30 Dalam Cengkeraman Biang Ibis
1
Hari sudah agak siang.
Peredaran matahari sudah hampir mencapai titik tengahnya ketika dua sosok tubuh
melangkah perlahan menyusuri jalan tanah berdebu. Untungnya, saat itu langit
tertutup oleh awan tebal. Meskipun tidak begitu hitam, tapi membuat suasana di
mayapada tidak terlalu panas.
Dua sosok tubuh itu adalah
seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka masing-masing masih cukup
muda. Paling tidak, lebih dari dua puluh tahun. Yang laki-laki berwajah tampan.
Pakaiannya berwarna ungu, dengan sebuah guci arak perak tergantung di bagian
punggungnya. Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan dibiarkan meriap,
semakin menambah kejantanannya.
Sedangkan yang wanita berwajah
cantik jelita laksana bidadari turun dari kahyangan.
Pakaiannya berwarna putih.
Sedangkan rambutnya berwarna hitam, panjang tergerai. Sehingga menonjolkan
kecantikannya.
"Haruskah aku ikut juga
pergi ke sana, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian putih
seraya menoleh ke arah wajah
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tentu saja,
Melati," sahut pemuda berpakaian ungu yang ternyata Arya Buana. Di
kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Senyum
Dewa Arak tampak tersungging di bibir. "Bukankah kita telah berjanji pada
Gambala?"
"Kau yang berjanji
padanya, Kang. Dan bukan aku," bantah Melati memperbaiki ucapan kekasihnya. Memang, gadis
berpakaian putih itu adalah Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Apa bedanya,
Melati?" sahut Arya dengan bibir mengulum senyum. "Aku atau kau
yang berjanji, sama saja.
Atau..., kau ingin aku yang pergi sendiri ke sana?"
"Agar kau bisa bertemu
lagi dengan gadis putri datuk yang dulu kau bela mati-matian? Enak saja!"
sambung Melati sambil mencibir ( Untuk jelasnya me-ngenai tokoh yang bemama
Gambala, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Memburu Putri Datuk' dan
'Jamur Sisik Naga').
"Ha ha ha...!" tawa
Arya pun meledak.
Kelihatannya pemuda berambut
putih keperakan ini merasa geli sekali, sehingga bisa tertawa semeriah itu.
Bahkan perutnya sampai terguncang-guncang karena rasa cemburu Melati yang
menggelitik perutnya.
"Kenapa kau tertawa,
Kang? Ada yang lucu?" tanya Melati heran.
Kini kekesalan yang tadi
melanda hatinya mulai mereda. Bahkan telah berganti perasaan geli melihat tawa
pemuda itu. Dan meskipun berusaha ditahan, tetap saja mulutnya menyunggingkan
senyum simpul.
"Arya segera menghentikan
tawanya dengan susah-payah.
"Jangan terlalu cemburu,
Melati," ujar Arya. "Karmila sudah menjadi milik Rupangki.
Jadi, tidak ada alasan bagimu
untuk mencurigaiku. Lagi pula "
Arya terpaksa menghentikan
ucapannya, karena mendengar derap langkah kaki kuda di belakangnya. Berkat
ketajaman pendengarannya, bisa diketahui kalau kuda yang berlari tidak hanya
seekor saja.
Pemuda berpakaian ungu itu
lalu menoleh ke belakang, diikuti Melati. Mereka ingin tahu, siapa orang-orang
yang memacu kuda secepat itu di tempat yang berdebu pada suasana siang seperti
ini.
Memang berkat pendengaran
mereka yang tajam, Arya dan Melati bisa mengetahui
kalau penunggang kuda itu
memacu kudanya dengan tergesa-gesa. Dan itu bisa diketahui dari derap langkah kaki kuda yang begitu
bertubi-tubi menghantam bumi.
Dalam jarak sekitar sebelas
tombak di belakang sepasang muda-muda itu, tampak beberapa ekor kuda bergerak
cepat mendatangi. Kuda-kuda itu meninggalkan kepulan debu tebal dan pekat di
belakangnya.
Arya dan Melati mengerutkan
alisnya. Wajah mereka menyiratkan ketidaksenangan. Apa lagi ketika mengetahui
kecepatan kuda-kuda itu sama sekali tidak mengendur. Padahal, sebentar lagi
akan tiba di tempat mereka. Sepasang pendekar muda itu tentu saja tidak ingin
terkena kepulan debu, apabila kuda-kuda itu lewat
"Kalau masih
tetap saja memacu
kuda dengan demikian
cepat..., jangan salahkan
kalau aku terpaksa turun
tangan memberikan pelajaran pada mereka...," ancam Melati.
"Sabarlah, Melati. Tahan
amarahmu dulu. Aku
yakin, ada sesuatu
yang memaksa
mereka berlaku seperti
itu," sergah Arya, berusaha
menenangkan hati kekasihnya. Padahal, dia sendiri dilanda perasaan tidak
senang. Tapi, Arya tidak mau mengikuti hawa amarahnya.
Ucapan Dewa Arak ternyata
membuahkan basil juga. Kedua tangan Melati yang semula sudah mengejang penuh
berisi tenaga dalam, perlahan-lahan mengendur kembali.
"Tapi kalau mereka
mengotori tubuh dan pakaian kita dengan debu-debu, apakah harus dibiarkan saja,
Kang?" sahut Melati masih mencoba bersikeras.
"Kita lihat saja
nanti," kalem jawaban yang keluar dari mulut Arya.
Melati pun terdiam. Diikuti
langkah kaki kekasihnya yang telah melanjutkan perjalanan kembali. Seolah-olah
Dewa Arak tidak khawatir kalau kuda-kuda itu akan melabrak mereka. Memang,
jalanan itu terlalu kecil. Lebarnya tak lebih dari tiga tombak. Sementara di
kanan kirinya dttumbuhi pepohonan dan semak-semak berduri.
Arya terus saja melangkah,
meskipun derap kaki kuda itu terdengar semakin keras. Nampaknya jarak antara
mereka dengan kuda-kuda itu semakin dekat. Mau tak mau, Melati pun berusaha
menenangkan diri dan terus melangkah. Namun demikian, jantungnya telah berdegup
keras karena ketegangan yang melanda. Dicobanya untuk bersikap tenang seperti
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tampak tenang-tenang saja.
Kekhawatiran Melati ternyata
tidak terbukti. Ketika derap kaki kuda itu
sudah semakin jelas terdengar, sebuah suara lain yang membuat hatinya
lega menyeruak.
"Hooop...!"
Seiring lenyapnya suara itu,
terdengar ringkikan kuda-kuda yang disusul lenyapnya suara bergemuruh kaki-kaki
kuda yang menghantam bumi.
"Raden..! Gusti Ayu...!
Tunggu...!"
Arya dan Melati terperanjat
bukan kepalang. Kaki mereka yang tengah melangkah pun mendadak terhenti. Dengan
wajah berubah heran, keduanya membalikkan tubuh. Benarkah mereka berdua yang
dipanggil? Kalau benar, kemungkinan besar para penunggang kuda itu adalah
orang-orang Kerajaan Bojong Gading.
Begitu tubuh Arya dan Melati
sudah berbalik, para penunggang kuda itu melompat turun dari punggung binatang
tunggangannya. Indah dan manis gerakan mereka yang ternyata berjumlah lima
orang itu. Lalu, ringan tanpa suara kaki mereka mendarat di tanah.
Arya dan Melati memperhatikan
lima sosok di hadapannya penuh selidik. Barangkali saja mereka bisa dikenalinya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya memperhatikan, tidak juga mengenali mereka.
Kelima orang itu rata-rata
bertubuh tegap dan kekar. Sepasang mata yang menyorot
tajam, tampak pada wajah
mereka yang rata-rata menyiratkan kegagahan. Dan begitu telah berada di tanah,
kelima orang itu langsung menekuk sebelah kaki. Sedangkan lutut ditempelkan ke
tanah. Tangan kanan mereka yang terkepal ditekankan ke bumi.
"Maafkan kami, Den, Gusti
Ayu. Kami terpaksa mengganggu...," ucap salah seorang
yang berkumis tebal.
"Sebenarnya Siapakah
Kisanak semua?" tanya Arya ingin tahu.
"Kami adalah anggota
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading," sahut orang yang kulit wajahnya
kemerahan.
"Hm " gumam Arya dan
Melati berbarengan.
Tanpa sadar kepala sepasang
muda-mudi itu terangguk-angguk. Kini mereka mengerti, mengapa kelima orang itu
memanggil seperti itu.
"Bangunlah
kalian...," ujar Melati tegas dan penuh wibawa. Persis ucapan seorang
panglima yang memerintah pasukannya.
Dewa Arak memang termasuk
orang yang mampu menyimpan perasaan. Jadi, wajar saja kalau tidak tampak
perasaan kaget di wajahnya, karena merasa heran melihat sikap dan ucapan
Melati. Inikah Melati, kekasihnya yang selalu menampakkan perasaan manja
padanya? Sungguh berbeda dengan kenyataan yang dilihat dan didengarnya sekarang!
Kelima orang gagah yang ternyata anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu bergerak bangkit.
"Katakanlah. Mengapa
kalian bisa berada di sini?" tanya Melati. Suara dan sikapnya
penuh wibawa.
"Dan mengapa kalian tidak
menjaga ayahanda prabu?"
Laki-laki berkumis tebal
menelan ludahnya, untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Keadaan di Istana Bojong
Gading tengah dalam keadaan gawat, Gusti Ayu...," lapor laki-laki berkumis
tebal.
"Heh...?! Apa yang
terjadi?" tanya Melati heran. "Ceritakanlah secara jelas dan singkat
kejadiannya?"
Laki-laki berkumis tebal
menarik napas dalam-dalam, sebelum memulai ceritanya.
"Kejadian ini berawal
dari sakitnya Gusti Prabu, Gusti Ayu...," tutur anggota pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading itu memulai ceritanya.
"Apa?!" pekik Melati
kaget
Dan sebelum laki-laki berkumis
tebal itu melanjutkan ceritanya, tahu-tahu tubuhnya sudah tertarik ke depan.
Rupanya, leher bajunya telah dicengkeram tangan Melati yang kemudian langsung
membetotnya. Kontan bulu kuduk anggota pasukan khusus itu berdiri menyaksikan
kesaktian putri angkat junjungannya.
"Ayahanda Prabu sakit?!
Katakan! Mengapa hal itu bisa terjadi?! Katakan cepat!" ucap Melati kalap.
Kedua tangan gadis ini masih
mencekal leher baju laki-laki berkumis itu, kemudian bergerak
mengguncang-guncangkannya. Mau tak mau, tubuh laki-laki berkumis tebal itu pun
ikut terguncang-guncang pula terbawa gerakan tangan Melati. Apalagi dia tidak
mengerahkan tenaga untuk melawan. Tapi andaikata mengerahkan pun, rasanya tidak
akan banyak berarti.
Jelas saja, sebab tenaga dalam
mereka berdua terpaut sangat jauh. Melihat hal ini, Dewa Arak buru-buru menyentuh
lengan Melati.
"Tenanglah, Melati.
Berikan kesempatan padanya untuk berbicara. Kekalapan tidak akan menyelesaikan
persoalan."
Melati terperangah. Baru
disadari, kalau sikapnya justru tidak menunjukkan ciri
seorang pendekar yang selalu
menghadapi persoalan dengan tenang.
"Maafkan atas sikapku
yang kurang pantas, Paman," ucap gadis berpakaian putih, malu-malu.
"Tidak apa-apa, Gusti
Ayu," jawab laki-laki berkumis tebal itu. "Aku bisa memaklumi
perasaan yang melanda hatimu,
Gusti Ayu."
"Terima kasih, Paman.
Sekarang, ceritakanlah apa yang terjadi di
istana sepeninggalku "
Anggota pasukan khusus yang
berkumis tebal itu menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Sepertinya dia hendak membuang ganjalan hatinya setelah berbuat demikian.
"Sebenarnya tidak ada
kejadian apa-apa, Gusti Ayu. Hanya..., yahhh.... Gusti Prabu sakit. Mungkin
karena lelah, dan mungkin pula karena rindu padamu. Tapi yang jelas, sakitnya
karena pikiran "
Laki-laki berkumis tebal itu
menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. "Tapi desas-desus
yang terdengar di luar sungguh
mengejutkan hati," sambung
anggota pasukan khusus itu.
"Desas-desus?"
Melati mengernyitkan keningnya.
"Benar. Menurut berita
yang tersebar di luar, Gusti Prabu sakit parah. Dan kemungkinan besar akan
mangkat," jawab laki-laki berkumis tebal itu seraya menyambung ceritanya.
"Hm !" Melati
mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu, Arya diam saja
mendengarkan. Dan memang, dia tidak ingin
berniat ikut campur. Dibiarkannya saja Melati menyelesaikan persoalan
itu. Dan itu dilakukan untuk menjaga harga diri sang kekasih di mata anak
buahnya. "Akibatnya banyak kadipaten yang berusaha melepaskan diri dan
menyatakan menjadi kerajaan baru. Bukan hanya itu saja. Di istana pun suasana
mulai hangat. Masing-masing pejabat ingin menjadi raja."
"Ah! Sampai begitu
parahnya keadaan di istana?" tanya Melati seperti tak percaya.
Bagai diberi perintah, kepala
kelima orang pasukan khusus itu terangguk berbarengan.
"Lalu..., Patih Rantaka
ke mana?" Melati kembali mengajukan pertanyaan setelah
teringat laki-laki setengah
tua yang telah beberapa kali ikut bersamanya dalam memadamkan kerusuhan (Agar
jelas, baca serial Dewa Arak dalam episode "Jamur Sisik Naga", dan
"Kelelawar Beracun").
"Beliau tengah pergi
mengadakan kunjungan persahabatan ke Kerajaan Kawulan," kali
ini laki-laki berjenggot
jarang-jarang yang menjawab.
"Itulah sebabnya,
beberapa di antara kami pergi meninggalkan istana untuk mencari Gusti Ayu.
Karena, Gusti Ayulah satu-satunya orang yang akan dapat menenangkan suasana di
istana yang mulai menghangat..." sambung laki-laki berkumis tebal.
"Lho?! Mengapa aku? Tidak
salahkah pilihan itu, Paman?" tanya Melati heran. Laki-laki berkumis lebat
itu menggelengkan kepala seraya tersenyum lebar.
"Semua pasukan, panglima,
dan pejabat kerajaan menaruh perasaan segan dan hormat pada Gusti Ayu. Aku
yakin, kalau Gusti Ayu yang turun tangan, keadaan akan kembali tenang "
"Kalau memang tidak ada
pilihan lagi..., apa boleh buat. Tapi. "
Seiring terhentinya ucapan
itu, Melati menoleh ke arah Dewa Arak.
Arya tahu perasaan yang
melanda hati Melati. Gadis itu tidak mau lancang mengambil keputusan, tanpa
meminta persetujuan darinya. Maka pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru
menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar.
"Pergilah, Melati. Rakyat
Kerajaan Bojong Gading membutuhkan uluran tanganmu.
Cegahlah pertumpahan darah yang
akan terjadi di sana," ujar Arya bijaksana. "Lalu , bagaimana dengan maksud
kepergian kita?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tidak usah kau
pikirkan," sahut Arya. "Apabila sempat, susullah ke sana. Toh,
waktunya masih cukup lama. Yang jelas, aku akan menunggu di sana."
"Kalau begitu , aku pergi
dulu, Kang," pamit Melati.
Arya menganggukkan kepala.
Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya. "Hih !"
Melati langsung menggenjot
kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan
hinggap di atas punggung kuda
yang telah disiapkan pasukan khusus itu. Dan ketika Melati telah berada di atas
punggung kuda, lima orang pasukan khusus itu melompat ke punggung kuda
masing-masing.
"Kami pergi dulu,
Den...," pamit mereka setelah berada di atas punggung binatang
tunggangannya.
"Semoga kerusuhan itu
bisa teratasi. ," ujar Arya.
"Mudah-mudahan, Den ,"
sahut kelima orang itu serempak.
"Hiya...! Hiya !"
Melati dan kelima orang
anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menggeprakkan tali kekang
kudanya. Seketika itu juga, binatang-binatang itu melesat meninggalkan Dewa
Arak. Mula-mula pelan, tapi semakin lama semakin cepat
Arya memandangi hingga
kuda-kuda itu lenyap di kejauhan, meninggalkan kepulan debu tebal dan tinggi.
***
Meskipun rombongan pasukan
berkuda itu telah tidak tampak lagi, Dewa Arak masih tetap berdiri di situ.
Pandangan matanya tetap tertuju ke arah lenyapnya rombongan itu. Cukup lama
Arya bersikap seperti itu. Tapi mendadak, tubuhnya berbalik karena mendengar
adanya deheman di belakangnya. "Raja Racun Muka Putih...!" desis Arya
kaget ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar berpakaian merah. Kumis,
jenggot, dan cambangnya yang berwarna hitam tampak menyolok sekali, karena
kulit wajahnya yang berwarna putih.
Arya memang mengenal tokoh ini
karena pernah berjumpa. Bahkan pernah bertarung dengannya (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Keris Peminum Darah").
"Ha ha ha...!" Raja
Racun Muka Putih tertawa berkakakan. "Kita berjumpa lagi, Dewa
Arak...!"
"Hm...." gumam Arya
pelan, menyambut ucapan kakek berpakaian merah. "Raja Racun Muka Putih...,
apa maksudmu menemuiku di sini?"
"Hm...!" Raja Racun
Muka Putih menggumam.
"Tanpa perlu
kuberitahukan pun, sebenarnya kau sudah harus mengetahuinya, Dewa Arak! Tapi,
baiklah. Mungkin saja kau lupa. Maka, akan kujelaskan persoalannya!"
Raja Racun Muka Putih
menghentikan ucapannya sejenak untuk menarik napas.
"Ada dua hal yang
membuatku mencarimu, Dewa Arak!" lanjut kakek berpakaian merah. "Tapi
biarlah...! Asal kau mau memenuhi masalah yang kedua, maka semua masalah akan
kulupakan. Bahkan kuanggap di antara kita tidak ada masalah "
Raja Racun Muka Putih
menghentikan ucapannya kembali, karena ingin melihat tanggapan Dewa Arak.
Tapi, ternyata pemuda berambut
putih keperakan diam saja. Tidak tampak adanya tanda-tanda kalau Arya ingin
mengajukan tanggapan.
"Masalah pertama..., kau
punya hutang nyawa padaku! Muridku, Brajageni telah kau bunuh. Dan untuk itu,
sudah sepatutnya aku membunuhmu! Tapi bila kau mau memenuhi masalah yang kedua,
yaitu memberikan keris miliknya yang kau curi, semua urusan akan kulenyapkan.
Kau kuampuni, Dewa Arak!"
Arya tersenyum getir.
"Sayang sekali, Raja
Racun," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya seperti
mengandung penyesalan mendalam. "Aku tidak bisa memberikan benda yang kau
inginkan itu. Keris itu telah tidak ada lagi padaku."
"Keparat! Jawabanmu
memang sudah kuduga, Dewa Arak!" maki Raja Racun Muka
Putih.
Kemarahan hebat tampak di
wajah kakek berpakaian merah itu. Wajahnya yang putih
tampak memerah. Suara
berkerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan terdengar, ketika tenaga
dalam Raja Racun Muka Putih bergolak ke sekujur tubuh dengan sendirinya.
"Berani benar kau
berbohong padaku, Dewa Arak!? Ataukah memang sudah mempunyai nyawa
rangkap?!" ancam Raja Racun Muka Putih. Suaranya terdengar bergetar,
karena amarah yang meluap-luap dalam dada.
"Aku tidak bohong, Raja
Racun! Keris itu tidak ada padaku!" jawab Arya.
Suara Dewa Arak tetap tenang,
setenang raut wajahnya. Walaupun sebenarnya, sekujur otot dan urat syaraf di
tubuhnya menegang waspada. Disadari kalau laki-laki tua yang berdiri di hadapannya adalah lawan
yang amat tangguh.
Dan sebenarnya Arya sama
sekali tidak berbohong. Keris itu telah tidak berada di
tangannya lagi, tapi telah
disimpan di sebuah tempat yang hanya dia sendiri yang tahu (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Keris Peminum Darah").
"Rupanya, kau ingin
dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Raja
Racun Muka Putih segera melompat menerjang Dewa Arak. Dan sekali menyerang,
seluruh kemampuannya telah dikeluarkan. Memang, kakek berpakaian merah ini
sadar kalau Arya memiliki kepandaian tinggi. Kesaktian Dewa
Arak telah dibuktikannya sendiri sewaktu bertarung dengan pemuda itu.
Raja Racun Muka Putih
mengawali serangan dengan mengirimkan sebuah tendangan miring kaki kiri yang
bertubi-tubi ke arah wajah Dewa Arak.
Arya segera menarik kaki
kanannya, mundur selangkah ke belakang. Sehingga, serangan itu tidak mengenai
wajahnya. Tapi meskipun begitu, tangan kanannya diangkat untuk menangkis
serangan itu. Dewa Arak memang sengaja melakukan tangkisan dengan menarik kaki
ke belakang untuk mengurangi tenaga serangan lawan. Plak, plak, plak...!
Benturan keras bertubi-tubi
seperti ada dua benda logam beradu terdengar ketika tangan dan kaki yang
sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik Dewa Arak
maupun Raja Racun Muka Putih sama-sama terhuyung ke belakang. Tangan dan kaki
masing-masing pihak sama-sama bergetar hebat. Raja Racun Muka Putih benar-benar
merupakan seorang tokoh sakti. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun kekuatan
yang membuat tubuhnya terhuyung, berhasil dipatahkan. Lalu kembali
dilancarkannya serangan dengan kaki yang sama. Tapi, kali ini meluncur ke arah
dada.
Seperti juga sebelumnya,
serangan kali ini pun diawali deru angin keras. Rupanya dari sini terlihat,
betapa besarnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Namun kali ini Dewa Arak tidak
menangkisnya! Dia malah melompat agak jauh ke
belakang, seraya meraih guci
arak yang tergantung di punggung selagi tubuhnya berada di udara. Kemudian,
dituangkannya guci itu ke mulutnya. 2
Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan begitu kedua kaki Arya mendarat di tanah. Kontan
hawa hangat menjalari perut, kemudian perlahan merayap ke kepala. Akibatnya,
kedudukan kaki Arya tidak tetap lagi. Tubuhnya limbung sana, limbung sini.
Rupanya, Dewa Arak telah menyiapkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Raja Racun Muka Putih yang
memang telah dilanda kemarahan menggelora, langsung
menyerang Dewa Arak. Segera
dihujaninya Arya dengan serangan
bertubi-tubi dan mematikan.
Dewa Arak pun tidak berani
bersikap setengah setengah. Ilmu 'Belalang Mabuk'nya dikeluarkan hingga sampai
ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya, merupakan serangan yang
sating tunjang untuk menggilas habis setiap pertahanan lawan.
Pertarungan yang berlangsung
antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu memang hebat bukan kepalang. Setiap
serangan mereka menimbulkan angin menderu keras. Bahkan suasana di sekitar
pertarungan telah porak poranda. Beberapa batang pepohonan telah tumbang di
sana-sini terkena angin serangan nyasar. Semak pun banyak yang tercabut hingga
ke akar-akarnya. Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti telah dibajak
belasan ekor kerbau. Itu pun masih diwarnai debu tebal yang menyelimuti sekitar
tempat itu.
Seratus jurus telah berlalu.
Tapi selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Tampaknya pertarungan masih berjalan seimbang.
Raja Racun Muka Putih
menggertakkan gigi, karena perasaan geram yang melanda. Meskipun telah
mengetahui ketangguhan lawan, tapi sama sekali tidak disangka akan semakin
sakti.
Dalam siksaan perasaan geram
yang bergelora, Raja Racun Muka Putih memutuskan untuk menggunakan cara lain
dalam merobohkan lawan. Padahal, semula dia tidak bermaksud untuk
menggunakannya. Hal ini mengingat Arya adalah seorang lawan yang masih sangat
muda. Tapi, kini kenyataan menghendaki lain. Jadi, kalau ingin mengalahkan Dewa
Arak tidak hanya menggunakan ilmu silat saja.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
Raja Racun Muka Putih melempar tubuh ke belakang. Kemudian dia bersalto
beberapa kali di udara, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya
menjejak tanah. Kini, langsung disiapkan ilmu yang lainnya.
Dewa Arak tahu, lawan
memperjauh jarak pasti ada maksudnya. Tapi, dia tidak
mengejarnya. Sengaja diberinya
kesempatan bagi lawan untuk mengeluarkan ilmu andalan.
Kini kedua tokoh yang
sama-sama sakti itu berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak. Baik Dewa Arak
maupun Raja Racun Muka Putih saling menatap tajam, tapi dengan kuda-kuda
berbeda.
Kedudukan Dewa Arak sama
sekali tidak pantas disebut kuda-kuda silat. Ini karena kedua kakinya berdiri
tidak tetap, oleng ke sana kemari, sehingga membuat tubuhnya pun
bergoyang-goyang. Kedua tangannya yang berada di depan dada,
bergerak-gerak seperti seekor jangkrik
yang tengah menggosok-gosokkan kedua kaki depannya.
Sementara itu, Raja Racun Muka
Putih telah bersiap dengan kuda-kuda sejajar. Jari- jari kedua tangannya yang
terbuka lurus dan menegang kaku, berada di sisi-sisi pinggangnya.
Telapak tangannya tampak
menghadap ke langit "Ssshh...!"
Dibarengi desisan tajam
seperti seekor ular marah, kakek berpakaian merah ini menjulurkan tangan
kanannya ke depan secara perlahan-lahan, tapi penuh kekuatan. Dan begitu telah
terjulur habis ke depan, punggung tangan kanannya berubah menjadi hitam! Asap
tipis berwarna gelap tampak mengepul dari punggung tangan itu. Kemudian,
jari-jari tangan kanan Raja Racun Muka Putih dikepalkan. Masih dengan mengepal,
tangan kanan itu kembali ditarik ke sisi pinggang Hal yang sama diulangi kakek
berpakaian merah itu. Tapi kali ini tangan
yang kiri. Dan seperti juga tangan kanan, tampak punggung tangan kiri
Raja Racun Muka Putih berwarna hitam dan mengepulkan asap tipis.
Dan begitu tangan kiri telah
ditarik kembali, maka kini sekaligus dua tangan yang dijulurkan ke depan. Warna
hitam pada punggung tangan semakin jelas terlihat. Demikian pula asap yang
keluar, tampak semakin jelas, karena semakin banyak dan menebal. Asap itu
keluar dari balik tangan baju Raja Racun Muka Putih!
Melihat hal itu, Arya bersikap
waspada. Dia tahu, kedua tangan yang diyakininya telah berubah hitam. Pasti
mengandung racun ganas. Hal ini bisa diketahui dari bau amis memuakkan yang
keluar dari asap berwarna hitam itu. Bau yang membuat kepalanya terasa pening.
Padahal, hanya baunya saja yang tercium. Belum lagi, terkena serangan secara
langsung.
Raja Racun Muka Putih maju
mendekati Dewa Arak, dengan langkah-langkah silang. Sepasang matanya nampak
penuh kewaspadaan, memperhatikan setiap gerak-gerik pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dewa Arak berdiri diam
menunggu. Sikapnya tenang saja, bahkan tidak melakukan gerakan seperti yang
dilakukan lawan. Meskipun begitu, bukan berarti kalau sikapnya memandang remeh
lawan. Sebaliknya, Arya telah berwaspada penuh
untuk menghadapi setiap serangan yang akan dilancarkan lawan.
Selangkah demi selangkah,
jarak antara Raja Racun Muka Putih dengan Dewa Arak semakin dekat.
Dan ketika tinggal berjarak
dua tombak lagi....
"Hiyaaa !"
Sambil berseru keras, Raja
Racun Muka Putih melancarkan tusukan bertubi-tubi. Jari-jari kedua tangannya
lurus dan menegang kaku. Suara bercuitan nyaring dan asap hitam tipis yang
mengepul, mengiringi tibanya serangan kakek berpakaian merah itu.
Arya tahu kedahsyatan serangan
itu, yang akan menjadi berlipat ganda bila ditujukan pada orang lain. Serangan
itu tidak hanya mengandung kekuatan yang mampu menewaskan seorang tokoh
persilatan setingkat Dewa Arak. Bahkan juga mengandung racun yang mematikan,
meskipun hanya udaranya saja yang terhirup!
Tapi bagi Dewa Arak, asap
beracun itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Jadi, Arya tidak perlu menahan
napas, meskipun asap Raja Racun Muka Putih berhembus ke arahnya. Bahkan pemuda
berambut putih keperakan itu tidak ragu-ragu lagi menangkis serangan lawan dengan tangan kirinya.
Memang, dalam penggunaan ilmu
'Belalang Sakti', segala macam uap beracun tidak berarti bagi Dewa Arak.
Demikian juga tangan atau kaki lawan yang mengandung racun, tidak akan mampu
menularkan racun apabila digunakan untuk menangkis. Entah mengapa, ilmu itu
bisa seperti itu. Dewa Arak sendiri tidak tahu. Tapi, itulah kenyataan yang
terjadi (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya
"Pedang Bintang").
Tapi kedahsyatan ilmu 'Belalang
Sakti' itu tidak berarti apabila racun itu merasuk dari bagian tubuh yang
terluka. Jadi, apabila kuku jari Raja Racun Muka Putih merobek kulit Arya, maka
kemukjizatan ilmu 'Belalang Sakti', tidak berlaku lagi. Ilmu itu tidak mampu
mencegah menjalarnya racun.
Raja Racun Muka Putih kaget
bukan kepalang ketika melihat Dewa Arak sama sekali tidak terpengaruh oleh asap
beracunnya. Apalagi ketika tangan pemuda berambut putih keperakan itu juga
tidak berubah busuk. Padahal seperti biasanya, lawan yang bersentuhan dengan
tangan Raja Racun Muka Putih yang telah berubah warna, maka daging lawan akan
membusuk. Bahkan tulang-belulangnya pun akan mencair seperti lilin.
Plakkk...!
Raja Racun Muka Putih kaget
bukan kepalang ketika melihat Dewa Arak berani menangkis serangannya secara
langsung! Apalagi ketika tangan pemuda itu tidak berubah busuk. Padahal, lawan
yang bersentuhan tangan dengan Raja Racun Muka Putih, biasanya akan langsung
berubah warna dan membusuk! Tapi kenyataan yang dilihat pada Arya, tidak seperti
biasanya. Hal itu tentu saja membuatnya kaget bukan kepalang.
Namun Raja Racun Muka Putih
terus menyerang sengit. Tapi sampai pertarungan
berlangsung seratus jurus
kembali, tetap saja tidak mampu merobohkan Dewa Arak. Malah apabila digabung,
maka dia telah bertarung selama dua ratus jurus lebih.
Seiring berlangsungnya
pertarungan, suasana di sekitar tempat itu sudah tidak karuan lagi. Pepohonan
dan semak-semak yang tumbuh di sekitar tempat itu langsung mati. Batang, daun,
dan bagian-bagian tanaman lainnya telah hancur berkeping-keping menjadi serbuk-
serbuk debu akibat pengaruh racun Raja Racun Muka Putih.
Bukan hanya suasana sekitar
pertarungan saja yang berubah. Raja Racun Muka Putih pun mengalami hal yang
sama. Pertarungan selama itu membuatnya lelah. Dan dengan sendirinya, tenaganya
semakin berkurang. Akibatnya, serangan-serangan yang dikirimkan tidak sedahsyat
sebelumnya. Begitu pula gerakannya yang kini tidak selincah semula.
Raja Racun Muka Putih sadar,
keadaan kini sama sekali tidak
menguntungkan. Apalagi Dewa Arak terlihat seperti tidak terpengaruh
pertarungan yang berlangsung alot itu. Serangan-serangannya masih mengandung
kedahsyatan seperti semula. Gerakan-gerakannya tetap masih gesit. Tidak aneh
kalau hal ini membuat Raja Racun Muka Putih mulai terdesak.
Beberapa kali setiap kali
terjadi benturan di antara mereka, tubuh kakek berpakaian merah selalu
ter-huyung-huyung. Rasa sakit pun mendera bagian tubuhnya yang berbenturan.
Bukan itu saja. Tak jarang, dia hampir terkena serangan yang dikirimkan Dewa
Arak. Hanya berkat kesaktiannya saja, Raja Racun Muka Putih mampu mengelak di
saat-saat terakhir.
Raja Racun Muka Putih tahu,
bila pertarungan dilanjutkan, Dewa Arak akan berhasll
merobohkannya. Dan itu sudah
bisa dilihat dari keadaannya yang terus merosot, sementara lawan sama sekali
tidak menampakkan kelelahan.
Kini kakek berpakaian merah
itu mencari-cari jalan untuk menyelamatkan nyawa.
Disadari betul kalau Dewa Arak
tidak akan mungkin bisa ditundukkannya. "Hih...!"
Pada saat tubuhnya terhuyung-huyung
beberapa langkah akibat tangannya berbenturan dengan tangan Dewa Arak, kakek
berpakaian merah itu mengibaskan tangannya.
Wuttt..!
Sekelebatan benda berwarna
kecoklatan meluncur ke arah Arya. Semula, Dewa Arak akan menangkap. Atau paling
tidak, menangkis benda itu. Tapi ketika sekilas sepasang matanya yang tajam,
bisa mengenali bentuk benda yang ternyata sebuah benda coklat berbentuk bulat
sebesar telur angsa, pemuda berambut putih keperakan itu membatalkan maksudnya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera membanting tubuh ke tanah, lalu bergulingan menjauh.
Blarrr...!
Ledakan keras memekakkan
telinga terdengar ketika benda bulat sebesar telur angsa itu meledak. Bongkahan
tanah dan asap tebal menyeruak seiring benda itu menghantam tanah.
"Hhh...!"
Arya hanya bisa menghela napas
berat ketika asap tebal menyebar yang menutupi pandangan. Dia tahu, Raja Racun
Muka Putih sengaja melakukannya untuk mencari kesempatan menyelamatkan diri.
Dan memang, kakek berpakaian
merah itu telah melarikan diri. Namun demikian, Dewa Arak tetap membuyarkan
asap hitam yang menutupi pandangannya itu. Kedua tangannya diputar-putarkan di
depan dada. Maka, seketika itu muncul angin
keras dari kedua tangan yang
berputaran Itu. Angin itu terus meluncur ke arah gumpalan asap yang menutupi
pandangan, sehingga tersibak.
Arya terus saja
memutar-mutarkan kedua tangannya hingga asap yang menutupi pandangan terusir
pergi. Kini jelas, Raja Racun Muka Putih memang telah melarikan diri. Arya
kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kalau Raja
Racun Muka Putih benar-benar telah tidak berada lagi di situ. Baru kemudian,
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Kini Dewa Arak melakukan
perjalanan tanpa tergesa-gesa karena waktu pernikahan Rupangki dan Karmila
memang masih agak lama. Meskipun jarak yang ditempuhnya memang masih agak jauh,
tapi pemuda berambut putih keperakan itu yakin akan mampu tiba di Perguruan
Pedang Ular tepat pada waktunya.
***
Arya melangkah menghampiri
pintu kedai. Setiba di ambang pintu, langkahnya dihentikan sebentar.
Pandangannya langsung beredar ke dalam.
Kedai itu ternyata ramai
sekali. Rupanya, hampir semua meja yang ada di dalam kedai telah terisi. Hanya
ada beberapa meja saja yang belum terisi.
Sepasang alis Dewa Arak hampir
bertautan ketika matanya merayapi satu persatu
pengunjung kedai. Mentlk dari
senjata-senjata yang tersandang, bisa diketahui kalau semua pengunjung kedai
itu berasal dari kalangan persilatan.
Hal itu sebenarnya tidak
menjadi pikiran bagi Arya, bila saja tak menyadari kalau semua tokoh persilatan
itu dari golongan hitam. Ini bisa diketahui dari raut wajah, sikap, dan
tindak-tanduk mereka.
Meskipun demikian, Arya yang
tidak ingin mencari-cari urusan tidak mempedulikannya. Dengan langkah tenang,
kakinya terayun menghampiri salah satu meja yang masih kosong. Kemudian
pantatnya dihempaskan di kursi, dan guci peraknya diletakkan di meja.
Seorang laki-laki bertubuh
kekar dan berkumis tebal melangkah menghampiri. "Akan pesan apa,
Den?" tanya laki-laki bertubuh kekar yang ternyata pemilik kedai.
"Seguci arak dan ayam panggang...," jawab Arya menyebutkan
kegemarannya.
Pemilik kedai menganggukkan
kepala, kemudian melangkah ke dalam. Tak lama kemudian, dia sudah kembali
sambil membawa pesanan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Silakan dicicipi,
Den," kata laki-laki berkumis tebal mempersilakan setelah meletakkan semua
pesanan Arya di meja.
"Terima kasih,
Paman," sahut Arya seraya mengulurkan tangan mengambil guci arak dan
menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas bambu dan meminumnya.
Hanya dalam sekejapan saja
segelas arak sudah lenyap ke dalam perut Arya. Bahkan telah menghabiskan tiga
gelas arak sebelum akhirnya mencicipi ayam panggang yang dipesannya.
Tapi baru juga gigi-giginya
akan menggigit potongan pertama ayam panggang yang
diambilnya, kepalanya mendadak
terasa pusing. Tidak hanya itu saja. Pandangannya pun terasa berkunang-kunang.
Arya segera meletakkan paha
atas ayam panggang yang telah hampir digigitnya itu ke tempat semula.
Berbarengan dengan itu, tangan yang satu lagi memijit-mijit pelipisnya untuk
mengurangi rasa pusing yang menyerang. Tapi karena kepalanya telah pusing dan
pandangannya berkunang-kunang, potongan ayam itu malah jatuh ke meja.
Sebagai seorang tokoh
persilatan yang telah cukup berpengalaman, Dewa Arak langsung tahu kalau itu
adalah....
"Racun ," desis Arya
sambil berusaha meraih kembali guci peraknya.
Tapi sebelum tangan Arya
berhasil meraih, terdengar bunyi lecutan, disusul melesatnya seleret benda
hitam ke arah guci perak itu. Dan....
Rrrttt !
"Hih !"
Tangan Arya menangkap angin
ketika cambuk yang melilit bergerak membetot. "Ha ha ha !"
Sebuah tawa bernada penuh
ejekan menyambuti kegagalan Arya meraih gucinya. Dalam cekaman rasa pusing yang
mendera dan pandangan mata yang berkunang- kunang, Dewa Arak berusaha sekuat
tenaga menegasi orang yang telah mencuri guci araknya. Tapi, yang dilihatnya
hanya bayangan kabur dan tidak jelas.
Ternyata, bukan hanya rasa
pusing dan pandangan berkunang-kunang saja yang melanda Arya. Bahkan juga
perasaan lemas mendadak saja menyerang tubuhnya.
Tanpa memutar otak lama, Dewa
Arak bisa mengetahui asal racun yang membuatnya seperti itu. Tak salah lagi!
Pasti dari arak yang dteuguhkan pemilik kedai tadi!
Pemilik kedai? Arya sampai
terionjak ketika teringat orang yang bertindak sebagai pemilik kedai itu. Kini
baru disadari kalau laki-laki berkumis tebal itu tidak pantas menjadi pemilik
kedai. Gerak-geriknya terlalu gesit dan sigap untuk seorang pemilik kedai.
Memang Dewa Arak telah tertipu mentah-mentah!
Setelah tahu asal racun yang
menyerang, Arya berusaha mengeluarkan arak yang tadi diminumnya. Tidak sulit
bagi orang sesakti dirinya untuk mengeluarkannya. Dan memang, hanya dalam
sekejapan saja dari dalam mulutnya telah keluar kembali arak yang telah diminum
tadi.
Meskipun telah berhasil
mengeluarkan arak yang tadi diminum, tapi tetap saja usaha yang dilakukan Arya
telah agak terlambat. Racun itu rupanya memiliki daya kerja cepat.
Melihat Arya memuntahkan
kembali arak yang tadi diminum, laki-laki berkumis tebal yang tadi bertindak
sebagai pemilik kedai melompat menerjang.
Entah dari mana, tahu-tahu
pada kedua tangannya tergenggam sebilah pisau yang berwarna hitam berkilat.
Kini dengan pisau itu di
tangan, pemilik kedai palsu itu menyerang Dewa Arak! Pisau di tangan kanannya diayunkan cepat membabat
leher.
Meskipun kepalanya telah
pening dan pandangannya berkunang-kunang, namun bukan berarti Dewa Arak akan
mudah saja dibunuh!
Menyadari kalau sepasang
matanya saat ini belum bisa digunakan, maka Arya
memejamkannya. Kini kedua
telinganya yang tajam digunakan sebagai pengganti mata.
Berkat pendengarannya yang
tajam bukan kepalang, Dewa Arak bisa tahu ada serangan yang mengancam ke
arahnya. Maka, buru-buru tubuhnya direndahkan, sehingga serangan lawan hanya
lewat di atas kepalanya.
Tapi sebelum pemuda berambut
putih keperakan itu melancarkan balasan, serangan susulan lainnya datang bertubi-tubi.
Serangan pertama berasal dari orang yang telah mengambil guci arak Dewa Arak.
Seleret benda hitam yang ternyata seutas cambuk berwarna hitam meluncur cepat
ke arah ubun-ubun Arya. Suara lecutan keras menggelegar mengawati tibanya
serangan susulan itu.
Belum lagi serangan cambuk itu
mengenai sasaran, serangan-serangan lain menyusul tiba. Semuanya berasal dari
orang-orang yang menjadi pengunjung kedai.
Meskipun tidak melihatnya,
Arya bisa mengetahui kalau para pengeroyoknya adalah
para pengunjung kedai! Kini
disadari kalau dirinya telah masuk perangkap. Entah ke mana perginya pemilik
kedai yang asli.
Cepat laksana kilat, tangan
Arya meraih kursi yang tadi didudukinya, kemudian diputar-putarkannya laksana
baling-baling untuk memapak semua serangan yang tertuju ke arahnya.
Trak, trak, trak...!
Kursi itu hancur
berkeping-keping ketika berbagai macam senjata membenturnya. Tapi meskipun
begitu, Arya berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Arya berdiri dengan kedudukan
kaki tidak tetap. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Memang, keadaan pemuda
berambut putih keperakan itu semakin tidak menguntungkan. Racun telah merasuk
ke dalam tubuhnya, meskipun sebagian berhasil dikeluarkan bersama arak yang
dimuntahkannya. Dan itu terbukti dengan semakin kerasnya rasa pusing yang
melanda. Bahkan tenaganya juga semakin melemah.
"Tikus-tikus tak
berguna...! Menangkap seekor anjing yang sudah tidak punya gigi saja kalian
tidak mampu! Minggir semua...!" Luar biasa pengaruh ucapan itu. Belasan
tokoh persilatan yang tengah mengurung Arya kontan melangkah mundur. Jelas,
ucapan itu keluar dari mulut orang yang mempunyai kedudukan di atas mereka. 3
Arya terperanjat. Bukan karena
ucapan, melainkan karena pemilik suara itu. Meskipun tidak melihat, tapi sudah
bisa ditebak orangnya. Bahkan belum lama ini telah bertemu. Siapa lagi kalau
bukan Raja Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa berkakakan,
kakek berpakaian merah itu melangkah menghampiri Dewa Arak. Sedangkan
tokoh-tokoh persilatan yang tadi bergerak mengurung, telah menjauhkan diri.
"Jangan harap bisa
meloloskan diri dari tangan Raja Racun Muka Putih, Dewa Arak!" tegas Raja
Racun Muka Putih bernada kemenangan.
Arya sama sekali tidak
menanggapi ucapan kakek berpakaian merah itu. Disadari
kalau keadaan kali ini sangat
tidak menguntungkan. Kesaktian Raja Racun Muka Putih telah dibuktikannya
sendiri. Dan hatinya tidak yakin akan mampu mengalahkan datuk sesat itu bila tanpa guci perak di tangannya. Apalagi
dalam keadaan keracunan! Raja Racun Muka Putih akan mudah saja menggilasnya.
"Kuberi kau kesempatan
terakhir, Dewa Arak! Mau berikan keris itu secara baik-baik, atau..., aku harus
memaksamu dengan kekerasan?!"
"Aku bukan jenis orang
yang mudah mengubah perkataan, Raja Racun! Sekali
ucapanku keluar, tak akan
nanti ditarik kembali!" tandas Arya dengan suara mengambang karena pusing
yang melanda.
"Hm..., jadi kau tidak
mau memberikan keris itu padaku?!" "Ya!"
"Ingin kulihat bukti
kebenaran ucapanmu itu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Raja
Racun Muka Putih segera melompat menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di
udara, kaki kanannya bergerak mengibas ke arah kepala Arya. Deru angin keras mengiringi tibanya
serangannya, jelas serangan itu dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Arya cepat-cepat merendahkan
tubuh sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.
Sehingga membuat rambut dan
pakaiannya berkibaran keras. "Hup...!"
Begitu telah mendarat di
tanah, Raja Racun Muka Putih segera melancarkan serangan susulan lagi.
Kini pemuda berambut putih
keperakan itu dibuat pontang-panting untuk
menyelamatkan diri. Padahal,
keadaannya sudah lemah. Tambahan lagi, hanya bisa mengandalkan pendengaran
saja! Sementara lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan.
Dewa Arak tahu, bagi orang
sesakti Raja Racun Muka Putih bukan hal yang sulit
untuk mengacaukan pendengaran
lawan. Dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, pendengaran lawan bisa ditipu.
Bukan itu saja. Kakek berpakaian merah itu pun mampu melancarkan serangan tanpa
menimbulkan suara!
Untungnya, Raja Racun Muka
Putih tidak berniat membunuh Dewa Arak. Hal ini
karena keinginan untuk
mendapatkan keris yang dulu dimiliki Brajageni, muridnya (Agar jelas, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Keris Peminum Darah"). Kalau tidak, sudah sejak tadi
pemuda berambut putih keperakan itu tewas. Sudah dua jurus Raja Racun Muka
Putih menyerang, tapi Arya selalu berhasil mengelakkannya, meskipun dengan
susah payah. Maka akhirnya, Raja Racun Muka Putih menghentikan gerakannya. Dan
kini, kakek berpakaian merah ini berdiri tegak. Kedua tangannya dengan
jari-jari lurus dipertemukan di depan dada. Sesaat kemudian....
Nggg !
Seketika ada suara mendengung
pelan yang semakin lama semakin keras. Entah dari mana asal suara itu, sukar
diketahui. Mungkin dari hidung, karena mulut datuk sesat itu sama sekali tidak
terbuka. Beberapa saat kemudian, dengungan itu telah menyebar di seluruh
penjuru isi kedai karena suara itu memang semakin keras.
Arya mengernyitkan kening. Dia
tahu, lawan bermaksud mengacaukan
pendengarannya dengan
bunyi-bunyian itu. Dan ternyata, usaha kakek berpakaian merah itu berhasil.
Buktinya Dewa Arak tidak bisa mendengar apa apa lagi selain suara itu.
Dewa Arak sadar kalau dirinya
kini telah terancam bahaya besar. Sudah bisa diduga kalau lawan akan
mengirimkan serangan. Raja Racun Muka Putih yakin kalau usaha mengacaukan
pendengaran lawan telah berhasil dikerjakannya. Maka begitu dengung yang
ditimbulkannya telah mempengaruhi Dewa Arak, langsung dilancarkannya serangan
susulan.
Raja Racun Muka Putih melompat
ke atas. Dan setibanya berada di atas kepala Arya, tubuhnya berputar beberapa
kali. Dan begitu menukik, jari-jari tangannya meluncur ke arah punggung pemuda
berambut putih keperakan itu. Semua itu dilakukan tanpa menghentikan suara
dengungan.
Arya mengernyitkan kening
dalam-dalam. Dewa Arak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, dan
dipusatkan pada kedua telinganya. Tapi meskipun begitu, tetap saja tidak
berhasil mendengar suara apa pun selain dari bunyi dengung. Tahu-tahu....
Tukkk !
Jari tangan Raja Racun Muka
Putih telak dan keras sekali menotok punggungnya.
Kontan tubuh Arya terkulai
lemas dan merosot ke bawah seperti sehelai karung basah. "Ha ha ha !"
Raja Racun Muka Putih tertawa
penuh kemenangan begitu telah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Kini, Arya
tampak telah tertotok lemas.
"Ho ho ho !"
"He he he
!"
Tiba-tiba dua buah suara tawa
lain yang mengandung tenaga dalam tinggi terdengar menyambuti tawa kakek
berpakaian merah itu.
Raja Racun Muka Putih
menghentikan tawanya, dan mengalihkan pandangan ke arah pintu kedai, tempat
suara itu berasal. Wajah guru Brajageni itu tampak merah padam karena amarah
yang meluap-luap. Dan itu tertuju pada para pemilik suara tawa itu. Memang,
Raja Racun Muka Putih menangkap adanya ejekan pada suara tawa itu.
Tapi kemarahan yang terkandung
dalam raut wajah Raja Racun Muka Putih kontan lenyap. Bahkan kini berganti
dengan kekagetan dan kegentaran yang membayang jelas.
"Ahhh...," desis
Raja Racun Muka Putih kaget campur gentar. Pandangan matanya terpaku ke arah
dua sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu kedai.
Sosok tubuh pertama adalah
seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berkulit kemerahan. Tubuhnya yang
bertelanjang dada, tampak kurus dan ceking. Bagian bawah tubuhnya hanya
ditutupi secarik kain. Seperti juga keadaan kulitnya yang terlihat gersang,
kumis, dan jenggot laki-laki ini terlihat jarang-jarang.
"Ho ho ho !"
Laki-laki bertubuh tinggi
kurus ini hanya tertawa terkekeh-kekeh saja mendengar desisan kaget yang keluar
dari mulut Raja Racun Muka Putih. Tangan kanannya yang memegang sebuah kipas
berwarna merah, dikebut-kebutkan ke sekitar tubuhnya.
"He he he...!" Yang
seorang lagi pun ikut tertawa. Ciri-cirinya amat berlawanan dengan kakek tinggi
kurus tadi. Tubuhnya pendek gemuk. Dan kegemukannya semakin bertambah, karena
mengenakan pakaian dari bulu beruang salju yang tebal pada seluruh anggota
tubuhnya, kecuali wajah. Bahkan pada kepalanya pun bertengger sebuah topi berbentuk
kerucut, terbuat dari bulu binatang yang tebal. Kulit wajahnya tampak putih.
Dia kini melipat kedua tangannya di depan dada.
Raja Racun Muka Putih kenal
betul kedua kakek yang tengah tertawa-tawa itu. Mereka
boleh dibilang merupakan
biang-biang iblis. Yang berkulit kemerahan, berjuluk Dedemit Api. Sedangkan
yang berkulit putih berjuluk Dedemit Salju. Kedua kakek ini tinggal di Gunung
Kawak, tapi menempati bagian yang berjauhan satu sama lain. Dedemit Api di
sebelah Timur, dan Dedemit Salju di sebelah Barat. Tiga tahun sekali satu sama
lain saling bertemu untuk mengadu kepandaian, karena bosan bertarung melawan
orang-orang persilatan yang sama sekali tidak mampu menghadapi mereka. Memang,
telah ratusan kali mereka bertarung tanpa terkalahkan!
"Dedemit Api! Kalau aku
tidak salah lihat, orang yang dirobohkan secara curang oleh Tikus Pucat itu
adalah Dewa Arak! Ciri-cirinya persis sekali dengan yang dikatakan orang- orang
persilatan!" kata kakek pendek gemuk masih dengan kedua tangan bersedakap
di depan dada.
"Lalu..., kenapa kalau
orang itu memang Dewa Arak, Dedemit Salju?!" tanya kakek tinggi kurus
sambil mengebut-ngebutkan kipas ke badannya yang tidak tertutup pakaian.
"Kurasa, dia bukan lawan yang pantas untuk kita!"
"Rupanya kau sudah pikun,
Dedemit Api!" sergah Dedemit Salju keras. "Dewa Arak
adalah murid Gering Langit.
Dengan adanya dia di tangan kita, mudah saja untuk memancing tua bangka itu
untuk memenuhi panggilan kita. Dan selanjutnya, bisa kita atur agar terjadi
pertarungan."
"Ah! Kau benar...! Otakmu
encer juga, Dedemit Salju!" puji Dedemit Api.
Dedemit Salju hanya tersenyum
mengejek. "Hey...! Tikus Pucat! Cepat kemarikan Dewa Arak padaku sebelum
kesabaranku hilang sehingga harus membunuhmu!" seru Dedemit Api pada Raja
Racun Muka Putih.
Kali ini Raja Racun Muka Putih
tidak bisa menahan diri lagi. Meskipun telah sering
mendengar kesaktian kedua
kakek aneh itu, tapi bukan berarti rela dihina seenaknya. Sudah sejak tadi dia
merasa geram bukan main ketika dimaki dengan sebutan Tikus Pucat.
"Kau hanya bisa
mengambilnya, apabila berhasil melangkahi mayatku, Caring Kurus!" tantang
Raja Racun Muka Putih keras.
"Ho ho ho...! Betapa
gagahnya! Ingin kulihat sebesar bacotmukah, kemampuan yang kau miliki?"
sambut Dedemit Api bernada meremehkan.
***
"Hiyaaa...!"
Diiringi lengkingan nyaring,
Raja Racun Muka Putih meiuruk menerjang Dedemit Api. Tak tanggung-tanggung
lagi, segera dikirimkannya tendangan kaki kanan miring bertubi-tubi ke arah
dada, ulu hati, dan leher. Dari suara menderu keras yang mengiringi tibanya
serangan itu, bisa menandakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Tapi, Dedemit Api hanya
tersenyum mengejek. Dengan sikap sembarangan,
ditangkisnya serangan yang
bertubi-tubi mengancam ke arahnya.
Plak, plak, plak...!
"Ah...!"
Raja Racun Muka Putih
terperanjat ketika kakinya terasa sakit-sakit dan terasa panas bukan kepalang
ketika berbenturan dengan kedua tangan Dedemit Api. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Dedemit Api sama
sekali tidak bergeming.
Raja Racun Muka Putih tentu
saja terperanjat melihat kenyataan ini. Tenaga dalam
Dedemit Api ternyata jauh
lebih kuat darinya. Dan itu bisa diketahui dari hasil benturan yang terjadi.
"Ho ho ho...!"
Dedemit Api hanya tertawa
mengejek melihat keterkejutan Raja Racun Muka Putih. Kakek tinggi kurus itu
sama sekali tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan serangan balik di
saat lawan tengah terhuyung-huyung. Jelas, Dedemit Api sama sekali tidak
menganggap Raja Racun Muka Putih sebagai lawan yang patut diperhitungkan.
Meskipun tahu kalau lawan
memiliki tenaga dalam berada cukup jauh di atasnya, Raja Racun Muka Putih tidak
menjadi gentar karenanya. Kembali dilancarkan serangan susulan ke arah Dedemit
Api yang masih tertawa-tawa penuh ejekan.
"Hm...!"
Masih dengan suara tawa yang
tidak putus, Dedemit Api menjejakkan kakinya di tanah. Sesaat kemudian tubuhnya
telah melayang keluar kedai. Hal ini yang ditunggu-tunggu Raja Racun Muka Putih
sejak tadi. Dia memang membutuhkan tempat luas untuk bertarung, agar bisa
mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Terutama, ilmu 'Ular Hitam' yang mengandung
racun ganas.
"Hup...!"
Ketika kedua kaki Dedemit Api
mendarat di tanah. Raja Racun Muka Putih mendaratkan kakinya pula. Maka,
langsung lawannya dihujani dengan serangan bertubi-tubi.
Dedemit Api pun segera
meladeninya. Sesaat kemudian, dua tokoh sesat itu sudah
terlibat dalam pertarungan
sengit dan menggiriskan.
Melihat Dedemit Api telah
terlibat dalam pertarungan, Dedemit Salju pun tidak tinggal diam. Dengan
langkah pendek-pendek karena memang memiliki kaki pendek, dihampirinya tubuh
Dewa Arak yang tergeletak di tanah.
Melihat hal ini, para tokoh
persilatan yang tadi telah mengurung Dewa Arak, segera bergerak menghadang.
Walaupun sebenarnya mereka hanya orang-orang taklukan Raja Racun Muka Putih, tapi karena takut pada
kakek berpakaian merah itu, terpaksa mereka bergerak menghadang. Apalagi, Raja
Racun Muka Putih memang benar-benar menginginkan Dewa Arak.
"Ho ho ho...!"
Dedemit Salju tertawa
berkakakan ketika melihat beberapa sosok tubuh berdiri di hadapannya. Sementara
lainnya, yang bila digabung jumlahnya tak kurang dari dua belas orang, segera
mengurung dari berbagai jurusan.
Sambil terus tertawa
berkakakan, kakek pendek gemuk ini malah melipat kedua tangannya di depan dada.
Tampak jelas, sikapnya benar-benar menyepelekan lawan- lawannya.
"Serbu...!" seru
laki-laki berkumis tebal yang tadi menyamar sebagai pemilik kedai.
Sambil berteriak demikian,
laki-laki berkumis tebal itu melompat menerjang. Pisau berwarna hitam mengkilat
di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher.
Pada saat yang bersamaan,
belasan orang rekannya pun melancarkan serangan. Tak pelak lagi, hujan berbagai
macam senjata meluncur deras ke arah berbagai bagian tubuh Dedemit Salju.
"Ho ho ho...!"
Dedemit Salju hanya tartawa
bergelak. Kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka lurus, dipertemukan di
depan dada. Ujung-ujung jari tangannya tampak mengarah ke langit.
Dahsyat sekali! Laki-laki
berkumis tebal dan rekan-rekannya terpaksa menghentikan serangan secara
mendadak. Ternyata, dari sekujur tubuh Dedemit Salju menyebar hawa dingin yang
luar biasa. Akibatnya, sekujur otot dan urat mereka sama sekali tidak bisa
digerakkan. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi, gigi-gigi mereka beradu satu sama
lain.
Dedemit Salju tersenyum
mengejek tanpa merubah kedudukan kaki atau jari-jarinya. Rupanya, dia bermaksud
meneruskan pengerahan penyerangan terhadap lawan-lawannya dengan hawa dingin
yang keluar dari berbagai bagian tubuhnya.
Akibatnya memang luar biasa!
Sekarang tubuh belasan orang itu tidak bisa berdiri tegak lagi. Mereka semua
sama-sama membungkukkan tubuh dengan kedua tangan saling melipat di depan dada.
Bahkan suara gemeretuk gigi-gigi mereka semakin terdengar jelas. Semua itu
membuktikan kuatnya hawa dingin yang melanda. Sementara, senjata-senjata mereka
sudah sejak tadi terlepas dari tangan.
Semakin lama, keadaan belasan
tokoh persilatan itu semakin mengkhawatirkan. Satu
persatu tubuh mereka
berjatuhan di tanah, karena otot-otot kaki mereka yang kaku, tidak bisa dipakai berdiri lagi
Dedemit Salju baru menurunkan
kedua tangannya dari depan dada ketika tubuh tokoh-tokoh persilatan itu telah
tidak bergerak lagi. Sungguh tragis sekali nasib belasan tokoh persilatan itu.
Mereka semua tewas dengan sekujur kulit tubuh membiru, karena terserang hawa
dingin yang amat sangat.
*** Berbeda dengan pertarungan
antara Dedemit Salju dalam menghadapi belasan tokoh persilatan yang berjalan
tidak menarik, pertarungan antara Dedemit Api dengan Raja Racun Muka Putih
ternyata berlangsung cukup menarik.
Raja Racun Muka Putih
benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan karena tidak khawatir lagi akan
nasib Dewa Arak dan pengikut-pengikutnya. Ilmu 'Ular Hitam' yang mengandung
racun amat ganas juga telah dikeluarkannya.
Cit, cit..!
Suara bercuitan dari udara
yang terobek kedua tangan Raja Racun Muka Putih mengiringi setiap gerakan
tangannya. Di samping itu, asap berwarna hitam pun ikut menglilinginya.
Berbahaya bukan kepalang
setiap serangan kedua tangan Raja Racun Muka Putih.
Tapi, tak kalah berbahayanya
asap berwarna hitam yang keluar dari kedua tangannya. Karena, asap itu mampu
membuat lawan pusing, walaupun hanya terhirup sedikit saja. Dan bila hal itu
terjadi, bisa berbahaya akibatnya!
Dengan sendirinya,
serangan-serangan yang dilancarkan Raja Racun Muka Putih jadi
berlipat ganda bahayanya dalam
penggunaan ilmu 'Ular Hitam'. Kedahsyatan kekuatan tenaga dalamnya, juga patut
diperhitungkan. Demikian pula racun ganas yang terkandung dalam kedua tangan
itu, dan juga asap hitam beracun yang keluar dari kedua tangannya. Tiga buah
ancaman bahaya yang terangkum menjadi satu dalam penggunaan ilmu 'Ular Hitam'
itulah yang kini harus dihadapi Dedemit Api.
Di jurus-jurus awal, Dedemit
Api agak kewalahan menghadapinya karena khawatir celaka oleh racun yang
terkandung dalam serangan lawan. Terutama sekali, racun yang terkandung dalam
kedua tangan itu.
Dan memang, Dedemit Api harus
bersikap hati-hati. Dia sadar, bahaya yang terkandung dalam asap hitam itu
tidak bisa dibandingkan dengan yang terdapat di kedua tangan Raja Racun Muka
Putih. Akibat dari racun yang terkandung dalam asap itu, bisa-bisa dirinya tewas
di tangan Raja Racun Muka Putih.
Oleh karena itu, mula-mula
Dedemit Api meng-gunakan siasat 'pukul dan lari' untuk menghadapi lawannya.
Kakek tinggi kurus ini melancarkan serangan, tapi buru-buu ditarik kembali
ketika melihat lawan akan menangkis serangan. Sebaliknya, setiap kali Raja
Racun Muka Putih melancarkan serangan, Dedemit Api mengelak sejauh-jauhnya.
Hal itu terpaksa dilakukan
Dedemit Api karena khawatir terkena asap hitam. Tapi setelah menginjak belasan
jurus, dan beberapa kali melakukan elakan jauh, keadaan jadi tidak
memungkinkan. Kakek tinggi kurus itu mengelakkan serangan dengan elakan pendek
sambil mengebutkan tangannya. Bahkan tak jarang dengan tiupan mulutnya. Ini
dilakukan untuk menjauhkan asap hitam itu dari dirinya.
Setelah pertarungan
berlangsung lebih dari tiga puhih jurus, gerakan Dedemit Api berubah. Kini,
jari-jari kedua tangannya disusun terkembang membentuk cakar. Dengan kedudukan
jari-jari tangan seperti itu, Dedemit Api telah siap menghadapi Raja Racun Muka
Putih.
Bahkan kini keadaan di
pertarungan langsung berubah. Raja Racun Muka Putih merasakan hawa panas
menyengat menyebar dari sekujur tubuh lawan. Apalagi, dari kedua tangan yang
berbentuk cakar itu. Dan hawa panas itu semakin menjadi-jadi ketika Dedemit Api
melancarkan serangan.
Raja Racun Muka Putih sadar,
ternyata lawan telah mengeluarkan tenaga dalam khasnya, 'Tenaga Inti Api'.
Kedahsyatan tenaga itu sudah lama didengarnya, tapi baru kali ini dirasakannya
sendiri. Hawa panas menyengat membuat seluruh kulitnya terasa melepuh. Wajahnya
pun menjadi merah padam, dan dadanya terasa sesak bukan kepalang.
Hal ini tentu saja membuat kedahsyatan
ilmu 'Ular Hitam' Raja Racun Muka Putih jadi
menurun. Bukan mutu ilmu itu
yang menurun, tapi karena sang pemiliknya tidak mampu bertarung dalam jarak
dekat karena hawa panas yang terlalu menyengat.
Hawa panas itu benar-benar
menyiksa Raja Racun Muka Putih. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Dia merasa
seolah-olah tengah berada dalam kawah gunung berapi. Panasnya benar-benar tak
tertahankan. Yang lebih gila lagi, hawa itu semakin lama semakin bertambah
panas. Dan dengan sendirinya, Raja Racun Muka Putih pun semakin tersiksa
karenanya.
Kalau semula Dedemit Api yang
mengajak bertarung jarak jauh, kini Raja Racun Muka
Putih yang memaksa agar
pertarungan dilangsungkan dalam jarak jauh. Kakek berpakaian merah itu memang
tidak sanggup lagi bertarung dalam jarak dekat
Pertarungan berlangsung kurang
menarik, karena kedua belah pihak sama-sama tidak berani mengadu tangan. Raja
Racun Muka Putih khawatir karena keanehan tenaga dalam Dedemit Api. Sebaliknya,
kakek tinggi kurus itu khawatir karena tahu kalau kedua tangan Raja Racun Muka
Putih mengandung racun ganas.
Hasilnya, pertarungan yang
berlangsung jadi terlihat seperti main-main. Beberapa kali kedua belah pihak
sama-sama melakukan serangan bersamaan, lalu sama-sama menarik pulang serangan
masing-masing. Tampaknya keduanya tidak ingin menempuh bahaya.
Kalau dibuat perbandingan,
sebenarnya tingkat kepandaian Raja Racun Muka Putih berada di bawah tingkat
kepandaian Dedemit Api. Tapi berkat kemampuan ilmu racun yang dimiliki, kakek
berpakaian merah itu mampu membuat Dedemit Api kewalahan. Bahkan baru bisa
memperbaiki keadaan ketika bertarung selama tiga puluh jurus lebih. Itu pun
karena Dedemit Api menggunakan 'Tenaga Inti Api'.
"Hih...!"
Pada suatu kesempatan, Dedemit
Api melempar tubuhnya ke belakang. Dia bersalto beberapa kali di udara,
kemudian mendarat manis di tanah.
Raja Racun Muka Putih tidak
mengejar, meskipun bisa diperkirakan kalau lawan menjauhkan diri dengan maksud
untuk menggunakan ilmu lain. Kesempatan itu malah dipergunakannya untuk menarik
napas lega, karena terbebas dari sergapan hawa panas yang menyengat kulitnya.
Kini dengan hati berdebar tegang, Raja Racun Muka Putih memperhatikan kelakuan
Dedemit Api.
Tampak kakek tinggi kurus itu
berdiri dengan kedua kaki terpentang. Kedua
tangannya dipalangkan di depan
dada. Sementara tangan kanannya berada di atas tangan kiri.
penuh. Perlahan-lahan kedua
tangan itu mulai mengejang
pertanda telah dialiri tenaga dalam
Mula-mula biasa saja. Tapi,
sesaat kemudian tampak keanehannya.
Kedua tangan itu mulai berubah warna
menjadi merah. Lalu, ada asap tipis yang mengepul seiring terjadinya perubahan
warna kulit itu.
Semakin lama, warna merah pada
kedua tangan itu semakin nyata dan jelas. Begitu
pula, asap yang mengepul pun
semakin menebal. Meskipun tetap berwarna putih. Dan begitu warna merah pada
kedua tangan itu semakin jelas, pada bagian tubuh lain dari Dedemit Api pun
mulai dironai warna merah disertai kepulan asap tipis.
Ketika sekujur kulitnya telah
berwarna merah dan asap putih yang
menyelimuti
tubuhnya cukup tebal, Dedemit
Api mendorongkan kedua tangannya yang terpalang ke depan dengan bertumpu pada
sikut.
Wusss...!
Angin berhawa panas menyengat
seketika berhembus. 5
Raja Racun Muka Putih
terperanjat melihat perubahan pada diri lawan. Tanpa sadar, kakinya melangkah
ke belakang. Untung saja kulit wajahnya putih seperti dikapur, sehingga
perubahannya tidak tampak jelas. Tapi meskipun begitu, kekagetan hatinya bisa
diketahui dari kakinya yang teriangkah mundur.
"Sekarang aku tidak mau
bertindak main-main lagi! Aku ingin tahu, mampukah kau menghadapi ilmu 'Telapak
Tangan Api' milikku ini. Haaat..!"
Diiringi teriakan nyaring yang
membuat suasana sekitar tempat itu bergetar hebat, Dedemit Api melompat
menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya disampokkan
cepat ke arah pelipis lawan.
Raja Racun Muka Putih mengeluh
dalam hati ketika merasakan hawa panas yang
menyengat, ternyata lebih gila
daripada sebelumnya. "Hih...!"
Kakek berpakaian merah ini
memutuskan untuk tidak terus-menerus mengelak dari
siksaan hawa panas. Sementara,
lawannya sama sekali tidak bertindak apa-apa.
Wuttt...!
Sampokan Dedemit Api lewat
beberapa jari di atas kepala ketika Raja Racun Muka Putih membungkukkan tubuh.
Namun, hal ini hampir membuatnya menggeram tatkala mengetahui sebagian
rambutnya mengering dan memendek, sekaligus mengeriput karena hawa panas
serangan lawannya.
"Hmh...!"
Dedemit Api mendengus ketika
melihat serangannya berhasil dielakkan lawan. Sama sekali hatinya tidak merasa
heran, bahkan sebaliknya sudah memperhitungkannya.
Begitu melihat sampokan tangan
kanannya tidak mengenai sasaran, segera disusulinya dengan serangan tanjutan.
Tangan kirinya menyaup ke arah dagu dengan arah gerakan dari bawah ke atas.
Kali ini Raja Racun Muka Putih
tidak mengelakkan serangan itu. Tangan kanannya digerakkan untuk mematahkan
serangan itu dengan tetakan dari atas ke
bawah. Rupanya, kini dia bertindak nekat. Dia tahu, bila beradu tangan
pasti amat berbahaya. Jangankan berbenturan. Baru terkena angin serangannya
saja, kulitnya sudah terasa melepuh.
Dukkk...!
Benturan keras antara dua buah
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat seketika terdengar.
Akibatnya, tangan Raja Racun Muka Putih terayun ke atas terbawa arah saupan
tangan Dedemit Api.
Raja Racun Muka Putih
merasakan tangannya sakit-sakit. Jelas, hal itu menjadi pertanda kalau tenaga
dalam lawan lebih kuat daripadanya. Tapi, hal itu tidak membuatnya terkejut.
Yang membuatnya kaget adalah, ketika menyadari tidak adanya rasa panas yang
mendera kedua tangannya. Bahkan juga tidak ada akibat apa pun pada tangan lawan
yang berbenturan dengan tangannya.
Tapi, perasaan kaget Raja
Racun Muka Putih hanya sebentar saja. Dia langsung tahu, ilmu 'Teiapak Tangan
Api', dan ilmu 'Ular Hitam' mampu membuat pengaruh serangan masing-masing lawan
punah!
Maka Dedemit Api juga
benar-benar telah dilanda penasaran hebat pada lawannya. Terbukti, begitu
tangan Raja Racun Muka Putih terayun ke atas akibat serangannya, tangan
kanannya meluncur deras ke arah ulu hati.
Cepat bukan kepalang tibanya
serangan itu, sehingga membuat Raja Racun
Muka Putih terkejut bukan kepalang. Maka dia berusaha sebisa-bisanya
mengelak. Tapi....
Bukkk!
Tubuh Raja Racun Muka Putih
terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau, meskipun serangan Dedemit Api
hanya menyerempet bahu kanannya. Pakaian di bagian bahu pun hangus. Demikian
pula daging yang tersembunyi di baliknya. Hanya berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, Raja Racun Muka Putih berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya hampir terbanting. Meskipun begitu,
tak urung ada darah yang mengalir keluar dari mulutnya. Jelas kakek berpakaian
merah itu terluka dalam.
Sementara itu, Dedemit Api
sudah bersiap memberikan pukulan terakhir, tapi....
"Tahan !" seru Raja
Racun Muka Putih sambil menjulurkan tangan kiri ke depan.
Kakek tinggi kurus ini menahan
serangan yang hampir dijatuhkan ketika mendengar seruan Raja Racun Muka Putih.
"Aku bersedia menjadi
pengikutmu, asal kau tidak melanjutkan seranganmu lagi," kata Raja Racun
Muka Putih cepat-cepat sebelum Dedemit Api mengajukan keheranannya.
Dedemit Api terdiam,
memikirkan tawaran Raja Racun Muka Putih. Beberapa saat
lamanya dia bertindak
demikian, sambil menurunkan tangannya yang hampir mendarat di tubuh lawan.
"Baiklah. Tapi, ingat.
Jangan coba-coba bermain gila kalau tidak ingin mati secara mengerikan di
tanganku!" ancam Dedemit Api tegas.
Raja Racun Muka Putih sama
sekali tidak menyambutinya, walaupun dalam hati tersenyum mengejek. Memang, dia
tidak sepenuhnya takluk pada Dedemit Api. Ada rencana lain yang melintas di
benak, sehingga membuatnya bersedia untuk menjadi pengikut Dedemit Api.
"Kelak kalau keris milik
Brajageni sudah berhasil kudapatkan, baru aku akan bermain gila," desis
kakek berpakaian merah dalam hati.
"Bawa Dewa Arak. Dia akan
digunakan untuk memancing kedatangan musuh kami!" perintah Dedemit Api
pada Raja Racun Muka Putih.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Raja Racun Muka Putih segera melangkah
ke dalam kedai. Hatinya merasa lega mendengar perintah itu, karena
berarti untuk sementara Dewa Arak akan selamat. Dan ini memang yang diharapkannya.
Karena, hanya Dewa Arak yang bisa membawanya pada keris milik Brajageni.
Sesaat kemudian, Raja Racun
Muka Putih telah kembali sambil memanggul tubuh Dewa Arak. Sekelebatan
pertanyaan berputaran di benaknya. Siapakah musuh dua dedemit yang merupakan
biang-biang iblis dunia persilatan ini? Dan apa hubungannya Dewa Arak dengan
musuh dua dedemit itu? Sehingga, dia dijadikan alat untuk memancing kedatangan
orang yang bernama Gering Langit?
Tapi sampai lelah Raja Racun
Muka Putih memutar otak, tak juga mendapat jawabannya. Hanya waktu yang kelak
akan bisa menjawabnya. Hal itu disadari betul oleh kakek berpakaian merah ini.
Maka, dilupakannya saja pertanyaan-pertanyaan yang berputar di benaknya.
Sesaat kemudian, ketiga tokoh
hitam itu melangkah meninggalkan tempat itu. Raja Racun Muka Putih berada di
tengah, diapit Dedemit Api dan Dedemit Salju. Jelas, kedua dedemit itu masih
belum mempercayai Raja Racun Muka Putih. Mereka berdua bukan orang bodoh yang
begitu saja percaya ucapan yang keluar dari mulut Raja Racun Muka Putih.
***
"Apa?! Tidak salahkah
berita yang kau dengar itu, Pandora?" sentak seorang laki-laki bertubuh
tegap dan berwajah keras pada seorang kakek berpakaian putih dan berwajah penuh
bintik-bintik.
"Benar, Tuan," jawab
Pandora. "Berita yang kudengar begitu santer. Dewa Arak ditawan dua orang
tokoh yang berjuluk Dedemit Api dan Dedemit Salju. Bahkan mereka akan memenggal
kepalanya bulan depan."
"Ahhh...!" laki-laki
berwajah keras itu mendesah kaget. Kemudian, wajahnya dipalingkan pada seorang
laki-laki tinggi kurus berpakaian hitam. "Bagaimana menurutmu, Kala
Sunggi?"
"Kurasa berita itu benar,
Kang Prajasena. Ingat! Tidak ada asap kalau apinya sendiri
tidak ada," sambut Kala
Sunggi mendukung berita yang dibawa Pandora (Agar jelas mengenai ketiga tokoh
ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis
Hitam"). "Kalau begitu, kita harus menyelidikinya, Kala Sunggi!"
tandas Prajasena cepat. "Bagaimana kalau aku saja, Kang?!" Kala
Sunggi menawarkan diri.
Prajasena yang lebih dikenal berjuluk
Pendekar Golok Baja mengernyitkan
dahibeberapa saat. Lalu....
"Pandora !"
"Ya, Tuan ," sahut
laki-laki berwajah penuh bintik putih itu.
"Bawa peti pusaka kemari.
"
"Baik, Tuanku !"
sahut Pandora seraya melangkah menuju ke dalam.
"Kang! Apakah itu
perlu?" tanya Kala Sunggi bernada teguran, karena sudah bisa mengetahui
isi peti pusaka yang dimaksud kakaknya. Peti yang berisikan pusaka peninggalan
Iblis Hitam.
Prajasena sama sekali tidak
berkata apa-apa, dan hanya tersenyum saja. Tentu saja hal ini membuat Kala Sunggi tidak mendesak
lebih lanjut, dan hanya duduk diam menunggu Pandora.
Tak lama kemudian, Pandora pun
kembali. Di tangannya telah tergenggam sebuah peti
berukir terbuat dari kayu jati
berwarna hitam.
"Ini, Tuan," kata
Pandora seraya mengangsurkan peti berukir itu pada Prajasena yang mengangsurkan
tangan.
Prajasena segera mengeluarkan
anak kunci dan membuka gembok yang ada di bagian
pinggir peti.
"Gunakan seragam leluhur
kita untuk menolong Dewa Arak...," ujar Prajasena sambil mengangsurkan
peti yang telah terbuka tutupnya.
"Tapi, Kang "
"Kau harus menerimanya,
Kala Sunggi!" tandas Prajasena tegas. "Bukan karena aku meremehkan
kemampuanmu."
"Harap kau bersedia
menjelaskannya padaku, Kang. Agar hatiku lega," pinta Kala
Sunggi seraya mengulurkan
tangan menyambut angsuran peti itu.
"Baiklah kalau hal itu
kau anggap perlu," kata Prajasena menyerah. "Ada dua hal yang
menyebabkanku meminjamkan pusaka peninggalan leluhur kita padamu."
"Apa itu, Kang?"
tanya Kala Sunggi ingin tahu. "Pertama, dan ini yang terpenting. Aku
ingin membersihkan cap jelek
yang menempel pada leluhur kita. Dan ini sesuai pesan ayah sebelum
meninggal." jelas Pendekar Golok Baja.
"Hm " Kala Sunggi
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Dan yang kedua....
Karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kala Sunggi," lanjut Prajasena dengan suara semakin
melemah. "Orang yang mampu menawan Dewa Arak bukan orang sembarangan. Dan
ini harus kau sadari, Kala Sunggi!"
"Aku mengerti, Kang.
Terima kasih atas keterangan yang kau berikan. Juga, atas kepercayaanmu
meminjamkan pusaka peninggalan leluhur kita padaku."
Meskipun merasa terharu dengan
kekhawatiran Prajasena akan keselamatannya, Kala Sunggi mampu menyembunyikan.
Sehingga semuanya tidak tampak pada wajahnya.
"Pergilah, Kala Sunggi.
Kuharap, kau berhasil menyelamatkan Dewa Arak. Ingat Pendekar muda itu telah
berhasil membuat kau kembali ke jalan yang benar."
Kala Sunggi menganggukkan
kepala. Ucapan kakak kandungnya itu memang mengandung kebenaran yang tidak bisa
dipungkiri lagi. Dewa Arak memang telah
membuatnya sadar dari kesesatannya. Meskipun dalam hal itu, sebenarnya jasa
Pandora yang paling besar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode
"Peninggalan Iblis Hitam").
"Aku akan berusaha
semampuku untuk menyelamatkan Dewa Arak, Kang," janji Kala Sunggi sepe-nuh
hati, lalu melangkah meninggalkan Prajasena dan Pandora.
***
"Hiya...! Hiya !"
Sambil mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, Melati melecutkan cambuknya bertubi-tubi ke arah bagian
belakang tubuh kudanya. Sehingga binatang tunggangannya semakin cepat berlari.
Hal yang sama pun dilakukan lima orang anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading.
Melati yang tengah dilanda
kekhawatiran hebat, sama sekali tidak mempedulikan
keadaan sekelilingnya. Yang
ada di benaknya hanya satu. Tiba di Istana Kerajaan Bojong Gading secepat
mungkin.
Putri angkat Raja Bojong
Gading ini sama sekali tidak tahu kalau lima orang pasukan khusus itu saling
memberi isyarat satu sama lain. Jelas, ada sesuatu yang tengah direncanakan.
"Hih...!"
Mendadak dan berbarengan, dua
orang anggota pasukan khusus yang berada di kanan kiri Melati membabatkan
pedangnya. Yang kanan mengarah ke arah leher, sedangkan yang kiri menusuk pinggang.
Angin berkesiut dari gerakan
pedang itu menyadarkan Melati. Dalam sekelebatan saja dia tahu, ada bahaya yang
tengah mengancam.
Meskipun dalam keadaan tidak
waspada, dan datangnya serangan juga tidak terduga-
duga, Melati mampu menunjukkan
kalau dirinya bukan seorang tokoh yang
mudah dipecundangi.
Dengan kemahiran seorang
pendekar wanita yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Melati
menyelinap ke samping kanan punggung kuda sehingga kedua serangan itu hanya
mengenai tempat kosong.
Tapi, rupanya hal itu sudah
diperhitungkan lima orang yang mengaku sebagai anggota pasukan khusus Kerajaan
Bojong Gading. Seorang di antaranya segera melemparkan pisau yang tergenggam di
tangan kanannya.
Sinygg..! Cappp...!
Kuda Melati langsung meringkik
kesakitan ketika pisau itu menancap di bagian belakang tubuhnya. Dan karena
rasa sakit yang melanda, binatang itu berlari sejadi-jadinya.
Rupanya, tidak hanya sampai di
situ saja serangan yang tertuju ke arah Melati. Dua orang lalnnya segera
menjepretkan panah yang sejak tadi sudah terpentang, dan siap untuk dilepaskan.
Twanggg...!
Beberapa batang anak panah
langsung melesat ke arah tubuh Melati dan kudanya.
Melati terperanjat. Disadari
kalau kini keadaannya amat berbahaya. Saat itu, kedudukannya sama sekali tidak
menguntungkan. Memang, gadis berpakaian putih itu berada di bagian kanan punggung kuda, dengan
kedua tangan mengepit leher dan kedua kaki mengepit bagian belakang binatang
tunggangannya. Padahal, binatang itu tengah berlari tunggang-langgang tak tentu
arah karena rasa sakit yang mendera.
Lagi-lagi Melati mengunjukkan
kelihaiannya. Tangan kanannya segera dilepaskan dari leher kuda. Dan dengan
satu tangan berpegangan, dicabutnya pedang yang tergantung di punggung.
Langsung pedangnya dipergunakan untuk menangkis serangan anak-anak panah yang
meluncur cepat bagai kilat ke arahnya.
Tranggg, tranggg, cappp...!
Sebagian anak-anak panah itu
berpentalan tak tentu arah dalam keadaan patah-patah ketika berbenturan dengan
pedang Melati. Tapi, sebagian kecil yang tidak tertangkis menancap di tubuh
kuda Melati, sehingga membuat binatang itu kembali meringkik kesakitan.
Tapi, kali ini rupanya rasa
sakit yang didera kuda itu sudah tidak tertahankan lagi. Akibatnya binatang
tunggangan itu berusaha untuk membuang tubuh Melati dari punggungnya. Mungkin
nalurinya mengetahui, kalau gadis berpakaian putih masih menempel di
punggungnya, nyawanya akan tetap terancam.
Melati yang sama sekali tidak
menyangka tindakan kuda itu, terkejut bukan kepalang. Apalagi saat itu,
kedudukannya sama sekali tidak menguntungkan. Maka ketika binatang itu berusaha
keras melempar tubuhnya, dia tidak mampu bertahan. Tubuh Melati seketika
terlempar ke udara. Dan sebelum jatuh di tanah, pedang di tangannya segera
ditusukkan ke tanah.
Cappp! Secepat pedang itu
menancap di tanah, secepat itu pula tubuh Melati melenting ke atas. Gadis itu
bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat ringan di tanah.
Baru saja kedua kaki Melati
hinggap di tanah, lima orang anggota pasukan khusus
yang masih berada di atas
punggung kuda segera menggebah binatang tunggangannya ke arah gadis berpakaian
putih itu. Tiga di antaranya segera mengibaskan tangan, melemparkan
pisau-pisau. Sementara dua lagi menjepretkan anak panah dari busurnya.
Singgg, singgg, twanggg...!
Desing suara anak panah dan
pisau mengawali meluncurnya senjata-senjata itu ke arah Melati. Tapi,
serangan-serangan ini sama sekali tidak membuat gadis itu gugup. Pedangnya
segera diputar di depan dada.
Suara berdentang keras disusul
bepercikannya bunga-bunga api mengiringi terjadinya
benturan antara pedang Melati
dengan pisau dan anak-anak panah. 5
Lima orang anggota pasukan
khusus memang sudah memperhitungkan hal itu. Mereka tidak terlalu berharap
serangan-serangan itu akan berhasil, dan dimaksudkan hanya untuk menyibukkan
Melati, hingga serangan susulan lain tiba.
Dan memang, ketika Melati
berhasil menghalau serangan-serangan itu, mereka telah meluruk cepat ke
arahnya. Pedang yang sudah tergenggam di tangan setelah pisau-pisau terbang dan
busur panah disimpan kembali, segera dibabatkan ke arah berbagai
bagian tubuh Melati.
"Hih...!"
Dengan genjotan perlahan pada
kakinya, tubuh Melati melenting ke atas. Langsung dilewatinya kepala para
pengeroyoknya. Beberapa kali tubuh gadis berpakaian putih itu berputar di
udara, sebelum mendarat di tanah.
"Gilakah kalian?! Mengapa
ingin membunuhku?!" tegur Melati keras.
Melati tidak ingin melukai,
apalagi membunuh lima orang anggota pasukan
khusus itu. Ingin diketahuinya dulu, mengapa mereka bermaksud
membunuhnya?
Tapi jawaban yang diterima
Melati hanyalah derap langkah kuda yang meluruk ke arahnya kembali, disusul
babatan pedang yang meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Melihat hal ini, Melati tahu
kalau jawaban yang diinginkan tidak akan didapat kalau digunakan cara halus.
Maka, diputuskanlah untuk menggunakan jalan kekerasan. Barangkali saja dengan
cara itu bisa didapatkan alasannya.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Melati menggerakkan pedangnya untuk
memapak semua serangan yang
menuju ke arahnya.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api memercik ke
udara ketika senjata-senjata yang sejenis itu berbenturan.
Usai menangkis, Melati segera
melempar tubuh ke belakang. Maksudnya agar tidak terkurung oleh gerombolan
berkuda itu. Karena bila hal itu terjadi, dia akan mengalami kesulitan.
Kalau Melati punya sifat
telengas, rasanya tidak ada masalah baginya walaupun
dikeroyok pasukan berkuda itu.
Tapi karena tidak tega melukai, apalagi membunuh kuda yang tidak tahu apa-apa,
keadaan menjadi lain.
Seperti yang sudah diduga,
lima orang itu segera menggebah kuda. Melati langsung
diburu dengan senjata di
tangan. Maka begitu kedua kakinya mendarat di tanah, gadis berpakaian putih itu
langsung menotolkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah meluruk ke arah
pasukan berkuda itu. Pedang di tangannya meluncur deras ke arah dada lawan yang
berkumis tebal.
Anggota pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading itu segera menggerakkan pedangnya untuk menangkis.
Tranggg...!
"Akh...!" jerit
laki-laki berkumis tebal itu ketika tangannya terasa bergetar hebat dan hampir
lumpuh. Tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya pun terlepas dad pegangan.
Sebelum laki-laki berkumis
tebal sempat berbuat sesuatu, tangan kiri Melati telah meluncur cepat ke arah
dada. Maka, tidak ada jalan lain bagi anggota pasukan khusus yang berkumis
tebal itu, selain melempar dirinya dari punggung kuda.
"Hup...!"
Pada saat yang bersamaan
dengan hinggapnya tubuh laki-laki berkumis tebal itu di tanah, Melati juga
hinggap di atas punggung kuda. Kini Melati tinggal menghadapi empat orang
lawannya.
Sesaat kemudian, pertarungan
menarik pun terjadi. Pertarungan antara dua belah pihak yang sama-sama
menggunakan binatang tunggangan. Sebenarnya, lima orang anggota pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading memang bermaksud membunuh Melati. Maka serangan-serangan
yang dikirimkan, ditujukan pada bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Tapi kini Melati mampu
menghadapi serangan-serangan lawan dengan baik, setelah berhasil merampas kuda.
Kini, dia tidak mengalami kesukaran lagi dalam mengirimkan serangan.
Semula pertarungan memang
berjalan agak seimbang. Tapi begitu menginjak jurus
kelima puluh, Melati mulai
menguasai keadaan. Memang, tingkat kepandaian putri angkat Raja Bojong Gading
itu berada jauh di atas lawan-lawannya. Maka meskipun lawan berusaha sekuat
tenaga untuk membunuh, tetap saja jadi pihak yang terdesak. Melati sendiri berusaha
keras mengendalikan serangan, agar jangan sampai menjatuhkan tangan kepada
mereka.
Bahkan ketika pertarungan
menginjak jurus kelima puluh, pedang Melati mulai mendapat sasaran. Seorang
lawan berhasil dijatuhkan dari punggung kuda, karena terkena sabetan pada
bahunya.
Beberapa jurus kemudian, tubuh
lawan-lawan yang lain pun menyusul berjatuhan di
tanah. Sebuah keuntungan bagi
anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading yang terkena tendangan, ternyata
Melati hanya mengerahkan sebagian tenaga dalamnya. Kalau gadis berpakaian putih
itu mengerahkan seluruh-nya, nyawa anggota pasukan khusus itu pasti sudah
melayang ke alam baka.
Melihat lawan-lawannya sudah
tidak berada di atas punggung kuda lagi, Melati segera melompat turun.
"Hey...!" teriak
Melati kaget ketika melihat lima orang anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading mengambil sesuatu dari balik ikat pinggang, kemudian memasukkannya ke
dalam mulut.
Cepat Melati melesat
menghampiri, tapi langsung melompat mundur ketika melihat kejadian yang menimpa
mereka.
Lima orang anggota pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading itu menggelepar-gelepar di tanah, lalu diam untuk
selama-lamanya. Dari hidung, mulut dan telinga mereka keluar cairan berwarna
kekuningan berbau busuk.
"Hhh...!"
Melati menghela napas berat. Hatinya
merasa kecewa sekali melihat kematian lima orang prajurit ayah angkatnya.
Padahal, dia belum mengetahui alasan mereka hendak membunuhnya.
Gadis berpakaian putih itu
tercenung beberapa saat. Perasaan bimbang melanda
hatinya. Haruskah
perjalanannya menuju Kerajaan Bojong Gading dilanjutkan. Ataukah kembali
menyusul Dewa Arak menuju Perguruan Pedang Ular untuk menyaksikan pernikahan
Rupangki dan Karmila?
Lenyap sudah keinginan untuk
menuju ke istana. Penyerangan lima orang anggota
pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading itu yang menjadi penyebabnya. Keragu-raguan melanda hati gadis
berpakaian putih itu. Benarkah lima orang yang telah tewas ini anggota pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading?
Hampir Melati menepak
kepalanya sendiri. Betapa bodohnya dia! Bukankah ada
sebuah tanda yang dapat
membuktikan benar tidaknya mereka adalah anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading? Dan tanda itu tertera di bagian tengkuk!
Teringat akan hal ini, membuat
Melati bergegas menghampiri mayat kelima orang itu.
Tubuhnya dibungkukkan, lalu
menyingkap rambut yang menutupi tengkuk salah seorang dari mereka.
Desisan bernada geram keluar
dari mulut Melati ketika tidak melihat adanya tanda apa pun di tengkuk. Jelas,
dirinya telah tertipu mentah-mentah.
Perasaan penasaran memaksa gadis
berpakaian putih itu untuk memeriksa
mayat yang lainnya. Tapi seperti yang dilihatnya pada mayat pertama,
pada tengkuk mayat-mayat yang lain pun tidak dijumpai tanda seperti itu.
"Keparat!" geram
Melati seraya bangkit berdiri. "Siapa yang telah berani
mempermainkanku?!" Kini
Melati sadar kalau dirinya telah ditipu. Sekarang baru jelas, kelima orang yang
telah menjadi mayat itu ternyata orang-orang suruhan. Sayangnya, mereka telah
mati. Sehingga tidak bisa diketahui orang yang telah menyuruh mereka.
Kini hati Melati kontan
tenang. Sebuah keputusan telah diambilnya. Dia akan menyusul Arya untuk
menghadiri perayaan pemikahan Karmila dan Rupangki.
Dengan hati mantap, meskipun
benaknya masih dipenuhi pikiran tentang orang yang berdiri di belakang
peristiwa penipuan terhadap dirinya, Melati menghampiri salah satu dari lima
ekor kuda yang masih berada di situ. Padahal, binatang-binatang itu sama sekali
tidak ditambatkan.
"Hih...!"
Sekali enjotkan kaki, tubuh
Melati sudah melayang ke atas dan hinggap di atas punggung kuda. Indah dan
manis sekali gerakannya.
Gadis berpakaian putih itu
menggeprakkan kudanya seraya mendecak pelan. Binatang tunggangannya pun
melangkah meninggalkan tempat itu. Mula-mula pelan, tapi lama- kelaman semakin
cepat meninggalkan debu mengepul tebal di belakangnya.
Baru saja Melati bersama
kudanya lenyap ditelan kejauhan, sesosok bayangan abu- abu berkelebat dan
hinggap di situ.
"Celaka! Aku
terlambat...!" sem sosok abu-abu yang ternyata seorang pemuda berwajah
tampan berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Nada suaranya menyiratkan
penyesalan yang amat sangat.
Pemuda berpakaian abu-abu itu
mengedarkan pandang ke arah lima sosok tubuh yang bergeletakan di tanah.
"Manusia-manusia tidak
berguna! Membunuh seorang wanita muda saja tidak becus!
Huh...! Tunggulah, Melati! Aku
yang akan membereskanmu!"
Setelah mengucapkan ancaman
demikian, pemuda berpakaian abu-abu itu melesat meninggalkan tempat itu. Cepat
bukan kepalang gerakannya, sehingga dalam sekejapan saja telah lenyap dari
tempat itu.
***
"Ha ha ha...!"
"Ho ho ho...!"
Dedemit Api dan Dedemit Salju
tertawa terbahak-bahak ketika melihat belasan orang persilatan menghadang
perjalanan mereka. Menilik dari gerak-geriknya, mereka adalah tokoh- tqkoh
golongan putih. Sikap mereka penuh ancaman. Ini bisa diketahui dari tangan-tangan
yang telah meraba hulu senjata masing-masing. Bahkan beberapa di antaranya
telah menghunus senjata.
"Tikus-tikus tidak tahu
diri! Mengapa kalian menghadang perjalananku?! Apakah
kalian semua sudah bosan
hidup? Menyingkirlah, sebelum kesabaranku hilang! Aku tidak sudi mengotori
tanganku dengan darah keroco-keroco tak berguna seperti kalian!" seiu
Dedemit Api tenang, tapi bernada ancaman.
"Bebaskan Dewa Arak! Baru
kami akan pergi dari sini!" sahut seorang laki-laki gagah
bersenjatakan sebatang tongkat,
seraya melangkah maju dua tindak.
"Ho ho ho...! Gagah
sekali sikapmu, Tikus Busuk! Aku ingin tahu, siapa namamu hingga berani
bertindak selancang ini terhadap Dedemit Api!"
"Aku memang bukan orang
terkenal seperti kau, Dedemit Api! Tapi demi
membela Dewa Arak, aku, Tongkat Sakti rela mati di tanganmu!" sahut
laki-laki gagah yang berjuluk Tongkat Sakti seraya melintangkan tongkatnya
"Hmh...!" Dedemit
Salju yang sejak tadi diam saja, mendengus. "Kalau kau mampu
bertarung denganku tiga jurus
saja, Dewa Arak akan kubebaskan!" Si Tongkat Sakti mengedarkan pandangan
ke sekeliling.
"Harap kau ingat
baik-baik ucapanmu itu, Dedemit Salju. Orang-orang persilatan yang ada di sini
menjadi saksi hidup atas janji yang kau ucapkan!"
Wajah Dedemit Salju yang putih
memerah, karena tersinggung mendengar ucapan si Tongkat Sakti. "Jangan
berani meremehkan janji Dedemit Salju! Majulah, Tikus Busuk! Dan, jangan harap
aku akan membiarkanmu mati enak! Dedemit Salju tidak pernah membiarkan hidup
orang yang telah menghinanya!"
Si Tongkat Sakti sama sekali
tidak mempedulikan ancaman itu. Dia tahu, Dedemit Salju memiliki kepandaian
tinggi. Tapi, mungkinkah tokoh sesat itu mampu mengalahkannya dalam tiga jurus?
Si Tongkat Sakti tidak percaya.
Si Tongkat Sakti memutar-mutar
tongkatnya di depan dada, hingga lenyap bentuknya.
Memang, betapa cepatnya
senjata itu berputar. Suara mengaung keras yang terdengar, menjadi pertanda
besarnya tenaga dalam yang mengalirinya.
Tokoh-tokoh persilatan yang
berada di belakang si Tongkat Sakti segera melangkah mundur. Sebaliknya,
Dedemit Salju malah melangkah maju. Sama sekali tidak dipedulikannya debu-debu yang beterbangan
akibat putaran tongkat si Tongkat Sakti.
"Haaat..!"
Didahului teriakan melengking
nyaring, si Tongkat Sakti mengayunkan tongkat yang digenggam kedua tangannya ke
arah kepala Dedemit Salju.
Wuttt...!
Angin yang menderu keras
mengawali tibanya serangan tongkat itu. Dari
suaranya saja, semua tokoh persilatan yang berada di situ dapat
memperkirakan kedahsyatannya. Dan memang, hantaman tongkat si Tongkat Sakti
sanggup membuat baru karang yang paling
keras hancur lebur. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi apabila serangan tongkat
itu menghantam kepala manusia yang di atas kertas jauh lebih lunak ketimbang
baru karang.
"Hmh...!"
Dedemit Salju hanya mendengus.
Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau laki-laki bertubuh pendek gemuk ini akan
mengelak atau menangkis. Baru ketika serangan tongkat itu hampir mengenai
kepala, tangan kirinya diangkat ke atas untuk memapak datangnya serangan dengan jari-jari tangan
terbuka.
Tappp...!
Luar biasa! Tongkat si Tongkat
Sakti langsung tercekal Dedemit Salju! Malah, kedudukan kaki kakek bertubuh
pendek gemuk itu tak tergoyahkan. Padahal sewaktu mengangkat tangan untuk
menangkis, tidak terlihat kalau tenaga dalamnya dikerahkan. Dari pertunjukan
ini saja, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam Dedemit Salju.
Karuan saja hal ini
mengejutkan semua tokoh persilatan yang berada di situ. Terutama sekali, si
Tongkat Sakti. Hanya ada dua orang saja yang tidak menganggap hal itu suatu
peristiwa luar biasa. Mereka adalah Dedemit Api dan Raja Racun Muka Putih.
Tongkat Sakti tentu saja tidak
sudi membiarkan senjatanya dirampas. Maka seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
untuk menarik kembali tongkatnya. Tapi sampai wajahnya merah, dan sampai
terdengar suara keluhannya, tetap saja tongkatnya tidak bergeming dari cekalan
lawan. Padahal, tidak terlihat ada tanda-tanda kalau Dedemit Salju mengerahkan
tenaga. Baik pada tangan, maupun wajahnya. Kecuali, pada jari-jari tangan yang mencekal
tongkat
"Ah...!"
Si Tongkat Sakti menjerit
kaget ketika merasakan ada hawa dingin yang merambat dari tongkat yang dicekal
lawan. Mula-mula tidak terlalu terasa, tapi semakin lama semakin jelas terasa.
Si Tongkat Sakti sadar,
Dedemit Salju tengah menyerangnya dengan tenaga dalam
berhawa dingin. Dan kalau
pegangan pada tongkat tidak buru-buru dilepaskan, jelas dia akan mati
kedinginan.
Oleh karena itu, laki-laki
gagah ini memutuskan untuk melepaskan tongkatnya. Namun, hatinya jadi mencelos
dan wajahnya berubah pucat ketika menyadari pegangan tangannya pada tongkat
tidak bisa dilepaskan. Betapapun laki-laki gagah ini telah berusaha keras, tapi
tetap saja sia-sia. Jari-jari tangannya seolah-olah telah melekat pada tongkat.
Meskipun bukan terhitung tokoh yang memiliki kepandaian amat tinggi, tapi si
Tongkat Sakti tidak mau putus asa begitu saja. Maka, sekarang dikerahkannya
tenaga dalam yang dimiliki untuk membendung serangan hawa dingin yang
menyerang. Tapi juga seperti sebelumnya, usaha Tongkat Sakti kali ini pun tidak
membuahkan hasil. Serangan hawa dingin itu sama sekali tidak mampu dicegahnya.
Dengan demikian, perlawanan yang dilakukan sama sekali tidak berarti apa-apa.
Para tokoh persilatan yang
menyaksikan hanya bisa memandang dengan raut wajah cemas. Meskipun tidak bisa
mengetahui pasti apa yang terjadi terhadap si Tongkat Sakti, tapi bisa
diperkirakan kalau laki-laki gagah itu berada dalam keadaan gawat. Sekujur
tubuhnya menggigil keras. Juga, terdengar suara menggerutuk dari gigi si
Tongkat Sakti. Hal itu menjadi bukti nyata kalau tokoh itu menderita
kedinginan.
Tokoh-tokoh persilatan itu
hanya bisa memandang tanpa mampu berbuat apa-apa. Karena, pertarungan satu
lawan satu itu terjadi atas kemauan si Tongkat Sakti juga. Dan lagi, mereka
semua juga tidak diikutsertakan. Yang dapat dilakukan mereka semua hanya berharap agar si Tongkat Sakti selamat.
Tapi, harapan tokoh-tokoh
persilatan itu rasanya tidak akan terwujud. Buktinya keadaan si Tongkat Sakti
semakin lama semakin tampak mengkhawatirkan. Tubuhnya semakin menggigil keras.
Demikian pula gigi-giginya yang semakin keras beradu satu sama lain.
Dan ketika akhirnya Dedemit
Salju melepaskannya, tubuh si Tongkat Sakti langsung jatuh berdebuk di tanah.
Dia tidak bergerak lagi untuk selamanya, karena nyawanya telah melayang
meninggalkan raga.
Belasan tokoh persilatan itu
segera bergerak menghampiri mayat si Tongkat Sakti. Raut kengerian tampak di
wajah-wajah mereka ketika melihat keadaan mayat itu. Wajah si Tongkat Sakti
tampak membiru. Sedangkan sepasang matanya terbelalak lebar. Jelas, laki- laki gagah itu tewas karena
dilanda kedinginan yang hebat
"Ho ho ho...!"
Suara tawa Dedemit Salju
membuat belasan tokoh persilatan itu mengalihkan perhatian dari mayat si
Tongkat Sakti.
"Siapa yang ingin bemasib
sepeiti Tikus Busuk ini, silakan maju!" tantang kakek bertubuh pendek
gemuk itu pongah.
Sing, sing, sing...!
Jawaban atas tantangan berbau
ancaman yang diajukan Dedemit Salju adalah terhunusnya senjata-senjata yang
tergantung di pinggang para tokoh persilatan.
"Kami bukan
pengecut-pengecut yang takut mati, Dedemit Salju! Bebaskan Dewa Arak, maka kami
akan pergi dari sini!" tegas seorang tokoh persilatan yang beralis tebal.
"Ya! Kau bebaskan Dewa
Arak, Dedemit Salju! Dan kami tidak akan memperpanjang
persoalan ini!" sahut
yang lain.
"Benar, Dedemit
Salju!" sambut tokoh persilatan lainnya. "Ho ho ho...!"
Tawa pongah Dedemit Api
menghentikan suara riuh rendah yang tercipta akibat suara
tokoh-tokoh persilatan itu.
"Sayang sekali! Aku tidak
akan melepaskan Dewa Arak! Dan sekarang, kalian semua mau apa?!" tandas
Dedemit Api bernada tantangan.
"Terpaksa kami
menantangmu!" seru tokoh persilatan beralis tebal. Dan....
"Haaat…!"
Sambil mengeluarkan teriakan
keras, laki-laki beralis tebal itu melesat menerjang Dedemit Api. Senjata golok
besar yang tergenggam di tangannya diayunkan deras ke arah kepala lawan dengan
arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya dia bermaksud membelah tubuh Dedemit
Api menjadi dua bagian yang sama. 6
Berbeda dengan sebelumnya,
kali ini begitu laki-laki beralis tebal melancarkan serangan, belasan tokoh
persilatan lainnya ikut melancarkan serangan pula. Sebagian di antara mereka
menyerang Dedemit Api. Sementara sebagian lainnya menyerang Dedemit Salju.
Memang, kedua orang itu berada di depan Raja Racun Muka Putih.
Dedemit Api dan Dedemit Salju
hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat hujan serangan yang tertuju ke arahnya.
Sikap yang ditunjukkan tidak menganggap kalau serangan itu periu mendapat
tanggapan sungguh-sungguh.
Baru ketika serangan
senjata-senjata itu menyambar dekat mereka memapaknya dengan tangan dan kaki
telanjang.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti
logam beradu terdengar ketika senjata tokoh-tokoh persilatan itu berbenturan
dengan tangan atau kaki Dedemit Salju dan Dedemit Api
Dan seperti kejadian
sebelumnya, tidak tampak adanya pengaruh yang menimpa
Dedemit Salju dan Dedemit Api
akibat benturan itu. Sebaliknya, tangan tokoh-tokoh persilatan itu yang
bergetar hebat dan hampir lumpuh. Bahkan senjata beberapa orang di antara
mereka terlepas dari cekalan, karena tangan yang menggenggam senjata terasa
lumpuh!
Meskipun begitu, tanpa
mengenal rasa gentar, belasan tokoh persilatan itu terus melanjutkan serangan.
Jelas kalau mereka bermaksud bertarung mati-matian.
Sesaat kemudian, pertarungan
campuran pun terjadi. Kelihatannya pertarungan itu berlangsung berat sebelah.
Namun setiap serangan tokoh persilatan itu dengan mudah dapat dikandaskan
Dedemit Api dan Dedemit Salju. Malah sebaliknya, setiap kedua kakek itu
menggerakkan tangan atau kaki, maka ada satu atau dua sosok tubuh tokoh
persilatan yang terlempar.
Jerit kesakitan dan kematian
terdengar saling susul seiring berpentalannya sosok-
sosok tubuh tokoh persilatan
itu di tanah. Akhir dari pertarungan ini sudah bisa ditebak. Jelas, Dedemit Api
dan Dedemit Salju akan mudah memenangkan pertarungan ini.
Tak sampai sepuluh jurus,
hanya tinggal beberapa gelintir saja tokoh-tokoh persilatan yang masih
bertarung melawan Dedemit Api dan Dedemit Salju. Sementara yang lainnya sudah
bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dedemit Salju dan
Dedemit Api memang berwatak telengas. Sekali orang berhadapan dengan mereka,
bisa dipastikan nyawanya akan melayang meninggalkan raga.
Karena jumlah tokoh persilatan
itu hanya beberapa gelintir saja, Dedemit Salju segera meninggalkan kancah
pertarungan. Dibiarkannya saja Dedemit Api yang menghadapi.
Meskipun kini lawan yang
dihadapi hanya tinggal Dedemit Api, tapi tetap saja tokoh- tokoh persilatan
yang tinggal berjumlah lima orang itu berada dalam keadaan mengkhawatirkan.
"Akh...!"
Suara jerit kematian kembali
terdengar ketika dua orang tokoh persilatan terkena kibasan tangan Dedemit Api.
Tubuh mereka pun langsung terpental disertai semburan darah yang deras dari
mulutnya. Mereka tewas seketika sebelum sempat menyentuh tanah.
Kembali tangan Dedemit Api
meluncur cepat ke arah tiga tokoh persilatan yang tengah meluruk ke arahnya.
Cepat bukan main gerakannya. Tokoh-tokoh persilatan yang memiliki tingkat
kepandaian di bawah kakek tinggi kurus itu mana mampu menyelamatkan diri?
Namun, mereka tetap nekat menyerang.
Tapi, rupanya keberuntungan
masih berpihak pada tiga orang tokoh persilatan itu. Di saat yang amat gawat
bagi keselamatan mereka, melesat sesosok bayangan hitam menyambuti serangan
Dedemit Api.
Plak, plak, plak...! Suara
keras terdengar ketika tangan sosok bayangan hitam itu berbenturan dengan tangan
Dedemit Api. Akibatnya, tubuh Dedemit Api terhuyung dua langkah ke belakang.
Sementara, sosok bayangan hitam terjengkang ke belakang.
"Hup...!"
Pada saat yang bersamaan
dengan hinggapnya kedua kaki sosok bayangan hitam itu di tanah, Dedemit Api
telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
"Siapa kau, Keparat?!
Sungguh berani mati mencampuri urusan Dedemit Api!" teriak
Dedemit Api keras bernada
kemarahan.
Sosok bayangan hitam itu
ternyata telah membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan tangan yang
berbenturan pun tergetar. Suatu hal yang hampir belum pernah dialaminya.
Bukan hanya Dedemit Api saja
yang merasa terkejut melihat hal ini.
Dedemit Salju pun dilanda perasaan yang sama. Orang yang telah berhasil membuat
rekannya mundur dalam benturan tenaga, tentu sudah bisa diperkirakan
kelihaiannya.
Sepasang mata Dedemit Api
menatap tajam penuh selidik pada orang yang telah
menangkis serangannya tadi.
Sepasang alisnya tampak berkerut ketika melihat jelas sosok bayangan hitam itu.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Bajunya yang berupa mantel
berwarna hitam dan longgar. Wajahnya tidak tampak jelas karena tertutup
selubung berwarna hitam pula. Yang ada hanyalah dua lubang untuk mata, yang
terlihat di balik selubung itu. Sepasang mata itu tampak mencorong tajam dan
berwarna kehijauan.
"Siapa aku, kau tidak
perlu tahu, Dedemit Api! Tapi kedatanganku untuk membebaskan Dewa Arak!
Lepaskan dia, dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!" tandas sosok
hitam yang tak lain adalah Iblis Hitam.
Tegas dan mantap suaranya,
meskipun terdengar agak aneh. Pelan, berat tapi
bergaung mirip suara hantu penjaga kuburan. Mungkin suara itu tercipta
karena mulutnya tertutup selubung.
"Cuhhh...!"
Dedemit Api meludah ke tanah.
"Jangan merasa bangga
karena berhasil membuatku terdorong mundur, Kisanak! Kau tahu, belum pernah ada
orang yang bisa mengalahkanku!"
"Hm !"
Iblis Hitam hanya menggumam
tidak jelas. Memang, tokoh yang pernah menggemparkan daerah Utara itu bukan
terhitung seorang yang gemar mengumbar kesombongan. Maka meskipun Dedemit Apt
berkaok-kaok mementang bacot dia sama sekali tidak terpengaruh.
"Menyingkiriah
kalian!" ujar Iblis Hitam pada tiga orang tokoh persilatan yang masih
selamat.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, tiga orang tokoh persilatan itu segera melangkah
menjauh. Mereka tahu, Dedemit
Api dan Iblis Hitam akan bertarung. Tak lupa, diseret tubuh rekan-rekan mereka
yang tewas untuk menjauhi tempat itu.
"Kalau kau bisa
mengalahkanku, dengan suka rela kuberikan Dewa Arak padamu!" tantang
Dedemit Api.
"Akan kuingat janjimu,
Dedemit Api!" sambut Iblis Hitam tenang. Dan....
"Hiyaaat..!"
Tahu kalau lawan yang
dihadapinya adalah seorang tokoh yang teramat tangguh, Iblis Hitam langsung
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Serangannya dibuka dengan
sebuah tendangan bertubi-tubi ke arah perut dada, dan ulu hati.
Dukkk, dukkk, dukkk !
Suara benturan keras antara
kedua kaki yang sama-sama ditopang tenaga dalam tinggi terdengar ketika Dedemit
Api memapak serangan itu dengan kakinya pula.
Kembali untuk kedua kalinya
tubuh kedua tokoh sakti itu terhuyung ke belakang. Dedemit Api terhuyung lima
langkah. Sementara Iblis Hitam yang nama sebenarnya adalah Kala Sunggi,
terhuyung-huyung enam langkah ke belakang. Jelas, Dedemit Api memiliki tenaga
dalam yang lebih kuat Di balik selubung hitam yang menutupi wajah, mulut Iblis
Hitam menyeringai karena rasa sakit yang mendera kakinya. Diam-diam hatinya
terkejut ketika mengetahui kuatnya tenaga dalam lawan. Sungguh, hal ini sama
sekali di luar dugaannya. Kalau satu orang saja sudah demikian lihai, apalagi
bila kedua orang itu maju bersama! Pantas saja Dewa Arak bisa diringkus!
Tapi Iblis Hitam tidak ingin
terlarut dalam keterkejutan. Maka begitu telah berhasil memperbaiki keadaannya,
segera dilancarkannya serangan kembali ke arah Dedemit Api. Maka, tokoh itu
segera menyambutnya tak kalah hangat. Sekejap kemudian, kedua tokoh sakti itu
telah terlibat dalam pertarungan sengit
Baik Iblis Hitam maupun
Dedemit Api sama-sama mengetahui kalau lawan yang dihadapi amat tangguh. Maka
tanpa segan-segan lagi segera dlkeluarkan seluruh kemampuan satu sama lain. Masing-masing
pihak tidak berani bertindak ceroboh dalam menghadapi lawan tanpa mengeluarkan
seluruh kemampuan. Dan tentu saja keduanya tidak ingin mati konyol!
Hebat bukan main pertarungan
antara kedua tokoh sakti itu. Angin yang menderu dan
mencicit menyemaraki
terjadinya pertarungan. Hawa panas pun menyelimuti tempat itu, karena Dedemit
Api telah mengeluarkan ilmu 'Telapak Tangan Api' andalannya.
Dedemit Salju, Raja Racun Muka
Putih, dan tiga orang tokoh persilatan melangkah menjauh ketika melihat pertarungan
mulai berlangsung sengit. Namun karena perasaan tertarik untuk menyaksikan
pertarungan, mereka semua melangkah mundur tanpa membalikkan tubuh dengan
sepasang mata tetap terpaku ke arah jalannya pertarungan.
***
Pertarungan tampaknya masih
berlangsung imbang. Meskipun telah
berjalan tiga puluh lima jurus, belum nampak ada tanda-tanda yang akan
keluar sebagai pemenang.
Diam-diam Dedemit Api merasa
heran. Ilmu 'Telapak Tangan Api' telah dikeluarkan sampai ke puncaknya sehingga
membuat suasana dalam jarak sekitar lima tombak terasa panas bukan kepalang.
Tapi, mengapa Iblis Hitam seperti tidak terpengaruh sama sekali? Padahal,
sekalipun lawan memiliki tenaga dalam berada di atasnya tetap akan terpengaruh
hawa panas yang menyengat akibat pengaruh ilmu 'Telapak Tangan Api' itu.
Setidak-tidaknya, tenaga tambahan harus dikeluarkan untuk melawan hawa panas
itu.
Namun kenyataan seperti itu
tidak terlihat pada Iblis Hitam. Tenaga dalamnya tetap saja seperti semula.
Ternyata bisa dibuktikan kalau dirinya tidak mengeluarkan tenaga tambahan untuk
menahan serangan hawa panas. Dan hasilnya, Kala Sunggi terlihat sama sekali
tidak terpengaruh. Apakah Iblis Hitam itu mempunyai ilmu kebal?
Dedemit Api sama sekali tidak
menduga kalau Iblis Hitam mampu menahan sergapan hawa panas yang menyengat itu
berkat keampuhan mantel pusakanya (Untuk jelasnya mengenai keistimewaan mantel
pusaka Iblis Hitam, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Peninggalan
Ibhs Hitam").
Karuan saja hal itu membuat
Dedemit Api penasaran dan heran bukan kepalang. Namun, bukan hanya Dedemit Api
saja yang dilanda rasa heran. Dedemit Salju dan
Raja Racun Muka Putih juga
dilanda perasaan yang sama. Sampai begitu lihaikah tokoh yang berpakaian serba
hitam ini?
Meskipun dengan adanya mantel
pusaka yang melekat di badannya, Iblis Hitam tidak
berani menerima serangan lawan
begitu saja. Memang, sejak Pedang Bintang milik Dewa Arak telah melubangi
mantelnya dan membuatnya terluka, keistimewaan pusaka itu telah menurun. Mantel
itu hanya mampu menerima serangan dari senjata tajam saja. Tapi bila terhantam
benda tumpul atau pukulan bertenaga dalam tinggi, tubuh yang terbungkus tetap
saja terluka.
Oleh karena itu, setelah
melalui pertarungan sengit selama lebih dari seratus dua puluh jurus, Iblis
Hitam mulai terdesak Karena Dedemit Api memiliki keunggulan dalam hal tenaga
dalam. Di samping ilmu 'Telapak Tangan Api'nya juga luar biasa ganas. Meskipun
dalam mutu ilmu silat dan ilmu meringankan tubuh Iblis Hitam sama sekali tidak
di bawah lawan, tapi tenaga dalamnya masih kalah. Maka hal ini dipergunakan
sebaik- baiknya oleh Dedemit Api untuk menekannya.
Sedikit demi sedikit
serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Hitam mulai berkurang. Demikian pula
dengan menangkis karena hanya merugikan dirinya. Sebaliknya, mengelak semakin
sering dilakukan oleh tokoh yang mengenakan pakaian serba hitam ini.
Dengan sendirinya, tindakan
Iblis Hitam membuat lawan semakin sering melancarkan
serangan dan membuat
keadaannya semakin terdesak. Sehingga di jurus keseratus tiga puluh tiga, kaki
kanan Dedemit Api menyapu ke arah kaki Iblis Hitam yang dapat mengelakkannya
dengan melompat ke atas. Dan saat itulah tangan kanan Dedemit Api menepak keras
ke arah paha.
Plakkk..!
Telak dan keras sekali tepakan
tangan itu menghantam sasaran, sehingga membuat tubuh Iblis Hitam terjengkang
ke belakang dan terguling-guling di tanah.
Mulut Kala Sunggi yang
tersembunyi di balik selubung menyeringai karena rasa sakit
hebat. Tulang pahanya seperti
hancur luluh. Rasa panas terasa amat sangat menyengat Mungkin daging pahanya
hangus. Tapi anehnya, tidak ada kerusakan apa pun pada mantel Iblis Hitam!
Melihat tubuh lawan tangguhnya
terguling-guling, Dedemit Api tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dia cepat
memburu seraya melancarkan serangan bertubi-tubi.
Iblis Hitam tentu saja tidak
mau mati konyol. Disadari kalau keadaannya amat berbahaya. Tidak ada pihhan
lagi untuk menyelamatkan selembar nyawanya, kecuali menangkis.
Iblis Hitam segera menggerakkan
kedua tangannya ke pinggang. Dan ketika kembali ke tempat semula, pada kedua
tangan itu kini telah tergenggam sebatang kapak yang berwarna hitam mengkilap.
Langsung senjata itu dikelebatkan ke arah tubuh Dedemit Api yang tengah menuju
ke arahnya.
Cit, cit..!
Wajah Dedemit Api berubah
hebat. Sebagai seorang yang telah kenyang pengalaman, sekali lihat saja Dedemit
Api telah tahu kalau sepasang kapak di tangan Iblis Hitam bukan kapak
sembarangan! Kedua kapak itu memiliki hawa maut yang mengerikan. Bahkan angin
serangan yang mengiringi tibanya serangan sepasang kapak itu telah membuat
tulang- tulangnya terasa ngilu bukan kepalang.
Sadar akan bahaya yang
mengancam, Dedemit Api segera membatalkan serangannya.
Tubuhnya dilempar ke belakang
dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu, dia hinggap beberapa tombak dari
Iblis Hitam.
Kesempatan yang hanya sedikit
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kala Sunggi.
Tubuhnya terus bergulingan
menjauh, kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
Dedemit Salju sama sekali tidak
mengejarnya. Sedangkan Dedemit Api sudah agak terlambat. Tubuh Iblis Hitam
telah berjarak lebih dari tiga puluh
tombak ketika kedua kakinya hinggap di tanah
"Sungguh tidak kusangka
kalau dia akan selihai itu," kata Dedemit Api setengah
mengeluh. Tapi anehnya ada
sorot kegembiraan di wajahnya.
Memang, kakek tinggi kurus ini
gemar bertarung. Tidak ada hal yang paling menarik baginya kecuali bertarung
dengan tokoh-tokoh tingkatan tinggi. Maka, hatinya merasa gembira bukan kepalang ketika
mengetahui kalau Iblis Hitam merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Meskipun kalau diteruskan akan menang, tapi kemenangan yang diperolehnya
dicapai dengan kerja keras. Itu memang sudah sifatnya.
"Mungkinkah dia Iblis
Hitam...?!" ucap Dedemit Salju mengemukakan dugaan.
"Iblis Hitam?!"
ulang Dedemit Api dengan alis berkernyit dalam. 'Tokoh yang menjadi legenda di
Utara sana sejak lebih dari seratus tahun yang lalu? Aku yakin bukan, Dedemit
Salju. Dia tidak setua itu. Tubuhnya masih terlihat kekar dan tegap!"
"Tapi ciri-ciri, senjata,
dan keistimewaan pakaiannya..., semuanya sama dengan Iblis
Hitam," bantah Dedemit
Salju lagi, mengemukakan alasan untuk menguatkan dugaannya. Dedemit Api terdiam
sejenak. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan
rekannya. Dan memang, Dedemit Saljulah yang pertama kali mengemukakan
dugaan kalau tokoh serba hitam yang lihai itu adalah Iblis Hitam. Tapi....
"Kurasa kali ini kau
keliru, Dedemit Salju," sergah Dedemit Api setengah mencela. "Hm
!" Hanya gumam tak jelas Dedemit Salju yang menyambuti ucapan itu.
"Iblis Hitam telah mati
belasan tahun yang lalu di tangan para pendekar yang mengeroyoknya."
"Jadi. ? Siapa sebenarnya
orang itu?" tanya Dedemit Salju dengan alls berkernyit
"Entahlah," Dedemit
Api mengangkat bahu. "Lagi pula, untuk apa kita memikirkannya?
Kita masih mempunyai urusan
lain yang lebih penting daripada urusan Iblis Hitam!"
Dedemit Salju menganggukkan
kepala pertanda menyetujui ucapan
rekannya. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu, menyusul
Dedemit Api yang telah berjalan lebih dulu setelah berkata-kata.
Raja Racun Muka Putih tidak
mau ketinggalan. Kakinya pun ikut melangkah pula mengikuti Dedemit Api dan
Dedemit Salju yang telah berjalan lebih dulu. Tak dipedulikan lagi mayat-mayat
lawan mereka dan tiga orang tokoh persilatan yang masih berdiri diam di tempat
Tiga orang tokoh persilatan itu sama sekali tidak berusaha meneruskan
penyerangan kembali, karena tahu kalau datuk-datuk kaum hitam itu bukan lawan
mereka. 7
"Rupanya berita
tertangkapnya Dewa Arak dan akan kita hukum mati di Bukit Siluman telah membuat dunia persilatan
gempar, Dedemit Salju," kata Dedemit Api yang lebih gemar berbicara.
Dedemit Salju menganggukkan
kepala.
"Padahal..., bukan mereka
yang mestinya datang mencari kita. Tapi guru Dewa Arak, Ki Gering Langit. Sial!
Memancing harimau yang datang malah kucing-kucing pincang!"
"Haruskah Dewa Arak kita
lepaskan saja, Dedemit Salju?" tanya Dedemit Api lagi. "Sudah tiga
hari kita membawa-bawa Dewa Arak, tapi tetap saja Ki Gering Langit tidak
muncul-muncul. Malah, tokoh-tokoh persilatan yang silih berganti menghadang
perjalanan kita untuk membebaskan Dewa Arak!"
"Kita sudah telanjur,
Dedemit Api. Teruskan saja! Aku yakin, Ki Gering Langit akan datang. Tidak
mungkin muridnya dibiarkan mati percuma di tangan kita! Atau..., kau gentar
menghadapi tokoh-tokoh persilatan?" sahut Dedemit Salju penuh semangat.
"Cuhhh...!"
Dedemit Api kontan meludah ke
tanah. Wajahnya yang memang sudah merah, jadi semakin tampak merah membara.
Jelas kalau hatinya merasa tersinggung atas ucapan yang dikeluarkan kakek pendek
gemuk itu.
'Tidak ada kata gentar dalam
kamus hidup Dedemit Api!" tandas kakek tinggi kurus itu keras. "Atau
kau sendiri ingin menjajal kepandaianku?"
"Ho ho ho...! Jangan
dikira aku takut padamu, Dedemit Api! Tapi, aku lebih waras
daripadamu! Kelak apabila
telah berhasil menewaskan Ki Gering Langit, baru bisa dibuktikan, siapa yang
lebih sakti di antara kita!"
"Boleh!" sahut
Dedemit Api. "Kapan dan di mana pun
tempat yang kau ajukan, kuladeni!"
Dedemit Salju hanya tersenyum
saja.
"Tapi aku sudah bosan terus-menerus
menahan Dewa Arak, Dedemit Salju," ucap Dedemit Api lagi.
"Sabarlah, Dedemit
Api," ujar Dedemit Salju bernada menghibur. "Tunggu sampai kita
telah berada di Bukit
Siluman!"
"Lalu..., setelah kita
sampai di Bukit Siluman dan Ki Gering Langit tidak juga muncul,
bagaimana?" kejar Dedemit Api ingin tahu.
Dedemit Salju tercenung
sejenak.
"Yahhh.... Mungkin kita
harus puas bila hanya berhadapan dengan muridnya," sahut kakek pendek
gemuk itu setengah mengeluh.
"Maksudmu...?"
"Keadaan Dewa Arak kita
pulihkan. Dengan demikian, dia bisa kita paksa bertarung mewakili gurunya.
Apabila menang, kita berarti telah mengalahkan Ki Gering Langit! Bagaimana?
Bagus kan, usulku ini?"
Kini Dedemit Api
mengangguk-anggukkan kepala. Perhatiannya dialihkan ke sebelah
kiri, tempat Raja Racun Muka
Putih berjalan sambil memapah tubuh Dewa Arak yang lunglai.
Memang setelah Arya sadar,
Raja Racun Muka Purih tidak lagi memanggul, melainkan memapahnya. Karena pemuda
berambut putih keperakan itu tidak mampu berdiri. Rupanya, Dedemit Api telah
mem buatnya lemas tak berdaya dengan totokan pada punggungnya.
Meskipun keadaan tubuhnya
lemas bukan kepalang, namun Dewa Arak masih mampu mendengar percakapan itu.
Tapi apa dayanya? Jangankan menyerang, menggerakkan ujung jari kelingking saja
tidak mampu!
Mendadak, kantuk yang amat
berat menyerang Arya. Tanpa dapat ditahan lagi,
sepasang matanya terpejam
sendiri. Dewa Arak kini tertidur! Untung saja, Raja Racun Muka Putih
memapahnya. Kalau tidak, tubuh pemuda ini sudah tersungkur jatuh. Raja Racun
Muka Putih hanya bisa menyimpan kedongkolannya dalam hati. Kalau saja tidak takut pada Dedemit Api dan Dedemit
Salju pemuda yang telah banyak membuatnya repot ini sudah dipukul mampus.
Sementara, Arya sendiri sudah
terlelap dalam tidurnya yang aneh. Mengantuk secara mendadak, dan kedua matanya
langsung terpejam tanpa mampu dicegah! Padahal menurut perhitungan, tokoh sakti
seperti Dewa Arak, tidak menjadi masalah meskipun tidak tertidur dua hari dua
malam.
Tidak ada seorang pun yang
menyadari keanehan itu, tak terkecuali
Dewa Arak sendiri. Malah dia
merupakan orang yang paling tidak menyadari keanehan itu, karena telah
tertidur.
Dalam tidurnya itu, Arya
bermimpi berada di tempat yang sangat asing. Di
sekelilingnya, tampak hanya
kesunyian saja. Karuan saja Arya kebingungan. Tempat itu sama sekali tidak
dikenalnya. Dan Dewa Arak sama sekali tidak mengerti, mengapa berada di situ.
Di sana-sini yang terlihat hanya warna keputihan saja. Yang jelas, dia seperti
berada di atas awan.
Mendadak, muncul seberkas
sinar terang menyilaukan di depan Arya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan
itu sampai memejamkan mata, karena tak kuat menahan silau.
Beberapa saat lamanya Dewa
Arak bersikap demikian. Baru ketika sinar terang itu diyakininya tidak ada
lagi, sepasang matanya dibuka. Itu pun dengan perlahan-lahan, karena khawatir
kalau sinar terang itu masih ada.
Dan memang, tidak ada lagi
sinar terang menyilaukan itu. Tapi sebagai gantinya, di hadapannya berdiri
sesosok tubuh yang amat dikenalnya. Sosok tubuh seorang kakek berpakaian putih
bersih. Kumis dan jenggotnya telah memutih semua. Sekujur tubuhnya, terutama
sekali wajahnya, seperti mengeluarkan cahaya sehingga membuat orang tidak kuat
berlama-lama memandangnya. Di tangannya yang keriput tergenggam seuntai tasbih.
Dialah Ki Gering Langit, guru Dewa Arak!
"Guru...!" sebut
Arya seraya melangkah maju dan memberi hormat
Kakek berpakaian putih bersih
yang memang Ki Gering Langit tersenyum. Aneh, tiba- tiba jiwa Arya terasa sejuk
bukan main.
"Arya...," panggil
Ki Gering Langit seraya menatap wajah pemuda berambut putih
keperakan itu penuh kasih
sayang.
"Ya, Guru," sahut
Arya seraya mengangkat wajah dan menatap wajah Ki Gering Langit. Tapi kepalanya
segera ditundukkan kembali karena sepasang matanya tak mampu menatap wajah
kakek itu berlama-lama. Silau!
"Ada yang ingin
kuberitahukan padamu mengenai ilmu 'Belalang Sakti'."
Ki Gering Langit menghentikan
ucapannya. Ditatapnya Arya untuk menanti tanggapan pemuda itu atas ucapannya.
Tapi, ternyata Dewa Arak tidak memberi tanggapan apa-apa.
"Ilmu 'Belalang Sakti'
bukan ilmu sembarangan, Arya. Dia merupakan ilmu hidup, dan
seperti mempunyai kemauan
sendiri. Di alam gaib, ilmu 'Belalang Sakti' yang kau miliki berbentuk seekor
belalang raksasa berwarna coklat" sambung Ki Gering Langit. "Dan ilmu
'Belalang Sakti' kuciptakan juga berdasarkan gerak-gerik belalang raksasa yang
ada di alam gaib itu."
Arya mengangkat wajahnya.
Keterkejutan yang amat sangat tampak menyemburat di sana. Memang, sama sekali
tidak disangka kalau ilmu 'Belalang Sakti' nya mempunyai riwayat yang begitu
aneh.
"Lalu..., apakah binatang
itu bisa kulihat, Guru?" tanya Arya tak tahan memendam rasa ingin tahunya.
"Tidak, Arya. Kau tidak
akan bisa melihatnya," jawab Ki Gering Langit tersenyum sambil
menggelengkan kepala. "Tapi orang lain bisa melihatnya, apabila kau telah
mampu membawa belalang raksasa yang ada di alam gaib itu ke dalam dirimu."
"Maksud, Guru. Roh
binatang itu?" tanya Arya disertai rasa heran yang masih membias di
wajahnya.
"Bukan roh, Arya. Tapi,
ilmu. Camkan baik-baik. Ilmu! Tapi, itulah anehnya alam gaib.
Di sana ilmu mempunyai bentuk
sendiri-sendiri. Seperti ilmu 'Cakar Naga Merah' yang dikuasai Melati. Di alam
gaib, ilmu itu berbentuk seekor naga besar berwarna merah." Arya
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Ilmu 'Belalang Sakti'
yang kau kuasai memang sudah cukup dahsyat. Tapi bila kau berhasil membawa
belalang raksasa ke dalam tubuhmu, kau akan melihat sendiri perbedaannya."
Ki Gering Langit menghentikan
ucapannya sebentar, untuk memberi kesempatan pada Dewa Arak dalam mencerna
kata-katanya.
"Bagaimana caranya agar
aku bisa membawa belalang raksasa di alam gaib itu ke
dalam diriku, Guru,"
tanya Arya ingin tahu.
"Usahakanlah sendiri,
Arya. Tapi pertu kau ketahui, belalang raksasa itu mempunyai naluri yang sangat
tajam. Aku yakin, dia akan bisa mengetahui kalau kau mempunyai hubungan
dengannya. Dan yang perlu kau lakukan hanyalah membuat hubungan
itu semakin dekat. Dan bila hal itu sudah terjadi, mungkin dia akan bisa
menyelusup ke dalam tubuhmu," jelas Ki Gering Langit. "Tapi, ucapanku
ini bukan berarti saat-saat sekarang kau diam dan tidak berusaha sama sekali.
Berusahalah, Arya!"
"Akan kuperhartikan
nasihatmu, Guru. Tapi..., bagaimana kutahu kalau belalang
raksasa itu telah berada dalam
diriku, Guru?" desak Dewa Arak.
"Ada hembusan angin yang
cukup dingin, dan bulu-bulu di tubuhmu berdiri. Itu yang menjadi
tandanya."
Arya terdiam seketika. Kini,
telah cukup jelas baginya akan ilmu 'Belalang Sakti' yang
dimiliki.
"O ya, Guru. Masih ada
yang ingin kutanyakan," kata Arya buru-buru. Rupanya masih ada masalah
yang dilupakannya.
"Katakanlah, Arya,"
sambut Ki Gering Langit, memberi kesempatan.
"Mengapa aku harus berada
di puncak kekhawatiran dan ketidakberdayaan untuk mendapatkan belalang raksasa
itu, Guru?"
"Karena dalam puncak
kekhawatiran, biasanya pada diri manusia timbul kekuatan-
kekuatan yang semula tidak
dimiliki. Kekuatan yang tersembunyi," jelas kakek berpakaian putih bersih
itu. "Manusia memang makhluk luar biasa, Arya. Hanya bermodalkan kekuatan
batin, dan usaha, maka akan muncul hal yang diharapkan. Yang ada itu asalnya
dari tiada. Apabila kau mendalami ilmu 'Lemah Jiwa' kau akan menyadari secara
lebih jelas. Yang ada itu asalnya dari tiada, Arya."
Arya mengernyitkan keningnya
pertanda masih belum mengerti penjelasan
gamblang Ki Gering Langit
"Kau pun sebenarnya telah
membuktikan kebenaran itu, Arya. Dalam puncak
kekhawatiran dan kemarahan,
kau telah berhasil menggabungkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dengan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Padahal, sebelumnya kau tidak pernah mampu melakukannya."
"Kau tahu hal itu,
Guru...?!" tanya Arya agak kaget. Terbayang di benaknya saat ilmu-
ttmu itu berhasil
digabungkannya tanpa sengaja (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Penghuni Lembah Malaikat").
"Kebetulan saat itu aku
tengah rindu untuk melihat dirimu, Arya," sahut kakek berpakaian putih
bersih itu. "Kubuka telapak tanganku, dan kulihat kau tengah bertarung
dengan seorang pemuda berpakaian mewah "
Arya takjub. Tapi mendadak....
Tukkk..!
Kaki Arya tersandung batu.
Dengan sendirinya, dia pun terbangun dari tidur. Sepasang matanya dilayangkan
ke sana kemari untuk mencari gurunya, tapi tetap saja tidak terlihat. Bahkan
tempatnya berada sekarang pun amat berbeda jika dibandingkan tempat saat
bertemu dengan gurunya. Yang dilihatnya adalah wajah Dedemit Api dan Dedemit
Salju, serta wajah Raja Racun Muka Putih.
"Rupanya aku tengah
bermimpi," desah Arya dalam hati. "Tapi, benarkah aku bermimpi? Tapi,
kalau mimpi mengapa bisa begitu jelas? Apakah itu bukan sebuah petunjuk dari
guru? Guru datang dan memberi petunjuk padaku. Tapi ini tidak seperti biasanya,
karena keadaan yang tidak memungkinkan?" Arya lebih condong pada dugaan
kalau peristiwa aneh yang dialaminya
bukan sembarangan mimpi atau bunga tidur saja. Tapi, itu merupakan kejadian
yang hampir sesungguhnya. Ki Gering Langit ingin memberi petunjuk padanya. Tapi
karena keadaan tidak memungkinkan, maka digunakannya jalan melalui mimpi.
Arya percaya kalau gurunya mampu
melakukan hal itu, karena Ki Gering Langit memang memiliki banyak ilmu yang
aneh dan tidak masuk akal!
Yakin kalau pertemuannya
dengan Ki Gering Langit itu sungguh-sungguh terjadi,
maka Dewa Arak memutuskan
untuk mencoba-coba membawa belalang raksasa itu ke dalam dirinya.
Arya memejamkan matanya,
mencoba melihat belalang raksasa itu dengan batinnya. Karena menurut penjelasan
gurunya di dalam mimpi, belalang raksasa itu tidak bisa dilihat dengan mata
biasa. Bukankah itu berarti ada kemungkinan bisa dilihat dengan mata batin?
Meskipun tubuhnya dipapah Raja
Racun Muka Putih yang kini berlari cepat membawanya, Dewa Arak sama sekali
tidak peduli. Benaknya terus diputar keras untuk mencari gambaran belalang
raksasa yang dimaksud gurunya.
Namun, tidak mudah bagi Dewa
Arak untuk mendapat gambaran tentang belalang raksasa itu. Padahal seluruh alam
pikirannya telah dipusatkan. Meskipun demikian,
Arya tidak putus asa. Pikirannya terus dipusatkan pada bayangan belalang
raksasa.
Tapi sampai Raja Racun Muka
Purih menghentikan larinya, gambaran apa pun tentang
belalang raksasa yang
dikatakan gurunya tetap belum didapat. Maka, Arya menghentikan usahanya.
Sepasang matanya dibuka untuk mengetahui apa yang akan dilakukan musuh-
musuhnya.
"Gantungkan tubuhnya di
sana...!" perintah Dedemit Api pada Raja Racun Muka Putih.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, kakek berpakaian putih itu bergerak ke arah sebatang pohon besar yang
ditunjuk Dedemit Api. Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan Raja
Racun Muka Putih telah tergenggam seutas tambang berwarna putih. Dengan salah
satu ujung tali itu, pergelangan kaki kanan Arya diikatnya. Sedangkan ujung
yang satu lagi dipegangnya.
"Hih...!"
Raja Racun Muka Putih melompat
ke atas, lalu mendarat di cabang pohon tanpa menimbulkan getaran sedikit pun.
Di cabang pohon itulah ujung tali yang satu lagi dibelitkan, setelah teriebih
dulu ditarik. Sehingga, tubuh Dewa Arak tergantung dengan jarak hampir satu
tombak dari atas tanah. Kepalanya di bawah, dan kaki di atas.
Setelah menyelesaikan
tugasnya, Raja Racun Muka Putih melompat turun.
***
Dedemit Api melangkah
menghampiri tubuh Dewa Arak yang tergantung.
"Nyawamu tergantung pada
gurumu, Dewa Arak," kata Dedemit Api. "Kalau dia tidak datang, kau
terpaksa harus berhadapan dengan kami sebagai wakil gurumu!"
"Ya! Kami akan menunggu
di sini selama dua hari," sambung Dedemit Salju sambil melangkah maju dan
berdiri di sebelah Dedemit Api.
Tapi, Arya sama sekali tidak
menyambuti ucapan kedua kakek sakti itu. Dia tahu, tidak ada gunanya lagi
menjawab perkataan mereka. Maka dengan sikap tidak peduli, sepasang matanya
dipejamkan. Arya memutuskan untuk mencari hubungan dengan belalang raksasa
daripada meladeni ucapan Dedemit Api dan Dedemit Salju.
Dalam keadaan tubuh
tergantung, kepala di bawah dan kaki di atas, Dewa Arak memejamkan matanya.
Benaknya diputar untuk membayangkan bentuk belalang raksasa seperri yang
dikatakan Ki Gering Langit
Dedemit Api dan Dedemit Salju
segera melangkah mundur ketika melihat Dewa Arak memejamkan mata. Mereka tahu,
Arya tidak mau melanjutkan pembicaraan.
Tanpa melepaskan pandangan
dari Dewa Arak, Dedemit Salju dan Dedemit Api melangkah mundur. Dalam hati
mereka, bersarang pertanyaan. Apa yang hendak dilakukan Dewa Arak. Sementara
itu, orang yang dibingungkan sama sekali tidak mengetahui Arya telah tenggelam
dalam kesibukannya membawa gambaran belalang raksasa ke dalam dirinya.
Entah sudah berapa lama
tenggelam dalam kesibukan benaknya, Dewa Arak sama
sekali tidak tahu. Yang ada di
benaknya hanya satu, mendapatkan
gambaran belalang raksasa seperti
yang dikatakan gurunya!
Waktu berlalu tanpa disadari
Arya. Matahari yang tadi masih jauh dari titik tengahnya kini malah telah
tergelincir dari atas kepala.
Dedemit Api, Dedemit Salju,
dan Raja Racun Muka Putih duduk berjarak lima tombak di hadapan Arya, di atas
sebatang pohon yang telah ditumbangkan sebelumnya. Dedemit Api dan Dedemit
Salju tampak tidak sabar menunggu kedatangan Ki Gering Langit
Tapi karena melihat kelakuan
Dewa Arak yang aneh, mereka duduk menunggu dengan
pandangan tertuju ke arah
Arya. Hanya sesekali saja pandangan mereka dialihkan ke sekeliling.
Mendadak angin berhembus
secara tidak disangka-sangka karena udara semula begitu tenang. Tidak keras
memang, tapi mengandung hawa dingin. Bahkan mampu membuat Dedemit Api, Dedemit Salju, dan Raja
Racun Muka Putih menggigil walaupun hanya sesaat
"Ikh...! Angin
aneh...!" gerutu Dedemit Api ketika tanpa sadar kedua bahunya terangkat ke atas karena hembusan angin tidak
keras yang berhawa cukup dingin itu.
Seiring selesainya ucapan itu,
Dedemit Api mengedarkan pandangan berkeliling. Hal
yang sama dilakukan Dedemit
Salju dan Raja Racun Muka Putih. Memang, ketiga orang itu dilanda perasaan
heran. Sebuah pertanyaan yang sama bergayut di benak masing-masing. Mengapa
mereka semua menggigil oleh hembusan angin tadi?
Di antara mereka semua, yang
paling merasa heran adalah Dedemit Api. Bayangkan!
Selama ini, betapapun
dinginnya cuaca di tempat bersalju sekalipun, dia tidak merasa dingin sama
sekali. Sebaliknya dia malah selalu merasa kegerahan! Itulah sebabnya, tubuhnya
hanya ditutupi selembar kain pendek. Tapi sekarang, mengapa tubuhnya terasa
begitu menggigil oleh hembusan angin yang sebenarnya tidak keras? Jadi, siapa
yang tidak merasa heran dan curiga?
Dedemit Salju juga mengedarkan
pandangan berkeliling. Hatinya merasa curiga ketika melihat Dedemit Api
menggigil sebentar karena hembusan angin. Padahal dia tahu pasti kalau rekannya
itu tidak pernah menggigil sekalipun berada di tempat yang bercuaca teramat dingin!
Tapi sampai telah leher dan
sepasang mata mereka karena diputar dan dibeliakkan ke sana kemari, tetap saja
tidak tampak adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasana di tempat itu sunyi
senyap. Yang terlihat hanyalah beberapa pepohonan di sekelilingnya yang berupa
tanah lapang luas dan ditumbuhi sedikit rumput
Dedemit Api saling berpandangan
dengan Dedemit Salju. Dalam bentrok mata itu, keduanya saling tahu kalau
pandangan mata masing-masing pihak dilanda keheranan besar.
"Kau merasakan hembusan
angin itu, Dedemit Salju?" tanya Dedemit Api untuk memastikan kalau
kejadian yang tadi dialaminya benar-benar terjadi dan bukan hanya perasaannya
saja.
Dedemit Salju menganggukkan
kepala.
"Kau tidak merasakan
adanya keanehan?!" tanya Dedemit Api lagi.
"Ya," sahut Dedemit
Salju. "Aku yakin, ini bukan angin sewajarnya. Kurasakan angin itu
mengandung banyak keanehan. Hembusan anginnya tidak keras, tapi membuat tubuh
menggigil sesaat."
Dedemit Api mengangguk
membenarkan.
"Tapi, jelas-jelas tidak
ada siapa pun di sini," tegas Dedemit Api.
"Entahlah. Yang jelas,
kita harus waspada, Dedemit Api. Siapa tahu ada orang yang telah berada di
sini."
"Sukar kubayangkan
tingkat kepandaian orang itu kalau mampu hadir tanpa diketahui oleh kita,"
sambut Dedemit Api bingung.
"Mungkin dialah orang
yang kita tunggu-tunggu," celetuk Dedemit Salju.
"Maksudmu..., Ki Gering
Langit..?" tanya Dedemit Api yang dijawab dengan anggukan kepala oleh
Dedemit Salju. Sementara Raja Racun Muka Putih hanya diam saja. Pandangannya
tertuju lurus ke depan. Tapi, telinganya dipasang tajam-tajam untuk
mendengarkan pembicaraan kedua kakek sakti yang telah menjadi pimpinannya.
Benaknya berputar keras, mencari jalan untuk menyelamatkan Dewa Arak agar bisa
mendapatkan keris milik Brajageni. 8
Pada saat yang bersamaan
dengan ribut-ributnya Dedemit Api,
Dedemit Salju, dan Raja Racun
Muka Putih, dalam benak Dewa Arak mulai muncul gambaran tentang belalang
raksasa itu.
Semula, tidak tampak jelas
gambaran belalang raksasa yang didapatkan Arya. Tapi, satu hal telah
menggembirakan hatinya. Ternyata warna tubuh binatang itu persis dengan yang
dijelaskan Ki Gering Langit Belalang raksasa itu berwarna coklat!
Semakin lama, semakin tampak
jelas gambaran yang didapat Dewa Arak mengenai belalang raksasa itu. Ternyata,
belalang yang menjadi sumber ilmu 'Belalang Sakti' ciptaan Ki Gering Langit
mempunyai bentuk seperti jangkrik. Tubuh-tubuhnya terlihat begitu kokoh dan
keras!
Karuan saja hal ini membuat
semangat Dewa Arak bertambah! Dan sebagai akibatnya, usaha yang dilakukannya
pun semakin keras. Maka, Arya semakin tekun memusatkan pikirannya.
Mendadak...
"Iblis-iblis berwajah
manusia...! Orang seperti kalian memang harus dimusnahkan dari muka bumi!"
Arya tersentak kaget. Suara
itu amat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Melati! Tapi
benarkah Melati yang datang
untuk menolongnya. Kalau benar demikian, tunangannya itu pasti akan celaka!
Lawan-lawan yang akan dihadapi Melati terlalu kuat! Jangankan putri angkat Raja
Bojong Gading itu, Iblis Hitam yang luar biasa saja tidak mampu menghadapi
Dedemit Api! Jelas, Melati hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia.
Seketika itu juga pusat
pikiran Dewa Arak buyar. Dengan sendirinya, gambaran belalang raksasa itu pun
lenyap. Apalagi, Arya telah membuka mata untuk melihat kebenaran dugaannya.
Dan memang, dugaan Dewa Arak
sama sekali tidak keliru. Tampak seorang gadis
berpakaian putih yang tak lain
dari Melati tengah melesat cepat ke arah tiga orang datuk kaum sesat itu dengan
pedang di tangan.
Melihat hal ini, Dedemit Api,
Dedemit Salju dan Raja Racun Muka Putih serentak bangkit berdiri.
"Siapa kau, Nisanak?!
Mengapa kau memaki-maki kami?! Cepat menyingkir dari sini sebelum aku berubah
pikiran!" dengus Dedemit Api.
Tokoh yang selalu bertelanjang
dada ini merasa malu untuk menghadapi seorang gadis
muda seperti Melati. Walaupun
kecepatan gerak gadis berpakaian putih itu telah dilihatnya, tapi tetap saja
kakek tinggi kurus itu memandang rendah.
"Namaku Melati. Dan
kedatanganku kemari untuk membasmi kalian yang telah menahan kawanku secara
curang! Aku bersedia pergi dan tidak melanjutkan masalah ini apabila kawanku
dibebaskan!"
Semula, Melati ingin
membebaskan Arya dengan kekerasan. Tapi di saat-saat terakhir, gadis itu
teringat akan nasihat kekasihnya kalau jalan kekerasan tidak selalu akan
berhasil dalam memecahkan masalah. Ada kalanya masalah bisa diselesaikan tanpa
kekerasan. Apalagi, jalan kekerasan sepertinya tidak menguntungkan. Dan Melati
mencoba kebenaran nasihat itu, ketika melihat lawan-lawan yang akan dihadapinya
bukan orang sembarangan.
Ucapan yang dikeluarkan Melati
terdengar tegas dan gagah. Dan kesan kegagahan itu semakin mantap, karena
Melati menutup kata-katanya dengan melintangkan pedang di depan dada.
Sementara, dadanya pun dibusungkan ke depan.
Sepasang alis Dedemit Api
hampir bertautan mendengar ucapan Melati yang bernada keras. Bahkan sepasang
matanya mencorong tajam, karena amarah yang melanda hati.
"Kotor sekali ucapanmu,
Nisanak!" seru kakek tinggi kurus. keras. "Kau katakan kami
telah menahan kawanmu secara
curang?! Jelaskan maksud ucapanmu, Nisanak! Cepat, sebelum kesabaranku
habis!" "Hmh...! Tidak perlu bersikap sok gagah, Cacing Kurus!"
ejek Melati tanpa kenal takut "Aku tahu, siapa kawanku. Kalau kalian tidak
mengeroyoknya dan melakukan tindakan- rindakan curang, dia tak akan mungkin
bisa kalian tangkap!"
"Keparat! Mulutmu semakin
kotor, Wanita Liar! Rupanya kau minta dihajar!" maki Dedemit Api kalap.
"Aku, Dedemit Api bukan sejenis orang yang kau tuduhkan!"
Setelah berkata demikian,
Dedemit Api melangkah menghampiri dengan sikap mengancam.
"Eit..! Tidak malukah
kau, Kek. Kau tokoh yang terkenal dan berjuluk Dedemit Api akan menyerang
seorang wanita muda?! Ah! Ingin kutahu, bagaimana tanggapan orang-orang
persilatan apabila mendengar berita ini!" cegah Melati.
Rupanya, ucapan Melati
mengenai sasaran. Langkah Dedemit Api kontan terhenti.
Bahkan wajah kakek tinggi
kurus itu memerah. Sedangkan kedua tangannya tampak menggigil keras, pertanda besarnya kemarahan
yang melanda hatinya.
"Kau... kau..., Wanita
Liar...! Hiya...!" Tak tahan menanggung perasaan geram yang melanda,
Dedemit Api menghentakkan kedua tangannya. Tapi, bukan ke arah Melati melainkan
ke sebelah kanannya, ke arah sebatang pohon besar.
Wusss...!
Brakkk...!
Angin keras yang berhawa panas
membakar kulit, keluar dari kedua tangan Dedemit Api yang dihentakkan. Sambaran
angin itu menghantam pohon hingga hancur berantakan dalam keadaan hangus. Asap
tipis tampak mengepul dari batang pohon yang hangus seperti tersambar petir!
Melati terkejut bukan kepalang
melihat akibat pukulan jarak jauh Dedemit Api.
Memang sudah diduga kalau
kakek tinggi kurus itu memiliki kepandaian tinggi. Namun, tidak disangka akan
sehebat ini akibat pukulan jarak jauhnya. Melati yakin, pukulan jarak jauh
Dedemit Api tidak kalah dahsyat bila dibandingkan ilmu pukulan jarak jauh yang
dimiliki kekasihnya!
Meskipun kekagetan yang amat
sangat melanda hatinya, tapi Melati mampu menyembunyikannya. Sehingga, tidak
tampak pada wajahnya. Bahkan bibirnya mampu menyunggingkan senyum mengejek.
"Baru mempunyai ilmu
pukulan seperti itu sudah berani bersikap sombong?! Ingin kulihat, bagaimana wajahmu
bila kawanku yang kau tangkap secara curang itu
mengunjukkan kebolehannya padamu!" kata Melati kalem. Sengaja
ucapannya pada kalimat yang terakhir ditekan untuk lebih memanaskan hati
Dedemit Api yang sudah terbakar.
"Keparat kau, Wanita
Liar! Mulutmu terlalu kotor! Akan kau lihat sendiri akibat ucapanmu itu.
Kawanmu akan kubuat mampus!"
Setelah berkata demikian,
Dedemit Api segera melesat ke arah tubuh Dewa Arak yang tergantung. Karuan
saja, hal itu membuat Melati terkejut bukan kepalang.
"Kakek pengecut! Apa yang
akan kau lakukan!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Melati segera melesat mengejar Dedemit Api. Pedangnya diputar di depan dada,
sehingga menimbulkan suara menggerung keras seperti naga tengah murka.
Wunggg...!
Suara menggerung keras kembali
terdengar ketika Melati menusukkan pedangnya ke arah punggung Dedemit Api.
"Hmh...!" dengus
Dedemit Api. Dan begitu suara dengusannya lenyap, tubuh Dedemit Api segera
dibungkukkan ke depan. Sehingga serangan Melati hanya mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di atas
punggungnya.
Pada saat yang bersamaan
dengan lolosnya serangan pedang Melati, Dedemit Api
melancarkan tendangan ke
belakang tanpa mengubah keadaan tubuhnya. Kaki kirinya meluncur cepat ke arah
perut Melati.
Meskipun kaget karena mendapat
serangan balasan yang sama sekali tidak disangka- sangka, Melati masih mampu
mempertunjukkan kelihaiannya. Maka, tangan kirinya cepat ditetakkan ke bawah
untuk memunahkan serangan itu.
Dukkk...! Tubuh Melati
teriontar ke belakang. Mulutnya yang berbentuk indah itu nampak menyeringai
karena menahan rasa sakit yang mendera tangannya akibat berbenturan dengan kaki
Dedemit Api. Tulang-tulang tangannya terasa seperti patah-patah! Untungnya,
Dedemit Api tidak mengerahkan tenaga istimewanya dalam tangkisan itu. Kalau
dikerahkan, mungkin kulit tangan Melati akan hangus!
***
"Melati...!" teriak
Arya ketika melihat tubuh kekasihnya terlontar ke belakang.
Kalau menuruti perasaan hati,
ingin Dewa Arak melompat menerjang Dedemit Api untuk menolong Melati, Tapi, apa
daya? Jangankan melompat, menggerakkan ujung jari kelingkingnya saja tidak
mampu!
Melati tak bisa segera
menjawab panggilan Dewa Arak, karena sedang sibuk mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya teriontar.
Dan memang, berkat ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan
tinggi, gadis itu tidak
mengalami kesulitan untuk mendaratkan kakinya di tanah.
Belum juga Melati dapat
menyadari apa yang terjadi, Dedemit Api telah berhasil mencapai tempat Arya
tergantung tanpa kesulitan.
Dedemit Api mengulurkan
tangan, setelah terlebih dulu menyusun jari-jarinya. Jari
telunjuk dan jari tengah
dijulurkan, sedangkan jari-jari tangan lain dikepalkan.
Kemudian, kedua jari yang
semula merapat itu direnggangkan satu sama lain, dan diselipkan ke arah tali yang
menggantung tubuh Dewa Arak.
Tasss...!
Brukkk!
Kontan tubuh Dewa Arak jatuh
berdebuk di tanah begitu jari-jari tangan yang merenggang itu dirapatkan satu
sama lain untuk menjepit tali. Luar biasa! Dengan pengerahan tenaga dalamnya,
Dedemit Api mampu membuat jari-jari
tangannya seperti gunting. Sehingga, dia mampu memutuskan tali!
"Manusia pengecut! Jangan
hanya terhadap orang yang tengah tidak berdaya saja nyalimu kau tunjukkan! Nih,
lawan aku!" teriak Melati kalap seraya melangkah maju.
"Tutup mulut dan diam di
tempatmu, Wanita Liar! Kalau tidak, kepala temanmu ini akan kuhancurkan!"
Baru beberapa tindak, putri
angkat Raja Bojong Gading itu segera menghentikan langkahnya.
"Apa maumu, Dedemit
Api?!" sentak Melati. Dia merasa tidak berdaya. Disadari, tak mungkin akan
mampu membebaskan Arya. Ada tiga orang lawan yang harus dihadapinya. Padahal,
menghadapi satu orang saja tidak akan mampu.
Teringat akan jumlah lawan,
membuat Melati mengedarkan pandangan ke arah
Dedemit Salju dan Raja Racun
Muka Putih. Tapi, kedua kakek sakti itu seperti diam saja. Sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda akan campur tangan.
"Aku hanya menuruti
kemauanmu saja, Wanita Liar!" kata Dedemit Api berapi-api.
Jelas, kemarahan hebat masih
melandanya.
Melati mengernyitkan dahi
karena bingung. Mengapa Dedemit Api mengatakan melakukan semua itu untuk
menuruti kemauannya?
"Tadi kau mengatakan, aku
telah menahan kawanmu secara curang! Dan kepandaian
yang kutunjukkan kepadamu
tidak ada artinya bila dibandingkan kepandaian yang dimiliki kawanmu ini!"
sambung Dedemit Api, bernada menjelaskan karena melihat adanya raut
ketidakmengertian di wajah Melati. "Nah! Sekarang, akan kita buktikan! Aku
akan bertarung dengan kawanmu!"
Dedemit Api menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sedangkan Melati mendengarkan penuh
perhatian.
"Manusia pengecut! Jangan
hanya terhadap orang yang tidak berdaya saja nyalimu kau tunjukkan! Nih, lawan
aku!" teriak Melati kalap.
"Tutup mulutmu dan diam
di tempat, Wanita Liar! Kalau tidak, kepala temanmu ini akan kuhancurkan!"
ancam Dedemit Api tidak main-main. "Tapi, ingat! Kalau kawanmu kalah, dia
tetap menjadi tawanan kami. Sedangkan nasibmu tergantung pada kami! Kau harus
mempertanggungjawabkan atas kepongahanmu. Perlu kau ketahui, Nisanak. Tidak ada
seorang pun yang akan dapat lolos dari hukuman setelah mempermainkan Dedemit
Api!"
Melati menelan liur untuk
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Sungguh tidak disangka akan
seperti ini akibat ucapannya. Dia tidak yakin kalau Dewa Arak akan mampu
menghadapi, apalagi sampai mengalahkan Dedemit Api! Tapi apa mau dikata? Nasi
sudah menjadi bubur! Semua sudah telanjur. Dan kini bukan saatnya menyesali
diri!
"Lalu..., bagaimana kalau
kau yang kalah...?" tanya Melati dengan suara sumbang.
Dedemit Api tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, bibirnya malah menyunggingkan senyum
mengejek.
"Aku? Kalah? Ho ho ho...!
Kau tahu, Nisanak! Tidak ada kata kalah dalam kamus hidupku! Yang ada hanya
satu, menang! Kau dengar, Nisanak? Menang! Ho ho ho...!"
"Kau jangan coba-coba
mengakaliku, Dedemit Api!" tandas Melati. "Cepat katakan, apa
taruhanmu kalau kau yang kalah!"
"Dengar baik-baik, Wanita
Liar! Kalau kalah, aku akan membebaskannya. Juga, aku akan pergi dari sini! Aku
tidak akan mengganggunya, dan kau lagi. Tapi dengan catatan, kau dan dia tidak
menggangguku! Bagaimana? Cukup adil bukan?"
Melati mengangguk-anggukkan
kepala.
"Cukup adil," ucap
gadis berpakaian putih itu. "Tapi..., apakah janji yang kau ucapkan itu
berlaku juga untuk kedua kawanmu itu?"
"Apa maksudmu,
Nisanak?!" tanya Dedemit Api dengan alis berkernyit marah.
"Aku hanya khawatir,
kalau kau nanti tewas oleh kawanku, kedua orang kawanmu itu bersama-sama mengeroyok
kawanku yang sudah lelah. Mereka jangan-jangan nanti beralasan, tidak ikut
dalam perjanjian ini!"
Terdengar suara menggeretak
dari mulut Dedemit Api.
"Mulutmu terlalu kotor,
Nisanak. Jangan salahkan kalau nanti aku akan menghancurkannya apabila kawanmu
itu kalah!" ancam Dedemit Api, geram. "Tapi biar hatimu tenang, akan kujelaskan. Janjiku
ini juga menyangkut dua orang temanku! Aku berbicara dan berjanji mewakili
kedua orang kawanku!"
"Bagus! Kini tenanglah
hatiku!" ucap Melati sambil tersenyum manis. "Sekarang, tinggalkan
kawanku di situ!"
Dedemit Api hanya bisa
menggertakkan gigi karena geram mendengar ucapan-ucapan Melati yang seenaknya
saja. Kemudian tubuh Dewa Arak ditinggalkannya setelah tedebih dulu dibebaskan
totokannya.
"Kang Arya...!" seru
Melati seraya menubruk tubuh pemuda berpakaian ungu itu.
Arya yang kini telah bebas,
tersenyum lebar. Tangannya diulurkan, dan dipegangnya tangan Melati.
"Sungguh tidak kusangka
kau akan seberani ini, Melati," kata Arya sambil menggeleng- gelengkan
kepala. Sementara sepasang matanya menatap wajah kekasihnya, menyorotkan
kekaguman besar.
Hanya senyuman lebar Melati
yang menyambuti ucapan Dewa Arak.
"Jangan berpacaran dulu,
Dewa Arak! Pulihkan tenagamu. Besok pagi kita harus bertarung! Ingat! Kawanmu
telah berjanji atas namamu untuk taruhan pertarungan kita besok!"
Melati menganggukkan kepala.
"Pulihkan tenagamu, Kang. Besok adalah hari penentuan. Betapapun lihainya
kakek itu, aku percaya kau pasti akan mampu mengalahkannya."
Arya menganggukkan kepala
sambil tersenyum lebar untuk menenangkan hati Melati.
Padahal dalam hati, harus
diakui kalau Dedemit Api mempunyai kepandaian amat tinggi. Dan bukan tidak
mungkin berada di atasnya. Kekalahan Iblis Hitam telah semakin menguatkan
dugaannya. Tapi, Arya berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan
pertarungan itu demi Melati! Walaupun, sebenarnya harapan untuk itu amat tipis!
Memang, kecil kemungkinan Dewa
Arak akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan besok. Dia tahu, Iblis
Hitam memiliki tingkat tenaga dalam yang sama dengan dirinya. Bahkan dalam hal
ilmu meringankan tubuh, Kala Sunggi yang dulu jahat, masih lebih unggul
sedikit. Tapi, toh Dedemit Api mampu mengalahkannya. Padahal, Iblis Hitam
sedikit memiliki keuntungan karena mengenakan mantel pusakanya.
Pikiran-pikiran itulah yang
mengganggu Dewa Arak. Namun dia segera melupakannya ketika mulai duduk bersila
untuk bersemadi. Punggungnya ditegakkan dan kedua telapak tangannya
dipertemukan di depan dada. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah tenggelam
dalam keheningan semadinya.
Melati menatap wajah Dewa Arak
yang sudah sibuk bersemadi. Beberapa saat lamanya gadis itu berbuat demikian,
sebelum duduk di sebelah Arya. Tidak bersemadi, tapi hanya berjaga-jaga saja.
Arya benar-benar tenggelam
dalam keheningan semadinya. Dia sama sekali tidak
berbuat apa-apa lagi, kecuali
menyatukan pikirannya dengan Yang Maha Pencipta. Dadanya tampak turun naik,
menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk memulihkan keadaannya
seperti semula.
Sedangkan di sebelahnya,
Melati hanya berjaga-jaga. Sepasang matanya mengawasi
sekeliling dengan sikap
waspada. Metihat dari gerak-geriknya, rupanya dia sudah bersiap-siap apabila
ada bahaya yang mengancam Dewa Arak.
Sebenarnya, Melati tidak perlu
bersikap demikian. Karena bila ada bahaya yang mengancam Dewa Arak, Dedemit Api
yang duduk berjarak sepuluh tombak di hadapannya pun tidak akan tinggal diam.
Berbeda dengan Dewa Arak,
Dedemit Api sama sekali tidak bersemadi. Saat ini, dia berada dalam keadaan
siap tarung.
Karena tidak seorang pun yang
berbicara, suasana di tempat itu pun terasa hening.
Yang terdengar hanyalah helaan
udara yang keluar masuk dari mulut Dewa Arak.
Tapi ketika telah lewat larut
malam, di saat sepasang mata Melati beberapa kali terpejam tapi kemudian
terbuka kembali, Arya menghentikan semadinya. Kini tenaganya terasa telah putih
kembali seperti semula.
Pemuda berambut putih
keperakan itu membuka mata dan mengedarkannya berkeliling. Tapi yang tampak
hanya keremangan. Karena bulan bersembunyi di balik awan yang cukup tebal
Meskipun demikian, tubuh tiga
orang musuh tangguhnya di depan cukup jelas terlihat. Dan diam-diam Arya
mengeluh ketika teringat akan pertarungan besok. Dewa Arak sama sekali tidak
takut mati! Tidak! Tapi, dia tidak ingin Melati jadi korban akibat
kekalahannya.
Untuk pertama kalinya, Dewa
Arak merasa ragu akan kemampuan dirinya. Dan hal itu bukan tanpa absan. Telah
disaksikannya sendiri kelihaian Dedemit Api,
sehingga membuatnya tak yakin
kalau dirinya akan mampu menandingi kakek tinggi kurus itu.
Hampir Arya terlonjak kaget
ketika teringat akan belalang raksasa yang telah pernah
terlihat dalam benaknya.
Ketimbang bengong-bengong, bukankah lebih baik memusatkan perhatian untuk lebih
memudahkan belalang raksasa itu masuk ke dalam dirinya?
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Arya kembali memejamkan sepasang matanya.
Seluruh pikirannya dipusatkan
pada belalang raksasa itu.
Aneh! Belum berapa lama
memusatkan pikiran, bayangan belalang raksasa itu telah tergambar di benaknya.
Bahkan semakin lama semakin jelas. Kini Arya bisa melihat secara jelas, kaki
dan badan belalang itu yang bergerigi.
Arya menghentikan pemusatan
pikirannya, kemudian memulai lagi dari semula. Sampai akhirnya hanya dengan
memejamkan mata, telah timbul gambaran belalang raksasa secara jelas. Kini Dewa
Arak menghentikan kesibukannya, lalu beristirahat.
***
Sang surya sudah sejak tadi
menampakkan sinarnya. Hawa hangat telah menyebar ke seluruh persada ketika Dewa
Arak dan Dedemit Api telah saling berhadapan dalam jarak tiga tombak. Tampak
jelas, kedua tokoh sakti ini sudah siap bertarung. Dalam jarak sekitar lima
tombak di belakang kedua belah pihak berdiri kawan masing- masing. Wajah mereka
yang berada di situ, kecuali Raja Racun Muka Putih, menampakkan ketegangan.
Dedemit Api dan Dedemit Salju
rupanya dilanda perasaan tegang juga. Mereka teringat kalau Raja Racun Muka Putih
yang telah demikian lihai saja, sampai menggunakan cara licik untuk mengalahkan
Dewa Arak. Dan hal itu pasti tidak akan dilakukan kalau kakek berpakaian merah
itu mampu mengimbangi Dewa Arak!
Dewa Arak mengambil guci
peraknya yang tersampir di punggung. Guci itu didapat Arya dari Dedemit Api
menjelang pertarungan. Memang, senjata andalan Dewa Arak yang semula dirampas
anak buah Raja Racun Muka Putih, telah dibawa oleh tiga tokoh hitam itu.
Gluk.. gluk.. gluk..!
Suara tegukan dari arak yang
melalui tenggorokan Arya terdengar ketika guci itu dituangkan ke mulut. Hanya
dalam sekejap saja, hawa hangat menjalar di perut Arya. Lalu perlahan-lahan,
hawa hangat itu naik ke atas kepala sehingga membuat kaki-kaki Dewa Arak tidak
bisa berdiri tetap lagi di tanah. Ini berarti Dewa Arak telah siap menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Bukan hanya Dewa Arak saja
yang langsung mengeluarkan ilmu andalan. Dedemit Api pun melakukan hal yang
sama. Kakek tinggi kurus ini langsung mengeluarkan ilmu 'Telapak Tangan Api'
miliknya.
"Haaat..!"
Sekeliling tempat itu bergetar
hebat. Bahkan Melati sampai mendekapkan kedua telapak tangannya ke telinga,
saking kerasnya teriakan yang dikeluarkan Dedemit Api ketika melompat menerjang
Sekali menyerang, Dedemit Api
sudah melancarkan serangan bertubi-tubi. Jari-jari tangannya mencengkeram ke
arah dada dan ulu hati Dewa Arak
Sergapan hawa panas menggigit
lebih dulu melanda, sebelum serangan itu sendiri tiba.
Arya tidak berani bertindak
gegabah, karena belum mengetahui kedahyatan serangan itu. Maka Dewa Arak tidak
berani menangkis. Yang dilakukan Dewa Arak hanya melompat jauh ke belakang
tanpa bersalto dan membalikkan tubuh, sehingga serangan Dedemit Api mengenai
tempat kosong.
Dedemit Api tidak putus asa
melihat serangannya gagal. Kembali dilancarkannya serangan-serangan yang tak
kalah dahsyat. Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah teriibat dalam
pertarungan sengit.
Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang sudah diduga, Dedemit Api
memang
merupakan lawan amat tangguh
yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa.
Untuk menahan hawa panas yang
mendera, Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' disertai pengerahan
'Tenaga Sakti Inti Matahari' untuk mengimbangi hawa panas yang ditimbulkan ilmu
'Telapak Tangan Api' milik Dedemit Api yang membuat suasana di sekltar tempat
itu seperti di dalam kawah gunung berapi. Panas dan pengap!
Arya mengerahkan seluruh
kemampuannya. Kedua tangan, guci, dan araknya, dikerahkan untuk menahan setiap
serangan, sekaligus menggilas habis pertahanan Dedemit Api.
Tapi kali ini Arya berhadapan
dengan lawan yang amat berat. Dedemit Api ternyata lebih unggul. Baik dalam hal
ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Hanya dalam mutu ilmu silat saja
Dewa Arak menang. Tapi itu pun hampir tidak berarti banyak. Karena setiap kali
terjadi benturan tangan atau kaki, pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung disertai rasa
sakit yang mendera anggota tubuhnya.
Meskipun kalah dalam hal
ilmumeringankan tubuh dan tenaga dalam, Dewa Arak masih mampu mengadakan
perlawanan sengit. Sehingga, seluruh tubuhnya telah dibasahi keringat, akibat
hawa panas yang timbul di sekitar arena pertarungan.
Karena terlalu memusatkan
perhatian pada pertarungan, baik Dewa Arak maupun Dedemit Api sama sekali tidak
tahu kalau tempat itu telah didatangi tokoh-tokoh persilatan. Rupanya, kabar
tentang pertarungan yang seharusnya dilakukan Dedemit Api dan Dedemit Salju
melawan Ki Gering Langit, telah didengar orang banyak. Memang, Iblis Hitam yang
telah dikalahkan Dedemit Api yang mengabarkannya pada seluruh tokoh persilatan,
baik aliran purih maupun hitam. Tokoh yang bernama asli Kala Sunggi itu
diam-diam juga mengikuti kepergian Dedemit Api, Dedemit Salju, dan Raja Racun
Muka Putih. Kala Sunggi tahu kalau Ki Gering Langit tidak datang, maka Dewa
Arak akan dihukum mati. Itulah sebabnya, dia bersama tokoh-tokoh silat aliran
putih berusaha membebaskan Dewa Arak. Tapi kini puluhan orang tokoh persilatan
itu malah menyaksikan pertarungan antara Dedemit Api melawan Dewa Arak. Ini
berarti, Ki Gering Langit tidak jadi datang. Tapi kenapa Dewa Arak tidak
dihukum mati? Dan kenapa kini malah bertarung?
Memang, berita yang tersebar
di dunia persilatan bahwa Dewa Arak akan dihukum mati oleh Dedemit Api dan
Dedemit Salju di Bukit Siluman telah membuat dunia persilatan gempar.
Karuan saja puluhan tokoh persilatan
itu merasa heran melihat Dewa Arak tengah
bertempur sengit dengan
Dedemit Api. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang terus bergayut di benak
mereka. Serunya pertarungan yang terpampang, membuat mereka melupakan keheranan
dan menatap penuh perhatian ke depan.
Sementara pertarungan antara
Dewa Arak dan Dedemit Api telah memasuki jurus
keseratus. Namun, keadaan Arya
semakin terdesak. Rupanya Dedemit Api mengetahui dasar pergerakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga, dia dapat menduga ke mana Arya akan
mengelak. Dengan sendirinya, keistimewaan jurus itu jadi tumpul.
Di jurus keseratus sebelas,
Dedemit Api melancarkan serangan ke arah dada Dewa
Arak. Kakek tinggi kurus ini
melompat cepat ke arah Arya dengan tangan kanan meluncur cepat ke arah sasaran.
Melihat serangan ini, Arya
terkejut bukan kepalang. Saat itu Dewa Arak baru saja mengelakkan serangan.
Malah, tubuhnya masih berada di udara. Akibatnya, dia tidak mempunyai tempat
berpijak yang dapat digunakan untuk mengelakkan serangan.
Meskipun demikian, Dewa Arak
berusaha keras menyelamatkan selembar nyawanya.
Tubuhnya digeliatkan
sebisa-bisanya. Tapi....
Bukkk!
Tangan Dedemit Api masih juga
mengenai bahu kiri Dewa Arak. Kontan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
terjengkang ke belakang. Asap tampak mengepul dari bagian yang terkena serangan
itu. Bahkan pakaian Arya di bagian itu hangus! Memang, hantaman itu mendarat
telak di sasarannya.
Namun dalam keadaan seperti
itu, Dewa Arak masih mampu membuktikan kalau dirinya adalah tokoh tingkat tinggi.
Kedua kakinya masih mampu mendarat di tanah, walau agak terhuyung-huyung. Darah
segar yang meleleh di sudut-sudut mulutnya
menjadi pertanda kalau Arya terluka dalam!
Dedemit Api benar-benar tidak
mau memberi kesempatan lagi. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, kembali
tubuhnya meluruk ke arah Arya. Kali ini, tangan kirinya yang meluncur ke arah
dada.
Dewa Arak terkejut bukan main.
Serangan Dedemit Api tiba begitu cepat, sehingga sulit untuk bisa dielakkan.
Apalagi saat ini Arya dalam keadaan belum mampu memperbaiki keadaannya.
Tambahan lagi, Dewa Arak kini tengah terluka dalam! Bahkan Melati dan semua
tokoh persilatan aliran putih pun sampai memekik kaget melihat bahaya yang
datang mengancam Arya.
Arya bertjndak nekat.
Diputuskan untuk menangkis serangan itu, meskipun akan berakibat membahayakan
keselamatan nyawanya. Dan sekejap sebelum menangkis serangan itu, mendadak Dewa
Arak teringat pada belalang raksasa.
Gila! Tiba-tiba tubuh Arya
bergetar hebat. Kemudian bulu-bulu di sekujur tubuhnya berdiri seiring di
benaknya tergambar seekor belalang raksasa yang masuk ke dalam tubuhnya.
Kejadian itu dibarengi hembusan angin yang cukup dingin.
"Hmrrrhhh !"
Dengan geraman keras yang
selama ini tidak pernah keluar dari mulutnya, Dewa Arak menggerakkan tangan
untuk memapak serangan itu.
Blanggg ! Luar biasa akibat
benturan itu! Tubuh Dedemit Api yang tengah berada di udara teriempar kembali
ke belakang. Darah segar kontan keluar dari mulutnya dan membasahi tanah
sepanjang tubuhnya melayang. Jelas Dedemit Api telah terluka dalam
Meskipun begitu, Dedemit Api
mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Sungguhpun agak terhuyung kedua kakinya
berhasil didaratkan di tanah.
Tapi, Dewa Arak tidak memberi
kesempatan. Dia melesat memburu tubuh Dedemit Api dengan serangan bertubi-tubi.
Dari mulutnya mengeluarkan geraman yang menyeramkan.
Dedemit Api tidak berani
menangkis serangan Dewa Arak lagi. Karena tahu kalau tenaga dalam lawan, entah
secara bagaimana telah menjadi kuat bukan kepalang. Dan itu bisa diketahuinya dari benturan tadi yang
membuatnya terluka dalam. Maka, Dedemit Api memutuskan untuk mengelak.
Hati Dedemit Api tercekat
ketika samar-samar tapi jelas, di belakang tubuh Dewa Arak tampak bayangan
seekor belalang raksasa.
Dedemit Api memang tokoh yang
luar biasa! Meskipun telah terluka dalam, namun serangan-serangan dahsyat itu
dapat juga dielakkannya dalam beberapa jurus.
Pada jurus kesebelas, Dewa
Arak melancarkan pukulan tak terduga-duga ke arah dada Dedemit Api.
Sehingga....
Bukkk!
Telak dan keras sekali
serangan Arya menghantam dada Dedemit Api. Tak pelak lagi, tubuh tokoh sesat
yang menggiriskan itu pun melayang deras ke belakang. Darah segar berhamburan
dari mulut, hidung, dan telinganya.
Brukkk!
Tubuh Dedemit Api jatuh di
tanah. Dia menggereng sesaat sambil berkelojotan, lalu diam tidak bergerak
lagi. Mati!
Dedemit Salju melesat memburu
rekannya sambil mengeluarkan lolong menyayat hati. Diperhatikannya sejenak
mayat Dedemit Api, kemudian tubuhnya dibungkukkan. Lalu, diangkatnya mayat
Dedemit Api
Sesaat Dedemit Salju menatap
wajah Dewa Arak, kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Tidak dipedulikannya
lagi keberadaan Raja Racun Muka Putin. Dan karena tidak ada orang yang
menghalangi, sesaat kemudian tubuhnya telah lenyap.
"Kang Arya...! Mari kita
pergi. !" ajak Melati seraya bergerak meninggalkan tempat itu.
Arya yang masih terpaku kaku
melihat kematian Dedemit Api menoleh ke arah Melati. Terdengar adanya tekanan
dalam ucapan kekasihnya. Maka, dia tidak membantah. Tambahan lagi benaknya
masih bingung melihat kematian Dedemit Api.
Dan kini, Arya melesat
menyusul tubuh Melati dan meninggalkan para tokoh persilatan yang masih terpaku
kaku. Jelas, ada sesuatu yang telah membuat mereka seperti kaget dan tak
percaya.
***
"Kang..., apa sebenarnya
yang terjadi...?" tanya Melati setelah tubuh mereka berdua telah jauh
meninggalkan tempat semula.
Arya menolehkan kepala menatap
wajah Melati. Sepasang alisnya tampak berkernyit dalam. Terdengar adanya nada
kegentaran dalam suara kekasihnya. Memang, tadi sewaktu mengajaknya pergi pun,
wajah Melati tampak pucat. Tapi hal itu tidak dipedulikannya karena dikiranya
putri angkat Raja Bojong Gading ini masih tegang.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Melati...?"
"Aku..., aku melihat ada
keanehan pada dirimu sewaktu kau akan menangkis
serangan Dedemit Api. Kang," kata Melati terputus-putus.
"Keanehan?" ulang
Arya heran.
Memang, saat itu Dewa Arak
merasa sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan ketika menangkis serangan
Dedemit Api pun dirasakannya ada aliran tenaga dalam yang amat kuat meluncur ke
arah tangannya.
"Apa yang kau lihat,
Melati? Aku sebenarnya juga merasa bingung melihat kematian Dedemit Api...'' "Aku...,
aku... ahhh...! Aku takut, Kang," sahut Melati ragu-ragu.
"Katakanlah, Melati.
Apakah keanehan yang kau lihat itu? Sungguh mati, aku benar- benar tidak
mengetahuinya," desak Arya, sedikit merasa heran melihat ketakutan yang
membayang di wajah kekasihnya.
Melati menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Hal itu dilakukan beberapa kali.
Sedangkan Arya membiarkannya saja. Dia tahu kalau Melati tengah menenangkan
hati.
"Aku metihat adanya
gambaran samar-samar seekor makhluk yang mengerikan di sekujur tubuhmu, Kang.
Aku..., aku tidak bisa memastikan binatang apa itu. Tapi yang jelas, binatang
itu bersayap. Dan lagi..., kau..., saat itu... nggg..., begitu liar! Bahkan kau
mengeluarkan suara aneh Ah! Aku ngeri, Kang."
Setelah berkata demikian,
Melati mendekapkan kedua tangan di wajahnya.
Arya segera merangkul tubuh
Melati. Gadis berpakaian putih itu pun menyandarkan kepala di dada kekasihnya
yang bidang.
''Tenanglah, Melati. Tidak ada
yang perlu ditakutkan. Mungkin kau salah lihat," jawab
Arya sedikit berbohong. Dia
memutuskan untuk tidak menceritakan tentang belalang raksasa itu sebelum semuanya
jelas. Meskipun mulut Arya mengatakan demikian, dan tangannya membelai-belai
rambut Melati yang berada di pelukannya, benak pemuda ini juga berputar keras.
Jadi, tewasnya Dedemit Api karena dia telah berhasil membawa belalang raksasa
ke dalam dirinya? Benarkah itu? Arya sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan
itu.
Matahari naik semakin tinggi.
Namun Arya dan Melati sama sekali tidak mempedulikannya, karena tengah terlibat
oleh kesibukan masing-masing.
Dan yang tertinggal kini
hanyalah pertanyaan pertanyaan, siapa kah pemuda tampan
yang telah menyuruh
orang-orang yang menyamar sebagai anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
untuk membunuh Melati? Bagaimana tindakan Dedemit Salju karena rekannya telah tewas di tangan Dewa Arak? Dan
bagaimana kelanjutan rahasia ilmu 'Belalang Sakti' Arya? Untuk mengetahui semua
jawaban pertanyaan itu, silakan ikuti sambungan petualangan Dewa Arak dalam
episode "Perkawinan Berdarah".
SELESAI