Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 4

Seri Thian San-05: Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 4
Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 4 

Kudengar suara gaduh dan gedebukan yang ramai diluar kiranya kawanan rampok itu saling pukul dan genjot-genjotan dengan seru. Ternyata dua rampok yang datang duluan bukan tandingan dua rampok datang belakangan, mereka akhirnya lari."

"Apa kau melihat wajah kedua rampok yang datang belakangan?" tanya In San.

Ibu Siau-cu-cu menutur: "Saking kaget aku jadi kebingungan, aku hanya bisa mengintip dari sela-sela pintu, mana bisa kulihat jelas? Tapi satu di antaranya kelihatan masih muda, mirip anak sekolahan, setelah memukul lari kedua orang itu, dia berdiri di depan pintu dan berkata: "Lo-mama (ibu tua) kau tak usah takut, kami tidak akan mencelakai putramu. Tapi kedua ekor kuda ini akan kami ambil. Disini kutinggalkan seratus tahil perak, nanti, boleh keluar mengambilnya. Lekas kau tolong putramu."

Maka Siau-cu-cu menyambung: "Entah berapa lama aku semaput, tiba-tiba terasa sekujur badan dingin nyaman, seketika aku siuman, samar-samar sempat kulihat ada dua bayangan orang berdiri di depanku, aku hanya mendengar perkataannya."

"Apa yang dia katakan kepadamu?" tanya In San.

"Dia membisiki aku: 'Kau tak usah kuatir, aku sudah memoles obat di dadamu, kutinggalkan pil obat pula, yakin setelah kau menelan pil obat ini kesehatanmu akan lebih kuat dan fit.' Sebelum pergi perampok ini ternyata masih berpura-pura baik di hadapanku, katanya pula: "Malam ini bikin kau menderita sungguh harus disesalkan. Aku mohon maaf padamu, rawatlah luka-lukamu dengan baik,' lalu dia naik ke punggung kuda tinggal pergi temannya."

Tan Ciok-sing masih ragu-ragu katanya: "Orang itu memang tidak ngapusi, dia memberi obat paling mujarab untuk kau."

Ibu Siau-cu-cu bercerita pula: "Waktu aku membuka pintu dan keluar, betul juga kulihat sebungkus uang perak, Siau-cu-cu suruh aku kembalikan kepada orang itu, tapi orang itu sudah keburu pergi."

Siau-cu-cu berkata: "Aku justeru tidak percaya ada rampok sebaik itu maka aku bersihkan salep yang dipoleskan di dadaku. Siapa kira ternyata dia betul menolong jiwaku. Tapi kenapa dia merebut kudamu?"

"Akupun tak tahu sebab musababnya. Tapi rampok memang beraneka ragam, pelajar yang kau temui ini umpama betul adalah rampok, dia boleh terhitung rampok yang baik hati."

"Betul, kalau dia seorang rampok yang baik hati, karena Siau-cu-cu terluka dia merasa menyesal, maka memberinya uang dan obat, kalau demikian sepantasnya dia memberi tahu apa tujuannya merampas kuda itu. Siau-cu-cu coba kau pikir lagi lebih cermat, mungkin masih ada kata-kata yang kau lupakan?"

Agaknya Siau-cu-cu menjadi kikuk dan kuatir pula, katanya: "Sebelum rampok itu pergi, dia memang ada berpesan kepadaku, tapi aku, aku kuatir kau tertipu oleh rampok itu, maka tak berani aku menyampaikan pesannya itu."

"Aku takkan gampang ditipu orang," bujuk Tan Ciok-sing, "apa pesannya lekas kau beritahu kepadaku."

"Dia bilang: 'Temanmu mungkin besok pulang, beritahu kepadanya, kalau dia ingin tahu kenapa aku merebut kuda tunggangannya, boleh suruh dia pergi ke panggung batu di atas Cit-sing-giam menemui aku besok malam setelah kentongan ketiga.'"

"Syukurlah kalau begitu," ucap Tan Ciok-sing, "besok malam aku akan tahu siapa dia sebenarnya."

"Tapi dia menekankan, besok malam hanya kau seorang saja yang boleh kesana. Kalau ada orang lain lagi, dia tidak akan menemui kau," demikian Siau-cu-cu menambahkan.

Hari kedua Tan Ciok-sing bawa Siau-cu-cu dan ibunya bertandang ke rumah keluarga In, kemarin In Ih sudah bertemu dengan Kek Lam-wi diapun sudah tahu akan pesan gurunya bahwa gurunya bakal menerima seorang murid baru lagi maka dia terima Siau-cu-cu dan ibunya tinggal di rumahnya.

Setelah makan siang Tan Ciok-sing segera memohon diri. Kalau orang itu berjanji akan menemui pada kentongan ketiga, tapi kentongan kedua dia sudah datang lebih dini ke Cit-sing-giam.

Panggung yang ditunjuk terletak di belakang karang Cit-sing-giam, didalam gua karang Cit-sing-giam terdapat sebuah mulut gua, dari sini bisa langsung menuju ke panggung batu itu. Tapi penduduk setempatpun jarang yang tahu akan rahasia ini. Sejak kecil Tan Ciok-sing sering bermain di Cit-sing-giam, dengan memejam matapun dia tidak akan kesasar jalan. Lorong gelap ini dahulu sering dia bermain petak dengan Siau-cu-cu dan secara kebetulan mereka temukan jalan tembus rahasia ini.

Walau dia yakin orang itu tidak akan mencelakai dirinya, tapi waspada tiada ruginya, maka untuk menjaga segala kemungkinan dia berkeputusan untuk mencari suatu tempat sembunyi, sekaligus untuk mengamati gerak gerik orang. Dia naik tidak dari arah depan, karena jejaknya mungkin bisa konangan, maka dia putar ke belakang, dari sini diam-diam dia berbalik dapat memeriksa keadaan sekelilingnya, apakah orang ada mengatur perangkap.

Baru saja kentongan kedua lewat, dia kira orang itu belum datang. Tapi rekaannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, di waktu dia menongol keluar dari mulut lobang, lapat-Iapat sudah dilihatnya dua bayangan orang berada di atas panggung batu itu, dua orang ini sedang bicara.

Ciok-sing sembunyi di belakang batu didengar seorang berkata: "Siauya sungguh aku tak mengerti kenapa kau berbuat demikian?"

Suaranya seperti sudah dikenal, baru saja Tan Ciok-sing melenggong, orang yang dipanggil Siauya itu menghela napas, katanya: "Tan Ciok-sing adalah orang baik, walau baru sekali aku bertemu dan bersahabat dengan dia, dalam lubuk hatiku aku sudah anggap dia sebagai teman karibku."

Suara orang ini lebih dikenal lagi, keruan Ciok-sing kaget, batinnya: "Kenapa dia?" segera dia mengamati lebih tajam, memang tidak salah orang yang berdiri di atas panggung dan kebetulan menghadap kemari itu, bukan lain adalah Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli. Yang berdiri di sampingnya adalah kacungnya. Waktu mampir ke Tayli tempo hari.

Tan Ciok-sing pernah melihatnya juga.

Agaknya kacung cilik ini uring-uringan, katanya dengan meninggikan suaranya: "Siauya, maafkan kalau aku bicara blak-blakan umpama betul kalian bersahabat baik, apakah pantas kau menyerahkan nona pujaan hatimu kepadanya begitu saja."

Siau-ongya Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Kau tidak tahu, hubungan Tan Ciok-sing dengan keluarga In bukan sembarangan, didalam pandangan nona In, sudah tentu dia lebih dekat dan mesra dari aku."

"Aku tidak percaya keluarga Toan dan keluarga In juga sudah berhubungan turun menurun, sejak kecil Siauya juga dibesarkan bersama nona In, hubungan kalian lebih intim dari saudara sepupu. Bagaimana tidak sebanding dengan bocah she Tan itu."

"Jangan kau kurang ajar terhadap Tan-siangkong. Kau tidak tahu, jangan sembarang ngomong."

"Memang aku tidak tahu, tolong kau jelaskan kepadaku."

"Hal itu juga baru akhir-akhir ini kuketahui, memang keluarga Toan kita punya hubungan intim sejak kakek moyang dengan keluarga In, tapi Tan Ciok-sing adalah tuan penolong keluarga In."

"Umpama betul tuan penolong, Siauya kau bisa wakilkan nona In membalas budi kebaikannya itu, tapi kenapa mentah-mentah kau serahkan nona In kepada bocah she Tan itu, memangnya kau tidak menyukai nona In lagi? Siauya, kau bisa mengelabui orang lain, tapi jangan kau ngapusi aku, aku tahu selama beberapa tahun yang kau tunggu hanyalah nona In seorang."

Toan Kiam-ping menghela napas, ujarnya: "Yang disukai nona In justeru adalah Tan Ciok-sing."

"Dari mana tahu? Setiba disana, kau kan belum bertemu nona In."

"Aku pernah melihatnya, kemarin waktu di Kwan-san aku sudah melihat mereka. Aku tahu dia amat menyukainya."

"Apakah nona In sendiri yang mengatakan kepadamu?"

"Kenapa harus dia memberitahu kepadamu, memangnya aku tidak bisa melihatnya."

"Kalau begitu, itu hanya rekaanmu saja Siauya, yang benar malam ini seharusnya kaupun undang nona In kemari, tiga orang berhadapan bukankah lebih baik dari pada main teka teki? Siauya, kalau kau tidak berani tanya kepada nona In biar aku yang tanya dia."

"Banyak urusan, memangnya kau sedikitpun tidak tahu akan penderitaanku."

"Siapa bilang aku tidak tahu? Aku tahu kau ingin berbuat baik terhadap teman, aku tahu kau ingin merangkap perjodohan mereka, aku juga tahu kau kepingin bertemu dengan nona In tapi juga takut berhadapan dengan nona In."

Mendengar sampai disini tanpa terasa Tan Ciok-sing menjublek di tempatnya, pikirnya: "Jika orang yang sembunyi di Kwan-san itu kiranya memang dia. Kedatangannya ke Kwi-lin tentu ingin menengok In San, tapi lantaran kehadiranku disini, dia lebih rela berkorban. Ai, bagaimana baiknya aku bertindak?"

"Siauya," terdengar kacung itu berkata pula: "Ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui."

"Hal apa?"

"Ling Suhu pernah memberitahu kepadaku. Waktu kalian masih kecil, suatu ketika In Tayhiap bertandang ke rumah kau, waktu bicara dengan Lo-ongya dia bilang dia hanya punya seorang putri, harapannya kelak putrinya bisa hidup tentram dan bahagia, jangan seperti dirinya yang hidup kelana di Kangouw, selalu harus menempuh dan menyerempet bahaya. Waktu itu Ling Suhu ada di samping, setengah kelakar dia menyeletuk. Kalau demikian lebih baik kalau putrimu kelak dinikahkan dengan Siau-ongya kita ternyata In Tayhiap dan Lo-ongya punya maksud yang sama. Tapi lantaran waktu itu usia kalian masih terlalu kecil, maka soal jodoh ini tidak seketika diputuskan secara resmi."

"Lain dulu lain sekarang, Umpama betul dulu In Tayhiap punya maksud itu, bukan mustahil belakangan dia merubah niatnya. Apalagi soal jodoh ini belum resmi?"

Tiba-tiba kacung itu bertanya: "Siauya, kenapa malam ini kau tidak minta Ling Suhu menemani kau?"

"Aku suka kau yang menemaniku, apa kau tidak sudi?"

"Sudah tentu aku senang hati, tapi coba biar kutcbak isi hatimu, malam ini kau tidak berani mengajak Ling Suhu lantaran kau takut Ling Suhu mencegah perbuatan bodohmu. Bukan mustahil begitu berhadapan dengan Tan Ciok-sing, dia bakal memaki dan menistanya sebagai pemuda mata keranjang yang tidak tahu diri seperti kodok buduk yang ingin mencaplok daging bangau saja"

Toan Kiam-ping marah serunya: "Mana boleh kau mengundal obrolan tidak genah begini, merendahkan martabat Tan-siangkong saja memangnya kau sudah lupa akan pesanku? Berani sembarang omong lagi awas kugampar mulutmu."

Sejauh ini pembicaraan mereka, maka persoalanpun sudah gamblang, ternyata dari mulut Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu,

Toan Kiam-ping tahu jejak mereka, maka sengaja dia menyusul ke Kwi-lin. "Maka rampok baik hati semalam merampas kuda putih di rumah Siau-cu-cu kini sudah jelas adalah perbuatan Siau-ongya ini, sementara seorang temannya lagi adalah Cong-kau-thau dari rumah keluarga Toan, yaitu Ling Suhu, bukan heran kedua gembong iblis itu bukan tandingan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.

Setelah tahu duduknya persoalan, hati Ciok-sing jadi risau, resah dan ruwet, darah seperti bergolak dalam tubuhnya "Kacung itu memaki aku sebagai kodok buduk, ai, tak bisa disalahkan kalau dia memakiku demikian, kalau aku dibanding Siau-ongya memang tidak setimpal menjadi pasangan putri In Tayhiap."

Syukur hembusan angin malam pegunungan yang sepoi-sepoi dingin menyegarkan otak Tan Ciok-sing, kembali dia membatin: "Toan Kiam-ping memandangku sebagai sahabat karib, suka rela berkorban dan menyerahkan nona pujaannya kepadaku, begitu luhur budinya, sungguh aku patut menyesal dan malu diri, bagaimana aku harus bertindak?"

Didengarnya kacung itu sedang berkata pula: "Siauya, bukan aku suka ceriwis, kau begini baik terhadap Tan Ciok-sing, tapi dia justru berbuat salah kepadamu."

"Omong kosong, dalam hal apa dia berbuat salah terhadapku?" Semprot Toan Kiam-ping.

"Kau suruh dia mengirim kabar kepada nona In, berarti kau mempercayainya, tapi dia justeru merebut kekasihmu."

"Dia menolong nona In sebelum aku minta dia mengirim suratku itu."

"Memang, kau menganggapnya teman yang dapat dipercaya, tapi dia justeru menyembunyikan hubungan akrabmu dengan keluarga In,.dapatkah ini dikatakan dia menganggap kau sebagai temannya? Hm, yang jelas dia tahu bahwa kau diam-diam mencintai nona In."

Berkerut alis Toan Kiam-ping, katanya: "Kularang kau rasani Tan-siangkong."

"Begini tidak boleh, begitu juga dilarang, baiklah terpaksa mulutku biar bungkam saja. Ai, Siauya, kalau kau rela berbuat sebodoh ini, ya akupun apa boleh buat."

Toan Kiam-ping menengadah, tampak rembulan sudah meninggi di tengah angkasa, katanya: "Sudah mendekati kentongan ketiga, turunlah kau menjaga di bawah." Kini tinggal Toan Kiam-ping seorang yang berdiri di atas panggung batu, kini rembulan sudah tepat di tengah angkasa, tepat tiba kentongan ketiga.

Tan Ciok-sing masih bimbang apakah dia perlu keluar menemui Toan Kiam-ping. Persoalan kuda putih sudah jelas. Isi hati Toan Kiam-ping sudah dia ketahui. Perlukah dia keluar menemuinya pula?

Agaknya Toan Kiam-ping sudah tidak sabar dan tampak gelisah, dia celingukan kian kemari sambil mondar mandir menggendong tangan, mulutnya terdengar menggumam: "Kenapa belum datang juga? Apakah dia curiga dan kuatir musuh mengatur perangkap hendak mencelakai jiwanya? Atau di tengah jalan dia mengalami sesuatu?"

Tan Ciok-sing tetap mendekam di semak belukar di belakang batu, dia tetap tak kuasa mengambil keputusan.

Mendadak muncul sesosok bayangan dari lamping gunung sana, berlari kencang, tujuannya adalah panggung batu di atas Cit-sing-giam, dilihat gerak geriknya ternyata ginkangnya tidak lemah.

Terdengar Toan Kiam-ping menghela napas lega, katanya: "Nah, akhirnya datang juga."

Sudah tentu Tan Ciok-sing keheranan, "Siapakah yang datang?"

Cepat sekali orang ini sudah melejit ke atas panggung batu, begitu melihat yang datang ini bukan Tan Ciok-sing, sesaat Toan Kiam-ping jadi menjublek, bentaknya: "Siapa kau."

Orang itu menjawab: "Aku mengantarkan surat Tan Ciok-sing. Siapa kau?"

"Akulah Toan Kiam-ping dari Tayli, kau, kau ini..."

"Hah, kiranya Siau-ongya dari Tayli. Kalau Tan-siangkong tahu akan dirimu, tak usah dia suruh aku kemari."

"Jadi kau, adalah teman Tan-siangkong, tolong tanya siapa she dan namamu?"

"Aku adalah murid tertua dari It-cu-king-thian, namaku In Ih..."

"Jadi kau ini In Ih?" Toan Kiam-ping menegas heran, walau dia belum pernah ketemu In Ih, tapi dia tahu kalau In Ih baru berusia tiga puluhan tapi laki-laki ini berusia empat puluhan lebih.

"Aku pesuruh dari keluarga In. Tan-siangkong tinggal di rumah kami, kejadian hari ini sudah dia sampaikan kepada majikan kami. Maka majikan kami membujuknya supaya tidak usah datang, maka Tan-siangkong menulis sepucuk surat suruh aku mengantar kemari, tapi aku bukan teman Tan-siangkong lho."

Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah hendak menerobos keluar membongkar omongan bohong orang ini, tapi setelah mendengar kata-kata orang terakhir, dia jadi ragu-ragu dan merandek. Batinnya: "Mungkin Siau-cu-cu kuatir aku menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan pesanku dia memberitahu In Ih meminjam namaku menyuruh pembantunya kemari mengirim surat itu?"

Toan Kiam-ping memang sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing, In San, Siau-cu-cu dan ibunya siang tadi sudah pindah kerumah keluarga In, bahwa belakangan Tan Ciok-sing sudah keluar dari rumah kediaman keluarga In ternyata belum diketahui olehnya. Orang ini mengaku pesuruh keluarga In, ternyata dia kena ditipu begitu saja.

Dengan rasa kecewa Toan Kiam-ping berkata: "Ternyata begitu. Baiklah kau serahkan surat itu kepadaku," waktu Toan Kiam-ping membuka sampul surat dan membeber kertas putih didalam sampul, ternyata melulu kertas putih belaka tanpa tulisan sehurufpun. Karuan Toan Kiam-ping melongo, tanyanya: "Apa maksudnya ini?" mendadak dirasakan jari-jarinya linu dan pati rasa, sekejap saja telapak tangannya juga gatal-gatal rasanya tidak karuan.

Pada saat dia kaget dan melongo inilah orang itu mendadak tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba tangannya terayun.

Begitu mendengar gelak tawa orang, seketika Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, saking kaget seketika dia berjingkrak berdiri.

Tadi orang itu mengaku sebagai pesuruh keluarga In, Tan Ciok-sing masih belum berani memastikan palsu atau tulen, setelah mendengar gelak tawa orang, segera dia tahu akan kepalsuannya malah seketika pula dia tahu siapa sebenarnya orang ini. Kiranya di kala menghadapi sesuatu yang memuaskan dirinya, orang ini bergolak tawa tanpa menggunakan suara palsu lagi, sehingga keasliannya terunjuk diluar sadarnya.

Siapakah laki laki ini? Dia bukan lain adalah Tok-liong-pangcu Thi Khong. Thi Khong memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan mahir menyamar lagi, In Ih sudah berulang kali berpesan wanti-wanti supaya Tan Ciok-sing berhati-hati bila menghadapinya.

Tak duga bukan Tan Ciok-sing yang kena bokong, tapi Toan Kiam-ping lah yang kecundang oleh kelicikan orang. Begitu tahu bahwa orang yang memalsu pesuruh dari rumah keluarga In ini adalah Thi Khong, sudah tentu secara reflek Tan Ciok-sing lantas teringat akan permainan keji dan jahat orang yang suka membokong dengan senjata beracun. Begitu orang itu mengayun tangan, Tan Ciok-sing segera berteriak: "Awas Toan-heng senjata rahasia," berbareng diapun mengayun tangan, menimpuk sebutir batu dengan kekuatan Sian¬ci-sin-thong.

Begitu orang itu mengayun tangan, tujuh bintik sinar bintang seketika melesat keluar. Senjata rahasia yang dia timpukan ini adalah Bwe-hoa-ciam yang sudah dilumuri racun jahat. Untung Tan Ciok-sing sempat memberi peringatan, dalam detik-detik yang gawat itu Toan Kiam-ping lekas membalik tubuh sambil mengebas lengan baju. Maka terdengarlah suara mendesis ramai, enam dari tujuh batang jarum itu kena disampuk jatuh berhamburan, tapi ada sebatang lagi yang mengenai tubuhnya.

Ternyata kertas surat yang blanko itu juga sudah dibubuhi racun, jari tangan Toan Kiam- ping sudah berlumuran racun, maka dalam sekejap lengannyapun sudah linu pegal dan tak mampu bergerak lagi. Sudah tentu tenaganya menjadi banyak berkurang, sehingga jarum terakhir susah untuknya meluputkan diri.

Sekilas menarik napas, mendadak Toan Kiam-ping putar balik seraya membentak: "Ternyata kau adalah Thi Khong, hm, kepandaian kroco yang rendah dan hina dari Tok-liong-pang seperti ini memangnya dapat berbuat apa terhadap diriku."

Jentikan batu Tan Ciok-sing diselentikan dari jarak seratusan langkah, daya luncurnya ternyata mengandung deru kencang. Tersipu-sipu Thi Khong melompat menyingkir namun batu itu menyerempet pundaknya, rasanya pedas dan sakit, untung tidak tersambit telak.


Tapi walau dia terhindar dari samberan batu dari jarak ratusan langkah ini, tak luput dia termakan oleh tamparan telapak tangan Toan Kiam-ping yang berdiri di depannya. Seperti diketahui ilmu silat keluarga Toan di Tayli telah turun, temurun sejak beberapa ratus tahun diwariskan secara murni, sejak ratusan tahun yang lalu jago-jago silat dari keluarga Toan di Tayli cukup menonjol dan tinggi pamornya, Toan Kiam-ping tidak ketinggalan memperoleh warisan ilmu silat leluhurnya, maka bekal kepandaiannya sekarang

sesungguhnya tidak rendah. Meski dia sudah terkena racun, namun tamparan telapak tangannya ini ternyata membikin kulit muka Thi Kong pecah dan terluka serta membengkak besar, darah tercampur dengan ingus bertetesan, kulit mukanya membengkak hijau dan biru.

Diam-diam Toan Kiam-ping sendiri mencelos hatinya, pikiraya: "Ternyata aku sudah tak becus lagi, tamparanku tadi ternyata tak mampu merobohkan keparat keji ini."

Sudah tentu Thi Khong sudah angkat langkah seribu, mulutnya masih sempat bersiul, agaknya dia mengirim tanda kontak dengan kamrat-kamratnya.

Secepat terbang Tan Ciok-sing memburu tiba di samping Toan Kiam-ping, kebetulan Toan Kiam-ping limbung hampir jatuh lekas dia memapahnya, tanyanya gugup: "Bagaimana keadaanmu Toan-heng?"

"Tidak apa-apa Thi Khong pasti membawa begundalnya, tolong lekas kau gebah mereka, jangan sampai kacungku di bawah sana dicelakai mereka," maklum sejak kecil kacung itu sudah meladeni dirinya, bukan saja rajin bekerja diapun amat setia, maka selama ini dia melindunginya seperti adik kandung sendiri.

Pada saat itu didengarnya kacungnya berteriak minta tolong dan menjerit kaget. Ternyata kacungnya itu memang kepergok oleh kawanan penjahat.

Tak sempat bicara lagi lekas Tan Ciok-sing jejalkan sebutir pil penawar racun ke mulut orang, katanya: "Baik, segera aku menolongnya."

Baru saja kacung cilik itu berteriak maka dilihatnya seorang Hwesio gendut menubruk ke arah dirinya, Hwesio gendut ini bukan lain adalah murid murtad Siau-lim-si yang bergelar Hoat-khong, di kalangan Kangouw orang memanggilnya Thi-ciang Siansu. Kedatangan-nya hendak membantu Thi Khong, sebetulnya dia tidak perlu hiraukan seorang kacung cilik, tapi karena kacung itu berteriak, kebetulan mencegat jalan majunya pula, maka sambil lalu dia ayun tongkat besinya hendak membunuh kacung cilik ini. Tak nyana tongkat besinya ternyata menyambar angin, kembali dia ulur tangan mencengkram ternyata gagal pula.

Maklum sejak kecil kacung ini ikut Toan Kiam-ping latihan silat, pertama ginkang yang dia yakinkan ternyata lebih menonjol dari pelajaran silat lain yang pernah dia pelajari. Beruntun dua kali dia berhasil mengegos dari serangan Hwesio gendut, tapi serangan ketiga jelas tak mungkin lolos lagi. Baru saja dia melompat berdiri, tumit kakinya tahu-tahu sudah tercengkram oleh Thi-ciang Siansu.

Pada saat itulah mendadak Thi-ciang Siansu merasakan datangnya sambaran angin tajam dari arah belakang, sebagai ahli silat, kupingnya cukup tajam pula, dia tahu sebilah pedang tahu-tahu sudah menuding tiba di punggungnya.

Di kala jiwa sendiri terancam bahaya, sudah tentu dia tidak hiraukan jiwa kacung cilik lagi, sekenanya dia melempar tubuh orang lalu setangkas kera dia melompat maju setombak lebih seraya memutar tongkat menyapu ke belakang dengan jurus bertempur di empat penjuru angin.

"Trang" benturan keras menimbulkan percikan kembang api, pedang lawan hakikatnya tidak terbentur jatuh oleh tongkatnya yang besar dan berat, malah mengikis turun menabas jari-jarinya yang memegang tongkat.

Siapa gerangan yang memiliki ilmu pedang setinggi dan seliehay ini? Sudah tentu Thi-ciang Siansu amat kaget, lekas dia tekan tongkat serta menggiringnya ke pinggir, sementara kakinya melompat pula tiga kaki ke samping, baru dia menoleh dan melihat musuhnya, ternyata pemuda yang pernah dilihatnya di tempat kuburan In Hou dan Tan Khim-ang belasan hari yang lalu. Malam itu dia bersama Thi Khong, Siang Po-san, Phoa Lat-hong berempat menempur Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, akhirnya mereka dikalahkan dan ngacir. Kini meski hanya Tan Ciok-sing seorang saja, tapi diapun hanya sendirian, betapa pun besar nyalinya, bagaimana juga dia tidak berani melabrak Tan Ciok-sing, tanpa banyak pikir lekas dia putar badan terus lari turun gunung.

Waktu Tan Ciok-sing lari balik menengok keadaan kacung cilik itu, tampak kacung cilik ini terlempar tinggi ke udara, tapi di tengah badan terapung itu dia mampu jumpalitan seperti burung dara, gerakan ini sekaligus memunahkan daya lemparan keras lawan, sehingga tubuhnya melayang turun lebih lambat dan enteng, waktu kedua kakinya hinggap di bumi ternyata dia mampu berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.

Walau tidak terluka tapi telapak kakinya terasa pedas dan sakit, waktu dia menunduk pergelangan kakinya ternyata berjalur lima jari warna hitam seperti dicap saja, tanpa merasa dia merinding dan mencucurkan keringat dingin.

"Adik cilik," kataTan Ciok-sing, jangan takut, mari kuberi obat,'.'

Teringat akan kata-katanya yang memburukkan orang, tak terasa kacung cilik ini menjadi malu dan haru, katanya menyesal: "Tan-siangkong, banyak terima kasih akan pertolonganmu, aku, aku tadi justru melakukan perbuatan tercela atas dirimu."

Ciok-sing tersenyum:

"Istrirahatlah sebentar, aku akan ke atas memeriksa Siau-ongya."

Dilihatnya Thi-ciang Siansu sudah menyusul Thi Khong dan sama-sama lari sampai di lamping gunung, sekitarnya tiada musuh yang lain, maka dengan lega hati lekas dia kembangkan ginkang berlari ke atas panggung batu pula

Dilihatnya Toan Kiam-ping sedang duduk bersimpuh, uap putih tampak mengepul di atas kepalanya. "Oh, kau sudah kembali," kuping Toan Kiam-ping ternyata amat tajam, begitu Tan Ciok-sing tiba di atas panggung segera dia membuka mata.

"Jangan bicara dulu," kata Tan Ciok-sing, dia tahu orang sedang mengerahkan Iwekang untuk mendesak racun keluar dari dalam badannya lewat uap dan keringat, sehingga mengeluarkan bau bacin. Lekas Tan Ciok-sing tekan telapak tangan punggung orang, dengan hawa murni sendiri dia salurkan ke tubuh orang membantunya melancarkan jalan darahnya.

Pil obat yang diberikan Ciok-"sing tadi memang berkasiat untuk menawar racun, tapi untuk memunahkan racun jahat buatan Tok-liong-pangcu ini ternyata tidak membawa banyak manfaat, paling hanya menahan sementara sehingga bekerjanya racun tertunda untuk beberapa waktu lamanya. Untung Toan Kiam-ping memiliki dasar Iwekang ajaran leluhurnya, mendapat bantuan Ciok-sing lagi, hawa racun lambat laun menguap keluar badan, Ciok-sing sedikit mahir ilmu pengobatan, setelah dia memeriksa urat nadinya, terasa jiwanya sudah tidak terancam lagi, maka legalah hatinya.

Tapi denyut nadi Toan Kiam¬ ping masih lemah, darahnyapun belum normal. Dalam hati Ciok-sing membatin: "Racun dalam tubuhnya amat liehay, untuk memunahkan seluruhnya tanpa obat penawarnya yang tulen, sedikitnya memerlukan perawatan tekun dan hati-hati selama tiga bulan, maka dia perlu mendapat penjagaan dan tempat yang aman. Em, seharusnya aku harus membantunya, tapi dalam keadaan seperti ini, aku jadi kurang cocok untuk tugas ini."

Tengah dia melamun, Toan Kiam-ping sudah membuka mata, katanya: "Sudah lebih baik, Tan-heng, banyak terima kasih akan pertolonganmu, sungguh aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."

"Kau berkata demikian, berarti kau tidak menganggapku sebagai sahabat karib lagi. Jangan banyak bicara, setelah kesehatanmu pulih, kita masih banyak waktu untuk ngobrol."

"Tidak, satu hal harus kuberitahu padamu. Kuda kalian akulah yang mengambilnya sebelum sempat memberitahu padamu. Kukira kau dan nona In tidak akan kembali ke Tayli, maka aku wakilkan Kanglam Sianghiap mengambilnya supaya kau tidak usah putar balik pula," demikianlah kata Toan Kiam-ping tanpa hiraukan nasehat Ciok-sing.

Sebelum bersua kembali dengan In San, memang Ciok-sing tidak ingin pergi ke Tayli, tapi selama ini tak pernah terpikir olehnya untuk melarang In San pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping. Mendengar perkataan orang tanpa merasa dia tertawa getir, katanya: "Hal itu sudah kuketahui. Tapi, yang betul kau harus bertemu dengan nona In."

"Terus terang, aku memang amat memperhatikan In San, terhadapnya aku seperti kakak kandung yang memperhatikan adik sendiri," demikian kata Toan Kiam-ping lebih lanjut, "Ada kau yang mendampingi dia, aku sudah amat lega dan bersyukur. Bahwa malam ini aku mengundangmu kemari adalah supaya kau tahu isi hatiku, kuharap selanjutnya kau lebih baik terhadapnya," lalu dengan nada mencemooh awak sendiri dia menambahkan, "sebetulnya, sudah tentu aku harus tahu bahwa kau pasti baik terhadapnya, memangnya perlu aku berpesan kepadamu?"

Ruwet pikiran Ciok-sing, katanya: "Bicara soal nona In, aku memang ingin berunding dengan kau."

Kini giliran Toan Kiam-ping yang mencegah dia bicara. "Tan-heng, aku tahu apa yang ingin kau kemukakan, tak usah kau jelaskan lagi. Setulus hati dan sejujurnya aku memberi selamat kepada kalian, semoga kalian hidup senang dan bahagia sampai di hari tua."

Bahwa pikiran Ciok-sing ruwet, demikian pula hati Toan Kiam-ping kalut dan risau.

Di kala Toan Kiam-ping bicara, terasa oleh Ciok-sing denyut nadinya berdetak keras, hati Ciok-sing menjadi rawan dan penasaran tidak tentram.

Angin gunung menghembus lewat, seketika Tan Ciok-sing merasa dingin dan merinding, bukan lantaran dia tidak tahan dihembus angin lalu, tapi karena mendadak dia mendapat suatu akal, selama ini tak pernah dia berpikir untuk berbuat demikian, tapi sekarang dia terpaksa harus melakukan. Mendadak dia menutuk hiat-to tidur Toan Kiam-ping. Setelah menurunkan Toan Kiam-ping dan merebahkan di atas panggung, dia berdiri, dilihatnya kacung kecil itu sedang naik ke atas dengan langkah terseyot-seyot.

"Kenapakah Siauya?" tanyanya begitu melihat Toan Kiam-ping rebah di atas panggung tanpa bergerak.

"Racun di tubuhnya amat liehay, tapi kau tidak perlu kuatir, masa bahaya sudah silam, jiwanya tidak terancam lagi. Kebetulan kau datang, mari bantu aku."

"Silakan Siangkong memberi petunjuk."

"Kalian tinggal dimana? Apakah Ling Suhu ada disana?"

"Kami menyewa sebuah kamar dari rumah penduduk kampung diluar pintu barat, Ling Suhu sudah disuruh pulang. Siauya yang suruh dia pulang menunggang kuda putih."

"Luar kota pintu barat terlalu jauh. Ling Suhu sudah pulang lagi, kalau Siauyamu merawat sakitnya disini kurasa kurang leluasa."

"Akupun kuatir akan hal ini."

"Apa kau percaya padaku?" tiba-tiba Tan Ciok-sing bertanya

Kacung itu melongo, katanya: "Jiwaku dan Siauya bisa selamat berkat pertolongan Tan-siangkong, bagaimana aku tidak bisa percaya padamu?"

"Baiklah, akan kucari suatu tempat, dan akan kutitipkan seorang teman untuk merawatnya. Temanku itu bernama In Ih, murid It-cu-king-thian yang termashur itu. Dia akan mengundang tabib ternama dan terpandai di Kwi-lin untuk mengobati penyakit Siauyamu."

"Baiklah kalau begitu. Marilah sekarang kita berangkat. Biar aku gendong Siauya."

"Jangan kau membuang tenaga, biar aku yang menggendongnya."

"Tan-siangkong," kata si kacung rikuh, "bantuanmu teramat besar terhadap kami, mana boleh kau memanggul Siauya lagi?"

Tugas ini sepantasnya serahkan padaku. Kakiku sudah tidak sakit lagi."

"Kalau kau ingin membantu juga boleh, nah kau bantu memanggul harpaku saja." Ciok-sing turunkan harpanya tapi tidak langsung diserahkan, seperti ada sesuatu yang dipikirkan, mendadak dia membuka kotak harpa serta diletakkan di atas panggung batu, mulailah dia memetik senar-senar harpanya.

Sudah tentu si kacung berdiri bingung, batinnya: "Eh, ada juga seleranya memetik harpa dalam suasana seperti ini?"

Tan Ciok-sing seperti tahu isi hatinya, katanya: "Tuan mudamu sedang tidur nyenyak, lukanya tidak akan memburuk. Mungkin untuk terakhir kali inilah aku bisa memetik harpa ini."

Si kacung kaget, tanyanya: "Kenapa?"

"Tak lama lagi kau akan tahu."

Melihat rona muka orang yang kelam, si kacung tak berani tanya lagi, segera dia terima kotak harpa yang diangsurkan kepadanya Lalu dia mengintil di belakang Tan Ciok-sing yang memanggul Toan Kiam-ping.

Setiba di ujung jalan dimana terletak rumah keluarga In, hari sudah menjelang fajar. Tiba-tiba Tan Ciok-sing turunkan Toan Kiam-ping, katanya "Rumah besar dengan pintu merah di tengah jalan itu adalah rumah keluarga In, lekas kau bawa Siauyamu masuk kesana."

"Dan kau?" tanya si kacung kaget dan heran.

"Ada orang dalam rumah itu yang kenal tuan mudamu. Aku masih ada urusan ke lain tempat, aku tidak usah masuk ke rumah,"

"Sudah tiba diambang pintu, kenapa tidak masuk dulu?"

"Kau tidak tahu, begitu aku masuk, mereka tidak akan membiarkan aku pergi," melihat si kacung ragu-ragu segera dia menambahkan: "Kau tidak percaya padaku, kau kira aku mencelakai tuan mudamu?"

"Maaf, Tan-siangkong, tak pernah aku berpikir demikian."

"Nah, lekas kau panggul tuan mudamu dan pergilah ketuk pintu? Tak lama lagi, penduduk kota sudah banyak yang akan keluar pintu."

Meski curiga dan tidak habis mengerti tapi si kacung terpaksa menuruti kehendak Tan Ciok-sing. Setelah dia terima tuan mudanya serta dipanggul, Tan Ciok-sing segera putar badan terus berlalu.

"Hai, Tan-siangkong," panggil si kacung, "harpamu ini..."

"Nanti kalau tuan mudamu siuman, beritahu kepadanya, harpa ini kuserahkan sebagai kado sumbanganku," tiba-tiba langkahnya dipercepat, dalam sekejap saja dia sudah pergi dan lenyap di tikungan jalan sana.

Terpaksa si kacung panggul majikannya, dengan langkah tertatih-tatih dia beranjak kesana, akhirnya dia tiba di depan pintu besar cat merah itu serta ulur tangan mengetuk gelang tembaga di atas daun pintu sebanyak tiga kali.

Cepat sekali daun pintu sudah terpentang, yang keluar ternyata seorang gadis jelita yang berwajah lesu dan lusuh. Kaget dan girang si kacung, seketika dia menjerit girang, teriaknya: "Nona In, kiranya kau ada disini," dalam hati diapun membatin: "Tak heran tadi Tan-siangkong bilang ada orang yang kukenal ada disini."

Semalam suntuk In San tidak pernah memejam mata barang sekejap, hatinya gelisah, risau dan gugup pula menunggu kedatangan Tan Ciok-sing. Lekas In San bertanya: "Apakah yang terjadi?"

"Siauya terluka oleh senjata rahasia beracun Tok-liong-pang Pangcu, untung Tan-siangkong menolongnya, kini dia sedang tidur nyenyak. Tan-siangkong bilang, jiwanya tidak berbahaya lagi."

Sedikit lega hati In San, tanyanya: "Mana Tan-siangkong?" diam-diam dia perhatikan kotak harpa yang dijinjing si kacung.

"Dia sudah pergi," sahut si kacung cilik.

In San kaget, serunya: "Dia akan kembali pula? Harpanya ini..." — — dia tahu harpa ini adalah warisan keluarganya, maka dalam hati dia menghibur diri sendiri: "Harpanya masih ada disini, yakin dia pasti kembali lagi."

Tak tahunya jawaban si kacung justru menjadikan setitik harapannya sirna tanpa bekas: "Tan-siangkong bilang, dia hendak pergi ke tempat lain, tidak akan ke mari lagi. Harpa ini dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepada tuan muda."

Seketika In San menjublek di tempatnya, Tan Ciok-sing sudah pergi, yang ada di hadapannya sekarang adalah Toan Kiam-ping yang terluka parah, apa yang harus dia lakukan?

Dalam pada itu In Ih sudah mendengar percakapan diluar terus beranjak keluar, kebetulan dia mendengar si kacung berteriak: "Nona, kenapa kau?"

Sudah tentu In Ih ikut terkejut, tanyanya: "Siapakah orang ini nona In? Kau tidak apa-apa bukan?"

Seketika In San tersentak, katanya: "Inilah Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli, teman baik Ciok-sing. Paman In, tolong kau bantu aku merawat dia, aku hendak keluar sebentar."

"Kau hendak kemana?" tanya In Ih.

"Aku akan mencari Ciok-sing," sebelum In Ih sempat bertanya apa sebetulnya yang telah terjadi, In San sudah berlari pergi. Karuan In Ih dan si kacung sama berdiri melongo saling pandang.

Akhirnya si kacung paham duduk persoalannya. Dia maklum apa yang dikatakan majikannya memang tidak salah. "Agaknya nona In memang mencintai Tan-siangkong," sekaligus diapun mengerti apa sebabnya Tan Ciok-sing tidak mau ikut dia masuk ke rumah keluarga In pula. "Tan-. siangkong ternyata begini baik, ai, semalam aku memakinya kodok buduk, agaknya akulah yang kurang ajar dan tidak genah." Tanpa terasa hatinya menjadi hambar dan masgul, entah apakah dia mengharap In San berhasil menemukan Tan Ciok-sing- dan mengajak kembali atau lebih baik gagal saja.

Sudah tentu In San takkan bisa menemukan Tan Ciok-sing, kalau Tan Ciok-sing sengaja menyembunyikan diri, bagaimana mungkin dia bisa menyandak atau menemukan jejaknya? Jalan raya dalam kota masih sepi lengang, belum ada penduduk kota yang keluar pintu, hakikatnya dia tidak tahu ke arah mana Ciok-sing pergi? Kepada siapa pula dia harus tanya kemana juntrungan Ciok-sing?



000OOO000



Di kala In San mencari Ciok-sing ubek-ubekan ke segala pelosok kota, sementara itu Tan Ciok-sing sudah jauh meninggalkan kota Kwi-lin. Dengan hati yang tidak karuan rasanya dia menempuh perjalanan seorang diri. Harpa kuno itu dia serahkan kepada Toan Kiam-ping demi menepati janjinya sendiri, walaupun soal janji sendiri ini tidak atau belum pernah dia utarakan langsung kepada Toan Kiam-ping.

Sepanjang jalan semula dia tidak punya tujuan tertentu, tapi akhirnya dia mendapat suatu ilham: "Dalam dunia ini kini hanya Khu Locianpwe saja adalah sahabat karib kakek dan ayah yang masih hidup, dia begitu sayang dan prihatin akan diriku, kenapa aku tidak mencari dia saja? Sekaligus aku bisa memberi laporan akan keinginannya membantu It-cu-king-thian itu sudah kulaksanakan dengan baik."

Seperti diketahui warung minum Khu Ti ditutup. Tapi dia ada memberitahu kepada Ciok-sing dimana dirinya bisa ditemukan, malah pernah dia berpesan bila urusannya di Kwi-lin selesai dan kebetulau lewat diharap dia mampir ke tempat kediamannya.

Di Ong-ju-san jarak lebih dekat sekaligus lebih leluasa mencari tahu tentang berita yang terjadi di Gan¬ bun-koan. Markas besar Kim-to Cecu didirikan diluar Gan-bun-koan kedudukannya di tengah antara Tiongkok dan Watsu yang tak tercapai oleh kekuatan militer kedua negara ini.

Bila In San tidak jadi pergi ke markas Kim-to Cecu sesuai rencana semula dia akan membantu Kim-to Cecu, kalau sebaliknya meski selanjutnya dia tidak akan unjuk diri, dia bertekad akan selalu membantu gerakan laskar rakyat. Setelah mengambil keputusan, Tan Ciok-sing langsung menuju ke Ong-ju-san.

Sepanjang jalan tiada terjadi apa-apa, selama dua bulan perjalanan, akhirnya dia tiba di bawah Ong-ju-san yang terletak di perbatasan Ho-lam Shoa-say. Warung milik Khu Ti dulu sudah ambruk dan rata dengan tanah, mungkin digrebek tentara dan dibakar habis.


Khu Ti pernah memberi tahu padanya, bahwa tempat pengasingannya di Ong-ju-san terletak di puncak Jwi-whi-hong di belakang ngarai, dengan pemandangan yang mempersona. Malam itu Ciok-sing bermalam didalam hutan, semalam suntuk dia hampir tidak bisa tidur diganggu oleh pekik dan suara ribut orang-orang hutan, untung dirinya tidak diganggu. Hari kedua setelah mentari terbit baru dia beranjak lebih lanjut memanjat Jwi-whi-hong puncak tertinggi dari Ong-ju-san. Setiba di belakang ngarai betul juga ditemukan sebuah gubuk bambu, di depan gubuk tumbuh sebatang pohon cemara, demikian pula di belakang rumah juga terdapat sebuah pohon cemara, tempatnya cocok dengan apa yang pernah dilukiskan oleh Khu Ti tempo hari. Girang Tan Ciok-sing, bergegas dia maju mengetuk pintu.

Lama dia tidak mendapat jawaban, dalam rumah tiada reaksi lagi, akhirnya Tan Ciok-sing berteriak: "Khu locianpwe, aku adalah Tan Ciok-sing sengaja aku bertandang kemari."

Setelah dia menyebut nama dan menyatakan maksud

kedatangannya, suasana tetap sepi tiada penyahutan tiada reaksi apapun. Keruan timbul rasa curiga Ciok-sing, mungkinkah aku kesasar rumah ini tempat tinggal orang lain?" akhirnya dia membesarkan hati, tanpa peduli apakah dalam rumah ada penghuninya, setelah mohon permisi segera dia dorong daun pintu terus melangkah masuk.

Rumah ini kosong melompong, di tengah rumah terdapat meja kursi dan sebuah dipan, beberapa jilid buku gambar tampak berserakan di atas dipan, di dinding tergantung sebuah pigura dengan hiasan tulisan gaya kuno hasil karya Khu Ti sendiri. Tan Ciok-sing masih kenal betul gaya tulisan Khu Ti, maka dia lebih yakin bahwa gubuk ini memang tempat tinggalnya dalam pengasingan. Tapi gentong beras ternyata kosong, dalam rumah tiada rangsum lain pula, buku yang berserakan itupun dilapisi debu, jelas sudah beberapa hari lamanya Khu Ti meninggalkan rumah ini.

Tan Ciok-sing menjadi kecewa, tapi dia masih menyimpan setitik harapan, semoga Khu Ti masih tetap di bilangan pegunungan tinggi ini. "Mungkin hidupnya selalu was-was oleh gebrakan pasukan pemerintah, maka sementara dia sembunyi entah di goa mana? Atau dia sedang keluar mencari daun obat, beberapa hari baru pulang."

Dengan perasaan yang tidak keruan Ciok-sing keluar pintu lalu berdiri di pucuk sebuah batu besar, tiba-tiba dia bersuit panjang dan nyaring, setelah itu dengan suara lantang diapun bersenandung melimpahkan perasaan hatinya. Ciok-sing kerahkan Iwekangnya untuk bersenandung, semula suaranya kedengaran lembut dan jelas, tapi lama kelamaan gema suaranya mengalun keras dan meninggi seperti lambaian kain sutra yang tertiup angin diangkasa, seperti putus tapi terus menyambung, tiba-tiba rendah mendadak tinggi, suaranya laksana kumandang dari sorga bergema di atas pegunungan nan luas. Cukup lama setelah dia berhenti senandung, gema suaranya masih tetap mengalun diangkasa raya dan tersiar jauh sekali. Dia yakin bila Khu Ti ada digunung ini meski dalam jarak 10 li orang pasti mendengar suaranya. Betul juga kira-kira sesulutan dupa kemudian dia mendengar derap langkah orang. Setelah semakin dekat dia tahu yang datang ternyata bukan seorang saja.

Keruan Ciok-sing kaget, pikirnya: "Kenapa yang datang ada lima orang?"

Cepat sekali ke lima orang itu sudah muncul di hadapannya. Memang betul lima orang, tapi Khu Ti tiada di antara mereka. Empat di antara ke lima orang ini malah sudah dia kenal, mereka bukan lain adalah Huwan bersaudara. Seorang lagi adalah laki-laki kurus tinggi tampangnya aneh dan lucu, mukanya panjang seperti tampang kuda, kulit mukanya kuning seperti malam, mirip orang penyakitan. Tapi kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol besar, selintas pandang siapapun akan tahu bahwa dia seorang jago kosen yang berilmu tinggi dari aliran sesat.

Bahwa Tan Ciok-sing berada disini Huwan bersaudara juga kaget. Losam Huwan Pau segera mendekati laki kurus tinggi dan berkata padanya: "Bocah inilah yang bernama Tan Ciok-sing yang berulang kali mencari setori dengan kita. Dia sekomplotan dengan Khu Ti.

Laki-laki kurus itu mendengus hidung katanya: "Kalian bilang dia amat liehay, kiranya cuma bocah yang masih ingusan? Eh, memangnya kalian ingin aku turun tangan sendiri?" lagaknya amat-amat angkuh seolah-olah dia tidak sudi bergebrak dengan Tan Ciok-sing.


Merah muka Huwan Liong, segera dia maju membentak: '"Mana budak she In itu?"

"Ada hubungan apa nona In dengan aku, memangnya aku harus memberi laporan kepadamu. Kalau kalian cari perkara, nah urusan saja dengan aku," tantang Ciok-sing.

Legalah hati Huwan bersaudara bahwa In San tidak ikut datang, agaknya mereka sudah jeri menghadapi Siang-kiam-hap-pik. Huwan Liong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bocah angkuh, kau kira kami takut padamu. Hari ini tiada orang membantumu, jangan lari lho, tapi kau pasti takkan lolos lagi," lalu dia berpaling berkata kepada laki kurus itu, "Lenghou-siansing, membunuh ayam mana perlu pakai golok, silahkan kau orang tua saksikan saja, tolong perhatikan bila bocah ini masih ada kamrat-kamratnya yang sembunyi di sekitar sini. Biar kami bekuk bocah ini, dan kupersembahkan kepada kau orang tua."

Laki-laki kurus tinggi she Lenghou tertawa tergelak-gelak, katanya: "Umpama Khu Ti sendiri yang muncul aku juga tidak gentar. Boleh silahkan kalian labrak dia dan tidak usah kuatir."

Huwan Liong memberi aba-aba, empat bersaudara serentak mencabut pedang, masing-masing berpencar menduduki posisi sendiri, Ciok-sing terkepung di tengah kalangan. Empat pedang serempak menuding ke arah Tan Ciok-sing, namun mereka tidak segera menyerang tapi menungggu reaksi lawan muda ini. Tan Ciok-sing tahu mereka sudah membentuk barisan pedang, dengan strategis yang menguntungkan, namun Ciok-sing sedikitpun tidak jeri. Jengeknya: "Bagus sekali, coba saja buktikan undangan Giam-lo-ong diserahkan aku atau dikirim kepada kalian?" Belum rampung dia bicara, keempat musuhnya serempak bergerak, empat batang pedang membentuk sebuah jaringan sinar pedang mengurung dirinya di tengah.

Kalau satu lawan satu ke empat orang ini jelas bukan tandingan Ciok-sing. Tapi mereka memang sudah meyakinkan ilmu barisan pedang kalau sekaligus dimainkan empat orang kekuatannya sungguh amat besar.

Mencelos juga hati Tan Ciok-sing, dalam menghadapi kesulitan ini, pikirannya serta merta teringat kepada In San: "Sayang In San tak berada disini, dengan cara apa aku harus memecahkan barisan pedang mereka."

Laki-laki setengah umur kurus tinggi itu berdiri diluar gelanggang sambil menggendong tangan, sikapnya seperti tertawa tidak tertawa, lagaknya seperti tuan yang lagi menyaksikan jagonya berhantam di arena. Di samping senang dia merasa was-was, dasar licik dia berpikir: "Barisan pedang Huwan bersaudara ternyata memang cukup lihay, agaknya aku tidak perlu turun tangan," sebetulnya dia mengharap ke empat orang ini kalah, baru dirinya akan jadi lakon mengalahkan dan membekuk Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga, bukan saja dia bakal unjuk gengsi sekaligus dia hendak menekan dan menundukkan orang-orang sekoleganya. Di samping rasa was¬wasnya diapun merasa bersyukur pula, "Ilmu pedang bocah ini ternyata amat liehay pula, bila permulaan gebrak aku lantas harus menghadapinya, umpama akhirnya berhasil membekuk dia mungkin aku sendiri juga bisa menderita. Kali ini kesempatan merebut pahala memang tak bisa kuraih, namun mending juga dari pada aku menderita."

Perlu diketahui laki-laki kurus tinggi ini bernama Lenghou Yong, salah satu jago tangguh undangan Liong Bun-kong yang disogoknya, dengan harta dan pangkat untuk menjadi anak buahnya, Lenghou Yong menggantikan jabatan Ciang Thi-hu yang sudah mampus di tangan It-cu-king-thian.

"Toako," teriak Huwan Pau. "Bocah ini tak kan kuat bertahan lagi, ayo pergencar serangan tak usah takut menghadapinya."

Tak kira belum lenyap suaranya mendadak "Trang", pedang Huwan Pau hampir terlepas dari cekalannya karena benturan keras dari senjata Tan Ciok-sing. Dalam sekejap ini beruntung Ciok-sing gunakan Jong-jiu-hoat secara kilat dia balas mendesak, demikian pula telapak tangan Huwan Kiau dan Huwan Hou terasa linu pedas. Keringat seketika gemerobyos membasahi dahi, jelas kelihatan mereka sudah kerahkan setaker tenaga tapi apa daya tenaga tak sampai untuk menghadapi kekuatan lawan.

Karena tak berhasil menjebol barisan pedang lawan, terbayang oleh Ciok-sing berbagai cara untuk memecah dan membobol kepungan musuh. Waktu bertanding dengan It-cu-king-thian di Lian-hoa-hong tempo hari, memang It-cu-king-thian banyak memetik manfaatnya dari pertarungan sengit itu, tapi Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit menyelami inti sari ilmu golok tingkat tinggi.

Permainan golok It-cu-king-thian keras dan deras, tapi itu bukan berarti permainannya selalu kencang dan berat, cara yang dia anut adalah memilih kesempatan baik baru akan memberikan pukulan telak kepada lawan, kesempatan itu akan lahir di kala lawan merangsak dan tipu yang dilancarkan sudah mendapat titik terakhir, di kala tenaga yang digunakan sudah hampir habis dan akan diganti dengan jurus susulan dan tenaga akan terkerahkan pula itu, kesempatan yang terpaut sekejap inilah yang dikejarnya untuk memberikan serangan balasan yang telak, yakin usahanya umpama meleset, sedikitnya lima puluh persen pasti tercapai. Sebetulnya akal ini biasa saja, tapi untuk melaksanakan secara tepat itulah yang sukar.

Untung tiga tahun lamanya Ciok-sing menggembleng diri didalam Ciok-lin, Hian-kang-yau-hiap dan Bu-bing-kiam-hoat warisan Thio Tan-hong berhasil dia selami dan pelajari dengan nilai yang amat memuaskan, memangnya teori ilmu silat tingkat tinggi umumnya sama, oleh karena itu begitu dia sudah hafal yang satu, maka pengetahuannya menjadi luas lagi dan mudah untuk menyelami pelajaran yang lain, apalagi dalam praktek, sehingga permainannya sekarang boleh dikata cukup wajar dan lancar. Sayang dia harus menyimpan separo tenaganya siap untuk menempur laki-laki kurus yang kosen itu, kalau tidak barisan pedang Huwan bersaudara ini sejak tadi tentu sudah porak poranda.

Lenghou Yong mengerutkan kening, akhirnya dia bersuara: "Kalian mundur, biar aku menghadapinya."

Detik-detik sebelum pertempuran usai tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar tubuh, maka terdengarlah suara berdering nyaring yang susul menyusul, pedang panjang Huwan Pau dan Huwan Kiau tahu-tahu terpental terbang ke udara, sementara Huwan Liong tergentak mundur tubuhnya meliuk-liuk dan berputar beberapa kali, namun tak kuasa kendalikan tubuh sendiri, akhirnya terjerembab. Pedang Huwan Huo memang tidak terlepas jatuh, tapi mulutnya terpentang menyemburkan darah sebanyak-banyaknya.

Lenghou Yong mengejek: "Sudah kusuruh kalian mundur, masih ndablek, untung ada aku disini. Minggirlah kalian dan istirahatlah, saksikan bagaimana aku membekuk bocah ini."

Begitu berhasil mengalahkan musuh Tan Ciok-sing segera melintang pedang di depan dada dengan penuh perhatian dia awasi gerak gerik musuh yang satu ini. Semula Lenghou Yong memang bermaksud menyergap, namun setelah melihat orang sudah siaga, maka dia tidak berani bertindak semberono.

Seperti dua ayam jago yang berhadapan didalam gelanggang, keduanya menatap siapapun tak berani sembarang bertindak. Maklum pertarungan jago kosen, kalah menang hanya terebut dalam segaris belaka, jikalau tidak punya keyakinan yang tebal, menyerang secara serampangan titik kosong atau kelemahan sendiri justru merupakan incaran utama pihak musuh.

Beberapa kejap lagi akhirnya Tan Ciok-sing memecah kesunyian, jengeknya: "Usiamu sudah selanjut ini, kenapa hanya pandai membual belaka, hayolah kenapa tidak bergerak?"

Lenghou Yong menyeringai, sikapnya seperti tak acuh, katanya: "Kau bocah yang masih minum tetek ini, bahwa aku sudi melawanmu sudah terhitung memberi muka kepadamu, kau masih ingin aku turun tangan lebih dulu." Semprotannya ini sebetulnya cukup pedas, seolah-olah dia ingin supaya Tan Ciok-sing berlaku hormat dan mohon petunjuk kepadanya, lalu mulai bergerak dengan sopan.

Huwan Pau yang suka cerewet itu mendadak menyeletuk: "Bocah ini memang tidak tahu sopan santun, mana mungkin kau orang tua dapat memaksa dia menganggapmu sebagai

locianpwe. Lekaslah beri balasan setimpal saja, yakin dia akan tunduk kepadamu. Kami akan menunggu dan saksikan membekuk bocah keparat ini."

Bahwa orang pihak sendiri juga mengundal omongan, sudah tentu pamor Lenghou Yong menjadi ludes kalau tidak segera bertindak, maka sambil menggosok kejiua telapak tangan dia berkata: "Baiklah, kalian saksikan saja."

Tak nyana Tan Ciok-sing saat mana juga sudah tertawa dingin, katanya: "Baiklah biar aku mohon petunjuk dari locianpwe." "Sret" tiba-tiba dia menyerang.

Bagai kelinci meloncat elang menerkam, betapa kuat sayap elang dan paruhnya. Jarak kedua orang diluar belasan langkah, hampir bersamaan keduanya melancarkan serangan malah sedikit Lenghou Yong mendahului bergerak namun gerakan pedang Ciok-sing laksana kilat, bergerak belakangan tapi mengancam sasarannya lebih dulu.

"Plok", ujung pedang Ciok-sing seperti menusuk tembus sebuah bola layaknya, namun bukan menusuk luka di tubuh Lenghou Yong, tahu-tahu ujung pedangnya tergeser ke samping.

Ternyata karena mendapat tekanan tenaga pukulan tangan lawan, sehingga dua tenaga yang cukup keras. Tenaga Tan Ciok-sing terpusatkan pada ujung pedangnya, walau berhasil menembus tekanan tenaga lawan yang tidak kelihatan, namun masih terpaut serambut saja ujung pedangnya tak kuasa melukai lawan. Diam-diam dia mengeluh "sayang" dalam hati.

Sebat sekali gerakan Linghou Yong, di tengah deru angin pukulannya yang dahsyat, tahu-tahu telapak tangannya bagai sebuah cap yang membara telah menyelonong kepada Tan Ciok-sing dengan serangan Toa-jiu-in. Jari tengah tangan kiri Tan Ciok-sing yang bergerak mengimbangi gerak pedangnya tiba-tiba terjulur keluar menutuk Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan lawan. Inilah jurus tipu yang dilancarkan secara berbahaya untuk balik mendesak lawan yang mengancam awak sendiri, reflek dia telah menggunakan permainan Bu-bing-kiam-hoat yang liehay

Dalam sekejap ini Linghou Yong sendiri juga mencelos hatinya, pikirnya: "Entah bagaimana asal-usul bocah ini. Kungfunya kok begini aneh dan liehay?" meski dia berpengalaman luas, sudah tentu takkan tahu akan ilmu pedang ciptaan guru besar ilmu silat Thio Tan-hong?

Dalam pada itu Huwan bersaudara sama berdiri di depan gubuk menonton pertandingan seru ini, luka-luka dalam Huwan Hou agak berat, tapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Huwan Liong sudah mengurut dan memberi obat padanya, meski jiwanya tidak terancam, tapi pertempuran sengit di hadapan mereka betul-betul membikin mereka kebat-kebit dan tegang.

Huwan Kiau yang cerewet tiba-tiba berteriak: "Kenapa kau orang tua mundur saja? Kenapa tidak lekas ganyang bocah ini?" sebetulnya dia masih ingin menyindir lagi, tapi Huwan Liong sang kakak telah mendelik kepadanya, katanya lirih: "Jangan gembar gembor memecah perhatian Linghou Yong. Jikalau dia kalah, kita juga bisa celaka." Huwan Pau baru sadar, walau dia tidak terluka, untuk lari kini diapun tidak mampu lagi. Kini disaksikannya Linghou Yong masih terus mundur, karuan hatinya menjadi was-was dan kuatir. Sejenak kemudian baru didengarnya Huwan Liong menarik napas panjang serta berkata: "Nah syukurlah sekarang."

"Apanya yang syukur," tanya Huwan Pau tidak mengerti.

"Jahe tua memang lebih pedas, kini Linghou cianpwe yakin pasti dapat memperoleh kemenangan, dalam seratus jurus kukira dia sudah dapat mengalahkan bocah itu," demikian kata Huwan Liong.

Dengan mata terbelalak Huwan Pau saksikan pertempuran ini, tapi sejauh ini dia tak tahu dimana letak kunci dari kalah menang pertempuran ini. Namun biasanya dia percaya akan obrolan sang kakak, meski mata sendiri belum yakin akan apa yang dilihatnya, hati sudah merasa lega juga. Penilaian Huwan Liong agaknya memang tidak meleset, di tengah percakapan mereka itulah, tiba-tiba tampak perubahan di tengah arena, kini Linghou Yong tampak balas menyerang dari pada bertahan.

Dengan bertahan tadi tujuan Linghou Yong hendak menguras tenaga Tan Ciok-sing. Pada hal kakinya melangkah dan bergerak sesuai posisi Ngo-hing-pat-kwa, walau kakinya terus mundur, tapi pertahanannya mantap dan rapat, setiap langkah kakinya berarti memunahkan sebagian tenaga Tan Ciok-sing.

Setelah mencapai suatu babak tertentu, kedua telapak tangan

Linghou Yong bergesek sekali terus bergerak menyamping kedua telapak tangan melontarkan dua tenaga yang beda arah, kiri menyeret kanan menuntun, tanpa kuasa Tan Ciok-sing berputar, dan ini memberi peluang bagi Linghou Yong untuk merubah posisi dan berinisiatif menyerang secara terbuka. "Anak bagus," bentak Linghou Yong, "kinilah saatnya kau rasakan keliehayanku." Ilmu yang dia yakinkan ternyata Kungfu dari aliran sesat yang bernama Im-yang-ciang, satu negatif yang lain positip, yang ini keras yang itu lunak saling isi dan sama tambal. Bagi yang lwekangnya rendah, menghadapi tenaga Im-yang-ciang ini, tak ubahnya seperti sebuah sampan yang terseret didalam pusaran gelombang air dahsyat.

Akan tetapi penilaian Huwan Liong hanya betul separo, memang kenyataan Linghou Yong kini berinisiatif menyerang,

kelihatannya dia berada di atas angin. Tapi pertahanan Tan Ciok-sing ternyata sedemikian kokoh kuat dan tidak gampang dikalahkan seperti yang diduganya.

Latihan berat selama tiga tahun didalam Ciok-lin bagi Tan Ciok-sing ternyata memang tidak sia-sia, pada saat-saat yang gawat dan berbahaya ini, tampak betapa besar dan menakjubkan hasil gemblengan dirinya itu. Semakin kencang dan deras Linghou Yong menarikan sepasang telapak tangannya, beberapa kali terjadi seakan-akan dia sudah takkan mampu berkelit, tak nyana keadaannya memang persis sebuah sampan kecil yang terombang-ambing mengikuti gerak alunan gelombang badai, timbul tenggelam, namun tak pernah dia ditelan oleh badai yang mengamuk dahsyat ini. Maklum setelah memperoleh lwekang murni ajaran Thio Tan-hong, walau latihannya belum matang atau sempurna, namun dalam praktek dia sudah mampu menguasai ilmunya itu sesuka keinginan hatinya. Taraf lwekangnya mungkin belum setingkat kepandaian Linghou Yong, namun lwekang yang diyakinkan dari aliran murni yang lurus, ini jelas lebih baik dan matang dari apa yang pernah diyakinkan Linghou Yong. Maka keuletan dan ketahanannya yang kokoh dan lama sungguh diluar dugaan Linghou Yong. Apalagi Bu-bing-kiam-hoat memang peranti menghadapi segala serangan perubahan serta melayaninya sesuai situasi dan kondisi, pedangnya itu ternyata mampu membendung segala serangan Linghou Yong dan dalam waktu dekat jelas lawan takkan mampu menundukkan dia.

Tanpa terasa pertempuran sudah mencapai seratus jurus. Diam-diam Linghou Yong amat kaget: "Kalau begini terus salah-salah bisa mencapai tiga ratusan jurus. Umpama aku dapat mengalahkan dia, aku sendiri pasti bakal jatuh sakit cukup parah."

Dengan suara lirih Huwan Pau berkata: "Naga-naganya keadaan tidak menguntungkan, bagaimana baiknya? Lari atau melabraknya?" memang dalam situasi seperti sekarang ini, hanya ada satu pilihan dari dua keadaan yang harus mereka tempuh.

Huwan Liong bertanya sambil mendekati Huwan Hou: "Jite, bagaimana luka-lukamu?"

"Jauh lebih baik, mungkin belum mampu mengembangkan ginkang," sahut Huwan Hou. Tahu maksud engkohnya dia menambahkan, "Kalian boleh tak usah hiraukan aku, Toako, aku hanya ingin tahu, apakah kita punya kemampuan untuk membantu Linghou Yong? Umpama Linghou Yong bukan tandingan bocah itu, kukira juga takkan terpaut terlalu jauh," karena tadi dia kecundang dan dilukai Tan Ciok-sing, maka dia lebih condong untuk membantu Linghou Yong secara beramai-ramai.

Huwan Liong ragu-ragu, katanya kemudian: "Sulit dikatakan. Lari atau ikut melabraknya sukar ditentukan, kita bertaruh saja dengan nasib."

Meski perlahan percakapan mereka, tapi Linghou Yong dan Tan Ciok-sing mendengar omongan mereka. Diam-diam Tan Ciok-sing terkesiap, batinnya: "Jika mereka berempat ikut mengeroyokku, mungkin sulit aku meloloskan diri."

Sebaliknya Linghou Yong kaget dan marah pula, bahwasanya dia sudah berada di atas angin, namun Huwan Liong tidak tahu. "Mungkin dia sudah tahu, tapi sengaja hendak memojokkan diriku supaya bertempur mati-matian dan akhirnya gugur bersama bocah ini," demikian batin Linghou Yong. Perlu diketahui, bila Huwan bersaudara saat itu terjun ke tengah gelanggang, sudah pasti Tan Ciok-sing pasti dapat dikalahkan dengan mudah. Kalau tidak umpama betul dia berhasil membunuh Tan Ciok-sing, dia sendiri juga perlu memulihkan tenaganya tiga bulan lamanya. Tapi wataknya memang angkuh dan tinggi hati, suka gengsi lagi, betapapun dia tidak sudi menebalkan muka untuk memberi penjelasan dan minta bantuan Huwan bersaudara.

Tiba-tiba Huwan Pau berkata: "Aku ingin masuk menggeledahnya," saat mana mereka berada di muka pintu rumah Khu Ti, tadi seisi rumah sudah mereka obrak-abrik.

"Apa pula yang hendak kau cari?" tanya Huwan Liong.

"Aku pingin minum arak, arak buatan Khu-lothau tempo hari tidak jadi kunikmati, kalau dibayangkan sampai sekarang aku masih ngiler. Mungkin dia masih menyimpannya seguci dan diletakkan di pojokan yang tidak terlihat kita tadi. Cukup setengah guci saja, sudah akan menambah banyak tenagaku."

Huwan Liong marah, semprotnya: "Kau memang setan arak, dalam keadaan seperti ini, masih juga kau gila air kata-kata (arak)."

Huwan Pau tertawa, katanya: "Memangnya kau sendiri belum berkepastian, mau tarung atau lari, mumpung ada kesempatan lebih baik aku cari arak, setelah minum tenaga pulih dan bertambah kuat, nanti aku bantu kalian berhantam."

Baru saja usai percakapan mereka, tiba-tiba didengarnya dari dalam rumah ada orang batuk-batuk, disusul sebuah suara dingin berkata: "Kalian kawanan kurcaci memang sontoloyo, baru saja aku selesai minum dan mau tidur, kalian sudah bikin ribut di depan rumahku sehingga impian bagus sirna tak karuan. Hm, kalian masih ingin minum arak bukan," ternyata itulah suara perkataan Khu Ti. Karuan kejut Huwan bersaudara seperti disengat kala. Pada hal tadi mereka sudah menggeledah seluruh pelosok, rumah dan mengobrak-abrik isinya, menurut keadaannya agaknya Khu Ti sudah meninggalkan rumah itu, entah bagaimana sekarang tahu-tahu sudah berada dalam rumah pula? Pelan- pelan daun pintu terbuka dan muncullah Khu Ti.

Khu Ti memanggul sebuah buli-buli besar warna merah, wajahnya tampak lebih tua sedikit dari setengah tahun yang lalu, tapi sepasang matanya masih tampak mencorong terang. Sesaat itu empat bersaudara ini seperti merasakan kedua mata Khu Ti sama menatap ke arah mereka, sekali dideliki, hati mereka seketika kuncup, jantungnyapun berdetak keras, saking kaget serasa terbang arwah mereka.

Menuding Huwan Pau, Khu Ti berseru: "Nah, kau yang ingin minum arak, mari kuberi," arak didalam buli-buli sekaligus dia minum sampai habis tiba-tiba dia pentang mulut menyemburkan araknya, sejalur arak seketika menyemprot ke arah Huwan Pau. Waktu di kedai Khu Ti tempo hari merekapun pernah kecundang oleh Khu Ti dengan cara yang sama ini.

Karena terluka gerak-gerik Huwan Pau kurang tangkas, lekas dia tutup muka sendiri dengan kedua tangan, sederas hujan semburan arak Khu Ti semua mengenai punggung tangannya, wah rasanya sakit dan pedas sekali. Tempo hari Khu Ti tenggak setengah guci arak untuk menyemprot mereka berempat, kali ini hanya menghabiskan setengah buli-buli, yang disembur juga hanya Huwan Pau saja, gelagatnya jelas jauh lebih asor. Apalagi meski Huwan Pau merasa sakit, tapi rasanya tidak sehebat tempo hari.

Walau demikian Huwan Pau sudah ciut nyalinya, mau lari kaki sudah tak mampu bergerak, saking ketakutan, saking gugup tanpa malu segera dia berlutut dan menyembah, teriaknya: "Ampun Khu-locianpwe, selanjutnya aku yang kecil tidak berani mengganggumu lagi."


Khu Ti menyeringai dingin, jengeknya: "Memang kalian belum setimpal mengotori tanganku, lekas enyah dari sini."

Semula Huwan Liong agak curiga dan ragu-ragu, kini melihat Khu Ti ini kembali menggunakan cara lama menyembur arak pada adiknya sehingga orang ketakutan sampai menyembah pula, sudah tentu diapun tak berani main-main coba-coba lagi. Mendengar Khu Ti mengusir mereka, seperti mendapat pengampunan saja, lekas Huwan Pau merangkak bangun terus mendahului lari sipat kuping. Huwan Liong menggendong Huwan Hou ikut lari juga. Huwan Kiau lari paling akhir, meski ke dua kakinya tersapu ruyung dan dia jatuh terguling-guling, dia tidak berani melawan terus menggelundung turun gunung.

Setelah menggebah Huwan bersaudara. Khu Ti melangkah maju, katanya setelah tertawa terkekeh-kekeh: "Linghou Yong, kau membawa kamrat kemari hendak menangkap aku bukan? Hehe, sengaja aku pulang untuk menyambut kedatanganmu. Kau berani hayo lawan aku saja, ingin aku lihat kau mampu berbuat apa terhadapku?"

Sebetulnya Linghou Yong amat membanggakan diri, sebelum bertemu dengan Khu Ti, dia kira meski tinggi kepandaian Khu Ti, tapi belum tentu liehay seperti apa yang digambarkan oleh Huwan bersaudara, dengan bekal Im-yang-ciang dirinya, ditambah barisan pedang Huwan bersaudara dia yakin masih cukup berkelebihan untuk mengalahkan lawan, maka dia berani meluruk kesini.

Tapi keadaan sekarang justru diluar perhitungan, bukan saja terbalik keadaannya sekarang malah lebih celaka, rasa angkuhnya seketika sirna karena tak mampu menjatuhkan Tan Ciok-sing, kini Khu Ti muncul pula di saat-saat kritis begini, karuan nyalinya menjadi ciut. Maklum sejauh ini dia hanya setanding dengan Tan Ciok-sing, Huwan bersaudara sudah angkat langkah, meski nyalinya besar, betapapun dia tidak berani menempur Khu Ti pula. Segera dia kerahkan seluruh sisa tenaganya, sekali pukul dia bikin Tan Ciok-sing tergetar mundur, terus putar tubuh angkat langkah seribu.

Tan Ciok-sing tergetar mundur beberapa langkah oleh tenaga gempuran lawan, hampir saja dia terjengkang jatuh. Bentaknya gusar: "Sudah kalah mau lari, memangnya semudah yang kau kira."

Tapi Khu Ti sudah lekas maju dan menariknya, katanya perlahan: "Musuh yang sudah ngacir jangan dikejar, biarkan dia pergi."

Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin mengejar, kini melihat Khu Ti mendadak muncul sungguh senangnya seperti kejatuhan rejeki dari langit, sudah tentu lebih penting dia bercengkrama dengan Khu Ti. Setelah Linghou Yong lari, dia punya kesempatan menentramkan pernapasan, lalu maju memberi salam hormat kepada Khu Ti.

"Jangan banyak adat," ujar Khu Ti, "kau kemari mencari aku, ada urusan apa?"

Pertanyaan ini sungguh diluar dugaan Tan Ciok-sing, seketika dia berdiri melongo.

Khu Ti adalah seorang tua yang simpatik, supel dan rendah hati, sahabat baik kakeknya. Waktu di kedai tempo hari, sikapnya ramah dan sayang, apalagi setelah tahu akan asal-usul dirinya. Tapi kenapa sekarang kok bersikap tak acuh dan keliwat dingin dibanding pembawaannya tempo hari. Tapi yang lebih mengejutkan dan membuatnya melongo adalah pertanyaan Khu Ti: "Untuk apa dia kemari? Memangnya kejadian setengah tahun yang lalu sudah dia lupakan sama sekali?"

Tan Ciok-sing berdiri tegak dan mengawasi seksama, yang berdiri di depannya tidak salah memang Khu Ti, cuma kerut mukanya agaknya lebih banyak dan tua. "Mungkin karena mengalami kejadian tempo hari sehingga batinnya agak tertekan, maklumlah orang tua ingatannya sudah jauh lebih mundur," demikian batin Tan Ciok-sing.

"Untuk apa kau mencariku? Kenapa melongo saja?" desak Khu Ti.

"Khu-locianpwe, bukankah kau yang menjanjikan aku kembali. Aku sudah menunaikan keinginanmu dahulu," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Apa iya? Keinginanku yang mana sudah kau tunaikan? Coba jelaskan kepadaku."

Ciok-sing mengiakan, baru saja dia berkata: ''Waktu aku pulang ke Kwi-lin..."

Baru sampai disini mendadak

Khu Ti seperti ingat, tukasnya tertawa: "Oh, ya, betapa pikunnya aku kini, ceritamu pasti panjang, hayolah duduk dalam rumah."

Baru sekarang dia mendengar suara tawa Khu Ti, tapi raut muka Khu Ti tetap dingin membeku, setelah duduk dalam rumah, Khu Ti berkata: "Maaf kalau aku tak bisa menyuguh apa-apa, secangkir tehpun tiada," bukan saja teramat sungkan sikapnya malah terasa kaku dan dingin.

Tujuan Ciok-sing kemari sebetulnya ingin menetap disini, setelah menghadapi sikap orang, diam-diam dia sudah merubah maksud semula, pikirnya: "Entah karena apa, agaknya Khu-locianpwe tidak seramah dulu menyambut kedatanganku. Setelah kusampaikan soal itu aku harus segera pergi."

Maka dia bercerita amat jelas dan terperinci, kalem lagi, kuatir Khu Ti sudah lupa dia tambahkan pula pesan orang akan keinginannya itu sebelum mereka berpisah tempo hari. Khu Ti juga mendengarkan dengan asyik dan penuh perhatian, waktu Tan Ciok-sing bercerita tentang pertandingan pedang melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak di Lian-hoa-hong tampak sikapnya amat senang dan tertarik, sering dia mengajukan pertanyaan.

Setelah Ciok-sing habis bercerita, Khu Ti segera tertawa, katanya: "Kalau demikian, jadi kau sudah menunaikan pesanku, dengan alasan bertanding pedang kau sudah mendemontrasikan Bu-bing-kiam-hoat itu di hadapan It-cu-king-thian sehingga keinginan orang sejak lama itu tercapai. Anak bagus, baik sekali kau melaksanakan tugas, bahwa dengan Bu-bing-kiam-hoat kau setanding dan akhirnya seri melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, sungguh kau harus diberi selamat dan patut dipuii."

Kata Ciok-sing: "Pesan cianpwe betapapun harus kulaksanakan. Banyak terima kasih akan pujian cianpwe, baiklah sekarang Siautit minta diri saja."

"Nanti dulu," tiba-tiba Khu Ti berseru menahannya.

Ciok-sing melengak, katanya: "Khu-locianpwe masih ada pesan apa?"

Khu Ti tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bagus ternyata kau memang Tan Ciok-sing, sekarang aku mau percaya kepadamu. Tan-toako, kau memang orang yang dapat dipercaya, kukira kau takkan kemari lagi."

Sudah tentu kaget Ciok-sing bukan kepalang, Khu Ti ternyata memanggilnya "Tan-toako", naga-naganya orang sudah tidak mengenalnya lagi. Kulit muka Khu Ti tampak tetap tak menunjukkan mimik perubahan apa-apa meski sedang tertawa lebar, tapi nada suaranya kedengaran amat senang dan riang. "Sekarang aku sudah tahu kau adalah Tan Ciok-sing, memang aku sedang mengharap kedatanganmu. Tapi apakah kau tahu siapa aku?"

Kembali Ciok-sing berjingkat kaget dibuatnya, katanya tergagap: "Khu-locianpwe, kenapa kau bilang begitu? Memangnya kau, kau, kau bukan..."

"Betul, rekaanmu benar," ujar Khu Ti, "kalau bukan tiruan, sebaliknya akulah yang palsu."

"Kau, siapa kau?" teriak Ciok-sing, "kenapa kau memalsu Khu-locianpwe?"

Khu Ti berkata: "Kalau kau ingin tahu siapa aku, nah berpalinglah kau kesana dan jangan menoleh serta mengintip."

Memutar tubuh dan membelakangi seorang asing belum diketahui asal-usulnya, bahwasanya merupakan suatu perbuatan yang amat berbahaya, Tapi Tan Ciok-sing tanpa bimbang segera melaksanakan permintaan orang, lekas dia berpaling dan berputar kesana, berdiri tegak meluruskan tangan, pandangan menatap jauh ke depan.

Terdengar Khu Ti tertawa cekikikan, katanya: "Baik sekali, kau mau percaya padaku aku amat senang," lalu didengarnya sesuatu yang berjatuhan seperti lempung dan sebangsanya yang mengelotok dan berhamburan di tanah.

Sesaat kemudian,, tiba-tiba didengarnya suara merdu nyaring bak suara kelinting berkata: "Sudah, sekarang kau boleh berpaling kesini."

Begitu Ciok-sing membalik tubuh, seketika dia berdiri melongo dan menjublek di tempat. Ternyata Khu Ti yang tadi bermuka penuh keriput kini berubah menjadi seorang gadis jelita. Seperangkat pakaian laki-laki tampak menggeletak di tanah, di sekitar kakinya berserakan pula bubuk dan lempingan-lempingan kecil dari adonan gandum yang sudah kering.

Pulih wajah si gadis laksana sebingkai porselin, alisnya lentik, kecantikannya tidak kalah dibanding In San. Mulut yang kecil mungil tengah menyungging senyum nan molek, sesaat lamanya Ciok-sing terpesona.

"Tan-toako, maaf bila aku mempermainkan kau. Tadi sudah kuduga akan dirimu, tapi aku belum yakin, terpaksa aku harus bertindak hati-hati," melihat Ciok-sing masih berdiri menjublek gadis itu tertawa geli sambil menutup mulutnya.

Setelah tenang Ciok-sing baru berkata: "Ah, kenapa nona bilang begitu, kau sudah menolong jiwaku, belum lagi aku nyatakan terima kasih. Harap tanya nona, ke manakah Khu-locianpwe? Nona, kau pernah apanya?"

Seketika kuncup seri tawa si gadis, wajahnya menampilkan rasa duka, katanya: "Kau terlambat datang, ayah sudah meninggal dunia."

Bagai disambar petir layaknya, kontan Tan Ciok-sing tergentak kaget, sesaat dia melongo, tanpa terasa air mata berlinang, katanya: "Dengan wanti-wanti ayahmu berpesan padaku supaya kembali memberi kabar kepadanya, tak nyana beliau sudah mangkat. Entah adakah pesannya yang terakhir untuk aku?"

Dalam rasa dukanya diam-diam hatinya merasa heran dan bertanya-tanya: "Ternyata Khu-locianpwe masih punya seorang putri, kenapa setengah tahun yang lalu tak pernah kulihat dia ada di kedai, beliau tak pernah menyinggung hal ini kepadaku. Mungkin putrinya ini sudah menikah dan tidak tinggal bersama ayahnya?" tapi dilihatnya gadis ini paling baru berusia delapan belas, potongan tubuhnya semampai dan padat, jelas masih seorang gadis perawan.

Agaknya si gadis merasakan sorot pandangan Ciok-sing penuh tanda tanya, segera dia menjelaskan. "Aku bukan anak kandungnya, aku anak angkat beliau. Aku she Han bernama Cin," sambil bicara dengan jari telunjuknya dia menulis di atas meja.

"Cara bagaimana Khu-loyacu meninggal?" tanya Ciok-sing, "agaknya beliau pernah menyinggung diriku kepada nona."

"Silahkan duduk, biar kuseduhkan air teh, nanti kuceritakan kepadamu."

"Tak usah repot nona Han, lebih baik kau ceritakan dulu kepadaku."

"Aku harus mewakili Gi-hu (ayah angkat) melayanimu dulu, tak usah buru-buru, kawanan brandal itu toh sudah lari mencawat ekor, sambil masak air, nanti kuceritakan kepadamu."

Ayah kandung Han Cin bernama Han Cui penduduk Thong-ciu asli, karena peperangan melanda kampung halamannya, terpaksa dia ngungsi ke Ong-ju-san, Han Cui kenyang membaca dan pandai membuat syair, hakikatnya dia tidak punya kepandaian apapun untuk bekal hidupnya, maka di bawah Ong-ju-san dia membuka sekolahan desa, murid-muridnya adalah anak-anak petani atau pemburu. Han Cin berkata: "Sekolah desa ayah berada di utara gunung, kedai minum Khu-lopek berada di selatan gunung, jaraknya lima puluhan li. Tapi karena kedua orang mempunyai hobi yang sama, setiap dua tiga hari, kalau bukan ayah pergi ke kedai arak Khu-lopek, pasti dia yang bertandang ke rumahku, sejak itu mereka menjadi sahabat baik."

Sampai disini airpun telah mendidih, Han Cin memerlukan dua mangkok serta menyeduh teh, katanya: "Aku tahu kau bisa minum arak, sayang sisa setengah buli-buli arak yang kusimpan tadi kubuang percuma untuk menggebah kawanan brandal itu. Terpaksa aku hanya bisa menyuguh teh hangat saja."

Setelah sama-sama menghirup teh Han Cin meneruskan ceritanya: "Waktu itu aku masih anak nakal yang berusia enam tahun, tapi Khu-lopek amat senang dan sayang padaku, agaknya selama hidup beliau tak pernah menikah, tak punya anak maka aku dipungutnya sebagai putri angkatnya, beliau mengajar dan mendidik aku belajar Kungfu."

Sampai disini dia menghirup seteguk air teh lalu melanjutkan: "Kepandaian ayah angkatku ternyata amat banyak, kecuali Kungfu, dia masih punya kepandaian lain-lain yang serba aneh dan lucu. Umpama cara merias dan berdandan tadi juga kupelajari dari beliau, tak nyana hari ini berhasil kumanfaatkan."

"Kepandaianmu dalam bidang ini ternyata memang amat menakjubkan, aku sendiripun kena kau kelabui?" demikian puji Ciok¬ sing.

"Maklum aku memalsu ayah yang paling kukenal, jika memalsu orang lain, mungkin takkan dapat mengelabuhi matamu." Han Cin bercerita lebih jauh, "tiga tahun yang lalu, tiba-tiba beliau kangen akan kampung halaman, maka beliau ajak aku pulang ke Thong-ciu. Tak nyana tak lama setiba di kampung halaman beliau jatuh sakit dan selama beberapa lama rebah di ranjang sampai tahun lalu baru meninggal dunia. Setelah ayah di kebumikan dan aku berkabung selama seratus hari, baru aku kembali dan menetap disini bersama Gi-hu. Baru tiga bulan yang lalu aku sampai disini."

"Kedai minum itu dibakar oleh pasukan pemerintah, penduduk sekitarnya memberitahu padaku, untuk menghindari petaka ini, entah kemana ayah menyembunyikan diri. Aku masih ingat entah beberapa kali ayah pernah menyatakan keinginannya hendak mengasingkan diri di Cui-hwi-hong puncak tertinggi dari Ong-ju-san yang indah panoramanya. Tapi lantaran tidak tega meninggalkan sahabat baiknya, maka sejauh itu dia tunda keinginannya. Ayahku tidak bisa main silat, tak mungkin dia memanjat ke Cui-hwi-hong.

"Dengan perasaan ingin coba-coba, aku memanjat ke Cui-hwi-hong. Ternyata aku memang beruntung, tapi juga tidak beruntung. Waktu aku menemukan beliau, dia sudah sakit amat parah dan hampir menghembuskan napasnya terakhir. Melihat kedatanganku dia berusaha menguatkan diri, tapi aku hanya satu jam menemani dia."

Dalam dukanya Tan Ciok-sing merasa lega juga, katanya: "Syukurlah, bukan lantaran dicelakai pasukan pemerintah itu," lalu menyambung: "Gi-humu memiliki Kungfu yang tingggi, sebelum berpisah dengan aku, hari itu dia sudah pamer kepandaiannya yang khas, dengan seguci arak dia menyembur ke empat bersaudara tadi sampai lari lintang pukang. Sungguh tak nyana secepat ini tahu-tahu dia sudah mangkat."

"Bagi orang yang berkungfu tinggi, mungkin puluhan tahun tak pernah sakit, tapi sekali jatuh sakit maka kesehatannya akan terganggu secara hebat. Demikianlah keadaan Gi-hu. Akulah yang harus disalahkan kenapa tidak datang lebih dini beberapa hari, beliau tiada yang meladeni..."

"Mati hidup manusia sudah suratan takdir," demikian hibur Tan Ciok-sing, "manusia mana yang bisa meramal akan nasib sendiri. Untuk ini kau tidak bisa disalahkan. Bukankah akupun terlambat datang?"

Han Cin menghela napas katanya: "Syukurlah kedatanganku masih sempat menemuinya sebelum dia ajal dan mengantar keberangkatan-nya."

"Adakah beliau meninggalkan pesan?"

"Beliau bilang: 'Manusia akhirnya akan mati, usiaku sudah mencapai tujuh puluh, terhitung berumur panjang, kenapa pula harus disesalkan menghadapi kematian ini? Apalagi orang macam aku dari kalangan perwira Gi-lim-kun yang menjadi kaum persilatan, di hari tuaku aku bisa mati dengan tentram, aku sendiripun tak pernah menduganya. Satu hal yang masih menjadi ganjalan hatiku hanyalah merindukan seorang sahabat muda, dia adalah anak dari seorang sahabatku.' Tan-toako, tentunya kau paham, orang yang dimaksud beliau adalah engkau."

Berkaca-kaca air mata Ciok-sing, katanya: "Begitu baik beliau terhadapku, sayang aku tiada kesempatan lagi untuk membalas kebaikannya."

"Keinginannya yang terakhir sudah kau tunaikan dalam perjalananmu ke Kwi-lin kali ini, itu berarti kau telah membalas kebaikannya. Malah aku yang belum sempat membalas budi kebaikannya."

"Bagaimana dia membicarakan diriku dengan kau?"

"Dia memberitahu janjinya denganmu terhadapku, cuma belum diketahui kapan kau bakal kembali, umpama kembali juga sukar untuk mencarinya kesini. Tapi dia mengharap aku suka menunggu kau disini, walau harapan untuk ketemu teramat tipis, tapi kan lebih baik dari pada menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu."

"Selama dua bulan lebih ini apakah kau berada disini?"

"Sebulan lebih aku tinggal di gubuk ini, namun kau tidak kunjung datang. Aku tidak tahu apakah kau pernah kemari, atau pernah kemari tapi tidak menemukan-jejak kami maka kau pergi. Setelah kupikir putar balik, dari pada aku menunggu saja disini, ada lebih baik aku turun gunung menyirapi kabar. Kira-kira setengah bulan yang lalu aku turun gunung."

Setelah meneguk secangkir air, dia berkata pula: "Karena tidak memperoleh berita apa-apa, aku pulang ke tempat sekolahan ayahku dulu, disana aku tinggal belasan hari, tadi pagi mendadak kuingat bahwa Gi-hu masih meninggalkan beberapa buah lukisan dan buku-buku tulisan yang belum kusimpan, maka pagi-pagi tadi aku buru-buru kemari. Syukurlah hari ini aku kemari, akhirnya kutemukan kau disini," sampai disini tanpa kuasa merah mukanya.

Ternyata ayah angkatnya ada dua cita-cita yang belum terlaksana dan pernah berpesan kepada Han Cin, cuma dalam ceritanya tadi dia hanya membeber satu di antaranya. Kecuali merindukan Tan Ciok-sing, Khu Ti juga menguatirkan masa depan putri angkatnya ini, dia menyatakan penyesalannya karena tidak keburu mencarikan jodoh setimpal untuk putri angkatnya ini. Sudah tentu keinginan Khu Ti ini sukar dia nyatakan secara berhadapan terhadap Tan Ciok-sing.

Untung Ciok-sing tidak begitu perhatikan perubahan mimik mukanya, katanya: "Memang untung hari ini kau kemari, kalau tidak mungkin aku takkan bisa duduk disini berbincang dengan kau. Tentunya kau mendengar suitanku dan lekas datang membantu aku bukan?"

"Bukan saja aku mendengar suitanmu, akupun mendengar senandungmu."

"Itulah syair tulisan kakek di waktu berkenalan dengan ayah angkatmu dulu."

"Waktu itu aku tengah berada di pusara Gi-hu, kudengar kau bersenandung dengan tenaga lwekang tinggi, diam-diam aku sudah duga akan kedatanganmu, maka buru-buru aku berlari pulang. Lucu adalah Huwan bersaudara itu tiada yang tahu akan kedatanganku."

"O, jadi kau merias dirimu didalam gubuk ini juga," Ciok-sing manggut-manggut.

"Ya, aku kenakan pakaian lama Gi-hu. Untung dalam almari masih ada sisa gandum, kebetulan cukup untuk merubah bentuk mukaku. Kalau Gi-hu sekali sembur arak dapat melukai empat musuh sekaligus, aku hanya mampu melukai satu orang yang berkepandaian paling rendah lagi, jauh sekali kemampuanku bila dibanding Gi-hu. Untung Huwan bersaudara ciut nyalinya oleh semburan arak Gi-hu tempo hari melihat aku menggunakan cara lama, sudah tentu mereka tidak menaruh curiga lagi."

"Ayah angkatmu tak bisa kutemui lagi, adalah pantas kalau aku sembahyang di depan pusara beliau, nona-Han sudikah kau mengantar aku?"

Tiba-tiba Han Cin seperti ingat sesuatu katanya: "Oh, ya, Gi-hu ada sesuatu benda yang harus kuserahkan kepadamu di depan kuburannya."

"Barang apa itu?" tanya Ciok-sing.

"Nanti juga kau akan tahu," agaknya pesan Khu Ti memang menghendaki dia berbuat demikian maka dia tidak boleh memberitahu kepada Ciok-sing lebih dulu.

Sudah tentu tak enak Tan Ciok¬ sing banyak tanya, pikirnya: "Tentunya suatu persoalan yang amat penting, maka Khu-locianpwe merasa perlu untuk memberikan pesannya ini. Ai, betapa besar budi kebaikan dan keluhurannya terhadapku, bila dia meninggalkan suatu pesan yang belum terlaksana, apakah aku harus menunaikannya dengan segala kemampuanku?"

Dengan hati yang dirundung tanda tanya akhirnya Ciok-sing tiba di depan kuburan Khu Ti, teringat betapa besar kasih sayang Khu Ti terhadap dirinya, serta hubungannya dengan tiga generasi keluarganya, tanpa kuasa Ciok-sing menangis sesenggukkan. Sesaat lamanya baru dia angkat kepala dan berpikir: "Semasa hidupnya beliau paling suka mendengar petikan harpa kakek, sayang harpaku itu sudah kuhadiahkan kepada orang lain, tak bisa aku memelikkan lagu untuk menghibur arwahnya di alam baka."

Teringat akan harpa serta meria terbayang pula akan In San, batinnya: "Khu-locianpwe adalah sababat kakek yang paling kental, walau hanya sekali aku bertemu, namun dia lebih akrab dan sayang dari pada sanak familiku sendiri, Kakek adik San juga adalah pengagum kakekku, meski di masa hidupnya kakek tidak tahu akan hal ini. Demikian pula akan adik San, dia adalah temanku yang paling intim dari lawan sejenis. Ai, tak nyana selanjutnya aku tak akan bisa bertemu lagi dengan Khu-locianpwe, entah kapan pula baru aku akan bisa berhadapan dengan adik San pula." Memang lain Khu Ti lain In San, yang satu kakek ubanan yang lain gadis jelita yang menjadi idaman hatinya namun dalam pandangan Ciok-sing dia pandang kedua orang ini sebagai sanak kadang yang paling dekat lahir batin dengan dirinya, kalau yang tua kini sudah tiada, sementara sang pujaan sekarang entah berada dimana. Kalau yang satu mati dan berpisah, yang masih hiduppun terpaksa harus berpisah, yang sudah mati memang patut dibuat duka, tapi yang masih hidup juga memilukan. Berlutut di hadapan kuburan Khu Ti, dua perasaan berkecamuk dalam benaknya, tanpa kuasa dia menangis sejadi-jadinya.

Han Cin tak tahu isi hatinya, segera dia menghibur: "Usia Gi-hu sudah mencapai tujuh puluh tahun, meninggal dalam usia selanjut itu memang tidak perlu dibuat sedih. Tan-toako, tidak perlu kau berduka sedemikian rupa."

Ciok-sing menunduk diam, rasa rawan, masgul dan pilu masih berselubung dalam sanubarinya, karena tidak membawa harpa, mendadak dia menepuk-nepuk batu nisan terus bersenandung.

Suaranya lantang keras penuh dibuai perasaan makna syair yang dibawakan. Han Cin hanyut oleh senandungnya ini, pelan-pelan dia mengeluarkan sebatang seruling bambu kuning yang kecil pendek, segera dia iringi senandung Ciok-sing dengan tiupan lagu yang sama. Tiupan serulingnya Han Cin ternyata amat merdu dan mahir sekali, caranya meniup rasanya tidak lebih asor dari Kek Lam-wi.

Selesai satu lagu Han Cin lantas berkata: "Itulah syair yang paling digemari Gi-hu semasa hidupnya dulu."

"Ya, aku tahu. Karena melihat syair tulisannya inilah maka ayah membongkar asal-usul dirinya lalu bersahabat. Nona Han, kepandaianmu meniup seruling, apakah juga kau pelajari dari Khu-locianpwe?"

"Bukan, ayah kandungku sendiri yang mengajar kepadaku."

"O, ayahmu sendiri yang mengajar," tiba-tiba tergerak hatinya, tanyanya: "Tahukah kau ada seorang bernama Kek Lam-wi?"

"Tidak tahu. Orang macam apakah dia?"

"Seorang pemuda yang kenamaan dari daerah Kanglam."

'"Sejak kecil aku masih hidup di gunung, baru musim semi yang lalu aku pulang kampung halaman, untuk pertama kali itulah aku keluar pintu ke tempat jauh, jarang aku bertemu dengan orang luar, apa lagi orang-orang persilatan. Kalau para pendekar dari generasi tua, Gi-hu sering bercerita tentang hikayat mereka, tapi untuk kaum muda kukira Gi-hu sendiri juga tidak tahu. Demikian pula orang she Kek ini, beliau tidak pernah bicara dengan aku. Tan-toako, kenapa mendadak kau singgung orang ini terhadapku?"

"Tiupan serulingnya baik sekali, merupakan seorang kosen dalam bidang ini. Tapi kau ternyata tidak lebih jelek dari dia."

Merah muka Han Cin, katanya: "Tan-toako kau menggodaku saja. Seenaknya saja aku belajar dari ayah, mana boleh dibanding seorang kosen."

"Pujianku bukan sembarang pujian, tiupan serulingmu memang bagus. Apa lagi kau seorang gadis belia, namun kau mampu membawakan sebuah lagu duka nestapa dengan baik sekali. Kalau aku tidak saksikan kau meniup seruling dihadapanku, hanya mendengar dengan kuping saja, aku pasti kira kau adalah Kek Lam-wi."

"Ah, mana aku pantas dijajarkan dengan seorang ternama. Tapi bahwa tiupan serulingku ternyata mirip dengan temanmu, akupun merasa heran."

"Kalian tak ubahnya hasil didikan dari satu guru."

"O, makanya tadi kau tanya aku. Mungkin orang yang mengajar meniup seruling kepada ayah dulu, seperguruan dengan aliran perguruan temanmu itu. Sayang ayah tidak pernah menyinggung soal ini terhadapku."

"Kukira memang demikian. Kalau rekaanku ini betul, maka ahli seruling yang mengajar ayahmu itu, tingkatannya pasti jauh lebih tinggi dari guru Kek Lam-wi."

Han Cin berkata: "Persoalan yang tidak penting tak usah kita bicarakan lagi mumpung waktu masih pagi kalau kau mau turun gunung, kukira sudah tiba saatnya kau berangkat."

"Ya, tadi kau bilang Khu-locianpwe ada titip barang apa yang hendak kau serahkan padaku di depan kuburannya, sekarang boleh kau serahkan kepadaku."

Maka Han Cin lantas menjelaskan: "Inilah surat peninggalan ayah kepadamu."

Ciok-sing terima sampul surat itu serta membukanya, begitu membaca isi surat seketika dia berdiri melongo. Kiranya itulah surat yang isinya menyinggung soal jodoh, surat itu ditulis Khu Ti waktu dia mulai sakit, jadi jauh hari sudah dipersiapkan lebih dulu. Dalam surat Khu Ti menyatakan bahwa usianya sudah genap tujuh puluh, begitu terserang penyakit, dia lantas mendapat firasat dan tahu bahwa dirinya takkan hidup lebih lama lagi, dirasakan hidup ini dia tak pernah melakukan sesuatu yang baik untuk nusa dan bangsa, hal ini amat disesalkan. Di kala jiwa sudah di ambang pintu meninggalkan alam baka ini, hati masih dirundung dua persoalan yang selama ini masih menjadikan tanggungan batinnya.

Membaca sampai disini lapat-lapat Ciok-sing sudah meraba kemana juntrungnya isi surat selanjutnya, tanpa kuasa jantungnya berdetak kencang. Memang betul dalam suratnya Khu Ti berkata lebih lanjut, kedua persoalan yang masih menjadikan ganjalan hatinya adalah belum mampu membantu It-cu-king-thian mencapai cita-citanya, dan soal kedua adalah masa depan dan perjodohan putri angkatnya.

Setelah dia memperkenalkan nama, riwayat hidup serta paras perawakan putri tunggalnya, Khu Ti berkata lebih lanjut, dia yakin keinginannya yang pertama pasti Ciok-sing tidak menampik harapannya.

Dia bilang dia tahu bahwa Ciok-sing belum menikah dan belum punya tunangan, dia yakin bahwa putri angkatnya adalah jodoh setimpal bagi Ciok-sing. Bahwa dulu dia wanti-wanti pesan kepada Ciok-sing supaya lekas kembali menengok dirinya, tujuannya juga hendak merangkap perjodohan ini. Sayang waktu tidak mengizinkan, Thian telah memanggilnya pulang lebih dahulu, sehingga dia tidak sempat menunggu Ciok-sing kembali menemuinya. Maka dia meninggalkan surat pesan ini dan diminta Ciok-sing suka menganggap surat pesan ini sebagai bukti dari ikatan perjodohan itu.

Dua baris terakhir dari tulisan surat itu kelihatan coret moret dan tenaganya tampak lemah, itulah tulisan tambahan di kala Khu Ti sudah mendekati ajal. Dia sudah bertemu dengan putri angkatnya — — Han Cin, juga sudah tahu kalau ayah Han Cin sudah meninggal. Maka dalam pesannya terakhir dia menambahkan bahwa mereka berdua kini sudah menjadi anak sebatang kara, maka dia lebih mengharap akan perjodohan ini, umpama Ciok-sing tidak menyukai putri angkatnya, dia minta supaya Ciok-sing wakilkan dia melindunginya. Tapi Khu Ti tidak sempat memberi penjelasan kepada putri angkatnya, maka dia hanya bisa titip surat pesan ini kepadanya, supaya putri angkatnya yang serahkan langsung kepada Ciok-sing. Dua baris kalimat terakhir nadanya lebih ditekankan lagi: "Aku bersahabat dengan generasi keluargamu, yakin Hiantit akan mengabulkan keinginanku terakhir ini dengan senang hati."

Setelah membaca surat ini, ruwet pikiran Ciok-sing. Hatinya gundah dan bingung. Lama dia berdiri menjublek di depan kuburan Khu Ti.

Memang dia sudah berkeputusan, yakin dia sudah memutus tali asmara, memutuskan hubungan cintanya dengan In San. Tapi bagaimana juga bayangan In San masih selalu terbayang dalam benaknya, memangnya sedemikian cepatnya dia lantas mengalihkan sasaran cintanya kepada orang lain? Apalagi baru hari ini dia berkenalan dengan Han Cin, berkumpul juga baru satu dua jam? Tapi sesuai apa yang dikatakan dalam surat Khu Ti, tiga generasi keluarganya semua berhutang budi terhadapnya, memangnya pantas dia menyia-nyiakan harapan orang yang luhur?

Melihat sikap orang seperti linglung, Han Cin jadi kuatir, katanya: "Apa yang dikatakan Gi-hu dalam suratnya? Apakah tugas yang harus kau lakukan teramat sukar dan berabe?"

Sudah tentu kikuk dan rikuh Ciok-sing dibuatnya, katanya: "Nona Han, apa kau tidak pernah baca surat ini?"

"Itukan surat Gi-hu untuk kau, mana boleh aku membuka dan membacanya?" seolah-olah dia merasa heran akan pertanyaan Ciok-sing ini.

Legalah hati Ciok-sing, katanya: "Kukira dia sudah tunjukkan kepadamu lebih dulu."

"Kenapa dia harus tunjukkan kepadaku dulu? Memangnya dalam surat beliau menyinggung diriku?"

"Betul, dalam surat beliau menyinggung dirimu."

Tanpa merasa berdebar jantung Han Cin, tanyanya menunduk dengan suara lirih: "Gi-hu menyinggung soal apa tentang diriku?"

"Beliau menghendaki kita seperti saudara sekandung, dia minta aku melindungi dan membimbingmu, dan kaupun harus membantu aku."

Selama hidup tak biasa dia berbohong, tapi bukan tidak pernah dia bohong, terhadap orang jahat dia pernah ngapusi. Tapi terhadap orang baik, terutama terhadap sahabat, baru pertama kali inilah dia berbohong. Karuan mukanya merah sendirinya. "Tapi Khu-locianpwe memang menghendaki aku melindungi dia, kalau dia sebagai anak angkatnya, sebaliknya aku tak ubahnya sebagai keponakannya, kalau dikata sebagai kakak adik kan tidak janggal," dengan demikian dia menghibur diri dalam hati

Lambat laun sirna juga rasa jengah Han Cin, katanya kemudian dengan suara tawar: "Gi-hu begitu serius, memangnya beliau hanya berpesan soal-soal ini saja."

"Ya, dalam pandangan Gi-humu, hal ini dirasa amat penting sekali. Dalam dunia ini beliau hanya punya kau sebagai sanak kadang. Akupun harus berterima kasih dan membalas budi kebaikannya, sebelum ajal, beliau sudi pandang diriku seperti sanak kadang sendiri. Nona Han, sudikah kau mempunyai engkoh seperti diriku ini?"

"Aku tiada punya ayah bunda atau kakak beradik, kini Gi-hu yang menjadi sandaranku juga sudah meninggal. Tan-toako, kalau sudi memandangku sebagai adik, kumintapun belum tentu bisa tercapai. Cuma aku kuatir adikmu yang tidak berguna ini bakal menjadikan beban berat bagi dirimu."

"Yang tak berguna justru aku, kalau tiada bantuan adik yang baik seperti dirimu, mungkin sekarang aku sudah mati atau terluka parah, masakah aku bisa berdiri disini berbincang-bincang dengan kau?" maka keduanya lantas bersembah sujud di hadapan kuburan Khu Ti saling mengangkat kakak dan adik.

Memang Han Cin tidak pernah membaca surat itu, tapi sebenarnya dia tahu apa isi surat itu. Walau sebelum ajalnya Khu Ti tidak memberi penjelasan kepadanya, tapi dari pembicaraannya dia sudah maklum akan maksud tujuan ayah angkatnya, yaitu ingin menjodohkan dirinya dengan Tan Ciok-sing.

"Mungkin ayah juga berpikir, karena aku adalah orang asing yang belum pernah bertemu dengan dia, jikalau sekali ketemu lantas bicara soal jodoh, bukankah serba salah jadinya, maka beliau ingin supaya kami sebagai kakak beradik dulu. Bahwa Gi-hu menyuruhnya melindungi aku, bukankah secara tidak langsung sudah menunjukkan maksudnya yang nyata," demikian batin Han Cin.

Yang benar, setelah dia tahu kemana maksud sang ayah, hatinya ikut ruwet dan bingung. Pada hal sang ayah memuji Tan Ciok-sing sebaik itu, betapapun dia adalah laki-laki yang masih asing untuk dirinya, darimana dia bisa tahu kalau orang suka atau tidak terhadap dirinya? Umpama sekarang dia sudah berhadapan dengan Ciok-sing, diapun tidak tahu apakah dia sudah betul-betul jatuh cinta terhadap sang jejaka ini?

Tadi dia sudah saksikan Kungfu Ciok-sing, apa yang dipujikan sang ayah memang tidak berkelebihan. Dari pergaulan permulaan ini, diapun sudah merasakan kalau Tan Ciok-sing adalah laki-laki sejati yang patut dipercaya dan dihormati. Dia juga tidak menyangkal, bahwa semakin lama dia semakin kasmaran terhadap pemuda gagah ini. Tapi bicara soal jodoh, lain pula persoalannya, "suka" belum tentu berarti "cinta".

"Urusan kelak biarlah dibicarakan kelak. Mungkin aku bakal jadi isterinya, atau selamanya kita tetap sebagai kakak adik, itupun tiada ruginya. Apalagi aku menyukai dia, maka diapun harus menyukai aku. Masakah berdasarkan surat pesan maka dia harus cinta dan mengawini aku, apa pula artinya?" setelah Han Cin dapat berpikir demikian, perasaannya menjadi lapang dan bersyukur bahwa sang ayah ternyata memang punya perhitungan dalam memegang rol perjodohon ini, dan ini justeru mencocoki seleranya pula.

"Adik Cin, selanjutnya bagaimana?" tanya Ciok-sing kemudian.

"Entahlah. Ayah sudah meninggal, semula kukira aku dapat mencari perlindungan kepada Gihu," sikapnya tampak hambar.

"Apakah di kampung halaman kau tidak punya sanak kadang lagi?"

"Famili dekat tiada, ada juga famili jauh kalau mau diurutkan satu dengan yang lain, tapi mereka adalah kaum pedagang kecil, aku tidak ingin bersandar pada mereka."

Merandek sejenak akhirnya Han Cin berkata lebih lanjut: "Sebetulnya aku bisa pulang ke sekolahan ayah dulu, orang-orang desa itu semuanya jujur dan menyenangkan. Aku yakin bisa hidup berdampingan dengan mereka. Tapi bicara terus terang, selama belasan tahun aku hidup di dusun kecil itu, akhirnya menjadi bosan juga. Dulu ada ayah sebagai teman, ada pula Gi-hu mengajar Kungfu, memang kehidupan terasa tentram dan menyenangkan. Ai, tapi selanjutnya lain pula yang bakal kuhadapi."

Berpikir sejenak akhirnya Ciok-sing berkata: "Kau memiliki kepandaian, memang tidak pantas memendam diri di pedusunan selama hidup ini. Adik Cin, marilah kau ikut aku saja," sebetulnya Ciok-sing sendiri juga belum punya keputusan, namun teringat akan pesan Khu Ti supaya dia melindungi adik angkatnya ini, maka dia tidak banyak pikir lagi.

Kelihatannya Han Cin agak kikuk dan serba susah, katanya: "Antara kakak beradik memang tidak perlu sungkan dan main sembunyi, tapi memangnya aku harus mengikuti kau selalu," sebetulnya dia ingin bilang 'memang aku harus ikut kau selamanya' untung dia sempat membatalkan kata-katanya ini, namun demikian tak urung merah selebar mukanya.

Ciok-sing mendongak

mengawasi gumpalan mega seperti memikirkan sesuatu, seakan-akan dia tidak begitu perhatikan perubahan mimik muka Han Cin, mendadak dia berseru: "Nah, ada."

"Ada apa?" tanya Han Cin.

"Apa kau tahu Kim-to Cecu yang bermarkas diluar Gan-bun-koan?" tanya Ciok-sing.

"O, apakah Kim-to Cecu Ciu San-bin yang kau maksud. Dia merupakan tonggak utama di daerah Gan-bun-koan, pernah beberapa kali dia membendung dan malah memukul mundur invansi pasukan Watsu, sering Gi-hu bercerita tentang pahlawan tua yang perwira ini. Kau tanya soal dia, memangnya kau kenal Kim-to Cecu, dan ingin mengajakku ke markasnya?" demikian tanya Han Cin sambil menjingkrak girang.

"Aku sendiri belum pernah ketemu dengan Kim-to Cecu, tapi ada kenalan baikku disana. Dalam markasnya ada detasemen wanita, mereka kini tengah memerlukan tenaga gadis-gadis militan, jika kau mau membantu mereka, mereka pasti senang menerimamu."

"Baiklah kalau begitu," Han Cin bersorak girang.

"Tapi kau harus menolong aku lebih dulu," ujar Ciok-sing.

"Menolong soal apa, Toako, lekas katakan saja, tak usah sungkan."

"Kepandaianmu merias orang sungguh amat ahli. Kupikir sukalah kau tolong merubah aku menjadi orang lain. Di kota Tay-tong aku pernah membuat geger, aku kualir pengusaha disana mengenali diriku."

"Itu gampang. Kau suka jadi tua? Muda? Gagah, ganteng? Atau yang jelek rupa?"

"Apa saja bolehlah, jadi jelek seperti badut juga tidak jadi soal. Yang penting orang lain takkan mengenali diriku lagi."

"Baiklah, mari kita kembali ke pondok Gi-hu. Gi-hu masih meninggalkan beberapa perangkat pakaian lama, biar nanti kurobah sedikit, besok baru mulai menyolek dirimu."

Malam itu Ciok-sing tidur di ruang tamu bagian luar, sementara Han Cin tidur di kamar ayah angkatnya, tapi sampai kentongan ketiga sinar pelita masih kelihatan menyorot keluar dan dalam kamar, agaknya Han Cin giat menjahit pakaian. Sungguh haru dan terima kasih hati Ciok-sing, namun dia merasa rikuh untuk mengganggu pekerjaan orang, terpaksa dia tinggal diam dan pura-pura tidur nyenyak. Pada hal pikirannya timbul tenggelam, hatinya gundah kalau bayangan Han Cin tersorot ke jendela kamarnya, adalah bayangan In San selalu terbayang dalam benaknya, kira-kira menjelang fajar baru tanpa terasa dia tertidur lelap.

Hari kedua pagi-pagi, Han Cin membangunkannya, katanya tertawa: "Toako, bangunlah, aku akan merubahmu jadi laki-laki jelek."

Pakaian yang dijahit dan dipermaknya itu seperti telah diukur dan dicobakan dulu kepada Ciok-sing saja, ternyata pas dan cocok dengan perawakan Ciok-sing. Setelah Ciok-sing masuk kamar salin pakaian, mulailah Han Cin merias dia, setelah rampung Han Cin sodorkan sebingkai kaca kepadanya, tampak seraut wajah yang tampak didalam kaca adalah orang desa penduduk setempat, memangnya bentuk wajahnya kelihatan kurus panjang, kini berubah bundar gemuk.

Dengan tertawa Han Cin berkata: "Kini kau pantas menjadi seorang pedagang kecil yang suka mengkreditkan barang-barang klontong di antara penduduk pegunungan, kaum pedagang kecil seperti ini cukup banyak di Tay-tong, kau puas tidak?"

"Teramat puas. Aku sendiri hampir tidak mengenali wajahku sendiri."

"Sarapan pagi sudah kusiapkan, kutaruh di dapur, kalau sudah dingin silahkan kau panaskan lagi.

Sebentar kau makan sendiri, aku mau turun gunung."

"Kenapa kau tidak turun gunung bersamaku?"

"Aku akan titipkan buku dan lukisan peninggalan Gi-hu kepada seorang kenalan baiknya, setelah mohon diri pada kenalan ayah di desa."

"Apa aku tidak boleh ikut?"

Han Cin tertawa: "Mereka adalah kenalan baikku, kalau para tetangga berbondong-bondong datang tanya kepadaku pernah apa kau dengan diriku, cara bagaimana aku harus menjelaskan?" Merah muka Ciok-sing, seketika dia bungkam.

"Setelah kau turun gunung, tunggulah aku di kedai arak Gi-hu dulu, kira-kira setengah jam setelah lewat lohor, aku akan sudah tiba di tempat itu," lalu dia menjinjing sebuah koper kulit yang penuh berisi buku dan gambar meninggalkan gubuk, dengan mengembangkan ginkang dia berlari turun gunung. Melihat langkah orang ternyata enteng dan lincah, diam-diam Ciok-sing merasa kagum.

Setelah sarapan pagi Ciok-sing turun gunung, dia berjalan seenaknya saja, kira-kira menjelang lohor dia sudah sampai di kedai arak Khu Ti yang terletak di kaki gunung. Kedai arak ini sudah tinggal puing-puingnya saja, dua batang pohon di samping kedai masih ada, maka Ciok-sing istirahat duduk di bawah pohon.

Setengah jam telah berselang, tapi belum tampak bayangan Han Cin. Tengah Ciok-sing merasa gelisah, mendadak tampak seorang pemuda dari penduduk setempat menghampiri ke depannya, berdiri sejenak lalu mengawasi dirinya dari kepala sampai kaki. "Tuan, kau datang dari luar daerah bukan, siapa yang kau tunggu disini?" demikian tanya pemuda itu.

"Aku, aku, darimana kau tahu kalau aku sedang menunggu orang?" Ciok-sing balas bertanya.

"Kulihat kau duduk disini sudah lebih setengah jam, bukankah sedang menunggu orang, kalau tidak kenapa tidak cari kedai minum yang lain. Memang disini dulu ada kedai arak, tapi sudah dibakar habis oleh tentara," demikian ujar si pemuda pula.

Sudah tentu Ciok-sing jadi serba susah untuk menjelaskan. Walau dia tahu bahwa pemuda ini tidak mengandung maksud jahat, tapi mana boleh dia memberirahu secara terang-terangan? Di saat dia kebingungan itulah, si pemuda tiba-tiba tertawa geli, katanya: "Kau sedang menunggu seorang nona she Han bukan?"

Ciok-sing berjingkrak kaget dan senang, katanya: "O, jadi nona Han yang menyuruh kau kemari?

Apakah dia mengalami suatu kejadian apa sehingga tak keburu kemari?"

"Dia sih sudah datang," sahut si pemuda.

"Dimana?" tanya Ciok-sing sambil celingukan, kecuali pemuda di hadapannya, di sekitar situ tiada bayangan orang ketiga.

Akhirnya pemuda itu cekikikan, katanya: "Jauh di ufuk dekat di depan mata," suaranya mendadak berubah, dari suara laki-laki yang serak dan kasar menjadi suara merdu bak kicau burung kenari.

Baru sekarang Ciok-sing sadar, katanya tertawa sambil menepuk paha: "Bagus ya, aku menunggumu dengan gelisah, kau justru mempermainkan aku."

"Aku ingin coba-coba apa kau masih mengenali aku. Merubah wajah gampang, aku kuatir suaraku yang gampang dikenali akan kepalsuanku."

"Pasti orang takkan curiga kepadamu. Tapi kenapa kau menyamar jadi pemuda?"

"Meski kita kini kakak adik, tapi wajah berbeda, orang luar kan tidak tahu apalagi laki perempuan seperjalanan, tentunya menarik perhatian orang."

"Itu aku tahu. Tadi aku kira kau akan menyaru jadi seorang kakek. Samaranmu menjadi Gi-humu kemarin sungguh bagus sekali."

"Kalau aku menyaru jadi kakek, maka kau akan menjadi cucuku, bukankah lebih menguntungkan aku malah?"

"Kau memang adik binal, baiklah, tak usah ribut-ribut, marilah berangkat."

"Aku takkan melakukan kesalahan, sebaliknya kaulah yang harus selalu hati-hati. Ingat, selanjutnya jangan panggil aku Hian-moay, tapi panggillah Hian-te, mari."

Mengawasi dandanan Han Cin, tanpa terasa Ciok-sing teringat pula kepada In San, waktu pertama kali dia bertemu dengan In San di tengah perjalanan diluar kota Tay-tong, In San juga sedang menyamar jadi laki-laki. Walau tidak semirip samaran Han Cin sekarang, waktu itu diapun tidak bisa membedakannya.

"Eh," seru Han Cin, "apa yang sedang kau lamunkan Toako? Wajahmu tampak lesu, memangnya kau kurang senang karena kugoda tadi?"

"Memangnya kau kira Toakomu ini suka rewel dan bawel. Aku sedang terkenang pada ayah angkatmu, terbayang olehku pada hari perkenalanku di kedai itu dengan beliau. Meski kedai sudah terbakar, tapi kejadian itu masih tetap semayam dalam sanubariku," habis berkata tanpa sadar mukanya jengah. Inilah untuk kedua kalinya dia berbohong kepada Han Cin.

Tapi sekarang dia betul-betul teringat kepada Khu Ti.

Terbayang akan Khu Ti serta merta dia mengawasi Han Cin di depannya, perasaannya semakin hambar. Selama ini dia belum membalas kebaikan Khu Ti, memangnya dia menyia-nyiakan maksud dan harapan Khu Ti.

Untung Han Cin tidak membongkar rahasia sanubarinya, selama hidupnya baru pertama kali ini dia seperjalanan dengan seorang laki-laki kecuali ayah kandungnya sendiri, walau kadang kala dia membawakan juga watak dan perangai seorang gadis belia umumnya, tapi ini menandakan betapa senang dan gembira hatinya. Mungkin belum bisa dikatakan sudah terjalin cinta di antara mereka, tapi keadaan mereka sudah layak seperti kakak beradik. Sepanjang perjalanan ini keduanya sering berkelakar, Ciok-sing sendiri sering juga terhibur hatinya oleh banyolan Han Cin, sehingga rasa masgulnya selama ini sirna tanpa terasa. Memang banyak persamaan antara Han Cin dengan In San, tapi Han Cin lebih riang dan lincah suka berkelakar dari In San.

Hari itu mereka tiba di Tay-tong. Maklumlah sebagai kota yang cukup besar dan penting di daerah barat daya, setelah mengalami petaka peperangan, lekas sekali Tay-tong sudah sembuh dari kebobrokan perang, pendudukpun telah pulih juga usahanya.

"Toako," kata Han Cin, "apakah kita tidak perlu cari hotel untuk menginap?" maklum dia kuatir Tay-tong sebesar dan seramai ini, tentu sulit mencari penginapan. Selama beberapa hari perjalanan ini, setiap kali menginap di hotel mereka selalu minta dua kamar, memangnya setelah terjadi peperangan ini, banyak pedagang yang menghentikan usahanya, sehingga jarang orang keluar pintu, dengan sendirinya usaha perhotelan menjadi sepi, kebetulan kalau mereka suka memesan dua kamar. Tapi setiba di Tay-tong, keadaan jelas berbeda. Agaknya Ciok-sing tahu maksud hatinya, katanya dengan senyum simpul: "Kita tak perlu menginap di hotel."

"Kau punya teman-baik di Tay-tong ini."

"Kukenal secara kebetulan saja, mungkin tak terhitung teman. Tapi aku yakin dia pasti dengan senang hati menyambut kedatangan kita."

"Kecuali keluarga In, kukira tiada keluarga besar lainnya yang ternama dalam kota Tay-tong, siapa orang yang kau kenal ini?"

"Orang ini sedikitpun tidak bisa main silat, tapi usahanya mirip ayah angkatmu, diapun membuka kedai minuman."

Letak kedai minum itu hanya terpaut satu gang dengan rumah keluarga In, waktu Tan Ciok-sing datang ke Tay-tong, tempo hari, diapun mencari tahu berita keadaan rumah keluarga In dari kedai minum ini. Pemilik kedai kira-kira sebaya dengan Khu Ti, anak isteri sudah meninggal, namun dia lebih beruntung dari Khu Ti, karena ada seorang cucu laki-laki yang menemaninya. Kedai itu berada di sebuah gang sempit yang nyelempit, waktu mereka masuk kedai, kebetulan keadaan sepi tanpa seorang pembeli.

Begitu masuk pintu Tan Ciok-sing berkata dengan tersenyum: "Berikan semangkok air bening, aku sudah cukup puas. Tak perlu kau merasa rikuh karena tiada daun teh."

Sudah tentu Han Cin kebingungan, tidak tahu kenapa Tan Ciok-sing berkata demikian. Pada hal mereka sudah berada dalam kedai, sementara orang tua pemilik kedai itu sudah suruh cucunya menyeduh teh. Sudah tentu begitu mendengar kata-kata Ciok-sing, kakek dan cucu ini sama melengak saling pandang, dengan seksama mereka mengamati Ciok-sing dari atas sampai bawah.

Kembali Tan Ciok-sing berkata: "Adik cilik, apakah kue kering ini enak rasanya? Sayang kali ini aku tidak bawa oleh-oleh kue kering untukmu. Tapi waktu masuk kota tadi di pintu luar aku ada membeli sebungkus bolu, mungkin bolu ini lebih enak dari kue kering itu."

Seketika bercahaya sorot mata bocah cilik itu, teriaknya sambil berjingkrak girang: "Bukankah kau ini paman Tan yang dulu memberi kue kering untukku itu?"

"Betul," ujar Ciok-sing, "ternyata kau masih ingat."

"Lho, kenapa kau berubah begini? Sedikitpun tidak mirip paman Tan yang dulu itu? Apa betul kau ini paman Tan?"

"Panjang kalau diceritakan, tapi entah mengganggu usaha kalian tidak?" ujar Ciok-sing.

Laki-laki tua itu seketika paham, lekas dia mendesis sekali lalu berkata: "Siau-gu, jangan ribut," lalu dia berpaling dan berkata kepada Tan Ciok-sing: "Duduklah sebentar," bergegas dia lari ke meja kasir serta menyobek selembar kertas putih dia menulis: "Memperbaiki tungku, libur sehari", lalu dia tempel kertas putih ini di atas daun pintu yang sudah dia rapatkan lebih dulu. Lalu dengan rasa lega dia berjalan masuk dan berkata: "Sekarang boleh kita berbincang dengan leluasa."

"Kembali aku mengganggu kalian, sungguh kurang enak. Inilah adik angkatku. Dia she Han," Ciok-sing perkenalkan Han Cin.

Sikap laki-laki tua tampak ragu-ragu, katanya: "Apa betul kau adalah tamu kita yang kemari tempo hari, kuingat hari itu kau datang menunggang kuda."

"Betul, waktu itu Tay-tong baru saja bebas dari jajahan tentara musuh, toko-toko belum ada yang buka, waktu aku datang malah ada yang kira aku mata-mata musuh. Untung kalian baik hati, sudi membuka pintu sehingga aku bisa istirahat disini. Aku diberi air minum", kudakupun dirawat baik. Lebih mengharukan lagi adalah kalian mau mempercayai aku, berita diam-diam dia yang ingin kuketahui kalian sudi memberitahu padaku."

Laki-laki tua itu berseri, katanya: "Ternyata kau memang benar Tan-siangkong. Tan-siangkong, samaranmu sebagus ini, kini kau betul-betul menjadi seorang yang lain, jikalau kau tidak bicara sejelas ini bagaimana juga aku takkan percaya padamu."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "kalau kau belum percaya, tolong ambilkan sebaskom air dingin, setelah bentuk wajahku yang asli pulih, boleh kau buktikan sendiri."

"Ah, tak usahlah, walau kita tidak perlu menjaga adanya kuping di balik dinding, harus juga hati-hati bila tetangga tahu-tahu ada yang menerobos kemari."

Setelah yakin akan kedatangan Ciok-sing yang menyamar ini, laki-laki tua itu menjadi sciung dan sibuk, katanya: "Siau-gu, lekas seduh teh lagi," baru saja bocah itu hendak mencomot daun teh, mendadak dia tarik tangannya, katanya tertawa: "Coba lihat, aku jadi linglung jadinya, Siau-gu marilah kita sembah dulu kepada Tuan penolong."

Lekas Tan Ciok-sing tarik mereka, katanya: "Loyacu, kenapa kau begini sungkan, mana berani aku menerima penghormatan sebesar ini? Budi kebaikanmu belum lagi aku membalasnya."

"Bantuan kita kecil tak berarti? Justru kau adalah penolong jiwa raga kami kakek dan cucu. Jikalau kau tidak tinggalkan rangsum setengah karung itu, mungkin sejak lama kita sudah mati kelaparan."

"Loyacu, kembaliku ini akan minta pertolonganmu lagi, aku kuatir mungkin bisa membikin repot dirimu."

Berkerut alis laki-laki tua, katanya: "Tan-siangkong silakan katakan saja. Jangan kau anggap aku sebagai manusia rendah yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang lain."

"Teramat berat kata-kata Loyacu. Kejadian malam itu tentunya kau sudah tahu, jikalau ada yang tahu kau pernah menerima kedatanganku..."

"Jangan kata tiada orang yang kenal kau, umpama betul terjadi sesuatu diluar dugaan, akupun tidak akan menyesal. Silakan katakan."

Seketika lebar tawa laki-laki tua itu, katanya: "Kukira ada urusan apa, ternyata hanya menginap beberapa hari saja, biarlah kuanggap kalian sebagai familiku yang datang dari jauh. Sudah tentu asal kalian tidak merasa kotor dan kurang memuaskan pelayanan kami."

Tergerak hati Han Cin, batinnya: "Kenapa dia hanya bilang aku seorang saja?" tapi tidak enak dia langsung tanyakan hal ini kepada Ciok-sing. Demikian pula laki-laki tua itu kira, mereka datang bersama, sepantasnya keduanya akan menginap di rumahnya, maka dia tidak perhatikan tekanan kata-kata Ciok-sing.

Laki-laki tua berkata: "Bicara soal kejadian malam itu, ada yang ingin kutanyakan. Malam itu kau pergi ke rumah keluarga In, kira-kira kentongan ketiga, tahu-tahu rumah keluarga In dikepung pasukan pemerintah, dan menjelang fajar rumah itupun dibakar. Kira-kira menjelang kentongan ke empat kau kembali kesini mengambil kuda, waktu itu aku belum sempat tanya padamu, apakah kau sudah bertemu dengan In Tayhiap dan putrinya? Apapula yang terjadi malam itu?"

"Malam itu aku bertemu dengan In-hujin. Nona In baru belakangan kuketemukan," demikian sahut

Ciok-sing.

"O, jadi In-hujin betul-betul pulang. Tapi hanya dia seorang saja yang kembali?"

"Sudah tentu hanya seorang diri saja. In-hujin pulang hendak menengok putrinya, mana bisa dia membawa orang luar ke rumah sendiri."

Laki-laki tua itu tahu bahwa Ciok-sing tentu sudah tahu liku-liku rahasia keluarga In, katanya: "Kalau demikian, kali ini mereka memang keliru menyalahkan In-hujin."

"Mereka? Siapa yang kau maksud?"

"Orang luar, mereka punya cerita yang lain pula coraknya."

"Bagaimana cerita mereka?"

"Mereka bilang In Tayhiap telah pulang secara diam-diam, maksudnya hendak membawa pergi putrinya, entah kenapa rahasia kedatangannya bocor dan diketahui In-hujin. Maka In-hujin menyusul pulang dengan membawa pasukan, tujuannya hendak membekuk sang suami dan merebut kembali putrinya. Mereka juga bilang pernah melihat In Tayhiap dan putrinya dikepung oleh pasukan besar tapi akhirnya mereka bisa "terbang" keluar. Tapi ada pula yang mengatakan, hanya melihat In Tayhiap, tapi tidak melihat putrinya. Perempuan yang akhirnya "terbang" keluar itu adalah In-hujin, tapi dia sedang mengudak sang suami dan hendak meringkusnya."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Cerita mereka hakikatnya tanpa dasar. Malam itu memang betul ada seorang laki-laki yang "terbang" keluar tapi bukan In Tayhiap, melainkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, sahabat baik In Tayhiap semasa hidupnya. Dialah yang melindungi In-hujin menjebol kepungan, jadi pasukan itu bukan In-hujin yang membawanya kemari, malah sebaliknya pasukan itupun hendak menangkap In-hujin."

Laki-laki tua pemilik kedai terkejut, katanya: "In Tayhiap sudah menghilang sejak beberapa tahun lalu, ternyata dia sudah meninggal," mendadak dia awasi Ciok-sing, katanya dengan tertawa: "Diluar masih ada pula kisah lain yang berbeda, kedengarannya bukan saja aneh, lucu juga terlalu dibesar-besarkan."

Tan Ciok-sing melengak, katanya: "Kisah aneh dan lucu apa?"

"Malam itu ada juga yang melihat seorang pemuda yang terbang keluar. Mereka bilang pemuda itu adalah murid In Tayhiap, kelak In Tayhiap akan menjodohkan putrinya dengan dia."

Ciok-sing tertawa geli, katanya:

"Ah, itu hanya obrolan yang mengada-ada saja, pemuda yang terbang keluar itu adalah aku,"

"Ya, aku sudah duga, tapi aku harap apa yang mereka katakan..."

Ciok-sing tahu apa yang akan diucapkan orang tua ini, lekas dia menyeletuk: "kejadian malam itu sudah kujelaskan. Marilah kita bicarakan persoalan yang lain. Aku ingin tahu kecuali peristiwa pembakaran rumah keluarga In oleh pasukan pemerintah, adakah terjadi kasus yang lain?"

"Ya, teringat aku, kira-kira tiga hari yang lalu, ada orang pernah mampir di kedaiku ini minum teh, dia mencari tahu berita nona In. Kukira kau tahu akan orang ini."

"Orang macam apa dia?"

"Dia mengaku sebagai pesuruh dari keluarga Toan di Tayli, katanya dia ditugaskan sang majikan untuk mencari jejak nona In, bila perlu mengajaknya pulang ke Tayli pula."

Waktu Tan Ciok-sing datang tempo hari, diapun mengaku sebagai pesuruh keluarga Toan yang diminta menjemput In San ke Tayli. Katanya: "O, ada kejadian ini? Apakah orang itu sekarang masih ada di Tay-tong?"

"Pernah sekali saja dia kemari tiga hari yang lalu, akhirnya tidak pernah muncul pula, entah dia sudah pergi belum? Tan-siangkong agaknya kau tidak tahu menahu akan hal ini?"

"Selama ini aku belum kembali ke Tayli, mungkin Siau-ongya mengutus yang lain pula, hal itu aku tidak tahu."

Tanpa terasa hari sudah mulai petang, didalam rumah bila pintu sudah ditutup, keadaan menjadi remang-remang. Laki-laki tua berkata dengan tertawa: "Coba betapa bodohnya aku ini, asyik bicara saja, sampai lupa masak nasi untuk makan nanti."

"Tak usahlah, aku belum lapar."

"Bagaimanapun harus makan nasi. Kalian sudah menempuh perjalanan sehari, tentunya sudah letih. Setelah makan boleh silakan istirahat saja."

Bicara soal tidur, jantung Han Cin jadi dag dig dug, diam-diam dia berpikir: "Pemilik kedai ini dari keluarga miskin, modalnya juga kecil tempatnya sempit, memangnya ada kamar kosong untuk tempat kami. Bagaimana malam ini aku harus tidur?"

Setelah makan malam laki-laki tua itu berkata: "Tan-siangkong, ada sebuah kamar kosong, kebetulan untuk tidur kalian berdua. Siau-gu, hayo bantu kakek membersihkan kamar kakek itu."

Lekas Han Cin berkata: "Jangan repot-repot Loyacu, aku bisa tidur di ruang ini, cukup di atas meja yang dijajar saja."

"Mana boleh tamu diladeni sekasar itu? Kamar itu memang kosong, tidak jadi soal untuk tempat tinggal kalian," setelah menghela napas, dia menjelaskan: "Kamar itu dulu kamar tidur ayah bunda Siau-gu semasa masih hidup, ibu Siau-gu meninggal setelah dia lahir tidak lama kemudian, ayahnya meninggal di medan pertempuran waktu itu pasukan besar Watsu menyerbu kemari. Sekarang kamar itu kubuat menumpuk kayu-kayu bakar, namun dipannya tak pernah diusik. Cukup dibersihkan saja lantas boleh digunakan."

Tan Ciok-sing menguap, katanya: "Ya, memang sudah capai."

"Memangnya," kata laki-laki tua, "sehari penuh kalian menempuh perjalanan, siapa yang takkan merasa letih? Kalian tidak usah sungkan, silakan istirahat," dalam pada itu Siau-gu sudah selesai membersihkan kamar itu.

"Merepotkan kau saja, sungguh rikuh rasanya, kau orang tua juga silakan istirahat," demikian kata Tan Ciok-sing, setelah mengucap 'selamat malam' dia lantas masuk ke kamar. Apa boleh buat terpaksa Han Cin ikut dia masuk ke kamar.

Setelah menutup pintu, seperti tertawa tidak tertawa Ciok-sing pandang Han Cin, katanya: "Kau masih belum ngantuk?"

Han Cin jadi uring-uringan, katanya kesal: "Kau betul-betul letih, aku sih tidak biasa tidur pagi. Ranjang ini boleh kau pakai, kau sudah ngantuk silakan tidur. Aku cukup samadi di bawah saja."

"Sebetulnya aku tidak ingin tidur pagi-pagi," kata Ciok-sing tertawa.

"Lalu, kenapa kau buru-buru mengajakku masuk kamar?"

Dengan suara lirih Ciok-sing berkata: "Aku tahu ada persoalan yang ingin kau tanya kepadaku, akupun ada hal-hal yang ingin kujelaskan padamu. Di kamar ini lebih leluasa kita berbicara."

Han Cin jadi paham dan sadar, katanya tertawa: "Jadi kau ngapusi orang tua itu. Agaknya kau memang pandai membual."

"Kalau tidak merugikan orang lain, apa salahnya bila perlu membual?"

"Jadi kau punya hubungan seintim itu dengan keluarga In, kenapa tidak kau beritahu kepadaku?"

"Kukira ayah angkatmu sudah ceritakan kepadamu."

"Aku tahu ayah In Tayhiap dulu adalah sekolega dengan Gi-hu, tapi tak pernah beliau membicarakan hubungan antara keluarga Tan dan keluarga In. Waktu aku buru-buru pulang akhir kali itu, beruntung dapat menemuinya sebelum ajal. Aku tahu banyak yang ingin dia bicarakan dengan aku, sayang sang waktu sudah tidak memberi kesempatan lagi."

"Perkenalanku dengan In Tayhiap jauh sebelum aku kenal ayah angkatmu, tapi tentang hubungan kedua keluarga juga kuketahui setelah aku bertemu dengan ayah angkatmu. Ayah angkatmu memberitahu, baru aku tahu."

"Kalau demikian keluarga In menanam budi terhadapmu, keluarga In pun hutang budi terhadapmu. Jadi hubunganmu dengan keluarga In tentunya luar biasa baiknya. Bagaimana keadaan In-hujin? Kau pernah menolong suaminya, pasti dia merasa hutang budi dan amat berterima kasih padamu, mungkin memandangmu seperti keponakan sendiri? Kenapa kau tidak ikut dia?"

"In-hujin sudah meninggal, menurut apa yang kutahu akhirnya dia sudah berada di markas Kim-to Cecu, seperti keadaan ayah angkatmu, kebetulan dia sempat melihat wajah putrinya untuk terakhir kali. Aku pernah janji kepada ayah angkatmu untuk menemui It-cu-king-thian di Kwi-lin, waktu amat mendesak maka aku tak sempat mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."

Han Cin menghela napas, katanya: "Nasib nona In itu ternyata juga amat menderita"

"Nasib kita bertiga memang sama, semuanya yatim piatu, tiada sanak kadang lain lagi dalam dunia ini."

Tak tertahan menyeletuk pertanyaan Han Cin: "Kau kan senasib sepenanggungan dengan nona In itu, kenapa kau tidak berada sama dia?"

"Memangnya dengan kau sekarang aku tidak senasib sepenanggungan?"

"Jangan kau menyeret diriku, mana aku berani dibanding dengan putri In Tayhiap?" lalu dia bertanya, "kalau dia putri In Tayhiap Kungfunya tentu amat tinggi, orangnya juga cantik bukan?"

Setelah mendengar pertanyaan ini baru Ciok-sing sadar barusan telah keliru bicara, sahutnya dengan tawa dipaksakan: "Memang dia sudah memperoleh didikan murni ayahnya, seperti juga kau telah memperoleh ajaran langsung dari ayah angkatmu. Kalian adalah pahlawan-pahlawan gagah dari kaum hawa yang serba bisa."

Han Cin mencibir, jengeknya: "Jangan kau menyepuh emas di mukaku, aku cukup tahu diri bahwa aku tidak setimpal dibanding nona In itu."

"Adik Cin," ujar Ciok-sing sungguh-sungguh, "sekali-sekali jangan kau berkata-kata demikian lagi."

Agaknya Han Cin merasa direndahkan dan dikesampingkan, maka unek-unek hatinya seketika memberondong keluar: "Bukankah pemilik kedai tadi sudah bilang, orang-orang luar sudah sama anggap kau sebagai menantu keluarga In."

"Adik Cin, kau tidak tahu, aku tidak bisa salahkan kau," demikian ujar Tan Ciok-sing perlahan, "Baiklah akan kujelaskan, nanti kau akan tahu bahwa soal beginian tidak boleh sembarang dibuat omongan."

"Aku tahu apa?" tanya Han Cin tertegun.

"Memang keluarga In sudah punya calon menantu, tapi bukan diriku, dia seorang sahabatku juga."

"Apa benar? Siapakah dia?"

"Banyak hal telah kau ajukan padaku, kenapa justru ketinggalan yang satu?"

"Ketinggalan yang satu apa?"

"Persoalan yang menyangkut pribadi Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli?"

"Oh, ya, dari pembicaraanmu dengan Lo-yaya tadi, agaknya dia anggap kau pasti kenal baik setiap orang utusan dari keluarga Toan, apa sih yang terjadi?"

"Waktu pertama kali aku kemari, aku mewakili Siau-ongya menjemput nona In. Karena tidak ingin orang salah paham menyangka aku yang jadi calon menantu orang, maka aku mengaku sebagai pesuruh Siau-ongya."

"Lho, bukankah kau hendak menyerahkan kembali barang peninggalan In Tayhiap kepada nona In? Kenapa bilang mendapat titipan dari Siau-ongya segala."

"Apakah kedua persoalan itu tidak dapat dibereskan bersama?" tanya Tan Ciok-sing.

"Kenapa Siau-ongya keluarga Toan minta kau yang menjemputnya?" Han Cin balas bertanya.

Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Kenapa tidak bisa dimengerti? Keluarga mereka kan sudah bersahabat sejak beberapa generasi. Sejak lama In Tayhiap menjodohkan putrinya kepada dia. Sekarang mereka sedang berada di Kwi-lin. Bila pulang kembali ke Tayli akan segera melangsungkan pernikahan. Kenapa kau tanya aku tidak bersama dia?"

Yang benar meski In Hou ada maksud menjodohkan putrinya dengan Toan Kiam-ping, namun tujuannya itu belum menjadi kenyataan.

Analisa Tan Ciok-sing terhadap hubungan mereka kedengarannya memang masuk di akal. Menurut hematnya, keluarga Toan dan In memang setimpal berbesanan, sejak kecil In San tumbuh dewasa bersama Toan Kiam-ping, orang lain bila setiap hari bergaul bersama suatu ketika pasti akan timbul asmara, apa lagi hubungan mereka yang sudah mendapat restu keluarga. Bila Toan Kiam-ping sudah sembuh berkat rawatan In San, pasti Toan Kiam-ping akan membawanya pulang dan melangsungkan pernikahan, umpama In San menolak, pernikahan itupun tinggal menunggu saja.

Ada orang bilang, bila sering berbohong, diri sendiripun akan percaya. Apa yang diuraikan Tan Ciok-sing sudah tentu bukan seluruhnya bohong, namun dia angggap apa yang menjadi anggapannya itu adalah kenyataan, tanpa merasa dia sendiripun merasa apa yang diceritakan itu memang sesungguhnya bakal terjadi. Setelah dia menceritakan "kenyataan" ini kepada Han Cin, meski lahirnya dia masih bisa tersenyum, tapi dalam hati bukan kepalang sedihnya.

Berbeda adalah perasaan Han Cin, setelah mendengar cerita Tan Ciok-sing, sesaat dia termangu, mimiknya pura-pura berpikir-pikir, namun dalam hati justeru merasa amat lega, terasa ringan yang sukar dilukiskan. Setelah menghela napas Tan Ciok-sing berkata pula: "Cin-moay, apa yang kualami sudah kuceritakan kepadamu, sekarang kau pasti senang?"

Merah muka Han Cin, katanya: "Mereka mau menikah atau tidak, apa sangkut pautnya dengan aku?"

Api dian sebesar kacang, sinarnya redup menyorot ke muka Tan Ciok-sing yang diselimuti selapis bayangan gelap. Han Cin tidak berani menatapnya langsung, namun dia sadar bahwa Tan Ciok-sing sedang mengawasinya seperti tertawa tak tertawa. Mengira rahasia hatinya diketahui orang, mukanya seketika semakin merah. Diluar tahunya bahwa senyum Tan Ciok-sing ini justru merupakan pelimpahan rasa getir sanubarinya, hakikatnya bukan senyum yang ditujukan kepadanya.

Menghindari tatapan Tan Ciok-sing Han Cin menunduk dan berpikir pula: "Ai, peduli dia menaruh cinta atau tidak, padahal baru berapa hari aku berkenalan sama dia, kenapa aku tergesa-gesa memikirkan nasib masa depanku sekarang?"

Bahwasanya bukan saja Han Cin tidak bisa menyelami isi hati Tan Ciok-sing, apakah dia sendiri naksir kepada Tan Ciok-sing juga dia tidak tahu.

Kedua orang sama memikirkan persoalan masing-masing. Tan Ciok-sing juga kuatir bila Han Cin menyelami perasaan hatinya, untuk membuktikan bahwa dirinya betul-betul ikut senang bagi pernikahan In San, maka di hadapan Han Cin dia memuji Toan Kiam-ping berkelebihan: "Bukan aku suka memuji temanku sendiri, tapi pemuda seperti Siau-ongya dari keluarga Toan ini memang sukar dicari bandingannya. Bukan saja Kungfunya tinggi, kepandaian sastranyapun serba mahir. Lebih harus dipuji pula, meski dia turunan keluarga bangsawan, namun sedikitpun tidak unjuk gengsi dan tahan harga. Tukang kayu di atas gunung dan para nelayan di atas sungai, semuanya adalah kenalan baiknya."

Han Cin tertawa, katanya: "Kau sendiri kan juga serba mahir ilmu silat dan ilmu sastra aku tidak pernah kenal sahabatmu itu, tapi aku yakin kepandaian memetik harpanya jelas bukan tandinganmu bukan? Bicara pergaulan bebas dan teman segala kalangan, kukira temanmu juga tidak sedikit jumlahnya."

"Mana boleh aku dibanding dia," ucap Tan Ciok-sing, "begitu dia menampilkan diri, secara langsung aku lantas merasa diriku teramat kerdil, sebaliknya dia merupakan pemuda ganteng dan romantis serta dikagumi tindak-tanduknya, aku tidak lebih hanya seorang lelaki awam saja."

"Kalau orang seperti dirimu juga dianggap "awam", maka di dunia ini hanya berapa gelintir saja yang ada. Tapi setelah mendengar pujianmu atas Siau-ongya itu, aku jadi setengah percaya. Kalau tidak masakah putri In Tayhiap bakal menyukainya."

Sampai disini pembicaraan mereka di ujung jalan sana terdengar suara kentongan, tanpa merasa kentongan ketigapun telah tiba.

Mendadak Han Cin sadar, katanya tertawa: "Sudah jangan memuji temanmu melulu. Apa yang ingin kuketahui sudah kutanyakan kepadamu, apa yang ingin kau katakan kepadaku, sekarang boleh kau utarakan!"

"Betul, kau memang harus tidur. Yang ingin kukatakan adalah, harap kau tidak duduk di lantai, silakan tidur di atas ranjang."

Merah muka Han Cin, katanya bersungut: "Kukira kau hendak bicara serius, kiranya kau hanya menggodaku saja."

"Apa yang kukatakan memangnya bukan serius? Seseorang bila lapar harus makan capai harus tidur. Disini tersedia ranjang, kenapa kau harus samadi di lantai?"

"Aku tidak mau kau mengalah kepadaku," ujar Han Cin. Harus diketahui, meski dia percaya bahwa Tan Ciok-sing pemuda jujur dan lurus, tapi betapa jeleknya bila dia harus tidur di ranjang di hadapan seorang pemuda.

"Bukan aku mengalah padamu, maksudku..."

"Tan Ciok-sing," desis Han Cin dengan jengkel, "kuanggap kau laki-laki sejati, kau..."

"Lirih sedikit Cin-moay," tukas Tan Ciok-sing, "jangan kau salah paham, aku..."

"Apa keinginanmu?"

"Aku tidak tidur disini, sekarang juga aku mau pergi."

Baru sekarang Han Cin sadar, kiranya dia yang keliru menyalahkan Tan Ciok-sing, karuan selembar mukanya merah seperti tomat, katanya lirih: "Malam selarut ini, kemana?"

"Aku akan mencari Kim-io Cecu. Supaya tidak membuat kaget, aku tidak memberitahu kepada kakek sebelumnya. Besok, tolong kau sampaikan permintaan maafku kepadanya."

"Kira-kira kapan kau bisa kembali?"

"Tidak bisa ditentukan. Aku belum tahu dimana sekarang Kim-to Cecu berada.

"Kau tidak kenal Kim-to Cecu, tidak tahu dimana dia berada, bukankah sulit mencarinya?"

"Banyak teman baikku berada di markas Kim-to Cecu. Biarlah aku mengadu nasib. Tapi aku yakin cepat atau lambat pasti bisa kutemukan."

"Kenapa tidak kau ajak aku kesana?"

"Banyak orang malah kurang leluasa. Apalagi sukar kuramalkan kapan aku akan bertemu dengan Kim-to Cecu, kau seorang perempuan, selalu harus tidur di atas pegunungan bisa mengganggu kesehatanmu. Bila aku sudah memperoleh tempat tinggalnya yang tetap aku akan kembali memberitahu kepadamu."

Sebetulnya yang dikemukakan hanyalah alasan yang dicari-cari, yang benar dia kuatir ketemu sama In San. Dia harus tahu dulu apakah In. San juga berada disana, bila tiada, dia akan langsung menghadap Kim-to Cecu, kalau tidak dia hanya akan mencari tahu alamat tetap Kim-to Cecu, lalu berusaha menghubungi Kanglam Sianghiap, supaya mereka menjemput Han Cin.

Apa yang dikatakan Tan Ciok-sing memang beralasan, maka Han Cin berkata: "Baiklah, besok akan kujelaskan kepadanya. Betapa lama kau pergi, aku akan menunggumu disini. Kakek itu orang baik, yakin dia tidak akan membenciku."

"Tapi ada satu hal kau perlu hati-hati," kata Ciok-sing.

"Soal apa?"

"Ada seorang yang menyaru sebagai pembantu rumah tangga keluarga Toan, beberapa hari yang lalu mampir ke warung ini mencari tahu keadaan keluarga In. Hal ini kau sudah mengetahuinya."

"O, jadi orang itu menyamar?"

"Betul, belum ada dua bulan, Siau-ong-ya dari keluarga Toan itu sedang merawat luka-lukanya di Kwi-lin, umpama luka-lukanya sudah sembuh, tak mungkin secepat itu dia pulang ke Tayli, apalagi menyuruh orang kemari. Oleh karena itu kau harus hati-hati, jangan sampai orang itu mengetahui jejakmu."

"Buat apa kau kuatir, orang-orang Kangouw toh tiada yang kenal aku," ucap Han Cin tertawa, "apalagi aku sudah merubah bentuk wajahku, tak usah kuatir."

"Meski demikian, kau tetap harus hati-hati," kata Tan Ciok-sing, setelah berjabatan tangan Tan Ciok-sing pamitan, hati terasa hambar. Untuk kepergiannya ini, mungkin dia bisa pulang tapi juga mungkin tidak akan kembali menberi kabar kepada Han Cin, kemungkinan besar dia akan menyuruh orang mengadakan kontak dengan Han Cin. Kalau benar demikian entah kapan pula dia baru akan bertemu pula dengan Han Cin.

Letak rumah keluarga In tidak jauh dari kedai minum ini, sebelum keluar kota tanpa disadari Tan Ciok-sing lewat di seberang jalan dimana rumah keluarga In berada, timbul keinginannya untuk menyaksikan bagaimana keadaan rumah keluarga In setelah digerebek tentara negeri dulu. Entah keinginan apa yang mendorongnya berbuat demikian, Ciok-sing sendiri tidak tahu.

Tampak rumah besar keluarga In sudah runtuh separo, lebih mending dari kedai Khu Ti yang dibumi hanguskan seluruhnya.

Ternyata setelah malam itu In-hujin berhasil melarikan diri, supaya kelak Liong Seng-bu dapat kesempatan untuk bertemu lagi dengan In San, maka lekas dia suruh tentara yang dipimpinnya memadamkan api. Untung yang terjilat api hanya bagian luar yang tidak begitu penting. Kamar tidur In San, dan kamar buku In Hou semasa hidupnya masih utuh.

Sembunyi di ujung gang kecil mengawasi rumah keluarga In yang tinggal separo, Tan Ciok-sing merasa diluar dugaan. Namun demikian keadaan yang sudah porak poranda ini justru mengetuk sanubarinya.

Mengenang masa lalu, diam-diam hati Tan Ciok-sing merana sendiri. Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing berkata kepada diri sendiri: "Semua itu sudah lalu, kenapa masih kupikirkan?" Waktu dia hendak meninggalkan tempat itu, suatu peristiwa diluar dugaannya ternyata telah terjadi.

Tampak sosok bayangan hitam tiba-tiba melompat keluar dari rumah keluarga In, malam gelap sehingga susah dibedakan apakah orang itu tua, muda, laki atau perempuan, tapi ginkang orang itu jelas amat tinggi, dalam sekejap jejaknya telah menghilang.

Tan Ciok-sing kaget, pikirnya: "Bagaimana kepandaian lain orang itu aku tidak tahu, namun dinilai ginkangnya sudah jarang ada dibanding di bulim."

Betapapun tinggi ginkang orang itu, bila Tan Ciok-sing mau mengejar pasti dapat dicandaknya, namun karena dia tidak ingin mengunjuk jejak sendiri, terpaksa dia tidak ambil peduli.

Melihat seorang yang memiliki ginkang tinggi menyelundup ke rumah keluarga In, tak urung timbul rasa curiga Tan Ciok-sing: "Mungkin orang yang menyamar suruhan keluarga Toan, jelas dia bukan utusan Toan Kiam-ping, tapi siapakah dia sebetulnya? Hm, bukan mustahil datang lagi orang seperti Thi Ciang-hu?" maka tergerak hatinya, batinnya: "Mata kuping keluarga Liong tersebar luas, berita cepat kabar tajam, mungkin mereka mendengar kabar, tahu bahwa In San sudah pulang rumah? Maka~ orang ini menyelundup ke rumahnya mencari tahu?"

Jantung Tan Ciok-sing berdebar-debar, hampir tak kuat dia menahan gejolak perasaannya timbul keinginannya hendak

menyelundup juga ke rumah keluarga In untuk menyaksikan kenyataan, ingin dia membuktikan sendiri, apa benar In San sudah pulang rumah?

Walau In San harus menunggu kesembuhan luka-luka Toan Kiam¬ ping baru meninggalkan Kwi-lin, tapi kemungkinan dia akan lebih dulu tiba di Tay-tong dari kedatangan Tan Ciok-sing. Maklum In San naik kuda yang dapat berlari ribuan li sehari, sebaliknya Tan Ciok-sing jalan kaki. Luka-luka Toan Kiam-ping memang tidak enteng, tapi lwekangnya cukup tangguh, dalam sepuluh atau setengah bulan tentu sudah sembuh.

Timbul perang batin dalam benak Tan Ciok-sing, dia takut bertemu dengan In San, namun besar pula harapannya bahwa In San sudah pulang seorang diri.

Angin dingin menghembus kencang, Tan Ciok-sing bergidik sambil menarik napas panjang, tak urung dia tertawa getir sendiri, "buat apa aku main teka teki, San-moay pulang atau tidak, aku harus bantu nona Han menyelesaikan persoalannya, kenyataan dia sudah angkat saudara dengan aku. Kenapa lantaran aku takut bertemu dengan San-moay, lantas urung mencari Kim-to Cecu?" setelah bulat tekadnya, Tan Ciok-sing tekan perasaan sendiri pergi mencari Kim-to Cecu.

Tapi untuk mencari Kim-to Cecu bukan suatu kerja yang mudah. Daerah luar Gan-bun-koan, ratusan H luasnya tanpa dihuni seorang penduduk, di tengah pegunungan yang belukar itu, entah dimana markas besar Kim-to Cecu didirikan. Tempo hari pernah dia mencari Kim-to Cecu bersama In San, tapi di tengah jalan mereka bertemu dengan Kanglam Sianghiap yang mau menjemput In San, dari cerita Kwik Ing-yang dia tahu bahwa Tam Pa-kun sudah berangkat ke Kwi-lin, diketahui pula bahwa Kwik Ing-yang sedang berusaha jadi comblang untuk menjodohkan In San dengan Toan Kiam-ping, maka saat itu juga dia merubah haluan, di tengah jalan dia putar balik. Kanglam Sianghiap ada maksud membawanya menghadap Kim-to Cecu, namun dia tidak menjelaskan dimana letak markas besar Kim-to Cecu itu.

Tiga hari kemudian dia sudah keluar Gan-bun-koan, selama tiga hari tak pernah dia ketemu dengan seorangpun, kepada siapa dia harus mencari tahu. Untung rangsum yang dibawanya cukup banyak, di jalan dia masih bisa berburu binatang.

Meski dia yakin cepat atau lambat pasti dapat menemukan Kim-to Cecu, namun menempuh perjalanan di tengah alas seorang diri, selama tiga hari tidak bertemu dengan manusia, mau tidak mau dia merasa kesepian dan hampa. "Kenapa nasibku kali ini begini buruk tempo hari bisa bertemu dengan Kanglam Sianghiap. Kali ini entah kapan baru aku bisa bertemu dengan seorang yang tahu letak markas besar Kim-to Cecu."

Tapi untung juga tempo hari dia pernah bertemu dengan Kanglam Sianghiap yang membawanya menempuh perjalanan cukup jauh, sehingga kali ini dia tidak salah arah.

Tatkala dia berkeluh kesah akan nasibnya yang jelek hari ini, tiba-tiba dilihatnya dua orang berjalan keluar dari dalam hutan. Girang sekali hati Tan Ciok-sing, lekas dia mempercepat langkah memapaknya ke depan.

Untuk mencari tahu tempat tinggal Kim-to Cecu sebetulnya tidak boleh sembarang tanya orang, apalagi dia tidak tahu siapa kedua orang ini, demikian pula mereka juga tidak tahu tentang dirinya, umpama tahu juga takkan mau memberi tahu.

Baru saja Tan Ciok-sing berpikir cara bagaimana dia harus buka suara, kedua orang itu sudah menyapa dulu kepadanya. Orang pertama tertawa lebih dulu, katanya: "Nasib hari ini kiranya cukup baik, akhirnya ketemu seorang disini."

Orang kedua segera bertanya: "Kau pemburu di atas gunung ini, siapa namamu..." karena melihat Ciok-sing menjinjing seekor belibis yang baru saja ditembaknya jatuh dengan krikil, padahal dia tidak membawa gendewa, karuan mimiknya kelihatan aneh.

Logat kedua orang ini sama dari suatu daerah, namun nada suaranya kedengaran lucu dan sumbang seperti suara orang banci, kedengarannya berbeda dengan suara laki-laki umumnya.

Sekilas Tan Ciok-sing melengak, diam-diam dia merasa kecewa, pikirnya: "Agaknya mereka juga orang dari luar daerah seperti diriku. Untuk apa mereka datang ke tempat ini? Mungkin juga mencari Kim-to Cecu?" "Aku she Tan," akhirnya dia menjawab, "pedagang kecil yang memborong bahan-bahan pegunungan. Kalian she apa?" Tan Ciok-sing coba mengorek keterangan mereka.

"Aku she Thio, dia she Ong, kami datang dari Tayli. Maaf ya, kulihat kau menjinjing belibis besar ini, kelihatannya baru saja kau dapatkan bukan? Kukira kau adalah pemburu. Kiranya kau seorang juragan, mohon maaf, kami kurang hormat, Tapi malah kebetulan," demikian kata orang pertama.

Tan Ciok-sing tidak tahu kenapa kalau "juragan" lebih baik dari "pemburu" tapi dengar mereka dari Tayli, mau tidak mau timbul rasa curiganya, maka dia berhati-hati.

Sengaja Tan Ciok-sing bertanya: "Di Tay-tong aku hanya membuka toko kecil saja, modalnya kukumpulkan dari bantuan teman¬ teman. Mana terhitung juragan segala?"

"Betul, kenapa aku begini bodoh, dari logat suaramu seharusnya aku sudah tahu bahwa kau penduduk kota Tay-tong. Aku tahu banyak penduduk Tay-tong yang berdagang seperti kau, betul tidak? Peduli besar atau kecil, jelek-jelek kau ini adalah juragan. Hari ini kita bisa bertemu di atas pegunungan yang sepi ini, terhitung ada jodoh. Jikalau kau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita bersahabat? Kau menghadapi kesulitan apa boleh jelaskan kepada kami."

Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu bahwa cara orang menyelidik memang pintar, tapi apa yang dikatakan itu semua adalah bualan belaka. Pertama, mereka mengaku datang dari Tayli, pada hal logat bicara mereka tidak mirip penduduk Tayli. Kedua, Tan Ciok-sing hanya bilang dia membuka toko di Tay-tong, orang she Ong itu lantas bilang mendengar suaranya lantas tahu kalau dirinya penduduk kota Tay-tong. Pada hal Tan Ciok-sing lahir dan dibesarkan di Kwi-lin, logat orang-orang Kwi-Iin dan Tay tong boleh dikata berbeda amat jauh. Ketiga, terhadap orang yang baru saja dikenalnya, kenapa mereka lantas menawarkan diri bilang mau memberi bantuan. Dalam hal ini pasti ada udang dibalik batu. Orang yang suka memberi bantuan tanpa diminta kadang-kadang menuntut imbalan tertentu, dari sini dapatlah Ciok-sing menyimpulkan, bahwa kedua orang ini pasti punya suatu tujuan tertentu. Biarlah aku pura-pura bodoh saja, bagaimana mereka akan membual lagi.

Setelah bilang mau memberi bantuan, orang she Ong itu segera merogoh keluar dua keping uang perak diberikan kepada Ciok-sing, katanya: "Tan-heng, seratus tahil perak ini, boleh kau gunakan buat tambah modalmu."

Berkerut alis Tan Ciok-sing, katanya: "Sebelum ini kita tidak kenal dan baru bertemu sekali ini, mana boleh aku menerima uangmu?"

Laki-laki itu tertawa, katanya: "Sekarang kita sudah sahabat, sesama kawan kenapa harus sungkan. Tan-heng, tadi kau bilang modalmu dari pinjaman teman-teman, uangku inipun kupinjamkan untuk menambah modalmu, kalau tidak cukup, boleh nanti kita berunding lagi."

"Umpama benar kalian anggap aku kawan, tapi pepatah bilang, tanpa berbuat jasa tidak akan menerima hadiah, tak berani aku menerima uangmu."

Laki-laki itu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Tan-heng, kau memang seorang laki-laki sejati.

Baiklah begini saja, kaupun boleh membantu kami melakukan suatu hal, supaya kau tidak canggung menerima uangku ini."

"Entah bantuan apa yang harus kulakukan?"

Orang she Thio segera berkata lirih: "Dimana tempat tinggat Kim-to Cecu, maukah kau memberitahu kami?"

Tan Ciok-sing pura-pura kaget, katanya: "Aku hanya pedagang kecil yang hidup bersahaja, tak pernah tahu siapa itu Kim-to Cecu, atau Gin-to Cecu."

Laki-laki she Ong itu tertawa, katanya: "Tan-heng, kau tidak usah takut, kami bukan opas, kau takkan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, terus terang, kami ingin mencari perlindungan kepada Kim-to Cecu,"

"Tapi sungguh mati, aku tidak tahu," ujar Tan Ciok-sing.

Berkerut alis laki-laki itu, katanya: "Tan-heng, kenapa kau tidak sejujur tadi. Kami ingin bersahabat dengan kau secara jujur, maka akupun minta kau suka bicara terus terang dengan kami!"

"Apa yang harus kukatakan? Aku, aku betul-betul tidak..."

"Jangan katakan kau tidak tahu," tukas orang she Thio, "Jikalau kau tiada hubungan dengan markas besar mereka, mana kau berani keluyuran di pegunungan sepi ini."

"Baiklah, aku bicara terus terang. Memang aku ada kenal orang dari markas Kim-to Cecu, boleh juga kubawa kalian kesana, tapi aku harus tahu siapa kalian sebetulnya?"

"Tan-heng," kata orang she Ong, "apa yang ingin kau ketahui?"

"Kalian datang dari Tayli, Siau-ongya dari keluarga Toan, entah kalian kenal tidak?"

Laki-laki she Ong tertawa besar, katanya: "Terus terang saja, kami ini adalah tamu-tamu undangan dari keluarga Toan. Kedatangan kami ke markas Kim-to Cecu inipun sebelumnya sudah mendapat restu dari Siau-ongya. Sebetulnya Siau-ongya juga mau datang, tapi kuatir kedatangannya membawa kesulitan, maka dia tidak berani bertindak serampangan."

Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya: "Jadi kalian orang-orang kepercayaan Siau-ongya, wah, maaf, aku kurang hormat."

Laki-laki she Ong itu tertawa lebar, katanya: "Tan-heng, kini kau sudah tahu bahwa kita adalah orang sendiri, bolehlah kau beritahu kepada kami?"

Tak nyana sebelum gelak tawanya sirap, Tan Ciok-sing mendadak turun tangan. "Bluk" kontan laki-laki she Thio itu terjungkal roboh tertutuk hiat-tonya. Lalu dia mencengkram ke arah laki-laki she Ong.

Ternyata kepandaian laki-laki she Ong ini lebih tinggi dari temannya, cengkraman Tan Ciok-sing ternyata tidak kena sasaran, begitu menurunkan tubuh, mendadak dia gunakan kedua tangan menangkap pundak Tan Ciok-sing lalu menyerang dengan jurus Jian-jia-sek tipu bantingan dari ilmu gulat hendak membanting Tan Ciok-sing, bila kedua kaki Tan Ciok-sing terangkat meninggalkan bumi, badannya pasti kena dibantingnya.

Gulat adalah kemahiran busu bangsa Mongol, Tan Ciok-sing mahir Kungfu dari berbagai aliran di Tionggoan, namun dia belum pernah belajar gulat, karena tidak menduga, tubuhnya terangkat oleh lawan.

Akan tetapi walau tubuh Tan Ciok-sing terangkat meninggalkan tanah, tapi laki-laki itu tak kuasa membantingnya, tahu-tahu dia merasakan kedua pundaknya seperti ditindih ribuan kati. Seketika itu pula dia rasakan kedua pundaknya sakit bukan kepalang seperti ditusuk pisau, ternyata tulang pundaknya sudah tercengkeram oleh Tan Ciok-sing.

Tan Ciok-sing menghardik keras: "Kalian bukan orang Han, kalian adalah mata-mata bangsa Watsu."

Bahwa asal-usul mereka dibongkar oleh Tan Ciok-sing, sudah tentu kedua orang itu amat kaget, air muka mereka berubah seketika. Tapi laki-laki she Ong itu masih membandel katanya: "Pandanganmu memang tajam, benar kami bukan orang Han, tapi kami adalah orang Tayli dari suku Ih-jin. Soalnya kami tahu Siau-ongya punya hubungan intim dengan Kim-to Cecu, maka kami menyaru tamu kepercayaannya."

"Masih berani membual, aku baru saja datang dari Tayli, memangnya kau bisa ngapusi aku? Aku sudah tahu asal-usul kalian, masih kau tidak mengaku terus terang, itu artinya kau minta dihajar. Baiklah, biar kau rasakan dulu keliehayanku."

Cengkraman jari-jari Tan Ciok-sing diperkeras, kontan orang itu merasa seluruh sendi tulangnya seperti dicopoti, sekujur badan bagai dicocoki jarum, laki-laki she Thio yang ditutuk hiat-tonya sudah tak tahan lagi, teriaknya: "Ampun Hohan. Kendorkan siksaanmu, baiklah aku akan bicara terus terang."

Tan Ciok-sing mengendorkan cengkeramannya, dengan suara gemetar orang itu berkata: "Kami memang datang dari Watsu, kami sedang menjalankan tugas, jadi terpaksa harus menunaikan perintah atasan."

"Atas perintah siapa? Dan apa tujuan kalian?" tanya Tan Ciok-sing. Kalau cengkraman kepada laki-laki she Thio diperkendor, tapi dia menambah cengkraman pada tulang pundak laki-laki she Ong, kontan orang itu berkaok-kaok seperti babi disembelih, teriaknya: "Aku, aku akan terus terang."

Laki-laki she Thio itu berkata: "Kami diperintah oleh Ciang-kun untuk mencari jejak Kim-to Cecu." ternyata tafsiran Tan Ciok-sing benar, mereka adalah mata-mata yang diutus Watsu untuk menjadi spion didalam markas besar Kim-to Cecu.

Maka Tan Ciok-sing mendesak lagi: "Jadi di mana sebetulnya Kim-to Cecu berada, tentunya kalian sudah tahu? Nah sekarang lekas jelaskan, siapa memberi keterangan lengkap dan lebih terperinci, hukumannya akan kuperingan."

"Betul, waktu kami datang, pemimpin kami ada memberi peta untuk kami, tapi..." demikian tutur laki-laki she Thio.

Setelah napasnya yang tersengal mereda, baru laki-laki she Ong berkata: "Peta itu ada padaku..."

"Baik, lekas keluarkan, kau dulu yang bicara."

Orang ini membuka sabuk kulit, bagian tengah sabuk kulitnya ini dia bedah dengan ujung belati, dari dalamnya dia mengeluarkan secarik peta dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing. Tan Ciok-sing berpikir: "Begitu rahasia cara menyimpannya, bila aku sendiri yang harus menggeledahnya, mungkin takkan bisa kutemukan."

Seperti berlomba kedua orang ini memberi keterangan masing-masing sejelas dan terperinci sekali, dari mulut kedua orang inilah Tan Ciok-sing tahu bahwa perebutan kekuasaan di Watsu kini sudah mereda, pemberontak telah disapu habis, kini Pangeran ketiga Melido yang pegang tampuk pimpinan sebagai raja dengan sebutan Dayan Khan. Setelah berhasil membangun kembali angkatan perangnya, Dayan Khan beraktif kembali dalam usahanya untuk menyerbu ke selatan. Mereka tidak takut terhadap pasukan kerajaan Bing, tapi jeri menghadapi laskar gerilya Kim-to Cecu. Tempo hari waktu pasukan besar Watsu mengepung Tay-tong, Kim-to Cecu yang memutus kiriman rangsum pasukan besar mereka, sehingga tentara Watsu dibikin kocar kacir. Maka kali ini rencana penyerbuan lebih disempurnakan, maksud utama harus menumpas laskar gerilya baru akan langsung menyerbu kerajaan Bing.

Tapi Kim-to Cecu juga Iiehay dalam strategi perang, dengan perang gerilya, dia tidak mempunyai kedudukan tertentu. Kekuatan tentaranya tersebar beberapa tempat di atas pegunungan, markas besar merekapun sering berpindah-pindah. Bukan tugas enteng bagi mata-mata Watsu untuk menyelidiki keadaan disini.

Kedua orang ini adalah anak buah Jendral Palos yang berkuasa di perbatasan, pasukan infrantri di bawah pimpinan Jendral Palos inilah yang ditugaskan sebagai pasukan pelopor didalam gerakan menyerbu ke selatan menurut rencana mereka. Setelah diadakan seleksi yang cukup ketat akhirnya kedua orang ini yang terpilih menunaikan tugas yang cukup berat ini, bukan karena mereka memiliki kepandaian tinggi, soalnya di samping mereka cerdik pandai, merekapun fasih berbahasa Han.

Laki-laki she Thio itu berkata: "Kami hanya menjalankan tugas, mohon Hohan menaruh belas kasihan."

Tan Ciok-sing tertawa dingin, katanya: "Kalian boleh menyamar jadi orang Han, tapi alasan yang kau kemukakan tidak bisa kuterima."

Laki-laki she Ong segera meratap: "Kami memang mata-mata. Mohon Hohan memberi ampun, kami sudah bicara terus terang."

"Tiga hari yang lalu, apakah kalian juga mampir ke keluarga In," tanya Tan Ciok-sing.

"Terus terang, kami belum pernah ke Tay-tong. Dengan kepandaian yang kami miliki, betapapun kami takkan berani mengusik In Tayhiap," demikian kata laki-laki she Ong. Dari jawaban ini, Tan Ciok-sing menarik kesimpulan bahwa mereka belum tahu akan kematian In Hou.

Jawaban ini sekaligus menyadarkan Tan Ciok-sing, pikirnya: "Omongannya memang boleh dipercaya, kalau mereka pernah ke Tay-tong, seharusnya tahu logat bicaraku tidak mirip orang Tay-tong."

Tan Ciok-sing berkata: "Hukuman mati tidak perlu, tapi hukuman fisik harus kalian rasakan," sedikit dia kerahkan tenaga, tulang pundak kedua orang dia remas sampai remuk, bentaknya: "Nah Kim-jong-yok kuberikan dan kalian mengobati sendiri. Kali ini aku ampuni kalian, lekas enyah."

Setelah kedua mata-mata ini ngacir, Tan Ciok-sing membuka gambar peta itu dan melanjutkan perjalanan ke arah yang ditunjuk didalam peta, dua hari kemudian dia memang menemukan markas pusat Kim-to Cecu yang dahulu, ada puluhan tenda besar kecil yang tersebar didalam hutan lebat. Tampak seekor musang menerobos keluar dari bawah sebuah tungku terus lari kedalam hutan, waktu Tan Ciok-sing berada di tengah-tengah perkemahan kosong itu, puluhan burung gagak beterbangan ke atas pohon sambil berbunyi berceloteh. Melihat keadaan disini yang sudah mulai belukar ini, jelas sudah lama ditinggalkan, diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas.

Kala itu sudah menjelang petang, perkemahan itu tersebar luas di puncak sebuah perbukitan sejauh beberapa li. Tan Ciok-sing yakin tiada seorangpun yang menghuni perkemahan disini, maka tiada niatnya untuk memeriksa perkemahan itu satu persatu. Selama beberapa hari ini dia menempuh perjalanan terus menerus, badannya betul-betul lelah, maka sekenanya dia masuk ke salah satu kemah, setelah dibersihkan, segera dia merebahkan diri. Entah berapa lama dia tertidur, di saat tidurnya tengah layap-layapj didengarnya suara kuda meringkik, Tan Ciok-sing tersentak bangun, sejenak dia menenangkan pikiran dan mendengarkan dengan seksama, setelah yakin bahwa pendengarannya tidak salah, rasa senangnya bukan main, pikirannya: "Nasibku hari ini beruntung, semula kukira akan lama aku menunggu disini, tak nyana belum semalam aku disini, ternyata ada orang datang kemari"

Ada dua ekor kuda yang mendatangi, langkah kuda pelan-pelan, seperti dituntun oleh orang, arahnya juga menuju ke timur, jadi semakin jauh dari tempatnya sekarang berada.

Timbul rasa curiga Tan Ciok-sing, pikirannya: "Mungkin bukan anak buah Kim-to Cecu, mungkinkah pihak Watsu ada mengutus mata-mata lain?"

Sebelum jelas kawan atau lawan, Tan Ciok-sing tidak mau unjuk diri, secara diam-diam dia bangun serta menyelinap keluar terus memburu ke arah datangnya suara.

Ringkik kuda tadi sudah tidak terdengar, tapi setelah dia melewati beberapa perkemahan, dan berada didalam hutan yang lebat, tiba-tiba seperti didengarnya seseorang sedang menghela napas dari kejauhan.

Lekas Tan Ciok-sing mendekam dan mendekatkan kupingnya ke bumi mendengarkan dengan seksama, lwekangnya memang sudah tinggi, pendengarannya jauh lebih tajam dari orang kebanyakan, walau jauh suara itu, namun masih dapat didengarnya jelas.

Didengarnya suara seorang yang agak tua serak berkata: "Sungguh tak nyana, tetap tak bisa menemukan Kim-to Cecu, seperti menunggu kelinci diluar lobangnya begini, entah kapan baru kita akan bertemu dengan saudara-saudara didalam markas?" teka teki sudah mulai tersingkap, ternyata orang inipun setujuan dengan dirinya, yaitu sedang mencari Kim-to Cecu.

Angin malam nan dingin menghembus lalu, Tan Ciok-sing seperti disadarkan oleh hembusan angin dingin ini, tiba-tiba tergerak hatinya, "Kedengarannya aku sudah kenal suara orang ini, siapa dia," di waktu dia hendak pergi kesana melihat lebih jelas, didengarnya pula suara seorang lain. Suaranya nyaring dan kecil, itulah suara makian perempuan. "Hm, kau rase tua ini terhitung besar nyalinya, berani datang kemari mau menipuku," dari nada perkataannya dapat diduga, bahwa laki-laki itu seperti mengatakan apa-apa kepadanya, namun Tan Ciok-sing tidak mendengar jelas.

Segera Ciok-sing kembangkan Pat-pou-kan-sian, ginkang tingkat tinggi, hanya sekejap saja, percakapan kedua orang itupun kini sudah didengarnya jelas.

"Apa yang kukatakan tadi semua memang sebetulnya."

"Hm, kau boleh menipu orang lain, tapi jangan harap dapat menipuku. Sejak mula sudah aku tahu ada orang yang menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, baru sekarang aku tahu orang itu adalah kau."

"Aku tidak menyamar, dengarkan penjelasanku..."

Suara perempuan itu agaknya amat jengkel dan gelisah, tanpa pedulikan penjelasannya "Sret" segera dia membacok dengan goloknya.

"Nona, jangan main senjata. Kalau kau tidak percaya, boleh kau tanya kepada Siau-ongya. Aku tahu Siau-ongya sudah datang ke tempat kalian."

Perempuan itu tetap menjengek: "Pembual. Kukira Siau-ongyamu itu adalah pangeran dari Watsu bukan?"

"Lho," seru orang itu, "kalau demikian, jadi Siau-ongya kita belum tiba disini? Kalau begitu tolong kau antar aku menemui Kim-to Cecu. Kim-to Cecu akan tahu persoalannya."

Perempuan itu tertawa dingin, katanya: "Kau ingin aku mengantarmu menemui Kim-to Cecu, bolehlah. Kau sendiri punahkan Kungfumu atau aku yang wakilkan kau?" maksud perkataannya sudah gamblang, bahwa dia tetap pandang laki-laki itu adalah mata-mata dari Watsu, bila ingin bertemu dengan Kim-to Cecu, tulang pundaknya harus diputuskan lebih dulu, sebagai tawanan sudah tentu dia boleh membawanya menghadap Kim-to Cecu.

Saat mana Tan Ciok-sing sudah datang dekat, dia sembunyi di belakang sebuah pohon, untuk sementara dia tidak ingin menampilkan diri.

Tampak perempuan itu memegang sebilah golok emas bergagang panjang di tangan kiri, sebatang golok perak bergagang pendek di tangan kanan, setelah berkata kedua senjatanya diputar, menari-nari turun naik serta mengancam.

Betapapun tebal kesabaran laki-laki itu, bila tulang pundaknya putus, dan dirinya dianggap pesakitan hendak digusur kehadapan Kim-to Cecu, sudah tentu dia naik pitam, pikirnya: "Biarlah kurampas sepasang gamannya, baru bicara lebih lanjut."

Begitu turun tangan, mau tidak mau si perempuan kaget dibuatnya. Ternyata dia mengembangkan Tay-kim-na-jiu yang amat mahir.

Malam itu tanggal tujuh, bulan sabit bercokol di angkasa raya, dengan udara nan cerah, sinar rembulan redup, hutan gelap gulita lagi, sehingga keadaan disini remang-remang. Tapi Tan Ciok-sing sudah kenal siapa laki-laki itu. Dia bukan lain adalah Ling Khong-tik yang pernah bertarung dengan Tan Ciok-sing di puncak Jong San dahulu.

Ling Khong-tik adalah guru silat dari keluarga Toan yang tahun lalu diundang sendiri oleh Siau-ongya Toan Kiam-ping. Dalam perjalanan ke Kwi-lin kali ini Siau-ongya mengajaknya serta. Tapi waktu Toan Kiam-ping mengadakan pertemuan dengan Tan Ciok-sing, hari itu juga Ling Khong-tik kebetulan sudah disuruh pulang lebih dulu ke Tayli. Tan Ciok-sing tidak duga bahwa dia muncul disini.

Dari tempat persembunyiannya dia saksikan Ling Khong-tik tengah mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-pek-to (ilmu tangan kosong merampas senjata), padahal tubuhnya terbungkus oleh cahaya golok, namun gerak geriknya tetap gesit dan tangkas, permainannya tetap mendesak dengan serangan-serangan yang liehay. Gadis itu menggunakan golok emasnya untuk menyerang deras, sementara golok perak untuk menjaga diri, jadi antara kedua golok panjang dan pendek ini masing-masing memainkan jurus tipu yang berbeda, betapa aneh permainan sepasang golok ini, Ling Khong-tik yang biasa mengagulkan kepandaian dan pengalamannya yang luas untuk sementara dibuat kewalahan juga. Meski kepandaian silatnya jauh lebih tangguh dari si gadis, untuk sementara jelas dia takkan mampu merampas gaman lawan.

Tan Ciok-sing masih bimbang, apakah dia perlu keluar memperkenalkan diri untuk melerai pertempuran ini? Di tengah

Jilid 8



pertempuran sengit itulah, tiba-tiba dilihatnya permainan sepasang golok si gadis telah berubah.

Semula dia mengutamakan serangan kencang dengan golok emas, golok perak menjaga diri atau memperkokoh pertahanan. Kini dia justru merubah permainan dengan golok perak membuka serangan, sementara golok emas bertahan. Golok perak pendek, golok emas panjang. Dalam kalangan persilatan ada pameo yang bilang, s,ejengkal lebih panjang lebih kuat, sejengkal lebih pendek, lebih berbahaya. Dengan golok pendek menyerang musuh, jadi merupakan pertempuran jarak dekat, permainan ini memang tepat untuk menghadapi rangsakan ilmu tangan kosong merebut senjata lawan, tapi bahaya yang dihadapi justru lebih berat.

Agaknya Ling Khong-tik ingat sesuatu, sambil bersuara heran dia lantas berteriak: "Nona, harap tanya apakah Kim-to Cecu adalah ayahmu?"

Dugaan Ling Khong-tik memang tidak meleset gadis ini memang putri» Kim-to Cecu Ciu San-bin yang bernama Ciu Kiam-khim. Ciu Kiam-khim adalah nona berwatak keras dan suka menang sendiri, bahwa mendadak asal-usulnya diketahui lawan, dia juga tidak pikir bagaimana lawan bisa tahu akan dirinya, bila dia mau berpikir ke arah ini, maka seharusnya dia bisa menduga bahwa lawannya ini sebetulnya adalah kawan dan bukan musuh. Tapi reaksi yang timbul dalam benaknya adalah: "Dia sudah tahu bahwa aku putri Kim-to Cecu, bila sepasang golokku tidak mampu mengalahkan sepasang tangan kosongnya, bukankah aku menjatuhkan pamor ayah?" karena itu tekad juangnya ingin menang bertambah menyala.

Mendadak sesosok bayangan seperti seorang jenderal perang yang turun dari angkasa menghadang di tengah mereka. Pendatang ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing. Tangannya memegang sebatang pohon kecil yang baru saja dia petik dari pohon, begitu kakinya hinggap di bumi, segera dia gunakan jurus Hun-hoa-hud-liu (menyibak kembang mengebut dahan Liu), dahan pohon menekan golok perak, sehingga senjata Ciu Kiam-khim kena dituntunnya nyingkir ke samping, berbareng telapak tangan didorong, secara kekerasan dia tahan sejurus pukulan Ling Khong-tik.

Tubuh Ling Khong-tik limbung, sementara Tan Ciok-sing mundur dua langkah, demikian pula Ciu Kiam-khim harus berkisar sekali dengan tunggak kaki sebagai poros baru bisa berdiri tegak pula. Kejadian amat mendadak, karuan Ciu Kiam-khim dan Ling Khong-tik sama-sama kaget. Tan Ciok-sing merias diri mengganti rupa, sudah tentu Ling Khong-tik tidak mengenalnya lagi.

Tan Ciok-sing berkata: "Kalian sama-sama orang-orang sendiri, kenapa harus bertarung sesengit ini?"

"Berdasarkan apa kau berkata begini?" semprot Ciu Kiam-khim.

"Karena aku tahu ayahmu adalah Kim-to Cecu. Aku juga tahu Lo-enghiong ini siapa."

Ciu Kiam-khim mendengus, "Lo-enghiong apa, tapi aku tahu kalau dia menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, mata-mata dari Watsu."

"Nona Ciu, kau salah paham," ujar Tan Ciok-sing, "Ling Suhu ini bukan samaran. Dia betul-betul adalah guru silat dari keluarga Toan yang tulen."

Ciu Kiam-khim kaget, teriaknya: "Apa, kau bilang dia ini Ling Suhu? Ada seorang bulim cianpwe yang tersohor dengan ilmu Eng-jiu-kang yang menggetarkan bulim, Ling Khong-tik Ling locianpwe, apakah, apakah..."

Dengan kalem Ling Khong-tik menyeletuk: "Mana berani aku dipanggil Locianpwe, tapi Ling Khong-tik memang benar adalah aku."

"Apa benar kau ini Ling Khong-tik Ling-locianpwe? Kenapa aku..." ternyata waktu Kanglam Sianghiap mampir ke Tayli tahun yang lalu, mereka belum tahu bahwa Ling Khong-tik padahal sudah berada di rumah keluarga Toan. Banyak pula seluk beluk keluarga Toan di Tayli yang diketahui oleh Ciu Kiam-khim, namun hatinya masih dirundung curiga, kuatirnya ada seorang lain yang mahir pula akan ilmu itu menyaru jadi Ling Khong-tik, dalam hati dia berpikir: "Setahuku Ling Khong-tik tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan di Tayli, kalau betul dia sudah diangkat sebagai guru silat keluarga kerajaan itu, kenapa Kanglam Sianghiap tidak memberi tahu kepadaku? Lebih baik aku hati-hati, supaya jangan ketipu orang."

"Nona Ciu, masih ada yang kau curigai? Boleh silahkan kau tanya."

Sejenak Ciu Kiam-khim berpikir, bukan mengajukan pertanyaan, mendadak dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing malah. "Siapa kau, berdasar apa kau berani membuktikan bahwa dia betul-betul adalah Ling Khong-tik Ling-locianpwe?" demikian tanya Ciu Kiam-khim.

Sudah tentu Tan Ciok-sing kelakep oleh pertanyaan ini, tengah dia kebingungan, cara bagaimana harus memberi penjelasan, tahu-tahu seseorang telah menyeletuk: "Nona Ciu, biarlah aku yang menjadi saksi bahwa Ling Suhu memang benar adalah guru silat kita, boleh tidak?"

Orang ini beranjak keluar dari hutan sambil menuntun dua ekor kuda, dia bukan lain adalah kacung pribadi Tan Kiam-ping yang pernah dilihat Tan Ciok-sing waktu masih berada di Cit-sing-giam dulu.

Semula Ciu Kiam-khim melengak, tapi setelah dia menoleh dan melihat jelas pendatang ini, seketika dia berseru girang: "Oh, kaukah Siau-ni-cu. Kau sudah tumbuh sebesar ini."

Kacung Toan Kiam-ping ini dilahirkan di pinggir Ni-hay, maka Toan Kiam-ping mengambil huruf "Ni" untuk namanya. Empat tahun yang lalu dia pernah disuruh ke markas pusat Kim-to Cecu mengantar surat, waktu itu dia baru berusia lima belas tahun. Toh Ni berkata: "Baru kemarin kami tiba. Karena kami tidak tahu kemana kalian pindah, maka terpaksa main tunggu disini, kami yakin suatu waktu pasti ada orang kemari. Tadi kubawa kedua ekor kuda ini ke sungai untuk dimandikan, belum lama aku pergi, tak nyana kau sudah kemari."

"Aku dengar ada orang menyaru pesuruh keluarga Toan, maka sengaja aku turun gunung menyelidik soal itu. Kuduga mata-mata itu pasti bisa menemukan tempat ini, maka aku kesini."

Toh Ni tertawa, katanya: "O, tak heran kau melabrak Ling Suhu. Baru musim semi yang lalu Ling Suhu berada di Ong-hu kita."

Cepat Ciu Kiam-khim mohon maaf kepada Ling Khong-tik, katanya tertawa: "Tidak berkelahi takkan berkenalan, harap maaf akan kelancanganku."

Toh Ni bertanya: "Nona Ciu, apakah Siau-ongya kami dan In Lihiap sudah tiba di markas kalian?"

"Koh belum," sahut Ciu Kiam-khim, "aku memang ingin tanya, apa sih yang telah terjadi?" Maklum kalau In San datang mau membantu ayahnya, hal ini tak perlu dibuat heran tapi bahwa Toan Kiam-ping juga ikut datang, ini benar-benar diluar dugaannya.

Toh Ni juga heran, katanya: "Lho, mereka menunggang kuda Kanglam Sianghiap yang jempolan itu, kenapa belum tiba disini? Soal ini panjang ceritanya..." sampai disini tanpa merasa dia menoleh ke arah Tan Ciok-sing. Waktu dia tiba tadi kebetulan didengarnya Ciu Kiam-khim sedang menanyakan Tan Ciok-sing, dia sendiri juga belum tahu siapa sebenarnya laki-laki ini, kalau dia orang luar, tak enak dia bicara blak-blakan di hadapannya.

Ciu Kiam-khim juga lantas ingat, katanya: "Betul, soal Siau-ongya kalian boleh nanti kau tuturkan kepadaku. Coba kau terangkan dulu siapa dia ini?"

"Aneh," kata Toh Ni, "aku seperti pernah melihatnya, tapi juga seperti belum kenal."

Tiba-tiba Tan Ciok-sing berkata: "Siau-nicu, apakah kakimu sudah sembuh?"

Kontan Siau-nicu terbelalak kaget, namun dia segera berjingkrak senang, teriaknya: "Kau, kau adalah..."

Cepat Tan Ciok-sing memberi tanda kedipan mata. Toh N i cukup cerdik, dia maklum akan kedipan mata ini, katanya: "Nona Ciu. Tentang Siau-ongya biarlah Ling Suhu nanti tuturkan kepadamu. Biar aku bicara sebentar dengan saudara ini."

Mendengar pengakuan Siau-nicu, legalah hati Ciu Kiam-khim, pikirnya: "Agaknya orang ini punya pantangan yang tidak boleh diketahui orang lain, buat apa memaksanya," maka dia berkata: "Baik, pergilah kau bicarakan urusanmu dengan sahabat ini, aku akan tunggu disini."

Toh Ni ajak Tan Ciok-sing ke pinggir sungai, katanya: "Tan-siangkong, sungguh tak kira aku bisa bertemu kau disini, kau, apa benar kau ini dia?" agaknya dia masih ragu-ragu.

Tan Ciok-sing tersenyum, segera dia basahi lengan bajunya terus membersihkan muka sendiri katanya: "Maaf, aku tidak boleh menghapus make up ku seluruhnya. Kuyakin kau sudah mengenalku bukan?"

Kaget dan girang Toh Ni dibuatnya, katanya: "Tan-siangkong, ternyata memang kau, kenapa kau menyamar begini?"

Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Ya untuk menghindari kesukaran. Yang tahu akan diriku maklum akan kerisauanku, yang tidak tahu akan diriku, buat apa aku harus memohon kepadanya? Hanya Thian yang tahu apa yang terkandung dalam sanubariku?" kata-kata terakhir ini pernah disenandungkan oleh Tan Ciok-sing waktu berada di Cit-sing-giam, sebelum dia berlalu serta menyerahkan harpanya kepada Toh Ni, saat mana Toan Kiam-ping masih belum siuman dari pingsannya. Mendengar

senandung ini, lebih yakin pula Toh Ni bahwa orang dihadapannya ini memang bukan lain adalah Tan Ciok-sing, katanya menghela napas: "Tan-siangkong, hari itu sebetulnya tak perlu kau berlalu. Kau, kau tidak tahu."

"Tahu apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Hari itu nona In mencarimu ubek-ubekan sehari suntuk. Setiap peloksok kota Kwi-lin telah dijelajahinya, malamnya waktu pulang, wajahnya tampak kuyu dan sedih. Belakangan Siau-ongya tahu bahwa kau mengantarnya ke rumah keluarga In, lalu kau berlalu, aku dimakinya, kenapa aku membiarkan kau pergi."

Pilu hati Tan Ciok-sing, katanya: "Terima kasih akan perhatian mereka kepadaku. Aku hanya mengharap mereka hidup bahagia. Yakin bila sang waktu telah berlalu, mereka pasti akan melupakan aku."

"Tidak," kata Toh Ni tegas, "mereka justru takkan melupakan kau."

"Siau-nicu," tukas Tan Ciok-sing mengulap tangan, "marilah bicara soal lain saja. Apakah luka-luka Siau-ongya sudah sembuh? Apa kau tahu betul bahwa dia kemari bersama nona In? Kenapa kau tidak bersama dengan mereka? Agaknya sejak lama Ling Suhu sudah meninggalkan Kwi-lin, bagaimana kau bisa menemukan dia? Dia kembali ke Tayli bukan?"

"Baiklah, biar kututurkan kejadian sejak kita berpisah dulu," ucap Toh Ni, "Siau-ongya memang keracunan cukup parah, untung dia mendapat perawatan nona In, In Ih memanggil tabib kenamaan untuk mengobatinya pula. Hari kedua dia sudah siuman. Beruntun beberapa hari, sambil makan obat diapun mengerahkan lwekang untuk membantu bekerjanya obat. Hanya tujuh hari kesehatannya sudah pulih.

"Pagi hari itu, dia suruh aku membawa harpa pemberianmu, lalu dia memetik sebuah lagu, sudah beberapa tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat dia melelehkan air mata. Waktu memetik harpa itu, diam-diam nona In masuk, namun dia tidak tahu."

Mendengar cerita sampai disini, tanpa terasa air matapun berlinang di ujung mata Tan Ciok-sing, katanya dengan tawa dipaksakan: "Dia suka harpaku yang kuno itu, sungguh aku amat senang."

Toh N i meneruskan ceritanya: "Begitu Siau-ongya selesai memetik harpa, nona In lantas berkata: 'Kiam-ping, jalan pikiranmu sama denganku,' - waktu itu baru aku tahu akan kehadirannya. Aku amat heran, Siau-ongya belum pernah bicara dengan dia bagaimana dia bisa tahu jalan pikiran Siau-ongya?"

"Irama harpa melimpahkan perasaan, kenapa harus mengutarakan isi hati dengan perkataan," demikian Tan Ciok-sing menjelaskan.

Siau-ongya angkat kepala, katanya: "Betul, kita harus temukan dia."

Bergetar perasaan Tan Ciok-sing, didengarnya Toh N i melanjutkan: "Hari kedua, dia lantas meninggalkan Kwi-lin bersama nona In. Semula aku ingin ikut mereka mencarimu, tapi Siau-ongya melarangku dengan tegas, malah aku disuruh pulang memberi laporan palsu. Apa boleh buat, terpaksa aku jalankan perintahnya."

"Nah, kalau Siau-ongya suruh pulang ke Tayli bagaimana kau bisa datang kemari secepat ini bersama Ling Suhu?"

"Baru tiga hari aku meninggalkan Kongcu, di tengah jalan aku bertemu dengan Ling Suhu."

"Bukankah Ling Suhu jauh hari sudah disuruh pulang?"

"Betul, Ling Suhu sudah disuruh pulang waktu Siau-ongya janji bertemu dengan kau. Waktu aku ketemu dia juga keheranan," demikian tutur Toh Ni lebih lanjut, "belakangan baru kuketahui bahwa diapun belum pulang ke Tayli, di tengah jalan dia ketemu utusan istana raja. Orang itu diperintahkan oleh permaisuri untuk mendesak Siau-ongya lekas pulang. Katanya Lo-ongya sakit keras, dia diharuskan pulang untuk mewarisi jabatan."

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kalau demikian, dia kan harus lekas pulang."

"Memang, Lo-ongya sakit keras, maka aku tak bisa membual lagi. Maka dengan kuda lari cepat Ling Suhu menyusul balik ke Kwi-lin, duduk persoalan yang sebenarnya kujelaskan kepada Ling Suhu, maka segera kami menyusul kemari hendak mencari Siau-ongya," cerita sampai disini tiba-tiba Toh Ni tertawa sendiri.

"Apa yang kau tawakan?" tanya Ciok-sing heran, "Majikan tuamu sakit keras, kau masih berani tertawa?"

"Biar kukasih tahu padamu, tapi jangan kau bocorkan. Padahal Ling Suhu juga menipu."

"Menipu apa?" tanya Tan Ciok-sing.

"Kabar tentang majikan tua sakit keras hanyalah bualan belaka. Sejak bertemu aku sudah terus terang kepada Ling Suhu, tapi baru kemarin Ling Suhu bicara sejujurnya dengan aku. Ternyata Lo-ongya kuatir putranya berdiri sepihak dengan orang-orang gagah di Kangouw. Utusan dari istana semula juga tak berani terus terang terhadap Ling Suhu, tapi karena minta bantuannya, tahu akan kejujuran pula, maka akhirnya hal itu dijelaskan."

"Tak lama lagi akan terjadi peperangan disini, demi kepentingan Siau-ongya kalian, memang pantas kalau dia lekas pulang," demikian kata Tan Ciok-sing.

"Dari mana kau tahu bakal ada perang disini?" tanya Toh Ni.

"Kedua orang yang menyamar utusan keluarga Toan adalah mata¬-mata Watsu, kebetulan tertangkap olehku, aku telah mengompres keterangan mereka."

Toh Ni menghela napas, katanya: "Kalau aku seorang diri, ingin aku melihat peperangan disini. Tapi bisa tidak aku menemukan Siau-ongya, aku harus pulang memberi laporan. Tan-siangkong, bila kau ketemu Siau-ongya, jangan kau bocorkan berita bohong itu kepadanya."

"Tak usah kuatir, aku takkan ketemu dia."

Toh Ni seperti paham, sesaat kemudian dia berkata: "O, jadi kau sengaja menghindari Siau-ongya?"

Tan Ciok-sing diam saja, tapi manggut-manggut.

Toh Ni menghela napas, katanya: "Kau sengaja menghindari dia, sebaliknya aku pusing mencarinya. Aneh, tiga hari dia lebih dini berangkat kemari menunggang kuda yang dapat lari ribuan li sehari, kenapa aku tiba lebih dulu malah? Aku, aku jadi kuatir."

"Mungkin di tengah jalan mereka tertunda oleh suatu urusan. Kungfu Siau-ongya dan kepandaian nona In cukup tinggi, dengan gabungan kekuatan mereka, yakin musuh takkan mampu berbuat banyak, tak usah kuatir mereka mengalami sesuatu."

Toh Ni berkata lebih lanjut: "Sebetulnya setulus hati aku mengharap Siau-ongya dapat mempersunting nona In, bicara terus terang, waktu itu sedikitpun tidak simpatik kepadamu, ingin rasanya kau lekas meninggalkan nona In sejauh mungkin. Tapi pikiranku sekarang berbeda, karena aku sudah tahu kau adalah orang baik yang sukar dicari keduanya di dunia ini, aku juga tahu nona In hanya menyukai kau, harap kau suka mendengar pendapatku..."

"Anggapanmu semula memang tidak salah," demikian tukas Tan Ciok-sing, "Siau-ongya memang pasangan setimpal dengan nona In, aku tidak setimpal jadi suaminya."

"Tidak, itu hanyalah pikiranmu seorang. Siau-ongya dan nona In justeru tidak sependapat dengan kau. Apa kau ingin tahu bagaimana Nona In membicarakan dirimu?"

Tan Ciok-sing goyang tangan, katanya: "Tidak aku tidak mau dengar. Mereka begitu baik terhadapku, aku amat haru dan berterima kasih, tapi aku tidak boleh tidak tahu diri, aku tidak mau ditertawakan orang, dikatakan aku ini kodok buduk yang menginginkan daging bangau."

Merah muka Toh Ni, katanya: "Tan-siangkong, kau masih menyindirku akan perkataan yang kulontarkan di hari itu tentang dirimu? Mulutku memang pantas digampar. Tapi kuharap kau memaafkan kelancanganku itu," sambil bicara dia sudah angkat tangannya mau menggampar mulut sendiri.

Lekas Ciok-sing menariknya, katanya: "Aku tidak menyalahkan kau, aku sendiripun berpikir demikian."

Toh Ni masih mau membujuk, Tan Ciok-sing berkata: "Siau-nicu, tidak usah dibicarakan, lagi. Aku hanya mengejar ketentraman batinku saja. Kumohon bantuanmu jangan kau katakan kepada Siau-ongya dan nona In bahwa kau pernah ketemu aku disini, jangan pula kasih tahu kepada Ling Khong-tik."

"Kau pernah menolong jiwaku, apa kehendakmu pasti kulaksanakan. Masih ada?"

"Masih ada satu hal, juga mohon bantuanmu."

"Tan-siangkong silakan katakan saja, jangan kata soal membantu persoalanmu, meski Siau-nicu harus terjun ke lautan api, juga pasti kulaksanakan."

"Terima kasih akan kesetiaanmu. Kedatanganku kemari bukan hanya ingin memberitahu jejak Siau-ongya, aku juga membawa pesan seorang teman," lalu dia tuturkan keinginan Han Cin yang mau mendarma baktikan tenaganya di markas Kim-to Cecu, minta Siau-nicu sampaikan hal ini kepada putri Kim-to Cecu. Supaya mengutus orang menjemput Han Cin di kedai itu.

"Urusan sekecil ini pasti beres. Tapi maafkan bila aku cerewet, ingin tanya kepadamu. Apakah kau menyukai nona Han ini?"

Untuk menghindari banyak pertanyaan, maka Tan Ciok-sing menjawab: "Betul, aku amat menyukainya, kami sudah angkat saudara."

"Sebetulnya aku kuatir bagi nona In. Kau takut menemui dia, tapi juga tidak suka bertemu dengan dia bersama nona Han. Ini sudah membuktikan bahwa kau hanya mencintai nona In saja. Apa yang kau katakan justru kebalikannya."

"Siau-nicu jangan sembarang ngomong. Emm, waktu amat mendesak, aku harus lekas pergi. Soal itu kutitip padamu supaya diselesaikan," dia tidak kembali menemui Ciu Kiam-khim, secara diam-diam dia turun gunung.



000OOO000

Di tengah perjalanan pulang, hatinya justru gundah dan gelisah. Kata-kata Siau-nicu menimbulkan riak gelombang dalam sanubarinya: "Nona In hanya mencintai kau, dia tidak akan melupakan dirimu," kalau bukan cerita Siau-nicu ini, hakikatnya dia tidak tahu bahwa cinta In San kepadanya ternyata begitu mendalam. Tapi sedapat mungkin dia berusaha menekan gejolak hatinya. "Umpama betul dia tidak akan melupakan aku selamanya, akupun tak perlu menyesal akan keputusanku ini. Mencintai seseorang harus bisa memberikan kebahagiaan

kepadanya. Kalau dia menjadi permaisuri Toan Kiam-ping pasti jauh lebih bahagia dari pada menjadi isteriku." Meski dia berusaha menekan gejolak perasaannya, tapi hatinya tetap merasa hambar dan kosong. Akhirnya Tan Ciok-sing kembali pula ke Tay-tong.

Waktu dia masuk kota, penduduk sudah mulai menyulut lampu. Tay-tong setelah mengalami peperangan, bagi penduduk yang punya uang, seperti sudah melupakan luka-luka akibat peperangan itu, mereka tetap mengejar kesenangan hidup. Malam hari ternyata tidak kalah ramai dari siang hari, jalan raya tetap berjubel manusia yang berlalu lalang.

Tan Ciok-sing berjalan di tengah keramaian kota, perasaannya justru sunyi sepi seperti di atas alas pegunungan yang belukar. Dengan jari-jarinya yang gemetar dia mengetuk pintu kedai. Seperti murid sekolah yang harus memasuki arena ujian, hatinya bingung dan kacau: "Bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada adik Cin?"

Diluar dugaannya, dia tidak menemukan Han Cin, begitu dia masuk laki-laki tua itu lantas berkata kepadanya: "Kebetulan kau pulang, aku mau beri tahu, hari kedua setelah kau pergi, Han-siangkong juga meninggalkan kedai kami."

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Kenapa tidak menungguku pulang? Aku sudah berjanji dengan dia, apa kau tahu dia kemana?"

"Kau tak perlu kuatir, dia bilang dia sudah menemukan Kim-to Cecu."

Karuan Tan Ciok-sing keheranan, katanya: "Bagaimana dia bisa menemukan Kim-to Cecu? puncak gunung dimana markas Kim-to Cecu berada pun belum kuketemukan. Memangnya dia sudah ke Tay-tong ini?"

"Yang kumaksud bukan langsung ketemu dengan Kim-to Cecu, tapi dia bertemu dengan seorang yang tahu dimana Kim-to Cecu berada."

"Siapa orang itu?" tanya Ciok-sing, dalam hati dia membatin: "Padahal dia tidak kenal siapa saja, memangnya dari mana dia berkenalan dengan orang?" •

"Dia tidak memberi tahu padaku," sahut laki-laki tua, "Tapi dia meninggalkan sepucuk surat untuk kau. Katanya setelah membaca suratnya kau akan mengerti."

Ciok-sing terima surat peninggalan Han Cin serta dirobek dan dibacanya, dimana surat itu berbunyi demikian: "Aku tidak ingin merepotkan pemilik kedai ini, kedainya ini untuk berdagang, setiap hari banyak orang pergi datang disini, aku perempuan menyaru laki-laki, lama kelamaan pasti terbongkar oleh orang. Rumah keluarga In kan tiada yang menghuni, biarlah untuk beberapa hari aku tinggal disana Tinggal di kamar tidurnya yang serba indah itu jauh lebih enak, lebih leluasa, tapi tak enak aku terus terang kepada pemilik kedai ini, yakin kau tidak salahkan aku mempermainkan kau bukan? Sekembalimu, boleh langsung kau ke rumah keluarga In."

Setelah baca surat ini, baru Tan Ciok-sing tahu Han Cin sengaja main gara-gara, diam-diam dia menjadi geli, "dia memang nakal, entah bagaimana dia mendapat akal untuk pindah tempat. Yang benar tinggal di rumah keluarga In hakikatnya jauh lebih berbahaya," maka dia bertanya: "Sejak aku pergi dulu, pernahkah opas atau petugas lainnya yang memeriksa gedung keluarga In yang sudah terbakar itu?"

"Tidak pernah. Sejak rumah keluarga In digerebek tentara, rumah itupun sudah disegel, sejauh ini belum dibuka. Tan-siangkong, buat apa kau tanya hal ini?"

"Tidak apa-apa," ujar Tan Ciok-sing. "Soalnya tempo hari kudengar kau berkata, ada orang yang mengaku utusan keluarga Toan di Tayli kemari dan mencari tahu tentang rumah keluarga In kepadamu, maka aku tanya sambil lalu saja"

"O, kau kuatir mereka masuk ke rumah keluarga In, sehingga menimbulkan curiga petugas dan mengadakan pemeriksaan disana? Menurut apa yang kutahu, opas atau petugas negara lainnya tiada yang pernah masuk kenasa, aku juga tidak tahu. Tapi rumah yang disegel, siapa yang berani memasukinya."

Legalah hati Ciok-sing, pikirnya: "Untung kalau tidak terjadi apa-apa. Apa boleh buat terpaksa aku ikut berbohong pada pemilik kedai ini."

Laki-laki tua berkata: "Siapakah teman Han-siangkong itu? Apakah dia utusan dari keluarga Toan?"

"Bukan, tapi salah seorang anak buah Kim-to Cecu yang tinggal di kota ini."

Laki-laki tua ini tahu akan pantangan orang-orang Kangouw, maka dia tidak berani banyak tanya dimana tempat tinggal Han Cin itu, katanya: "Kalau begitu lekaslah kau pergi mencarinya."

"Betul, sebentar juga aku akan pergi mencarinya."

Tan Ciok-sing lalu ngobrol dengan pemilik kedai, diketahuinya sejak dia meninggalkan Tay-tong keadaan disini ternyata aman saja, lebih lega pula hatinya. Setelah makan bakmi, tanpa terasa hari sudah menjelang kentongan yang ketiga. Tan Ciok-sing berkata:

"Aku harus berangkat," setelah pamitan kepada pemilik kedai, diam-diam dia lantas menyelundup ke rumah keluarga In.

Untuk kedua kalinya dia menyelundup ke rumah keluarga In, terbayang waktu dulu dia bertemu dengan In-hujin, hatinya amat haru. Pikirnya: "Waktu itu kukira akan bertemu dengan adik San, tak nyana bertemu dengan ibunya. Tapi kali ini aku sudah jelas, yang bakal kutemui adalah In San samaran. Hmm, adik San memang ada sedikit persamaan dengan adik Cin, memang cocok kalau adik Cin menyamar dia. Entah sekarang dia sudah tidur atau belum?" tengah otaknya bekerja, tanpa disadarinya dia langsung menuju ke kamar tidur In San dulu. Setelah dekat, tiba-tiba didengarnya suara petikan harpa dari dalam kamar. Karuan Tan Ciok-sing menjublek.

Lagu yang dibawakan dalam petikan harpa ini adalah lagu yang pernah dia bawakan sebelum dia berpisah dengan Toan Kiam-ping serta menghadiahkan harpanya di atas Cit-sing-giam dulu. Di waktu terlongong itu, pikirannya melayang: "Belum pernah aku tuturkan kejadian itu kepada adik Cin, bagaimana mungkin di kala kebetulan aku pulang, dia lantas petikan lagu itu, mungkinkah secara kebetulan? Tapi yang membuatnya menjublek bukan lantaran petikan lagunya, tapi karena dia dapat merasakan, dapat meresapi perasaan yang dibawakan oleh irama harpa itu.

Bahan kayu yang berbeda untuk membuat harpa dapat menimbulkan perbedaan nada dan suara, orang biasa takkan bisa membedakan, tapi bagi seorang ahli, guru harpa yang sudah banyak pengalaman tentu dapat membedakan.

Harpa kuno peninggalan keluarganya itu adalah Kiau-bwe-khim yang tercatat dalam sejarah daftar harpa, konon harpa itu dibuat oleh Coa Pa pada dynasti Han timur, bahannya dari sebongkot kayu yang sudah terbakar separo, maka harpa itu dinamakan Kiau-bwe-khim (harpa bongkot arang). Nada dan warna suaranya jauh berbeda dengan harpa umumnya. Kini Tan Ciok-sing mendadak mendengar petikan irama Kiau-bwe-khim miliknya dulu itu, saking kaget, hampir dia tidak mau percaya akan pendengaran kupingnya.

Walau gaya petikannya masih belum cukup mahir, tapi lagu itu dapat dibawakan cukup sempurna dan lebih penting lagi dia dapat melimpahkan isi hatinya melalui petikan harpa itu, perasaan yang hambar dan penuh harapan dituangkan pada irama harpa, ini menimbulkan reaksi yang kontras dalam sanubarinya, Tan Ciok-sing berpikir: "Ai, bagaimana adik Cin juga memiliki perasaan yang sama dengan aku pada waktu itu?"

Bahwa Han Cin pandai meniup seruling dan mahir teori musik, ini diketahui oleh Tan Ciok-sing, maka dia yakin bahwa yang memetik harpa ini pasti Han Cin adanya, sesaat lamanya dia menjublek, akhirnya dia maju perlahan-lahan serta mengetuk pintu, serunya: "Adik Cin, aku sudah pulang, dari mana kau peroleh harpa yang kau petik itu, coba biar kulihat."

Suara harpa seketika'berhenti, pintu kamarpun cepat terbuka. Tapi yang berdiri dihadapannya ternyata bukan Han Cin. Tanpa merasa kembali dia terlongong di depan pintu. Kalau tadi dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, kini dia tidak percaya akan pandangan matanya. Ternyata yang muncul dihadapannya bukan lain adalah In San yang sengaja ingin dia hindari.

Ternyata sikap In San tidak seheran dia, begitu membuka pintu, dia lantas menyambut dengan tertawa: "Aku sudah tahu kau telah datang, sudah beberapa hari aku menunggumu disini."

"Apa betul kau nona In?" tergagap suara Ciok-sing. Dia tahu Han Cin pandai menyamar, maka dia curiga bahwa In San yang berdiri di hadapannya ini samaran Han Cin.

In San tertawa, katanya: "Tan-toako, baru sebulan lebih aku berpisah dengan kau, kau sudah tidak mengenalku lagi? Owng bisa menyaru, tapi harpa kuno warisan keluargamu ini apakah bisa dipalsukan?"

Tan Ciok-sing ambil harpa itu serta diperiksanya dengan teliti, memang inilah Kiau-bwe-khim warisan keluarganya itu. Yang benar tak perlu dia memeriksa sedemikian rupa, sekali pandang saja orang lainpun akan tahu bahwa harpa ini tulen.

Kiau-bwe-khim ini sudah dia hadiahkan kepada Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping datang ke Tay-tong bersama In San, sudah tentu harpa ini berada di tangan In San, dan tak mungkin berada di tangan Han Cin.

Baru sekarang Tan Ciok-sing yakin bahwa gadis yang berada di hadapannya betul-betul adalah In San, bukan samaran Han Cin yang pernah menggodanya dulu. Karuan kaget dan senang hatinya, katanya: "Ah, ternyata kau memang adik San."

In San tersenyum, katanya lembut: "Kau kira aku siapa?"

Teringat bahwa kedatangannya mau mencari Han Cin dan memperlihatkan surat peninggalan ayah angkatnya kepadanya, seketika jengah muka Tan Ciok-sing, katanya tersendat: "Kukira kau samaran seorang temanku."

Seperti tertawa tidak tertawa In San mengawasinya, tanyanya: "Siapakah temanmu itu?"

"Seorang nona she Han, dia, dia..."

Sebelum dia ceritakan siapa sebenarnya Han Cin, In San sudah berkata lebih dulu: "Dia adalah anak angkat Khu Ti, Khu-locianpwe telah meninggal, atas perintah ayah angkatnya itu kau angkat saudara sama dia, betul tidak?"

Lama Tan Ciok-sing melenggong, katanya kemudian masih melongo: "Jadi kau sudah bertemu dengan nona Han?"

Tertawa tapi In San tidak menjawab, tiba-tiba malah bertanya: "Sejak kau meninggalkan Tay-tong sampai hari ini kebetulan tepat sepuluh hari, betul tidak?"

"Lho, bagaimana kau tahu sejelas ini?" sahut Tan Ciok-sing setelah menghitung dengan jari, memang tepat sepuluh hari.

"Malam itu, kau pernah lewat depan rumahku, betul tidak?"

"Jadi bayangan yang kulihat malam itu adalah kau."

"Malam itu kira-kira kentongan ketiga, aku belum tidur, sayup-sayup mendadak kudengar seseorang menghela napas panjang, entah mengapa, aku menduga pasti kau adanya. Tapi waktu aku keluar mencarimu, kau sudah tidak kelihatan."

"Waktu itu aku juga curiga mungkin engkau, tapi juga kuatir bila orang yang diutus dari keluarga Liong, karena tidak ingin mencari perkara, maka aku lekas-lekas pergi."

In San menghela napas, katanya: "Kau bukan takut kena perkara, tapi kau sengaja menghindari aku, kau kira aku tidak tahu?"

Tan Ciok-sing tidak bisa mungkir, terpaksa dia menunduk. Sikapnya kikuk mimiknya lucu. In San tertawa geli melihat tampangnya, katanya: "Malam itu kau tidak masuk kemari, tapi tidak lama, mungkin satu jam kemudian, adik Cin itulah yang kemari."

"Ternyata demikian, tak heran segalanya sudah kau ketahui."

Setengah mendesak setengah berkelakar In San berkata: "Sekarang kau masih mau menghindari aku?"

Tan Ciok-sing menyengir kuda, katanya: "Aku ketipu oleh kalian."

"Hari kedua adik Cin lantas pindah kemari, surat yang diberikan kau itupun dia tulis disini. Tapi bukan maksudku menipu kau datang kemari. Kau tidak salahkan aku bukan?"

Lirih suara Tan Ciok-sing: "Yang benar akupun ingin bertemu dengan kau."

Secerah kembang mekar senyum In San, katanya: "Kukira kau sudah melupakan aku. Setelah mendengar pengakuanmu, tidak sia-sia aku menunggumu sepuluh hari disini."

Bergetar perasaan Tan Ciok-sing, namun ditenangkan hati, katanya: "Mana nona Han?"

"Semalam dia menginap disini bersamaku, hari kedua dia lantas pergi."

"Pergi kemana?"

"Tak usah gugup, nanti kuceritakan. Masih ada yang ingin kau tanyakan?"

"Bukankah Toan-toako datang bersamamu, kenapa tidak kelihatan?"

Dengan tersenyum In San menerangkan: "Memang nona Han menipu kau datang kemari, tapi tidak seluruhnya dia ngapusi kau. Bukankah dalam suratnya dia ada bilang bahwa dia ketemu seorang teman yang akan mengantarnya ke markas Kim-to Cecu?"

"Jadi benar?" seru Ciok-sing heran, "teman itu..."

"Teman yang mengantarnya ke markas Kim-to Cecu adalah Toan Kiam-ping."

Tan Ciok-sing tepuk dahinya sendiri, katanya: "Aku memang goblok, seharusnya sudah kuduga sejak tadi."

"Mereka berangkat naik kuda Kanglam Sianghiap, yakin pasti menemukan tempat tujuannya. Sekarang mungkin sudah berada di tempat Kim-to Cecu."

Kusut pikiran Tan Ciok-sing, katanya kemudian: "Sebetulaya dia harus berangkat bersama kau."

Seperti tertawa tidak tertawa In •San berkata: "Kau tidak rela bila adik Cinmu itu dia rebut?"

Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Waktu aku mengantarnya ke rumah murid tertua It-cu-king-thian, aku mengharap, mengharap bisa..." dia ingin bilang "merangkap jodoh kalian", entah kenapa, lidahnya menjadi kelu dan tak enak melanjutkan perkataannya.

"Terima kasih akan maksud baikmu, tapi sikapmu ini jelas memandang aku dengan Toan-toako bukan sebagai manusia."

Tan Ciok-sing kaget, serunya: "Adik San berat kata-katamu. Terhadap Toan-toako, aku amat menghormatinya. Terhadapmu, aku hanya berdoa supaya kau selalu baik-baik."

"Tapi apa kau tidak tahu bahwa aku dan Toan-toako adalah manusia, bukan suatu benda mati, manusia mana boleh dipermainkan sesuka hati? Aku suka kepada siapa, aku punya keputusanku sendiri," sampai disini sikap In San kembali ramah, aleman dan Jenaka, dengan ujung jarinya dia tuding jidat Tan Ciok-sing, katanya: "Kau tahu salah, aku takkan memakimu. Kau mengaku salah tidak?"

Tan Ciok-sing menunduk, hatinya syur dan manis mesra, seperti seorang murid yang dimarahi gurunya, mukanya merah seperti tomat masak, sahutnya tersekat: "Ya, aku tahu salah."

Lebar tawa In San, katanya: "Baiklah, kali ini kuampuni. Apakah kacang merah itu masih kau simpan?"

Ciok-sing keluarkan kacang merah itu, katanya: "Barang sepenting ini mana boleh kuhilangkan?"

In San terima kacang itu serta memeriksanya, katanya: "Hanya warnanya yang berubah sedikit gelap."

"Mungkin karena kena debu," kata Ciok-sing.

In San menggosok kacang merah itu di tengah kedua telapak tangannya, katanya tertawa: "Betul, setelah debu dibersihkan, warnanya tetap menyala."

Debu yang menyelimuti hati Tan Ciok-singpun seketika diusap bersih oleh In San, tiba-tiba In San berkata: "Toan Kiam-ping ada titip sebuah kado untuk kau."

Tan Ciok-sing tertegun, "Kado apa?" .

In San tuding harpa itu, katanya: "Semula kau hadiahkan harpa itu kepadanya, sekarang dia kembalikan kepadamu."

"O, waktu kuberikan harpa ini kepadanya, maksudku untuk membalas kebaikan seorang yang tahu isi hatiku. Di samping itu, kukira, kira..."

In San menatapnya, katanya: "Kau kira kenapa? Pikiranmu selalu menyeleweng, semuanya tidak benar."

Meski dimarahi, namun hati Ciok-sing senang, tapi tak berani bersuara.

"Toan-toako tahu akan maksudmu, maka dia tidak mau menerima kado ini. Kini dia kembalikan aku kepadamu, dia minta aku menyatakan kepada kau, maksudnya seperti maksudmu waktu kau menyerahkan harpa ini kepadanya."

Semakin manis hati Tan Ciok-sing, tapi mukanya semakin merah.

"Walau dia tidak menerima kadomu, tapi dia menerima persahabatanmu yang kental. Lagu yang kupetik tadi dialah yang mengajarkan kepadaku."

Kembali dimarahi, Tan Ciok-sing malah tertawa, katanya:

"Sebetulnya aku sudah menduga, pasti dia yang mengajar kepadamu. Mendengar petikan lagumu tadi, aku masih kira kau adalah samaran Han Cin, sungguh menggelikan."

Seperti tertawa tidak tertawa, In San berkata: "Itulah karena didalam relung hatimu ada terisi bayangan adik Cin juga."

Lekas Ciok-sing berkata: "Jangan kau salah paham, meski aku sudah angkat saudara dengan dia, tapi perasaanku terhadap kalian, terus terang, jauh berbeda"

In San cekikikan geli, katanya: "Kenapa kau gugup begitu rupa, aku hanya menggodamu," lalu berkata pula, "Malam itu aku tidak menemukan kau, sekembaliku kupetik lagu itu juga. Tak nyana justru memancing kedatangan adik Cinmu itu. Beberapa hari ini aku tahu kau pasti kembali, maka setiap malam aku pasti petik lagu itu."

Tan Ciok-sing amat haru, katanya tersendat: "Adik San, betapa besar dan luhur hatimu, kau sudah berjerih payah lantaran aku, aku amat haru dan terima kasih padamu."

"Waktu kau hadiahkan harpa ini kepada Toan Kiam-ping, tak pernah terpikir akan akhir kejadian seperti malam ini bukan? Kau puas tidak?"

Lirih suara Ciok-sing: "Akhir dari semua drama ini sungguh berada diluar dugaanku."

In San seperti teringat sesuatu, katanya kemudian: "Aku masih mengharapkan suatu akhir yang sempurna."

Tan Ciok-sing melengak, tanyanya: "Akhir yang lebih sempurna bagaimana?"

"Bila adik Cinmu dapat menikah dengan Toan-toako, bukankah lebih sempurna? Kulihat mereka memang cocok dan setimpal."

Tan Ciok-sing juga ingat satu hal, tanyanya: "Betul, memang aku ingin tanya kau, kalau menungggang kuda Kanglam Sianghiap, seharusnya beberapa hari lebih dini tiba di Tay-tong.

"Itulah karena di tengah perjalanan ke Tay-tong, kami ketemu seorang yang tak pernah terduga sebelumnya."

"Siapa?"

"Apa kau masih ingat Hwesio gendut salah satu dari Pat-sian dulu?"

"Maksudmu Sia-cin Hwesio yang berkawan dengan Ui-yap Tojin itu? Hwesio gendut itu memang mirip patung Mi-lik-hud didalam kelenteng, senyum selalu menghias wajahnya, tingkah lakunya lucu jenaka, mana bisa aku melupakan dia. Kenapa?"

In San menghela napas, katanya: "Sayang waktu aku ketemu dia, dia sudah tidak bisa tertawa lagi."

Tan Ciok-sing kaget, tanyanya: "Dia ketimpa persoalan apa?"

"Setelah pertemuan di Lian-hoa¬ hong bubar, bersama Ui-yap Tojin dia mampir ke tempat kediaman Wi-cui-hi-kiau di Koan-tiong, lalu mereka akan bersama-sama pergi ke tempat Kim-to Cecu. Sayang mereka tidak ketemu Wi-cui-hi-kiau, namun menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Wi-cui-hi-kiau, dalam surat itu diberitahukan suatu berita penting." "Berita apa?"

"Berita tentang Liong Bun-kong yang ada intrik dengan pihak Watsu."

Tan Ciok-sing kaget, katanya: "Liong Bun-kong-keparat itu jelek-jelek adalah pembesar tinggi kerajaan, apa betul ada kejadian ini?"

"Watsu ada kirim seorang utusan rahasia, membawa surat pribadi raja Watsu menyelundup ke Peking, di samping itu membawa pula banyak harta manikam untuk dihadiahkan kepada bangsat tua itu. Walau tiada orang tahu isi dari surat pribadi itu, tapi bisa diduga pasti tidak menguntungkan bagi negeri kita."

"Itu sudah tentu. Apakah berita ini dapat dipercaya?"

"Justeru karena berusaha merebut surat pribadi itulah Sia-cin Hwesio dan Ui-yap Tojin mengalami nasib jelek, kenapa tidak boleh dipercaya?" lalu In San ceritakan kejadiannya.

"Wi-cui-hi-kiau punya seorang teman yang tinggal di ibu kota negeri Watsu, dia punya teman bangsa Watsu, dari kalangan atas sampai golongan rendah, banyak berita penting yang berhasil dis'adapnya. Setelah dia mendapat tahu kabar ini, sebelum utusan raja Watsu berangkat, dia sudah kirim orang untuk memberitahu kepada Wi-cui-hi-kiau.

"Untuk menuju ke Pakkia, utusan raja Watsu bisa menempuh dua jalan. Teman Wi-cui-hi-kiau tidak tahu jalan mana yang bakal ditempuh oleh utusan raja Watsu."

"Setelah memperoleh berita besar dan penting ini, maka Wi-cui-hi-kiau segera mengadakan persiapan, disadarinya bahwa waktu amat mendesak, tak mungkin dia memanggil banyak orang untuk membagi tugas mencegat kedua jalan yang mungkin bisa ditempuh itu, terpaksa mereka bekerja sendiri menyelusuri jalan pertama, di samping meninggalkan surat, mohon bantuan Ui-yap Tojin dan dan Sia-cin Hwesio untuk mencegat di jalan kedua itu. Sebelumnya mereka sudah ada janji, maka mereka tahu bahwa dalam waktu dekat Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio bakal datang."

In San bercerita lebih lanjut: "Ternyata Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio yang kesamplok dengan rombongan utusan raja Watsu di tengah jalan."

"Malam itu mereka lantas berusaha untuk mencuri surat tugas dan rahasia itu, tak nyana jejak mereka konangan oleh jago-jago silat Watsu yang memiliki kepandaian yang tangguh. Dalam pertempuran sengit itu, Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio kewalahan dikeroyok musuh sebanyak itu, sungguh malang Ui-yap Tojin gugur di medan laga di saat menunaikan tugas suci dan mulia."

Kejut Tan Ciok-sing bukan main, katanya: "Ui-yap Tojin adalah jago pedang pada jaman ini yang terhitung paling top, tujuh puluh dua jurus Tiang-hoan-toh-bing-kiam yang diyakinkan itu amat ganas dan liehay, sungguh tak nyana dia mati di tangan musuh."

"Untuk menolong teman baiknya meloloskan diri, terpaksa Ui-yap Tojin mengorbankan diri, dia gugur bersama tiga jago kosen bangsa Watsu."

"Lalu bagaimana nasib Sia-cin Hwesio?"

"Luka Sia-cin Hwesio tidak ringan, untung dia berhasil meloloskan diri. Waktu aku bertemu dia, sungguh dia amat girang tapi juga sedih, setelah dia ceritakan pengalaman yang menegangkan itu, diapun tak kuat lagi, roboh..."

"Hah," Tan Ciok-sing menjerit kaget, "Sia-cin Hwesio, dia juga..."

"Tidak, dia hanya pingsan karena kehabisan tenaga," tutur In San. "Sebetulnya dia minta kami selekasnya mengirim kabar ini kepada Kim-to Cecu, namun kami tak bisa meninggalkan dia begitu saja di tengah jalan. Waktu itu kami pikir, kalau usaha merampas surat rahasia itu sudah gagal, dihitung waktu dan jaraknya, bila kita tiba di markas Kim-to Cecu, utusan kerajaan Watsu itupun pasti sudah tiba di Pakkia. Walau kita menunggang kuda yang cepat lari ribuan li sehari juga takkan bisa menyandaknya lagi. Yang jelas intrik Liong Bun-kong dengan bangsa Watsu sudah menjadi kenyataan, tak perlu kita buru-buru menyampaikan berita ini kepada Kim-to Cecu."

"O, jadi karena kalian harus merawat luka-luka Sia-cin Hwesio sehingga perjalanan kalian tertunda."

"Beberapa hari kami merawat dan melindungi dia di tan.ih pegunungan yang liar dan belukai, syukur luka-lukanya lekas sembuh, belakangan kami menemuk.ui rumah pemburu, lalu kami titi pk m i i dia disana untuk menyembulik.ui luka-lukanya, hari itu juga kami melanjutkan perjalanan."

"Toan-toako buru-buru meninggalkan Tay-tong, pasti dia hendak mengirim kabar ini kepada Kim-to Cecu."

"Ya, di samping untuk mengantar adik Cinmu itu. Aku tidak tahu entah kenapa dia tidak mau menunggumu pulang. Hari kedua dia lantas minta Toan-toako mengantarkan dia pergi ke tempat Kim-to Cecu."

Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Seharusnya kau sudah tahu, dia pergi lantaran kau dan aku."

Merah muka In San, katanya: "Apa kau beritahu seluruh persoalan kami dengan dia?"

"Tidak. Tapi dia cukup cerdik, setelah melihat kau, membicarakan diriku, yakin dia pasti sudah menerka dalam hati," lalu dia menambahkan. "Sebetulnya kau boleh ikut berangkat bersama mereka."

In San mengerut seketika, rengeknya: "Kau tidak suka bertemu dengan aku?"

"Bukan begitu. Kurasa urusan dinas lebih penting."

"Jangan kau kira aku hanya memikirkan soal cinta melulu, aku menunggu kedatanganmu juga lantaran urusan dinas. Aku punya jalan pikiranku sendiri."

"Jalan pikiran bagaimana?"

"Kuharap kau suka membantu aku. Mari kita pergi ke Pakkia membunuh Liong-lo-jat."

"O, kiranya kau berpikir demikian, jadi aku yang keliru menduga yang bukan-bukan."

In San kertak gigi, katanya: "Bangsat tua she Liong itu menipu ibu kandungku, membunuh ayahku, sehingga keluargaku tercerai berai, sekarang aku sebatangkara juga lantaran dia, dendam sedalam lautan ini, mana boleh tidak kubalas."

"Tapi bangsat tua ini kini sudah naik pangkat jadi sekretaris militer, merangkap jabatan Kiu-bun-te-tok pula, aku tahu untuk membunuhnya bukan soal mudah, maka aku harus berani pertaruhkan jiwa ragaku untuk menunaikan tugas penting ini. Tan-toako, apa kau sudi menemani aku menempuh bahaya?"

Tanpa pikir Tan Ciok-sing menjawab tegas dengan tertawa: "Sampai sekarang kau masih tanya demikian kepadaku, bukankah terlalu berkelebihan? Bisa sehidup semati bersama kau sungguh merupakan cita-citaku yang terbesar."

Senyum In San secerah kembang mekar, katanya: "Tan-toako, aku tahu kau pasti setuju akan rencanaku ini. Maka aku tidak berani utarakan rencanaku ini kepada Toan Kiam-ping hanya kepadamu saja."

"Terima kasih bahwa kau begitu mempercayai aku. Tapi Toan Kiam-ping adalah pangeran raja, adalah jamak kalau kau tidak memberi kesempatan padanya untuk menyerempet bahaya," tiba-tiba dia teringat sesuatu, "Bangsat tua she Liong dan keponakan serta anak buahnya banyak yang mengenali kau, sayang aku tidak pandai make up, lalu bagaimana baiknya?"

"Yang harus kau buat sayang adalah, selama itu kau kumpul dengan adik Cinmu, kenapa tidak belajar make up padanya."

Tan Ciok-sing tertegun, katanya: "Ah, jadi kau sudah tahu bahwa dia pandai juga dalam bidang ini?"

In San tertawa, katanya: "Kau tak usah kuatir, kau tidak belajar, aku malah sudah cukup mahir."

"Kau memang pintar, hanya semalam kumpul, kau sudah pandai make up."

"Tata rias sebetulnya tidak sukar. Soalnya kau tidak mau belajar."

Di jalan raya terdengar ronda malam sudah menabuh kentongannya, hari sudah menjelang kentongan ke empat.

Tan Ciok-sing melangkah enteng ke pekarangan tengah, dilihatnya rembulan sudah doyong ke barat, mengingat besok pagi dia bakal menempuh perjalanan jauh pula bersama In San, sanubarinya diliputi rasa senang dan bahagia. Tanpa sadar jari-jarinya meraba surat wasiat pesan Khu Ti kepadanya itu. Dalam hati dia berpikir: "Nasib memang mempermainkan orang. Untung aku tidak perlihatkan surat ini kepada adik Cin," lalu dia membatin: "Surat ini tidak pantas kusimpan selalu, kapan ada waktu dan kesempatan, diluar tahu adik San aku harus membakarnya," tapi sanubarinya tiba-tiba merasa menyesal, "terhadap adik San selamanya aku tidak pernah berbohong, perlukah aku beritahu soal ini kepadanya? Em, adik Cin sekarang sudah ada tempat berteduh, masa depannya masih cerah, adik San sudah rujuk kembali dengan aku. Untuk menghindarkan sesuatu kejadian yang diluar dugaan, lebih baik aku tak usah jelaskan soal ini kepadanya."

Di kala pikiran Tan Ciok-sing timbul tenggelam, didengarnya In San memanggilnya: "Tan-toako, kau boleh masuk. Coba kau lihat apakah samaranku sekarang tidak mirip adik Cinmu?"

Tan Ciok-sing heran, katanya: "Lho, koh kau menyamar dia? Kukira lebih baik kau menyamar..." sambil bicara dia melangkah masuk ke rumah, sebelum dia sempat mengatakan 'laki-laki', tampak yang muncul di hadapannya adalah pemuda pelajar yang cakap ganteng.

Sekilas Tan Ciok-sing melongo, katanya: "Kukira kau betul-betul menyaru Han Cin, kiranya ngapusi aku saja. Kau menyaru jadi pelajar, memang bagus dan tepat sekali."

In San tertawa, katanya: "Waktu adik Cinmu datang kemari malam itu, diapun menyamar seperti diriku sekarang. Dia bilang selama perjalanan dengan kau, dia tetap dengan samarnya itu, maka aku mencontoh dia saja, murid mencontoh guru, kan jamak."

"Kalau begini, kita boleh berpura-pura sebagai saudara misan menempuh perjalanan ke kota raja."

In San mengawasinya sejenak, lalu katanya: "Masih belum sempurna."

"Apa yang tidak sempurna?"

"Tampangmu mirip pedagang kecil, kalau seperjalanan dengan aku, perbedaannya jadi menyolok. Kau harus menyamar jadi pemuda perlente dari keluarga bangsawan, kira-kira sepadan dengan aku, yaitu Siucay yang mau menempuh ujian negara ke kota raja."

"Jadi kau memang sudah persiapkan pakaian Siucay ini? Tapi aku tidak punya pakaian."

"Perawakanmu tidak banyak beda dengan Toan Kiam-ping, ada beberapa perangkat pakaiannya yang ditinggal disini, kebetulan dapat kau pakai."

Maka Tan Ciok-sing salin pakaian, In San mulai merias mukanya, lain kejap dia sudah pangling pada dirinya yang terbayang di kaca.

Tan Ciok-sing tertawa, katanya:

"Hampir aku tidak kenal mukaku sendiri, keahlianmu di bidang ini ternyata tidak kalah dari sang guru."

"Mungkin aku tidak teramat bodoh, tapi dibanding adik Cinmu yang cerdik pandai, terus terang aku bukan tandingannya Ya, bicara tentang adik Cinmu, aku jadi ingat."

"Ingat apa?" tanya Ciok-sing melengak.

In Sin membuka jendela lalu melihat cuaca, katanya: "Setengah jam lagi bakal terang tanah. Malam itu nona Cin juga ngobrol dengan aku sampai pagi. Dia banyak bercerita. Ada satu hal mungkin dia tidak leluasa tanya kepadamu, maka aku ingin wakilkan dia tanya kepadamu. Aku harap kau bicara sejujurnya dengan aku."

Bergetar benak Tan Ciok-sing, katanya: "Adik San, kau tahu, selamanya aku tidak pernah ngapusi kau."

"Kau pernah bersumpah di depan pusara Khu-locianpwe untuk melaksanakan pesannya?"

"Betul," sahut Tan Ciok-sing menunduk.

"Dia meninggalkan sepucuk surat kepadamu, untuk melaksanakan pesannya itu sesuai yang tercantum dalam surat wasiat itu, maka kau angkat saudara dengan nona Han?"

Tan Ciok-sing manggut-manggut, mulutnya mengiakan.

"Kau tidak pernah perlihatkan surat wasiat ayah angkatnya itu kepada nona Han?"

Untuk ketiga kalinya Tan Ciok-sing mengangguk, mulut kembali mengiakan.

"Baik, nah coba kau perlihatkan kepadaku."

Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya: "Sebetulnya aku akan beritahu soal ini kepadamu, namun belum sempat, kuharap kau..."

Setelah menerima sampul surat itu, In San lantas menukas: "Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, biarlah aku baca surat ini dulu,"

Setelah membaca surat itu serius sikap In San katanya sungguh-sungguh: "Tidak pantas kau ngapusi nona Han, Khu-locianpwe berpesan supaya kalian jadi suami istri, bukan saudara angkat."

Tan Ciok-sing amat kaget, katanya: "Tapi dalam benakku hanya ada kau, waktu itu aku belum tahu apakah kau bakal kembali ke dampingku, aku sudah berkeputusan untuk tidak kawin dengan siapapun."

In San geleng-geleng, katanya: "Seorang laki-laki harus berani bersumpah berani bertanggung jawab, aku tidak suka kau jadi seorang yang ingkar janji."

Tan Ciok-sing amat risau, katanya: "Tapi ini kan menyangkut masa depan kita. Apalagi, apa lagi..."

"Apalagi kenapa?"

"Apalagi sekarang sudah berakibat adanya dua kemungkinan yang membawa kesempurnaan. Sebetulnya umpama kau menjadi permaisuri, aku masih bisa menyerahkan surat ini kepada Han Cin, biar dia sendiri memberi keputusan tapi aku toh harus memberitahu hubunganku dengan kau kepadanya. Kini..."

"Kini kenapa pula?"

"Kini aku sudah berada di sampingmu pula sementara nona Han berada di damping Toan Kiam-ping. Memangnya kau tidak mengharap Han Cin menjadi permaisurinya?"

In San menghela napas, katanya: "Sayang itu hanya merupakan harapan kosong yang belum jadi kenyataan, apa kelak terjadi seperti yang kau duga kan, masih sukar diramalkan. Dan lagi sebelum ini aku tidak tahu akan adanya surat peninggalan Khu-locianpwe kepada kau. Betapa besar budi kebaikan Khu-locianpwe

terhadapmu, aku jadi merasa caramu ini telah mengingkari janjimu di depan pusaranya."

"Tapi waktu itu aku kan tidak tahu bahwa dia menyuruh aku mengawini putri angkatnya."

"Sekarang kau sudah tahu, tapi kau masih mengelabui nona Han, jelas sikapmu ini tidak blak¬-blakkan dan kurang jantan."

Tan Ciok-sing menatapnya lekat-lekat, katanya: "Bila tiada pertemuan malam ini antara daku dan dikau, bila aku tidak mendengar petikan harpamu, aku masih akan mengeraskan kepala menghindarimu. Kini aku sudah berhadapan dengan kau, betapapun aku takkan bisa berpisah dengan kau."

Berlinang air mata In San, air mata senang, sesaat dia baru berkata: "Aku pun takkan mau berpisah lagi dengan kau, tapi sebagai manusia adalah jamak kalau kita harus dapat dipercaya."

Tan Ciok-sing tertawa dipaksakan: "Untuk membunuh Bangsat tua she Liong di Pakkia, belum tentu kita bisa pulang dengan selamat."

"Jangan kau ncomong yang tidak genah," seniaV lu San.

"Baiklah kita bicarakan lagi kelak bila aku pulang dengan selamat."

"Bila kau bertemu sama dia, kurasa sudah menjadi kewajibanmu untuk membicarakan hal ini kepadanya. Mau tidak dia menjadi isterimu, terserah dia. Tapi kau tidak boleh ngapusi dia."

"Waktu itu mungkin dia sudah jadi permaisuri, umpama belum menikah, yakin mereka sudah merupakan pasangan kekasih yang tak takut kita ketahui. Kalau aku menyerahkan surat peninggalan ayah angkatnya, bukankah bikin urusan menjadi ruyam malah?"

In San berpikir sejenak, katanya kemudian: "Baiklah, aku mengalah. Bila betul seperti yang kau katakan, boleh kau bakar surat itu. Kalau tidak betapapun aku akan tuntut kau melaksanakan pesan Khu-locianpwe sesuai apa yang dipesan dalam surat itu."

Legalah hati Tan Ciok-sing, katanya tertawa: "Lha kan begitu, legalah hatiku. Tapi aku percaya kalau memang sudah jodoh mau kemana."

In San menghela napas prihatin, katanya: "Jikalau kejadian tidak seperti yang kita harapkan kau harus berjanji kepadaku untuk mempersunting dia, tentang diriku..."

"Kau mau apa?" desak Tan Ciok-sing.

"Peduli kau mau tidak mengawini dia, aku takkan menikah dengan siapapun. Memangnya sejauh ini kau masih tidak mempercayai aku?"

"Apa yang kau pikir sekarang justru mirip pikiranku dua bulan yang lalu. Em, kalau begitu biar aku berdoa semoga nona Han betul-betul menjadi permaisuri Toan Kiam-ping. Aku yakin, doaku dan harapanku pasti akan menjadi kenyataan."

“Ya, semoga demikian," ucap In San pula. Lahirnya dia bilang demikian, padahal sanubarinya sudah diselimuti bayangan gelap. Walau sepanjang perjalanan ini In San tak pernah menyinggung soal ini. Apakah Han Cin akan jatuh cinta kepada Toan Kiam-ping? Meski mereka berdoa dengan penuh harapan, tapi masih ada satu teka teki yang belum terbongkar.



000OOO000



Memang belum tiba saatnya membongkar teka teki ini, karena Han Cin sendiripun belum bisa memberikan jawabannya.

Dia ikut Toan Kiam-ping pergi mencari Kim-to Cecu. Waktu itu, keadaannya tak ubahnya seperti Tan Ciok-sing dan In San, hatinyapun gundah dan ruwet. Kejadian malam itu kembali terbayang di depan kelopak matanya. Waktu Tan Ciok-sing meninggalkan kedai itu secara diam-diam, waktu sudah menunjukkan kentongan ketiga. Dia mendekam di depan jendela, mengawasi punggung

bayangannya menyebrang jalan dan lenyap di ujung pengkolan, masuk ke sebuah gang kecil. Entah kenapa timbul suatu pikiran aneh: "Entah Tan-toako akan kembali tidak, tentunya dia bukan ingin menjauhi diriku? Ai, begitu baik dia terhadapku, kenapa aku mencurigainya?"

Setelah menghela napas, benaknya berpikir pula: "Terhadapku dia seperti ada maksud tapi juga tidak naksir, sungguh sukar aku meraba perasaannya," tanpa merasa mukanya merah sendiri. "Apakah aku sudah naksir kepada Tan-toako?" dalam hati dia tanya kepada diri sendiri, terasa anggapannya memang sedikit benar, tapi juga tidak benar, Han Cin jadi bingung, karena dia sendiri juga heran akan jalan pikiran sendiri, dia tidak tahu dan tidak bisa menentukan pilihan.

Di kala pikirannya gundah dan siap menutup jendela mau mapan tidur, tiba-tiba dilihatnya sosok bayangan seorang muncul di ujung gang sana. Kentong ketiga sudah lewat, toko-toko sudah tutup, penduduk kota kebanyakan sudah tidur, jarang orang keluar malam ini, tapi bayangan ini muncul seorang diri, mau tidak mau Han Cin jadi heran, maka dia menaruh perhatian akan gerak-geriknya.

Sinar bulan redup, tapi masih bisa kelihatan bahwa bayangan orang adalah seorang perempuan. Han Cin lebih heran lagi, tengah malam buta, tidak tidur memeluk guling di atas ranjang, kenapa keluyuran di jalan raya yang sepi dan dingin? Lebih heran lagi setelah dilihatnya gadis itu akhirnya berhenti di depan kedai minum ini. Han Cin kaget, pikirnya: "Mungkin gadis ini menyelidik jejak Tan-toako dan aku? Siapakah dia?"

Lama juga gadis itu mondar mandir di depan kedai, dari gerak-gerik orang Han Cin tahu bahwa gadis ini pandai silat, maka dia sudah siap menyambutnya bila gadis itu masuk. Tak nyana tiba-tiba didengarnya gadis itu menghela napas, lalu berlalu.

Heran Han Cin dibuatnya, timbul keinginannya untuk mencari tahu siapa sebenarnya gadis ini dan apa kerjanya mondar mandir disini, dengan gerakan Yan-cu-joan-lian segera dia menerobos keluar jendela, lompat ke atap, dari tempat tinggi dia memandang ke jauh di bawah sana, tampak bayangan gadis itu akhirnya lenyap didalam sebuah gedung besar.

Dari pembicaraan Tan Ciok-sing dan pemilik kedai ini Han Cin sudah tahu bahwa gedung besar di ujung gang seberang itu adalah rumah besar keluarga In, karena tak kuasa menekan keinginannya maka dia ' balas beraksi mengadakan penyelidikan. Begitu dia memasuki pekarangan rumah keluarga In, dia disambut oleh tarikan suara nyanyian yang sangat merdu merawan hati diiringi petikan harpa.

Mendengarkan nyanyian yang menyedihkan Han Cin ikut-ikutan pilu dan berdiri terpesona, terbayang olehnya akan hidupnya yang sebatangkara dan keluyuran tidak menentu, sungguh sukar dia perasaan duka. Diam-diam dia membatin: "Entah dia putri In Tayhiap? Apa pula yang dia sedihkan? Apakah diapun seperti diriku juga sebatangkara? Umpama benar dia putri ln Tayhiap, meski ayah bunda sudah tiada, tak mungkin dia hidup sengsara dan terlantar?" diam-diam dia sudah menggeremet sampai pekarangan dalam dimana kamar tidur In San berada, tengah dia menimang-nimang apakah dinnya perlu menemui gadis didalam kamar, tiba-tiba di layar jendela kain sutra muncul bayangan sepasang muda mudi.

"In Tayhiap hanya punya seorang putri, tidak punya anak laki-laki. Kalau betul gadis itu putri ln Tayhiap, laki-laki itu tengah malam begini masih berada di kamarnya, kalau bukan suaminya, tentulah pujaan hatinya," demikian reka Han Cin. Dia kira rekaannya ini takkan meleset, maka dalam hati dia merasa sedikit menyesal, "Tak heran Tan-toako sering kulihat murung dan masgul, kiranya nona In ini sudah punya pujaan hati. Beruntung aku tidak gegabah, kalau sampai diketahui mereka aku mencuri dengar percakapan di bawah jendela, tentu runyam jadinya," tapi di kala dia hendak menyingkir diam-diam, percakapan kedua muda mudi dalam kamar seketika menarik perhatiannya, maka dia batalkan niatnya.

Laki-laki yang menemani In San didalam kamar sudah tentu adalah Toan Kiam-ping. Namun Han Cin yang mencuri dengar diluar jendela belum tahu akan asal-usulnya. Begitu In San beraksi memetik harpa Toan Kiam-ping lantas menghela napas.

"Itulah lagu yang dibawakan Tan-toako di Cit-sing-giam sebelum dia berpisah dengan aku, sayang waktu itu aku masih dalam keadaan pingsan," demikian kata Toan Kiam-ping.

"Aku tahu. Kacung pribadimu telah menjelaskan keadaan waktu itu kepadaku."

"Ai, kalau hari itu aku tidak terluka oleh jarum berbisa, dalam keadaan pingsan, apapun aku takkan membiarkan Tan-toako pergi. Adik San, akulah yang membuat kapiran," demikian ucap Toan Kiam-ping setelah menghela napas.

Mendengar percakapan ini, Han Cin yang sudah melangkah pergi seketika terpaku di tempatnya. "Putri In Tayhiap bernama In San, laki-laki itu memanggilnya adik San, agaknya dugaanku tidak meleset. Tapi kenapa dia bilang 'Tan-toako' kepada nona In, naga¬naganya rekaanku tadi tidak tepat."

Setelah dia mendengar lebih lanjut, barulah persoalannya manjadi jelas baginya, semula dia kira laki-laki didalam kamar itu adalah pujaan hati In San, namun kenyataan bukan demikian.

"Toan-toako, jangan kau salahkan diri sendiri, akulah yang harus disalahkan, aku tidak berusaha supaya dia mempercayai aku sepenuh hatinya," demikian kata In San.

"Hal inipun tak boleh menyalahkan kau," ucap Toan Kiam-ping, "aku jadi merasa Tan-toako sendirilah yang harus disalahkan, dia memang seorang goblok."

Perkataan 'goblok' ini kedengarannya menusuk kuping, Han Cin yang mencuri dengar sampai melenggong. "Kenapa dia bilang Tan-toako goblok?" untuk tahu persoalannya, Han Cin tidak mau menyingkir malah.

"Begini besar cintamu kepadanya, tapi sedikitpun dia tidak tahu. Coba katakan bukankah dia laki-laki goblok?"

"Tidak, sebetulnya dia sudah tahu. Toan-toako, maaf bahwa hal ini tidak kuberitahu kepadamu, kami masing-masing sudah pernah saling mencurahkan isi hati."

Mendengar sampai disini, tanpa merasa hambar pikiran Han Cin, "kiranya Tan-toako bohong kepadaku, kenapa dia tidak bicara terus terang kepadaku?"

Didengarnya Toan Kiam-ping berkata: "Kalau begitu dia tidak goblok, tapi ceroboh."

"Betul, dia ceroboh, dia mempunyai pikirannya yang aneh, dia kira, dia kira..."

"Aku tahu perbuatannya ini adalah untuk merangkap hubungan kita, aku haru akan kebaikannya terhadap teman, tapi tak bisa tidak aku tetap memakinya ceroboh. Adik San, ada sedikit isi hatiku yang ingin kemukakan terhadapmu, sayang belum pernah mendapat kesempatan."

"Baiklah, sekarang boleh kau kemukakan," kata In San, diluar tahunya bahwa diluar jendela ada seorang lagi mencuri dengar percakapan mereka.

Perlahan kata-kata Toan Kiam-ping, "Adik San, waktu kecil kau pernah tinggal di rumahku, akupun pernah nginap di rumahmu, meski tidak boleh dikata tumbuh dewasa bersama bolehlah dianggap teman sejak kecil. Aku tidak akan berpura-pura, sejak kecil aku amat menyukai kau."

"Aku tahu," sahut In San lirih.

"Terakhir kali kita berkumpul, itu waktu kau berusia tiga belas? Aku masih ingat, tahun itu ayahmu mengajakmu ke rumahku, kau tinggal sebulan dan sudah mahir memainkan ilmu golok ajaran keluarga, setiap hari kau mengajakku berlatih. Selama sebulan lebih itu adalah hari yang paling senang dan bahagia bagi diriku. Tapi ayah bundaku pernah bertengkaran karena

membicarakan hubunganku dengan kau."

In San tertawa, katanya: "O, ada kejadian begitu, aku koh tidak tahu? Apakah beliau merasa aku terlalu binal?"

"Biar kututurkan, kuharap kau tidak kecil hati. Ayah kepingin kau menjadi menantunya, tapi ibu menolak. Ibu bilang, nona In memang cantik dan baik hati, tapi ayahnya orang persilatan, malah mengikat permusuhan dengan keluarga Liong. Jikalau anak Ping kawin sama dia, mungkin bisa celaka dari pada hidup bahagia. Aku tidak mengharap anak Ping berkelana di Kangouw. Ayah kewalahan menghadapi pendapat ibu yang kukuh, maka soal perjodohan ini sampai tertunda berkepanjangan."

In San tertawa, ujarnya: "Kau ini seorang Pangeran, memangnya perjodohan kita tidak setimpal. Untunglah soal jodoh ini tidak jadi."

"Betul. Beruntung adanya pertengkaran orang tuaku itu. Kalau tidak kejadian hari ini pasti lebih runyam."

"Toan-toako, jangan kau salah paham. Bukan aku merasa kau tidak baik, sejak kecil akupun menyukai kau. Tapi aku pandang kau sebagai engkohku, aku menghormat dan sayang kepadamu sebagai kakakku, tak pernah terpikir dalam angan-anganku kelak menjadi istrimu."

"Aku tahu. Tapi aku harus berterus terang dulu aku pernah ingin meminangmu sebagai istriku."

Merah muka In San, katanya: "Kejadian sudah berselang, buat apa dibicarakan lagi?"

"Tidak, aku harus jelaskan bagaimana jalan pikiranku dulu dan bagaimana pula perubahan tekadku akhir-akhir ini kepadamu, yakin setelah adanya pembicaraan terbuka saling memberi kenyataan ini, barulah dalam hatimu takkan menimbulkan bisul yang fatal. Kitapun masih tetap menjalani hubungan akrab seperti kakak beradik layaknya."

Agaknya In San terharu oleh kepolosan Toan Kiam-ping, sesaat baru dia berkata: "Baiklah, boleh kau bicarakan."

Berpikir sebentar, akhirnya Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa: "Adik San, mari kita ngobrol sejadinya, biar aku tanya beberapa patah kata iseng kepadamu, bolehkan?"

"Yang terang malam ini aku tidak pingin tidur, boleh ngobrol sampai terang tanah, silakan kau tanya apa yang ingin kau ketahui."

"Waktu di Tayli, kau bermain senang, riang dan gembira. Aku tahu itu bukan lantaran aku yang menemani kau. Tapi lantaran kaupun menyukai negeri Tayli kita, betul tidak."

"Keduanya ada sangkut paut. Tayli adalah negeri yang indah panoramanya, banyak tempat-tempat wisata yang mempesona, itulah tempat idaman bagiku, namun kalau Toan-toako menemani aku, jelas akupun takkan bisa main seriang itu."

"Bagus, nah coba kutanya pula. Kau amat suka negeri Tayli, tapi kalau kau harus menetap disana sampai hari tua, setiap hari boleh tamasya dan kerjanya mengurus keluarga tanpa kelana di Kangouw, kukira kau takkan kerasan lagi. Betul tidak?"

In San tertawa geli, katanya: "Sudah tentu. Manusia harus melakukan sesuatu kerja yang dia anggap punya arti, mana boleh seharian kerjanya cuma menikmati kembang, mendengarkan alunan musik dan menyaksikan tarian melulu?"

Toan Kiam-ping menghela napas, katanya: "Nah itulah letak perbedaan pikiranku dengan kau. Yang kumakud adalah cara berpikirku beberapa tahun, lalu. Sekarang walau ada sedikit peubahan, aku tahu tetap tidak akan bisa menyamaimu."

"Coba kau jelaskan lebih terperinci, mana yang sama mana yang berbeda?"

"Waktu itu akupun mendambakan kehidupan yang bebas di dunia luar yang luas, aku mengharapkan suatu hari akan kelana di Kangouw, tapi harapan itu hanyalah gambaran selintas seperti keinginan seorang bocah yang pingin memperoleh sesuatu yang baru, tapi bila rasa 'baru'nya itu sudah lenyap maka keinginan itupun pudar, mungkin bisa membencinya malah. Pernah aku tanya kepada diriku sendiri, aku tahu bila selama hidup ini aku harus berkelana di Kangouw, aku takkan tahan. Paling aku hanya akan sekedar keluyuran diluar, cepat atau lambat harus kembali ke pangkuan ibu negeri, aku takkan tega meninggalkan Tayli, aku sayang meninggalkan keluarga."

"Tak perlu berbelit kau menerangkan, aku tahu kemana maksudmu. Kau takkan bisa hidup seperti diriku, kecuali secara insidentil, tapi tak mungkin selama hidup ini kau keluyuran diluar. Betul tidak?"

"Aku tahu, kaupun takkan bisa hidup seperti caraku itu. Kau adalah elang betina di angkasa padang rumput, bukan burung camar yang hanya terbang kelana di atas Ni-hay melulu. Mungkin perumpamaanku tidak tepat, mengibaratkan seorang gadis yang lemah lembut sebagai elang yang galak dan gagah, tapi demikianlah perasaanku."

"Terima kasih akan pandanganmu yang meningkatkan gengsiku, tapi aku sendiri merasa terlampau jauh mengibaratkan diriku dengan seekor elang gagah. Kau tidak tahu, ada kalanya akupun terlalu lemah."

"Aku tahu. Tapi kau jauh lebih kuat dari aku. Yang kumaksud bukan soal Kungfu."

Aku tahu maksudmu, tapi Toan-toako sekarang kau jauh lebih kuat dari dulu, kali ini kau mengantarku mencari Kim-to Cecu, kau tidak mau mendengar nasehatku, ini amat diluar dugaanku."

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Terus terang, kali ini aku terkesan oleh perbuatan Tan Ciok-sing."

"Setelah aku tahu persoalanmu dengan Tan Ciok-sing, baru aku sadar bahwa dialah yang benar-benar mencintaimu. Dulu aku kira aku amat mencintai kau, tapi bila cintaku dibanding cintanya terhadapmu, aku lantas sadar, bahwa cintaku tidak sedalam dan semurni cintanya terhadapmu.'

Mendengar pengakuan yang terus terang ini merah jengah muka In San, namun hatinya manis mesra, mulutpun terkancing.

"Demi merebut hatimu, berapa kali Tan Ciok-sing menempuh bahaya, demi membahagiakan kau, diapun ingin merangkap perjodohan kita. Walau cara berpikirnya ini lain dengan kenyataan, tapi betapa dalam dan murni cintanya terhadapmu, sungguh aku harus mengaku asor."

"Dua hari yang lalu, ayah bunda mendesak aku supaya selekasnya mencari jodoh, aku jadi sebal terhadap mereka yang tebal pupur dan gincu, mereka bukan pasanganku. Sekarang baru aku sadar, bila Tan Ciok-sing dibanding aku, hakikatnya aku inipun seorang awam. Aku bukan jodohmu."

In San menatapnya, katanya dengan sungguh-sungguh: "Toan-toako, tak usah kau merendahkan dirimu, sebagai seorang Pangeran kau sudi mengantarkan kemari, mana boleh dikatakan sebagai awam? Tapi soal jodoh memang mengutamakan kecocokan. Aku tak bisa menikah dengan kau bukan lantaran aku anggap tidak baik, tapi lantaran kita tidak cocok menjadi suami isteri. Dalam sanubariku kau tetap adalah engkohku yang patut kuhormati."

Terbuka pikiran Toan kiam-ping mendengar keterus-terangan ini, katanya tertawa, "Kau betul, kau memang lebih cocok dengan Tan Ciok-sing. Tapi perlu juga aku memberi nasehat kepadamu, kalau memang sudah jodoh mau kemana kaupun tak perlu risau lagi. Aku akan membantumu sekuat tenaga mencarinya, namun belum tentu berada di Tay-tong."

"Kau kira tadi aku berpikiran kusut dan melamun? Terus terang aku benar-benar mendengar helaan napas. Tadi aku sudah berada di depan kedai minum itu, tapi aku tak berani masuk. Besok aku akan mencari tahu."

"Baiklah besok boleh besertaku ke kedai minum itu untuk mencari tahu pada pemiliknya," demikian kata Toan Kiam-ping.

Han Cin yang mencuri dengar diluar jendela menjadi haru dan sedih, tanpa merasa air mata berlinang-linang. Pikirnya: "Ternyata begitu besar dan luhur jalinan cinta mereka, aku harus selekasnya memberitahu jejak Tan-toako kepada mereka."

Tengah dia ragu-ragu itulah didengarnya In San yang berada didalam bersuara heran, katanya: "Kali ini yakin aku tidak salah dengar lagi?"

Ternyata Han Cin yang mencuri dengar diluar jendela saking pesona, tanpa merasa menghela napas perlahan.

Cepat In San berlari keluar seraya berteriak: "Tan-toako, kuharap kau tidak menghindariku lagi."

Han Cin sembunyi di belakang gunungan batu. Sengaja dia memperlihatkan jejaknya supaya In San melihat dan mengejarnya. Setelah dia dengar kesiur angin sudah dekat, dia tahu In San sudah mengudak tiba, tiba-tiba dia berpaling sambil mengulum senyum lebar.

Sinar bulan memang redup, tapi In San dapat melihat jelas yang sembunyi di belakang gunungan ini adalah seorang pemuda yang berwajah ganteng (Han Cin menyamar laki-laki) tapi bukan Tan-toako yang dia sangka. Karuan In San kaget, bentaknya: "Siapa kau?" mendadak dia merangkap dua jarinya terus menjojoh ke arah tengkuk Han Cin.

Harus dimaklumi bahwa pintu besar rumalnya masih disegel oleh penguasa, kembalinya secara diam-diam ini, harus selalu waspada dan berjaga-jaga bila diluruk oleh cakar alap-alap, pemuda ganteng ini menyelundup ke rumahnya di tengah malam, adalah jamak kalau dia curiga ke arah yang negatif Han Cin dianggapnya cakar alap-alap utusan keluarga Liong. Maksudnya bendak menutuk hiat-to Han Cin, baru nanti mau mengompes keterangannya.

Han Cin sebaliknya berpikir: "In Tayhiap terkenal di seluruh jagat, entah bagaimana kepandaian putrinya? Biarlah aku menggodanya," dengan gerakan Ih-sing-hoan-wi dia meluputkan diri dari tutukan hiat-to In San. Tanpa menyebut nama dan menerangkan siapa dirinya dia malah tertawa, katanya: "In-siocia, kenapa begini galak? Aku ini seorang tabib."

Gerak tutukan In San sebetulnya amat cepat dan telak, sungguh tak nyana sekali kelit orang mampu meluputkan diri, namun sebat sekali dia menegakkan telapak tangan terus menepis miring seperti pisau, kembali Han Cin berputar dengan poros sebelah kakinya, tubuhnya berputar setengah lingkar, dengan jurus Hong-in-toh-gwat, dia punahkan serangan In San, katanya pula tertawa: "Sengaja aku kemari untuk menyembuhkan luka hatimu."

Keki dan jengkel ln San dibuatnya mendengar olok-oloknya, pikirnya: "Menghadapi alap-alap buat apa aku menaruh belas kasihan?" segera kedua tangan mengembangkan

permainan ilmu golok keluarga In, rangsakannya memberondong seperti gelombang sungai yang susul menyusul, sejurus bacokan telapak tangan lebih cepat dan ganas dari bacokan yang terdahulu.

Karuan Han Cin mengeluh, pikirnya: "Tak boleh aku menggodanya lagi, tengah berpikir In San sudah kebacut melontarkan jurus mematikan. Tapi sigap sekali Han Cin menggunakan gerakan Hong-tiam-thau tahu-tahu membresot maju hampir jatuh dalam pelukan In San, telapak tangan hampir menyentuh baju di depan dadanya. Karuan In San naik pitam, dampratnya: "Pemuda bangor, berani kau kurang ajar kepadaku," dia kira Han Cin adalah laki-laki, sudah tentu dia pantang dadanya dijamah oleh orang. Dalam seribu kesibukannya, lekas dia menekuk pinggang seperti petani bercocok tanam di sawah secara kekerasan dia menekuk tubuhnya ke samping, baru saja hendak menyerang lagi, Han Cin. sudah melompat keluar kalangan.

Dengan tertawa Han Cin berkata: "In siocia, jangan kau marah..."

Belum habis dia bicara, mendadak seorang membentak: "Bangsat cilik, lari kemana kau?" ternyata Toan Kiam-ping sudah memburu tiba. Dimana tangannya menyapu angin pukulannya yang deras menyampuk jatuh topi di atas kepala Han Cin. Begitu topi jatuh rambutnya yang panjangpun terurai mayang, sudah tentu Toan Kiam-ping tidak menduga bangsat cilik yang hendak ditabraknya ini ternyata adalah seorang gadis belia yang cantik, karuan dia melenggong.

In Sanpun sadar kenapa tadi Han

Cin menyuruh jangan marah, diapun tertegun, teriaknya: "Kau, kau sebetulnya..."

"Maaf, In-siocia, tadi aku berkelakar dengan kau. Tapi aku sungguh-sungguh membawa kabar baik untukmu."

"Siapa kau? Membawa kabar apa?"

"Aku adalah anak angkat Khu Ti, adik angkat Tan Ciok-sing. In Siocia, terkaanmu memang tidak keliru. Tan Ciok-sing memang berada dalam kedai itu. Tapi baru saja dia meninggalkan Tay-tong."

Khu Ti mempunyai hubungan intim dengan keluarga In, setelah tahu asal-usulnya lekas In San mohon maaf kepada Han Cin, 'tapi bahwa Han Cin adalah gadis belia yang cantik mau tidak mau mimik mukanya kelihatan agak lucu dan ganjil.



000OOO000



Teringat akan kejadian malam itu, mau tidak mau Han Cin tertawa geli, "Untung aku mengaturkan tipu daya sehingga In San tidak menaruh curiga kepadaku. Entah Tan-toako sekarang sudah bertemu dengannya belum?" kembali dia berpikir, "kejadian dalam dunia serta perubahannya memang sukar diduga sebelumnya, semula-aku kira Tan-toako akan menemaniku ke tempat Kim-to Cecu, tak nyana sekarang Toan-ongya inilah yang menemaniku dalam perjalanan sejauh ini." Bersama Toan Kiam-ping mereka sudah tiga hari menempuh perjalanan, namun Kim-to Cecu belum juga mereka temukan. Tapi selama tiga hari ini mereka ternyata akur dan cocok satu sama lain.

Di kala dia melamun itulah, tiba-tiba Toan Kiam-ping menoleh, tanyanya dengan tertawa: "Nona apa yang sedang kau pikirkan?"

Han Cin tersentak seperti siuman dari mimpi, sorot matanya masih kelihatan hambar, setelah tenangkan diri dia berkata: "Tiada yang kupikir, aku sedang menikmati panorama nan permai ini, sayang disini terlalu belukar dan jarang diinjak manusia. Tiga hari kita menempuh perjalanan, belum pernah bertemu dengan seorang manusia."

Toan . Kiam-ping tertawa, katanya: "Jadi kau kuatir entah kapan baru akan bertemu dengan Kim-to Cecu, jangan kuatir kuda yang kutunggangi ini adalah milik Kanglam Sianghiap yang telah dikenal betul oleh orang Kim-to Cecu. Yakin cepat atau lambat pasti jejak kita diketahui mereka, bila demikian tak usah kita susah payah mencari Kim-to Cecu, orang Kim-to Cecu sendiri yang akan mencari kita."

"Untung kau sudi mengantarku, kalau tidak seorang diri aku keluyuran di atas pegunungan yang sepi dan belukar begini, entah bagaimana baiknya?"

"Memangnya aku ingin bertemu dengan Kim-to Cecu, cuma tak kuduga..."

pengan tertawa Han Cin menyambung: "Aku juga tidak duga bisa seperjalanan dengan engkau."

"Sebetulnya kau bisa menunggu beberapa hari lagi di Tay-tong, setelah Tan Ciok-sing kembali, dia pasti akan mengantar kau."

"Kalau begitu aku lebih senang kau yang mengantarku. Sudah lama dia berpisah dengan nona In dan kali ini bakal bertemu, betapa banyak omongan mesra yang akan mereka perbincangkan kalau aku ada di antara mereka, apakah tidak mengganggu?"

Kecut hati Toan Kiam-ping, katanya dengan tawa dipaksakan: "Kumpul dan berpisahan manusia kadang kala memang teramat ganjil serta diluar dugaan. Entah sekarang mereka sudah bertemu belum?"

"Setelah kuaturkan tipu daya secermat itu kecuali Tan-toako tidak pulang ke Tay-tong, bila dia pulang, pasti dia akan mencariku ke rumah keluarga In, cepat atau lambat mereka pasti akan bertemu. Aku hanya mengharap selekasnya dapat bertemu pula dengan mereka di tempat kediaman Kim-to Cecu," sampai disini tiba-tiba seperti tertawa tidak tertawa dia mengawasi Toan Kiam-ping, katanya: "Apa kau tidak merasa aku terlalu banyak polah?"

Merah muka Toan Kiam-ping, katanya: "Kau begitu simpatik terhadap teman, aku harus berterima kasih kepadamu. Kau tidak tahu betapa besar harapanku supaya nona In selekasnya dapat bertemu kembali dengan Tan Ciok-sing."

"Aku juga tahu betapa jerih payahmu terhadap teman, akupun amat mengagumimu," seorang mengatakan "simpatik" seorang lain mengatakan "jerih payah" mendengar kedua patah kata ini, diam-diam Toan Kim-ping maklum bahwa percakapannya malam ini dengan In San telah dicuri dengar oleh Han Cin.

Berkata Han Cin lebih lanjut: "Kau mengantar nona In kemari adalah demi teman tapi terhadap aku yang tiada sangkut paut dan baru kau kenal, kaupun sudi membantuku sedemikian rupa, bagaimana aku takkan merasa haru dan berterima kasih kepadamu?"

"Nona Han, kenapa kau bilang demikian. Bukankah sekarang kitapun sudah jadi teman? Urusan sekecil ini, buat apa kau bicarakan selalu?"

"Bagimu urusan kecil, bagi aku justeru urusan besar. Aku adalah gadis sebatangkara yang tiada tempat berteduh, jikalau bukan kau sudi mengantarku ke markas Kim-to Cecu, mungkin aku terpaksa harus luntang lantung di Kangouw."

Mendengar perkataan ini tiba-tiba Toan Kiam-ping menghela napas rawan.

Han Cin melengak, katanya: "Toan-toako, tidak apa-apa kenapa kau menghela napas."

'"Sebetulnya akupun ingin seperti kau, tinggal di markas Kim-to Cecu sekedar membantu apa yang bisa kukerjakan. Di markas itu ada temanku Kanglam Sianghiap, kini ketambah kau dan Tan-toako serta nona In yang akan segera menyusul, tentu keadaan akan lebih ramai. Bukankah kehidupan itu akan jauh lebih berarti dari pada aku pulang ke Tayli hidup dalam kesunyian di lingkungan tembok tinggi? Sayang aku tak bisa lama bergaul dengan kau."

"Negeri Tayli terkenal dengan panoramanya, sebagai seorang pangeran, sudah tentu kau tidak boleh keluyuran di atas pegunungan menjadi brandal?"

Tampak serius sikap Toan Kiam-ping, katanya: "Nona Han, meski baru tiga hari kita berkumpul, namun dalam kalbuku seperti teman yang sudah lama. Kukira kau dapat memahami jalan pikiranku, tak kira kau masih berkata demikian, jikalau kau bukan menggodaku, berarti kau anggap aku ini 'orang luar' saja."

Han Cin melelet lidah sambil unjuk muka setan katanya: "Toan-toako aku hanya menggodamu saja, kenapa kau begini serius?" Dia maklum 'orang luar' yang dimaksud Toan Kiam-ping bukan melulu sebagai teman yang sehaluan dan secita-cita, maka dia berpikir: "Memang belum pernah aku berpikir aku ingin jadi orang macam apa. Dia sudah anggap aku seperti Tan-toako sebagai kaum ksatria, ini sungguh harus amat kusesalkan. Tapi hobiku agaknya ada sedikit persamaan dengan dia, aku suka silat, bermain musik, diapun suka. Dan lagi, aku ingin melakukan suatu kerja besar bersama banyak orang yang cukup menggemparkan, tapi terpikir pula kehidupanku selanjutnya yang tanpa kekang tiada batas, diapun ingin demikian. Kungfu dan musik, Tan-toakopun menyukainya, tapi aneh, meski sejak kecil dia sudah biasa mengembara, namun tak pernah terbayang dalam benaknya keinginan uatuk hidup bebas di alam terbuka seperti kemauan Siau-ongya ini. Toan Kiam-ping seperti orang yang sejenis dia, tapi juga seperti tidak sepaham. Lalu dengan siapa aku boleh dianggap secita-cita dan sehaluan?"

Toan Kiam-ping berkata lebih lanjut: "Beberapa tahun yang yang lalu, aku memang cinta tanah air, cinta kampung halaman, kalau hidupku harus selalu berkelana di Kangouw, jelas aku takkan betah. Tapi jalan pikiranku sekarang sudah jauh berbeda, hal ini, aku tak pernah utarakan kepada nona In."

Han Cin membatin: "Aku tahu kenapa kau tidak bicarakan hal ini dengan dia, karena kau ingin supaya perpisahan itu tidak meninggalkan bayangan gelap dalam benaknya. Kau ingin supaya dia beranggapan bahwa kau takkan berubah jadi kelana Kangouw, maka perpisahan itupun akan terjadi secara wajar."

Toan Kiam-ping melanjutkan: "Bukan aku ingin pulang ke Tayli untuk hidup senang, aku sudah bosan kehidupan yang munafik dengan sanjung puji sebagai Pangeran segala, bila boleh memilih jalan hidupku sendiri, aku pasti tinggal disini. Tapi aku tahu orang tuapun takkan membiarkan aku menempuh cara hidupku ini. Usia mereka sudah tua, pada sisa hidupnya di hari tua ini, aku tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk, aku tidak suka membangkang dan melukai hati beliau, oleh karena itu, cepat atau lambat aku tetap harus pulang."

"Toan-toako, kau luas pengalaman dan banyak pengetahuan, berkumpul beberapa hari dengan kau, tidak sedikit yang kuperoleh. Sekarang aku jadi mengharap tak perlu terburu-buru untuk menemukan tempat kediaman Kim-to Cecu."

"Terima kasih akan pujianmu, yang terang kaulah perempuan yang gagah berani, cerdik pandai serta serba bisa. Selama berkumpul beberapa hari dengan kau ini, tak sedikit pula yang kudapatkan. Bicara terus terang, aku jadi segan berpisah dengan kau," kata-katanya terakhir diucapkan dengan setulus dan sejujurnya, kata-kata yang dilimpahkan dari suara yang paling dalam.

Mereka terus melanjutkan perjalanan, setelah menuruni sebuah celah gunung, tiba-tiba pandangan mereka terbeliak, ternyata di sebelah depan terdapat air terjun, air seperti dituang dari puncak gunung yang terjal.

"Ah, indah benar pemandangan disini, seolah-olah aku sudah berada kembali di Jong-san. Marilah kita istirahat sejenak."

"Mari. Biar kuda-kuda ini minum air."

Mereka akhirnya duduk di pinggir empang. Han Cin mencuci mukanya, air dingin seketika membangkitkan semangatnya, katanya: "Kalau ada waktu, aku ingin tamasya ke kampung halamanmu, menikmati Jong-san Ni-hay."

"Selalu kuterima kedatanganmu dengan terbuka. Entah kau sudah tahu, pertemuanku yang pertama dengan Tan-toako justeru di Ni-hay."

"Kabarnya kau ketarik oleh petikan harpanya?"

"Betul, kau pernah dengar dia memetik harpa? Bagus sekali petikannya."

"Aku sih belum punya rejeki, masa kau lupa harpanya itu kan sudah diberikan kepadamu sebelum aku kenal Tan-toako, waktu itu kaupun belum kembalikan kepadanya."

"Betul, memang aku yang lalai. Nona Han tiupan serulingmu juga indah, petikan harpa Tan Cok-sing takkan bisa kunikmati sekarang, sudikah kau meniup serulingmu?"

"Kongcu ada perintah, mana aku berani membangkang?" kata Han Cin berkelakar, segera dia keluarkan serulingnya, tiba-tiba terbayang olehnya waktu dia meniup seruling di depan pusara ayah angkatnya bersama Tan Ciok-sing dulu, maka tidak mau tidak, merasa pilu akan perubahan nasibnya yang tidak menentu itu. Setelah melenggong sekian saat, baru dia mulai meniup sebuah lagu yang sentimentil.

Toan Kiam-ping mendengarkan dengan melamun, lama setelah Han Cin selesai meniup serulingnya baru dia berkata dengan tertawa kecut: "Tiupan serulingmu memang bagus sekali, tahukah kau akan seorang yang bernama Kek Lam-wi?"

Han Cin tertawa, katanya: "Konon dia adalah peniup seruling yang terbaik jaman ini, kau kenal dia?"

"Aku pernah melihatnya tapi dia tidak melihat aku. Akupun pernah mendengar tiupan serulingnya."

"Lho, koh aneh, kenapa kau sudah melihatnya, tapi seperti sengaja menyingkir dari depannya. Hobimu juga musik, kenapa kau tidak berkenalan dengan dia?"

"Waktu itu dia bersama Tan Ciok-sing di Yang-siok. Karena sementara aku tidak mau bertemu dengan Tan-toako, maka kesempatan berkenalan telah kusia-siakan."

"Aku tahu akan dirinya, Tan-toako pernah ceritakan kepadaku. Menurut Tan-toako tiupan serulingnya persis dengan aku, Tan-toako malah curiga bahwa aku dan dia dari seperguruan. Yang benar aku diajari ayah, umpama ayah masih hidup usianya sudah enam puluh enam tahun lebih. Mana mungkin seperguruan dengan dia?"

"Kukira belum tentu, soal tingkatan berbeda bukan mustahil tetap sebagai seperguruan, kepada siapa dulu ayahmu belajar meniup seruling?"

"Ayah tidak pernah jelaskan kepadaku. Tapi ayahku tidak pandai silat, menurut Tan-toako Kek Lam-wi adalah seorang pendekar muda yang kenamaan di Kangouw, kukira tidak mungkin dia seperguruanku."

Tapi karena dua orang menyinggung Kek Lam-wi terhadapnya, hatinya tertarik juga, tanyanya: "Entah dimana orang she Kek itu, kalau ada kesempatan bertemu, ingin aku dengar tiupan serulingnya. Tan-toako pernah ceritakan pertemuan kaum pendekar di Yang-siok, konon para pendekar yang hadir telah diundang olen Tam Tayhiap yang mewakili Kim-to Cecu untuk bertemu di markasnya. Entah orang she Kek itu bakal datang tidak?"

"Mungkin dia tidak akan kemari. Umpama datang juga pasti diundur setahun kemudian."

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku memang tidak kenal dia, tapi aku tahu jelas berita tentang dirinya, nona In pernah memberitahu kepadaku. Waktu di Yang-siok mereka berempat adalah teman karib yang tak pernah berpisah."

Han Cin melengak, tanyanya: "Empat orang?"

"Seorang lagi adalah teman perempuan Kek Lam-wi, namanya Toh So-so. Sepasang pendekar muda ini sejajar dan seangkatan dengan Kanglam Sianghiap Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-vru, maka sebelum aku bertemu dengan mereka, aku sudah tahu nama besarnya."

"Kenapa mereka tak bisa kemari?"

"Kabarnya ada seorang Susioknya yang belum pernah ketemu tinggal di Khong-goan, yaitu Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Ti Nio minta dia datang ke Khong-goan untuk menemui orang-orang seperguruannya."

"O, Susioknya itu she Ti, tinggal dalam keresidenan Say-jwan."

"Betul. Apakah Ti Tayhiap ini kenalan baik ayah angkatmu?"

"Belum pernah ayah membicarakan Ti Tayhiap ini kepadaku, aku hanya tanya sambil lalu saja."

Ayah angkatnya yaitu Khu Ti memang tidak pernah bicara soal orang she Ti, tapi ayah kandungnya pernah membicarakan seorang she Ti. Tapi waktu itu ayahnya tidak menjelaskan bahwa orang she Ti itu bergelar Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Sudah tentu diapun tidak tahu bahwa Ti Nio adalah Susiok Kek Lam-wi. Ayah kandungnya jarang menceritakan kehidupan masa mudanya, suatu ketika hanya kebetulan saja menyinggung orang she Ti ini kepada putrinya. Walau tanpa sengaja, namun waktu itu tutur katanya penuh perasaan.

Hari itu dia belajar meniup seruling, ayahnya memuji kemajuan yang dicapai, sudah tentu hatinya amat senang, katanya: "Anak memang sudah menguasai, tapi tiupanku tidak sebagus ayah."

"Ayah angkatmu mengajar ilmu silat, dia sering bilang gunung tinggi ada yang lebih tinggi, orang pandai ada yang lebih pandai. Sebetulnya perumpamaan ini bukan ditujukan pelajaran Kungfu melulu, segala ilmu pengetahuan sama saja. Meniup seruling hanyalah suatu kepandaian yang tidak berarti, memangnya berapa orang dalam jaman ini yang benar mahir meniup seruling. Usiamu masih begini muda, tapi tiupanmu sudah boleh dipuji. Tapi bila dibanding dengan orang lain, sekarang jelas kau bukan tandingan ayah, tapi ayah juga bukan tandingan orang lain."

"Ayah apakah ada orang lain yang tiupan serulingnya lebih baik dari kau?"

Ayahnya tertawa katanya: "Kau seperti kodok dalam perigi, tidak tahu betapa besarnya dunia ini. Memangnya kau kira tiupan seruling ayahmu nomor satu di dunia ini?"

Han Cin memonyong mulut, katanya: "Kalau putrimu kodok dalam perigi, ayah angkat tentunya tidak. Padahal ayah angkat juga bilang demikian," sejak dia bisa berpikir ayah kandung dan ayah angkat adalah dua orang yang dipujanya, apa yang dikatakan ayah angkat yakin tidak akan salah.

Ayahnya tertawa pula, katanya: "Soalnya ayah angkatmu belum pernah mendengar orang lain meniup seruling, bila dia pernah mendengar tiupan seruling orang lain untuk perbandingan, pasti dia tidak akan mengatakan aku nomor satu di dunia ini," sampai disini tanpa terasa mimik tawanya semula telah lenyap, mimiknya kelihatan prihatin dan seperti mengenang sesuatu.

Timbul rasa ingin tahu Han Cin, tanyanya: "Siapakah peniup seruling nomor satu di dunia ini?"

"Aku juga tidak tahu apakah dia terhitung nomor satu di kolong langit, tapi kenyataan dia jauh lebih ahli dari aku. Dia adalah seorang temanku yang paling akrab di masa muda dahulu, seruling yang kau tiup sekarang adalah pemberiannya pada dua puluh tahun yang lalu."

"Ayah, kenapa kau tidak pernah bicarakan orang ini kepadaku?" tanya Han Cin.

Ayahnya menghela napas, katanya: "Peristiwa di masa muda dulu, aku segan untuk mengangkatnya pula. Kini kita sebagai pengungsi tinggal di daerah yang terpencil ini, untung penduduk disini baik hati, sehingga aku bisa hidup tenang sebagai guru sekolah kampungan, hidupkupun telah tentram dan sentosa. Sekarang boleh dikata aku sudah putus hubungan dengan dunia luas, kukira tiada harapan lagi untuk bisa bertemu dengan teman karibku dulu itu. Kalau hari ini kau tidak ajak aku bicara soal seruling ini akupun takkan bicarakan soal dia."

Waktu itu Han Cin baru berusia empat belas tahun, seperti paham tapi juga tidak mengerti, lapat-Iapat masih teringat olehnya di masa lalu kehidupan keluarganya seperti berkecukupan kalau tidak mau dibilang serba berkelebihan, belakangan karena mengungsi adanya peperangan, keluarga mereka jadi berantakan dan tercerai berai. Ibunya meninggal di tengah pelarian itu, mereka ayah dan anak terus mengungsi sampai di dusun kecil dan terpencil ini baru menetap cukup lama sampai sekarang. Kini setelah mendengar cerita ayahnya, seolah-olah dia seperti dapat menyelami perasaan ayahnya.

"Ayah, jangan kau bersedih, maklum putrimu masih kecil tidak tahu urusan, sehingga bikin ayah sedih. Ayah, teruskan pelajaran meniup seruling ini, selanjutnya aku takkan berani banyak mulut lagi."

"Anak bodoh, soal itu tiada sangkut paut dengan kau, toh aku sendiri yang mengungkat soal temanku itu. Dia adalah temanku yang paling kurindukan, aku betul-betul mengharap suatu ketika bisa bertemu dengan dia, tapi sayang aku sendiri tahu selama hidupku ini terang takkan ada kesempatan bertemu dengan dia."

Tak terasa timbul pula keinginan tahu Han Cin, katanya: "Ayah, kalau kau tidak merasa sedih, anak ingin tahu sedikit lebih banyak perihal paman itu. Siapa she dan namanya, apakah sekarang masih hidup? Tinggal dimana? Kenapa ayah bilang selama hidup ini takkan bisa bertemu lagi dengan dia?"

Ayahnya tertawa getir, katanya rawan: "Sudah kebacut kubicarakan, biarlah aku beritahu kepadamu. Aku yakin dia masih hidup, tapi kudengar diapun telah mengungsi ke Khong-goan di daerah Say-jwan, letak Khong-goan ada ribuan li dari sini. Usiaku sudah tua tenaga lemah mana bisa mencarinya ke tempat yang jauh itu?"

"Tapi kan tidak pasti takkan bisa bertemu, beberapa tahun lagi setelah anak besar boleh kau tulis sepucuk surat, biar kubawa ke Khong-goan menemuinya. Lalu kubawa dia kemari untuk kumpul dengan kau."

Ayahnya goyang-goyang tangan, katanya: "Tidak, tidak, bila kau sudah besar kemungkinan akupun sudah meninggal. Umpama aku masih hidup, akupun takkan bisa menemuinya."

"Kenapa?" Han Cin mendesak.

"Dia adalah temanku yang paling karib. Tapi aku pernah melakukan perbuatan . yang membuatnya amat sedih."

Han Cin keheranan, katanya: "Ayah, kau adalah orang baik, bagaimana kau bisa melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, aku tidak percaya?"

"Usiamu masih muda, kau takkan mengerti. Suatu yang menyebabkan orang lain sedih belum tentu perbuatan yang merugikan. Aku tak pernah menyesal karena perbuatanku itu, karena aku tiada pilihan untuk tidak melakukannya, namun demikian hatiku amat menyesal merasa berdosa terhadapnya.

"Persoalan apakah itu?"

"Barusan kau bilang takkan buka mulut lagi, kenapa pertanyaanmu terus memberondong?"

"Ayah tidak mau menemuinya, ya sudah. Selanjutnya akupun takkan menyinggung soal ini."

"Aku tak mau menemuinya, lapi aku punya keinginan, kuharap setelah aku meninggal, kau melakukan untukku."

"Ayah, aku tidak suka mendengar omonganmu yang kurang pantas ini."

"Manusia mana yang tidak akan mati kenapa harus ditakuti”

Dengarkan pesanku, temanku she Ti itu mempunyai dua hobi yang sama dengan aku, pertama meniup seruling, kedua suka membuat syair. Bila kami berkumpul selalu saling bantu, satu nyanyi yang lain mengiringi dengan tiupan seruling, demikian pula sebaliknya. Dia gemar mengoreksi syair ciptaanku, tahun itu aku menulis syair baru, selalu dia minta duplikatnya. Sering dia bilang bila sepuluh hari tidak membaca syair ciptaanku yang baru, hati rasanya malas dan masgul selalu. Sudah tentu kekagumannya terhadapku itu adalah merendahkan hati pula. Sebetulnya syair ciptaannya juga amat baik. Tapi demi membalas kebaikan kawan karib, setelah aku meninggal boleh kau serahkan seluruh koleksi syairku termasuk karya-karyaku yang terakhir kepada dia. Tapi apa yang akan terjadi kelak orang sukar meramalkan, bila dia mati mendahului aku, atau kau tiada kesempatan ke Khong-goan menemui dia, ya, anggap saja tiada pesanku ini."

"Bagaimana bisa tiada kesempatan? Sekarang aku sedang giat belajar Kungfu, memangnya ayah kira putrimu ini gadis pingitan yang lemah tak kuat dihembus angin lalu? Beberapa tahun lagi setelah aku dewasa, pergi ke Khong-goan begitu bukan kerja yang berat. Ayah, bila kau suka menemui paman Ti itu, sekarang juga boleh aku berangkat ke Khong-goan mengundangnya kemari.”

"Khong-goan ada ribuan li jauhnya harus melewati pegunungan terpencil dan belukar lagi. Maksudku bukan tidak mampu kesana, di bawah didikan dan gemblengan ayah angkatmu, aku yakin kau kelak adalah pendekar perempuan yang bernama besar, betapapun jauh jaraknya tetap dapat kau tempuh dengan selamat. Tapi kala itu kemungkinan kau sudah menikah, punya suami punya anak. Di atas kau ada mertua, di bawah kau harus mengasuh anak, suamimu belum tentu mengijinkan kau pergi ke tempat yang terpencil itu. Kecuali suamimu adalah kaum persilatan yang suka mengembara pula, baru dia akan mau menemani kau menunaikan tugas yang kau pandang ringan itu ke Khong-goan. Tapi terus terang, aku tidak suka kau menikah dengan suami yang demikian."

Perempuan usia empat belas tahun tentunya sudah tahu malu, mendengar ucapan ayahnya jengah muka Han Cin, katanya: "Sebal aku ayah, aku bicara serius, ayah justru menggodaku. Anak tidak akan kawin, selamanya akan mendampingi ayah saja."

Ayahnya tertawa geli, katanya: "Ah, omongan anak-anak. Beberapa tahun lagi, kau akan tahu, suami lebih penting dari ayah. Sudahlah percakapan hari ini dihentikan sampai disini saja. Hari ini karena aku terbuai oleh emosi, sehingga banyak bicara dengan kau. Tapi kau tidak usah mencatat dalam hati, jangan risaukan soal ini, selanjutnya tak usah kau menyinggung paman she Ti itu."

Kini setelah dia mendengar Toan Kiam-ping membicarakan Susiok Kek Lam-wi, mau tidak mau hatinya berpikir: "Tan-toako dan Toan-toako sama memuji tiupan seruling Kek Lam-wi amat bagus, maka Susioknya itu pasti juga seorang ahli peniup seruling? Susioknya itu she Ti tinggal pula di Khong-goan, jadi Susioknya itu pasti teman karib ayah yang juga she Ti, yang tinggal di Khong-goan itulah."

Agaknya Toan Kiam-ping juga sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri, lama juga dia tidak bersuara. Tiba-tiba keduanya menoleh dan pandangan merekapun beradu, tanpa berjanji keduanya sama-sama bertanya: "He, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Kau katakan dulu," desak Han Cin.

"Aku sedang iri dan mengagumi rejeki dan kebahagiaan orang iain."

"Kau masih mengiri kepada orang lain justru orang lain mengiri kepadamu. Seorang pangeran yang serba pandai, ilmu silat dan ilmu sastra, entah kapan orang bakalan memperoleh kehidupan senang nan bahagia seperti ini."

Toan Kiam-ping tertawa getir, katanya: "Dalam hal apa awakku ini patut dibuat iri. Pepatah kuno ada bilang, ribuan kati emas dapat diperoleh, teman karib sukar dicari. Ada pula yang bilang hanya iri pada pasangan mandarin, tapi tak iri kepada sang dewi. Bila sudah memperoleh kekasih, barulah patut dibuat iri dan jelus."

Han Cin cekikikan, katanya: "O, jadi kau mengiri soal jodoh. Jadi orang yang menjadikan kau iri adalah..."

"Di kalangan Kangouw ada dua pasangan pendekar bulim yang tersohor, pasangan pertama adalah Kanglam sianghiap Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu, pasangan kedua adalah Kek Lam-wi dengan Toh So-so, tapi sekarang akan tambah sepasang lagi..."

"Tan-toako dan nona In maksudmu."

"Betul, tiga pasangan pendekar ini sudah kukenal dua pasang, Kek dan Toh sudah pernah kulihat tapi belum sempat berkenalan. Bukankah mereka jauh lebih beruntung dari aku?"

"Memangnya siapa lahu dalam waktu dekat, akan muncul pula sepasang pendekar ke empat di Kangouw? Waktu itu yang dibuat ngiri pasti adalah dirimu," bicara sampai disini, tanpa merasa mukanya merah.

Toan Kiam-ping berkata: "Terima kasih akan nasehatmu yang membuka kerisauanku. Sayang kita takkan berkumpul lama."

Han Cin tahu orang merasa berat meninggalkan dirinya, hatinya merasa senang, tapi juga hambar dan bingung. Batinnya: "Apa maksud perkataannya tadi? Mungkinkah dalam sanubarinya sudah menganggap aku sebagai temannya yang paling karib? Walau hanya tiga hari aku berkumpul sama dia tapi apa yang dapat kuselami dari dia agaknya jauh lebih banyak dari apa yang kumengerti dari Tan-toako. Kalau dikatakan memang aneh, tapi dia tak mungkin tinggal disini, akupun tak bisa pulang bersama dia ke Tayli, hubunganku dengan dia mungkin seperti juga hubunganku dengan Tan-toako, bertemu di perjalanan dan berpisah pula untuk selamanya."

Setelah minum air, kedua ekor kuda itu dibiarkan bebas makan rumput didalam hutan. Baru saja Toan Kiam-ping hendak memanggil mereka, tiba-tiba dilihatnya kedua ekor kuda itu berlari kencang turun gunung, meski dipanggil berulang kali tetap tak mau menghampiri mereka. Karuan Toan Kiam-ping merasa heran, katanya: "Kenapa kedua binatang itu tak dengar perintah lagi?" namun tiba-tiba pikirannya tergerak. "Ah, mungkin Kanglam Sianghiap telah datang."

Waktu dia memandang jauh ke bawah, tampak dari lereng bukit sana muncul bayangan dua orang, yang lari di depan adalah kacungnya Toh Ni, yang berada di belakang adalah guru silat istana Ling Khong-tik.

Belum nampak bayangannya, dari kejauhan Toh Ni sudah berseru: "Siau-ongya, dimana kau bersama nona In?"

Kaget dan senang Toan Kiam-ping, serunya: "Siau-ni-cu, kenapa kaupun datang kesini dengan Ling Suhu?"

"Masih ada dua temanmu juga, coba kau terka siapa mereka?" seru Toh Ni.

Mendengar masih ada dua orang lagi, Toan Kiam-ping lantas tertawa. "Buat apa main terka epala, pastilah Kanglam Sianghiap." Betul juga dilihatnya Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu sudah mendatangi sambil menuntun kuda masing-masing. Ternyata kedua ekor kuda itu melihat majikan lama, maka lekas mereka memapak ke bawah gunung.

"Toan-toako," seru Kwik Ing-yang bersama Ciong Bin-siu, "akhirnya kau datang juga. Tahukah kau, beberapa hari ini, kami sedang mencari dan menanti kedatanganmu."

Toh Ni tiba dulu, langsung dia mengawasi Han Cin, katanya: "Siau-ongya, aku tahu kau datang bersama nona In, siapa sangka dugaanku keliru. Ini..."

"Inilah Han..." tiba-tiba Toan Kiam-ping ingat Han Cin menyamar laki-laki, mungkin dia tidak senang bila asal-usulnya dia jelaskan kepada kacungnya, maka dia merandek ragu. Apakah dia harus memanggil Siangkong atau nona.

Tiba-tiba Toh Ni goyang-goyang tangan, katanya: "Siau-ongya, jangan kau katakan dulu, biar aku menebaknya," lalu dia menoleh ke arah Han Cin dan berkata tertawa: "Kukira kau ini adalah nona Han Cin, betul tidak?"

Han Cin segera mengerti, katanya: "Agaknya kau sudah bertemu dengan Tan Ciok-sing?"

Toh Ni tertawa, katanya: "Nona Han, kau memang pintar, sekali tebak lantas kena," lalu dia ceritakan bagaimana di tengah jalan dia bertemu dengan Tan Ciok-sing.

Setelah mendengar berita Tan Ciok-sing, perasaan Toan Kiam-ping yang tertindih seketika longgar, hatinya senang tapi juga hampa, pikirnya: "Meski dia tidak menunggang kuda, yakin dia sudah pulang sampai Tay-tong."

Han Cin seperti tahu jalan pikirannya, katanya dengan mengerling: "Toan-toako, sekarang kau tidak usah kuatir, dia pasti sudah bertemu dengan nona In. Bukan mustahil beberapa hari lagi bakal menyusul kemari."

Baru Toan Kiam-ping mau tanya kenapa mereka berada disini, Ling Khong-tik sudah buka suara: "Lo-ongya jatuh sakit, beliau mengharap kau lekas pulang."

Toan Kiam-ping kaget, katanya: "Sakit apa, bagaimana keadaannya?"

"Sakit biasa seperti orang tua umumnya, tapi usia Lo-ongya memang sudah lanjut, badannya lemah, meski sudah makan banyak obat, kesehatannya masih belum pulih. Bila orang tua jatuh sakit adalah logis kalau dia merindukan putranya. Mohon Siau-ongya lekas pulang bersama kami," dari nada penuturan ini Toan Kiam-ping merasakan bahwa penyakit ayahnya kali ini agak parah, karuan hatinya amat kuatir. Mana dia tahu bahwa sang ayah sebetulnya menipu dia supaya lekas pulang.

Maka Toan Kiam-ping berkata: "Semula kupikir setelah mengantar nona Han ke markas Kim-to Cecu segera akan pulang. Sekarang aku tak usah mengantarnya sendiri, hari ini juga aku bisa pulang bersama kalian."

"Kwik-toako, Ciong-ciei, tolong kalian saja yang mengantar nona Han, mohon tolong sampaikan pula permintaan maafku kepada Kim-to Cecu, aku tidak sempat menyampaikan salam hormatku sendiri," demikian kata Toan Kiam-ping kepada Kanglam Sianghiap."

Kwik Ing-yang berkata: "Ayahmu sakit, maka aku tak enak menahanmu disini, kudaku ini kau boleh pakai untuk pulang ke Tayli."

"Sebetulnya aku mewakili Tan Ciok-sing mengembalikan kuda ini kepada kalian, tak enak bila kupakai lagi," ujar Toan Kiam-ping.

"Kau ada urusan genting, buat apa sungkan? Tolong sampaikan salam kami pada ayahmu," demikian kata Kwik Ing-yang.

Baru saja Toan Kiam-ping mau naik ke punggung kuda, tiba-tiba Ciong Bin-siu berkata: "Toan-toako, kukira kali ini bisa kumpul bersama kau beberapa hari, tak nyana baru berhadapan sekejap sudah harus berpisah lagi Akupun takkan menahanmu, tapi ingin bicara dengan kau, harap tunda dulu pemberangkatanmu sebentar."

"Kalian meminjamkan kuda jempolan kepadaku ini sudah menghemat beberapa hari perjalanan aku harus mengucap banyak terima kasih kepada kalian. Memang ada beberapa hal yang ingin kuberitahu kepadamu."

Ciong Bin-siu tarik Toan Kiam-ping ke pinggir, sementara Toh Ni ajak Han Cin ngobrol. Setiba didalam hutan, baru dia berkata lirih: "Kukira kau datang bersama nona In, tak nyana kau datang bersama nona Han?"

"Beberapa hari lagi nona In akan datang bersama Tan Ciok-sing," lalu dia ceritakan perkenalannya malam itu dengan Han Cin di rumah In San.

Ciong Bin-siu tertawa, katanya: "Jangan kau anggap aku cerewet, aku pernah janji jadi comblangmu. Laiu bagaimana persoalanmu dengan adik In?"

"Terima kasih akan maksud baikmu, soal ini tak usah dibicarakan lagi. Soal jodoh ada di tangan Thian, adik In bukan jodohku, selanjutnya aku hanya menganggapnya adikku sendiri."

"Aku sudah tanya Siau-nicu, sedikit banyak aku sudah tahu hubungan kalian. Kalau adik San mencintai orang lain, kukira soal jodoh ini tak usah dipaksakan. Kuharap kau tidak sedih."

"Siapa bilang aku sedih, aku belum sempat senang karena pertemuan mereka. Tan Ciok-sing Toako adalah orang baik, dia jauh lebih baik dari aku."

"Aku tahu. Sementara biar aku percaya inilah perkataan setulus hatimu. Tapi kau bilang mau cari seorang yang cocok, maaf bila aku mencampuri urusanmu, aku ingin tanya kepadamu, kabarnya nona Han adalah puteri angkat Khu Ti, kungfunya kukira tidak rendah?"


"Memang bagus. Diapun pandai memetik harpa, main catur, buat syair dan melukis."

"Jadi terhitung seorang perempuan serba bisa, bagaimana karakternya?"

"Baru beberapa hari aku bergaul sama dia, tapi kurasa tidak perlu malu bila disebut Hiap-li (Pendekar Perempuan)."

"Syukurlah kalau begitu. Hilang satu dapat ganti yang iain, begitupun baik."

"Jangan kau main-main, bila didengar dia, bisa berabe jadinya."

"Apa kau ingin membawanya pulang? Kau tak berani bilang, biar aku yang mengaturnya."

Berkata Toan Kiam-ping sungguh-sungguh: "Ciong-toaci, soal ini jangan kau bicarakan lagi, nona Han adalah gadis yang punya pambek, bercita-cita luhur, kedatangannya ke markas Kim-to Cecu memang untuk berteduh mencari tulang punggung, tapi juga demi melaksanakan cita-cita dan keinginannya, disini dia bisa memperoleh ketenangan hidup dan aman. Kalau aku membawanya pulang, terhitung apa itu? Kalau dibicarakan salah-salah dia bisa menganggap kita memandangnya rendah."

Sambil keluar hutan Toan Kiam-ping berkata: "Nona Han, maaf aku tidak mengantarmu ke markas. Beberapa hari lagi bila Tan-toako dan nona In tiba, tolong sampaikan salamku."

"Toan-toako," kata Han Cin, "kau sudah mengantarku sejauh ini, aku sudah amat berterima kasih. Aku juga mengharap ayahmu lekas sembuh, semoga kau selamat dalam perjalanan,"

Toan Kiam-ping cemplak ke punggung kuda, serta melambai tangan ambil berpisah.

Ciong Bin-siu tertawa, serunya: "Lho, ada sepatah kata penting, bila sesama kawan mau berpisah harus dfucapkan, kenapa kalian melupakan."

Han Cin melengak, katanya: "Kata apa?"

"Selama gunung menghijau dan air tetap mengalir kelak pasti bertemu lagi."

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Nona Han, kau belum tahu, Ciong-toaci kita ini paling suka berkelakar dan menggoda orang."

"Siapa bilang berkelakar," kata Ciong Bin-siu, "memangnya kau tidak ingin bertemu lagi dengan nona Han?"

Walau agak kikuk dan malu, terpaksa Toan Kiam-ping dan Han Cin mengucap "semoga ketemu lagi". Pada hal kata-kata yang umum diucapkan, tapi diucapkan dari mulut mereka, lain pula artinya, bagi yang bersangkutan menimbulkan rasa yang syur dan sendu.

Dari sorot mata Han Cin terasa oleh Ciong Bin-siu orang merasa berat berpisah, diam-diam hatinya amat senang, pikirnya: "Kali ini tugasku sebagai mak comblang pasti takkan gagal lagi. Nanti bila sudah berada di markas biar aku mengatur rencana bersama adik Kiam-khim."

Kanglam Sianghiap membawa Han Cin pulang ke markas, tahu bahwa Han Cin adalah anak pungut Khu Ti sudah tentu Kim-to Cecu menyambutnya dengan riang, padanya diapun mengajukan banyak pertanyaan yang menyangkut Tan Ciok-sing. Mendengar sepak terjang Tan Ciok-sing yang gagah perkasa sungguh senang Kim-to Cecu bukan main. Katanya tertawa sambil mengelus jenggot: "Syukurlah markas bakal kedatangan seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, markas kita bakal lebih ramai."

Tapi tujuh hari telah berselang Tan Ciok-sing yang ditunggu-tunggu belum kunjung tiba, Kim-to Cecu suruh orang mencari tahu ke Tay-tong, namun tidak memperoleh berita apapun.

Selama beberapa hari ini, ternyata Ciu Kiam-khim amat cocok dengan Han Cin, mereka bergaul akrab sekali, hubungan mereka semakin intim seperti teman lama.

Diam-diam Ciong Bin-siu pernah berunding dengan Ciu Kiam-khim, cara bagaimana untuk mengantar Han Cin pergi ke Tayli, sayang sejauh ini mereka belum mendapat akal dan alasan.

Suatu hari, seorang spiofi kembali dari kota raja Kim-to Cecu menerimanya di ruang dalam. Semula Ciu Kiam-khim kira spion ini pulang dari Tay-tong, karena ingin tahu berita tentang In San, maka dia mencuri dengar di belakang pintu angin.

Kim-to Cecu bertanya: "Bagaimana keadaan kota raja?"

Spion itu menjawab: "Setelah kepungan terhadap Tay-tong dipukul hancur, para pembesar sipil dan militer di kota raja merasa tugas sudah berakhir, mereka sedang sibuk memperkaya diri sendiri, maka suasana disana cukup aman."

Kim-to Cecu berkata: "Hanya sementara Watsu menarik mundur angkatan perangnya, kini huru hara dalam negerinya sudah ditumpas, keadaan sudah aman, penguasa semakin kokoh kedudukannya, maka mulailah mereka mengatur rencana untuk mengadakan infansi pula ke selatan, memangnya pihak kerajaan tidak tahu akan berita ini?" "Bukan tidak tahu," kata spion itu, "tapi kelompok yang berkuasa di istana kerajaan sekarang lebih cenderung untuk damai dengan musuh, damai dalam arti kata takluk dan tunduk akan syarat-syarat yang diajukan pihak sana, kelompok ini dipimpin oleh sekrataris militer yang menjabat juga Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong, Baginda sih hanya makan tidur dan memikirkan keselamatan belaka apapun dia tunduk dan menerima nasehat Liong Bun-kong, harapan untuk menyadarkan Raja lalim ini jelas tidak mungkin. Maka untuk menggerakkan angkatan perang kerajaan dan bergabung dengan laskar rakyat kita melawan agresor jelas tidak mungkin pula, lebih celaka lagi bila angkatan perang kerajaan dikerahkan untuk menumpas kekuatan kita dibantu pihak Watsu."

Kim-to Cecu menghela napas, katanya: "Hal ini sudah dalam dugaanku, selama ini belum pernah aku berangan kepada pihak kerajaan, apapun yang akan datang biarlah kita hadapi dengan tabah."

"Karena berhasil mendapatkan suatu berita penting, maka aku pulang lebih dini dari rencana yang semula," demikian kata spion itu.

"Berita rahasia apa kelihatan begitu penting?"

"Bahwa Khan baru yang berkuasa di Watsu sekarang telah mengutus seorang Duta rahasianya, dan kini sudah tiba di Pakkia. Konon duta rahasia ini ada membawa surat pribadi Khan agung mereka dan membawa serta banyak hadiah mahal untuk Liong Bun-kong, pasti ada rencana keji dibalik pertemuan utusan itu dengan Liong Bun-kong."

"Liong Bun-kong pembesar anjing itu memang ingin menjual negara demi mengejar pangkat dan harta, sekarang saatnya dia mendapat angin dan kesempatan, buat apa hal ini dibuat heran?"

"Sayang sekali Ui-yap Tojin sudah berkorban karena peristiwa ini," kata spion itu.

Kim-to Cecu kaget, katanya: "Ilmu pedang Ui-yap Tojin teramat tinggi, bagaimana jiwanya bisa melayang?"

Spion itu bercerita: "Bersama Sia-cin Hwesio dia berusaha mencegat dan membunuh Duta rahasia itu, tujuannya untuk merebut surat rahasia itu, tak kira di antara pengikut Duta rahasia ini terdapat beberapa jago silat tangguh, akhirnya Ui-yap Tojin gugur di medan laga. Sia-cin Hwesio lolos tapi diapun terluka parah."

"Umpama mereka berhasil dan membongkar muslihat serta intrik Liong Bun-kong itu juga tiada gunanya," demikian kata Kim-to Cecu menghela napas, "para pembesar sipil maupun militer sama memikirkan keselamatan sendiri, umpama Baginda Raja berani bertindak tegas memecat jabatan Liong Bun-kong, yakin takkan lama lagi, Liong Bun-kong kedua pasti akan muncul pula."

"Tapi persoalan itu tidak rampung sampai disini saja," tutur spion itu, "konon Wi-cui-hi-kiau hendak menuntut balas kematian Ui-yap Tojin, sekarang mereka sedang mengatur rencana mengundang beberapa teman mereka, masuk kota raja untuk membunuh Liong Bun-kong. Bila berita ini dapat dipercaya, maka beberapa orang yang seharusnya akan kemari, mungkin bisa membatalkan maksudnya semula."

"Tam-toako dan lain-lain pasti akan tiba dalam waktu dekat, pihak kita disini sih tidak kekurangan orang. Tapi gerakan mereka ini terlalu berspekulasi, amat bahaya, dan lagi takkan menimbulkan perubahan situasi yang cukup fatal, jikalau aku ditanyai pendapatku, terus terang aku tidak setuju."

"Kalau begitu, biarlah aku lekas kembali ke kota raja, akan kuusahakan menyampaikan pendapat Cecu kepada mereka."

"Mereka sudah getol menuntut balas, aku sendiri ke sanapun belum tentu dapat membujuk mereka. Tapi dicoba juga ada baiknya. Umpama mereka gagal, kau dapat bantu mereka mengundurkan diri. Tapi aku tidak ingin kau menempuh bahaya seorang diri, besok hal ini kurundingkan dulu dengan orang banyak, biar nanti dipilih mengutus siapa lebih cocok akan tugas berat ini? Em, masih ada berita lain dari kota raja?"

"Masih ada satu berita yang tiada sangkut pautnya dengan strategis perang, tapi ada sangkut pautnya dengan seorang teman kita."

"Ada sangkut pautnya dengan siapa?"

"Berita yang menyangkut keluarga Toan di Tayli."

Tergerak hati Ciu Kiam-khim yang mencuri dengar di belakang pintu angin, lekas dia lari ke kamar serta menyeret Han Cin kemari, mereka mencuri dengar di tempat itu.

Waktu Han Cin keluar kebetulan didengarnya Kim-to Cecu sedang berkata: "O, kiranya muslihat Liong Bun-kong pembesar anjing itu, tapi aku tidak habis mengerti kenapa sekarang baru dia ambil tindakan keji ini terhadap keluarga Toan di Tayli? Mungkinkah mereka tahu bahwa Siau-ongya keluarga Toan itu ada hubungan rahasia dengan kita?"

Karuan Han Cin amat kaget mendengar berita buruk ini.

Spion itu berkata: "Aku tidak tahu apakah mereka sudah tahu akan rahasia ini. Tapi kabarnya keponakan Liong Bun-kong ada bermusuhan dengan Siau-ongya keluarga Toan itu, muslihat keji inipun dirancang oleh keponakannya yang bernama Liong Seng-bu itu."

"Lho, koh aneh, bagaimana mereka bisa bermusuhan?" tanya Kim-to Cecu.

"Liong Seng-bu mendesak pamannya supaya sang paman memberi laporan palsu memfitnah keluarga Toan, dosa perkaranya sungguh teramat besar, yaitu dituduh memberontak."

"Keluarga Toan tidak punya jabatan tidak pegang kuasa, dengan apa mereka akan memberontak?"

"Sejak dynasti Kerajaan berdiri dulu, keluarga Toan sudah dicopot jabatan dan kekuasaannya, sampai sekarang rakyat jelata negeri Tayli masih seperti biasa menyebutnya Ong-ya."

"Itulah rakyat setempat yang masih memberi penghargaan kepada keluarga Toan, hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan keluarga Toan itu sendiri."

"Itu jalan pikiran kita. Baginda yang lalim itu begitu mendengar ada orang lain juga disanjung sebagai raja, yakin dia akan percaya akan fitnah itu. Dalam tuduhan itu Liong Bun-kong menekankan keluarga Toan membeli hati dan menghasut rakyat, berhubungan dengan kaum patriot kalangan Kangouw, semua itu sudah cukup sebagai alasan untuk dicurigai sebagai berusaha memberontak."

"Beberapa hari yang lalu Siau-ongya keluarga Toau baru saja pulang dari sini, dia menunggang kuda yang dapat menempuh seribu li sehari, tak mungkin dikejar lagi. Lalu bagaimana baiknya?"

"Keluarga Liong sedang sibuk menyambut kedatangan Duta rahasia Watsu, untuk sementara jelas mereka tidak sempat menyelesaikan soal ini, Cecu, menurut pendapatmu, apakah kita tidak perlu mengutus orang memberi kabar ini kepad^ keluarga Toan?"

"Sudah tentu aku harap keluarga Toan dapat terhindar dari petaka ini, tapi kalau orang kita yang memberi kabar, bila meleset dan salah hitungan, urusan tentu bisa lebih celaka. Sekarang boleh kau istirahat, biar hal ini kupikir-pikir dulu."

Setelah spion itu mengundurkan diri, tiba-tiba Kim-to Cecu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kalian tidak usah sembunyi lagi, keluarlah."

Ciu Kiam-khim tarik tangan Han Cin melangkah keluar dari tempat sembunyinya, katanya dengan tertawa: "Ayah, jadi kau sudah tahu."

Kim-to Cecu mendengus, katanya: "Dengan kepandaianmu sekarang memangnya bisa mengelabui aku? Lain kali kularang kau berbuat tidak tahu aturan."

Ciu Kiam-khim melelet lidah, katanya: "Akulah yang menarik Han-cici kemari, jangan ayah menyalahkan dia."

Kim-to Cecu berkata: "Persoalan yang menyangkut keluarga Toan tadi memang ingin kusampaikan kepada nona Han."

Tergerak hati Ciu Kiam-khim, katanya: "Ayah, bukankah kau sedang bingung cara bagaimana untuk membantu kesulitan yang dihadapi keluarga Toan itu? Aku sih punya akal sekarang."

Dalam hati Kim-to Cecu sudah menerka jalan pikiran putrinya, sengaja dia tertawa, katanya: "O, memangnya kau punya akal apa untuk membantu ayah, baik, coba kau jelaskan."

"Baru beberapa hari Han-cici berada disini, orang diluar tidak tahu bahwa dia adalah orang kita. Apalagi dia masih mempunyai suatu kemahiran yang melebihi orang lain, sesuka hatinya dia bisa menyamar siapa saja yang dia inginkan, tanggung orang takkan bisa mengenalinya. Ayah, kau kuatir bila orang kita yang memberi kabar, mungkin tidak leluasa, bagaimana kalau tugas ini diserahkan kepada Han-cici."

"Dulu pernah aku dengar bahwa ayah angkat nona Han, Khu-locianpwe pandai tata rias. Dua puluh tahun yang lalu Khu-locianpwe mendadak lenyap, aku kuatir bahwa keahliannya itu tiada yang mengisi. Kiranya nona Han sudah mewarisi kepandaiannya."

"Cici Khim sengaja memujiku, pada hal apa yang kumiliki sekarang bila dibanding ayah, terpautnya amat jauh, Toan-kongcu pernah membantu aku, demi urusan dinas dan untuk hubungan pribadiku, adalah logis kalau aku balas membantu dia. Kalau Ciu-pepek belum mendapatkan orang yang cocok, biarlah tugas ini serahkan kepadaku saja."

Ternyata Ciong Bin-siu lebih gelisah setelah tahu akan berita buruk ini, ingin rasanya dia bantu Han Cin memasang sayap supaya lekas terbang ke Tayli, maka lekas dia keluarkan kuda putihnya dan berkata dengan tertawa: "Kuda kami ini sepasang, Toan-toako membawa yang jantan, sekarang boleh kau naiki yang betina ini. Bukan saja manusianya bisa bertemu, pasangan kudaku inipun biar berkumpul."

Han Cin jengah oleh godaan ini. Lekas Ciu Kiam-khim menyela: "Baiklah jangan berkelakar melulu. Urusan lebih penting. Han-cici, sekarang kau sudah siap turun gunung, kali ini kau hendak menyamar macam apa?"

"Nanti juga kau akan tahu," ucap Han Cin, dia larang Ciu Kiam-khim menyaksikan dirinya berdandan, tak lama kemudian setelah dia merias diri baru keluar dari kamar.

Begitu melihat samarannya, Ciong Bin-siu dan Ciu Kiam-khim tertawa terpingkal-pingkal sambil memeluk perut.

Ternyata dia menyamar jadi seorang laki-laki setengah umur, mukanya kuning, memakai kumis lagi, pipinya tepos berwajah licik dan nakal, bayangan seorang gadis jelita sudah tidak kelihatan lagi.

Ciu Kiam-khim berkata: "Kalau aku tidak tahu kau yang menyamar, bila aku melihat nampak macam orang ini, aku jadi sebal dan muak."

"Memang lebih suka dibenci orang yang melihat tampangku, supaya para cakar alap-alap itu tiada yang memperhatikan aku."

"Bila kau berhadapan dengan Toan-toako, lebih baik kau menjelaskan padanya, kalau tidak tanggung dia akan kaget setengah mati."

000OOO000



Setiba di rumah, tampak oleh Toan Kiam-ping ayahnya keluar menyambut kedatangannya, karuan hatinya kaget dan senang, namun juga heran, katanya: "Ayah, ternyata kau tidak sakit?"

Ayahnya berkata; "Akulah yang menyuruh Ling Suhu demikian. Kalau tidak kapan kau mau pulang."

Tahu bahwa dirinya ketipu Toan Kiam-ping hanya menyengir getir, katanya: "Asal ayah tidak sakit saja."

Setelah batuk Lo-ongya memberi nasehat dengan nada sungguh-sungguh: "Walau beruntung aku tidak jatuh sakit, tapi kau harus selalu ingat akan wejangan para leluhur, semasa ayah bunda masih hidup, anak cucu dilarang keluar jauh. Apalagi kali ini kau jauh pergi keluar perbatasan menemui Kim-to Cecu segala, jangan kata hati ayah bundamu tidak tentram. Jikalau jejakmu diketahui orang, bagaimana nasib kita kelak? Kupanggil kau pulang supaya kau berjanji kepadaku, maukah kau dengar nasehat ayah?"

"Ayah ada pesan apa, silahkan katakan."

"Kau ingin bergaul dengan kaum persilatan, aku tidak akan melarangmu. Tapi setelah ayah dan ibumu meninggal baru kau boleh meninggalkan rumah. Kesehatan ibumu jauh lebih buruk dari aku, bila kau pergi ke tempat yang jauh lagi, mungkin dia benar-benar bisa jatuh sakit."

Sudah tentu Toan Kiam-ping hanya mendengar dan mengiakan saja, katanya: "Kembaliku kali ini, memang sudah siap untuk mendampingi ayah bunda sampai hari tua. Baiklah aku patuh akan nasehat ayah."

Lebar senyuman Lo-ongya, katanya: "Masih ada satu hal lain yang belum tercapai dalam angan-anganku, yaitu ingin kau lekas menikah. Diluar apa kau tidak berkenalan dengan perempuan yang baik dan cocok dengan kau, pandai Kungfu juga tidak soal, tapi dia bukan kaum persilatan yang ada hubungan dengan Kim-to Cecu."

"Soal jodoh masih banyak waktu untuk membicarakan. Apalagi anak sekarang belum punya pikiran untuk berkeluarga."

"Usiamu sudah dua puluh tujuh, sudah cukup dewasa untuk berkeluarga, kenapa tidak pingin lekas menikah?"

"Laki-laki baru berkeluarga setelah tiga puluh, bukankah inipun nasehat orang kuno?"

"Betul juga, tapi kau mau pulang, legalah hatiku. Soal jodohmu, bila perlu akupun bersedia mencarikan jodoh. Lekaslah kau temui ibumu."

Sejak kembalinya itu, terpaksa Toan Kiam-ping sembunyi dalam rumah menulis, membaca dan belajar silat. Sudah tentu dia mengharap ayah bundanya panjang umur, tapi bila dia rindu pada Kanglam Sianghiap, Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin, ingin rasanya dia bebas mengembara pula, hatinya jadi selalu masgul.

Hari itu sungguh dia merasa pepat pikiran maka dia mohon izin ayahnya untuk tamasya ke Jong-san. Lo-ongya berkata dengan tertawa: "Asal kau tidak pergi jauh, tamasya di negeri sendiri tetap kuizinkan. Pada hal negri kita tidak kalah indah dan mempesona dari dunia luar, boleh kau pergi bersama Siau-ni-cu."

"Tidak, hari ini aku tidak ingin mengajak teman, biar dia tinggal di rumah melayani ayah," karena hati risau, dia ingin pergi ketempat yang sunyi dan jalan-jalan melepas rasa rindu.

Hari masih pagi, kabut masih mengembang rendah, seorang diri Toan Kiam-ping telah berada di puncak Jong-san, tak lama kemudian diapun sudah jalan-jalan di pesisir Ni-hay, tiba-tiba pikirannya terbayang akan Tan Ciok-sing dan In San, terakhir kali merindukan Han Cin, pikirnya: "Kini mereka tentu sudah kumpul di markas Kim-to Cecu."

Lalu terpikir pula oleh Toan Kiam-ping: "Nasib mereka bertiga hampir mirip, tapi juga sama-sama teguh dan besar tekadnya, bukan saja aku bukan bandingan Tan Ciok-sing, dibanding Han Cinpun aku malah asor. Jalan-jalan di tempat lama yang sudah sering dikunjunginya, hati dirundung kepedihan lagi, maka Toan Kiam-ping tidak merasakan lelah.

Tanpa merasa hari sudah lohor, duduk di pinggir air, pandangan Toan Kiam-ping melamun menatap ikan busur yang berenang membalik melawan arus air, dia tetap tidak kepingin lekas pulang. Hari itu cuaca baik, hawa sejuk dan nyaman, panorama di Ni-hay kelihatan lebih mempesona, tanpa merasa Toan Kiam-ping tarik suara bersenandung membawakan syair pujangga kuno yang melukiskan keindahan alam nan permai.

Tengah dia tenggelam lamunannya, tiba-tiba didengarnya teriakan Siau-ni-cu: "Siau-ongya, Siau-ongya," waktu Toan Kiam-ping angkat kepala, dilihatnya kacungnya itu tengah berlari ke arahnya, sikapnya begitu gugup dan buru-buru lari sambil teriak, suaranyapun sudah serak.

Toan Kiam-ping tertawa, katanya: "Siau-ni-cu, apa ayah suruh kau menyusulku pulang? Memangnya perlu kau berlari segugup ini?"

Toh Ni sudah berada di depannya, keringat gemerobyos namun mukanya tampak menghijau mulutnya megap-megap mau bicara tapi hanya dua patah kata yang kuasa diucapkan. "Tidak, bukan."

"Siau-ni-cu," ujar Toan Kiam-ping tertawa, "istirahat dulu, nanti kau bicara lagi."

Tiba-tiba berlinang air mata Toh Ni, katanya: "Siau-ongya urusan genting, urusan celaka."

"Urusan genting apa yang celaka?"

"Siau-ongya dengarkan penuturanku, tapi jangan kau bingung dan gelisah, bagaimana kita harus menghadapi kejadian ini, semua tergantung keputusanmu."

"Memangnya dunia akan kiamat? kenapa begini gugup. Agaknya perkataanmu harus kugunakan untuk menasehatimu."

"Kira-kira sebanding dengan dunia kiamat. Lo-ongya. Lo-ongya, beliau..."

"Ayah kenapa?" baru sekarang Toan Kiam-ping tersentak kaget, Dia kira ayahnya mendadak jatuh sakit parah.

Perlahan suara Toh Ni: "Lo-ongya ditawan oleh pembesar anjing utusan kerajaan. Rumahpun telah disegel."

Keluarga Toan adalah keluarga besar yang ternama di kalangan Tayli, mimpipun tak pernah terpikir oleh Toan Kiam-ping hari ini bencana bakal menimpa keluarganya, sesaat dia melenggong, akhirnya berkata: "Bagaimana mungkin terjadi petaka yang tak terduga ini?

Memangnya keluargaku melanggar dosa apa?"

"Mereka membacakan apa itu firman raja, keluarga Toan dituduh mengangkat sendiri jadi raja, berusaha memberontak dan membangkang perintah. Dalam firman itu diperintahkan untuk membekuk seluruh keluarga Toan dan digusur ke kota raja menunggu hukuman."

Kaget dan gusar Toan Kiam-ping, sedapat mungkin dia tenangkan diri, katanya: "Sungguh kurang ajar, bagaimana dengan Ling Suhu dan yang lain-lain? Apakah mereka hanya menangkap ayahku?"

"Waktu pembesar anjing menyegel rumah menangkap orang sebetulnya Ling Suhu hendak melabrak mereka. Tapi baru saja bergebrak keburu dicegah oleh Lo-ongya, Lo-ongya bilang selama hidup dia tak pernah melanggar hukum dan hidup sederhana, tidak perlu takut pergi ke kota raja untuk mencuci bersih kebesaran nama keluarga Toan. Tapi dia mengajukan dua syarat supaya pembesar anjing itu mau menyetujuinya: Pertama, rumah boleh disegel, tapi anggota keluarga lain supaya tidak diganggu gugat. Kedua, meski dia dituduh memberontak, hanya ialah yang wajib memikul dosa, tiada sangkut pautnya dengan anak isteri."

"Di bawah sarang yang porak poranda, mana ada telur utuh? Ayah rela menyerahkan diri, masih juga ingin melindungi kita, kukira terlalu Jenaka jalan pikirannya."

"Akhirnya pembesar anjing itu hanya menerima syarat pertama, dia memberi kesempatan pada Loya untuk membubarkan para pembantu. Tapi syarat kedua mereka tolak dengan alasan menjalankan tugas menurut firman raja, setelah tidak berhasil menemukan dirimu, maka mereka menggusur Loya ke atas kereta kurungan. Diapun berpesan supaya Siau-ongya langsung menyerahkan diri di kota raja. Agaknya mereka sudah menduga, suatu hari kau pasti akan berusaha menolong ayahmu, itu berarti kau akan masuk jaring sendiri. Siau-ongya, jangan kau tertipu oleh muslihat mereka. Ling Suhu berpesan supaya kau lari ke tempat yang jauh, bila perlu dia menganjurkan supaya kau bergabung ke markas Kim-to Cecu. Ling Suhu memohon untuk mengantar Loya ke kota raja, kini mereka sudah berangkat, mungkin mereka jeri akan keliehayan Ling Suhu, maka permintaannya dikabulkan."

Ternyata utusan Liong Bun-kong bukan lain adalah Huwan bersaudara bersama Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay, ke enam orang ini adalah jago-jago kelas satu di bawah Liong Bun-kong. Waktu menghadapi grebekan mereka Ling Khong-tik pernah adu pukulan melawan Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay, tapi dia terkepung didalam barisan pedang Huwan bersaudara, kalau waktu itu ayah Toan Kiam-ping tidak keluar dan menghentikan pertempuran tepat pada waktunya, mungkin kedua pihak akan gugur bersama. Apa yang diduga Toh Ni memang tidak meleset, mereka memang jeri pada keliehayan Ling Khong-tik maka dia diperbolehkan mengiringi junjungannya berangkat ke kota raja.

Hampir pecah kepala Toan Kiam-ping menghadapi persoalan rumit dan genting ini, sekuatnya dia kendalikan emosinya, pikirnya dengan kepala panas: "Apa yang dikatakan Siau-ni-cu memang benar, dalam suasana seperti sekarang, aku harus menenangkan diri, tabah." Setelah dia tekan emosi dan berhasil menenangkan diri itu, dia mulai menyelusuri persoalan, tiba-tiba terasa olehnya bahwa cerita yang dikisahkan oleh Siau-ni-cu terdapat suatu yang ketinggalan, entah karena Siau-ni-cu lupa menceritakan, atau sengaja dia hindarkan.

"Siau-ni-cu ada satu persoalan yang belum kau jawab kepadaku. Apakah para cakar alap-alap itu hanya , menangkap ayahku seorang?"

"Betul, mereka hanya menggusur Loya dengan kereta kurungan."

"Tadi kau bilang mereka hanya berjanji tidak akan mengganggu kerabat lain kecuali keluargaku. Jadi tujuan penangkapan ini hanyalah ayah bundaku dan aku bertiga, aku tidak di rumah, tapi ibu kan di rumah. Bagaimana keadaan Lo-hujin, lekas beritahu kepadaku," demikian tanya Toan Kiam-ping dengan suara gemetar.

Bercucuran air mata Siau-ni-cu, katanya: "Maafkan aku, aku tak berani sekaligus memberitahu berita duka ini kepadamu."

Berdiri alis Toan Kiam-ping katanya: "Aku sudah siap menerima kabar yang paling buruk sekalipun, aku harus tahu duduk persoalannya. Lekas katakan lekas, bagaimana keadaan ibuku?"

Dengan sesenggukan baru Toh Ni berkata: "Lo-hujin tidak sudi dihina, dia, dia sudah bunuh diri."

Bagai disambar geledek kepala Toan Kiam-ping mendengar berita buruk ini, betapapun tabah hatinya, begitu mendengar kematian ibunya yang mengenaskan, hampir saja dia jatuh semaput. Lekas Toh Ni memeluk serta menggoncang tubuhnya, teriaknya: "Siau-ongya, sadarlah, keluarga Toan ketinggalan kau seorang, kau harus, menjaga diri. Selama gunung tetap menghijau, jangan kau kuatirkan kehabisan kayu bakar..."

Pukulan batin yang berat serta nasehat dan dorongan sang kacung seketika memberikan dukungan semangat dan tekad yang besar, akhirnya Toan Kiam-ping berdiri di atas kakinya sendiri, desisnya dengan kertak gigi: "Kalau dendam ini tidak kubalas, tiada muka aku jadi manusia? Kau tidak usah kuatir, aku takkan mencari jalan pendek. Sayang di waktu para cakar alap-alap itu datang aku kebetulan tidak di rumah, kalau tidak apapun yang bakal terjadi pasti kulabrak mereka habis-habisan, akan kutentang ayah melakukan tindakan yang bodoh itu."

"Laki-laki sejati menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat, Ling Suhu berpesan supaya kau bergabung dengan laskar rakyat Kim-to Cecu, kau harus lekas berkeputusan."

Toan Kiam-ping seka air mata sambil angkat kepala, katanya: "Aku tidak akan lari. Kelak mungkin aku akan bergabung dengan Kim-to Cecu, tapi sekarang belum waktunya."

Toh Ni membujuk lagi, "Siau-ongya jangan kau bertindak gegabah, sakit hati ini mungkin takkan bisa kau balaskan sekarang."

"Aku tahu Sudah tentu aku takkan meluruk kesana dan melabrak mereka sekarang."

"Jadi maksudmu sebetulnya..."

"Siau-ni-cu, kau mau menemani aku pergi ke kota raja?"

"Apa kau ingin masuk jaring sendiri seperti harapan mereka?"

"Aku tidak akan lari, tapi juga tidak akan menyerahkan diri. Kita menyamar menguntit kereta pesakitan itu, bila ada kesempatan, berusaha menolong ayah. Dari Tayli sampai kota raja, sedikitnya kereta pesakitan itu akan menempuh sebulan perjalanan. Kemungkinan besar dapat kita peroleh kesempatan untuk turun tangan."

"Ada enam jago yang mengawasi secara ketat. Bila usaha kita gagal, jejakmu malah konangan mereka..."

"Meski gagal juga harus dicoba. Siau-ni-cu, bila kau takut, aku akan berangkat seorang diri."

"Siau-ongya, selama ini kau tidak memandangku sebagai orang luar, kepandaian yang kumiliki sekarang juga kau yang mengajarkan. Meski harus terjun ke lautan golok dan gunung berapi, Siau-ni-cu takkan mengerutkan alis. Aku hanya memikirkan dirimu, kata-katamu tadi hanya memandang rendah aku Siau-ni-cu."

Terharu Toan Kiam-ping akan kesetiaan kacungnya, katanya merangkulnya: "Siau-ni-cu, kau memang saudaraku yang baik. Untuk selanjutuya baik rejeki maupun maut biar kita hadapi bersama. Tak perlu aku banyak bicara lagi. Tapi ada satu hal kau harus ingat."

"Silahkan Siau-ongya memberi petunjuk."

Toan Kiam-ping melotot, katanya: "Hal itulah yang akan kukatakan. Justeru karena orang banyak memanggil ayah Ongya sehingga hari ini dia ketimpa malang mana boleh kau masih memanggilku Siau-ongya? Dan lagi selanjutnya kau bukan kacungku lagi boleh kita saling membahasakan saudara saja."

Untuk pulang ke Tayli dari Jong-san harus menyebrangi Ni-hay, tukang perahu juga kerabat keluarga Toan, di atas perahu Toan Kiam-ping merias diri berdandan dengan bentuk lain, katanya: "Untung tujuan kita hanya menguntit rombongan alap-alap itu, jarak tidak boleh terlalu dekat, asal tidak muka ketemu muka di siang hari, sepanjang perjalanan ini yakin tidak akan menarik perhatian orang lain," lalu dengan menghela napas dia menambahkan, "sayang nona Han tidak disini, bila ada dia, kita bisa merubah diri jadi bentuk lain," perahu dibawa ke suatu tempat yang sepi dan belukar, Toan Kiam-ping dan Toh Ni turun disitu, tampak seorang menuntun dua ekor kuda mendatangi. Orang ini adalah kacung pribadi Toan Kiam-ping yang lain, bernama Siau-an-cu. Salah satu kuda itu berbulu putih, yaitu milik Kwik Ing-yang yang dipinjamkan Toan Kiam-ping. Setelah keluarga mengalami petaka dan berantakan, kini mendadak melihat kuda putih itu, karuan hatinya kaget dan senang.

Toh Ni berkata: "Di saat Ling Suhu melabrak musuh, diam-diam aku suruh Siau-an-cu menuntun kuda itu lari dari pintu belakang."

"Siau-ni-cu, kalian memang pandai bekerja, aku amat berterima kasih akan bantuan kalian. Tapi selanjutnya aku ini seorang pedagang kecil, bila naik kuda putih ini, tentunya tidak setimpal."

"Kalau bukan seorang ahli, orang biasa takkan tahu bahwa kuda ini kuda mustika. Asal sepanjang jalan kita hati-hati, tidak melarikan terlalu cepat, yakin tidak akan menarik perhatian orang."

Walau Toan Kiam-ping tidak membedal kuda putih, tapi daya larinya memang jauh lebih pesat dan kuat dari kuda umumnya. Sebelum magrib, mereka telah meninggalkan Tayli sejauh empat lima puluhan li, kereta pesakitan itupun telah mereka susul. Mereka menguntit dari kejauhan dalam jarak satu li, dari kejauhan tampak yang memegang kendali kereta adalah Sa Thong-hay yang menyaru jadi kusir, sementara Ciok Khong-goan bersama ayahnya duduk didalam kereta pesakitan. Huwan bersaudara menunggang kuda memencar diri di empat perjuru, sementara Ling Khong-tik juga naik kuda mengintil tak jauh di belakang rombongan itu.

Diam-diam Toan Kiam-ping menarik napas dingin, batinnya: "Mereka menjaga seketat itu, merampas kereta secara kekerasan jelas tidak mungkin, terpaksa harus mencari kesempatan menolong dengan akal."

Untunglah tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil. Toan Kiam-ping biarkan rombongan di depan itu masuk kota, setelah mereka menemukan hotel dan menetap, baru dia bersama Siau-ni-cu menginap di hotel yang lain. Ayah dan anak berada disatu tempat, namun jarak mereka seperti di ujung langit dan di bumi: berhadapan tapi tidak bicara, betapa pahit getir perasaan Toam Kiam-ping, sungguh harus dikasihani.

Toh Ni seperti tahu maksud hati sang majikan, setelah makan malam dia berkata: "Mereka hanya pernah bergebrak dengan Ling Suhu, tiada yang tahu akan diriku yang kacung ini. Biar aku kesana mencari tahu."

"Baiklah, tapi kau harus hati¬hati."

Menjelang tengah malam Toh Ni telah kembali, katanya: "Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay menjaga Loya tidur dalam satu kamar, sementara Huwan bersaudara terpencar di dua kamar di kanan kirinya. Ling Suhu tidur di kamar paling ujung. Penjagaan sedemikian ketat, bila kita beraksi, mereka pasti akan menyakiti Loya?"

"Apa kau melihat Ling Suhu?"

"Teraling jendela diam-diam aku ada kontak dengan dia, namun hanya beherapa patah kata belaka. Dia tetap menganjurkan kau lari ke tempat jauh, jangan menempuh bahaya yang tiada artinya. Dia kuatir bila jejakmu konangan mereka. Lo-ongya akan dibuat sandera untuk mengancam kau."

"Bagaimana tega hatiku meninggalkan ayah, betapapun besar bahayanya, aku tetap akan menempuhnya."

Dengan hati was-was selama itu telah lewat tanpa kejadian apa-apa, entah karena Sa Thong-hay dan rombongannya tumplek seluruh perhatiannya untuk menjaga Lo-ongya, atau mereka tidak menduga bahwa dirinya bakal menguntitnya, pada hal dalam kota kecil ini hanya ada tiga hotel, mereka toh tidak mengutus orang untuk memeriksa hotel-hotel yang lain, apakah ada orang yang patut dicurigai.

Hari kedua baru saja terang tanah, mereka sudah berangkat menempuh perjalanan.

Diam-diam Toh Ni perhatikan jejak mereka lalu pulang memberi laporan kepada majikan mudanya: "Mungkin aku terlalu curiga sehingga aku menaruh prasangka. Ada sesuatu mau tidak mau menimbulkan rasa curigaku."

"Ada kejadian apa?"

"Pagi-pagi benar rombongan alap-alap itu sudah berangkat menggusur kereta pesakitan itu, penduduk kota kecil ini banyak yang belum bangun. Di kota kecil ini ada tiga hotel, kecuali rombongan mereka, belum ada tamu lain yang berangkat sepagi ini."

"Lalu apa keanehannya?"

"Setelah rombongan alap-alap itu membawa kereta pesakitan menempuh perjalanan dijalan raya, aku melihat seorang penunggang kuda keluar dari kota. Kuda tunggangan orang itu berlari amat pesat dari kejauhan, kulihat setelah dia hampir meyusul kereta pesakitan itu, mendadak berhenti jaraknya kira-kira tetap dalam seratus langkah, seperti yang kita lakukan kemarin."

"Kau curiga bahwa orang itu juga tengah mengikuti kereta pesakitan itu?"

"Aku tidak mengharap bantuan orang lain, aku hanya kuatir orang yang tidak kita ketahui asal-usulnya ini akan tidak menguntungkan bagi kita."

"Selanjutnya kita harus lebih hati-hati, tak perlu kau menduga-duga sebelum terbukti."

"Bukan aku terlalu curiga, kau tidak tahu, tampang orang itu siapapun yang melihatnya akan muak, jelas dia bukan manusia baik-baik."

Sebetulnya Toan Kiam-ping juga banyak curiga, tapi mendengar penuturan Siau-ni-cu tanpa terasa dia tertawa geli, katanya: "Manusia tidak boleh dinilai dari tampangnya, kukira kau memang terlalu banyak curiga, terlalu prasangka. Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan, sarapan dulu, segera kitapun harus berangkat."

Setelah sarapan pagi, mereka cemplak kuda melanjutkan perjalanan, kira-kira menjelang tengah hari, dari kejauhan mereka telah melihat rombongan kereta pesakitan itu, keadaan seperti kemarin. Sa Thong-hay tetap pegang kendali, Ciok Khong-goan duduk dalam kereta bersama ayahnya. Huwan bersaudara terpencar di sisi kereta. Ling Suhu berada paling belakang, seperti kemarin mereka menguntit dalam jarak satu li.

Tak jauh setelah mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba didengarnya suara derap tapal kuda di belakang, ada seekor kuda mencongklang dari belakang. Waktu Toh Ni menoleh, seketika dia kaget, teriaknya tertawa: "Aneh."

"Apanya yang aneh?"

Toh Ni jalan berendeng dengan dia, katanya lirih: "Orang di belakang itu adalah tamu yang tadi pagi kukatakan, dia berangkat satu jam lebih dini, kenapa sekarang berada di belakang malah?"

Toan Kiam-ping hendak menoleh, orang itupun sudah mendekat di belakang mereka. Pada saat itulah, kuda tunggangan Toan Kiam-ping tiba-tiba berjingkrak-jingkrak sambil meringkik-ringkik. Kalau Toan Kiam-ping tidak mahir menunggang kuda, tanggung dia sudah terlempar dari punggung kuda. Tapi kuda tunggangan orang itupun berjingkrak dan bebenger. Mau tidak mau Toan Kiam-ping heran dibuatnya.

Pada hal dia tahu betul tabiat kuda putih ini tanpa sebab tak mungkin tiba-tiba dia berjingkrak-jingkrak, pasti ada sebabnya sehingga dia berjingkrak-jingkrak kesenangan. Diam-diam tergerak pikiran Toan Kiam-ping: "Layaknya seperti melihat kawan lama senangnya?" setelah dekat, tampang penunggang kuda di belakang itupun dia sudah melihat jelas, mau tidak mau hatinya ikut merasa sebal dan kecewa.

Orang itu kira-kira berusia empat puluhan, mukanya kuning, memelihara kumis pendek, tampangnya yang jelek memang amat memuakkan seperti yang dilukiskan Siau-ni-cu. Tapi lain dengan tampang kuda tunggangannya, bukan saja gagah tapi juga perkasa, namun bulunya kuning, pelana juga biasa, berharga murah.

Setelah beradu muka, tak urung Toan Kiam-ping mentertawai diri sendiri, pikirnya: "Tadi aku menggoda Siau-ni-cu, kenapa aku sendiri juga mencurigainya, kuda putih Ciong Bin-siu sekarang berada di markas Kim-to Cecu yang berjarak ribuan li, mana mungkin berada disini?" seperti diketahui kuda tunggangan Kanglam Sianghiap yang laki dan betina itu berbulu putih mulus, tapi kuda tunggangan laki-laki setengah umur ini berbulu kuning, maka curiga Toan Kiam-ping jelas tidak masuk alasan.

Orang itu mendekati langsung menyapa lebih dulu: "Aneh ya, kuda kita ini seperti ada jodoh, coba lihat mereka seperti kenalan lama yang sudah berpisah sekian lama?" suaranya sumbang dan mengecil seperti suara seorang banci.

"Iya, ya," ucap Toan Kiam-ping, "akupun heran. Saudara kau she apa?"

"Aku she Khu. Dan kau?"

Toan Kiam-ping berpikir: "Kalau dia sengaja menguntit aku siapa diriku pasti dia sudah tahu," maka sejujurnya dia sebut nama aslinya. Ingin dia menyaksikan bagaimana reaksinya.

Muka orang itu kaku tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, seolab-olah dia tidak kenal siapa sebenarnya Toan Kiam-ping, katanya tawar: "Selamat bertemu, Toan-heng, kau mau kemana?"

"Aku suka tamasya menikmati pemandangan alam, maka seenak dan sesenangku aku pergi kemana saja, jadi tanpa tujuan pula."

"Agaknya Toan-heng seorang pecinta alam. Sayang Siaute selalu sibuk dengan pekerjaan, harapanku melulu mencari sekedar untuk ongkos hidup, tak mungkin menemani saudara bertamasya. Kudamu dapat lari cepat, boleh silahkan lebih dulu."

"Jangan sungkan," kata orang itu, "aku sih tidak perlu buru-buru. Em, kebetulan kita bertemu di tengah jalan..."

Tak nyana sebelum dia habis bicara, tiba-tiba Toh Ni menyela: "Kau tidak perlu buru-buru, kami justru harus lekas menempuh perjalanan, maaf ya, kami berangkat lebih dulu."

Sengaja mereka menikung ke jalanan kecil untuk menghindari orang itu, dengan tertawa Toh Ni berkata: "Tanpa mendengar habis perkataannya, aku sudah menduga apa yang bakal dia katakan. Dia bilang bertemu di tengah jalan segala, tujuannya sudah jelas adalah ingin berteman dengan kita sepanjang perjalanan. Bila sudah habis menyatakan maksud hatinya, kurang enak untuk menampiknya. Karena kuatir dia berbelit-belit, maka buru-buru aku mengajakmu berangkat. Tampangnya yang kaku pucat seperti mayat hidup kalau tertawa juga tidak bergeming kulit daging mukanya, suaranyapun sumbang seperti orang banci, aku jadi merinding dibuatnya."

"Sikap dan tutur katanya itu kukira sengaja dia lakukan. Wajahnya memang kelihatan kaku dan lesu, namun sepasang bola matanya ternyata sebening kaca dan bercahaya lagi. Menilai orang matanya lebih dulu, aku yakin orang itu pasti bukan orang jahat"

"Tadi kau sendiri bilang menilai orang tidak boleh dari tampangnya, kini melihat sorot matanya kau lantas berkeyakinan bahwa dia bukan orang jahat, bukankah kaupun menilainya dan tampangnya?"

"Aku tidak ingin berdebat dengan kau, yang terang kita sudah tidak campur sama dia, peduli amat dia baik atau buruk?" pada hal dalam hati dia membatin: "Aneh, sorot matanya seperti pernah kukenal baik. Tapi bila kuutarakan rasa curigaku, mungkin Siau-ni-cu akan balik mencemooh aku yang serba curiga pula."

Toh Ni sudah apal jalanan disini, dia tahu tak jauh di sebelah depan ada sebuah kota kecil, kereta pesakitan dan rombongan orangnya pasti akan bermalam di kota kecil itu, kalau tidak mereka harus menempuh perjalanan sejauh empat puluhan li lagi baru akan tiba di sebuah kota lain yang agak besar.

Maka dia memperhitungkan tepat waktunya, seperti kemarin, setelah rombongan itu masuk kota dan mendapatkan sebuah hotel, setengah jam kemudian baru mereka masuk kota dan menginap di hotel lain. Kota ini sedikit lebih besar dan ramai dari kota yang semalam mereka menginap, tapi disini juga cuma ada empat hotel, hotel yang dipilih Siau-ni-cu terletak tak jauh dari hotel yang di tempati rombongan itu.

Toan Kiam-ping minta sebuah kamar kelas satu kepada pemilik hotel dia berpesan wanti-wanti supaya merawat dan memberi makan kudanya yang baik, untuk memperoleh pelayanan istimewa dia menyogok lebih satu tahil perak. Harga pangan dan barang di kota ini cukup murah, maka setahil perak itu cukup besar artinya.

Setelah terima uang pemilik hotel tertawa lebar, katanya: "Tuan tak usah kuatir, akan kusuruh orang khusus mengurusnya. Kecuali kalian hari ini tiada tamu yang datang naik kuda," belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar derap tapal kuda di jalan raya, ternyata seorang tamu menunggang kuda berhenti di depan hotelnva.

Karuan Toh Ni membelalakkan mata dan melongo sekian lamanya, ternyata tamu yang datang ini adalah laki-laki yang dibencinya itu.

Lekas sekali laki-laki yang menyebalkan itu sudah beranjak masuk, katanya dengan tawa lebar: "Manusia hidup dimana saja bisa ketemu, tak nyana disini kita bertemu."

Pemilik hotel segera menyambut, katanya: '"Kiranya kalian teman yang sudah kenal baik, itu lebih baik. Kami masih menyediakan sebuah kamar kelas satu, kebetulan untuk tuan, letaknya sebelah kamar Toan-siangkong."

Dengan tawar Toh Ni segera menimbrung: "Baru hari ini di tengah jalan tadi kami berkenalan."

Tamu yang mengaku she Khu berkata: "Baik kamar itu berikan kepadaku," setelah membayar rekening kamar, dia rogoh pula setahil perak, katanya: "Tiam-keh, tolong kau rawat baik-baik kudaku itu," seperti apa yang dilakukan Toan Kiam-ping tadi, diapun memberi pesan dan memberi uang sogok sejumlah yang diberikan Toan Kiam-ping. Kala itu kuda tunggangan orang itu tengah berhadapan saling gosok menggosok kepala, sikapnya begitu mesra seperti pasangan saja.

Pemilik hotel tertawa, katanya: "Seperti majikannya, kuda kalianpun mendapatkan teman juga. Biasanya kuda yang binal begitu didekati pasti ajak berkelahi, aku yakin kedua ekor kuda ini akan berkumpul dengan damai, lebih gampang diurus."

Pemilik hotel lalu antar mereka memasuki kamar masing-masing, kuatir laki-laki sebal ini datang merecoki, maka dia sengaja berkata kepada pemilik hotel: "Sehari penuh kami menempuh perjalanan, badan penat, semangat luluh, setelah makan kami akan tidur. Khu-heng, selamat bertemu besok pagi," lalu dia masuk kamar serta menutup pintu.

Entah sikap Toh Ni yang kasar itu membawa reaksi, yang terang laki-laki menyebalkan itu betul-betul tidak mengganggu mereka lagi. Tak lama setelah makan malam, lapat-lapat Toan Kiam-ping sudah mendengar dengkur orang di kamar sebelah.

Dengan merendahkan suara Toh Ni berkata: "Betapapun kita harus hati-hati terhadapnya kukira dia sengaja hendak memata-matai kita. Bukan mustahil dia pura-pura tidur. Malam ini kita harus lebih waspada, jangan sampai kecundang tanpa sadar," lalu dia menambahkan. "Laki memuakkan itu agaknya menaruh perhatian pada kuda putihmu itu. Heran, kenapa kedua ekor kuda itu kelihatan begitu mesra."

"Malam nanti kau harus sering memeriksa istal, bukan aku kuatir dia mencuri kuda kita, tapi harus berjaga-jaga, siapa tahu cakar alap-alap itu mengenali kuda itu dan kemari memeriksanya."

Toh Ni mengiakan, segera dia merebahkan diri memupuk semangat mengendorkan urat tanpa terasa waktu sudah menunjukkan kentongan ketiga. Toh Ni bangun diam-diam lalu keluar memeriksa istal. Waktu dia lewat belakang jendela di kamar sebelah, didengarnya dengkur napasnya masih bersuara. Diam-diam dia menggeremet maju serta mengintip kedalam lewat celah-celah, dilihatnya tiada suatu keganjilan dalam kamar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar