Setelah menghabiskan semangkuk
bakmi, Lin Pingzhi keluar untuk mencari informasi tentang keberadaan ayah dan
ibunya, atau paling tidak mengenai orang-orang Perguruan Qingcheng. Berita
apapun tentang mereka sungguh sangat berharga baginya. Setengah hari lamanya ia
berjalan ke sana kemari mencari kabar, sampai akhirnya gerimis pun turun dari
langit.
Lin Pingzhi segera membeli
sebuah caping dari bambu di tepi jalan untuk dipakainya sambil terus melangkah.
Akan tetapi, mendung semakin gelap dan hujan bertambah deras; sepertinya tidak
akan segera berhenti. Di ujung jalan ia melihat sebuah rumah minum yang cukup
besar, dan tampak penuh oleh pengunjung.
Lin Pingzhi masuk ke dalam
rumah minum itu, untuk kemudian memesan sepoci teh hangat dan sepiring kuaci.
Sambil beristirahat ia mencoba mendengarkan pembicaraan orang-orang di sana.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Hei, bungkuk! Apa boleh kami duduk di
sini?”
Belum sempat Lin Pingzhi
menjawab, orang itu sudah duduk di sampingnya. Menyusul kemudian dua orang
duduk pula di samping orang itu. Rupanya Lin Pingzhi belum terbiasa dengan
sebutan “bungkuk” sehingga sempat tidak menghiraukan perkataan tadi. Begitu
sadar akan penyamarannya, ia pun menyahut, “Silakan, silakan!”
Ketiga orang yang duduk semeja
dengan Lin Pingzhi tampak berpakaian serbahitam dan masing-masing membawa
sebilah golok. Ketiganya langsung saja bercakap-cakap satu sama lain tanpa
sedikit pun memedulikan pemuda yang sedang menyamar itu.
“Kakak Peng,” kata salah
seorang yang paling muda dari mereka. “Tampaknya upacara Cuci Tangan Baskom
Emas Tuan Majikan Liu akan diselenggarakan besar-besaran. Coba lihat, padahal
acaranya masih kurang tiga hari lagi tapi para pendekar yang datang sudah
memenuhi kota ini.”
“Tentu saja!” jawab rekannya
yang bermata satu. “Perguruan Hengshan memiliki nama besar di dunia persilatan,
apalagi ditambah dengan keberadaannya sebagai anggota Serikat Pedang Lima
Gunung. Siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka? Tuan Majikan
Liu sendiri juga seorang tokoh terkemuka yang berilmu tinggi. Jurus Pedang
Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis andalannya sangat lihai, hanya sedikit di bawah
Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan. Banyak orang yang ingin bersahabat
dengannya namun sulit memperoleh kesempatan. Ia tidak pernah mengadakan
perayaan ulang tahun, pernikahan anaknya, atau acara-acara lainnya. Tidak
heran, begitu mendengar ia hendak mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas,
serentak orang-orang persilatan berbondong-bondong kemari. Aku yakin, besok
atau lusa suasana Kota Hengshan pasti akan semakin ramai.”
“Tidak semua orang datang
kemari untuk tujuan itu. Misalnya, kita bertiga ini,” sahut rekannya yang
berjanggut putih dengan nada dingin. “Liu Zhengfeng mengadakan upacara Cuci
Tangan Baskom Emas, yang berarti ia mengundurkan diri dari dunia persilatan. Ia
tidak peduli lagi dengan permasalahan para pesilat seperti kita. Sehebat apapun
ilmu silatnya, tetap saja tidak ada gunanya lagi. Jadi, untuk apa mereka
menjalin persahabatan dengannya?”
“Masalahnya bukan seperti itu,
Kakak Peng,” kata yang paling muda. “Walaupun Tuan Majikan Liu mengundurkan
diri dari dunia persilatan, tetap saja ia adalah orang nomor dua di Perguruan
Hengshan. Siapa yang bersahabat dengannya berarti bersahabat pula dengan
Perguruan Hengshan, dan ini bisa berarti bersahabat pula dengan Serikat Pedang
Lima Gunung.”
“Serikat Pedang Lima Gunung?”
sahut si janggut putih. “Memangnya kau pantas bersahabat dengan mereka?”
“Bukan begitu, Kakak Peng,”
jawab si mata satu membela si pemuda. “Kita hidup di dunia persilatan;
mempunyai banyak sahabat adalah bermanfaat, mempunyai sedikit musuh adalah
menguntungkan. Meskipun orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung memiliki
kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak suka memandang rendah pihak
lain. Andaikata mereka itu angkuh dan sombong, mana mungkin begitu banyak orang
sudi datang ke Kota Hengshan sini untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Majikan
Liu?”
“Huh,” si janggut putih
bermarga Peng mendengus. “Sebagian besar dari mereka hanya datang untuk
menjilat. Hatiku muak melihatnya.”
Meskipun keberadaannya tidak
dianggap, Lin Pingzhi diam-diam menyimak pembicaraan mereka bertiga. Sebenarnya
ia berharap mereka menyinggung tentang Perguruan Qingcheng, namun ketiganya
lantas menghentikan pembicaraan dan memilih minum karena tidak sepaham lagi.
Tiba-tiba terdengar suara
orang lain berkata perlahan dari arah belakang, “Paman Wang, kabarnya usia Tuan
Majikan Liu baru sekitar lima puluhan, tapi mengapa ia tiba-tiba memutuskan
untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan? Padahal, bisa dikatakan ia
sedang berada di puncak kejayaan.”
“Banyak sekali alasan untuk
mengundurkan diri,” jawab seorang yang lebih tua. “Misalnya, seorang penjahat
melakukan upacara Cuci Tangan bisa jadi karena ia telah menyesali semua
perbuatannya dan memutuskan untuk hidup secara baik-baik. Dengan demikian, ia
dapat mewariskan nama baik kepada anak-cucunya; kedua, ia dapat menghindarkan
diri dari tuduhan masyarakat sekitar apabila terjadi kejahatan di lingkungan
tempat tinggalnya. Tapi Tuan Majikan Liu seorang terhormat dan memiliki
kekayaan yang melimpah pula. Alasan seperti ini jelas tidak sesuai untuknya.”
“Tentu saja,” jawab rekannya
yang lebih muda tadi.
Paman Wang melanjutkan,
“Seseorang yang telah mempelajari ilmu silat, maka selamanya ia akan hidup di
bawah kilatan senjata. Setiap orang persilatan pasti pernah melukai atau
mengikat permusuhan dengan pihak lain. Semakin tua usia seseorang tentu
kekuatannya akan semakin berkurang. Mungkin alasan Tuan Majikan Liu mengundang banyak
orang untuk menyaksikannya mengundurkan diri dari dunia persilatan agar ia bisa
mengakhiri semua permusuhan dengan pihak lain. Musuh-musuhnya tidak perlu takut
lagi kepadanya; dan sebaliknya, ia tidak perlu takut lagi kalau ada orang yang
hendak membuat perhitungan dengannya.”
“Tapi, Paman!” sahut yang
lebih muda. “Bukankah cara seperti ini justru merugikan dirinya sendiri?”
“Merugikan bagaimana?” tanya
Paman Wang.
“Bisa saja Tuan Majikan Liu
menyatakan mundur dan melupakan semua permusuhannya,” ujar si keponakan. “Tapi
bagaimana kalau orang lain yang memusuhinya tetap tidak peduli? Padahal Tuan
Majikan Liu sudah berjanji untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatnya. Lantas,
kalau musuhnya itu datang, apa dia menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya
dibunuh tanpa perlawanan?”
“Kau ini memang benar-benar
masih hijau,” jawab Paman Wang. “Mengundurkan diri dari dunia persilatan bukan
berarti melupakan semua ilmu silat begitu saja, atau menyerah kalah jika ada
musuh yang datang. Bukan seperti itu. Lagipula siapa orangnya yang berani
membuat masalah dengan Tuan Majikan Liu yang memiliki kedudukan tinggi di
Perguruan Hengshan? Memangnya orang itu memiliki hati singa atau jantung macan,
berani menantang Tuan Majikan Liu? Andaikata Tuan Majikan Liu tidak melayani
serangan musuh, tetap saja ia memiliki banyak murid yang siap melindunginya
setiap saat. Kau tidak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak.”
Si janggut putih bermarga Peng
yang duduk di samping Lin Pingzhi bergumam menanggapi percakapan tersebut, “Huh,
di atas langit masih ada langit. Di atas orang pandai masih ada yang lebih
pandai. Memangnya di dunia ini tidak ada yang lebih hebat darinya?” Ucapannya
ini sangat pelan sehingga tidak sampai terdengar oleh paman dan keponakan yang
duduk di belakangnya itu.
Si paman bermarga Wang kembali
berkata, “Seperti halnya seorang pengusaha biro ekspedisi ternama yang telah
banyak mengeruk keuntungan; kalau dia mengundurkan diri pada waktu yang tepat,
tentu ia bisa hidup tenang menikmati masa tua daripada bertempur melawan para
penjahat yang menaruh dendam kepadanya.”
Jantung Lin Pingzhi berdebar
kencang mendengar ucapan orang itu. “Apakah ia sedang membicarakan ayahku?
Andai saja Ayah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tentu ia tidak akan
bernasib sial seperti ini,” ujarnya dalam hati.
Si janggut putih bermarga Peng
kembali menanggapi, “Seorang jenderal biasa mati di medan perang. Seorang
pengamat lebih pandai bicara daripada pelaku. Memangnya mudah mengundurkan diri
ketika berada di puncak kejayaan?”
Si mata satu menyahut, “Benar
sekali. Beberapa hari ini aku mendengar banyak pujian untuk Tuan Majikan Liu.
Katanya, Tuan Majikan Liu mengundurkan diri pada saat dirinya sedang berjaya,
baik itu dalam ilmu silat maupun kedudukannya di perguruan. Sungguh mengagumkan!”
Seorang pria setengah tua
berbaju sutra yang duduk di sudut ruangan tiba-tiba ikut bicara, “Dua hari yang
lalu di kota Wuhan aku mendengar cerita dari kawan-kawan persilatan bahwa Tuan
Majikan Liu mengundurkan diri karena suatu permasalahan yang sulit untuk
dijelaskan.”
Si mata satu yang duduk di
samping Lin Pingzhi langsung menoleh dan bertanya, “Memangnya mereka bercerita
apa? Mengapa tidak kau sampaikan saja di sini?”
“Ah, mulut bisa menjadi sumber
bencana,” jawab si baju sutra. “Cerita itu mungkin bisa disampaikan di Wuhan.
Tapi kalau di Hengshan sini, mana aku berani?”
Seorang bertubuh pendek gemuk
menanggapi dengan suara keras, “Meskipun kau tidak bercerita juga semua orang
sudah tahu. Ini bukan suatu rahasia lagi. Tuan Majikan Liu menggelar upacara
Cuci Tangan Baskom Emas adalah karena ilmu silatnya terlalu tinggi, serta
memiliki banyak kawan.”
Semua mata langsung beralih
memandang pria pendek yang bersuara keras itu. Beberapa di antara mereka
bertanya, “Mana mungkin seorang berilmu tinggi dan punya banyak kawan memilih
mengundurkan diri dari dunia persilatan? Memangnya ada persoalan apa di balik
ini semua?”
“Orang-orang yang tidak
mengetahui permasalahannya sudah pasti merasa bingung. Akan tetapi bagi mereka
yang paham terhadap seluk beluk masalah ini tentu tidak merasa aneh lagi,”
jawab si pendek gemuk dengan wajah bangga.
“Seluk beluk bagaimana?” desak
salah seorang.
Si pendek gemuk tidak
menjawab, hanya tersenyum-senyum saja.
“Ah, untuk apa kalian bertanya
kepadanya?” sahut seorang bertubuh kurus yang duduk di sudut ruangan. “Dia
sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya asal menguap saja.”
“Siapa bilang aku tidak tahu?”
sahut si pendek gemuk dengan suara keras dan kasar. “Alasan Tuan Majikan Liu
mengundurkan diri adalah demi untuk menjaga perdamaian di dalam Perguruan
Hengshan sendiri. Ia menjaga agar tidak terjadi pertengkaran di antara sesama
saudara.”
Orang-orang pun bertanya,
“Pertengkaran apa?”
“Memangnya ada perselisihan
apa?”
“Pertengkaran sesama saudara bagaimana?”
“Apakah ada permasalahan di
antara murid-murid Hengshan?
Si pendek gemuk menjawab sinis
sambil melirik si kurus, “Orang luar mengatakan Tuan Majikan Liu adalah jago
nomor dua dalam Perguruan Hengshan. Namun sebenarnya, orang-orang Hengshan sendiri
mengetahui kalau Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis miliknya lebih
hebat daripada sang kakak, yaitu Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan.”
Setelah terdiam sejenak, ia
melanjutkan, “Konon dalam sekali tebas Tuan Besar Mo bisa menjatuhkan tiga ekor
belibis, sementara Tuan Majikan Liu bisa menjatuhkan lima sekaligus. Tidak
hanya itu, murid-murid Tuan Majikan Liu rata-rata lebih pandai daripada
murid-murid Tuan Besar Mo. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi pada
suatu saat nanti Tuan Besar Mo akan kehilangan wibawa dan pengaruh di dalam
perguruan. Kabarnya, kedua pihak pernah bentrok di tempat rahasia. Meskipun
Tuan Majikan Liu lebih kaya dan terpandang, namun ia memilih mundur daripada
bertengkar melawan kakak seperguruan sendiri.”
“Sungguh mengagumkan!” sahut
beberapa orang hampir bersamaan. “Tuan Majikan Liu mengetahui mana yang lebih
penting. Manusia seperti dia jarang ada di dunia ini.”
“Kalau begitu ini merupakan
kesalahan Tuan Besar Mo,” sahut seorang lagi. “Bukankah kalau Tuan Majikan Liu
mengundurkan diri kekuatan Perguruan Hengshan banyak berkurang?”
“Huh, memangnya satu orang
menentukan segalanya? Yang penting kedudukanku sebagai ketua Perguruan Hengshan
tetap aman tanpa saingan. Peduli apa kalau perguruanku lebih kuat atau lemah?”
sahut si baju sutra dengan gaya menirukan Tuan Besar Mo.
Si pendek gemuk menuang habis
teh dalam pocinya, kemudian berseru, “Pelayan, aku minta teh lagi!” Setelah
diam sejenak, ia kembali melanjutkan, “Coba lihat, padahal ini adalah acara besar
yang diadakan seorang tokoh penting Perguruan Hengshan. Dari golongan lain
sudah banyak yang berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Tuan Majikan
Liu, tapi dari Perguruan Hengshan sendiri....”
Belum habis perkataan si
pendek gemuk tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dari arah pintu dengan
diiringi alunan suara rebab bernada panjang. “Sungguh miskin Keluarga Yang,
namun mempersembahkan kesetiaan, melindungi Kerajaan Song....” demikian syair
lagu yang ia nyanyikan; begitu memilukan dan menyayat hati.
Semua orang langsung berpaling
ke arah datangnya suara. Tampak seorang pria tua duduk di samping meja dekat
pintu masuk. Tubuhnya kurus dan tinggi serta wajahnya terlihat cekung. Orang
tua itu memakai baju panjang berwarna biru. Namun, warna biru ini sudah agak
luntur dan terlihat sangat kusam.
Si pendek gemuk pun membentak,
“Dasar pengamen miskin! Nyanyianmu seperti jeritan setan. Huh, mengganggu orang
bicara saja!”
Pria tua itu merendahkan suara
rebabnya namun tetap bersenandung meneruskan nyanyian, “Di Pantai Pasir Emas,
kedua naga bertemu, kedua naga bertempur....”
“Sobat, bagaimana kelanjutan
ceritamu tadi? Bagaimana dengan orang-orang Perguruan Hengshan?” sahut
seseorang kepada si pendek gemuk.
Yang ditanya pun menjawab,
“Coba lihat, murid-murid Hengshan yang sibuk menerima tamu hanyalah murid-murid
Tuan Majikan Liu saja. Memangnya kalian melihat ada murid-murid Hengshan
lainnya di kota ini?”
Sejenak semua orang saling
pandang dan menjawab, “Benar juga! Tidak seorang pun dari mereka yang terlihat.
Bukankah ini berarti mereka merendahkan kedudukan Tuan Majikan Liu?”
Si pendek gemuk hanya tertawa
dingin sambil melirik si baju sutra. Ia lalu berkata, “Maka itu, kita tidak
perlu takut membicarakan urusan Perguruan Hengshan di sini. Untuk apa kita
takut, kalau mereka sendiri tidak mungkin mendengarnya?”
Tiba-tiba suara rebab si
pengamen tua kembali mengalun dengan keras dan nadanya pun berubah menjadi
tinggi. Orang itu kembali bernyanyi, “Budak kecil menyebabkan bencana
besar....”
“Berhenti mengganggu orang!”
bentak seorang pemuda sambil melemparkan beberapa keping uang tembaga yang
kemudian jatuh secara tepat di meja pengamen tua itu. Si pengamen pun memungut
dan memasukkannya ke dalam saku sambil berterima kasih.
Si pendek gemuk berkata, “Rupanya
sobat muda ini ahli melempar senjata rahasia. Lemparanmu benar-benar sempurna.”
“Ah, bukan apa-apa,” jawab si
pemuda sambil tersenyum bangga. “Jadi, berdasarkan ceritamu tadi, Tuan Besar Mo
tidak akan datang ke kota ini?”
“Mana mungkin ia datang?”
sahut si pendek gemuk, “Hubungan Tuan Besar Mo dan Tuan Majikan Liu bagaikan
air dan api. Bila bertemu sebentar saja pasti langsung bertengkar. Tuan Majikan
Liu sudah mengalah kepadanya, harusnya dia senang.”
Tiba-tiba si pengamen tua
bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri si pendek gemuk dan
memandanginya dari atas ke bawah dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Kau mau apa, tua
bangka?” bentak si pendek gemuk gusar.
“Omong kosong!” jawab si
pengamen tua sambil menggelengkan kepala. Kemudian ia berputar dan melangkah
pergi meninggalkan tempat itu.
Si pendek gemuk tersinggung
dan berniat mencengkeram bahu si pengamen tua dari belakang. Namun tiba-tiba
matanya silau oleh kilatan pedang yang berkelebat dengan cepat ke arah meja
tempat duduknya. Si pendek gemuk langsung melompat menghindar. Pedang itu
ternyata milik si pengamen tua yang kemudian bersarang kembali di dalam rebab.
Semua orang terkejut begitu mengetahui ternyata si pengamen tua menyimpan
pedang tipis di dalam alat musiknya.
“Dasar omong kosong!” ujar
orang tua itu sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah minum
tersebut. Semua mata memandanginya dengan heran sampai bayangan orang itu
lenyap ditelan derasnya hujan. Samar-samar mereka hanya mendengar suara rebab
si pengamen tua yang mengalun semakin lirih dan menjauh.
“Hei, coba kalian lihat!” seru
salah seorang sambil menunjuk ke arah meja si pendek gemuk.
Semua orang serentak menoleh.
Tampak tujuh buah cawan di meja itu semua telah terpotong setebal dua senti. Masing-masing
potongan jatuh ke samping sedangkan badan cawan yang tersisa masih tegak
berdiri, tidak bergeser atau terguling sedikit pun. Para tamu di kedai itu
langsung berdatangan mengerumuni meja dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu
pedang si pengamen tua tadi.
Salah seorang menyahut, “Siapa
dia sebenarnya? Ilmu pedangnya begitu hebat!”
“Sekali tebas, pedangnya
memotong rata tujuh cawan tanpa merobohkannya sedikit pun.”
“Untungnya orang tua tadi
masih bermurah hati. Kalau tidak, tentu kepalamu sudah menggelinding di
lantai,” ujar seseorang kepada si pendek gemuk.
“Pengamen tua tadi tentu
seorang jago silat papan atas.”
Si pendek gemuk hanya
termangu-mangu tidak menjawab sedikit pun. Wajahnya pucat pasi seperti mayat.
Kedua matanya melotot tanpa berkedip memandangi ketujuh cawan yang terpotong
rapi di atas mejanya itu.
Si baju sutra tersenyum sambil
berkata, “Apa kataku tadi? Mulut bisa menjadi sumber bencana. Di Hengshan sini
banyak berkeliaran orang-orang sakti. Mungkin pengamen tua tadi adalah sahabat
baik Tuan Besar Mo. Karena kau berani berbicara yang buruk-buruk tentang Tuan
Besar Mo, maka dia pun memberimu sedikit pelajaran.”
“Siapa bilang dia sahabat Tuan
Besar Mo?” sahut si janggut putih bermarga Peng. “Orang tua pembawa rebab tadi
adalah Tuan Besar Mo sendiri, alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang, ketua
Perguruan Hengshan yang ternama!”
“Hah! Jadi dia adalah Tuan
Besar Mo?” sahut orang-orang bersamaan, “Dari mana... dari mana kau tahu kalau
dia itu Tuan Besar Mo?”
Si janggut putih menjawab,
“Mudah saja. Bukankah Tuan Besar Mo terkenal suka bermain rebab dan membawakan
lagu Malam Hujan di Xiaoxiang? Permainan musiknya sangat bagus sampai-sampai
bisa membuat orang yang mendengar mencucurkan air mata. ‘Di dalam rebab
tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab’, kata-kata ini menggambarkan
kehebatan ilmu silat Tuan Besar Mo. Kalian berada di Kota Hengshan, mengapa
tidak mengetahui hal ini?”
Si janggut putih bermarga Peng
itu lantas menoleh ke arah si pendek gemuk dan berkata, “Tadi kau bilang dalam
sekali tebas Tuan Majikan Liu bisa menjatuhkan lima ekor burung belibis
sedangkan Tuan Besar Mo hanya menjatuhkan tiga. Sekarang Tuan Besar Mo memotong
rata tujuh cawan tanpa terguling sedikit pun hanya dalam sekali tebas. Coba
pikir, mana yang lebih sulit, memotong tujuh cawan atau tiga belibis? Tidak
heran kalau dia tadi menyebutmu tukang omong kosong.”
Si pendek gemuk hanya terdiam
tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tertunduk dan terlihat masih pucat
seperti mayat. Si baju sutra segera membayar semua pesanan mereka berdua dan
mengajak temannya itu pergi meninggalkan rumah minum tersebut.
Semua orang di tempat itu
merasa ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pedang Tuan Besar Mo, si Malam Hujan di
Xiaoxiang. Tadi ketika si pendek gemuk memuji-muji keunggulan ilmu silat Liu
Zhengfeng dibandingkan Tuan Besar Mo, sedikit banyak mereka ikut
membenarkannya. Takut tertimpa masalah, mereka pun beramai-ramai membayar dan
meninggalkan rumah minum itu pula. Tempat yang tadinya ramai dan penuh sesak kini
berubah sepi hanya dalam waktu sekejap.
Di rumah minum itu kini
tinggal Lin Pingzhi serta dua orang lainnya yang tertidur di atas meja mereka.
Lin Pingzhi sendiri masih termangu-mangu memandangi tujuh cawan yang terpotong
rata tadi. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa ilmu orang itu. Dari luar
terlihat buruk rupa, tak disangka menyimpan kepandaian yang mengagumkan. Jika
aku tidak meninggalkan Kota Fuzhou, mungkin sampai saat ini aku masih
beranggapan bahwa orang yang paling hebat di dunia adalah Ayah. Oh, aku
benar-benar seperti katak dalam tempurung, tidak tahu luasnya jagad raya. Andai
saja aku bisa menjadi muridnya, tentu dendam keluargaku dapat terbalaskan.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi
kembali berpikir, “Hei, kenapa aku tidak mencari Tuan Besar Mo dan menjadi
muridnya? Kenapa aku tidak mencarinya dan memohon kepadanya supaya membantuku
membebaskan Ayah dan Ibu?”
Pemuda bermarga Lin yang
sedang menyamar bungkuk itu pun bangkit hendak melangkah, namun tiba-tiba ia
tersentak, “Tunggu dulu! Bukankah Tuan Besar Mo adalah ketua Perguruan
Hengshan? Padahal, Serikat Pedang Lima Gunung memiliki hubungan baik dengan
Perguruan Qingcheng. Ah, mana mungkin Tuan Besar Mo sudi bertengkar dengan
kawan sendiri demi membela seorang asing macam aku ini?”
Seketika Lin Pingzhi duduk
kembali dengan perasaan putus asa. Tiba-tiba ia mendengar suara seorang
perempuan yang nyaring dan merdu berkata dari arah luar, “Kakak Kedua, hujan
ini tidak juga berhenti. Bajuku sudah basah kuyup. Bagaimana kalau kita minum
teh hangat lebih dulu?”
Lin Pingzhi terperanjat karena
suara itu seolah tidak asing baginya. Suara merdu tersebut tidak lain adalah
suara si gadis burik penjual arak di tepi kota Fuzhou dulu. Segera ia pun
menundukkan kepala supaya tidak dikenali gadis itu.
Terdengar suara seorang pria
tua menjawab, “Baiklah, kita bisa minum dulu.”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi
mendengar kedua orang itu melangkah masuk dan langsung duduk di belakangnya.
Dengan sangat berhati-hati Lin Pingzhi melirik kedua orang yang baru datang
itu. Tidak salah lagi, mereka adalah pasangan kakek dan cucu penjual arak yang
dulu mengaku bernama Kakek Sa dan Wan’er.
Diam-diam Lin Pingzhi
berpikir, “Ternyata hubungan kedua orang ini adalah saudara seperguruan. Tapi
mengapa mereka menyelamatkan aku? Apa hanya karena balas budi karena aku sudah
menolong gadis ini di kedai arak waktu itu? Lalu, apakah mereka juga mengetahui
keberadaan Ayah dan Ibu?”
Pelayan rumah minum telah
datang untuk membersihkan meja dan membawakan teh kepada mereka. Tiba-tiba
Kakek Sa berkata, “Adik Kecil, coba lihat itu!”
Wan’er menoleh dan berseru
kagum, “Hebat sekali! Siapa orangnya yang mampu memotong rata tujuh cawan ini?
Sungguh ilmu pedang yang luar biasa!”
“Adik Kecil, aku ingin
mengujimu,” ujar Kakek Sa, “Dalam sekali tebas tujuh cawan langsung terpotong
semua dengan rapi. Menurutmu siapa yang bisa melakukan ini?”
“Aku tidak berada di sini dan
melihat kejadiannya secara langsung. Bagaimana… bagaimana aku tahu siapa
pelakunya....” gerutu Wan’er. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Aku ingat
sekarang! Aku ingat sekarang! Cawan-cawan ini terpotong oleh jurus ketujuh
belas dari Jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Belibis. Ah, ini pasti
perbuatan Paman Liu!”
Kakek Sa menanggapi, “Aku ragu
apakah Paman Liu bisa melakukannya? Aku rasa ilmu silatnya belum mencapai
tingkatan ini. Tebakanmu nyaris benar.”
“Tunggu dulu!” sahut Wan’er.
“Aku tahu sekarang. Ini adalah perbuatan Paman Mo, alias Si Malam Hujan di
Xiaoxiang!”
Tiba-tiba terdengar suara
tepuk tangan dan gemuruh tawa beberapa orang yang tiba-tiba saja sudah muncul
di tempat itu. Mereka berkata, “Sungguh tajam penglihatanmu, Adik Kecil!”
Lin Pingzhi terkejut dan
berpikir, “Dari mana orang-orang ini muncul?”
Perlahan matanya melirik.
Tampak tujuh orang sudah berdiri di dekat meja Kakek Sa dan Wan’er. Lima orang
di antara mereka muncul dari balik dapur, sedangkan dua lainnya adalah sepasang
laki-laki yang tidur tertelungkup di atas meja tadi. Di antara ketujuh orang
itu ada yang berdandan seperti kuli; ada yang membawa sempoa seperti pedagang;
ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya.
“Huh, ternyata rombongan
gelandangan bersembunyi di sini. Hampir saja kalian membuatku mati kaget,”
sahut Wan’er, si gadis burik dengan tertawa. “Hei, di mana Kakak Pertama?”
“Ah, kau ini!” kata si pembawa
kera. “Baru bertemu sudah menyebut kami sebagai gelandangan.”
Wan’er menjawab galak, “Siapa
pula yang menyuruh kalian bersembunyi di dalam rumah minum seperti gelandangan?
Hei, aku bertanya di mana Kakak Pertama?”
“Huh, lagi-lagi soal Kakak
Pertama!” sahut si pembawa kera. “Mengapa kau tidak pernah menanyakan kabar
kakak keenammu ini?”
“Kau sendiri ada di sini;
tidak mati, juga tidak sekarat. Untuk apa aku bertanya keadaanmu?” kata Wan’er
sambil menghentakkan kaki.
“Hahaha. Kakak Pertama tidak
mati, juga tidak sekarat. Untuk apa kau bertanya keadaannya?” sahut si pembawa
kera sambil tertawa.
“Sudahlah, aku tidak sudi
bicara denganmu lagi! Aku tanya Kakak Keempat saja. Hanya dia satu-satunya
orang baik di sini,” jawab Wan’er.
Belum sempat si kakak keempat
menjawab, terdengar gemuruh tawa saudara-saudaranya yang lain. “Hahaha, cuma
Kakak Keempat yang baik! Kami sisanya penjahat semua. Hei, Kakak Keempat,
jangan katakan kepadanya!” ujar si pembawa kera.
“Kalau Kakak Keempat tidak
boleh menjawab, aku juga tidak sudi bercerita kepada kalian tentang pengalaman
hebat yang kualami bersama Kakak Kedua,” sahut Wan’er.
Laki-laki yang berdandan
seperti kuli alias si kakak keempat sejak awal memang tidak ikut bergelak tawa
bersama yang lain. Sepertinya ia memang seorang pendiam dan baik hati. Orang
itu lantas berkata, “Kami berpisah di Kota Hengyang. Mungkin saat ini Kakak
Pertama sudah sehat dan menyusul kemari.”
“Apa? Jadi, dia mabuk-mabukan
lagi?” sahut Wan’er dengan mata melotot.
“Benar,” jawab si kakak
keempat.
Rekannya yang membawa sempoa
menyahut, “Kakak Pertama benar-benar mabuk berat. Ia minum dari pagi sampai
siang, dari siang sampai petang. Aku rasa ia sudah menghabiskan sebanyak dua
sampai tiga puluh liter arak bagus. Semua masuk ke dalam perutnya.”
“Ini tidak baik untuk
kesehatannya,” kata Wan’er cemas. “Kenapa kalian tidak menasihatinya?”
Menasihati Kakak Pertama?”
sahut si pembawa sempoa. “Memangnya ada yang bisa? Mungkin nanti kalau matahari
sudah terbit dari barat. Entah kalau Adik Kecil yang menasihati, barangkali ia
mau menurut dan mengurangi satu liter saja. Hahaha...” Rekan-rekannya yang lain
pun ikut tertawa.
Si gadis burik terlihat
semakin kesal, dan bertanya, “Kenapa dia minum sebanyak itu? Apa dia baru saja
mengalami hal yang tidak menyenangkan lagi?”
“Entahlah! Mungkin dia merasa
senang karena akan bertemu Adik Kecil di Kota Hengshan sini. Jadi, dia pun
merayakannya besar-besaran,” jawab si pembawa sempoa tersenyum.
“Omong kosong!” sahut Wan’er
dengan muka tersipu malu.
Lin Pingzhi yang tertunduk di
mejanya hanya bisa mendengarkan pembicaraan orang-orang itu tanpa berani
menoleh. Dalam hati ia berpikir, “Rupanya gadis ini menaruh hati kepada kakak
seperguruannya yang pertama. Padahal, kakak keduanya saja sudah setua ini,
tentu si kakak pertama lebih tua lagi. Apakah gadis ini kurang waras? Usianya
mungkin baru delapan belas tahun, tapi kenapa dia suka pada seorang tua?”
Sejenak kemudian Lin Pingzhi seolah menyadari sesuatu dan kembali berpikir,
“Ah, aku tahu! Gadis ini berwajah jelek, tentu tidak ada pemuda yang suka
kepadanya. Jadi, dia pun menjalin hubungan dengan seorang kakek tua yang suka
mabuk.”
Terdengar Wan’er kembali
bertanya, “Jadi, Kakak Pertama sudah minum arak sejak pagi kemarin?”
“Kalau tidak diceritakan
sampai lengkap, tentu kau tidak akan berhenti bertanya,” jawab si pembawa kera.
“Begini, ketika kemarin kami berangkat bersama-sama, tiba-tiba di tengah jalan
Kakak Pertama mencium bau arak yang sangat harum. Kami pun melihat ada seorang
pengemis sedang asyik minum arak dari sebuah kendi besar. Kakak Pertama
langsung tertarik dan mendekatinya. Ia bertanya apa nama arak itu. Si pengemis
pun menjawab namanya ‘arak monyet’.
Kakak Pertama bertanya:
‘Kenapa diberi nama arak monyet?’
Pengemis itu menjelaskan bahwa
di hutan pegunungan sebelah barat Provinsi Hunan terdapat kawanan monyet yang
pintar membuat arak dari buah-buahan. Monyet-monyet itu memilih buah-buahan
yang harum dan manis untuk diperas sarinya menjadi arak. Kebetulan si pengemis menemukan
simpanan arak tersebut dan mencurinya sebanyak tiga kendi. Ia juga menangkap
seekor monyet kecil dan dibawanya pula. Nah, ini dia!”
Laki-laki muda itu lantas
menunjuk seekor kera kecil yang hinggap di pundaknya. Seutas tali tampak
mengikat pinggang kera sementara ujung lainnya terikat di lengan si pemuda.
Kera kecil itu tampak menggaruk-garuk kepala dan terlihat sangat lucu.
“Kakak Keenam,” kata Wan’er
memandangi kera kecil itu sambil tertawa. “Pantas saja kau dijuluki Si Monyet
Keenam. Kau dan kera kecil ini begitu mirip seperti saudara kandung.”
“Bukan, kami bukan saudara
kandung,” jawab si pemuda pembawa kera. “Kami ini saudara seperguruan. Dia
kakak pertamaku, dan aku adik keenamnya.”
Serentak mereka semua tertawa,
kecuali Wan’er. “Hei, awas kalau kau berani menyindir Kakak Pertama lagi! Akau
kuadukan kepadanya biar kau tahu rasa!” sahut si gadis burik galak. Sejenak
kemudian ia kembali bertanya, “Lalu, bagaimana ceritanya kau bisa bersatu
dengan saudaramu ini?”
“Saudara?” sahut Monyet Keenam
alias si pembawa kera. “Oh, maksudmu kera kecil ini? Panjang sekali ceritanya.
Rumit kalau kukatakan dan membuat pusing kepala.”
“Kau tidak perlu bercerita pun
aku sudah bisa menebaknya,” ujar Wan’er. “Pasti Kakak Pertama yang menyuruhmu
menjaga kera ini dengan baik. Kakak Pertama ingin setiap saat kera ini bisa
membuatkan arak untuknya, bukan begitu?”
“Iya... benar sekali
tebakanmu,” jawab Monyet Keenam.
“Kakak Pertama memang suka
berpikiran aneh,” kata Wan’er. “Kera kecil ini memang bisa membuat arak kalau
berada di pegunungan. Tapi kalau sudah ditangkap begini tentu akan berbeda.
Nah, kalau dia dilepaskan untuk mencari buah-buahan, apakah tidak akan kabur?”
Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Hei, kenapa Monyet Keenam kita tidak
bisa membuat arak?”
“Adik Kecil, berani sekali kau
kurang ajar kepada kakak seperguruanmu ini?” sahut Monyet Keenam pura-pura
marah.
“Haha. Kau menakut-nakuti aku
dengan kedudukanmu!” jawab Wan’er sambil tertawa. “Hei, kau belum menjawab
pertanyaanku tadi; kenapa Kakak Pertama minum arak sepanjang hari? Apakah dia
mendapat masalah besar lagi?”
“Baiklah, aku lanjutkan
ceritanya,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama sama sekali tidak peduli dengan
keadaan si pengemis. Padahal, tubuh pengemis itu sangat kotor dan dekil. Daki
di kulitnya sampai setebal tiga senti; kutu merayap di rambut dan bajunya;
keringat dan ingus meleleh di wajahnya; bahkan, mungkin arak di dalam kendinya
sudah bercampur dengan air liur....”
“Sudah, sudah!” sahut Wan’er
sambil menutup mulut. “Menjijikkan! Aku jadi muak mendengarnya!”
“Mungkin kau jijik, tapi Kakak
Pertama tidak sama sekali,” ujar Monyet Keenam. “Kakak Pertama mendesak
pengemis itu supaya diizinkan ikut mencicipi araknya. Namun, si pengemis
berkata bahwa hanya kendi itu yang tersisa dan tidak akan diberikan kepada
siapapun. Kakak Pertama lantas menawarkan satu tael perak untuk satu kali
tegukan.”
“Dasar pemabuk!” gerutu
Wan’er.
“Pengemis itu setuju dan
menyerahkan kendinya,” lanjut Monyet Keenam. “Dia berkata, ‘Awas, cukup satu
tegukan saja.’
Kakak Pertama menjawab, ‘Kalau
aku bilang satu teguk, ya satu teguk.’
Tak disangka Kakak Pertama
sanggup menghabiskan seluruh isi kendi besar itu hanya dalam sekali teguk.
Rupanya ia menggunakan ilmu pernapasan yang telah diajarkan Guru. Aku melihatnya
seperti seekor naga langit menghisap air laut tanpa mengganti napas.”
Semua orang tertawa mendengar
penuturan Monyet Keenam itu.
“Adik Kecil, kalau kau berada
di Hengyang sana, tentu kau bisa menyaksikan sendiri kehebatan Kakak Pertama,”
lanjut si pembawa kera. “Kau pasti akan memuji kepandaian Kakak Pertama.
Semangatnya dipusatkan di batas dada; jiwanya bagai melayang ke udara dan
mendaki puncak gunung; tenaganya bagaikan mampu menjatuhkan bintang. Kehebatan
tenaga dalam Kakak Pertama hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun tidak
terlihat dari luar.”
Wan’er tertawa dan hampir
terjatuh dari bangkunya. “Dasar pembual! Kau menggambarkan Kakak Pertama secara
berlebihan. Berani-beraninya kau mengejek rumus ilmu tenaga dalam perguruan
kita,” ujarnya setengah memaki.
“Aku tidak membual,” jawab
Monyet Keenam sambil tertawa pula. “Saudara-saudara yang lain ikut melihat
sendiri, bagaimana Kakak Pertama menghabiskan isi kendi itu dalam sekali teguk.
Bukankah dia menggunakan tenaga dalam?”
“Benar, Adik Kecil!” jawab
yang lainnya mengiakan.
Wan’er tertegun mendengarnya.
Sambil menghela napas ia berkata, “Ilmu pernapasan ini sangat sulit untuk
dipelajari. Di antara kita semua, hanya Kakak Pertama saja yang sudah boleh
mempelajarinya. Tapi sayang, ilmu sehebat itu justru digunakannya untuk merebut
arak dari tangan pengemis.”
Monyet Keenam melanjutkan
ceritanya, “Pengemis itu marah-marah karena Kakak Pertama menghabiskan isi
kendi araknya. Ia menarik baju Kakak Pertama dan menuduhnya berbuat curang.
Kakak Pertama menjawab, ‘Siapa yang curang? Bukankah aku hanya minum satu teguk
saja? Bukankah aku tidak pernah mengganti napas? Tanpa mengganti napas itu
artinya satu tegukan. Tidak peduli satu tegukan besar atau kecil, yang penting
satu tegukan. Padahal, tadi aku baru setengah napas saja. Nah, ini berarti kau
harus mengembalikan uangku setengah tael perak.’”
“Sudah menghabiskan arak
orang, masih mau mengambil uangnya pula. Dasar gila!” Wan’er menukas sambil
tertawa.
Monyet Keenam melanjutkan,
“Pengemis itu hampir saja menangis. Kakak Pertama lantas berkata, ‘Kawan, kau
jangan khawatir. Sepertinya kau ini juga suka minum arak. Kalau begitu mari
kita minum sepas-puasnya di sana. Aku yang bayar semua.’ Kakak Pertama lantas
menarik tangan pengemis itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah kedai arak di
tepi jalan. Mereka berdua lalu minum bersama dengan gembira. Kekuatan pengemis
itu lumayan juga. Kami terpaksa harus menunggu sampai siang. Karena senang,
pengemis itu memberikan kera kecil miliknya saat diminta Kakak Pertama. Kera
itu lalu diserahkan kepadaku agar dijaga dengan baik. Ketika siang berganti
petang, si pengemis akhirnya roboh dan tak sanggup lagi. Sementara itu Kakak
Pertama masih saja menenggak araknya. Bicaranya sudah mulai melantur. Kami
disuruh berangkat lebih dulu dan dia akan menyusul kemudian.”
“Jadi seperti itu ceritanya.
Dia minum hanya untuk bersenang-senang,” kata Wan’er. “Apakah orang itu anggota
Partai Pengemis?”
“Tidak mungkin!” sahut si
kakak keempat yang berdandan kuli. “Kami tidak melihatnya membawa kantong
seperti anggota Partai Pengemis pada umumnya.”
Wan’er lantas memandang keluar
dan menggumam sendiri, “Jika kemarin kau tidak tertinggal dan bisa datang ke
sini bersama yang lain, tentu kau tidak akan kehujanan....”
Monyet Keenam kembali berkata,
“Adik Kecil, kau bilang baru saja mengalami kejadian-kejadian aneh bersama
Kakak Kedua. Nah, sekarang giliranmu yang bercerita kepada kami.”
“Mengapa harus buru-buru?”
sahut Wan’er. “Nanti saja kalau Kakak Pertama sudah datang, baru aku ceritakan
semuanya. Malas rasanya kalau aku harus mengulang-ulang cerita. Di mana kalian
berjanji untuk bertemu?”
“Entahlah. Kota Hengshan ini
sangat besar, dan sekarang begitu ramai,” jawab Monyet Keenam. “Hei, kau ini
maunya menang sendiri. Kau memaksaku bercerita kenapa Kakak Pertama sampai
tertinggal, tapi kau jual mahal tidak mau bercerita pengalamanmu bersama Kakak
Kedua.”
Pikiran gadis itu rupanya
sedang melayang entah ke mana. Ia hanya berkata, “Biar Kakak Kedua saja yang
bercerita.” Sejenak ia menoleh ke arah Lin Pingzhi yang duduk membelakanginya,
kemudian berkata, “Di sini terlalu banyak mata dan telinga. Sebaiknya nanti
saja bercerita, di dalam penginapan.”
Saudara seperguruannya yang
bertubuh jangkung sejak tadi hanya diam tanpa bicara, kini menyahut, “Semua
penginapan di kota ini sudah penuh. Tidak enak juga kalau kita harus merepotkan
keluarga Paman Liu. Nanti kalau Kakak Pertama datang, sebaiknya kita
beristirahat di dalam kuil saja. Bagaimana menurutmu, Kakak Kedua?”
Si kakak kedua alias Kakek Sa
mengangguk dan menjawab, “Tidak masalah. Kita tunggu Kakak Pertama di sini.”
Selama si kakak pertama belum datang, orang tua ini menjadi pengambil keputusan
di antara mereka.
Monyet Keenam merasa tidak
sabar menunggu. Ia pun berbisik mendesak Kakek Sa, “Kakak Kedua, jangan
pedulikan si bungkuk itu. Sejak tadi dia sudah duduk di sini tanpa bergerak
sedikit pun. Mungkin dia itu seorang dungu. Bagaimana hasil penyelidikan kalian
di Kota Fuzhou? Apakah Perguruan Qingcheng benar-benar menghancurkan Biro
Ekspedisi Fuwei? Lantas, apakah Keluarga Lin benar-benar tidak memiliki
kepandaian sejati?”
Mendengar keluarganya
disebut-sebut, Lin Pingzhi berusaha memusatkan perhatiannya dengan lebih
seksama.
Namun Kakek Sa justru
mengalihkan pembicaraan, “Kami bertemu Guru di Kota Changsa. Beliau menyuruh
kami pergi ke Hengshan sini untuk bertemu Kakak Pertama dan kalian semua.
Sebelum bercerita tentang pengalaman kami di Kota Fuzhou, aku ingin bertanya
lebih dulu; mengapa Paman Mo memainkan ilmu pedangnya yang hebat itu di sini?
Apakah kalian tadi melihat semuanya?”
“Ya, kami menyaksikannya
langsung,” jawab Monyet Keenam. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang
orang-orang yang membicarakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang akan
diadakan Liu Zhengfeng tiga hari lagi. Ia juga menceritakan bagaimana Tuan
Besar Mo tiba-tiba muncul dan memperagakan kehebatannya, sehingga menutup mulut
para pengunjung rumah minum yang membicarakan hal yang buruk-buruk tentang
dirinya.
“Begitu rupanya,” gumam Kakek
Sa sambil mengangguk. “Banyak orang yang mengatakan bahwa Paman Mo dan Paman
Liu kurang rukun meskipun berasal dari perguruan yang sama. Kali ini Paman Liu
mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas; aku masih belum paham mengapa Paman
Mo tiba-tiba muncul dan memamerkan kesaktiannya, kemudian menghilang begitu
saja? Sungguh aneh.”
“Kakak Kedua, kabarnya Pendeta
Tianmen ketua Perguruan Taishan juga hadir. Bahkan, rombongan Beliau sudah tiba
di kediaman Keluarga Liu,” ujar si pembawa sempoa.
Kakek Sa agak terkejut dan
bertanya, “Pendeta Tianmen juga hadir secara langsung? Kalau begitu ini berita
bagus untuk Paman Liu. Jika nanti terjadi perselisihan antara kedua tokoh
Hengshan itu, maka Paman Liu tidak perlu gentar menghadapi Paman Mo.”
Wan’er bertanya, “Kakak Kedua,
kalau menurutmu, Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng akan berada di pihak
mana?”
Mendengar “Pendeta Yu dari
Perguruan Qingcheng” disebut, seketika Lin Pingzhi merasa dadanya seperti
dihantam palu godam.
Monyet Keenam dan yang lain
serentak bertanya, “Pendeta Yu juga datang?”
“Padahal jarang sekali dia
meninggalkan Gunung Qingcheng.”
“Wah, kalau demikian di Kota
Hengshan ini akan terjadi keramaian besar. Banyak tokoh silat papan atas
berdatangan kemari. Jangan-jangan akan terjadi pertarungan seru.”
“Adik Kecil, dari mana kau
tahu Pendeta Yu akan datang?”
Wan’er menjawab, “Tahu dari
mana? Aku bahkan melihat sendiri dia datang.”
“Kau melihat Pendeta Yu datang
kemari? Ke Kota Hengshan ini?” tanya Monyet Keenam.
“Tidak hanya di Hengshan, tapi
aku juga melihatnya di Fujian dan Jiangxi,” jawab si gadis burik.
“Memangnya ada urusan apa
Pendeta Yu pergi ke Fujian?” sahut si pembawa sempoa. “Adik Kecil, aku yakin
pasti kau tidak tahu seluk-beluk permasalahannya.”
“Kakak Kelima,” ujar Wan’er.
“Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal kepadamu. Tapi karena kau
mengolok-olok, aku jadi malas untuk melanjutkan.”
Monyet Keenam tidak sanggup
menahan rasa ingin tahunya. Ia pun berkata, “Masalah ini hanya menyangkut
Perguruan Qingcheng. Andaikan ada orang lain yang mendengar juga tidak menjadi
soal. Kakak Kedua, ceritakanlah semua kepada kami; mengapa Pendeta Yu datang ke
Fujian? Bagaimana pula kalian bisa bertemu dengannya?”
Pemuda pembawa kera itu sama
sekali tidak tahu kalau Lin Pingzhi diam-diam juga berharap bisa mendengar
percakapan mereka lebih lanjut.
“Sebenarnya aku ingin menunggu
Kakak Pertama datang,” ujar Kakek Sa. “Tapi sepertinya hujan bertambah deras
dan tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Baiklah, aku akan bercerita
sambil mengisi waktu luang. Akan kuceritakan semuanya sejak awal. Setelah
kalian mengetahui seluk-beluk permasalahan ini, maka kalian bisa berjaga-jaga
apabila bertemu dengan orang-orang Qingcheng. Nah, pada bulan dua belas yang
lalu, Kakak Pertama telah menghajar murid-murid andalan Perguruan Qingcheng
bernama Hou Renying dan Hong Renxiong....”
“Hahahaha,” tiba-tiba Monyet
Keenam tertawa mengejek.
“Apanya yang lucu?” sahut
Wan’er galak.
“Aku menertawakan kedua murid
Qingcheng itu yang berlagak sombong dengan memakai nama Renying dan Renxiong
segala. Haha, mereka bahkan memamerkan nama belakang: ‘Ying Xiong Hao Jie,
Empat Jagoan Qingcheng’. Lihatlah, namaku hanya ‘Lu Dayou’, cukup sederhana dan
tidak muluk-muluk, juga tidak mengundang masalah,” ujar Monyet Keenam yang
ternyata memiliki nama asli Lu Dayou itu.
“Tidak juga,” sahut Wan’er.
“Kalau bukan karena margamu ‘Lu’ yang berarti ‘enam’, ditambah lagi karena kau
ini murid keenam dalam perguruan kita, mana mungkin kau dijuluki si Monyet
Keenam?”
“Boleh juga, boleh juga,”
jawab Lu Dayou sambil tersenyum. “Kalau begitu mulai hari ini aku akan
mengganti namaku menjadi....”
“Sudah, sudah, jangan memotong
pembicaraan Kakak Kedua!” sahut yang lainnya.
“Baik, baik,” jawab Lu Dayou
tapi mulutnya masih tertawa cekikikan.
Wan’er kesal melihat kakak
keenamnya itu. Ia pun menegur, “Sebenarnya kau ini menertawakan apa? Huh, dasar
menyusahkan!”
“Aku teringat saat Hou Renying
dan Hong Renxiong jatuh terguling-guling setelah dihajar Kakak Pertama. Lebih
lucu lagi, mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa,” jawab Lu Dayou.
“Waktu itu aku juga berada di sana, bersama Kakak Pertama di lantai dua sebuah
rumah makan. Kakak Pertama sedang minum arak dan ia kesal mendengar nama-nama
mereka yang sok pahlawan itu. Kakak Pertama lalu berteriak mengejek: ‘Anjing
Liar Babi Hutan, Empat Binatang dari Qingcheng’. Tentu saja Hou Renying dan
Hong Renxiong tersinggung. Mereka langsung naik ke loteng untuk melabrak, tapi
belum apa-apa keduanya sudah ditendang Kakak Pertama hingga jatuh terguling-guling
di tangga kedai. Lucu sekali!”
Mendengar itu Lin Pingzhi
merasa sangat terhibur. Rasa simpatinya kepada si kakak pertama langsung
muncul. Meskipun ia tidak mengenal siapa itu Hou Renying dan Hong Renxiong,
tapi yang jelas keduanya adalah saudara seperguruan Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Ia membayangkan betapa malu kedua murid Qingcheng itu ketika tubuh mereka
terguling-guling di tangga loteng rumah makan tersebut. Sakit hatinya terasa
agak berkurang meskipun kejadian itu berlangsung sebelum Perguruan Qingcheng
menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei.
Kakek Sa melanjutkan
ceritanya, “Setelah Hou Renying dan Hong Renxiong mengetahui siapa yang telah
menghajar mereka, keduanya pun melapor kepada Pendeta Yu di Kuil Cemara Angin.
Beberapa hari kemudian, Guru menerima sepucuk surat dari Pendeta Yu yang berisi
permohonan maaf karena tidak bisa mendidik murid-murid Qingcheng dengan baik
sehingga membuat kakak pertama kita tersinggung.”
“Huh, pendeta bermarga Yu itu
memang licik,” sahut Lu Dayou. “Dia pura-pura minta maaf, padahal sebenarnya
bermaksud menyindir Guru. Akibatnya, Guru pun menghukum Kakak Pertama berlutut
sepanjang hari sepanjang malam. Kakak Pertama akhirnya dibebaskan setelah kita
semua memohon kepada Guru agar memberikan maaf.”
“Apa maksudmu dengan membebaskan
Kakak Pertama?” sahut Wan’er. “Bukankah Kakak Pertama tetap saja dipukul
sebanyak tiga puluh kali?”
“Benar juga,” jawab Lu Dayou.
“Aku sendiri juga ikut-ikutan dihukum sepuluh pukulan. Tapi kalau teringat
bagaimana Hou Renying dan Hong Renxiong jatuh terguling-guling di tangga, aku
sama sekali tidak merasa rugi. Hahahaha...”
“Kau ini sudah dipukul sepuluh
kali masih juga belum jera,” ujar si jangkung. “Rasanya sia-sia Guru
menghukummu.”
“Memangnya aku salah apa?”
sahut Lu Dayou. “Ketika Kakak Pertama menendang kedua orang itu, aku tidak
kuasa menghentikannya.”
“Sebenarnya kau bisa berbicara
kepada Kakak Pertama untuk mencegahnya bertindak,” jawab si jangkung. “Tapi aku
tahu sifatmu. Waktu itu Guru berkata: ‘Lu Dayou adalah saksi mata kejadian ini.
Pasti dia tidak mencegah kakak pertamanya berbuat onar; sebaliknya, justru ikut
memanas-manasi. Untuk itu, akan kuberikan sepuluh pukulan!’”
Saudara-saudaranya yang lain
bergelak tawa mendengar ucapan si jangkung ini.
“Sebenarnya kali ini Guru
telah salah menghukum orang,” ujar Lu Dayou. “Kecepatan tendangan Kakak Pertama
sungguh luar biasa; mana mungkin aku dapat mencegahnya? Waktu itu aku melihat
Hou Renying dan Hong Renxiong mendatangi Kakak Pertama dengan wajah gusar.
Namun, Kakak Pertama tetap asyik minum seolah tidak memedulikan mereka. Aku
hanya bisa berteriak: ‘Kakak Pertama, awas!’ – Tahu-tahu, kedua jagoan
Qingcheng itu sudah jatuh terguling-guling di tangga loteng. Ternyata Kakak
Pertama telah menggunakan Jurus Tendangan Harimau Menyabet Ekor. Seharusnya aku
bisa mempelajari jurus ini; tapi, bagaimana hendak belajar, kalau melihatnya
saja sudah susah? Gerakan Kakak Pertama sangat cepat.”
“Hei, Monyet Keenam,” sahut si
jangkung. “Sewaktu Kakak Pertama berteriak-teriak menyebut ‘Empat Binatang dari
Qingcheng’, apakah kau ikut mengolok-olok pula?”
“Tentu saja!” jawab Lu Dayou.
“Sebagai saudara yang lebih muda, sudah pasti aku ikut apa yang dilakukan Kakak
Pertama. Memangnya kau lebih suka aku memihak murid-murid Qingcheng yang
sombong itu?”
“Kalau begitu tidak salah jika
Guru menghukummu,” kata si jangkung sambil tertawa.
Diam-diam Lin Pingzhi
berpikir, “Monyet Keenam ini wajahnya jelek seperti kera, tapi sifatnya polos
dan jujur. Sepertinya dia ini seorang yang baik. Entah dari perguruan mana mereka
berasal? Kenapa pula mereka memanggil Tuan Besar Mo dan Tuan Majikan Liu dengan
sebutan ‘paman’?”
Terdengar Kakek Sa kembali
berkata, “Kita harus selalu ingat nasihat Guru kepada Kakak Pertama. Di dunia
persilatan memang banyak orang yang suka memakai gelar dan julukan muluk-muluk.
Tidak semua julukan sesuai dengan tingkah laku mereka. Tapi kita juga tidak
perlu mengurusi mereka satu per satu. Biarkan saja kalau ada yang memakai
julukan ‘Ying Xiong Hao Jie’ segala. Kalau mereka berbuat sopan dan kesatria,
tentu banyak orang yang ingin berteman dengan mereka. Tapi kalau mereka suka
mengumbar kesombongan, sudah pasti kaum persilatan akan memandang rendah
terhadap mereka. Kita tidak perlu mengambil pusing terhadap julukan ini.”
Semuanya mengangguk mendengar
ucapan Kakek Sa. Terdengar Lu Dayou menggumam sendiri, “Julukan ‘Monyet Keenam’
jauh lebih baik. Tidak membuat bingung orang lain.”
Kakek Sa tersenyum dan
melanjutkan ceritanya, “Kekalahan Hou Renying dan Hong Renxiong karena
ditendang Kakak Pertama sudah pasti menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan
Qingcheng. Tentu saja tidak ada yang berani membicarakan hal itu; bahkan, hanya
sedikit murid-murid Qingcheng yang mengetahuinya. Guru sendiri juga berpesan
kepada kita untuk tidak menyebarluaskan kejadian ini, supaya tidak terjadi
perselisihan di antara kedua perguruan. Maka itu, untuk selanjutnya ceritaku
ini jangan diungkit-ungkit lagi.”
“Ah, kehebatan ilmu silat
Perguruan Qingcheng menurutku hanya omong kosong belaka,” sahut Lu Dayou acuh
tak acuh. “Sekalipun kita berselisih dengan mereka juga tidak menjadi
masalah...”
“Adik Keenam!” bentak Kakek Sa
seketika. “Jika kau masih suka sembarangan bicara, maka akan kuadukan kepada
Guru! Mungkin kau akan mendapat pukulan lebih banyak lagi. Asal kau tahu, kemenangan
Kakak Pertama bisa jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, mungkin karena kedua
murid Qingcheng itu belum siap; dan kedua, karena Kakak Pertama memang murid
yang paling pandai di antara kita semua. Kira-kira kau sendiri apa bisa
menggulingkan kedua orang itu?”
Lu Dayou menjawab sambil
menjulurkan lidah, “Kalau dibandingkan dengan Kakak Pertama sudah tentu aku
kalah jauh.”
“Apa kau tahu bagaimana
kehebatan Pendeta Yu, ketua Perguruan Qingcheng? Barangsiapa berani
meremehkannya, tentu akan menyesal seumur hidup,” ujar Kakek Sa dengan wajah
sungguh-sungguh. Ia kemudian menoleh ke arah Wan’er, “Adik Kecil, kau pernah
melihat langsung kehebatan Pendeta Yu. Bagaimana menurutmu?”
“Pend
eta Yu?” jawab si gadis burik.
“Aku... aku ngeri sekali melihatnya. Lain kali... lain kali aku tidak mau
bertemu lagi dengannya.” Suaranya terdengar gemetar, pertanda hatinya
benar-benar takut kepada pendeta bernama Yu Canghai itu.
“Apakah Pendeta Yu seorang
yang sangat mengerikan? Apa kau pernah melihatnya membunuh orang?” sahut Lu
Dayou bertanya.
Wan’er diam tidak menjawab dan
tampak begitu ketakutan.
Kakek Sa kembali bercerita,
“Setelah menerima surat dari Pendeta Yu, Guru sangat marah dan menghukum Kakak
Pertama serta Adik Keenam. Hari berikutnya Guru menulis surat balasan dan
menyuruhku untuk pergi ke Gunung Qingcheng....”
“Pantas saja waktu itu kau
tampak terburu-buru. Rupanya kau diutus Guru ke Gunung Qingcheng,” sahut si
jangkung dan yang lain hampir bersamaan.
“Benar sekali,” jawab Kakek Sa
sambil mengangguk. “Waktu itu Guru sengaja merahasiakan kepergianku agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman.”
“Salah paham bagaimana?” sela
Lu Dayou. “Bukankah ini sudah seperti biasanya? Guru memang seorang yang selalu
berhati-hati. Sudah pasti kita menyadari, apapun yang diperintahkan Guru pasti
demi kebaikan kita semua. Mana mungkin kita salah paham terhadap perintah
Beliau?”
“Kau ini tahu apa?” sahut si
jangkung. “Kalau Kakak Kedua tidak merahasiakan keberangkatannya, tentu akan
terjadi masalah besar. Meskipun Kakak Pertama tidak berani membantah perintah
Guru, tetap saja ia bisa mencari cara lain untuk mengacaukan perjalanan Kakak
Kedua.”
“Ucapanmu benar, Adik Ketiga,”
kata Kakek Sa. “Kakak Pertama punya banyak teman di dunia persilatan. Bisa saja
ia menyuruh orang lain untuk menggagalkan tugasku mengirim surat balasan ke
Gunung Qingcheng. Guru berpesan kepadaku bahwa surat yang kubawa berisi
permohonan maaf kepada Pendeta Yu; bahwa murid Beliau yang tidak patuh
benar-benar memalukan perguruan; bahwa perbuatannya patut dicela; bahwa ia
seharusnya dikeluarkan dari perguruan, namun khawatir jangan-jangan pihak luar
salah paham mendengarnya; bahwa kedua murid yang tidak patuh itu....”
“Tunggu dulu,” sela Lu Dayou.
“Jadi aku juga disebut murid yang tidak patuh?”
“Bukankah itu berarti kau
ditempatkan sederajat dengan Kakak Pertama? Seharusnya kau bangga,” sahut
Wan’er.
“Benar juga,” ujar Lu Dayou
dengan wajah gembira. Ia lantas berteriak kepada pelayan, “Aku minta arak! Aku
minta arak!”
Pelayan rumah minum buru-buru
mendatangi meja orang-orang itu dan berkata, “Kami hanya menjual teh. Di sini
ada teh Sumur Naga, teh Timur Jauh, teh Buddha Besi; tapi maaf, kami tidak
menyediakan arak.” Ucapannya ini disampaikan dengan logat Hengshan yang khas.
Lu Dayou menegas, “Jadi aku tidak
bisa minum arak di sini? Jadi aku hanya bisa minum teh?” Kata-katanya itu ia
ucapkan dengan logat Hengshan; terdengar kacau tapi menggelikan.
“Benar, benar,” jawab si
pelayan kedai sambil menuangkan teh hangat baru ke dalam poci mereka.
Kakek Sa melanjutkan, “Surat
Guru itu juga menyebutkan bahwa kedua murid yang tidak patuh telah dihukum
berat sampai tidak bisa berjalan; bahwa Guru lantas mengutus murid kedua yang
bernama Lao Denuo untuk mewakili meminta maaf ke Gunung Qingcheng; kejadian ini
disebabkan dua murid Guru yang tidak tahu adat, semoga Pendeta Yu berlapang
dada dan sudi memaafkan, demi hubungan baik Perguruan Qingcheng dan Perguruan
Huashan; kelak jika bertemu, Guru akan meminta maaf secara langsung kepada
Pendeta Yu.”
Mendengar itu Lin Pingzhi
berpikir, “Jadi nama asli Kakek Sa adalah Lao Denuo, dan orang-orang ini
ternyata murid-murid Perguruan Huashan; salah satu dari Serikat Pedang Lima
Gunung.” Seketika hatinya bergetar mengetahui pihak Qingcheng dan Huashan
ternyata memiliki hubungan baik.
Lao Denuo melanjutkan,
“Sesampainya di Gunung Qingcheng aku bertemu dua korban kenakalan Kakak Pertama
itu. Kalau Hou Renying masih lumayan sopan dan tidak menaruh dendam; tapi Hong
Renxiong berkali-kali mengejek dan berusaha menantangku berkelahi....”
“Keparat! Murid-murid
Qingcheng memang menyebalkan!” sela Lu Dayou dengan perasaan kesal. “Kakak
Kedua, kalau dia ingin berkelahi, layani saja dia berkelahi! Untuk apa kau
takut? Aku yakin, si marga Hong itu bukan tandinganmu.”
“Guru mengirimku untuk meminta
maaf, bukan untuk menambah masalah,” jawab Lao Denuo. “Selama enam hari aku
harus menahan sabar. Baru pada hari ketujuh Pendeta Yu muncul dan bersedia
menemuiku.”
“Huh, sombong sekali! Lagaknya
mirip majikan besar saja!” kembali Lu Dayou menyela. “Kakak Kedua, selama enam
hari di sana tentu kau menderita tekanan batin.”
“Begitulah, setiap hari aku
disindir dan diejek,” jawab Lao Denuo. “Tapi aku sadar telah dipilih untuk
mengantarkan surat Guru bukan karena ilmu silatku tinggi, tapi karena usiaku
paling tua dan paling sabar dibandingkan kalian semua. Maka itu aku lantas
menelan semua kemarahanku dan bertekad harus menjalankan tugas ini
sebaik-baiknya. Orang-orang Qingcheng itu tidak sadar kalau perbuatan mereka
yang mengulur-ulur waktu justru bermanfaat bagiku.
Saat itu aku merasa jenuh
tinggal di Kuil Cemara Angin karena tidak diizinkan bertemu Pendeta Yu. Pada
hari ketiga aku bangun pagi-pagi sekali untuk berjalan-jalan sambil melatih
ilmu pernafasanku. Ketika melewati lapangan di belakang kuil aku sempat melihat
puluhan murid Qingcheng sibuk berlatih bersama. Tentu saja aku tahu di dunia
persilatan terdapat pantangan untuk tidak menyaksikan pihak lain sedang
berlatih. Maka itu, aku buru-buru kembali ke dalam kamar. Akan tetapi, meskipun
hanya sekilas pandang tetap saja latihan itu membuatku curiga. Kulihat mereka
berlatih jurus pedang yang sama; hanya saja, gerakan mereka terlihat masih agak
kaku, seperti sedang mempelajari suatu ilmu baru. Tapi entah, ilmu pedang apa
pula yang sedang mereka pelajari itu? Tentu saja aku tidak dapat mengetahuinya
cukup dengan sekali pandang saja.”
Lao Denuo meneguk sedikit teh,
lalu melanjutkan, “Setelah kembali ke kamar, aku memikirkan apa yang baru saja
kulihat tadi. Semakin kupikirkan aku merasa semakin curiga. Perguruan Qingcheng
sudah memiliki sejarah panjang. Murid-murid itu bergabung dalam waktu yang
tidak bersamaan, tapi mengapa saat itu mereka berlatih bersama-sama? Yang lebih
mengherankan lagi, mengapa Empat Jagoan Qingcheng, yaitu Hou Renying, Hong Renxiong,
Yu Renhao, dan Luo Renjie ikut serta? Coba pikir, menurut kalian ada apa
sebenarnya?”
Si pembawa sempoa menjawab,
“Mungkin Perguruan Qingcheng baru saja menemukan kitab ilmu pedang kuna, atau
Pendeta Yu baru saja menciptakan jurus-jurus baru.”
“Semula aku juga berpikir
demikian,” jawab Lao Denuo. “Tapi kemudian aku berpikir alasan itu kurang
tepat. Ilmu pedang Pendeta Yu sangat tinggi. Jika dia berhasil menciptakan ilmu
baru tentu sifatnya luar biasa dan hanya diajarkan kepada murid-murid terbaiknya
saja. Begitu pula andaikan Perguruan Qingcheng menemukan kitab ilmu pedang kuna
yang sudah langka, tentu tidak semua murid boleh mempelajarinya. Seorang guru
pasti menunjuk dua atau tiga murid terbaiknya untuk mempelajari ilmu baru yang
istimewa; bukannya menyuruh puluhan murid dari yang paling pandai sampai yang
paling lemah berlatih bersama. Benar-benar mengherankan.”
Lin Pingzhi semakin memusatkan
perhatiannya untuk mendengarkan cerita Lao Denuo sampai tuntas. Terdengar orang
tua itu melanjutkan, “Esok paginya aku kembali berpura-pura melintasi lapangan
tempat mereka berlatih. Sekali lagi aku melihat puluhan orang berlatih ilmu
pedang yang sama. Aku sama sekali tidak berani berhenti atau menonton. Aku
hanya melirik sedikit untuk menghafal dua jurus saja. Setelah kembali ke Gunung
Huashan aku berniat meminta pendapat Guru. Sampai hari itu Pendeta Yu belum
juga menampakkan diri sehingga timbul perasaan curiga di hatiku; jangan-jangan
pihak Qingcheng sangat membenci perguruan kita. Mungkin saja karena ulah Kakak
Pertama, murid-murid Qingcheng berlatih ilmu pedang baru untuk digunakan
menyerang Perguruan Huashan kita. Karena itu, aku berpendapat sebaiknya lebih
berhati-hati.”
Si jangkung bertanya, “Kakak
Kedua, mungkinkah mereka berlatih suatu formasi pedang?”
“Aku juga sempat berpikir
demikian. Namun, aku melihat mereka berlatih secara berpasang-pasangan dengan
jurus yang sama pula. Jurus yang digunakan untuk menyerang sama persis dengan
jurus untuk bertahan; sama sekali ini bukan formasi pedang,” jawab Lao Denuo.
“Pagi berikutnya, aku kembali berjalan melintasi tempat mereka berlatih. Akan
tetapi, keadaan di sana sunyi sepi tanpa seorang pun. Rupanya mereka mulai
curiga kepadaku dan berusaha menghindar. Aku terus berjalan dan melihat-lihat
ke segala arah, namun tidak menemukan apa-apa lagi. Akibatnya, kecurigaanku
semakin bertambah besar. Entah rahasia apa yang sedang mereka sembunyikan. Aku
khawatir mereka mempelajari suatu ilmu pedang baru untuk menghadapi perguruan
kita; jika tidak, mengapa mereka sedemikian takut terlihat olehku?
Malam harinya aku tidak bisa
tidur memikirkan Perguruan Qingcheng sebenarnya sedang merencanakan apa?
Tiba-tiba telingaku mendengar suara senjata beradu di kejauhan. Aku terkejut,
jangan-jangan Kuil Cemara Angin sedang diserbu musuh. Waktu itu aku mengira
Kakak Pertama datang untuk membalas dendam kepada mereka karena telah dihukum
Guru. Mengingat Kakak Pertama hanya seorang diri melawan puluhan orang, aku pun
keluar untuk membantunya. Padahal, sewaktu berangkat meninggalkan Gunung
Huashan, aku tidak membawa senjata sama sekali. Tapi aku telah bertekad untuk
membantu Kakak Pertama meski hanya dengan tangan kosong.”
“Hebat sekali!” puji Lu Dayou.
“Keberanian Kakak Kedua memang luar biasa. Mana mungkin aku berani menghadapi
Pendeta Yu dengan tangan kosong?”
“Dasar Monyet Keenam suka
bicara sembarangan!” sahut Lao Denuo ketus. “Siapa yang bilang hendak
menghadapi Pendeta Yu? Aku keluar kamar hanya karena khawatir pada keselamatan
Kakak Pertama. Meskipun berbahaya tapi aku harus tetap berangkat. Memangnya aku
bisa enak-enakan meringkuk di dalam selimut seperti kura-kura?”
Maka terdengarlah gemuruh tawa
orang-orang Perguruan Huashan itu.
Lu Dayou berkata sambil
memoncongkan mulutnya, “Aku memujimu tapi kau malah menjawab dengan galak.”
“Terima kasih,” jawab Lao
Denuo. “Tapi pujianmu tidak pada tempatnya.”
Beberapa lainnya berkata,
“Kakak Kedua, jangan hiraukan Monyet Keenam. Lanjutkan saja ceritanya.”
Lao Denuo tersenyum dan
kembali bercerita, “Begitulah, aku pun keluar dari kamar dan bergegas menuju ke
arah sumber suara. Mendengar suara benturan senjata itu semakin keras dan
keras, jantungku ikut berdebar kencang. Aku berpikir: ‘Kami berdua sama-sama
terjebak di sarang musuh. Kakak Pertama berilmu tinggi dan punya kesempatan
untuk lolos dengan selamat; tapi, bagaimana denganku? Ini benar-benar gawat.’
–Ternyata suara benturan senjata itu berasal dari sebuah ruangan di sisi
belakang kuil. Aku pun mengendap-endap mendekati ruangan itu, dan kemudian
mengintip ke dalam melalui celah jendela yang tidak tertutup rapat. Bagian
dalam ruangan tersebut terang benderang oleh cahaya ratusan lilin dan pelita.
Seketika hatiku menjadi lega; karena yang kulihat di dalam situ hanyalah
murid-murid Qingcheng sedang sibuk berlatih. Apa yang kukhawatirkan tidak
menjadi kenyataan; Kakak Pertama sama sekali tidak datang menyerang Kuil Cemara
Angin. Di dalam ruangan itu aku melihat dua pasangan sedang bertanding dengan
jurus yang sama. Tampak Hou Renying melawan Hong Renxiong di satu sisi; serta
Fang Renzhi melawan Yu Renhao di sisi lainnya.”
“Wah, murid-murid Qingcheng
benar-benar rajin. Mereka berlatih pedang sampai tak kenal malam,” ujar Lu
Dayou kembali memotong pembicaraan. Lao Denuo memandangnya dengan tatapan tajam
sehingga adik keenamnya itu langsung terdiam.
“Di tengah ruangan itu kulihat
pula seorang pendeta bertubuh pendek memakai jubah warna biru sedang duduk
mengawasi. Usianya sekitar lima puluhan dengan wajah terlihat kurus.
Kuperkirakan berat badannya sekitar empat puluh kilo saja,” lanjut Lao Denuo.
“Dari ciri-ciri yang pernah kudengar, konon ketua Perguruan Qingcheng memang
seorang pendeta agama Tao yang bertubuh pendek. Akan tetapi, aku tidak pernah
menyangka kalau Pendeta Yu ternyata lebih pendek dari dugaanku. Murid-murid
Qingcheng yang lain ikut menonton dengan duduk di sekelilingnya. Setelah
memperhatikan dengan seksama, ternyata kedua pasangan tersebut bertanding
menggunakan jurus-jurus pedang yang kulihat dua hari berturut-turut sebelumnya.
Aku sadar waktu itu keadaanku
sangat tidak aman. Jika sampai ketahuan oleh mereka, diriku bukan hanya akan
dihukum berat, tapi nama baik Perguruan Huashan tentu ikut tercemar pula.
Memang Guru telah menghukum Kakak Pertama dengan alasan tidak tahu adat, suka
berbuat onar; namun aku yakin Beliau diam-diam merasa bangga. Bagaimanapun juga
berkat Kakak Pertama, nama baik perguruan kita bertambah harum di dunia
persilatan. Kakak tertua kita mampu mengalahkan dua murid terbaik Perguruan
Qingcheng hanya dengan sekali tendang. Rasanya tidak pantas lagi mereka memakai
julukan Empat Jagoan Qingcheng. Akan tetapi, apa yang kulakukan jelas sangat
berbeda. Aku telah melanggar tata krama dunia persilatan yaitu mengintai
perguruan lain sedang berlatih silat. Ini merupakan kejahatan yang lebih keji
daripada mencuri harta benda. Jika pihak Qingcheng mengadukan perbuatanku
kepada Guru, tentu aku akan dikeluarkan dari Perguruan Huashan kita.
Akan tetapi, menyaksikan
betapa murid-murid Qingcheng itu berlatih dengan keras membuat aku semakin
khawatir, jangan-jangan mereka benar-benar hendak menyerbu perguruan kita.
Bagaimana mungkin aku bisa pergi begitu saja? Dalam hati aku berjanji cukup
melihat dua atau tiga jurus saja. Namun jurus demi jurus terus saja berlalu dan
aku tetap terpaku untuk mengintai. Aku melihat jurus pedang yang mereka mainkan
memang agak aneh. Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan jurus pedang
seperti itu. Sebenarnya aku tidak melihat suatu hal yang istimewa dari
jurus-jurus tersebut, tapi anehnya, mengapa orang-orang Qingcheng sedemikian
tekun mempelajarinya? Mungkinkah jurus seperti itu yang akan digunakan untuk
menyerang Perguruan Huashan kita?
Setelah menyaksikan beberapa
jurus lagi akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Perlahan-lahan
kutinggalkan tempat tersebut. Aku sangat khawatir jangan-jangan sewaktu
pertandingan selesai ternyata aku masih berada di sana. Dengan kepandaiannya
yang sangat tinggi, Pendeta Yu pasti akan mudah menemukanku meski aku hanya
sedikit bergerak. Maka itu, selagi kedua pasangan itu masih bertanding seru, aku
pun melangkah pergi dengan mengendap-endap.
Dua malam berikutnya suara
benturan pedang kembali terdengar, namun aku sama sekali tidak berani keluar
untuk mengintai lagi. Andai saja sejak awal aku tahu kalau murid-murid
Qingcheng itu berlatih di hadapan Pendeta Yu, mungkin aku tidak berani keluar
sama sekali. Semua yang telah kulihat malam itu terjadi karena
ketidaksengajaan. Maka, sewaktu Adik Keenam memuji keberanianku tadi, aku
langsung marah-marah,” ujar Lao Denuo sambil menoleh ke arah Lu Dayou. “Andai
saja waktu itu kau melihat wajahku yang pucat pasi seperti mayat, tentu kau
akan menyebutku sebagai pengecut nomor satu di dunia.”
“Tidak mungkin, tidak
mungkin!” sahut Lu Dayou. “Kakak Kedua, pengecut nomor satu di dunia bukan kau
tapi aku. Andai saja waktu itu aku yang mengintip di jendela, tentu diriku akan
lebih konyol lagi. Kau sendiri masih berani melangkah kembali ke kamar; tapi
bagaimana denganku? Sehebat apapun kepandaian Pendeta Yu tidak mungkin bisa
menyadari keberadaanku; karena jangankan bergerak, untuk bernapas saja mungkin
aku tidak berani.”
Serentak tertawalah semua
orang di meja itu mendengar perkataan Lu Dayou yang polos dan lugu.
Lao Denuo melanjutkan
ceritanya, “Pada hari ketujuh barulah Pendeta Yu bersedia menerima diriku.
Setelah membaca surat dari Guru, Beliau lantas berbicara dengan kata-kata sopan
dan penuh hormat. Menurutnya, pertarungan antara murid-murid kedua perguruan
anggap saja seperti perkelahian anak kecil; orang tua tidak perlu ikut-ikutan.
Jangan sampai hubungan baik antara Perguruan Huashan dan Qingcheng rusak hanya
karena masalah sepele. Malam itu aku dijamu dengan sangat baik bagaikan seorang
tamu agung. Bahkan, esok paginya Pendeta Yu ikut mengantarkan diriku sampai ke
pintu gerbang sewaktu aku pamit meninggalkan Kuil Cemara Angin. Meskipun usiaku
tua namun kedudukanku lebih rendah, sehingga aku pun berlutut di hadapannya
sebelum turun gunung. Namun Pendeta Yu segera menyanggah tubuhku dengan tangan
kanan secara perlahan sehingga aku pun terangkat naik. Waktu itu aku merasakan
betapa hebat tenaga dalam Pendeta Yu. Beliau mengangkatku tanpa terlihat
mengeluarkan tenaga sedikit pun. Andai saja ia mau, tentu tubuhku sudah
dilemparkannya sejauh puluhan meter. Kekuatanku sama sekali jauh di bawahnya.
Pendeta Yu kemudian bertanya
kepadaku: ‘Kakak pertamamu masuk perguruan selisih berapa tahun denganmu? Kalau
aku tidak salah, sebelum belajar di Huashan kau sudah memiliki dasar-dasar ilmu
silat, benar begitu?’
Saat itu aku masih tertegun
menyadari kekuatan tenaga dalam Pendeta Yu. Setelah agak tenang dan napasku
lebih teratur, baru aku menjawab: ‘Benar, saya pernah belajar sedikit ilmu
silat sebelumnya. Ketika saya bergabung dengan Perguruan Huashan, waktu itu
Kakak Pertama sudah lebih dulu berguru di sana selama tiga tahun.’
Pendeta Yu tersenyum dan
berkata: ‘Lebih tiga tahun, hm, lebih tiga tahun.’”
Wan’er menyela, “Apa maksudnya
dengan ‘lebih tiga tahun’?”
“Entahlah,” jawab Lao Denuo.
“Mungkin Beliau merasa ilmu silatku biasa-biasa saja. Meskipun hanya selisih
tiga tahun dengan Kakak Pertama, namun kepandaian kami sangat berbeda.”
Si gadis burik tertegun
mendengarnya dan tidak bertanya lagi.
Terdengar Lao Denuo
melanjutkan, “Begitu kembali ke Gunung Huashan, aku segera menyerahkan surat
balasan dari Pendeta Yu kepada Guru. Isi surat tersebut sangat halus dan
merendahkan diri. Guru terlihat senang membacanya, karena hubungan baik kedua
perguruan tetap terjaga. Guru lantas menanyakan bagaimana pengalamanku di sana.
Aku pun bercerita semuanya, termasuk saat menyaksikan murid-murid Qingcheng
berlatih jurus pedang aneh. Merasa penasaran, Guru menyuruhku memperagakan
jurus-jurus tersebut. Karena hanya mengintai sebentar, maka aku hanya bisa
memperagakan tujuh atau delapan jurus saja. Namun demikian, Guru bisa langsung
mengetahui kalau jurus tersebut adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis
milik Keluarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei.”
Tubuh Lin Pingzhi langsung
gemetar mendengarnya. Untungnya waktu itu orang-orang Huashan sedang sibuk
mendengarkan cerita si kakak kedua sehingga tidak seorang pun yang peduli
kepadanya.
Lao Denuo melanjutkan, “Aku
pun bertanya kepada Guru: ‘Apakah Ilmu Pedang Penakluk Iblis sedemikian
hebatnya sehingga Perguruan Qingcheng begitu tekun mempelajarinya?’
Guru memejamkan mata cukup
lama, baru kemudian Beliau menjawab: ‘Denuo, sebelum bergabung dengan Huashan,
bukankah kau pernah berkelana sekian lama di dunia persilatan? Bagaimana
pendapatmu tentang Lin Zhennan, pemimpin Biro Ekspedisi Fuwei?’
Aku menjawab: ‘Menurut cerita
yang pernah saya dengar, konon Lin Zhennan seorang yang sangat ramah dan suka
menolong. Ia terkenal dermawan pula. Orang-orang suka berteman dengannya dan
segan mengganggu barang kawalan perusahaannya. Namun mengenai ilmu silatnya
kurang begitu jelas.’
Guru berkata: ‘Benar sekali.
Di bawah kepemimpinan Lin Zhennan memang Biro Ekspedisi Fuwei berkembang sangat
pesat. Semua itu bukan karena kehebatan ilmu silatnya, melainkan karena ia
pandai menjalin persahabatan. Namun, apakah kau pernah mendengar bahwa Keluarga
Lin sebenarnya memiliki ilmu rahasia? Konon guru Pendeta Yu yang bernama
Pendeta Tang Qingzi pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan Ilmu Pedang
Penakluk Iblis?’
Aku pun bertanya: ‘Siapa itu
Lin Yuantu? Apakah dia ayah dari Lin Zhennan?’
Guru menjawab: ‘Bukan. Lin
Yuantu adalah pendiri Biro Ekspedisi Fuwei yang juga kakek dari Lin Zhennan. Ia
merupakan tokoh luar biasa pada zamannya. Tidak seorang pun tokoh golongan
hitam yang bisa mengalahkannya. Tidak hanya itu, bahkan tokoh-tokoh golongan
putih pun ada pula yang ingin mencoba kepandaiannya. Salah satunya adalah
Pendeta Tang Qingzi, ketua Perguruan Qingcheng waktu itu. Dalam beberapa jurus,
ia akhirnya roboh dan mengakui kehebatan Ilmu Pedang Penakluk Iblis.’
Aku bertanya: ‘Jadi, Ilmu
Pedang Penakluk Iblis sedemikian hebatnya?’
Guru menjawab: ‘Begitulah,
kedua pihak akhirnya sepakat untuk merahasiakan pertarungan tersebut. Hanya
saja, Tang Qingzi adalah sahabat baik guruku, atau kakek gurumu. Hanya kepada
Guru saja ia mau bercerita. Tang Qingzi menganggap kekalahannya ini sebagai aib
yang tidak akan terlupakan seumur hidup. Namun, ia sendiri juga menyadari tidak
akan pernah bisa membalas kekalahan terhadap Lin Yuantu. Di hadapan kakek
gurumu, Tang Qingzi mencoba memainkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis –berdasarkan ingatannya–
untuk mencari celah kelemahan ilmu pedang tersebut. Beliau berdua sibuk
berdiskusi namun sampai beberapa bulan tidak juga menemukan cara untuk
mengatasi ilmu pedang tersebut. Padahal, ilmu pedang Lin Yuantu ini hanya
terdiri dari tujuh puluh dua jurus dan terlihat biasa-biasa saja. Akan tetapi,
di balik kesederhanaannya itu tersimpan kekuatan yang luar biasa. Aku sendiri
saat itu masih remaja dan baru bergabung dengan Perguruan Huashan. Aku bertugas
melayani mereka dengan menghidangkan teh setiap hari sehingga sedikit banyak
ikut menyaksikan bagaimana jurus-jurus pedang tersebut diperagakan oleh Tang
Qingzi. Itulah sebabnya ketika kau tadi memainkan beberapa gerakan, aku
langsung mengenalinya sebagai Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Hm, waktu telah lama
berlalu, namun rasanya baru kemarin aku melihat jurus-jurus ini....’
Lin Pingzhi tertegun mendengar
cerita Lao Denuo. Sejak ayah dan ibunya tertangkap oleh murid-murid Qingcheng,
ia sempat putus asa dan kehilangan kepercayaan terhadap ilmu pedang keluarganya
itu. Yang sangat ingin ia lakukan adalah mencari guru baru dan belajar ilmu
silat lain dengan giat untuk membalas dendam. Namun, begitu mengetahui
kehebatan Lin Yuantu yang pernah berjaya di dunia persilatan, seketika
semangatnya bangkit kembali. Ternyata Ilmu Pedang Penakluk Iblis di tangan sang
kakek buyut bisa sedemikian mengerikan; bahkan, ketua-ketua Perguruan Qingcheng
dan Huashan terdahulu tidak bisa mengatasinya. Akan tetapi, mengapa ayahnya
tidak mampu mengalahkan murid-murid Qingcheng yang masih hijau itu? “Mungkinkah
Ayah belum berhasil menyelami rahasia kekuatan daninti sari Ilmu Pedang
Penakluk Iblis?” demikian pikirnya.
Terdengar Lao Denuo
melanjutkan cerita, “Aku pun bertanya kepada Guru, ‘Apakah Pendeta Tang Qingzi
berhasil membalas dendam kepada Lin Yuantu?’
Guru menjawab, ‘Meskipun
menyimpan sakit hati, namun Tang Qingzi tidak memiliki alasan untuk memusuhi
Lin Yuantu. Kalah menang dalam suatu pertandingan adalah hal biasa. Apalagi Lin
Yuantu berusia lebih tua dan lebih ternama, sedangkan Tang Qingzi hanya seorang
pendeta Tao yang masih muda belia. Kemenangan seorang tua terhadap seorang muda
adalah hal yang wajar. Kakek-gurumu juga menasihati agar Tang Qingzi melupakan
kekalahan itu. Mereka sepakat untuk tidak membicarakannya lagi. Akan tetapi,
Tang Qingzi ternyata meninggal pada usia tiga puluh enam tahun; dan mungkin
kematiannya itu disebabkan karena sakit hati berkepanjangan yang tidak
terbalaskan. Kini puluhan tahun telah berlalu. Entah mengapa tiba-tiba Yu
Canghai mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis kepada semua muridnya? Menurutmu
bagaimana, Denuo?’
Aku pun mengemukakan
pendapatku, ‘Sepertinya Pendeta Yu sibuk melatih murid-muridnya belajar Ilmu
Pedang Penakluk Iblis untuk membalaskan dendam gurunya yang mati muda. Mungkin
mereka hendak menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei habis-habisan.’
Guru mengangguk dan berkata,
‘Bisa jadi seperti itu. Tang Qingzi seorang pendeta yang berpikiran sempit.
Seumur hidup ia tidak bisa melupakan kekalahannya di tangan Lin Yuantu. Mungkin
sebelum mati, ia sempat menanamkan benih kebencian di hati Yu Canghai supaya
membalaskan dendamnya kepada Keluarga Lin. Namun saat itu Lin Yuantu sendiri
sudah lebih dulu meninggal, sedangkan Biro Ekspedisi Fuwei telah diwariskan
kepada putranya yang bernama Lin Zhongxiong. Entah apa alasannya, baru sekarang
Yu Canghai mempersiapkan balas dendam, yaitu saat Biro Fuwei dipimpin Lin
Zhennan putra Lin Zhongxiong. Yu Canghai memang seorang cerdik dan penuh
perhitungan. Ia menyusun rencana dengan sangat matang sebelum melancarkan
serangan. Sepertinya akan terjadi pertempuran besar antara Perguruan Qingcheng
melawan Biro Ekspedisi Fuwei.’
Aku bertanya kepada Guru,
‘Menurut pendapat Guru, jika benar Perguruan Qingcheng bertempur melawan Biro
Fuwei, kira-kira pihak mana yang lebih unggul?’
Guru menjawab, ‘Ilmu silat Yu
Canghai lebih bagus daripada Tang Qingzi. Sebaliknya, ilmu silat Lin Zhennan
meskipun tidak banyak yang mengetahui, kemungkinan besar tidak sehebat Lin
Yuantu. Di samping itu, pihak Qingcheng telah mempersiapkan serangan dengan
matang, sementara pihak Fuwei tidak mengetahui apa-apa. Dengan demikian tujuh
puluh persen pihak Fuwei akan kalah telak. Andai saja Lin Zhennan sempat
meminta bantuan kepada mertuanya yang bernama Wang Yuanba, alias Si Golok Emas
di Kota Luoyang, mungkin keadaan menjadi seimbang.’
Guru kemudian bertanya
kepadaku, ‘Denuo, apakah kau ingin melihat keramaian di Fuzhou?’
Aku menjawab, ‘Tentu saja
ingin, Guru!’
Kemudian Guru pun mengajarkan
beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Qingcheng kepadaku untuk berjaga-jaga.”
“Apa? Bagaimana Guru bisa
menguasai ilmu pedang Qingcheng?” sahut Lu Dayou sambil melonjak. “Ah, aku
tahu! Pendeta Tang Qingzi dan Kakek Guru bersahabat baik. Sudah pasti Guru
pernah menyaksikan keduanya berlatih bersama untuk mengatasi Ilmu Pedang
Penakluk Iblis.”
“Adik Keenam, tidak
sepantasnya kita sebagai murid mengungkit-ungkit dari mana asal-usul kepandaian
Guru,” kata Lao Denuo. Ia kembali bercerita, “Waktu itu Guru mengirimku ke
Fuzhou secara diam-diam dengan tugas mengintai perkembangan di antara kedua
pihak. Namun Adik Kecil sungguh cerdik. Entah bagaimana dia bisa mengetahui
tugas yang diberikan Guru kepadaku. Dia pun merengek minta diizinkan ikut
denganku dan Guru akhirnya mengabulkan. Kami lantas menyamar sebagai kakek dan
cucu yang berjualan arak di pinggir Kota Fuzhou. Setiap hari kami pergi
menyusup untuk menyelidiki keadaan kantor pusat Biro Fuwei. Di sana kami tidak
melihat suatu hal yang istimewa, kecuali Lin Zhennan sedang sibuk melatih
putranya yang bernama Lin Pingzhi. Begitu melihat mereka, Adik Kecil
menggeleng-geleng dan berbisik kepadaku, ‘Apa ini yang dinamakan Ilmu Pedang
Penakluk Iblis? Jika iblis benar-benar datang mengganggu, mungkin Tuan Muda Lin
itulah yang justru ditaklukkan....’
Murid-murid Huashan seketika
bergelak tawa, sementara Lin Pingzhi yang sedang mereka bicarakan itu tertunduk
malu dengan wajah bersemu merah. Dalam hati pemuda itu berkata, “Jadi, mereka
berdua pernah menyusup dan mengintai ke dalam rumahku tapi kami sekeluarga tidak
mengetahuinya... Sungguh tidak berguna.”
Lao Denuo kembali bercerita,
“Ternyata dugaan Guru benar. Beberapa hari kemudian datang murid-murid
Qingcheng memasuki Kota Fuzhou. Mula-mula yang datang adalah Fang Renzhi dan Yu
Renhao. Setiap hari mereka mondar-mandir di sekitar gedung kantor pusat Biro
Fuwei. Adik Kecil dan aku memutuskan untuk tidak mengintai lagi karena khawatir
ketahuan oleh mereka.
Sungguh sangat kebetulan, pada
hari berikutnya Tuan Muda Lin berkunjung ke kedai arak kami. Adik Kecil segera
melayani pesanannya. Tadinya aku mengira penyamaran kami telah terbongkar.
Setelah kuajak bicara ternyata dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Anak muda
itu merasa hidupnya aman-aman saja, seolah tidak ada bahaya yang datang
mengancam. Kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi? Secara kebetulan datang
pula dua manusia paling biadab dari Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Yu
Renyan dan Jia Renda....”
“Kakak Kedua,” sahut Lu Dayou
memotong pembicaraan. “Kedai arak yang kau buka bersama Adik Kecil sungguh
laris. Mungkin kau bisa menjadi hartawan kaya raya jika tetap tinggal di
Fujian.”
“Tentu saja,” jawab Wan’er.
“Kakak Kedua sekarang sudah kaya raya. Berkat keberuntungannya itu, aku bisa
membeli beberapa gelandangan macam kalian.” Ucapan si gadis burik itu mendapat
tanggapan gelak tawa saudara-saudaranya.
Sambil tertawa Lao Denuo
melanjutkan cerita, “Meskipun ilmu silat Tuan Muda Lin sangat payah, bahkan
tidak pantas menjadi murid Adik Kecil kita, namun ia ternyata memiliki jiwa
kesatria. Ketika Yu Renyan berusaha mengganggu Adik Kecil, pemuda itu langsung
tampil untuk membela....”
Mendengar itu darah Lin
Pingzhi bergolak. Dalam hati ia semakin gusar, “Ternyata apa yang kudengar di
cabang Changsa benar; sejak awal Perguruan Qingcheng memang sudah berusaha
untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Latar belakang semua ini adalah
dendam Yu Canghai atas kekalahan gurunya. Aku yakin, yang dikirim ke Fuzhou
bukan hanya empat orang, tapi lebih banyak lagi. Andai saja aku tidak membunuh
Yu Renyan, tetap saja Biro Fuwei mereka hancurkan.”
Karena berpikir demikian ia
tidak mendengar dengan jelas bagaimana Lao Denuo menceritakan kisah kematian Yu
Renyan. Yang jelas, murid-murid Huashan lainnya bergelak tawa merasa geli. Lin
Pingzhi berpikir mereka pasti menertawakan keadaannya yang konyol saat ditekan
Yu Renyan dan berbalik membunuh putra bungsu Yu Canghai itu.
“Malam itu aku dan Adik Kecil
melihat Pendeta Yu tiba di Kota Fuzhou bersama Hou Renying, Hong Renxiong, dan
beberapa murid Qingcheng lainnya. Karena takut ketahuan, kami pun menjaga jarak
dengan mengintai dari tempat yang agak jauh. Selanjutnya kami menyaksikan
bagaimana para pegawai Biro Fuwei dibantai satu per satu dan mayat-mayat mereka
dikirim ke hadapan Lin Zhennan,” lanjut Lao Denuo. “Perbuatan Pendeta Yu dan
murid-muridnya sungguh kejam. Tadinya aku berpikir alasan pembantaian itu
adalah untuk membalas kekalahan Pendeta Tang Qingzi. Namun jika benar demikian,
mengapa mereka tidak langsung menantang Lin Zhennan saja? Lalu kupikir alasan
mereka adalah untuk membalas kematian Yu Renyan. Akan tetapi, mengapa mereka
hanya membunuh para pegawai dan membiarkan Lin Pingzhi dan ayah-ibunya tetap
hidup? Mereka justru membiarkan Keluarga Lin pergi meninggalkan Kota Fuzhou.
Sepeninggal mereka, orang-orang Qingcheng memasuki gedung kantor Biro Fuwei
yang telah kosong itu. Kami melihat Pendeta Yu duduk di kursi majikan dengan
tersenyum bangga.”
“Aku tahu sekarang. Alasan
Pendeta Yu sebenarnya bukan untuk balas dendam, tetapi ia ingin merebut bisnis
Biro Ekspedisi Fuwei. Rupanya dia ingin menjadi pengusaha,” ujar Lu Dayou
menyela, disusul gelak tawa saudara-saudaranya.
Lao Denuo melanjutkan,
“Orang-orang Qingcheng mengetahui Keluarga Lin meninggalkan Kota Fuzhou dengan
menyamar. Fang Renzhi, Yu Renhao, dan Jia Renda pun dikirim untuk mengejar
mereka. Adik Kecil mengajakku mengikuti dari belakang. Kami melihat mereka
berhasil menangkap Lin Zhennan dan anak-istrinya di sebuah kedai nasi kecil, di
sisi selatan Provinsi Fujian.
Waktu itu Adik Kecil berkata,
‘Demi diriku, Tuan Muda Lin itu nekad membunuh Yu Renyan. Kini melihatnya dalam
kesulitan, tentu saja aku tidak bisa tinggal diam berpangku tangan.’
Sekuat tenaga aku berusaha
menasihati Adik Kecil, bahwa tugas kami hanya mengintai pertikaian antara
Perguruan Qingcheng dan Biro Fuwei saja. Sama sekali kami berdua tidak boleh
ikut campur, agar tidak merusak hubungan baik antara Perguruan Qingcheng dan
Huashan. Apalagi dengan keberadaan Pendeta Yu di Fuzhou, ini bisa menjadi
masalah besar.”
Lu Dayou menukas, “Kakak Kedua
sudah tua, wajar kalau sangat berhati-hati. Sebaliknya, Adik Kecil masih muda
belia dan penuh gejolak. Pasti Adik Kecil tidak mau mendengarkan nasihat Kakak
Kedua.”
“Benar sekali,” jawab Lao
Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil sangat kecewa kepadaku. Seorang diri ia
masuk ke pintu belakang kedai dan memukul Jia Renda yang waktu itu berada di
dapur. Begitu Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas menolong, secepat kilat Adik
Kecil berputar ke depan dan membawa Tuan Muda Lin kabur.”
“Luar biasa! Hebat sekali!” sahut
Lu Dayou bertepuk tangan. “Aku tahu Adik Kecil bukan sekadar membalas budi
kepada pemuda Lin itu saja, tapi sepertinya juga menyimpan maksud lain. Bagus
sekali! Bagus sekali!”
“Maksud lain bagaimana? Awas
kalau kau berani omong kosong lagi!” sahut Wan’er dengan mata melotot.
“Begini, sejak aku dihukum
Guru, diam-diam Adik Kecil menyimpan dendam kepada orang-orang Qingcheng. Maka
itu, ia pun memukul si marga Jia sekaligus untuk membalaskan sakit hatiku.
Dalam hal ini aku berterima kasih kepadamu, Adik Kecil,” ujar Lu Dayou sambil
berdiri dan memberi hormat.
“Sama-sama, Kakak Monyet
Keenam,” jawab Wan’er sambil tersenyum dan membalas hormat pula.
“Adik Kecil memukul murid
Qingcheng itu memang untuk membalaskan sakit hati saudara kita yang dihukum Guru,”
kata si pembawa sempoa. “Tapi sepertinya orang itu bukan dirimu, Monyet Keenam.
Memangnya kau saja yang telah dihukum Guru?”
“Kali ini Adik Keenam benar,”
ujar Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil memukul Jia Renda benar-benar
untuk membalaskan sakit hatinya. Nanti jika Guru bertanya, tentu Adik Kecil
akan menjawab demikian.”
“Ini... ini... bukan maksudku
seperti itu,” sahut Lu Dayou ketakutan sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
“Jangan bawa-bawa diriku ke dalam masalah ini. Aku tidak mau dihukum Guru
lagi.”
Murid-murid Huashan lainnya
kembali bergelak tawa. Si jangkung lantas bertanya, “Apakah Fang Renzhi dan Yu
Renhao tidak mengejarmu, Adik Kecil?”
“Tentu saja mereka mengejar,”
jawab Wan’er. “Untungnya Kakak Kedua segera turun tangan dan memainkan beberapa
jurus ilmu pedang Qingcheng yang telah dipelajarinya. Dengan melancarkan jurus
Angsa Terbang di Angkasa, ia dapat melemparkan pedang si marga Fang dan Yu itu
ke udara. Sayang sekali Kakak Kedua memakai cadar sehingga kedua murid
Qingcheng tersebut tidak menyadari kalau mereka telah dikalahkan oleh seorang
murid Perguruan Huashan.”
“Justru itu lebih baik,” sahut
Lao Denuo. “Kalau aku tidak menyamar, tentu mereka akan mengenaliku dan ini
bisa menjadi masalah besar bagi perguruan kita. Aku sendiri juga belum tentu
menang jika harus bertarung melawan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Hanya saja, aku
menggunakan jurus pedang perguruan mereka secara tiba-tiba, sehingga kedua
orang itu terkejut dan kehilangan senjata. Dengan cara itulah aku bisa menang dan
segera mengajak Adik Kecil pergi.”
Masing-masing murid Huashan
itu lantas berpikir, “Tidak peduli bagaimana Kakak Kedua bisa menang, yang
jelas Kakak Pertama pasti sangat senang mendengar berita ini.”
Sementara itu, hujan di luar
tidak kunjung reda justru semakin bertambah deras. Butiran air yang jatuh
menimpa atap dan permukaan jalan bagaikan biji kacang berhamburan dari langit.
Samar-samar terlihat seorang penjual pangsit keliling sedang memikul
dagangannya melewati jalanan kota. Orang tua itu lantas menepi dan berteduh di
teras rumah minum tersebut. Tangannya kemudian memukul-mukulkan dua batang
bambu kecil untuk mengundang pembeli. Uap hangat berbau sedap tampak mengepul
keluar dari dalam bejana yang ia bawa.
Kebetulan murid-murid Huashan
itu sedang lapar semua; sementara rumah minum tempat mereka berteduh hanya
menjual teh dan kuaci saja. Tanpa diperintah, Lu Dayou pun berseru, “Pak Tua,
buatkan kami sembilan mangkuk pangsit! Tambahkan telur pada setiap mangkuk!”
“Baik, Tuan!” jawab si penjual
pangsit. Segera orang tua itu memasukkan bahan pangsit ke dalam bejana. Tidak
lama kemudian ia sudah masuk ke dalam kedai dengan membawa nampan berisi lima
mangkuk pangsit hangat. Lu Dayou menyambut mangkuk-mangkuk itu dan
menyerahkannya secara berurutan kepada Lao Denuo si kakak kedua, Liang Fa si
kakak ketiga, Shi Daizi si kakak keempat, dan Gao Genming si kakak kelima.
Seharusnya mangkuk kelima menjadi jatahnya, namun ia justru menyerahkannya
kepada Wan’er sambil berkata, “Kau duluan, Adik Kecil.”
Sejak tadi Wan’er meledek dan
memanggilnya “Monyet Keenam”, namun begitu menerima mangkuk tersebut ia lantas
berdiri dan berkata dengan penuh hormat, “Terima kasih, Kakak Keenam!”
Lin Pingzhi melirik dan
mengamati murid-murid Huashan itu dengan seksama. Tampak si gadis burik tidak
memakan pangsitnya sampai si penjual masuk kembali mengantarkan empat mangkuk
lainnya. Dalam hati pemuda itu memuji, “Murid-murid Huashan ini sungguh
menjunjung tinggi tata krama. Mereka bisa membedakan kapan waktunya bercanda,
kapan waktunya serius.”
“Kakak Kedua,” sahut si
jangkung Liang Fa sambil melahap pangsitnya. “Kau tadi berkata bahwa Pendeta Yu
menduduki gedung kantor pusat Biro Fuwei sepeninggal Lin Zhennan dan
anak-istrinya. Lantas, apa yang terjadi setelah itu?”
Lao Denuo menjawab, “Setelah
berhasil meloloskan Lin Pingzhi entah ke mana, Adik Kecil bermaksud membebaskan
Lin Zhennan dan istrinya pula. Namun, aku lantas mencegah dengan mengatakan
bahwa hutang budi antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi sudah terbayar lunas.
Sementara itu, perselisihan antara Perguruan Qingcheng dan Biro Ekspedisi Fuwei
sebenarnya merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya; maka, tidak
sepantasnya kalau kami ikut campur terlalu jauh. Adik Kecil akhirnya setuju.
Kami berdua lantas kembali ke Fuzhou untuk menyelidiki gedung kantor pusat Biro
Fuwei.
Di tempat itu aku merasa ada
yang aneh. Sepertinya orang-orang Qingcheng yang sudah menduduki gedung itu
tampak sibuk dan terburu-buru; padahal Lin Zhennan sekeluarga sudah pergi. Aku
dan Adik Kecil menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat. Akan tetapi,
penjagaan yang dilakukan mereka juga sangat ketat. Baru setelah petang tiba,
kami berhasil menyusup melalui kebun sayur di pekarangan belakang. Kami
menyelinap ketika mereka sedang lengah, yaitu saat terjadi pergantian tugas
jaga. Begitu sampai di dalam kami tertegun menyaksikan seisi gedung
diobrak-abrik oleh Yu Canghai dan murid-muridnya. Ada yang membuka peti, ada
yang membongkar lemari, ada yang membobol dinding, ada pula yang membuka lantai
ubin. Namun anehnya, mereka sama sekali tidak mengambil harta benda dan
barang-barang mewah yang ditinggalkan Lin Zhennan. Oleh karena itu, aku
berpikir pasti ada barang lain yang lebih berharga sedang dicari oleh
orang-orang Qingcheng tersebut.”
Liang Fa dan yang lain
menyahut bersamaan, “Apakah mungkin mereka mencari kitab rahasia Ilmu Pedang
Penakluk Iblis?”
“Benar sekali!” jawab Lao
Denuo. “Adik Kecil dan aku juga berpikir demikian. Rupanya mereka sengaja
menciptakan kesan bahwa gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei adalah rumah
maut. Setelah gedung itu kosong, mereka bisa mengobrak-abriknya dengan sesuka
hati. Namun melihat mereka masih sedemikian sibuknya, aku menduga kitab itu
belum berhasil ditemukan.”
“Apakah pada akhirnya mereka
berhasil menemukan kitab itu?” tanya Lu Dayou.
“Sebenarnya aku dan Adik Kecil
ingin mengintai sampai tuntas untuk melihat bagaimana hasilnya,” jawab Lao
Denuo. “Akan tetapi mereka terus saja mencari sampai ke segala arah; bahkan,
kakus juga mereka bongkar. Khawatir jangan-jangan mereka juga mencari di luar
gedung, kami pun memutuskan untuk pergi.”
Gao Genming si pembawa sempoa
bertanya, “Kakak Kedua, kali ini Pendeta Yu ikut turun gunung dan memimpin
langsung penaklukan Biro Fuwei. Menurutmu, apakah hal ini tidak berlebihan?”
“Tidak juga, Adik Kelima,”
jawab Lao Denuo. “Guru Pendeta Yu pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan
Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mengenai ilmu silat Lin Zhennan apakah sehebat
kakeknya atau tidak, tak seorang pun yang mengetahuinya. Dalam hal ini Pendeta
Yu tidak berani gegabah dengan hanya mengirimkan dua atau tiga muridnya saja
untuk membalas dendam. Ia bahkan turun gunung untuk memimpin murid-muridnya
secara langsung, serta membekali mereka dengan beberapa jurus ilmu pedang pihak
lawan. Maka menurutku, Pendeta Yu ikut menyerang Fuzhou bukanlah suatu hal yang
berlebihan. Balas dendam baginya hanyalah tujuan yang kedua, karena yang utama
adalah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
Shi Daizhi menanggapi, “Kakak
Kedua, bukankah kau melihat sendiri murid-murid Qingcheng itu telah berlatih
Ilmu Pedang Penakluk Iblis di Kuil Cemara Angin? Bukankah mereka telah
menguasai ilmu pedang tersebut? Jadi, untuk apa Pendeta Yu repot-repot mencari
Kitab Pedang Penakluk Iblis segala? Apakah tidak mungkin mereka mencari benda
lain?”
“Tidak juga, Adik Keempat,”
jawab Lao Denuo sambil menggeleng. “Orang seperti Pendeta Yu hanya tertarik
pada ilmu silat mahasakti saja. Memangnya apalagi yang membuatnya sudi
membuang-buang banyak waktu? Setelah itu, Adik Kecil dan aku melihatnya sekali
lagi di Yushan, ibu kota Provinsi Jiangxi. Di sana aku melihat Pendeta Yu
sangat gelisah sewaktu menerima laporan dari murid-muridnya yang datang dengan
tangan hampa setelah disebar ke segala wilayah untuk mengobrak-abrik semua kantor
cabang Biro Fuwei.”
Shi Daizhi terlihat belum
paham. Ia menggaruk-garuk kepala sambil berkata, “Maksudku begini, kau sendiri
melihat Pendeta Yu melatih murid-muridnya mempelajari Ilmu Pedang Penakluk
Iblis di Gunung Qingcheng. Nah, itu berarti ia sudah menguasai ilmu tersebut.
Lalu, kenapa ia masih repot-repot mencari kitabnya segala? Bukankah ini aneh?”
Lao Denuo menjawab, “Adik
Keempat, coba pikir seperti ini; puluhan tahun yang lalu, Lin Yuantu pernah
mengalahkan Tang Qingzi, guru Pendeta Yu. Itu artinya Ilmu Pedang Penakluk
Iblis memang ilmu silat yang luar biasa. Tentu saja apa yang diajarkan Pendeta
Yu kepada murid-muridnya hanyalah bersumber dari ingatan Tang Qingzi belaka.
Sementara itu, Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang asli tetap berada di tangan Keluarga
Lin. Akan tetapi, di tangan Lin Zhennan ilmu tersebut sama sekali tidak
terdengar kehebatannya. Bukankah ada yang tidak beres dengan hal ini?”
“Tidak beres bagaimana?” tanya
Shi Daizhi masih juga belum paham.
“Begini,” jawab Lao Denuo, “sepertinya
ada suatu rahasia tersembunyi di dalam Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mungkin
Pendeta Yu sangat penasaran karena ilmu pedang ini terlihat biasa-biasa saja
tapi mengapa bisa menjatuhkan gurunya? Tampaknya Lin Zhennan juga tidak
mengetahui rahasia kekuatan ilmu pedang leluhurnya tersebut.”
Shi Daizhi masih terlihat
bingung. Sejenak ia termangu-mangu sampai akhirnya kembali berkata, “Tapi ilmu
pedang biasanya diajarkan secara lisan. Padahal, Lin Yuantu sudah lama
meninggal; itu berarti Pendeta Yu harus membongkar kuburannya dan bertanya
kepada jasadnya. Akan tetapi, ini jelas tidak mungkin, bukan?”
Lao Denuo menjawab dengan
sabar, “Memang ilmu silat dalam perguruan kita diajarkan oleh Guru secara
lisan. Namun, belum tentu hal ini juga berlaku di perguruan lainnya.”
“Kakak Kedua, aku masih belum
paham mengapa Pendeta Yu menginginkan kitab tersebut,” sahut Shi Daizhi.
“Pendeta Yu ingin membalas sakit hati gurunya dengan cara mengalahkan Ilmu
Pedang Penakluk Iblis. Maka itu, cukup masuk akal kalau dia berusaha memecahkan
rahasia ilmu pedang tersebut. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dia
berhasil menangkap Lin Zhennan dan menghancurkan Biro Fuwei beserta seluruh
cabangnya. Baru setelah itu, ia mencari kitab rahasia ilmu pedang itu ke
mana-mana. Nah, kalau kitab itu sudah ditemukan, lantas kepada siapa lagi ia
harus membalas dendam? Bukankah Lin Zhennan sudah mereka tangkap? Bukankah Biro
Fuwei sudah mereka hancurkan?”
“Adik Keempat, coba pikirkan
ini,” ujar Lao Denuo. “Menurutmu mana yang lebih hebat, ilmu pedang pedang
Perguruan Qingcheng ataukah Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Aku tidak begitu tahu,” jawab
Shi Daizhi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya ilmu pedang kita lebih
hebat daripada Perguruan Qingcheng.”
“Dugaanmu benar,” kata Lao
Denuo. “Tapi Pendeta Yu seorang yang sombong dan angkuh. Tidak mungkin ia sudi
menerima kekalahan terus-menerus. Tidak selamanya ia mau berdiri di bawah kaki
orang lain di dunia persilatan. Nah, kalau Yu Canghai berhasil menemukan kitab
yang berisi rahasia Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan menggabungkannya dengan ilmu
pedang Qingcheng, bagaimana menurutmu?”
Shi Daizhi kembali termenung
untuk sekian lama. Tiba-tiba ia bangkit dan berseru sambil menggebrak meja,
“Aha, aku baru paham sekarang! Rupanya Yu Canghai ingin menjadi raja dari
segala macam ilmu pedang! Ia ingin menjadi ahli pedang nomor satu di dunia
persilatan!”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju rumah minum tersebut.
Orang-orang Huashan menoleh ke arah datangnya suara dan melihat serombongan
perempuan sedang melangkah cepat. Melihat gerak kaki mereka jelas para
perempuan ini juga berasal dari kalangan persilatan. Masing-masing mengenakan
mantel hujan yang terbuat dari kain minyak. Setelah agak dekat, barulah
terlihat jelas kalau mereka ini rombongan kaum biksuni.
Begitu sampai di teras,
seorang biksuni tua bertubuh jangkung yang memimpin rombongan tersebut langsung
berteriak, “Linghu Chong, keluar kau!”
Ternyata Lao Denuo dan
adik-adik seperguruannya mengenali biksuni tua tersebut bernama Biksuni Dingyi
dari Biara Awan Putih. Ia merupakan adik seperguruan Biksuni Dingxian, ketua
Perguruan Henshan. Kaum persilatan sangat menghormati nama besar Biksuni Dingyi
ini yang terkenal berhati keras dan berilmu tinggi. Sebagai sesama anggota
Serikat Pedang Lima Gunung, para murid Huashan pun menghormatinya sebagai tokoh
sepuh yang sederajat dengan guru mereka.
Lao Denuo segera berdiri
diikuti adik-adiknya, kemudian berseru, “Salam hormat dari kami, Bibi Biksuni
Dingyi!”
Biksuni Dingyi tidak menjawab,
melainkan memandangi murid-murid Huashan itu satu per satu. Dengan nada kasar
melebihi kaum laki-laki, ia berteriak, “Di mana Linghu Chong bersembunyi?
Lekas, suruh dia keluar!”
“Bibi Biksuni, kakak pertama
kami tidak berada di sini,” jawab Lao Denuo dengan penuh hormat. “Kami semua
sedang menunggunya, tapi Kakak Pertama belum juga datang. Mungkin dia masih
dalam perjalanan.”
Lin Pingzhi yang masih duduk
terpaku di tempatnya diam-diam berpikir, “Jadi kakak pertama murid-murid
Huashan ini bernama Linghu Chong. Sepertinya dia memang tukang membuat masalah.
Entah apa yang telah dilakukannya sehingga membuat biksuni tua ini sangat
marah?”
Biksuni Dingyi kemudian
menyusuri segenap penjuru rumah minum untuk mencari di mana Linghu Chong
berada, namun sama sekali ia tidak menemukan murid pertama Perguruan Huashan
tersebut. Pandangannya lantas tertuju ke arah si gadis burik. Ia pun bertanya
dengan tatapan heran, “Hei, apakah kau ini Lingshan? Kenapa kau berdandan
dengan wajah aneh seperti ini? Mau menakut-nakuti orang, hah?”
“Ada beberapa orang jahat
hendak mencelakai saya, Bibi Biksuni. Maka itu, saya pun menyamar seperti ini,”
jawab Wan’er sambil tersenyum. Ternyata nama asli gadis burik ini adalah
Lingshan.
Dingyi mendengus dan menjawab,
“Huh, tata tertib Perguruan Huashan kalian sungguh payah! Semakin lama semakin
tidak terkendali. Ayahmu terlalu lunak terhadap murid-muridnya, sehingga kakak
pertamamu bebas main gila di mana-mana. Setelah urusanku di kota ini selesai,
aku akan langsung pergi ke Gunung Huashan untuk berbicara dengan ayahmu.”
Dengan sangat khawatir
Lingshan memohon, “Bibi Biksuni, tolong jangan lakukan itu. Kakak Pertama baru
saja dihukum Ayah dengan tiga puluh pukulan sehingga berjalan saja susah. Jika
Bibi Biksuni mengadu kepada Ayah, tentu dia akan dihukum lebih berat lagi.
Jangan-jangan Kakak Pertama mati karenanya.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi
kembali berpikir, “Oh, ternyata gadis burik ini adalah anak perempuan ketua
Perguruan Huashan.”
Dingyi kembali berkata dengan
galak, “Binatang liar seperti Linghu Chong memang lebih baik mampus. Kakak
pertamamu adalah penjahat, sedangkan dirimu adalah pendusta. Kau berani
berbohong di depan mataku; dengan mengatakan kalau Linghu Chong tidak bisa
berjalan. Jika memang benar demikian, kenapa dia bisa membawa lari muridku yang
masih belia?”
Ucapan Dingyi membuat
murid-murid Huashan terperanjat, terutama Lingshan. Gadis itu bahkan hampir
menangis saat ia berkata, “Tidak mungkin! Tidak mungkin seperti itu!
Bagaimanapun nakalnya Kakak Pertama, tidak mungkin dia berani membawa lari
saudari dari Henshan. Mungkin saja... mungkin saja ada pihak lain yang mencoba
mengadu domba kedua perguruan kita, Bibi Biksuni.”
“Kau masih juga menyangkal dan
membelanya?” sahut Dingyi galak. Ia kemudian berkata kepada salah satu
muridnya, “Yiguang, coba ceritakan berita apa yang kau dapatkan dari Perguruan
Taishan!”
Seorang biksuni setengah tua
yang bernama Yiguang itu pun maju dan menjawab, “Saudara-saudara dari Taishan
bercerita bahwa Paman Pendeta Tiansong melihat Saudara Linghu bersama Adik
Yilin duduk bersama di sebuah rumah arak di Kota Hengyang. Rumah arak tersebut
bernama Rumah Minum Pemabuk Dewa. Sepertinya Adik Yilin telah ditangkap dan
dipaksa minum arak bersama-sama. Konon Adik Yilin sangat ketakutan. Tidak hanya
itu, di samping mereka juga ada seorang lagi... yaitu seorang penjahat cabul
bernama... bernama Tian Boguang.”
“Tian Boguang?” seru
murid-murid Huashan bersama-sama begitu mendengar nama ini disebut.
Dingyi sudah mendengar cerita
ini sebelumnya, dan kini ia semakin marah setelah mendengarnya lagi. Sekali
tangannya memukul di atas meja, seketika mangkuk-mangkuk pangsit pun terlempar
dan berjatuhan di lantai.
Murid-murid Huashan tampak
malu dan bingung. Lingshan tak kuasa menahan sedih, air matanya pun berlinang
membasahi pipi. “Mereka pasti berbohong, atau... atau... Paman Tiansong salah
mengenali orang,” ujarnya dengan nada gemetar.
“Kita semua mengenal siapa
Pendeta Tiansong. Mana mungkin dia salah mengenali orang?” sahut Dingyi gusar.
“Binatang bernama Linghu Chong telah terjerumus ke dalam lumpur hina karena
bergaul dengan penjahat busuk bernama Tian Boguang. Meskipun guru kalian tidak
peduli dengan hal ini atau mungkin membelanya, tetap saja aku akan memenggal kepala
kakak pertama kalian itu jika nanti bertemu. Si bajingan Tian Boguang yang
berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu seorang manusia cabul yang
meresahkan banyak orang. Aku, biksuni tua tidak takut kepadanya! Begitu
mendengar Tian Boguang dan Linghu Chong menculik muridku, aku segera
mencarinya. Tapi... tapi sampai sekarang aku masih juga belum menemukan
mereka.” Begitu sedih dan gusar hatinya sehingga suara biksuni tua ini
terdengar serak. Ia lantas berkata gemas sambil menghentakkan kaki, “Yilin, Yilin,
kasihan anak itu!”
Murid-murid Huashan terdiam
dengan jantung berdebar kencang. Dalam hati mereka ikut gemas dengan perbuatan
sang kakak pertama. Linghu Chong menculik Yilin, dan membawa biksuni muda itu
minum arak bersama, jelas-jelas perbuatan memalukan. Lebih-lebih, ia juga
bergaul dengan penjahat cabul bernama Tian Boguang yang sangat terkenal.
Setelah terdiam agak lama, Lao
Denuo lantas berkata, “Bibi Biksuni, mungkin pertemuan Kakak Linghu dengan Tian
Boguang hanya kebetulan belaka. Selama beberapa hari ini dia memang sedang
banyak-banyaknya minum. Mungkin pengaruh arak membuatnya linglung sehingga
sukar mengenali orang....”
“Arak adalah minuman keji yang
merenggut kesadaran manusia,” sahut Dingyi menukas. “Sebagai manusia dewasa,
kenapa dia tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk?
“Bibi Biksuni benar,” lanjut
Lao Denuo tanpa berani membantah. “Entah di mana Kakak Pertama berada saat ini?
Biarlah kami yang pergi untuk mencari dan menegur perbuatannya yang tidak
pantas itu. Biarlah kami yang lebih dulu meminta maaf kepada Bibi Biksuni atas
kenakalan Kakak Pertama. Selanjutnya, kami akan mengadukan ini semua kepada
Guru, biar Kakak Pertama mendapat hukuman berat.”
“Huh, aku tidak peduli dengan
kakak pertamamu!” seru Dingyi galak. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat meraih
lengan Lingshan. Gadis berwajah burik itu merasa lengannya seperti dijepit
batangan besi.
“Ah... Bibi Biksuni!” sahutnya
kesakitan dengan suara gemetar.
Dingyi tidak peduli dan
berkata kasar, “Pihak kalian telah menculik muridku; maka sebagai gantinya, aku
menculik murid perempuan perguruan kalian. Nanti jika Yilin sudah kembali
padaku, maka Lingshan akan kubebaskan.” Tanpa ampun, biksuni tua itu pun
menyeret si gadis burik berjalan keluar rumah minum.
Lao Denuo dan Liang Fa segera
melompat untuk menghadang Biksuni Dingyi. Lao Denuo buru-buru memberi hormat
sambil berkata, “Bibi Biksuni pantas jika marah kepada Kakak Pertama. Akan
tetapi, semua perbuatan Kakak Pertama tidak ada sangkut pautnya dengan adik
kecil kami. Mohon Bibi Biksuni menaruh belas kasihan.”
“Baiklah, ini yang kalian
minta!” jawab Dingyi sambil melayangkan pukulan menggunakan tangan kanannya ke
arah kedua murid Huashan tersebut. Seketika Lao Denuo dan Liang Fa merasakan
hembusan tenaga dalam yang teramat besar, membuat tubuh mereka terlempar ke
belakang. Lao Denuo terdorong sampai menabrak pecah daun pintu rumah minum;
sementara Liang Fa terlempar ke arah bejana pangsit yang berisi air mendidih.
Dapat dibayangkan, sebentar lagi pria bertubuh jangkung itu akan menabrak
bejana tersebut, dan kulitnya pasti akan melepuh tersiram air kuah yang sangat
panas.
Tiba-tiba Liang Fa merasa
punggungnya ditangkap oleh suatu kekuatan sehingga ia pun bisa berdiri di tanah
dengan selamat. Rupanya sang penolong ini tidak lain adalah kakek tua penjual
pangsit itu sendiri.
Biksuni Dingyi terkejut dan
menoleh ke arah penjual pangsit dengan pandangan tajam. “Oh, ternyata kau
orangnya!” ujarnya setengah tak percaya.
“Benar, memang akulah
orangnya,” jawab si penjual pangsit sambil tersenyum. “Kau ini memang seorang
biksuni yang mudah marah.”
“Bukan urusanmu!” sahut Dingyi
ketus.
Pada saat itulah datang dua
orang laki-laki memakai mantel hujan dan memegang payung kertas di tangan
kanan, serta lampu kerudung di tangan kiri. Salah satu dari mereka berseru,
“Apakah kami sedang berhadapan dengan Biksuni Dingyi yang mulia dari Perguruan
Henshan?”
“Ah, kalian terlalu
berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya,” sahut Dingyi menanggapi. “Aku memang
Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan. Lantas, siapa Saudara berdua ini?”
Kedua laki-laki berpayung itu
perlahan mendekati Dingyi yang masih mencengkeram lengan Lingshan. Lampu
kerudung yang mereka bawa tampak bertuliskan tinta merah, berbunyi “Kediaman
Liu”. Salah seorang lantas berkata, “Kami berdua diperintah oleh Guru untuk
menyambut kedatangan Bibi Biksuni dan kakak-adik dari Perguruan Henshan supaya
beristirahat sekadarnya di tempat kami yang sederhana. Andai saja kami
mendengar berita kedatangan Bibi Biksuni dan rombongan sejak awal, tentu kami
segera mengadakan penyambutan yang lebih pantas di gerbang Kota Hengshan. Untuk
ini, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.”
“Ah, jangan terlalu banyak
adat,” jawab Dingyi dengan suara sedikit lembut dibanding tadi. “Jadi, kalian
ini murid-murid Adik Liu?”
“Benar sekali,” jawab
laki-laki itu. “Saya bernama Xiang Danian, dan ini adalah adik seperguruan
saya, bernama Mi Weiyi. Terimalah sembah hormat kami, Bibi Biksuni!”
Biksuni Dingyi yang senang
dipuji merasa puas melihat perlakuan sopan kedua murid Hengshan tersebut.
“Baiklah, kami memang hendak mengunjungi kediaman Adik Liu.”
Xiang Danian kemudian menoleh
ke arah murid-murid Huashan dan bertanya, “Kalau Saudara ini dari perguruan
mana?”
Liang Fa menjawab, “Kami dari
Perguruan Huashan. Saya bernama Liang Fa.”
“Oh, rupanya kakak ketiga dari
Huashan,” sahut Xiang Danian gembira. “Kami juga mendapat perintah dari guru
untuk menyambut kedatangan Kakak-Kakak sekalian. Selain itu, Guru juga menyuruh
kami menyambut semua tamu dari berbagai golongan. Hanya saja, tenaga kami
sangat terbatas sehingga banyak kekurangan di sana-sini. Untuk itu, mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan di hati terhadap penyambutan
kami. Sudilah kiranya Saudara sekalian mampir ke tempat kami yang sederhana.”
Lao Denuo yang sudah bangkit
dari jatuh ikut menjawab, “Sebenarnya kami sedang menunggu kedatangan kakak
pertama kami di sini. Nanti bila sudah lengkap, kami akan menuju ke rumah Paman
Liu bersama-sama.”
“Ah, yang ini pasti Kakak
Kedua Lao,” ujar Xiang Danian menoleh ke arah murid Huashan yang berambut putih
itu. “Guru sering memuji kehebatan dan kegagahan murid-murid Huashan, terutama
Kakak Linghu yang sangat berbakat dan berkepandaian tinggi. Mengapa
Saudara-Saudara sekalian tidak menunggu Kakak Linghu di tempat kami saja?”
Dalam hati Lao Denuo berpikir,
“Adik Kecil berada di tangan Bibi Biksuni Dingyi. Mau tidak mau kami harus
mengikuti ke sana.”
“Baiklah, Saudara Xiang!”
jawab Lao Denuo kemudian. “Kami akan memenuhi undangan Paman Liu. Mohon maaf
bila kami terlalu merepotkan.”
“Ah, kedatangan
Saudara-Saudara dari Huashan merupakan suatu kehormatan bagi kami. Jangan
terlalu merendah,” jawab Xiang Danian. “Silakan! Silakan!”
“Apakah kau juga mengundang
orang itu?” sahut Dingyi sambil menunjuk si kakek penjual pangsit.
Xiang Danian memandangi
penjual pangsit itu agak lama, kemudian menyapa dengan penuh hormat, “Oh,
rupanya Paman He dari Gunung Yandang juga berada di sini. Kami berdua sungguh
ceroboh tidak mengenali Paman He. Silakan, silakan Paman He juga mampir ke
tempat kami!”
Rupanya kakek tua ini juga
seorang tokoh persilatan yang bernama He Sanqi. Sewaktu muda ia memang
berjualan pangsit secara berkeliling. Meskipun sudah menguasai ilmu silat dan
berkepandaian tinggi, ia tetap saja membawa keranjang pikulannya sambil
berkelana ke mana-mana. Orang tua ini tidak mengejar kejayaan atau kemasyhuran.
Yang ia lakukan setiap hari hanyalah berdagang pangsit kecil-kecilan tanpa
menonjolkan diri. Namun demikian, banyak tokoh persilatan yang menaruh hormat
kepadanya. Di dunia ini memang banyak penjual pangsit keliling; namun hanya
seorang saja di antara mereka yang menyimpan ilmu silat tinggi, dan dia adalah
He Sanqi.
“Baiklah. Aku juga hendak
menuju ke tempat guru kalian,” jawab He Sanqi tersenyum, sambil kemudian
mengemasi dagangannya.
Melihat itu, Lao Denuo segera
memberi hormat, “Kami dari Perguruan Huashan punya mata tapi tidak melihat
kehadiran Sesepuh He di sini. Mohon Sesepuh He sudi memaafkan.”
“Tidak, tidak! Mengapa aku
harus marah?” sahut He Sanqi dengan tertawa. “Kalian telah membeli pangsitku;
kenapa pula aku harus marah kepada para pelangganku? Satu mangkuk pangsitku
seharga sepuluh keping. Jadi, kalian berhutang kepadaku sembilan puluh keping,
hahaha!”
Lao Denuo tertunduk malu, dan
tidak menyadari kalau orang tua itu hanya bercanda.
“Hei, bayar dia segera. He
Sanqi tidak akan membiarkan kalian makan dengan cuma-cuma,” sahut Dingyi
kemudian.
“Benar sekali,” sahut He Sanqi
sambil mengangguk. “Bisnis adalah bisnis. Bayar pangsitku dengan uang kontan,
tidak boleh hutang juga tidak boleh membayar telat. Tidak peduli kawan atau
saudara, semua diperlakukan sama.”
“Tentu saja, tentu saja,”
jawab Lao Denuo. Tanpa berani memberikan uang lebih, ia pun membayar semua
pesanan tersebut sesuai tagihan tadi. Dengan kedua tangan ia menyerahkan
sembilan puluh keping uang tembaga tersebut kepada He Sanqi sambil membungkuk
penuh hormat.
He Sanqi lantas menoleh ke
arah Dingyi dan berkata, “Hei, kau telah memecahkan dua mangkuk. Kau harus
membayar empat belas keping.”
“Dasar kau pedagang pelit!
Tega-teganya kau menarik uang dari kaum biksuni!” sahut Dingyi menggerutu.
“Yiguang, bayarkan uang sesuai tagihannya.”
Dengan kedua tangan pula,
Yiguang menyerahkan empat belas keping uang tembaga sambil membungkuk hormat.
He Sanqi menerima dan memasukkan semua uangnya itu ke dalam tabung bambu.
Setelah memikul keranjang dagangannya, ia pun berkata, “Mari berangkat!”
“Xiang Danian mengangguk, lalu
berkata kepada pemilik rumah minum, “Hitung semuanya, lalu kirimkan tagihan
kepada Tuan Majikan Liu.”
Si pemilik menjawab,
“Kehormatan bagi kami bisa melayani tamu-tamu Keluarga Liu. Lupakan saja semua
tagihan di kedai teh kami ini.” Rupanya Liu Zhengfeng sangat dermawan dan
sering menyumbang keuangan para penduduk di Kota Hengshan. Itulah sebabnya, si
pemilik rumah minum merasa segan melayangkan tagihan tersebut.
Xiang Danian dan Mi Weiyi
lantas membagi-bagikan payung yang mereka bawa, kemudian mendahului berjalan di
depan sebagai penunjuk jalan. Biksuni Dingyi menarik lengan Lingshan, kemudian
berjalan bersama He Sanqi yang memikul barang dagangannya. Sementara itu,
murid-murid Huashan dan Henshan berjalan di belakang mereka.
Diam-diam Lin Pingzhi
berpikir, “Sebaiknya aku mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Siapa tahu
aku mendapat berita tentang Ayah dan Ibu dengan cara menyelinap ke dalam rumah
Keluarga Liu.”
Setelah rombongan tersebut
membelok di tikungan, Lin Pingzhi segera berdiri dan mengikuti dari belakang.
Rombongan itu tampak berjalan menuju utara. Karena tidak membawa payung, Lin
Pingzhi berjalan di pinggir sambil sesekali berteduh di atap rumah penduduk
untuk menjaga jarak. Setelah berjalan cukup jauh melewati tiga jalan raya,
rombongan itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang sangat megah.
Tampak di depan pintu gedung terpajang lampion-lampion beraneka warna, serta
sepuluh orang yang masing-masing memegang payung dan lampu kerudung sedang
menyambut ramah setiap tamu yang datang. Selain rombongan dari Huashan dan
Henshan, tampak pula tamu-tamu lain berdatangan dari kedua ujung jalan.
Lin Pingzhi mengumpulkan
keberaniannya, untuk kemudian melangkah masuk ke dalam gedung bersamaan dengan
masuknya sebuah rombongan yang dipandu seorang murid Keluarga Liu. Para murid
Hengshan yang bertugas menyambut tamu ternyata menganggapnya sebagai bagian
dari rombongan itu dan mempersilakannya masuk dengan ramah. “Silakan masuk!
Silakan menikmati teh di dalam!” sambut mereka.
Sesampainya di aula utama, Lin
Pingzhi menyaksikan ratusan meja dan kursi ditata dengan rapi. Jumlah tamu yang
hadir dan duduk di kursi-kursi itu kurang lebih mencapai dua ratus orang.
Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain. Diam-diam Lin Pingzhi berpikir,
“Jumlah tamu yang datang sekian banyaknya. Tidak seorang pun dari mereka yang
peduli kepadaku. Dengan menyamar seperti ini, aku bisa mengawasi ke sekeliling
ruangan ini untuk menemukan orang-orang Qingcheng. Setelah menemukan mereka,
tentu aku bisa menemukan Ayah dan Ibu pula.”
Pemuda itu lantas mengambil
tempat duduk di salah satu meja kecil di sudut ruangan. Segera seorang pelayan
membawa nampan datang menghampirinya, untuk kemudian menghidangkan teh, makanan
ringan, dan handuk hangat. Lin Pingzhi lalu memandang ke segala penjuru
ruangan. Ia melihat kelompok murid-murid Henshan duduk di sebelah kiri balai
tersebut, sementara murid-murid Huashan duduk tidak jauh dari mereka. Lingshan
juga terlihat berada di antara mereka. Sepertinya Dingyi telah membebaskan
gadis burik itu. Namun demikian, Lin Pingzhi tidak melihat di mana sang biksuni
sepuh berada, begitu juga He Sanqi si penjual pangsit.
Kembali Lin Pingzhi menyapukan
pandangannya. Seketika jantungnya pun berdebar kencang melihat Fang Renzhi dan
Yu Renhao duduk bersama sekelompok laki-laki yang berseragam sama. Tidak diragukan
lagi, mereka ini adalah kelompok murid-murid Perguruan Qingcheng. Melihat itu
ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu di tangan mereka. Ini kesempatanku untuk
membebaskan Ayah dan Ibu. Tapi, jangan-jangan kedua orang tuaku telah meninggal
pula?”
Dengan perasaan marah
bercampur sedih dan khawatir, Lin Pingzhi berniat pindah tempat duduk, agar
bisa lebih jelas mendengarkan pembicaraan orang-orang Qingcheng itu. Namun, ia
takut jangan-jangan hal ini malah menimbulkan kecurigaan Fang Renzhi dan
kawan-kawan. Jika sampai terjadi demikian, tidak hanya semua perjuangannya yang
berakhir sia-sia, bahkan nyawanya juga bisa melayang.
Tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut dari arah luar, disusul dengan munculnya beberapa orang berseragam
biru tampak menggotong dua papan pintu ke dalam aula. Di atas papan pintu
tersebut masing-masing tergeletak seorang laki-laki. Kedua orang itu tampak
diselimuti kain putih dengan tubuh berlumuran darah. Para tamu yang hadir
buru-buru mendekat supaya bisa melihat dengan lebih jelas.
“Hei, mereka dari Perguruan
Taishan!” sahut seseorang.
“Yang lebih tua itu bernama
Pendeta Tiansong. Entah siapa yang telah membuatnya terluka seperti ini? Apa
kalian tahu siapa yang satunya lagi?”
“Kalau yang lebih muda ini
adalah murid Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan. Kalau tidak salah dia
bermarga Chi. Sepertinya dia sudah meninggal.”
“Benar sekali. Dia sudah
meninggal. Coba lihat, luka di dadanya panjang dan lebar. Sepertinya ia terkena
sabetan golok. Siapa pula orangnya yang sanggup bertahan hidup dengan luka
seperti ini?”
Di tengah keramaian itu tubuh
Pendeta Tiansong dan jasad Pendeta Chi dibawa masuk ke ruang belakang. Para
tamu di aula depan bertambah ramai membicarakan kejadian ini. Mereka
bertanya-tanya siapakah orangnya yang telah melakukan itu semua.
Tidak lama kemudian Xiang
Danian muncul dengan tergesa-gesa dari dalam ruang belakang. Ia bergegas
menghampiri meja murid-murid Huashan dan berkata, “Kakak Lao, guruku ingin
bicara denganmu. Silakan ikut bersamaku.”
“Tentu,” jawab Lao Denuo. Ia
lantas berdiri dan berjalan di belakang Xiang Danian.
Keduanya menyusuri lorong
tengah yang cukup panjang, kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan di samping
kiri. Di dalam ruangan itu tersusun lima buah kursi megah, namun hanya satu
saja yang sudah terisi. Tampak seorang pendeta bertubuh gagah dengan wajah
kemerah-merahan duduk di kursi tersebut yang terletak paling timur dari
deretan. Orang ini tidak lain adalah Pendeta Tianmen, ketua Perguruan Taishan.
Adapun empat kursi lainnya masing-masing disediakan untuk ketua Perguruan
Songshan, Hengshan, Huashan, dan Henshan, yang kesemuanya belum terlihat
datang.
Sementara itu sebanyak
sembilan belas orang lainnya duduk di kursi yang berjajar di sisi lain ruangan.
Rupanya mereka ini adalah para tamu istimewa yang termasuk golongan ahli silat
papan atas. Di antara sembilan belas orang itu terdapat Biksuni Dingyi dari
Perguruan Henshan, Pendeta Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, dan He Sanqi
dari Gunung Yandang. Di sisi selatan ruangan, duduk pula seorang pria berusia
lima puluhan bertubuh gemuk, mengenakan baju sutra halus berwarna merah
kecoklatan. Ia tidak lain adalah sang tuan rumah yaitu Liu Zhengfeng.
Lao Denuo mula-mula memberi
hormat kepada Liu Zhengfeng, kemudian berlutut dan memberi hormat kepada
Pendeta Tianmen, sambil berkata, “Lao Denuo dari Huashan memberi hormat kepada
Paman Pendeta Tianmen.”
Tianmen tampak begitu gusar.
Wajahnya bertambah merah seolah-olah hendak meledak. Dengan suara keras ia
membentak, “Di mana Linghu Chong?” Sambil berseru demikian tangannya juga
memukul pinggiran kursi tempat duduknya sehingga mengejutkan semua orang.
Suara bentakan Tianmen ini
menggelegar bagaikan halilintar membelah angkasa. Begitu kerasnya sampai-sampai
terdengar oleh para tamu di aula utama.
Lingshan si gadis burik
berkata, “Kakak Ketiga, sepertinya mereka kembali mencari Kakak Pertama.”
Liang Fa hanya mengangguk.
Selang agak lama barulah ia menjawab, “Tetaplah bersikap tenang. Di sini banyak
orang dari berbagai golongan. Jangan sampai mereka menaruh curiga terhadap
Perguruan Huashan kita.”
Di sisi lain, Lin Pingzhi
sedang berpikir, “Lagi-lagi mereka mencari Linghu Chong. Hm, si tua ini memang
seorang pembuat onar.”
Lao Denuo yang berhadapan
langsung dengan Pendeta Tianmen sampai merasa tuli untuk sekian lamanya.
Setelah menenangkan diri, perlahan-lahan ia bangkit dan menjawab, “Paman
Pendeta, mengenai Kakak Pertama, dia berpisah dengan kami di Kota Hengyang.
Jika hari ini dia tidak datang ke Kota Hengshan sini, mungkin esok hari baru
dia datang kemari untuk memberikan selamat kepada Paman Liu.”
“Apa? Dia masih berani datang?
Dia masih punya nyali untuk kemari?” sahut Tianmen semakin gusar. “Perbuatannya
benar-benar memalukan! Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan.
Tapi mengapa dia suka bergaul dengan penjahat bernama Tian Boguang? Apa yang
dilakukannya bersama manusia cabul itu?”
Lao Denuo menjawab, “Dari yang
saya tahu, Kakak Pertama tidak mengenal Tian Boguang. Mungkin saja Kakak
Pertama sedang mabuk ketika secara kebetulan mereka bertemu. Kemudian mereka
minum bersama di sebuah kedai tanpa mengenal satu sama lain.”
Sambil menghentakkan kakinya
dengan keras di lantai, Tianmen bangkit berdiri lalu kembali membentak, “Kau
masih berani mengoceh untuk membela Linghu Chong?” Dengan mata berkilat-kilat,
pendeta bertubuh gagah itu menoleh kepada Tiansong yang masih terbaring lemah,
“Adik, coba kau... kau ceritakan bagaimana dirimu bisa terluka. Ceritakan
kepadanya apakah Linghu Chong dan Tian Boguang saling mengenal.”
Tiansong terbaring lemah
dengan tubuh berlumuran darah. Janggutnya yang panjang sudah basah pula dan
berwarna merah. Dengan suara gemetar pendeta itu lantas berkata, “Pagi itu...
aku... aku bersama Keponakan Chi sedang berada di Rumah Minum Pemabuk Dewa
di... Kota Hengyang. Kami melihat Linghu Chong... sedang bersama Tian Boguang,
dan juga seorang... biksuni muda....”
Melihatnya bercerita sambil
terengah-engah seperti itu, Liu Zhengfeng pun berkata, “Kakak Tiansong, kau
jangan bicara lagi. Biarlah aku saja yang menceritakan kepadanya apa yang telah
kau alami tadi.” Usai berkata demikian, ia lantas menoleh kepada Lao Denuo dan
berkata, “Keponakan Lao, kalian semua dan juga Keponakan Linghu datang kemari
untuk mengucapkan selamat kepadaku; dalam hal ini aku sangat berterima kasih
dan juga menaruh penghormatan yang sangat besar kepada Kakak Yue, guru kalian.
Namun kita juga tidak tahu bagaimana Keponakan Linghu bisa sampai bertemu
dengan Tian Boguang. Hal inilah yang perlu kita selidiki. Serikat Pedang Lima
Gunung bagaikan keluarga sendiri, jika Keponakan Linghu memang benar-benar
bersalah, maka sebagai orang tua sudah sepantasnya kami memberikan nasihat....”
“Nasihat apanya? Lebih baik
bersihkan perserikatan ini dengan cara memenggal kepalanya,” bentak Tianmen.
Liu Zhengfeng menghela napas
dan berkata, “Kakak Yue selalu menerapkan peraturan yang ketat di dalam perguruannya.
Selain itu Perguruan Huashan juga memiliki nama besar di dunia persilatan. Kali
ini Keponakan Linghu melakukan sedikit kesalahan....”
“Apa? Kau masih memanggilnya
‘keponakan’? Keponakan bangsat!” sahut Tianmen kembali menyela. Seketika ia
teringat kalau dirinya adalah ketua perguruan ternama sehingga tidak
sepantasnya mengucapkan kata-kata makian seperti itu, apalagi di hadapan
Biksuni Dingyi. Namun karena kata-katanya tidak bisa ditarik kembali, ia hanya
menghela napas dan duduk kembali dengan gusar.
Lao Denuo berkata, “Paman Liu,
mohon ceritakan kepada saya apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Liu Zhengfeng menjawab,
“Begini, Kakak Tiansong telah bercerita kepada kami bahwa tadi pagi ia bersama
seorang murid Kakak Tianmen yang bernama Chi Baicheng singgah di sebuah rumah
arak bernama Pemabuk Dewa di Kota Hengyang. Begitu naik ke loteng atas, mereka
melihat ada dua orang laki-laki dan seorang biksuni muda duduk bersama minum
arak dalam satu meja. Mereka adalah si penjahat cabul Tian Boguang, Keponakan
Linghu, dan murid Biksuni Dingyi yang bernama Yilin.
Pemandangan itu mau tidak mau
membuat Kakak Tiansong penasaran. Semula ia hanya mengenali mereka sebagai
murid Huashan, murid Henshan, dan seorang pria berpakaian rapi bersih. Biksuni
Dingyi, tolong jaga perasaanmu; Keponakan Yilin dalam keadaan terdesak.
Sepertinya ia ada di sana juga bukan atas kehendaknya sendiri.
Menurut Kakak Tiansong, Tian
Boguang seorang laki-laki berusia tiga puluhan dan berpakaian serbarapi.
Tadinya ia tidak tahu kalau orang itu adalah Tian Boguang, sampai akhirnya
terdengar Keponakan Linghu berkata, ‘Saudara Tian, mari kita minum lagi.
Meskipun ilmu meringankan tubuhmu tidak ada bandingannya di dunia persilatan,
namun dalam hal kekuatan minum, kau tidak bisa mengalahkan aku.’
Tanpa ragu, Kakak Tiansong
langsung menyimpulkan bahwa orang bermarga Tian yang ahli meringankan tubuh
sudah pasti hanya Tian Boguang seorang. Kakak Tiansong sejak lama membenci
sepak terjang penjahat cabul yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu.
Maka begitu melihat mereka bertiga duduk semeja dan minum bersama, Kakak
Tiansong marah bukan main.”
Lao Denuo menunduk termenung
membayangkan pemandangan di rumah minum tersebut. Tiga orang duduk semeja; yang
satu seorang penjahat cabul, yang satu seorang biksuni muda, dan satunya lagi
seorang murid pertama Perguruan Huashan. Siapa pun yang melihat sudah pasti
merasa aneh.
Liu Zhengfeng melanjutkan
cerita, “Kakak Tiansong semakin yakin setelah mendengar pria berpakaian rapi
itu berkata, “Aku, Tian Boguang, datang dan pergi ke mana aku suka. Aku
berkelana ke segala penjuru seorang diri. Tidak ada satu pun yang aku takuti.
Kita telah menemukan biksuni cilik ini; kenapa tidak kita biarkan saja dia
menemani kita minum di sini?’”
Saat Liu Zhengfeng bercerita,
diam-diam Lao Denuo melirik ke arah Pendeta Tiansong. Tampak pendeta itu
berbaring lemah namun matanya menatap tajam ke arah Liu Zhengfeng, khawatir
kalau-kalau sang tuan rumah salah bicara.
Liu Zhengfeng menyadari hal
itu dan segera berkata, “Kakak Tiansong terluka parah sehingga tidak bisa
bercerita kepadamu dengan lancar dan jelas. Maka itu, aku pun bercerita dengan
kata-kataku sendiri; namun secara garis besar seperti itulah yang disampaikan
Kakak Tiansong tadi. Bukan begitu, Kakak Tiansong?”
“Betul... betul....” jawab
Tiansong lemah.
Setelah mendengar persetujuan
itu, Liu Zhengfeng melanjutkan, “Keponakan Chi tidak bisa menahan kesabaran
lagi. Ia pun berdiri dan menggebrak meja, lalu memaki, ‘Apa benar kau ini si
maling cabul Tian Boguang? Setiap orang ingin membinasakanmu untuk membersihkan
dunia dari sampah bejat macam dirimu. Akan tetapi, kau malah enak-enakan
berlagak di sini tak tahu malu. Hm, barangkali kau ini sudah bosan hidup, hah?’
Usai berkata, ia pun menghunus senjata menyerang penjahat itu. Namun
sebaliknya, golok Tian Boguang justru lebih dulu merenggut nyawanya. Sungguh
sayang, seorang pendekar muda yang gagah berani harus mati di tangan si maling
cabul Tian Boguang.
Kakak Tiansong lantas
menerjang Tian Boguang dan melancarkan serangan. Setelah bertarung beberapa
jurus, Tian Boguang akhirnya berhasil melukai Kakak Tiansong dengan cara licik.
Kejadian itu disaksikan semua oleh Keponakan Linghu. Namun, sedikit pun ia
tidak bangkit dari duduk untuk membantu. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan
rasa setia kawan sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Itulah yang
menyebabkan Kakak Tianmen marah.”
“Huh, setia kawan apanya?”
sahut Pendeta Tianmen semakin gusar. “Seorang pendekar harus bisa membedakan
mana yang baik, mana yang buruk. Bergaul dengan maling cabul sudah pasti...
sudah pasti ikut menjadi cabul.” Wajah pendeta gagah ini semakin berwarna merah
dan janggutnya meremang.
Pada saat itu tiba-tiba datang
seorang laki-laki datang dan berkata, “Guru, izinkan saya memberi laporan!”
“Ada apa lagi ini?” sahut
Tianmen.
Laki-laki itu ternyata murid
Perguruan Taishan yang masih berusia tiga puluhan. Mula-mula ia memberi hormat
kepada sang tuan rumah, Liu Zhengfeng, kemudian kepada para tamu lainnya.
Setelah berada di depan Tianmen ia berkata, “Guru, Paman Tianbai saat ini
sedang memimpin para saudara untuk mencari kedua maling cabul Tian Boguang dan
Linghu Chong ke seluruh pelosok Kota Hengyang, namun belum berhasil menemukan
mereka....”
Lao Denuo diam-diam merasa
kesal karena kakak seperguruannya juga disebut sebagai maling cabul. Namun apa
boleh buat, pada kenyataannya Linghu Chong memang pernah duduk semeja dengan
Tian Boguang.
Murid Taishan itu melanjutkan,
“Akan tetapi di luar Kota Hengyang, kami menemukan sesosok mayat yang pada
bagian perutnya tertusuk sebilah pedang. Pada gagang pedang itu tertulis nama
si maling cabul Linghu Chong.”
“Lalu, siapa pula yang mati?”
tanya Tianmen sambil mencondongkan posisi duduknya.
Si murid Taishan menoleh ke
arah Yu Canghai sambil menjawab, “Yang tewas adalah murid Pendeta Yu. Waktu itu
kami tidak mengenalinya. Namun, setelah dibawa masuk ke Kota Hengshan, barulah
ada orang yang mengenali mayat tersebut sebagai Luo Renjie....”
“Apa?” sahut Yu Canghai sambil
bangkit dari tempat duduknya. “Jadi yang mati itu Renjie? Mana, mana jasadnya?”
“Di sebelah sini,” sahut
seseorang di luar ruangan.
Yu Canghai benar-benar pandai
menahan perasaan. Meskipun berita buruk ini sangat tiba-tiba dan
mengejutkannya, serta yang terbunuh adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie,
atau Empat Jagoan Qingcheng, namun ia tetap terlihat tenang.
“Tolong, jenazah muridku
dibawa masuk kemari,” katanya kemudian.
“Baik,” jawab suara dari luar.
Tidak lama kemudian dua orang laki-laki yang masing-masing berseragam Hengshan
dan Qingcheng masuk ke dalam ruangan. Mereka terlihat mengusung selembar papan
pintu di mana sesosok mayat terbaring di atasnya. Sebilah pedang tampak menusuk
perut mayat itu mulai bagian perut kemudian miring ke atas sampai menembus
tenggorokan. Pedang tersebut panjangnya lebih dari satu meter, namun yang
terlihat hanya tinggal gagangnya saja. Pemandangan tersebut mau tidak mau
membuat ngeri para hadirin, meskipun banyak di antara mereka yang berpengalaman
luas di dunia persilatan.
“Linghu Chong, hm, Linghu
Chong, betapa biadab kau....” gerutu Yu Canghai sambil berjongkok di samping
mayat Luo Renjie.
Si murid Taishan kembali
berkata, “Paman Tianbai saat ini melanjutkan pencarian terhadap kedua maling
cabul itu. Namun, sebaiknya satu atau dua paman dari sini ikut pergi memberi
bantuan.”
Biksuni Dingyi dan Yu Canghai
serentak menjawab, “Aku saja yang berangkat!”
Tiba-tiba dari luar terdengar
suara lembut seorang perempuan berteriak, “Guru, saya datang!”
Dingyi yang mengenali suara
itu langsung menjawab, “Apakah itu Yilin? Lekas masuk kemari!”
Serentak semua orang menoleh
ke arah pintu untuk melihat seperti apa wajah biksuni belia yang konon diculik
dua maling cabul tersebut. Begitu pintu ruangan terbuka, mereka langsung
terbelalak menyaksikan seorang biksuni muda melangkah masuk ke dalam ruangan.
Ternyata wajah biksuni bernama Yilin ini memang benar-benar cantik jelita.
Tidak seorang pun dari para hadirin yang merasa keberatan andaikata ada yang
memuji betapa kecantikan Yilin tidak kalah dibandingkan bidadari kahyangan.
Usia biksuni muda ini baru sekitar enam belas tahun, dan tubuhnya terlihat
langsing meskipun tertutup jubah longgar.
Begitu sampai di hadapan
Dingyi, segera Yilin berlutut dengan lemah gemulai. Ia kemudian berkata,
“Guru....” Namun baru satu kata terucap ia langsung menangis.
Dingyi menyahut, “Kau... apa
yang terjadi denganmu? Bagaimana kau bisa meloloskan diri?”
“Guru, kali ini... kali ini
hampir saja saya tidak bisa bertemu Guru lagi,” jawabnya sambil mencucurkan air
mata. Suaranya terdengar lembut, sementara kedua tangannya yang memegangi
lengan baju Dingyi tampak putih bersih dan sangat menawan.
Diam-diam para hadirin banyak
yang berpikir, “Bagaimana gadis secantik ini bisa menjadi biksuni?”
Hanya Yu Canghai saja yang
melihat biksuni muda itu dengan sekilas pandang. Kedua matanya lantas kembali
mengamati pedang yang menancap di perut Luo Renjie. Pada gagang pedang itu
teruntai hiasan benang berwarna hijau, dan pada permukaan bilah pedang di dekat
gagang terukir beberapa huruf yang berbunyi: “Huashan – Linghu Chong”.
Yu Canghai kemudian
membandingkannya dengan pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo. Keduanya
sama persis. Tanpa banyak bicara, pendeta bertubuh pendek itu melompat maju
untuk mencolok mata Lao Denuo menggunakan jari tangan kirinya. Serangan ini
begitu cepat dan juga sangat keji. Tahu-tahu kedua ujung jari Yu Canghai sudah
menempel di pelupuk mata murid Huashan nomor dua tersebut.
Lao Denuo terkesiap dan
langsung menangkis menggunakan jurus Obor Menerangi Langit. Namun Yu Canghai
menyeringai dan segera memutar tangan kirinya sehingga kedua tangan Lao Denuo
berhasil ditangkapnya. Menyusul kemudian tangan kanannya bergerak pula merebut
pedang yang tergantung di pinggang lawan.
Lao Denuo meronta untuk membebaskan
diri dari cengkeraman Yu Canghai namun sia-sia. Dalam waktu sekejap pedang
miliknya itu sudah dipergunakan Yu Canghai untuk mengancam dadanya.
“Saya... saya....” ujar Lao
Denuo kebingungan.
Sambil menodong, Yu Canghai
mengamati pula pedang di tangannya itu. Tampak sebuah ukiran beberapa huruf di
batang pedang berbunyi: “Huashan – Lao Denuo”. Bentuk dan ukuran pedang ini pun
sama persis dengan yang menancap di perut Luo Renjie. Perlahan-lahan, ia
menggeser pedang di tangannya agak ke bawah sehingga ujungnya menempel di perut
Lao Denuo sambil berkata, “Hm, apa nama jurus yang dipakai Perguruan Huashan
kalian yang mulia untuk membunuh muridku?”
Keringat dingin mengalir
membasahi dahi Lao Denuo. Namun demikian, ia masih tetap berusaha tenang,
meskipun menjawab dengan suara gemetar, “Perguruan... perguruan kami tidak
memiliki jurus seperti itu.”
Dalam hati Yu Canghai merasa
heran membayangkan bagaimana cara Linghu Chong menusuk Luo Renjie. Ia berpikir,
“Apakah Linghu Chong berjongkok terlebih dulu untuk kemudian menusuk perut
Renjie sampai menembus tenggorokan? Yang lebih mengherankan, mengapa dia
meninggalkan pedangnya begitu saja sehingga mudah dikenali orang? Apakah Linghu
Chong sengaja menantang Perguruan Qingcheng terang-terangan?”
Tiba-tiba Yilin berseru,
“Mohon Paman Yu mengampuni Kakak Linghu. Jurus yang ia gunakan sungguh bukan
jurus pedang Perguruan Huashan.”
Yu Canghai menoleh ke arah
Dingyi dan berkata dengan wajah mengejek, “Biksuni, apa kau dengar ucapan
muridmu tadi? Bagaimana cara dia memanggil si bajingan Linghu Chong tadi?”
Dingyi justru menyahut dengan
galak, “Apa kau pikir aku ini tuli, hah? Sudah jelas aku mendengarnya sendiri!”
Biksuni tua ini benar-benar
memiliki sifat tak mau kalah. Sebenarnya ia hampir saja membentak Yilin karena
menyebut “Kakak Linghu”. Namun karena Yu Canghai lebih dulu menegur dengan
lagak kurang sopan, ia pun tersinggung dan berbalik membela Yilin.
Dingyi melanjutkan, “Lima
perguruan pedang telah berserikat menjadi satu dan saling mengangkat saudara.
Wajar saja kalau muridku yang masih muda ini memanggil Linghu Chong dengan
sebutan ‘kakak’. Memangnya menurutmu ada yang aneh?”
“Boleh juga, boleh juga,” ujar
Yu Canghai mencibir sambil menghimpun tenaga. Sekejap kemudian tangannya
mendorong tubuh Lao Denuo ke belakang. Seketika pria tua berambut putih itu
melayang dan membentur dinding ruangan. Dinding itu langsung retak dan debu pun
bertaburan di udara.
“Huh, apa kau pikir aku tidak
tahu perbuatanmu?” bentak Yu Canghai. “Kenapa kau buntuti aku sepanjang jalan?
Apa sebenarnya tujuanmu mengintai diriku?”
Lao Denuo mencoba bangkit
namun kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh kembali. Perutnya terasa mual dan
matanya berkunang-kunang akibat dorongan Yu Canghai tadi. Tanpa daya, ia pun
duduk di lantai sambil berpikir, “Celaka, ternyata keparat pendek ini
mengetahui kalau aku dan Adik Kecil telah mengintai perbuatannya.”
Dingyi tidak terlalu peduli
terhadap kemarahan Yu Canghai. Ia kembali bertanya kepada muridnya, “Yilin,
coba kau ceritakan dengan jelas bagaimana dirimu bisa jatuh ke tangan Tian
Boguang dan Linghu Chong?” Usai berkata demikian ia pun menggandeng tangan
Yilin menuju pintu keluar.
Para hadirin merasa maklum
atas sikap Dingyi. Muridnya yang masih muda dan cantik telah jatuh ke tangan
penjahat cabul bernama Tian Boguang, sudah tentu sulit mempertahankan
kesuciannya. Cerita yang selengkapnya jelas tidak pantas jika disampaikan di
depan umum. Maka itu, wajar saja jika Yilin hendak dibawa menuju ke suatu
tempat yang lebih tertutup untuk ditanyai secera terperinci.
Akan tetapi, Yu Canghai
tiba-tiba melompat ke dekat pintu menghadang kedua biksuni tersebut. Ia
berkata, “Masalah ini sudah merenggut dua nyawa. Hendaknya Biksuni Yilin bicara
di sini saja agar kami semua ikut mendengarnya. Kalau yang terbunuh adalah
Keponakan Chi, mungkin Pendeta Tianmen tidak terlalu memikirkannya; karena di
antara murid-murid Serikat Pedang Lima Gunung sudah saling mengangkat saudara.
Akan tetapi, muridku yang bernama Luo Renjie memang tidak sebanding untuk
mengaku saudara terhadap Linghu Chong.”
Biksuni Dingyi seorang
perempuan tua berwatak keras. Bahkan kedua kakak seperguruannya, yaitu Biksuni
Dingjing dan Biksuni Dingxian biasa mengalah kepadanya. Kali ini di depan umum
ia disindir secara langsung oleh Yu Canghai, sudah tentu amarahnya terusik.
Wajahnya terlihat merah padam dan tangannya bersiap melayangkan pukulan.
Liu Zhengfeng sudah lama
mengenal Dingyi sehingga hafal dengan perilaku biksuni tua ini. Baik Dingyi
maupun Yu Canghai sama-sama tokoh papan atas di dunia persilatan. Apabila
keduanya sampai bertarung, tentu akibatnya benar-benar mengerikan. Maka itu,
sang tuan rumah tersebut segera bergegas menengahi kedua pihak sambil
membungkuk hormat.
“Kakak berdua adalah tamu
kehormatanku. Bagaimanapun juga hendaknya kalian memandang kepadaku. Tolong
jangan bertengkar sekarang. Memang kuakui pelayananku sangat jauh dari
memuaskan. Untuk itu, mohon dimaafkan,” ujar Liu Zhengfeng.
“Adik Liu, kau ini bicara
apa?” sahut Dingyi. “Aku benar-benar muak terhadap si hidung kerbau ini yang
mencoba merintangi jalanku. Padahal, aku hanya ingin bicara empat mata dengan
muridku seorang.”
Hidung kerbau adalah sebutan
untuk mengejek kaum pendeta agama Tao.
Sebenarnya Yu Canghai sendiri
juga agak segan terhadap Dingyi dan tidak yakin menang apabila benar-benar
bertarung melawannya. Andaikata hari ini ia bisa mengalahkan Dingyi, tetap saja
kakak seperguruan sang biksuni yang bernama Dingxian tidak akan tinggal diam
begitu saja. Meskipun Dingxian terkenal ramah dan rendah hati, namun kesaktiannya
jauh lebih hebat daripada sang adik. Jika Perguruan Henshan sampai mengangkat
senjata, tentu Perguruan Qingcheng berada dalam masalah besar.
Menyadari hal itu Yu Canghai
pun tersenyum pahit sambil berkata, “Aku hanya berharap Biksuni Yilin sudi
menceritakan kematian muridku di sini. Sama sekali Yu Canghai tidak berani
merintangi tokoh besar dari Biara Awan Putih.” Perlahan-lahan ketua Perguruan
Qingcheng itu kembali duduk di atas kursinya.
Dingyi sendiri juga kembali ke
tempat duduknya sambil menggandeng Yilin. Ia kemudian berkata, “Coba kau
ceritakan apa yang telah terjadi.” Khawatir muridnya yang masih belia itu
bercerita melampaui batas sehingga mencemarkan nama baik Perguruan Henshan, ia
pun menambahkan, “Ceritakan seperlunya saja. Ambil bagian-bagian yang kau
anggap penting.”
“Baik, Guru!” jawab Yilin
sambil mengangguk. “Mohon Guru sudi membunuh penjahat bernama Tian Boguang itu.
Dia sudah... dia sudah....”
“Ya, aku paham. Kau tidak
perlu menjelaskannya secara rinci. Aku sudah paham maksudmu,” sela Dingyi
menukas. “Aku pasti akan membunuh si keparat Tian Boguang dan Linghu Chong....”
“Hah, Kakak Linghu?” tanya
Yilin dengan sorot mata tajam. “Mengapa Guru ingin membunuh Kakak Linghu?
Dia....” Mendadak air matanya berlinang-linang di pipi saat melanjutkan, “Dia
sudah... dia sudah meninggal....”
Seketika semua orang terkejut
mendengar ucapan Yilin. Pendeta Tianmen langsung bangkit dan bertanya dengan
suara keras, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang telah membunuhnya?”
“Pembunuhnya adalah....” jawab
Yilin sambil menunjuk mayat Luo Renjie. “Pembunuhnya adalah dia... orang jahat
dari Qingcheng itu!”
Mendengar berita itu kemarahan
Tianmen langsung reda. Sebaliknya, Yu Canghai merasa senang karena Luo Renjie
tidak mati sia-sia. Diam-diam ia berpikir, “Jadi, keduanya bertarung
habis-habisan sampai mati bersama. Hm, Renjie memang pantas disebut sebagai
salah satu dari Empat Jagoan Qingcheng. Benar-benar tidak mengecewakan
perguruan.”
Tiba-tiba Yu Canghai terkesiap
dan memandang Yilin dengan sorot mata tajam. Ia lantas berkata, “Jadi
menurutmu, semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah orang baik,
sedangkan murid Perguruan Qingcheng adalah orang jahat, begitu?”
“Entahlah,” jawab Yilin sambil
menangis. “Aku tidak berbicara tentang Paman Yu. Yang kumaksud orang jahat
adalah dia.” Kali ini ia menunjuk mayat Luo Renjie sekali lagi.
Dingyi kembali naik darah dan
membentak Yu Canghai, “Memangnya kau mau menakut-nakuti anak kecil?” Biksuni
tua itu lalu menepuk-nepuk punggung Yilin dan berkata, “Yilin, kau jangan
takut; gurumu ada di sini. Tidak seorang pun boleh menyakitimu.”
Yu Canghai kembali berkata,
“Seorang biarawati tidak boleh berdusta. Apa kau berani bersumpah atas nama
Sang Buddha bahwa ceritamu benar, Biksuni kecil?” Rupanya ia khawatir jangan-jangan
Yilin bercerita atas desakan gurunya sehingga berkata yang tidak-tidak mengenai
Luo Renjie. Meskipun Linghu Chong dan Luo Renjie sama-sama terbunuh, namun
tidak ada seorang pun di antara para hadirin yang menyaksikannya; sehingga
cerita dari Yilin benar-benar menjadi sumber utama.
“Jangankan di hadapan Sang
Buddha, di hadapan Guru sekalipun saya tidak berani berdusta,” jawab Yilin. Ia
kemudian berlutut dengan wajah menghadap pintu keluar, kemudian menguncupkan
kedua tangannya sambil berkata, “Di hadapan Guru dan Paman Guru sekalian, Yilin
bersumpah akan menceritakan kejadian yang sebenar-benarnya. Sang Buddha
mahaadil apabila Yilin sampai berdusta.”
Setiap orang dapat melihat
dengan jelas ketulusan dan kejujuran Yilin di balik gerak-geriknya yang
serbalembut itu. Seorang tamu berjanggut hitam, berusia lima puluhan, serta
berpakaian sarjana menyahut, “Jika Nona Biksuni berkata demikian, sudah pasti
kami percaya.”
Dingyi pun berkata sambil
memandang Yu Canghai, “Kau dengar itu, hidung kerbau? Tuan Wen pun berkata
demikian. Apa lagi yang membuatmu sangsi?”
Rupanya Dingyi mengenali pria
berpakaian sarjana itu bermarga Wen. Siapa nama lengkapnya tidak seorang pun
yang tahu, dan semua orang hanya memanggilnya Tuan Wen. Tokoh ini merupakan
jago silat terkenal dari Provinsi Shanxi yang bersenjatakan sepasang pena
logam. Para pesilat yang bersenjatakan seperti ini pada umunya mahir dalam ilmu
menotok titik nadi lawan.
Kini semua mata tertuju kepada
Yilin. Wajahnya yang agung tampak bercahaya seolah menerangi segenap penjuru
ruangan. Hampir semua para hadirin membayangkan wajah biksuni muda ini bagaikan
mutiara yang halus licin tanpa cacad. Bahkan, Yu Canghai pun berpikir, “Biksuni
cilik ini sepertinya memang berhati bersih. Kata-katanya tentu bisa dipercaya.”
Suasana begitu hening. Tak
seorang pun dari para hadirin yang mencoba bersuara. Masing-masing menunggu
cerita yang akan disampaikan Yilin.
Selang sejenak Yilin mengawali
kisahnya, “Kemarin siang, saya ikut dalam rombongan Guru dan para kakak menuju
ke rumah Paman Liu ini. Sempat turun hujan deras ketika rombongan kami hampir
sampai di Kota Hengyang. Ketika menuruni jalanan perbukitan, saya kurang
hati-hati sehingga terpeleset jatuh dengan tangan menyangga tubuh. Akibatnya,
kedua tangan saya kotor terkena lumpur. Begitu sampai di bawah bukit, saya
memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan tangan karena melihat ada
sungai kecil di sana.
Tiba-tiba saya melihat
bayangan seorang laki-laki di permukaan sungai, berdiri di belakang bayangan saya.
Saya terkejut dan mencoba berdiri namun punggung terasa sakit dan kesemutan.
Rupanya orang itu telah menotok titik nadi di punggung saya sehingga tubuh pun
lumpuh seketika. Saya ingin berteriak tapi tidak bisa bersuara. Tidak hanya
titik gerak, orang itu juga menotok titik bisu saya. Kemudian, tubuh saya
diangkat dan dibawanya berjalan sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya, orang
itu membawa saya masuk ke dalam gua. Waktu itu saya benar-benar takut, namun
sedikit pun tidak mampu bergerak ataupun bersuara.
Tidak lama kemudian saya
mendengar suara tiga orang kakak seperguruan berpencar memanggil-manggil nama
saya, ‘Yilin, Yilin, di mana kau?’. Orang itu hanya tertawa pelan dan berkata
lirih, ‘Jika kakak-kakakmu masuk kemari, mereka akan kutangkap sekalian.’ Namun
ketiga kakak ternyata tidak masuk ke dalam gua tetapi menuju ke arah lain.
Setelah keadaan kembali sepi,
orang itu membuka totokannya sehingga saya bisa bergerak bebas. Sekuat tenaga
saya mencoba melarikan diri namun orang itu tahu-tahu sudah berdiri di mulut
gua. Akibatnya, saya pun menabrak dadanya dan dia berkata, ‘Apa kau pikir bisa
lari dari sini, hah?’
Saya lantas melompat mundur
dan melolos pedang. Namun karena orang itu tidak menyakiti saya, saya pun tidak
mungkin menyakitinya. Apalagi sebagai seorang pengikut Buddha harus
mengutamakan sifat welas asih. Maka itu saya hanya mengancam, ‘Pergi kau!
Kenapa menggangguku? Cepat menyingkir! Jika kau merintangi jalanku, maka aku...
aku akan menusukmu!’
Orang itu hanya tertawa dan
menjawab, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat baik hati. Mana mungkin kau tega
melukai kulitku? Kalau kau berani, tikam saja dadaku ini.’
Saya menjawab, ‘Kita tidak
saling mengenal dan tidak saling bermusuhan. Kenapa pula aku harus membunuhmu?’
Orang itu tertawa dan berkata,
‘Bagus sekali! Kalau begitu, marilah kita duduk dan bercakap-cakap di sini.’
Saya berkata, ‘Guru dan para
kakak sedang mencariku. Lagipula, Guru tidak mengizinkan aku bercakap-cakap
dengan sembarang laki-laki.’
Orang itu menyahut, ‘Tapi
bukankah kau sudah melakukannya? Apa bedanya berbicara lama atau sebentar?’
Orang itu terus mendesak,
sehingga saya kembali mengancam, ‘Jangan mendekat! Apa kau tidak tahu guruku
sangat sakti? Jika Guru sampai tahu perbuatanmu, maka Beliau pasti akan
mematahkan kedua kakimu. Guruku yang sakti akan datang mencarimu.’
Tapi orang itu menjawab,
‘Silakan saja kalau dia ingin mencariku. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik
kepadanya. Dia sudah tua. Aku tidak suka....’”
“Omong kosong!” bentak Dingyi
menukas cerita Yilin. “Kau bahkan mengingat semua perkatannya; sampai-sampai
ocehan gila juga kau ceritakan di sini!”
Para hadirin merasa geli dan
ingin sekali tertawa. Namun, mereka tidak berani tersenyum sedikit pun karena
segan terhadap Dingyi yang bermuka merah menahan malu. Dengan sekuat tenaga,
mereka berusaha memasang wajah serius menunggu kelanjutan cerita Yilin.
Yilin sendiri tampak
menanggapi sang guru dengan nada polos, “Tapi dia benar-benar bicara seperti
itu.”
“Baiklah, baiklah, kata-kata
seperti ini jangan kau ulangi lagi,” ujar Dingyi setelah agak tenang.
“Ceritakan saja secara ringkas dan jelas. Ceritakan bagaimana kau bisa bertemu
Linghu Chong.”
“Baiklah,” lanjut Yilin.
“Orang itu kemudian bicara macam-macam; antara lain, dia bilang kalau wajah
saya sangat cantik. Dia juga mengajak saya tidur bersama....”
“Hentikan!” kembali Dingyi
membentak. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan!”
“Tapi dia yang bicara seperti
itu, Guru” sahut Yilin polos. “Saya sendiri tidak mau menerima ajakannya itu,
dan saya tidak tidur....”
“Diam kataku!” bentak Dingyi
lebih keras.
Murid Qingcheng yang membawa
masuk jasad Luo Renjie tadi tak kuasa menahan geli. Ia pun tertawa
terbahak-bahak mengejutkan semua orang. Tentu saja ini membuat Dingyi semakin
murka. Biksuni tua itu lantas menyambar cawan teh di atas meja dan menyiramkan
isinya ke arah pemuda itu. Gerakan tersebut disertai tenaga dalam sehingga air
teh di dalam cangkir secara cepat dan tepat menyiram wajah si murid Qingcheng
tanpa tercecer di lantai sedikit pun. Sebaliknya, pemuda itu tidak sempat
menghindar sehingga ia pun menjerit kepanasan.
Yu Canghai marah melihat
perbuatan Dingyi. Ia pun membentak, “Apa-apaan ini? Muridmu boleh bercerita
tapi muridku tidak boleh tertawa. Dasar ingin menang sendiri.”
Dingyi memandangi Yu Canghai
sambil memiringkan wajah, kemudian berkata galak, “Dingyi dari Henshan sudah
sejak dulu suka menang sendiri. Memangnya baru sekarang kau tahu?” Usai berkata
demikian ia lantas mengangkat cawan kosong untuk dilemparkan ke arah Yu
Canghai. Namun ketua Perguruan Qingcheng itu memalingkan muka seolah tak
peduli.
Melihat kepercayaan diri Yu
Canghai yang begitu besar, ditambah ilmu silatnya yang sangat tinggi, diam-diam
Dingyi merasa segan juga. Perlahan, ia pun meletakkan kembali cawan teh di atas
meja dan berkata, “Yilin, lanjutkan ceritamu kembali. Kalimat yang tidak
penting tidak perlu kau sampaikan!”
“Baik, Guru,” sahut Yilin.
“Beberapa kali saya mencoba melarikan diri namun orang itu selalu dapat
menghadang saya. Hari pun semakin gelap dan saya semakin gelisah. Akhirnya,
saya nekad menusuk orang itu menggunakan pedang. Terpaksa saya melanggar
pantangan membunuh karena terdesak, meskipun dalam hati merasa tidak tega.
Namun orang itu dengan cepat menghindar dan meraih... meraih pinggang saya. Saya
terkesiap dan berkelit ke samping. Tahu-tahu, pedang saya sudah berhasil
direbutnya. Guru, ilmu silat orang itu sangat hebat. Dia memegang pedang saya
dengan tangan kanan, lalu mematahkan ujung pedang saya menggunakan ibu jari dan
telunjuk tangan kiri. Ujung pedang saya pun patah sepanjang dua senti.”
“Dia mematahkan ujung pedangmu
sepanjang dua senti?” sahut Dingyi tak percaya.
“Benar,” jawab Yilin.
Biksuni Dingyi dan Pendeta
Tianmen saling pandang. Keduanya sama-sama berpikir bahwa penjahat ini benar-benar
hebat. Apabila yang dipatahkannya adalah bagian tengah pedang, maka hal itu
sudah biasa. Akan tetapi orang ini bisa mematahkan ujung pedang dengan dua jari
sepanjang dua senti saja; sungguh kekuatan yang menakjubkan.
Pendeta Tianmen lantas melolos
pedang yang tergantung di pinggang muridnya, lalu mematahkan ujungnya sepanjang
dua senti pula. “Seperti ini?” katanya kemudian.
“Wah, ternyata Paman Pendeta
juga bisa,” jawab Yilin polos.
“Huh!” Tianmen mendengus
sambil menyarungkan kembali pedang muridnya itu. Kemudian tangan kirinya
melemparkan potongan ujung pedang tersebut ke atas meja sampai amblas ke dalam
dan tidak terlihat lagi.
“Tenaga dalam Paman Pendeta
sungguh luar biasa. Saya yakin, penjahat itu pasti tidak dapat melakukannya.
Namun sayang....” ujar Yilin sambil kemudian menundukkan kepala. “Andai saja
waktu itu Paman Pendeta berada di sana, mungkin Kakak Linghu tidak akan terluka
parah.”
“Terluka parah bagaimana?
Bukankah tadi kau bilang dia sudah mati?” tanya Tianmen.
“Justru itu. Gara-gara terluka
parah, maka Kakak Linghu akhirnya bisa dibunuh oleh si penjahat Luo Renjie,”
jawab Yilin.
Kembali Yu Canghai merasa
tersinggung karena muridnya disebut sebagai “penjahat” seperti Tian Boguang.
Ini berarti, Yilin menganggap Luo Renjie sama rendahnya dengan maling cabul
tersebut.
Sementara itu para hadirin
lainnya bertanya-tanya mengapa air mata Yilin kembali mengalir begitu teringat
kepada nasib Linghu Chong. Andai saja Yilin bukan seorang biksuni, pasti
Pendeta Tianmen, Liu Zhengfeng, He Sanqi, ataupun Tuan Wen sudah membelai
kepala atau menepuk-nepuk punggung gadis itu untuk menghiburnya.
Sambil mengusap air matanya
menggunakan lengan baju, Yilin melanjutkan cerita, “Penjahat bernama Tian
Boguang itu mendorong tubuh saya lalu mencoba membuka pakaian saya. Saya pun
menamparnya, tapi kedua tangan saya justru dapat ditangkapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba
kami mendengar suara tawa seorang laki-laki di luar gua. Orang itu tertawa tiga
kali, ‘Hahaha!’ Setelah berhenti sejenak kembali ia tertawa, ‘Hahaha!’
Tian Boguang pun membentak
kasar, ‘Siapa itu?’
Namun orang di luar kembali
tertawa tanpa menjawab.
Tian Boguang memaki,
‘Sebaiknya kau pergi saja. Lebih cepat lebih baik. Berani membuat Tuan Tian
marah bisa membuatmu kehilangan nyawa.’
Namun orang itu kembali
tertawa tiga kali. Tian Boguang mencoba mengabaikannya dan kembali melucuti
pakaian saya. Orang itu kembali tertawa dengan suara yang lebih keras. Semakin
sering ia tertawa, semakin membuat Tian Boguang marah. Saya berharap orang itu
datang untuk menolong saya. Namun dia ternyata mengetahui kehebatan Tian
Boguang dan tidak berani masuk ke dalam gua. Hanya suara tawanya yang makin
lama makin keras membuat Tian Boguang bertambah gusar.
Tian Boguang memaki-maki orang
itu dengan kata-kata kotor. Ia kembali menotok titik nadi saya dan kemudian
melangkah keluar gua. Akan tetapi, orang itu sudah lebih dulu bersembunyi.
Ketika Tian Boguang masuk ke dalam, orang itu kembali tertawa. Tian Boguang
semakin gusar dan berlari keluar, namun orang itu sudah menyembunyikan dirinya
kembali. Waktu itu saya tertawa karena merasa sangat geli melihat sikap Tian
Boguang....”
Dingyi menukas, “Kau ini
berada di antara hidup dan mati tapi masih juga bisa tertawa.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin.
“Saya sendiri juga tidak tahu kenapa. Saya hanya merasa senang melihat Tian
Boguang dikerjai orang di luar gua itu. Sampai akhirnya, Tian Boguang pura-pura
masuk ke dalam padahal ia bersembunyi di dekat mulut gua, dengan harapan bisa
menyergap orang itu jika kembali tertawa. Karena merasa khawatir, saya pun
menjerit, ‘Awas, dia mau keluar!’
Tapi orang itu tertawa di
tempat yang lebih jauh dan berkata, ‘Terima kasih banyak; tapi kau tidak perlu
khawatir. Dia tidak mungkin bisa menangkapku. Ilmu ringan tubuhnya terlalu
rendah.’”
Para hadirin merasa heran
karena ada orang yang berani mengejek ilmu ringan tubuh Tian Boguang. Padahal,
ilmu ringan tubuh si maling cabul terkenal tiada bandingannya di dunia
persilatan. Rupanya orang di luar gua itu bermaksud memancing amarah penjahat
yang bergelar Si Pengelana Tunggal Selaksa Li tersebut.
Yilin melanjutkan cerita, “Si
penjahat Tian Boguang masuk ke dalam dan tiba-tiba mencubit pipi saya. Saya pun
menjerit kesakitan. Kemudian ia berlari keluar dan berteriak, ‘Hei, Bangsat!
Kau berani menantang ilmu ringan tubuh Tian Boguang, hah?’ Namun maling cabul
itu tertipu. Orang yang tertawa tadi ternyata bersembunyi di dekat mulut gua.
Begitu melihat Tian Boguang keluar, ia segera menyelinap masuk.
Laki-laki itu lantas mendekati
saya dan berkata, ‘Jangan takut. Aku datang untuk menolongmu. Bagian mana yang
ditotok?’
Saya menjawab, ‘Dia menotok
titik Jianzhen dan Dazhui di badanku. Tapi, kau ini siapa?’
Orang itu tidak menjawab,
hanya meminta izin membuka totokanku.’”
Dingyi tertegun mendengar
cerita muridnya karena titik Jianzhen terletak di paha. Padahal, tidak
sepantasnya seorang laki-laki menyentuh paha perempuan, apalagi terhadap
seorang biksuni. Namun dalam keadaan terdesak seperti itu, semua pelanggaran
bisa dimaklumi.
Terdengar Yilin melanjutkan
cerita, “Laki-laki itu berusaha memijat sekuat tenaga namun tetap saja tidak
mampu membebaskan totokan saya. Jelas tenaga dalam Tian Boguang begitu hebat.
Kemudian kami mendengar suara Tian Boguang semakin mendekat. Saya pun berkata
kepadanya, ‘Lekas lari dari sini! Jika ketahuan kau pasti akan dibunuh
olehnya.’
Tapi orang itu menjawab,
‘Serikat Pedang Lima Gunung adalah satu kesatuan; bagaikan cabang-cabang dalam
satu pohon. Adik dalam kesulitan, mana mungkin aku tega pergi begitu saja?’”
“Hah,” seru Dingyi menyela.
“Jadi dia berasal dari Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Benar, Guru!” jawab Yilin.
“Orang itu adalah Kakak Linghu Chong.”
“Oh,” sahut Dingyi, Liu
Zhengfeng, Tianmen, Yu Canghai, He Sanqi, dan Tuan Wen bersama-sama. Lao Denuo terlihat
menghela napas lega. Sebenarnya beberapa hadirin sudah menduga kalau si
penolong itu adalah Linghu Chong, namun tidak seorang pun yang yakin sampai
mendengar sendiri dari ucapan Yilin.
Yilin melanjutkan, “Mendengar
suara Tian Boguang semakin dekat dan dekat, Kakak Linghu lantas meminta maaf
dan langsung menggendong tubuh saya keluar gua. Kami pun bersembunyi di dalam
semak-semak ilalang. Baru saja kami keluar, Tian Boguang sudah masuk ke dalam
gua. Begitu mengetahui saya sudah menghilang, ia pun marah-marah dan mencaci
maki dengan kata-kata kotor. Entah apa saja yang ia ucapkan, saya tidak bisa
menirukannya.
Penjahat itu kemudian keluar
dari gua sambil menghunus pedang patah milik saya. Untungnya waktu itu hari
sudah cukup gelap. Langit juga dalam keadaan mendung dan tiada bulan atau
bintang yang bersinar. Dalam keadaan gelap gulita itu Tian Boguang menebaskan
pedang ke segala arah. Rupanya dia yakin kalau kami berdua belum pergi jauh dan
bersembunyi di dalam ilalang. Sempat satu kali pedangnya lewat di atas kepala
saya, hanya selisih beberapa senti saja. Kemudian ia pun berjalan ke arah lain
sambil terus menebas dan mengayunkan pedang.
Tiba-tiba beberapa tetes
cairan berbau anyir mengenai wajah saya. Ternyata itu adalah darah Kakak
Linghu. Saya terkejut dan bertanya, ‘Apakah kau terluka?’
Akan tetapi, Kakak Linghu
langsung membungkam mulut saya. Selang agak lama – setelah mendengar suara
ayunan pedang semakin jauh dan jauh – barulah ia berbisik, ‘Aku tidak apa-apa.’
Tangannya lalu melepaskan mulut saya, sementara darahnya masih tetap mengucur
membasahi wajah saya.
Saya sangat khawatir dan
berbisik, ‘Hei, kau terluka cukup dalam. Pendarahannya harus dihentikan. Aku
membawa Salep Penyambung Langit.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Jangan
bicara dulu. Sedikit saja kita bergerak, maka dia akan langsung menemukan
kita.’
Tiba-tiba terdengar suara Tian
Boguang berseru keras, ‘Aha, di sana kalian rupanya! Ayo keluar, Tuan Tian
sudah melihat persembunyian kalian!’
Mendengar teriakan penjahat
itu saya langsung putus asa. Saya pun mencoba berdiri tapi kaki terasa lumpuh,
tak bisa bergerak sama sekali....”
Biksuni Dingyi menukas, “Hm,
kau tertipu mentah-mentah. Sebenarnya Tian Boguang tidak melihatmu. Dia hanya
menggertak supaya kau keluar dengan sendirinya.”
“Benar sekali,” sahut Yilin
agak heran. “Bagaimana Guru bisa mengetahuinya? Bukankah Guru tidak berada di
sana?”
“Apanya yang aneh?” jawab
Dingyi balik bertanya. “Jika dia benar-benar melihat kalian, untuk apa masih
berteriak-teriak? Bukankah lebih baik kalau dia mendekati kalian secara
diam-diam dan langsung membunuh Linghu Chong? Hm, ternyata Linghu Chong sendiri
masih hijau.”
“Tidak demikian. Kakak Linghu
juga berpikiran seperti Guru.” sahut Yilin. “Dia segera membungkam mulut saya
agar tidak bersuara. Benar juga, ternyata Tian Boguang masih saja
berteriak-teriak sambil membabat semak belukar. Setelah orang itu menjauh,
Kakak Linghu perlahan berbisik, ‘Adik, asalkan kau sanggup bertahan setengah
jam lagi, maka titik nadimu yang tertotok akan kembali terbuka dengan
sendirinya. Tapi aku khawatir penjahat itu akan kembali ke sini dan menemukan
kita. Untuk itu, marilah kita bersembunyi di dalam gua.’”
Mendengar kalimat terakhir itu
Liu Zhengfeng dan He Sanqi bertepuk tangan; sementara Tuan Wen memuji, “Bagus
sekali! Berani juga cerdik!”
Yilin melanjutkan, “Sebenarnya
saya sangat takut masuk kembali ke dalam gua. Tapi karena sudah terlanjur kagum
terhadap kepandaian Kakak Linghu, saya pun mengikuti ajakannya. Ia lantas
menggendong tubuh saya menyelinap ke dalam gua. Sesampainya di dalam, tubuh
saya diletakkannya di bawah.
Saya pun berkata, ‘Di dalam
bajuku ada Salep Penyambung Langit, obat luka buatan Perguruan Henshan yang
sangat manjur. Silakan... silakan kau ambil sendiri.’
Tapi Kakak Linghu menolak,
‘Tidak perlu. Ini bukan saat yang tepat untuk mengambil obatmu. Nanti saja
kalau totokanmu sudah terbuka, biar kau saja yang mengambilkan.’ Perlahan-lahan
ia lantas mengiris lengan bajunya menggunakan pedang untuk membalut luka di
bahu.
Saya baru menyadari kalau bahu
Kakak Linghu itu terluka oleh sabetan pedang Tian Boguang di semak-semak tadi.
Demi menjaga keselamatan saya, Kakak Linghu menahan sakit dalam waktu yang
cukup lama. Andai sedikit saja ia bersuara, tentu Tian Boguang langsung
mengetahui persembunyian kami. Akan tetapi saya juga merasa heran, kenapa dia
merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengambil obat....”
“Hm, ternyata Linghu Chong
seorang kesatria sejati,” sahut Dingyi dengan nada mengejek.
Yilin memandangi gurunya
dengan perasaan heran. Ia lantas berkata, “Tentu saja Kakak Linghu seorang
kesatria sejati. Saya tidak mengenalnya, tapi dia berusaha menolong saya tanpa
memedulikan keselamatan diri sendiri.”
Yu Canghai berkata sinis,
“Mungkin kau memang belum pernah mengenalnya. Tapi, bisa jadi dia pernah
melihatmu sebelumnya. Kalau tidak, mana mungkin dia mati-matian berusaha
menolongmu?” Ucapan ini seolah menuduh Linghu Chong menolong Yilin hanya karena
tertarik pada kecantikan biksuni muda tersebut.
“Tidak. Kakak Linghu berkata
belum pernah melihat diriku sama sekali. Dia tidak mungkin berbohong kepadaku,”
jawab Yilin. Meskipun suaranya lemah lembut, namun bernada penuh keyakinan.
Para hadirin ikut terkesan melihatnya dan diam-diam membenarkan pernyataan
tersebut.
Sementara itu Yu Canghai
berpikir, “Si keparat Linghu Chong biasanya bertingkah ugal-ugalan dan suka
mencari keributan. Bisa jadi dia menantang Tian Boguang bukan karena tertarik
pada kecantikan, tapi untuk memperoleh nama besar di dunia persilatan.”
Yilin melanjutkan, “Setelah membalut
lukanya, Kakak Linghu kembali memijat-mijat beberapa titik nadi di punggung dan
pinggang saya untuk membuka totokan. Namun kemudian terdengar suara ayunan
pedang semakin mendekat. Rupanya Tian Boguang sudah mendekati mulut gua, namun
tidak langsung masuk ke dalam. Orang itu hanya duduk di atas sebongkah batu di
luar gua. Sepertinya ia sangat penasaran.
Waktu itu saya sangat
ketakutan dan menahan napas dengan jantung berdebar-debar. Tiba-tiba totokan di
bagian bahu saya terbuka dan menimbulkan rasa sakit. Tanpa sadar, saya pun
meringis kesakitan sampai menarik napas. Tentu saja hal ini merusak semuanya.
Tian Boguang yang sangat cermat langsung mendengar dan segera bangkit sambil
tertawa. Ia pun masuk ke dalam gua dengan langkah lebar. Kakak Linghu sendiri
masih tetap terdiam tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam kegelapan itu, terdengar
suara Tian Boguang berkata sambil tertawa, ‘Domba kecilku, ternyata kau
bersembunyi di dalam gua ini, ya?’ Usai berkata tangannya lantas menjulur
hampir meraih tubuh saya.
Tiba-tiba saya mendengar suara
pedang berkelebat. Rupanya Kakak Linghu menusuk Tian Boguang dan tepat mengenai
sasaran. Penjahat itu terkejut dan menjatuhkan pedang patah milik saya di
tangannya. Namun demikian, tusukan itu tidak terlalu dalam dan juga tidak
mengenai bagian berbahaya. Tian Boguang lantas melompat ke belakang dan melolos
goloknya. Kemudian ia mengayunkan senjata untuk membalas Kakak Linghu. Sekejap
kemudian, terdengar suara logam beradu; Kakak Linghu dan Tian Boguang telah
terlibat pertarungan seru di dalam gua. Keadaan waktu itu benar-benar gelap dan
keduanya sama-sama tidak bisa saling melihat. Saya hanya mendengar setiap kali
senjata mereka beradu, keduanya langsung melompat mundur dan menghimpun napas.”
Pendeta Tianmen menyela, “Berapa
jurus Linghu Chong bisa menandingi Tian Boguang itu?”
“Waktu itu saya sangat bingung
dan tidak tahu harus bagaimana,” jawab Yilin. “Entah berapa jurus mereka lalui,
sampai akhirnya saya mendengar Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Aha, rupanya
kau berasal dari Perguruan Huashan! Ilmu pedang perguruanmu tidak sebanding
dengan golokku. Lekas katakan, siapa namamu!’
Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku
tidak penting. Setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung adalah keluarga
sendiri. Baik Huashan maupun Henshan adalah musuh besar penjahat cabul seperti
dirimu....’ Belum selesai Kakak Linghu menjawab, tiba-tiba Tian Boguang sudah
menerjang maju. Rupanya dia hanya memancing Kakak Linghu berbicara supaya bisa
mengetahui di mana lawannya itu berada. Sesaat kemudian terdengar suara Kakak
Linghu berseru kesakitan. Rupanya dia kembali terluka oleh golok Tian Boguang.
Tian Boguang lantas berkata,
‘Sudah kubilang, ilmu pedang Huashan tidak dapat menandingi ilmu golok Tuan
Tian. Meskipun gurumu, si tua Yue yang datang kemari juga tidak akan menang.’
Namun demikian, Kakak Linghu
tetap terdiam tidak menjawab sama sekali.
Setelah totokan di bahu
terbuka, saya kembali merasa kesakitan karena totokan di punggung juga terbuka.
Setelah bisa bergerak kembali, saya pun merangkak untuk mencari pedang saya
yang sudah patah tadi untuk membantu Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu justru
berteriak, ‘Rupanya kau sudah terbebas. Lekas kau pergi dari sini! Cepat lari!’
Saya pun menjawab, ‘Kakak dari
Huashan, biarkan aku membantumu! Mari kita bertempur bersama melawan penjahat
itu!’
Namun Kakak Linghu tetap
melarang dan berkata, ‘Tidak! Kau pergi saja sekarang! Kita berdua tetap bukan
tandingan orang ini.”
Terdengar Tian Boguang kembali
tertawa dan berkata, ‘Senang sekali mendengarmu menyadari kehebatanku. Untuk
apa kau membuang-buang waktu di sini? Namun, aku kagum juga pada keberanianmu.
Katakan siapa namamu, orang Huashan!’
Kakak Linghu menyahut, ‘Kalau
kau bertanya dengan sopan tentu akan kujawab. Tapi karena kau bersikap kurang
ajar, maka orang tuamu ini tidak perlu merasa segan.’
Guru, bukankah ini
menggelikan? Kakak Linghu bukan ayahnya, tapi dia mengaku sebagai orang tua
Tian Boguang?”
Dingyi menjawab sambil
mendengus, “Ini hanya kata-kata ejekan, jangan diambil pusing.”
“Ah, begitu rupanya,” ujar
Yilin. “Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya, ‘Hei, Adik dari Henshan,
lekas kau pergi ke Hengshan. Saudara-saudara kita sudah berkumpul di sana.
Keparat ini tidak akan berani mengejarmu.’
Saya bertanya, ‘Bagaimana
kalau dia nanti membunuhmu?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Dia
tidak mampu membunuhku. Aku akan merintanginya di sini... Hei, kenapa kau masih
di sini juga? Lekas pergi!’ Kembali terdengar suara logam beradu, disusul Kakak
Linghu berseru, ‘Aduh!’ Rupanya dia kembali terluka.
Meskipun demikian, Kakak
Linghu tidak peduli dan kembali berteriak kepada saya, ‘Adik, jika kau tidak
segera pergi dari sini, maka aku akan memaki dirimu!’
Saat itu saya sudah menghunus
pedang patah dan berseru kepadanya, ‘Kakak dari Huashan, mari kita hadapi orang
ini bersama-sama!’
Tian Boguang tertawa dan
menyahut, ‘Bagus sekali, Tuan Tian seorang diri bersenjata golok menghadapi
Perguruan Huashan dan Henshan. Namun, kalian tetap tidak mungkin menang.’
Sementara itu Kakak Linghu
mulai marah-marah dan memaki saya, ‘Dasar biksuni cilik tak tahu adat! Dasar
biksuni tolol! Cepat kau pergi! Kalau tidak juga pergi akan kutempeleng
wajahmu!’
Tian Boguang kembali tertawa
dan berkata, ‘Biksuni cilik ini ingin bermesraan denganku. Dia tidak akan
pergi.’
Kakak Linghu menegas, ‘Kau
pergi atau tidak?’
Saya menjawab, ‘Aku tidak mau
pergi!’
Kakak Linghu semakin gusar dan
berkata, ‘Jika kau tidak mau pergi, maka aku akan memaki gurumu; Dasar Dingxian
biksuni tua pikun dan bodoh, lihat bagaimana hasil didikanmu terhadap biksuni
cilik ini!’
Saya menjawab, ‘Bibi Dingxian
bukan guruku.’
Kakak Linghu berkata, ‘Kalau
begitu akan kumaki si tua Dingjing!’
Saya menjawab, ‘Bibi Dingjing
juga bukan guruku.’
Kakak Linghu menyahut, ‘Oh,
kalau begitu kau adalah murid Dingyi, si pikun bodoh....”’
Mendengar ini raut muka Dingyi
berubah merah dan terlihat gusar.
Yilin buru-buru menjelaskan,
“Guru jangan marah dulu. Kakak Linghu hanya bermaksud mengusir saya. Dia tidak
bersungguh-sungguh hendak memaki Guru. Saya pun menjelaskan kepadanya, ‘Jangan
kau maki guruku. Aku tolol karena kebodohanku sendiri. Guruku sudah mendidik
dengan baik.’
Tiba-tiba Tian Boguang
melompat ke arah saya dan berusaha menangkap saya lagi. Dalam keadaan gelap
gulita saya mengayunkan pedang ke segala arah membuat penjahat itu terpaksa
mundur kembali.
Kemudian terdengar kembali
Kakak Linghu berkata, ‘Kenapa tidak juga pergi dari sini? Apa kau mau aku
memaki gurumu lagi?’
Saya menjawab, ‘Jangan memaki
lagi. Lebih baik kita pergi bersama-sama.’
Kakak Linghu berkata, ‘Kau
hanya akan menggangguku saja kalau masih berada di sini. Aku menjadi tidak
leluasa mengerahkan jurus pedang Huashan yang paling ampuh. Begitu kau pergi,
maka aku bisa langsung membunuh bangsat keparat ini.’
Tian Boguang ikut menyahut, ‘Hahaha,
kasih sayangmu pada biksuni cilik ini sungguh luar biasa. Hanya sayang, dia
tidak tahu siapa namamu.’
Diam-diam saya merasa ucapan
Tian Boguang ini benar juga. Maka itu, saya pun bertanya, ‘Kakak dari Huashan,
tolong katakan siapa namamu? Biar aku bisa bercerita kepada Guru tentang
kebaikanmu.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Namaku
Lao Denuo. Sudah, sana pergi! Kau ini terlalu banyak adat!’”
Mendengar sampai di sini, Lao
Denuo terkejut. Dengan perasaan bingung ia berpikir, “Mengapa Kakak Pertama
memakai namaku?”
Di sisi lain Tuan Wen berkata,
“Linghu Chong benar-benar berwatak kesatria. Ia bertaruh nyawa menolong orang
lain tanpa mencari kejayaan diri sendiri. Sungguh luar biasa.”
Akan tetapi Biksuni Dingyi
berpendapat lain. Sambil melirik ke arah Lao Denuo ia menggerutu, “Ah, Linghu
Chong telah memaki diriku ini pikun dan bodoh. Mungkin dia takut aku membalas
perbuatannya. Maka, dengan sengaja dia melimpahkan kesalahan kepada orang
lain.” Biksuni tua itu lantas berseru kepada Lao Denuo, “Hm, rupanya kau
orangnya yang berani memaki diriku pikun dan tua, hah?”
Buru-buru Lao Denuo membungkuk
dan menjawab, “Bukan saya, Bibi Biksuni! Mana mungkin saya berani?”
Liu Zhengfeng tersenyum
menengahi, “Kakak Dingyi, sudah jelas yang bertarung melawan Tian Boguang
adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo ini. Meskipun murid nomor dua, namun usia
Keponakan Lao jauh lebih tua. Keponakan Linghu sengaja memakai nama adik
seperguruannya ini karena Keponakan Lao memang sepantasnya menjadi kakek
Yilin.”
Seketika Dingyi langsung paham
begitu mendengar ucapan Liu Zhengfeng tersebut. Ternyata Linghu Chong berusaha
menjaga nama baik Yilin dalam peristiwa ini. Saat itu memang keadaan gelap
gulita sehingga Linghu Chong, Yilin, dan Tian Boguang tidak bisa saling melihat
satu sama lain. Apabila Yilin berhasil meloloskan diri dan bercerita kepada
banyak orang bahwa yang telah menyelamatkan dirinya adalah si tua Lao Denuo,
tentu tidak akan ada komentar miring terhadap peristiwa ini. Jelas-jelas tubuh
Yilin telah digendong dan dipijat oleh penolongnya di dalam gua gelap. Apabila
tersiar kabar bahwa sang penolong adalah pemuda bernama Linghu Chong, tentu
akan menimbulkan desas-desus kurang sedap. Dengan menggunakan nama Lao Denuo,
ini berarti Linghu Chong tidak hanya menjaga nama baik Yilin, tapi juga menjaga
kehormatan Perguruan Henshan.
Menyadari maksud di balik ini
semua, Biksuni Dingyi tersenyum dan berkata, “Hm, bocah Linghu Chong itu
ternyata boleh juga. Selanjutnya bagaimana, Yilin?”
Yilin menjawab, “Saya tetap
tidak mau pergi. Saya berkata, ‘Kakak Lao, kau telah mempertaruhkan nyawa demi
untuk menolongku; mana mungkin aku meninggalkanmu di sini? Jika Guru sampai
tahu kalau aku kabur seperti pengecut, tentu Beliau akan membunuhku. Guru
selalu mengatakan bahwa, meskipun murid-murid Perguruan Henshan semua adalah
kaum wanita, namun kami selalu mengutamakan sikap kesatria yang tidak berbeda
dengan laki-laki.”
“Bagus sekali, bagus sekali!”
sahut Dingyi memuji. “Ucapanmu benar sekali. Kaum persilatan yang tidak
mengutamakan rasa setia kawan, lebih baik mati saja; tidak peduli laki-laki
atau perempuan.”
Melihat raut muka sang biksuni
tua sedemikian bersungguh-sungguh, diam-diam para hadirin memuji keberanian dan
semangat Dingyi yang tidak kalah dibandingkan kaum laki-laki.
Terdengar Yilin menjawab,
“Akan tetapi, Kakak Linghu justru memarahi saya. Dia berkata, ‘Dasar biksuni
cilik sialan, persetan denganmu! Yang kau lakukan hanya omong kosong panjang
lebar. Gara-gara kau masih di sini aku jadi tidak leluasa memainkan ilmu pedang
Huashan yang mahasakti. Aku yang tua ini ternyata harus menerima takdir mati di
tangan penjahat cabul di dalam sini. Jangan-jangan kau sudah bersekongkol
dengan Tian Boguang untuk menjebakku di gua ini. Aku, Lao Denuo, memang
bernasib sial karena bertemu biksuni sial seperti dirimu. Gara-gara kau masih
berada di sini, aku tidak berani mengerahkan ilmu pedang Huashan yang paling
ampuh. Aku takut kau ikut celaka menjadi korban kekuatan pedangku yang tidak
pandang bulu. Baiklah kalau demikian. Tian Boguang, silakan kau penggal leherku
dengan gerakan terbaikmu untuk mengakhiri semua ini. Aku yang tua tidak akan
menolak takdir....”’
Semua kata-kata kotor yang
diucapkan Linghu Chong diceritakan kembali oleh Yilin, namun menggunakan suara
yang lembut dan manis sehingga terdengar menggelikan. Para hadirin mau tidak
mau tersenyum juga mendengarnya.
Yilin melanjutkan, “Mendengar
ucapannya itu, saya pun sadar tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Kakak
Linghu karena ilmu silat saya sangat rendah. Justru dengan keberadaan saya di
sana, Kakak Linghu semakin terdesak dan tidak mampu mengerahkan ilmu pedang
Huashan yang mahasakti....”
Dingyi menukas, “Huh, ilmu
pedang bocah itu biasa-biasa saja! Memangnya bagian mana yang disebutnya
mahasakti?”
Yilin menjawab, “Guru, dia hanya
ingin menakut-nakuti Tian Boguang. Saya lantas berkata kepadanya, ‘Kakak Lao,
aku pergi sekarang. Semoga kita bertemu kembali.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Lekas
pergi dari sini, telur bebek busuk! Semakin jauh semakin bagus! Bertemu biksuni
hanya membuatku kalah berjudi. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku ini gemar
berjudi. Bertemu denganmu hanya membawa kesialan saja!’”
Dingyi yang sempat kagum
kepada Linghu Chong kini kembali gusar. Ia bangkit dari duduk dan bertanya,
“Dasar bocah keparat! Yilin, apakah kau lantas pergi?’
“Saya terpaksa pergi karena
khawatir membuat Kakak Linghu bertambah marah,” jawab Yilin. “Begitu saya pergi
meninggalkan gua, segera terdengar kembali suara logam beradu, pertanda Kakak
Linghu dan Tian Boguang melanjutkan pertarungan mereka. Jika Tian Boguang yang
menang, tentu dia akan segera mengejar saya; namun jika Kakak Linghu yang
menang, tentu dia akan kalah berjudi jika masih melihat saya. Maka, saya pun
berlari sekencang-kencangnya. Waktu itu saya ingin sekali segera bertemu Guru.
Saya ingin meminta Guru menghadapi si penjahat Tian Boguang itu.”
Dingyi mendengus sambil
mengangguk.
Yilin lalu bertanya, “Guru,
akhirnya Kakak Linghu mati dibunuh Luo Renjie. Apakah dia bernasib sial
karena... karena bertemu saya?”
“Omong kosong!” jawab Dingyi
gusar. “Untuk apa kau percaya dengan bualannya? Setiap hari banyak orang yang
melihat kita. Memangnya mereka semua bernasib sial?”
Para hadirin tersenyum geli
mendengar pertanyaan Yilin yang polos itu. Namun demikian, tidak seorang pun berani
bersuara karena segan terhadap Dingyi.
Yilin lalu melanjutkan
ceritanya, “Saya pun berlari secepat mungkin tanpa berhenti sedikit pun. Ketika
marahari terbit barulah saya memasuki Kota Hengyang. Saya merasa lega karena
mengira bisa berjumpa Guru di sana. Baru saja memperlambat langkah, tahu-tahu
Tian Boguang sudah berada di belakang saya. Seketika kaki saya terasa lemas dan
lunglai. Saya kembali berlari namun baru beberapa langkah saja orang itu sudah
menangkap saya. Waktu itu saya sangat sedih memikirkan Kakak Linghu tentu sudah
mati di dalam gua.
Pagi itu suasana Kota Hengyang
sudah ramai. Banyak orang berlalu-lalang di jalanan sehingga Tian Boguang tidak
berani berbuat kurang ajar terhadap saya. Ia hanya mengancam, ‘Jika kau tidak
menimbulkan masalah, maka aku tidak akan berbuat kasar terhadapmu. Tapi kalau
kau tidak menuruti perintahku, maka akan kulepaskan semua pakaianmu di sini
biar jadi tontonan banyak orang.’
Saya sangat ketakutan dan
terpaksa menuruti penjahat itu. Dia berkata, ‘Biksuni cilik, kau ini sangat
cantik bagaikan... bagaikan seorang dewi yang turun dari langit. Rumah Minum
Pemabuk Dewa terbuka untukmu. Marilah kita minum di sana sambil
bersenang-senang.’
Saya menjawab, ‘Seorang
biksuni tidak boleh minum arak dan makan daging. Ini juga menjadi larangan
keras di Biara Awan Putih.’
Dia berkata, ‘Huh, di tempatmu
banyak sekali peraturan aneh-aneh. Apa kau benar-benar ingin mematuhi semuanya?
Hari ini akan kuajari kau bagaimana caranya melanggar peraturan. Semua
peraturan dan tata tertib hanya untuk menipu orang saja. Gurumu itu... gurumu
itu....’” Sampai di sini Yilin melirik ke arah Dingyi dan tidak berani
melanjutkan.
“Ocehan keparat itu tidak
perlu kau ceritakan,” sahut Dingyi gusar. “Selanjutnya bagaimana?”
Yilin menjawab, “Saya pun
berkata kepadanya, ‘Guruku tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau tidak pernah
minum arak atau makan daging anjing secara sembunyi-sembunyi!’”
Mendengar jawaban Yilin
meledaklah tawa para hadirin yang sejak tadi tertahan sekian lama. Meskipun
Yilin memotong ceritanya tetap saja mereka bisa menebak kalau Tian Boguang
telah menuduh Dingyi diam-diam suka melanggar pantangan. Dingyi sendiri tampak
sangat malu dan berpikir, “Anak ini sungguh polos; tidak tahu mana yang pantas
diceritakan, mana yang tidak.”
Yilin melanjutkan, “Penjahat
itu kemudian menarik baju saya dan berkata, ‘Jika kau tidak mengikuti
langkahku, maka jubahmu ini akan kutarik sampai robek.’
Saya terpaksa mengikuti Tian
Boguang masuk ke dalam sebuah kedai besar yang bernama Rumah Minum Pemabuk Dewa
tadi. Kami duduk semeja di loteng atas. Guru, orang itu benar-benar jahat.
Sudah tahu saya seorang biksuni masih saja dia memaksa supaya saya menemaninya
minum arak dan makan daging. Kita ini pengikut Buddha, dilarang makan daging;
dan tidak mungkin saya melanggarnya. Biarlah dia menelanjangi saya di depan
umum, asalkan itu semua bukan niat saya.
Pada saat itulah tiba-tiba
muncul seorang pemuda mendatangi kami. Wajahnya terlihat pucat dan pakaiannya
berlumuran darah. Sebilah pedang tergantung pula di pinggangnya. Tanpa banyak
bicara ia langsung duduk semeja dengan kami dan langsung meneguk semangkuk arak
yang dihidangkan Tian Boguang untuk saya. Begitu habis, mangkuk itu kemudian
diisinya lagi dan diminumnya dalam sekali teguk. Ketika hendak minum untuk yang
ketiga kalinya dia mengangkat mangkuknya dan berkata pada kami, ‘Mari,
semuanya!’
Mendengar suaranya itu
perasaan saya terkejut dan sangat gembira. Ternyata dia adalah kakak dari
Huashan yang berusaha menolong saya di dalam gua tadi. Buddha memberkatinya.
Ternyata Kakak Linghu selamat dari tangan jahat Tian Boguang. Akan tetapi, luka
di tubuhnya sangat parah. Tian Boguang sendiri mengamatinya dari atas ke bawah
dengan seksama. Penjahat itu lalu berkata, ‘Kau rupanya!’
Kakak Linghu menjawab, ‘Benar,
ini aku!’
Tian Boguang mengacungkan
jempol dan memuji, ‘Laki-laki hebat!’
Kakak Linghu mengacungkan
jempol pula dan menjawab, ‘Ilmu golok hebat!’
Keduanya pun bergelak tawa dan
minum bersama. Saya benar-benar terkejut. Semalam mereka bertarung mati-matian,
tapi pagi itu minum bersama dengan akrab. Saya senang melihat Kakak Linghu
tidak mati; tapi saya juga khawatir jangan-jangan dia adalah teman Tian
Boguang.
Tian Boguang lantas berkata,
‘Aku pernah mendengar bahwa Lao Denuo sudah tua bangka. Dia memiliki kakak
seperguruan yang usianya jauh lebih muda bernama Linghu Chong. Melihat usiamu
ini, sudah pasti kau bukan Lao Denuo.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku
memang bukan Lao Denuo.’
Tian Boguang memukul meja
sambil berseru, ‘Aha, kalau demikian kau ini pasti Linghu Chong, pemuda dari
Huashan yang terkenal gagah berani.’
Pada saat itulah saya baru
mengetahui kalau nama asli penolong saya adalah Linghu Chong, bukan Lao Denuo.
Dia sama sekali belum tua. Mungkin usianya belum ada dua puluh lima.
Kemudian Kakak Linghu
menjawab, ‘Saudara Tian terlalu memuji. Linghu Chong yang kau sebut gagah
berani ini telah bertekuk lutut di bawah ilmu golokmu yang luar biasa. Sungguh
memalukan.’
Tian Boguang tertawa dan
berkata, ‘Tanpa bertarung, tidak akan terjadi perkenalan. Bagaimana kalau kita
berteman saja? Kalau Saudara Linghu menyukai biksuni cilik ini, aku bersedia
mengalah. Kaum laki-laki seperti kita lebih mengutamakan persahabatan daripada
urusan perempuan.’”
“Kurang ajar!” sahut Dingyi
menukas dengan muka merah padam. “Bajingan itu... bajingan itu....”
Yilin hampir saja menangis
ketika melanjutkan, “Kakak Linghu kemudian berkata, ‘Saudara Tian, biksuni
cilik ini wajahnya pucat sepeti mayat. Tiap hari dia hanya makan sayuran dan
kacang. Percuma wajahnya cantik kalau tidak menarik. Apalagi aku paling tidak
suka dengan kaum biksuni. Bahkan, aku ingin membantai habis semua biksuni yang
ada di muka bumi.’
‘Mengapa?’ tanya Tian Boguang.
Kakak Linghu berkata, ‘Terus
terang, aku punya suatu kegemaran, yaitu berjudi. Aku sangat senang berjudi.
Judi adalah hidupku. Setiap bertemu dadu, aku langsung lupa segalanya, bahkan
namaku sendiri. Namun jika melihat biksuni, aku selalu kalah bertaruh. Kejadian
ini tidak hanya sekali dua kali, namun sudah berkali-kali. Tidak hanya aku
saja, saudara-saudaraku dari Huashan sebenarnya juga muak kalau bertemu para
bibi dan saudari dari Henshan. Kelihatannya kami bersikap ramah tamah, padahal
sebenarnya dalam hati kami merasa sial.’”
Mendengar itu Dingyi tidak
tahan lagi. Tanpa ampun dia langsung menampar pipi Lao Denuo satu kali. Gerakan
tangannya ini sangat cepat dan juga keras. Lao Denuo yang bernasib sial itu
tidak sempat menghindar. Seketika kepalanya terasa pusing dan hampir saja ia
jatuh di lantai.
Liu Zhengfeng tersenyum dan
berkata, “Kakak Dingyi, mengapa kau harus marah? Keponakan Linghu bicara
sembarangan hanya untuk menyelamatkan muridmu yang jelita ini saja. Ia hanya
berusaha agar Tian Boguang bersedia melepaskan Yilin.”
Dingyi menyahut, “Jadi
menurutmu, ini semua demi menolong Yilin?”
“Aku yakin demikian,” jawab
Liu Zhengfeng sambil mengangguk. “Keponakan Yilin, bagaimana menurutmu?”
Yilin menunduk dan berkata
lirih, “Sebenarnya... sebenarnya Kakak Linghu sangat baik. Hanya saja, ia suka
bicara kotor. Tapi kalau Guru marah, saya tidak berani bercerita lagi.”
“Ceritakan saja, ceritakan
saja semuanya!” sahut Dingyi gusar. “Aku jadi ingin tahu apa saja yang
dikatakan bocah sialan itu. Jika dia memang benar-benar bajingan, aku akan
membuat perhitungan dengan si tua Yue, gurunya.”
Yilin masih menundukkan
kepala. Sedikit pun ia tidak berani bercerita kembali.
Dingyi berseru, “Lekas
lanjutkan! Kau jangan terlalu membelanya. Kami bisa membedakan mana yang baik,
mana yang buruk berdasarkan ceritamu.”
“Baik, Guru” sahut Yilin.
“Kemudian Kakak Linghu kembali berkata, ‘Saudara Tian, kita hidup di dunia
persilatan ini setiap saat tidak luput dari adu senjata. Meskipun memiliki ilmu
silat tinggi, tapi kalau bernasib sial tentu jiwanya akan celaka. Betul, tidak?
Apabila kita bertemu musuh yang berkepandaian sama, tentu hasil akhirnya sangat
tergantung pada nasib dan keberuntungan. Biksuni cilik ini kurus kering seperti
ayam. Meskipun wajahnya cantik seperti dewi kahyangan, tetap saja aku tidak
tertarik sama sekali. Sebagai manusia sudah tentu aku lebih mementingkan
keselamatan nyawa. Lebih mementingkan perempuan daripada persahabatan adalah
salah; lebih memntingkan perempuan daripada keselamatan adalah keliru. Kaum
biksuni adalah pembawa sial, maka sebaiknya jangan sekali-kali kita menyentuh
dia.’
Tian Boguang tertawa dan
menjawab, ‘Saudara Linghu, aku kira kau ini seorang pria yang tidak kenal
takut. Hm, ternyata kau begitu ketakutan melihat biksuni cilik ini.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu
saja. Aku punya banyak pengalaman buruk dengan biksuni. Setiap kali melihat
biksuni lewat aku pasti bernasib sial. Hal ini sudah terjadi berkali-kali.
Sebagai contoh, tadi malam aku hanya mendengar suara biksuni ini saja namun
harus merasakan tiga kali sabetan golokmu. Apa ini bukan nasib sial namanya?’
Tian Boguang tertawa
terbahak-bahak dan berkata, ‘Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu!’
Kakak Linghu melanjutkan,
‘Saudara Tian, aku ini tidak sudi bicara dengan kaum biksuni. Sebaiknya kau
biarkan saja dia pergi sejauh-jauhnya agar kita bisa menikmati arak ini sampai
puas. Setulus hati aku memberikan nasihat kepadamu. Sedikit saja kau menyentuh
seorang biksuni, maka nasib sial akan selalu menyertaimu. Sepanjang perjalanan
kau berkelana di dunia persilatan, masalah demi masalah akan selalu mendatangimu.
Kecuali, kalau kau menjadi seorang biksu. Aku heran, mengapa kau berani
bermain-main dengan salah satu dari tiga racun paling berbahaya di dunia?’
Tian Boguang bertanya, ‘Tiga
racun paling berbahaya? Apa saja itu?’
Kakak Linghu terihat heran dan
balik bertanya, ‘Aneh, padahal kau ini sudah berkelana ke mana-mana, tapi
ternyata belum mengetahui tiga jenis racun paling berbahaya di muka bumi.
Baiklah aku katakan kepadamu, tiga racun tersebut adalah biksuni, warangan, dan
ular belang emas. Aku bersumpah demi kahyangan, bahwa biksuni adalah yang
paling beracun di antara semua jenis racun. Semua murid laki-laki dalam Serikat
Pedang Lima Gunung sudah mengetahui akan hal ini, memangnya kau tidak takut?’”
Kemarahan Dingyi meledak
bagaikan gunung meletus. Tangannya menggebrak meja dan mulutnya memaki, “Dasar
kepa....” Namun demikian, ia sempat menahan diri sehingga tidak sampai
mengeluarkan kata-kata kotor.
Lao Denuo yang baru saja
ditampar sang biksuni tua kini berusaha menjaga jarak dengannya. Melihat Dingyi
kembali marah-marah, ia pun mundur semakin jauh.