18 - Kelelawar Beracun
Sang surya sudah lama
tenggelam di ufuk Barat. Dan kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan
tebal yang menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan sepotong yang
bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi terasa mencekam. Tambahan lagi,
angin dingin yang menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Maka,
lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu. Hening, sepi, dan mati!
Tapi keheningan malam itu
ternyata tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap
langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar. Bisa diperkirakan kalau
jumlah kuda itu mencapai belasan ekor!
"Hooop ... !"
Seorang laki-laki berikat
kepala merah dan berpakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya
menarik tali kekang kuda dengan tangan kanan. Seketika itu juga langkah
binatang tunggangannya berhenti. Begitu pula belasan ekor kuda yang berada di
belakangnya. Rupanya laki-laki berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin
rombongan.
Menilik dari wajah belasan
orang itu yang agak kasar, dan sikap yang rata-rata liar, bisa diperkirakan
kalau mereka bukan rombongan orang baik-baik.
Laki-laki berpakaian hitam dan
berikat kepala merah itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.
"Kali ini kita akan
berpesta," ujar laki-laki berikat kepala merah itu. Suaranya melengking
nyaring seperti suara seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah Desa
Jati Jajar."
Seketika itu juga terdengar
suara sorak-sorai riuh menyambuti perkataan itu.
"Mengapa tidak dari
dulu-dulu saja, Kang?" sambut seorang yang berkepala botak gembira seraya
menatap wajah laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu, siapa
dirimu. Kang!"
"Ya!" sambut orang
bergigi tonggos. "Kita tunjukkan pada adipati keparat itu, siapa Kakang
Kala Ireng!"
"Akur ... !" sahut
yang lain.
"Benar ... !" orang
kasar lainnya tak mau ketinggalan. "Setuju ... !"
Seketika itu juga suasana
malam yang semula hening, sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira.
Suara-suara keras dan kasar terdengar saling susul, tak mau kalah.
Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.
Tapi suara ribut-ribut itu
langsung sirna ketika lakilaki berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini
mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah seorang pemimpin yang cukup
disegani anak buahnya. Kini semua pasang mata tertuju padanya, menunggu apa
yang akan dikatakan pemimpin mereka.
Dengan sikap tenang, Kala
Ireng menatap satu persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah Kala
Ireng tampak agak kurus. Dahinya terlihat agak lebar karena bagian depan
kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam,
sehingga dia mendapat julukan Kala Ireng.
"Memang itulah maksud
tujuanku sebenarnya," kata Kala Ireng dengan suara melengking nyaring
seperti suara seorang wanita.
"Horeee ... !" seru
gembira laki-laki berkepala botak.
"Hidup Kakang Kala
Ireng...!" teriak seorang lainnya yang berkumis tebal sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas.
"Hidup ... !" sambut
semua anggota gerombolan serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat
akibat gemuruh suara rawa mereka.
"Ha ha ha...!"
Kala Ireng tertawa terbahak-bahak.
Sebuah suara aneh. Kecil dan melengking nyaring.
Kembali laki-laki berikat
kepala merah ini mengangkat tangan kanannya ke aras. Seketika itu pula, suara
ribut-ribut sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang dicekik lehernya.
Begitu suasana kembali hening
seperti sediakala, Kala Ireng kembali menggerakkan tangannya yang semula
terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya ditarik kembali, tali
kekang kudanya dihentakkan. Tidak hanya itu saja. Bagian belakang tubuh
binatang itu juga dilecutnya.
Sambil meringkik keras, kuda
tunggangan laki-laki berpakaian hitam itu segera melangkah ke depan.
Melihat pemimpinnya telah
memacu kuda, belasan orang kasar itu segera menggebah kudanya. Maka, kudakuda
itu pun bergerak menyusul kuda Kala Ireng.
Suara derap kaki kuda yang
menggetarkan bumi pun terdengar. Tujuan mereka sudah jelas. Desa Jati Jajar!
Dan akibatnya bagi desa itu sudah bisa diperkirakan. Kehancuran!
***
"Kau dengar suara itu,
Dawarsa?" tanya seorang lakilaki bertubuh pendek kekar sambil bergerak
bangkit dari tidur miringnya. Melalui gardu penjagaan yang tidak mempunyai daun
pintu, pandangannya dilayangkan ke depan, ke arah hutan yang membentang jauh di
depan mereka.
Seorang pemuda yang memakai
ikat kepala putih menoleh. Bisa diduga kalau dialah yang bernama Dawarsa. Dan
memang di gardu penjagaan itu hanya ada dua orang.
Dawarsa menatap wajah rekannya
sejenak, kemudian terdiam. Dicobanya untuk mencari tahu, suara apa yang
dikatakan laki-laki bertubuh pendek kekar itu. Dahinya berkernyit, berusaha
keras membuktikan kebenaran ucapan rekannya. Tapi sampai beberapa saat berbuat
seperti itu, tak juga terdengar suara apa-apa. Maka Dawarsa menggelengkan
kepala.
"Aku tidak mendengar
suara apa-apa, Burasa," tegas Dawarsa kalem. "Mungkin kau hanya salah
dengar saja."
"Tidak mungkin,
Dawarsa!" sentak laki-laki bertubuh pendek kekar yang dipanggil Burasa,
bersikeras. "Jelas sekali aku mendengarnya!"
"Tapi, aku sama sekali
tidak mendengarnya, Burasa!" bantah Dawarsa, tak kalah keras. "Mungkin
kau bermimpi."
"Aku tidak tidur,
Dawarsa. Mana mungkin bisa bermimpi! Kau tahu, aku hanya merebahkan diri untuk
menghilangkan rasa pusing yang mendera kepalaku!"
"Hhh ... !" Dawarsa
menghela napas. "Siapa tahu, tanpa sadar kau tertidur, meskipun hanya
sekejap. Dan dalam tidurmu itu, kau mendengar sesuatu...."
Seketika Burasa terdiam.
Disadari, apa yang dikatakan rekannya mungkin saja benar. Memang bukan tidak
mungkin dia tertidur sewaktu merebahkan tubuh tadi. Tapi sesaat kemudian, rasa
penasaran timbul dalam diri laki-laki bertubuh pendek kekar ini. Dirinya, atau
Dawarsa yang salah?
Tentu saja untuk mengetahui
hal itu, tidak ada jalan lain kecuali membuktikan kebenaran ceritanya. Maka
tanpa ragu-ragu lagi Burasa segera merebahkan diri kembali di bangku panjang di
dalam gardu penjagaan.
"Burasa...! Apa yang kau
lakukan...?!" tanya Dawarsa agak kaget campur bingung.
"Mencoba membuktikan
kebenaran ucapanku," sahut Burasa kalem.
Dawarsa hanya
menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban laki-laki bertubuh pendek kekar.
Dia pun tidak mempersoalkannya lagi. Dibiarkannya saja Burasa meneruskan
maksudnya.
"Ah ... !"
Dawarsa sampai terjingkat
kaget tatkala mendengar seru keterkejutan Burasa. Secepat kilat kepalanya
menoleh. Pada saat yang bersamaan, laki-laki bertubuh pendek kekar ini melonjak
bangkit dari berbaringnya seperti tengah dipagut ular berbisa,
"Ada apa, Burasa?"
tanya Dawarsa kaget.
"Apa yang kukatakan tadi
tidak salah, Dawarsa," tegas Burasa terputus-putus.
"Maksudmu ... ?"
tanya Dawarsa masih kurang mengerti.
"Suara-suara yang
kudengar itu," jelas Burasa tidak sabar lagi.
"Hm...," Dawarsa
menggumam pelan. Hanya dia sendiri yang tahu, apa arti gumamannya itu.
"Kalau kau masih tidak
percaya, kemarilah. Akan kubuktikan, siapa di antara kita yang benar!"
Kata-kata bernada tantangan
telah diajukan Burasa. Mau tak mau, Dawarsa terpaksa menghampirinya. Di samping
karena tantangan yang diajukan Burasa, juga disebabkan perasaan ingin tahunya.
Benarkah apa yang dikatakan rekannya itu?
Dengan agak ragu-ragu, Dawarsa
membaringkan tubuhnya di bangku panjang itu. Dan secepat tubuhnya berbaring
miring, secepat itu pula tubuhnya terlonjak ke atas seperti disengat
kalajengking.
"Kau benar, Burasa!"
pekik laki-laki berikat kepala putih, terkejut.
"Kau bisa mengira-ngira
suara apa itu, Dawarsa?" tanya Burasa tak menghiraukan ucapan rekannya.
Laki-laki bertubuh pendek
kekar sama sekali tidak meributkan kebenaran ucapannya. Suara yang didengar,
lebih menarik untuk dibahas daripada diributkan.
"Kalau aku tidak keliru,
itu adalah suara langkah kaki kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas,
banyak juga."
"Dugaanmu sama dengan
dugaanku, Dawarsa," sambut Burasa. "Entah siapa yang di malam seperti
ini mengendarai kuda...."
"Jangan jangan...,"
Dawarsa menghentikan ucapannya. Sepasang matanya terbelalak lebar menatap ke
depan.
"Kau lihat apa yang
berada di depan, Burasa?" tanya pemuda berikat kepala putih itu sambil
menudingkan telunjuk tangan kanannya ke depan.
Burasa menolehkan kepala ke
arah yang ditunjuk rekannya. Dan seketika dia terkejut ketika melihat
sekelompok sosok bayangan hitam di kejauhan sana. Meskipun tidak jelas
bentuknya karena suasana malam, tapi keduanya dapat menduga kalau sekelompok
sosok bayangan hitam itu adalah manusia. Dan menilik derap kaki kuda yang
terdengar, bisa diperkirakan kalau itu adalah rombongan orang berkuda.
"Serombongan orang
berkuda...," desis Burasa dengan suara tegang.
"Rombongan berkuda
malam-malam begini? Dugaanmu, siapa mereka, Burasa?"
"Maksudmu ... ?"
Burasa merasakan dadanya berdebar tegang. Tanpa bertanya lagi pun sudah bisa
diduga, apa yang dikatakan rekannya. Dan hal ini membuatnya tegang.
"Perampok...," desis
Dawarsa pelan tapi tajam.
Belum juga gema suara
laki-laki berikat kepala putih itu lenyap, tubuh Burasa sudah berlari cepat
menuju kentongan yang tergantung di sudut depan gardu penjagaan.
Kemudian pemukulnya diambil,
dan dihantamkan pada badan kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya
terdengar nyaring memecahkan kesunyian malam. Dan penduduk yang mendengar pun
memukul pula kentongan yang terdapat di depan rumah mereka.
Hanya dalam waktu sekejap
saja, bunyi kentongan terdengar bersahut-sahutan. Seketika itu pula para
penduduk berserabutan keluar dari rumah masing-masing sambil membawa senjata di
tangan.
***
Singgg ... ! Cappp...!
"Akh ... !"
Terdengar keluhan tertahan
dari mulut Burasa, disusul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung. Tangan kanannya
mendekap bahu kirinya yang tertembus sebuah logam berbentuk bintang bersegi lima.
Seketika cairan merah kental mengalir deras dari bahu yang terluka, menerobos
lewat celah jari jemari tangannya.
"Burasa...!"
Dawarsa berseru keras seraya
berlari keluar gardu. Dia tadi juga sempat mendengar adanya suara berdesing
nyaring, sebelum rekannya menjerit.
Dan begitu Dawarsa berada di
luar, tampak beberapa sosok tubuh berlompatan dari punggung belasan ekor kuda
yang larinya dihentikan secara mendadak. Begitu hinggap di tanah, sosok-sosok
tubuh itu segera menyerbu ke arah Burasa dan Dawarsa.
Tentu saja kedua orang penjaga
gardu itu tidak tinggal diam. Dawarsa cepat mencabut goloknya, langsung memapak
datangnya serangan yang menuju ke arahnya. Begitu pula Burasa. Tanpa
menghiraukan darah yang mengalir dari bahu kirinya, tubuhnya melesat membantu
laki-laki berikat kepala putih itu.
Baik Burasa maupun Dawarsa
memang tidak asing lagi dengan ilmu silat. Karena kedua orang itu memang
memiliki tingkat kepandaian lumayan. Tapi lawan yang dihadapi bukan orang
lemah! Kali ini yang mereka hadapi adalah rombongan perampok anak buah Kala
Ireng, yang sudah terkenal kebengisannya. Dalam mempertahankan selembar nyawa,
mereka terkenal paling gigih. Pekerjaan yang dijalani membuat mereka harus
memilih dua kemungkinan. Dibunuh atau membunuh!
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras,
Dawarsa menebaskan goloknya ke arah leher perampok yang berkepala botak.
"Hmh ... !"
Laki-laki berkepala botak itu
hanya mendengus. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sambil menarik kepalanya.
Maka, serangan golok itu hanya mengenai tempat kosong. Lewat sejengkal dari
sasaran.
Bukan hanya itu saja yang
dilakukan laki-laki berkepala botak. Begitu serangan Dawarsa lewat, golok besar
di tangannya dibabatkan ke arah tangan laki-laki berikat kepala putih itu.
Cepat dan tak terduga gerakan laki-laki berkepala botak, sehingga Dawarsa hanya
mampu berkelit sedikit.
Wuttt! Crasss ... !
Dawarsa memekik keras. Tangan
kanannya buntung sebatas sikut terbabat golok besar laki-laki berkepala botak
Itu. Darah segar seketika berhamburan keluar dari tangan yang putus. Belum lagi
laki-laki berikat kepala putih itu sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki
berkepala botak melayang cepat ke arah perutnya.
Bukkk...!
"Hugk ... !"
Suara keluhan tertahan
terdengar dari mulut Dawarsa. Tubuhnya seketika terbungkuk. Dan di saat
itulah, golok besar lawan kembali menyambar. Maka....
Crasss ... !
Tanpa sempat mengeluarkan
suara lagi, tubuh Dawarsa terkulai roboh. Dia tewas seketika dengan seluruh
kepala terpisah dari badan.
Dan pada pertarungan lain,
Burasa mengalami nasib yang sama. Dia tewas dengan perut tertancap pedang
hingga tembus ke punggung.
Tanpa menghiraukan mayat
korbannya, kedua orang perampok itu bergegas menyusul rekan-rekannya yang telah
menyebar maut di dalam desa.
2
Di Desa Jati Jajar pun terjadi
kerusuhan yang tidak kalah mengerikan. Para penduduk yang baru saja keluar dari
rumah masing-masing, segera disambut rombongan perampok. Maka pertarungan
sengit dan mati-matian pun berlangsung.
Tapi karena sebagian besar
para penduduk tidak menguasai ilmu silat, rombongan perampok itu tidak
mengalami kesulitan untuk membinasakan mereka satu persatu. Padahal, satu orang
perampok menghadapi dua orang lawan.
Memang ada sebagian kecil
penduduk yang menguasai ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja.
Andaikan kepandaian yang dimiliki menyamai para anggota perampok pun, mereka
tetap saja tidak mampu menang. Sebab, jelas mereka kalah pengalaman dalam
pertempuran. Jadi tidak heran kalau satu persatu para penduduk Desa Jati Jajar
berguguran.
Tapi ternyata tidak semua
orang di pihak Desa Jati Jajar yang mudah dikalahkan. Ada dua orang di antara
mereka yang mampu mengadakan perlawanan sengit. Yang seorang adalah laki-laki
bertubuh kekar berotot. Kumis dan alisnya tebal. Sedangkan yang seorang lagi
adalah laki-laki setengah baya berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya telah
berwarna dua.
Sambil terus mengadakan
penawanan sengit terhadap tiga orang perampok yang mengeroyoknya, laki-laki
berpakaian putih tak henti-hentinya memberi semangat pada para penduduk Desa
Jati Jajar.
"Jangan mundur ... !
Lawan terus...! Mundur berarti desa kita hancur ... !"
Berkat teriakan laki-laki
berpakaian putih itulah, maka para penduduk Desa Jati Jajar terus mengadakan
perlawanan. Mereka semua tahu, nasib anak dan istri tergantung pertarungan ini.
Sungguh mengerikan keadaan
Desa Jati Jajar. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian.
Di sana-sini bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa.
Kala Ireng menatap beberapa
kelompok pertarungan dengan wajah dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum
kebengisan. Ada seri kegembiraan yang memancar di wajahnya, tatkala melihat
semua anak buahnya berhasil mengungguli lawan. Dan bahkan terus mendesak masuk
ke dalam desa.
Tapi seri di wajah laki-laki
berpakaian hitam ini lenyap begitu melihat dua pertarungan lainnya.
Pertarungan antara anak buahnya melawan laki-laki berpakaian putih dan
laki-laki bertubuh kekar berotot. Mereka tertahan di sini.
Baik laki-laki berpakaian
putih maupun laki-laki bertubuh kekar sudah berhasil menewaskan seorang lawan.
Tapi kini mereka belum mampu menambah korban lagi, karena jumlah lawan
bertambah. Laki-laki berpakaian putih dikeroyok tiga orang perampok.
Sementara laki-laki bertubuh
kekar berotot menghadapi empat orang perampok. Dan tampaknya pertarungan kedua
kelompok itu berjalan seimbang.
Kala Ireng menggertakkan gigi.
Dikenalinya betul, siapa kedua orang itu. Laki-laki berpakaian putih adalah
Kepala Desa Jati Jajar. Namanya, Ki Manggala. Sedangkan laki-laki bertubuh
kekar berotot bernama Kanigara, seorang guru silat dari Desa Cibening. Sebuah
desa yang terhitung besar, tetangga Desa Jati Jajar. Hanya saja Kala Ireng
tidak mengetahui, mengapa guru silat itu bisa berada di desa ini.
Tapi Kala Ireng tidak Ingin
memikirkan hal Itu lagi. Masalahnya kalau tidak cepat-cepat turun tangan,
ketujuh orang anak buahnya pasti akan tetap tertahan di situ. Sementara, tugas
yang harus dikerjakan masih belum selesai. Maka laki-laki berpakaian hitam ini
segera melompat turun dari punggung kuda.
"Mundur ... !"
teriak Kala Ireng begitu berada di belakang anak buahnya yang tengah bertarung
menghadapi Kanigara.
Laki-laki bertubuh kekar
berotot ini ternyata hebat juga. Dengan pedangnya, membuat empat orang lawan
tidak mampu mendesak.
Sementara empat orang lawan
Kanigara yang mendengar seruan itu, langsung berlompatan mundur. Mereka tentu
saja mengenal, siapa pemilik suara itu.
Berbareng dengari berlompatan
mundurnya empat orang perampok itu, Kala Ireng melompat masuk dalam kancah
pertarungan. Dia langsung berdiri berhadapan dengan Kanigara.
"Kala Ireng...,"
desis laki-laki bertubuh kekar berotot itu, begitu melihat laki-laki berpakaian
hitam. Ada nada keterkejutan terdengar dalam suara itu. Dia memang telah
mengenal Kala Ireng, seorang kepala rampok yang telah malang-melintang dalam
Hutan Buaran.
"Hmh ... !" Kala
Ireng mendengus. "Bersiaplah untuk mati, Kanigara!"
Kanigara sama sekali tidak
menyambuti ancaman itu. Dia tengah merasa tegang melihat Kala Ireng. Sungguh
sama sekali tidak disangka bisa bertemu kepala rampok itu di sini. Kala Ireng
terkenal amat kejam, di samping memiliki kepandaian yang tinggi.
Kanigara menggertakkan gigi,
kemudian melesat menyerang lawannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah
perut Kala Ireng. Ada suara bercuitan yang cukup nyaring mengiringi serangan
itu.
"Hmh ... !"
Lagi-lagi Kala Ireng
mendengus. Secercah senyum mengejek tampak tersungging di bibirnya. Dan masih
dengan senyum ejekan, laki-laki berpakaian hitam ini mengelakkan serangan
Kanlgara.
Mudah saja Kala Ireng
mengelak. Kakinya dilangkahkan ke kiri sambil tubuhnya didoyongkan. Sehingga,
tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Dan sebelum Kanigara
berbuat sesuatu, tangan kanan Kala Ireng telah lebih dulu bergerak.
Wuttt..! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara
langsung kena ceng keram tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya
terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar berotot ini segera mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali senjatanya. Dan kalau
tidak bisa menariknya kembali, paling tidak tangan Kanigara akan terluka. Atau
bahkan putus sama sekali akibat tersayat mata pedangnya.
Tapi usaha Kanigara kandas.
Wajahnya sampai merah padam karena mengerahkan seluruh tenaga dalam. Nada
keluhan terdengar dari mulutnya ketika berusaha keras menarik pulang
senjatanya.
***
Berbeda dengan keadaan yang
dialami Kanigara, wajah Kala Ireng tampak biasa-biasa saja. Bahkan tidak
terlihat tanda-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga.
"Hmh ... !"
Kala Ireng kembali mendengus.
Berbareng hilangnya dengusan itu, tangan kanannya bergerak meremas. Hebat
akibatnya! Bilah pedang Kanigara langsung hancur, seolaholah yang diremas
laki-laki berpakaian hitam ini hanya sehelai daun kering rapuh!
Akibat yang terjadi sudah bisa
diduga. Pada saat itu Kanigara tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
menarik pedangnya, tak pelak lagi tubuhnya terjengkang ke belakang.
Tapi berkat kelihaiannya,
Kanigara tidak sampai terbanting di tanah. Meskipun agak terhuyung-huyung dan
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Wajah Kanlgara memucat
Sepasang matanya menatap berganti-ganti pada pedang yang telah tinggal separuh
di tangannya, dan pada jemari Kala Ireng yang lelah meremas hancur pedangnya.
Laki-laki bertubuh kekar ini memang telah mendengar berita kalau Kala Ireng
mempunyai suatu ilmu yang membuat kedua tangannya jadi sekuat baja! Dan kini
telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jarijari tangan Kala Ireng
benar-benar luar biasa!
Wuttt ... ! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara
langsung kena cengkeraman tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya
terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar itu segera mengerahkan seluruh
tenaga untuk menarik senjatanya, tapi tetap tidak berhasil!
Meskipun perasaan gentar
merayapi hatinya, Kanigara pantang mundur. Dia tahu Kala Ireng tidak akan sudi
mengampuninya. Jadi, tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan mati-matian!
"Haaat..!"
Kanigara berseru keras. Pedang
yang telah tinggal separuh di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher Kala
Ireng. Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin perampok ini tidak mengalami
kesulitan sedikit pun untuk memunahkan serangan itu. Tanpa menggeser kaki, Kala
Ireng mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu lewat beberapa jari di
sebetah kiri lehernya.
Pada saat yang bersamaan,
tangan kiri Kala Ireng dengan jari jari berbentuk cakar itu bergerak.
"Tappp ... !"
Mengkelap jantung Kanigara
begitu mengetahui pergelangan tangan kanannya telah tercekal Kala Ireng, Dan
sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan Kala Ireng yang kuat itu telah
bergerak meremas.
Terdengar suara bergemeretakan
keras dari tulangtulang yang remuk seiring dengan remasan jari jari tangan
Kala Ireng.
Kanigara mengigit bibirnya sampai
berdarah, dalam usahanya agar mulutnya tidak mengeluarkan lolongan kesakitan.
Memang rasa sakit yang melanda
benar-benar luar biasa! Keringat sebesar jagung bermunculan di wajah lakilaki
kekar itu.
Dengan sendirinya, laki-laki
bertubuh kekar berotot ini telah dibuat tidak berdaya oleh Kala Ireng. Dan
begitu tangan Kala Ireng bergerak menyentak, tubuh Kanigara tertarik ke depan.
Hal ini memang sudah direncanakan lakilaki berpakaian hitam itu. Maka begitu
tubuh Kanigara meluruk ke arahnya, cakar tangan kanannya bergerak menyambut.
Crokkk...!
Suara berderak keras terdengar
ketika ubun-ubun Kanigara pecah. Cairan merah kental bercampur putih mengalir
keluar dari ubun-ubunnya. Hanya sebuah keluhan pelan terdengar ketika laki-laki
bertubuh kekar berotot ini tewas! Suara berdebuk keras terdengar saat tubuh
kekar itu jatuh di tanah.
***
Kala Ireng menatap mayat
lawannya sejenak. Kemudian....
Cuhhh...!
Sepercik ludah kental meluncur
keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam, dan hinggap di wajah mayat Kanigara.
Kala Ireng kemudian mengalihkan perhatian ke arah Ki Manggala. Tampak laki-laki
berpakaian putih itu tengah terdesak hebat Karena lawan-lawan yang semula
menghadapi Kanigara, kini ganti mengeroyoknya.
Menghadapi tiga orang saja Ki
Manggala tidak mampu menang. Apalagi kini menjadi tujuh orang lawan. Dalam
beberapa gebrak saja Kepala Desa Jati Jajar ini terdesak hebat dan terus
terhimpit.
Pada jurus ke empat, laki-laki
berpakaian putih ini tidak mampu mengelak atau menangkis lagi. Bahkan kini
tusukan golok laki-laki berkepaia botak telah menghunjam dalam di perutnya.
Darah pun memancar deras dari luka yang terobek lebar.
Tak sampai sekejapan mata,
serangan-serangan lain pun menyusul tiba. Babatan golok, tusukan tombak, dan
hujan senjata lain hinggap di berbagai bagian tubuhnya. Tapi meskipun demikian,
di saat nyawanya hendak melayang, Ki Manggala masih sempat mengajak salah
seorang pengeroyok untuk ikut bersamanya ke akhirat!
Ki Manggala melompat menerjang
mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga dalam yang dimiliki. Golok di tangannya
menyambar cepat ke arah salah seorang anggota perampok.
Perampok berkumis tebal itu
terkejut bukan main mendapat serangan yang tak diduga itu. Maka sebisa bisanya
dia berusaha mengelak, tapi terlambat. Golok Kepala Desa Jati Jajar itu telah
terlebih dulu menyambar lehernya. Tak pelak lagi, kepala laki-laki berkumis
tebal itu pun terpisah dari tubuh. Dia tewas seketika berbarengan dengan
tewasnya Ki Manggala.
Dengan tewasnya Kanigara dan
Ki Manggala, tidak ada lawan kuat yang dihadapi gerombolan perampok anak buah
Kala Ireng. Kini dengan leluasa semua penduduk yang menghalangi tindakan mereka
dibantai.
Suara teriakan kesakitan
diiringi lolong kematian memecah kesunyian malam, di tengah-tengah
hirukpikuknya suara senjata beradu.
Gerombolan perampok anak buah
Kala Ireng bertindak tak kepalang tanggung. Seluruh isi penduduk yang berjenis
laki-laki, tua atau muda, dibantai habis. Bahkan anak kecil pun dibinasakan.
Hanya wanita-wanita saja yang tidak dibunuh, dan hanya diseret ke luar. Mereka
akan dibawa ke tempat tinggal para perampok untuk dijadikan pemuas nafsu setan.
"Ha ha ha...!"
Kala hreng tertawa
terbahak-bahak melihat seluruh isi desa porak-poranda. Mayat-mayat penduduk
tampak bergeletakan di sana-sini.
"Bakar ... !" seru
Kala Ireng, keras.
Tanpa diperintah dua kali,
semua anggota gerombolan itu bergegas mengambil obor-obor yang terpancang di
depan rumah. Kemudian obor itu dilempar ke setiap rumah. Tak pelak lagi,
rumah-rumah itu pun terbakar. Mula-mula hanya kecil saja, tapi lama kelamaan
semakin membesar. Dan hawanya pun terasa panas menyengat kulit.
"Ha ha ha...!"
Kala Ireng dan anak buahnya
tertawa-tawa gembira melihat seluruh desa mulai diamuk api. Desa Jati Jajar
benar-benar telah menjadi lautan api. Asap tebal dan hitam membumbung tinggi
sampai ke udara.
Sambil terus tertawa-tawa
gembira. Kala Ireng mengangkat tangan kanan ke atas, seraya melompat naik ke
atas punggung kuda. Kemudian tali kekang binatang tunggangannya dihentakkan.
Maka kuda coklat itu pun bergerak meninggalkan tempat itu.
Melihat pemimpin mereka telah
bergerak meninggalkan tempat itu, seketika para anak buahnya ikut bergerak
pula. Kini, rombongan ini membawa serta barang hasil jarahan, serta belasan
wanita cantik.
Wanita-wanita Desa Jati Jajar
hanya dapat menangis melihat semua kejadian yang menimpa. Menangisi desa mereka
yang kini telah menjadi lautan api. Menangisi ayah, suami, adik, atau anak
mereka yang tewas oleh kekejaman para perampok itu.
Bukan hanya itu saja yang
dipikirkan. Kejadian mengerikan yang akan menimpa mereka pun tak luput dari
pikiran. Ingin rasanya membunuh diri, tapi sayangnya kesempatan itu tidak
pernah ada. Kini mereka hanya dapat pasrah menerima kenyataan yang ada. Ikut
rombongan perampok Kala Ireng.
Siang itu suasana benar-benar
tidak menyenangkan. Matahari yang tepat di atas kepala memancarkan sinarnya
begitu terik ke bumi. Seakan-akan dengan sinarnya, sang mentari tengah berusaha
melelehkan apa pun di bawahnya.
Dalam suasana sepanas itulah,
serombongan pasukan berkuda berpacu cepat menuju Hutan Buaran. Derap langkah
kaki kuda yang berlari cepat itu cukup mengusik keheningan siang. Debu mengepul
tinggi, menambah pengapnya suasana siang yang sudah terasa tidak nikmat
Rombongan berkuda yang
jumlahnya tak kurang dari dua puluh orang itu mengenakan seragam prajurit
kerajaan. Ternyata rombongan prajurit itu dipimpin seorang gadis yang berkuda
paling depan. Wajahnya begitu cantik, dan pakaiannya berwarna putih. Rambutnya
panjang terurai, sehingga menambah kecantikannya. Sementara yang berkuda di
sebelahnya, adalah seorang laki-laki setengah baya.
"Masih jauhkah sarang
gerombolan Kala Ireng itu, Paman Patih?" tanya gadis berpakaian putih
seraya menatap laki-laki setengah baya.
Menilik dari nada suara dan wajahnya,
dapat diketahui kalau gadis itu sudah merasa tidak sabar untuk bertemu
gerombolan Kala Ireng.
"Tidak jauh lagi, Gusti
Ayu Melati," sahut laki-laki setengah baya itu. Suaranya lembut dan penuh
kasih sayang, seperti layaknya ucapan seorang ayah pada anaknya.
Gadis berpakaian putih yang
ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat.
Kemudian perhatiannya dialihkan kembali ke depan.
"Memangnya kenapa, Gusti
Ayu?" tanya laki-laki setengah baya yang dipanggil Melati dengan sebutan
paman patih.
Dia memang patih Kerajaan
Bojong Gading. Namanya Rantaka (Baca serial Dewa Arak dalam episode
"Banjir Darah di Bojong Gading").
"Aku sudah tidak sabar
lagi untuk membasmi mereka!" tegas Melati. "Gerombolan itu tidak bisa
diampuni lagi. Mereka harus dibasmi semuanya!"
Patih Rantaka tersenyum
mendengar ucapan Melati yang berapi-api itu.
"Bukankah Gusti Prabu pun
memerintahkan begitu, Gusti Ayu?"
Melati menganggukkan kepala,
membenarkan ucapan Patih Rantaka.
"Ayahanda murka sekali, Paman,"
desah gadis berpakaian pulih yang terkadang memanggil Patih Rantaka dengan
paman saja.
"Wajar saja kalau Gusti
Prabu marah, Gusti Ayu. Gerombolan Kala Ireng benar-benar biadab. Bahkan sudah
tiga desa dihancurkan."
"Begitu kuatkah
gerombolan Kala Ireng itu, Paman? Sampai-sampai, Adipati Triwisnu tidak mampu
menanggulanginya," tanya Melati tidak yakin.
"Aku sendiri tidak tahu,
Gusti Ayu," jawab Patih Rantaka. "Tapi kemungkinan besar memang
begitu."
Melati mengerutkan alisnya
yang berbentuk indah itu.
"Mengapa Paman menduga
demikian?" tanya gadis berpakaian putih itu ingin tahu.
"Apakah Gusti Ayu belum
mengetahui, dan belum mendengar cerita mengenai usaha-usaha yang dilakukan
Adipati Triwisnu untuk menghancurkan gerombolan Kala Ireng itu?" laki-laki
setengah baya malah balik bertanya, setengah tak percaya.
Melati menggelengkan kepala.
"Aku hanya mengetahui sedikit saja, Paman," sahut Melari pelan.
"Aku hanya tahu kalau gerombolan Kala Ireng telah membumihanguskan tiga
buah desa."
Patih Rantaka tercenung.
Sementara Melati pun tidak melanjutkan kata-katanya. Dengan sendirinya, untuk
beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah derap
langkah kaki rombongan berkuda yang menapak tanah.
"Ketika untuk pertama
kalinya gerombolan Kala Ireng keluar dari Hutan Buaran dan membumihanguskan
Desa Jati Jajar, Adipati Triwisnu langsung bertindak. Pasukannya dikirimkan
untuk menghancurkan gerombolan itu. Dia merasa bertanggung jawab untuk
menumpasnya, karena semua itu terjadi di daerah kekuasaannya."
Patih Rantaka menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sesaat sepasang matanya menatap wajah
Melati.
"Tapi rombongan yang
dikirim Adipati Triwisnu ternyata tidak pernah kembali lagi. Apa yang terjadi
dengan pasukan itu, tak seorang pun yang tahu. Dan yang jelas, usaha mereka
tidak berhasil. Karena, sebuah desa kembali dibumihanguskan oleh gerombolan
Kala Ireng itu."
"Hm...," Melati
hanya menggumam pelan. Entah apa yang digumamkan, hanya gadis itu sendirilah
yang tahu.
"Adipati Triwisnu tidak
tinggal diam. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengirimkan pasukannya
kembali. Dia ingin menumpas gerombolan itu, sekaligus mencari berita lenyapnya
pasukan yang dikirim pertama kali. "
Patih Rantaka kembali
menghentikan ceritanya. Dihirupnya udara sejenak, seraya mencari kata-kata
untuk melanjutkan ceritanya.
"Tapi usaha yang
dilakukan Adipati Triwisnu sia-sia. Pasukan yang dikirimnya itu lagi-lagi tak
pernah kembali, lenyap seperti ditelan bumi. Dan tak lama kemudian, kembali sebuah
desa dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Kini baru disadari, mengapa Adipati Triwisnu sampai mengirim utusan ke
kotaraja.
Dan, mengapa pula Prabu
Nalanda mengirimkan pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading untuk menumpas
gerombolan Kala Ireng. Rupanya Prabu Nalanda telah mendengar kegagalan usaha
yang dilakukan Adipati Triwisnu, sehingga mengambil keputusan itu mengirimkan
pasukan.
"Sekarang aku mengerti,
Paman," kata Melati. Sedangkan Patih Rantaka hanya tersenyum lebar.
"Menurutmu, mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu itu bisa lenyap,
Paman?"
"Aku sendiri juga tidak
tahu, Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka tidak berani memastikan. "Tapi
kalau menurut pendapatku, mereka semua telah tewas di tangan gerombolan
itu."
Melati terdiam, tak lagi
menyahuti. Patih Rantaka pun tak lagi melanjutkan ucapan. Kini rombongan
pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading
Itu pun melanjutkan perjalanan tanpa berbicara lagi.
***
Begitu mulai memasuki mulut
hutan, rombongan pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai bersikap waspada.
Semua pasang mata beredar berkeliling, merayapi sekitarnya. Seluruh urat syaraf
mereka menegang waspada, bersiap menghadapi adanya ancaman mendadak.
Tangan-tangan mereka juga
telah memegang hulu senjata masing-masing. Napas pun agak ditahan, khawatir
kalau-kalau mengganggu pendengaran yang telah dipasang setajam mungkin. Paling
tidak, agar suara sekecil apa pun dapat tertangkap telinga mereka.
"Gusti Ayu...," sapa
Patih Rantaka pelan seperti bisikan.
"Ada apa, Paman?"
tanya Melati seraya menolehkan kepala. Namun demikian, sepasang matanya tak
pernah lepas mengawasi keadaan sekitar.
"Apakah tidak lebih baik
kalau kuda-kuda itu kita tinggalkan saja?"
Melati tercenung. Dahinya
berkernyit pertanda tengah berpikir keras. Sesaat kemudian kepalanya terangguk.
Kini kudanya segera dituntun ke arah pohon yang ada di situ. Semua pasukannya
juga bertindak demikian.
Kini Melati, Patih Rantaka,
dan sekitar dua puluh orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu berjalan
kaki menerobos ke dalam hutan. Melati dan Patih Rantaka berjalan paling depan,
sementara dua puluh orang lainnya berjalan di belakang.
Semua mata menatap daerah
sekitar dengan sikap waspada.
Mendadak terdengar hentakan
pelan. Melati, Patih Rantaka dan dua puluh orang pasukan khusus mendengarnya.
Seketika itu pula perhatian mereka dialihkan ke arah asal suara dengan sikap
siaga penuh. Tapi, setelah ditunggu beberapa saat, ternyata tidak nampak ada
apa-apa. Tiba tiba Melati mendengar suara berkesiur pelan dari atas, disusul,
bertiupnya angin semilir. Seketika itu juga gadis berpakaian putih ini
mendongakkan kepala ke atas, dan kontan terperanjat. Tampak dari atas melayang
turun sebuah jaring, yang sudah dapat dipastikan akan mengurung mereka.
Memang, mereka tepat berada di
tengah-tengah sasaran jaring.
"Menyingkir ... !"
seru Melati keras seraya melompat menghindar. Tak lupa, didorongnya tubuh Patih
Rantaka agar menjauh dari tempat itu.
Dua puluh pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading itu pun segera berserabutan melompat melarikan diri.
Pasukan khusus itu memang
memiliki wawasan pengetahuan luas. Mereka tahu, apabila terkurung jaring, tidak
sulit bagi lawan untuk menghujani mereka dengan serangan mematikan.
Luar biasa! Tidak ada seorang
pun dari pasukan khusus itu yang terjaring. Tapi ternyata, hal yang mengejutkan
itu tidak berakhir sampai di situ. Tubuh-tubuh yang berlompatan itu seketika
menerima kejutan masingmasing.
Ternyata sebagian besar dari
mereka mendapat serangan susulan. Dari segenap penjuru seketika meluncur
senjata rahasia yang mempunyai bentuk dan ukuran berbeda. Ada logam berbentuk
bintang segi-lima, ujung anak panah, ataupun pisau.
Kembali pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat-cepat serangan
gelap yang mengancam keselamatan nyawa itu ditangkis.
Tring, tring, tring ... !
Semua serangan gelap berhasil
dikandaskan. Bahkan ada yang kembali ke pemiliknya semula. Terbukti, terdengar
suara jeritan menyayat dari balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak.
Keadaan yang dialami Melati
lebih mengerikan lagi. Dalam usaha menyelamatkan selembar nyawanya, gadis itu
melakukan lompatan harimau. Kedua tangannya sudah siap mendarat di tanah, untuk
kemudian digunakan sebagai peredam saat bergulingan.
Sungguh di luar dugaan gadis
berpakaian putih itu. Tanah berumput yang menjadi tempat bertumpu kedua
tangannya tiba-tiba amblas. Tak dapat dicegah lagi, tubuh Melati pun melayang
masuk ke dalam lubang.
Serasa copot jantung Melati
mengalami hal yang sama sekali tidak diduga ini. Apalagi ketika dia melihat
puluhan ujung tombak runcing yang menanti di dasar lubang. Menilik dari bau
amis darah yang menyeruak masuk ke dalam hidung, bisa diperkirakan kalau lubang
jebakan ini sudah cukup banyak menelan korban.
Melati bertindak cepat.
Disadari kalau tidak mungkin kakinya mendarat di ujung tombak-tombak runcing
itu. Lubang itu terlalu sempit. Apalagi, sulit baginya untuk memutar tubuh
dengan keadaan tengah berada di udara. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pedangnya segera dihunus.
Srattt... !
Sinar terang membersit ketika
pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tergenggam,
secepat itu pula dijulurkan ke bawah.
Trik ... !
Luar biasa! Dengan perhitungan
matang seorang ahli pedang tingkat tinggi, Melati berhasil mendaratkan ujung
pedangnya pada salah satu ujung tombak runcing yang sudah menanti, siap menyate
tubuhnya.
Beberapa saat lamanya tubuh
Melati berada dalam keadaan terbalik. Kepala berada di bawah, dan kaki berada
di atas. Ujung pedangnya menempel pada salah satu ujung tombak runcing di dalam
lubang itu. Seluruh kekuatan bertumpu pada tangan kanannya yang menggenggam
pedang.
"Hih...!"
Perlahan-lahan Melati menekuk
tangan kanannya. Dan dengan demikian tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah.
Tampak tangan kanan gadis berpakaian putih itu menggigil keras. Memang
membutuhkan tenaga dalam yang luar biasa untuk melakukan hal seperti itu.
Ujung tombak itu terlalu
runcing dan licin. Kalau saja Melati bukan termasuk gadis pemberani, dan tidak
memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya tubuhnya akan terpanggang di ujung-ujung
tombak.
Begitu tangan kanannya sudah
agak banyak tertekuk, mendadak tubuh Melati bersalto ke atas. Rupanya hal itu
dilakukan untuk mencari tenaga, dalam usahanya mencapai mulut lubang.
Dan usaha Melati ternyata
tidak sia-sia. Tubuhnya segera melesat cepat ke atas. Dan begitu telah berada
di luar lubang, gadis berpakaian putih ini bersalto di udara beberapa kali.
Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di tanah.
Semua peristiwa itu
berlangsung singkat. Dan ketika Melati telah mendaratkan kedua kakinya di
tanah, pasukan khusus dan Patih Rantaka telah berhasil menyelamatkan diri pula.
Kini Melati, Patih Rantaka,
dan seluruh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading berdiri di tempat itu dengan
sikap waspada. Di tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus.
"Gusti Ayu, apakah tidak
sebaiknya kalau kita serbu mereka?" usul seorang anggota pasukan khusus
yang bertahi lalat di pipinya.
"Bagaimana menurut, Paman?"
Melati malah melontarkan pertanyaan itu pada Patih Rantaka.
Gadis berpakaian putih tidak
ingin bersikap sembrono. Maka hal itu malah ditanyakannya pada Patih Rantaka,
yang sudah pasti mempunyai pengalaman luas.
"Menurut hamba, kalau
kita menyerbu merupakan perbuatan tidak bijaksana. Lawan berada di tempat yang
tidak diketahui. Lagi pula, bukan tidak mungkin kalau mereka telah menyiapkan
jebakan jebakan untuk kita," jawab Patih Rantaka memberi pendapat.
"Jadi, apa yang harus
kita lakukan. Paman?" tanya Melari bingung. "Apakah kita berdiam diri
saja di sini sambil menanti mereka keluar dan menyerang kita?"
Patih Rantaka tercenung
mendengar bantahan itu. Apa yang dikatakan Melati memang benar. Memang tidak
mungkin kalau hanya menunggu terus. Tapi menyerbu pun bukan cara yang bijaksana
pula. Maka untuk beberapa saat lamanya, laki-laki setengah baya ini terdiam.
"Bagaimana kalau aku
memaksa mereka keluar, Paman?" usul Melati.
"Sebuah usul yang baik.
Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka.
"Tapi, bagaimana caranya?
Gerombolan itu bukan orang bodoh. Mereka pasti tahu kalau kita bukan lawan yang
mudah dikalahkan. Dan sudah
pasti mereka tak akan mau bertarung secara terang-terangan."
"Hal itu sudah
kupikirkan, Paman," sahut Melati cepat "Mudah-mudahan saja caraku ini
dapat memaksa mereka keluar!"
Patih Rantaka terdiam, dan
tidak menyahuti lagi. Laki-laki setengah baya ini ingin tahu juga, bagaimana
caranya putri angkat junjungannya ini akan memaksa gerombolan itu keluar.
Bukan hanya Patih Rantaka saja
yang ingin tahu. Dua puluh orang pasukan khusus itu pun merasa tertarik juga.
Kini mereka semua diam, sama sekali tidak bersuara atau bergerak saking ingin
tahu apa yang akan dilakukan Melati.
Melati melangkah maju dua
tindak. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Sebentar gadis itu
menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Pikirannya dipusatkan pada
satu titik. Seketika, kedua tangan Melati sampai sebatas pergelangan, berubah
merah, seperti darah! Dan hal seperti ini selalu terjadi setiap kali gadis
berpakaian putih ini mengeluarkan tenaga dalamnya.
"Hih ... !"
Mendadak Melati menghentakkan
kedua tangannya ke depan. Seketika hembusan angin kuat keluar dari kedua tangan
yang dihentakkan itu. Rupanya Melati ingin memaksa keluar lawan-lawannya dengan
Jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Hebat bukan main akibat jurus
itu. Sekitar tempat yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh Melati, langsung
porak-poranda seperti habis dilanda badai! Pohon-pohon bertumbangan,
semak-semak berpencaran ke sana kemari tak tentu arah.
Tidak hanya sekali saja Melati
melakukannya. Diumbarnya jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' itu ke semua arah
semak-semak dan pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Sudah dapat diduga
akibatnya. Seluruh tempat itu porak-poranda seperti habis dilanda angin topan!
Patih Rantaka dan seluruh
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading sampai bergidik melihat kedahsyatan ilmu
yang dimiliki Melati. Tapi Melati bukan bermaksud pamer kesaktian di depan
mereka. Gadis itu hanya berusaha memancing lawan agar menampakkan diri. Maka
mereka pun segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Usaha yang dilakukan Melati
tidak sia-sia. Dan kini tampak banyak sosok tubuh berlompatan dari balik
semaksemak dan pepohonan yang terbongkar di sana-sini, akibat terlanda angin
pukulan gadis itu.
Tentu saja pasukan khusus ini
tidak membiarkan mereka lari begitu saja. Mereka semua bergegas bergerak
mengejar, kecuali Patih Rantaka dan Melati. Laki-laki setengah baya ini berdiri
di sebelah gadis itu.
Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian cukup tinggi, Patih Rantaka tahu kalau gadis berpakaian putih itu
akan lelah setelah mengeluarkan tenaga dalam saat mengobrak-abrik seluruh
tempat ini. Maka dia sengaja tidak ikut mengejar, tapi melindungi gadis itu
dari serangan lawan.
Sementara itu, gerombolan Kala
Ireng tidak bisa menghindar lagi karena pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
telah menghadang langkah mereka.
Maka, pertarungan pun tidak
bisa dielakkan lagi. Sesaat kemudian, denting senjata beradu pun terdengar ketika
kedua belah pihak mulai saling menyerang hebat.
Baru saja Melati menghentikan
amukannya, sesosok bayangan hitam melesat dari balik sebuah kerimbunan
semak-semak. Bayangan itu terus melompat ke atas. Dan dari atas, kedua
tangannya yang berbentuk cakar, menyambar deras ke arah ubun-ubun gadis itu.
Melati terperanjat melihat
serangan maut itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke
samping, lalu bergulingan di tanah. Sehingga, serangan itu hanya menyambar
tempat kosong.
Patih Rantaka tidak tinggal
diam. Sebelum sosok bayangan hitam itu kembali menyerang Melati, dia segera
meloncat menerjang. Pedang di tangannya cepat ditusukkan ke arah leher, begitu
kedua kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di tanah.
Berbahaya bukan main serangan
yang dilakukan Patih Rantaka. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba, dan pada
saat lawan baru saja hinggap di tanah. Laki-laki setengah baya itu sudah bisa
memperkirakan kalau serangannya akan berhasil gemilang.
Tapi sungguh di luar dugaan,
sosok bayangan hitam itu ternyata mampu menangkis tusukan pedang dengan
cengkeraman tangan kanannya.
Tappp ... !
Bilah pedang Patih Rantaka
kini telah dicengkeram sosok hitam itu. Hal ini membuat Patih Rantaka
terperanjat, tapi hanya sesaat saja. Kemudian laki-laki setengah baya ini
buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk menarik kembali pedangnya. Atau paling
tidak memutuskan jari jari tangan yang mencengkeram pedangnya.
Tapi sosok hitam yang tak lain
Kala Ireng juga tidak sudi membiarkan senjata itu berhasil ditarik pulang
lawan. Maka dia pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk mempertahankan tarikan
lawan. Tak dapat dihindari, adu tarik-menarik pedang pun berlangsung.
Ternyata tenaga dalam kedua
tokoh ini berimbang. Tak heran sampai beberapa saat lamanya, Patih Rantaka dan
Kala Ireng saling adu tarik, namun tak juga ada tanda-tanda yang akan keluar
sebagai pemenang.
Dalam hatinya, diam-diam Patih
Rantaka terkejut bukan kepalang melihat Kala Ireng mampu mempertahankan pedang
tanpa terluka. Mungkinkah lawan memiliki ilmu kebal, sehingga kulit tubuhnya
tak bisa dilukai?
Mendadak Kala Ireng melepaskan
cengkeramannya. Padahal, saat itu Patih Rantaka tengah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk menarik kembali pedangnya. Akibatnya bisa diduga! Tubuh
laki-laki setengah baya ini terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikan
tangannya.
Dan pada saat yang tepat Kala
Ireng siap mengirimkan serangan susulan. Tangannya bergerak ke balik baju. Dan
secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan. Dan....
Singgg ... !
Suara mendesing nyaring
terdengar begitu sebuah benda logam berbentuk bintang persegi lima, meluruk
cepat ke arah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya ini kaget bukan kepalang.
Padahal, saat itu tubuhnya tengah terhuyung-huyung ke belakang akibat tenaga
tarikannya sendiri. Mendapat serangan mendadak itu, hatinya terperanjat bukan
main.
Untung saja Melati yang sudah
memperbaiki keadaannya dan tengah memperhatikan jalannya pertarungan, bergegas
melesat. Seketika ditariknya tangan Patih Rantaka. Maka serangan itu lewat di
sebelah kiri pinggang laki-laki setengah baya itu.
"Terima kasih, Gusti
Ayu," ucap Patih Rantaka seraya memberi hormat
"Lupakanlah, Paman. Dan
sekarang, menyingkirlah," sahut Melati buru-buru. "Biarlah aku yang
menghadapinya."
"Tapi, Gusti
Ayu...," Patih Rantaka yang merasa khawatir akan keselamatan Melati
mencoba membantah.
Walaupun dia tahu kalau
kepandaian gadis berpakaian putih ini memang tinggi, tapi biar bagaimanapun
dia harus bertanggung jawab atas keselamatannya.
"Jangan khawatir,
Paman," hibur Melati. "Aku bisa menjaga diri."
Seketika itu juga Patih
Rantaka terdiam, tidak berani membantah lagi. Laki-laki setengah baya ini
mendengar adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam suara
gadis itu. Dan itulah sebabnya, dia kini tidak berbicara lagi.
Sementara itu, Kala Ireng
menggeram melihat calon korbannya berhasil lolos dari maut. Dengan wajah gusar,
dipandanginya Melati yang telah menolong Patih Rantaka tadi. Pada saat yang
sama, gadis berpakaian putih itu tengah menatapnya pula. Tak pelak lagi, dua
pasang mata saling bertemu dan menatap tajam.
"Kaukah orang yang
berjuluk Kala Ireng?" tanya Melati, dingin.
"Tidak salah!" sahut
Kala Ireng, tegas. Ada nada kebanggaan dalam suaranya.
Memang, laki-laki berpakaian
hitam ini mempunyai sifat aneh. Dia merasa bangga kalau ada orang yang
mengenal julukannya. Apalagi,
kalau orang yang mengenalnya adalah seorang gadis cantik seperti Melati.
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian,
Melati melompat menerjang. Menyadari kalau laki-laki berpakaian hitam itu
begitu lihai, gadis berpakaian putih ini langsung mengeluarkan ilmu
andalannya, 'Cakar Naga Merah". Kedua tangannya mengembang membentuk cakar
naga.
Melati membuka serangannya
dengan sebuah sabetan tangan kanan ke arah pelipis. Sementara tangan yang lain
menyilang di depan dada, bersiap-siap melancarkan serangan susulan, sekaligus
berjagajaga bila lawan melakukan serangan mendadak.
Kala Ireng adalah seorang
tokoh hitam yang memiliki sifat angkuh. Dia selalu mengagulkan kepandaian
sendiri, di samping suka memandang rendah lawan. Apalagi lawannya kali ini
adalah seorang gadis muda!
Laki-laki berpakaian hitam ini
begitu terkejut melihat serangan Melati yang demikian cepat datangnya. Apalagi
ketika terdengar suara angin mencicit nyaring, mengiringi tibanya serangan.
Dari sini saja, Kala Ireng dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan lawannya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Kala Ireng segera menarik kaki kanannya ke belakang. Pada saat yang sama,
tangan kirinya digerakkan untuk menangkis sampokan Melati.
Prattt.. !
Benturan antara kedua tangan
yang sama-sama membentuk cakar pun tidak bisa dielakkan lagi. Hasilnya, kedua
belah pihak sama-sama meringis, menahan rasa sakit. Hanya saja, rasa sakit yang
mereka derita tentu berbeda.
Melati meringis. Rasa ngilu
dan nyeri yang amat sangat seketika mendera sekujur jari jari tangannya.
Seluruh jari tangannya seolah-olah terasa seperti bukan berbenturan dengan jari
jari tangan manusia, tapi seperti berbenturan dengan batang-batang logam yang
amat keras! Akibatnya, sekujur tulang-tulang jarinya sakit dan nyeri.
Sementara itu, Kala Ireng pun
dilanda rasa sakit pula. Hanya saja rasa sakit yang diderita bukan pada jari
jari tangannya, melainkan pada sekujur tangannya. Tangan yang berbenturan itu
terasa bergetar hebat. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke belakang akibat
benturan tadi.
Dari benturan ini saja, sudah
bisa diperkirakan kalau dalam hal tenaga dalam. Melati lebih unggul. Sedangkan
Kala Ireng lebih unggul dalam hal kekerasan tulang-tulang jarinya.
Kala Ireng menggeram, seperti
tidak bisa menerima kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda itu mampu
mengunggulinya. Padahal, Patih Rantaka saja tidak mampu mengalahkan kekuatan
tenaga dalamnya. Maka sambil menggerung keras, laki-laki berpakaian hitam ini
melancarkan serangan. Kedua tangannya membentuk cakar garuda. Tiga buah jari
tangannya terkembang, sementara ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam.
Dan dengan bentuk jari jari
tangan seperti itulah. Kala Ireng melancarkan serangan. Kedua jari tangannya
meluncur cepat ke arah lawan. Tangan kanan mengancam leher, sedangkan tangan
kiri mengancam dada. Kedudukan jari jari tangan kanan menghadap ke atas,
sementara ujungujung jari tangan kiri menghadap ke bawah.
Melati yang telah mengetahui
betapa kerasnya jari jari tangan lawan, tidak ingin mencari penyakit dengan
mengadu tangan kembali. Apalagi rasa ngilu dan sakit yang menderanya belum lagi
hilang. Dan tentu saja dia tidak mau menambahnya lagi. Maka gadis berpakaian
putih ini segera melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu hanya
mengenai tempat kosong.
Tapi Kala Ireng tidak mungkin
akan membiarkan lawannya lolos. Bahkan memberi kesempatan pun tidak mungkin.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dia melompat memburu. Sesaat
kemudian, pertarungan yang cukup sengit pun terjadi.
***
Bukan hanya antara Melati dan
Kala Ireng saja yang mengalami pertarungan sengit dan menarik. Di tempat lain,
juga terjadi pertarungan yang tidak kalah serunya. Pertarungan antara pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng.
Hanya ada seorang saja yang
sama sekali tidak ikut bertarung. Dia adalah Patih Rantaka. Laki-laki setengah
baya
itu kini malah jadi penonton
saja. Dan hal ini tentu saja tidak akan dilakukan kalau pasukannya terdesak.
Dan memang, keadaan pihak Kerajaan Bojong, Gading kelihatannya berada di atas
angin.
Sebetulnya kalau dihitung
dalam hal jumlah orang, gerombolan Kala Ireng masih lebih banyak daripada pihak
prajurit Kerajaan Bojong Gading. Jumlah mereka semua tak kurang dari tiga puluh
orang, sementara di pihak prajurit hanya dua puluh orang. Maka kini dua orang
pasukan khusus menghadapi tiga orang lawan. Namun demikian pihak prajurit tetap
tidak terdesak. Maka tak heran bila korban di pihak Kala Ireng mulai
berjatuhan.
Bahkan perlahan tapi pasti,
pihak pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai dapat mendesak gerombolan
Kala Ireng. Tapi di antara mereka semua, keadaan Kala Irenglah yang paling
mengkhawatirkan.
Laki-laki bengis berpakaian
hitam itu memang terdesak hebat. Dan itu ternyata akibat kesalahannya sendiri
yang terlalu menganggap remeh lawan. Kala Ireng yang merasa semakin penasaran
segera mengeluarkan senjata andalannya berupa gada berduri. Hal ini membuat
Melati terpaksa harus mengeluarkan pedangnya. Dan dengan sendirinya, gadis
berpakaian putih ini juga mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Kini Melati tidak ragu-ragu
lagi untuk mengadu senjata. Meskipun jika mengadu senjata tangannya selalu
bergetar, tapi hal ini tidak terlalu jadi masalah.
Suara menderu-deru dahsyat
terdengar setiap kali Kala Ireng mengayunkan gada berdurinya. Mengerikan
sekali! Tapi suara itu masih kalah dahsyat dan mengerikan bila dibanding suara
yang keluar dari setiap gerakan pedang Melati. Suara menggerung keras seperti
naga murka terdengar setiap kali Melati menggerakkan pedangnya.
"Haaat ... !"
Kala Ireng membabatkan gada
berdurinya ke arah pinggang Melati. Suara angin keras menderu mengiringi
tibanya serangan itu.
Melati menggertakkan gigi.
Kedua kakinya tampak menekan tanah. Pelan kelihatannya. Namun mendadak saja,
tubuh bagian bawah gadis ini terangkat naik ke belakang. Sehingga, kini tubuh
Melati berada di udara dalam keadaan menelungkup. Keadaan tubuh bagian bawah
tampak lebih tinggi daripada bagian atas. Rupanya, gadis berpakaian putih ini
telah menggunakan jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor".
Pada saat yang bersamaan,
pedang di tangan gadis itu menusuk ke arah leher Kala Ireng. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga Kala Ireng sangat terkejut. Dengan sebisa-bisanya dia
berusaha mengelak. Tapi....
Crottt ... !
Telak dan mantap sekali pedang
Melati menghunjam leher Kala Ireng. Cairan merah kental muncrat dari leher yang
berlubang tertembus pedang. Ada suara mengorok terdengar dari mulut laki-laki
bengis berpakaian hitam itu. Sesaat kemudian, tubuhnya menggelepar, lalu tidak
bergerak lagi untuk selama-lamanya.
Berbarengan dengan diamnya
tubuh Kala Ireng, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Gadis berpakaian
putih ini menatap mayat lawannya sejenak, lalu menolehkan kepala ke arah Patih
Rantaka.
"Luar biasa! Gusti Ayu
benar-benar lihai!" puji Patih Rantaka sambil melangkah mendekati.
"Ah.,.! Paman terlalu
memuji...," desah Melati merendah.
"Sama sekali tidak, Gusti
Ayu. Aku bicara sejujurnya," tegas Pauh Rantaka. "Kala Ireng yang
begitu lihai dapat Gusti Ayu robohkan. Bahkan tidak sampai sepuluh jurus!"
Melati tersenyum pahit.
Sekilas sepasang matanya menatap ke sekeliling, memperhatikan pertarungan yang
masih berlangsung antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi
gerombolan Kala Ireng. Lega hati gadis berpakaian putih Ini meiihat pasukannya
berada di atas angin.
Dengan sekali lihat saja
Melati tahu kalau kemenangan bagi pasukannya hanya tinggal menunggu waktu
saja. Jumlah gerombolan Kala Ireng hanya tinggal beberapa gelintir saja. Bahkan
sebagian anggota pasukan khusus telah berdiri menganggur, karena kehabisan
lawan.
"Jari-Jari tangannya kuat
sekali, Paman," kata gadis berpakaian putih seraya mengalihkan perhatian
ke arah Patih Rantaka. "Jari jari tanganku sampai sakit-sakit ketika
berbenturan dengan jari jari tangannya."
Patih Rantaka menganggukkan
kepala membenarkan.
"Semula, kukira dia
memiliki kulit yang kebal sewaktu berani mencengkeram pedangku. Ternyata hanya
jari jari dan telapak tangannya saja yang kuat. Sementara, bagian lainnya
biasa-biasa saja," sahut laki-laki setengah baya itu.
Melati menganggukkan kepala
pertanda membenarkan ucapan Patih Rantaka.
"Mungkin dia hanya
melatih tangan sebatas pergelangan," duga Melari.
"Benar," sambut
Patih Rantaka. "Memang banyak cara untuk membuat tangan jadi seperti
itu."
Melati terdiam. Sementara,
Patih Rantaka tidak melanjutkan ucapannya kembali. Kini kedua pimpinan pasukan
khusus ini mengalihkan perhatian pada pertarungan yang terjadi antara pasukan
khusus melawan sisa gerombolan Kala Ireng.
Kembali terdengar lolong
kematian, diiringi robohnya tubuh beberapa orang perampok di tanah untuk
selamalamanya.
Dan dengan berakhirnya
pertarungan itu, maka tidak ada lagi anggota gerombolan Kala Ireng yang
tersisa. Semuanya tewas.
Sementara di pihak pasukan
khusus, tak ada seorang pun yang tewas. Bahkan luka yang diderita hanya ringan
saja.
Bergegas seluruh anggota
pasukan khusus menghampiri Melati Gadis berpakaian-putih ini menyambut mereka
sambil tersenyum puas.
"Aku bangga pada kalian
semua," puji Melati dengan senyum di bibir. Sementara Patih Rantaka hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja. Meskipun begitu, mulutnya menyunggingkan
senyum pula.
"Kini sudah jelas,
mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu tidak pernah kembali. Pasti
mereka semua telah tewas. Kalau saja bukan rombongan kita yang kemari, mungkin
sebagian besar sudah tewas sebelum berhadapan dengan mereka," jelas Patih
Rantaka teringat pada perangkap demi perangkap yang hampir saja merenggut nyawa
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.
Melati sama sekali tidak
menyahut, meskipun dalam hati mengakui kebenaran ucapan laki-laki setengah baya
itu. Memang sulit bagi para prajurit biasa untuk menghindari serangan jaring
yang tiba-tiba. Di perangkap pertama saja,
Melati sudah dapat
memperkirakan kalau sebagian dari prajurit akan terkurung. Sementara yang lolos
pun, belum tentu bisa selamat dari ancaman senjata-senjata rahasia yang
menyambar. Sungguh sebuah persiapan yang matang!
Sesaat kemudian, Melati, Patih
Rantaka, dan pasukannya bergegas meninggalkan tempat itu, kembali menuju
Kerajaan Bojong Gading.
Suara kukuk burung hantu
terdengar memecah kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit awan
yang menggantung di sana. Itu pun tampak tipis saja. Meskipun bulan hanya
sepotong nampak di langit, tapi suasana malam jadi terlihat cukup terang.
Karena, sinar bulan tidak terhalang.
Dalam suasana seperti itulah,
tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat. Dan karena suasana cukup terang,
dua sosok bayangan itu bisa terlihat agak jelas.
"Kau kenal pembunuhnya,
Kelelawar Beracun?" tanya salah satu dari dua orang itu.
Aneh sekali keadaan orang ini.
Tubuhnya pendek seperti anak-anak berusia delapan tahun. Kepalanya botak. Tidak
ada kain yang membungkus tubuhnya, selain secarik celana pendek. Kulitnya putih
seperti warna celananya. Tidak ada kumis, jenggot, atau cambang yang menghias
wajahnya.
Orang yang dipanggil Kelelawar
Beracun itu menoleh, tanpa menghentikan larinya sama sekali. Ciri-ciri yang
dimiliki amat berlainan dengan rekannya. Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian
serba hitam dan longgar. Wajahnya putih pucat. Sementara sepasang matanya kecil
dan berwarna merah. Persis mata kelelawar!
Menilik dari keadaannya, usia
orang yang berjuluk Kelelawar Beracun ini tak kurang dari empat puluh lima
tahun.
"Kenal sih tidak,"
sahut Kelelawar Beracun Suaranya terdengar mencicit seperti suara kelelawar.
"Tapi, apa susahnya mengorek keterangan dari mulut para prajurit nanti,
Tuyul Tangan Seribu?"
Laki-laki bertubuh pendek yang
ternyata berjuluk Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak menyahuti. Dan rupanya
Kelelawar Beracun pun juga tidak berminat untuk melanjutkan ucapannya. Kini
kedua orang aneh itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Cepat
bukan main ilmu meringankan tubuh kedua orang itu. Sehingga yang terlihat
hanyalah bayangan hitam dan putih yang berkelebatan cepat.
"Itu bangunan Istana
Kerajaan Bojong Gading," unjuk Kelelawar Beracun seraya menudingkan
telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar yang menjulang kokoh di kejauhan,
tanpa mengendurkan kecepatan larinya.
"Hm...," Tuyul
Tangan Seribu hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Sementara kakinya terus
saja melangkah.
Hebat memang laki-laki
bertubuh pendek ini. Meskipun kedua kakinya pendek, namun sama sekail tidak
mengalami kesulitan untuk berlari di sebelah Kelelawar Beracun.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu singkat Istana Kerajaan
Bojong Gading telah berada di hadapan mereka.
Kelelawar Beracun dan Tuyul
Tangan Seribu segera merapatkan tubuh ke tembok Istana Kerajaan Bojong Gading.
Kepala mereka didongakkan ke atas sebentar, mengira-ngira ketinggian tembok
itu. Tak kurang dari tiga tombak tinggi pagar tembok itu.
"Hih ... !"
Kelelawar Beracun menjejakkan
kedua kakinya di tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas.
Menggiriskan sekali kelihatannya. Karena, pakaiannya yang berwarna hitam dan
longgar berkibaran tertiup angin. Lakilaki berwajah pucat ini tak ubahnya
seperti seekor kelelawar raksasa.
Tapi sebelum tubuh itu
mencapai atas tembok, luncuran itu terhenti. Kelelawar Beracun yang sudah
memperhitungkan hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat tangan kanannya
dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar kembali, sebilah pisau telah berada
di tangannya.
Cappp ... !
Seketika pisau itu amblas ke
dalam pagar tembok sampai ke gagang ketika Kelelawar Beracun menancapkannya. Tidak
hanya sampai di situ saja yang dilakukan laki-laki berwajah pucat ini. Begitu
pisau itu amblas, dengan tangan kanan berpegangan pada gagang pisau, tubuhnya
kembali melenting ke atas.
Hebat cara yang dilakukan
Kelelawar Beracun untuk melewati pagar tembok. Tapi, masih lebih hebat lagi
cara yang dilakukan Tuyul Tangan Seribu. Laki-laki bertubuh pendek ini berusaha
melewati pagar tembok istana dengan cara merayap, seperti layaknya seekor cecak
berjalan di dinding!
Dari pertunjukan ini saja
sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh
pendek itu. Melakukan hal seperti itu paling tidak membutuhkan tenaga dalam
yang sangat tinggi, sehingga dapat menempelkan tangan dan kaki pada pagar
tembok.
Karena Tuyul Tangan Seribu menggunakan
cara seperti itu, tidak aneh jika baru saja mencapai setengah perjalanan,
Kelelawar Beracun telah mendaratkan kakinya di atas pagar tembok. Namun
tiba-tiba....
"Siapa kau?!"
terdengar teguran salah seorang prajurit yang menjaga pagar tembok Istana
Kerajaan Bojong Gading itu.
"Hmh ... !"
Kelelawar Beracun hanya
mendengus, namun tangan kanannya cepat bergerak mengibas.
Plakkk ... !
Terdengar suara keras ketika
dada prajurit itu terhantam tangan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga tubuh
prajurit itu terpental jauh dengan tulang-tulang dada hancur. Nampaknya seluruh
isi dadanya remuk. Cairan merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan
telinganya. Prajurit yang malang itu kontan tewas sebelum tubuhnya sempat
mencium tanah.
Karuan saja hal itu
mengagetkan prajurit lain. Maka serentak mereka pun menyerang Kelelawar
Beracun. Seketika itu juga beberapa ujung tombak berkelebatan cepat mengancam
berbagai bagian tubuh laki-laki berwajah pucat itu.
"Hmh ... !"
Lagi-lagi Kelelawar Beracun
hanya mendengus. Segera kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
berada di atas kepala para prajurit itu. Dan sekali tangannya bergerak menepuk,
tubuh para prajurit itu terdorong ke depan. Begitu kuatnya dorongan itu.
Sehingga tanpa mampu dicegah lagi, tubuh para prajurit itu berpentalan menjauh.
Terdengar suara jeritan yang memilukan ketika tubuh mereka berjatuhan ke bawah.
***
Ringan tanpa suara sama
sekali. Kelelawar Beracun mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dia kini telah
berada di dalam istana. Tapi baru saja hinggap, kembali belasan orang prajurit
meluruk menyerbu ke arahnya dengan senjata terhunus. Memang, keributan yang
ditimbulkan tadi telah memancing tibanya prajurit lain.
Dan kini hujan senjata telah
meluruk ke arah berbagai bagian tubuh Kelelawar Beracun. Tapi kembali
laki-laki berwajah pucat ini hanya mendengus pelan. Kedua tangannya segera
bergerak cepat, menangkis seranganserangan yang datang.
Tak, tak ... !
Suara berdentang keras seperti
beradunya dua batang logam terdengar ketika tangan Kelelawar Beracun
berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Maka seketika terdengar seruan
keterkejutan dari mulut para prajurit itu, tatkala merasakan getaran hebat pada
tangan yang menggenggam senjata. Bahkan hampir-hampir senjata itu terlepas dari
tangan.
Belum sempat para prajurit itu
berbuat sesuatu, tangan Kelelawar Beracun bergerak cepat bukan main. Mana
mungkin para prajurit yang hanya mempunyai kemampuan pas-pasan itu mampu
mengelak? Seketika itu juga tubuh tiga orang prajurit itu terlempar jauh ke
belakang seperti diseruduk kerbau! Darah segar langsung memancar deras dari
mulut, hidung, dan telinga. Mereka langsung tewas tanpa mampu berteriak lagi.
Kelelawar Beracun tidak
bertindak setengah-setengah. Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan.
Akibatnya sudah bisa diduga. Para prajurit pun berjatuhan saling susul diiringi
jerit kematian mendirikan bulu roma.
Meskipun tahu betapa lihainya
laki-laki berwajah pucat itu, namun para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak
menjadi gentar karenanya. Dengan semangat tanggung jawab tinggi, mereka segera
datang membantu. Maka pembantaian besar-besaran pun terjadi oleh tangan dingin
Kelelawar Beracun.
Menggiriskan sekali tindakan
Kelelawar Beracun ini. Para prajurit itu seperti semut-semut yang menerjang
api. Mereka semua berguguran tanpa mampu berbuat sesuatu.
Belum juga kerusuhan yang
ditimbulkan Kelelawar Beracun bisa ditanggulangi, Tuyul Tangan Seribu datang.
Dan begitu tiba, langsung saja menceburkan diri dalam arena pertmpuran. Dan
yang lebih mengerikan lagi, tindakan Tuyul Tangan Seribu tidak kalah dinginnya
dengan amukan Kelelawar Beracun.
Laki-laki bertubuh pendek ini
menggerak-gerakkan tangannya. Dan hebatnya, sepasang tangan itu seperti berubah
menjadi banyak. Kemana pun tangan itu bergerak, sudah dapat dipastikan ada
seorang prajurit yang roboh untuk selamanya.
Hebat sekali akibat yang
ditimbulkan dua orang tokoh sakti itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan
di sana-sini.
Sudah tak terhitung lagi,
berapa prajurit Kerajaan Bojong Gading yang tewas. Meskipun begitu, tetap saja
yang lainnya tak menjadi gentar dan tetap saja mengadakan perlawanan sengit.
"Mari kita berlomba
menghabisi lawan, Kelelawar Beracun!" ajak Tuyul Tangan Seribu sambil
tertawa-tawa gembira.
Tangan kanan laki-laki pendek
itu bergerak menampar ke arah kepala seorang prajurit Terdengar suara berderak
keras ketika pelipis prajurit itu pecah. Maka prajurit malang itu pun tewas
seketika.
"Kuterima tantanganmu,
Tuyul Tangan Seribu!" sambut Kelelawar Beracun tak mau kalah.
Kaki laki-laki berwajah pucat
ini meluncur cepat ke arah dada salah seorang prajurit. Terdengar suara
berderak keras diikuti terpentalnya tubuh prajurit yang malang itu ketika
tendangan Kelelawar Beracun mengenai dada. Prajurit itu pun roboh untuk selama
lamanya dengan seluruh tulang dada hancur!
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras, diikuti munculnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras
menggelegar itu, bergegas belasan orang prajurit yang memang sudah kewalahan
itu
berlompatan mundur. Mereka
semua mengenal pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Panglima Jatalu.
Kelelawar Beracun dan Tuyul
Tangan Seribu sama sekali tidak mengejar para prajurit itu. Mereka hanya
berdiri menanti. Pandangan mata kedua orang sakti ini tertuju pada dua orang
panglima yang bergerak menghampiri mereka.
Dua orang panglima yang tak
lain Panglima Jatalu dan Panglima Garda itu melangkah menghampiri. Panglima
Garda dulu tidak ikut dalam pertempuran peristiwa pemberontakan di Kerajaan
Bojong Gading karena mendapat tugas dari Prabu Nalanda.
Kali ini Kelelawar Beracun dan
Tuyul Tangan Seribu bersikap waspada, tidak lagi sembarangan seperti
sebelumnya. Sekali lihat saja, mereka tahu kalau kedua orang panglima itu bukan
orang sembarangan. Dan itulah sebabnya, mengapa mereka berlaku hati-hati.
"Siapa kalian?! Dan
mengapa mengacau Istana Kerajaan Bojong Gading?!" tanya Panglima Jatalu
dengan suara khasnya yang keras seperti halilintar.
Laki-laki bertubuh tinggi
besar ini memang marah bukan main melihat banyak prajurit Kerajaan Bojong
Gading yang bergelimpangan tanpa nyawa di tanah.
"Aku Kelelawar
Beracun!" sahut laki-laki berwajah pucat sambil tersenyum mengejek.
"Dan aku, Tuyul Tangan
Seribu!" sambung laki-laki bertubuh pendek tak mau kalah.
Berubah wajah Panglima Jatalu
dan Panglima Garda begitu mendengar julukan kedua orang itu. Sebab, dua tokoh
sesat itu terkenal memiliki kepandaian tinggi dan bersifat telengas.
"Dan kami datang untuk
membalaskan dendam! Seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang telah
membunuh sahabat kami!" sahut Kelelawar Beracun, dingin.
"Siapa sahabat
kalian?" Panglima Garda ikut angkat bicara.
Sudah bisa diperkirakan kalau
gadis berpakaian putih yang dimaksud laki-laki berwajah pucat itu adalah Melati,
putri angkat Raja Bojong Gading. Melati adalah seorang gadis pendekar. Dan
selama petualangannya memang bukan tidak mungkin kalau dia telah membunuh
seorang yang menjadi sahabat kedua orang ini.
"Kala Ireng!" tandas
Tuyul Tangan Seribu.
"Kala Ireng?!" ulang
Panglima Garda dan Panglima Jatalu berbarengan.
Kala Ireng adalah pemimpin
gerombolan perampok yang memang belum lama ini ditumpas Melati. Jadi, rupanya
kedua orang ini adalah sahabat kepala rampok itu.
"Ya!" Kelelawar
Beracun menganggukkan kepala. "Cepat suruh wanita keparat itu keluar untuk
menerima kematian di tangan kami! Jangan sampai aku berubah pikiran, hingga
harus membunuh kalian!"
Terdengar suara gemeretak
keras dari mulut semua orang yang berada di situ. Mereka memang marah bukan main
mendengar Melati, wanita yang mereka banggabanggakan, dimaki seperti itu.
"Sayang sekali,
Kisanak!" sahut Panglima Jatalu keras. "Kami sama sekali tidak bisa
memenuhi permintaanmu. Bahkan justru kamilah yang akan mengadili kalian karena
telah membunuh banyak prajurit dan juga menghina junjungan jami!"
"Ha ha ha...!" Tuyul
Tangan Seribu tertawa terbahakbahak. "Kalian mencari penyakit
rupanya!"
"Hiyaaat..!"
Panglima Garda yang sudah
tidak bisa menahan kemarahannya lagi segera melompat menerjang. Tiga buah Jari
tangannya mengembang membentuk cakar. Sementara ibu jari dan kelingking
terlipat ke dalam. Panglima andalan Kerajaan Bojong Gading itu menggunakan
'Ilmu Garuda Sakti'. Tubuhnya kemudian meluncur turun seraya mengirimkan
serangan ke arah ubun-ubun dan pelipis Kelelawar Beracun.
"Hey ...!"
Baik Tuyul Tangan Seribu
maupun Kelelawar Beracun terperanjat melihat ilmu yang digunakan Panglima
Garda. Sebab, kelihatannya mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki rekan mereka,
Kala Ireng.
Memang dugaan kedua orang itu
sama sekali tidak salah. Baik Panglima Garda, maupun Kala Ireng sama-sama
mempergunakan ilmu yang diambil dari gerakan burung garuda. Baik dalam hal
bentuk jari tangan, maupun perilaku binatang itu. Terutama saat menghadapi
mangsa maupun musuh yang lebih kuat. Tidak aneh jika ilmu yang dimainkan
memiliki persamaan.
Kelelawar Beracun tidak berani
bertindak main-main. Dia mendengar adanya suara angin mencicit mengiringi
tibanya serangan lawan. Pertanda kalau serangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi laki-laki berwajah pucat
ini adalah orang yang terlalu percaya akan diri sendiri. Dia selalu percaya
akan kelihaian yang dimilikinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tangannya segera
diangkat untuk menangkis, seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki.
Prattt.. !
Tubuh Panglima Garda terpental
balik ke atas kembali begitu tangan mereka saling berbenturan. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main. Bahkan boleh dibilang setengah lumpuh! Bukan
hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Sedangkan Kelelawar Beracun
hanya merasakan betapa kedua tangannya agak bergetar. Tapi kuda-kudanya tetap
tidak berubah. Pertanda kalau benturan itu sama sekati tidak mempengaruhinya.
Dengan agak terhuyung-huyung,
Panglima Garda mendaratkan kedua kakinya di tanah. Panglima Jatalu yang melihat
hal ini menjadi khawatir dan bergegas memburunya.
"Kau tidak apa-apa,
Panglima Garda?" tanya Panglima Jatalu agak khawatir.
***
Panglima bertubuh tinggi besar
ini tentu saja bisa mengetahui kalau Kelelawar Beracun jauh lebih kuat daripada
rekan sekaligus adik seperguruannya. Memang Panglima Jatalu dan Panglima Garda
adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid utama Perguruan Garuda Sakti
(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di
Bojong Gading").
Panglima Garda menggelengkan
kepala.
"Tenaga dalamnya luar
biasa sekali. Kang," kata Panglima Garda memberi tahu.
"Biar aku yang
menghadapinya," Panglima Jatalu menawarkan diri. "Kau hadapi saja
kawannya"
Panglima Garda sama sekail
tidak membantah. Kini kedua panglima itu bergerak ke arah yang berlawanan.
Panglima Garda ke kiri, sementara Panglima Jatalu ke kanan.
"Ha ha ha...!"
Kelelawar Beracun tertawa
bergelak. Laki laki berwajah pucat ini kembali bangkit kesombongannya, begitu
telah mengetahui tingkat kepandaian lawan. Sambil masih tertawa-tawa,
diperhatikannya Panglima Jatalu yang kini perlahan-lahan mulai menghampiri.
"Haaat..!"
Panglima Jatalu kini melompat
menyerang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar garuda meluncur cepat ke arah
ulu hati Kelelawar Beracun. Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.
"Hiyaaa ... !"
Kelelawar Beracun melesat
memapak serangan Panglima Jatalu. Tangan kanannya dengan jari jari tangan
terkembang lebar memapak.
Prattt ... !
Tubuh Panglima Jatalu
terjengkang ke belakang. Tangan kanannya terasa lumpuh, setelah beradu dengan
tangan Kelelawar Beracun. Rasa sesak yang amat sangat mendera dadanya.
Sementara Kelelawar Beracun sama sekali tidak terhuyung. Hanya kedua tangannya
bergetar. Tubuhnya yang agak condong ke belakang saja, yang membuktikan kalau
benturan dengan Panglima Jatalu itu cukup mempengaruhinya.
Tapi sekejap kemudian.
Kelelawar Beracun kembali melompat menerjang, ke atas. Langsung dihujaninya
tubuh yang masih terhuyung-huyung itu dengan serangan tusukan tangan
bertubi-tubi.
Panglima Jatalu terperanjat.
Tidak ada lagi kesempatan untuk mengelakkan serangan itu, karena dalam keadaan
yang tidak memungkinkan. Jalan satu-satunya hanya menangkis. Dan itulah yang
terpaksa harus dilakukan panglima bertubuh tinggi besar ini dalam usaha untuk
menyelamatkan nyawanya.
Plak, plak, plak ... !
Benturan keras terdengar
berkali-kali ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi berbenturan. Panglima Jatalu meringis.
Tubuhnya yang memang tengah
terhuyung-huyung itu kontan terjengkang, dan jatuh bergulingan di tanah. Sakit
yang diderita tangannya tadi belum lagi hilang, kini terpaksa
harus berbenturan lagi. Kedua
tangannya saat ini benarbenar tidak bisa digerakkan lagi.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara tawa
Kelelawar Beracun. Seperti sebuah tawa kemenangan.
Panglima Jatalu bergerak
bangkit. Diam-diam disesalinya sendiri keteledorannya. Kalau saja sejak semula
tidak bertindak teledor dengan mengadu benturan tenaga, tidak akan semudah itu
akan dipecundangi lawannya.
"Sudah kubilang, cepat
panggil wanita keparat itu kemari! Sampai saat ini aku masih mau bersabar, dan
tidak membunuhmu. Tapi kalau kau masih bersikeras juga, jangan salahkan kalau
aku akhirnya bertindak keji padamu!" ancam Kelelawar Beracun seraya
menatap tajam wajah Panglima Jatalu.
"Cuhhh ... !"
Panglima Jatalu membuang ludah ke tanah. "Kau kira aku takut mati,
Kelelawar Beracun?!"
Merah selebar wajah Kelelawar
Beracun. Terdengar suara gemeretak keras dari gigi-giginya, karena kemarahan
yang menggelegak. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri Panglima Jatalu
yang berusaha bangkit berdiri. Hawa maut terpancar baik pada wajah maupun sorot
matanya.
Tentu saja para prajurit
Kerajaan Bojong Gading tidak tinggal diam melihat atasan mereka terancam bahaya
maut. Serentak mereka semua bergerak, berdiri di depan Panglima Jatalu dengan
senjata terhunus.
"Hmh ... !"
Kelelawar Beracun mendengus.
Tanpa mempedulikan adanya para prajurit itu, dia tetap melangkah maju. Rupanya
tokoh sesat ini bersiap mengirim Panglima Jatalu ke alam baka.
"Serbu ... !"
Diiringi teriakan salah
seorang prajurit, belasan prajurit itu menyerang Kelelawar Beracun. Hujan
senjata tajam pun berhamburan ke arah laki-laki berwajah pucat itu.
Kelelawar Beracun menyambut
serbuan itu. Tak pelak lagi, pertarungan sengit di antara mereka terjadi.
Berbeda dengan pertarungan
Panglima Jatalu yang hanya berlangsung beberapa gebrakan, pertempuran antara
Panglima Garda dengan Tuyul Tangan Seribu justru berlangsung lebih lama.
Pengalaman yang diterima
ketika menghadapi Kelelawar Beracun memang membuat panglima itu berhatihati.
Maka dia tidak berani bertindak ceroboh dengan sembarangan mengadu tenaga
dengan Tuyul Tangan Seribu. Tapi karena memang tokoh sesat itu lebih unggul
segalagalanya, maka tak heran kalau Panglima Garda terdesak hebat.
Tuyul Tangan Seribu memang
memiliki kepandaian luar biasa! Terutama sekali gerakan tangannya yang cepat
bukan main. Seolah-olah tangan itu tidak berjumlah dua, tapi banyak! Mungkin
itulah sebabnya, mengapa laki-laki bertubuh pendek ini mendapat julukan Tuyul
Tangan Seribu.
Panglima Garda kebingungan.
Kepalanya terasa pusing bukan main. Sepasang matanya pun berkunangkunang
akibat pergerakan tangan lawan yang sedemikian cepatnya. Tidak sampai tiga
jurus dia sudah terdesak hebat. Sudah dapat dipastikan, robohnya Panglima Garda
hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Haaat ... !"
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring yang menggetarkan jantung. Belum lagi gema teriakan itu lenyap,
sesosok bayangan putih melesat cepat memasuki arena pertarungan antara Tuyul
Tangan Seribu dengan Panglima Garda.
Begitu masuk kancah
pertempuran, sosok bayangan putih itu langsung melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun-ubun Tuyul Tangan Seribu.
Mendapat serangan yang tidak
disangka-sangka, Tuyul Tangan Seribu langsung terperanjat. Meskipun begitu dia
tidak gugup. Buru-buru desakannya pada Panglima Garda dibatalkan. Lalu, dia
melompat ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Sosok bayangan putih itu sama
sekali tidak mengejarnya. Begitu Tuyul Tangan Seribu menjauhkan diri, tubuhnya
kembali melesat ke arah pertarungan yang terjadi antara Kelelawar Beracun
dengan para prajurit Kerajaan Bojong Gading.
Seperti halnya Tuyul Tangan
Seribu, Kelelawar Beracun pun terkejut bukan main begitu melihat sekelebatan
bayangan putih melesat ke arahnya, menerobos kerumunan prajurit. Bayangan putih
itu melancarkan serangan dengan kedua tangan membentuk setengah cakar ke arah
dada dan ulu hati.
Angin keras berhembus sebelum
serangan itu sendiri tiba. Dari angin serangan itu saja, Kelelawar Beracun
sudah bisa memperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Tapi karena keyakinannya amat
kuat terhadap kemampuan diri, membuat laki-laki berwajah pucat Ini tidak
berusaha mengelakkan serangan itu. Dia malah memapaknya dengan jari jari tangan
membentuk cakar seperti sosok bayangan putih itu menyerangnya.
Prattt ... !
Tubuh Kelelawar Beracun
terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara sosok bayangan putih itu hanya
terhuyung satu langkah ke belakang. Bukan hanya itu saja yang dirasakan
laki-laki berwajah pucat ini. Kedua tangan yang berbenturan terasa ngilu bukan
main!
"Mundur semua ... !"
perintah sosok bayangan putih itu keras begitu kakinya hinggap di tanah.
Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, para prajurit yang mengeroyok Kelelawar Beracun segera berlompatan
mundur. Mereka semua telah mengenal pemilik suara itu.
Kelelawar Beracun menatap
tajam wajah sosok bayangan putih, begitu berhasil memperbaiki berdirinya. Rasa
penasaran menyelimuti hatinya. Baru kali ini ada orang yang sanggup membuatnya
terhuyung-huyung dalam adu tenaga.
Perasaan penasaran itu semakin
menjadi jadi ketika melihat sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang
gadis berpakaian putih yang berambut pan jang terurai.
Hanya seorang gadis muda telah
mampu membuatnya terhuyung-huyung! Sungguh sulit dipercaya.
Tapi sesaat kemudian,
kemarahan kembali menggelegak dalam hatinya. Dia teringat sesuatu. Ciri-ciri
gadis di hadapannya ini sangat mirip dengan orang yang dikabarkan telah
membunuh Kala Ireng.
"Kaukah orang yang telah
membunuh Kala Ireng, Wanita Liar?!" tanya Kelelawar Beracun kasar. Nada
suara dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat sangat.
Wajah gadis berpakaian putih
yang tak lain dari Melati merah padam. Ucapan Kelelawar Beracun membuat
amarahnya bangkit. Meskipun begitu kemarahannya berusaha ditahan.
"Kalau memang benar, kau
mau apa?!" Melati balas bertanya sambil bertolak pinggang. Sikap maupun
nada suaranya penuh tantangan. "Orang seperti Kala Ireng layak untuk
mampus!"
"Keparat! "
Sambil berteriak memaki,
Kelelawar Beracun segera melancarkan serangan ke arah Melati. Tahu akan
kelihaian lawannya, laki-laki berwajah pucat itu tidak bertindak,
tanggung-tanggung lagi. Segera dikeluarkan Ilmu andalannya, 'Jari Tombak'.
Kedua tangannya dikepalkan,
kecuali jari telunjuknya yang menegang kaku. Dan dengan bentuk jari jari tangan
seperti itulah, Kelelawar Beracun menyerang Melati. Dua jari telunjuknya
meluncur cepat ke arah gadis itu, mengancam leher dan bawah hidung yang
merupakan dua jalan darah kematian!
Terdengar suara mencicit
nyaring seperti ada seekor tikus terjepit, mengiringi datangnya serangan itu.
Melati yang tengah murka bukan
main melihat banyak pasukan Kerajaan Bojong Gading tewas, dan juga karena
ucapan lawan, tidak ingin bertindak main-main lagi. Segera dikeluarkannya pula
ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Kedua tangan gadis berpakaian
putih ini terkembang membentuk cakar naga. Ditambah lagi kedua tangan sampai
sebatas pergelangan gadis itu berwarna merah seperti darah.
Melati terkejut bukan main
ketika mengetahui beberapa helai rambutnya berputusan tatkala serangan
Kelelawar Beracun menyambar dekat. Kalau saja dia belum pernah bertarung dengan
orang yang memiliki ilmu semacam ini, pasti dia akan kebingungan beberapa saat
lamanya. Ilmu yang dimiliki lawannya mirip dengan yang dimiliki Darba (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar")
.
Melihat hal ini, Melati tidak
berani bertindak ceroboh. Bergegas kakinya melangkah ke kanan, sehingga
serangan itu lewat sekitar sejengkal di samping kiri tubuhnya. Dan secepat dia
mengelak, secepat itu pula Melati melancarkan serangan berupa sampokan tangan
kiri ke arah pelipis Keielawar Beracun.
Kelelawar Beracun menggeram
murka. Sungguh di luar dugaan, kalau dalam segebrakan saja lawannya ini mampu
balik mengancam. Padahal sebelumnya keadaan gadis berpakaian putih itu berada
dalam pihak terancam.
Tapi Kelelawar Beracun memang
bukan orang sembarangan. Menghadapi serangan itu, dia tidak menjadi bingung
atau gugup. Segera kepalanya dirundukkan, seraya merendahkan tubuh. Dengan
sendirinya, serangan itu lewat sekitar sejengkal di atas kepala.
Rupanya hal itu sudah
diperhitungkan Melati. Terbukti, gadis itu langsung melancarkan serangan
susulan. Kaki kirinya mencuat mengancam perut Kelelawar Beracun. Andaikan kena,
mungkin bisa remuk isi dada laki-laki berwajah pucat itu.
Tidak ada jalan lain bagi
Kelelawar Beracun. Segera tubuhnya dilempar ke belakang kemudian bersalto
beberapa kali di udara untuk mengelakkan serangan.
Melati sama sekali tidak
memberi kesempatan. Begitu lawannya terlihat melempar tubuh ke belalang, gadis
berpakaian putih ini bergegas bergerak mengejar. Tapi sebelum niatnya
tedaksana, sesosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di depannya telah berdiri
seorang laki-laki bertubuh pendek. Siapa lagi kalau bukan Tuyul Tangan Seribu!
Tuyul Tangan Seribu sama
sekali tidak memberi kesempatan pada Melati. Secepat kedua kakinya hinggap di
tanah, secepat itu pula serangannya dilancarkan ke arah gadis berpakaian putih.
Kedua tangannya menotok bertubitubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan
main gerakannya.
Melati terperanjat. Kecepatan
gerak tangan lawan benar-benar membingungkan. Gadis berpakaian putih ini memang
tidak ingin bertindak ceroboh, jadi tidak berani langsung menangkis. Dia belum
mengetahui perkembangan ilmu lawannya, maka cepat-cepat bergerak mengelak.
Baru saja gadis berpakaian
putih mengelakkan serangan itu, Kelelawar Beracun telah kembali menyerangnya.
Maka, kini putri angkat Raja Bojong Gading ini pun dikeroyok dua.
***
Panglima Jatalu, Panglima
Garda, dan semua prajurit hanya menonton pertarungan itu dengan hati berdebar
tegang. Diam-diam mereka semua merasa kagum pada Melati. Dan memang, mereka
semua telah merasakan sendiri, betapa lihainya tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan
Seribu dan Kelelawar Beracun itu. Menghadapi satu orang saja, mereka mengalami
kesulitan. Tapi sekarang, putri angkat junjungan mereka menghadapi keroyokan
dua tokoh sakti itu sekaligus. Dari sini saja mereka sudah bisa memperkirakan
kelihaian gadis berpakaian putih itu.
Di samping perasaan kagum itu,
terselip rasa khawatir yang amat sangat dalam hati mereka semua. Mereka tidak
yakin kalau Melati akan mampu menghadapi dua orang lawannya. Dan dengan
perasaan harap-harap cemas, mereka menyaksikan jalannya pertarungan.
Meskipun mereka semua menyaksikan
jalannya pertarungan, tapi hanya Panglima Jatalu dan Panglima Garda saja yang
bisa mengira-ngira keadaan kedua belah pihak yang bertempur.
Pertarungan antara Melati
melawan Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun memang berlangsung demikian
cepat. Tidak aneh kalau para prajurit Kerajaan Bojong Gading sama sekali tidak
bisa mengikuti jalannya pertarungan. Bukannya kelihatan, tapi kepala mereka
yang pusing. Dan sepasang mata mereka pun berkunang-kunang ketika memaksakan
diri untuk melihat pertarungan itu.
Panglima Garda dan Panglima
Jatalu saja yang telah memiliki kepandaian tinggi, tidak dapat melihat jelas
pertarungan itu. Sulit untuk mengetahui, mana pihak yang terdesak, dan yang
mendesak. Yang menjadi patokan mereka adalah bayangan putih dan hitam yang
saling menyerang cepat.
Kelelawar Beracun dan Tuyul
Tangan Seribu menggertakkan gigi. Mereka marah dan malu bukan main, di samping
ada perasaan kagum yang terselip. Padahal mereka telah mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki, tapi tak juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan
mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.
Pertarungan memang berlangsung
cepat, karena masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh kemampuan.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, empat puluh jurus telah berlalu. Dan selama
itu belum nampak ada tanda-tanda yang terdesak. Terdengar suara mencicit dan
menderu menyemaraki pertarungan sengit itu.
Bukan hanya Kelelawar Beracun
dan Tuyul Tangan Seribu yang merasa kagum. Melati pun diam-diam merasa kagum
terhadap kedua orang lawannya ini. Mereka memang memiliki keistimewaan masing
masing. Kelelawar Beracun dengan ilmu 'Jari Tombak'nya, sedangkan Tuyul Tangan
Seribu dengan iimu 'Tangan Seribu'nya. Melati berjuang keras, mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya sampai setinggi mungkin. Kedua cakarnya
dalam pemakaian ilmu 'Cakar Naga Merah' menyambar-nyambar mencari sasaran.
Kembali empat puluh jurus
berlalu cepat. Dan selama itu, belum juga ada tanda-tanda yang akan terdesak
maupun mendesak. Pertarungan masih kelihatan seimbang. Sementara jumlah
prajurit yang menonton pun semakin banyak. Di antara mereka, ternyata telah
hadir pula Panglima Gotawa, Panglima Tampaya, Patih Rantaka, dan pasukan khusus
kerajaan. Bahkan di sana juga telah berdiri dengan agungnya Prabu Nalanda.
Melihat hal ini, tentu saja
Kelelawar Beracun menjadi cemas. Betapapun saktinya dia dan Tuyul Tangan
Seribu, tapi tetap saja tidak akan mungkin mampu menghadapi sekian banyaknya
lawan. Maka perasaan cemaslah yang mendorongnya menggunakan senjata andalan.
Kelelawar Beracun memasukkan
tangannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangan itu dikeluarkan kembali, dan
secepat itu pula dikibaskan.
Serrr ... !
Terdengar suara berdesir pelan
diikuti melesatnya benda-benda kecil berkilauan ke arah Melati.
Melati terperanjat begitu
mendengar suara berdesir pelan. Tapi karena suasana malam yang cukup terang,
gadis berpakaian putih ini tidak mengalami kesulitan untuk mengetahuinya. Benda
itu ternyata adalah jarum yang mungkin puluhan jumlahnya
Bau amis yang memuakkan
tercium ketika jarum jarum itu meluncur.
Bukan hanya Melati saja yang
merasa terkejut melihat hal ini. Semua orang yang menyaksikan pun terperanjat
bukan main. Bahkan Prabu Nalanda tanpa sadar memukulkan kepalan tangan kanan
pada telapak tangan kirinya.
"Licik ... !" seru
Raja Bojong Gading ini dengan suara berdesis. Raut wajah maupun sinar matanya
menyorotkan perasaan cemas yang mendalam.
"Hih ... !"
Melati membanting tubuh ke
samping kanan, kemudian bergulingan di tanah menjauhkan diri. Maka semua
serangan jarum itu mengenai tempat kosong.
Tuyul Tangan Seribu tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Buru-buru dia melompat memburu. Kedua tangannya
melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh yang tengah bergulingan.
Sungguh di luar dugaan,
ternyata dalam keadaan seperti itu Melati mampu melenting ke atas. Tak pelak
lagi, semua serangannya mengenai tempat kosong. Sama sekali laki laki bertubuh
pendek ini tidak tahu kalau itu adalah salah satu jurus dari rangkaian ilmu
'Cakar Naga Merah', yakni jurus 'Naga Merah Muncul ke Permukaan Laut'. jurus
yang belum pernah digunakan gadis berpakaian putih itu, kecuali dalam keadaan
terdesak.
Sebelum Tuyul Tangan Seribu
sempat berbuat sesuatu, Melati telah melancarkan serangan cakar tangan kanan ke
arah ubun-ubun.
Laki-laki bertubuh pendek ini
terkesiap. Dengan agak gugup, dia melompat mundur ke belakang. Menurut
perhitungannya, cakar tangan
Melati tidak akan bisa mencapainya.
Hampir saja jantung Tuyul
Tangan Seribu melompat keluar ketika cakar tangan lawan tetap saja mengancam
ubun-ubunnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi, laki-laki bertubuh pendek tidak
mengetahuinya. Yang jelas, cakar tangan itu terus memburunya. Sama sekali Tuyul
Tangan Seribu tidak tahu kalau itu adalah jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'.
Meskipun berada dalam keadaan
terjepit, Tuyul Tangan Seribu masih sanggup membuktikan kalau dirinya adalah
seorang tokoh tingkat tinggi. Dalam kesempatan yang hanya sedikit sekali,
tubuhnya berusaha digeliatkan.
Plakkk ... !
Cakar tangan Melati menghantam
bahu kiri Tuyui Tangan Seribu. Telak, dan keras sekali. Akibatnya tubuh
lakilaki bertubuh pendek itu terjengkang ke belakang. Mau tak mau Tuyul Tangan
Seribu harus meringis. Darah segar menetes dari sudut-sudut mulut nya.
Laki-laki bertubuh pendek ini terluka dalam.
Tapi sebelum Melati sempat
mengirimkan serangan susulan, Kelelawar Beracun kembali mengibaskan tangannya.
Serrr...!
Suara berdesir pelan terdengar
ketika jarum jarum beracun itu kembali menyambar ke arah Melati. Gadis
berpakaian putih ini tentu saja terkejut bukan main. Serangan itu datang
terlalu tiba-tiba. Dan lagi, tubuhnya tengah berada di udara. Sulit baginya
untuk mengelakkan serangan itu.
Meskipun begitu, Melati tetap
berusaha keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Maka tubuhnya segera
digeliatkan. Tapi....
Crep, crep, crep...!
Beberapa batang jarum beracun
itu tetap menancap di tubuh Melati. Seketika itu juga bagian yang terhunjam
jarum jarum itu terasa panas dan gatal-gatal. Sebagai seorang wanita yang telah
cukup kenyang merambah dunia persilatan, dia segera tahu kalau jarum jarum itu
beracun.
Hebatnya, begitu jarum jarum
itu menancap di tubuhnya. Melati masih mampu melakukan serangan balasan. Kedua
tangannya yang terkembang membentuk cakar itu dihentakkan ke depan, menggunakan
jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Angin keras menderu menyambar
ke arah Kelelawar Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini kaget bukan main. Dia
baru saja mengirimkan serangan jarum jarumnya, dan tubuhnya masih tengah berada
di udara. Karuan saja serangan mendadak yang tidak disangka-sangka ini membuat
wajahnya pucat seketika.
Sebisa-bisanya Kelelawar
Beracun berusaha mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan semampunya.
Tapi usaha untuk menghindarkan serangan itu tidak berhasil sepenuhnya. Pukulan
jarak jauh yang dilepaskan Melati telak dan keras sekali menghantam bahu
kanannya, namun agak menyeleweng dari sasaran semula.
Meskipun begitu, akibat yang
diderita Kelelawar Beracun bukan berarti ringan. Tubuh laki-laki berwajah pucat
ini melayang jauh ke belakang, dan jatuh keras sekali di tanah. Darah segar
menitik deras dari hidung dan mulutnya.
Tapi dalam keadaan seperti
itu, Kelelawar Beracun masih sanggup mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan
sebuah gerakan manis, kekuatan yang melontarkan tubuhnya berhasil dipatahkan.
Kemudian, dia bersalto beberapa kali di udara. Walaupun agak terhuyung-huyung,
Kelelawar Beracun berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Beberapa saat sebelum
Kelelawar Beracun hinggap di tanah, Melati telah lebih dulu mendarat. Seperti
juga halnya Kelelawar Beracun, gadis berpakaian putih ini juga terhuyung-huyung
waktu mendarat di tanah. Bedanya, Kelelawar Beracun langsung bisa memperbaiki
berdirinya, sedangkan Melati tidak. Gadis berpakaian putih ini memegangi
kepalanya. Sekelilingnya terasa berputaran. Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
Tentu saja semua orang yang
menonton pertarungan itu jadi terkejut. Hampir berbareng, semuanya bergerak
menghambur ke arah Melari. Prabu Nalanda dan Patih Rantaka merupakan orang
pertama yang berhambur ke arah Melati. Maka Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan
Seribu pun terlupakan.
Kelelawar Beracun dan Tuyul
Tangan Seribu yang melihat kesempatan baik ini tidak menyia-nyiakan lagi.
Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ, karena telah terluka dalam.
Dan bila terus memaksakan diri, mereka akan tewas di tangan pasukan Kerajaan
Bojong Gading.
Maka begitu melihat kesempatan
yang baik, di saat semua perhatian tertumpah pada Melati, kedua orang ini
melesat kabur dari situ. Ada satu alasan lagi yang mendorong kedua orang itu
bergegas kabur. Racun yang terkandung dalam jarum itu adalah racun yang amat
ganas. Kecil sekali kemungkinannya bagi Melati untuk dapat bertahan hidup.
"Melati...!" seru
Prabu Nalanda penuh kekhawatiran seraya bergegas melangkah menghampiri putri
angkatnya.
Tapi Melati seperti tidak
mendengar panggilan itu, dan tetap saja memegangi kepalanya. Letak berdirinya
pun sudah tidak tetap lagi. Kadang oleng ke kiri, dan kadang oleng ke kanan
seperti orang mabuk.
Dan tepat ketika Raja Bojong Gading
ini berada dekat Melari, tubuh gadis berpakaian putih itu mendadak roboh.
Sebuah keluhan lirih keluar dari mulutnya. Kelihatannya dia pingsan. Sudah
dapat dipastikan tubuh Melati akan jatuh membentur tanah. Untung saja Prabu
Nalanda bergerak cepat menyambar.
Tappp ... !
Tangan kanan Melati berhasil
ditangkap, tapi seketika itu juga Prabu Nalanda melepaskannya. Ada jerit
keterkejutan keluar dari mulutnya. Betapa Raja Bojong Gading ini tidak menjadi
terkejut. Begitu dipegang, tangan Melati terasa panas sekali! Menyengat, tak
ubahnya bara api!
Lagi-lagi nasib baik tengah
berpihak pada Melati. Tubuh gadis berpakaian putih itu disambar Patih Rantaka
sebelum menyentuh tanah. Tapi seperti juga Prabu Nalanda, laki-laki setengah
baya itu juga terperanjat. Hanya saja, Patih Rantaka bisa menguasai diri,
sehingga tidak sampai melepaskan tubuh Melati.
Sebagai orang yang telah penuh
pengalaman, Patih Rantaka segera saja mengetahui apa yang terjadi terhadap
Melati. Apalagi ketika perlahan namun pasti, tampak wajah gadis berpakaian
putih itu mulai memerah.
"Cepat panggil Eyang
Sagapati...!" seru laki-laki setengah baya itu pada salah seorang pasukan
khusus.
Patih Rantaka sengaja menyuruh
salah seorang anggota pasukan khusus, agar lebih mempercepat datangnya pertolongan
untuk Melati.
Setelah memberi hormat, tanpa
membuang-buang waktu lagi seorang anggota yang berkumis jarang jarang segera
berkelebat. Cepat juga gerakannya. Sehingga sebentar saja, tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan.
"Apa yang terjadi. Patih?"
tanya Prabu Nalanda. Nada suara maupun sikap Raja Bojong Gading ini menyiratkan
perasaan cemas yang tak terhingga.
"Gusti Ayu keracunan,
Gusti Prabu," Jelas Patih Rantaka sambil memberi hormat. Kedua telapak
tangannya dirapatkan kemudian ditempelkan di depan hidung, seraya membungkukkan
tubuh sedikit.
Setelah berkata demikian,
laki-laki setengah baya itu kemudian menelusuri sekujur tubuh Melati.
Mencari-cari, di mana adanya jarum yang menancap di tubuh gadis berpakaian
putih itu. Memang, tadi Patih Rantaka sempat melihat kalau Melati terkena
serangan jarum Kelelawar Beracun.
Sesaat kemudian, laki-laki
setengah baya ini telah berhasil menemukannya. Tiga batang jarum itu ternyata
menancap di dada atas sebelah kiri. Tanpa ragu-ragu lagi, Patih Rantaka menggerakkan
jarinya menotok di sekitar tempat yang terkena jarum untuk mencegah menjalarnya
racun ke jantung.
"Cepat bawa dia masuk,
Patih...!" sabda Prabu Nalanda dengan suara bergetar karena cemas.
Tanpa diperintah dua kali,
Patih Rantaka segera membawa masuk tubuh Melati. Prabu Nalanda dan pasukan
khusus segera bergerak mengikuti. Sementara keempat panglima dan seluruh
prajurit lain hanya bisa berdiri diam terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
***
"Bagaimana, Eyang?"
tanya Prabu Nalanda tak sabar.
Sepasang mata penguasa
Kerajaan Bojong Gading itu menatap penuh harap pada kakek berjenggot putih
panjang berpakaian coklat, yang tengah sibuk memeriksa Melati. Sementara gadis
berpakaian putih itu kini tergolek di sebuah pembaringan yang indah dan mewah. Sekujur
wajah dan bagian tubuh yang tidak tertutup pakaian nampak berwarna merah
seperti udang direbus.
"Hhh ... !"
Kakek berpakaian coklat
menghela napas berat. Berkali-kali kakek yang tak lain Eyang Sagapati, tabib
nomor
satu Istana Kerajaan Bojong Gading,
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hamba mohon ampun, Gusti
Prabu," sahut Eyang Sagapati beberapa saat kemudian.
"Apa.... Apa maksudmu,
Eyang?" tanya Prabu Nalanda dengan raut wajah berubah memucat.
Meskipun sudah dapat menduga
ketika melihat kakek itu berkali-kali menggelengkan kepala sewaktu memeriksa,
tapi Raja Bojong Gading ini berusaha meyakinkan dirinya. Eyang Sagapati adalah
tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang sudah terkenal keahliannya. Belum
pemah kakek ini gagal dalam mengobati orang. Namun sekarang?
Bukan hanya Prabu Nalanda saja
yang terperanjat dan cemas. Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun
dilanda perasaan yang sama. Kini semua wajah memucat begitu mendengar ucapan
Eyang Sagapati Meskipun belum dikatakan secara lengkap, tapi sudah bisa
diperkirakan ucapan yang akan keluar selanjutnya.
"Hamba siap menerima
hukuman, Gusti Prabu," desah kakek berpakaian coklat itu seraya memberi
hormat "Hamba tidak mampu mengobati Gusti Ayu...."
"Ohhh ... !"
Terdengar seruan tertahan dari
mulut Prabu Nalanda. Raja Bojong Gading ini langsung menundukkan kepala. Kedua
tangannya mendekap wajah. Tampak jelas kalau Prabu Nalanda merasa terpukul
mendengar ucapan Eyang Sagapati.
Patih Rantaka dan seluruh
pasukan khusus pun sama-sama menundukkan kepala. Seperti Prabu Nalanda, mereka
pun terpukul mendengar jawaban itu.
Prabu Nalanda menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja berbuat
demikian, tapi beberapa kali.
"Mengapa, Eyang?"
tanya Prabu Nalanda setelah berhasil menguasai diri.
Ada nada penasaran dalam suara
penguasa Kerajaan Bojong Gading itu. Memang dia merasa penasaran bukan main,
karena tidak percaya kalau tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang paling
jempolan ini tidak mampu mengobati luka yang diderita putri angkatnya.
"Ampun, Gusti
Prabu," kembali Eyang Sagapati memberi hormat "Racun yang merasuk ke
dalam tubuh Gusti Ayu adalah racun yang amat ganas. Kalau saja Gusti Ayu tidak
memiliki tenaga dalam yang amat kuat, mungkin sudah tewas."
Eyang Sagapati menghentikan
ceritanya sejenak. Di samping untuk mengambil napas, juga mencari kata-kata
untuk melanjutkan ceritanya.
"Racun itu amat aneh,
Gusti Prabu," sambung kakek berpakaian coklat lagi. "Dan hamba sama
sekali tidak mengenalnya. Hamba siap menerima hukuman atas kebodohan hamba,
Gusti Prabu."
"Lupakanlah, Eyang,"
sabda Prabu Nalanda seraya mengulapkan tangannya.
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Raja Bojong Gading ini menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu.
Boleh hamba bicara?" pinta Patih Rantaka memecah keheningan yang
menyelimuti tempat itu.
"Silakan, Patih."
"Eyang," sebut
laki-laki setengah baya itu seraya menatap wajah Eyang Sagapati.
Kakek berpakaian coklat itu
mengangkat kepala, menatap wajah Patih Rantaka.
"Ada apa, Gusti
Patih?"
"Tadi sebelum membawa
Gusti Ayu kemari, aku telah menotok jalan darah sekitar luka, agar racun itu
tidak menjalar lebih jauh. Lalu, apakah racun itu masih tetap saja
menjalar?" tanya Patih Rantaka.
"Racun yang menyerang
Gusti Ayu amat ganas, Gusti Patih. Begitu benda yang menjadi perantara itu
bersarang di tubuh Gusti Ayu, racun itu langsung menyebar. Jadi, usaha yang kau
lakukan sama sekali tidak berarti."
"Berbuatlah sesuatu.
Eyang," selak Prabu Nalanda dalam cekaman rasa cemas yang menggelegak.
"Ampun, Gusti
Prabu," Eyang Sagapati kembali memberi hormat "Apa yang harus hamba
lakukan?"
"Apa saja, Eyang,"
sahut Raja Bojong Gading sekenanya. "Yang penting, nyawa putriku dapat
diselamatkan."
Eyang Sagapati tercenung
sejenak. Dahinya berkerut dalam. Jelas kalau tengah berpikir keras.
"Sepengetahuan hamba, ada
beberapa macam obat yang dapat menyelamatkan nyawa Gusti Ayu selain obat
penawar dari pemilik racun ini sendiri," jelas Eyang Sagapati setelah
beberapa saat lamanya termenung.
"Apa itu, Eyang?"
tanya Prabu Nalanda penuh gairah. "Ampun, Gusti Prabu. Andaikata hamba
memberi tahu pun, tidak akan ada gunanya."
"Heh?! Mengapa kau
berkata demikian, Eyang?" Raja Bojong Gading mengerutkan alis tak senang,
"Sebelum obat itu tiba di
sini, racun itu telah sampai di jantung Gusti Ayu...."
Wajah semua orang yang berada
di situ pucat pasi seketika. Ucapan yang keluar dari mulut Eyang Sagapati
membuat mereka cemas bukan main.
"Apakah Eyang tidak mampu
memperlambat daya kerja racun itu? Yahhh ... ! Paling tidak, sampai obat yang
kita butuhkan itu berhasil didapatkan."
"Hhh ... !" kakek
berpakaian coklat itu menghela napas panjang. "Sulit Gusti Prabu...."
Seketika itu juga Prabu
Nalanda terdiam. Wajah maupun sorot matanya diliputi perasaan putus asa.
"Ampun, Gusti
Prabu," lagi-lagi Patih Rantaka menyelak. "Bukankah Gusti Ayu
memiliki Batu Kehidupan?"
Prabu Nalanda terlonjak kaget.
Melati memang memiliki Batu Kehidupan yang didapat dari Prabu Nalanda sendiri.
Raja Bojong Gading sendiri yang memberikannya sebagai bekal bagi gadis itu
dalam merambah kerasnya kehidupan dunia persilatan. Dan memang keampuhan Batu
Kehidupan itu telah terbukti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode "Rahasia Surat Berdarah").
"Kau benar, Patih! Ah ...
! Mengapa aku sampai melupakannya?" desah Raja Bojong Gading ini pada
dirinya sendiri. Kini raut kecemasan lenyap dari wajahnya Wajah Prabu Nalanda
berseri-seri. Ada secercah harapan yang muncul di hatinya.
"Batu Kehidupan?!"
gumam Eyang Sagapati pula tak percaya. Memang, kakek berpakaian coklat ini
tidak tahu kalau junjungannya memiliki benda itu. Yang mengetahuinya hanya
Patih Rantaka seorang.
"Ya! Bukankah benda itu
berkhasiat menawarkan segala macam racun. Eyang?" sahut Prabu Nalanda.
"Bisakah benda itu menyembuhkan putriku, Eyang?"
"Entahlah, Gusti Prabu.
Hamba tidak bisa memastikan," sahut Eyang Sagapati. "Batu Kehidupan
memang salah satu benda langka. Tapi, racun ini pun aneh sekali. Mungkin jika
racun yang memasuki tubuh Gusti Ayu belum separah ini, hamba yakin benda itu
akan mampu menyembuhkannya. Tapi sekarang, racun ini telah menyebar...."
"Jangan berputus asa
dulu, Eyang," sergah Patih Rantaka. "Lebih baik kita segera
mengobatinya."
Prabu Nalanda lalu memeriksa
bagian pinggang Melati. Dia tahu gadis berpakaian putih itu menyimpannya di
situ.
Sesaat kemudian, di tangan
kanan Raja Bojong Gading ini telah tercekal sebuah buntalan kain kecil berwarna
hitam. Prabu Nalanda lalu membuka ikatannya, kemudian mengeluarkan isinya.
Ternyata sebuah benda berwarna bening sebesar kelereng. Inilah Batu Kehidupan
itu.
Secepat benda itu dipegangnya,
secepat itu pula diserahkannya pada Eyang Sagapati. Bergegas kakek berpakaian
coklat itu menerima, kemudian mencelupkannya ke dalam sebuah cawan berisi air
putih.
Begitu Batu Kehidupan itu
telah tenggelam, dari dasar cawan melayang naik gelembung-gelembung udara.
Mulamula sedikit, tapi kian lama kian banyak. Kemudian perlahan mulai
berkurang, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Begitu gelembung-gelembung
udara itu lenyap, Eyang Sagapati segera meminumkan larutan itu pada Melati.
"Kini kita hanya tinggal
menunggu hasilnya saja," jelas Eyang Sagapati perlahan setelah air itu
lenyap ke dalam mulut Melati.
Tidak ada satu pun yang
menyahuti ucapan kakek berpakaian coklat itu. Semua yang berada di situ
sama-sama dilanda perasaan tegang dan cemas. Eyang Sagapati pun rupanya tidak
terlalu mementingkan adanya sambutan atas ucapannya tadi.
***
Waktu terasa merayap begitu
lambat Prabu Nalanda, Patih Rantaka, pasukan khusus, dan Eyang Sagapati
memperhatikan wajah Melati dengan perasaan cemas. Tapi sampai pagi menjelang,
warna merah pada wajah gadis itu tetap tidak lenyap. Hanya saja, warna merahnya
tidak lagi bertambah.
Eyang Sagapati kembali
memeriksa Melati.
"Apa yang hamba
khawatirkan terjadi juga, Gusti Prabu," bisik kakek berpakaian coklat itu.
"Maksud, Eyang?"
"Batu Kehidupan tidak
mampu mengusir racun yang telah mengeram dalam tubuh Gusti Ayu...."
"Jadi.... Anakku akan
tewas, Eyang?" ada nada keputusasaan dan rasa sedih yang mendalam pada
suara itu.
"Tidak, apabila obat
penawar racun ini berhasil didapatkan," jelas Eyang Sagapati lagi.
"Tapi bukankah akan
percuma saja, Eyang?" bantah Prabu Nalanda. "Mencari obat itu
membutuhkan waktu, sementara Melati sama sekali tidak bisa menunggu."
"Ampun, Gusti Prabu. Batu
Kehidupan akan mempertahankan nyawa Gusti Ayu sampai obat penawarnya berhasil
didapatkan."
"Maksud, Eyang?"
tanya Raja Bojong Gading ini tidak mengerti.
"Meskipun Batu Kehidupan
tidak mampu mengusir racun itu karena kedatangannya sudah amat terlambat, tapi
benda itu masih menunjukkan kegunaannya," ujar Eyang Sagapati menjelaskan.
"Apa kegunaan benda itu,
Eyang?" Prabu Nalanda ingin tahu.
"Menahan menjalarnya
racun itu menuju ke jantung,"
Prabu Nalanda, Patih Rantaka,
dan seluruh anggota pasukan khusus mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit
rasa lega mendengar nyawa Melati masih bisa diperpanjang.
"Apakah obatnya,
Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah. "Segera akan kuutus para
prajuritku untuk mendapatkannya."
Eyang Sagapati tercenung
sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
"Menurut sepengetahuan
hamba, ada tiga macam pusaka di dunia ini yang dapat menawarkan segala macam
racun, Gusti Prabu," jawab kakek berpakaian coklat memberi keterangan.
"Pertama, benda langit. Kedua, macan putih. Dan ketiga, Batu
Kehidupan."
Eyang Sagapati menghentikan
ceritanya sejenak, menatap wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Tampak, Patih Rantaka mengangguk-anggukkan kepala.
"Di antara ketiga benda
pusaka itu, Batu Kehidupan menempati urutan terbawah dalam hal kemanjuran.
Meskipun begitu, telah kita lihat sendiri keampuhannya."
"Jadi..., benda langit
dan macan putih itulah yanti harus ditemukan, Eyang?" potong Prabu Nalanda
tidak sabar. "Kira-kira, di mana adanya benda itu, Eyang?"
"Hamba juga tidak
mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Eyang Sagapati seraya menggelengkan
kepala.
"Rasanya sulit untuk
mendapatkan kedua benda itu, Eyang Sagapati," Patih Rantaka kembali
membuka suara. "Beberapa waktu yang lalu, memang kudengar ada kabar
mengenai adanya benda langit dan macan putih di Hutan Bandan. Tapi..., kemudian
lenyap begitu saja."
Prabu Nalanda menganggukkan
kepala. Memang Raja Bojong Gading ini juga mendengar berita itu.
"Apakah tidak ada obat
lain yang dapat menawarkan racun itu. Eyang Sagapati?" tanya Patih Rantaka
ingin tahu.
"Memang masih ada lagi,
Gusti Patih," sahut kakek berpakaian coklat cepat.
"Apa itu, Eyang?"
Prabu Nalanda yang justru bertanya.
"Obat penawar dari
Kelelawar Beracun!" tandas Eyang Sagapati.
Sepasang mata Prabu Nalanda
kembali berbinar. Secercah harapan kini bersemi kembali di hatinya. Harapan
agar Melati bisa diselamatkan.
"Patih...!" panggil
Raja Bojong Gading itu pada Patih Rantaka.
"Hamba, Gusti
Prabu," sahut Patih Rantaka seraya memberi sembah.
"Perintahkan prajurit
untuk mencari benda-benda itu!" sabda Prabu Nalanda. "Dan jangan
lupa, cari pula Kelelawar Beracun! Dan beri tahu Dewa Arak serta Ki Julaga
mengenal hal ini. Mengerti?!"
"Hamba mengerti. Gusti
Prabu!"
"Kalau begitu, cepat
pergilah!"
Setelah memberi hormat Patih
Rantaka pun bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara anggota pasukan khusus
langsung berjagajaga di sekitar ruangan itu. Mereka memang pasukan keselamatan
raja.
***
Siang itu udara panas sekali.
Matahari yang tepat berada di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang,
seakan-akan ingin melelehkan bumi beserta isinya.
"Hhh ... !"
Seorang pemuda berambut putih
keperakan menghela napas lega. Wajahnya, terutama sekali dahi dan bawah
hidungnya nampak dipenuhi butiran-butiran keringat.
Perlahan-lahan kepala pemuda
berambut putih keperakan itu mendongak, menatap sejenak ke arah bola raksasa
yang nampak menyilaukan itu. Lalu tangannya digerakkan untuk menghapus peluh
yang membasahi dan bawah hidungnya dengan punggung tangan.
Pemuda itu berpakaian ungu.
Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sepertinya tidak
ada yang aneh pada pemuda ini, kecuali warna rambutnya yang berwarna putih
keperakan itu. Tapi jika orang melihat sepasang matanya, baru terlihat
keanehannya. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu terlihat begitu
tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan. Mirip sepasang mata seekor harimau
dalam gelap.
Wajah pemuda berambut putih
keperakan itu berseri ketika melihat sebatang pohon besar berdaun rindang, tak
jauh di hadapannya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, kemudian
menghempaskan bokongnya. Dia duduk sebentar, lalu perlahan merebahkan tubuh
menelentang.
"Hhh...!"
Sebuah hembusan kelegaan
keluar dari mulutnya, kemudian sepasang matanya dipejamkan periahan-lahan.
Belum berapa lama berbaring,
pemuda berpakaian ungu ini mengangkat kembali kepalanya. Telinganya yang
menempel di tanah, menangkap derap kaki kuda. Menilik dari bunyinya, dia tahu
kalau kuda itu tidak hanya seekor saja.
Tapi begitu kepalanya
diangkat, derap langkah kuda itu lenyap. Betapa pun pemuda berambut putih
keperakan ini memusatkan pendengarannya, tapi bunyi tadi tak juga tertangkap
olehnya.
Kini pemuda berpakaian ungu
ini sadar kalau kuda yang tengah berlari itu masih terlalu jauh, sehingga
pendengarannya yang telah amat tajam itu tidak mampu menangkapnya. Kini dia
bangkit dari berbaringnya, lalu duduk bersandar pada batang pohon.
Perlahan namun pasti derap
kaki kuda itu semakin keras terdengar. Pertanda kalau kuda itu tengah berlari
menuju ke arahnya. Tapi pemuda berambut putih keperakan sama sekali tidak
mempedulikan, dan tetap saja duduk bersandar pada sebatang pohon.
Pemuda berpakaian ungu itu
tetap saja tak bergeming dari bersandarnya, meskipun para penunggang kuda sudah
berada dalam jangkauan pandang mata biasa.
Derap langkah kuda itu
ternyata berasal dari lima ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang
berpakaian prajurit.
Pemuda berambut putih
keperakan itu hanya meliriknya sekejap, kemudian memejamkan matanya kembali.
Sama sekali tidak ambil peduli atas kehadiran lima orang penunggang kuda itu.
Meskipun begitu,
pendengarannya dipasang tajam-tajam, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi. Seluruh otot-ototnya tampak menegang waspada.
Pemuda berpakaian ungu mulai
merasa curiga begitu langkah kaki kuda itu terdengar semakin mendekat ke
arahnya. Tak lama kemudian berhenti sesaat. Lalu, terdengar suara perlahan dan
beberapa pasang kaki yang mendarat di tanah.
"Raden...,"
tiba-tiba terdengar oleh telinga pemuda berambut putih keperakan suara
panggilan perlahan.
Karuan saja pemuda itu merasa
heran. Dia tidak mengetahui adanya orang lain di sekitar sini. Tapi mengapa ada
orang yang memanggil raden? Perasaan penasaran mendorongnya membuka mata.
Seketika sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan terbelalak. Betapa tidak? Sekitar tiga tombak di
depannya, berdiri lima orang prajurit yang tadi dilihatnya. Mereka semua
berdiri menghadap ke arahnya dengan kepala tertunduk.
Dirinyalah yang tadi dipanggil
raden? Atau orang lain yang berada di sekitar tempat ini? Mendapat dugaan
demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya! Jadi, apakah panggilan
raden itu ditujukan padanya?
"Maaf, siapakah Kisanak
semua?" tanya pemuda berambut pulih keperakan pelan.
"Kami adalah prajurit
Kerajaan Bojong Gading, Raden," sahut seorang prajurit yang beralis tebal.
Kini pemuda berambut putih
keperakan itu mengerti, mengapa kelima orang prajurit itu memanggilnya raden.
"Aku mohon, kalian semua
jangan memanggilku seperti itu," pinta pemuda berambut putih keperakan
tegas. "Dan kalau kalian tetap berkeras, aku akan pergi. Panggil saja aku
Arya!"
Wajah kelima orang prajurit
Kerajaan Bojong Gading berubah. Mereka menangkap adanya nada kesungguhan dalam
suara pemuda berambut putih keperakan yang memang adalah Arya alias Dewa Arak
Maka, mereka tidak berani bersikap main-main.
"Baiklah, Rad.... Eh!
Arya," ujar prajurit beralis tebal mengalah. Rupanya dialah yang bertugas
menjadi juru bicara dari keempat orang rekannya.
Arya menganggukkan kepala.
"Sekarang katakanlah,
mengapa kalian bisa berada di sini?" tanya Arya.
"Kami memang ditugaskan
untuk mencari Rad.. eh! Mencarimu, Arya?" sahut prajurit beralis tebal,
gugup.
"Heh ... ?!" pemuda
berambut putih keperakan terperanjat "Siapa yang menugaskan kalian?"
"Gusti Prabu."
"Gusti Prabu?!"
ulang Arya setengah terpekik kaget. Kelima orang prajurit Bojong Gading itu
menganggukkan kepala, membenarkan.
"Kalau boleh kutahu,
apakah keperluan yang mendorong Gusti Prabu menyuruh kalian mencariku?"
tanya Arya.
Perasaan tidak enak mulai
menjalari hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dia tahu, pasti ada suatu
masalah yang penting. Sebab, tidak mungkin Raja Bojong Gading itu mengirimkan
prajurit untuk memanggilnya, jika tidak ada masalah gawat seperti ini.
Kontan kelima orang prajurit
Kerajaan Bojong Gading itu terdiam. Hanya mata mereka saja yang saling pandang.
Tampak jelas kalau mereka merasa ragu-ragu untuk menyampaikannya.
"Katakanlah cepat jangan
berteka-teki lagi," desak Arya tak sabar.
"Hhh ... !"
Prajurit beralis tebal
menghela napas berat. "Gusti Ayu menderita keracunan hebat..," jawab
prajurit beralis tebal itu. Pelan sekali, mirip desahan.
"Hah ... ?!" Arya
terjingkat bagai disengat kalajengking. "Melati keracunan? Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah gadis berpakaian putih itu memiliki
pusaka yang dapat menawarkan segala macam racun?"
"Bagaimana kalau kita
membicarakannya dalam perjalanan saja, Arya? Gusti Prabu menyuruh kami untuk
cepat-cepat membawamu ke istana," usul prajurit beralis tebal hati-hati.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya
menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari cepat
terangkat!" sambung prajurit lain.
Dia lalu melompat naik ke atas
punggung kuda, diikuti keempat orang kawannya. Sementara Arya lebih memilih
berlari daripada menaiki seekor kuda bersama-sama. Betapapun kelima orang
prajurit Kerajaan Bojong Gading itu mendesak, Arya tetap menolak. Namun
akhirnya mereka mengalah.
Prajurit beralis tebal
mendecak pelan seraya menghela tali kekang kudanya. Keempat orang rekannya pun
berbuat yang sama. Seketika itu juga, binatang-binatang tunggangan itu melesat
cepat meninggalkan tempat itu.
Prajurit Kerajaan Bojong
Gading ini telah mengetahui kelihaian Arya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka
segera memacu lari kuda itu secepatnya. Mereka sebenarnya juga ingin tahu,
mampukah Dewa Arak mengimbangi lari kuda mereka? Sebab, binatang itu adalah
kuda-kuda pilihan yang kuat dan memiliki kemampuan lari cepat.
Prajurit Kerajaan Bojong
Gading ini jadi kagum ketika mereka melihat sekelebatan bayangan ungu. Dan
sesaat kemudian, di sebelah mereka Arya tengah berlari membarengi kuda. Wajah
pemuda berambut putih keperakan itu tampak biasa-biasa saja, tidak nampak kalau
tengah mengerahkan tenaga.
Hebatnya, sambil terus beriari
Arya menanyakan sebab-sebab Melati bisa terluka. Dengan bergantian, kelima
orang prajurit itu menceritakan pada Arya.
Bahkan diceritakan pula kalau
Prabu Nalanda telah mengundang seluruh ahli pengobatan di dunia peralatan untuk
mengobati Melati. Imbalan besar menanti mereka bila berhasil menyembuhkan gadis
berpakaian putih. Tapi, satu persatu ahli-ahli pengobatan itu angkat tangan,
tak mampu mengobati Melati.
Karuan saja mendengar cerita
itu, Arya merasa khawatir bukan kepalang. Tanpa mempedulikan kelima orang
prajurit itu, Dewa Arak lalu menambah kecepatan larinya sampai setinggi
mungkin.
Perlahan namun pasti, Arya
mulai meninggalkan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu. Semakin
lama semakin jauh, hingga tak dihiraukannya lagi panggilan para prajurit itu.
Yang ada di benaknya hanya satu. Segera menemui Melati secepatnya.
8
Prajurit penjaga pintu gerbang
terperanjat begitu melihat kedatangan Dewa Arak. Bergegas dia berlari ke dalam
menyampaikan berita itu pada seorang anggota pasukan khusus, untuk diteruskan
pada Prabu Nalanda.
"Ampun, Gusti
Prabu," ucap seorang anggota pasukan khusus seraya memberi hormat.
"Ada apa?" tanya
Prabu Nalanda seraya memalingkan kepala dari tubuh Melati yang masih tergolek
di pembaringan.
Di sebuah kursi Indah berukir
di dekat situ, duduk seorang kakek bertubuh kecil kurus. Alis, kumis, dan
jenggotnya telah memutih semua. Jenggotnya panjang hingga mencapai dada.
Kelihatannya, kakek itu datang dari kalangan rimba persilatan.
"Prajurit penjaga pintu
gerbang melaporkan. Dewa Arak telah berada di depan," jelas anggota
pasukan khusus Itu.
"Bawa dia masuk!"
sabda Prabu Nalanda penuh wibawa. Wajahnya tampak berseri-seri.
"Baik, Gusti Prabu,"
sahut anggota pasukan khusus seraya melangkah meninggalkan tempat Itu. Tak lupa
dihaturkan hormat kepada junjungannya.
Kakek bertubuh kecil kurus itu
berdiri dari bangkunya begitu mendengar kedatangan Dewa Arak.
"Orang yang kira
tunggu-tunggu akhirnya datang juga, Ki," kata Prabu Nalanda pelan. Nada
suara maupun sorot matanya memancarkan kegembiraan. Meskipun begitu, sorot
kecemasan tidak juga lenyap dari wajahnya.
"Yahhh ... !" kakek
bertubuh kecil kurus mendesah pelan. "Memang dialah orang yang harus lebih
dulu tahu mengenai nasib Melati."
Prabu Nalanda hanya
menganggukkan kepala.
"Bagaimana usaha
pencarian terhadap benda langit dan macan putih, Gusti Prabu," tanya kakek
bertubuh kecil kurus itu ingin tahu.
"Hhh ... !" Raja
Bojong Gading menghela napas berat "Sampai sekarang mereka belum juga
kembali."
"Hm...," kakek
bertubuh kecil kurus menggumam pelan. "Lalu..., apakah tempat tinggal
Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun sudah ditemukan, Gusti Prabu?"
Raja Bojong Gading
menggelengkan kepala.
"Kedua tokoh sesat itu
telah meninggalkan sarangnya masing-masing. Rupanya mereka khawatir juga kalau
Kerajaan Bojong Gading akan mengadakan pembalasan. Ki Temula sendiri yang
mengajukan diri, agar aku mengizinkannya mencari kedua tokoh sesat itu."
"Ki Temula?" ulang
kakek bertubuh kecil kurus sambil mengernyitkan dahi. "Siapa dia, Gusti
Prabu?"
"Ketua Perguruan Garuda
Sakti, sekaligus guru beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading."
Kakek bertubuh kecil kurus
mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu, percakapan
mereka terhenti ketika Dewa Arak melangkah masuk diiringi seorang anggota
pasukan khusus.
Arya terperanjat ketika
melihat kakek bertubuh kecil kurus berada di situ. Dia kenal betul, siapa
adanya kakek itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga? Guru Melati!
Pemuda berambut putih
keperakan itu segera memberi hormat kepada Prabu Nalanda.
"Bagaimana kau bisa
berada di sini, Ki?" tanya Arya heran.
Kakek bertubuh kecil kurus itu
tersenyum lebar.
"Pasukan Kerajaan Bojong
Gading datang ke tempatku, Arya. Mereka mengabarkan kalau Melati
keracunan," sahut Ki Julaga memberi tahu. "Maka buru-buru aku datang
ke sini."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia mengerti, mengapa kakek bertubuh kecil kurus itu bisa berada
di dalam Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana keadaan
Melati, Gusti Prabu?" tanya Arya.
Sebenarnya sudah sejak tadi
dia hendak menanyakannya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu diri,
dengan menahan pertanyaan yang sejak tadi hendak keluar dari mulutnya.
"Kau lihat saja sendiri,
Arya," sahut Raja Bojong Gading itu mempersilakan.
Dewa Arak segera melangkah
menghampiri pembaringan. Sejak tadi pun gadis berpakaian pulih itu sudah
terlihat. Tapi tanpa perkenan Prabu Nalanda, mana berani dia bersikap lancang
menghampiri pembaringan itu. Dan kini setelah Prabu Nalanda memperkenankan,
tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini melangkah
menghampiri pembaringan.
Hampir saja air mata Dewa Arak
tumpah melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Melati-kah Ini?"
tanya Dewa Arak dalam hati, hampir tidak percaya.
Gadis berpakaian putih itu
kini sungguh berubah jauh. Meskipun Arya masih bisa mengenali kalau sosok tubuh
yang terbaring lemah di pembaringan itu adalah Melati, tapi keadaannya membuat
kaget bukan main!
Melati kini sangat kurus.
Pakaian putih yang membungkus tubuhnya kini telah longgar. Padahal dulu
pakaian itu amat ketat membungkus tubuhnya yang kini hanya tinggal tulang
terbungkus kulit. Wajah yang dulu cantik laksana bidadari dan nampak selalu
segar berseri itu, kini nampak cekung. Dan yang lebih mengerikan lagi, sekujur
kulit tubuh Melati nampak merah.
Beberapa saat lamanya pemuda
berambut putih keperakan itu terpaku. Sepasang matanya terbelalak lebar. Rasa
haru dan kasihan yang amat sangat melanda hatinya. Ingin rasanya dia menjerit.
Memeluk tubuh yang tergolek lemah dengan sepasang mata terpejam rapat itu.
"Melati! Betapa
menderitanya dirimu?" desah Arya dalam hati dengan perasaan pilu. Kalau
saja bisa, ingin rasanya Dewa Arak memindahkan penyakit yang menimpa Melati
padanya!
Prabu Nalanda, Ki Julaga,
Patih Rantaka, dan Eyang Sagapati sama sekali tidak mengganggu. Dibiarkan saja
Arya dengan kesibukannya. Tidak ada lagi yang berada dalam ruangan itu kecuali
mereka. Prabu Nalanda telah menyuruh semua anggota pasukan khusus untuk
meninggalkan ruangan, dan berjaga jaga di luar saja.
"Sudah berapa lama Melati
seperti ini, Gusti Prabu?" tanya Arya setelah sekian lamanya terdiam.
Suara pemuda berambut putih keperakan ini terdengar serak.
"Tujuh hari...,"
jawab Prabu Nalanda Kini suaranya terdengar biasa.
Memang, setelah beberapa hari
sakitnya Melati, Raja Bojong Gading ini sudah bisa mengendalikan diri. Tidak
lagi hanyut terbawa perasaan cemas.
"Dan selama itu...,
apakah Melati pernah tersadar, Gusti Prabu?" kembali pemuda berambut putih
keperakan ini mengajukan pertanyaan. Masih dengan suara serak.
Prabu Nalanda menggelengkan
kepala.
"Untuk menjaga daya tahan
tubuhnya, terpaksa kami berikan buah-buahan yang terlebih dahulu diperas. Hal
itu dilakukan, agar dia tetap dapat bertahan hidup."
Arya menganggukkan kepala.
Kini dia mengerti, mengapa Melati bisa sekurus ini. Dan sekarang, perlahan
tangan Arya bergerak, membelai wajah dan rambut Melati penuh kasih sayang.
Kalau saja tidak malu, ingin rasanya Arya menangis sambil memanggil-manggil
Melati. Tapi, dia tahu hal itu tak mungkin dilakukannya. Yang dapat dilakukan
pemuda berambut putih keperakan ini hanyalah mengepalkan kedua tangan sekeras
mungkin. Terdengar suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang
berpatahan, ketika Dewa Arak mengepalkan tangannya.
Prabu Nalanda dan Patih
Rantaka diam-diam terkejut bukan main melihat hal ini. Mereka berdua memang
telah mengetahui kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kelelawar Beracun ...
!" desis Dewa Arak pelan tapi tajam. Sepertinya ada ancaman maut tersirat
dalam ucapan itu.
Ki Julaga bergegas
menghampiri, langsung menepuknepuk bahu pemuda berambut putih keperakan untuk
menenangkan hatinya.
"Sabarlah, Arya,"
bujuk kakek bertubuh kecil kurus itu menasihati. 'Tidak baik menuruti nafsu
amarah."
"Tapi, Ki.... Perbuatan
Iblis itu sudah sangat keterlaluan ... !" sergah Dewa Arak "Apa pun
yang terjadi, aku harus mencarinya untuk menuntut balas atas kekejiannya
terhadap Melati!"
"Hhh ... !"
Hanya sebuah helaan napas
panjang Ki Julaga yang menyahuti ucapan Dewa Arak.
Mendadak Arya membalikkan
tubuh. "Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa berlama-lama di
sini," ucap pemuda berambut putih keperakan sambil memberi hormat.
"Kau hendak ke mana,
Arya?" pelan dan lembut suara Raja Bojong Gading itu. "Kau baru saja
tiba. Mengapa buruburu pergi?"
"Hamba ingin mencari
Kelelawar Beracun! Meminta obat bagi Melati!" ucap Dewa Arak. Dia tahu
kalau arak dan gucinya pun tak mampu mengobati Melati. Batu Kehidupan saja
tidak mampu! Apalagi guci araknya!
Melihat sikap pemuda berambut
putih keperakan, Ki Julaga dan Prabu Nalanda tidak berusaha menghalangi. Mereka
berdua tahu, Arya tidak mungkin bisa dihalangi lagi.
"Kalau itu sudah menjadi
keputusanmu, pergilah, Arya," ujar Prabu Nalanda bijaksana. "Kau
tidak usah mengkhawatirkan Melati. Eyang Sagapati berani menjamin, tunanganmu
akan sanggup menanti sampai kau kembali dengan membawa obat penawar racun
itu."
Ki Julaga mengangguk-anggukkan
kepala.
"Aku juga akan menjaganya
sampai kau kembali, Arya," Ki Julaga ikut membuka suara.
"Terima kasih, Ki"
Setelah pamit pada semua orang
yang berada di dalam ruangan itu, Dewa Arak bergegas melangkah ke luar.
Tujuannya sudah jelas. Mencari Kelelawar Beracun!
***
Begitu keluar dari pintu
gerbang Istana Kerajaan Bojong Gading, Arya kebingungan. Ke mana harus mencari
Kelelawar Beracun? Sama sekali tidak diketahui, di mana tempat tinggal tokoh sesat
itu! Lagi pula, Kelelawar Beracun tidak punya tempat tinggal tetap. Di samping
itu Kelelawar Beracun pun bukan orang bodoh! Dia pasti akan menjauhkan diri,
sebab tahu kalau dirinya akan jadi buruan Kerajaan Bojong Gading.
Menghadapi hal ini, Arya kembali
teringat pada gurunya, Ki Gering Langit! Betapa mudahnya bagi kakek berpakaian
putih bersih itu untuk mengetahui adanya seseorang. Tapi pemuda berambut putih
keperakan ini
merasa malu untuk meminta
bantuan Ki Gering Langit Sudah terlalu sering gurunya dimintakan bantuan. Dan
kali ini Dewa Arak akan berusaha untuk mencarinya sendiri. Toh, Eyang Sagapati
telah menjamin kalau Melati akan sanggup bertahan sampai dia berhasil menemukan
obat penawar racun itu.
Kedua hal itulah yang
menyebabkan Dewa Arak bertahan untuk tidak meminta bantuan gurunya. Dia terus
saja melakukan perjalanan, mencari jejak Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan
Seribu. Dari para prajurit Kerajaan Bojong Gading, sudah diketahuinya ciri-ciri
kedua tokoh sesat itu. Maka di sepanjang perjalanan, Arya tidak henti-hentinya
mencari keterangan tentang keberadaan kedua orang itu.
Tapi sampai lelah
bertanya-tanya, tak juga didapatkannya jejak kedua orang itu. Entah sudah
berapa desa disinggahi dan ditanyakan hal itu pada penduduk. Tapi, tidak ada
seorang pun yang bisa memberikan jawaban yang diharapkan.
Telah lima hari Arya berusaha
keras mencari jejak Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun. Tapi hanya
kegagalan saja yang didapatkan. Gelengan kepala pertanda tidak tahu selalu
menyambut setiap pertanyaannya.
Hari sudah agak siang ketika
pemuda berambut putih keperakan baru saja meninggalkan Desa Karang Sari. Kepala
Dewa Arak tertunduk lesu menekuri tanah. Hatinya terpukul karena kembali
jawaban serupa yang didapat.
Tapi begitu memasuki Hutan
Lawang, Dewa Arak mengangkat kepalanya. Sepasang matanya beredar mengamati
keadaan sekelilingnya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Pemuda berambut
putih keperakan terus berlaku seperti itu. Meskipun sampai sekian jauh masuk ke
dalam hutan, tidak juga ditemukan tanda-tanda apa pun. Yang terdengar hanyalah
suara binatang-binatang penghuni hutan.
Namun mendadak Arya
menghentikan langkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya rintihan
sayup-sayup. Walaupun hanya sayup-sayup, tapi bagi Arya hal itu sudah cukup.
Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu tercenung sejenak,
memperkirakan arah suara itu.
Suara itu terlalu lemah. Lagi
pula terlalu singkat sehingga membuat Arya kurang bisa menangkap arahnya.
Kembali terdengar rintihan
itu. Sama seperti sebelumnya, sayup-sayup dan hanya sebentar. Kali ini Dewa
Arak berhasil mengetahui dari mana asal suara itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
pemuda berambut putih keperakan ini segera melesat ke arah yang dituju.
Arya bergerak cepat menerobos
kerimbunan semaksemak dan pepohonan lebat Tak jarang dia berlari dan
berlompatan di atas pohon apabila semak-semak dan pepohonan yang menghadang
jalannya terlalu rapat.
"Uhhh...!"
Srakkk ... !
Dewa Arak menguak kerimbunan
semak-semak tempat suara itu berasal. Dan begitu kerimbunan semaksemak itu
terkuak, tampak olehnya sesosok tubuh seorang laki-laki berwajah keras dan
bertubuh kekar tengah tergolek lemah. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya
bisa mengetahui kalau orang ini adalah penduduk desa.
Laki-laki berwajah keras itu
rupanya terkejut juga melihat tahu-tahu ada seorang pemuda berambut putih
keperakan berada di hadapannya. Wajahnya nampak memancarkan rasa takut yang
amat sangat. Dengan beringsut-ingsut dia berusaha menjauhkan diri.
Tanpa memperhatikan lebih jauh
lagi pun, Arya sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi pada laki laki
berwajah keras itu. Pada pahanya nampak tertancap sebuah logam berbentuk anak
panah. Begitu pula pada bahu kanannya. Kedua luka itu tampak masih mengucurkan
darah.
"Jangan takut
Kisanak," bujuk Dewa Arak menenangkan karena tahu kalau laki-laki
berwajah keras itu merasa takut terhadapnya. "Aku bukan orang jahat"
"B... be...
benarkah...?" Dengan agak menggigil, lakilaki berwajah keras itu membuka
suara.
Arya mengangguk. Tak lupa
diberikan sebuah senyuman lebar untuk lebih menenangkan perasaan orang itu.
"Kau bukan teman orang
jahat itu?" tanya laki-laki berwajah keras itu. Nada suara dan raut
wajahnya masih memancarkan perasaan tidak percaya.
"Percayalah, Kisanak. Aku
kebetulan lewat di sekitar sini. Lalu, aku menuju ke tempat ini karena
mendengar tintihanmu," sahut Arya lagi.
"Hhh ... !"
Laki-laki berwajah keras
menghela napas lega. Tapi sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Rupanya rasa
sakit karena senjata yang tertancap di bahu dan pahanya kembali terasa.
"Boleh kuperiksa lukamu,
Kisanak?" Arya menawarkan diri. "Barangkali saja aku bisa
memperingan rasa sakitmu."
Laki-laki berwajah keras
menganggukkan kepala. Kini sudah lenyap rasa takut di wajahnya. Sekarang dia yakin,
pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya adalah orang
baik-baik.
Arya menghampiri, kemudian
membungkukkan tubuh. Diperiksanya luka di paha dan bahu laki-laki berwajah
keras itu. Lega hati Dewa Arak ketika tidak melihat adanya tanda-tanda
keracunan pada kedua luka itu, dan hanya luka biasa. Tanpa mengalami kesulitan,
Dewa Arak mencabut kedua senjata itu. Dibersihkan luka itu, kemudian ditaburi
obat bubuk.
Laki-laki berwajah keras
mendesis begitu Arya menaburkan obat bubuk.
"Memang obat ini sedikit
menimbulkan rasa nyeri," jelas Dewa Arak melihat laki-laki berwajah keras
itu mendesis. "Tapi percayalah, Kisanak. Obat ini sangat manjur."
"Ah..., tidak
apa-apa," sahut laki-laki berwajah keras cepat. "O, ya. Terima kasih
atas pertolonganmu."
"Lupakanlah," sahut
Dewa Arak cepat "Kalau boleh kutahu, siapa kau, Kisanak? Aku Arya
Buana."
Sambil berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu mengulurkan tangan. Laki-laki berwajah
keras bergegas menyambut dan menggenggamnya erat-erat.
"Aku Brata, penduduk Desa
Karang Sari," jawab lakilaki berwajah keras seraya melirik sekilas ke
arah rambut Arya.
Memang sebenarnya dia merasa
heran melihatnya. Belum pernah dilihat dan didengarnya ada seorang pemuda yang
mempunyai rambut berwarna putih. Putih, namun
indah! Entah pengalaman apa
yang membuat pemuda itu sampai memiliki rambut demikian. Meskipun begitu, Brata
tidak menampakkan keheranannya. Bahkan bersikap biasa saja, karena khawatir
pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini akan tersinggung.
"Apakah Kang Brata tidak
keberatan menceritakan mengapa hal ini terjadi?"
Brata menggelengkan kepala.
"Tidak, Arya. Bahkan
dengan senang hati aku akan menceritakannya padamu."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berwajah keras itu tercenung sejenak, tidak langsung menjawab.
Rupanya dia tengah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.
"Aku dan dua orang
kawanku sengaja datang ke hutan ini untuk berburu. Hal ini terpaksa kulakukan
untuk memenuhi permintaan istriku...."
Brata menghentikan ceritanya
sejenak. Sementara di dalam hati, Arya merasa heran. Tapi, pemuda berambut
putih keperakan ini diam saja. Tidak menyelak cerita laki-laki berwajah keras
itu.
"Maklum, Arya. Istriku
sedang hamil..Dan dia ingin makan daging kelinci."
Kini Arya tidak heran lagi.
Pantas saja! Rupanya istri Brata ini tengah mengidam!
"Nasib baik tengah
berpihak padaku, Arya," sambung Brata lagi. "Aku berhasil menemukan
seekor kelinci. Tapi, sayang binatang itu keburu melarikan diri sebelum aku
sempat berbuat sesuatu."
Kembali Brata menghentikan
ceritanya untuk mengambil napas sejenak dan mencari kata-kata untuk melanjutkan
ceritanya.
"Tentu saja aku tidak
tinggal diam. Segera kuburu binatang itu. Kedua kawanku pun ikut serta pula.
Cukup lama juga kami mengejar-ngejar binatang itu, sebelum akhirnya lenyap di
balik kerimbunan semak-semak. Tanpa ragu-ragu aku segera memburu. Ketika
semak-semak itu kusibak, ternyata di baliknya terdapat gua."
Brata menghentikan ceritanya
kembali. Wajahnya nampak murung dan menyorotkan perasaan sedih. Sedangkan Arya
segera mengetahui kalau cerita selanjutnya menyedihkan hati laki-laki berwajah
keras itu. Dan melihat dari tidak adanya kedua orang kawannya. Dewa Arak bisa
memperkirakan nasib kedua orang kawan Brata.
"Aku dan kawanku segera
memasukinya," sambung Brata kembali. "Tapi ternyata gua itu
berpenghuni. Namun, penghuninya berwatak kejam bukan main. Kedua kawanku tewas
dengan sekali sentuh. Sementara aku karena nasib baik, berhasil melarikan diri.
Tapi tak urung dia berhasil melukaiku dengan senjata rahasianya."
"Bagaimana ciri-ciri
orang Itu?" tanya Arya Ingin tahu.
"Dia adalah seorang
laki-laki bertubuh pendek. Menilik dari perawakan dan wajahnya, dia seperti
seorang anak-anak. Kepalanya botak. Kulitnya putih. Dan hanya mengenakan sebuah
celana pendek berwarna putih."
Arya terkejut bukan main
mendengarnya. Kaget bercampur gembira. Karena sudah bisa diduga, siapa orang
yang telah membunuh dua orang teman Brata.
"Tuyul Tangan
Seribu...," desis Dewa Arak. Pelan tapi tajam. Sorot matanya memancarkan
cahaya berseri. Satu titik terang telah ditemukannya.
Sepasang mata Brata
terbelalak. Wajahnya pun menampakkan keheranan. Dan memang, sebenarnya
lakilaki berwajah keras ini merasa heran bercampur geli ketika teringat orang yang
telah membunuh kedua orang kawannya.
"Mengapa bisa begitu
tepat julukan yang dimiliki orang itu?" tanya hati Brata. Menilik dari
potongannya, memang tidak salah orang itu mendapat julukan tuyul.
Tapi Arya sama sekali tidak
mempedulikan perasaan yang bergolak di dalam dada Brata. Dia telah terlalu
gembira ketika mengetahui ada orang yang berhasil mengetahui Tuyul Tangan
Seribu, sehingga tidak lagi memperhatikan semuanya.
"Kau masih ingat tempat
tinggal pembunuh itu, Kang?" tanya Arya penuh gairah.
Brata menganggukkan kepala.
"Bisa kau mengantarku ke
sana, Kang?" kembali Dewa Arak bertanya.
Laki-laki berwajah keras
terperanjat. Sepasang matanya memancarkan perasaan kaget yang tidak terkira.
Gilakah pemuda berambut putih keperakan ini, karena meminta diantar ke tempat
Tuyul Tangan Seribu yang dianggapnya gila itu? Laki-laki bertubuh pendek yang
tanpa masalah telah membunuh kedua rekannya!
Dewa Arak tentu saja tahu
mengapa Brata terkejut. "Mengapa kau ingin ke sana, Arya?" tanya
Brata terbata-bata.
"Orang yang telah
membunuh kawanmu adalah orang yang selama ini kucari-cari, Kang," sahut
Arya kalem.
"Lebih baik kau urungkan
niatmu, Arya. Kurasa orang itu gila. Masak, tanpa sebab dia bermaksud membunuh
kami. Lagi pula, dia lihai sekali! Kau akan dibunuhnya, Arya!"
"Biar bagaimanapun juga,
aku harus menemukannya, Kang," tegas Arya. "Orang itu telah meracuni
kawanku. Dan aku harus menemuinya untuk meminta obat penawar racun darinya.
"
"Tapi... tapi ..., "
Brata masih mencoba membantah.
"Aku jamin kau selamat,
Kang," terpaksa Dewa Arak agak menyombongkan diri untuk menenangkan hati
Brata. "Orang itu berjuluk Tuyul Tangan Seribu. Dan dia sengaja
bersembunyi, karena tahu kalau tengah dicari-cari. Itulah sebabnya, begitu kau
dan dua orang kawanmu melihatnya, dia bermaksud membunuh kalian bertiga. Untuk
menutupi jejaknya!"
Brata tercenung sejenak.
Alasan yang dikemukakan Dewa Arak cukup kuat. Memang, Tuyul Tangan Seribu
sepertinya tengah bersembunyi. Tapi, benarkah orang seusia pemuda berambut
putih keperakan di hadapannya mampu menghadapi seorang yang begitu sakti
seperti Tuyul Tangan Seribu?
"Kalau masih takut, kau
boleh memberitahukan tempatnya dari jarak yang cukup jauh, Kang," desak
Dewa Arak memberi pilihan lain.
Kini Brata tidak membantah
lagi, karena merasa tidak enak. Arya telah terlalu mengalah dalam meminta
petunjuk. Kalau dia masih juga bersikeras, rasanya keterlaluan sekali.
"Bagaimana, Kang?"
tanya Dewa Arak lagi begitu melihat laki-laki berwajah keras itu terdiam.
"Atau..., bisakah kau memberikan petunjuk tempatnya dari sini ... ?"
Brata tersenyum.
"Aku akan mengantarkanmu,
Arya."
Arya balas tersenyum.
"Terima kasih atas
kesediaanmu mengantarku, Kang."
Brata tidak menyahuti.
Laki-laki berwajah keras ini hanya tersenyum lebar, kemudian bangkit berdiri.
Obat bubuk yang diberikan Arya temjata manjur sekali. Kaki dan bahunya sudah
tidak terasa sakit lagi. Bahkan terasa enak dan nyaman.
Dewa Arak pun bangkit berdiri,
kemudian melangkah mengikuti Brata yang melangkah lebih dulu Brata melangkah
menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat. Tapi belum juga melangkah
jauh, laki-laki berwajah keras ini menghentikan langkah. Wajahnya seketika
pucat. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tanpa bertanya pun, Dewa Arak
sudah mengetahui penyebab ketakutan Brata. Sekitar delapan tombak di hadapan
mereka, tampak sesosok tubuh yang mereka caricari. Tuyul Tangan Seribu!
Rupanya tokoh sesat itu mengejar Brata. Dan ketika kehilangan jejak dia
mencegatnya di mulut hutan.
***
"Itulah orang yang telah
membunuh kedua orang kawanku, Arya," jelas Brata.
Tanpa berkata apa-apa, Dewa
Arak segera melangkah maju. Lalu, dia berdiri membelakangi Brata dalam jarak
dua tombak Matanya menatap tajam sekujur wajah Tuyul Tangan Seribu yang terus
melangkah mendekati.
"Inikah tokoh yang
berjuluk Tuyul Tangan Seribu? Tapi mana Kelelawar Beracun?" tanya Arya
dalam hati.
Bukan hanya Arya saja yang
mengamati. Tuyul Tangan Seribu pun balas menatap tajam begitu melihat Brata
melangkah mundur, dan sebaliknya seorang pemuda berambut putih keperakan yang
melangkah maju.
Semakin dekat, kedua orang itu
semakin mengenal sosok masing-masing.
"Kau yang berjuluk Tuyul
Tangan Seribu?" tanya Arya ketika jarak mereka tinggal tiga tombak lagi.
Laki-laki bertubuh pendek itu
tersenyum mengejek.
"Dan..., kalau tidak
salah..., bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu balas
menduga.
"Jangan membalas
pertanyaanku dengan pertanyaan pula!" tegas Dewa Arak.
"Jangan coba-coba
menggertakku, Dewa Arak!" bentak Tuyul Tangan Seribu tak mau kalah keras.
"Orang lain boleh takut dengan nama besarmu! Tapi, akan kubuktikan pada
dunia persilatan kalau Dewa Arak akan tewas di tangan Tuyul Tangan
Seribu!"
"Tuyul Tangan
Seribu!" sebut Dewa Arak dingin. "Kau tidak usah berlagak sok gagah!
Semua orang tahu, kau bersama Kelelawar Beracun telah mengeroyok seorang wanita
muda dan melukainya secara licik! Cepat beritahukan padaku, di mana Kelelawar
Beracun! Dan aku berjanji tidak akan mengusikmu lagi!"
"Dewa Arak! Manusia sombong!
Jangan kira aku takut padamu!" ejek Tuyul Tangan Seribu keras.
Belum lagi gema ucapannya
habis, laki-laki bertubuh pendek itu telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua
tangannya berputaran cepat laksana baling-baling. Seketika bertiup angin kuat
dari kedua tangan yang berputaran itu.
"Menjauh, Kang ...
!" teriak Dewa Arak keras. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi,
gucinya segera dijumput dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk ... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokannya. Seketika itu pula ada hawa hangat yang
menyebar di dalam perutnya, kemudian perlahan naik ke atas kepala.
Bersamaan dengan Arya
mengambil guci araknya, Brata segera berlari menjauh.
Wuuuttt... !
Selagi tubuhnya berada di
udara. Tuyul Tangan Seribu segera melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Kedua
tangannya yang bergerak cepat dan seperti telah berubah menjadi puluhan pasang,
menyambar cepat ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Dan dengan langkah
terhuyung-huyung, Dewa Arak berhasil mengelakkannya. Kaki kanannya melangkah
mundur ke belakang, dengan tubuh agak membungkuk sedikit. Gerakannya begitu
aneh, terhuyung-huyung seperti orang mabuk! Hebatnya, serangan-serangan Tuyul
Tangan Seribu hanya menyambar tempat kosong!
Dengan keras dan penuh kekuatan,
kaki kanan Dewa Arak menyambar cepat ke arah Tuyul Tangan Seribu.
Luar biasanya, laki-laki
bertubuh pendek dan berkepala botak itu hanya memutar-mutarkan kedua tangannya
untuk mematahkan serangan itu!
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Dewa Arak. Mendadak kaki kanannya kembali dilangkahkan ke
depan. Gerakannya pun tidak lagi meliuk-liuk, lemas, dan sempoyongan seperti
sebelumnya. Kemudian dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanannya menyambar
cepat ke arah dada lawan.
Luar biasa! Hanya dengan
memutar-mutarkan kedua tangannya ke bawah, dengan arah gerakan dari luar ke
dalam, laki-laki bertubuh pendek ini mampu mengelakkan serangan itu. Tubuhnya
bersalto ke atas melewati atas kepala Dewa Arak.
Bukan hanya itu saja! Begitu
tubuhnya berada di atas kepala Dewa Arak, kedua tangannya menyampok cepat ke
arah belakang kepala Arya. Kalau kena, tak pelak lagi kepala pemuda berambut
putih keperakan itu akan hancur.
Lagi-lagi, Dewa Arak
membuktikan kelihaian jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya! Kaki kanannya
kembali melangkah ke belakang. Sementara kaki kirinya ditekuk dalam-dalam.
Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke depan.
Wusss ... !
Untuk yang kedua kalinya
sampokan Tuyul Tangan Seribu mengenal tempat kosong, lewat sekitar dua jengkal
dari sasaran.
Kembali Arya tidak tinggal
diam. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, guci araknya diayunkan ke arah
kepala Tuyul Tangan Seribu.
Kuat bukan kepalang tenaga
yang terkandung dalam ayunan guci itu. Jangankan kepala manusia, batu karang
yang paling keras pun akan hancur berkeping-keping bila terkena. Ada hembusan
angin keras yang membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam yang terkandung di
dalam ayunan guci itu begitu kuat.
Tuyul Tangan Seribu memang
luar biasa! Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar mengagumkan!
Gerakannya gesit dan lincah bukan main. Dia bisa melayang-layang di udara tak
ubahnya seperti seekor bengkarung. Memang, laki-laki bertubuh pendek ini
menciptakan ilmu itu dengan mengamati perilaku bengkarung.
Menakjubkan dan indah dilihat
pertarungan antara kedua tokoh sakti itu. Keduanya sama-sama memiliki ilmu
meringankan tubuh yang amat tinggi. Sehingga, pertarungan antara kedua orang
itu tak ubahnya pertarungan dua bayangan saja. Yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan putih dan ungu yang saling sambar, kemudian saling pisah.
Hebat bukan main akibat
pertarungan itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke
udara. Suara mendecit dan menderu mengiringi terjadinya pertarungan.
Pada jurus jurus awal pertarungan
memang berlangsung imbang. Dewa Arak masih bersikap hati-hati, karena belum
mengenal keistimewaan ilmu lawannya. Tapi menginjak jurus kedua puluh lima,
pemuda berambut putih keperakan sudah mulai menguasai keadaan. Dewa Arak kini
mampu mendesak lawan.
Hal ini tidak aneh, karena
Tuyul Tangan Seribu hanya mampu mengimbangi Dewa Arak dalam hal ilmu
meringankan tubuh. Sementara dalam hal mutu ilmu silat dan tenaga dalam, dia
kalah jauh. Berkali-kali sewaktu benturan tenaga di antara mereka sudah tidak bisa
dihindarkan lagi, Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur
tangannya terasa sakit-sakit, dan dadanya terasa sesak bukan main.
Sebuah keuntungan bagi Tuyul
Tangan Seribu. Dewa Arak ternyata tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Tuyul
Tangan Seribu bertarung seperti macan luka. Seluruh kemampuan yang dimilikinya
dikerahkan. Hanya ada dua pilihan baginya. Membunuh atau dibunuh!
Sementara Arya tidak bermaksud
seperti itu. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak bermaksud membunuh lawannya.
Dia masih membutuhkan Tuyul Tangan Seribu agar dapat menemukan tempat
persembunyian Kelelawar Beracun. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak bermaksud
membunuh atau melukainya tedalu berat Dengan demikian, dia harus selalu
bersikap hati-hati. Hal ini sedikit banyak mengurangi kelihaiannya.
Meskipun begitu, karena memang
tingkat kemampuan Dewa Arak berada cukup jauh di atas Tuyul Tangan Seribu,
tetap saja pemuda berambut putih keperakan mampu mendesak lawannya.
"Haaat..!"
Sambil memekik nyaring, Tuyul Tangan
Seribu menyerang. Kedua tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah dada, ulu
hati, dan pusar. Cepat bukan main gerakannya.
Tapi gerakan Dewa Arak masih
lebih cepat lagi Kakinya menjejak tanah, kemudian bersalto ke atas melewati
kepala Tuyul Tangan Seribu. Dan selagi berada di udara, kedua tangannya
meluncur deras ke arah punggung.Tuyul Tangan Seribu terperanjat Dengan
sebisabisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Buk, bukkk...!
Tubuh Tuyul Tangan Seribu
terhuyung-huyung ke depan. Darah segar melesat keluar dari mulutnya. Pukulan
yang menghantam tubuhnya memang telak dan keras bukan main. Laki-laki bertubuh
pendek ini jelas terluka dalam.
Sebelum Tuyul Tangan Seribu
memperbaiki berdirinya, Dewa Arak telah hinggap di tanah. Langsung
dikirimkannya serangan susulan. Kaki kanannya bergerak menyapu.
Dukkk...!
Seketika itu juga tubuh Tuyul
Tangan Seribu terjerembab dan jatuh telentang. Baru saja laki-laki bertubuh
pendek ini hendak bangkit, kaki kanan Dewa Arak kembali bergerak dan menempel
di lehernya. Mau tak mau, Tuyul Tangan Seribu mengurungkan niatnya
"Katakan! Di mana
Kelelawar Beracun?! Maka aku akan mengampunimu," desak Dewa Arak penuh
wibawa.
"Kau kira aku takut mati.
Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu tersenyum mengejek. "Kau keliru kalau
menyangka aku dapat digertak seperti itu!"
"Jangan paksa aku berbuat
kejam. Tuyul Tangan Seribu!" ancam Dewa Arak. "Kau kira aku akan
membunuhmu begitu saja? Tidak! Aku akan menyiksamu sampai kau mau memberi tahu,
di mana Kelelawar Beracun! Sebaliknya, aku akan membebaskanmu kalau kau mau
memberi petunjuk tempat persembunyian Kelelawar Beracun!"
"Cuhhh...!"
Tuyul Tangan Seribu meludah ke
tanah.
"Aku tidak yakin kalau
kau masih mau bertahan apabila aku menyiksamu!"
Setelah berkata demikian, Arya
segera menggerakkan tangannya ke arah bahu kanan Tuyul Tangan Seribu. Dia
hendak menotok jalan darah di bahu kanan itu.
Seketika wajah Tuyul Tangan
Seribu memucat. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, dia tahu kalau jalan
darah di bahu kanan yang akan ditotok Dewa Arak akan
menimbulkan rasa sakit yang
amat sangat. Betapapun beraninya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini, tapi
menghadapi siksaan seperti itu, tentu saja akan takut juga.
"Bukan hanya ini saja
yang akan kulakukan, Tuyul Tangan Seribu! Aku akan menghancurkan seluruh
tulangbelulang di tubuhmu! Maka, kau akan mati setelah mengalami siksaan yang
mengerikan!"
Kian memucat wajah Tuyul
Tangan Seribu. Dirasakan adanya nada kesungguhan dalam ancaman Dewa Arak. Bulu
tengkuknya meremang seketika itu juga.
"Baik! Aku akan
memulainya ... !" ancam Arya.
Seiring dengan selesai
ucapannya, Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah jalan darah di bahu kanan
Tuyul Tangan Seribu.
"Tunggu, Dewa
Arak...!" cegah Tuyul Tangan Seribu
kalap.
"Hm..., mengapa?"
tanya Arya.
"Aku mengaku kalah.
Kelelawar Beracun tidak berada di sini lagi...."
"Lalu, di mana dia
sekarang?"
"Di Pulau Ular...."
"Pulau Ular?" Dewa
Arak mengerutkan alisnya.
"Ya!" sahut Tuyul
Tangan Seribu membenarkan. "Dia memang tinggal di sana. Di Rawa Neraka!"
Seketika Dewa Arak tercenung.
Dia memang telah mendengar berita mengenai Pulau Ular. Sebuah pulau menyeramkan
yang sepatutnya hanya dihuni iblis-iblis saja. Pulau itu benar-benar
menyeramkan, penuh dengan bahaya. Letaknya pun jarang orang yang tahu. Jadi, di
sanakah Kelelawar Beracun tinggal?
Melihat Dewa Arak tercenung,
dan begitu merasakan jejakan pada lehernya mengendur, Tuyul Tangan Seribu
bertindak nekat. Tangannya cepat bergerak mengibas. Seketika itu juga
sekelebatan benda hitam menyambar ke arah Dewa Arak. Benda itu tak lain adalah
logam berbentuk mata anak panah.
Arya terkejut dan cepat
melompat mundur. Maka serangan gelap itu mengenai tempat kosong.
Kesempatan yang hanya sedikit
itu tidak disia-siakan Tuyul Tangan Seribu. Dia cepat bergerak menerjang Arya
dengan serangan maut ke arah ubun-ubun.
Melihat hal ini, Dewa Arak
jadi geram. Kedua tangannya dihentakkan ke depan. Melancarkan jurus 'Pukulan
Belalang'.
Wusss ... ! Bresss...!
Tuyul Tangan Seribu menjerit
memilukan ketika angin keras berhawa panas menyengat telak menghantam dadanya.
Seketika itu juga laki-laki
bertubuh pendek itu terlempar jauh. Sekujur tubuhnya hangus. Tuyul Tangan
Seribu tewas seketika!
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Ada sedikit rasa penasaran di hatinya melihat kematian Tuyul Tangan
Seribu. Dia memang tidak bermaksud membunuhnya.
Setelah mengamati mayat Tuyul
Tangan Seribu sejenak, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Masih ada
tugas baginya, yakni mencari Kelelawar Beracun untuk menyelamatkan nyawa
Melati. Dewa Arak tak ingat lagi kalau masih ada Brata yang berdiri terpaku
melihat kepergiannya.
Berhasilkah Dewa Arak mencari
obat untuk menyembuhkan Melati? Padahal, Kelelawar Beracun pemilik obat
penawar itu berada di Pulau Ular. Sebuah pulau yang penuh tabir rahasia yang
letaknya jarang diketahui orang. Banyak maut yang terbentang sepanjang
perjalanan menuju ke sana.
"Perjalanan Menantang
Maut" menceritakan tentang perjalanan Dewa Arak menuju ke sana!
SELESAI