga yang masih berusia belasan tahun. Selain itu terlihat pula enam orang
murid perempuan yang segera mengerumuni Yue Lingshan. Dalam sekejap mereka
sudah terlibat pembicaraan seru.
Sesuai peraturan, Lin Pingzhi
yang saat itu berusia sembilan belas tahun harus memanggil “kakak” kepada semua
murid Huashan yang masuk perguruan sebelum dirinya, termasuk kepada murid
paling kecil, yaitu Su Qi yang baru berusia dua belas tahun.
Namun demikian, peraturan
tersebut tidak berlaku untuk Yue Lingshan. Sebagai putri sang guru, ia berhak
memanggil “kakak” dan “adik” berdasarkan usia, bukan berdasarkan urutan masuk
perguruan. Meskipun demikian, ia menolak memanggil “kakak” kepada Lin Pingzhi
yang setahun lebih tua daripada dirinya. Karena Yue Buqun tidak melarang, serta
Lin Pingzhi juga tidak keberatan, maka Yue Lingshan pun bisa leluasa memanggil
pemuda itu dengan sebutan “adik”.
Yue Buqun lantas memimpin
rombongan murid-muridnya itu mendaki menuju puncak. Sepanjang perjalanan, Lin
Pingzhi menyaksikan pemandangan indah terhampar di mana-mana. Gunung Huashan
memang sangat terjal, namun sangat sedap dipandang mata. Pepohonan cemara tua
yang rindang dan berwarna hijau asri serta suara burung berkicau membuat
suasana bertambah nyaman. Beberapa bangunan megah berderet-deret tersebar
menurut tinggi rendahnya tanah pegunungan, dan kesemuanya berwarna putih
bersih.
Di depan salah satu gedung
tampak seorang wanita cantik setengah umur muncul menyambut rombongan. Begitu
melihatnya, Yue Lingshan langsung berlari ke arahnya dan berseru, “Ibu, aku
baru saja mendapat satu adik perguruan lagi.”
Dalam perjalanan tadi Lin
Pingzhi sempat mendengar bahwa istri Yue Buqun atau yang biasa dipanggil dengan
sebutan “ibu-guru” juga seorang pendekar pedang terkenal, bernama Ning Zhongze.
Sebenarnya ia juga seorang murid Huashan, yaitu adik seperguruan Yue Buqun
sendiri.
Maka, begitu tiba di hadapan
Ning Zhongze, Lin Pingzhi langsung membungkukkan badan dan berkata dengan penuh
sopan santun, “Lin Pingzhi menyampaikan salam hormat kepada Ibu Guru.”
“Sudahlah, tidak usah terlalu
banyak adat,” jawab Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada sang suami dan
berkata, “Kakak, setiap kali turun gunung kau biasa kembali dengan membawa
beberapa murid baru. Tapi, kali ini kenapa hanya satu orang saja?”
“Bukankah kau sering berkata
lebih baik seorang tapi baik, daripada sepuluh orang tapi tidak bermutu?” sahut
Yue Buqun sambil tertawa. “Kalau menurutmu yang ini bagaimana?”
“Rasanya dia ini terlalu
tampan, tidak pantas menjadi orang persilatan,” kata Ning Zhongze ikut tertawa.
“Mungkin lebih baik dia belajar kitab sastra klasik saja kepadamu. Siapa tahu
kelak dia bisa lulus ujian Xiucai dan menjadi seorang Zhuangyuan.”
“Bagus sekali gagasanmu,” ujar
Yue Buqun. “Jika Perguruan Huashan bisa menghasilkan seorang Zhuangyuan, tentu
akan menjadi legenda bagi angkatan selanjutnya.’
Wajah Lin Pingzhi bersemu
merah. Dalam hati ia berkata, “Ibu Guru memandang rendah terhadapku karena
badanku yang lemah dan sikapku yang lembut ini. Aku berjanji kepada diriku
sendiri, aku harus giat belajar supaya bisa mengejar ketertinggalan dari
saudara-saudara lainnya.”
Ning Zhongze kemudian melirik
ke arah Linghu Chong dan menegur, “Hei, kau habis berkelahi lagi, bukan? Kenapa
wajahmu begitu pucat? Apa kau terluka?”
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Kesehatan saya sebenarnya sudah pulih. Mungkin karena kehilangan
banyak darah sehingga wajah saya terlihat pucat. Kali ini hampir saja saya
tidak bisa bertemu dengan Ibu Guru lagi untuk selamanya.”
“Ya, memang harus begitu,”
ujar Ning Zhongze sambil melotot. Meskipun terlihat galak namun sebenarnya ia
sangat menyayangi Linghu Chong seperti anak kandung sendiri. “Dengan bertarung
seperti itu, tentu kau menjadi sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Kau
juga akan bertambah kuat dibanding sebelumnya. Apakah dirimu kalah dalam
pertarungan secara kesatria?”
Linghu Chong menjawab, “Ilmu
golok Tian Boguang sangat cepat dan ganas, saya merasa kesulitan untuk
menangkisnya. Untuk itu saya ingin meminta petunjuk kepada Ibu Guru.”
Begitu mendengar bahwa yang
telah melukai murid suaminya itu ternyata Tian Boguang si penjahat cabul, wajah
Ning Zhongze langsung berubah ramah. Ia pun berkata, “Oh, ternyata kau terluka
karena bertempur melawan seorang bajingan bernama Tian Boguang. Bagus sekali,
bagus sekali! Tadinya aku kira kau mencari gara-gara dan membuat onar lagi.
Coba katakan kepadaku, seperti apa ilmu goloknya itu. Mungkin kita bisa
memecahkan rahasianya sehingga kelak bisa melabrak penjahat itu sekali lagi.”
Selama perjalanan pulang,
Linghu Chong banyak meminta petunjuk kepada gurunya mengenai bagaimana cara
untuk menghadapi kecepatan golok Tian Boguang. Namun, Yue Buqun tidak mau
menjawab dan menyuruhnya untuk bertanya kepada sang ibu guru sesampainya nanti
di Gunung Huashan. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri sangat tertarik begitu
mendengar pengalaman Linghu Chong tersebut. Ia ingin lekas-lekas melihat
seperti apa ilmu golok penjahat itu untuk menentukan bagaimana cara
menandinginya.
Yue Buqun dan para murid
lantas masuk ke dalam gedung utama perguruan. Dalam waktu singkat para murid
langsung terbagi menjadi dua kelompok. Murid-murid perempuan mengerumuni Yue
Lingshan untuk mendengarkan bagaimana penyamarannya sebagai gadis burik di Kota
Fuzhou, sementara murid-murid laki-laki yang tidak ikut ke Hengshan mengerumuni
Lu Dayou untuk mendengarkan kehebatan sang kakak pertama dalam mengahdapi Tian
Boguang, serta bagaimana Luo Renjie dari Perguruan Qingcheng terbunuh. Tentu
saja cerita tersebut ditambahi dengan bumbu di sana-sini supaya terdengar lebih
menarik.
Setelah meminum secawan teh
sambil duduk di sudut ruangan, Ning Zhongze meminta Linghu Chong memperagakan
ilmu golok Tian Boguang serta bagaimana dia telah menandingi jurus tersebut.
Linghu Chong menjawab sambil
tersenyum, “Ilmu golok Tian Boguang sangat bagus dan cepat. Saya hanya bisa
terbelalak menyaksikan kehebatannya, serta kesulitan dalam menangkis
serangannya. Jadi, mana bisa saya dikatakan telah menandinginya?”
“Kalau kau tidak mampu
menangkis serangannya, tentu kau menggunakan tipu muslihat dalam
menghadapinya,” ujar Ning Zhongze menyimpulkan. Bagaimanapun juga ia telah
merawat Linghu Chong sejak kecil sehingga mengetahui sifat dan kebiasaan pemuda
itu.
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Saya pertama kali bertarung dengannya di dalam gua. Setelah Adik
Yilin dari Perguruan Henshan berhasil melarikan diri, saya pun mengerahkan
segenap kemampuan untuk mengalahkan Tian Boguang. Tapi penjahat itu lantas
mengerahkan ilmu goloknya yang cepat. Baru menangkis dua kali saya langsung
merasa seperti daging cincang. Maka, saya pun tertawa untuk mengalihkan
perhatiannya.
Tian Boguang lantas menarik
goloknya dan bertanya, ‘Apanya yang lucu? Kau pikir dirimu bisa menangkis Tiga
Belas Jurus Golok Topan Badai milikku?’
Saya menjawab, ‘Aha, aku tahu
sekarang. Ternyata Tian Boguang yang terkenal adalah bekas murid Huashan; atau
lebih tepatnya, seorang murid buangan. Sungguh tak kusangka, sungguh tak
kuduga. Mungkin karena tingkah lakumu yang buruk itu, maka kau dikeluarkan dari
Perguruan Huashan.’
Tian Boguang menjadi marah dan
berkata, ‘Murid buangan Perguruan Huashan kepalamu! Omong kosong apa pula ini?
Ilmu silatku ini punya ciri khas tersendiri. Mana mungkin ada sangkut-pautnya
dengan perguruanmu?’
Saya pun tertawa dan balik
bertanya, ‘Kenapa kau masih tidak mengaku juga? Bukankah ilmu golokmu ada tiga
belas jurus? Apa kau memberinya nama Jurus Golok Topan Badai hanya sekadar
asal-asalan? Aku sendiri pernah menyaksikan permainan golok seperti itu
dimainkan ibu-guruku jauh sebelum ini. Beliau mendapat inspirasi untuk
menciptakan ilmu golok tersebut ketika sedang menyulam. Tentunya kau tahu kalau
di Gunung Huashan terdapat sebuah puncak bernama Puncak Gadis Cantik, bukan?’
Tian Boguang menjawab, ‘Tentu
saja setiap orang tahu. Memangnya apa yang aneh dengan puncak itu?’
Saya menjawab, ‘Ilmu golok
yang diciptakan Ibu Guru bernama Tiga Belas Jurus Jarum Gadis Cantik. Salah
satu jurusnya ada yang diberi nama Gadis Cantik Memasang Benang, Menyulam Jubah
Kahyangan, atau ada pula yang diberi nama Semalam Menyulam Gambar Burung.’
Saya lantas menghitung-hitung
dengan jari dan melanjutkan, ‘Ah, tidak salah lagi! Jurus-jurus yang baru saja
kau gunakan untuk menyerangku adalah ciptaan Ibu Guru pula. Namanya Jurus Gadis
Cantik Melempar Benang. Sungguh mengherankan, kenapa seorang gagah dan kasar seperti
dirimu bisa meniru jurus ibu-guruku yang lembut dan gemulai? Gerakanmu
benar-benar mirip seorang perempuan yang sedang menyulam, dari kiri ke kanan,
dari kanan ke kiri. Bukankah ini sangat-sangat mengherankan....”
Mendengar sampai di sini Yue
Lingshan dan murid-murid perempuan lainnya tertawa geli. Yue Buqun bahkan ikut
tertawa sambil berseru, “Kau benar-benar lancang!”
“Huh!” bentak Ning Zhongze
kepada Linghu Chong, “Kenapa kau melibatkan ibu-gurumu ini sebagai bahan
ocehanmu?”
“Ibu Guru harap maklum,” jawab
Linghu Chong. “Tian Boguang sangat sombong. Bila dia mendengar bahwa ilmu
goloknya adalah hasil ciptaan seorang wanita, tentu dia akan menjadi sangat
tersinggung. Maka, untuk membersihkan tuduhan itu, ia tidak mungkin langsung
membunuh saya. Bahkan, ia justru memperagakan ketiga belas jurus goloknya yang
luar biasa, dan bertanya di setiap jurus, ‘Apakah ini ilmu golok ciptaan
ibu-gurumu?’
Waktu itu saya diam saja agar
hatinya semakin gusar, sambil menggunakan kesempatan itu untuk menghafal gerakan
goloknya. Setelah ketiga belas jurus selesai diperagakan olehnya, barulah saya
menjawab, ‘Saudara Tian, sepertinya ada beberapa bagian dari ilmu golokmu yang
tidak sama dengan ilmu pedang ibu-guruku. Namun secara umum, dapat kukatakan
ilmu silat kalian berdua memiliki banyak kemiripan. Entah bagaimana kau bisa
menjelaskan ini semua? Apakah benar kau tidak mencuri ilmu silat Perguruan
Huashan kami?’
Ternyata Tian Boguang sungguh
cerdik dan mengetahui maksud dan tujuan saya. Ia pun berkata gusar, ‘Huh,
karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku, lantas kau mengoceh sembarangan
untuk mengulur-ulur waktu. Memangnya kau kira aku ini bodoh dan tidak paham
maksud serta tujuanmu? Linghu Chong, karena kau sudah mengatakan Perguruan
Huashan juga memiliki ilmu golok yang mirip denganku, maka aku harus meminta
sedikit pelajaran darimu, supaya diriku ini bertambah pengalaman.”
Saya pun menjawab, ‘Perguruan
Huashan kami hanya menggunakan pedang, tidak memakai golok. Selain itu, ilmu
golok ciptaan ibu-guruku hanya diajarkan kepada murid-murid perempuan saja.
Jadi, mana mungkin kami sebagai kaum laki-laki ikut-ikutan berlatih jurus
pedang yang berlenggak-lenggok seperti itu? Tentunya sangat lucu, bukan?’
Tian Boguang semakin gusar dan
berkata, ‘Lucu atau tidak, yang jelas kau harus mengakui kalau di dalam
Perguruan Huashan tidak ada ilmu golok seperti milikku ini. Saudara Linghu,
sebenarnya si marga Tian ini sangat kagum pada keberanianmu. Untuk itu
seharusnya... seharusnya kau tidak sepantasnya sembarangan mengoceh
mempermainkan aku!’”
Yue Lingshan menyahut, “Huh,
siapa juga yang sudi dikagumi manusia rendah seperti dia? Menurutku, sudah
sepantasnya Kakak Pertama mempermainkan dia. Biar tahu rasa.”
“Yah, waktu itu mau tidak mau
aku harus memainkan beberapa jurus yang kukatakan sebelumnya tadi,” ujar Linghu
Chong. “Jika tidak, mungkin aku akan langsung ditebas mati olehnya.”
“Maksudmu, kau
berlenggak-lenggok menirukan gaya kaum wanita, begitu?” tanya Yue Lingshan
sambil tertawa.
“Aku sudah sering melihatmu
berlatih,” jawab Linghu Chong. “Jadi, tidak sulit bagiku untuk menirukan jurus
pedang berlenggak-lenggok seperti kaum wanita.”
“Apa? Jadi kau anggap aku suka
berlenggak-lenggok, hah? Awas, aku tidak mau bicara denganmu lagi!” seru Yue
Lingshan dengan nada manja.
Ning Zhongze yang sejak tadi
hanya terdiam akhirnya membuka suara, “Shan’er, coba kau berikan pedangmu
kepadanya.”
Yue Lingshan mengangguk,
lantas memberikan pedangnya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Nah, Ibu ingin
melihat caramu memainkan pedang dengan gaya berlenggak-lenggok.”
“Hus!” bentak Ning Zhongze.
“Jangan dengarkan dia, Chong’er. Nah, sekarang coba kau perlihatkan gerakanmu
sewaktu menghadapi penjahat itu!”
Linghu Chong memahami maksud
perkataan sang ibu-guru. Ia pun memberi hormat terlebih dulu dan berkata,
“Baiklah, izinkan saya memperagakan ilmu golok Tian Boguang yang saya hadapi
waktu itu.”
Yue Buqun dan Ning Zhongze
mengangguk. Melihat itu Lu Dayou segera berbisik kepada Lin Pingzhi, “Adik Lin,
ini adalah adat istiadat dalam perguruan kita. Barangsiapa hendak memperagakan
ilmu silat, harus lebih dulu meminta izin kepada yang lebih tua.”
“Terima kasih atas
pemberitahuan Kakak Keenam,” jawab Lin Pingzhi.
Linghu Chong mulai
mengacungkan pedangnya dengan gerakan lamban tak bertenaga. Tiba-tiba tanpa
memberi tanda terlebih dulu, pedangnya sudah menebas secara berturut-turut
sebanyak tiga kali dengan kecepatan tinggi, hingga mengeluarkan suara
mendengung-dengung.
Murid-murid Huashan terkejut
melihatnya. Bahkan, murid-murid wanita sampai menjerit ngeri. Linghu Chong
sendiri memainkan pedangnya sebagai golok dengan cepat seperti tak teratur.
Namun dalam pandangan pasangan gurunya, serangan-serangan tersebut benar-benar
ganas dan mematikan. Sebentar kemudian ia pun mengakhiri permainan dan
membungkuk hormat kepada guru dan ibu-gurunya.
Yue Lingshan terlihat kecewa
dan bertanya, “Hanya begitu saja sudah selesai?”
“Semakin cepat semakin bagus,”
ujar Ning Zhongze. “Ilmu golok penjahat itu terdiri dari tiga belas jurus,
namun setiap jurusnya mengandung tiga sampai empat gerakan perubahan. Jadi,
dalam sekejap saja dapat bermain lebih dari empat puluh macam gerakan. Ini
benar-benar ilmu golok yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan.”
Linghu Chong menambahkan,
“Apabila si keparat Tian Boguang yang memainkannya, bisa jauh lebih cepat
daripada saya.”
Yue Buqun saling pandang
dengan Ning Zhongze. Kedua suami-istri itu sama-sama merasa kesal sekaligus
kagum di dalam hati.
Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit
dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang salah seorang murid
perempuannya. Ia kemudian melompat dan berseru, “Chong’er, gunakan jurus golok
kilat penjahat itu!”
“Baik,” jawab Linghu Chong
sambil kemudian mengayunkan pedangnya ke arah sang ibu-guru. Serangan tersebut
seolah-olah meleset melewati tubuh Ning Zhongze, namun tiba-tiba ujung pedang
Linghu Chong melengkung berbalik menuju pinggang wanita itu.
Seketika Yue Lingshan
menjerit, “Ibu, hati-hati!”
Ning Zhongze sendiri sudah
melompat maju tanpa memedulikan tusukan dari belakang tersebut, kemudian ia
membalas menusuk ke arah dada Linghu Chong.
Kembali Yue Lingshan
berteriak, namun dengan sasaran berbeda, “Hati-hati, Kakak Pertama!”
Linghu Chong ternyata tidak
menangkis pula. Sebaliknya, ia menebas satu kali sambil berseru, “Tian Boguang
jauh lebih cepat dari ini, Ibu Guru!”
Ning Zhongze menghadapinya
dengan tiga kali tusukan. Sebaliknya, Linghu Chong juga melancarkan tiga kali
sabetan. Makin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat. Serangan-serangan
mereka juga sama-sama berbahaya. Tidak seorang pun di antara keduanya yang asal
menangkis. Mereka hanya berusaha mengelak dan membalas serangan. Tidak terasa
lebih dari dua puluh jurus terlewati hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Melihat pemandangan itu Lin
Pingzhi sangat terkesima. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Pertama suka bicara
sembarangan dan bertingkah seenaknya. Tak disangka ilmu silatnya sedemikian
hebat. Aku harus lebih giat belajar, supaya tidak dipandang rendah lagi oleh
orang lain.”
Pada saat itu tiba-tiba pedang
Ning Zhongze meluncur ke depan dan kali ini tepat mengancam tenggorokan Linghu
Chong. Pemuda itu tidak sempat mengelak, hanya berkata, “Percuma, dia dapat
menangkisnya.”
“Baiklah kalau begitu,” sahut
Ning Zhongze sambil menarik mundur pedangnya dan melancarkan serangan-serangan
lainnya. Sekejap kemudian pedang wanita itu sudah mengancam di depan jantung
Linghu Chong. Namun pemuda itu tetap berkata, “Dia masih dapat menangkisnya.”
Maksud ucapan Linghu Chong
ialah, serangan Ning Zhongze itu memang tidak bisa dipatahkannya, namun tetap
bisa ditangkis oleh Tian Boguang.
Ning Zhongze kembali membangun
serangan yang lebih cepat dan ganas. Sampai-sampai Linghu Chong tidak sempat
lagi mengatakan, “dia masih bisa menangkis,” ketika pedang ibu-gurunya itu
kembali mengancam bagian tubuhnya. Namun demikian, ia tetap menggelengkan
kepala seolah memberi tahu bahwa Tian Boguang masih bisa lebih cepat.
Ning Zhongze semakin
bersemangat. Tiba-tiba ia membentak nyaring. Pedangnya gemerlap menyilaukan,
membuat sekeliling tubuh Linghu Chong bagaikan terbungkus sinar perak.
Tiba-tiba pedang istri Yue Buqun itu menusuk ke depan dan secepat kilat sudah
mengancam ulu hati Linghu Chong. Kali ini Linghu Chong berteriak ngeri, “Ibu
Guru!”
Tidak berhenti sampai di sini,
pedang tersebut terus maju dan terlihat sudah menusuk tubuh Linghu Chong,
bahkan gagangnya sampai menempel di dada pemuda itu.
Melihat pemandangan tersebut
Yue Lingshan menjerit ketakutan, “Ibu!”
Sesaat kemudian, terdengar
suara logam berjatuhan di lantai. Ternyata pedang Ning Zhongze tidak
benar-benar menusuk dada Linghu Chong, melainkan hancur berkeping-keping
menjadi beberapa potongan kecil dan jatuh berserakan di kaki pemuda itu. Yang
tersisa di tangan Ning Zhongze hanya tinggal gagangnya saja, dan menempel di dada
Linghu Chong.
Yue Buqun tertawa memuji
istrinya, “Adik, tenaga dalammu sungguh luar biasa. Sampai-sampai aku tidak
mengetahuinya.”
Ning Zhongze tersenyum dan
menjawab, “Kakak terlalu memuji. Kepandaian yang hanya sedikit ini tidak
berarti apa-apa. Untuk apa harus dipermasalahkan?”
Pasangan suami-istri ini
sebelumnya adalah saudara seperguruan. Itulah sebabnya meskipun sudah menikah
mereka masih tetap saling memanggil “kakak” dan “adik”.
Linghu Chong masih
termangu-mangu tidak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Baru sekarang
ia menyadari kalau ibu-gurunya telah menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi
ke arah dadanya. Namun begitu pedang tersebut menyentuh kain bajunya, Ning
Zhongze dengan segenap kekuatan memutar pedang tersebut agar tidak sampai
benar-benar menusuk sasaran. Tenaga dalam Ning Zhongze yang sangat hebat itu
akhirnya mematahkan pedang di tangannya hingga hancur berkeping-keping.
Maka, Linghu Chong pun memuji,
“Dengan kepandaian Ibu Guru seperti ini, bagaimanapun cepatnya gerakan Tian
Boguang, tetap saja ia tidak bisa menghindar.”
Lin Pingzhi juga terkesima
menyaksikan baju Linghu Chong yang penuh lubang akibat putaran pedang sang
ibu-guru tadi. Dalam hati ia berpikir, “Dibandingkan dengan Ilmu Pedang
Penakluk Iblis yang menjadi rebutan Yu Canghai dan Mu Gaofeng, ilmu pedang Ibu
Guru sepertinya jauh lebih unggul. Oh, aku baru tahu ternyata di dunia ada ilmu
pedang sehebat ini. Kalau aku tekun belajar dan berlatih, aku pasti bisa
membalas kematian Ayah dan Ibu.”
Ning Zhongze tersenyum puas
dan berkata, “Chong’er, kau bilang seranganku yang terakhir tadi mampu
membinasakan Tian Boguang; maka itu, kau harus giat berlatih supaya ilmu tadi
bisa kuturunkan kepadamu.”
“Terima kasih banyak, Ibu
Guru,” sahut Linghu Chong gembira.
“Ibu, aku juga ingin
mempelajarinya,” seru Yue Lingshan.
Ning Zhongze menjawab sambil
menggelengkan kepala, “Tenaga dalammu belum cukup. Jurus serangan tadi tidak
bisa kau pelajari dengan sempurna.”
“Tapi... tapi tenaga dalam
Kakak Pertama hanya selisih sedikit di atasku. Kalau dia boleh kenapa aku
tidak?” ujar gadis itu penasaran.
Ibunya hanya tersenyum tidak
menjawab. Dengan manja Yue Lingshan lantas menarik tangan sang ayah dan
berkata, “Ayah, tolong ajari aku satu jurus ilmu pedang yang bisa mematahkan
serangan tadi. Biar kelak aku tidak diejek Kakak Pertama.”
Yue Buqun menggeleng sambil
tertawa, lalu menjawab, “Ilmu yang dimainkan ibumu tadi bernama ‘Jurus Pedang
Ning Tanpa Tanding’. Mana mungkin aku bisa menciptakan jurus untuk
mengatasinya?”
“Kau bicara apa?” sahut Ning
Zhongze tersenyum. “Bila ucapanmu tersiar, bisa-bisa aku ditertawakan dunia
persilatan.”
Ilmu pedang Ning Zhongze tadi
memang diciptakan secara spontan sesuai keadaan. Di dalamnya terkandung
intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni.
Ditambah dengan kecerdasan Ning Zhongze yang teramat tinggi, membuat jurus
tersebut sangat ganas dan mematikan.
Yue Buqun sendiri mengenal
watak istrinya yang tidak suka bersandar pada nama besar sang suami. Istrinya
itu lebih suka dipanggil dengan sebutan “Pendekar Ning” daripada “Nyonya Yue”.
Maka itu, jurus baru yang digunakan untuk menyerang Linghu Chong tadi langsung
ia sebut dengan nama “Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding” untuk membesarkan hati
sang istri. Meskipun Ning Zhongze menanggapi pemberian nama itu dengan nada
dingin, namun dalam hati ia merasa bangga dan berterima kasih kepada sang
suami.
Sementara itu Yue Lingshan
kembali mengusik, “Ayah, kapan-kapan kau juga bisa menciptakan jurus pedang Yue
yang tiada tandingannya di muka bumi. Kemudian, ajarkan kepadaku agar aku bisa
mengalahkan Kakak Pertama.”
“Tidak bisa begitu,” jawab Yue
Buqun sambil tertawa. “Kecerdasan ayahmu ini masih kalah jauh dibandingkan
ibumu. Mana mungkin Ayah bisa menciptakan ilmu pedang?”
Menanggapi itu Yue Lingshan
mendekat dan berbisik lirih di telinga sang ayah, “Sebenarnya Ayah bukannya
kalah cerdas, tapi takut pada istri. Maka itu, tidak berani menciptakan ilmu
tandingan.”
“Omong kosong!” seru Yue Buqun
sambil tertawa dan mencubit pipi putrinya yang nakal.
“Shan’er, kau jangan suka usil
lagi,” sahut Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada Lao Denuo dan berkata,
“Denuo, coba kau siapkan meja agar Adik Lin-mu bisa segera melakukan upacara
sembahyang kepada para leluhur perguruan kita.”
“Baik!” jawab Lao Denuo yang
kemudian berangkat melaksanakan perintah sang ibu-guru. Tidak lama kemudian
segala peranti upacara telah dipersiapkan dengan baik. Yue Buqun disertai istri
dan semua muridnya segera memasuki ruangan persembahyangan.
Begitu memasuki ruangan
tersebut, Lin Pingzhi merasakan suasana yang angker dan mendebarkan. Tampak
sebilah papan tergantung di tengah ruangan dengan bertuliskan kalimat: “Tenaga
dalam mengendalikan pedang”. Pada kedua sisi dinding masing-masing tergantung sebatang
pedang kuna, lengkap dengan sarungnya yang berwarna hitam. Lin Pingzhi yakin
kalau pedang-pedang itu adalah peninggalan leluhur Perguruan Huashan di masa
lampau. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Perguruan Huashan memiliki nama besar
di dunia persilatan sebagai anggota golongan putih. Entah sudah berapa banyak
nyawa penjahat yang melayang di ujung pedang-pedang itu?”
Yue Buqun berlutut di hadapan
altar leluhur, kemudian menyembah sebanyak tiga kali dan berkata, “Hari ini
murid bernama Yue Buqun telah menerima seorang murid baru bernama Lin Pingzhi
dari Kota Fuzhou. Semoga arwah para leluhur berkenan memberi berkah, supaya Lin
Pingzhi giat belajar, menjaga kehormatan, patuh terhadap tata tertib perguruan,
dan tidak menjatuhkan nama baik Perguruan Huashan kita.”
Lin Pingzhi segera ikut
berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan khidmat. Yue Buqun kemudian
bangkit dan berkata, “Lin Pingzhi, hari ini kau telah resmi diterima sebagai
murid Perguruan Huashan. Kau harus patuh terhadap semua aturan perguruan. Jika
sampai melanggar tentu akan mendapat hukuman yang setimpal. Apabila kau
melakukan pelanggaran berat, maka hukuman yang kau terima juga tanpa
pengampunan. Perguruan kita sudah berjaya selama ratusan tahun. Maka, setiap
murid wajib menjaga nama baik perguruan. Semua itu hendaklah kau ingat-ingat
dengan baik.”
“Tentu saya akan selalu ingat
dan taat kepada ajaran Guru,” jawab Lin Pingzhi.
“Linghu Chong!” seru Yue Buqun
kepada murid pertamanya. “Coba kau uraikan apa saja tata tertib perguruan kita
agar diketahui oleh Lin Pingzhi.”
“Baik, Guru!” jawab Linghu
Chong sambil mengangguk. Ia kemudian berseru, “Adik Lin, dengarkan baik-baik
tata tertib Perguruan Huashan kita. Pertama, tidak boleh menentang guru dan
mengkhianati perguruan; kedua, dilarang menindas kaum lemah; ketiga, dilarang
main perempuan dan melecehkan wanita baik-baik; keempat, dilarang memiliki rasa
iri dan dengki kepada sesama saudara; kelima, dilarang mencuri dan serakah
terhadap harta benda; keenam, dilarang bersikap sombong dan mendahului berbuat
salah terhadap sesama kaum persilatan; ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum
penjahat dan bersekongkol dengan golongan iblis. Nah, itulah ketujuh larangan
dalam Perguruan Huashan yang harus ditaati bersama oleh segenap murid perguruan
kita.”
“Baik, saya berjanji akan
selalu patuh dan taat untuk tidak melanggar ketujuh larangan tersebut,” jawab
Lin Pingzhi.
“Bagus, kau harus menepati
janjimu itu,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Setiap saat kau harus senantiasa
mengutamakan budi pekerti yang luhur, jadilah seorang kesatria sejati. Dengan
demikian, guru dan ibu-gurumu akan ikut merasa bangga.”
“Baik, Guru!” jawab Lin
Pingzhi. Ia lantas memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze, serta
kepada semua kakak seperguruannya.
Yue Buqun kemudian berkata,
“Pingzhi, sekarang kau bisa mengurus pemakaman jenazah kedua orang tuamu.
Setelah itu barulah kau bisa mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan
kita.”
Lin Pingzhi lagi-lagi terharu
dan meneteskan air mata. “Terima kasih, Guru!” ujarnya sambil kembali berlutut.
Yue Buqun buru-buru
membangunkan murid barunya itu dan berkata ramah, “Setiap orang dalam perguruan
kita adalah keluarga. Urusan satu orang menjadi urusan kita bersama. Kau tidak
perlu terlalu segan.”
Usai berkata demikian, ia
lantas menoleh ke arah si murid pertama dan berkata, “Chong’er, selama
kepergianmu kali ini, kau sudah melanggar berapa banyak dari ketujuh larangan
perguruan kita?”
Linghu Chong terkesiap.
Meskipun gurunya memperlakukan semua murid seperti anak sendiri, tapi bila ada
yang melanggar peraturan tetap mendapat hukuman tanpa pandang bulu. Mendengar
pertanyaan itu ia langsung berlutut dan menjawab, “Saya sadar telah melakukan
kesalahan besar. Saya tidak patuh terhadap ajaran Guru dan Ibu Guru. Di Rumah
Arak Huiyan saya telah melanggar peraturan nomor enam, yaitu membunuh seorang
murid Perguruan Qingcheng bernama Luo Renjie.”
Yue Buqun hanya mendengus
dengan wajah marah.
Melihat itu Yue Lingshan
buru-buru menyahut, “Ayah, itu semua salah Luo Renjie sendiri. Dia hendak menganiaya
Kakak Pertama yang sedang terluka parah setelah bertarung melawan Tian Boguang.
Jadi, waktu itu Kakak Pertama hanya membela diri.”
“Kau tidak perlu ikut campur!”
bentak Yue Buqun. “Luo Renjie mengganggu Chong’er, karena kakak pertamamu itu
lebih dulu mencari gara-gara dengan murid Qingcheng lainnya. Wajar kalau Luo
Renjie ingin membalas sakit hati kedua saudaranya yang pernah ditendang jatuh
oleh kakak pertamamu.”
“Tapi, Ayah,” Yue Lingshan
menyela, “mengenai peristiwa itu bukankah Kakak Pertama sudah kau hukum dengan
pukulan tongkat? Lagipula Ayah juga sudah mengirim surat permohonan maaf kepada
Pendeta Yu melalui Kakak Kedua.”
Yue Buqun melotot kepada putri
tunggalnya itu. Dengan keras ia membentak, “Aku tidak peduli dengan alasanmu.
Yang ingin kutegakkan adalah tata tertib perguruan kita. Kau juga murid
Perguruan Huashan. Kau dilarang sembarangan ikut bicara.”
Yue Lingshan jarang sekali
dibentak oleh ayahnya. Tentu saja apa yang baru ia alami itu membuat matanya
berkaca-kaca hampir menangis.
Yue Buqun yang biasanya ramah
dan lembut kali ini menunjukkan sikap tegas sebagai seorang pemimpin perguruan.
Tidak seorang pun berani lagi membantah, termasuk istrinya sendiri.
“Linghu Chong,” katanya dengan
keras. “Perbuatanmu membunuh Luo Renjie karena membela diri dapat kumaklumi.
Dalam keadaan payah kau masih berusaha pantang menyerah, itu perbuatan
laki-laki sejati. Tapi kenapa kau melecehkan Perguruan Henshan dengan berkata:
Biksuni adalah kaum pembawa sial. Setiap kali melihat biksuni kau selalu kalah
judi. Kenapa, hah?”
Mendengar itu Yue Lingshan
tertawa geli dan berkata, “Ayah!” Namun, begitu sang ayah menoleh dan melotot
kepadanya, ia langsung terdiam.
Linghu Chong menjawab, “Waktu
itu yang ada dalam pikiran saya hanya bagaimana cara untuk menyelamatkan adik
dari Henshan itu. Karena sadar ilmu silat saya lebih rendah dari musuh,
terpaksa saya sembarangan bicara supaya biksuni itu pergi sejauh-jauhnya. Sama
sekali saya tidak bermaksud menyinggung perasaan para bibi dari Perguruan
Henshan.”
“Kau bermaksud menyelamatkan
kehormatan Keponakan Yilin; maksudmu memang baik tapi caramu keliru,” sahut Yue
Buqun. “Sekarang ini urusan sudah diketahui oleh semua anggota Serikat Pedang
Lima Gunung. Mereka tentu mengatakan kalau aku ini bukan guru yang baik, yang
tidak bisa mengajar muridnya dengan benar.”
“Saya memang bersalah, Guru,”
jawab Linghu Chong sambil membungkukkan badan.
Yue Buqun kembali melanjutkan,
“Kemudian kau mendekam di rumah pelacuran untuk merawat lukamu, hal itu masih
bisa kumaafkan. Tapi di sana kau menyembunyikan Yilin dan siluman kecil dari
aliran sesat itu dalam selimut. Kemudian kau mengatakan kepada Pendeta Yu bahwa
mereka adalah pelacur. Apa kau sadar hal ini sangat berbahaya jika sampai akal
licikmu itu terbongkar? Bukan hanya nama baik Perguruan Huashan yang tercemar,
nama baik Perguruan Henshan yang sudah terjaga ratusan tahun juga akan ikut
hancur di tanganmu.”
Linghu Chong berkeringat
dingin mendengar kemarahan gurunya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Guru,
kejadian itu sangat mendebarkan jika saya mengingatnya kembali. Ternyata Guru
sendiri sudah mengetahuinya.”
Yue Buqun menyahut, “Waktu itu
aku hanya mendengar kalau yang menyembunyikan dirimu di dalam rumah pelacuran
adalah gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Tapi ketika kau menyuruh kedua
gadis itu bersembunyi di dalam selimut, sesungguhnya aku sudah berada di luar
jendela.”
“Syukurlah, Guru mengetahui
kalau saya bukan manusia yang suka berbuat tidak senonoh,” ujar Linghu Chong.
“Huh, jika kau benar-benar
main gila di rumah pelacuran itu, tentu kepalamu sudah kupenggal sejak
kemarin-kemarin,” ujar Yue Buqun. “Mana mungkin kau masih bisa tetap hidup
sampai hari ini?”
Linghu Chong mengangguk dengan
perasaan serba salah.
Yue Buqun terlihat semakin
serius. Setelah diam sejenak ia kemudian melanjutkan, “Kau sudah mengetahui
kalau anak kecil bermarga Qu itu berasal dari aliran sesat, tapi kenapa kau
tidak langsung membunuhnya? Pertolongan kakeknya kepadamu hanyalah tipu
muslihat licik yang biasa digunakan aliran sesat untuk memecah belah kelompok
kita. Kau ini bukan orang bodoh, kenapa tidak juga menyadarinya? Hm, bahkan Liu
Zhengfeng yang pandai saja bisa jatuh ke dalam perangkap aliran sesat sehingga
keluarganya hancur berantakan. Tipu muslihat aliran sesat sangat kejam, tapi
sejak dari Hunan hingga tiba di Gunung Huashan sini, belum pernah sekalipun aku
mendengar mulutmu mencela perbuatan aliran sesat. Chong’er, rupanya setelah
jiwamu diselamatkan mereka, kau jadi tidak bisa lagi membedakan mana yang baik
mana yang buruk; mana yang jujur, mana yang pura-pura. Persoalan ini menyangkut
masa depanmu sendiri. Hendaknya kau memiliki pendirian yang tegas.”
Samar-samar Linghu Chong
kembali terkenang paduan suara kecapi dan seruling yang dimainkan Qu Yang dan
Liu Zhengfeng pada malam sebelum mereka meninggal. Hati nuraninya tidak percaya
kalau orang bernama Qu Yang itu memiliki tipu muslihat kejam dan sengaja
mencelakakan keluarga Liu Zhengfeng.
Melihat murid pertamanya
termangu-mangu, Yue Buqun kembali berkata, “Chong’er, urusan ini tidak hanya
menyangkut masa depanmu saja, tapi juga nama baik Perguruan Huashan. Sekarang
aku bertanya, jika kelak kau bertemu orang aliran sesat, apakah kau akan diam
saja dan memandangnya sebagai musuh, atau membunuhnya tanpa ampun?”
Linghu Chong terperanjat
kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati ia berkata, “Apabila
kelak aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus membunuhnya begitu saja
tanpa bertanya terlebih dulu?”
Yue Buqun memandang tajam ke
arah murid pertamanya itu yang tidak menjawab apa pun dalam waktu yang cukup
lama. Akhirnya ia pun menghela napas panjang dan berkata, “Rasanya percuma saja
aku memaksamu menjawab pertanyaan tadi. Kepergianmu kali ini telah banyak
mencemarkan nama baik Perguruan Huashan. Maka itu, aku menghukum dirimu untuk
merenung menghadap dinding selama setahun penuh.”
Linghu Chong segera
membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, saya siap menjalani hukuman dari
Guru.”
“Apa? Menghadap dinding?”
sahut Yue Lingshan ikut bicara. “Kalau begitu selama setahun ini Kakak Pertama
harus memandangi dinding? Lantas, berapa jam dia harus merenung dalam setiap
hari?”
“Berapa jam apanya?” tukas Yue
Buqun. “Dia harus duduk menghadap dinding setiap hari mulai pagi sampai malam,
kecuali pada saat makan dan minum.”
Yue Lingshan kembali menyahut,
“Wah, ini namanya keterlaluan! Apa Kakak Pertama tidak bosan setiap hari hanya
memandangi dinding melulu? Bagaimana kalau dia ingin buang air?”
“Jaga ucapanmu, gadis kecil,”
ujar Ning Zhongze menukas.
“Bosan bagaimana?” sahut Yue
Buqun. “Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap dinding di
Puncak Gadis Kumala selama tiga setengah tahun, tidak boleh melangkah turun
sedikit pun. Mana bisa dibandingkan dengan kakak pertamamu?”
“Oh, kalau begitu hukuman
Kakak Pertama masih terlalu ringan?” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan
lidah. “Padahal Kakak Pertama sewaktu mengatakan ‘asalkan bertemu biksuni
selalu kalah judi’ timbul dari maksud baiknya untuk menyelamatkan biksuni itu,
jadi bukan bertujuan untuk melecehkan Perguruan Henshan.”
Yue Buqun menjawab, “Justru
karena bermaksud baik itulah, maka hukumannya cuma satu tahun. Coba kalau
maksudnya jahat, tentu sudah kucabut semua giginya, dan kupotong lidahnya.”
Melihat perdebatan itu Ning
Zhongze segera melerai, “Shan’er, kau jangan berdebat lagi dengan ayahmu. Kakak
pertamamu dihukum di Puncak Gadis Kumala supaya bisa merenungi kesalahannya.
Jadi, kau jangan lagi pergi mengganggunya supaya niat baik ayahmu bisa
terlaksana.”
“Tapi... tapi, Ibu,” ujar Yue
Lingshan. “Kakak Pertama pasti akan sangat kesepian kalau tidak mengobrol
denganku. Juga, selama setahun ini siapa lagi yang bisa menemani aku berlatih
silat?”
“Jika kau mengajaknya
mengobrol, bagaimana dia bisa merenungi kesalahannya?” kata Ning Zhongze. “Kalau
cuma berlatih, kau bisa meminta kakak-kakakmu yang lain untuk menemani.”
Yue Lingshan terlihat kesal
dan cemberut. Dengan nada gusar ia bertanya, “Lalu bagaimana cara Kakak Pertama
makan? Bukankah dia tidak boleh turun dari puncak selama setahun penuh?
Bukankah ini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan?”
“Kau jangan khawatir,” jawab
Ning Zhongze sambil tersenyum. “Setiap hari akan ada yang ke atas untuk
mengirimkan makanan.”
Sore harinya, setelah
berpamitan kepada guru dan ibu-guru serta segenap saudara seperguruannya,
Linghu Chong berangkat menuju puncak tertinggi Gunung Huashan yang bernama
Puncak Gadis Kumala untuk menjalani hukumannya. Hanya dengan berbekal sebilah
pedang yang tergantung di pinggang, ia berjalan menyusuri jalan menanjak untuk
menuju puncak yang curam dan terjal. Sesampainya di tempat tujuan, tampak
sebuah gua sudah menunggu. Gua tersebut biasa digunakan para ketua Perguruan
Huashan untuk mengurung murid-murid mereka yang melakukan pelanggaran.
Keadaan di atas puncak
tersebut gundul tanpa ditumbuhi pepohonan. Yang ada di sana hanyalah semak dan
lumut belaka. Selain gua, Linghu Chong tidak menemukan apa-apa lagi. Memang
Gunung Huashan memiliki banyak pemandangan indah dan pepohonan lebat. Akan
tetapi, keadaan di Puncak Gadis Kumala benar-benar perkecualian. Alasan utama
mengapa sejak dulu puncak tersebut dipilih sebagai tempat mengurung murid-murid
yang melanggar peraturan adalah karena suasananya yang sangat sunyi. Boleh
dikata tidak ada seekor hewan pun yang betah hidup di sana. Dengan demikian,
diharapkan para murid yang menjalani hukuman bisa lebih hening dalam merenungi
kesalahannya.
Begitu masuk ke dalam gua,
Linghu Chong segera melihat sepotong batu besar di dalamnya. Batu yang halus
dan licin tersebut merupakan tempat duduk bagi mereka yang sedang menjalani
hukuman. Dalam hati ia merenung, “Perguruan Huashan sudah berusia ratusan
tahun. Entah sudah berapa banyak muridnya yang merasakan duduk sendiri di gua
ini. Pantas saja, batu ini terlihat halus dan licin. Hahahaha. Linghu Chong
adalah murid Huashan yang paling ugal-ugalan. Rasanya sangat pantas jika aku
diberi kesempatan mencicipi sepinya tempat ini. Hm, Guru sangat sabar. Beliau
bisa menunggu sampai hari ini untuk mengirimku kemari.”
Kemudian ia menepuk-nepuk batu
besar itu sambil berkata, “Wahai batu, entah sudah berapa tahun lamanya kau
tinggal sendirian di sini. Mulai hari ini Linghu Chong yang akan menjadi
temanmu.”
Begitu duduk di atas batu
tersebut, mata Linghu Chong langsung menangkap beberapa huruf yang terukir di
dinding. Ukiran itu berbunyi “Feng Qingyang” dan terdapat di dinding gua
sebelah kiri. Ukiran tersebut sangat rapi, dengan kedalaman satu senti, seperti
dibuat menggunakan ujung pedang yang sangat tajam.
Diam-diam Linghu Chong
bertanya, “Siapa itu Feng Qingyang? Mungkin dia seorang murid pada generasi
terdahulu yang pernah dihukum di sini. Ah, aku tahu! Dia memiliki unsur nama
‘Qing’, berarti satu generasi di atas Guru. Dilihat dari ukirannya ini, tentu
Beliau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tapi aku heran, mengapa Guru dan
Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang Beliau? Ah, mungkin Beliau sudah lama
meninggal dunia.”
Usai berpikir demikian, Linghu
Chong lantas memejamkan mata dan memulai latihan pernapasan sampai satu jam
lamanya. Setelah itu ia membuka mata dan berdiri untuk meregangkan otot.
Sejenak kemudian pemuda itu kembali duduk dan berpikir, “Kelak jika aku bertemu
orang aliran sesat, apakah aku harus mencabut pedangku tanpa bertanya lebih
dulu dan langsung membunuhnya saat itu juga? Apakah dalam aliran sesat semua
orangnya jahat? Apakah dalam aliran sesat tidak ada orang yang baik? Tapi kalau
dia seorang baik-baik kenapa bergabung dengan aliran sesat? Andaikan dia
tersesat, mengapa tidak keluar begitu saja? Bukankah hal itu bisa terjadi? Dan,
apabila tidak mau keluar, berarti rela berteman dengan kaum penjahat serta
membuat celaka umat manusia pada umumnya.”
Seketika terlintas dalam
ingatan Linghu Chong kisah-kisah mengerikan yang pernah diceritakan guru dan
ibu-gurunya tentang kekejaman aliran sesat. Misalnya, peristiwa pembantaian
Keluarga Yu di daerah Jiangxi. Jumlah korban yang tewas sebanyak dua puluh tiga
orang, semua dipaku di pepohonan. Bahkan, seorang anak kecil berusia tiga tahun
juga tidak diberi ampun. Dua orang putra Tuan Yu merintih selama dua hari dua
malam sampai akhirnya mati secara mengenaskan.
Kejadian lain menimpa Zhao
Dengkui, ketua Partai Golok Naga Angin di daerah Jinan yang sedang menggelar
pernikahan putranya. Tiba-tiba kaum aliran sesat datang menyerbu. Kedua mempelai
terbunuh dan kepala mereka dipenggal untuk diletakkan di atas meja sebagai
kado. Kemudian ketika Pendekar Hao di Hanyang merayakan ulang tahunnya yang
ketujuh puluh, ia mengundang banyak kawan dari dunia persilatan. Tak disangka,
kaum aliran sesat menanam bahan peledak di bawah lantai ruang perayaan. Maka,
ketika meledak, tak terhitung jumlahnya para hadirin yang terluka dan binasa.
Termasuk di antaranya adalah Pendeta Ji dari Perguruan Taishan yang kehilangan
salah satu lengannya akibat ledakan tersebut.
“Paman Ji yang
menceritakannya, sudah tentu kisah itu pasti benar,” pikir Linghu Chong. “Dua
tahun yang lalu ada juga kejadian mengerikan menimpa Paman Sun dari Perguruan
Songshan. Aku melihat sendiri bagaimana Paman Sun telah kehilangan kedua lengannya
dan kedua kakinya, serta kedua bola matanya dicongkel pula oleh pihak aliran
sesat. Ia hanya bisa berteriak-teriak: “Aliran sesat jahanam telah membuatku
binasa. Kalian harus menuntut balas! Menuntut balas!’ Waktu itu orang-orang
Songshan datang menolong, tapi Paman Sun sudah terlanjur meninggal akibat
luka-lukanya.”
Linghu Chong merinding ngeri
saat teringat darah mengucur deras pada lubang mata si Paman Sun tersebut.
Teringat itu semua, ia kembali berpikir, “Perbuatan aliran sesat sungguh biadab
dan di luar batas kemanusiaan. Qu Yang dan cucunya memang telah menolong
nyawaku, namun mereka pasti menyembunyikan rencana jahat di balik itu semua.
Guru telah bertanya bagaimana sikapku jika bertemu orang aliran sesat. Kali ini
aku tidak akan ragu-ragu lagi. Tentu saja aku akan mencabut pedang dan langsung
membunuhnya.”
Karena permasalahannya sudah
jelas, seketika pikiran Linghu Chong menjadi lapang. Ia pun bersuit panjang
kemudian melompat mundur keluar gua sambil memejamkan mata menikmati udara
segar. Ketika sedang melayang di udara ia bersalto sebanyak satu kali dan
setelah itu barulah mendaratkan kedua kakinya di atas tanah. Begitu membuka
mata dan menoleh ke belakang, betapa terkejut hati pemuda itu karena ternyata
kakinya telah menginjak batuan terjal di tepi jurang yang sangat dalam. Andai
saja ketika melompat mundur tadi ia menambah sedikit tenaga, tentu dirinya akan
terlempar lebih jauh sehingga jatuh ke dasar jurang dengan tubuh hancur lumat.
“Aku masih kurang berani.
Seharusnya aku melompat lebih dekat lagi ke tepi jurang,” demikian ia berpikir.
Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara tawa seorang perempuan disertai
tepukan tangan.
“Hebat! Kakak Pertama memang
hebat!” demikian suara perempuan itu bersorak memuji.
Linghu Chong menoleh dan langsung
gembira melihat Yue Lingshan datang mengunjunginya sambil menjinjing sebuah
keranjang.
“Kakak Pertama, aku
mengantarkan nasi untukmu,” ujar gadis itu sambil tertawa.
Segera keduanya masuk ke dalam
gua dan duduk di atas batu licin. Setelah meletakkan keranjang berisi makanan
itu di atas tanah. Yue Lingshan membuka suara, “Lompatanmu tadi sungguh hebat.
Tanpa melihat kau bisa melompat mundur dan berdiri tepat di tepi jurang. Aku
jadi ingin mencoba.”
Tentu saja lompatan Linghu
Chong tadi dilakukannya tanpa sengaja dan secara beruntung ia nyaris saja jatuh
ke dalam jurang. Sementara itu ilmu silat Yue Lingshan lebih rendah darinya;
jika kurang tepat menguasai badan, bisa-bisa malah mendapat celaka. Akan
tetapi, watak adik seperguruannya itu sulit dicegah jika memiliki keinginan.
Maka, daripada menghalangi lebih baik Linghu Chong mengizinkannya dengan
berjaga-jaga di dekat jurang untuk mencegah bahaya yang mungkin bisa terjadi.
Watak Yue Lingshan sendiri
tidak suka mengalah pada orang lain. Diam-diam gadis itu mengumpulkan segenap
tenaga untuk bisa melompat lebih indah dibanding Linghu Chong. Maka, tanpa
pikir lagi ia pun melompat mundur dengan mata tertutup. Tampak gadis itu
melayang indah di udara dan kemudian terus meluncur ke arah jurang.
Sejak awal Yue Lingshan memang
ingin melompat lebih jauh daripada Linghu Chong. Maka, ia pun mengerahkan
tenaga cukup besar sewaktu melemparkan diri ke belakang. Namun ketika menyadari
tubuhnya mulai meluncur turun, ia pun membuka mata dan menjerit ketakutan.
Untungnya Linghu Chong sudah
bersiaga di tepi jurang dan segera menangkap lengan putri gurunya itu dengan
cepat. Telapak kaki Yue Lingshan sendiri sudah menginjak tepat di tepi jurang
tersebut. Andai saja Linghu Chong tidak cekatan, tentu gadis cantik itu
kehilangan keseimbangan dan jatuh ke bawah.
Setelah napasnya agak tenang,
Yue Lingshan berseru gembira, “Kakak Pertama, lompatanku tadi ternyata lebih
jauh darimu!”
Linghu Chong menepuk bahu
putri gurunya itu sambil menjawab, “Permainan berbahaya tadi jangan kau ulangi
lagi. Kalau sampai ketahuan Guru dan Ibu Guru, tentu kau akan dimarahi.
Bisa-bisa kau juga akan dihukum di sini.”
Yue Lingshan menjawab, “Kalau
dihukum di sini, berarti kau akan ada temannya. Kita bisa bebas bermain
sesukanya. Benar, tidak?”
Linghu Chong tergetar
mendengar ucapan gadis itu. Dalam hati ia berkata, “Kalau saja aku bisa bersama
Adik Kecil dihukum setahun di sini, tentu rasanya bahagia laksana tinggal di
kahyangan. Tapi… ah, mana boleh seperti itu?”
Segera ia pun menjawab, “Tapi
kalau kau dikurung di Gedung Kejujuran dan sedikit pun tidak boleh pergi dari
sana, bagaimana? Jika demikian, tentu selama setahun kita tidak akan bisa
bertemu.”
“Itu namanya tidak adil,”
sahut Yue Lingshan. “Kau dikurung di sini dan bisa bergerak bebas, tapi mengapa
aku harus dikurung di Gedung Kejujuran?”
Setelah diam sejenak, Yue
Lingshan lalu mengalihkan pembicaraan, “Kakak, sebenarnya yang ditugasi Ibu
mengantar makanan ke sini adalah Monyet Keenam. Maka, aku pun berbicara
kepadanya, ‘Kakak Keenam, setiap hari kau harus merangkak naik-turun Tebing
Perenungan untuk mengantar makanan. Meskipun kau adalah monyet tetap saja akan
kepayahan juga. Nah, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan tugasmu? Dengan
apa kau nanti berterima kasih padaku, hah?’
Kemudian dia menjawab, ‘Tugas
yang diberikan Ibu Guru kepadaku ini sebenarnya juga untuk melatih diriku.
Maka, sama sekali aku tidak boleh malas atau merasa payah. Lagipula, Kakak
Pertama selalu baik kepadaku. Bisa mengantar makanan setiap hari untuknya sudah
tentu aku akan merasa sangat senang.’
Kakak Pertama, menurutmu
apakah dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
rasa apa yang diucapkannya benar.”
Yue Lingshan lantas
melanjutkan, “Monyet Keenam juga menuduhku suka mengganggunya saat meminta
petunjuk kepadamu. Padahal, mana pernah aku mengganggunya saat berlatih? Huh,
apa yang ia katakan omong kosong semua. Dia juga berkata, ‘Mulai saat ini
selama setahun ke depan hanya aku yang bisa bertemu Kakak Pertama di Tebing Perenungan.
Tentu kesempatan bagus ini aku pergunakan untuk meminta petunjuk kepadanya.’ –
Ucapannya sungguh menjengkelkan. Kemudian... kemudian....”
“Kemudian kau mengancamnya
dengan pedang, begitu?” sela Linghu Chong sambil tertawa.
“Tidak, bukan begitu,” jawab
Yue Lingshan sambil menggeleng. “Aku pun menangis. Akhirnya dia mengalah dan
membiarkan aku yang berangkat mengantarkan nasi untukmu.”
Linghu Chong mengamati wajah
Yue Lingshan. Tampak mata gadis itu kemerah-merahan pertanda ia memang
benar-benar baru menangis. Linghu Chong terharu melihatnya dan berkata dalam
hati, “Dia sungguh baik kepadaku. Andaikan harus mati seribu kali untuknya, aku
rela.”
Yue Lingshan sendiri sibuk
membuka bekal makanan yang ia bawa. Dari dalam keranjang dikeluarkannya dua
piring sayuran, dua buah mangkuk, serta dua pasang sumpit. Semuanya diletakkan
di atas batu datar sebagai meja makan.
“Kenapa kau membawa dua
mangkuk?” tanya Linghu Chong heran.
“Aku akan menemanimu makan.
Coba lihat, apa ini?” kata Yue Lingshan sambil tertawa, dan kemudian
mengeluarkan botol kecil berisi arak.
Linghu Chong memang sangat
gemar minum arak. Maka begitu melihat botol kecil tersebut, ia langsung tertawa
gembira. Serentak ia bangkit berdiri dan memberi hormat, “Terima kasih, Adik
Kecil. Aku sungguh khawatir jangan-jangan selama setahun ini tidak bisa bertemu
arak lagi. Tapi kau telah datang menyelamatkan hidupku.”
Yue Lingshan tertawa, kemudian
membuka botol kecil tersebut dan menyerahkannya kepada Linghu Chong. “Tapi kau
tidak boleh minum terlalu banyak. Setiap hari aku hanya bisa menyelundupkan
sebotol kecil saja, biar tidak ketahuan Ibu.”
Peraturan dalam Perguruan
Huashan melarang keras setiap murid yang sedang menjalani hukuman di Tebing
Perenungan untuk menikmati daging ataupun arak. Itulah sebabnya bekal yang
dibawa Yue Lingshan hanya berupa nasi dan sayuran, serta sepotong tahu. Namun
karena ditemani sang adik kecil, Linghu Chong merasa makanan tersebut sangat
nikmat dan ia menghabiskannya dengan lahap.
Keduanya lantas mengobrol
panjang lebar berbagai macam cerita. Ketika hari mulai gelap, barulah Yue
Lingshan pamit kembali ke rumah meninggalkan Tebing Perenungan.
Sejak saat itu setiap sore
hari Yue Lingshan selalu datang mengantar makanan untuk Linghu Chong. Ketika
matahari terbenam barulah gadis itu pulang. Oleh karena itu, meskipun tinggal
seorang diri di puncak gunung yang tandus tersebut, Linghu Chong tidak pernah
merasa kesepian.
Setiap pagi setelah bangun
tidur, Linghu Chong duduk bermeditasi dan berlatih tenaga dalam. Kemudian ia
mengulangi kembali ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari sang guru. Selain
itu, ia juga merenungkan ilmu golok kilat andalan Tian Boguang dan
membandingkannya dengan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding ciptaan
ibu-gurunya.
Ilmu pedang tersebut meskipun
hanya terdiri atas satu jurus saja, namun merupakan intisari tenaga dalam dan
ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni. Linghu Chong sendiri merasa
dirinya masih sangat jauh di bawah kemahiran sang ibu-guru. Maka, kalau
memaksakan diri untuk melatihnya, bisa-bisa membuat celaka diri sendiri. Oleh
karena itu, setiap hari ia pun semakin giat berlatih dasar-dasarnya terlebih
dahulu untuk bisa mencapai tingkatan tersebut.
Dengan demikian, meskipun
menjalani hukuman kurung menghadap dinding gua, namun pada kenyataannya ia
lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih pedang, serta mengobrol dengan
Yue Lingshan pada sore harinya. Menjalani perenungan yang sesungguhnya ternyata
hampir tidak pernah ia lakukan.
Tanpa terasa dua bulan sudah
berlalu. Hawa di puncak Gunung Huashan itu semakin hari semakin dingin karena
musim telah berganti. Ning Zhongze selama beberapa hari menjahit selembar
mantel hangat dan menyerahkannya kepada Lu Dayou untuk disampaikan kepada
Linghu Chong. Tentu saja pada akhirnya Yue Lingshan yang menyerahkan secara
langsung kepada kakak pertamanya tersebut.
Pagi itu ketika bangun dari
tidurnya, Linghu Chong disambut oleh tiupan angin yang sangat kencang. Bahkan,
pada siang harinya salju pun mulai turun dari angkasa. Melihat hujan salju
tersebut Linghu Chong berpikir jalanan pegunungan tentu sangat licin dan sukar
dilalui. Ia ingin sekali melarang Yue Lingshan supaya hari itu tidak datang
mengantar makanan karena sangat berbahaya. Namun tentu saja ia tidak bisa
melakukannya mengingat saat itu dirinya sedang berada di puncak gunung yang
terpencil.
Melihat hujan salju yang tidak
kunjung reda, perasaan Linghu Chong semakin gelisah. Sejenak kemudian ia
berpikir, “Sudah dua bulan setiap hari Adik Kecil datang ke sini mengantar
makanan untukku. Mustahil Guru dan Ibu Guru tidak mengetahuinya. Aku yakin
mereka hanya berpura-pura tidak mengetahui hal itu. Tapi kalau hari ini
keadaannya berbeda. Aku takut Adik Kecil terpeleset di jalan dan jatuh ke
jurang yang berbahaya. Oh, semoga Guru atau Ibu Guru kali ini mencegah ia
datang ke sini.”
Dengan perasaan cemas Linghu
Chong menunggu sampai senja tiba. Pandangan matanya selalu tertuju ke bawah
puncak gunung yang curam itu. Ketika matahari sudah terbenam barulah ia merasa
lega. “Syukurlah hari ini Adik Kecil tidak datang. Besok pagi mungkin Adik
Keenam yang datang kemari mengantarkan makanan pengganti. Biarlah malam ini aku
menahan lapar asalkan Adik Kecil tidak mengalami suatu apa pun.”
Di luar dugaan, baru saja
hendak masuk ke dalam gua, tiba-tiba Linghu Chong terdengar suara Yue Lingshan
memanggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!”
Dengan perasaan terkejut
bercampur gembira, Linghu Chong segera kembali ke tempat semula. Ia melihat ke
bawah menyaksikan Yue Lingshan berjalan tertatih-tatih melewati hamparan salju
yang menutupi bebatuan gunung. Pemuda itu merasa prihatin melihat adik kecilnya
berjalan dengan langkah sulit, terpeleset ke kanan dan ke kiri karena jalanan
yang sangat licin.
Karena terikat oleh perintah
sang guru, mau tidak mau Linghu Chong harus menahan diri untuk tidak melangkah
turun menghampiri Yue Lingshan, hanya mengulurkan tangan menyambut adik
seperguruannya itu. Baru setelah Yue Lingshan menyambut tangannya, Linghu Chong
segera menarik gadis itu ke atas.
Seluruh tubuh Yue Lingshan
tampak penuh dengan salju. Dahi sebelah kirinya juga terlihat memar dan sedikit
lecet. “Hah, apakah kau… kau….” ucap Linghu Chong dengan nada khawatir.
Yue Lingshan menjawab dengan
wajah hampir menangis, “Aku tadi jatuh terpeleset sehingga nasi yang kubawa
jatuh ke jurang. Malam ini… malam ini kau terpaksa harus kelaparan.”
Linghu Chong terharu
mendengarnya. Ia pun menggunakan lengan bajunya untuk mengusap luka di dahi Yue
Lingshan. “Adik Kecil, jalanan begitu licin. Seharusnya kau jangan datang
kemari.”
“Aku khawatir kau kelaparan,“
sahut Yue Lingshan. “Lagipula... lagipula aku ingin bertemu denganmu.“
Linghu Chong menyahut, “Tapi,
kalau hanya karena itu kau terjatuh ke dalam jurang, lantas bagaimana aku harus
bertanggung jawab kepada Guru dan Ibu Guru?”
“Aih, kenapa kau begitu cemas?
Bukankah aku baik-baik saja?” ujar Yue Lingshan sambil tersenyum. “Hanya saja,
aku memang bodoh. Sudah hampir sampai di atas, kakiku terpeleset sehingga nasi
untukmu jatuh ke dalam jurang.”
Linghu Chong menjawab,
“Asalkan kau selamat, meskipun sepuluh hari aku tidak makan, rasanya tidak
menjadi soal.”
“Jalanan menuju kemari licin
sekali. Aku menghimpun segenap tenaga dalamku untuk melompat melewati tebing
terjal. Tapi ketika melewati Tebing Cemara Lima, aku kurang hati-hati dan
hampir saja jatuh ke dalam jurang,” ujar Yue Lingshan menambahkan.
Linghu Chong menjawab, “Adik
Kecil, kau harus berjanji untuk selanjutnya jangan sekali-kali menempuh bahaya
sebesar ini demi aku. Jika kau sampai jatuh ke dalam jurang, tentu aku akan
ikut terjun pula.”
Sepasang mata Yue Lingshan
berkilauan memancarkan perasaan bahagia tiada terkira. Ia pun berkata, “Kakak
Pertama, rasanya kau tidak perlu berbuat demikian. Jika aku terjatuh karena
kurang berhati-hati, mengapa kau merasa tidak enak hati dan ingin ikut terjun
pula?”
“Bukan begitu masalahnya,”
sahut Linghu Chong. “Jika Adik Keenam yang mengantar nasi dan dia jatuh ke
jurang, maka aku tidak perlu mengiringi kematiannya. Paling-paling aku hanya
menyampaikan berita duka kepada keluarganya, itu saja.”
Yue Lingshan mendekat dan
bertanya, “Jadi, kalau aku yang mati, kau tidak mau hidup sendirian, begitu?”
“Benar sekali,” sahut Linghu
Chong. “Adik, meskipun kau mengantarkan nasi untuk orang lain dan meninggal karena
kecelakaan, aku tetap tidak mau hidup lagi.”
Yue Lingshan tampak terharu.
Ia pun memegang kedua tangan Linghu Chong dan berkata lirih, “Kakak Pertama.”
Sungguh, Linghu Chong ingin
sekali memeluk tubuh gadis itu namun tidak memiliki keberanian untuk
melakukannya. Kedua pasang mata mereka hanya saling pandang tanpa bergerak
sedikit pun. Hujan salju masih turun menutup tubuh mereka sehingga keduanya
bagaikan sepasang boneka salju.
Selang agak lama Linghu Chong
akhirnya membuka suara, “Malam ini kau tidak boleh turun ke bawah seorang diri.
Apakah Guru dan Ibu Guru mengetahui kepergianmu? Sebaiknya kita tunggu Beliau
berdua mengirim orang untuk menjemputmu.”
Yue Lingshan menjawab, “Tadi
pagi Ayah tiba-tiba menerima surat undangan dari Ketua Zuo di Songshan. Katanya
ada masalah penting yang harus dirundingkan. Maka, Ayah pun berangkat bersama
Ibu meninggalkan Huashan.”
“Jadi, tidak ada orang lain
yang tahu kau naik ke sini?” Linghu Chong bertanya.
“Tidak ada,” sahut Yue
Lingshan. “Kakak Kedua, Kakak Ketiga, Kakak Keempat, dan Monyet Keenam ikut
menemani Ayah dan Ibu. Oh, aku ingat, hanya si bocah Lin Pingzhi yang melihat
aku berangkat kemari. Tapi dia sudah kuperingatkan supaya jangan banyak bicara.
Kalau tidak, besok pagi akan kutampar wajahnya.”
“Wah, galak sekali dirimu
sebagai kakak seperguruan!” ujar Linghu Chong tertawa.
“Sudah tentu!” sahut Yue
Lingshan ikut tertawa. “Mumpung ada yang memanggil aku sebagai kakak, kalau
tidak galak sedikit tentu aku yang rugi. Tidak seperti dirimu yang dipanggil kakak
oleh semua orang.”
“Kalau begitu, malam ini jelas
kau tidak bisa pulang dan terpaksa harus menginap di sini. Besok pagi baru bisa
turun ke bawah,” ujar Linghu Chong sambil menggandeng tangan gadis cantik itu
masuk ke dalam gua.
Gua tersebut sangat sempit,
hanya cukup untuk meringkuk dua orang saja tanpa banyak tersisa tempat lagi.
Keduanya pun mengobrol sampai larut malam. Sampai akhirnya Yue Lingshan merasa
kedua matanya sudah berat dan ia pun jatuh tertidur.
Khawatir gadis itu masuk
angin, Linghu Chong pun menanggalkan mantel hangatnya untuk kemudian
diselimutkan ke tubuh Yue Lingshan. Dari pantulan cahaya salju yang putih
kemilau, samar-samar Linghu Chong bisa memandang wajah cantik gadis itu yang
sedang tertidur pulas. “Perhatian Adik Kecil kepadaku semakin dalam. Meskipun
tubuhku hancur lebur demi untuknya, aku rela.”
Dalam keheningan malam Linghu
Chong merenungi nasib hidupnya. “Aku kehilangan kedua orang tuaku sejak kecil.
Beruntung aku bertemu Guru dan Ibu Guru yang mengasuh dan memperlakukan diriku
bagaikan anak sendiri. Aku pun menjadi murid kepala di Perguruan Huashan. Bukan
hanya karena aku masuk perguruan lebih dahulu, juga karena ilmu silatku paling
tinggi dibanding dengan yang lain. Suatu hari nanti Guru pasti akan mewariskan
perguruan kepadaku. Bahkan, Adik Kecil juga sedemikian baiknya kepadaku, tentu
aku akan semakin berhutang budi kepada Guru sekeluarga. Sampai mati pun aku
tidak akan bisa membalas kebaikan Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil. Namun
sebaliknya, aku justru sering membuat Guru dan Ibu Guru marah. Aku harus
berubah menjadi lebih baik dan mengubah semua kebiasaan burukku. Jika tidak,
tentu aku akan mengecewakan Guru dan Ibu Guru, juga Adik Kecil.”
Tiba-tiba terdengar suara Yue
Lingshan berseru, “Bocah bermarga Lin, kau tidak menuruti perintahku, ya? Sini,
biar kuhajar kau!”
Linghu Chong terperanjat.
Dilihatnya sepasang mata gadis itu masih tertutup rapat. Napasnya juga masih
teratur. Dalam hati ia merasa geli, “Ternyata Adik Kecil hanya mengigau. Baru
kali ini ia mendapat adik seperguruan sehingga bersikap agak berlebihan. Pasti
Adik Lin sudah kenyang disuruhnya kesana-kemari, sampai-sampai terbawa ke dalam
mimpi.”
Semalam suntuk Linghu Chong
berjaga di sisi Yue Lingshan. Sedikit pun ia tidak tidur sama sekali.
Yue Lingshan sendiri sangat
letih sehingga tidur semalaman, sampai hari mulai terang barulah ia bangun
kembali. Begitu melihat Linghu Chong sedang memandangi dirinya sambil
tersenyum, ia pun balas tersenyum sambil menguap, “Kakak Pertama, kau sudah
bangun sejak pagi tadi?”
Linghu Chong tidak mengatakan
kalau dirinya berjaga semalaman. Ia hanya menjawab dengan tertawa, “Semalam kau
mimpi apa? Apa kau bermimpi menghajar Adik Lin?”
Yue Lingshan terdiam sejenak
mengingat-ingat mimpinya semalam. Ia kemudian tertawa dan berkata, “Wah, kau
pasti mendengar aku mengigau, ya? Si bocah Lin Pingzhi itu memang keras kepala.
Ia tidak mau menuruti kata-kataku. Aku kesal sekali, sampai-sampai memaki dia
di dalam mimpi.”
Linghu Chong bertanya,
“Memangnya dia melakukan kesalahan apa?”
“Dalam mimpi aku menyuruhnya
berlatih pedang di tengah air terjun mengiringi diriku. Tapi dia selalu saja
menolak dengan berbagai alasan. Aku lantas membujuknya mendekati air terjun,
dan kemudian kudorong tubuhnya hingga tercebur ke bawah,” jawab Yue Lingshan.
“Wah, mana boleh begitu?” ujar
Linghu Chong. “Kalau terjadi apa-apa dia bisa celaka.”
“Ah, hanya mimpi saja, kenapa
harus khawatir?” sahut Yue Lingshan. “Memangnya kau kira aku benar-benar begitu
kejam dan membunuh orang?”
Linghu Chong berkata, “Apa
yang terpikir pada siang hari, bisa terjadi di dalam mimpi. Tentu pada waktu
siang kau berpikir ingin membunuh Adik Lin, sehingga terbawa ke dalam mimpi
pada malam harinya.”
Yue Lingshan mendengus dan
menjawab, “Bocah bermarga Lin itu sangat tidak berguna. Sudah tiga bulan
berlatih jurus-jurus dasar perguruan kita, tapi satu jurus pun belum bisa
dikuasainya. Tapi sebenarnya ia sangat giat dalam berlatih. Siang berlatih,
malam juga berlatih. Sampai-sampai orang-orang kesal melihatnya. Huh, jika aku
ingin membunuhnya maka aku tidak perlu repot-repot harus memikirkannya. Sekali
cabut pedang aku bisa membereskannya.” Sambil berkata demikian, tangan gadis
itu lantas bergerak memperagakan sebuah jurus tusukan.
“Jurus Awan Menutup Bukit,”
ucap Linghu Chong menebak. “Sekali tebas kepala Adik Lin bisa melayang,
hahaha.”
“Benar. Jika aku gunakan jurus
itu, kepala si bocah Lin bisa terlempar,” jawab Yue Lingshan ikut tertawa.
Linghu Chong berkata sambil
menggoda, “Sebagai seorang kakak, seharusnya kau memberikan petunjuk kepada
adik seperguruan yang sedang kesulitan berlatih pedang, bukannya sembarangan
main bunuh. Andai saja Guru memiliki seratus murid baru, tentu dalam waktu
singkat sembilan puluh sembilan orang akan mati di tanganmu. Bukannya sifat
seperti ini sangat berbahaya?”
Yue Lingshan tertawa cekikikan
sambil bersandar di dinding gua. Ia berkata, “Benar juga, aku hanya boleh
membunuh sembilan puluh sembilan orang saja. Paling sedikit harus tersisa satu
orang yang kubiarkan hidup. Jika tidak, siapa lagi yang akan memanggil ‘kakak’
kepadaku?”
“Tapi kalau kau sudah membunuh
sembilan puluh sembilan orang adik seperguruanmu, tentu sisanya yang satu orang
itu akan melarikan diri karena takut,” sahut Linghu Chong menanggapi.
“Kalau begitu, maka... maka
kau saja yang kupaksa memanggil ‘kakak’ kepadaku,” jawab Yue Lingshan.
“Bagiku tidak masalah
memanggil ‘kakak’. Tapi kalau kau juga membunuhku, bagaimana?” tanya Linghu
Chong menggoda.
“Asalkan kau menuruti semua
perkataanku, sudah pasti tidak akan kubunuh. Tapi jika membantah, tentu kau
akan segera mati di tanganku,” ujar Yue Lingshan
Menanggapi gurauan itu Linghu
Chong segera memberi hormat sambil bergelak tawa, “Ampuni aku, Adik Kecil!
Ampuni aku!”
Saat itu hujan salju telah
reda. Linghu Chong khawatir jangan-jangan saudara-saudara yang lain mengetahui
hilangnya Yue Lingshan sehingga akan muncul omongan-omongan yang kurang sedap
di antara mereka. Tentu ini akan mencemarkan nama baik sang adik kecil. Maka,
ia pun berusaha membujuk gadis itu supaya segera pulang meninggalkan puncak.
Akan tetapi, Yue Lingshan
menjawab, “Biarlah aku bermain di sini saja. Ayah dan Ibu kebetulan tidak
berada di rumah. Aku benar-benar merasa sangat kesepian.”
“Adik yang baik,” ujar Linghu
Chong lembut. “Selama beberapa hari ini aku telah menciptakan beberapa Jurus
Pedang Chongling yang baru. Kelak kalau aku sudah pulang, akan kuajak dirimu
untuk berlatih bersama lagi di air terjun itu.”
Dengan berbagai cara Linghu
Chong berusaha membujuk Yue Lingshan supaya mau meninggalkan Puncak Gadis
Kumala tersebut. Akhirnya, lama-lama putri sang guru itu luluh juga. Dengan
berat hati Yue Lingshan melangkah turun kembali ke rumah.
Pada sore harinya yang datang
mengantarkan makanan ternyata Gao Genming. Ia memberi tahu kalau Yue Lingshan
jatuh sakit karena masuk angin. Meskipun berbaring lemah di ranjang, namun
gadis itu selalu terkenang kepada sang kakak pertama. Maka sebelum Gao Genming
berangkat, ia tidak lupa berpesan supaya membawakan sebotol arak untuk Linghu
Chong.
Mendengar berita ini Linghu
Chong sangat prihatin. Andai saja tidak terikat peraturan tentu ia sudah
berlari turun menjenguk Yue Lingshan. Maka yang bisa ia lakukan saat ini
hanyalah berharap semoga keadaan Yue Lingshan berangsur membaik. Meskipun sudah
sehari semalam menahan lapar, namun begitu mendengar Yue Lingshan jatuh sakit,
seketika nafsu makan Linghu Chong sirna. Semangkuk nasi yang dibawakan adik
kelimanya itu sama sekali sulit untuk ditelan.
Menyadari kakak pertama dan
adik kecilnya saling mencintai, Gao Genming pun berusaha menghibur, “Kakak
Pertama tidak perlu khawatir. Kita ini orang persilatan yang telah berlatih
tenaga dalam. Penyakit yang menimpa Adik Kecil hanyalah penyakit ringan.
Asalkan beristirahat dan minum ramuan obat selama dua atau tiga hari, tentu dia
akan sembuh kembali.”
Ucapan Gao Genming ternyata
berbalik dari kenyataan. Sakit Yue Lingshan justru bertambah parah dan ia hanya
bisa terbaring lemah di tempat tidur selama belasan hari. Sampai akhirnya
setelah Yue Buqun dan Ning Zhongze pulang dari Gunung Songshan, barulah gadis
itu bisa sembuh berkat bantuan tenaga dalam sang ayah yang teramat tinggi.
Beberapa hari kemudian, Yue
Lingshan kembali mendaki Puncak Gadis Kumala untuk mengantar makanan kepada
Linghu Chong. Sejak hujan salju waktu itu, pertemuan keduanya telah berselang
lebih dari dua puluh hari. Maka begitu bertemu, keduanya sama-sama merasa
senang dan bahagia.
Setelah sama-sama tertegun dan
saling memandang, Yue Lingshan akhirnya membuka pembicaraan, “Kakak Pertama,
apakah kau sakit? Mengapa tubuhmu begitu kurus?”
“Tidak, aku tidak sakit,”
jawab Linghu Chong sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya... aku hanya....”
Yue Lingshan langsung paham
duduk perkaranya. Ia berkata lirih, “Kakak Pertama... kau pasti sangat
memikirkan diriku sehingga jadi kurus seperti ini....” Tidak kuasa lagi menahan
perasaan, air mata haru pun berlinang di pipi gadis itu. “Kakak Pertama tidak
perlu cemas, sekarang aku sudah sembuh,” lanjutnya.
Sambil menggenggam tangan si
gadis, Linghu Chong menjawab lirih, “Selama ini siang dan malam aku selalu
memandang ke bawah. Setiap hari yang kuharapkan hanya bisa memandangmu lagi.
Berkat kemurahan Langit, akhirnya kau datang juga.”
“Tapi,” sahut Yue Lingshan.
“Bukannya aku sering melihat dirimu?”
“Melihat aku? Aneh sekali. Di
mana kau melihatku?” tanya Linghu Chong dengan heran.
Yue Lingshan menjawab, “Waktu
aku sakit, jika kututup mataku, maka aku segera bertemu denganmu. Suatu hari
badanku panas luar biasa. Ibu berkata waktu itu aku sampai mengigau
menyebut-nyebut dirimu. Kakak, rupanya Ibu mengetahui keberadaanku bersamamu
malam itu?”
Wajah Linghu Chong menjadi
merah. Ia pun bertanya dengan nada khawatir, “Apakah... apakah Ibu Guru marah?”
“Ibu tidak marah, hanya
saja... hanya saja....” gadis itu tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya
tempak bersemu merah menahan malu.
“Hanya saja apa?” sahut Linghu
Chong.
“Ah, aku tidak mau
menerangkannya,” jawab Yue Lingshan
Melihat wajah Yue Lingshan
yang serba salah, jantung Linghu Chong terasa berdebar. Pemuda itu segera
mengalihkan pembicaraan, “Adik Kecil, kau ini baru saja sembuh. Seharusnya
jangan naik ke sini pagi-pagi begini. Mengenai keadaanmu yang berangsur-angsur
sembuh, Adik Kelima atau Adik Keenam sudah menceritakannya kepadaku.”
“Kalau begitu, kenapa kau masih
kurus begini?” ujar Yue Lingshan.
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Setelah kau benar-benar sembuh, barulah aku bisa gemuk kembali.”
“Katakan yang sebenarnya,
berapa banyak yang kau makan dari setiap bekal yang datang kepadamu?” sahut Yue
Lingshan mendesak. “Monyet Keenam selalu bercerita setiap makanan yang
dibawakannya untukmu tidak pernah kau sentuh. Kau hanya meneguk arak saja. Dia
sudah berusaha membujukmu, tapi kau tidak pernah menuruti perkataannya.
Kenapa... kenapa kau tidak menjaga dirimu dengan baik?” Berkata demikian
matanya kembali berkaca-kaca.
“Omong kosong! Jangan
dengarkan dia! Monyet Keenam terlalu berlebihan. Memangnya aku sanggup menahan
lapar tanpa makan selama belasan hari?” sahut Linghu Chong membela diri.
Tiba-tiba angin berhembus
kencang sampai-sampai Yue Lingshan menggigil kedinginan. Puncak Gadis Kumala
memang tempat yang sangat dingin. Di sana tidak terdapat tumbuh-tumbuhan yang
bisa menahan hembusan angin. Apalagi saat itu memang sedang permulaan musim
dingin.
Segera Linghu Chong berkata,
“Adik Kecil, badanmu belum kuat. Sebaiknya kau lekas pulang saja. Lain kali
jika hari sudah cerah dan matahari bersinar gemilang barulah kau boleh datang
lagi menjenguk aku.”
“Tidak, aku tidak kedinginan,”
kata Yue Lingshan. “Sekarang ini sudah musim dingin. Kalau tidak turun salju,
ya angin bertiup kencang. Kalau menunggu matahari bersinar terang, sampai kapan
kita bisa bertemu lagi?”
Linghu Chong menjadi cemas.
“Tapi... kalau sampai kau jatuh sakit lagi, tentu aku... aku....”
Melihat wajah sang kakak
pertama sedemikian pucat, dalam hati Yue Lingshan berpikir, “Kalau aku sakit
lagi, tentu dia akan ikut sakit pula. Apalagi dia sendirian di sini tentu
sakitnya akan semakin parah. Tidak boleh, aku tidak boleh membuatnya menderita
seorang diri di puncak terpencil ini.”
Maka, gadis itu kemudian
berkata, “Baiklah, aku akan pulang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan banyak minum
arak. Akan kusampaikan kepada Ayah bahwa badanmu lemah dan perlu diberi makanan
yang lebih bergizi.”
“Ah, tidak perlu melanggar
peraturan,” ujar Linghu Chong. “Beberapa hari lagi aku juga akan gemuk kembali.
Adik manis, Adik sayang, kau lekas pulang saja.”
“Kau panggil... kau panggil
aku apa?” sahut Yue Lingshan dengan wajah bersemu merah. Ia memandang wajah
kakak pertamanya itu dengan tatapan penuh arti.
Linghu Chong menjadi rikuh dan
menjawab dengan nada malu, “Aku hanya... aku hanya bicara tanpa berpikir dulu.
Adik Kecil jangan marah.”
“Mengapa harus marah?” sahut
Yue Lingshan. “Aku justru senang kau panggil demikian.”
Linghu Chong merasakan
kehangatan mengisi rongga dadanya. Rasanya ingin sekali ia maju dan memeluk
tubuh Yue Lingshan. Namun kemudian terlintas dalam benaknya betapa putri
gurunya itu sungguh agung laksana dewi kahyangan yang tidak boleh diperlakukan
secara kasar. Maka, pemuda itu hanya bisa berkata, “Adik Kecil, jika nanti
turun ke bawah hendaknya kau berjalan dengan hati-hati. Jangan nakal seperti
biasanya. Kalau letih sebaiknya istirahat dulu.”
“Tidak mau,” jawab Yue
Lingshan dengan nada manja. Ia kemudian berjalan perlahan menuju jalan setapak
di tepi tebing, namun kemudian berhenti dan berdiri di ujung jalan tersebut
tanpa melangkah turun. Sepasang matanya yang indah beradu pandang dengan mata
Linghu Chong. Hingga waktu yang cukup lama mereka berdua hanya saling
berpandangan tanpa membuka suara. Sampai akhirnya si pemuda membuka suara,
“Berangkatlah, Adik Kecil. Sudah saatnya kau harus pulang.”
Yue Lingshan mengangguk. Kali
ini ia benar-benar melangkah turun meninggalkan Puncak Gadis Kumala.
Selama sehari Linghu Chong
merasa gembira dan hatinya berbunga-bunga. Sungguh suatu perasaan menggelora
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sambil duduk di atas batu tanpa terasa
ia tertawa sendiri. Kemudian ia pun berteriak panjang, yang suaranya sampai
menggema berkumandang di lembah pegunungan tersebut. Suara teriakannya seolah
mengutarakan kebahagiaan yang sedang menyelubungi hatinya.
Esok paginya salju kembali
turun. Kali ini Yue Lingshan tidak datang, dan yang mengantarkan makanan adalah
si Monyet Keenam alias Lu Dayou. Dari adik seperguruannya itu Linghu Chong
mendapat kabar tentang kesehatan Yue Lingshan yang semakin pulih. Sudah tentu
ia pun bertambah senang.
Selang dua puluh hari
kemudian, Yue Lingshan kembali datang dengan membawa sekeranjang bacang.
Setelah berpandang-pandangan cukup lama dengan Linghu Chong, gadis itu lantas
membuka suara, “Benar juga, kau sekarang terlihat lebih gemuk.”
“Kau sendiri juga sudah pulih
sepenuhnya,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum begitu melihat wajah Yue
Lingshan tampak segar dan berseri-seri. “Melihat keadaanmu sekarang, aku
sungguh merasa senang.”
“Kakak, aku sudah lama tidak
menjengukmu. Apakah kau marah padaku?” tanya Yue Lingshan.
Linghu Chong hanya tertawa
sambil menggelengkan kepala.
Yue Lingshan pun melanjutkan,
“Setiap hari aku mendesak Ibu supaya diperbolehkan mengantar nasi untukmu. Tapi
Ibu selalu melarang dengan alasan udara di puncak sangat dingin. Kalau aku ke
sini bisa-bisa jiwaku terancam. Kemudian aku menjawab, ‘Kakak Pertama siang dan
malam berada di puncak sendirian, mengapa aku tidak boleh?’ – kata Ibu, tenaga
dalam Kakak Pertama jauh lebih tinggi dariku, tentu saja lebih kuat bertahan di
sini. Kakak, Ibu telah memujimu, apakah kau senang?”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Aku sangat rindu pada Guru dan Ibu Guru. Aku berharap bisa
lekas-lekas kembali dan bertemu Beliau berdua.”
“Kemarin seharian aku membantu
Ibu membungkus bacang,” lanjut Yue Lingshan. “Dalam hati aku ingin sekali
membawakan beberapa untukmu. Ternyata hari ini aku belum sampai meminta, Ibu
sudah menyiapkan sekeranjang untukmu. Ibu berkata, ‘Berikan ini kepada
Chong’er.’ – Benar-benar mengejutkan bagiku.”
“Oh, Ibu Guru sungguh baik
kepadaku,” sahut Linghu Chong terharu.
“Ya, bacang ini masih hangat.
Silakan dicoba sekarang,” ujar Yue Lingshan sambil menjinjing keranjangnya
masuk ke dalam gua. Di sana ia membuka dua buah bacang yang dibungkus daun
bambu.
Linghu Chong langsung mencium
aroma lezat yang ditebarkan makanan tersebut. Begitu Yue Lingshan menyodorkan
sebuah di tangannya, tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung meraih dan
melahapnya. Nikmat sekali rasanya, meskipun tidak mengandung daging. Makanan
tersebut dibuat dari campuran jamur, kacang, tahu dan bahan-bahan lainnya.
“Bacang ini dibuat dari jamur
hasil petikanku bersama si Lin Kecil,” ujar Yue Lingshan.
“Lin Kecil?” sahut Linghu
Chong mempertegas.
“Ya,” jawab Yue Lingshan
sambil tertawa. “Akhir-akhir ini aku memanggil Adik Lin dengan sebutan si Lin
Kecil. Dua hari yang lalu ia memberi tahu kalau ada sekumpulan jamur tumbuh di
bawah pepohonan pinus di lereng timur. Setengah hari aku bersamanya memetik
jamur. Lumayan, kami dapat setengah keranjang.”
“Ya, memang enak sekali.
Sampai-sampai lidahku sendiri nyaris terkunyah,” ujar Linghu Chong tertawa.
“Eh, Adik Kecil. Sekarang ini apa kau sudah tidak lagi memaki-maki Adik Lin?”
“Tetap saja,” sahut Yue
Lingshan. “Asalkan dia tidak menuruti perkataanku pasti akan segera
kumaki-maki. Hanya saja, akhir-akhir ini dia menjadi lebih baik. Lebih penurut.
Aku juga mulai memuji dia. Kalau latihan pedangnya benar, tentu dia akan
kupuji. ‘Hei, Lin Kecil, latihanmu sudah cukup bagus. Tapi masih kurang. Ayo,
latihan lagi! Latihan lagi!’ - begitu kataku.”
“Oh, jadi kau yang mengajarkan
ilmu pedang kepadanya?” tanya Linghu Chong.
“Begitulah, Lin Kecil kalau
bicara menggunakan logat Fujian yang kental sehingga kurang bisa dipahami
saudara-saudara yang lain,” jawab Yue Lingshan. “Karena aku pernah menyamar dan
tinggal di dekat Fuzhou, maka Ayah menyuruhku memberikan petunjuk-petunjuk
berlatih pada Lin Kecil jika waktuku senggang. Ya, aku sendiri beberapa hari
ini tidak boleh menemuimu sehingga punya banyak waktu untuk mendampingi
latihannya. Sebenarnya dia tidak terlalu bodoh. Kemajuan ilmu silatnya lumayan
pesat.”
“Aha, ternyata Adik Kecil
merangkap sebagai seorang guru,” sahut Linghu Chong tertawa. “Pantas saja dia
tidak berani membantah perkataanmu.”
“Ah, tidak juga,” ujar Yue
Lingshan. “Kemarin sewaktu kuajak menangkap ayam hutan, dia menolak. Dengan
alasan ia sedang menyempurnakan latihan jurus Fajar Putih Menyongsong Matahari,
serta jurus Kahyangan Menggantung Runtuh ke Bawah.”
“Apa?” sahut Linghu Chong agak
terkejut. “Dia baru beberapa bulan berguru di sini tapi sudah kau ajari
jurus-jurus itu? Adik Kecil jangan keterlaluan. Ilmu pedang Huashan ada
urut-urutannya. Tidak boleh sembarangan berlatih.”
“Kakak Pertama jangan
khawatir,” jawab Yue Lingshan. “Lin Kecil memang keras kepala. Dia menghabiskan
waktunya hanya untuk berlatih. Siang berlatih, malam juga berlatih. Aku ajak
bicara sedikit saja sudah berbelok ke masalah ilmu pedang. Ya, dia memang
sangat tekun. Ilmu pedang yang seharusnya dilatih selama tiga tahun, di
tangannya bisa selesai dalam waktu setengah tahun. Kadang-kadang kalau aku
menyuruhnya menemani bermain, dia menurut tapi terlihat malas-malasan.”
Entah kenapa tiba-tiba selera
makan Linghu Chong lenyap begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Yue
Lingshan itu. Seolah-olah ada rasa cemburu menghantui pikirannya. Bacang yang
baru digigit dua kali hanya dipegang saja di tangannya.
“Kakak Pertama,” tegur Yue
Lingshan sambil menarik lengan baju pemuda itu. “Ada apa denganmu?”
Linghu Chong tersadar dari
lamunannya. Dengan cepat ia memasukkan sisa bacang di tangannya langsung ke
dalam mulut. Makanan yang tadinya lezat itu mendadak sukar ditelan.
Yue Lingshan tertawa kecil dan
berkata, “Kakak, jangan buru-buru, nanti gigimu ikut tertelan.”
Dengan tersenyum pahit Linghu
Chong menelan sisa bacang di mulutnya masuk ke dalam perut. Pikirannya pun
berkata, “Kenapa aku begitu picik? Adik Kecil memang orangnya lincah. Aku
sendiri tidak bisa meninggalkan tempat ini. Wajar saja kalau dia mengajak Adik
Lin untuk menemaninya bermain.”
Setelah hatinya kembali
tenang, Linghu Chong pun tertawa dan berkata, “Bacang buatanmu ini sungguh
lezat. Jauh lebih nikmat daripada yang lain. Sampai-sampai gigiku hampir saja
ikut tertelan.”
“Aku hanya membantu Ibu
membungkus saja,” jawab Yue Lingshan sambil tertawa pula. “Kakak Pertama yang
malang. Sudah beberapa bulan kau tinggal sendiri di tempat ini. Pantas saja
kalau dirimu begitu rakus terhadap makanan lezat.”
Keduanya melanjutkan
pembicaraan sampai senja tiba. Yue Lingshan pun mohon diri meninggalkan puncak
tersebut.
Lebih dari sepuluh hari
kemudian, Yue Lingshan kembali datang mengantarkan makanan. Kali ini ia juga
membawakan sekeranjang kecil kacang untuk dinikmati bersama sang kakak pertama.
Selain hari itu yang mengantar makanan ke Puncak Gadis Kumala adalah Lu Dayou.
Tentu saja Linghu Chong merasa
sangat rindu kepada Yue Lingshan. Berkali-kali ia memandang ke bawah berharap
Yue Lingshan yang datang membawakan makanan untuknya. Namun setiap ia bertanya
tentang keadaan adik kecilnya itu, Lu Dayou selalu menjawab dengan perasaan
canggung, seolah menyembunyikan sesuatu. Kadang ia menjawab, “Keadaan Adik
Kecil serbasulit. Sepertinya Guru melarangnya naik ke sini setiap hari agar
tidak mengganggu dirimu yang harus melakukan perenungan.”
Beberapa hari kemudian Yue
Lingshan akhirnya datang juga membawa makanan. Linghu Chong sangat gembira
melihatnya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri, jauh lebih cantik daripada
saat sebelum sakit dulu. Dalam hati Linghu Chong bertanya-tanya, “Keadaannya
begitu segar bugar, apakah Guru benar-benar melarangnya naik ke sini?”
“Kakak Pertama,” seru Yue
Lingshan menyapa. “Sudah lama aku tidak mengunjungimu. Apakah kau marah
kepadaku?”
“Mana mungkin aku marah
kepadamu?” sahut Linghu Chong. “Tentu Guru atau Ibu Guru yang melarangmu
sering-sering naik ke sini.”
“Benar, Ibu baru saja mengajarkan
jurus pedang baru kepadaku,” jawab Yue Lingshan. “Jurus pedang ini begitu sulit
dan memiliki banyak variasi perubahan. Jika aku naik ke sini bisa-bisa
perhatianku terpecah, demikian katanya.”
“Jurus pedang apa?” Linghu
Chong bertanya.
“Tebak saja sendiri,” sahut
Yue Lingshan menantang.
“Jurus pedang Yang Wu?” tanya
Linghu Chong.
“Bukan,” jawab Yue Lingshan.
“Jurus pedang Xi Wu?”
“Juga bukan.”
“Kalau begitu mungkin Jurus
Pedang Bidadari?”
“Itu ilmu pedang andalan Ibu.
Aku belum mampu mempelajari Jurus Pedang Bidadari,” jawab Yue Lingshan sambil
menjulurkan lidah. “Baiklah, aku katakan kepadamu, bahwa yang kupelajari adalah
Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala.”
“Apa?” sahut Linghu Chong
tidak percaya. “Kau sudah diizinkan mempelajari Sembilan Belas Jurus Pedang
Gadis Kumala? Bukankah itu ilmu pedang yang sangat rumit?”
Meskipun ilmu Pedang Gadis
Kumala hanya terdiri atas sembilan belas jurus, namun setiap jurusnya sangat
rumit dan memiliki banyak variasi perubahan. Bila seseorang yang mempelajarinya
tidak memiliki ingatan yang bagus, tentu akan kesulitan belajar satu jurus
sekalipun. Linghu Chong pernah mendengar gurunya berkata, “Perhatian utama
Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala adalah variasi gerakan dan perubahan
yang indah dan gemulai. Jurus ini benar-benar berbeda dengan asas perguruan
kita, yaitu tenaga dalam mengendalikan pedang. Meskipun murid wanita memiliki
tenaga di bawah kaum laki-laki, namun mereka dapat menggunakan jurus yang indah
dan rumit ini untuk menghadapi musuh dalam pertempuran. Sedangkan murid
laki-laki perguruan kita tidak perlu mempelajarinya.” Itulah sebabnya sampai
saat ini Linghu Chong tidak pernah mempelajari ilmu pedang ini meskipun ia
murid utama di Perguruan Huashan. Namun melihat tingkatan ilmu silat Yue
Lingshan saat ini, Linghu Chong merasa belum saatnya sang adik kecil
mempelajari jurus susah ini.
Dua tahun yang lalu Linghu
Chong, Yue Lingshan, dan para murid Huashan lainnya pernah melihat guru dan
ibu-guru mereka berlatih bersama. Yue Buqun menggunakan bermacam-macam jurus,
sedangkan istrinya hanya menggunakan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala
tersebut. Namun demikian, semua serangan sang suami dapat dipatahkan oleh Ning
Zhongze. Ilmu Pedang Gadis Kumala benar-benar mampu mengatasi semua jenis
serangan Yue Buqun sehingga membuat para murid yang menonton tercengang penuh
kekaguman.
Melihat itu Yue Lingshan
merengek minta diajari. Namun Ning Zhongze menjawab, “Usiamu masih terlalu muda
untuk mempelajari ilmu pedang ini. Pertama, tingkat kepandaianmu masih kurang;
kedua, wawasanmu juga belum seberapa. Sebaiknya kau tunggu sampai usiamu lewat
dua puluh tahun baru mempelajarinya. Ilmu Pedang Gadis Kumala diciptakan untuk
mematahkan ilmu pedang perguruan lain. Jika berlatih melawan saudara dan
saudari seperguruan saja, aku khawatir yang bisa kau patahkan nanti hanya ilmu
pedang Perguruan Huashan saja. Berbeda dengan kakak pertamamu yang berwawasan
luas. Dia mengetahui bermacam-macam ilmu pedang dari berbagai perguruan,
sehingga kelak bisa menjadi rekanmu dalam berlatih ilmu pedang ini.” Demikian
kiranya percakapan ibu dan anak tersebut dan siapa sangka saat ini Ning Zhongze
sudah berubah pikiran untuk menurunkan Ilmu Pedang Gadis Kumala kepada Yue
Lingshan.
“Syukurlah kalau Guru yang
langsung melatihmu setiap hari,” ujar Linghu Chong. Ia berkata demikian karena
untuk melatih Sembilan Belas Ilmu Pedang Gadis Kumala diperlukan lawan yang
mampu meniru berbagai ilmu pedang perguruan lain. Di dalam Perguruan Huashan
hanya Yue Buqun dan dirinya yang memiliki wawasan luas dan memenuhi syarat
untuk itu. Sehingga Linghu Chong berani menebak kalau lawan berlatih Yue
Lingshan adalah ayahnya sendiri.
Namun Yue Lingshan menjawab,
“Mana mungkin Ayah punya waktu luang untuk melatihku? Yang ada juga si Lin Kecil
yang selalu menemani aku berlatih.”
“Apa? Adik Lin?” sahut Linghu
Chong heran. “Apakah dia memiliki wawasan luas tentang macam-macam ilmu pedang
golongan lain?”
“Tidak juga,” jawab Yue
Lingshan. “Dia hanya tahu ilmu Pedang Penakluk Iblis yang pernah diajarkan
orang tuanya. Namun Ayah berkata meskipun ilmu pedang tersebut cukup sederhana
tapi memiliki banyak gerakan menarik sehingga memenuhi syarat untuk menjadi
lawan berlatihku. Jadi, untuk melatih permulaan ilmu Pedang Gadis Kumala, aku
bisa menggunakan ilmu Pedang Penakluk Iblis sebagai tandingan.”
“Oh, ternyata demikian,” sahut
Linghu Chong lirih.
“Apa Kakak Pertama merasa
kurang senang?” tanya Yue Lingshan tiba-tiba.
“Ah, tidak! Mengapa aku kurang
senang?” sahut Linghu Chong. “Kau bisa melatih ilmu tertinggi perguruan kita,
tentu saja aku merasa senang.”
“Akan tetapi wajahmu
sepertinya menampilkan perasaan kurang senang?” desak Yue Lingshan.
Linghu Chong memaksakan diri
untuk tertawa, “Hahahaha! Mana mungkin aku tidak senang? Eh, kalau boleh tahu
sudah sampai di mana hasil latihanmu?”
Yue Lingshan tidak menjawab.
Ia menyadari kalau kakak pertamanya sengaja mengalihkan pembicaraan. Sejenak
kemudian baru ia berkata, “Aku ingat Ibu pernah menyuruhku suatu saat nanti kau
yang akan menjadi lawan berlatihku dalam mempelajari ilmu Pedang Gadis Kumala.
Tapi Ayah justru menyuruhku belajar bersama Lin Kecil, tentu ini yang membuatmu
tidak suka. Benar, bukan? Tapi kau sendiri sedang menjalani hukuman dan tidak
mungkin meninggalkan tebing ini. Padahal, aku sudah tidak sabar ingin
mempelajarinya sehingga tidak mungkin menunggumu selesai menjalani masa
hukuman.”
“Kau ini bicara apa?” sahut
Linghu Chong sambil tertawa. “Aku dan Adik Lin satu perguruan. Kita semua satu
perguruan. Dengan siapa kau berlatih tidak menjadi soal, bukan?” Setelah
terdiam sejenak ia lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti lebih suka berlatih dengan
Adik Lin daripada denganku.”
Wajah Yue Lingshan langsung
bersemu merah. Ia berkata, “Enak saja! Kepandaian Lin Kecil masih jauh di
bawahmu. Apa untungnya kalau aku terus-menerus berlatih dengannya?”
Mendengar ucapan Yue Lingshan
yang terakhir ini perasaan Linghu Chong menjadi lega. Kali ini ia benar-benar
tersenyum dan kembali berkata, “Tentu saja ada keuntungannya bagimu. Bukankah
kau akan merasa hebat apabila bisa mengalahkannya dalam satu serangan saja?”
“Huh, dengan ilmu Pedang
Penakluk Iblis yang konyol itu apa hebatnya jika bisa aku kalahkan?” ujar Yue
Lingshan tertawa pula.
Linghu Chong paham adik
kecilnya ini sangat manja dan tidak suka dikalahkan. Saat berlatih melawan Lin
Pingzhi pasti ia merasa sangat senang karena bisa mencoba ilmu pedang baru. Lin
Pingzhi yang berilmu rendah pasti mudah dikalahkan sehingga menambah kebanggaan
Yue Lingshan. Berpikir demikian membuat perasaan gelisah Linghu Chong lenyap
seketika. Ia lantas berkata, “Adik Kecil, aku ingin mencoba beberapa jurus
barumu itu. Ingin kulihat sampai sejauh mana hasilmu berlatih ilmu Pedang Gadis
Kumala.”
“Bagus sekali!” sahut Yue
Lingshan gembira. “Justru kedatanganku kali ini untuk... untuk....” Sambil
tersipu malu ia mencabut pedang di tangan.
“Untuk memamerkan hasil
latihanmu, bukan?” sahut Linghu Chong dengan cepat. “Silakan saja dimulai!”
“Kakak Pertama,” sahut Yue
Lingshan kemudian. ”Selama ini ilmu silatmu selalu berada di atasku. Tapi
dengan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala, kau tidak bisa menindas aku
lagi.”
“Memangnya kapan aku pernah
menindasmu? Kau salah menuduh terhadap orang baik-baik macam aku,” balas Linghu
Chong.
“Hei, kenapa belum juga
mencabut pedangmu?” tanya Yue Lingshan sambil memasang kuda-kuda.
“Tidak usah buru-buru,” ujar
Linghu Chong sambil mengacungkan tangan kanannya ke depan. “Ini adalah ilmu
pedang Perguruan Qingcheng yang bernama jurus Daun Cemara Berguguran.” Tangan
kanannya dibentuk seolah-olah sebagai pedang dan ditusukkannya ke arah bahu Yue
Lingshan.
Dengan cepat Yue Lingshan
memiringkan tubuhnya dan mundur selangkah sambil mengayunkan pedangnya untuk
menangkis serangan tangan kakak pertamanya itu dengan berteriak, “Awas!”
“Jangan setengah-setengah!”
ujar Linghu Chong. “Kalau tanganku tidak bisa menangkis pedangmu, tentu aku
akan segera menggunakan pedang sungguhan.”
“Berani sekali kau menghadapi
ilmu Pedang Gadis Kumala dengan tangan kosong?” sahut Yue Lingshan.
“Latihanmu belum sempurna.
Kelak jika kau sudah mahir tentu aku tidak berani macam-macam,” jawab Linghu
Chong.
Dalam hati Yue Lingshan merasa
tersinggung melihat sikap Linghu Chong yang seolah-olah meremehkan
kemampuannya. Padahal selama beberapa hari ini ia berlatih dengan keras dan
merasa kemajuannya sudah begitu pesat. Andaikan harus menghadapi musuh yang
sebenarnya sekalipun ia tidak merasa takut. Alasan utamanya mengapa ia tidak
datang ke puncak selama sepuluh hari terakhir ini adalah untuk berlatih secara
diam-diam dan memberikan kejutan kepada Linghu Chong mengenai ilmu pedangnya
yang maju pesat. Dengan demikian sang kakak pertama bisa lebih mengharagainya.
Namun tak diangka Linghu Chong justru meremehkan Sembilan Belas Jurus Pedang
Gadis Kumala begitu saja, membuatnya merasa sangat kesal.
Maka, gadis itu pun berteriak,
“Kalau pedangku sampai melukaimu, jangan marah dan juga jangan mengadu kepada
Ayah dan Ibu!”
“Tentu saja,” sahut Linghu
Chong. “Kau boleh menyerangku sekuat tenaga. Kalau setengah-setengah, kepandaianmu
yang sesungguhnya jadi tidak kelihatan.” Tiba-tiba Linghu Chong mengayunkan
tangan kirinya ke depan sambil berseru, “Awas!”
Yue Lingshan terkejut, “Hei,
jadi tangan... tangan kirimu juga kau gunakan sebagai pedang?”
Apabila serangan Linghu Chong
tadi dilancarkan dengan sungguh-sungguh, tentu Yue Lingshan sudah terluka.
Sambil menahan tenaga pemuda itu berkata, “Beberapa orang dalam Perguruan
Qingcheng biasa menggunakan pedang ganda.”
“Ah, benar juga,” sahut Yue
Lingshan. “Aku sering melihat murid-murid Qingcheng membawa dua pedang di
pinggang mereka. Bagaimana aku bisa lupa?” Usai berkata demikian ia kembali
melancarkan serangan.
Linghu Chong melihat jurus
kali ini tentu jurus lanjutan dari yang sebelumnya. Ia pun tersenyum dan
berkata, “Hebat seranganmu, tapi sayangnya masih kurang cepat.”
“Kurang cepat bagaimana? Kalau
kutambah kecepatannya bisa-bisa lenganmu terpotong,” sahut Yue Lingshan kesal.
“Coba saja potong lenganku
kalau kau bisa,” ujar Linghu Chong sambil terus bergerak.
Yue Lingshan menyerang dengan
segenap kepandaiannya. Namun dari sembilan belas jurus pedang tersebut hanya
sembilan saja yang diingatnya, itu pun hanya enam saja yang benar-benar lancar.
Meskipun demikian jurus-jurus yang selalu diulang-ulangi itu sudah cukup merepotkan
Linghu Chong.
Terpaksa Linghu Chong bergerak
mengitari tubuh Yue Lingshan. Setiap kali mencoba menyerang ia selalu dipaksa
mundur oleh ayunan pedang gadis itu. Sampai-sampai ketika ia melompat mundur,
punggungnya terbentur pada batuan dinding luar gua. Tentu saja hal itu
membuatnya meringis kesakitan.
Yue Lingshan sangat senang
bisa mendesak Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Bagaimana, masih sanggup memakai
tangan kosong saja?”
“Tentu saja, tanganku masih
cukup ampuh menghadapi pedangmu,” sahut Linghu Chong memancing Yue Lingshan
supaya mengerahkan semua jurusnya.
Akan tetapi sampai sekian
lama, Yue Lingshan hanya tetap mengulang-ulang keenam jurus yang diingatnya.
Linghu Chong akhirnya menyadari apa sebabnya. Ia pun maju dan mengayunkan
tangannya. “Awas, ini jurus ketiga dari ilmu pedang Perguruan Qingcheng!”
Sesuai dugaan, Yue Lingshan
pun menangkis tangan kanan Linghu Chong untuk melindungi kepalanya. Namun ia
justru masuk perangkap. Tanpa diduga tangan kiri Linghu Chong dengan cepat
menyentil batang pedang gadis itu. Yue Lingshan merasa tangannya kaku kesemutan
dan tahu-tahu pedangnya sudah terlempar ke udara, kemudian jatuh ke dalam
jurang di tepi tebing.
Dengan wajah pucat Yue
Lingshan memandangi Linghu Chong seolah hatinya tidak percaya. Linghu Chong
merasa serba salah. Tiba-tiba pemuda itu melihat sekelebat bayangan hijau
melintas di balik bukit. Ketika ia mempertajam pandangannya, bayangan itu telah
menghilang entah ke mana.
Kembali Linghu Chong
termangu-mangu di tepi tebing. Selama bertahun-tahun ia selalu mengalah jika
mendampingi Yue Lingshan itu berlatih. Tapi entah kenapa hari itu ia berbuat
melampaui batas. Ia telah menyebabkan pedang kesayangan gadis itu hilang di
dasar jurang.
Sambil memegangi tangannya
yang kesakitan dan memandang ke arah bawah tebing, Yue Lingshan berkata,
“Pedangku... pedangku....”
Linghu Chong tertegun saat
teringat kalau pedang yang telah jatuh ke jurang tersebut adalah pusaka yang
sangat disayangi Yue Lingshan. Pedang pusaka tersebut bernama Pedang Kolam Hijau
yang tajam luar biasa bahkan mampu memotong baja. Benda ini diperoleh Yue Buqun
dari Sumber Naga di Provinsi Zhejiang tiga tahun silam. Berkali-kali Yue
Lingshan merengek meminta pedang tersebut, namun Yue Buqun tidak menurutinya.
Barulah pada saat ulang tahun yang kedelapan belas, Yue Buqun memberikan pedang
pusaka tersebut kepada Yue Lingshan.
Dan kini pedang pusaka Kolam
Hijau telah jatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Entah bagaimana caranya
untuk mendapatkan pedang itu kembali.
“Mengapa aku sebodoh ini? Aku
telah melakukan kesalahan besar,” ujar Linghu Chong dalam hati.
Sementara itu Yue Lingshan
tampak meneteskan air mata. Sambil menggigit bibir sendiri gadis itu membanting
kakinya di tanah kemudian berpaling pergi.
“Adik Kecil, Adik Kecil!” seru
Linghu Chong memanggil. Namun yang dipanggil sedikit pun tidak menghiraukan.
Pemuda itu lantas berusaha
memegang tangan Yue Lingshan, namun si gadis sudah berjalan melewati batas
tempat tersebut. Sedikit pun ia tidak menoleh ke belakang.
Linghu Chong merasa sangat
sedih. Hatinya pun berkata, “Apakah aku iri kepadanya? Tidak, tidak mungkin.
Ilmu Pedang Gadis Kumala hanya diajarkan kepada murid perempuan. Harusnya aku
malah senang melihatnya ada kemajuan. Aih, ada apa ini? Kenapa aku begitu
bodoh? Apakah karena terlalu lama dikurung si sini sifatku menjadi kasar? Aku
hanya bisa berharap esok hari Adik Kecil datang lagi kemari sehingga aku bisa
meminta maaf kepadanya.”
Hari sudah mulai gelap. Malam
itu Linghu Chong tidak bisa tidur. Ia mencoba duduk bersila di atas batu datar
di dalam gua sambil melatih pernapasan. Akan tetapi, sedikit pun ia tidak bisa
hening karena pikirannya melayang-layang memikirkan kejadian sore tadi. Pemuda
itu tidak berani melanjutkan berlatih karena takut menderita luka dalam.
Samar-samar cahaya rembulan
menerobos masuk melalui mulut gua dan mengenai tulisan “Feng Qingyang” yang
terukir di dinding batu. Untuk mengusir kejenuhan, Linghu Chong pun mencoba
menuliskan namanya pada dinding gua itu. Tiba-tiba sesosok bayangan terlihat di
dinding akibat pantulan cahaya rembulan. Linghu Chong langsung menoleh ke arah
mulut gua sambil berteriak gembira, “Adik Kecil, apakah itu kau?”
Namun dugaan Linghu Chong
keliru. Sosok yang berdiri di mulut gua ternyata seorang pria tinggi kurus dengan
wajah ditutup cadar berwarna hijau. Hanya sepasang matanya yang tampak
berkilat-kilat memandangi Linghu Chong.
Merasa adanya gelagat yang
kurang baik, Linghu Chong pun melompat keluar sambil menghunus pedang dan
berteriak, “Siapa kau?”
Laki-laki bercadar itu tidak
menjawab, melainkan mengayunkan tangan kanannya ke depan untuk menyerang Linghu
Chong. Sungguh terkejut perasaan Linghu Chong begitu menyadari gerakan tangan
pria bercadar itu merupakan gerakan jurus Pedang Gadis Kumala. Pemuda itu pun bertanya,
“Apakah Anda sesepuh perguruan kami?”
Belum selesai bicara,
tahu-tahu Linghu Chong merasakan adanya angin berhembus ke arahnya disertai
rasa sakit di bagian pundak. Rupanya tangan si pria bercadar telah mengenai
bahunya. Pemuda itu merasakan serangan tangan si pria bercadar sungguh dahsyat
padahal sepertinya tidak disertai tenaga dalam sama sekali.
Dengan menahan rasa nyeri
sekaligus takut, Linghu Chong melompat ke kiri untuk menghindari serangan si
pria bercadar. Namun pria itu ternyata tidak mengejarnya. Di bawah sinar
rembulan Linghu Chong dapat melihat pria itu memperagakan belasan jurus Pedang
Gadis Kumala. Gerakannya cepat sekali. Jurus demi jurus ia peragakan tanpa jeda
tanpa henti menjadi satu gerakan berkesinambungan.
Linghu Chong terperanjat
dengan mulut menganga karena kagum. Semua gerakan yang dimainkan pria bercadar
itu jelas-jelas adalah jurus Pedang Gadis Kumala yang tadi siang dimainkan Yue
Lingshan. Namun yang mengherankan adalah pria itu mampu memainkannya dengan
sangat cepat menjadi satu rangkaian utuh yang indah tapi mematikan.
Usai memainkan jurus-jurus
tersebut, si pria bercadar lantas melangkah pergi sambil mengibaskan lengan
bajunya dan kemudian menghilang di balik bukit.
Linghu Chong baru sadar dari
keterkejutannya dan buru-buru ia berteriak, “Tuan Sesepuh! Tuan Sesepuh!”
Didorong rasa penasaran ia pun mengejar pria bercadar itu. Namun di balik bukit
ia tidak menemukan siapa-siapa, hanya cahaya rembulan menyinari bebatuan.
“Siapa dia sebenarnya?” tanya
Linghu Chong dalam hati. “Dia begitu mahir memainkan Sembilan Belas Jurus
Pedang Gadis Kumala. Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk menghadapi
serangannya. Andai saja ia menggunakan pedang asli, mungkin lenganku sudah
putus dibuntungi olehnya. Tidak, rasanya tidak hanya lenganku saja. Kalau ia
mau, ia bisa memotong-motong tubuhku dari berbagai arah hanya dengan enam jurus
saja.” Merenung sejenak, Linghu Chong kemudian berpikir kembali, “Namun
anehnya, gerakan pedangnya sungguh kuat meskipun tidak disertai tenaga dalam.
Dengan cara seperti itu justru membuatku tidak bisa melindungi diri dari setiap
serangannya. Oh, siapa sebenarnya orang itu? Mengapa ia berada di puncak Gunung
Huashan ini?”
Berbagai macam pertanyaan
muncul di benak Linghu Chong, namun tidak satu pun yang bisa ia temukan
jawabannya. Akhirnya ia pun memutuskan, “Ah, nanti saja aku tanyakan kalau
bertemu Guru atau Ibu Guru. Pasti Beliau berdua mengenal orang itu. Kalau saja
besok Adik Kecil datang kemari untuk mengantar makanan, aku akan menitipkan
pertanyaan ini kepada Beliau Berdua.”
Hari berikutnya, Linghu Chong
tidak melihat Yue Lingshan datang. Seperti hari-hari sebelumnya, yang datang
mengantar makanan adalah Lu Dayou. Hari-hari selanjutnya pun demikian. Pikiran
Linghu Chong kusut membayangkan betapa sedih dan marah perasaan Yue Lingshan
karena kehilangan pedang kesayangannya. Ia sudah menyusun berbagai macam
kalimat untuk meminta maaf namun sang adik kecil tidak juga kunjung datang
menemuinya.
Lebih dari delapan belas hari
sejak terakhir bertemu barulah Yue Lingshan datang ke Puncak Gadis Kumala
mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Akan tetapi, ia tidak berangkat
sendiri, melainkan ditemani Lu Dayou. Tentu saja kalimat-kalimat yang
dipersiapkan Linghu Chong musnah begitu saja karena tidak dapat ia sampaikan di
depan orang ketiga.
Lu Dayou menyadari perasaan
kakak pertamanya. Maka, sesudah Linghu Chong menghabiskan makanannya, ia pun
berkata, “Kakak Pertama, Adik Kecil, sudah lama kalian tidak bertemu. Biarlah
kalian mengobrol berdua, aku akan pulang lebih dulu.”
“Tidak bisa,” sahut Yue
Lingshan sambil bangkit dari duduknya. “Monyet Keenam, kita datang bersama,
pulang juga harus bersama.”
“Adik Kecil,” sapa Linghu
Chong. “Aku memang ingin bicara denganmu.”
“Boleh saja,” jawab Yue
Lingshan. “Monyet Keenam biar berdiri di sana dan ikut mendengar nasihatmu.”
Linghu Chong berkata, “Tidak,
ini bukan nasihat, hanya soal... soal Pedang Kolam Hijau milikmu itu....”
Yue Lingshan menukas, “Masalah
itu sudah kubicarakan dengan Ibu. Kukatakan kalau pedang itu tidak sengaja
jatuh ke dalam jurang sewaktu aku berlatih ilmu Pedang Gadis Kumala. Ibu tidak
marah, malah berjanji akan memberikan pedang baru yang lebih bagus untukku.
Sudahlah, Kakak Pertama, kejadian yang sudah berlalu tidak perlu dibicarakan
lagi.” Sambil berkata demikian, gadis itu pun tersenyum simpul.
Melihat betapa ringan jawaban
si adik kecil, Linghu Chong semakin merasa tidak enak. Ia pun menyahut, “Kelak
jika aku sudah bebas dari hukuman, akan kucarikan sebilah pedang bagus
untukmu.”
“Kita ini sesama saudara
seperguruan, kenapa harus begitu segan?” sahut Yue Lingshan sambil tersenyum.
“Pedang itu jatuh karena aku kurang berhati-hati. Salahku sendiri yang tidak
bisa memegangnya dengan baik, sehingga bisa terlepas dari genggaman. Tidak
perlu aku menyalahkan orang lain. Biarlah kita menerima nasib kita
masing-masing, seperti yang sering dikatakan Lin Kecil padaku.”
Linghu Chong tersenyum getir
begitu mendengar nama Lin Kecil disebut lagi. Namun segera terpikir dalam
benaknya, “Oh, aku ini sungguh picik! Hari itu aku mencoba kepandaian Adik
Kecil memainkan beberapa jurus Pedang Gadis Kumala. Aku menggunakan ilmu pedang
Perguruan Qingcheng untuk menghadapinya. Mengapa aku harus memilih ilmu pedang
perguruan ini? Jangan-jangan semua itu timbul karena keinginanku merendahkan
ilmu Pedang Penakluk Iblis karena keluarga Adik Lin binasa di tangan Perguruan
Qingcheng.”
Linghu Chong masih termenung.
Ia kembali berpikir, “Saat kejadian di rumah pelacuran, hampir saja aku mati
terkena tapak maut Yu Canghai. Gara-gara Adik Lin berteriak mengejek, Yu
Canghai pun membatalkan serangannya sehingga nyawaku tertolong. Bisa dikatakan,
sebenarnya aku ini berhutang budi kepada Adik Lin. Tapi, mengapa sekarang
justru aku ingin merendahkan dia di hadapan Adik Kecil?”
Linghu Chong menghela napas
panjang kemudian berkata, “Adik Lin sangat cerdas, juga giat berlatih. Berkat
petunjuk dari Adik Kecil ia memperoleh kemajuan pesat hanya dalam beberapa
bulan. Sayang sekali aku harus berada di sini selama setahun. Kelak jika aku
sudah bebas dari hukuman, tentu aku akan mendampingi Adik Lin berlatih demi
membalas pertolongannya malam itu.”
Yue Lingshan terkejut
mendengarnya. Gadis itu bertanya, “Apa? Kau pernah berhutang budi kepada Adik
Lin? Kapan? Di mana kejadiannya? Mengapa aku tidak pernah mendengar hal ini?”
Linghu Chong menjawab, “Sudah
tentu ia tidak mungkin mau menceritakan kehebatan sendiri di depan orang lain.”
Yue Lingshan menyahut, “Pantas
saja Ayah suka memuji Lin Kecil memiliki jiwa kesatria dan gagah berani. Dia nekad
mengambil risiko untuk menyelamatkan kedua orang tuanya dari tangan Si Bungkuk
dari Utara. Ternyata dia pernah menyelamatkan nyawamu tanpa mau mengumbar
suara.” Gadis itu diam sejenak kemudian tertawa dan berkata, “Andai saja berita
ini tersiar sungguh sangat lucu. Seorang pendekar muda telah menyelamatkan
kehormatan putri ketua Perguruan Huashan dari gangguan putra ketua Perguruan
Qingcheng, serta menolong nyawa murid nomor satu Huashan. Sudah pasti berita
ini akan membuatnya menjadi sangat terkenal di dunia persilatan. Hahaha, tapi
siapa sangka, Pendekar Besar Lin Pingzhi ternyata memiliki ilmu silat yang
sangat buruk.”
“Soal kepandaian bisa dilatih.
Tapi jiwa kesatria adalah sifat bawaan. Di sinilah letak perbedaan antara orang
baik dan orang jahat,” ujar Linghu Chong.
“Ayah dan Ibu juga berpendapat
demikian,” kata Yue Lingshan, “Kakak Pertama, sepertinya antara dirimu dan Lin
Kecil ada persamaan sifat.”
“Sifat yang mana?” Linghu
Chong bertanya.
“Sifat angkuh. Kalian berdua
sama-sama angkuh dan mementingkan harga diri,” kata gadis itu sambil tertawa.
Lu Dayou yang dari tadi diam
mendadak ikut bicara, “Kakak Pertama adalah pemimpin murid-murid Huashan. Sudah
sepantasnya kalau dia bersikap angkuh. Tapi, si bocah bermarga Lin itu siapa?
Berdasarkan apa ia boleh main angkuh-angkuhan segala?”
Mendengar nada bicara Lu Dayou
yang sepertinya kurang suka itu, Linghu Chong bertanya, “Hei, Monyet Keenam…
Apa Adik Lin pernah berbuat salah kepadamu?”
“Dia tidak pernah bersalah
apa-apa kepadaku. Hanya saja, kami tidak suka melihat kelakuan bocah itu,”
jawab Lu Dayou dengan nada marah.
Yue Lingshan terkejut dan
berseru, “Hei, kenapa kau ini? Kenapa kau selalu memusuhi Lin Kecil? Dia itu
adik seperguruanmu. Sebagai kakak seharusnya kau mengajari, bukan memusuhi.”
“Asalkan dia berkelakuan baik,
tidak menjadi soal. Tapi kalau tidak, maka orang bermarga Lu inilah yang
pertama-tama membuat perhitungan dengannya,” ujar Lu Dayou dengan nada
mengejek.
“Memangnya dia melakukan apa?”
tanja Yue Lingshan.
“Dia... dia....” sahut Lu
Dayou namun tidak dilanjutkannya.
“Sebenarnya ada masalah apa?
Mengapa kau enggan menjelaskannya?” desak Yue Lingshan.
“Sudahlah, mudah-mudahan aku
hanya salah paham,” jawab Lu Dayou.
Tiba-tiba wajah Yue Lingshan
bersemu merah dan berhenti bertanya. Lu Dayou sendiri berkata ingin pulang, dan
gadis itu pun segera ikut bersama.
Linghu Chong berdiri di atas
tebing sambil termangu-mangu menyaksikan kepergian dua adik seperguruannya itu
sampai bayangan mereka menghilang di balik bebatuan bukit. Kemudian dari
kejauhan sayup-sayup terdengar suara merdu Yue Lingshan menyanyikan sebuah lagu
yang terdengar asing baginya.
Sejak kecil, Linghu Chong
sudah sering mendengar Yue Lingshan menyanyi. Namun kali ini lagu yang
dinyanyikan gadis itu terdengar begitu aneh. Biasanya Yue Lingshan sangat gemar
menyanyikan lagu daerah Shanxi yang bernada panjang. Namun lagu yang terdengar
sekarang bernada pendek dan sangat jelas pelafalannya seperti suara air terjun.
Linghu Chong berusaha mempertajam pendengarannya. Sayup-sayup ia dapat
menangkap lirik lagu tersebut yang antara lain berbunyi, “Adik, mari pergi ke
puncak bukit memetik teh.” Uniknya, logat bahasa yang digunakan pada lagu ini
sangat aneh dan sulit diterjemahkan. Linghu Chong pun bertanya dalam hati, “Dari
mana Adik Kecil memelajari lagu baru ini? Lagu ini sungguh menyenangkan hati.
Ah, kelak saja kalau dia datang kemari akan kutanyakan lagu ini.”
Tiba-tiba Linghu Chong merasa
dadanya bagai dihantam palu godam begitu terlintas dalam pikirannya, “Ini lagu
daerah Fujian. Pasti... pasti Adik Lin yang telah mengajarinya.”
Malam itu Linghu Chong tidak
bisa tidur. Perasaannya bergejolak luar biasa. Di telinganya seolah masih
terngiang-ngiang suara nyanyian Yue Lingshan yang lembut dan merdu, tapi
menyakitkan hati.
“Linghu Chong, dulu kau
seorang laki-laki yang berjiwa merdeka. Tapi sekarang kau tidak berdaya hanya
karena sebuah lagu. Sungguh menyedihkan! Apakah masih pantas kau menyebut
dirimu seorang laki-laki sejati?” demikian ia bertanya pada diri sendiri.
Meskipun demikian, suara lagu
Fujian yang dinyanyikan Yue Lingshan tetap saja terngiang-ngiang di telinganya.
Linghu Chong merasa hatinya bagai disayat-sayat. Didorong sakit hati yang sudah
memuncak ia pun mencabut pedang dan mengayun-ayunkan ke segala arah seperti
orang gila. Tanpa sadar Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam menyertai ayunan
pedangnya. Akhirnya pada puncak kemarahannya ia pun menusukkan pedang sekuat
tenaga ke depan persis seperti gerakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding
yang diciptakan ibu-gurunya beberapa bulan lalu. Pedang tersebut bergerak
dengan sangat cepat dan kuat, tahu-tahu sudah menancap dalam di dinding gua.
Linghu Chong sendiri terkejut
bukan main. Ia merasa heran mengapa tenaga dalamnya meningkat sedemikian pesat
sehingga bisa menusuk dinding gua sampai menancap sedalam itu – yaitu menancap
sampai ke gagang. Ia berpikir bahkan guru dan ibu-gurunya belum tentu bisa
melakukan hal ini.
Perlahan-lahan Linghu Chong
menarik keluar pedangnya itu. Baru sekarang ia sadar kalau dinding gua tersebut
ternyata sangat tipis. Hanya sekitar tujuh senti saja tebalnya. Pemuda itu bisa
merasakan kalau di balik dinding tersebut terdapat sebuah ruangan. Ruangan yang
selama ini tidak pernah ia sadari.
Linghu Chong sangat heran
dibuatnya. Ia kembali menusukkan pedang ke dinding tersebut. Namun kali ini
pedangnya patah menjadi dua karena tenaga dalam yang ia kerahkan tidak terlalu
mencukupi.
Pemuda itu kemudian keluar gua
dan memungut sebongkah batu untuk dibawanya ke dalam. Dihantamkannya batu itu
sekuat tenaga, namun hanya menimbulkan suara gema saja. Setelah beberapa kali
menghantam, barulah Linghu Chong berhasil menciptakan lubang pada dinding
tersebut. Ketika ia menghantam lagi, batu tersebut ikut terlempar masuk ke
dalam dan meninggalkan suara menggelinding ke bawah.
Penemuan ruangan lain di balik
ruangan gua yang selama ini ia tempati membuat rasa penasaran Linghu Chong
menjadi-jadi dan melupakan sakit hati yang sebelumnya ia rasakan. Pemuda itu
lantas keluar lagi dan memungut sebongkah batu yang lebih besar. Setelah
menghantam beberapa kali akhirnya ia bisa menciptakan lubang sebesar kepala.
Melalui lubang itu ia melongok ke dalam ruangan rahasia tersebut. Ternyata
benar, di dalam memang terdapat sebuah lorong lagi. Sebuah lorong yang sangat
sempit namun memanjang ke arah sana.
Linghu Chong kemudian
menyalakan obor dan memasuki lorong rahasia tersebut melalui lubang yang ia
ciptakan di dinding tadi. Sewaktu melihat ke bawah, tiba-tiba ia merasa ngeri,
karena kakinya menginjak seonggok kerangka manusia. Dalam hati ia bertanya,
“Apakah ini kuburan? Tapi mengapa kerangka ini menghadap ke bawah? Lagipula
ruangan sempit ini lebih mirip lorong rahasia daripada sebuah kuburan.”
Linghu Chong memeriksa
kerangka itu dengan teliti. Kerangka tersebut memang terbaring dalam keadaan
tengkurap dengan pakaian sudah lebur menjadi debu. Di samping kerangka itu
terdapat dua buah kapak besar yang cukup berat. Kapak tersebut jelas terbuat
dari logam pilihan, karena wujudnya masih mengkilat terkena cahaya obor.
Bahkan, ketika Linghu Chong mencoba mengayunkannya, sepotong batuan gua
langsung jatuh terpenggal.
“Luar biasa tajamnya kapak
ini,” ujar Linghu Chong dalam hati. “Sepasang kapak ini jelas pusaka ampuh.
Kerangka ini pasti seorang jago dunia persilatan. Senjata yang ia gunakan
sungguh tajam, sanggup memotong batu bagaikan pisau memotong tahu.”
Linghu Chong kemudian
memeriksa dinding lorong sempit itu yang ternyata mengandung bekas
tebasan-tebasan kapak. Barulah ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Entah
bagaimana ceritanya, kerangka ini pastilah kerangka seorang pendekar bersenjata
sepasang kapak yang terkurung di dalam gua ini. Ia terpaksa menciptakan jalan
keluar dengan mengayun-ayunkan kapaknya. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia
berhasil menciptakan sebuah lorong sempit. Namun sayang, ia akhirnya harus mati
kehabisan tenaga pada saat perjuangannya hanya tinggal beberapa senti saja.
Sungguh malang nasibnya,” demikian pikir pemuda itu.
Linghu Chong berjalan
menyusuri lorong sempit tersebut yang ternyata puluhan meter panjangnya. Dalam
hati ia memuji, “Luar biasa kehebatan pendekar yang menggali lorong sepanjang
ini. Ia juga sangat sabar dan gigih demi bisa keluar dari sini.”
Setelah berjalan cukup jauh,
akhirnya ia menemukan lagi dua sosok kerangka. Yang satu bersandar di dinding,
yang satunya lagi meringkuk di tanah. Dalam hati Linghu Chong merasa heran
mengapa ada lebih dari satu orang terkurung di tempat itu. Padahal, gua ini
adalah tempat rahasia bagi Perguruan Huashan dan tidak setiap orang boleh
datang. Jangan-jangan mereka adalah tokoh angkatan tua Perguruan Huashan yang
dihukum kurung karena melanggar peraturan. Demikian pikir Linghu Chong.
Pemuda itu terus melangkah
menyusuri lorong sempit itu sampai akhirnya ia menemukan ujung lorong tersebut
melebar menjadi sebuah gua yang teramat luas. Bahkan, andaikan gua itu diisi
manusia bisa mencapai ribuan orang.
Di dalam gua luas tersebut
kembali Linghu Chong menemukan tujuh kerangka manusia yang tersebar di beberapa
titik. Ada yang bersandar di dinding, ada pula yang duduk atau berbaring. Di
dekat kerangka-kerangka itu juga ditemukan senjata-senjata berbentuk aneh. Ada
sepasang piringan logam, ada sepasang pena besi, ada sebatang tongkat baja, ada
sebuah gada tembaga, ada pula palu godam berukuran besar, serta gada segitiga
bergerigi tajam.
Linghu Chong berkata dalam
hati, “Orang-orang yang bersenjata aneh ini tidak mungkin berasal dari
Perguruan Huashan kami.”
Tidak jauh dari tempat itu
ditemukan belasan pedang yang berserakan. Linghu Chong melangkah maju untuk
mengamati pedang-pedang tersebut. Beberapa pedang yang pertama ia lihat
berukuran lebih pendek dari biasanya, namun juga lebih lebar dan lebih berat.
“Ini adalah pedang Perguruan Taishan,” ujarnya dalam hati.
Kelompok pedang yang kedua
berukuran sangat ringan dan lentur. “Kalau yang ini adalah pedang milik
Perguruan Henshan,” ujar Linghu Chong. “Nah, kalau yang ini pedang milik
Perguruan Hengshan. Bentuknya berkelok-kelok tidak lurus.” Selain itu, ia juga
menemukan beberapa pedang milik Perguruan Songshan yang ujungnya tebal tetapi
tajam. Terakhir adalah kelompok pedang yang sangat dihafalnya, baik itu ukuran
maupun bentuknya. “Kalau yang ini jelas pedang milik Perguruan Huashan.”
“Kenapa di sini berserakan
senjata milik Serikat Pedang Lima Gunung?” demikian ia bertanya dalam hati
dengan sangat penasaran.
Linghu Chong kemudian
mengarahkan obornya untuk menerangi dinding gua. Ia manemukan sebongkah batu
raksasa mengganjal mulut gua yang berukuran lebar. Batu itu seolah sudah
menyatu dengan dinding gua. Kemudian ia juga menemukan tulisan besar yang
terukir di dinding gua, berbunyi, “Serikat Pedang Lima Gunung rendah dan tak
tahu malu. Setelah kalah bertanding, kalian mencelakai lawan secara pengecut.”
Huruf-huruf tersebut diukir pada dinding batu dengan kedalaman sekitar dua atau
tiga senti. Jelas dibuat dengan menggunakan senjata yang sangat tajam. Selain
itu masih terdapat huruf-huruf kecil yang lebih banyak, yang isinya berupa
ejekan, antara lain “Bangsat pengecut!”, “Keparat kalian!”, “Bajingan!” dan
lain sebagainya.
Tentu saja Linghu Chong merasa
kesal membaca tulisan-tulisan tersebut. Ia berkata, “Ternyata orang-orang
bersenjata aneh itu dikurung di sini oleh Serikat Pedang Lima Gunung. Karena
tidak bisa berbuat apa-apa, mereka pun mengukir dinding gua ini sebagai
kenang-kenangan. Huh, justru tulisan-tulisan ini yang membuat mereka terlihat
rendah dan pengecut. Mereka adalah musuh Serikat Pedang Lima Gunung. Sudah
pasti mereka bukan manusia baik-baik.”
Tiba-tiba Linghu Chong
menemukan tulisan di dinding yang berbunyi, “Fan Song dan Zhao He mengalahkan
ilmu pedang Perguruan Henshan di sini.” Di sebelah kanan tulisan tersebut
terdapat ukiran gambar dua orang sedang bertarung; satu memegang pedang,
satunya memegang kapak. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata di dinding
gua tersebut banyak sekali ukiran gambar orang-orang sedang bertarung seperti
itu.
Kemudian Linghu Chong
menemukan sebuah kalimat lagi di dinding gua yang berbunyi: “Zhang Chengyun dan
Zhang Chengfeng mengalahkan semua jurus pedang Perguruan Huashan di sini.”
Betapa gusar perasaan Linghu
Chong membaca tulisan tersebut. Ia memaki di dalam hati, “Kalian bajingan tak
tahu malu! Ilmu Pedang Huashan sangat rumit dan hebat. Tidak banyak di dunia
ini yang mampu menandinginya. Sungguh berani kalian tidak hanya mengatakan
‘dapat mengalahkan’ tapi bahkan ‘dapat mengalahkan semua’ ilmu Pedang Huashan!”
Pemuda itu lantas memungut
pedang milik Perguruan Taishan dan digunakannya untuk merusak tulisan “semua”
pada dinding gua tersebut. Keras sekali ia mengayunkan pedang berat itu
sampai-sampai memercikkan kembang api ketika berbenturan dengan batuan dinding.
“Oh, dinding gua ini sangat
keras. Akan tetapi, orang-orang itu bisa membuat ukiran sedalam ini. Sungguh
hebat tenaga dalam mereka,” puji Linghu Chong dalam hati.
Dilihatnya pula dengan lebih
jelas di dekat tulisan-tulisan tersebut tampak beberapa gambar manusia sedang
bertanding. Meskipun diukir dengan sangat sederhana, Linghu Chong dapat
mengenali kalau gambar orang yang membawa pedang itu sedang memainkan jurus
dasar perguruannya yang bernama Burung Feng Datang Menyembah. Sementara itu
gambar orang yang menghadapinya tampak mengacungkan toya dan bersiaga menangkis
serangan pedang tersebut. Meskipun gayanya terlihat bodoh dan lucu, namun
gambar si pembawa toya itu terlihat siap dengan berbagai macam gerak dan
perubahan.
Linghu Chong menyeringai
sambil bergumam, “Jurus Burung Feng Datang Menyembah memiliki lima serangan
rahasia, bagaimana mungkin bisa dikalahkan oleh jurus toya yang kaku dan lucu
ini?”
Namun begitu melihat
kelanjutan gambar pertandingan itu, tampak jurus toya memiliki lebih dari enam
jenis serangan yang jelas-jelas mampu mengalahkan berbagai variasi gerakan
Jurus Burung Feng Datang Menyembah.
“Jurus Burung Feng Datang
Menyembah milik perguruan kami kelihatannya seperti jurus sederhana, namun
sesungguhnya memiliki kekuatan serangan yang luar biasa. Lawan yang merasa
pintar tentu akan merasa mudah untuk menangkisnya. Meskipun demikian, jurus
pedang ini semakin ditangkis justru semakin mematikan. Akan tetapi, jurus-jurus
toya yang sederhana ini sepertinya benar-benar mampu mengalahkan Jurus Burung
Feng Datang Menyembah. Ini sungguh… ini sungguh….” demikian ujar Linghu Chong
di dalam hati dengan perasaan penuh kekaguman sekaligus takut luar biasa.
Linghu Chong termenung di
depan gambar tersebut. Pikirannya kosong dilanda kegelisahan. Tiba-tiba ia
tersadar dari lamunan karena rasa sakit di tangan kanannya. Rupanya obor yang
ia pegang telah habis dan bara api menyengat telapak tangannya.
“Tanpa obor suasana di dalam
gua ini akan berubah menjadi gelap gulita. Aku harus segera mengambil obor
baru.” Usai berpikir demikian Linghu Chong bergegas ke luar sampai mulut gua
tempat ia tinggal. Di halaman ia mengumpulkan puluhan ranting pohon dan setelah
itu kembali ia masuk ke dalam gua rahasia untuk melanjutkan pengamatan.
Di sebelah gambar tersebut
terdapat lagi gambar dua orang sedang bertarung. Linghu Chong langsung
bersemangat menyadari jurus yang digunakan gambar si pembawa pedang adalah
jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Jurus tersebut sangat sulit. Dulu ia harus
mengulanginya berkali-kali sambai sebulan lamanya untuk bisa menguasainya.
Konon, jurus tersebut pernah tiga kali digunakannya untuk menghajar tiga orang
musuh yang berbeda.
Sesampainya di dalam gua
belakang, Linghu Chong menyalakan ranting sebagai obor dan kembali memeriksa
gambar. Ia berpikir, “Apabila si pemegang toya memiliki ilmu silat sebanding
dengan si pemegang pedang dari perguruan kami, tentu si pemegang pedang akan
terluka serius. Akan tetapi jika si pemegang toya memiliki ilmu silat lebih
tinggi, tentu si pemegang pedang akan kehilangan nyawa dalam waktu singkat.
Aih, Jurus Burung Feng Datang Menyembah milik perguruan kami benar-benar…
benar-benar dapat dikalahkan oleh jurus toya sederhana ini. Sungguh
menyedihkan.”
Linghu Chong melanjutkan
pengamatan dan kini ia menemukan gambar pertandingan lagi. Kali ini gambar si
pemegang pedang memainkan Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Semangatnya langsung
bangkit mengingat jurus ini sangat rumit dan sulit dipelajari. Ia dulu
memerlukan waktu sebulan penuh untuk dapat memainkan jurus tersebut. Jurus ini
menjadi jurus kebanggaan bagi pemuda itu dalam menghadapi lawan.
Perasaan gugup bercampur takut
membayangkan bahwa jurus hebat ini akan dikalahkan oleh si pemegang toya
merasuki benak Linghu Chong. Akhirnya, rasa heran pun memenuhi hatinya begitu
melihat jurus tersebut dihadapi oleh lawan dengan mengacungkan lima batang
toya. Kelima-limanya mengarah ke bagian berbahaya di tubuh si pemegang pedang.
“Hah? Bagaimana mungkin
menggunakan lima toya sekaligus?” demikian ia bertanya dalam hati. Setelah
memperhatikan dengan seksama barulah Linghu Chong memahaminya. “Hm, ini bukan
lima toya, tetapi satu toya yang digerakkan dengan sangat cepat sampai
membentuk empat bayangan. Dengan kecepatan seperti itu maka Jurus Cemara Tua
Menyambut Tamu milik perguruan kami bisa dikalahkan.”
Setelah dicermati ternyata
toya tersebut sebenarnya hanya satu namun membentuk empat bayangan yang
kesemuanya mengarah ke lima titik yang berbahaya di tubuh si pemegang pedang.
Tentu saja jurus toya tersebut bisa menghancurkan jurus Cemara Tua Menyambut
Tamu yang sangat mengutamakan kecepatan.
“Toya ini siap bergerak cepat
ke lima arah tergantung arah serangan pedang. Ah, jika aku yang menjadi si
pemegang pedang bagaimana mungkin aku bisa menghindarinya?” ujar Linghu Chong
yang semakin paham.
Pemuda itu lantas memeragakan
salah satu jurus pedang Perguruan Huashan yaitu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu.
Dengan seksama ia membayangkan si pemegang toya berada di hadapannya. Apabila
tusukannya diarahkan ke atas tubuh lawan, tentu lawan dengan lima jurus aneh
itu tetap bisa menghadapi dengan melancarkan serangan ke bawah. Meskipun
tusukan pedang mampu menewaskan lawan, tetap saja bagian bawah tubuh Linghu
Chong yang terluka oleh tusukan toya. Apalagi lawan yang menemukan cara
mengalahkan ilmu Pedang Huashan itu jelas bukan orang sembarangan sehingga
tidak mungkin bisa dibunuh hanya dalam sekali tusuk. Begitu juga dengan
kuda-kuda rendah yang dipasang si pemegang toya memungkinkan ia mampu menangkis
tusukan pedang dari atas. Apabila musuh menangkis dan balik menyerang
sekaligus, tentu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tidak dapat digunakan untuk
menangkis, dan kekalahan pun sudah dapat dipastikan.
Linghu Chong ingat pernah tiga
kali menang dalam pertarungan berkat jurus tersebut. Andai saja lawan-lawan
yang pernah mengalahkannya melihat gambar-gambar di dinding gua ini tentu
dirinya kini sudah tidak ada lagi di dunia.
Semakin membayangkan hal itu,
semakin ngeri perasaan dalam hati Linghu Chong. Dengan keringat dingin
bercucuran ia bergumam sendiri, “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jika Jurus
Cemara Tua Menyambut Tamu bisa dikalahkan dengan jurus aneh ini, mengapa Guru
tidak menyadarinya? Mengapa pula Beliau tidak memperingatkan aku?” Karena ia
menguasai setiap gerakan jurus pedang tersebut, maka ia pun menyadari bagaimana
jurus toya mempu mengalahkannya dengan telak. Meskipun hanya ada lima gerakan
di dinding gua, namun ia yakin setiap gerakan mampu membuatnya roboh.
Linghu Chong melanjutkan untuk
memeriksa gambar-gambar yang lainnya. Setiap kelompok gambar memuat jurus-jurus
unik dan istimewa dari ilmu Pedang Huashan. Akan tetapi, pihak lawan tetap saja
dengan cerdas mampu mematahkan setiap jurus pedang tersebut. Setiap melihat
gambar jurus perguruannya dikalahkan, ia hanya bisa menghela napas panjang.
Sampai akhirnya ia menemukan Jurus Daun Jatuh Berguguran yang dihadapi gambar
lawan dengan lemah tanpa tenaga. Sepertinya gambar si pemegang toya hanya
menunjukkan gerakan bertahan. “Ah, kali ini kau tidak mampu mengalahkan ilmu
pedang kami,” demikian pikirnya.
“Aku ingat pada bulan pertama
di tahun lalu, saat turun hujan salju memenuhi udara. Saat itu Guru mengajak
kami –para murid– untuk berlatih bersama. Menjelang berakhirnya latihan, Guru
memeragakan jurus Daun Jatuh Berguguran ini. Setiap tusukan pedang Beliau kala
itu semakin cepat dan cepat sehingga sanggup menciptakan pusaran angin salju di
udara. Bahkan saat itu Ibu Guru sampai memuji, ‘Kakak, aku yakin kau bisa
menjadi ketua Perguruan Huashan adalah karena kemampuanmu menguasai jurus ini.’
Guru menjawab, ‘Menjadi ketua
Perguruan Huashan tidak cukup hanya mampu bermain pedang dengan baik, tapi juga
dituntut harus memiliki budi pekerti yang baik. Murid Huashan yang ahli
memainkan pedang tidak serta merta dapat menjadi ketua.’
Ibu Guru menjawab sambil
tertawa, ‘Hei, apa kau tidak tahu malu bicara demikian? Apa kau merasa lebih
berbudi daripada aku?’
Guru hanya menanggapi dengan
tersenyum. Memang Ibu Guru suka sekali bersaing dengan Guru. Meskipun Ibu Guru
tidak mengungkapkannya, sudah jelas dari nada Beliau menunjukkan bahwa jurus
Daun Jatuh Bergururan adalah yang paling hebat di antara semua ilmu pedang Perguruan
Huashan. Nama jurus ini diambil dari sepenggal kalimat dalam sebuah puisi yang
mengisahkan adanya ribuan daun berguguran tertiup angin. Guru pernah bercerita
padaku bahwa intisari jurus ini adalah melakukan serangan dan pertahanan dari
segala penjuru seperti dedaunan yang terbang ditiup angin ke segala arah.”
Linghu Chong melihat
gambar-gambar orang memegang toya terlihat lucu dan unik. Posisi gambar orang
itu sedang membungkuk dengan kaku. Hampir saja Linghu Chong tertawa
terbahak-bahak namun kemudian terdiam seketika setelah menyadari
penglihatannya. Keringat dingin membasahi punggungnya, dan bulu tengkuknya
terasa merinding. Tanpa berkedip ia mengamati gambar si pemegang toya itu.
Meskipun kaku dan menggelikan, namun Linghu Chong dapat membayangkan gambar
tersebut menyimpan serangan rahasia yang mengerikan. Si pemegang toya jelas
memiliki kecerdasan luar biasa. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah tusukan
yang bisa dilakukan si pemegang toiya ada delapan, sembilan, sepuluh, atau
bahkan lebih. Jurus Daun Jatuh Berguguran dapat dipatahkan oleh gerakan toya
ini. Sungguh di luar dugaan, toya yang terlihat tumpul namun sesungguhnya
sangat berbahaya, atau sepertinya lemah namun sebenarnya sangat kuat. Serangan
toya ini dapat dikatakan sebagai pencapaian tertinggi dalam ilmu silat, yaitu
“mengalahkan ketajaman dengan ketumpulan.”
Seketika rasa percaya diri
Linghu Chong terhadap ilmu pedang perguruannya langsung musnah. Ia merasa
meskipun kelak berhasil menguasai segala ilmu dan kepandaian seperti gurunya,
tetap saja tidak berguna apabila bertemu musuh yang bisa memainkan toya seperti
gambar-gambar di dinding gua itu. Mungkin ia hanya bisa berdiri memegang pedang
tanpa tahu harus berbuat apa. Jika seperti itu jadinya, untuk apa belajar ilmu
pedang lagi? Demikian pikir Linghu Chong.
“Apakah Ilmu Pedang Huashan
sedemikian rapuhnya sehingga tidak mampu menahan satu serangan?
Kerangka-kerangka ini pasti sudah membusuk di sini selama tidak kurang dari
tiga puluh atau empat puluh tahun. Jika tidak demikian, mana mungkin Serikat
Pedang Lima Gunung dapat berjaya di dunia persilatan hingga sekarang? Bahkan,
tidak seorang pendekar pun yang berani mengatakan bahwa ilmu pedang kelima
perguruan dapat dikalahkan. Apakah gambar-gambar di dinding gua ini hanya
kebohongan belaka? Ah, aku rasa tidak demikian,” ujar Linghu Chong kepada diri
sendiri.
Meskipun ia tidak mengatakan
bahwa Ilmu Pedang Songshan dan yang lain juga benar-benar dipatahkan, namun ia
memahami berbagai jurus dalam Ilmu Pedang Huashan luar dalam dan ia yakin
apabila bertemu orang yang mampu memainkan jurus-jurus penangkal seperti di
dinding gua tersebut, tentu ia akan terperangkap dalam kekalahan yang fatal.
Linghu Chong berdiri
termangu-mangu cukup lama, seolah-olah ada orang lain yang telah menotok titik
geraknya. Berbagai kilatan dan bayangan melintas di benaknya, membuat pemuda
itu lupa waktu dan lupa diri. Sampai akhirnya terdengar suara orang
memanggil-manggil di luar sana dan membuyarkan lamunannya.
“Kakak Pertama! Kakak Pertama!
Di mana kau?”
Linghu Chong terkejut dan
segera berlari kembali ke gua depan. Ternyata yang memanggil adalah Lu Dayou.
Ia pun berlari memutar bukit dan duduk di atas sebongkah batu sambil berteriak,
“Adik Keenam, aku ada di sini sedang bermeditasi. Ada urusan apa?”
Lu Dayou bergegas menuju arah
suara dan membalas dengan gembira, “Kakak Pertama, ternyata kau ada di sana!
Kakak, aku membawakan makanan untukmu.”
Linghu Chong baru sadar kalau
hari ternyata sudah sore. Padahal, ia menemukan gua rahasia tersebut menjelang
fajar dan kini matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Itu berarti seharian
penuh dirinya terpesona melihat gambar-gambar pertarungan antara jurus-jurus
Serikat Pedang Lima Gunung melawan jurus-jurus aneh yang terukir pada dinding
gua belakang. Sementara itu, Lu Dayou sendiri tidak berani masuk ke dalam gua
depan tempat kakaknya dikurung tanpa permisi, sehingga ia pun tidak sempat
mengetahui kalau ada gua lain di dalam puncak tebing tersebut. Hanya saja,
begitu melihat sang kakak tidak berada di dalam gua, Lu Dayou pun mencari di
sekitar tebing sambil berteriak-teriak.
Linghu Chong pun menjawab,
“Tentu saja aku berada di sekitar tebing ini selama masa hukumanku belum
berakhir.” Sejenak ia terdiam mengamati wajah Si Monyet Keenam, kemudian
bertanya, “Hei, ada apa dengan dahimu?”
Ternyata dahi sebelah kanan
adik seperguruannya itu sedang ditempeli koyo. Meskipun begitu, darah masih
terlihat meresap keluar. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang berhati-hati
sewaktu latihan sehingga tergores pedang,” jawab Lu Dayou.
Namun demikian, gaya bicara
pemuda itu sewaktu menjawab seperti menyembunyikan sesuatu. Linghu Chong pun
mendesak, “Adik Keenam, kau jangan berbohong padaku. Sebenarnya apa yang
membuatmu terluka?”
Lu Dayou menjawab, “Kakak
Pertama, sebenarnya aku tidak ingin berbohong kepadamu. Aku hanya khawatir kau
akan marah jika kuceritakan yang sebenarnya.”
Linghu Chong semakin
penasaran. Ia bertanya lagi, “Siapa yang melukaimu? Katakan padaku!” Ia tidak
yakin Lu Dayou berlatih dengan sesama saudara sampai terluka seperti itu.
Hatinya khawatir jangan-jangan ada pihak luar yang datang menyerang.
“Tadi pagi aku berlatih dengan
Adik Lin,” jawab Lu Dayou, “ia baru saja mempelajari jurus Burung Feng Datang
Menyembah. Aku sedikit lengah sehingga terluka olehnya.”
“Ah, itu hanya soal biasa.
Luka sewaktu berlatih itu sering terjadi di antara sesama kita,” ujar Linghu
Chong tenang. “Lalu mengapa kau harus kesal? Bukankah kau tahu kalau jurus
tersebut sangat ampuh? Harusnya kau lebih berhati-hati menghadapinya. Lagipula
Adik Lin baru saja mempelajarinya, tentu ia kurang bisa mengendalikan pedangnya
dengan baik.”
Lu Dayou menjawab, ”Kalau hal
itu bisa kumaklumi. Hanya saja ... hanya saja aku tidak menduga bocah bermarga
Lin itu baru beberapa bulan masuk perguruan tapi sudah bisa memainkan jurus
Burung Feng Datang Menyembah. Padahal, aku dulu harus melewati lima tahun baru
Guru mengizinkan diriku belajar jurus itu kepadamu.”
Linghu Chong terperanjat
karena baru menyadarinya. Ia menjadi heran mengapa Lin Pingzhi sudah diperbolehkan
mempelajari jurus tersebut? Padahal, jurus ini harus dilatih dengan dasar-dasar
yang kuat, karena jika tidak akan membahayakan diri sendiri. Apakah mungkin Lin
Pingzhi memiliki otak sangat cerdas sehingga Guru mengizinkannya berlatih jurus
ini? Demikian berbagai pikiran terlintas di benaknya.
Lu Dayou melanjutkan
ceritanya, “Waktu itu aku tidak menduga sama sekali bahwa dahiku akan terluka
oleh pedangnya. Adik Kecil malah bersorak-sorak gembira sambil mengejek,
‘Monyet Keenam, melawan muridku saja kau tidak becus! Sekarang apa kau masih
berani berlagak jagoan di depanku?’
Sementara itu si bocah
bermarga Lin merasa bersalah telah melukai aku. Ia pun mendekat hendak membalut
lukaku. Namun perutnya kutendang sampai dia jatuh terjungkal. Melihat itu Adik
Kecil marah-marah dan memaki diriku, ‘Monyet Keenam, dia bermaksud baik hendak
mengobati lukamu, tapi kau malah menendangnya. Apa kau malu sudah dikalahkan
olehnya? Huh, kalau kalah ya harus tahu diri!’
Coba Kakak Pertama pikirkan,
ternyata Adik Kecil diam-diam telah mengajarkan jurus ampuh itu kepadanya.”
Seketika Linghu Chong tertegun
dengan perasaan pilu mendengar cerita ini. Ia pun berpikir, “Jurus Burung Feng
Datang Menyembah sangat sulit dipelajari. Jurus ini memiliki lima teknik
tambahan serta berbagai perubahan yang rumit. Lebih dari itu, pihak yang
belajar harus memiliki ingatan yang kuat untuk merangkai setiap gerakan menjadi
jurus yang utuh. Demi membantu Adik Lin berlatih dan memahami jurus ini,
rupanya Adik Kecil telah berusaha penuh untuk memeras pikiran dan tenaga. Jadi
ini alasan mengapa Adik Kecil sudah jarang datang ke puncak tebing untuk
mengantar makanan karena harus mendampingi Adik Lin berlatih. Biasanya Adik
Kecil suka bersikap tidak sabaran dan ingin menang sendiri. Ia tidak suka mengerjakan
sesuatu yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Tapi entah mengapa ia
justru berhasil mengajarkan ilmu yang sangat sulit ini kepada Adik Lin?
Ternyata perhatian Adik Kecil kepada Adik Lin sungguh besar. Ia bisa bersikap
sedemikian sabar dan telaten mengajarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah
yang rumit dan sulit ini kepada Adik Lin. Sungguh hal ini sulit dibayangkan.”