Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 4
Kudengar suara gaduh dan
gedebukan yang ramai diluar kiranya kawanan rampok itu saling pukul dan
genjot-genjotan dengan seru. Ternyata dua rampok yang datang duluan bukan
tandingan dua rampok datang belakangan, mereka akhirnya lari."
"Apa kau melihat wajah
kedua rampok yang datang belakangan?" tanya In San.
Ibu Siau-cu-cu menutur:
"Saking kaget aku jadi kebingungan, aku hanya bisa mengintip dari
sela-sela pintu, mana bisa kulihat jelas? Tapi satu di antaranya kelihatan
masih muda, mirip anak sekolahan, setelah memukul lari kedua orang itu, dia
berdiri di depan pintu dan berkata: "Lo-mama (ibu tua) kau tak usah takut,
kami tidak akan mencelakai putramu. Tapi kedua ekor kuda ini akan kami ambil.
Disini kutinggalkan seratus tahil perak, nanti, boleh keluar mengambilnya.
Lekas kau tolong putramu."
Maka Siau-cu-cu menyambung:
"Entah berapa lama aku semaput, tiba-tiba terasa sekujur badan dingin
nyaman, seketika aku siuman, samar-samar sempat kulihat ada dua bayangan orang
berdiri di depanku, aku hanya mendengar perkataannya."
"Apa yang dia katakan
kepadamu?" tanya In San.
"Dia membisiki aku: 'Kau
tak usah kuatir, aku sudah memoles obat di dadamu, kutinggalkan pil obat pula,
yakin setelah kau menelan pil obat ini kesehatanmu akan lebih kuat dan fit.'
Sebelum pergi perampok ini ternyata masih berpura-pura baik di hadapanku,
katanya pula: "Malam ini bikin kau menderita sungguh harus disesalkan. Aku
mohon maaf padamu, rawatlah luka-lukamu dengan baik,' lalu dia naik ke punggung
kuda tinggal pergi temannya."
Tan Ciok-sing masih ragu-ragu
katanya: "Orang itu memang tidak ngapusi, dia memberi obat paling mujarab
untuk kau."
Ibu Siau-cu-cu bercerita pula:
"Waktu aku membuka pintu dan keluar, betul juga kulihat sebungkus uang
perak, Siau-cu-cu suruh aku kembalikan kepada orang itu, tapi orang itu sudah
keburu pergi."
Siau-cu-cu berkata: "Aku
justeru tidak percaya ada rampok sebaik itu maka aku bersihkan salep yang
dipoleskan di dadaku. Siapa kira ternyata dia betul menolong jiwaku. Tapi
kenapa dia merebut kudamu?"
"Akupun tak tahu sebab
musababnya. Tapi rampok memang beraneka ragam, pelajar yang kau temui ini
umpama betul adalah rampok, dia boleh terhitung rampok yang baik hati."
"Betul, kalau dia seorang
rampok yang baik hati, karena Siau-cu-cu terluka dia merasa menyesal, maka
memberinya uang dan obat, kalau demikian sepantasnya dia memberi tahu apa
tujuannya merampas kuda itu. Siau-cu-cu coba kau pikir lagi lebih cermat,
mungkin masih ada kata-kata yang kau lupakan?"
Agaknya Siau-cu-cu menjadi
kikuk dan kuatir pula, katanya: "Sebelum rampok itu pergi, dia memang ada
berpesan kepadaku, tapi aku, aku kuatir kau tertipu oleh rampok itu, maka tak
berani aku menyampaikan pesannya itu."
"Aku takkan gampang
ditipu orang," bujuk Tan Ciok-sing, "apa pesannya lekas kau beritahu
kepadaku."
"Dia bilang: 'Temanmu
mungkin besok pulang, beritahu kepadanya, kalau dia ingin tahu kenapa aku
merebut kuda tunggangannya, boleh suruh dia pergi ke panggung batu di atas
Cit-sing-giam menemui aku besok malam setelah kentongan ketiga.'"
"Syukurlah kalau
begitu," ucap Tan Ciok-sing, "besok malam aku akan tahu siapa dia
sebenarnya."
"Tapi dia menekankan,
besok malam hanya kau seorang saja yang boleh kesana. Kalau ada orang lain
lagi, dia tidak akan menemui kau," demikian Siau-cu-cu menambahkan.
Hari kedua Tan Ciok-sing bawa
Siau-cu-cu dan ibunya bertandang ke rumah keluarga In, kemarin In Ih sudah
bertemu dengan Kek Lam-wi diapun sudah tahu akan pesan gurunya bahwa gurunya
bakal menerima seorang murid baru lagi maka dia terima Siau-cu-cu dan ibunya
tinggal di rumahnya.
Setelah makan siang Tan
Ciok-sing segera memohon diri. Kalau orang itu berjanji akan menemui pada
kentongan ketiga, tapi kentongan kedua dia sudah datang lebih dini ke
Cit-sing-giam.
Panggung yang ditunjuk terletak
di belakang karang Cit-sing-giam, didalam gua karang Cit-sing-giam terdapat
sebuah mulut gua, dari sini bisa langsung menuju ke panggung batu itu. Tapi
penduduk setempatpun jarang yang tahu akan rahasia ini. Sejak kecil Tan
Ciok-sing sering bermain di Cit-sing-giam, dengan memejam matapun dia tidak
akan kesasar jalan. Lorong gelap ini dahulu sering dia bermain petak dengan
Siau-cu-cu dan secara kebetulan mereka temukan jalan tembus rahasia ini.
Walau dia yakin orang itu
tidak akan mencelakai dirinya, tapi waspada tiada ruginya, maka untuk menjaga
segala kemungkinan dia berkeputusan untuk mencari suatu tempat sembunyi,
sekaligus untuk mengamati gerak gerik orang. Dia naik tidak dari arah depan,
karena jejaknya mungkin bisa konangan, maka dia putar ke belakang, dari sini
diam-diam dia berbalik dapat memeriksa keadaan sekelilingnya, apakah orang ada
mengatur perangkap.
Baru saja kentongan kedua
lewat, dia kira orang itu belum datang. Tapi rekaannya ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan, di waktu dia menongol keluar dari mulut lobang, lapat-Iapat
sudah dilihatnya dua bayangan orang berada di atas panggung batu itu, dua orang
ini sedang bicara.
Ciok-sing sembunyi di belakang
batu didengar seorang berkata: "Siauya sungguh aku tak mengerti kenapa kau
berbuat demikian?"
Suaranya seperti sudah
dikenal, baru saja Tan Ciok-sing melenggong, orang yang dipanggil Siauya itu
menghela napas, katanya: "Tan Ciok-sing adalah orang baik, walau baru
sekali aku bertemu dan bersahabat dengan dia, dalam lubuk hatiku aku sudah
anggap dia sebagai teman karibku."
Suara orang ini lebih dikenal
lagi, keruan Ciok-sing kaget, batinnya: "Kenapa dia?" segera dia
mengamati lebih tajam, memang tidak salah orang yang berdiri di atas panggung
dan kebetulan menghadap kemari itu, bukan lain adalah Siau-ongya dari keluarga
Toan di Tayli. Yang berdiri di sampingnya adalah kacungnya. Waktu mampir ke
Tayli tempo hari.
Tan Ciok-sing pernah
melihatnya juga.
Agaknya kacung cilik ini
uring-uringan, katanya dengan meninggikan suaranya: "Siauya, maafkan kalau
aku bicara blak-blakan umpama betul kalian bersahabat baik, apakah pantas kau
menyerahkan nona pujaan hatimu kepadanya begitu saja."
Siau-ongya Toan Kiam-ping
menghela napas, katanya: "Kau tidak tahu, hubungan Tan Ciok-sing dengan
keluarga In bukan sembarangan, didalam pandangan nona In, sudah tentu dia lebih
dekat dan mesra dari aku."
"Aku tidak percaya
keluarga Toan dan keluarga In juga sudah berhubungan turun menurun, sejak kecil
Siauya juga dibesarkan bersama nona In, hubungan kalian lebih intim dari
saudara sepupu. Bagaimana tidak sebanding dengan bocah she Tan itu."
"Jangan kau kurang ajar
terhadap Tan-siangkong. Kau tidak tahu, jangan sembarang ngomong."
"Memang aku tidak tahu,
tolong kau jelaskan kepadaku."
"Hal itu juga baru
akhir-akhir ini kuketahui, memang keluarga Toan kita punya hubungan intim sejak
kakek moyang dengan keluarga In, tapi Tan Ciok-sing adalah tuan penolong
keluarga In."
"Umpama betul tuan
penolong, Siauya kau bisa wakilkan nona In membalas budi kebaikannya itu, tapi
kenapa mentah-mentah kau serahkan nona In kepada bocah she Tan itu, memangnya
kau tidak menyukai nona In lagi? Siauya, kau bisa mengelabui orang lain, tapi
jangan kau ngapusi aku, aku tahu selama beberapa tahun yang kau tunggu hanyalah
nona In seorang."
Toan Kiam-ping menghela napas,
ujarnya: "Yang disukai nona In justeru adalah Tan Ciok-sing."
"Dari mana tahu? Setiba
disana, kau kan belum bertemu nona In."
"Aku pernah melihatnya,
kemarin waktu di Kwan-san aku sudah melihat mereka. Aku tahu dia amat menyukainya."
"Apakah nona In sendiri
yang mengatakan kepadamu?"
"Kenapa harus dia
memberitahu kepadamu, memangnya aku tidak bisa melihatnya."
"Kalau begitu, itu hanya
rekaanmu saja Siauya, yang benar malam ini seharusnya kaupun undang nona In
kemari, tiga orang berhadapan bukankah lebih baik dari pada main teka teki?
Siauya, kalau kau tidak berani tanya kepada nona In biar aku yang tanya
dia."
"Banyak urusan, memangnya
kau sedikitpun tidak tahu akan penderitaanku."
"Siapa bilang aku tidak
tahu? Aku tahu kau ingin berbuat baik terhadap teman, aku tahu kau ingin
merangkap perjodohan mereka, aku juga tahu kau kepingin bertemu dengan nona In
tapi juga takut berhadapan dengan nona In."
Mendengar sampai disini tanpa
terasa Tan Ciok-sing menjublek di tempatnya, pikirnya: "Jika orang yang
sembunyi di Kwan-san itu kiranya memang dia. Kedatangannya ke Kwi-lin tentu
ingin menengok In San, tapi lantaran kehadiranku disini, dia lebih rela
berkorban. Ai, bagaimana baiknya aku bertindak?"
"Siauya," terdengar kacung
itu berkata pula: "Ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui."
"Hal apa?"
"Ling Suhu pernah
memberitahu kepadaku. Waktu kalian masih kecil, suatu ketika In Tayhiap
bertandang ke rumah kau, waktu bicara dengan Lo-ongya dia bilang dia hanya
punya seorang putri, harapannya kelak putrinya bisa hidup tentram dan bahagia,
jangan seperti dirinya yang hidup kelana di Kangouw, selalu harus menempuh dan
menyerempet bahaya. Waktu itu Ling Suhu ada di samping, setengah kelakar dia
menyeletuk. Kalau demikian lebih baik kalau putrimu kelak dinikahkan dengan
Siau-ongya kita ternyata In Tayhiap dan Lo-ongya punya maksud yang sama. Tapi
lantaran waktu itu usia kalian masih terlalu kecil, maka soal jodoh ini tidak
seketika diputuskan secara resmi."
"Lain dulu lain sekarang,
Umpama betul dulu In Tayhiap punya maksud itu, bukan mustahil belakangan dia
merubah niatnya. Apalagi soal jodoh ini belum resmi?"
Tiba-tiba kacung itu bertanya:
"Siauya, kenapa malam ini kau tidak minta Ling Suhu menemani kau?"
"Aku suka kau yang
menemaniku, apa kau tidak sudi?"
"Sudah tentu aku senang
hati, tapi coba biar kutcbak isi hatimu, malam ini kau tidak berani mengajak
Ling Suhu lantaran kau takut Ling Suhu mencegah perbuatan bodohmu. Bukan
mustahil begitu berhadapan dengan Tan Ciok-sing, dia bakal memaki dan
menistanya sebagai pemuda mata keranjang yang tidak tahu diri seperti kodok
buduk yang ingin mencaplok daging bangau saja"
Toan Kiam-ping marah serunya:
"Mana boleh kau mengundal obrolan tidak genah begini, merendahkan martabat
Tan-siangkong saja memangnya kau sudah lupa akan pesanku? Berani sembarang
omong lagi awas kugampar mulutmu."
Sejauh ini pembicaraan mereka,
maka persoalanpun sudah gamblang, ternyata dari mulut Kanglam Lihiap Ciong
Bin-siu,
Toan Kiam-ping tahu jejak mereka,
maka sengaja dia menyusul ke Kwi-lin. "Maka rampok baik hati semalam
merampas kuda putih di rumah Siau-cu-cu kini sudah jelas adalah perbuatan
Siau-ongya ini, sementara seorang temannya lagi adalah Cong-kau-thau dari rumah
keluarga Toan, yaitu Ling Suhu, bukan heran kedua gembong iblis itu bukan
tandingan mereka," demikian batin Tan Ciok-sing.
Setelah tahu duduknya
persoalan, hati Ciok-sing jadi risau, resah dan ruwet, darah seperti bergolak
dalam tubuhnya "Kacung itu memaki aku sebagai kodok buduk, ai, tak bisa
disalahkan kalau dia memakiku demikian, kalau aku dibanding Siau-ongya memang
tidak setimpal menjadi pasangan putri In Tayhiap."
Syukur hembusan angin malam
pegunungan yang sepoi-sepoi dingin menyegarkan otak Tan Ciok-sing, kembali dia
membatin: "Toan Kiam-ping memandangku sebagai sahabat karib, suka rela
berkorban dan menyerahkan nona pujaannya kepadaku, begitu luhur budinya,
sungguh aku patut menyesal dan malu diri, bagaimana aku harus bertindak?"
Didengarnya kacung itu sedang
berkata pula: "Siauya, bukan aku suka ceriwis, kau begini baik terhadap
Tan Ciok-sing, tapi dia justru berbuat salah kepadamu."
"Omong kosong, dalam hal
apa dia berbuat salah terhadapku?" Semprot Toan Kiam-ping.
"Kau suruh dia mengirim
kabar kepada nona In, berarti kau mempercayainya, tapi dia justeru merebut
kekasihmu."
"Dia menolong nona In
sebelum aku minta dia mengirim suratku itu."
"Memang, kau
menganggapnya teman yang dapat dipercaya, tapi dia justeru menyembunyikan
hubungan akrabmu dengan keluarga In,.dapatkah ini dikatakan dia menganggap kau
sebagai temannya? Hm, yang jelas dia tahu bahwa kau diam-diam mencintai nona
In."
Berkerut alis Toan Kiam-ping,
katanya: "Kularang kau rasani Tan-siangkong."
"Begini tidak boleh,
begitu juga dilarang, baiklah terpaksa mulutku biar bungkam saja. Ai, Siauya,
kalau kau rela berbuat sebodoh ini, ya akupun apa boleh buat."
Toan Kiam-ping menengadah,
tampak rembulan sudah meninggi di tengah angkasa, katanya: "Sudah
mendekati kentongan ketiga, turunlah kau menjaga di bawah." Kini tinggal
Toan Kiam-ping seorang yang berdiri di atas panggung batu, kini rembulan sudah
tepat di tengah angkasa, tepat tiba kentongan ketiga.
Tan Ciok-sing masih bimbang
apakah dia perlu keluar menemui Toan Kiam-ping. Persoalan kuda putih sudah
jelas. Isi hati Toan Kiam-ping sudah dia ketahui. Perlukah dia keluar
menemuinya pula?
Agaknya Toan Kiam-ping sudah
tidak sabar dan tampak gelisah, dia celingukan kian kemari sambil mondar mandir
menggendong tangan, mulutnya terdengar menggumam: "Kenapa belum datang
juga? Apakah dia curiga dan kuatir musuh mengatur perangkap hendak mencelakai
jiwanya? Atau di tengah jalan dia mengalami sesuatu?"
Tan Ciok-sing tetap mendekam
di semak belukar di belakang batu, dia tetap tak kuasa mengambil keputusan.
Mendadak muncul sesosok
bayangan dari lamping gunung sana, berlari kencang, tujuannya adalah panggung
batu di atas Cit-sing-giam, dilihat gerak geriknya ternyata ginkangnya tidak
lemah.
Terdengar Toan Kiam-ping
menghela napas lega, katanya: "Nah, akhirnya datang juga."
Sudah tentu Tan Ciok-sing
keheranan, "Siapakah yang datang?"
Cepat sekali orang ini sudah
melejit ke atas panggung batu, begitu melihat yang datang ini bukan Tan
Ciok-sing, sesaat Toan Kiam-ping jadi menjublek, bentaknya: "Siapa
kau."
Orang itu menjawab: "Aku
mengantarkan surat Tan Ciok-sing. Siapa kau?"
"Akulah Toan Kiam-ping
dari Tayli, kau, kau ini..."
"Hah, kiranya Siau-ongya
dari Tayli. Kalau Tan-siangkong tahu akan dirimu, tak usah dia suruh aku
kemari."
"Jadi kau, adalah teman
Tan-siangkong, tolong tanya siapa she dan namamu?"
"Aku adalah murid tertua
dari It-cu-king-thian, namaku In Ih..."
"Jadi kau ini In
Ih?" Toan Kiam-ping menegas heran, walau dia belum pernah ketemu In Ih,
tapi dia tahu kalau In Ih baru berusia tiga puluhan tapi laki-laki ini berusia
empat puluhan lebih.
"Aku pesuruh dari
keluarga In. Tan-siangkong tinggal di rumah kami, kejadian hari ini sudah dia
sampaikan kepada majikan kami. Maka majikan kami membujuknya supaya tidak usah
datang, maka Tan-siangkong menulis sepucuk surat suruh aku mengantar kemari,
tapi aku bukan teman Tan-siangkong lho."
Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah
hendak menerobos keluar membongkar omongan bohong orang ini, tapi setelah
mendengar kata-kata orang terakhir, dia jadi ragu-ragu dan merandek. Batinnya:
"Mungkin Siau-cu-cu kuatir aku menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan
pesanku dia memberitahu In Ih meminjam namaku menyuruh pembantunya kemari
mengirim surat itu?"
Toan Kiam-ping memang sudah
tahu bahwa Tan Ciok-sing, In San, Siau-cu-cu dan ibunya siang tadi sudah pindah
kerumah keluarga In, bahwa belakangan Tan Ciok-sing sudah keluar dari rumah
kediaman keluarga In ternyata belum diketahui olehnya. Orang ini mengaku
pesuruh keluarga In, ternyata dia kena ditipu begitu saja.
Dengan rasa kecewa Toan
Kiam-ping berkata: "Ternyata begitu. Baiklah kau serahkan surat itu
kepadaku," waktu Toan Kiam-ping membuka sampul surat dan membeber kertas
putih didalam sampul, ternyata melulu kertas putih belaka tanpa tulisan
sehurufpun. Karuan Toan Kiam-ping melongo, tanyanya: "Apa maksudnya
ini?" mendadak dirasakan jari-jarinya linu dan pati rasa, sekejap saja
telapak tangannya juga gatal-gatal rasanya tidak karuan.
Pada saat dia kaget dan
melongo inilah orang itu mendadak tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba tangannya
terayun.
Begitu mendengar gelak tawa
orang, seketika Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, saking kaget seketika dia
berjingkrak berdiri.
Tadi orang itu mengaku sebagai
pesuruh keluarga In, Tan Ciok-sing masih belum berani memastikan palsu atau
tulen, setelah mendengar gelak tawa orang, segera dia tahu akan kepalsuannya
malah seketika pula dia tahu siapa sebenarnya orang ini. Kiranya di kala
menghadapi sesuatu yang memuaskan dirinya, orang ini bergolak tawa tanpa
menggunakan suara palsu lagi, sehingga keasliannya terunjuk diluar sadarnya.
Siapakah laki laki ini? Dia
bukan lain adalah Tok-liong-pangcu Thi Khong. Thi Khong memang mahir
menggunakan senjata rahasia beracun dan mahir menyamar lagi, In Ih sudah
berulang kali berpesan wanti-wanti supaya Tan Ciok-sing berhati-hati bila
menghadapinya.
Tak duga bukan Tan Ciok-sing
yang kena bokong, tapi Toan Kiam-ping lah yang kecundang oleh kelicikan orang.
Begitu tahu bahwa orang yang memalsu pesuruh dari rumah keluarga In ini adalah
Thi Khong, sudah tentu secara reflek Tan Ciok-sing lantas teringat akan
permainan keji dan jahat orang yang suka membokong dengan senjata beracun.
Begitu orang itu mengayun tangan, Tan Ciok-sing segera berteriak: "Awas
Toan-heng senjata rahasia," berbareng diapun mengayun tangan, menimpuk
sebutir batu dengan kekuatan Sian¬ci-sin-thong.
Begitu orang itu mengayun
tangan, tujuh bintik sinar bintang seketika melesat keluar. Senjata rahasia
yang dia timpukan ini adalah Bwe-hoa-ciam yang sudah dilumuri racun jahat.
Untung Tan Ciok-sing sempat memberi peringatan, dalam detik-detik yang gawat
itu Toan Kiam-ping lekas membalik tubuh sambil mengebas lengan baju. Maka
terdengarlah suara mendesis ramai, enam dari tujuh batang jarum itu kena
disampuk jatuh berhamburan, tapi ada sebatang lagi yang mengenai tubuhnya.
Ternyata kertas surat yang
blanko itu juga sudah dibubuhi racun, jari tangan Toan Kiam- ping sudah
berlumuran racun, maka dalam sekejap lengannyapun sudah linu pegal dan tak
mampu bergerak lagi. Sudah tentu tenaganya menjadi banyak berkurang, sehingga
jarum terakhir susah untuknya meluputkan diri.
Sekilas menarik napas,
mendadak Toan Kiam-ping putar balik seraya membentak: "Ternyata kau adalah
Thi Khong, hm, kepandaian kroco yang rendah dan hina dari Tok-liong-pang
seperti ini memangnya dapat berbuat apa terhadap diriku."
Jentikan batu Tan Ciok-sing
diselentikan dari jarak seratusan langkah, daya luncurnya ternyata mengandung
deru kencang. Tersipu-sipu Thi Khong melompat menyingkir namun batu itu
menyerempet pundaknya, rasanya pedas dan sakit, untung tidak tersambit telak.
Tapi walau dia terhindar dari
samberan batu dari jarak ratusan langkah ini, tak luput dia termakan oleh
tamparan telapak tangan Toan Kiam-ping yang berdiri di depannya. Seperti
diketahui ilmu silat keluarga Toan di Tayli telah turun, temurun sejak beberapa
ratus tahun diwariskan secara murni, sejak ratusan tahun yang lalu jago-jago
silat dari keluarga Toan di Tayli cukup menonjol dan tinggi pamornya, Toan
Kiam-ping tidak ketinggalan memperoleh warisan ilmu silat leluhurnya, maka
bekal kepandaiannya sekarang
sesungguhnya tidak rendah.
Meski dia sudah terkena racun, namun tamparan telapak tangannya ini ternyata
membikin kulit muka Thi Kong pecah dan terluka serta membengkak besar, darah
tercampur dengan ingus bertetesan, kulit mukanya membengkak hijau dan biru.
Diam-diam Toan Kiam-ping
sendiri mencelos hatinya, pikiraya: "Ternyata aku sudah tak becus lagi,
tamparanku tadi ternyata tak mampu merobohkan keparat keji ini."
Sudah tentu Thi Khong sudah
angkat langkah seribu, mulutnya masih sempat bersiul, agaknya dia mengirim
tanda kontak dengan kamrat-kamratnya.
Secepat terbang Tan Ciok-sing
memburu tiba di samping Toan Kiam-ping, kebetulan Toan Kiam-ping limbung hampir
jatuh lekas dia memapahnya, tanyanya gugup: "Bagaimana keadaanmu
Toan-heng?"
"Tidak apa-apa Thi Khong
pasti membawa begundalnya, tolong lekas kau gebah mereka, jangan sampai
kacungku di bawah sana dicelakai mereka," maklum sejak kecil kacung itu
sudah meladeni dirinya, bukan saja rajin bekerja diapun amat setia, maka selama
ini dia melindunginya seperti adik kandung sendiri.
Pada saat itu didengarnya
kacungnya berteriak minta tolong dan menjerit kaget. Ternyata kacungnya itu
memang kepergok oleh kawanan penjahat.
Tak sempat bicara lagi lekas
Tan Ciok-sing jejalkan sebutir pil penawar racun ke mulut orang, katanya:
"Baik, segera aku menolongnya."
Baru saja kacung cilik itu
berteriak maka dilihatnya seorang Hwesio gendut menubruk ke arah dirinya,
Hwesio gendut ini bukan lain adalah murid murtad Siau-lim-si yang bergelar
Hoat-khong, di kalangan Kangouw orang memanggilnya Thi-ciang Siansu.
Kedatangan-nya hendak membantu Thi Khong, sebetulnya dia tidak perlu hiraukan
seorang kacung cilik, tapi karena kacung itu berteriak, kebetulan mencegat
jalan majunya pula, maka sambil lalu dia ayun tongkat besinya hendak membunuh
kacung cilik ini. Tak nyana tongkat besinya ternyata menyambar angin, kembali
dia ulur tangan mencengkram ternyata gagal pula.
Maklum sejak kecil kacung ini
ikut Toan Kiam-ping latihan silat, pertama ginkang yang dia yakinkan ternyata
lebih menonjol dari pelajaran silat lain yang pernah dia pelajari. Beruntun dua
kali dia berhasil mengegos dari serangan Hwesio gendut, tapi serangan ketiga
jelas tak mungkin lolos lagi. Baru saja dia melompat berdiri, tumit kakinya
tahu-tahu sudah tercengkram oleh Thi-ciang Siansu.
Pada saat itulah mendadak
Thi-ciang Siansu merasakan datangnya sambaran angin tajam dari arah belakang,
sebagai ahli silat, kupingnya cukup tajam pula, dia tahu sebilah pedang
tahu-tahu sudah menuding tiba di punggungnya.
Di kala jiwa sendiri terancam
bahaya, sudah tentu dia tidak hiraukan jiwa kacung cilik lagi, sekenanya dia
melempar tubuh orang lalu setangkas kera dia melompat maju setombak lebih
seraya memutar tongkat menyapu ke belakang dengan jurus bertempur di empat
penjuru angin.
"Trang" benturan
keras menimbulkan percikan kembang api, pedang lawan hakikatnya tidak terbentur
jatuh oleh tongkatnya yang besar dan berat, malah mengikis turun menabas
jari-jarinya yang memegang tongkat.
Siapa gerangan yang memiliki
ilmu pedang setinggi dan seliehay ini? Sudah tentu Thi-ciang Siansu amat kaget,
lekas dia tekan tongkat serta menggiringnya ke pinggir, sementara kakinya
melompat pula tiga kaki ke samping, baru dia menoleh dan melihat musuhnya,
ternyata pemuda yang pernah dilihatnya di tempat kuburan In Hou dan Tan
Khim-ang belasan hari yang lalu. Malam itu dia bersama Thi Khong, Siang Po-san,
Phoa Lat-hong berempat menempur Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In
San, akhirnya mereka dikalahkan dan ngacir. Kini meski hanya Tan Ciok-sing
seorang saja, tapi diapun hanya sendirian, betapa pun besar nyalinya, bagaimana
juga dia tidak berani melabrak Tan Ciok-sing, tanpa banyak pikir lekas dia
putar badan terus lari turun gunung.
Waktu Tan Ciok-sing lari balik
menengok keadaan kacung cilik itu, tampak kacung cilik ini terlempar tinggi ke
udara, tapi di tengah badan terapung itu dia mampu jumpalitan seperti burung
dara, gerakan ini sekaligus memunahkan daya lemparan keras lawan, sehingga tubuhnya
melayang turun lebih lambat dan enteng, waktu kedua kakinya hinggap di bumi
ternyata dia mampu berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.
Walau tidak terluka tapi
telapak kakinya terasa pedas dan sakit, waktu dia menunduk pergelangan kakinya
ternyata berjalur lima jari warna hitam seperti dicap saja, tanpa merasa dia
merinding dan mencucurkan keringat dingin.
"Adik cilik,"
kataTan Ciok-sing, jangan takut, mari kuberi obat,'.'
Teringat akan kata-katanya
yang memburukkan orang, tak terasa kacung cilik ini menjadi malu dan haru,
katanya menyesal: "Tan-siangkong, banyak terima kasih akan pertolonganmu,
aku, aku tadi justru melakukan perbuatan tercela atas dirimu."
Ciok-sing tersenyum:
"Istrirahatlah sebentar,
aku akan ke atas memeriksa Siau-ongya."
Dilihatnya Thi-ciang Siansu
sudah menyusul Thi Khong dan sama-sama lari sampai di lamping gunung,
sekitarnya tiada musuh yang lain, maka dengan lega hati lekas dia kembangkan
ginkang berlari ke atas panggung batu pula
Dilihatnya Toan Kiam-ping
sedang duduk bersimpuh, uap putih tampak mengepul di atas kepalanya. "Oh,
kau sudah kembali," kuping Toan Kiam-ping ternyata amat tajam, begitu Tan
Ciok-sing tiba di atas panggung segera dia membuka mata.
"Jangan bicara
dulu," kata Tan Ciok-sing, dia tahu orang sedang mengerahkan Iwekang untuk
mendesak racun keluar dari dalam badannya lewat uap dan keringat, sehingga
mengeluarkan bau bacin. Lekas Tan Ciok-sing tekan telapak tangan punggung
orang, dengan hawa murni sendiri dia salurkan ke tubuh orang membantunya
melancarkan jalan darahnya.
Pil obat yang diberikan
Ciok-"sing tadi memang berkasiat untuk menawar racun, tapi untuk
memunahkan racun jahat buatan Tok-liong-pangcu ini ternyata tidak membawa
banyak manfaat, paling hanya menahan sementara sehingga bekerjanya racun tertunda
untuk beberapa waktu lamanya. Untung Toan Kiam-ping memiliki dasar Iwekang
ajaran leluhurnya, mendapat bantuan Ciok-sing lagi, hawa racun lambat laun
menguap keluar badan, Ciok-sing sedikit mahir ilmu pengobatan, setelah dia
memeriksa urat nadinya, terasa jiwanya sudah tidak terancam lagi, maka legalah
hatinya.
Tapi denyut nadi Toan Kiam¬
ping masih lemah, darahnyapun belum normal. Dalam hati Ciok-sing membatin:
"Racun dalam tubuhnya amat liehay, untuk memunahkan seluruhnya tanpa obat
penawarnya yang tulen, sedikitnya memerlukan perawatan tekun dan hati-hati
selama tiga bulan, maka dia perlu mendapat penjagaan dan tempat yang aman. Em,
seharusnya aku harus membantunya, tapi dalam keadaan seperti ini, aku jadi
kurang cocok untuk tugas ini."
Tengah dia melamun, Toan
Kiam-ping sudah membuka mata, katanya: "Sudah lebih baik, Tan-heng, banyak
terima kasih akan pertolonganmu, sungguh aku tidak tahu bagaimana aku harus
membalas kebaikanmu."
"Kau berkata demikian,
berarti kau tidak menganggapku sebagai sahabat karib lagi. Jangan banyak
bicara, setelah kesehatanmu pulih, kita masih banyak waktu untuk ngobrol."
"Tidak, satu hal harus
kuberitahu padamu. Kuda kalian akulah yang mengambilnya sebelum sempat
memberitahu padamu. Kukira kau dan nona In tidak akan kembali ke Tayli, maka
aku wakilkan Kanglam Sianghiap mengambilnya supaya kau tidak usah putar balik
pula," demikianlah kata Toan Kiam-ping tanpa hiraukan nasehat Ciok-sing.
Sebelum bersua kembali dengan
In San, memang Ciok-sing tidak ingin pergi ke Tayli, tapi selama ini tak pernah
terpikir olehnya untuk melarang In San pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.
Mendengar perkataan orang tanpa merasa dia tertawa getir, katanya: "Hal
itu sudah kuketahui. Tapi, yang betul kau harus bertemu dengan nona In."
"Terus terang, aku memang
amat memperhatikan In San, terhadapnya aku seperti kakak kandung yang
memperhatikan adik sendiri," demikian kata Toan Kiam-ping lebih lanjut,
"Ada kau yang mendampingi dia, aku sudah amat lega dan bersyukur. Bahwa
malam ini aku mengundangmu kemari adalah supaya kau tahu isi hatiku, kuharap
selanjutnya kau lebih baik terhadapnya," lalu dengan nada mencemooh awak
sendiri dia menambahkan, "sebetulnya, sudah tentu aku harus tahu bahwa kau
pasti baik terhadapnya, memangnya perlu aku berpesan kepadamu?"
Ruwet pikiran Ciok-sing,
katanya: "Bicara soal nona In, aku memang ingin berunding dengan
kau."
Kini giliran Toan Kiam-ping
yang mencegah dia bicara. "Tan-heng, aku tahu apa yang ingin kau
kemukakan, tak usah kau jelaskan lagi. Setulus hati dan sejujurnya aku memberi
selamat kepada kalian, semoga kalian hidup senang dan bahagia sampai di hari
tua."
Bahwa pikiran Ciok-sing ruwet,
demikian pula hati Toan Kiam-ping kalut dan risau.
Di kala Toan Kiam-ping bicara,
terasa oleh Ciok-sing denyut nadinya berdetak keras, hati Ciok-sing menjadi
rawan dan penasaran tidak tentram.
Angin gunung menghembus lewat,
seketika Tan Ciok-sing merasa dingin dan merinding, bukan lantaran dia tidak
tahan dihembus angin lalu, tapi karena mendadak dia mendapat suatu akal, selama
ini tak pernah dia berpikir untuk berbuat demikian, tapi sekarang dia terpaksa
harus melakukan. Mendadak dia menutuk hiat-to tidur Toan Kiam-ping. Setelah
menurunkan Toan Kiam-ping dan merebahkan di atas panggung, dia berdiri,
dilihatnya kacung kecil itu sedang naik ke atas dengan langkah terseyot-seyot.
"Kenapakah Siauya?"
tanyanya begitu melihat Toan Kiam-ping rebah di atas panggung tanpa bergerak.
"Racun di tubuhnya amat
liehay, tapi kau tidak perlu kuatir, masa bahaya sudah silam, jiwanya tidak
terancam lagi. Kebetulan kau datang, mari bantu aku."
"Silakan Siangkong
memberi petunjuk."
"Kalian tinggal dimana?
Apakah Ling Suhu ada disana?"
"Kami menyewa sebuah
kamar dari rumah penduduk kampung diluar pintu barat, Ling Suhu sudah disuruh pulang.
Siauya yang suruh dia pulang menunggang kuda putih."
"Luar kota pintu barat
terlalu jauh. Ling Suhu sudah pulang lagi, kalau Siauyamu merawat sakitnya
disini kurasa kurang leluasa."
"Akupun kuatir akan hal
ini."
"Apa kau percaya
padaku?" tiba-tiba Tan Ciok-sing bertanya
Kacung itu melongo, katanya:
"Jiwaku dan Siauya bisa selamat berkat pertolongan Tan-siangkong,
bagaimana aku tidak bisa percaya padamu?"
"Baiklah, akan kucari
suatu tempat, dan akan kutitipkan seorang teman untuk merawatnya. Temanku itu
bernama In Ih, murid It-cu-king-thian yang termashur itu. Dia akan mengundang
tabib ternama dan terpandai di Kwi-lin untuk mengobati penyakit Siauyamu."
"Baiklah kalau begitu.
Marilah sekarang kita berangkat. Biar aku gendong Siauya."
"Jangan kau membuang
tenaga, biar aku yang menggendongnya."
"Tan-siangkong,"
kata si kacung rikuh, "bantuanmu teramat besar terhadap kami, mana boleh
kau memanggul Siauya lagi?"
Tugas ini sepantasnya serahkan
padaku. Kakiku sudah tidak sakit lagi."
"Kalau kau ingin membantu
juga boleh, nah kau bantu memanggul harpaku saja." Ciok-sing turunkan
harpanya tapi tidak langsung diserahkan, seperti ada sesuatu yang dipikirkan,
mendadak dia membuka kotak harpa serta diletakkan di atas panggung batu,
mulailah dia memetik senar-senar harpanya.
Sudah tentu si kacung berdiri
bingung, batinnya: "Eh, ada juga seleranya memetik harpa dalam suasana
seperti ini?"
Tan Ciok-sing seperti tahu isi
hatinya, katanya: "Tuan mudamu sedang tidur nyenyak, lukanya tidak akan
memburuk. Mungkin untuk terakhir kali inilah aku bisa memetik harpa ini."
Si kacung kaget, tanyanya:
"Kenapa?"
"Tak lama lagi kau akan
tahu."
Melihat rona muka orang yang
kelam, si kacung tak berani tanya lagi, segera dia terima kotak harpa yang
diangsurkan kepadanya Lalu dia mengintil di belakang Tan Ciok-sing yang
memanggul Toan Kiam-ping.
Setiba di ujung jalan dimana
terletak rumah keluarga In, hari sudah menjelang fajar. Tiba-tiba Tan Ciok-sing
turunkan Toan Kiam-ping, katanya "Rumah besar dengan pintu merah di tengah
jalan itu adalah rumah keluarga In, lekas kau bawa Siauyamu masuk kesana."
"Dan kau?" tanya si
kacung kaget dan heran.
"Ada orang dalam rumah
itu yang kenal tuan mudamu. Aku masih ada urusan ke lain tempat, aku tidak usah
masuk ke rumah,"
"Sudah tiba diambang
pintu, kenapa tidak masuk dulu?"
"Kau tidak tahu, begitu
aku masuk, mereka tidak akan membiarkan aku pergi," melihat si kacung
ragu-ragu segera dia menambahkan: "Kau tidak percaya padaku, kau kira aku
mencelakai tuan mudamu?"
"Maaf, Tan-siangkong, tak
pernah aku berpikir demikian."
"Nah, lekas kau panggul
tuan mudamu dan pergilah ketuk pintu? Tak lama lagi, penduduk kota sudah banyak
yang akan keluar pintu."
Meski curiga dan tidak habis
mengerti tapi si kacung terpaksa menuruti kehendak Tan Ciok-sing. Setelah dia
terima tuan mudanya serta dipanggul, Tan Ciok-sing segera putar badan terus
berlalu.
"Hai,
Tan-siangkong," panggil si kacung, "harpamu ini..."
"Nanti kalau tuan mudamu
siuman, beritahu kepadanya, harpa ini kuserahkan sebagai kado
sumbanganku," tiba-tiba langkahnya dipercepat, dalam sekejap saja dia
sudah pergi dan lenyap di tikungan jalan sana.
Terpaksa si kacung panggul
majikannya, dengan langkah tertatih-tatih dia beranjak kesana, akhirnya dia
tiba di depan pintu besar cat merah itu serta ulur tangan mengetuk gelang
tembaga di atas daun pintu sebanyak tiga kali.
Cepat sekali daun pintu sudah
terpentang, yang keluar ternyata seorang gadis jelita yang berwajah lesu dan
lusuh. Kaget dan girang si kacung, seketika dia menjerit girang, teriaknya:
"Nona In, kiranya kau ada disini," dalam hati diapun membatin:
"Tak heran tadi Tan-siangkong bilang ada orang yang kukenal ada
disini."
Semalam suntuk In San tidak
pernah memejam mata barang sekejap, hatinya gelisah, risau dan gugup pula
menunggu kedatangan Tan Ciok-sing. Lekas In San bertanya: "Apakah yang
terjadi?"
"Siauya terluka oleh
senjata rahasia beracun Tok-liong-pang Pangcu, untung Tan-siangkong
menolongnya, kini dia sedang tidur nyenyak. Tan-siangkong bilang, jiwanya tidak
berbahaya lagi."
Sedikit lega hati In San,
tanyanya: "Mana Tan-siangkong?" diam-diam dia perhatikan kotak harpa
yang dijinjing si kacung.
"Dia sudah pergi,"
sahut si kacung cilik.
In San kaget, serunya:
"Dia akan kembali pula? Harpanya ini..." — — dia tahu harpa ini
adalah warisan keluarganya, maka dalam hati dia menghibur diri sendiri:
"Harpanya masih ada disini, yakin dia pasti kembali lagi."
Tak tahunya jawaban si kacung
justru menjadikan setitik harapannya sirna tanpa bekas: "Tan-siangkong
bilang, dia hendak pergi ke tempat lain, tidak akan ke mari lagi. Harpa ini dia
minta kepadaku supaya menyerahkan kepada tuan muda."
Seketika In San menjublek di
tempatnya, Tan Ciok-sing sudah pergi, yang ada di hadapannya sekarang adalah
Toan Kiam-ping yang terluka parah, apa yang harus dia lakukan?
Dalam pada itu In Ih sudah
mendengar percakapan diluar terus beranjak keluar, kebetulan dia mendengar si
kacung berteriak: "Nona, kenapa kau?"
Sudah tentu In Ih ikut
terkejut, tanyanya: "Siapakah orang ini nona In? Kau tidak apa-apa
bukan?"
Seketika In San tersentak,
katanya: "Inilah Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli, teman baik
Ciok-sing. Paman In, tolong kau bantu aku merawat dia, aku hendak keluar
sebentar."
"Kau hendak kemana?"
tanya In Ih.
"Aku akan mencari Ciok-sing,"
sebelum In Ih sempat bertanya apa sebetulnya yang telah terjadi, In San sudah
berlari pergi. Karuan In Ih dan si kacung sama berdiri melongo saling pandang.
Akhirnya si kacung paham duduk
persoalannya. Dia maklum apa yang dikatakan majikannya memang tidak salah.
"Agaknya nona In memang mencintai Tan-siangkong," sekaligus diapun
mengerti apa sebabnya Tan Ciok-sing tidak mau ikut dia masuk ke rumah keluarga
In pula. "Tan-. siangkong ternyata begini baik, ai, semalam aku memakinya
kodok buduk, agaknya akulah yang kurang ajar dan tidak genah." Tanpa
terasa hatinya menjadi hambar dan masgul, entah apakah dia mengharap In San
berhasil menemukan Tan Ciok-sing- dan mengajak kembali atau lebih baik gagal
saja.
Sudah tentu In San takkan bisa
menemukan Tan Ciok-sing, kalau Tan Ciok-sing sengaja menyembunyikan diri,
bagaimana mungkin dia bisa menyandak atau menemukan jejaknya? Jalan raya dalam
kota masih sepi lengang, belum ada penduduk kota yang keluar pintu, hakikatnya
dia tidak tahu ke arah mana Ciok-sing pergi? Kepada siapa pula dia harus tanya
kemana juntrungan Ciok-sing?
000OOO000
Di kala In San mencari
Ciok-sing ubek-ubekan ke segala pelosok kota, sementara itu Tan Ciok-sing sudah
jauh meninggalkan kota Kwi-lin. Dengan hati yang tidak karuan rasanya dia
menempuh perjalanan seorang diri. Harpa kuno itu dia serahkan kepada Toan
Kiam-ping demi menepati janjinya sendiri, walaupun soal janji sendiri ini tidak
atau belum pernah dia utarakan langsung kepada Toan Kiam-ping.
Sepanjang jalan semula dia tidak
punya tujuan tertentu, tapi akhirnya dia mendapat suatu ilham: "Dalam
dunia ini kini hanya Khu Locianpwe saja adalah sahabat karib kakek dan ayah
yang masih hidup, dia begitu sayang dan prihatin akan diriku, kenapa aku tidak
mencari dia saja? Sekaligus aku bisa memberi laporan akan keinginannya membantu
It-cu-king-thian itu sudah kulaksanakan dengan baik."
Seperti diketahui warung minum
Khu Ti ditutup. Tapi dia ada memberitahu kepada Ciok-sing dimana dirinya bisa
ditemukan, malah pernah dia berpesan bila urusannya di Kwi-lin selesai dan
kebetulau lewat diharap dia mampir ke tempat kediamannya.
Di Ong-ju-san jarak lebih
dekat sekaligus lebih leluasa mencari tahu tentang berita yang terjadi di Gan¬
bun-koan. Markas besar Kim-to Cecu didirikan diluar Gan-bun-koan kedudukannya
di tengah antara Tiongkok dan Watsu yang tak tercapai oleh kekuatan militer
kedua negara ini.
Bila In San tidak jadi pergi
ke markas Kim-to Cecu sesuai rencana semula dia akan membantu Kim-to Cecu,
kalau sebaliknya meski selanjutnya dia tidak akan unjuk diri, dia bertekad akan
selalu membantu gerakan laskar rakyat. Setelah mengambil keputusan, Tan
Ciok-sing langsung menuju ke Ong-ju-san.
Sepanjang jalan tiada terjadi
apa-apa, selama dua bulan perjalanan, akhirnya dia tiba di bawah Ong-ju-san
yang terletak di perbatasan Ho-lam Shoa-say. Warung milik Khu Ti dulu sudah
ambruk dan rata dengan tanah, mungkin digrebek tentara dan dibakar habis.
Khu Ti pernah memberi tahu
padanya, bahwa tempat pengasingannya di Ong-ju-san terletak di puncak
Jwi-whi-hong di belakang ngarai, dengan pemandangan yang mempersona. Malam itu
Ciok-sing bermalam didalam hutan, semalam suntuk dia hampir tidak bisa tidur
diganggu oleh pekik dan suara ribut orang-orang hutan, untung dirinya tidak
diganggu. Hari kedua setelah mentari terbit baru dia beranjak lebih lanjut
memanjat Jwi-whi-hong puncak tertinggi dari Ong-ju-san. Setiba di belakang
ngarai betul juga ditemukan sebuah gubuk bambu, di depan gubuk tumbuh sebatang
pohon cemara, demikian pula di belakang rumah juga terdapat sebuah pohon
cemara, tempatnya cocok dengan apa yang pernah dilukiskan oleh Khu Ti tempo
hari. Girang Tan Ciok-sing, bergegas dia maju mengetuk pintu.
Lama dia tidak mendapat
jawaban, dalam rumah tiada reaksi lagi, akhirnya Tan Ciok-sing berteriak:
"Khu locianpwe, aku adalah Tan Ciok-sing sengaja aku bertandang
kemari."
Setelah dia menyebut nama dan
menyatakan maksud
kedatangannya, suasana tetap
sepi tiada penyahutan tiada reaksi apapun. Keruan timbul rasa curiga Ciok-sing,
mungkinkah aku kesasar rumah ini tempat tinggal orang lain?" akhirnya dia
membesarkan hati, tanpa peduli apakah dalam rumah ada penghuninya, setelah
mohon permisi segera dia dorong daun pintu terus melangkah masuk.
Rumah ini kosong melompong, di
tengah rumah terdapat meja kursi dan sebuah dipan, beberapa jilid buku gambar
tampak berserakan di atas dipan, di dinding tergantung sebuah pigura dengan
hiasan tulisan gaya kuno hasil karya Khu Ti sendiri. Tan Ciok-sing masih kenal
betul gaya tulisan Khu Ti, maka dia lebih yakin bahwa gubuk ini memang tempat
tinggalnya dalam pengasingan. Tapi gentong beras ternyata kosong, dalam rumah
tiada rangsum lain pula, buku yang berserakan itupun dilapisi debu, jelas sudah
beberapa hari lamanya Khu Ti meninggalkan rumah ini.
Tan Ciok-sing menjadi kecewa,
tapi dia masih menyimpan setitik harapan, semoga Khu Ti masih tetap di bilangan
pegunungan tinggi ini. "Mungkin hidupnya selalu was-was oleh gebrakan
pasukan pemerintah, maka sementara dia sembunyi entah di goa mana? Atau dia
sedang keluar mencari daun obat, beberapa hari baru pulang."
Dengan perasaan yang tidak
keruan Ciok-sing keluar pintu lalu berdiri di pucuk sebuah batu besar,
tiba-tiba dia bersuit panjang dan nyaring, setelah itu dengan suara lantang
diapun bersenandung melimpahkan perasaan hatinya. Ciok-sing kerahkan Iwekangnya
untuk bersenandung, semula suaranya kedengaran lembut dan jelas, tapi lama
kelamaan gema suaranya mengalun keras dan meninggi seperti lambaian kain sutra
yang tertiup angin diangkasa, seperti putus tapi terus menyambung, tiba-tiba
rendah mendadak tinggi, suaranya laksana kumandang dari sorga bergema di atas
pegunungan nan luas. Cukup lama setelah dia berhenti senandung, gema suaranya
masih tetap mengalun diangkasa raya dan tersiar jauh sekali. Dia yakin bila Khu
Ti ada digunung ini meski dalam jarak 10 li orang pasti mendengar suaranya.
Betul juga kira-kira sesulutan dupa kemudian dia mendengar derap langkah orang.
Setelah semakin dekat dia tahu yang datang ternyata bukan seorang saja.
Keruan Ciok-sing kaget, pikirnya:
"Kenapa yang datang ada lima orang?"
Cepat sekali ke lima orang itu
sudah muncul di hadapannya. Memang betul lima orang, tapi Khu Ti tiada di
antara mereka. Empat di antara ke lima orang ini malah sudah dia kenal, mereka
bukan lain adalah Huwan bersaudara. Seorang lagi adalah laki-laki kurus tinggi
tampangnya aneh dan lucu, mukanya panjang seperti tampang kuda, kulit mukanya
kuning seperti malam, mirip orang penyakitan. Tapi kedua Thay-yang-hiat di
pelipisnya menonjol besar, selintas pandang siapapun akan tahu bahwa dia
seorang jago kosen yang berilmu tinggi dari aliran sesat.
Bahwa Tan Ciok-sing berada
disini Huwan bersaudara juga kaget. Losam Huwan Pau segera mendekati laki kurus
tinggi dan berkata padanya: "Bocah inilah yang bernama Tan Ciok-sing yang
berulang kali mencari setori dengan kita. Dia sekomplotan dengan Khu Ti.
Laki-laki kurus itu mendengus
hidung katanya: "Kalian bilang dia amat liehay, kiranya cuma bocah yang
masih ingusan? Eh, memangnya kalian ingin aku turun tangan sendiri?" lagaknya
amat-amat angkuh seolah-olah dia tidak sudi bergebrak dengan Tan Ciok-sing.
Merah muka Huwan Liong, segera
dia maju membentak: '"Mana budak she In itu?"
"Ada hubungan apa nona In
dengan aku, memangnya aku harus memberi laporan kepadamu. Kalau kalian cari
perkara, nah urusan saja dengan aku," tantang Ciok-sing.
Legalah hati Huwan bersaudara
bahwa In San tidak ikut datang, agaknya mereka sudah jeri menghadapi
Siang-kiam-hap-pik. Huwan Liong tertawa tergelak-gelak, katanya: "Bocah
angkuh, kau kira kami takut padamu. Hari ini tiada orang membantumu, jangan
lari lho, tapi kau pasti takkan lolos lagi," lalu dia berpaling berkata
kepada laki kurus itu, "Lenghou-siansing, membunuh ayam mana perlu pakai
golok, silahkan kau orang tua saksikan saja, tolong perhatikan bila bocah ini
masih ada kamrat-kamratnya yang sembunyi di sekitar sini. Biar kami bekuk bocah
ini, dan kupersembahkan kepada kau orang tua."
Laki-laki kurus tinggi she
Lenghou tertawa tergelak-gelak, katanya: "Umpama Khu Ti sendiri yang
muncul aku juga tidak gentar. Boleh silahkan kalian labrak dia dan tidak usah
kuatir."
Huwan Liong memberi aba-aba,
empat bersaudara serentak mencabut pedang, masing-masing berpencar menduduki
posisi sendiri, Ciok-sing terkepung di tengah kalangan. Empat pedang serempak
menuding ke arah Tan Ciok-sing, namun mereka tidak segera menyerang tapi
menungggu reaksi lawan muda ini. Tan Ciok-sing tahu mereka sudah membentuk
barisan pedang, dengan strategis yang menguntungkan, namun Ciok-sing sedikitpun
tidak jeri. Jengeknya: "Bagus sekali, coba saja buktikan undangan
Giam-lo-ong diserahkan aku atau dikirim kepada kalian?" Belum rampung dia
bicara, keempat musuhnya serempak bergerak, empat batang pedang membentuk
sebuah jaringan sinar pedang mengurung dirinya di tengah.
Kalau satu lawan satu ke empat
orang ini jelas bukan tandingan Ciok-sing. Tapi mereka memang sudah meyakinkan
ilmu barisan pedang kalau sekaligus dimainkan empat orang kekuatannya sungguh
amat besar.
Mencelos juga hati Tan
Ciok-sing, dalam menghadapi kesulitan ini, pikirannya serta merta teringat
kepada In San: "Sayang In San tak berada disini, dengan cara apa aku harus
memecahkan barisan pedang mereka."
Laki-laki setengah umur kurus
tinggi itu berdiri diluar gelanggang sambil menggendong tangan, sikapnya
seperti tertawa tidak tertawa, lagaknya seperti tuan yang lagi menyaksikan
jagonya berhantam di arena. Di samping senang dia merasa was-was, dasar licik
dia berpikir: "Barisan pedang Huwan bersaudara ternyata memang cukup
lihay, agaknya aku tidak perlu turun tangan," sebetulnya dia mengharap ke
empat orang ini kalah, baru dirinya akan jadi lakon mengalahkan dan membekuk
Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga, bukan saja dia bakal unjuk gengsi
sekaligus dia hendak menekan dan menundukkan orang-orang sekoleganya. Di
samping rasa was¬wasnya diapun merasa bersyukur pula, "Ilmu pedang bocah
ini ternyata amat liehay pula, bila permulaan gebrak aku lantas harus
menghadapinya, umpama akhirnya berhasil membekuk dia mungkin aku sendiri juga
bisa menderita. Kali ini kesempatan merebut pahala memang tak bisa kuraih,
namun mending juga dari pada aku menderita."
Perlu diketahui laki-laki
kurus tinggi ini bernama Lenghou Yong, salah satu jago tangguh undangan Liong
Bun-kong yang disogoknya, dengan harta dan pangkat untuk menjadi anak buahnya,
Lenghou Yong menggantikan jabatan Ciang Thi-hu yang sudah mampus di tangan
It-cu-king-thian.
"Toako," teriak
Huwan Pau. "Bocah ini tak kan kuat bertahan lagi, ayo pergencar serangan
tak usah takut menghadapinya."
Tak kira belum lenyap suaranya
mendadak "Trang", pedang Huwan Pau hampir terlepas dari cekalannya
karena benturan keras dari senjata Tan Ciok-sing. Dalam sekejap ini beruntung
Ciok-sing gunakan Jong-jiu-hoat secara kilat dia balas mendesak, demikian pula
telapak tangan Huwan Kiau dan Huwan Hou terasa linu pedas. Keringat seketika
gemerobyos membasahi dahi, jelas kelihatan mereka sudah kerahkan setaker tenaga
tapi apa daya tenaga tak sampai untuk menghadapi kekuatan lawan.
Karena tak berhasil menjebol
barisan pedang lawan, terbayang oleh Ciok-sing berbagai cara untuk memecah dan
membobol kepungan musuh. Waktu bertanding dengan It-cu-king-thian di
Lian-hoa-hong tempo hari, memang It-cu-king-thian banyak memetik manfaatnya
dari pertarungan sengit itu, tapi Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit
menyelami inti sari ilmu golok tingkat tinggi.
Permainan golok
It-cu-king-thian keras dan deras, tapi itu bukan berarti permainannya selalu
kencang dan berat, cara yang dia anut adalah memilih kesempatan baik baru akan
memberikan pukulan telak kepada lawan, kesempatan itu akan lahir di kala lawan
merangsak dan tipu yang dilancarkan sudah mendapat titik terakhir, di kala
tenaga yang digunakan sudah hampir habis dan akan diganti dengan jurus susulan
dan tenaga akan terkerahkan pula itu, kesempatan yang terpaut sekejap inilah
yang dikejarnya untuk memberikan serangan balasan yang telak, yakin usahanya
umpama meleset, sedikitnya lima puluh persen pasti tercapai. Sebetulnya akal
ini biasa saja, tapi untuk melaksanakan secara tepat itulah yang sukar.
Untung tiga tahun lamanya
Ciok-sing menggembleng diri didalam Ciok-lin, Hian-kang-yau-hiap dan
Bu-bing-kiam-hoat warisan Thio Tan-hong berhasil dia selami dan pelajari dengan
nilai yang amat memuaskan, memangnya teori ilmu silat tingkat tinggi umumnya
sama, oleh karena itu begitu dia sudah hafal yang satu, maka pengetahuannya
menjadi luas lagi dan mudah untuk menyelami pelajaran yang lain, apalagi dalam
praktek, sehingga permainannya sekarang boleh dikata cukup wajar dan lancar.
Sayang dia harus menyimpan separo tenaganya siap untuk menempur laki-laki kurus
yang kosen itu, kalau tidak barisan pedang Huwan bersaudara ini sejak tadi
tentu sudah porak poranda.
Lenghou Yong mengerutkan
kening, akhirnya dia bersuara: "Kalian mundur, biar aku menghadapinya."
Detik-detik sebelum
pertempuran usai tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar tubuh, maka terdengarlah suara
berdering nyaring yang susul menyusul, pedang panjang Huwan Pau dan Huwan Kiau
tahu-tahu terpental terbang ke udara, sementara Huwan Liong tergentak mundur
tubuhnya meliuk-liuk dan berputar beberapa kali, namun tak kuasa kendalikan
tubuh sendiri, akhirnya terjerembab. Pedang Huwan Huo memang tidak terlepas
jatuh, tapi mulutnya terpentang menyemburkan darah sebanyak-banyaknya.
Lenghou Yong mengejek:
"Sudah kusuruh kalian mundur, masih ndablek, untung ada aku disini.
Minggirlah kalian dan istirahatlah, saksikan bagaimana aku membekuk bocah
ini."
Begitu berhasil mengalahkan
musuh Tan Ciok-sing segera melintang pedang di depan dada dengan penuh
perhatian dia awasi gerak gerik musuh yang satu ini. Semula Lenghou Yong memang
bermaksud menyergap, namun setelah melihat orang sudah siaga, maka dia tidak
berani bertindak semberono.
Seperti dua ayam jago yang
berhadapan didalam gelanggang, keduanya menatap siapapun tak berani sembarang
bertindak. Maklum pertarungan jago kosen, kalah menang hanya terebut dalam
segaris belaka, jikalau tidak punya keyakinan yang tebal, menyerang secara
serampangan titik kosong atau kelemahan sendiri justru merupakan incaran utama
pihak musuh.
Beberapa kejap lagi akhirnya
Tan Ciok-sing memecah kesunyian, jengeknya: "Usiamu sudah selanjut ini,
kenapa hanya pandai membual belaka, hayolah kenapa tidak bergerak?"
Lenghou Yong menyeringai,
sikapnya seperti tak acuh, katanya: "Kau bocah yang masih minum tetek ini,
bahwa aku sudi melawanmu sudah terhitung memberi muka kepadamu, kau masih ingin
aku turun tangan lebih dulu." Semprotannya ini sebetulnya cukup pedas,
seolah-olah dia ingin supaya Tan Ciok-sing berlaku hormat dan mohon petunjuk
kepadanya, lalu mulai bergerak dengan sopan.
Huwan Pau yang suka cerewet
itu mendadak menyeletuk: "Bocah ini memang tidak tahu sopan santun, mana
mungkin kau orang tua dapat memaksa dia menganggapmu sebagai
locianpwe. Lekaslah beri
balasan setimpal saja, yakin dia akan tunduk kepadamu. Kami akan menunggu dan
saksikan membekuk bocah keparat ini."
Bahwa orang pihak sendiri juga
mengundal omongan, sudah tentu pamor Lenghou Yong menjadi ludes kalau tidak
segera bertindak, maka sambil menggosok kejiua telapak tangan dia berkata:
"Baiklah, kalian saksikan saja."
Tak nyana Tan Ciok-sing saat
mana juga sudah tertawa dingin, katanya: "Baiklah biar aku mohon petunjuk
dari locianpwe." "Sret" tiba-tiba dia menyerang.
Bagai kelinci meloncat elang
menerkam, betapa kuat sayap elang dan paruhnya. Jarak kedua orang diluar
belasan langkah, hampir bersamaan keduanya melancarkan serangan malah sedikit
Lenghou Yong mendahului bergerak namun gerakan pedang Ciok-sing laksana kilat,
bergerak belakangan tapi mengancam sasarannya lebih dulu.
"Plok", ujung pedang
Ciok-sing seperti menusuk tembus sebuah bola layaknya, namun bukan menusuk luka
di tubuh Lenghou Yong, tahu-tahu ujung pedangnya tergeser ke samping.
Ternyata karena mendapat
tekanan tenaga pukulan tangan lawan, sehingga dua tenaga yang cukup keras.
Tenaga Tan Ciok-sing terpusatkan pada ujung pedangnya, walau berhasil menembus
tekanan tenaga lawan yang tidak kelihatan, namun masih terpaut serambut saja
ujung pedangnya tak kuasa melukai lawan. Diam-diam dia mengeluh "sayang"
dalam hati.
Sebat sekali gerakan Linghou
Yong, di tengah deru angin pukulannya yang dahsyat, tahu-tahu telapak tangannya
bagai sebuah cap yang membara telah menyelonong kepada Tan Ciok-sing dengan
serangan Toa-jiu-in. Jari tengah tangan kiri Tan Ciok-sing yang bergerak
mengimbangi gerak pedangnya tiba-tiba terjulur keluar menutuk Lau-kiong-hiat di
tengah telapak tangan lawan. Inilah jurus tipu yang dilancarkan secara
berbahaya untuk balik mendesak lawan yang mengancam awak sendiri, reflek dia
telah menggunakan permainan Bu-bing-kiam-hoat yang liehay
Dalam sekejap ini Linghou Yong
sendiri juga mencelos hatinya, pikirnya: "Entah bagaimana asal-usul bocah
ini. Kungfunya kok begini aneh dan liehay?" meski dia berpengalaman luas,
sudah tentu takkan tahu akan ilmu pedang ciptaan guru besar ilmu silat Thio
Tan-hong?
Dalam pada itu Huwan
bersaudara sama berdiri di depan gubuk menonton pertandingan seru ini,
luka-luka dalam Huwan Hou agak berat, tapi tidak sampai membahayakan jiwanya.
Huwan Liong sudah mengurut dan memberi obat padanya, meski jiwanya tidak
terancam, tapi pertempuran sengit di hadapan mereka betul-betul membikin mereka
kebat-kebit dan tegang.
Huwan Kiau yang cerewet
tiba-tiba berteriak: "Kenapa kau orang tua mundur saja? Kenapa tidak lekas
ganyang bocah ini?" sebetulnya dia masih ingin menyindir lagi, tapi Huwan
Liong sang kakak telah mendelik kepadanya, katanya lirih: "Jangan gembar
gembor memecah perhatian Linghou Yong. Jikalau dia kalah, kita juga bisa
celaka." Huwan Pau baru sadar, walau dia tidak terluka, untuk lari kini
diapun tidak mampu lagi. Kini disaksikannya Linghou Yong masih terus mundur,
karuan hatinya menjadi was-was dan kuatir. Sejenak kemudian baru didengarnya
Huwan Liong menarik napas panjang serta berkata: "Nah syukurlah sekarang."
"Apanya yang
syukur," tanya Huwan Pau tidak mengerti.
"Jahe tua memang lebih
pedas, kini Linghou cianpwe yakin pasti dapat memperoleh kemenangan, dalam
seratus jurus kukira dia sudah dapat mengalahkan bocah itu," demikian kata
Huwan Liong.
Dengan mata terbelalak Huwan
Pau saksikan pertempuran ini, tapi sejauh ini dia tak tahu dimana letak kunci
dari kalah menang pertempuran ini. Namun biasanya dia percaya akan obrolan sang
kakak, meski mata sendiri belum yakin akan apa yang dilihatnya, hati sudah merasa
lega juga. Penilaian Huwan Liong agaknya memang tidak meleset, di tengah
percakapan mereka itulah, tiba-tiba tampak perubahan di tengah arena, kini
Linghou Yong tampak balas menyerang dari pada bertahan.
Dengan bertahan tadi tujuan
Linghou Yong hendak menguras tenaga Tan Ciok-sing. Pada hal kakinya melangkah
dan bergerak sesuai posisi Ngo-hing-pat-kwa, walau kakinya terus mundur, tapi
pertahanannya mantap dan rapat, setiap langkah kakinya berarti memunahkan
sebagian tenaga Tan Ciok-sing.
Setelah mencapai suatu babak
tertentu, kedua telapak tangan
Linghou Yong bergesek sekali
terus bergerak menyamping kedua telapak tangan melontarkan dua tenaga yang beda
arah, kiri menyeret kanan menuntun, tanpa kuasa Tan Ciok-sing berputar, dan ini
memberi peluang bagi Linghou Yong untuk merubah posisi dan berinisiatif
menyerang secara terbuka. "Anak bagus," bentak Linghou Yong,
"kinilah saatnya kau rasakan keliehayanku." Ilmu yang dia yakinkan
ternyata Kungfu dari aliran sesat yang bernama Im-yang-ciang, satu negatif yang
lain positip, yang ini keras yang itu lunak saling isi dan sama tambal. Bagi
yang lwekangnya rendah, menghadapi tenaga Im-yang-ciang ini, tak ubahnya
seperti sebuah sampan yang terseret didalam pusaran gelombang air dahsyat.
Akan tetapi penilaian Huwan Liong
hanya betul separo, memang kenyataan Linghou Yong kini berinisiatif menyerang,
kelihatannya dia berada di
atas angin. Tapi pertahanan Tan Ciok-sing ternyata sedemikian kokoh kuat dan
tidak gampang dikalahkan seperti yang diduganya.
Latihan berat selama tiga
tahun didalam Ciok-lin bagi Tan Ciok-sing ternyata memang tidak sia-sia, pada
saat-saat yang gawat dan berbahaya ini, tampak betapa besar dan menakjubkan
hasil gemblengan dirinya itu. Semakin kencang dan deras Linghou Yong menarikan
sepasang telapak tangannya, beberapa kali terjadi seakan-akan dia sudah takkan
mampu berkelit, tak nyana keadaannya memang persis sebuah sampan kecil yang
terombang-ambing mengikuti gerak alunan gelombang badai, timbul tenggelam,
namun tak pernah dia ditelan oleh badai yang mengamuk dahsyat ini. Maklum
setelah memperoleh lwekang murni ajaran Thio Tan-hong, walau latihannya belum
matang atau sempurna, namun dalam praktek dia sudah mampu menguasai ilmunya itu
sesuka keinginan hatinya. Taraf lwekangnya mungkin belum setingkat kepandaian
Linghou Yong, namun lwekang yang diyakinkan dari aliran murni yang lurus, ini
jelas lebih baik dan matang dari apa yang pernah diyakinkan Linghou Yong. Maka
keuletan dan ketahanannya yang kokoh dan lama sungguh diluar dugaan Linghou
Yong. Apalagi Bu-bing-kiam-hoat memang peranti menghadapi segala serangan
perubahan serta melayaninya sesuai situasi dan kondisi, pedangnya itu ternyata
mampu membendung segala serangan Linghou Yong dan dalam waktu dekat jelas lawan
takkan mampu menundukkan dia.
Tanpa terasa pertempuran sudah
mencapai seratus jurus. Diam-diam Linghou Yong amat kaget: "Kalau begini
terus salah-salah bisa mencapai tiga ratusan jurus. Umpama aku dapat
mengalahkan dia, aku sendiri pasti bakal jatuh sakit cukup parah."
Dengan suara lirih Huwan Pau
berkata: "Naga-naganya keadaan tidak menguntungkan, bagaimana baiknya?
Lari atau melabraknya?" memang dalam situasi seperti sekarang ini, hanya
ada satu pilihan dari dua keadaan yang harus mereka tempuh.
Huwan Liong bertanya sambil
mendekati Huwan Hou: "Jite, bagaimana luka-lukamu?"
"Jauh lebih baik, mungkin
belum mampu mengembangkan ginkang," sahut Huwan Hou. Tahu maksud engkohnya
dia menambahkan, "Kalian boleh tak usah hiraukan aku, Toako, aku hanya
ingin tahu, apakah kita punya kemampuan untuk membantu Linghou Yong? Umpama
Linghou Yong bukan tandingan bocah itu, kukira juga takkan terpaut terlalu
jauh," karena tadi dia kecundang dan dilukai Tan Ciok-sing, maka dia lebih
condong untuk membantu Linghou Yong secara beramai-ramai.
Huwan Liong ragu-ragu, katanya
kemudian: "Sulit dikatakan. Lari atau ikut melabraknya sukar ditentukan,
kita bertaruh saja dengan nasib."
Meski perlahan percakapan
mereka, tapi Linghou Yong dan Tan Ciok-sing mendengar omongan mereka. Diam-diam
Tan Ciok-sing terkesiap, batinnya: "Jika mereka berempat ikut
mengeroyokku, mungkin sulit aku meloloskan diri."
Sebaliknya Linghou Yong kaget
dan marah pula, bahwasanya dia sudah berada di atas angin, namun Huwan Liong
tidak tahu. "Mungkin dia sudah tahu, tapi sengaja hendak memojokkan diriku
supaya bertempur mati-matian dan akhirnya gugur bersama bocah ini,"
demikian batin Linghou Yong. Perlu diketahui, bila Huwan bersaudara saat itu
terjun ke tengah gelanggang, sudah pasti Tan Ciok-sing pasti dapat dikalahkan
dengan mudah. Kalau tidak umpama betul dia berhasil membunuh Tan Ciok-sing, dia
sendiri juga perlu memulihkan tenaganya tiga bulan lamanya. Tapi wataknya
memang angkuh dan tinggi hati, suka gengsi lagi, betapapun dia tidak sudi
menebalkan muka untuk memberi penjelasan dan minta bantuan Huwan bersaudara.
Tiba-tiba Huwan Pau berkata:
"Aku ingin masuk menggeledahnya," saat mana mereka berada di muka
pintu rumah Khu Ti, tadi seisi rumah sudah mereka obrak-abrik.
"Apa pula yang hendak kau
cari?" tanya Huwan Liong.
"Aku pingin minum arak,
arak buatan Khu-lothau tempo hari tidak jadi kunikmati, kalau dibayangkan
sampai sekarang aku masih ngiler. Mungkin dia masih menyimpannya seguci dan
diletakkan di pojokan yang tidak terlihat kita tadi. Cukup setengah guci saja,
sudah akan menambah banyak tenagaku."
Huwan Liong marah, semprotnya:
"Kau memang setan arak, dalam keadaan seperti ini, masih juga kau gila air
kata-kata (arak)."
Huwan Pau tertawa, katanya:
"Memangnya kau sendiri belum berkepastian, mau tarung atau lari, mumpung
ada kesempatan lebih baik aku cari arak, setelah minum tenaga pulih dan
bertambah kuat, nanti aku bantu kalian berhantam."
Baru saja usai percakapan
mereka, tiba-tiba didengarnya dari dalam rumah ada orang batuk-batuk, disusul
sebuah suara dingin berkata: "Kalian kawanan kurcaci memang sontoloyo,
baru saja aku selesai minum dan mau tidur, kalian sudah bikin ribut di depan
rumahku sehingga impian bagus sirna tak karuan. Hm, kalian masih ingin minum
arak bukan," ternyata itulah suara perkataan Khu Ti. Karuan kejut Huwan
bersaudara seperti disengat kala. Pada hal tadi mereka sudah menggeledah
seluruh pelosok, rumah dan mengobrak-abrik isinya, menurut keadaannya agaknya
Khu Ti sudah meninggalkan rumah itu, entah bagaimana sekarang tahu-tahu sudah
berada dalam rumah pula? Pelan- pelan daun pintu terbuka dan muncullah Khu Ti.
Khu Ti memanggul sebuah
buli-buli besar warna merah, wajahnya tampak lebih tua sedikit dari setengah
tahun yang lalu, tapi sepasang matanya masih tampak mencorong terang. Sesaat
itu empat bersaudara ini seperti merasakan kedua mata Khu Ti sama menatap ke
arah mereka, sekali dideliki, hati mereka seketika kuncup, jantungnyapun
berdetak keras, saking kaget serasa terbang arwah mereka.
Menuding Huwan Pau, Khu Ti
berseru: "Nah, kau yang ingin minum arak, mari kuberi," arak didalam
buli-buli sekaligus dia minum sampai habis tiba-tiba dia pentang mulut
menyemburkan araknya, sejalur arak seketika menyemprot ke arah Huwan Pau. Waktu
di kedai Khu Ti tempo hari merekapun pernah kecundang oleh Khu Ti dengan cara
yang sama ini.
Karena terluka gerak-gerik
Huwan Pau kurang tangkas, lekas dia tutup muka sendiri dengan kedua tangan,
sederas hujan semburan arak Khu Ti semua mengenai punggung tangannya, wah
rasanya sakit dan pedas sekali. Tempo hari Khu Ti tenggak setengah guci arak
untuk menyemprot mereka berempat, kali ini hanya menghabiskan setengah
buli-buli, yang disembur juga hanya Huwan Pau saja, gelagatnya jelas jauh lebih
asor. Apalagi meski Huwan Pau merasa sakit, tapi rasanya tidak sehebat tempo
hari.
Walau demikian Huwan Pau sudah
ciut nyalinya, mau lari kaki sudah tak mampu bergerak, saking ketakutan, saking
gugup tanpa malu segera dia berlutut dan menyembah, teriaknya: "Ampun
Khu-locianpwe, selanjutnya aku yang kecil tidak berani mengganggumu lagi."
Khu Ti menyeringai dingin,
jengeknya: "Memang kalian belum setimpal mengotori tanganku, lekas enyah
dari sini."
Semula Huwan Liong agak curiga
dan ragu-ragu, kini melihat Khu Ti ini kembali menggunakan cara lama menyembur
arak pada adiknya sehingga orang ketakutan sampai menyembah pula, sudah tentu
diapun tak berani main-main coba-coba lagi. Mendengar Khu Ti mengusir mereka,
seperti mendapat pengampunan saja, lekas Huwan Pau merangkak bangun terus
mendahului lari sipat kuping. Huwan Liong menggendong Huwan Hou ikut lari juga.
Huwan Kiau lari paling akhir, meski ke dua kakinya tersapu ruyung dan dia jatuh
terguling-guling, dia tidak berani melawan terus menggelundung turun gunung.
Setelah menggebah Huwan
bersaudara. Khu Ti melangkah maju, katanya setelah tertawa terkekeh-kekeh:
"Linghou Yong, kau membawa kamrat kemari hendak menangkap aku bukan? Hehe,
sengaja aku pulang untuk menyambut kedatanganmu. Kau berani hayo lawan aku saja,
ingin aku lihat kau mampu berbuat apa terhadapku?"
Sebetulnya Linghou Yong amat
membanggakan diri, sebelum bertemu dengan Khu Ti, dia kira meski tinggi
kepandaian Khu Ti, tapi belum tentu liehay seperti apa yang digambarkan oleh
Huwan bersaudara, dengan bekal Im-yang-ciang dirinya, ditambah barisan pedang
Huwan bersaudara dia yakin masih cukup berkelebihan untuk mengalahkan lawan,
maka dia berani meluruk kesini.
Tapi keadaan sekarang justru
diluar perhitungan, bukan saja terbalik keadaannya sekarang malah lebih celaka,
rasa angkuhnya seketika sirna karena tak mampu menjatuhkan Tan Ciok-sing, kini
Khu Ti muncul pula di saat-saat kritis begini, karuan nyalinya menjadi ciut.
Maklum sejauh ini dia hanya setanding dengan Tan Ciok-sing, Huwan bersaudara
sudah angkat langkah, meski nyalinya besar, betapapun dia tidak berani menempur
Khu Ti pula. Segera dia kerahkan seluruh sisa tenaganya, sekali pukul dia bikin
Tan Ciok-sing tergetar mundur, terus putar tubuh angkat langkah seribu.
Tan Ciok-sing tergetar mundur
beberapa langkah oleh tenaga gempuran lawan, hampir saja dia terjengkang jatuh.
Bentaknya gusar: "Sudah kalah mau lari, memangnya semudah yang kau
kira."
Tapi Khu Ti sudah lekas maju
dan menariknya, katanya perlahan: "Musuh yang sudah ngacir jangan dikejar,
biarkan dia pergi."
Sebetulnya Tan Ciok-sing tidak
ingin mengejar, kini melihat Khu Ti mendadak muncul sungguh senangnya seperti
kejatuhan rejeki dari langit, sudah tentu lebih penting dia bercengkrama dengan
Khu Ti. Setelah Linghou Yong lari, dia punya kesempatan menentramkan
pernapasan, lalu maju memberi salam hormat kepada Khu Ti.
"Jangan banyak
adat," ujar Khu Ti, "kau kemari mencari aku, ada urusan apa?"
Pertanyaan ini sungguh diluar
dugaan Tan Ciok-sing, seketika dia berdiri melongo.
Khu Ti adalah seorang tua yang
simpatik, supel dan rendah hati, sahabat baik kakeknya. Waktu di kedai tempo
hari, sikapnya ramah dan sayang, apalagi setelah tahu akan asal-usul dirinya.
Tapi kenapa sekarang kok bersikap tak acuh dan keliwat dingin dibanding
pembawaannya tempo hari. Tapi yang lebih mengejutkan dan membuatnya melongo
adalah pertanyaan Khu Ti: "Untuk apa dia kemari? Memangnya kejadian
setengah tahun yang lalu sudah dia lupakan sama sekali?"
Tan Ciok-sing berdiri tegak
dan mengawasi seksama, yang berdiri di depannya tidak salah memang Khu Ti, cuma
kerut mukanya agaknya lebih banyak dan tua. "Mungkin karena mengalami
kejadian tempo hari sehingga batinnya agak tertekan, maklumlah orang tua
ingatannya sudah jauh lebih mundur," demikian batin Tan Ciok-sing.
"Untuk apa kau mencariku?
Kenapa melongo saja?" desak Khu Ti.
"Khu-locianpwe, bukankah
kau yang menjanjikan aku kembali. Aku sudah menunaikan keinginanmu
dahulu," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Apa iya? Keinginanku
yang mana sudah kau tunaikan? Coba jelaskan kepadaku."
Ciok-sing mengiakan, baru saja
dia berkata: ''Waktu aku pulang ke Kwi-lin..."
Baru sampai disini mendadak
Khu Ti seperti ingat, tukasnya
tertawa: "Oh, ya, betapa pikunnya aku kini, ceritamu pasti panjang,
hayolah duduk dalam rumah."
Baru sekarang dia mendengar
suara tawa Khu Ti, tapi raut muka Khu Ti tetap dingin membeku, setelah duduk
dalam rumah, Khu Ti berkata: "Maaf kalau aku tak bisa menyuguh apa-apa,
secangkir tehpun tiada," bukan saja teramat sungkan sikapnya malah terasa
kaku dan dingin.
Tujuan Ciok-sing kemari
sebetulnya ingin menetap disini, setelah menghadapi sikap orang, diam-diam dia
sudah merubah maksud semula, pikirnya: "Entah karena apa, agaknya
Khu-locianpwe tidak seramah dulu menyambut kedatanganku. Setelah kusampaikan soal
itu aku harus segera pergi."
Maka dia bercerita amat jelas
dan terperinci, kalem lagi, kuatir Khu Ti sudah lupa dia tambahkan pula pesan
orang akan keinginannya itu sebelum mereka berpisah tempo hari. Khu Ti juga
mendengarkan dengan asyik dan penuh perhatian, waktu Tan Ciok-sing bercerita
tentang pertandingan pedang melawan It-cu-king-thian Lui Tin-gak di
Lian-hoa-hong tampak sikapnya amat senang dan tertarik, sering dia mengajukan
pertanyaan.
Setelah Ciok-sing habis
bercerita, Khu Ti segera tertawa, katanya: "Kalau demikian, jadi kau sudah
menunaikan pesanku, dengan alasan bertanding pedang kau sudah mendemontrasikan
Bu-bing-kiam-hoat itu di hadapan It-cu-king-thian sehingga keinginan orang
sejak lama itu tercapai. Anak bagus, baik sekali kau melaksanakan tugas, bahwa
dengan Bu-bing-kiam-hoat kau setanding dan akhirnya seri melawan
It-cu-king-thian Lui Tin-gak, sungguh kau harus diberi selamat dan patut
dipuii."
Kata Ciok-sing: "Pesan
cianpwe betapapun harus kulaksanakan. Banyak terima kasih akan pujian cianpwe,
baiklah sekarang Siautit minta diri saja."
"Nanti dulu,"
tiba-tiba Khu Ti berseru menahannya.
Ciok-sing melengak, katanya:
"Khu-locianpwe masih ada pesan apa?"
Khu Ti tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Bagus ternyata kau memang Tan Ciok-sing, sekarang aku mau
percaya kepadamu. Tan-toako, kau memang orang yang dapat dipercaya, kukira kau
takkan kemari lagi."
Sudah tentu kaget Ciok-sing
bukan kepalang, Khu Ti ternyata memanggilnya "Tan-toako",
naga-naganya orang sudah tidak mengenalnya lagi. Kulit muka Khu Ti tampak tetap
tak menunjukkan mimik perubahan apa-apa meski sedang tertawa lebar, tapi nada
suaranya kedengaran amat senang dan riang. "Sekarang aku sudah tahu kau
adalah Tan Ciok-sing, memang aku sedang mengharap kedatanganmu. Tapi apakah kau
tahu siapa aku?"
Kembali Ciok-sing berjingkat
kaget dibuatnya, katanya tergagap: "Khu-locianpwe, kenapa kau bilang
begitu? Memangnya kau, kau, kau bukan..."
"Betul, rekaanmu
benar," ujar Khu Ti, "kalau bukan tiruan, sebaliknya akulah yang
palsu."
"Kau, siapa kau?"
teriak Ciok-sing, "kenapa kau memalsu Khu-locianpwe?"
Khu Ti berkata: "Kalau
kau ingin tahu siapa aku, nah berpalinglah kau kesana dan jangan menoleh serta
mengintip."
Memutar tubuh dan membelakangi
seorang asing belum diketahui asal-usulnya, bahwasanya merupakan suatu
perbuatan yang amat berbahaya, Tapi Tan Ciok-sing tanpa bimbang segera
melaksanakan permintaan orang, lekas dia berpaling dan berputar kesana, berdiri
tegak meluruskan tangan, pandangan menatap jauh ke depan.
Terdengar Khu Ti tertawa
cekikikan, katanya: "Baik sekali, kau mau percaya padaku aku amat
senang," lalu didengarnya sesuatu yang berjatuhan seperti lempung dan
sebangsanya yang mengelotok dan berhamburan di tanah.
Sesaat kemudian,, tiba-tiba
didengarnya suara merdu nyaring bak suara kelinting berkata: "Sudah,
sekarang kau boleh berpaling kesini."
Begitu Ciok-sing membalik
tubuh, seketika dia berdiri melongo dan menjublek di tempat. Ternyata Khu Ti
yang tadi bermuka penuh keriput kini berubah menjadi seorang gadis jelita.
Seperangkat pakaian laki-laki tampak menggeletak di tanah, di sekitar kakinya
berserakan pula bubuk dan lempingan-lempingan kecil dari adonan gandum yang
sudah kering.
Pulih wajah si gadis laksana
sebingkai porselin, alisnya lentik, kecantikannya tidak kalah dibanding In San.
Mulut yang kecil mungil tengah menyungging senyum nan molek, sesaat lamanya
Ciok-sing terpesona.
"Tan-toako, maaf bila aku
mempermainkan kau. Tadi sudah kuduga akan dirimu, tapi aku belum yakin,
terpaksa aku harus bertindak hati-hati," melihat Ciok-sing masih berdiri
menjublek gadis itu tertawa geli sambil menutup mulutnya.
Setelah tenang Ciok-sing baru
berkata: "Ah, kenapa nona bilang begitu, kau sudah menolong jiwaku, belum
lagi aku nyatakan terima kasih. Harap tanya nona, ke manakah Khu-locianpwe?
Nona, kau pernah apanya?"
Seketika kuncup seri tawa si
gadis, wajahnya menampilkan rasa duka, katanya: "Kau terlambat datang,
ayah sudah meninggal dunia."
Bagai disambar petir layaknya,
kontan Tan Ciok-sing tergentak kaget, sesaat dia melongo, tanpa terasa air mata
berlinang, katanya: "Dengan wanti-wanti ayahmu berpesan padaku supaya
kembali memberi kabar kepadanya, tak nyana beliau sudah mangkat. Entah adakah
pesannya yang terakhir untuk aku?"
Dalam rasa dukanya diam-diam hatinya
merasa heran dan bertanya-tanya: "Ternyata Khu-locianpwe masih punya
seorang putri, kenapa setengah tahun yang lalu tak pernah kulihat dia ada di
kedai, beliau tak pernah menyinggung hal ini kepadaku. Mungkin putrinya ini
sudah menikah dan tidak tinggal bersama ayahnya?" tapi dilihatnya gadis
ini paling baru berusia delapan belas, potongan tubuhnya semampai dan padat,
jelas masih seorang gadis perawan.
Agaknya si gadis merasakan
sorot pandangan Ciok-sing penuh tanda tanya, segera dia menjelaskan. "Aku
bukan anak kandungnya, aku anak angkat beliau. Aku she Han bernama Cin,"
sambil bicara dengan jari telunjuknya dia menulis di atas meja.
"Cara bagaimana
Khu-loyacu meninggal?" tanya Ciok-sing, "agaknya beliau pernah
menyinggung diriku kepada nona."
"Silahkan duduk, biar
kuseduhkan air teh, nanti kuceritakan kepadamu."
"Tak usah repot nona Han,
lebih baik kau ceritakan dulu kepadaku."
"Aku harus mewakili Gi-hu
(ayah angkat) melayanimu dulu, tak usah buru-buru, kawanan brandal itu toh
sudah lari mencawat ekor, sambil masak air, nanti kuceritakan kepadamu."
Ayah kandung Han Cin bernama
Han Cui penduduk Thong-ciu asli, karena peperangan melanda kampung halamannya,
terpaksa dia ngungsi ke Ong-ju-san, Han Cui kenyang membaca dan pandai membuat
syair, hakikatnya dia tidak punya kepandaian apapun untuk bekal hidupnya, maka
di bawah Ong-ju-san dia membuka sekolahan desa, murid-muridnya adalah anak-anak
petani atau pemburu. Han Cin berkata: "Sekolah desa ayah berada di utara
gunung, kedai minum Khu-lopek berada di selatan gunung, jaraknya lima puluhan
li. Tapi karena kedua orang mempunyai hobi yang sama, setiap dua tiga hari,
kalau bukan ayah pergi ke kedai arak Khu-lopek, pasti dia yang bertandang ke
rumahku, sejak itu mereka menjadi sahabat baik."
Sampai disini airpun telah
mendidih, Han Cin memerlukan dua mangkok serta menyeduh teh, katanya: "Aku
tahu kau bisa minum arak, sayang sisa setengah buli-buli arak yang kusimpan
tadi kubuang percuma untuk menggebah kawanan brandal itu. Terpaksa aku hanya
bisa menyuguh teh hangat saja."
Setelah sama-sama menghirup
teh Han Cin meneruskan ceritanya: "Waktu itu aku masih anak nakal yang
berusia enam tahun, tapi Khu-lopek amat senang dan sayang padaku, agaknya
selama hidup beliau tak pernah menikah, tak punya anak maka aku dipungutnya
sebagai putri angkatnya, beliau mengajar dan mendidik aku belajar Kungfu."
Sampai disini dia menghirup
seteguk air teh lalu melanjutkan: "Kepandaian ayah angkatku ternyata amat
banyak, kecuali Kungfu, dia masih punya kepandaian lain-lain yang serba aneh
dan lucu. Umpama cara merias dan berdandan tadi juga kupelajari dari beliau,
tak nyana hari ini berhasil kumanfaatkan."
"Kepandaianmu dalam
bidang ini ternyata memang amat menakjubkan, aku sendiripun kena kau
kelabui?" demikian puji Ciok¬ sing.
"Maklum aku memalsu ayah
yang paling kukenal, jika memalsu orang lain, mungkin takkan dapat mengelabuhi
matamu." Han Cin bercerita lebih jauh, "tiga tahun yang lalu,
tiba-tiba beliau kangen akan kampung halaman, maka beliau ajak aku pulang ke
Thong-ciu. Tak nyana tak lama setiba di kampung halaman beliau jatuh sakit dan
selama beberapa lama rebah di ranjang sampai tahun lalu baru meninggal dunia.
Setelah ayah di kebumikan dan aku berkabung selama seratus hari, baru aku
kembali dan menetap disini bersama Gi-hu. Baru tiga bulan yang lalu aku sampai
disini."
"Kedai minum itu dibakar
oleh pasukan pemerintah, penduduk sekitarnya memberitahu padaku, untuk
menghindari petaka ini, entah kemana ayah menyembunyikan diri. Aku masih ingat
entah beberapa kali ayah pernah menyatakan keinginannya hendak mengasingkan
diri di Cui-hwi-hong puncak tertinggi dari Ong-ju-san yang indah panoramanya.
Tapi lantaran tidak tega meninggalkan sahabat baiknya, maka sejauh itu dia
tunda keinginannya. Ayahku tidak bisa main silat, tak mungkin dia memanjat ke
Cui-hwi-hong.
"Dengan perasaan ingin
coba-coba, aku memanjat ke Cui-hwi-hong. Ternyata aku memang beruntung, tapi
juga tidak beruntung. Waktu aku menemukan beliau, dia sudah sakit amat parah
dan hampir menghembuskan napasnya terakhir. Melihat kedatanganku dia berusaha
menguatkan diri, tapi aku hanya satu jam menemani dia."
Dalam dukanya Tan Ciok-sing
merasa lega juga, katanya: "Syukurlah, bukan lantaran dicelakai pasukan
pemerintah itu," lalu menyambung: "Gi-humu memiliki Kungfu yang
tingggi, sebelum berpisah dengan aku, hari itu dia sudah pamer kepandaiannya
yang khas, dengan seguci arak dia menyembur ke empat bersaudara tadi sampai
lari lintang pukang. Sungguh tak nyana secepat ini tahu-tahu dia sudah
mangkat."
"Bagi orang yang
berkungfu tinggi, mungkin puluhan tahun tak pernah sakit, tapi sekali jatuh
sakit maka kesehatannya akan terganggu secara hebat. Demikianlah keadaan Gi-hu.
Akulah yang harus disalahkan kenapa tidak datang lebih dini beberapa hari,
beliau tiada yang meladeni..."
"Mati hidup manusia sudah
suratan takdir," demikian hibur Tan Ciok-sing, "manusia mana yang
bisa meramal akan nasib sendiri. Untuk ini kau tidak bisa disalahkan. Bukankah
akupun terlambat datang?"
Han Cin menghela napas
katanya: "Syukurlah kedatanganku masih sempat menemuinya sebelum dia ajal
dan mengantar keberangkatan-nya."
"Adakah beliau
meninggalkan pesan?"
"Beliau bilang: 'Manusia
akhirnya akan mati, usiaku sudah mencapai tujuh puluh, terhitung berumur
panjang, kenapa pula harus disesalkan menghadapi kematian ini? Apalagi orang
macam aku dari kalangan perwira Gi-lim-kun yang menjadi kaum persilatan, di
hari tuaku aku bisa mati dengan tentram, aku sendiripun tak pernah menduganya.
Satu hal yang masih menjadi ganjalan hatiku hanyalah merindukan seorang sahabat
muda, dia adalah anak dari seorang sahabatku.' Tan-toako, tentunya kau paham,
orang yang dimaksud beliau adalah engkau."
Berkaca-kaca air mata
Ciok-sing, katanya: "Begitu baik beliau terhadapku, sayang aku tiada
kesempatan lagi untuk membalas kebaikannya."
"Keinginannya yang
terakhir sudah kau tunaikan dalam perjalananmu ke Kwi-lin kali ini, itu berarti
kau telah membalas kebaikannya. Malah aku yang belum sempat membalas budi
kebaikannya."
"Bagaimana dia
membicarakan diriku dengan kau?"
"Dia memberitahu janjinya
denganmu terhadapku, cuma belum diketahui kapan kau bakal kembali, umpama
kembali juga sukar untuk mencarinya kesini. Tapi dia mengharap aku suka
menunggu kau disini, walau harapan untuk ketemu teramat tipis, tapi kan lebih
baik dari pada menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu."
"Selama dua bulan lebih
ini apakah kau berada disini?"
"Sebulan lebih aku
tinggal di gubuk ini, namun kau tidak kunjung datang. Aku tidak tahu apakah kau
pernah kemari, atau pernah kemari tapi tidak menemukan-jejak kami maka kau
pergi. Setelah kupikir putar balik, dari pada aku menunggu saja disini, ada
lebih baik aku turun gunung menyirapi kabar. Kira-kira setengah bulan yang lalu
aku turun gunung."
Setelah meneguk secangkir air,
dia berkata pula: "Karena tidak memperoleh berita apa-apa, aku pulang ke
tempat sekolahan ayahku dulu, disana aku tinggal belasan hari, tadi pagi
mendadak kuingat bahwa Gi-hu masih meninggalkan beberapa buah lukisan dan
buku-buku tulisan yang belum kusimpan, maka pagi-pagi tadi aku buru-buru
kemari. Syukurlah hari ini aku kemari, akhirnya kutemukan kau disini,"
sampai disini tanpa kuasa merah mukanya.
Ternyata ayah angkatnya ada
dua cita-cita yang belum terlaksana dan pernah berpesan kepada Han Cin, cuma
dalam ceritanya tadi dia hanya membeber satu di antaranya. Kecuali merindukan
Tan Ciok-sing, Khu Ti juga menguatirkan masa depan putri angkatnya ini, dia
menyatakan penyesalannya karena tidak keburu mencarikan jodoh setimpal untuk
putri angkatnya ini. Sudah tentu keinginan Khu Ti ini sukar dia nyatakan secara
berhadapan terhadap Tan Ciok-sing.
Untung Ciok-sing tidak begitu
perhatikan perubahan mimik mukanya, katanya: "Memang untung hari ini kau
kemari, kalau tidak mungkin aku takkan bisa duduk disini berbincang dengan kau.
Tentunya kau mendengar suitanku dan lekas datang membantu aku bukan?"
"Bukan saja aku mendengar
suitanmu, akupun mendengar senandungmu."
"Itulah syair tulisan
kakek di waktu berkenalan dengan ayah angkatmu dulu."
"Waktu itu aku tengah
berada di pusara Gi-hu, kudengar kau bersenandung dengan tenaga lwekang tinggi,
diam-diam aku sudah duga akan kedatanganmu, maka buru-buru aku berlari pulang.
Lucu adalah Huwan bersaudara itu tiada yang tahu akan kedatanganku."
"O, jadi kau merias
dirimu didalam gubuk ini juga," Ciok-sing manggut-manggut.
"Ya, aku kenakan pakaian
lama Gi-hu. Untung dalam almari masih ada sisa gandum, kebetulan cukup untuk
merubah bentuk mukaku. Kalau Gi-hu sekali sembur arak dapat melukai empat musuh
sekaligus, aku hanya mampu melukai satu orang yang berkepandaian paling rendah
lagi, jauh sekali kemampuanku bila dibanding Gi-hu. Untung Huwan bersaudara
ciut nyalinya oleh semburan arak Gi-hu tempo hari melihat aku menggunakan cara
lama, sudah tentu mereka tidak menaruh curiga lagi."
"Ayah angkatmu tak bisa
kutemui lagi, adalah pantas kalau aku sembahyang di depan pusara beliau,
nona-Han sudikah kau mengantar aku?"
Tiba-tiba Han Cin seperti
ingat sesuatu katanya: "Oh, ya, Gi-hu ada sesuatu benda yang harus
kuserahkan kepadamu di depan kuburannya."
"Barang apa itu?"
tanya Ciok-sing.
"Nanti juga kau akan
tahu," agaknya pesan Khu Ti memang menghendaki dia berbuat demikian maka
dia tidak boleh memberitahu kepada Ciok-sing lebih dulu.
Sudah tentu tak enak Tan Ciok¬
sing banyak tanya, pikirnya: "Tentunya suatu persoalan yang amat penting,
maka Khu-locianpwe merasa perlu untuk memberikan pesannya ini. Ai, betapa besar
budi kebaikan dan keluhurannya terhadapku, bila dia meninggalkan suatu pesan
yang belum terlaksana, apakah aku harus menunaikannya dengan segala
kemampuanku?"
Dengan hati yang dirundung
tanda tanya akhirnya Ciok-sing tiba di depan kuburan Khu Ti, teringat betapa
besar kasih sayang Khu Ti terhadap dirinya, serta hubungannya dengan tiga
generasi keluarganya, tanpa kuasa Ciok-sing menangis sesenggukkan. Sesaat
lamanya baru dia angkat kepala dan berpikir: "Semasa hidupnya beliau
paling suka mendengar petikan harpa kakek, sayang harpaku itu sudah kuhadiahkan
kepada orang lain, tak bisa aku memelikkan lagu untuk menghibur arwahnya di
alam baka."
Teringat akan harpa serta
meria terbayang pula akan In San, batinnya: "Khu-locianpwe adalah sababat
kakek yang paling kental, walau hanya sekali aku bertemu, namun dia lebih akrab
dan sayang dari pada sanak familiku sendiri, Kakek adik San juga adalah
pengagum kakekku, meski di masa hidupnya kakek tidak tahu akan hal ini.
Demikian pula akan adik San, dia adalah temanku yang paling intim dari lawan
sejenis. Ai, tak nyana selanjutnya aku tak akan bisa bertemu lagi dengan
Khu-locianpwe, entah kapan pula baru aku akan bisa berhadapan dengan adik San
pula." Memang lain Khu Ti lain In San, yang satu kakek ubanan yang lain
gadis jelita yang menjadi idaman hatinya namun dalam pandangan Ciok-sing dia
pandang kedua orang ini sebagai sanak kadang yang paling dekat lahir batin
dengan dirinya, kalau yang tua kini sudah tiada, sementara sang pujaan sekarang
entah berada dimana. Kalau yang satu mati dan berpisah, yang masih hiduppun
terpaksa harus berpisah, yang sudah mati memang patut dibuat duka, tapi yang
masih hidup juga memilukan. Berlutut di hadapan kuburan Khu Ti, dua perasaan
berkecamuk dalam benaknya, tanpa kuasa dia menangis sejadi-jadinya.
Han Cin tak tahu isi hatinya,
segera dia menghibur: "Usia Gi-hu sudah mencapai tujuh puluh tahun,
meninggal dalam usia selanjut itu memang tidak perlu dibuat sedih. Tan-toako,
tidak perlu kau berduka sedemikian rupa."
Ciok-sing menunduk diam, rasa
rawan, masgul dan pilu masih berselubung dalam sanubarinya, karena tidak
membawa harpa, mendadak dia menepuk-nepuk batu nisan terus bersenandung.
Suaranya lantang keras penuh
dibuai perasaan makna syair yang dibawakan. Han Cin hanyut oleh senandungnya
ini, pelan-pelan dia mengeluarkan sebatang seruling bambu kuning yang kecil
pendek, segera dia iringi senandung Ciok-sing dengan tiupan lagu yang sama.
Tiupan serulingnya Han Cin ternyata amat merdu dan mahir sekali, caranya meniup
rasanya tidak lebih asor dari Kek Lam-wi.
Selesai satu lagu Han Cin
lantas berkata: "Itulah syair yang paling digemari Gi-hu semasa hidupnya dulu."
"Ya, aku tahu. Karena
melihat syair tulisannya inilah maka ayah membongkar asal-usul dirinya lalu
bersahabat. Nona Han, kepandaianmu meniup seruling, apakah juga kau pelajari
dari Khu-locianpwe?"
"Bukan, ayah kandungku
sendiri yang mengajar kepadaku."
"O, ayahmu sendiri yang
mengajar," tiba-tiba tergerak hatinya, tanyanya: "Tahukah kau ada
seorang bernama Kek Lam-wi?"
"Tidak tahu. Orang macam
apakah dia?"
"Seorang pemuda yang
kenamaan dari daerah Kanglam."
'"Sejak kecil aku masih
hidup di gunung, baru musim semi yang lalu aku pulang kampung halaman, untuk
pertama kali itulah aku keluar pintu ke tempat jauh, jarang aku bertemu dengan
orang luar, apa lagi orang-orang persilatan. Kalau para pendekar dari generasi
tua, Gi-hu sering bercerita tentang hikayat mereka, tapi untuk kaum muda kukira
Gi-hu sendiri juga tidak tahu. Demikian pula orang she Kek ini, beliau tidak
pernah bicara dengan aku. Tan-toako, kenapa mendadak kau singgung orang ini
terhadapku?"
"Tiupan serulingnya baik
sekali, merupakan seorang kosen dalam bidang ini. Tapi kau ternyata tidak lebih
jelek dari dia."
Merah muka Han Cin, katanya:
"Tan-toako kau menggodaku saja. Seenaknya saja aku belajar dari ayah, mana
boleh dibanding seorang kosen."
"Pujianku bukan sembarang
pujian, tiupan serulingmu memang bagus. Apa lagi kau seorang gadis belia, namun
kau mampu membawakan sebuah lagu duka nestapa dengan baik sekali. Kalau aku
tidak saksikan kau meniup seruling dihadapanku, hanya mendengar dengan kuping
saja, aku pasti kira kau adalah Kek Lam-wi."
"Ah, mana aku pantas
dijajarkan dengan seorang ternama. Tapi bahwa tiupan serulingku ternyata mirip
dengan temanmu, akupun merasa heran."
"Kalian tak ubahnya hasil
didikan dari satu guru."
"O, makanya tadi kau
tanya aku. Mungkin orang yang mengajar meniup seruling kepada ayah dulu,
seperguruan dengan aliran perguruan temanmu itu. Sayang ayah tidak pernah
menyinggung soal ini terhadapku."
"Kukira memang demikian.
Kalau rekaanku ini betul, maka ahli seruling yang mengajar ayahmu itu, tingkatannya
pasti jauh lebih tinggi dari guru Kek Lam-wi."
Han Cin berkata:
"Persoalan yang tidak penting tak usah kita bicarakan lagi mumpung waktu
masih pagi kalau kau mau turun gunung, kukira sudah tiba saatnya kau
berangkat."
"Ya, tadi kau bilang
Khu-locianpwe ada titip barang apa yang hendak kau serahkan padaku di depan
kuburannya, sekarang boleh kau serahkan kepadaku."
Maka Han Cin lantas
menjelaskan: "Inilah surat peninggalan ayah kepadamu."
Ciok-sing terima sampul surat
itu serta membukanya, begitu membaca isi surat seketika dia berdiri melongo.
Kiranya itulah surat yang isinya menyinggung soal jodoh, surat itu ditulis Khu
Ti waktu dia mulai sakit, jadi jauh hari sudah dipersiapkan lebih dulu. Dalam
surat Khu Ti menyatakan bahwa usianya sudah genap tujuh puluh, begitu terserang
penyakit, dia lantas mendapat firasat dan tahu bahwa dirinya takkan hidup lebih
lama lagi, dirasakan hidup ini dia tak pernah melakukan sesuatu yang baik untuk
nusa dan bangsa, hal ini amat disesalkan. Di kala jiwa sudah di ambang pintu
meninggalkan alam baka ini, hati masih dirundung dua persoalan yang selama ini
masih menjadikan tanggungan batinnya.
Membaca sampai disini
lapat-lapat Ciok-sing sudah meraba kemana juntrungnya isi surat selanjutnya,
tanpa kuasa jantungnya berdetak kencang. Memang betul dalam suratnya Khu Ti
berkata lebih lanjut, kedua persoalan yang masih menjadikan ganjalan hatinya
adalah belum mampu membantu It-cu-king-thian mencapai cita-citanya, dan soal
kedua adalah masa depan dan perjodohan putri angkatnya.
Setelah dia memperkenalkan
nama, riwayat hidup serta paras perawakan putri tunggalnya, Khu Ti berkata
lebih lanjut, dia yakin keinginannya yang pertama pasti Ciok-sing tidak
menampik harapannya.
Dia bilang dia tahu bahwa
Ciok-sing belum menikah dan belum punya tunangan, dia yakin bahwa putri
angkatnya adalah jodoh setimpal bagi Ciok-sing. Bahwa dulu dia wanti-wanti
pesan kepada Ciok-sing supaya lekas kembali menengok dirinya, tujuannya juga
hendak merangkap perjodohan ini. Sayang waktu tidak mengizinkan, Thian telah
memanggilnya pulang lebih dahulu, sehingga dia tidak sempat menunggu Ciok-sing
kembali menemuinya. Maka dia meninggalkan surat pesan ini dan diminta Ciok-sing
suka menganggap surat pesan ini sebagai bukti dari ikatan perjodohan itu.
Dua baris terakhir dari
tulisan surat itu kelihatan coret moret dan tenaganya tampak lemah, itulah
tulisan tambahan di kala Khu Ti sudah mendekati ajal. Dia sudah bertemu dengan
putri angkatnya — — Han Cin, juga sudah tahu kalau ayah Han Cin sudah
meninggal. Maka dalam pesannya terakhir dia menambahkan bahwa mereka berdua
kini sudah menjadi anak sebatang kara, maka dia lebih mengharap akan perjodohan
ini, umpama Ciok-sing tidak menyukai putri angkatnya, dia minta supaya
Ciok-sing wakilkan dia melindunginya. Tapi Khu Ti tidak sempat memberi
penjelasan kepada putri angkatnya, maka dia hanya bisa titip surat pesan ini
kepadanya, supaya putri angkatnya yang serahkan langsung kepada Ciok-sing. Dua
baris kalimat terakhir nadanya lebih ditekankan lagi: "Aku bersahabat
dengan generasi keluargamu, yakin Hiantit akan mengabulkan keinginanku terakhir
ini dengan senang hati."
Setelah membaca surat ini,
ruwet pikiran Ciok-sing. Hatinya gundah dan bingung. Lama dia berdiri menjublek
di depan kuburan Khu Ti.
Memang dia sudah berkeputusan,
yakin dia sudah memutus tali asmara, memutuskan hubungan cintanya dengan In
San. Tapi bagaimana juga bayangan In San masih selalu terbayang dalam benaknya,
memangnya sedemikian cepatnya dia lantas mengalihkan sasaran cintanya kepada
orang lain? Apalagi baru hari ini dia berkenalan dengan Han Cin, berkumpul juga
baru satu dua jam? Tapi sesuai apa yang dikatakan dalam surat Khu Ti, tiga
generasi keluarganya semua berhutang budi terhadapnya, memangnya pantas dia
menyia-nyiakan harapan orang yang luhur?
Melihat sikap orang seperti
linglung, Han Cin jadi kuatir, katanya: "Apa yang dikatakan Gi-hu dalam
suratnya? Apakah tugas yang harus kau lakukan teramat sukar dan berabe?"
Sudah tentu kikuk dan rikuh
Ciok-sing dibuatnya, katanya: "Nona Han, apa kau tidak pernah baca surat
ini?"
"Itukan surat Gi-hu untuk
kau, mana boleh aku membuka dan membacanya?" seolah-olah dia merasa heran
akan pertanyaan Ciok-sing ini.
Legalah hati Ciok-sing,
katanya: "Kukira dia sudah tunjukkan kepadamu lebih dulu."
"Kenapa dia harus
tunjukkan kepadaku dulu? Memangnya dalam surat beliau menyinggung diriku?"
"Betul, dalam surat
beliau menyinggung dirimu."
Tanpa merasa berdebar jantung
Han Cin, tanyanya menunduk dengan suara lirih: "Gi-hu menyinggung soal apa
tentang diriku?"
"Beliau menghendaki kita
seperti saudara sekandung, dia minta aku melindungi dan membimbingmu, dan
kaupun harus membantu aku."
Selama hidup tak biasa dia
berbohong, tapi bukan tidak pernah dia bohong, terhadap orang jahat dia pernah
ngapusi. Tapi terhadap orang baik, terutama terhadap sahabat, baru pertama kali
inilah dia berbohong. Karuan mukanya merah sendirinya. "Tapi Khu-locianpwe
memang menghendaki aku melindungi dia, kalau dia sebagai anak angkatnya,
sebaliknya aku tak ubahnya sebagai keponakannya, kalau dikata sebagai kakak
adik kan tidak janggal," dengan demikian dia menghibur diri dalam hati
Lambat laun sirna juga rasa
jengah Han Cin, katanya kemudian dengan suara tawar: "Gi-hu begitu serius,
memangnya beliau hanya berpesan soal-soal ini saja."
"Ya, dalam pandangan
Gi-humu, hal ini dirasa amat penting sekali. Dalam dunia ini beliau hanya punya
kau sebagai sanak kadang. Akupun harus berterima kasih dan membalas budi
kebaikannya, sebelum ajal, beliau sudi pandang diriku seperti sanak kadang
sendiri. Nona Han, sudikah kau mempunyai engkoh seperti diriku ini?"
"Aku tiada punya ayah
bunda atau kakak beradik, kini Gi-hu yang menjadi sandaranku juga sudah
meninggal. Tan-toako, kalau sudi memandangku sebagai adik, kumintapun belum
tentu bisa tercapai. Cuma aku kuatir adikmu yang tidak berguna ini bakal
menjadikan beban berat bagi dirimu."
"Yang tak berguna justru
aku, kalau tiada bantuan adik yang baik seperti dirimu, mungkin sekarang aku
sudah mati atau terluka parah, masakah aku bisa berdiri disini
berbincang-bincang dengan kau?" maka keduanya lantas bersembah sujud di
hadapan kuburan Khu Ti saling mengangkat kakak dan adik.
Memang Han Cin tidak pernah
membaca surat itu, tapi sebenarnya dia tahu apa isi surat itu. Walau sebelum
ajalnya Khu Ti tidak memberi penjelasan kepadanya, tapi dari pembicaraannya dia
sudah maklum akan maksud tujuan ayah angkatnya, yaitu ingin menjodohkan dirinya
dengan Tan Ciok-sing.
"Mungkin ayah juga
berpikir, karena aku adalah orang asing yang belum pernah bertemu dengan dia,
jikalau sekali ketemu lantas bicara soal jodoh, bukankah serba salah jadinya,
maka beliau ingin supaya kami sebagai kakak beradik dulu. Bahwa Gi-hu
menyuruhnya melindungi aku, bukankah secara tidak langsung sudah menunjukkan
maksudnya yang nyata," demikian batin Han Cin.
Yang benar, setelah dia tahu
kemana maksud sang ayah, hatinya ikut ruwet dan bingung. Pada hal sang ayah
memuji Tan Ciok-sing sebaik itu, betapapun dia adalah laki-laki yang masih asing
untuk dirinya, darimana dia bisa tahu kalau orang suka atau tidak terhadap
dirinya? Umpama sekarang dia sudah berhadapan dengan Ciok-sing, diapun tidak
tahu apakah dia sudah betul-betul jatuh cinta terhadap sang jejaka ini?
Tadi dia sudah saksikan Kungfu
Ciok-sing, apa yang dipujikan sang ayah memang tidak berkelebihan. Dari
pergaulan permulaan ini, diapun sudah merasakan kalau Tan Ciok-sing adalah
laki-laki sejati yang patut dipercaya dan dihormati. Dia juga tidak menyangkal,
bahwa semakin lama dia semakin kasmaran terhadap pemuda gagah ini. Tapi bicara
soal jodoh, lain pula persoalannya, "suka" belum tentu berarti
"cinta".
"Urusan kelak biarlah
dibicarakan kelak. Mungkin aku bakal jadi isterinya, atau selamanya kita tetap
sebagai kakak adik, itupun tiada ruginya. Apalagi aku menyukai dia, maka diapun
harus menyukai aku. Masakah berdasarkan surat pesan maka dia harus cinta dan
mengawini aku, apa pula artinya?" setelah Han Cin dapat berpikir demikian,
perasaannya menjadi lapang dan bersyukur bahwa sang ayah ternyata memang punya
perhitungan dalam memegang rol perjodohon ini, dan ini justeru mencocoki
seleranya pula.
"Adik Cin, selanjutnya
bagaimana?" tanya Ciok-sing kemudian.
"Entahlah. Ayah sudah
meninggal, semula kukira aku dapat mencari perlindungan kepada Gihu,"
sikapnya tampak hambar.
"Apakah di kampung
halaman kau tidak punya sanak kadang lagi?"
"Famili dekat tiada, ada
juga famili jauh kalau mau diurutkan satu dengan yang lain, tapi mereka adalah
kaum pedagang kecil, aku tidak ingin bersandar pada mereka."
Merandek sejenak akhirnya Han
Cin berkata lebih lanjut: "Sebetulnya aku bisa pulang ke sekolahan ayah
dulu, orang-orang desa itu semuanya jujur dan menyenangkan. Aku yakin bisa
hidup berdampingan dengan mereka. Tapi bicara terus terang, selama belasan
tahun aku hidup di dusun kecil itu, akhirnya menjadi bosan juga. Dulu ada ayah
sebagai teman, ada pula Gi-hu mengajar Kungfu, memang kehidupan terasa tentram
dan menyenangkan. Ai, tapi selanjutnya lain pula yang bakal kuhadapi."
Berpikir sejenak akhirnya
Ciok-sing berkata: "Kau memiliki kepandaian, memang tidak pantas memendam
diri di pedusunan selama hidup ini. Adik Cin, marilah kau ikut aku saja,"
sebetulnya Ciok-sing sendiri juga belum punya keputusan, namun teringat akan
pesan Khu Ti supaya dia melindungi adik angkatnya ini, maka dia tidak banyak
pikir lagi.
Kelihatannya Han Cin agak
kikuk dan serba susah, katanya: "Antara kakak beradik memang tidak perlu
sungkan dan main sembunyi, tapi memangnya aku harus mengikuti kau selalu,"
sebetulnya dia ingin bilang 'memang aku harus ikut kau selamanya' untung dia
sempat membatalkan kata-katanya ini, namun demikian tak urung merah selebar
mukanya.
Ciok-sing mendongak
mengawasi gumpalan mega
seperti memikirkan sesuatu, seakan-akan dia tidak begitu perhatikan perubahan
mimik muka Han Cin, mendadak dia berseru: "Nah, ada."
"Ada apa?" tanya Han
Cin.
"Apa kau tahu Kim-to Cecu
yang bermarkas diluar Gan-bun-koan?" tanya Ciok-sing.
"O, apakah Kim-to Cecu
Ciu San-bin yang kau maksud. Dia merupakan tonggak utama di daerah
Gan-bun-koan, pernah beberapa kali dia membendung dan malah memukul mundur
invansi pasukan Watsu, sering Gi-hu bercerita tentang pahlawan tua yang perwira
ini. Kau tanya soal dia, memangnya kau kenal Kim-to Cecu, dan ingin mengajakku
ke markasnya?" demikian tanya Han Cin sambil menjingkrak girang.
"Aku sendiri belum pernah
ketemu dengan Kim-to Cecu, tapi ada kenalan baikku disana. Dalam markasnya ada
detasemen wanita, mereka kini tengah memerlukan tenaga gadis-gadis militan,
jika kau mau membantu mereka, mereka pasti senang menerimamu."
"Baiklah kalau
begitu," Han Cin bersorak girang.
"Tapi kau harus menolong
aku lebih dulu," ujar Ciok-sing.
"Menolong soal apa,
Toako, lekas katakan saja, tak usah sungkan."
"Kepandaianmu merias
orang sungguh amat ahli. Kupikir sukalah kau tolong merubah aku menjadi orang
lain. Di kota Tay-tong aku pernah membuat geger, aku kualir pengusaha disana
mengenali diriku."
"Itu gampang. Kau suka
jadi tua? Muda? Gagah, ganteng? Atau yang jelek rupa?"
"Apa saja bolehlah, jadi
jelek seperti badut juga tidak jadi soal. Yang penting orang lain takkan
mengenali diriku lagi."
"Baiklah, mari kita
kembali ke pondok Gi-hu. Gi-hu masih meninggalkan beberapa perangkat pakaian
lama, biar nanti kurobah sedikit, besok baru mulai menyolek dirimu."
Malam itu Ciok-sing tidur di
ruang tamu bagian luar, sementara Han Cin tidur di kamar ayah angkatnya, tapi
sampai kentongan ketiga sinar pelita masih kelihatan menyorot keluar dan dalam
kamar, agaknya Han Cin giat menjahit pakaian. Sungguh haru dan terima kasih
hati Ciok-sing, namun dia merasa rikuh untuk mengganggu pekerjaan orang,
terpaksa dia tinggal diam dan pura-pura tidur nyenyak. Pada hal pikirannya
timbul tenggelam, hatinya gundah kalau bayangan Han Cin tersorot ke jendela kamarnya,
adalah bayangan In San selalu terbayang dalam benaknya, kira-kira menjelang
fajar baru tanpa terasa dia tertidur lelap.
Hari kedua pagi-pagi, Han Cin
membangunkannya, katanya tertawa: "Toako, bangunlah, aku akan merubahmu
jadi laki-laki jelek."
Pakaian yang dijahit dan
dipermaknya itu seperti telah diukur dan dicobakan dulu kepada Ciok-sing saja,
ternyata pas dan cocok dengan perawakan Ciok-sing. Setelah Ciok-sing masuk
kamar salin pakaian, mulailah Han Cin merias dia, setelah rampung Han Cin sodorkan
sebingkai kaca kepadanya, tampak seraut wajah yang tampak didalam kaca adalah
orang desa penduduk setempat, memangnya bentuk wajahnya kelihatan kurus
panjang, kini berubah bundar gemuk.
Dengan tertawa Han Cin
berkata: "Kini kau pantas menjadi seorang pedagang kecil yang suka
mengkreditkan barang-barang klontong di antara penduduk pegunungan, kaum
pedagang kecil seperti ini cukup banyak di Tay-tong, kau puas tidak?"
"Teramat puas. Aku
sendiri hampir tidak mengenali wajahku sendiri."
"Sarapan pagi sudah
kusiapkan, kutaruh di dapur, kalau sudah dingin silahkan kau panaskan lagi.
Sebentar kau makan sendiri,
aku mau turun gunung."
"Kenapa kau tidak turun
gunung bersamaku?"
"Aku akan titipkan buku
dan lukisan peninggalan Gi-hu kepada seorang kenalan baiknya, setelah mohon
diri pada kenalan ayah di desa."
"Apa aku tidak boleh
ikut?"
Han Cin tertawa: "Mereka
adalah kenalan baikku, kalau para tetangga berbondong-bondong datang tanya
kepadaku pernah apa kau dengan diriku, cara bagaimana aku harus menjelaskan?"
Merah muka Ciok-sing, seketika dia bungkam.
"Setelah kau turun
gunung, tunggulah aku di kedai arak Gi-hu dulu, kira-kira setengah jam setelah
lewat lohor, aku akan sudah tiba di tempat itu," lalu dia menjinjing
sebuah koper kulit yang penuh berisi buku dan gambar meninggalkan gubuk, dengan
mengembangkan ginkang dia berlari turun gunung. Melihat langkah orang ternyata
enteng dan lincah, diam-diam Ciok-sing merasa kagum.
Setelah sarapan pagi Ciok-sing
turun gunung, dia berjalan seenaknya saja, kira-kira menjelang lohor dia sudah
sampai di kedai arak Khu Ti yang terletak di kaki gunung. Kedai arak ini sudah
tinggal puing-puingnya saja, dua batang pohon di samping kedai masih ada, maka
Ciok-sing istirahat duduk di bawah pohon.
Setengah jam telah berselang,
tapi belum tampak bayangan Han Cin. Tengah Ciok-sing merasa gelisah, mendadak
tampak seorang pemuda dari penduduk setempat menghampiri ke depannya, berdiri
sejenak lalu mengawasi dirinya dari kepala sampai kaki. "Tuan, kau datang
dari luar daerah bukan, siapa yang kau tunggu disini?" demikian tanya
pemuda itu.
"Aku, aku, darimana kau
tahu kalau aku sedang menunggu orang?" Ciok-sing balas bertanya.
"Kulihat kau duduk disini
sudah lebih setengah jam, bukankah sedang menunggu orang, kalau tidak kenapa
tidak cari kedai minum yang lain. Memang disini dulu ada kedai arak, tapi sudah
dibakar habis oleh tentara," demikian ujar si pemuda pula.
Sudah tentu Ciok-sing jadi
serba susah untuk menjelaskan. Walau dia tahu bahwa pemuda ini tidak mengandung
maksud jahat, tapi mana boleh dia memberirahu secara terang-terangan? Di saat
dia kebingungan itulah, si pemuda tiba-tiba tertawa geli, katanya: "Kau
sedang menunggu seorang nona she Han bukan?"
Ciok-sing berjingkrak kaget
dan senang, katanya: "O, jadi nona Han yang menyuruh kau kemari?
Apakah dia mengalami suatu
kejadian apa sehingga tak keburu kemari?"
"Dia sih sudah
datang," sahut si pemuda.
"Dimana?" tanya
Ciok-sing sambil celingukan, kecuali pemuda di hadapannya, di sekitar situ
tiada bayangan orang ketiga.
Akhirnya pemuda itu cekikikan,
katanya: "Jauh di ufuk dekat di depan mata," suaranya mendadak
berubah, dari suara laki-laki yang serak dan kasar menjadi suara merdu bak
kicau burung kenari.
Baru sekarang Ciok-sing sadar,
katanya tertawa sambil menepuk paha: "Bagus ya, aku menunggumu dengan
gelisah, kau justru mempermainkan aku."
"Aku ingin coba-coba apa
kau masih mengenali aku. Merubah wajah gampang, aku kuatir suaraku yang gampang
dikenali akan kepalsuanku."
"Pasti orang takkan
curiga kepadamu. Tapi kenapa kau menyamar jadi pemuda?"
"Meski kita kini kakak
adik, tapi wajah berbeda, orang luar kan tidak tahu apalagi laki perempuan
seperjalanan, tentunya menarik perhatian orang."
"Itu aku tahu. Tadi aku
kira kau akan menyaru jadi seorang kakek. Samaranmu menjadi Gi-humu kemarin
sungguh bagus sekali."
"Kalau aku menyaru jadi
kakek, maka kau akan menjadi cucuku, bukankah lebih menguntungkan aku
malah?"
"Kau memang adik binal,
baiklah, tak usah ribut-ribut, marilah berangkat."
"Aku takkan melakukan
kesalahan, sebaliknya kaulah yang harus selalu hati-hati. Ingat, selanjutnya
jangan panggil aku Hian-moay, tapi panggillah Hian-te, mari."
Mengawasi dandanan Han Cin,
tanpa terasa Ciok-sing teringat pula kepada In San, waktu pertama kali dia
bertemu dengan In San di tengah perjalanan diluar kota Tay-tong, In San juga
sedang menyamar jadi laki-laki. Walau tidak semirip samaran Han Cin sekarang,
waktu itu diapun tidak bisa membedakannya.
"Eh," seru Han Cin,
"apa yang sedang kau lamunkan Toako? Wajahmu tampak lesu, memangnya kau
kurang senang karena kugoda tadi?"
"Memangnya kau kira
Toakomu ini suka rewel dan bawel. Aku sedang terkenang pada ayah angkatmu,
terbayang olehku pada hari perkenalanku di kedai itu dengan beliau. Meski kedai
sudah terbakar, tapi kejadian itu masih tetap semayam dalam sanubariku,"
habis berkata tanpa sadar mukanya jengah. Inilah untuk kedua kalinya dia
berbohong kepada Han Cin.
Tapi sekarang dia betul-betul
teringat kepada Khu Ti.
Terbayang akan Khu Ti serta
merta dia mengawasi Han Cin di depannya, perasaannya semakin hambar. Selama ini
dia belum membalas kebaikan Khu Ti, memangnya dia menyia-nyiakan maksud dan
harapan Khu Ti.
Untung Han Cin tidak
membongkar rahasia sanubarinya, selama hidupnya baru pertama kali ini dia
seperjalanan dengan seorang laki-laki kecuali ayah kandungnya sendiri, walau
kadang kala dia membawakan juga watak dan perangai seorang gadis belia umumnya,
tapi ini menandakan betapa senang dan gembira hatinya. Mungkin belum bisa
dikatakan sudah terjalin cinta di antara mereka, tapi keadaan mereka sudah
layak seperti kakak beradik. Sepanjang perjalanan ini keduanya sering
berkelakar, Ciok-sing sendiri sering juga terhibur hatinya oleh banyolan Han
Cin, sehingga rasa masgulnya selama ini sirna tanpa terasa. Memang banyak
persamaan antara Han Cin dengan In San, tapi Han Cin lebih riang dan lincah
suka berkelakar dari In San.
Hari itu mereka tiba di
Tay-tong. Maklumlah sebagai kota yang cukup besar dan penting di daerah barat
daya, setelah mengalami petaka peperangan, lekas sekali Tay-tong sudah sembuh
dari kebobrokan perang, pendudukpun telah pulih juga usahanya.
"Toako," kata Han
Cin, "apakah kita tidak perlu cari hotel untuk menginap?" maklum dia
kuatir Tay-tong sebesar dan seramai ini, tentu sulit mencari penginapan. Selama
beberapa hari perjalanan ini, setiap kali menginap di hotel mereka selalu minta
dua kamar, memangnya setelah terjadi peperangan ini, banyak pedagang yang
menghentikan usahanya, sehingga jarang orang keluar pintu, dengan sendirinya
usaha perhotelan menjadi sepi, kebetulan kalau mereka suka memesan dua kamar.
Tapi setiba di Tay-tong, keadaan jelas berbeda. Agaknya Ciok-sing tahu maksud
hatinya, katanya dengan senyum simpul: "Kita tak perlu menginap di
hotel."
"Kau punya teman-baik di
Tay-tong ini."
"Kukenal secara kebetulan
saja, mungkin tak terhitung teman. Tapi aku yakin dia pasti dengan senang hati
menyambut kedatangan kita."
"Kecuali keluarga In,
kukira tiada keluarga besar lainnya yang ternama dalam kota Tay-tong, siapa
orang yang kau kenal ini?"
"Orang ini sedikitpun
tidak bisa main silat, tapi usahanya mirip ayah angkatmu, diapun membuka kedai
minuman."
Letak kedai minum itu hanya
terpaut satu gang dengan rumah keluarga In, waktu Tan Ciok-sing datang ke
Tay-tong, tempo hari, diapun mencari tahu berita keadaan rumah keluarga In dari
kedai minum ini. Pemilik kedai kira-kira sebaya dengan Khu Ti, anak isteri
sudah meninggal, namun dia lebih beruntung dari Khu Ti, karena ada seorang cucu
laki-laki yang menemaninya. Kedai itu berada di sebuah gang sempit yang
nyelempit, waktu mereka masuk kedai, kebetulan keadaan sepi tanpa seorang
pembeli.
Begitu masuk pintu Tan
Ciok-sing berkata dengan tersenyum: "Berikan semangkok air bening, aku
sudah cukup puas. Tak perlu kau merasa rikuh karena tiada daun teh."
Sudah tentu Han Cin
kebingungan, tidak tahu kenapa Tan Ciok-sing berkata demikian. Pada hal mereka
sudah berada dalam kedai, sementara orang tua pemilik kedai itu sudah suruh
cucunya menyeduh teh. Sudah tentu begitu mendengar kata-kata Ciok-sing, kakek
dan cucu ini sama melengak saling pandang, dengan seksama mereka mengamati
Ciok-sing dari atas sampai bawah.
Kembali Tan Ciok-sing berkata:
"Adik cilik, apakah kue kering ini enak rasanya? Sayang kali ini aku tidak
bawa oleh-oleh kue kering untukmu. Tapi waktu masuk kota tadi di pintu luar aku
ada membeli sebungkus bolu, mungkin bolu ini lebih enak dari kue kering
itu."
Seketika bercahaya sorot mata
bocah cilik itu, teriaknya sambil berjingkrak girang: "Bukankah kau ini
paman Tan yang dulu memberi kue kering untukku itu?"
"Betul," ujar
Ciok-sing, "ternyata kau masih ingat."
"Lho, kenapa kau berubah
begini? Sedikitpun tidak mirip paman Tan yang dulu itu? Apa betul kau ini paman
Tan?"
"Panjang kalau
diceritakan, tapi entah mengganggu usaha kalian tidak?" ujar Ciok-sing.
Laki-laki tua itu seketika
paham, lekas dia mendesis sekali lalu berkata: "Siau-gu, jangan
ribut," lalu dia berpaling dan berkata kepada Tan Ciok-sing:
"Duduklah sebentar," bergegas dia lari ke meja kasir serta menyobek
selembar kertas putih dia menulis: "Memperbaiki tungku, libur
sehari", lalu dia tempel kertas putih ini di atas daun pintu yang sudah
dia rapatkan lebih dulu. Lalu dengan rasa lega dia berjalan masuk dan berkata:
"Sekarang boleh kita berbincang dengan leluasa."
"Kembali aku mengganggu
kalian, sungguh kurang enak. Inilah adik angkatku. Dia she Han," Ciok-sing
perkenalkan Han Cin.
Sikap laki-laki tua tampak
ragu-ragu, katanya: "Apa betul kau adalah tamu kita yang kemari tempo
hari, kuingat hari itu kau datang menunggang kuda."
"Betul, waktu itu
Tay-tong baru saja bebas dari jajahan tentara musuh, toko-toko belum ada yang
buka, waktu aku datang malah ada yang kira aku mata-mata musuh. Untung kalian
baik hati, sudi membuka pintu sehingga aku bisa istirahat disini. Aku diberi
air minum", kudakupun dirawat baik. Lebih mengharukan lagi adalah kalian
mau mempercayai aku, berita diam-diam dia yang ingin kuketahui kalian sudi
memberitahu padaku."
Laki-laki tua itu berseri,
katanya: "Ternyata kau memang benar Tan-siangkong. Tan-siangkong,
samaranmu sebagus ini, kini kau betul-betul menjadi seorang yang lain, jikalau
kau tidak bicara sejelas ini bagaimana juga aku takkan percaya padamu."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "kalau kau belum percaya, tolong ambilkan sebaskom air dingin,
setelah bentuk wajahku yang asli pulih, boleh kau buktikan sendiri."
"Ah, tak usahlah, walau
kita tidak perlu menjaga adanya kuping di balik dinding, harus juga hati-hati
bila tetangga tahu-tahu ada yang menerobos kemari."
Setelah yakin akan kedatangan Ciok-sing
yang menyamar ini, laki-laki tua itu menjadi sciung dan sibuk, katanya:
"Siau-gu, lekas seduh teh lagi," baru saja bocah itu hendak mencomot
daun teh, mendadak dia tarik tangannya, katanya tertawa: "Coba lihat, aku
jadi linglung jadinya, Siau-gu marilah kita sembah dulu kepada Tuan
penolong."
Lekas Tan Ciok-sing tarik
mereka, katanya: "Loyacu, kenapa kau begini sungkan, mana berani aku
menerima penghormatan sebesar ini? Budi kebaikanmu belum lagi aku
membalasnya."
"Bantuan kita kecil tak
berarti? Justru kau adalah penolong jiwa raga kami kakek dan cucu. Jikalau kau
tidak tinggalkan rangsum setengah karung itu, mungkin sejak lama kita sudah
mati kelaparan."
"Loyacu, kembaliku ini
akan minta pertolonganmu lagi, aku kuatir mungkin bisa membikin repot
dirimu."
Berkerut alis laki-laki tua,
katanya: "Tan-siangkong silakan katakan saja. Jangan kau anggap aku
sebagai manusia rendah yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang lain."
"Teramat berat kata-kata
Loyacu. Kejadian malam itu tentunya kau sudah tahu, jikalau ada yang tahu kau
pernah menerima kedatanganku..."
"Jangan kata tiada orang
yang kenal kau, umpama betul terjadi sesuatu diluar dugaan, akupun tidak akan
menyesal. Silakan katakan."
Seketika lebar tawa laki-laki
tua itu, katanya: "Kukira ada urusan apa, ternyata hanya menginap beberapa
hari saja, biarlah kuanggap kalian sebagai familiku yang datang dari jauh.
Sudah tentu asal kalian tidak merasa kotor dan kurang memuaskan pelayanan
kami."
Tergerak hati Han Cin,
batinnya: "Kenapa dia hanya bilang aku seorang saja?" tapi tidak enak
dia langsung tanyakan hal ini kepada Ciok-sing. Demikian pula laki-laki tua itu
kira, mereka datang bersama, sepantasnya keduanya akan menginap di rumahnya,
maka dia tidak perhatikan tekanan kata-kata Ciok-sing.
Laki-laki tua berkata:
"Bicara soal kejadian malam itu, ada yang ingin kutanyakan. Malam itu kau
pergi ke rumah keluarga In, kira-kira kentongan ketiga, tahu-tahu rumah
keluarga In dikepung pasukan pemerintah, dan menjelang fajar rumah itupun
dibakar. Kira-kira menjelang kentongan ke empat kau kembali kesini mengambil
kuda, waktu itu aku belum sempat tanya padamu, apakah kau sudah bertemu dengan
In Tayhiap dan putrinya? Apapula yang terjadi malam itu?"
"Malam itu aku bertemu
dengan In-hujin. Nona In baru belakangan kuketemukan," demikian sahut
Ciok-sing.
"O, jadi In-hujin
betul-betul pulang. Tapi hanya dia seorang saja yang kembali?"
"Sudah tentu hanya
seorang diri saja. In-hujin pulang hendak menengok putrinya, mana bisa dia
membawa orang luar ke rumah sendiri."
Laki-laki tua itu tahu bahwa
Ciok-sing tentu sudah tahu liku-liku rahasia keluarga In, katanya: "Kalau
demikian, kali ini mereka memang keliru menyalahkan In-hujin."
"Mereka? Siapa yang kau
maksud?"
"Orang luar, mereka punya
cerita yang lain pula coraknya."
"Bagaimana cerita
mereka?"
"Mereka bilang In Tayhiap
telah pulang secara diam-diam, maksudnya hendak membawa pergi putrinya, entah
kenapa rahasia kedatangannya bocor dan diketahui In-hujin. Maka In-hujin
menyusul pulang dengan membawa pasukan, tujuannya hendak membekuk sang suami
dan merebut kembali putrinya. Mereka juga bilang pernah melihat In Tayhiap dan
putrinya dikepung oleh pasukan besar tapi akhirnya mereka bisa
"terbang" keluar. Tapi ada pula yang mengatakan, hanya melihat In
Tayhiap, tapi tidak melihat putrinya. Perempuan yang akhirnya
"terbang" keluar itu adalah In-hujin, tapi dia sedang mengudak sang
suami dan hendak meringkusnya."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Cerita mereka hakikatnya tanpa dasar. Malam itu memang betul ada
seorang laki-laki yang "terbang" keluar tapi bukan In Tayhiap,
melainkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, sahabat baik In Tayhiap semasa
hidupnya. Dialah yang melindungi In-hujin menjebol kepungan, jadi pasukan itu
bukan In-hujin yang membawanya kemari, malah sebaliknya pasukan itupun hendak
menangkap In-hujin."
Laki-laki tua pemilik kedai
terkejut, katanya: "In Tayhiap sudah menghilang sejak beberapa tahun lalu,
ternyata dia sudah meninggal," mendadak dia awasi Ciok-sing, katanya
dengan tertawa: "Diluar masih ada pula kisah lain yang berbeda,
kedengarannya bukan saja aneh, lucu juga terlalu dibesar-besarkan."
Tan Ciok-sing melengak,
katanya: "Kisah aneh dan lucu apa?"
"Malam itu ada juga yang
melihat seorang pemuda yang terbang keluar. Mereka bilang pemuda itu adalah
murid In Tayhiap, kelak In Tayhiap akan menjodohkan putrinya dengan dia."
Ciok-sing tertawa geli,
katanya:
"Ah, itu hanya obrolan
yang mengada-ada saja, pemuda yang terbang keluar itu adalah aku,"
"Ya, aku sudah duga, tapi
aku harap apa yang mereka katakan..."
Ciok-sing tahu apa yang akan
diucapkan orang tua ini, lekas dia menyeletuk: "kejadian malam itu sudah
kujelaskan. Marilah kita bicarakan persoalan yang lain. Aku ingin tahu kecuali
peristiwa pembakaran rumah keluarga In oleh pasukan pemerintah, adakah terjadi
kasus yang lain?"
"Ya, teringat aku,
kira-kira tiga hari yang lalu, ada orang pernah mampir di kedaiku ini minum
teh, dia mencari tahu berita nona In. Kukira kau tahu akan orang ini."
"Orang macam apa
dia?"
"Dia mengaku sebagai
pesuruh dari keluarga Toan di Tayli, katanya dia ditugaskan sang majikan untuk
mencari jejak nona In, bila perlu mengajaknya pulang ke Tayli pula."
Waktu Tan Ciok-sing datang
tempo hari, diapun mengaku sebagai pesuruh keluarga Toan yang diminta menjemput
In San ke Tayli. Katanya: "O, ada kejadian ini? Apakah orang itu sekarang
masih ada di Tay-tong?"
"Pernah sekali saja dia
kemari tiga hari yang lalu, akhirnya tidak pernah muncul pula, entah dia sudah
pergi belum? Tan-siangkong agaknya kau tidak tahu menahu akan hal ini?"
"Selama ini aku belum
kembali ke Tayli, mungkin Siau-ongya mengutus yang lain pula, hal itu aku tidak
tahu."
Tanpa terasa hari sudah mulai
petang, didalam rumah bila pintu sudah ditutup, keadaan menjadi remang-remang.
Laki-laki tua berkata dengan tertawa: "Coba betapa bodohnya aku ini, asyik
bicara saja, sampai lupa masak nasi untuk makan nanti."
"Tak usahlah, aku belum
lapar."
"Bagaimanapun harus makan
nasi. Kalian sudah menempuh perjalanan sehari, tentunya sudah letih. Setelah makan
boleh silakan istirahat saja."
Bicara soal tidur, jantung Han
Cin jadi dag dig dug, diam-diam dia berpikir: "Pemilik kedai ini dari
keluarga miskin, modalnya juga kecil tempatnya sempit, memangnya ada kamar
kosong untuk tempat kami. Bagaimana malam ini aku harus tidur?"
Setelah makan malam laki-laki
tua itu berkata: "Tan-siangkong, ada sebuah kamar kosong, kebetulan untuk
tidur kalian berdua. Siau-gu, hayo bantu kakek membersihkan kamar kakek
itu."
Lekas Han Cin berkata:
"Jangan repot-repot Loyacu, aku bisa tidur di ruang ini, cukup di atas
meja yang dijajar saja."
"Mana boleh tamu diladeni
sekasar itu? Kamar itu memang kosong, tidak jadi soal untuk tempat tinggal
kalian," setelah menghela napas, dia menjelaskan: "Kamar itu dulu
kamar tidur ayah bunda Siau-gu semasa masih hidup, ibu Siau-gu meninggal
setelah dia lahir tidak lama kemudian, ayahnya meninggal di medan pertempuran
waktu itu pasukan besar Watsu menyerbu kemari. Sekarang kamar itu kubuat
menumpuk kayu-kayu bakar, namun dipannya tak pernah diusik. Cukup dibersihkan
saja lantas boleh digunakan."
Tan Ciok-sing menguap,
katanya: "Ya, memang sudah capai."
"Memangnya," kata
laki-laki tua, "sehari penuh kalian menempuh perjalanan, siapa yang takkan
merasa letih? Kalian tidak usah sungkan, silakan istirahat," dalam pada
itu Siau-gu sudah selesai membersihkan kamar itu.
"Merepotkan kau saja,
sungguh rikuh rasanya, kau orang tua juga silakan istirahat," demikian
kata Tan Ciok-sing, setelah mengucap 'selamat malam' dia lantas masuk ke kamar.
Apa boleh buat terpaksa Han Cin ikut dia masuk ke kamar.
Setelah menutup pintu, seperti
tertawa tidak tertawa Ciok-sing pandang Han Cin, katanya: "Kau masih belum
ngantuk?"
Han Cin jadi uring-uringan,
katanya kesal: "Kau betul-betul letih, aku sih tidak biasa tidur pagi.
Ranjang ini boleh kau pakai, kau sudah ngantuk silakan tidur. Aku cukup samadi
di bawah saja."
"Sebetulnya aku tidak
ingin tidur pagi-pagi," kata Ciok-sing tertawa.
"Lalu, kenapa kau
buru-buru mengajakku masuk kamar?"
Dengan suara lirih Ciok-sing
berkata: "Aku tahu ada persoalan yang ingin kau tanya kepadaku, akupun ada
hal-hal yang ingin kujelaskan padamu. Di kamar ini lebih leluasa kita
berbicara."
Han Cin jadi paham dan sadar,
katanya tertawa: "Jadi kau ngapusi orang tua itu. Agaknya kau memang
pandai membual."
"Kalau tidak merugikan
orang lain, apa salahnya bila perlu membual?"
"Jadi kau punya hubungan
seintim itu dengan keluarga In, kenapa tidak kau beritahu kepadaku?"
"Kukira ayah angkatmu
sudah ceritakan kepadamu."
"Aku tahu ayah In Tayhiap
dulu adalah sekolega dengan Gi-hu, tapi tak pernah beliau membicarakan hubungan
antara keluarga Tan dan keluarga In. Waktu aku buru-buru pulang akhir kali itu,
beruntung dapat menemuinya sebelum ajal. Aku tahu banyak yang ingin dia
bicarakan dengan aku, sayang sang waktu sudah tidak memberi kesempatan
lagi."
"Perkenalanku dengan In
Tayhiap jauh sebelum aku kenal ayah angkatmu, tapi tentang hubungan kedua
keluarga juga kuketahui setelah aku bertemu dengan ayah angkatmu. Ayah angkatmu
memberitahu, baru aku tahu."
"Kalau demikian keluarga
In menanam budi terhadapmu, keluarga In pun hutang budi terhadapmu. Jadi
hubunganmu dengan keluarga In tentunya luar biasa baiknya. Bagaimana keadaan
In-hujin? Kau pernah menolong suaminya, pasti dia merasa hutang budi dan amat
berterima kasih padamu, mungkin memandangmu seperti keponakan sendiri? Kenapa
kau tidak ikut dia?"
"In-hujin sudah
meninggal, menurut apa yang kutahu akhirnya dia sudah berada di markas Kim-to
Cecu, seperti keadaan ayah angkatmu, kebetulan dia sempat melihat wajah
putrinya untuk terakhir kali. Aku pernah janji kepada ayah angkatmu untuk
menemui It-cu-king-thian di Kwi-lin, waktu amat mendesak maka aku tak sempat
mengiringi dia pergi ke markas Kim-to Cecu."
Han Cin menghela napas,
katanya: "Nasib nona In itu ternyata juga amat menderita"
"Nasib kita bertiga
memang sama, semuanya yatim piatu, tiada sanak kadang lain lagi dalam dunia
ini."
Tak tertahan menyeletuk
pertanyaan Han Cin: "Kau kan senasib sepenanggungan dengan nona In itu,
kenapa kau tidak berada sama dia?"
"Memangnya dengan kau
sekarang aku tidak senasib sepenanggungan?"
"Jangan kau menyeret
diriku, mana aku berani dibanding dengan putri In Tayhiap?" lalu dia
bertanya, "kalau dia putri In Tayhiap Kungfunya tentu amat tinggi, orangnya
juga cantik bukan?"
Setelah mendengar pertanyaan
ini baru Ciok-sing sadar barusan telah keliru bicara, sahutnya dengan tawa
dipaksakan: "Memang dia sudah memperoleh didikan murni ayahnya, seperti
juga kau telah memperoleh ajaran langsung dari ayah angkatmu. Kalian adalah
pahlawan-pahlawan gagah dari kaum hawa yang serba bisa."
Han Cin mencibir, jengeknya:
"Jangan kau menyepuh emas di mukaku, aku cukup tahu diri bahwa aku tidak
setimpal dibanding nona In itu."
"Adik Cin," ujar
Ciok-sing sungguh-sungguh, "sekali-sekali jangan kau berkata-kata demikian
lagi."
Agaknya Han Cin merasa
direndahkan dan dikesampingkan, maka unek-unek hatinya seketika memberondong
keluar: "Bukankah pemilik kedai tadi sudah bilang, orang-orang luar sudah
sama anggap kau sebagai menantu keluarga In."
"Adik Cin, kau tidak
tahu, aku tidak bisa salahkan kau," demikian ujar Tan Ciok-sing perlahan,
"Baiklah akan kujelaskan, nanti kau akan tahu bahwa soal beginian tidak
boleh sembarang dibuat omongan."
"Aku tahu apa?"
tanya Han Cin tertegun.
"Memang keluarga In sudah
punya calon menantu, tapi bukan diriku, dia seorang sahabatku juga."
"Apa benar? Siapakah
dia?"
"Banyak hal telah kau
ajukan padaku, kenapa justru ketinggalan yang satu?"
"Ketinggalan yang satu
apa?"
"Persoalan yang
menyangkut pribadi Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli?"
"Oh, ya, dari
pembicaraanmu dengan Lo-yaya tadi, agaknya dia anggap kau pasti kenal baik
setiap orang utusan dari keluarga Toan, apa sih yang terjadi?"
"Waktu pertama kali aku
kemari, aku mewakili Siau-ongya menjemput nona In. Karena tidak ingin orang
salah paham menyangka aku yang jadi calon menantu orang, maka aku mengaku
sebagai pesuruh Siau-ongya."
"Lho, bukankah kau hendak
menyerahkan kembali barang peninggalan In Tayhiap kepada nona In? Kenapa bilang
mendapat titipan dari Siau-ongya segala."
"Apakah kedua persoalan
itu tidak dapat dibereskan bersama?" tanya Tan Ciok-sing.
"Kenapa Siau-ongya
keluarga Toan minta kau yang menjemputnya?" Han Cin balas bertanya.
Tan Ciok-sing tertawa getir, katanya:
"Kenapa tidak bisa dimengerti? Keluarga mereka kan sudah bersahabat sejak
beberapa generasi. Sejak lama In Tayhiap menjodohkan putrinya kepada dia.
Sekarang mereka sedang berada di Kwi-lin. Bila pulang kembali ke Tayli akan
segera melangsungkan pernikahan. Kenapa kau tanya aku tidak bersama dia?"
Yang benar meski In Hou ada
maksud menjodohkan putrinya dengan Toan Kiam-ping, namun tujuannya itu belum
menjadi kenyataan.
Analisa Tan Ciok-sing terhadap
hubungan mereka kedengarannya memang masuk di akal. Menurut hematnya, keluarga
Toan dan In memang setimpal berbesanan, sejak kecil In San tumbuh dewasa
bersama Toan Kiam-ping, orang lain bila setiap hari bergaul bersama suatu
ketika pasti akan timbul asmara, apa lagi hubungan mereka yang sudah mendapat
restu keluarga. Bila Toan Kiam-ping sudah sembuh berkat rawatan In San, pasti
Toan Kiam-ping akan membawanya pulang dan melangsungkan pernikahan, umpama In
San menolak, pernikahan itupun tinggal menunggu saja.
Ada orang bilang, bila sering
berbohong, diri sendiripun akan percaya. Apa yang diuraikan Tan Ciok-sing sudah
tentu bukan seluruhnya bohong, namun dia angggap apa yang menjadi anggapannya
itu adalah kenyataan, tanpa merasa dia sendiripun merasa apa yang diceritakan
itu memang sesungguhnya bakal terjadi. Setelah dia menceritakan
"kenyataan" ini kepada Han Cin, meski lahirnya dia masih bisa
tersenyum, tapi dalam hati bukan kepalang sedihnya.
Berbeda adalah perasaan Han
Cin, setelah mendengar cerita Tan Ciok-sing, sesaat dia termangu, mimiknya
pura-pura berpikir-pikir, namun dalam hati justeru merasa amat lega, terasa
ringan yang sukar dilukiskan. Setelah menghela napas Tan Ciok-sing berkata
pula: "Cin-moay, apa yang kualami sudah kuceritakan kepadamu, sekarang kau
pasti senang?"
Merah muka Han Cin, katanya:
"Mereka mau menikah atau tidak, apa sangkut pautnya dengan aku?"
Api dian sebesar kacang,
sinarnya redup menyorot ke muka Tan Ciok-sing yang diselimuti selapis bayangan
gelap. Han Cin tidak berani menatapnya langsung, namun dia sadar bahwa Tan Ciok-sing
sedang mengawasinya seperti tertawa tak tertawa. Mengira rahasia hatinya
diketahui orang, mukanya seketika semakin merah. Diluar tahunya bahwa senyum
Tan Ciok-sing ini justru merupakan pelimpahan rasa getir sanubarinya,
hakikatnya bukan senyum yang ditujukan kepadanya.
Menghindari tatapan Tan
Ciok-sing Han Cin menunduk dan berpikir pula: "Ai, peduli dia menaruh
cinta atau tidak, padahal baru berapa hari aku berkenalan sama dia, kenapa aku
tergesa-gesa memikirkan nasib masa depanku sekarang?"
Bahwasanya bukan saja Han Cin
tidak bisa menyelami isi hati Tan Ciok-sing, apakah dia sendiri naksir kepada
Tan Ciok-sing juga dia tidak tahu.
Kedua orang sama memikirkan
persoalan masing-masing. Tan Ciok-sing juga kuatir bila Han Cin menyelami
perasaan hatinya, untuk membuktikan bahwa dirinya betul-betul ikut senang bagi
pernikahan In San, maka di hadapan Han Cin dia memuji Toan Kiam-ping
berkelebihan: "Bukan aku suka memuji temanku sendiri, tapi pemuda seperti
Siau-ongya dari keluarga Toan ini memang sukar dicari bandingannya. Bukan saja
Kungfunya tinggi, kepandaian sastranyapun serba mahir. Lebih harus dipuji pula,
meski dia turunan keluarga bangsawan, namun sedikitpun tidak unjuk gengsi dan
tahan harga. Tukang kayu di atas gunung dan para nelayan di atas sungai,
semuanya adalah kenalan baiknya."
Han Cin tertawa, katanya:
"Kau sendiri kan juga serba mahir ilmu silat dan ilmu sastra aku tidak
pernah kenal sahabatmu itu, tapi aku yakin kepandaian memetik harpanya jelas
bukan tandinganmu bukan? Bicara pergaulan bebas dan teman segala kalangan,
kukira temanmu juga tidak sedikit jumlahnya."
"Mana boleh aku dibanding
dia," ucap Tan Ciok-sing, "begitu dia menampilkan diri, secara
langsung aku lantas merasa diriku teramat kerdil, sebaliknya dia merupakan
pemuda ganteng dan romantis serta dikagumi tindak-tanduknya, aku tidak lebih
hanya seorang lelaki awam saja."
"Kalau orang seperti
dirimu juga dianggap "awam", maka di dunia ini hanya berapa gelintir
saja yang ada. Tapi setelah mendengar pujianmu atas Siau-ongya itu, aku jadi
setengah percaya. Kalau tidak masakah putri In Tayhiap bakal menyukainya."
Sampai disini pembicaraan
mereka di ujung jalan sana terdengar suara kentongan, tanpa merasa kentongan
ketigapun telah tiba.
Mendadak Han Cin sadar,
katanya tertawa: "Sudah jangan memuji temanmu melulu. Apa yang ingin
kuketahui sudah kutanyakan kepadamu, apa yang ingin kau katakan kepadaku,
sekarang boleh kau utarakan!"
"Betul, kau memang harus
tidur. Yang ingin kukatakan adalah, harap kau tidak duduk di lantai, silakan tidur
di atas ranjang."
Merah muka Han Cin, katanya
bersungut: "Kukira kau hendak bicara serius, kiranya kau hanya menggodaku
saja."
"Apa yang kukatakan
memangnya bukan serius? Seseorang bila lapar harus makan capai harus tidur.
Disini tersedia ranjang, kenapa kau harus samadi di lantai?"
"Aku tidak mau kau
mengalah kepadaku," ujar Han Cin. Harus diketahui, meski dia percaya bahwa
Tan Ciok-sing pemuda jujur dan lurus, tapi betapa jeleknya bila dia harus tidur
di ranjang di hadapan seorang pemuda.
"Bukan aku mengalah
padamu, maksudku..."
"Tan Ciok-sing,"
desis Han Cin dengan jengkel, "kuanggap kau laki-laki sejati, kau..."
"Lirih sedikit
Cin-moay," tukas Tan Ciok-sing, "jangan kau salah paham, aku..."
"Apa keinginanmu?"
"Aku tidak tidur disini,
sekarang juga aku mau pergi."
Baru sekarang Han Cin sadar,
kiranya dia yang keliru menyalahkan Tan Ciok-sing, karuan selembar mukanya
merah seperti tomat, katanya lirih: "Malam selarut ini, kemana?"
"Aku akan mencari Kim-io
Cecu. Supaya tidak membuat kaget, aku tidak memberitahu kepada kakek
sebelumnya. Besok, tolong kau sampaikan permintaan maafku kepadanya."
"Kira-kira kapan kau bisa
kembali?"
"Tidak bisa ditentukan.
Aku belum tahu dimana sekarang Kim-to Cecu berada.
"Kau tidak kenal Kim-to
Cecu, tidak tahu dimana dia berada, bukankah sulit mencarinya?"
"Banyak teman baikku
berada di markas Kim-to Cecu. Biarlah aku mengadu nasib. Tapi aku yakin cepat
atau lambat pasti bisa kutemukan."
"Kenapa tidak kau ajak
aku kesana?"
"Banyak orang malah
kurang leluasa. Apalagi sukar kuramalkan kapan aku akan bertemu dengan Kim-to
Cecu, kau seorang perempuan, selalu harus tidur di atas pegunungan bisa
mengganggu kesehatanmu. Bila aku sudah memperoleh tempat tinggalnya yang tetap
aku akan kembali memberitahu kepadamu."
Sebetulnya yang dikemukakan
hanyalah alasan yang dicari-cari, yang benar dia kuatir ketemu sama In San. Dia
harus tahu dulu apakah In. San juga berada disana, bila tiada, dia akan
langsung menghadap Kim-to Cecu, kalau tidak dia hanya akan mencari tahu alamat
tetap Kim-to Cecu, lalu berusaha menghubungi Kanglam Sianghiap, supaya mereka
menjemput Han Cin.
Apa yang dikatakan Tan
Ciok-sing memang beralasan, maka Han Cin berkata: "Baiklah, besok akan
kujelaskan kepadanya. Betapa lama kau pergi, aku akan menunggumu disini. Kakek
itu orang baik, yakin dia tidak akan membenciku."
"Tapi ada satu hal kau
perlu hati-hati," kata Ciok-sing.
"Soal apa?"
"Ada seorang yang menyaru
sebagai pembantu rumah tangga keluarga Toan, beberapa hari yang lalu mampir ke
warung ini mencari tahu keadaan keluarga In. Hal ini kau sudah
mengetahuinya."
"O, jadi orang itu
menyamar?"
"Betul, belum ada dua
bulan, Siau-ong-ya dari keluarga Toan itu sedang merawat luka-lukanya di
Kwi-lin, umpama luka-lukanya sudah sembuh, tak mungkin secepat itu dia pulang
ke Tayli, apalagi menyuruh orang kemari. Oleh karena itu kau harus hati-hati,
jangan sampai orang itu mengetahui jejakmu."
"Buat apa kau kuatir,
orang-orang Kangouw toh tiada yang kenal aku," ucap Han Cin tertawa,
"apalagi aku sudah merubah bentuk wajahku, tak usah kuatir."
"Meski demikian, kau
tetap harus hati-hati," kata Tan Ciok-sing, setelah berjabatan tangan Tan
Ciok-sing pamitan, hati terasa hambar. Untuk kepergiannya ini, mungkin dia bisa
pulang tapi juga mungkin tidak akan kembali menberi kabar kepada Han Cin,
kemungkinan besar dia akan menyuruh orang mengadakan kontak dengan Han Cin.
Kalau benar demikian entah kapan pula dia baru akan bertemu pula dengan Han
Cin.
Letak rumah keluarga In tidak
jauh dari kedai minum ini, sebelum keluar kota tanpa disadari Tan Ciok-sing
lewat di seberang jalan dimana rumah keluarga In berada, timbul keinginannya
untuk menyaksikan bagaimana keadaan rumah keluarga In setelah digerebek tentara
negeri dulu. Entah keinginan apa yang mendorongnya berbuat demikian, Ciok-sing
sendiri tidak tahu.
Tampak rumah besar keluarga In
sudah runtuh separo, lebih mending dari kedai Khu Ti yang dibumi hanguskan
seluruhnya.
Ternyata setelah malam itu
In-hujin berhasil melarikan diri, supaya kelak Liong Seng-bu dapat kesempatan
untuk bertemu lagi dengan In San, maka lekas dia suruh tentara yang dipimpinnya
memadamkan api. Untung yang terjilat api hanya bagian luar yang tidak begitu
penting. Kamar tidur In San, dan kamar buku In Hou semasa hidupnya masih utuh.
Sembunyi di ujung gang kecil
mengawasi rumah keluarga In yang tinggal separo, Tan Ciok-sing merasa diluar
dugaan. Namun demikian keadaan yang sudah porak poranda ini justru mengetuk
sanubarinya.
Mengenang masa lalu, diam-diam
hati Tan Ciok-sing merana sendiri. Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing berkata
kepada diri sendiri: "Semua itu sudah lalu, kenapa masih kupikirkan?"
Waktu dia hendak meninggalkan tempat itu, suatu peristiwa diluar dugaannya
ternyata telah terjadi.
Tampak sosok bayangan hitam
tiba-tiba melompat keluar dari rumah keluarga In, malam gelap sehingga susah
dibedakan apakah orang itu tua, muda, laki atau perempuan, tapi ginkang orang
itu jelas amat tinggi, dalam sekejap jejaknya telah menghilang.
Tan Ciok-sing kaget, pikirnya:
"Bagaimana kepandaian lain orang itu aku tidak tahu, namun dinilai
ginkangnya sudah jarang ada dibanding di bulim."
Betapapun tinggi ginkang orang
itu, bila Tan Ciok-sing mau mengejar pasti dapat dicandaknya, namun karena dia
tidak ingin mengunjuk jejak sendiri, terpaksa dia tidak ambil peduli.
Melihat seorang yang memiliki
ginkang tinggi menyelundup ke rumah keluarga In, tak urung timbul rasa curiga
Tan Ciok-sing: "Mungkin orang yang menyamar suruhan keluarga Toan, jelas
dia bukan utusan Toan Kiam-ping, tapi siapakah dia sebetulnya? Hm, bukan
mustahil datang lagi orang seperti Thi Ciang-hu?" maka tergerak hatinya,
batinnya: "Mata kuping keluarga Liong tersebar luas, berita cepat kabar
tajam, mungkin mereka mendengar kabar, tahu bahwa In San sudah pulang rumah?
Maka~ orang ini menyelundup ke rumahnya mencari tahu?"
Jantung Tan Ciok-sing
berdebar-debar, hampir tak kuat dia menahan gejolak perasaannya timbul
keinginannya hendak
menyelundup juga ke rumah
keluarga In untuk menyaksikan kenyataan, ingin dia membuktikan sendiri, apa
benar In San sudah pulang rumah?
Walau In San harus menunggu
kesembuhan luka-luka Toan Kiam¬ ping baru meninggalkan Kwi-lin, tapi
kemungkinan dia akan lebih dulu tiba di Tay-tong dari kedatangan Tan Ciok-sing.
Maklum In San naik kuda yang dapat berlari ribuan li sehari, sebaliknya Tan
Ciok-sing jalan kaki. Luka-luka Toan Kiam-ping memang tidak enteng, tapi
lwekangnya cukup tangguh, dalam sepuluh atau setengah bulan tentu sudah sembuh.
Timbul perang batin dalam
benak Tan Ciok-sing, dia takut bertemu dengan In San, namun besar pula
harapannya bahwa In San sudah pulang seorang diri.
Angin dingin menghembus
kencang, Tan Ciok-sing bergidik sambil menarik napas panjang, tak urung dia
tertawa getir sendiri, "buat apa aku main teka teki, San-moay pulang atau
tidak, aku harus bantu nona Han menyelesaikan persoalannya, kenyataan dia sudah
angkat saudara dengan aku. Kenapa lantaran aku takut bertemu dengan San-moay,
lantas urung mencari Kim-to Cecu?" setelah bulat tekadnya, Tan Ciok-sing
tekan perasaan sendiri pergi mencari Kim-to Cecu.
Tapi untuk mencari Kim-to Cecu
bukan suatu kerja yang mudah. Daerah luar Gan-bun-koan, ratusan H luasnya tanpa
dihuni seorang penduduk, di tengah pegunungan yang belukar itu, entah dimana
markas besar Kim-to Cecu didirikan. Tempo hari pernah dia mencari Kim-to Cecu
bersama In San, tapi di tengah jalan mereka bertemu dengan Kanglam Sianghiap
yang mau menjemput In San, dari cerita Kwik Ing-yang dia tahu bahwa Tam Pa-kun
sudah berangkat ke Kwi-lin, diketahui pula bahwa Kwik Ing-yang sedang berusaha
jadi comblang untuk menjodohkan In San dengan Toan Kiam-ping, maka saat itu
juga dia merubah haluan, di tengah jalan dia putar balik. Kanglam Sianghiap ada
maksud membawanya menghadap Kim-to Cecu, namun dia tidak menjelaskan dimana
letak markas besar Kim-to Cecu itu.
Tiga hari kemudian dia sudah
keluar Gan-bun-koan, selama tiga hari tak pernah dia ketemu dengan seorangpun,
kepada siapa dia harus mencari tahu. Untung rangsum yang dibawanya cukup
banyak, di jalan dia masih bisa berburu binatang.
Meski dia yakin cepat atau
lambat pasti dapat menemukan Kim-to Cecu, namun menempuh perjalanan di tengah
alas seorang diri, selama tiga hari tidak bertemu dengan manusia, mau tidak mau
dia merasa kesepian dan hampa. "Kenapa nasibku kali ini begini buruk tempo
hari bisa bertemu dengan Kanglam Sianghiap. Kali ini entah kapan baru aku bisa
bertemu dengan seorang yang tahu letak markas besar Kim-to Cecu."
Tapi untung juga tempo hari
dia pernah bertemu dengan Kanglam Sianghiap yang membawanya menempuh perjalanan
cukup jauh, sehingga kali ini dia tidak salah arah.
Tatkala dia berkeluh kesah
akan nasibnya yang jelek hari ini, tiba-tiba dilihatnya dua orang berjalan
keluar dari dalam hutan. Girang sekali hati Tan Ciok-sing, lekas dia
mempercepat langkah memapaknya ke depan.
Untuk mencari tahu tempat
tinggal Kim-to Cecu sebetulnya tidak boleh sembarang tanya orang, apalagi dia
tidak tahu siapa kedua orang ini, demikian pula mereka juga tidak tahu tentang
dirinya, umpama tahu juga takkan mau memberi tahu.
Baru saja Tan Ciok-sing
berpikir cara bagaimana dia harus buka suara, kedua orang itu sudah menyapa
dulu kepadanya. Orang pertama tertawa lebih dulu, katanya: "Nasib hari ini
kiranya cukup baik, akhirnya ketemu seorang disini."
Orang kedua segera bertanya:
"Kau pemburu di atas gunung ini, siapa namamu..." karena melihat
Ciok-sing menjinjing seekor belibis yang baru saja ditembaknya jatuh dengan
krikil, padahal dia tidak membawa gendewa, karuan mimiknya kelihatan aneh.
Logat kedua orang ini sama
dari suatu daerah, namun nada suaranya kedengaran lucu dan sumbang seperti
suara orang banci, kedengarannya berbeda dengan suara laki-laki umumnya.
Sekilas Tan Ciok-sing
melengak, diam-diam dia merasa kecewa, pikirnya: "Agaknya mereka juga
orang dari luar daerah seperti diriku. Untuk apa mereka datang ke tempat ini?
Mungkin juga mencari Kim-to Cecu?" "Aku she Tan," akhirnya dia
menjawab, "pedagang kecil yang memborong bahan-bahan pegunungan. Kalian
she apa?" Tan Ciok-sing coba mengorek keterangan mereka.
"Aku she Thio, dia she
Ong, kami datang dari Tayli. Maaf ya, kulihat kau menjinjing belibis besar ini,
kelihatannya baru saja kau dapatkan bukan? Kukira kau adalah pemburu. Kiranya
kau seorang juragan, mohon maaf, kami kurang hormat, Tapi malah
kebetulan," demikian kata orang pertama.
Tan Ciok-sing tidak tahu
kenapa kalau "juragan" lebih baik dari "pemburu" tapi
dengar mereka dari Tayli, mau tidak mau timbul rasa curiganya, maka dia
berhati-hati.
Sengaja Tan Ciok-sing
bertanya: "Di Tay-tong aku hanya membuka toko kecil saja, modalnya
kukumpulkan dari bantuan teman¬ teman. Mana terhitung juragan segala?"
"Betul, kenapa aku begini
bodoh, dari logat suaramu seharusnya aku sudah tahu bahwa kau penduduk kota
Tay-tong. Aku tahu banyak penduduk Tay-tong yang berdagang seperti kau, betul
tidak? Peduli besar atau kecil, jelek-jelek kau ini adalah juragan. Hari ini
kita bisa bertemu di atas pegunungan yang sepi ini, terhitung ada jodoh.
Jikalau kau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita bersahabat? Kau menghadapi
kesulitan apa boleh jelaskan kepada kami."
Sudah tentu Tan Ciok-sing tahu
bahwa cara orang menyelidik memang pintar, tapi apa yang dikatakan itu semua
adalah bualan belaka. Pertama, mereka mengaku datang dari Tayli, pada hal logat
bicara mereka tidak mirip penduduk Tayli. Kedua, Tan Ciok-sing hanya bilang dia
membuka toko di Tay-tong, orang she Ong itu lantas bilang mendengar suaranya
lantas tahu kalau dirinya penduduk kota Tay-tong. Pada hal Tan Ciok-sing lahir
dan dibesarkan di Kwi-lin, logat orang-orang Kwi-Iin dan Tay tong boleh dikata
berbeda amat jauh. Ketiga, terhadap orang yang baru saja dikenalnya, kenapa
mereka lantas menawarkan diri bilang mau memberi bantuan. Dalam hal ini pasti
ada udang dibalik batu. Orang yang suka memberi bantuan tanpa diminta kadang-kadang
menuntut imbalan tertentu, dari sini dapatlah Ciok-sing menyimpulkan, bahwa
kedua orang ini pasti punya suatu tujuan tertentu. Biarlah aku pura-pura bodoh
saja, bagaimana mereka akan membual lagi.
Setelah bilang mau memberi
bantuan, orang she Ong itu segera merogoh keluar dua keping uang perak
diberikan kepada Ciok-sing, katanya: "Tan-heng, seratus tahil perak ini,
boleh kau gunakan buat tambah modalmu."
Berkerut alis Tan Ciok-sing,
katanya: "Sebelum ini kita tidak kenal dan baru bertemu sekali ini, mana
boleh aku menerima uangmu?"
Laki-laki itu tertawa,
katanya: "Sekarang kita sudah sahabat, sesama kawan kenapa harus sungkan.
Tan-heng, tadi kau bilang modalmu dari pinjaman teman-teman, uangku inipun
kupinjamkan untuk menambah modalmu, kalau tidak cukup, boleh nanti kita
berunding lagi."
"Umpama benar kalian
anggap aku kawan, tapi pepatah bilang, tanpa berbuat jasa tidak akan menerima
hadiah, tak berani aku menerima uangmu."
Laki-laki itu tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Tan-heng, kau memang seorang laki-laki sejati.
Baiklah begini saja, kaupun
boleh membantu kami melakukan suatu hal, supaya kau tidak canggung menerima
uangku ini."
"Entah bantuan apa yang
harus kulakukan?"
Orang she Thio segera berkata
lirih: "Dimana tempat tinggat Kim-to Cecu, maukah kau memberitahu
kami?"
Tan Ciok-sing pura-pura kaget,
katanya: "Aku hanya pedagang kecil yang hidup bersahaja, tak pernah tahu
siapa itu Kim-to Cecu, atau Gin-to Cecu."
Laki-laki she Ong itu tertawa,
katanya: "Tan-heng, kau tidak usah takut, kami bukan opas, kau takkan
ditangkap dan dijebloskan ke penjara, terus terang, kami ingin mencari
perlindungan kepada Kim-to Cecu,"
"Tapi sungguh mati, aku
tidak tahu," ujar Tan Ciok-sing.
Berkerut alis laki-laki itu,
katanya: "Tan-heng, kenapa kau tidak sejujur tadi. Kami ingin bersahabat
dengan kau secara jujur, maka akupun minta kau suka bicara terus terang dengan
kami!"
"Apa yang harus
kukatakan? Aku, aku betul-betul tidak..."
"Jangan katakan kau tidak
tahu," tukas orang she Thio, "Jikalau kau tiada hubungan dengan
markas besar mereka, mana kau berani keluyuran di pegunungan sepi ini."
"Baiklah, aku bicara
terus terang. Memang aku ada kenal orang dari markas Kim-to Cecu, boleh juga
kubawa kalian kesana, tapi aku harus tahu siapa kalian sebetulnya?"
"Tan-heng," kata
orang she Ong, "apa yang ingin kau ketahui?"
"Kalian datang dari
Tayli, Siau-ongya dari keluarga Toan, entah kalian kenal tidak?"
Laki-laki she Ong tertawa
besar, katanya: "Terus terang saja, kami ini adalah tamu-tamu undangan
dari keluarga Toan. Kedatangan kami ke markas Kim-to Cecu inipun sebelumnya
sudah mendapat restu dari Siau-ongya. Sebetulnya Siau-ongya juga mau datang,
tapi kuatir kedatangannya membawa kesulitan, maka dia tidak berani bertindak
serampangan."
Tan Ciok-sing manggut-manggut,
katanya: "Jadi kalian orang-orang kepercayaan Siau-ongya, wah, maaf, aku
kurang hormat."
Laki-laki she Ong itu tertawa
lebar, katanya: "Tan-heng, kini kau sudah tahu bahwa kita adalah orang
sendiri, bolehlah kau beritahu kepada kami?"
Tak nyana sebelum gelak
tawanya sirap, Tan Ciok-sing mendadak turun tangan. "Bluk" kontan
laki-laki she Thio itu terjungkal roboh tertutuk hiat-tonya. Lalu dia
mencengkram ke arah laki-laki she Ong.
Ternyata kepandaian laki-laki
she Ong ini lebih tinggi dari temannya, cengkraman Tan Ciok-sing ternyata tidak
kena sasaran, begitu menurunkan tubuh, mendadak dia gunakan kedua tangan
menangkap pundak Tan Ciok-sing lalu menyerang dengan jurus Jian-jia-sek tipu
bantingan dari ilmu gulat hendak membanting Tan Ciok-sing, bila kedua kaki Tan
Ciok-sing terangkat meninggalkan bumi, badannya pasti kena dibantingnya.
Gulat adalah kemahiran busu
bangsa Mongol, Tan Ciok-sing mahir Kungfu dari berbagai aliran di Tionggoan,
namun dia belum pernah belajar gulat, karena tidak menduga, tubuhnya terangkat
oleh lawan.
Akan tetapi walau tubuh Tan
Ciok-sing terangkat meninggalkan tanah, tapi laki-laki itu tak kuasa
membantingnya, tahu-tahu dia merasakan kedua pundaknya seperti ditindih ribuan
kati. Seketika itu pula dia rasakan kedua pundaknya sakit bukan kepalang
seperti ditusuk pisau, ternyata tulang pundaknya sudah tercengkeram oleh Tan
Ciok-sing.
Tan Ciok-sing menghardik
keras: "Kalian bukan orang Han, kalian adalah mata-mata bangsa
Watsu."
Bahwa asal-usul mereka
dibongkar oleh Tan Ciok-sing, sudah tentu kedua orang itu amat kaget, air muka
mereka berubah seketika. Tapi laki-laki she Ong itu masih membandel katanya:
"Pandanganmu memang tajam, benar kami bukan orang Han, tapi kami adalah
orang Tayli dari suku Ih-jin. Soalnya kami tahu Siau-ongya punya hubungan intim
dengan Kim-to Cecu, maka kami menyaru tamu kepercayaannya."
"Masih berani membual,
aku baru saja datang dari Tayli, memangnya kau bisa ngapusi aku? Aku sudah tahu
asal-usul kalian, masih kau tidak mengaku terus terang, itu artinya kau minta
dihajar. Baiklah, biar kau rasakan dulu keliehayanku."
Cengkraman jari-jari Tan
Ciok-sing diperkeras, kontan orang itu merasa seluruh sendi tulangnya seperti
dicopoti, sekujur badan bagai dicocoki jarum, laki-laki she Thio yang ditutuk
hiat-tonya sudah tak tahan lagi, teriaknya: "Ampun Hohan. Kendorkan
siksaanmu, baiklah aku akan bicara terus terang."
Tan Ciok-sing mengendorkan
cengkeramannya, dengan suara gemetar orang itu berkata: "Kami memang
datang dari Watsu, kami sedang menjalankan tugas, jadi terpaksa harus
menunaikan perintah atasan."
"Atas perintah siapa? Dan
apa tujuan kalian?" tanya Tan Ciok-sing. Kalau cengkraman kepada laki-laki
she Thio diperkendor, tapi dia menambah cengkraman pada tulang pundak laki-laki
she Ong, kontan orang itu berkaok-kaok seperti babi disembelih, teriaknya:
"Aku, aku akan terus terang."
Laki-laki she Thio itu
berkata: "Kami diperintah oleh Ciang-kun untuk mencari jejak Kim-to
Cecu." ternyata tafsiran Tan Ciok-sing benar, mereka adalah mata-mata yang
diutus Watsu untuk menjadi spion didalam markas besar Kim-to Cecu.
Maka Tan Ciok-sing mendesak
lagi: "Jadi di mana sebetulnya Kim-to Cecu berada, tentunya kalian sudah
tahu? Nah sekarang lekas jelaskan, siapa memberi keterangan lengkap dan lebih
terperinci, hukumannya akan kuperingan."
"Betul, waktu kami
datang, pemimpin kami ada memberi peta untuk kami, tapi..." demikian tutur
laki-laki she Thio.
Setelah napasnya yang
tersengal mereda, baru laki-laki she Ong berkata: "Peta itu ada
padaku..."
"Baik, lekas keluarkan,
kau dulu yang bicara."
Orang ini membuka sabuk kulit,
bagian tengah sabuk kulitnya ini dia bedah dengan ujung belati, dari dalamnya
dia mengeluarkan secarik peta dan diserahkan kepada Tan Ciok-sing. Tan
Ciok-sing berpikir: "Begitu rahasia cara menyimpannya, bila aku sendiri
yang harus menggeledahnya, mungkin takkan bisa kutemukan."
Seperti berlomba kedua orang
ini memberi keterangan masing-masing sejelas dan terperinci sekali, dari mulut
kedua orang inilah Tan Ciok-sing tahu bahwa perebutan kekuasaan di Watsu kini
sudah mereda, pemberontak telah disapu habis, kini Pangeran ketiga Melido yang
pegang tampuk pimpinan sebagai raja dengan sebutan Dayan Khan. Setelah berhasil
membangun kembali angkatan perangnya, Dayan Khan beraktif kembali dalam
usahanya untuk menyerbu ke selatan. Mereka tidak takut terhadap pasukan
kerajaan Bing, tapi jeri menghadapi laskar gerilya Kim-to Cecu. Tempo hari
waktu pasukan besar Watsu mengepung Tay-tong, Kim-to Cecu yang memutus kiriman
rangsum pasukan besar mereka, sehingga tentara Watsu dibikin kocar kacir. Maka
kali ini rencana penyerbuan lebih disempurnakan, maksud utama harus menumpas
laskar gerilya baru akan langsung menyerbu kerajaan Bing.
Tapi Kim-to Cecu juga Iiehay
dalam strategi perang, dengan perang gerilya, dia tidak mempunyai kedudukan
tertentu. Kekuatan tentaranya tersebar beberapa tempat di atas pegunungan,
markas besar merekapun sering berpindah-pindah. Bukan tugas enteng bagi
mata-mata Watsu untuk menyelidiki keadaan disini.
Kedua orang ini adalah anak
buah Jendral Palos yang berkuasa di perbatasan, pasukan infrantri di bawah
pimpinan Jendral Palos inilah yang ditugaskan sebagai pasukan pelopor didalam
gerakan menyerbu ke selatan menurut rencana mereka. Setelah diadakan seleksi
yang cukup ketat akhirnya kedua orang ini yang terpilih menunaikan tugas yang
cukup berat ini, bukan karena mereka memiliki kepandaian tinggi, soalnya di
samping mereka cerdik pandai, merekapun fasih berbahasa Han.
Laki-laki she Thio itu
berkata: "Kami hanya menjalankan tugas, mohon Hohan menaruh belas
kasihan."
Tan Ciok-sing tertawa dingin,
katanya: "Kalian boleh menyamar jadi orang Han, tapi alasan yang kau
kemukakan tidak bisa kuterima."
Laki-laki she Ong segera
meratap: "Kami memang mata-mata. Mohon Hohan memberi ampun, kami sudah
bicara terus terang."
"Tiga hari yang lalu,
apakah kalian juga mampir ke keluarga In," tanya Tan Ciok-sing.
"Terus terang, kami belum
pernah ke Tay-tong. Dengan kepandaian yang kami miliki, betapapun kami takkan
berani mengusik In Tayhiap," demikian kata laki-laki she Ong. Dari jawaban
ini, Tan Ciok-sing menarik kesimpulan bahwa mereka belum tahu akan kematian In
Hou.
Jawaban ini sekaligus
menyadarkan Tan Ciok-sing, pikirnya: "Omongannya memang boleh dipercaya,
kalau mereka pernah ke Tay-tong, seharusnya tahu logat bicaraku tidak mirip
orang Tay-tong."
Tan Ciok-sing berkata:
"Hukuman mati tidak perlu, tapi hukuman fisik harus kalian rasakan,"
sedikit dia kerahkan tenaga, tulang pundak kedua orang dia remas sampai remuk,
bentaknya: "Nah Kim-jong-yok kuberikan dan kalian mengobati sendiri. Kali
ini aku ampuni kalian, lekas enyah."
Setelah kedua mata-mata ini
ngacir, Tan Ciok-sing membuka gambar peta itu dan melanjutkan perjalanan ke
arah yang ditunjuk didalam peta, dua hari kemudian dia memang menemukan markas
pusat Kim-to Cecu yang dahulu, ada puluhan tenda besar kecil yang tersebar
didalam hutan lebat. Tampak seekor musang menerobos keluar dari bawah sebuah
tungku terus lari kedalam hutan, waktu Tan Ciok-sing berada di tengah-tengah perkemahan
kosong itu, puluhan burung gagak beterbangan ke atas pohon sambil berbunyi
berceloteh. Melihat keadaan disini yang sudah mulai belukar ini, jelas sudah
lama ditinggalkan, diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas.
Kala itu sudah menjelang
petang, perkemahan itu tersebar luas di puncak sebuah perbukitan sejauh
beberapa li. Tan Ciok-sing yakin tiada seorangpun yang menghuni perkemahan
disini, maka tiada niatnya untuk memeriksa perkemahan itu satu persatu. Selama
beberapa hari ini dia menempuh perjalanan terus menerus, badannya betul-betul
lelah, maka sekenanya dia masuk ke salah satu kemah, setelah dibersihkan,
segera dia merebahkan diri. Entah berapa lama dia tertidur, di saat tidurnya
tengah layap-layapj didengarnya suara kuda meringkik, Tan Ciok-sing tersentak
bangun, sejenak dia menenangkan pikiran dan mendengarkan dengan seksama,
setelah yakin bahwa pendengarannya tidak salah, rasa senangnya bukan main,
pikirannya: "Nasibku hari ini beruntung, semula kukira akan lama aku
menunggu disini, tak nyana belum semalam aku disini, ternyata ada orang datang
kemari"
Ada dua ekor kuda yang
mendatangi, langkah kuda pelan-pelan, seperti dituntun oleh orang, arahnya juga
menuju ke timur, jadi semakin jauh dari tempatnya sekarang berada.
Timbul rasa curiga Tan Ciok-sing,
pikirannya: "Mungkin bukan anak buah Kim-to Cecu, mungkinkah pihak Watsu
ada mengutus mata-mata lain?"
Sebelum jelas kawan atau
lawan, Tan Ciok-sing tidak mau unjuk diri, secara diam-diam dia bangun serta
menyelinap keluar terus memburu ke arah datangnya suara.
Ringkik kuda tadi sudah tidak
terdengar, tapi setelah dia melewati beberapa perkemahan, dan berada didalam
hutan yang lebat, tiba-tiba seperti didengarnya seseorang sedang menghela napas
dari kejauhan.
Lekas Tan Ciok-sing mendekam
dan mendekatkan kupingnya ke bumi mendengarkan dengan seksama, lwekangnya
memang sudah tinggi, pendengarannya jauh lebih tajam dari orang kebanyakan,
walau jauh suara itu, namun masih dapat didengarnya jelas.
Didengarnya suara seorang yang
agak tua serak berkata: "Sungguh tak nyana, tetap tak bisa menemukan
Kim-to Cecu, seperti menunggu kelinci diluar lobangnya begini, entah kapan baru
kita akan bertemu dengan saudara-saudara didalam markas?" teka teki sudah
mulai tersingkap, ternyata orang inipun setujuan dengan dirinya, yaitu sedang
mencari Kim-to Cecu.
Angin malam nan dingin
menghembus lalu, Tan Ciok-sing seperti disadarkan oleh hembusan angin dingin
ini, tiba-tiba tergerak hatinya, "Kedengarannya aku sudah kenal suara
orang ini, siapa dia," di waktu dia hendak pergi kesana melihat lebih
jelas, didengarnya pula suara seorang lain. Suaranya nyaring dan kecil, itulah
suara makian perempuan. "Hm, kau rase tua ini terhitung besar nyalinya,
berani datang kemari mau menipuku," dari nada perkataannya dapat diduga,
bahwa laki-laki itu seperti mengatakan apa-apa kepadanya, namun Tan Ciok-sing
tidak mendengar jelas.
Segera Ciok-sing kembangkan
Pat-pou-kan-sian, ginkang tingkat tinggi, hanya sekejap saja, percakapan kedua
orang itupun kini sudah didengarnya jelas.
"Apa yang kukatakan tadi
semua memang sebetulnya."
"Hm, kau boleh menipu
orang lain, tapi jangan harap dapat menipuku. Sejak mula sudah aku tahu ada
orang yang menyaru jadi pesuruh keluarga Toan, baru sekarang aku tahu orang itu
adalah kau."
"Aku tidak menyamar,
dengarkan penjelasanku..."
Suara perempuan itu agaknya
amat jengkel dan gelisah, tanpa pedulikan penjelasannya "Sret" segera
dia membacok dengan goloknya.
"Nona, jangan main
senjata. Kalau kau tidak percaya, boleh kau tanya kepada Siau-ongya. Aku tahu
Siau-ongya sudah datang ke tempat kalian."
Perempuan itu tetap menjengek:
"Pembual. Kukira Siau-ongyamu itu adalah pangeran dari Watsu bukan?"
"Lho," seru orang
itu, "kalau demikian, jadi Siau-ongya kita belum tiba disini? Kalau begitu
tolong kau antar aku menemui Kim-to Cecu. Kim-to Cecu akan tahu
persoalannya."
Perempuan itu tertawa dingin,
katanya: "Kau ingin aku mengantarmu menemui Kim-to Cecu, bolehlah. Kau
sendiri punahkan Kungfumu atau aku yang wakilkan kau?" maksud perkataannya
sudah gamblang, bahwa dia tetap pandang laki-laki itu adalah mata-mata dari
Watsu, bila ingin bertemu dengan Kim-to Cecu, tulang pundaknya harus diputuskan
lebih dulu, sebagai tawanan sudah tentu dia boleh membawanya menghadap Kim-to
Cecu.
Saat mana Tan Ciok-sing sudah
datang dekat, dia sembunyi di belakang sebuah pohon, untuk sementara dia tidak
ingin menampilkan diri.
Tampak perempuan itu memegang
sebilah golok emas bergagang panjang di tangan kiri, sebatang golok perak
bergagang pendek di tangan kanan, setelah berkata kedua senjatanya diputar,
menari-nari turun naik serta mengancam.
Betapapun tebal kesabaran
laki-laki itu, bila tulang pundaknya putus, dan dirinya dianggap pesakitan
hendak digusur kehadapan Kim-to Cecu, sudah tentu dia naik pitam, pikirnya:
"Biarlah kurampas sepasang gamannya, baru bicara lebih lanjut."
Begitu turun tangan, mau tidak
mau si perempuan kaget dibuatnya. Ternyata dia mengembangkan Tay-kim-na-jiu
yang amat mahir.
Malam itu tanggal tujuh, bulan
sabit bercokol di angkasa raya, dengan udara nan cerah, sinar rembulan redup,
hutan gelap gulita lagi, sehingga keadaan disini remang-remang. Tapi Tan
Ciok-sing sudah kenal siapa laki-laki itu. Dia bukan lain adalah Ling Khong-tik
yang pernah bertarung dengan Tan Ciok-sing di puncak Jong San dahulu.
Ling Khong-tik adalah guru
silat dari keluarga Toan yang tahun lalu diundang sendiri oleh Siau-ongya Toan
Kiam-ping. Dalam perjalanan ke Kwi-lin kali ini Siau-ongya mengajaknya serta.
Tapi waktu Toan Kiam-ping mengadakan pertemuan dengan Tan Ciok-sing, hari itu
juga Ling Khong-tik kebetulan sudah disuruh pulang lebih dulu ke Tayli. Tan
Ciok-sing tidak duga bahwa dia muncul disini.
Dari tempat persembunyiannya
dia saksikan Ling Khong-tik tengah mengembangkan ilmu Khong-jiu-jip-pek-to
(ilmu tangan kosong merampas senjata), padahal tubuhnya terbungkus oleh cahaya
golok, namun gerak geriknya tetap gesit dan tangkas, permainannya tetap
mendesak dengan serangan-serangan yang liehay. Gadis itu menggunakan golok
emasnya untuk menyerang deras, sementara golok perak untuk menjaga diri, jadi
antara kedua golok panjang dan pendek ini masing-masing memainkan jurus tipu
yang berbeda, betapa aneh permainan sepasang golok ini, Ling Khong-tik yang
biasa mengagulkan kepandaian dan pengalamannya yang luas untuk sementara dibuat
kewalahan juga. Meski kepandaian silatnya jauh lebih tangguh dari si gadis,
untuk sementara jelas dia takkan mampu merampas gaman lawan.
Tan Ciok-sing masih bimbang,
apakah dia perlu keluar memperkenalkan diri untuk melerai pertempuran ini? Di
tengah
Jilid 8
pertempuran sengit itulah,
tiba-tiba dilihatnya permainan sepasang golok si gadis telah berubah.
Semula dia mengutamakan
serangan kencang dengan golok emas, golok perak menjaga diri atau memperkokoh
pertahanan. Kini dia justru merubah permainan dengan golok perak membuka
serangan, sementara golok emas bertahan. Golok perak pendek, golok emas
panjang. Dalam kalangan persilatan ada pameo yang bilang, s,ejengkal lebih
panjang lebih kuat, sejengkal lebih pendek, lebih berbahaya. Dengan golok
pendek menyerang musuh, jadi merupakan pertempuran jarak dekat, permainan ini
memang tepat untuk menghadapi rangsakan ilmu tangan kosong merebut senjata
lawan, tapi bahaya yang dihadapi justru lebih berat.
Agaknya Ling Khong-tik ingat
sesuatu, sambil bersuara heran dia lantas berteriak: "Nona, harap tanya
apakah Kim-to Cecu adalah ayahmu?"
Dugaan Ling Khong-tik memang
tidak meleset gadis ini memang putri» Kim-to Cecu Ciu San-bin yang bernama Ciu
Kiam-khim. Ciu Kiam-khim adalah nona berwatak keras dan suka menang sendiri,
bahwa mendadak asal-usulnya diketahui lawan, dia juga tidak pikir bagaimana
lawan bisa tahu akan dirinya, bila dia mau berpikir ke arah ini, maka
seharusnya dia bisa menduga bahwa lawannya ini sebetulnya adalah kawan dan
bukan musuh. Tapi reaksi yang timbul dalam benaknya adalah: "Dia sudah
tahu bahwa aku putri Kim-to Cecu, bila sepasang golokku tidak mampu mengalahkan
sepasang tangan kosongnya, bukankah aku menjatuhkan pamor ayah?" karena
itu tekad juangnya ingin menang bertambah menyala.
Mendadak sesosok bayangan
seperti seorang jenderal perang yang turun dari angkasa menghadang di tengah
mereka. Pendatang ini bukan lain adalah Tan Ciok-sing. Tangannya memegang
sebatang pohon kecil yang baru saja dia petik dari pohon, begitu kakinya hinggap
di bumi, segera dia gunakan jurus Hun-hoa-hud-liu (menyibak kembang mengebut
dahan Liu), dahan pohon menekan golok perak, sehingga senjata Ciu Kiam-khim
kena dituntunnya nyingkir ke samping, berbareng telapak tangan didorong, secara
kekerasan dia tahan sejurus pukulan Ling Khong-tik.
Tubuh Ling Khong-tik limbung,
sementara Tan Ciok-sing mundur dua langkah, demikian pula Ciu Kiam-khim harus
berkisar sekali dengan tunggak kaki sebagai poros baru bisa berdiri tegak pula.
Kejadian amat mendadak, karuan Ciu Kiam-khim dan Ling Khong-tik sama-sama
kaget. Tan Ciok-sing merias diri mengganti rupa, sudah tentu Ling Khong-tik
tidak mengenalnya lagi.
Tan Ciok-sing berkata:
"Kalian sama-sama orang-orang sendiri, kenapa harus bertarung sesengit
ini?"
"Berdasarkan apa kau
berkata begini?" semprot Ciu Kiam-khim.
"Karena aku tahu ayahmu
adalah Kim-to Cecu. Aku juga tahu Lo-enghiong ini siapa."
Ciu Kiam-khim mendengus,
"Lo-enghiong apa, tapi aku tahu kalau dia menyaru jadi pesuruh keluarga
Toan, mata-mata dari Watsu."
"Nona Ciu, kau salah
paham," ujar Tan Ciok-sing, "Ling Suhu ini bukan samaran. Dia
betul-betul adalah guru silat dari keluarga Toan yang tulen."
Ciu Kiam-khim kaget,
teriaknya: "Apa, kau bilang dia ini Ling Suhu? Ada seorang bulim cianpwe
yang tersohor dengan ilmu Eng-jiu-kang yang menggetarkan bulim, Ling Khong-tik
Ling locianpwe, apakah, apakah..."
Dengan kalem Ling Khong-tik
menyeletuk: "Mana berani aku dipanggil Locianpwe, tapi Ling Khong-tik
memang benar adalah aku."
"Apa benar kau ini Ling Khong-tik
Ling-locianpwe? Kenapa aku..." ternyata waktu Kanglam Sianghiap mampir ke
Tayli tahun yang lalu, mereka belum tahu bahwa Ling Khong-tik padahal sudah
berada di rumah keluarga Toan. Banyak pula seluk beluk keluarga Toan di Tayli
yang diketahui oleh Ciu Kiam-khim, namun hatinya masih dirundung curiga,
kuatirnya ada seorang lain yang mahir pula akan ilmu itu menyaru jadi Ling
Khong-tik, dalam hati dia berpikir: "Setahuku Ling Khong-tik tiada
hubungan apa-apa dengan keluarga Toan di Tayli, kalau betul dia sudah diangkat
sebagai guru silat keluarga kerajaan itu, kenapa Kanglam Sianghiap tidak
memberi tahu kepadaku? Lebih baik aku hati-hati, supaya jangan ketipu
orang."
"Nona Ciu, masih ada yang
kau curigai? Boleh silahkan kau tanya."
Sejenak Ciu Kiam-khim
berpikir, bukan mengajukan pertanyaan, mendadak dia berpaling ke arah Tan
Ciok-sing malah. "Siapa kau, berdasar apa kau berani membuktikan bahwa dia
betul-betul adalah Ling Khong-tik Ling-locianpwe?" demikian tanya Ciu
Kiam-khim.
Sudah tentu Tan Ciok-sing
kelakep oleh pertanyaan ini, tengah dia kebingungan, cara bagaimana harus
memberi penjelasan, tahu-tahu seseorang telah menyeletuk: "Nona Ciu,
biarlah aku yang menjadi saksi bahwa Ling Suhu memang benar adalah guru silat
kita, boleh tidak?"
Orang ini beranjak keluar dari
hutan sambil menuntun dua ekor kuda, dia bukan lain adalah kacung pribadi Tan
Kiam-ping yang pernah dilihat Tan Ciok-sing waktu masih berada di Cit-sing-giam
dulu.
Semula Ciu Kiam-khim melengak,
tapi setelah dia menoleh dan melihat jelas pendatang ini, seketika dia berseru
girang: "Oh, kaukah Siau-ni-cu. Kau sudah tumbuh sebesar ini."
Kacung Toan Kiam-ping ini
dilahirkan di pinggir Ni-hay, maka Toan Kiam-ping mengambil huruf
"Ni" untuk namanya. Empat tahun yang lalu dia pernah disuruh ke
markas pusat Kim-to Cecu mengantar surat, waktu itu dia baru berusia lima belas
tahun. Toh Ni berkata: "Baru kemarin kami tiba. Karena kami tidak tahu
kemana kalian pindah, maka terpaksa main tunggu disini, kami yakin suatu waktu
pasti ada orang kemari. Tadi kubawa kedua ekor kuda ini ke sungai untuk
dimandikan, belum lama aku pergi, tak nyana kau sudah kemari."
"Aku dengar ada orang
menyaru pesuruh keluarga Toan, maka sengaja aku turun gunung menyelidik soal
itu. Kuduga mata-mata itu pasti bisa menemukan tempat ini, maka aku
kesini."
Toh Ni tertawa, katanya:
"O, tak heran kau melabrak Ling Suhu. Baru musim semi yang lalu Ling Suhu
berada di Ong-hu kita."
Cepat Ciu Kiam-khim mohon maaf
kepada Ling Khong-tik, katanya tertawa: "Tidak berkelahi takkan berkenalan,
harap maaf akan kelancanganku."
Toh Ni bertanya: "Nona
Ciu, apakah Siau-ongya kami dan In Lihiap sudah tiba di markas kalian?"
"Koh belum," sahut
Ciu Kiam-khim, "aku memang ingin tanya, apa sih yang telah terjadi?"
Maklum kalau In San datang mau membantu ayahnya, hal ini tak perlu dibuat heran
tapi bahwa Toan Kiam-ping juga ikut datang, ini benar-benar diluar dugaannya.
Toh Ni juga heran, katanya:
"Lho, mereka menunggang kuda Kanglam Sianghiap yang jempolan itu, kenapa
belum tiba disini? Soal ini panjang ceritanya..." sampai disini tanpa
merasa dia menoleh ke arah Tan Ciok-sing. Waktu dia tiba tadi kebetulan
didengarnya Ciu Kiam-khim sedang menanyakan Tan Ciok-sing, dia sendiri juga
belum tahu siapa sebenarnya laki-laki ini, kalau dia orang luar, tak enak dia
bicara blak-blakan di hadapannya.
Ciu Kiam-khim juga lantas
ingat, katanya: "Betul, soal Siau-ongya kalian boleh nanti kau tuturkan
kepadaku. Coba kau terangkan dulu siapa dia ini?"
"Aneh," kata Toh Ni,
"aku seperti pernah melihatnya, tapi juga seperti belum kenal."
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
berkata: "Siau-nicu, apakah kakimu sudah sembuh?"
Kontan Siau-nicu terbelalak
kaget, namun dia segera berjingkrak senang, teriaknya: "Kau, kau
adalah..."
Cepat Tan Ciok-sing memberi
tanda kedipan mata. Toh N i cukup cerdik, dia maklum akan kedipan mata ini,
katanya: "Nona Ciu. Tentang Siau-ongya biarlah Ling Suhu nanti tuturkan
kepadamu. Biar aku bicara sebentar dengan saudara ini."
Mendengar pengakuan Siau-nicu,
legalah hati Ciu Kiam-khim, pikirnya: "Agaknya orang ini punya pantangan
yang tidak boleh diketahui orang lain, buat apa memaksanya," maka dia
berkata: "Baik, pergilah kau bicarakan urusanmu dengan sahabat ini, aku
akan tunggu disini."
Toh Ni ajak Tan Ciok-sing ke
pinggir sungai, katanya: "Tan-siangkong, sungguh tak kira aku bisa bertemu
kau disini, kau, apa benar kau ini dia?" agaknya dia masih ragu-ragu.
Tan Ciok-sing tersenyum,
segera dia basahi lengan bajunya terus membersihkan muka sendiri katanya:
"Maaf, aku tidak boleh menghapus make up ku seluruhnya. Kuyakin kau sudah
mengenalku bukan?"
Kaget dan girang Toh Ni
dibuatnya, katanya: "Tan-siangkong, ternyata memang kau, kenapa kau
menyamar begini?"
Tan Ciok-sing tertawa getir,
katanya: "Ya untuk menghindari kesukaran. Yang tahu akan diriku maklum
akan kerisauanku, yang tidak tahu akan diriku, buat apa aku harus memohon
kepadanya? Hanya Thian yang tahu apa yang terkandung dalam sanubariku?"
kata-kata terakhir ini pernah disenandungkan oleh Tan Ciok-sing waktu berada di
Cit-sing-giam, sebelum dia berlalu serta menyerahkan harpanya kepada Toh Ni,
saat mana Toan Kiam-ping masih belum siuman dari pingsannya. Mendengar
senandung ini, lebih yakin
pula Toh Ni bahwa orang dihadapannya ini memang bukan lain adalah Tan
Ciok-sing, katanya menghela napas: "Tan-siangkong, hari itu sebetulnya tak
perlu kau berlalu. Kau, kau tidak tahu."
"Tahu apa?" tanya
Tan Ciok-sing.
"Hari itu nona In
mencarimu ubek-ubekan sehari suntuk. Setiap peloksok kota Kwi-lin telah
dijelajahinya, malamnya waktu pulang, wajahnya tampak kuyu dan sedih.
Belakangan Siau-ongya tahu bahwa kau mengantarnya ke rumah keluarga In, lalu
kau berlalu, aku dimakinya, kenapa aku membiarkan kau pergi."
Pilu hati Tan Ciok-sing,
katanya: "Terima kasih akan perhatian mereka kepadaku. Aku hanya mengharap
mereka hidup bahagia. Yakin bila sang waktu telah berlalu, mereka pasti akan
melupakan aku."
"Tidak," kata Toh Ni
tegas, "mereka justru takkan melupakan kau."
"Siau-nicu," tukas
Tan Ciok-sing mengulap tangan, "marilah bicara soal lain saja. Apakah
luka-luka Siau-ongya sudah sembuh? Apa kau tahu betul bahwa dia kemari bersama
nona In? Kenapa kau tidak bersama dengan mereka? Agaknya sejak lama Ling Suhu
sudah meninggalkan Kwi-lin, bagaimana kau bisa menemukan dia? Dia kembali ke
Tayli bukan?"
"Baiklah, biar kututurkan
kejadian sejak kita berpisah dulu," ucap Toh Ni, "Siau-ongya memang
keracunan cukup parah, untung dia mendapat perawatan nona In, In Ih memanggil
tabib kenamaan untuk mengobatinya pula. Hari kedua dia sudah siuman. Beruntun
beberapa hari, sambil makan obat diapun mengerahkan lwekang untuk membantu
bekerjanya obat. Hanya tujuh hari kesehatannya sudah pulih.
"Pagi hari itu, dia suruh
aku membawa harpa pemberianmu, lalu dia memetik sebuah lagu, sudah beberapa
tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat dia melelehkan air mata. Waktu
memetik harpa itu, diam-diam nona In masuk, namun dia tidak tahu."
Mendengar cerita sampai
disini, tanpa terasa air matapun berlinang di ujung mata Tan Ciok-sing, katanya
dengan tawa dipaksakan: "Dia suka harpaku yang kuno itu, sungguh aku amat
senang."
Toh N i meneruskan ceritanya:
"Begitu Siau-ongya selesai memetik harpa, nona In lantas berkata:
'Kiam-ping, jalan pikiranmu sama denganku,' - waktu itu baru aku tahu akan
kehadirannya. Aku amat heran, Siau-ongya belum pernah bicara dengan dia
bagaimana dia bisa tahu jalan pikiran Siau-ongya?"
"Irama harpa melimpahkan
perasaan, kenapa harus mengutarakan isi hati dengan perkataan," demikian
Tan Ciok-sing menjelaskan.
Siau-ongya angkat kepala,
katanya: "Betul, kita harus temukan dia."
Bergetar perasaan Tan
Ciok-sing, didengarnya Toh N i melanjutkan: "Hari kedua, dia lantas
meninggalkan Kwi-lin bersama nona In. Semula aku ingin ikut mereka mencarimu,
tapi Siau-ongya melarangku dengan tegas, malah aku disuruh pulang memberi
laporan palsu. Apa boleh buat, terpaksa aku jalankan perintahnya."
"Nah, kalau Siau-ongya
suruh pulang ke Tayli bagaimana kau bisa datang kemari secepat ini bersama Ling
Suhu?"
"Baru tiga hari aku
meninggalkan Kongcu, di tengah jalan aku bertemu dengan Ling Suhu."
"Bukankah Ling Suhu jauh
hari sudah disuruh pulang?"
"Betul, Ling Suhu sudah
disuruh pulang waktu Siau-ongya janji bertemu dengan kau. Waktu aku ketemu dia
juga keheranan," demikian tutur Toh Ni lebih lanjut, "belakangan baru
kuketahui bahwa diapun belum pulang ke Tayli, di tengah jalan dia ketemu utusan
istana raja. Orang itu diperintahkan oleh permaisuri untuk mendesak Siau-ongya
lekas pulang. Katanya Lo-ongya sakit keras, dia diharuskan pulang untuk
mewarisi jabatan."
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Kalau demikian, dia kan harus lekas pulang."
"Memang, Lo-ongya sakit
keras, maka aku tak bisa membual lagi. Maka dengan kuda lari cepat Ling Suhu
menyusul balik ke Kwi-lin, duduk persoalan yang sebenarnya kujelaskan kepada
Ling Suhu, maka segera kami menyusul kemari hendak mencari Siau-ongya,"
cerita sampai disini tiba-tiba Toh Ni tertawa sendiri.
"Apa yang kau
tawakan?" tanya Ciok-sing heran, "Majikan tuamu sakit keras, kau
masih berani tertawa?"
"Biar kukasih tahu
padamu, tapi jangan kau bocorkan. Padahal Ling Suhu juga menipu."
"Menipu apa?" tanya
Tan Ciok-sing.
"Kabar tentang majikan
tua sakit keras hanyalah bualan belaka. Sejak bertemu aku sudah terus terang
kepada Ling Suhu, tapi baru kemarin Ling Suhu bicara sejujurnya dengan aku.
Ternyata Lo-ongya kuatir putranya berdiri sepihak dengan orang-orang gagah di
Kangouw. Utusan dari istana semula juga tak berani terus terang terhadap Ling
Suhu, tapi karena minta bantuannya, tahu akan kejujuran pula, maka akhirnya hal
itu dijelaskan."
"Tak lama lagi akan
terjadi peperangan disini, demi kepentingan Siau-ongya kalian, memang pantas
kalau dia lekas pulang," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Dari mana kau tahu bakal
ada perang disini?" tanya Toh Ni.
"Kedua orang yang
menyamar utusan keluarga Toan adalah mata¬-mata Watsu, kebetulan tertangkap
olehku, aku telah mengompres keterangan mereka."
Toh Ni menghela napas,
katanya: "Kalau aku seorang diri, ingin aku melihat peperangan disini.
Tapi bisa tidak aku menemukan Siau-ongya, aku harus pulang memberi laporan.
Tan-siangkong, bila kau ketemu Siau-ongya, jangan kau bocorkan berita bohong
itu kepadanya."
"Tak usah kuatir, aku
takkan ketemu dia."
Toh Ni seperti paham, sesaat
kemudian dia berkata: "O, jadi kau sengaja menghindari Siau-ongya?"
Tan Ciok-sing diam saja, tapi
manggut-manggut.
Toh Ni menghela napas,
katanya: "Kau sengaja menghindari dia, sebaliknya aku pusing mencarinya.
Aneh, tiga hari dia lebih dini berangkat kemari menunggang kuda yang dapat lari
ribuan li sehari, kenapa aku tiba lebih dulu malah? Aku, aku jadi kuatir."
"Mungkin di tengah jalan
mereka tertunda oleh suatu urusan. Kungfu Siau-ongya dan kepandaian nona In
cukup tinggi, dengan gabungan kekuatan mereka, yakin musuh takkan mampu berbuat
banyak, tak usah kuatir mereka mengalami sesuatu."
Toh Ni berkata lebih lanjut:
"Sebetulnya setulus hati aku mengharap Siau-ongya dapat mempersunting nona
In, bicara terus terang, waktu itu sedikitpun tidak simpatik kepadamu, ingin
rasanya kau lekas meninggalkan nona In sejauh mungkin. Tapi pikiranku sekarang
berbeda, karena aku sudah tahu kau adalah orang baik yang sukar dicari keduanya
di dunia ini, aku juga tahu nona In hanya menyukai kau, harap kau suka
mendengar pendapatku..."
"Anggapanmu semula memang
tidak salah," demikian tukas Tan Ciok-sing, "Siau-ongya memang
pasangan setimpal dengan nona In, aku tidak setimpal jadi suaminya."
"Tidak, itu hanyalah
pikiranmu seorang. Siau-ongya dan nona In justeru tidak sependapat dengan kau.
Apa kau ingin tahu bagaimana Nona In membicarakan dirimu?"
Tan Ciok-sing goyang tangan,
katanya: "Tidak aku tidak mau dengar. Mereka begitu baik terhadapku, aku
amat haru dan berterima kasih, tapi aku tidak boleh tidak tahu diri, aku tidak
mau ditertawakan orang, dikatakan aku ini kodok buduk yang menginginkan daging
bangau."
Merah muka Toh Ni, katanya:
"Tan-siangkong, kau masih menyindirku akan perkataan yang kulontarkan di
hari itu tentang dirimu? Mulutku memang pantas digampar. Tapi kuharap kau
memaafkan kelancanganku itu," sambil bicara dia sudah angkat tangannya mau
menggampar mulut sendiri.
Lekas Ciok-sing menariknya,
katanya: "Aku tidak menyalahkan kau, aku sendiripun berpikir
demikian."
Toh Ni masih mau membujuk, Tan
Ciok-sing berkata: "Siau-nicu, tidak usah dibicarakan, lagi. Aku hanya mengejar
ketentraman batinku saja. Kumohon bantuanmu jangan kau katakan kepada
Siau-ongya dan nona In bahwa kau pernah ketemu aku disini, jangan pula kasih
tahu kepada Ling Khong-tik."
"Kau pernah menolong
jiwaku, apa kehendakmu pasti kulaksanakan. Masih ada?"
"Masih ada satu hal, juga
mohon bantuanmu."
"Tan-siangkong silakan
katakan saja, jangan kata soal membantu persoalanmu, meski Siau-nicu harus
terjun ke lautan api, juga pasti kulaksanakan."
"Terima kasih akan
kesetiaanmu. Kedatanganku kemari bukan hanya ingin memberitahu jejak
Siau-ongya, aku juga membawa pesan seorang teman," lalu dia tuturkan
keinginan Han Cin yang mau mendarma baktikan tenaganya di markas Kim-to Cecu,
minta Siau-nicu sampaikan hal ini kepada putri Kim-to Cecu. Supaya mengutus orang
menjemput Han Cin di kedai itu.
"Urusan sekecil ini pasti
beres. Tapi maafkan bila aku cerewet, ingin tanya kepadamu. Apakah kau menyukai
nona Han ini?"
Untuk menghindari banyak
pertanyaan, maka Tan Ciok-sing menjawab: "Betul, aku amat menyukainya, kami
sudah angkat saudara."
"Sebetulnya aku kuatir
bagi nona In. Kau takut menemui dia, tapi juga tidak suka bertemu dengan dia
bersama nona Han. Ini sudah membuktikan bahwa kau hanya mencintai nona In saja.
Apa yang kau katakan justru kebalikannya."
"Siau-nicu jangan
sembarang ngomong. Emm, waktu amat mendesak, aku harus lekas pergi. Soal itu
kutitip padamu supaya diselesaikan," dia tidak kembali menemui Ciu
Kiam-khim, secara diam-diam dia turun gunung.
000OOO000
Di tengah perjalanan pulang,
hatinya justru gundah dan gelisah. Kata-kata Siau-nicu menimbulkan riak
gelombang dalam sanubarinya: "Nona In hanya mencintai kau, dia tidak akan
melupakan dirimu," kalau bukan cerita Siau-nicu ini, hakikatnya dia tidak
tahu bahwa cinta In San kepadanya ternyata begitu mendalam. Tapi sedapat
mungkin dia berusaha menekan gejolak hatinya. "Umpama betul dia tidak akan
melupakan aku selamanya, akupun tak perlu menyesal akan keputusanku ini.
Mencintai seseorang harus bisa memberikan kebahagiaan
kepadanya. Kalau dia menjadi
permaisuri Toan Kiam-ping pasti jauh lebih bahagia dari pada menjadi
isteriku." Meski dia berusaha menekan gejolak perasaannya, tapi hatinya
tetap merasa hambar dan kosong. Akhirnya Tan Ciok-sing kembali pula ke
Tay-tong.
Waktu dia masuk kota, penduduk
sudah mulai menyulut lampu. Tay-tong setelah mengalami peperangan, bagi
penduduk yang punya uang, seperti sudah melupakan luka-luka akibat peperangan
itu, mereka tetap mengejar kesenangan hidup. Malam hari ternyata tidak kalah
ramai dari siang hari, jalan raya tetap berjubel manusia yang berlalu lalang.
Tan Ciok-sing berjalan di
tengah keramaian kota, perasaannya justru sunyi sepi seperti di atas alas
pegunungan yang belukar. Dengan jari-jarinya yang gemetar dia mengetuk pintu
kedai. Seperti murid sekolah yang harus memasuki arena ujian, hatinya bingung
dan kacau: "Bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada adik Cin?"
Diluar dugaannya, dia tidak
menemukan Han Cin, begitu dia masuk laki-laki tua itu lantas berkata kepadanya:
"Kebetulan kau pulang, aku mau beri tahu, hari kedua setelah kau pergi,
Han-siangkong juga meninggalkan kedai kami."
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Kenapa tidak menungguku pulang? Aku sudah berjanji dengan dia, apa kau
tahu dia kemana?"
"Kau tak perlu kuatir,
dia bilang dia sudah menemukan Kim-to Cecu."
Karuan Tan Ciok-sing
keheranan, katanya: "Bagaimana dia bisa menemukan Kim-to Cecu? puncak
gunung dimana markas Kim-to Cecu berada pun belum kuketemukan. Memangnya dia
sudah ke Tay-tong ini?"
"Yang kumaksud bukan
langsung ketemu dengan Kim-to Cecu, tapi dia bertemu dengan seorang yang tahu
dimana Kim-to Cecu berada."
"Siapa orang itu?"
tanya Ciok-sing, dalam hati dia membatin: "Padahal dia tidak kenal siapa
saja, memangnya dari mana dia berkenalan dengan orang?" •
"Dia tidak memberi tahu
padaku," sahut laki-laki tua, "Tapi dia meninggalkan sepucuk surat
untuk kau. Katanya setelah membaca suratnya kau akan mengerti."
Ciok-sing terima surat
peninggalan Han Cin serta dirobek dan dibacanya, dimana surat itu berbunyi
demikian: "Aku tidak ingin merepotkan pemilik kedai ini, kedainya ini
untuk berdagang, setiap hari banyak orang pergi datang disini, aku perempuan
menyaru laki-laki, lama kelamaan pasti terbongkar oleh orang. Rumah keluarga In
kan tiada yang menghuni, biarlah untuk beberapa hari aku tinggal disana Tinggal
di kamar tidurnya yang serba indah itu jauh lebih enak, lebih leluasa, tapi tak
enak aku terus terang kepada pemilik kedai ini, yakin kau tidak salahkan aku
mempermainkan kau bukan? Sekembalimu, boleh langsung kau ke rumah keluarga
In."
Setelah baca surat ini, baru
Tan Ciok-sing tahu Han Cin sengaja main gara-gara, diam-diam dia menjadi geli,
"dia memang nakal, entah bagaimana dia mendapat akal untuk pindah tempat.
Yang benar tinggal di rumah keluarga In hakikatnya jauh lebih berbahaya,"
maka dia bertanya: "Sejak aku pergi dulu, pernahkah opas atau petugas
lainnya yang memeriksa gedung keluarga In yang sudah terbakar itu?"
"Tidak pernah. Sejak
rumah keluarga In digerebek tentara, rumah itupun sudah disegel, sejauh ini
belum dibuka. Tan-siangkong, buat apa kau tanya hal ini?"
"Tidak apa-apa,"
ujar Tan Ciok-sing. "Soalnya tempo hari kudengar kau berkata, ada orang
yang mengaku utusan keluarga Toan di Tayli kemari dan mencari tahu tentang
rumah keluarga In kepadamu, maka aku tanya sambil lalu saja"
"O, kau kuatir mereka
masuk ke rumah keluarga In, sehingga menimbulkan curiga petugas dan mengadakan
pemeriksaan disana? Menurut apa yang kutahu, opas atau petugas negara lainnya
tiada yang pernah masuk kenasa, aku juga tidak tahu. Tapi rumah yang disegel,
siapa yang berani memasukinya."
Legalah hati Ciok-sing,
pikirnya: "Untung kalau tidak terjadi apa-apa. Apa boleh buat terpaksa aku
ikut berbohong pada pemilik kedai ini."
Laki-laki tua berkata:
"Siapakah teman Han-siangkong itu? Apakah dia utusan dari keluarga
Toan?"
"Bukan, tapi salah
seorang anak buah Kim-to Cecu yang tinggal di kota ini."
Laki-laki tua ini tahu akan
pantangan orang-orang Kangouw, maka dia tidak berani banyak tanya dimana tempat
tinggal Han Cin itu, katanya: "Kalau begitu lekaslah kau pergi
mencarinya."
"Betul, sebentar juga aku
akan pergi mencarinya."
Tan Ciok-sing lalu ngobrol
dengan pemilik kedai, diketahuinya sejak dia meninggalkan Tay-tong keadaan
disini ternyata aman saja, lebih lega pula hatinya. Setelah makan bakmi, tanpa
terasa hari sudah menjelang kentongan yang ketiga. Tan Ciok-sing berkata:
"Aku harus
berangkat," setelah pamitan kepada pemilik kedai, diam-diam dia lantas
menyelundup ke rumah keluarga In.
Untuk kedua kalinya dia
menyelundup ke rumah keluarga In, terbayang waktu dulu dia bertemu dengan
In-hujin, hatinya amat haru. Pikirnya: "Waktu itu kukira akan bertemu
dengan adik San, tak nyana bertemu dengan ibunya. Tapi kali ini aku sudah
jelas, yang bakal kutemui adalah In San samaran. Hmm, adik San memang ada
sedikit persamaan dengan adik Cin, memang cocok kalau adik Cin menyamar dia.
Entah sekarang dia sudah tidur atau belum?" tengah otaknya bekerja, tanpa
disadarinya dia langsung menuju ke kamar tidur In San dulu. Setelah dekat, tiba-tiba
didengarnya suara petikan harpa dari dalam kamar. Karuan Tan Ciok-sing
menjublek.
Lagu yang dibawakan dalam
petikan harpa ini adalah lagu yang pernah dia bawakan sebelum dia berpisah
dengan Toan Kiam-ping serta menghadiahkan harpanya di atas Cit-sing-giam dulu.
Di waktu terlongong itu, pikirannya melayang: "Belum pernah aku tuturkan
kejadian itu kepada adik Cin, bagaimana mungkin di kala kebetulan aku pulang,
dia lantas petikan lagu itu, mungkinkah secara kebetulan? Tapi yang membuatnya
menjublek bukan lantaran petikan lagunya, tapi karena dia dapat merasakan,
dapat meresapi perasaan yang dibawakan oleh irama harpa itu.
Bahan kayu yang berbeda untuk
membuat harpa dapat menimbulkan perbedaan nada dan suara, orang biasa takkan
bisa membedakan, tapi bagi seorang ahli, guru harpa yang sudah banyak
pengalaman tentu dapat membedakan.
Harpa kuno peninggalan
keluarganya itu adalah Kiau-bwe-khim yang tercatat dalam sejarah daftar harpa,
konon harpa itu dibuat oleh Coa Pa pada dynasti Han timur, bahannya dari
sebongkot kayu yang sudah terbakar separo, maka harpa itu dinamakan
Kiau-bwe-khim (harpa bongkot arang). Nada dan warna suaranya jauh berbeda
dengan harpa umumnya. Kini Tan Ciok-sing mendadak mendengar petikan irama
Kiau-bwe-khim miliknya dulu itu, saking kaget, hampir dia tidak mau percaya
akan pendengaran kupingnya.
Walau gaya petikannya masih
belum cukup mahir, tapi lagu itu dapat dibawakan cukup sempurna dan lebih
penting lagi dia dapat melimpahkan isi hatinya melalui petikan harpa itu,
perasaan yang hambar dan penuh harapan dituangkan pada irama harpa, ini
menimbulkan reaksi yang kontras dalam sanubarinya, Tan Ciok-sing berpikir:
"Ai, bagaimana adik Cin juga memiliki perasaan yang sama dengan aku pada
waktu itu?"
Bahwa Han Cin pandai meniup
seruling dan mahir teori musik, ini diketahui oleh Tan Ciok-sing, maka dia
yakin bahwa yang memetik harpa ini pasti Han Cin adanya, sesaat lamanya dia
menjublek, akhirnya dia maju perlahan-lahan serta mengetuk pintu, serunya:
"Adik Cin, aku sudah pulang, dari mana kau peroleh harpa yang kau petik
itu, coba biar kulihat."
Suara harpa seketika'berhenti,
pintu kamarpun cepat terbuka. Tapi yang berdiri dihadapannya ternyata bukan Han
Cin. Tanpa merasa kembali dia terlongong di depan pintu. Kalau tadi dia tidak
percaya akan pendengaran kupingnya, kini dia tidak percaya akan pandangan
matanya. Ternyata yang muncul dihadapannya bukan lain adalah In San yang
sengaja ingin dia hindari.
Ternyata sikap In San tidak
seheran dia, begitu membuka pintu, dia lantas menyambut dengan tertawa:
"Aku sudah tahu kau telah datang, sudah beberapa hari aku menunggumu
disini."
"Apa betul kau nona
In?" tergagap suara Ciok-sing. Dia tahu Han Cin pandai menyamar, maka dia
curiga bahwa In San yang berdiri di hadapannya ini samaran Han Cin.
In San tertawa, katanya:
"Tan-toako, baru sebulan lebih aku berpisah dengan kau, kau sudah tidak
mengenalku lagi? Owng bisa menyaru, tapi harpa kuno warisan keluargamu ini
apakah bisa dipalsukan?"
Tan Ciok-sing ambil harpa itu
serta diperiksanya dengan teliti, memang inilah Kiau-bwe-khim warisan
keluarganya itu. Yang benar tak perlu dia memeriksa sedemikian rupa, sekali
pandang saja orang lainpun akan tahu bahwa harpa ini tulen.
Kiau-bwe-khim ini sudah dia
hadiahkan kepada Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping datang ke Tay-tong bersama In
San, sudah tentu harpa ini berada di tangan In San, dan tak mungkin berada di
tangan Han Cin.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
yakin bahwa gadis yang berada di hadapannya betul-betul adalah In San, bukan
samaran Han Cin yang pernah menggodanya dulu. Karuan kaget dan senang hatinya,
katanya: "Ah, ternyata kau memang adik San."
In San tersenyum, katanya
lembut: "Kau kira aku siapa?"
Teringat bahwa kedatangannya
mau mencari Han Cin dan memperlihatkan surat peninggalan ayah angkatnya kepadanya,
seketika jengah muka Tan Ciok-sing, katanya tersendat: "Kukira kau samaran
seorang temanku."
Seperti tertawa tidak tertawa
In San mengawasinya, tanyanya: "Siapakah temanmu itu?"
"Seorang nona she Han,
dia, dia..."
Sebelum dia ceritakan siapa sebenarnya
Han Cin, In San sudah berkata lebih dulu: "Dia adalah anak angkat Khu Ti,
Khu-locianpwe telah meninggal, atas perintah ayah angkatnya itu kau angkat
saudara sama dia, betul tidak?"
Lama Tan Ciok-sing melenggong,
katanya kemudian masih melongo: "Jadi kau sudah bertemu dengan nona
Han?"
Tertawa tapi In San tidak
menjawab, tiba-tiba malah bertanya: "Sejak kau meninggalkan Tay-tong
sampai hari ini kebetulan tepat sepuluh hari, betul tidak?"
"Lho, bagaimana kau tahu
sejelas ini?" sahut Tan Ciok-sing setelah menghitung dengan jari, memang
tepat sepuluh hari.
"Malam itu, kau pernah
lewat depan rumahku, betul tidak?"
"Jadi bayangan yang
kulihat malam itu adalah kau."
"Malam itu kira-kira
kentongan ketiga, aku belum tidur, sayup-sayup mendadak kudengar seseorang
menghela napas panjang, entah mengapa, aku menduga pasti kau adanya. Tapi waktu
aku keluar mencarimu, kau sudah tidak kelihatan."
"Waktu itu aku juga
curiga mungkin engkau, tapi juga kuatir bila orang yang diutus dari keluarga
Liong, karena tidak ingin mencari perkara, maka aku lekas-lekas pergi."
In San menghela napas,
katanya: "Kau bukan takut kena perkara, tapi kau sengaja menghindari aku,
kau kira aku tidak tahu?"
Tan Ciok-sing tidak bisa
mungkir, terpaksa dia menunduk. Sikapnya kikuk mimiknya lucu. In San tertawa
geli melihat tampangnya, katanya: "Malam itu kau tidak masuk kemari, tapi
tidak lama, mungkin satu jam kemudian, adik Cin itulah yang kemari."
"Ternyata demikian, tak
heran segalanya sudah kau ketahui."
Setengah mendesak setengah
berkelakar In San berkata: "Sekarang kau masih mau menghindari aku?"
Tan Ciok-sing menyengir kuda,
katanya: "Aku ketipu oleh kalian."
"Hari kedua adik Cin
lantas pindah kemari, surat yang diberikan kau itupun dia tulis disini. Tapi
bukan maksudku menipu kau datang kemari. Kau tidak salahkan aku bukan?"
Lirih suara Tan Ciok-sing:
"Yang benar akupun ingin bertemu dengan kau."
Secerah kembang mekar senyum
In San, katanya: "Kukira kau sudah melupakan aku. Setelah mendengar
pengakuanmu, tidak sia-sia aku menunggumu sepuluh hari disini."
Bergetar perasaan Tan
Ciok-sing, namun ditenangkan hati, katanya: "Mana nona Han?"
"Semalam dia menginap
disini bersamaku, hari kedua dia lantas pergi."
"Pergi kemana?"
"Tak usah gugup, nanti
kuceritakan. Masih ada yang ingin kau tanyakan?"
"Bukankah Toan-toako
datang bersamamu, kenapa tidak kelihatan?"
Dengan tersenyum In San
menerangkan: "Memang nona Han menipu kau datang kemari, tapi tidak
seluruhnya dia ngapusi kau. Bukankah dalam suratnya dia ada bilang bahwa dia
ketemu seorang teman yang akan mengantarnya ke markas Kim-to Cecu?"
"Jadi benar?" seru
Ciok-sing heran, "teman itu..."
"Teman yang mengantarnya
ke markas Kim-to Cecu adalah Toan Kiam-ping."
Tan Ciok-sing tepuk dahinya
sendiri, katanya: "Aku memang goblok, seharusnya sudah kuduga sejak
tadi."
"Mereka berangkat naik
kuda Kanglam Sianghiap, yakin pasti menemukan tempat tujuannya. Sekarang
mungkin sudah berada di tempat Kim-to Cecu."
Kusut pikiran Tan Ciok-sing,
katanya kemudian: "Sebetulaya dia harus berangkat bersama kau."
Seperti tertawa tidak tertawa
In •San berkata: "Kau tidak rela bila adik Cinmu itu dia rebut?"
Tan Ciok-sing menghela napas,
katanya: "Waktu aku mengantarnya ke rumah murid tertua It-cu-king-thian,
aku mengharap, mengharap bisa..." dia ingin bilang "merangkap jodoh
kalian", entah kenapa, lidahnya menjadi kelu dan tak enak melanjutkan
perkataannya.
"Terima kasih akan maksud
baikmu, tapi sikapmu ini jelas memandang aku dengan Toan-toako bukan sebagai
manusia."
Tan Ciok-sing kaget, serunya:
"Adik San berat kata-katamu. Terhadap Toan-toako, aku amat menghormatinya.
Terhadapmu, aku hanya berdoa supaya kau selalu baik-baik."
"Tapi apa kau tidak tahu
bahwa aku dan Toan-toako adalah manusia, bukan suatu benda mati, manusia mana
boleh dipermainkan sesuka hati? Aku suka kepada siapa, aku punya keputusanku
sendiri," sampai disini sikap In San kembali ramah, aleman dan Jenaka,
dengan ujung jarinya dia tuding jidat Tan Ciok-sing, katanya: "Kau tahu
salah, aku takkan memakimu. Kau mengaku salah tidak?"
Tan Ciok-sing menunduk,
hatinya syur dan manis mesra, seperti seorang murid yang dimarahi gurunya,
mukanya merah seperti tomat masak, sahutnya tersekat: "Ya, aku tahu
salah."
Lebar tawa In San, katanya:
"Baiklah, kali ini kuampuni. Apakah kacang merah itu masih kau
simpan?"
Ciok-sing keluarkan kacang
merah itu, katanya: "Barang sepenting ini mana boleh kuhilangkan?"
In San terima kacang itu serta
memeriksanya, katanya: "Hanya warnanya yang berubah sedikit gelap."
"Mungkin karena kena debu,"
kata Ciok-sing.
In San menggosok kacang merah
itu di tengah kedua telapak tangannya, katanya tertawa: "Betul, setelah
debu dibersihkan, warnanya tetap menyala."
Debu yang menyelimuti hati Tan
Ciok-singpun seketika diusap bersih oleh In San, tiba-tiba In San berkata:
"Toan Kiam-ping ada titip sebuah kado untuk kau."
Tan Ciok-sing tertegun,
"Kado apa?" .
In San tuding harpa itu,
katanya: "Semula kau hadiahkan harpa itu kepadanya, sekarang dia
kembalikan kepadamu."
"O, waktu kuberikan harpa
ini kepadanya, maksudku untuk membalas kebaikan seorang yang tahu isi hatiku.
Di samping itu, kukira, kira..."
In San menatapnya, katanya:
"Kau kira kenapa? Pikiranmu selalu menyeleweng, semuanya tidak
benar."
Meski dimarahi, namun hati
Ciok-sing senang, tapi tak berani bersuara.
"Toan-toako tahu akan
maksudmu, maka dia tidak mau menerima kado ini. Kini dia kembalikan aku
kepadamu, dia minta aku menyatakan kepada kau, maksudnya seperti maksudmu waktu
kau menyerahkan harpa ini kepadanya."
Semakin manis hati Tan
Ciok-sing, tapi mukanya semakin merah.
"Walau dia tidak menerima
kadomu, tapi dia menerima persahabatanmu yang kental. Lagu yang kupetik tadi
dialah yang mengajarkan kepadaku."
Kembali dimarahi, Tan
Ciok-sing malah tertawa, katanya:
"Sebetulnya aku sudah
menduga, pasti dia yang mengajar kepadamu. Mendengar petikan lagumu tadi, aku
masih kira kau adalah samaran Han Cin, sungguh menggelikan."
Seperti tertawa tidak tertawa,
In San berkata: "Itulah karena didalam relung hatimu ada terisi bayangan
adik Cin juga."
Lekas Ciok-sing berkata:
"Jangan kau salah paham, meski aku sudah angkat saudara dengan dia, tapi
perasaanku terhadap kalian, terus terang, jauh berbeda"
In San cekikikan geli,
katanya: "Kenapa kau gugup begitu rupa, aku hanya menggodamu," lalu
berkata pula, "Malam itu aku tidak menemukan kau, sekembaliku kupetik lagu
itu juga. Tak nyana justru memancing kedatangan adik Cinmu itu. Beberapa hari
ini aku tahu kau pasti kembali, maka setiap malam aku pasti petik lagu
itu."
Tan Ciok-sing amat haru,
katanya tersendat: "Adik San, betapa besar dan luhur hatimu, kau sudah
berjerih payah lantaran aku, aku amat haru dan terima kasih padamu."
"Waktu kau hadiahkan
harpa ini kepada Toan Kiam-ping, tak pernah terpikir akan akhir kejadian
seperti malam ini bukan? Kau puas tidak?"
Lirih suara Ciok-sing:
"Akhir dari semua drama ini sungguh berada diluar dugaanku."
In San seperti teringat
sesuatu, katanya kemudian: "Aku masih mengharapkan suatu akhir yang
sempurna."
Tan Ciok-sing melengak,
tanyanya: "Akhir yang lebih sempurna bagaimana?"
"Bila adik Cinmu dapat
menikah dengan Toan-toako, bukankah lebih sempurna? Kulihat mereka memang cocok
dan setimpal."
Tan Ciok-sing juga ingat satu
hal, tanyanya: "Betul, memang aku ingin tanya kau, kalau menungggang kuda Kanglam
Sianghiap, seharusnya beberapa hari lebih dini tiba di Tay-tong.
"Itulah karena di tengah
perjalanan ke Tay-tong, kami ketemu seorang yang tak pernah terduga
sebelumnya."
"Siapa?"
"Apa kau masih ingat
Hwesio gendut salah satu dari Pat-sian dulu?"
"Maksudmu Sia-cin Hwesio
yang berkawan dengan Ui-yap Tojin itu? Hwesio gendut itu memang mirip patung
Mi-lik-hud didalam kelenteng, senyum selalu menghias wajahnya, tingkah lakunya
lucu jenaka, mana bisa aku melupakan dia. Kenapa?"
In San menghela napas,
katanya: "Sayang waktu aku ketemu dia, dia sudah tidak bisa tertawa
lagi."
Tan Ciok-sing kaget, tanyanya:
"Dia ketimpa persoalan apa?"
"Setelah pertemuan di
Lian-hoa¬ hong bubar, bersama Ui-yap Tojin dia mampir ke tempat kediaman
Wi-cui-hi-kiau di Koan-tiong, lalu mereka akan bersama-sama pergi ke tempat
Kim-to Cecu. Sayang mereka tidak ketemu Wi-cui-hi-kiau, namun menemukan sepucuk
surat yang ditinggalkan Wi-cui-hi-kiau, dalam surat itu diberitahukan suatu
berita penting." "Berita apa?"
"Berita tentang Liong
Bun-kong yang ada intrik dengan pihak Watsu."
Tan Ciok-sing kaget, katanya:
"Liong Bun-kong-keparat itu jelek-jelek adalah pembesar tinggi kerajaan,
apa betul ada kejadian ini?"
"Watsu ada kirim seorang
utusan rahasia, membawa surat pribadi raja Watsu menyelundup ke Peking, di
samping itu membawa pula banyak harta manikam untuk dihadiahkan kepada bangsat
tua itu. Walau tiada orang tahu isi dari surat pribadi itu, tapi bisa diduga
pasti tidak menguntungkan bagi negeri kita."
"Itu sudah tentu. Apakah
berita ini dapat dipercaya?"
"Justeru karena berusaha
merebut surat pribadi itulah Sia-cin Hwesio dan Ui-yap Tojin mengalami nasib
jelek, kenapa tidak boleh dipercaya?" lalu In San ceritakan kejadiannya.
"Wi-cui-hi-kiau punya
seorang teman yang tinggal di ibu kota negeri Watsu, dia punya teman bangsa
Watsu, dari kalangan atas sampai golongan rendah, banyak berita penting yang
berhasil dis'adapnya. Setelah dia mendapat tahu kabar ini, sebelum utusan raja
Watsu berangkat, dia sudah kirim orang untuk memberitahu kepada Wi-cui-hi-kiau.
"Untuk menuju ke Pakkia,
utusan raja Watsu bisa menempuh dua jalan. Teman Wi-cui-hi-kiau tidak tahu
jalan mana yang bakal ditempuh oleh utusan raja Watsu."
"Setelah memperoleh
berita besar dan penting ini, maka Wi-cui-hi-kiau segera mengadakan persiapan,
disadarinya bahwa waktu amat mendesak, tak mungkin dia memanggil banyak orang
untuk membagi tugas mencegat kedua jalan yang mungkin bisa ditempuh itu,
terpaksa mereka bekerja sendiri menyelusuri jalan pertama, di samping
meninggalkan surat, mohon bantuan Ui-yap Tojin dan dan Sia-cin Hwesio untuk
mencegat di jalan kedua itu. Sebelumnya mereka sudah ada janji, maka mereka
tahu bahwa dalam waktu dekat Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio bakal
datang."
In San bercerita lebih lanjut:
"Ternyata Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio yang kesamplok dengan rombongan
utusan raja Watsu di tengah jalan."
"Malam itu mereka lantas
berusaha untuk mencuri surat tugas dan rahasia itu, tak nyana jejak mereka
konangan oleh jago-jago silat Watsu yang memiliki kepandaian yang tangguh.
Dalam pertempuran sengit itu, Ui-yap Tojin dan Sia-cin Hwesio kewalahan
dikeroyok musuh sebanyak itu, sungguh malang Ui-yap Tojin gugur di medan laga
di saat menunaikan tugas suci dan mulia."
Kejut Tan Ciok-sing bukan main,
katanya: "Ui-yap Tojin adalah jago pedang pada jaman ini yang terhitung
paling top, tujuh puluh dua jurus Tiang-hoan-toh-bing-kiam yang diyakinkan itu
amat ganas dan liehay, sungguh tak nyana dia mati di tangan musuh."
"Untuk menolong teman
baiknya meloloskan diri, terpaksa Ui-yap Tojin mengorbankan diri, dia gugur
bersama tiga jago kosen bangsa Watsu."
"Lalu bagaimana nasib
Sia-cin Hwesio?"
"Luka Sia-cin Hwesio
tidak ringan, untung dia berhasil meloloskan diri. Waktu aku bertemu dia,
sungguh dia amat girang tapi juga sedih, setelah dia ceritakan pengalaman yang
menegangkan itu, diapun tak kuat lagi, roboh..."
"Hah," Tan Ciok-sing
menjerit kaget, "Sia-cin Hwesio, dia juga..."
"Tidak, dia hanya pingsan
karena kehabisan tenaga," tutur In San. "Sebetulnya dia minta kami
selekasnya mengirim kabar ini kepada Kim-to Cecu, namun kami tak bisa
meninggalkan dia begitu saja di tengah jalan. Waktu itu kami pikir, kalau usaha
merampas surat rahasia itu sudah gagal, dihitung waktu dan jaraknya, bila kita
tiba di markas Kim-to Cecu, utusan kerajaan Watsu itupun pasti sudah tiba di
Pakkia. Walau kita menunggang kuda yang cepat lari ribuan li sehari juga takkan
bisa menyandaknya lagi. Yang jelas intrik Liong Bun-kong dengan bangsa Watsu
sudah menjadi kenyataan, tak perlu kita buru-buru menyampaikan berita ini
kepada Kim-to Cecu."
"O, jadi karena kalian
harus merawat luka-luka Sia-cin Hwesio sehingga perjalanan kalian
tertunda."
"Beberapa hari kami
merawat dan melindungi dia di tan.ih pegunungan yang liar dan belukai, syukur
luka-lukanya lekas sembuh, belakangan kami menemuk.ui rumah pemburu, lalu kami
titi pk m i i dia disana untuk menyembulik.ui luka-lukanya, hari itu juga kami
melanjutkan perjalanan."
"Toan-toako buru-buru
meninggalkan Tay-tong, pasti dia hendak mengirim kabar ini kepada Kim-to
Cecu."
"Ya, di samping untuk
mengantar adik Cinmu itu. Aku tidak tahu entah kenapa dia tidak mau menunggumu
pulang. Hari kedua dia lantas minta Toan-toako mengantarkan dia pergi ke tempat
Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Seharusnya kau sudah tahu, dia pergi lantaran kau dan aku."
Merah muka In San, katanya:
"Apa kau beritahu seluruh persoalan kami dengan dia?"
"Tidak. Tapi dia cukup
cerdik, setelah melihat kau, membicarakan diriku, yakin dia pasti sudah menerka
dalam hati," lalu dia menambahkan. "Sebetulnya kau boleh ikut
berangkat bersama mereka."
In San mengerut seketika,
rengeknya: "Kau tidak suka bertemu dengan aku?"
"Bukan begitu. Kurasa
urusan dinas lebih penting."
"Jangan kau kira aku
hanya memikirkan soal cinta melulu, aku menunggu kedatanganmu juga lantaran
urusan dinas. Aku punya jalan pikiranku sendiri."
"Jalan pikiran
bagaimana?"
"Kuharap kau suka
membantu aku. Mari kita pergi ke Pakkia membunuh Liong-lo-jat."
"O, kiranya kau berpikir demikian,
jadi aku yang keliru menduga yang bukan-bukan."
In San kertak gigi, katanya:
"Bangsat tua she Liong itu menipu ibu kandungku, membunuh ayahku, sehingga
keluargaku tercerai berai, sekarang aku sebatangkara juga lantaran dia, dendam
sedalam lautan ini, mana boleh tidak kubalas."
"Tapi bangsat tua ini
kini sudah naik pangkat jadi sekretaris militer, merangkap jabatan
Kiu-bun-te-tok pula, aku tahu untuk membunuhnya bukan soal mudah, maka aku
harus berani pertaruhkan jiwa ragaku untuk menunaikan tugas penting ini.
Tan-toako, apa kau sudi menemani aku menempuh bahaya?"
Tanpa pikir Tan Ciok-sing
menjawab tegas dengan tertawa: "Sampai sekarang kau masih tanya demikian
kepadaku, bukankah terlalu berkelebihan? Bisa sehidup semati bersama kau
sungguh merupakan cita-citaku yang terbesar."
Senyum In San secerah kembang
mekar, katanya: "Tan-toako, aku tahu kau pasti setuju akan rencanaku ini.
Maka aku tidak berani utarakan rencanaku ini kepada Toan Kiam-ping hanya
kepadamu saja."
"Terima kasih bahwa kau
begitu mempercayai aku. Tapi Toan Kiam-ping adalah pangeran raja, adalah jamak
kalau kau tidak memberi kesempatan padanya untuk menyerempet bahaya,"
tiba-tiba dia teringat sesuatu, "Bangsat tua she Liong dan keponakan serta
anak buahnya banyak yang mengenali kau, sayang aku tidak pandai make up, lalu
bagaimana baiknya?"
"Yang harus kau buat
sayang adalah, selama itu kau kumpul dengan adik Cinmu, kenapa tidak belajar
make up padanya."
Tan Ciok-sing tertegun,
katanya: "Ah, jadi kau sudah tahu bahwa dia pandai juga dalam bidang
ini?"
In San tertawa, katanya:
"Kau tak usah kuatir, kau tidak belajar, aku malah sudah cukup
mahir."
"Kau memang pintar, hanya
semalam kumpul, kau sudah pandai make up."
"Tata rias sebetulnya
tidak sukar. Soalnya kau tidak mau belajar."
Di jalan raya terdengar ronda
malam sudah menabuh kentongannya, hari sudah menjelang kentongan ke empat.
Tan Ciok-sing melangkah enteng
ke pekarangan tengah, dilihatnya rembulan sudah doyong ke barat, mengingat
besok pagi dia bakal menempuh perjalanan jauh pula bersama In San, sanubarinya
diliputi rasa senang dan bahagia. Tanpa sadar jari-jarinya meraba surat wasiat
pesan Khu Ti kepadanya itu. Dalam hati dia berpikir: "Nasib memang
mempermainkan orang. Untung aku tidak perlihatkan surat ini kepada adik
Cin," lalu dia membatin: "Surat ini tidak pantas kusimpan selalu,
kapan ada waktu dan kesempatan, diluar tahu adik San aku harus
membakarnya," tapi sanubarinya tiba-tiba merasa menyesal, "terhadap
adik San selamanya aku tidak pernah berbohong, perlukah aku beritahu soal ini
kepadanya? Em, adik Cin sekarang sudah ada tempat berteduh, masa depannya masih
cerah, adik San sudah rujuk kembali dengan aku. Untuk menghindarkan sesuatu
kejadian yang diluar dugaan, lebih baik aku tak usah jelaskan soal ini kepadanya."
Di kala pikiran Tan Ciok-sing
timbul tenggelam, didengarnya In San memanggilnya: "Tan-toako, kau boleh
masuk. Coba kau lihat apakah samaranku sekarang tidak mirip adik Cinmu?"
Tan Ciok-sing heran, katanya:
"Lho, koh kau menyamar dia? Kukira lebih baik kau menyamar..." sambil
bicara dia melangkah masuk ke rumah, sebelum dia sempat mengatakan 'laki-laki',
tampak yang muncul di hadapannya adalah pemuda pelajar yang cakap ganteng.
Sekilas Tan Ciok-sing melongo,
katanya: "Kukira kau betul-betul menyaru Han Cin, kiranya ngapusi aku
saja. Kau menyaru jadi pelajar, memang bagus dan tepat sekali."
In San tertawa, katanya:
"Waktu adik Cinmu datang kemari malam itu, diapun menyamar seperti diriku
sekarang. Dia bilang selama perjalanan dengan kau, dia tetap dengan samarnya
itu, maka aku mencontoh dia saja, murid mencontoh guru, kan jamak."
"Kalau begini, kita boleh
berpura-pura sebagai saudara misan menempuh perjalanan ke kota raja."
In San mengawasinya sejenak,
lalu katanya: "Masih belum sempurna."
"Apa yang tidak
sempurna?"
"Tampangmu mirip pedagang
kecil, kalau seperjalanan dengan aku, perbedaannya jadi menyolok. Kau harus
menyamar jadi pemuda perlente dari keluarga bangsawan, kira-kira sepadan dengan
aku, yaitu Siucay yang mau menempuh ujian negara ke kota raja."
"Jadi kau memang sudah
persiapkan pakaian Siucay ini? Tapi aku tidak punya pakaian."
"Perawakanmu tidak banyak
beda dengan Toan Kiam-ping, ada beberapa perangkat pakaiannya yang ditinggal
disini, kebetulan dapat kau pakai."
Maka Tan Ciok-sing salin
pakaian, In San mulai merias mukanya, lain kejap dia sudah pangling pada
dirinya yang terbayang di kaca.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya:
"Hampir aku tidak kenal
mukaku sendiri, keahlianmu di bidang ini ternyata tidak kalah dari sang
guru."
"Mungkin aku tidak
teramat bodoh, tapi dibanding adik Cinmu yang cerdik pandai, terus terang aku
bukan tandingannya Ya, bicara tentang adik Cinmu, aku jadi ingat."
"Ingat apa?" tanya
Ciok-sing melengak.
In Sin membuka jendela lalu
melihat cuaca, katanya: "Setengah jam lagi bakal terang tanah. Malam itu
nona Cin juga ngobrol dengan aku sampai pagi. Dia banyak bercerita. Ada satu
hal mungkin dia tidak leluasa tanya kepadamu, maka aku ingin wakilkan dia tanya
kepadamu. Aku harap kau bicara sejujurnya dengan aku."
Bergetar benak Tan Ciok-sing,
katanya: "Adik San, kau tahu, selamanya aku tidak pernah ngapusi
kau."
"Kau pernah bersumpah di
depan pusara Khu-locianpwe untuk melaksanakan pesannya?"
"Betul," sahut Tan
Ciok-sing menunduk.
"Dia meninggalkan sepucuk
surat kepadamu, untuk melaksanakan pesannya itu sesuai yang tercantum dalam
surat wasiat itu, maka kau angkat saudara dengan nona Han?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut,
mulutnya mengiakan.
"Kau tidak pernah
perlihatkan surat wasiat ayah angkatnya itu kepada nona Han?"
Untuk ketiga kalinya Tan
Ciok-sing mengangguk, mulut kembali mengiakan.
"Baik, nah coba kau
perlihatkan kepadaku."
Tan Ciok-sing tertawa getir,
katanya: "Sebetulnya aku akan beritahu soal ini kepadamu, namun belum
sempat, kuharap kau..."
Setelah menerima sampul surat
itu, In San lantas menukas: "Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu,
biarlah aku baca surat ini dulu,"
Setelah membaca surat itu
serius sikap In San katanya sungguh-sungguh: "Tidak pantas kau ngapusi
nona Han, Khu-locianpwe berpesan supaya kalian jadi suami istri, bukan saudara
angkat."
Tan Ciok-sing amat kaget,
katanya: "Tapi dalam benakku hanya ada kau, waktu itu aku belum tahu
apakah kau bakal kembali ke dampingku, aku sudah berkeputusan untuk tidak kawin
dengan siapapun."
In San geleng-geleng, katanya:
"Seorang laki-laki harus berani bersumpah berani bertanggung jawab, aku
tidak suka kau jadi seorang yang ingkar janji."
Tan Ciok-sing amat risau,
katanya: "Tapi ini kan menyangkut masa depan kita. Apalagi, apa
lagi..."
"Apalagi kenapa?"
"Apalagi sekarang sudah
berakibat adanya dua kemungkinan yang membawa kesempurnaan. Sebetulnya umpama
kau menjadi permaisuri, aku masih bisa menyerahkan surat ini kepada Han Cin,
biar dia sendiri memberi keputusan tapi aku toh harus memberitahu hubunganku
dengan kau kepadanya. Kini..."
"Kini kenapa pula?"
"Kini aku sudah berada di
sampingmu pula sementara nona Han berada di damping Toan Kiam-ping. Memangnya
kau tidak mengharap Han Cin menjadi permaisurinya?"
In San menghela napas, katanya:
"Sayang itu hanya merupakan harapan kosong yang belum jadi kenyataan, apa
kelak terjadi seperti yang kau duga kan, masih sukar diramalkan. Dan lagi
sebelum ini aku tidak tahu akan adanya surat peninggalan Khu-locianpwe kepada
kau. Betapa besar budi kebaikan Khu-locianpwe
terhadapmu, aku jadi merasa
caramu ini telah mengingkari janjimu di depan pusaranya."
"Tapi waktu itu aku kan
tidak tahu bahwa dia menyuruh aku mengawini putri angkatnya."
"Sekarang kau sudah tahu,
tapi kau masih mengelabui nona Han, jelas sikapmu ini tidak blak¬-blakkan dan
kurang jantan."
Tan Ciok-sing menatapnya
lekat-lekat, katanya: "Bila tiada pertemuan malam ini antara daku dan
dikau, bila aku tidak mendengar petikan harpamu, aku masih akan mengeraskan
kepala menghindarimu. Kini aku sudah berhadapan dengan kau, betapapun aku
takkan bisa berpisah dengan kau."
Berlinang air mata In San, air
mata senang, sesaat dia baru berkata: "Aku pun takkan mau berpisah lagi
dengan kau, tapi sebagai manusia adalah jamak kalau kita harus dapat
dipercaya."
Tan Ciok-sing tertawa
dipaksakan: "Untuk membunuh Bangsat tua she Liong di Pakkia, belum tentu
kita bisa pulang dengan selamat."
"Jangan kau ncomong yang
tidak genah," seniaV lu San.
"Baiklah kita bicarakan
lagi kelak bila aku pulang dengan selamat."
"Bila kau bertemu sama
dia, kurasa sudah menjadi kewajibanmu untuk membicarakan hal ini kepadanya. Mau
tidak dia menjadi isterimu, terserah dia. Tapi kau tidak boleh ngapusi
dia."
"Waktu itu mungkin dia
sudah jadi permaisuri, umpama belum menikah, yakin mereka sudah merupakan
pasangan kekasih yang tak takut kita ketahui. Kalau aku menyerahkan surat
peninggalan ayah angkatnya, bukankah bikin urusan menjadi ruyam malah?"
In San berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Baiklah, aku mengalah. Bila betul seperti yang kau
katakan, boleh kau bakar surat itu. Kalau tidak betapapun aku akan tuntut kau
melaksanakan pesan Khu-locianpwe sesuai apa yang dipesan dalam surat itu."
Legalah hati Tan Ciok-sing,
katanya tertawa: "Lha kan begitu, legalah hatiku. Tapi aku percaya kalau
memang sudah jodoh mau kemana."
In San menghela napas
prihatin, katanya: "Jikalau kejadian tidak seperti yang kita harapkan kau
harus berjanji kepadaku untuk mempersunting dia, tentang diriku..."
"Kau mau apa?" desak
Tan Ciok-sing.
"Peduli kau mau tidak
mengawini dia, aku takkan menikah dengan siapapun. Memangnya sejauh ini kau
masih tidak mempercayai aku?"
"Apa yang kau pikir
sekarang justru mirip pikiranku dua bulan yang lalu. Em, kalau begitu biar aku
berdoa semoga nona Han betul-betul menjadi permaisuri Toan Kiam-ping. Aku
yakin, doaku dan harapanku pasti akan menjadi kenyataan."
“Ya, semoga demikian,"
ucap In San pula. Lahirnya dia bilang demikian, padahal sanubarinya sudah
diselimuti bayangan gelap. Walau sepanjang perjalanan ini In San tak pernah
menyinggung soal ini. Apakah Han Cin akan jatuh cinta kepada Toan Kiam-ping?
Meski mereka berdoa dengan penuh harapan, tapi masih ada satu teka teki yang
belum terbongkar.
000OOO000
Memang belum tiba saatnya
membongkar teka teki ini, karena Han Cin sendiripun belum bisa memberikan
jawabannya.
Dia ikut Toan Kiam-ping pergi
mencari Kim-to Cecu. Waktu itu, keadaannya tak ubahnya seperti Tan Ciok-sing
dan In San, hatinyapun gundah dan ruwet. Kejadian malam itu kembali terbayang di
depan kelopak matanya. Waktu Tan Ciok-sing meninggalkan kedai itu secara
diam-diam, waktu sudah menunjukkan kentongan ketiga. Dia mendekam di depan
jendela, mengawasi punggung
bayangannya menyebrang jalan
dan lenyap di ujung pengkolan, masuk ke sebuah gang kecil. Entah kenapa timbul
suatu pikiran aneh: "Entah Tan-toako akan kembali tidak, tentunya dia
bukan ingin menjauhi diriku? Ai, begitu baik dia terhadapku, kenapa aku
mencurigainya?"
Setelah menghela napas,
benaknya berpikir pula: "Terhadapku dia seperti ada maksud tapi juga tidak
naksir, sungguh sukar aku meraba perasaannya," tanpa merasa mukanya merah
sendiri. "Apakah aku sudah naksir kepada Tan-toako?" dalam hati dia
tanya kepada diri sendiri, terasa anggapannya memang sedikit benar, tapi juga
tidak benar, Han Cin jadi bingung, karena dia sendiri juga heran akan jalan
pikiran sendiri, dia tidak tahu dan tidak bisa menentukan pilihan.
Di kala pikirannya gundah dan
siap menutup jendela mau mapan tidur, tiba-tiba dilihatnya sosok bayangan
seorang muncul di ujung gang sana. Kentong ketiga sudah lewat, toko-toko sudah
tutup, penduduk kota kebanyakan sudah tidur, jarang orang keluar malam ini,
tapi bayangan ini muncul seorang diri, mau tidak mau Han Cin jadi heran, maka
dia menaruh perhatian akan gerak-geriknya.
Sinar bulan redup, tapi masih
bisa kelihatan bahwa bayangan orang adalah seorang perempuan. Han Cin lebih
heran lagi, tengah malam buta, tidak tidur memeluk guling di atas ranjang,
kenapa keluyuran di jalan raya yang sepi dan dingin? Lebih heran lagi setelah
dilihatnya gadis itu akhirnya berhenti di depan kedai minum ini. Han Cin kaget,
pikirnya: "Mungkin gadis ini menyelidik jejak Tan-toako dan aku? Siapakah
dia?"
Lama juga gadis itu mondar
mandir di depan kedai, dari gerak-gerik orang Han Cin tahu bahwa gadis ini
pandai silat, maka dia sudah siap menyambutnya bila gadis itu masuk. Tak nyana
tiba-tiba didengarnya gadis itu menghela napas, lalu berlalu.
Heran Han Cin dibuatnya,
timbul keinginannya untuk mencari tahu siapa sebenarnya gadis ini dan apa
kerjanya mondar mandir disini, dengan gerakan Yan-cu-joan-lian segera dia
menerobos keluar jendela, lompat ke atap, dari tempat tinggi dia memandang ke
jauh di bawah sana, tampak bayangan gadis itu akhirnya lenyap didalam sebuah
gedung besar.
Dari pembicaraan Tan Ciok-sing
dan pemilik kedai ini Han Cin sudah tahu bahwa gedung besar di ujung gang
seberang itu adalah rumah besar keluarga In, karena tak kuasa menekan
keinginannya maka dia ' balas beraksi mengadakan penyelidikan. Begitu dia
memasuki pekarangan rumah keluarga In, dia disambut oleh tarikan suara nyanyian
yang sangat merdu merawan hati diiringi petikan harpa.
Mendengarkan nyanyian yang
menyedihkan Han Cin ikut-ikutan pilu dan berdiri terpesona, terbayang olehnya
akan hidupnya yang sebatangkara dan keluyuran tidak menentu, sungguh sukar dia
perasaan duka. Diam-diam dia membatin: "Entah dia putri In Tayhiap? Apa
pula yang dia sedihkan? Apakah diapun seperti diriku juga sebatangkara? Umpama
benar dia putri ln Tayhiap, meski ayah bunda sudah tiada, tak mungkin dia hidup
sengsara dan terlantar?" diam-diam dia sudah menggeremet sampai pekarangan
dalam dimana kamar tidur In San berada, tengah dia menimang-nimang apakah
dinnya perlu menemui gadis didalam kamar, tiba-tiba di layar jendela kain sutra
muncul bayangan sepasang muda mudi.
"In Tayhiap hanya punya
seorang putri, tidak punya anak laki-laki. Kalau betul gadis itu putri ln
Tayhiap, laki-laki itu tengah malam begini masih berada di kamarnya, kalau
bukan suaminya, tentulah pujaan hatinya," demikian reka Han Cin. Dia kira
rekaannya ini takkan meleset, maka dalam hati dia merasa sedikit menyesal,
"Tak heran Tan-toako sering kulihat murung dan masgul, kiranya nona In ini
sudah punya pujaan hati. Beruntung aku tidak gegabah, kalau sampai diketahui mereka
aku mencuri dengar percakapan di bawah jendela, tentu runyam jadinya,"
tapi di kala dia hendak menyingkir diam-diam, percakapan kedua muda mudi dalam
kamar seketika menarik perhatiannya, maka dia batalkan niatnya.
Laki-laki yang menemani In San
didalam kamar sudah tentu adalah Toan Kiam-ping. Namun Han Cin yang mencuri
dengar diluar jendela belum tahu akan asal-usulnya. Begitu In San beraksi
memetik harpa Toan Kiam-ping lantas menghela napas.
"Itulah lagu yang
dibawakan Tan-toako di Cit-sing-giam sebelum dia berpisah dengan aku, sayang
waktu itu aku masih dalam keadaan pingsan," demikian kata Toan Kiam-ping.
"Aku tahu. Kacung
pribadimu telah menjelaskan keadaan waktu itu kepadaku."
"Ai, kalau hari itu aku
tidak terluka oleh jarum berbisa, dalam keadaan pingsan, apapun aku takkan
membiarkan Tan-toako pergi. Adik San, akulah yang membuat kapiran,"
demikian ucap Toan Kiam-ping setelah menghela napas.
Mendengar percakapan ini, Han
Cin yang sudah melangkah pergi seketika terpaku di tempatnya. "Putri In Tayhiap
bernama In San, laki-laki itu memanggilnya adik San, agaknya dugaanku tidak
meleset. Tapi kenapa dia bilang 'Tan-toako' kepada nona In, naga¬naganya
rekaanku tadi tidak tepat."
Setelah dia mendengar lebih
lanjut, barulah persoalannya manjadi jelas baginya, semula dia kira laki-laki
didalam kamar itu adalah pujaan hati In San, namun kenyataan bukan demikian.
"Toan-toako, jangan kau
salahkan diri sendiri, akulah yang harus disalahkan, aku tidak berusaha supaya
dia mempercayai aku sepenuh hatinya," demikian kata In San.
"Hal inipun tak boleh
menyalahkan kau," ucap Toan Kiam-ping, "aku jadi merasa Tan-toako
sendirilah yang harus disalahkan, dia memang seorang goblok."
Perkataan 'goblok' ini
kedengarannya menusuk kuping, Han Cin yang mencuri dengar sampai melenggong.
"Kenapa dia bilang Tan-toako goblok?" untuk tahu persoalannya, Han
Cin tidak mau menyingkir malah.
"Begini besar cintamu
kepadanya, tapi sedikitpun dia tidak tahu. Coba katakan bukankah dia laki-laki
goblok?"
"Tidak, sebetulnya dia
sudah tahu. Toan-toako, maaf bahwa hal ini tidak kuberitahu kepadamu, kami
masing-masing sudah pernah saling mencurahkan isi hati."
Mendengar sampai disini, tanpa
merasa hambar pikiran Han Cin, "kiranya Tan-toako bohong kepadaku, kenapa
dia tidak bicara terus terang kepadaku?"
Didengarnya Toan Kiam-ping
berkata: "Kalau begitu dia tidak goblok, tapi ceroboh."
"Betul, dia ceroboh, dia
mempunyai pikirannya yang aneh, dia kira, dia kira..."
"Aku tahu perbuatannya
ini adalah untuk merangkap hubungan kita, aku haru akan kebaikannya terhadap
teman, tapi tak bisa tidak aku tetap memakinya ceroboh. Adik San, ada sedikit
isi hatiku yang ingin kemukakan terhadapmu, sayang belum pernah mendapat
kesempatan."
"Baiklah, sekarang boleh
kau kemukakan," kata In San, diluar tahunya bahwa diluar jendela ada
seorang lagi mencuri dengar percakapan mereka.
Perlahan kata-kata Toan
Kiam-ping, "Adik San, waktu kecil kau pernah tinggal di rumahku, akupun
pernah nginap di rumahmu, meski tidak boleh dikata tumbuh dewasa bersama bolehlah
dianggap teman sejak kecil. Aku tidak akan berpura-pura, sejak kecil aku amat
menyukai kau."
"Aku tahu," sahut In
San lirih.
"Terakhir kali kita
berkumpul, itu waktu kau berusia tiga belas? Aku masih ingat, tahun itu ayahmu
mengajakmu ke rumahku, kau tinggal sebulan dan sudah mahir memainkan ilmu golok
ajaran keluarga, setiap hari kau mengajakku berlatih. Selama sebulan lebih itu
adalah hari yang paling senang dan bahagia bagi diriku. Tapi ayah bundaku
pernah bertengkaran karena
membicarakan hubunganku dengan
kau."
In San tertawa, katanya:
"O, ada kejadian begitu, aku koh tidak tahu? Apakah beliau merasa aku
terlalu binal?"
"Biar kututurkan, kuharap
kau tidak kecil hati. Ayah kepingin kau menjadi menantunya, tapi ibu menolak.
Ibu bilang, nona In memang cantik dan baik hati, tapi ayahnya orang persilatan,
malah mengikat permusuhan dengan keluarga Liong. Jikalau anak Ping kawin sama
dia, mungkin bisa celaka dari pada hidup bahagia. Aku tidak mengharap anak Ping
berkelana di Kangouw. Ayah kewalahan menghadapi pendapat ibu yang kukuh, maka
soal perjodohan ini sampai tertunda berkepanjangan."
In San tertawa, ujarnya:
"Kau ini seorang Pangeran, memangnya perjodohan kita tidak setimpal.
Untunglah soal jodoh ini tidak jadi."
"Betul. Beruntung adanya pertengkaran
orang tuaku itu. Kalau tidak kejadian hari ini pasti lebih runyam."
"Toan-toako, jangan kau
salah paham. Bukan aku merasa kau tidak baik, sejak kecil akupun menyukai kau.
Tapi aku pandang kau sebagai engkohku, aku menghormat dan sayang kepadamu
sebagai kakakku, tak pernah terpikir dalam angan-anganku kelak menjadi
istrimu."
"Aku tahu. Tapi aku harus
berterus terang dulu aku pernah ingin meminangmu sebagai istriku."
Merah muka In San, katanya:
"Kejadian sudah berselang, buat apa dibicarakan lagi?"
"Tidak, aku harus
jelaskan bagaimana jalan pikiranku dulu dan bagaimana pula perubahan tekadku
akhir-akhir ini kepadamu, yakin setelah adanya pembicaraan terbuka saling
memberi kenyataan ini, barulah dalam hatimu takkan menimbulkan bisul yang
fatal. Kitapun masih tetap menjalani hubungan akrab seperti kakak beradik
layaknya."
Agaknya In San terharu oleh
kepolosan Toan Kiam-ping, sesaat baru dia berkata: "Baiklah, boleh kau
bicarakan."
Berpikir sebentar, akhirnya
Toan Kiam-ping berkata dengan tertawa: "Adik San, mari kita ngobrol
sejadinya, biar aku tanya beberapa patah kata iseng kepadamu, bolehkan?"
"Yang terang malam ini
aku tidak pingin tidur, boleh ngobrol sampai terang tanah, silakan kau tanya
apa yang ingin kau ketahui."
"Waktu di Tayli, kau
bermain senang, riang dan gembira. Aku tahu itu bukan lantaran aku yang
menemani kau. Tapi lantaran kaupun menyukai negeri Tayli kita, betul
tidak."
"Keduanya ada sangkut
paut. Tayli adalah negeri yang indah panoramanya, banyak tempat-tempat wisata
yang mempesona, itulah tempat idaman bagiku, namun kalau Toan-toako menemani
aku, jelas akupun takkan bisa main seriang itu."
"Bagus, nah coba kutanya
pula. Kau amat suka negeri Tayli, tapi kalau kau harus menetap disana sampai
hari tua, setiap hari boleh tamasya dan kerjanya mengurus keluarga tanpa kelana
di Kangouw, kukira kau takkan kerasan lagi. Betul tidak?"
In San tertawa geli, katanya:
"Sudah tentu. Manusia harus melakukan sesuatu kerja yang dia anggap punya
arti, mana boleh seharian kerjanya cuma menikmati kembang, mendengarkan alunan
musik dan menyaksikan tarian melulu?"
Toan Kiam-ping menghela napas,
katanya: "Nah itulah letak perbedaan pikiranku dengan kau. Yang kumakud
adalah cara berpikirku beberapa tahun, lalu. Sekarang walau ada sedikit
peubahan, aku tahu tetap tidak akan bisa menyamaimu."
"Coba kau jelaskan lebih
terperinci, mana yang sama mana yang berbeda?"
"Waktu itu akupun
mendambakan kehidupan yang bebas di dunia luar yang luas, aku mengharapkan
suatu hari akan kelana di Kangouw, tapi harapan itu hanyalah gambaran selintas
seperti keinginan seorang bocah yang pingin memperoleh sesuatu yang baru, tapi
bila rasa 'baru'nya itu sudah lenyap maka keinginan itupun pudar, mungkin bisa
membencinya malah. Pernah aku tanya kepada diriku sendiri, aku tahu bila selama
hidup ini aku harus berkelana di Kangouw, aku takkan tahan. Paling aku hanya
akan sekedar keluyuran diluar, cepat atau lambat harus kembali ke pangkuan ibu
negeri, aku takkan tega meninggalkan Tayli, aku sayang meninggalkan keluarga."
"Tak perlu berbelit kau
menerangkan, aku tahu kemana maksudmu. Kau takkan bisa hidup seperti diriku,
kecuali secara insidentil, tapi tak mungkin selama hidup ini kau keluyuran
diluar. Betul tidak?"
"Aku tahu, kaupun takkan
bisa hidup seperti caraku itu. Kau adalah elang betina di angkasa padang
rumput, bukan burung camar yang hanya terbang kelana di atas Ni-hay melulu.
Mungkin perumpamaanku tidak tepat, mengibaratkan seorang gadis yang lemah
lembut sebagai elang yang galak dan gagah, tapi demikianlah perasaanku."
"Terima kasih akan
pandanganmu yang meningkatkan gengsiku, tapi aku sendiri merasa terlampau jauh
mengibaratkan diriku dengan seekor elang gagah. Kau tidak tahu, ada kalanya
akupun terlalu lemah."
"Aku tahu. Tapi kau jauh
lebih kuat dari aku. Yang kumaksud bukan soal Kungfu."
Aku tahu maksudmu, tapi
Toan-toako sekarang kau jauh lebih kuat dari dulu, kali ini kau mengantarku
mencari Kim-to Cecu, kau tidak mau mendengar nasehatku, ini amat diluar
dugaanku."
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Terus terang, kali ini aku terkesan oleh perbuatan Tan
Ciok-sing."
"Setelah aku tahu
persoalanmu dengan Tan Ciok-sing, baru aku sadar bahwa dialah yang benar-benar
mencintaimu. Dulu aku kira aku amat mencintai kau, tapi bila cintaku dibanding
cintanya terhadapmu, aku lantas sadar, bahwa cintaku tidak sedalam dan semurni
cintanya terhadapmu.'
Mendengar pengakuan yang terus
terang ini merah jengah muka In San, namun hatinya manis mesra, mulutpun
terkancing.
"Demi merebut hatimu,
berapa kali Tan Ciok-sing menempuh bahaya, demi membahagiakan kau, diapun ingin
merangkap perjodohan kita. Walau cara berpikirnya ini lain dengan kenyataan,
tapi betapa dalam dan murni cintanya terhadapmu, sungguh aku harus mengaku
asor."
"Dua hari yang lalu, ayah
bunda mendesak aku supaya selekasnya mencari jodoh, aku jadi sebal terhadap
mereka yang tebal pupur dan gincu, mereka bukan pasanganku. Sekarang baru aku
sadar, bila Tan Ciok-sing dibanding aku, hakikatnya aku inipun seorang awam.
Aku bukan jodohmu."
In San menatapnya, katanya
dengan sungguh-sungguh: "Toan-toako, tak usah kau merendahkan dirimu,
sebagai seorang Pangeran kau sudi mengantarkan kemari, mana boleh dikatakan
sebagai awam? Tapi soal jodoh memang mengutamakan kecocokan. Aku tak bisa
menikah dengan kau bukan lantaran aku anggap tidak baik, tapi lantaran kita
tidak cocok menjadi suami isteri. Dalam sanubariku kau tetap adalah engkohku
yang patut kuhormati."
Terbuka pikiran Toan kiam-ping
mendengar keterus-terangan ini, katanya tertawa, "Kau betul, kau memang
lebih cocok dengan Tan Ciok-sing. Tapi perlu juga aku memberi nasehat kepadamu,
kalau memang sudah jodoh mau kemana kaupun tak perlu risau lagi. Aku akan
membantumu sekuat tenaga mencarinya, namun belum tentu berada di
Tay-tong."
"Kau kira tadi aku
berpikiran kusut dan melamun? Terus terang aku benar-benar mendengar helaan
napas. Tadi aku sudah berada di depan kedai minum itu, tapi aku tak berani
masuk. Besok aku akan mencari tahu."
"Baiklah besok boleh
besertaku ke kedai minum itu untuk mencari tahu pada pemiliknya," demikian
kata Toan Kiam-ping.
Han Cin yang mencuri dengar
diluar jendela menjadi haru dan sedih, tanpa merasa air mata berlinang-linang.
Pikirnya: "Ternyata begitu besar dan luhur jalinan cinta mereka, aku harus
selekasnya memberitahu jejak Tan-toako kepada mereka."
Tengah dia ragu-ragu itulah
didengarnya In San yang berada didalam bersuara heran, katanya: "Kali ini
yakin aku tidak salah dengar lagi?"
Ternyata Han Cin yang mencuri
dengar diluar jendela saking pesona, tanpa merasa menghela napas perlahan.
Cepat In San berlari keluar
seraya berteriak: "Tan-toako, kuharap kau tidak menghindariku lagi."
Han Cin sembunyi di belakang
gunungan batu. Sengaja dia memperlihatkan jejaknya supaya In San melihat dan
mengejarnya. Setelah dia dengar kesiur angin sudah dekat, dia tahu In San sudah
mengudak tiba, tiba-tiba dia berpaling sambil mengulum senyum lebar.
Sinar bulan memang redup, tapi
In San dapat melihat jelas yang sembunyi di belakang gunungan ini adalah
seorang pemuda yang berwajah ganteng (Han Cin menyamar laki-laki) tapi bukan
Tan-toako yang dia sangka. Karuan In San kaget, bentaknya: "Siapa
kau?" mendadak dia merangkap dua jarinya terus menjojoh ke arah tengkuk
Han Cin.
Harus dimaklumi bahwa pintu
besar rumalnya masih disegel oleh penguasa, kembalinya secara diam-diam ini,
harus selalu waspada dan berjaga-jaga bila diluruk oleh cakar alap-alap, pemuda
ganteng ini menyelundup ke rumahnya di tengah malam, adalah jamak kalau dia
curiga ke arah yang negatif Han Cin dianggapnya cakar alap-alap utusan keluarga
Liong. Maksudnya bendak menutuk hiat-to Han Cin, baru nanti mau mengompes
keterangannya.
Han Cin sebaliknya berpikir:
"In Tayhiap terkenal di seluruh jagat, entah bagaimana kepandaian
putrinya? Biarlah aku menggodanya," dengan gerakan Ih-sing-hoan-wi dia
meluputkan diri dari tutukan hiat-to In San. Tanpa menyebut nama dan
menerangkan siapa dirinya dia malah tertawa, katanya: "In-siocia, kenapa
begini galak? Aku ini seorang tabib."
Gerak tutukan In San
sebetulnya amat cepat dan telak, sungguh tak nyana sekali kelit orang mampu
meluputkan diri, namun sebat sekali dia menegakkan telapak tangan terus menepis
miring seperti pisau, kembali Han Cin berputar dengan poros sebelah kakinya,
tubuhnya berputar setengah lingkar, dengan jurus Hong-in-toh-gwat, dia punahkan
serangan In San, katanya pula tertawa: "Sengaja aku kemari untuk
menyembuhkan luka hatimu."
Keki dan jengkel ln San
dibuatnya mendengar olok-oloknya, pikirnya: "Menghadapi alap-alap buat apa
aku menaruh belas kasihan?" segera kedua tangan mengembangkan
permainan ilmu golok keluarga
In, rangsakannya memberondong seperti gelombang sungai yang susul menyusul,
sejurus bacokan telapak tangan lebih cepat dan ganas dari bacokan yang
terdahulu.
Karuan Han Cin mengeluh,
pikirnya: "Tak boleh aku menggodanya lagi, tengah berpikir In San sudah
kebacut melontarkan jurus mematikan. Tapi sigap sekali Han Cin menggunakan
gerakan Hong-tiam-thau tahu-tahu membresot maju hampir jatuh dalam pelukan In
San, telapak tangan hampir menyentuh baju di depan dadanya. Karuan In San naik
pitam, dampratnya: "Pemuda bangor, berani kau kurang ajar kepadaku,"
dia kira Han Cin adalah laki-laki, sudah tentu dia pantang dadanya dijamah oleh
orang. Dalam seribu kesibukannya, lekas dia menekuk pinggang seperti petani
bercocok tanam di sawah secara kekerasan dia menekuk tubuhnya ke samping, baru
saja hendak menyerang lagi, Han Cin. sudah melompat keluar kalangan.
Dengan tertawa Han Cin
berkata: "In siocia, jangan kau marah..."
Belum habis dia bicara,
mendadak seorang membentak: "Bangsat cilik, lari kemana kau?"
ternyata Toan Kiam-ping sudah memburu tiba. Dimana tangannya menyapu angin
pukulannya yang deras menyampuk jatuh topi di atas kepala Han Cin. Begitu topi
jatuh rambutnya yang panjangpun terurai mayang, sudah tentu Toan Kiam-ping
tidak menduga bangsat cilik yang hendak ditabraknya ini ternyata adalah seorang
gadis belia yang cantik, karuan dia melenggong.
In Sanpun sadar kenapa tadi
Han
Cin menyuruh jangan marah,
diapun tertegun, teriaknya: "Kau, kau sebetulnya..."
"Maaf, In-siocia, tadi
aku berkelakar dengan kau. Tapi aku sungguh-sungguh membawa kabar baik
untukmu."
"Siapa kau? Membawa kabar
apa?"
"Aku adalah anak angkat
Khu Ti, adik angkat Tan Ciok-sing. In Siocia, terkaanmu memang tidak keliru.
Tan Ciok-sing memang berada dalam kedai itu. Tapi baru saja dia meninggalkan
Tay-tong."
Khu Ti mempunyai hubungan
intim dengan keluarga In, setelah tahu asal-usulnya lekas In San mohon maaf
kepada Han Cin, 'tapi bahwa Han Cin adalah gadis belia yang cantik mau tidak
mau mimik mukanya kelihatan agak lucu dan ganjil.
000OOO000
Teringat akan kejadian malam
itu, mau tidak mau Han Cin tertawa geli, "Untung aku mengaturkan tipu daya
sehingga In San tidak menaruh curiga kepadaku. Entah Tan-toako sekarang sudah
bertemu dengannya belum?" kembali dia berpikir, "kejadian dalam dunia
serta perubahannya memang sukar diduga sebelumnya, semula-aku kira Tan-toako
akan menemaniku ke tempat Kim-to Cecu, tak nyana sekarang Toan-ongya inilah
yang menemaniku dalam perjalanan sejauh ini." Bersama Toan Kiam-ping
mereka sudah tiga hari menempuh perjalanan, namun Kim-to Cecu belum juga mereka
temukan. Tapi selama tiga hari ini mereka ternyata akur dan cocok satu sama
lain.
Di kala dia melamun itulah,
tiba-tiba Toan Kiam-ping menoleh, tanyanya dengan tertawa: "Nona apa yang
sedang kau pikirkan?"
Han Cin tersentak seperti
siuman dari mimpi, sorot matanya masih kelihatan hambar, setelah tenangkan diri
dia berkata: "Tiada yang kupikir, aku sedang menikmati panorama nan permai
ini, sayang disini terlalu belukar dan jarang diinjak manusia. Tiga hari kita
menempuh perjalanan, belum pernah bertemu dengan seorang manusia."
Toan . Kiam-ping tertawa,
katanya: "Jadi kau kuatir entah kapan baru akan bertemu dengan Kim-to
Cecu, jangan kuatir kuda yang kutunggangi ini adalah milik Kanglam Sianghiap
yang telah dikenal betul oleh orang Kim-to Cecu. Yakin cepat atau lambat pasti
jejak kita diketahui mereka, bila demikian tak usah kita susah payah mencari
Kim-to Cecu, orang Kim-to Cecu sendiri yang akan mencari kita."
"Untung kau sudi
mengantarku, kalau tidak seorang diri aku keluyuran di atas pegunungan yang
sepi dan belukar begini, entah bagaimana baiknya?"
"Memangnya aku ingin
bertemu dengan Kim-to Cecu, cuma tak kuduga..."
pengan tertawa Han Cin menyambung:
"Aku juga tidak duga bisa seperjalanan dengan engkau."
"Sebetulnya kau bisa
menunggu beberapa hari lagi di Tay-tong, setelah Tan Ciok-sing kembali, dia
pasti akan mengantar kau."
"Kalau begitu aku lebih
senang kau yang mengantarku. Sudah lama dia berpisah dengan nona In dan kali
ini bakal bertemu, betapa banyak omongan mesra yang akan mereka perbincangkan
kalau aku ada di antara mereka, apakah tidak mengganggu?"
Kecut hati Toan Kiam-ping,
katanya dengan tawa dipaksakan: "Kumpul dan berpisahan manusia kadang kala
memang teramat ganjil serta diluar dugaan. Entah sekarang mereka sudah bertemu
belum?"
"Setelah kuaturkan tipu
daya secermat itu kecuali Tan-toako tidak pulang ke Tay-tong, bila dia pulang,
pasti dia akan mencariku ke rumah keluarga In, cepat atau lambat mereka pasti
akan bertemu. Aku hanya mengharap selekasnya dapat bertemu pula dengan mereka
di tempat kediaman Kim-to Cecu," sampai disini tiba-tiba seperti tertawa
tidak tertawa dia mengawasi Toan Kiam-ping, katanya: "Apa kau tidak merasa
aku terlalu banyak polah?"
Merah muka Toan Kiam-ping,
katanya: "Kau begitu simpatik terhadap teman, aku harus berterima kasih
kepadamu. Kau tidak tahu betapa besar harapanku supaya nona In selekasnya dapat
bertemu kembali dengan Tan Ciok-sing."
"Aku juga tahu betapa
jerih payahmu terhadap teman, akupun amat mengagumimu," seorang mengatakan
"simpatik" seorang lain mengatakan "jerih payah" mendengar
kedua patah kata ini, diam-diam Toan Kim-ping maklum bahwa percakapannya malam
ini dengan In San telah dicuri dengar oleh Han Cin.
Berkata Han Cin lebih lanjut:
"Kau mengantar nona In kemari adalah demi teman tapi terhadap aku yang
tiada sangkut paut dan baru kau kenal, kaupun sudi membantuku sedemikian rupa,
bagaimana aku takkan merasa haru dan berterima kasih kepadamu?"
"Nona Han, kenapa kau
bilang demikian. Bukankah sekarang kitapun sudah jadi teman? Urusan sekecil
ini, buat apa kau bicarakan selalu?"
"Bagimu urusan kecil,
bagi aku justeru urusan besar. Aku adalah gadis sebatangkara yang tiada tempat
berteduh, jikalau bukan kau sudi mengantarku ke markas Kim-to Cecu, mungkin aku
terpaksa harus luntang lantung di Kangouw."
Mendengar perkataan ini
tiba-tiba Toan Kiam-ping menghela napas rawan.
Han Cin melengak, katanya:
"Toan-toako, tidak apa-apa kenapa kau menghela napas."
'"Sebetulnya akupun ingin
seperti kau, tinggal di markas Kim-to Cecu sekedar membantu apa yang bisa
kukerjakan. Di markas itu ada temanku Kanglam Sianghiap, kini ketambah kau dan
Tan-toako serta nona In yang akan segera menyusul, tentu keadaan akan lebih
ramai. Bukankah kehidupan itu akan jauh lebih berarti dari pada aku pulang ke
Tayli hidup dalam kesunyian di lingkungan tembok tinggi? Sayang aku tak bisa
lama bergaul dengan kau."
"Negeri Tayli terkenal
dengan panoramanya, sebagai seorang pangeran, sudah tentu kau tidak boleh
keluyuran di atas pegunungan menjadi brandal?"
Tampak serius sikap Toan
Kiam-ping, katanya: "Nona Han, meski baru tiga hari kita berkumpul, namun
dalam kalbuku seperti teman yang sudah lama. Kukira kau dapat memahami jalan
pikiranku, tak kira kau masih berkata demikian, jikalau kau bukan menggodaku,
berarti kau anggap aku ini 'orang luar' saja."
Han Cin melelet lidah sambil
unjuk muka setan katanya: "Toan-toako aku hanya menggodamu saja, kenapa
kau begini serius?" Dia maklum 'orang luar' yang dimaksud Toan Kiam-ping
bukan melulu sebagai teman yang sehaluan dan secita-cita, maka dia berpikir:
"Memang belum pernah aku berpikir aku ingin jadi orang macam apa. Dia
sudah anggap aku seperti Tan-toako sebagai kaum ksatria, ini sungguh harus amat
kusesalkan. Tapi hobiku agaknya ada sedikit persamaan dengan dia, aku suka
silat, bermain musik, diapun suka. Dan lagi, aku ingin melakukan suatu kerja
besar bersama banyak orang yang cukup menggemparkan, tapi terpikir pula kehidupanku
selanjutnya yang tanpa kekang tiada batas, diapun ingin demikian. Kungfu dan
musik, Tan-toakopun menyukainya, tapi aneh, meski sejak kecil dia sudah biasa
mengembara, namun tak pernah terbayang dalam benaknya keinginan uatuk hidup
bebas di alam terbuka seperti kemauan Siau-ongya ini. Toan Kiam-ping seperti
orang yang sejenis dia, tapi juga seperti tidak sepaham. Lalu dengan siapa aku
boleh dianggap secita-cita dan sehaluan?"
Toan Kiam-ping berkata lebih
lanjut: "Beberapa tahun yang yang lalu, aku memang cinta tanah air, cinta
kampung halaman, kalau hidupku harus selalu berkelana di Kangouw, jelas aku
takkan betah. Tapi jalan pikiranku sekarang sudah jauh berbeda, hal ini, aku
tak pernah utarakan kepada nona In."
Han Cin membatin: "Aku
tahu kenapa kau tidak bicarakan hal ini dengan dia, karena kau ingin supaya
perpisahan itu tidak meninggalkan bayangan gelap dalam benaknya. Kau ingin
supaya dia beranggapan bahwa kau takkan berubah jadi kelana Kangouw, maka
perpisahan itupun akan terjadi secara wajar."
Toan Kiam-ping melanjutkan:
"Bukan aku ingin pulang ke Tayli untuk hidup senang, aku sudah bosan
kehidupan yang munafik dengan sanjung puji sebagai Pangeran segala, bila boleh
memilih jalan hidupku sendiri, aku pasti tinggal disini. Tapi aku tahu orang
tuapun takkan membiarkan aku menempuh cara hidupku ini. Usia mereka sudah tua,
pada sisa hidupnya di hari tua ini, aku tidak ingin meninggalkan kesan yang
buruk, aku tidak suka membangkang dan melukai hati beliau, oleh karena itu,
cepat atau lambat aku tetap harus pulang."
"Toan-toako, kau luas
pengalaman dan banyak pengetahuan, berkumpul beberapa hari dengan kau, tidak
sedikit yang kuperoleh. Sekarang aku jadi mengharap tak perlu terburu-buru
untuk menemukan tempat kediaman Kim-to Cecu."
"Terima kasih akan pujianmu,
yang terang kaulah perempuan yang gagah berani, cerdik pandai serta serba bisa.
Selama berkumpul beberapa hari dengan kau ini, tak sedikit pula yang
kudapatkan. Bicara terus terang, aku jadi segan berpisah dengan kau,"
kata-katanya terakhir diucapkan dengan setulus dan sejujurnya, kata-kata yang
dilimpahkan dari suara yang paling dalam.
Mereka terus melanjutkan
perjalanan, setelah menuruni sebuah celah gunung, tiba-tiba pandangan mereka
terbeliak, ternyata di sebelah depan terdapat air terjun, air seperti dituang
dari puncak gunung yang terjal.
"Ah, indah benar
pemandangan disini, seolah-olah aku sudah berada kembali di Jong-san. Marilah
kita istirahat sejenak."
"Mari. Biar kuda-kuda ini
minum air."
Mereka akhirnya duduk di
pinggir empang. Han Cin mencuci mukanya, air dingin seketika membangkitkan
semangatnya, katanya: "Kalau ada waktu, aku ingin tamasya ke kampung
halamanmu, menikmati Jong-san Ni-hay."
"Selalu kuterima
kedatanganmu dengan terbuka. Entah kau sudah tahu, pertemuanku yang pertama dengan
Tan-toako justeru di Ni-hay."
"Kabarnya kau ketarik
oleh petikan harpanya?"
"Betul, kau pernah dengar
dia memetik harpa? Bagus sekali petikannya."
"Aku sih belum punya
rejeki, masa kau lupa harpanya itu kan sudah diberikan kepadamu sebelum aku kenal
Tan-toako, waktu itu kaupun belum kembalikan kepadanya."
"Betul, memang aku yang
lalai. Nona Han tiupan serulingmu juga indah, petikan harpa Tan Cok-sing takkan
bisa kunikmati sekarang, sudikah kau meniup serulingmu?"
"Kongcu ada perintah,
mana aku berani membangkang?" kata Han Cin berkelakar, segera dia
keluarkan serulingnya, tiba-tiba terbayang olehnya waktu dia meniup seruling di
depan pusara ayah angkatnya bersama Tan Ciok-sing dulu, maka tidak mau tidak,
merasa pilu akan perubahan nasibnya yang tidak menentu itu. Setelah melenggong
sekian saat, baru dia mulai meniup sebuah lagu yang sentimentil.
Toan Kiam-ping mendengarkan
dengan melamun, lama setelah Han Cin selesai meniup serulingnya baru dia
berkata dengan tertawa kecut: "Tiupan serulingmu memang bagus sekali,
tahukah kau akan seorang yang bernama Kek Lam-wi?"
Han Cin tertawa, katanya:
"Konon dia adalah peniup seruling yang terbaik jaman ini, kau kenal
dia?"
"Aku pernah melihatnya
tapi dia tidak melihat aku. Akupun pernah mendengar tiupan serulingnya."
"Lho, koh aneh, kenapa
kau sudah melihatnya, tapi seperti sengaja menyingkir dari depannya. Hobimu
juga musik, kenapa kau tidak berkenalan dengan dia?"
"Waktu itu dia bersama
Tan Ciok-sing di Yang-siok. Karena sementara aku tidak mau bertemu dengan
Tan-toako, maka kesempatan berkenalan telah kusia-siakan."
"Aku tahu akan dirinya,
Tan-toako pernah ceritakan kepadaku. Menurut Tan-toako tiupan serulingnya
persis dengan aku, Tan-toako malah curiga bahwa aku dan dia dari seperguruan.
Yang benar aku diajari ayah, umpama ayah masih hidup usianya sudah enam puluh
enam tahun lebih. Mana mungkin seperguruan dengan dia?"
"Kukira belum tentu, soal
tingkatan berbeda bukan mustahil tetap sebagai seperguruan, kepada siapa dulu
ayahmu belajar meniup seruling?"
"Ayah tidak pernah
jelaskan kepadaku. Tapi ayahku tidak pandai silat, menurut Tan-toako Kek Lam-wi
adalah seorang pendekar muda yang kenamaan di Kangouw, kukira tidak mungkin dia
seperguruanku."
Tapi karena dua orang
menyinggung Kek Lam-wi terhadapnya, hatinya tertarik juga, tanyanya:
"Entah dimana orang she Kek itu, kalau ada kesempatan bertemu, ingin aku
dengar tiupan serulingnya. Tan-toako pernah ceritakan pertemuan kaum pendekar
di Yang-siok, konon para pendekar yang hadir telah diundang olen Tam Tayhiap
yang mewakili Kim-to Cecu untuk bertemu di markasnya. Entah orang she Kek itu
bakal datang tidak?"
"Mungkin dia tidak akan
kemari. Umpama datang juga pasti diundur setahun kemudian."
"Bagaimana kau
tahu?"
"Aku memang tidak kenal
dia, tapi aku tahu jelas berita tentang dirinya, nona In pernah memberitahu
kepadaku. Waktu di Yang-siok mereka berempat adalah teman karib yang tak pernah
berpisah."
Han Cin melengak, tanyanya:
"Empat orang?"
"Seorang lagi adalah
teman perempuan Kek Lam-wi, namanya Toh So-so. Sepasang pendekar muda ini
sejajar dan seangkatan dengan Kanglam Sianghiap Kwik Ing-yang dan Ciong
Bin-vru, maka sebelum aku bertemu dengan mereka, aku sudah tahu nama
besarnya."
"Kenapa mereka tak bisa
kemari?"
"Kabarnya ada seorang
Susioknya yang belum pernah ketemu tinggal di Khong-goan, yaitu Say-jwan
Tayhiap Ti Nio. Ti Nio minta dia datang ke Khong-goan untuk menemui orang-orang
seperguruannya."
"O, Susioknya itu she Ti,
tinggal dalam keresidenan Say-jwan."
"Betul. Apakah Ti Tayhiap
ini kenalan baik ayah angkatmu?"
"Belum pernah ayah
membicarakan Ti Tayhiap ini kepadaku, aku hanya tanya sambil lalu saja."
Ayah angkatnya yaitu Khu Ti
memang tidak pernah bicara soal orang she Ti, tapi ayah kandungnya pernah
membicarakan seorang she Ti. Tapi waktu itu ayahnya tidak menjelaskan bahwa
orang she Ti itu bergelar Say-jwan Tayhiap Ti Nio. Sudah tentu diapun tidak
tahu bahwa Ti Nio adalah Susiok Kek Lam-wi. Ayah kandungnya jarang menceritakan
kehidupan masa mudanya, suatu ketika hanya kebetulan saja menyinggung orang she
Ti ini kepada putrinya. Walau tanpa sengaja, namun waktu itu tutur katanya
penuh perasaan.
Hari itu dia belajar meniup
seruling, ayahnya memuji kemajuan yang dicapai, sudah tentu hatinya amat
senang, katanya: "Anak memang sudah menguasai, tapi tiupanku tidak sebagus
ayah."
"Ayah angkatmu mengajar
ilmu silat, dia sering bilang gunung tinggi ada yang lebih tinggi, orang pandai
ada yang lebih pandai. Sebetulnya perumpamaan ini bukan ditujukan pelajaran
Kungfu melulu, segala ilmu pengetahuan sama saja. Meniup seruling hanyalah
suatu kepandaian yang tidak berarti, memangnya berapa orang dalam jaman ini
yang benar mahir meniup seruling. Usiamu masih begini muda, tapi tiupanmu sudah
boleh dipuji. Tapi bila dibanding dengan orang lain, sekarang jelas kau bukan
tandingan ayah, tapi ayah juga bukan tandingan orang lain."
"Ayah apakah ada orang
lain yang tiupan serulingnya lebih baik dari kau?"
Ayahnya tertawa katanya:
"Kau seperti kodok dalam perigi, tidak tahu betapa besarnya dunia ini. Memangnya
kau kira tiupan seruling ayahmu nomor satu di dunia ini?"
Han Cin memonyong mulut,
katanya: "Kalau putrimu kodok dalam perigi, ayah angkat tentunya tidak.
Padahal ayah angkat juga bilang demikian," sejak dia bisa berpikir ayah
kandung dan ayah angkat adalah dua orang yang dipujanya, apa yang dikatakan
ayah angkat yakin tidak akan salah.
Ayahnya tertawa pula, katanya:
"Soalnya ayah angkatmu belum pernah mendengar orang lain meniup seruling,
bila dia pernah mendengar tiupan seruling orang lain untuk perbandingan, pasti
dia tidak akan mengatakan aku nomor satu di dunia ini," sampai disini
tanpa terasa mimik tawanya semula telah lenyap, mimiknya kelihatan prihatin dan
seperti mengenang sesuatu.
Timbul rasa ingin tahu Han
Cin, tanyanya: "Siapakah peniup seruling nomor satu di dunia ini?"
"Aku juga tidak tahu
apakah dia terhitung nomor satu di kolong langit, tapi kenyataan dia jauh lebih
ahli dari aku. Dia adalah seorang temanku yang paling akrab di masa muda
dahulu, seruling yang kau tiup sekarang adalah pemberiannya pada dua puluh
tahun yang lalu."
"Ayah, kenapa kau tidak
pernah bicarakan orang ini kepadaku?" tanya Han Cin.
Ayahnya menghela napas,
katanya: "Peristiwa di masa muda dulu, aku segan untuk mengangkatnya pula.
Kini kita sebagai pengungsi tinggal di daerah yang terpencil ini, untung
penduduk disini baik hati, sehingga aku bisa hidup tenang sebagai guru sekolah
kampungan, hidupkupun telah tentram dan sentosa. Sekarang boleh dikata aku
sudah putus hubungan dengan dunia luas, kukira tiada harapan lagi untuk bisa
bertemu dengan teman karibku dulu itu. Kalau hari ini kau tidak ajak aku bicara
soal seruling ini akupun takkan bicarakan soal dia."
Waktu itu Han Cin baru berusia
empat belas tahun, seperti paham tapi juga tidak mengerti, lapat-Iapat masih
teringat olehnya di masa lalu kehidupan keluarganya seperti berkecukupan kalau
tidak mau dibilang serba berkelebihan, belakangan karena mengungsi adanya
peperangan, keluarga mereka jadi berantakan dan tercerai berai. Ibunya
meninggal di tengah pelarian itu, mereka ayah dan anak terus mengungsi sampai
di dusun kecil dan terpencil ini baru menetap cukup lama sampai sekarang. Kini
setelah mendengar cerita ayahnya, seolah-olah dia seperti dapat menyelami
perasaan ayahnya.
"Ayah, jangan kau
bersedih, maklum putrimu masih kecil tidak tahu urusan, sehingga bikin ayah
sedih. Ayah, teruskan pelajaran meniup seruling ini, selanjutnya aku takkan
berani banyak mulut lagi."
"Anak bodoh, soal itu
tiada sangkut paut dengan kau, toh aku sendiri yang mengungkat soal temanku
itu. Dia adalah temanku yang paling kurindukan, aku betul-betul mengharap suatu
ketika bisa bertemu dengan dia, tapi sayang aku sendiri tahu selama hidupku ini
terang takkan ada kesempatan bertemu dengan dia."
Tak terasa timbul pula
keinginan tahu Han Cin, katanya: "Ayah, kalau kau tidak merasa sedih, anak
ingin tahu sedikit lebih banyak perihal paman itu. Siapa she dan namanya,
apakah sekarang masih hidup? Tinggal dimana? Kenapa ayah bilang selama hidup
ini takkan bisa bertemu lagi dengan dia?"
Ayahnya tertawa getir, katanya
rawan: "Sudah kebacut kubicarakan, biarlah aku beritahu kepadamu. Aku
yakin dia masih hidup, tapi kudengar diapun telah mengungsi ke Khong-goan di
daerah Say-jwan, letak Khong-goan ada ribuan li dari sini. Usiaku sudah tua tenaga
lemah mana bisa mencarinya ke tempat yang jauh itu?"
"Tapi kan tidak pasti
takkan bisa bertemu, beberapa tahun lagi setelah anak besar boleh kau tulis
sepucuk surat, biar kubawa ke Khong-goan menemuinya. Lalu kubawa dia kemari
untuk kumpul dengan kau."
Ayahnya goyang-goyang tangan,
katanya: "Tidak, tidak, bila kau sudah besar kemungkinan akupun sudah
meninggal. Umpama aku masih hidup, akupun takkan bisa menemuinya."
"Kenapa?" Han Cin
mendesak.
"Dia adalah temanku yang
paling karib. Tapi aku pernah melakukan perbuatan . yang membuatnya amat
sedih."
Han Cin keheranan, katanya:
"Ayah, kau adalah orang baik, bagaimana kau bisa melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain, aku tidak percaya?"
"Usiamu masih muda, kau
takkan mengerti. Suatu yang menyebabkan orang lain sedih belum tentu perbuatan
yang merugikan. Aku tak pernah menyesal karena perbuatanku itu, karena aku
tiada pilihan untuk tidak melakukannya, namun demikian hatiku amat menyesal
merasa berdosa terhadapnya.
"Persoalan apakah
itu?"
"Barusan kau bilang
takkan buka mulut lagi, kenapa pertanyaanmu terus memberondong?"
"Ayah tidak mau
menemuinya, ya sudah. Selanjutnya akupun takkan menyinggung soal ini."
"Aku tak mau menemuinya,
lapi aku punya keinginan, kuharap setelah aku meninggal, kau melakukan
untukku."
"Ayah, aku tidak suka
mendengar omonganmu yang kurang pantas ini."
"Manusia mana yang tidak
akan mati kenapa harus ditakuti”
Dengarkan pesanku, temanku she
Ti itu mempunyai dua hobi yang sama dengan aku, pertama meniup seruling, kedua
suka membuat syair. Bila kami berkumpul selalu saling bantu, satu nyanyi yang
lain mengiringi dengan tiupan seruling, demikian pula sebaliknya. Dia gemar
mengoreksi syair ciptaanku, tahun itu aku menulis syair baru, selalu dia minta
duplikatnya. Sering dia bilang bila sepuluh hari tidak membaca syair ciptaanku
yang baru, hati rasanya malas dan masgul selalu. Sudah tentu kekagumannya
terhadapku itu adalah merendahkan hati pula. Sebetulnya syair ciptaannya juga
amat baik. Tapi demi membalas kebaikan kawan karib, setelah aku meninggal boleh
kau serahkan seluruh koleksi syairku termasuk karya-karyaku yang terakhir
kepada dia. Tapi apa yang akan terjadi kelak orang sukar meramalkan, bila dia
mati mendahului aku, atau kau tiada kesempatan ke Khong-goan menemui dia, ya,
anggap saja tiada pesanku ini."
"Bagaimana bisa tiada
kesempatan? Sekarang aku sedang giat belajar Kungfu, memangnya ayah kira
putrimu ini gadis pingitan yang lemah tak kuat dihembus angin lalu? Beberapa
tahun lagi setelah aku dewasa, pergi ke Khong-goan begitu bukan kerja yang
berat. Ayah, bila kau suka menemui paman Ti itu, sekarang juga boleh aku
berangkat ke Khong-goan mengundangnya kemari.”
"Khong-goan ada ribuan li
jauhnya harus melewati pegunungan terpencil dan belukar lagi. Maksudku bukan
tidak mampu kesana, di bawah didikan dan gemblengan ayah angkatmu, aku yakin
kau kelak adalah pendekar perempuan yang bernama besar, betapapun jauh jaraknya
tetap dapat kau tempuh dengan selamat. Tapi kala itu kemungkinan kau sudah
menikah, punya suami punya anak. Di atas kau ada mertua, di bawah kau harus
mengasuh anak, suamimu belum tentu mengijinkan kau pergi ke tempat yang
terpencil itu. Kecuali suamimu adalah kaum persilatan yang suka mengembara
pula, baru dia akan mau menemani kau menunaikan tugas yang kau pandang ringan
itu ke Khong-goan. Tapi terus terang, aku tidak suka kau menikah dengan suami
yang demikian."
Perempuan usia empat belas
tahun tentunya sudah tahu malu, mendengar ucapan ayahnya jengah muka Han Cin,
katanya: "Sebal aku ayah, aku bicara serius, ayah justru menggodaku. Anak
tidak akan kawin, selamanya akan mendampingi ayah saja."
Ayahnya tertawa geli, katanya:
"Ah, omongan anak-anak. Beberapa tahun lagi, kau akan tahu, suami lebih
penting dari ayah. Sudahlah percakapan hari ini dihentikan sampai disini saja.
Hari ini karena aku terbuai oleh emosi, sehingga banyak bicara dengan kau. Tapi
kau tidak usah mencatat dalam hati, jangan risaukan soal ini, selanjutnya tak
usah kau menyinggung paman she Ti itu."
Kini setelah dia mendengar
Toan Kiam-ping membicarakan Susiok Kek Lam-wi, mau tidak mau hatinya berpikir:
"Tan-toako dan Toan-toako sama memuji tiupan seruling Kek Lam-wi amat
bagus, maka Susioknya itu pasti juga seorang ahli peniup seruling? Susioknya
itu she Ti tinggal pula di Khong-goan, jadi Susioknya itu pasti teman karib
ayah yang juga she Ti, yang tinggal di Khong-goan itulah."
Agaknya Toan Kiam-ping juga
sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri, lama juga dia tidak bersuara.
Tiba-tiba keduanya menoleh dan pandangan merekapun beradu, tanpa berjanji
keduanya sama-sama bertanya: "He, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Kau katakan dulu,"
desak Han Cin.
"Aku sedang iri dan
mengagumi rejeki dan kebahagiaan orang iain."
"Kau masih mengiri kepada
orang lain justru orang lain mengiri kepadamu. Seorang pangeran yang serba
pandai, ilmu silat dan ilmu sastra, entah kapan orang bakalan memperoleh
kehidupan senang nan bahagia seperti ini."
Toan Kiam-ping tertawa getir,
katanya: "Dalam hal apa awakku ini patut dibuat iri. Pepatah kuno ada
bilang, ribuan kati emas dapat diperoleh, teman karib sukar dicari. Ada pula
yang bilang hanya iri pada pasangan mandarin, tapi tak iri kepada sang dewi.
Bila sudah memperoleh kekasih, barulah patut dibuat iri dan jelus."
Han Cin cekikikan, katanya:
"O, jadi kau mengiri soal jodoh. Jadi orang yang menjadikan kau iri
adalah..."
"Di kalangan Kangouw ada
dua pasangan pendekar bulim yang tersohor, pasangan pertama adalah Kanglam
sianghiap Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu, pasangan kedua adalah Kek Lam-wi
dengan Toh So-so, tapi sekarang akan tambah sepasang lagi..."
"Tan-toako dan nona In
maksudmu."
"Betul, tiga pasangan
pendekar ini sudah kukenal dua pasang, Kek dan Toh sudah pernah kulihat tapi
belum sempat berkenalan. Bukankah mereka jauh lebih beruntung dari aku?"
"Memangnya siapa lahu
dalam waktu dekat, akan muncul pula sepasang pendekar ke empat di Kangouw?
Waktu itu yang dibuat ngiri pasti adalah dirimu," bicara sampai disini,
tanpa merasa mukanya merah.
Toan Kiam-ping berkata:
"Terima kasih akan nasehatmu yang membuka kerisauanku. Sayang kita takkan
berkumpul lama."
Han Cin tahu orang merasa
berat meninggalkan dirinya, hatinya merasa senang, tapi juga hambar dan
bingung. Batinnya: "Apa maksud perkataannya tadi? Mungkinkah dalam
sanubarinya sudah menganggap aku sebagai temannya yang paling karib? Walau
hanya tiga hari aku berkumpul sama dia tapi apa yang dapat kuselami dari dia
agaknya jauh lebih banyak dari apa yang kumengerti dari Tan-toako. Kalau
dikatakan memang aneh, tapi dia tak mungkin tinggal disini, akupun tak bisa
pulang bersama dia ke Tayli, hubunganku dengan dia mungkin seperti juga
hubunganku dengan Tan-toako, bertemu di perjalanan dan berpisah pula untuk
selamanya."
Setelah minum air, kedua ekor
kuda itu dibiarkan bebas makan rumput didalam hutan. Baru saja Toan Kiam-ping
hendak memanggil mereka, tiba-tiba dilihatnya kedua ekor kuda itu berlari
kencang turun gunung, meski dipanggil berulang kali tetap tak mau menghampiri
mereka. Karuan Toan Kiam-ping merasa heran, katanya: "Kenapa kedua
binatang itu tak dengar perintah lagi?" namun tiba-tiba pikirannya tergerak.
"Ah, mungkin Kanglam Sianghiap telah datang."
Waktu dia memandang jauh ke
bawah, tampak dari lereng bukit sana muncul bayangan dua orang, yang lari di
depan adalah kacungnya Toh Ni, yang berada di belakang adalah guru silat istana
Ling Khong-tik.
Belum nampak bayangannya, dari
kejauhan Toh Ni sudah berseru: "Siau-ongya, dimana kau bersama nona
In?"
Kaget dan senang Toan
Kiam-ping, serunya: "Siau-ni-cu, kenapa kaupun datang kesini dengan Ling
Suhu?"
"Masih ada dua temanmu
juga, coba kau terka siapa mereka?" seru Toh Ni.
Mendengar masih ada dua orang
lagi, Toan Kiam-ping lantas tertawa. "Buat apa main terka epala, pastilah
Kanglam Sianghiap." Betul juga dilihatnya Kwik Ing-yang dan Ciong Bin-siu
sudah mendatangi sambil menuntun kuda masing-masing. Ternyata kedua ekor kuda
itu melihat majikan lama, maka lekas mereka memapak ke bawah gunung.
"Toan-toako," seru
Kwik Ing-yang bersama Ciong Bin-siu, "akhirnya kau datang juga. Tahukah
kau, beberapa hari ini, kami sedang mencari dan menanti kedatanganmu."
Toh Ni tiba dulu, langsung dia
mengawasi Han Cin, katanya: "Siau-ongya, aku tahu kau datang bersama nona
In, siapa sangka dugaanku keliru. Ini..."
"Inilah Han..."
tiba-tiba Toan Kiam-ping ingat Han Cin menyamar laki-laki, mungkin dia tidak
senang bila asal-usulnya dia jelaskan kepada kacungnya, maka dia merandek ragu.
Apakah dia harus memanggil Siangkong atau nona.
Tiba-tiba Toh Ni goyang-goyang
tangan, katanya: "Siau-ongya, jangan kau katakan dulu, biar aku
menebaknya," lalu dia menoleh ke arah Han Cin dan berkata tertawa:
"Kukira kau ini adalah nona Han Cin, betul tidak?"
Han Cin segera mengerti,
katanya: "Agaknya kau sudah bertemu dengan Tan Ciok-sing?"
Toh Ni tertawa, katanya:
"Nona Han, kau memang pintar, sekali tebak lantas kena," lalu dia
ceritakan bagaimana di tengah jalan dia bertemu dengan Tan Ciok-sing.
Setelah mendengar berita Tan
Ciok-sing, perasaan Toan Kiam-ping yang tertindih seketika longgar, hatinya
senang tapi juga hampa, pikirnya: "Meski dia tidak menunggang kuda, yakin
dia sudah pulang sampai Tay-tong."
Han Cin seperti tahu jalan
pikirannya, katanya dengan mengerling: "Toan-toako, sekarang kau tidak
usah kuatir, dia pasti sudah bertemu dengan nona In. Bukan mustahil beberapa
hari lagi bakal menyusul kemari."
Baru Toan Kiam-ping mau tanya
kenapa mereka berada disini, Ling Khong-tik sudah buka suara: "Lo-ongya
jatuh sakit, beliau mengharap kau lekas pulang."
Toan Kiam-ping kaget, katanya:
"Sakit apa, bagaimana keadaannya?"
"Sakit biasa seperti
orang tua umumnya, tapi usia Lo-ongya memang sudah lanjut, badannya lemah,
meski sudah makan banyak obat, kesehatannya masih belum pulih. Bila orang tua
jatuh sakit adalah logis kalau dia merindukan putranya. Mohon Siau-ongya lekas
pulang bersama kami," dari nada penuturan ini Toan Kiam-ping merasakan
bahwa penyakit ayahnya kali ini agak parah, karuan hatinya amat kuatir. Mana
dia tahu bahwa sang ayah sebetulnya menipu dia supaya lekas pulang.
Maka Toan Kiam-ping berkata:
"Semula kupikir setelah mengantar nona Han ke markas Kim-to Cecu segera akan
pulang. Sekarang aku tak usah mengantarnya sendiri, hari ini juga aku bisa
pulang bersama kalian."
"Kwik-toako, Ciong-ciei,
tolong kalian saja yang mengantar nona Han, mohon tolong sampaikan pula
permintaan maafku kepada Kim-to Cecu, aku tidak sempat menyampaikan salam
hormatku sendiri," demikian kata Toan Kiam-ping kepada Kanglam
Sianghiap."
Kwik Ing-yang berkata:
"Ayahmu sakit, maka aku tak enak menahanmu disini, kudaku ini kau boleh
pakai untuk pulang ke Tayli."
"Sebetulnya aku mewakili
Tan Ciok-sing mengembalikan kuda ini kepada kalian, tak enak bila kupakai
lagi," ujar Toan Kiam-ping.
"Kau ada urusan genting,
buat apa sungkan? Tolong sampaikan salam kami pada ayahmu," demikian kata
Kwik Ing-yang.
Baru saja Toan Kiam-ping mau
naik ke punggung kuda, tiba-tiba Ciong Bin-siu berkata: "Toan-toako,
kukira kali ini bisa kumpul bersama kau beberapa hari, tak nyana baru
berhadapan sekejap sudah harus berpisah lagi Akupun takkan menahanmu, tapi
ingin bicara dengan kau, harap tunda dulu pemberangkatanmu sebentar."
"Kalian meminjamkan kuda
jempolan kepadaku ini sudah menghemat beberapa hari perjalanan aku harus
mengucap banyak terima kasih kepada kalian. Memang ada beberapa hal yang ingin
kuberitahu kepadamu."
Ciong Bin-siu tarik Toan
Kiam-ping ke pinggir, sementara Toh Ni ajak Han Cin ngobrol. Setiba didalam
hutan, baru dia berkata lirih: "Kukira kau datang bersama nona In, tak
nyana kau datang bersama nona Han?"
"Beberapa hari lagi nona
In akan datang bersama Tan Ciok-sing," lalu dia ceritakan perkenalannya
malam itu dengan Han Cin di rumah In San.
Ciong Bin-siu tertawa,
katanya: "Jangan kau anggap aku cerewet, aku pernah janji jadi comblangmu.
Laiu bagaimana persoalanmu dengan adik In?"
"Terima kasih akan maksud
baikmu, soal ini tak usah dibicarakan lagi. Soal jodoh ada di tangan Thian,
adik In bukan jodohku, selanjutnya aku hanya menganggapnya adikku
sendiri."
"Aku sudah tanya
Siau-nicu, sedikit banyak aku sudah tahu hubungan kalian. Kalau adik San
mencintai orang lain, kukira soal jodoh ini tak usah dipaksakan. Kuharap kau
tidak sedih."
"Siapa bilang aku sedih,
aku belum sempat senang karena pertemuan mereka. Tan Ciok-sing Toako adalah
orang baik, dia jauh lebih baik dari aku."
"Aku tahu. Sementara biar
aku percaya inilah perkataan setulus hatimu. Tapi kau bilang mau cari seorang
yang cocok, maaf bila aku mencampuri urusanmu, aku ingin tanya kepadamu,
kabarnya nona Han adalah puteri angkat Khu Ti, kungfunya kukira tidak
rendah?"
"Memang bagus. Diapun
pandai memetik harpa, main catur, buat syair dan melukis."
"Jadi terhitung seorang
perempuan serba bisa, bagaimana karakternya?"
"Baru beberapa hari aku
bergaul sama dia, tapi kurasa tidak perlu malu bila disebut Hiap-li (Pendekar
Perempuan)."
"Syukurlah kalau begitu.
Hilang satu dapat ganti yang iain, begitupun baik."
"Jangan kau main-main,
bila didengar dia, bisa berabe jadinya."
"Apa kau ingin membawanya
pulang? Kau tak berani bilang, biar aku yang mengaturnya."
Berkata Toan Kiam-ping
sungguh-sungguh: "Ciong-toaci, soal ini jangan kau bicarakan lagi, nona
Han adalah gadis yang punya pambek, bercita-cita luhur, kedatangannya ke markas
Kim-to Cecu memang untuk berteduh mencari tulang punggung, tapi juga demi
melaksanakan cita-cita dan keinginannya, disini dia bisa memperoleh ketenangan
hidup dan aman. Kalau aku membawanya pulang, terhitung apa itu? Kalau
dibicarakan salah-salah dia bisa menganggap kita memandangnya rendah."
Sambil keluar hutan Toan
Kiam-ping berkata: "Nona Han, maaf aku tidak mengantarmu ke markas.
Beberapa hari lagi bila Tan-toako dan nona In tiba, tolong sampaikan
salamku."
"Toan-toako," kata
Han Cin, "kau sudah mengantarku sejauh ini, aku sudah amat berterima
kasih. Aku juga mengharap ayahmu lekas sembuh, semoga kau selamat dalam
perjalanan,"
Toan Kiam-ping cemplak ke
punggung kuda, serta melambai tangan ambil berpisah.
Ciong Bin-siu tertawa,
serunya: "Lho, ada sepatah kata penting, bila sesama kawan mau berpisah
harus dfucapkan, kenapa kalian melupakan."
Han Cin melengak, katanya:
"Kata apa?"
"Selama gunung menghijau
dan air tetap mengalir kelak pasti bertemu lagi."
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Nona Han, kau belum tahu, Ciong-toaci kita ini paling suka
berkelakar dan menggoda orang."
"Siapa bilang
berkelakar," kata Ciong Bin-siu, "memangnya kau tidak ingin bertemu lagi
dengan nona Han?"
Walau agak kikuk dan malu,
terpaksa Toan Kiam-ping dan Han Cin mengucap "semoga ketemu lagi".
Pada hal kata-kata yang umum diucapkan, tapi diucapkan dari mulut mereka, lain
pula artinya, bagi yang bersangkutan menimbulkan rasa yang syur dan sendu.
Dari sorot mata Han Cin terasa
oleh Ciong Bin-siu orang merasa berat berpisah, diam-diam hatinya amat senang,
pikirnya: "Kali ini tugasku sebagai mak comblang pasti takkan gagal lagi.
Nanti bila sudah berada di markas biar aku mengatur rencana bersama adik
Kiam-khim."
Kanglam Sianghiap membawa Han
Cin pulang ke markas, tahu bahwa Han Cin adalah anak pungut Khu Ti sudah tentu
Kim-to Cecu menyambutnya dengan riang, padanya diapun mengajukan banyak
pertanyaan yang menyangkut Tan Ciok-sing. Mendengar sepak terjang Tan Ciok-sing
yang gagah perkasa sungguh senang Kim-to Cecu bukan main. Katanya tertawa
sambil mengelus jenggot: "Syukurlah markas bakal kedatangan seorang
pendekar muda yang berkepandaian tinggi, markas kita bakal lebih ramai."
Tapi tujuh hari telah
berselang Tan Ciok-sing yang ditunggu-tunggu belum kunjung tiba, Kim-to Cecu
suruh orang mencari tahu ke Tay-tong, namun tidak memperoleh berita apapun.
Selama beberapa hari ini,
ternyata Ciu Kiam-khim amat cocok dengan Han Cin, mereka bergaul akrab sekali,
hubungan mereka semakin intim seperti teman lama.
Diam-diam Ciong Bin-siu pernah
berunding dengan Ciu Kiam-khim, cara bagaimana untuk mengantar Han Cin pergi ke
Tayli, sayang sejauh ini mereka belum mendapat akal dan alasan.
Suatu hari, seorang spiofi
kembali dari kota raja Kim-to Cecu menerimanya di ruang dalam. Semula Ciu
Kiam-khim kira spion ini pulang dari Tay-tong, karena ingin tahu berita tentang
In San, maka dia mencuri dengar di belakang pintu angin.
Kim-to Cecu bertanya:
"Bagaimana keadaan kota raja?"
Spion itu menjawab:
"Setelah kepungan terhadap Tay-tong dipukul hancur, para pembesar sipil
dan militer di kota raja merasa tugas sudah berakhir, mereka sedang sibuk
memperkaya diri sendiri, maka suasana disana cukup aman."
Kim-to Cecu berkata:
"Hanya sementara Watsu menarik mundur angkatan perangnya, kini huru hara
dalam negerinya sudah ditumpas, keadaan sudah aman, penguasa semakin kokoh
kedudukannya, maka mulailah mereka mengatur rencana untuk mengadakan infansi
pula ke selatan, memangnya pihak kerajaan tidak tahu akan berita ini?"
"Bukan tidak tahu," kata spion itu, "tapi kelompok yang berkuasa
di istana kerajaan sekarang lebih cenderung untuk damai dengan musuh, damai
dalam arti kata takluk dan tunduk akan syarat-syarat yang diajukan pihak sana,
kelompok ini dipimpin oleh sekrataris militer yang menjabat juga Kiu-bun-te-tok
Liong Bun-kong, Baginda sih hanya makan tidur dan memikirkan keselamatan belaka
apapun dia tunduk dan menerima nasehat Liong Bun-kong, harapan untuk menyadarkan
Raja lalim ini jelas tidak mungkin. Maka untuk menggerakkan angkatan perang
kerajaan dan bergabung dengan laskar rakyat kita melawan agresor jelas tidak
mungkin pula, lebih celaka lagi bila angkatan perang kerajaan dikerahkan untuk
menumpas kekuatan kita dibantu pihak Watsu."
Kim-to Cecu menghela napas,
katanya: "Hal ini sudah dalam dugaanku, selama ini belum pernah aku
berangan kepada pihak kerajaan, apapun yang akan datang biarlah kita hadapi
dengan tabah."
"Karena berhasil
mendapatkan suatu berita penting, maka aku pulang lebih dini dari rencana yang
semula," demikian kata spion itu.
"Berita rahasia apa
kelihatan begitu penting?"
"Bahwa Khan baru yang
berkuasa di Watsu sekarang telah mengutus seorang Duta rahasianya, dan kini
sudah tiba di Pakkia. Konon duta rahasia ini ada membawa surat pribadi Khan
agung mereka dan membawa serta banyak hadiah mahal untuk Liong Bun-kong, pasti
ada rencana keji dibalik pertemuan utusan itu dengan Liong Bun-kong."
"Liong Bun-kong pembesar
anjing itu memang ingin menjual negara demi mengejar pangkat dan harta,
sekarang saatnya dia mendapat angin dan kesempatan, buat apa hal ini dibuat
heran?"
"Sayang sekali Ui-yap
Tojin sudah berkorban karena peristiwa ini," kata spion itu.
Kim-to Cecu kaget, katanya:
"Ilmu pedang Ui-yap Tojin teramat tinggi, bagaimana jiwanya bisa
melayang?"
Spion itu bercerita:
"Bersama Sia-cin Hwesio dia berusaha mencegat dan membunuh Duta rahasia
itu, tujuannya untuk merebut surat rahasia itu, tak kira di antara pengikut
Duta rahasia ini terdapat beberapa jago silat tangguh, akhirnya Ui-yap Tojin
gugur di medan laga. Sia-cin Hwesio lolos tapi diapun terluka parah."
"Umpama mereka berhasil
dan membongkar muslihat serta intrik Liong Bun-kong itu juga tiada
gunanya," demikian kata Kim-to Cecu menghela napas, "para pembesar
sipil maupun militer sama memikirkan keselamatan sendiri, umpama Baginda Raja
berani bertindak tegas memecat jabatan Liong Bun-kong, yakin takkan lama lagi,
Liong Bun-kong kedua pasti akan muncul pula."
"Tapi persoalan itu tidak
rampung sampai disini saja," tutur spion itu, "konon Wi-cui-hi-kiau
hendak menuntut balas kematian Ui-yap Tojin, sekarang mereka sedang mengatur
rencana mengundang beberapa teman mereka, masuk kota raja untuk membunuh Liong
Bun-kong. Bila berita ini dapat dipercaya, maka beberapa orang yang seharusnya
akan kemari, mungkin bisa membatalkan maksudnya semula."
"Tam-toako dan lain-lain
pasti akan tiba dalam waktu dekat, pihak kita disini sih tidak kekurangan
orang. Tapi gerakan mereka ini terlalu berspekulasi, amat bahaya, dan lagi
takkan menimbulkan perubahan situasi yang cukup fatal, jikalau aku ditanyai
pendapatku, terus terang aku tidak setuju."
"Kalau begitu, biarlah
aku lekas kembali ke kota raja, akan kuusahakan menyampaikan pendapat Cecu
kepada mereka."
"Mereka sudah getol
menuntut balas, aku sendiri ke sanapun belum tentu dapat membujuk mereka. Tapi
dicoba juga ada baiknya. Umpama mereka gagal, kau dapat bantu mereka
mengundurkan diri. Tapi aku tidak ingin kau menempuh bahaya seorang diri, besok
hal ini kurundingkan dulu dengan orang banyak, biar nanti dipilih mengutus
siapa lebih cocok akan tugas berat ini? Em, masih ada berita lain dari kota
raja?"
"Masih ada satu berita
yang tiada sangkut pautnya dengan strategis perang, tapi ada sangkut pautnya
dengan seorang teman kita."
"Ada sangkut pautnya
dengan siapa?"
"Berita yang menyangkut
keluarga Toan di Tayli."
Tergerak hati Ciu Kiam-khim
yang mencuri dengar di belakang pintu angin, lekas dia lari ke kamar serta
menyeret Han Cin kemari, mereka mencuri dengar di tempat itu.
Waktu Han Cin keluar kebetulan
didengarnya Kim-to Cecu sedang berkata: "O, kiranya muslihat Liong
Bun-kong pembesar anjing itu, tapi aku tidak habis mengerti kenapa sekarang
baru dia ambil tindakan keji ini terhadap keluarga Toan di Tayli? Mungkinkah
mereka tahu bahwa Siau-ongya keluarga Toan itu ada hubungan rahasia dengan
kita?"
Karuan Han Cin amat kaget
mendengar berita buruk ini.
Spion itu berkata: "Aku
tidak tahu apakah mereka sudah tahu akan rahasia ini. Tapi kabarnya keponakan
Liong Bun-kong ada bermusuhan dengan Siau-ongya keluarga Toan itu, muslihat
keji inipun dirancang oleh keponakannya yang bernama Liong Seng-bu itu."
"Lho, koh aneh, bagaimana
mereka bisa bermusuhan?" tanya Kim-to Cecu.
"Liong Seng-bu mendesak
pamannya supaya sang paman memberi laporan palsu memfitnah keluarga Toan, dosa
perkaranya sungguh teramat besar, yaitu dituduh memberontak."
"Keluarga Toan tidak
punya jabatan tidak pegang kuasa, dengan apa mereka akan memberontak?"
"Sejak dynasti Kerajaan
berdiri dulu, keluarga Toan sudah dicopot jabatan dan kekuasaannya, sampai
sekarang rakyat jelata negeri Tayli masih seperti biasa menyebutnya
Ong-ya."
"Itulah rakyat setempat
yang masih memberi penghargaan kepada keluarga Toan, hakikatnya tiada sangkut
pautnya dengan keluarga Toan itu sendiri."
"Itu jalan pikiran kita.
Baginda yang lalim itu begitu mendengar ada orang lain juga disanjung sebagai
raja, yakin dia akan percaya akan fitnah itu. Dalam tuduhan itu Liong Bun-kong
menekankan keluarga Toan membeli hati dan menghasut rakyat, berhubungan dengan
kaum patriot kalangan Kangouw, semua itu sudah cukup sebagai alasan untuk
dicurigai sebagai berusaha memberontak."
"Beberapa hari yang lalu
Siau-ongya keluarga Toau baru saja pulang dari sini, dia menunggang kuda yang
dapat menempuh seribu li sehari, tak mungkin dikejar lagi. Lalu bagaimana
baiknya?"
"Keluarga Liong sedang
sibuk menyambut kedatangan Duta rahasia Watsu, untuk sementara jelas mereka
tidak sempat menyelesaikan soal ini, Cecu, menurut pendapatmu, apakah kita
tidak perlu mengutus orang memberi kabar ini kepad^ keluarga Toan?"
"Sudah tentu aku harap
keluarga Toan dapat terhindar dari petaka ini, tapi kalau orang kita yang
memberi kabar, bila meleset dan salah hitungan, urusan tentu bisa lebih celaka.
Sekarang boleh kau istirahat, biar hal ini kupikir-pikir dulu."
Setelah spion itu mengundurkan
diri, tiba-tiba Kim-to Cecu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Kalian tidak
usah sembunyi lagi, keluarlah."
Ciu Kiam-khim tarik tangan Han
Cin melangkah keluar dari tempat sembunyinya, katanya dengan tertawa:
"Ayah, jadi kau sudah tahu."
Kim-to Cecu mendengus,
katanya: "Dengan kepandaianmu sekarang memangnya bisa mengelabui aku? Lain
kali kularang kau berbuat tidak tahu aturan."
Ciu Kiam-khim melelet lidah,
katanya: "Akulah yang menarik Han-cici kemari, jangan ayah menyalahkan
dia."
Kim-to Cecu berkata:
"Persoalan yang menyangkut keluarga Toan tadi memang ingin kusampaikan
kepada nona Han."
Tergerak hati Ciu Kiam-khim,
katanya: "Ayah, bukankah kau sedang bingung cara bagaimana untuk membantu
kesulitan yang dihadapi keluarga Toan itu? Aku sih punya akal sekarang."
Dalam hati Kim-to Cecu sudah
menerka jalan pikiran putrinya, sengaja dia tertawa, katanya: "O,
memangnya kau punya akal apa untuk membantu ayah, baik, coba kau
jelaskan."
"Baru beberapa hari
Han-cici berada disini, orang diluar tidak tahu bahwa dia adalah orang kita.
Apalagi dia masih mempunyai suatu kemahiran yang melebihi orang lain, sesuka
hatinya dia bisa menyamar siapa saja yang dia inginkan, tanggung orang takkan
bisa mengenalinya. Ayah, kau kuatir bila orang kita yang memberi kabar, mungkin
tidak leluasa, bagaimana kalau tugas ini diserahkan kepada Han-cici."
"Dulu pernah aku dengar
bahwa ayah angkat nona Han, Khu-locianpwe pandai tata rias. Dua puluh tahun
yang lalu Khu-locianpwe mendadak lenyap, aku kuatir bahwa keahliannya itu tiada
yang mengisi. Kiranya nona Han sudah mewarisi kepandaiannya."
"Cici Khim sengaja
memujiku, pada hal apa yang kumiliki sekarang bila dibanding ayah, terpautnya
amat jauh, Toan-kongcu pernah membantu aku, demi urusan dinas dan untuk
hubungan pribadiku, adalah logis kalau aku balas membantu dia. Kalau Ciu-pepek
belum mendapatkan orang yang cocok, biarlah tugas ini serahkan kepadaku
saja."
Ternyata Ciong Bin-siu lebih
gelisah setelah tahu akan berita buruk ini, ingin rasanya dia bantu Han Cin
memasang sayap supaya lekas terbang ke Tayli, maka lekas dia keluarkan kuda
putihnya dan berkata dengan tertawa: "Kuda kami ini sepasang, Toan-toako
membawa yang jantan, sekarang boleh kau naiki yang betina ini. Bukan saja
manusianya bisa bertemu, pasangan kudaku inipun biar berkumpul."
Han Cin jengah oleh godaan
ini. Lekas Ciu Kiam-khim menyela: "Baiklah jangan berkelakar melulu.
Urusan lebih penting. Han-cici, sekarang kau sudah siap turun gunung, kali ini
kau hendak menyamar macam apa?"
"Nanti juga kau akan
tahu," ucap Han Cin, dia larang Ciu Kiam-khim menyaksikan dirinya
berdandan, tak lama kemudian setelah dia merias diri baru keluar dari kamar.
Begitu melihat samarannya,
Ciong Bin-siu dan Ciu Kiam-khim tertawa terpingkal-pingkal sambil memeluk
perut.
Ternyata dia menyamar jadi
seorang laki-laki setengah umur, mukanya kuning, memakai kumis lagi, pipinya
tepos berwajah licik dan nakal, bayangan seorang gadis jelita sudah tidak
kelihatan lagi.
Ciu Kiam-khim berkata:
"Kalau aku tidak tahu kau yang menyamar, bila aku melihat nampak macam
orang ini, aku jadi sebal dan muak."
"Memang lebih suka
dibenci orang yang melihat tampangku, supaya para cakar alap-alap itu tiada
yang memperhatikan aku."
"Bila kau berhadapan
dengan Toan-toako, lebih baik kau menjelaskan padanya, kalau tidak tanggung dia
akan kaget setengah mati."
000OOO000
Setiba di rumah, tampak oleh
Toan Kiam-ping ayahnya keluar menyambut kedatangannya, karuan hatinya kaget dan
senang, namun juga heran, katanya: "Ayah, ternyata kau tidak sakit?"
Ayahnya berkata; "Akulah
yang menyuruh Ling Suhu demikian. Kalau tidak kapan kau mau pulang."
Tahu bahwa dirinya ketipu Toan
Kiam-ping hanya menyengir getir, katanya: "Asal ayah tidak sakit
saja."
Setelah batuk Lo-ongya memberi
nasehat dengan nada sungguh-sungguh: "Walau beruntung aku tidak jatuh
sakit, tapi kau harus selalu ingat akan wejangan para leluhur, semasa ayah
bunda masih hidup, anak cucu dilarang keluar jauh. Apalagi kali ini kau jauh
pergi keluar perbatasan menemui Kim-to Cecu segala, jangan kata hati ayah
bundamu tidak tentram. Jikalau jejakmu diketahui orang, bagaimana nasib kita
kelak? Kupanggil kau pulang supaya kau berjanji kepadaku, maukah kau dengar
nasehat ayah?"
"Ayah ada pesan apa,
silahkan katakan."
"Kau ingin bergaul dengan
kaum persilatan, aku tidak akan melarangmu. Tapi setelah ayah dan ibumu
meninggal baru kau boleh meninggalkan rumah. Kesehatan ibumu jauh lebih buruk
dari aku, bila kau pergi ke tempat yang jauh lagi, mungkin dia benar-benar bisa
jatuh sakit."
Sudah tentu Toan Kiam-ping
hanya mendengar dan mengiakan saja, katanya: "Kembaliku kali ini, memang
sudah siap untuk mendampingi ayah bunda sampai hari tua. Baiklah aku patuh akan
nasehat ayah."
Lebar senyuman Lo-ongya,
katanya: "Masih ada satu hal lain yang belum tercapai dalam angan-anganku,
yaitu ingin kau lekas menikah. Diluar apa kau tidak berkenalan dengan perempuan
yang baik dan cocok dengan kau, pandai Kungfu juga tidak soal, tapi dia bukan
kaum persilatan yang ada hubungan dengan Kim-to Cecu."
"Soal jodoh masih banyak
waktu untuk membicarakan. Apalagi anak sekarang belum punya pikiran untuk
berkeluarga."
"Usiamu sudah dua puluh
tujuh, sudah cukup dewasa untuk berkeluarga, kenapa tidak pingin lekas
menikah?"
"Laki-laki baru
berkeluarga setelah tiga puluh, bukankah inipun nasehat orang kuno?"
"Betul juga, tapi kau mau
pulang, legalah hatiku. Soal jodohmu, bila perlu akupun bersedia mencarikan
jodoh. Lekaslah kau temui ibumu."
Sejak kembalinya itu, terpaksa
Toan Kiam-ping sembunyi dalam rumah menulis, membaca dan belajar silat. Sudah
tentu dia mengharap ayah bundanya panjang umur, tapi bila dia rindu pada
Kanglam Sianghiap, Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin, ingin rasanya dia bebas
mengembara pula, hatinya jadi selalu masgul.
Hari itu sungguh dia merasa
pepat pikiran maka dia mohon izin ayahnya untuk tamasya ke Jong-san. Lo-ongya
berkata dengan tertawa: "Asal kau tidak pergi jauh, tamasya di negeri
sendiri tetap kuizinkan. Pada hal negri kita tidak kalah indah dan mempesona
dari dunia luar, boleh kau pergi bersama Siau-ni-cu."
"Tidak, hari ini aku
tidak ingin mengajak teman, biar dia tinggal di rumah melayani ayah,"
karena hati risau, dia ingin pergi ketempat yang sunyi dan jalan-jalan melepas
rasa rindu.
Hari masih pagi, kabut masih
mengembang rendah, seorang diri Toan Kiam-ping telah berada di puncak Jong-san,
tak lama kemudian diapun sudah jalan-jalan di pesisir Ni-hay, tiba-tiba
pikirannya terbayang akan Tan Ciok-sing dan In San, terakhir kali merindukan
Han Cin, pikirnya: "Kini mereka tentu sudah kumpul di markas Kim-to
Cecu."
Lalu terpikir pula oleh Toan
Kiam-ping: "Nasib mereka bertiga hampir mirip, tapi juga sama-sama teguh
dan besar tekadnya, bukan saja aku bukan bandingan Tan Ciok-sing, dibanding Han
Cinpun aku malah asor. Jalan-jalan di tempat lama yang sudah sering
dikunjunginya, hati dirundung kepedihan lagi, maka Toan Kiam-ping tidak
merasakan lelah.
Tanpa merasa hari sudah lohor,
duduk di pinggir air, pandangan Toan Kiam-ping melamun menatap ikan busur yang
berenang membalik melawan arus air, dia tetap tidak kepingin lekas pulang. Hari
itu cuaca baik, hawa sejuk dan nyaman, panorama di Ni-hay kelihatan lebih
mempesona, tanpa merasa Toan Kiam-ping tarik suara bersenandung membawakan
syair pujangga kuno yang melukiskan keindahan alam nan permai.
Tengah dia tenggelam
lamunannya, tiba-tiba didengarnya teriakan Siau-ni-cu: "Siau-ongya,
Siau-ongya," waktu Toan Kiam-ping angkat kepala, dilihatnya kacungnya itu
tengah berlari ke arahnya, sikapnya begitu gugup dan buru-buru lari sambil
teriak, suaranyapun sudah serak.
Toan Kiam-ping tertawa,
katanya: "Siau-ni-cu, apa ayah suruh kau menyusulku pulang? Memangnya
perlu kau berlari segugup ini?"
Toh Ni sudah berada di
depannya, keringat gemerobyos namun mukanya tampak menghijau mulutnya
megap-megap mau bicara tapi hanya dua patah kata yang kuasa diucapkan.
"Tidak, bukan."
"Siau-ni-cu," ujar
Toan Kiam-ping tertawa, "istirahat dulu, nanti kau bicara lagi."
Tiba-tiba berlinang air mata
Toh Ni, katanya: "Siau-ongya urusan genting, urusan celaka."
"Urusan genting apa yang
celaka?"
"Siau-ongya dengarkan
penuturanku, tapi jangan kau bingung dan gelisah, bagaimana kita harus
menghadapi kejadian ini, semua tergantung keputusanmu."
"Memangnya dunia akan
kiamat? kenapa begini gugup. Agaknya perkataanmu harus kugunakan untuk
menasehatimu."
"Kira-kira sebanding
dengan dunia kiamat. Lo-ongya. Lo-ongya, beliau..."
"Ayah kenapa?" baru
sekarang Toan Kiam-ping tersentak kaget, Dia kira ayahnya mendadak jatuh sakit
parah.
Perlahan suara Toh Ni:
"Lo-ongya ditawan oleh pembesar anjing utusan kerajaan. Rumahpun telah
disegel."
Keluarga Toan adalah keluarga
besar yang ternama di kalangan Tayli, mimpipun tak pernah terpikir oleh Toan Kiam-ping
hari ini bencana bakal menimpa keluarganya, sesaat dia melenggong, akhirnya
berkata: "Bagaimana mungkin terjadi petaka yang tak terduga ini?
Memangnya keluargaku melanggar
dosa apa?"
"Mereka membacakan apa
itu firman raja, keluarga Toan dituduh mengangkat sendiri jadi raja, berusaha
memberontak dan membangkang perintah. Dalam firman itu diperintahkan untuk
membekuk seluruh keluarga Toan dan digusur ke kota raja menunggu hukuman."
Kaget dan gusar Toan
Kiam-ping, sedapat mungkin dia tenangkan diri, katanya: "Sungguh kurang
ajar, bagaimana dengan Ling Suhu dan yang lain-lain? Apakah mereka hanya
menangkap ayahku?"
"Waktu pembesar anjing
menyegel rumah menangkap orang sebetulnya Ling Suhu hendak melabrak mereka.
Tapi baru saja bergebrak keburu dicegah oleh Lo-ongya, Lo-ongya bilang selama
hidup dia tak pernah melanggar hukum dan hidup sederhana, tidak perlu takut
pergi ke kota raja untuk mencuci bersih kebesaran nama keluarga Toan. Tapi dia
mengajukan dua syarat supaya pembesar anjing itu mau menyetujuinya: Pertama,
rumah boleh disegel, tapi anggota keluarga lain supaya tidak diganggu gugat.
Kedua, meski dia dituduh memberontak, hanya ialah yang wajib memikul dosa,
tiada sangkut pautnya dengan anak isteri."
"Di bawah sarang yang
porak poranda, mana ada telur utuh? Ayah rela menyerahkan diri, masih juga
ingin melindungi kita, kukira terlalu Jenaka jalan pikirannya."
"Akhirnya pembesar anjing
itu hanya menerima syarat pertama, dia memberi kesempatan pada Loya untuk
membubarkan para pembantu. Tapi syarat kedua mereka tolak dengan alasan
menjalankan tugas menurut firman raja, setelah tidak berhasil menemukan dirimu,
maka mereka menggusur Loya ke atas kereta kurungan. Diapun berpesan supaya
Siau-ongya langsung menyerahkan diri di kota raja. Agaknya mereka sudah
menduga, suatu hari kau pasti akan berusaha menolong ayahmu, itu berarti kau
akan masuk jaring sendiri. Siau-ongya, jangan kau tertipu oleh muslihat mereka.
Ling Suhu berpesan supaya kau lari ke tempat yang jauh, bila perlu dia
menganjurkan supaya kau bergabung ke markas Kim-to Cecu. Ling Suhu memohon
untuk mengantar Loya ke kota raja, kini mereka sudah berangkat, mungkin mereka
jeri akan keliehayan Ling Suhu, maka permintaannya dikabulkan."
Ternyata utusan Liong Bun-kong
bukan lain adalah Huwan bersaudara bersama Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay, ke
enam orang ini adalah jago-jago kelas satu di bawah Liong Bun-kong. Waktu
menghadapi grebekan mereka Ling Khong-tik pernah adu pukulan melawan Ciok
Khong-goan dan Sa Thong-hay, tapi dia terkepung didalam barisan pedang Huwan
bersaudara, kalau waktu itu ayah Toan Kiam-ping tidak keluar dan menghentikan
pertempuran tepat pada waktunya, mungkin kedua pihak akan gugur bersama. Apa
yang diduga Toh Ni memang tidak meleset, mereka memang jeri pada keliehayan Ling
Khong-tik maka dia diperbolehkan mengiringi junjungannya berangkat ke kota
raja.
Hampir pecah kepala Toan
Kiam-ping menghadapi persoalan rumit dan genting ini, sekuatnya dia kendalikan
emosinya, pikirnya dengan kepala panas: "Apa yang dikatakan Siau-ni-cu
memang benar, dalam suasana seperti sekarang, aku harus menenangkan diri,
tabah." Setelah dia tekan emosi dan berhasil menenangkan diri itu, dia
mulai menyelusuri persoalan, tiba-tiba terasa olehnya bahwa cerita yang
dikisahkan oleh Siau-ni-cu terdapat suatu yang ketinggalan, entah karena
Siau-ni-cu lupa menceritakan, atau sengaja dia hindarkan.
"Siau-ni-cu ada satu
persoalan yang belum kau jawab kepadaku. Apakah para cakar alap-alap itu hanya
, menangkap ayahku seorang?"
"Betul, mereka hanya
menggusur Loya dengan kereta kurungan."
"Tadi kau bilang mereka
hanya berjanji tidak akan mengganggu kerabat lain kecuali keluargaku. Jadi
tujuan penangkapan ini hanyalah ayah bundaku dan aku bertiga, aku tidak di
rumah, tapi ibu kan di rumah. Bagaimana keadaan Lo-hujin, lekas beritahu
kepadaku," demikian tanya Toan Kiam-ping dengan suara gemetar.
Bercucuran air mata
Siau-ni-cu, katanya: "Maafkan aku, aku tak berani sekaligus memberitahu
berita duka ini kepadamu."
Berdiri alis Toan Kiam-ping
katanya: "Aku sudah siap menerima kabar yang paling buruk sekalipun, aku
harus tahu duduk persoalannya. Lekas katakan lekas, bagaimana keadaan
ibuku?"
Dengan sesenggukan baru Toh Ni
berkata: "Lo-hujin tidak sudi dihina, dia, dia sudah bunuh diri."
Bagai disambar geledek kepala
Toan Kiam-ping mendengar berita buruk ini, betapapun tabah hatinya, begitu
mendengar kematian ibunya yang mengenaskan, hampir saja dia jatuh semaput.
Lekas Toh Ni memeluk serta menggoncang tubuhnya, teriaknya: "Siau-ongya,
sadarlah, keluarga Toan ketinggalan kau seorang, kau harus, menjaga diri.
Selama gunung tetap menghijau, jangan kau kuatirkan kehabisan kayu
bakar..."
Pukulan batin yang berat serta
nasehat dan dorongan sang kacung seketika memberikan dukungan semangat dan
tekad yang besar, akhirnya Toan Kiam-ping berdiri di atas kakinya sendiri,
desisnya dengan kertak gigi: "Kalau dendam ini tidak kubalas, tiada muka
aku jadi manusia? Kau tidak usah kuatir, aku takkan mencari jalan pendek.
Sayang di waktu para cakar alap-alap itu datang aku kebetulan tidak di rumah,
kalau tidak apapun yang bakal terjadi pasti kulabrak mereka habis-habisan, akan
kutentang ayah melakukan tindakan yang bodoh itu."
"Laki-laki sejati
menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat, Ling Suhu berpesan supaya kau
bergabung dengan laskar rakyat Kim-to Cecu, kau harus lekas berkeputusan."
Toan Kiam-ping seka air mata
sambil angkat kepala, katanya: "Aku tidak akan lari. Kelak mungkin aku
akan bergabung dengan Kim-to Cecu, tapi sekarang belum waktunya."
Toh Ni membujuk lagi, "Siau-ongya
jangan kau bertindak gegabah, sakit hati ini mungkin takkan bisa kau balaskan
sekarang."
"Aku tahu Sudah tentu aku
takkan meluruk kesana dan melabrak mereka sekarang."
"Jadi maksudmu
sebetulnya..."
"Siau-ni-cu, kau mau
menemani aku pergi ke kota raja?"
"Apa kau ingin masuk
jaring sendiri seperti harapan mereka?"
"Aku tidak akan lari,
tapi juga tidak akan menyerahkan diri. Kita menyamar menguntit kereta pesakitan
itu, bila ada kesempatan, berusaha menolong ayah. Dari Tayli sampai kota raja, sedikitnya
kereta pesakitan itu akan menempuh sebulan perjalanan. Kemungkinan besar dapat
kita peroleh kesempatan untuk turun tangan."
"Ada enam jago yang
mengawasi secara ketat. Bila usaha kita gagal, jejakmu malah konangan
mereka..."
"Meski gagal juga harus
dicoba. Siau-ni-cu, bila kau takut, aku akan berangkat seorang diri."
"Siau-ongya, selama ini
kau tidak memandangku sebagai orang luar, kepandaian yang kumiliki sekarang
juga kau yang mengajarkan. Meski harus terjun ke lautan golok dan gunung berapi,
Siau-ni-cu takkan mengerutkan alis. Aku hanya memikirkan dirimu, kata-katamu
tadi hanya memandang rendah aku Siau-ni-cu."
Terharu Toan Kiam-ping akan
kesetiaan kacungnya, katanya merangkulnya: "Siau-ni-cu, kau memang
saudaraku yang baik. Untuk selanjutuya baik rejeki maupun maut biar kita hadapi
bersama. Tak perlu aku banyak bicara lagi. Tapi ada satu hal kau harus
ingat."
"Silahkan Siau-ongya
memberi petunjuk."
Toan Kiam-ping melotot,
katanya: "Hal itulah yang akan kukatakan. Justeru karena orang banyak
memanggil ayah Ongya sehingga hari ini dia ketimpa malang mana boleh kau masih
memanggilku Siau-ongya? Dan lagi selanjutnya kau bukan kacungku lagi boleh kita
saling membahasakan saudara saja."
Untuk pulang ke Tayli dari
Jong-san harus menyebrangi Ni-hay, tukang perahu juga kerabat keluarga Toan, di
atas perahu Toan Kiam-ping merias diri berdandan dengan bentuk lain, katanya:
"Untung tujuan kita hanya menguntit rombongan alap-alap itu, jarak tidak
boleh terlalu dekat, asal tidak muka ketemu muka di siang hari, sepanjang
perjalanan ini yakin tidak akan menarik perhatian orang lain," lalu dengan
menghela napas dia menambahkan, "sayang nona Han tidak disini, bila ada
dia, kita bisa merubah diri jadi bentuk lain," perahu dibawa ke suatu tempat
yang sepi dan belukar, Toan Kiam-ping dan Toh Ni turun disitu, tampak seorang
menuntun dua ekor kuda mendatangi. Orang ini adalah kacung pribadi Toan
Kiam-ping yang lain, bernama Siau-an-cu. Salah satu kuda itu berbulu putih,
yaitu milik Kwik Ing-yang yang dipinjamkan Toan Kiam-ping. Setelah keluarga
mengalami petaka dan berantakan, kini mendadak melihat kuda putih itu, karuan
hatinya kaget dan senang.
Toh Ni berkata: "Di saat
Ling Suhu melabrak musuh, diam-diam aku suruh Siau-an-cu menuntun kuda itu lari
dari pintu belakang."
"Siau-ni-cu, kalian
memang pandai bekerja, aku amat berterima kasih akan bantuan kalian. Tapi
selanjutnya aku ini seorang pedagang kecil, bila naik kuda putih ini, tentunya
tidak setimpal."
"Kalau bukan seorang
ahli, orang biasa takkan tahu bahwa kuda ini kuda mustika. Asal sepanjang jalan
kita hati-hati, tidak melarikan terlalu cepat, yakin tidak akan menarik
perhatian orang."
Walau Toan Kiam-ping tidak
membedal kuda putih, tapi daya larinya memang jauh lebih pesat dan kuat dari
kuda umumnya. Sebelum magrib, mereka telah meninggalkan Tayli sejauh empat lima
puluhan li, kereta pesakitan itupun telah mereka susul. Mereka menguntit dari
kejauhan dalam jarak satu li, dari kejauhan tampak yang memegang kendali kereta
adalah Sa Thong-hay yang menyaru jadi kusir, sementara Ciok Khong-goan bersama
ayahnya duduk didalam kereta pesakitan. Huwan bersaudara menunggang kuda
memencar diri di empat perjuru, sementara Ling Khong-tik juga naik kuda
mengintil tak jauh di belakang rombongan itu.
Diam-diam Toan Kiam-ping
menarik napas dingin, batinnya: "Mereka menjaga seketat itu, merampas
kereta secara kekerasan jelas tidak mungkin, terpaksa harus mencari kesempatan
menolong dengan akal."
Untunglah tak lama kemudian
mereka tiba di sebuah kota kecil. Toan Kiam-ping biarkan rombongan di depan itu
masuk kota, setelah mereka menemukan hotel dan menetap, baru dia bersama
Siau-ni-cu menginap di hotel yang lain. Ayah dan anak berada disatu tempat,
namun jarak mereka seperti di ujung langit dan di bumi: berhadapan tapi tidak
bicara, betapa pahit getir perasaan Toam Kiam-ping, sungguh harus dikasihani.
Toh Ni seperti tahu maksud
hati sang majikan, setelah makan malam dia berkata: "Mereka hanya pernah
bergebrak dengan Ling Suhu, tiada yang tahu akan diriku yang kacung ini. Biar
aku kesana mencari tahu."
"Baiklah, tapi kau harus
hati¬hati."
Menjelang tengah malam Toh Ni
telah kembali, katanya: "Ciok Khong-goan dan Sa Thong-hay menjaga Loya
tidur dalam satu kamar, sementara Huwan bersaudara terpencar di dua kamar di
kanan kirinya. Ling Suhu tidur di kamar paling ujung. Penjagaan sedemikian
ketat, bila kita beraksi, mereka pasti akan menyakiti Loya?"
"Apa kau melihat Ling
Suhu?"
"Teraling jendela
diam-diam aku ada kontak dengan dia, namun hanya beherapa patah kata belaka.
Dia tetap menganjurkan kau lari ke tempat jauh, jangan menempuh bahaya yang
tiada artinya. Dia kuatir bila jejakmu konangan mereka. Lo-ongya akan dibuat
sandera untuk mengancam kau."
"Bagaimana tega hatiku
meninggalkan ayah, betapapun besar bahayanya, aku tetap akan menempuhnya."
Dengan hati was-was selama itu
telah lewat tanpa kejadian apa-apa, entah karena Sa Thong-hay dan rombongannya
tumplek seluruh perhatiannya untuk menjaga Lo-ongya, atau mereka tidak menduga
bahwa dirinya bakal menguntitnya, pada hal dalam kota kecil ini hanya ada tiga
hotel, mereka toh tidak mengutus orang untuk memeriksa hotel-hotel yang lain,
apakah ada orang yang patut dicurigai.
Hari kedua baru saja terang
tanah, mereka sudah berangkat menempuh perjalanan.
Diam-diam Toh Ni perhatikan
jejak mereka lalu pulang memberi laporan kepada majikan mudanya: "Mungkin
aku terlalu curiga sehingga aku menaruh prasangka. Ada sesuatu mau tidak mau
menimbulkan rasa curigaku."
"Ada kejadian apa?"
"Pagi-pagi benar
rombongan alap-alap itu sudah berangkat menggusur kereta pesakitan itu,
penduduk kota kecil ini banyak yang belum bangun. Di kota kecil ini ada tiga
hotel, kecuali rombongan mereka, belum ada tamu lain yang berangkat sepagi
ini."
"Lalu apa
keanehannya?"
"Setelah rombongan
alap-alap itu membawa kereta pesakitan menempuh perjalanan dijalan raya, aku
melihat seorang penunggang kuda keluar dari kota. Kuda tunggangan orang itu
berlari amat pesat dari kejauhan, kulihat setelah dia hampir meyusul kereta
pesakitan itu, mendadak berhenti jaraknya kira-kira tetap dalam seratus
langkah, seperti yang kita lakukan kemarin."
"Kau curiga bahwa orang
itu juga tengah mengikuti kereta pesakitan itu?"
"Aku tidak mengharap
bantuan orang lain, aku hanya kuatir orang yang tidak kita ketahui asal-usulnya
ini akan tidak menguntungkan bagi kita."
"Selanjutnya kita harus
lebih hati-hati, tak perlu kau menduga-duga sebelum terbukti."
"Bukan aku terlalu
curiga, kau tidak tahu, tampang orang itu siapapun yang melihatnya akan muak,
jelas dia bukan manusia baik-baik."
Sebetulnya Toan Kiam-ping juga
banyak curiga, tapi mendengar penuturan Siau-ni-cu tanpa terasa dia tertawa
geli, katanya: "Manusia tidak boleh dinilai dari tampangnya, kukira kau
memang terlalu banyak curiga, terlalu prasangka. Sudah jangan berpikir yang
bukan-bukan, sarapan dulu, segera kitapun harus berangkat."
Setelah sarapan pagi, mereka
cemplak kuda melanjutkan perjalanan, kira-kira menjelang tengah hari, dari
kejauhan mereka telah melihat rombongan kereta pesakitan itu, keadaan seperti
kemarin. Sa Thong-hay tetap pegang kendali, Ciok Khong-goan duduk dalam kereta
bersama ayahnya. Huwan bersaudara terpencar di sisi kereta. Ling Suhu berada
paling belakang, seperti kemarin mereka menguntit dalam jarak satu li.
Tak jauh setelah mereka
menempuh perjalanan, tiba-tiba didengarnya suara derap tapal kuda di belakang,
ada seekor kuda mencongklang dari belakang. Waktu Toh Ni menoleh, seketika dia
kaget, teriaknya tertawa: "Aneh."
"Apanya yang aneh?"
Toh Ni jalan berendeng dengan
dia, katanya lirih: "Orang di belakang itu adalah tamu yang tadi pagi
kukatakan, dia berangkat satu jam lebih dini, kenapa sekarang berada di
belakang malah?"
Toan Kiam-ping hendak menoleh,
orang itupun sudah mendekat di belakang mereka. Pada saat itulah, kuda
tunggangan Toan Kiam-ping tiba-tiba berjingkrak-jingkrak sambil
meringkik-ringkik. Kalau Toan Kiam-ping tidak mahir menunggang kuda, tanggung
dia sudah terlempar dari punggung kuda. Tapi kuda tunggangan orang itupun
berjingkrak dan bebenger. Mau tidak mau Toan Kiam-ping heran dibuatnya.
Pada hal dia tahu betul tabiat
kuda putih ini tanpa sebab tak mungkin tiba-tiba dia berjingkrak-jingkrak,
pasti ada sebabnya sehingga dia berjingkrak-jingkrak kesenangan. Diam-diam
tergerak pikiran Toan Kiam-ping: "Layaknya seperti melihat kawan lama
senangnya?" setelah dekat, tampang penunggang kuda di belakang itupun dia
sudah melihat jelas, mau tidak mau hatinya ikut merasa sebal dan kecewa.
Orang itu kira-kira berusia
empat puluhan, mukanya kuning, memelihara kumis pendek, tampangnya yang jelek
memang amat memuakkan seperti yang dilukiskan Siau-ni-cu. Tapi lain dengan
tampang kuda tunggangannya, bukan saja gagah tapi juga perkasa, namun bulunya
kuning, pelana juga biasa, berharga murah.
Setelah beradu muka, tak urung
Toan Kiam-ping mentertawai diri sendiri, pikirnya: "Tadi aku menggoda
Siau-ni-cu, kenapa aku sendiri juga mencurigainya, kuda putih Ciong Bin-siu
sekarang berada di markas Kim-to Cecu yang berjarak ribuan li, mana mungkin
berada disini?" seperti diketahui kuda tunggangan Kanglam Sianghiap yang
laki dan betina itu berbulu putih mulus, tapi kuda tunggangan laki-laki
setengah umur ini berbulu kuning, maka curiga Toan Kiam-ping jelas tidak masuk
alasan.
Orang itu mendekati langsung
menyapa lebih dulu: "Aneh ya, kuda kita ini seperti ada jodoh, coba lihat
mereka seperti kenalan lama yang sudah berpisah sekian lama?" suaranya
sumbang dan mengecil seperti suara seorang banci.
"Iya, ya," ucap Toan
Kiam-ping, "akupun heran. Saudara kau she apa?"
"Aku she Khu. Dan
kau?"
Toan Kiam-ping berpikir:
"Kalau dia sengaja menguntit aku siapa diriku pasti dia sudah tahu,"
maka sejujurnya dia sebut nama aslinya. Ingin dia menyaksikan bagaimana
reaksinya.
Muka orang itu kaku tidak
memperlihatkan perubahan apa-apa, seolab-olah dia tidak kenal siapa sebenarnya
Toan Kiam-ping, katanya tawar: "Selamat bertemu, Toan-heng, kau mau
kemana?"
"Aku suka tamasya
menikmati pemandangan alam, maka seenak dan sesenangku aku pergi kemana saja,
jadi tanpa tujuan pula."
"Agaknya Toan-heng
seorang pecinta alam. Sayang Siaute selalu sibuk dengan pekerjaan, harapanku
melulu mencari sekedar untuk ongkos hidup, tak mungkin menemani saudara
bertamasya. Kudamu dapat lari cepat, boleh silahkan lebih dulu."
"Jangan sungkan,"
kata orang itu, "aku sih tidak perlu buru-buru. Em, kebetulan kita bertemu
di tengah jalan..."
Tak nyana sebelum dia habis
bicara, tiba-tiba Toh Ni menyela: "Kau tidak perlu buru-buru, kami justru
harus lekas menempuh perjalanan, maaf ya, kami berangkat lebih dulu."
Sengaja mereka menikung ke
jalanan kecil untuk menghindari orang itu, dengan tertawa Toh Ni berkata:
"Tanpa mendengar habis perkataannya, aku sudah menduga apa yang bakal dia
katakan. Dia bilang bertemu di tengah jalan segala, tujuannya sudah jelas
adalah ingin berteman dengan kita sepanjang perjalanan. Bila sudah habis
menyatakan maksud hatinya, kurang enak untuk menampiknya. Karena kuatir dia
berbelit-belit, maka buru-buru aku mengajakmu berangkat. Tampangnya yang kaku
pucat seperti mayat hidup kalau tertawa juga tidak bergeming kulit daging
mukanya, suaranyapun sumbang seperti orang banci, aku jadi merinding
dibuatnya."
"Sikap dan tutur katanya
itu kukira sengaja dia lakukan. Wajahnya memang kelihatan kaku dan lesu, namun
sepasang bola matanya ternyata sebening kaca dan bercahaya lagi. Menilai orang
matanya lebih dulu, aku yakin orang itu pasti bukan orang jahat"
"Tadi kau sendiri bilang
menilai orang tidak boleh dari tampangnya, kini melihat sorot matanya kau
lantas berkeyakinan bahwa dia bukan orang jahat, bukankah kaupun menilainya dan
tampangnya?"
"Aku tidak ingin berdebat
dengan kau, yang terang kita sudah tidak campur sama dia, peduli amat dia baik
atau buruk?" pada hal dalam hati dia membatin: "Aneh, sorot matanya
seperti pernah kukenal baik. Tapi bila kuutarakan rasa curigaku, mungkin
Siau-ni-cu akan balik mencemooh aku yang serba curiga pula."
Toh Ni sudah apal jalanan
disini, dia tahu tak jauh di sebelah depan ada sebuah kota kecil, kereta
pesakitan dan rombongan orangnya pasti akan bermalam di kota kecil itu, kalau
tidak mereka harus menempuh perjalanan sejauh empat puluhan li lagi baru akan
tiba di sebuah kota lain yang agak besar.
Maka dia memperhitungkan tepat
waktunya, seperti kemarin, setelah rombongan itu masuk kota dan mendapatkan
sebuah hotel, setengah jam kemudian baru mereka masuk kota dan menginap di
hotel lain. Kota ini sedikit lebih besar dan ramai dari kota yang semalam
mereka menginap, tapi disini juga cuma ada empat hotel, hotel yang dipilih
Siau-ni-cu terletak tak jauh dari hotel yang di tempati rombongan itu.
Toan Kiam-ping minta sebuah
kamar kelas satu kepada pemilik hotel dia berpesan wanti-wanti supaya merawat
dan memberi makan kudanya yang baik, untuk memperoleh pelayanan istimewa dia
menyogok lebih satu tahil perak. Harga pangan dan barang di kota ini cukup
murah, maka setahil perak itu cukup besar artinya.
Setelah terima uang pemilik
hotel tertawa lebar, katanya: "Tuan tak usah kuatir, akan kusuruh orang
khusus mengurusnya. Kecuali kalian hari ini tiada tamu yang datang naik
kuda," belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar derap tapal kuda di
jalan raya, ternyata seorang tamu menunggang kuda berhenti di depan hotelnva.
Karuan Toh Ni membelalakkan
mata dan melongo sekian lamanya, ternyata tamu yang datang ini adalah laki-laki
yang dibencinya itu.
Lekas sekali laki-laki yang
menyebalkan itu sudah beranjak masuk, katanya dengan tawa lebar: "Manusia
hidup dimana saja bisa ketemu, tak nyana disini kita bertemu."
Pemilik hotel segera
menyambut, katanya: '"Kiranya kalian teman yang sudah kenal baik, itu lebih
baik. Kami masih menyediakan sebuah kamar kelas satu, kebetulan untuk tuan,
letaknya sebelah kamar Toan-siangkong."
Dengan tawar Toh Ni segera
menimbrung: "Baru hari ini di tengah jalan tadi kami berkenalan."
Tamu yang mengaku she Khu
berkata: "Baik kamar itu berikan kepadaku," setelah membayar rekening
kamar, dia rogoh pula setahil perak, katanya: "Tiam-keh, tolong kau rawat
baik-baik kudaku itu," seperti apa yang dilakukan Toan Kiam-ping tadi,
diapun memberi pesan dan memberi uang sogok sejumlah yang diberikan Toan
Kiam-ping. Kala itu kuda tunggangan orang itu tengah berhadapan saling gosok
menggosok kepala, sikapnya begitu mesra seperti pasangan saja.
Pemilik hotel tertawa,
katanya: "Seperti majikannya, kuda kalianpun mendapatkan teman juga.
Biasanya kuda yang binal begitu didekati pasti ajak berkelahi, aku yakin kedua
ekor kuda ini akan berkumpul dengan damai, lebih gampang diurus."
Pemilik hotel lalu antar
mereka memasuki kamar masing-masing, kuatir laki-laki sebal ini datang
merecoki, maka dia sengaja berkata kepada pemilik hotel: "Sehari penuh
kami menempuh perjalanan, badan penat, semangat luluh, setelah makan kami akan
tidur. Khu-heng, selamat bertemu besok pagi," lalu dia masuk kamar serta
menutup pintu.
Entah sikap Toh Ni yang kasar
itu membawa reaksi, yang terang laki-laki menyebalkan itu betul-betul tidak
mengganggu mereka lagi. Tak lama setelah makan malam, lapat-lapat Toan
Kiam-ping sudah mendengar dengkur orang di kamar sebelah.
Dengan merendahkan suara Toh
Ni berkata: "Betapapun kita harus hati-hati terhadapnya kukira dia sengaja
hendak memata-matai kita. Bukan mustahil dia pura-pura tidur. Malam ini kita
harus lebih waspada, jangan sampai kecundang tanpa sadar," lalu dia
menambahkan. "Laki memuakkan itu agaknya menaruh perhatian pada kuda
putihmu itu. Heran, kenapa kedua ekor kuda itu kelihatan begitu mesra."
"Malam nanti kau harus
sering memeriksa istal, bukan aku kuatir dia mencuri kuda kita, tapi harus
berjaga-jaga, siapa tahu cakar alap-alap itu mengenali kuda itu dan kemari
memeriksanya."
Toh Ni mengiakan, segera dia
merebahkan diri memupuk semangat mengendorkan urat tanpa terasa waktu sudah
menunjukkan kentongan ketiga. Toh Ni bangun diam-diam lalu keluar memeriksa
istal. Waktu dia lewat belakang jendela di kamar sebelah, didengarnya dengkur
napasnya masih bersuara. Diam-diam dia menggeremet maju serta mengintip kedalam
lewat celah-celah, dilihatnya tiada suatu keganjilan dalam kamar.