Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 11-20
Laki-laki itu merogoh sakunya,
dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, disesapkan ke dalam tangan Kim Lo,
katanya kemudian: “Kau simpanlah barang ini aku titipkan padamu dan kau jangan
memberikan kepada orang lain! Nanti suatu saat aku akan mencarimu untuk mengambil
barang ini! Kau bersedia untuk menolongku, bukan?”
Kim Lo kaget, benda itu dingin
sekali. Dia pun bingung, karena orang itu tidak dikenalnya, sedangkan orang
tersebut juga tidak mengetahui siapa Kim Lo dan tinggal di mana, lalu bagaimana
kelak ia ingin mencarinya untuk mengambil kembali barangnya ini…….?
“Paman……!” Kata Kim Lo ingin
menjelaskan.
“Jangan banyak bicara, waktu
tinggal sedikit dan mendesak sekali, kau kantongilah barang itu!” Kata orang
tua tersebut.
Kim Lo tidak bisa-bilang
apa-apa, dia memasukkan benda itu, yang dingin dan lengket oleh sesuatu cairan,
ke dalam sakunya.
“Jika nanti tidak lama lagi
kau bertemu dengan serombongan orang, dan menanyakan apakah kau melihat
seseorang yang lari dengan kaki yang pincang, kau memberitahukan bahwa aku
mengambil arah selatan. Mengertikah kau?”
Dengan ragu-ragu Kim Lo
mengiyakan. Dan orang tua itu tidak membuang waktu telah melarikan diri pula ke
arah barat.
Lama Kim Lo berdiri tertegun
di tempatnya sampai akhirnya ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan benda itu.
Namun belum lagi ia mengeluarkan barang tersebut, justeru dari sebelah depan,
dari arah di mana tadi orang tua itu mendatangi terlihat beberapa sosok tubuh.
Mereka adalah laki-laki
semuanya, yang mengenakan pakaian seragam sebagai pahlawan kerajaan. Dan juga
mereka semuanya memiliki tubuh yang tinggi besar dengan wajah yang sangat
bengis.
Waktu itu salah seorang telah
berseru: “Lihat, di sana ada mahluk ajaib!”
Kim Lo membatalkan
keinginannya untuk mengeluarkan benda yang dingin itu dari dalam sakunya dan
dia berdiri diam saja. Cuma saja hatinya jadi tidak senang mendengar dia
disebut sebagai makhluk ajaib. Karena itu dia mengawasi saja kepada orang-orang
itu cepat sekali telah tiba di dekat Kim Lo.
Salah seorang di antara
mereka, yang mukanya bengis dan penuh berewok telah membentak: “Bocah, apakah
kau melihat orang terluka parah tubuhnya, larinya pincang, lewat tempat ini?”
Kim Lo mengangguk.
“Benar, orang inilah yang
dimaksudkan si pemilik barang itu!” berpikir Kim Lo Dan dia pun segera
menyahutinya: “Ya, aku melihatnya tadi orang itu mengambil arah ke selatan!”
Orang-orang itu saling
pandang, tampaknya mereka ragu-ragu. Sejenak mereka pun mengawasi sekitar tempat
itu, kemudian kepada tetes darah dekat kaki Kim Lo. Muka mereka seketika
berobah.
“Bocah kau jangan coba-coba
main gila di hadapan kami! Dimana orang tua itu bersembunyi?” bentak salah
seorang di antara mereka.
Kim Lo tercekat hatinya waktu
melihat orang-orang itu memperhatikan tetes darah di dekat kakinya, di atas
tanah. Ia segera menduga tentu orang-orang itu akan curiga padanya. Dan
dugaannya memang benar, sebab orang-orang itu segera mencurigainya.
“Aku tidak tahu apa-apa.......
tadi aku cuma melihat orang itu berlari terpincang-pincang menuju ke
selatan....... entah dia mau pergi ke mana?” Kim Lo masih berusaha untuk
mendustai orang-orang itu.
Tapi orang yang satu itu, yang
rupanya jadi pimpinan rombongan dari pahlawan kerajaan itu, tidak sabar lagi
menjambak dada Kim Lo.
Dengan sendirinya melihat
tangan orang itu diulurkan untuk menjambak dadanya, Kim Lo berkelit ke samping.
Gerakannya sangat cepat sekali, jari tangan orang itu cuma menyerempet bajunya,
tapi tidak berhasil untuk menjambaknya.
“Ihhh!” Orang tersebut
mengeluarkan seruan heran. Namun wajahnya tampak kian menyeramkan, iapun
membentak: “Bagus! Rupanya kau memiliki kepandaian juga! Hemmmm, tentu kau
orangnya si pemberontak itu……!”
Sambil berkata begitu, kembali
orang itu mengulurkan tangannya untuk menjambak. Jika tadi dia menjambak dengan
tidak sesungguhnya hanya sembarangan saja tapi sekarang justeru dia menjambak
dengan mempergunakan jurus “Sepasang Naga Keluar Goa”, di mana tangannya itu
bergerak serentak, seperti juga ada di kiri dan kanan sulit diterka arah
sasaran yang sebenarnya, dan tenaga menjambaknya itu kuat sekali.
Kim Lo walaupun masih kecil,
tapi ia sejak bayi telah digembleng oleh Oey Yok Su. Karena dari itu melihat
tangan orang itu ingin menjambak dadanya lagi, Kim Lo cepat-cepat menekuk
tangan kanannya, dia memiringkan tubuhnya, tangan orang itu jatuh di tempat
kosong, dan kemudian Kim Lo menggerakkan sikut tangannya.
“Plakkk!” Telak sekali
menghantam mata orang tersebut, sampai dia menjerit kaget dan melompat mundur.
Diapun sebelum bisa membuka
matanya untuk melihat dengan baik telah berseru kepada kawan-kawannya: “Tangkap
setan kecil itu, dia tentu anak buahnya si pemberontak.”
Serentak belasan orang
pahlawan kerajaan telah menyerbu kepada Kim Lo. Mereka semuanya memiliki
kepandaian yang tinggi. Walaupun Kim Lo adalah “cucu” Oey Yok Su, yang sejak
kecil telah digembleng dan dididik oleh Oey Yok Su, akan tetepi dikeroyok
seperti itu, jelas ia tidak bisa memberikan perlawanan, terlebih lagi memang
diapun tidak berpengalaman.
Mati-matian memberikan perlawanan tapi hanya sekejap
mata ia telah kena di bekuk oleh belasan orang pahlawan kerajaan itu. Malah
pemimpin rombongan itu, sengit sekali, karena tadi matanya kena disikut dan
sakit bukan main, telah menghampiri di saat Kim Lo telah diringkus, dan dia
menghantam dengan jitakan yang kuat sekali ke kepalanya kemudian menamparnya
juga, diiringi bentakannya:
“Bagus? Rupanya memang kau mata-mata
si pemberontak.”
Kim Lo sangat mendongkol,
Kong-kongnya belum pernah memperlakukan kasar seperti itu padanya. Segera juga
ia mementang mulutnya, “Kalian akan memperoleh hajaran dari Kong-kong! Lihat
saja nanti!”
Orang-orang itu tertawa
mengejek, sedangkan salah seorang di antara mereka telah berteriak, “Lihat!
Tangannya berlumuran darah!”
Pemimpin rombongan itu juga
segera melihat telapak tangan Kim Lo berlumuran darah. Mukanya seketika
berobah.
“Geledah tubuhnya!”
perintahnya.
Seketika Kim Lo diperiksa dan
digeladah. Dan dari sakunya telah dikeluarkan barang yang tadi dititipkan orang
tua pincang yang sudah melarikan diri.
Seketika terdengar orang-orang
itu berseru kegirangan, karena mereka melihat barang yang mereka keluarkan
adalah benda yang tengah mereka cari-cari. Dan diwaktu itu juga, yang memimpin
rombongan itu telah bekata: “Lihatlah, akhirnya kita berhasil memperoleh barang
ini!!”
Kim Lo melihat, barang yang
tadi dititipkan padanya adalah semacam batu Giok berwarna putih. Dan diwaktu
itu, ia juga melihat jelas, batu itu berlumuran darah.
Dan dia baru teringat, mengapa
tadi waktu barang itu disesapkan ke tangannya terasa lengket-lengket, dan juga
Kim Lo melihat, bentuk dari batu tersebut sangat aneh sekali. Batu itu membuat
orang-orang tersebut jadi kegirangan, entah batu itu barang pusaka apa?!
Tengah Kim Lo terheran-heran,
menduga entah benda pusaka apa batu itu, justeru tubuhnya telah didorong oleh
salah seorang pahlawan kerajaan, diiringi dengan suara bentakan: “Ayo jalan!”
“Kita bawa ke markas!” berseru
seorang lainnya.
“Ya, kita bisa mengorek
keterangan dari mulutnya!” kata pimpinan rombongan tersebut.
Kim Lo berusaha meronta, namun
ia mana bisa menandingi tenaga dari belasan orang yang meringkusnya itu? Dengan
sendirinya, dia tidak berkutik waktu dikempit oleh salah seorang dan dibawa
lari.
Kim Lo berusaha meronta dan
memaksa kalang kabutan.
“Jika Kong-kongku datang,
tentu kalian akan dihajar mampus semuanya!” Mengomel Kim Lo kalang kabutan.
Tapi orang-orang itu tidak mau
mempedulikan makiannya. Hanya pemimpin rombongan tersebut yang menyahuti dengan
suara dingin.
“Biar kakekmu datang karena
memang kami ingin membekuknya juga! Lebih baik lagi jika dia datang ke markas
kami....... Hahaha!”
Dan sambil tertawa
bergelak-gelak, pemimpin rombongan itu telah melontarkan batu berlumuran darah
itu, ke tengah udara kemudian ditampinnya lagi,
“Ohhhh, Giok-sie! Giok-sie!
Sekarang akhirnya kau berada di tangan kami! Tentu kami akan menerima hadiah
yang sangat besar dari Hong-siang.”
Kim Lo terkejut mendengar
kata-kata orang itu. Apakah batu putih itu yang berlumuran darah adalah
Giok-sie, cap kerajaan, yang sering didengarnya belakangan ini sejak ia ikut
dengan Kong-kongnya datang ke tempat ini? Entah apa artinya Giok-sie itu bagi
kerajaan, dan juga mengapa sampai demikian gembiranya orang-orang itu seakan
juga segumpal batu putih itu benar-benar merupakan barang yang sangat berharga.
Setelah dikempit dibawa lari
beberapa saat lamanya, akhirnya mereka sampai di sebuah gedung yang sangat
besar dan terang benderang oleh lampu pelita yang dipasang di berbagai tempat.
Kim Lo dibawa ke ruang dalam,
kemudian oleh orang yang mengempitnya si bocah dilemparkannya ke lantai, tubuh
terbanting di lantai. Anak lelaki ini merasakan tubuhnya sakit sekali, tapi ia
tidak menjerit.
Di ruang tersebut berdiri
seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, ia memakai baju kebesaran,
seperti juga seorang pembesar kerajaan. Rambutnya ditao-cang sangat panjang.
Dialah pembesar Boan, yang tampak berdiri angkuh sekali.
Belasan orang yang yang
menangkap Kim Lo segera menjatuhkan diri berlutut. Pemimpin rombongan orang itu
segera juga berkata dengan suara yang nyaring!
“Tayjin. Kami berhasil
menangkap bocah ini yang kami duga mata-mata si pemberontak! Juga dari sakunya
kami telah berhasil menemui Giok-sie.......”
Sambil berkata begitu,
pemimpin rombongan tersebut mengangkat batu putih itu dengan kedua tangannya,
dipersembahkan kepada pembesar itu dengan sikap menghormati sekali.
“Hemmm,” hanya itu saja dengus
pembesar Boan tersebut, kemudian menyambuti batu putih itu. Ia membalik-balikan
beberapa saat wajahnya berangsur jadi terang yang berseri-seri. Malah, sambil
menimang-nimang batu putih itu, ia bilang: “Apakah ini sebenarnya Giok- sie
yang asli?”
Pemimpin rombongan tersebut
cepat-cepat mengangguk.
“Hamba kira memang itulah
Giok-sie yang sesungguhnya, yang asli!” Katanya dengan suara yang nyaring, “Dan
Tayjin tentunya dapat mengujinya untuk mengetahui apakah Giok-sie itu asli atau
tidak....... karena memang kita harus mengingat, betapapun juga pemberomntak
itu sangat licin dan licik. Siapa tahu justeru dia sengaja membuat Giok-sie
yang palsu!”
Pembesar Boan itu
mengangguk-angguk beberapa kali sambil matanya tidak lepas-lepas memperhatikan
Giok-sie.
“Kalian telah mendirikan jasa
yang sangat besar, tentu Hong-siang sangat bersyukur atas kerja keras kalian
yang herhasil memperoleh Giok-sie. Karena dari itu, jika memang nanti telah
dilaporkan kepada Hong-siang, niscaya kalian akan dianugrahi hadiah yang tidak
sedikit!”
“Kami memang memohon kemurahan
hati Tayjin untuk menyampaikan sedikit jerih payah kami kepada Hong-siang?”
Kata orang-orang itu hampir berbareng.
Kemudian dengan mata yang
tajam, Pembesar Boan itu menoleh kepada Kim Lo.
“Bawa anak itu kemari!”
katanya.
Pemimpin rombongan pahlawan
kerajaan, segera juga menyeret Kim Lo ke dekat pembesar Boan tersebut.
Dengan wajah yang bengis dan
suara yang dingin, pembesar Boan itu bilang: “Aneh, mukanya demikian buruk, dan
ia lebih mirip sebagai seorang anak kera dibandingkan sebagai manusia!”
Muka Kim Lo jadi merah padam
dan marah bukan main, karena ia tahu dirinya dihina.
Tapi belum lagi Kim Lo sempat
memaki pembesar itu, didengarnya pembesar Boan tersebut, membentak dingin
sekali. “Siapa namamu dan masih ada hubungan apa kau dengan Liok Kie Bun?”
Kim Lo mementang matanya
lebar-lebar.
“Jangan mendelik begitu!”
Bentak pembesar Boan tersebut. “Atau memang kau menginginkan sepasang matamu
itu dicongkel?”
Kim Lo membalas membentak:
“Hemmm, jika memang nanti Kong-kongku itu datang niscaya kalian akan dihajar
mampus!”
Pembesar Boan itu tertawa, ia
bilang: “Apakah Liok Kie Bun itu adalah kakek mu?'
“Aku tak kenal siapa itu Liok
Kie Bun,” menyahuti Kim Lo ketus.
“Lalu siapa kakekmu.......?”
tanya pembesar Boan itu dengan menyeringai dingin.
Kim Lo Baru saja ingin
menyebutkan nama Oey Yok Su, tapi tiba-tiba ia merobah pikirannya, karena
segera juga ia bilang,
“Hemmm, aku tidak mau
memberitahukan pada kalian siapa kakekku!”
Pembesar Boan tersebut tertawa
dingin, tangannya menimang-nimang batu putih yang disebutnya sebagai Giok-sie.
“Hemmm, walaupun kau tak mau
memberitahukannya kami sudah tahu siapa itu kakekmu!”
“Siapa?” tanya Kim Lo dasar
masih kanak-kanak.
“Liok Kie Bun!” Menyahuti
pembesar Boan itu.
“Bukan! Kau manusia bodoh!
Sudah kukatakan aku tidak kenal siapa itu Liok Kie Bun! Hemmm, kakekku itu
orang hebat, dan jika memang dia datang, tentu kalian akan menggigil dan
ketakutan dan terkencing-kencing, memohon pengampunan!”
Tapi pembesar Boan itu tidak
marah, dia menyeringai, dengan tawar tanyanya: “Apakah kakekmu itu yang
memberikan batu Giok-sie ini kepadamu?”
Kim Lo melirik kepada Giok
-sie yang berada di tangan pembesar Boan tersebut.
“Bukan!” sahutnya kemudian.
Diamnya Kim Lo diduga oleh
orang-orang itu sebagai sikap ragu-ragu, demikian juga pembesar Boan itu. Dia
menyeringai lagi, kemudian katanya: “Kau jangan coba-coba mendustai kami! Sudah
jelas kau cucu Liok Kie Bun! Nah, siapa namamu?”
“Aku tidak mau
memberitahukan!” kata Kim Lo.
“Apakah namamu jelek dan tidak
enak didengar?”
Mendengar ejekan pembesar Boan
itu bukan main gusarnya Kim Lo. Dasar memang masih kanak-kanak, dibakar dengan
pancingan seperti itu, segera termakan.
“Bukan! Aku memang tak mau
memberitahukan namaku padamu,” kata Kim Lo berteriak.
“Hemmm kami tahu, tentu namamu
itu sama buruknya dengan rupa dan tampangmu yang seperti kera, karena dari itu
kau malu buat memberitahukan namamu kepada kami!” kata pembesar Boan tersebut
dengan sikap mengejek.
Kim Lo jadi semakin gusar, ia
membentak dengan suara galak karena belum pernah anak ini marah seperti itu.
“Jika memang nanti Kong-kongku datang, akan kuberitahukan padanya bahwa kalian
telah menghinaku, aku akan minta agar kalian dihajar setengah mati…….!”
“Kukira, kakekmu itu tentu
tidak berani datang kemari!” Kata pembesar Boan tersebut. “Hemmm, jika memang
dia berani datang kemari, itu berarti dia membuang jiwa. Kami justeru hendak
menangkap dan dia selalu melarikan diri, mencari tempat persembuyian! Mana
mungkin dia berani datang kemari untuk mengantarkan jiwanya?”
Kim Lo tertegun sejenak.
“Kalian tahu siapa kakekku
itu?” tanyanya kemudian.
“Kami sudah tahu!” menyahuti
pembesar Boan tersebut menyeringai.
“Hemmm, ayo kau sebutkan
namanya kakekku itu jika memang benar-benar kalian mengetahui!” tantang Kim Lo.
“Apa sulit!? Kami memang telah
mengetahuinya! Tidak perlu kami beritahukan lagi kepadamu! Tetapi sekarang yang
kami ingin ketahui, dimana bersembunyi kakekmu itu?” Dingin sekali suara dan
sikap pembesar Boan itu.
“Bersembunyi? Kakekku tidak
pernah bersembunyi!” bentak Kim Lo jadi mendongkol dan marah. “Atau memang
kalian anggap kakekku seorang pengecut?”
“Hemmm, memang kami lihat
kakekmu itu seorang pengecut!” kata pembesar Boan itu.
“Jangan kau bicara
sembarangan!” Meledak kemarahan Kim Lo. Bocah itu hendak meronta, tapi
tenaganya tidak cukup untuk melepaskan diri dari cekalan orang-orang itu.
“Hemmm, kami telah bisa
membuktikan bahwa kakekmu itu pengecut!” Kata pembesar Boan tersebut. Jika
memang dia bukan seorang pengecut, tentu dia telah datang kemari untuk
menolongmu! Buktinya? Sekarang ini bayangannya saja tidak terlihat! walaupun
cucunya telah kami tawan!”
Tubuh Kim Lo gemetaran karena
menahan marahnya. Teriaknya: “Aku pergi tanpa diketahui kakek.......!”
“Kau pergi tanpa diketahui
kakekmu?” Tanya pembesar Boan itu dengan suara. “Hemm, kau jangan bermimpi
bocah! Kau tidak bisa mendustai kami! Jika kau pergi diam-diam tanpa diketahui
kakekmu, tentu kau tidak akan menyimpan Giok-sie ini di sakumu!”
“Aku diberi oleh orang tua
yang tidak ku kenal!” menyahuti Kim Lo sengit. “Dia minta tolong kepadaku untuk
menyimpan Giok-sie itu! Aku tidak tahu barang apa itu, namun akhirnya kalian
menyebut-nyebut sebagai Giok-sie!”
Muka pembesar Boan itu
berobah, tapi kemudian sikapnya pulih sebagaimana biasa lagi, dengan sikap
dingin mengejak dia bilang: “Jika memang benar-benar orang itu bukan kakekmu,
orang yang memberikan kepadamu batu kumala putih ini, maka kau bisa menyebutkan
ciri-cirinya kepada kami!”
Kim Lo segera memberitahukan
ciri-ciri orang itu, yang larinya pincang juga tubuhnya terluka parah.
Pembesar Boan itu bersama para
pahlawannya saling pandang. Kemudian pembesar Boan tersebut tertawa
bergelak-gelak, katanya lagi, “Dan sekarang orang itu bersembunyi di mana?”
“Mana aku tahu! Dia cuma
bilang, jika nami kalian tanya beritahukan saja dia pergi ke selatan……!”
Menyahuti Kim Lo sengit.
“Lalu sesungguhnya dia
melarikan diri ke arah mana?” tanya pembesar Boan itu.
“Ke.......!” Tapi berkata
sampai di situ, Kim Lo ragu-ragu, dan ia tersadar, tidak bisa memberitahukan
kepada pembesar Boan itu, ke arah mana orang tua pincang itu pergi. Bukankah
dia telah menyanggupi akan menolongnya dan berjanji akan menuruti apa yang
dipesankan orang tua itu?
Melihat sikap dan kelakuan
para pembesar kerajaan ini, tampaknya mereka bukan manusia baik-baik dan Kim Lo
juga teringat orang tua pincang itu dalam keadaan terluka parah. Jika dia
memberitahukan ke arah mana orang tua itu pergi, bukankah para pahlawan
kerajaan ini akan mengejar dan menawannya, lalu menyiksanya sampai mati?
Karena berpikir seperti itu,
jadi bungkam.
“Ayo kau beritahukan, ke arah
mana orang itu melarikan diri? Jika memang kau memberitahukan dengan jujur,
maka kau akan kami bebaskan,” kata pembesar Boan itu.
“Hemmm, tentu saja ke Selatan.
Bukankah tadi telah kukatakan bahwa orang itu berpesan dia akan pergi ke
selatan?” menjawab Kim Lo pada akhirnya.
“Jangan dusta!” bentak
pembesar Boan itu bengis, “Kau jangan main-main dengan kami, Setan cilik!”
Kim Lo tidak melayani, dia
tertawa dingin dan bungkam saja.
Pembesar Boan itu melirik
kepada pemimpin rombongan pahlawan kerajaan.
Rupanya pemimpin dari
rombongan pahlawan kerajaan mengetahui arti isyarat pembesar Boan, dia
melangkah mendekati Kim Lo, mengulurkan tangannya yang kanan, dan,
“Plakkk, plakkk!” Dua kali Kim
Lo ditempelengnya, sampai anak itu merasakan matanya berkunang-kunang sebab
kepalanya pusing.
“Ayo bicara yang benar dan
jujur!” bentak pembesar Boan itu bengis, “Jika memang kau keras kepala dan mau
berdusta terus, hemmm, tentu kau akan menderita sendirinya!”
Kim Lo mementang matanya lebar-lebar
kemudian katanya: “Baiklah aku akan bicara yang jujur!”
“Nah, begitulah, baru anak
manis!” kata pembesar Boan tersebut. “Jika memang kau bicara jujur, bukan saja
kau akan kami bebaskan dan boleh pergi ke mana kau suka, maka kami juga akan
menghadiahkan kau limapuluh tail emas……!”
“Baik! Dengarlah baik-baik!
Orang yang kakinya pincang dan tubuhnya berlumuran darah penuh luka itu, telah
mengambil ke arah selatan untuk melarikan diri....... dan memang begitulah
pesannya!”
Bukan main gusarnya pembesar
Boan karena mengetahui bahwa Kim Lo memang sengaja hendak mempermainkan
dirinya. Maka ia memberi isyarat lagi kepada pemimpin rombongan pahlawan yang
wajahnya berewokan bengis, ia melompat dan mencekal tangan Kim Lo, di telikung
ke belakang.
Kim Lo kesakitan tapi anak itu
tidak menjerit. Dan ia merasakan tangannya seperti akan patah.
“Plakkk! Plooookkk!” Kembali
muka Kim Lo di tempeleng.
“Ingat, jika Kong-kongku
datang, semua ini akan dibalasnya dengan berikut bunganya!” kata Kim Lo saking
marah tanpa tidak berdaya.
Pembesar Boan itu memberikan
isyarat lagi kepada pimpinan pahlawan itu, yang menyiksa Kim Lo dengan ditekan
pundaknya, bocah itu terjerunuk terjerembab di lantai. Kemudian punggungnya
diinjak.
“Jika kau tidak mau bicara
yang jujur dan sebenarnya, aku akan menginjak punggungmu sampai tulang dadamu
remuk!” mengancam si berewok dengan suara yang bengis.
Kim Lo kesakitan, tapi ia
tidak takut, katanya: “Hemmm, kalian cuma pandai menghina anak kecil!”
Si berewok jadi tertegun,
teriaknya kemudian: “Baiklah! Aku Bun Siu Thang akan melayani kakekmu! Dimana
kakekmu?”
“Jangan bicara sombong!
Jangankan ingin melawan kakekku melihat saja kau akan gemetar!” Menjawab Kim
Lo.
Dia memang sering mendengar
cerita ibunya tentang kakeknya merupakan tokoh sakti rimba persilatan, dan
dihormati oleh seluruh orang Kang-ouw. Bahkan orang-orang yang mengambil jalan
hitam semuanya menggigil ketakutan begitu mendengar nama Oey Yok Su.
“Hemmm, baik! Nanti kita lihat
saja! Apakah kakekmu benar-benar seorang yang luar biasa, sehingga aku harus
jeri padanya! Kau beritahukan di mana tempat bersembunyinya?”
Sambil membentak-bentak
begitu, Bun Siu Thang menginjak lebih keras. Kakinya menekan pundak Kim Lo. Dan
anak itu merasakan dadanya yang menekan batu lantai jadi sakit bukan main. Dia
merasakan tulang dadanya seperti hendak patah.
Karena menahan sakit yang
hebat Kim Lo jadi mengucurkan keringat, mukanya pias. Tapi luar biasa, anak ini
biarpun mukanya jelek seperti muka kera, tapi berkat bimbingan Oey Yok Su yang
merupakan seorang tokoh sakti, tabiat anak ini juga jadi agak luar biasa
kerasnya.
Ia sama sekali tidak menjerit.
Malah ia telah berseru nyaring: “Baik, aku akan memberitahukan kepada kalian
siapa adanya orang tuaku!”
Kim Lo mengambil keputusan
itu, karena ia berpikir di dalam hatinya: “Orang-orang ini jahat sekali tentu
mereka akan takut sekali mendengar nama Kong-kong. Bukankah Mama, selalu
menceritakan, banyak orang-orang rimba persilatan begitu mendengar nama
Kong-kong saja akan pingsan ketakutan. Siapa tahu begitu aku menyebut nama
Kong-kong mereka akan ketakutan dan cepat-cepat membebaskan aku?”
Bun Siu Thang mengangkat
kakinya, bentaknya: “Ayo sebutkan, siapa nama kakekmu yang kau agul-agulkan
itu?!”
Kim Lo merangkak untuk
berdiri, tapi Bun Siu Thang menyepak pinggulnya, sampai anak itu bergulingan.
“Cepat katakan!” bentak Bun
Siu Thang lagi.
“Kakekku she Oey!” kata Kim Lo
nyaring, “Dan namanya Yok Su. Kukira kalian telah mendengar! Dialah majikan
pulau Tho-hoa-to!”
Sambil berkata begitu Kim Lo
telah sempat bangun, sebab Bun Siu Thang dan yang lainnya jadi berdiri tertegun
seperti kaget dan hanya bengong takjub mengawasi Kim Lo. Mereka seperti
patung-patung belaka, sempat Kim Lo melihatnya, betapa orang-orang itu
memandangnya dengan muka yang pucat pias.
Di dalam hati Kim Lo sangat
girang, iapun berpikir. “Hemmm, memang apa yang diceritakan Mama tidak bohong,
mereka ketakutan bukan main, muka mereka pucat! Sekarang baru rasa kalian…….”
“Kong-kongmu bernama
Oey.......0ey .......Oey Yok Su?” tanya pembesar Boan itu kemudian suaranya
tidak lampias dan juga tidak lancar.
“Tidak salah?” Mengangguk Kim
Lo sambil tertawa dingin, wajahnya memancarkan perasaan bangga.
Tiba-tiba pembesar Boan itu
berseru: “Tangkap! Bekuk dia!”
Belasan orang pahlawan
kerajaanpun segera melesat mengepungnya dan meringkusnya.
Kim Lo kaget semangatnya
terbang.
“Celaka!” Dia berseru perlahan
karena seketika ia jadi putus asa, melihat bahwa orang-orang itu hendak
menawannya lagi, pasti ia akan disiksa lagi.
“Hemm,” Bun Siu Thang si
berewok juga telah berkata nyaring dan bengis. “Kita harus menebas rumput
menghilangkan jejak! Anak ini tidak boleh dibiarkan hidup……”
Ternyata karena Kim Lo
mengakui dirinya sebagai cucu Oey Yok Su, Bun Siu Thang dan yang lainnya memang
kaget tidak terkira. Mereka juga jadi ketakutan. Bukankah tadi mereka telah
menyiksa Kim Lo?
Dan jika memang anak ini
mengadu kepada Oey Yok Su, bukankah mereka akan celaka, sebab Oey Yok Su akan
mencari mereka? Tidak mungkin mereka bisa menghadapi dan melawan majikan pulau
Tho-hoa-to itu.
Karenanya segera juga yang
terpikir oleh mereka adalah membunuh Kim Lo, agar mereka bisa lolos dari Oey
Yok Su. Kim Lo dibinasakan, berarti jejak mereka telah lenyap dan Oey Yok Su
tidak akan mengetahui siapa yang telah membunuh cucunya tersebut.
Waktu itu tampak Kim Lo dengan
mudah telah diringkus oleh belasan orang pahlawan kerajaan, karena bocah itu
biarpun memiliki ilmu silat kelas wahid yang luar biasa dari Oey Yok Su, namun
memiliki tenaga yang kecil dan juga pengalaman yang cetek. Karena itu, dalam
usia seperti itu, Kim Lo tidak bisa menghadapi belasan orang pahlawan kerajaan.
Dia kena ditawan lagi.
Bun Siu Thang menoleh kepada
pembesar Boan itu,
“Ong-ya, apakah kita binasakan
saja bocah ini?” tanyanya.
Ong-ya itu yang bernama Khuluk
Khan, tertawa dingin. Tapi dia tidak segera menyahuti, karena dia ragu-ragu dan
tengah berpikir keras. Tangannya menimang-nimang Giok-sie yang berlumuran
darah, ia mengawasi sejenak.
“Ya. Kita harus membunuh dan
melenyapkan bocah itu! Tapi yang kita perhatikan adalah cara bagaimana
sebaik-baiknya menghilangkan jejak dari Oey Yok Su!
“Jika sekarang kita
membinasakannya, kemudian Oey Yok Su mengetahui kita yang membunuh cucunya itu,
jelas kitapun tidak akan lolos dari kematian! Karena dari itu, kita harus
memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk menghilangkan jejak kita sedangkan
bocah itu kita binasakan.......
“Adanya bocah ini di sini,
berarti Oey Yok Su pun berada di sekitar tempat ini! Selanjutnya kita harus
hati-hati.”
Setelah berkata begitu, ia
mengawasi belasan orang pahlawan kerajaan, kemudian katanya lagi, “Untuk
sementara bocah itu kita tahan saja dulu, nanti kupikirkan dengan cara
bagaimana sebaiknya menyingkirkan bocah itu yang pasti, bocah itu sudah tidak
bisa kita lepaskan dalam keadaan hidup.
“Sebab jika ia sampai lolos
dari tangan kita, celakalah kita. Sekali saja ia mengadu kepada Oey Yok Su,
maka habislah kita, tidak mungkin seorangpun di antara kita yang sanggup
menghadapi tua bangka sesat itu……!”
Belasan pahlawan kerajaan itu
mengiyakan dan kemudian mereka menanyakan juga Kim Lo hendak ditahan di mana.
Oleh pembesar Khuluk Khan, ia perintahkan Kim Lo dikurung di dalam salah sebuah
kamar di gedungnya itu. Di pintu kamar harus dijaga empat orang pahlawan
kerajaan.
Begitulah Kim Lo diseret ke sebuah
kamar. Dia didorong kasar sekali dengan tubuh terikat. Dan kemudian pintu
dikunci dari luar. Kim Lo merasa kesakitan, waktu ia didorong ke dalam kamar
itu ia terjerembab dan mukanya membentur lantai. Pintu kamar itu tertutup dan
keadaan di dalam kamar gelap sekali.
Kim Lo memandang
sekelilingnya. Gelap. Tidak ada sesuatu yang bisa di lihatnya.
Setelah berdiam sejenak, Kim
Lo berusaha mengerahkan tenaganya, dia bermaksud ingin membuka ikatan tali di
tangannya. Tapi tali yang mengikat tangannya bukan tali sembarangan, sebab
itulah tali yang dibuat dari urat harimau, alot dan kuat, walanpun tipis dan
kecil.
Malah Kim Lo mengerahkan
tenaganya untuk meronta, tali itu jadi semakin mengikat kencang, seakan
menekan, dan masuk ke dalam dagingnya, menjepit dan mengikat keras sekali,
sakit bukan main. Sampai akhirnya Kim Lo berhenti untuk meronta.
Entah berapa lama, Kim Lo
berada di kamar yang gelap itu, sampai akhirnya matanya menjadi bisa untuk
melihat di tempat gelap. Samar-samar ia melihat kamar itu adalah sebuah kamar
tidur, yang cukup mewah cuma saja tidak berpenghuni.
Kim Lo berpikir keras untuk
berusaha melepaskan dan meloloskan diri dari tangan pembesar Boan dan
orang-orangnya. Ia tidak tahu dengan cara bagaimana bisa meloloskan diri. Untuk
meloloskan diri tidak mudah, ia pun melihat kamar itu tidak memiliki jendela, tentu
saja tidak mudah buat dia meloloskan diri dari situ, pasti jendela itu akan
dijaga oleh orang-orang Khuluk Khan.
Diam-diam Kim Lo pun jadi
menyesal, telah meninggalkan kamar di rumah penginapan tanpa setahu
kong-kongnya, tentu sekarang ini kong-kongnya tengah sibuk mencarinya berkuatir
sekali. Tanpa diinginkan, dua butir air mata menitik berlinang di pipinya.
Sebenarnya hati Kim Lo sangat
keras dan tabah. Walaupun ia tadi telah disiksa hebat oleh Bun Siu Thang, tokh
tetap saja ia tidak menjerit walaupun ia kesakitan. Ia juga tidak menangis.
Tapi sekarang teringat kepada Kong-kongnya yang sangat memanjakan dan sayang
padanya, membuat dia benar-benar jadi sedih dan menyesal, sampai menitikkan air
mata.
<>
Di luar kamar itu, Khuluk Khan
dengan orang-orangrya justeru tengah gembira. Mereka telah membersihkan
Giok-sie dari noda darah. Mereka memperhatikan. Dan Giok-sie itu memang benda
yang luar biasa.
Dibuat dari batu kumala putih
pusaka, yang jarang sekali bisa diperoleh. Dan waktu Giok-sie itu dibuat,
memang Kaisar Cin dulu mencarikan Giok putih itu dari benda-benda pusaka
miliknya.
Dengan demikian Giok-sie
bukanlah benda yang sembarangan. Terlebih lagi arti dari Giok-sie itu, yang
setiap raja yang berkuasa di daratan Tiong-goan, selalu menginginkan Giok-sie
sebagai lambang kebesarannya atas kekuasaan yang ada di tangannya.
Demikian juga halnya Kublai
Khan menginginkan sekali Giok-sie. Telah bertahun tahun dikerahkan para
pahlawannya mencari Giok-sie, sejauh itu belum juga diperoleh kabar berita tentang
cap kerajaan tersebut.
Siapa tahu sekarang justeru
cap kerajaan itu jatuh di tangannya tentu saja hal ini menyenangkan benar hati
Khuluk Khan. Dan ia tidak hentinya mengawasi Giok-sie.
Bun Siu Thang dan
kawan-kawannya juga mengawasi Giok-sie dengan mata bersinar-sinar tajam, mereka
berkumpul di ruang tengah gedung pembesar Boan tersebut.
Di atas batu kumala putih itu
terukir delapan huruf model Toan-jie yang berbunyi:
“Siu Beng Ie Thian, Kie Tay
Eng Ciang”
yang berarti:
Menerima Firman Tuhan, Makmur
Untuk Selama-lamanya.
Demikian angker huruf-huruf
ukiran di batu Giok putih tersebut, dan benar¬benar benda ini merupakan barang
yang sangat kuat daya tariknya. Dan entah sudah berapa banyak darah membanjiri
daratan Tiongkok hanya disebabkan perebutan Giok-sie itu.
Giok-sie yang diperoleh dalam
keadaan berlumuran darah, walaupun telah dibersihkan tokh dari Giok-sie seakan
juga terpancar sesuatu yang menyeramkan, hawa yang dingin dan seakan meminta
korban jiwa yang lebih banyak disamping pancaran keagungan dan keangkeran cap kerajaan
itu.
Akhirnya Khuluk Khan menghela
napas dalam-dalam, wajahnya berseri-seri.
“Sungguh tak sangka bahwa
akhirnya aku memiliki rejeki demikian besar, sehingga bisa memperoleh Giok-sie.
Dan jika kelak telah dipersembahkan kepada Hong-siang, niscaya aku akan
dianugrahi pangkat sebagai Raja Muda ataupun setingkat dengan itu! Jelas akupun
tak akan melupakan budi dan jasa kalian, yang telah bekerja demikian baik,
sehingga Giok-sie berhasil jatuh di tangan kita.......!”
Bun Siu Thang
mengangguk-angguk, demikian juga yang lainnya.
“Ya, semoga saja Ong-ya lebih
jaya, tentu kami akan kecipratan juga rejeki yang lumayan, kami hanya turut
dengan Ong-ya,” kata mereka. “Nasib kami berada di tangan Ong-ya.”
Khuluk Khan tertawa, dia
meletakkan Giok-sie di atas meja kayu cendana. Katanya,
“Kalian jangan berkata seperti
itu, tanpa adanya kalian tokh Giok-sie tak akan berada di tanganku! Maka jasa
kalianpun sangat besar. Nanti akan kubicarakan kepada Hong-siang agar kalian
sedikitnya dinaikkan tingkat, dan kedudukkan empat tingkat. Mungkin kalian akan
menjadi Gubernur di sebuah kota. Dan jika demikian, hidup kalian tentu senang,
bukan?”
Senang hati Bun Siu Thang dan
kawan-kawannya, mereka menjura dalam-dalam menyatakan terima kasihnya.
“Sekarang yang terpenting
ialah kita harus mengatur pengiriman Giok-sie ke kota raja sebaik mungkin, agar
hal ini tidak tersiar di dalam rimba persilatan! Sekali saja tersiar, berarti
kita akan menghadapi rintangan, yang tidak kecil, tentu banyak tokoh rimba
persilatan yang akan turut memperebutkan Giok-sie, mereka berusaha merampas
Giok-sie, dan kita pasti harus berusaha lebih giat lagi melindunginya.
“Karenanya, jalan yang terbaik
ialah merahasiakan rapat-rapat perihal jatuhnya Giok-sie ke tangan kita. Nah,
Bun Siu Thang, apakah kau memiliki usul untuk rencana pengiriman Giok-sie ke
kota raja?”
Bun Siu Thang segera menjura:
“Percayalah pada hamba, Ong-ya, tentu hamba dengan kawan-kawan lainnya berusaha
untuk membawa Giok-sie tiba di kota raja dengan selamat! Walaupun harus
mengorbankan jiwa, hamha sekalian tentu akan mempertahankan Giok-sie dari
incaran…… Hei!”
Belum lagi Bun Siu Thang
selesai berkata-kata, ia telah berseru kaget, dibarengi dengan tangan kanannya
bergerak menghantam ke atas langit-langit.
“Bukk!” Terdengar tenaga dalam
Bun Siu Thang menghantam langit-langit ruangan tersebut, menyusul dengan mana
juga terdengar suara orang-orang tertawa geli, seperti juga mengejek.
Khuluk Khan terkejut
mengetahui ada musuh, dan ia kagum untuk tajamnya pendengaran Bun Siu Thang,
karena ia mengetahui kedatangan tamu tak diundang itu. Segera juga tangannya
meraih Giok-sie, dan memasukkan ke dalam sakunya.
Beberapa orang pahlawan
kerajaan juga telah melompat ke samping Khuluk Khan, untuk melindunginya dari
segala kemungkinan.
“Tikus mana yang berani
lancang datang ke mari? Cepat perlihatkan diri!” bentak Bun Siu Thang sambil
menjejakkan kakinya, tubuhnya ingin melompat ke langit-langit ruangan yang
telah berlobang akibat hantamannya itu.
Tapi waktu tubuhnya baru
melayang dua tombak lebih dari lantai, dari atas telah meluncur turun sesosok
tubuh. Gerakan orang itu lincah dan tangannya sebat. Sinar kuning berkelebat
menyambar ke arah muka Bun Siu Thang.
Terkesiap Bun Siu Thang
menerima serangan seperti itu, tidak berayal lagi ia mencabut pedangnya,
mengibaskan untuk menangkis sambatan senjata lawan.
“Tranggg…….!” terdengar
benturan dua senjata itu, Bun Siu Thang mempergunakan kesempatan tersebut buat
meluncur turun, dan lalu hinggap di lantai tanpa kurang sesuatu.
Masih bagus Bun Siu Thang
memiliki kepandaian yang tinggi, jika memang tidak, jangan harap ia bisa
meloloskan diri dari serangan setengah membongkong dari orang yang tengah
meluncur turun itu. Diam-diam Bun Siu Thang mengucurkan keringat dingin, sebab
ia membentur pedangnya dengan senjata lawan, menyebab kan telapak tangannya
pedih dan sakit.
Orang yang meluncur turun dari
atas langkan itu, telah hinggap ringan di lantai tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun. Itulah gin-kang yang terlatih mahir. Menyusul dengan orang itu
segera melompat turun dua orang lainnya.
Ternyata orang yang turun
pertama adalah seorang lelaki berusia hampir enampuluh tahun, di tangannya
tercekal seruling emas dan digerak-gerakannya berulang kali, sikapnya angkuh
sekali. Ia memiliki potongan muka kuaci, dan matanya sipit seperti mata tikus.
Dan telinganya lebar sebelah kanan, dibandingkan dengan sebelah kirinya.
Lebarnya daun telinga yang kanan melebihi dari daun telinga yang wajar.
Dua orang kawannya itu adalah
seorang laki-laki berpakaian seperti petani, dengan senjatanya sebatang cangkul
terbuat dari perak. Kelihatannya berat cangkul orang yang berpakaian seperti
petani itu sedikitnya tigaratus kati.
Mukanya empat persegi, dadanya
bidang dan kekar, matanya besar dan seperti tengah mendelik tampaknya bengis
sekali. Kumisnya tumbuh kasar dan jarang- jarang. Tampaknya memang ia seorang
yang berperangai kasar.
Yang seorang lagi adalah
seorang laki-laki yang kurus tinggi. Mukanya panjang seperti potongan labuh.
Dan ia memakai jubah seperti siucai (pelajar) dengan kipas terbuat dari emas
digoyangkan tidak hentinya. Mukanya biasa saja, cuma di lihat dari bibirnya
yang tipis, jelas dia seorang yang licik sekali.
“Hahaha,” Tertawa orang yang
potongan mukanya seperti kuaci. “Tidak di sangka Bun Siu Thang telah memperoleh
kemajuan yang mengagumkan?”
Bun Siu Thang dan
kawan-kawannyapun merobah mukanya karena terkejut sekali. Melihat orang tua
berpotongan muka seperti kuaci itu seketika mereka mengenalinya.
“Kong-yang Sun. Rupanya
kau……?” suara Bun Siu Thang agak tergetar.
Orang tua itu, tidak menanti
Bun Siu Thang menjelaskan kata-katanya, telah memotongnya: “Benar! Tepat
sekali. Memang kami berkunjung untuk main-main kemari dan juga kami ingin ikut
merasakan keberuntungan menyaksikan Giok-sie.......!” Dingin sekali suara
Kong-yang Sun.
Walaupun ia berkata-kata
dengan sabar, tapi di dalam nada suaranya terdapat sesuatu yang mengerikan. Ia
mengibaskan seruling di tangan kanannya itu dua kali, kemudian katanya:
“Telah lama aku kehilangan
kegembiraan untuk meniup serulingku, karena selama itu aku rindu kepada
Giok-sie. Siapa tahu, justeru kini aku memiliki keberuntungan buat ikut
menyaksikan betapa agung dan angkernya Giok-sie!”
Muka Bun Siu Thang berobah
jadi tidak sedap dilihat, dia menyadari bahwa kedatangan Kong-yang Sun bukanlah
dengan maksud baik. Dan ia telah mengerling kepada rekan-rekannya agar mereka
bersiap-siap, karena Bun Siu Thang menyadari akan terjadi pertempuran yang
sulit dihindarkan.
Khuluk Khan juga waktu itu
bersiap-siap untuk mengundurkan diri ke ruang lain. Ia telah menggeser kedua
kakinya pelahan-lahan dengan maksud mempergunakan kesempatan tamu-tamu tidak
diundang itu tidak memperhatikannya, dan tengah sibuk bicara dengan Bun Siu
Thang.
Ia ingin menyingkirkan diri
karena bahaya tengah mengancam Giok-sie yang telah berada di sakunya,
dipegangnya dengan tangannya, seakan juga ia kuatir kalau saja memang Giok-sie
itu dapat terbang sendiri keluar dari sakunya.
Hanya saja, dua langkah dia
menggeser kakinya, mendadak di dengarnya Kong-yang Sun bilang dengan suara yang
dingin: “Selangkah lagi anda akan melangkah, maka jiwa anda sulit untuk
dilindungi!”
Dingin luar biasa nada itu,
mengandung hawa pembunuhan. Dan Kong-yang Sun bukan tengah bergurau, ia tengah
mengawasi dengan tatapan mata yang tajam pada Khuluk Khan.
Semangat Khuluk Khan serasa
terbang. Dia merupakan putera dari pangeran Doluk dan karena itu ia masih
berdarah bangsawan Boan-ciu, dan ia dipangil dengan sebutan Ong-ya. Tapi
walaupun memiliki kedudukan tinggi, ia sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
Jika memang ilmu memanah dan
juga menunggang kuda seperti orang-orang Mongol lainnya, memang ia mahir, namun
jelas menghadapi orang-orang rimba persilatan dia tidak akan berdaya. Sekarang
datang musuh yang menginginkan Giok-sie, jelas ini berbahaya sekali untuk
dirinya.
Namun jika ia tetap ingin
menyingkir, jelas orang-orang yang mengincar Giok-sie itu akan menerjang dan
menyerangnya, kalau memang Bun Siu Thang berhasil melindunginya, jika tidak?
Maka dengan sendirinya ia telah menahan langkah kakinya, dia berdiam diri
dengan gelisah sekali.
Bun Siu Thang cepat-cepat
merangkapkan sepasang tangannya menjura kepada Kong-yang Sun katanya:
“Kong-yang Sun taihiap, telah lama memang kami mendengar nama besar Tayhiap.
Hanya saja kami belum memiliki kesempatan untuk pergi menjenguk Tayhiap dan
menunjukkan hormat, untuk itu kami memohon maaf.
“Tapi, sekarang ini disebabkan
kesehatan Ong-ya kurang baik, biarlah kami yang melayani Tayhiap bertiga, dan
Ong-ya akan mengundurkan diri dulu untuk beristirahat…….”
Kong-yang Sun tertawa
gelak-gelak mendengar perkataan Bun Siu Thang seperti itu. “Hem memang kami
bertiga yang tidak tahu diri, disaat Ong-ya kalian tengah kurang enak badan dan
sakit, kami datang mengganggu. Sebetulnya kami ini juga menyesali sekali waktu
yang tidak bertepatan ini.
“Namun kami memiliki satu
urusan yang penting, yang ingin kami sampaikan kepada Ong-ya kalian, dan karena
itu kami meminta, jika kami memohon, agar Ong-ya kalian tidak meninggalkan
tempat ini dulu! Oh ya, jika memang tidak salah, Ong-ya kalian itu yang bernama
Khuluk Khan, bukan? Keponakan dari Kaisar sendiri?”
Bun Siu Thang jadi salah
tingkah. Ia memang sering mendengar akan kehebatan Kong-yang Sun. Iapun mengetahui
kepandaian Kong-yang Sun sangat tinggi. Iapun seorang yang berperangai sangat
aneh sekali, dan sulit sekali untuk didekati maupun juga untuk dilawan.
Pertama, ia paling sulit
diajak berunding jika tengah menghadapi suatu persoalan. Tapi, untuk mengambil
jalan kekerasan dengannya pun sulit karena kepandaiannya yang memang tinggi.
Karena dari itu, tidak mengherankan jika Bun Siu Thang jadi salah tingkah.
Memang Kong-yang Sun terkenal
sekali di daerah propinsi Ciat-kang, sebagai perampok tunggal. Sebagai orang
yang berkepandaian tinggi ia disegani, dan terlebih lagi dengan pekerjaannya
sebagai begal tunggal yang acap sekali menurunkan tangan telengas dan kejam.
Dan juga, iapun tak pernah mengampuni orang-orang yang jatuh ke dalam
tangannya.
Duapuluh tahun Kong-yang Sun
malang melintang, selama itu boleh dibilang ia tidak pernah memperoleh
tandingan. Cuma saja, lima tahun terakhir sejak peperangan dan kerajaan Song
selatan jatuh dalam tangan Kublai Khan, maka Kong-yang Sun telah lenyap dan ia
seperti yang tidak pernah muncul dalam rimba persilatan. Tidak ada seorangpun
yang mengetahui dimana ia sekarang berada.
Namun tidak disangka-sangka,
justeru ia telah muncul di gedung Khuluk Khan. Sebelumnya banyak orang rimba
persilatah menduga begal tunggal yang tangannya telengas itu, telah
menghembuskan napasnya yang terakhir oleh serangan penyakit yang ganas. Tapi
kini ia berdiri segar bugar dihadapan Bun Siu Thang.
Setelah menenangkan goncangan
hatinya, Bun Siu Thang berpikir: “Hemmm, mustahil kami belasan orang tidak bisa
menghadapi, kalian bertiga! Kepandaian kalian boleh tinggi, tapi kami akan
mengantarkan jiwa untuk melindungi Giok-sie.”
Berpikir seperti itu,
cepat-cepat Bun Siu Thang menjura lagi kepada Kong-yang Sun, katanya:
“Kong-yang Tayhiap, sebetulnya ada kata-kata apakah yang hendak disampaikan
Tayhiap buat Ong-ya kami?”
Kong-yang Sun mengibaskan
seruling emasnya. ia tertawa, yang lebih mirip dengan menyeringai, melirik
kepada kawannya yang kurus kerempeng berpakaian sebagai pelayan yang tak
hentinya tengah mengibas-ngibaskan kipas emasnya. Katanya: “Adikku, apa yang
ingin kita katakan kepada Ong-ya dari Bun Tayjin.”
Muka Bun Siu Thang berobah
merah, karena ia disebut Bun Tayjin, pembesar Bun. Ia tahu dirinya tengah
diejek, walaupun ia sebagai pahlawan kerajaan, tapi jika orang mengejek dengan
sebutan Bun Tayjin, jelas ia tersinggung.
Ada sebabnya, ia orang Han.
Dan hanya bertekuk lutut pada kerajaan penjajah bekerja untuk bangsa Boan. Dan
jika ada orang yang sengaja memperolok-olok sebutannya dengan Bun-tayjin ia
jadi malu bercampur murka.
Sedangkan kawan Kong-yang Sun,
yang berpakaian sebagai pelajar sambil mengibas-ngibaskan kipasnya telah
tertawa. Aneh sekali suara tertawanya, tidak sedap didengar, dan seperti suara
wanita, perlahan dan juga suara tertawanya itu mengandung nada maupun hawa
pembunuhan.
“Ya, memang kita memiliki
persoalan yang penting dengan Ong-ya dari Bun Tayjin,” katanya kemudian setetah
tertawa panjang, sambil berkata begitu tampak ia melangkah perlahan-lahan
mendekati Bun Siu Thang.
Malah waktu masih terpisah
beberapa tombak, dengan gerakan yang perlahan ia mengerakkan kipas emasnya.
Luar biasa, dari kipasnya menyambar angin yang menyampok kuat sekali kepada Bun
Siu Thang.
Waktu itu memang Bun Siu Thang
telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, namun tidak urung ia
kaget juga waktu serangkum angin yang kuat sekali menerjang kakinya. Dan juga
diwaktu itu kuda-kudanya telah tergempur.
Ketika Bun Siu Thang
cepat-cepat memperbaiki kuda-kuda sepasang kakinya justeru sudah terlambat.
Karena kawan Kong-yang Sun mengibaskan kipasnya lagi, seketika tubuh Bun Siu
Thang terjengkang, bergulingan di lantai diiringi teriakan kaget bercampur
kesakitan.
Kong-yang Sun tertawa
bergelak-gelak menyaksikan semua itu, dan ia telah melangkah maju juga.
“Khuluk Khan!” katanya dengan
suaranya nyaring dan bengis. “Kau silahkan memilih menyerahkan Giok-sie pada
kami atau memang kalian semua akan binasa!” Setelah berkata begitu Kong-yang
Sun tertawa bergelak-gelak.
Belasan orang kawan Bun Siu
Thang, para pahlawan kerajaan segera melompat maju untuk mengepung Kong-yang Sun
dan dua orang kawannya itu, mereka menyadari bahwa bahaya tengah mengancam
mereka.
Tapi, kawan Kong-yang Sun yang
berpakaian sebagai pelajar telah mengibaskan kipas emasnya. Seketika bergemuruh
suara menderunya angin yang kuat.
Tiga orang pahlawan kerajaan
terjungkel bergulingan. Mereka merasakan tulang-tulang mereka seakan juga
hendak terlepas.
Khuluk Khan waktu itu tidak
berani membuang-buang waktu, ia memutar tubuhnya, segera berlari akan
menyingkirkan diri. Namun Kong-yang Sun mana mau membiarkan Khuluk Khan pergi
begitu saja. Bukanlah Giok-sie berada di saku Khuluk Khan?
Karena itu, segera juga ia
menjejakan kakinya, tubuhnya melesat pesat sekali, dia pun telah membentak
bengis: “Khuluk Khan, kau jangan bermimpi untuk pergi dari tempat ini dengan
selamat jika tidak mau menyerahkan Giok-sie kepada kami. Terimalah ini!”
Ia menggerakkan serulingnya,
dan berkesiuran angin yang kuat sekali ke punggung Khuluk Khan, malah, ujung
seruling itu bermaksud akan menotok jalan darah Yan-hu-hiat di punggung Khuluk
Khan. Dan serangan itu bukan totokan sembarangan, itulah totokan yang bisa
mematikan korban totokan itu.
Khuluk Khan memang tidak
memiliki ilmu silat yang berarti, dia cuma mahir menunggang kuda dan melepaskan
panah. Karena itu biarpun ia merasakan di belakang pungungnya menyambar angin
serangan yang begitu kuat, akan tetapi tetap saja dia tidak berdaya untuk
menghindari diri.
Malah di waktu itu terlihat,
dia hampir saja tertotok. Jika memang tidak ada seorang pahlawan kerajaan, yang
telah melesat pesat dan menggerakkan pedangnya, menangkis dengan kuat, sehingga
membuat seruling dari Kong-yang Sun melesat ke samping, tidak berhasil menotok
tepat pada sasarannya.
Khuluk Khan walaupun tidak
memiliki ilmu silat, namun sebagai seorang yang cerdik segera juga dia membuang
dirinya ke samping bergulingan di lantai. Barulah kemudiam dia melompat berdiri
lagi.
Celakanya justeru dia berdiri,
Khuluk Khan segera mengetahui bahwa Giok-sie yang tadi telah keluar dan
terjatuh menggeletak di lantai. Mengetahui itu, cepat-cepat Khuluk Khan memutar
tubuhnya. Dia bermaksud berjongkok untuk mengambil Giok-sie itu.
Cuma saja Kong-yang Sun yang
juga melihat Giok-sie jatuh ke lantai dan menggeletak di situ, tidak
mensia-siakan waktu lagi, ia melesat cepat sekali. Tubuhnya bagaikan seekor
elang, melompat menubruk Giok-sie.
Gerakan Khuluk Khan mana bisa
menyamai kecepatan gerakan tubuh Kong-yang Sun karena itu, Kong-yang Sun yang
tampak akan menguasai Giok-sie.
Kong-yang Sun gembira bukan
main melihat sebentar lagi Giok-sie akan terjatuh di dalam tangannya, dan untuk
selanjutnya tidak begitu sulit ia mempertahankannya, karena kepandaiannya yang
memang tinggi sekali.
Tapi dikala tangan Kong-yang
Sun yang terulur tinggal satu tombak lagi, justeru diwaktu itu terlihat betapa
sesosok tubuh menerjang nekad sekali, sengaja sosok tubuh itu membenturkan tubuhnya
kepada tubuh Kong-yang Sun kemudian ia telah mengulurkan tangannya bermaksud
akan mengambil Giok-sie.
Bukan main murkanya Kong-yang
Sun, karena dengan dibentur tubuhnya orang itu gagallah usaha Kong-yang Sun
untuk memperoleh Giok-sie, tubuhnya sampai terdorong beberapa tombak. Orang itu
tidak lain Bun Siu Thang.
Rupanya tadi setelah
terpelanting, Bun Siu Thang cepat sekali melompat berdiri. Betapa kagetnya Bun
Siu Thang ketika menyaksikan bahwa Giok-sie tengah terancam dirampas oleh
Kong-yang Sun, diwaktu mana tubuh Kong-yang Sun tengah melayang di tengah
udara.
Sedangkan Khuluk Khan yang
memang tidak memiliki ilmu silat tentu tidak bisa untuk mempertahankan Giok-sie
dari sambaran Kong-yan Sun dengan segera tanpa berpikir dua kali lagi, Bun Siu
Thang segera melompat untuk menerjang tubuh Kong-yang Sun. Usahanya memang
berhasil, benturan yang dilakukannya dengan sekuat tenaga, membuat tubuh
Kong-yang Sun oleng dan uluran tangannya hendak merampas Giok-sie jatuh di
tempat kosong.
Mempergunakan kesempatan Bun
Siu Thang sendiri yang telah menyambar Giok-sie. Ia berhasil, Giok-sie
dicekalnya sangat kuat. Malah melesat ke tengah udara, dia bermaksud melarikan
diri dari ruangan.
Kong-yang Sun yang tengah
murka segera membentak: “Mau kabur ke mana kau?” Membarengi itu serulingnya
telah bekerja, dia melompat sambil menotok.
Bun Siu Thang merasakan
sambaran angin serangan seruling lawan, dia mempergunakan tangan kirinya buat
menangkis ke belakang, tapi tubuhnya tetap meluncur, dan ketika tangannya
saling bentur dengan seruling Kong-yang Sun, justeru tubuhnya itu telah
terpental semakin kuat, sebab di saat itu tubuhnya seperti didorong oleh
kekuatan yang hebat berasal dari seruling lawan.
Bun Siu Thang gembira sekali,
ia yakin akan dapat melarikan diri keluar. Di dalam beberapa detik itu ia sudah
memutuskan, begitu ia tiba di luar, maka dia akan melarikan diri sekuat
tenaganya, dia akan menyembunyikan diri dan jika telah aman dia akan langsung
melakukan perjalanan ke kota raja, untuk menyerahkan langsung Giok-sie kepada
Kaisar Kublai Khan!
Dengan demikian sudah
terbayang betapa hadiah yang akan diterimanya. Dan juga sedikitnya Kublai Khan
akan memberikan pangkat yang tidak rendah! Dan sudah tidak mau memikirkan lagi,
keselamatan Khuluk Khan.
Tapi disaat dia tengah gembira
seperti itu, justeru tiba-tiba dadanya seperti dihantam palu yang besar sekali,
matanya menjadi gelap dan tubuhnya seperti menubruk sesuatu yang keras melebihi
baja. Terpental balik, jatuh ambruk di lantai dan kemudian pingsan.
Rupanya, di kala Bun Siu Thang
menangkis serangan seruling Kong-yang Sun, ia segera menggerakan tangan kirinya
ke belakang dengan kepalanya menoleh ke belakang dan juga melirik. Namun tidak
diketahuinya bahwa kawan Kong-yang Sun yang seorangnya lagi yang tubuhnya
tinggi besar dengan muka empat persegi yang berpakaian sebagai petani dan
membawa senjata pacul yang terbuat baja hitam itu, tetah diayunkannya dengan
kuat.
Tentu saja dada Bun Siu Thang
seperti memapak pacul itu, dan seketika dia telah kena dihantam kuat sekali.
Itulah sebabnya mengapa tubuh Bun Siu Thang terpental dan bergulingan ke
belakang, terbanting di lantai dan pingsan tidak sadarkan diri.
Kong-yang Sun berdua dengan
kawannya yang berpakaian seperti petani itu serentak melompat kepada Bun Siu
Thang, mereka mengambil Giok-sie.
Namun enam orang pahlawan
kerajaan segera mengepung mereka, menghalangi mereka mengambil Giok-sie yang
masih tercekal di tangan Bun Siu Thang.
Ternyata, Kong-yang Sun memang
benar-benar lihay, sebab dia bisa mempergunakan serulingnya dengan cepat
sekali, setiap serangannya tentu berhasil merubuhkan seorang lawan. Setelah
menggetakkan serulingnya beberapa saat, tampak empat orang kawan Bun Siu Thang
rubuh tidak bergerak, sebab tertotok.
Sedangkan kawan Kong-yang Sun
juga telah berhasil menotok jalan darah seorang pahlawan kerajaan, menghantam
punggung seorang pahlawan kerajaan yang lainnya dengan paculnya. Seketika orang
itu pingsan.
Tapi waktu itu telah datang
empat orang pahlawan kerajaan yang lainnya.
Ke dua orang itu, Kong-yang
Sun berdua dengan kawannya yang berpakaian sebagai petani itu, telah menghadapi
empat orang pahlawan kerajaan. Kali ini tidak mudah Kong-yang Sun berdua
kawannya merubuhkan empat orang pahlawan ini, karena ke empat orang pahlawan
kerajaan ini justeru memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lainnya.
Tidak sabar lagi Kong-yang Sun
menyerang semakin hebat, dan dia ingin cepat-cepat bisa merubuhkan empat orang
pahlawan itu, karena memang ia sudah tidak sabar ingin merampas Giok-sie.
Dikala Kong-yang Sun dan
kawannya yang berpakaian sebagai petani sibuk menghadapi empat orang pahlawan
kerajaan itu, pertempuran yang melibatkan mereka pada keadaan yang tidak memungkinkan
memecah perhatian, justeru kawan Kong-yang Sun yang seorang itu, yang
berpakaian sebagai pelajar, telah melompat ke samping tubuh Bun Siu Thang yang
masih pingsan.
Sambil tertawa dengan nada
yang nyaring melengking seperti tertawa seorang wanita dia telah mengambil
Giok-sie dan menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat keluar ingin meninggalkan
gedung itu.
Kong-yang Sun berdua kawannya
yang berpakaian sebagai petani jadi girang, mereka yakin, begitu kawan mereka
dapat mangambil Giok-sie dan bisa melarikan diri, niscaya Giok-sie sudah jatuh
ke dalam tangan mereka.
Jika sebelum tadi Kong-yang
Sun berdua kawannya mati-matian buat merubuhkan empat orang pahlawan itu,
sekarang mereka justeru hanya melihat ke empat orang pahlawan kerajaan itu,
agar tidak sempat mengejar kawannya yang berpakaian sebagai pelajar.
Empat orang pahlawan itu
segera juga kelabakan dan bingung, mereka sempat menyaksikan betapa Giok-sie
telah kena diambil oleh kawannya Kong-yang Sun, karena itu mereka herusaha
memisahkan diri dari dua orang lawan mereka, untuk mengejar kawan Kong-yang Sun
yang seorang itu.
Akan tetapi mereka tidak
berhasil, karena usaha mereka selalu gagal, dimana Kong-yang Sun berdua
kawannya yang bersenjata pacul selalu merintanginya.
Dengan gerakan “Naga Melompat
ke Mega”, tampak salah seorang pahlawan kerajaan yang berusia limapuluh tahun,
rupanya nekad hendak mengejar orang yang melarikan Giok-sie. Dia tidak
membiarkan totokan seruling Poan-koan-pitnya dan tubuhnya melesat hendak keluar
dari kalangan.
“Tranggg!” Senjata Kong-yang
Sun saling bentur keras sekali dengan senjata orang itu.
Dan tubuh orang itu, dengan meminjam
tenaga serangan seruling Kong-yang Sun, melesat ke arah pintu. Pahlawan
kerajaan ini memang nekad dan kalap, walaupun bagaimana ia hendak mencegah
dirampasnya Giok-sie.
Kong-yang Sun tertawa dingin:
“Hem mau kemana kau?” membarengi dengan itu tubuhnya juga telah mengejar dengan
pesat, seruling dua kali bergerak akan menotok. Dia mempergunakan jurus “Capung
Mematuk air Tiga Kali”
Dan dia juga telah menghantam
lagi dengan jurus berikutnya: “Harimau Menggoyangkan Ekornya” dimana
serulingnya telah menyambar ke jalan darah yang mematikan di punggung pahlawan
kerajaan tersebut, karena yang diincarnya adalah jalan darah “Wie-tiong-hiat”!
Kali ini pahlawan kerajaan
tersebut tidak berani berlaku ayal, ia menangkis. tapi, itulah serangan
menggertak belaka karena Kong-yang Sun segera menarik pulang serulingnya,
disusul kemudian dengan totokan sesungguhnya mempergunakan jurus “Yang Liu
Bergoyang Dihembus Angin” dimana serulingnya digentakan dan tidak diketahui
arah dan sasaran mana yang dipilihnya, karena serulingnya itu seperti juga
mengincar delapan jalan darah di tubuh pahlawan kerajaan yang seorang itu.
Karena tengah bingung dan
pikirannya juga kalut melihat Giok-sie dilarikan musuh maka pahlawan kerajaan
itu tambah panik melihat datangnya serangan aneh seperti itu. Ia berusaha
menyampok dengan Poan-koan-pitnya cuma saja dia gagal.
Totokan dari lawannya, yang
disangka akan menotok lengannya ternyata menyambar ke perutnya, Tidak ampun
lagi seketika ia rubuh terguling tidak bisa bergerak lagi.
Malah diwaktu itu juga
terlihat, betapa seruling dari Kong-yang Sun tidak diam saja setelah berhasil
menotok salah satu jalan darah di tubuh pahlawan kerajaan itu. Dia mengemplang
kepala pahlawan kerajaan itu.
“Tukk!” batok kepala dari
pahlawan kerajaan itu telah kena dihantam dan seketika remuk! Napasnya juga
seketika melayang meninggalkan raganya!
Itulah ketelengasan dari
Kong-yang Sun, dia tidak mau rewel lagi, kalau-kalau nanti pahlawan kerajaan
itu, yang berhasil membebaskan diri dari totokan akan mempersulit lagi, dan ia
lebih baik memilih membunuh mati saja pahlawan kerajaan tersebut.
Sedangkan si petani yang
bersenjata pacul itu telah menyerang hebat kepada sisa tiga orang pahlawan
kerajaan. Dia menggerakkan paculnya yang diputarnya dengan cepat, angin
menderu-deru dengan dahsyatnya.
Segera tiga pahlawan kerajaan
itu berhasil menenangkan hati mereka, karena mereka menyadari, jika mereka
tidak bisa tenang berarti mereka akan rubuh dan terbinasa di tangan lawan
mereka yang telengas itu. Mereka tidak mau memikirkan Giok-sie lagi, mereka
bertiga segera menggabung tenaga dan pikiran menjadi satu, mereka menyerang
dengan kerja sama yang baik, dan setiap serangan mereka juga mengandung maut
bagi lawan.
Begitulah, mereka melakukan pertempuran
dengan seru, mati-matian seakan juga mempertaruhkan jiwa masing-masing.
Kong-yang Sun segera berseru
pada kawannya: “Anak kambing dibawa harimau.” Dan ia sendiri telah melesat
keluar untuk berlalu.
Dengan kata-kata sandi itu ia
ingin menganjurkan pada kawannya agar meninggalkan tiga orang pahlawan kerajaan
itu, karena Giok-sie telah dibawa pergi oleh kawan mereka.
Petani yang bersenjata pacul
tidak membuang waktu lagi mendesak dengan paculnya yang menyambar dengan hebat
sekali, dia memutarnya ke sana ke mari dengan tenaga serangan yang mendatangkan
angin menderu-deru. Dan diwaktu lawan-lawannya mengelak mundur, ia
mempergunakan kesempatan itu buat menjejakkan kakinya, tubuhnya seketika
melambung ke dekat pintu, dia menyusul Kong-yang Sun untuk melarikan diri.
Tapi baru saja tubuhnya
hinggap di lantai dekat pintu, mendadak sekali mendengar jeritan.
“Aduh.......!” Disusul dengan
suara “Bukk! bukk!” Beberapa kali, dan sosok tubuh melayang menyambar kepada
dirinya, maka dengan terkejut, dengan mengeluarkan seruan heran dan kaget,
tampak si petani yang bersenjata pacul itu mengayunkan paculnya, dia ingin
memacul sosok tubuh yang tengah melayang menyambar ke dirinya.
Tapi waktu paculnya digerakan,
dia bisa melihat jelas bahwa sosok tubuh yang tengah menyambar ke dirinya tidak
lain dari kawannya sendiri, yaitu Kong-yang Sun!
Bukan main terkesiap hati si
petani, dia segera mati-matian, menarik pulang paculnya agar paculnya itu tidak
menyerang kawannya sendiri. Tapi karena menyambarnya sosok tubuh itu cepat
sekali, dia pun terpaksa harus membuang dirinya sendiri bergulingan di lantai.
Jika tidak tubuhnya akan kena diterjang oleh Kong-yang Sun dan paculnya akan
menghantam Kong-yang Sun!
Dan baru saja dia ingin
bangkit didengarnya suara bantingan yang keras sekali, karena Kong-yang Sun
terbanting di lantai. Demikian juga terdengar suara jeritan tertahan, yang
seperti tidak bisa keluar dari lehernya.
Belum lagi berkurang rasa
kaget dan herannya, si petani melihat keadaan kawannya itu, tahu-tahu
berkesiuran angin lagi yang menyambar kepada dirinya. Dia kaget tidak terkira,
bersiap-siap dengan paculnya dia memutar tubuhnya. Kembali hatinya tercekat,
terkesiap melihat yang menyambar ke dirinya tidak lain dua kawannya juga yang
berpakaian sebagai pelajar.
Dia melompat berkelit ke
samping kanan, dan berusaha mengeluarkan tangan kirinya buat menjambret tubuh
kawannya. Tapi gagal, tubuh kawannya terbanting di lantai, mengeluarkan suara
jeritan tertahan, seperti suaranya juga itu menyumbat tenggorokannya. Paculnya
untung saja bisa disingkirkan sehingga tidak memacul kawannya yang berpakaian
sasterawan tersebut.
Di waktu itu, segera juga
dilihatnya, tepat di ambang pintu, melintang untuk menghalangi mereka keluar,
sesosok tubuh berpakaian panjang, thung-shia, yang berwarna hijau, berdiri
dengan tubuh yang tegak. Merekalah seorang laki-laki tua yang jenggotnya telah
memutih panjang dan muka dingin.
Hati petani itu tambah
terkesiap lagi setelah melihat jelas orang itu. Dia sampai mundur dua langkah
ke belakang, dengan tubuh agak tergetar. Jantungnya tergoncang keras, matanya
terbeliak lebar-lebar, samar-samar terdengar dia mengucapkan:
“Oey....... Oey.......
Locianpwe....... Oey…. Yok.. Su..?!” Seakan juga tidak mempercayainya apa yang
dilihatnya.
Sosok tubuh berbaju hijau
tersebut tertawa dingin, katanya dengan tawar: “Hemmm, kalian ternyata
bermaksud memiliki Giok-sie, sungguh suatu cita-cita yang terlalu melambung
tinggi dan….. tahukah kalian, jika memang kalian menginginkan Giok-sie, berarti
kalian harus mempersembahkan jiwa kalian?!”
Kata orang itu dibarengi
dengan tangannya yang digerak-gerakkan untuk menimang-nimang Giok-sie yang
telah dirampasnya dari tangan kawannya Kong-yang Sun. Orang itu memang tidak
lain Oey Yok Su, majikan pulau Tho-hoa-to.
Tubuh si petani jadi
tergoncang keras sekali, dan dia mencelos setelah yakin babwa orang yang
berdiri di ambang pintu memang tidak lain dari Oey Yok Su. Dengan demikian
kandaslah cita-citanya.
Ia mengetahui manusia apa Oey
Yok Su. Dan walaupun sekarang ini dia tumbuh sepasang sayap dan punya enam
tangan tiga kepala, jangan harap dia bisa menghadapi tokoh rimba persilatan
yang sakti itu!
Kepandaian Oey Yok Su yang
sempurna itu memang sukar dijajaki, dan ia meyakinkan dirinya sendiri, begitu
ia menyerang Oey Yok Su justeru ia sendiri yang akan terbinasa. Lututnya juga
seketika jadi lemas. Tanpa disadarinya, dia telah menekuk kedua kakinya,
berlutut, dan memanggut-manggutkan kepalanya.
“Ampunilah, ampunilah
Siauw-jin (hamba yang rendah)....... Harap Oey locianpwe mengampuni
kami.......!” Dia sesambatan.
Oey Yok Su berdiri tegak
dengan muka yang dingin, tidak terlihat perasaan apapun juga pada mukanya itu,
sehingga mukanya yang dingin itu bagaikan muka mayat. Pucat dingin dan tidak
ada senyumnya. Tangannya masih juga menimang-nimang Giok-sie.
Demikian juga halnya dengan
tiga orang pahlawan kerajaan, yang jadi ketakutan setelah mengetahui yang
muncul itu Oey Yok Su, tokoh sakti, majikan Pulau Tho-hoa-to. Merekapun
menggigil dan berlutut.
Mereka tahu perangai Oey Yok
Su, yang bisa turunkan tangan telengas disamping memang kepandaiannya yang
sangat tinggi dan sulit untuk dihadapi. Karena dari itu merekapun cepat-cepat
memanggut-manggutkan kepala berulang kali sambil memohon pengampunan.
Demikian takutnya orang-orang
tersebut, malah sikap mereka memuakan hati Oey Yok Su, ia berdiam diri saja,
sampai akhirnya ia bertanya dengan suara yang dingin. “Apakah kalian melihat
seorang, anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih……. Ia memiliki tubuh yang
berbulu.” Suara Oey Yok Su terdengar perlahan sekali, sambil bertanya ia
menyapu sekeliling ruangan tersebut.
Salah seorang dari tiga orang
kerajaan itu telah mengangkat kepala. Ia segera dapat menduga, tentu yang
dicari Oey Yok Su adalah Kim Lo.
Bukankah Kim Lo memang sudah
mengakui bahwa kong-kongnya adalah Oey Yok Su. Dan rupanya pernyataan anak itu
memang tidak salah. Rasa takut semakin hebat mengusai hatinya.
Untuk bermuka-mukaan pada Oey
Yok Su, segera juga pahlawan kerajaan yang seorang itu berkata.
“Apakah....... apakah Oey
Locianpwe, mencari seorang anak bermuka seperti kera, yang mengakui dirinya
sebagai cucu Oey Locianpwe?”
Baru selesai orang tersebut
bertanya seperti itu, berkelebat bayangan hijau, disusul dengan jeritan orang
itu, yang tubuhnya terpental keras. Oey Yok Su yang mendengar cucunya disebut
bermuka kera jadi murka bukan main, wajahnya dingin sekali ketika ia berkelebat
melompat ke dekat orang itu.
Demikian cepatnya ia bergerak,
sehingga yang terlihat cuma bayangan hijau belaka, dan tangannya bekerja
mengibas membuat tubuh orang itu terpental. Tapi tenaga kibasan itu demikian
hebat, menghantam dada pahlawan kerajaan yang seorang itu, membuat dia sesak
napas, pandangan matanya gelap dan pingsan menggeletak di lantai tidak sadarkan
diri setelah memuntahkan darah segar dua kali.
Masih untung Oey Yok Su
turunkan tangan tidak terlalu keras dan memang tidak bermaksud mengambil
jiwanya. Jika saja Oey Yok Su menambahkan tenaganya sedikit lagi pada kibasan
tangannya itu niscaya akan membuat pahlawan kerajaan itu terbinasa di saat itu
juga.
Dan Oey Yok Su sendiri
menyesal telah membuat orang itu rubuh pingsan, bukankah justeru orang itu yang
mengetahui di mana adanya Kim Lo? Tapi seketika ia teringat masih ada beberapa
orang pahlawan kerajaan yang lainnya, segera juga ia memutar tubuhnya.
Kebetulan dilihatnya dua orang
pahlawan kerajaan dan si petani bersenjatakan pacul itu tengah melesat akan
melarikan diri ke dekat pintu. Rupanya mereka hendak mempergunakan kesempatan
Oey Yok Su meninggalkan pintu, mereka mau melarikan diri.
“Mau kemana kalian?” tegur Oey
Yok Su dengan suara yang dingin, malah tubuh Oey Yok Su telah melesat sangat
cepat sekali, tangannya digerakkan, maka terdengar seruan kaget tiga orang itu,
tubuh mereka terpelanting kembali ke dalam ruangan. Begitu cepat Oey Yok Su
menyusuI mereka dan juga serangannya membuat tiga orang itu tidak keburu
melangkah ke luar dari pintu.
Malah si petani yang
bersenjata pacul tersebut, tadi waktu Oey Yok Su ingin mengulurkan tangannya
hendak menjambak punggungnya buat melemparkannya, dia berusaha menyapu dengan
paculnya. Dia bermaksud mencegah agar dirinya tidak kena dicengkeram, tentu
jelas ia masih memiliki kesempatan buat melarikan diri keluar dari pintu itu.
Cuma saja, justeru yang
dihadapinya adalah tokoh sakti yang kepandaiannya sulit untuk dijajaki lagi,
karenanya ayunan paculnya itu seperti menghantam tempat kosong, dan tubuhnya
yang terjerunuk. Waktu dia berusaha memperkuat dan memperbaiki kuda-kuda
sepasang kakinya, justeru diwaktu itu Oey Yok Su menghantam dengan telapak
tangannya pada punggung orang itu, sehingga dia merasakan tulang punggungnya
seperti juga hendak patah hancur, dia terjerunuk dan terguling di lantai!
Kemudian, untuk sejenak lamanya dia tidak bisa bangun, dia merintih kesakitan.
“Manusia-manusia tidak tahu
malu!” menggumam Oey Yok Su dengan suara yang dingin menyeramkan. “Kalian
merupakan manusia rendah yang tidak perlu dibiarkan hidup lebih lama lagi.
Sekarang aku yakin, pasti kalian yang telah mengganggu cucuku.......!” Setelah
berkata begitu, Oey Yok Su yang telah berdiri tegak kembali diambang pintu
mengawasi dengan sorot mata yang sangat tajam.
Dua orang pahlawan kerajaan
dan si petani bersenjata pacul itu menggigil ketakutan. Malah si petani telah
bilang dengan suara gemetar:
“Oey locianpwe,
sungguh........ sungguh kami tidak tahu menahu perihal cucu Oey locianpwe, kami
datang kemari untuk mencari Khuluk Khan, dan kami tak pernah melihat seorang
anak lelaki yang locianpwe maksudkan…...!”
Tapi Oey Yok Su tak melayani
kata-kata orang itu, ia menoleh mengawasi tajam kepada dua orang pahlawan
kerajaan itu, katanya bengis: “Cepat beritahukan, di mana cucuku?”
Dua orang pahlawan itu
menyadari, sulit sekali mereka berharap bisa hidup terus, karena usaha mereka
untuk melarikan diri telah gagal, berarti Oey Yok Su tidak akan mengampuni
mereka.
“Kami…… kami cuma
mengurungnya....... mengurungnya!” kata salah seorang diantara mereka dengan
suara yang tidak lancar.
Oey Yok Su tidak sabar,
tubuhnya berkelebat. Belum lagi pahlawan kerajaan yang seorang itu menyadari
apa yang terjadi, justeru bajunya telah dicengkeram oleh Oey Yok Su yang
mengangkat tubuhnya. “Di mana cucuku?!”
Bengis sekali suaranya.
Pahlawan kerajaan itu
ketakutan, tubuhnya menggigil. Diapun telah menunjuk ke arah dalam ruang itu.
“Di kamar itu……!” katanya
tergagap.
“Baiklah!” Oey Yok Su
membanting rubuh orang itu ke lantai. “Sekarang kalian masing-masing masih mau
hidup atau tidak?”
Pahlawan kerajaan itu yang
telah merangkak untuk berlutut, segera mengangguk-anggukkan kepalanya, tubuhnya
menggigil, begitu juga dengan kawannya, dan si petani bersenjata pacul.
Mereka melihatnya, betapa
lihaynya Oey Yok Su karena mereka yang biasanya garang dengan kepandaian yang
lumayan, kini di hadapan Oey Yok Su seperti juga mereka anak-anak kecil yang
tidak berdaya apa-apa. Mereka dapat diperlakukan sekehendak hati oleh Oey Yok
Su.
Bahkan setiap kali Oey Yok Su
menyerang mereka, sama sekali mereka tidak memiliki kesempatan buat
menghindarkan diri. Karena dari itu, mereka jadi tambah ketakutan, mereka
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kami memang ingin memohon
kemurahan hati Oey locianpwe……!” menyahuti mereka serentak.
“Hemmm,” mendengus Oey Yok Su.
“Baik! Kalian akan diampuni dan cukup jika kalian menghadiahkan dua daun
telingamu masing-masing! Ayo potong dua daun telinga kalian masing-masing!”
Rupanya mereka menyadari
itulah hukuman yang paling ringan buat mereka, sama sekali tak berani berayal,
karena mereka kuatir kalau saja Oey Yok Su merobah pendiriannya lagi.
Cepat-cepat dua orang pahlawan kerajaan menggerakkan pedang mereka.
“Bles! Bles!” Sepasang daun
telinga mereka masing-masing telah ditebas putus. Darah seketika mengucur deras
sekali. Tapi mereka sambil menahan sakit, telah berlutut lagi:
“Apakah........., apakah sekarang kami boleh pergi Oey locianpwe?”
“Hemmm!” dingin sekali wajah
Oey Yok Su. “Menggelindinglah kalian!”
Dua orang pahlawan kerajaan
itu tidak berani berayal. Mereka segera menganggukkan kepala mereka satu kali
dan hendak berlalu.
“Tunggu dulu!” Bentak Oey Yok
Su, “Kalian baru boleh pergi jika cucuku telah di bawa ke mari!”
Muka kedua pahlawan kerajaan
itu berobah pucat. Mereka memutar tubuh, setelah saling lirik, akhirnya
cepat-cepat mereka berlari ke dalam.
Oey Yok Su mengawasi si petani
yang bersenjata pacul itu.
“Kau rupanya lebih sayang daun
telingamu dari jiwamu?” tanyanya tawar.
Muka petani itu pucat pias.
Dia ragu-ragu tapi tubuhnya semakin menggigil, tapi akhirnya dia jadi nekad
tahu-tahu dia telah menerjang pada Oey Yok Su mengayunkan paculnya. Dia memang
biasanya mengandalkan kepandaiannya malang melintang di dalam kalangan
Kang-aow, sekarang berhadapan dengan Oey Yok Su dia mati kutu.
Memang dia mendengarnya bahwa
Oey Yok Su merupakan seorang tokoh sakti, tapi dia tak yakin kalau memang
melakukan perlawanan nekad, bisa terbinasa dengan mudah. Dia menyerang karena
dia tidak rela daun telinganya dikutungkan. Dan paculnya itu menyambar cepat
sekali pada Oey Loshia!
Oey Yok Su semakin dingin
mukanya, dia mengawasi pacul itu menyambar semakin dekat padanya. Tapi sama
sekali Oey Yok Su tidak bergerak dari tempatnya berdiri, cuma matanya saja yang
bersinar semakin tajam dibandingkan dengan tadi.
Terdengar suara jeritan yang
menyayatkan hati, tubuh si petani yang tengah meluncur di tengah udara,
mendadak merandek karena kena dikibas oleh lengan baju Oey Yok Su, malah
mukanya seketika pucat pias seperti putihnya kertas, dan tubuhnya terapung di
tengah udara, di mana belum lagi tubuhnya meluncur turun terbanting di lantai,
justeru mulutnya telah terpentang menyusuli jeritannya itu dengan memuntahkan
darah segar berapa kali.
Tubuhnya segera ambruk di
lantai tidak bergerak lagi, karena waktu tubuhnya tengah meluncur turun,
napasnyapun telah berhenti. Rupanya Oey Yok Su telah turunkan kematian buatnya.
Lama juga Oey Yok Su berdiri
disitu, dia mengawasi banyak orang yang pingsan, termasuk Khuluk Khan dan
pahlawan kerajaan lainnya. Dan dua orang pahlawan kerajaan yang tadi
diperintahkannya membawa Kim Lo belum lagi muncul, dia jadi curiga.
Segera tubuhnya berkelebat ke ruang
dalam, ia melihat dua orang pahlawan kerajaan itu tengah berdiri mematung di
depan kamar yang pintunya telah dibuka lebar.
Tubuhnya menggigil keras
terlebih lagi waktu mereka melihat Oey Yok Su mendatangi, mereka kebingungan
sekali. Muka mereka pucat pias. Malah mereka cepat-cepat berlutut
memanggut-manggutkan kepala, sampai kening mereka membentur lantai dengan
keras.
“Ampuni kami
Locianpwe......... Ampuni kami…..!” Meratap mereka.
Hati Oey Yok Su tercekat, dia
segera membentak: “Mana cucuku?”
“Telah…… telah diculik orang,
Oey Locianpwe.......!” menyahuti dua orang pahlawan kerajaan itu dengan suara
gemetar, tubuh mereka menggigil.
Oey Yok Su melompat masuk ke
dalam kamar. Diapun jadi tertegun, matanya terpentang lebar.
Kamar itu kosong, Tapi pada
dinding sebelah kanan tampak tembok telah berlobang besar sekali. Rupanya telah
dihantam oleh sesuatu kekuatan yang sangat kuat dan di atas tembok, yang tepat
di bagian dekat lobang yang besar itu, terlihat tulisan-tulisan dari tenaga
yang sangat kuat, karena tampaknya huruf-huruf di tembok itu ditulis dengan
mempergunakan jari telunjuk, tembok itu telah melesak dan lekuk-lekuk membentuk
huruf, dan juga bunyinya agak luar biasa:
“Aku membutuhkan darah
Sin-tong (anak ajaib) ini, karena itu aku mengambilnya. Harap kalian
mengetahuinya! Aku Mo-in-kim-kun (Iblis Awan Pukulan Emas) sangat berterima
kasih sekali pada kalian.”
Menggigil tubuh Oey Yok Su
karena menahan murka. Tidak perduli iblis mana atau setan dari neraka
sekalipun, tentu Oey Yok Su akan membinasakannya, jika berani mengganggu
cucunya. Terlebih lagi ditembok itu ditulis dengan kata:
“Aku membutuhkan darah Sin-tong
ini.......”
bahwa itu merupakan sesuatu
yang sangat menyakitkan hati Oey Yok Su. Karena berarti orang itu, yang
menyebut dirinya sebagai Mo-in-kim-kun, akan membunuh Kim Lo dan mengambil
darahnya!
Tanpa memperdulikan lagi dua
orang pahlawan kerajaan itu, yang masih ketakutan menggigil berlutut, karena
mereka menduga Oey Yok Su pasti murka dan menurunkan tangan kematian padanya.
Oey Yok Su setelah melompat
keluar dari lobang di tembok itu, ternyata tembok itu menghubungi dengan di
luar dekat pekarangan gedung Khuluk Khan. Dan setelah melesat ke atas tembok,
maka terlihat jalan raya.
Rupanya Mo-in-kim-kun
mengambil jalan raya itu, sebab tidak ada jalan lainnya. Dilihat dari debu pada
tembok itu, yang masih mengepul di dalam ruangan, maka Oey Yok Su yang memang
berpengalaman, dapat menduganya bahwa Mo-in-kim-kun tentu belum pergi jauh.
Ia mementangkan gin-kangnya,
tubuhnya secepat angin telah melesat menyusuri jalan itu. Berlari belasan lie,
tiba di pinggiran kota, dia terus berlari.
Ada dua jalur jalan ke kiri ke
kanan, Oey Yok Su ragu-ragu sejenak, namun matanya yang tajam melihat di atas
tanah ada tanda bekas tapak kaki, walaupun tidak begitu jelas, namun dia segera
menduga tentunya Mo-in-kim-kun telah menempuh jalan yang ke kanan itu. Dia
segera mengempos semangatnya, dan mengejarnya.
Benar saja, setelah berlari
beberapa lie, dia melihat sesosok bayangan di depannya. Dia pun mendengar suara
tertawa bergelak-gelak di depannya itu:
“Hi-hi-hi-hi! Oey Loshia mari
kita adu lari…….! Mengapa sejak tadi kau seperti orang bingung saja.”
Oey Yok Su tersadar. Rupanya
Mo-in-kim-kun itu mengetahui perihal dirinya, juga mengetahui tentang
kedatangannya di gedung Khuluk Khan. Dan memang Mo-in-kim-kun itu, yang rupanya
memiliki kepandaian tinggi, bermaksud hendak mempermainkan dirinya.
Maka dari itu, Oey Yok Su
tidak membuang waktu lagi, melesat berlari semakin cepat, sehingga saking
cepatnya dia berlari, tidak dapat dilihat jelas wajah dan tubuhnya, cuma
merupakan segulungan warna hijau dari warna bajunya.
Mo-in-kim-kun rupanya
mengetahui Oey Yok Su mengejar lagi, dia berlari dengan di tangannya mengempit
Kim Lo. Dia tidak jeri, malah dia tertawa dan berlari lagi.
Sekarang larinya semakin
cepat. Ginkangnya rupanya mahir sekali. Jika tadi ia berlari tidak terlalu
cepat, sehingga dia kena disusul Oey Yok Su itulah disebabkan Mo-in-kim-kun
memang sengaja hendak mempermainkan Oey Yok Su, sengaja hendak menunggu sampai
Oey Yok Su datang dekat padanya, dan baru akan diajaknya lomba lari.
Oey Yok Su jadi berpikir di
dalam hatinya, entah siapa adanya orang itu, yang bergelar Mo-in-kim-kun
tersebut? Dilihat gin-kangnya, tampaknya dia pun seorang tokoh sakti. Tapi Oey
Yok Su mana mau memperdulikan hal itu.
Dia memang memiliki tabiat
yang ku-koay dan sekarang dia telah ditantang oleh Mo-in-kim-kun, karenanya dia
mengerahkan tenaganya, untuk berlari lebih cepat. Malah dihatinya telah timbul
tekad, jika saja sampai terkejar, Mo-in-kim-kun itu akan dihajarnya sampai
binasa. Terutama sekali untuk menyelamatkan Kim Lo dan juga untuk melampiaskan
penasaran hatinya.
Mo-in-kim-kun memang memiliki
gin-kang yang terlatih mahir sekali, karena dia bisa berlari begitu cepat
sekali. Jarak mereka, antara Mo-in-kim-kun dengan Oey Yok Su, tidak semakin
dekat, tetap saja Mo-in-kim-kun bisa menjaga jarak mereka itu seperti juga
terpisah tetapi sejauh tiga tombak lebih.
Dan Mo-in-kim-kun sendiri
berlari seperti bayangan saja, saking cepatnya sepasang kakinya seperti sudah
menginjak tanah. Walaupun tangannya mengempit Kim Lo, rupanya tidak menjadi
rintangan dan halangan buat dia berlari cepat.
Oey Yok Su semakin penasaran!
Dia mengetahui siapa-siapa di dalam rimba persilatan yang memiliki gin-kang
hampir berimbang dengannya tapi tidak pernah dia mengetahui ada seorang
Mo-in-kim-kun yang memiliki gin-kang yang berimbang dengannya. Benar-benar dia
sangat penasaran, karena sejauh itu ia mengejar masih juga belum berhasil untuk
menyandak dan memperpendek jarak antara dia dengan Mo-in-kim-kun.
Dengan segera Oey Yok Su mengerahkan
tenaganya lagi, mengemposnya, dia mengeluarkan suara siulan yang nyaring,
tubuhnya mencelat semakin cepat.
Malah untuk memperlambat
larinya Mo-in-kim-kun, dia telah menyentil dengan jari telunjuknya! Ternyata
dalam keadaan seperti itu, Oey Yok Su terpaksa harus mempergunakan ilmu sakti
It-cie-sin-kang, yaitu Jari Tunggal yang sakti.
Hebat memang angin serangan
itu, walaupun mereka berpisah beberapa tombak, telah menderu menyambar punggung
dari Mo-in-kim-kun, dan membuat Mo-in-kim-kun harus cepat-cepat mengibaskan
tangan ke belakang.
“Hahaha........ hanya sebegini
sajakah kepandaian daii Oey Loshia yang begitu terkenal menggetarkan rimba
persilatan?” Tertawa Mo-in-kim-kun.
Di waktu itu, Oey Yok Su
semakin penasaran, dia telah menghantam lagi dengan sentilan jari sakti
It-cie-sin-kang, dari tenaga yang dipergunakannya kali ini jauh lebih kuat,
karena dia mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya. Di dalam hatinya juga
berpikir:
“Hem entah siapakah orang
ini…… dia memang sengaja untuk mempemainkan diriku! Belum pernah aku bertemu
dengan dia.......?”
Tapi karena penasarannya itu,
membuat Oey Yok Su tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmunya yang setinggi
dan telengas, jika memang serangan seperti itu mengenai lawannya pada sasaran
yang tepat, tidak perduli lawannya itu memiliki kepandaian yang tinggi, dia
pasti akan celaka!
Tapi kali ini Mo-in-kim-kun
tidak menangkis, dia cuma menggelak. Cara mengelakan serangan itu dilakukannya
memang agak luar biasa, karena tubuhnya telah melesat ke depan lebih cepat tiga
langkah, dengan begitu dia terhindar dari sentilan jari sakti Oey Yok Su. Dan
juga telah membuat Oey Yok Su tertinggal semakin jauh juga.
Karenanya Oey Yok Su kembali
harus mengempos semangatnya, dia berusaha dan larinya Mo-in-kim-kun, jika
memang dia tidak mau tertinggal lebih jauh.
Di waktu itu Mo-in-kim-kun
telah berkata lagi, dingin suaranya: “Oey Loshia, mari kita berlomba berlari!
Mengapa engkau begitu pengecut main serang belakang? Ayo kerahkan tenagamu,
mari kita berlomba berlari.......!”
Sambil berkata begitu, tampak
Mo-in-kim-kun telah mengerahkan tenaganya dan berlari terus semakin cepat,
diiringi dengan suara tertawanya yang semakin nyaring. Dia memang sengaja
hendak memerintahkan Oey Yok Su.
Diwaktu itu terlihat Oey Yok
Su benar-benar sudah naik darah, ia bersiul satu kali lagi seketika dia berlari
dengan pesat sekali, jauh lebih cepat dari tadi. Malah ketika tangan kanannya
digetakan, dia telah membentak: “Berhenti!”
“Apakah kau kira aku seekor
kuda yang mudah untuk diperintahkan berhenti! Jika memang kau memiliki
kepandaian, kejarlah aku, dan susullah aku, barulah aku akan berhenti berlari!”
Mengejek Mo-in-kim-kun.
Tidak kepalang marahnya Oey
Yok Su, dia mendelu sekali, sampai dia merasakan dadanya seakan-akan hendak
meledak. Diwaktu itu dia telah mengeluarkan seluruh kekuatannya.
Tanpa mereka sadari, kedua
orang yang tengah saling kejar itu, hanya di dalam waktu yang sangat singkat,
telah duapuluh lie lebih yang mereka lalui.
Tapi setelah berlari sepuluh
lie lagi, Oey Yok Su masih belum bisa mengimbangi lari dari orang itu. Mereka
memang tampaknya seimbang gin-kangnya, sebab mereka itu berlari terus dengan
jarak pisah yang tidak pernah berobah, tidak semakin jauh dan tidak menjadi
semakin dekat.
“Hemmm, jika saja kau
terkejar, aku akan membuat engkau menjadi manusia tidak bisa menjadi setanpun
tidak dapat!” Berpikir di hati Oey Yok Su karena murka bukan main. Diam-diam
dia juga menguatirkan sekali keselamatan jiwa Kim Lo.
Setelah mengempos lagi
semangatnya, barulah Oey Yok Su memperpendek setengah tombak. Tapi kini dia
sudah berusia lanjut, walaupun memang gin-kangnya sangat mahir dan ilmu
silatnya sempurna, tokh faktor usia memegang peranan tidak kecil. Napasnya
mulai memburu, dan napasnya itu juga agak pendek karena dadanya mulai sesak.
Diam-diam Oey Yok Su mengeluh.
Kalau saja sepuluh tahun yang
lalu, niscaya sampai di mana pun Mo-in-kim-kun melarikan diri, ia akan
mengejarnya terus. Dan karena sudah menyadarinya bahwa tidak mungkin dia
meneruskan cara mengejar seperti itu, dia mengeluark an tiga butir biji catur,
dan melontarkannya.
Tiga butir biji catur itu
menyambar ke kiri dan kanan kemudian yang sebutir lagi ke arah pinggang
Mo-in-kim-kun.
Cara menyerang Oey Yok Su
adalah menutup jalan larinya Mo-in-kim-kun lebih jauh. Dan benar saja, menerima
serangan aneh seperti itu, Mo-in-kim-kun tidak berani main-main, dia telah
mengibaskan tangannya yang satu untuk meruntuhkan biji catur yang menyambar ke
pinggangnya, dia juga menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke udara, dia telah
menghindarkan diri dari dua biji catur yang lainnya.
Dengan demikian, dia telah
berhasil menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut. Kalau saja salah satu
dari biji catur itu mengenai sasarannya, niscaya lawan ini akan terbinasa
diincar oleh biji catur itu adalah jalan darah yang mematikan!
Membarengi dengan biji catur
tersebut justeru Oey Yok Su telah menghantam dengan mempergunakan telapak
tangannya. Seketika tanah di bawah kaki dari Mo-in-kim-kun telah berhamburan
seperti juga adanya ledakan yang memekakkan anak telinga!
Dan di waktu itulah, tampak
tubuh Mo-in-kim-kun telah melesat ke tengah udara, dan hinggap di puncak
sebatang pohon! Jika tidak, tentu ia akan terhantam oleh pukulan telapak tangan
Oey Yok Su dan biji caturnya.
Oey Yok Su tidak membuang
waktu sedikit pun juga, karena tubuhnya pun telah melambung ke tengah udara,
kedua kakinya ringan sekali hinggap di puncak pohon yang satunya lagi. Dan
tingginya pohon itu kurang lebih sembilan tombak, tapi juga merupakan tempat
yang paling lunak dan alot, sehingga tubuh mereka jika tidak memiliki
keseimbangan sempurna, niscaya akan jatuh oleh goyangan pucuk pohon tersebut.
Diam-diam Oey Yok Su heran dan
bercampur kagum, dia tidak tahu entah siapa adanya Mo-in-kim-kun yang begitu
hebat ilmu silatnya, dan rupanya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya.
Karena dengan mengempit Kim Lo di tangannya, dia masih bisa menghadapi dan
mengimbangi Oey Yok Su, itulah bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Dengan, muka yang dingin tidak
mengandung perasaan apa pun juga, Oey Yok Su membentak: “Jika selembar rambut
saja dari cucuku itu terganggu walaupun kau melarikan diri ke ujung langit, tidak
nantinya akan kubiarkan!”
Mo-in-kim-kun tertawa
bergelak-gelak, suara tertawanya menggema di sekitar tempat itu.
“Jika aku hendak menghilangkan
jejak, mengapa tadi aku harus menungguimu? Bukankah aku bisa saja membawa anak
ini begitu saja dan kau akan kehilangan jejak?” Setelah berkata begitu, dia
mengangkat tubuh Kim Lo.
Bocah itu dalam keadaan
tertotok tidak bisa bergerak, cuma matanya belaka yang memandang pada Oey Yok
Su dengan sorot seperti hendak meminta pertolongan Kong-kongnya. Oey Yok Su jadi
semakin gusar kepada Mo-in-kim-kun, bengis sekali dia melesat menerjang kepada
Mo-in-kim-kun.
Namun Mo-in-kim-kun telah
mengelakannya, dia menggerakkan tubuhnya ke samping doyong di puncak pohon itu
dan serangan Oey Yok Su gagal dan tubuhnya melayang tidak memiliki tempat
berpijak, tapi dia lihay, maka dia mengeluarkan sebutir biji caturnya, dia
segera melepaskan biji caturnya di dekat kakinya dan menjejak menotok biji
catur itu, tubuhnya melesat lagi dan kembali ke puncak pohon di mana tadi dia
berada.
“Hati-hati! Kau jangan
menganggap rendah kepadaku! Memang selama ini kau merasakan dirimu sebagai jago
nomor wahid dan tidak memiliki tandingan lagi! Jadi jika terhadapku kau
memandang rendah, hem hem, tentu engkau sendiri yang akan rugi!” Dan setelah berkata
begitu, kembali Mo-in-kim-kun tertawa bergelak-gelak,
Oey Yok Su mengawasi orang itu
tajam sekali, dia melihat tubuh Mo-in-kim-kun tinggi besar. Dan wajahnya
menyeramkan, mukanya itu tidak wajar sebagai muka manusia, banyak sekali
bekas-bekas luka di mukanya.
Dan matanya mendelik lebar
sekali pada sebelah kiri, mata kirinya itu memiliki biji mata yang seperti akan
meletos, sedangkan mata kanannya biasa seperti mata yang wajar dan normal. Pada
pipinya tampak goresan-goresan bekas luka yang mungkin saja puluhan
goresan-goresan. Keningnya lebar. Sekali melihat saja, maka orang akan menduga
ialah seorang iblis.
“Siapa kau? Dan jelaskan asal
usulmu yang jelas!” Bentak Oey Yok Su sengit.
“Sabar! Kau tidak bisa main
perintah seperti itu kepadaku! Sedangkan untuk mengejar diriku saja kau tidak
sanggup, bagaimana kau masih membawa lagak seperti tingkah menghadapi orang
dari tingkatan muda?”
Mendengar perkataan
Mo-in-kim-kun, semakin meledak kemarahan Oey Yok Su. Waktu itu angin berhembus
cukup keras, sehingga puncak pohon itu bergerak-gerak. Memang gin-kang Oey Yok
Su maupun Mo-in-kim-kun telah mencapai tingkat yang paling mahir, maka mereka
masih sanggup berdiri di puncak pohon tersebut, malah mereka berhadapan saling
pandang.
Mo-in-kim-kun telah bilang, “Aku
ada syarat. Jika memang kau bisa penuhi, maka anak ini, yang semula ingin
kuambil darahnya akan kuserahkan kembali kepadamu.......!”
“Syarat apa?” tanya Oey Yok Su
menindih kemurkaan hatinya, dia mengawasi tajam sekali.
“Hem, bukankah Giok-sie ada
padamu?” tanya Mo-in-kim-kun dengan suara yang dingin.
Oey Yok Su segera menyadari
apa maunya Mo-in-kim-kun.
“Kau hendak meminta Giok-sie
itu sebagai ganti cucuku itu?” tanya Oey Yok Su.
“Tidak salah! tapi ingat bukan
sebagai pengganti! Justeru sebagai penebus! Kau tentu mengetahui, anak ini
adalah seorang Sin-tong, anak mujijat, ajaib, yang memiliki darah yang luar
biasa.
“Jika kita mengelolahnya
dengan beberapa ramuan… Hemmm! Jika memang aku bisa memperoleh darah bocah ini,
niscaya tenaga dalamku akan bertambah beberapa lipat!
“Kau lihat saja, muka anak ini
tidak mirip-miripnya manusia, hemm, tentu dia memiliki sesuatu kemujijatan
sehingga bisa hidup sampai saat sekarang ini! Bagaimana tawaranku itu, kukira
Giok-sie tidak berharga buat dirimu. Dan anak ini jauh lebih penting, bukan?”
Ditanya begitu, Oey Yok Su
tidak ragu-ragu segera mengangguk, hatinya berpikir: “Biarlah, setelah Kim Lo
dibebaskan aku akan berusaha merampas Giok-sie dari tangannya!” sambil berpikir
begitu Oey Yok Su merogoh sakunya dia menimang-nimang Giok-sie itu.
“Inikah yang kau kehendaki?”
tanya Oey Yok Su.
Mata Mo-in-kim-kun yang
sebelah kiri yang memang meletos itu, tampak terbuka dan menonjol semakin ke
depan, seakan juga memang biji matanya itu akan meletos. Dia tampaknya girang
sekali.
“Benar! Nah, kau lemparkanlah!
Anak ini segera akan kubebaskan Oey Loshia!”
“Tunggu!” Kata Oey Yok Su,
“Tidak semudah itu kau meminta Giok-sie. Hemm, sekarang kau bebaskan dulu
cucuku, baru nanti aku akan memberikan Giok-sie ini, kalau saja memang tidak
ada sesuatu yang terjadi pada diri cucuku! Jika memang terganggu seujung
rambutnya saja, hemm….. hemm aku terus akan mengadakan perhitungan dengan kau!”
Mo-in-kim-kun tertawa
mengejek.
“Kau mau menukarnya atau tidak?!”
Tanyanya mendadak.
Mendengar nada suara yang
mengancam seperti itu, Oey Yok Su tergerak hatinya.
“Kau lemparkan cucuku padaku,
dan aku akan melemparkan Giok-sie kepadamu.......!” Katanya.
Mo-in-kim-kun ragu-ragu, namun
akhirnya ia mengangguk.
“Kau lemparkan Giok-sie,
begitu Giok-sie meluncur di tengah udara, cucumu ini akan segera kulemparkan!
Siapa tahu, tua-tua kau semakin licik, Oey Loshia, begitu aku melemparkan
cucumu, kau justeru malah tidak melemparkan Giok-sie.”
Karena memang berada dalam
keadaan tertekan memikirkan dan menguatirkan keselamatan Kim Lo, untuk sejenak
itu Oey Yok Su mau mengalah, jago tua yang sakti itu mengangguk.
“Baiklah!” Sambil berkata
begitu, dia melontarkan Giok-sie. Benda itu meluncur pesat sekali pada
Mo-in-kim-kun.
Melihat Oey Yok Su sudah
melontarkan Giok-sie, Mo-in-kim-kun juga melontarkan Kim Lo. Tubuh bocah itu
meluncur cepat sekali kepada Oey Yok Su.
Majikan pulau Tho-hoa-to itu
telah menyanggapi tubuh Kim Lo. Anak itu masih dalam keadaan tertotok, dan sepasang
tangan maupun kakinya masih terikat oleh tali urat harimau. Karena itu, Oey Yok
Su melompat turun ke tanah, ia membuka totokan pada diri anak itu, dia juga
telah membuka ikatan tambang urat harimau.
Waktu itu ia melirik,
dilihatnya Mo-in-kim-kun baru saja menyanggapi dan memasukan Giok-sie ke dalam
sakunya, malah tubuh Mo-in-kim-kun segera melayang untuk menjauhi diri
meninggalkan tempat tersebut.
“Terima kasih, Oey-loshia,
nanti kita bertemu lagi kalau memang ada jodoh! Atau jika memang kau hendak
mencariku, kau boleh datang ke lembah Pit-mo-gay (lembah iblis) di gunung
Song-san!”
Dan dalam sekejap mata tubuh
Mo-in-kim-kun telah lenyap dari pandangan mata Oey Yok Su.
Bukan main mendelunya Oey Yok
Su, seumur hidup, mungkin baru kali ini ia mengalami peristiwa seperti itu di
mana dia seperti tak berdaya buat menghajar mampus orang yang dibencinya.
Biasanya, setiap orang rimba
persilatan akan menggigil ketakutan kalau berhadapan dengannya. Dan jika ada
seseorang yang dibenci Oey Yok Su, niscaya dengan mudah ia menghadiahkan
kematian, atau sedikitnya membuat bercacad orang yang tidak disenanginya itu.
Tapi sekarang ini, justeru Oey
Yok Su merasakan dirinya sendiri yang seakan-akan dipermainkan oleh
Mo-in-kim-kun, yang belum lagi diketahuinya, entah siapa sebenarnya
Mo-in-kim-kun itu.
Kim Lo setelah dibebaskan
totokan di tubuhnya, segera bangun, dia bilang pada Kong-kongnya. “Kong-kong,
pembesar Boan itu jahat sekali! Dia bekerja sama dengan para pahlawan kerajaan
itu berusaha menyiksa diriku…….!”
Oey Yok Su menanyakan apakah
ada sesuatu yang dirasakan oleh bocah itu, dia juga menyuruh duduk dulu buat
bersemedhi kemudian majikan pulau Tho-hoa-to ini memeriksa nadi tangan bocah
tersebut. Dan ia memperoleh kenyataan memang tidak ada perobahan pada jalan
darah Kim Lo, yang lurus dan lancar.
Jadi bocah ini tidak mengalami
sesuatu yang bisa mengancam kesehatan tubuhnya. Cuma saja, wajah Kim Lo yang
sembam karena telah ditempeleng berulang kali oleh Bun Siu Thang dan juga telah
diperlakukannya kasar oleh para pahlawan kerajaan itu.
“Sudahlah! Aku telah menghajar
mereka!” Kata Oey Yok Su kemudian, suaranya perlahan sedangkan hatinya masih
panas dan penasaran memikirkan Mo-in-kim-kun. “Dan mengapa engkau bisa jatuh ke
dalam tangan mereka, Kim Lo?”
Kim Lo segera menceritakan
ketika ia oleh seseorang diminta pertolongan untuk menyimpan Giok-sie lalu
orang itu melarikan diri. Giok-sie berdarah itu juga telah dimasukkan ke dalam
sakunya, namun telah diketahui oleh Bun Siu Thang waktu bocah tersebut ditangkap
mereka.
Malah kemudian ketika ia
memberitahukan, dirinya adalah cucu dari Oey Yok Su, dia hendak dibunuh, untuk
menghilangkan jejak. Khuluk Khan sendiri kegirangan memperoleh Giok-sie sampai
akhirnya Kim Lo menceritakan dia dikurung di dalam kamar itu, dan telah datang
orang luar biasa yang mukanya menyeramkan, dia yang menotok Kim Lo.
Cara datangnya luar biasa.
Tembok telah dipukul hancur berlobang besar dan membawa Kim Lo keluar lagi dari
lobang yang dibuatnya di tembok. Malah sebelum pergi, dengan jari telunjuknya
dia menulis sesuatu di tembok.
Oey Yok Su menghela napas
mendengar cerita Kim Lo. Hatinya tergerak, Mo-in-kim-kun memang lihay, dan
sekarang tampaknya Giok-sie akan memancing kekeruhan di dalam rimba persilatan.
Entah Mo-in-kim-kun itu
berdiri di pihak mana. Apakah dia berdiri di pihak kerajaan atau memang bekerja
untuk orang-orang yang cinta negara, para pahlawan yang hendak mengusir
kerajaan Tay Goan? Atau memang Mo-in-kim-kun bermaksud memiliki Giok-sie untuk
kepentingan pribadinya sendiri?
Dan semua itu masih belum lagi
diketahui oleh Oey Yok Su. Bahkan dia pun belum mengetahui, entah Mo-in-kim-kun
itu berasal dari aliran mana, tidak tahu juga Oey Yok Su sebetulnya
Mo-in-kim-kun penduduk Tiong-goan atau memang orang asing datang ke Tiong-goan.
“Hemmm tampaknya memang urusan
Giok-sie akan memancing kekeruhan yang hebat di hari mendatang kelak!”
Menggumam Oey Yok Su perlahan sekali, sambil mengerutkan alisnya.
Dia teringat kepada usianya
yang lanjut benar, kalau tentu dia pun akan mati- matian melibatkan diri untuk
memiliki Giok-sie, yang akan dihadiahkan kelak kepada pahlawan pencinta negeri
untuk dipakai mengerakkan rakyatnya, mengadakan perlawanan pada kerajaan Tay
Goan.
Usianya yang benar-benar telah
lanjut memang dapat dirasakannya benar tadi oleh Oey Yok Su, di mana napasnya
tidak panjang seperti dulu, cepat lelah dan juga biar kepandaiannya memang
sangat mahir dan sempurna. Namun tetap saja napasnya tidak panjang dan cepat
letih, merupakan kelemahan yang sangat fatal buat dia, jika bertempur dengan
seorang yang memiliki kepandaian berimbang dengannya.
“Kong-kong, sesungguhnya
Giok-sie itu benda apakah?” tanya Kim Lo sambil menatap kepada kakeknya.
Oey Yok Su menghela napas.
“Itulah cap kerajaan........
Siapa yang memiliki Giok-sie, dia akan sanggup menggerakkan rakyat, dan dia
akan naik tahta menjadi Kaisar!” menjelaskan Oey Yok Su.
“Jadi…… barang tadi, batu Giok
putih itu adalah Giok-sie yang sejati?” Tanya Kim Lo lagi.
Oey Yok Su menggeleng
perlahan: “Aku sendiri belum bisa memastikan! Baiklah, nanti kita akan
melihatnya.”
Setelah berkata begitu, Oey
Yok Su mengajak Kim Lo berdiri, lalu katanya: “Kita akan pergi ke Pit-mo-gay,
untuk merampas Giok-sie dari tangan Mo-in-kim-kun.......! Entah siapa
sebenarnya Mo-in-kim-kun itu! Tapi jika kita telah tiba di tempat Pit-mo-gay, kita
mengetahuinya dengan jelas seluruh rahasia dan tanda tanya ini akan terjawab.
Kim Lo tidak mengerti, dia
cuma mengiyakan saja perkataan Kong-kongnya, karena memang diapun sudah
bersyukur, sebab dirinya tertolong oleh Kong-kongnya. Coba kalau saja Kong-kongnya
ini tidak berhasil menemukannya dan juga tidak berhasil menolongnya, bukankah
dia yang akan menderita?!
Begitulah, kakek dengan
cucunya tersebut, telah meninggalkan tempat itu. Oey Yok Su ngempit Kim Lo,
yang akan diajaknya pergi ke Pit-mo-gay, atau Lembah Iblis itu, karena memang
Oey Yok Su ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terdapat di lembah itu, lalu
siapa Mo-in-kim-kun, juga iapun jika dapat, ingin Giok-sie pula, yang kelak
akan diserahkan kepada Kwee Ceng ataupun Yoko.
Gunung Song-san terpisah dari
tempat itu mungkin ribuan lie, dan baru akan dapat dicapainya setelah lewat
tiga minggu atau satu bulan. Tergantung dari perjalanan yang ditempuhnya,
apakah dilakukan dengan cepat, siang dan malam, atau memang perjalanan itu
dilakukan dengan lambat.
Tapi memang nekad Oey Yok Su.
Biar bagaimana, ia pergi ke Pit-mo-gay sebab Mo-in-kim-kun bagaikan
menantangnya agar Oey Loshia ini, Si sesat tua datang ke Pit-mo-gay!
<>
Dua baris pasukan pengawal
bersenjata lengkap dengan pakaian seragam yang terbuat sebagian dari besi
sehingga tampak gagah, berdiri tegak di depan istana berbatu pualam putih dan
mata dua baris pasukan pengawal itu terbeliak lebar-lebar mengawasi kepada
seorang Lhama tua yang mengenakan jubah warna merah.
Usia Lhama yang mungkin sudah
tujuhpuluh. Kepalanya lanang, alisnya tumbuh putih, tumbuh panjang terjuntai di
sisi matanya, dan kumis jenggotnya pun telah memutih tumbuh agak panjang,
melebihi pangkal leher.
Lhama itu seorang yang agung
dan angker sikapnya pun memperhatikan bahwa ia bukan orang sembarangan. Cara
berdirinya tegak bagaikan gunung yang menjulang membuktikan ia memiliki ilmu
silat yang tinggi sekali. Ia tidak memperhatikan sikap dari barisan pengawal
istana yang berdiri dengan sikap penuh perhatian mengawasi dirinya karena Lhama
itu tengah memusatkan segenap perhatiannya kepada diri seseorang lainnya.
Orang yang diperhatikan Lhama
itu adalah seorang yang tengah menderita sakit terbaring, lemah sekali.
Pembaringan kayu berukir itu terletak di tengah-tengah ruangan di mana orang
sakit itu tengah rebah dengan muka pucat pias. Pakaiannya yang mentereng dan
mewah. Jelas ia merupakan seorang perwira kerajaan Tay Goan yang cukup tinggi
pangkatnya.
Bukan cuma mukanya yang pucat,
napasnya juga senen kemis, walaupun tubuhnya tampaknya kekar dan tinggi tegap,
disaat itu ia rebah lemah sekali. Matanya yang mengawasi kepada Lhama yang
mengawasi yang berdiri tidak jauh dari dirinya dengan sinar yang guram, seakan
juga pelita yang akan segera padam.
Dua orang pengawal istana
berdiri paling belakang sedang bercakap-cakap dengan berbisik-bisik. Salah
seorang di antaranya telah bilang: “Sebenarnya. jarang sekali Ong-ya kita
bersikap secermat dan serius seperti sekarang ini! Apakah kau mengetahui
siapakah sebenarnya Lhama tua itu?”
“Apa yang kudengar, Lhama tua
itu bergelar Bun Ong Hoat-ong. Ia sengaja diundang oleh Ong-ya, untuk pergi
menghadap Kaisar, karena selanjutnya mungkin ia yang bisa diandalkan untuk
menghadapi tikus-tikus Tiong-goan (yang dimaksudkan dengan tikus-tikus Tiong-goan
adalah jago-jago bangsa Han) agar di waktu selanjutnya tidak ada
pemberontakan!” menjawab yang seorang.
“Ohhh, pantas Ong-ya kita juga
demikian menghargai dan menghormatinya!” kata kawannya.
“Oh, tidak! Tidak demikian
halnya! Ong-ya seorang yang tegas, tanpa pandang bulu dalam bertindak dan
mengambil keputusan. Jika Lhama tua ini tidak memiliki kepandaian sejati, yang
tinggi dan sakti, tidak mungkin terpakai oleh Ong-ya.
“Lihat saja, bukankah
sekarangpun Lhama tua itu tengah diuji di depan umum untuk membuktikan
ketegasan sikap Ong-ya tidak pilih kasih, di mana Lhama tua itu diharuskan
membuktikan kehebatan ilmunya.
“Sekarang ini justeru Lhama
itu diharuskan menyembuhkan Tan Goanswe (Jenderal Tan) yang terluka parah oleh
seorang! Hem, dilihat demikian, memang tampaknya tidak mudah menyembuhkan Tan
Goanswe karena seluruh jalan darahnya kabarnya telah terbalik, berbagai racun
telah mengendap di dalam tubuhnya.
“Jadi sekarang Lhama tua itu
ingin mengobati Tan Goanswe?” Tanya kawannya.
“Kukira begitu……. ahh,
sebentar lagipun kita akan menyaksikannya apa yang akan dilakukan Lhama tua
itu. Nah, lihat itu! Sssssttttt, Ong-ya sudah datang!”
Keadaan di sekitar ruang
pendopo istana jadi sunyi, dan semua orang berdiam diri sedangkan Lhama baju
merah yang bergelar Bun Ong Hoat-ong, menoleh ke kiri, dilihatnya serombongan
orang yang tengah memasuki pendopo istana.
Segera juga terlihat senyum
Bun Ong Hoat-ong, ia memutar tubuhnya dan menjurah katanya, “Bun-ong
menghaturkan hormat untuk Ong-ya, menanyakan kesehatan Ong-ya!”
Rombongan orang yang baru
memasuki pendopo istana ada enam orang. Seorang di antaranya, yang jalan paling
depan, adalah yang disebut Ong-ya.
Dia seorang laki-laki berusia
empatpuluh tahun lebih, pakaiannya mentereng. Sedangkan lima orang lainnya
rupanya merupakan pengawal pribadinya yang selalu harus menjaga dan melindungi
Ong-ya tersebut.
Terlihat juga lima orang
pengawal pribadinya yang selalu harus menjaga dan melindungi Ong-ya itu telah
memisahkan diri ke samping kiri dan kanan, mereka selalu mengawasi keadaan di
sekitar tempat itu.
Ong-ya tersebut juga
merangkapkan tangannya membalas hormat Bun Ong Hoat-ong.
“Jangan Taysu banyak
peradatan!” Katanya dengan sikap yang ramah dan senyum tipis menghiasi
bibirnya. “Sesungguhnya, kami bersyukur sekali Taysu mau juga datang memenuhi
undangan kami.”
Lhama tua itu tersenyum.
“Ong-ya, sesungguhnya untuk
mengobati Tan Goanswe tidak mudah!” Kata Bun-ong Hoat- ong kemudian.
“Lalu….. apakah Tan Goanswe
sulit untuk disembuhkan, Taysu?” Menegaskan Ong-ya itu.
Bun Ong Hoat-ong mengangguk.
“Seharusnya memang demikian!
Tapi Ong-ya jangan kecil hati, karena Lolap akan berusaha menyembuhkannya.
Tampaknya masih ada harapan juga!” katanya.
Senyum mereka lagi di bibir
Ong-ya tersebut, katanya: “Syukurlah jika demikian! Memang kami sangat mengandalkan
sekali akan kehebatan Taysu, jiwa Tan Goanswe berada di tangan Taysu!”
“Ong-ya terlalu memuji!” Kata
Bun Ong Hoat-ong. “Dan ini memang Lolap hanya sekedar untuk mencobanya saja
dulu. Berhasil atau tidaknya itu tergantung dari nasib dan umur, Tan Goanswe
sendiri. Ia terluka hebat, seluruh tubuhnya telah terbalik kedudukannya, juga
banyak yang tersumbat dan terputuskan pada nadi-nadi yang penting.
Disamping itu banyak pula
tulang-tulang yang sudah remuk, juga ia terluka di dalam yang berat sekali,
sangat parah! Yang terhebat lagi, racun yang mengendap di dalam tubuh Tan
Goanswe bukan sejenis, justeru beberapa jenis. Itupun merupakan racun-racun
yang sangat dahsyat cara bekerjanya!
“Jika memang tidak memperoleh
pengobatan yang tepat, niscaya Tan Goanswe sulit memperoleh kesembuhannya!
Beruntung Lolap memang mengerti sedikit ilmu pengobatan dengan mengandalkan
sedikit tenaga latihan lwekang Lolap, cobalah kita coba mengobati Tan Goanswe.
Semoga saja Tan Goanswe memiliki umur panjang!”
Setelah berkata begitu, tampak
Bun Ong Hoat-ong menjurah lagi memberi hormat kapada Ong-ya yang sikapnya
keagung-agungan itu. “Harap Ong-ya mengijinkan Lolap untuk mulai mengobatinya!”
“Silahkan! Silahkan
Taysu........ kami memang menggantungkan nasib Tan Goanswe di tangan Taysu!”
Kata Ong-ya.
Lhama tua itu setelah memberi
hormat, memutar tubuhnya segera juga ia menghampiri dua langkah ke dekat
pembaringan kayu ukir. Dia berdiri diam dengan sepasang tangan diturunkan di
samping tubuhnya. Iapun telah mengeluarkan seruan perlahan, seperti desahan
yang panjang. Tampaknya dia tengah mengerahkan tenaga dalamnya.
Dua baris pengawal di pendopo
istana mengawasi dengan tegang, mereka tidak mengerti dengan cara apa Lhama tua
itu akan mengobati Tan Goanswe yang terluka tidak ringan itu. Tampaknya dia
mendesah seperti itu seakan juga tengah membaca mantera. Apakah Tan Goanswe
akan diobati dengan cara dibacakan mantera-mantera.
Sedangkan Bun Ong Hoat-ong,
telah mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan. Dia mengangkat terus, sampai
dua tangannya itu melewati kepalanya.
Semua semakin tegang, karena
mereka melihat keringat mulai mengucur keluar dari sekujur tubuh Bun Ong
Hoat-ong. Entah apakah yang akan dilakukan oleh Lhama tua tersebut. Dan memang
semua orang yang hadir di ruang pendopo istana jadi bertanya-tanya dengan cara
bagaimana Lhama itu akan mengobati dan menyembuhkan Tan Goanswe yang terluka
parah seperti itu.
Tiba-tiba Bun Ong Hoat-ong
berseru dengan suara mengguntur, seakan juga suara gunturnya menggelegar di
pendopo tersebut. Dan seruannya itu mendadak sekali, di antara keheningan dan
ketenangan yang ada. Karuan saja telah mengejutkan semua orang yang hadir di
tempat itu, sampai beberapa orang pengawal telah melompat mundur saking
kagetnya.
Lima orang pengawal pribadi
dari Ong-ya tersebut juga telah bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Mereka terkejut waktu mendadak sekali mendengar seruan mengguntur
dari Bun Ong Hoat-ong, mereka cepat-cepat mengambil sikap bersiaga. Bagi
mereka, apapun yang terjadi, yang terpenting adalah pertama-tama melindungi
keselamatan Ong-ya mereka.
Cuma Ong-ya saja yang bersikap
tenang walaupun ia kaget dengan adanya seruan mengguntur dari Bun Ong Hoat-ong
yang meledakkan keheningan mereka. Tokh dia tidak bergeming dari tempatnya
berdiri, cuma mengawasi apa yang tengah dilakukan Bun Ong Hoat-ong dengan mata
yang bersinar tajam, dan juga bibirnya tersenyum lebar.
Rupanya, Bun Ong Hoat-ong
berseru keras mengguntur itu dibarengi dengan kedua tangannya yang meluncur
turun, menghantam dada dan paha dari Tan Goanswe!
Kali ini semua orang kaget
lagi. Dihantam seperti itu, jelas dengan sepasang tangan yang berisikan
kekuatan lwekang yang sangat dahsyat itu. Sedangkan Tan Goanswe sedang terluka
parah seperti itu, mana mungkin dia bisa menerima hantaman sekuat itu!
Sedikitnya tentu dada dan pahanya akan remuk oleh hantaman tersebut.
Tapi sungguh luar biasa Tan
Goanswe yang tengah dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak menjerit, dia
hanya diam saja, sinar matanya memang tetap redup dan guram, tapi dia tidak
memperlihatkan tanda-tanda kesakitan.
Semua orang heran, tapi
ketajuban mereka bertambah lagi, karena dari tubuh Tan Goanswe segera juga
melesat keluar empat batang jarum yang halus, yang melesat ke atas penglarian
dan menancap dalam sekali di atas penglarian itu.
Bun Ong Hoat-ong mengulangi
sampai tiga kali dari menghantam seperti itu sehingga jarum yang keluar itu
pada pukulan kedua sebanyak enam batang, pukulan ketiga lima batang, dan
pukulan keempat sebanyak dua batang.
Barulah Bun Ong Hoat-ong
menepuk-nepuk tangannya, dia bilang sambil menghela napas dan menyusut
keringatnya: “Selesailah tahap pertama!”
Ong-ya menepuk tangannya
beberapa kali sambil memuji akan kehebatan Bun Ong Hoat-ong.
“Memang Taysu sangat hebat
sekali!” Memuji Ong-ya itu. “Menakjubkan sekali. Mungkin di dalam dunia ini
tidak ada orang yang memiliki lwekang sesempurna seperti Taysu!”
Cepat-cepat Bun Ong Hoat-ong
menjurah memberi hormat, katanya: “Ong-ya terlalu memuji!”
Ternyata, dengan mengandalkan
lwekangnya, Bun Ong Hoat-ong telah menepuk tubuh Tan Goanswe, sehingga
jarum-jarum beracun yang semula bersarang di tubuh Tan Goanswe dapat didesak
keluar dengan tenaga tepukannya itu, jarum itu melesat keluar dari tubuh Tan
Goanswe dan menancap semua di penglarian.
Setelah tersebar, semua orang
yang hadir di ruang pendopo istana tersebut bertepuk tangan dan memuji akan
kehebatan Lhama itu. Bahkan Ong-ya tidak hentinya memuji lagi.
“Selanjutnya adalah mengobati
letak jalan darah dari Tan Goanswe, akan pulih dan kembali duduknya di tempat
semula dengan baik!” kata Bun Ong Hoat-ong.
Dia berdiam diri beberapa
saat, tampaknya tengah mengumpulkan tenaga dalamnya, karena dia tadi menepuk
dengan cara seperti itu terlalu banyak mempergunakan tenaga dalamnya. Waktu
tenaganya sudah pulih dan kesegarannya telah kembali, Bun Ong Hoat-ong
mendekati pembaringan kecil kayu berukiran itu, dia mengurut mulai dari kaki
Tan Goanswe, dia mengurutnya itu naik sampai ke kepala. Dengan cepat ia
mengulangi dua kali mulai dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
Waktu diurut seperti itu oleh
si pendeta tampaknya Tan Goanswe menderita kesakitan yang hebat, ia tak dapat
mengeluarkan suara jeritan kesakitan karena hanya suaranya yang serak dan
seperti tersumbat ditenggorokannya.
Sedangkan Bun Ong Hoat-ong
tidak memperdulikan keadaan Tan Goanswe, dia tetap mengurut tidak hentinya, dan
setiap urutannya membuat muka Tan Goanswe meringis dengan otot-ototnya yang
seakan juga tertarik menjadi kejang.
Ong-ya mengawasi dengan
sepasang alis mengkerut. Ia mengetahui bahwa Bun Ong Hoat-ong tengah
menyalurkan lwekangnya untuk memulihkan duduknya urat-urat dan otot di tubuh
Tan Goanswe. Dan juga dengan cara mengurut seperti itu, Bun Ong Hoat-ong memang
telah mengorbankan lwekangnya, jangan harap Tan Goanswe bisa dipulihkan
kesehatannya.
Tapi yang membuat Ong-ya
berkuatir, dia melihat Tan Goanswe meringis menahan sakit yang hebat tanpa
sanggup menjerit, dia kuatir kalau saja Tan Goanswe itu terlalu kesakitan
kemudian mati!
Keadaan jadi tegang sekali,
semua mata terbeliak mengawasi dengan sikap yang tegang.
Dikala itu Bun Ong Hoat-ong
mengurut terus, sampai akhirnya dia menyudahi urutannya itu, dia menyusuli
dengan pukulan-pukulan perlahan tangannya.
Setelah melakukannya dari
ujung kaki dan sampai ke ujung rambut, barulah dia menghentikannya.
“Tahap kedua telah selesai!”
Kata Bun Ong Hoat-ong lagi. “Dan juga sekarang kita mulai mengobati pada tahap
ketiga, yaitu melenyapkan racun yang mengendap di tubuh Tan Goanswe.”
Dikala itu, tampak Ong-ya
telah bertepuk tangan lagi, memuji akan kehebatan Bun-ong Hoat-ong. “Benar-
benar Taysu menyerupai dewa yang sakti…….”
“Tunggu dulu!” kata Bun Ong
Hoat-ong. “Janganlah Ong-ya memuji dulu, karena belum tentu lolap berhasil
mengobatinya……”
Setelah berkata begitu, tanpa
menoleh lagi kepada Ong-ya, tampak Bun Ong Hoat-ong merogoh sakunya, dia
mengeluarkan sebuah kotak, dari dalam kotak kecil terbuat dari emas itu, dia
mengambil beberapa macam obat pulung. Dia memasukkannya ke dalam mulut Tan
Goanswe, dan memijit rahang Tan Goanswe, sehingga obat itu tertenggak masuk ke
dalam tenggorokannya.
Setelah lewat beberapa waktu
lamanya, barulah tampak perobahan pada diri Tan Goanswe. Dia mulai tenang,
mukanya tidak meringis seperti tadi waktu dia menahan rasa sakit yang bukan
main. Mukanyapun tidak mengejang lagi seperti tadi, malah perlahan-lahan
matanya itu tertutup, napasnya teratur, dia telah terlelap dalam tidur.
Bun Ong Hoat-ong menyusut
keringatnya, dia menghela napas memutar tubuhnya dan tertawa kepada Ong-ya,
katanya: “Sekarang biarkan saja Tan Goanswe tidur, untuk memperoleh tenaga yang
mungkin diperlukan nanti, waktu menjalankan pengobatan yang terakhir!”
“Sungguh beruntung Tan Goanswe
atas pertolongan seorang sakti seperti Taysu!” Memuji Ong-ya. Dia juga
merangkapkan tangannya dan pembesar ini memberi hormat kepada Bun Ong Hoat-ong,
katanya lagi. “Atas nama Hong-siang, maka kami mengucapkan terima kasih dan
rasa syukur kepada Taysu!”
“Jangan Ong-ya banyak
peradatan dan terlalu memuji……. Apa yang dapat Lolap lakukan ini hanya sekedar
untuk membuktikan betapa pun juga memang Lolap bermaksud bekerja untuk
kepentingan Hong-siang dan kerajaan Tay Goan yang jaya!”
Ong-ya segera perintahkan
orang-orangnya untuk mempersiapkan meja perjamuan.
Siapakah Ong-ya itu?
Dia tidak lain dari Hakarsan,
putera Tuli. Dan dialah yang merupakan pangeran paling berkuasa di kerajaan Tay
Goan, karena kaisar Kublai Khan telah menyerahkan tanggung jawab dan kekuasaan
sebesar-besarnya kepada Hakarsan untuk memimpin tentara pengawal istana,
pasukan peperangan yang membawahi kekuasaan dari Menteri peperangan, juga
seluruh pahlawan istana harus di bawah kordinir pangeran ini.
Karena dari itu, waktu
kerajaan Tay Goan tengah sulit menghadapi tantangan para pencinta negeri dari
bangsa Han, Hakarsan berusaha mencari orang-orang pandai dari negerinya! Ia
mendatangkan beberapa orang Mongolia yang di negeri asalnya merupakan jago-jago
terhebat. Tapi juga masih merasa kurang, ia menyebar orang ke Tibet dan
beberapa negeri lainnya, untuk mencari jago-jago yang benar-benar memiliki
kepandaian tinggi.
Dia berhasil mengundang Bun
Ong Hoat-ong yang bersedia untuk bekerja pada kerajaan Tay Goan, tentu saja
dengan janji akan diberikan kedudukan dan pangkat yang tinggi. Tapi, karena
memang sudah menjadi sifat pangeran Hakarsan, setiap orangnya harus diteliti
dengan cermat, iapun telah menguji Bun Ong Hoat-ong untuk menyembuhkan semua
luka-luka yang di derita Tan Goanswe. Sebelumnya, tidak ada yang berhasil
menyembuhkan luka yang diderita Tan Goanswe.
Sedangkan Tan Goanswe atau
jenderal Tan itu bernama lengkap Tangarlut, dia seorang jenderal yang sangat
diandalkan oleh Hakarsan. Dan memang diapun telah melakukan tugasnya dengan
baik sekali, sampai akhirnya ia terluka begitu hebat.
Waktu dijamu oleh Hakarsan,
maka Bun Ong Hoat-ong suatu kali menanyakan sebab-sebabnya Tan Goanswe terluka
separah itu dan siapa yang melukainya.