48 Tenaga Inti Bumi
1
"Haaat..!"
"Hiyaaat..!"
Keheningan pagi yang sejuk di
lereng Gunung Ganjar tiba-tiba terpecah oleh teriakan-teriakan keras melengking
yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Suara riuh rendah itu ternyata
berasal dari mulut dua sosok tubuh yang terlibat dalam sebuah pertarungan.
Ciri-ciri mereka sulit dikenali karena cepatnya gerakan yang dilakukan. Yang
pasti kedua sosok itu mengenakan pakaian abu- abu dan kuning.
Pertarungan itu berlangsung
begitu seru dan menarik. Deru angin keras terdengar setiap kali tangan atau kaki
kedua sosok itu melancarkan serangan.
Hal ini menjadi pertanda kalau kedua belah pihak sama-sama memiliki tenaga
dalam kuat.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras, sosok
bayangan kuning menghentakkan kedua tangan
ke arah lawan. Seketika itu pula segumpal angin keras keluar dari kedua
belah telapak tangannya. Rupanya sosok berpakaian abu-abu tahu kedahsyatan
serangan lawannya. Buktinya sosok berpakaian kuning tak berusaha menanggapi.
Namun sambil menggertakkan
gigi tubuhnya melenting ke atas, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.
Dan....
Glarrr!
Suara menggelegar terdengar
memekakkan telinga.
Gundukan baru sebesar kerbau
di belakang sosok berpakaian abuabu hancur berantakan ketika angin pukulan sosok
berpakaian kuning menghantamnya.
"Cukup, Gandara!"
seru sosok berpakaian abu-abu ketika kedua kakinya telah mendarat di tanah.
Sosok berpakaian kuning yang
baru saja hendak mengeluarkan serangan susulan, langsung menghentikan gerakan
begitu mendengar ucapan itu.
"Bagaimana, Guru?"
tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata seorang pemuda berwajah persegi
bernama Gandara, setelah terlebih dulu memberi hormat.
"Memuaskan! Kau
benar-benar tidak mengecewakan Gandara!
Kau tahu, tingkat kepandaian
yang kau miliki sekarang malah telah melampaui tingkatanku. Aku bangga padamu,
Gandara," sahut sosok berpakaian abu-abu yang ternyata seorang kakek
bertubuh kecil kurus.
"Ah! Itu semua berkat
gemblengan Guru," kilah Gandara merendah.
"He he he...! Kau keliru,
Gandara. Betapapun kerasnya aku mengajarmu, tapi kalau kau tak berlatih keras,
hasilnya tetap akan sia-sia!"
ujar kakek kecil kurus bernada
sungguh-sungguh. "Dengan kata lain, keberhasilan ini tercipta atas
kerjasama kita berdua."
Gandara mengangguk-anggukkan
kepala pertanda menyetujui
ucapan gurunya.
"Satu hal yang perlu kau
ingat, Gandara. Jangan kau sembarangan mempergunakan 'Tenaga Inti Bumi',
kecuali apabila keadaan memaksa.
Perlu kau ketahui, Gandara.
Akibatnya akan sangat dahsyat!" pesan kakek kecil kurus itu lagi.
"Kau tahu, aku sendiri pun tidak memiliki 'Tenaga Inti Bumi' itu. Hanya
kau yang memilikinya karena pemusatan pikiran dari semadi yang kau lakukan. Dan
untuk yang terakhir kalinya kuperingatkan, jangan sembarangan mempergunakannya!
Kau mengerti, Gandara?!"
"Mengerta, Guru,"
jawab Gandara penuh hormat "O ya, kapan kau pergi meninggalkan tempat ini,
Gandara?"
"Kemungkinan besar besok
pagi, Guru. Tapi sebelum pergj, aku ingin
menyajikan sebuah acara perpisahan antara kita. Aku ingin membuatkan
masakan kesenangan Guru," ucap Gandara, agak malu-malu.
"Ha ha ha !" Kakek
kecil kurus tertawa lunak sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya hatinya merasa geli mendengar
perbuatan yang akan dilakukan muridnya.
"Ada-ada saja kau, Gandara!"
"Bagaimana, Guru?"
tanya Gandara meminta kepastian karena kakek itu belum memberikan jawaban.
"Kalau hal itu akan
membuat kau merasa tenang untuk meninggalkan tempat ini, lakukanlah!" ujar kakek kecil kurus
itu bijaksana
Orang tua berpakaian abu-abu
itu menyadari kalau muridnya ingin membalas jasa. Itulah sebabnya keinginan
Gandara dikabulkan.
"Terima kasih,
Guru," wajah Gandara berseri-seri mendengar persetujuan gurunya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan mempersiapkan
segala sesuatunya "
Kakek kecil kurus hanya
mengembangkan senyum. Bahkan sampai Gandara melesat meninggalkan tempat itu
senyumnya masih tersungging.
"Seorang pemuda yang
baik. Aku yakin Gandara akan menggemparkan dunia persilatan. Dia akan menjadi
seorang pendekar yang tangguh. Hhh...! Prakasa..., kau boleh bangga dengan
anakmu," gumam kakek kecil kurus itu pelan sambil menatap tubuh muridnya
yang semakin mengecil di kejauhan.
Masih dengan senyum
tersungging di bibir, kakek kecil kurus itu membalikkan tubuh. Kemudian kakinya
terayun meninggalkan tempat itu.
Tapi baru beberapa tindak
kakinya melangkah, terdengar panggilan keras dari belakang....
"Tirta Geni...! Berhenti
!"
Kakek kecil kurus yang
ternyata bernama Tirta Geni itu menolehke belakang sambil membalikkan tubuh.
Lalu pandangannya diarahkan ke depan. Tampak
dua titik hitam tengah melesat cepat ke arahnya. Kakek kecil kurus itu
mengernyitkan dahi. Disadari kalau dua titik hitam yang tengah menuju ke
arahnya tentu tokoh-tokoh sakti. Suara panggilan barusan terdengar
begitu keras di telinganya, padahal pemiliknya masih demikian jauh. Hal
itu menjadi pertanda betapa hebat kekuatan tenaga dalam mereka.
Tirta Geni tak perlu menunggu
lama untuk bisa melihat jelas dua
titik hitam yang tengah menuju ke
arahnya. Gerakan mereka begitu cepat.
Sehingga hanya dalam sesaat
kedua titik itu telah berada sekitar tiga tombak di depannya.
"Hak hak hak !"
Setelah berada di depan Tirta
Geni, terlihat kedua titik hitam itu ternyata dua sosok tubuh berwajah seram.
Salah seorang dari mereka memperdengarkan tawanya yang mirip suara burung. Dan
memang, ciri-ciri sosok yang tertawa itu mirip burung elang. Potongan tubuhnya
tinggi kurus dengan kulit berwama gelap dan hidung melengkung. Sorot mata yang
bersinar hijau kebiruan, benar- benar memperlihatkan sosok manusia yang mirip
burung!
"Elang Cakar lima!"
desah Tirta Geni tanpa menyembunyikan
perasaan kagetnya. Jelas, dia mengenal sosok yang tengah tertawa dengan
suara aneh itu.
"Rupanya kau masih
mengenaliku, Tirta Geni?!" sahut
sosok mirip burung
elang yang sudah berusia tidak muda lagi itu. Nada suaranya mangandung ejekan.
"Apa kau juga masih
mengenaliku, Tirta Geni?!" selak kawannya yang juga seorang laki-laki tua.
Tirta Geni mengalihkan
perhatian pada sosok yang berdiri di sebelah
Elang Cakar Lima. Tak berapa lama kemudian sosok laki-laki tua itu telah
dikenalinya.
"Kiranya kau, Macan
Terbang Berekor Sembilan."
"Syukur kalau kau masih
mengenaliku, Tirta Geni. Berarti, sekarang kau sudah dapat menduga maksud kedatangan
kami kemari, heh?!" sambut Macan Terbang Berekor Sembilan dengan suara
keras menggelegar laksana auman harimau.
Tirta Geni tak segera
menanggapi ucapan bernada kasar itu. Kakek kecil kurus itu hanya tersenyum
getir sambil menganggukkan kepala.
"Sedikit banyak aku bisa
menduga, karena aku sudah mengenal
betul orang orang macam
kalian. Bukankah kedatangan kalian kemari untuk membalas dendam atas kekalahan
yang kalian terima dariku?!"
Dengan tenang Tirta Geni
mengucapkan perkataan itu, meski sebenarnya perasaan tegang luar biasa tengah
melanda hatinya. "Syukur kalau kau mengetahuinya, Tirta Geni!" sahut
Elang Cakar Lima dengan suara
parau. "Tapi kau tak perlu khawatir. Meskipun kami datang berbarengan,
untuk menghadapimu kami tak akan melakukan pengeroyokan."
Sekali lagi Tirta Geni hanya
tersenyum getir mendengar ucapan
itu. Disadarinya, meskipun
Elang Cakar Lima dan Macan Terbang Berekor Sembilan tidak bersama-sama
menghadapinya, bukan berarti dirinya akan mudah dapat mengalahkan mereka. Kesaktian
dan kepandaian kedua tokoh itu sekarang
sudah sangat tinggi. Belasan tahun lalu Elang Cakar Lima memang dapat
dikalahkannya, tapi dengan susah payah. Hal yang sama pun terjadi atas Macan
Terbang Berekor Sembilan. Memang, dulu tingkat kepandaian mereka tidak
berselisih jauh dengan dirinya.
"Kalau tak berniat
melakukan pengeroyokan, mengapa kalian datang bersamaan?!" tanya kakek
kecil kurus tercenung sesaat.
Bukan tanpa alasan Tirta Geni
mengajukan pertanyaan itu, dia tahu
kalau tempat kediaman kedua
tokoh yang merupakan datuk-datuk persilatan itu saling berjauhan satu sama
lain. Kalau tak bersepakat lebih dulu, mana mungkin bisa tiba berbarengan di
sini? Mungkinkah hanya sebuah kebetulan?
Pikir Tirta Geni sambil menatap kedua tamu tak diundang itu. "Jangan
khawatir, Tirta Geni! Ini hanya sebuah kebetulan. Nah,
sekarang bersiaplah kau!
Selama di perjalanan kami telah mengadakan undian tentang siapa yang lebih dulu
menghadapimu. Dan akulah yang mendapat keberuntungan itu!" seru Macan
Terbang Berekor Sembilan dengan pongah.
"Aku sudah bersiap sejak
tadi, Macan Terbang," ringan jawaban
Tirta Geni. Mendengar jawaban
Tirta Geni, Elang Cakar Lima yang mendapat giliran selanjutnya, segera
menjauhkan diri dari tempat itu. Dengan menghentakkan kakinya perlahan,
tubuhnya sudah berada jauh di pinggir.
Tirta Geni bersikap waspada.
Meskipun sikapnya tetap seperti
semula, sepasang matanya
berkeliaran ke sana kemari mengawasi setiap gerak-gerik Macan Terbang Berekor
Sembilan. Memang, tokoh yang mengenakan rompi loreng itu telah bersiap-siap
hendak melancarkan serangan. Dengan langkah hati-hati dan penuh perhitungan,
didekatinya Tirta Geni yang masih berdiri tenang di tempatnya.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan
menggelegar yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, Macan
Terbang Berekor Sembilan
melancarkan serangan
perdananya. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar harimau, dengan
cepat diluncurkan ke dada Tirta Geni. Ciiit!
Deru angin tajam dari udara
yang terobek menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalam yang
dikerahkan pada serangan itu. Nampaknya Tirta Geni telah mengetahui secara
pasti tindakan lawannya. Meskipun begitu, kakek kecil kurus berpakaian
abu-abu ini tanpa ragu-ragu langsung memapak serangan itu.
Prakkk...!
Bunyi keras terdengar seperti
benturan dua logam, ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga
dalam kuat saling berbenturan. Akibatnya, tubuh Tirta Geni terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang. Dan kedua tangannya dirasakan sakit sekali.
"Ha ha ha...!"
Tawa Macan Terbang Berekor
Sembilan menggelegar keras.
Sebuah tawa kemenangan karena
melihat benturan yang baru saja terjadi, jelas menunjukkan kalau tenaga
dalamnya berada di atas Tirta Geni. Dalam benturan itu kejadian seperti Tirta
Geni tidak dialaminya. Tubuhnya hanya dirasakan sedikit tergetar akibat
benturan itu.
Berbeda dengan Macan Terbang
Berekor Sembilan, Tirta Geni terkejut bukan kepalang melihat hal ini.
Betapa tidak!? Seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya telah
dikerahkan untuk memapak serangan lawan. Ternyata, akibatnya di luar dugaan.
Tenaga dalam Macan Terbang Berekor Sembilan kini berada di atasnya!
"Kaget, Tirta
Geni?!" ejek Macan Terbang Berekor Sembilan. "Itu
belum seberapa. Hhh...! Kau
benar-benar mengecewakanku! Semakin tua malah semakin lemah!"
Tirta Geni tidak memberikan
tanggapan sedikit pun atas ejekan yang diberikan lawannya. Diyakininya kalau
tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh, dan juga
kemampuannya telah meningkat cukup pesat jika dibandingkan dengan yang
dimilikinya belasan tahun lalu. Namun, kenyataannya benturan yang baru saja
terjadi telah menjadi bukti yang tak bisa dibantah. Macan Terbang Berekor
Sembilan ternyata telah mengalami kemajuan lebih pesat.
Tapi hanya sebentar Tirta Geni
larut dalam perasaan kagetnya.
Dia yakin selama belasan tahun ini, Macan Terbang Berekor Sembilan telah
berlatih keras untuk dapat membalas kekalahannya. Sedangkan dirinya?
Meskipun tetap berlatih dan
menyempurnakan ilmu yang dimiliki, tetap usahanya tak bisa sekeras Macan
Terbang Berekor Sembilan. Hal ini juga karena sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mendidik Gandara! Jadi, tak aneh kalau perkembangan ilmunya
tak secepat yang dialami Macan Terbang Berekor Sembilan.
Tirta Geni tak bisa
terlalu lama tenggelam dalam alam pikirannya, karena Macan
Terbang Berekor Sembilan telah bersiap-siap melakukan serangan susulan.
Rupanya, kakek berompi kulit harimau ini telah bisa menguasai rasa gembira yang
melanda hati atas keunggulannya. Sesaat kemudian, Macan Terbang Berekor
Sembilan telah melancarkan serangan kembali.
Pertarungan kedua tokoh yang
berbeda aliran dan sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu, kembali
berlangsung. Kedua pihak mengeluarkan seluruh kemampuan untuk dapat merobohkan
lawan secepatnya.
Sesaat kemudian, tubuh kedua
kakek itu telah lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanya kelebatan
sosok bayangan abu-abu dan loreng dalam bentuk tidak jelas. Kedua sosok
bayangan itu saling belit, dan hanya kadang-kadang saja saling pisah.
Bunyi riuh rendah pun
mengiringi jalannya pertarungan. Bunyi itu
berasal dari setiap gerakan
tangan atau kaki kedua belah pihak. Ditambah
lagi dengan terbongkarnya tanah di sana-sini. Debu pun mengepul ke
udara.
Jurus demi jurus berlangsung
demikian cepat karena kedua tokoh
tua itu memang sama-sama
memiliki gerakan yang cepat. Sehingga dalam waktu tidak lama, empat puluh jurus
telah berlalu. Dan sampai saat itu keadaan belum berubah, Tirta Geni tetap
dalam keadaan terdesak.
Tidak aneh kalau Tirta Geni
berada di pihak yang terdesak. Sejak awal dirinya telah merasa kalah dari segi
tenaga dalam maupun ilmu
meringankan tubuh. Dan
kekalahan ini menyebabkan kakek kecil kurus itu menerapkan taktik pertarungan
gerilya. Setiap kali Macan Terbang Berekor Sembilan melancarkan penyerangan,
tubuhnya selalu mengelak. Demikian juga, setiap kali melancarkan serangan
balasan. Jika dilihatnya Macan Terbang Berekor Sembilan akan melakukan
tangkisan, Tirta Geni selalu membatalkannya.
Hal itu terpaksa dilakukan
Tirta Geni karena kekuatan tenaga
dalamnya berada di bawah Macan
Terbang Berekor Sembilan. Jika sampai terjadi benturan, rasa sakit pasti akan
menderanya. Itulah sebabnya, sedapat mungkin diusahakan untuk tidak mengadu
tenaga dengan Macan Terbang Berekor Sembilan. Tentu saja hal itu
terpaksa dilanggarnya kalau keadaan tak memungkinkan.
Karena keputusan yang
diambilnya itu, tidak aneh kalau Tirta Geni berada di pihak yang terus-menerus
didesak. Dan apabila hal itu terus dilakukan, sampai kapan dirinya dapat
bertahan? Elakan demi elakan yang dilakukan, membuat kakek kecil kurus itu
semakin terdesak.
Semua kejadian itu disaksikan
oleh Elang Cakar Lima. Tanpa
sadar kepalanya
terangguk-angguk. Dalam hati dipujinya kelihaian Macan Terbang Berekor
Sembilan. Diakuinya pula kalau kakek berompi kulit harimau itu merupakan
seorang lawan yang amat tangguh. Dan dia pun menduga kalau akhirnya Tirta Geni
akan roboh di tangan Macan Terbang Berekor Sembilan.
Elang Cakar Lima tak perlu
menunggu terlalu lama untuk
membuktikan kebenaran
dugaannya. Ketika pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh, keadaan Tirta Geni
semakin terjepit. Hal ini menjadi pertanda kalau robohnya Tirta Geni sudah
semakin dekat.
Pada jurus ketujuh puluh
empat, sambil mengeluarkan auman
keras menggelegar laksana
harimau murka, Macan Terbang Berekor Sembilan melakukan lompatan harimau ke
depan. Kemudian dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hanya
sebentar saja, karena langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada dan
perut Tirta Geni. Serangan itu dilakukannya dengan kedudukan tubuh setengah
berjongkok.
Kali ini Tirta Geni tidak
punya kesempatan untuk mengelak. Maka diputuskan untuk memapak serangan itu
kalau tidak ingin dada dan perutnya tercabik-cabik cakar Macan Terbang Berekor
Sembilan. "Hih!"
Sambil menggertakkan gigi dalam
usahanya untuk mengumpulkan seluruh tenaga yang dimilikinya,
Tirta Geni menghentakkan kedua tangan untuk memapak serangan Macan Terbang
Berekor Sembilan.
Prakkk! "Akh!"
Tubuh Tirta Geni
terhung-huyung ke belakang disertai jerit
tertahan dari mulutnya karena
sakit yang mendera kedua tangannya. Ketika Tirta Geni tengah berada dalam
keadaan yang tidak menguntungkan itu, Macan Terbang Berekor Sembilan kembali
menggenjotkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke arah lawan. Tirta
Geni terkejut bukan kepalang melihat hal
itu. Apalagi ketika melihat kedua tangan Macan Terbang
Berekor Sembilan yang meluncur deras ke arahnya. Karena tak memungkinkan untuk
menghindar, kakek kecil kurus ini memaksakan diri menangkis, meskipun kedua
tangannya masih terasa sakit akibat benturan sebelumnya.
Prattt! Jrebbb!
"Akh...!"
Kejadiannya berlangsung begitu
cepat. Tahu-tahu tubuh Tirta Geni terjengkang ke belakang dengan cucuran darah
dari perut dan dadanya. Jeritan menyayat hati keluar dari mulut kakek kecil
kurus itu. Kedua cakar Macan Terbang Berekor Sembilan berhasil menghunjam dada
dan perut Tirta Geni hingga robek lebar. Karena serangan itu datang
bertubi-tubi dan begitu cepat, membuat serangan itu tetap mengenai sasaran,
meskipun beberapa kali Tirta Geni berhasil menangkisnya.
"Ha ha ha...!"
Macan Terbang Berekor Sembilan
tertawa bergelak-gelak melihat Tirta Geni berdiri dengan kedua kaki menggigil
dan kedua tangan
mendekap dada dan perut. Kakek
berompi kulit harimau itu tahu kalau Tirta Geni tak akan mungkin bisa
diselamatkan lagi karena luka-lukanya terlalu parah itulah sebabnya dia tak
kembali melancarkan serangan susulan. "Tidak percuma aku menyiksa diri
selama belasan tahun,
mengurung diri di tempat yang
terpencil dan menjauhi keramaian. Karena sakit hati belasan tahun lalu berhasil
kutuntaskan hari ini. Ha ha ha...!"
Terbayang kembali di benak
Macan Terbang Berekor Sembilan
saat-saat kekalahannya dahulu
ketika bertarung dengan Tirta Geni. Dan hal itu terjadi akibat kecerobohannya
juga. Belasan tahun lalu, dirinya seperti juga Elang Cakar Lima adalah
datuk-datuk kaum sesat. Namun, berbeda dengan Elang Cakar Lima, dia sama sekali
tak mau punya pengikut. Macan Terbang Berekor Sembilan selalu bertualang ke
sana kemari mengumbar kejahatan dan kekejaman.
Sudah puluhan bahkan mungkin
ratusan kali Macan Terbang Berekor Sembilan bertarung tak terkalahkan. Sampai
suatu hari dia
melakukan sebuah kesalahan,
dalam sebuah pertarungan, telah membunuh seorang pendekar muda. Pendekar muda
itu ternyata memiliki seorang kakak kandung dan orang itu adalah Tirta Geni.
Tirta Geni pun mencarinya, dan ketika bertemu pertarungan sengit pun tak bisa
dielakkan lagi.
Saat itulah, untuk pertama
kalinya, Macan Terbang Berekor Sembilan menerima kenyataan pahit.
Dia dikalahkan oleh Tirta Geni.
Bahkan hampir tewas kalau saja
tidak sempat meloloskan diri dengan berlindung di balik asap beracun. Sejak
saat itulah Macan Terbang Berekor Sembilan bersumpah untuk membalas
kekalahannya. Dan kini sumpahnya terpenuhi.Tirta Geni sama sekali tidak
mempedulikan ucapan-ucapan bernada gembira yang keluar dari mulut Macan Terbang
Berekor Sembilan. Saat itu dia tengah disibukkan oleh rasa sakitnya. Dan
meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat berdiri tegak, ternyata dia
tetap tak mampu. Dan....
Brukkk!
Tirta Geni pun ambruk di
tanah. "Ha ha ha !"
Macan Terbang Berekor Sembilan
kembali tertawa bergelak.
Suaranya begitu keras dan
memekakkan telinga, karena disertai pengerahan tenaga dalam. Dan keriuhrendahan
itu semakin menjadi-jadi ketika Elang Cakar Lima ikut pula tertawa.
"Kau mendapat kehormatan
besar dariku, Tirta Geni. Kau
menjadi orang pertama yang tewas di tanganku semenjak aku keluar dari
tempat menyiksa diri. Dan korban berikutnya adalah Dewa Arak! Ha ha ha !
Nama besar tokoh muda itu
telah lama kudengar! Tapi dia pun harus tewas
di tanganku! Setelah itu, aku,
Macan Terbang Berekor Sembilan, akan menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia
persilatan! Ha ha ha !"
Kegembiraan meluap luap di
hati Macan Terbang Berekor
Sembilan. Suara tawanya pun
terdengar semakin keras membahana. "Kau melupakanku rupanya, Macan
Terbang. Apa kau kira aku
tidak memiliki keinginan yang
sama denganmu, heh?!" selak Elang Cakar Lima dengan suara paraunya.
"Ha ha ha ! Kalau begitu,
kita berlomba untuk lebih dulu
menemukan dan membunuh Dewa
Arak! Setelah itu, baru kita tentukan
siapa yang lebih patut menjadi jago
nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha !" sahut Macan
Terbang Berekor Sembilan ringan pertanda menantang. "Baik! Aku terima
tantanganmu!" sambut Elang Cakar Lima mantap. "Dua bulan lagi kita
bertemu di Bukit Angsa!"
Setelah berkata demikian,
Elang Cakar Lima melesat cepat dari
situ. Dan hanya dalam beberapa
kali lesatan, tubuhnya tinggal berupa titik hitam yang semakin lama semakin
kecil dan akhirnya lenyap di kejauhan. Dan ketika tubuh Elang Cakar Lima telah
lenyap dari pandangan,
Macan Terbang Berekor Sembilan
baru mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi ditujukan pada Elang Cakar Lima.
Diperhatikannya tubuh Tirta Geni sekilas sebelum melesat dengan cepat pula meninggalkan tempat itu. 2
"Hhh...! Betul betul hari
yang sial!" keluh seorang pemuda berpakaian kuning bernada kesal.
Sepasang mata pemuda itu
diedarkan ke sekelilingnya yang terdiri jejeran pohon besar kecil diseling semak-semak
lebat. Jelas, pemuda berpakaian kuning ini berada di sebuah hutan.
"Mengapa hari ini tak
seekor kijang pun yang kulihat? Sejak tadi
hanya kelinci yang ada.
Hhh...! Haruskah kubatalkan maksudku? Sejak tadi berkeliling, belum juga nampak
yang kucari."
Keputusasaan nampak jelas
dalam ucapan pemuda berpakaian kuning itu. Langkahnya pun dihentikan.
"Tapi di mana harus
kutaruh mukaku atas kegagalan ini? Padahal
aku sudah berjanji pada guru
untuk membuatkan makanan kesukaannya?!" Sesaat lamanya pemuda berpakaian
kuning itu termenung dengan menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Perasaan
bimbang menjalari hatinya. Akan diteruskan maksud semulanya atau tidak.
Namun keinginan untuk
menyediakan masakan kegemaran gurunya jauh lebih kuat. Maka pemuda berpakaian
kuning itu pun
mengambil keputusan untuk
melanjutkan pencarian. Kaki yang semula sudah berhenti, kembali diayunkan.
Pilihan pemuda berpakaian
kuning itu rupanya tidak sial seperti sebelumnya. Baru
beberapa tindak kakinya melangkah, telah dilihatnya apa yang tengah dicarinya.
Dalam jarak beberapa tombak di
hadapannya tampak empat ekor
kijang tengah asyik memakan
rumput Melihat hal ini tanpa dapat dicegah, jantung pemuda berpakaian kuning
berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Rasa tegang menyelimuti hatinya.
Khawatir akan menimbulkan
keterkejutan hewan-hewan itu,
sehingga mengakibatkan
kegagalan usahanya, pemuda
berpakaian kuning itu tidak
berani bertindak gegabah. Selama beberapa saat dia hanya berdiam diri di
tempatnya. Tubuhnya disembunyikan di balik sebatang pohon besar.
Dan dari sini matanya
mengintai terus sambil memutar otak mencari cara untuk menangkap binatang
buruannya.
Beberapa saat kemudian, pemuda
berpakaian kuning itu langsung menentukan pilihan salah satu di antara keempat
kijang yang akan dijadikan hidangan untuk gurunya. Dipilihnya kijang yang
paling besar dan gemuk.
Kemudian nampak pemuda
berpakaian kuning memasukkan
tangannya ke balik baju. Dan
ketika ditarik kembali, telah tercekal empat bilah pisau tajam berkilat. Semua
itu dilakukan dengan hati-hati, karena khawatir kijang-kijang itu akan
mengetahui kehadirannya.
"Hih!"
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring dari
luncuran pisau-pisau yang
merobek udara, terdengar ketika pemuda berpakaian kuning melemparkannya.
Karuan saja bunyi berisik itu menimbulkan kekagetan kijang-kijang yang tengah
asyik merumput
Seketika itu pula
binatang-binatang itu berhamburan mencari
selamat secara panik karena
mengetahui ada bahaya tengah mengancam. Namun....
Cappp!
Kijang paling besar yang
diincar pemuda berpakaian kuning
melenguh kesakitan, ketika dua
bilah pisau menancap di tubuhnya. Satu menancap di paha kanan belakang,
sedangkan yang lainnya menembus leher
Meskipun demikian, binatang
itu masih terus berusaha untuk menyelamatkan diri. Kijang itu terus berlari.
Tapi, baru beberapa langkah tubuhnya ambruk di tanah, menggelepar-gelepar
sejenak lalu diam tak bergerak lagi.
Semua kejadian itu disaksikan
secara jelas oleh pemuda berpakaian kuning yang begitu gembira melihat keberhasilan
usahanya. Maka buruburu tubuhnya melesat menghampiri kijang yang telah terkulai
berlumur
darah. Diperhatikannya
sejenak, dibopong, kemudian dibawanya pulang. Pemuda berpakaian kuning
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya karena ingin segera
tiba di tempat gurunya. Dia ingin segera menghidangkan masakan daging kijang
ini. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Sekarang yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan kuning yang melesat cepat meninggalkan Hutan Ganjar.
Tak berapa lama kemudian,
pemuda berpakaian kuning itu telah
berada tidak jauh dengan
kediaman gurunya. Namun wajahnya yang semula
penuh kegembiraan,
perlahan-lahan memudar dan berganti keheranan.
Tibatiba
matanya melihat sosok tubuh
yang tergeletak di kejauhan.
Masih dengan hati yang
diliputi tanda tanya, pemuda berpakaian
kuning terus berlari. Dari
jarak kejauhan, matanya belum mampu mengenali dengan jelas sosok tubuh yang
tergolek itu.
Semakin dekat, kian terlihat
jelas sosok yang tengah tergolek itu.
Dan seiring dengan itu pula,
perasaan cemas mulai bergayut di hatinya. Segumpal perasaan khawatir timbul
ketika melihat sosok yang tergeletak itu mengenakan pakaian abu-abu.
"Guru...!" ucapnya
tersendat-sendat, setelah meletakkan kepala
sosok abu-abu itu di
pangkuannya. "Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini...?!"
"Gandara...," ucap
sosok abu-abu perlahan.
"Katakan, siapa yang
telah melakukan kekejian ini. Guru...!" desak pemuda berpakaian kuning.
"Dewa Arak..., Gandara,
kumohon kau... akh...!"
Dan ketika jarak antara
keduanya tinggal sepuluh tombak lagi, kekhawatiran yang melanda hati pemuda
berpakaian kuning langsung meledak. Sosok tubuh yang tergolek itu ternyata
memang gurunya. "Guru...!" seru pemuda berpakaian kuning itu keras.
Rasa sedih dan kaget tercuat dalam jeritannya.
Tanpa rasa sayang lagi, kijang yang
tengah dibopongnya dilemparkan begitu saja. Lalu dia meluruk cepat menghampiri
tubuh gurunya. "Guru...!" ucapnya tersendat-sendat, setelah
meletakkan kepala
sosok abu-abu itu di pangkuannya.
"Siapa yang telah melakukan semua kekejian ini...?!"
Perlahan-lahan kelopak mata
sosok abu-abu itu membuka. "Gandara...," ucap sosok abu-abu perlahan.
"Katakan, siapa yang
telah melakukan semua kekejian ini, Guru!" desak pemuda berpakaian kuning
yang ternyata Gandara.
Sosok abu-abu yang tak lain
Tirta Geni tidak langsung
menjawab pertanyaan muridnya. Keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan.
Bahkan ketika akhirnya ucapannya keluar, itu pun secara tersendat-sendat dan
perlahan sekali.
"Dewa Arak..., Gandara,
kumohon kau.... Akh...!"
Sebelum sempat menyelesaikan
ucapannya, nyawa Tirta Geni telah lebih
dulu melayang. Kepalanya langsung terkulai. Kakek kecil kurus itu tewas di
pangkuan muridnya tanpa sempat memberi tahu kejadian yang telah menimpanya.
Bahkan ucapan yang dikeluarkannya menimbulkan salah paham pada Gandara. Dan ini
terbukti sesaat kemudian....
"Tenanglah, Guru! Aku
berjanji akan membalaskan semua kekejian yang telah dilakukan Dewa Arak
padamu!"
Usai berkata demikian, Gandara
lalu bangkit. Dibopongnya
tubuh Tirta Geni meninggalkan tempat itu. Dibawanya menuju tempat
tinggal mereka selama ini.
Gandara ingin menguburkan
gurunya di tempat kediamannya.
***
Hari telah siang. Sang Surya
telah berada di atas kepala. Tapi
keberadaan awan tebal yang
menggantung di angkasa membuat suasana di persada tak begitu panas. Angin yang
berhembus pun terasa cukup nikmat membelai kulit.
Dalam suasana seperti itu,
sebuah rombongan bergerak perlahan
di atas jalan tanah yang berdebu. Rombongan itu terdiri dari sebuah
kereta
kuda sederhana dan delapan
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang laki-laki berwajah dan
bersikap gagah. Keberadaan delapan ekor kuda itu nampaknya sebagai pelindung
kereta. Buktinya empat kuda berada di belakang dan empat lainnya di depan.
"Hooop...!"
Salah seorang penunggang kuda
terdepan menghentikan langkah kudanya sambil mengangkat tangan kanannya ke
atas. Seketika itu pula rombongan di belakangnya berhenti.
"Mengapa berhenti, Kang
Jaladri?" tanya laki-laki berpakaian biru
tua yang berada di sebelah
kirinya. Sepasang alisnya yang tebal dan hitam tampak berkerut karena rasa
heran tengah melandanya.
"Beritahukan saja agar
semua bersikap waspada, Wiraja!" jawab
orang yang dipanggil Jaladri
tegas. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkumis melintang.
Dan seperti juga laki-laki
beraks tebal, Jaladri pun mengenakan
pakaian biru tua. Dan pakaian
yang sama pun membungkus tubuh semua anggota rombongan. Ini menandakan kalau
mereka semua berasal dari satu perguruan.
"Boleh kutahu mengapa
demikian, Kang?! Bukankah barang
kiriman telah kita antarkan
pada orang yang bersangkutan? Mengapa kita harus khawatir lagi?!" tanya
laki-laki beralis tebal yang merasa heran mendengar perintah Jaladri
Meskipun hanya Wiraja saja
yang mengajukan pertanyaan, semua rekannya pun ikut berdiam diri untuk
mendengarkan jawaban Jaladri. "Apakah selama tugas kita mengantarkan
barang kiriman, pernah melalui tempat ini?!" Jaladri malah balas
mengajukan pertanyaan.
Hampir semua kepala tergeleng
begitu mendengar pertanyaan
Jaladri. Memang, mereka belum
pernah melewati tempat ini. Bahkan ketika mengantarkan barang yang terakhir
kalinya, yaitu saat ini, mereka tidak melewati tempat ini. Hanya dalam waktu
kembali mereka melalui tempat
ini untuk mempercepat
perjalanan.
"Nah! Itulah sebabnya
kuperingatkan pada kalian agar waspada. Kalian lihat dinding gunung yang
menjulang tinggi di kanan dan kiri jalan?!"
Dengan mempergunakan dagunya,
Jaladri menunjukkan tempat yang dimaksud.
"Lihat, Kang,"
sekali lagi Wiraja memberikan jawaban, mewakili teman-temannya. "Tempat
itu berbahaya bagi kita. Orang-orang yang berada di atas
sana dengan mudah dapat
menghancurkan kita. Apalagi dinding tebing itu cukup panjang. Ini berarti
tersedia cukup banyak waktu bagi orang-orang
yang berada di atas untuk melaksanakan maksudnya," jelas Jaladri,
panjang lebar.
Wiraja dan rekan-rekannya
mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan alasan yang dikemukakan laki-laki
berkumis melintang itu. "Perlu kau ketahui, perasaanku membisikkan adanya
bahaya
mengancam. Itulah sebabnya aku
menyuruh kalian bersikap lebih hati-hati. Dan satu-satunya tempat yang akan
digunakan orang-orang itu, menurut dugaanku adalah ketika kita melalui jalan di
antara dinding dinding batu itu. Kalian semua telah siap?!"
"Siap, Kang!"
Hampir serentak seluruh
anggota rombongan berpakaian biru tua itu menyatakan kesiapsiagaannya.
"Kalau demikian, mari
kita berangkat! Tapi, periu kalian dengar
baik-baik taktik yang akan
kita jalankan. Dari sini kita bersikap biasa-biasa saja. Maksudnya, perjalanan
yang kita lakukan tidak usah tergesa-gesa. Tapi begitu mendekati jalan di
tengah-tengah dinding tebing itu, langsung pacu kecepatan kuda kalian.
Mengerti?!"
"Mengerti, Kang!"
"Kalau kau mengetahui
adanya bahaya, mengapa tetap kau
teruskan perjalanan melalui
tempat itu? Apa tak lebih baik kalau kita ambil jalan lain? Jalan semula,
misalnya?!" usul Wiraja.
"Tidak malukah dengan
ucapan yang kau keluarkan itu, Wiraja?!" sembur Jaladri keras. "Kita
sudah telanjur basah. Lebih baik mandi sekalian!"
Wiraja kontan terdiam.
"Nah, sekarang mari kita
berangkat!"
Jaladri lalu mengibaskan
tangannya ke depan, memberi isyarat
pada rombongannya untuk
melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian rombongan orang-orang berpakaian biru
tua itu telah bergerak kembali. Meskipun terlihat tenang, hati mereka
sebenarnya diliputi perasaan tegang. Sekujur urat syaraf dan otoeotot mereka
telah menegang. Sikap waspada pun telah semakin ditingkatkan untuk menghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi.
Semakin mendekati jalan di
antara dua dinding tebing, semakin
besar ketegangan yang melanda.
Dan ketika akhirnya mencapai permulaan jalan yang diapit dinding batu itu,
dengan serempak mereka semua melecutkan cambuk ke bagian belakang tubuh kuda
masing-masing.
Ctar! Ctar! Ctar!
Seketika itu pula bumi
tergetar hebat bagai dilanda gempa akibat berpacunya kuda-kuda itu. Derap kaki
kuda dan gerit roda kereta yang dipantulkan dinding-dinding batu bergema,
menambah riuh rendahnya suasana.
Dan kejadian yang
dikhawatirkan Jaladri ternyata terbukti!
Begitu rombongan mereka berada di tengah jalan antara dua tebing itu,
terdengar suara bergemuruh seperti bukit akan mntuh. Bagai diberi perintah,
mereka semua mendongak ke atas. Dan mendadak wajah-wajah mereka memucat ketika
melihat di atas tebing kanan dan kiri meluruk deras batu-batu sebesar kerbau!
"Awaaasss...!"
Meskipun sudah menduga kalau
kawan-kawannya mengetahui
adanya bahaya itu, Jaladri
tetap berteriak memberikan peringatan. Seketika itu pula rombongan berpakaian
biru itu dengan cepat mencabut senjata mereka
Srat! Srat! Cring! Cring!
Dan secepat senjata-senjata
tercabut, secepat itu pula digerakkan memapak batu-batu yang meluncur ke arah
mereka.
Pyarrr! Pyarrr!
Batu-batu sebesar kerbau itu
hancur berantakan ketika berbenturan dengan pedang di tangan Jaladri
dan rombongannya. Namun sebuah batu sebesar kerbau sempat lolos dari hadangan
dan meluncur ke arah mereka. Akibatnya....
Brakkk!
Seketika itu pula atap kereta
hancur berantakan. Untunglah sang
Kusir telah bertindak cepat.
Tubuhnya telah lebih dulu melesat dari tempat duduknya bersamaan dengan
jatuhnya batu itu di atap kereta.
Karuan saja kejadian
mengejutkan itu membuat kuda-kuda
tunggangan rombongan itu
panik. Binatang-binatang itu kontan melonjaklonjak.
Nampak Jaladri dan
kawan-kawannya sibuk menenangkan kudakuda itu. Dan saat itulah dari atas tebing
berlompatan belasan sosok tubuh. Hanya dalam sekejap saja rombongan Jaladri
telah terkurung.
"Ha ha ha...!"
Seorang laki-laki bertubuh
gemuk, berperut gendut, dan berkepala botak tertawa bergelak. Nampaknya
dialah pemimpin gerombolan yang mencegat rombongan Jaladri.
Melihat tak ada lagi jalan
keluar bagi rombongannya, Jaladri
segera melompat dari punggung
kudanya. Hal yang sama dilakukan kawankawannya.
"Siapa kalian? Mengapa
merintangi jalan kami?!" tanya Jaladri
tenang sambil merayapi
wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Dalam hati, dihitungnya jumlah
gerombolan itu. Ternyata mereka berjumlah enam belas orang. Jaladri
menghentikan tatapannya pada laki-laki berkepala botak yang masih tertawa-tawa.
"Apa hubungan kalian
dengan Prakasa?" tanya laki-laki berkepala
botak setelah menghentikan
tawanya. Sepasang matanya menatap penuh selidik pada gambar sebuah kepalan yang
tersulam dengan benang emas di dada kiri Jaladri dan rombongannya.
"Beliau adalah guru
sekaligus ketua kami. Dan kami semua murid Perguruan Seribu Kepalan,"
jawab Jaladri dengan sikap masih tenang. "Ooo..., begitu kiranya? Kalau
begitu tak sia-sia kami bersusah
payah mencegat perjalanan kalian. Kami semua
bekas anggota
Perkumpulan Gajah Hitam.
Sekarang, kami yakin kalau kau telah bisa menduga maksud penghadangan
kami!" mantap dan tegas jawaban yang
dikeluarkan laki-laki
berkepala botak itu. Jaladri tersenyum mengejek.
"Tentu saja. Bukankah
kalian bermaksud membalas dendam atas
hancurnya ketua dan perkumpulan kalian di tangan guru kami? Dan karena kalian
takut gagal, kalian melakukannya terhadap kami! Bukankah demikian?!"
"Tutup mulutmu!" bentak laki-laki berkepala botak. "Serbuuu...!
Hancurkan mereka...!"
Belasan anak buah laki-laki
berkepala botak yang ternyata bekas
anggota Perkumpulan Gajah
Hitam meluruk ke arah Jaladri dan kawankawannya.
Senjata-senjata yang sejak
tadi telah tercekal di tangan, langsung diayunkan.
Pada saat yang bersamaan,
laki-laki berkepala botak
pun melancarkan serangan pada Jaladri. Pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi. Dentang
senjata beradu diselingi teriakan-teriakan keras membahana, menyemarakkan
jalannya pertarungan. Bunga-bunga api pun bepercikan dari senjata-senjata yang
saling berbenturan.
Kedua rombongan sama-sama
tidak bersikap setengah-setengah dalam melakukan tindakan.
Nampaknya mereka tahu kalau lawan yang
dihadapi adalah musuh bebuyutan.
Dan kalau bertindak setengah-setengah hanya akan mencelakakan diri sendiri.
Karenanya pertarungan pun berlangsung seru.
Pada jurus-jurus awal,
pertarungan masih berlangsung
seimbang. Tapi begitu memasuki jurus kesepuluh, mulai terlihat rombongan
murid
Perguruan Seribu Kepalan mulai
terdesak. Hal ini tidak aneh karena jumlah mereka hanya separuh dari lawannya.
Meskipun rata-rata kepandaian mereka di atas lawannya, tapi tidak terlalu
banyak selisihnya. Maka menghadapi dua orang lawan, mereka kewalahan.
Di antara mereka semua,
Jaladrilah yang paling parah keadaannya. Meskipun lawan yang dihadapi hanya
seorang laki-laki berkepala botak, pemimpin rombongan bekas anggota Perkumpulan
Gajah Hitam, tetap saja dia kewalahan. Ternyata kepandaian yang dimiliki
laki-laki berkepala botak itu sangat tinggi dan berada di atas tingkatannya.
Tak sampai lima jurus bertarung, Jaladri telah dibuat terpontang-panting untuk
menyelamatkan diri.
Akhir dari pertarungan ini
nampaknya sudah dapat diduga. Muridmurid Perguruan Seribu Kepalan akan tewas di
tangan lawan-lawannya.
Dan dugaan itu langsung
menjadi kenyataan! "Aaakh!" Salah seorang murid Perguruan Seribu
Kepalan menjerit, ketika
golok besar salah seorang
lawannya menoreh pergelangan tangannya. Darah pun mengalir dari lukanya dan
tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan.
Sebelum murid Perguruan Seribu
Kepalan yang sial itu sempat berbuat sesuatu, lawan yang lain menusukkan tombak
ke perutnya. Jrebbb!
"Hekh!"
Seketika tubuh berpakaian biru
itu menggelepar-gelepar di tanah
ketika anak buah laki-laki
berkepala botak mencabut tombak dari perutnya. Darah membanjir keluar sebelum
akhirnya murid Perguruan Seribu Kepalan yang malang itu menghembuskan napas
terakhir.
Tewasnya satu orang itu membuat
rombongan Perguruan Seribu
Kepalan semakin kalut. Keadaan
mereka semakin terdesak dan gawat. Satu orang anggotanya tewas. Sementara kedua
orang yang telah berhasil membunuh anak buah Jaladri tidak tinggal diam.
Keduanya langsung bergabung dengan teman-temannya, terus menggempur rombongan
Perguruan Seribu Kepalan.
Tak lama kemudian, seorang
murid Perguruan Seribu Kepalan menyusul tewas. Murid yang apes ini
tewas dengan kepala terpisah dari
lehernya. Melihat keadaan ini,
nampaknya sudah dapat dipastikan tewasnya murid-murid Perguruan Seribu Kepalan
tinggal menunggu saatnya.
Sementara itu, meskipun tak
melihat sendiri kema-tian rekanrekannya,
Jaladri dapat mengetahuinya.
Kenyataan itu membuatnya geram
bukan kepalang. Tapi apa
dayanya? Dia sendiri hanya bisa bermain kucingkucingan
untuk menyelamatkan diri.
Dengan susah payah, Jaladri mempertahankan diri hingga sampai sekarang belum
roboh, meskipun tubuhnya terpontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.
Namun, pada jurus keempat
betas Jaladri jatuh terjerembab, akibat gaetan kaki lawannya. Dan sebelum
sempat bangkit, laki-laki berkepala botak melancarkan serangan susulan. Tongkat
baja putih di tangannya dipukulkan ke arah kepala Jaladri.
Jaladri tahu tak ada yang bisa
dilakukannya. Untuk mengelak sudah tak mungkin lagi. Sedangkan menangkis hanya
tindakan konyol, karena pedangnya sudah terlepas dari tangan ketika tubuhnya
terjerembab. Sehingga yang dapat dilakukannya hanya berdiam diri menunggu ajal.
Namun, rupanya nasib baik
masih berpihak pada Jaladri. Ketika keadaan sangat gawat, tiba-tiba sesosok
bayangan ungu berkelebat menyelak di antara dirinya dan laki-laki berkepala
botak. Dan....
Takkk!
Tubuh laki-laki berkepala
botak terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, ketika sosok
bayangan itu menangkis tongkat bajanya dengan tangan kosong.
"Keparat!"
Begitu berhasil bangkit,
laki-laki berkepala botak langsung
memaki. Ditatapnya sosok yang
telah menggagalkan serangannya, dan kini telah berdiri membelakangi Jaladri.
Sosok itu ternyata seorang
pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang
putih keperakan dan panjang, dibiarkan melambai-lambai tertiup angin. Wajahnya
tampan dan terlihat jantan.
Dengan didahului geraman keras, laki-laki berkepala botak hendak menyerbu pemuda berambut putih
keperakan yang telah mencampuri urusannya itu. Namun gerakannya segera
terhenti, ketika mendengar jeritan menyayat susul-menyusul.
Dengan rasa penasaran, lelaki
berkepala botak menolehkan
kepalanya. Betapa kaget
hatinya ketika melihat seorang gadis berpakaian putih yang juga berambut
panjang tengah mengobrak-abrik anak buahnya. Dan jeritan-jeritan menyayat itu
ternyata berasal dari mulut anak buahnya yang keluar dari kancah pertarungan.
"Bagaimana, Kisanak?!
Sebuah pemandangan yang menarik,
bukan?!" tanya pemuda
berambut putih keperakan, bernada mengejek. "Keparat! Kubunuh kau...!
Hiyaaat. !"
3
Sambil mengeluarkan jeritan
keras menggelegar, laki-laki
berkepala botak menerjang
pemuda berambut putih keperakan itu. Tongkat bajanya diputar-putarkan di atas
kepala sebelum diayunkan ke kepala lawannya. Wuttt! Deru angin keras yang
mengiringj meluncurnya tongkat baja itu menunjukkan betapa kuatnya tenaga
laki-laki berkepala botak. Hantaman tongkat itu mampu menghancurkan batu karang
yang paling keras. Apalagi kali ini yang dijadikan sasaran kepala manusia
yang mempunyai kekuatan di bawah batu karang!
Kedahsyatan serangan itu tentu
saja diketahui pemuda
berambut putih keperakan. Meskipun demikian, dia tetap bersikap tenang.
Sama
sekali tidak nampak
tanda-tanda kalau hendak melakukan tindakan apa pun. Baik mengelak maupun
mencabut senjatanya untuk menangkis.
Tentu saja kenyataan ini
membuat Jaladri yang sudah bangkit
berdiri merasa heran bercampur
khawatir. Apakah pemuda berambut putih keperakan itu sudah gila, sehingga
merelakan kepalanya hancur dihantam tongkat lawan? Perasaan yang sama melanda
laki-laki berkepala botak.
Hanya saja dia tidak
mempedulikan! Tentu saja hatinya berharap agar pemuda berambut putih keperakan
yang usilan itu bisa tewas dalam
segebrakan!
Ternyata dugaan Jaladri
dan laki-laki berkepala botak sama
sekali meleset! Pemuda berambut keperakan itu tidak gila! Terbukti begitu ujung
tongkat hampir mengenai sasaran, tubuhnya dibungkukkan.
Wusss!
Tongkat pun menyambar lewat di
atas kepala pemuda berambut
putih keperakan. Dan pada sat
itu tangan kanan pemuda itu bergerak. Tappp!
Begitu cepat tindakan pemuda
berambut putih keperakan itu! Tahu
tahu pergelangan tangan
laki-laki berkepala botak telah berhasil dicekalnya.
Lalu pemuda itu
menyentakkannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berkepala botak pun ikut tertarik. Dan pada
saat itulah kaki kanan pemuda berambut putih keperakan itu meluncur ke
perutnya.
Bukkk! "Hugkh!"
Telak dan keras sekali
tendangan pemuda berambut putih
keperakan itu mengenai
sasaran. Sehingga tubuh laki-laki berkepala botak terlipat ke depan dengan
wajah merah padam. Sepasang matanya pun melotot keluar. Nampaknya, pemimpin
bekas anggota Perkumpulan Gajah Hitam itu menderita sakit yang hebat.
Dan seketika pemuda berambut
putih keperakan melepaskan
cekalannya. Tubuh laki-laki
berkepala botak pun ambruk ke tanah. Pingsan! Tanpa mempedulikan keadaan
lawannya, pemuda berambut putih
keperakan mengalihkan perhatian ke gadis berpakaian putih yang tadi
mengamuk. Ternyata, gadis itu pun telah menyelesaikan tindakannya. Di
sekelilingnya bergeletakan tubuh-tubuh anak buah laki-laki berkepala botak yang
semuanya berseragam hitam. Mereka semua mengerang kesakitan tanpa mampu bangkit
lagi.
Dan kini, gadis berpakaian
putih itu menghampiri pemuda berambut putih keperakan yang berdiri menunggunya.
"Bagus, Melati! Aku sangat bangga atas tindakanmu kali ini.
Bukankah tak ada di antara
mereka yang tewas?" ujar pemuda berambut putih keperakan itu ketika gadis
berpakaian putih telah berada di dekatnya. "Tidak, Kang," jawab gadis
berpakaian putih yang ternyata Melati
sambil tersenyum manis.
"Untung saja kau telah mengingatkanku lebih dulu. Kalau tidak..., mungkin
aku tak akan mau mengampuni mereka." "Ha ha ha...! Kau masih saja
penuh semangat," puji pemuda
berambut putih keperakan itu.
Saat itulah Jaladri
menghampiri pasangan muda-mudi yang samasama berwajah elok itu.
"Terima kasih atas
pertolongan kalian berdua. Kalau saja
tak ada kalian, mungkin aku dan kawan-kawan hanya tinggal nama,"
sopan dan penuh hormat Jaladri mengucapkan kata-katanya.
"Lupakan, Kisanak!"
sahut pemuda berambut putih keperakan cepat "Hanya kebetulan kami lewat di
tempat ini."
"Boleh aku tahu nama
kalian berdua? Aku Jaladri. Dan mereka kawan-kawanku. Kami dari Perguruan
Seribu Kepalan," ujar laki laki
berkumis melintang itu
memperkenalkan diri. Ditudingkan telunjuknya ke arah kawan-kawannya yang tengah
sibuk mengurus kawan mereka yang tewas.
'Tentu saja boleh, Kang
Jaladri," jawab pemuda berambut putih keperakan sambil tersenyum lebar.
Terpaksa sapaannya dirubah karena Jaladri telah memperkenalkan diri.
"Namaku Arya. Dan kawanku, Melati. Kami berdua pengelana "
"Arya ?!" ulang
Jaladri dengan alis berkernyit dalam. "Sepertinya
aku pernah mendengar nama itu.
Arya Ah! Apakah nama lengkapmu
Arya Buana?!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu menganggukkan kepala.
Bibirnya menyunggingkan senyum
lebar. Sudah bisa diduganya kelanjutan yang akan diucapkan Jaladri. Dan memang
dia tidak salah. Hal itu terbukti sesaat kemudian.
"Jadi..., kau Dewa Arak!
Ya! Kau pasti Dewa Arak! Rambutmu ,
pakaianmu..., kesaktianmu ,
dan juga guci arak di punggungmu. Ya! Kau
pasti Dewa Arak!" urai
Jaladri seraya merayapi sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Pemuda berambut putih
keperakan yang ternyata Arya dan lebih
dikenal dengan julukan Dewa
Arak hanya menyunggingkan senyum lebar. Sama sekali tak diberikannya tanggapan
atas ucapan Jaladri.
"Bolah aku tahu ke mana
tujuanmu, Dewa Arak?!" tanya Jaladri lagi.
"Kami tidak punya tujuan,
Kang Jaladri. Dan kuharap kau panggil aku dengan namaku saja."
"Ah! Maaf, De , eh, Arya!
Bagaimana kalau ikut kami? Ketua
kami, Prakasa, sudah lama
sekali mengagumi sepak terjangmu. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Beliau
sering berpesan, apabila di dalam perjalanan kami bertemu denganmu, harap
diminta untuk singgah ke tempatnya. Bagaimana, Arya?!" tanya Jaladri penuh
harap.
Arya tak langsung menjawab
pertanyaan itu. Kepalanya menoleh
ke arah Melati. Dia ingin melihat
tanggapan kekasihnya. Meskipun tahu kalau Melati selalu menyerahkan keputusan
padanya, tetap tak pernah dilupakannya untuk meminta tanggapan Melati.
Dan seperti biasa, Melati
hanya mengangkat kedua bahunya pertanda menyerahkan keputusan ini padanya.
"Baiklah, Kang Jaladri.
Kami ikut rombonganmu," jawab Arya menyetujui.
Tentu saja Arya tak begitu
mudah menerima permintaan itu. Telah dipertimbangkannya masak-masak terlebih
dahulu. Dewa Arak telah mengetahui kalau Prakasa seorang tokoh aliran putih.
Meskipun demikian, tokoh itu ternyata amat menghormatinya. Itu bisa
diketahuinya dari pesan yang disampaikan lewat muridnya. Kalau tidak menerima
undangan itu, sama saja dirinya tak menghargai Prakasa. Itulah sebabnya Dewa
Arak menerima undangan itu.
Kemudian, setelah
kawan-kawan Jaladri selesai
mengurus mayat murid murid Perguruan
Seribu Kepalan, rombongan itu pun berangkat. Tujuan mereka Desa Kedu, tempat
Perguruan Seribu Kepalan berada.
***
"Luar biasa! Sama sekali
tak kusangka kalau Jaladri bisa bertemu denganmu, Dewa Arak! Tapi yang lebih
tak kusangka lagi kesediaanmu menerima undangan ku! Terima kasih, terima kasih,
Dewa Arak!"
Ucapan keras penuh kegembiraan
itu keluar dari mulut seorang
kakek berpakaian biru tua.
Tubuhnya yang tinggi besar dan terlihat kekar itu membuatnya kelihatan angker.
Apalagi ditambah lagi dengan cambang bauk lebat yang menghias wajahnya.
Dialah Prakasa, Ketua Perguruan Seribu Kepalan.
"Ah! Kau terlalu
berlebihan, Ki. Seharusnya bukan
kau yang mengucapkan terima
kasih, tapi aku. Karena aku telah mendapat kehormatan yang demikian besar,
mendapat undangan dari seorang tokoh
besar sepertimu. Bukan begitu,
Melati?" kilah Arya sambil menoleh ke arah kekasihnya.
"Apa yang dikatakannya
benar, Ki. Memang, seharusnya kami
yang berterima kasih padamu.
Kang Arya hanyalah seorang tokoh muda, dan kau tokoh tua. Sepantasnya, yang
mudalah harus memberikan penghormatan, bukan yang tua," sambut Melati.
"Ha ha ha...! Kalian
berdua memang pasangan yang luar biasa.
Sama-sama lihai, sama-sama
merendah, dan sama-sama menyenangkanku. O ya, sebelum kita lanjutkan
pembicaraan ini. Bagaimana kalau kita serbu
dulu hidangan di depan kita?!" dengan sikap yang menyenangkan hati,
Prakasa menawari Dewa Arak dan Melati untuk mencicipi hidangan.
"Terima kasih, Ki."
Hanya itu yang diucapkan Dewa
Arak dan Melati. Sesaat
kemudian, didahului oleh
Prakasa, ketiga orang yang duduk di sebuah meja bundar indah dan berukir itu
mencicipi hidangan yang tersedia. "O ya, Ki. Apakah kau sudah mempunyai
persiap-n..., ehm
maksudku..., siapa yang akan
menggantikanmu memimpin Perguruan Seribu Kepalan ini?!" tanya Arya ingin
tahu.
"Tentu saja pada putraku,
Dewa Arak," ringan jawaban kakek tinggi besar itu.
"Boleh kami berkenalan
dengannya, Ki?!" kali ini Melati yang mengajukan pertanyaan. "Tentu
dia pun gagah seperti dirimu." "Itu sudah pasti,
Melati!" sahut Prakasa membanggakan. "Bahkan
mungkin lebih gagah
daripadaku. Tapi tentu saja tak sehebat kalian berdua." "Ah! Kau bisa
saja, Ki. Kalau dia lebih sakti dari padamu,
bagaimana mungkin kami akan
mampu menghadapinya. Dibandingkan dengan dirimu saja, kami berdua bukan
apa-apa," sahut Arya merendahkan diri.
"Kau memang terlalu
merendahkan diri, Dewa Arak," sergah Ketua Perguruan Seribu Kepalan penuh
kagum.
"Boleh aku bertanya
sesuatu, Ki?!" celetuk Melati.
"Tentu saja boleh,
Melati. Silakan! Tanyakan saja semua yang
kalian perlu ketahui. Untuk
tamu-tamu kehormatan seperti kalian, tidak ada hal yang berupa rahasia!"
'Terima kasih atas
kesediaanmu, Ki. Pertanyaanku tidak berupa
rahasia. Aku hanya ingin
penjelasan atas ucapan yang tadi kau berikan." "Apa itu, Melati.
Katakan saja, jangan ragu-ragu," sambut Prakasa memberi dukungan.
Sikap Melati yang agak
ragu-ragu membuat Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu jadi semakin ingin tahu.
Itulah sebabnya dia
memberikan dukungan. Perasaan
yang sama pun melanda hati Arya. Dia pun ingin tahu pertanyaan yang akan
diajukan Melati.
"Begini, Ki. Kau tadi
mengatakan bahwa putramu itu lebih hebat
darimu. Mengapa bisa begitu?
Sepengetahuanku, jarang ada murid atau anak yang bisa me-ebihi guru atau
ayahnya."
"Ha ha ha...! Sebuah
pertanyaan yang bagus, Melati. Dan memang, ucapanmu itu tidak salah. Tapi perlu
kau ketahui, kukatakan putraku akan lebih hebat daripadaku. Hal itu karena dia
menjadi murid kawanku yang memiliki kepandaian di atasku. Jadi, bukan tak
mungkin putraku akan memiliki kepandaian melebihiku," urai Prakasa
panjang lebar. "Ooo...,
begitu kiranya, Ki?! Berarti dia tidak ada di sini?" tanya
Melati lagi.
"Benar. Putraku masih
berada di tempat gurunya. Tapi, mungkin dalam beberapa hari ini akan berada
di sini. Karena dia menjadi murid
kawanku itu hanya untuk waktu
sepuluh tahun. Dan kini sepuluh tahun telah lewat"
"Boleh aku mengetahui
kisahnya sehingga putramu bisa menjadi
murid kawanmu itu, Ki?
Sepantasnya kaulah yang lebih dulu mendidiknya. Baru setelah putramu itu
mewarisi sebagian besar ilmu-ilmumu, boleh menjadi murid kawanmu. Maaf, kalau
ucapanku ini terlalu lancang," ujar Arya hati-hati.
"Tidak apa apa, Dewa
Arak. Bukankah sudah kukatakan, bagi
kalian berdua, tak ada
rahasia. Nah, sekarang akan kujawab pertanyaanmu. Memang, ada alasan kuat yang
mendorong untuk menitipkan anakku pada kawanku."
Prakasa menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkannya
dengan sabar. "Sekitar sepuluh tahun lalu, aku bentrok dengan seorang
datuk
sesat aliran hitam, Elang
Cakar Lima julukannya. Hal itu terjadi karena anak buahnya gemar menyebar
bencana di mana-mana. Nah, dalam
pertarungan itu kami sama-sama
terluka parah. Meskipun Elang Cakar Lima menderita lebih parah aku tetap harus
beristirahat sekitar satu tahun untuk memulihkan seluruh kemampuan
tubuhku."
Sekali lagi Ketua Perguruan
Seribu Kepalan ini menghentikan ceritanya. Ditelannya air liur untuk, membasahi
tenggorokannya yang kering.
"Dalam keadaanku yang
seperti itu, amat berbahaya kalau putraku bersamaku. Saat itu, Perguruan Seribu
Kepalan belum mempunyai murid
sebanyak sekarang.
Sedangkan aku banyak menanam permusuhan di manamana.
Karena aku tidak bisa tinggal
diam mengetahui adanya tindak ketidakadilan. Maka ketika kawanku datang, segera
kutitipkan putraku padanya. Nah! Itulah ceritanya, Dewa Arak, Melati,"
ujar Prakasa menutup ceritanya. Dewa Arak dan Melati pun terdiam. Setelah
Prakasa menghentikan ucapannya, keheningan pun menyelimuti tempat itu. Dan kini
ketiga orang
itu kembali menyantap
hidangannya.
Sementara itu, ketika Dewa
Arak, Melati, dan Ketua Perguruan Seribu
Kepalan tengah sibuk dengan hidangannya, seorang pemuda
berpakaian kuning tengah
mengayunkan langkah menuju pintu gerbang Perguruan Seribu Kepalan. Sudah bisa
diduga siapa sebenarnya pemuda ini. Ya! Dialah Gandara, murid Tirta Geni.
Dan tepat di depan pintu
gerbang, Gandara berhenti.
Kemudian kepalanya didongakkan untuk membaca deretan huruf-huruf yang
tertera pada sebuah papan tebal berukir yang cukup tebal dan tergantung di
pintu gerbang.
"Perguruan Seribu
Kepalan...," gumamnya perlahan.
Tentu saja kelakuan pemuda
berpakaian kuning itu menarik
perhatian dua murid Perguruan
Seribu Kepalan yang tengah berjaga-jaga di depan pintu gerbang.
"Apa yang kau cari,
Kisanak?" tanya salah satu dari dua murid Perguruan Seribu Kepalan agak
curiga.
"Aku ingin bertemu dengan
ayahku," jawab Gandara ringan. "Ingin bertemu ayahmu?" dua
penjaga itu saling berpandangan satu sama lain. "Siapa ayahmu,
Kisanak?"
"Prakasa."
"Hahhh?!" dua murid
Perguruan Seribu Kepalan itu langsung terlonjak. "Jadi..., kau...,
Gandara?!"
"Benar," Gandara
menganggukkan kepala.
"Ah! Kalau begitu silakan
masuk, Gandara! Ayahmu ada di ruang khususnya. Kau tahu, kan?"
Kembali Gandara menganggukkan
kepala.
"Tapi, sepengetahuanku
ayah hanya ada di ruangan khusus apabila hendak membicarakan sesuatu yang penting,"
ujar Gandara, bimbang. "Memang benar, Gandara. Beliau kedatangan dua orang
tamu yang
amat dihormatinya," sahut
salah satu penjaga yang bertubuh pendek kekar. "Siapa kedua tamu
itu?" tanya Gandara penuh rasa ingin tahu. "Dewa Arak dan
kawannya."
"Apa?!" jerit
Gandara karena rasa kaget yang menggelegak. "Dewa Arak?!"
"Benar, Gandara.
Mengapa...?"
Belum juga ucapan laki-laki
pendek kekar itu selesai, Gandara
telah melesat ke dalam. Bunyi
gemeretak pertanda geram keluar dari mulutnya.
"Gandara! Tunggu...!"
seru murid Perguruan Seribu Kepalan yang satu lagi.
Tapi Gandara tidak
mempedulikannya sama sekali. Terus saja
kakinya diayunkan. Tujuannya
sudah pasti. Ruangan khusus ayahnya. Dan dia sama sekali tidak mengalami
kesulitan untuk menuju ke sana. Karena sewaktu meninggalkan perguruan ini,
usianya sudah sepuluh tahun. Dan saat itu Gandara sudah cukup mempunyai
ingatan untuk mengetahui likuliku perguruan ayahnya.
Kelebatan sosok bayangan
kuning menuju ruangan khusus
Prakasa, tidak luput dari pandangan
murid-murid Perguruan Seribu Kepalan yang ada di sana. Buru-buru mereka
menghadang. Tapi....
"Jangan dihalangi! Dia
Gandara!" seru laki-laki pendek kekar yang ikut menyusul ke dalam.
Mendengar ucapan itu,
murid-murid Perguruan Seribu Kepalan
yang hendak menghadang pun
mengurungkan maksudnya. Mereka hanya mengikuti kepergian Gandara, karena masih
belum begitu percaya kalau
pemuda berpakaian kuning itu
Gandara. Walaupun ketika melihat gerakgeriknya,
yang sepertinya mengetahui
liku-liku di Perguruan Seribu
Kepalan, kecurigaan mereka
berkurang. Namun kewaspadaan mereka tetap tidak dikendurkan.
Sementara itu, Gandara terus
melesat cepat menuju ruangan khusus ayahnya. Dan ketika akhirnya telah berada
di depan pintu ruangan yang terpisah cukup jauh dari bangunan lainnya,
diketuknya pintu.
Tok, tok, tok !
"Siapa di luar?"
sebuah suara keras bernada tidak senang langsung menyambut Siapa lagi kalau
bukan Prakasa?! "Aku," jawab Gandara tenang.
"Aku siapa? Cepat jawab
sebelum kesabaranku hilang! Tahukah
kau kalau saat ini aku tak mau
diganggu?!" semakin tinggi suara Ketua Perguruan Seribu Kepalan.
"Gandara."
"Hah?!"
Gandara?!" seruan keras karena kaget terdengar.
Sesaat kemudian, daun pintu
itu terkuak lebar. Gandara langsung melangkah mundur. Ditatapnya sosok yang
berdiri di ambang pintu. Hal yang sama pun dilakukan sosok yang tak lain
Prakasa.
"Gandara! Kau benar
Gandara? Ah! Sekarang kau tampak
demikian perkasa," ucap
Prakasa dengan suara bergetar menahan rasa haru yang melanda hatinya.
"Ayah...!" seru
Gandara.
Lalu tanpa sempat diketahui
siapa yang lebih dulu memulai, tahutahu Gandara dan Prakasa sudah saling
berpelukan erat. Rasa rindu yang
sekian lamanya tertahan
tertumpah saat itu. Seketika Gandara pun lupa akan tujuannya semula.
Sementara itu, murid-murid
Perguruan Seribu Kepalan yang tadi membuntuti bergerak mundur ketika melihat
pemuda berpakaian kuning yang masih mereka curigai ternyata benar putra ketua
mereka. Telah mereka lihat sendiri buktinya. Prakasa dan Gandara saling berpelukan.
Cukup lama juga ayah dan anak
itu saling me-numpahkan
kerinduannya sebelum akhirnya
sadar. Prakasa yang lebih dulu sadar dari cekaman perasaan yang melanda
hatinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.
"O, ya. Bagaimana kabar
gurumu?" tanya Prakasa sambil melepas pelukannya. Dia menduga kalau
jawaban Gandara akan menyenangkan hatinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati Prakasa ketika melihat perubahan hebat pada wajah Gandara. Raut wajah itu
menyiratkan
kesedihan yang amat sangat
Sedih, kecewa, dendam, dan marah bercampur dalam hati Gandara.
"Guru telah tewas,
Ayah," jawab Gandara dengan suara bergetar menahan luapan perasaan.
"Tewas?!" ucapan yang keluar dari mulut Prakasa tidak kalah
bergetarnya. Sama sekali tak disangka akan seperti ini jawaban yang
didengarnya. "Tirta Geni tewas?!"
"Benar, Ayah,"
Gandara menganggukkan kepala.
"Ohhh..., Tirta Geni
mengapa kau mendahuluiku...?!" keluh
Prakasa penuh sesal. Terlihat
jelas kalau kakek tinggi besar ini merasa terpukul dengan berita yang didengar
dari putranya.
Suasana seketika hening.
Baik Prakasa maupun
Gandara tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Prakasa dengan rasa
kagetnya, sedangkan Gandara
dengan ingatannya akan kejadian yang menimpa gurunya.
Sementara, Dewa Arak dan Melati
masih tetap duduk di tempat masing-masing. Sepasang pendekar muda itu tahu diri
dan tidak mencampuri. Karena tahu kalau itu bukan urusan mereka.
"Bagaimana kejadiannya sampai bisa seperti itu?" tanya Prakasa ketika
telah berhasil menguasai diri.
"Aku juga tidak tahu,
Ayah," jawab Gandara, kemudian
menceritakan semua kejadian
yang dia-laminya. "Begitu aku
kembali, kulihat tubuh guru tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat.
Tapi sebelum tewas, beliau sempat
menyebutkan orang yang telah melakukan tindakan keji itu "
"Siapa dia, Gandara?!
Biar aku yang akan men-cincang tubuhnya sampai hancur!" desis Prakasa
geram.
"Orang itu adalah Dewa
Arak!" tandas Gandara mantap. "Apa?!" bagai disengat ular
berbisa, tubuh Prakasa langsung
terlonjak. Jelas, kakek tinggi
besar ini tengah dilanda perasaan kaget yang luar biasa. "Apakah kau tidak
salah dengar, Gandara?!"
"Tidak, Ayah. Aku tidak
salah dengar. Dan kudengar Dewa Arak
ada di sini! Biar aku yang
akan mencincang tubuhnya atas tindakan kejinya terhadap guru!"
Usai berkata demikian, Gandara
langsung menerobos masuk ke
dalam. Prakasa sama sekali
tidak melakukan tindakan apa pun. Berita yang didengarnya terlampau mengejutkan
hatinya, sehingga membuat otaknya tidak bisa diajak berpikir. 4
Dewa Arak dan Melati terkejut
bukan kepalang mendengar
jawaban Gandara tentang pelaku
pembunuhan terhadap Tirta Geni. Apalagi ketika melihat pemuda berpakaian kuning
itu menerobos masuk dan menghampiri meja mereka.
"Dewa Arak!"
terdengar penuh getaran ucapan yang dikeluarkan
Gandara. "Telah lama kudengar julukanmu yang menggetarkan dunia
persilatan. Bahkan guruku pun sering menyebuenyebut namamu dengan
perasaan kagum. Sama sekali
tak kusangka kau akan bertindak sedemikian keji terhadapnya. Sekarang
bersiaplah untuk menerima pembalasan dariku, Dewa Arak! Kalau kau bukan seorang
pengecut, cepat temui aku di luar!" "Gandara! Tunggu...! Aku "
Dewa Arak terpaksa
menghentikan ucapannya karena Gandara
telah melesat ke luar.
Maksudnya sudah jelas. Apalagi kalau bukan mencari tempat yang lebih luas untuk
bertarung. Mau tak mau, Dewa Arak pun melesat ke luar. Kalimat Gandara yang
terakhir telah menyinggung harga dirinya. Pantang baginya untuk bertindak
sebagai pengecut!
Melihat hal ini, Melati pun ikut
melesat ke luar. Sementara Prakasa masih berdiri terpaku di tempatnya.
Berita demi berita yang mengejutkan itu membuatnya jadi seperti orang bodoh dan
kebingungan.
Jliggg!
Dewa Arak mendaratkan kedua
kakinya sekitar tiga tombak di
hadapan Gandara. Terlihat
jelas kalau pemuda berpakaian kuning itu telah siap untuk bertarung. Dan
memang, tempat yang dipilih cukup memungkinkan. Mereka berdua telah saling
berhadapan di luar rumah. "Harap kau bisa menahan amarahmu, Gandara!
Percayalah! Bukan
aku orang yang telah membunuh
gurumu. Lagi pula bagaimana mungkin aku bisa membunuh gurumu, bertemu muka pun
belum pernah! Tempat kediaman gurumu pun belum kuketahui!" Dewa Arak
berusaha menenangkan hati murid Tirta Geni itu. Nampaknya dia tahu pasti, ada
kesalahpahaman di sini.
"Apakah kau hendak
mengatakan kalau guruku bermaksud memfitnahmu? Kau keliru, Dewa Arak! Kau tahu,
guruku amat mengagumimu! Dia selalu menceritakan tentang sepak terjangmu
kepadaku! Dan dia menginginkan aku menjadi orang seperti dirimu! Sama sekali
tak kusangka kalau kau, orang yang dikaguminya, sampai hati membunuhnya!
Bersiaplah, Dewa Arak! Walaupun mungkin bukan tandinganmu, akan kupertaruhkan
nyawa untuk membalaskan sakit hatinya!" tegas Gandara.
"Tunggu sebentar,
Gandara! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku
tidak bermaksud mengatakan
kalau gurumu memfitnahku! Tapi, aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mungkin
ada orang yang menyamar sebagai diriku dan "
"Tidak usah bersilat
lidah lagi, Dewa Arak! Guruku bukan orang
bodoh! Dia pasti tahu kalau
ada orang yang menyamar sebagai dirimu!" potong Gandara keras.
"Tapi "
"Tidak usah bersilat
lidah lagi, Dewa Arak! Kalau kau bukan
seorang pengecut, bersiaplah
untuk menghadapiku!" tajam dan keras bukan main ucapan Gandara.
Muka Dewa Arak merah mendengar
ucapan itu. Sudah dua kali
dirinya dimaki pengecut!
Padahal, ucapan seperti itu merupakan pantangan bagjnya. Hatinya begitu
tersinggung.
Kalau Dewa Arak saja yang
mempunyai sikap sabar mulai
terbakar emosi, apalagi Melati? Gadis berpakaian putih itu memang
memiliki watak keras. Sejak tadi hatinya sudah cukup bersabar melihat
kekasihnya yang telah bersikap demikian mengalah, terus-menerus mendapat
hinaan. Dan
sekarang kesabarannya sudah
tak bisa ditahan. Maka tubuhnya pun melesat maju dan berdiri di sebelah Dewa
Arak.
"Biar aku yang menghajar
orang sombong ini, Kang!"
Dewa Arak menggelengkan
kepala. "Tidak, Melati. Kali ini biar aku yang menghadapinya. Aku yang telah
ditantangnya." "Tapi, Kang," Melati masih mencoba mengalah.
"Apakah kau rela
membiarkan orang lain menganggapku sebagai pengecut?!" tanya Arya.
Melati pun terdiam. Kemudian
dengan kepala tertunduk kakinya melangkah mundur, membiarkan Dewa Arak
bertarung dengan Gandara. Bukan hanya Melati saja yang bertindak sebagai
penonton. Prakasa pun melakukan hal yang sama. Memang, dia telah berhasil
menguasai diri. Meskipun demikian, lelaki tua bertubuh tinggi besar itu tidak
bermaksud untuk memisahkan pertarungan yang akan berlangsung.
Sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi, tak ada yang paling
disukai kecuali menyaksikan
pertarungan antara tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti Dewa Arak dan putranya!
Terlepas dari benar tidaknya Dewa Arak yang menjadi pelaku pembunuhan itu,
Prakasa ingin memenuhi kegemarannya lebih dulu.
Sementara itu, Gandara dan
Dewa Arak telah sama-sama bersiap untuk melangsungkan pertarungan.
Dengan langkah hati-hati, Gandara
mendekati Dewa Arak. Sepasang
mata pemuda berpakaian kuning itu terus menatap tajam tindak-tanduk Dewa Arak.
"Hiaaat…!"
Diawali sebuah teriakan keras
menggelegar yang membuat suasana
di sekitar tempat itu tergetar
hebat, Gandara melancarkan serangan terhadap Dewa Arak. Memang, saat itu jarak
antara mereka sudah tidak begitu jauh
lagi.
Gandara membuka serangannya
dengan sebuah tendangan kaki
kanan ke pelipis Dewa Arak.
Dan itu dilakukannya sambil mencondongkan tubuh bagian kirinya.
Wuttt!
Deru angin keras yang
mengiringj tibanya serangan itu membuktikan betapa kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam
tendangan lawannya itu. Hal
itu pun diketahui secara pasti oleh Dewa Arak. Maka dia tidak berani bertindak
gegabah. Dengan cepat kaki kanannya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan
tubuh, sehingga serangan itu tidak
mencapai sasaran.
Selalu mengelak yang dilakukan
Dewa Arak, setiap kali
mendapat serangan dari lawannya. Hal itu dilakukannya agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya saja, tenaga yang dikerahkan ketika
melakukan tangkisan terlalu sedikit atau terlalu banyak. Hal itu juga karena
belum mengetahui besarnya tenaga dalam yang dimiliki lawan.
Melihat serangan pertamanya
mengalami kegagalan, Gandara
menjadi penasaran bukan
kepalang. Kembali serangan susulan yang tidak kalah dahsyat dilancarkannya.
Sesaat kemudian, dua jago muda itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Gandara benar-benar ingin
membuktikan sumpahnya. Seranganserangan yang dilancarkannya selalu mengarah
pada bagian yang
mematikan. Itu pun masih
ditambah lagi dengan pengerahan seluruh keampuannya.
Sehingga tiap kali serangannya
meluncur, maka maut pun siap merenggut nyawa Dewa Arak.
Dewa Arak tahu kalau setiap
serangan Gandara selalu
mengandung hawa maut. Oleh karena itu, dia tak berani bertindak
main-main. Meskipun
belum mengeluarkan ilmu
andalan, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' yang merupakan ilmu-ilmu simpanan yang diwarisi dari
ayahnya langsung dikeluarkan.
Dewa Arak siap mengerahkan
kedua ilmu warisan ayahnya itu.
Dan dengan menggunakan kedua
ilmu itu, dicobanya untuk mengatasi amukan Gandara.
Akibatnya, pertarungan antara
kedua jago muda ini pun
berlangsung seru. Gandara yang
tengah dilanda amarah, melakukan penyerangan bagai gelombang laut,
susul-menyusul seperti tidak pernah putus.
Hal yang sama dilakukan pula
oleh Dewa Arak. Meskipun sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu tidak
bermaksud
membunuh atau melukai
lawannya, karena kedua ilmu yang digunakannya memang menitikberatkan pada
penyerangan, membuat orang yang menyaksikan menafsirkan Gandara dan Dewa Arak
hendak saling bunuh. Prat! Prat! Prat!
Untuk pertama kalinya,
benturan keras dan bertubi-tubi terjadi.
Dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, kedua belah
pihak sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kenyataan itu menandakan
kalau tenaga dalam kedua tokoh muda ini berimbang.
Karuan saja hal itu bukan
hanya membuat Dewa Arak terkejut Prakasa dan Melati pun demikian pula. Mereka
sama sekali tidak
menyangka kalau tenaga dalam
Gandara bisa sekuat itu. Sebuah dugaan langsung menyelinap di dalam benak
mereka. Kalau Gandara saja memiliki tenaga dalam sekuat ini, apalagi gurunya?!
Tapi Dewa Arak tidak bisa
terlalu lama tenggelam dalam alam pikirannya. Gandara telah kembali
melangsungkan penyerangan.
Pertarungan yang sempat terhenti
sejenak itu, langsung berlanjut kembali.
***
Jurus demi jurus berlangsung
secara cepat. Karena, baik Gandara maupun Dewa Arak memiliki gerakan yang
sama-sama cepat. Sehingga, dalam waktu sebentar saja tiga puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar
sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Riuh rendah suara pertarungan
yang tengah berlangsung. Suara
angin menderu, mencicit dan
mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Gandara
bergerak. Akibatnya suasana pertarungan kian mencekam dan menggiriskan. Di sana
sini nampak tanah terbongkar. Pohon pohon besar juga bergetar hebat. Bahkan
ranting dan dedaunan berguguran ke tanah karena tersambar angin pukulan kedua
belah pihak. "Hih!"
Pada jurus kelima puluh
delapan, Gandara melempar tubuhnya ke belakang. Dewa Arak sama sekali tidak
mengejarnya. Diketahuinya kalau Gandara tak bermaksud melarikan diri. Bukan tak
mungkin malah hendak menggunakan ilmu simpanan. Maka Dewa Arak pun bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Jliggg!
Tanpa mendapat kesulitan
sedikit pun karena Dewa Arak sama
sekali tak mengejar, Gandara
berhasil mendaratkan kakinya di tanah. Lalu, tanpa membuang-buang waktu segera
kedua tangannya disilangkan di depan dada. Kedudukan jari-jari tangannya sulit
untuk dilukiskan. Sikap jari-jari tangannya memang terbuka, tapi seperti tak
beraturan. Sebagian terbuka lurus, sebegian lagi agak tertekuk.
"Ssshhh...!"
Diiringi desisan keras,
Gandara menarik kedua tangannya ke
tempat masing-masing. Yang
kanan ke kanan dan yang kiri, ke kiri. Itu dilakukannya secara perlahan-lahan
tapi dengan pengerahan tenaga. Dan seiring dengan gerakan itu, ada sinar
kebiruan yang melingkari sekujur tubuhnya. Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati
yang mengernyitkan kening melihat gerakan pembukaan ilmu yang akan digunakan
Gandara, Prakasa malah terkejut bukan kepalang.
"Gandara! Tahan! Jangan
keluarkan ilmu 'Kelabang Seribu' itu!" seru Prakasa.
Sebagai kawan dekat Tirta
Geni, Prakasa mengetahui ilmu yang
akan digunakan Gandara. Ilmu
andalan Tirta Geni yang bernama 'Kelabang Seribu' itu adalah sebuah ilmu
dahsyat yang untuk menguasainya membutuhkan pemusatan pikiran yang tinggi.
Bahkan Tirta Geni hanya menguasai kulitnya, tidak seluruhnya. Itu pun
jarang dikeluarkannya, karena
ilmu 'Kelabang Seribu' membutuhkan pengerahan seluruh tenaga dalam. Dalam
penggunakan ilmu itu, pengerahan tenaga tidak boleh mengendur. Apabila hal itu
dilanggar, seluruh otot si pemakai akan lumpuh! Itulah sebabnya, Prakasa
terkejut bukan kepalang melihat putranya menggunakan ilmu itu.
Tapi teriakan Ketua Perguruan
Seribu Kepalan itu terlambat
Gandara telah lebih dulu
melompat menerjang Dewa Arak. Terjangan yang dilakukan Gandara itu sama sekali
tidak patut di katakan melompat, melainkan terbang! Tubuh pemuda
berpakaian kuning itu seperti terapung
di udara dan melayang ke arah Dewa Arak.
Kalau Prakasa dan Melati yang
bertindak sebagai penonton
terkejut bukan kepalang
melihat kedahsyatan ilmu itu, apalagi
Dewa Arak yang menjadi sasarannya? Pemuda berambut putih keperakan ini sampai
tertegun. Dan sikap inilah yang hampir saja membuat nyawanya melayang! Betapa
tidak? Dalam keadaan tubuh mengapung dj udara dan terus melayang ke arah Dewa
Arak, Gandara melancarkan serangan sampokan ke pelipis pemuda berambut putih
keperakan itu.
Untuk yang kedua kalinya Dewa Arak merasa terkejut bukan kepalang ketika merasakan adanya suatu
kekuatan tak nampak telah membuat tubuhnya hampir terjungkal ke belakang.
Untung saja dia
bertindak sigap dengan
mengalirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu tanpa ragu-ragu ditangkisnya
sampokan Gandara dengan tangan kiri.
Takkk! "Akh!"
Tanpa sadar jerit kekagetan
meluncur dari mulut Dewa Arak.
Tangannya yang beradu dengan
tangan Gandara dirasakan bagai lumpuh. Bahkan tulang tangan yang berbenturan
seperti hancur berantakan. Sakit bukan kepalang. Sedangkan tubuh Arya
te-huyung-huyung ke belakang bagaikan diseruduk seekor kerbau liar!
Dewa Arak segera menyadari
keadaan gawat ini. Disadari kalau
ilmu 'Kelabang Seribu' milik
Gandara ini tidak bisa ditanggulangi dengan ilmu-ilmu warisan ayahnya. Kalau
hal itu terus dilakukan,
kemungkinan besar jiwanya bisa melayang. Telah dibuktikannya sendiri
kedahyatan ilmu lawannya itu. Ilmu 'Kelabang Seribu' telah membuat tenaga dalam
Gandara bertambah. Entah bagaimana caranya hal itu terjadi, Dewa Arak sama
sekali tidak mengetahuinya.
Karena menyadari keadaan yang
berbahaya itulah, Dewa
Arak memutuskan untuk menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, tepat ketika tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang, diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Dan langsung
dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika
arak itu ditenggaknya dan mengalir
ke perut melalui tenggorokan.
Sesaat kemudian hawa hangat berputar di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa
itu merayap ke atas. Dan ketika akhirnya pengaruh arak itu telah muncul, tanpa
menemui kesulitan sedikit pun Dewa Arak mematahkan kekuatan yang membuat
tubuhnya terhuyung. Bahkan kemudian tubuhnya telah berdiri dengan
kedudukan kaki tidak tetap, oleng ke sana kemari. Saat
itulah serangan susulan Gandara meluncur. Namun, kali ini tidak terlalu sulit
bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dengan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' dan
gerakan sempoyongan seperti
akan jatuh, semua serangan Gandara berhasil dielakkan. Bahkan pemuda berambut
putih keperakan itu mampu melancarkan serangan balasan yang tak
kalah hebat. Akibatnya, pertarungan yang jauh lebih sengit dari sebelumnya pun
berlangsung.
Pertarungan yang tengah
berlangsung pun semakin menakjubkan dan menggiriskan. Bahkan Prakasa
dan Melati beberapa kali nampak menggeleng-gelengkan kepala karena tak kuatnya
menahan kekaguman mereka.
Kalau Prakasa dan Melati saja
merasa kagum bukan kepalang,
apalagi murid-murid Perguruan
Seribu Kepalan? Memang, keributan itu
telah mengundang sebagian murid Prakasa datang ke tempat pertarungan.
Dan begitu melihat sebuah pertarungan menarik tengah berlangsung, mereka pun
langsung menonton.
Memang murid-murid Perguruan
Seribu Kepalan tidak dapat
melihat secara jelas, karena
gerakan kedua tokoh muda yang tengah bertarung itu begitu cepat. Meskipun
demikian, mereka bisa memperkirakan dari kelebatan bayangan Dewa Arak dan
Gandara yang saling sambar.
Sebenarnya tak terlalu aneh
kalau Prakasa dan Melati sampai
begitu takjub. Betapa tidak?
Dalam menggunakan ilmu andalan masingmasing,
Dewa Arak dan Gandara tak
ubahnya dua ekor burung. Terlihat
mudah dan ringan sekali
keduanya saling melayang ke sana kemari. Jelas kedua tokoh muda itu sama-sama
menitikberatkan pada kemampuan ilmu meringankan tubuh.
Tanpa terasa lima puluh jurus
kembali berlalu. Ini berarti
pertarungan antara Dewa Arak
dan Gandara telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun tetap saja selama
itu belum nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Meskipun
memang dalam pandangan mereka yang belum sempurna kepandaiannya Dewa Arak
seperti terdesak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu lebih sering
bermain mundur. "Hiyaaat..!"
Pada jurus keseratus dua
belas, dengan serangkaian serangan
bertubi-tubi dan taktik jitu,
Gandara berhasil membuat Dewa Arak terpojok! Saat itulah dilancarkannya sebuah
gedoran ke dada Dewa Arak.
Kali ini tak ada jalan lain
lagi bagi Dewa Arak kecuali memapak serangan, tanpa mengkhawatirkan akibatnya.
Masalahnya, dalam penggunakan ilmu 'Belalang Sakti', tenaganya pun bertambah,
hingga mampu mengimbangi tenaga Gandara. Dan hal itu telah dibuktikan
sebelumnya.
"Hih!"
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak
memapak serangan yang telah meluncur ke dadanya. Tapi tindakan lanjutan yang
dilakukan Gandara benar-benar membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang.
Dilihatnya, sebelum tangannya berbenturan dengan tangan Gandara, pemuda
berpakaian kuning itu
menepakkan tangan kirinya ke bumi. Sebagai seorang pendekar yang telah
malang-melintang di dunia persilatan, dan telah cukup kenyang pengalaman, Dewa
Arak bisa menduga maksud tepakan tangan Gandara. Pasti pemuda berpakaian kuning
itu bermaksud meminjam kekuatan bumi!
Sayangnya, Dewa Arak tak
sempat lagi untuk mengurungkan maksudnya. Maka sesaat kemudian....
Blarrr!
Bunyi keras seperti halilintar
yang menyambar terdengar tepat
ketika dua buah tangan berbenturan.
Dan seperti yang dikhawatirkan Dewa Arak, tubuhnya melayang ke belakang seperti
daun kering terhembus angin kencang. Darah segar pun mengalir dari mulut dan
hidung Dewa Arak, membasahi tanah sepanjang tubuhnya melayang.
"Kang Arya !"
5
Melati menjerit melihat
kejadian yang menimpa kekasihnya.
Seketika itu pula tubuhnya
melesat memburu Dewa Arak yang masih melayang-layang.
Brukkk!
Melati kalah cepat. Tubuh Dewa
Arak telah lebih dulu jatuh ke
tanah. Kemudian
terguling-guling beberapa tombak sebelum akhirnya terhenti karena kekuatan yang
membuat tubuhnya meluncur telah lenyap. "Kang !"
Begitu berada di dekat tubuh
Dewa Arak, Melati langsung
berjongkok dan bermaksud
memeriksa keadaan kekasihnya. Tapi, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Pemuda
berambut putih keperakan itu berusaha bangkit. Walaupun dengan susah payah, dia
berhasil berdiri, meskipun tidak tegak benar. Dewa Arak telah siap untuk
bertarung sampai titik darah terakhir.
"Kang !" seru Melati
tertahan.
Rasa khawatir langsung menyeruak
di hati gadis berpakaian putih itu ketika melihat sikap Dewa Arak. Sebagai
orang yang telah mengenal baik pemuda berambut putih keperakan itu, dia tahu
kalau Dewa Arak bermaksud bertarung sampai mati! Dan Melati tahu, tak akan bisa
mencegah tindakan nekat Dewa Arak.
Bukan tanpa sebab, Dewa Arak
bertindak demikian. Pemuda
berambut putih keperakan itu
tahu kalau Gandara tak mungkin membiarkan dirinya hidup. Dan sebagai seorang
pendekar yang mempunyai harga diri tinggi, Dewa Arak tak mau dikasihani. Itulah
sebabnya dia berusaha bangkit dan terus melakukan perlawanan.
Dan dugaan Dewa Arak sama
sekali tidak salah. Gandara memang
tidak mau melepaskannya
hidup-hidup. Terbukti, meskipun keadaan Dewa Arak telah payah, pemuda
berpakaian kuning itu tetap bermaksud melancarkan serangan terakhir yang dapat
mengirim nyawa lawannya ke alam baka!
"Bersiaplah untuk
menerima kematian, Dewa Arak! Arwah guruku
sudah tidak sabar lagi
menunggu kedatanganmu!" desis Gandara geram sambil mengayunkan langkah
mendekati Dewa Arak.
Melihat bahaya maut yang
tengah mengancam keselamatan kekasihnya, Melati tidak bisa berdiam diri lagi.
Diambilnya keputusan
untuk menghalangi Gandara,
meskipun menyadari kalau tindakannya hanya akan sia-sia Melati tetap nekat
melakukannya. Karena, mana mungkin hanya berdiam diri melihat Dewa Arak
dibantai. Maka....
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
Melati mencabut pedangnya.
Kemudian kakinya melangkah
maju. Dan sekarang tubuhnya telah berdiri di depan Dewa Arak dengan pedang
disilangkan di depan dada. "Menyingkirlah, Melati!" perintah Dewa
Arak dengan susah payah
ketika melihat tindakan yang
akan dilakukan kekasihnya. "Tidak, Kang!" kali ini Melati membantah
perintah kekasihnya.
"Keparat sombong itu
boleh membunuhmu, tapi harus melangkahi dulu mayatku." Dewa Arak sama
sekali tak menyahuti. Bukan karena dirinya membolehkan Melati membelanya, tapi
karena mulutnya tak kuat lagi untuk berbicara. Untuk berdiri pun Dewa Arak
harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Berbicara hanya akan semakin melemahkan
dirinya. Bukan tak mungkin malah akan membuatnya ambruk di tanah. Itulah
sebabnya dia diam.
Sementara itu, Gandara terus
saja melangkah maju. "Menyingkirlah, Nisanak! Aku tidak punya urusan
denganmu.
Tapi kalau kau berkeras
membela pembunuh itu, jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan atas dirimu!" tandas Gandara mengingatkan.
"Tutup mulutmu, Keparat
Sombong! Kau hanya bisa
membunuhnya apabila telah
berhasil melangkahi mayatku!" tegas Melati. "Kalau itu yang kau inginkan,
apa boleh buat," sambut Gandara,
datar. Jelas, pemuda
berpakaian kuning ini telah bermaksud untuk merobohkan Melati pula.
Sementara, Melati tidak mau
menunggu hingga Gandara semakin dekat. Pedangnya dikibas-kibaskan di depan
dada.
Wunggg!
Bunyi menggerung keras seperti
ada naga murka terdengar ketika Melati mulai mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu
Naga' andalannya. Tapi sebelum gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan
perdananya....
"Tahan!"
Bentakan keras menggelegar
yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat Melati
mengurungkan niatnya. Bahkan Gandara pun menoleh ke asal suara.
"Ayah !" seru
Gandara penuh rasa heran ketika mengetahui orang
yang telah menahannya.
Prakasa, orang yang
mengeluarkan bentakan itu, langsung menggenjotkan kaki mendekati kancah
pertarungan. Hanya dengan sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada di dekat
Gandara.
"Biarkan Dewa Arak dan
kawannya pergi, Gandara," kata Prakasa penuh wibawa.
"Ayah!" sergah
Gandara tak mampu menyembunyikan perasaan
kaget yang melanda hatinya.
"Bagaimana mungkin kau dapat mengambil keputusan seperti itu?! Pendekar
keparat itu orang yang telah membunuh guruku, kawan dekat Ayah! Apa pun yang
terjadi, dia tak akan kubiarkan lolos!"
"Kau dengar ucapanku, Gandara?!
Biarkan Dewa Arak pergi dari
sini!" tanpa peduli
perasaan tidak senang putranya, Prakasa terus menekan. Bahkan ucapannya kali
ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Tapi..., dia pembunuh
guruku...! Mana mungkin aku akan
membiarkannya lolos begitu
saja. Aku telah bersumpah di depan mayatnya, Ayah. Dan aku tak mungkin menarik
sumpahku kembali!" Gandara masih mencoba untuk membantah.
"Apakah kau telah
demikian lancang berani menentang
keputusanku, Gandara?!"
suara Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu mulai dingin.
"Bukannya aku bermaksud
menentang keputusanmu, Ayah. Tapi..., keputusan yang Ayah ambil sama sekali tak
masuk akal. Bahkan tadi Ayah pun telah berjanji untuk mencincang hancur tubuh
pembunuh guruku. Tapi, kini mengapa Ayah malah bermaksud membiarkannya lolos?!
Apakah Ayah bermaksud menjilat ludah yang telah dikeluarkan?!" Gandara
masih mencoba untuk merubah keputusan
Prakasa.
"Ada alasan kuat yang
mendorongku mengambil keputusan seperti
itu, Gandara," jelas
Prakasa dengan suara mulai melunak karena teringat janji yang tadi
diucapkannya.
"Beritahukanlah padaku,
Ayah. Agar hatiku tidak penasaran," pinta Gandara.
"Hhh...!"
Prakasa menghembuskan napas
berat. Jelas, dia pun merasa berat
hati untuk melakukan tindakan
seperti itu. Sementara Dewa Arak, Melati, seluruh murid Perguruan Seribu
Kepalan, dan terutama sekali Gandara, menunggu keluarnya ucapan Prakasa
selanjutnya dengan perasaan tak sabar.
"Kau tahu mengapa Dewa
Arak dan kawannya berada di sini, Gandara?" Ketua Perguruan Seribu Kepalan
itu memulai alasan yang mendorongnya membebaskan Dewa Arak, dengan sebuah
pertanyaan terhadap Gandara.
"Aku tidak tahu,
Ayah," jawab Gandara cepat. Dan memang, pemuda berpakaian kuning ini
menjawab secara jujur. Jawaban itu dikeluarkannya tanpa dipikirkan lebih lama
lagi, karena Gandara sudah tidak sabar. Dia ingin segera mengetahui alasan yang
membuat ayahnya melakukan tindakan yang menurutnya tak masuk akal sama sekali.
"Mereka berdua ada di sini untuk memenuhi undanganku. Kau
dengar, Gandara?!"
Prakasa sendiri yang menjawab karena Gandara tidak dapat memberikan jawaban.
"Kau tahu apa artinya itu?"
Lagi-lagi jawaban yang
diberikan Gandara hanyalah gelengan
kepala. Memang, saat itu,
Gandara sama sekali tak bisa berpikir. Otaknya seperti beku karena tertutup
oleh dendam kesumat
"Artinya mereka berdua
tamu-tamuku," lanjut Prakasa lagi. "Dan saat ini mereka berada di
tempat kediamanku. Dengan sendirinya
keselamatan mereka berdua
menjadi tanggung jawabku. Apa kata orangorang persilatan jika mendengar Dewa
Arak dan kawannya tewas di
tempatku?! Prakasa tidak bisa
melindungi tamunya. Tapi itu masih tidak mengapa! Tuduhan yang lebih keji lagi
dapat tersiar bahwa Prakasa berpura-pura mengundang Dewa Arak dan kawannya,
padahal sebenarnya bermaksud membunuhnya. Dewa Arak dan kawannya dibunuh secara
licik oleh Prakasa. Kehormatanku pun hancur. Sekarang tentu sudah jelas
mengapa aku tidak menginginkan
kau membunuhnya. Dan apabila kau tetap bersikeras, terpaksa kupertaruhkan
nyawaku untuk melindunginya!"
Gandara kontan terdiam.
Disadari ada kebenaran mutlak yang tidak
bisa dibantah dalam alasan
ayahnya. Seketika itu pula urat syaraf dan otototot tubuhnya langsung mengendur
kembali. Meskipun tidak rela, dia harus membiarkan Dewa Arak lolos. Apabila
bersikeras, ayahnyalah yang akan menjadi lawan. Lagi pula, ayahnya bukan tak
menginginkan Dewa Arak mendapatkan pembalasan setimpal atas kejahatan yang
dilakukannya.
Keadaanlah yang menyebabkannya
demikian. "Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas
berat Gandara membalikkan tubuh
dan meninggalkan tempat itu.
Disadari tidak ada gunanya lagi berada di tempat itu.
"Cepat kau bawa pergi dia
dari tempat ini sebelum aku berubah pikiran," kata Prakasa pada Melati.
Trekkk! Melati kembali
menyarungkan pedangnya. Tepat pada saat itu,
Dewa Arak tidak sanggup lagi
untuk terus berdiri. Pemuda berambut putih keperakan itu roboh! Kalau saja
Melati tidak keburu menangkapnya, tubuhnya tentu telah mencium bumi.
Melati langsung memanggulnya
dan membawanya kabur
meninggalkan tempat itu. Tak
sedikit pun terlontar ucapan terima kasih dari mulutnya. Gadis berpakaian putih
itu tahu tak ada hal yang perlu diberikan ucapan terima kasih. Karena dia
merasa bahwa pertolongan yang diberikan Prakasa pun tak dilakukan sepenuh hati.
"Hhh...!"
Prakasa menghela napas berat.
Kepalanya tertunduk menekuri
lantai. Sementara kedua
tangannya memegang dahi. Jelas, ada beban pikiran yang tengah ditanggungnya.
Sekarang Gandara sudah tidak
berada di sini lagi. Dia pergi sehari setelah kejadian lolosnya Dewa Arak dari
maut. Dan sejak perginya
Gandara dari perguruan itu,
Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu jadi sering termenung. Dalam batinnya selalu
terjadi perang. Benarkah Dewa Arak yang
telah membunuh Tirta Geni? Kalau benar demikian, mengapa?
Sebenarnya sulit bagi Prakasa
untuk mempercayainya. Tapi mungkinkah Gandara atau Tirta Geni berbohong?
Di saat benaknya tengah
berputar keras mencari jawaban bagi masalah itu, didengarnya ada bunyi
langkah-langkah kaki mendekati tempatnya.
Tok, tok, tok...!
Terdengar bunyi ketukan di
pintu.
"Siapa?" tanya
Prakasa tanpa gairah. Tidak seperti biasanya yang
selalu kalap apabila ada orang
yang mengganggu ketika dirinya berada di ruangan khusus.
"Aku, Wiraja, Guru,"
jawab si pengetuk pintu.
"Mengapa kau demikian
berarti menggangguku, Wiraja?" tanya Prakasa masih tenang tanpa bernada
ancaman.
"Ampunkan aku, Guru.
Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mengganggumu. Tapi aku tidak tega
membiarkan rekan-rekan yang lain tewas dibantai dan...!" "Apa
katamu...?! Cepat beritahukan?!"
Ucapan Wiraja langsung
terhenti di tengah jalan ketika tahu-tahu
secara mengejutkan daun pintu
itu terbuka lebar secara mendadak. Dan di ambang pintu Prakasa berdiri dengan
tarikan wajah menyiratkan kekagetan hebat.
"Ada seorang tokoh sesat
mengamuk, Guru. Semula dia ingin
bertemu Guru. Tapi karena
tidak diizinkan, dia mengamuk. Kakang Jaladri dan beberapa orang lainnya tewas
di tangannya dan "
Lagi-lagi Wiraja terpaksa
menghentikan ucapannya di tengah jalan karena Prakasa telah melesat
meninggalkan tempat itu sebelum dia menyelesaikan semua ceritanya.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, Prakasa telah bisa melihat
kejadian yang diberitahukan
Wiraja. Di dekat pintu gerbang tampak sesosok tubuh berpakaian hitam tengah dikeroyok
belasan murid-muridnya.
Sementara di sekitar tempat
itu bergeletakan beberapa sosok tubuh dalam keadaan menyedihkan.
"Aaakh !"
Untuk yang kesekian kalinya,
dengan diawali jeritan menyayat
hati, salah seorang murid
Perguruan Seribu Kepalan terjengkang ke belakang dan ambruk di tanah.
Ubun-ubunnya hancur terkena hantaman cakar lawannya.
"Keparat!" Prakasa
menggeram melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya. "Minggir
semua !"
Sambil menyerukan perintah
demikian, Prakasa langsung melesat menuju kancah pertarungan.
Seruan yang dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi terdengar keras bukan kepalang. Bahkan mampu
membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat
Murid-murid Perguruan Seribu
Kepalan tentu saja mengenali suara
itu. Mereka segera berlompatan
mundur. Sosok hitam itu sama sekali tidak mengejar mereka. Dia hanya berdiri
diam di tempatnya dengan kedua tangan disedakapkan di depan dada.
"Kiranya kau, Elang Cakar
Lima!" ucap Prakasa dengan perasaan
geram ditahan-tahan.
"Tidak malukah kau bertarung dengan orang-orang seperti mereka?!"
"Apa boleh buat?! Mereka
tak memperbolehkanku menemuimu.
Jadi..., terpaksa kupergunakan
cara ini untuk memancingmu keluar. Dan
kau datang juga!" jawab sosok berpakaian hitam yang ternyata Bang Cakar
Lima, dengan sikap tidak peduli.
"Keparat! Kau harus
membayar mahal atas semua kekejian yang kau lakukan, Elang Cakar Lima!"
desis Prakasa penuh ancaman. "Hak hak hak...! Kau masih saja sombong dan
keras kepala seperti
dulu, Prakasa! Dulu saja kau
tak mampu membunuhku, apalagi sekarang?!" sahut Elang Cakar Lima penuh
ejekan, dengan suara tawanya yang aneh. "Jadi..., kau bermaksud
melanjutkan pertarungan kita yang dulu?!"
terka Prakasa.
"Kau kira untuk apa aku
bersusah payah kemari?! Menemani kau ngobrol?! Hak hak hak...! Lucu! Lucu
sekali! Kau ini kelihatannya saja goblok, padahal sebenarnya dungu,
Prakasa!" lagi-lagi Elang Cakar Lima mengejek.
"Keparat! Tak usah banyak
cakap, Elang Cakar Lima. Man kita lanjutkan pertarungan kita yang dulu. Kita
buktikan siapa yang lebih unggul! Aku atau kau!" Prakasa yang kalah
bersilat lidah, langsung memutuskan pertengkaran itu.
"Hak hak hak...! Kuterima
tantanganmu, Prakasa!" sambut Elang Cakar Lima penuh perasaan gembira.
"Hiaaat..!"
Begitu mendengar kesiapan
Elang Cakar Lima, tanpa menunggu
lebih lama lagi, Prakasa
langsung melancarkan serangan. Kemarahan yang tengah berkobar membuatnya tidak
sabar menunggu lebih lama lagi.
Wuttt!
Angin menderu keras ketika
serangan Ketua Perguruan Seribu
Kepalan itu meluncur. Tanpa
ragu-ragu lagi, karena tahu kalau lawan yang dihadapinya seorang tokoh amat
sakti, Prakasa langsung menggunakan ilmu andalannya, 'Kepalan Seribu'.
Prakasa membuka serangannya
dengan sebuah pukulan lurus ke dada Elang Cakar Lima.
"Hmh!" Bang Cakar
Lima mendengus penuh ejekan melihat serangan lawannya. Meskipun demikian, dia
tak berani bertindak sembarangan,
karena tahu kedahsyatan yang
terkandung dalam serangan perdana Prakasa itu. Itulah sebabnya, dia tidak
berani bertindak gegabah.
"Hih!"
Elang Cakar Lima menjejakkan
kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Prakasa.
Sehingga serangan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu mengenai tempat kosong,
lewat di bawah kaki Bang Cakar Lima.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Elang Cakar Lima. Ketika
tengah berada di udara, tubuhnya langsung dijungkir balikkan. Kemudian
kedua tangannya dengan
kedudukan jari-jari mengembang berbentuk cakar, langsung disampokkan ke bagian
belakang kepala Prakasa.
Tentu saja Prakasa tidak
membiarkan kepalanya hancur berantakan disampok cakar-cakar Bang Cakar Lima.
Dengan cepat ditangkisnya serangan itu dengan kedua tangannya. Untuk melakukan
hal ini, Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini terpaksa membalikkan tubuhnya ke
belakang, mulai dari pinggang ke atas.
Prattt!
Benturan keras antara dua
pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam kuat
itu, tidak terelakkan lagi. Keduanya samasama terjengkang ke arah yang
berlawanan. Uniknya kedua tokoh sakti itu
sama-sama terhuyung ke depan.
Jliggg!
Ketika Elang Cakar Lima
mendaratkan kedua kakinya di tanah, Prakasa telah berhasil memperbaiki
kedudukannya dan kini keduanya kembali saling berhadapan dalam jarak tiga
tombak.
Tapi hanya sesaat pertarungan
itu terhenti. Sesaat kemudian keduanya telah saling menerjang
kembali. Baik Prakasa maupun Bang Cakar Lima langsung mengeluarkan ilmu
andalannya. Prakasa mengeluarkan ilmu 'Kepalan Seribu'nya, sedangkan Bang Cakar
Lima menggunakan ilmu 'Cakar Elang'nya.
Akibat selanjutnya sudah dapat
diterka. Bunyi menderu dan
mencicit yang terjadi setiap
kali kedua tokoh tua itu menggerakkan tangan atau kaki langsung terdengar. Hal
itu membuat murid-murid Perguruan Seribu Kepalan menyaksikan jalannya
pertarungan dari jarak yang aman. Karena mereka tahu, sambaran angin serangan
Prakasa dan Elang Cakar Lima cukup dahsyat, mampu mengirim nyawa mereka ke
neraka.
Untuk yang kedua kalinya di
areal Perguruan Seribu Kepalan
terjadi pertarungan yang
menggiriskan hati. Kalau sebelumnya, tokoh-tokoh muda yang bertarung, kali ini
tokoh-tokoh tua saling menyabung nyawa.
Jurus demi jurus berlangsung
demikian cepat. Baik Elang Cakar
Lima maupun Prakasa memang
memiliki gerakan yang cepat. Tak aneh kalau murid-murid Perguruan Seribu
Kepalan sama sekali tidak bisa melihat jelas pertarungan yang tengah
berlangsung. Yang terlihat hanya sosok bayangan biru dan hitam yang saling
belit satu sama lain. Hanya sesekali saja kedua sosok bayangan itu saling
pisah.
Dalam waktu sebentar saja,
lima puluh jurus telah berlalu. Dan
selama itu belum nampak salah
satu pihak yang terdesak. Pertarungan masih berlangsung im-bang. Masing-masing
pihak saling berganti mengirimkan serangan.
Elang Cakar Lima menggertakkan
gigi ketika pertarungan telah berlangsung hampir seratus jurus
belum juga mampu mendesak lawannya.
Padahal semula dia begitu
yakin akan mampu mengalahkan Prakasa setelah melihat Macan Terbang Berekor
Sembilan berhasil mengalahkan Tirta
Geni. Elang Cakar Lima sama
sekali tidak tahu kalau seperti juga dirinya, Prakasa pun giat berlatih. Hal
seperti itu tidak dilakukan oleh Tirta Geni.
Itulah sebabnya, Tirta Geni dapat dikalahkan oleh Macan Terbang Berekor
Sembilan. Ketika seratus lima belas jurus telah berlalu, dan tetap belum mampu
mendesak Prakasa, Elang Cakar Lima mulai kehilangan kesabaran. Diputuskan menggunakan cara lain untuk merobohkan
lawannya. Dan hal ini memang telah dipersiapkannya jauh-jauh
hari.
Dan kesempatan untuk
melaksanakan niat itu terbuka di jurus keseratus dua puluh satu.
"Hih!"
Sambil melempar tubuhnya ke
belakang, Elang Cakar Lima mengibaskan
tangannya. Seketika itu pula beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek
meluncur ke tubuh Prakasa. Padahal saat itu tubuh Ketua Perguruan Seribu Kepalan
tengah berada di udara dalam usahanya untuk mengejar Elang Cakar Lima yang
menjauhkan diri.
Karuan saja hal itu membuat
Prakasa terkejut bukan kepalang.
Kedudukan tubuhnya yang tengah
melayang di udara, menyulitkanya untuk mengelakkan serangan itu. Jalan
satu-satunya untuk mematahkan serangan itu hanya dengan menangkisnya. Dan hal
itulah yang kini
dilakukan Prakasa.
Srat!
Secepat kilat pedang yang
tergantung di punggung
dicabutnya. Kemudian secepat itu pula diayunkan untuk memapak
benda-benda bulat yang tengah meluncur ke arahnya.
Darrr! "Akh...!"
Prakasa menjerit ngeri ketika
benda bulat itu meledak ketika
membentur mata pedangnya.
Kekuatan ledakannya begitu dahsyat sehingga mampu membuat tubuhnya terjengkang.
Tangannya yang menggenggam pedang pun seperti lumpuh. Sedangkan benda-benda
bulat lainnya terus meluncur. Dan satu di antaranya menuju ke arahnya.
Darrr! "Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati keluar
dari mulut Prakasa ketika benda bulat
itu menghantam telak dadanya.
Dan akibatnya benar-benar menggiriskan. Tubuh Ketua Perguruan Seribu Kepalan
ini langsung tercerai berai menjadi potongan-potongan daging. Seketika itu
pula, nyawanya melayang meninggalkan raga.
Sementara itu, beberapa benda
bulat lainnya meluncur ke tempat murid-murid Perguruan Seribu Kepalan. Karuan
saja kerumunan itu
langsung berantakan. Mereka
bergegas berlompatan menjauhkan diri dan bergulingan di tanah.
Darrr, darrr, darrr...!
Tindakan penyelamatan diri
yang dilakukan murid-murid
Perguruan Seribu Kepalan itu
tak sia-sia. Mereka semuanya berhasil selamat. Dengan wajah pucat mereka
bangkit. Semuanya bersiap untuk menghadapi serangan selanjutnya. "Hak hak
hak...!"
Tapi ternyata Elang Cakar Lima
tidak berminat untuk membunuh
mereka. Sambil mengeluarkan
tawa yang aneh terdengar telinga, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
Sekarang murid-murid Perguruan
Seribu Kepalan itu mempunyai kesempatan melihat keadaan sang Ketua sekaligus
guru mereka. "Guru...!" seru mereka serempak dengan hati pilu melihat
keadaan mayat Prakasa yang demikian menyedihkan. Ketua Perguruan Seribu
Kepalan itu tewas karena tidak
menyangka kalau lawannya menggunakan siasat licik seperti itu. Sungguh tidak
disangkanya kalau benda-benda bulat sebesar telur bebek itu merupakan
benda-benda peledak! Hal itu terjadi karena dia belum pernah bertarung
menghadapi lawan yang menggunakan senjata seperti itu.
Kini suasana kembali hening.
Murid-murid Perguruan Seribu
Kepalan nampak sedih
menyaksikan kejadian yang sangat mencekam itu.
6
"Keparat! Di mana
bersembunyinya jahanam-jahanam itu?! Awas
kalau bertemu akan kuhancurkan
kalian, Dewa Arak, Elang Cakar Lima!" desis Gandara penuh
geram sambil mengepalkan kedua tangannya sehingga menimbulkan bunyi gemeretak
keras.
Masih dengan mulut yang tak
henti-hentinya mengutuk Dewa Arak
dan Elang Cakar Lima, Gandara
mengayunkan langkah. Kepalanya yang tertunduk menekuri tanah menjadi pertanda
adanya beban yang menggayuti batinnya.
"Maafkan aku, Ayah! Kalau
aku tidak pergi meninggalkanmu
secepat itu, tak akan mungkin
kau akan tewas secara mengerikan di tangan Elang Cakar Lima. Tapi percayalah,
Ayah! Akan kucari Elang Cakar Lima!
Dan akan kulumatkan
tubuhnya!" desah Gandara penuh sesal. Memang, Gandara telah mengetahui
nasib yang menimpa
ayahnya. Hal itu didengarnya dari mulut murid-murid Perguruan Seribu
Kepalan yang masih tinggal. Kepulangan Gandara ke Perguruan Seribu Kepalan
sebenarnya untuk meminta maaf
pada ayahnya atas kepergiannya yang tanpa pamit. Sama sekali tak disangkanya
kalau ternyata Prakasa telah tewas secara mengenaskan. Dan sekarang, peristiwa
kematian ayahnya telah berlalu sepuluh
hari. Namun Gandara belum mampu menemukan orang-orang yang dicarinya,
yaitu Dewa Arak dan Elang Cakar Lima!
Tiba-tiba dahi Gandara
berkernyit ketika melihat pemandangan di hadapannya. Betapa tidak? Nampak dari
kejauhan serombongan orang berlari-lari menuju ke arahnya. Melihat gerakan
mereka, diketahuinya kalau orang-orang itu bukan dari golongan persilatan.
Dan keyakinan Gandara akan
kebenaran dugaannya semakin menguat ketika melihat keberadaan wanita dan
anak-anak di dalam
rombongan yang tengah
berlari-lari itu. Gandara langsung bersikap tanggap. Dia tahu, kalau tidak
terjadi sesuatu, tak mungkin mereka melakukan tindakan seperti itu. Pasti ada sesuatu
yang telah terjadi terhadap mereka.
Sesaat kemudian Gandara telah
melesat ke depan. Dia ingin menghadang rombongan orang yang tengah menuju ke
arahnya. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Gandara telah berada di
hadapan orang-orang itu.
"Apa yang terjadi, Ki?
Mengapa kalian semua ketakutan seperti itu?"
Gandara langsung mengajukan
pertanyaan pada orang yang berdiri paling depan. Seorang laki-laki
setengah baya berkulit hitam legam. Meskipun demikian, pemuda berpakaian kuning
itu masih menyempatkan diri untuk melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Nampak
tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan ada dalam rombongan itu.
Seketika itu, Gandara tahu kalau rombongan orang ini para penduduk desa.
"Ada macan mengamuk, Anak
Muda. Seekor macan loreng besar," jawab laki-laki berkulit hitam itu
dengan napas terengah-engah.
Kemudian tanpa mempedulikan
Gandara yang tertegun mendengar pemberitahuannya, laki-laki berkulit hitam itu
terus berlari, diikuti orangorang di belakangnya.
Sementara itu Gandara masih
bertanya-tanya dalam hati. Harimau loreng besar! Dari mana datang nya?
Bukankah Desa Rotan ini jauh dari
hutan? Mungkinkah macan itu
tersasar sedemikian jauhnya? Rasanya aneh! Lagi pula, apakah tidak ada orang
yang memiliki kepandaian di Desa Rotan itu? Rasanya tidak sutit untuk menangkap
macan itu jika dilakukan secara beramai-ramai.
Perasaan heran yang melanda
membuat Gandara mengambil
keputusan untuk masuk ke Desa
Rotan dan melihat sendiri macan yaang tengah mengamuk itu. Disadari kalau
orang-orang itu tengah dilanda rasa takut dan ingin lari sejauh-jauhnya dari
tempat itu. Jadi, Gandara tidak sampai hati untuk menyuruh salah seorang dari
mereka berhenti untuk dimintai keterangan.
Setelah mantap dengan
keputusannya, Gandara langsung melesat
ke Desa Rotan. Di sepanjang
perjalanan ditemuinya rombongan penduduk yang berserabutan berlari keluar dari
desa mereka.
Tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, Gandara berhasil
menemukan apa yang dicarinya.
Tak jauh di hadapannya tampak seekor harimau loreng dan besar tengah
menggeragoti tubuh seorang penduduk yang rupanya tidak sempat melarikan diri.
Bukan hanya satu orang saja
yang dilihat Gandara. Di sepanjang
jalan utama desa itu tampak
berserakan sosok-sosok tubuh dalam keadaan mengerikan. Bahkan ada di antara
mereka yang mengenakan pakaian silat. Sementara senjata-senjata tajam
berserakan di sana-sini. Berarti, sebelumnya telah terjadi pertarungan antara
para penduduk dengan macan loreng itu tapi mereka tak mampu menghadapinya.
Harimau itu rupanya mengetahui
kehadiran orang lain di
dekatnya. Terbukti, perhatian terhadap mangsanya dialihkan. Kini
binatang yang lebih dikenal dengan julukan raja hutan itu menatap Gandara
dengan sinar mata garang.
Tapi Gandara sama sekali
tak gentar. Baginya,
macan bukan binatang yang perlu
ditakuti. Dengan mudah dia dapat membunuhnya. Itulah sebabnya dia tetap
bersikap tenang.
"Auuummm...!"
Diawali auman keras yang
menggetarkan jantung, harimau
loreng itu menerkam Gandara. Gerakannya begitu cepat bagaikan luncuran
sebatang anak panah.
Tapi bagi Gandara gerakan harimau
itu tidak terlalu cepat. Hanya
dengan melangkahkan kakinya ke
kanan sambil mendoyongkan tubuh, dia telah mampu membuat serangan harimau itu
lewat di samping kirinya. Namun mendadak terjadi sebuah kejadian yang membuat
Gandara terkejut bukan kepalang.
Betapa tidak? Dengan sebuah
gerakan yang luar biasa, setelah serangan perdananya lolos, harimau itu
melancarkan serangan susulan ketika tubuhnya melayang di udara. Kaki kiri
depannya dengan cepat di sampokkan ke pelipis Gandara.
Wuttt!
Gandara tak berani bertindak
gegabah. Disadari kalau sampokan
seekor macan bertubuh sebesar
ini pasti mengandung tenaga luar biasa. Sampokan itu dapat mematahkan tulang
leher! Itulah sebabnya buru-buru dilakukannya lompatan harimau ke depan. Dan
dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Gandara baru bangkit
ketika berada dalam jarak beberapa tombak dari tempat sebelumnya.
Baru saja Gandara membalikkan
tubuhnya, serbuan harimau loreng
itu kembali meluncur. Hal ini
membuat Gandara terkejut bukan kepalang. Hatinya mulai sadar kalau harimau ini
bukan binatang sembarangan, dan pasti peliharaan seorang tokoh sakti! Hal itu
bisa dilihat dari serangannya yang seperti mengetahui gerakan ilmu silat!
Namun Gandara tidak merasa
kewalahan. Seperti juga sebelumnya,
tanpa kesulitan serangan yang
dilan-carkan binatang itu dapat dielakkannya. Lagi pula, sampai di mana
lihainya seekor binatang mempelajari ilmu silat? "Auuuummm...!"
Untuk yang kesekian kalinya,
kembali harimau loreng itu
melompat menerkam Gandara.
Kali ini pemuda berpakaian kuning itu pun ikut menerkam pula. Bahkan dengan
gerakan yang sama seperti macan itu. Namun ketika tubuhnya hampir beradu dengan
harimau itu, dengan sebuah gerakan manis, Gandara bersalto
di udara. Dan ketika meluncur turun ke tubuh harimau yang masih melayang itu, kedudukan tubuhnya telah berubah. Sekarang kepalanya
berada di bawah dan kakinya di atas.
Lalu dengan kedua telapak
tangan terbuka dihantamnya sisi kanan kiri kepala binatang itu.
Prakkk!
Terdengar bunyi berderak keras
ketika kedua tangan Gandara mendarat pada sasarannya. Seketika itu pula raja
hutan itu hancur berantakan. Tanpa sempat meraung lagi, harimau loreng besar
itu pun mati. Darah bercampur otak mengalir deras dari kepalanya yang pecah.
Brukkk!
Hampir berbarengan dengan
jatuhnya tubuh harimau loreng itu,
Gandara mendaratkan kedua
kakinya secara manis di tanah. Ditatapnya sejenak bangkai binatang buas itu.
Lalu diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Tapi baru beberapa langkah,
terdengar suara bentakan penuh kegeraman dari belakangnya.
"Keparat jahanam! Sungguh
berani kau membunuh binatang kesayanganku!"
***
Seketika itu pula Gandara
membalikkan tubuhnya dan bersikap waspada. Dari bentakan itu bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Bentakan itu keras menggelegar,
dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Ditambah lagi
suaranya yang parau. Bentakan itu pun semakin terdengar menggiriskan.
Dalam jarak sekitar lima
tombak dari Gandara, berdiri
seorang kakek berompi kulit harimau. Siapa lagi kalau bukan Macan
Terbang Berekor Sembilan?!
"Ooo..., rupanya kau
pemilik binatang itu?!" tanya Gandara kalem seakan-akan tidak mempedulikan
kemarahan Macan Terbang Berekor Sembilan
"Benar!" sahut Macan
Terbang Berekor Sembilan dengan suara parau. "Dan kau akan mendapat
ganjaran atas tindakanmu itu." "Lalu, bagaimana dengan orang-orang
yang menjadi korban
macanmu itu?! Apakah mereka
tidak berhak menuntut balas?!" sambut Gandara, cerdik.
"Apa pedulimu dengan
nasib mereka?!" tandas Macan Terbang Berekor Sembilan, geram.
"Kalau begitu, apa pula
peduliku pada nasib harimau itu!" timpal Gandara dengan berani.
"Keparat! Kucincang
kau!"
Usai berkata demikian, Macan
Terbang Berekor Sembilan langsung menerjang Gandara. Kakek berompi kulit
harimau ini membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus terarah ke pusar
lawan.
Wuttt!
Gandara bersikap tenang.
Kemenangannya terhadap Dewa
Arak membuatnya yakin akan kemampuan dirinya. Oleh karena itu, tanpa
raguragu dipapaknya tendangan Macan Terbang Berekor Sembilan dengan
telapak tangan kanannya.
"Hiaaat..!"
Plak, plak, plak!
Benturan keras bertubi-tubi
terdengar ketika kaki dan tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu berbenturan. Tidak hanya sekali saja benturan itu terjadi. Karena
begitu serangan pertamanya berhasil dipatahkan, Macan Terbang Berekor Sembilan
melanjutkannya dengan tendangan miring, masih dengan kaki yang sama. Bahkan
tendangan itu dilakukannya berkali-kali. Namun, semuanya berhasil ditangkis
Gandara. "Keparat! Pantas kau berani bersikap demikian sombong! Rupanya
kau mempunyai sedikit
kepandaian, Bangsat Kecil?!"
"Itu belum seberapa,
Bangsat Besar! Kau akan melihat yang lebih daripada ini nanti?!" sambut
Gandara yang bermaksud mempermainkan
lawannya. Karuan saja ejekan Gandara
membuat kemarahan Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bergelora. Dan dengan
amarah meluap-luap diterjangnya pemuda berpakaian kuning itu.
Terjangan Macan Terbang
Berekor Sembilan langsung
mendapatkan sambutan hangat
Gandara. Dan pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Macan Terbang Berekor Sembilan
benar-benar bermaksud untuk membunuh Gandara. Setiap serangan yang dilancarkannya
selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Itu pun masih ditambah lagi
dengan pengerahan seluruh tenaga dalam setiap kali melancarkan serangan.
Sehingga setiap serangannya
begitu dahsyat.
Untuk beberapa gebrakan,
Gandara agak kewalahan karena dia berada di pihak yang diserang. Dan serangan
Macan Terbang Berekor
Sembilan yang bertubi-tubi
membuatnya tak sempat untuk melancarkan serangan balasan. Yang dapat
dilakukannya hanya mengelak dan menangkis serangan-serangan lawannya.
Tapi baru beberapa jurus menyerang,
mendadak Macan Terbang Berekor Sembilan menghentikan
desakannya. Tentu saja hal ini membuat Gandara heran, dan segera menghentikan
gerakannya pula.
"Apa hubunganmu dengan
Tirta Geni, Bangsat Kecil?!" tanya
Macan Terbang Berekor Sembilan
sambil menatap wajah Gandara penuh selidik.
"Ah! Rupanya kau mengenai
guruku, Bangsat Besar?! Tapi, kau
tidak usah takut, guruku tidak
ada di sini. Lagi pula aku pun sudah cukup untuk mengirim nyawamu ke
akhirat!" ejek Gandara.
"Ha ha ha...!"
Macan Terbang Berekor Sembilan
langsung tertawa bergelak mendengar jawaban pemuda berpakaian kuning itu. Karuan
saja hal itu
membuat Gandara heran. Mengapa
kakek berompi kulit harimau ini malah tertawa? Bahkan terlihat demikian geli?
Apakah ada hal yang lucu dalam ucapannya tadi? Dicobanya untuk mencari apa ada
kata-katanya yang mungkin lucu sehingga membuat kakek berompi kulit harimau itu
tertawa. Tapi tetap saja tidak ditemukannya.
"Mengapa kau tertawa,
Bangsat Besar?! Ada yang lucu?!"
Meskipun rasa ingin tahunya
demikian besar, Gandara mencoba bersikap tak peduli. Bahkan pertanyaan itu
seperti diajukan sambil lalu. "Kau lucu sekali, Bangsat Kecil?! Kau kira
aku takut pada
gurumu?! Ha ha ha...! Apakah
kau tidak tahu kalau gurumu itu sudah tewas?! Dan tahukah kau, siapa yang telah
membunuhnya! Aku! Macan Terbang Berekor Sembilan! Akulah yang membunuh gurumu!
Dan kini kau, muridnya, berani main gila di hadapanku?! Gurumu sendiri bukan
lawanku, apalagi kau!"
Ucapan ucapan Macan Terbang
Berekor Sembilan laksana ledakan halilintar yang bertubi-tubi menyambar di
telinga Gandara. Demikian mengejutkan dnn bertubi-tubi. Pembunuh gurunya
ternyata kakek ini? Macan Terbang Berekor Sembilan? Lalu mengapa gurunya
mengatakan Dewa Arak pembunuhnya? Mana yang benar di antara mereka? Gurunya
atau Macan Terbang Berekor Sembilan?
Macan Terbang Berekor
Sembilan...?! Julukan tokoh ini tidak asing bagi telinganya. Gurunya banyak
bercerita banyak tentang tokoh ini. Seorang datuk golongan hitam yang belasan
tahun lalu hampir tewas di tangan gurunya kalau tidak keburu melarikan diri
dalam keadaan terluka. "Kau bohong, Macan Terbang!" sentak Gandara,
keras.
"Aku bohong?! Ha ha
ha...! Kalau kau tidak percaya, temuilah
gurumu. Aku yakin mayatnya
masih ada sekarang. Gurumu telah kubunuh, tahu! Dan sekarang kau yang akan
menerima gilirannya!" tandas Macan Terbang Berekor Sembilan, keras.
"Aku tahu guruku tewas,
tapi bukan kau pembunuhnya. Aku tahu itu!"
Dengan terbata-bata, Gandara
membantah keterangan Macan
Terbang Berekor Sembilan. Dan
hal itu bukan tanpa alasan. Kalau benar Macan Terbang Berekor Sembilan yang
membunuhnya, berarti dia telah melakukan sebuah kesalahan besar terhadap Dewa
Arak! Bukan tidak mungkin sekarang pemuda berambut putih keperakan itu telah
tewas apabila tidak segera mendapatkan perawatan.
Itulah sebabnya, mengapa
Gandara berusaha membantah
keterangan Macan Terbang
Berekor Sembilan. Rasanya dia lebih ingin agar Dewa Araklah yang melakukan
pembunuhan terhadap gurunya. Agar dia tidak kesalahan tangan telah melukai
orang yang tidak bersalah.
"Kau tahu siapa pembunuh
gurumu, Bangsat Kecil?! Apakah kau melihatnya, hah?!"
Macan Terbang Berekor Sembilan
jadi berang bukan kepalang mendengar omongannya tidak
dipercaya. Meskipun dirinya seorang datuk sesat, pantang baginya untuk
berbohong. Dan yang membuatnya
tersinggung bukan kepalang
adalah karena kemenangannya terhadap Tirta Geni, orang yang telah
mengalahkannya, tidak dipercaya orang! Bahkan Gandara menganggap orang lain
yang telah membunuh Tirta Geni! Tentu saja hatinya menjadi kalap!
"Aku memang tidak
melihatnya! Tapi aku mengetahui
pembunuhnya dari mulut guruku...,"
Gandara masih mencoba berkelit dari kesalahan.
"Dari mulut gurumu? Apa
yang dikatakan tua bangka gila itu,
heh?!" tanya Macan
Terbang Berekor Sembilan ingin tahu. "Apakah dia tetap tidak mengakui
kekalahannya terhadap diriku?!"
"Dia mengatakan kalau
pembunuhnya Dewa Arak," makin pelan suara Gandara karena perasaan khawatir
yang melanda hatinya. "Ha ha ha...! Dewa Arak?! Lucu! Lucu sekali! Apa
urusannya
Dewa Arak membunuhnya, Monyet
Goblok? Dewa Arak tokoh golongan putih seperti juga gurumu! Mana mungkin dia
membunuhnya?! Lagi pula, belum tentu Dewa Arak mengenal gurumu! Apalagi tempat
tinggalnya!
Dasar, Manusia Berotak Udang!
Kau telan mentah-mentah saja ucapan gurumu? Dasar, Pemuda Dungu! Entah gurumu
yang sudah mabuk, atau kupingmu yang sudah rusak!"
"Diam! Guruku tidak
mabuk! Dan telingaku tidak rusak! Kau dengar itu?!" bentak Gandara keras.
Tapi orang seperti Macan
Terbang Berekor Sembilan mana bisa digertak! Dia terus saja tertawa-tawa
mengejek Gandara.
"Ha ha ha...! Luar biasa!
Sama sekali tidak kusangka kalau Tirta
Geni demikian sombong! Rupanya
dia tidak ingin kekalahannya padaku diketahui orang hingga dia mengarang cerita
bohong! Tapi..., mengapa Dewa Arak yang harus difitnahnya? Bukankah aku pun
ingin membunuh Dewa Arak pula?!" Macan Terbang Berekor Sembilan pun
tenggelam dalam alam masalah rumit yang mulai membelit.
Dan masalah yang tengah
melanda, membuat Gandara dan Macan Terbang Berekor Sembilan jadi melupakan
perkelahian mereka. "Bisakah kau membuktikan kalau kau adalah pelaku
pembunuhan terhadap guruku?!" tanya Gandara akhirnya.
"Tentu saja bisa, Bangsat
Kecil!" sambut Macan Terbang Berekor Sembilan cepat
"Apa?!" desak
Gandara tidak sabar.
7
Macan Terbang Berekor Sembilan
tak segera menjawab
pertanyaan itu. Disadari kalau
Gandara tengah dilanda rasa ingin tahu yang amat sangat. Dan dia ingin membuat
pemuda berpakaian kuning itu jengkel. Tapi Gandara tidak kalah cerdik. Dia tahu
kalau Macan Terbang
Berekor Sembilan sengaja
menunda jawaban karena ingin memhuatnya jengkel. Dan memang, pemuda berpakaian
kuning ini mendongkol karenanya. Namun diusahakan untuk tidak menampakkannya.
Bahkan sebaliknya dilontarkan bantahan yang menyengat telinga Macan Terbang
Berekor Sembilan.
"Nah! Sekarang terbukti
bukankah kau hanya membual? Begitu kutanyakan buktinya, kau hanya diam dan tak
mampu membuktikan. Jangan-jangan kau tengah mencari bualan baru lagi?!"
"Kau memang pandai
bersilat lidah, Bangsat Kecil. Baiklah, akan kuberitahukan buktinya. Kedua
tangan gurumu memar-memar.
Bagian perut dan dadanya pun terobek lebar. Itu karena terkena
cengkeraman tanganku. Dan yang perlu kau ketahui, aku sengaja tidak memberikan
serangan terakhir pada gurumu karena aku tahu tanpa diserang lagi pun dia akan
tewas," jelas Macan Terbang Berekor
Sembilan panjang lebar. "Jelas?!
"Jahanam! Jadi kau yang
telah membunuh guruku! Bersiaplah
untuk menerima
pembalasannya!" geram Gandara dengan sekujur tubuh bergetar keras menaham
amarah.
"Dan periu juga kau
ketahui, Bangsat Kecil. Ada saksi yang
melihat aku membunuh gurumu.
Dia adalah Elang Cakar Lima! Sebagai tambahannya perlu juga kuberitahukan kalau
aku dan Elang Cakar Lima tengah berlomba untuk lebih dulu membunuh Dewa Arak!
Dan kesepakatan itu kami ambil di saat gurumu tengah sekarat! Dan untuk memancing
kehadiran Dewa Arak, telah kubuat kekacauan di
mana-mana. Begitu pula di
sini!" lanjut Macan Terbang Berekor Sembilan tetap tenang seakan-akan
tidak mengetahui kalau Gandara tengah dilanda amarah.
Deggg!
Gandara terkejut bukan
kepalang. Ucapan lan-utan Macan Terbang Berekor Sembilan laksana sambaran
halilintar di dekat telinganya.
Benaknya langsung merangkai
rentetan kejadian itu, dan dihubungkan dengan kematian gurunya. Dan sekarang
dia baru mengerti maksud ucapan gurunya. Tirta Geni belum sempat menyelesaikan
kata-katanya ketika maut telah lebih dulu merenggut nyawanya.
Kini bisa ditebak maksud
ucapan terakhir gurunya. Ya! Tirta Geni
pasti bermaksud menyuruhnya
memberitahukan Dewa Arak akan adanya ancaman bahaya besar! Namun, karena tidak
lengkap, Gandara mengartikannya lain.
Seketika itu pula timbul rasa
menyesal yang amat sangat dalam
hati pemuda berpakaian kuning
itu. Dia telah menjatuhkan tangan jahat pada Dewa Arak. Padahal pendekar muda
itu sama sekali tidak bersalah. Ternyata semua itu akibat perbuatan Macan
Terbang Berekor Sembilan. Sebagai akibatnya, kebencian terhadap Macan Terbang
Berekor Sembilan semakin bertumpuk-tumpuk. Dendam karena Macan Terbang
Berekor Sembilan telah membunuh Tirta Geni, ditambah lagi akibat
perbuatan Macan Terbang
Berekor Sembilan itu Dewa Arak yang mendapat susahnya. "Kubunuh kau...!
Hiyaaat..!"
Diawali teriakan nyaring
memekakkan telinga, Gandara melompat menerjang Macan Terbang Berekor
Sembilan. Dalam kemarahannya, tanpa ragu-ragu dikeluarkan ilmu 'Kelabang
Seribu' andalannya. Laksana sehelai daun kering yang ditiup angin, tubuh pemuda
berpakaian kuning itu meluncur ke tubuh
Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan ketika telah dekat, jari-jari tangannya meluncur ke arah
tenggorokan dan ulu hati lawan.
Macan Terbang Berekor Sembilan
terkejut bukan kepalang melihat model serangan Gandara. Sama sekali
tidak disangkanya kalau pemuda
berpakaian kuning ini memiliki
ilmu yang demikian dahsyat. Bahkan angin serangannya saja sudah membuat tubuh
Macan Terbang Berekor Sembilan hampir terjungkal.
Sadar akan kedahsyatan ilmu
lawan, Macan Terbang Berekor
Sembilan tidak berani
bertindak gegabah. Dia belum tahu
perkembangan dan kedahsyatan ilmu lawannya. Adalah merupakan tindakan
gegabah kalau serangan itu ditangkisnya. Itulah
sebabnya, Macan Terbang Berekor Sembilan memutuskan untuk mengelak.
Tanpa membuang-buang waktu, segera tubuhnya dilempar ke belakang dan
berjumpatitan di udara.
Gila! Hampir-hampir Macan
Terbang Berekor Sembilan tidak
percaya akan pandangan matanya
sendiri! Betapa tidak? Menurutnya, begitu serangannya gagal,
Gandara akan mendarat di tanah! Tapi ternyata tidak. Tubuh pemuda berpakaian
kuning itu terus melayang mengikuti ke mana Macan Terbang Berekor Sembilan
mengelak, laksana seekor burung! Inilah kehebatan ilmu 'Kelabang Seribu'. Mau
tak mau Macan Terbang Berekor Sembilan terus bersalto agar bisa lolos dari
serangan maut Gandara.
Tapi seperti bayangan, Gandara
terus melayang mengikuti ke mana Macan Terbang Berekor Sembilan melayang.
Sebuah pemandangan yang
aneh pada sebuah pertarungan.
Macan Terbang Berekor Sembilan terusmenerus
bersalto, sementara di
belakangnya Gandara senantiasa mengejarnya.
Akhirnya Macan Terbang Berekor
Sembilan sadar, tak ada
gunanya lagi terus-menerus mengelak.
Maka diputuskan untuk menangkis serangan itu dengan mengerahkan seluruh
tenaganya.
Duggg...!
Bunyi keras seperti terjadinya
benturan antara dua logam
terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
kuat itu beradu. Akibatnya, tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan dan Gandara
sama-sama terjengkang ke
belakang. Namun dengan bersalto beberapa kali di udara, keduanya berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung.
Dan secepat kekuatan yang
membuat tubuh mereka terhuyung berhasil
dipatahkan, secepat itu pula keduanya saling terjang kembali. Seperti juga
Gandara, tanpa ragu-ragu lagi Macan Terbang Berekor Sembilan pun mengeluarkan
ilmu andalannya, 'Macan Terbang'!
Ilmu 'Macan Terbang' milik
Macan Terbang Berekor Sembilan
memang bukan hanya hebat
namanya saja. Dalam penggunaan ilmu itu, Macan Terbang Berekor Sembilan
benar-benar bagaikan seekor harimau bersayap. Begitu ringan dan mudah tubuhnya
berlompatan ke sana kemari. Lompatan dan gerakan-gerakan yang bagaimanapun
sulitnya dapat dengan mudah dilakukannya.
Pertarungan kedua tokoh ini
benar-benar menarik. Mereka tak ubahnya dua ekor burung besar yang saling
bertarung. Jarang sekali keduanya menjejakkan kaki di tanah. Dari sini saja
bisa diperkirakan ketinggian ilmu meringankan tubuh yang dimiliki mereka
berdua.
Pertarungan semakin seru dan
hebat. Bunyi mencicit, menderu, dan mengaung yang timbul akibat pergerakan
tangan atau kaki kedua tokoh sakti itu semakin menambah semarak jalannya
pertarungan. Karena Gandara dan Macan Terbang Berekor Sembilan
mempunyai gerakan sama-sama
cepat, tidak aneh kalau pertarungan pun berlangsung cepat. Dalam sekejap enam
puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada yang terdesak.
Pertarungan masih berlangsung imbang.
Tapi memasuki jurus kesembilan
puluh, mulai tampak keunggulan Macan Terbang Berekor Sembilan. Dengan berbekal
pada pengalaman bertarungnya yang tidak sedikit, secara perlahan-lahan Macan
Terbang Berekor Sembilan mulai mampu menekan perlawanan Gandara.
Memang dalam hal tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh, kedua tokoh yang berbeda usia dan aliran ini
berimbang. Tapi dalm
pengalaman bertarung Gandara
kalah jauh. Dan dengan keunggulan ini Macan Terbang Berekor Sembilan berusaha
mendesak terus.
Seiring dengan semakin lamanya
pertarungan, keadaan Gandara semakin terdesak. Kini dia mulai bermain mundur.
Dan hal ini membuat Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bersemangat untuk
secepat mungkin merobohkan lawannya.
Gandara menggertakkan gigi
menahan geram. Sama sekali tidak disangkanya kalau Macan Terbang Berekor
Sembilan akan selihai ini. Pantas saja gurunya tewas. Dia saja yang oleh
gurunya dikatakan sudah memiliki kepandaian di atas gurunya, dibuat kewalahan,
apalagi Tirta Geni! Namun Gandara tak putus asa. Bahkan keadaannya yang
semakin terhimpit dijadikan kesempatan
untuk merobohkan lawannya. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Gandara mempunyai
sebuah senjata yang sangat ampuh.
Betapa tidak? Gandara dapat
meminjam tenaga dari bumi yang
dapat digunakannya
sewaktu-waktu. Tirta Geni menamakannya 'Tenaga Inti Bumi'. Dan tenaga itu
didapatkan Gandara karena pemusatan pikirannya setiap kali bersemadi.
Dan Gandara telah membuktikan
sendiri kedahsyatan tenaga itu.
Korban pertama kedahsyatan
'Tenaga Inti Bumi' adalah Dewa Arak! Hanya dengan sekali gebrak saja pendekar
muda yang menggemparkan dunia persilatan itu dapat dirobohkannya. Sekarang
Gandara akan melakukannya kembali. Dan calon korbannya kali ini adalah Macan
Terbang Berekor Sembilan. Meskipun demikian, Gandara tidak terlalu terburu
nafsu. Dia tahu, sekali saja percobaannya ini gagal, sulit baginya untuk
mendapatkan kesempatan kedua. Karena sudah pasti lawan akan berhati-hati.
Itulah sebabnya, Gandara menunggu kesempatan yang baik.
Dan kesempatan seperti itu
akhirnya tiba! Itu terjadi pada jurus
keseratus tiga belas. Dengan
sebuah siasat jitu, Gandara berhasil membuat keadaannya terpojok. Tubuhnya
jatuh telentang di tanah akibat desakan lawan yang terlaiu bertubi-tubi.
Macan Terbang Berekor Sembilan
yang sudah sangat bernafsu
untuk merobohkan lawannya,
tidak memberikan kesempatan pada Gandara untuk memperbaiki kedudukannya.
Buru-buru diterjangnya dada Gandara dengan gedoran tangan kanan
Wuttt!
Saat itulah yang
dinanti-nantikan Gandara. Begitu serangan Macan Terbang Berekor Sembilan
meluncur dekat, buru-buru tangan kirinya ditepakkan ke bumi. Dalam tepakan ini,
Gandara mengambil tenaga dari bumi. Setelah itu dipapaknya serangan Macan
Terbang Berekor Sembilan dengan tangan kanannya.
Wusss!
Hembusan angin dahsyat ketuar
dari tangan Gandara. Karuan saja hal ini membuat Macan Terbang Berekor Sembilan
terkejut bukan kepalang. Sebagai seorang datuk yang telah penuh pengalaman, dia
langsung tahu, Gandara
mempunyai kekuatan berlipat ganda. Sadar akan adanya bahaya besar yang tengah
mengancamnya, Macan Terbang Berekor Sembilan berusaha menarik kembali
serangannya. Tapi....
Wuttt! Begitu serangan datuk
sesat itu sudah dekat, tangan kiri Gandara segera menepak ke bumi.
Wusss! Tiba-tiba angin yang sangat
dahsyat berhembus keras dari tangan kanan Gandara. Merasakan adanya
bahaya besar, datuk sesat itu ingin menarik kembali serangannya. Tapi sudah
terlambat...
Blarrr! Blarrr! "Aaakh
!"
Jeritan menyayat hati keluar
dari mulut Macan Terbang Berekor Sembilan seiring dengan luncuran tubuhnya ke
belakang. Keadaan kakek berompi kulit harimau ini laksana sehelai daun kering
tertiup angin keras. Tubuhnya melayang-layang jauh. Dari mulut, hidung, dan
telinganya keiuar darah segar.
Brukkk!
Bunyi berdebuk keras terdengar
ketika tubuh Macan Terbang
Berekor Sembilan jatuh di
tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Tapi, kakek berompi kulit
harimau ini memang bukan tokoh sembarangan. Dalam keadaan terluka parah seperti
itu dia masih berusaha untuk bangkit meskipun dengan susah-payah.
Namun sebelum usahanya
berhasil, tahu-tahu di sebelah kirinya telah berdiri Gandara.
"Bersiap-siaplah, Macan
Terbang. Sekarang saatnya kau menerima pembalasan dariku atas kekejianmu
terhadap guruku!" terdengar dingin ucapan Gandara.
Usai berkata demildan, pemuda
berpakaian kuning itu lalu
meletakkan kakinya di atas
dada Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan
sekali kaki itu bergerak
menekan, terdengar bunyi gemeretak keras tulangbelulang
yang hancur berantakan. Seketika
itu pula kepala Macan Terbang Berekor Sembilan terkulai. Saat itu pula nyawanya
melayang.
***
"Guru...! Tenanglah kau
di alam baka. Orang yang membunuhmu
telah berhasil kulenyapkan.
Sakit hatimu telah berhasil kubalaskan," ucap Gandara dalam hati sambil
mendongakkan kepalanya ke langit. Seakanakan di sana ada gurunya.
"Hak hak hak...! Luar
biasa! Sungguh tidak bisa kupercaya Macan
Terbang Berekor Sembilan bisa tewas. Apalagi oleh seorang tokoh muda
yang tidak terkenal. Siapakah dirimu, Anak Muda?!"
Seketika itu pula Gandara
membalikkan tubuhnya. Dan langsung
bersikap waspada. Ucapan keras
penuh pengerahan tenaga dalam tinggi itu telah membuatnya terkejut dan
menolehkan kepala. Sama sekali kedatangan orang itu tidak didengarnya. Apakah
sudah sejak tadi dia berada di sini?
Kalau benar demikian, berarti
orang itu menyaksikan pertarungannya menghadapi Macan Terbang Berekor Sembilan.
"Siapa kau? Dan apa
maksud ucapanmu itu?!" tanya Gandara tanpa perasaan hormat sama sekali.
Sikap itu sengaja dipertunjukkan
Gandara. Karena hanya dengan melihat
penampilannya, sudah bisa diketahui kalau sosok itu bukan dari golongan putih.
"Hak hak hak !"
Lagi-lagi sosok yang
mengenakan pakaian serba hitam itu tertawa terbahak-bahak. Sama sekali tidak
dipedulikannya pertanyaan yang diajukan Gandara.
Gandara merasa tersinggung
bukan kepalang. Tapi dicobanya
untuk menguatkan hati.
Ditatapnya sekujur tubuh sosok hitam itu lekatlekat.
Dan seketika itu
pula dia terperanjat. Ciri-ciri sosok hitam itu amat mirip dengan orang
yang diceritakan murid Perguruan Seribu Kepalan sebagai orang yang membunuh
ayahnya secara licik.
Diperhatikan lagi secara
seksama ciri-ciri sosok hitam itu.
Hidungnya yang mirip paruh
burung, pakaiannya yang serba hitam, dan tawanya yang mirip suara burung. Tidak
salah lagi! Pasti sosok hitam ini orang yang telah membunuh ayahnya. Ya! Dia
pasti Elang Cakar Lima! "Kaukah orang yang berjuluk Elang Cakar Lima itu,
Manusia
Burung?!" tanya Gandara
kasar.
Rupanya makian Gandara
mengenai sasarannya. Buktinya tawa
sosok hitam yang tak lain
adalah Elang Cakar Lima itu terhenti. Memang, Elang Cakar Lima paling benci
apabila ada orang yang mengejek hidungnya yang berbentuk aneh itu. Dan kini
Gandara telah mengejeknya dengan makian itu. Maka hatinya pun kalap!
"Rupanya kau merasa
paling sakti setelah berhasil mengalahkan
Macan Terbang Berekor
Sembilan, Monyet Buduk! Kau harus membayar mahal atas makianmu itu!" desis
Elang Cakar Lima penuh geram.
"Kau salah, Manusia
burung! Kaulah yang harus membayar mahal
atas perbuatan kejimu!"
bantah Gandara tetap menggunakan makian itu. "Kau ingat pada Ketua
Perguruan Seribu Kepalan yang kau tewaskan secara licik itu?! Nah! Kau dengar
baik-baik, Manusia Burung! Akulah
putranya!" "Ooo , begitu
kiranya, Monyet Buduk! Kalau begitu, biarlah kurampungkan tugasku! Bersiaplah
menyusul ayahmu...!"
"Kaulah yang akan
kulenyapkan, Manusia Burung!" tenak Gandara tak mau kalah gertak.
"Tutup mulutmu, Monyet
Buduk! Hiyaaa...!"
Diawali teriakan melengking
nyaring, Elang Cakar
Lima melancarkan serangan terhadap Gandara. Jari-jari kedua tangannya
terkembang membentuk cakar
burung. Dan Elang Cakar Lima membuka serangannya dengan melompat tinggi ke
udara. Dari atas, tubuhnya menukik
laksana seekor burung elang hendak menyambar mangsa. Kedua cakarnya meluncur ke
arah kepala dan ubun-ubun Gandara.
Gandara yang telah merasa
yakin akan kemampuan dirinya,
sama sekali tidak mengelakkan serangan itu. Kemenangan demi kemenangan
yang diperoleh semakin
menambah rasa yakin akan kemampuan dirinya. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu
dipapaknya serangan Elang Cakar Lima! Prattt!
"Akh!"
Pemuda berpakaian kuning itu
menjerit tertahan ketika merasakan
tangannya tergetar hebat
akibat benturan itu. Bahkan tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Gandara sama sekali tidak memperhitungkan kalau
dirinya baru saja bertarung mati-matian melawan Macan Terbang Berekor Sembilan.
Setidak-tidaknya hal itu membuat tenaganya terkuras. Tidak aneh kalau dalam
benturan tadi dia merasakan akibatnya. Dan sebelum Gandara sempat berbuat
sesuatu, lawannya telah mengirimkan serangan susulan. Masih dalam keadaan tubuh
berada di udara, Elang Cakar Lima
meluncurkan kakinya ke dada Gandara.
Namun serangan dahsyat itu
tidak sempat merugikan Gandara.
Pemuda berpakaian kuning itu
malah sempat mengelakkan serangan itu dengan cara melompat ke belakang. Tapi
Elang Cakar Lima tidak tinggal diam. Melihat serangannya kembali berhasil
dipatahkan, dia tidak merasa kesal. Dikirimkan serangan susulan bertubi-tubi ke
tubuh Gandara.
Kesudahannya, dua jago yang
berbeda usia dan aliran itu telah terlibat dalam pertarungan yang semakin seru.
Elang Cakar Lima benar-benar
bernafsu untuk menewaskan
Gandara. Serangan yang
dilancarkan susul-menyusul tak henti-hentinya laksana gelombang laut. Hebatnya,
setiap serangan yang dikirimkan begitu dahsyat dan mampu mengirimkan nyawa
Gandara ke alam baka.
Keinginan yang sama pun ada di
benak Gandara. Bahkan mungkin bila dibandingkan, hasrat yang dimilikinya jauh
lebih besar. Hanya
sayangnya, saat itu Gandara
tidak berada dalam kemampuan tertingginya. Karena baru saja bertarung
mati-matian menghadapi Macan Terbang Berekor Sembilan. Sehingga kemampuannya
telah merosot. Tenaga dalam maupun kecepatan gerakannya sudah berkurang. Tak
aneh kalau Elang Cakar Lima mampu membaca gerakannya.
Apa lagi dalam keadaan seperti
itu Gandara tak berani
menggunakan ilmu 'Kelabang
Seribu'nya. Maka kesialan yang diterimanya pun lengkap. Tak sampai lima puluh
jurus bertarung, dia sudah dibuat terpontang panting ke sana kemari oleh
lawannya.
Keadaan Gandara memang
mengkhawatirkan. Jarang sekali dia melancarkan serangan balasan. Tindakan yang
dilakukan sebagian besar hanya mengelak dan menjauhkan diri. Menangkis, apalagi
melancarkan serangan balasan hanya sesekali saja dilakukan. Itu pun apabila
keadaan
sangat memaksa. Dan setiap
kali terjadi benturan, Gandara pasti terhuyunghuyung.
Menilik dari keadaan ini,
sudah dapat dipastikan knhu Gandara
akan roboh di tangan Elang
Cakar Lima. Dan melihat dari kedudukan Gandara yang sangat terhimpit, robohnya
Gandara tidak akan lama lagi. "Hih!"
Takkk! "Akh!"
Gandara mengeluarkan jerit
tertahan ketika Elang Cakar
Lima berhasil menyapu kakinya. Begitu keras serangan itu hingga membuat
Gandara terpelanting latuh ke tanah.
Kesempatan baik itu tidak
disia-siakan oleh Elang Cakar Lima. Dengan cepat kakinya dijejakkan ke dada
Gandara.
Bresss!
Tanah langsung amblas sebatas
betis, ketika jejakan kaki Elang Cakar Lima tak mengenai sasaran karena Gandara
telah lebih dulu menggulingkan tubuhnya. Karuan saja hal itu membuat Elang
Cakar Lima semakin
penasaran. Dikejarnya Gandara
yang tengah bergulingan, dan kembali kakinya dijejakkan untuk menghancurkan
dada Gandara. Tapi lagi-lagi Gandara berhasil meloloskan diri dengan cara
bergulingan. Elang Cakar Lima mengejarnya lagi dengan maksud yang sama.
Maka untuk yang kesekian
kalinya terlihat pemandangan yang
unik. Elang Cakar Lima yang
terus-menerus mengejar sambil menunggu saat tepat untuk menjejakkan kaki, dan
Gandara yang senantiasa berguling untuk menyelamatkan nyawanya.
Gandara tahu keadaannya sangat
berbahaya. Disadari kalau
keadaan terus seperti itu,
cepat atau lambat dirinya akan tewas. Harus ditemukannya cara untuk membebaskan
diri dari keadaan seperti itu.
Namun Elang Cakar Lima pun
tahu maksud yang terkandung di
hati Gandara. Dia tak
menginginkan hal itu terjadi. Maka sedikit pun tidak
diberikannya kesempatan pada
pemuda berpakaian kuning itu untuk melaksanakan
niatnya. Terus diburunya
Gandara, dan dicecarnya dengan
jejakan-jejakan kaki. Elang
Cakar Lima yakin, usahanya pasti akan berhasil. Tapi sebelum maksud Elang Cakar
Lima tercapai....
8
Wusss!
Tiba-tiba segumpal angin
berhawa panas menyengat, meluruk begitu kencang ke tubuh Elang Cakar Lima.
Sadar akan kedahsyatan
serangan ini. Elang Cakar Lima tak berani
bertindak gegabah. Buru-buru pengejarannya terhadap Gandara dihentikan.
Lalu tubuhnya dilempar ke belakang, berjumpalitan beberapa kali di usara sebelum
akhirnya hinggap berjarak beberapa tombak dari tempat semula.
Kesempatan itu digunakan
sebaik-baiknya oleh Gandara untuk bangkit.
Lalu hampir bersamaan waktunya
dengan Elang Cakar Lima,
Gandara mengarahkan pandangan
ke arah orang yang telah menolongnya dengan cara melemparkan serangan jarak
jauh itu.
"Dewa Arak !" desis
Gandara kaget
Orang yang menyelamatkan
Gandara memang Dewa Arak. Dengan sikap tenang, pemuda berambut putih keperakan
itu berdiri. Di sebelahnya tampak Melati. Juga dengan sikap yang sama
tenangnya. "Ooo…, jadi kau rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak
itu?!"
tanya Elang Cakar Lima sambil
merayapi sekujur tubuh Dewa Arak dengan pandang mata penuh selidik.
"Benar," jawab Dewa
Arak singkat
"Hak hak hak...! Pucuk
dicinta ulam tiba! Sama sekali tak
kusangka akan bertemu denganmu
di sini, Dewa Arak! Tak sia-sia aku mencarimu! Sekarang bersiaplah kau, Dewa
Arak!"
"Sejak tadi pun aku sudah
siap!" tandas Dewa Arak mantap. "Bagus! Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Elang Cakar Lima langsung melancarkan
serangan terhadap Dewa Arak. Sadar kalau lawan yang dihadapinya merupakan tokoh
tangguh, tanpa ragu-ragu ilmu andalannya segera dikeluarkan.
Dewa Arak tahu kalau lawan
telah menggunakan ilmu andalan,
dan tanpa ragu-ragu lagi guci
araknya yang tergantung di punggungnya diambil, kemudian dituangkan ke
mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan,
dalam perjalanan menuju ke
perut Sesaat kemudian, hawa hangat pun berputaran di ba-wah perutnya. Lalu
perlahan-lahan hawa itu merayap naik ke
atas. Seketika itu pula kedudukan kaki Dewa Arak sempoyongan ke sana kemari.
Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap
dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Ketika tubuh Dewa Arak
oleng ke
sana kemari itulah, serangan Elang Cakar Lima meluncur. Dan seperti
biasanya, datuk sesat yang
memiliki ciri-ciri mirip
burung itu membuka serangannya dengan sebuah lompatan ke udara. Dan ketika tubuhnya telah berada di atas, langsung menukik sambil
melancarkan serangan cakarnya menuju kepala dan ubunubun lawan.
Dewa Arak tidak berani
bertindak gegabah. Disadari kalau
kedahsyatan dan perkembangan ilmu lawan belum diketahuinya. Oleh
karena itu, dia tidak berani
menangkis. Yang dilakukannya saat itu adalah mengelak. Bahkan elakan yang
dilakukan hanya mengelak sambil menjauhi tempat lawan.
Dewa Arak melompat jauh ke
belakang sehingga serangan Elang
Cakar Lima tidak mengenai
sasaran. Tapi seperti kejadian yang sudahsudah, melihat serangannya berhasil
dielakkan lawan, Elang Cakar Lima
tidak berdiam diri. Segera
dikirimkan serangan susulan begitu kakinya telah mendarat di tanah.
Sana seperti tindakan yang
dilakukan sebelumnya, menghadapi
serangan susulan itu pun Dewa
Arak tetap tidak melakukan tangkisan. Yang dilakukannya hanya mengelakkan
serangan itu. Hal yang sama pun dilakukannya ketika menghadapi
serangan-serangan selanjutnya. Dewa Arak bermaksud melihat kedahsyatan
perkembangan ilmu lawan sebelum mulai melakukan perlawanan.
Karuan saja tindakan Dewa Arak
membuat Elang Cakar Lima
murka. Dia tersinggung karena
mengira Dewa Arak merendahkannya. Akibatnya, serangan-serangan yang
dilancarkannya pun semakin dahsyat. Selama hampir tiga jurus hanya itu yang
dilakukan Dewa Arak.
Mengelak dan mengelak. Baru
pada jurus keempat, setelah cukup mengetahui kedahsyatan dan perkembangan ilmu
lawannya, Dewa Arak mulai melancarkan serangan balasan.
Dan ketika Dewa Arak
melancarkan serangan balasan, terasa oleh Elang Cakar Lima betapa beratnya daya
serang Dewa Arak. Serangan
pemuda berambut putih
keperakan itu mengingatkannya akan gelombang laut. Begitu kuat dan penuh dengan
tekanan.
Elang Cakar Lima tak tahu
kalau itulah jurus 'Belalang Sakti'.
Setiap kali Dewa Arak
melakukan penyerangan terasa beratnya oleh Elang Cakar Lima. Sebaliknya, setiap
kali serangan balasan dilancarkan, dengan mudah pemuda berambut putih keperakan
itu memunahkannya dengan elakan yang aneh. Betapa tidak? Tak jarang Dewa Arak
mengelak sambil menenggak araknya. Demikian pula ketika melakukan penyerangan.
Yang lebih membuat hati Elang
Cakar Lima takjub
bercampur heran, ketika melihat
Dewa Arak malah seperti memapak
datangnya
serangan yang tengah meluncur
ke tubuhnya. Namun anehnya, justru dengan melakukan tindakan
seperti itu serangan yang dilancarkannya selalu meleset dari sasaran.
Elang Cakar Lima benar-benar
dibuat kelabakan. Ilmu yang
dimiliki Dewa Arak benar-benar
sulit diduga perubahannya. Kadangkadang keras penuh kekuatan, tapi tak jarang
lemas seperti tidak
mengandung tenaga sama sekali.
Perubahan dari keras ke lembut itu berlangsung demikian mendadak sehingga tak
bisa diduga.
Padahal Elang Cakar Lima
pernah bertarung dengan tokoh sakti
seperti Prakasa. Namun tetap
saja harus diakuinya kalau tekanan serangan Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu
tak seberat tekanan serangan Dewa Arak. Bahkan biasanya dia mengetahui ke mana
serangan selanjutnya akan ditujukan. Hal seperti itu tidak pernah bisa
dilakukannya terhadap Dewa Arak.
Perkembangan gerakan Dewa Arak sama sekali tak bisa diduganya.
Padahal dalam hal tenaga dalam
dan kecepatan gerak, Dewa Arak belum
tentu berada di atas Prakasa. Tapi harus diakuinya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu
memiliki sebuah ilmu yang mempunyai mutu amat tinggi. Lebih patut kalau disebut
mukjizat!
Pertarungan pun semakin seru
dan begitu menarik. Apalagi mereka
bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga yang terlihat
hanyalah kelebatan bayangan ungu dan hitam yang saling belit. Hanya
kadangkadang kedua bayangan itu saling pisah. Itu pun berlangsung sebentar
saja.
Karena sesaat kemudian, telah
saling belit kembali. "Hiaaat..!"
"Yeaaat...!" Wuuttt!
Bunyi angin menderu, mencicit,
dan mengaung menyemaraki
pertarungan yang tengah
berlangsung. Itu pun masih ditambah lagi dengan bunyi tegukan Dewa Arak
menenggak araknya. Masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki.
Kini pertarungan telah
menginjak enam puluh jurus, dan selama itu
belum terlihat ada pihak yang
mulai terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang.Tapi lambat laun Dewa Arak
nampak mulai mampu menguasai keadaan pertarungan. Tangan dan kaki, guci, dan
semburan-semburan araknya merupakan satu kesatuan yang mampu menggilas habis
semua pertahanan musuh. Dan hal itu dirasakan sendiri oleh Elang Cakar Lima.
Padahal saat itu, Elang Cakar Lima telah menghunus senjatanya. Sebuah keris
hitam legam yang mempunyai tujuh luk.
Dan menginjak jurus
keseratus, tanda-tanda kemenangan
untuk Dewa Arak mulai tampak. Serangan-serangan yang dilancarkan Elang
Cakar Lima mulai mengendur.
Gerakan yang dilakukannya lebih banyak untuk menghindar dan menjauhkan diri
dari serangan Dewa Arak
Hal yang sebaliknya dialami
Dewa Arak. Serangan yang dilancarkannya semakin meningkat. Yang
lebih gila lagi, kekuatan yang terkandung dalam serangan itu sama sekali tak
berkurang. Masih tetap
sedahsyat semula. Seakan-akan
Dewa Arak mempunyai sumber tenaga cadangan. Dan hal itu memang benar! Pemuda
berambut putih keperakan itu memang mempunyai sumber tenaga cadangan,
dari arak dalam gucinya. Setiap kali araknya diminum, seketika itu pula
kekuatannya pulih kembali seperti sediakala.
Keadaan seperti itu berjalan
terus selama pertarungan. Elang Cakar
Lima semakin terdesak dan
kewalahan. Apalagi ketika Dewa Arak dengan cepat terus mendesaknya.
Namun, Elang Cakar Lima bukan
orang bodoh. Dia tahu kalau keadaan seperti itu berlangsung terus, kekalahan
sudah jelas akan
dideritanya. Dan bukan
mustahil dirinya akan tewas di tangan pendekar muda yang sakti itu. Maka
diputuskan menggunakan cara lain nntuk mencapai kemenangan. Dengan sabar,
ditunggunya kesempatan untuk menggunakan taktik itu.
Dan kesempatan yang
ditunggunya tiba, ketika pada jurus
keseratus dua puluh tiga Dewa
Arak melancarkan sapuan kaki kanan. Wusss!
Dengan sebuah lompatan yang
dilanjutkan dengan bantingan
tubuh di tanah untuk kemudian bergulingan, Elang Cakar Lima melancarkan
siasatnya. Tangannya masuk ke
balik baju, lalu secepat kilat dikibaskan ke arah Dewa Arak.
Siut, siut..!
Seketika itu pula beberapa
buah benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke tubuh Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang melihat serangan yang sama sekali tak disangka-sangka itu. Namun,
ketika melihat jenis benda itu, dia langsung tahu. Karena pemuda berambut putih
keperakan itu telah pernah bentrok dengan tokoh yang mempunyai senjata seperti
itu. Oleh karena itu, Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Dengan cepat
tubuhnya dibanting ke tanah, lalu
bergulingan. Sehingga benda-benda bulat itu menyambar lewat jauh di atas
kepalanya.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya
berhenti sampai di situ. Sambil menggulingkan tubuh, dilancarkannya serangan
balasan ke arah Elang Cakar Lima. Kedua tangannya beberapa kali menghentak kuat
Wusss!
Gumpalan angin kencang berhawa
panas menyengat, meluruk ke
arah Elang Cakar Lima.
Bertubi-tubi serangan itu dilancarkan. Maka Elang Cakar Lima pun kelabakan
bukan kepalang. Dengan susah payah, tubuhnya melompat ke sana kemari
mengelakkan setiap serangan Dewa Arak.
Usaha Elang Cakar Lima tidak
sia-sia. Serangan-serangan Dewa
Arak berhasil dielakkan semua.
Bahkan dia masih sanggup mengirimkan serangan balasan dengan lontaran
benda-benda bulatnya. Kekeras kepalaan sikap Elang Cakar Lima membuat Dewa Arak
kehilangan kesabaran. Maka dipapaknya benda-benda bulat itu dengan pukulan
jarak jauhnya, jurus 'Pukulan Belalang'.
Glarrr! Glarrr...!
Bunyi-bunyi keras menggelegar
terdengar ketika angin pukulan
Dewa Arak membentur
benda-benda bulat itu, sehingga menimbulkan ledakan. Sampai akhirnya semua
benda bulat yang diluncurkan Elang Cakar Lima habis dihancurkan Dewa Arak.
Melihat Elang Cakar Lima
kehabisan senjata andalannya, Dewa
Arak kembali meluruk ke
arahnya. Maka pertarungan pun berlangsung kembali. Tapi hanya dalam beberapa
gebrakan Elang Cakar Lima telah terjepit, seperti pada jurus-jurus sebelumnya.
Meskipun demikian, Elang Cakar Lima tetap melakukan perlawanan mati-matian.
"Hih!"
Meskipun keadaannya sudah
terjepit, Elang Cakar Lima yang keras
hati memaksakan diri melancarkan
sebuah serangan. Tangan kanannya membabatkan keras ke leher Dewa Arak. Wuttt!
Sabetan keris itu menyambar
lewat di atas kepala, ketika Dewa
Arak menundukkan tubuhnya.
Ketika itu juga Dewa Arak menghantamkan gucinya ke dada Elang Cakar Lima.
Bukkk! "Hugh!"
Keluhan tertahan terdengar
dari mulut Elang Cakar Lima ketika
guci Dewa Arak menghantam
telak dadanya. Tubuhnya terjengkang ke belakang dengan darah mengalir deras
dari mulutnya. Jelas, Elang Cakar Lima mengalami luka dalam yang parah.
Dan seperti telah diatur,
terhuyungnya tubuh Elang Cakar Lima
justru mendekati Gandara.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gandara langsung menghentakkan kedua tangannya
ke depan.
Bukkk! "Hugh!"
Untuk yang kedua kalinya
terdengar kehihan tertahan. Hentakan kedua tangan terbuka Gandara telak dan
keras sekali menghantam
punggung Elang Cakar Lima.
Seketika itu pula tubuhnya melayang deras. Dan....
Brukkk!
Setelah melayang-layang sejauh
beberapa tombak, akhirnya tubuh Elang Cakar Lima ambruk di tanah diiringi
bunyi berdebuk keras. Sesaat
lamanya datuk sesat yang
memiliki ciri-ciri mirip burung itu menggelepargelepar.
Kemudian diam tak berkutik
lagi bersama nyawanya yang melayang.
"Hhh !"
Hampir berbareng dari mulut
Dewa Arak dan Gandara keluar
helaan napas lega. Hanya saja
Gandara lalu menengadahkan kepalanya ke langit
"Kau lihat. Ayah. Orang
yang telah membunuhmu secara keji
berhasil kutumpas. Sakit
hatimu telah kubalaskan. Tenanglah kau di alam baka, Ayah," ujar Gandara
pelan.
Setelah itu, Gandara
mengalihkan perhatian ke Dewa Arak. "Sekarang mari kita selesaikan urusan
di antara kita Gandara.
Bukankah kau hendak membalas
dendam atas kematian gurumu padaku?!" langsung saja Dewa Arak
menanyakannya.
"Hhh...!" Gandara
menghembuskan napas berat sebelum akhirnya menggelengkan kepala sambil
tersenyum malu. "Maafkan atas tindakan cerobohku, Dewa Arak! Sekarang aku
tahu, bukan kau pembunuh guruku, melainkan Macan Terbang Berekor Sembilan. Jadi
tak ada gunanya lagi kita bertarung. Tapi, kalau kau hendak membalas dendam
atas perlakuanku yang tak pantas padamu, silakan! Percayalah, aku tak akan
melawan!"
Dewa Arak dan Melati saling
pandang menerima sambutan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Keduanya
merasa terkejut bukan kepalang. Terutama sekali Melati. Sama sekali tidak
diduga kalau masalah itu telah menjadi jelas sendiri.
"Makanya jangan sombong,
mentang-mentang memiliki kepandaian lalu
bertindak semaunya tanpa memperdulikan ucapan orang lain," omel
Melati.
Rupanya gadis berpakaian putih
itu masih dongkol atas kejadian
dulu. Meskipun Gandara telah meminta maaf, tetap saja belum semua rasa
tidak senangnya menguap.
"Lupakanlah, Gandara! Tak
ada hal yang perlu dimaafkan.
Kejadian waktu itu hanya salah
paham belaka. Dan aku tak merasa dendam. O, ya. Kuharap kau tak tersinggung
atas ucapan kawanku ini," ujar Dewa Arak.
"Tentu saja tidak, Dewa
Arak," sahut Gandara sambilmengembangkan senyum lebar.
Dan sesaat kemudian, tiga
orang muda yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu terlibat dalam percakapan
di tengah suasana sepi Desa Rotan. Semua penduduk desa itu telah pergi karena
ketakutan oleh seekor harimau loreng yang mengamuk.
Matahari kini telah mulai
tenggelam di barat. Sebentar lagi hari
pun akan berubah gelap, karena
malam segera turun menyelimuti persada.
SELESAI