Pendekar Hina Kelana Jilid 21-25

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 21-25 Di bawah cahaya rembulan, terlihat tetesan darah berhamburan di antara kilatan kedua pedang yang beradu.
Di bawah cahaya rembulan, terlihat tetesan darah berhamburan di antara kilatan kedua pedang yang beradu. Makin lama percikan darah itu semakin banyak. Fei Bin terlihat pucat dan berusaha membalas serangan namun keadaan dirinya sudah sangat payah dan terkurung sinar pedang lawan. Tidak lama kemudian ia pun melompat mundur sambil mengeluarkan jeritan mengerikan. Sebaliknya, Tuan Besar Mo juga melangkah mundur sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebab.

Perlahan-lahan Tuan Besar Mo berbalik dan melangkah pergi. Ia kembali menggesek rebabnya memainkan lagu sendu yang menyayat hati, sementara Fei Bin masih berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Selang sejenak bayangan ketua Perguruan Hengshan itu sudah lenyap ditelan peohonan cemara yang lebat.

Tiba-tiba tubuh Fei Bin roboh di tanah. Darah tampak memancar deras dari dadanya. Rupanya sewaktu menghadapi serangan Tuan Besar Mo tadi ia mengerahkan semua tenaga dalam sehingga jantungnya berpacu lebih cepat. Akibatnya, ketika dadanya terluka, darah pun menyembur keluar bagaikan air mancur yang sangat deras. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.

Yilin yang masih ketakutan memegangi lengan Linghu Chong dengan jantung berdebar-debar. “Lenganmu terluka. Apa masih sakit?” bisiknya lirih.

Linghu Chong hanya menggelengkan kepala. Ia masih termangu-mangu menyaksikan Fei Bin yang tergeletak di tanah dan kehilangan nyawa.

Sementara itu, alunan suara rebab Tuan Besar Mo terdengar semakin lama semakin menjauh dan akhirnya hilang ditelan keheningan malam. Perlahan Qu Yang menghela napas dan berkata, “Adik Liu, kau pernah bercerita bahwa antara dirimu dan kakakmu kurang rukun satu sama lain. Namun, pada saat-saat gawat seperti tadi, tidak disangka-sangka justru kakakmu yang datang untuk menolong.”

“Benar,” jawab Liu Zhengfeng. “Tingkah laku Kakak Mo memang aneh dan sulit ditebak. Sesungguhnya perselisihan kami bukan karena perbedaan miskin dan kaya, tapi semata-mata karena watak dan prinsip kami yang tidak cocok, itu saja.”

“Ilmu pedangnya sangat hebat, tapi irama rebabnya terdengar sedih memilukan. Sungguh tidak pantas dimainkan oleh seorang kesatria pembela kebenaran,” ujar Qu Yang.

“Benar sekali,” sahut Liu Zhengfeng. “Permainan musiknya selalu sedih dan memilukan. Setiap mendengar suara rebabnya aku sering merasa kesal dan ingin cepat-cepat pergi menghindarinya,”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kedua orang ini benar-benar keranjingan musik. Mereka masih saja sibuk membahas lagu sedih atau gembira. Padahal, jika bukan karena Paman Mo turun tangan, mungkin kami semua sudah mati di tangan Fei Bin. Aih, si gadis kecil Qu Feiyan sungguh bernasib malang.”

Terdengar Liu Zhengfeng melanjutkan, “Tapi kalau bicara ilmu silat, sama sekali aku bukan tandingannya. Selama ini aku memang kurang menghormatinya. Namun, sekarang aku merasa sangat menyesal.”

“Kehebatan ketua Perguruan Hengshan sungguh bukan nama kosong,” ujar Qu Yang. Ia lantas menoleh kepada Linghu Chong dan berkata, “Adik cilik, kau berani bertaruh nyawa demi menolong cucuku. Sikap kesatria sepertimu benar-benar susah ditemui. Ada suatu hal yang aku ingin kuminta darimu, entah kau sudi menyanggupinya atau tidak?”

“Sayang sekali Nona Qu telah dicelakai oleh Fei Bin. Apapun yang menjadi permintaan Sesepuh Qu, dengan senang hati saya akan melaksanakannya,” jawab Linghu Chong.

Qu Yang memandang sekilas kepada Liu Zhengfeng, kemudian melanjutkan, “Adik Liu dan aku sangat tergila-gila pada musik. Entah sudah berapa lama kami bekerja sama untuk menggubah sebuah lagu indah berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kami yakin, dalam seribu tahun terakhir belum pernah ada lagu sebagus yang kami ciptakan ini. Kelak, andaikata ada seseorang yang bisa seperti diriku, belum tentu ada yang bisa menyamai Adik Liu. Andaikata ada yang bisa seperti Adik Liu, belum tentu ada yang sama denganku. Sebaliknya, andai saja ada dua orang yang berkepandaian seperti kami, belum tentu mereka hidup sezaman atau saling berteman. Untuk menemukan dua orang yang pandai memainkan musik dan memiliki tenaga dalam setara, sehingga dapat menggubah lagu seperti ini, jauh lebih sulit daripada mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Apabila lagu ini sampai punah dan dilupakan orang, tentu Adik Liu dan aku akan mati penasaran dan tidak tenang di alam sana.”

Qu Yang berhenti sejenak kemudian mengeluarkan sebuah kitab dari balik bajunya lalu berkata, “Kitab ini berisi catatan not lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Aku mohon Adik Linghu sudi menyimpan hasil jerih payah kami dan mencari ahli waris yang tepat untuk melestarikan lagu ini.”

Liu Zhengfeng menambahkan, “Kami mohon Keponakan Linghu sudi menyimpan kitab not lagu ini, dan memberikannya kepada seseorang yang tepat. Asalkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan kelak bisa tetap berkumandang dan tidak punah, maka kami bisa mati dengan tenang.”

Dengan penuh hormat Linghu Chong menerima kitab tersebut sambil menjawab, “Sesepuh berdua jangan khawatir. Saya akan melaksanakan amanat Sesepuh berdua dengan segenap tenaga.”

Tadinya Linghu Chong merasa khawatir jangan-jangan Qu Yang hendak menyuruhnya berbuat sesuatu yang bersifat merusak perguruannya, atau golongan putih lainnya dalam dunia persilatan. Tak disangka, wasiat kedua sahabat itu adalah menyampaikan sebuah kitab lagu kepada seseorang yang pantas. Baginya ini termasuk urusan yang mudah. Mencari orang yang bisa memetik kecapi dan meniup seruling tentu bukan hal yang sulit. Begitu hatinya merasa lega, tanpa sadar ia pun menghela napas panjang.

Liu Zhengfeng berkata, “Keponakan Linghu, kitab yang telah kau terima bukan sekadar hasil jerih payah kami, namun juga menyangkut seorang ahli musik ternama dalam sejarah. Lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini digubah oleh Kakak Qu berdasarkan lagu indah berjudul Guang Lingsan, yang telah punah sejak zaman Kerajaan Jin ratusan tahun silam.”

Qu Yang tersenyum bangga menanggapi, “Konon kabarnya, setelah Ji Kang dihukum mati oleh pemerintah Dinasti Jin, lagu Guang Lingsan ikut menghilang selamanya. Apakah kau pernah mendengar cerita ini?”

Linghu Chong menggeleng dan merasa ingin tahu. Ia hanya bisa berkata, “Saya kurang mengerti soal musik. Andai saja Sesepuh Qu dan Paman Liu tidak mengatakannya, mungkin selamanya saya tidak akan mengetahui akan hal ini.”

Qu Yang tersenyum dan berkata, “Ji Kang seorang manusia hebat pada zamannya. Berdasarkan catatan sejarah, dia seorang yang sangat ahli dalam bermain musik, pandai dalam ajaran Lao Zi, serta gemar bergaul dengan orang-orang luar biasa. Andai saja aku hidup pada zamannya, tentu aku ingin sekali bisa berteman dengannya. Suatu hari datang seorang pembesar kerajaan bernama Zhong Hui untuk mengunjunginya. Sebenarnya ini adalah kunjungan istimewa, namun Ji Kang tidak ambil peduli dan tetap menjalankan pekerjaan sehari-harinya sebagai pandai besi. Merasa kecewa, Zhong Hui berniat pergi. Pada saat itulah Ji Kang bertanya, ‘Apa yang kau dengar sebelum kau datang, dan apa yang kau lihat sebelum kau pergi?’ – Zhong Hui menjawab, ‘Aku telah mendengar apa yang telah kudengar sebelum aku datang, dan telah melihat apa yang kulihat sebelum aku pergi.’ – Sebenarnya Zhong Hui sangat pandai namun sayang, dia itu seorang yang mudah marah dan berpikiran sempit. Karena pertemuan tersebut sangat memalukan baginya, ia pun memfitnah Ji Kang dengan menyampaikan laporan palsu kepada Sima Zhao, kaisar Kerjaan Jin. Akhirnya, kaisar pun memutuskan Ji Kang harus dihukum mati. Sebelum menjalani hukumannya, Ji Kang mengajukan permintaan supaya bisa bermain kecapi untuk yang terakhir kalinya. Permintaan ini dikabulkan. Ji Kang pun memainkan lagu Guang Lingsan dengan sangat merdu. Namun setelah memainkannya, dengan angkuh ia berkata bahwa lagu Guang Lingsan akan segera punah bersama kematiannya. Hm, ia benar-benar meremehkan generasi selanjutnya. Sebenarnya lagu itu bukan ciptaan Ji Kang. Apabila lagu tersebut punah pada zaman Kerajaan Jin, menurutmu kapan lagu tersebut diciptakan?”

Linghu Chong menjawab lirih, “Mungkin sebelum zaman Kerajaan Jin.”

“Tepat sekali!” jawab Qu Yang sambil mengangguk. “Aku merasa penasaran dengan ucapan Ji Kang, seolah-olah hanya dia yang bisa memainkan lagu Guang Lingsan dengan baik. Maka, aku pun pergi membongkar makam keluarga kaisar dan pembesar Kerajaan Han. Setelah membongkar dua puluh sembilan tempat yang berbeda, akhirnya aku berhasil menemukan naskah asli lagu Guang Lingsan di dalam makam Cai Yong. Hahahaha!”

Melihat Qu Yang bergelak tawa, Linghu Chong merasa sangat heran. Diam-diam ia berpikir, “Hanya demi sebuah lagu ia tega membongkar dua puluh sembilan makam kuno. Benar-benar aneh.”

Terdengar Qu Yang melanjutkan, “Adik cilik, kau adalah murid tertua dari perguruan golongan putih terkemuka, seharusnya aku tidak meminta pertolonganmu. Hanya saja, dalam keadaan terdesak seperti ini, aku tidak punya pilihan lain. Liu Zhengfeng dan Qu Yang boleh mati, namun lagu Menertawakan Dunia Persilatan tidak boleh sampai punah. Mohon Adik Linghu bisa memakluminya. Nah, mengenai Lagu Guang Lingsan tadi berkisah tentang Nie Zheng membunuh raja Han. Lagu ini sangat panjang, sehingga kami dalam menggubah lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini hanya mengambil bagian yang terindah saja. Adik Liu menambahkan bagian seruling untuk mengambarkan adegan kakak perempuan Nie Zheng menerima dan menguburkan jasad adiknya itu. Nie Zheng bersama dengan Jing Ke, memiliki kesetiaan yang luar biasa, dan mereka adalah leluhur kita. Aku mohon kepadamu untuk mewarisi lagu ini karena aku mengagumi sifat kesatriamu.” Usai berkata demikian ia pun menyerahkan kitab kedua yang berisi not lagu Guang Lingsan.

Linghu Chong menunduk hormat menerima kitab tersebut sambil menjawab, “Saya tidak berani menerima pujian Sesepuh.”

Perlahan-lahan senyum gembira Qu Yang menghilang dan berganti dengan paras sedih. Sejenak kemudian ia pun berpaling kepada Liu Zhengfeng dan berkata, “Adik Liu, kita bisa pergi sekarang.”

“Baik,” sahut Liu Zhengfeng sambil menjulurkan kedua tangannya.

Qu Yang menyambut kedua tangan sahabatnya itu. Keduanya saling berpegangan dengan sangat erat. Sambil bergelak tawa terbahak-bahak, mereka mengerahkan sisa-sisa tenaga dalam sampai pembuluh darah pada tubuh masing-masing pecah dan putus. Sejenak kemudian, kedua sahabat itu menutup mata dan terdiam untuk selama-lamanya.

“Sesepuh Qu! Paman Liu!” seru Linghu Chong sambil memeriksa keadaan keduanya. Namun yang ia temukan adalah – kedua sahabat itu sudah tidak bernapas lagi.

“Apakah mereka telah... telah meninggal?” tanya Yilin dengan nada bingung. Linghu Chong hanya mengangguk tanpa bicara.

Air mata Yilin pun berlinangan di kedua pipinya. Buru-buru Linghu Chong berkata, “Adik Yilin, kita harus segera menguburkan keempat jenazah ini. Aku yakin pasti akan segera ada yang datang untuk mencari mereka, terutama dari pihak Perguruan Songshan.” Sampai di sini ia lantas mengecilkan suara, “Terutama kematian Fei Bin di tangan Paman Mo jangan sampai diketahui oleh orang lain. Kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa Paman Mo menuduh kita telah membocorkan peristiwa ini.”

“Benar,” sahut Yilin. “Tapi bagaimana kalau Guru bertanya kepadaku? Apakah aku harus menjawab sejujurnya?”

“Kau tidak boleh mengatakan kepada siapa pun,” sahut Linghu Chong. “Kalau kau sampai bercerita, bisa-bisa terjadi pertengkaran antara Bibi Dingyi dengan Paman Mo. Ini akan sangat mengerikan.”

Yilin bergidik ngeri saat teringat betapa hebat kesaktian Tuan Besar Mo. Ia akhirnya berkata, “Baiklah, aku tidak akan bercerita kepada siapa pun.”

Linghu Chong kemudian memungut pedang Fei Bin dan menusuk-nusuk mayat jagoan Songshan itu sehingga lukanya bertambah banyak dan lebar.

Yilin terheran-heran dan bertanya, “Kakak Linghu, dia sudah mati. Kenapa kau sedemikian benci kepada Paman Fei sehingga merusak jenazahnya?”

“Apa kau lupa kalau pedang Paman Mo sangat tipis dan menimbulkan luka sempit?” jawab Linghu Chong. “Apabila orang lain menemukan mayat Fei Bin, maka akan langsung ketahuan kalau pembunuhnya adalah Paman Mo. Oleh sebab itu, aku harus menyamarkan bekas luka ini dengan belasan luka palsu yang lebih lebar.”

“Aih, urusan di dunia persilatan sungguh rumit dan sulit dibayangkan,” ujar Yilin dalam hati. Begitu melihat Linghu Chong mengumpulkan batu-batu untuk menutupi mayat Fei Bin, ia pun berkata, “Kakak Linghu, kau masih lemah. Istirahat saja.”

Tanpa banyak bicara lagi Yilin pun mengambil alih pekerjaan mengumpulkan bebatuan di sekitar tempat itu. Ia lalu menumpuk bebatuan tersebut dengan lembut dan perlahan-lahan, seolah Fei Bin masih bernyawa dan bisa merasakan sakit.

Setelah itu, Yilin menutupi jasad Liu Zhengfeng dan Qu Yang dengan bebatuan pula. Ketika tiba giliran menutupi jasad Qu Feiyan, ia pun bergumam, “Adik Qu, demi diriku kau rela mengorbankan nyawa. Aku berdoa semoga kau naik ke istana langit dan menikmati segala kebahagiaan di sana. Semoga di kelahiran berikutnya, kau menjadi laki-laki sehingga memiliki kekuatan lebih besar untuk menolong sesama manusia dan berbuat banyak kebaikan. Dengan demikian, kelak kau bisa memasuki alam surga dan kekal abadi di dalamnya. Semoga Sang Buddha mengampuni semua dosa-dosamu. Semoga semua makhluk berbahagia....”

Linghu Chong sendiri duduk termenung di atas batu. Ia terharu mengingat bagaimana Qu Feiyan telah menyelamatkan jiwanya, namun kini lebih dulu meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Meskipun dirinya bukan penganut ajaran Buddha, namun dalam hati ikut berharap semoga doa Yilin menjadi kenyataan.

Setelah merasa lumayan dalam beristirahat, Linghu Chong membuka kitab not lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan Guang Lingsan. Kitab tersebut berisi simbol-simbol yang menurutnya aneh dan tidak ia mengerti sama sekali. Memang, kemampuan baca tulis Linghu Chong agak terbatas. Karena tidak mengetahui apa-apa mengenai isi kitab tersebut, ia pun memasukkannya kembali ke balik baju sambil merenung, “Demi persahabatan, Paman Liu telah memberikan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, meskipun temannya itu seorang anggota aliran sesat. Mereka berdua telah memperlihatkan keberanian luar biasa saat menghadapi kematian. Benar-benar laki-laki sejati. Sungguh mengagumkan! Aku mengira hari ini Paman Liu tengah mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Aih, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ia bisa berubah menjadi musuh Perguruan Songshan? Benar-benar membingungkan.”

Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba Linghu Chong melihat sekelebat bayangan pedang di sisi utara agak jauh dari tempatnya duduk. Di bawah remang-remang cahaya rembulan, ia mengenali gerakan pedang tersebut merupakan ilmu silat perguruannya. Seketika jantungnya berdebar saat menyimpulkan bahwa seseorang dari Huashan tengah bertarung melawan musuh.

Buru-buru Linghu Chong bangkit dan berkata, “Adik, kau tunggu di sini dulu. Aku pergi sebentar.”

Yilin yang masih sibuk merapikan keempat makam tidak melihat kilatan pedang tersebut. Ia hanya mengangguk karena mengira Linghu Chong pamit pergi untuk buang air kecil.

Linghu Chong berjalan tertatih-tatih dengan bantuan ranting kayu sebagai tongkat. Ia juga memungut pedang peninggalan Fei Bin dan menggantungkannya di pinggang. Setelah agak jauh berjalan, suara pertarungan terdengar semakin jelas. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh dari perguruannya yang sedang bertarung itu? Sepertinya yang sedang dihadapi adalah kaum silat papan atas dari perguruan lain.

Semakin keras suara pertarungan tersebut pertanda jarak mereka juga sudah sangat dekat. Linghu Chong pun memilih bersembunyi di balik sebatang pohon besar untuk mengintai. Di bawah cahaya rembulan, ia melihat seorang pria berpakaian sarjana sedang bertarung melawan seorang pendeta agama Tao bertubuh pendek. Si sarjana yang terlihat berdiri di tanah lapang tidak lain adalah Yue Buqun, gurunya sendiri. Sementara itu, si pendeta pendek yang menjadi lawannya tidak lain adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.

Yu Canghai dengan segenap tenaga berputar mengelilingi Yue Buqun dengan melancarkan sejumlah serangan. Dalam sekali berputar ia dapat melancarkan puluhan tusukan. Namun, kesemuanya itu dapat ditangkis oleh Yue Buqun.

Melihat sang guru bertempur melawan seorang ketua perguruan ternama, Linghu Chong merasa sangat terkesan. Ia juga melihat betapa indah dan anggun cara bertempur gurunya itu. Setiap kali Yu Canghai menusukkan pedangnya, Yue Buqun selalu menangkis dengan halus. Sewaktu Yu Canghai berputar ke belakang dan melancarkan serangan, Yue Buqun tidak ikut berputar, melainkan hanya mengayunkan pedangnya melindungi punggung dari serangan tersebut. Semakin lama serangan Yu Canghai semakin gencar, sementara Yue Buqun terlihat hanya melakukan gerakan bertahan tanpa berusaha membalas sedikit pun.

Sungguh kagum perasaan Linghu Chong menyaksikan kehebatan gurunya. Diam-diam ia berpikir, “Pantas saja dunia persilatan memberi julukan kepada Guru sebagai Si Pedang Budiman. Guru memang berperangai halus dan lembut dalam tutur kata, maupun tindakan. Bahkan, dalam pertempuran sekalipun ia tetap bersikap tenang dan penuh sopan santun. Ah, Guru bisa mengatur emosi bukan hanya karena sifatnya yang sabar, namun juga karena ilmu silatnya yang sangat tinggi.”

Yue Buqun memang jarang bertarung melawan seseorang. Linghu Chong hanya pernah menyaksikan gurunya itu bertarung melawan sang istri di depan para murid. Tentu saja ini hanya sekadar berlatih, bukan pertarungan yang sebenarnya. Namun, pertarungan kali ini sudah tentu berbeda dengan yang pernah ia saksikan sebelumnya.

Linghu Chong kemudian berganti mengamati gerakan Yu Canghai yang lincah dan cepat luar biasa. Dalam hati ia berpikir, “Biasanya aku suka memandang rendah ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Bahkan, pada saat di rumah pelacuran kemarin aku berani mencari perkara dengan pendeta pendek itu. Tak disangka, ilmu silatnya begitu hebat dan mematikan. Meskipun dalam keadaan sehat tidak mungkin aku bisa menandinginya. Dalam satu menit mungkin aku sudah roboh olehnya. Hm, lain kali aku tidak boleh gegabah jika bertemu lagi dengannya. Jalan yang paling baik tentu saja menjaga jarak dan menghindari perselisihan dengan orang ini.”

Pertarungan antara kedua pemimpin perguruan itu berlangsung semakin seru. Yu Canghai berputar semakin cepat mengelilingi Yue Buqun sambil melancarkan tusukan-tusukan pedang. Begitu cepatnya seakan yang terlihat hanyalah bayangan warna ungu saja. Suara pedangnya pun menderu-deru pula, serta menimbulkan debu yang cukup tebal.

Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku yang menghadapi jurus pedang itu, tentu sudah sejak tadi tubuhku berlubang-lubang. Kepandaian pendeta pendek ini sepertinya setingkat di atas Tian Boguang. Aih, sejak tadi Guru hanya bertahan tanpa membalas sama sekali. Semoga Guru tidak lengah sedikit pun agar tidak kalah olehnya.”

Beberapa saat kemudian, Yu Canghai tampak melompat mundur dan kemudian berdiri tegak di atas sebongkah batu. Entah bagaimana tahu-tahu ia sudah menyarungkan pedangnya kembali. Linghu Chong lalu memandang ke arah Yue Buqun dan ternyata gurunya itu juga telah menyimpan kembali pedangnya. Melihat keduanya sama-sama diam tanpa bersuara, Linghu Chong tidak dapat menentukan siapa di antara mereka yang menang ataupun kalah. Ia juga tidak mengetahui apakah masing-masing mengalami luka dalam atau tidak.

Selang agak lama, Yu Canghai berkata sambil tersenyum getir, “Baiklah, kita berpisah dulu, Kakak Yue. Sampai jumpa kembali!” Usai berkata demikian ia langsung melesat pergi.

“Pendeta Yu, bagaimana dengan pasangan suami-istri Lin? Kau sekap di mana mereka?” sahut Yue Buqun sambil kemudian bergegas mengejar Yu Canghai. Dalam sekejap bayangan mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.

Mendengar itu Linghu Chong merasa lega dan berpikir, “Sepertinya Guru berhasil mengalahkan Yu Canghai. Dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin aku mampu mengejar mereka. Mungkin keduanya sudah berada jauh di sana. Ah, lebih baik aku kembali saja.”

Namun baru saja Linghu Chong hendak melangkah menuju ke tempat Yilin, tiba-tiba terdengar suara jeritan memilukan dari arah hutan sebelah kiri. Suara tersebut seperti suara seorang pria kesakitan, yang diselingi suara seorang wanita pula.

Dengan langkah hati-hati dan perasaan terkejut, Linghu Chong pun berjalan menuju ke arah tersebut. Setelah melewati beberapa pepohonan, samar-samar ia melihat sebuah kuil tua berwarna kuning berdiri di tepi hutan. Khawatir jangan-jangan di dalam kuil sedang terjadi pertempuran antara murid-murid Huashan melawan pihak Qingcheng, ia pun tidak berani langsung masuk, melainkan berdiri merapat di dekat dinding luar.

Sejenak kemudian terdengar suara seorang tua berteriak kasar, “Di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis kau simpan? Asalkan kau menunjukkan di mana kitab itu berada, maka kau akan kubantu membalas dendam. Urusan menumpas Perguruan Qingcheng hanyalah masalah kecil bagiku.”

Samar-samar Linghu Chong teringat kalau itu adalah suara Mu Gaofeng, alias Si Bungkuk dari Utara, yang beberapa hari lalu dijumpainya di rumah pelacuran Wisma Kumala. Padahal, gurunya sedang mencari pasangan suami-istri Lin Zhennan, tak tahunya mereka sudah jatuh ke tangan orang bungkuk itu.

Kemudian terdengar suara seorang pria merintih kesakitan dan menjawab dengan suara lemah, “Aku tidak tahu apa-apa mengenai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Ilmu itu diturunkan secara lisan, turun-temurun dalam keluarga kami. Aku belum pernah melihat ada kitab seperti itu dalam keluarga kami.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Ah, itu pasti suara Lin Zhennan, ketua Biro Ekspedisi Fuwei.”

Sejenak kemudian kembali terdengar suara Lin Zhennan menyambung, “Terhadap kesediaan Tuan Pendekar membalaskan sakit hati kami, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng sudah melakukan banyak kejahatan. Kelak dia pasti mati secara mengerikan. Meskipun tidak mati di tangan Tuan, tetap saja dia akan mati di tangan pendekar lainnya.”

“Oh, jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” sahut Mu Gaofeng menegas. “Apa kau tidak pernah mendengar nama besar Si Bungkuk dari Utara, hah?”

Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja saya tahu. Semua orang pernah mendengar nama besar Tuan Pendekar Mu.”

“Bagus sekali, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Aku memang terkenal, tapi bukan karena kebaikanku. Yang sering didengar orang pasti caraku turun tangan yang ganas dan kejam. Kau sendiri pasti pernah mendengar kalau selama ini aku tidak kenal belas kasihan, bukan?”

Dengan angkuh Lin Zhennan menjawab, “Aku tahu Pendekar Mu terkenal kejam dan suka menyiksa. Meskipun seandainya di dalam keluarga kami benar-benar terdapat Kitab pedang Penakluk Iblis, tetap saja aku tidak akan memberikannya kepada siapa pun. Aku tidak peduli meskipun dipaksa dengan cara disiksa ataupun dibujuk rayu. Sesudah jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng, setiap hari kami kenyang oleh siksaan. Meskipun ilmu silatku rendah, namun di dalam tubuhku masih tersisa seonggok tulang yang keras.”

“Bagus, bagus, bagus sekali!” ujar Mu Gaofeng sambil manggut-manggut. “Kau bilang tulangmu keras, tahan dianiaya, kuat disiksa. Setiap hari si pendek hidung kerbau itu menyiksamu, tapi kau belum juga menyerah. Hal itu membuktikan kalau di dalam Keluarga Lin memang benar-benar terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kau berusaha mati-matian melindunginya, membuktikan kalau kitab tersebut memang benar-benar ada. Huh, untuk apa kau tetap bersikeras? Serahkan saja kitab itu kepadaku! Ilmu silatmu yang rendah menunjukkan kalau ilmu pedang dalam kitab itu tidak istimewa. Kalau Ilmu Pedang Penakluk Iblis benar-benar luar biasa, mengapa melawan murid Qingcheng saja kau tidak becus?”

“Memang betul,” jawab Lin Zhennan. “Justru itu aku heran mengapa Pendekar Mu berusaha merebut kitab itu? Andaikan kitab itu benar-benar ada, mengapa isinya sedemikian tidak bermanfaat, sehingga untuk melawan murid Qingcheng saja tidak berguna? Sungguh aneh, kenapa Pendekar Mu begitu menginginkannya?”

Mu Gaofeng menjawab, “Aku hanya heran, mengapa si pendeta pendek itu mati-matian menginginkannya. Sampai-sampai, dia mengerahkan semua begundal Qingcheng untuk mendapatkannya. Hal itu membuatku yakin di dalam kitab tersebut pasti tersembunyi rahasia besar. Hanya saja, kau ini terlalu bodoh dan juga kurang berbakat. Pantas saja Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang kau kuasai sedemikian rendahnya. Kalau demikian, apa tidak sayang leluhurmu susah payah menciptakannya, tapi sekarang ilmu itu harus terkubur begitu saja? Setelah kau perlihatkan kitab itu kepadaku, maka aku pasti bisa memecahkan rahasianya sehingga intisari Ilmu Pedang Penakluk Iblis dapat kau kuasai. Dengan demikian, nama Keluarga Lin akan kembali harum di dunia persilatan. Bukankah ini akan menguntungkan perusahaanmu juga?”

“Maksud baik Pendekar Mu biarlah kuterima dalam hati saja,” jawab Lin Zhennan sambil tersenyum pahit. “Tapi sudah kukatakan kalau aku benar-benar tidak mempunyai Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya, kenapa tidak kau geledah saja tubuhku ini?”

“Untuk apa?” sahut Mu Gaofeng. “Andai saja kitab itu ada di tubuhmu tentu sejak kemarin sudah ditemukan oleh begundal-begundal dari Qingcheng itu. Ketua Lin, kau ini pura-pura bodoh atau bagaimana?”

“Ya, aku memang bodoh,” ujar Lin Zhennan. “Sudah sejak lama aku menyadari kalau diriku ini memang bodoh. Aku tidak membutuhkan penilaian dari Pendekar Mu.”

Mu Gaofeng menggelengkan kepalanya dan berkata, “Hm, ternyata kau belum tahu juga. Mungkin Nyonya Lin lebih memahami maksud perkataanku. Maklum saja, cinta kasih seorang ibu biasanya melebihi cinta kasih seorang ayah.”

“Apa katamu?” seru Nyonya Lin. “Apa yang terjadi dengan Pingzhi-ku? Ada hubungan apa dia dengan urusan ini? Di mana... di mana dia sekarang?”

“Anakmu itu pintar dan cerdik. Begitu melihatnya aku langsung merasa suka,” kata Mu Gaofeng. “Dia sangat cerdas dan berbakat. Dia bisa melihat kalau aku ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka, anakmu itu lantas memohon untuk menjadi muridku.”

Lin Zhennan sudah hafal sifat putra tunggalnya yang pantang menundukkan kepala di hadapan orang lain yang berhati busuk. Maka, ia pun pura-pura menjawab, “Oh, rupanya putra kami sudah mengangkat Pendekar Mu sebagai guru. Tentu hal ini menjadi keberuntungan besar baginya. Sayang sekali, kami berdua sudah disiksa sedemikian hebatnya. Luka kami sudah terlalu parah. Kami hanya tinggal menunggu ajal. Jika Pendekar Mu tidak keberatan, sudilah kiranya membawa Pingzhi kemari. Biar kami bisa melihat wajah putra kami untuk yang terakhir kalinya.”

Mu Gaofeng menjawab, “Itu hanya masalah kecil. Permintaan kalian sangat mudah untuk aku kabulkan.”

“Kalau begitu, di mana anak kami berada?” tanya Nyonya Lin. “Kami mohon dengan sangat, Pendekar Mu sudi memanggil Pingzhi kemari. Budi baik Tuan Pendekar tidak akan kami lupakan.”

“Baik, aku akan segera memanggilnya ke sini,” sahut Mu Gaofeng. “Tapi selamanya si marga Mu tidak sudi disuruh orang dengan cuma-cuma. Untuk memanggil putramu kemari itu urusan mudah. Asalkan lebih dulu kalian memberitahukan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan.”

Sebagai seorang pengusaha terkenal, Lin Zhennan sudah hafal dengan tipu muslihat yang dilancarkan Mu Gaofeng. Ia pun menghela napas dan berkata, “Rupanya Pendekar Mu tidak memercayai ucapanku tadi. Sudah kubilang kalau kami benar-benar tidak mempunyai kitab tersebut. Andai saja kami memilikinya tentu sudah kami titipkan kepada Pendekar Mu untuk disampaikan kepada Pingzhi, mengingat umur kami tinggal sekejap. Kami mohon Pendekar Mu sudi membawa Pingzhi kemari agar kami bisa bertemu muka dengannya untuk yang terakhir kali.”

“Huh, ternyata benar ucapanku tadi – kau ini memang benar-benar bodoh!” bentak Mu Gaofeng. “Urat jantungmu sudah pecah. Meskipun aku tidak menyentuhmu, tetap saja kau akan mati dengan sendirinya. Andai saja satu jam yang lalu kau berterus terang kepadaku, mungkin aku sudah membantu mengobati luka-lukamu. Hm, kau bersikeras tidak mau membuka mulut meskipun disiksa sampai mati, tentu saja karena kau tidak ingin ilmu silat leluhurmu itu jatuh ke tangan orang lain. Akan tetapi kau lupa, setelah dirimu mati, maka anggota Keluarga Lin yang tesisa hanya tinggal anakmu seorang. Jadi, kalau dia mati pula, siapa lagi yang akan mempelajari ilmu pedang leluhurmu? Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak akan ada gunanya lagi.”

Nyonya Lin tersentak dan berseru khawatir, “Ada apa dengan putraku? Apa dia... apa dia mendapat celaka?”

“Saat ini keadaannya masih baik-baik saja,” jawab Mu Gaofeng. “Tentu saja dia akan tetap sehat dan selamat apabila kalian sudi mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis itu disimpan. Sesudah kuterima, tentu aku akan segera memberikannya kepada putramu. Jika dia kurang paham isinya, maka aku yang akan memberinya petunjuk. Dengan demikian putramu itu bisa melestarikan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Lin, tidak seperti dirimu yang bodoh dan tidak becus ini. Bukankah ini pilihan yang baik daripada aku memukulnya sampai hancur lebur?”

Begitu si bungkuk mengucapkan kata “memukulnya” seketika Linghu Chong mendengar suara benda keras hancur berkeping-keping. Rupanya Mu Gaofeng telah memukul hancur patung dewa di dalam kuil tersebut untuk mempertegas ucapannya.

Melihat itu Nyonya Lin semakin khawatir. Ia berkata, “Kenapa kau... kau ingin membunuh putra kami?”

Mu Gaofeng bergelak tawa dan menjawab, “Lin Pingzhi adalah muridku. Hidup matinya terserah kepadaku. Bila aku ingin membinasakannya, sekali hantam saja dia akan hancur seperti patung itu.” Usai berkata ia kembali menakut-nakuti dengan memukul hancur benda-benda lainnya di dalam kuil.

Lin Zhennan menyahut, “Istriku, kau jangan bertanya lagi. Putra kita tidak ada padanya. Kalau dia benar-benar menawan Pingzhi, kenapa dia tidak langsung menyeretnya kemari? Bukankah dengan cara begitu kita bisa lebih mudah dipaksa menyerah?”

Mu Gaofeng tertawa semakin keras meskipun kebohongannya telah diketahui. Ia kembali berkata, “Kau ini memang benar-benar bodoh. Sangat bodoh! Anggap saja dugaanmu itu benar. Lantas, apakah aku tidak bisa membunuhnya? Kau salah besar, Ketua Lin. Kawan-kawanku tersebar di dunia persilatan. Menemukan dan membunuh Lin Pingzhi hanya masalah sederhana.”

Nyonya Lin yang masih ketakutan berkata lirih kepada sang suami, “Aku takut... aku takut dia mencelakai Ping’er....”

Mu Gaofeng menukas, “Benar sekali! Sekali kau mengatakan di mana kitab itu berada, maka Lin Pingzhi akan tetap selamat. Sekalipun ajal kalian tiba, dia akan tetap meneruskan nama besar Keluarga Lin kalian.”

Lin Zhennan tetap bersikap tenang, bahkan tertawa terbahak-bahak. “Istriku, apabila kita menuruti perintahnya, yaitu menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis kepadanya, maka yang pertama dia lakukan adalah membunuh Ping’er,” ujarnya kemudian. “Selama kita tidak memberitahukan kepadanya, maka Ping’er akan baik-baik saja. Aku jamin si bungkuk ini tidak akan berani macam-macam terhadap anak kita. Kau jangan terkecoh oleh tipuan rendah seperti ini.”

Nyonya Lin pun sadar akan sandiwara Mu Gaofeng. Ia lantas berseru, “Bungkuk tua, kau tidak perlu mengancam anak kami. Bunuh saja kami sekarang juga!”

Linghu Chong yang menguping di luar hanya bisa membayangkan wajah Mu Gaofeng pasti sangat merah menahan murka. Dalam waktu singkat si bungkuk itu pasti menyiksa suami-istri Lin Zhennan sampai mati. Maka ia pun berteriak, “Pendekar Mu, aku adalah Linghu Chong, murid Perguruan Huashan. Guru kami mengundangmu untuk keluar sebentar. Ada urusan penting yang ingin Beliau tanyakan kepadamu.”

Saat itu Mu Gaofeng sudah mengepalkan tangan siap memukul wajah Lin Zhennan. Ia sangat terkejut mendengar seruan Linghu Chong tersebut. Dalam urusan ini sebenarnya ia tidak ingin mengalah kepada siapapun. Tapi, peristiwa di Wisma Kumala kemarin membuat Mu Gaofeng bertambah segan dan takut kepada Yue Buqun. Dari seruan Linghu Chong tadi, ia mengira Yue Buqun sudah lama menunggu di luar untuk membuat perhitungan dengannya. Sebagai seorang pemimpin perguruan golongan putih, sudah tentu Yue Buqun akan menindak tegas perbuatan sewenang-wenang yang ia lakukan terhadap pasangan suami-istri Lin tersebut.

Maka, tanpa pikir panjang Mu Gaofeng pun berteriak, “Maaf, aku sedang sibuk. Tolong sampaikan kepada gurumu bahwa aku tidak bisa memenuhi undangannya. Kelak jika Saudara Yue pergi ke utara, aku persilakan mampir di rumahku yang sederhana. Selamat tinggal!”

Usai berkata demikian Mu Gaofeng langsung melompat menjebol atap kuil dan kemudian melesat ke arah hutan. Khawatir Yue Buqun mengejar dan menanyainya, ia pun berlari sekencang-kencangnya dan menghilang dalam waktu sekejap.

Mendengar Mu Gaofeng telah menjauh, Linghu Chong sangat gembira. Diam-diam ia berpikir, “Rupanya si bungkuk itu benar-benar takut kepada Guru. Padahal, kalau tadi dia benar-benar keluar memenuhi panggilanku, bisa-bisa aku sekarang sudah mati di tangannya.”

Perlahan-lahan Linghu Chong masuk ke dalam kuil tua tersebut. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat dua orang duduk di lantai dengan tubuh diikat saling membelakangi pada sebatang tiang. Keduanya terlihat begitu lemah, pertanda sudah berkali-kali mendapatkan siksaan fisik dan mental.

Melihat pasangan tersebut, Linghu Chong membungkuk dan menyapa, “Saya Linghu Chong dari Perguruan Huashan memberi hormat kepada Paman dan Bibi Lin. Saat ini putra kalian, yaitu Pingzhi, telah menjadi adik seperguruan kami.”

“Jangan terlalu sungkan, anak muda,” sahut Lin Zhennan gembira. “Keadaan kami sudah payah, sehingga tidak bisa membalas hormatmu. Tapi, apakah benar yang baru saja kau katakan tadi? Apa benar Pingzhi telah menjadi murid Pendekar Yue dari Perguruan Huashan?” Saat mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, suaranya terdengar agak gemetar.

Sebagai seorang pengusaha terkenal, tentu saja Lin Zhennan yang berwawasan luas mengetahui bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan memiliki nama besar di atas Yu Canghai. Setiap tahun ia berusaha menjalin hubungan dengan Perguruan Qingcheng, namun sama sekali belum pernah mengirimkan hadiah kepada Perguruan Huashan. Rupanya Lin Zhennan merasa Biro Ekspedisi Fuwei belum sederajat untuk bisa berteman dengan Perguruan Huashan ataupun anggota Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Maka, begitu mendengar putranya diterima sebagai murid Huashan, tentu saja Lin Zhennan merasa sangat bahagia. Apalagi ia menyaksikan sendiri bagaimana seorang Mu Gaofeng yang kejam dan bengis bisa lari terbirit-birit hanya karena mendengar nama Yue Buqun diucapkan.

Menanggapi pertanyaan Lin Zhennan tadi, Linghu Chong berkata sambil membuka ikatan kedua suami-istri itu, “Benar sekali. Kemarin Adik Pingzhi telah diterima sebagai murid perguruan kami. Tadinya si bungkuk Mu Gaofeng berusaha memaksa Adik Pingzhi supaya bersedia menjadi muridnya. Tapi Adik Pingzhi sungguh pemberani dan bersikeras menolaknya. Kebetulan waktu itu Guru datang dan berhasil mengusir Mu Gaofeng. Adik Pingzhi kemudian memohon supaya diterima sebagai murid Guru. Melihat keberanian dan kesungguhan hati putra Paman dan Bibi, guru kami pun menerima permohonannya. Beberapa saat yang lalu, Guru juga telah mengalahkan Yu Canghai dalam sebuah pertarungan pedang. Kali ini Guru sedang mengejar pendeta pendek itu yang melarikan diri entah ke mana. Sayang sekali, Guru tidak tahu kalau Paman dan Bibi Lin ada di sini.”

Lin Zhennan dan istrinya sangat gembira mendengar cerita Linghu Chong. Ia pun berkata dengan napas tersengal-sengal, “Semoga... semoga Pingzhi bisa segera... segera datang. Kalau tidak... kalau tidak, kami mungkin sudah....” Dari suaranya yang sangat payah itu, sepertinya ajal Lin Zhennan sudah semakin dekat.

Linghu Chong ingin sekali membantu menyalurkan tenaga dalam untuk mengobati lukanya, namun saat itu ia sendiri juga belum sembuh benar. Maka, yang bisa ia lakukan hanya berkata, “Paman Lin hendaknya jangan bicara lagi. Sebentar lagi Guru mungkin melewati tempat ini. Beliau pasti bisa menyembuhkan luka kalian berdua.”

Lin Zhennan tersenyum getir. Sejenak ia memejamkan mata kemudian berkata lagi dengan suara lirih, “Keponakan Linghu, aku... aku sudah tidak... tidak tahan lagi. Aku sangat gembira... Pingzhi bisa menjadi murid... Huashan. Kumohon kau... kau sudi menjaganya....”

“Paman Lin tidak perlu khawatir,” sahut Linghu Chong. “Tentu saja Adik Pingzhi tidak hanya kuanggap sebagai adik seperguruan, tetapi juga akan kuperlakukan seperti adik kandung sendiri. Apalagi Paman Lin sudah berpesan seperti itu, tentu aku akan lebih melindunginya lagi.”

“Budi baik Keponakan Linghu tidak akan pernah kami lupakan,” ujar Nyonya Lin ikut bicara. “Kami akan selalu mengingatnya... meskipun berada di alam baka sana.”

“Aku mohon Paman dan Bibi beristirahat saja. Jangan bicara lagi,” ujar Linghu Chong.

Namun Lin Zhennan tidak menghiraukan larangan Linghu Chong. Ia tetap saja berbicara meskipun dengan napas tersengal-sengal, “Tolong sampaikan... pesan terakhir kami kepada Pingzhi..... Katakan kepadanya... bahwa, di dalam rumah lama Keluarga Lin... di Gang Matahari, di Kota Fuzhou... terdapat benda pusaka... warisan leluhur. Seharusnya dia... menjaga benda itu dengan baik. Tapi... tapi menurut pesan leluhur, setiap anggota keluarga Lin, jangan sampai... jangan sampai membuka dan memeriksa... benda itu, karena... karena bisa mendatangkan... malapetaka besar.”

“Baiklah, pesan Paman Lin akan kusampaikan kepada Adik Pingzhi,” sahut Linghu Chong.

“Terima... terima... kas....” belum sempat kata-katanya selesai, napas Lin Zhennan sudah lebih dulu berhenti. Ketua Biro Ekspedisi Fuwei itu telah meninggal dunia.

Rupanya selama beberapa hari ini Lin Zhennan telah merasakan berbagai macam siksaan yang dilakukan Yu Canghai. Demi untuk menyampaikan wasiat leluhur tersebut kepada Lin Pingzhi, ia berusaha keras melawan kematian. Kini begitu mendengar nasib putranya ternyata dalam keadaan aman, ia merasa sangat lega. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga ia menyampaikan wasiat tersebut kepada Linghu Chong, dan setelah itu ia pun merasa tenang meninggalkan dunia fana.

Terdengar Nyonya Lin berkata, “Pendekar Muda Linghu, tolong kau sampaikan kepada Pingzhi supaya tidak melupakan sakit hati ayah-ibunya.” Usai berkata demikian ia lantas membenturkan kepalanya pada tiang batu tempat tangannya tadi diikat. Wanita itu pun meninggal pula dengan kepala remuk, menyusul sang suami.

Linghu Chong menghela napas menyaksikan kematian pasangan suami-istri Lin tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Yu Canghai dan Mu Gaofeng memaksa Paman dan Bibi Lin membocorkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Meskipun dianiaya sampai setengah mati, mereka berdua pantang menyerah. Sekarang pun ketika ajal di depan mata, Paman Lin masih juga berusaha merahasiakannya kepadaku. Dia takut aku menggelapkan benda pusaka tersebut sehingga menjelaskan bahwa benda itu bisa mendatangkan malapetaka besar. Hm, kau pikir Linghu Chong ini manusia macam apa? Padahal, mempelajari semua ilmu silat Perguruan Huashan saja aku belum tuntas. Lalu, untuk apa aku harus bersusah payah mengincar ilmu silat orang lain? Kekhawatiran kalian sungguh sia-sia.”

Linghu Chong kemudian duduk di lantai bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan kakinya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara Yue Buqun berkata, “Pendeta Yu, apakah kau masuk ke dalam kuil ini?”

Seketika Linghu Chong pun berteriak, “Guru! Guru!”

Yue Buqun menjawab, “Chong’er, apa kau berada di dalam?”

“Benar, saya di sini!” jawab Linghu Chong sambil perlahan-lahan berdiri dengan bersandar pada tiang.

Yue Buqun segera masuk ke dalam kuil. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga ia dapat melihat jasad suami-istri Lin Zhennan dengan mudah.

“Apakah mereka ini Ketua Lin dan istrinya?” tanya Yue Buqun kemudian.

“Benar,” jawab Linghu Chong. Ia lantas menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari pemaksaan yang dilakukan Mu Gaofeng; bagaimana ia menakut-nakuti dan mengusir Mu Gaofeng pergi; bagaimana kematian Lin Zhennan dan istrinya; serta bagaimana isi wasiat terakhir ketua Biro Pengawalan Fuwei tersebut.

“Apa? Mereka sudah mati?” sahut Yue Buqun ketika melihat pasangan tersebut ternyata telah menjadi mayat dengan keadaan masih terikat di tiang kuil.

Sejenak Yue Buqun termenung, baru kemudian ia berkata, “Dosa Yu Canghai semakin bertambah banyak, tapi ia tidak memperoleh apa-apa.”

“Apakah pendeta kerdil itu memohon belas kasihan kepada Guru?” tanya Linghu Chong dengan perasaan ingin tahu.

“Pendeta Yu memiliki sepasang kaki yang sangat gesit. Aku sudah berusaha keras mengejarnya namun jarak kami semakin jauh dan jauh saja,” ujar Yue Buqun. Sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan, “Ilmu meringankan tubuh Perguruan Qingcheng memang lebih bagus daripada Perguruan Huashan kita.”

“Benar, Guru!” jawab Linghu Chong sambil tetawa. “Apalagi jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat mereka paling hebat di dunia persilatan.”

Yue Buqun memasang wajah bengis dan membentak, “Chong’er, jaga mulutmu! Lidahmu memang tajam dan suka bicara tanpa dipikir lebih dulu. Mana bisa kau menjadi teladan bagi adik-adikmu?”

Linghu Chong langsung berhenti tertawa, kemudian berpaling sambil menjulurkan lidah dan menjawab, “Baik, Guru!” Ia memang dipungut Yue Buqun sejak kecil sehingga gurunya itu sudah seperti ayah sendiri baginya. Namun demikian, meskipun sangat menghormati sang guru, ia tetap suka bergurau di hadapan ketua Perguruan Huashan tersebut.

“Apakah Guru melihatku menjulurkan lidah?” ujar Linghu Chong kemudian.

Yue Buqun menjawab, “Meskipun kau berpaling, tapi aku melihat urat di bawah telingamu sedikit tegang. Sudah pasti kau menjulurkan lidahmu untuk meledek diriku. Huh, kau ini memang suka usil dan membuat onar. Kali ini tentu kau sudah kenyang menderita. Bagaimana dengan lukamu?”

“Sudah jauh lebih baik,” jawab Linghu Chong. “Semakin banyak menderita di masa kini, maka akan semakin pintar di masa depan.”

Yue Buqun mendengus dan berkata, “Apa kau merasa tidak cukup pintar saat ini?”

Usai berkata demikian ia lantas mengeluarkan kembang api dan berjalan ke luar kuil. Sesampainya di halaman, kembang api itu segera dinyalakan dan dilemparkannya ke atas. Kembang api tersebut melesat ke angkasa dan meletus menjadi seberkas cahaya terang berbentuk pedang berwarna putih keperakan. Beberapa menit kemudian, pedang cahaya tersebut perlahan turun ke bawah dan kemudian pecah menjadi titik-titik terang berhamburan. Ternyata nyala kembang api tersebut merupakan tanda isyarat Yue Buqun alias Si Pedang Budiman untuk memanggil segenap murid-murid Perguruan Huashan.

Tidak lama kemudian dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang sedang berlari menuju ke arah kuil kecil tersebut.

“Guru!” sahut orang itu setelah sampai di pelataran. Ternyata ia adalah Gao Genming si murid kelima.

“Ya, aku berada di dalam,” jawab Yue Buqun yang saat itu telah masuk kembali ke dalam kuil.

Gao Genming segera masuk dan memberi hormat kepada sang guru. Begitu melihat Linghu Chong, ia langsung berseru gembira, “Kakak Pertama, kau sudah sembuh? Kami sungguh mengkhawatirkan keadaanmu.”

Linghu Chong tersenyum haru. Ia menjawab, “Aku baik-baik saja. Langit telah melindungi aku. Kali ini aku benar-benar beruntung tidak sampai mati.”

Sayup-sayup terdengar suara langkah dua orang mendatangi kuil tersebut. Kali ini yang datang adalah Lao Denuo si murid kedua dan Lu Dayou si murid keenam. Begitu melihat Linghu Chong, tanpa memberi hormat lebih dulu kepada sang guru, Lu Dayou langsung melompat memeluknya sambil berseru gembira, “Kakak Pertama, kami sangat mengkhawatirkanmu!”

Sejenak kemudian muncul Liang Fa si murid ketiga bersama Shi Daizi si murid keempat. Selang agak lama, muncullah Tao Jun si murid ketujuh, Ying Bailuo si murid kedelapan, Yue Lingshan putri sang guru, dan akhirnya Lin Pingzhi si murid baru.

Begitu melihat ayah dan ibunya telah meninggal dunia, Lin Pingzhi langsung menubruk dan memeluk jenazah mereka. Melihat tangisan pemuda itu, murid-murid Huashan yang lain ikut merasa prihatin.

Sebenarnya Yue Lingshan sangat senang melihat Linghu Chong telah sembuh dari luka. Namun melihat Lin Pingzhi sedang menangisi jasad kedua orang tuanya, maka ia pun menahan diri untuk tidak bersorak gembira. Perlahan-lahan gadis itu mendekat dan mencubit si kakak pertama sambil bertanya, “Apa kau... baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong.

Selama beberapa hari ini Yue Lingshan selalu dilanda kekhawatiran tentang berita kematian Linghu Chong. Kini, begitu melihat si kakak pertama tiba-tiba muncul dalam keadaan selamat, ia tidak dapat lagi menahan perasaannya yang sudah menyesakkan dada. Maka, tanpa pikir lagi ia pun menarik lengan baju Linghu Chong dan menangis keras-keras.

Perlahan Linghu Chong menyandarkan kepala Yue Lingshan di bahunya sambil berkata lirih, “Adik Kecil, mengapa kau menangis? Siapa yang telah mengganggumu?”

Yue Lingshan tidak menjawab, melainkan terus saja mencucurkan air mata. Setelah perasaannya agak lega, ia pun berkata, “Kau tidak mati, kau tidak mati!”

“Tentu saja aku masih hidup,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

“Aku dengar kau terkena pukulan Yu Canghai. Aku tahu ketua Perguruan Qingcheng itu menguasai Tapak Penghancur Jantung yang bisa membunuh orang tanpa mengeluarkan darah. Aku melihat sendiri bagaimana ia membantai banyak orang. Aku sangat takut dia... dia....” sampai di sini Yue Lingshan tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya dan kembali menangis.

“Aku sangat beruntung karena bisa menghindari pukulan itu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Tapi aku baru saja melihat pertarungan Guru melawan Yu Canghai, serta bagaimana pendeta kerdil itu lari terbirit-birit. Sayang sekali kau melewatkan peristiwa menarik itu.”

“Jangan kau ceritakan hal ini kepada orang lain,” sahut Yue Buqun menukas.

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong disertai murid-murid Huashan lainnya.

Yue Lingshan lantas memandangi wajah Linghu Chong yang terlihat kurus dan pucat pasi. Gadis itu lantas berkata, “Kakak Pertama, kali ini kau terluka sangat parah. Kau harus segera kembali ke Gunung Huashan untuk beristirahat.”

Sementara itu, Yue Buqun mendekati Lin Pingzhi yang masih menangisi jasad ayah dan ibunya. Ia pun berkata, “Pingzhi, jangan terus-menerus menangisi kedua orang tuamu. Lebih baik mari kita urus jenazah mereka.”

“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi sambil bangkit berdiri. Namun begitu melihat wajah ayah dan ibunya yang berlumuran darah, mau tidak mau air matanya kembali bercucuran. Ia pun berkata dengan suara parau, “Ayah dan Ibu tidak melihatku pada saat-saat terakhir mereka. Mungkin mereka ingin... ingin memberikan nasihat perpisahan kepadaku.”

“Adik Lin,” sahut Linghu Chong, “aku berada di sini mendampingi ayah dan ibumu menjelang wafat. Beliau berdua berpesan kepadaku supaya selalu menjaga dirimu. Sudah tentu ini adalah kewajibanku. Selain itu, ayahmu juga meninggalkan sebuah wasiat untuk disampaikan kepadamu.”

“Oh... jadi Kakak Pertama mendampingi Ayah dan Ibu ketika mereka meninggal? Terima kasih banyak, terima kasih banyak, Kakak,” ujar Lin Pingzhi menahan haru.

“Paman dan Bibi Lin sungguh pantang menyerah. Meskipun Beliau berdua disiksa oleh para keparat dari Perguruan Qingcheng sampai terluka parah, namun keduanya tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan,” ujar Linghu Chong. “Kemudian Mu Gaofeng datang pula untuk memaksa Paman dan Bibi Lin menyerahkan kitab tersebut. Si bungkuk itu memang seorang penjahat, sehingga tidak mengherankan kalau dia berbuat kejam seperti itu. Tapi Yu Canghai seorang ketua perguruan golongan putih. Tindakannya yang memalukan sudah tentu akan membuatnya dipandang rendah oleh seisi dunia persilatan.”

“Benar, Kakak Pertama!” sahut Lin Pingzhi dengan menggertakkan gigi. “Jika sakit hati ini tidak bisa kubalas, maka Lin Pingzhi lebih hina daripada babi.” Usai berkata demikian, pemuda itu mengepalkan tangan dan menghantam tiang batu di sebelahnya. Meskipun ilmu silatnya sangat rendah, namun karena kebenciannya sudah memuncak membuat pukulan itu sangat keras, sampai-sampai merontokkan debu dan kotoran di langit-langit kuil.

Yue Lingshan menyahut, “Adik Lin, semua ini terjadi karena kau membela diriku di kedai arak waktu itu. Tentu saja kelak jika kau mendapat kesempatan membalas dendam, aku tidak akan berpeluk tangan.”

“Terima kasih banyak, Kakak,” sahut Lin Pingzhi.

Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Perguruan Huashan selama ini selalu bersikap teguh pendirian. Jika orang lain tidak mengganggu, maka kita tidak akan mengganggu mereka pula. Oleh sebab itu, perguruan kita jarang terlibat perselisihan dengan pihak mana pun. Namun sejak saat ini kita tidak bisa lagi hidup tenang. Mulai saat ini, Perguruan Qingcheng... Perguruan Qingcheng... Hm, sekali tercebur di dunia persilatan sulit sekali bagi kita untuk menghindari perselisihan.”

“Adik Kecil dan Adik Lin,” sahut Lao Denuo ikut berbicara, “Yu Canghai membunuh keluargamu bukan karena perbuatanmu menolong Adik Kecil, tapi sejak awal semua ini memang sudah ia rencanakan. Orang itu berambisi memiliki Kitab Pedang Penakluk Iblis. Benih-benih dendamnya muncul sejak gurunya yang bernama Tang Qingzi dikalahkan oleh kakek buyut Adik Lin yang perkasa.”

“Benar,” sahut Yue Buqun. “Kaum persilatan memang sukar terhindar dari keinginan untuk menjadi yang terhebat. Begitu mendengar adanya sebuah kitab rahasia ilmu silat –tidak peduli apakah berita itu benar atau tidak– tentu setiap orang berusaha mati-matian mendapatkannya, entah dengan cara gagah ataupun dengan cara licik. Padahal seorang guru besar seperti Pendeta Yu yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar, tidak sepantasnya mengincar ilmu silat pihak lain.”

“Guru, dalam keluarga kami sama sekali tidak terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Lin Pingzhi. “Selama ini Ayah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis secara lisan, dan menyuruh saya mengingat-ingat di dalam otak. Seandainya kitab itu benar-benar ada, mustahil Ayah tidak memberitahukannya kepada saya. Bukankah saya ini putra tunggalnya?”

Yue Buqun mengangguk dan berkata, “Aku sendiri tidak yakin apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar ada. Jika kitab itu sungguh ada, tentu Yu Canghai tidak mampu mengalahkan ayahmu. Bukankah ini merupakan bukti nyata?”

Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Linghu Chong. Ia segera berkata, “Adik Lin, sebelum meninggal dunia, ayahmu sempat berkata bahwa di Gang Matahari di Kota Fuzhou....”

Yue Buqun menukas, “Wasiat Ketua Lin hanya boleh kau sampaikan kepada Pingzhi seorang. Orang lain tidak perlu ikut mendengar.”

“Baik!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk paham.

Yue Buqun kembali berkata, “Denuo dan Genming, kalian berdua pergilah ke Kota Hengshan untuk membeli dua buah peti mati.”

Kedua murid Huashan itu pun berangkat melaksanakan perintah sang guru. Singkat cerita mereka telah kembali dengan disertai beberapa orang kuli membawa dua buah peti mati besar. Setelah memasukkan jasad kedua orang tua Lin Pingzhi ke dalam masing-masing peti, Yue Buqun memutuskan untuk pulang ke Gunung Huashan melalui jalur sungai.

Pada sore harinya, rombongan Perguruan Huashan telah sampai di tepi sungai. Di sana Yue Buqun menyewa sebuah kapal untuk mengangkut rombongannya, beserta kedua peti mati yang berisi jasad Lin Zhennan dan istrinya.

Kapal pun berlayar menyusuri sungai menuju ke arah barat. Sesampainya di wilayah Provinsi Henan, rombongan tersebut berganti menempuh jalur darat. Saat itu Yue Buqun telah menyewa pedati untuk mengangkut kedua peti. Linghu Chong yang belum sembuh benar juga ikut menumpang di dalam pedati tersebut.

Beberapa hari kemudian, rombongan Yue Buqun itu akhirnya tiba di kaki Gunung Huashan. Setelah sampai di Puncak Gadis Cantik, kedua peti mati diletakkan di dalam sebuah kuil kecil, untuk selanjutnya tinggal mencari tanggal yang tepat guna menguburkan jasad pasangan suami-istri Lin Zhennan tersebut.

Gao Genming dan Lu Dayou lantas mendahului pulang untuk menyampaikan kabar kepulangan sang guru. Tak lama kemudian murid-murid Huashan lainnya tampak berdatangan menyambut rombongan. Murid-murid yang tidak ikut ke Hengshan berjumlah sekitar dua puluhan atau lebih. Satu per satu mereka diperkenalkan kepada Lin Pingzhi selaku murid baru. Beberapa di antaranya sudah berusia tiga puluhan, namun ada juga yang masih berusia belasan tahun. Selain itu terlihat pula enam orang murid perempuan yang segera mengerumuni Yue Lingshan. Dalam sekejap mereka sudah terlibat pembicaraan seru.

Sesuai peraturan, Lin Pingzhi yang saat itu berusia sembilan belas tahun harus memanggil “kakak” kepada semua murid Huashan yang masuk perguruan sebelum dirinya, termasuk kepada murid paling kecil, yaitu Su Qi yang baru berusia dua belas tahun.

Namun demikian, peraturan tersebut tidak berlaku untuk Yue Lingshan. Sebagai putri sang guru, ia berhak memanggil “kakak” dan “adik” berdasarkan usia, bukan berdasarkan urutan masuk perguruan. Meskipun demikian, ia menolak memanggil “kakak” kepada Lin Pingzhi yang setahun lebih tua daripada dirinya. Karena Yue Buqun tidak melarang, serta Lin Pingzhi juga tidak keberatan, maka Yue Lingshan pun bisa leluasa memanggil pemuda itu dengan sebutan “adik”.

Yue Buqun lantas memimpin rombongan murid-muridnya itu mendaki menuju puncak. Sepanjang perjalanan, Lin Pingzhi menyaksikan pemandangan indah terhampar di mana-mana. Gunung Huashan memang sangat terjal, namun sangat sedap dipandang mata. Pepohonan cemara tua yang rindang dan berwarna hijau asri serta suara burung berkicau membuat suasana bertambah nyaman. Beberapa bangunan megah berderet-deret tersebar menurut tinggi rendahnya tanah pegunungan, dan kesemuanya berwarna putih bersih.

Di depan salah satu gedung tampak seorang wanita cantik setengah umur muncul menyambut rombongan. Begitu melihatnya, Yue Lingshan langsung berlari ke arahnya dan berseru, “Ibu, aku baru saja mendapat satu adik perguruan lagi.”

Dalam perjalanan tadi Lin Pingzhi sempat mendengar bahwa istri Yue Buqun atau yang biasa dipanggil dengan sebutan “ibu-guru” juga seorang pendekar pedang terkenal, bernama Ning Zhongze. Sebenarnya ia juga seorang murid Huashan, yaitu adik seperguruan Yue Buqun sendiri.

Maka, begitu tiba di hadapan Ning Zhongze, Lin Pingzhi langsung membungkukkan badan dan berkata dengan penuh sopan santun, “Lin Pingzhi menyampaikan salam hormat kepada Ibu Guru.”

“Sudahlah, tidak usah terlalu banyak adat,” jawab Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada sang suami dan berkata, “Kakak, setiap kali turun gunung kau biasa kembali dengan membawa beberapa murid baru. Tapi, kali ini kenapa hanya satu orang saja?”

“Bukankah kau sering berkata lebih baik seorang tapi baik, daripada sepuluh orang tapi tidak bermutu?” sahut Yue Buqun sambil tertawa. “Kalau menurutmu yang ini bagaimana?”

“Rasanya dia ini terlalu tampan, tidak pantas menjadi orang persilatan,” kata Ning Zhongze ikut tertawa. “Mungkin lebih baik dia belajar kitab sastra klasik saja kepadamu. Siapa tahu kelak dia bisa lulus ujian Xiucai dan menjadi seorang Zhuangyuan.”

“Bagus sekali gagasanmu,” ujar Yue Buqun. “Jika Perguruan Huashan bisa menghasilkan seorang Zhuangyuan, tentu akan menjadi legenda bagi angkatan selanjutnya.’

Wajah Lin Pingzhi bersemu merah. Dalam hati ia berkata, “Ibu Guru memandang rendah terhadapku karena badanku yang lemah dan sikapku yang lembut ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri, aku harus giat belajar supaya bisa mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara lainnya.”

Ning Zhongze kemudian melirik ke arah Linghu Chong dan menegur, “Hei, kau habis berkelahi lagi, bukan? Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa kau terluka?”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Kesehatan saya sebenarnya sudah pulih. Mungkin karena kehilangan banyak darah sehingga wajah saya terlihat pucat. Kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu dengan Ibu Guru lagi untuk selamanya.”

“Ya, memang harus begitu,” ujar Ning Zhongze sambil melotot. Meskipun terlihat galak namun sebenarnya ia sangat menyayangi Linghu Chong seperti anak kandung sendiri. “Dengan bertarung seperti itu, tentu kau menjadi sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Kau juga akan bertambah kuat dibanding sebelumnya. Apakah dirimu kalah dalam pertarungan secara kesatria?”

Linghu Chong menjawab, “Ilmu golok Tian Boguang sangat cepat dan ganas, saya merasa kesulitan untuk menangkisnya. Untuk itu saya ingin meminta petunjuk kepada Ibu Guru.”

Begitu mendengar bahwa yang telah melukai murid suaminya itu ternyata Tian Boguang si penjahat cabul, wajah Ning Zhongze langsung berubah ramah. Ia pun berkata, “Oh, ternyata kau terluka karena bertempur melawan seorang bajingan bernama Tian Boguang. Bagus sekali, bagus sekali! Tadinya aku kira kau mencari gara-gara dan membuat onar lagi. Coba katakan kepadaku, seperti apa ilmu goloknya itu. Mungkin kita bisa memecahkan rahasianya sehingga kelak bisa melabrak penjahat itu sekali lagi.”

Selama perjalanan pulang, Linghu Chong banyak meminta petunjuk kepada gurunya mengenai bagaimana cara untuk menghadapi kecepatan golok Tian Boguang. Namun, Yue Buqun tidak mau menjawab dan menyuruhnya untuk bertanya kepada sang ibu guru sesampainya nanti di Gunung Huashan. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri sangat tertarik begitu mendengar pengalaman Linghu Chong tersebut. Ia ingin lekas-lekas melihat seperti apa ilmu golok penjahat itu untuk menentukan bagaimana cara menandinginya.

Yue Buqun dan para murid lantas masuk ke dalam gedung utama perguruan. Dalam waktu singkat para murid langsung terbagi menjadi dua kelompok. Murid-murid perempuan mengerumuni Yue Lingshan untuk mendengarkan bagaimana penyamarannya sebagai gadis burik di Kota Fuzhou, sementara murid-murid laki-laki yang tidak ikut ke Hengshan mengerumuni Lu Dayou untuk mendengarkan kehebatan sang kakak pertama dalam mengahdapi Tian Boguang, serta bagaimana Luo Renjie dari Perguruan Qingcheng terbunuh. Tentu saja cerita tersebut ditambahi dengan bumbu di sana-sini supaya terdengar lebih menarik.

Setelah meminum secawan teh sambil duduk di sudut ruangan, Ning Zhongze meminta Linghu Chong memperagakan ilmu golok Tian Boguang serta bagaimana dia telah menandingi jurus tersebut.

Linghu Chong menjawab sambil tersenyum, “Ilmu golok Tian Boguang sangat bagus dan cepat. Saya hanya bisa terbelalak menyaksikan kehebatannya, serta kesulitan dalam menangkis serangannya. Jadi, mana bisa saya dikatakan telah menandinginya?”

“Kalau kau tidak mampu menangkis serangannya, tentu kau menggunakan tipu muslihat dalam menghadapinya,” ujar Ning Zhongze menyimpulkan. Bagaimanapun juga ia telah merawat Linghu Chong sejak kecil sehingga mengetahui sifat dan kebiasaan pemuda itu.

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Saya pertama kali bertarung dengannya di dalam gua. Setelah Adik Yilin dari Perguruan Henshan berhasil melarikan diri, saya pun mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan Tian Boguang. Tapi penjahat itu lantas mengerahkan ilmu goloknya yang cepat. Baru menangkis dua kali saya langsung merasa seperti daging cincang. Maka, saya pun tertawa untuk mengalihkan perhatiannya.

Tian Boguang lantas menarik goloknya dan bertanya, ‘Apanya yang lucu? Kau pikir dirimu bisa menangkis Tiga Belas Jurus Golok Topan Badai milikku?’

Saya menjawab, ‘Aha, aku tahu sekarang. Ternyata Tian Boguang yang terkenal adalah bekas murid Huashan; atau lebih tepatnya, seorang murid buangan. Sungguh tak kusangka, sungguh tak kuduga. Mungkin karena tingkah lakumu yang buruk itu, maka kau dikeluarkan dari Perguruan Huashan.’

Tian Boguang menjadi marah dan berkata, ‘Murid buangan Perguruan Huashan kepalamu! Omong kosong apa pula ini? Ilmu silatku ini punya ciri khas tersendiri. Mana mungkin ada sangkut-pautnya dengan perguruanmu?’

Saya pun tertawa dan balik bertanya, ‘Kenapa kau masih tidak mengaku juga? Bukankah ilmu golokmu ada tiga belas jurus? Apa kau memberinya nama Jurus Golok Topan Badai hanya sekadar asal-asalan? Aku sendiri pernah menyaksikan permainan golok seperti itu dimainkan ibu-guruku jauh sebelum ini. Beliau mendapat inspirasi untuk menciptakan ilmu golok tersebut ketika sedang menyulam. Tentunya kau tahu kalau di Gunung Huashan terdapat sebuah puncak bernama Puncak Gadis Cantik, bukan?’

Tian Boguang menjawab, ‘Tentu saja setiap orang tahu. Memangnya apa yang aneh dengan puncak itu?’

Saya menjawab, ‘Ilmu golok yang diciptakan Ibu Guru bernama Tiga Belas Jurus Jarum Gadis Cantik. Salah satu jurusnya ada yang diberi nama Gadis Cantik Memasang Benang, Menyulam Jubah Kahyangan, atau ada pula yang diberi nama Semalam Menyulam Gambar Burung.’

Saya lantas menghitung-hitung dengan jari dan melanjutkan, ‘Ah, tidak salah lagi! Jurus-jurus yang baru saja kau gunakan untuk menyerangku adalah ciptaan Ibu Guru pula. Namanya Jurus Gadis Cantik Melempar Benang. Sungguh mengherankan, kenapa seorang gagah dan kasar seperti dirimu bisa meniru jurus ibu-guruku yang lembut dan gemulai? Gerakanmu benar-benar mirip seorang perempuan yang sedang menyulam, dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Bukankah ini sangat-sangat mengherankan....”

Mendengar sampai di sini Yue Lingshan dan murid-murid perempuan lainnya tertawa geli. Yue Buqun bahkan ikut tertawa sambil berseru, “Kau benar-benar lancang!”

“Huh!” bentak Ning Zhongze kepada Linghu Chong, “Kenapa kau melibatkan ibu-gurumu ini sebagai bahan ocehanmu?”

“Ibu Guru harap maklum,” jawab Linghu Chong. “Tian Boguang sangat sombong. Bila dia mendengar bahwa ilmu goloknya adalah hasil ciptaan seorang wanita, tentu dia akan menjadi sangat tersinggung. Maka, untuk membersihkan tuduhan itu, ia tidak mungkin langsung membunuh saya. Bahkan, ia justru memperagakan ketiga belas jurus goloknya yang luar biasa, dan bertanya di setiap jurus, ‘Apakah ini ilmu golok ciptaan ibu-gurumu?’

Waktu itu saya diam saja agar hatinya semakin gusar, sambil menggunakan kesempatan itu untuk menghafal gerakan goloknya. Setelah ketiga belas jurus selesai diperagakan olehnya, barulah saya menjawab, ‘Saudara Tian, sepertinya ada beberapa bagian dari ilmu golokmu yang tidak sama dengan ilmu pedang ibu-guruku. Namun secara umum, dapat kukatakan ilmu silat kalian berdua memiliki banyak kemiripan. Entah bagaimana kau bisa menjelaskan ini semua? Apakah benar kau tidak mencuri ilmu silat Perguruan Huashan kami?’

Ternyata Tian Boguang sungguh cerdik dan mengetahui maksud dan tujuan saya. Ia pun berkata gusar, ‘Huh, karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku, lantas kau mengoceh sembarangan untuk mengulur-ulur waktu. Memangnya kau kira aku ini bodoh dan tidak paham maksud serta tujuanmu? Linghu Chong, karena kau sudah mengatakan Perguruan Huashan juga memiliki ilmu golok yang mirip denganku, maka aku harus meminta sedikit pelajaran darimu, supaya diriku ini bertambah pengalaman.”

Saya pun menjawab, ‘Perguruan Huashan kami hanya menggunakan pedang, tidak memakai golok. Selain itu, ilmu golok ciptaan ibu-guruku hanya diajarkan kepada murid-murid perempuan saja. Jadi, mana mungkin kami sebagai kaum laki-laki ikut-ikutan berlatih jurus pedang yang berlenggak-lenggok seperti itu? Tentunya sangat lucu, bukan?’

Tian Boguang semakin gusar dan berkata, ‘Lucu atau tidak, yang jelas kau harus mengakui kalau di dalam Perguruan Huashan tidak ada ilmu golok seperti milikku ini. Saudara Linghu, sebenarnya si marga Tian ini sangat kagum pada keberanianmu. Untuk itu seharusnya... seharusnya kau tidak sepantasnya sembarangan mengoceh mempermainkan aku!’”

Yue Lingshan menyahut, “Huh, siapa juga yang sudi dikagumi manusia rendah seperti dia? Menurutku, sudah sepantasnya Kakak Pertama mempermainkan dia. Biar tahu rasa.”

“Yah, waktu itu mau tidak mau aku harus memainkan beberapa jurus yang kukatakan sebelumnya tadi,” ujar Linghu Chong. “Jika tidak, mungkin aku akan langsung ditebas mati olehnya.”

“Maksudmu, kau berlenggak-lenggok menirukan gaya kaum wanita, begitu?” tanya Yue Lingshan sambil tertawa.

“Aku sudah sering melihatmu berlatih,” jawab Linghu Chong. “Jadi, tidak sulit bagiku untuk menirukan jurus pedang berlenggak-lenggok seperti kaum wanita.”

“Apa? Jadi kau anggap aku suka berlenggak-lenggok, hah? Awas, aku tidak mau bicara denganmu lagi!” seru Yue Lingshan dengan nada manja.

Ning Zhongze yang sejak tadi hanya terdiam akhirnya membuka suara, “Shan’er, coba kau berikan pedangmu kepadanya.”

Yue Lingshan mengangguk, lantas memberikan pedangnya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Nah, Ibu ingin melihat caramu memainkan pedang dengan gaya berlenggak-lenggok.”

“Hus!” bentak Ning Zhongze. “Jangan dengarkan dia, Chong’er. Nah, sekarang coba kau perlihatkan gerakanmu sewaktu menghadapi penjahat itu!”

Linghu Chong memahami maksud perkataan sang ibu-guru. Ia pun memberi hormat terlebih dulu dan berkata, “Baiklah, izinkan saya memperagakan ilmu golok Tian Boguang yang saya hadapi waktu itu.”

Yue Buqun dan Ning Zhongze mengangguk. Melihat itu Lu Dayou segera berbisik kepada Lin Pingzhi, “Adik Lin, ini adalah adat istiadat dalam perguruan kita. Barangsiapa hendak memperagakan ilmu silat, harus lebih dulu meminta izin kepada yang lebih tua.”

“Terima kasih atas pemberitahuan Kakak Keenam,” jawab Lin Pingzhi.

Linghu Chong mulai mengacungkan pedangnya dengan gerakan lamban tak bertenaga. Tiba-tiba tanpa memberi tanda terlebih dulu, pedangnya sudah menebas secara berturut-turut sebanyak tiga kali dengan kecepatan tinggi, hingga mengeluarkan suara mendengung-dengung.

Murid-murid Huashan terkejut melihatnya. Bahkan, murid-murid wanita sampai menjerit ngeri. Linghu Chong sendiri memainkan pedangnya sebagai golok dengan cepat seperti tak teratur. Namun dalam pandangan pasangan gurunya, serangan-serangan tersebut benar-benar ganas dan mematikan. Sebentar kemudian ia pun mengakhiri permainan dan membungkuk hormat kepada guru dan ibu-gurunya.

Yue Lingshan terlihat kecewa dan bertanya, “Hanya begitu saja sudah selesai?”

“Semakin cepat semakin bagus,” ujar Ning Zhongze. “Ilmu golok penjahat itu terdiri dari tiga belas jurus, namun setiap jurusnya mengandung tiga sampai empat gerakan perubahan. Jadi, dalam sekejap saja dapat bermain lebih dari empat puluh macam gerakan. Ini benar-benar ilmu golok yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan.”

Linghu Chong menambahkan, “Apabila si keparat Tian Boguang yang memainkannya, bisa jauh lebih cepat daripada saya.”

Yue Buqun saling pandang dengan Ning Zhongze. Kedua suami-istri itu sama-sama merasa kesal sekaligus kagum di dalam hati.

Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang salah seorang murid perempuannya. Ia kemudian melompat dan berseru, “Chong’er, gunakan jurus golok kilat penjahat itu!”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil kemudian mengayunkan pedangnya ke arah sang ibu-guru. Serangan tersebut seolah-olah meleset melewati tubuh Ning Zhongze, namun tiba-tiba ujung pedang Linghu Chong melengkung berbalik menuju pinggang wanita itu.

Seketika Yue Lingshan menjerit, “Ibu, hati-hati!”

Ning Zhongze sendiri sudah melompat maju tanpa memedulikan tusukan dari belakang tersebut, kemudian ia membalas menusuk ke arah dada Linghu Chong.

Kembali Yue Lingshan berteriak, namun dengan sasaran berbeda, “Hati-hati, Kakak Pertama!”

Linghu Chong ternyata tidak menangkis pula. Sebaliknya, ia menebas satu kali sambil berseru, “Tian Boguang jauh lebih cepat dari ini, Ibu Guru!”

Ning Zhongze menghadapinya dengan tiga kali tusukan. Sebaliknya, Linghu Chong juga melancarkan tiga kali sabetan. Makin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat. Serangan-serangan mereka juga sama-sama berbahaya. Tidak seorang pun di antara keduanya yang asal menangkis. Mereka hanya berusaha mengelak dan membalas serangan. Tidak terasa lebih dari dua puluh jurus terlewati hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Melihat pemandangan itu Lin Pingzhi sangat terkesima. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Pertama suka bicara sembarangan dan bertingkah seenaknya. Tak disangka ilmu silatnya sedemikian hebat. Aku harus lebih giat belajar, supaya tidak dipandang rendah lagi oleh orang lain.”

Pada saat itu tiba-tiba pedang Ning Zhongze meluncur ke depan dan kali ini tepat mengancam tenggorokan Linghu Chong. Pemuda itu tidak sempat mengelak, hanya berkata, “Percuma, dia dapat menangkisnya.”

“Baiklah kalau begitu,” sahut Ning Zhongze sambil menarik mundur pedangnya dan melancarkan serangan-serangan lainnya. Sekejap kemudian pedang wanita itu sudah mengancam di depan jantung Linghu Chong. Namun pemuda itu tetap berkata, “Dia masih dapat menangkisnya.”

Maksud ucapan Linghu Chong ialah, serangan Ning Zhongze itu memang tidak bisa dipatahkannya, namun tetap bisa ditangkis oleh Tian Boguang.

Ning Zhongze kembali membangun serangan yang lebih cepat dan ganas. Sampai-sampai Linghu Chong tidak sempat lagi mengatakan, “dia masih bisa menangkis,” ketika pedang ibu-gurunya itu kembali mengancam bagian tubuhnya. Namun demikian, ia tetap menggelengkan kepala seolah memberi tahu bahwa Tian Boguang masih bisa lebih cepat.

Ning Zhongze semakin bersemangat. Tiba-tiba ia membentak nyaring. Pedangnya gemerlap menyilaukan, membuat sekeliling tubuh Linghu Chong bagaikan terbungkus sinar perak. Tiba-tiba pedang istri Yue Buqun itu menusuk ke depan dan secepat kilat sudah mengancam ulu hati Linghu Chong. Kali ini Linghu Chong berteriak ngeri, “Ibu Guru!”

Tidak berhenti sampai di sini, pedang tersebut terus maju dan terlihat sudah menusuk tubuh Linghu Chong, bahkan gagangnya sampai menempel di dada pemuda itu.

Melihat pemandangan tersebut Yue Lingshan menjerit ketakutan, “Ibu!”

Sesaat kemudian, terdengar suara logam berjatuhan di lantai. Ternyata pedang Ning Zhongze tidak benar-benar menusuk dada Linghu Chong, melainkan hancur berkeping-keping menjadi beberapa potongan kecil dan jatuh berserakan di kaki pemuda itu. Yang tersisa di tangan Ning Zhongze hanya tinggal gagangnya saja, dan menempel di dada Linghu Chong.

Yue Buqun tertawa memuji istrinya, “Adik, tenaga dalammu sungguh luar biasa. Sampai-sampai aku tidak mengetahuinya.”

Ning Zhongze tersenyum dan menjawab, “Kakak terlalu memuji. Kepandaian yang hanya sedikit ini tidak berarti apa-apa. Untuk apa harus dipermasalahkan?”

Pasangan suami-istri ini sebelumnya adalah saudara seperguruan. Itulah sebabnya meskipun sudah menikah mereka masih tetap saling memanggil “kakak” dan “adik”.

Linghu Chong masih termangu-mangu tidak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Baru sekarang ia menyadari kalau ibu-gurunya telah menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi ke arah dadanya. Namun begitu pedang tersebut menyentuh kain bajunya, Ning Zhongze dengan segenap kekuatan memutar pedang tersebut agar tidak sampai benar-benar menusuk sasaran. Tenaga dalam Ning Zhongze yang sangat hebat itu akhirnya mematahkan pedang di tangannya hingga hancur berkeping-keping.

Maka, Linghu Chong pun memuji, “Dengan kepandaian Ibu Guru seperti ini, bagaimanapun cepatnya gerakan Tian Boguang, tetap saja ia tidak bisa menghindar.”

Lin Pingzhi juga terkesima menyaksikan baju Linghu Chong yang penuh lubang akibat putaran pedang sang ibu-guru tadi. Dalam hati ia berpikir, “Dibandingkan dengan Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang menjadi rebutan Yu Canghai dan Mu Gaofeng, ilmu pedang Ibu Guru sepertinya jauh lebih unggul. Oh, aku baru tahu ternyata di dunia ada ilmu pedang sehebat ini. Kalau aku tekun belajar dan berlatih, aku pasti bisa membalas kematian Ayah dan Ibu.”

Ning Zhongze tersenyum puas dan berkata, “Chong’er, kau bilang seranganku yang terakhir tadi mampu membinasakan Tian Boguang; maka itu, kau harus giat berlatih supaya ilmu tadi bisa kuturunkan kepadamu.”

“Terima kasih banyak, Ibu Guru,” sahut Linghu Chong gembira.

“Ibu, aku juga ingin mempelajarinya,” seru Yue Lingshan.

Ning Zhongze menjawab sambil menggelengkan kepala, “Tenaga dalammu belum cukup. Jurus serangan tadi tidak bisa kau pelajari dengan sempurna.”

“Tapi... tapi tenaga dalam Kakak Pertama hanya selisih sedikit di atasku. Kalau dia boleh kenapa aku tidak?” ujar gadis itu penasaran.

Ibunya hanya tersenyum tidak menjawab. Dengan manja Yue Lingshan lantas menarik tangan sang ayah dan berkata, “Ayah, tolong ajari aku satu jurus ilmu pedang yang bisa mematahkan serangan tadi. Biar kelak aku tidak diejek Kakak Pertama.”

Yue Buqun menggeleng sambil tertawa, lalu menjawab, “Ilmu yang dimainkan ibumu tadi bernama ‘Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding’. Mana mungkin aku bisa menciptakan jurus untuk mengatasinya?”

“Kau bicara apa?” sahut Ning Zhongze tersenyum. “Bila ucapanmu tersiar, bisa-bisa aku ditertawakan dunia persilatan.”

Ilmu pedang Ning Zhongze tadi memang diciptakan secara spontan sesuai keadaan. Di dalamnya terkandung intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni. Ditambah dengan kecerdasan Ning Zhongze yang teramat tinggi, membuat jurus tersebut sangat ganas dan mematikan.

Yue Buqun sendiri mengenal watak istrinya yang tidak suka bersandar pada nama besar sang suami. Istrinya itu lebih suka dipanggil dengan sebutan “Pendekar Ning” daripada “Nyonya Yue”. Maka itu, jurus baru yang digunakan untuk menyerang Linghu Chong tadi langsung ia sebut dengan nama “Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding” untuk membesarkan hati sang istri. Meskipun Ning Zhongze menanggapi pemberian nama itu dengan nada dingin, namun dalam hati ia merasa bangga dan berterima kasih kepada sang suami.

Sementara itu Yue Lingshan kembali mengusik, “Ayah, kapan-kapan kau juga bisa menciptakan jurus pedang Yue yang tiada tandingannya di muka bumi. Kemudian, ajarkan kepadaku agar aku bisa mengalahkan Kakak Pertama.”

“Tidak bisa begitu,” jawab Yue Buqun sambil tertawa. “Kecerdasan ayahmu ini masih kalah jauh dibandingkan ibumu. Mana mungkin Ayah bisa menciptakan ilmu pedang?”

Menanggapi itu Yue Lingshan mendekat dan berbisik lirih di telinga sang ayah, “Sebenarnya Ayah bukannya kalah cerdas, tapi takut pada istri. Maka itu, tidak berani menciptakan ilmu tandingan.”

“Omong kosong!” seru Yue Buqun sambil tertawa dan mencubit pipi putrinya yang nakal.

“Shan’er, kau jangan suka usil lagi,” sahut Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada Lao Denuo dan berkata, “Denuo, coba kau siapkan meja agar Adik Lin-mu bisa segera melakukan upacara sembahyang kepada para leluhur perguruan kita.”

“Baik!” jawab Lao Denuo yang kemudian berangkat melaksanakan perintah sang ibu-guru. Tidak lama kemudian segala peranti upacara telah dipersiapkan dengan baik. Yue Buqun disertai istri dan semua muridnya segera memasuki ruangan persembahyangan.

Begitu memasuki ruangan tersebut, Lin Pingzhi merasakan suasana yang angker dan mendebarkan. Tampak sebilah papan tergantung di tengah ruangan dengan bertuliskan kalimat: “Tenaga dalam mengendalikan pedang”. Pada kedua sisi dinding masing-masing tergantung sebatang pedang kuna, lengkap dengan sarungnya yang berwarna hitam. Lin Pingzhi yakin kalau pedang-pedang itu adalah peninggalan leluhur Perguruan Huashan di masa lampau. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Perguruan Huashan memiliki nama besar di dunia persilatan sebagai anggota golongan putih. Entah sudah berapa banyak nyawa penjahat yang melayang di ujung pedang-pedang itu?”

Yue Buqun berlutut di hadapan altar leluhur, kemudian menyembah sebanyak tiga kali dan berkata, “Hari ini murid bernama Yue Buqun telah menerima seorang murid baru bernama Lin Pingzhi dari Kota Fuzhou. Semoga arwah para leluhur berkenan memberi berkah, supaya Lin Pingzhi giat belajar, menjaga kehormatan, patuh terhadap tata tertib perguruan, dan tidak menjatuhkan nama baik Perguruan Huashan kita.”

Lin Pingzhi segera ikut berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan khidmat. Yue Buqun kemudian bangkit dan berkata, “Lin Pingzhi, hari ini kau telah resmi diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Kau harus patuh terhadap semua aturan perguruan. Jika sampai melanggar tentu akan mendapat hukuman yang setimpal. Apabila kau melakukan pelanggaran berat, maka hukuman yang kau terima juga tanpa pengampunan. Perguruan kita sudah berjaya selama ratusan tahun. Maka, setiap murid wajib menjaga nama baik perguruan. Semua itu hendaklah kau ingat-ingat dengan baik.”

“Tentu saya akan selalu ingat dan taat kepada ajaran Guru,” jawab Lin Pingzhi.

“Linghu Chong!” seru Yue Buqun kepada murid pertamanya. “Coba kau uraikan apa saja tata tertib perguruan kita agar diketahui oleh Lin Pingzhi.”

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia kemudian berseru, “Adik Lin, dengarkan baik-baik tata tertib Perguruan Huashan kita. Pertama, tidak boleh menentang guru dan mengkhianati perguruan; kedua, dilarang menindas kaum lemah; ketiga, dilarang main perempuan dan melecehkan wanita baik-baik; keempat, dilarang memiliki rasa iri dan dengki kepada sesama saudara; kelima, dilarang mencuri dan serakah terhadap harta benda; keenam, dilarang bersikap sombong dan mendahului berbuat salah terhadap sesama kaum persilatan; ketujuh, dilarang bergaul dengan kaum penjahat dan bersekongkol dengan golongan iblis. Nah, itulah ketujuh larangan dalam Perguruan Huashan yang harus ditaati bersama oleh segenap murid perguruan kita.”

“Baik, saya berjanji akan selalu patuh dan taat untuk tidak melanggar ketujuh larangan tersebut,” jawab Lin Pingzhi.

“Bagus, kau harus menepati janjimu itu,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Setiap saat kau harus senantiasa mengutamakan budi pekerti yang luhur, jadilah seorang kesatria sejati. Dengan demikian, guru dan ibu-gurumu akan ikut merasa bangga.”

“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi. Ia lantas memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze, serta kepada semua kakak seperguruannya.

Yue Buqun kemudian berkata, “Pingzhi, sekarang kau bisa mengurus pemakaman jenazah kedua orang tuamu. Setelah itu barulah kau bisa mulai belajar dasar-dasar ilmu silat perguruan kita.”

Lin Pingzhi lagi-lagi terharu dan meneteskan air mata. “Terima kasih, Guru!” ujarnya sambil kembali berlutut.

Yue Buqun buru-buru membangunkan murid barunya itu dan berkata ramah, “Setiap orang dalam perguruan kita adalah keluarga. Urusan satu orang menjadi urusan kita bersama. Kau tidak perlu terlalu segan.”

Usai berkata demikian, ia lantas menoleh ke arah si murid pertama dan berkata, “Chong’er, selama kepergianmu kali ini, kau sudah melanggar berapa banyak dari ketujuh larangan perguruan kita?”

Linghu Chong terkesiap. Meskipun gurunya memperlakukan semua murid seperti anak sendiri, tapi bila ada yang melanggar peraturan tetap mendapat hukuman tanpa pandang bulu. Mendengar pertanyaan itu ia langsung berlutut dan menjawab, “Saya sadar telah melakukan kesalahan besar. Saya tidak patuh terhadap ajaran Guru dan Ibu Guru. Di Rumah Arak Huiyan saya telah melanggar peraturan nomor enam, yaitu membunuh seorang murid Perguruan Qingcheng bernama Luo Renjie.”

Yue Buqun hanya mendengus dengan wajah marah.

Melihat itu Yue Lingshan buru-buru menyahut, “Ayah, itu semua salah Luo Renjie sendiri. Dia hendak menganiaya Kakak Pertama yang sedang terluka parah setelah bertarung melawan Tian Boguang. Jadi, waktu itu Kakak Pertama hanya membela diri.”

“Kau tidak perlu ikut campur!” bentak Yue Buqun. “Luo Renjie mengganggu Chong’er, karena kakak pertamamu itu lebih dulu mencari gara-gara dengan murid Qingcheng lainnya. Wajar kalau Luo Renjie ingin membalas sakit hati kedua saudaranya yang pernah ditendang jatuh oleh kakak pertamamu.”

“Tapi, Ayah,” Yue Lingshan menyela, “mengenai peristiwa itu bukankah Kakak Pertama sudah kau hukum dengan pukulan tongkat? Lagipula Ayah juga sudah mengirim surat permohonan maaf kepada Pendeta Yu melalui Kakak Kedua.”

Yue Buqun melotot kepada putri tunggalnya itu. Dengan keras ia membentak, “Aku tidak peduli dengan alasanmu. Yang ingin kutegakkan adalah tata tertib perguruan kita. Kau juga murid Perguruan Huashan. Kau dilarang sembarangan ikut bicara.”

Yue Lingshan jarang sekali dibentak oleh ayahnya. Tentu saja apa yang baru ia alami itu membuat matanya berkaca-kaca hampir menangis.

Yue Buqun yang biasanya ramah dan lembut kali ini menunjukkan sikap tegas sebagai seorang pemimpin perguruan. Tidak seorang pun berani lagi membantah, termasuk istrinya sendiri.

“Linghu Chong,” katanya dengan keras. “Perbuatanmu membunuh Luo Renjie karena membela diri dapat kumaklumi. Dalam keadaan payah kau masih berusaha pantang menyerah, itu perbuatan laki-laki sejati. Tapi kenapa kau melecehkan Perguruan Henshan dengan berkata: Biksuni adalah kaum pembawa sial. Setiap kali melihat biksuni kau selalu kalah judi. Kenapa, hah?”

Mendengar itu Yue Lingshan tertawa geli dan berkata, “Ayah!” Namun, begitu sang ayah menoleh dan melotot kepadanya, ia langsung terdiam.

Linghu Chong menjawab, “Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanya bagaimana cara untuk menyelamatkan adik dari Henshan itu. Karena sadar ilmu silat saya lebih rendah dari musuh, terpaksa saya sembarangan bicara supaya biksuni itu pergi sejauh-jauhnya. Sama sekali saya tidak bermaksud menyinggung perasaan para bibi dari Perguruan Henshan.”

“Kau bermaksud menyelamatkan kehormatan Keponakan Yilin; maksudmu memang baik tapi caramu keliru,” sahut Yue Buqun. “Sekarang ini urusan sudah diketahui oleh semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Mereka tentu mengatakan kalau aku ini bukan guru yang baik, yang tidak bisa mengajar muridnya dengan benar.”

“Saya memang bersalah, Guru,” jawab Linghu Chong sambil membungkukkan badan.

Yue Buqun kembali melanjutkan, “Kemudian kau mendekam di rumah pelacuran untuk merawat lukamu, hal itu masih bisa kumaafkan. Tapi di sana kau menyembunyikan Yilin dan siluman kecil dari aliran sesat itu dalam selimut. Kemudian kau mengatakan kepada Pendeta Yu bahwa mereka adalah pelacur. Apa kau sadar hal ini sangat berbahaya jika sampai akal licikmu itu terbongkar? Bukan hanya nama baik Perguruan Huashan yang tercemar, nama baik Perguruan Henshan yang sudah terjaga ratusan tahun juga akan ikut hancur di tanganmu.”

Linghu Chong berkeringat dingin mendengar kemarahan gurunya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Guru, kejadian itu sangat mendebarkan jika saya mengingatnya kembali. Ternyata Guru sendiri sudah mengetahuinya.”

Yue Buqun menyahut, “Waktu itu aku hanya mendengar kalau yang menyembunyikan dirimu di dalam rumah pelacuran adalah gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Tapi ketika kau menyuruh kedua gadis itu bersembunyi di dalam selimut, sesungguhnya aku sudah berada di luar jendela.”

“Syukurlah, Guru mengetahui kalau saya bukan manusia yang suka berbuat tidak senonoh,” ujar Linghu Chong.

“Huh, jika kau benar-benar main gila di rumah pelacuran itu, tentu kepalamu sudah kupenggal sejak kemarin-kemarin,” ujar Yue Buqun. “Mana mungkin kau masih bisa tetap hidup sampai hari ini?”

Linghu Chong mengangguk dengan perasaan serba salah.

Yue Buqun terlihat semakin serius. Setelah diam sejenak ia kemudian melanjutkan, “Kau sudah mengetahui kalau anak kecil bermarga Qu itu berasal dari aliran sesat, tapi kenapa kau tidak langsung membunuhnya? Pertolongan kakeknya kepadamu hanyalah tipu muslihat licik yang biasa digunakan aliran sesat untuk memecah belah kelompok kita. Kau ini bukan orang bodoh, kenapa tidak juga menyadarinya? Hm, bahkan Liu Zhengfeng yang pandai saja bisa jatuh ke dalam perangkap aliran sesat sehingga keluarganya hancur berantakan. Tipu muslihat aliran sesat sangat kejam, tapi sejak dari Hunan hingga tiba di Gunung Huashan sini, belum pernah sekalipun aku mendengar mulutmu mencela perbuatan aliran sesat. Chong’er, rupanya setelah jiwamu diselamatkan mereka, kau jadi tidak bisa lagi membedakan mana yang baik mana yang buruk; mana yang jujur, mana yang pura-pura. Persoalan ini menyangkut masa depanmu sendiri. Hendaknya kau memiliki pendirian yang tegas.”

Samar-samar Linghu Chong kembali terkenang paduan suara kecapi dan seruling yang dimainkan Qu Yang dan Liu Zhengfeng pada malam sebelum mereka meninggal. Hati nuraninya tidak percaya kalau orang bernama Qu Yang itu memiliki tipu muslihat kejam dan sengaja mencelakakan keluarga Liu Zhengfeng.

Melihat murid pertamanya termangu-mangu, Yue Buqun kembali berkata, “Chong’er, urusan ini tidak hanya menyangkut masa depanmu saja, tapi juga nama baik Perguruan Huashan. Sekarang aku bertanya, jika kelak kau bertemu orang aliran sesat, apakah kau akan diam saja dan memandangnya sebagai musuh, atau membunuhnya tanpa ampun?”

Linghu Chong terperanjat kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati ia berkata, “Apabila kelak aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus membunuhnya begitu saja tanpa bertanya terlebih dulu?”

Yue Buqun memandang tajam ke arah murid pertamanya itu yang tidak menjawab apa pun dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya ia pun menghela napas panjang dan berkata, “Rasanya percuma saja aku memaksamu menjawab pertanyaan tadi. Kepergianmu kali ini telah banyak mencemarkan nama baik Perguruan Huashan. Maka itu, aku menghukum dirimu untuk merenung menghadap dinding selama setahun penuh.”

Linghu Chong segera membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, saya siap menjalani hukuman dari Guru.”

“Apa? Menghadap dinding?” sahut Yue Lingshan ikut bicara. “Kalau begitu selama setahun ini Kakak Pertama harus memandangi dinding? Lantas, berapa jam dia harus merenung dalam setiap hari?”

“Berapa jam apanya?” tukas Yue Buqun. “Dia harus duduk menghadap dinding setiap hari mulai pagi sampai malam, kecuali pada saat makan dan minum.”

Yue Lingshan kembali menyahut, “Wah, ini namanya keterlaluan! Apa Kakak Pertama tidak bosan setiap hari hanya memandangi dinding melulu? Bagaimana kalau dia ingin buang air?”

“Jaga ucapanmu, gadis kecil,” ujar Ning Zhongze menukas.

“Bosan bagaimana?” sahut Yue Buqun. “Dahulu kakek-gurumu pernah bersalah dan dihukum menghadap dinding di Puncak Gadis Kumala selama tiga setengah tahun, tidak boleh melangkah turun sedikit pun. Mana bisa dibandingkan dengan kakak pertamamu?”

“Oh, kalau begitu hukuman Kakak Pertama masih terlalu ringan?” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah. “Padahal Kakak Pertama sewaktu mengatakan ‘asalkan bertemu biksuni selalu kalah judi’ timbul dari maksud baiknya untuk menyelamatkan biksuni itu, jadi bukan bertujuan untuk melecehkan Perguruan Henshan.”

Yue Buqun menjawab, “Justru karena bermaksud baik itulah, maka hukumannya cuma satu tahun. Coba kalau maksudnya jahat, tentu sudah kucabut semua giginya, dan kupotong lidahnya.”

Melihat perdebatan itu Ning Zhongze segera melerai, “Shan’er, kau jangan berdebat lagi dengan ayahmu. Kakak pertamamu dihukum di Puncak Gadis Kumala supaya bisa merenungi kesalahannya. Jadi, kau jangan lagi pergi mengganggunya supaya niat baik ayahmu bisa terlaksana.”

“Tapi... tapi, Ibu,” ujar Yue Lingshan. “Kakak Pertama pasti akan sangat kesepian kalau tidak mengobrol denganku. Juga, selama setahun ini siapa lagi yang bisa menemani aku berlatih silat?”

“Jika kau mengajaknya mengobrol, bagaimana dia bisa merenungi kesalahannya?” kata Ning Zhongze. “Kalau cuma berlatih, kau bisa meminta kakak-kakakmu yang lain untuk menemani.”

Yue Lingshan terlihat kesal dan cemberut. Dengan nada gusar ia bertanya, “Lalu bagaimana cara Kakak Pertama makan? Bukankah dia tidak boleh turun dari puncak selama setahun penuh? Bukankah ini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan?”

“Kau jangan khawatir,” jawab Ning Zhongze sambil tersenyum. “Setiap hari akan ada yang ke atas untuk mengirimkan makanan.”

Sore harinya, setelah berpamitan kepada guru dan ibu-guru serta segenap saudara seperguruannya, Linghu Chong berangkat menuju puncak tertinggi Gunung Huashan yang bernama Puncak Gadis Kumala untuk menjalani hukumannya. Hanya dengan berbekal sebilah pedang yang tergantung di pinggang, ia berjalan menyusuri jalan menanjak untuk menuju puncak yang curam dan terjal. Sesampainya di tempat tujuan, tampak sebuah gua sudah menunggu. Gua tersebut biasa digunakan para ketua Perguruan Huashan untuk mengurung murid-murid mereka yang melakukan pelanggaran.

Keadaan di atas puncak tersebut gundul tanpa ditumbuhi pepohonan. Yang ada di sana hanyalah semak dan lumut belaka. Selain gua, Linghu Chong tidak menemukan apa-apa lagi. Memang Gunung Huashan memiliki banyak pemandangan indah dan pepohonan lebat. Akan tetapi, keadaan di Puncak Gadis Kumala benar-benar perkecualian. Alasan utama mengapa sejak dulu puncak tersebut dipilih sebagai tempat mengurung murid-murid yang melanggar peraturan adalah karena suasananya yang sangat sunyi. Boleh dikata tidak ada seekor hewan pun yang betah hidup di sana. Dengan demikian, diharapkan para murid yang menjalani hukuman bisa lebih hening dalam merenungi kesalahannya.

Begitu masuk ke dalam gua, Linghu Chong segera melihat sepotong batu besar di dalamnya. Batu yang halus dan licin tersebut merupakan tempat duduk bagi mereka yang sedang menjalani hukuman. Dalam hati ia merenung, “Perguruan Huashan sudah berusia ratusan tahun. Entah sudah berapa banyak muridnya yang merasakan duduk sendiri di gua ini. Pantas saja, batu ini terlihat halus dan licin. Hahahaha. Linghu Chong adalah murid Huashan yang paling ugal-ugalan. Rasanya sangat pantas jika aku diberi kesempatan mencicipi sepinya tempat ini. Hm, Guru sangat sabar. Beliau bisa menunggu sampai hari ini untuk mengirimku kemari.”

Kemudian ia menepuk-nepuk batu besar itu sambil berkata, “Wahai batu, entah sudah berapa tahun lamanya kau tinggal sendirian di sini. Mulai hari ini Linghu Chong yang akan menjadi temanmu.”

Begitu duduk di atas batu tersebut, mata Linghu Chong langsung menangkap beberapa huruf yang terukir di dinding. Ukiran itu berbunyi “Feng Qingyang” dan terdapat di dinding gua sebelah kiri. Ukiran tersebut sangat rapi, dengan kedalaman satu senti, seperti dibuat menggunakan ujung pedang yang sangat tajam.

Diam-diam Linghu Chong bertanya, “Siapa itu Feng Qingyang? Mungkin dia seorang murid pada generasi terdahulu yang pernah dihukum di sini. Ah, aku tahu! Dia memiliki unsur nama ‘Qing’, berarti satu generasi di atas Guru. Dilihat dari ukirannya ini, tentu Beliau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tapi aku heran, mengapa Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang Beliau? Ah, mungkin Beliau sudah lama meninggal dunia.”

Usai berpikir demikian, Linghu Chong lantas memejamkan mata dan memulai latihan pernapasan sampai satu jam lamanya. Setelah itu ia membuka mata dan berdiri untuk meregangkan otot. Sejenak kemudian pemuda itu kembali duduk dan berpikir, “Kelak jika aku bertemu orang aliran sesat, apakah aku harus mencabut pedangku tanpa bertanya lebih dulu dan langsung membunuhnya saat itu juga? Apakah dalam aliran sesat semua orangnya jahat? Apakah dalam aliran sesat tidak ada orang yang baik? Tapi kalau dia seorang baik-baik kenapa bergabung dengan aliran sesat? Andaikan dia tersesat, mengapa tidak keluar begitu saja? Bukankah hal itu bisa terjadi? Dan, apabila tidak mau keluar, berarti rela berteman dengan kaum penjahat serta membuat celaka umat manusia pada umumnya.”

Seketika terlintas dalam ingatan Linghu Chong kisah-kisah mengerikan yang pernah diceritakan guru dan ibu-gurunya tentang kekejaman aliran sesat. Misalnya, peristiwa pembantaian Keluarga Yu di daerah Jiangxi. Jumlah korban yang tewas sebanyak dua puluh tiga orang, semua dipaku di pepohonan. Bahkan, seorang anak kecil berusia tiga tahun juga tidak diberi ampun. Dua orang putra Tuan Yu merintih selama dua hari dua malam sampai akhirnya mati secara mengenaskan.

Kejadian lain menimpa Zhao Dengkui, ketua Partai Golok Naga Angin di daerah Jinan yang sedang menggelar pernikahan putranya. Tiba-tiba kaum aliran sesat datang menyerbu. Kedua mempelai terbunuh dan kepala mereka dipenggal untuk diletakkan di atas meja sebagai kado. Kemudian ketika Pendekar Hao di Hanyang merayakan ulang tahunnya yang ketujuh puluh, ia mengundang banyak kawan dari dunia persilatan. Tak disangka, kaum aliran sesat menanam bahan peledak di bawah lantai ruang perayaan. Maka, ketika meledak, tak terhitung jumlahnya para hadirin yang terluka dan binasa. Termasuk di antaranya adalah Pendeta Ji dari Perguruan Taishan yang kehilangan salah satu lengannya akibat ledakan tersebut.

“Paman Ji yang menceritakannya, sudah tentu kisah itu pasti benar,” pikir Linghu Chong. “Dua tahun yang lalu ada juga kejadian mengerikan menimpa Paman Sun dari Perguruan Songshan. Aku melihat sendiri bagaimana Paman Sun telah kehilangan kedua lengannya dan kedua kakinya, serta kedua bola matanya dicongkel pula oleh pihak aliran sesat. Ia hanya bisa berteriak-teriak: “Aliran sesat jahanam telah membuatku binasa. Kalian harus menuntut balas! Menuntut balas!’ Waktu itu orang-orang Songshan datang menolong, tapi Paman Sun sudah terlanjur meninggal akibat luka-lukanya.”

Linghu Chong merinding ngeri saat teringat darah mengucur deras pada lubang mata si Paman Sun tersebut. Teringat itu semua, ia kembali berpikir, “Perbuatan aliran sesat sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan. Qu Yang dan cucunya memang telah menolong nyawaku, namun mereka pasti menyembunyikan rencana jahat di balik itu semua. Guru telah bertanya bagaimana sikapku jika bertemu orang aliran sesat. Kali ini aku tidak akan ragu-ragu lagi. Tentu saja aku akan mencabut pedang dan langsung membunuhnya.”

Karena permasalahannya sudah jelas, seketika pikiran Linghu Chong menjadi lapang. Ia pun bersuit panjang kemudian melompat mundur keluar gua sambil memejamkan mata menikmati udara segar. Ketika sedang melayang di udara ia bersalto sebanyak satu kali dan setelah itu barulah mendaratkan kedua kakinya di atas tanah. Begitu membuka mata dan menoleh ke belakang, betapa terkejut hati pemuda itu karena ternyata kakinya telah menginjak batuan terjal di tepi jurang yang sangat dalam. Andai saja ketika melompat mundur tadi ia menambah sedikit tenaga, tentu dirinya akan terlempar lebih jauh sehingga jatuh ke dasar jurang dengan tubuh hancur lumat.

“Aku masih kurang berani. Seharusnya aku melompat lebih dekat lagi ke tepi jurang,” demikian ia berpikir. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara tawa seorang perempuan disertai tepukan tangan.

“Hebat! Kakak Pertama memang hebat!” demikian suara perempuan itu bersorak memuji.

Linghu Chong menoleh dan langsung gembira melihat Yue Lingshan datang mengunjunginya sambil menjinjing sebuah keranjang.

“Kakak Pertama, aku mengantarkan nasi untukmu,” ujar gadis itu sambil tertawa.

Segera keduanya masuk ke dalam gua dan duduk di atas batu licin. Setelah meletakkan keranjang berisi makanan itu di atas tanah. Yue Lingshan membuka suara, “Lompatanmu tadi sungguh hebat. Tanpa melihat kau bisa melompat mundur dan berdiri tepat di tepi jurang. Aku jadi ingin mencoba.”

Tentu saja lompatan Linghu Chong tadi dilakukannya tanpa sengaja dan secara beruntung ia nyaris saja jatuh ke dalam jurang. Sementara itu ilmu silat Yue Lingshan lebih rendah darinya; jika kurang tepat menguasai badan, bisa-bisa malah mendapat celaka. Akan tetapi, watak adik seperguruannya itu sulit dicegah jika memiliki keinginan. Maka, daripada menghalangi lebih baik Linghu Chong mengizinkannya dengan berjaga-jaga di dekat jurang untuk mencegah bahaya yang mungkin bisa terjadi.

Watak Yue Lingshan sendiri tidak suka mengalah pada orang lain. Diam-diam gadis itu mengumpulkan segenap tenaga untuk bisa melompat lebih indah dibanding Linghu Chong. Maka, tanpa pikir lagi ia pun melompat mundur dengan mata tertutup. Tampak gadis itu melayang indah di udara dan kemudian terus meluncur ke arah jurang.

Sejak awal Yue Lingshan memang ingin melompat lebih jauh daripada Linghu Chong. Maka, ia pun mengerahkan tenaga cukup besar sewaktu melemparkan diri ke belakang. Namun ketika menyadari tubuhnya mulai meluncur turun, ia pun membuka mata dan menjerit ketakutan.

Untungnya Linghu Chong sudah bersiaga di tepi jurang dan segera menangkap lengan putri gurunya itu dengan cepat. Telapak kaki Yue Lingshan sendiri sudah menginjak tepat di tepi jurang tersebut. Andai saja Linghu Chong tidak cekatan, tentu gadis cantik itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke bawah.

Setelah napasnya agak tenang, Yue Lingshan berseru gembira, “Kakak Pertama, lompatanku tadi ternyata lebih jauh darimu!”

Linghu Chong menepuk bahu putri gurunya itu sambil menjawab, “Permainan berbahaya tadi jangan kau ulangi lagi. Kalau sampai ketahuan Guru dan Ibu Guru, tentu kau akan dimarahi. Bisa-bisa kau juga akan dihukum di sini.”

Yue Lingshan menjawab, “Kalau dihukum di sini, berarti kau akan ada temannya. Kita bisa bebas bermain sesukanya. Benar, tidak?”

Linghu Chong tergetar mendengar ucapan gadis itu. Dalam hati ia berkata, “Kalau saja aku bisa bersama Adik Kecil dihukum setahun di sini, tentu rasanya bahagia laksana tinggal di kahyangan. Tapi… ah, mana boleh seperti itu?”

Segera ia pun menjawab, “Tapi kalau kau dikurung di Gedung Kejujuran dan sedikit pun tidak boleh pergi dari sana, bagaimana? Jika demikian, tentu selama setahun kita tidak akan bisa bertemu.”

“Itu namanya tidak adil,” sahut Yue Lingshan. “Kau dikurung di sini dan bisa bergerak bebas, tapi mengapa aku harus dikurung di Gedung Kejujuran?”

Setelah diam sejenak, Yue Lingshan lalu mengalihkan pembicaraan, “Kakak, sebenarnya yang ditugasi Ibu mengantar makanan ke sini adalah Monyet Keenam. Maka, aku pun berbicara kepadanya, ‘Kakak Keenam, setiap hari kau harus merangkak naik-turun Tebing Perenungan untuk mengantar makanan. Meskipun kau adalah monyet tetap saja akan kepayahan juga. Nah, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan tugasmu? Dengan apa kau nanti berterima kasih padaku, hah?’

Kemudian dia menjawab, ‘Tugas yang diberikan Ibu Guru kepadaku ini sebenarnya juga untuk melatih diriku. Maka, sama sekali aku tidak boleh malas atau merasa payah. Lagipula, Kakak Pertama selalu baik kepadaku. Bisa mengantar makanan setiap hari untuknya sudah tentu aku akan merasa sangat senang.’

Kakak Pertama, menurutmu apakah dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya?”

Linghu Chong menjawab, “Aku rasa apa yang diucapkannya benar.”

Yue Lingshan lantas melanjutkan, “Monyet Keenam juga menuduhku suka mengganggunya saat meminta petunjuk kepadamu. Padahal, mana pernah aku mengganggunya saat berlatih? Huh, apa yang ia katakan omong kosong semua. Dia juga berkata, ‘Mulai saat ini selama setahun ke depan hanya aku yang bisa bertemu Kakak Pertama di Tebing Perenungan. Tentu kesempatan bagus ini aku pergunakan untuk meminta petunjuk kepadanya.’ – Ucapannya sungguh menjengkelkan. Kemudian... kemudian....”

“Kemudian kau mengancamnya dengan pedang, begitu?” sela Linghu Chong sambil tertawa.

“Tidak, bukan begitu,” jawab Yue Lingshan sambil menggeleng. “Aku pun menangis. Akhirnya dia mengalah dan membiarkan aku yang berangkat mengantarkan nasi untukmu.”

Linghu Chong mengamati wajah Yue Lingshan. Tampak mata gadis itu kemerah-merahan pertanda ia memang benar-benar baru menangis. Linghu Chong terharu melihatnya dan berkata dalam hati, “Dia sungguh baik kepadaku. Andaikan harus mati seribu kali untuknya, aku rela.”

Yue Lingshan sendiri sibuk membuka bekal makanan yang ia bawa. Dari dalam keranjang dikeluarkannya dua piring sayuran, dua buah mangkuk, serta dua pasang sumpit. Semuanya diletakkan di atas batu datar sebagai meja makan.

“Kenapa kau membawa dua mangkuk?” tanya Linghu Chong heran.

“Aku akan menemanimu makan. Coba lihat, apa ini?” kata Yue Lingshan sambil tertawa, dan kemudian mengeluarkan botol kecil berisi arak.

Linghu Chong memang sangat gemar minum arak. Maka begitu melihat botol kecil tersebut, ia langsung tertawa gembira. Serentak ia bangkit berdiri dan memberi hormat, “Terima kasih, Adik Kecil. Aku sungguh khawatir jangan-jangan selama setahun ini tidak bisa bertemu arak lagi. Tapi kau telah datang menyelamatkan hidupku.”

Yue Lingshan tertawa, kemudian membuka botol kecil tersebut dan menyerahkannya kepada Linghu Chong. “Tapi kau tidak boleh minum terlalu banyak. Setiap hari aku hanya bisa menyelundupkan sebotol kecil saja, biar tidak ketahuan Ibu.”

Peraturan dalam Perguruan Huashan melarang keras setiap murid yang sedang menjalani hukuman di Tebing Perenungan untuk menikmati daging ataupun arak. Itulah sebabnya bekal yang dibawa Yue Lingshan hanya berupa nasi dan sayuran, serta sepotong tahu. Namun karena ditemani sang adik kecil, Linghu Chong merasa makanan tersebut sangat nikmat dan ia menghabiskannya dengan lahap.

Keduanya lantas mengobrol panjang lebar berbagai macam cerita. Ketika hari mulai gelap, barulah Yue Lingshan pamit kembali ke rumah meninggalkan Tebing Perenungan.

Sejak saat itu setiap sore hari Yue Lingshan selalu datang mengantar makanan untuk Linghu Chong. Ketika matahari terbenam barulah gadis itu pulang. Oleh karena itu, meskipun tinggal seorang diri di puncak gunung yang tandus tersebut, Linghu Chong tidak pernah merasa kesepian.

Setiap pagi setelah bangun tidur, Linghu Chong duduk bermeditasi dan berlatih tenaga dalam. Kemudian ia mengulangi kembali ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari sang guru. Selain itu, ia juga merenungkan ilmu golok kilat andalan Tian Boguang dan membandingkannya dengan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding ciptaan ibu-gurunya.

Ilmu pedang tersebut meskipun hanya terdiri atas satu jurus saja, namun merupakan intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni. Linghu Chong sendiri merasa dirinya masih sangat jauh di bawah kemahiran sang ibu-guru. Maka, kalau memaksakan diri untuk melatihnya, bisa-bisa membuat celaka diri sendiri. Oleh karena itu, setiap hari ia pun semakin giat berlatih dasar-dasarnya terlebih dahulu untuk bisa mencapai tingkatan tersebut.

Dengan demikian, meskipun menjalani hukuman kurung menghadap dinding gua, namun pada kenyataannya ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih pedang, serta mengobrol dengan Yue Lingshan pada sore harinya. Menjalani perenungan yang sesungguhnya ternyata hampir tidak pernah ia lakukan.

Tanpa terasa dua bulan sudah berlalu. Hawa di puncak Gunung Huashan itu semakin hari semakin dingin karena musim telah berganti. Ning Zhongze selama beberapa hari menjahit selembar mantel hangat dan menyerahkannya kepada Lu Dayou untuk disampaikan kepada Linghu Chong. Tentu saja pada akhirnya Yue Lingshan yang menyerahkan secara langsung kepada kakak pertamanya tersebut.

Pagi itu ketika bangun dari tidurnya, Linghu Chong disambut oleh tiupan angin yang sangat kencang. Bahkan, pada siang harinya salju pun mulai turun dari angkasa. Melihat hujan salju tersebut Linghu Chong berpikir jalanan pegunungan tentu sangat licin dan sukar dilalui. Ia ingin sekali melarang Yue Lingshan supaya hari itu tidak datang mengantar makanan karena sangat berbahaya. Namun tentu saja ia tidak bisa melakukannya mengingat saat itu dirinya sedang berada di puncak gunung yang terpencil.

Melihat hujan salju yang tidak kunjung reda, perasaan Linghu Chong semakin gelisah. Sejenak kemudian ia berpikir, “Sudah dua bulan setiap hari Adik Kecil datang ke sini mengantar makanan untukku. Mustahil Guru dan Ibu Guru tidak mengetahuinya. Aku yakin mereka hanya berpura-pura tidak mengetahui hal itu. Tapi kalau hari ini keadaannya berbeda. Aku takut Adik Kecil terpeleset di jalan dan jatuh ke jurang yang berbahaya. Oh, semoga Guru atau Ibu Guru kali ini mencegah ia datang ke sini.”

Dengan perasaan cemas Linghu Chong menunggu sampai senja tiba. Pandangan matanya selalu tertuju ke bawah puncak gunung yang curam itu. Ketika matahari sudah terbenam barulah ia merasa lega. “Syukurlah hari ini Adik Kecil tidak datang. Besok pagi mungkin Adik Keenam yang datang kemari mengantarkan makanan pengganti. Biarlah malam ini aku menahan lapar asalkan Adik Kecil tidak mengalami suatu apa pun.”

Di luar dugaan, baru saja hendak masuk ke dalam gua, tiba-tiba Linghu Chong terdengar suara Yue Lingshan memanggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!”

Dengan perasaan terkejut bercampur gembira, Linghu Chong segera kembali ke tempat semula. Ia melihat ke bawah menyaksikan Yue Lingshan berjalan tertatih-tatih melewati hamparan salju yang menutupi bebatuan gunung. Pemuda itu merasa prihatin melihat adik kecilnya berjalan dengan langkah sulit, terpeleset ke kanan dan ke kiri karena jalanan yang sangat licin.

Karena terikat oleh perintah sang guru, mau tidak mau Linghu Chong harus menahan diri untuk tidak melangkah turun menghampiri Yue Lingshan, hanya mengulurkan tangan menyambut adik seperguruannya itu. Baru setelah Yue Lingshan menyambut tangannya, Linghu Chong segera menarik gadis itu ke atas.

Seluruh tubuh Yue Lingshan tampak penuh dengan salju. Dahi sebelah kirinya juga terlihat memar dan sedikit lecet. “Hah, apakah kau… kau….” ucap Linghu Chong dengan nada khawatir.

Yue Lingshan menjawab dengan wajah hampir menangis, “Aku tadi jatuh terpeleset sehingga nasi yang kubawa jatuh ke jurang. Malam ini… malam ini kau terpaksa harus kelaparan.”

Linghu Chong terharu mendengarnya. Ia pun menggunakan lengan bajunya untuk mengusap luka di dahi Yue Lingshan. “Adik Kecil, jalanan begitu licin. Seharusnya kau jangan datang kemari.”

“Aku khawatir kau kelaparan,“ sahut Yue Lingshan. “Lagipula... lagipula aku ingin bertemu denganmu.“

Linghu Chong menyahut, “Tapi, kalau hanya karena itu kau terjatuh ke dalam jurang, lantas bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Guru dan Ibu Guru?”

“Aih, kenapa kau begitu cemas? Bukankah aku baik-baik saja?” ujar Yue Lingshan sambil tersenyum. “Hanya saja, aku memang bodoh. Sudah hampir sampai di atas, kakiku terpeleset sehingga nasi untukmu jatuh ke dalam jurang.”

Linghu Chong menjawab, “Asalkan kau selamat, meskipun sepuluh hari aku tidak makan, rasanya tidak menjadi soal.”

“Jalanan menuju kemari licin sekali. Aku menghimpun segenap tenaga dalamku untuk melompat melewati tebing terjal. Tapi ketika melewati Tebing Cemara Lima, aku kurang hati-hati dan hampir saja jatuh ke dalam jurang,” ujar Yue Lingshan menambahkan.

Linghu Chong menjawab, “Adik Kecil, kau harus berjanji untuk selanjutnya jangan sekali-kali menempuh bahaya sebesar ini demi aku. Jika kau sampai jatuh ke dalam jurang, tentu aku akan ikut terjun pula.”

Sepasang mata Yue Lingshan berkilauan memancarkan perasaan bahagia tiada terkira. Ia pun berkata, “Kakak Pertama, rasanya kau tidak perlu berbuat demikian. Jika aku terjatuh karena kurang berhati-hati, mengapa kau merasa tidak enak hati dan ingin ikut terjun pula?”

“Bukan begitu masalahnya,” sahut Linghu Chong. “Jika Adik Keenam yang mengantar nasi dan dia jatuh ke jurang, maka aku tidak perlu mengiringi kematiannya. Paling-paling aku hanya menyampaikan berita duka kepada keluarganya, itu saja.”

Yue Lingshan mendekat dan bertanya, “Jadi, kalau aku yang mati, kau tidak mau hidup sendirian, begitu?”

“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Adik, meskipun kau mengantarkan nasi untuk orang lain dan meninggal karena kecelakaan, aku tetap tidak mau hidup lagi.”

Yue Lingshan tampak terharu. Ia pun memegang kedua tangan Linghu Chong dan berkata lirih, “Kakak Pertama.”

Sungguh, Linghu Chong ingin sekali memeluk tubuh gadis itu namun tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Kedua pasang mata mereka hanya saling pandang tanpa bergerak sedikit pun. Hujan salju masih turun menutup tubuh mereka sehingga keduanya bagaikan sepasang boneka salju.

Selang agak lama Linghu Chong akhirnya membuka suara, “Malam ini kau tidak boleh turun ke bawah seorang diri. Apakah Guru dan Ibu Guru mengetahui kepergianmu? Sebaiknya kita tunggu Beliau berdua mengirim orang untuk menjemputmu.”

Yue Lingshan menjawab, “Tadi pagi Ayah tiba-tiba menerima surat undangan dari Ketua Zuo di Songshan. Katanya ada masalah penting yang harus dirundingkan. Maka, Ayah pun berangkat bersama Ibu meninggalkan Huashan.”

“Jadi, tidak ada orang lain yang tahu kau naik ke sini?” Linghu Chong bertanya.

“Tidak ada,” sahut Yue Lingshan. “Kakak Kedua, Kakak Ketiga, Kakak Keempat, dan Monyet Keenam ikut menemani Ayah dan Ibu. Oh, aku ingat, hanya si bocah Lin Pingzhi yang melihat aku berangkat kemari. Tapi dia sudah kuperingatkan supaya jangan banyak bicara. Kalau tidak, besok pagi akan kutampar wajahnya.”

“Wah, galak sekali dirimu sebagai kakak seperguruan!” ujar Linghu Chong tertawa.

“Sudah tentu!” sahut Yue Lingshan ikut tertawa. “Mumpung ada yang memanggil aku sebagai kakak, kalau tidak galak sedikit tentu aku yang rugi. Tidak seperti dirimu yang dipanggil kakak oleh semua orang.”

“Kalau begitu, malam ini jelas kau tidak bisa pulang dan terpaksa harus menginap di sini. Besok pagi baru bisa turun ke bawah,” ujar Linghu Chong sambil menggandeng tangan gadis cantik itu masuk ke dalam gua.

Gua tersebut sangat sempit, hanya cukup untuk meringkuk dua orang saja tanpa banyak tersisa tempat lagi. Keduanya pun mengobrol sampai larut malam. Sampai akhirnya Yue Lingshan merasa kedua matanya sudah berat dan ia pun jatuh tertidur.

Khawatir gadis itu masuk angin, Linghu Chong pun menanggalkan mantel hangatnya untuk kemudian diselimutkan ke tubuh Yue Lingshan. Dari pantulan cahaya salju yang putih kemilau, samar-samar Linghu Chong bisa memandang wajah cantik gadis itu yang sedang tertidur pulas. “Perhatian Adik Kecil kepadaku semakin dalam. Meskipun tubuhku hancur lebur demi untuknya, aku rela.”

Dalam keheningan malam Linghu Chong merenungi nasib hidupnya. “Aku kehilangan kedua orang tuaku sejak kecil. Beruntung aku bertemu Guru dan Ibu Guru yang mengasuh dan memperlakukan diriku bagaikan anak sendiri. Aku pun menjadi murid kepala di Perguruan Huashan. Bukan hanya karena aku masuk perguruan lebih dahulu, juga karena ilmu silatku paling tinggi dibanding dengan yang lain. Suatu hari nanti Guru pasti akan mewariskan perguruan kepadaku. Bahkan, Adik Kecil juga sedemikian baiknya kepadaku, tentu aku akan semakin berhutang budi kepada Guru sekeluarga. Sampai mati pun aku tidak akan bisa membalas kebaikan Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil. Namun sebaliknya, aku justru sering membuat Guru dan Ibu Guru marah. Aku harus berubah menjadi lebih baik dan mengubah semua kebiasaan burukku. Jika tidak, tentu aku akan mengecewakan Guru dan Ibu Guru, juga Adik Kecil.”

Tiba-tiba terdengar suara Yue Lingshan berseru, “Bocah bermarga Lin, kau tidak menuruti perintahku, ya? Sini, biar kuhajar kau!”

Linghu Chong terperanjat. Dilihatnya sepasang mata gadis itu masih tertutup rapat. Napasnya juga masih teratur. Dalam hati ia merasa geli, “Ternyata Adik Kecil hanya mengigau. Baru kali ini ia mendapat adik seperguruan sehingga bersikap agak berlebihan. Pasti Adik Lin sudah kenyang disuruhnya kesana-kemari, sampai-sampai terbawa ke dalam mimpi.”

Semalam suntuk Linghu Chong berjaga di sisi Yue Lingshan. Sedikit pun ia tidak tidur sama sekali.

Yue Lingshan sendiri sangat letih sehingga tidur semalaman, sampai hari mulai terang barulah ia bangun kembali. Begitu melihat Linghu Chong sedang memandangi dirinya sambil tersenyum, ia pun balas tersenyum sambil menguap, “Kakak Pertama, kau sudah bangun sejak pagi tadi?”

Linghu Chong tidak mengatakan kalau dirinya berjaga semalaman. Ia hanya menjawab dengan tertawa, “Semalam kau mimpi apa? Apa kau bermimpi menghajar Adik Lin?”

Yue Lingshan terdiam sejenak mengingat-ingat mimpinya semalam. Ia kemudian tertawa dan berkata, “Wah, kau pasti mendengar aku mengigau, ya? Si bocah Lin Pingzhi itu memang keras kepala. Ia tidak mau menuruti kata-kataku. Aku kesal sekali, sampai-sampai memaki dia di dalam mimpi.”

Linghu Chong bertanya, “Memangnya dia melakukan kesalahan apa?”

“Dalam mimpi aku menyuruhnya berlatih pedang di tengah air terjun mengiringi diriku. Tapi dia selalu saja menolak dengan berbagai alasan. Aku lantas membujuknya mendekati air terjun, dan kemudian kudorong tubuhnya hingga tercebur ke bawah,” jawab Yue Lingshan.

“Wah, mana boleh begitu?” ujar Linghu Chong. “Kalau terjadi apa-apa dia bisa celaka.”

“Ah, hanya mimpi saja, kenapa harus khawatir?” sahut Yue Lingshan. “Memangnya kau kira aku benar-benar begitu kejam dan membunuh orang?”

Linghu Chong berkata, “Apa yang terpikir pada siang hari, bisa terjadi di dalam mimpi. Tentu pada waktu siang kau berpikir ingin membunuh Adik Lin, sehingga terbawa ke dalam mimpi pada malam harinya.”

Yue Lingshan mendengus dan menjawab, “Bocah bermarga Lin itu sangat tidak berguna. Sudah tiga bulan berlatih jurus-jurus dasar perguruan kita, tapi satu jurus pun belum bisa dikuasainya. Tapi sebenarnya ia sangat giat dalam berlatih. Siang berlatih, malam juga berlatih. Sampai-sampai orang-orang kesal melihatnya. Huh, jika aku ingin membunuhnya maka aku tidak perlu repot-repot harus memikirkannya. Sekali cabut pedang aku bisa membereskannya.” Sambil berkata demikian, tangan gadis itu lantas bergerak memperagakan sebuah jurus tusukan.

“Jurus Awan Menutup Bukit,” ucap Linghu Chong menebak. “Sekali tebas kepala Adik Lin bisa melayang, hahaha.”

“Benar. Jika aku gunakan jurus itu, kepala si bocah Lin bisa terlempar,” jawab Yue Lingshan ikut tertawa.

Linghu Chong berkata sambil menggoda, “Sebagai seorang kakak, seharusnya kau memberikan petunjuk kepada adik seperguruan yang sedang kesulitan berlatih pedang, bukannya sembarangan main bunuh. Andai saja Guru memiliki seratus murid baru, tentu dalam waktu singkat sembilan puluh sembilan orang akan mati di tanganmu. Bukannya sifat seperti ini sangat berbahaya?”

Yue Lingshan tertawa cekikikan sambil bersandar di dinding gua. Ia berkata, “Benar juga, aku hanya boleh membunuh sembilan puluh sembilan orang saja. Paling sedikit harus tersisa satu orang yang kubiarkan hidup. Jika tidak, siapa lagi yang akan memanggil ‘kakak’ kepadaku?”

“Tapi kalau kau sudah membunuh sembilan puluh sembilan orang adik seperguruanmu, tentu sisanya yang satu orang itu akan melarikan diri karena takut,” sahut Linghu Chong menanggapi.

“Kalau begitu, maka... maka kau saja yang kupaksa memanggil ‘kakak’ kepadaku,” jawab Yue Lingshan.

“Bagiku tidak masalah memanggil ‘kakak’. Tapi kalau kau juga membunuhku, bagaimana?” tanya Linghu Chong menggoda.

“Asalkan kau menuruti semua perkataanku, sudah pasti tidak akan kubunuh. Tapi jika membantah, tentu kau akan segera mati di tanganku,” ujar Yue Lingshan

Menanggapi gurauan itu Linghu Chong segera memberi hormat sambil bergelak tawa, “Ampuni aku, Adik Kecil! Ampuni aku!”

Saat itu hujan salju telah reda. Linghu Chong khawatir jangan-jangan saudara-saudara yang lain mengetahui hilangnya Yue Lingshan sehingga akan muncul omongan-omongan yang kurang sedap di antara mereka. Tentu ini akan mencemarkan nama baik sang adik kecil. Maka, ia pun berusaha membujuk gadis itu supaya segera pulang meninggalkan puncak.

Akan tetapi, Yue Lingshan menjawab, “Biarlah aku bermain di sini saja. Ayah dan Ibu kebetulan tidak berada di rumah. Aku benar-benar merasa sangat kesepian.”

“Adik yang baik,” ujar Linghu Chong lembut. “Selama beberapa hari ini aku telah menciptakan beberapa Jurus Pedang Chongling yang baru. Kelak kalau aku sudah pulang, akan kuajak dirimu untuk berlatih bersama lagi di air terjun itu.”

Dengan berbagai cara Linghu Chong berusaha membujuk Yue Lingshan supaya mau meninggalkan Puncak Gadis Kumala tersebut. Akhirnya, lama-lama putri sang guru itu luluh juga. Dengan berat hati Yue Lingshan melangkah turun kembali ke rumah.

Pada sore harinya yang datang mengantarkan makanan ternyata Gao Genming. Ia memberi tahu kalau Yue Lingshan jatuh sakit karena masuk angin. Meskipun berbaring lemah di ranjang, namun gadis itu selalu terkenang kepada sang kakak pertama. Maka sebelum Gao Genming berangkat, ia tidak lupa berpesan supaya membawakan sebotol arak untuk Linghu Chong.

Mendengar berita ini Linghu Chong sangat prihatin. Andai saja tidak terikat peraturan tentu ia sudah berlari turun menjenguk Yue Lingshan. Maka yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berharap semoga keadaan Yue Lingshan berangsur membaik. Meskipun sudah sehari semalam menahan lapar, namun begitu mendengar Yue Lingshan jatuh sakit, seketika nafsu makan Linghu Chong sirna. Semangkuk nasi yang dibawakan adik kelimanya itu sama sekali sulit untuk ditelan.

Menyadari kakak pertama dan adik kecilnya saling mencintai, Gao Genming pun berusaha menghibur, “Kakak Pertama tidak perlu khawatir. Kita ini orang persilatan yang telah berlatih tenaga dalam. Penyakit yang menimpa Adik Kecil hanyalah penyakit ringan. Asalkan beristirahat dan minum ramuan obat selama dua atau tiga hari, tentu dia akan sembuh kembali.”

Ucapan Gao Genming ternyata berbalik dari kenyataan. Sakit Yue Lingshan justru bertambah parah dan ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur selama belasan hari. Sampai akhirnya setelah Yue Buqun dan Ning Zhongze pulang dari Gunung Songshan, barulah gadis itu bisa sembuh berkat bantuan tenaga dalam sang ayah yang teramat tinggi.

Beberapa hari kemudian, Yue Lingshan kembali mendaki Puncak Gadis Kumala untuk mengantar makanan kepada Linghu Chong. Sejak hujan salju waktu itu, pertemuan keduanya telah berselang lebih dari dua puluh hari. Maka begitu bertemu, keduanya sama-sama merasa senang dan bahagia.

Setelah sama-sama tertegun dan saling memandang, Yue Lingshan akhirnya membuka pembicaraan, “Kakak Pertama, apakah kau sakit? Mengapa tubuhmu begitu kurus?”

“Tidak, aku tidak sakit,” jawab Linghu Chong sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya... aku hanya....”

Yue Lingshan langsung paham duduk perkaranya. Ia berkata lirih, “Kakak Pertama... kau pasti sangat memikirkan diriku sehingga jadi kurus seperti ini....” Tidak kuasa lagi menahan perasaan, air mata haru pun berlinang di pipi gadis itu. “Kakak Pertama tidak perlu cemas, sekarang aku sudah sembuh,” lanjutnya.

Sambil menggenggam tangan si gadis, Linghu Chong menjawab lirih, “Selama ini siang dan malam aku selalu memandang ke bawah. Setiap hari yang kuharapkan hanya bisa memandangmu lagi. Berkat kemurahan Langit, akhirnya kau datang juga.”

“Tapi,” sahut Yue Lingshan. “Bukannya aku sering melihat dirimu?”

“Melihat aku? Aneh sekali. Di mana kau melihatku?” tanya Linghu Chong dengan heran.

Yue Lingshan menjawab, “Waktu aku sakit, jika kututup mataku, maka aku segera bertemu denganmu. Suatu hari badanku panas luar biasa. Ibu berkata waktu itu aku sampai mengigau menyebut-nyebut dirimu. Kakak, rupanya Ibu mengetahui keberadaanku bersamamu malam itu?”

Wajah Linghu Chong menjadi merah. Ia pun bertanya dengan nada khawatir, “Apakah... apakah Ibu Guru marah?”

“Ibu tidak marah, hanya saja... hanya saja....” gadis itu tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya tempak bersemu merah menahan malu.

“Hanya saja apa?” sahut Linghu Chong.

“Ah, aku tidak mau menerangkannya,” jawab Yue Lingshan

Melihat wajah Yue Lingshan yang serba salah, jantung Linghu Chong terasa berdebar. Pemuda itu segera mengalihkan pembicaraan, “Adik Kecil, kau ini baru saja sembuh. Seharusnya jangan naik ke sini pagi-pagi begini. Mengenai keadaanmu yang berangsur-angsur sembuh, Adik Kelima atau Adik Keenam sudah menceritakannya kepadaku.”

“Kalau begitu, kenapa kau masih kurus begini?” ujar Yue Lingshan.

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Setelah kau benar-benar sembuh, barulah aku bisa gemuk kembali.”

“Katakan yang sebenarnya, berapa banyak yang kau makan dari setiap bekal yang datang kepadamu?” sahut Yue Lingshan mendesak. “Monyet Keenam selalu bercerita setiap makanan yang dibawakannya untukmu tidak pernah kau sentuh. Kau hanya meneguk arak saja. Dia sudah berusaha membujukmu, tapi kau tidak pernah menuruti perkataannya. Kenapa... kenapa kau tidak menjaga dirimu dengan baik?” Berkata demikian matanya kembali berkaca-kaca.

“Omong kosong! Jangan dengarkan dia! Monyet Keenam terlalu berlebihan. Memangnya aku sanggup menahan lapar tanpa makan selama belasan hari?” sahut Linghu Chong membela diri.

Tiba-tiba angin berhembus kencang sampai-sampai Yue Lingshan menggigil kedinginan. Puncak Gadis Kumala memang tempat yang sangat dingin. Di sana tidak terdapat tumbuh-tumbuhan yang bisa menahan hembusan angin. Apalagi saat itu memang sedang permulaan musim dingin.

Segera Linghu Chong berkata, “Adik Kecil, badanmu belum kuat. Sebaiknya kau lekas pulang saja. Lain kali jika hari sudah cerah dan matahari bersinar gemilang barulah kau boleh datang lagi menjenguk aku.”

“Tidak, aku tidak kedinginan,” kata Yue Lingshan. “Sekarang ini sudah musim dingin. Kalau tidak turun salju, ya angin bertiup kencang. Kalau menunggu matahari bersinar terang, sampai kapan kita bisa bertemu lagi?”

Linghu Chong menjadi cemas. “Tapi... kalau sampai kau jatuh sakit lagi, tentu aku... aku....”

Melihat wajah sang kakak pertama sedemikian pucat, dalam hati Yue Lingshan berpikir, “Kalau aku sakit lagi, tentu dia akan ikut sakit pula. Apalagi dia sendirian di sini tentu sakitnya akan semakin parah. Tidak boleh, aku tidak boleh membuatnya menderita seorang diri di puncak terpencil ini.”

Maka, gadis itu kemudian berkata, “Baiklah, aku akan pulang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan banyak minum arak. Akan kusampaikan kepada Ayah bahwa badanmu lemah dan perlu diberi makanan yang lebih bergizi.”

“Ah, tidak perlu melanggar peraturan,” ujar Linghu Chong. “Beberapa hari lagi aku juga akan gemuk kembali. Adik manis, Adik sayang, kau lekas pulang saja.”

“Kau panggil... kau panggil aku apa?” sahut Yue Lingshan dengan wajah bersemu merah. Ia memandang wajah kakak pertamanya itu dengan tatapan penuh arti.

Linghu Chong menjadi rikuh dan menjawab dengan nada malu, “Aku hanya... aku hanya bicara tanpa berpikir dulu. Adik Kecil jangan marah.”

“Mengapa harus marah?” sahut Yue Lingshan. “Aku justru senang kau panggil demikian.”

Linghu Chong merasakan kehangatan mengisi rongga dadanya. Rasanya ingin sekali ia maju dan memeluk tubuh Yue Lingshan. Namun kemudian terlintas dalam benaknya betapa putri gurunya itu sungguh agung laksana dewi kahyangan yang tidak boleh diperlakukan secara kasar. Maka, pemuda itu hanya bisa berkata, “Adik Kecil, jika nanti turun ke bawah hendaknya kau berjalan dengan hati-hati. Jangan nakal seperti biasanya. Kalau letih sebaiknya istirahat dulu.”

“Tidak mau,” jawab Yue Lingshan dengan nada manja. Ia kemudian berjalan perlahan menuju jalan setapak di tepi tebing, namun kemudian berhenti dan berdiri di ujung jalan tersebut tanpa melangkah turun. Sepasang matanya yang indah beradu pandang dengan mata Linghu Chong. Hingga waktu yang cukup lama mereka berdua hanya saling berpandangan tanpa membuka suara. Sampai akhirnya si pemuda membuka suara, “Berangkatlah, Adik Kecil. Sudah saatnya kau harus pulang.”

Yue Lingshan mengangguk. Kali ini ia benar-benar melangkah turun meninggalkan Puncak Gadis Kumala.

Selama sehari Linghu Chong merasa gembira dan hatinya berbunga-bunga. Sungguh suatu perasaan menggelora yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sambil duduk di atas batu tanpa terasa ia tertawa sendiri. Kemudian ia pun berteriak panjang, yang suaranya sampai menggema berkumandang di lembah pegunungan tersebut. Suara teriakannya seolah mengutarakan kebahagiaan yang sedang menyelubungi hatinya.

Esok paginya salju kembali turun. Kali ini Yue Lingshan tidak datang, dan yang mengantarkan makanan adalah si Monyet Keenam alias Lu Dayou. Dari adik seperguruannya itu Linghu Chong mendapat kabar tentang kesehatan Yue Lingshan yang semakin pulih. Sudah tentu ia pun bertambah senang.

Selang dua puluh hari kemudian, Yue Lingshan kembali datang dengan membawa sekeranjang bacang. Setelah berpandang-pandangan cukup lama dengan Linghu Chong, gadis itu lantas membuka suara, “Benar juga, kau sekarang terlihat lebih gemuk.”

“Kau sendiri juga sudah pulih sepenuhnya,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum begitu melihat wajah Yue Lingshan tampak segar dan berseri-seri. “Melihat keadaanmu sekarang, aku sungguh merasa senang.”

“Kakak, aku sudah lama tidak menjengukmu. Apakah kau marah padaku?” tanya Yue Lingshan.

Linghu Chong hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

Yue Lingshan pun melanjutkan, “Setiap hari aku mendesak Ibu supaya diperbolehkan mengantar nasi untukmu. Tapi Ibu selalu melarang dengan alasan udara di puncak sangat dingin. Kalau aku ke sini bisa-bisa jiwaku terancam. Kemudian aku menjawab, ‘Kakak Pertama siang dan malam berada di puncak sendirian, mengapa aku tidak boleh?’ – kata Ibu, tenaga dalam Kakak Pertama jauh lebih tinggi dariku, tentu saja lebih kuat bertahan di sini. Kakak, Ibu telah memujimu, apakah kau senang?”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Aku sangat rindu pada Guru dan Ibu Guru. Aku berharap bisa lekas-lekas kembali dan bertemu Beliau berdua.”

“Kemarin seharian aku membantu Ibu membungkus bacang,” lanjut Yue Lingshan. “Dalam hati aku ingin sekali membawakan beberapa untukmu. Ternyata hari ini aku belum sampai meminta, Ibu sudah menyiapkan sekeranjang untukmu. Ibu berkata, ‘Berikan ini kepada Chong’er.’ – Benar-benar mengejutkan bagiku.”

“Oh, Ibu Guru sungguh baik kepadaku,” sahut Linghu Chong terharu.

“Ya, bacang ini masih hangat. Silakan dicoba sekarang,” ujar Yue Lingshan sambil menjinjing keranjangnya masuk ke dalam gua. Di sana ia membuka dua buah bacang yang dibungkus daun bambu.

Linghu Chong langsung mencium aroma lezat yang ditebarkan makanan tersebut. Begitu Yue Lingshan menyodorkan sebuah di tangannya, tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung meraih dan melahapnya. Nikmat sekali rasanya, meskipun tidak mengandung daging. Makanan tersebut dibuat dari campuran jamur, kacang, tahu dan bahan-bahan lainnya.

“Bacang ini dibuat dari jamur hasil petikanku bersama si Lin Kecil,” ujar Yue Lingshan.

“Lin Kecil?” sahut Linghu Chong mempertegas.

“Ya,” jawab Yue Lingshan sambil tertawa. “Akhir-akhir ini aku memanggil Adik Lin dengan sebutan si Lin Kecil. Dua hari yang lalu ia memberi tahu kalau ada sekumpulan jamur tumbuh di bawah pepohonan pinus di lereng timur. Setengah hari aku bersamanya memetik jamur. Lumayan, kami dapat setengah keranjang.”

“Ya, memang enak sekali. Sampai-sampai lidahku sendiri nyaris terkunyah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Eh, Adik Kecil. Sekarang ini apa kau sudah tidak lagi memaki-maki Adik Lin?”

“Tetap saja,” sahut Yue Lingshan. “Asalkan dia tidak menuruti perkataanku pasti akan segera kumaki-maki. Hanya saja, akhir-akhir ini dia menjadi lebih baik. Lebih penurut. Aku juga mulai memuji dia. Kalau latihan pedangnya benar, tentu dia akan kupuji. ‘Hei, Lin Kecil, latihanmu sudah cukup bagus. Tapi masih kurang. Ayo, latihan lagi! Latihan lagi!’ - begitu kataku.”

“Oh, jadi kau yang mengajarkan ilmu pedang kepadanya?” tanya Linghu Chong.

“Begitulah, Lin Kecil kalau bicara menggunakan logat Fujian yang kental sehingga kurang bisa dipahami saudara-saudara yang lain,” jawab Yue Lingshan. “Karena aku pernah menyamar dan tinggal di dekat Fuzhou, maka Ayah menyuruhku memberikan petunjuk-petunjuk berlatih pada Lin Kecil jika waktuku senggang. Ya, aku sendiri beberapa hari ini tidak boleh menemuimu sehingga punya banyak waktu untuk mendampingi latihannya. Sebenarnya dia tidak terlalu bodoh. Kemajuan ilmu silatnya lumayan pesat.”

“Aha, ternyata Adik Kecil merangkap sebagai seorang guru,” sahut Linghu Chong tertawa. “Pantas saja dia tidak berani membantah perkataanmu.”

“Ah, tidak juga,” ujar Yue Lingshan. “Kemarin sewaktu kuajak menangkap ayam hutan, dia menolak. Dengan alasan ia sedang menyempurnakan latihan jurus Fajar Putih Menyongsong Matahari, serta jurus Kahyangan Menggantung Runtuh ke Bawah.”

“Apa?” sahut Linghu Chong agak terkejut. “Dia baru beberapa bulan berguru di sini tapi sudah kau ajari jurus-jurus itu? Adik Kecil jangan keterlaluan. Ilmu pedang Huashan ada urut-urutannya. Tidak boleh sembarangan berlatih.”

“Kakak Pertama jangan khawatir,” jawab Yue Lingshan. “Lin Kecil memang keras kepala. Dia menghabiskan waktunya hanya untuk berlatih. Siang berlatih, malam juga berlatih. Aku ajak bicara sedikit saja sudah berbelok ke masalah ilmu pedang. Ya, dia memang sangat tekun. Ilmu pedang yang seharusnya dilatih selama tiga tahun, di tangannya bisa selesai dalam waktu setengah tahun. Kadang-kadang kalau aku menyuruhnya menemani bermain, dia menurut tapi terlihat malas-malasan.”

Entah kenapa tiba-tiba selera makan Linghu Chong lenyap begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Yue Lingshan itu. Seolah-olah ada rasa cemburu menghantui pikirannya. Bacang yang baru digigit dua kali hanya dipegang saja di tangannya.

“Kakak Pertama,” tegur Yue Lingshan sambil menarik lengan baju pemuda itu. “Ada apa denganmu?”

Linghu Chong tersadar dari lamunannya. Dengan cepat ia memasukkan sisa bacang di tangannya langsung ke dalam mulut. Makanan yang tadinya lezat itu mendadak sukar ditelan.

Yue Lingshan tertawa kecil dan berkata, “Kakak, jangan buru-buru, nanti gigimu ikut tertelan.”

Dengan tersenyum pahit Linghu Chong menelan sisa bacang di mulutnya masuk ke dalam perut. Pikirannya pun berkata, “Kenapa aku begitu picik? Adik Kecil memang orangnya lincah. Aku sendiri tidak bisa meninggalkan tempat ini. Wajar saja kalau dia mengajak Adik Lin untuk menemaninya bermain.”

Setelah hatinya kembali tenang, Linghu Chong pun tertawa dan berkata, “Bacang buatanmu ini sungguh lezat. Jauh lebih nikmat daripada yang lain. Sampai-sampai gigiku hampir saja ikut tertelan.”

“Aku hanya membantu Ibu membungkus saja,” jawab Yue Lingshan sambil tertawa pula. “Kakak Pertama yang malang. Sudah beberapa bulan kau tinggal sendiri di tempat ini. Pantas saja kalau dirimu begitu rakus terhadap makanan lezat.”

Keduanya melanjutkan pembicaraan sampai senja tiba. Yue Lingshan pun mohon diri meninggalkan puncak tersebut.

Lebih dari sepuluh hari kemudian, Yue Lingshan kembali datang mengantarkan makanan. Kali ini ia juga membawakan sekeranjang kecil kacang untuk dinikmati bersama sang kakak pertama. Selain hari itu yang mengantar makanan ke Puncak Gadis Kumala adalah Lu Dayou.

Tentu saja Linghu Chong merasa sangat rindu kepada Yue Lingshan. Berkali-kali ia memandang ke bawah berharap Yue Lingshan yang datang membawakan makanan untuknya. Namun setiap ia bertanya tentang keadaan adik kecilnya itu, Lu Dayou selalu menjawab dengan perasaan canggung, seolah menyembunyikan sesuatu. Kadang ia menjawab, “Keadaan Adik Kecil serbasulit. Sepertinya Guru melarangnya naik ke sini setiap hari agar tidak mengganggu dirimu yang harus melakukan perenungan.”

Beberapa hari kemudian Yue Lingshan akhirnya datang juga membawa makanan. Linghu Chong sangat gembira melihatnya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri, jauh lebih cantik daripada saat sebelum sakit dulu. Dalam hati Linghu Chong bertanya-tanya, “Keadaannya begitu segar bugar, apakah Guru benar-benar melarangnya naik ke sini?”

“Kakak Pertama,” seru Yue Lingshan menyapa. “Sudah lama aku tidak mengunjungimu. Apakah kau marah kepadaku?”

“Mana mungkin aku marah kepadamu?” sahut Linghu Chong. “Tentu Guru atau Ibu Guru yang melarangmu sering-sering naik ke sini.”

“Benar, Ibu baru saja mengajarkan jurus pedang baru kepadaku,” jawab Yue Lingshan. “Jurus pedang ini begitu sulit dan memiliki banyak variasi perubahan. Jika aku naik ke sini bisa-bisa perhatianku terpecah, demikian katanya.”

“Jurus pedang apa?” Linghu Chong bertanya.

“Tebak saja sendiri,” sahut Yue Lingshan menantang.

“Jurus pedang Yang Wu?” tanya Linghu Chong.

“Bukan,” jawab Yue Lingshan.

“Jurus pedang Xi Wu?”

“Juga bukan.”

“Kalau begitu mungkin Jurus Pedang Bidadari?”

“Itu ilmu pedang andalan Ibu. Aku belum mampu mempelajari Jurus Pedang Bidadari,” jawab Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah. “Baiklah, aku katakan kepadamu, bahwa yang kupelajari adalah Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala.”

“Apa?” sahut Linghu Chong tidak percaya. “Kau sudah diizinkan mempelajari Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala? Bukankah itu ilmu pedang yang sangat rumit?”

Meskipun ilmu Pedang Gadis Kumala hanya terdiri atas sembilan belas jurus, namun setiap jurusnya sangat rumit dan memiliki banyak variasi perubahan. Bila seseorang yang mempelajarinya tidak memiliki ingatan yang bagus, tentu akan kesulitan belajar satu jurus sekalipun. Linghu Chong pernah mendengar gurunya berkata, “Perhatian utama Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala adalah variasi gerakan dan perubahan yang indah dan gemulai. Jurus ini benar-benar berbeda dengan asas perguruan kita, yaitu tenaga dalam mengendalikan pedang. Meskipun murid wanita memiliki tenaga di bawah kaum laki-laki, namun mereka dapat menggunakan jurus yang indah dan rumit ini untuk menghadapi musuh dalam pertempuran. Sedangkan murid laki-laki perguruan kita tidak perlu mempelajarinya.” Itulah sebabnya sampai saat ini Linghu Chong tidak pernah mempelajari ilmu pedang ini meskipun ia murid utama di Perguruan Huashan. Namun melihat tingkatan ilmu silat Yue Lingshan saat ini, Linghu Chong merasa belum saatnya sang adik kecil mempelajari jurus susah ini.

Dua tahun yang lalu Linghu Chong, Yue Lingshan, dan para murid Huashan lainnya pernah melihat guru dan ibu-guru mereka berlatih bersama. Yue Buqun menggunakan bermacam-macam jurus, sedangkan istrinya hanya menggunakan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala tersebut. Namun demikian, semua serangan sang suami dapat dipatahkan oleh Ning Zhongze. Ilmu Pedang Gadis Kumala benar-benar mampu mengatasi semua jenis serangan Yue Buqun sehingga membuat para murid yang menonton tercengang penuh kekaguman.

Melihat itu Yue Lingshan merengek minta diajari. Namun Ning Zhongze menjawab, “Usiamu masih terlalu muda untuk mempelajari ilmu pedang ini. Pertama, tingkat kepandaianmu masih kurang; kedua, wawasanmu juga belum seberapa. Sebaiknya kau tunggu sampai usiamu lewat dua puluh tahun baru mempelajarinya. Ilmu Pedang Gadis Kumala diciptakan untuk mematahkan ilmu pedang perguruan lain. Jika berlatih melawan saudara dan saudari seperguruan saja, aku khawatir yang bisa kau patahkan nanti hanya ilmu pedang Perguruan Huashan saja. Berbeda dengan kakak pertamamu yang berwawasan luas. Dia mengetahui bermacam-macam ilmu pedang dari berbagai perguruan, sehingga kelak bisa menjadi rekanmu dalam berlatih ilmu pedang ini.” Demikian kiranya percakapan ibu dan anak tersebut dan siapa sangka saat ini Ning Zhongze sudah berubah pikiran untuk menurunkan Ilmu Pedang Gadis Kumala kepada Yue Lingshan.

“Syukurlah kalau Guru yang langsung melatihmu setiap hari,” ujar Linghu Chong. Ia berkata demikian karena untuk melatih Sembilan Belas Ilmu Pedang Gadis Kumala diperlukan lawan yang mampu meniru berbagai ilmu pedang perguruan lain. Di dalam Perguruan Huashan hanya Yue Buqun dan dirinya yang memiliki wawasan luas dan memenuhi syarat untuk itu. Sehingga Linghu Chong berani menebak kalau lawan berlatih Yue Lingshan adalah ayahnya sendiri.

Namun Yue Lingshan menjawab, “Mana mungkin Ayah punya waktu luang untuk melatihku? Yang ada juga si Lin Kecil yang selalu menemani aku berlatih.”

“Apa? Adik Lin?” sahut Linghu Chong heran. “Apakah dia memiliki wawasan luas tentang macam-macam ilmu pedang golongan lain?”

“Tidak juga,” jawab Yue Lingshan. “Dia hanya tahu ilmu Pedang Penakluk Iblis yang pernah diajarkan orang tuanya. Namun Ayah berkata meskipun ilmu pedang tersebut cukup sederhana tapi memiliki banyak gerakan menarik sehingga memenuhi syarat untuk menjadi lawan berlatihku. Jadi, untuk melatih permulaan ilmu Pedang Gadis Kumala, aku bisa menggunakan ilmu Pedang Penakluk Iblis sebagai tandingan.”

“Oh, ternyata demikian,” sahut Linghu Chong lirih.

“Apa Kakak Pertama merasa kurang senang?” tanya Yue Lingshan tiba-tiba.

“Ah, tidak! Mengapa aku kurang senang?” sahut Linghu Chong. “Kau bisa melatih ilmu tertinggi perguruan kita, tentu saja aku merasa senang.”

“Akan tetapi wajahmu sepertinya menampilkan perasaan kurang senang?” desak Yue Lingshan.

Linghu Chong memaksakan diri untuk tertawa, “Hahahaha! Mana mungkin aku tidak senang? Eh, kalau boleh tahu sudah sampai di mana hasil latihanmu?”

Yue Lingshan tidak menjawab. Ia menyadari kalau kakak pertamanya sengaja mengalihkan pembicaraan. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Aku ingat Ibu pernah menyuruhku suatu saat nanti kau yang akan menjadi lawan berlatihku dalam mempelajari ilmu Pedang Gadis Kumala. Tapi Ayah justru menyuruhku belajar bersama Lin Kecil, tentu ini yang membuatmu tidak suka. Benar, bukan? Tapi kau sendiri sedang menjalani hukuman dan tidak mungkin meninggalkan tebing ini. Padahal, aku sudah tidak sabar ingin mempelajarinya sehingga tidak mungkin menunggumu selesai menjalani masa hukuman.”

“Kau ini bicara apa?” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Aku dan Adik Lin satu perguruan. Kita semua satu perguruan. Dengan siapa kau berlatih tidak menjadi soal, bukan?” Setelah terdiam sejenak ia lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti lebih suka berlatih dengan Adik Lin daripada denganku.”

Wajah Yue Lingshan langsung bersemu merah. Ia berkata, “Enak saja! Kepandaian Lin Kecil masih jauh di bawahmu. Apa untungnya kalau aku terus-menerus berlatih dengannya?”

Mendengar ucapan Yue Lingshan yang terakhir ini perasaan Linghu Chong menjadi lega. Kali ini ia benar-benar tersenyum dan kembali berkata, “Tentu saja ada keuntungannya bagimu. Bukankah kau akan merasa hebat apabila bisa mengalahkannya dalam satu serangan saja?”

“Huh, dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis yang konyol itu apa hebatnya jika bisa aku kalahkan?” ujar Yue Lingshan tertawa pula.

Linghu Chong paham adik kecilnya ini sangat manja dan tidak suka dikalahkan. Saat berlatih melawan Lin Pingzhi pasti ia merasa sangat senang karena bisa mencoba ilmu pedang baru. Lin Pingzhi yang berilmu rendah pasti mudah dikalahkan sehingga menambah kebanggaan Yue Lingshan. Berpikir demikian membuat perasaan gelisah Linghu Chong lenyap seketika. Ia lantas berkata, “Adik Kecil, aku ingin mencoba beberapa jurus barumu itu. Ingin kulihat sampai sejauh mana hasilmu berlatih ilmu Pedang Gadis Kumala.”

“Bagus sekali!” sahut Yue Lingshan gembira. “Justru kedatanganku kali ini untuk... untuk....” Sambil tersipu malu ia mencabut pedang di tangan.

“Untuk memamerkan hasil latihanmu, bukan?” sahut Linghu Chong dengan cepat. “Silakan saja dimulai!”

“Kakak Pertama,” sahut Yue Lingshan kemudian. ”Selama ini ilmu silatmu selalu berada di atasku. Tapi dengan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala, kau tidak bisa menindas aku lagi.”

“Memangnya kapan aku pernah menindasmu? Kau salah menuduh terhadap orang baik-baik macam aku,” balas Linghu Chong.

“Hei, kenapa belum juga mencabut pedangmu?” tanya Yue Lingshan sambil memasang kuda-kuda.

“Tidak usah buru-buru,” ujar Linghu Chong sambil mengacungkan tangan kanannya ke depan. “Ini adalah ilmu pedang Perguruan Qingcheng yang bernama jurus Daun Cemara Berguguran.” Tangan kanannya dibentuk seolah-olah sebagai pedang dan ditusukkannya ke arah bahu Yue Lingshan.

Dengan cepat Yue Lingshan memiringkan tubuhnya dan mundur selangkah sambil mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan tangan kakak pertamanya itu dengan berteriak, “Awas!”

“Jangan setengah-setengah!” ujar Linghu Chong. “Kalau tanganku tidak bisa menangkis pedangmu, tentu aku akan segera menggunakan pedang sungguhan.”

“Berani sekali kau menghadapi ilmu Pedang Gadis Kumala dengan tangan kosong?” sahut Yue Lingshan.

“Latihanmu belum sempurna. Kelak jika kau sudah mahir tentu aku tidak berani macam-macam,” jawab Linghu Chong.

Dalam hati Yue Lingshan merasa tersinggung melihat sikap Linghu Chong yang seolah-olah meremehkan kemampuannya. Padahal selama beberapa hari ini ia berlatih dengan keras dan merasa kemajuannya sudah begitu pesat. Andaikan harus menghadapi musuh yang sebenarnya sekalipun ia tidak merasa takut. Alasan utamanya mengapa ia tidak datang ke puncak selama sepuluh hari terakhir ini adalah untuk berlatih secara diam-diam dan memberikan kejutan kepada Linghu Chong mengenai ilmu pedangnya yang maju pesat. Dengan demikian sang kakak pertama bisa lebih mengharagainya. Namun tak diangka Linghu Chong justru meremehkan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala begitu saja, membuatnya merasa sangat kesal.

Maka, gadis itu pun berteriak, “Kalau pedangku sampai melukaimu, jangan marah dan juga jangan mengadu kepada Ayah dan Ibu!”

“Tentu saja,” sahut Linghu Chong. “Kau boleh menyerangku sekuat tenaga. Kalau setengah-setengah, kepandaianmu yang sesungguhnya jadi tidak kelihatan.” Tiba-tiba Linghu Chong mengayunkan tangan kirinya ke depan sambil berseru, “Awas!”

Yue Lingshan terkejut, “Hei, jadi tangan... tangan kirimu juga kau gunakan sebagai pedang?”

Apabila serangan Linghu Chong tadi dilancarkan dengan sungguh-sungguh, tentu Yue Lingshan sudah terluka. Sambil menahan tenaga pemuda itu berkata, “Beberapa orang dalam Perguruan Qingcheng biasa menggunakan pedang ganda.”

“Ah, benar juga,” sahut Yue Lingshan. “Aku sering melihat murid-murid Qingcheng membawa dua pedang di pinggang mereka. Bagaimana aku bisa lupa?” Usai berkata demikian ia kembali melancarkan serangan.

Linghu Chong melihat jurus kali ini tentu jurus lanjutan dari yang sebelumnya. Ia pun tersenyum dan berkata, “Hebat seranganmu, tapi sayangnya masih kurang cepat.”

“Kurang cepat bagaimana? Kalau kutambah kecepatannya bisa-bisa lenganmu terpotong,” sahut Yue Lingshan kesal.

“Coba saja potong lenganku kalau kau bisa,” ujar Linghu Chong sambil terus bergerak.

Yue Lingshan menyerang dengan segenap kepandaiannya. Namun dari sembilan belas jurus pedang tersebut hanya sembilan saja yang diingatnya, itu pun hanya enam saja yang benar-benar lancar. Meskipun demikian jurus-jurus yang selalu diulang-ulangi itu sudah cukup merepotkan Linghu Chong.

Terpaksa Linghu Chong bergerak mengitari tubuh Yue Lingshan. Setiap kali mencoba menyerang ia selalu dipaksa mundur oleh ayunan pedang gadis itu. Sampai-sampai ketika ia melompat mundur, punggungnya terbentur pada batuan dinding luar gua. Tentu saja hal itu membuatnya meringis kesakitan.

Yue Lingshan sangat senang bisa mendesak Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Bagaimana, masih sanggup memakai tangan kosong saja?”

“Tentu saja, tanganku masih cukup ampuh menghadapi pedangmu,” sahut Linghu Chong memancing Yue Lingshan supaya mengerahkan semua jurusnya.

Akan tetapi sampai sekian lama, Yue Lingshan hanya tetap mengulang-ulang keenam jurus yang diingatnya. Linghu Chong akhirnya menyadari apa sebabnya. Ia pun maju dan mengayunkan tangannya. “Awas, ini jurus ketiga dari ilmu pedang Perguruan Qingcheng!”

Sesuai dugaan, Yue Lingshan pun menangkis tangan kanan Linghu Chong untuk melindungi kepalanya. Namun ia justru masuk perangkap. Tanpa diduga tangan kiri Linghu Chong dengan cepat menyentil batang pedang gadis itu. Yue Lingshan merasa tangannya kaku kesemutan dan tahu-tahu pedangnya sudah terlempar ke udara, kemudian jatuh ke dalam jurang di tepi tebing.

Dengan wajah pucat Yue Lingshan memandangi Linghu Chong seolah hatinya tidak percaya. Linghu Chong merasa serba salah. Tiba-tiba pemuda itu melihat sekelebat bayangan hijau melintas di balik bukit. Ketika ia mempertajam pandangannya, bayangan itu telah menghilang entah ke mana.

Kembali Linghu Chong termangu-mangu di tepi tebing. Selama bertahun-tahun ia selalu mengalah jika mendampingi Yue Lingshan itu berlatih. Tapi entah kenapa hari itu ia berbuat melampaui batas. Ia telah menyebabkan pedang kesayangan gadis itu hilang di dasar jurang.

Sambil memegangi tangannya yang kesakitan dan memandang ke arah bawah tebing, Yue Lingshan berkata, “Pedangku... pedangku....”

Linghu Chong tertegun saat teringat kalau pedang yang telah jatuh ke jurang tersebut adalah pusaka yang sangat disayangi Yue Lingshan. Pedang pusaka tersebut bernama Pedang Kolam Hijau yang tajam luar biasa bahkan mampu memotong baja. Benda ini diperoleh Yue Buqun dari Sumber Naga di Provinsi Zhejiang tiga tahun silam. Berkali-kali Yue Lingshan merengek meminta pedang tersebut, namun Yue Buqun tidak menurutinya. Barulah pada saat ulang tahun yang kedelapan belas, Yue Buqun memberikan pedang pusaka tersebut kepada Yue Lingshan.

Dan kini pedang pusaka Kolam Hijau telah jatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Entah bagaimana caranya untuk mendapatkan pedang itu kembali.

“Mengapa aku sebodoh ini? Aku telah melakukan kesalahan besar,” ujar Linghu Chong dalam hati.

Sementara itu Yue Lingshan tampak meneteskan air mata. Sambil menggigit bibir sendiri gadis itu membanting kakinya di tanah kemudian berpaling pergi.

“Adik Kecil, Adik Kecil!” seru Linghu Chong memanggil. Namun yang dipanggil sedikit pun tidak menghiraukan.

Pemuda itu lantas berusaha memegang tangan Yue Lingshan, namun si gadis sudah berjalan melewati batas tempat tersebut. Sedikit pun ia tidak menoleh ke belakang.

Linghu Chong merasa sangat sedih. Hatinya pun berkata, “Apakah aku iri kepadanya? Tidak, tidak mungkin. Ilmu Pedang Gadis Kumala hanya diajarkan kepada murid perempuan. Harusnya aku malah senang melihatnya ada kemajuan. Aih, ada apa ini? Kenapa aku begitu bodoh? Apakah karena terlalu lama dikurung si sini sifatku menjadi kasar? Aku hanya bisa berharap esok hari Adik Kecil datang lagi kemari sehingga aku bisa meminta maaf kepadanya.”

Hari sudah mulai gelap. Malam itu Linghu Chong tidak bisa tidur. Ia mencoba duduk bersila di atas batu datar di dalam gua sambil melatih pernapasan. Akan tetapi, sedikit pun ia tidak bisa hening karena pikirannya melayang-layang memikirkan kejadian sore tadi. Pemuda itu tidak berani melanjutkan berlatih karena takut menderita luka dalam.

Samar-samar cahaya rembulan menerobos masuk melalui mulut gua dan mengenai tulisan “Feng Qingyang” yang terukir di dinding batu. Untuk mengusir kejenuhan, Linghu Chong pun mencoba menuliskan namanya pada dinding gua itu. Tiba-tiba sesosok bayangan terlihat di dinding akibat pantulan cahaya rembulan. Linghu Chong langsung menoleh ke arah mulut gua sambil berteriak gembira, “Adik Kecil, apakah itu kau?”

Namun dugaan Linghu Chong keliru. Sosok yang berdiri di mulut gua ternyata seorang pria tinggi kurus dengan wajah ditutup cadar berwarna hijau. Hanya sepasang matanya yang tampak berkilat-kilat memandangi Linghu Chong.

Merasa adanya gelagat yang kurang baik, Linghu Chong pun melompat keluar sambil menghunus pedang dan berteriak, “Siapa kau?”

Laki-laki bercadar itu tidak menjawab, melainkan mengayunkan tangan kanannya ke depan untuk menyerang Linghu Chong. Sungguh terkejut perasaan Linghu Chong begitu menyadari gerakan tangan pria bercadar itu merupakan gerakan jurus Pedang Gadis Kumala. Pemuda itu pun bertanya, “Apakah Anda sesepuh perguruan kami?”

Belum selesai bicara, tahu-tahu Linghu Chong merasakan adanya angin berhembus ke arahnya disertai rasa sakit di bagian pundak. Rupanya tangan si pria bercadar telah mengenai bahunya. Pemuda itu merasakan serangan tangan si pria bercadar sungguh dahsyat padahal sepertinya tidak disertai tenaga dalam sama sekali.

Dengan menahan rasa nyeri sekaligus takut, Linghu Chong melompat ke kiri untuk menghindari serangan si pria bercadar. Namun pria itu ternyata tidak mengejarnya. Di bawah sinar rembulan Linghu Chong dapat melihat pria itu memperagakan belasan jurus Pedang Gadis Kumala. Gerakannya cepat sekali. Jurus demi jurus ia peragakan tanpa jeda tanpa henti menjadi satu gerakan berkesinambungan.

Linghu Chong terperanjat dengan mulut menganga karena kagum. Semua gerakan yang dimainkan pria bercadar itu jelas-jelas adalah jurus Pedang Gadis Kumala yang tadi siang dimainkan Yue Lingshan. Namun yang mengherankan adalah pria itu mampu memainkannya dengan sangat cepat menjadi satu rangkaian utuh yang indah tapi mematikan.

Usai memainkan jurus-jurus tersebut, si pria bercadar lantas melangkah pergi sambil mengibaskan lengan bajunya dan kemudian menghilang di balik bukit.

Linghu Chong baru sadar dari keterkejutannya dan buru-buru ia berteriak, “Tuan Sesepuh! Tuan Sesepuh!” Didorong rasa penasaran ia pun mengejar pria bercadar itu. Namun di balik bukit ia tidak menemukan siapa-siapa, hanya cahaya rembulan menyinari bebatuan.

“Siapa dia sebenarnya?” tanya Linghu Chong dalam hati. “Dia begitu mahir memainkan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala. Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk menghadapi serangannya. Andai saja ia menggunakan pedang asli, mungkin lenganku sudah putus dibuntungi olehnya. Tidak, rasanya tidak hanya lenganku saja. Kalau ia mau, ia bisa memotong-motong tubuhku dari berbagai arah hanya dengan enam jurus saja.” Merenung sejenak, Linghu Chong kemudian berpikir kembali, “Namun anehnya, gerakan pedangnya sungguh kuat meskipun tidak disertai tenaga dalam. Dengan cara seperti itu justru membuatku tidak bisa melindungi diri dari setiap serangannya. Oh, siapa sebenarnya orang itu? Mengapa ia berada di puncak Gunung Huashan ini?”

Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Linghu Chong, namun tidak satu pun yang bisa ia temukan jawabannya. Akhirnya ia pun memutuskan, “Ah, nanti saja aku tanyakan kalau bertemu Guru atau Ibu Guru. Pasti Beliau berdua mengenal orang itu. Kalau saja besok Adik Kecil datang kemari untuk mengantar makanan, aku akan menitipkan pertanyaan ini kepada Beliau Berdua.”

Hari berikutnya, Linghu Chong tidak melihat Yue Lingshan datang. Seperti hari-hari sebelumnya, yang datang mengantar makanan adalah Lu Dayou. Hari-hari selanjutnya pun demikian. Pikiran Linghu Chong kusut membayangkan betapa sedih dan marah perasaan Yue Lingshan karena kehilangan pedang kesayangannya. Ia sudah menyusun berbagai macam kalimat untuk meminta maaf namun sang adik kecil tidak juga kunjung datang menemuinya.

Lebih dari delapan belas hari sejak terakhir bertemu barulah Yue Lingshan datang ke Puncak Gadis Kumala mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Akan tetapi, ia tidak berangkat sendiri, melainkan ditemani Lu Dayou. Tentu saja kalimat-kalimat yang dipersiapkan Linghu Chong musnah begitu saja karena tidak dapat ia sampaikan di depan orang ketiga.

Lu Dayou menyadari perasaan kakak pertamanya. Maka, sesudah Linghu Chong menghabiskan makanannya, ia pun berkata, “Kakak Pertama, Adik Kecil, sudah lama kalian tidak bertemu. Biarlah kalian mengobrol berdua, aku akan pulang lebih dulu.”

“Tidak bisa,” sahut Yue Lingshan sambil bangkit dari duduknya. “Monyet Keenam, kita datang bersama, pulang juga harus bersama.”

“Adik Kecil,” sapa Linghu Chong. “Aku memang ingin bicara denganmu.”

“Boleh saja,” jawab Yue Lingshan. “Monyet Keenam biar berdiri di sana dan ikut mendengar nasihatmu.”

Linghu Chong berkata, “Tidak, ini bukan nasihat, hanya soal... soal Pedang Kolam Hijau milikmu itu....”

Yue Lingshan menukas, “Masalah itu sudah kubicarakan dengan Ibu. Kukatakan kalau pedang itu tidak sengaja jatuh ke dalam jurang sewaktu aku berlatih ilmu Pedang Gadis Kumala. Ibu tidak marah, malah berjanji akan memberikan pedang baru yang lebih bagus untukku. Sudahlah, Kakak Pertama, kejadian yang sudah berlalu tidak perlu dibicarakan lagi.” Sambil berkata demikian, gadis itu pun tersenyum simpul.

Melihat betapa ringan jawaban si adik kecil, Linghu Chong semakin merasa tidak enak. Ia pun menyahut, “Kelak jika aku sudah bebas dari hukuman, akan kucarikan sebilah pedang bagus untukmu.”

“Kita ini sesama saudara seperguruan, kenapa harus begitu segan?” sahut Yue Lingshan sambil tersenyum. “Pedang itu jatuh karena aku kurang berhati-hati. Salahku sendiri yang tidak bisa memegangnya dengan baik, sehingga bisa terlepas dari genggaman. Tidak perlu aku menyalahkan orang lain. Biarlah kita menerima nasib kita masing-masing, seperti yang sering dikatakan Lin Kecil padaku.”

Linghu Chong tersenyum getir begitu mendengar nama Lin Kecil disebut lagi. Namun segera terpikir dalam benaknya, “Oh, aku ini sungguh picik! Hari itu aku mencoba kepandaian Adik Kecil memainkan beberapa jurus Pedang Gadis Kumala. Aku menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng untuk menghadapinya. Mengapa aku harus memilih ilmu pedang perguruan ini? Jangan-jangan semua itu timbul karena keinginanku merendahkan ilmu Pedang Penakluk Iblis karena keluarga Adik Lin binasa di tangan Perguruan Qingcheng.”

Linghu Chong masih termenung. Ia kembali berpikir, “Saat kejadian di rumah pelacuran, hampir saja aku mati terkena tapak maut Yu Canghai. Gara-gara Adik Lin berteriak mengejek, Yu Canghai pun membatalkan serangannya sehingga nyawaku tertolong. Bisa dikatakan, sebenarnya aku ini berhutang budi kepada Adik Lin. Tapi, mengapa sekarang justru aku ingin merendahkan dia di hadapan Adik Kecil?”

Linghu Chong menghela napas panjang kemudian berkata, “Adik Lin sangat cerdas, juga giat berlatih. Berkat petunjuk dari Adik Kecil ia memperoleh kemajuan pesat hanya dalam beberapa bulan. Sayang sekali aku harus berada di sini selama setahun. Kelak jika aku sudah bebas dari hukuman, tentu aku akan mendampingi Adik Lin berlatih demi membalas pertolongannya malam itu.”

Yue Lingshan terkejut mendengarnya. Gadis itu bertanya, “Apa? Kau pernah berhutang budi kepada Adik Lin? Kapan? Di mana kejadiannya? Mengapa aku tidak pernah mendengar hal ini?”

Linghu Chong menjawab, “Sudah tentu ia tidak mungkin mau menceritakan kehebatan sendiri di depan orang lain.”

Yue Lingshan menyahut, “Pantas saja Ayah suka memuji Lin Kecil memiliki jiwa kesatria dan gagah berani. Dia nekad mengambil risiko untuk menyelamatkan kedua orang tuanya dari tangan Si Bungkuk dari Utara. Ternyata dia pernah menyelamatkan nyawamu tanpa mau mengumbar suara.” Gadis itu diam sejenak kemudian tertawa dan berkata, “Andai saja berita ini tersiar sungguh sangat lucu. Seorang pendekar muda telah menyelamatkan kehormatan putri ketua Perguruan Huashan dari gangguan putra ketua Perguruan Qingcheng, serta menolong nyawa murid nomor satu Huashan. Sudah pasti berita ini akan membuatnya menjadi sangat terkenal di dunia persilatan. Hahaha, tapi siapa sangka, Pendekar Besar Lin Pingzhi ternyata memiliki ilmu silat yang sangat buruk.”

“Soal kepandaian bisa dilatih. Tapi jiwa kesatria adalah sifat bawaan. Di sinilah letak perbedaan antara orang baik dan orang jahat,” ujar Linghu Chong.

“Ayah dan Ibu juga berpendapat demikian,” kata Yue Lingshan, “Kakak Pertama, sepertinya antara dirimu dan Lin Kecil ada persamaan sifat.”

“Sifat yang mana?” Linghu Chong bertanya.

“Sifat angkuh. Kalian berdua sama-sama angkuh dan mementingkan harga diri,” kata gadis itu sambil tertawa.

Lu Dayou yang dari tadi diam mendadak ikut bicara, “Kakak Pertama adalah pemimpin murid-murid Huashan. Sudah sepantasnya kalau dia bersikap angkuh. Tapi, si bocah bermarga Lin itu siapa? Berdasarkan apa ia boleh main angkuh-angkuhan segala?”

Mendengar nada bicara Lu Dayou yang sepertinya kurang suka itu, Linghu Chong bertanya, “Hei, Monyet Keenam… Apa Adik Lin pernah berbuat salah kepadamu?”

“Dia tidak pernah bersalah apa-apa kepadaku. Hanya saja, kami tidak suka melihat kelakuan bocah itu,” jawab Lu Dayou dengan nada marah.

Yue Lingshan terkejut dan berseru, “Hei, kenapa kau ini? Kenapa kau selalu memusuhi Lin Kecil? Dia itu adik seperguruanmu. Sebagai kakak seharusnya kau mengajari, bukan memusuhi.”

“Asalkan dia berkelakuan baik, tidak menjadi soal. Tapi kalau tidak, maka orang bermarga Lu inilah yang pertama-tama membuat perhitungan dengannya,” ujar Lu Dayou dengan nada mengejek.

“Memangnya dia melakukan apa?” tanja Yue Lingshan.

“Dia... dia....” sahut Lu Dayou namun tidak dilanjutkannya.

“Sebenarnya ada masalah apa? Mengapa kau enggan menjelaskannya?” desak Yue Lingshan.

“Sudahlah, mudah-mudahan aku hanya salah paham,” jawab Lu Dayou.

Tiba-tiba wajah Yue Lingshan bersemu merah dan berhenti bertanya. Lu Dayou sendiri berkata ingin pulang, dan gadis itu pun segera ikut bersama.

Linghu Chong berdiri di atas tebing sambil termangu-mangu menyaksikan kepergian dua adik seperguruannya itu sampai bayangan mereka menghilang di balik bebatuan bukit. Kemudian dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara merdu Yue Lingshan menyanyikan sebuah lagu yang terdengar asing baginya.

Sejak kecil, Linghu Chong sudah sering mendengar Yue Lingshan menyanyi. Namun kali ini lagu yang dinyanyikan gadis itu terdengar begitu aneh. Biasanya Yue Lingshan sangat gemar menyanyikan lagu daerah Shanxi yang bernada panjang. Namun lagu yang terdengar sekarang bernada pendek dan sangat jelas pelafalannya seperti suara air terjun. Linghu Chong berusaha mempertajam pendengarannya. Sayup-sayup ia dapat menangkap lirik lagu tersebut yang antara lain berbunyi, “Adik, mari pergi ke puncak bukit memetik teh.” Uniknya, logat bahasa yang digunakan pada lagu ini sangat aneh dan sulit diterjemahkan. Linghu Chong pun bertanya dalam hati, “Dari mana Adik Kecil memelajari lagu baru ini? Lagu ini sungguh menyenangkan hati. Ah, kelak saja kalau dia datang kemari akan kutanyakan lagu ini.”

Tiba-tiba Linghu Chong merasa dadanya bagai dihantam palu godam begitu terlintas dalam pikirannya, “Ini lagu daerah Fujian. Pasti... pasti Adik Lin yang telah mengajarinya.”

Malam itu Linghu Chong tidak bisa tidur. Perasaannya bergejolak luar biasa. Di telinganya seolah masih terngiang-ngiang suara nyanyian Yue Lingshan yang lembut dan merdu, tapi menyakitkan hati.

“Linghu Chong, dulu kau seorang laki-laki yang berjiwa merdeka. Tapi sekarang kau tidak berdaya hanya karena sebuah lagu. Sungguh menyedihkan! Apakah masih pantas kau menyebut dirimu seorang laki-laki sejati?” demikian ia bertanya pada diri sendiri.

Meskipun demikian, suara lagu Fujian yang dinyanyikan Yue Lingshan tetap saja terngiang-ngiang di telinganya. Linghu Chong merasa hatinya bagai disayat-sayat. Didorong sakit hati yang sudah memuncak ia pun mencabut pedang dan mengayun-ayunkan ke segala arah seperti orang gila. Tanpa sadar Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam menyertai ayunan pedangnya. Akhirnya pada puncak kemarahannya ia pun menusukkan pedang sekuat tenaga ke depan persis seperti gerakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang diciptakan ibu-gurunya beberapa bulan lalu. Pedang tersebut bergerak dengan sangat cepat dan kuat, tahu-tahu sudah menancap dalam di dinding gua.

Linghu Chong sendiri terkejut bukan main. Ia merasa heran mengapa tenaga dalamnya meningkat sedemikian pesat sehingga bisa menusuk dinding gua sampai menancap sedalam itu – yaitu menancap sampai ke gagang. Ia berpikir bahkan guru dan ibu-gurunya belum tentu bisa melakukan hal ini.

Perlahan-lahan Linghu Chong menarik keluar pedangnya itu. Baru sekarang ia sadar kalau dinding gua tersebut ternyata sangat tipis. Hanya sekitar tujuh senti saja tebalnya. Pemuda itu bisa merasakan kalau di balik dinding tersebut terdapat sebuah ruangan. Ruangan yang selama ini tidak pernah ia sadari.

Linghu Chong sangat heran dibuatnya. Ia kembali menusukkan pedang ke dinding tersebut. Namun kali ini pedangnya patah menjadi dua karena tenaga dalam yang ia kerahkan tidak terlalu mencukupi.

Pemuda itu kemudian keluar gua dan memungut sebongkah batu untuk dibawanya ke dalam. Dihantamkannya batu itu sekuat tenaga, namun hanya menimbulkan suara gema saja. Setelah beberapa kali menghantam, barulah Linghu Chong berhasil menciptakan lubang pada dinding tersebut. Ketika ia menghantam lagi, batu tersebut ikut terlempar masuk ke dalam dan meninggalkan suara menggelinding ke bawah.

Penemuan ruangan lain di balik ruangan gua yang selama ini ia tempati membuat rasa penasaran Linghu Chong menjadi-jadi dan melupakan sakit hati yang sebelumnya ia rasakan. Pemuda itu lantas keluar lagi dan memungut sebongkah batu yang lebih besar. Setelah menghantam beberapa kali akhirnya ia bisa menciptakan lubang sebesar kepala. Melalui lubang itu ia melongok ke dalam ruangan rahasia tersebut. Ternyata benar, di dalam memang terdapat sebuah lorong lagi. Sebuah lorong yang sangat sempit namun memanjang ke arah sana.

Linghu Chong kemudian menyalakan obor dan memasuki lorong rahasia tersebut melalui lubang yang ia ciptakan di dinding tadi. Sewaktu melihat ke bawah, tiba-tiba ia merasa ngeri, karena kakinya menginjak seonggok kerangka manusia. Dalam hati ia bertanya, “Apakah ini kuburan? Tapi mengapa kerangka ini menghadap ke bawah? Lagipula ruangan sempit ini lebih mirip lorong rahasia daripada sebuah kuburan.”

Linghu Chong memeriksa kerangka itu dengan teliti. Kerangka tersebut memang terbaring dalam keadaan tengkurap dengan pakaian sudah lebur menjadi debu. Di samping kerangka itu terdapat dua buah kapak besar yang cukup berat. Kapak tersebut jelas terbuat dari logam pilihan, karena wujudnya masih mengkilat terkena cahaya obor. Bahkan, ketika Linghu Chong mencoba mengayunkannya, sepotong batuan gua langsung jatuh terpenggal.

“Luar biasa tajamnya kapak ini,” ujar Linghu Chong dalam hati. “Sepasang kapak ini jelas pusaka ampuh. Kerangka ini pasti seorang jago dunia persilatan. Senjata yang ia gunakan sungguh tajam, sanggup memotong batu bagaikan pisau memotong tahu.”

Linghu Chong kemudian memeriksa dinding lorong sempit itu yang ternyata mengandung bekas tebasan-tebasan kapak. Barulah ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Entah bagaimana ceritanya, kerangka ini pastilah kerangka seorang pendekar bersenjata sepasang kapak yang terkurung di dalam gua ini. Ia terpaksa menciptakan jalan keluar dengan mengayun-ayunkan kapaknya. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia berhasil menciptakan sebuah lorong sempit. Namun sayang, ia akhirnya harus mati kehabisan tenaga pada saat perjuangannya hanya tinggal beberapa senti saja. Sungguh malang nasibnya,” demikian pikir pemuda itu.

Linghu Chong berjalan menyusuri lorong sempit tersebut yang ternyata puluhan meter panjangnya. Dalam hati ia memuji, “Luar biasa kehebatan pendekar yang menggali lorong sepanjang ini. Ia juga sangat sabar dan gigih demi bisa keluar dari sini.”

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia menemukan lagi dua sosok kerangka. Yang satu bersandar di dinding, yang satunya lagi meringkuk di tanah. Dalam hati Linghu Chong merasa heran mengapa ada lebih dari satu orang terkurung di tempat itu. Padahal, gua ini adalah tempat rahasia bagi Perguruan Huashan dan tidak setiap orang boleh datang. Jangan-jangan mereka adalah tokoh angkatan tua Perguruan Huashan yang dihukum kurung karena melanggar peraturan. Demikian pikir Linghu Chong.

Pemuda itu terus melangkah menyusuri lorong sempit itu sampai akhirnya ia menemukan ujung lorong tersebut melebar menjadi sebuah gua yang teramat luas. Bahkan, andaikan gua itu diisi manusia bisa mencapai ribuan orang.

Di dalam gua luas tersebut kembali Linghu Chong menemukan tujuh kerangka manusia yang tersebar di beberapa titik. Ada yang bersandar di dinding, ada pula yang duduk atau berbaring. Di dekat kerangka-kerangka itu juga ditemukan senjata-senjata berbentuk aneh. Ada sepasang piringan logam, ada sepasang pena besi, ada sebatang tongkat baja, ada sebuah gada tembaga, ada pula palu godam berukuran besar, serta gada segitiga bergerigi tajam.

Linghu Chong berkata dalam hati, “Orang-orang yang bersenjata aneh ini tidak mungkin berasal dari Perguruan Huashan kami.”

Tidak jauh dari tempat itu ditemukan belasan pedang yang berserakan. Linghu Chong melangkah maju untuk mengamati pedang-pedang tersebut. Beberapa pedang yang pertama ia lihat berukuran lebih pendek dari biasanya, namun juga lebih lebar dan lebih berat. “Ini adalah pedang Perguruan Taishan,” ujarnya dalam hati.

Kelompok pedang yang kedua berukuran sangat ringan dan lentur. “Kalau yang ini adalah pedang milik Perguruan Henshan,” ujar Linghu Chong. “Nah, kalau yang ini pedang milik Perguruan Hengshan. Bentuknya berkelok-kelok tidak lurus.” Selain itu, ia juga menemukan beberapa pedang milik Perguruan Songshan yang ujungnya tebal tetapi tajam. Terakhir adalah kelompok pedang yang sangat dihafalnya, baik itu ukuran maupun bentuknya. “Kalau yang ini jelas pedang milik Perguruan Huashan.”

“Kenapa di sini berserakan senjata milik Serikat Pedang Lima Gunung?” demikian ia bertanya dalam hati dengan sangat penasaran.

Linghu Chong kemudian mengarahkan obornya untuk menerangi dinding gua. Ia manemukan sebongkah batu raksasa mengganjal mulut gua yang berukuran lebar. Batu itu seolah sudah menyatu dengan dinding gua. Kemudian ia juga menemukan tulisan besar yang terukir di dinding gua, berbunyi, “Serikat Pedang Lima Gunung rendah dan tak tahu malu. Setelah kalah bertanding, kalian mencelakai lawan secara pengecut.” Huruf-huruf tersebut diukir pada dinding batu dengan kedalaman sekitar dua atau tiga senti. Jelas dibuat dengan menggunakan senjata yang sangat tajam. Selain itu masih terdapat huruf-huruf kecil yang lebih banyak, yang isinya berupa ejekan, antara lain “Bangsat pengecut!”, “Keparat kalian!”, “Bajingan!” dan lain sebagainya.

Tentu saja Linghu Chong merasa kesal membaca tulisan-tulisan tersebut. Ia berkata, “Ternyata orang-orang bersenjata aneh itu dikurung di sini oleh Serikat Pedang Lima Gunung. Karena tidak bisa berbuat apa-apa, mereka pun mengukir dinding gua ini sebagai kenang-kenangan. Huh, justru tulisan-tulisan ini yang membuat mereka terlihat rendah dan pengecut. Mereka adalah musuh Serikat Pedang Lima Gunung. Sudah pasti mereka bukan manusia baik-baik.”

Tiba-tiba Linghu Chong menemukan tulisan di dinding yang berbunyi, “Fan Song dan Zhao He mengalahkan ilmu pedang Perguruan Henshan di sini.” Di sebelah kanan tulisan tersebut terdapat ukiran gambar dua orang sedang bertarung; satu memegang pedang, satunya memegang kapak. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata di dinding gua tersebut banyak sekali ukiran gambar orang-orang sedang bertarung seperti itu.

Kemudian Linghu Chong menemukan sebuah kalimat lagi di dinding gua yang berbunyi: “Zhang Chengyun dan Zhang Chengfeng mengalahkan semua jurus pedang Perguruan Huashan di sini.”

Betapa gusar perasaan Linghu Chong membaca tulisan tersebut. Ia memaki di dalam hati, “Kalian bajingan tak tahu malu! Ilmu Pedang Huashan sangat rumit dan hebat. Tidak banyak di dunia ini yang mampu menandinginya. Sungguh berani kalian tidak hanya mengatakan ‘dapat mengalahkan’ tapi bahkan ‘dapat mengalahkan semua’ ilmu Pedang Huashan!”

Pemuda itu lantas memungut pedang milik Perguruan Taishan dan digunakannya untuk merusak tulisan “semua” pada dinding gua tersebut. Keras sekali ia mengayunkan pedang berat itu sampai-sampai memercikkan kembang api ketika berbenturan dengan batuan dinding.

“Oh, dinding gua ini sangat keras. Akan tetapi, orang-orang itu bisa membuat ukiran sedalam ini. Sungguh hebat tenaga dalam mereka,” puji Linghu Chong dalam hati.

Dilihatnya pula dengan lebih jelas di dekat tulisan-tulisan tersebut tampak beberapa gambar manusia sedang bertanding. Meskipun diukir dengan sangat sederhana, Linghu Chong dapat mengenali kalau gambar orang yang membawa pedang itu sedang memainkan jurus dasar perguruannya yang bernama Burung Feng Datang Menyembah. Sementara itu gambar orang yang menghadapinya tampak mengacungkan toya dan bersiaga menangkis serangan pedang tersebut. Meskipun gayanya terlihat bodoh dan lucu, namun gambar si pembawa toya itu terlihat siap dengan berbagai macam gerak dan perubahan.

Linghu Chong menyeringai sambil bergumam, “Jurus Burung Feng Datang Menyembah memiliki lima serangan rahasia, bagaimana mungkin bisa dikalahkan oleh jurus toya yang kaku dan lucu ini?”

Namun begitu melihat kelanjutan gambar pertandingan itu, tampak jurus toya memiliki lebih dari enam jenis serangan yang jelas-jelas mampu mengalahkan berbagai variasi gerakan Jurus Burung Feng Datang Menyembah.

“Jurus Burung Feng Datang Menyembah milik perguruan kami kelihatannya seperti jurus sederhana, namun sesungguhnya memiliki kekuatan serangan yang luar biasa. Lawan yang merasa pintar tentu akan merasa mudah untuk menangkisnya. Meskipun demikian, jurus pedang ini semakin ditangkis justru semakin mematikan. Akan tetapi, jurus-jurus toya yang sederhana ini sepertinya benar-benar mampu mengalahkan Jurus Burung Feng Datang Menyembah. Ini sungguh… ini sungguh….” demikian ujar Linghu Chong di dalam hati dengan perasaan penuh kekaguman sekaligus takut luar biasa.

Linghu Chong termenung di depan gambar tersebut. Pikirannya kosong dilanda kegelisahan. Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan karena rasa sakit di tangan kanannya. Rupanya obor yang ia pegang telah habis dan bara api menyengat telapak tangannya.

“Tanpa obor suasana di dalam gua ini akan berubah menjadi gelap gulita. Aku harus segera mengambil obor baru.” Usai berpikir demikian Linghu Chong bergegas ke luar sampai mulut gua tempat ia tinggal. Di halaman ia mengumpulkan puluhan ranting pohon dan setelah itu kembali ia masuk ke dalam gua rahasia untuk melanjutkan pengamatan.

Di sebelah gambar tersebut terdapat lagi gambar dua orang sedang bertarung. Linghu Chong langsung bersemangat menyadari jurus yang digunakan gambar si pembawa pedang adalah jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Jurus tersebut sangat sulit. Dulu ia harus mengulanginya berkali-kali sambai sebulan lamanya untuk bisa menguasainya. Konon, jurus tersebut pernah tiga kali digunakannya untuk menghajar tiga orang musuh yang berbeda.

Sesampainya di dalam gua belakang, Linghu Chong menyalakan ranting sebagai obor dan kembali memeriksa gambar. Ia berpikir, “Apabila si pemegang toya memiliki ilmu silat sebanding dengan si pemegang pedang dari perguruan kami, tentu si pemegang pedang akan terluka serius. Akan tetapi jika si pemegang toya memiliki ilmu silat lebih tinggi, tentu si pemegang pedang akan kehilangan nyawa dalam waktu singkat. Aih, Jurus Burung Feng Datang Menyembah milik perguruan kami benar-benar… benar-benar dapat dikalahkan oleh jurus toya sederhana ini. Sungguh menyedihkan.”

Linghu Chong melanjutkan pengamatan dan kini ia menemukan gambar pertandingan lagi. Kali ini gambar si pemegang pedang memainkan Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Semangatnya langsung bangkit mengingat jurus ini sangat rumit dan sulit dipelajari. Ia dulu memerlukan waktu sebulan penuh untuk dapat memainkan jurus tersebut. Jurus ini menjadi jurus kebanggaan bagi pemuda itu dalam menghadapi lawan.

Perasaan gugup bercampur takut membayangkan bahwa jurus hebat ini akan dikalahkan oleh si pemegang toya merasuki benak Linghu Chong. Akhirnya, rasa heran pun memenuhi hatinya begitu melihat jurus tersebut dihadapi oleh lawan dengan mengacungkan lima batang toya. Kelima-limanya mengarah ke bagian berbahaya di tubuh si pemegang pedang.

“Hah? Bagaimana mungkin menggunakan lima toya sekaligus?” demikian ia bertanya dalam hati. Setelah memperhatikan dengan seksama barulah Linghu Chong memahaminya. “Hm, ini bukan lima toya, tetapi satu toya yang digerakkan dengan sangat cepat sampai membentuk empat bayangan. Dengan kecepatan seperti itu maka Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu milik perguruan kami bisa dikalahkan.”

Setelah dicermati ternyata toya tersebut sebenarnya hanya satu namun membentuk empat bayangan yang kesemuanya mengarah ke lima titik yang berbahaya di tubuh si pemegang pedang. Tentu saja jurus toya tersebut bisa menghancurkan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu yang sangat mengutamakan kecepatan.

“Toya ini siap bergerak cepat ke lima arah tergantung arah serangan pedang. Ah, jika aku yang menjadi si pemegang pedang bagaimana mungkin aku bisa menghindarinya?” ujar Linghu Chong yang semakin paham.

Pemuda itu lantas memeragakan salah satu jurus pedang Perguruan Huashan yaitu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan seksama ia membayangkan si pemegang toya berada di hadapannya. Apabila tusukannya diarahkan ke atas tubuh lawan, tentu lawan dengan lima jurus aneh itu tetap bisa menghadapi dengan melancarkan serangan ke bawah. Meskipun tusukan pedang mampu menewaskan lawan, tetap saja bagian bawah tubuh Linghu Chong yang terluka oleh tusukan toya. Apalagi lawan yang menemukan cara mengalahkan ilmu Pedang Huashan itu jelas bukan orang sembarangan sehingga tidak mungkin bisa dibunuh hanya dalam sekali tusuk. Begitu juga dengan kuda-kuda rendah yang dipasang si pemegang toya memungkinkan ia mampu menangkis tusukan pedang dari atas. Apabila musuh menangkis dan balik menyerang sekaligus, tentu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tidak dapat digunakan untuk menangkis, dan kekalahan pun sudah dapat dipastikan.

Linghu Chong ingat pernah tiga kali menang dalam pertarungan berkat jurus tersebut. Andai saja lawan-lawan yang pernah mengalahkannya melihat gambar-gambar di dinding gua ini tentu dirinya kini sudah tidak ada lagi di dunia.

Semakin membayangkan hal itu, semakin ngeri perasaan dalam hati Linghu Chong. Dengan keringat dingin bercucuran ia bergumam sendiri, “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jika Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu bisa dikalahkan dengan jurus aneh ini, mengapa Guru tidak menyadarinya? Mengapa pula Beliau tidak memperingatkan aku?” Karena ia menguasai setiap gerakan jurus pedang tersebut, maka ia pun menyadari bagaimana jurus toya mempu mengalahkannya dengan telak. Meskipun hanya ada lima gerakan di dinding gua, namun ia yakin setiap gerakan mampu membuatnya roboh.

Linghu Chong melanjutkan untuk memeriksa gambar-gambar yang lainnya. Setiap kelompok gambar memuat jurus-jurus unik dan istimewa dari ilmu Pedang Huashan. Akan tetapi, pihak lawan tetap saja dengan cerdas mampu mematahkan setiap jurus pedang tersebut. Setiap melihat gambar jurus perguruannya dikalahkan, ia hanya bisa menghela napas panjang. Sampai akhirnya ia menemukan Jurus Daun Jatuh Berguguran yang dihadapi gambar lawan dengan lemah tanpa tenaga. Sepertinya gambar si pemegang toya hanya menunjukkan gerakan bertahan. “Ah, kali ini kau tidak mampu mengalahkan ilmu pedang kami,” demikian pikirnya.

“Aku ingat pada bulan pertama di tahun lalu, saat turun hujan salju memenuhi udara. Saat itu Guru mengajak kami –para murid– untuk berlatih bersama. Menjelang berakhirnya latihan, Guru memeragakan jurus Daun Jatuh Berguguran ini. Setiap tusukan pedang Beliau kala itu semakin cepat dan cepat sehingga sanggup menciptakan pusaran angin salju di udara. Bahkan saat itu Ibu Guru sampai memuji, ‘Kakak, aku yakin kau bisa menjadi ketua Perguruan Huashan adalah karena kemampuanmu menguasai jurus ini.’

Guru menjawab, ‘Menjadi ketua Perguruan Huashan tidak cukup hanya mampu bermain pedang dengan baik, tapi juga dituntut harus memiliki budi pekerti yang baik. Murid Huashan yang ahli memainkan pedang tidak serta merta dapat menjadi ketua.’

Ibu Guru menjawab sambil tertawa, ‘Hei, apa kau tidak tahu malu bicara demikian? Apa kau merasa lebih berbudi daripada aku?’

Guru hanya menanggapi dengan tersenyum. Memang Ibu Guru suka sekali bersaing dengan Guru. Meskipun Ibu Guru tidak mengungkapkannya, sudah jelas dari nada Beliau menunjukkan bahwa jurus Daun Jatuh Bergururan adalah yang paling hebat di antara semua ilmu pedang Perguruan Huashan. Nama jurus ini diambil dari sepenggal kalimat dalam sebuah puisi yang mengisahkan adanya ribuan daun berguguran tertiup angin. Guru pernah bercerita padaku bahwa intisari jurus ini adalah melakukan serangan dan pertahanan dari segala penjuru seperti dedaunan yang terbang ditiup angin ke segala arah.”

Linghu Chong melihat gambar-gambar orang memegang toya terlihat lucu dan unik. Posisi gambar orang itu sedang membungkuk dengan kaku. Hampir saja Linghu Chong tertawa terbahak-bahak namun kemudian terdiam seketika setelah menyadari penglihatannya. Keringat dingin membasahi punggungnya, dan bulu tengkuknya terasa merinding. Tanpa berkedip ia mengamati gambar si pemegang toya itu. Meskipun kaku dan menggelikan, namun Linghu Chong dapat membayangkan gambar tersebut menyimpan serangan rahasia yang mengerikan. Si pemegang toya jelas memiliki kecerdasan luar biasa. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah tusukan yang bisa dilakukan si pemegang toiya ada delapan, sembilan, sepuluh, atau bahkan lebih. Jurus Daun Jatuh Berguguran dapat dipatahkan oleh gerakan toya ini. Sungguh di luar dugaan, toya yang terlihat tumpul namun sesungguhnya sangat berbahaya, atau sepertinya lemah namun sebenarnya sangat kuat. Serangan toya ini dapat dikatakan sebagai pencapaian tertinggi dalam ilmu silat, yaitu “mengalahkan ketajaman dengan ketumpulan.”

Seketika rasa percaya diri Linghu Chong terhadap ilmu pedang perguruannya langsung musnah. Ia merasa meskipun kelak berhasil menguasai segala ilmu dan kepandaian seperti gurunya, tetap saja tidak berguna apabila bertemu musuh yang bisa memainkan toya seperti gambar-gambar di dinding gua itu. Mungkin ia hanya bisa berdiri memegang pedang tanpa tahu harus berbuat apa. Jika seperti itu jadinya, untuk apa belajar ilmu pedang lagi? Demikian pikir Linghu Chong.

“Apakah Ilmu Pedang Huashan sedemikian rapuhnya sehingga tidak mampu menahan satu serangan? Kerangka-kerangka ini pasti sudah membusuk di sini selama tidak kurang dari tiga puluh atau empat puluh tahun. Jika tidak demikian, mana mungkin Serikat Pedang Lima Gunung dapat berjaya di dunia persilatan hingga sekarang? Bahkan, tidak seorang pendekar pun yang berani mengatakan bahwa ilmu pedang kelima perguruan dapat dikalahkan. Apakah gambar-gambar di dinding gua ini hanya kebohongan belaka? Ah, aku rasa tidak demikian,” ujar Linghu Chong kepada diri sendiri.

Meskipun ia tidak mengatakan bahwa Ilmu Pedang Songshan dan yang lain juga benar-benar dipatahkan, namun ia memahami berbagai jurus dalam Ilmu Pedang Huashan luar dalam dan ia yakin apabila bertemu orang yang mampu memainkan jurus-jurus penangkal seperti di dinding gua tersebut, tentu ia akan terperangkap dalam kekalahan yang fatal.

Linghu Chong berdiri termangu-mangu cukup lama, seolah-olah ada orang lain yang telah menotok titik geraknya. Berbagai kilatan dan bayangan melintas di benaknya, membuat pemuda itu lupa waktu dan lupa diri. Sampai akhirnya terdengar suara orang memanggil-manggil di luar sana dan membuyarkan lamunannya.

“Kakak Pertama! Kakak Pertama! Di mana kau?”

Linghu Chong terkejut dan segera berlari kembali ke gua depan. Ternyata yang memanggil adalah Lu Dayou. Ia pun berlari memutar bukit dan duduk di atas sebongkah batu sambil berteriak, “Adik Keenam, aku ada di sini sedang bermeditasi. Ada urusan apa?”

Lu Dayou bergegas menuju arah suara dan membalas dengan gembira, “Kakak Pertama, ternyata kau ada di sana! Kakak, aku membawakan makanan untukmu.”

Linghu Chong baru sadar kalau hari ternyata sudah sore. Padahal, ia menemukan gua rahasia tersebut menjelang fajar dan kini matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Itu berarti seharian penuh dirinya terpesona melihat gambar-gambar pertarungan antara jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung melawan jurus-jurus aneh yang terukir pada dinding gua belakang. Sementara itu, Lu Dayou sendiri tidak berani masuk ke dalam gua depan tempat kakaknya dikurung tanpa permisi, sehingga ia pun tidak sempat mengetahui kalau ada gua lain di dalam puncak tebing tersebut. Hanya saja, begitu melihat sang kakak tidak berada di dalam gua, Lu Dayou pun mencari di sekitar tebing sambil berteriak-teriak.

Linghu Chong pun menjawab, “Tentu saja aku berada di sekitar tebing ini selama masa hukumanku belum berakhir.” Sejenak ia terdiam mengamati wajah Si Monyet Keenam, kemudian bertanya, “Hei, ada apa dengan dahimu?”

Ternyata dahi sebelah kanan adik seperguruannya itu sedang ditempeli koyo. Meskipun begitu, darah masih terlihat meresap keluar. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang berhati-hati sewaktu latihan sehingga tergores pedang,” jawab Lu Dayou.

Namun demikian, gaya bicara pemuda itu sewaktu menjawab seperti menyembunyikan sesuatu. Linghu Chong pun mendesak, “Adik Keenam, kau jangan berbohong padaku. Sebenarnya apa yang membuatmu terluka?”

Lu Dayou menjawab, “Kakak Pertama, sebenarnya aku tidak ingin berbohong kepadamu. Aku hanya khawatir kau akan marah jika kuceritakan yang sebenarnya.”

Linghu Chong semakin penasaran. Ia bertanya lagi, “Siapa yang melukaimu? Katakan padaku!” Ia tidak yakin Lu Dayou berlatih dengan sesama saudara sampai terluka seperti itu. Hatinya khawatir jangan-jangan ada pihak luar yang datang menyerang.

“Tadi pagi aku berlatih dengan Adik Lin,” jawab Lu Dayou, “ia baru saja mempelajari jurus Burung Feng Datang Menyembah. Aku sedikit lengah sehingga terluka olehnya.”

“Ah, itu hanya soal biasa. Luka sewaktu berlatih itu sering terjadi di antara sesama kita,” ujar Linghu Chong tenang. “Lalu mengapa kau harus kesal? Bukankah kau tahu kalau jurus tersebut sangat ampuh? Harusnya kau lebih berhati-hati menghadapinya. Lagipula Adik Lin baru saja mempelajarinya, tentu ia kurang bisa mengendalikan pedangnya dengan baik.”

Lu Dayou menjawab, ”Kalau hal itu bisa kumaklumi. Hanya saja ... hanya saja aku tidak menduga bocah bermarga Lin itu baru beberapa bulan masuk perguruan tapi sudah bisa memainkan jurus Burung Feng Datang Menyembah. Padahal, aku dulu harus melewati lima tahun baru Guru mengizinkan diriku belajar jurus itu kepadamu.”

Linghu Chong terperanjat karena baru menyadarinya. Ia menjadi heran mengapa Lin Pingzhi sudah diperbolehkan mempelajari jurus tersebut? Padahal, jurus ini harus dilatih dengan dasar-dasar yang kuat, karena jika tidak akan membahayakan diri sendiri. Apakah mungkin Lin Pingzhi memiliki otak sangat cerdas sehingga Guru mengizinkannya berlatih jurus ini? Demikian berbagai pikiran terlintas di benaknya.

Lu Dayou melanjutkan ceritanya, “Waktu itu aku tidak menduga sama sekali bahwa dahiku akan terluka oleh pedangnya. Adik Kecil malah bersorak-sorak gembira sambil mengejek, ‘Monyet Keenam, melawan muridku saja kau tidak becus! Sekarang apa kau masih berani berlagak jagoan di depanku?’

Sementara itu si bocah bermarga Lin merasa bersalah telah melukai aku. Ia pun mendekat hendak membalut lukaku. Namun perutnya kutendang sampai dia jatuh terjungkal. Melihat itu Adik Kecil marah-marah dan memaki diriku, ‘Monyet Keenam, dia bermaksud baik hendak mengobati lukamu, tapi kau malah menendangnya. Apa kau malu sudah dikalahkan olehnya? Huh, kalau kalah ya harus tahu diri!’

Coba Kakak Pertama pikirkan, ternyata Adik Kecil diam-diam telah mengajarkan jurus ampuh itu kepadanya.”

Seketika Linghu Chong tertegun dengan perasaan pilu mendengar cerita ini. Ia pun berpikir, “Jurus Burung Feng Datang Menyembah sangat sulit dipelajari. Jurus ini memiliki lima teknik tambahan serta berbagai perubahan yang rumit. Lebih dari itu, pihak yang belajar harus memiliki ingatan yang kuat untuk merangkai setiap gerakan menjadi jurus yang utuh. Demi membantu Adik Lin berlatih dan memahami jurus ini, rupanya Adik Kecil telah berusaha penuh untuk memeras pikiran dan tenaga. Jadi ini alasan mengapa Adik Kecil sudah jarang datang ke puncak tebing untuk mengantar makanan karena harus mendampingi Adik Lin berlatih. Biasanya Adik Kecil suka bersikap tidak sabaran dan ingin menang sendiri. Ia tidak suka mengerjakan sesuatu yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Tapi entah mengapa ia justru berhasil mengajarkan ilmu yang sangat sulit ini kepada Adik Lin? Ternyata perhatian Adik Kecil kepada Adik Lin sungguh besar. Ia bisa bersikap sedemikian sabar dan telaten mengajarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah yang rumit dan sulit ini kepada Adik Lin. Sungguh hal ini sulit dibayangkan.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar