28 Teror Macan Putih
1
Angin malam yang berhembus
keras, begitu dingin menggigilkan tulang di sekujur tubuh. Bulan penuh tampak
di langit. Sinarnya yang cukup terang berwarna kuning keperakan, memancar ke
bumi. Suasana malam ini demikian hening dan sepi. Bahkan tak nampak ada
binatang yang bergerak barang seekor pun.
Dalam suasana malam seperti
ini, rasanya orang akan lebih suka tinggal di dalam rumah, berkawan selimut dan
pembaringan. Namun tidak demikian dengan dua orang yang masing-masing berpakaian
serba abu-abu dan merah. Dalam suasana seperti ini, ternyata mereka masih
berada di luar rumah, di atas punggung kuda masing-masing.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
Mereka terus memacu kudanya
tergesa-gesa, melewati jalan tanah berdebu. Berkali-kali pecut mereka
dihantamkan ke bagian belakang binatang tunggangan masingmasing.
Yang berpakaian serba abu-abu
ternyata laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Matanya sipit,
sehingga seperti sebuah garis saja layaknya. Sementara orang yang berpakaian
serba merah, adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya
yang cantik dan manis, semakin bertambah manis dengan dandanan rambutnya yang
dikuncir ke belakang. Apalagi sinar rembulan yang berwarna kuning keemasan
memperjelas keadaan wajahnya. Sehingga, membuat kecantikannya semakin menonjol.
"Apakah mereka tidak akan
mengejar kita, Paman Kusuma?" tanya gadis cantik itu. Kepalanya ditolehkan
ke arah laki-laki berpakaian serba abu-abu, seraya tetap menghentakkan pecutnya
ke bagian belakang kudanya agar binatang itu mampu beriari semakin cepat.
"Mereka pasti akan
mengejar kita, Rara Inggar," sahut laki-laki bermata sipit yang dipanggil
Paman Kusuma seraya tetap memacu kudanya. Raut wajahnya menyiratkan kecemasan
yang amat sangat. Jelas, ada sesuatu yang ditakutinya.
Belum juga ucapan Kusuma
lenyap, terdengar gemuruh langkah kaki kuda di belakang mereka.
"Kau benar,
Paman..!" seru gadis yang ternyata bernama Rara Inggar keras.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Memang, di belakang mereka
dalam jarak sekitar sepuluh tombak, nampak serombongan orang berkuda.
Rata-rata, mereka mengenakan pakaian serba hitam yang pada bagian dadanya
terdapat gambar kepala seekor macan putih.
"Itu mereka...!"
teriak salah seorang dari rombongan yang berkuda paling depan seraya menudingkan
telunjuknya ke arah Kusuma dan Rara Inggar. Dia adalah seorang laki-laki
berwajah bopeng. "Cepat susul mereka sebelum memasuki desa di depan!"
Perintah laki-laki berwajah
bopeng itu membuat anak buahnya berusaha menyusul sekuat tenaga. Maka dengan
sendirinya, pecut mereka pun menghantam bertubi-tubi ke bagian belakang tubuh
binatang tunggangan masingmasing. Akibatnya, kuda-kuda yang merasa kesakitan
itu terpaksa berlari lebih cepat. Maka di malam yang sepi dan hening itu
terjadi kejar-kejaran yang menegangkan. Derap kaki kuda yang bertubi-tubi
menghantam bumi, memecahkan keheningan malam yang sepi.
Kusuma dan Rara Inggar
berusaha memacu kuda secepat mungkin. Pecut dan mulut mereka tak hentihentinya
bekerja dan berteriak dalam upaya mempercepat laju kuda. Tapi hal yang sama
juga dilakukan para pengejar berpakaian hitam di bawah pimpinan laki-laki
berwajah bopeng.
Masing-masing pihak berusaha
sekuat tenaga mengungguli lawan. Dan memang, hasilnya ditentukan kuda
tunggangan mereka. Namun ternyata, kuda orang-orang berpakaian hitam itu begitu
kuat dan memiliki kemampuan lari yang cepat.
Dan kini, sedikit demi sedikit
jarak di antara mereka semakin bertambah dekat. Maka sudah bisa diperkirakan
hasilnya.
Tapi, rupanya laki-laki
berwajah bopeng itu tidak sabar lagi menunggu. Tangan kanannya segera
dimasukkan ke balik baju, sehingga tali kekang kuda itu kini hanya dipegang
tangan kiri. Hanya sabentar saja tangannya masuk ke balik baju, dan begitu
keluar langsung bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring
terdengar seiring kibasan tangan laki-laki berwajah bopeng. Bukan itu saja. Dan
kini beberapa benda berkilatan pun menyambar cepat ke arah sasarannya.
Namun Kusuma dan Rara Inggar
bukan orang bodoh. Meskipun tidak mendengar, tapi dari suara desing tajam
langsung bisa diketahui kalau lawan telah mengirimkan serangan.
Cappp...!
Satu dari sekian banyak pisau
yang dilepaskan laki-laki berwajah bopeng itu ternyata mengenai kaki kuda
Kusuma. Seketika terdengar ringkikan diiringi tersungkurnya kuda ke tanah
bersama tubuh laki-laki bermata sipit itu.
"Paman...!" jerit
Rara inggar kaget.
"Jangan pedulikan aku,
Inggar! Cepat lari!" seruan kecemasan Kusuma telah memaksa Rara Inggar
memacu kudanya kembali.
Tubuh laki-laki berpakaian
abu-abu itu jatuh di tanah. Dan sebelum bangkit berdiri, tangan kanannya
bergerak mengibas. Dan....
Sing, sing, sing. !
Sinar-sinar terang berkilauan
seketika meluncur cepat ke arah gerombolan orang-orang berseragam hitam itu.
“Keparat. !"
Laki-laki berwajah bopeng itu
berteriak memaki melihat serangan benda-benda berkilauan yang tak lain dari
beberapa bilah pisau. Mau tidak mau, hal itu membuat dia dan rombongannya
memperlambat langkah kuda untuk menghadapi serangan.
Beberapa di antara mereka
segera mencabut senjata masing-masing untuk menangkis serangan. Maka suara
berdentang nyaring kontan terdengar ketika senjatasenjata itu beradu.
Lain lagi yang dilakukan
laki-laki berwajah bopeng itu. Serangan pisau itu dihadapinya dengan mengelak.
Tubuhnya dirapatkan dengan punggung kuda, sambil tetap memacu kuda. Tampaknya
serangan pisau itu menuju ke arah dada. Maka, serangan itu pun tewat sejengkal
di atas kepala.
Hanya itu yang sempat dilihat
Rara Inggar. Karena, pecutnya langsung dilayangkan ke arah bagian belakang
tubuh binatang tunggangannya.
Sesak rasanya dada gadis
berpakaian merah itu oleh keharuan menggelegak. Sepasang matanya pun merembang
berkaca-kaca. Ada sedu sedan yang naik ke kerongkongannya, sehingga membuat
suaranya jadi bercampur isak.
"Selamat tinggal,
Paman...'" ucap Rara Inggar.
"Selamat jalan
Inggar...!" balas laki-laki bermata sipit
itu.
Dan saat itulah kuda
tunggangan laki-laki berwajah
bopeng meluncur tiba! Hal ini
membuat Kusuma kaget bukan kepalang. Dengan sebisa-bisanya dia melompat ke
samping kanan untuk menghindari tabrakan kuda itu.
Usaha yang dilakukan Kusuma
memang berhasil. Tapi, kaki lawan tak tinggal diam. Begitu laki-laki berpakaian
abu-abu itu mengelakkan diri, kaki kiri lawan melayang.
Bukkk...!
Keras bukan main tendangan yang
dilancarkan laki-laki berwajah bopeng itu. Tambahan lagi, tendangan itu begitu
telak menghantam perut Kusuma. Akibatnya, tubuh lakilaki bermata sipit itu
terjengkang ke belakang. Keluhan tertahan terdengar mengiringi tersungkurnya
tubuh Kusuma. Suara berdebuk keras kontan terdengar begitu tubuh Kusuma jatuh
di atas tanah.
"Bunuh monyet kecil itu,
sementara yang lain ikut aku!
Kita harus mendapatkan gadis
berpakaian merah itu!"
Tanpa menunggu sambutan rekan
rekannya, laki-laki berwajah bopeng itu telah memacu kudanya. Suara derap kaki
kuda dan debu yang mengepul tinggi ke udara mengiringi kepergian laki-laki
berwajah bopeng itu, untuk menyergap Rara Inggar.
Empat dari belasan gerombolan
berpakaian hitam segera menarik tali kekang kudanya, kemudian berlompatan
mengepung Kusuma. Sedangkan sisanya yang tak kurang dari sepuluh orang,
melecutkan cambuknya, terus mengikuti laki-laki berwajah bopeng itu.
Ctarrr, ctarrr...!
***
Kusuma berusaha keras untuk
bangkit, walaupun rasa sakit dan mual yang amat sangat menyengat perutnya.
Giginya bergemeretak berkali-ka-i menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur
menjadi satu.
Memang, akhirnya laki-laki
bermata sipit itu berhasil bangkit berdiri. Tapi belum bisa berdiri tegak,
empat orang berseragam hitam telah siap menyerangnya.
Srat, srat, srat…!
Sinar-sinar terang berkeredep
ketika tiga orang berpakaian hitam itu mencabut senjata masing-masing. Kini di
tangan mereka telah tergenggam sebilah pedang yang bergagang kepala harimau,
berwarna putih.
"Saat ajalmu sebentar
lagi tiba, Tua Bangka…!" ancam salah satu dari empat orang berpakaian
hitam itu. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
Kusuma berusaha menegakkan
tubuh, tapi ternyata tidak mampu, karena rasa sakit di perutnya. Maka dengan
terbungkuk-bungkuk kakinya melangkah mundur seraya mencabut golok yang
tergantung di pinggang. Srattt..!
"He... he... he...!"
Laki-laki bertubuh pendek
tertawa terkekeh seraya melangkah maju. Jelas, hatinya merasa geli melihat
Kusuma yang hendak mengadakan perlawanan.
"Biar aku saja yang
membereskan keledai ini...!" pinta laki-laki bertubuh pendek itu, sombong.
"Terserah padamu,
Sancang." sahut rekannya yang berkumis tipis seraya mengangkat bahu. Maka
langkah kakinya pun dihentikan.
Hal yang sama ternyata dilakukan
rekan yang lainnya. Mereka pun menghentikan langkahnya pula. Memang, ketiga
orang itu bermaksud membiarkan laki-laki bertubuh pendek yang ternyata bernama
Sancang untuk menyelesaikan lawannya tanpa di bantu.
Kusuma menyipitkan mata untuk
memperjelas pandangannya. Meskipun keadaan tubuhnya belum pulih dan masih
terbungkuk-bungkuk, namun berusaha menguatkan diri kalau nyawanya ingin
selamat. Laki-laki berpakaian abu-abu itu hanya memperhatikan dengan seksama
langkah-langkah Sancang.
Langkah Sancang bergerak
menggeser saat mendekati Kusuma. Kedua telapak kakinya tetap menyentuh tanah.
"Haaat..!"
Begitu jarak mereka telah
dekat, Sancang mulai melancarkan serangan. Pedang di tangannya menusuk cepat ke
arah ulu hati. Kusuma tentu saja tidak sudi membiarkan lawan mengancam
nyawanya. Maka goloknya segera digerakkan untuk menangkis serangan pedang itu.
Trang...!
Bunga api berpijar ketika dua
bilah senjata berbeda itu berbenturan nyaring. Akibatnya tubuh kedua orang itu
sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang. Jelas, tenaga dalam Sancang dan
Kusuma berimbang.
Sancang menggertakkan gigi,
marah karena lawan berhasil memunahkan serangannya. Akibarnya, serangannya pun
membabi buta. Pedang di tangan Sancang berkelebat cepat ke arah lawan.
Membacok, menusuk, dan menyobek. Karuan saja hal itu membuat Kusuma kelabakan.
Dengan susah payah, goloknya dikelebatkan ke sana kemari untuk menjegal setiap
serangan.
Trang, trang, trang...!
Suara dentang senjata beradu
menyemaraki pertarungan yang terjadi. Percikan bunga api pun semakin menambah
riuhnya pertarungan.
Serangan yang dilancarkan
Sancang tampak bertubitubi. Tapi, semuanya berhasil dikandaskan Kusuma.
Walaupun untuk itu, laki-laki berpakaian abu-abu itu harus pontang-panting ke
sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tindakan seperti itu karuan
saja membuat sakit yang mendera Kusuma semakin menjadi-jadi. Begitu menusuk dan
menggigit. Tidak aneh, kalau beberapa kali tubuhnya terbungkuk-bungkuk ketika
mengelakkan serangan. Tak sampai delapan jurus, Kusuma sudah terdesak hebat.
Bahkan beberapa bagian tubuhnya mulai terserempet senjata lawan. Sementara
cairan merah kental pun mulai mengalir dari bagian yang terluka.
Kalau saja Kusuma diberi
kesempatan memulihkan diri, mungkin tidak akan semudah itu Sancang mendesak dan
bahkan membuatnya terluka.
"Hih...!"
Wuttt..! Crottt...!
"Aaakh...!"
Kusuma kontan menjerit keras
ketika pedang Sancang menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung. Darah
segar pun muncrat-muncrat dari bagian yang tertembus pedang.
Sepasang mata laki-laki
bermata sipit itu membelalak menjemput ajal. Golok yang tergenggam pun terlepas
dari cekalan. Dan ketika Sancang menarik pedangnya, tubuh Kusuma pun roboh ke
tanah. Sebentar dia berkelojotan, lalu tewas! "Ha... ha... ha...!"
Tawa bergelak Sancang yang
disusul tawa ketiga rekannya berkumandang memecah keheningan malam. Sebuah tawa
kemenangan.
"Tinggal gadis manis itu
yang menjadi buruan kita...," ujar Sancang dengan dada dibusungkan. Tampak
jelas, dia merasa bangga atas kemenangannya.
"Mudah-mudahan Kang
Jalatang berhasil menangkapnya," harap laki-laki yang berkumis tipis.
Sancang dan kedua orang
rekannya hanya menganggukkan kepala saja, tidak menyambuti ucapan itu.
"Mari kita
menyusulnya," ajak Sancang seraya berjalan meninggalkan tempat itu.
Ketiga rekannya sama sekali
tidak menyahuti ucapan laki-laki pendek itu. Mereka bergegas mengikuti setelah
menyetujui saran rekannya.
"Hih...!"
Hanya dengan menekuk lutut dan
menekan kaki di tanah, tubuh keempat orang itu sudah melesat ke atas. Kemudian,
mereka hinggap di atas punggung kuda masingmasing.
Sancang dan ketiga orang
rekannya mendecak pelan seraya menggeprakkan tali kekang. Sekejap kemudian,
binatang-binatang tunggangan itu pun mulai berpacu cepat.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
***
Sementara itu laki-laki
berwajah bopeng yang dipanggil dengan nama Jalatang, bersama rekan-rekannya
masih sibuk mengejar Rara Inggar.
Sedangkan Rara Inggar terus
memacu kudanya secepat mungkin. Pecut yang tergenggam di tangannya sudah tidak
terhitung lagi yang menyengat bagian belakang tubuh kuda itu. Tak heran kalau
tangannya pun sampai pegal-pegal karenanya. Meskipun begitu, usahanya sia-sia
belaka. Semakin lama jaraknya dengan para pengejar semakin bertambah dekat.
Apalagi kuda lawan jauh lebih unggul dari kudanya. Orang-orang berseragam itu
menggunakan kuda-kuda kuat dan mempunyai kemampuan lari cepat.
Tapi Rata Inggar pantang
berputus asa. Selama masih mampu, dia terus saja berusaha. Dan memang itu yang
dilakukannya. Pecut di tangannya terus saja dilecutkan.
Ctar, ctar, ctarrr...!
Meskipun tidak melihat, tapi
Rara Inggar tahu jarak para pengejarnya semakin bertambah dekat. Dan itu bisa
diketahui dari gemuruh kaki kuda yang semakin keras terdengar di telinganya.
Tak lama kemudian, dua ekor
kuda mulai membarengi kuda Rara Inggar dari sebelah kanan dan kiri. Para
pengejarnya kini mulai menyusul gadis itu.
Bahkan kini, laki-laki
berwajah bopeng yang bernama Jalatang telah mendahului kuda Rara Inggar.
Sementara, kuda temannya bergerak mengikuti. Dan begitu berada beberapa batang
tombak di depan, kedua penunggang kuda itu menarik tali kekangnya.
Diringi ringkikan nyaring,
kedua kuda itu menghentikan larinya. Kedua kaki depan kuda itu terangkat
tinggi-tinggi ke atas.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan kedua orang penunggang kuda itu. Tatkala kuda mereka
berhenti, segera dilbalikkan arahnya. Dan kini, kedua kuda itu berdiri
menghadang jalan.
Rara Inggar terkejut bukan
kepalang melihat hal ini. Tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Apalagi, jalan
tempat para penunggang kuda menghadang adalah sebuah jalan sempit, yang tidak
mungkin dapat dilalui tiga ekor kuda yang berpacu berbarengan. Dengan
sendirinya, gadis itu tidak bisa lagi terus memacu kudanya.
Mau tidak mau, gadis
berpakaian merah itu menarik tali kekang kuda untuk menghentikan lari kudanya.
Disadari kalau kini tidak mempunyai kesempatan lolos lagi. Kanan kirinya adalah
dinding batu yang tinggi, sedangkan di belakangnya telah terdengar gerombolan
pengejarnya yang lain.
Diam-diam Rara Inggar
memaki-maki diri sendiri, yang tadi begitu bodoh. Mengapa jalan sempit yang di
kanan dan kirinya terpampang dinding-dinding batu tinggi menjulang ini yang
dipilihnya.
Tapi nasi telah menjadi bubur,
jadi tidak ada gunanya lagi disesali. Dan itu yang akhirnya disadari Rara
Inggar. Dia tahu, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah menghadapi
pilihannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, gadis
berambut dikuncir itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian
binatang tunggangannya ditambatkan di situ.
Srattt..!
Sinar terang berkeredep ketika
Rara Inggar mencabut pedangnya yang tersampir di punggung.
"Majulah kalian semua,
Iblis Berwajah Manusia...!" tantang gadis berpakaian merah itu lantang.
"Ha ha ha...!"
Jalatang tertawa
terbahak-bahak. Tanpa menghentikan tawanya, laki-laki berwajah bopeng itu
melompat turun dari kudanya. Dituntunnya kuda itu ke pinggir, lalu
ditambatkannya. Hal yang sama dilakukan semua rekan rekannya. Mereka pun
tertawa terbahak-bahak, sehingga malam yang semula hening dan sunyi menjadi
ramai.
"Lucu...! Ada seekor
kelinci berani menantang harimau…! Lucu sekali! Ha... ha... ha...!" kata
Jalatang bernada meremehkan. sambil menuding ke arah Rara Inggar.
"Tidak usah banyak
basa-basi, Muka Bopeng! Majulah kalau berani...!" dengus Rara Inggar
keras.
"Keparat!" bentak
Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu
seketika menghentikan tawanya. Bahkan seri wajahnya pun langsung lenyap,
berganti raut kemarahan. Dengan langkah lebar-lebar, dia maju menghamprri Rara
Inggar. Sepasang matanya nampak menyorotkan ancaman hebat.
"Perempuan liar! Orang
sepertimu harus diberi pelajaran biar kapok!"
Terdengar bergetar suara yang
keluar dari mulut lakilaki berwajah bopeng. Betapa tidak? Karena, ucapan itu
keluar dari hati yang panas terbakar amarah.
"Kau akan kutelanjangi
dan kami perkosa beramairamai sampai mati!" lanjut Jalatang.
*** 2
"Kang...!"
Sebuah seruan kaget terdengar
dari mulut seorang lakilaki berkulit hitam. Raut wajahnya tampak menyiratkan
keterkejutan. Dan perasaan yang sama juga terpampang di raut wajah orang-orang
berseragam hitam yang lainnya. Hanya saja, mereka tidak sampai mengeluarkan
seruan.
Jalatang menoleh ke arah
laki-laki berkulit hitam yang berdiri di belakangnya dengan sinar mata penuh
teguran.
"Kau tidak ingat larangan
ketua?" agak ragu-ragu lakilaki berkulit hitam itu mengeluarkan ganjalan
hatinya, karena tahu kalau Jalatang tidak senang atas tegurannya.
"Hm.... Kalau kalian
tidak membocorkan rahasia ini, aku yakin ketua tidak akan tahu!" kata
Jalatang, enteng. Pandangannya juga beredar merayapi rekan-rekannya.
"Wanita ini telah terlalu menghina. Jadi, harus menerima balasan yang
setimpal! Apa kalian tidak ingin menikmatinya juga?"
“Tapi, Kang…," laki-laki
berkulit hitam masih mencoba membantah. "Bagaimana tugas yang diberikan
ketua kita?" "Itu bisa diurus setelah urusan kita selesai!"
tandas
Jalatang tak sabar.
Laki-laki berkulit hitam itu
pun diam. Dia tahu, Jalatang telah marah sekali. Maka kalau tetap bersikeras,
bukan tidak mungkin laki-laki berwajah bopeng itu akan membunuhnya.
Dengan amarah yang semakin
berkobar, Jalatang kembali membalikkan tubuhnya dan bersiap melaksanakan
maksudnya.
Tapi belum juga sempat
melangkah. Rara Inggar yang sejak tadi mendengar niat busuk Jalatang dan sudah
merasa geram bukan kepalang, langsung melompat menyerang.
Sing...! Suara mendesing
nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang meluncur deras ke
arah leher Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu
kontan terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau gadis berpakaian merah itu
mempunyai gerakan demikian cepat Sehingga, tahu-tahu saja ujung pedang lawan
hampir menembus lehernya.
Tidak ada kesempatan lagi bagi
laki-laki berwajah bopeng ini untuk menangkis serangan itu. Apalagi untuk
mencabut senjatanya. Memang, tibanya serangan itu demikian cepat!
“Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung bersalto di udara sehingga
serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Rara Inggar yang tengah
dilanda kemarahan menggelegak sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu
serangan pertamanya gagal ujung pedangnya terus meluncur deras mengancam
berbagai bagian yang mematikan. Kelebatan pedangnya menimbulkan suara mendesing
nyaring dari udara yang terobek. Tampaknya, serangan itu disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Akibatnya Jalatang harus
berjuang keras menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuhnya terpontang-panting ke
sana kemari, menghindari malaikat maut yang ada di ujung pedang lawannya.
Jalatang sadar kalau tidak ada
bantuan akan tewas di tangan gadis berambut dikuncir itu. Serangan-serangan
yang dilancarkan Rara Inggar terlalu gencar, susulmenyusul seperti gelombang
laut. Bahkan tidak memberinya kesempatan sama sekali. Jangankan untuk balas
menyerang, mengelak saja sulit bukan main!
Sebuah keuntungan ada di pihak
Jalatang. Rekanrekannya rupanya mengetahui kesulitan yang dihadapinya. Itulah
sebabnya, sebelum hal terburuk terjadi pada dirinya rekanrekannya segera
meluruk membantu.
Suara-suara mendesing diikuti
berkeredepnya sinarsinar menyilaukan dari senjata-senjata yang berkelebat
menuju ke berbagai bagian tubuh, membuat Rara Inggar menghentikan desakannya
pada Jalatang.
Sing...! Suara mendesing
nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang meluncur deras ke
arah leher Jalatang.
"Hih...!" sambil
menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung melompat,
sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Orang-orang berseragam hitam
bergambar kepala macan putih di bagian dada, terperanjat ketika merasakan
tangan yang menggenggam senjata terasa lumpuh. Akibatnya, senjata-senjata yang
digenggam pun terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Bukan hanya itu saja. Tanpa
dapat dicegah, kaki mereka pun terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini membuat
orang-orang berseragam hitam itu sadar. Ternyata Rara Inggar bukan lawan
sembarangan.
Meskipun akibatnya cukup
mengejutkan, tapi dari usaha yang mereka lakukan membuat Jalatang lolos dari
ancaman maut.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, laki-laki berwajah
bopeng itu mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Hhh...!"
Jalatang menghela napas lega
ketika menyadari ancaman maut yang sejak tadi memburunya telah lenyap. Dengan
punggung tangan, dihapusnya peluh yang membasahi kening. Peluh yang timbul
karena perasaan tegang yang memuncak!
"Minggir semua...!"
teriak Jalatang keras. "Biar aku yang menghadapinya!"
Srattt..!
Begitu golok keluar dari
warangkanya, laki-laki berwajah bopeng itu langsung memutar-mutarnya di depan
dada. Sehingga, suaranya terdengar nyaring. Lalu....
"Haaat..!" Diawali
jeritan melengking nyaring, Jalatang menyerang Rara Inggar. Golok di tangannya
meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
Rara Inggar yang memang sudah
bersiap sejak tadi, langsung menyambutnya. Pertarungan sengit dan matimatian
pun tidak bisa dielakkan lagi.
***
Memang hebat pertarungan yang
terjadi antara dua orang yang ternyata sama-sama lihai itu. Gerakan mereka
sama-sama cepat, sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan merah dan
hitam saling belit dan saling pisah.
Orang-orang berpakaian hitam
itu sampai menyipitkan mata untuk dapat melihat lebih jelas pertarungan yang
terjadi. Tapi, tetap saja mereka tidak mampu. Gerakangerakan Rara Inggar dan
Jalatang terlalu cepat untuk dapat dilihat mata biasa.
Kini tubuh Jalatang dan Rara
Inggar telah terbungkus gulungan sinar senjata masing-masing. Jalatang
diselimuti gulungan sinar putih goloknya, sedangkan Rara Inggar gulungan sinar
kuning pedangnya.
Semula gulungan pedang itu
sama-sama lebar. Tapi menginjak jurus ketiga puluh, gulungan sinar putih mulai
menyempit. Sebaliknya, gulungan sinar kuning yang semakin melebar. Melihat hal
ini saja, bisa dipastikan kalau Jalatang terdesak. Dan ini membuat orang orang
berpakaian hitam terkejut bukan kepalang. Jalatang, di perguruan mereka adalah
seorang kepala kelompok yang membawahi dua belas orang yang rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi. Tapi kini menghadapi Rara Inggar saja, ternyata
terdesak. Jelas, kepandaian gadis berpakaian merah itu lebih tinggi dari pada
Jalatang.
"Hih...!”
Pedang Rara Inggar meluncur
cepat ke arah leher Jalatang. Karuan saja serangan itu membuatnya terkejut
bukan kepalang. Apalagi saat itu baru saja mengelakkan serangan sebelumnya.
Bahkan kedudukannya dalam keadaan tidak memungkinkan. Maka terpaksa goloknya
digerakkan untuk menangkis.
Trang...!
Jalatang meringis ketika
tangan kanannya dira seakan kesemutan akibat benturan dua senjata itu. Dan
belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, kaki kanan gadis berambut dikuncir itu telah
terlebih dahulu melesat ke arah pangkal paha kirinya.
Bukkk! "Akh...!”
Keluhan tertahan keluar dari
mulut Jalatang ketika tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di
tanah. Sekujur kakinya terasa lumpuh! Memang, keras sekali tendangan yang
dilancarkan Rara Inggar. Apalagi mendarat secara telak ke sasaran.
Dan rupanya Rara Inggar tidak
mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pedangnya segera ditusukkan ke arah tubuh
lawan yang berada di tanah.
Tapi walaupun sebelah kakinya
lumpuh, Jalatang masih sanggup membuktikan kelihaiannya. Karena untuk melompat
sudah tidak mungkin lagi, maka tubuhnya segera bergulingan di tanah. Hasilnya,
serangan pedang Rara Inggar hanya mengenai angin.
Karuan saja hal ini membuat
gadis berpakaian merah ini semakin bertambah geram. Tubuh yang bergulingan itu
terus saja dihujani dengan tusukan-tusukan pedangnya.
Walaupun berada dalam keadaan
mengkhawatirkan, tapi karena memang telah terbiasa berhadapan dengan maut,
pikiran Jalatang tetap jernih. Sambil terus berguling, pikirannya bekerja keras
untuk menyelamatkan diri. Lakilaki berwajah bopeng itu sadar kalau dirinya
tidak bisa terus-menerus mengelak. Memang, sampai saat ini masih berhasil
mengelak. Tapi sampai berapa lama keberuntungan itu tetap berpihak padanya.
Bukan hanya Jalatang saja yang
mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Rekan-rekannya yang sekaligus juga anak
buahnya pun merasa khawatir melihat keadaan lakilaki berwajah bopeng itu.
Mereka ingin membantu, tapi khawatir Jalatang akan marah. Memang, tadi pimpinan
mereka itu telah mengatakan akan menghadapi Rara Inggar seorang diri!
Pada satu kesempatan sambil
menggulingkan tubuh menghindari serangan, Jalatang mengibaskan tangannya. Dan…
Brrr...!
Segumpal abu berhamburan ke
arah wajah Rara Inggar. Karuan saja hal
ini membuatnya gelagapan. Maka buru-buru matanya dipejamkan untuk menghindari
masuknya debu itu ke mata. Dengan sendirinya, serangannya kontan terhenti.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu tidak disia-siakan Jalatang. Tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu
tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya meluncur cepat ke arah dada Rara
Inggar.
Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Rara Inggar terjengkang
ke belakang. Darah segar langsung mengalir deras dari mulutnya. Tampaknya gadis
berpakaian merah ini terluka dalam. Memang, tendangan yang dilancarkan Jalatang
dikeluarkan lewat pengerahan seluruh tenaga dalam. Tambahan lagi, tendangan itu
mengenai sasaran secara telak.
Dengan suatu pijakan dari
kedua tangan yang jarijarinya saling dipertemukan, Jalatang melesat mengejar
tubuh Rara Inggar yang masih terjengkang. Dengan jari telunjuk menegang lurus,
dan jari-jari lainnya mengepal, dilancarkannya totokan ke arah leher gadis
berpakaian merah itu.
Tukkk...!
Seketika itu juga tubuh Rara
Inggar ambruk ke tanah dengan sekujur tubuh lemas ketika totokan jari tangan
Jalatang mengenai jalan darah di lehernya. "Hup...!"
Pada saat tubuh Rara Inggar
jatuh di tanah, Jalatang pun berhasil mendarat, gerakannya ringan, dan hampir
tidak menimbulkan suara. Tapi meskipun begitu, tampak jelas seringai pada
mulutnya. Rupanya tendangan Rara Inggar masih terasa olehnya.
Rara Inggar hanya mampu
menatap dengan perasaan ngeri ketika Jalatang benalan menghampirinya. Lehernya
yang tertotok terasa sakit bukan kepalang. Sehingga, membuat seluruh tubuhnya
lemas dan tak mampu digerakkan.
"Sekarang kau akan
menerima pembalasan dariku, Wanita Sial!" desis Jalatang penuh ancaman,
sambil terus melangkah lambat-lambat. Hal itu memang disengaja agar lebih
menimbulkan kegelisahan pada Rara Inggar.
Wajah Rara Inggar seketika
memucat. Perasaan takut yang amat sangat telah melanda hatinya ketika menyadari
bahaya mengerikan yang akan menimpa. Ingin rasanya bergerak, dan melawan
mati-matian. Tapi apa daya? Jangankan melawan, menggerakkan ujung jemarinya saja
tidak mampu! Seluruh tubuh gadis itu lemas bukan main. Belum lagi ditambah luka
dalamnya, akibat tendangan lawan.
Ternyata ketegangan bukan
hanya melanda hati Rara Inggar, tapi juga semua orang yang mengenakan pakaian
hitam. Mereka tahu, pimpinan kelompok mereka itu akan berbuat senonoh dan bakal
tidak diampuni ketua perguruan. Memang diakui, sebenarnya mereka ingin juga
merasakan kemolekan tubuh gadis itu. Tapi keinginan itu dikalahkan rasa takut
akan hukumannya.
Namun demikian, perasaan
seperti itu tidak melanda Jalatang. Yang ada di benaknya hanya bayangan tubuh
molek dan montok menggiurkan milik Rara Inggar. Tak ada yang lain. Dan begitu
telah berada di dekat tubuh Rara Inggar yang tergolek lemah, Jalatang
berjongkok. Tangannya pun langsung dijulurkan.
Brettt..! Suara kain robek
terdengar ketika Jalatang menggerakkan tangannya merenggut pakaian Rara Inggar,
mulai dari leher sampai ke perut.
Jalatang menelan ludah melihat
pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Deru napasnya memburu hebat
seperti orang tengah berlari jauh.
Bukan hanya Jalatang saja yang
terpengaruh. Belasan pasang mata orang berpakaian hitam yang lain pun tertuju
ke sana. Jakun mereka turun naik, membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
Sementara pandangan mereka pun tak ubah nya seperti serigala lapar melihat
seekor anak domba gemuk!
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Jalatang langsung menubruk tubuh Rara Inggar. Namun belum juga niatnya
tersampaikan, mendadak...
"Hekh...!"
Jerit terputus keluar dari
mulut Jalatang begitu ada sebuah benda yang menahannya, saat hendak menindih
tubuh Rara Inggar. Benda itu melilit lehernya, sehingga napasnya tersumbat.
Tanpa melihat pun, Jalatang sudah bisa memperkirakan sesuatu yang menjerat
lehernya.
Sadar akan keadaannya yang
berbahaya, Jalatang buru-buru menggerakkan tangan ke sela-sela tambang yang
melilit lehernya. Karena bila pemilik tambang menyentakkan, dia akan mati
tercekik!
Dugaan laki-laki berwajah
bopeng ini ternyata tidak meleset. Baru juga kedua tangannya menyelinap di
selasela tambang dan leher, si pemilik tambang sudah menggerakkan tangan
menyentak.
Jalatang memang tidak melihat
pemilik tambang, karena arah luncuran tubuhnya ke belakang. Dan itu berarti si
pemilik tambang ada di belakangnya.
Keras bukan main tenaga sentakan
itu. Meskipun Jalatang telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja tubuhnya
tersentak ke belakang.
Tapi, lagi-lagi Jalatang
membuktikan kalau tidak mudah dipecundangi. Ketika tubuhnya tengah melayang di
udara, tangan kanannya mencabut golok yang tadi telah dimasukkan kembali dalam
sarungnya di pinggang. Sedangkan tangan kirinya tetap memegangi tambang yang
membelit lehernya. Langsung saja goloknya dikibaskan ke arah belakang.
Tasss...!
Tambang itu kontan putus. Tapi
meskipun begitu, tetap saja tubuh Jalatang melayang ke belakang karena pengaruh
tenaga sentakan tadi.
"Hup...!"
Meskipun agak
terhuyung-huyung, laki-laki berwajah bopeng itu berhasil juga mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Langsung saja tubuhnya dibalikkan, bersiap menghadapi pemilik
tambang.
Dalam jarak sekitar dua tombak
di hadapan Jalatang, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Jubahnya berwarna
biru, dan pakaian dalamnya berwarna abu-abu. Tubuhnya kekar. Rambutnya yang
panjang dan hitam diriap ke belakang.
"Siapa kau, Keparat! Sungguh
berani mati mencampuri urusan Gerombolan Macan Putih!" gertak Jalatang.
"Hm... jadi kalian
Gerombolan Macan Putih yang terkenal itu?! Ingin aku menjajalnya!" tantang
pemuda berjubah biru setelah melepaskan senyum mengejek.
"Keparat! Kau mencari mampus
sendiri, Pemuda Tak Tahu Diri! Hiyaaat..!"
Diawali sebuah jeritan
melengking nyaring, Jalatang melompat menerjang pemuda berjubah biru itu. Golok
di tangannya meluncur cepat, membacok ke arah kepala dari atas ke bawah.
Rupanya tubuh lawannya ingin dibelahnya menjadi dua bagian yang sama.
"Hmh...!"
Pemuda berjubah biru itu hanya
mendengus. Dibiarkan saja serangan yang mengancamnya. Baru setelah dekat,
tangan kirinya diangkat ke atas. Jari tengah dan telunjuknya ditudingkan
membentuk celah. Sedangkan jari-jari
yang lainnya menekuk. Tappp..!
Golok di tangan Jalatang
berbenturan dengan dua jari tangan pemuda berjubah biru. Hebatnya, jari tangan
itu tidak putus. Padahal, babatan golok itu cukup mampu untuk membelah batu
yang paling keras sekalipun!
Bukan hanya itu saja. Kedua
jari tangan pemuda berjubah biru lalu bergerak menjepit, sebelum Jalatang
sempat menarik goloknya kembali.
Jalatang terkejut bukan
kepalang. Sekuat tenaga goloknya berusaha ditarik kembali. Tapi sampai
terdengar mulutnya menggeram, tetap saja goloknya yang terjepit tidak
bergeming. Seolah-olah, yang menjepit golok Jalatang itu adalah jepitan baja!
Rupanya Jalatang bukan
termasuk orang yang mudah menyerah. Dia tetap saja berusaha menarik kembali
senjatanya. Dihirupnya napas dalam-dalam, untuk mengumpulkan semua tenaga dalam
di kedua tangannya. Lalu, kembali diusahakannya menarik senjata itu kembali.
Wajah Jalatang jadi merah
padam karena mengerahkan tenaga dalam sampai melewati batas. Di lain pihak,
pemuda berjubah biru itu masih tetap berdiri tenang. Kedudukan kakinya tidak
menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga. Begitu juga, pada tangan dan
wajahnya. Semua terlihat biasa saja.
"Hmh...!"
Kembali pemuda bertubuh kekar
berotot itu mendengus. Dan begitu dengusannya lenyap, kedua jari tangannya
bergerak menekuk.
Takkk!
Mata golok itu kontan patah.
Akibatnya, Jalatang yang saat itu tengah mengerahkan tenaga dalam sekuatnya
untuk membetot, jadi terjengkang ke belakang.
Tindakan pemuda berjubah biru
itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Di saat tubuh lawan tengah
terjengkang, tangan kanannya dikibaskan.
Sing...!
Suara mendesing nyaring
terdengar ketika patahan mata golok yang tadi tertinggal di jepitan jarinya
melesat cepat, laksana anak panah lepas dari busur.
Cappp...! "Akh...!"
Jalatang memekik kesakitan
ketika patahan golok itu mengenai sambungan bahunya. Cairan merah kental kontan
mengalir dari bagian yang terhunjam patahan
golok.
Tapi Jalatang benar-benar
orang yang pantang menyerah Dia tahu, pemuda berjubah biru itu memiliki
kepandaian lebih tinggi darinya. Maka tangannya segera diusapkan ke arah rekan
rekannya.
"Bunuh pemuda keparat
itu!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, belasan orang berpakaian hitam itu meluruk cepat ke arah pemuda bertubuh
kekar berotot. Senjata-senjata yang memang sejak tadi tergenggam, diayunkan ke
arah berbagai bagian tubuh pemuda berjubah biru itu.
*** 3
Sambil menggertakkan gigi
Jalatang mencabut patahan golok yang menghunjam tulang bahunya. Mulutnya sampai
meringis menahan sakit ketika patahan golok itu dicabut.
Memang, untuk sementara
Jalatang bisa tenang, karena pemuda berpakaian biru itu kini tengah dikeroyok
rekan-rekannya.
Begitu patahan golok itu
berhasil dicabut, laki-laki berwajah bopeng itu langsung menotok jalan darah di
sekitar luka untuk mencegah darah yang terus mengalir. Setelah itu, baru
kepalanya ditolehkan menatap pemuda berjubah biru yang dikeroyok
rekan-rekannya. Kontan sepasang matanya terbelalak.
Tampak pemuda berjubah biru
itu hanya mengibasngibaskan tangan secara sembarangan saja. Hasilnya, tubuh
orang-orang berpakaian hitam itu berpentalan tak tentu arah sebelum berhasil
mencapai tubuh lawan.
Memang, dari kibasan kedua
tangan pemuda bertubuh kekar berotot itu keluar angin keras, sehingga mampu
membuat orang yang memiliki tenaga dalam tanggung akan terjengkang tak karuan.
Jalatang menggeram ketika
melihat semua rekannya bergeletakan di tanah. Kemudian sambil mengeluarkan
pekikan nyaring, kembali dilancarkan serangan dengan goloknya yang tinggal
sepotong itu.
Laki-laki berwajah bopeng itu
melompat ke atas. Dan dari atas, tubuhnya meluruk ke bawah. Dan laksana burung
garuda hendak menerkam mangsa, tubuhnya meluncur sambil mengarahkan goloknya ke
ubun-ubun lawan.
"Hmh...!"
Lagi-lagi pemuda berjubah biru
itu hanya mendengus. Tanpa menggeser kedudukan kaki, tangan kanannya diulurkan
Luar biasa! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pergelangan tangan kanan
Jalatang telah berhasil dicekalnya. Dan sekali pemuda bertubuh kekar berotot
itu bergerak membetot, tubuh Jalatang tertarik ke bawah, dan jatuh keras di
tanah.
Keras bukan main betotan
pemuda bertubuh kekar berotot itu. Sehingga sambungan pergelangan bahu Jalatang
sampai terlepas.
Laki-laki berwajah bopeng itu
meringis kesakitan. Dan belum lagi rasa sakit itu lenyap, tangan pemuda
berjubah biru yang masih mencekal pergelangan tangan Jalatang bergerak meremas.
Krrrkkk...!
Terdengar suara gemeretak dari
tulang tulang yang hancur!
Jalatang menggigit bibirnya
kuat-kuat sampai berdarah untuk mencegah keluarnya jerit kesakitan. Peluh
sebesar biji jagung bermunculan di selebar wajahnya.
Saat itu, pemuda berjubah biru
baru melepaskan cekalannya. Karuan saja, Jalatang yang tengah menderita rasa
sakit yang amat sangat tidak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dan jatuh
bertutut di tanah. Dan untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berwajah bopeng
ini meringis kesakitan karena kedua lututnya berbenturan dengan tanah.
"Pergilah...!"
Pemuda berjubah biru langsung
mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, muncul angin keras yang membuat tubuh
Jalatang terpental jauh dan terguling-guling di tanah. Dan begitu kekuatan yang
membuat tubuhnya terlempar lenyap, Jalatang merangkak bangun.
Keadaan laki-laki berwajah
bopeng ini sangat menyedihkan. Untuk bangkit saja hampir tidak mampu. Untung
rekan-rekannya bergegas menghampiri dan membantunya berdiri.
Setelah melempar tatapan penuh
dendam pada pemuda berjubah biru, lelaki berwajah bopeng itu lalu melangkah
meninggalkan tempat itu dengan dipapah dua rekannya. Dia juga dibantu untuk
menaiki punggung kudanya.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
Gerombolan Macan Putih itu
menggeprakkan tali kekang kudanya seraya mendecak pelan. Perlahan kudakuda itu
bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Mula-mula lambat, tapi beberapa
tombak kemudian mulai cepat dan semakin cepat. Sesaat kemudian, kuda-kuda itu
telah lenyap meninggalkan kepulan debu tebal di udara.
Setelah kuda-kuda itu lenyap
dari pandangan, baru pemuda berjubah biru itu mengalihkan perhatiannya pada
Rara Inggar yang masih tergolek lemas di tanah.
Sementara Rara Inggar hanya
memperhatikan tindak tanduk pemuda bertubuh kekar itu penuh selidik. Namun
perasaan cemas bergayut di hatinya, karena khawatir kalau pemuda berjubah biru akan berbuat tidak
patut seperti halnya Jalatang.
Pemuda berjubah biru itu
mengibas-ngibaskan kedua tangannya secara sembarangan. Perlahan saja
kelihatannya tapi akibatnya berhembus angin cukup keras ke arah Rara Inggar.
Sekejap kemudian, bagian tubuh gadis itu yang tadi terbuka, telah tertutup
kembali.
Kemudian, pemuda bertubuh
kekar itu melangkah mendekati Rara Inggar. Dia lalu berjongkok ketika telah
berada di dekat gadis berpakaian merah itu. Tangannya diulurkan, untuk menepuk
beberapa bagian tubuh Rara Inggar. Seketika jalan darah gadis itu yang tadi
tersumbat kini lancar kembali. Dengan sendirinya, anggota tubuhnya mampu
digerakkan kembali.
Setelah membebaskan totokan
Rara Inggar, pemuda berjubah biru itu lalu bangkit berdiri dan membalikkan
tubuhnya. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rara Inggar
untuk memperbaiki pakaiannya yang koyakkoyak.
"Terima kasih atas
pertolongan, Kisanak," ucap gadis berpakaian merah itu setelah merapikan
keadaannya kembali.
"Lupakanlah...,"
pemuda bertubuh kekar berotot itu mengulapkan tangannya.
"Maaf. Aku ingin
menyembuhkan luka dalamku dulu…," pinta Rara Inggar lagi.
Memang, ada rasa nyeri yang
menyengat dadanya ketika tadi menarik napas. Hal ini menjadi pertanda kalau
dirinya telah terluka dalam.
"Silakan…," sahut
pemuda berjubah biru mempersilakan.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Rara Inggar segera menolehkan kepala ke sana kemari untuk mencari tempat
yang terlindung. Baru ketika menemukan tempat, kakinya melangkah ke sana.
Gadis berpakaian merah itu
langsung duduk bersila. Jarijari kedua tangannya yang terbuka lurus
dipertemukan di depan dada. Punggungnya pun ditegakkan. Sesaat kemudian, dia
sudah tenggelam dalam semadinya.
***
"Mengapa Gerombolan Macan
Putih sampai bisa berurusan denganmu, Nisanak?” tanya pemuda berjubah biru itu
setelah Rara Inggar selesai bersemadi. Memang, bagi orang yang telah mempunyai
tenaga dalam cukup tinggi bukan hal yang aneh untuk mengobati luka dalam dengan
semadi.
Rara Inggar menggelengkan
kepala.
"Kau tidak tahu?!"
desak pemuda berjubah biru itu. Ada nada ketidak percayaan dalam pertanyaannya.
"Aku benar-benar tidak
tahu," tegas gadis berambut dikuncir itu. "Yang kutahu, orang-orang
yang menamakan diri Gerombolan Macan Putih datang menyerbu perguruan ayahku.
"
Sampai di sini, ucapan Rara
Inggar terhenti. Sepasang matanya nampak berkaca-kaca. Wajahnya pun berubah
mendung. Jelas, hatinya tengah dilanda kesedihan. "Hm... lalu..?"
selak pemuda berjubah biru yang tidak sabar menunggu tertalu lama.
“Tentu saja, ayah dan
murid-muridnya tidak bisa berdiam diri. Mereka pun mengadakan perlawanan…,”
sambung Rara Inggar di sela-sela isaknya. "Tapi, perlawanan mereka
sia-sia. Gerombolan itu ternyata memiliki banyak tokoh berkepandaian tinggi.
Sehingga, tanpa menemui kesulitan perlawanan ayah dan murid-murid perguruan kami
dipatahkan."
Kembali gadis berpakaian merah
itu menghentikan ceritanya. Dibersihkannya cairan yang memenuhi hidung, karena
perasaan sedih yang melanda Rara Inggar pun berdehem untuk mengembalikan
suaranya yang tercekat di tenggorokan.
“Rupanya mereka memendam
dendam hebat. Semua yang ada di Perguruan Hati Naga milik ayahku, dibantai.
Tidak saja manusia, binatang-binatang peliharaan kami pun dibantainya. Mereka
bukan manusia! Tapi, iblis!"
Rara Inggar menghentikan
ceritanya sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu hebat karena pengaruh
amarah yang menggelegak dalam dada.
"Jadi, ayahmu juga
tewas?!"
"Ya. Begitu pula dengan
ibuku. Lawan yang mereka hadapi terlalu lihai. Ayah menghadapi seorang yang
bercelana putih. Di dadanya terdapat gambar kepala seekor macan putih. Sayang,
wajahnya tidak jelas karena dipenuhi coreng-moreng aneh, dan bulu-bulu yang
membuat tampangnya mirip seekor macan. Tapi kalau menilik tubuhnya, aku yakin
dia tidak terlalu tua. Apalagi, tubuhnya terlihat kekar dan berotot!"
"Kalau lawan ibumu"
tanya pemuda berjubah biru itu lagi. Nada suaranya juga menyiratkan
keingin-tahuannya yang mendalam.
Rara Inggar menarik napas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Kalau orang yang
berhadapan dengan ibuku, bisa dikenali. Dia seorang wanita berusia sekitar lima
puluh tahun. Pakaiannya dari kulit macan putih, dan bergambar kepala seekor
macan putih besar di bagian dada. Seperti juga orang yang melawan ayahku,
wajahnya juga penuh coreng-moreng dan bulu-bulu halus. Sehingga, membuat
wajahnya mirip seekor macan," jelas gadis berpakaian merah itu.
"Hm.... Mungkin kedua
orang itu pemimpinnya," tebak pemuda berpakaian biru itu.
"Aku pun menduga
demikian...," sambut Rara Inggar cepat
"Lalu... kenapa kau berada
di sini?!"
"Itulah yang
kusesalkan," keluh Rara Inggar. "Sebelum ikut terjun menghadapi
musuh, ayah berpesan kalau keadaan tidak memungkinkan. Maka aku disuruh pergi
ke suatu tempat bersama Paman Kusuma.... Tapi di perjalanan, kami dihadang
Gerombolan Macan Putih. Bahkan Paman Kusuma berhasil dirobohkan. Yahhh...!
Nasibnya sudah bisa kuduga!"
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Rara Inggar menghentikan ceritanya.
"Aku juga telah mendengar
berita tentang Gerombolan Macan Putih, yang konon tidak pernah terkalahkan.
Mungkin benar katamu kalau mereka
memendam dendam. Karena sepanjang yang kudengar, mereka tidak pernah
membunuhi binatang-binatang," pemuda berjubah biru mengernyitkan
keningnya. "Apakah orang tuamu mempunyai musuh?"
Rara Inggar menggelengkan
kepala.
"Cobalah ingat-ingat
Nisanak.... Aku yakin perlakuan Gerombolan Macan Putih ini mempunyai latar
belakang....
Mungkin saja, guru, kakak,
atau ayah kedua pemimpin gerombolan itu tewas di tangan orang tuamu atau kakek
gurumu. "
"Ah! Kau benar!"
sentak Rara Inggar tiba-tiba. Nada keterkejutan tampak jelas, baik pada wajah
mau pun nada suaranya. "Jadi... orang tuamu benar telah membunuh orang
yang mempunyai hubungan dengan pemimpin Gerombolan Macan Putih?!"
Rara Inggar menggelengkan
kepala.
"Hm…. Lalu?" wajah
pemuda bertubuh kekar itu seketika berubah.
"Aku sempat mendengar
ucapan wanita yang melawan ibuku karena bicaranya jelas sekali. "
"Apa yang
diucapkannya?" tanya pemuda berjubah biru penuh perhatian.
Rara Inggar tercenung sejenak
untuk mengingat-ingat ucapan yang sempat didengarnya.
"Dia mengatakan kalau
ayah dan ibuku mendapat kehormatan menjadi korban awal pembalasan dendam orang
yang berjuluk Raja Ular Pelenyap Sukma!" ucap Rara Inggar.
"Raja Ular Pelenyap
Sukma. ," ulang pemuda berjubah
biru itu pelan. Dahinya tampak
berkernyit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.
"Kau mengenalnya, Ki, eh!
Ng. , Kisanak?" tanya Rara
Inggar agak bingung karena
belum mengenal nama pemuda bertubuh kekar itu.
Rupanya pemuda berjubah biru
itu tidak mengetahui kebingungan gadis itu saat ingin menyebut namanya Buktinya
dia tetap tidak memperkenalkan nama. Hanya kepalanya saja yang digelengkan
untuk menanggapi pertanyaan Rara Inggar.
"Mengenalnya sih, tidak.
Tapi julukannya pernah kudengar."
"Ah! Kau benar. !"
sentak Rara Inggar mendadak. "Ya!
Aku juga telah pernah
mendengar julukan itu, Raja Ular Pelenyap Sukma! Seorang tokoh sesat yang
mengerikan, dan pernah merajalela di dunia persilatan tanpa ada seorang pun
yang bisa menghalangi sepak terjangnya. "
"Benar! Aku pun
mendengarnya demikian," sambut pemuda bertubuh kekar. "Apakah kau
tahu cerita selanjutnya?" Rara Inggar menganggukkan kepala.
"Ya. Ibu telah
menceritakannya padaku."
"Bisa kau ceritakan
padaku?" pinta pemuda berjubah biru.
“Tentu saja!" sahut Rara
Inggar semangat. "Menurut cerita ibuku, sepak terjang Raja Ular Pelenyap
Sukma itu sangat sewenang-wenang. Tidak terhitung orang yang sudah menjadi
sasaran tindak kejahatannya."
Rara Inggar menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Merasa tidak ada orang
yang berani melawannya lagi, tindakan Raja Ular Pelenyap Sukma semakin
menggiriskan saja. Sampai akhirnya, dia membunuh seorang pendekar muda yang
menjadi anak kakek guruku. "
Kembali Rara Inggar
menghentikan ceritanya sejenak untuk memberi kesempatan. Barangkali saja pemuda
bertubuh kekar itu akan mengutarakan sesuatu. Karena pemuda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi setelah ditunggu beberapa saat tidak
nampak adanya tanda-tanda kalau dia akan mengatakan sesuatu.
"Kakek guruku marah bukan
main, karena yang dibunuh adalah anak satu-satunya. Tapi karena sudah tidak
ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dia mencoba bersabar.
Murid-muridnya pun dilarang mengadakan pembalasan."
"Hm.. berita yang
kudengar tidak seperti itu," sergah pemuda bertubuh kekar. "Kudengar,
Raja Ular Pelenyap Sukma tewas secara menyedihkan di tangan kakek gurumu!"
"Sabar dulu! Aku kan,
belum selesai!" selak Rara Inggar cepat.
Pemuda berjubah biru itu pun
terdiam.
Tak lama kemudian, nenek
guruku sakit keras karena rasa sedih akibat meninggalnya anak satu-satunya.
Tidak ada lagi harapan untuk sembuh karena dia memang tidak ingin berharap
untuk kesembuhan. Usia tua, rasa sedih, dan ketidak inginan untuk sembuh,
semakin menambah parah sakitnya.”
Rara Inggar menelan ludah
untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena terlalu banyak bercerita.
"Sebelum meninggal, dia
mempunyai sebuah permintaan agar tidak penasaran. Beliau ingin agar kematian
anak tunggalnya dapat terbalaskan Raja Ular Pelenyap Sukma harus ikut pergi ke
alam baka! Tidak ada pilihan lagi bagi
kakek guruku. Dia pun kembali terjun dalam dunia persilatan untuk mencari Raja
Ular Pelenyap Sukma. Ketika bertemu, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Melalui pertempuran yang sengit dan mati-matian, kakek guruku berhasil
membinasakan Raja Ular Pelenyap Sukma. Hingga akhirnya, nenek guruku dapat mati
dengan senyum di bibir…," Rara Inggar menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening ketika
Rara Inggar menghentikan ceritanya. Apalagi, pemuda berjubah biru juga tidak
berkatakata.
"Kurasa teka-teki telah
terjawab..," kata Rara Inggar, kembali memecahkan kehenungan di antara
mereka.
"Teka-teki...?"
pemuda berpakaian biru mengernyitkan dahi.
"Ya. Teka-teki yang
menyebabkan Gerombolan Macan Pulih begitu keterlaluan membasmi Perguruan Hati
Naga Sudah bisa ditebak, dua orang pimpinan Gerombolan Macan Putih mempunyai
hubungan dengan Raja Ular Pelenyap Sukma. Karena kakek guruku telah tiada,
pasti
dendam itu dilimpahkan pada
murid-muridnya "
"Jadi kakek gurumu banyak
mempunyai murid?" tanya pemuda berjubah biru itu.
Rara Inggar mengangguk.
"Kakek guruku mempunyai
empat orang murid. Satu di antaranya adalah wanita, yang kemudian menjadi
ibuku. Sedangkan ayahku, juga salah satu dari empat murid itu," jawab Rara
Inggar.
"Berarti... kau masih
mempunyai dua orang paman guru, Nisanak?" Rara Inggar mengangguk.
"Pasti kau akan menuju ke
sana...," duga pemuda berjubah biru itu.
"Musibah ini harus
kuberitahukan kedua paman guruku. Sekaligus, aku hendak memberitahu kemungkinan
Gerombolan Macan Putih akan menyerbu tempat mereka. Aku yakin, lama-kelamaan
Gerombolan Macan Putih akan menemukan tempat mereka "
"Di mana tempat tinggal
kedua paman gurumu..?" "Maaf. Bukannya aku tidak percaya padamu. Kisanak.
Tapi... ini terlalu
membahayakan. Sekali lagi, aku minta maaf," tolak Rara Inggar halus.
"Tidak apa-apa…,"
sahut pemuda berjubah biru dengan senyum di bibir. "Aku bisa memakluminya.
"
"Terima kasih ,"
ucap Rara Inggar tulus.
"O, ya...! Boleh aku
tahu. ke mana arah yang kau tuju?
Barangkali saja arah yang kita
tempuh sama...," pemuda bertubuh kekar membuka suara lagi setelah beberapa
saat lamanya tercenung.
"Ng... aku hendak menuju
ke Barat. "
"Kalau begitu.... arah
yang kita tuju sama!" sentak pemuda berjubah biru. "Aku pun hendak
menuju ke Barat. Ke Desa Ganjar. Apakah kau tidak keberatan bila kita menempuh
perjalanan bersama?"
"Tentu saja tidak!"
jawab Rara Inggar sambil tersenyum manis.
"Kapan kau hendak
berangkat Nisanak?"
"Sekarang Juga,"
sahut Rara Inggar cepat. "Lebih cepat lebih baik! Aku yakin, Gerombolan
Macan Putih tidak akan menghentikan pencariannya terhadap diriku!"
Setelah berkata demikian, Rara
Inggar segera melesat ke arah kudanya yang masih tertambat di dekat dinding
tebing. Rupanya, Gerombolan Macan Putih lupa membunuh binatang tunggangan gadis
berpakaian merah itu.
"Kau sendiri...
bagaimana?" tanya Rara Inggar ketika telah berada di atas punggung
kudanya. Wajah gadis berambut dikuncir itu tampak kebingungan. Haruskah pemuda
bertubuh kekar itu berlari, sementara dia menunggang kuda?
"Tidak usah
khawatir." jawab pemuda berjubah biru sambil tersenyum lebar. Meskipun
Rara Inggar belum mengatakan, sudah bisa diduga hal yang menyebalikan gadis itu
kebingungan.
Ini untuk pertama kalinya
pemuda berjubah biru itu tersenyum. Karena sejak tadi sikapnya terlihat
sungguhsungguh. Bahkan tak pernah tersenyum itulah sebabnya, Rara Inggar agar
terpukau sejenak melihat pemuda itu tersenyum.
Tapi pemuda berjubah biru itu
sama sekali tidak mempedulikan keheranan Rara Inggar Kemudian beberapa jarinya
dimasukkan ke dalam mulut.
Suiiit...!
Suitan nyaring melengking
terdengar. Keras bukan main, sehingga menggema ke seluruh penjuru tempat itu.
Jelas, pemuda berjubah biru itu mengerahkan tenaga dalam pada suitannya.
Rara Inggar sampai menekap
telinga dengan kedua tangan. Suitan itu memang membuat telinga berdenging dan
kakinya menggigil. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki pemuda berjubah biru itu.
Sesaat kemudian terdengar
suara bergemuruh. Di kejauhan tampak seekor kuda berwarna coklat berlari cepat
menuju ke arah mereka. Debu yang mengepul tinggi terlihat di belakangnya.
"Itulah kudaku…, Kilat
namanya," jelas pemuda berjubah biru itu seraya menudingkan telunjuknya ke
arah kuda coklat yang semakin lama semakin dekat. Sampai akhirnya, kuda itu
telah berada dekat dengan dengan dirinya.
Kuda coklat itu meringkik
riang, ketika melihat pemuda berjubah biru. Dengan sikap manja, kepalanya
digesekgesekkan ke dada majikannya.
Pemuda berjubah biru itu
mengusap-usap leher binatang tunggangannya. Kemudian....
"Hup. !"
Hanya sekali genjotkan kaki,
tubuh pemuda berjubah biru telah melayang ke atas. Kemudian, dia hinggap di
atas punggung kuda. Manis dan indah gerakannya.
"Seekor kuda yang baik
" puji Rara Inggar tulus.
"Hm. ," hanya gumam
perlahan pemuda berjubah biru
yang menyambut ucapan Rara
Inggar.
Rara Inggar berdecak pelan.
Lalu tali kekang kudanya digeprak. Sekejap kemudian, binatang tunggangan itu
mulai berlari meninggalkan kepulan debu pekat di belakangnya.
Pemuda berjubah biru itu pun
melakukan hal yang sama. Sesaat kemudian, kuda coklat itu melesat menyusul kuda
Rara Inggar yang telah melesat lebih dahulu.
*** 4
Rara Inggar yang ingin segera
memberi tahu tentang malapetaka yang menimpa orang tuanya, segera memacu
kudanya secepat mungkin. Pecut di tangannya berkali-kali menyengat bagian
belakang kuda tunggangannya.
Rara Inggar memang memaksa
kudanya agar berlari secepat mungkin. Sementara pemuda berjubah biru itu sama
sekati tidak memaksa kudanya. Pecutnya hanya sesekali saja dilayangkan. Tapi
ternyata, lari kedua kuda itu bersisian! Jelas, kuda yang bernama Kilat itu
bukan kuda sembarangan.
Bahkan ketika memasuki Desa
Mentawa. Rara Inggar tetap tak mengendurkan lari binatang tunggangannya. Bahkan
pecutnya terus saja diayunkan.
Pemuda berjubah biru itu
menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Rara Inggar. Tapi, dia pun harus
memacu kudanya pula kalau tidak ingin tertinggal.
Akibatnya, malam yang larut
dan semula hening mencekam, dipecah suara gemuruh derap langkah dua ekor kuda.
Dua ekor kuda itu terus saja
berpacu, sekalipun telah memasuki desa. Para penduduk yang terjaga dari
tidurnya karena gemuruh derap kaki kuda hanya bisa menyumpah serapah. Beberapa
di antara mereka malah ada yang bangkit dan pembaringan. Dibukanya jendela, dan
kepalanya melongok keluar. Semua itu didorong rasa ingin tahu terhadap orang
tidak tahu diri yang telah menimbulkan suara berisik itu!
Tapi yang mereka jumpai hanya
gumpalan debu pekat yang ditinggalkan. Sementara, penyebab suara bergemuruh itu
sudah tidak tertihat lagi.
Memang, Rara Inggar dan pemuda
berjubah biru itu telah berada di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk. Di
sini gadis berpakaian merah baru memperlambat lari kudanya.
Lagi-lagi pemuda berjubah biru
itu ikut pula memperlambat lari binatang tunggangannya.
"Apa yang kau ketahui
tentang Gerombolan Macan Putih. Nisanak?" tanya pemuda berjubah biru. Dia
masih tetap memanggil seperti sebelumnya. Rupanya hatinya tidak berminat
mengetahui nama gadis berpakaian merah itu.
Rara Inggar menggelengkan
kepala.
"Kau tahu?" Gadis
itu malah balas bertanya
"Sedikit. Karena sebelum
Gerombolan Macan Putih menyerbu perguruan ayahmu yang terletak di Desa Kaung,
aku telah beberapa kali melihat hasil perbuatan mereka "
"Bisa kau jelaskan
tentang Gerombolan Macan Putih?" pinta Rara Inggar.
Pemuda bertubuh kekar itu
mengangguk.
"Gerombolan Macan Putih
mempunyai puluhan anak buah. Pemimpinnya adalah orang yang berhadapan dengan ayahmu. Sedangkan yang bertarung
melawan ibumu adalah wakilnya," jelas pemuda berjubah biru itu.
"Kedua orang itu memiliki tiga orang pemimpin regu. Setiap pemimpin regu
mempunyai empat orang pemimpin kelompok yang masingmasing memiliki belasan bawahan
lagi."
Rara Inggar mengernyitkan
dahinya mendengar penuturan pemuda bertubuh kekar tentang Gerombolan Macan
Putih. Rupanya, dia merasa bingung mendengar uraian itu.
"Lalu. bagaimana kita
tahu kalau orang yang dihadapi
adalah keroco, pemimpin kelompok,
atau pemimpin regu?" tanya Rara Inggar lagi beberapa saat kemudian,
setelah berhasil mencerna penjelasan tadi.
"Dari gambar kepala macan
pada pakaian mereka," jawab pemuda itu. "Kau bisa lihat perbedaan
antara sulaman gambar macan pada orang yang merobohkanmu, dan belasan
lainnya." Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat. "Ya.
Pada orang yang merobohkanku, di dada kirinya
tersulam dua kepala
macan," jawab Rara Inggar. "Sedangkan pada kepala kelompok ada tiga
buah, dan
berbentuk segi tiga ,"
jelas pemuda berjubah biru lagi.
Mendadak Rara Inggar menarik
tali kekang, sehingga kudanya langsung berhenti.
Tentu saja pemuda berjubah
biru itu terkejut melihat sikap Rara Inggar. Maka ucapannya kontan terhenti.
Pandangannya pun diarahkan ke depan, ke arah yang ditatap gadis berpakaian
merah itu.
Pemuda bertubuh kekar langsung
menganggukanggukkan kepala ketika melihat belasan sosok tubuh berpakaian hitam
bersulamkan gambar kepala macan putih di dada kiri. Mereka berdiri menghadang
jalan, dalam jarak sekitar sepuluh tombak di depan.
"Gerombolan Macan
Putih...," desah pemuda berjubah biru itu pelan.
"Yaaah...," sahut
Rara Inggar, mendesah. "Dua di antara mereka mempunyai sulaman tiga kepala
macan di dada kiri. "
Pemuda bertubuh kekar mengalihkan
pandangannya.
Ditatapnya wajah gadis di
sebelahnya lekat-lekat. "Kau takut?"
"Tak ada kata takut dalam
kamus hidupku," tegas Rara Inggar.
"Tapi, nada
suaramu..," pancing pemuda itu lagi "Hanya menyadari keadaan,"
desah Rara Inggar lirih. "Maksudmu ..?"
"Menghadapi pemimpin
kelompok saja, aku tidak mampu... Apalagi menghadapi pemimpin regu…."
"Hhh. !"
Pemuda bertubuh kekar itu
menghembuskan napasnya yang berat, mendengar ucapan Rara Inggar.
"Kau coba dulu,
Nisanak," saran pemuda berjubah biru itu. "Sisanya, biar kuhadapi.
Andaikata kulihat kau terdesak, baru akan kubantu. Yang penting, kau harus tiba
di tempat tinggal kedua paman gurumu!"
Rara Inggar menoleh.
Ditatapnya wajah pemuda berjubah biru itu dengan sepasang mata merembang
berkacakaca. Hatinya merasa terharu melihat pembelaan yang dilakukan pemuda di
sebelahnya. Padahal mereka belum saling mengenal nama! Tidak disangka, di balik
sikap dinginnya, tersembunyi hati yang baik!
Perlahan-lahan Rara Inggar
mengulurkan tangan, kemudian menggenggam pergelangan tangan pemuda bertubuh
kekar itu.
“Terima kasih…. Kau... kau
baik sekali. "
Hanya itu yang bisa diucapkan
Rara Inggar. Itu pun dengan suara serak dan terputus-putus karena rasa haru
yang mencekik tenggorokan.
"Sudahlah," kata
pemuda berjubah biru sambil mengulapkan tangannya. "Hentikan segala
kecengengan ini, Nisanak! Sekarang yang perlu dilakukan adalah menghadapi lawan
yang telah berada di hadapan kita."
Kepala Rara Inggar bagai
direndam dalam air es. Pemuda berjubah biru itu benar! Sekarang memang bukan
saatnya bersedih! Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, ditariknya napas
dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk melegakkan dadanya yang terasa
sesak akibat rasa haru yang melanda.
"Hih. !"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
Rara Inggar mendarat di tanah. Hal yang sama pun dilakukan pemuda bertubuh
kekar. Hanya saja, Rara Inggar harus menambatkan kudanya, karena khawatir
binatang itu lari. Sementara, pemuda berjubah biru sama sekali tidak
melakukannya.
"Ng... Sebelum mati aku
ingin mengenal namamu, Kisanak. Aku, Rara Inggar. Biasa dipanggil Inggar,"
kata gadis berpakaian merah itu memperkenalkan diri.
Pemuda berjubah biru menoleh
ke arah Rara Inggar yang berdiri di sebelah kirinya.
"Rupanya kau termasuk
orang yang berjiwa rapuh juga, Ni…. eh. Inggar," kata pemuda bertubuh
kekar itu tanpa peduli kalau kata-katanya membuat selebar wajah gadis berambut
dikuncir itu merah. "Sebenarnya, aku paling tidak suka dengan
kecengengan-ke-cengengan seperti ini. Aku sudah terbiasa hidup keras! Tapi,,
tak apalah. Namaku, Suta!"
***
“Pemuda keparat!" maki
Jalatang.
Rupanya, dia tak kuat lagi
menahan sabar melihat Suta dan Rara Inggar masih tenang-tenang saja.
"Sebentar lagi kau akan mengenal orang-orang Gerombolan Macan Putih!"
"Menyingkir, Jalatang,"
perintah seorang laki-laki tinggi kurus.
Menilik dari sikapnya yang
berani memerintahkan Jalatang yang merupakan pemimpin kelompok, bisa
diperkirakan kalau kedudukannya lebih tinggi.
Hal ini dibuktikan oleh
sulaman kepala macan berwarna putih. Jumlah sulamannya ada tiga buah, dan
terdapat pada dada kiri pakaiannya yang berwarna hitam. Memang, laki-laki
tinggi kurus itu adalah pemimpin regu!
Jalatang tidak berani
membantah. Dengan sikap lesu dan kepala tertunduk, kakinya melangkah mundur.
Dibiarkan saja laki-laki tinggi kurus itu yang melangkah maju lebih dahulu.
Saat itu, bukan dirinya yang menjadi pimpinan. Di situ, masih ada dua orang
lagi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Jabatan mereka adalah
pemimpin regu. Mereka adalah laki-laki tinggi kurus yang tadi menyuruhnya
menyingkir, dan lakilaki bertubuh pendek gemuk yang berdiri di sebelah lakilaki
tinggi kurus.
Tambahan lagi, keadaan diri
Jalatang memang tidak memungkinkan untuk bertarung. Luka-luka yang dideritanya
akibat tindakan Suta masih belum pulih, meskipun memang telah diobati.
"Kau hadapi orang yang
bertubuh tinggi kurus itu, Inggar," kata Suta menganjurkan. "Biar
sisanya aku yang urus."
Tanpa menunggu persetujuan
Rara Inggar, Suta langsung melompat ke arah kerumunan Gerombolan Macan Putih,
sebelum mereka bergerak mengurung dan membuat rencananya kacau.
Suta benar-benar memburu
waktu. Selagj tubuhnya masih berada di udara, kedua tangannya diputar-putarkan
dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Memang sungguh dahsyat serangan
Suta. Dari kedua tangannya yang berputaran itu keluar angin keras yang
berhembus ke arah Gerombolan Macan Putih.
Gerombolan Macan Putih yang
sama sekali tidak menduga hal itu, kontan menerima akibatnya. Tubuh-tubuh
mereka berpentalan tak tentu arah ke belakang, bagaikan terlanda angin ribut.
Hanya ada beberapa orang di
antara mereka yang tak terjengkang, karena sempat mengerahkan tenaga dalam ke
arah kaki sehingga seolah-olah berakar di bumi. Mereka adalah dua orang
pemimpin regu dan seorang pemimpin kelompok, selain dari Jalatang. Karena,
tubuh Jalatang sendiri terjengkang ke belakang.
Meskipun ketiga orang pemimpin
itu tidak ikut terjengkang, bukan berarti mereka bebas dari deru angin keras
yang keluar dari putaran tangan Suta. Memang, mereka tidak jatuh, tapi tetap
saja tubuhnya bergeser jauh ke belakang. Sedangkan kedua kaki mereka tetap
menempel di tanah, sehingga menimbulkan geseran cukup dalam di tanah. Dan
hasilnya, pimpinan kelompok terseret sejauh tiga tombak lebih, sedangkan kedua
pimpinan regu hanya terhuyung sekitar dua tombak.
"Gila...! Pemuda keparat
itu memiliki tenaga dalam luar biasa, Kakang Samparan...," desis pimpinan
kelompok itu begitu melihat kemampuan lawan, sehingga membuatnya kaget.
"Kita harus hati-hati
menghadapinya, Karugi," sahut pimpinan regu yang bertubuh tinggi kurus.
"Bukan begitu, Bangor."
Bangor yang ternyata pemimpin
regu yang bertubuh pendek gemuk mengangguk, membenarkan.
Namun baru saja Bangor
menghentikan anggukannya, Suta sudah melayang ke arah mereka seraya melancarkan
serangan bertubi-tubi ke arah Bangor dan Karugi.
Karuan saja kedua orang itu
terkejut bukan kepalang. Buru-buru mereka melempar tubuh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Lalu, mereka mendaratkan kedua kaki
masing-masing di dekat belasan anggota Gerombolan Macan Putih yang tadi
terjengkang ke sana kemari.
Suta tidak bertindak sampai di
situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat ke arah Bangor dan Karugi yang
berkumpul bersama belasan anggota Gerombolan Macan Putih. Dibiarkan saja
Samparan yang tertinggal sendiri.
Suta memang sengaja membuat
Samparan terpisah dengan gerombolannya, agar Rara Inggar dapat tenang
menghadapi laki-laki tinggi kurus itu.
Sadar kalau Suta merupakan
lawan yang amat tangguh, Bangor tidak segan-segan memerintahkan seluruh anak
buahnya untuk turun tangan.
"Serbu...!" seru
laki-laki pendek gemuk itu. Srrrt..! Srrrt..!
Sinar-sinar terang berkeredep
dari tenjata golok Gerombolan Macan Putih yang tercabut dari sarungnya. Sesaat
kemudian, pertarungan sengit antara Suta melawan Gerombolan Macan Putih di
bawah pimpinan Bangor berlangsung sengit.
***
"Kau dengar suara itu,
Melati?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian ungu.
Kepalanya langsung menoleh ke
arah gadis cantik berpakaian putih yang berada agak jauh di belakangnya. Gadis
itu duduk di cabang sebuah pohon, dan punggungnya disandarkan pada batangnya.
Kepala pemuda berpakaian ungu
itu agak dimiringkan. Sehingga rambutnya yang panjang meriap dan berwarna putih
keperakan, terurai menutupi bahunya.
Gadis berpakaian putih yang
tidak lain memang Melati, dengan malas membuka matanya. Lalu kepalanya
dimiringkan sebentar, baru kemudian mengangguk.
"Sepertinya suara denting
senjata orang bertarung, Kang Arya.... Arahnya dari sana...," sahut Melati
sambil menudingkan telunjuknya ke arah Utara.
"Kau benar, Melati.
Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" usul pemuda berambut putih
keperakan yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aaah...! Kau ini ada-ada
saja, Kang…," rutuk gadis berpakaian putih itu. "Waktu telah
menjelang pagi. Apakah kau tidak mengantuk? Nanti saja kita lihat asal suara
riuh itu."
"Tidakkah itu terlalu
lambat, Melati?" bantah Arya setengah membujuk. "Bagaimana kalau di
sana sebetulnya ada orang yang tengah membutuhkan pertolongan kita."
"Tapi aku ngantuk, Kang.
Ngantuk sekali! Jangankan untuk bertarung, mempertahankan agar mataku tetap
terbuka saja sudah sulit"
Dewa Arak tercenung sebentar.
"Kalau begitu..., biar
aku yang pergi saja ke sana..." "Dan aku di sini, berteman nyamuk-nyamuk
hutan?
Begitu?" sambung Melati
merajuk.
"Kalau memang itu yang
kau inginkan." goda Dewa Arak.
"Hhh...!"
Melati menghembuskan napas
berat, lalu menjauhkan punggungnya dari batang pohon.
"Bagaimana?" tanya
Arya lagi dengan senyum di bibir. "Ingin berteman nyamuk di sini... atau
ikut denganku melihat keramaian di sana?"
"Kau memang paling pintar
memutarbalikkan ucapan, Kang," kata gadis berpakaian putih itu. Mulutnya
tampak memberengut kesal.
"Jadi...?" Arya
menggantung ucapannya.
"Yahhh. Aku lebih suka
berteman denganmu daripada
berteman dengan nyamuk-nyamuk
di sini..," sahut Melati bernada keluhan.
"Ha ha ha. !" tawa
pemuda berambut putih keperakan
itu meledak. "Sudah
kuduga "
"Kau memang keterlaluan,
Kang..." hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan Melati.
Dengan tawa pelan yang masih
keluar dari mulutnya, Dewa Arak mengulurkan tangan ke arah guci yang tergantung
di cabang pohon. Dibukanya ikatan tali di cabang pohon yang membuat gucinya
tergantung, kemudian disampirkannya ke punggung.
"Hup. !"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah. Pada saat yang sama Melati juga
mendaratkan kakinya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, sepasang pendekar yang sama-sama digdaya itu melesat cepat menuju ke arah
asal suara denting senjata beradu yang terdengar.
Ilmu meringankan tubuh Dewa
Arak dan Melati memang telah mencapai tingkatan tinggi. Tidak heran ketika
melesat, bentuk tubuh mereka tidak nampak lagi. Yang terlihat hanya sekelebatan
bayangan ungu dan putih yang tidak jelas bentuknya.
Berbeda dengan Melati yang
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak hanya mengeluarkan
sebagian saja. Karena kalau dikerahkan seluruhnya, jelas gadis itu akan
tertinggal. Sedangkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak menginginkan
hal itu terjadi.
Semakin lama, denting senjata
beradu itu terdengar semakin jelas.
"Tidak salah lagi,
Melati. Rupanya di sana tengah terjadi
pertarungan," kata Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
semak-semak dan pepohonan yang berada tak jauh di hadapannya.
Hanya beberapa kali melangkah,
sepasang pendekar muda itu telah berada di dekat semak-semak dan pepohonan. Dan
memang, suara berisik itu berasal dari sana.
Dengan gerakan perlahan dan
hati-hati sekali, Dewa Arak dan Melati menggenjotkan kakinya. Kontan tubuh
mereka melayang ke atas, dan mendarat ringan laksana seekor burung di cabang
pohon.
Begitu telah berada di atas
pohon, kedua orang itu langsung mengedarkan pandangan ke bawah. Dan dalam
keremangan sinar rembulan di langit, tampaklah seorang pemuda berjubah biru
tengah bertarung menghadapi belasan orang berpakaian hitam. Tak jauh dari
tempat itu, nampak seorang gadis berpakaian merah dan seorang lakilaki tinggi
kurus tengah memperhatikan jalannya pertarungan.
"Kurasa pemuda itu tidak
memerlukan bantuan kita, Kang...," kata Melati pelan, setelah
memperhatikan pertarungan antara pemuda berjubah biru dengan belasan orang
Gerombolan Macan Putih.
"Kau benar, Melati."
sahut Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.
"Kau mengenai mereka,
Kang...?" tanya Melati lagi ingin
tahu.
Arya menggeleng.
"Makanya, jangan
sembarangan turun tangan dulu, Melati. Kita tidak tahu permasalahannya, dan
juga tidak tahu siapa yang benar dan salah. Tidak bijaksana kalau kita ikut
campur. Kecuali... kalau keadaan memaksa demikian."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Dia memang sudah tahu betul watak kekasihnya. Dan meskipun terkadang
tidak setuju dengan tindakan yang diambil Arya, tapi kenyataan yang terjadi
selalu membuktikan kebenaran perbuatan Dewa Arak! Kini Melati dan Arya kembali
mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang berlangsung di bawah sana.
Ternyata ada sedikit perubahan
yang terjadi. Gadis berpakaian merah yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan, mulai melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi kurus yang
juga sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
***
Samparan tersenyum mengejek
ketika melihat Rara Inggar bergerak menghampirinya.
"Jangan harap bisa lolos
dan Gerombolan Macan Putih, Wanita Liar...!" dengus laki-laki tinggi kurus
itu.
Rara Inggar sama sekali tidak
menggubris ancaman Samparan. Gadis berpakaian merah itu sadar kalau lawan yang
ada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diperkirakan karena
dia telah merasakan sendiri kelihaian Jalatang.
Oleh karena itu, Rara Inggar
tidak mau bersikap mainmain lagi. Segera dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus
‘Trenggiling', yang menjadi andalan kakek gurunya. Dengan ilmu itulah, kakek
gurunya yang berjuluk Dewa Muka Putih menaklukkan Raja Ular Pelenyap Sukma.
"Hih...!"
Rara Inggar melompat ke depan,
kemudian bergulingan di tanah mendekati lawan. Dan begitu telah berada di dekat
Samparan, kedua kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu
hati.
"Heh...?!"
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut Samparan. Dia tahu betul kedahsyatan serangan itu. Makanya dia tidak
berani bertindak ceroboh. Sebongkah batu yang paling keras pun akan hancur
berantakan apabila terkena. Buruburu laki-laki tinggi kurus itu melompat ke belakang,
sehingga serangan itu hanya menghantam tempat kosong, beberapa jengkal di
depannya. Tapi serangan Rara Inggar tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuh
gadis berpakaian merah itu kembali bergulingan. Dan tahu-tahu, kedua kakinya
telah meluncur cepat mengancam lutut Samparan.
Seperti juga serangan
sebelumnya, serangan kali ini pun didahului deru angin keras. Jelas, tendangan
itu ditopang tenaga dalam kuat.
Kali ini Samparan tidak berani
melakukan elakan seperti semula. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam
garamnya pertarungan, laki-laki tinggi kurus itu tahu, kalau melakukan gerakan
mengelak yang sama, serangan lanjutan kembali akan meluncur ke arahnya. Dan hal
itu tidak diinginkannya.
Sambil mengeluarkan pekikan
keras yang menyakitkan telinga, Samparan melompat ke depan. Dilewatinya tubuh
Rara Inggar, lalu dari atas kedua tangannya disampokkan ke arah kepala lawan.
Wuttt...! Plakkk!
Samparan kontan meringis.
Kedua tangannya yang berbenturan dengan kedua kaki Rara Inggar nyeri bukan
kepalang. Entah dengan cara bagaimana, laki-laki tinggi kurus itu tidak
mengerti. Yang jelas, tahu-tahu kedua kaki gadis berambut dikuncir itu telah
melindungi kepala.
"Hup...!"
Samparan mendaratkan kedua
kakinya di tanah, setelah bersalto beberapa kali di udara meski agak terhuyung.
Dan begitu kedudukannya telah diperbaiki, langsung tubuhnya berbalik. Kini dia
bersiap-siap menghadapi serangan susulan.
Dugaan laki-laki tinggi kurus
itu ternyata tidak meleset. Rara Inggar kembali telah menggulingkan tubuhnya.
Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya.
Kini, Samparan tidak bisa
bersikap main-main lagi. Dikerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, kalau
tidak ingin mati sia-sia. Sesaat kemudian, pertarungan sengit dan mati-matian
pun terjadi. Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, Rara Inggar bukan tandingan
Samparan. Laki-laki tinggi kurus itu memiliki banyak keunggulan dibanding
lawannya. Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun pengalaman
bertarung. Tapi karena kedahsyatan jurus 'Tringgiling' yang dimiliki Rara
Inggar, keunggulan Samparan jadi tertutupi.
Jurus 'Trenggiling' memang
hebat bukan kepalang. Bahkan pada waktu Dewa Muka Putih yang menggunakannya.
Raja Ular Pelenyap Sukma pun roboh karenanya. Memang, sebenarnya tidak ada satu
tokoh pun yang sanggup mengalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Padahal, datuk
sesat iu telah merajalela belasan tahun dalam rimba persilatan. Jangankan
mengalahkan, menandinginya saja tidak ada yang mampu. Ditambah lagi, waktu itu
beberapa orang pentolan golongan putih telah bersatu padu untuk mengeroyoknya.
Sekarang, Samparan yang
mendapat kesempatan untuk menjajaki kehebatan jurus itu. Dan memang, akibatnya
laki-laki tinggi kurus itu kewalahan.
Jurus ‘Trenggiling' yang
menitik beratkan pada kemampuan kaki, memang mempunyai kehebatan tersendiri.
Setiap serangan dan pertahanan selalu dilakukan dengan kaki. Anehnya, ke
manapun serangan dilakukan lawan, selalu bertemu sepasang kaki. Dan anehnya
lagi, dalam pengerahan jurus ini, tenaga dalam si pemakai jadi bertambah. Kedua
kaki orang yang memiliki jurus ini akan sanggup menahan gempuran lawan. Bahkan
mampu membuat tangan atau kaki orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, akan
menjadi terasa lumpuh bila berbenturan.
Sayangnya, Rara Inggar hanya
mempunyai beberapa jurus saja dari delapan Jurus 'Trenggiling'. Bahkan
jurusjurus pamungkasnya pun tidak dimiliki. Itulah sebabnya, meskipun berhasil
mendesak Samparan, tetap saja tidak mampu merobohkannya.
Samparan menggertakkan gigi,
menahan geram. Pertarungan telah berlangsung hampir dua puluh jurus, tapi tetap
saja lawannya tidak mampu dikalahkan. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak
mampu. Malah sebaliknya. dirinyalah yang dibuat pontang-panting oleh Rara
Inggar.
Bukan hanya itu saja. Kedua
tangan dan kaki Samparan pun terasa nyeri bukan kepalang, akibat berbenturan
dengan kedua kaki lawan. Kedudukan Rara Inggar memang menyulitkan Samparan
untuk melancarkan serangan.
Perasaan marah, malu, dan
penasaran bercampur aduk di hati laki-laki tinggi kurus ini. Dia adalah ketua
regu Gerombolan Macan Putih. Tapi kini menghadapi seorang gadis muda saja
dibuat terpontang-panting. Kalau didengar tokoh tokoh persilatan, mau ditaruh
di mana mukanya?
Maka hal ini membuat Samparan
jadi kalap bukan kepalang. Serangan-serangannya pun dengan sendirinya jadi
semakin bertubi-tubi. Suara tangan atau kaki yang berbenturan terdengar
berkali-kali. Dan hal ini selalu membuat seringai kesakitan di mulut Samparan!
Di arena lainnya, pertarungan
yang berlangsung antara Suta dengan belasan orang Gerombolan Macan Putih
berlangsung tak kalah seru.
Sepak terjang pemuda berjubah
biru ternyata luar biasa. Meskipun lawan yang dihadapinya banyak, namun dia
tidak tampak terdesak. Bahkan tampak jelas kalau pertarungan benar-benar
dikuasainya.
Bangor dan Karugi merasa
penasaran bukan main. Lebih-lebih Bangor. Memang, Jalatang telah menceritakan
kelihaian pemuda berjubah biru itu. Namun sungguh di luar dugaan kalau akan
sampai selihai ini. Setiap serangan yang dilancarkannya, selalu mudah dapat dipatahkan.
Bahkan setiap kali berbenturan, tangan atau kakinya terasa sakit dan nyeri.
Jelas, tenaga dalam lawan berada di atasnya.
Yang lebih hebat lagi, Suta
berani menyerahkan badannya sebagai tameng, untuk menerima serangan senjata
Karugi dan anak buahnya. Dan hebatnya, pemuda berjubah biru itu sama sekali
tidak terluka! Malah sebaliknya, senjata-senjata itulah yang terpental balik.
Bahkan tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit bukan kepalang.
Namun setiap kali Suta
melancarkan serangan balasan, dapat dipastikan beberapa sosok tubuh akan
terjengkang.
Hanya saja yang menjadi bahan
pemikiran Bangor. Lawannya ternyata tak bermaksud menurunkan tangan kejam.
Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini pun yakin kalau lawan tidak
bersungguh-sungguh menghadapinya.
Hal ini bisa diketahui dari
gerakan-gerakan sembarangan yang dilakukan Suta. Padahal, Bangor ingin
mengetahui ilmu-ilmu yang dimiliki lawan. Paling tidak bisa diketahui, dari
mana asal pemuda bertubuh kekar itu.
Tapi sampai sekian jauh bertarung,
Bangor tetap tidak mengetahuinya. Memang, Suta seperti menyembunyikan
kepandaiannya. Gerakan-gerakan mengelak atau menyerang pun, hanya yang umum
saja. Pemuda berjubah biru belum mengeluarkan llmu khasnya.
Meskipun Suta menghadapi lawan
secara sembarangan, tetap saja Bangor tidak bisa memanfaatkan kesempatan itu.
Karuan saja hal ini membuatnya penasaran bukan kepalang. Dan sebagai akibatnya,
serangan-serangan laki-laki pendek gemuk ini pun jadi semakin bertambah
dahsyat.
Pada akhirnya, Suta ternyata memenuhi
janjinya terhadap Rara Inggar. Sambil bergerak mengelakkan serangan-serangan
yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya, Suta menyempatkan diri
untuk memperhatikan keadaan gadis berpakaian merah itu.
Maka tidak aneh kalau Suta
mengetahui keadaan Rara Inggar, sejak melancarkan desakan-desakan pada
Samparan.
Di jurus-jurus awal, Rara
Inggar berhasil membuat Samparan pontang-panting. Tapi menginjak jurus ketiga
puluh, serangan-serangan yang dilancarkan gadis berpakaian merah mulai
mengendur.
Bahkan ketika pertarungan
memasuki jurus ketiga puluh dua, Rara Inggar lebih sering menangkis dan
bertahan. Malah hampir tidak pernah melancarkan serangan lagi.
Sebagai seorang yang telah
kenyang bertarung, Samparan tentu saja tahu kelelahan yang dialami lawan. Dan
itu bisa diketahui dari napas gadis itu yang menderuderu.
Memang itulah akibat yang
harus ditanggung Rara Inggar. Jurus 'Tringgiling' memang terlalu banyak
membutuhkan pengerahan tenaga. Padahal, gadis itu memiliki tenaga dalam yang
tidak begitu kuat. Dan dengan sendirinya, kekuatan yang dimilikinya pun
terbatas.
Keadaan yang dialami Rara
Inggar dipergunakan Samparan sebaik-baiknya. Laki-laki tinggi kurus itu pun
melancarkan serangan bertubi-tubi. Dia tidak ingin memberikan kesempatan pada
gadis berambut dikuncir itu untuk memulihkan diri.
Kini ganti Rara Inggar yang
terpontang-panting. Di awalawal serangan Samparan, gadis itu memang bisa
mempergunakan sepasang kakinya untuk menangkis. Tapi karena menggunakan jurus
'Tringgiling' itu semakin membuatnya semakin lelah, Rara Inggar mulai mengelak.
Tanpa menggunakan jurus
‘Tringgiling’, tidak sulit bagi Samparan untuk menghadapi Rara Inggar. Dalam
beberapa gebrakan saja, gadis berambut dikuncir itu sudah dibuat terpontang-panting ke sana
kemari. Bahkan hampir saja nyawanya melayang akibat cecaran serangan yang
bertubi-tubi dilancarkan Samparan. Untung di saatsaat terakhir, dia masih mampu
menyelamatkan selembar nyawanya.
Akhirnya saat yang
ditunggu-tunggu Samparan tiba. Kedua tangan Rara Inggar kini telah terpojok.
Dan saat itulah kedua tangan laki-laki tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah
dada kiri gadis itu.
Rara Inggar hanya bisa
membelalakkan sepasang mata menanti tibanya serangan. Jangankan untuk mengelak,
menangkis pun sudah tidak sempat lagi.
Dan pada saat yang tepat, Suta
melesat ke arahnya. Cepat bukan main gerakan pemuda berjubah biru itu.
Tahu-tahu....
Plakkk. !
Tubuh Samparan terlempar ke
belakang ketika tangan Suta menangkis serangan. Dan sebelum semua sempat
berbuat sesuatu, pemuda bertubuh kekar itu telah menyambar tubuh Rara Inggar.
Dan sekali kakinya bergerak melangkah, tubuhnya telah berada dalam jarak
belasan tombak dari situ.
"Kejar. !" teriak
Bangor keras memberi perintah seraya
bergerak mengejar diikuti
Karugi dan belasan anak buahnya.
Sementara Jalatang yang sejak
tadi menonton jalannya pertarungan karena keadaannya yang tidak memungkinkan,
segera melesat ke arah Samparan yang tergulingguling di tanah.
Samparan berusaha bangkit
berdiri. Tapi....
"Huaaakh. !"
Darah segera muncrat dari
mulutnya. Jelas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu terluka dalam. Bahkan
sambungan siku tangannya terlepas, saking kerasnya tenaga tangkisan yang
diketuarkan Suta.
Jalatang yang saat itu tengah
membungkukkan tubuh dan menunduk, mengangkat kepalanya begitu mendengar adanya
suara langkah-langkah kaki mendekat. Tampak Bangor, Karugi, dan belasan orang
anggota Gerombolan Macan Putih.
Tanpa bertanya pun laki-laki
berwajah bopeng itu tahu kalau Suta dan Rara Inggar telah berhasil meloloskan
diri. Dan hal itu tidak aneh. Karena, di samping ilmu meringankan tubuh pemuda
berjubah biru itu memang tinggi, suasana malam yang gelap dan kerimbunan pohon,
membuat Suta lebih cepat meloloskan diri
Dengan langkah lesu, rombongan
Gerombolan Macan Putih itu pun kembali meninggalkan tempat itu. Rekanrekan
mereka yang luka-luka harus terpaksa ditandu atau dipapah.
"Kurasa, ketua harus
turun tangan kalau masih ingin melenyapkan gadis liar itu...," kata Karugi
pelan.
"Benar," sambut
Bangor. “Pemuda itu memang terlalu sakti untuk kita lawan.... Hanya ketualah
yang akan sanggup menaklukkannya."
"Meskipun ketua turun
tangan, tapi aku masih ragu, Kang Bangor. Ilmu pemuda itu terlalu tinggi.
Mungkin kalau ketua dan wakil ketua maju bersama, pemuda itu dapat dirobohkan."
Bangor menatapi Karugi dengan
sinar mata penuh teguran.
"Kau terlalu meremehkan
ketua, Karugi. Kau tahu, semua ilmu Raja Ular Pelenyap Sukma sudah dikuasai
ketua.... Bahkan ketua masih mempunyai keunggulan, yaitu jurus ‘Macan'nya.
Hanya satu yang belum dikuasainya, yakni ilmu ‘Pelenyap Sukma’. Karena, kitab
dan seruling itu dirampas Dewa Muka Putih!"
"Aku tahu, Kang Bangor.
Itulah sebabnya, ketua menyuruh kita menyelidiki tempat tinggal kedua orang
murid Dewa Muka Putih lainnya. Karena, kitab dan seruling itu ternyata tidak
berada di Perguruan Hati Naga. "
Bangor tidak menanggapi ucapan
itu. Sementara Karugi pun sadar kalau laki-laki pendek gemuk itu tidak mau
memperpanjang pembicaraan. Maka, dia hanya terdiam. Dan kini mereka melanjutkan
perjalanan tanpa berkata-kata lagi.
Sama sekali Gerombolan Macan
Putih itu tidak mengetahui kalau sepeninggal mereka, dua sosok tubuh pun
melesat turun dari atas pepohonan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?
"Kalau saja, pemuda itu
tidak cepat bertindak, mungkin aku telah keburu turun tangan, Kang Arya."
kata Melati.
"Lebih baik kita memang
tidak ikut campur dulu, Melati," sahut Arya, tenang. "Mengapa,
Kang?" tanya Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Karena kita tidak tahu
masalahnya. Kita tidak tahu, siapa yang benar dan yang salah. Bukankah kita
datang, pada saat mereka tengah bertarung?"
"Tapi, Kang. Aku yakin
kalau sepasang muda-mudi itu berada di pihak yang benar." bantah Melati
tak mau kalah. "Siapa yang tidak kenal kekejian Gerombolan Macan
Putih?!"
"Gerombolan Macan Putih?!
Jadi, belasan orang berpakaian hitam itu adalah Gerombolan Macan Putih? Dari
mana kau mengetahuinya, Melati?"
"Mudah saja, Kang,"
jawab gadis berpakaian putih itu, kalem.
Arya mengernyitkan keningnya
sebentar.
"Kau benar, Melati.
Mereka adalah Gerombolan Macan Putih! Gambar kepala seekor macan di dada kiri
mereka itu pasti yang membuatmu mengenali mereka, bukan?"
Gadis berpakaian putih itu
menganggukkan kepala sambil tersenyum manis.
"Lebih baik, kita susul
sepasang muda-mudi itu, Melati," ujar Dewa Arak mengalihkan perhatian
"Aku yakin, gerombolan itu akan terus mengejar mereka!"
"Kau benar, Kang,"
sambut gadis berambut panjang itu cepat "Lagi pula, tanganku sudah
gatal-gatal, nih! Sudah lama aku tidak memukuli orang-orang jahat!"
Arya hanya tersenyum lebar
mendengar ucapan kekasihnya. Dengan mulut masih menyunggingkan senyum, kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Melati yang tidak mau tertinggal, ikut
melangkah pula.
Luar biasa! Yang tampak
hanyalah seleret bayangan ungu dan putih yang melesat, kemudian lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan.
*** 5
Hari sudah agak siang ketika
sebuah perahu meluncur ke tengah danau.
"Di pulau itulah paman
guruku tinggal, Suta," jelas Rara Inggar seraya menudingkan jari telunjuknya
ke arah sebuah pulau yang tampak samar-samar di depan.
Memang, gadis berpakaian merah
itu akhirnya mengambil keputusan untuk mengajak Suta ke tempat tinggal paman
gurunya. Rara Inggar ingin memperkenalkan orang yang telah berkali-kali
menyelamatkan nyawanya pada kedua paman gurunya.
Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya hati Rara Inggar ketika Suta menyatakan kesanggupannya untuk ikut
bersamanya. Itulah sebabnya, kini mereka berperahu berdua di tengah danau.
"Hm. " Suta hanya
menggumam saja.
Tangan kanan pemuda itu tetap
mengayuhkan dayung. Menilik dari luncuran perahu yang cepat, bisa diperkirakan
kalau pemuda berjubah biru itu mengerahkan sebagian besar tenaga dalam pada
kedua tangannya.
Karena perahu itu meluncur
cepat, dalam waktu sebentar saja pulau kecil yang dituju telah berada di depan
mata.
"Hup. !
Suta melompat ketika perahunya
telah mencapai tepi danau. Rara Inggar juga melompat menyusul.
Dan begitu kedua kakinya telah
mendarat di tanah, Suta segera menyeret perahu itu ke darat. Lalu,
ditambatkannya perahu itu pada patok yang telah tersedia.
"Kau pernah kemari,
Inggar?" tanya Suta setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sudah dua kali aku
kemari," jawab gadis berpakaian merah itu.
Suta mengangguk-anggukkan
kepala. "Mari, Suta...," ajak Rara Inggar sambil bergerak mendahului
menuju ke dalam pulau.
Suta pun melangkah mengikuti
di belakang. Semula dikira, mudah saja menemukan tempat tinggal kedua paman
guru Rara Inggar setelah berada di pulau itu. Tapi ternyata tidak sesederhana
itu!
Ternyata, mereka berdua harus
melewati kerimbunan semak-semak di sana-sini dan jalan berliku-liku. Itu pun
memakan waktu yang agak lama, sebelum akhirnya tiba di sebuah tempat yang
terlihat nyaman. Memang, di kanan kiri jalan yang ditumbuhi hamparan rumput
hijau halus dan dipotong pendek, juga ditumbuhi tanaman bunga-bunga dan
rempah-rempah.
"Itulah tempat tinggal
paman guru...." Rara Inggar menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah
bangunan sederhana yang terletak sekitar delapan tombak di depan mereka.
Sebenarnya tanpa diberi tahu,
Suta sudah bisa memperkirakan.
"Paman...! Paman
Karundeng…!” panggil Rara Inggar sambil berhambur ke arah seorang laki-laki
setengah baya yang baru keluar dari dalam pondok.
Laki-laki kecil kurus dan
berpakaian abu-abu yang dipanggil Karundeng pun bergerak menyambuti.
"Inggar...! Ya Tuhan...!
Kau benar, Rara Inggar...!" teriakan bernada kaget keluar dari mulut
Karundeng.
Karena kedua belah pihak
sama-sama bergerak mendekat di pertengahan jalan tubuh keduanya bertemu dalam
sebuah pelukan kerinduan.
"Inggar...! Mana ayah dan
ibumu...?" tanya Karundeng sambil memeluk tubuh gadis berpakaian merah itu
eraterat. Pandangan matanya beredar berkeliling mencari-cari orang tua Rara
Inggar. "Dan... siapa pemuda gagah itu?"
"Ceritanya panjang, Paman
.," kata Rara Inggar dengan suara tersendat-sendat. Kesedihan yang selama
ini selalu ditahan karena tidak ada tempat pencurahan, ditumpahkan semua pada
pamannya. Air mata yang selama ini diusahakannya untuk tidak keluar, kini tumpah
ruah. Tubuh gadis berpakaian merah itu pun terguncang-guncang karena isak
tangis yang melanda.
Sebagai seorang yang telah
berpengalaman, Karundeng tahu kalau jiwa murid ponakannya ini tengah
terguncang. Oleh karena itu dibiarkan saja, Rara Inggar menangis. Laki-laki
kecil kurus ini tahu, tangis akan dapat mengurangi tekanan perasaan yang
mendera keponakannya itu.
Tak lama kemudian, Rara Inggar
pun berhasil menguasai perasaan. Dilepaskan pelukan pada pamannya, kemudian air
matanya disusut.
"Maafkan aku, Paman. Aku
telah mengotori pakaian Paman..," ucap Rara Inggar malu-malu.
Suara gadis berpakaian merah
itu masih terdengar serak, karena habis menangis. Bahkan wajah dan hidungnya
pun masih merah.
"Lupakanlah,
Inggar," sahut Karundeng sambil mengelus kepala gadis berpakaian merah itu
penuh kasih sayang. "Sekarang, centakanlah apa yang terjadi. Dan siapa
pula pemuda yang gagah itu."
Rara Inggar terkejut bukan
main, mendengar ucapan Karundeng. Sungguh keterlaluan sekali. Dia telah
mengabaikan Suta! Maka buru-buru tangannya digapaikan pada pemuda berjubah biru
itu.
Dengan sikap tenang seperti
biasanya. Suta melangkah mendekat.
"Inilah orang yang selalu
menyelamatkan nyawaku, Paman. Suta namanya ," kata Rara Inggar
memperkenalkan.
Suta mengulurkan tangannya.
"Ah...! Terima kasih atas
pertolonganmu, Suta. Aku Karundeng," laki-laki berpakaian abu-abu itu
balas mengulurkan tangan dan kemudian menggenggamnya erat-erat.
"Inggar terlalu
membesar-besarkan, Paman." elak pemuda berjubah biru itu, ikut memanggil
paman pada Karundeng. Perlahan-lahan genggaman tangannya dilepaskan.
"Padahal pertolongan yang kuberikan tidak seberapa. "
Karundeng tersenyum lebar. Dia
tahu, memang begitu seharusnya sikap seorang pendekar tulen. Paling tidak agar
orang yang ditolong tidak terjerat dalam keinginan untuk membalas budi.
"O, ya. Di mana Paman
Tapas Jaya, Paman?" tanya Rara
Inggar ketika teringat ketidakhadiran paman gurunya yang satunya lagi.
"Dia tengah tidak mau
diganggu. Inggar. Tapi, nanti akan kupanggilkan. Sekarang yang penting,
ceritakanlah apa yang telah terjadi. Barangkali, Suta juga ingin
mendengarnya."
Rara Inggar menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Baru setelah
dirinya telah terasa tenang, gadis berpakaian merah itu mulai bercerita.
Sementara, Karundeng dan Suta mendengarkannya. Meskipun sudah mendengar
ceritanya dari Rara Inggar, tapi Suta tidak keberatan untuk ikut mendengarkan
kembali.
Beberapa kali sewaktu Rara
Inggar bercerita, Karundeng menggertakkan gigi menahan geram. Tapi perasaan
geramnya itu masih kalah besar oleh perasaan terkejut yang melanda.
"Begitulah ceritanya,
Paman," tutur Rara Inggar. Karundeng tercenung beberapa saat.
"Apa yang dikhawatirkan
Kakang Tapas Jaya ternyata benar " pelan dan bernada keluhan ucapan yang
keluar
dari mulut laki-laki
berpakaian abu-abu itu.
"Maksud, Paman?"
tanya Rara Inggar. Kedua alisnya hampir bertautan. Suta pun menatap wajah
Karundeng tajam tajam. Ada sorot pertanyaan memancar pada sepasang mata yang
mencorong itu.
"Bertahun-tahun yang
lalu..., Kakang Tapas Jaya telah menduga Raja Ular Pelenyap Sukma pasti akan
mempunyai ahli waris. Dan dia yakin ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma akan
menguasai kepandaian yang dimilikinya. Mengapa demikian? Karena bagi golongan
seperti mereka, banyak jalan untuk mencapainya "
Karundeng menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Di lain pihak, kami
berempat yang menjadi murid Dewa Muka
Putih tak lebih dari keledai-keledai dungu. Di antara kami semua, hanya Rupaksa
yaitu ayahmu, yang paling berhasil menguasai jurus 'Trenggiling' yang dapat
melumpuhkan ilmu-ilmu milik Raja Ular Pelenyap Sukma itu."
"Jadi.. ayah yang paling
menguasai jurus 'Trenggiling' itu, Paman?" tanya Rara Inggar setengah tak
percaya.
"Benar," Karundeng
menganggukkan kepala. "Dia berhasil menguasai dua belas dari delapan belas
jurus 'Trenggiling'. Itu pun tidak begitu sempurna dikuasainya. Dan menilik
dari tewasnya ayahmu di tangan ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma, sudah bisa
kuperkirakan kalau ahli waris itu telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu yang
dimiliki tokoh sesat yang menggiriskan itu!"
"Hm. Lalu..?"
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Karundeng menghentikan ucapannya.
"Kini aku
mengerti...!" seru Rara Inggar tiba-tiba. ''Paman Tapas Jaya tengah
berusaha menguasai jurus 'Trenggiling'. Bukan begitu?!"
Dengan perasaan berat
Karundeng menganggukkan kepala.
"Belasan tahun dia
bergelut dengan jurus ‘Trenggiling’ tapi tetap hanya mampu mempelajari tiga
belas jurus," Ada nada keluhan dalam ucapan laki-laki kecil kurus itu.
"Mengapa begitu,
Paman?" Rara Inggar mengajukan keheranannya.
"Jurus 'Trenggiling'
bukan ilmu sembarangan, Rara Inggar. Justru jurus itu malah penuh bahayanya.
Apalagi bila mempelajarinya tanpa pembimbing. Akibatnya akan sangat berbahaya.
Bahkan pamanmu itu mengalami nasib seperti itu."
"Maksud. Paman...?"
"Kakang Tapas Jaya selalu
mengalami akibat yang tidak menyenangkan setiap kali melatih jurus keempat belas. "
lanjut Karundeng setengah
mengeluh. "Ahhh. !" Rara Inggar memeklk kaget.
"Satu-satunya orang yang
berhasil mencapai jurus ketujuh belas adalah putra kakek gurumu Tapi, sayang.
,"
Karundeng menghentikan ucapan.
Raut wajahnya menyiratkan penyesalan yang amat hebat.
"Hhh…!"
Rara Inggar menghela napas
berat. Tanpa laki-laki kecil kurus itu meneruskan, sudah bisa diperkirakan
kelanjutannya. Memang gadis itu sudah mengetahui nasib yang menimpa putra kakek
gurunya.
"Mengapa dia masih bisa
dikalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Paman? Bukankah dia telah menguasai hampir
seluruh rangkaian jurus dalam jurus ‘Tringgling'?"
"Banyak hal yang
menyebabkan putra kakek gurumu itu tewas di tangan Raja Ular Pelenyap
Sukma," sahut Karundeng dengan wajah murung.
Rupanya kenangan menyedihkan
itu belum dapat dilupakannya. Terbukti kesedihan masih tergambar di wajahnya
sekalipun peristiwa itu telah lama berlalu.
"Saat itu, dia masih
sangat muda dan belum berpengalaman. Apalagi, untuk menghadapi seorang tokoh
kawakan semacam Raja Ular Pelenyap Sukma." lanjut kakek kecil kurus itu memberi
penjelasan. "Kau tahu Inggar, Raja Ular Pelenyap Sukma tidak hanya
menggunakan ilmu kepandaian yang wajar untuk menghadapi lawan, tapi juga
menggunakan ilmu hitam. Itulah sebabnya dia mendapat julukan Pelenyap Sukma di
samping julukan Raja Ular."
Karundeng menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Untuk menggunakan ilmu
hitamnya tokoh itu menggunakan pula senjata andalannya yang bernama Suling
Naga. Tanpa adanya benda itu, ilmu-ilmu hitamnya tidak akan bisa dipergunakan.
Keampuhan Suling Naga memang sangat dahsyat. Dengan nada-nada tertentu. Raja
Ular Pelenyap Sukma bisa memanggil segala macam ular, dan dapat diperintahkan
sekehendak hatinya."
Rara Inggar
mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan ngeri menghinggapi dirinya. Sungguh tidak
pernah disangka akan begitu mengerikan tokoh yang berjuluk Raja Ular Pelenyap
Sukma itu.
"Sulit kubayangkan
ketinggian ilmu kakek guru sehingga Raja Ular Pelenyap Sukma yang begitu
mengerikan bisa dikalahkan…," kata Rara Inggar seperti berbicara pada diri
sendiri
"Dengan jurus
'Trenggiling' tingkat terakhir, kakek gurumu berhasil menaklukkan Raja Ular
Pelenyap Sukma. Kau tahu, Inggar. Jurus kedelapan belas 'Trenggiling' membuat
Suling Naga Raja Ular Pelenyap Sukma kehilangan keperkasaannya. "
"Apakah ahli waris Raja
Ular Pelenyap Sukma itu memiliki juga ilmu-ilmu hitam peninggalan leluhurnya,
Paman?" tanya Rara Inggar.
Ada nada kegentaran pada suara
gadis berambut dikuncir itu. Dan itu dapat dirasakan baik Karundeng maupun
Suta.
Karundeng menggelengkan kepala
sambil tersenyum lebar.
"Mengapa, Paman?"
desak Rara Inggar penasaran. "Karena kakek gurumu telah mengambil Suling
Naga
dari tangan Raja Ular Pelenyap
Sukma. Tanpa adanya senjata itu tetap saja tidak bisa menggunakannya, meskipun
si ahli waris telah menghafal kitab itu."
"Lalu... di manakah
Suling Naga itu, Paman?" tanya Rara Inggar ingin tahu. "Aku ingin
sekali melihat bentuk suling yang memiliki nama begitu gagah."
Kakek kecil kurus itu
mengangkat bahu.
"Entahlah. Kakek gurumu
tidak pernah membicarakan senjata itu padaku. Mungkin pada ayahmu, ibumu, atau
pada Kakang Tapas Jaya. Tapi kalau menurut dugaanku, Suling Naga itu mungkn
diberikan pada ayahmu, Inggar. Karena, dialah murid yang paling berbakat."
"Tapi ayah tidak
menyimpan benda itu, Paman. Kalau benar dia yang menyimpannya, pasti akan
diberikan padaku untuk diselamatkan…"
"Kalau begitu, benda itu
pasti ada di tangan Kakang Tapas Jaya."
"Maaf, Paman, Inggar.
Kurasa aku telah terlalu lama berada di sini. Aku ingin pamit saja. Hatiku sudah
lega karena kau telah tiba selamat di sini," Suta yang sejak tadi
bertindak sebagai pendengar, buru-buru menyelak pembicaraan ketika Karundeng
menghentikan cerita
"Lho?!"
Bukan hanya Rara Inggar saja
yang terkejut, Karundeng pun demikian pula.
"Mengapa buru-buru, Suta.
Masuklah dulu ke dalam untuk benstirahat...," sambut Karundeng buru-buru.
"Terima kasih, Paman.
Tapi, aku masih mempunyai keperluan di Desa Mentawa…," tolak Suta halus.
Rara Inggar baru saja hendak
membuka mulut, tapi segera ditahan karena Karundeng telah mendahuluinya.
"Baiklah, Suta. Tapi
jangan lupa singgah kemari, bila kau sempat."
"Jangan khawatir, Paman.
Sehabis menyelesaikan urusan di Desa Mentawa, aku akan singgah kemari,"
Janji Suta.
Setelah berkata demikian, Suta
melesat meninggalkan tempat itu. Meskipun baru sekali ke tempat Karundeng, tapi
dia tidak mengalami kesulitan untuk kembali ke tempat semula, ketika perahu
ditambatkan.
*** 6
Brosss...!
Tanah keras seketika amblas
sedalam betis begitu kaki kanan seorang laki-laki yang bertubuh kekar
dijejakkan. Menilik akibatnya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemilik
kaki itu.
Dia adalah seorang laki-laki
dengan bentuk tubuh kekar berotot. Dadanya telanjang dan hanya mengenakan
sehelai celana panjang berwarna putih.
Hanya sayangnya, wajah
laki-laki bertubuh kekar berotot ini tidak tampak jelas. Dandanan yang
menghias, membuat raut wajahnya jadi mirip seekor macan. Itu pun masih ditambah
lagi dengan adanya bulu-bulu halus yang menempel, meramaikan selebar wajahnya.
Tidak hanya itu saja keanehan
yang dimiliki laki-laki yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi, mengingat
akibat yang ditimbulkan pada tanah keras itu. Di bagian dada nya terlukis
gambar kepala seekor macan putih yang besar.
"Kalian tahu, mengapa aku
marah besar?!"
Kembali suara menggeledek
terdengar dari mulut lakilaki bertubuh kekar berotot itu. Pandangannya juga
beredar ke arah puluhan orang yang berdiri di hadapannya. Mereka rata-rata
mengenakan pakaian hitam, dan memiliki sulaman gambar kepala macan putih di
dada kiri.
Sedangkan di sebelah laki-laki
bercelana putih yang tengah marah-marah itu, tampak seorang wanita berusia
sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit macan putih. Dia juga
memiliki sulaman gambar kepala seekor macan pada bagian dada. Wajahnya juga
penuh coreng moreng dan bulu-bulu yang membuat raut wajahnya mirip wajah seekor
macan!
Laki-laki kekar dan wanita tua
itu adalah Ketua dan Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih! Puluhan orang
berseragam hitam itu yang sejak tadi hanya menundukkan kepala saja, perlahan
mengangguk bersamaan seperti diberi perintah. Perasaan yang melanda mereka pun
sama. Mereka sama-sama takut bukan kepalang melihat kemurkaan sang Ketua.
Sehingga, terik matahari yang tepat berada di atas kepala, sama sekali tidak
dirasakan. Padahal, mereka tengah berdiri di tanah lapang yang hanya sedikit
ditumbuhi rumput. Sementara, di
sekeliling mereka bertebaran pepohonan lebat.
Tanpa disadari Gerombolan
Macan Putih ternyata ada dua sosok tubuh yang tengah mengintai. Dua orang itu,
adalah pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian
putih. Mereka tak lain adalah Arya dan Melati.
Memang, begitu tidak menemukan
jejak Suta dan Rara Inggar, Arya dan Melati akhirnya memutuskan untuk mengikuti
jejak Gerombolan Macan Putih. Barangkali saja dengan mengikuti jejak gerombolan
itu, Suta dan Rara Inggar bisa ditemukan.
Akhirnya setelah melakukan
pencarian terus menerus, mereka berhasil menemukan tempat pertemuan Gerombolan
Macan Putih. Mereka sempat melihat juga kedatangan sang Ketua yang agak
terlambat, ketika matahari telah hampir berada di atas kepala.
Dan begitu tiba, sang Ketua
itu sudah membuat Arya dan Melati terkejut. Sang Ketua Gerombolan Macan Putih
itu ternyata tengah murka! Rasa-rasanya, akan ada anak buahnya yang diberi
hukuman. Dan sepasang pendekar itu ingin mengetahui, penyebab kemarahan sang
Ketua itu. Di samping itu juga ingin mengetahui secara lebih jelas duduk
masalahnya. Itulah sebabnya, dari tempat persembunyian, Arya dan Melati hanya
memperhatikan saja.
"Jadi kalian tahu?! Coba
katakan...!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Karena kegagalan kami
menangkap putri Ketua Perguruan Hati Naga, Ketua," Bangor yang
memberanikan diri mengajukan jawaban. "Hmh..." dengus laki-laki
bertubuh kekar berotot itu. Karuan saja sambutan sang Ketua membuat wajah
laki-laki pendek gemuk itu pucat. "Bagaimana dengan yang lain? Apa jawaban
kalian?"
Semua kepala terangguk. Jelas
mereka semua mempunyai jawaban pertanyaan yang sama.
"Bodoh kalian semua...!"
Kontan tubuh puluhan anggota
Gerombolan Macan Putih itu terlonjak ketika sang Ketua mendadak membentak
nyaring. Wajah mereka semuanya pucat
"Kalian semua dengar! Aku
tidak akan semarah ini bila kalian hanya gagal menangkap putri musuh leluhurku!
Tapi yang membuatku marah, adanya orang-orang yang berani melanggar laranganku
dan menyelewengkan perintahperintahku di antara kalian semua."
Tegas, jelas, dan keras sekali
ucapan yang dikeluarkan Ketua Gerombolan Macan Putih itu.
"Dan seperti yang telah
kalian ketahui. Aku tidak akan
mendiamkan saja orang-orang
yang berani menentang perintah dan laranganku! Kuharap... orang-orang yang
merasa melakukan kesalahan maju ke depan, sebelum aku sendiri yang akan
menyeretnya kemari!" ujar laki-laki bertubuh kekar berotot itu sambil
melayangkan pandangan.
Wajah Jalatang dan Samparan
pucat pasi seketika. Memang, kedua orang inilah yang telah melakukan kesalahan
seperti yang telah disebutkan ketua mereka.
"Hmh...! Di samping
berani menginjak-injak peraturan, orang-orang tak berguna itu tidak berani pula
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka harus dihukum berat, Kala. Biar
menjadi contoh bagi yang lain," tambah wanita berpakaian kulit macan
putih, dingin.
Setelah beberapa saat lamanya
perintah Ketua Gerombolan Macan Putih, sama sekali tidak ada tandatanda akan
ada yang maju mengakui kesalahan.
"Pasti akan kulakukan,
Nyi Nila." sahut Ketua Gerombolan Macan Putih yang ternyata bernama Kala.
Menilik dari pangilan yang dipanggil masing-masing, bisa diduga kalau kedudukan
wanita tua itu tidak berada di bawah Kala.
"Baiklah. Rupanya orang
yang telah melakukan kesalahan mengira bisa menyembunyikan diri dariku?!"
Ada kegeraman dalam ucapan Kala. "Angkat wajah kalian semua!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, kepala puluhan orang berseragam hitam itu terangkat.
"Kalian semua perhatikan
dan camkan ucapanku baikbaik! Jangan mengira kalian bisa melanggar peraturan
tanpa kuketahui. Dan buktinya, akan segera kuungkapkan di hadapan kalian!"
Berpuluh puluh jantung
berdebar keras penuh ketegangan. Masing-masing diri menebak-nebak, siapa orang
yang telah melakukan kesalahan itu.
Kala melangkah maju
lambat-lambat. Karuan saja hal itu semakin menambah besar ketegangan yang
melanda puluhan orang Gerombolan Macan Putih.
Meskipun ketegangan besar
melanda, namun Jalatang berusaha menenangkan hati. Sehingga, wajahnya tidak
terlalu gelisah. Sama saja dengan raut wajah anggota gerombolan yang lain, yang
sama-sama dicekam ketegangan.
Tapi ketenangan laki-laki
berwajah bopeng itu mulai goyah. Jantungnya berdetak keras ketika melihat Kala
bergerak menghampirinya.
Semakin Ketua Gerombolan Macan
Putih itu mendekatinya, debar jantung Jalatang kian keras. Dan ketika akhirnya
Kala menghentikan langkah tepat di depannya, laki-laki berwajah bopeng ini
tidak bisa menahan diri Lagi. Kedua kakinya langsung menggigil hebat!
"Anjing kurap...!"
desis KaLa penuh geram sambil melayangkan kaki.
Tuk, tuk...!
Jalatang memekik kesakitan
ketika kaki sang Ketua menghantam kedua lututnya. Tubuhnya pun langsung
terkulai karena kedua tulang lututnya langsung hancur terkena tendangan yang
ditopang tenaga dalam tinggi.
Tanpa mengenai kasihan sedikit
pun, Kala segera menjejak kedua siku Jalatang.
Krek, krek...!
Suara berkeretek keras dua
kali, menjadi pertanda hancurnya kedua tulang siku Jalatang.
Kali ini tidak ada keluh
kesakitan lagi dari mulut Jalatang. Bibirnya digigit kuat-kuat untuk menahan
keluarnya jeritan itu Saking kerasnya, sampai-sampai bibir itu pecah. Tak pelak
lagi, darah pun mengalir.
Ternyata tindakan Kala tidak
berhenti sampai di situ saja. Kali ini ujung kaki kanannya bergerak. Dan dengan
sebuah gerakan mengungkit, tubuh Jalatang telah dibuatnya melayang ke atas.
Brukkk...!
Diiringi suara berdebuk keras,
tubuh laki-laki berwajah bopeng itu jatuh ke tanah, tepat di sebelah Nyi Nila!
"Hmh...!"
Wanita setengah tua itu
mendengus seraya menggerakkan kaki menekan pergelangan tangan Jalatang. Dan...
Krekkk!
Tulang pergelangan tangan
Jalatang pun kembali hancur.
Jalatang sudah tidak mampu
lagi menjerit. Siksaan Kala telah membuatnya hampir pingsan! Memang, siksaan
yang mendera tidak tanggung-tanggung. Tambahan lagi, laki-laki berwajah bopeng
ini belum pulih dari luka-luka yang diderita setelah bertarung melawan Suta.
Hanya suara keluhan pelan dan
tak jelas yang keluar dari mulut Jalatang ketika pergelangan tangannya hancur
berantakan.
*** Tanpa mempedulikan keadaan
Jalatang yang dilemparkannya, Kala mengedarkan pandangan. Lalu, kakinya
melangkah kembali.
Kali ini, laki-laki bertubuh kekar
berotot itu harus menyibak kerumunan anak buahnya karena orang yang dicarinya
ternyata berada di bagian tengah.
Wajah Samparan seketika
berubah. Menilik dari tatapan mata, bisa diperkirakan kalau sang Ketua tengah
menuju ke arahnya.
Dugaan laki-laki tinggi kurus
itu ternyata tidak salah.
Tepat di hadapannya, Kala
menghentikan langkahnya. "Cacing busuk..!"
Untuk yang kedua kalinya.
Ketua Gerombolan Macan Putih itu memaki. Belum lagi ucapannya lenyap, tangan
Kala telah terulur. Dan....
Kreppp…!
Leher baju Samparan telah
dicekal tangan Kala. Sekali tangan itu bergerak menyentak, tubuh laki-laki
tinggi kurus itu telah terlempar.
Tapi, Samparan memang sudah
bersiap siaga sejak tadi. Maka begitu tubuhnya dilontarkan, segera ilmu
meringankan tubuhnya digunakan. Samparan mempergunakan tenaga lontaran itu
untuk bersalto beberapa kali di udara.
"Keparat..! Berani kau
memamerkan kepandaian seperti itu di hadapanku. ?!" geram Kala.
Pada saat yang bersamaan
dengan lenyapnya suara makian itu, Kala menggenjotkan kaki. Seketika itu pula,
tubuhnya melayang ke udara, menyusul tubuh Samparan yang tengah berjumpalitan
di udara.
Samparan terkejut bukan
kepalang. Sepasang matanya hanya melihat sekelebatan sosok bayangan meluncur ke
arahnya. Dan tahu-tahu….
Plakkk, plakkk…! "Huakh.
!"
Samparan memuntahkan darah
segar dari mulutnya ketika dua tangan Kala menepuk kedua bahunya.
"Hup...!"
Indah dan manis Kala
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Disusul kemudian, Samparan hinggap di tanah
dalam keadaan terhuyung-huyung. Lelehan cairan merah kental tampak di kedua
sudut mulutnya.
Tanpa mempedulikan keadaan
Samparan, Kala mengalihkan pandangan ke arah puluhan anak buahnya yang hanya
bisa memperhatikan semua kejadian.
"Kalian semua lihat
baik-baik!" ujar Kala, pelan tapi mengandung getaran yang membuat isi dada
bergetar. "Inilah orang-orang yang telah berani menentang aturanku!"
Laki-laki bertubuh kekar
berotot itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Anjing kurap
ini...," lanjut Ketua Gerombolan Macan Putih sambil menudingkan jari
telunjuk ke arah tubuh Jalatang yang masih tergolek tanpa daya di tanah.
"Telah berusaha memperkosa putri Ketua Perguruan Hati Naga."
"Ah...!"
Seruan-seruan keterkejutan
keluar dari mulut anggota Gerombolan Macan Putih, kecuali yang menjadi bawahan
Jalatang. Bahkan Sancang dan ketiga rekannya yang ditugaskan melenyapkan Kusuma
ikut berseru kaget. Memang, keempat oang itu tidak mengetahui hal itu, bertemu
di tengah jalan dengan rombongan Jalatang yang tampak terburu-buru. Dan ketika
ditanyakan, hanya mendapatkan jawaban kalau Rara Inggar telah diselamatkan
seorang tokoh sakti, dan mereka dipukul mundur ketika mencoba melawan.
Itulah sebabnya, Sancang
menjadi terkejut mendengar ucapan Ketua Gerombolan Macan Putih. Dia hanya mampu
memandang dengan mata terbelalak.
Kala mengangkat tangan
kanannya ke atas. Seketika itu pula, suasana yang semula riuh rendah suara
teriak keterkejutan, kontan hening. Jelas, sang Ketua amat disegani anak
buahnya.
"Dan cacing busuk
ini," tunjuk Kala pada Samparan yang hanya dapat berdiri dengan wajah
pucat. “Telah berani bertindak lancang hendak membunuh gadis liar putri Ketua
Perguruan Hati Naga! Padahal, cacing busuk ini tahu kalau aku sangat
membutuhkan gadis liar itu untuk mendapatkan kembali pusaka leluhurku! Suling
Naga!"
Kala menghentikan ucapannya
sejenak untuk melihat tanggapan anak buahnya. Sepasang matanya beredar
berkeliling memperhatikan wajah wajah anak buahnya.
"Kedua orang yang telah
berani menentang peraturanku ini akan mendapatkan hukuman. Terutama sekali,
Jalatang! Dia telah begitu berani hendak melakukan dosa tak terampunkan dalam
perkumpulan kita!"
Usai berkata demikian, Kala
lalu membalikkan tubuh. Kemudian dia berjalan menghampiri Jalatang yang berada
dalam keadaan setengah sadar.
"Anjing kurap…! Sekarang
kau harus menerima hukuman atas perbuatanmu...!"
Seiring selesainya ucapan itu,
Kala mulai dengan siksaannya.
Dengan senyum kecut
tersungging di bibir, Ketua Gerombolan Macan Putih itu lalu mengangkat kaki
kirinya. Kemudian, diletakkannya di atas paha Jalatang yang memang terbaring
menelentang. Suara berkeretekan dari tulang-tulang yang patah terdengar ketika
kaki Kala bergerak menekan.
Kontan tubuh Jalatang
menggeliat dilanda rasa sakit yang menggelegak. Memang, tidak ada jeritan yang
keluar dari mulutnya. Tapi gigitan gigi pada kedua bibirnya yang membuat darah
mengalir, telah menjadi bukti kedahsyatan rasa sakit yang melanda.
Seringai menggiriskan semakin
tampak di mulut Kala. Kaki kirinya kembali bergerak. Kali ini turun ke betis
karena tulang tulang di paha, dan lutut Jalatang telah hancur. Maka, rasa sakti
yang mendera kembali harus diterima Jalatang. Dan untuk yang kesekian kalinya
pula tubuhnya menggeliat.
Tanpa mengenal rasa kasihan,
Kala terus melakukan penyiksaan. Setelah tulang tulang kaki Jalatang hancur
semua, tulang-tulang tangannya menyusul mendapat giliran.
Siksaan itu baru berakhir
ketika nyawa Jalatang melayang meninggalkan raganya. Dan itu terjadi ketika
kaki kiri Kala menekan dada Jalatang hingga hancur berantakan!
Darah segar yang menghambur
deras dari mulut Jalatang mengiringi melayangnya nyawa laki-laki berwajah
bopeng itu ke alam baka.
Dengan seringai sadis yang
menghias wajah, Kala menolehkan kepala ke arah Samparan yang sejak tadi menyaksikan
penyiksaan dengan hati ngeri. Padahal kalau dalam keadaan biasa, laki-laki
tinggi kurus ini pasti akan tertawa terbahak-bahak. Tapi karena sadar kalau
nasib yang akan diterima tidak akan jauh berbeda dengan Jalatang, bulu
tengkuknya seketika merinding.
Maka ketika Kala menatap ke
arahnya dengan pandangan menggiriskan. Samparan segera melompat ke belakang.
"Mau ke mana kau, Cacing
Busuk...?!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih seraya melompat mengejar.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku dan.... Hey...!"
Prakkk...!
Kepala Samparan kontan pecah.
Darah bercampur otak mengalir keluar dari bagian yang tertuka.
Kala memekik kaget ketika
melihat tangan Samparan bergerak memukul kepalanya sendiri. Maksud laki-laki
tinggi kurus ini sudah jelas. Ingin membunuh diri! Rupanya, dia yakin kalau
tidak mungkin lagi bisa lolos dari tangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Maka, dipilihnya jalan singkat.
"Pengecut..!" maki
Kala geram ketika kedua kakinya telah mendarat di tanah.
Beberapa saat lamanya pandangan
laki-laki bertubuh kekar berotot itu terpaku pada mayat Samparan. Baru
kemudian, dialihkan ke arah kerumunan anak buahnya. "Besok siang kuharap
kalian telah berada di pulau kecil yang terletak di tengah Danau Garu. Di
sanalah sisa muridmurid Dewa Muka Putih tinggal. Di situ, ada juga gadis liar
itu dan pemuda penolongnya! Seperti biasa, aku tidak akan turun tangan, sebelum
diperlukan. Kalian mengerti?!"
Puluhan kepala anggota
Gerombolan Macan Putih menganggukkan kepala.
"Sekarang kalian boleh
bubar!"
Kontan puluhan orang
berpakaian hitam melangkah meninggaikan tempat itu dengan perasaan lega karena
tidak terkena hukuman.
Meskipun merasa lega, tapi
rombongan Gerombolan Macan Putih yang ikut bersama Jalatang, dan yang ikut
bersama Samparan sewaktu mengejar Suta dan Rara Inggar, dilanda keheranan. Di
antara mereka yang keheranan itu termasuk pula Karugi dan Bangor!
Berbagai pertanyaan berkecamuk
di benak mereka semua. Benarkah Kala melihat semua itu? Ataukah hanya menduga
saja? Kalau hanya menduga, tidak mungkin akan diberikan hukuman seperti itu
pada anak buahnya. Dan kalau benar berada di sana, mengintai misalnya, mengapa
tidak turun tangan mencegah kepergian Suta yang membawa kabur Rara Inggar?
Namun akhirnya sebuah jawaban
berhasil ditemukan Bangor! Ya! Ketua Gerombolan Macan Putih itu sudah pasti
berada di sana. Dan ketika Suta membawa kabur Rara Inggar, sang Ketua pun
mengejar. Toh, hasilnya sudah terbukti! Kala telah berhasil menemukan tempat
persembunyian sisa murid-murid Dewa Muka Putih!
Ketika tidak ada lagi anggota
Gerombolan Macan Putih di situ, Kala melangkah menghampiri Nyi Nila.
"Mudah-mudahan semua yang
kita rencanakan berhasil dengan baik, Nyi. Maka, dendam Raja Ular Pelenyap
Sukma akan terbalaskan.... Di samping itu, Suling Naga akan berhasil pula
kudapatkan!"
"Pasti, Kala! Aku yakin
semuanya akan berhasil baik! Kalau tidak, rasanya akan sia-sia kita menundukkan
tokohtokoh hitam itu, dan menjadikannya sebagai pengikut kita."
"Terima kasfh, Nyi," ucap Kala.
"Tidak usah berterima kasih,
Kala. Kau adalah cucu Raja Ular Pelenyap Sukma. Sedangkan aku adalah pelayan
kakekmu. Sudah sewajarnya aku membantumu agar dendam majikanku bisa
terbalaskan!"
"Yang aku heran, mengapa
kau bisa secepat itu mengumpulkan mereka, Nyi?"
"Mudah saja," sahut
wanita berpakaian dari kulit macan putih itu. "Dengan panah ini."
Sambil berkata demikian, Nyi
Nila lalu mengangsurkan busur dan sekelompok anak panah yang sejak tadi
tersampir di pinggangnya. Baik busur mau pun anak panah itu tidak sebesar
biasanya, tapi kecil. Paling-paling hanya berukuran setengah dari yang biasa.
Kala mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. Dan memang, dia telah mengetahui kegunaan peralatan
itu. Anak panah itu berapi, dan akan dilontarkan bila hendak meminta bantuan.
Pantas saja kalau semua
anggota gerombolan yang bergerak mengejar dan berpencar bisa berkumpul di tanah
lapang di Gunung Garu.
"Aku pergi dulu,
Kala." "Silakan, Nyi."
Belum juga gema ucapan Ketua
Gerombolan Macan Putih lenyap, tubuh wanita berpakaian kulit macan itu telah
melesat dari situ. Dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya telah lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan.
Sepeninggal Nyi Nila, Kala pun
melangkah meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuh berlawanan dengan nenek
berpakaian merah itu.
Setelah suasana di tempat itu
sepi, baru Dewa Arak dan Melati keluar dari tempat persembunyiannya.
"Bagaimana, Kang? Apa
yang harus kita lakukan?" tanya gadis berpakaian putih itu.
"Kita harus ke pulau
kecil di tengah Danau Garu itu, Melati," ujar Dewa Arak mengambil
keputusan. "Aku telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Dewa Muka
Putih. Kalau tidak salah, dia termasuk tokoh aliran putih. Maka sudah menjadi
kewajiban kita untuk membantu muridmuridnya."
Melati hanya mengangkat bahu.
Dia telah percaya penuh pada pemuda berambut putih keperakan itu. Apa pun
keputusan Arya, pasti disetujuinya. Karena, dia tahu kalau keputusan yang
diambil kekasihnya tidak pernah salah!
Tak lama kemudian, Arya dan
Melati pun melesat cepat meninggalkan tempat itu.
*** 7
"Hhh...!"
Suara helaan napas kakek
tinggi besar berkepala botak mengusik keheningan pagi yang sejuk. Sehelai
pakaian berwarna coklat dan longgar membungkus tubuhnya yang kokoh laksana batu
karang.
Kakek berpakaian kuning itu
tengah duduk bersila di teras depan sebuah bangunan sederhana yang bagian
depannya terhampar rapi tanaman rempah dan bungabunga. Sementara di sana juga
tergelar rerumputan hijau yang dipotong pendek. Kesejukan memang menyelimuti
tempat itu.
Dua sosok tubuh yang juga
duduk bersila di depan kakek tinggi besar itu menundukkan kepala. Jelas hati
mereka dilanda keresahan pula, sebagaimana yang dirasakan kakek berpakaian
kuning.
Yang seorang adalah kakek
kecil kurus berpakaian abuabu. Sementara yang satunya, adalah seorang gadis
berpakaian merah. Wajahnya yang cantik jelita. Apalagi dengan rambut yang
dikuncir. Hanya saja, sayangnya saat itu nampak tengah bersedih. Meskipun
begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Dua sosok tubuh itu tak lain adalah
Karundeng dan Rara Inggar.
"Apa yang kukhawatirkan
ternyata terjadi juga...," kembali kakek berkepala botak mengucapkan
kata-kata bernada keluhan. "Ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma, akhirnya
muncul juga. Sementara, aku baru berhasil mempelajari tiga belas dari delapan
belas Jurus 'Trenggiling’. Ahhh...! Sungguh tidak kusangka kalau diriku begitu
bebal " "Kakang Tapas Jaya.... Kau tidak usah menyesali diri.
Jurus 'Trenggiling' memang
sulit luar bisa. Bukankah guru pun telah mengatakannya. Kecuali orang yang
sangat berbakat, sulit untuk bisa menguasainya. Apalagi sampai menguasai semua
nya," hibur Karundeng. “Tapi... bagaimana kalau ahli waris Raja Ular
Pelenyap Sukma merajalela lagi? Siapa yang akan mampu menghadapinya?"
tanya kakek tinggi besar yang ternyata Tapas Jaya, murid tertua Dewa Muka Putih!
"Kita tak perlu khawatir,
Kang. Ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma tidak akan selihai dan berbahaya
seperti leluhurnya," kata Karundeng bernada menenangkan. "Bukankah
Suling Naga telah dirampas guru?"
"Ah...! Kau benar,
Adi." sahut Tapas Jaya terkejut bercampur gembira. "Mengapa aku bisa
melupakannya?"
"Jadi... kau yang
menyimpan Suling Naga, Kang?" "Benar! Benda itu kusimpan di suatu
tempat. Maaf, Adi.
Aku tidak bisa
memberitahukanmu. Kau mau memakluminya, bukan?"
Karundeng tersenyum lebar.
"Aku mengerti, Kang.
Lebih sedikit orang yang tahu, lebih baik dan lebih sulit untuk bocor ketimbang
diketahui banyak orang."
"Tapi, Paman. "
Rara Inggar terpaksa menahan
ucapannya ketika Tapas Jaya mengangkat jari telunjuk dan menempelkannya ke
bibir.
"Aku mendengar ada
langkah kaki menuju kemari. ,"
bisik kakek tinggi besar itu,
sebelum Rara Inggar sempat mengajukan pertanyaan.
"Banyak, Paman?"
tanya Rara Inggar pelan, lebih mirip bisikan.
Tapas Jaya menggelengkan
kepala. "Hanya satu orang. "
"Mungkin Suta...."
duga Rara Inggar dengan wajah berseri, seraya membalikkan tubuhnya.
Tapas Jaya dan Karundeng
tersenyum lebar. Meskipun gadis berpakaian merah itu tidak mengutarakannya,
tapi bisa diterka-terka kalau Rara Inggar menyukai Suta. Baik Karundeng maupun
Tapas Jaya sama sekali tidak melarang. Bahkan sebaliknya merestui. Memang,
Tapas Jaya telah mendengar perihal pemuda berjubah biru itu dari Karundeng dan
juga Rara Inggar sendiri.
Bukan hanya Rara Inggar saja
yang membalikkan tubuh. Karundeng pun demikian pula. Dia juga ingin mengetahui
pemilik langkah itu. Dan hanya Tapas Jaya seorang yang sama sekali tidak
merubah sikap tubuhnya, karena memang tengah duduk bersila menghadap jalan.
Sesaat kemudian, pemilik
langkah itu pun terlihat. Dugaan Rara Inggar ternyata tidak keliru. Sutalah
orangnya. Ingin rasanya Rara Inggar bangkit dari duduk bersilanya dan
menghambur ke arah Suta. Hanya saja, perasaan malu yang melanda menghalanginya
berbuat seperti itu.
Memang, gadis berpakaian merah
itu bangkit dari duduk bersilanya. Tapi tidak lantas menghambur, melainkan
melangkah perlahan menyambut Suta.
Ternyata bukan hanya Rara
Inggar saja yang melangkah maju menghampiri Suta, tapi juga Tapas Jaya dan
Karundeng.
Tapi senyum yang mengembang di
bibir Rara Inggar kontan menciut ketika melihat raut wajah pemuda bertubuh
kekar yang terlihat begitu tegang.
"Ada apa, Suta?"
tanya Rara Inggar khawatir, begitu telah berhadapan dalam jarak dua tombak dari
pemuda berjubah biru itu. "Kau membatalkan niatmu ke Desa Garu?"
Rara Inggar mengajukan
pertanyaan seperti itu karena tahu kalau perjalanan dari tempat kedua pamannya
ini ke Desa Garu membutuhkan waktu sehari semalam. Itu pun bila perjalanan
dilakukan cepat dan tanpa henti.
"Apa boleh buat..."
sambut Suta pelan. "Mengapa, Suta?" tanya Karundeng ingin tahu.
"Kemarin malam, di
perjalanan aku menyaksikan pertemuan yang diadakan Gerombolan Macan
Putih," tutur pemuda berjubah biru itu memulai ceritanya.
"Ahhh...! Lalu...?"
selak Rara Inggar ingin tahu.
Perasaan terkejut amat sangat
tampak di wajahnya.
Bukan hanya gadis berpakaian
merah itu saja yang terkejut Tapas Jaya dan Karundeng pun dilanda perasaan yang
sama. Hanya saja, kedua kakek itu mampu menguasai perasaan sehingga tidak
tampak di wajahnya.
"Rupanya mereka telah
mengetahui tempat ini, Paman, Inggar. Karena kudengar mereka hendak menyerbu
tempat ini."
"Ahhh….!" desah Rara
Inggar seraya menatap wajah Karundeng dan Tapas Jaya berganti-ganti. "Apa
yang harus kita lakukan, Paman?"
Tapas Jaya dan Karundeng tidak
langsung menjawab. Dahi kedua orang itu nampak berkernyit dalam. Jelas, kedua
kakek sakti itu tengah memikirkan masalah yang dibawa Suta.
"Kita lihat saja dulu
keadaannya, Inggar," jawab kakek bertubuh tinggi besar itu. "Kalau
memang perlu, kau dan Suta harus pergi dari sini menyelamatkan diri. Biar aku
dan Karundeng yang akan menahan mereka."
"Mengapa Paman tidak ikut
bersama kami meninggalkan tempat ini saja?" tanya Rara Inggar.
"Kami bukan
pengecut-pengecut yang takut mati, Inggar. Apa pun yang terjadi, kami tidak
akan meninggalkan tempat ini!" tandas Karundeng mantap.
Nada suara kakek berpakaian
abu-abu ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah lagi.
"Kalau begitu, kami pun
tidak akan meninggalkan tempat ini! Kami akan melawan Gerombolan Macan Putih
itu sampai titik darah penghabisan! Bukan begitu, Suta?"
"Jangan bertindak bodoh,
Inggar!" sergah Tapas Jaya keras. "Kami berdua sudah tua. Mati
sekarang atau nanti tidak menjadi persoalan. Sedangkan kau masih sangat muda.
Adalah sebuah tindakan bodoh untuk membuang nyawa secara percuma…"
"Tapi, Paman..."
Rara Inggar terpaksa menahan
ucapannya ketika melihat kakek berkepala botak itu mengangkat tangan,
mencegahnya bicara lebih lanjut.
"Dan tindakan bodoh kedua
yang kau lakukan adalah usahamu melibatkan Suta dalam persoalan kita. Kau ingin
Suta menjadi buruan Gerombolan Macan Putih itu?!" Rara Inggar terdiam.
Ucapan Tapas Jaya tidak hanya
sampai di situ saja. Kepalanya ditolehkan ke arah Suta yang sejak tadi diam
mendengarkan.
“Terima kasih atas
pemberitahuanmu, Suta. Kuharap kau segera pergi dari sini sebelum terlibat
terlalu jauh yang akibatnya membuat kami menyesal seumur hidup. Kami tidak
ingin orang luar yang tidak tahu apa-apa, jadi korban karena kami."
"Paman..!" seru Rara
Inggar kaget.
"Hhh...!" Suta
menghembuskan napas berat. Sesaat lamanya dia terdiam, dan hanya menatap
wajah-wajah di hadapannya berganti-ganti.
"Aku memang orang luar,
Ki," kata pemuda berjubah biru itu merubah panggilannya. "Tapi, aku
tidak bisa meninggalkan Rara Inggar di sini menghadapi Gerombolan Macan
Putih."
Tapas Jaya dan Karundeng
terdiam, sedangkan Rara Inggar menundukkan kepala begitu ucapan Suta selesai.
Memang, meskipun hanya segitu, tapi cukup untuk diketahui maksud yang tersirat
di dalamnya.
"Kalau kau memang tidak
ingin melihat Rara Inggar celaka, bawa dia pergi dari sini, Suta. Kupercayakan
murid keponakanku ini padamu," ujar Tapas Jaya setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Kalau menurut
pendapatku, lebih baik kita lihat dahulu perkembangannya... Apabila betul
Gerombolan Macan Putih datang dan kita tidak bisa menanggulanginya, baru Suta
dan Rara Inggar harus pergi pergi dari sini. Dan. "
"Kalau saja keadaanku
memungkinkan, usulmu itu bisa kuterima, Adi," selak Tapas Jaya.
"Ap... apa maksudmu.
?"
"Hhh…! Aku mengalami luka
dalam yang lumayan parah ketika memaksakan diri menguasai jurus keempat belas
‘Tringgiling'. "
"Kenapa kau tidak segera
mengobatinya, Kang?!" tanya Karundeng kaget.
''Karena aku ingin melihat dan
bercakap-kacap dulu dengan murid keponakanku. "
“Paman...!" seru Rara
Inggar sambil menghambur ke arah kakek berkepala botak itu.
Ada isak tangis keluar dari
mulut gadis berpakaian merah itu karena perasaan haru yang menggelegak. Sungguh
tidak disangka akan sebesar itu kasih sayang Tapas Jaya padanya, sehingga rela
menangguhkan pengobatannya demi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan murid
keponakannya!
Tapas Jaya tersenyum lebar.
Kedua tangannya mengembang. Disambutnya tubuh yang menghambur ke arahnya, lalu
direngkuhnya penuh kasih sayang. Kedua tangannya yang masih tampak kekar,
meskipun telah dipenuhi keriput di sana-sini, mengelus-elus rambut hitam dan
tebal milik Rara Inggar.
"Maukah kau memenuhi
permintaan terakhir kami berdua, Inggar?" tanya Tapas Jaya.
Rara Inggar mendongakkan
kepala, kemudian perlahan kepalanya terangguk.
"Kau dan Suta pergi dari
sini."
Rara Inggar terperanjat
sebentar, tapi kemudian tersenyum walaupun getir.
"Kalau hal itu dapat
membuat hati Paman berdua gembira, aku mau memenuhinya," kata gadis berambut
dikuncir itu dengan suara serak.
"Bukan hanya gembira
saja, Inggar. Tapi juga bahagila. Kami akan berbahagia sekali bila kau sudi
memenuhi permintaan kami. "
"Ada apa, Paman?"
tanya Rara Inggar ketika melihat kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya
secara mendadak.
"Aku mendengar
banyak langkah kaki
menuju kemari. "
"Banyak?" selak
Suta. “Jangan-jangan mereka adalah Gerombolan Macan Putih." "Mungkin
kau benar, Suta," kali ini Karundeng yang menanggapi. "Menilik dari
suaranya, jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang. "
"Kalau begitu kita harus
bersiap-siap menghadapinya," tegas Rara Inggar gagah sambil melepaskan
pelukannya.
“Tapi, ingat. Begitu keadaan
tidak menguntungkan, kau dan Suta harus segera meninggalkan tempat ini!"
Rara Inggar mengangguk.
"Aku bukan orang yang suka menarik kembali ucapan yang telah keluar dari
mulutku. Paman"
"Bagus! Aku percaya
padamu !"
***
Dugaan Suta tidak keliru. Di
kejauhan tampak banyak sosok tubuh berpakaian hitam yang tengah bergerak cepat menuju
ke arah mereka.
"Itukah Gerombolan Macan
Putih yang telah menghancurkan perguruan ayahmu, Inggar?" tanya Tapas
Jaya.
Rara Inggar mengangguk.
Pandangannya tertuju ke arah sosok-sosok tubuh yang berada jauh di sana dengan
sorot mata mengandung dendam.
"Mari kita sambut
mereka!" kata Karundeng sambil melangkah meninggalkan pondok.
Tapas Jaya, Rara Inggar, dan
Suta bergegas mengikuti. Pandangan mata mereka tertuju pada puluhan sosok tubuh
yang semakin lama semakin bergerak mendekat.
Memang, rombongan itu tak lain
adalah Gerombolan Macan Putih! Berdiri paling depan adalah Nyi Nila, Bangor dan
beberapa orang pemimpin kelompok.
"Serbu...!" teriak
Nyi Nila seraya mengibaskan tangan kanan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, puluhan Gerombolan Macan Putih meluruk ke arah rombongan Tapas Jaya.
Suara suara berdesing nyaring dan berkeredep sinar-sinar berkilatan mengiringi
tercabutnya golok bergagang kepala macan putih. Maka dengan senjata terhunus di
tangan, Gerombolan Macan Putih menerjang.
Serbuan Gerombolan Macan Putih
itu disambut hangat oleh rombongan Tapas Jaya. Sementara Rara Inggar tanpa
ragu-ragu lagi segera menghunus pedangnya. Tapi Tapas Jaya, Karundeng, dan Suta
sama sekali tidak menggunakan senjata. Dengan tangan telanjang, mereka menghadapi
serbuan puluhan Gerombolan Macan Putih.
Seperti telah diatur saja, Nyi
Nila segera melesat ke arah Karundeng. Tapas Jaya dikepung Bangor, seorang
pemimpin regu lagi dan empat orang pemimpin kelompok. Sedangkan sisa pemimpin
kelompok yang berjumlah tujuh orang dan puluhan orang Gerombolan Macan Putih
lainnya, mengeroyok Rara Inggar dan Suta.
Pertarungan sengit dan
mati-matian pun tak bisa dielakkan lagi. Memang, masing-masing pihak telah
mengeluarkan seluruh kemampuan.
Di antara semua orang yang
tengah bertarung, hanya Tapas Jaya saja yang merasa menyesal bukan kepalang.
Mengapa lawan datang di saat dirinya belum berhasil memulihkan kesehatannya.
Sehingga, kelihaiannya menurun jauh. Oleh karena itu, Tapas Jaya mengalami
sedikit kesulitan untuk menghadapi keroyokan enam orang lawan. Terutama sekali
Bangor dan rekan setingkatannya.
Ternyata bukan hanya Tapas
Jaya saja yang mengalami kesulitan. Karundeng, Rara Inggar, dan Suta pun
mengalami hal yang sama.
Karundeng yang menghadapi Nyi
Nila dibuat terpontang-panting ke sana kemari. Memang, tingkat kepandaian kakek
berpakaian abu-abu ini hanya sedikit di atas ibu Rara Inggar yang tewas di
tangan Nyi Nila. Maka tidak aneh kalau Karundeng menghadapi lawan berat.
Di antara keempat orang itu,
yang terlihat menggebugebu hanya Rara Inggar seorang. Pedang di tangannya
melesat ke sana kemari mencari-cari sasaran. Tapi, serangannya selalu kandas,
karena lawan-lawan yang dihadapi terlalu berat. Empat orang pemimpin kelompok.
Padahal seorang di antara mereka saja, memiliki kepandaian yang hanya
berselisih sedikit saja daripadanya. Dan kini gadis berpakaian merah itu
menghadapi empat orang sekaligus. Akibatnya, dia terpontang-panting ke sana
kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Sebuah keuntungan bagi Rara
Inggar. Suta selalu memperhatikan keadaannya. Pemuda itu selalu melesat
menolong, apabila Rara Inggar berada dalam keadaan bahaya. Padahal, Suta tengah
menghadapi keroyokan banyak lawan.
Hal ini pun tak lepas dari
perhatian Karundeng dan Tapas Jaya, walaupun memang hanya sekilas saja
terlihat. Diam-diam kedua tokoh sakti itu bersyukur, Rara Inggar mendapatkan
seorang yang bersedia melindunginya dari segala bahaya.
Kalau melihat dari letak pulau
kecil itu, kemungkinan pertarungan dilihat orang tipis sekali. Tapi ternyata
ada juga orang yang menyaksikan pertarungan mati-matian itu.
Sang penonton itu berjumlah
dua orang, dan mengintai dari balik kerimbunan pepohonan. Mereka tak lain
adalah Melati dan Arya.
"Bagaimana, Kang? Apakah
kita pertu turun tangan sekarang?" tanya Melati yang sudah tidak sabar
lagi untuk segera terjun dalam pertarungan.
"Sabar dulu,
Melati," sahut Arya. "Aku ingin melihat kehadiran Ketua Gerombolan
Macan Putih dulu. Dan lagi, ada hal hal yang mencurigakan hatiku. "
"Apa itu, Kang?"
tanya Melati ingin tahu.
"Maaf Melati. Aku tidak
bisa mengatakannya. Dan andaikata dugaanku benar, aku tak ingin kau terkejut...
Tambahan lagi, aku ingin
melihat kau berusaha berpikir dan memperhatikan pertempuran."
"Hm. ," Hanya gumam
pelan tak jelas dari mulut gadis
berpakaian putih yang
menyambuti ucapan Arya.
"Hanya yang perlu kau
ketahul, Melati. Aku yakin Ketua Gerombolan Macan Putih telah berada dalam
kancah pertarungan. Hanya saja, belum mau mengunjukkan diri. Mungkin ada
sesuatu yang ditunggunya,"
"Mengapa kau bisa
mengambil kesimpulan seperti itu, Kang?" tanya Melati lagi.
“Tentu saja dari pengamatan
jalannya pertarungan," kalem jawaban pemuda berambut putih keperakan itu.
Melati pun diam. Dan kini
pandangannya kembali dialihkan ke arah pertarungan.
Sementara itu di antara
pertarungan. Tapas Jaya mulai dilanda rasa was-was. Telah hampir lima puluh
jurus bertarung, tapi tidak juga mampu merobohkan lawan seorang pun. Kerja sama
enam orang lawan benar-benar menyulitkannya. Apa lagi keadaannya memang tidak
menguntungkan.
Sambil lalu, diliriknya
Karundeng. Ternyata tidak jauh beda dengannya. Begitu pula keadaan Rara Inggar.
Hanya Suta saja yang keadaannya lebih baik. Meskipun kelihatan terdesak, tapi
selalu menolong Rara Inggar pada saat gadis itu dalam keadaan berbahaya.
"Inggar, Suta...! Ombak
besar, gulung layar...!" teriak Tapas Jaya menyuruh sepasang muda-mudi itu
menyelamatkan diri. Sengaja kakek berkepala botak ini menggunakan bahasa
rahasia untuk membuat pihak lawan tidak mengetahui maksudnya.
Rara Inggar menoleh ke arah
Suta. Dan dengan sebuah gerakan mengejutkan, pemuda berjubah biru itu melesat
cepat, dan tahu-tahu telah berada di sebelah Rara Inggar.
Tapi para pengeroyok Suta mana
mau membiarkannya? Mereka pun bergerak mengejar.
Kini Rara Inggar dan Suta
bersama-sama dalam satu kurungan puluhan Gerombolan Macan Putih.
"Mintalah sesuatu untuk
kenang-kenangan, Inggar. Agar kita bisa selalu mengingat beliau, anggaplah
sebagai eh... hadiah perkawinan dari mereka," ujar Suta.
Belum juga Rara Inggar sempat
menyambuti ucapan itu, kembali Gerombolan Macan Putih telah meluruk menyerbu.
Terpaksa mereka berdua bahu membahu menghadapinya. "Mari kita menuju
tempat paman untuk memberi tahu, Inggar.... Teroboslah cepat, aku akan melindungimu..."
Tanpa ragu-ragu, Rara Inggar
bergerak menerobos kepungan. Tentu saja, para pengeroyok tidak sudi
membiarkannya. Berbondong-bondong mereka bergerak menghadang. Hujan senjata pun
bertubi-tubi mengancam berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah itu.
Tapi semua hambatan itu kontan
buyar berantakan ketika Suta menggerak-gerakkan tangannya. Angin kuat berhembus
dari kedua tangan pemuda berjubah biru itu, sehingga membuat tubuh-tubuh lawan
berpentalan seperti dilanda angin ribut. Tak terkecuali tubuh-tubuh para
pemimpin kelompok.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Suta. "Maaf, Paman...!"
Sambil berteriak keras,
tubuhnya meluruk ke arah enam orang pimpinan Gerombolan Macan Putih yang tengah
mengeroyok Tapas Jaya. Tangan dan kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi.
Enam orang pimpinan Gerombolan
Macan Putih itu terkejut bukan kepalang ketika menyadari kedahsyatan serangan
lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya dibanting dan
bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sesaat
itu dimanfaatkan Rara Inggar sebaik-baiknya.
"Kami minta sesuatu
sebagai kenang-kenangan dari Paman, sekaligus sebagai hadiah pernikahan kami...
Paman," pinta Rara Inggar dengan wajah berubah merah.
Benak Tapas Jaya berputar
cepat. Apa yang pantas untuk diberikan? Dia tidak memiliki apa pun yang cukup
berharga, kecuali…. Suling Naga!
Bertepatan dengan berhasilnya
kakek berkepala botak itu menemukan hadiah untuk Rara Inggar, seranganserangan
dari enam orang lawan kembali tiba. Sedangkan Suta sudah sibuk menahan
pengeroyok yang tadi ditinggalkan.
"Ambil hadiah itu di
dalam tanah di bawah pohon Melati… Inggar," ujar Tapas Jaya seraya
menyambut datangnya serangan lawan.
Belum juga Rara Inggar
melaksanakan perintah itu, Suta sudah melesat meninggalkan lawan-lawannya.
“Tahan mereka dulu, Inggar.
Aku yang akan mengambil hadiah itu!"
Mau tidak mau, Rara Inggar pun
terpaksa menghadapi lawan-lawannya karena Suta sudah melesat meninggalkan.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dia sudah dibuat terpontang-panting ke sana
kemari.
***
Suta segera mengedarkan
pandangan ke arah tanaman depan pondok,
begitu telah keluar dari kancah pertarungan. Sesaat kemudian, senyumnya berseri
ketika telah melihat pohon melati. Hanya ada satu tanaman melati di sekitar
situ. Jadi, tidak mungkin salah lagi.
Tapi sebelum sempat menghamiri
pohon itu, belasan orang Gerombolan Macan Putih telah menyerbunya. Memang, Rara
Inggar tidak mampu mencegah mereka yang
tengah memburu Suta karena terlalu banyak lawan yang dihadapinya.
"Keparat..!"
Suta menggeram keras. Kedua
tangannya bergerak cepat memapak hujan senjata yang menuju ke arah berbagai
bagian tubuhnya.
Suara berdetak keras senjata
senjata yang berpatahan, dan jeritan kesakitan belasan Gerombolan Macan Putih
terdengar meningkahi tubuh-tubuh yang berpentalan.
Tanpa mempedulikan keadaan
lawan-lawannya, Suta segera melesat menghampiri pohon melati. Tangannya
diulurkan mencengkeram batang pohon itu, kemudian bergerak mencabut.
Brelll..!
Pohon itu tercabut sampai ke
akar-akarnya. Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, Suta melemparkan pohon
melati itu. Pandangannya langsung dialihkan ke arah lubang yang kini terbentuk.
Wajah pemuda berjubah biru ini
kontan berseri ketika melihat sebuah buntalan kain kuning di dasar lubang.
Dengan tangan menggigil dan dada berdebar tegang, diambilnya buntalan kain itu,
lalu dikeluarkan isinya.
"Suling Naga...,"
desis Suta. Wajahnya kontan berseri dan sepasang matanya berbinar-binar
pertanda tengah dilanda perasaan gembira yang menggelegak.
Sepasang matanya menatap ke
arah benda yang kini tergeletak di tangan. Sebuah suling yang pada bagian
ujungnya terdapat bentuk kepala seekor naga. Sementara, badan ular naga itu
melilit di sekitar badan suling.
"Ha... ha... ha...!"
Mendadak Suta tertawa terbahakbahak. "Akhirnya kudapatkan juga benda ini.
Ha ha ha...!"
"Berikan senjata itu pada
kami...!" teriak Karugi sambil melangkah maju diikuti belasan temannya
yang tadi memekik kesakitan ketika senjata mereka berpatahan.
"Hentikan pertempuran
!"
Kontan semua Gerombolan Macan
Putih menghentikan gerakan. Mereka semua mengenal pemilik suara yang melengking
nyaring itu. Suara Nyi Nila, Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih!
Seiring selesai ucapan itu,
tubuh Nyi Nila melenting ke belakang. Dia kemudian bersalto beberapa kali di
udara, lalu mendarat beberapa tombak dari tempat semula.
Karundeng sama sekali tidak
mengejar, tapi sebaliknya malah bergerak mendekati Rara Inggar dan Tapas Jaya
yang telah bersama-sama. Memang, lawan telah bergerak menjauh akibat perintah
yang dikeluarkan Nyi Nila.
"Inggar...! Cepat kau
lari…!" perintah Tapas Jaya seraya mendorong tubuh gadis berpakaian merah
pelan.
Tanpa membuang-buang waktu,
Rara Inggar berlari menghampiri Suta.
"Mari, Suta...!"
Melihat tindakan Rara Inggar,
belasan orang Gerombolan Macan Putih sudah bergerak dan siap mengejar. Tapi....
"Tahan. !"
Lagi-lagi suara Nyi Nila
terdengar menggelegar membuat gerakan Gerombolan Macan Putih itu tertahan.
Hanya pandangan mata keheranan saja yang menjadi saksi kalau mereka merasa
bingung mendengar perintah itu. Gilakah Nyi Nila? Kalau tidak, mengapa seperti
sengaja memberikan kesempatan kabur pada Rara Inggar?
Karena tidak ada yang bergerak
menghalangi, tidak ada kesulitan bagi Rara Inggar untuk tiba di dekat Suta.
"Mari kita pergi, Suta.
!" ajak Rara Inggar. Agak heran
hatinya melihat sikap pemuda
berjubah biru itu.
"Pergi? Ha... ha ha…! Aku
memang akan pergi, Wanita
Liar! Tapi setelah kau dan
kakek-kakek jompo itu kulenyapkan! Apalagi, pusaka leluhurku telah berada di
tanganku…!" kasar dan keras sekali ucapan yang keluar dari mulut pemuda
kekar itu. Wajah dan sepasang mata yang semula lembut, kini berubah beringas,
penuh hawa membunuh.
Karuan saja ucapan dan
perubahan sikap Suta bukan hanya membuat Rara Inggar tersentak kaget. Tapas
Jaya dan Karundeng, serta belasan Gerombolan Macan Putih pun begitu terkejut.
Orang-orang berpakaian hitam itu merasa heran melihat di antara lawan ada
perselisihan.
"Kau..? Kau...?! Apa
maksudmu...?!" tanya gadis berpakaian merah itu terbata-bata.
“Inggar ! Cepat kemari !"
teriak Tapas Jaya yang sudah
menyadari adanya gelagat yang
tidak menguntungkan. Ucapan Suta telah membuat dirinya sadar, siapa adanya
pemuda berjubah biru itu.
"Tapi, Paman…," Rara
Inggar mencoba membantah. "Cepat kemari...! Dia adalah ahli waris Raja
Ular
Pelenyap Sukma. !" teriak
Tapas Jaya lagi.
"Ah...! Benarkah itu...
Suta?" tanya Rara Inggar gagap seraya melangkah mundur.
"Ha ha ha. !"
Bukannya jawaban yang
diperoleh Rara Inggar, tapi sebuah tawa bergelak yang menyeramkan. Tapi
mendadak saja tawanya dihentikan, dan diputuskan dengan dengus.
"Hih...!"
Prall...!
Pakaian yang dikenakan Suta
langsung hancur berkeping-keping, ketika terdengar suara berkerotokan keras.
Seolah-olah seluruh tulang di tubuh pemuda berjubah biru itu hancur berantakan.
Kini Suta berdiri kokoh tanpa
mengenakan pakaian lagi. Pemuda berjubah biru itu kini bertelanjang dada.
Sehingga, tampak otot-otot dan urat-urat yang bertonjolan di sekujur tubuhnya.
Tapi bukan itu yang membuat
semua pasang mata, kecuali mata Nyi Nila, terbelalak. Gambar kepala seekor
macan putih besar di bagian dada Sutalah yang membuat mereka semua hampir
terlonjak. Tanda seperti itu hanya dimiliki Ketua Gerombolan Macan Putih! Jadi,
Suta adalah....
"Kau. ?!" jerit Rara
Inggar dengan perasaan hancur.
Sama sekali tidak disangka,
orang yang selama ini menolongnya adalah pembunuh ayahnya. Dialah keturunan
Raja Ular Pelenyap Sukma. Beberapa saat lamanya gadis itu hanya terpaku kaku.
"Keparat..! Kubunuh kau.
!"
"Inggar. !"
Karundeng dan Tapas Jaya
sama-sama berseru kaget ketika melihat Rara Inggar melancarkan serangan ke arah
Suta. Pedang di tangan gadis berpakaian merah itu meluncur deras ke arah
tenggorokan Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Hmh. !"
Suta hanya mendengus. Ditunggunya
hingga serangan menyambar dekat, kemudian tangannya diulurkan. Dan....
Tappp. !
Pedang Rara Inggar berhasil
dicekalnya. Dan sekali tangannya bergerak menekuk, kontan senjata itu
patahpatah. Akibatnya tubuh gadis berpakaian merah itu terhuyunghuyung.
"Habisi mereka...!"
perintah Suta yang ternyata adalah Ketua Gerombolan Macan Putih.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Gerombolan Macan Putih bergerak menyerbu rombongan Tapas Jaya. Kini
Bangor, Karugi, dan sebagian besar Gerombolan Macan Putih yang menjadi anak
buah Jalatang mengerti, mengapa Ketua Gerombolan Macan Putih itu tahu
orang-orang yang melanggar aturan gerombolan itu. Karena tanpa sepengetahuan
mereka sang Ketua berada di sana waktu itu! Suta alias Ketua Gerombolan Macan
Putih meng-
hampiri Nyi Nila yang telah
menjauhi arena pertarungan. "Bagaimana,
Nyi? Rencanaku berhasil
baik, bukan?
Berarti nama Kala Suta tidak
jadi kubuang! Bukankah begitu tekadku, Nyi?"
Wanita berpakaian kulit macan
putih ttu menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Kau akan lebih sakti
dari kakekmu sendiri, Kala. Kau akan menguasai dunia persilatan!" tegas
Nyi Nila yakin seraya menatap Suling Naga yang dipegang Kala Suta. "Tapi,
ingat. Larang setiap anak buahmu memperkosa wanita! Kau tahu, betapa besar kengerian
yang melanda hati wanita yang akan diperkosa!"
"Akan kuperhatikan
ucapanmu, Nyi!" sahut Suta yang ternyata memiliki nama lengkap Kala Suta.
"Kala...! Lihat..!"
seru Nyi Nila sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah pertarungan.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Kala Suta ketika sepasang matanya mengikuti arah tudingan telunjuk wanita
berpakaian kulit macan putih itu.
Betapa tidak? Di kancah
pertarungan ternyata bukan anak buahnya yang tengah membantai lawan. Tapi,
justru anak buahnya yang tengah dibantai!
Saking asyiknya terlibat
percakapan, Kala Suta dan Nyi Nila sama sekali tidak curiga mendengar
jeritan-jeritan kematian sejak tadi. Rupanya, jeritan itu keluar dari mulut
anak buahnya! "Siapa keparat-keparat busuk itu, Nyi?!" tanya Kala Suta
sambil menatap penuh perhatian pada dua sosok tubuh yang tengah sibuk
merobohkan Gerombolan Macan Putih.
Dua sosok tubuh yang tak lain
dari Arya dan Melati rupanya telah ikut campur tangan. Beberapa sosok tubuh
lawan tampak bergeletakan tanpa nyawa di tanah.
Nyi Nila menggeleng.
"Siapa pun adanya kedua
orang itu, mereka harus dilenyapkan! Mari, Nyi. Kita bunuh mereka!"
Sambil berkata begitu, Kala
Suta dan Nyi Nila melompat ke dalam kancah pertarungan.
Seperti telah dimufakati lebih
dahulu, Kala Suta langsung menerjang Dewa Arak. Sementara, Nyi Sula langsung
menerjang Melati. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka mengirimkan serangan
bertubi-tubi dan mematikan ke arah berbagai bagian tubuh sepasang pendekar itu.
Arya dan Melati tidak menjadi gugup, dan buru-buru menangkis. Seluruh tenaga
dalam dikerahkan dalam
tangkisan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring seperti
beradunya dua batang logam keras terdengar ketika empat pasang tangan itu
berbenturan. Tubuh mereka pun sama-sama terhuyung ke belakang.
Sadar akan ketangguhan lawan,
Dewa Arak segera mengambil guci araknya yang terletak di punggung, kemudian
dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu pun limbung.
Kala Suta sama sekali tidak
memberi Dewa Arak kesempatan. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus
dan menegang kaku meluncur bertubi-tubi menimbulkan suara berdesing nyaring.
Inilah Jurus 'Ular', warisan Raja Ular Pelenyap Sukma. Cit, cit, cit...!
Suara mendecit nyaring menjadi
pertanda kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Tapi lawan yang dihadapinya
adalah Dewa Arak. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan itu mudah
saja dikandaskan. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang
yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung.
Bukan hanya pertarungan antara
Dewa Arak menghadapi Kala Suta saja yang berlangsung ramai. Pertarungan Melati
melawan Nyi Nila, dan pertarungan rombongan Tapas Jaya menghadapi Gerombolan
Macan Putih pun berlangsung tak kalah seru.
Riuhnya suara denting senjata
beradu, gerakan setiap tokoh-tokoh tingkat tinggi, serta jerit kematian dari
mulut anggota Gerombolan Macan Putih, meningkahi pertarungan sengit itu.
Memang, setelah tanpa Nyi Nila
ikut bertarung. Tapas Jaya, Karundeng, dan Rara Inggar tidak mengalami
kesulitan mendesak Gerombolan Macan Putih. Apalagi, dua pemimpin regu, dan
beberapa orang pimpinan kelompok sudah roboh di tangan Arya dan Melati.
Sehingga, lawan yang tinggal kebanyakan hanya keroco saja.
Tak sampai tujuh puluh jurus,
hanya tinggal beberapa gelintir saja Gerombolan Macan Putih yang tersisa. Dan
itu pun tak berlangsung lama. Dua jeritan kematian mengiringi robohnya dua
orang terakhir Gerombolan Macan Putih.
Tapas Jaya, Karundeng, dan
Rara Inggar menghentikan gerakan. Lalu, mereka menghapus peluh yang membasahi
kening dan leher. Kini perhatian mereka beralih pada pertarungan antara Dewa
Arak melawan Kala Suta, dan Melati melawan Nyi Nila.
Memang hebat bukan kepalang
pertarungan yang terjadi. Terutama sekali pertarungan antara Dewa Arak
menghadapi Kala Suta.
Dalam hati, Dewa Arak harus
mengakui kelihaian lawan. Jurus 'Ular' milik lawannya mengingatkannya pada
lawan tangguhnya dulu yang juga memiliki jurus 'Ular Terbang' (Untuk jelasnya,
baca serial Dewa Arak dalam episode perdana 'Pedang Bintang"). Seluruh
kemampuan yang dimilikinya telah dikeluarkan. Kedua tangan, guci, dan semburan
araknya juga telah dikeluarkan. Tapi tetap saja mengalami kesulitan
menanggulangi lawan. Baru pada jurus keseratus dua puluh lima, lawannya
berhasil ditekan.
Ternyata bukan hanya Arya saja
yang berhasil mengungguli lawan. Melati pun demikian pula. Pedang di tangannya
dalam penggunaan ilmu ‘Pedang Seribu Naga' menggerung mendesak Nyi Nila yang
bersenjatakan sepasang pisau bergagang kepala seekor harimau.
Pada jurus keseratus enam
puluh dua, Kala Suta yang kini telah menggunakan Suling Naga melompat menerjang
Dewa Arak. Suling Naga di tangannya menotok cepat ke arah dada, menimbulkan
suara berciutan nyaring.
Menyadari akan kedahsyatan
serangan itu. Dewa Arak segera melangkahkan kaki ke kanan seraya mendoyongkan
tubuh sehingga serangan itu lewat di sebelah kirinya. Di saat itulah kaki kiri
Arya melayang ke arah dada.
Kedudukan Kala Suta yang saat
itu tidak menguntungkan berusaha keras mengelak. Tapi…
Desss...!
Telak dan keras bukan kepalang
tendangan itu mengenai sasarannya. Diiringi suara berderak dari tulangtulang
yang patah, dan darah menyembur dari mulut, tubuh Ketua Gerombolan Macan Putih
itu melayang ke belakang dan jatuh ke tanah. Pada saat yang tepat, Dewa Arak
cepat melompat. Begitu tubuh Kala Suta telentang, kaki Arya dijatuhkan, tepat
di leher Ketua Gerombolan Macan Putih itu. Sebentar Kala Suta kelojotan, laki
diam tidak bergerak lagi. Mati!
Pada saat kematian Kala Suta,
Nyi Nila menusukkan kedua pisaunya bertubi-tubi ke arah dada Melati.
Tapi dengan sebuah genjotan
pelan pada kaki, gadis berpakaian pulih itu telah membuat serangan lawan tidak
mengenai sasaran, dan hanya meluncur lewat di bawah kakinya. Memang, Melati
telah melompat ke atas.
Dan dari atas, dengan
kecepatan luar biasa Melati menusukkan pedangnya ke arah kepala Dan...
Cappp..! "Aaakh...!"
Nyi Nila menjerit ngeri.
Tubuhnya pun roboh ke tanah, berbarengan dengan hinggapnya kedua kaki Melati.
Sesaat tubuh Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih itu menggelepar, sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak dan Melati segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Anak Muda!
Tunggu..!" Karundeng berusaha mencegah kepergian Arya, tapi terlambat.
Karena, hanya dalam beberapa langkah saja tubuh sepasang muda-mudi itu telah
mengecil.
Rara Inggar hanya dapat
menatap mayat Kala Suta dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Pandangan matanya pun tetap tidak bergeming, meski Tapas Jaya berjalan
menghampiri mayat Kala Suta dan mengambil Suling Naga.
Sementara, Karundeng masih
telah melayangkan pandangannya ke depan, ke arah tubuh Dewa Arak dan Melati
yang telah semakin mengecil.
"Sayang sekali, kedua
orang itu cepat pergi. Ingin aku berkenalan dengan sepasang anak muda yang
begitu sakti…Ahhh…! Mereka berdua memang pendekar-pendekar sejati. "
Matahari perlahan mulai
gelincir dari titik tengahnya. Tapi Rara Inggar, Tapas Jaya, dan Karundeng
tetap hanyut dalam lamunan masing-masing.
SELESAl