43 Garuda Mata Satu
1
Senja mulai turun ke bumi.
Semburat kemerahan tampak di kaki langit sebelah barat. Indah! Itulah kesan
yang timbul di benak orang yang menikmatinya.
Tapi keindahan senja hari itu
sama sekali tidak menarik perhatian empat
orang laki-laki di atas
punggung kuda. Tanpa mempedulikan sekitarnya, mereka terus saja menggebah
kudanya. Derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam tanah, serta debu yang
mengepul tinggi, menjadi pertanda kalau kuda itu begitu cepat berlari.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Empat penunggang kuda yang
semuanya berpakaian coklat dan bertubuh kekar itu berteriak-teriak keras, agar
binatang tunggangannya lebih cepat berlari. Bahkan pecut di tangan kanan mereka
pun ikut berperan dalam mempercepat lari kuda.
Ctarrr!
Suara lecutan terdengar cukup
nyaring ketika pecut-pecut itu menjilat bagian belakang tubuh kuda
masing-masing. Maka, mau tak mau binatang- binatang tunggangan itu semakin
cepat berlari.
"Kau yakin dia berada di
sana, Kang Wasila?"
Sambil tetap menggeprakkan tali
kekang agar kudanya berlari lebih cepat, laki-laki yang bertubuh pendek kekar
membuka percakapan.
Penunggang kuda terdepan yang
satu-satunya mengenakan ikat kepala
berwarna merah, menoleh ke
belakang. Dialah yang bernama Wasila. "Aku yakin dia berada di sana,
Dulang," jawab Wasila.
Usai berkata demikian, Wasila
yang merupakan pemimpin dari ketiga orang yang berada di belakangnya, kembali
mengalihkan pandang ke arah semula.
Sementara laki-laki yang
bernama Dulang mengernyitkan alis sebentar. Kemudian diliriknya dua rekannya
yang berkuda di sebelahnya. Pada saat yang sama, dua orang itu juga tengah
melirik ke arahnya. Nama masing- masing kedua orang itu adalah Paksi dan Gora.
"Mengapa kau demikian
yakin, Kang?" tanya penunggang kuda yang memiliki sebuah tahi lalat besar
di pipi sebelah kiri. Dialah yang bernama Paksi. Tentu saja seperti juga Dulang
dan Wasila, dia pun harus mengeraskan suara. Derap suara kaki kuda yang riuh
dan bergemuruh, menyebabkan suaranya tertelan begitu saja. "Tidak usah ditanyakan
sekarang nanti pun kalian akan tahu. Sekarang, yang penting kita harus segera
tiba di sana! Aku tidak ingin Garuda Mata Satu lebih dulu kabur!" sentak
Wasila.
Seketika Dulang dan dua
rekannya menghentikan ucapan, begitu sadar kalau Wasila tidak menginginkan
percakapan dilanjutkan. Maka, kini keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan
tanpa bercakap-cakap lagi. Yang terdengar sekarang, hanyalah suara kaki-kaki
kuda membentur tanah.
Rupanya, kata-kata Wasila
dibuktikan oleh tindakannya. Kudanya segera dipacu bagaikan orang kesetanan.
Hentakan tali kekang dan hantaman pecutnya semakin sering dilakukan, untuk
segera tiba di tempat tujuan. Hal yang sama pun dilakukan Dulang, Paksi, dan
Gora.
Yang lebih gila lagi, empat
orang berpakaian coklat itu sama sekali tidak memperlambat lari kudanya ketika
memasuki mulut Desa Wetan. Kuda-kuda itu terus saja dipacu cepat melintasi
jalan utama desa.
Tentu saja tindakan mereka
membuat para penduduk Desa Wetan yang sebagian besar tengah beristirahat di
dalam rumah, menjadi heran. Tak sedikit di antara mereka yang bergegas keluar
rumah dengan senjata tersandang di tangan. Tapi, mereka segera kembali masuk ke
dalam rumah sambil menggerutu, karena empat orang penunggang kuda itu sudah
amat jauh. Yang tertinggal dan terlihat hanyalah kepulan debu di udara.
Sementara itu, Wasila dan tiga
orang anak buahnya terus saja memacu cepat kudanya tanpa mempedulikan suasana
sekelilingnya. Diacuhkan saja rumah-rumah penduduk yang dilewati. Tak
dihiraukan lagi kalau pemukiman- pemukiman penduduk yang semakin lama semakin
jarang. Bahkan sampai akhirnya tidak ada sama sekali.
"Itu tempat yang kita
cari," tunjuk Wasila dengan tangan kiri sambil terus memacu kudanya.
Dulang, Paksi, dan Gora
mengikuti arah tangan Wasila. Dan mereka juga melihat sebuah pondok sederhana
yang bertengger di sebuah tanah lapang
luas. Jarak pondok itu dengan mereka, tak kurang dari dua puluh tombak.
"Percepat lari kuda
kalian!" perintah Wasila. Rupanya, melihat
sasaran yang dicari-cari telah berada di depan mata, semangat Wasila
kembali berkobar.
Dengan segala daya, Wasila dan
ketiga anak buahnya berusaha keras mempercepat lari kuda. Mereka berusaha
secepat mungkin untuk tiba di pondok yang dituju. Dalam waktu sebentar saja,
Wasila dan tiga anak buahnya telah berada di depan pondok. Segera saja mereka
menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda
itu berhenti berlari cepat mendadak disertai ringkikan nyaring sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Kelihatannya, Wasila dan tiga
anak buahnya sudah tak sabar lagi untuk
segera bertemu Garuda Mata
Satu. Buktinya, sebelum kuda-kuda itu menurunkan kaki depannya kembali, mereka
sudah berlompatan turun. Jliggg!
Berturut-turut Wasila dan tiga
anak buahnya mendarat di tanah dengan gerakan yang rata-rata gesit. Dari sini
bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu silat lumayan.
Srat, srat, srattt!
Sinar-sinar terang tampak
mencuat, begitu Wasila dan anak buahnya menghunus golok yang terselip di
pinggang.
"Garda! Keluar
kau...!" teriak Wasila sambil menatap penuh waspada pada daun pintu pondok
yang tertutup rapat.
Sementara, Dulang, Paksi, dan
Gora berdiri di kanan dan kirinya. Mata
mereka tampak beredar
berkeliling, dengan sikap waspada.
"Kuperingatkan sekali
lagi, Garda! Keluar kau! Atau..., aku akan masuk dengan kekerasan! Kuberikan
kesempatan sampai tiga hitungan, Garda!"
Wasila mengeluarkan ancaman
setelah menunggu beberapa saat lamanya
tidak ada tanggapan atas
seruannya tadi. "Satu...!"
Wasila memulai dengan hitungan
pertama. Sepasang matanya menatap tajam ke pintu pondok. Sedangkan Dulang,
Paksi, dan Gora semakin memperhatikan suasana sekelilingnya.
"Dua...!" teriak
Wasila sambil menambah keras nada suaranya. Kriiit...!
Se belum laki-laki berikat
kepala coklat itu mengucapkan hitungan terakhir,
daun pintu itu tampak terkuak.
Seketika itu pula, Wasila dan tiga orang kawannya mundur beberapa tindak.
Tangan mereka yang memegang senjata tampak bergetar, pertanda telah dialiri
tenaga dalam! Se dangkan sepasang mata mereka menatap penuh selidik ke arah pintu.
"Siapa kau?! Mana Garuda
Mata Satu?! Cepat suruh keluar! Atau..., rumah ini kuhancurkan!" geram
Wasila penuh ancaman.
Raut wajah Wasila dan anak
buahnya yang semula menegang, kini mengendur. Ternyata setelah daun pintu
terbuka, yang muncul bukan Garuda Mata Satu, orang yang tengah dicari-cari.
"Maaf. Kurasa Kisanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama
Garuda Mata Satu. Yang ada hanya aku, Kartugi," kata orang yang baru saja
membuka pintu.
Dia mengaku bernama Kartugi,
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun.
Tubuhnyategap terbungkus
pakaian berwarna abu-abu.
"Keparat! Kau berani
membohongi kami, Kartugi?! Apakah kau sudah bosan hidup, heh?! Dulang, Paksi,
Gora! Paksa tua bangka ini bicara!" perintah Wasila pada anak buahnya.
Tanpa diberi perintah dua kali
Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Kartugi dengan sikap mengancam dan sangat
memandang rendah. Ini bisa dilihat dari senyum mengejek yang tersungging di
bibir dan golok di tangan yang diamang-amangkan.
***
"Ini peringatan terakhir,
Tua Bangka! Katakan, di mana Garuda Mata
Satu!" desak Dulang, penuh ancaman.
"Apa lagi yang harus
kukatakan padamu, Kisanak? Bukankah tadi aku sudah mengatakannya? Disini tidak
ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Hanya aku, Kartugi yang berada di
sini," jawab Kartugi kalem.
"Keparat! Rupanya kau
tidak mau diajak bicara baik-baik, Tua Bangka!
Mampuslah! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Dulang melompat menerjang Kartugi. Dan selagi tubuhnya tengah berada di udara,
goloknya cepat ditusukkan ke arah perut Kartugi.
Wuttt!
Serangan Dulang mengenai
tempat kosong, begitu Kartugi menarik kaki kanannya ke belakang sambil
mendoyongkan tubuh. T indakan Kartugi tidak hanya sampai di situ saja. Begitu
serangan Dulang berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan.
Prattt! "Akh...!"
Dulang kontan memekik ketika
tangan Kartugi menghantam telak tangan kanannya, sehingga menimbulkan rasa
sakit yang bukan kepalang. Seakan- akan tulang-belulangnya menjadi luluh
lantak. Hantaman laki-laki berpakaian abu-abu itu memang keras bukan kepalang.
Bahkan golok Dulang pun sampai terlempar dibuatnya. Tapi sebelum Kartugi
melancarkan serangan susulan kembali, Gora dan Paksi telah lebih dulu
menyerangnya. Gora melancarkan bacokan ke arah leher, sedangkan Paksi mengirimkan
babatan ke arah pinggang kiri. Dua buah serangan yang sama-sama membawa hawa
maut! Wut, wuttt!
Kembali serangan anak buah
Wasila berhasil dimentahkan Kartugi. Laki-
laki berpakaian abu-abu ini
cepat melompat mundur, sehingga semua serangan meluncur lewat di hadapannya.
***
"Keparat!" geram
Wasila sambil mengepalkan tangannya.
Rupanya, laki-laki berikat
kepala coklat itu tidak bisa menahan sabar lagi. Belum lagi gema ucapannya
lenyap, tubuhnya sudah melompat menerjang Kartugi. Dengan bertumpu pada
pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke
arah leher Kartugi. Wunggg!
Kali ini, Kartugi tidak berani
bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung di punggungnya
dicabut. Lalu, dipapaknya luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang
disilangkan.
Tranggg!
Bunga api langsung berpijar
ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Akibatnya,
tubuh Kartugi terhuyung-huyung ke belakang.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Wasila hinggap
di tanah, Kartugi juga telah berhasil memperbaiki keseimbangannya. Dan secepat
itu pula, kedua belah pihak saling
menggebrak kembali.
Baik Kartugi maupun Wasila
telah sama-sama tahu kalau kepandaian yang dimiliki masing-masing pihak tidak
bisa dipandang ringan. Maka mereka tidak berani bertindak main-main. Bahkan
kini dalam gebrakan selanjutnya seluruh kemampuan yang dimiliki telah
dikerahkan.
Dan, akibatnya sudah bisa
diduga. Suasana di sekitar tempat itu seketika
jadi riuh rendah. Desing serangan senjata, dentang suara senjata beradu,
dan teriakan masing-masing pihak menyemaraki pertarungan.
Ternyata, semua kejadian itu
tidak hanya disaksikan oleh sepasang mata secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan
Dulang, Paksi, dan Gora pun juga telah
menjadi penonton. Mereka langsung mengundurkan diri dari kancah pertarungan
begitu Wasila telah turun tangan. Meskipun demikian, golok telanjang tetap
tercekal di tangan masing-masing. Ketiga orang ini telah bersiap-siap, apabila
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri pemimpin mereka.
Sementara itu, sepasang mata
yang menyaksikan pertarungan secara sembunyi-sembunyi, kelihatan tak ingin
bergerak dulu. Tampaknya, kehadirannya tidak ingin diketahui orang lain. Bulu
matanya yang lentik tampak terus mengintai dari balik dedaunan, di atas cabang
pohon tinggi yang tidak jauh dari situ.
Semua orang yang menyaksikan,
tampaknya menaruh perhatian atas hasil
pertarungan yang tengah
berlangsung. Tapi, tidak demikian halnya dengan Wasila dan Kartugi. Mereka sama
sekali tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di benak mereka hanya
satu, mengalahkan lawan secepat mungkin.
Tapi, kedua orang yang
bertarung itu sama-sama menyadari kalau satu sama lain terlalu tangguh untuk
bisa ditaklukkan secepat mungkin. Sampai pertarungan berlangsung lebih dari
lima puluh jurus, tidak nampak tanda-
tanda ada yang akan keluar sebagai pemenang.
Se benarnya dalam hal tenaga
dalam, Kartugi masih lebih unggul sedikit
daripada Wasila. Tapi
keunggulan itu bisa diimbangi Wasila dengan kelebihan ilmu meringankan tubuh.
Maka tak heran kalau pertarungan jadi berlangsung sengit.
Sekarang, pertarungan telah
menginjak jurus ketujuh puluh dua. Tapi, tampaknya keadaan masih tetap tidak
berubah. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Namun justru keadaan ini
membuat Wasila kehilangan kesabaran. Disadari betul kalau tidak segera
dilakukan perubahan, pertarungan akan berlangsung semakin alot. Tanpa terlalu
lama memutar otak, lelaki berikat kepala merah ini telah menemukan suatu cara
yang dianggap jitu.
Meskipun demikian, Wasila
tidak terlalu terburu-buru menjalankan siasatnya. Dia tahu, sifat terburu-buru
akan mendatangkan hasil yang kurang baik. Maka dengan sabar, ditunggunya hingga
keadaan menguntungkan.
"Hih!"
Di jurus kedelapan puluh dua,
Wasila segera melaksanakan siasatnya. Jari- jari tangan kanannya cepat memijit
sebuah benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan....
Trekkk!
Mengerikan! Mata golok yang
semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah lawan. Padahal, pada
saat itu tubuh Kartugi tengah berada di udara, karena baru saja habis
mengelakkan sebuah serangan. Tentu saja munculnya serangan itu membuatnya
kelabakan bukan kepalang. Tambahan lagi, tibanya serangan terlalu mendadak.
Akibatnya, Kartugi tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Dan....
Cappp! "Akh !"
Lolong kesakitan terdengar
dari mulut Kartugi ketika mata golok Wasila yang mendadak bisa lepas dari
gagangnya, menancap di dada sebelah kiri.
Dan sebelum laki-laki
berpakaian abu-abu ini sempat berbuat sesuatu, Wasila kembali memijit benjolan
lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt!
Mata golok yang semula
tertancap di dada kiri Kartugi, kembali meluncur ke arah gagang golok Wasila.
Memang, antara gagang dan mata golok itu dihubungkan oleh per yang dapat
melentur dan kembali lagi. Tentu saja, apabila Wasila menyentuh benjolan pada
gagang goloknya.
"Hugh!"
Dengan sempoyongan, Kartugi
mendarat di tanah. Dan dengan tubuh terhuyung-huyung, disimpannya pedang yang
terpegang di tangan kanan ke punggung. Kemudian, ditotoknya jalan darah di
sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Begitu sudah tertotok, tidak ada lagi
darah yang keluar.
Namun....
"Aaakh !"
Namun, mendadak tubuh Kartugi
kembali terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya langsung mendekap luka di
perutnya. Pedang yang semula tergenggam di tangan, langsung dilemparkan begitu
saja.
"Ha ha ha !"
Wasila tertawa terbahak-bahak
melihat keadaan Kartugi.
"Manusia licik!"
maki Kartugi dengan suara mendesis. Menilik seringai di bibirnya, bisa
diketahui kalau dia tengah menderita sakit yang amat sangat "Kau membubuhi
racun di senjatamu. Hhh ! Kini aku mengerti, mengapa kau
tidak melancarkan serangan
susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam
kau! Segala macam cara akan dipergunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha !"
Wasila menyambuti ucapan itu
dengan tawa keras bernada ejekan. "Syukurlah kau sudah mengerti, Kartugi!
Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana adanya Garuda Mata Satu!
Cepat katakan sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh,
jangan harap nyawamu akan tertolong!"
Kartugi menggertakkan gigi.
Ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang
membakar bagian perut.
"Aku tidak tahu, Manusia
Keji! Dan apabila aku tahu pun jangan harap kukatakan padamu! Kau pikir aku
takut mati, heh?!" tegas Kartugi cukup lantang, meskipun agak terdengar
bergetar.
Wasila mendengus karena
jengkel mendengar sambutan yang diterima. "Baik kalau itu maumu, Keparat!
Asal tahu saja, aku tahu kalau kau tidak
takut mati. Tapi, apakah kau
yakin mampu bertahan menanggung siksa racun itu?!"
"Maksudmu...?!"
Kartugi merasakan dadanya
berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud ucapan berbau ancaman dari Wasila.
Dia akan mati secara perlahan-lahan, dan tentu saja dengan perasaan tidak enak.
***
2
"Ya!
Wasila menganggukkan kepala
disertai sunggingan senyum kemenangan. Memang, Wasila baru mengucapkannya
sepotong. Tapi dari tarikan wajah Kartugi yang menegang, sudah bisa
diperkirakan kelanjutannya.
"Apabila racun itu telah
menyebar dalam darahmu, kau akan menerima akibatnya. Kau akan menderita hebat
sebelum mati! Rasa panas dan gatal-
gatal akan kau derita sampai mati!"
Kartugi merasakan bulu
kuduknya seketika berdiri. Dia tahu, Wasila tidak hanya sekadar menggertak.
Perlahan-lahan perasaan ngeri pun timbul di hatinya. Semakin lama semakin
membesar, sampai akhirnya justru perasaan nekatlah yang timbul.
"Keparat! Manusia keji!
Mampuslah kau! Hiya..., ugh!"
Namun, tubuh Kartugi kontan
limbung sebelum berhasil menyarangkan sebuah serangan di tubuh Wasila. Kedua
tangannya yang semula mengepal keras penuh kekuatan, kini didekapkan pada
perut. Seringai kesakitan yang terpampang di mulut dan tubuhnya yang
membungkuk, menjadi pertanda kalau
tengah dilanda rasa sakit yang hebat.
"Ha ha ha...!"
Wasila tertawa terbahak-bahak.
Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, ditatapnya wajah Kartugi lekat-lekat.
"Perlu kau ketahui,
Kartugi. Racun itu akan menjalar sangat cepat apabila kau mengerahkan tenaga dalam,
dan langsung menunjukkan akibatnya. Kau telah merasakannya sendiri bukan?"
Kartugi sama sekali tidak
menanggapi. Di samping memang tidak berminat melakukannya, perasaan sakit yang
tengah mendera membuat tubuhnya terbungkuk sambil memegang bagian yang dilanda
sakit. Rasanya, perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang
Wasila.
Tapi dekapan kedua tangan
Kartugi hanya sebentar saja. Betapa tidak? Kini
rasa gatal mulai melanda
sekujur tubuhnya! Bahkan disertai rasa panas membakar! Mulanya rasa panas dan
gatal itu tidak begitu menyiksa. Tapi, ternyata semakin lama semakin
menjadi-jadi. Terutama sekali rasa gatalnya. Mau tak mau, Kartugi tidak tahan
dan harus menggaruk.
Gruk, gruk, gruk...!
Kartugi mulai menggaruk-garuk
bagian tubuh yang terasa gatal. Anehnya, begitu digaruk rasa gatal yang melanda
semakin menjadi-jadi. Sehingga Kartugi terpaksa harus menggaruk terus. Bahkan
kedua tangannya mulai sibuk menggaruk sana-sini, karena bagian tubuh yang
terasa gatal semakin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh
menggaruk terus sampai kulit dan bahkan dagingmu habis tercakar, Manusia Bodoh!
Ha ha ha...!" ejek Wasila, penuh perasaan gembira.
"Ha ha ha...!"
Dulang, Gora, dan Paksi pun
tertawa terbahak-bahak. Seperti juga Wasila, ketiga orang ini pun merasa senang
melihat Kartugi tersiksa. Suasana kini semakin riuh oleh gelak tawa mereka.
Mendadak....
"Wasila! Manusia
terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras seketika
membuat tawa Wasila dan tiga anak buahnya terhenti. Dengan wajah berubah,
mereka mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Sikap Wasila dan ketiga orang
kawannya tampak penuh kewaspadaan, karena tahu siapa pemilik suara itu.
Wusss! Diiringi hembusan angin
yang cukup keras, tiba-tiba sesosok bayangan coklat berkelebat. Dan...
Jliggg!
Tanpa menimbulkan suara yang
berarti, sesosok bayangan coklat itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, di
antara tubuh Wasila dan Kartugi.
"Rupanya kau masih punya
nyali untuk menemui kami, Garuda Mata Satu?! Kukira kau akan tetap bersembunyi
karena takut mati!" ejek Wasila, tajam.
Pimpinan rombongan orang
bertampang kasar berseragam coklat itu menyunggingkan senyum penuh ejekan di
bibir. Dengan sikap merendahkan, ditatapnya sosok berpakaian coklat yang
berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu
memang mengenakan pakaian berwarna sama dengan Wasila dan tiga anak buahnya.
Coklat. Hanya saja, pada bagian dada kirinya tersulam gambar seekor burung
garuda.
Tapi, sulaman gambar burung
garuda itu tidak menimbulkan perasaan seram. Demikian pula halnya potongan
tubuhnya yang pendek kekar. Yang menimbulkan perasaan segan adalah sepotong
kulit hitam berbentuk bulat yang menutupi mata sebelah kiri. Kulit hitam itu
diikatkan ke belakang melewati kepala bagian atas secara menyerong. Inilah
orang yang dicari-cari Wasila dan tiga kawannya. Garuda Mata Satu!
"Mulutmu terlalu kotor,
Wasila! Kau harus dihajar!"
Laki-laki bermata sebelah yang
ternyata berjuluk Garuda Mata Satu itu menggeram. Wajahnya yang merah padam
menampakkan kemarahan hatinya.
Usai berkata demikian, Garuda
Mata Satu mengambil buntalan kain hitam
kecil dari pinggangnya. Lalu,
benda itu dilemparkannya ke belakang tanpa mengalihkan pandangan dari Wasila.
"Telan obat itu untuk
menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Kartugi,"
ujar Garuda Mata Satu.
"Garuda Mata Satu!
Kedatanganku kemari karena Yang Mulia Mata Malaikat menyuruh kami semua untuk
mencarimu! Dan kuharap, kau bersedia ikut dengan kami untuk menghadap
beliau!" kata Wasila.
"Apa katamu?! Pergi
menghadap iblis keji itu?! Cuhhh...! Jangan harap, Wasila! Sampai mati pun aku
tidak sudi menghadapnya!" tolak Garuda Mata Satu lantang dan mantap.
"Rupanya kau lebih suka
dibawa secara paksa, Garuda Mata Satu?!" ancam Wasila sambil meraba gagang
goloknya yang tadi telah diselipkan kembali di pinggang.
Srattt!
Sinar terang tampak mencuat
ketika Wasila mencabut golok pendeknya.
Melihat hal ini, Dulang,
Paksi, dan Gora serentak melangkah maju. Golok mereka memang sudah terhunus,
karena memang sejak tadi masih tergenggam di tangan.
"Kalian mundur! Biar aku
yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini," cegah Wasila yang
mengetahui tindakan yang akan dilakukan tiga anak buahnya.
Mendengar ucapan pimpinan
mereka, Dulang, Pakai, dan Gora kembali ke tempat semula. Meskipun demikian,
golok-golok telanjang masih tetap dalam genggaman tangan. Sikap mereka juga
tetap waspada, bersiap-siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
***
"Luar biasa kemajuan yang
kau peroleh, Wasila! Baru beberapa hari bergaul dengannya, kau telah mempunyai
nyali yang demikian besar! Kau tidak hanya berani memakiku, tapi juga berani
menantangku bertarung. Ha ha ha...! Luar biasa! Aku jadi ingin tahu, apa yang
kau andalkan. Pengkhianat Busuk!"
"Tutup mulutmu, Garuda
Mata Satu! Jaga seranganku!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Wasila segera melompat menerjang Garuda Mata Satu. Di saat tubuhnya masih
berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan mendatar, mengarah leher
laki-laki bermata satu itu.
Wuttt!
Deru angin keras yang
mengiringi serangan, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di
dalam serangan Wasila.
Garuda Mata Satu
menyunggingkan senyum mengejek. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar
dekat. Baru ketika hampir mencapai sasaran, kakinya buru-buru dilangkahkan ke
belakang seraya mencondongkan tubuhnya. Maka....
Wusss!
Mata golok Wasila menyambar
lewat beberapa jengkal di depan leher Garuda Mata Satu.
Namun, Wasila sudah memperhitungkan hal itu. Dia telah mengenal
betul,
siapa lawannya.
Bahkan tingkat kepandaian Garuda
Mata Satu juga telah diketahuinya. Maka
ketidakberhasilan serangannya tidak dipikirkannya lagi. Tapi yang jelas, sebuah
serangan susulan akan dikirimkannya.
Dan itu memang tidak salah!
Begitu serangan pertamanya gagal, Wasila segera menyusulinya dengan sebuah
tusukan. Dan ternyata, masih leher
Garuda Mata Satu yang dijadikan sasaran!
Tapi untuk yang kesekian
kalinya, serangan Wasila hanya menggapai angin. Ketika Garuda Mata Satu
merendahkan tubuhnya dengan menekuk
lutut, maka serangan itu meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Garuda Mata
Satu tidak hanya berdiam diri saja dalam menghadapi serangan lawan. Secepat
tusukan golok Wasila berhasil dielakkan,
secepat itu pula serangan balasan dikirimkan.
Laki-laki bermata satu yang
belum mau menggunakan senjata itu melancarkan serangan berupa sebuah gedoran
dua telapak tangan terbuka ke arah dada.
"Hehhh...?!"
Wasila langsung terpekik
kaget, melihat serangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tambahan lagi,
serangan itu dilancarkan demikian cepat. Namun sebagai seorang ahli silat
berpengalaman, otot-otot tubuhnya cepat bergerak dengan sendirinya. Dan dalam
saat yang demikian singkat, kedua kakinya diangkat untuk melindungi dada.
Dukkk!
Benturan keras antara sepasang
tangan melawan kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Sesaat kemudian, tubuh
Wasila langsung terjengkang ke belakang. Sedangkan Garuda Mata Satu terhuyung
satu langkah ke belakang. Dan kelihatannya, keadaan laki-laki bermata satu ini
lebih menguntungkan daripada lawan.
Jliggg!
Dengan mulut menyeringai,
Wasila mendaratkan kedua kakinya di tanah. Rupanya, laki-laki berikat kepala
coklat ini kesakitan. Bahkan tubuhnya agak terhuyung-huyung ketika menjejak
tanah.
Tapi, Wasila rupanya termasuk
orang yang keras hati. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera kaki, kembali
diserangnya Garuda Mata Satu. Dan tindakannya mendapat sambutan dari laki-laki
bermata satu itu. Sehingga, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu
rupanya sebuah pertarungan yang terlihat tidak adil. Satu pihak menggunakan
senjata, sementara yang satunya hanya bertangan kosong. Meskipun tidak
menggunakan senjata, Garuda Mata Satu ternyata tetap mampu mengadakan
perlawanan sengit. Tubuhnya berkelebat di antara sambaran senjata lawan. Di
saat-saat yang memungkinkan, serangan balasan dilancarkannya.
Menarik dan sengit pertarungan
antara Wasila melawan Garuda Mata Satu.
Hal ini tidak aneh, karena
sama-sama telah mengeluarkan seluruh kemampuan sejak gebrakan-gebrakan awal.
Itulah sebabnya, walaupun tidak bisa melihat jelas jalannya pertarungan,
Dulang, Paksi, Gora, dan juga sosok yang berlindung di balik kerimbunan pohon,
terus menajamkan mata penuh perhatian.
Memang, gerakan Wasila dan
Garuda Mata Satu terlalu cepat untuk bisa
dilihat oleh para penontonnya.
Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan dua bayangan coklat yang saling belit,
dan saling pisah.
Tak terasa, pertarungan telah
berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Di jurus keempat puluh tiga,
mendadak Garuda Mata Satu melempar tubuhnya ke belakang. Rupanya, dia bermaksud
menjauhi kancah pertarungan. Maka tentu saja Wasila tidak membiarkannya.
Sebagai seorang ahli silat yang telah kenyang makan asam garam, dia tahu alasan
yang mendorong Garuda Mata Satu menjauhinya. Apa lagi kalau bukan untuk
menerapkan cara pertempuran baru? Bahkan bukan tidak mungkin, Garuda Mata Satu
akan mengeluarkan senjata andalan.
Mendapat pemikiran seperti
itulah yang menyebabkan Wasila bertindak
mengejar. Dia segera melompat
menyusul sambil melancarkan serangan.
Wukkk, srattt, crattt!
"Aaakh...!"
Rincian kejadian berlangsung
sangat cepat. Begitu golok Wasila meluncur, Garuda Mata Satu telah meraih
gagang golok besarnya yang tersampir di punggung. Dan saat tusukan Wasila
meluncur dan tidak mengenai sasaran, Garuda Mata Satu cepat menusukkan goloknya
ke arah perut lawan. Wasila yang sama sekali tidak bersiap menghadapi serangan,
tidak sempat berbuat sesuatu. Seketika golok Garuda Mata Satu menembus perut
Wasila yang langsung memekik kesakitan.
Brukkk!
Pada saat yang bersamaan
dengan ambruknya tubuh Wasila di tanah, Garuda Mata Satu telah berdiri tegak.
Di tangannya tampak teracung sebatang golok besar yang bernoda darah.
"Kang Wasila!"
Hampir berbareng Dulang, Paksi, dan Gora berseru kaget. Mereka cepat meluruk ke
arah pemimpinnya, dan siap memberikan pertolongan. Tapi, niat itu segera
diurungkan ketika melihat Wasila memberi isyarat agar mereka diam.
"Kau.... Kau..., akan
menerima balasannya Gardalaya...!" ucap Wasila
terbata-bata. "Yang Mulia
Mata Malaikat akan menghukummu "
"Dikira, aku takut pada
iblis jelek itu, Wasila?! Jangan samakan dirimu denganku. Aku bukan jenis orang
yang takut mati! Kau keliru kalau menyangka aku kabur karena takut pada si Mata
Malaikat!" sambut Garuda Mata Satu. "Kepergianku hanya karena tidak
ingin banyak orang menjadi korban kekejiannya! Kuakui, aku memang bukan orang
baik. Tapi, keinginan si Mata Malaikat membuat bulu kudukku berdiri! Dan karena
kau, anak buahku telah berkhianat
dariku. Maka sekarang, rasakanlah hukumanmu!"
Usai berkata demikian, Garuda
Mata Satu menghampiri Wasila yang masih
terduduk di tanah. Luka yang
dideritanya memang cukup parah. Namun sekarang darah tidak mengalir keluar lagi
setelah Wasila menotok jalan darahnya di sekitar luka.
Selangkah demi selangkah,
jarak Garuda Mata Satu semakin dekat dengan Wasila. Ini berarti malaikat maut
semakin mendekatinya. Dan Wasila pun menyadari betul hal itu. Namun, dia juga
tidak sudi mati secara percuma. Maka
sekuat tenaga diusahakannya untuk bangkit. Dan begitu berhasil berdiri tegak,
tangannya telah menggenggam golok. Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini
telah bersiap mengadakan perlawanan mati-matian.
***
Kali ini Dulang, Paksi, dan
Gora tidak bisa tinggal diam lagi. Mereka tahu, bila Wasila dibiarkan
menghadapi Garuda Mata Satu sendirian saja, pasti akan tewas. Ketika belum
terluka saja, Wasila tidak mampu menandingi Garuda Mata Satu. Apalagi di saat
tengah terluka.
Atas dasar pemikiran itulah,
Dulang, Paksi, dan Gora melangkah menghampiri Wasila.
"Ha ha ha ! Tidak
kusangka sama sekali kalau kalian pun akan berkhianat
padaku!" kata Garuda Mata
Satu sambil tersenyum getir kepada Dulang, Paksi, dan Gora. "Kau buta oleh
keangkuhanmu sendiri, Garuda Mata Satu!" sergah Wasila, keras. "Aku
tahu, kau tidak ingin menjadi anak buah, tapi ingin menjadi ketua. Padahal,
Yang Mulia Mata Malaikat bersedia menjadikanmu sebagai salah seorang wakilnya.
Tapi, kau terlalu angkuh! Kau malah memilih kabur daripada bergabung dengannya.
Padahal banyak kepala perampok, perompak, dan tokoh-tokoh hitam lain yang telah
bergabung dengannya!"
Keras dan berapi-api ucapan
Wasila sehingga membuat selebar wajah Garuda Mata Satu sebentar pucat sebentar
merah. Jelas, ucapan Wasila mengenai sasarannya.
"Perlu kau ketahui, kami
semua bukan lagi gerombolan perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda
Sakti. Kami semua bukan lagi anak buahmu, dan telah menjadi anak buah Yang
Mulia Mata Malaikat!"
"Diam!"
Garuda Mata Satu membentak
keras. Rupanya, ucapan yang keluar dari mulut Wasila membuat amarahnya bangkit.
Dan akibat rasa marah yang bergejolak, bentakan yang dikeluarkannya mengandung
pengerahan tenaga dalam. Maka tak pelak lagi, Dulang, Paksi, dan Gora terpaksa
mendekap kedua telinganya. Dada mereka terasa bergetar hebat. Bahkan telinga
pun terasa sakit bagai ditusuk-tusuk. Hanya Wasila yang terbebas dari pengaruh
bentakan Garuda Mata Satu, karena telah menyumpalnya dengan tenaga dalam.
"Tutup mulutmu, Garuda
Mata Satu! Kau tidak berhak lagi membentak- bentak kami. Kau bukan pemimpin
lagi!" tandas Wasila, geram.
"Keparat! Mulutmu terlalu
lancang, Wasila! Kuakui, aku bukan lagi
pimpinan kalian! Tapi, ingat!
Aku masih berhak menghukum kalian dengan alasan kuat. Kalian telah berkhianat
kepadaku!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah keras. Lalu....
Hiyaaa...!"
Diawali sebuah teriakan keras
yang memekakkan telinga, Garuda Mata Satu menerjang Wasila. Golok besar yang
tercekal di kedua tangannya, teracung lurus ke depan. Dengan kaki lurus, dan
tubuh seperti sebatang tonggak, Garuda Mata Satu melakukan penyerangan. Dan
dalam keadaan meluncur, tubuhnya terus berputaran. Sebuah cara penyerangan yang
aneh!
Wunggg!
Suara mengaung keras
mengiringi tibanya serangan yang dilakukan secara berputaran seperti gasing
itu,
Wasila yang melihat jenis
serangan ini terlihat agak gugup. Memang, serangan seperti ini belum pernah
dihadapi sebelumnya. "Tangkis sama-sama!" perintah Wasila.
Pada saat yang bersamaan dengan
keluarnya ucapan itu, Wasila segera memapaki. Tidak dirasakannya lagi luka di
perut, karena khawatir akan bahaya maut yang tengah mengancam.
Dan memang, Wasila tidak
sendirian sewaktu memapak serangan itu. Hampir berbarengan, Dulang, Paksi, dan
Gora pun melakukan hal yang sama.
***
3
Trang, trang! Crattt!
"Akh!"
Rentetan kejadian berlangsung
demikian cepat. Bunga api tampak memercik ke sana kemari ketika lima batang
senjata berbenturan. Itu pun masih disusul berpentalannya lima sosok tubuh ke
tempat semula, diseling jerit menyayat.
Jliggg!
Lima pasang kaki menjejak
tanah. Tapi, hanya Garuda Mata Satu yang bisa hinggap sempurna dengan golok
masih tergenggam di tangan. Sementara, empat lawannya terhuyung-huyung ke sana
kemari. Golok yang semula berada di
tangan, sudah terlempar entah ke mana.
Di antara keempat bekas
anggota Gerombolan Garuda Sakti itu, hanya
Wasila-lah yang paling sial.
Dulang, Paksi, dan Gora hanya terhuyung-huyung dengan senjata lepas dari
pegangan. Sedangkan Wasila, harus menerima golok Garuda Mata Satu yang berhasil
membor dadanya. Jadi, Wasila-lah yang tadi mengeluarkan jeritan menyayat.
Dan setelah terhuyung-huyung
beberapa saat, tubuh Wasila ambruk ke
tanah. Mati!
"Kang Wasila!" seru
Dulang, Paksi, dan Gora hampir berbareng. Mereka terkejut bukan kepalang
melihat keadaan yang dialami pimpinan mereka.
"Ha ha ha...! Tidak usah
kaget, Pengkhianat-pengkhianat Busuk! Itulah
hukuman yang pantas untuk
orang seperti kalian! Bersiaplah! Sekarang, kalian yang akan mendapat giliran!"
ancam Garuda Mata Satu, penuh nada
kemenangan. Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Mereka sadar, Garuda
Mata Satu tidak akan mungkin bisa ditandingi. Apalagi dalam keadaan tanpa
senjata seperti ini.
"Ha ha ha...! Mengapa
ragu?! Jangan khawatir, aku bukan jenis orang yang bersikap curang dalam
pertarungan. Kalau kalian tidak memiliki senjata, aku juga tidak akan
menggunakan senjata!"
Usai berkata demikian, Garuda
Mata Satu memasukkan pedang ke dalam sarungnya yang tersampir di punggung. Trekkk!
"Nah! Sekarang, aku sudah
tidak bersenjata! Ayo! T unggu apa lagi?"
tantang Garuda Mata Satu.
Untuk kedua kalinya Dulang,
Paksi, dan Gora saling berpandangan. Dalam adu pandang sekilas itu, mereka
telah sepakat untuk lebih dulu melancarkan serangan. Disadari kalau tidak ada
pilihan lain, kecuali melawan sekuat
tenaga. Karena sudah jelas Garuda Mata Satu tidak akan memberikan ampunan.
Kini Dulang, Paksi, dan Gora
menghampiri Garuda Mata Satu yang berdiri
diam menunggu. Sikap laki laki
bermata satu ini tampak seperti tidak peduli. Apalagi memperlihatkan
tanda-tanda kalau siap bertarung. Bahkan ketika ketiga lawannya mulai menyebar
dan mengepungnya dari tiga jurusan, Garuda Mata Satu masih bersikap biasa-biasa
saja.
"Haaat..!"
Dulang mendahului serangan
dari arah sebelah kiri, disusul Paksi dari
depan dan Gora dari sebelah kanan.
"Hmh!"
Garuda Mata Satu hanya
mendengus mirip kerbau liar. Dia masih tetap tidak bertindak apa-apa menghadapi
serangan yang susul-menyusul itu. Baru ketika semua serangan itu menyambar
dekat, tangan dan kakinya bergerak. Cepat bukan main, sehingga bentuk tangan
dan kakinya tidak terlihat.
Bukkk, bukkk, desss!
Suara berdebuk keras terdengar
berturut-turut ketika tangan dan kaki Garuda Mata Satu menghantam bagian tubuh
lawan-lawannya. Seketika itu pula, tubuh ketiga orang itu melayang ke belakang
sejauh beberapa tombak. Darah segar tampak mengalir deras dari mulut dan
hidung, membasahi tanah sepanjang tubuh-tubuh yang melayang itu.
Brukkk!
Dulang, Paksi, Gora menggelepar-gelepar
sejenak di tanah sebelum akhirnya diam. Dan begitu gerakan tubuh mereka
berhenti, nyawa ketiga orang itu melayang ke alam baka.
Garuda Mata Satu sekilas
menatap tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah. Kemudian ketika teringat
Kartugi, perhatiannya segera dialihkan. Tampak laki-laki berpakaian abu-abu itu
tengah berdiri bersandar pada dinding rumah.
"Hhh...!"
Sambil menghela napas berat,
Garuda Mata Satu menghampiri Kartugi. Raut wajahnya menyiratkan kelesuan
bercampur penyesalan. Loyo dan kuyu, seperti langkah kakinya.
"Maafkan aku, Kartugi.
Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Ternyata racun itu telah menyebar di
seluruh aliran darahmu sebelum obat kuberikan," jelas Garuda Mata Satu,
bernada penyesalan.
Laki-laki bermata satu itu tampak
menyesal sekali. Sepasang matanya yang tertuju pada Kartugi, menyorotkan
penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali
keadaanku, Garuda Mata Satu. Pertolongan yang kau berikan padaku, lebih dari
cukup. Obat yang kau berikan telah mengusir perasaan gatal yang melanda.
Sehingga, aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan bila saja
kau tidak menolongku, Garuda Mala Satu. Aku akan tewas dalam keadaan daging
hancur tercacah!"
Garuda Mata Satu tidak
memberikan tanggapan apa-apa. Meski disadari
adanya kebenaran dalam ucapan
Kartugi, tapi tetap saja tidak mampu mengusir penyesalan yang bersemayam di
lubuk hari. Andaikata saja dia tiba lebih cepat, tentu Kartugi tidak akan
bernasib seperti ini. Kini, ditatapnya sekujur kulit tubuh Kartugi yang telah
memerah dengan sorot mata penuh penyesalan.
Obat yang diberikan Garuda
Mata Satu memang berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang melanda Kartugi.
Tapi, hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu tidak bisa ditanggulangi.
Yang lebih gila lagi,
semakin lama hawa panas itu semakin menyengat. Maka tak aneh kalau kulit
tubuh Kartugi jadi merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa
dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Kartugi mampu menerimanya tanpa
mengeluh sedikit pun. Dari sini saja sudah bisa diketahui keteguhan harinya.
"Tidak usah kau pusingkan
lagi penderitaanku, Garuda Mata Satu!
Percayalah, aku telah siap
mati. Hanya saja, aku tidak ingin mati penasaran. Maukah kau memenuhi
permintaan terakhirku?"
"Katakan! Apa permintaan
terakhirmu, Kartugi. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Garuda Mata
Satu, penuh gairah.
"Terima kasih, Garuda
Mata Satu. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau mampu memenuhi karena
permintaanku yang sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu,
Kartugi? Cepat katakan," desak Garuda Mata Satu
tidak sabar, karena khawatir
laki-laki berpakaian abu-abu itu keburu
meninggal dunia.
"Hanya satu permintaan,
Garuda Mata Satu. Selebihnya aku juga ingin menjelaskan sesuatu padamu. Oh, ya.
Tolong kabulkan permintaanku dulu. Aku ingin minum air kelapa. Aku haus
sekali," Kartugi memulai permintaannya.
Hampir Garuda Mata Satu
tertawa mendengarnya. Permintaan seperti itu sama sekali tidak diduga. Tapi
dengan pandainya, rasa gelinya disembunyikan sehingga tidak tampak pada
wajahnya. Malah raut wajahnya dipasang sungguh-sungguh. Sepasang matanya
beredar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Suasana
malam yang diterangi bulan yang hampir bulat di langit, cukup membantu Garuda
Mata Satu dalam mencari sesuatu.
"Tunggu sebentar,
Kartugi." Hanya ucapan itu yang sempat didengar Kartugi. Karena sebelum
dia sempat bicara, Garuda Mata Satu sudah tidak berada di situ lagi. Tubuhnya
telah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan
bayangan coklat yang berkelebat meninggalkan Kartugi yang duduk bersandar.
***
Belum lama Kartugi menunggu,
terlihat sosok bayangan coklat melesat ke arahnya. Dan....
"Hup!"
Kini Garuda Mata Satu telah
berada kembali di tempat semula. Di tangan kanannya telah terjinjing empat
butir kelapa. Tiga butir diletakkannya
di tanah, sedangkan sebutir lagi dikupasnya. Dan begitu telah dikupas,
diserahkannya pada Kartugi, setelah terlebih dahulu dilubangi salah satu bagian
batoknya. Kini Kartugi pun meneguknya.
Dalam waktu singkat, air
kelapa itu telah tuntas diminum Kartugi. Maka Garuda Mata Satu segera mengupas
lagi, sampai akhirnya tandas semuanya.
Garuda Mata Satu tidak merasa
heran melihat tingkah laku Kartugi. Dia tahu, mengapa empat butir kelapa itu
mampu dihabiskannya. Rasa panas yang membakar tubuh itulah yang menyebabkannya.
Kartugi telah kehilangan banyak cairan di dalam tubuh, sehingga telah dilanda
rasa haus yang amat sangat.
"Sekarang, apa yang ingin
kau jelaskan padaku, Kartugi," ujar Garuda
Mata Satu setelah sejenak
membiarkan laki-laki berpakaian abu-abu itu telah puas minum air kelapa.
Kartugi tidak langsung
menyahuti. Ditatapnya wajah Garuda Mata Satu beberapa saat lamanya.
"Kalau tidak melihat
sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Kau dulu adalah Kepala Gerombolan
Garuda Sakti yang disegani. Tapi kini,
diburu- buru bahkan hendak dibunuh anak buahnya sendiri. Ah! Sulit untuk dipercaya," desah Kartugi.
"Hhh...! Bukannya aku
tidak mau memberitahukannya padamu, Kartugi. Tapi perlu diketahui, aku butuh
waktu lama untuk menjelaskannya. Nantilah semuanya kuceritakan secara lengkap.
Yang penting, sekarang katakanlah permintaanmu yang terakhir. Supaya kau tidak
penasaran, untuk sementara ini kujelaskan kalau anak buahku telah berkhianat,
karena ingin mengubah nasib. Merekatelah menemukan seorang pemimpin yang jauh
lebih sakti daripadaku. Dan sang Pemimpin itu memiliki angan-angan tinggi. Nah,
kurasa cukup. Sekarang, tolong jelaskan padaku mengenai sesuatu yang ingin kau
utarakan."
Kartugi mengangguk-anggukkan
kepala, pertanda menerima alasan yang diajukan Garuda Mata Satu.
"Aku ingin memberitahukan
padamu mengenai Puspa Kenaka "
"Puspa Kenaka?!"
Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Mengapa aku demikian pelupa? Justru
tujuanku yang paling pokok ke sini adalah untuk melihatnya. Katakan, Kartugi.
Apa yang terjadi terhadap dirinya?"
Kartugi tersenyum melihat
tanggapan Garuda Mala Satu yang demikian penuh semangat. Tapi baru saja
pertanyaan itu akan dijawabnya, tiba-tiba rasa mual melanda perutnya, kemudian
merayap cepat ke atas. Dan....
"Huakh !"
Kartugi memuntahkan darah
kental berwarna kehitaman dari mulutnya. "Kartugi...!" pekik Garuda
Mata Satu cemas. Dia tahu, kontrak hidup laki-
laki berpakaian abu-abu itu tidak
akan lama lagi.
Kartugi berusaha tersenyum
untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu tengah merasakan
sakit yang melanda dada, senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai.
"Aku Aku tidak apa-apa,
Garuda Mata Satu," kata Kartugi dengan suara
tersengal-sengal. "Tapi
"
"Beri aku kesempatan
bicara, Garuda Mata Satu. Waktuku tidak banyak
lagi," potong Kartugi
cepat, dengan suara semakin pelan dan terputus-putus.
Garuda Mata Satu kontan diam.
"Sudah lama sekali Puspa
Kenaka menanyakan tentang dirimu, Garuda Mata Satu. Semenjak kau pergi dan
menitipkannya padaku, setiap hari dia selalu menanyakan kabar tentang dirimu
"
"Bagaimana kabarnya
sekarang, Kartugi? Tentu dia sudah besar, bukan?" selak Garuda Mata Satu
tidak sabar.
"Tenangkanlah hatimu,
Garuda Mata Satu. Puspa Kenaka bukan saja sehat,
tapi juga cantik bukan
kepalang. Syukurlah kedatanganmu tepat pada waktunya. Memang saat ini dia
sangat membutuhkan pelindung. Puspa
Kenaka masih sangat muda, dan baru sembilan belas tahun. Aku khawatir,
sepeninggal diriku dia akan diombang-ambingkan ganasnya dunia
persilatan...," urai Kartugi panjang lebar. Suaranya terdengar melemah,
sehingga membuat Garuda Mata Satu harus lebih mendekatkan telinga untuk bisa
menangkap ucapannya.
"Lalu..., sekarang di
mana dia, Kartugi?" desak Garuda Mata Satu buru- buru karena khawatir
Kartugi akan keburu meninggal.
Kartugi tidak langsung
menjawab pertanyaan Garuda Mata Satu. Dengan susah payah, napasnya yang sudah
kembang kempis diatur. Nampaknya, waktu hidup untuknya sudah tidak lama lagi.
"Dia kusuruh pergi ketika
ada orang yang memanggil-manggilmu. Ah! Puspa Kenaka benar-benar gadis yang
tahu budi. Dia tidak mau meninggalkanku sendirian, karena khawatir akan terjadi
sesuatu. Hingga terpaksa, aku membungkamnya dengan ucapan yang membuatnya
menuruti kemauanku."
"Apa yang kau katakan
padanya, Kartugi?"
"Kukatakan padanya, kalau
dia tidak mau pergi, aku tidak akan bisa mati merah. Dan dia kuanggap sebagai
murid yang tidak berbakti ," jelas Kartugi.
"Lalu , ke mana perginya,
Kartugi?"
"Hhh..., hhh.... Aku...,
aku tidak ta.... Akh !"
Kartugi menghembuskan napas
terakhir sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meskipun demikian,
sudah bisa diduga kelanjutan ucapan yang
akan dikeluarkan Kartugi.
Garuda Mata Satu menatap mayat
sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak ada pekik atau air mata
kedukaan, tapi Garuda Mata Satu merasa sedih bukan kepalang. Dia berdiri dengan
kepala tertunduk sebagai penghormatan terakhir pada rekannya.
***
Angin sejuk yang berhembus
semilir serta kicau riang burung menyemaraki suasana pagi. Sang Surya tampak di
kaki langit sebelah timur dalam bentuk bulatan berwarna merah saga. Sehingga,
menambah ceria suasana alam ini.
Tapi, keceriaan alam
sekitarnya itu tidak sempat dinikmati seorang gadis berwajah cantik jelita
berpakaian Jingga. Rambutnya yang dikepang dua, semakin menambah kecantikannya.
Gadis berpakaian Jingga itu
duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah yang masih baru. Sekali lihat
saja bisa diketahui kalau gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan.
"Ki Kartugi "
Dengan suara tersendat-sendat
karena isak tangis yang membuat tenggorokannya terasa tersekat, gadis
berpakaian Jingga itu membuka suara. Sementara jari-jari kedua tangannya terus
meremas-remas tanah.
"Mengapa kau meninggalkan
diriku, Ki? Padahal, aku belum sempat membalas semua kebaikanmu? Ah! Aku bukan
murid yang berbakti "
Usai berkata demikian, gadis
berpakaian Jingga itu menundukkan kepala.
Bahunya tampak terguncang-guncang,
berusaha menahan sedih yang menggelegak
Mendadak gadis berpakaian
Jingga itu menoleh ke belakang. Betapa tidak?
Pendengarannya yang cukup
terlatih menangkap adanya langkah-langkah kaki dari arah tersebut.
Ternyata, dugaannya benar. Di
belakangnya, kini berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan
kasar. Mereka mengenakan seragam rompi, terbuat dari kulit buaya!
Bergegas gadis berpakaian
jingga itu bangkit. Sadar kalau orang-orang itu tidak bermaksud baik, maka
sepasang matanya diusap untuk membersihkan butir-butir air bening yang siap
mengalir. Dan kini sikapnya benar-benar waspada. "Siapa kalian?! Dan, apa
maksud kalian datang kemari?!" kata gadis berpakaian jingga itu keras,
namun berusaha bersikap tenang. Dan menilik jari-jari tangan kanannya yang
sudah meraba senjata di pinggang sebelah kanan, jelas dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Jawaban yang diterima gadis
berpakaian jingga itu adalah tawa bergelak dari seluruh orang bertampang kasar.
Karuan saja, hal itu membuat gadis itu merasa heran bercampur marah. Dia telah
bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap
didengar. Bagaimana tidak menjadi kalap?
Meskipun demikian, dicobanya untuk bersabar.
"Kau keliru, Nisanak!
Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan,
tapi kami!" sahut seorang
yang berdiri paling depan. Terlebih dulu, tangan kanannya diangkat ke atas,
sehingga membuat gelak tawa itu berhenti. Jelas, orang ini adalah pemimpin
rombongan.
Orang itu memiliki tubuh kekar,
penuh otot melingkar, dan berkepala
botak. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebuah gada panjang dan berduri.
Dan nampaknya, gada itu berat sekali. Tapi, justru laki-laki berkepala botak
itu tidak terlihat merasa keberatan sama sekali. Dari sini saja bisa diketahui
kalau tenaga dalamnya cukup kuat
"Aku tidak mengerti
maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis
berpakaian jingga itu dengan
alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau
berpura-pura goblok, Nisanak?! Kuharap, kau jangan menambah ruwetnya masalah
ini. Cepat rubahlah kepura-puraanmu, sebelum nasibmu kuserahkan pada anak
buahku!"
Seiring selesai ucapannya,
laki-laki berkepala botak itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai
diberi perintah, gadis berpakaian jingga itu mengikuti arah tudingan. Dan
seketika itu pula, harinya merasa ngeri! Belasan orang berpakaian dari kulit
buaya itu tampak menatap dengan sorot mata seperti seekor serigala yang tengah
melihat seekor anak domba gemuk! Liar, dan penuh nafsu!
Laki-laki berkepala botak itu
memang telah kenyang pengalaman. Itulah sebabnya, perasaan yang tengah
berkecamuk dalam hati gadis berpakaian jingga itu langsung diketahuinya. Dan
sepertinya, gadis itu memang masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan masalahnya," lanjut laki-laki
berkepala botak
itu penuh nada
kemenangan. "Di sini
adalah tempat tinggal
buruan kami. Namanya Garuda Mata Satu."
Laki laki berkepala botak itu
menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Beberapa orang kawan
kami telah berangkat kemari lebih dulu untuk menangkap Garuda Mata Satu. Tapi
rupanya mereka gagal. Buktinya, mayat- mayat mereka menggeletak di sini,"
laki-laki berkepala botak itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi
mayat Wasila dan tiga anak buahnya. "Kau lihat mayat empat orang
itu?"
Tanpa sadar, gadis berpakaian
Jingga menganggukkan kepala pertanda
membenarkan.
"Nah! Perlu kau ketahui,
Nisanak. Mereka adalah kawan-kawan kami. Ini berarti Garuda Mata Satu telah
membunuh mereka. Yang masih menjadi pertanyaan bagi kami, mengapa kau berada di
tempat ini? Lalu, siapakah orang yang terbaring dalam kuburan yang masih baru
itu? Sepertinya, dia masih ada hubungan dengan dirimu. Lalu, ke manakah
perginya buruan kami?" tanya
laki-laki berkepala botak itu, bertubi-tubi.
"Aku di sini, karena ini
adalah tempat tinggalku bersama ayahku," jawab gadis berpakaian Jingga
memulai keterangannya.
"Siapa nama ayahmu?"
tanya laki-laki berkepala botak penuh gairah.
"Kartugi. Dan sekarang,
dia telah tiada. Orang yang berada di dalam kuburan itu adalah ayahku. Salah
satu dari empat orang inilah yang telah membunuhnya, dengan menggunakan
racun."
"Lalu..., siapa yang
telah membunuh kawan-kawan kami kalau ayahmu tewas di tangan mereka?"
desak laki-laki berkepala botak itu tidak sabar.
"Seorang laki-laki
berpakaian coklat yang mengenakan penutup mata sebelah "
"Garuda Mata Satu ,"
desah laki-laki berkepala botak. "Kau tahu ke mana
perginya?"
Gadis berpakaian Jingga itu
hanya menggelengkan kepala.
"Terima kasih atas
keteranganmu, Nisanak. O, ya. Kami lelah sekali menempuh perjalanan jauh dan
melelahkan. Kami ingin beristirahat di rumahmu. Dan kami harap, kau sudi
menemani "
"Aku tidak mau! Aku ingin
pergi!" sentak gadis berpakaian Jingga itu keras.
Wajah laki-laki berkepala
botak itu berubah kelam.
"Rupanya kau lebih suka
kalau diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, kuturuti!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berkepala botak itu melangkah maju. Kedua tangannya diulurkan,
berusaha memeluk tubuh gadis berpakaian jingga itu.
Wuttt!
Ternyata laki-laki berkepala
botak itu hanya memeluk angin, begitu sasarannya telah melangkah mundur sambil
menghunus senjata.
Trekkk!
Kini di tangan kanan gadis
berpakaian jingga telah tergenggam sebuah kipas berwarna hitam yang rangka-rangkanya
terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau
mempermainkan Buaya Sungai Luwing?" bentak laki-laki berkepala botak,
marah.
Laki-laki berkepala botak yang
ternyata berjuluk Buaya Sungai Luwing itu kembali melancarkan serangan. Hanya
saja, kali ini serangan yang dikirimkan tidak selunak sebelumnya. Disadari
kalau gadis berpakaian jingga itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut!
Buaya Sungai Luwing
melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian jingga itu.
Rupanya meskipun tengah dilanda amarah, laki- laki berkepala botak itu masih
merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian cantik.
Gadis berpakaian jingga itu
tampak gugup menghadapi serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tangan
Buaya Sungai Luwing tidak hanya dua buah, tapi puluhan. Sehingga, pandangannya
jadi berkunang-kunang.
Meskipun demikian, gadis
berpakaian jingga itu tidak pasrah
saja menerima nasib. Dan dia
memang tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi
keinginannya untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat tenaga
menjegal serangan Buaya Sungai Luwing. Kipas bajanya cepat dikibas-kibaskan
untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya.
Namun....
Wut, wut, wuttt! Tappp! Tukkk!
"Akh !"
Rentetan kejadian yang
berlangsung sukar diikuti mata biasa. Karena tahu-
tahu gadis berpakaian
jingga itu memekik pelan, kemudian roboh
di tanah. Memang, dengan gerakan
mengagumkan, Buaya Sungai Luwing telah menangkap pergelangan tangan gadis itu,
lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang
kau baru tahu kesaktian Buaya Sungai Luwing, Wanita Bodoh! Dan atas penolakanmu
tadi, kau akan mendapat hukumannya. Tubuhmu akan kunikmati sampai puas.
Kemudian, kau akan digilir sampai mati oleh semua anak buahku!"
"Manusia iblis! Lebih
baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian
jingga itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak,
tentu akan diserangnya laki-laki berkepala botak itu mati-matian. Tapi
sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan
kepalang. Jangankan untuk menyerang, menggerakkan ujung jari pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu?
Hanya orang bodoh yang mau membunuh
wanita cantik sepertimu, tanpa
menikmatinya lebih dulu! Dan aku bukan
orang bodoh! Maka sebaiknyatubuhmu kunikmati dulu, Wanita Dungu! Ha ha
ha...!"
Masih dengan tawa yang belum
putus, Buaya Sungai Luwing membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya pun
digerakkan. Dan....
Brettt!
Suara kain robek terdengar
ketika tangan Buaya Sungai Luwing yang berotot dan penuh bulu menjambret baju
gadis berpakaian Jingga di bagian dada. Tak pelak lagi, dua bukit kembar indah
menantang pun menyembul keluar.
"Auw...! Iblis keji!
Bunuh saja aku!" jerit gadis berpakaian jingga itu.
Suaranya terdengar mengandung
isak, karena rasa takut yang melanda. "Ha ha ha !"
Hanya tawa bergelak dari Buaya
Sungai Luwing dan anak buahnya yang
menyambuti jerit ketakutan
gadis berpakaian jingga itu. Tawa yang agak tertahan-tahan karena nafsu birahi
telah menyelimuti hati dan pikiran mereka, ketika melihat kulit tubuh gadis
berpakaian jingga yang putih mulus!
Kelihatannya kelanjutan nasib
yang menimpa gadis berpakaian jingga sudah bisa ditebak. Apalagi, ketika tangan
Buaya Sungai Luwing kembali terulur. Bukan mengarah baju lagi, tapi pakaian
bawah!
Tapi, sebelum tangan itu
mencapai sasaran, mendadak...
Wuttt! Tukkk! "Akh
!" ***
4
Jeritan pendek bernada
kesakitan keluar dari mulut Buaya Sungai Luwing, ketika sebuah batu sebesar ibu
jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Rasa sakit amat sangat,
seketika menyengat bagian yang terkena timpukan tadi. Nyeri bukan kepalang
membuat maksud untuk menjarah sekujur
tubuh gadis berpakaian jingga itu diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari
mana yang berani mengganggu Buaya Sungai Luwing?!" teriak laki-laki
berkepala botak ini keras bernada ancaman.
Ucapan itu dikeluarkan Buaya
Sungai Luwing sambil mengarahkan pandangan ke arah asal batu tadi terlempar.
Hal yang sama pun dilakukan seluruh anak buahnya. Dengan sendirinya, gadis
berpakaian jingga itu tadi terlupakan.
Buaya Sungai Luwing dan anak
buahnya kini bisa mengetahui orang yang
tadi telah bertindak lancang.
Dalam jarak sekitar empat tombak dari mereka, berdiri dua sosok tubuh yang
memiliki perbedaan yang amat menyolok. Baik warna pakaian, jenis kelamin,
maupun keadaan tubuh.
Yang seorang adalah seorang
pemuda tampan. Namun, penampilannya terlihat angker! Betapa tidak? Wajahnya
yang terlihat jantan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan. Mirip rambut
orang yang berusia lanjut! Rambut yang seperti benang-benang perak itu terurai
sampai ke bahu, sehingga menutupi sebagian guci yang terletak di punggung.
Pakaiannya ketat berwarna ungu, menampakkan kegagahannya.
Sama seperti halnya pemuda
berpakaian ungu, gadis yang berdiri di sebelahnya pun memiliki wajah cantik.
Kulitnya putih, halus, dan mulus. Pakaian putih yang dikenakan dan rambutnya
yang panjang terurai sampai ke pinggang, semakin menambah kecantikan wajahnya.
Namun bertenggernya sebatang pedang di punggung, menandakan kalau gadis
berpakaian putih ini bukan wanita lemah.
Dan dengan langkah tenang
menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak muda yang sama-sama
berwajah elok ini menghampiri Buaya Sungai Luwing dan gerombolannya.
Sementara, Buaya Sungai Luwing
yang memang tengah murka, jadi menggeram. "Grrrhhh...! Akan kuhancurkan
tulang-belulang kalian," desis Buaya Sungai Luwing sambil menyambar gada
berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak
memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian jingga.
"Kau selamatkan gadis
itu, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan
itu pada gadis berpakaian
putih.
"Baik, Kang," sahut
Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu tak lain dari Melati. Dan dia
juga putri angkat Raja Bojong Gading. Dan pemuda berambut putih keperakan itu
tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, Dewa Arak
tampak menghampiri Buaya Sungai
Luwing yang juga tengah
melangkah ke arahnya.
Ketika jarak antara mereka
tinggal beberapa langkah lagi, Buaya Sungai Luwing berhenti. Dengan senyum
terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau..., kau Apakah kau
orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Buaya
Sungai Luwing setengah
terbata-bata.
Memang, laki-laki berkepala
botak ini mendadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu.
"Kalau benar, mengapa?
Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak
malah balas bertanya.
"Keparat! T utup mulutmu,
Bangsat Kecil! Siapa pun kau, apabila aku tengah bertanya, haram hukumnya
mengajukan pertanyaan pula! Dan kau hanya berhak menjawab, tahu?!" sergah
Buaya Sungai Luwing berang.
"Tidak usah banyak cakap,
Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi mematahkan tanganmu yang
kurang ajar itu!" sambut Dewa Arak tak kalah marah.
Pemuda berambut putih
keperakan ini memang tengah dilanda amarah. Masalahnya, Dewa Arak paling benci
pada penjahat pemerkosa wanita. Pendiriannya sudah ditetapkan untuk membasmi
penjahat semacam itu! Itulah sebabnya, dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan
tantangan.
"Keparat! Rupanya kau
harus merasakan kekerasan gada Buaya Sungai Luwing! Barangkali saja kau bisa
bersikap lebih sopan
di lain hari! Hiyaaat !"
Tanpa memberi kesempatan lagi,
Buaya Sungai Luwing langsung melancarkan serangan. Gada berduri yang tergenggam
di tangan kanannya langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang
mengawali meluncurnya serangan itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalamnya.
Bahkan mungkin hanya sekali hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau
mampu dihancurkan dengan sekali pukul!
Tapi orang yang mendapat
serangan seperti itu adalah Dewa Arak! Seorang
tokoh sakti yang walau usianya
muda, namun pengalamannya amat luas. Maka dalam menghadapi serangan itu,
Dewa Arak sama sekali tidak gugup.
"Hup!" Wusss!
Hanya dengan melangkahkan kaki
kanannya ke belakang sambil mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah membuat
serangan gada berduri Buaya Sungai
Luwing hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang mengerikan itu hanya lewat beberapa
jari dari wajah Dewa Arak. Sehingga, sambaran anginnya yang keras membuat
pakaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan itu berkibar keras. Bisa
dirasakan kalau tenaga yang terkandung dalam serangan itu memang tidak
main-main.
T indakan Dewa Arak tidak
hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu gada lawan telah lewat di depan
wajahnya, tangan kanannya digerakkan menangkap pergelangan tangan lawan. Tokoh
muda yang menggemparkan dunia persilatan itu segera melancarkan serangan
balasan dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Tappp!
Cepat bukan kepalang gerakan
tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Buaya Sungai Luwing menyadari, pergelangan
tangan kanannya telah tercekal.
"Heh?!"
Buaya Sungai Luwing berseru
kaget, namun tidak lantas jadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur selama ratusan
kali, langsung dilakukannya tindakan untuk menyelamatkan tangannya.
Buaya Sungai Luwing langsung
menarik tangannya agar bisa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi,
maksudnya ternyata tidak sampai. Jangankan melepas, untuk mengguncangkan pun
tidak mampu!
Meskipun tahu kalau usahanya
sama sekali tidak membuahkan hasil, Buaya Sungai Luwing tidak menyerah begitu
saja. Tambahan lagi, dia terhitung orang keras kepala dan sukar menyadari kalau
orang lain memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebabnya, dia terus memaksakan
diri untuk membebaskan tangannya dari cekalan Dewa Arak. Begitu keras
kemauannya, sampai-sampai terdengar suara merintih lirih dari mulutnya.
Sementara itu, Dewa Arak
tampak biasa-biasa saja. Baik pada wajah,
maupun tangannya. Sama sekali
tidak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu
mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku,
Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Buaya Sungai Luwing berusaha
keras membebaskan diri dari cekatannya.
Usai berkata demikian, jari-jari
tangan Dewa Arak bergerak meremas. Krrrkkk!
"Aaakh...!"
Buaya Sungai Luwing menjerit
kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan
tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada
mengendur. Maka, senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
T indakan Dewa Arak tidak
hanya berhenti sampai di situ saja. Sehabis mencengkeram, tangan itu langsung
bergerak membetot.
"Akh!"
Untuk yang kedua kalinya,
Buaya Sungai Luwing menjerit tertahan. Tulang sambungan siku dan bahunya
langsung terlepas, ketika Dewa Arak melancarkan betotan. Tubuhnya juga kontan
tertarik ke arah Dewa Arak Maka, saat
itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya.
Wuttt! Bukkk!
"Hugkh!"
Buaya Sungai Luwing
mengeluarkan jerit tertahan ketika kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya.
Tubuh laki-laki berkepala botak itu langsung terlipat ke depan. Wajahnya merah
padam, dan sepasang matanya melotot. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar
saja. Sesaat kemudian, tubuh Buaya Sungai Luwing terkulai dan ambruk di tanah,
kemudian diam untuk selama-lamanya. Tendangan Dewa Arak memang telah
menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya.
***
Rentetan kejadian itu
berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing
tidak sempat berbuat apa-apa. Betapa tidak? Belum sempat mereka membantu, Buaya
Sungai Luwing telah keburu tewas!
Tarikan wajah kebingungan dan
sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah
gerombolan Buaya Sungai Luwing. Dan
mereka belum menerima kenyataan kalau Buaya Sungai Luwing telah tewas!
Dan untuk beberapa saat
lamanya, gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing itu terpaku. Beberapa saat
lamanya mereka berlaku demikian. Namun begitu telah sadar kembali, mereka yang
jumlahnya tak kurang dari dua belas orang itu menjadi murka!
Srat, srattt, sringgg!
Suara riuh rendah terdengar
ketika belasan anak buah Buaya Sungai
Luwing menghunus senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras
memekakkan telinga, mereka serentak menyerbu Dewa Arak.
Apa yang menimpa Dewa Arak pun
bisa diduga. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok tampak
berkelebat menyambar ke berbagai bagian tubuhnya.
Menghadapi serangan itu, Dewa
Arak tetap bersikap tenang. Se dikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda akan
menangkis atau mengelak. Bahkan ketika hujan serangan itu menyambar demikian
dekat, dia belum bertindak apa-apa..
Tentu saja hal itu membuat
anak buah Buaya Sungai Luwing heran. Meskipun demikian, tetap saja serangan
mereka terus dilanjutkan. Bahkan tetap dalam pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya.
Dan ternyata, Dewa Arak memang
tidak mengelakkan serangan itu. Akibat selanjutnya sudah bisa diduga. Belasan
senjata tajam itu jelas mengenai secara telak pada sasaran.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras ketika senjata itu
berbenturan dengan berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun, seakan-akan tubuh
Dewa Arak tersusun dari logam keras!
"Hehhh...?!"
Jerit keterkejutan terdengar
susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah Buaya Sungai Luwing. Betapa
tidak? Ternyata apa yang diharapkan atas tubuh Dewa Arak sama sekali tidak
terjadi. Bahkan tangan yang menggenggam senjata tadi terasa lumpuh. Dan yang
lebih gila lagi, mata senjata mereka langsung gompal! "Puas?!" sindir
Dewa Arak.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan
belasan orang kasar yang masih terpaku atas kejadian yang dialami. Saat itu,
sebagian dari mereka menatap ke arah Dewa Arak dengan pandangan takjub. Seba
gian lagi, tengah merasakan sakit yang melanda tangan mereka. Sedangkan
sisanya, menatap mata senjata yang gompal.
Dan seiring timbulnya
kesadaran, belasan orang itu saling berpandangan
satu sama lain. Sebentar saja
hal itu dilakukan, untuk menghasilkan kata sepakat. Dan bagai diberi perintah,
mereka kembali menyerang Dewa Arak.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing dari
senjata-senjata, mengiringi meluncurnya serangan itu. Dan seperti juga
sebelumnya, anak buah Buaya Sungai Luwing menerjang Dewa Arak dari berbagai
penjuru.
Kini kesabaran Dewa Arak pun
habis. Semula lawan-lawannya hanya ingin dibuat gentar tanpa melukai. Tapi,
rupanya anak buah Buaya Sungai Luwing
ini keras kepala. Maka jalan satu-satunya untuk membuat mereka kapok hanya
dengan kekerasan.
Itulah sebabnya, kini Dewa
Arak tidak berdiam diri saja menghadapi hujan
serangan. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, semua serangan yang tertuju
ke arahnya mudah saja dielakkan. Bagaikan bayangan, tubuhnya menyelinap di
antara sambaran senjata-senjata lawan.
Sambil mengelak, Dewa Arak
mengirimkan serangan ke arah lawan- lawannya. Kedua kaki dan tangannya
berkelebat cepat! Ke manapun tangan dan kakinya meluncur, pasti ada tubuh
lawannya yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Buaya
Sungai Luwing roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Meskipun demikian,
tidak ada satu pun di antara mereka yang mati atau terluka parah! Dewa Arak
hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan saja.
Hanya dalam waktu singkat, tak
ada lagi satu pun anak buah Buaya Sungai Luwing
yang masih berdiri
tegak. Mereka semuanya
tergolek di tanah. Se bagian pingsan, sedangkan sisanya
merintih-rintih kesakitan karena luka- luka yang diderita. Sementara,
senjata-senjata mereka bergeletakan di sana sini.
Tentu saja, sekarang hanya
tinggal Dewa Arak seorang yang masih berdiri
tegak. Setelah memperhatikan keadaan lawan-lawannya sejenak,
perhatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang
dengan gadis berpakaian jingga.
Memang, waktu Dewa Arak sibuk
menghadapi lawan-lawannya, Melati membebaskan gadis berpakaian jingga dari
totokan. Bahkan gadis itu rupanya telah berganti pakaian.
***
Dengan langkah tenang, Arya
menghampiri Melati dan gadis berpakaian jingga itu. Dan seperti telah disepakati,
kedua gadis itu melangkah berbarengan menghampiri Dewa Arak.
"Apa yang terjadi,
Melati?" tanya Arya.
"Aku juga belum tahu,
Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala. "Nah, Puspa Kenaka!
Sekarang ceritakan, mengapa kau bisa bentrok dengan orang-orang kasar
itu?"
Gadis berpakaian jingga yang
ternyata bernama Puspa Kenaka itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah
Arya dan Melati berganti-ganti.
"Sebelum kuceritakan
masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak
ada kalian berdua, tidak bisa kubayangkan hal yang akan terjadi pada
diriku."
"Lupakanlah, Puspa,"
Melati yang mewakili Dewa Arak menanggapi. "Orang hidup memang saling
membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. Tapi lain kali, bukan tidak
mungkin kau yang ganti menolong. Jadi, lupakanlah hal itu. Dan sekarang,
ceritakanlah semua kejadian yang kau alami."
"Baiklah," desah
Puspa Kenaka, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru,
setelah itu diceritakannya semua kejadian yang menimpa.
Arya dan Melati mendengarkan
semua cerita Puspa Kenaka penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga
gadis berpakaian jingga itu mengakhiri penuturannya.
"Garuda Mata Satu?"
tanya Arya dengan alis berkerut. Jelas, dia merasa heran.
Betapa tidak? Meskipun belum
pemah bertemu langsung, tapi pemuda
berambut putih keperakan ini
tahu kalau Garuda Mata Satu adalah seorang pimpinan gerombolan perampok yang
menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. Tapi, mengapa kini dikejar-kejar
gerombolan Buaya Sungai Luwing? Bukan hanya Dewa Arak saja yang sibuk berpikir.
Melati pun demikian pula, karena juga telah mendengar selentingan kabar
mengenai tokoh yang berjuluk Garuda Mata Satu itu. Itulah sebabnya, dia juga
merasa bingung mendengar penuturan Puspa Kenaka.
Tapi Dewa Arak dan Melati
terpaksa menunda dalam mencari jawaban atas
masalah yang mengherankan,
begitu mendengar adanya banyak langkah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam
sekejapan mata saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat mengetahui kalau
jumlah langkah itu cukup banyak. Dan menilik dari suara yang terdengar,
kepandaian yang dimiliki pemilik langkah itu sangat beragam.
Dewa Arak dan Melati saling
berpandangan sebentar. Dan dalam waktu
singkat, mereka bisa menebak
perasaan yang bergayut di hati masing-masing, perasaan heran! Mereka heran,
mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat ini? Apakah tujuan
mereka sama seperti gerombolan Buaya Sungai Luwing? Ataukah hanya sebuah
kebetulan belaka?
Mula-mula, hanya Dewa Arak dan
Melati saja yang mendengar suara
langkah itu. Tapi karena
semakin lama semakin jelas terdengar, Puspa Kenaka jadi mendengar pula. Ini
membuktikan kalau para pemilik langkah itu benar- benar menuju tempat Dewa
Arak, Melati, dan Puspa Kenaka berada.
"Apakah kalian tidak
mendengar sesuatu?" Puspa Kenaka yang tidak kuasa menahan rasa ingin
tahunya, langsung mengajukan pertanyaan.
Hampir berbareng, Dewa Arak
dan Melati menganggukkan kepala pertanda
mengiyakan. Sebuah senyum
lebar yang dimaksudkan untuk menenangkan
hati Puspa Kenaka, tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu.
"Rasa-ranya, jumlah
mereka tak kalah banyak dari anak buah Buaya Sungai Luwing," kata Puspa
Kenaka lagi sambil menudingkan jari telunjuknya
ke arah sosok-sosok yang masih bergeletak di tanah.
"Maksudmu, jumlah mereka
sekitar lima belas orang, Puspa Kenaka?" tanya Melati ingin kepastian.
Puspa Kenaka menganggukkan
kepala.
"Kau keliru, Puspa,"
sergah Melati dengan bibir tersungging senyum. "Jumlah orang yang tengah
menuju kemari, tidak kurang dari lima puluh orang!"
"Ah!" desah Puspa
Kenaka penuh keterkejutan bercampur tidak percaya. Dengan sorot
mata ingin meminta kepastian, Puspa Kenaka menatap Dewa
Arak. Sedangkan
pemuda berambut putih
keperakan yang mengetahui arti tatapan itu, tersenyum lebar
sambil menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Melati.
Baru saja Puspa Kenaka membuka
mulut dan siap mengajukan pertanyaan, Dewa Arak telah menudingkan jari telunjuk
ke depannya. Dan ketika Puspa Kenaka menoleh ke belakang, langsung terjingkat
kaget. Kini, tampaklah pemandangan yang berjarak sekitar sepuluh tombak!
***
5
Se benarnya, bukan Puspa
Kenaka saja yang merasa terkejut. Dewa Arak dan Melati pun demikian. Hanya
saja, sepasang pendekar muda itu mampu menguasai perasaan, sehingga tidak
tampak pada wajah.
Masih dengan raut wajah tidak
menunjukkan perasaan apa pun, Dewa Arak dan Melati menatap ke arah rombongan
yang terus bergerak mendekati tempat mereka.
Memang wajar kalau Dewa Arak,
Melati, dan Puspa Kenaka sampai terkejut karenanya. Ternyata jumlah rombongan
yang tengah bergerak mendekati tempat mereka tidak kurang dari seratus orang!
Menilik dari macam-macam pakaian yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka
terdiri dari banyak golongan.
Itulah sebabnya di dalam benak
Dewa Arak dan Melati berkecamuk
pertanyaan. Apa tujuan
rombongan yang demikian besar itu datang ke sini?
Belum lagi rasa kaget karena
jumlah rombongan yang besar itu sima, Dewa Arak kembali terkejut dan bercampur
khawatir begitu melihat gerakan- gerakan mereka.
Memang, sebagian besar
rombongan orang berwajah rata-rata kasar itu
memiliki ilmu meringankan
lubuh tingkat rendahan. Tapi, ada beberapa gelintir yang membuat hati Dewa Arak
tercekat. Dan terutama sekali, adalah sosok paling depan. Gerakannya ringan
bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak menyentuh
tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai tingkat
kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat
perhatian penuh dari Dewa
Arak. Dia mengenakan pakaian
hitam. Tubuhnya kekar dan berotot, selaras dengan wajahnya yang kasar dan
dipenuhi cambang bauk lebat. Rambutnya dikepang satu. Dan
pada bagian ujung
rambutnya, terpasang sebuah logam berbentuk bintang bersegi lima.
Dan di antara semua ciri-ciri
itu, yang membuat orang merasa ngeri adalah sepasang matanya. Bagian yang
mengelilingi titik hitam matanya berwarna kuning muda. Mirip mata seekor
kucing!
Hanya dalam sekejapan saja,
rombongan itu telah berada di hadapan Dewa
Arak, Melati, dan Puspa
Kenaka. Tentu saja laki-laki bermata aneh itu yang tiba lebih dulu. Menilik
dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki itu adalah ketua
rombongan. Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan
rekan-rekannya.
"lkh...!"
Jerit kengerian tertahan
keluar dari mulut Melati dan Puspa Kenaka ketika melihat mata laki-laki
berambut kepang itu. Tanpa sadar, mereka melangkah mundur. Sehingga, Dewa
Arak-lah yang berdiri paling depan.
Kengerian Melati dan Puspa
Kenaka terlihat jelas. Namun raut wajah laki- laki bermata mengerikan itu sama
sekali tidak menggambarkan rasa tersinggung. Tarikan wajahnya tetap seperti
biasa. Dingin, tanpa adanya pancaran perasaan apa-apa.
Dengan raut wajah dingin,
dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang
berdiri di hadapannya.
Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Puspa Kenaka. Dan tatapan
itu membuat bulu kuduk merinding! Hanya Dewa Arak yang masih tetap terlihat
tenang. Bahkan balas menatap dan memperhatikan.
"Ha ha ha...!
Mendadak laki-laki bermata
mengerikan itu tertawa. Keras bukan kepalang, sehingga membuat suasana di
sekitar tempat itu bergetar hebat bagai ada halilintar. Bisa diduga kalau suara
tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Yang lebih hebat lagi adalah
akibat yang menimpa orang-orang yang
berada di situ. Se bagian besar dari mereka langsung merasakan kedua lututnya
lemas, seiring keluarnya suara tawa itu. Bahkan langsung jatuh terduduk! Hanya
beberapa orang saja yang mampu bertahan. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan
beberapa orang anak buah laki-laki bermata mengerikan itu.
"Tidak salahkah
penglihatanku? Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda
Sombong?!" tegur
laki-laki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukanku yang
diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu? Dan,
mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" masih dengan sikap
tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku? Ha ha ha...! Kau
ingin mengenalku, Dewa Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang
telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, dengan siapa berhadapan
sekarang?! Akulah si Mata Malaikat! Raja dari semua tokoh golongan hitam yang
ada di seluruh jagat ini! Kau dengar?!" jawab laki-laki bermata mengerikan
itu yang ternyata berjuluk si Mata Malaikat
Agak berubah paras Dewa Arak
ketika mendengar jawaban bernada keras dari si Mata Malaikat. Apalagi julukan
Mata Malaikat telah cukup lama didengarnya. Menurut berita, tokoh itu belum
lama muncul. Paling lama baru dua tahun. Namun dalam waktu demikian singkat
telah mampu menggegerkan dunia persilatan! Hal itu karena tindakannya amat
menggegerkan dunia persilatan. Hampir tidak ada hari yang dilewatinya tanpa
pertempuran. Dan hebatnya, semua lawan dikalahkannya. Yang tunduk dijadikan
anak buah, sedangkan yang membangkang dibunuh!
Itulah sebabnya, bukan hal
yang aneh kalau dunia persilatan geger.
Apalagi, ketika Mata Malaikat seorang diri menghancurleburkan perguruan-
perguruan silat beraliran putih. Maka julukannya semakin membubung tinggi dan
ditakuti.
Sementara itu, Dewa Arak tidak
mau berlama-lama tenggelam dalam alun
pikirannya.
"Kau mengejekku, Mata
Malaikat. Kalau dibanding julukan yang kau sandang, apa sih artinya julukan
Dewa Arak yang baru berusia seumur jagung?!" sambut Dewa Arak merendah.
"Tidak usah sok merendah,
Dewa Arak! Kau telah melukai anak buahku,
berarti telah menantangku.
Maka bersiaplah untuk menerima balasannya!" sergah si Mata Malaikat, tak
sabar.
"Kau yang menjual, Mata
Malaikat. Dan aku pembelinya. Maka tantanganmu kuterima. Pantang bagiku menolak
tantangan. Lagi pula, aku memang bermaksud melenyapkanmu selama-lamanya. Telah
kudengar sendiri sepak terjangmu selama ini. Dan aku berkewajiban untuk
menanggulanginya!" jawab Dewa Arak mantap dan tegas.
"Tutup mulutmu, Dewa
Arak!" bentak Mata Malaikat keras. "Ayo! Kalian
tangkap kelinci-kelinci muda
itu!" Usai memberi perintah pada anak buahnya, Mata Malaikat langsung
menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa,
sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya,
dilancarkannya serangan ke arah leher dan bawah hidung Dewa Arak.
Wut, wut, wut!
Deru angjn keras terdengar
bersamaan dengan meluncurnya serangan itu. Dan ini menjadi pertanda kuatnya
tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Namun, Dewa Arak mengetahuinya,
sehingga tidak berani bertindak gegabah. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke
belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Maka, serangan Mata Malaikat
hanya mengenai tempat kosong
Tapi, Mata Malaikat tidak
berdiam diri saja melihat serangannya berhasil
dielakkan Dewa Arak. Dalam
keadaan masih berada di udara, tubuhnya menggeliat. Gila! Meskipun tidak ada
tempat berpijak, tubuhnya mampu melenting ke depan untuk menyusul tubuh Dewa
Arak. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya kembali diluncurkan ke arah
dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat
serangan susulan lawannya. Diperhitungkan
kalau sebelum kedua kakinya
hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka
tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan itu.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya kedepan untuk
memapak serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Dan....
Prattt!
Seketika terdengar suara gaduh
seperti ada dua benda berat beradu, ketika dua pasang tangan berbenturan.
Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar hebat!
Dan akibatnya, Dewa Arak dan
Mata Malaikat sama-sama terjengkang ke
belakang. Namun berkat
kepandaian masing-masing yang sudah mencapai tingkatan tinggi, bukan merupakan
hal yang sulit untuk mematahkannya.
Baik Dewa Arak maupun
Mata Malaikat sama-sama berjumpalitan
beberapa kali di udara, mempergunakan daya lempar tubuh mereka.
Jliggg!
Hampir pada saat yang
bersamaan, Dewa Arak dan Mata Malaikat mendaratkan kedua kakinya di tanah,
ringan laksana sehelai daun. Kini, mereka berdiri berhadapan dalam jarak enam
tombak.
*** Di saat Dewa Arak dan Mata
Malaikat saling berpandangan seperti hendak mengadu kemampuan lewat pancaran
sinar mata, Melati dan Puspa Kenaka mulai dihampiri anak buah Mata Malaikat.
Sementara sebagian dari mereka menolong yang terluka.
Melati tahu, Puspa Kenaka
bukan orang lemah. Tapi disadari pula kalau kemampuan yang dimiliki gadis
berpakaian jingga itu hanya sekadarnya saja. Malah mungkin hanya mampu untuk
menghadapi tiga orang anggota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian
sekadarnya. Karena itulah, Melati segera melangkah maju. Sehingga, kini berada
di depan Puspa Kenaka untuk melindunginya.
"He he he...! Mimpi apa
aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek,"
kata salah seorang dari empat anggota gerombolan yang berada di barisan
terdepan.
Kulit wajah orang itu hitam
kelam seperti arang. Sebuah rompi yang
terbuat dari kulit beruang membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Kau memang tidak bisa
diam kalau melihat wajah cantik, Setan Kecil Muka Hitam," cela laki-laki
berkepala botak. Tubuhnya gemuk, dan perutnya gendut.
"Kalau tidak memiliki
sikap seperti itu, mana mungkin dia berjuluk Setan Kecil Muka Hitam, Setan
Botak?." timpal rekan lainnya yang tubuhnya tinggi besar melebihi manusia
biasa.
"Apa yang kau katakan itu
sama sekali tidak salah, Setan Tenaga Raksasa," sambung orang terakhir.
Tubuhnya tinggi kurus, laksana galah. Anehnya, wajahnya tertutup sebuah topeng
tengkorak kepala manusia.
Semua pembicaraan itu
dikeluarkan dengan suara keras, sehingga Melati dan Puspa Kenaka yang dijadikan
pokok pembicaraan mendengarnya.
Dan Melati jadi terperanjat
ketika mendengar sapaan mereka satu sama lain. Betapa tidak? Julukan-julukan
tiga di antara mereka sudah pernah didengarnya. Mereka terkenal sebagai
datuk-datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata angin!
Kesaktian dan kekejaman
tokoh-tokoh itu sudah terkenal di wilayah masing-masing. Selama belasan tahun,
mereka telah bercokol di tempat kekuasaannya tanpa ada yang mampu mengalahkan.
Dan karena kekejamannya, masing-masing tokoh mendapat julukan setan. Tidak aneh,
meskipun orang terakhir belum disapa rekan-rekannya, tapi Melati sudah bisa
menduga. Siapa lagi kalau bukan Setan Muka Tengkorak.
Dan begitu telah tahu
tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati segera meningkatkan kewaspadaan.
Maka seketika seluruh urat syarafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan.
Sementara itu, keempat
lawannya seperti tidak ingin terburu-buru
melancarkan serangan. Sikap
mereka menunjukkan kalau Melati sama sekali tidak dipandang sebelah mata.
"Rasanya terlalu
berlebihan kalau kita maju bersama-sama. Lebih baik, kalian semua menyingkir
dan biarkan aku menundukkan wanita
pemberani ini," usul Setan Kecil Muka Hitam pada rekan-rekannya.
"Kau maunya memang selalu
enak sendiri, Setan Kecil," cela Setan Botak yang rupanya gemar berbicara.
"Tapi, baiklah. Aku mengalah. Hanya ingat, Setan Kecil. Wanita ini bukan
makanan empuk."
Usai berkata demikian, Setan
Botak berbalik dan menyingkir dari situ. Dengus penuh ejekan dari Setan Kecil
Mulia Hitam terdengar mengiringi ayunan langkahnya. Namun Setan Botak sama
sekali tidak mempedulikannya. Dan langkahnya terus saja terayun. Kini hanya
Setan Muka Tengkorak yang masih berdiri di situ.
"Mengapa kau tidak
menyingkir juga, Setan Muka Tengkorak?" tanya Setan Kecil Muka Hitam bernada
teguran.
"Hmh! Kau lupa atau
memang dungu, Setan Kecil. Ada dua wanita di sini.
Dan wanita yang satu lagi
adalah bagianku!"
Setan Kecil Muka Hitam tidak
menyambuti ucapan itu. Disadari, alasan yang diajukan Setan Muka Tengkorak
tidak keliru. Apalagi hatinya belum yakin akan mampu menundukkan Melati dalam
waktu singkat. Dan dia tahu, Melati bukan orang sembarangan. Sorot mata Melati
yang mencorong tajam laksana mata harimau dalam gelap, merupakan satu bukti
kalau tingkat kepandaiannya sangat tinggi.
Sementara itu, Melati tahu
kalau Setan Muka Tengkorak mendapat kesempatan menyerang Puspa Kenaka. Dan
tentu saja gadis itu mudah ditundukkan. Dan itu tidak bisa dibiarkan terjadi.
Maka sebelum datuk bertubuh tinggi kurus
itu melancarkan serangan, dialah yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!"
Diiringi pekikan keras yang
menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading itu membuka serangan ke
arah Setan Muka Tengkorak dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dia melompat
menerjang lawannya. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil
mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju tidak tanggung-tanggung lagi. Pelipis!
Wuttt!
"Hebat," puji Setan
Muka Tengkorak.
Datuk tinggi kurus ini
benar-benar mengagumi serangan Melati yang tidak bisa dipandang ringan. Dari
deru angin keras yang mengiringi serangannya, sudah bisa diperkirakan kekuatan
tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan
berarti Setan Muka Tengkorak menjadi gentar. Malahan tanpa ragu-ragu, kibasan
kaki Melati dipapaknya dengan tangan kiri. Dengan arah gerakan dari dalam ke
luar.
Plakkk!
Benturan antara tangan dan
kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak terelakkan lagi. Dan
akibatnya, Melati yang berada di udara jadi terpental balik ke belakang.
Sedangkan Setan Kecil Muka Hitam terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan manis,
kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini berhasil mematahkannya.
Jliggg!
Begitu Setan Muka Tengkorak
berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya, kedua kaki Melati hinggap di tanah
tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita
Liar!" dengus Setan Muka Tengkorak bernada memuji. Pujian itu tampaknya
keluar dari lubuk hati Setan Muka Tengkorak. Dan hal itu bukan tanpa alasan.
Buktinya tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati terasa kesemutan.
Bisa diperkirakan tenaga dalam yang
dimiliki kekasih Dewa Arak itu
tidak berada di bawahnya.
Tapi sebelum Setan Muka
Tengkorak sempat melancarkan serangan balasan, Setan Kecil Muka Hitam telah
mendahuluinya. Datuk berwajah hitam itu langsung mengirimkan serangan berupa
cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit!
Decit angin tajam dari udara
yang terobek serangan Setan Kecil Muka Hitam menjadi bukti nyata, betapa
bahayanya serangan yang dikirimkannya.
Namun Melati bukan wanita
kosong. Bahkan waktu pertama kali muncul di
dunia persilatan, julukan yang
dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia persilatan. Maka menghadapi
serangan seperti itu, dia tidak menjadi gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke
belakang sambil mendoyongkah tubuh. Dan hasilnya memang seperti yang
diharapkan. Serangan Setan Kecil Muka
Hitam hanya mengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran.
Setan Kecil Muka Hitam sudah
menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka begitu
serangannya gagal, kembali dikirimkan serangan susulan. Tentu saja Melati pun
tidak tinggal diam. Maka terjadilah pertarungan sengit yang tidak bisa
dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik
sekali pertarungan yang berlangsung antara
Melati melawan Setan Kecil
Muka Hitam. Sehingga, Setan Muka Tengkorak sampai terlupa dengan maksudnya
semula, menangkap Puspa Kenaka. Dijauhinya kancah pertarungan, dan menonton
seperti halnya Setan Botak, Setan Tenaga Raksasa, dan yang lainnya.
Melati tahu, keadaan sama
sekali tidak menguntungkan. Maka tanpa ragu- ragu lagi segera dikeluarkannya
ilmu andalan yang bernama 'Cakar Naga Merah'. Hal yang sama pun dilakukan Setan
Kecil Muka Hitam. Langsung dikeluarkannya jurus 'Harimau' yang dimilikinya. Hal
ini membuat pertarungan yang berlangsung jadi menarik bukan kepalang.
Sementara itu di arena
pertarungan lainnya, pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat
berlangsung tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian
amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima belas jurus. Namun selama itu,
masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan ilmu andalan. Meskipun
demikian, pertarungan yang berlangsung tidak kalah seru.
Tak terasa, sepuluh jurus
kembali telah berlalu. Jurus demi jurus berlangsung secara cepat, karena
gerakan dua tokoh yang tengah bertarung itu memang cepat. Bahkan jalannya
pertarungan pun tidak bisa dilihat jelas oleh orang-orang yang berkepandaian
lebih rendah. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu yang
saling belit, tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Mata
Malaikat, Dewa Arak sesekali masih sempat mengalihkan perhatian pada Melati dan
Puspa Kenaka. Dan hasil dari pengamatannya sekilas, menumbuhkan perasaan
khawatir di harinya. Disadarinya kalau keadaan tidak menguntungkan, begitu
melihat lawan berada di atas angin.
Dengan jelas Dewa Arak melihat
kalau Melati tetap saja belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-jelas
terlihat kalau gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh
kemampuannya. Dari sini bisa dilihat kalau lawan yang dihadapi Melati memiliki
kepandaian tinggi.
Tentu saja hal ini membuat
Dewa Arak tidak tenang. Menghadapi satu orang lawan masing-masing saja, dia dan
Melati belum mampu berbuat banyak setelah sekian lamanya. Padahal, di belakang
masih menunggu calon lawan-lawan lainnya yang memiliki kepandaian tidak kalah
hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, Dewa Arak Melati, dan Puspa Kenaka
dalam bahaya besar.
Menyadari akan keadaan ini,
Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan Melati dan
Puspa Kenaka.
"Hih!"
Pada sebuah kesempatan, Dewa
Arak melempar tubuh ke belakang, kemudian bersalto. Dan di saat itulah pemuda
berambut putih keperakan ini menghentakkan kedua tangannya ke arah Mata
Malaikat, melepaskan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas
menyengat meluruk ke arah Mata Malaikat. Laki-laki bermata mengerikan ini
terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan, tubuhnya dibanting
ke tanah, kemudian berguling. Maka serangan Dewa Arak hanya mengenai tempat
kosong.
Namun, Dewa Arak memang tidak
memikirkan keberhasilan serangannya
yang memang dimaksudkan untuk
mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh lawannya masih bergulingan di
tanah, dia melompat menerjang Setan Kecil Muka Hitam.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada
di udara, Dewa Arak cepat mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor garuda
yang tengah menerkam mangsa, diserangnya Setan Kecil Muka Hitam.
Setan Kecil Muka Hitam
terkejut bukan kepalang. Saat itu, serangan maut Melati baru saja dihindarinya.
Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak. Terpaksa serangan
yang dilancarkan Dewa Arak dipapaknya dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt! "Akh!"
Setan Kecil Muka Hitam terpekik,
karena perasaan kaget. Betapa tidak? Tubuhnya kontan terpelanting. Bahkan kedua
tangannya terasa sakit, seperti lumpuh akibat benturan tadi. Namun, tidak
demikian halnya dengan Dewa Arak. Bahkan ketika hinggap di tanah, kedua kakinya
langsung digenjot. Sehingga tubuhnya kembali melenting ke udara dengan
manisnya. Hanya saja kali ini arahnya tertuju pada Puspa Kenaka.
"Cepat, Melati!"
seru Dewa Arak.
Dan....
Tappp!
Secepat pergelangan tangan
Puspa Kenaka dicekal, secepat itu pula dibawanya pergi dari situ. Sedangkan
Puspa Kenaka meskipun terkejut, namun
sama sekali tidak meronta. Dibiarkan saja tindakan yang dilakukan Dewa Arak.
Sementara itu, Melati langsung
mengetahui maksud kekasihnya. Maka tanpa membuang-buang waktu, kakinya segera
digenjot. Seketika tubuhnya melesat cepat mengikuti Dewa Arak.
Setan Botak, Setan Tenaga
Raksasa, dan Setan Muka Tengkorak, serta semua anak buah gerombolan Mata
Malaikat bergerak mengejar. Tapi, baru juga beberapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula semua ayunan
langkah kaki terhenti. Dan tentu saja mereka semua tahu siapa orang yang
mengeluarkan bentakan tadi, kalau bukan
Mata Malaikat. Mau tak mau mereka harus mematuhinya.
"Biarkan mereka
pergi," kata Mata Malaikat lagi. "Tidak usah dikejar. Kita masih punya
urusan yang lebih penting. Dan cecoro-cecoro itu bisa diurus belakangan."
Seketika itu pula, semua
kepala yang berada di situ sama-sama terangguk. "Nah! Sekarang, mari kita
lanjutkan perjalanan yang tertunda," kata Mata
Malaikat lagi.
Seiring selesai ucapannya,
Mata Malaikat mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, diikuti datuk-datuk
dari empat penjuru dunia persilatan. Berjalan di belakang keempat orang ini,
adalah anak buah Mata Malaikat.
***
6
"Hhh...!" Sambil
menghembuskan napas berat, Dewa Arak menghentikan larinya. Kelihatannya dia
telah cukup jauh berlari dari tempat semula. Kini cekalannya pada tangan Puspa
Kenaka dilepaskan.
"Berbahaya sekali "
"Kau benar, Kang,"
sambut Melati, setelah juga menghentikan larinya. "Kalau tidak mengalami
sendiri, aku tidak akan percaya. Rombongan tokoh aliran hitam itu pergi
berbondong-bondong dalam jumlah yang besar. Entah, apa yang mereka cari."
"Sepanjang yang
kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk
Garuda Mata Satu,"
celetuk Puspa Kenaka.
Melati dan Arya
mengangguk-anggukkan kepala.
'"Tapi rasanya janggal
juga. Masak, hanya untuk mencari Garuda Mata Satu, pergi berbondong-bondong
begitu?" bantah Arya kurang setuju. "Dugaanku, seharusnya mereka
berpencar dan membuat kelompok-kelompok. Karena dengan cara seperti itu, sudah
pasti buruan akan lebih mudah ditemukan."
Puspa Kenaka langsung diam.
Memang benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Bahkan Melati juga terlihat
mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menyetujui.
"Lalu, apa yang akan
dikerjakan rombongan orang itu?" tanya Puspa Kenaka.
Se benarnya, pertanyaan
seperti itu tidak patut dikeluarkan. Masalahnya,
Arya dan Melati sendiri tengah
memikirkannya. Namun Dewa Arak bersikap bijaksana, tanpa mencela pertanyaan
yang dikeluarkan gadis berpakaian jingga itu.
"Aku sendiri tidak tahu,
Puspa. Tapi yang jelas, dunia persilatan pasti akan geger. Bahaya besar telah
mengancam. Aku tidak percaya, kalau rombongan yang dipimpin Mata Malaikat itu
tidak mempunyai tujuan."
"Hhh !"
Melati menghela napas berat.
Dirasakan adanya nada kekhawatir yang amat sangat dalam ucapan kekasihnya.
"Kau benar, Kang.
Gerombolan itu benar-benar berbahaya. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka bisa
melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan besar," sambut Melati.
Arya tidak langsung menanggapi
ucapan Melati. Dia termenung sejenak, dengan dahi berkernyit dalam. "Siapa
pun adanya Mata Malaikat itu, yang jelas mempunyai sebuah keinginan besar.
Kalau tidak, untuk apa mempunyai demikian banyak anak buah?!"
"O, ya. Kau tahu empat
orang yang tadi menghampiriku dan Puspa Kenaka, Kang?"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mendengar
pembicaraan mereka?" tanya Melati, lebih penasaran.
"Sayang sekali, Melati.
Saat itu aku tengah bertarung dengan Mata
Malaikat sehingga tidak sempat
memperhatikan. Apalagi, saat itu kulihat kau belum bertarung. Jadi, perhatianku
terpusat pada Mata Malaikat." jelas Arya, mengandung penyesalan.
"Mereka adalah
datuk-datuk golongan hitam di empat
penjuru angin, Kang," jelas
Melati penuh semangat. "Yang bermuka hitam, datuk dari timur. Yang tinggi
kurus, datuk dari barat. Yang berkepala botak, datuk dari selatan. Se dangkan
yang terakhir datuk dari utara."
"Ah!" desah Arya
kaget.
Pemuda berambut putih
keperakan ini memang terkejut bukan kepalang, karena nama besar datuk-datuk
golongan hitam di empat penjuru mata angin
itu sudah kerap didengarnya. Jadi, tadi Melati menghadapi salah seorang
di antaranya? Pantas mereka demikian lihai! Desis Arya dalam hati.
"Kalau begitu, hal ini
bukan merupakan urusan kecil lagi, Melati. Sudah
amat berbahaya! Tidak mungkin
Mata Malaikat menundukkan datuk-datuk golongan hitam di empat wilayah itu kalau
tidak mempunyai sebuah tujuan besar!" duga Arya dengan nada suara semakin
terdengar penuh kegelisahan.
"Mungkinkah rombongan itu
hendak menyerbu kerajaan, Kang?" terka Melati.
"Dugaanmu mempunyai dasar
kuat, Melati. Aku juga menduga seperti itu. Tapi, kerajaan mana yang akan
diserbu. Begitu banyak kerajaan dan kadipaten yang dapat mereka tempuh dari tempat
pertarungan kemarin. Hhh...! Sulit menebaknya."
Melati pun diam. Sementara,
Arya menghentikan ucapannya. Puspa Kenaka yang sejak tadi hanya bertindak
sebagai pendengar saja, belum juga membuka suara. Dan kini suasana di sekitar
tempat itu pun hening.
"Kunci satu-satunya hanya
pada Garuda Mata Satu. Aku yakin, dia mengetahui rencana Mata Malaikat,
sehingga dicari-cari. Gerombolan orang berseragam coklat dan gerombolan Buaya
Sungai Luwing telah menjadi bukti, betapa Mata Malaikat amat menginginkan Garuda
Mata Satu ditangkap. Padahal, untuk apa sih seorang Garuda Mata Satu bagi Mata
Malaikat? Aku yakin kepandaiannya tidak terlalu berarti. Bahkan mungkin tidak
berbeda jauh dengan Buaya Sungai Luwing. Jadi, masih amat jauh di bawah empat
datuk itu," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Kang. O, ya.
Apakah tidak sebaiknya kita mencari Garuda Mata Satu?"
Lagi-lagi Arya tidak langsung
menjawab. Dia tercenung, dengan sepasang
mata menerawang jauh ke
langit.
"Bagaimana kita harus
mencarinya, Melati. Kita buta sama sekali tentang ciri-cirinya. Andaikata
bertemu pun, mungkin kita tidak mengenalinya," sahut Arya.
"Mengapa kau begini
bodoh, Kang," cela Melati. "Kita bisa saja toh, mencari beritanya di
sepanjang perjalanan."
Dewa Arak tersenyum sabar.
"Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam
benakku, Melati. Tapi
bagaimana dengan rombongan Mata Malaikat? Haruskah kita mencari Garuda Mata
Satu, dan kita biarkan gerombolan Mata Malaikat merajalela?"
Kontan Melati menutup mulutnya
dengan wajah memerah. Hal seperti itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya.
"Lalu..., apa yang harus
kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus
asa.
"Boleh aku bicara, Kang
Arya, Melati," celetuk Puspa Kenaka, hati-hati.
Diliriknya wajah pemuda
berambut putih keperakan itu sekejap. Memang sejak pertemuan pertama, Puspa
Kenaka telah menaruh hati pada Dewa Arak. Hanya saja, hal itu mampu
disembunyikannya. Namun diam-diam matanya selalu mencuri pandang wajah Arya
bila ada kesempatan.
Bagai diberi perintah, Dewa
Arak dan Melati menganggukkan kepala
pertanda membolehkan.
"Sebelumnya aku terlebih
dulu meminta maaf. Bukannya aku sok pintar atau memihak salah satu di antara
kalian berdua, tapi hanya ingin mengajukan pendapat saja," ucap Puspa
Kenaka, hati-hati sekali.
"Katakanlah, Puspa. Tidak
usah ragu-ragu. Kami bukan anak-anak kecil yang mudah marah oleh hal-hal
sepele," sambut Arya memberi jaminan.
"Terima kasih, Kang
Arya," ucap Puspa Kenaka yang membuat sebelah alis Melati naik ke atas.
Entah mengapa bila ada gadis
lain, apalagi yang memiliki wajah cantik, memanggil kekasihnya seperti itu,
hati Melati jadi terasa panas.
"Begini, Kang Arya,
Melati. Kalau menurut pendapatku, memang lebih baik kita mencari Garuda Mata
Satu lebih dulu..."
"Kita?" potong
Melati cepat "Jadi, kau juga akan ikut dengan kami?"
Wajah Puspa Kenaka kontan
memerah mendengar ucapan Melati yang tiba-tiba. Bahkan Arya sendiri pun
terkejut mendengar ucapan kekasihnya. Sampai-sampai pandangannya dialihkan ke
arah Melati.
Seperti juga Melati, Dewa Arak
merasa keberatan kalau Puspa Kenaka terus berada bersama mereka. Bagaimanapun
juga, menempuh perjalanan hanya berdua dengan Melati, jauh lebih nikmat. Namun,
Arya tidak sampai hati untuk mengutarakan keberatannya pada Puspa Kenaka. Maka
karuan saja, Dewa Arak merasa kaget mendengar Melati menunjukkan keberatannya.
Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Puspa Kenaka telah mendahuluinya.
"Melati.... Maksudku...,
nggg.... Aku..., aku tidak bermaksud demikian.
Dan, eh! Kalau kalian merasa
keberatan, biarlah aku pergi."
Setelah terbata-bata
mengucapkan kata-kata, Puspa Kenaka berbalik.
Kemudian, kakinya melangkah
meninggalkan Dewa Arak dan Melati.
Melihat hal ini, Arya tidak
tinggal diam.
"Puspa! Tunggu
sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara; Melati hanya diam
saja. Gadis berpakaian putih ini masih merasa bingung harus berbuat apa.
"Cegah dia pergi,
Melati," pinta Arya pada Melati, ketika melihat Puspa
Kenaka sama sekali tidak
mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung
melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah Dewa
Arak. Ada sorot penentangan di sana.
"Rupanya, kau telah
terpikat oleh kecantikannya, Kang?! Mengapa tidak kau saja yang
mengejarnya?!" tandas Melati, berapi-api dibakar rasa cemburu.
"Heh?! Mengapa kau
berkata demikian, Melati!? Kau ingin pertolongan kita terhadapnya sia-sia?
Dengan bekal kepandaian seperti itu, keselamatannya akan selalu terancam. Kau
tahu sendiri kan, kerasnya dunia persilatan?"
Pelan dan lembut Arya memberi
penjelasan. Meskipun ada nada teguran di dalamnya, tapi terdengar halus. Hanya
saja, Melati masih tetap diam. Meskipun disadari akan adanya kebenaran dalam
ucapan kekasihnya, tapi perasaan cemburu membuatnya tidak langsung membenarkan
kata-kata Arya. "Percayalah, Melati. Puspa Kenaka tidak akan lama ikut
dalam perjalanan bersama kita. Nanti kita akan menitipkannya di tempat yang
aman," lanjut Arya penuh kesabaran. Dewa Arak memang sudah bisa menduga,
mengapa kekasihnya bertindak seperti itu. "Maukah kau mencegahnya,
Melati?"
Sambil berkata begjtu, Arya
mengulurkan tangannya membelai rambut
Melati.
"Huh! Kau memang paling
pintar membujuk orang!" dengus Melati pura- pura marah.
Kemudian, gadis itu melesat
mengejar tubuh Puspa Kenaka yang sudah
berada di tempat yang agak
jauh. "Ha ha ha...!"
Arya hanya tertawa lunak.
Dipandanginya punggung Melati yang telah berada beberapa tombak di depannya.
***
Melati mengerutkan alis ketika
tidak menjumpai adanya Puspa Kenaka. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian
jingga itu tadi dilihatnya menerobos bagian semak-semak yang lebat karena
tertutup akar gantung dari sebuah pohon. Memang, Melati kini berada di sebuah
perkebunan yang cukup luas yang banyak ditumbuhi semak dan pepohonan di sana
sini.
Kembali Melati mengedarkan
pandangan berkeliling. Namun tetap saja tidak melihat keberadaan Puspa Kenaka.
Mustahil gadis berpakaian jingga itu bisa lenyap demikian cepat. Dan kini tak
jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara di kanan dan kirinya penuh
pohon berduri. Melati yakin, bila Puspa Kenaka terus melarikan diri bakalan
terkejar. Tapi kesimpulannya, gadis berpakaian jingga itu sengaja
menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati
segera memusatkan pendengarannya. Dia yakin, apabila Puspa Kenaka masih berada
di situ, setidak-tidaknya desah napasnya akan terdengar.
Usaha Melati ternyata tidak
sia-sia. Buktinya, kini terdengar suara desah napas yang asalnya dari atas
pohon! Kenyataan ini tidak mengejutkan Melati, kalau saja tidak mendapat kenyataan
lain. Desah napas yang didengarnya, tidak berasal dari satu orang! Dan
ternyata, paling sedikit berjumlah tiga
orang! Tidak salahkah pendengarannya?
Didorong oleh rasa
penasaran, membuat Melati mengarahkan pandangan
ke arah
pohon tempat suara
desah napas itu
berasal. Tapi baru saja
menengadah....
Brrr!
Seketika debu-debu halus
menyambar ke arah wajah Melati. Dan dengan gerak cepat, gadis berpakaian putih
ini menolehkan kepala ke samping, serta melindungi bagian wajah dengan kedua tangan.
Mau tak mau. Melati juga memejamkan kedua matanya dan hanya pendengarannya yang
kini digunakan. Maka saat itu sepasang telinganya menangkap suara-suara
mendesing nyaring yang menyambar dari beberapa arah.
Melati terkejut bukan
kepalang, karena berada dalam keadaan sulit. Adalah merupakan perbuatan yang
tidak mungkin untuk membuka matanya, kalau tidak ingin debu-debu yang masih
tersebar di udara itu akan masuk ke dalam matanya. Dan tentu saja Melati tidak
menginginkan hal itu terjadi.
Itulah sebabnya Melati cepat
memutuskan untuk menghadapi serangan
tanpa membuka matanya.
Perhatiannya dipusatkan pada kedua
telinganya. Dan bagi seorang yang memiliki kepandaian tinggi sepertinya,
untuk melakukan hal demikian bukanlah pekerjaan sulit.
Dari suara deru angin yang
mengiringi tibanya serangan, Melati sudah tahu arahnya dan seberapa kuat tenaga
dalam orang yang mengirimkannya. Dan atas penilaian yang didapat, tanpa
ragu-ragu lagi dia segera bertindak.
Melati tidak mau bertindak
sembrono. Padahal, dia tahu kalau tenaga dalam orang yang mengirimkan
serangan-serangan gelap itu tidak berapa kuat. Bahkan kalau ditangkis, kedua
tangannya tidak akan terluka. Sekalipun, andaikata benda-benda yang meluncur
itu terdiri dari benda-benda tajam! Maka, sekuat tenaga diusahakannya untuk
mengelakkan setiap serangan yang datang.
Tapi serangan yang meluncur ke
arahnya terlalu banyak dan demikian bertubi-tubi. Akhirnya, sebuah serangan
yang menuju ke arah leher tidak bisa dielakkannya. Maka, mau tak mau serangan
itu terpaksa dipapak dengan sampokan tangan kanannya. Dan....
Darr!
Melati terjingkat ke belakang
bagai orang disengat ular berbisa. Betapa tidak? Benda yang dikirimkan lawan
ternyata meledak ketika berbenturan dengan tangannya! Seketika itu pula, rasa
sakit dan ngilu menjalari tangan. Begitu menyengat!
Belum lagi Melati sempat berbuat
sesuatu, hidungnya mencium bau
amis
yang memuakkan dan memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan seluruh tubuh lemas.
Seketika itu pula, Melati langsung tahu apa yang terjadi. "Racun...,"
desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik!"
Tapi, Melati tidak bisa
menghamburkan amarahnya. Gadis itu masih merasakan sakit pada tangannya yang
masih menyengat. Apalagi ditambah rasa pusing dan lemas. Dan kini, tubuhnya
terhuyung-huyung ke sana kemari.
Dalam keadaan terhuyung,
Melati memutar otak mencari asal racun itu. Hanya dalam waktu sebentar saja,
sudah bisa diketahui dari mana asalnya. Dan ternyata, asalnya tak lain dari
benda yang meledak tadi ketika berbenturan dengan tangannya!
Jliggg!
Saat Melati dalam keadaan
masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang mengirimkan benda-benda
beracun itu mendaratkan kaki di tanah. Ketika akhirnya berhasil berdiri,
meskipun tidak tegak, Melati berusaha melebarkan sepasang matanya. Dia ingin
tahu orang-orang yang telah membokongnya. Memang, suasana untuk membuka mata
saat itu sudah aman.
Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak
mampu melihat jelas para
penyerangnya. Wajah mereka tampak berbayang- bayang. Bahkan jumlah mereka pun
sukar dihitung.
"Celaka," desis
Melati pelan.
Disadari kalau hal itu akibat
pengaruh racun lawannya. Dan ini membuat Melati cemas. Apalagi ketika
tubuhnyaterasa semakin melemas.
Perasaan penasaran mendorongnya
untuk mengerahkan tenaga dalam.
Namun, hasilnya malah membuat
kecemasannya bertambah. Betapa tidak? Rasa pusing yang melanda semakin
membesar, ketika hal itu dilakukan. Keadaan di sekitarnya seperti berputar,
sehingga tanpa sadar dia memegangi kepalanya.
"Ha ha ha...! Lihat! Kuda
betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
Terdengar oleh Melati salah
seorang dari para pembokongnya berbicara, dan langsung disambut tawa
rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya
kita. Yang diburu garuda tua dan telah ompong giginya, tapi yang didapat malah
dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...! Sungguh menggembirakan hati,"
sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para
pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Puspa Kenaka bisa raib begitu
saja. Rupanya, gadis berpakaian jingga itu telah ditangkap gerombolan pembokong
yang berada di atas pohon.
Sementara itu, para pembokong
Melati yang ternyata berjumlah tiga orang itu terus menghampiri Melati. Sikap
mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa kewaspadaan sama sekali. Hal ini
menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap Melati sebagai gadis berbahaya.
Sikap ketiga orang yang
rata-rata berpakaian merah dan berwajah mirip
satu sama lain itu bukan tanpa alasan sama sekali. Mereka semua telah
yakin akan keampuhan racun yang dimiliki Dan kelihatannya, keyakinan itu sama
sekali tidak keliru. Semakin lama, keadaan Melati semakin parah. Bahkan rasanya
sudah tidak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Sudah dapat dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi Melati akan roboh
sendiri.
"Manusia-manusia keji!
Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang
dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar adanya bentakan
keras.
Dengan pandangan yang telah
semakin mengabur, Melati mencoba mengenalinya. Dan kalau menilik dari
ucapannya, pemilik suara itu bermaksud menolong dia dan Puspa Kenaka. Tapi,
Melati tidak mampu mengenalinya. Yang terlihat hanyalah sosok tubuh tidak
jelas, berwarna kecoklatan. Tak lama kemudian, semuanya gelap pekat. Dan saat
itu pula, Melati telah pingsan, ambruk di tanah.
Melati sama sekali tidak sadar
kalau begitu tubuhnya roboh, sosok bayangan coklat itu telah berdiri berhadapan
dengan tiga orang berpakaian merah yang memiliki wajah dan potongan tubuh
mirip. Mereka mempunyai wajah mirip raksasa, tapi tubuh yang dimiliki kerdil.
"Rupanya kau, Garuda Mata
Satu!" kata salah seorang dari tiga raksasa
kecil berpakaian merah. Orang
ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya. "Mimpi apa kami semalam,
sehingga bisa mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi."
Usai berkata demikian,
laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan tubuh Puspa Kenaka di tanah.
Memang, sejak tadi tubuh gadis berpakaian jingga itu dipondong dengan kedua
tangannya. Baru setelah itu, perhatiannya dialihkan lagi ke arah Garuda Mata
Satu.
Sosok bayangan coklat itu
memang tak lain dari Garuda Mata Satu.
Dengan matanya yang hanya sebelah, ditatapnya tiga sosok tubuh kerdil yang
berdiri di hadapannya.
"Aku sama sekali tidak
menyangka kalau Tiga Raksasa Lembah Mayat adalah penjahat hina yang hanya
berani menghina wanita tidak berdaya," geram Garuda Mata Satu sambil
merayapi tubuh Melati dan Puspa Kenaka.
"Tutup mulutmu, Garuda
Mata Satu! Nanti kubutakan matamu yang sebelah lagi!" bentak salah seorang
dari Tiga Raksasa Lembah Mayat yang bergigi tonggos.
"Aku ragu, kalau kau akan
mampu melakukannya! Setahuku perbuatan
yang bisa kalian lakukan
adalah menjilat pantat Mata Malaikat!" ejek Garuda Mata Satu, keras.
"Keparat! Kubutakan
matamu yang satu lagi, Garuda Picak! Hih!"
Raksasa Lembah Mayat yang
bergigi tonggos itu rupanya sudah tidak bisa menahan sabarnya lagi. Dia
langsung melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya
bergulingan di tanah. Lalu Wuttt!
***
7
Ketika telah berada di dekat
Garuda Mata Satu, raksasa kecil bergigi tonggos itu berhenti berguling dan
langsung melancarkan serangan berupa sapuan kaki kanan.
Kelihatannya, serangan itu
tidak bisa dianggap ringan. Karena meskipun kaki itu kecil, tapi kekuatan yang
terkandung di dalam sapuannya sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya
tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa. Bisa dibayangkan, bagaimana
akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasarannya!
Garuda Mata Satu pun tahu
kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya,
dia tidak berani bertindak
main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas.
Maka, serangan lawannya hanya menyambar tempat kosong.
Tapi, raksasa kecil bergigi
tonggos itu pun bukan orang bodoh. Sebaliknya, dia malah telah memperhitungkan
tindakan lawan terhadap serangannya.
Maka ketika Garuda Mata Satu mengelak dengan cara melompat ke atas, langsung
saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas, mempergunakan
kaki kiri.
Zebbb!
Garuda Mata Satu tercekat
melihat serangan lanjutan ini. Apalagi, ketika mengetahui kalau bagian yang
terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di
udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat mengelak. Hanya ada satu jalan yang
dapat menyelamatkan nyawanya, yakni menangkis!
"Hih!"
Garuda Mata Satu menghentakkan
kakinya ke bawah. Blakkk!
Benturan antara dua telapak
kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak bisa dielakkan lagi.
Akibatnya, kedua kaki itu sama-sama kembali ke tempat semula.
"Hup!"
Begitu kedua kaki Garuda Mata
Satu mendarat di tanah, raksasa kecil bergigi tonggos pun telah berhasil
memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki bertubuh
cebol ini kembali menerjang Garuda Mata Satu.
Tapi dalam serangan kali ini,
raksasa kecil bergigi tonggos itu tidak bertangan kosong. Di tangan kanannya
kini telah tergenggam sebuah ganco berwarna hitam kelam. Dan dengan senjata di
tangan, digempurnya Garuda Mata Satu.
Melihat lawan telah
menggunakan senjata, Garuda Mara Satu tidak berapi
gegabah. Disadari kalau
kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. Maka senjata andalannya pun
dicabut. Sebuah cakar baja bergagang dari gading. Tidak nampak adanya golok
besar atau senjata lain pada dirinya. Memang, cakar baja inilah yang menjadi
senjata andalannya.
Kini pertarungan jadi jauh
lebih menarik. Suara decit angin tajam
dari udara yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyemaraki
pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berpercikannya
bunga api tercipta, manakala senjata-senjata itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama,
dua puluh jurus telah terlewat. Dan selama
itu, belum nampak ada
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dari sini bisa diperkirakan
kalau tingkat kepandaian kedua belah pihak berimbang.
Kenyataan ini membuat sisa
dari Tiga Raksasa Lembah Mayat tidak sabar. Kedua orang ini tahu, kalau
dibiarkan, Garuda Mata Satu belum tentu bisa terdesak. Bahkan, pertarungan
masih berlangsung seru dan sengit.
Akhirnya ketika pertarungan
telah menginjak jurus ketiga puluh lima, dua raksasa kecil ini tidak bisa
menahan sabar lagi. Diiringi pekikan yang menyakitkan telinga, mereka segera
terjun dalam kancah pertarungan dan langsung menggunakan senjata andalan
masing-masing. Sebuah ganco! Karuan saja, munculnya bantuan bagi lawannya
membuat Garuda Mata Satu kelabakan. Betapa tidak? Menghadapi seorang lawan saja
belum mampu berbuat banyak. Apalagi kini ditambah dua orang yang rata-rata
memiliki kepandaian setingkat. Maka hanya dalam beberapa gebrakan saja dia
mulai terhimpit!
Gulungan sinar senjata cakar
Garuda Mata Satu yang semula luas dan mengungkungi sekujur tubuhnya laksana
sebuah benteng, kini perlahan mulai mengecil. Dan semakin lama mereka bertarung,
Garuda Mata Satu tampaknya semakin terjepit
Serangan-serangan Garuda Mata
Satu semakin berkurang. Sedangkan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan yang
dilakukan semakin bertambah sambil bermain mundur. Sudah dapat dipastikan,
apabila dibiarkan terus, Garuda Mata Satu akan roboh di tangan lawan-lawannya.
Untungnya, Tiga Raksasa Lembah
Mayat itu sepertinya tidak ingin menewaskan Garuda Mata Satu. Buktinya setiap
serangan yang dilancarkan, tidak pernah ditujukan pada bagian yang mematikan.
Sedikit banyak, hal ini membuat sasaran serangan terhadap Garuda Mata Satu
semakin berkurang.
Kini pertarungan telah
menginjak jurus keempat puluh. Dan sekarang,
Garuda Mata Satu sama sekali
tidak mampu mengirimkan serangan balasan, kecuali hanya mengelak dan menangkis.
Rupanya, kedua belah pihak
yang bertarung itu mencurahkan seluruh perhatian pada pertarungan. Sehingga,
tanpa disadari di tempat itu telah muncul seorang pendatang baru.
Sang pendatang itu mula-mula
memperhatikan jalannya pertarungan. Tapi ketika melihat sesosok tubuh ramping
berpakaian putih tergolek di tanah, segera perhatiannya dialihkan.
Dengan sekali ayunan kaki,
sang pendatang yang tak lain Arya alias Dewa
Arak telah berada di dekat
tubuh Melati, gadis berpakaian putih
yang tubuhnya tergolek tak berdaya. Padahal, jarak antara Dewa Arak
dengan kekasihnya tak kurang dari sepuluh tombak!
Sementara itu, begitu telah
berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja membungkuk. Dengan tarikan
wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan Melati. Segera didengarnya
denyut nadi dan detak jantung gadis berpakaian putih itu.
Se bentar saja
Dewa Arak memeriksa
keadaan Melati. Dan kini
sorot
kecemasan sudah
tidak terlihat lagi
di wajahnya ketika tahu kalau keadaan Melati sama sekali
tidak membahayakan. Dan ternyata, kekasihnya itu hanya terkena racun pembius
yang membuatnya tidak sadar diri untuk
beberapa lama. Hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir
keluar.
Tapi, Dewa Arak tidak
terburu-buru untuk melakukannya. Pandangannya kini dialihkan kembali ke arah
pertarungan. Beberapa saat lamanya pandangannya terpaku di sana. Menilik dari
kernyitan pada dahinya, bisa diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan
ini tengah berpikir keras ketika ada sesuatu yang mengganggu benaknya. Arya
memang tengah menebak, pihak mana yang menjadi kawan dan mana lawan.
Dewa Arak tahu, salah satu
pihak yang tengah bertarung jelas penolong Melati dan Puspa Kenaka. Dan pemuda
berambut putih keperakan itu sempat juga melihat tubuh Puspa Kenaka yang
tergolek di tempat terpisah agak jauh darinya. Tampaknya, Arya tidak khawatir
akan keselamatan Puspa Kenaka. Dia tahu, Puspa Kenaka pasti juga masih hidup.
Maka, Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya pada pertarungan yang tengah
berlangsung.
Sementara itu, keadaan Garuda
Mata Satu semakin bertambah gawat. Dia sudah semakin terpojok! Bahkan beberapa
kali ujung ganco lawan menggores kulitnya. Kendati tidak dalam, tapi cukup
membuat darah mengalir. Dan karena luka-luka yang tercipta cukup banyak,
sekujur tubuh Garuda Mata Satu dibanjiri darah!
Se benarnya luka-luka yang
diderita sama sekali tidak parah. Tapi karena Garuda Mata Satu tidak mempunyai
kesempatan untuk menghentikan darah yang semakin banyak mengalir, tenaganya
jadi berkurang cepat.
Kini perlawanan
yang diberikan Garuda
Mata Satu pun
mengendur. Se baliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat
keadaannya yang semakin payah. Tidak sampai tiga jurus lagi, laki-laki bermata
satu ini pasti akan roboh di tangan lawannya.
"Sebentar lagi julukan
Garuda Mata Satu tidak terpakai, Manusia Dungu. Karena matamu yang tinggal
sebelah itu akan kami congkel keluar! Ha ha ha...!" ejek raksasa kecil
bergigi tonggos itu penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa laki-laki
bertubuh cebol itu segera disambut tawa
bergelak dari kedua rekannya yang bernada kemenangan. Masih dengan tawa yang
belum putus, mereka terus merangsek Garuda Mata Satu.
Tanpa disadari raksasa kecil
bergigi tonggos, ucapannya justru telah membuat Dewa Arak tahu pihak yang harus
dibantu. Pihak yang telah menyelamatkan Melati dan Puspa Kenaka dari bahaya
yang mengerikan. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung
melesat ke arah pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan
dunia persilatan ini dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak.
Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara sekali, kancah pertarungan
telah berhasil dijangkaunya
Dari atas, laksana seekor
burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak meluruk ke arah Tiga
Raksasa Lembah Mayat. Saat itu kebetulan mereka tengah merangsek Garuda Mata
Satu yang telah semakin terpojok.
Wurrr!
Deru angin keras yang
mengawali tibanya serangan Dewa Arak, membuat Tiga Raksasa Lembah Mayat
menyadari akan adanya ancaman bahaya. Maka terpaksa serangan terhadap Garuda
Mata Satu dibatalkan. Dan sebagai gantinya, ganco di tangan mereka digunakan
untuk memapak serangan mendadak itu.
Wut, wut, wut! Tak, tak, tak!
Tubuh Tiga Raksasa Lembah
Mayat langsung terhuyung-huyung ke belakang ketika senjata mereka berbenturan
dengan tangan Dewa Arak. Bahkan tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit,
seperti lumpuh. Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dangan Tiga Raksasa
Lembah Mayat yang terhuyung-huyung dengan mulut menyeringai kesakitan, Dewa
Arak sama sekali tidak menderita apa-apa. Bahkan dengan enaknya hinggap di
depan Garuda Mata Satu.
"Beristirahatlah
sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka.
Dan "
Dewa Arak tidak bisa meneruskan
ucapannya lagi, karena Tiga Raksasa Lembah Mayat sudah keburu melancarkan
serangan. Tiga laki-laki setengah tua bertubuh cebol itu meluncurkan ganco ke
arah bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan. Wut, wut, wut!
***
8
Sikap Dewa Arak terlihat
tenang. Serangan itu ditunggunya hingga dekat. Baru setelah itu, dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tubuhnya
menyelinap di antara kelebatan senjata lawan. Laksana bayangan, tubuhnya
berkelebatan di antara kelebatan sinar ganco.
Entah berapa jurus lamanya
Dewa Arak bertindak hanya mengelak mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti
itu. Sekali pun tak ingin balas menyerang. Karuan saja hal ini membuat Tiga
Raksasa Lembah Mayat menjadi murka bukan kepalang, karena merasa dipandang
remeh.
Bagai telah sepakat
sebelumnya, mendadak ketiga orang itu menghentikan gerakan masing-masing.
Kemudian, mereka melangkah mundur. Tentu saja hal ini membuat Arya heran.
Pendekar muda yang
menggemparkan dunia persilatan ini pun menghentikan gerakan. Diperhatikannya
dengan seksama semua tindakan yang
dilakukan Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Sementara itu, Tiga Raksasa
Lembah Mayat malah berdiri berjajar dengan tangan saling bergenggaman satu sama
lain. Dengan demikian, orang yang berada di tengah harus menancapkan ganco di
depan. Sedangkan, dua rekannya tetap
memegang senjata andalan itu. Yang di kiri dengan tangan kiri, sedangkan yang
di kanan mempergunakan tangan kanan. Dan bagai
diatur saja, laki-laki kerdil di sebelah kiri menghadapkan ujung ganconya ke bumi. Se dangkan yang di
sebelah kanan, ke langit. Kelihatan aneh sekali.
T indak keanehan yang
dilakukan, tidak hanya sampai di situ. Dari mulut- mulut mereka terdengar
gumaman-gumaman yang aneh terdengar di telinga. Ucapan-ucapan yang tidak bisa
dimengerti dan sulit ditangkap jelas. Dan semakin lama, suara yang lebih mirip
gumaman itu semakin cepat serta keras diucapkan.
Semula, Dewa Arak merasa heran
melihat kelakuan lawan-lawannya. Tapi,
keheranannya langsung berganti
dengan kekagetan, ketika pemuda berambut putih keperakan ini merasakan
perubahan pada suasana di sekitarnya.
Dewa Arak melihat suasana di
sekitar tempat itu berubah menyolok!
Semula, disadari betul kalau
saat itu hampir tengah hari. Walaupun saaat itu matahari bersembunyi di balik
awan, namun suasana tetap cerah. Tapi seiring semakin keras dan cepatnya
ucapan-ucapan aneh yang keluar dari mulut Tiga Raksasa Lembah Mayat, tiba-tiba
saja langit langsung gelap pekat. Awan hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun
berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu membuat orang sesakti Dewa
Arak meremang bulunya! Yang lebih mengerikan lagi, kilat langsung
menyambar-nyambar!
Dewa Arak agak
gugup menghadapi ancaman ini. Apalagi ketika sekujur
tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan tulangnya seperti lumpuh,
sehingga tenaga dalamnya tidak mampu dikerahkan.
"Sihir...!" desis
hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya ketidakberesan ini.
Setelah menyadari kalau semua
keanehan ini tercipta karena pengaruh sihir lawan, Dewa Arak pun mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan. Seluruh perhatiannya seketika dipusatkan.
Hasilnya, pertarungan yang aneh pun berlangsung. Tiga Raksasa Lembah Mayat yang
bergandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian kata-kata dengan nada dan
irama yang berganti-ganti, sedangkan Dewa Arak tetap berdiri tegak. Kedua
tangannya tampak terlipat di bahu, dengan mata dipejam dan kepala tertunduk.
Dewa Arak berusaha sekuat
tenaga mengerahkan tenaga batinnya, sehingga
sekujur wajahnya dipenuhi
keringat sebesar butir-butir jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Semua
keanehan yang mempengaruhinya tetap saja tidak mampu terusir.
Banyak hal yang menyebabkan
Dewa Arak tidak berhasil mengusir pengaruh sihir lawan. Yang jelas, jalannya
pertarungan tampaknya tidak adil. Dewa Arak yang baru mulai mengadakan
perlawanan, namun saat itu tindakan lawan telah mempengaruhinya. Hal lainnya
adalah, pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengandalkan kekuatan batin
belaka!
Dan seiring kegagalan usaha
perlawanannya, pengaruh ilmu Tiga Raksasa
Lembah Mayat pun semakin
menjadi-jadi. Dewa Arak mulai menggigil kedinginan, karena angin yang berhembus
ternyata juga membawa butir-butir es. Banyak butiran es yang menempel di tubuh
Dewa Arak.
Sementara, pemuda berambut
putih keperakan itu sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan. Keampuhan
'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya tidak terlihat sama sekali. Bahkan
sambaran-sambaran kilat pun sudah hampir menjilat tubuh Dewa Arak.
Di saat-saat tubuhnya sudah tidak
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, Dewa Arak teringat
akan gucinya. Maka seluruh sisa kemampuan yang dimilikinya dikerahkan untuk
mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Usaha Dewa Arak sama sekali
tidak sia-sia. Guci araknya berhasil digenggam dan buru-buru dituangkan ke
mulut, walaupun dengan susah payah.
Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju perut.
Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di sekitar perut Dewa Arak, lalu
perlahan-lahan naik ke atas. Dan seperti biasanya, kedudukan kaki Dewa Arak pun
mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini.
Pada saat itu,
perkataan-perkataan Tiga Raksasa Lembah Mayat terdengar
semakin cepat dan keras di
telinga Dewa Arak. Seakan-akan, di dalam kepalanyalah tiga orang itu
berkata-kata seperti itu.
"Arrrggghhh...!"
Dalam usahanya untuk
menghilangkan suara Tiga Raksasa Lembah Mayat yang seperti telah memenuhi isi
kepalanya, Dewa Arak meraung keras sekali. Akibatnya, suasana di sekitar tempat
itu langsung bergetar.
Memang begitu dahsyat raungan
Dewa Arak. Dan ternyata, akibatnya juga begitu menggiriskan. Tubuh Tiga Raksasa
Lembah Mayat langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah.
Dari mulut mereka tampak menyembur keluar darah segar. Jelas, mereka telah
mengalami luka dalam yang amat parah!
Tubuh tiga laki-laki cebol itu
menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Mati!
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega. Dan
kini keadaan alam telah kembali seperti biasa. Cerah, tidak hitam pekat seperti
sebelumnya. Tidak ada lagi kilat atau hembusan angin dingin. Semuanya telah
sirna, seiring tewasnya Tiga Raksasa Lembah Mayat.
Dewa Arak menatap mayat tiga
lawannya yang berkubang darahnya
sendiri. Dia tahu, Tiga
Raksasa Lembah Mayat tewas karena kalah tenaga dalam. Tiga laki-laki cebol itu
mencoba mengalahkan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu sihir yang berdasar
pada pengaruh suara. Maka ketika Dewa Arak berteriak disertai pengerahan
seluruh tenaga dalamnya, mereka kontan tewas. Di samping karena tenaga sendiri
yang membalik, serangan Dewa Arak juga ikut membantu kematian mereka.
Hanya sebentar saja, Arya
memperhatikan mayat ketiga lawannya. Sekejap kemudian, tubuhnya berbalik. Yang
pertama kali terlihat adalah tubuh Garuda Mata Satu yang tergolek lemah.
Rupanya, laki-laki bermata satu ini pingsan akibat pengaruh teriakan Dewa Arak.
Kalau Garuda Mata Satu saja yang tidak dituju bisa pingsan, tak aneh kalau Tiga
Raksasa Lembah Mayat tewas! Teriakan Dewa Arak memang ditujukan pada mereka.
Arya menghampiri tubuh Garuda Mata Satu. Lalu, diurut-urutnya tengkuk Garuda
Mata Satu. Hanya dalam beberapa kali urut, laki-laki bermata satu ini mulai mengeluh.
Tanpa banyak cakap, Dewa Arak pun meninggalkannya untuk menghampiri Melati. Dia tahu, tak akan
lama lagi Garuda Mata Satu akan sadar sepenuhnya.
Begitu tiba di dekat tubuh
Melati, Dewa Arak langsung duduk bersila. Kini kedua telapak tangannya ditempelkan
di tubuh kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan ini akan mengusir hawa
beracun dalam tubuh Melati dengan dorongan tenaga dalamnya.
Di saat Dewa Arak sibuk
mengusir hawa beracun di tubuh Melati, Garuda Mata Satu tampak mulai sadar.
Sesaat, sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak. Tapi, kemudian dialihkan
ketika melihat sosok tubuh ramping dari gadis berpakaian jingga.
"Gadis berpakaian
jingga?" Garuda Mata Satu tersentak. "Mengapa aku demikian pelupa?
Bukankah Kartugi mengatakan kalau Puspa Kenaka adalah seorang gadis berpakaian
jingga? Apakah gadis yang tengah tergolek
itu Puspa Kenaka?"
Ingatan itu membuat Garuda
Mata Satu bergegas bangkit dan menghampiri
tubuh gadis berpakaian jingga
yang memang tak lain dari Puspa Kenaka. Diperiksanya sejenak keadaan gadis itu.
Ternyata sama sekali tidak menderita luka dan hanya tertotok lumpuh. Maka
buru-buru Garuda Mata Satu membebaskan
totokannya.
"Ayah," ucap Puspa
Kenaka ketika telah terbebas dari totokannya.
Kontan sepasang mata Garuda
Mata Satu terbelalak mendengar sapaan itu. "Kau..., kau memanggilku ayah?
Jadi..., kau Puspa Kenaka?" tanya laki-
laki bermata satu itu dengan
suara tersekat di tenggorokan, karena perasaan haru yang menggelegak.
"Be... benar, Ayah.
Akulah Puspa Kenaka," Jawab gadis berpakaian jingga itu.
"Puspa Kenaka,
Anakku...!"
Kini, Garuda Mata Satu tidak
ragu-ragu lagi mengucapkannya. Direngkuhnya tubuh putrinya penuh kasih sayang.
Maka, Puspa Kenaka pun balas memeluk tak kalah erat.
Cukup lama juga ayah dan anak
ini berada dalam suasana haru bercampur gembira. Dan kini Garuda Mata Satu-lah
yang lebih dulu melepaskan rangkulannya. "Aku membawa berita yang tidak
menyenangkan untukmu. Puspa," ujar Garuda Mata Satu hati-hati.
"Sebenarnya, aku tidak ingin menyampaikannya sekarang, karena takut
mengganggu suasana pertemuan ini."
"Apakah itu berita
mengenai Ki Kartugi, Ayah?" terka Puspa Kenaka.
Seketika itu pula wajah Garuda
Mata Satu berubah. Tapi dengan pasti walaupun lambat-lambat, kepalanya
terangguk untuk membenarkan dugaan putrinya.
"Aku sudah tahu, Ayah. Ki
Kartugi telah tewas bukan?" kata Puspa Kenaka lagi.
"Heh?! Dari mana kau
tahu, Puspa?" tanya Garuda Mata Satu tanpa menyembunyikan perasaan
kagetnya.
"Aku melihat semua
kejadian yang berlangsung sampai beliau tewas. Semula, aku ingin berada di
sampingnya sebelum menghembuskan napas terakhir. Tapi saat itu, aku baru tahu
kalau yang berdiri di sampingnya adalah Ayah sendiri. Padahal, aku tengah
membencimu. Jadi, aku hanya bisa menatap dari kejauhan dengan hati menyesal."
"Heh?!" untuk yang
kesekian kalinya Garuda Mata Satu tersentak kaget "Kau membenciku?
Mengapa, Puspa?"
"Karena Ayah tidak pernah
sudi menjumpaiku!" tandas Puspa Kenaka, keras. Tampak jelas nada
kepenasaran dalam ucapan, tarikan wajah, dan sorot matanya. "Ayah tidak
mengakuiku sebagai anak."
"Kau keliru, Puspa!
Justru karena menyayangimu, aku menitipkanmu pada Ki Kartugi. Dia adalah
sahabat baikku. Maksudku, agar kau tumbuh menjadi anak baik. Aku khawatir akan
perkembanganmu, kalau kau tinggal bersamaku," jelas Garuda Mata Satu
panjang lebar.
Puspa Kenaka kontan terdiam.
Jawaban yang diberikan Garuda Mata Satu tidak berbeda dengan jawaban Ki Kartugi
ketika hal itu ditanyakannya.
Dan sekarang baru disadari
kalau alasan itu ada benarnya. Ayahnya adalah seorang kepala perampok! Meskipun
kepala perampok yang berbeda dengan perampok lain, tapi tetap saja
lingkungannya kasar.
"Ah! Kiranya kau ayah
Puspa Kenaka, Ki. Maaf. Kami secara tidak sengaja mendengarkan pembicaraan
kalian," kata Arya, sambil tersenyum lebar.
Di sebelah pemuda berambut
putih keperakan itu berdiri Melati. Rupanya,
gadis berpakaian putih ini
telah sembuh dari pengaruh racun yang
bersemayam dalam tubuhnya.
"Heh?! Jadi kalian telah
saling mengenal rupanya?!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah gembira.
Ditatapnya wajah putrinya, Melati, dan Arya berganti- ganti. "Di antara
sahabat, tidak usah banyak peradatan. Ceritakan, bagaimana kau bisa bersahabat
dengan pemuda dan pemudi yang gagah dan cantik ini, Puspa."
"Merekalah yang menyelamatkan
nyawaku, Ayah," jelas Puspa Kenaka.
Kemudian secara singkat,
diceritakan semua kejadiannya.
Garuda Mata Satu
mengangguk-anggukkan kepala ketika Puspa Kenaka menyelesaikan ceritanya.
"Jadi, dugaanku sama
sekali tidak keliru. Kau adalah Dewa Arak! Ah!
Bagaikan mimpi saja bisa
bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan seperti dirimu, Dewa
Arak!"
"Ah! Kau terlalu
berlebihan, Ki," ucap Arya malu-malu. "O, ya. Boleh aku bertanya
sesuatu padamu, Ki?"
'Tentu saja boleh, Dewa Arak!
silakan, jangan malu-malu!"
"Begini, Ki. Aku hanya
ingin bertanya dua hal. Pertama, mengapa Mata Malaikat sepertinya sangat
memerlukan dirimu. Yang kedua, apakah kau tahu tujuan Mata Malaikat sehingga
demikian banyak memiliki anak buah. Kau
telah mendengar sendiri cerita Puspa Kenaka, kalau mereka berbondong- bondong
menuju ke arah barat. Entah apa yang akan dilakukan."
Garuda Mata Satu tidak
langsung menjawab pertanyaan itu, dan sebaliknya
malah menghela napas berat.
Seakan-akan, ada sesuatu beban yang menghimpit batinnya.
"Begini, Dewa Arak. Mata
Malaikat memang mempunyai keinginan besar. Dia ingin menjadi raja. Dan yang
lebih gila lagi, yang diinginkannya adalah sebuah kerajaan besar! Untuk itulah,
banyak tokoh aliran hitam ditundukkannya untuk dijadikan anak buah."
Laki-laki bermata satu ini
menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Kerajaan terbesar di
wilayah barat ini adalah Kerajaan Mandau. Sementara, aku adalah bekas pengawal
khusus Kerajaan Mandau. Jadi, dia bermaksud memperalat diriku, apabila kelak
kekuatannya telah cukup untuk menyerbu Kerajaan Mandau. Sebagai seorang
pengawal khusus, tentu saja aku tahu seluk-beluk Istana Mandau."
"Lalu, mengapa kau bisa
menjadi kepala perampok, Ki?" celetuk Melati. "Karena, waktu itu kerajaan dipimpin
seorang raja yang lalim dan hanya
mementingkan diri
sendiri. Di mana-mana
terjadi kelaparan, sementara raja dan para pejabat istana
enak-enakan menghambur-hamburkan makanan. Kekacauan dan penindasan terjadi di
mana-mana," jawab Garuda Mata Satu berapi-api. Rupanya, dia teringat
kembali akan kejadian masa lalu. "Lama- lama, aku tidak tahan. Aku kabur
meninggalkan istana sambil membawa anakku yang waktu itu berusia tujuh tahun.
Anakku kutitipkan pada seorang sahabatku. Sedangkan aku lari ke hutan menjadi
kepala rampok. Dan juragan- juragan kaya dan pelit adalah sasaranku."
Garuda Mata Satu menelan liur
untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
"Jabatan kepala perampok
pun tidak bisa kupertahankan, ketika seorang yang berjuluk Mata Malaikat
datang. Dia memintaku menjadi anak buahnya. Dan tentu saja permintaannya
kutolak. Bahkan aku sampai marah besar. Pertarungan antara kami pun terjadi.
Tapi, ternyata kepandaiannya sangat tinggi. Hanya dalam beberapa gebrakan, aku
berhasil dikalahkan. Lalu, dia menyuruhku menjadi anak buahnya."
"Dan kau menolaknya,
Ki?" tanya Dewa Arak.
"Benar. Karena, Mata
Malaikat mempunyai keinginan yang mengerikan. Rakyat akan jadi korban, bila
rencana gilanya dilaksanakan," desah Garuda Mata Satu penuh nada prihatin.
"Tapi bukankah raja dan
pejabat Kerajaan Mandau sewenang-wenang?
Lalu mengapa kau masih setia padanya dan tidak menerima tawaran Mata Malaikat
untuk menjadi anak buahnya?!"
"Kau keliru, Dewa Arak.
Raja dan pejabat Kerajaan Mandau yang sekarang, jauh berbeda dengan yang dulu.
Raja yang sekarang adil, dan memperhatikan kesejahteraan rakyat," sanggah
Garuda Mata Satu lagi.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Kalau begitu, sebelum
kau berhasil ditemukan, Kerajaan Mandau tidak akan diserbu, Ki?" tanya
Arya.
"Benar. Kalau menurut
pendapatku, Mata Malaikat pasti menyerbu
kerajaan kecil dan kadipaten
lebih dulu "
"Kalau demikian, kami
pergi dulu, Ki, Puspa ! Ayo Melati!"
Tanpa menunggu jawaban Garuda
Mata Satu dan Puspa Kenaka, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Di
belakangnya, Melati mengikuti. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh
mereka telah lenyap ditelan kejauhan.
Benarkah Mata Malaikat dan
rombongannya tengah menyerbu kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten? Apakah tokoh
yang memiliki sepasang mata mengerikan itu masih mengejar-ngejar Garuda Mata
Satu? Bagaimanakah kesudahan keinginannya? Berhasilkah Kerajaan Mandau
dikuasai? Bagaimana Dewa Arak harus menanggulangi masalah besar ini. Untuk
jelasnya, silakan ikuti serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode
"Tawanan Datuk Sesat".
SELESAI