Pendekar Hina Kelana Jilid 6-10

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 6-10 Setelah menghabiskan semangkuk bakmi, Lin Pingzhi keluar untuk mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, atau paling tidak mengenai orang-orang Perguruan Qingcheng.
Setelah menghabiskan semangkuk bakmi, Lin Pingzhi keluar untuk mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, atau paling tidak mengenai orang-orang Perguruan Qingcheng. Berita apapun tentang mereka sungguh sangat berharga baginya. Setengah hari lamanya ia berjalan ke sana kemari mencari kabar, sampai akhirnya gerimis pun turun dari langit.

Lin Pingzhi segera membeli sebuah caping dari bambu di tepi jalan untuk dipakainya sambil terus melangkah. Akan tetapi, mendung semakin gelap dan hujan bertambah deras; sepertinya tidak akan segera berhenti. Di ujung jalan ia melihat sebuah rumah minum yang cukup besar, dan tampak penuh oleh pengunjung.

Lin Pingzhi masuk ke dalam rumah minum itu, untuk kemudian memesan sepoci teh hangat dan sepiring kuaci. Sambil beristirahat ia mencoba mendengarkan pembicaraan orang-orang di sana. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Hei, bungkuk! Apa boleh kami duduk di sini?”

Belum sempat Lin Pingzhi menjawab, orang itu sudah duduk di sampingnya. Menyusul kemudian dua orang duduk pula di samping orang itu. Rupanya Lin Pingzhi belum terbiasa dengan sebutan “bungkuk” sehingga sempat tidak menghiraukan perkataan tadi. Begitu sadar akan penyamarannya, ia pun menyahut, “Silakan, silakan!”

Ketiga orang yang duduk semeja dengan Lin Pingzhi tampak berpakaian serbahitam dan masing-masing membawa sebilah golok. Ketiganya langsung saja bercakap-cakap satu sama lain tanpa sedikit pun memedulikan pemuda yang sedang menyamar itu.

“Kakak Peng,” kata salah seorang yang paling muda dari mereka. “Tampaknya upacara Cuci Tangan Baskom Emas Tuan Majikan Liu akan diselenggarakan besar-besaran. Coba lihat, padahal acaranya masih kurang tiga hari lagi tapi para pendekar yang datang sudah memenuhi kota ini.”

“Tentu saja!” jawab rekannya yang bermata satu. “Perguruan Hengshan memiliki nama besar di dunia persilatan, apalagi ditambah dengan keberadaannya sebagai anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka? Tuan Majikan Liu sendiri juga seorang tokoh terkemuka yang berilmu tinggi. Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis andalannya sangat lihai, hanya sedikit di bawah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Banyak orang yang ingin bersahabat dengannya namun sulit memperoleh kesempatan. Ia tidak pernah mengadakan perayaan ulang tahun, pernikahan anaknya, atau acara-acara lainnya. Tidak heran, begitu mendengar ia hendak mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, serentak orang-orang persilatan berbondong-bondong kemari. Aku yakin, besok atau lusa suasana Kota Hengshan pasti akan semakin ramai.”

“Tidak semua orang datang kemari untuk tujuan itu. Misalnya, kita bertiga ini,” sahut rekannya yang berjanggut putih dengan nada dingin. “Liu Zhengfeng mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, yang berarti ia mengundurkan diri dari dunia persilatan. Ia tidak peduli lagi dengan permasalahan para pesilat seperti kita. Sehebat apapun ilmu silatnya, tetap saja tidak ada gunanya lagi. Jadi, untuk apa mereka menjalin persahabatan dengannya?”

“Masalahnya bukan seperti itu, Kakak Peng,” kata yang paling muda. “Walaupun Tuan Majikan Liu mengundurkan diri dari dunia persilatan, tetap saja ia adalah orang nomor dua di Perguruan Hengshan. Siapa yang bersahabat dengannya berarti bersahabat pula dengan Perguruan Hengshan, dan ini bisa berarti bersahabat pula dengan Serikat Pedang Lima Gunung.”

“Serikat Pedang Lima Gunung?” sahut si janggut putih. “Memangnya kau pantas bersahabat dengan mereka?”

“Bukan begitu, Kakak Peng,” jawab si mata satu membela si pemuda. “Kita hidup di dunia persilatan; mempunyai banyak sahabat adalah bermanfaat, mempunyai sedikit musuh adalah menguntungkan. Meskipun orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung memiliki kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak suka memandang rendah pihak lain. Andaikata mereka itu angkuh dan sombong, mana mungkin begitu banyak orang sudi datang ke Kota Hengshan sini untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Majikan Liu?”

“Huh,” si janggut putih bermarga Peng mendengus. “Sebagian besar dari mereka hanya datang untuk menjilat. Hatiku muak melihatnya.”

Meskipun keberadaannya tidak dianggap, Lin Pingzhi diam-diam menyimak pembicaraan mereka bertiga. Sebenarnya ia berharap mereka menyinggung tentang Perguruan Qingcheng, namun ketiganya lantas menghentikan pembicaraan dan memilih minum karena tidak sepaham lagi.

Tiba-tiba terdengar suara orang lain berkata perlahan dari arah belakang, “Paman Wang, kabarnya usia Tuan Majikan Liu baru sekitar lima puluhan, tapi mengapa ia tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan? Padahal, bisa dikatakan ia sedang berada di puncak kejayaan.”

“Banyak sekali alasan untuk mengundurkan diri,” jawab seorang yang lebih tua. “Misalnya, seorang penjahat melakukan upacara Cuci Tangan bisa jadi karena ia telah menyesali semua perbuatannya dan memutuskan untuk hidup secara baik-baik. Dengan demikian, ia dapat mewariskan nama baik kepada anak-cucunya; kedua, ia dapat menghindarkan diri dari tuduhan masyarakat sekitar apabila terjadi kejahatan di lingkungan tempat tinggalnya. Tapi Tuan Majikan Liu seorang terhormat dan memiliki kekayaan yang melimpah pula. Alasan seperti ini jelas tidak sesuai untuknya.”

“Tentu saja,” jawab rekannya yang lebih muda tadi.

Paman Wang melanjutkan, “Seseorang yang telah mempelajari ilmu silat, maka selamanya ia akan hidup di bawah kilatan senjata. Setiap orang persilatan pasti pernah melukai atau mengikat permusuhan dengan pihak lain. Semakin tua usia seseorang tentu kekuatannya akan semakin berkurang. Mungkin alasan Tuan Majikan Liu mengundang banyak orang untuk menyaksikannya mengundurkan diri dari dunia persilatan agar ia bisa mengakhiri semua permusuhan dengan pihak lain. Musuh-musuhnya tidak perlu takut lagi kepadanya; dan sebaliknya, ia tidak perlu takut lagi kalau ada orang yang hendak membuat perhitungan dengannya.”

“Tapi, Paman!” sahut yang lebih muda. “Bukankah cara seperti ini justru merugikan dirinya sendiri?”

“Merugikan bagaimana?” tanya Paman Wang.

“Bisa saja Tuan Majikan Liu menyatakan mundur dan melupakan semua permusuhannya,” ujar si keponakan. “Tapi bagaimana kalau orang lain yang memusuhinya tetap tidak peduli? Padahal Tuan Majikan Liu sudah berjanji untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatnya. Lantas, kalau musuhnya itu datang, apa dia menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya dibunuh tanpa perlawanan?”

“Kau ini memang benar-benar masih hijau,” jawab Paman Wang. “Mengundurkan diri dari dunia persilatan bukan berarti melupakan semua ilmu silat begitu saja, atau menyerah kalah jika ada musuh yang datang. Bukan seperti itu. Lagipula siapa orangnya yang berani membuat masalah dengan Tuan Majikan Liu yang memiliki kedudukan tinggi di Perguruan Hengshan? Memangnya orang itu memiliki hati singa atau jantung macan, berani menantang Tuan Majikan Liu? Andaikata Tuan Majikan Liu tidak melayani serangan musuh, tetap saja ia memiliki banyak murid yang siap melindunginya setiap saat. Kau tidak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak.”

Si janggut putih bermarga Peng yang duduk di samping Lin Pingzhi bergumam menanggapi percakapan tersebut, “Huh, di atas langit masih ada langit. Di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Memangnya di dunia ini tidak ada yang lebih hebat darinya?” Ucapannya ini sangat pelan sehingga tidak sampai terdengar oleh paman dan keponakan yang duduk di belakangnya itu.

Si paman bermarga Wang kembali berkata, “Seperti halnya seorang pengusaha biro ekspedisi ternama yang telah banyak mengeruk keuntungan; kalau dia mengundurkan diri pada waktu yang tepat, tentu ia bisa hidup tenang menikmati masa tua daripada bertempur melawan para penjahat yang menaruh dendam kepadanya.”

Jantung Lin Pingzhi berdebar kencang mendengar ucapan orang itu. “Apakah ia sedang membicarakan ayahku? Andai saja Ayah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tentu ia tidak akan bernasib sial seperti ini,” ujarnya dalam hati.

Si janggut putih bermarga Peng kembali menanggapi, “Seorang jenderal biasa mati di medan perang. Seorang pengamat lebih pandai bicara daripada pelaku. Memangnya mudah mengundurkan diri ketika berada di puncak kejayaan?”

Si mata satu menyahut, “Benar sekali. Beberapa hari ini aku mendengar banyak pujian untuk Tuan Majikan Liu. Katanya, Tuan Majikan Liu mengundurkan diri pada saat dirinya sedang berjaya, baik itu dalam ilmu silat maupun kedudukannya di perguruan. Sungguh mengagumkan!”

Seorang pria setengah tua berbaju sutra yang duduk di sudut ruangan tiba-tiba ikut bicara, “Dua hari yang lalu di kota Wuhan aku mendengar cerita dari kawan-kawan persilatan bahwa Tuan Majikan Liu mengundurkan diri karena suatu permasalahan yang sulit untuk dijelaskan.”

Si mata satu yang duduk di samping Lin Pingzhi langsung menoleh dan bertanya, “Memangnya mereka bercerita apa? Mengapa tidak kau sampaikan saja di sini?”

“Ah, mulut bisa menjadi sumber bencana,” jawab si baju sutra. “Cerita itu mungkin bisa disampaikan di Wuhan. Tapi kalau di Hengshan sini, mana aku berani?”

Seorang bertubuh pendek gemuk menanggapi dengan suara keras, “Meskipun kau tidak bercerita juga semua orang sudah tahu. Ini bukan suatu rahasia lagi. Tuan Majikan Liu menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas adalah karena ilmu silatnya terlalu tinggi, serta memiliki banyak kawan.”

Semua mata langsung beralih memandang pria pendek yang bersuara keras itu. Beberapa di antara mereka bertanya, “Mana mungkin seorang berilmu tinggi dan punya banyak kawan memilih mengundurkan diri dari dunia persilatan? Memangnya ada persoalan apa di balik ini semua?”

“Orang-orang yang tidak mengetahui permasalahannya sudah pasti merasa bingung. Akan tetapi bagi mereka yang paham terhadap seluk beluk masalah ini tentu tidak merasa aneh lagi,” jawab si pendek gemuk dengan wajah bangga.

“Seluk beluk bagaimana?” desak salah seorang.

Si pendek gemuk tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum saja.

“Ah, untuk apa kalian bertanya kepadanya?” sahut seorang bertubuh kurus yang duduk di sudut ruangan. “Dia sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya asal menguap saja.”

“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut si pendek gemuk dengan suara keras dan kasar. “Alasan Tuan Majikan Liu mengundurkan diri adalah demi untuk menjaga perdamaian di dalam Perguruan Hengshan sendiri. Ia menjaga agar tidak terjadi pertengkaran di antara sesama saudara.”

Orang-orang pun bertanya, “Pertengkaran apa?”

“Memangnya ada perselisihan apa?”

“Pertengkaran sesama saudara bagaimana?”

“Apakah ada permasalahan di antara murid-murid Hengshan?

Si pendek gemuk menjawab sinis sambil melirik si kurus, “Orang luar mengatakan Tuan Majikan Liu adalah jago nomor dua dalam Perguruan Hengshan. Namun sebenarnya, orang-orang Hengshan sendiri mengetahui kalau Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis miliknya lebih hebat daripada sang kakak, yaitu Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan.”

Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Konon dalam sekali tebas Tuan Besar Mo bisa menjatuhkan tiga ekor belibis, sementara Tuan Majikan Liu bisa menjatuhkan lima sekaligus. Tidak hanya itu, murid-murid Tuan Majikan Liu rata-rata lebih pandai daripada murid-murid Tuan Besar Mo. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi pada suatu saat nanti Tuan Besar Mo akan kehilangan wibawa dan pengaruh di dalam perguruan. Kabarnya, kedua pihak pernah bentrok di tempat rahasia. Meskipun Tuan Majikan Liu lebih kaya dan terpandang, namun ia memilih mundur daripada bertengkar melawan kakak seperguruan sendiri.”

“Sungguh mengagumkan!” sahut beberapa orang hampir bersamaan. “Tuan Majikan Liu mengetahui mana yang lebih penting. Manusia seperti dia jarang ada di dunia ini.”

“Kalau begitu ini merupakan kesalahan Tuan Besar Mo,” sahut seorang lagi. “Bukankah kalau Tuan Majikan Liu mengundurkan diri kekuatan Perguruan Hengshan banyak berkurang?”

“Huh, memangnya satu orang menentukan segalanya? Yang penting kedudukanku sebagai ketua Perguruan Hengshan tetap aman tanpa saingan. Peduli apa kalau perguruanku lebih kuat atau lemah?” sahut si baju sutra dengan gaya menirukan Tuan Besar Mo.

Si pendek gemuk menuang habis teh dalam pocinya, kemudian berseru, “Pelayan, aku minta teh lagi!” Setelah diam sejenak, ia kembali melanjutkan, “Coba lihat, padahal ini adalah acara besar yang diadakan seorang tokoh penting Perguruan Hengshan. Dari golongan lain sudah banyak yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Majikan Liu, tapi dari Perguruan Hengshan sendiri....”

Belum habis perkataan si pendek gemuk tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dari arah pintu dengan diiringi alunan suara rebab bernada panjang. “Sungguh miskin Keluarga Yang, namun mempersembahkan kesetiaan, melindungi Kerajaan Song....” demikian syair lagu yang ia nyanyikan; begitu memilukan dan menyayat hati.

Semua orang langsung berpaling ke arah datangnya suara. Tampak seorang pria tua duduk di samping meja dekat pintu masuk. Tubuhnya kurus dan tinggi serta wajahnya terlihat cekung. Orang tua itu memakai baju panjang berwarna biru. Namun, warna biru ini sudah agak luntur dan terlihat sangat kusam.

Si pendek gemuk pun membentak, “Dasar pengamen miskin! Nyanyianmu seperti jeritan setan. Huh, mengganggu orang bicara saja!”

Pria tua itu merendahkan suara rebabnya namun tetap bersenandung meneruskan nyanyian, “Di Pantai Pasir Emas, kedua naga bertemu, kedua naga bertempur....”

“Sobat, bagaimana kelanjutan ceritamu tadi? Bagaimana dengan orang-orang Perguruan Hengshan?” sahut seseorang kepada si pendek gemuk.

Yang ditanya pun menjawab, “Coba lihat, murid-murid Hengshan yang sibuk menerima tamu hanyalah murid-murid Tuan Majikan Liu saja. Memangnya kalian melihat ada murid-murid Hengshan lainnya di kota ini?”

Sejenak semua orang saling pandang dan menjawab, “Benar juga! Tidak seorang pun dari mereka yang terlihat. Bukankah ini berarti mereka merendahkan kedudukan Tuan Majikan Liu?”

Si pendek gemuk hanya tertawa dingin sambil melirik si baju sutra. Ia lalu berkata, “Maka itu, kita tidak perlu takut membicarakan urusan Perguruan Hengshan di sini. Untuk apa kita takut, kalau mereka sendiri tidak mungkin mendengarnya?”

Tiba-tiba suara rebab si pengamen tua kembali mengalun dengan keras dan nadanya pun berubah menjadi tinggi. Orang itu kembali bernyanyi, “Budak kecil menyebabkan bencana besar....”

“Berhenti mengganggu orang!” bentak seorang pemuda sambil melemparkan beberapa keping uang tembaga yang kemudian jatuh secara tepat di meja pengamen tua itu. Si pengamen pun memungut dan memasukkannya ke dalam saku sambil berterima kasih.

Si pendek gemuk berkata, “Rupanya sobat muda ini ahli melempar senjata rahasia. Lemparanmu benar-benar sempurna.”

“Ah, bukan apa-apa,” jawab si pemuda sambil tersenyum bangga. “Jadi, berdasarkan ceritamu tadi, Tuan Besar Mo tidak akan datang ke kota ini?”

“Mana mungkin ia datang?” sahut si pendek gemuk, “Hubungan Tuan Besar Mo dan Tuan Majikan Liu bagaikan air dan api. Bila bertemu sebentar saja pasti langsung bertengkar. Tuan Majikan Liu sudah mengalah kepadanya, harusnya dia senang.”

Tiba-tiba si pengamen tua bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri si pendek gemuk dan memandanginya dari atas ke bawah dengan sorot mata tajam.

“Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?” bentak si pendek gemuk gusar.

“Omong kosong!” jawab si pengamen tua sambil menggelengkan kepala. Kemudian ia berputar dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

Si pendek gemuk tersinggung dan berniat mencengkeram bahu si pengamen tua dari belakang. Namun tiba-tiba matanya silau oleh kilatan pedang yang berkelebat dengan cepat ke arah meja tempat duduknya. Si pendek gemuk langsung melompat menghindar. Pedang itu ternyata milik si pengamen tua yang kemudian bersarang kembali di dalam rebab. Semua orang terkejut begitu mengetahui ternyata si pengamen tua menyimpan pedang tipis di dalam alat musiknya.

“Dasar omong kosong!” ujar orang tua itu sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah minum tersebut. Semua mata memandanginya dengan heran sampai bayangan orang itu lenyap ditelan derasnya hujan. Samar-samar mereka hanya mendengar suara rebab si pengamen tua yang mengalun semakin lirih dan menjauh.

“Hei, coba kalian lihat!” seru salah seorang sambil menunjuk ke arah meja si pendek gemuk.

Semua orang serentak menoleh. Tampak tujuh buah cawan di meja itu semua telah terpotong setebal dua senti. Masing-masing potongan jatuh ke samping sedangkan badan cawan yang tersisa masih tegak berdiri, tidak bergeser atau terguling sedikit pun. Para tamu di kedai itu langsung berdatangan mengerumuni meja dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang si pengamen tua tadi.

Salah seorang menyahut, “Siapa dia sebenarnya? Ilmu pedangnya begitu hebat!”

“Sekali tebas, pedangnya memotong rata tujuh cawan tanpa merobohkannya sedikit pun.”

“Untungnya orang tua tadi masih bermurah hati. Kalau tidak, tentu kepalamu sudah menggelinding di lantai,” ujar seseorang kepada si pendek gemuk.

“Pengamen tua tadi tentu seorang jago silat papan atas.”

Si pendek gemuk hanya termangu-mangu tidak menjawab sedikit pun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat. Kedua matanya melotot tanpa berkedip memandangi ketujuh cawan yang terpotong rapi di atas mejanya itu.

Si baju sutra tersenyum sambil berkata, “Apa kataku tadi? Mulut bisa menjadi sumber bencana. Di Hengshan sini banyak berkeliaran orang-orang sakti. Mungkin pengamen tua tadi adalah sahabat baik Tuan Besar Mo. Karena kau berani berbicara yang buruk-buruk tentang Tuan Besar Mo, maka dia pun memberimu sedikit pelajaran.”

“Siapa bilang dia sahabat Tuan Besar Mo?” sahut si janggut putih bermarga Peng. “Orang tua pembawa rebab tadi adalah Tuan Besar Mo sendiri, alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang, ketua Perguruan Hengshan yang ternama!”

“Hah! Jadi dia adalah Tuan Besar Mo?” sahut orang-orang bersamaan, “Dari mana... dari mana kau tahu kalau dia itu Tuan Besar Mo?”

Si janggut putih menjawab, “Mudah saja. Bukankah Tuan Besar Mo terkenal suka bermain rebab dan membawakan lagu Malam Hujan di Xiaoxiang? Permainan musiknya sangat bagus sampai-sampai bisa membuat orang yang mendengar mencucurkan air mata. ‘Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab’, kata-kata ini menggambarkan kehebatan ilmu silat Tuan Besar Mo. Kalian berada di Kota Hengshan, mengapa tidak mengetahui hal ini?”

Si janggut putih bermarga Peng itu lantas menoleh ke arah si pendek gemuk dan berkata, “Tadi kau bilang dalam sekali tebas Tuan Majikan Liu bisa menjatuhkan lima ekor burung belibis sedangkan Tuan Besar Mo hanya menjatuhkan tiga. Sekarang Tuan Besar Mo memotong rata tujuh cawan tanpa terguling sedikit pun hanya dalam sekali tebas. Coba pikir, mana yang lebih sulit, memotong tujuh cawan atau tiga belibis? Tidak heran kalau dia tadi menyebutmu tukang omong kosong.”

Si pendek gemuk hanya terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tertunduk dan terlihat masih pucat seperti mayat. Si baju sutra segera membayar semua pesanan mereka berdua dan mengajak temannya itu pergi meninggalkan rumah minum tersebut.

Semua orang di tempat itu merasa ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pedang Tuan Besar Mo, si Malam Hujan di Xiaoxiang. Tadi ketika si pendek gemuk memuji-muji keunggulan ilmu silat Liu Zhengfeng dibandingkan Tuan Besar Mo, sedikit banyak mereka ikut membenarkannya. Takut tertimpa masalah, mereka pun beramai-ramai membayar dan meninggalkan rumah minum itu pula. Tempat yang tadinya ramai dan penuh sesak kini berubah sepi hanya dalam waktu sekejap.

Di rumah minum itu kini tinggal Lin Pingzhi serta dua orang lainnya yang tertidur di atas meja mereka. Lin Pingzhi sendiri masih termangu-mangu memandangi tujuh cawan yang terpotong rata tadi. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa ilmu orang itu. Dari luar terlihat buruk rupa, tak disangka menyimpan kepandaian yang mengagumkan. Jika aku tidak meninggalkan Kota Fuzhou, mungkin sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa orang yang paling hebat di dunia adalah Ayah. Oh, aku benar-benar seperti katak dalam tempurung, tidak tahu luasnya jagad raya. Andai saja aku bisa menjadi muridnya, tentu dendam keluargaku dapat terbalaskan.”

Sejenak kemudian Lin Pingzhi kembali berpikir, “Hei, kenapa aku tidak mencari Tuan Besar Mo dan menjadi muridnya? Kenapa aku tidak mencarinya dan memohon kepadanya supaya membantuku membebaskan Ayah dan Ibu?”

Pemuda bermarga Lin yang sedang menyamar bungkuk itu pun bangkit hendak melangkah, namun tiba-tiba ia tersentak, “Tunggu dulu! Bukankah Tuan Besar Mo adalah ketua Perguruan Hengshan? Padahal, Serikat Pedang Lima Gunung memiliki hubungan baik dengan Perguruan Qingcheng. Ah, mana mungkin Tuan Besar Mo sudi bertengkar dengan kawan sendiri demi membela seorang asing macam aku ini?”

Seketika Lin Pingzhi duduk kembali dengan perasaan putus asa. Tiba-tiba ia mendengar suara seorang perempuan yang nyaring dan merdu berkata dari arah luar, “Kakak Kedua, hujan ini tidak juga berhenti. Bajuku sudah basah kuyup. Bagaimana kalau kita minum teh hangat lebih dulu?”

Lin Pingzhi terperanjat karena suara itu seolah tidak asing baginya. Suara merdu tersebut tidak lain adalah suara si gadis burik penjual arak di tepi kota Fuzhou dulu. Segera ia pun menundukkan kepala supaya tidak dikenali gadis itu.

Terdengar suara seorang pria tua menjawab, “Baiklah, kita bisa minum dulu.”

Sejenak kemudian Lin Pingzhi mendengar kedua orang itu melangkah masuk dan langsung duduk di belakangnya. Dengan sangat berhati-hati Lin Pingzhi melirik kedua orang yang baru datang itu. Tidak salah lagi, mereka adalah pasangan kakek dan cucu penjual arak yang dulu mengaku bernama Kakek Sa dan Wan’er.

Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Ternyata hubungan kedua orang ini adalah saudara seperguruan. Tapi mengapa mereka menyelamatkan aku? Apa hanya karena balas budi karena aku sudah menolong gadis ini di kedai arak waktu itu? Lalu, apakah mereka juga mengetahui keberadaan Ayah dan Ibu?”

Pelayan rumah minum telah datang untuk membersihkan meja dan membawakan teh kepada mereka. Tiba-tiba Kakek Sa berkata, “Adik Kecil, coba lihat itu!”

Wan’er menoleh dan berseru kagum, “Hebat sekali! Siapa orangnya yang mampu memotong rata tujuh cawan ini? Sungguh ilmu pedang yang luar biasa!”

“Adik Kecil, aku ingin mengujimu,” ujar Kakek Sa, “Dalam sekali tebas tujuh cawan langsung terpotong semua dengan rapi. Menurutmu siapa yang bisa melakukan ini?”

“Aku tidak berada di sini dan melihat kejadiannya secara langsung. Bagaimana… bagaimana aku tahu siapa pelakunya....” gerutu Wan’er. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Aku ingat sekarang! Aku ingat sekarang! Cawan-cawan ini terpotong oleh jurus ketujuh belas dari Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis. Ah, ini pasti perbuatan Paman Liu!”

Kakek Sa menanggapi, “Aku ragu apakah Paman Liu bisa melakukannya? Aku rasa ilmu silatnya belum mencapai tingkatan ini. Tebakanmu nyaris benar.”

“Tunggu dulu!” sahut Wan’er. “Aku tahu sekarang. Ini adalah perbuatan Paman Mo, alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang!”

Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan gemuruh tawa beberapa orang yang tiba-tiba saja sudah muncul di tempat itu. Mereka berkata, “Sungguh tajam penglihatanmu, Adik Kecil!”

Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Dari mana orang-orang ini muncul?”

Perlahan matanya melirik. Tampak tujuh orang sudah berdiri di dekat meja Kakek Sa dan Wan’er. Lima orang di antara mereka muncul dari balik dapur, sedangkan dua lainnya adalah sepasang laki-laki yang tidur tertelungkup di atas meja tadi. Di antara ketujuh orang itu ada yang berdandan seperti kuli; ada yang membawa sempoa seperti pedagang; ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya.

“Huh, ternyata rombongan gelandangan bersembunyi di sini. Hampir saja kalian membuatku mati kaget,” sahut Wan’er, si gadis burik dengan tertawa. “Hei, di mana Kakak Pertama?”

“Ah, kau ini!” kata si pembawa kera. “Baru bertemu sudah menyebut kami sebagai gelandangan.”

Wan’er menjawab galak, “Siapa pula yang menyuruh kalian bersembunyi di dalam rumah minum seperti gelandangan? Hei, aku bertanya di mana Kakak Pertama?”

“Huh, lagi-lagi soal Kakak Pertama!” sahut si pembawa kera. “Mengapa kau tidak pernah menanyakan kabar kakak keenammu ini?”

“Kau sendiri ada di sini; tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa aku bertanya keadaanmu?” kata Wan’er sambil menghentakkan kaki.

“Hahaha. Kakak Pertama tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa kau bertanya keadaannya?” sahut si pembawa kera sambil tertawa.

“Sudahlah, aku tidak sudi bicara denganmu lagi! Aku tanya Kakak Keempat saja. Hanya dia satu-satunya orang baik di sini,” jawab Wan’er.

Belum sempat si kakak keempat menjawab, terdengar gemuruh tawa saudara-saudaranya yang lain. “Hahaha, cuma Kakak Keempat yang baik! Kami sisanya penjahat semua. Hei, Kakak Keempat, jangan katakan kepadanya!” ujar si pembawa kera.

“Kalau Kakak Keempat tidak boleh menjawab, aku juga tidak sudi bercerita kepada kalian tentang pengalaman hebat yang kualami bersama Kakak Kedua,” sahut Wan’er.

Laki-laki yang berdandan seperti kuli alias si kakak keempat sejak awal memang tidak ikut bergelak tawa bersama yang lain. Sepertinya ia memang seorang pendiam dan baik hati. Orang itu lantas berkata, “Kami berpisah di Kota Hengyang. Mungkin saat ini Kakak Pertama sudah sehat dan menyusul kemari.”

“Apa? Jadi, dia mabuk-mabukan lagi?” sahut Wan’er dengan mata melotot.

“Benar,” jawab si kakak keempat.

Rekannya yang membawa sempoa menyahut, “Kakak Pertama benar-benar mabuk berat. Ia minum dari pagi sampai siang, dari siang sampai petang. Aku rasa ia sudah menghabiskan sebanyak dua sampai tiga puluh liter arak bagus. Semua masuk ke dalam perutnya.”

“Ini tidak baik untuk kesehatannya,” kata Wan’er cemas. “Kenapa kalian tidak menasihatinya?”

Menasihati Kakak Pertama?” sahut si pembawa sempoa. “Memangnya ada yang bisa? Mungkin nanti kalau matahari sudah terbit dari barat. Entah kalau Adik Kecil yang menasihati, barangkali ia mau menurut dan mengurangi satu liter saja. Hahaha...” Rekan-rekannya yang lain pun ikut tertawa.

Si gadis burik terlihat semakin kesal, dan bertanya, “Kenapa dia minum sebanyak itu? Apa dia baru saja mengalami hal yang tidak menyenangkan lagi?”

“Entahlah! Mungkin dia merasa senang karena akan bertemu Adik Kecil di Kota Hengshan sini. Jadi, dia pun merayakannya besar-besaran,” jawab si pembawa sempoa tersenyum.

“Omong kosong!” sahut Wan’er dengan muka tersipu malu.

Lin Pingzhi yang tertunduk di mejanya hanya bisa mendengarkan pembicaraan orang-orang itu tanpa berani menoleh. Dalam hati ia berpikir, “Rupanya gadis ini menaruh hati kepada kakak seperguruannya yang pertama. Padahal, kakak keduanya saja sudah setua ini, tentu si kakak pertama lebih tua lagi. Apakah gadis ini kurang waras? Usianya mungkin baru delapan belas tahun, tapi kenapa dia suka pada seorang tua?” Sejenak kemudian Lin Pingzhi seolah menyadari sesuatu dan kembali berpikir, “Ah, aku tahu! Gadis ini berwajah jelek, tentu tidak ada pemuda yang suka kepadanya. Jadi, dia pun menjalin hubungan dengan seorang kakek tua yang suka mabuk.”

Terdengar Wan’er kembali bertanya, “Jadi, Kakak Pertama sudah minum arak sejak pagi kemarin?”

“Kalau tidak diceritakan sampai lengkap, tentu kau tidak akan berhenti bertanya,” jawab si pembawa kera. “Begini, ketika kemarin kami berangkat bersama-sama, tiba-tiba di tengah jalan Kakak Pertama mencium bau arak yang sangat harum. Kami pun melihat ada seorang pengemis sedang asyik minum arak dari sebuah kendi besar. Kakak Pertama langsung tertarik dan mendekatinya. Ia bertanya apa nama arak itu. Si pengemis pun menjawab namanya ‘arak monyet’.

Kakak Pertama bertanya: ‘Kenapa diberi nama arak monyet?’

Pengemis itu menjelaskan bahwa di hutan pegunungan sebelah barat Provinsi Hunan terdapat kawanan monyet yang pintar membuat arak dari buah-buahan. Monyet-monyet itu memilih buah-buahan yang harum dan manis untuk diperas sarinya menjadi arak. Kebetulan si pengemis menemukan simpanan arak tersebut dan mencurinya sebanyak tiga kendi. Ia juga menangkap seekor monyet kecil dan dibawanya pula. Nah, ini dia!”

Laki-laki muda itu lantas menunjuk seekor kera kecil yang hinggap di pundaknya. Seutas tali tampak mengikat pinggang kera sementara ujung lainnya terikat di lengan si pemuda. Kera kecil itu tampak menggaruk-garuk kepala dan terlihat sangat lucu.

“Kakak Keenam,” kata Wan’er memandangi kera kecil itu sambil tertawa. “Pantas saja kau dijuluki Si Monyet Keenam. Kau dan kera kecil ini begitu mirip seperti saudara kandung.”

“Bukan, kami bukan saudara kandung,” jawab si pemuda pembawa kera. “Kami ini saudara seperguruan. Dia kakak pertamaku, dan aku adik keenamnya.”

Serentak mereka semua tertawa, kecuali Wan’er. “Hei, awas kalau kau berani menyindir Kakak Pertama lagi! Akau kuadukan kepadanya biar kau tahu rasa!” sahut si gadis burik galak. Sejenak kemudian ia kembali bertanya, “Lalu, bagaimana ceritanya kau bisa bersatu dengan saudaramu ini?”

“Saudara?” sahut Monyet Keenam alias si pembawa kera. “Oh, maksudmu kera kecil ini? Panjang sekali ceritanya. Rumit kalau kukatakan dan membuat pusing kepala.”

“Kau tidak perlu bercerita pun aku sudah bisa menebaknya,” ujar Wan’er. “Pasti Kakak Pertama yang menyuruhmu menjaga kera ini dengan baik. Kakak Pertama ingin setiap saat kera ini bisa membuatkan arak untuknya, bukan begitu?”

“Iya... benar sekali tebakanmu,” jawab Monyet Keenam.

“Kakak Pertama memang suka berpikiran aneh,” kata Wan’er. “Kera kecil ini memang bisa membuat arak kalau berada di pegunungan. Tapi kalau sudah ditangkap begini tentu akan berbeda. Nah, kalau dia dilepaskan untuk mencari buah-buahan, apakah tidak akan kabur?” Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Hei, kenapa Monyet Keenam kita tidak bisa membuat arak?”

“Adik Kecil, berani sekali kau kurang ajar kepada kakak seperguruanmu ini?” sahut Monyet Keenam pura-pura marah.

“Haha. Kau menakut-nakuti aku dengan kedudukanmu!” jawab Wan’er sambil tertawa. “Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi; kenapa Kakak Pertama minum arak sepanjang hari? Apakah dia mendapat masalah besar lagi?”

“Baiklah, aku lanjutkan ceritanya,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama sama sekali tidak peduli dengan keadaan si pengemis. Padahal, tubuh pengemis itu sangat kotor dan dekil. Daki di kulitnya sampai setebal tiga senti; kutu merayap di rambut dan bajunya; keringat dan ingus meleleh di wajahnya; bahkan, mungkin arak di dalam kendinya sudah bercampur dengan air liur....”

“Sudah, sudah!” sahut Wan’er sambil menutup mulut. “Menjijikkan! Aku jadi muak mendengarnya!”

“Mungkin kau jijik, tapi Kakak Pertama tidak sama sekali,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama mendesak pengemis itu supaya diizinkan ikut mencicipi araknya. Namun, si pengemis berkata bahwa hanya kendi itu yang tersisa dan tidak akan diberikan kepada siapapun. Kakak Pertama lantas menawarkan satu tael perak untuk satu kali tegukan.”

“Dasar pemabuk!” gerutu Wan’er.

“Pengemis itu setuju dan menyerahkan kendinya,” lanjut Monyet Keenam. “Dia berkata, ‘Awas, cukup satu tegukan saja.’

Kakak Pertama menjawab, ‘Kalau aku bilang satu teguk, ya satu teguk.’

Tak disangka Kakak Pertama sanggup menghabiskan seluruh isi kendi besar itu hanya dalam sekali teguk. Rupanya ia menggunakan ilmu pernapasan yang telah diajarkan Guru. Aku melihatnya seperti seekor naga langit menghisap air laut tanpa mengganti napas.”

Semua orang tertawa mendengar penuturan Monyet Keenam itu.

“Adik Kecil, kalau kau berada di Hengyang sana, tentu kau bisa menyaksikan sendiri kehebatan Kakak Pertama,” lanjut si pembawa kera. “Kau pasti akan memuji kepandaian Kakak Pertama. Semangatnya dipusatkan di batas dada; jiwanya bagai melayang ke udara dan mendaki puncak gunung; tenaganya bagaikan mampu menjatuhkan bintang. Kehebatan tenaga dalam Kakak Pertama hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun tidak terlihat dari luar.”

Wan’er tertawa dan hampir terjatuh dari bangkunya. “Dasar pembual! Kau menggambarkan Kakak Pertama secara berlebihan. Berani-beraninya kau mengejek rumus ilmu tenaga dalam perguruan kita,” ujarnya setengah memaki.

“Aku tidak membual,” jawab Monyet Keenam sambil tertawa pula. “Saudara-saudara yang lain ikut melihat sendiri, bagaimana Kakak Pertama menghabiskan isi kendi itu dalam sekali teguk. Bukankah dia menggunakan tenaga dalam?”

“Benar, Adik Kecil!” jawab yang lainnya mengiakan.

Wan’er tertegun mendengarnya. Sambil menghela napas ia berkata, “Ilmu pernapasan ini sangat sulit untuk dipelajari. Di antara kita semua, hanya Kakak Pertama saja yang sudah boleh mempelajarinya. Tapi sayang, ilmu sehebat itu justru digunakannya untuk merebut arak dari tangan pengemis.”

Monyet Keenam melanjutkan ceritanya, “Pengemis itu marah-marah karena Kakak Pertama menghabiskan isi kendi araknya. Ia menarik baju Kakak Pertama dan menuduhnya berbuat curang. Kakak Pertama menjawab, ‘Siapa yang curang? Bukankah aku hanya minum satu teguk saja? Bukankah aku tidak pernah mengganti napas? Tanpa mengganti napas itu artinya satu tegukan. Tidak peduli satu tegukan besar atau kecil, yang penting satu tegukan. Padahal, tadi aku baru setengah napas saja. Nah, ini berarti kau harus mengembalikan uangku setengah tael perak.’”

“Sudah menghabiskan arak orang, masih mau mengambil uangnya pula. Dasar gila!” Wan’er menukas sambil tertawa.

Monyet Keenam melanjutkan, “Pengemis itu hampir saja menangis. Kakak Pertama lantas berkata, ‘Kawan, kau jangan khawatir. Sepertinya kau ini juga suka minum arak. Kalau begitu mari kita minum sepas-puasnya di sana. Aku yang bayar semua.’ Kakak Pertama lantas menarik tangan pengemis itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah kedai arak di tepi jalan. Mereka berdua lalu minum bersama dengan gembira. Kekuatan pengemis itu lumayan juga. Kami terpaksa harus menunggu sampai siang. Karena senang, pengemis itu memberikan kera kecil miliknya saat diminta Kakak Pertama. Kera itu lalu diserahkan kepadaku agar dijaga dengan baik. Ketika siang berganti petang, si pengemis akhirnya roboh dan tak sanggup lagi. Sementara itu Kakak Pertama masih saja menenggak araknya. Bicaranya sudah mulai melantur. Kami disuruh berangkat lebih dulu dan dia akan menyusul kemudian.”

“Jadi seperti itu ceritanya. Dia minum hanya untuk bersenang-senang,” kata Wan’er. “Apakah orang itu anggota Partai Pengemis?”

“Tidak mungkin!” sahut si kakak keempat yang berdandan kuli. “Kami tidak melihatnya membawa kantong seperti anggota Partai Pengemis pada umumnya.”

Wan’er lantas memandang keluar dan menggumam sendiri, “Jika kemarin kau tidak tertinggal dan bisa datang ke sini bersama yang lain, tentu kau tidak akan kehujanan....”

Monyet Keenam kembali berkata, “Adik Kecil, kau bilang baru saja mengalami kejadian-kejadian aneh bersama Kakak Kedua. Nah, sekarang giliranmu yang bercerita kepada kami.”

“Mengapa harus buru-buru?” sahut Wan’er. “Nanti saja kalau Kakak Pertama sudah datang, baru aku ceritakan semuanya. Malas rasanya kalau aku harus mengulang-ulang cerita. Di mana kalian berjanji untuk bertemu?”

“Entahlah. Kota Hengshan ini sangat besar, dan sekarang begitu ramai,” jawab Monyet Keenam. “Hei, kau ini maunya menang sendiri. Kau memaksaku bercerita kenapa Kakak Pertama sampai tertinggal, tapi kau jual mahal tidak mau bercerita pengalamanmu bersama Kakak Kedua.”

Pikiran gadis itu rupanya sedang melayang entah ke mana. Ia hanya berkata, “Biar Kakak Kedua saja yang bercerita.” Sejenak ia menoleh ke arah Lin Pingzhi yang duduk membelakanginya, kemudian berkata, “Di sini terlalu banyak mata dan telinga. Sebaiknya nanti saja bercerita, di dalam penginapan.”

Saudara seperguruannya yang bertubuh jangkung sejak tadi hanya diam tanpa bicara, kini menyahut, “Semua penginapan di kota ini sudah penuh. Tidak enak juga kalau kita harus merepotkan keluarga Paman Liu. Nanti kalau Kakak Pertama datang, sebaiknya kita beristirahat di dalam kuil saja. Bagaimana menurutmu, Kakak Kedua?”

Si kakak kedua alias Kakek Sa mengangguk dan menjawab, “Tidak masalah. Kita tunggu Kakak Pertama di sini.” Selama si kakak pertama belum datang, orang tua ini menjadi pengambil keputusan di antara mereka.

Monyet Keenam merasa tidak sabar menunggu. Ia pun berbisik mendesak Kakek Sa, “Kakak Kedua, jangan pedulikan si bungkuk itu. Sejak tadi dia sudah duduk di sini tanpa bergerak sedikit pun. Mungkin dia itu seorang dungu. Bagaimana hasil penyelidikan kalian di Kota Fuzhou? Apakah Perguruan Qingcheng benar-benar menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei? Lantas, apakah Keluarga Lin benar-benar tidak memiliki kepandaian sejati?”

Mendengar keluarganya disebut-sebut, Lin Pingzhi berusaha memusatkan perhatiannya dengan lebih seksama.

Namun Kakek Sa justru mengalihkan pembicaraan, “Kami bertemu Guru di Kota Changsa. Beliau menyuruh kami pergi ke Hengshan sini untuk bertemu Kakak Pertama dan kalian semua. Sebelum bercerita tentang pengalaman kami di Kota Fuzhou, aku ingin bertanya lebih dulu; mengapa Paman Mo memainkan ilmu pedangnya yang hebat itu di sini? Apakah kalian tadi melihat semuanya?”

“Ya, kami menyaksikannya langsung,” jawab Monyet Keenam. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang orang-orang yang membicarakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang akan diadakan Liu Zhengfeng tiga hari lagi. Ia juga menceritakan bagaimana Tuan Besar Mo tiba-tiba muncul dan memperagakan kehebatannya, sehingga menutup mulut para pengunjung rumah minum yang membicarakan hal yang buruk-buruk tentang dirinya.

“Begitu rupanya,” gumam Kakek Sa sambil mengangguk. “Banyak orang yang mengatakan bahwa Paman Mo dan Paman Liu kurang rukun meskipun berasal dari perguruan yang sama. Kali ini Paman Liu mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas; aku masih belum paham mengapa Paman Mo tiba-tiba muncul dan memamerkan kesaktiannya, kemudian menghilang begitu saja? Sungguh aneh.”

“Kakak Kedua, kabarnya Pendeta Tianmen ketua Perguruan Taishan juga hadir. Bahkan, rombongan Beliau sudah tiba di kediaman Keluarga Liu,” ujar si pembawa sempoa.

Kakek Sa agak terkejut dan bertanya, “Pendeta Tianmen juga hadir secara langsung? Kalau begitu ini berita bagus untuk Paman Liu. Jika nanti terjadi perselisihan antara kedua tokoh Hengshan itu, maka Paman Liu tidak perlu gentar menghadapi Paman Mo.”

Wan’er bertanya, “Kakak Kedua, kalau menurutmu, Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng akan berada di pihak mana?”

Mendengar “Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng” disebut, seketika Lin Pingzhi merasa dadanya seperti dihantam palu godam.

Monyet Keenam dan yang lain serentak bertanya, “Pendeta Yu juga datang?”

“Padahal jarang sekali dia meninggalkan Gunung Qingcheng.”

“Wah, kalau demikian di Kota Hengshan ini akan terjadi keramaian besar. Banyak tokoh silat papan atas berdatangan kemari. Jangan-jangan akan terjadi pertarungan seru.”

“Adik Kecil, dari mana kau tahu Pendeta Yu akan datang?”

Wan’er menjawab, “Tahu dari mana? Aku bahkan melihat sendiri dia datang.”

“Kau melihat Pendeta Yu datang kemari? Ke Kota Hengshan ini?” tanya Monyet Keenam.

“Tidak hanya di Hengshan, tapi aku juga melihatnya di Fujian dan Jiangxi,” jawab si gadis burik.

“Memangnya ada urusan apa Pendeta Yu pergi ke Fujian?” sahut si pembawa sempoa. “Adik Kecil, aku yakin pasti kau tidak tahu seluk-beluk permasalahannya.”

“Kakak Kelima,” ujar Wan’er. “Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal kepadamu. Tapi karena kau mengolok-olok, aku jadi malas untuk melanjutkan.”

Monyet Keenam tidak sanggup menahan rasa ingin tahunya. Ia pun berkata, “Masalah ini hanya menyangkut Perguruan Qingcheng. Andaikan ada orang lain yang mendengar juga tidak menjadi soal. Kakak Kedua, ceritakanlah semua kepada kami; mengapa Pendeta Yu datang ke Fujian? Bagaimana pula kalian bisa bertemu dengannya?”

Pemuda pembawa kera itu sama sekali tidak tahu kalau Lin Pingzhi diam-diam juga berharap bisa mendengar percakapan mereka lebih lanjut.

“Sebenarnya aku ingin menunggu Kakak Pertama datang,” ujar Kakek Sa. “Tapi sepertinya hujan bertambah deras dan tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Baiklah, aku akan bercerita sambil mengisi waktu luang. Akan kuceritakan semuanya sejak awal. Setelah kalian mengetahui seluk-beluk permasalahan ini, maka kalian bisa berjaga-jaga apabila bertemu dengan orang-orang Qingcheng. Nah, pada bulan dua belas yang lalu, Kakak Pertama telah menghajar murid-murid andalan Perguruan Qingcheng bernama Hou Renying dan Hong Renxiong....”

“Hahahaha,” tiba-tiba Monyet Keenam tertawa mengejek.

“Apanya yang lucu?” sahut Wan’er galak.

“Aku menertawakan kedua murid Qingcheng itu yang berlagak sombong dengan memakai nama Renying dan Renxiong segala. Haha, mereka bahkan memamerkan nama belakang: ‘Ying Xiong Hao Jie, Empat Jagoan Qingcheng’. Lihatlah, namaku hanya ‘Lu Dayou’, cukup sederhana dan tidak muluk-muluk, juga tidak mengundang masalah,” ujar Monyet Keenam yang ternyata memiliki nama asli Lu Dayou itu.

“Tidak juga,” sahut Wan’er. “Kalau bukan karena margamu ‘Lu’ yang berarti ‘enam’, ditambah lagi karena kau ini murid keenam dalam perguruan kita, mana mungkin kau dijuluki si Monyet Keenam?”

“Boleh juga, boleh juga,” jawab Lu Dayou sambil tersenyum. “Kalau begitu mulai hari ini aku akan mengganti namaku menjadi....”

“Sudah, sudah, jangan memotong pembicaraan Kakak Kedua!” sahut yang lainnya.

“Baik, baik,” jawab Lu Dayou tapi mulutnya masih tertawa cekikikan.

Wan’er kesal melihat kakak keenamnya itu. Ia pun menegur, “Sebenarnya kau ini menertawakan apa? Huh, dasar menyusahkan!”

“Aku teringat saat Hou Renying dan Hong Renxiong jatuh terguling-guling setelah dihajar Kakak Pertama. Lebih lucu lagi, mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa,” jawab Lu Dayou. “Waktu itu aku juga berada di sana, bersama Kakak Pertama di lantai dua sebuah rumah makan. Kakak Pertama sedang minum arak dan ia kesal mendengar nama-nama mereka yang sok pahlawan itu. Kakak Pertama lalu berteriak mengejek: ‘Anjing Liar Babi Hutan, Empat Binatang dari Qingcheng’. Tentu saja Hou Renying dan Hong Renxiong tersinggung. Mereka langsung naik ke loteng untuk melabrak, tapi belum apa-apa keduanya sudah ditendang Kakak Pertama hingga jatuh terguling-guling di tangga kedai. Lucu sekali!”

Mendengar itu Lin Pingzhi merasa sangat terhibur. Rasa simpatinya kepada si kakak pertama langsung muncul. Meskipun ia tidak mengenal siapa itu Hou Renying dan Hong Renxiong, tapi yang jelas keduanya adalah saudara seperguruan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Ia membayangkan betapa malu kedua murid Qingcheng itu ketika tubuh mereka terguling-guling di tangga loteng rumah makan tersebut. Sakit hatinya terasa agak berkurang meskipun kejadian itu berlangsung sebelum Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei.

Kakek Sa melanjutkan ceritanya, “Setelah Hou Renying dan Hong Renxiong mengetahui siapa yang telah menghajar mereka, keduanya pun melapor kepada Pendeta Yu di Kuil Cemara Angin. Beberapa hari kemudian, Guru menerima sepucuk surat dari Pendeta Yu yang berisi permohonan maaf karena tidak bisa mendidik murid-murid Qingcheng dengan baik sehingga membuat kakak pertama kita tersinggung.”

“Huh, pendeta bermarga Yu itu memang licik,” sahut Lu Dayou. “Dia pura-pura minta maaf, padahal sebenarnya bermaksud menyindir Guru. Akibatnya, Guru pun menghukum Kakak Pertama berlutut sepanjang hari sepanjang malam. Kakak Pertama akhirnya dibebaskan setelah kita semua memohon kepada Guru agar memberikan maaf.”

“Apa maksudmu dengan membebaskan Kakak Pertama?” sahut Wan’er. “Bukankah Kakak Pertama tetap saja dipukul sebanyak tiga puluh kali?”

“Benar juga,” jawab Lu Dayou. “Aku sendiri juga ikut-ikutan dihukum sepuluh pukulan. Tapi kalau teringat bagaimana Hou Renying dan Hong Renxiong jatuh terguling-guling di tangga, aku sama sekali tidak merasa rugi. Hahahaha...”

“Kau ini sudah dipukul sepuluh kali masih juga belum jera,” ujar si jangkung. “Rasanya sia-sia Guru menghukummu.”

“Memangnya aku salah apa?” sahut Lu Dayou. “Ketika Kakak Pertama menendang kedua orang itu, aku tidak kuasa menghentikannya.”

“Sebenarnya kau bisa berbicara kepada Kakak Pertama untuk mencegahnya bertindak,” jawab si jangkung. “Tapi aku tahu sifatmu. Waktu itu Guru berkata: ‘Lu Dayou adalah saksi mata kejadian ini. Pasti dia tidak mencegah kakak pertamanya berbuat onar; sebaliknya, justru ikut memanas-manasi. Untuk itu, akan kuberikan sepuluh pukulan!’”

Saudara-saudaranya yang lain bergelak tawa mendengar ucapan si jangkung ini.

“Sebenarnya kali ini Guru telah salah menghukum orang,” ujar Lu Dayou. “Kecepatan tendangan Kakak Pertama sungguh luar biasa; mana mungkin aku dapat mencegahnya? Waktu itu aku melihat Hou Renying dan Hong Renxiong mendatangi Kakak Pertama dengan wajah gusar. Namun, Kakak Pertama tetap asyik minum seolah tidak memedulikan mereka. Aku hanya bisa berteriak: ‘Kakak Pertama, awas!’ – Tahu-tahu, kedua jagoan Qingcheng itu sudah jatuh terguling-guling di tangga loteng. Ternyata Kakak Pertama telah menggunakan Jurus Tendangan Harimau Menyabet Ekor. Seharusnya aku bisa mempelajari jurus ini; tapi, bagaimana hendak belajar, kalau melihatnya saja sudah susah? Gerakan Kakak Pertama sangat cepat.”

“Hei, Monyet Keenam,” sahut si jangkung. “Sewaktu Kakak Pertama berteriak-teriak menyebut ‘Empat Binatang dari Qingcheng’, apakah kau ikut mengolok-olok pula?”

“Tentu saja!” jawab Lu Dayou. “Sebagai saudara yang lebih muda, sudah pasti aku ikut apa yang dilakukan Kakak Pertama. Memangnya kau lebih suka aku memihak murid-murid Qingcheng yang sombong itu?”

“Kalau begitu tidak salah jika Guru menghukummu,” kata si jangkung sambil tertawa.

Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Monyet Keenam ini wajahnya jelek seperti kera, tapi sifatnya polos dan jujur. Sepertinya dia ini seorang yang baik. Entah dari perguruan mana mereka berasal? Kenapa pula mereka memanggil Tuan Besar Mo dan Tuan Majikan Liu dengan sebutan ‘paman’?”

Terdengar Kakek Sa kembali berkata, “Kita harus selalu ingat nasihat Guru kepada Kakak Pertama. Di dunia persilatan memang banyak orang yang suka memakai gelar dan julukan muluk-muluk. Tidak semua julukan sesuai dengan tingkah laku mereka. Tapi kita juga tidak perlu mengurusi mereka satu per satu. Biarkan saja kalau ada yang memakai julukan ‘Ying Xiong Hao Jie’ segala. Kalau mereka berbuat sopan dan kesatria, tentu banyak orang yang ingin berteman dengan mereka. Tapi kalau mereka suka mengumbar kesombongan, sudah pasti kaum persilatan akan memandang rendah terhadap mereka. Kita tidak perlu mengambil pusing terhadap julukan ini.”

Semuanya mengangguk mendengar ucapan Kakek Sa. Terdengar Lu Dayou menggumam sendiri, “Julukan ‘Monyet Keenam’ jauh lebih baik. Tidak membuat bingung orang lain.”

Kakek Sa tersenyum dan melanjutkan ceritanya, “Kekalahan Hou Renying dan Hong Renxiong karena ditendang Kakak Pertama sudah pasti menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan Qingcheng. Tentu saja tidak ada yang berani membicarakan hal itu; bahkan, hanya sedikit murid-murid Qingcheng yang mengetahuinya. Guru sendiri juga berpesan kepada kita untuk tidak menyebarluaskan kejadian ini, supaya tidak terjadi perselisihan di antara kedua perguruan. Maka itu, untuk selanjutnya ceritaku ini jangan diungkit-ungkit lagi.”

“Ah, kehebatan ilmu silat Perguruan Qingcheng menurutku hanya omong kosong belaka,” sahut Lu Dayou acuh tak acuh. “Sekalipun kita berselisih dengan mereka juga tidak menjadi masalah...”

“Adik Keenam!” bentak Kakek Sa seketika. “Jika kau masih suka sembarangan bicara, maka akan kuadukan kepada Guru! Mungkin kau akan mendapat pukulan lebih banyak lagi. Asal kau tahu, kemenangan Kakak Pertama bisa jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, mungkin karena kedua murid Qingcheng itu belum siap; dan kedua, karena Kakak Pertama memang murid yang paling pandai di antara kita semua. Kira-kira kau sendiri apa bisa menggulingkan kedua orang itu?”

Lu Dayou menjawab sambil menjulurkan lidah, “Kalau dibandingkan dengan Kakak Pertama sudah tentu aku kalah jauh.”

“Apa kau tahu bagaimana kehebatan Pendeta Yu, ketua Perguruan Qingcheng? Barangsiapa berani meremehkannya, tentu akan menyesal seumur hidup,” ujar Kakek Sa dengan wajah sungguh-sungguh. Ia kemudian menoleh ke arah Wan’er, “Adik Kecil, kau pernah melihat langsung kehebatan Pendeta Yu. Bagaimana menurutmu?”
“Pend

eta Yu?” jawab si gadis burik. “Aku... aku ngeri sekali melihatnya. Lain kali... lain kali aku tidak mau bertemu lagi dengannya.” Suaranya terdengar gemetar, pertanda hatinya benar-benar takut kepada pendeta bernama Yu Canghai itu.

“Apakah Pendeta Yu seorang yang sangat mengerikan? Apa kau pernah melihatnya membunuh orang?” sahut Lu Dayou bertanya.

Wan’er diam tidak menjawab dan tampak begitu ketakutan.

Kakek Sa kembali bercerita, “Setelah menerima surat dari Pendeta Yu, Guru sangat marah dan menghukum Kakak Pertama serta Adik Keenam. Hari berikutnya Guru menulis surat balasan dan menyuruhku untuk pergi ke Gunung Qingcheng....”

“Pantas saja waktu itu kau tampak terburu-buru. Rupanya kau diutus Guru ke Gunung Qingcheng,” sahut si jangkung dan yang lain hampir bersamaan.

“Benar sekali,” jawab Kakek Sa sambil mengangguk. “Waktu itu Guru sengaja merahasiakan kepergianku agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.”

“Salah paham bagaimana?” sela Lu Dayou. “Bukankah ini sudah seperti biasanya? Guru memang seorang yang selalu berhati-hati. Sudah pasti kita menyadari, apapun yang diperintahkan Guru pasti demi kebaikan kita semua. Mana mungkin kita salah paham terhadap perintah Beliau?”

“Kau ini tahu apa?” sahut si jangkung. “Kalau Kakak Kedua tidak merahasiakan keberangkatannya, tentu akan terjadi masalah besar. Meskipun Kakak Pertama tidak berani membantah perintah Guru, tetap saja ia bisa mencari cara lain untuk mengacaukan perjalanan Kakak Kedua.”

“Ucapanmu benar, Adik Ketiga,” kata Kakek Sa. “Kakak Pertama punya banyak teman di dunia persilatan. Bisa saja ia menyuruh orang lain untuk menggagalkan tugasku mengirim surat balasan ke Gunung Qingcheng. Guru berpesan kepadaku bahwa surat yang kubawa berisi permohonan maaf kepada Pendeta Yu; bahwa murid Beliau yang tidak patuh benar-benar memalukan perguruan; bahwa perbuatannya patut dicela; bahwa ia seharusnya dikeluarkan dari perguruan, namun khawatir jangan-jangan pihak luar salah paham mendengarnya; bahwa kedua murid yang tidak patuh itu....”

“Tunggu dulu,” sela Lu Dayou. “Jadi aku juga disebut murid yang tidak patuh?”

“Bukankah itu berarti kau ditempatkan sederajat dengan Kakak Pertama? Seharusnya kau bangga,” sahut Wan’er.

“Benar juga,” ujar Lu Dayou dengan wajah gembira. Ia lantas berteriak kepada pelayan, “Aku minta arak! Aku minta arak!”

Pelayan rumah minum buru-buru mendatangi meja orang-orang itu dan berkata, “Kami hanya menjual teh. Di sini ada teh Sumur Naga, teh Timur Jauh, teh Buddha Besi; tapi maaf, kami tidak menyediakan arak.” Ucapannya ini disampaikan dengan logat Hengshan yang khas.

Lu Dayou menegas, “Jadi aku tidak bisa minum arak di sini? Jadi aku hanya bisa minum teh?” Kata-katanya itu ia ucapkan dengan logat Hengshan; terdengar kacau tapi menggelikan.

“Benar, benar,” jawab si pelayan kedai sambil menuangkan teh hangat baru ke dalam poci mereka.

Kakek Sa melanjutkan, “Surat Guru itu juga menyebutkan bahwa kedua murid yang tidak patuh telah dihukum berat sampai tidak bisa berjalan; bahwa Guru lantas mengutus murid kedua yang bernama Lao Denuo untuk mewakili meminta maaf ke Gunung Qingcheng; kejadian ini disebabkan dua murid Guru yang tidak tahu adat, semoga Pendeta Yu berlapang dada dan sudi memaafkan, demi hubungan baik Perguruan Qingcheng dan Perguruan Huashan; kelak jika bertemu, Guru akan meminta maaf secara langsung kepada Pendeta Yu.”

Mendengar itu Lin Pingzhi berpikir, “Jadi nama asli Kakek Sa adalah Lao Denuo, dan orang-orang ini ternyata murid-murid Perguruan Huashan; salah satu dari Serikat Pedang Lima Gunung.” Seketika hatinya bergetar mengetahui pihak Qingcheng dan Huashan ternyata memiliki hubungan baik.

Lao Denuo melanjutkan, “Sesampainya di Gunung Qingcheng aku bertemu dua korban kenakalan Kakak Pertama itu. Kalau Hou Renying masih lumayan sopan dan tidak menaruh dendam; tapi Hong Renxiong berkali-kali mengejek dan berusaha menantangku berkelahi....”

“Keparat! Murid-murid Qingcheng memang menyebalkan!” sela Lu Dayou dengan perasaan kesal. “Kakak Kedua, kalau dia ingin berkelahi, layani saja dia berkelahi! Untuk apa kau takut? Aku yakin, si marga Hong itu bukan tandinganmu.”

“Guru mengirimku untuk meminta maaf, bukan untuk menambah masalah,” jawab Lao Denuo. “Selama enam hari aku harus menahan sabar. Baru pada hari ketujuh Pendeta Yu muncul dan bersedia menemuiku.”

“Huh, sombong sekali! Lagaknya mirip majikan besar saja!” kembali Lu Dayou menyela. “Kakak Kedua, selama enam hari di sana tentu kau menderita tekanan batin.”

“Begitulah, setiap hari aku disindir dan diejek,” jawab Lao Denuo. “Tapi aku sadar telah dipilih untuk mengantarkan surat Guru bukan karena ilmu silatku tinggi, tapi karena usiaku paling tua dan paling sabar dibandingkan kalian semua. Maka itu aku lantas menelan semua kemarahanku dan bertekad harus menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Orang-orang Qingcheng itu tidak sadar kalau perbuatan mereka yang mengulur-ulur waktu justru bermanfaat bagiku.

Saat itu aku merasa jenuh tinggal di Kuil Cemara Angin karena tidak diizinkan bertemu Pendeta Yu. Pada hari ketiga aku bangun pagi-pagi sekali untuk berjalan-jalan sambil melatih ilmu pernafasanku. Ketika melewati lapangan di belakang kuil aku sempat melihat puluhan murid Qingcheng sibuk berlatih bersama. Tentu saja aku tahu di dunia persilatan terdapat pantangan untuk tidak menyaksikan pihak lain sedang berlatih. Maka itu, aku buru-buru kembali ke dalam kamar. Akan tetapi, meskipun hanya sekilas pandang tetap saja latihan itu membuatku curiga. Kulihat mereka berlatih jurus pedang yang sama; hanya saja, gerakan mereka terlihat masih agak kaku, seperti sedang mempelajari suatu ilmu baru. Tapi entah, ilmu pedang apa pula yang sedang mereka pelajari itu? Tentu saja aku tidak dapat mengetahuinya cukup dengan sekali pandang saja.”

Lao Denuo meneguk sedikit teh, lalu melanjutkan, “Setelah kembali ke kamar, aku memikirkan apa yang baru saja kulihat tadi. Semakin kupikirkan aku merasa semakin curiga. Perguruan Qingcheng sudah memiliki sejarah panjang. Murid-murid itu bergabung dalam waktu yang tidak bersamaan, tapi mengapa saat itu mereka berlatih bersama-sama? Yang lebih mengherankan lagi, mengapa Empat Jagoan Qingcheng, yaitu Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie ikut serta? Coba pikir, menurut kalian ada apa sebenarnya?”

Si pembawa sempoa menjawab, “Mungkin Perguruan Qingcheng baru saja menemukan kitab ilmu pedang kuna, atau Pendeta Yu baru saja menciptakan jurus-jurus baru.”

“Semula aku juga berpikir demikian,” jawab Lao Denuo. “Tapi kemudian aku berpikir alasan itu kurang tepat. Ilmu pedang Pendeta Yu sangat tinggi. Jika dia berhasil menciptakan ilmu baru tentu sifatnya luar biasa dan hanya diajarkan kepada murid-murid terbaiknya saja. Begitu pula andaikan Perguruan Qingcheng menemukan kitab ilmu pedang kuna yang sudah langka, tentu tidak semua murid boleh mempelajarinya. Seorang guru pasti menunjuk dua atau tiga murid terbaiknya untuk mempelajari ilmu baru yang istimewa; bukannya menyuruh puluhan murid dari yang paling pandai sampai yang paling lemah berlatih bersama. Benar-benar mengherankan.”

Lin Pingzhi semakin memusatkan perhatiannya untuk mendengarkan cerita Lao Denuo sampai tuntas. Terdengar orang tua itu melanjutkan, “Esok paginya aku kembali berpura-pura melintasi lapangan tempat mereka berlatih. Sekali lagi aku melihat puluhan orang berlatih ilmu pedang yang sama. Aku sama sekali tidak berani berhenti atau menonton. Aku hanya melirik sedikit untuk menghafal dua jurus saja. Setelah kembali ke Gunung Huashan aku berniat meminta pendapat Guru. Sampai hari itu Pendeta Yu belum juga menampakkan diri sehingga timbul perasaan curiga di hatiku; jangan-jangan pihak Qingcheng sangat membenci perguruan kita. Mungkin saja karena ulah Kakak Pertama, murid-murid Qingcheng berlatih ilmu pedang baru untuk digunakan menyerang Perguruan Huashan kita. Karena itu, aku berpendapat sebaiknya lebih berhati-hati.”

Si jangkung bertanya, “Kakak Kedua, mungkinkah mereka berlatih suatu formasi pedang?”

“Aku juga sempat berpikir demikian. Namun, aku melihat mereka berlatih secara berpasang-pasangan dengan jurus yang sama pula. Jurus yang digunakan untuk menyerang sama persis dengan jurus untuk bertahan; sama sekali ini bukan formasi pedang,” jawab Lao Denuo. “Pagi berikutnya, aku kembali berjalan melintasi tempat mereka berlatih. Akan tetapi, keadaan di sana sunyi sepi tanpa seorang pun. Rupanya mereka mulai curiga kepadaku dan berusaha menghindar. Aku terus berjalan dan melihat-lihat ke segala arah, namun tidak menemukan apa-apa lagi. Akibatnya, kecurigaanku semakin bertambah besar. Entah rahasia apa yang sedang mereka sembunyikan. Aku khawatir mereka mempelajari suatu ilmu pedang baru untuk menghadapi perguruan kita; jika tidak, mengapa mereka sedemikian takut terlihat olehku?

Malam harinya aku tidak bisa tidur memikirkan Perguruan Qingcheng sebenarnya sedang merencanakan apa? Tiba-tiba telingaku mendengar suara senjata beradu di kejauhan. Aku terkejut, jangan-jangan Kuil Cemara Angin sedang diserbu musuh. Waktu itu aku mengira Kakak Pertama datang untuk membalas dendam kepada mereka karena telah dihukum Guru. Mengingat Kakak Pertama hanya seorang diri melawan puluhan orang, aku pun keluar untuk membantunya. Padahal, sewaktu berangkat meninggalkan Gunung Huashan, aku tidak membawa senjata sama sekali. Tapi aku telah bertekad untuk membantu Kakak Pertama meski hanya dengan tangan kosong.”

“Hebat sekali!” puji Lu Dayou. “Keberanian Kakak Kedua memang luar biasa. Mana mungkin aku berani menghadapi Pendeta Yu dengan tangan kosong?”

“Dasar Monyet Keenam suka bicara sembarangan!” sahut Lao Denuo ketus. “Siapa yang bilang hendak menghadapi Pendeta Yu? Aku keluar kamar hanya karena khawatir pada keselamatan Kakak Pertama. Meskipun berbahaya tapi aku harus tetap berangkat. Memangnya aku bisa enak-enakan meringkuk di dalam selimut seperti kura-kura?”

Maka terdengarlah gemuruh tawa orang-orang Perguruan Huashan itu.

Lu Dayou berkata sambil memoncongkan mulutnya, “Aku memujimu tapi kau malah menjawab dengan galak.”

“Terima kasih,” jawab Lao Denuo. “Tapi pujianmu tidak pada tempatnya.”

Beberapa lainnya berkata, “Kakak Kedua, jangan hiraukan Monyet Keenam. Lanjutkan saja ceritanya.”

Lao Denuo tersenyum dan kembali bercerita, “Begitulah, aku pun keluar dari kamar dan bergegas menuju ke arah sumber suara. Mendengar suara benturan senjata itu semakin keras dan keras, jantungku ikut berdebar kencang. Aku berpikir: ‘Kami berdua sama-sama terjebak di sarang musuh. Kakak Pertama berilmu tinggi dan punya kesempatan untuk lolos dengan selamat; tapi, bagaimana denganku? Ini benar-benar gawat.’ –Ternyata suara benturan senjata itu berasal dari sebuah ruangan di sisi belakang kuil. Aku pun mengendap-endap mendekati ruangan itu, dan kemudian mengintip ke dalam melalui celah jendela yang tidak tertutup rapat. Bagian dalam ruangan tersebut terang benderang oleh cahaya ratusan lilin dan pelita. Seketika hatiku menjadi lega; karena yang kulihat di dalam situ hanyalah murid-murid Qingcheng sedang sibuk berlatih. Apa yang kukhawatirkan tidak menjadi kenyataan; Kakak Pertama sama sekali tidak datang menyerang Kuil Cemara Angin. Di dalam ruangan itu aku melihat dua pasangan sedang bertanding dengan jurus yang sama. Tampak Hou Renying melawan Hong Renxiong di satu sisi; serta Fang Renzhi melawan Yu Renhao di sisi lainnya.”

“Wah, murid-murid Qingcheng benar-benar rajin. Mereka berlatih pedang sampai tak kenal malam,” ujar Lu Dayou kembali memotong pembicaraan. Lao Denuo memandangnya dengan tatapan tajam sehingga adik keenamnya itu langsung terdiam.

“Di tengah ruangan itu kulihat pula seorang pendeta bertubuh pendek memakai jubah warna biru sedang duduk mengawasi. Usianya sekitar lima puluhan dengan wajah terlihat kurus. Kuperkirakan berat badannya sekitar empat puluh kilo saja,” lanjut Lao Denuo. “Dari ciri-ciri yang pernah kudengar, konon ketua Perguruan Qingcheng memang seorang pendeta agama Tao yang bertubuh pendek. Akan tetapi, aku tidak pernah menyangka kalau Pendeta Yu ternyata lebih pendek dari dugaanku. Murid-murid Qingcheng yang lain ikut menonton dengan duduk di sekelilingnya. Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata kedua pasangan tersebut bertanding menggunakan jurus-jurus pedang yang kulihat dua hari berturut-turut sebelumnya.

Aku sadar waktu itu keadaanku sangat tidak aman. Jika sampai ketahuan oleh mereka, diriku bukan hanya akan dihukum berat, tapi nama baik Perguruan Huashan tentu ikut tercemar pula. Memang Guru telah menghukum Kakak Pertama dengan alasan tidak tahu adat, suka berbuat onar; namun aku yakin Beliau diam-diam merasa bangga. Bagaimanapun juga berkat Kakak Pertama, nama baik perguruan kita bertambah harum di dunia persilatan. Kakak tertua kita mampu mengalahkan dua murid terbaik Perguruan Qingcheng hanya dengan sekali tendang. Rasanya tidak pantas lagi mereka memakai julukan Empat Jagoan Qingcheng. Akan tetapi, apa yang kulakukan jelas sangat berbeda. Aku telah melanggar tata krama dunia persilatan yaitu mengintai perguruan lain sedang berlatih silat. Ini merupakan kejahatan yang lebih keji daripada mencuri harta benda. Jika pihak Qingcheng mengadukan perbuatanku kepada Guru, tentu aku akan dikeluarkan dari Perguruan Huashan kita.

Akan tetapi, menyaksikan betapa murid-murid Qingcheng itu berlatih dengan keras membuat aku semakin khawatir, jangan-jangan mereka benar-benar hendak menyerbu perguruan kita. Bagaimana mungkin aku bisa pergi begitu saja? Dalam hati aku berjanji cukup melihat dua atau tiga jurus saja. Namun jurus demi jurus terus saja berlalu dan aku tetap terpaku untuk mengintai. Aku melihat jurus pedang yang mereka mainkan memang agak aneh. Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan jurus pedang seperti itu. Sebenarnya aku tidak melihat suatu hal yang istimewa dari jurus-jurus tersebut, tapi anehnya, mengapa orang-orang Qingcheng sedemikian tekun mempelajarinya? Mungkinkah jurus seperti itu yang akan digunakan untuk menyerang Perguruan Huashan kita?

Setelah menyaksikan beberapa jurus lagi akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Perlahan-lahan kutinggalkan tempat tersebut. Aku sangat khawatir jangan-jangan sewaktu pertandingan selesai ternyata aku masih berada di sana. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Pendeta Yu pasti akan mudah menemukanku meski aku hanya sedikit bergerak. Maka itu, selagi kedua pasangan itu masih bertanding seru, aku pun melangkah pergi dengan mengendap-endap.

Dua malam berikutnya suara benturan pedang kembali terdengar, namun aku sama sekali tidak berani keluar untuk mengintai lagi. Andai saja sejak awal aku tahu kalau murid-murid Qingcheng itu berlatih di hadapan Pendeta Yu, mungkin aku tidak berani keluar sama sekali. Semua yang telah kulihat malam itu terjadi karena ketidaksengajaan. Maka, sewaktu Adik Keenam memuji keberanianku tadi, aku langsung marah-marah,” ujar Lao Denuo sambil menoleh ke arah Lu Dayou. “Andai saja waktu itu kau melihat wajahku yang pucat pasi seperti mayat, tentu kau akan menyebutku sebagai pengecut nomor satu di dunia.”

“Tidak mungkin, tidak mungkin!” sahut Lu Dayou. “Kakak Kedua, pengecut nomor satu di dunia bukan kau tapi aku. Andai saja waktu itu aku yang mengintip di jendela, tentu diriku akan lebih konyol lagi. Kau sendiri masih berani melangkah kembali ke kamar; tapi bagaimana denganku? Sehebat apapun kepandaian Pendeta Yu tidak mungkin bisa menyadari keberadaanku; karena jangankan bergerak, untuk bernapas saja mungkin aku tidak berani.”

Serentak tertawalah semua orang di meja itu mendengar perkataan Lu Dayou yang polos dan lugu.

Lao Denuo melanjutkan ceritanya, “Pada hari ketujuh barulah Pendeta Yu bersedia menerima diriku. Setelah membaca surat dari Guru, Beliau lantas berbicara dengan kata-kata sopan dan penuh hormat. Menurutnya, pertarungan antara murid-murid kedua perguruan anggap saja seperti perkelahian anak kecil; orang tua tidak perlu ikut-ikutan. Jangan sampai hubungan baik antara Perguruan Huashan dan Qingcheng rusak hanya karena masalah sepele. Malam itu aku dijamu dengan sangat baik bagaikan seorang tamu agung. Bahkan, esok paginya Pendeta Yu ikut mengantarkan diriku sampai ke pintu gerbang sewaktu aku pamit meninggalkan Kuil Cemara Angin. Meskipun usiaku tua namun kedudukanku lebih rendah, sehingga aku pun berlutut di hadapannya sebelum turun gunung. Namun Pendeta Yu segera menyanggah tubuhku dengan tangan kanan secara perlahan sehingga aku pun terangkat naik. Waktu itu aku merasakan betapa hebat tenaga dalam Pendeta Yu. Beliau mengangkatku tanpa terlihat mengeluarkan tenaga sedikit pun. Andai saja ia mau, tentu tubuhku sudah dilemparkannya sejauh puluhan meter. Kekuatanku sama sekali jauh di bawahnya.

Pendeta Yu kemudian bertanya kepadaku: ‘Kakak pertamamu masuk perguruan selisih berapa tahun denganmu? Kalau aku tidak salah, sebelum belajar di Huashan kau sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat, benar begitu?’

Saat itu aku masih tertegun menyadari kekuatan tenaga dalam Pendeta Yu. Setelah agak tenang dan napasku lebih teratur, baru aku menjawab: ‘Benar, saya pernah belajar sedikit ilmu silat sebelumnya. Ketika saya bergabung dengan Perguruan Huashan, waktu itu Kakak Pertama sudah lebih dulu berguru di sana selama tiga tahun.’

Pendeta Yu tersenyum dan berkata: ‘Lebih tiga tahun, hm, lebih tiga tahun.’”

Wan’er menyela, “Apa maksudnya dengan ‘lebih tiga tahun’?”

“Entahlah,” jawab Lao Denuo. “Mungkin Beliau merasa ilmu silatku biasa-biasa saja. Meskipun hanya selisih tiga tahun dengan Kakak Pertama, namun kepandaian kami sangat berbeda.”

Si gadis burik tertegun mendengarnya dan tidak bertanya lagi.

Terdengar Lao Denuo melanjutkan, “Begitu kembali ke Gunung Huashan, aku segera menyerahkan surat balasan dari Pendeta Yu kepada Guru. Isi surat tersebut sangat halus dan merendahkan diri. Guru terlihat senang membacanya, karena hubungan baik kedua perguruan tetap terjaga. Guru lantas menanyakan bagaimana pengalamanku di sana. Aku pun bercerita semuanya, termasuk saat menyaksikan murid-murid Qingcheng berlatih jurus pedang aneh. Merasa penasaran, Guru menyuruhku memperagakan jurus-jurus tersebut. Karena hanya mengintai sebentar, maka aku hanya bisa memperagakan tujuh atau delapan jurus saja. Namun demikian, Guru bisa langsung mengetahui kalau jurus tersebut adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei.”

Tubuh Lin Pingzhi langsung gemetar mendengarnya. Untungnya waktu itu orang-orang Huashan sedang sibuk mendengarkan cerita si kakak kedua sehingga tidak seorang pun yang peduli kepadanya.

Lao Denuo melanjutkan, “Aku pun bertanya kepada Guru: ‘Apakah Ilmu Pedang Penakluk Iblis sedemikian hebatnya sehingga Perguruan Qingcheng begitu tekun mempelajarinya?’

Guru memejamkan mata cukup lama, baru kemudian Beliau menjawab: ‘Denuo, sebelum bergabung dengan Huashan, bukankah kau pernah berkelana sekian lama di dunia persilatan? Bagaimana pendapatmu tentang Lin Zhennan, pemimpin Biro Ekspedisi Fuwei?’

Aku menjawab: ‘Menurut cerita yang pernah saya dengar, konon Lin Zhennan seorang yang sangat ramah dan suka menolong. Ia terkenal dermawan pula. Orang-orang suka berteman dengannya dan segan mengganggu barang kawalan perusahaannya. Namun mengenai ilmu silatnya kurang begitu jelas.’

Guru berkata: ‘Benar sekali. Di bawah kepemimpinan Lin Zhennan memang Biro Ekspedisi Fuwei berkembang sangat pesat. Semua itu bukan karena kehebatan ilmu silatnya, melainkan karena ia pandai menjalin persahabatan. Namun, apakah kau pernah mendengar bahwa Keluarga Lin sebenarnya memiliki ilmu rahasia? Konon guru Pendeta Yu yang bernama Pendeta Tang Qingzi pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan Ilmu Pedang Penakluk Iblis?’

Aku pun bertanya: ‘Siapa itu Lin Yuantu? Apakah dia ayah dari Lin Zhennan?’

Guru menjawab: ‘Bukan. Lin Yuantu adalah pendiri Biro Ekspedisi Fuwei yang juga kakek dari Lin Zhennan. Ia merupakan tokoh luar biasa pada zamannya. Tidak seorang pun tokoh golongan hitam yang bisa mengalahkannya. Tidak hanya itu, bahkan tokoh-tokoh golongan putih pun ada pula yang ingin mencoba kepandaiannya. Salah satunya adalah Pendeta Tang Qingzi, ketua Perguruan Qingcheng waktu itu. Dalam beberapa jurus, ia akhirnya roboh dan mengakui kehebatan Ilmu Pedang Penakluk Iblis.’

Aku bertanya: ‘Jadi, Ilmu Pedang Penakluk Iblis sedemikian hebatnya?’

Guru menjawab: ‘Begitulah, kedua pihak akhirnya sepakat untuk merahasiakan pertarungan tersebut. Hanya saja, Tang Qingzi adalah sahabat baik guruku, atau kakek gurumu. Hanya kepada Guru saja ia mau bercerita. Tang Qingzi menganggap kekalahannya ini sebagai aib yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Namun, ia sendiri juga menyadari tidak akan pernah bisa membalas kekalahan terhadap Lin Yuantu. Di hadapan kakek gurumu, Tang Qingzi mencoba memainkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis –berdasarkan ingatannya– untuk mencari celah kelemahan ilmu pedang tersebut. Beliau berdua sibuk berdiskusi namun sampai beberapa bulan tidak juga menemukan cara untuk mengatasi ilmu pedang tersebut. Padahal, ilmu pedang Lin Yuantu ini hanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus dan terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi, di balik kesederhanaannya itu tersimpan kekuatan yang luar biasa. Aku sendiri saat itu masih remaja dan baru bergabung dengan Perguruan Huashan. Aku bertugas melayani mereka dengan menghidangkan teh setiap hari sehingga sedikit banyak ikut menyaksikan bagaimana jurus-jurus pedang tersebut diperagakan oleh Tang Qingzi. Itulah sebabnya ketika kau tadi memainkan beberapa gerakan, aku langsung mengenalinya sebagai Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Hm, waktu telah lama berlalu, namun rasanya baru kemarin aku melihat jurus-jurus ini....’

Lin Pingzhi tertegun mendengar cerita Lao Denuo. Sejak ayah dan ibunya tertangkap oleh murid-murid Qingcheng, ia sempat putus asa dan kehilangan kepercayaan terhadap ilmu pedang keluarganya itu. Yang sangat ingin ia lakukan adalah mencari guru baru dan belajar ilmu silat lain dengan giat untuk membalas dendam. Namun, begitu mengetahui kehebatan Lin Yuantu yang pernah berjaya di dunia persilatan, seketika semangatnya bangkit kembali. Ternyata Ilmu Pedang Penakluk Iblis di tangan sang kakek buyut bisa sedemikian mengerikan; bahkan, ketua-ketua Perguruan Qingcheng dan Huashan terdahulu tidak bisa mengatasinya. Akan tetapi, mengapa ayahnya tidak mampu mengalahkan murid-murid Qingcheng yang masih hijau itu? “Mungkinkah Ayah belum berhasil menyelami rahasia kekuatan daninti sari Ilmu Pedang Penakluk Iblis?” demikian pikirnya.

Terdengar Lao Denuo melanjutkan cerita, “Aku pun bertanya kepada Guru, ‘Apakah Pendeta Tang Qingzi berhasil membalas dendam kepada Lin Yuantu?’

Guru menjawab, ‘Meskipun menyimpan sakit hati, namun Tang Qingzi tidak memiliki alasan untuk memusuhi Lin Yuantu. Kalah menang dalam suatu pertandingan adalah hal biasa. Apalagi Lin Yuantu berusia lebih tua dan lebih ternama, sedangkan Tang Qingzi hanya seorang pendeta Tao yang masih muda belia. Kemenangan seorang tua terhadap seorang muda adalah hal yang wajar. Kakek-gurumu juga menasihati agar Tang Qingzi melupakan kekalahan itu. Mereka sepakat untuk tidak membicarakannya lagi. Akan tetapi, Tang Qingzi ternyata meninggal pada usia tiga puluh enam tahun; dan mungkin kematiannya itu disebabkan karena sakit hati berkepanjangan yang tidak terbalaskan. Kini puluhan tahun telah berlalu. Entah mengapa tiba-tiba Yu Canghai mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis kepada semua muridnya? Menurutmu bagaimana, Denuo?’

Aku pun mengemukakan pendapatku, ‘Sepertinya Pendeta Yu sibuk melatih murid-muridnya belajar Ilmu Pedang Penakluk Iblis untuk membalaskan dendam gurunya yang mati muda. Mungkin mereka hendak menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei habis-habisan.’

Guru mengangguk dan berkata, ‘Bisa jadi seperti itu. Tang Qingzi seorang pendeta yang berpikiran sempit. Seumur hidup ia tidak bisa melupakan kekalahannya di tangan Lin Yuantu. Mungkin sebelum mati, ia sempat menanamkan benih kebencian di hati Yu Canghai supaya membalaskan dendamnya kepada Keluarga Lin. Namun saat itu Lin Yuantu sendiri sudah lebih dulu meninggal, sedangkan Biro Ekspedisi Fuwei telah diwariskan kepada putranya yang bernama Lin Zhongxiong. Entah apa alasannya, baru sekarang Yu Canghai mempersiapkan balas dendam, yaitu saat Biro Fuwei dipimpin Lin Zhennan putra Lin Zhongxiong. Yu Canghai memang seorang cerdik dan penuh perhitungan. Ia menyusun rencana dengan sangat matang sebelum melancarkan serangan. Sepertinya akan terjadi pertempuran besar antara Perguruan Qingcheng melawan Biro Ekspedisi Fuwei.’

Aku bertanya kepada Guru, ‘Menurut pendapat Guru, jika benar Perguruan Qingcheng bertempur melawan Biro Fuwei, kira-kira pihak mana yang lebih unggul?’

Guru menjawab, ‘Ilmu silat Yu Canghai lebih bagus daripada Tang Qingzi. Sebaliknya, ilmu silat Lin Zhennan meskipun tidak banyak yang mengetahui, kemungkinan besar tidak sehebat Lin Yuantu. Di samping itu, pihak Qingcheng telah mempersiapkan serangan dengan matang, sementara pihak Fuwei tidak mengetahui apa-apa. Dengan demikian tujuh puluh persen pihak Fuwei akan kalah telak. Andai saja Lin Zhennan sempat meminta bantuan kepada mertuanya yang bernama Wang Yuanba, alias Si Golok Emas di Kota Luoyang, mungkin keadaan menjadi seimbang.’

Guru kemudian bertanya kepadaku, ‘Denuo, apakah kau ingin melihat keramaian di Fuzhou?’

Aku menjawab, ‘Tentu saja ingin, Guru!’

Kemudian Guru pun mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Qingcheng kepadaku untuk berjaga-jaga.”

“Apa? Bagaimana Guru bisa menguasai ilmu pedang Qingcheng?” sahut Lu Dayou sambil melonjak. “Ah, aku tahu! Pendeta Tang Qingzi dan Kakek Guru bersahabat baik. Sudah pasti Guru pernah menyaksikan keduanya berlatih bersama untuk mengatasi Ilmu Pedang Penakluk Iblis.”

“Adik Keenam, tidak sepantasnya kita sebagai murid mengungkit-ungkit dari mana asal-usul kepandaian Guru,” kata Lao Denuo. Ia kembali bercerita, “Waktu itu Guru mengirimku ke Fuzhou secara diam-diam dengan tugas mengintai perkembangan di antara kedua pihak. Namun Adik Kecil sungguh cerdik. Entah bagaimana dia bisa mengetahui tugas yang diberikan Guru kepadaku. Dia pun merengek minta diizinkan ikut denganku dan Guru akhirnya mengabulkan. Kami lantas menyamar sebagai kakek dan cucu yang berjualan arak di pinggir Kota Fuzhou. Setiap hari kami pergi menyusup untuk menyelidiki keadaan kantor pusat Biro Fuwei. Di sana kami tidak melihat suatu hal yang istimewa, kecuali Lin Zhennan sedang sibuk melatih putranya yang bernama Lin Pingzhi. Begitu melihat mereka, Adik Kecil menggeleng-geleng dan berbisik kepadaku, ‘Apa ini yang dinamakan Ilmu Pedang Penakluk Iblis? Jika iblis benar-benar datang mengganggu, mungkin Tuan Muda Lin itulah yang justru ditaklukkan....’

Murid-murid Huashan seketika bergelak tawa, sementara Lin Pingzhi yang sedang mereka bicarakan itu tertunduk malu dengan wajah bersemu merah. Dalam hati pemuda itu berkata, “Jadi, mereka berdua pernah menyusup dan mengintai ke dalam rumahku tapi kami sekeluarga tidak mengetahuinya... Sungguh tidak berguna.”

Lao Denuo kembali bercerita, “Ternyata dugaan Guru benar. Beberapa hari kemudian datang murid-murid Qingcheng memasuki Kota Fuzhou. Mula-mula yang datang adalah Fang Renzhi dan Yu Renhao. Setiap hari mereka mondar-mandir di sekitar gedung kantor pusat Biro Fuwei. Adik Kecil dan aku memutuskan untuk tidak mengintai lagi karena khawatir ketahuan oleh mereka.

Sungguh sangat kebetulan, pada hari berikutnya Tuan Muda Lin berkunjung ke kedai arak kami. Adik Kecil segera melayani pesanannya. Tadinya aku mengira penyamaran kami telah terbongkar. Setelah kuajak bicara ternyata dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Anak muda itu merasa hidupnya aman-aman saja, seolah tidak ada bahaya yang datang mengancam. Kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi? Secara kebetulan datang pula dua manusia paling biadab dari Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Yu Renyan dan Jia Renda....”

“Kakak Kedua,” sahut Lu Dayou memotong pembicaraan. “Kedai arak yang kau buka bersama Adik Kecil sungguh laris. Mungkin kau bisa menjadi hartawan kaya raya jika tetap tinggal di Fujian.”

“Tentu saja,” jawab Wan’er. “Kakak Kedua sekarang sudah kaya raya. Berkat keberuntungannya itu, aku bisa membeli beberapa gelandangan macam kalian.” Ucapan si gadis burik itu mendapat tanggapan gelak tawa saudara-saudaranya.

Sambil tertawa Lao Denuo melanjutkan cerita, “Meskipun ilmu silat Tuan Muda Lin sangat payah, bahkan tidak pantas menjadi murid Adik Kecil kita, namun ia ternyata memiliki jiwa kesatria. Ketika Yu Renyan berusaha mengganggu Adik Kecil, pemuda itu langsung tampil untuk membela....”

Mendengar itu darah Lin Pingzhi bergolak. Dalam hati ia semakin gusar, “Ternyata apa yang kudengar di cabang Changsa benar; sejak awal Perguruan Qingcheng memang sudah berusaha untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Latar belakang semua ini adalah dendam Yu Canghai atas kekalahan gurunya. Aku yakin, yang dikirim ke Fuzhou bukan hanya empat orang, tapi lebih banyak lagi. Andai saja aku tidak membunuh Yu Renyan, tetap saja Biro Fuwei mereka hancurkan.”

Karena berpikir demikian ia tidak mendengar dengan jelas bagaimana Lao Denuo menceritakan kisah kematian Yu Renyan. Yang jelas, murid-murid Huashan lainnya bergelak tawa merasa geli. Lin Pingzhi berpikir mereka pasti menertawakan keadaannya yang konyol saat ditekan Yu Renyan dan berbalik membunuh putra bungsu Yu Canghai itu.

“Malam itu aku dan Adik Kecil melihat Pendeta Yu tiba di Kota Fuzhou bersama Hou Renying, Hong Renxiong, dan beberapa murid Qingcheng lainnya. Karena takut ketahuan, kami pun menjaga jarak dengan mengintai dari tempat yang agak jauh. Selanjutnya kami menyaksikan bagaimana para pegawai Biro Fuwei dibantai satu per satu dan mayat-mayat mereka dikirim ke hadapan Lin Zhennan,” lanjut Lao Denuo. “Perbuatan Pendeta Yu dan murid-muridnya sungguh kejam. Tadinya aku berpikir alasan pembantaian itu adalah untuk membalas kekalahan Pendeta Tang Qingzi. Namun jika benar demikian, mengapa mereka tidak langsung menantang Lin Zhennan saja? Lalu kupikir alasan mereka adalah untuk membalas kematian Yu Renyan. Akan tetapi, mengapa mereka hanya membunuh para pegawai dan membiarkan Lin Pingzhi dan ayah-ibunya tetap hidup? Mereka justru membiarkan Keluarga Lin pergi meninggalkan Kota Fuzhou. Sepeninggal mereka, orang-orang Qingcheng memasuki gedung kantor Biro Fuwei yang telah kosong itu. Kami melihat Pendeta Yu duduk di kursi majikan dengan tersenyum bangga.”

“Aku tahu sekarang. Alasan Pendeta Yu sebenarnya bukan untuk balas dendam, tetapi ia ingin merebut bisnis Biro Ekspedisi Fuwei. Rupanya dia ingin menjadi pengusaha,” ujar Lu Dayou menyela, disusul gelak tawa saudara-saudaranya.

Lao Denuo melanjutkan, “Orang-orang Qingcheng mengetahui Keluarga Lin meninggalkan Kota Fuzhou dengan menyamar. Fang Renzhi, Yu Renhao, dan Jia Renda pun dikirim untuk mengejar mereka. Adik Kecil mengajakku mengikuti dari belakang. Kami melihat mereka berhasil menangkap Lin Zhennan dan anak-istrinya di sebuah kedai nasi kecil, di sisi selatan Provinsi Fujian.

Waktu itu Adik Kecil berkata, ‘Demi diriku, Tuan Muda Lin itu nekad membunuh Yu Renyan. Kini melihatnya dalam kesulitan, tentu saja aku tidak bisa tinggal diam berpangku tangan.’

Sekuat tenaga aku berusaha menasihati Adik Kecil, bahwa tugas kami hanya mengintai pertikaian antara Perguruan Qingcheng dan Biro Fuwei saja. Sama sekali kami berdua tidak boleh ikut campur, agar tidak merusak hubungan baik antara Perguruan Qingcheng dan Huashan. Apalagi dengan keberadaan Pendeta Yu di Fuzhou, ini bisa menjadi masalah besar.”

Lu Dayou menukas, “Kakak Kedua sudah tua, wajar kalau sangat berhati-hati. Sebaliknya, Adik Kecil masih muda belia dan penuh gejolak. Pasti Adik Kecil tidak mau mendengarkan nasihat Kakak Kedua.”

“Benar sekali,” jawab Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil sangat kecewa kepadaku. Seorang diri ia masuk ke pintu belakang kedai dan memukul Jia Renda yang waktu itu berada di dapur. Begitu Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas menolong, secepat kilat Adik Kecil berputar ke depan dan membawa Tuan Muda Lin kabur.”

“Luar biasa! Hebat sekali!” sahut Lu Dayou bertepuk tangan. “Aku tahu Adik Kecil bukan sekadar membalas budi kepada pemuda Lin itu saja, tapi sepertinya juga menyimpan maksud lain. Bagus sekali! Bagus sekali!”

“Maksud lain bagaimana? Awas kalau kau berani omong kosong lagi!” sahut Wan’er dengan mata melotot.

“Begini, sejak aku dihukum Guru, diam-diam Adik Kecil menyimpan dendam kepada orang-orang Qingcheng. Maka itu, ia pun memukul si marga Jia sekaligus untuk membalaskan sakit hatiku. Dalam hal ini aku berterima kasih kepadamu, Adik Kecil,” ujar Lu Dayou sambil berdiri dan memberi hormat.

“Sama-sama, Kakak Monyet Keenam,” jawab Wan’er sambil tersenyum dan membalas hormat pula.

“Adik Kecil memukul murid Qingcheng itu memang untuk membalaskan sakit hati saudara kita yang dihukum Guru,” kata si pembawa sempoa. “Tapi sepertinya orang itu bukan dirimu, Monyet Keenam. Memangnya kau saja yang telah dihukum Guru?”

“Kali ini Adik Keenam benar,” ujar Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil memukul Jia Renda benar-benar untuk membalaskan sakit hatinya. Nanti jika Guru bertanya, tentu Adik Kecil akan menjawab demikian.”

“Ini... ini... bukan maksudku seperti itu,” sahut Lu Dayou ketakutan sambil menggoyang-goyangkan tangannya. “Jangan bawa-bawa diriku ke dalam masalah ini. Aku tidak mau dihukum Guru lagi.”

Murid-murid Huashan lainnya kembali bergelak tawa. Si jangkung lantas bertanya, “Apakah Fang Renzhi dan Yu Renhao tidak mengejarmu, Adik Kecil?”

“Tentu saja mereka mengejar,” jawab Wan’er. “Untungnya Kakak Kedua segera turun tangan dan memainkan beberapa jurus ilmu pedang Qingcheng yang telah dipelajarinya. Dengan melancarkan jurus Angsa Terbang di Angkasa, ia dapat melemparkan pedang si marga Fang dan Yu itu ke udara. Sayang sekali Kakak Kedua memakai cadar sehingga kedua murid Qingcheng tersebut tidak menyadari kalau mereka telah dikalahkan oleh seorang murid Perguruan Huashan.”

“Justru itu lebih baik,” sahut Lao Denuo. “Kalau aku tidak menyamar, tentu mereka akan mengenaliku dan ini bisa menjadi masalah besar bagi perguruan kita. Aku sendiri juga belum tentu menang jika harus bertarung melawan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Hanya saja, aku menggunakan jurus pedang perguruan mereka secara tiba-tiba, sehingga kedua orang itu terkejut dan kehilangan senjata. Dengan cara itulah aku bisa menang dan segera mengajak Adik Kecil pergi.”

Masing-masing murid Huashan itu lantas berpikir, “Tidak peduli bagaimana Kakak Kedua bisa menang, yang jelas Kakak Pertama pasti sangat senang mendengar berita ini.”

Sementara itu, hujan di luar tidak kunjung reda justru semakin bertambah deras. Butiran air yang jatuh menimpa atap dan permukaan jalan bagaikan biji kacang berhamburan dari langit. Samar-samar terlihat seorang penjual pangsit keliling sedang memikul dagangannya melewati jalanan kota. Orang tua itu lantas menepi dan berteduh di teras rumah minum tersebut. Tangannya kemudian memukul-mukulkan dua batang bambu kecil untuk mengundang pembeli. Uap hangat berbau sedap tampak mengepul keluar dari dalam bejana yang ia bawa.

Kebetulan murid-murid Huashan itu sedang lapar semua; sementara rumah minum tempat mereka berteduh hanya menjual teh dan kuaci saja. Tanpa diperintah, Lu Dayou pun berseru, “Pak Tua, buatkan kami sembilan mangkuk pangsit! Tambahkan telur pada setiap mangkuk!”

“Baik, Tuan!” jawab si penjual pangsit. Segera orang tua itu memasukkan bahan pangsit ke dalam bejana. Tidak lama kemudian ia sudah masuk ke dalam kedai dengan membawa nampan berisi lima mangkuk pangsit hangat. Lu Dayou menyambut mangkuk-mangkuk itu dan menyerahkannya secara berurutan kepada Lao Denuo si kakak kedua, Liang Fa si kakak ketiga, Shi Daizi si kakak keempat, dan Gao Genming si kakak kelima. Seharusnya mangkuk kelima menjadi jatahnya, namun ia justru menyerahkannya kepada Wan’er sambil berkata, “Kau duluan, Adik Kecil.”

Sejak tadi Wan’er meledek dan memanggilnya “Monyet Keenam”, namun begitu menerima mangkuk tersebut ia lantas berdiri dan berkata dengan penuh hormat, “Terima kasih, Kakak Keenam!”

Lin Pingzhi melirik dan mengamati murid-murid Huashan itu dengan seksama. Tampak si gadis burik tidak memakan pangsitnya sampai si penjual masuk kembali mengantarkan empat mangkuk lainnya. Dalam hati pemuda itu memuji, “Murid-murid Huashan ini sungguh menjunjung tinggi tata krama. Mereka bisa membedakan kapan waktunya bercanda, kapan waktunya serius.”

“Kakak Kedua,” sahut si jangkung Liang Fa sambil melahap pangsitnya. “Kau tadi berkata bahwa Pendeta Yu menduduki gedung kantor pusat Biro Fuwei sepeninggal Lin Zhennan dan anak-istrinya. Lantas, apa yang terjadi setelah itu?”

Lao Denuo menjawab, “Setelah berhasil meloloskan Lin Pingzhi entah ke mana, Adik Kecil bermaksud membebaskan Lin Zhennan dan istrinya pula. Namun, aku lantas mencegah dengan mengatakan bahwa hutang budi antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi sudah terbayar lunas. Sementara itu, perselisihan antara Perguruan Qingcheng dan Biro Ekspedisi Fuwei sebenarnya merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya; maka, tidak sepantasnya kalau kami ikut campur terlalu jauh. Adik Kecil akhirnya setuju. Kami berdua lantas kembali ke Fuzhou untuk menyelidiki gedung kantor pusat Biro Fuwei.

Di tempat itu aku merasa ada yang aneh. Sepertinya orang-orang Qingcheng yang sudah menduduki gedung itu tampak sibuk dan terburu-buru; padahal Lin Zhennan sekeluarga sudah pergi. Aku dan Adik Kecil menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat. Akan tetapi, penjagaan yang dilakukan mereka juga sangat ketat. Baru setelah petang tiba, kami berhasil menyusup melalui kebun sayur di pekarangan belakang. Kami menyelinap ketika mereka sedang lengah, yaitu saat terjadi pergantian tugas jaga. Begitu sampai di dalam kami tertegun menyaksikan seisi gedung diobrak-abrik oleh Yu Canghai dan murid-muridnya. Ada yang membuka peti, ada yang membongkar lemari, ada yang membobol dinding, ada pula yang membuka lantai ubin. Namun anehnya, mereka sama sekali tidak mengambil harta benda dan barang-barang mewah yang ditinggalkan Lin Zhennan. Oleh karena itu, aku berpikir pasti ada barang lain yang lebih berharga sedang dicari oleh orang-orang Qingcheng tersebut.”

Liang Fa dan yang lain menyahut bersamaan, “Apakah mungkin mereka mencari kitab rahasia Ilmu Pedang Penakluk Iblis?”

“Benar sekali!” jawab Lao Denuo. “Adik Kecil dan aku juga berpikir demikian. Rupanya mereka sengaja menciptakan kesan bahwa gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei adalah rumah maut. Setelah gedung itu kosong, mereka bisa mengobrak-abriknya dengan sesuka hati. Namun melihat mereka masih sedemikian sibuknya, aku menduga kitab itu belum berhasil ditemukan.”

“Apakah pada akhirnya mereka berhasil menemukan kitab itu?” tanya Lu Dayou.

“Sebenarnya aku dan Adik Kecil ingin mengintai sampai tuntas untuk melihat bagaimana hasilnya,” jawab Lao Denuo. “Akan tetapi mereka terus saja mencari sampai ke segala arah; bahkan, kakus juga mereka bongkar. Khawatir jangan-jangan mereka juga mencari di luar gedung, kami pun memutuskan untuk pergi.”

Gao Genming si pembawa sempoa bertanya, “Kakak Kedua, kali ini Pendeta Yu ikut turun gunung dan memimpin langsung penaklukan Biro Fuwei. Menurutmu, apakah hal ini tidak berlebihan?”

“Tidak juga, Adik Kelima,” jawab Lao Denuo. “Guru Pendeta Yu pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mengenai ilmu silat Lin Zhennan apakah sehebat kakeknya atau tidak, tak seorang pun yang mengetahuinya. Dalam hal ini Pendeta Yu tidak berani gegabah dengan hanya mengirimkan dua atau tiga muridnya saja untuk membalas dendam. Ia bahkan turun gunung untuk memimpin murid-muridnya secara langsung, serta membekali mereka dengan beberapa jurus ilmu pedang pihak lawan. Maka menurutku, Pendeta Yu ikut menyerang Fuzhou bukanlah suatu hal yang berlebihan. Balas dendam baginya hanyalah tujuan yang kedua, karena yang utama adalah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis.”

Shi Daizhi menanggapi, “Kakak Kedua, bukankah kau melihat sendiri murid-murid Qingcheng itu telah berlatih Ilmu Pedang Penakluk Iblis di Kuil Cemara Angin? Bukankah mereka telah menguasai ilmu pedang tersebut? Jadi, untuk apa Pendeta Yu repot-repot mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis segala? Apakah tidak mungkin mereka mencari benda lain?”

“Tidak juga, Adik Keempat,” jawab Lao Denuo sambil menggeleng. “Orang seperti Pendeta Yu hanya tertarik pada ilmu silat mahasakti saja. Memangnya apalagi yang membuatnya sudi membuang-buang banyak waktu? Setelah itu, Adik Kecil dan aku melihatnya sekali lagi di Yushan, ibu kota Provinsi Jiangxi. Di sana aku melihat Pendeta Yu sangat gelisah sewaktu menerima laporan dari murid-muridnya yang datang dengan tangan hampa setelah disebar ke segala wilayah untuk mengobrak-abrik semua kantor cabang Biro Fuwei.”

Shi Daizhi terlihat belum paham. Ia menggaruk-garuk kepala sambil berkata, “Maksudku begini, kau sendiri melihat Pendeta Yu melatih murid-muridnya mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis di Gunung Qingcheng. Nah, itu berarti ia sudah menguasai ilmu tersebut. Lalu, kenapa ia masih repot-repot mencari kitabnya segala? Bukankah ini aneh?”

Lao Denuo menjawab, “Adik Keempat, coba pikir seperti ini; puluhan tahun yang lalu, Lin Yuantu pernah mengalahkan Tang Qingzi, guru Pendeta Yu. Itu artinya Ilmu Pedang Penakluk Iblis memang ilmu silat yang luar biasa. Tentu saja apa yang diajarkan Pendeta Yu kepada murid-muridnya hanyalah bersumber dari ingatan Tang Qingzi belaka. Sementara itu, Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang asli tetap berada di tangan Keluarga Lin. Akan tetapi, di tangan Lin Zhennan ilmu tersebut sama sekali tidak terdengar kehebatannya. Bukankah ada yang tidak beres dengan hal ini?”

“Tidak beres bagaimana?” tanya Shi Daizhi masih juga belum paham.

“Begini,” jawab Lao Denuo, “sepertinya ada suatu rahasia tersembunyi di dalam Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mungkin Pendeta Yu sangat penasaran karena ilmu pedang ini terlihat biasa-biasa saja tapi mengapa bisa menjatuhkan gurunya? Tampaknya Lin Zhennan juga tidak mengetahui rahasia kekuatan ilmu pedang leluhurnya tersebut.”

Shi Daizhi masih terlihat bingung. Sejenak ia termangu-mangu sampai akhirnya kembali berkata, “Tapi ilmu pedang biasanya diajarkan secara lisan. Padahal, Lin Yuantu sudah lama meninggal; itu berarti Pendeta Yu harus membongkar kuburannya dan bertanya kepada jasadnya. Akan tetapi, ini jelas tidak mungkin, bukan?”

Lao Denuo menjawab dengan sabar, “Memang ilmu silat dalam perguruan kita diajarkan oleh Guru secara lisan. Namun, belum tentu hal ini juga berlaku di perguruan lainnya.”

“Kakak Kedua, aku masih belum paham mengapa Pendeta Yu menginginkan kitab tersebut,” sahut Shi Daizhi. “Pendeta Yu ingin membalas sakit hati gurunya dengan cara mengalahkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Maka itu, cukup masuk akal kalau dia berusaha memecahkan rahasia ilmu pedang tersebut. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dia berhasil menangkap Lin Zhennan dan menghancurkan Biro Fuwei beserta seluruh cabangnya. Baru setelah itu, ia mencari kitab rahasia ilmu pedang itu ke mana-mana. Nah, kalau kitab itu sudah ditemukan, lantas kepada siapa lagi ia harus membalas dendam? Bukankah Lin Zhennan sudah mereka tangkap? Bukankah Biro Fuwei sudah mereka hancurkan?”

“Adik Keempat, coba pikirkan ini,” ujar Lao Denuo. “Menurutmu mana yang lebih hebat, ilmu pedang pedang Perguruan Qingcheng ataukah Serikat Pedang Lima Gunung?”

“Aku tidak begitu tahu,” jawab Shi Daizhi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya ilmu pedang kita lebih hebat daripada Perguruan Qingcheng.”

“Dugaanmu benar,” kata Lao Denuo. “Tapi Pendeta Yu seorang yang sombong dan angkuh. Tidak mungkin ia sudi menerima kekalahan terus-menerus. Tidak selamanya ia mau berdiri di bawah kaki orang lain di dunia persilatan. Nah, kalau Yu Canghai berhasil menemukan kitab yang berisi rahasia Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan menggabungkannya dengan ilmu pedang Qingcheng, bagaimana menurutmu?”

Shi Daizhi kembali termenung untuk sekian lama. Tiba-tiba ia bangkit dan berseru sambil menggebrak meja, “Aha, aku baru paham sekarang! Rupanya Yu Canghai ingin menjadi raja dari segala macam ilmu pedang! Ia ingin menjadi ahli pedang nomor satu di dunia persilatan!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju rumah minum tersebut. Orang-orang Huashan menoleh ke arah datangnya suara dan melihat serombongan perempuan sedang melangkah cepat. Melihat gerak kaki mereka jelas para perempuan ini juga berasal dari kalangan persilatan. Masing-masing mengenakan mantel hujan yang terbuat dari kain minyak. Setelah agak dekat, barulah terlihat jelas kalau mereka ini rombongan kaum biksuni.

Begitu sampai di teras, seorang biksuni tua bertubuh jangkung yang memimpin rombongan tersebut langsung berteriak, “Linghu Chong, keluar kau!”

Ternyata Lao Denuo dan adik-adik seperguruannya mengenali biksuni tua tersebut bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih. Ia merupakan adik seperguruan Biksuni Dingxian, ketua Perguruan Henshan. Kaum persilatan sangat menghormati nama besar Biksuni Dingyi ini yang terkenal berhati keras dan berilmu tinggi. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, para murid Huashan pun menghormatinya sebagai tokoh sepuh yang sederajat dengan guru mereka.

Lao Denuo segera berdiri diikuti adik-adiknya, kemudian berseru, “Salam hormat dari kami, Bibi Biksuni Dingyi!”

Biksuni Dingyi tidak menjawab, melainkan memandangi murid-murid Huashan itu satu per satu. Dengan nada kasar melebihi kaum laki-laki, ia berteriak, “Di mana Linghu Chong bersembunyi? Lekas, suruh dia keluar!”

“Bibi Biksuni, kakak pertama kami tidak berada di sini,” jawab Lao Denuo dengan penuh hormat. “Kami semua sedang menunggunya, tapi Kakak Pertama belum juga datang. Mungkin dia masih dalam perjalanan.”

Lin Pingzhi yang masih duduk terpaku di tempatnya diam-diam berpikir, “Jadi kakak pertama murid-murid Huashan ini bernama Linghu Chong. Sepertinya dia memang tukang membuat masalah. Entah apa yang telah dilakukannya sehingga membuat biksuni tua ini sangat marah?”

Biksuni Dingyi kemudian menyusuri segenap penjuru rumah minum untuk mencari di mana Linghu Chong berada, namun sama sekali ia tidak menemukan murid pertama Perguruan Huashan tersebut. Pandangannya lantas tertuju ke arah si gadis burik. Ia pun bertanya dengan tatapan heran, “Hei, apakah kau ini Lingshan? Kenapa kau berdandan dengan wajah aneh seperti ini? Mau menakut-nakuti orang, hah?”

“Ada beberapa orang jahat hendak mencelakai saya, Bibi Biksuni. Maka itu, saya pun menyamar seperti ini,” jawab Wan’er sambil tersenyum. Ternyata nama asli gadis burik ini adalah Lingshan.

Dingyi mendengus dan menjawab, “Huh, tata tertib Perguruan Huashan kalian sungguh payah! Semakin lama semakin tidak terkendali. Ayahmu terlalu lunak terhadap murid-muridnya, sehingga kakak pertamamu bebas main gila di mana-mana. Setelah urusanku di kota ini selesai, aku akan langsung pergi ke Gunung Huashan untuk berbicara dengan ayahmu.”

Dengan sangat khawatir Lingshan memohon, “Bibi Biksuni, tolong jangan lakukan itu. Kakak Pertama baru saja dihukum Ayah dengan tiga puluh pukulan sehingga berjalan saja susah. Jika Bibi Biksuni mengadu kepada Ayah, tentu dia akan dihukum lebih berat lagi. Jangan-jangan Kakak Pertama mati karenanya.”

Mendengar itu, Lin Pingzhi kembali berpikir, “Oh, ternyata gadis burik ini adalah anak perempuan ketua Perguruan Huashan.”

Dingyi kembali berkata dengan galak, “Binatang liar seperti Linghu Chong memang lebih baik mampus. Kakak pertamamu adalah penjahat, sedangkan dirimu adalah pendusta. Kau berani berbohong di depan mataku; dengan mengatakan kalau Linghu Chong tidak bisa berjalan. Jika memang benar demikian, kenapa dia bisa membawa lari muridku yang masih belia?”

Ucapan Dingyi membuat murid-murid Huashan terperanjat, terutama Lingshan. Gadis itu bahkan hampir menangis saat ia berkata, “Tidak mungkin! Tidak mungkin seperti itu! Bagaimanapun nakalnya Kakak Pertama, tidak mungkin dia berani membawa lari saudari dari Henshan. Mungkin saja... mungkin saja ada pihak lain yang mencoba mengadu domba kedua perguruan kita, Bibi Biksuni.”

“Kau masih juga menyangkal dan membelanya?” sahut Dingyi galak. Ia kemudian berkata kepada salah satu muridnya, “Yiguang, coba ceritakan berita apa yang kau dapatkan dari Perguruan Taishan!”

Seorang biksuni setengah tua yang bernama Yiguang itu pun maju dan menjawab, “Saudara-saudara dari Taishan bercerita bahwa Paman Pendeta Tiansong melihat Saudara Linghu bersama Adik Yilin duduk bersama di sebuah rumah arak di Kota Hengyang. Rumah arak tersebut bernama Rumah Minum Pemabuk Dewa. Sepertinya Adik Yilin telah ditangkap dan dipaksa minum arak bersama-sama. Konon Adik Yilin sangat ketakutan. Tidak hanya itu, di samping mereka juga ada seorang lagi... yaitu seorang penjahat cabul bernama... bernama Tian Boguang.”

“Tian Boguang?” seru murid-murid Huashan bersama-sama begitu mendengar nama ini disebut.

Dingyi sudah mendengar cerita ini sebelumnya, dan kini ia semakin marah setelah mendengarnya lagi. Sekali tangannya memukul di atas meja, seketika mangkuk-mangkuk pangsit pun terlempar dan berjatuhan di lantai.

Murid-murid Huashan tampak malu dan bingung. Lingshan tak kuasa menahan sedih, air matanya pun berlinang membasahi pipi. “Mereka pasti berbohong, atau... atau... Paman Tiansong salah mengenali orang,” ujarnya dengan nada gemetar.

“Kita semua mengenal siapa Pendeta Tiansong. Mana mungkin dia salah mengenali orang?” sahut Dingyi gusar. “Binatang bernama Linghu Chong telah terjerumus ke dalam lumpur hina karena bergaul dengan penjahat busuk bernama Tian Boguang. Meskipun guru kalian tidak peduli dengan hal ini atau mungkin membelanya, tetap saja aku akan memenggal kepala kakak pertama kalian itu jika nanti bertemu. Si bajingan Tian Boguang yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu seorang manusia cabul yang meresahkan banyak orang. Aku, biksuni tua tidak takut kepadanya! Begitu mendengar Tian Boguang dan Linghu Chong menculik muridku, aku segera mencarinya. Tapi... tapi sampai sekarang aku masih juga belum menemukan mereka.” Begitu sedih dan gusar hatinya sehingga suara biksuni tua ini terdengar serak. Ia lantas berkata gemas sambil menghentakkan kaki, “Yilin, Yilin, kasihan anak itu!”

Murid-murid Huashan terdiam dengan jantung berdebar kencang. Dalam hati mereka ikut gemas dengan perbuatan sang kakak pertama. Linghu Chong menculik Yilin, dan membawa biksuni muda itu minum arak bersama, jelas-jelas perbuatan memalukan. Lebih-lebih, ia juga bergaul dengan penjahat cabul bernama Tian Boguang yang sangat terkenal.

Setelah terdiam agak lama, Lao Denuo lantas berkata, “Bibi Biksuni, mungkin pertemuan Kakak Linghu dengan Tian Boguang hanya kebetulan belaka. Selama beberapa hari ini dia memang sedang banyak-banyaknya minum. Mungkin pengaruh arak membuatnya linglung sehingga sukar mengenali orang....”

“Arak adalah minuman keji yang merenggut kesadaran manusia,” sahut Dingyi menukas. “Sebagai manusia dewasa, kenapa dia tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk?

“Bibi Biksuni benar,” lanjut Lao Denuo tanpa berani membantah. “Entah di mana Kakak Pertama berada saat ini? Biarlah kami yang pergi untuk mencari dan menegur perbuatannya yang tidak pantas itu. Biarlah kami yang lebih dulu meminta maaf kepada Bibi Biksuni atas kenakalan Kakak Pertama. Selanjutnya, kami akan mengadukan ini semua kepada Guru, biar Kakak Pertama mendapat hukuman berat.”

“Huh, aku tidak peduli dengan kakak pertamamu!” seru Dingyi galak. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat meraih lengan Lingshan. Gadis berwajah burik itu merasa lengannya seperti dijepit batangan besi.

“Ah... Bibi Biksuni!” sahutnya kesakitan dengan suara gemetar.

Dingyi tidak peduli dan berkata kasar, “Pihak kalian telah menculik muridku; maka sebagai gantinya, aku menculik murid perempuan perguruan kalian. Nanti jika Yilin sudah kembali padaku, maka Lingshan akan kubebaskan.” Tanpa ampun, biksuni tua itu pun menyeret si gadis burik berjalan keluar rumah minum.

Lao Denuo dan Liang Fa segera melompat untuk menghadang Biksuni Dingyi. Lao Denuo buru-buru memberi hormat sambil berkata, “Bibi Biksuni pantas jika marah kepada Kakak Pertama. Akan tetapi, semua perbuatan Kakak Pertama tidak ada sangkut pautnya dengan adik kecil kami. Mohon Bibi Biksuni menaruh belas kasihan.”

“Baiklah, ini yang kalian minta!” jawab Dingyi sambil melayangkan pukulan menggunakan tangan kanannya ke arah kedua murid Huashan tersebut. Seketika Lao Denuo dan Liang Fa merasakan hembusan tenaga dalam yang teramat besar, membuat tubuh mereka terlempar ke belakang. Lao Denuo terdorong sampai menabrak pecah daun pintu rumah minum; sementara Liang Fa terlempar ke arah bejana pangsit yang berisi air mendidih. Dapat dibayangkan, sebentar lagi pria bertubuh jangkung itu akan menabrak bejana tersebut, dan kulitnya pasti akan melepuh tersiram air kuah yang sangat panas.

Tiba-tiba Liang Fa merasa punggungnya ditangkap oleh suatu kekuatan sehingga ia pun bisa berdiri di tanah dengan selamat. Rupanya sang penolong ini tidak lain adalah kakek tua penjual pangsit itu sendiri.

Biksuni Dingyi terkejut dan menoleh ke arah penjual pangsit dengan pandangan tajam. “Oh, ternyata kau orangnya!” ujarnya setengah tak percaya.

“Benar, memang akulah orangnya,” jawab si penjual pangsit sambil tersenyum. “Kau ini memang seorang biksuni yang mudah marah.”

“Bukan urusanmu!” sahut Dingyi ketus.

Pada saat itulah datang dua orang laki-laki memakai mantel hujan dan memegang payung kertas di tangan kanan, serta lampu kerudung di tangan kiri. Salah satu dari mereka berseru, “Apakah kami sedang berhadapan dengan Biksuni Dingyi yang mulia dari Perguruan Henshan?”

“Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya,” sahut Dingyi menanggapi. “Aku memang Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan. Lantas, siapa Saudara berdua ini?”

Kedua laki-laki berpayung itu perlahan mendekati Dingyi yang masih mencengkeram lengan Lingshan. Lampu kerudung yang mereka bawa tampak bertuliskan tinta merah, berbunyi “Kediaman Liu”. Salah seorang lantas berkata, “Kami berdua diperintah oleh Guru untuk menyambut kedatangan Bibi Biksuni dan kakak-adik dari Perguruan Henshan supaya beristirahat sekadarnya di tempat kami yang sederhana. Andai saja kami mendengar berita kedatangan Bibi Biksuni dan rombongan sejak awal, tentu kami segera mengadakan penyambutan yang lebih pantas di gerbang Kota Hengshan. Untuk ini, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.”

“Ah, jangan terlalu banyak adat,” jawab Dingyi dengan suara sedikit lembut dibanding tadi. “Jadi, kalian ini murid-murid Adik Liu?”

“Benar sekali,” jawab laki-laki itu. “Saya bernama Xiang Danian, dan ini adalah adik seperguruan saya, bernama Mi Weiyi. Terimalah sembah hormat kami, Bibi Biksuni!”

Biksuni Dingyi yang senang dipuji merasa puas melihat perlakuan sopan kedua murid Hengshan tersebut. “Baiklah, kami memang hendak mengunjungi kediaman Adik Liu.”

Xiang Danian kemudian menoleh ke arah murid-murid Huashan dan bertanya, “Kalau Saudara ini dari perguruan mana?”

Liang Fa menjawab, “Kami dari Perguruan Huashan. Saya bernama Liang Fa.”

“Oh, rupanya kakak ketiga dari Huashan,” sahut Xiang Danian gembira. “Kami juga mendapat perintah dari guru untuk menyambut kedatangan Kakak-Kakak sekalian. Selain itu, Guru juga menyuruh kami menyambut semua tamu dari berbagai golongan. Hanya saja, tenaga kami sangat terbatas sehingga banyak kekurangan di sana-sini. Untuk itu, mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan di hati terhadap penyambutan kami. Sudilah kiranya Saudara sekalian mampir ke tempat kami yang sederhana.”

Lao Denuo yang sudah bangkit dari jatuh ikut menjawab, “Sebenarnya kami sedang menunggu kedatangan kakak pertama kami di sini. Nanti bila sudah lengkap, kami akan menuju ke rumah Paman Liu bersama-sama.”

“Ah, yang ini pasti Kakak Kedua Lao,” ujar Xiang Danian menoleh ke arah murid Huashan yang berambut putih itu. “Guru sering memuji kehebatan dan kegagahan murid-murid Huashan, terutama Kakak Linghu yang sangat berbakat dan berkepandaian tinggi. Mengapa Saudara-Saudara sekalian tidak menunggu Kakak Linghu di tempat kami saja?”

Dalam hati Lao Denuo berpikir, “Adik Kecil berada di tangan Bibi Biksuni Dingyi. Mau tidak mau kami harus mengikuti ke sana.”

“Baiklah, Saudara Xiang!” jawab Lao Denuo kemudian. “Kami akan memenuhi undangan Paman Liu. Mohon maaf bila kami terlalu merepotkan.”

“Ah, kedatangan Saudara-Saudara dari Huashan merupakan suatu kehormatan bagi kami. Jangan terlalu merendah,” jawab Xiang Danian. “Silakan! Silakan!”

“Apakah kau juga mengundang orang itu?” sahut Dingyi sambil menunjuk si kakek penjual pangsit.

Xiang Danian memandangi penjual pangsit itu agak lama, kemudian menyapa dengan penuh hormat, “Oh, rupanya Paman He dari Gunung Yandang juga berada di sini. Kami berdua sungguh ceroboh tidak mengenali Paman He. Silakan, silakan Paman He juga mampir ke tempat kami!”

Rupanya kakek tua ini juga seorang tokoh persilatan yang bernama He Sanqi. Sewaktu muda ia memang berjualan pangsit secara berkeliling. Meskipun sudah menguasai ilmu silat dan berkepandaian tinggi, ia tetap saja membawa keranjang pikulannya sambil berkelana ke mana-mana. Orang tua ini tidak mengejar kejayaan atau kemasyhuran. Yang ia lakukan setiap hari hanyalah berdagang pangsit kecil-kecilan tanpa menonjolkan diri. Namun demikian, banyak tokoh persilatan yang menaruh hormat kepadanya. Di dunia ini memang banyak penjual pangsit keliling; namun hanya seorang saja di antara mereka yang menyimpan ilmu silat tinggi, dan dia adalah He Sanqi.

“Baiklah. Aku juga hendak menuju ke tempat guru kalian,” jawab He Sanqi tersenyum, sambil kemudian mengemasi dagangannya.

Melihat itu, Lao Denuo segera memberi hormat, “Kami dari Perguruan Huashan punya mata tapi tidak melihat kehadiran Sesepuh He di sini. Mohon Sesepuh He sudi memaafkan.”

“Tidak, tidak! Mengapa aku harus marah?” sahut He Sanqi dengan tertawa. “Kalian telah membeli pangsitku; kenapa pula aku harus marah kepada para pelangganku? Satu mangkuk pangsitku seharga sepuluh keping. Jadi, kalian berhutang kepadaku sembilan puluh keping, hahaha!”

Lao Denuo tertunduk malu, dan tidak menyadari kalau orang tua itu hanya bercanda.

“Hei, bayar dia segera. He Sanqi tidak akan membiarkan kalian makan dengan cuma-cuma,” sahut Dingyi kemudian.

“Benar sekali,” sahut He Sanqi sambil mengangguk. “Bisnis adalah bisnis. Bayar pangsitku dengan uang kontan, tidak boleh hutang juga tidak boleh membayar telat. Tidak peduli kawan atau saudara, semua diperlakukan sama.”

“Tentu saja, tentu saja,” jawab Lao Denuo. Tanpa berani memberikan uang lebih, ia pun membayar semua pesanan tersebut sesuai tagihan tadi. Dengan kedua tangan ia menyerahkan sembilan puluh keping uang tembaga tersebut kepada He Sanqi sambil membungkuk penuh hormat.

He Sanqi lantas menoleh ke arah Dingyi dan berkata, “Hei, kau telah memecahkan dua mangkuk. Kau harus membayar empat belas keping.”

“Dasar kau pedagang pelit! Tega-teganya kau menarik uang dari kaum biksuni!” sahut Dingyi menggerutu. “Yiguang, bayarkan uang sesuai tagihannya.”

Dengan kedua tangan pula, Yiguang menyerahkan empat belas keping uang tembaga sambil membungkuk hormat. He Sanqi menerima dan memasukkan semua uangnya itu ke dalam tabung bambu. Setelah memikul keranjang dagangannya, ia pun berkata, “Mari berangkat!”

“Xiang Danian mengangguk, lalu berkata kepada pemilik rumah minum, “Hitung semuanya, lalu kirimkan tagihan kepada Tuan Majikan Liu.”

Si pemilik menjawab, “Kehormatan bagi kami bisa melayani tamu-tamu Keluarga Liu. Lupakan saja semua tagihan di kedai teh kami ini.” Rupanya Liu Zhengfeng sangat dermawan dan sering menyumbang keuangan para penduduk di Kota Hengshan. Itulah sebabnya, si pemilik rumah minum merasa segan melayangkan tagihan tersebut.

Xiang Danian dan Mi Weiyi lantas membagi-bagikan payung yang mereka bawa, kemudian mendahului berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Biksuni Dingyi menarik lengan Lingshan, kemudian berjalan bersama He Sanqi yang memikul barang dagangannya. Sementara itu, murid-murid Huashan dan Henshan berjalan di belakang mereka.

Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Sebaiknya aku mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Siapa tahu aku mendapat berita tentang Ayah dan Ibu dengan cara menyelinap ke dalam rumah Keluarga Liu.”

Setelah rombongan tersebut membelok di tikungan, Lin Pingzhi segera berdiri dan mengikuti dari belakang. Rombongan itu tampak berjalan menuju utara. Karena tidak membawa payung, Lin Pingzhi berjalan di pinggir sambil sesekali berteduh di atap rumah penduduk untuk menjaga jarak. Setelah berjalan cukup jauh melewati tiga jalan raya, rombongan itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang sangat megah. Tampak di depan pintu gedung terpajang lampion-lampion beraneka warna, serta sepuluh orang yang masing-masing memegang payung dan lampu kerudung sedang menyambut ramah setiap tamu yang datang. Selain rombongan dari Huashan dan Henshan, tampak pula tamu-tamu lain berdatangan dari kedua ujung jalan.

Lin Pingzhi mengumpulkan keberaniannya, untuk kemudian melangkah masuk ke dalam gedung bersamaan dengan masuknya sebuah rombongan yang dipandu seorang murid Keluarga Liu. Para murid Hengshan yang bertugas menyambut tamu ternyata menganggapnya sebagai bagian dari rombongan itu dan mempersilakannya masuk dengan ramah. “Silakan masuk! Silakan menikmati teh di dalam!” sambut mereka.

Sesampainya di aula utama, Lin Pingzhi menyaksikan ratusan meja dan kursi ditata dengan rapi. Jumlah tamu yang hadir dan duduk di kursi-kursi itu kurang lebih mencapai dua ratus orang. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain. Diam-diam Lin Pingzhi berpikir, “Jumlah tamu yang datang sekian banyaknya. Tidak seorang pun dari mereka yang peduli kepadaku. Dengan menyamar seperti ini, aku bisa mengawasi ke sekeliling ruangan ini untuk menemukan orang-orang Qingcheng. Setelah menemukan mereka, tentu aku bisa menemukan Ayah dan Ibu pula.”

Pemuda itu lantas mengambil tempat duduk di salah satu meja kecil di sudut ruangan. Segera seorang pelayan membawa nampan datang menghampirinya, untuk kemudian menghidangkan teh, makanan ringan, dan handuk hangat. Lin Pingzhi lalu memandang ke segala penjuru ruangan. Ia melihat kelompok murid-murid Henshan duduk di sebelah kiri balai tersebut, sementara murid-murid Huashan duduk tidak jauh dari mereka. Lingshan juga terlihat berada di antara mereka. Sepertinya Dingyi telah membebaskan gadis burik itu. Namun demikian, Lin Pingzhi tidak melihat di mana sang biksuni sepuh berada, begitu juga He Sanqi si penjual pangsit.

Kembali Lin Pingzhi menyapukan pandangannya. Seketika jantungnya pun berdebar kencang melihat Fang Renzhi dan Yu Renhao duduk bersama sekelompok laki-laki yang berseragam sama. Tidak diragukan lagi, mereka ini adalah kelompok murid-murid Perguruan Qingcheng. Melihat itu ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu di tangan mereka. Ini kesempatanku untuk membebaskan Ayah dan Ibu. Tapi, jangan-jangan kedua orang tuaku telah meninggal pula?”

Dengan perasaan marah bercampur sedih dan khawatir, Lin Pingzhi berniat pindah tempat duduk, agar bisa lebih jelas mendengarkan pembicaraan orang-orang Qingcheng itu. Namun, ia takut jangan-jangan hal ini malah menimbulkan kecurigaan Fang Renzhi dan kawan-kawan. Jika sampai terjadi demikian, tidak hanya semua perjuangannya yang berakhir sia-sia, bahkan nyawanya juga bisa melayang.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar, disusul dengan munculnya beberapa orang berseragam biru tampak menggotong dua papan pintu ke dalam aula. Di atas papan pintu tersebut masing-masing tergeletak seorang laki-laki. Kedua orang itu tampak diselimuti kain putih dengan tubuh berlumuran darah. Para tamu yang hadir buru-buru mendekat supaya bisa melihat dengan lebih jelas.

“Hei, mereka dari Perguruan Taishan!” sahut seseorang.

“Yang lebih tua itu bernama Pendeta Tiansong. Entah siapa yang telah membuatnya terluka seperti ini? Apa kalian tahu siapa yang satunya lagi?”

“Kalau yang lebih muda ini adalah murid Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Kalau tidak salah dia bermarga Chi. Sepertinya dia sudah meninggal.”

“Benar sekali. Dia sudah meninggal. Coba lihat, luka di dadanya panjang dan lebar. Sepertinya ia terkena sabetan golok. Siapa pula orangnya yang sanggup bertahan hidup dengan luka seperti ini?”

Di tengah keramaian itu tubuh Pendeta Tiansong dan jasad Pendeta Chi dibawa masuk ke ruang belakang. Para tamu di aula depan bertambah ramai membicarakan kejadian ini. Mereka bertanya-tanya siapakah orangnya yang telah melakukan itu semua.

Tidak lama kemudian Xiang Danian muncul dengan tergesa-gesa dari dalam ruang belakang. Ia bergegas menghampiri meja murid-murid Huashan dan berkata, “Kakak Lao, guruku ingin bicara denganmu. Silakan ikut bersamaku.”

“Tentu,” jawab Lao Denuo. Ia lantas berdiri dan berjalan di belakang Xiang Danian.

Keduanya menyusuri lorong tengah yang cukup panjang, kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan di samping kiri. Di dalam ruangan itu tersusun lima buah kursi megah, namun hanya satu saja yang sudah terisi. Tampak seorang pendeta bertubuh gagah dengan wajah kemerah-merahan duduk di kursi tersebut yang terletak paling timur dari deretan. Orang ini tidak lain adalah Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Adapun empat kursi lainnya masing-masing disediakan untuk ketua Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Henshan, yang kesemuanya belum terlihat datang.

Sementara itu sebanyak sembilan belas orang lainnya duduk di kursi yang berjajar di sisi lain ruangan. Rupanya mereka ini adalah para tamu istimewa yang termasuk golongan ahli silat papan atas. Di antara sembilan belas orang itu terdapat Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan, Pendeta Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, dan He Sanqi dari Gunung Yandang. Di sisi selatan ruangan, duduk pula seorang pria berusia lima puluhan bertubuh gemuk, mengenakan baju sutra halus berwarna merah kecoklatan. Ia tidak lain adalah sang tuan rumah yaitu Liu Zhengfeng.

Lao Denuo mula-mula memberi hormat kepada Liu Zhengfeng, kemudian berlutut dan memberi hormat kepada Pendeta Tianmen, sambil berkata, “Lao Denuo dari Huashan memberi hormat kepada Paman Pendeta Tianmen.”

Tianmen tampak begitu gusar. Wajahnya bertambah merah seolah-olah hendak meledak. Dengan suara keras ia membentak, “Di mana Linghu Chong?” Sambil berseru demikian tangannya juga memukul pinggiran kursi tempat duduknya sehingga mengejutkan semua orang.

Suara bentakan Tianmen ini menggelegar bagaikan halilintar membelah angkasa. Begitu kerasnya sampai-sampai terdengar oleh para tamu di aula utama.

Lingshan si gadis burik berkata, “Kakak Ketiga, sepertinya mereka kembali mencari Kakak Pertama.”

Liang Fa hanya mengangguk. Selang agak lama barulah ia menjawab, “Tetaplah bersikap tenang. Di sini banyak orang dari berbagai golongan. Jangan sampai mereka menaruh curiga terhadap Perguruan Huashan kita.”

Di sisi lain, Lin Pingzhi sedang berpikir, “Lagi-lagi mereka mencari Linghu Chong. Hm, si tua ini memang seorang pembuat onar.”

Lao Denuo yang berhadapan langsung dengan Pendeta Tianmen sampai merasa tuli untuk sekian lamanya. Setelah menenangkan diri, perlahan-lahan ia bangkit dan menjawab, “Paman Pendeta, mengenai Kakak Pertama, dia berpisah dengan kami di Kota Hengyang. Jika hari ini dia tidak datang ke Kota Hengshan sini, mungkin esok hari baru dia datang kemari untuk memberikan selamat kepada Paman Liu.”

“Apa? Dia masih berani datang? Dia masih punya nyali untuk kemari?” sahut Tianmen semakin gusar. “Perbuatannya benar-benar memalukan! Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan. Tapi mengapa dia suka bergaul dengan penjahat bernama Tian Boguang? Apa yang dilakukannya bersama manusia cabul itu?”

Lao Denuo menjawab, “Dari yang saya tahu, Kakak Pertama tidak mengenal Tian Boguang. Mungkin saja Kakak Pertama sedang mabuk ketika secara kebetulan mereka bertemu. Kemudian mereka minum bersama di sebuah kedai tanpa mengenal satu sama lain.”

Sambil menghentakkan kakinya dengan keras di lantai, Tianmen bangkit berdiri lalu kembali membentak, “Kau masih berani mengoceh untuk membela Linghu Chong?” Dengan mata berkilat-kilat, pendeta bertubuh gagah itu menoleh kepada Tiansong yang masih terbaring lemah, “Adik, coba kau... kau ceritakan bagaimana dirimu bisa terluka. Ceritakan kepadanya apakah Linghu Chong dan Tian Boguang saling mengenal.”

Tiansong terbaring lemah dengan tubuh berlumuran darah. Janggutnya yang panjang sudah basah pula dan berwarna merah. Dengan suara gemetar pendeta itu lantas berkata, “Pagi itu... aku... aku bersama Keponakan Chi sedang berada di Rumah Minum Pemabuk Dewa di... Kota Hengyang. Kami melihat Linghu Chong... sedang bersama Tian Boguang, dan juga seorang... biksuni muda....”

Melihatnya bercerita sambil terengah-engah seperti itu, Liu Zhengfeng pun berkata, “Kakak Tiansong, kau jangan bicara lagi. Biarlah aku saja yang menceritakan kepadanya apa yang telah kau alami tadi.” Usai berkata demikian, ia lantas menoleh kepada Lao Denuo dan berkata, “Keponakan Lao, kalian semua dan juga Keponakan Linghu datang kemari untuk mengucapkan selamat kepadaku; dalam hal ini aku sangat berterima kasih dan juga menaruh penghormatan yang sangat besar kepada Kakak Yue, guru kalian. Namun kita juga tidak tahu bagaimana Keponakan Linghu bisa sampai bertemu dengan Tian Boguang. Hal inilah yang perlu kita selidiki. Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan keluarga sendiri, jika Keponakan Linghu memang benar-benar bersalah, maka sebagai orang tua sudah sepantasnya kami memberikan nasihat....”

“Nasihat apanya? Lebih baik bersihkan perserikatan ini dengan cara memenggal kepalanya,” bentak Tianmen.

Liu Zhengfeng menghela napas dan berkata, “Kakak Yue selalu menerapkan peraturan yang ketat di dalam perguruannya. Selain itu Perguruan Huashan juga memiliki nama besar di dunia persilatan. Kali ini Keponakan Linghu melakukan sedikit kesalahan....”

“Apa? Kau masih memanggilnya ‘keponakan’? Keponakan bangsat!” sahut Tianmen kembali menyela. Seketika ia teringat kalau dirinya adalah ketua perguruan ternama sehingga tidak sepantasnya mengucapkan kata-kata makian seperti itu, apalagi di hadapan Biksuni Dingyi. Namun karena kata-katanya tidak bisa ditarik kembali, ia hanya menghela napas dan duduk kembali dengan gusar.

Lao Denuo berkata, “Paman Liu, mohon ceritakan kepada saya apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Liu Zhengfeng menjawab, “Begini, Kakak Tiansong telah bercerita kepada kami bahwa tadi pagi ia bersama seorang murid Kakak Tianmen yang bernama Chi Baicheng singgah di sebuah rumah arak bernama Pemabuk Dewa di Kota Hengyang. Begitu naik ke loteng atas, mereka melihat ada dua orang laki-laki dan seorang biksuni muda duduk bersama minum arak dalam satu meja. Mereka adalah si penjahat cabul Tian Boguang, Keponakan Linghu, dan murid Biksuni Dingyi yang bernama Yilin.

Pemandangan itu mau tidak mau membuat Kakak Tiansong penasaran. Semula ia hanya mengenali mereka sebagai murid Huashan, murid Henshan, dan seorang pria berpakaian rapi bersih. Biksuni Dingyi, tolong jaga perasaanmu; Keponakan Yilin dalam keadaan terdesak. Sepertinya ia ada di sana juga bukan atas kehendaknya sendiri.

Menurut Kakak Tiansong, Tian Boguang seorang laki-laki berusia tiga puluhan dan berpakaian serbarapi. Tadinya ia tidak tahu kalau orang itu adalah Tian Boguang, sampai akhirnya terdengar Keponakan Linghu berkata, ‘Saudara Tian, mari kita minum lagi. Meskipun ilmu meringankan tubuhmu tidak ada bandingannya di dunia persilatan, namun dalam hal kekuatan minum, kau tidak bisa mengalahkan aku.’

Tanpa ragu, Kakak Tiansong langsung menyimpulkan bahwa orang bermarga Tian yang ahli meringankan tubuh sudah pasti hanya Tian Boguang seorang. Kakak Tiansong sejak lama membenci sepak terjang penjahat cabul yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu. Maka begitu melihat mereka bertiga duduk semeja dan minum bersama, Kakak Tiansong marah bukan main.”

Lao Denuo menunduk termenung membayangkan pemandangan di rumah minum tersebut. Tiga orang duduk semeja; yang satu seorang penjahat cabul, yang satu seorang biksuni muda, dan satunya lagi seorang murid pertama Perguruan Huashan. Siapa pun yang melihat sudah pasti merasa aneh.

Liu Zhengfeng melanjutkan cerita, “Kakak Tiansong semakin yakin setelah mendengar pria berpakaian rapi itu berkata, “Aku, Tian Boguang, datang dan pergi ke mana aku suka. Aku berkelana ke segala penjuru seorang diri. Tidak ada satu pun yang aku takuti. Kita telah menemukan biksuni cilik ini; kenapa tidak kita biarkan saja dia menemani kita minum di sini?’”

Saat Liu Zhengfeng bercerita, diam-diam Lao Denuo melirik ke arah Pendeta Tiansong. Tampak pendeta itu berbaring lemah namun matanya menatap tajam ke arah Liu Zhengfeng, khawatir kalau-kalau sang tuan rumah salah bicara.

Liu Zhengfeng menyadari hal itu dan segera berkata, “Kakak Tiansong terluka parah sehingga tidak bisa bercerita kepadamu dengan lancar dan jelas. Maka itu, aku pun bercerita dengan kata-kataku sendiri; namun secara garis besar seperti itulah yang disampaikan Kakak Tiansong tadi. Bukan begitu, Kakak Tiansong?”

“Betul... betul....” jawab Tiansong lemah.

Setelah mendengar persetujuan itu, Liu Zhengfeng melanjutkan, “Keponakan Chi tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia pun berdiri dan menggebrak meja, lalu memaki, ‘Apa benar kau ini si maling cabul Tian Boguang? Setiap orang ingin membinasakanmu untuk membersihkan dunia dari sampah bejat macam dirimu. Akan tetapi, kau malah enak-enakan berlagak di sini tak tahu malu. Hm, barangkali kau ini sudah bosan hidup, hah?’ Usai berkata, ia pun menghunus senjata menyerang penjahat itu. Namun sebaliknya, golok Tian Boguang justru lebih dulu merenggut nyawanya. Sungguh sayang, seorang pendekar muda yang gagah berani harus mati di tangan si maling cabul Tian Boguang.

Kakak Tiansong lantas menerjang Tian Boguang dan melancarkan serangan. Setelah bertarung beberapa jurus, Tian Boguang akhirnya berhasil melukai Kakak Tiansong dengan cara licik. Kejadian itu disaksikan semua oleh Keponakan Linghu. Namun, sedikit pun ia tidak bangkit dari duduk untuk membantu. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan rasa setia kawan sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Itulah yang menyebabkan Kakak Tianmen marah.”

“Huh, setia kawan apanya?” sahut Pendeta Tianmen semakin gusar. “Seorang pendekar harus bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Bergaul dengan maling cabul sudah pasti... sudah pasti ikut menjadi cabul.” Wajah pendeta gagah ini semakin berwarna merah dan janggutnya meremang.

Pada saat itu tiba-tiba datang seorang laki-laki datang dan berkata, “Guru, izinkan saya memberi laporan!”

“Ada apa lagi ini?” sahut Tianmen.

Laki-laki itu ternyata murid Perguruan Taishan yang masih berusia tiga puluhan. Mula-mula ia memberi hormat kepada sang tuan rumah, Liu Zhengfeng, kemudian kepada para tamu lainnya. Setelah berada di depan Tianmen ia berkata, “Guru, Paman Tianbai saat ini sedang memimpin para saudara untuk mencari kedua maling cabul Tian Boguang dan Linghu Chong ke seluruh pelosok Kota Hengyang, namun belum berhasil menemukan mereka....”

Lao Denuo diam-diam merasa kesal karena kakak seperguruannya juga disebut sebagai maling cabul. Namun apa boleh buat, pada kenyataannya Linghu Chong memang pernah duduk semeja dengan Tian Boguang.

Murid Taishan itu melanjutkan, “Akan tetapi di luar Kota Hengyang, kami menemukan sesosok mayat yang pada bagian perutnya tertusuk sebilah pedang. Pada gagang pedang itu tertulis nama si maling cabul Linghu Chong.”

“Lalu, siapa pula yang mati?” tanya Tianmen sambil mencondongkan posisi duduknya.

Si murid Taishan menoleh ke arah Yu Canghai sambil menjawab, “Yang tewas adalah murid Pendeta Yu. Waktu itu kami tidak mengenalinya. Namun, setelah dibawa masuk ke Kota Hengshan, barulah ada orang yang mengenali mayat tersebut sebagai Luo Renjie....”

“Apa?” sahut Yu Canghai sambil bangkit dari tempat duduknya. “Jadi yang mati itu Renjie? Mana, mana jasadnya?”

“Di sebelah sini,” sahut seseorang di luar ruangan.

Yu Canghai benar-benar pandai menahan perasaan. Meskipun berita buruk ini sangat tiba-tiba dan mengejutkannya, serta yang terbunuh adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, atau Empat Jagoan Qingcheng, namun ia tetap terlihat tenang.

“Tolong, jenazah muridku dibawa masuk kemari,” katanya kemudian.

“Baik,” jawab suara dari luar. Tidak lama kemudian dua orang laki-laki yang masing-masing berseragam Hengshan dan Qingcheng masuk ke dalam ruangan. Mereka terlihat mengusung selembar papan pintu di mana sesosok mayat terbaring di atasnya. Sebilah pedang tampak menusuk perut mayat itu mulai bagian perut kemudian miring ke atas sampai menembus tenggorokan. Pedang tersebut panjangnya lebih dari satu meter, namun yang terlihat hanya tinggal gagangnya saja. Pemandangan tersebut mau tidak mau membuat ngeri para hadirin, meskipun banyak di antara mereka yang berpengalaman luas di dunia persilatan.

“Linghu Chong, hm, Linghu Chong, betapa biadab kau....” gerutu Yu Canghai sambil berjongkok di samping mayat Luo Renjie.

Si murid Taishan kembali berkata, “Paman Tianbai saat ini melanjutkan pencarian terhadap kedua maling cabul itu. Namun, sebaiknya satu atau dua paman dari sini ikut pergi memberi bantuan.”

Biksuni Dingyi dan Yu Canghai serentak menjawab, “Aku saja yang berangkat!”

Tiba-tiba dari luar terdengar suara lembut seorang perempuan berteriak, “Guru, saya datang!”

Dingyi yang mengenali suara itu langsung menjawab, “Apakah itu Yilin? Lekas masuk kemari!”

Serentak semua orang menoleh ke arah pintu untuk melihat seperti apa wajah biksuni belia yang konon diculik dua maling cabul tersebut. Begitu pintu ruangan terbuka, mereka langsung terbelalak menyaksikan seorang biksuni muda melangkah masuk ke dalam ruangan. Ternyata wajah biksuni bernama Yilin ini memang benar-benar cantik jelita. Tidak seorang pun dari para hadirin yang merasa keberatan andaikata ada yang memuji betapa kecantikan Yilin tidak kalah dibandingkan bidadari kahyangan. Usia biksuni muda ini baru sekitar enam belas tahun, dan tubuhnya terlihat langsing meskipun tertutup jubah longgar.

Begitu sampai di hadapan Dingyi, segera Yilin berlutut dengan lemah gemulai. Ia kemudian berkata, “Guru....” Namun baru satu kata terucap ia langsung menangis.

Dingyi menyahut, “Kau... apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kau bisa meloloskan diri?”

“Guru, kali ini... kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu Guru lagi,” jawabnya sambil mencucurkan air mata. Suaranya terdengar lembut, sementara kedua tangannya yang memegangi lengan baju Dingyi tampak putih bersih dan sangat menawan.

Diam-diam para hadirin banyak yang berpikir, “Bagaimana gadis secantik ini bisa menjadi biksuni?”

Hanya Yu Canghai saja yang melihat biksuni muda itu dengan sekilas pandang. Kedua matanya lantas kembali mengamati pedang yang menancap di perut Luo Renjie. Pada gagang pedang itu teruntai hiasan benang berwarna hijau, dan pada permukaan bilah pedang di dekat gagang terukir beberapa huruf yang berbunyi: “Huashan – Linghu Chong”.

Yu Canghai kemudian membandingkannya dengan pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo. Keduanya sama persis. Tanpa banyak bicara, pendeta bertubuh pendek itu melompat maju untuk mencolok mata Lao Denuo menggunakan jari tangan kirinya. Serangan ini begitu cepat dan juga sangat keji. Tahu-tahu kedua ujung jari Yu Canghai sudah menempel di pelupuk mata murid Huashan nomor dua tersebut.

Lao Denuo terkesiap dan langsung menangkis menggunakan jurus Obor Menerangi Langit. Namun Yu Canghai menyeringai dan segera memutar tangan kirinya sehingga kedua tangan Lao Denuo berhasil ditangkapnya. Menyusul kemudian tangan kanannya bergerak pula merebut pedang yang tergantung di pinggang lawan.

Lao Denuo meronta untuk membebaskan diri dari cengkeraman Yu Canghai namun sia-sia. Dalam waktu sekejap pedang miliknya itu sudah dipergunakan Yu Canghai untuk mengancam dadanya.

“Saya... saya....” ujar Lao Denuo kebingungan.

Sambil menodong, Yu Canghai mengamati pula pedang di tangannya itu. Tampak sebuah ukiran beberapa huruf di batang pedang berbunyi: “Huashan – Lao Denuo”. Bentuk dan ukuran pedang ini pun sama persis dengan yang menancap di perut Luo Renjie. Perlahan-lahan, ia menggeser pedang di tangannya agak ke bawah sehingga ujungnya menempel di perut Lao Denuo sambil berkata, “Hm, apa nama jurus yang dipakai Perguruan Huashan kalian yang mulia untuk membunuh muridku?”

Keringat dingin mengalir membasahi dahi Lao Denuo. Namun demikian, ia masih tetap berusaha tenang, meskipun menjawab dengan suara gemetar, “Perguruan... perguruan kami tidak memiliki jurus seperti itu.”

Dalam hati Yu Canghai merasa heran membayangkan bagaimana cara Linghu Chong menusuk Luo Renjie. Ia berpikir, “Apakah Linghu Chong berjongkok terlebih dulu untuk kemudian menusuk perut Renjie sampai menembus tenggorokan? Yang lebih mengherankan, mengapa dia meninggalkan pedangnya begitu saja sehingga mudah dikenali orang? Apakah Linghu Chong sengaja menantang Perguruan Qingcheng terang-terangan?”

Tiba-tiba Yilin berseru, “Mohon Paman Yu mengampuni Kakak Linghu. Jurus yang ia gunakan sungguh bukan jurus pedang Perguruan Huashan.”

Yu Canghai menoleh ke arah Dingyi dan berkata dengan wajah mengejek, “Biksuni, apa kau dengar ucapan muridmu tadi? Bagaimana cara dia memanggil si bajingan Linghu Chong tadi?”

Dingyi justru menyahut dengan galak, “Apa kau pikir aku ini tuli, hah? Sudah jelas aku mendengarnya sendiri!”

Biksuni tua ini benar-benar memiliki sifat tak mau kalah. Sebenarnya ia hampir saja membentak Yilin karena menyebut “Kakak Linghu”. Namun karena Yu Canghai lebih dulu menegur dengan lagak kurang sopan, ia pun tersinggung dan berbalik membela Yilin.

Dingyi melanjutkan, “Lima perguruan pedang telah berserikat menjadi satu dan saling mengangkat saudara. Wajar saja kalau muridku yang masih muda ini memanggil Linghu Chong dengan sebutan ‘kakak’. Memangnya menurutmu ada yang aneh?”

“Boleh juga, boleh juga,” ujar Yu Canghai mencibir sambil menghimpun tenaga. Sekejap kemudian tangannya mendorong tubuh Lao Denuo ke belakang. Seketika pria tua berambut putih itu melayang dan membentur dinding ruangan. Dinding itu langsung retak dan debu pun bertaburan di udara.

“Huh, apa kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu?” bentak Yu Canghai. “Kenapa kau buntuti aku sepanjang jalan? Apa sebenarnya tujuanmu mengintai diriku?”

Lao Denuo mencoba bangkit namun kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh kembali. Perutnya terasa mual dan matanya berkunang-kunang akibat dorongan Yu Canghai tadi. Tanpa daya, ia pun duduk di lantai sambil berpikir, “Celaka, ternyata keparat pendek ini mengetahui kalau aku dan Adik Kecil telah mengintai perbuatannya.”

Dingyi tidak terlalu peduli terhadap kemarahan Yu Canghai. Ia kembali bertanya kepada muridnya, “Yilin, coba kau ceritakan dengan jelas bagaimana dirimu bisa jatuh ke tangan Tian Boguang dan Linghu Chong?” Usai berkata demikian ia pun menggandeng tangan Yilin menuju pintu keluar.

Para hadirin merasa maklum atas sikap Dingyi. Muridnya yang masih muda dan cantik telah jatuh ke tangan penjahat cabul bernama Tian Boguang, sudah tentu sulit mempertahankan kesuciannya. Cerita yang selengkapnya jelas tidak pantas jika disampaikan di depan umum. Maka itu, wajar saja jika Yilin hendak dibawa menuju ke suatu tempat yang lebih tertutup untuk ditanyai secera terperinci.

Akan tetapi, Yu Canghai tiba-tiba melompat ke dekat pintu menghadang kedua biksuni tersebut. Ia berkata, “Masalah ini sudah merenggut dua nyawa. Hendaknya Biksuni Yilin bicara di sini saja agar kami semua ikut mendengarnya. Kalau yang terbunuh adalah Keponakan Chi, mungkin Pendeta Tianmen tidak terlalu memikirkannya; karena di antara murid-murid Serikat Pedang Lima Gunung sudah saling mengangkat saudara. Akan tetapi, muridku yang bernama Luo Renjie memang tidak sebanding untuk mengaku saudara terhadap Linghu Chong.”

Biksuni Dingyi seorang perempuan tua berwatak keras. Bahkan kedua kakak seperguruannya, yaitu Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian biasa mengalah kepadanya. Kali ini di depan umum ia disindir secara langsung oleh Yu Canghai, sudah tentu amarahnya terusik. Wajahnya terlihat merah padam dan tangannya bersiap melayangkan pukulan.

Liu Zhengfeng sudah lama mengenal Dingyi sehingga hafal dengan perilaku biksuni tua ini. Baik Dingyi maupun Yu Canghai sama-sama tokoh papan atas di dunia persilatan. Apabila keduanya sampai bertarung, tentu akibatnya benar-benar mengerikan. Maka itu, sang tuan rumah tersebut segera bergegas menengahi kedua pihak sambil membungkuk hormat.

“Kakak berdua adalah tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga hendaknya kalian memandang kepadaku. Tolong jangan bertengkar sekarang. Memang kuakui pelayananku sangat jauh dari memuaskan. Untuk itu, mohon dimaafkan,” ujar Liu Zhengfeng.

“Adik Liu, kau ini bicara apa?” sahut Dingyi. “Aku benar-benar muak terhadap si hidung kerbau ini yang mencoba merintangi jalanku. Padahal, aku hanya ingin bicara empat mata dengan muridku seorang.”

Hidung kerbau adalah sebutan untuk mengejek kaum pendeta agama Tao.

Sebenarnya Yu Canghai sendiri juga agak segan terhadap Dingyi dan tidak yakin menang apabila benar-benar bertarung melawannya. Andaikata hari ini ia bisa mengalahkan Dingyi, tetap saja kakak seperguruan sang biksuni yang bernama Dingxian tidak akan tinggal diam begitu saja. Meskipun Dingxian terkenal ramah dan rendah hati, namun kesaktiannya jauh lebih hebat daripada sang adik. Jika Perguruan Henshan sampai mengangkat senjata, tentu Perguruan Qingcheng berada dalam masalah besar.

Menyadari hal itu Yu Canghai pun tersenyum pahit sambil berkata, “Aku hanya berharap Biksuni Yilin sudi menceritakan kematian muridku di sini. Sama sekali Yu Canghai tidak berani merintangi tokoh besar dari Biara Awan Putih.” Perlahan-lahan ketua Perguruan Qingcheng itu kembali duduk di atas kursinya.

Dingyi sendiri juga kembali ke tempat duduknya sambil menggandeng Yilin. Ia kemudian berkata, “Coba kau ceritakan apa yang telah terjadi.” Khawatir muridnya yang masih belia itu bercerita melampaui batas sehingga mencemarkan nama baik Perguruan Henshan, ia pun menambahkan, “Ceritakan seperlunya saja. Ambil bagian-bagian yang kau anggap penting.”

“Baik, Guru!” jawab Yilin sambil mengangguk. “Mohon Guru sudi membunuh penjahat bernama Tian Boguang itu. Dia sudah... dia sudah....”

“Ya, aku paham. Kau tidak perlu menjelaskannya secara rinci. Aku sudah paham maksudmu,” sela Dingyi menukas. “Aku pasti akan membunuh si keparat Tian Boguang dan Linghu Chong....”

“Hah, Kakak Linghu?” tanya Yilin dengan sorot mata tajam. “Mengapa Guru ingin membunuh Kakak Linghu? Dia....” Mendadak air matanya berlinang-linang di pipi saat melanjutkan, “Dia sudah... dia sudah meninggal....”

Seketika semua orang terkejut mendengar ucapan Yilin. Pendeta Tianmen langsung bangkit dan bertanya dengan suara keras, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang telah membunuhnya?”

“Pembunuhnya adalah....” jawab Yilin sambil menunjuk mayat Luo Renjie. “Pembunuhnya adalah dia... orang jahat dari Qingcheng itu!”

Mendengar berita itu kemarahan Tianmen langsung reda. Sebaliknya, Yu Canghai merasa senang karena Luo Renjie tidak mati sia-sia. Diam-diam ia berpikir, “Jadi, keduanya bertarung habis-habisan sampai mati bersama. Hm, Renjie memang pantas disebut sebagai salah satu dari Empat Jagoan Qingcheng. Benar-benar tidak mengecewakan perguruan.”

Tiba-tiba Yu Canghai terkesiap dan memandang Yilin dengan sorot mata tajam. Ia lantas berkata, “Jadi menurutmu, semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah orang baik, sedangkan murid Perguruan Qingcheng adalah orang jahat, begitu?”

“Entahlah,” jawab Yilin sambil menangis. “Aku tidak berbicara tentang Paman Yu. Yang kumaksud orang jahat adalah dia.” Kali ini ia menunjuk mayat Luo Renjie sekali lagi.

Dingyi kembali naik darah dan membentak Yu Canghai, “Memangnya kau mau menakut-nakuti anak kecil?” Biksuni tua itu lalu menepuk-nepuk punggung Yilin dan berkata, “Yilin, kau jangan takut; gurumu ada di sini. Tidak seorang pun boleh menyakitimu.”

Yu Canghai kembali berkata, “Seorang biarawati tidak boleh berdusta. Apa kau berani bersumpah atas nama Sang Buddha bahwa ceritamu benar, Biksuni kecil?” Rupanya ia khawatir jangan-jangan Yilin bercerita atas desakan gurunya sehingga berkata yang tidak-tidak mengenai Luo Renjie. Meskipun Linghu Chong dan Luo Renjie sama-sama terbunuh, namun tidak ada seorang pun di antara para hadirin yang menyaksikannya; sehingga cerita dari Yilin benar-benar menjadi sumber utama.

“Jangankan di hadapan Sang Buddha, di hadapan Guru sekalipun saya tidak berani berdusta,” jawab Yilin. Ia kemudian berlutut dengan wajah menghadap pintu keluar, kemudian menguncupkan kedua tangannya sambil berkata, “Di hadapan Guru dan Paman Guru sekalian, Yilin bersumpah akan menceritakan kejadian yang sebenar-benarnya. Sang Buddha mahaadil apabila Yilin sampai berdusta.”

Setiap orang dapat melihat dengan jelas ketulusan dan kejujuran Yilin di balik gerak-geriknya yang serbalembut itu. Seorang tamu berjanggut hitam, berusia lima puluhan, serta berpakaian sarjana menyahut, “Jika Nona Biksuni berkata demikian, sudah pasti kami percaya.”

Dingyi pun berkata sambil memandang Yu Canghai, “Kau dengar itu, hidung kerbau? Tuan Wen pun berkata demikian. Apa lagi yang membuatmu sangsi?”

Rupanya Dingyi mengenali pria berpakaian sarjana itu bermarga Wen. Siapa nama lengkapnya tidak seorang pun yang tahu, dan semua orang hanya memanggilnya Tuan Wen. Tokoh ini merupakan jago silat terkenal dari Provinsi Shanxi yang bersenjatakan sepasang pena logam. Para pesilat yang bersenjatakan seperti ini pada umunya mahir dalam ilmu menotok titik nadi lawan.

Kini semua mata tertuju kepada Yilin. Wajahnya yang agung tampak bercahaya seolah menerangi segenap penjuru ruangan. Hampir semua para hadirin membayangkan wajah biksuni muda ini bagaikan mutiara yang halus licin tanpa cacad. Bahkan, Yu Canghai pun berpikir, “Biksuni cilik ini sepertinya memang berhati bersih. Kata-katanya tentu bisa dipercaya.”

Suasana begitu hening. Tak seorang pun dari para hadirin yang mencoba bersuara. Masing-masing menunggu cerita yang akan disampaikan Yilin.

Selang sejenak Yilin mengawali kisahnya, “Kemarin siang, saya ikut dalam rombongan Guru dan para kakak menuju ke rumah Paman Liu ini. Sempat turun hujan deras ketika rombongan kami hampir sampai di Kota Hengyang. Ketika menuruni jalanan perbukitan, saya kurang hati-hati sehingga terpeleset jatuh dengan tangan menyangga tubuh. Akibatnya, kedua tangan saya kotor terkena lumpur. Begitu sampai di bawah bukit, saya memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan tangan karena melihat ada sungai kecil di sana.

Tiba-tiba saya melihat bayangan seorang laki-laki di permukaan sungai, berdiri di belakang bayangan saya. Saya terkejut dan mencoba berdiri namun punggung terasa sakit dan kesemutan. Rupanya orang itu telah menotok titik nadi di punggung saya sehingga tubuh pun lumpuh seketika. Saya ingin berteriak tapi tidak bisa bersuara. Tidak hanya titik gerak, orang itu juga menotok titik bisu saya. Kemudian, tubuh saya diangkat dan dibawanya berjalan sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya, orang itu membawa saya masuk ke dalam gua. Waktu itu saya benar-benar takut, namun sedikit pun tidak mampu bergerak ataupun bersuara.

Tidak lama kemudian saya mendengar suara tiga orang kakak seperguruan berpencar memanggil-manggil nama saya, ‘Yilin, Yilin, di mana kau?’. Orang itu hanya tertawa pelan dan berkata lirih, ‘Jika kakak-kakakmu masuk kemari, mereka akan kutangkap sekalian.’ Namun ketiga kakak ternyata tidak masuk ke dalam gua tetapi menuju ke arah lain.

Setelah keadaan kembali sepi, orang itu membuka totokannya sehingga saya bisa bergerak bebas. Sekuat tenaga saya mencoba melarikan diri namun orang itu tahu-tahu sudah berdiri di mulut gua. Akibatnya, saya pun menabrak dadanya dan dia berkata, ‘Apa kau pikir bisa lari dari sini, hah?’

Saya lantas melompat mundur dan melolos pedang. Namun karena orang itu tidak menyakiti saya, saya pun tidak mungkin menyakitinya. Apalagi sebagai seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Maka itu saya hanya mengancam, ‘Pergi kau! Kenapa menggangguku? Cepat menyingkir! Jika kau merintangi jalanku, maka aku... aku akan menusukmu!’

Orang itu hanya tertawa dan menjawab, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat baik hati. Mana mungkin kau tega melukai kulitku? Kalau kau berani, tikam saja dadaku ini.’

Saya menjawab, ‘Kita tidak saling mengenal dan tidak saling bermusuhan. Kenapa pula aku harus membunuhmu?’

Orang itu tertawa dan berkata, ‘Bagus sekali! Kalau begitu, marilah kita duduk dan bercakap-cakap di sini.’

Saya berkata, ‘Guru dan para kakak sedang mencariku. Lagipula, Guru tidak mengizinkan aku bercakap-cakap dengan sembarang laki-laki.’

Orang itu menyahut, ‘Tapi bukankah kau sudah melakukannya? Apa bedanya berbicara lama atau sebentar?’

Orang itu terus mendesak, sehingga saya kembali mengancam, ‘Jangan mendekat! Apa kau tidak tahu guruku sangat sakti? Jika Guru sampai tahu perbuatanmu, maka Beliau pasti akan mematahkan kedua kakimu. Guruku yang sakti akan datang mencarimu.’

Tapi orang itu menjawab, ‘Silakan saja kalau dia ingin mencariku. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Dia sudah tua. Aku tidak suka....’”

“Omong kosong!” bentak Dingyi menukas cerita Yilin. “Kau bahkan mengingat semua perkatannya; sampai-sampai ocehan gila juga kau ceritakan di sini!”

Para hadirin merasa geli dan ingin sekali tertawa. Namun, mereka tidak berani tersenyum sedikit pun karena segan terhadap Dingyi yang bermuka merah menahan malu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha memasang wajah serius menunggu kelanjutan cerita Yilin.

Yilin sendiri tampak menanggapi sang guru dengan nada polos, “Tapi dia benar-benar bicara seperti itu.”

“Baiklah, baiklah, kata-kata seperti ini jangan kau ulangi lagi,” ujar Dingyi setelah agak tenang. “Ceritakan saja secara ringkas dan jelas. Ceritakan bagaimana kau bisa bertemu Linghu Chong.”

“Baiklah,” lanjut Yilin. “Orang itu kemudian bicara macam-macam; antara lain, dia bilang kalau wajah saya sangat cantik. Dia juga mengajak saya tidur bersama....”

“Hentikan!” kembali Dingyi membentak. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan!”

“Tapi dia yang bicara seperti itu, Guru” sahut Yilin polos. “Saya sendiri tidak mau menerima ajakannya itu, dan saya tidak tidur....”

“Diam kataku!” bentak Dingyi lebih keras.

Murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi tak kuasa menahan geli. Ia pun tertawa terbahak-bahak mengejutkan semua orang. Tentu saja ini membuat Dingyi semakin murka. Biksuni tua itu lantas menyambar cawan teh di atas meja dan menyiramkan isinya ke arah pemuda itu. Gerakan tersebut disertai tenaga dalam sehingga air teh di dalam cangkir secara cepat dan tepat menyiram wajah si murid Qingcheng tanpa tercecer di lantai sedikit pun. Sebaliknya, pemuda itu tidak sempat menghindar sehingga ia pun menjerit kepanasan.

Yu Canghai marah melihat perbuatan Dingyi. Ia pun membentak, “Apa-apaan ini? Muridmu boleh bercerita tapi muridku tidak boleh tertawa. Dasar ingin menang sendiri.”

Dingyi memandangi Yu Canghai sambil memiringkan wajah, kemudian berkata galak, “Dingyi dari Henshan sudah sejak dulu suka menang sendiri. Memangnya baru sekarang kau tahu?” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat cawan kosong untuk dilemparkan ke arah Yu Canghai. Namun ketua Perguruan Qingcheng itu memalingkan muka seolah tak peduli.

Melihat kepercayaan diri Yu Canghai yang begitu besar, ditambah ilmu silatnya yang sangat tinggi, diam-diam Dingyi merasa segan juga. Perlahan, ia pun meletakkan kembali cawan teh di atas meja dan berkata, “Yilin, lanjutkan ceritamu kembali. Kalimat yang tidak penting tidak perlu kau sampaikan!”

“Baik, Guru,” sahut Yilin. “Beberapa kali saya mencoba melarikan diri namun orang itu selalu dapat menghadang saya. Hari pun semakin gelap dan saya semakin gelisah. Akhirnya, saya nekad menusuk orang itu menggunakan pedang. Terpaksa saya melanggar pantangan membunuh karena terdesak, meskipun dalam hati merasa tidak tega. Namun orang itu dengan cepat menghindar dan meraih... meraih pinggang saya. Saya terkesiap dan berkelit ke samping. Tahu-tahu, pedang saya sudah berhasil direbutnya. Guru, ilmu silat orang itu sangat hebat. Dia memegang pedang saya dengan tangan kanan, lalu mematahkan ujung pedang saya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Ujung pedang saya pun patah sepanjang dua senti.”

“Dia mematahkan ujung pedangmu sepanjang dua senti?” sahut Dingyi tak percaya.

“Benar,” jawab Yilin.

Biksuni Dingyi dan Pendeta Tianmen saling pandang. Keduanya sama-sama berpikir bahwa penjahat ini benar-benar hebat. Apabila yang dipatahkannya adalah bagian tengah pedang, maka hal itu sudah biasa. Akan tetapi orang ini bisa mematahkan ujung pedang dengan dua jari sepanjang dua senti saja; sungguh kekuatan yang menakjubkan.

Pendeta Tianmen lantas melolos pedang yang tergantung di pinggang muridnya, lalu mematahkan ujungnya sepanjang dua senti pula. “Seperti ini?” katanya kemudian.

“Wah, ternyata Paman Pendeta juga bisa,” jawab Yilin polos.

“Huh!” Tianmen mendengus sambil menyarungkan kembali pedang muridnya itu. Kemudian tangan kirinya melemparkan potongan ujung pedang tersebut ke atas meja sampai amblas ke dalam dan tidak terlihat lagi.

“Tenaga dalam Paman Pendeta sungguh luar biasa. Saya yakin, penjahat itu pasti tidak dapat melakukannya. Namun sayang....” ujar Yilin sambil kemudian menundukkan kepala. “Andai saja waktu itu Paman Pendeta berada di sana, mungkin Kakak Linghu tidak akan terluka parah.”

“Terluka parah bagaimana? Bukankah tadi kau bilang dia sudah mati?” tanya Tianmen.

“Justru itu. Gara-gara terluka parah, maka Kakak Linghu akhirnya bisa dibunuh oleh si penjahat Luo Renjie,” jawab Yilin.

Kembali Yu Canghai merasa tersinggung karena muridnya disebut sebagai “penjahat” seperti Tian Boguang. Ini berarti, Yilin menganggap Luo Renjie sama rendahnya dengan maling cabul tersebut.

Sementara itu para hadirin lainnya bertanya-tanya mengapa air mata Yilin kembali mengalir begitu teringat kepada nasib Linghu Chong. Andai saja Yilin bukan seorang biksuni, pasti Pendeta Tianmen, Liu Zhengfeng, He Sanqi, ataupun Tuan Wen sudah membelai kepala atau menepuk-nepuk punggung gadis itu untuk menghiburnya.

Sambil mengusap air matanya menggunakan lengan baju, Yilin melanjutkan cerita, “Penjahat bernama Tian Boguang itu mendorong tubuh saya lalu mencoba membuka pakaian saya. Saya pun menamparnya, tapi kedua tangan saya justru dapat ditangkapnya.

Pada saat itulah tiba-tiba kami mendengar suara tawa seorang laki-laki di luar gua. Orang itu tertawa tiga kali, ‘Hahaha!’ Setelah berhenti sejenak kembali ia tertawa, ‘Hahaha!’

Tian Boguang pun membentak kasar, ‘Siapa itu?’

Namun orang di luar kembali tertawa tanpa menjawab.

Tian Boguang memaki, ‘Sebaiknya kau pergi saja. Lebih cepat lebih baik. Berani membuat Tuan Tian marah bisa membuatmu kehilangan nyawa.’

Namun orang itu kembali tertawa tiga kali. Tian Boguang mencoba mengabaikannya dan kembali melucuti pakaian saya. Orang itu kembali tertawa dengan suara yang lebih keras. Semakin sering ia tertawa, semakin membuat Tian Boguang marah. Saya berharap orang itu datang untuk menolong saya. Namun dia ternyata mengetahui kehebatan Tian Boguang dan tidak berani masuk ke dalam gua. Hanya suara tawanya yang makin lama makin keras membuat Tian Boguang bertambah gusar.

Tian Boguang memaki-maki orang itu dengan kata-kata kotor. Ia kembali menotok titik nadi saya dan kemudian melangkah keluar gua. Akan tetapi, orang itu sudah lebih dulu bersembunyi. Ketika Tian Boguang masuk ke dalam, orang itu kembali tertawa. Tian Boguang semakin gusar dan berlari keluar, namun orang itu sudah menyembunyikan dirinya kembali. Waktu itu saya tertawa karena merasa sangat geli melihat sikap Tian Boguang....”

Dingyi menukas, “Kau ini berada di antara hidup dan mati tapi masih juga bisa tertawa.”

“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Saya sendiri juga tidak tahu kenapa. Saya hanya merasa senang melihat Tian Boguang dikerjai orang di luar gua itu. Sampai akhirnya, Tian Boguang pura-pura masuk ke dalam padahal ia bersembunyi di dekat mulut gua, dengan harapan bisa menyergap orang itu jika kembali tertawa. Karena merasa khawatir, saya pun menjerit, ‘Awas, dia mau keluar!’

Tapi orang itu tertawa di tempat yang lebih jauh dan berkata, ‘Terima kasih banyak; tapi kau tidak perlu khawatir. Dia tidak mungkin bisa menangkapku. Ilmu ringan tubuhnya terlalu rendah.’”

Para hadirin merasa heran karena ada orang yang berani mengejek ilmu ringan tubuh Tian Boguang. Padahal, ilmu ringan tubuh si maling cabul terkenal tiada bandingannya di dunia persilatan. Rupanya orang di luar gua itu bermaksud memancing amarah penjahat yang bergelar Si Pengelana Tunggal Selaksa Li tersebut.

Yilin melanjutkan cerita, “Si penjahat Tian Boguang masuk ke dalam dan tiba-tiba mencubit pipi saya. Saya pun menjerit kesakitan. Kemudian ia berlari keluar dan berteriak, ‘Hei, Bangsat! Kau berani menantang ilmu ringan tubuh Tian Boguang, hah?’ Namun maling cabul itu tertipu. Orang yang tertawa tadi ternyata bersembunyi di dekat mulut gua. Begitu melihat Tian Boguang keluar, ia segera menyelinap masuk.

Laki-laki itu lantas mendekati saya dan berkata, ‘Jangan takut. Aku datang untuk menolongmu. Bagian mana yang ditotok?’

Saya menjawab, ‘Dia menotok titik Jianzhen dan Dazhui di badanku. Tapi, kau ini siapa?’

Orang itu tidak menjawab, hanya meminta izin membuka totokanku.’”

Dingyi tertegun mendengar cerita muridnya karena titik Jianzhen terletak di paha. Padahal, tidak sepantasnya seorang laki-laki menyentuh paha perempuan, apalagi terhadap seorang biksuni. Namun dalam keadaan terdesak seperti itu, semua pelanggaran bisa dimaklumi.

Terdengar Yilin melanjutkan cerita, “Laki-laki itu berusaha memijat sekuat tenaga namun tetap saja tidak mampu membebaskan totokan saya. Jelas tenaga dalam Tian Boguang begitu hebat. Kemudian kami mendengar suara Tian Boguang semakin mendekat. Saya pun berkata kepadanya, ‘Lekas lari dari sini! Jika ketahuan kau pasti akan dibunuh olehnya.’

Tapi orang itu menjawab, ‘Serikat Pedang Lima Gunung adalah satu kesatuan; bagaikan cabang-cabang dalam satu pohon. Adik dalam kesulitan, mana mungkin aku tega pergi begitu saja?’”

“Hah,” seru Dingyi menyela. “Jadi dia berasal dari Serikat Pedang Lima Gunung?”

“Benar, Guru!” jawab Yilin. “Orang itu adalah Kakak Linghu Chong.”

“Oh,” sahut Dingyi, Liu Zhengfeng, Tianmen, Yu Canghai, He Sanqi, dan Tuan Wen bersama-sama. Lao Denuo terlihat menghela napas lega. Sebenarnya beberapa hadirin sudah menduga kalau si penolong itu adalah Linghu Chong, namun tidak seorang pun yang yakin sampai mendengar sendiri dari ucapan Yilin.

Yilin melanjutkan, “Mendengar suara Tian Boguang semakin dekat dan dekat, Kakak Linghu lantas meminta maaf dan langsung menggendong tubuh saya keluar gua. Kami pun bersembunyi di dalam semak-semak ilalang. Baru saja kami keluar, Tian Boguang sudah masuk ke dalam gua. Begitu mengetahui saya sudah menghilang, ia pun marah-marah dan mencaci maki dengan kata-kata kotor. Entah apa saja yang ia ucapkan, saya tidak bisa menirukannya.

Penjahat itu kemudian keluar dari gua sambil menghunus pedang patah milik saya. Untungnya waktu itu hari sudah cukup gelap. Langit juga dalam keadaan mendung dan tiada bulan atau bintang yang bersinar. Dalam keadaan gelap gulita itu Tian Boguang menebaskan pedang ke segala arah. Rupanya dia yakin kalau kami berdua belum pergi jauh dan bersembunyi di dalam ilalang. Sempat satu kali pedangnya lewat di atas kepala saya, hanya selisih beberapa senti saja. Kemudian ia pun berjalan ke arah lain sambil terus menebas dan mengayunkan pedang.

Tiba-tiba beberapa tetes cairan berbau anyir mengenai wajah saya. Ternyata itu adalah darah Kakak Linghu. Saya terkejut dan bertanya, ‘Apakah kau terluka?’

Akan tetapi, Kakak Linghu langsung membungkam mulut saya. Selang agak lama – setelah mendengar suara ayunan pedang semakin jauh dan jauh – barulah ia berbisik, ‘Aku tidak apa-apa.’ Tangannya lalu melepaskan mulut saya, sementara darahnya masih tetap mengucur membasahi wajah saya.

Saya sangat khawatir dan berbisik, ‘Hei, kau terluka cukup dalam. Pendarahannya harus dihentikan. Aku membawa Salep Penyambung Langit.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Jangan bicara dulu. Sedikit saja kita bergerak, maka dia akan langsung menemukan kita.’

Tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang berseru keras, ‘Aha, di sana kalian rupanya! Ayo keluar, Tuan Tian sudah melihat persembunyian kalian!’

Mendengar teriakan penjahat itu saya langsung putus asa. Saya pun mencoba berdiri tapi kaki terasa lumpuh, tak bisa bergerak sama sekali....”

Biksuni Dingyi menukas, “Hm, kau tertipu mentah-mentah. Sebenarnya Tian Boguang tidak melihatmu. Dia hanya menggertak supaya kau keluar dengan sendirinya.”

“Benar sekali,” sahut Yilin agak heran. “Bagaimana Guru bisa mengetahuinya? Bukankah Guru tidak berada di sana?”

“Apanya yang aneh?” jawab Dingyi balik bertanya. “Jika dia benar-benar melihat kalian, untuk apa masih berteriak-teriak? Bukankah lebih baik kalau dia mendekati kalian secara diam-diam dan langsung membunuh Linghu Chong? Hm, ternyata Linghu Chong sendiri masih hijau.”

“Tidak demikian. Kakak Linghu juga berpikiran seperti Guru.” sahut Yilin. “Dia segera membungkam mulut saya agar tidak bersuara. Benar juga, ternyata Tian Boguang masih saja berteriak-teriak sambil membabat semak belukar. Setelah orang itu menjauh, Kakak Linghu perlahan berbisik, ‘Adik, asalkan kau sanggup bertahan setengah jam lagi, maka titik nadimu yang tertotok akan kembali terbuka dengan sendirinya. Tapi aku khawatir penjahat itu akan kembali ke sini dan menemukan kita. Untuk itu, marilah kita bersembunyi di dalam gua.’”

Mendengar kalimat terakhir itu Liu Zhengfeng dan He Sanqi bertepuk tangan; sementara Tuan Wen memuji, “Bagus sekali! Berani juga cerdik!”

Yilin melanjutkan, “Sebenarnya saya sangat takut masuk kembali ke dalam gua. Tapi karena sudah terlanjur kagum terhadap kepandaian Kakak Linghu, saya pun mengikuti ajakannya. Ia lantas menggendong tubuh saya menyelinap ke dalam gua. Sesampainya di dalam, tubuh saya diletakkannya di bawah.

Saya pun berkata, ‘Di dalam bajuku ada Salep Penyambung Langit, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat manjur. Silakan... silakan kau ambil sendiri.’

Tapi Kakak Linghu menolak, ‘Tidak perlu. Ini bukan saat yang tepat untuk mengambil obatmu. Nanti saja kalau totokanmu sudah terbuka, biar kau saja yang mengambilkan.’ Perlahan-lahan ia lantas mengiris lengan bajunya menggunakan pedang untuk membalut luka di bahu.

Saya baru menyadari kalau bahu Kakak Linghu itu terluka oleh sabetan pedang Tian Boguang di semak-semak tadi. Demi menjaga keselamatan saya, Kakak Linghu menahan sakit dalam waktu yang cukup lama. Andai sedikit saja ia bersuara, tentu Tian Boguang langsung mengetahui persembunyian kami. Akan tetapi saya juga merasa heran, kenapa dia merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengambil obat....”

“Hm, ternyata Linghu Chong seorang kesatria sejati,” sahut Dingyi dengan nada mengejek.

Yilin memandangi gurunya dengan perasaan heran. Ia lantas berkata, “Tentu saja Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Saya tidak mengenalnya, tapi dia berusaha menolong saya tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.”

Yu Canghai berkata sinis, “Mungkin kau memang belum pernah mengenalnya. Tapi, bisa jadi dia pernah melihatmu sebelumnya. Kalau tidak, mana mungkin dia mati-matian berusaha menolongmu?” Ucapan ini seolah menuduh Linghu Chong menolong Yilin hanya karena tertarik pada kecantikan biksuni muda tersebut.

“Tidak. Kakak Linghu berkata belum pernah melihat diriku sama sekali. Dia tidak mungkin berbohong kepadaku,” jawab Yilin. Meskipun suaranya lemah lembut, namun bernada penuh keyakinan. Para hadirin ikut terkesan melihatnya dan diam-diam membenarkan pernyataan tersebut.

Sementara itu Yu Canghai berpikir, “Si keparat Linghu Chong biasanya bertingkah ugal-ugalan dan suka mencari keributan. Bisa jadi dia menantang Tian Boguang bukan karena tertarik pada kecantikan, tapi untuk memperoleh nama besar di dunia persilatan.”

Yilin melanjutkan, “Setelah membalut lukanya, Kakak Linghu kembali memijat-mijat beberapa titik nadi di punggung dan pinggang saya untuk membuka totokan. Namun kemudian terdengar suara ayunan pedang semakin mendekat. Rupanya Tian Boguang sudah mendekati mulut gua, namun tidak langsung masuk ke dalam. Orang itu hanya duduk di atas sebongkah batu di luar gua. Sepertinya ia sangat penasaran.

Waktu itu saya sangat ketakutan dan menahan napas dengan jantung berdebar-debar. Tiba-tiba totokan di bagian bahu saya terbuka dan menimbulkan rasa sakit. Tanpa sadar, saya pun meringis kesakitan sampai menarik napas. Tentu saja hal ini merusak semuanya. Tian Boguang yang sangat cermat langsung mendengar dan segera bangkit sambil tertawa. Ia pun masuk ke dalam gua dengan langkah lebar. Kakak Linghu sendiri masih tetap terdiam tanpa bergerak sedikit pun.

Dalam kegelapan itu, terdengar suara Tian Boguang berkata sambil tertawa, ‘Domba kecilku, ternyata kau bersembunyi di dalam gua ini, ya?’ Usai berkata tangannya lantas menjulur hampir meraih tubuh saya.

Tiba-tiba saya mendengar suara pedang berkelebat. Rupanya Kakak Linghu menusuk Tian Boguang dan tepat mengenai sasaran. Penjahat itu terkejut dan menjatuhkan pedang patah milik saya di tangannya. Namun demikian, tusukan itu tidak terlalu dalam dan juga tidak mengenai bagian berbahaya. Tian Boguang lantas melompat ke belakang dan melolos goloknya. Kemudian ia mengayunkan senjata untuk membalas Kakak Linghu. Sekejap kemudian, terdengar suara logam beradu; Kakak Linghu dan Tian Boguang telah terlibat pertarungan seru di dalam gua. Keadaan waktu itu benar-benar gelap dan keduanya sama-sama tidak bisa saling melihat. Saya hanya mendengar setiap kali senjata mereka beradu, keduanya langsung melompat mundur dan menghimpun napas.”

Pendeta Tianmen menyela, “Berapa jurus Linghu Chong bisa menandingi Tian Boguang itu?”

“Waktu itu saya sangat bingung dan tidak tahu harus bagaimana,” jawab Yilin. “Entah berapa jurus mereka lalui, sampai akhirnya saya mendengar Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Aha, rupanya kau berasal dari Perguruan Huashan! Ilmu pedang perguruanmu tidak sebanding dengan golokku. Lekas katakan, siapa namamu!’

Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku tidak penting. Setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah keluarga sendiri. Baik Huashan maupun Henshan adalah musuh besar penjahat cabul seperti dirimu....’ Belum selesai Kakak Linghu menjawab, tiba-tiba Tian Boguang sudah menerjang maju. Rupanya dia hanya memancing Kakak Linghu berbicara supaya bisa mengetahui di mana lawannya itu berada. Sesaat kemudian terdengar suara Kakak Linghu berseru kesakitan. Rupanya dia kembali terluka oleh golok Tian Boguang.

Tian Boguang lantas berkata, ‘Sudah kubilang, ilmu pedang Huashan tidak dapat menandingi ilmu golok Tuan Tian. Meskipun gurumu, si tua Yue yang datang kemari juga tidak akan menang.’

Namun demikian, Kakak Linghu tetap terdiam tidak menjawab sama sekali.

Setelah totokan di bahu terbuka, saya kembali merasa kesakitan karena totokan di punggung juga terbuka. Setelah bisa bergerak kembali, saya pun merangkak untuk mencari pedang saya yang sudah patah tadi untuk membantu Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu justru berteriak, ‘Rupanya kau sudah terbebas. Lekas kau pergi dari sini! Cepat lari!’

Saya pun menjawab, ‘Kakak dari Huashan, biarkan aku membantumu! Mari kita bertempur bersama melawan penjahat itu!’

Namun Kakak Linghu tetap melarang dan berkata, ‘Tidak! Kau pergi saja sekarang! Kita berdua tetap bukan tandingan orang ini.”

Terdengar Tian Boguang kembali tertawa dan berkata, ‘Senang sekali mendengarmu menyadari kehebatanku. Untuk apa kau membuang-buang waktu di sini? Namun, aku kagum juga pada keberanianmu. Katakan siapa namamu, orang Huashan!’

Kakak Linghu menyahut, ‘Kalau kau bertanya dengan sopan tentu akan kujawab. Tapi karena kau bersikap kurang ajar, maka orang tuamu ini tidak perlu merasa segan.’

Guru, bukankah ini menggelikan? Kakak Linghu bukan ayahnya, tapi dia mengaku sebagai orang tua Tian Boguang?”

Dingyi menjawab sambil mendengus, “Ini hanya kata-kata ejekan, jangan diambil pusing.”

“Ah, begitu rupanya,” ujar Yilin. “Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya, ‘Hei, Adik dari Henshan, lekas kau pergi ke Hengshan. Saudara-saudara kita sudah berkumpul di sana. Keparat ini tidak akan berani mengejarmu.’

Saya bertanya, ‘Bagaimana kalau dia nanti membunuhmu?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Dia tidak mampu membunuhku. Aku akan merintanginya di sini... Hei, kenapa kau masih di sini juga? Lekas pergi!’ Kembali terdengar suara logam beradu, disusul Kakak Linghu berseru, ‘Aduh!’ Rupanya dia kembali terluka.

Meskipun demikian, Kakak Linghu tidak peduli dan kembali berteriak kepada saya, ‘Adik, jika kau tidak segera pergi dari sini, maka aku akan memaki dirimu!’

Saat itu saya sudah menghunus pedang patah dan berseru kepadanya, ‘Kakak dari Huashan, mari kita hadapi orang ini bersama-sama!’

Tian Boguang tertawa dan menyahut, ‘Bagus sekali, Tuan Tian seorang diri bersenjata golok menghadapi Perguruan Huashan dan Henshan. Namun, kalian tetap tidak mungkin menang.’

Sementara itu Kakak Linghu mulai marah-marah dan memaki saya, ‘Dasar biksuni cilik tak tahu adat! Dasar biksuni tolol! Cepat kau pergi! Kalau tidak juga pergi akan kutempeleng wajahmu!’

Tian Boguang kembali tertawa dan berkata, ‘Biksuni cilik ini ingin bermesraan denganku. Dia tidak akan pergi.’

Kakak Linghu menegas, ‘Kau pergi atau tidak?’

Saya menjawab, ‘Aku tidak mau pergi!’

Kakak Linghu semakin gusar dan berkata, ‘Jika kau tidak mau pergi, maka aku akan memaki gurumu; Dasar Dingxian biksuni tua pikun dan bodoh, lihat bagaimana hasil didikanmu terhadap biksuni cilik ini!’

Saya menjawab, ‘Bibi Dingxian bukan guruku.’

Kakak Linghu berkata, ‘Kalau begitu akan kumaki si tua Dingjing!’

Saya menjawab, ‘Bibi Dingjing juga bukan guruku.’

Kakak Linghu menyahut, ‘Oh, kalau begitu kau adalah murid Dingyi, si pikun bodoh....”’

Mendengar ini raut muka Dingyi berubah merah dan terlihat gusar.

Yilin buru-buru menjelaskan, “Guru jangan marah dulu. Kakak Linghu hanya bermaksud mengusir saya. Dia tidak bersungguh-sungguh hendak memaki Guru. Saya pun menjelaskan kepadanya, ‘Jangan kau maki guruku. Aku tolol karena kebodohanku sendiri. Guruku sudah mendidik dengan baik.’

Tiba-tiba Tian Boguang melompat ke arah saya dan berusaha menangkap saya lagi. Dalam keadaan gelap gulita saya mengayunkan pedang ke segala arah membuat penjahat itu terpaksa mundur kembali.

Kemudian terdengar kembali Kakak Linghu berkata, ‘Kenapa tidak juga pergi dari sini? Apa kau mau aku memaki gurumu lagi?’

Saya menjawab, ‘Jangan memaki lagi. Lebih baik kita pergi bersama-sama.’

Kakak Linghu berkata, ‘Kau hanya akan menggangguku saja kalau masih berada di sini. Aku menjadi tidak leluasa mengerahkan jurus pedang Huashan yang paling ampuh. Begitu kau pergi, maka aku bisa langsung membunuh bangsat keparat ini.’

Tian Boguang ikut menyahut, ‘Hahaha, kasih sayangmu pada biksuni cilik ini sungguh luar biasa. Hanya sayang, dia tidak tahu siapa namamu.’

Diam-diam saya merasa ucapan Tian Boguang ini benar juga. Maka itu, saya pun bertanya, ‘Kakak dari Huashan, tolong katakan siapa namamu? Biar aku bisa bercerita kepada Guru tentang kebaikanmu.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku Lao Denuo. Sudah, sana pergi! Kau ini terlalu banyak adat!’”

Mendengar sampai di sini, Lao Denuo terkejut. Dengan perasaan bingung ia berpikir, “Mengapa Kakak Pertama memakai namaku?”

Di sisi lain Tuan Wen berkata, “Linghu Chong benar-benar berwatak kesatria. Ia bertaruh nyawa menolong orang lain tanpa mencari kejayaan diri sendiri. Sungguh luar biasa.”

Akan tetapi Biksuni Dingyi berpendapat lain. Sambil melirik ke arah Lao Denuo ia menggerutu, “Ah, Linghu Chong telah memaki diriku ini pikun dan bodoh. Mungkin dia takut aku membalas perbuatannya. Maka, dengan sengaja dia melimpahkan kesalahan kepada orang lain.” Biksuni tua itu lantas berseru kepada Lao Denuo, “Hm, rupanya kau orangnya yang berani memaki diriku pikun dan tua, hah?”

Buru-buru Lao Denuo membungkuk dan menjawab, “Bukan saya, Bibi Biksuni! Mana mungkin saya berani?”

Liu Zhengfeng tersenyum menengahi, “Kakak Dingyi, sudah jelas yang bertarung melawan Tian Boguang adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo ini. Meskipun murid nomor dua, namun usia Keponakan Lao jauh lebih tua. Keponakan Linghu sengaja memakai nama adik seperguruannya ini karena Keponakan Lao memang sepantasnya menjadi kakek Yilin.”

Seketika Dingyi langsung paham begitu mendengar ucapan Liu Zhengfeng tersebut. Ternyata Linghu Chong berusaha menjaga nama baik Yilin dalam peristiwa ini. Saat itu memang keadaan gelap gulita sehingga Linghu Chong, Yilin, dan Tian Boguang tidak bisa saling melihat satu sama lain. Apabila Yilin berhasil meloloskan diri dan bercerita kepada banyak orang bahwa yang telah menyelamatkan dirinya adalah si tua Lao Denuo, tentu tidak akan ada komentar miring terhadap peristiwa ini. Jelas-jelas tubuh Yilin telah digendong dan dipijat oleh penolongnya di dalam gua gelap. Apabila tersiar kabar bahwa sang penolong adalah pemuda bernama Linghu Chong, tentu akan menimbulkan desas-desus kurang sedap. Dengan menggunakan nama Lao Denuo, ini berarti Linghu Chong tidak hanya menjaga nama baik Yilin, tapi juga menjaga kehormatan Perguruan Henshan.

Menyadari maksud di balik ini semua, Biksuni Dingyi tersenyum dan berkata, “Hm, bocah Linghu Chong itu ternyata boleh juga. Selanjutnya bagaimana, Yilin?”

Yilin menjawab, “Saya tetap tidak mau pergi. Saya berkata, ‘Kakak Lao, kau telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menolongku; mana mungkin aku meninggalkanmu di sini? Jika Guru sampai tahu kalau aku kabur seperti pengecut, tentu Beliau akan membunuhku. Guru selalu mengatakan bahwa, meskipun murid-murid Perguruan Henshan semua adalah kaum wanita, namun kami selalu mengutamakan sikap kesatria yang tidak berbeda dengan laki-laki.”

“Bagus sekali, bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Ucapanmu benar sekali. Kaum persilatan yang tidak mengutamakan rasa setia kawan, lebih baik mati saja; tidak peduli laki-laki atau perempuan.”

Melihat raut muka sang biksuni tua sedemikian bersungguh-sungguh, diam-diam para hadirin memuji keberanian dan semangat Dingyi yang tidak kalah dibandingkan kaum laki-laki.

Terdengar Yilin menjawab, “Akan tetapi, Kakak Linghu justru memarahi saya. Dia berkata, ‘Dasar biksuni cilik sialan, persetan denganmu! Yang kau lakukan hanya omong kosong panjang lebar. Gara-gara kau masih di sini aku jadi tidak leluasa memainkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti. Aku yang tua ini ternyata harus menerima takdir mati di tangan penjahat cabul di dalam sini. Jangan-jangan kau sudah bersekongkol dengan Tian Boguang untuk menjebakku di gua ini. Aku, Lao Denuo, memang bernasib sial karena bertemu biksuni sial seperti dirimu. Gara-gara kau masih berada di sini, aku tidak berani mengerahkan ilmu pedang Huashan yang paling ampuh. Aku takut kau ikut celaka menjadi korban kekuatan pedangku yang tidak pandang bulu. Baiklah kalau demikian. Tian Boguang, silakan kau penggal leherku dengan gerakan terbaikmu untuk mengakhiri semua ini. Aku yang tua tidak akan menolak takdir....”’

Semua kata-kata kotor yang diucapkan Linghu Chong diceritakan kembali oleh Yilin, namun menggunakan suara yang lembut dan manis sehingga terdengar menggelikan. Para hadirin mau tidak mau tersenyum juga mendengarnya.

Yilin melanjutkan, “Mendengar ucapannya itu, saya pun sadar tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Kakak Linghu karena ilmu silat saya sangat rendah. Justru dengan keberadaan saya di sana, Kakak Linghu semakin terdesak dan tidak mampu mengerahkan ilmu pedang Huashan yang mahasakti....”

Dingyi menukas, “Huh, ilmu pedang bocah itu biasa-biasa saja! Memangnya bagian mana yang disebutnya mahasakti?”

Yilin menjawab, “Guru, dia hanya ingin menakut-nakuti Tian Boguang. Saya lantas berkata kepadanya, ‘Kakak Lao, aku pergi sekarang. Semoga kita bertemu kembali.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Lekas pergi dari sini, telur bebek busuk! Semakin jauh semakin bagus! Bertemu biksuni hanya membuatku kalah berjudi. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku ini gemar berjudi. Bertemu denganmu hanya membawa kesialan saja!’”

Dingyi yang sempat kagum kepada Linghu Chong kini kembali gusar. Ia bangkit dari duduk dan bertanya, “Dasar bocah keparat! Yilin, apakah kau lantas pergi?’

“Saya terpaksa pergi karena khawatir membuat Kakak Linghu bertambah marah,” jawab Yilin. “Begitu saya pergi meninggalkan gua, segera terdengar kembali suara logam beradu, pertanda Kakak Linghu dan Tian Boguang melanjutkan pertarungan mereka. Jika Tian Boguang yang menang, tentu dia akan segera mengejar saya; namun jika Kakak Linghu yang menang, tentu dia akan kalah berjudi jika masih melihat saya. Maka, saya pun berlari sekencang-kencangnya. Waktu itu saya ingin sekali segera bertemu Guru. Saya ingin meminta Guru menghadapi si penjahat Tian Boguang itu.”

Dingyi mendengus sambil mengangguk.

Yilin lalu bertanya, “Guru, akhirnya Kakak Linghu mati dibunuh Luo Renjie. Apakah dia bernasib sial karena... karena bertemu saya?”

“Omong kosong!” jawab Dingyi gusar. “Untuk apa kau percaya dengan bualannya? Setiap hari banyak orang yang melihat kita. Memangnya mereka semua bernasib sial?”

Para hadirin tersenyum geli mendengar pertanyaan Yilin yang polos itu. Namun demikian, tidak seorang pun berani bersuara karena segan terhadap Dingyi.

Yilin lalu melanjutkan ceritanya, “Saya pun berlari secepat mungkin tanpa berhenti sedikit pun. Ketika marahari terbit barulah saya memasuki Kota Hengyang. Saya merasa lega karena mengira bisa berjumpa Guru di sana. Baru saja memperlambat langkah, tahu-tahu Tian Boguang sudah berada di belakang saya. Seketika kaki saya terasa lemas dan lunglai. Saya kembali berlari namun baru beberapa langkah saja orang itu sudah menangkap saya. Waktu itu saya sangat sedih memikirkan Kakak Linghu tentu sudah mati di dalam gua.

Pagi itu suasana Kota Hengyang sudah ramai. Banyak orang berlalu-lalang di jalanan sehingga Tian Boguang tidak berani berbuat kurang ajar terhadap saya. Ia hanya mengancam, ‘Jika kau tidak menimbulkan masalah, maka aku tidak akan berbuat kasar terhadapmu. Tapi kalau kau tidak menuruti perintahku, maka akan kulepaskan semua pakaianmu di sini biar jadi tontonan banyak orang.’

Saya sangat ketakutan dan terpaksa menuruti penjahat itu. Dia berkata, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat cantik bagaikan... bagaikan seorang dewi yang turun dari langit. Rumah Minum Pemabuk Dewa terbuka untukmu. Marilah kita minum di sana sambil bersenang-senang.’

Saya menjawab, ‘Seorang biksuni tidak boleh minum arak dan makan daging. Ini juga menjadi larangan keras di Biara Awan Putih.’

Dia berkata, ‘Huh, di tempatmu banyak sekali peraturan aneh-aneh. Apa kau benar-benar ingin mematuhi semuanya? Hari ini akan kuajari kau bagaimana caranya melanggar peraturan. Semua peraturan dan tata tertib hanya untuk menipu orang saja. Gurumu itu... gurumu itu....’” Sampai di sini Yilin melirik ke arah Dingyi dan tidak berani melanjutkan.

“Ocehan keparat itu tidak perlu kau ceritakan,” sahut Dingyi gusar. “Selanjutnya bagaimana?”

Yilin menjawab, “Saya pun berkata kepadanya, ‘Guruku tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau tidak pernah minum arak atau makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi!’”

Mendengar jawaban Yilin meledaklah tawa para hadirin yang sejak tadi tertahan sekian lama. Meskipun Yilin memotong ceritanya tetap saja mereka bisa menebak kalau Tian Boguang telah menuduh Dingyi diam-diam suka melanggar pantangan. Dingyi sendiri tampak sangat malu dan berpikir, “Anak ini sungguh polos; tidak tahu mana yang pantas diceritakan, mana yang tidak.”

Yilin melanjutkan, “Penjahat itu kemudian menarik baju saya dan berkata, ‘Jika kau tidak mengikuti langkahku, maka jubahmu ini akan kutarik sampai robek.’

Saya terpaksa mengikuti Tian Boguang masuk ke dalam sebuah kedai besar yang bernama Rumah Minum Pemabuk Dewa tadi. Kami duduk semeja di loteng atas. Guru, orang itu benar-benar jahat. Sudah tahu saya seorang biksuni masih saja dia memaksa supaya saya menemaninya minum arak dan makan daging. Kita ini pengikut Buddha, dilarang makan daging; dan tidak mungkin saya melanggarnya. Biarlah dia menelanjangi saya di depan umum, asalkan itu semua bukan niat saya.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang pemuda mendatangi kami. Wajahnya terlihat pucat dan pakaiannya berlumuran darah. Sebilah pedang tergantung pula di pinggangnya. Tanpa banyak bicara ia langsung duduk semeja dengan kami dan langsung meneguk semangkuk arak yang dihidangkan Tian Boguang untuk saya. Begitu habis, mangkuk itu kemudian diisinya lagi dan diminumnya dalam sekali teguk. Ketika hendak minum untuk yang ketiga kalinya dia mengangkat mangkuknya dan berkata pada kami, ‘Mari, semuanya!’

Mendengar suaranya itu perasaan saya terkejut dan sangat gembira. Ternyata dia adalah kakak dari Huashan yang berusaha menolong saya di dalam gua tadi. Buddha memberkatinya. Ternyata Kakak Linghu selamat dari tangan jahat Tian Boguang. Akan tetapi, luka di tubuhnya sangat parah. Tian Boguang sendiri mengamatinya dari atas ke bawah dengan seksama. Penjahat itu lalu berkata, ‘Kau rupanya!’

Kakak Linghu menjawab, ‘Benar, ini aku!’

Tian Boguang mengacungkan jempol dan memuji, ‘Laki-laki hebat!’

Kakak Linghu mengacungkan jempol pula dan menjawab, ‘Ilmu golok hebat!’

Keduanya pun bergelak tawa dan minum bersama. Saya benar-benar terkejut. Semalam mereka bertarung mati-matian, tapi pagi itu minum bersama dengan akrab. Saya senang melihat Kakak Linghu tidak mati; tapi saya juga khawatir jangan-jangan dia adalah teman Tian Boguang.

Tian Boguang lantas berkata, ‘Aku pernah mendengar bahwa Lao Denuo sudah tua bangka. Dia memiliki kakak seperguruan yang usianya jauh lebih muda bernama Linghu Chong. Melihat usiamu ini, sudah pasti kau bukan Lao Denuo.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Aku memang bukan Lao Denuo.’

Tian Boguang memukul meja sambil berseru, ‘Aha, kalau demikian kau ini pasti Linghu Chong, pemuda dari Huashan yang terkenal gagah berani.’

Pada saat itulah saya baru mengetahui kalau nama asli penolong saya adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo. Dia sama sekali belum tua. Mungkin usianya belum ada dua puluh lima.

Kemudian Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian terlalu memuji. Linghu Chong yang kau sebut gagah berani ini telah bertekuk lutut di bawah ilmu golokmu yang luar biasa. Sungguh memalukan.’

Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Tanpa bertarung, tidak akan terjadi perkenalan. Bagaimana kalau kita berteman saja? Kalau Saudara Linghu menyukai biksuni cilik ini, aku bersedia mengalah. Kaum laki-laki seperti kita lebih mengutamakan persahabatan daripada urusan perempuan.’”

“Kurang ajar!” sahut Dingyi menukas dengan muka merah padam. “Bajingan itu... bajingan itu....”

Yilin hampir saja menangis ketika melanjutkan, “Kakak Linghu kemudian berkata, ‘Saudara Tian, biksuni cilik ini wajahnya pucat sepeti mayat. Tiap hari dia hanya makan sayuran dan kacang. Percuma wajahnya cantik kalau tidak menarik. Apalagi aku paling tidak suka dengan kaum biksuni. Bahkan, aku ingin membantai habis semua biksuni yang ada di muka bumi.’

‘Mengapa?’ tanya Tian Boguang.

Kakak Linghu berkata, ‘Terus terang, aku punya suatu kegemaran, yaitu berjudi. Aku sangat senang berjudi. Judi adalah hidupku. Setiap bertemu dadu, aku langsung lupa segalanya, bahkan namaku sendiri. Namun jika melihat biksuni, aku selalu kalah bertaruh. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali, namun sudah berkali-kali. Tidak hanya aku saja, saudara-saudaraku dari Huashan sebenarnya juga muak kalau bertemu para bibi dan saudari dari Henshan. Kelihatannya kami bersikap ramah tamah, padahal sebenarnya dalam hati kami merasa sial.’”

Mendengar itu Dingyi tidak tahan lagi. Tanpa ampun dia langsung menampar pipi Lao Denuo satu kali. Gerakan tangannya ini sangat cepat dan juga keras. Lao Denuo yang bernasib sial itu tidak sempat menghindar. Seketika kepalanya terasa pusing dan hampir saja ia jatuh di lantai.

Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, “Kakak Dingyi, mengapa kau harus marah? Keponakan Linghu bicara sembarangan hanya untuk menyelamatkan muridmu yang jelita ini saja. Ia hanya berusaha agar Tian Boguang bersedia melepaskan Yilin.”

Dingyi menyahut, “Jadi menurutmu, ini semua demi menolong Yilin?”

“Aku yakin demikian,” jawab Liu Zhengfeng sambil mengangguk. “Keponakan Yilin, bagaimana menurutmu?”

Yilin menunduk dan berkata lirih, “Sebenarnya... sebenarnya Kakak Linghu sangat baik. Hanya saja, ia suka bicara kotor. Tapi kalau Guru marah, saya tidak berani bercerita lagi.”

“Ceritakan saja, ceritakan saja semuanya!” sahut Dingyi gusar. “Aku jadi ingin tahu apa saja yang dikatakan bocah sialan itu. Jika dia memang benar-benar bajingan, aku akan membuat perhitungan dengan si tua Yue, gurunya.”

Yilin masih menundukkan kepala. Sedikit pun ia tidak berani bercerita kembali.

Dingyi berseru, “Lekas lanjutkan! Kau jangan terlalu membelanya. Kami bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk berdasarkan ceritamu.”

“Baik, Guru” sahut Yilin. “Kemudian Kakak Linghu kembali berkata, ‘Saudara Tian, kita hidup di dunia persilatan ini setiap saat tidak luput dari adu senjata. Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, tapi kalau bernasib sial tentu jiwanya akan celaka. Betul, tidak? Apabila kita bertemu musuh yang berkepandaian sama, tentu hasil akhirnya sangat tergantung pada nasib dan keberuntungan. Biksuni cilik ini kurus kering seperti ayam. Meskipun wajahnya cantik seperti dewi kahyangan, tetap saja aku tidak tertarik sama sekali. Sebagai manusia sudah tentu aku lebih mementingkan keselamatan nyawa. Lebih mementingkan perempuan daripada persahabatan adalah salah; lebih memntingkan perempuan daripada keselamatan adalah keliru. Kaum biksuni adalah pembawa sial, maka sebaiknya jangan sekali-kali kita menyentuh dia.’

Tian Boguang tertawa dan menjawab, ‘Saudara Linghu, aku kira kau ini seorang pria yang tidak kenal takut. Hm, ternyata kau begitu ketakutan melihat biksuni cilik ini.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja. Aku punya banyak pengalaman buruk dengan biksuni. Setiap kali melihat biksuni lewat aku pasti bernasib sial. Hal ini sudah terjadi berkali-kali. Sebagai contoh, tadi malam aku hanya mendengar suara biksuni ini saja namun harus merasakan tiga kali sabetan golokmu. Apa ini bukan nasib sial namanya?’

Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu!’

Kakak Linghu melanjutkan, ‘Saudara Tian, aku ini tidak sudi bicara dengan kaum biksuni. Sebaiknya kau biarkan saja dia pergi sejauh-jauhnya agar kita bisa menikmati arak ini sampai puas. Setulus hati aku memberikan nasihat kepadamu. Sedikit saja kau menyentuh seorang biksuni, maka nasib sial akan selalu menyertaimu. Sepanjang perjalanan kau berkelana di dunia persilatan, masalah demi masalah akan selalu mendatangimu. Kecuali, kalau kau menjadi seorang biksu. Aku heran, mengapa kau berani bermain-main dengan salah satu dari tiga racun paling berbahaya di dunia?’

Tian Boguang bertanya, ‘Tiga racun paling berbahaya? Apa saja itu?’

Kakak Linghu terihat heran dan balik bertanya, ‘Aneh, padahal kau ini sudah berkelana ke mana-mana, tapi ternyata belum mengetahui tiga jenis racun paling berbahaya di muka bumi. Baiklah aku katakan kepadamu, tiga racun tersebut adalah biksuni, warangan, dan ular belang emas. Aku bersumpah demi kahyangan, bahwa biksuni adalah yang paling beracun di antara semua jenis racun. Semua murid laki-laki dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah mengetahui akan hal ini, memangnya kau tidak takut?’”

Kemarahan Dingyi meledak bagaikan gunung meletus. Tangannya menggebrak meja dan mulutnya memaki, “Dasar kepa....” Namun demikian, ia sempat menahan diri sehingga tidak sampai mengeluarkan kata-kata kotor.

Lao Denuo yang baru saja ditampar sang biksuni tua kini berusaha menjaga jarak dengannya. Melihat Dingyi kembali marah-marah, ia pun mundur semakin jauh.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar