Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 51-60
Ada satu faktor lainnya yang
menguntungkan Kim Lo. Walaupun wajahnya tidak begitu bentuknya, dengan keadaan
seperti kera! Justeru sebaliknya, ia sangat cerdik sekali.
Ia cerdas bukan main, sehingga
setiap ilmu yang diwarisi Oey Yok Su ia bisa pelajari dengan baik. Ia selalu
dapat mempelajarinya dengan sempurna.
Kecerdasan yang dimiliki Kim
Lo seperti ini telah membuat Oey Yok Su jadi girang.
Waktu Kim Lo akan berangkat
meninggalkan Tho-hoa-to, untuk mulai berkelana di dalam kalangan kang-ouw dan
pergi ke Yang-cung maka Oey Yok Su masih sempat bilang kepada Kim Lo:
“Kau harus dapat menguasai
diri sebaik mungkin. Jika memang melihat suatu persoalan yang bukan urusanmu,
janganlah segera turun tangan. Kau baru boleh turun tangan jika urusan itu
merugikan orang lain, dan kau harus menolongnya dengan sebaik mungkin!
“Dengan demikian, engkau akan
dapat memperoleh apa yang kami inginkan, yaitu kelak engkau menjadi seorang
besar! Selama kau mengumbar ilmumu akhirnya cuma melibatkan dirimu dalam
pergolakan di dalam rimba persilatan, sehingga kesempatan untuk menjadi orang
besar yang kami harapkan, akan gagal sama sekali……!”
Kim Lo waktu itu menyatakan
pada Oey Yok Su bahwa ia sudah mengerti apa yang diinginkan Kong-kongnya. Iapun
memahaminya bahwa Oey Yok Su telah meramalkannya, jika memang Kim Lo lebih
banyak membagi perhatiannya pada dunia Kang-ouw, maka ia akan menjadi orang
rimba persilatan sepenuhnya, berarti pekerjaan besar yang diberikan oleh Oey
Yok Su akan gagal.
Karena itu ia harus bisa
membatasi diri. Dan yang terpenting, ia memiliki kepandaian tinggi, guna
melindungi dirinya dan melengkapi pekerjaan besar yang akan dilakukannya. Cuma
itu saja. Karenanya tidak bisa Kim Lo sembarangan mempergunakan ilma silatnya
yang memang hebat itu.
Kim Lo menghela napas lagi
beberapa kali. Kemudian dia memandang lagi ke cermin. Setelah melihat bentuk
mukanya beberapa saat, ia mengambil kain putih penutup wajahnya. Ia telah
menutupi lagi wajahnya.
Kemudian dia pergi keluar dari
kamarnya. Ia telah melangkah perlahan-lahan memandang keadaan rumah penginapan
itu. Cukup ramai, karena banyak orang-orang yang tertunda perjalanannya
disebabkan turunnya salju yang lebat dan juga cuaca yang begitu buruk, membuat
mereka singgah di rumah penginapan tersebut. Kim Lo melangkah terus ke belakang
rumah penginapan.
Di belakang rumah penginapan
itu, di pekarangan yang cukup luas, telah terbungkus oleh salju. Dan keadaan di
situ benar-benar cukup sepi karena hanya tampak sekali-kali saja pelayan yang
berlalu lalang.
Pelayan-pelayan itu yang
melihat cara berpakaian Kim Lo, yang wajahnya di tutup oleh kain putih, jadi
heran bertanya-tanya di dalam hati mereka. Entah siapa orang yang diselubungi
misteri ini.
Tapi Kim Lo tidak
memperdulikan sikap pelayan-pelayan itu karena ia lebih mementingkan untuk
melindungi wajahnya agar tidak menimbulkan kerewelan.
Lama Kim Lo berdiri di dekat
pendopo di pekarangan belakang rumah penginapan tersebut menyaksikan
bunga-bunga salju yang tengah turun tidak juga menjadi redah.
Tiba-tiba ia mendengar suara
orang bersenandung dengan suara perlahan sekali dari tempat kejauhan:
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Hati Kim Lo tercekat. Itulah
lagu yang disenandungkan oleh So Pang, pengemis yang dirubuhkan beberapa waktu
yang lalu. Dan tentunya So Pang bersenandung lagi seperti itu.
Apakah memang So-pang tetap
mengikutinya sampai di rumah penginapan ini? Apakah pengemis itu penasaran dan
telah membuntutinya terus? Atau memang So Pang sekarang datang bersama
kawan-kawannya?
Jika apa yang diduganya itu
benar, maka ia akan menghadapi kerewelan lagi, ia segera memutar tubuhnya,
kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bertemu dengan So Pang.
Setelah berada di dalam kamarnya,
Kim Lo merebahkan tubuhnya di pembaringan. Ia rebah tanpa membuka tutup mukanya
itu.
Pikiran Kim Lo jadi
menerawang. Ia teringat pada pulau Tho-hoa-to sebuah pulau yang sesungguhnya
sangat indah dan menyenangkan hatinya.
Sejak baru dilahirkan, ia
sudah berada di pulau itu. Duapuluh tahun lamanya ia dibesarkan di pulau
tersebut.
Demikian menariknya pulau
tersebut, dengan kemisteriusannya, jalan-jalan rahasianya yang dipasang Oey Yok
Su.
Teringat pada pulau
Tho-hoa-to, Kim Lo teringat juga pada ibunya, kemudian pada Kong-kongnya yaitu
Oey Yok Su. Pikirannya terus juga berputar.
Sampai akhirnya ia teringat
pada So Pang, senandungnya yang dikenalnya.
Dan tampaknya memang akan
timbul kerewelan lagi di rumah penginapan ini.
Karena dari itu Kim Lo sengaja
tidak membuka tutup mukanya dan tetap dengan bajunya, hal ini akan mempermudah
buat dia bertindak kalau memang terjadi sesuatu.
Lama juga Kim Lo rebah terdiam
di pembaringan di kamar rumah penginapan sampai akhirnya ia tersadar dari
lamunannya waktu ada orang di luar kamar berkata:
“Kami adalah pengemis-pengemis
miskin melarat, yang membutuhkan sedekah. Siapakah yang bersedia menolong kami
dengan berbaik hati memberikan derma kepada kami?!”
Kata kata seperti itu menusuk
telinga Kim Lo, memang diucapkannya perlahan. Akan tetapi nadanya tajam sekali,
dan jelas itu disertai lweekang yang mahir, karena begitu melengking sakit ke
telinga.
Kim Lo jadi mengerutkan
alisnya. Ia segera menduga orang yang berkata seperti itu tidak mungkin So
Pang, karena sudah mengetahui berapa tinggi kepandaian So Pang dan berapa
tinggi sin-kangnya. Jelas ini tentunya kawan dari So Pang yang kepandaiannya
jauh lebih tinggi dari So Pang.
Namun Kim Lo telah berdiam
diri saja, dia tetap rebah di pembaringannya. Hanya ia sudah bersiap sedia
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Lama hening, kemudian
terdengar lagi orang berkata: “Kami adalah manusia-manusia hina papah yang
miskin melarat yang membutuhkan secuil berkah dan sedekah dari orang-orang yang
berhati mulia seperti dewa…….!”
Terhenti sejenak dan kemudian
ditambah lagi dengan kata-kata,
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Senandung itu terulang terus,
terdengar terus. Dan kata-katanya itu ke itu juga terus menerus tidak berobah.
Kim Lo tetap rebah di
pembaringan tanpa bergerak. Ia mendengarkan saja senandung di luar kamarnya
yang pasti seorang pengemis seperti So Pang.
Tidak lama kemudian terdengar
suara orang lainnya di luar kamar yang bersenandung juga dengan kata-kata yang
sama:
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Dan orang itu pun bersenandung
terus.
“Mengapa berdua?” Berpikir Kim
Lo tapi tetap saja ia tidak bergerak dari rebahnya di pembaringan.
Waktu itu Kim Lo tahu, bahwa
orang-orang yang berada di luar kamarnya, tentu tengah mencarinya, dan mereka
telah mengetahui kamar, yang di tempati Kim Lo. Dan mereka sengaja mengundang
Kim Lo untuk keluar.
Sebetulnya Kim Lo tidak
melayani mereka namun dilihat demikian tampaknya sulit untuk menghindar dari
mereka. Jelas, walaupun bagaimana ia harus berurusan dengan para pengemis itu.
Kim Lo menghela napas.
“Mereka terlalu mendesakku!”
Pikirannya di dalam hati dan Kim Lo menghela napas lagi.
Waktu itu tampak keadaan
hening kembali, cuma samar-samar terdengar suara bersenandung pengemis-pengemis
di luar kamarnya.
Kim Lo membiarkan beberapa
saat, sampai akhirnya terdengar suara orang membentak-bentak,
“Hei! Hei! Kalian cuma
membikin kotor saja dengan keadaan kalian yang begitu mesum!”
“Kami cuma beristirahat
sebentar disini....... kami tidak mengganggu kebersihan rumah penginapan ini.
Jangan kuatir!” Kata pengemis-pengemis itu.
Rupanya yang menegur mereka
adalah pelayan rumah penginapan.
“Tapi kalian harus cepat
pergi! Jika diketahui oleh Toako kami, tentu kalian akan diusir seperti anjing!
Tamu-tamu kami juga akan jijik dan rumah penginapan kami akan bangkrut
karenanya! Ayo menggelinding pergi !”
“Jangan galak-galak seperti
itu…….!” Terdengar kata-kata salah seorang pengemis.
“Tapi kalian harus pergi!”
“Tunggu....... jangan menyuruh
kami dengan cara yang kasar seperti itu!” Kata pengemis yang lainnya.
Kim Lo mendengarkan saja, sama
sekali tidak bergerak dari pembaringan. Memang biasanya pelayan rumah
penginapan akan marah dan tidak mengijinkan seorang pengemis berada di dalam
rumah penginapannya. Selain akan mendatangkan jijik para tamu, juga akan membuat
rumah penginapan itu akhirnya menjadi kotor dan meseum.
“Kalian mau angkat kaki atau
tidak?” Bentak pelayan di luar kamar itu.
“Kami cuma menumpang
beristirahat sejenak saja....... nanti juga kami akan pergi dengan sendirinya,
tanpa tuan besar memerintahkan sekasar itu…….!”
“Ayo pergi!”
“Kami, cuma sebentar!”
“Pergi....... atau akan
kupanggil alat negara buat mengusir kalian dengan kasar!” bentak pelayan.
“Plokkkk!” Terdengar suara
orang ditempiling, menyusul dengan itu terdengar jerit kesakitan si pelayan.
“Kurang ajar! Di tengah hari
seperti ini kau ingin main pukul dan bermaksud untuk merampok, heh?!” Teriak si
pelayan dengan caci makinya.
“Kau jangan bicara
sembarangan, tuan besar!” Terdengar suara si pengemis, menyusul dengan itu juga
terdengar lagi beberapa kali tempilingan.
Rupanya si pelayan telah
ditampar pulang pergi oleh si pengemis.
Keruan saja si pelayan rumah
penginapan itu menjerit kesakitan berulang kali. Kemudian terdengar ia mencaci
maki dari tempat yang semakin jauh, rupanya ia melarikan diri.
Kim Lo masih tetap berdiam
saja dipembaringannya. Ia tidak berseteru untuk keluar menengahi persoalan
tersebut. Dan ia tetap dengan pikirannya mengenang pada Tho-hoa-to ibunya,
Kong-kongnya dan segala isi pulau Tho-hoa-to tersebut.
Tidak lama kemudian terdengar
suara bersenandung dari dua orang pengemis di luar kamarnya. Senandung dengan
kata-kata yang lama dan itu ke itu juga.
“Hatinya mulia seperti
dewa.......! Putih seperti salju!
Tapi kekejaman yang sangat
telengas dan bengis seperti iblis……..”
Lama juga suara bersenandung
itu terdengar terus dibawakan oleh kedua orang pengemis di luar kamar, sampai
akhirnya terdengar suara bentakan-bentakan yang ramai. Rupanya pelayan yang
tadi ditampar oleh si pengemis telah datang lagi dengan membawa kawan-kawannya.
“Itu dia! Itu dia! Dia yang
telah memukulku! Mereka ingin merampok! Mereka ingin menimbulkan kerusuhan di
rumah penginapan ini!” Teriak si pelayan yang tadi dipukul si pengemis.
Kim Lo tersenyum mendengar
kata-kata si pelayan seperti itu. Kedatangan si pelayan sama saja seperti
anjing mencari penggebuk.
“Ayo kita lemparkan mereka
keluar!” Terdengar suara pelayan lainnya. “Ayo kita hajar saja biar mampus!”
Suara mereka ramai sekali.
Tidak lama kemudian terdengar
suara bentakan dari pelayan-pelayan itu
Tapi rupanya dua orang
pengemis di luar kamar Kim Lo sama sekali tidak mengacuhkan pelayan-pelayan
rumah penginapan itu. Mereka tidak melayani bentakan-bentakan, justeru tetap
saja dua orang pengemis itu bersenandung.
“Ayo menggelinding pergi atau
akan segera kupukul!” Terdengar salah seorang pelayan mengancam.
“Ya kami dapat saja
mempergunakan kekerasan melemparkan makhluk-makhluk mesum keluar dengan kasar!”
bentak pelayan yang lainnya.
“Ayo menggelinding!”
“Ayo pergi!”
Ramai sekali suara
pelayan-pelayan itu.
Mendadak, suara senandung dua
orang pengemis itu terhenti, menyusul itu terdengar suara, “plokk, plokk!”
berulang kali dan beruntun. Juga di susul dengan jerit kesakitan para pelayan
itu saling susul.
Rupanya para pelayan itu
seorang demi seorang telah ditempeleng pengemis tersebut.
“Kalian terlalu kasar! Tahukah
kalian siapa kami, heh?” bentak salah seorang pengemis itu, dingin sekali
suaranya.
Pelayan pelayan itu jadi ciut
nyalinya, karena tidak terdengar lagi suara bentakan-bentakan mereka.
“Kalian yang pergi! Nanti jika
urusan kami telah selesai tanpa kalian perintahkan tetap kami akan pergi
meninggalkan tempat ini! Kalian jangan kasar dan keterlaluan seperti itu.”
Setelah berkata begitu, si
pengemis meninggikan suaranya: “Ayo pergi!”
Kemudian menyusul dengan
bentakannya terdengar suara menggerutu dari para pelayan rumah penginapan. Tapi
suara mereka semakin menjauh, menunjukkan bahwa mereka ketakutan dan walaupun
hati tidak senang, telah pergi meninggalkan dua orang pengemis tersebut.
Sunyi lagi.
“Tuan maukah tuan menemui kami
dua manusia miskin melarat?” tiba-tiba terdengar suara si pengemis yang berkata
seperti itu, suaranya dingin tapi sabar.
Kim Lo tahu, kata-kata itu
ditujukan padanya. Tapi ia diam saja, tidak sepatah perkataan juga ia menjawab.
“Tuan, jangan memaksa kami
mengambil tindakan di luar batas kemampuan kesadaran kami, karena jika tuan
tetap tidak mau menemui kami dan tidak sudi menerima kedatangan kami, akan
pergunakan cara kami sendiri buat menemui tuan…...!” Terdengar suara pengemis
itu lagi.
Tapi Kim Lo tetap saja diam
rebah di pembaringan, sama sekali tidak bergerak.
“Baiklah!” Terdengar pengemis
itu lagi. “Jika memang kami manusia-manusia hina dan rendah tidak pantas
diterima oleh tuan, kami akan memberikan diri buat memaksa bertemu dengan
tuan!”
Menyusul dengan perkataannya
itu tiba-tiba terdengar suara nyaring, pintu diterjang dari luar, pintu kamar
menjeblak terbuka. Dan tampak melesat ke dalam kamar dua sosok bayangan.
Kim Lo tetap rebah di
pembaringan. Ia cuma melirik dengan sikap yang tenang.
Dua orang pengemis berusia
pertengahan. Mereka berdua merupakan pengemis yang baru kali ini dilihat Kim
Lo. So Pang tidak dilihat di antara mereka.
Waktu itu salah seorang yang
memelihara jenggot panjang telah berkata dengan diiringi senyuman sinis,
“Maafkan tuan atas kelancangan
kami, tapi kami perlu sekali bertemu dengan tuan, guna membicarakan urusan yang
kami anggap penting! Kami ingin menanyakan sesuatu.”
Berkata sampai disitu, si
pengemis berhenti sejenak. Pengemis yang tidak memelihara jenggot telah tertawa
dingin, kemudian katanya:
“Dan kami kira, kami berhak
untuk bertanya kepada tuan karena tiga orang anggota kami telah terbinasa
dengan cara yang sangat bengis dan kejam sekali.”
“Hemmm. Jadi kau mencurigai
diriku melakukan perbuatan itu membinasakan tiga orang perkumpulan kalian?”
Akhirnya Kim Lo berkata juga. Dingin suaranya.
“Maafkan, tidak berani kami
sembarangan menuduh orang, dan juga kami tidak berani kalau harus terlalu ceroboh
mencurigakan seseorang yang belum kami kenal. Sayang sekali justeru ada anggota
kami yang melihat tuan, yang berada di tempat peristiwa pembunuhan terjadi.
Karenanya kami membutuhkan keterangan dari tuan!”
Kim Lo mendengus lagi. Ia
bangun duduk di tepi pembaringan.
“Pertanyaan apa yang ingin
kalian tanyakan?” Tanya Kim Lo kemudian.
“Kami ingin mengetahui
siapakah tuan sebenarnya?” Tanya si pengemis yang berjenggot.
“Hemmm, ada hubungan apa
antara diriku dengan kalian, sehingga perlu kalian menanyakan namaku?” Tanya
Kim Lo.
Pengemis berjenggot itu
tersenyum pahit. Ia merangkapkan tangannya, membungkukkan, sedikit tubuhnya, ia
bilang:
“Aku si miskin adalah Yu An,
anggota Kay-pang. Dan ini suteku bernama Tiang Su. Kami berdua bertugas untuk
menyelidiki siapa pembunuh tiga orang anggota kami itu, yang telah dibinasakan
dengan kejam sekali.
“Berdasarkan atas keterangan
saudara seperguruan kami menyatakan bahwa tuan berada di tempat peristiwa
pembunuhan itu. Dan tuan selalu mengelak untuk memberikan keterangan yang bisa
menjernihkan keadaan karena sikap tuan yang selalu tidak mau memperlihatkan
diri pada kami siapa tuan sebenarnya. Maaf, tidak dapat kami melenyapkan
kecurigaan kami!” Kata pengemis itu.
“Hemmm, aku sudah menjelaskan
kepada kawan kalian, aku tidak tahu menahu soal pembunuhan tiga orang anggota
Kay-pang dan juga memang bukan aku yang melakukannya. Perkara itu tidak jelas
bahwa aku tidak tersangkut, lalu mengapa kalian terus menerus membuntuti aku?”
Pengemis berjenggot itu
menghela napas.
“Selama tuan dicurigai, maka
tuan tidak akan terlepas dari mata kami karena dari itu ada baiknya jika memang
tuan mau memperkenalkan diri. Siapakah tuan sebenarnya?
“Jangan harap tuan bisa
melewati daerah Sucoan Barat ini, jika memang tuan tetap tidak mau memberikan
keterangan yang kami butuhkan! Aku masih mempergunakan cara yang
sebaik-baiknya, tapi saudara-saudara kami mungkin sudah habis sabar!”
Mendengar kata-kata yang mirip
ancaman itu tampak Kim Lo tertawa dingin, mendengus beberapa kali.
“Jadi kalian mengancam?”
tanyanya.
“Bukan mengancam, kami cuma
ingin menjelaskan pada tuan, mungkin tuan tak mengerti peraturan Kay-pang
kami!” menjawab si pengemis.
“Tapi aku tidak tersangkut
urusan itu!” menjelaskan Kim Lo lagi.
“Nah, silahkan tuan
memperkenalkan diri tuan!” Kata si pengemis berjenggot.
“Hemmmm…...!”
“Tuan keberatan?”
“Ya!”
“Kalau demikian, tuan harus
menjawab pertanyaan kami, hanya tiga pertanyaan saja!” Kata pengemis berjenggot
itu lagi.
“Katakanlah!”
“Siapa sebenarnya nama tuan?
Dari perguruan mana? Dan apa maksud tuan berada di daerah ini?” Tanya si
pengemis berjenggot itu.
Kim Lo tidak menjawab.
“Nah, apakah tiga pertanyaan
itu saja tuan tidak bersedia menjawabnya?” Tanya si pengemis berjenggot waktu melihat
Kim Lo berdiam diri saja.
Sedangkan pengemis yang tidak
berjenggot tampaknya sudah tidak sabar. Matanya memandang Kim Lo tajam sekali.
“Untuk memberitahukan namaku,
sebetulnya tidak ada masalah dan kesulitan apapun juga. Cuma saja, cara kalian
menanyakannya seakan juga aku ini pernah melakukan sesuatu kesalahan pada pihak
kalian, seperti juga kalian ini Tie-kwan yang hendak menyidangkan diriku
sebagai terdakwa! Inilah yang membuat aku tidak bersedia mengadakan pembicaraan
dengan kalian!”
Pengemis berjenggot itu
menghela napas.
“Tuan, sebetulnya untuk diriku
pribadi mungkin bisa mengerti akan pendirian tuan. Tapi aku tengah bicara atas
nama perkumpulan kami, karenanya tidak dapat kami menerima kata-kata tuan
seperti itu, mau tidak mau tuan harus menjawab tiga pertanyaan kami itu!”
“Jika aku menolak?'
Mata si pengemis terbuka
lebar.
“Menolak?”
“Ya, seandainya aku menolak?”
Pengemis berjenggot tersenyum
pahit.
“Apakah, tuan sudah siap
menghadapi segala kesukaran?”
“Kesukaran apa?”
“Banyak sekali!”
“Jadi ini ancaman buatku?”
“Bukan ancaman, aku sekedar
memberitahukan, karena kenyataannya nanti begitu. Dan pemberitahukan ini,
mencegah agar kelak tuan jadi menyesal tanpa berguna lagi!”
Kim Lo tertawa dingin.
“Baiklah! Dengarlah oleh
kalian! Dengan jelas, aku menolak permintaan kalian!” Dan waktu berkata begitu,
Kim Lo bicara dengan nada suara yang keras.
Muka ke dua pengemis berobah
hebat sebentar pucat sebentar lagi memerah. Tampaknya mereka tersinggung dan
marah.
“Apakah tuan
bersungguh-sungguh? Apa sih beratnya memberitahukan nama tuan? Mengapa tuan
selalu melindungi muka tuan?” Tanya si pengemis kemudian masih menyabarkan
diri.
Si pengemis berjenggot ini
memang pandai untuk mengekang perasaan dan amarahnya. Ia pikir jika bisa, ia
masih ingin menghindarkan keributan.
Yang penting baginya, ia ingin
mengetahui siapakah sebenarnya orang dengan pakaian serba putih ini, yang
mukanya selalu ditutup. Justeru cara berpakaian Kim Lo seperti itu mendatangkan
kecurigaan yang semakin besar pula di kalangan Kay-pang.
Empat hari yang lalu justeru
Kay-pang telah kehilangan tiga orang anggotanya, yang terbunuh binasa dengan
keadaan yang mengenaskan sekali. Tubuh tiga orang anggota Kay-pang mati dengan
keadaan yang rusak, muka yang dicacah dan tubuh yang biru menghitam seperti
pukulan telapak tangan beracun.
Karena itu, Kay-pang melakukan
penyelidikan dengan ketat, mereka mencari jejak si pembunuh.
Siapa tahu, justeru ada
beberapa orang Kay-pang yang melihat Kim Lo berada di tempat peristiwa
pembunuhan itu, dan cara berpakaiannya itu memang sangat mudah dikenali.
So Pang yang pertama kali
menerima tugas buat menyelidiki siapa sebenarnya orang berpakaian serba putih
dengan muka yang sebagian besar tertutup pakaian putih juga.
Tapi rupanya So Pang tidak
berdaya apa-apa untuk menghadapi Kim Lo. Ia pulang memberikan laporan pada
tetua-tetuanya. Dan akhirnya dua pengemis tua itu yang diperintah untuk
melakukan pengajaran pada Kim Lo.
Yu An dan Tiang Su merupakan
dua orang pengemis yang menggeblok empat karung dengan demikian kedatangannya
setingkat lebih tinggi dari So Pang. Mereka yakin, bahwa dengan berdua mereka
bisa menghadapi Kim Lo.
Cuma saja, Yu An seorang yang
hati-hati dan cerdik, ia tidak mau turun tangan ceroboh. Ia sudah mendengar
dari So Pang bahwa kepandaian orang buruan mereka tinggi sekali karenanya ia
berlaku sangat cepat dalam setiap tindakannya.
Sedangkan diwaktu itu Kim Lo
sendiri sebetulnya menyadari, ia tak bisa menghindarkan diri lagi dari
pertempuran dengan ke dua orang pengemis ini.
Cuma saja, selama ini memang ia
merasa terganggu dengan orang-orang dari partai pengemis, yang selalu
membuntuti dan mencurigai ia sebagai pembunuh.
Karena dari itu, Kim Lo
sengaja mengambil sikap keras dan ia memang ingin sekalian untuk coba-coba
ilmunya, yang dipergunakan menghadapi pengemis-pengemis itu.
“Apakah tuan sudah tetap
dengan keputusan tuan?” tanyanya.
Yu An suaranya masih tetap
sabar, tapi dari sikapnya terlihat jelas, ia sudah tidak lagi dapat membendung
amarahnya, karena wajahnya sudah merah padam.
Di kala itu terlihat Kim Lo
mengangguk, sikapnya dingin sekali.
“Ya, karena kalian terlalu
memaksa dengan tuduhan yang tidak-tidak!” Menyahuti Kim Lo “Justeru sekarang
aku ingin melihat, sesungguhnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap
diriku?”
Setelah berkata begitu, tampak
Kim Lo mengibaskan tangannya, ia duduk di tepi pembaringan dengan tubuh yang
agak dimiringkan, sikap seperti itu memperlihatkan sama sekali tidak memandang
sebelah mata terhadap ke dua pengemis itu.
Yu An dan Tiang Su jadi meluap
darah mereka, malah Tiang Su yang sudah tidak bisa menguasai diri lagi,
melompat maju.
“Kau terlalu congkak!”
serunya. Tangan kanannya diulur, akan menghantam tangan Kim Lo dengan kelima
jari tangannya, ke arah ubun-ubun kepalanya.
Tapi Kim Lo tenang saja. Ia
memiringkan kepalanya tanpa berobah duduknya.
Serangan itu lewat.
Yu An juga tidak tinggal diam.
“Maaf, tuan terlalu memaksa
kami!” kata Yu An. “Kami terpaksa mengambil jalan kami!”
Sambil berkata begitu iapun
mulai menyerang. Diam-diam Kim Lo berpikir.
“Hemmm, kepandaian mereka jauh
lebih tinggi dari kepandaian pengemis yang mengaku bernama So Pang. Rupanya
mereka akan bekerja sama berusaha merubuhkanku! Hemm! Hemm! Jangan mimpi!”
Setelah berpikir seperti itu,
Kim Lo tahu-tahu menyentil dengan jari telunjuknya, seperti yang pernah
dilakukannya pada So Pang.
Dua orang pengemis itu kaget,
mereka merasakan tangan mereka sakit sekali, seperti diterjang oleh suatu
kekuatan tenaga yang dahsyat. Namun berbeda seperti apa yang dialami So Pang,
mereka tidak sampai terjengkang.
Setelah rasa sakit pada tangan
mereka berkurang, dua orang pengemis ini menerjang lagi.
Yu An sekarang menyerang jauh
lebih hati-hati, ia telah membuktikan sendiri kepandaian Kim Lo memang hebat.
Sebelum pergi ke mari, Yu An
dan Tiang Su sudah mendengar cerita So Pang, bahwa kepandaian Kim Lo sangat
hebat sekali. Orang yang berpakaian serba putih itu memiliki kepandaian
menakjubkan.
Namun sebagai orang yang
memiliki kepandaian di atas kepandaian So Pang, mereka meremehkan keterangan
itu. Mereka beranggapan So Pang saja kepandaiannya kebetulan lemah. Karena itu
mereka menyerang dengan mempergunakan lima bagian tenaga mereka.
Siapa tahu, dalam satu
gebrakan, hampir saja mereka bercelaka kalau memang lweekang mereka tidak kuat.
Dan ini merupakan pelajaran pahit buat mereka, yang membuat dua orang pengemis
ini tidak berani berayal lagi mengerahkan seluruh kepandaian mereka buat
menghadapi Kim Lo.
Sedangkan Kim Lo tetap duduk
tenang di sisi pembaringan, ia mendengus.
“Hemm, kalian yang telah
memaksa aku dengan berbagai cara. Tapi kalian juga yang mencari-cari alasan
seakan juga kalian telah yakin bahwa akulah yang membinasakan tiga orang
anggota Kay-pang kalian!
“Baiklah, sekarang aku akan
membuktikan, siapa diriku sebenarnya. Dan jika aku bermaksud buruk pada
Kay-pang, alangkah mudahnya seperti membalik telapak tangan!”
Sambil berkata begitu tampak
tubuh Kim Lo melesat dari duduknya. Ia juga berseru nyaring, tubuhnya melesat
ke sana ke mari lincah sekali.
Kaget Yu An dan Tiang Su
melihat kesempurnaan gin-kang orang berpakaian baju putih, muka yang selalu
tertutup itu. Mereka semakin di hantui oleh dugaan-dugaan mereka. Sebetulnya
siapakah orang berpakaian serba putih yang sangat liehay dan tangguh ini?
Namun sebagai orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi di Kay-pang, jelas mereka tidak mau berlaku lemah.
Mereka juga tidak mau memperlihatkan kelemahan mereka pada Kim Lo. Mereka
segera mengempos semangat mereka untuk menyerang dengan semakin hebat.
Kim Lo dua kali mendesak dua
orang lawannya. Dan pada jurus ketiga, tahu-tahu sepasang tangannya telah
menghantam lurus ke depan.
“Bukk! Bukk!” Dua kali
terdengar suara yang bagitu memekakkan telinga, juga di susul dengan jerit
kaget Yu An dan Tiang Su.
Merekapun terpental
sebelakang, tubuh mereka terhuyung, dan kemudian ambruk setelah terhuyung kurang
lebih enam tombak, jatuh terguling di luar kamar.
Saat-saat seperti itu
sebetulnya kalau saja Kim Lo bermaksud buruk pada mereka berdua, merupakan
kesempatan yang sangat bagus sekali. Tapi kenyataannya Kim Lo cuma berdiri di
ambang pintu kamarnya dengan bertolak pinggang dan mendengus beberapa kali saja.
Yu An berdua dengan Tiang Su
segera melompat berdiri. Mereka saling pandang beberapa saat lamanya. Mereka
tidak menyangka sedikitpun juga, bahwa mereka akan dapat dirubuhkan begitu
mudah oleh orang yang berpakaian serba putih tersebut.
Dan tampaknya, orang yang
memakai baju serba putih itu sangat mudah dan gampang sekali menggerakkan
tangannya untuk merubuh Yu An dan Tiang Su berdua.
Karena dari itu, dua orang
pengemis inipun tidak mengerti segera menerjang lagi kepada orang yang
berpakaian serba putih tersebut!
Tapi Yu An tahu bahwa ia tidak
memperlihatkan kelemahannya pada orang yang berpakaian serba putih itu. Di
hadapan lawan tidak bisa membiarkan dirinya diremehkan.
Karenanya, setelah memandang
sejenak kepada lawannya. Segera ia menjejakan kakinya, tubuhnya pesat sekali
melompat menerjang kepada lawannya.
Ia mempergunakan tenaga
sepenuhnya dan juga jurus-turus ilmu silat andalannya. Maka tidak mengheran
kalau waktu itu dari telapak tangannya telah meluncur angin yang dahsyat
sekali, yang menerjang kuat kepada orang berpakaian putih tersebut.
Kim Lo tertawa dingin.
Kemudian ia bilang:
“Kalian tetap berkepala batu
dan tidak dapat diberi pengertian, bahwa aku tidak tersangkut dalam urusan yang
kalian tuduhkan! Hemm, baiklah! Karena kalian mendesak terus, aku akan berusaha
melayani sebaik mungkin!”
Sambil berkata begitu, tubuh
Kim Lo bergerak gesit sekali, tahu-tahu ia seperti lenyap begitu saja dari
hadapan Yu An. Dan malah Tiang Su yang tengah bersiap-siap hendak menyerang
juga, telah kaget, sebab tahu-tahu Kim Lo sudah berada disampingnya. Malah,
belum lagi Tiang Su sempat menyadari apa yang terjadi, pundaknya telah kena
ditepuk oleh Kim Lo.
Tepukan tersebut memang bukan
tepukan biasa, karena tepukan ini mengandung kekuatan tenaga menindih dan seakan
juga ingin meremukan tulang pundak Tiang Su. Mati-matian Tiang Su berusaha
memberikan perlawanan dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Keringat dingin mengucur deras sekali.
Dan diwaktu itu ia masih
berusaha menghantam dada Kim Lo dengan kepalan tangan kirinya dan tangan
kanannya bermaksud ingin mencengkram perut Kim Lo. Namun, maksudnya itu tidak
kesampaian, karena Kim Lo dapat menghindarkan serangan-serangan Tiang Su tanpa
mengurangi tenaga tindihannya pada pundak Tiang Su.
Karena menyadari bahwa dirinya
berada dalam keadaan terancam. Tiang Su tidak membuang waktu lagi, tangannya
tahu-tahu telah merabah baju dalamnya.
Ia mencabut keluar senjata
tajamnya. Sebatang pedang panjang. Kemudian ia menikamnya dengan kuat. Tikaman
dari jarak dekat. Dan iapun menikam dengan mempergunakan jurus istimewa,
andalannya.
Kali ini tidak bisa Kim Lo
cuma mengelakkan diri seperti tadi tanpa melepaskan tekanan tindihan tenaga
pada pundak Tiang Su. Tubuhnya melesat ke tengah udara, sebab ia menyadari
kalau saja ia tidak berusaha mengelakan diri dari tikaman itu, niscaya dirinya
akan menjadi sasaran yang empuk dari pedang lawan, mengingat jarak mereka
terpisah tidak jauh.
Tapi Kim Lo pun tidak mengelak
begitu saja, tahu-tahu ia melompat ke atas tengah udara sambil mempergunakan
tangannya menghentak kuat.
Keruan saja, tubuh Tiang Su
terhuyung ke belakang dan hampir ia terjengkang jika saja ia tidak keburu untuk
mengerahkan gin-kangnya dan tenaga dalamnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya
ia mengatur kedudukan kedua kakinya, tenaga dalamnya untuk memperkokoh
kuda-kuda kedua kakinya.
Tubuh Kim Lo telah meluncur
turun lagi hingga di luar kamar. Dan ia memandang dengan sorot mata tajam!
Karena sebagian besar wajahnya tertutup kain putih, maka Tiang Su maupun Yu An
tidak bisa melihat perobahan wajah Kim Lo.
Sedangkan semua itu terjadi
hanya dalam beberapa detik dan sangat cepat sekali. Yu An sendiri disaat itu
sebetulnya tengah bersiap-siap hendak menolongi Tiang Su, tapi ia telah melihat
betapa Tiang Su telah didorong hampir terpelanting, sedangkan saat itu tampak
bahwa Kim Lo telah memisahkan diri.
Dikala itu memang jelas sekali
kepandaian Yu An berdua dengan Tiang Su, berada di bawah kepandaian Kim Lo.
Tapi siapakah sebenarnya orang berpakaian baju putih yang tangguh ini dan
pertanyaan seperti itu selalu menghantui hati Tiang Su dan Yu An.
Mereka benar-benar tidak
mengerti melihat kepandaian orang tersebut yang memang sangat tingggi. Mereka
juga menduganya, jelas bahwa orang yang berpakaian putih itu tentunya seorang
tokoh sakti yang tidak mau memperlihatkan diri. Namun justeru pihak Kay-pang
mencurigainya sebagai seorang yang telah membinasakan beberapa orang
anggotanya.
Dengan demikian, walaupun
harus mempertaruhkan jiwanya, Yu An berdua dengan Tiang Su tentu saja tidak
akan membiarkan orang berpakaian serba putih tersebut berlalu dari hadapan
mereka. Dan Yu An telah bertekad ia akan mengajak Tiang Su untuk sama-sama
mempertaruhkan jiwa mereka bertempur sampai mati.
Dengan lirikan matanya Yu An
memberikan isyarat kepada Tiang Su, sedangkan tangan Yu An pun sudah mencabut
keluar pedangnya. Ia yang mulai melompat mendahului Tiang Su menerjang pada Kim
Lo gerakannya memang lebih gesit dari Tiang Su, pedangnya diputarnya untuk
melindungi tubuhnya.
Dan keadaan seperti itu, Kim
Lo sebetulnya tidak mau melayani dua pengemis ini lebih jauh. Akan tetapi,
kenyataan yang ada memperlihatkan betapapun juga, pengemis-pengemis ini memang
tidak akan melepaskan dirinya. Mereka tetap akan mengganggunya.
Dan ini disadarinya. Mau atau
tidak ia harus memberikan hajaran dulu yang cukup keras kepada dua pengemis
ini. Atau jika memang mungkin ia harus menghalau dua orang pengemis ini.
Yang membuat Kim Lo kuatir
justeru kalau saja nanti ia kesalahan tangan dan membunuh dua orang pengemis
ini. Bukankah urusan akan jadi runyam?
Sedang Kim Lo berpikir ragu-ragu
seperti itu justeru pedang Yu An sudah menyambar datang. Gerakan pedang Yu An
memang sangat cepat dan hebat sekali, iapun telah menikam beruntun dengan tiga
jurus.
Jurus pertama yang disebut
“Burung Hong Manggut Tiga Kali” dan pedangnya itu bergetar, sedangkan jurus
kedua “Naga Meluncur Ke Tengah Awan” sama cepatnya seperti jurus pertama, malah
jauh lebih berbahaya. Disusul lagi dengan jurus ketiga “Burung Belibis Terjun
ke Air”, maka pedangnya menukik ke bawah.
Gerakan yang dilakukan oleh Yu
An sungguhnya merupakan ilmu tongkat dari Kay-pang yang bernama Tung-hoat
Kim-lun. Dan iapun mempergunakannya dengan kekuatan yang belum terlatih baik
untuk disesuaikan sebatang pedang.
Jika saja ia mempergunakan
tongkat sebagai senjatanya, tiga jurus serangannya itu akan jauh lebih baik dan
hidup. Justeru ia mempergunakan pedang sebagai senjatanya, dengan sendirinya
ilmu tongkat Kay-pang tersebut kurang faedahnya.
Tapi, sebenarnya itupun tidak
juga menjadi lemah dan berkurang. Jika saja yang menghadapinya orang-orang
biasa yang berkepandaian tidak seberapa tinggi niscaya dalam jurus pertama itu
sudah akan dapat dirubuhkan olehnya.
Dan justeru lawannya Kim Lo
yang memiliki kepandaian berada di atasnya, dengan demikian membuat serangan Yu
An seakan juga tidak berarti apa-apa lagi. Mudah saja Kim Lo mengelakan tikaman
itu, dan juga dengan gampang ia balas mendesak Yu An.
Di kala itu terlihat Tiang Su
pun tidak tinggal diam. Diringi bentakannya, ia pun segera menerjang dengan
pedangnya.
Ia tahu kepandaiannya berada
di bawah kepandaian Yu An namun ia pun tidak mau memperlihatkan kelemahannya.
Ia ingin memperlihatkan kepada Yu An, bahwa ia sebagai anggota Kay-pang tidak
segan-segan mempertaruhkan jiwanya dan keselamatannya untuk kepentingan
Kay-pang.
Yu An memang selalu merasa
dirinya berada di atas Tiang Su. Dan Tiang Su merasakan hal itu. Seringkali
jika bicara soal keberanian memang Yu An selalu melebihi Tiang Su.
Namun kali ini justeru Tiang
Su berlaku nekad. Ia telah menerjang bertubi-tubi dengan pedangnya, seperti
orang kalap.
Pedangnya itu
berkelebat-kelebat tidak hentinya. Dan dengan begitu pula cahaya pedangnya
seakan juga bergulung-gulung mengepung diri Kim Lo.
Pedang Yu An juga hebat sekali
mengurung Kim Lo.
Namun serangan dua orang
pengemis itu mana dipandang sebelah mata oleh Kim Lo. Ia melayaninya dengan
berulangkali memperdengarkan suara dengusan.
Sampai akhirnya iapun telah
mengibaskan tangannya. Tampak pada tangannya sinar kekuning-kuningan yang
berkilau-kilauan, dan juga sinar itu segera bergulung-gulung.
Yu An dan Tiang Su terkejut.
Mereka segera bersiap-siap menghadapi sesuatu. Mereka menyangka Kim Lo mencabut
senjata tajamnya. Tapi seketika mereka agak tertegun waktu mendengar suara
seruling mengalun.
Kim Lo sambil mengelakkan diri
dari tikaman dua orang lawannya. Ternyata waktu ia mengibaskan tangannya
sehingga terlihat sinar kuning menyilaukan mata, rupanya itulah seruling
pusakanya yang telah dicabutnya.
Dengan menempelkan ujung
seruling itu dari sela kain putih penutup mukanya, hingga lobang seruling itu
bisa menempel pada bibirnya. Tanpa perlu membuka kain putih pelindung mukanya,
ia sudah dapat meniup serulingnya dengan irama yang sangat merdu sekali.
Tiang Su dan Yu An jadi sengit
bukan main. Mereka menduga bahwa mereka diremehkan benar oleh Kim Lo, karena ia
sama sekali main kelit sambil tidak hentinya meniup serulingnya.
Benar-benar tidak dipandang
sebelah mata sekali pun. Dan ini membuat darah Tiang Su dan Yu An jadi meluap.
Tapi, dikala itu, Kim Lo
sambil berkelit ke sana ke mari, juga sebetulnya telah memutuskan, bahwa ia
harus merubuhkan dua orang pengemis ini dengan cara yang lunak. Tidak dapat ia
mempergunakan kekerasan yang hanya akan mempertajam dan memperuncing dendam dan
urusan antara Kay-pang dengan dirinya.
Kalau sampai dua orang
pengemis itu dirubuhkan dan terluka ataupun terbinasa, tentu pihak Kay-pang
akan memusuhinya dengan lebih hebat lagi. Inilah yang tidak dikehendaki oleh
Kim Lo. Ia mengelakkan setiap serangan lawan-lawannya dengan lincah, sambil
terus meniup serulingnya.
Memang dilihat sepintas lalu,
terjadi sesuatu yang agak ganjil dan lucu dalam pertempuran yang tengah
berlangsung itu. Karena yang seorang bertempur sambil meniup seruling,
sedangkan dua orang lawannya gencar sakali menyerang mempergunakan pedang
mereka masing-masing.
Tapi jika diperhatikan,
justeru tiupan seruling Kim Lo bukan tiupan seruling asal tiup berirama belaka.
Karena, ia meniup dengan mempergunakan sin-kangnya.
Yu An dan Tiang Su berdua
memang tak merasakan pada tingkat pertama. Tapi begitu tiba tingkat kedua,
waktu tenaga sin-kang yang di pergunakan Kim Lo semakin kuat, sehingga suara
seruling itu semakin halus namun semakin kuat mempengaruhi hati dan perasaan
dua orang pengemis itu, barulah Yu An dan Tiang Su kaget tidak terkira.
Dalam keadaan seperti itu, Kim
Lo telah memperlihatkan betapapun tidak kecewa ia menjadi 'cucu' Oey Yok Su,
yang telah mewarisi seluruh kepandaian tokoh sakti yang namanya menggetarkan
rimba persilatan itu.
Tiupan seruling itu membuat Yu
An dan Tiang Su akhirnya kelabakan, karena mereka merasakan betapa jantung
mereka berdebar aneh. Suara seruling itu halus sekali, namun hati mereka
tergoncang, perlahan- lahan, namun pasti.
Akhirnya mereka terpengaruh
suara seruling tersebut. Karena irama seruling itu seperti juga membuat kedua
pengemis itu ke dunia lainnya.
Lagu yang dibawakan oleh Kim
Lo adalah lagu percintaan, lembut sekali, membuat Yu An dan Tiang Su sebagai
laki-laki normal telah terpengaruh dan hati mereka tergoncang. Seakan juga
diwaktu itu mereka tengah dicumbu oleh wanita cantik.
Hati Yu An dan Tiang Su
terkesiap, mereka segera mengempos semangat mereka untuk mengerahkan lwekang
dan melawan pengaruh irama seruling tersebut.
Usaha mereka gagal, karena
kekuatan irama seruling itu semakin kuat juga. Kim Lo meniup serulingnya
semakin kuat pula dengan sin-kang pada tingkat yang jauh lebih tinggi.
Perlahan-lahan permainan
pedang Yu An dan Tiang Su jadi kacau balau, mereka seakan juga telah kehilangan
pegangan, seperti sudah tidak bisa mengendalikan diri mereka, membuat setiap
serangan mereka ngawur dan sasaran yang mereka incarpun sudah tidak tepat
seperti yang mereka kehendaki.
Mati-matian mereka mengerahkan
lweekang untuk melawan pengaruh seruling itu. Namun tetap saja mereka gagal.
Yu An yang memiliki kepandaian
lebih tinggi dari Tiang Su, waktu ini menyadari bahwa mereka tidak mungkin bisa
menghadapi orang berpakaian serba putih ini.
Juga dalam waktu dekat mereka
akhirnya pasti rubuh dengan sendirinya, tanpa perlu diserang oleh orang
berpakaian putih tersebut. Karena mereka akan kehabisan tenaga dengan
sendirinya.
Dalam keadaan seperti itu, Yu
An memutar otaknya mencari jalan sebaik-baiknya untuk menghindarkan diri.
Sedangkan Tiang Su rupanya
telah bobol pertahanan dirinya, karena ia yang pertama-tama, akhirnya
membanting pedangnya, tertawa terbahak- bahak, keras sekali.
Yu An terkesiap.
“Sute.......!” Panggilnya
dengan suara berkuatir.
Tapi begitu ia memanggil Tiang
Su, ia jadi tambah kaget. Justeru disebabkan ia terkejut dan memanggil saudara
seperguruannya, membuat pertahanan dirinya jadi kendor dan perhatiannya
terpecah, dengan begitu bobol pula pertahanannya.
Mati-matian Yu An bermaksud
menahan tangannya yang hendak membuang pedangnya. Namun tidak berhasil,
akhirnya ia membuang pedangnya. Ia pun tertawa bergelak-gelak.
Waktu itu Kim Lo terus juga
meniup serulingnya. Dan ia tidak menghentikan tiupan serulingnya, karena ia
mengetahui, inilah kesempatan buatnya menundukkan dua orang pengemis ini. Ia
terus juga meniup serulingnya.
Waktu itu Yu An dan Tiang Su
tertawa bergelak nyaring sekali. Mereka tampaknya benar-benar sudah berada di
luar jangkauan kemampuan buat mengendalikan diri. Mereka sudah tidak bisa
mengendalikan diri mereka yang tertawa bergelak-gelak tidak hentinya.
Dalam keadaan seperti itu,
sebetulnya cukup berbahaya buat Yu An dan Tiang Su. Jika saja mereka tertawa
terus menerus seperti itu, akhirnya mereka bisa mati kecapaian sebab kehabisan
napas.
Justeru karena itu telah
membuat Kim Lo membatasi tiupan serulingnya. Ia cuma bermaksud hendak membuat
dua orang pengemis itu menjadi lemas saja.
Pelayan-pelayan rumah
penginapan dan tamu-tamu sudah berdatangan. Mereka menyaksikan segalanya dari
jarak terpisah cukup jauh merasa takjub dan heran sekali.
Mengapa orang berpakaian serba
putih yang mukanya tertutup kain putih itu, meniup serulingnya dan dua orang
pengemis tersebut tertawa bergelak-gelak seperti itu? Karenanya, telah membuat
mereka memandang dengan sepasang mata terpentang lebar-lebar penuh keheranan.
Kim Lo melihat Yu An tertawa
terus menerus bergulingan di lantai. Begitu juga halnya dengan Tang Su. Mereka
seperti orang yang terganggu ingatannya, karena telah bergulingan di lantai
sambil tertawa bergelak-gelak terus menerus dengan memegangi perut mereka.
Kim Lo merasa telah cukup
dengan tindakannya menghukum dua orang pengemis tersebut, karena ia memang
tidak bermaksud menanam permusuhan yang lebih dalam dengan pihak Kay-pang. Dan
kesalah pahaman beberapa waktu yang lalu ingin diselesaikannya. Karena dari itu
telah mengambil keputusan untuk menyudahi tiupan serulingnya.
Tapi belum ia sempat
menyelesaikan lagunya, diwaktu itu terdengar suara jeritan. Tiga sosok tubuh
orang terpelanting.
Itulah tamu-tamu dan pelayan
yang tengah berdiri menyaksikan peristiwa tersebut. Karena tahu-tahu dari
belakang mereka ada seseorang yang menghantam kuat sekali membuka jalan,
membuat mereka terpelanting seperti itu.
Orang yang membuat mereka
terpental tidak lain seorang pengemis tua, yang mukanya tampak cemberut karena
marah. Dan tubuhnya kurus kering. Pada pundaknya tergemblok karung-karung yang
menunjukkan bahwa ia pun seorang pengemis yang memiliki tingkat tinggi, sebab
sedikitnya karung yang tergemblok di punggungnya itu ada enam atau tujuh
karung.
Saat itu Kim Lo pun telah
melirik melihat gerakan si pengemis, seketika ia menyadari bahwa pengemis itu
memiliki kepandaian yang tinggi, dan jauh berada di atas kepandaian Tiang Su
maupun Yu An. Dia terkesiap juga karena suara serulingnya sama sekali tidak
berpengaruh pada pengemis tua itu.
Pengemis tua itu, yang mungkin
sudah berusia enampuluh tahun lebih, melompat ke dekat Kim Lo. Tangan kanannya
dikibaskan.
“Janganlah kau menyelakai
orang kami lagi!” bentak pengemis itu dengan suara yang dingin. “Hemmm, kau
memang sengaja selalu mempermainkan kami!”
Dia bukan mengibas biasa saja,
karena dari kibasannya meluncur serangkum angin kuat bukan main. Malah telah
membuat Kim Lo merasa tubuhaya seperti diterjang oleh suatu kekuatan yang sulit
untuk dibendung begitu saja.
Karena berada dalam tekanan
tenaga kibasan tangan pengemis tua itu, membuat Kim Lo harus menghentikan
tiupan serulingnya. Ia juga menangkis dengan mengibaskan serulingnya.
Tenaga kibasan tangan pengemis
itu bisa dibuyarkan. Namun pengemis itu bertindak bukan hanya sampai disitu
saja karena menyusuli dengan kibasan tangannya. Ia pun telah menyerang lagi
dengan totokan tangannya yang lain.
Waktu itu terlihat Kim Lo
harus mengelakan beruntun tiga kali serangan si pengemis.
Karena tiupan seruling sudah
terhentikan dan irama seruling sudah tidak ada lagi Yu An dan Tiang Su terlepas
dari pengaruh suara seruling itu.
Tubuh mereka lemas. Mereka
duduk di lantai dengan lesu tidak bersemangat. Muka mereka pucat.
Yu An dan Tiang Su menyadari,
jika terlambat sedikit saja mereka ditolong pengemis tua itu, niscaya mereka
akan mati lemas dengan sendirinya karena tertawa tidak hentinya.
Sedangkan waktu itu Kim Lo
diserang tidak hentinya oleh pengemis tua itu. Kim Lo juga tidak tinggal diam,
sebab ia sudah mulai membalas menyerang.
Seruling yang ada di tangannya
diputarnya dengan cepat berkesiuran ke arah jalan darah di tubuh pengemis tua
itu. Itulah totokan yang sangat hebat sekali mengancam jalan darah yang
menentukan di tubuh si pengemis tua.
Pengemis tua itu terkesiap
melihat cara menotok dan menyerang Kim Lo, matanya bersinar.
Setelah melayani tiga jurus
lagi, pengemis tua itu menjejakkan kakinya. Tubuhnya melompat keluar dari
kalangan pertempuran dengan segera.
“Tunggu dulu!” Bentaknya
dengan suara yang nyaring, katanya, “Masih ada hubungan apa engkau dengan tocu
pulau Tho-hoa-to?”
Kim Lo mengawasi pengemis tua
itu, kemudian ia menyahuti juga: “Kita tidak perlu membicarakan segala
persoalan yang tidak penting! Kini katakan, mengapa Kay-pang selalu memusuhiku
dan mencari gara-gara?!”
“Hemmm, engkau dicurigai oleh
kami sebagai pembunuh tiga orang Kay-pang. Dan karena itu selama engkau belum
memberikan bukti-bukti nyata serta jelas bahwa engkau benar-benar tidak
tersangkut dalam urusan pembunuhan itu, selama itu pula kami akan tetap saja
akan mengejarmu.
“Walaupun engkau melarikan
diri ke ujung dunia sekali pun! Kini akuilah, apakah memang sesungguhnya engkau
yang mmbinasakan tiga orang anggota kami?”
Kim Lo tertawa dingin.
“Hemm, jika aku bermaksud
buruk pada Kay-pang, apakah tadi aku tidak bisa untuk membinasakan dua orang
lagi? Dengan menotok beberapa jalan darah mereka, akan musnahlah seluruh
kepandaian mereka.
“Atau jika memang aku
menginginkan jiwa mereka, sama mudahnya seperti aku membuang ludah. Lalu kau
setelah melihat betapapun juga, aku sama sekali tidak memiliki maksud buruk
pada Kay-pang apakah akan tetap menuduhku dengan tuduhan yang tidak-tidak!”
Pengemis tua itu mengawasi
tajam sekali pada Kim Lo, tampaknya ia ragu-ragu.
“Baiklah!” kata pengemis itu
kemudian. “Kau harus menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya!”
“Hemmm, sama seperti tadi
kawan-kawanmu, yang hanya meminta jawahan yang tidak-tidak!” kata Kim Lo
mengejek.
“Tunggu dulu, kau dengarlah!”
kata pengemis tua itu, “Aku cuma ingin mengetahui siapakah kau sebenarnya?!”
“Aku adalah seorang kelana
yang tak memiliki kepentingan apapun dengan pihak Kay-pang!”
“Kalau demikian kau menolak
buat menjawab pertanyaanku?” tanya pengemis tua itu.
“Apa yang hendak kau
tanyakan?”
“Sebenarnya....... siapa kau
sebenarnya?!”
“Aku? Maaf, tak dapat
kuberitahukan!”
“Kau dari aliran mana?”
“Juga sulit buat kujelaskan,
karena aku tidak pernah merasakan pernah berhutang budi pada Kay-pang yang
mengharuskan aku sekarang menjawab setiap pertanyaan yang diajukan padaku!
Terlebih lagi pertanyaan itu seakan-akan memperlihat Kay-pang sebagai
perkumpulan manusia-manusia usil yang hanya ingin mengetahui hal persoalan
orang lain belaka!”
“Jadi kau tetap memang ingin
mencari persoalan dengan kami?” Tanya pengemis tua itu.
“Bukankah jika kau
memperkenalkan dirimu, urusan dapat diselesaikan dengan baik! Sekarang saja kau
tidak berani memperkenalkan dirimu, juga mukamu tidak berani diperlihatkan,
selalu kau tutup seperti itu, seakan juga seorang maling yang kesiangan, yang
kuatir dikenali orang!
“Hemmm, jika memang engkau
tidak memiliki kesalahan, mengapa engkau harus jeri dan takut memperkenalkan
dirimu? Ayo, sekarang alasan apa yang ingin kau katakan?”
Kim Lo tertawa dingin.
“Kukira, manusia-manusia
seperti kalian belum lagi pantas untuk mendengar dan mengetahui siapa adanya diriku!
Karena dari itu, aku tidak bersedia memberitahukan siapa diriku!”
Muka pengemis tua itu berobah
merah padam.
“Kau…….!” Katanya dengan suara
yang bengis.
Namun akhirnya ia bisa
mengendalikan dirinya lagi, ia telah berkata pula dengan suara yang lebih
sabar. “Sekarang begini saja, apa maksudmu berkeliaran di daerah ini?”
“Ini bukan daerah milik kakek
moyang Kay-pang, mengapa aku tidak boleh berlalu lalang di daerah ini?!” tanya
Kim Lo. “Atau memang daerah ini milikmu?!”
Ditanya begitu, darah pengemis
tua tersebut jadi meluap. Dan akhirnya ia bilang: “Bagus! Jika demikian memang
tampak jelas kau hendak menantang Kay-pang, sengaja mencari-cari urusan dengan
pihak kami!”
Setelah begitu, tanpa bicara
lagi, ia membarengi serangannya. Kali ini si pengemis tua menyerang dengan
pukulan yang gencar sekali.
Hati Kim Lo terkesiap juga.
“Hemm, kepandaiannya memang
tinggi!” Pikirnya dalam hati.
Kim Lo berpikir seperti karena
ia melihat bahwa kepandaian pengemis tua yang kali ini jauh berada di atas
kepandaian Yu An dan Tiang Su.
Ia mendampinginya dengan baik
sekali. Tubuhnya gesit. Seruling tangannya telah digerakkannya berulang kali.
Pengemis tua itu adalah Yang
Tiam, seorang pengemis yang berkepandaian tinggi. Iapun merupakan tokoh
Kay-pang yang memanggul tujuh karung.
Sebagai pengemis berkarung
tujuh tentu saja ia memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Kay-pang. Dengan
sendirinya membuatnya menjadi orang yang sangat disegani oleh orang-orang rimba
persilatan.
Belum pernah ada orang yang
berani bersikap kurang ajar dan menantang padanya. Baru kali inilah orang yang
berpakaian serba putih itu berani bicara menantang seperti itu dihadapannya, dan
seakan juga orang berpakaian serba putih ini tidak memandang sebelah mata
padanya.
Tidak terlalu mengherankan
kalau Yang Tiam pun murka sekali. Ia penasaran. Dan telah menyerang
bertubi-tubi, dengan maksud tidak mau memberikan kesempatan bernapas kepada Kim
Lo.
Tapi Kim Lo yang telah
menerima didikan langsung dari Oey Yok Su, mana bisa dirubuhkan pengemis itu.
Tapi Kim Lo merasa kagum
melihat kepandaian si pengemis tua yang tinggi dan juga sangat berbahaya itu,
namun walaupun bagaimana ia tetap saja tidak gentar. Malah, dengan mudah selalu
ia memunahkan setiap serangan yang dilakukan pengemis itu.
Yang-tiam juga beberapa kali
terdesak oleh serangan balasan yang dilakukan Kim Lo. Diwaktu itu tampak Yang
Tiam telah menyadari kepandaian Kim Lo masih berada di atasnya.
Ia menyadarinya dengan hati
yang sejujurnya. Cuma saja, sebagai seorang tokoh Kay-pang, dia mana mau
mengakui begitu saja. Ia malah mempergencar serangannya.
Kim Lo mendengus beberapa
kali, lalu ia merobah cara bertempurnya. Serulingnya diputar dengan cepat
sekali, seperti titiran kemudian dengan bentakan nyaring, ia mendorong dengan
tangan yang kiri.
Tubuh Yang Tiam seperti
digempur oleh suatu kekuatan yang dahsyat sekali, seperti juga runtuhnya
gunung. Kaget tidak terkira hati si pengemis tua, mati-matian Yang Tiam
berusaha untuk mengendalikan dirinya, tapi gagal.
Dengan disertai teriakan
kaget, tubuhnya hampir saja terjungkal rubuh.
Di waktu itu Kim Lo tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang ada, ia sudah menghantam lagi.
Pukulan yang dilakukannya kali
ini juga kuat sekali. Karena ia telah menghantam dengan mempergunakan lima
bagian tenaga dalamnya.
Yang Tiam merasakan napasnya
sesak.
Seumur hidupnya baru kali ini
ia terdesak seperti ini. Inilah pengalaman yang baru pertama kali dirasakannya.
Sejak dahulu sampai sekarang, helum pernah ia terdesak hebat seperti itu oleh
lawannya, yang baru bertempur belum lama dan baru beberapa jurus belaka.
Inilah pengalaman istimewa
yang mengejutkan hatinya. Mati-matian ia mengempos semangatnya. Ia telah
menyalurkan sin-kangnya berusaha untuk menyambuti tenaga serangan Kim Lo. Namun
ia kalah kuat dan tubuhnya terhuyung mundur.
Kim Lo mendesak terus, dan
Yang Tiam mandi keringat dingin. Ia mengeluh.
“Habislah kali ini aku…....!”
Mengeluh pengemis tua itu, sebab ia merasakan tenaga dalamnya seperti beku
tidak bisa dikendalikan lagi olehnya.
Namun disaat kekuatan tenaga
dalam itu akan menghantam telak pada Yang Tiam, justru mendadak sekali tenaga
tersebut sirna tanpa bekas waktu Yang Tiam tengah pasrah menerima ajalnya.
Karena ia menyadari tidak mungkin bisa menyambuti kekuatan sin-kang yang begitu
dahsyat.
Dan Yu An bersama-sama Tiang
Su tengah memandangnya dengan mata yang terbeliak lebar-lebar karena kuatir.
Justru Kim Lo telah menarik pulang tenaga dalamnya.
Yang Tiam berdiri dengan muka
yang pucat dan napas memburu. Namun ia adalah orang sejati karenanya
cepat-cepat ia merangkapkan tangannya, dan membungkukkan tubuhnya ia bilang.
“Terimakasih atas belas
kasihan tuan. Sekarang Yang Tiam baru terbuka matanya, bahwa di atas dunia ini
masih ada langit berlapis-lapis. Dan benar-benar Yang Tiam tidak tahu telah
berani membentur tuan! Maafkan sikap Yang Tiam tadi yang begitu kurang ajar!”
Yang Tiam dengan jujur
mengakui bahwa orang di depannya ini adalah seorang yang berkepandaian hebat
yang bukan menjadi tandingannya. Ia pun menduga tentunya orang berpakaian serba
putih ini adalah tokoh sakti rimba persitatan.
Sebagai seorang tokoh sakti
yang dilihatnya memiliki kepandaian begitu tinggi jelas orang berpakaian serba
putih itu tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Tentu saja tidak mungkin
ia membunuh tiga orang pengemis dari tingkat yang di bawah.
Bukankah Yu An dan Tiang Su
pun tidak dibinasakannya? Jika memang orang berpakaian serba putih itu ingin
membinasakan Tiang Su dan Yu An dan menghendakinya jiwanya, ia bisa
melakukannya dengan sangat mudah sekali.
Juga terhadap diri Yang Tiam,
walaupun tinggal meneruskan serangannya maka Yang Tiam akan terbinasa, tapi ia
telah menarik pu¬lang tenaga serangannya. Bukankah ia telah memperlihatkan
bahwa orang berpakaian serba putih ini memang tidak berhasrat memusuhi Kay-pang.
Karena dari itu, segera juga
Yang Tiam memiliki penglihatan lain terhadap lawannya.
Kim Lo melihat pengemis tua
itu memberi hormat padanya, cepat-cepat ia membalas hormat Yang Tiam. Ia
melihat Yang Tiam seorang laki-laki sejati, yang tidak segan-segan mengakui
dengan jujur akan kelemahan sendiri dan mengagumi kehebatan lawannya. Diam-diam
Kim Lo jadi menghormati pengemis tua ini.
“Locianpwe, sebetulnya
kepandaian locianpwe berada di atas kepandaianku, hanya tadi Locianpwe kurang
hati-hati, sehingga Boanpwe bisa memanfaatkan kelemahan Locianpwe. Dengan
begitu locianpwe jangan berkecil hati!” Kata Kim Lo.
Terhibur hati Yang Tiam
mendengar kata-kata Kim Lo.
“Orang ini ternyata pandai
sekali untuk membawa diri! Ia memanggilku dengan sebutan locianpwe, apakah ia
masih berusia muda? Jika memang ia masih berusia muda, inilah lebih hebat lagi
karena dalam usia semuda itu ia memiliki kepandaian yang demikian hebat.
“Iapun tidak ada
tanda-tandanya sebagai bajingan, ia pandai membawa diri. Sekarang saja ia masih
melindungi mukaku!” Berpikir seperti itu Yang Tiam menghela napas berulang
kali.
Sedangkan saat itu tampak Kim
Lo sudah memasukan serulingnya, ia meneruskan kata-katanya:
“Locianpwe, percayalah, bahwa
boanpwe sama sekali tidak melakukan apa yang dituduhkan kepada Boanpwe.
Walaupun bagaimana haruslah kita menyelidiki urusan itu, agar dapat menempatkan
duduk persoalan yang sebenarnya yaitu mencari pembunuh yang sejati! Jika memang
Locianpwe menghendaki, Boanpwe bersedia dia untuk membantu pihak Kay-pang
mencari pembunuhnya!”
Dan setelah berkata begitu,
Kim Lo mengawasi pengemis tua tersebut dengan sinar mata yang terang dan tajam.
Yang Tiam girang bukan main.
“Kalau memang demikian, atas
nama Kay-pang, maafkanlah kami yang telah sembarangan menuduh tuan dan juga
maafkanlah atas tindakan kami yang sangat ceroboh telah mendesak tuan!”
Setelah berkata begitu Yang
Tiam benar-benar memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya sampai empat
kali, sebagai tanda penyesalan.
Sedangkan Kim Lo mengelak
tidak mau menerima penghormatan yang diberikan si pengemis. Di waktu itu, iapun
telah bilang:
“Jangan berlaku sungkan
Locianpwe. Memang di dalam rimba persilatan bisa saja terjadi salah paham
seperti itu!”
Setelah berkata demikian, Kim
Lo pun merangkapkan tangannya balas memberi hormat.
Sedangkan Tiang Su dan Yu An
telah bangun, semangat mereka telah pulih sebagian, tapi mereka masih tampak
lesu.
Melihat keadaan dua orang
pengemis tersebut, Kim Lo jadi menyesal. Ia merangkapkan sepasang tangannya,
dan bilang dengan penuh penyesalan, “Maafkan Locianpwe, tadi boanpwe telah
berlaku keterlaluan sekali!”
Yu An dan Tiang Su masih
sengit, mereka hanya mendengus saja, sedangkan Yang Tiam telah bilang: “Tuan,
jika memang tuan tak keberatan, bisakah tuan memberitahukan dari aliran manakah
tuan sebenarnya?”
“Sesungguhnya sulit buat
boanpwe memberitahukan siapa adanya diri boanpwe, karena bukan disebabkan
urusan yang menyangkut dengan kesalahan yang dilakukan oleh boanpwe. Memang
tidak pernah boanpwe melakukan sesuatu yang salah, tapi justeru menyangkut
dengan kepentingan pintu perguruan boanpwe……!” Kata Kim Lo kemudian dengan
penuh penyesalan.
Yang Tiam menghela napas
dalam-dalam, ia bilang: “Baiklah jika memang tuan memiliki kesukaran unuk
memberitahukan dari aliran mana, kamipun tidak berani mendesaknya! Tentang
maksud baik tuan untuk membantu kami mencari pembunuh yang telah mencelakai
tiga orang auggota kami, itulah suatu keberuntungan buat Kay-pang, yang meminta
pun kami tidak berani!”
“Baiklah!” Kata Kim Lo
kemudian. “Nanti boanpwe akan coba membantu mencari jejak si pembunuh, agar
urusan menjadi jernih kembali!”
Setelah berkata begitu, ia
berpaling pada Yu An dan Tiang Su, ia bilang lagi. “Dan jie-wie locianpwe,
sebetulnya tadi boanpwe pun tak bermaksud untuk mencelakai jiewie, karena
boanpwe hanya berusaha membela diri dengan jalan lunak, yaitu membuat jiewie
menjadi lemas belaka dan urusan itu harap jiewe tidak ambil di hati…….!”
Tapi karena Tiang Su dan Yu An
masih sengit, mereka cuma mendengus saja. Mereka tidak bilang apapun juga.
Benar-benar mereka penasaran sekali, tadi telah dirubuhkan seperti itu oleh
orang berpakaian serba putih ini.
“Jika memang tidak salah,”
kata Yang Tiam kemudian. “Melihat dari ilmu silat yang tuan mainkan, tentunya
tuan masih memiliki hubungan dengan Oey locianpwe, tocu dari Tho-hoa-to?”
Kim Lo sangsi sejenak, namun
akhirnya ia mengangguk.
“Benar!” Akhirnya ia
membenarkan juga, “Sesungguhnya Oey locianpwe yang dimaksudkan oleh anda adalah
Kong-kongku!”
“Kong-kong tuan?” Tanya Yang
Tiam. “Oey locianpwe Kong-kong tuan? Apakah….. apakah itu benar?” suara Yang
Tiam ragu-ragu dan tidak mempercayainya.
Kim Lo mengangguk.
“Ya, tocu pulau Tho-hoa-to
memang Kong-kong ku…….!” Kata Kim Lo lagi.
“Kalau begitu….., kalau begitu
tentunya tuan adalah putera dari Oey Yong pangcu? Karena Oey locianpwe cuma
memiliki seorang puteri saja, yaitu Oey Yong pangcu yang pernah menjadi Pangcu
Kay-pang kami!” kata Yang Tiam.
Ia masih memandang tidak
mempercayai karena ia mengetahui siapa-siapa anak Oey Yong yang diperoleh dari
hasil perkawinannya dengan Kwee Ceng.
Kim Lo menggeleng.
“Bukan! Bukan! Aku bukan
putera Oey Pehbo!” katanya kemudian dengan suara ragu-ragu. “Aku cuma
mengetahui bahwa tokoh pulau Tho-hoa-to adalah Kong-kongku, dan maaf, belum
bisa aku menjelaskan secara terang keseluruhannya!”
Yang Tiam menghela napas.
“Pantas kami tidak berdaya
menghadapi tuan.......!” Katanya sambil melirik mengawasi tajam pada muka Kim
Lo. Tapi kain putih yang menutupi muka Kim Lo membuat ia tidak bisa melihat
muka Kim Lo.
Dan ia melirik seakan juga
sinar matanya ingin menembusi kain putih itu untuk dapat melihat muka orang.
Jika ia telah melihat muka orang yang terselubung kain putih ini, ia tentu tak
akan penasaran seperti itu, ia tentu bisa mengetahui siapa orang ini.
Justeru Kim Lo telah tertawa,
ia bilang, “Maaf, jika memang locianpwe tak keberatan, aku ingin pergi
beristirahat, tak bisa menemani locianpwe sekalian lebih lama lagi!”
Setelah berkata begitu Kim Lo
merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat, ia telah membungkukkan tubuhnya
juga. Ia memang sengaja hendak cepat-cepat menghindarkan diri dari libatan tiga
orang pengemis itu, agar ia tidak menerima pertanyaan-pertanyaan lebih jauh.
Rupanya Yang Tiam masih belum
puas, ia bilang: “Tuan bisakah kami melihat muka tuan sejenak saja?”
Kim Lo terdiam.
“Untuk ini....... ini.......!”
Melihat Kim Lo ragu-ragu
seperti itu, Yang Tiam bilang: “Jangan kuatir tuan, kami cuma ingin mengetahui
muka tuan, agar kelak kami bisa mengenali jika kita bertemu di tengah
perjalanan.
“Siapa tahu kelak kita akan
berjumpa lagi? Bukankah dengan demikian kami tidak mengetahui siapa tuan
sebenarnya, jika melihat wajah tuan?”
Kim Lo ragu-ragu sejenak,
barulah kemudian ia menghela napas dalam-dalam.
“Baiklah!” Ia mengangguk.
“Tapi tuan-tuan harus berjanji akan merahasiakan apa yang telah tuan-tuan
lihat!”
Yang Tiam, bertiga mengangguk.
Malah Yang Tiam telah bilang, “Percayalah kepada kami, tuan……. Kami bukannya
sebangsa manusia yang mulutnya panjang…….!”
Perlahan-lahan Kim Lo
mengangkat tangannya, ia membuka dan menyingkapkan kain putih yang menutupi
mukanya.
Yang Tiam bertiga jadi
tertegun.
Mereka melihat seraut wajah
yang bentuknya luar biasa sekali, yang penuh dengan bulu-bulu kuning halus.
Yang bentuknya seperti muka seekor kera.
Hampir saja mereka berseru
tertahan, jika mereka tidak cepat-cepat tersadar, dan berusaha menahan diri.
Waktu itu Kim Lo telah memakai
lagi kain putih yang menutupi wajahnya. Ia bilang, “Nah, apa yang locianpwe
saksikan, harap tidak dibicarakan dengan siapa pun juga!”
Yang Tiam mengangguk. Ia
menoleh sekitarnya. Tidak ada orang lain. Rupanya tadi waktu Yang Tiam tiba di
rumah penginapan ini dan menerobos ke gelangang pertempuran dengan mendorong
dan melontarkan tamu dan pelayan yang tengah menyaksikan, membuat semua tamu
dan pelayan rumah penginapan itu jadi ketakutan.
Mereka telah pergi ke tempat
masing-masing. Karena mereka kuatir jadi sasaran dari pertempuran tersebut.
Dengan demikian, Yang Tiam yakin tidak ada orang lain yang melihat wajah Kim
Lo.
“Terima kasih atas kesediaan
tuan memperlihatkan diri pada kami!” Kata Yang Tiam sambil memberi hormat. “Dan
kami ingin meminta diri!”
Lalu ia melesat pergi diikuti
oleh Tiang Su dan Yu An. Sedangkan Kim Lo berdiri sejenak di tempatnya dengan
pikiran tidak menentu.
Yang Tiam sendiri kaget
melihat rupa Kim Lo. Ia tadi bertiga dengan Tiang Su dan Yu An diam-diam
berpikir.
“Inilah bebat, mukanya seperti
muka kera. Ia seorang yang aneh. Tapi ilmu silatnya luar biasa. Aneh sekali! Ia
mengaku sebagai anak cucu Oey Yok Su! Lalu ia anak siapa? Bukankah Oey Yok Su
cuma memiliki seorang anak, Oey Yong Pangcu?”
Tapi, Yang Tiam bertiga tidak
bisa memecahkan persoalan tersebut. Mereka cuma melihat bahwa Kim Lo sebagai
seorang pendekar Aneh dengan Serulingnya yang sakti, yang sangat dahsyat dan
hebat sekali.
Seorang pendekar aneh yang
masih berusia muda, dengan senjatanya sebatang seruling yang hebat lagi. Dan
memang ia mempercayai bahwa Kim Lo adalah orang yang dekat dengan Oey Yok Su,
sebab kepandaian yang dipergunakan semuanya adalah ilmu silat Tho-hoa-to.
Yang Tiam sebagai pengemis
yang memiliki tingkat kedudukan yang tinggi di dalam Kay-pang, dengan demikian
ia sering menyaksikan ilmu silat yang dipergunakan Oey Yong. Karenanya ia bisa
mengenali bahwa ilmu silat yang dipergunakan Kim Lo adalah ilmu silat dari
Tho-hoa-to.
Tapi sejauh itu, tetap saja
persoalan Kim Lo suatu rahasia yang penuh misteri.
<>
Kim Lo masuk ke dalam kamarnya
untuk tidur. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Ia tidur dengan nyenyak. Besok
paginya ia baru saja hendak mengenakan baju dan selesai cuci muka, pintu
kamarnya diketuk cukup nyaring.
“Siapa?” Tanya Kim Lo sambil
membereskan pakaiannya.
“Siauwjin ingin menyampaikan
titipan buat Kongcu!” terdengar suara perlahan.
“Tunggu sebentar!” kata Kim Lo
sambil mengenakan kain putih penutup mukanya, barulah kemudian ia menghampiri
pintu dan membukanya.
Pelayan berdiri di luar
kamarnya dengan tangan membawa bungkusan besar. Sikap pelayan itu sangat hormat
sekali.
“Tadi ada yang menitipkan
barang ini buat Kongcu,” kata pelayan tersebut sambil mengangsurkan bungkusan
besar itu.
“Siapa yang mengirim?” tanya
Kim Lo.
“Katanya dari….... Kay-pang!”
Menyahuti pelayan itu. Ia berlaku hormat, karena ia sudah mendengar dari
kawan-kawannya yang dinas malam orang yang berpakaian serba putih ini adalah
seorang sakti yang sangat hebat kepandaiannya.
“Dari Kay-pang?” Tanya Kim Lo.
“Ya!”
Kim Lo mengambil bungkusan
itu. Ia memberi hadiah buat pelayan itu, yang pergi jadi kegirangan bukan main.
Setelah menutup pintu
kamarnya, Kim Lo membuka bungkusan tersebut.
Ternyata di dalamnya terdapat
beberapa perangkat pakaian yang sangat bagus dan tentu mahal harganya. Juga
beberapa macam barang perhiasan. Tentu saja Kim Lo jadi heran.
Entah apa maksud orang-orang
Kay-pang dengan mengirimkan hadiah ini padanya?
Kim Lo mengerutkan alisnya.
“Atau memang mereka memiliki
maksud-maksud tertentu?” Pikir Kim Lo kemudian.
Dilihatnya di atas tumpukan
barang itu terdapat sebuah sampul surat. Ia mengambilnya. Membuka sampul
tersebut dan mengeluarkan suratnya. Ia pun membacanya.
Ternyata surat itu memang
berasal dari Kay-pang, yang menjelaskan bahwa, pihak Kay-pang mengirimkan
sekedar hadiah buat Kim Lo, dan meminta agar Kim Lo mau menerimanya dengan
senang hati. Dan orang yang menulis surat ini adalah Tianglo ketiga dari
Kay-pang, yang berkuasa di daerah Sucoan Barat ini.
Waktu itu Kim Lo lama sekali
berdiam diri memandangi surat tersebut.
“Hemmm, dengan mengirimkan
barang ini, tentu pihak Kay-pang menduga diriku dapat diikat dengan pemberian
hadiah tersebut. Atau mereka memandang rendah padaku. Mereka menduga aku ini
seperti pembesar-pembesar rakus yang akan gelap mata jika sudah menerima
hadiah?”
Dan Kim Lo perlahan-lahan
berobah jadi tidak senang, karena merasa tersinggung hatinya. Ia telah
mengawasi sejenak hadiah tersebut, lalu ia membungkusnya lagi. Dipanggilnya
pelayan.
Pelayan datang dengan cepat.
“Apakah kau tahu di mana letak
markas Kay-pang?” Tanya Kim Lo pada pelayan itu.
Pelayan itu menggeleng.
“Sayang sekali aku tak tahu,
Kongcu…….!”
“Kalau begitu, pergi kau
mencari seorang pengemis, panggil pengemis itu menemui aku!”
“Tapi Kongcu…….”
“Cepat lakukan! Ini hadiah
untukmu!” sambil berkata begitu Kim Lo memberikan lima tail perak.
Pelayan itu terbeliak matanya,
inilah hadiah yang sangat besar sekali, cepat-cepat ia mengangguk sambil tersenyum
girang.
“Baiklah Kongcu, aku akan
melaksanakan perintah itu!” Dan iapun memutar tubuh buat mencari seorang
pengemis.
Tak lama kemudian pelayan itu
telah kembali lagi ke kamar Kim Lo, di belakangnya mengikuti seorang pengemis.
Pengemis tersebut
memperlihatkan sikap menghormat sekali pada Kim Lo. Sebagai seorang anggota
Kay-pang, tentu saja ia mengetahui siapa adanya orang berpakaian serba putih
itu.
Diwaktu itu tampak betapa
pengemis ini memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
“Kongcu ada perintah apa,
katakan saja!” Kata pengemis tersebut dengan sikap menghormat.
“Kau tentu mengetahui letak
markas besar Kay-pang di daerah ini, bukan?” Tanya Kim Lo sambil mengawasi
pengemis tersebut dengan sorot mata tajam.
Pengemis itu jadi ragu-ragu.
“Apakah Kongcu ingin menemui
tetua-tetua kami?” Tanya pengemis itu.
Kim Lo menggeleng.
“Aku ingin menitipkan ini
padamu, agar disampaikan kepada tetuamu,” Kata Kim Lo.
Pengemis itu tambah ragu-ragu.
“Ini……. Ini…..!” katanya
dengan sikap dan suara yang tergagap.
“Kenapa? Apakah saudara
keberatan buat menyampaikan titipanku ini kepada tetuamu?” Tanya Kim Lo.
Pengemis itu kaget ditegur
seperti itu, cepat-cepat ia membungkukkan tubuhnya sembari hormat.
“Bukan begitu! Bukan begitu!”
Katanya dengan segera. “Sesungguhnya, sesungguhnya…….”
“Kenapa?”
“Sebetulnya tadi siauwjin yang
mengantarkan titipan barang buat Kongcu dari tetua kami!” Menjelaskan pengemis
tersebut dengan suara bimbang.
“Nah, kalau demikian lebih
baik lagi! Sekarang pergilah kau membawa kembali barang itu. Sampaikan pada
tetuamu, aku akan bekerja tanpa memperoleh upah!”
“Kongcu…….!”
“Beritahukan juga pada
tetuamu, bahwa aku bukan sebangsa pembesar rakus yang harus diberi hadiah!”
Kata Kim Lo lagi. Ia bicara agak keras seperti itu, karena hatinya sangat
tersinggung.
Pengemis itu jadi ketakutan,
ia mengiakan beberapa kali tanpa berani membantah lagi.
“Nah, sekarang pergilah kau
membawa barang itu!” kata Kim Lo.
Pengemis itu mengiyakan, ia
membawa lagi barang bingkisan tersebut, setelah memberi hormat satu kali lagi
pada Kim Lo ia pun berlalu.
Kim Lo telah menutup pintu
kamarnya, ia pergi keluar dari kamarnya, kemudian ia pun telah pergi
jalan-jalan mengelilingi kota tersebut.
Kim Lo merasakan hatinya jadi
tidak gembira. Ia tidak menyangka bahwa pihak Kay-pang akan menganggap dan
memperlakukannya seperti juga seorang yang tidak memiliki harga diri.
“Kay-pang sebuah perkumpulan
yang sangat hebat menurut cerita Kongkong. Di Kay-pang berkumpul laki-laki
sejati tapi semua yang mereka lakukan terhadap diriku, umumnya merupakan
hal-hal yang tidak terpuji. Dengan mengirimkan bingkisan seperti tadi, sama
saja mereka menggampar pipiku dan juga sama saja seperti memandang rendah
padaku.
Dan semakin dipikirkan, Kim Lo
jadi semakin tidak senang, iapun akhirnya memutuskan, karena ia telah
menjanjikan akan membantu Kay-pang untuk mencari jejak si pembunuh, maka ia
akan melakukan tugas itu, yaitu mencari jejak pembunuh yang telah membinasakan
tiga orang Kay-pang. Tapi jika ia telah berhasil mencari si pembunuh, ia akan
meninggalkan tempat ini dan tidak berhubungan lagi dengan pengemis tersebut.
Setelah berputar-putar sekian
lama, akhirnya Kim Lo kembali ke rumah penginapan. Ia melangkah cepat, dan ia
bermaksud untuk tidur.
Tapi baru saja ia melangkah
beberapa tindak tiba-tiba ia melihat seseorang yang tengah mengikuti di
belakangnya. Orang itu adalah seorang pendeta.
Sebelumnya Kim Lo tidak
menyadari dirinya tengah dikuntit. Justeru sekarang begitu ia melihat sikap si
pendeta muda, mungkin baru berusia tujuhbelas tahun, mencurigakan sekali, ia
pun sengaja berjalan ke arah barat.
Ia melihat pendeta itu tetap
saja mengikuti di belakangnya. Dan semakin kuat kecurigaan Kim Lo bahwa dirinya
tengah dibuntuti oleh pendeta muda tersebut.
“Hemmm, aku ingin melihat apa
yang kau inginkan?” Pikir Kim Lo jadi mendongkol. Ia dengan sengaja mengayunkan
langkahnya ke arah sebelah selatan kota tersebut. Ia telah pergi ke sebelah
kanan jalur jalan yang sepi. Keadaan di situ memang jauh sekali dari keramaian.
Pendeta muda tersebut masih
juga mengikutinya. Dan tampaknya memang pendeta itu tidak mau melepaskan orang
yang dibuntutinya.
Kim Lo memperlambat jalannya,
pendeta muda itu pun memperlambat jalannya. Ketika tiba di tikungan, sengaja
Kim Lo menikung perlahan-lahan dan setelah terlindung oleh dinding rumah
tiba-tiba Kim Lo melesat ke atas genting berdiam di situ.
Pendeta muda tersebut bergegas
menyusul muncul di tikungan tersebut. Dia telah memandang sekelilingnya, karena
ia kehilangan orang yang di ubernya.
Waktu itulah Kim Lo mendadak
sekali melompat turun, meluncur dengan cepat. Belum lagi pendeta muda tersebut
mengetahui apa yang terjadi, tangan Kim Lo telah mencengkeram jubahnya di
bagian dada. Bentak Kim Lo,
“Mengapa kau mengikuti aku
terus menerus? Apa maksudmu?”
Pendeta itu kaget tidak
terkira, tangannya serentak bergerak dengan sendirinya buat menyerang dada Kim
Lo. Pukulan itu tidak dielakkan Kim Lo. Mengenai telak sekali dada Kim Lo.
“Bukkk!” Tapi tidak membawa
pengaruh apa-apa buat Kim Lo, karena pukulan tersebut tidak memiliki tenaga
berarti.
Kim Lo memperkeras cengkeraman
tangannya. Pendeta itu tercekik dan sesak napasnya. Ia gelagapan.
Kim Lo menghentak tangannya.
Pendeta tersebut terlontar dan jatuh ambruk di jalanan. Ia menjerit kesakitan.
Bangun berdiri, lalu berlari sekuat tenaganya, untuk melarikan diri.
Kim Lo tidak mengejar, cuma
tertawa dingin.
Pendeta muda itu berlari
sampai melewati beberapa tikungan, akhirnya ia berhenti dengan napas memburu.
Ia berpaling ke belakang tidak ada yang mengejarnya, ia menghela napas lega.
Rupanya orang yang dibuntuti tadi tidak mengejar lebih jauh.
Justeru melihat dirinya tidak
dikejar, ia jadi berdiri ragu-ragu di tempatnya. Rangsangan untuk mengikuti
lagi orang tadi timbul pula di hatinya, perlahan-lahan, ragu-ragu, ia memutar
tubuhnya. Ia lalu pergi ke tempat di mana tadi Kim Lo telah membantingnya.
Ia melangkah hati-hati sekali,
karena kuatir Kim Lo mengetahui ia kembali untuk membuntutinya. Namun baru saja
ia melangkah beberapa tombak, terdengar suara,
“Hemmm, kau masih
mengikutiku?”
Perlahan sekali suara itu,
tapi menyebabkan semangat si pendeta seperti terbang meninggalkan raganya. Ia
kaget tidak terkira, cepat berpaling. Tapi tidak dilihatnya orang yang bicara
itu, ia jadi gentar.
“Akh, mungkin cuma perasaanku
saja! Siu Lo, Siu Lo! Mengapa kau jadi demikian pengecut?? Itu hanya perasaanmu
belaka! Mana mungkin ia bisa mendahului aku dan bicara dari tempat di sebelah
depanku?” Hibur si pendeta pada dirinya sendiri.
Karena berpikir seperti itu,
si pendeta jadi besar lagi hatinya. Ia memberanikan diri buat melangkah lagi.
“Hemm, benar-benar kau tidak
mau angkat kaki?” Terdengarnya suara orang menegurnya lagi dingin sekali.
Si pendeta merandek, hatinya
berdegup keras, ia berpaling lagi. Sekarang dilihatnya Kim Lo berdiri anteng
menyender di dinding sebuah rumah.
Semangat si pendeta terbang.
Ia terkesiap, mukanya pucat, tidak buang waktu lagi ia berlari sekuat tenaganya
untuk meninggalkan tempat itu.
Si pendeta muda, Siu Lo,
berlari dengan sikap seperti orang yang kerasukan setan, ia berlari dengan
menpergunakan seluruh kekuatan dan tenaga tanpa memperdulikan napasnya yang
jadi sesak.
Setelah berlari sampai di
pinggiran kota, ia baru berhenti. Ia yakin tentu Kim Lo tidak akan dapat mencari
dan mengejarnya, ia telah melewati puluhan lorong, dan ia juga tak melihat
sejak tadi ada orang mengejarnya.
Tiba-tiba baru saja ia ingin
meneruskan napasnya, dirasakannya angin berkesiuran dingin menerpah belakang
kepalanya yang gundul itu. Bersamaan dengan itu, pundaknya ditepuk seseorang.
Iapun mendengar suara orang menegurnya?
“Apakah kau sudah letih?”
Merinding tubuh si pendeta. Ia
memandang sekelilingnya, tapi ia tidak melihat seorang manusia pun juga di
sekitar tempat itu. Karenanya iapun segera berpikir:
“Tidak mungkin! Tidak mungkin
dia! Hu! Mungkin karena aku terlalu letih, tubuhku berkeringat, terkena aliran
angin seakan juga ditepuk seorang! Hu! Hu! Mana mungkin ia mengejarku?”
Dan tidak hentinya pendeta
muda itu menghibur dirinya. Ia berusaha mengatur jalan pernapasannya, yang
memburu keras itu. Barulah ia menghela napas dalam-dalam. Iapun baru bilang
lagi di dalam hatinya:
“Walaupun bagaimana aku harus
berhasil mengikutinya……. kalau tidak tentu aku akan didamprat suhu.......!”
Ia segera bermaksud untuk
kembali ke jalan tadi yang telah dilaluinya, untuk mengikuti Kim Lo, mencarinya
dan diam-diam menguntitnya. Ia yakin jika memang mengikutinya dengan hati-hati,
tentu tak akan gagal dengan usahanya tersebut dan Kim Lo pun tak akan mengetahuinya.
Tapi, terasa lagi olehnya
angin berkesiuran cukup keras dan dingin di belakangnya, pundaknya ditepuk oleh
seseorang. Malah lebih keras dari tadi, disusul lagi dengan kata-kata, “Kau mau
mengikuti lagi?”
Kata-kata itu didengarnya
jelas sekali, seperti di pinggir telinganya. Benar-benar membuatnya jadi kaget
tak terhingga. Badannya menggigil dan merinding, terlebih lagi ia memandang
sekelilingnya ia tak melihat seorang manusiapun di sekitar tempat itu.
“Apakah aku bertemu hantu?”
Diam-diam ia jadi berpikir ketakutan.
“Hmmm!” kali ini terdengar
suara orang mendengus perlahan. “Kau memang perlu dihajar rupanya, baru kapok!”
Tidak buang waktu lagi si
pendeta berlari sekuat tenaganya pula. Baru saja ia mementangkan kakinya untuk
berlari, tahu-tahu tubuhnya terasa ringan, melayang ke tengah udara, dan
meluncur ambruk terbanting ke tanah.
Hebat bantingan itu. Ia jadi
benar-benar ketakutan, dan menjerit kesakitan sambil merangkak untuk berlari
lagi.
Namun tubuhnya kembali
terangkat ke atas dan kemudian meluncur terbanting pula di tanah. Hebat
bantingan itu, membuat ia benar-benar menjadi kesakitan bukan main, sedangkan
orang yang melontarkannya masih tidak terlihat.
Siu Lo telah berusaha bangun
untuk melarikan diri lagi. Namun sekali lagi ia merasakan tubuhnya terangkat ke
atas dan terbanting keras.
Dalam keadaan seperti itu
telah membuat Siu Lo jadi ketakutan setengah mati ia membaca mantera-mantera
liam-kheng uutuk mengusir setan, karena ia beranggapan tentunya ia telah
bertemu dengan setan. Bukankah kini ia tidak melihat seorang manusia pun di
sekitar tempat itu?
Dan ia telah terbanting
berulang kali? Iapun mendengar `setan` itu bicara dekat sekali padanya. Tidak
dapat ditahan lagi, karena sangat ketakutan, iapun akhirnya menangis.
“Ampun! Ampun!” teriak Siu Lo
suaranya tersendat.
“Hemmm, kau kepala gundul yang
perlu dihajar,” terdengar suara Kim Lo.
Dan tubuh si pendeta
terbanting pula.
Bukan main ketakutan Siu Lo.
Ia sampai menangis dan berlutut sambil memanggut-manggutkan kepalanya.
“Ampun....... ampunilah
aku…..!” Teriaknya.
Waktu Siu Lo berlutut sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya tidak hentinya seperti itu, justeru ia mendengar
lagi kata-kata Kim Lo, “Bangunlah!”
Ia mengangkat kepalanya.
Melihat sepasang kaki dan ketika ia mengangkat kepalanya lebih jauh, ia melihat
Kim Lo berdiri tegak di hadapannya.
Tidak ayal lagi Siu Lo,
mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus. Iapun memohon ampun tidak
hentinya.
Kim Lo berdiri tegak. Dengan
baju yang serba putih dan penutup muka yang terdiri dari kain putih juga,
sikapnya gagah sekali.
Ternyata yang mempermainkan
Siu Lo memang tidak lain dari Kim Lo. Ia memiliki gin-kang yang mahir sekali,
karena itu mudah saja ia mempermainkan Siu Lo.
“Bangun!” Bentak Kim Lo lagi
dengan suara yang dingin.
Dengan tubuh menggigil
ketakutan Siu Lo bangun berdiri.
“Mengapa kau mengikuti terus
menerus?” Tanya Kim Lo, suaranya tetap dingin.
“Ini…… ini….. atas perintah
suhuku!” Menyahuti Siu Lo kemudian. “Aku....... aku cuma menjalani perintah
suhuku saja, dan aku tidak tahu apa-apa....... Ampunilah aku….. ampunilah aku,
Taihiap!”
“Hemmmm!” mendengus Kim Lo.
“Enak saja kau minta diampuni seperti itu?”
“Ampun Taihiap....... lain
kali aku tidak berani melakukan perbuatan seperti itu....... Aku hanya
menjalankan perintah suhuku saja!” meratap Siu Lo ketakutan bukan main.
“Siapa gurumu?”
“Dia….. dia….. dia
bergelar…..!”
“Hemmm, kau ingin berdusta,
bukan?” tanya Kim Lo sambil mengibaskan tangannya.
Seketika tubuh Siu Lo terbang
melayang di tengah udara lalu terbanting keras sekali di atas tanah. Ia
menjerit kesakitan, tubuhnya menggigil.
“Cepat katakan, siapa gurumu?”
Bentak Kim Lo. “Atau memang kau ingin dibanting sampai menjadi tahu?”
Mendengar ancaman seperti itu,
tubuh Siu Lo semakin menggigil ketakutan, tapi ia berusaha untuk mengatasi
dirinya, dan katanya:
“Suhu bergelar Un Ma Siansu.”
“Un Ma Siansu? Dari kuil
mana?”
“Sien-sie-sie.”
“Sien-sie-sie letaknya dimana?”
“Itu…….” dan Siu Lo ragu-ragu
lagi buat menyebutkannya tempat di mana beradanya kuil Sien-sie-sie.
“Atau memang kau ingin
dibanting lagi?” mengancam Kim Lo dingin.
Tubuh si pendeta menggigil
ketakutan.
“Aku akan mengatakannya……. aku
akan mengatakannya!” bilang Siu Lo ketakutan.
“Cepat sebutkan!”
“Baik.......baik! Kuil itu
berada diluar kota sebelah selatan, tigapuluh lie.......” menjelaskan si
pendeta.
“Cukup jauh! Jadi dari tempat
sejauh itu kau mengikuti aku terus menerus?” tanya Kim Lo.
Muka Siu Lo berobah tambah
pucat.
“Sebetulnya suhu....... suhu
berada di sini.”
“Di sini?”
“Ya, di kota ini!”
“Di mana dia?'
“Di rumah penginapan di mana
Taihiap mengambil kamar juga!” menjelaskan Siu Lo saking terpaksa.
“Hemmm, jika begitu baiklah mari
kita kembali ke rumah penginapan!” Kata Kim Lo.
Tubuh Siu Lo jadi lemas tidak
ayal lagi ia menekuk sepasang kakinya! Ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, berulang kali sambil membenturkan keningnya pada tanah sesambatan:
“Janganlah Taihiap
mempertemukan aku dengan suhuku….. guruku sangat galak…… janganlah Taihiap
memaksa aku bertemu dengannya…..”
“Hemmm, kau harus ikut
denganku!”
“Taihiap, kasihanilah aku,
jika suhu mengetahui aku yang membocorkan hal itu, tentu ia akan menghukumku
berat sekali. Kasihanilah aku.”
“‘Hemmm, kau dengar tidak
kata-kataku?”
“Dengar! Dengar Taihiap,” Kata
Siu Lo tambah ketakutan, karena ia mendengar suara Kim Lo dingin sekali.
“Apa yang kukatakan tadi?”
Tanya Kim Lo dingin, padahal hatinya geli melihat kelakuan pendeta muda itu.
“Aku, aku harus ikut serta
dengan Taihiap…..?” Kata Siu Lo dengan tubuh menggigil.
“Kau mau ikut atau tidak?”
“Ikut! Ikut!” menyahut Siu Lo.
“Bagus! Jika demikian baiklah,
kau tidak akan kusiksa lagi, asal kau mau baik-baik mematuhi setiap
perintahku!” Kata Kim Lo menahan perasaan geli di hatinya.
Waktu itu Siu Lo tengah
ketakutan dan ia hanya mengiyakan berulang kali. Kemudian ia mengikuti di
belakang Kim Lo, yang sudah melangkah untuk kembali ke tempat di mana rumah
penginapan itu berada.
Sambil mengikuti dengan
takut-takut, otak Siu Lo bekerja terus. Ia berpikir keras untuk mencari
kesempatan guna melarikan diri.
“Sesungguhnya! Apa maksud
gurumu perintahkan kau mengikuti aku?” tanya Kim Lo tanpa menoleh.
“Aku….. aku tidak tahu
Taihiap!” Menyahuti Siu Lo.
“Jangan main-main denganku!”
“Sungguh taihiap, aku tidak
main-main.”
“Hemmm, jika demikian baiklah!
Kau rupanya masih berkepala batu dan tidak mau bicara terus terang denganku!”
Dingin sekali suara Kim Lo.
Siu Lo jadi ketakutan lagi.
“Taihiap aku akan patuh.......
percayalah Taihiap!” Katanya ketakutan.
Ia menduga bahwa Kim Lo tentu
akan menyiksa dirinya lagi. Ia ngeri untuk menderita kesakitan
dibanting-banting seperti tadi oleh Kim Lo.
“Jika begitu, nah, kau
katakanlah yang sebenar-benarnya,” kata Kim Lo, “Apa maksud gurumu perintahkan
kau mengikuti aku?”
“Ini….. ini sebetulnya urusan
guruku. Aku tidak mengetahuinya Taihiap, ini memang sebenar-benarnya aku
bicara. Dan akupun tak akan berdusta, Aku cuma diperintahkan buat mengikuti
Taihiap, lainnya aku tidak tahu!”
“Bohong!”
“Sungguh Taihiap!”
“Hemmm, kau tetap mau
membohongiku?”
“Tidak taihiap…… sungguh,”
Kata Siu Lo ketakutan tubuhnya menggigil.
“Baiklah. Jika memang kau
tetap tak mau memberitahukannya, aku juga bisa mengambil tindakan dengan caraku
sendiri juga!” kata Kim Lo, ia berhenti berjalan, memutar tubuhnya.
Semangat Siu Lo terasa terbang
meninggalkan raganya, lemas sekujur tubuhnya, yang menggigil keras sekali.
Mukanya pun pucat pias, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, tanpa
buang waktu lagi begitu melihat Kim Lo memutar tubuhnya, ia menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Kim Lo.
“Sungguh Taihiap…... aku tidak
mengetahui,” kata Siu Lo.
“Baik, kau rupanya harus
dipaksa membuka mulutmu lebih lebar lagi dengan ini…..” kata Kim Lo membarengi
kata-katanya dengan mengibaskan tangan kanannya.
Dari telapak tangan Kim Lo
mengalir serangkum angin yang kuat sekali. Walaupun mereka terpisah kurang
lebih tiga tombak namun angin serangan itu sempat untuk mengangkat tubuh Siu
Lo, yang dilontarkan ke tengah udara.
Yang ketakutan setengah mati adalah
Siu Lo karena tahu-tahu ia merasakan tubuhnya ringan melayang di tengah udara,
kemudian ambruk di tanah. Hebat sekali bantingan yang terjadi itu karena
seketika ia menjerit dengan suara yang menyayatkan.
Siu Lo benar-benar jadi
ketakutan serta hatinya sudah ciut benar, ia seketika biang: “Aku bicara! Aku
bicara lagi!”
“Ayo katakan yang sebenarnya!”
kata Kim Lo dingin, “Ingat sepatah kata saja kau berdusta, kau akan merasakan
akibatnya yang lebih parah lagi.”
Siu Lo menganggukkan kepalanya
sambil merangkak untuk bangun berdiri.
Waktu itu, ia melihat Kim Lo
berdiri dengan sikap yang angker, ia tahu jika sekali ini ia bicara main-main
tentu akan membuat ia menderita kesakitan yang jauh lebih hebat. Dan ini memang
telah disadarinya benar.
Ia pun kemudian bilang,
“Sebetulnya....... suhu menghendaki aku menyelidiki siapakah Tayhiap. Suhu
ingin mengetahui siapa orang sebenarnya yang berada di balik penutup muka putih
yang selalu Tayhiap pergunakan itu!”
“Hemmm, jika memang sejak tadi
kau bicara sejujurnya bukankah kau tidak akan menderita seperti itu?” tanya Kim
Lo sambil tersenyum tawar. Iapun kemudian bilang, “sekarang kau bangun dan ikut
denganku ke Sien-sie-sie!”
Tidak berani lagi Siu Lo
berayal, karena segera ia bangun berdiri sambil mengiyakan. Ia merasakan
sekujur tubuhnya sakit-sakit, tapi ia tidak berani berlaku lamban. Dengan
meringis menahan sakit, ia segera mengikuti di belakang Kim Lo yang saat itu
telah mulai melangkah.
Waktu mereka berjalan beberapa
puluh tombak, dari arah luar kota tampak mendatangi seekor kuda yang berlari
cepat sekali. Kuda itu berlari seperti kuda binal.
Dan salju yang masih memenuhi
sebagian jalan itu, ketika tertendang jadi berhamburan. Waktu itu Kim Lo
memandang heran, entah siapa si penunggang kuda itu, yang melarikan kuda
tunggangannya tersebut demikian cepat.
Setelah datang dekat, Kim Lo
bisa melihat jelas. Orang yang duduk di punggung kuda itu tidak lain seorang
yang mengenakan baju merah. Malah wajahnya telah dapat dilihat jelas oleh Kim
Lo. itulah seorang gadis yang jelita.
Kim Lo jadi heran. Usia gadis
itu paling tidak baru delapanbelas tahun. Ia melarikan kudanya begitu cepat.
Dan juga iapun melarikan kuda tunggangannya tanpa memperdulikan sekelilingnya.
Walau gadis itu cantik sekali.
Namun dibalik kecantikan wajah gadis tersebut, tampak sikap angkuhnya.
Sepasang alisnya yang lentik,
dengan hidungnya, yang mancung dan kulitnya yang putih, pakaiannya yang serba
merah benar-benar merupakan gadis yang sangat menarik sekali.
Malah yang membuat gadis itu
tampaknya gagah sekali adalah sebatang pedang yang tergemblok di punggungnya,
bersamaan dengan pauw-hok atau buntalan kecil yang terdiri dari kain sutera
warna kuning. Ia tampak gagah sekali di atas punggung kudanya.
Di kala itu, kuda tersebut
berlari cepat melewati di tempat dekat Kim Lo.
Gadis itu melirik pada Kim Lo
dan Siu Lo. Ia mengernyitkan alisnya. Tapi sama sekali ia tidak mengendorkan
lari kuda tunggangannya itu, ia melarikan kudanya itu terus dengan cepat sekali,
tanpa mengacuhkan sekelilingnya.
Hati Kim Lo jadi dirangsang
perasaan heran. Melihat cara berpakaian gadis itu, baju merah sepatu hitam
besar dan juga terbuat dari kulit, lalu sebatang pedang yang menghiasi
punggungnya menunjukkan bahwa gadis itu adalah gadis dari rimba persilatan.
Tapi siapa dia? Dan apa
tujuannya datang ke kota ini?
Waktu itu Siu Lo melihat ada
kesempatan untuk melarikan diri. Karena Kim Lo tengah tertegun mengawasi gadis
yang menunggang kuda berbulu coklat itu, yang dilarikan begitu cepat.
Kim Lo seperti juga tidak memperhatikan
Siu Lo maka kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siu Lo. Perlahan-lahan ia
menggeser kakinya kemudian memutar tubuhnya, ia mementangkan kakinya.
Ia bermaksud berlari sekuat
tenaganya tapi baru beberapa langkah, justeru dari belakang berkesiuran angin
yang menyambar dingin, menyusul dengan itu tubuh Siu Lo terasa ringan dan
terbanting keras.
Siu Lo menjerit kesakitan.
Ternyata yang membanting Siu
Lo adalah Kim Lo. Ia mengetahui Siu Lo telah menggeser kakinya. Telinganya
sangat tajam sekali, karena dari itu ia mendengar suara digesernya kaki Siu Lo.
Seketika ia menoleh dan
melihat Siu Lo tengah memutar tubuhnya akan mementangkan langkah seribu buat
melarikan diri. Kim Lo tertawa dingin. Ia mengibas dengan tangan kanannya,
akibatnya tubuh Siu Lo terbang seperti itu.
Siu Lo jadi tambah ketakutan,
gagallah usaha melarikan diri. Malah sekarang ia jadi menghadapi bahaya, ia
tahu Kim Lo akan marah.
Tengah Siu Lo ketakutan
seperti itu, Kim Lo telah bilang: “Hemmm, jangan mimpi kau bisa melarikan diri
dariku! Ayo bangun! Mari kita pergi ke Sien-sie-sie!”
Melihat Kim Lo tidak
menghajarnya, dia jadi girang dan terhibur juga. Walanpun ia sangat kesakitan
dan sambil meringis, Siu Lo telah bangkit dari tempatnya, terseok-seok
mengikuti Kim Lo.
Sambil berjalan pergi menuju
ke arah pintu kota sebelah selatan, Kim Lo tidak hentinya jadi memikirkan gadis
berbaju merah yang menunggang kuda secepat itu tadi. Dan ia terus juga teringat
betapa cantiknya gadis itu.
Dalam keadaan seperti itu,
tampaknya memang iapun terpengaruh atas kecantikan yang dimiliki gadis
tersebut. Ia telah menghela napas berulang kali. Iapun lalu melanjutkan
langkahnya beberapa kali.
Diam-diam Kim Lo jadi heran.
Mengapa hatinya jadi berdebar demikian aneh, perasaannya juga tergoncang hebat.
Padahal, ia sering melihat gadis-gadis cantik. Namun, perasaan aneh ini seperti
menyelusuri hatinya begitu saja tanpa dikehendakinya.
Siu Lo terseok-seok mengikuti
di belakang. Dia pikir, jika memang tadi gadis baju merah itu menghentikan lari
kudanya dan melompat turun buat bercakap-cakap dengan Kim Lo, tentu kesempatan
melarikan diri lebih besar. la jadi menyesali mengapa gadis berbaju merah itu
tidak turun saja?
Akhirnya mereka sampai juga di
depan rumah makan. Siu Lo menunjuk ke arah rumah makan itu.
“Guruku berada di situ!” Kata
Siu Lo, sambil menunjuk. “Rupanya guruku telah menunggu tidak sabar
meninggalkan rumah penginapan!”
“Yang mana gurumu?” Tanya Kim
Lo.
“Itu, yang dekat dengan
jendela.......!” Memberitahukan Siu Lo.
“Ayo kita ke sana.......!”
“Taihiap........”
“Kau harus ikut serta……!”
“Kasihanilah aku, Taihiap…..!”
Dan Siu Lo seperti meringis ingin menangis. “Jika memang guruku mengetahui yang
memberitahukan adalah aku, tentu aku akan menerima hukuman yang sangat berat,
harap taihiap sudi menaruh belas kasihan padaku……. janganlah membawa aku pergi
menemuinya…….!”
“Hemmm, pendeta yang duduk di
dekat jendela itu?” tanya Kim Lo.
“Benar Taihiap……..!”
Baru saja Kim Lo ingin
bertanya lagi, tiba-siba matanya melihat sesuatu.
Seekor kuda tampak terikat di
tempat penitipan kuda di depan rumah makan. Kuda yang dikenalnya. Kuda yang
tadi dipergunakan oleh gadis berbaju merah. Ia segera memandang ke dalam rumah
makan itu. Hatinya jadi berdebar.
Tamu di rumah makan itu cukup
ramai, dan akhirnya ia melihat juga orang yang dicarinya.
Gadis berbaju merah itu memang
berada di dalam rumah makan itu. Duduk di sebuah meja di tengah ruangan rumah
makan itu. Hanya ia sendiri. Tiga kursi yang lainnya kosong. Seorang pelayan
tampak tengah manggut-manggut mengiyakan pesanan si gadis.
Jantung Kim Lo terasa
bergoyang lebih cepat. Iapun merasakan perasaan aneh yang menyelusup ke dalam
hatinya lagi. Maka akhirnya ia tidak terlalu rewel pula pada Siu Lo.
“Baiklah tunggulah aku di
sini!” Kata Kim Lo kemudian.
Siu Lo girang
“Ya….. ya!” Katanya.
Di waktu itu tampak Kim Lo
dengan langkah yang ringan telah menghampiri pintu ruman makan. Ia bimbang
sejenak, karena ia melihat gadis baju merah itu tengah memandang ke pintu
kepadanya.
Langkah kaki Kim Lo tertunda
sejenak. Namun akhirnya ia melangkah juga masuk ke dalam rumah makan.
Gadis itu memandangi Kim Lo
dengan sorot mata yang tajam, seakan juga tengah heran melihat cara berpakaian
Kim Lo, yang sebagian besar wajahnya tertutup oleh kain penutup berwarna putih.
Ia memasuki rumah makan tentunya akan makan.
Namun dengan menutupi mukanya
dengan kain putih, bagaimana cara ia memakan santapannya. Dan rupanya hal itu
yang membuat si gadis jadi heran memandanginya.
Ditatapi seperti itu, justeru
Kim Lo jadi canggung dan gugup. Entah mengapa ia jadi kikuk sekali.
Ia menunduk dan langsung
menghampiri si pendeta yang ada di pinggir jendela. Ia telah menghampiri dekat,
pendeta itupun telah melihatnya, namun pendeta itu tak memperlihatkan perasaan
kaget, cuma tampak ia memandang agak heran.
Hati Kim Lo jadi tercekat. Ia
seorang yang sangat cerdik, seketika ia teringat sesuatu. Cepat-cepat ia
memutar tubuhnya, kemudian melesat ke pintu rumah makan. Gerakannya lincah
sekali.
Ia masih melihat Siu Lo yang
telah melarikan diri dikejauhan. Cepat-cepat ia mengejarnya, tubuhnya seperti
terbang. Dalam sekejap mata saja, ia sudah dapat menyusul Siu Lo. Punggungnya
dijambret, tubuh Siu Lo dibantingnya.
“Kurang ajar! Kau menipuku,
heh?” tanya Kim Lo dengan suara bengis.
Bantingan yang dilakukan Kim
Lo kali ini mempergunakan tenaga. sehingga bantingan tersebut keras sekali.
Maka tidak mengherankan kalau Siu Lo kali ini jadi kesakitan luar biasa.
“Ampun……. Ampun…..!”
Sesambatan Siu Lo dan ia tidak bisa segera bangun.
Waktu itu Kim Lo dengan suara
yang bengis ia bilang: “Hemm, kau hendak menipuku ya?”
“Taihiap…... ampun.......
ampun!” Merintih Siu Lo ketakutan.
Rupanya, tadi saat Kim Lo
menghampiri si pendeta yang duduk di dekat jendela yang ditunjuk oleh Siu Lo
sebagai gurunya, ia memikirkan juga sesuatu yang sebelumnya tidak terpikir.
Yaitu saat ia menghampiri telah dekat, pendeta itu tidak memperlihatkan
perasaan kaget. Sebagai orang yang cerdik, ia segera berpikir, tentu Siu Lo
telah berbohong.
Kalau memang benar pendeta itu
adalah guru Siu Lo, tentu begitu melihat Kim Lo maka pendeta itu akan kaget dan
wajahnya berobah. Bukankah guru Siu Lo yang katanya perintahkan Siu Lo buat
mengikuti Kim Lo.
Maka ia segera menduga
tentunya Siu Lo telah menipu dirinya! Tidak berayal lagi dan tanpa membuang
waktu ia segera mengejar Siu Lo! Dan waktu itu Siu Lo memang belum lagi bisa
menyingkirkan diri terlalu jauh.
Memang Siu Lo yang tengah
berusaha menyingkirkan diri dari Kim Lo, telah menemui akal! Kebetulan ia
melihat di rumah makan itu ada seorang pendeta setengah baya tengah makan, maka
sengaja ia mengakui bahwa pendeta itu adalah gurunya.
Dan iapun girang Kim Lo
meluluskan, ia menunggu di luar rumah makan itu. Inilah kesempatan buat dia
melarikan diri.
Namun siapa sangka, justeru
Kim Lo sangat cerdik, sehingga ia bisa memecahkan maksud Siu Lo yang ingin
melibatkan Kim Lo dengan pendeta itu. Dan ia telah bisa menangkap lagi Siu Lo,
sehingga Siu Lo tidak dapat melarikan diri.
Dalam keadaan seperti itu, Kim
Lo mendongkol bukan main. Bukankah jika tadi ia menegur pendeta itu, mereka
bertengkar, hal itu akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga Siu Lo bisa
melenyapkan jejaknya?
Siu Lo merangkak untuk bangun.
Namun tidak berhasil, sebab tubuhnya sakit-sakit. Ia merintih dan masih
berusaha untuk bangun, namun selalu gagal.
“Sekarang kau katakan yang
sebenarnya, apakah gurumu benar-benar tinggal di rumah penginapan?” Bentak Kim
Lo bengis. Iapun telah mengayunkan tangannya untuk menghantam Siu Lo.
Siu Lo ketakutan.
“Benar……. benar Taihiap!”
“Tahan!” Tiba-tiba terdengar
suara bentakan nyaring.
Kim Lo heran dan agak
terkejut, ia menoleh. Berbareng ia menoleh terdengar suara membeletar.
Ternyata seorang yang
mengayunkan cambuknya berusaha untuk menahan tangan Kim Lo yang akan
diluncurkan menghajar Siu Lo. Cuma melihat Kim Lo batal memukul, cambuk itu
telah ditarik pulang, sehingga cuma terdengar suara membeletarnya saja.
Kim Lo lebih kaget lagi
setelah melihat jelas orang yang memegang cambuk itu, yang memakai baju merah.
Karena tidak lain orang itu adalah gadis berbaju merah tersebut.
Hati Kim Lo juga berdebar,
gadis itu berdiri dengan sikap angkuh. Galak sekali.
“Mengapa kau menyiksa pendeta
muda itu? Siauw-suhu, kau bangunlah! Jangan takut aku akan melindungimu……!” Dan
waktu berkata belakangan itu ia telah menoleh kepada Siu Lo yang masih meringis
kesakitan.
Sedangkan Kim Lo jadi tidak
senang. Ia tidak gembira gadis itu mencampuri urusannya.
Jika sebelumnya ia merasakan
suatu yang aneh di dalam hatinya waktu melihat gadis itu dan juga ia tertarik
pada si gadis. Namun sekarang melihat sikap si gadis yang demikian angkuh,
disamping itu meremehkannya, hati Kim Lo jadi penasaran.
“Ini adalah urusanku, dan anda
tidak perlu mencampurinya, nona?” Katanya kemudian.
Gadis itu tertawa
“Apa?” Tanyanya. “Aku tidak
berhak mencampurinya? Kau ingin sewenang-wenang, menyiksa seorang pendeta yang
tak berdaya itu?”
Siu Lo sendiri jadi girang. Ia
tadi melihat betapa gesitnya gadis berbaju merah itu datang menghampiri dan
akan menyerang dengan cambuknya.
Ia menduga tentunya gadis itu
memiliki kepandaian yang tinggi. Maka ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
itu. Ia meringis meratap: “Tolonglah aku....... aku pendeta yang tidak berdaya,
tolonglah aku…….!”
Gadis berbaju merah itu
tertawa dingin.
“Siauw-suhu, kau tidak usah
takut dan kuatir. Aku akan menghajar bajingan tengik ini!” Katanya. “Nah, jika
kau mau pergi, pergilah siauw- suhu. Kau tidak perlu takut padanya! Jika ia
berusaha menghalangimu, aku yang akan menghajarnya!”
Pendeta itu kegirangan,
cepat-cepat Siu Lo berusaha untuk merangkak bangun.
Bukan main mendongkolnya Kim
Lo!
“Ini....... ini mana bisa
demikian?” katanya dengan suara tidak lancar.
“Apa yang ini…, ini…, ini?!”
Tanya gadis dengan suara yang mengejek.
“Kau tidak bisa mencampuri
urusanku!” Kata Kim Lo yang mulai sengit.
“Tidak bisa mencampuri
urusanmu? Ciss, manusia jahat seperti kau malah harus dihajar!” kata si gadis
berani sekali. Sikapnya gagah wajahnya angkuh dan juga memandang ringan kepada
Kim Lo.
Bukan main mendongkolnya Kim
Lo. Apa lagi disaat itu ia melihat Siu Lo telah merangkak bangun untuk berdiri
dan berlalu. Ia mengayunkan tangannya untuk mencegah kepergian Siu Lo.
Tapi, begitu ia menggerakkan
tangannya, cambuk gadis baju merah itupun meluncur datang, akan melibat
pergelangan tangan Kim Lo dengan libatan yang kuat.
Angin serangan dari cambuk itu
sangat kuat, sehingga Kim Lo tahu bahwa tenaga serangan cambuk itu memang tidak
ringan. Ia segera membatalkan maksudnya hendak menyerang Siu Lo, ia menarik
pulang tangannya, sehingga cambuk gadis berbaju merah itu jatuh di tempat yang
kosong.
Waktu itu, Kim Lo telah
mengulang lagi karena melihat Siu Lo telah melangkah untuk pergi. Kali ini ia
melakukannya dengan penuh perhitungan.
Begitu tangan Kim Lo bergerak,
memang cambuk gadis berbaju merah itu menyambar lagi, ia mengelakkan tangannya
dari cambukan si gadis. Namun membarengi dengan itu justeru tangannya yang lain
telah diayunkan, untuk menyerang lagi.
Pukulan yang dilakukannya itu
merupakan serangan yang sangat kuat, sehingga tubuh Siu Lo seperti didorong
dengan suatu kekuatan yang tidak tampak. Tubuhnya terjerembab dan mukanya
mencium tanah.
Dengan begitu, dari hidungnya
mengucur darah. Giginya rontok dua. Darah juga mengucur dari mulutnya sedangkan
mulutnya jadi berobah ukuran, karena jontor dan bengap.
Siu Lo kaget dan kesakitan.
Waktu ia terjerembab begitu, ia merasakan matanya jadi gelap, karena mukanya
menghantam jalanan. Ia juga mengaduh-aduh dalam keadaan setengah pingsan.
Gadis berbaju merah itupun
kaget dan gusar. Ia tidak, menyangka bisa melakukan gerakan menipu seperti itu!
Cepat-capat ia membentak:
“Binatang, kau memang bangsat
tengik yang selalu bertindak sewenang-wenang dan perlu dihajar!” Sambil berkata
begitu, tampak gadis berbaju merah telah menggerakkan cambuknya menyambar
datang, maka seketika itu juga berkesiuran yang sangat kuat.
Kim Lo mengawasi dengan
sepasang alis mengerut. Gadis ini galak sekali. Tapi iapun tidak bisa berdiam
diri saja, sambaran cambuk itu dapat menyebabkan kulit di tubuhnya terluka,
kalau saja mengenai sasarannya.
Cepat sekali Kim Lo mengelak.
Tubuhnya melompat ke kanan. Dan saat itu tangannyapun segera menyentil ujung
cambuk.
Sentilan tersebut disertai
tenaga dalam yang sangat kuat sekali, karena begitu tersentil, seketika ujung
cambuk oleng dan menyambar ke arah lain dari yang dikehendaki oleh gadis
berbaju merah itu. Tapi gadis itupun tidak mau menerima dengan begitu saja serangannya
digagalkan. Segera cambuknya telah digerakkan pula menyambar beruntun dua kali
membeletar ke arah Kim Lo.
Kim Lo menjejakkan kakinya,
tubuhnya dengan ringan melompat ke belakang gadis itu. Barulah ia mau
mengulurkan tangannya menepuk pundak gadis itu. Tahu-tahu gadis itu menekuk
kakinya. Ia memutar tubuhnya sambil berjongkok seperti itu, cambuknya menyambar
pula kepada Kim Lo.
Benar-benar hal ini tidak
pernah disangka oleh Kim Lo. Malah ujung cambuk menyambar ke jalan darah
Tien-sie-hiat, jalan darah yang cukup berbahaya jika sampai terserang.
Waktu itu gadis tersebut bukan
menyerang satu kali saja, karena ia beruntun menyabetkan cambuknya itu
terdengar suara membeletar berulang kali beruntun terus menerus.
Kim Lo memperlihatkan
kegesitannya karena ia mengelak ke sana ke mari seakan juga ia tengah menari.
Dalam keadaan seperti itu, jika memang Kim Lo mau menyerang gadis tersebut, ia
bisa saja melakukannya, tapi ia kuatir kalau sampai gadis itu terluka di dalam
yang tidak ringan.
Terus terang saja, memang
hatinya tertarik pada gadis ini, dan kalau sekarang ia mendongkol hanya
disebabkan sikap galak gadis itu. Namun jika ia harus melukai gadis ini, tentu
ia tidak sampai hati.
Cambuk gadis itu masih
membeletar terus menerus beberapa kali, dan selama itu telah menyebabkan Kim Lo
terdesak dua tindak ke belakang.
“Apakah nona tidak mau
menghentikan seranganmu dan memaksa terus padaku agar aku turun tangan?” Tanya
Kim Lo karena sengit juga diserang terus menerus.
Gadis itu tidak memperdulikan
ancaman Kim Lo. Ia malah menggerakkan cambuknya semakin gencar. Dan juga ia
telah membentak,
“Jaga serangan, manusia
rendah!”
Cambuk itu seperti juga
memiliki mata, setiap kali Kim Lo mengelak, cambuk itu selain dapat membuntutinya,
dan juga telah membuat Kim Lo selalu harus berkelit. Akhirnya habislah
kesabaran Kim Lo, tahu-tahu ia berhenti berkelit. Disaat mana cambuk si gadis
tengah menyambar.
Kim Lo menanti sampai ujung
cambuk datang dekat sekali. Ia mengulurkan tangan kanannya, menjepit ujung
cambuk itu dengan jari tangannya, kemudian mengerahkan tenaga dalamnya, ia
membentak: “Lepaslah!”
Gadis itu kaget. Ia merasakan
gentakkan yang kuat sekali, malah iapun merasakan telapak tangannya pedih bukan
main, mau atau tidak terpaksa ia harus melepaskan cambuknya. Dan cambuk itu
jadi berpindah tangan kepada Kim Lo.
Sedangkan Kim Lo telah
melompat ke depan, untuk menotok dengan jari tangannya.
Namun gadis itu lebih cepat
mengelakkan diri. Waktu ia melepaskan cambuknya, memang ia sudah menduga
dirinya dalam keadaan terancam dan ia harus bersiap-siap. Karenanya ia telah
melompat mundur lebih dulu, dengan demikian gagallah keinginan Kim Lo untuk
menotok jalan darah si gadis.
Sedangkan muka si gadis itu
jadi merah padam karena murka. Ia segera mencabut pedangnya. Pedang itu, sebat
sekali terhunus dan di¬ayunkannya buat menebas kaki Kim Lo.
Melihat menyambarnya pedang si
gadis, Kim Lo menjejakkan kakinya, tubuhnya segera melesat ke tengah udara.
Pedang lewat di bawah kakinya, dan mempergunakan kesempatan ini Kim Lo ingin
menginjak ujung pedang dengan kakinya, ia ingin mempergunakan lweekangnya yang
disalurkan pada kakinya, buat menindih pedang si gadis.
Keinginan Kim Lo kali inipun
gagal. Sebab gadis itu dapat bergerak cepat, ia bisa merobah kedudukannya
dengan segera. Sebelumnya pada kaki Kim Lo, malah ia telah menukikan pedangnya
naik ke atas, ke arah selangkangan Kim Lo.
Inilah serangan yang cukup
telengas. Jika sampai mengenai sasaran, niscaya akan membuat Kim Lo menerima
bahaya yang tidak ringan, dan mungkin juga ia akan menemui kematiannya.
Kim Lo terkesiap juga. Ia
tidak menyangka bahwa gadis yang sangat cantik dan berusia muda ini, memiliki
perangai yang demikian telengas. Ia tidak menyangka bahwa gadis ini bisa
mempergunakan jurus ilmu pedang yang tampaknya sesat dan berbau kejam itu.
Kim Lo tidak percuma telah
menerima gemblengan dari Oey Yok Su yang menghendaki Kim Lo jadi seorang yang
berkepandaian sangat tinggi. Walaupun tubuhnya tengah berada di udara, dan ia
diserang seperti itu oleh gadis tersebut, tokh ia tidak menjadi gugup. Cambuk
yang direbutnya tadi telah dipergunakannya, “Tarrr!”
Cambuk itu menyambar ke pedang
si gadis. Ujung cambuk itu melingkar pedang gadis itu, kemudian waktu Kim Lo
membenak: “Lepas!” Serta menariknya dengan mengerahkan tenaganya, pedang si
gadis segera kena dirampasnya. Dan pedang itu sudah pindah tangan.
Gadis itu kaget bukan main.
Diam-diam di samping murka sangat penasaran, iapun kagum untuk kepandaian orang
berpakaian serba putih ini. Dua kali ia telah gagal total dengan serangannya,
baik dengan mempergunakan cambuk maupun dengan pedangnya itu karenanya, telah
membuat ia jadi berdiri mematung dengan mata mendelik dan muka yang merah
padam.
Kim Lo menggoyang-goyangkan
pedang dan cambuk yang dirampasnya dari tangan gadis tersebut, dengan sikap
yang seenaknya ia bertanya, “Apakah ini hendak kau ambil lagi?”
Muka gadis itu sebentar berobah
merah sebentar berobah pucat karena ia sangat murka.
“Aku akan mengadu jiwa dengan
kau!” Bentak gadis itu yang jadi kalap.
Dan dia bukan hanya membentak
belaka karena cepat sekali tubuhnya melesat menerjang pada Kim Lo. Ke dua
tangannya juga bergerak sangat hebat, dengan kekuatan lweekang yang terkerah
sebagian besar pada telapak tangannya, ia menyerang Kim Lo dengan tangan
kosong.
Kim Lo mengelakkan serangan
itu sambil tersenyum.
“Jangan terlalu galak!”
Katanya. “Mari kita bicara secara baik-baik!”
Tapi gadis itu tetap menerjang
dengan pukulannya yang bertubi-tubi. Ia tidak bersenjata, tangan kosong, karena
ia sangat penasaran sekali, ia telah menghantam bertubi-tubi.
Kim Lo menghela napas.
“Kau terlalu keras kepala!”
Katanya kemudian dengan suara yang dingin. “Nah, terimalah senjatamu ini,”
sambil berkata begitu Kim Lo melontarkan pedang dan cambuk rampasannya kepada
si gadis.
Gadis itu mengelak, cambuk
jatuh sedangkan pedang menyambar terus menancap di batang pohon. Sedangkan
gadis itu membentak bengis dan melompat penasaran sekali menghantam lagi.
Kim Lo sudah tidak
memperdulikan. Ia mengelakkannya dengan mudah, tubuhnya melesat ringan
tahu-tahu tangannya menjambret baju di punggung Siu Lo. Ia kemudian dengan
gesit sekali meninggalkan tempat itu dan si gadis.
“Mau kabur kemana kau?” bentak
gadis itu dengan suara penasaran. Ia telah mengejarnya.
Namun Kim Lo sudah mengerahkan
gin-kangnya, tubuhnya melesat pergi dan sebentar saja sudah meninggalkan gadis
itu jauh sekali.
Gadis berbaju merah
membating-banting kakinya. Ia penasaran bukan main. Ia juga benar-benar tidak
mengerti, siapakah sebenarnya orang yang berpakaian serba putih dengan muka
yang ditutup kain putih itu?
Kemudian setelah menyesali
dirinya yang tidak dapat merubuhkan Kim Lo, gadis ini pergi mengambil
senjatanya. Ia kembali ke rumah makan.
Tadi ia keluar dari rumah
makan itu sebab melihat sikap Kim Lo yang mencurigakan, yaitu baru masuk sudah
berlari ke luar lagi. Maka ia menyusul ke luar, sehingga ia melihat Kim Lo
tengah bersiap-siap menyiksa Siu Lo dan ia turun tangan buat melindungi Siu Lo,
sebab gadis ini menyangka bahwa Kim Lo tentunya sebangsa manusia tidak baik.
Tapi usahanya gagal, karena
Siu Lo tetap saja jatuh di tangan Kim Lo yang telah membawanya pergi. Ia
penasaran sekali, di dalam hatinya ia bersumpah, kelak akan mencari Kim Lo lagi
untuk mengadu ilmu lagi dengannya.
“Hemm, tadi aku terlalu
ceroboh dan tidak memandang sebelah mata padanya, sehingga aku kena
dirubuhkannya! Tapi lain kali jika aku bersikap lebih hati-hati tentu dia tidak
bisa berbuat banyak padaku!” Begitulah pikir gadis berbaju merah itu. Ia mulai
bersantap.
<>
Kim Lo yang menenteng Siu Lo
berlari pesat sekali. Siu Lo sendiri ketakutan bukan main.
Ia merasakan tubuhnya seperti
dibawa terbang oleh Kim Lo. Ia meratap tidak hentinya, meminta ampun untuk ketidak
jujuran hatinya yang telah membohongi Kim Lo.
Tapi Kim Lo tidak
memperdulikan ratapan Siu Lo. Ia membawa orang itu berlari terus dengan cepat
sekali, berlari seperti terbang. Yang terpenting baginya adalah meninggalkan
tempat itu sejauh mungkin, agar tidak diganggu lagi oleh gadis berbaju merah
yang galak itu.
Setelah merasa berlari cukup
jauh, barulah ia berhenti berlari. Ia menurunkan Siu Lo dengan suara bengis
bentaknya:
“Sekarang kau akan kusiksa,
percuma saja, karena kau tidak bisa dipercaya lagi dan aku tidak mau
mempercayai keteranganmu lagi, karenanya engkau harus dihajar keras!”
Siu Lo seketika menjatuhkan
diri berlutut ia telah mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ampunilah aku Taihiap! Aku
tidak akan lagi berbuat tidak jujur!” Kata Siu Lo.
“Baiklah! Ayo pergi ke
Sien-sie-sie!” Kata Kim Lo.
“Tapi guruku tidak berada di
sana!”
“Benar atau tidak gurumu telah
berada di rumah penginapan?” Memotong Kim Lo tidak begitu yakin akan keterangan
Siu Lo.
“Sekali ini, aku tidak berani
berdusta.......!” kata pendeta itu sambil memperlihatkan sikapnya
bersungguh-sungguh.
Kim Lo mengangguk.
“Baiklah! Tapi ingat, jika
sekali kau berdusta, hmmm, aku akan sungguh-sungguh lagi buat menghantam berat
padamu.”
“Aku……. aku mengerti,
Taihiap.”
“Ayo cepat jalan!” perintah
Kim Lo.
Pendeta muda itu segera bangun
berdiri. Ia mengajak Kim Lo untuk pergi ke rumah penginapan, di mana di rumah
penginapan itu Kim Lo pun menginap.
Setelah sampai di depan rumah
penginapan, Kim Lo bertanya bengis: “Di kamar mana gurumu itu berada?”
“Di kamar nomor empat.”
“Hemmm, kau tak berdusta?”
“Tidak berani,
Taihiap.......!”
“Ayo kau ikut masuk.......!”
perintah Kim Lo lagi.
Waktu itu tampak si pendeta
muda ragu-ragu tapi ia tak berani membantah, karena ia segera melangkah masuk
ke dalam rumah penginapan tersebut. Kim Lo berjalan di belakangnya.
Waktu sampai di depan kamar
nomor empat, pendeta muda tersebut berdiri bimbang.
“Ketuk pintunya!” perintah Kim
Lo lagi.
Siu Lo tak berani membantah,
ia mengetuk pintu tersebut tidak begitu keras.
“Siu Lo, kau telah pulang?”
terdengar suara menegur dari dalam. Berat pula suara itu.
“Be…… benar, suhu!” Menyahuti
Siu Lo.
“Mengapa tidak segera masuk?”
terdengar lagi suara orang di dalam kamar itu!
“Ba..... baik suhu!” Kata Siu
Lo sambil mendorong daun pintu kamar dan melangkah masuk.
Kim Lo ikut melangkah masuk
juga.
Terdengar suara seruan heran
dari orang di dalam. Kim Lo melihat di balik meja tampak seorang pendeta
berusia setengah baya tengah duduk minum arak!
Bayangkan saja, seorang
pendeta tengah meminum arak! Padahal, arak merupakan cairan yang terlarang buat
seorang pendeta, tapi justeru di hadapan pendeta itu ada poci dan cawan arak.
Rupanya pendeta setengah baya
tersebut cepat dapat menguasai dirinya, karena segera ia telah bilang: “Oho,
rupanya ada tamu yang tidak diundang ikut serta dengan kau, Siu Lo?”
Wajah Siu Lo pucat pias,
tampaknya ia ketakutan, segera ia menjatuhkan dirinya berlutut, ia bilang,
“Ampun suhu..... sebenarnya…… sebenarnya…….!”
“Pergilah kau!” Kata pendeta
itu sambil mengibaskan lengan jubahnya.
Siu Lo segera
mengangguk-anggukkan kepalanya dan pergi keluar dari kamar itu.
Pendeta itu memandang pada Kim
Lo, kemudian katanya: “Siapakah anda?”
Kim Lo tertawa dingin.
“Un Ma Siansu, selamat
bertemu!” Kata Kim Lo dengan suara tawar.
Muka pendeta itu berobah, ia
bilang, “Kau mengetahui gelaran lolap?” tanyanya dengan sikap berobah jadi
tenang lagi, dan ia berdiri.
Kim Lo mengawasi tajam sekali.
“Katakanlah apa maksudmu
perintahkan muridmu itu untuk membuntuti aku?” tanya Kim Lo lagi, suaranya
tawar.
Un Ma Siansu tertawa.
“Hahaha...... kau rupanya
tengah bermimpi!” Kata Un Ma Siansu kemudian. “Siapa yang perintahkan muridku
itu membuntutimu, sedangkan kenal saja dengan kau tak pernah, mungkin sicu
sedang mengigau!”
Kim Lo tertawa dingin.
“Un Ma Siansu, tampaknya kau
hendak menyangkal, bukan?” tanya Kim Lo. “Tapi muridmu justeru telah mengakui
semuanya, bahwa kau yang perintahkan ia untuk membuntuti aku. Agar bisa
mengetahui siapa sebenarnya aku, dan mengetahui juga bagaimana bentuk mukaku
yang selalu tertutup ini!”
Waktu berkata begitu, suara
Kim Lo tinggi dan dingin sekali. Ia mendongkol juga melihat sikap pengecut dari
si pendeta setengah baya yang bergelar Un Ma Siansu itu.
Muka Un Ma Siansu seketika
berobah.