46 Pendekar Sadis
1
"Hooop...!"
"Hieeeh...!"
Diiringi ringkikan melengking
seekor kuda coklat menghentikan larinya, ketika lelaki yang duduk di atas
punggungnya menarik tali kekang. Kedua kaki depan kuda itu terangkat
tinggi-tinggi ke udara. Debu pun mengepul menyelimuti kuda itu.
"Hup!"
Dengan begitu ringan, sosok
tubuh penunggang kuda itu melompat dari
punggung kuda ke tanah. Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan berusia
sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya yang kekar dan gagah terbalut pakaian biru.
Setelah berdiri mantap di
tanah, pemuda berpakaian biru itu segera
menuntun
kudanya dan menambatkan pada
sebatang pohon yang tidak jauh dari tempat itu. Kemudian, dengan langkah lebar
diayunkan kakinya menuju sebuah kedai yang juga
tak berapa jauh dari tempatnya
menghentikan kuda.
Pemuda berpakaian biru itu
berhenti sejenak di ambang pintu kedai. Sepasang matanya yang tajam
mernperhatikan ke dalam kedai yang ramai pengunjungnya. Hampir semua meja dan
kursi telah terisi. Hanya tinggal sebuah meja yang mikih kosong.
Tak lama kemudian, pemuda
berpakaian biru itu melangkah memasuki kedai. Namun,
baru saja kakinya melangkah,
tiba-tiba tubuhnya langsung membalik kembali ke belakang. Karena mendadak
telinganya mendengar suara ringkikan kuda.
"Hiiieeeh...!"
"Keparat! Maling-maling
busuk!"
Makian penuh kemarahan dan
kegeraman seketika keluar dari mulut pemuda berpakaian biru itu. Kuda
tunggangannya yang baru saja ditambatkan tiba-tiba hendak dicuri tiga orang
berpakaian kuning. Ketiga lelaki berpakaian kuning itu tengah berusaha
melepaskan tali tambatan kuda itu. Kalau saja tidak meringkik, mungkin
orang-orang itu telah berhasil membawa
kabur kuda coklat itu.
Pemuda berpakaian biru itu
segera melesat menuju kudanya yang masih tertambat di tempatnya. Hanya sekali
hentak tubuh pemuda itu telah melesat sejauh sebelas tombak. Nampaknya pemuda
berpakaian biru ini memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Jliggg!
Bersamaan dengan terlepasnya
tali kekang kuda dari batang pohon, pemuda berpakaian biru mendarat di tempat
itu. Namun, belum pemuda berpakaian biru itu berbuat sesuatu, dua di antara
ketiga pencuri telah meluruk ke tubuhnya dengan senjata terayun.
Sing! Sing...!
Bunyi berdesing terdengar
ketika golok besar yang tergenggam di tangan dua orang bertubuh kekar itu,
diayunkan ke tubuh pemuda berpakaian biru.
"Hmh!"
Pemuda berpakaian biru hanya
mendengus penuh ejekan melihat serangan-serangan yang meluncur ke tubuhnya.
Sikapnya nampak tenang. Raut wajahnya tak berubah sedikit pun. Nampaknya pemuda
berpakaian biru itu tidak menganggap berat, serangan dua orang lawannya.
Dan, ketika serangan-serangan
itu menyambar dekat, pemuda berpakaian biru dengan cepat bergerak. Kedua
tangannya segera terjulur berusaha memapak serangan dengan tangan kosong. Tindakannya
itu tentu saja menimbulkan rasa heran kedua lawannya.
"Hah...! Gila barangkali
anak muda ini!" seru salah seorang yang merasa keheranan, "Dia
mencoba menangkis senjata kita dengan tangan kosong!"
Meskipun diliputi perasaan
heran, dua orang kasar itu tetap melanjutkan serangan. Harapan ketiga pencuri
itu, dalam satu gebrakan saja dapat mematahkan tangan pemuda berpakaian biru.
Tapi harapan memang belum tentu menjadi kenyataan. Demikian yang dialami dua
orang kasar itu. Mereka kembali dikejutkan lagi, ketika serangan mereka
meluncur ke tubuh pemuda berpakaian biru.
Tak! Tak!
"Hehhh...?"
Tak dapat ditahan, seruan
keterkejutan keluar dari mulut dua orang kasar itu ketika melihat kejadian yang
sama sekali tak diduga. Betapa tidak? Serangan golok mereka dapat ditangkis
dengan tangan pemuda berpakaian biru itu. Tidak sedikit pun tangan itu lecet,
apalagi putus. Bahkan tangan pemuda berpakaian biru itu berhasil menangkap
golok mereka.
Namun keterkejutan dan
keheranan itu hanya berlangsung sesaat. Karena sekejap kemudian kedua lelaki
berwajah kasar telah mengerahkan seluruh tenaga. Mereka berusaha menarik golok
dari cekalan kuat tangan pemuda tampan berpakaian biru itu.
Lagi-lagi kedua lelaki kasar
itu tidak berhasil. Golok itu sama sekali tidak bergeming dalam cekalan tangan
pemuda berpakaian biru. Padahal dua orang kasar itu telah mengerahkan seluruh
kekuatan, untuk menarik golok mereka.
"Enghhh...!
Emhhh...!"
"Uuuh...!" lenguhan
panjang keluar dari mulut kedua orang pencuri itu ketika mencoba menarik senjata mereka. Raut wajah
mereka yang merah padam, menunjukkan betapa kerasnya usaha yang telah
dilakukan.
Berbeda dengan dua orang
berwajah kasar, pemuda berpakaian biru nampak tidak mengerahkan tenaga sama
sekali. Raut wajahnya tetap seperti semula, tenang.
"Kerahkan seluruh tenaga
yang kalian miliki, Pencuri-Pencuri Busuk!" ujar pemuda berpakaian biru
dengan bibir tersenyum mengejek. "Sekarang kuberikan kesempatan lebih dulu
pada kalian!"
Pemuda berpakaian biru itu
menepati janjinya, tidak melakukan perlawanan sama sekali. Yang dilakukan hanya
bertahan. Dibiarkan orang-orang kasar itu terengah-engah karena tenaganya
terkuras untuk menarik golok mereka.
"Sekarang
giliranku...!" ujar pemuda berpakaian biru, mantap.
Usai berkata demikian,
jari-jari kedua tangannya bergerak menekuk. Dan....
Tak! Takkk! "Uhhh !"
Diiringi suara berdetak
nyaring, kedua batang golok yang ada dalam cekalan pemuda tampan itu patah.
Seketika itu pula tubuh kedua lelaki berwajah kasar terjengkang dan terpekik
kaget. Kedua lelaki berwajah kasar itu pun jatuh bergelimpangan.
Tepat ketika tubuh dua orang
lawannya terjengkang ke belakang, pemuda berpakaian biru itu mengibaskan
potongan golok.
Sing! Sing !
Tak pelak lagi patahan dua
batang golok melayang, dan....
Jrebs! Jrab! "Akh !"
Patahan batang golok itu
menancap deras di paha dua orang berwajah kasar itu. Seketika itu pula jerit
kesakitan terdengar dari mulut mereka, mengiringi robohnya kedua tubuh pencuri
itu.
Sementara itu seorang lagi
yang tengah sibuk sendiri melepaskan tali kekang kuda, begitu terkejut melihat
kedua lawannya roboh di tangan pemuda tampan berpakaian biru itu.
Namun sebelum sempat melakukan
tindakan, pemuda berpakaian biru itu telah berada di dekatnya.
"Orang seperti kalian tak
patut dibiarkan hidup!" ujar pemuda berpakaian biru dengan
geram.
Setelah itu, dengan cepat
diulurkan tangan kanannya ke tubuh lelaki berwajah kasar
yang masih memegangi tali
kekang kuda. "Hekh...!"
Pekikan tertahan keluar dari
mulut orang kasar yang sial itu, ketika tangan kanan
pemuda berpakaian biru
mencekal lehernya. Kecepatan gerak pemuda
berpakaian biru membuatnya tak mampu berkelit. Si pencuri kuda tahu
bahwa maut tengah mengancam dirinya. Kalau hanya berdiam diri saja, nyawanya
pasti akan melayang. Maka pencuri itu segera bergerak untuk menyelamatkan
jiwanya.
Lelaki berpakaian kuning ini
cepat mencekal tangan pemuda berpakaian biru yang mencekal lehernya. Dengan
pengerahan seluruh tenaga dalam pencuri itu berusaha melepaskan cekalan tangan
pemuda berpakaian biru dari lehernya.
Namun, usaha si pencuri kuda
ini sia-sia. Cekalan tangan pemuda berpakaian biru
terlalu kuat dan keras
bagaikan jepitan baja. Betapapun telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya,
tetap tak mampu mengimbangi kekuatan tangan pemuda berpakaian biru itu.
Sedangkan, cekalan itu semakin lama bukan semakin melemah.
Akibat cekalan itu raut wajah
pencuri mulai memerah. Semakin lama warna merahnya
tampak semakin jelas. Keringat
di leher dan keningnya pun membasah. Lidahnya pun mulai terjulur keluar. Dan
sepasang matanya mulai membeliak.
***
"Gorda!"
Dua orang berwajah kasar yang
telah terluka karena lemparan patahan golok, menjerit keras ketika melihat maut
tengah mengancam kawan mereka.
Lalu meskipun dengan luka di
paha, kedua orang itu bangkit dan bergerak mendekati kawan mereka yang bemama
Gorda. Langkah kedua orang itu terseok-seok karena luka parah di paha mereka.
Baru saja sampai di depan Gorda, yang tengah dicekik lehernya, tiba-tiba....
Krrrkkkhhh!
Langkah dua orang berwajah
kasar itu terhenti ketika mendengar suara gemeretak. Ternyata berasal dari
leher Gorda yang diremukkan oleh cekalan tangan pemuda berpakaian biru itu.
Kedua lelaki berwajah kasar
nampak bergidik ketakutan melihat hancurnya tulang belulang leher Gorda. Darah
menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinganya, akibat cekikan pemuda
berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga dalam.
Brukkk!
Tubuh Gorda ambruk ke tanah
ketika cekalan tangan pemuda itu
terlepas. Sama sekali tidak
nampak perasaan ngeri atau menyesal tampak di wajah pemuda berpakaian biru itu.
Bahkan sebaliknya, sorot mata pemuda itu nampak sinar kekejaman.
Setelah menyeringai penuh
ejekan, pemuda berpakaian biru itu mengalihkan perhatian
pada dua kawan Gorda yang
masih berdiri terpaku. Kedua lelaki berwajah kasar itu nampak ketakutan dan
begjtu terguncang menyaksikan kejadian yang mengerikan tadi.
"Sekarang giliran
kalian!" ucapan geram lelaki berpakaian biru sambil menolehkan wajah pada
dua orang lawannya.
Usai berkata demikian, pemuda
berpakaian biru melangkah mendekati kedua orang berwajah kasar. Mereka baru
tersadar dan ketertegunannya setelah mendengar geraman pemuda berpakaian biru
Setelah menyadari keadaan itu,
keduanya langsung meluruk ke pemuda berpakaian
biru. Karena sudah tidak punya
senjata, kedua lelaki yang paha mereka sama-sama terluka, melakukan penyerangan
dengan tangan kosong. Tinju mereka dipukulkan bertubi-tubi ke dada pemuda berpakaian biru.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Beberapa kali pukulan kedua
orang kasar itu mengenai sasarannya. Setiap kali pukulan mendarat mereka merasa
kesakitan. Tubuh pemuda berpakaian biru itu tidak layaknya tubuh manusia.
Mereka seolah-olah memukul besi, atau baru. Tubuh pemuda itu sangat keras dan
kuat.
Di tengah-tengah rasa heran
dan kesakitan, mata kedua orang berwajah kasar itu melihat kaki kanan pemuda
berpakaian biru bergerak. Kecepatan gerakan kaki kanan pemuda itu mengejutkan
mereka berdua.
Dan...
Tuk! Tuk! "Akh,
akh...!"
"Uuuh...!"
Jerit kesakitan langsung
terdengar ketika ujung kaki pemuda berpakaian biru menghantam telak tulut kedua
lelaki kasar itu. Tubuh kedua teman Gorda ambruk di tanah. Mereka merasakan,
sambungan tulang lutut mereka copot.
"Sekarang saatnya untuk
merasakan akibat perbuatan kalian!" desis pemuda berpakaian biru bergetar
penuh kebencian.
Baru saja ucapan itu terhenti,
jari telunjuk kanan pemuda itu meluncur ke
bahu kanan kedua orang kasar itu.
Tuk! Tukkk!
Berturut-turut jari telunjuk
pemuda berpakain biru bersarang di bahu lawan. Akibat selanjutnya benar-benar
menggiriskan hati. Dua teman Gorda menjerit-jerit kesakitan. Tubuh mereka
bergulingan ke sana kemari karena rasa sakit yang mendera.
"Ha ha ha...! Rasakanlah
akibat perbuatan kalian...! Ha ha ha...!" seru pemuda berpakaian biru
merasa gembira.
Terlihat jelas betapa
senangnya pemuda berpakaian biru melihat penderitaan yang dialami dua orang
teman Gorda yang bergulingan ke sana
kemari. Mulut mereka terus mengerang kesakitan seperti hewan disembelih.
Namun di tengah suasana itu,
tiba-tiba muncul suara dari kejauhan. Sehingga suara
itu terdengar tidak begitu
jelas. "Keji...!"
Suara itu terdengar, kemudian
nampak melesat dua sosok bayangan bergerak mendekati tubuh dua orang kawan
Gorda yang masih bergulingan dilanda sakit.
Plak! Plak!
Hampir berbarengan, kedua
sosok bayangan ungu dan putih menepuk tubuh
dua orang kasar itu. Seketika itu pula kedua orang berwajah kasar
merasakan kalau sakit dan nyeri yang melanda, tiba-tiba lenyap. Rupanya tepukan
yang dilakukan dua sosok bayangan itu bukan sembarangan tepukan, melainkan
tepukan yang mampu membebaskan pengaruh totokan pemuda berpakaian biru.
Jliggg!
Kedua sosok berpakaian ungu
dan putih mendarat tepat di depan pemuda perkasa berpakaian biru. Yang satu
seorang pemuda berambut putih keperakan. Tubuhnya yang kekar terbalut pakaian
ungu. Sedangkan yang satu lagi seorang wanita berambut panjang tergerai. Dan
tubuhnya yang padat berisi dan ramping tercetak jelas dalam pakaian putihnya
yang ketat.
"Siapa kalian? Mengapa
mencampuri urusanku?! Apakah kalian berdua termasuk kawanan pencuri-pencuri
busuk itu?!" tanya pemuda
berpakaian biru, agak mengejek bercampur penasaran.
"Tutup mulutmu yang busuk
itu! Dan jangan sembarangan membuka bacot!" sambut gadis berpakaian putih
dengan suara keras, hatinya kesal mendengar ucapan pemuda berpakaian biru itu.
"Tenanglah, Melati,"
ucap pemuda berambut putih keperakan pelan bernada
menasihati.
"Mana bisa aku tenang
mendapat hinaan seperti itu, Kang?" bantah gadis berpakaian putih yang
ternyata Melati.
Sebelum pemuda berambut putih
keperakan yang tak lain Arya atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak
menimpali, pemuda berpakaian biru yang telah menjadi merah wajahnya telah
menyahut.
"Kalau bukan kawan,
mengapa mencampuri urusanku? Atau karena kalian berdua
ingin memamerkan kemampuan di
hadapanku, heh...?!"
Karuan saja ucapan itu membuat
marah Melati yang memang sejak tadi telah menahannya di hati.
"Keparat Sombong! Orang
sepertimu harus diberi pelajaran, agar
tak membacot
seenaknya!" sahut Melati
semakin jengkel. Gadis berpakaian putih itu segera mengayunkan langkah
mendekati pemuda berpakaian biru. Tapi, baru saja melangkah, Dewa Arak mencekal
pergelangan tangannya.
"Sabar dulu, Melati!
Jangan menambah besar persoalan sepele ini!"
Mendengar ucapan kekasihnya
ini, terpaksa Melati mengurungkan niatnya. Dikendurkan kembali otot-otot dan
urat-urat sarafnya yang telah menegang, walaupun hatinya mendongkol.
"Nah, Kisanak! Periu kau
ketahui, tuduhanmu terhadap kami sama sekali tidak benar.
Kami tak berma sud memamerkan
kepandaian. Tindakan yang kau lakukan tadi, hanya karena melihat tindak ketida
adilan terhadap dua orang itu," ujar Dewa Arak halus
"Hmh...!" dengus
pemuda berpakaian biru. "Tindak ketidakadilan katamu?! Ho ho ho...! Kau
tahu siapa mereka? Dua orang yang kalian tolong itu bermaksud mencuri kudaku!
Kalau aku tak bertindak cepat, mungkin mereka telah berhasil mencuri
kudaku."
"Aku mengerti, Kisanak!
Tapi mengapa begitu caramu memperlakukan mereka. Melakukan penyiksaan secara
kejam. Padahal yang mereka lakukan hanya sekadar mencuri kuda."
"Jadi tindakan yang
kulakukan ini salah?! Kalau begitu, menurutmu, begitu kutahu mereka hendak
mencuri kudaku, kubiarkan saja mereka melakukannya?! Atau..., kubelai- belai
mereka, Begitu?! Luar biasa! Kau tahu, Pemuda Usilan! Orang-orang macam mereka
harus dilenyapkan dari muka bumi! Tentu saja tidak dengan cara yang enak! Dan
kalau kau bermaksud menghalangi tindakanku, kau pun harus merasakan
akibatnya!" tandas pemuda berpakaian biru.
"Sombong!" pekik
Melati keras. Dan seiring ucapan itu, tubuh Melati melesat ke pemuda berpakaian biru, tanpa sempat
dicegah Dewa Arak.
Begitu cepat dan dahsyat
serangan yang dilakukan Melati. Ketika tubuhnya melayang di udara, dilancarkan
serangan perdananya. Tangan kanannya dengan cepat disampokkan ke pelipis pemuda
berpakaian biru.
"Hmh...!"
Pemuda berpakaian biru
mendengus ketika melihat serangan itu. Kemudian sambil melangkah mundur
diayunkan tangan kirinya menangkis serangan Melati.
Taaap!
Bunyi seperti benturan dua
logam keras terdengar ketika dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
kuat itu beradu. Tubuh Melati seketika terpental kembali ke belakang. Sedangkan
tubuh pemuda berpakaian biru terhuyung selangkah ke belakang.
"Hup!"
Dengan sebuah gerakan manis,
Melati berhasil mendaratkan kaki di tanah. Namun, mulutnya menyeringai
kesakitan. Kemudian tangan kanannya mengurut-urut tangan kiri. Dirasakan
tangannya bergetar hebat akibat benturan itu.
Kejadian itu tidak lepas dari
perhatian Dewa Arak. Diam-diam pemuda berambut putih
keperakan ini menjadi terkejut
karenanya. Benturan pertama kali itu membuktikan kalau pemuda berpakaian biru
memiliki tenaga dalam sangat kuat, dan bahkan mungkin berada di atas Melati.
Sekaligus membuktikan bahwa pemuda itu tak dapat dianggap remeh.
Kenyataan ini menimbalkan rasa
penasaran Dewa Arak. Benarkah pemuda berpakaian
biru memiliki tenaga dalam
sekuat itu? Itulah sebabnya Dewa Arak tak berusaha mencegah pertarungan yang
akan terjadi. Di samping itu, dirinya juga menyadari, tidak mungkin lagi
mencegah Melati untuk tidak bertarung. Karena gadis berpakaian putih itu begitu
marah, dan bernafsu sekali menyerang pemuda berpakaian biru itu.
Dan dugaan Dewa Arak tidak
meleset. Melati kembali menerjang lawannya. Sama seperti gerakan sebelumnya, gadis
berpakaian putih ini dengan cepat melenting menerjang lawannya. Dan ketika
tubuhnya telah berada di udara, dikibaskan kaki kanannya sambil memutar
tubuhnya dengan manis sekali.
Wuttt!
Hal yang sama ternyata
dilakukan pula pemuda berpakaian biru. Akibatnya, dalam keadaan tubuh sama-sama
di udara benturan antara dua batang kaki terjadi.
Dukkk! Suara itu terdengar
cukup keras. Nampaknya kedua belah pihak sama-sama mengerahkan seluruh tenaga
dalam, begitu mengetahui kalau lawan yang mereka hadapi tidak ringan.
Akibat yang mereka alami lebih
dahsyat lagi. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental deras ke belakang.
Jliggg!
Hampir bersamaan Melati dan
pemuda berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah. Nampak perbedaan
yang menyolok. Melati agak terhuyung-huyung beberapa langkah, sedangkan
lawannya tidak. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam pemuda berpakaian biru lebih kuat dari Melati
"Aaah...!" Melati
terpekik. 2
Jeritan pendek karena kaget
keluar dari mulut Dewa Arak. Sama sekali tak disangka kalau dugaannya
benar-benar tepat. Pemuda berpakaian biru
itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Paling tidak berada di atas
Melati
Dewa Arak hendak menyaksikan
pertarungan selanjutnya. Apakah ilmu silat dan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pemuda berpakaian biru pun sama hebatnya dengan tenaga dalamnya.
Dan Dewa Arak tidak perlu
menunggu lama untuk menyaksikan pertarungan selanjutnya. Karena Melati yang
memang memiliki watak penasaran, telah kembali bersiap melancarkan serbuan yang
lebih dahsyat. Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi, Melati segera mengerahkan
ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya. Seketika tangannya sebatas pergelangan
berubah merah seperti darah.
Pemuda berpakaian biru tahu
kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
pemuda berpakaian biru itu pun mengeluarkan ilmu simpanannya. Disadari kalau
gadis berpakaian putih itu bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah.
"Hup!"
Aneh sekali ilmu yang
dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. Tubuhnya berdiri dengan kepala di
bawah. Kedua kakinya bergerak berputar-putar dengan lincah.
Ilmu yang dikeluarkan lelaki
berpakaian biru itu memang aneh dirasakan oleh Dewa Arak yang hanya menyaksikan
dari kejauhan. Melati pun mulai tertegun menyaksikan tindakan yang dilakukan
lawannya.
Tapi hanya sesaat saja gadis
berpakaian putih itu larut dalam keterkejutannya. Karena
sesaat kemudian Melati segera
menyadari. Lalu diawali jeritan melengking nyaring, dilancarkan serangan
terhadap pemuda berpakaian biru.
"Hiaaat...!"
Untuk pertama kalinya Melati
merasa bingung melancarkan serangan. Betapa tidak? Serangan-serangan ilmu
'Cakar Naga Merah' yang seharusnya dipergunakan untuk menyerang bagian atas
tubuh lawan menghadapi lawan yang aneh. Karena kali ini pemuda berpakaian biru
membentuk kedudukan kaki di atas, mau tidak mau Melati harus memikirkan
penyerangan dengan cara lain.
Wuttt!
Dibarengi bunyi angin menderu,
tangan Melati meluncur. Gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan dengan meluncurkan
kedua cakarnya ke pusar lawan. Melati ingin tahu, bagaimana cara lawannya
mematahkan serangan ini.
Harapan Melati terwujud,
pemuda berpakaian biru langsung melakukan tindakan untuk mematahkan serangan
itu. Kedua kakinya yang menjulang ke atas, dengan cepat digerakkan. Satu di
antaranya memapak serangan, sedangkan yang lain meluncur di atas kepala Melati.
Plakkk! "Hey...!"
Melati agak terkejut.
Tangkisan pemuda berpakaian biru membuat kedua tangannya
kesakitan. Bahkan tubuhnya
dirasakan bergetar. Untung saja tubuhnya
sempat berkelit menghindari serangan balasan lawannya. Melati terlompat
ke belakang ketika serangannya membentur kaki lawan. Dan serangan pemuda
berpakaian biru pun hanya mengenai tempat kosong.
"Hup!" Aneh sekali
ilmu yang dipertunjukkan pemuda berpakaian biru itu. tubuhnya berdiri dengan
kepala di bawah. Sementara, kedua kakinya berputar-putar di atas degnan lincah
Ilmu yang dikeluarkannya
memang sangat aneh. Sehingga Melati pun merasa agak bingung untuk melancarkan
jurus 'Cakar Naga Merah' andalannya Namun, kali ini pemuda berpakaian biru itu
tidak memberi kesempatan pada Melati. Dikejarnya gadis berpakaian putih itu.
Suara dag-dug dag-dug terdengar ketika kepala pemuda itu membentur-bentur
tanah. Dengan kepalanya, lelaki berpakaian biru
itu melompat-lompat mengejar Melati. Meskipun mempergunakan kepala,
gerakan mengejar yang dilakukan pemuda itu tetap cepat.
Sekali lagi Melati kebingungan
dalam pertempuran. Baru kali ini dirinya menghadapi lawan model ini. Itulah
sebabnya, Melati memutuskan untuk mengelakkan serangan itu. Namun Melati
menghadapi serangan lawan dengan waspada. Dirasakan dirinya agak kewalahan
menghadapi serangan yang datang bertubi-tubi dari lawan yang berdiri dengan
kepala di bawah itu. Nampaknya keadaan tubuhnya dengan kepala di bawah seperti
itu tidak mempengaruhi kecepatan serangan itu.
Terlihat lucu dan menegangkan
pertarungan yang terlihat. Melati yang terus mundur, menghindari serangan dari
pemuda berpakaian biru yang tak
henti-hentinya merangsek makin maju dengan diiringi suara dag-dug dag-dug dari
kepalanya yang berbenturan dengan tanah meramaikan jalannya pertarungan.
Sampai sepuluh jurus
pertarungan berlangsung, Melati belum menemukan cara untuk menghadapi ilmu aneh
lawannya. Akhirnya, tindakan yang dilakukannya hanya terus- menerus mengelak
dan memapak serangan lawan. Tak satu pun serangan yang dapat dilancarkannya.
***
Nampaknya, keributan yang
terjadi menarik perhatian orang. Belasan orang mulai berdatangan turut
menyaksikan pertarungan aneh itu. Mereka semua, termasuk Dewa Arak menyaksikan
dari jarak yang cukup aman.
Dan seperti juga Dewa Arak dan
Melati, belasan orang yang menyaksikan jalannya
pertarungan itu pun
memperhatikan dengan perasaan heran bercampur takjub melihat ilmu yang digunakan
pemuda berpakaian biru. Mereka para pengunjung kedai, yang beberapa di antara
mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan juga berada di sana.
Berbeda dengan belasan orang
tokoh persilatan yang menyaksikan jalannya
pertandingan dengan perasaan
takjub, Dewa Arak justru semakin khawatir. Hatinya merasa cemas melihat Melati,
kekasihnya nampak semakin terdesak, di samping tak mampu melancarkan serangan
sama sekali.
Melati berada dalam keadaan
tidak menguntungkan. Yang dilakukannya terus-
menerus bergerak mundur.
Mengelak dan mengelak. Hanya sesekali saja Melati mampu melancarkan serangan
balasan. Itu pun dilakukan hanya untuk memperbaiki keadaannya yang semakin
terjepit. Karena setiap kali dilancarkan serangan, pemuda berpakaian biru pasti
mampu menangkisnya. Karena tenaga Melati tak mampu mengimbangi kekuatan lawan, setiap kali
benturan terjadi, Melati kembali terdesak.
Tiba-tiba pemuda berpakaian
biru menghentikan serangannya. Bahkan menghentikan penggunaan ilmu anehnya.
Tubuhnya kembali berdiri dengan kedua kakinya. Mata lelaki berpakaian biru itu
memandang dua ekor kuda yang tengah berpacu kencang melewati
tempat pertarungan.
"Aku ada urusan yang
lebih penting. Nanti pertarungan ini kita lanjutkan," ujar lelaki
berpakaian biru.
Setelah berkata demikian,
pemuda berpakaian biru melesat mengejar dua ekor kuda yang tadi dilihatnya.
Hanya dalam beberapa kali hentakan, tubuh pemuda itu telah melesat jauh
meninggalkan tempat pertarungan. Bahkan entah sengaja atau tidak pemuda itu
meninggalkan kudanya yang terikat di batang pohon.
Dengan kepergian pemuda
berpakaian biru, belasan orang persilatan yang berada di situ pun bubar.
Demikian pula tiga orang yang tadi bermaksud mencuri kuda. Dengan terseok-seok
mereka melangkah meninggalkan tempat itu.
Sama sekali
mereka tidak memperhatikan
Dewa Arak yang
juga berdiri di antara
kerumunan. Memang, meskipun
julukan Dewa Arak telah begitu menggemparkan, orang tidak menduga kalau
pemuda berambut putih
keperakan itu ternyata pendekar
muda yang demikian tersohor! Barangkali mereka baru menduga demikian,
jika Dewa Arak telah mempertunjukkan kehebatannya.
Sebentar kemudian yang tinggal
di sana hanya Dewa Arak dan Melati. Melati masih
berdiri di tempat semula.
Menilik dari sikapnya, bisa diketahui kalau dirinya tengah merasa terpukul.
Perlahan-lahan Dewa Arak
mengayunkan langkah mendekati Melati. Kemudian dirangkulnya bahu gadis
berpakaian putih itu untuk menghibur hatinya. Melati pun menyusupkan wajahnya
ke dada Dewa Arak yang bidang.
"Pemuda itu memang
memiliki ilmu luar biasa, Melati. Sebuah ilmu yang aneh. Aku sendiri belum
menemukan cara untuk menghadapinya. Aku tidak tahu, apakah ilmu 'Belalang
Sakti'-ku dapat digunakan untuk mematahkan ilmunya," ucap Dewa Arak pelan sambil
mengelus-elus rambut Melati.
"Aku sangat kecewa dengan
kemampuanku sendiri, Kang. Aku sama sekali tidak berdaya menghadapinya,"
keluh Melati tanpa mengangkat kepalanya dari dada Dewa Arak.
"Mari kita bicarakan hal
ini sambil berjalan, Melati!" usul Dewa Arak.
Memang, pemuda berambut putih
keperakan ini menyadari ketidakpantasan kelakuan mereka yang seperti itu.
Karena tempat ini terbuka. Itulah sebabnya Dewa Arak mengajak kekasihnya agar
segera meninggalkan tempat ini.
Melati tahu maksud yang terkandung
dalam ucapan Dewa Arak. Oleh karena itu,
dengan raut wajah memerah,
Melati mengangkat kepala dari dada kekasihnya. Lalu, mereka berjalan bersisian
meninggalkan tempat itu.
"Pendapatmu kurang betul,
Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu sambil terus
melangkahkan kakinya. "Ketidakberdayaanmu menghadapi pemuda tadi bukan
karena ilmumu jauh di bawahnya. Tidak, Melati! Walaupun memang ilmumu berada di
bawah pemuda tadi, tapi ketidakberdayaanmu sebagian besar disebabkan karena
kebingunganmu menghadapi keanehan ilmunya. Aku pun mungkin akan mengalami hal
yang sama, kalau melawannya. Hhh...! Ilmunya aneh!"
Melati hanya diam, tidak
memberi tanggapan atas ucapan kekasihnya yang disadari ada kebenarannya. Melati
memang merasa kebingungan dalam menghadapi musuhnya yang berilmu aneh itu.
"Yang masih menjadi
pertanyaan bagiku, di golongan manakah pemuda berpakaian biru itu berdiri,
Kang?" tanya Melati setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Dewa Arak tidak segera
menjawab pertanyaan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini mengernyitkan
kening beberapa saat lamanya. Nampaknya Dewa Arak tengah memikirkan jawaban
atas pertanyaan kekasihnya barusan.
"Kalau mendengar
ucapan-ucapannya, kurasa pemuda tadi termasuk pendekar golongan putih."
"Tapi..., mengapa
tindakannya demikian keji, Kang? Padahal, orang-orang kasar itu
hanya bermaksud mencuri
kudanya. Sebuah tindak kejahatan yang sebenarnya tidak terlalu membahayakan
jiwanya," ujar Melati bernada keheranan.
"Aku juga tidak mengerti,
Melati. Tapi, menurut dugaanku, pemuda itu mempunyai pengalaman yang pahit
bahkan mungkin mengerikan di masa kecilnya, berkenaan dengan tokoh-tokoh
golongan hitam," duga Dewa Arak.
Melati tidak menimpali dugaan
yang dilontarkan Dewa Arak. Beberapa lama keadaan terasa sunyi. Kedua pendekar
muda itu terus berjalan tanpa suara dari mulut mereka.
Cukup lama juga Dewa Arak dan
Melati tenggelam dalam alun pikirannya masing- masing. Akhirnya Melati membuka
mulutnya dengan sebuah pertanyaan.
"Sekarang..., kita akan
pergi ke mana, Kang?" "Tetap seperti tujuan semula," jawab Dewa
Arak.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi, Kang? Aku sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di sana!" sambut
Melati penuh semangat
Dewa Arak tersenyum lebar
sambil mengangkat bahu pertanda menyetujui keputusan kekasihnya. Kemudian dalam
sekejap saja tubuh Melati telah melesat ke depan meninggalkan Dewa Arak. Dewa
Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kekasihnya. Tapi hal itu
pun tidak bisa lama-lama dilakukannya, karena bisa tertinggal jauh dari gadis
berpakaian putih itu. Maka pemuda berambut putih keperakan itu pun segera
menghentakkan langkahnya. Dan sesaat kemudian sepasang pendekar muda ini saling
melesat begitu cepat, sehingga mereka, nampak seperti kejar-mengejar.
***
"Hih!"
Pemuda berpakaian biru
menggertakkan gigi sambil menghentakkan kaki dengan keras. Sesaat kemudian
tubuhnya melenting ke udara. Tubuhnya bersalto beberapa kali sebelum akhirnya
menjejakkan kaki mendarat tepat di hadapan dua sosok penunggang kuda. Lompatan
itu begitu cepat dan ringan.
Jliggg! "Hooop...!"
"Hiiieeeh...!"
Keberadaan pemuda berpakaian
biru yang secara tiba-tiba menghadang larinya kedua kuda, membuat kedua
penunggang kuda terkejut. Kemudian kedua penunggang kuda itu menarik tali
kekang kudanya. Seketika itu pula lari kuda mereka terhenti diiringi suara
ringkikan nyaring dari kedua kuda itu.
"Keparat! Kadal Buntung!
Rupanya kau mau mampus, hehhh?!" bentak salah seorang penunggang kuda yang
mengenakan rompi merah. Wajahnya nampak sangat marah melihat pemuda berpakaian
biru itu.
"Tidak periu berbicara
panjang lebar, Kang! Lebih baik kirim saja nyawanya ke neraka!" selak
kawannya yang bertubuh kecil kurus dan berwajah pucat
Namun, pemuda berpakaian biru
nampak tak mempedulikan bentakan keras dan
kasar dari dua orang
penunggang kuda itu. Pandangannya terpaku pada dua sosok penunggang kuda di
hadapannya. Matanya menatap dengan tajam kedua sosok penunggang kuda itu secara
bergantian.
"Aku ingat...! Ya...,
kaulah orangnya...!" ucap pemuda berpakaian biru itu sambil
menuding lelaki berompi merah
yang berkepala botak.
Karuan saja tingkah laku
pemuda berpakaian biru membuat lelaki berompi merah dan kawannya nampak
kebingungan.
"Ternyata dia bukan orang
waras, Kang. Lebih baik kita tinggalkan saja!" kata lelaki
kecil kurus merubah maksud
semulanya.
Dan seiring keluarnya ucapan
itu, lelaki kecil kurus langsung bersiap untuk melecutkan cambuk pada punggung
kudanya. Tapi....
"Tunggu, Bawira!"
cegah lelaki berompi merah sambil memalangkan tangannya
mencegah lelaki kecil kurus
yang hendak lari dengan kudanya. Dan sebelum kawannya sempat mengucapkan
sesuatu, lelaki berompi merah langsung mendahuluinya.
"Rasa-rasanya aku pernah
melihat wajah mirip dia. Tapi aku lupa
kapan dan di mana ?"
"Kau telah mengaku, Monyet
Botak! Sekarang saatnya kau menerima pembalasan dariku! Kau harus bertanggung
jawab atas pembunuhan yang kau lakukan pada orangtua dan kakak-kakak
seperguruanku!" tandas pemuda berpakaian biru.
"Sepuluh tahun
lalu?"
Alis lelaki berompi merah
berkernyit dalam. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian yang dialaminya
sepuluh tahun lalu.
Pada saat yang bersamaan,
pemuda berpakaian biru itu pun tengah melakukan hal
yang sama. Ingatannya melayang
pada peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. 3
Ctar, ctar, ctarrr!
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Hieeeh...!"
Suara lecutan cambuk dan
teriakan-teriakan mulut terdengar membentak kuda yang tengah berlari ken-cang,
ditingkahi suara ringkikan nyaring dua ekor kuda. Keriuhan itu memecah
keheningan malam yang masih melingkari persada. Sementara, bulan yang bersinar
terang dan bintang-bintang yang bergemerlapan di langit, menambah suasana cerah
malam itu.
Kegaduhan itu ternyata berasal
dari sebuah kereta yang ditarik dua ekor
kuda. Seorang lelaki setengah
baya tengah duduk terguncang-guncang di atas kursi kereta. Lelaki berpakaian
coklat itu berkali-kali melecut punggung kedua kuda yang menarik keretanya.
Sementara mulut terus berteriak-teriak sambil membentak. Nampaknya lelaki
berpakaian coklat yang tengah duduk di atas kursi kuda itu menghendaki agar
kuda-kuda itu lebih mempercepat larinya.
Ternyata benar, kedua ekor
kuda itu berlari begitu cepat bagai kesetanan. Sehingga membuat kereta itu
terguncang-guncang hebat di atas jalanan yang tidak rata dan agak berbatu-batu.
Namun, sang Kusir sama sekali
tidak mempedulikan keadaan itu. Cambuknya terus- menerus dilecutkan ke punggung
kedua kuda itu. Demikian pula seruan-seruan yang mengandung maksud agar
kuda-kuda penarik kereta itu berlari semakin cepat, terus diteriakkan semakin
menggebu-gebu.
Namun sayang, ketika kereta
itu tengah berlari kencang, tiba-tiba sebuah lubang menghalang di jalanan. Dan
itu tidak terlihat cteh mata kusir. Dan....
Blosss...! Krakkk!
"Hieeeh !"
"Haaah !"
Brukkk!
Kejadian itu berlangsung begitu
cepat. Roda kiri kereta menggilas bagian jalan yang berlubang. Memang lubang
itu tidak besar. Namun, karena kereta itu tengah melaju dengan kecepatan
tinggi, mengaki-batkan roda kereta itu hancur. Bahkan asnya patah.
"Hieeeh !"
Kereta pun berguling ke kiri
dibarengi ringkik ketakutan dari mulut dua ekor kuda itu, pekik mulut lelaki
berpakaian coklat dan suara yang berasal dari dalam kereta. Ternyata di dalam
kereta itu ada penumpangnya. Dari suaranya yang melengking nyaring, penumpang
di dalam kereta itu mirip jeritan anak kecil atau perempuan.
Suara hiruk-pikuk para
penumpang kereta itu ambruk ke kiri. Roda kereta sebelah
kanan masih berputaran, karena
kereta kuda itu dilarikan dengan kecepatan tinggi. "Aaah !"
Jerit kesakitan keluar dari
mulut lelaki berpakaian coklat ketika berusaha bangkit.
Tubuhnya mulai dari pinggang
ke bawah nampak terjepit reruntuhan kereta.
Tapi rupanya lelaki berpakaian
coklat termasuk orang yang berkemauan keras. Meskipun seluruh tubuhnya
dirasakan sakit semua, lelaki itu tetap berusaha bangkit dari reruntuhan kereta
itu.
"Huuuh...! Hmmmh !"
Lelaki berpakaian coklat
menggigit bibirnya keras untuk mencegah keluarnya jerit kesakitan dari
mulutnya. Jelas, hal itu membutuhkan kekerasan hati yang luar biasa. Karena
rasa sakit semakin hebat di sekujur tubuhnya. Keringat dingin mulai bercucuran
membasahi leher, kening, dan seluruh tubuhnya.
Kriiit ! Terdengar suara
bergerit pelan diiringi terbukanya daun pintu sebelah kanan kereta. Sesaat
kemudian dari dalam kereta menyeruak sesosok tubuh kecil. Pancaran sinar bulan
purnama memperjelas sosok tubuh kecil itu.
Sosok tubuh kecil itu ternyata
seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun.
Tubuhnya yang nampak kekar
terbalut pakaian biru.
"Aaakh...!"
terdengar suara terpekik dari mulut bocah lelaki itu.
Tubuh bocah berpakaian biru
yang baru saja terjulur keluar itu tiba-tiba terlontar ke atas. Jerit kengerian
tertahan yang keluar dari mulut bocah itu membuktikan bahwa kejadian itu bukan
atas kehendaknya. Seolah-olah ada orang di dalam kereta yang melontarkan
tubuhnya.
Gusraaak!
Terdengar suara berkerosakan
keras ketika tubuh bocah berpakaian biru itu terjatuh di semak-semak. Untung saja tubuh itu
terlempar ke semak-semak. Kalau tidak, barangkali tubuh bocah itu akan mengalami
luka-luka berat. Sebab lontaran itu begitu deras dan cepat
Beberapa saat setelah tubuh
bocah lelaki berpakaian biru terlontar, dari dalam kereta
itu kembali melesat keluar
sesosok bayangan hitam.
Jliggg!
Dengan agak terhuyung-huyung,
sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki berusia empat puluh tahun itu
mendarat ke tanah. Agak aneh, mestinya kalau dilihat dari kecepatan lesatannya,
lelaki berusia empat puluh tahun yang mengenakan pakaian kuning gading itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Tapi mengapa hinggap di
tanah dengan keadaan sempoyongan seperti itu?
Namun ternyata setelah
mendarat dengan agak sempoyongan, lelaki setengah baya
berpakaian kuning gading itu
langsung terbungkuk badannya. Dan....
"Uhuk...! Uhuk !"
Lelaki berpakaian kuning
gading itu batuk-batuk. Dan dari mulutnya bersamaan dengan batuk itu terpercik
cairan merah agak kental. Nampaknya lelaki berpakaian kuning gading ini
mengalami luka dalam.
Namun, lelaki berpakaian
kuning gading itu sama sekali tidak mempedulikan luka yang tengah dideritanya. Dalam keadaan masih
batuk-batuk keras kakinya melangkah menuju semak-semak tempat tubuh ocah lelaki
yang terlontar barusan mendarat
Tapi, baru saja beberapa
tindak, ayunan langkahnya segera dihentikan. Pendengarannya yang tajam
tiba-tiba menangkap ada suara langkah kaki mendekati tempatnya. Suara itu
nampaknya berasal dari belasan bahkan mungkin puluhan pasang kaki.
Sekejap kemudian tubuh lelaki
berpakaian kuning gading itu dengan cepat membalik. Dengan begitu cepat kakinya
bergerak hendak menuju ke semak-semak yang sudah tidak begitu jauh dari tempat
itu. Tetapi....
"Mau lari ke mana kau,
Keparat?!"
Seiring dengan keluarnya suara
bentakan keras, sesosok bayangan melesat cepat di atas kepala lelaki berpakaian
kuning gading itu.
"Hup!"
Tanpa menimbulkan suara
berarti, sosok tubuh yang melesat itu mendarat beberapa tombak di depan lelaki
berpakaian kuning gading. Terpaksa lelaki berpakaian kuning gading itu
menghentikan kembali langkahnya.
"Jangan harap bisa lolos
lagi! Orang sepertimu harus dilenyapkan selama-lamanya dari
muka bumi!" sambung
sebuah suara lain yang ternyata berada di belakang lelaki berpakaian kuning
gading.
"Akur !"
"Betul. !"
"Ganyang !"
"Lenyapkan pula
keturunannya !"
Suara-suara riuh rendah
terdengar bersahut-sahutan. Dan semuanya berasal dari belakang lelaki
berpakaian kuning gading.
Lelaki berpakaian kuning
gading segera memutar badannya ke belakang. Segera matanya yang awas melihat di
keremangan malam belasan bahkan mungkin puluhan orang dengan senjata di tangan,
berdiri dengan sikap mengancam. Lalu dengan cepat mereka bergerak menyebar.
Hanya dalam sekejap saja lelaki berpakaian kuning gading itu telah terkepung.
Namun, lelaki berpakaian
kuning gading sama sekali tidak kelihatan gugup, meskipun tahu kalau dirinya
tidak akan bisa lolos lagi dari kepungan orang-orang yang belum dikenalnya itu.
Meskipun dalam suasana remang-remang, lelaki berpakaian kuning gading berusaha
untuk menatap wajah-wajah mereka. Nampak jelas di matanya, bahwa orang-orang
yang mengepungnya bemafsu sekali untuk membunuh dirinya.
Tak lama kemudian, bagat
diberi perintah puluhan orang itu bergerak maju. Kepungan itu pun semakin
mengecil.
"Terimalah kematianmu,
Manusia Usilan! Hih...!"
Wuk! Wuk! Wuk!
Seorang lelaki tinggi besar,
berperut gendut, berkepala botak, dan mengenakan rompi merah memutar-mutarkan
rantai berujung bola baja berduri. Bunyi yang terdengar membuat bulu kuduk
meremang.
Lelaki berpakaian kuning
gading telah terkepung. Dirinya tak mampu berusaha untuk menghindar. Kini
tinggal menunggu saatnya senjata berduri itu menggempur tubuhnya. Tapi
tiba-tiba terdengar suara....
"Tahan !"
Bentakan keras terdengar.
Suara menggelegar itu nampaknya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
kuat. Buktinya semua lelaki yang tengah mengepung mangsanya nampak bergetar
hebat oleh hawa yang diakibatkan suara bentakan itu.
Ternyata tak hanya lelaki
berompi merah yang nampak terpengaruh bentakan itu,
sehingga menghentikan
gerakannya. Semua lelaki yang mengepung itu pun menolehkan kepala ke asal
suara.
***
Dari belakang lelaki besar
berompi kuning, tiba-tiba melesat sesosok bayangan hitam. "Hup!"
Sosok bayangan hitam itu
berhenti di luar kepungan. Seketika itu pula
para pengepung menyibak, memberi jalan bagi sosok hitam itu yang
berjalan mendekati lelaki berpakaian kuning gading. Mereka mengenal betul siapa
sosok hitam itu. Ternyata sosok hitam itu pemimpin mereka.
"Mau lari ke mana kau,
Malaikat Ruyung? Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" ejek sosok hitam
yang tengah menghampirinya.
Sosok hitam itu semakin
mendekat ke tubuh lelaki berpakaian kuning gading. Mata lelaki berpakaian
kuning gading seketika terbelalak melihat sosok tubuh di depannya yang nampak
sangat aneh dan menyeramkan. Wajah lelaki hitam itu ditumbuhi bulu-bulu halus
hitam pekat. Wajahnya lebih mirip gorila.
Tidak hanya itu ciri-ciri yang
membuat sosok hitam itu mirip dengan gorila. Potongan tubuhnya agak membungkuk,
dan tangan yang panjang menjuntai hingga melewati kedua lutut. Bulu-bulu hitam
yang memenuhi sekujur tubuh yang tidak tertutup pakaian, semakin memperjelas
kemiripan bentuknya dengan gorila.
"Aku bukan jenis orang
sepertimu, Raja Monyet Tangan Delapan!" sambut lelaki berpakaian kuning
gading yang ternyata berjuluk Malaikat Ruyung.
"He he he...!" sosok
hitam yang berjuluk Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau tidak menyaksikan sendiri, mungkin aku bisa percaya ucapanmu,
Malaikat Ruyung! Tapi, kenyataan yang kulihat tidak seperti yang kau katakan! Dengan
mata kepalaku sendiri kulihat kau berlari tunggang-langgang!"
Seketika itu pula Malaikat
Ruyung terdiam. Disadari adanya kebenaran yang tidak bisa dibantah lagi dalam
ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Memang terbukti dirinya telah melarikan
diri. Tapi, tentu saja bukan tanpa alasan. Hanya saja alasan itu tidak mungkin
diutarakannya dalam keadaan yang mencekam seperti ini. "He he he...!
Sekarang kau mau bicara apa lagi, Malaikat Ruyung? Kau tidak bisa membohongiku
lagi. He he he...! Ingin kulihat sendiri bagaimana raut wajahmu kalau dunia
persilatan mengetahui bahwa kau melarikan diri untuk menyelamatkan diri,
seperti seekor anjing yang akan dipukul," ejek Raja Monyet Tangan Delapan
lagi
"Tutup mulutmu, Raja
Monyet!" bentak Malaikat Ruyung begitu keras.
Tampak jelas kalau lelaki yang
berjuluk Malaikat Ruyung merasa
tersinggung mendengar ejekan lawannya. Wajahnya nampak pula menegang.
Perasaan marah, takut, dan kesal bercampur dalam hatinya. Tapi untuk lolos dari
kepungan ini tentu saja bukan hal yang mudah.
"Hehhh...?!" Raja
Monyet Tangan Delapan tersentak. "Kau berani memerintahku untuk menutup
mulut? Betapa lancang mulutmu! Apa kau ingin merasakan kedahsyatan ilmu- ilmuku
lagi?! Ho, ho, ho...! Dalam keadaan biasa saja kau bukan tandinganku, apalagi
sekarang! Hmh...! Bunuh dia!" perintahnya kemudian dengan suara keras.
Usai memberi perintah
demikian, Raja Monyet Tangan Delapan mengibaskan tangannya sambil melangkah
mundur. Maksudnya tentu saja memberi kesempatan pada gerombolan pengepung itu
untuk mengerjakan perintahnya.
"Selamat bertemu malaikat
maut, Malaikat Ruyung...!" ujar Raja Monyet Tangan Delapan sambil melepas
tawa bergelak.
Lalu, kedua tangannya yang
berukuran lebih panjang dari tangan manusia umumnya,
bersidekap di depan dada. Diperhatikan
anak buahnya yang telah bergerak mengurung Malaikat Ruyung.
Sementara itu, Malaikat Ruyung
sudah tidak memperhatikan Raja Monyet Tangan Delapan lagi. Dipusatkan
perhatiannya pada para pengeroyoknya yang kini sudah mulai bergerak siap
menyerangnya. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, memperhatikan
gerak-gerik lawan-lawannya. Lalu dicabutnya ruyung berbatang dua yang terselip
di pinggangnya. Batang ruyung itu terbuat dari baja, dan ujung-ujungnya terikat
rantai baja yang sepanjang dua jengkal. Kemudian segera diputar-putar rujung
itu dengan cepat sekali di depan dadanya.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Kecepatan putaran ruyung itu
melenyapkan bentuk aslinya. Dan kini yang nampak hanya kelebatan bayangan hitam
dalam bentuk tidak jelas. Malaikat Ruyung telah bertekad menghadapi
lawan-lawan, meskipun jumlah mereka seharusnya bukan tandingannya.
"Hiaaat..!"
Diiringi teriakan menggelegar
yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, lelaki berpakaian
merah melancarkan serangan. Rupanya hatinya sudah tak sabar menunggu lebih lama
lagi untuk segera menghabisi nyawa musuhnya.
Wuuuk...! Kreeek!
Diiringi deru angin keras
mengiuk dan suara rantai, bola baja berduri itu meluncur ke atas kepala
Malaikat Ruyung. Hal itu dilakukan setelah terlebih dulu memutar-mutarkan
rantainya di atas kepala. Beberapa kali serangan dilancarkan dengan cepat dan
dahsyat.
Malaikat Ruyung tidak berani
bertindak gegabah. Dirinya tahu betapa dahsyatnya serangan bola berduri itu.
Kalau menerjang kepalanya, sudah dapat dipastikan akan remuk. Malaikat Ruyung
tidak mau hal itu terjadi atas dirinya.
Oleh karena itu, Malaikat
Ruyung langsung bergerak cepat. Tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping
kanan. Lalu dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya berguling-guling
berusaha menghindari serangan dahsyat itu.
Usaha yang dilakukan Malaikat
Ruyung memang tidak sia-sia. Berkali-kali serangan bola berduri itu meleset,
dan hanya menggebuk tempat kosong.
Wuuuk...! Bukkk...! Bukkk!
Setiap kali Malaikat Ruyung
bangkit, serangan susulan dengan cepat telah meluncur ke kepalanya. Yang lebih
membuat repot dan kewalahan lagi, hampir semua anak buah gerombolan Raja Monyet
Tangan Delapan meluruk ke tubuhnya dengan senjata terhunus. Tak pelak lagi,
belasan senjata yang beraneka ragam jenis, ukuran, dan bentuk itu meluruk ke
tubuh Malaikat Ruyung hampir bersamaan. Malaikat Ruyung terkejut melihat
serangan-serangan itu semakin berbahaya. Kalau keadaan tubuhnya biasa,
barangkali keadaan seperti ini bukan merupakan hal yang sulit baginya untuk
mengandaskan semua serangan. Tapi sekarang masalahnya lain. Tubuhnya tengah
menderita luka dalam yang parah! Bahkan ketika tangannya memutar-mutar senjata
ruyungnya di depan dada, nampak darah segar mengalir dari mulutnya.
Begitu juga ketika melakukan
lompatan harimau untuk mengelakkan serangan bola berduri, darah itu kembali
mengalir keluar. Bahkan dadanya dirasakan begitu sakit. Saat Malaikat Ruyung
berada dalam keadaan seperti itulah serangan-serangan para pengeroyoknya
meluncur terus menerjang ke tubuhnya. Berkali-kali usahanya untuk berkelit
masih mampu menyelamatkan jiwanya dari maut yang terus memburunya.
Malaikat Ruyung tidak
mempunyai pilihan lain. Dirinya masih belum ingin tewas.
Keadaan bocah berpakaian biru
yang sebenarnya anaknya, belum diketahui secara pasti. Nasib anaknya itulah
yang mendorong lelaki berpakaian kuning gading ini berusaha terus untuk
bertahan hidup. Oleh karena itu, dirinya tetap berusaha untuk menyelamatkan
diri dari maut. Meskipun untuk itu harus merasakan sakit yang hebat di dalam
tubuhnya. Pikirannya yang bercabang seperti itu menyebabkan kewaspadaannya
mengendur. Kemudian tak disangka-sangka serangan beruntun meluncur ke tubuhnya.
Dan....
Jrabbb! Jrabbb! Jrabbb!
Beberapa bacokan senjata pun
mendarat dengan cepat sekali. Seketika tubuh lelaki berpakaian kuning gading
melesat dengan cepat untuk menghindari serangan beruntun itu. Senjata-senjata
itu pun membacok tempat kosong. Malaikat Ruyung ternyata telah lebih dulu
menghindar dari tempat semula. Nampak tubuhnya berguling-guling di atas tanah.
Namun kesempatan berkelit
Malaikat Ruyung hanya berlangsung beberapa saat.
Ketika tubuhnya tengah
bergulingan, lelaki berompi merah yang tadi tak sempat ikut dalam penyerangan,
tiba-tiba dengan cepat sekali melontarkan bola berdurinya ke tubuh Malaikat
Ruyung.
Wukkk!
Malaikat Ruyung terkejut bukan
kepalang. Dirinya tahu kali ini tak bisa lagi melakukan gerakan untuk
menghindar. Jalan satu-satunya hanya menangkis.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi,
Malaikat Ruyung memapak luncuran bola berduri itu dengan ruyungnya. Seluruh
tenaganya dikerahkan untuk menangkis serangan itu. Sebab, senjata lawan
memiliki berat yang berlipat kali jika dibanding dengan senjatanya. Apalagi
luncuran senjata berbentuk bola duri itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang
kuat. Sehingga, kalau tenaga tangkisannya kurang kuat, bola berduri itu tetap
akan menghantam tubuhnya.
Trakkk! Bukkk! "Akh
!"
Apa yang dikhawatirkan
Malaikat Ruyung terjadi juga. Tenaganya yang telah menyusut jauh, membuat
kekuatan tangkisannya tak sanggup menahan luncuran bola berduri. Meskipun
berhasil ditangkisnya, tak urung bola berduri itu menghantam paha kanannya.
Akibatnya tulang paha kanannya remuk. Rasa sakit yang hebat pun mendera Malaikat Ruyung.
Rasa sakit itu menyebabkan
Malaikat Ruyung, untuk beberapa saat lamanya terdiam di tempat. Sebentar kedua
matanya terpejam menahan rasa sakit di pahanya. Padahal saat itu, para pengeroyok yang semula gagal
melakukan serangan telah meluruk kembali sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Malaikat Ruyung mengetahui
bahaya yang tengah meluruk ke tubuhnya. Namun, keadaan saat itu membuat lelaki
berpakaian kuning gading itu hanya pasrah menunggu datangnya serangan maut
Tubuhnya tak mampu digerakkan untuk menangkis atau mengelak. Luka dalam yang
parah, tulang pahanya yang remuk, dan pergelangan kedua tangannya yang patah
akibat memapak bola berduri membuatnya tak mampu bertindak apa pun untuk
menyelamatkan diri. Akhirnya....
Crat! Jraaab! Breeet!
"Aaakh !" Malaikat Ruyung tak kuasa menahan jeritannya, ketika
beberapa senjata lawan dengan ganas menghujam ke beberapa bagian tubuhnya.
Darah segar pun seketika mengalir deras membasahi tubuhnya yang telah parah.
Sempurnalah luka parah yang di deritanya.
Namun hanya beberapa saat saja
mulut lelaki berpakaian kuning itu terpekik kesakitan. Tubuhnya yang telah luka
parah nampak tak bergerak lagi, karena saat itu pula nyawa di tubuhnya telah
melayang.
Meskipun Malaikat Ruyung sudah
tak berkutik lagi, gerombolan anak buah Raja
Monyet Tangan Delapan tetap
tak berhenti menyerang lelaki berpakaian kuning gading itu. Dengan ganas mereka
tetap menghujamkan senjata ke tubuh Malaikat Ruyung yang telah tewas. Sehingga
tubuh berpakaian kuning gading itu hancur berantakan, dan tak berbentuk lagi
Mereka baru menghentikan
ayunan senjata ketika tubuh Malaikat Ruyung sudah hancur lebur bercampur darah.
Sebuah pemandangan yang mengerikan sekali. Tubuh Malaikat Ruyung seperti
cacahan daging. Kepalanya pun sudah tak berbentuk dan berpisah dari lehernya.
"Ha ha ha...!"
Raja Monyet Tangan Delapan
tertawa bergelak melihat akhir hidup Malaikat Ruyung. Tokoh sesat yang mirip
gorila ini merasa puas. Perutnya nampak terguncang-guncang karena tawanya yang
keras.
"Tamatlah riwayatmu,
Malaikat Ruyung! Ha ha ha...!"
Sementara itu, gerombolan
pengeroyok Malaikat Ruyung berdiri diam saja di tempatnya. Senjata-senjata
berlumur darah masih tergenggam di tangan mereka.
"Tunggu apa lagi? Cari
keturunan si keparat itu! Bukan tidak mungkin mereka akan
menjadi ancaman bagi kita
kelak!" perintah Raja Monyet Tangan Delapan ketika berhenti dari tawanya.
***
Tanpa menunggu perintah dua
kali, belasan orang berwajah kasar dan bertubuh kekar itu menyebar ke sekitar
tempat itu. Beberapa orang dari mereka menghampiri kereta kuda yang terguling
di pinggir jalan berbatu-batu tadi.
Seluruh tempat telah
diobrak-abrik, tapi orang yang mereka cari tidak diketemukan. Di dalam kereta,
tempat-tempat di sekitarnya, bahkan di dalam semak-semak telah mereka gasak.
Namun, tetap mereka tak menemukan yang dicari.
Sedangkan di kereta yang
terguling itu, mereka hanya mendapatkan kusir yang tubuhnya terjepit di bawah
kereta itu. Dan nyawa sang Kusir pun melayang ketika salah seorang anak buah
Raja Monyet Tangan Delapan menendang kepalanya hingga terlepas dari lehernya.
"Tidak ada seorang pun di
sekitar sini, Ketua," lapor lelaki berpakaian merah penuh hormat ketika
tidak berhasil menemukan orang yang mereka can. Kini semuanya berkumpul di
hadapan Raja Monyet Tangan Delapan.
"Bodoh! Dungu! Kalian semua
memang bukan manusia! Kalian kerbau! Mencari
seorang anak kecil saja tidak
bisa! Lalu, apa yang kalian bisa lakukan?!" Raja Monyet Tangan Delapan
meluap kemarahannya mendengar laporan itu.
"Maaf, Ketua. Barangkali
bocah itu tak ikut bersama Malaikat Ruyung," jawab salah
seorang yang berbibir tebal.
"Maksudmu bocah itu masih
di rumahnya, begitu?" sambut Raja Monyet Tangan Delapan keras.
"Menurutku begitu, Ketua.
Karena buktinya anak itu tak ada di sekitar sini. Kalau
anak itu ikut dengan Malaikat Ruyung,
pasti berada di sini. Sampai seberapa jauh mana sih, seorang anak kecil bisa
meninggalkan tempat ini dalam waktu yang demikian singkat?!" lelaki
berbibir tebal mencoba memberi alasan untuk menguatkan pernyataannya.
Seketika itu pula nampak
kepala kawan-kawannya, terangguk. Mereka seolah-olah
turut membenarkan alasan yang
disampaikan oleh lelaki berbibir tebal itu. Raja Monyet Tangan Delapan
mengernyitkan dahi ketika melihat hampir semua anak buahnya menyetujui
pernyataan lelaki berbibir tebal. Nampaknya diam-diam diakuinya kalau
pernyataan anak buahnya itu ada benarnya. Namun, tetap saja ada perasaan ragu
yang menyelinap di hatinya. Rasanya mustahil Raja Monyet Tangan Delapan tidak
membawa anak satu-satunya dalam pelarian itu.
Namun keraguan itu segera
dibantahnya sendiri. Mungkin saja, Malaikat Ruyung sengaja berbuat demikian
untuk mengalihkan perhatian, agar anaknya berhasil menyelamatkan diri. Dengan
kata lain, Malaikat Ruyung memancing Raja Monyet Tangan Delapan dan anak
buahnya agar memburunya.
"Kalau begitu, mari kita
pergi dari sini! Lagi pula kalau benar bocah itu selamat, apa yang bisa
dilakukannya terhadap diriku?!" ucap Raja Monyet Tangan Delapan
menyombongkan diri.
Keangkuhan yang dilontarkan
Raja Monyet Tangan Delapan ini bukan tanpa alasan, karena dirinya seorang datuk
sesat yang memiliki kepandaian luar biasa. Telah ratusan kali Raja Monyet
Tangan Delapan bertarung menghadapi tokoh-tokoh sakti dunia persilatan baik
dari aliran putih maupun hitam. Dan hebatnya, manusia yang seluruh tubuhnya
ditumbuhi bulu-bulu halus seperti monyet itu selalu dapat mengalahkan
lawan-lawannya. Tak satu pun lawannya yang dapat mengatasi keganasan manusia
gorila itu.
Bagi lawan Raja Monyet Tangan
Delapan yang merupakan tokoh persilatan aliran
putih, kekalahan terhadap
tokoh mirip gorila ini merupakan kekalahan terakhir. Karena setiap lawannya
harus mati di tangannya.
Kejadian seperti itu tidak
dialami mereka yang berasal dari golongan hitam. Raja Monyet Tangan Delapan tak
membunuh lawannya yang berasal dari aliran hitam, melainkan hanya
menaklukkannya yang kemudian menjadi pengikutnya. Hal seperti itu tentu saja
tak berlaku bagi mereka yang tidak mau tunduk menjadi pengikut. Tokoh yang
membangkang kehendaknya pasti akan menemui ajalnya. Tak heran kalau korban yang
tewas di tangan tokoh sesat mirip kera ini tak terhitung jumlahnya.
Kemenangan demi kemenangan
yang diraihnya. Itulah yang menyebabkan Raja Monyet Tangan Delapan memiliki
sifat sombong. Dan kesombongan itu kini semakin bertambah setelah berhasil
menghabisi nyawa Malaikat Ruyung.
Sementara itu, begitu
mendengar ucapan sombong itu semua tokoh hitam yang berada di situ
terangguk-angguk. Mereka membenarkan ucapan tokoh sesat mirip kera itu. Dan hal
ini bukan karena mereka sebagai penjilat melainkan sewajarnya. Apalah yang bisa
diperbuat oleh keturunan Malaikat Ruyung kelak terhadap Raja Monyet Tangan
Delapan. Karena sesungguhnya pentolan-pentolan golongan putih seperti Malaikat
Ruyung sendiri sama sekali tak mampu menandingi kesaktian Raja Monyet Tangan
Delapan.
Raja Monyet Tangan Delapan
mengangguk-anggukkan kepala merasa puas. Kemudian tanpa berkata-kata lagi,
diayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
Meskipun nampaknya biasa saja,
gerakan yang dilakukan Raja Monyet Tangan
Delapan sangat menakjubkan. Dalam sekali hentak saja, tubuhnya yang
tinggi besar itu telah melesat dengan cepat sekali. Sehingga dalam sekejap mata
saja, tubuhnya telah melesat sejauh belasan tombak. Nampak jelas bahwa gerakan
langkahnya itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat
sempurna.
Belasan tokoh golongan hitam
yang menjadi pengikut Raja Monyet Tangan Delapan sama sekali tidak merasa heran
melihat gerakan pimpinan mereka. Mereka telah mengetahui kalau pimpinan mereka
memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat pimpinannya telah meninggalkan
tempat itu, mereka pun melakukan hal yang sama. Tubuh-tubuh kekar dan beringas
itu melesat cepat meninggalkan tempat pertempuran, dan tubuh hancur Malaikat
Ruyung.
Kini kesunyian menyelimuti
hutan itu. Tidak ada lagi suara-suara gaduh dan hiruk- pikuk yang mengerikan
itu. Suasana kembali seperti semula, hening. Sekarang yang terdengar tinggal
kerik jangkrik dan binatang malam lain serta angin yang bertiup menebarkan bau
amis darah dan kematian. Namun, ternyata suasana hening yang menyelimuti tempat
itu berlangsung tidak lama. Baru saja tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lenyap
di kejauhan, dari atas sebatang pohon besar berdaun rimbun melompat turun
sesosok bayangan.
"Hup!"
Sosok bayangan itu dengan
ringan mendaratkan kaki di tanah. Kecepatan dan ringannya gerakan yang
dilakukan itu memperlihatkan kalau sosok
ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
***
Sosok itu ternyata seorang
kakek yang sangat mengerikan. Tubuhnya yang kurus dan hitam terbalut pakaian
lusuh dan compang-camping. Namun yang paling menyeramkan, sekujur badan kakek
itu mulai dari wajah sampai kaki dipenuhi bisul-bisul bernanah. Kemudian di
atas punggungnya tumbuh sebuah punuk besar. Tubuhnya bongkok terbalut pakaian
coklat
Kakek berpakaian
compang-camping ini ternyata tidak sendirian. Di bahu kanannya terpanggul
sesosok tubuh kecil terbungkus pakaian biru. Bocah lelaki kecil itu tidak
lain putra Malaikat Ruyung yang tadi terlempar dan jatuh di dalam
semak-semak.
Begitu mendarat dengan kedua
kakinya, kakek berpunuk besar di punggungnya itu
segera menurunkan bocah
berpakaian biru dari bahunya. Kemudian jari tangannya menepuk pelan tubuh bocah
berpakaian biru itu. Meskipun tepukan
itu hanya pelan sekali, menyebabkan tubuh bocah berpakaian biru yang sejak tadi
diam saja, tiba-tiba bergerak. Nampaknya bocah itu tadi telah ditotok aliran
darahnya. Dan tepukan barusan membebaskan totokan itu.
Setelah tubuhnya mampu
bergerak, bocah kecil berpakaian biru itu meluruk ke mayat Malaikat Ruyung,
ayahnya, yang telah menjadi daging cacahan itu.
"Ayaaah...!"
terpekik keras mulut anak itu sambil berlutut dekat mayat Malaikat Ruyung,
ayahnya.
Jeritan melengking nyaring
yang keluar dari mulut bocah berpakaian biru itu memecahkan keheningan malam.
"Ayaaah...!" seru
bocah berpakaian biru itu lagi dengan suara melengking tinggi bercampur isak
tangis yang tertahan.
Kini bocah berpakaian biru
berjongkok di depan onggokan daging mayat ayahnya. Beberapa saat lamanya bocah
itu menangisi kematian ayahnya. Bahu dan dadanya terguncang-guncang karena
menahan tangis yang terisak-isak
Mendadak bocah berpakaian biru
itu menolehkan kepala ke kakek berwajah
seram yang sejak tadi hanya berdiri sambil memandang dari belakangnya.
Kakek itu memperhatikan saja semua tindakan bocah berpakaian biru. Wajahnya
yang dingin membeku tidak menampakkan gambaran perasaan apa pun. Sehingga sulit
untuk mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya.
"Mengapa kau menolongku,
Kek! Mengapa tak kau biarkan agar aku dapat menolong ayahku!" keras dan
lantang ucapan bocah berpakaian biru itu.
"Kalau tadi kulepaskan,
kau hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia, Bocah Dungu!" datar sambutan
kakek berpakaian compang-camping itu.
"Aku tidak takut! Aku
bukan orang yang takut mati!" sahut putra Malaikat Ruyung
cepat, nampak hatinya marah
dan merasa penasaran.
"Tindakan yang akan kau
lakukan bukan tindakan orang pemberani, tapi kelakukan orang dungu! Hanya orang
dungu yang mengadu kepalanya dengan batu, walaupun tahu batu itu lebih keras
dari kepalanya!" ujar kakek berpakaian compang-camping itu lebih panjang,
tapi masih tetap dalam nada datar.
Bocah berpakaian biru hanya
terdiam. Rupanya pikirannya berusaha memahami maksud yang terkandung dalam
ucapan kakek berpakaian compang-camping itu.
"Asal kau tahu saja,
andaikata aku tidak mencegahmu bertindak seperti itu,
orangtuamu akan mati
penasaran. Dia tidak akan mati meram!" "Aku tidak percaya!"
bantah bocah berpakaian biru. "Justru karena aku tidak muncul, ayah pasti
mati penasaran. Beliau selalu mengajarkanku agar tidak bersikap pengecut. Dan
kini kau malah membuat ayah akan menyangka demikian padaku!"
Kakek berpakaian
compang-camping itu pun terdiam. Bukan karena mengetahui kebenaran ucapan putra
Malaikat Ruyung itu. Tapi karena kalah bicara. Dirinya bukan orang pandai
berdebat. Tak aneh, menghadapi putra Malaikat Ruyung yang demikian pandai
bersilat lidah dirinya kewalahan. Kakek berpakaian compang-camping itu pun
sibuk memutar pikirannya mencari kata-kata yang dapat meredakan semua ucapan
bocah berpakaian biru itu.
"O ya..., siapa
namamu?" tanya kakek berpakaian compang-camping dengan benak yang masih
berputar mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk me-nundukkan bocah
berpakaian biru. Tanpa disadari kalau sikapnya yang dulu kaku dan dingin,
tiba-tiba berubah. Dan itu karena putra Malaikat Ruyung itu.
"Mahendra," jawab
bocah berpakaian biru pelan. "Lalu namamu siapa, Kek?"
Kakek berpakaian
compang-camping tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Dikernyitkan keningnya
beberapa saat
"Sebenarnya aku malas
menyebutkan namaku pada orang lain. Tapi bagimu ini kekecualian. Namaku Songka
Lawung. Nah, sekarang coba ceritakan padaku!
Apakah sebelum tewasnya, terutama sekali akhir-akhir ini, apakah ayahmu
pernah bercerita padamu?" kakek berpakaian compang-camping yang ternyata
bemama Songka Lawung mulai menyelidik.
Mahendra tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam
beberapa saat lamanya. Hal itu dilakukannya untuk mencoba mengingat-ingat
apakah ayahnya pernah mengajaknya berbicara.
"Benar, Ki. Belum lama
ini ayah pernah padaku. Dan itu dilakukannya waktu kami berada dalam kereta
kuda...,"
"Kau ingat
ucapannya?" tanya Songka Lawung tidak sabar. Lagi-lagi Mahendra
menganggukkan kepala.
"Aku ingat betul, Ki. Masalahnya
saat itu aku tahu kalau ayah tengah merasa malu.
Ayah terpaksa melarikan diri
dari lawannya karena ingin menyelamatkanku."
"Nah!" sentak Songka
Lawung penuh perasaan menang. "Kau tahu, Mahendra. Tindakan yang
dilakukannya itu dapat membuat nama besarnya hancur. Orang tak akan mau peduli
alasannya melarikan diri. Orang-orang pasti menganggap bahwa Malaikat Ruyung
kabur dari lawannya. Dia pun tahu akibatnya! Tapi, mengapa tetap saja dilakukannya? Karena ayahmu ingin kau
selamat. Kau dengar, Mahendra? Itu dilakukannya karena keinginannya yang besar
untuk menyelamatkanmu. Nah, bisa kau bayangkan betapa kecewanya hati ayahmu
apabila niatmu tidak kucegah."
Panjang lebar dan berapi-api
ucapan yang keluar dari mulut Songka Lawung. Dan hal
itu nampaknya tidak disadari
Songka Lawung sendiri. Kakek berpakaian
compang-camping itu sama sekali tidak sadar kalau karena keinginan yang
amat kuat untuk menyadarkan Mahendra dari kekeliruan sikapnya, sikap dinginnya
selama ini tiba-tiba berubah.
Mendengar penjelasan dari
kakek tua yang menyeramkan itu Mahendra hanya
membisu. Kini dirinya mulai
menyadari kebenaran pendapat Songka Lawung. Mengapa dirinya begitu teriena oleh
perasaannya. Mengapa dirinya begitu bodoh? Ah, hampir saja dirinya membuat
ayahnya mati penasaran. Pikiran seperti itu yang sekarang berkecamuk dalam
kepalanya. Kini mulai disadarinya kebenaran kakek itu.
Teringat akan hal itu, membuat
Mahendra terkenang kembali akan kejadian yang belum lama dialami-nya. Dimulai
dari saat tubuhnya melayang jatuh ke semak-semak. Betapapun empuknya
semak-semak itu, tetap saja kepalanya merasa pusing, yang membuat Mahendra
beberapa saat lamanya harus berdiam diri.
Baru ketika rasa pusingnya
lenyap, Mahendra menguak kerimbunan semak-semak untuk keluar. Tapi belum sempat
tubuhnya keluar dari semak-semak, sesosok tubuh yang tidak lain Songka Lawung
telah lebih dulu menotok urat dagunya sehingga tak mampu bersuara. Baru
kemudian menotoknya hingga tak mampu bergerak lagi Namun, dalam keadaan tak
mampu bergerak dan bersuara, Mahendra tetap dapat menyaksikan semua kejadian
yang dialami ayahnya menghadapi kega-nasan Raja Monyet Tangan Delapan dan anak
buahnya. Hingga akhirnya Mahendra dibawa oleh Songka Lawung ke sebuah pohon
besar yang rimbun untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Raja Monyet Tangan
Delapan.
"Sekarang bagaimana,
Mahendra? Apakah kau masih menyalahkan tindakanku?" tanya Songka Lawung
tiba-tiba.
Ucapan Songka Lawung membuat
semua lamunan Mahendra buyar. Tangannya segera mengusap matanya yang sejak tadi
menahan air matanya yang tertumpah.
"Tidak, Kek. Kau
benar," kata Mahendra terbata-bata. "Maafkan aku, Kek! Aku terlalu
menuruti perasaanku," lanjutnya.
"He he he...! Lupakanlah,
Mahendra! Jangankan orang seusiamu, orang seusiaku saja terkadang susah diatur!"
ujar Songka Lawung lembut, mencoba menghibur hari anak lelaki yang masih duduk
termangu di dekat mayat ayahnya yang hancur-lebur itu.
Kakek berpakaian
compang-camping merasa suka sekali pada Mahendra. Bocah
berpakaian biru itu sama
sekali tak kelihatan merasa jijik padanya. Padahal, sejak tadi mereka
berdekatan. Hal seperti ini hampir tak pernah dialami kakek berpakaian compang-
camping. Apalagi dari anak seusia Mahendra.
"Kau tahu, mengapa ayahmu
berkeinginan untuk menyelamatkanmu, Mahendra?"
tanya Songka Lawung bernada
menguji. Mahendra menggelengkan kepala.
"Karena ayahmu ingin kau
dapat mencegah tindak angkara murka Raja Monyet Tangan Delapan kelak apabila
dewasa!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Songka Lawung.
"Aku, Kek?" Mahendra
melengak "Mana mungkin! Sedangkan ayahku saja tak mampu menghadapi
keganasan Raja Monyet Tangan Delapan, apalagi aku! Aku sendiri baru belajar
beberapa macam ilmu dari ayahku!"
"Ho ho, tentu saja kau
harus mempelajari iimu-ilmu kadigdayaan agar dapat mengalahkan Raja Monyet
Tangan Delapan!"
'Tapi..., di mana harus kucari
guru yang memiliki kepandaian melebihi Raja Monyet
Tangan Delapan? Sedangkan
ayahku saja yang memiliki kepandaian demikian tinggi, tak mampu menghadapi
manusia monyet itu!" sahut Mahendra setengah mengeluh.
"Kau pintar tapi bodoh,
Mahendra!" Songka Lawung menggeleng-gelengkan kepala. "Memangnya di
dunia ini hanya ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan yang sakti? Ho ho,
walaupun ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan pentolan-pentolan dunia
persilatan, tapi masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi,"
jawab Songka Lawung.
"Ah! Ucapanmu seperti
ayahku saja, Kek. Beliau sering berkata begitu. Di dunia persilatan banyak
orang sakti, kau harus berlatih keras agar tidak menjadi bulan-bulanan orang
lain, demikian katanya," sahut putra Malaikat Ruyung lagi, "Tapi
sayangnya, ayah tidak pernah memberitahukan padaku siapa orang sakti yang
dimaksudkannya."
"Mengapa kau ingin ayahmu
memberitahukan padamu mengenai orang-orang sakti itu?" pancing Songka
Lawung sambil menatap wajah Mahendra penuh selidik.
"Aku ingin menjadi
muridnya!" lantang ucapan Mahendra. "Dan setelah kepandaianku
mencukupi akan kulenyapkan Raja Monyet Tangan Delapan dari muka bumi!"
"Mengapa kau harus
repot-repot mencari orang sakti, Mahendra?! Aku pun dapat
mengajarmu," ucap Songka
Lawung menawarkan diri.
Mahendra tersentak sebentar.
"Tapi..., apakah kau
termasuk orang sakti yang diceritakan ayahku, Kek?!" tanya Mahendra ragu,
sambil menatap tajam Songka Lawung penuh selidik
"Ha ha ha...!"
Tawa kakek berpakaian
compang-camping itu lepas, begitu mendengar pertanyaan yang demikian polos
bocah berpakaian biru itu. "Walaupun mungkin aku bukan termasuk orang
sakti yang dimaksud ayahmu, tapi aku yakin akan dapat mengalahkannya!"
"Aku tidak percaya!"
bantah Mahendra. "Mengapa kau berpendapat demikian, Bocah Bagus? Apa
karena kau sudah melihat keadaan tubuhku? Ho ho ho, kau keliru besar kalau
berpendapat demikian! Ataukah... aku perlu membuktikannya?" tantang Songka
Lawung.
"Bagaimana kau dapat
membuktikan kesaktianmu, Kek?! Tidak ada orang yang dapat kau jadikan sebagai
lawan!" ujar Mahendra, bingung.
"Mengapa mesti
repot-repot mencari lawan?!" sergah Songka Lawung cepat "Bisa kita
gunakan yang lain untuk uji coba kepandaianku! Sekarang, perhatikan baik-baik!
Kau lihat pohon besar itu!"
Kakek berpakaian
compang-camping itu menudingkan jari telunjuk kanan pada sebatang pohon besar
yang terletak sekitar enam tombak dari tempat mereka berdiri. Sebuah pohon yang
amat besar. Untuk melingkari batangnya memerlukan dua tangan orang dewasa.
"Nah, menurutmu
sanggupkah ayahmu menghancurkan pohon itu dari sini?!" Mahendra
menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Kek.
Tapi..., apakah kau sendiri mampu melakukannya?"
"Tentu saja!" jawab
Songka Lawung yakin. "Nah, sekarang kau lihat baik-baik!"
Usai berkata demikian, Songka
Lawung menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Lalu....
"Hih!" Songka Lawung
menghentakkan tangan dengan keras. Wusss!
Deru angin keras terdengar
ketika kakek itu menghentakkan kedua tangannya sampai ke depan dada. Sesaat
kemudian....
Glaaar !
Brakkk!
Diiringi suara menggelegar dan
berderak keras batang pohon besar itu hancur berantakan. Pohon pun ambruk
seketika.
"Haaah, hebat..! Rupanya
kau memiliki kepandaian hebat, Kek!" puji Mahendra penuh
perasaan kagum menyaksikan
kepandaian yang diperlihatkan kakek berwajah buruk itu kepadanya.
"Bagaimana?" senyum
lebar tersungging di Songka Lawung. "Apakah aku bisa diterima menjadi
gurumu, Mahendra?"
"Guru !" sahut
Mahendra sambil melangkah mendekat
Mahendra yang cerdik langsung
memberi hormat pada Songka Lawung. Kakek itu tertawa terkekeh melihat
keberhasilannya membujuk Mahendra menjadi muridnya.
"He he he... bagus!
Sekarang kau jadi muridku, Mahendra. Nah, mari kita tinggalkan
tempat ini. Aku akan membawamu
ke sebuah tempat yang dapat membuat kau cepat menguasai ilmu-ilmu tinggi. Tapi
sebelum itu, mari kita kubur dulu mayat ayahmu!"
Mahendra menganggukkan kepala.
Kemudian diikutinya Songka Lawung yang menghampiri onggokan mayat ayahnya.
Untuk yang kedua kalinya,
Mahendra terkagum-kagum melihat kepandaian Songka Lawung. Dengan mata kepala
sendiri dilihatnya, Songka Lawung menggali tanah yang keras dengan ranting kayu
se besar ibu jari. Hebatnya, meskipun hanya mempergunakan sebatang ranting,
pekerjaan itu hanya diselesaikannya dalam waktu yang sebentar saja. Mahendra
terlongong bengong menyaksikan pekerjaan kakek tua itu.
Hanya dalam sekejapan saja,
sebuah lubang telah tergali. Dan di tempat itulah onggokan mayat Malaikat
Ruyung disemayamkan diiringi tatapan wajah sedih Mahendra.
"Mari kita berangkat,
Mahendra!" ajak Songka Lawung setelah memberikan waktu cukup lama pada
Mahendra untuk berpamitan dengan ayahnya.
Digandengnya tangan Mahendra
yang masih memandangi kuburan ayahnya itu. Tak ada pilihan lagi bagi Mahendra.
Dengan hati berat, diayunkan langkahnya meninggalkan kuburan ayahnya untuk
mengikuti Songka Lawung. Seorang tokoh aneh yang menjadi juru penolongnya tanpa
diketahui dari mana asalnya dan kapan dia datang. 5
"Jadi..., rupanya kau
bocah sialan putra Malaikat Ruyung itu?!" tanya lelaki berompi merah agak
terbata-bata. Dirinya mulai merasakan adanya bahaya besar mengancam jiwanya.
Kesadaran akan adanya ancaman
bahaya itu menyebabkan lelaki berompi merah segera melompat dari punggung kudanya.
"Hup!" Jliggg!
Lompatan itu begitu cepat dan
ringan, seolah-olah tak ingin didahului. Segera dikeluarkan senjata andalannya.
Sebuah bola sebesar kepala yang dipenuhi duri baja. Bola itu terikat rantai baja
yang cukup panjang.
Krekek...! Krekeeek!
Melihat lelaki berompi merah
turun dari punggung kudanya, lelaki kecil kurus pun melakukan hal yang sama.
Dirinya bermaksud membantu lelaki berompi merah apabila diperlukan.
"Ha ha ha...!"
Pemuda berpakaian biru itu
tertawa bergelak. Sebuah tawa yang mengerikan dan mengandung hawa maut.
Keseraman tawa itu semakin terlihat jelas ketika pemuda itu menutup tawanya dengan dengusan bengis
yang terlontar dari mulutnya.
"Syukur kau masih ingat,
Monyet Botak! Dan kini telah tiba saatnya pembalasan dendamku! Kau akan menjadi
korban perdanaku! Ha ha ha...!"
"Sombong! Kaulah yang
akan kujadikan cacahan daging seperti ayahmu, Bocah Gila!
Hiyaaat..!" lelaki
berompi merah berteriak dan memburu ke lelaki berpakaian biru.
Wukkk! Wukkk! Siuuut...!
Krekek..., krekek!
Lelaki berompi merah
memutar-mutarkan bola berdurinya itu di atas kepala beberapa kali, lalu
dilontarkannya. Seketika bola berduri itu meluncur deras ke bagian tubuh pemuda
berpakaian biru. Serangan itu nampaknya tak menginginkan kematian mendadak
lawannya secara mudah. Serangan itu terarah ke bagian dada, perut, atau kaki
lelaki berpakaian biru.
Mahendra menggertakkan gigi
menahan geram, ketika mendengar ucapan lelaki berompi merah. Seketika darah di
kepalanya membludak, ucapan itu telah mengingatkan kembali pada kematian
ayahnya yang mengerikan.
Meskipun demikian Mahendra
bersikap tenang. Dirinya tak ingin terburu-buru dan gegabah melakukan tindakan,
baik untuk mengelak maupun menangkis serangan itu. Dengan sabar ditunggunya
hingga bola berduri yang berputar-putar kencang itu mendekat ke tubuhnya.
"Hiaaat..!"
"Wuuuk! Wuuuk...!"
Dan ketika bola berduri itu
hampir saja menerjang, tubuhnya segera didoyongkan ke samping kanan. Dan itu
dilakukannya tanpa menggeser kaki. Bola berduri lelaki berompi merah lewat di
sisi kiri tubuhnya.
Setelah gerakan menghindar
Mahendra segera bersiap dengan serangannya. Begitu serangan bola berduri itu
berhasil dielakkan, tangan kirinya menjulur cepat menangkap rantai baja yang berkelebat
cepat di samping kirinya.
Tappp! Creeek...!
Gerakan secepat kilat tangan
kiri Mahendra berhasil menangkap rantai baja itu. Padahal, lelaki berompi merah
itu nampak telah berusaha menarik senjata andalannya dari cekalan tangan
Mahendra. Tetapi gerakan Mahendra lebih cepat mencekal rantai baja itu.
Karuan saja gerakan cepat
tangan Mahendra membuat lelaki berompi merah gugup! Lelaki berompi merah itu
memang bukan tergolong pentolan bagi golongan hitam. Namun, julukannya telah
cukup dikenal orang, sebagai 'Penjagal Nyawa'. Di samping seringnya terlibat
dalam berbagai pertarungan maut
Sebagai tokoh persilatan yang
telah begitu sering terlibat pertarungan, lelaki berompi merah itu segera
mengetahui kalau lawan yang dihadapi kini memiliki kepandaian tinggi. Hal itu
bisa diketahuinya dari keberanian dan keberhasilan pemuda itu menangkap
rantainya. Maka tanpa mernbuang-buang waktu lagi, segera dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk membetot kembali bola berdurinya.
"Ngmmmh...! Hmmmh...!
Terdengar suara
lenguhan-lenguhan berat dari mulutnya. Tetapi rantai bajanya sama sekali tak
bergeming dari cekalan tangan pemuda gagah berpakaian biru itu. Rantai baja itu
hanya dicekal dengan sebelah tangan. Itu pun nampaknya tanpa pengerahan tenaga,
karena wajah lelaki gagah berpakaian biru itu nampak tenang. Berbeda sekali
dengan si penjagal nyawa. Wajah lelaki berompi merah itu merah padam ketika berusaha keras menarik senjatanya. Wajahnya tegang.
Kenngat mengalir di kening dan lehernya. Dan tangannya bergemetar hebat.
Penjagal Nyawa seharusnya
sudah bisa menduga kalau tenaga dalam lawannya berada jauh di atas
tingkatannya. Dan tindakan paling aman yang harus dilakukannya, melepaskan saja
senjata itu. Tapi, karena perasaan sayang, ditambah lagi dengan kekerasan
hatinya, sehingga lelaki berompi merah itu memaksakan diri. Tangannya terus
membetot senjatanya dari tangan Mahendra.
Sementara lelaki kecil kurus
kawan si penjagal nyawa hanya mampu menyaksikan kejadian itu. Seperti juga
Penjagal Nyawa, dirinya pun terkejut bukan kepalang melihat betapa mudahnya
senjata andalan kawannya itu disambar tangan kiri pemuda berpakaian biru itu.
Disadarinya kalau keadaan gawat tengah di hadapi oleh kawannya. Maka tanpa
membuang- buang waktu lagi, lelaki kecil kurus segera bertindak.
Lelaki kecil kurus langsung
menyelusupkan kedua tangannya ke balik baju. Dan begitu dikeluarkan, langsung
saja dikibaskan.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang
memekakkan telinga terdengar seiring dengan melesatnya empat buah benda berkilat
yang tidak lain pisau-pisau terbang. Senjata andaian itu melesat deras ke tubuh
Mahendra.
Mahendra melihat ancaman
bahaya itu. Namun dirinya tetap bersikap tenang. Tanpa mengendurkan cekalannya
pada rantai baja itu, diperhatikan arah yang dituju pisau-pisau terbang itu.
Hanya sekilas saja, langsung diketahuinya. Dahi, leher, dan ulu hati menjadi
sasaran senjata yang melesat cepat itu.
Dan ketika pisau terbang itu
hampir mencapai sasaran dengan cepat Mahendra baru bertindak.
Takkk! Takkk!
Prattt!
Dua pisau terbang yang menuju
ke ulu hati dan perutnya sengaja dibiarkan, hingga tepat mengenai sasarannya.
Namun, pisau-pisau itu terpental jatuh ke tanah tak mampu menembus. Jangankan
menancap, melukai pun, tidak. Sedangkan dua lagi dapat dimusnahkan dengan cara
luar biasa.
Yang menuju ke leher
dipatahkan dengan sampokan tangan kanan. Satu lagi dapat diatasi dengan
mulutnya. Tentu gerakan yang terakhir ini membutuhkan perhitungan dan
kemahiran, karena jika meleset sedikit saja dapat melukai mulutnya. Namun
ternyata, Mahendra mampu melakukannya. Pisau terbang itu berhasil ditangkap
dengan giginya. Lalu, dilemparkan kembali ke tubuh pemiliknya dengan egosan
kepala.
Singgg!
Pisau itu meluncur kembali ke
tubuh lelaki kecil kurus menyusul luncuran pisau lain akibat sampokan tangan
Mahendra.
Lelaki kecil kurus terkejut
bukan kepalang melihat kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu. Apalagi
ketika menyadari kecepatan luncuran pisau-pisau terbang itu berlipat kali
kecepatan semula.
Meskipun demikian, lelaki
kecil kurus ini masih sempat mempertunjukkan kebolehannya dalam melempar pisau.
Dalam keadaan gawat seperti itu, dirinya
mampu melakukan tindakan penyelamatan. Dilemparkannya pisau lain guna menangkis
serangan balik pisau terbang itu.
Trang! Trang! Bunga api
mencelat ketika empat batang pisau berbenturan dengan keras di udara. Namun,
karena luncuran pisau-pisau terbang lelaki kecil kurus lebih lambat,
pisau-pisau itu terpental. Sedangkan pisau-pisau dari Mahendra masih sempat
meluncur beberapa jauh. Dan sisa tenaga luncuran itu mengarah ke tubuh lelaki
kurus pemilik senjata terbang. Dan....
"Uuuh !"
Mata lelaki kecil kurus
terpekik. Hampir saja nyawanya melayang terterjang senjatanya sendiri.
Tangannya nampak mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
Nyawa. ***
Rupanya Mahendra merasa sudah
cukup memberikan kesempatan pada Penjagal "Hih!"
Mahendra menghentakkan
tangannya, dengan pengerahan tenaga dalamnya. Gerakan itu dilakukan dengan
begitu cepat dan tiba-tiba Akibatnya, tubuh Penjagal Nyawa terhentak
keras ke tubuh Mahendra.
"Aaah !"
Tanpa sadar lelaki berompi
merah terpekik keras. Jerit yang keluar karena perasaan ngeri dan kaget ketika
tubuhnya melayang tertarik ke tubuh Mahendra.
Dalam keadaan yang demikian
gawat, Penjagal Nyawa masih berusaha keras menyelamatkan nyawanya. Ketika
tubuhnya melayang di udara itu, segera pikirannya mencari cara untuk
menyelamatkan diri. Untungnya, berhasil pula didapatkan sebuah siasat
Diikuti arah luncuran tubuhnya
yang sudah pasti ke arah Mahendra. Dan begitu telah
berada dekat, rantai baja yang
berada di genggamannya akan dilecutkan ke ubun-ubun Mahendra.
Namun perasaan lega hanya
berlangsung sesaat. Karena sebelum tubuhnya berada
dalam jarak yang
diancang-ancangkan, Mahendra lebih dulu melakukan tindakan yang mengejutkan
hati Penjagal Nyawa.
Betapa tidak? Pemuda
berpakaian biru itu melemparkan bola berduri di tangannya untuk menyambut
datangnya tubuh Penjagal Nyawa. Kontan lelaki berompi merah ini kelabakan.
Keadaannya yang tengah melayang di udara menimbulkan kesulitan untuk
mengelakkan serangan itu.
Jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diri hanyalah menangkis serangan itu. Siuuut! Trakkk! Bukkk!
"Akh !"
Lelaki berompi merah yang
berjuluk Penjagal Nyawa terpekik. Bola berduri yang berhasil dipapak dengan
sabetan rantai, ternyata hanya mampu membuat arah bola berduri itu menyeleweng
tidak meluncur ke arah dada. Tetapi bola baja berduri itu meleset dan mengenai
pahanya.
"Aaah !"
Seketika itu pula tulang paha
Penjagal Nyawa hancur berantakan. Darah mengalir dari pahanya yang hancur.
Jerit kesakitan pun keluar dari mulut Penjagal Nyawa itu.
Jliggg!
Lelaki berompi merah cukup
tangguh, dalam keadaan terluka, ternyata masih mampu mendarat di tanah dengan
kedua kaki. Meskipun agak sempoyongan ke sana kemari karena luka di pahanya
terlalu parah.
"Ha ha ha...! Itu baru
babak awal dari kematian yang akan kau terima, Iblis Busuk!" ejek Mahendra
sambil mengayunkan langkah mendekati.
"Cuhhh!"
Penjagal Nyawa membuang ludah
dengan kasar. Lalu ditotoknya jalan darah di sekitar paha untuk mencegah
derasnya darah yang mengalir. Baru kemudian dilayangkan pandangannya ke arah
Mahendra. Lalu....
Wuk! Wuk! Wukkk!
Senjata andalannya kembali
berputar-putar di atas kepab. Penjagal Nyawa telah bersiap kembali melanjutkan
pertarungannya. Lelaki kecil kurus yang menyadari kalau Penjagal Nyawa bukan
tandingan Mahendra langsung mencabut senjata andaian berupa sebatang ganco,
lalu menyabet-nyabetkan di depan dada dengan begitu cepat
Wut! Wuuut..!
Tahu kalau Penjagal Nyawa dan
lelaki kecil kurus telah bersatu untuk menghadapinya, Mahendra sama sekali
tidak gentar. Wajahnya tetap tenang sekali. Nampaknya Mahendra menyadari kalau
kepandaian kedua lawannya jauh di bawahnya. Sehingga jangankan hanya berdua, sekalipun
ditambah lima kali lipat, Mahendra menganggap remeh lawan macam begini.
"Hih!"
Diawali gertakan gigi,
Mahendra mulai melancarkan serangan. Karena yang mempunyai urusan sebenarnya
diri Penjagal Nyawa, lelaki itulah yang diserangnya.
Penjagal Nyawa tentu saja
tidak mau menyerahkan nyawanya percuma. Begitu dilihatnya pemuda berpakaian
biru itu melancarkan serangan terhadapnya, buru-buru dipapaknya kembali dengan
bola baja berduri yang masih terayun-ayun di tangannya.
Lelaki kecil kurus pun tak
tinggal diam. Rupanya dia memiliki kesetiakawanan yang besar. Maka melihat
adanya ancaman bahaya terhadap Penjagal Nyawa, dia pun mengayunkan ganconya ke
arah Mahendra.
Serangan beruntun ini memaksa
Mahendra membatalkan serangannya. Dan keadaan
ini dipergunakan Penjagal
Nyawa dan lelaki kecil kurus untuk melancarkan desakan. Sementara itu pula luka
parah di paha Penjagal Nyawa semakin mendera. Beberapa kali giginya bergemeretak menahan rasa sakit
yang hebat. Kali ini Mahendra tidak bisa menundukkan lawan-lawannya secara
mudah seperti sebelumnya. Karena nampaknya kedua orang lawannya itu telah
mengetahui secara pasti kelihaian Mahendra. Sehingga mereka bertindak lebih
berhati-hati. Tambahan lagi, kali ini penyerangan dilakukan secara bersama-
sama, sehingga cukup merepotkan gerakan Mahendra untuk menghadapi mereka.
Pertarungan itu kian lama
bertambah seru. Sambaran bola berduri
dan ganco beberapa kali
berkelebat tetapi belum juga berhasil mengenai sasarannya. Gerakan cepat dan
ringan tubuh Mahendra mampu menghindarkan setiap serangan.
Pada jurus kesebelas, Mahendra
sudah mulai menguasai keadaan. Perlahan-lahan
berhasil mendesak kedua
lawannya. Bahkan beberapa jurus kemudian, Mahendra berhasil merampas ganco dari
tangan lelaki kecil kurus. Lalu secepat kilat menyabetkannya ke perut
pemiliknya.
Jraaabbb...!
"Aaakh...!"
Lelaki kecil kurus menjerit
ngeri ketika ujung ganco itu merobek perutnya. Seketika itu pula darah
menyembur keluar dari perutnya yang terkoyak lebar. Lelaki yang ahli
melemparkan pisau ini nampak terbungkuk mendekap perut dengan kedua tangannya.
"Haaah...! Keparat!"
Penjagal Nyawa terpekik dan
mengumpat keras melihat kejadian yang menimpa kawannya. Dengan kemarahan yang
meluap-luap dilontarkan bola berdurinya ke kepala Mahendra.
Wukkk! Tranggg! Rrrttt!
Suara gemerincing nyaring
terdengar ketika ganco di tangan Mahendra berhasil menangkis serangan bola
berduri yang meluncur deras ke kepalanya. Ganco itu terlilit rantai baja.
Penjagal Nyawa pun tak dapat menggunakan senjata andalannya lagi.
Saat itulah Mahendra
menghentakkan tangan kirinya ke tubuh Penjagal Nyawa.
Wusss! Dukkk...!
"Hekh!"
Mulut Penjagal Nyawa terpekik,
tubuhnya terjengkang dan terguling-guling di tanah. Pukulan jarak jauh Mahendra
menghantam telak bahu kanannya. Dan sebelum tubuhnya berhasil bangkit, pemuda
berpakaian biru itu telah berdiri tepat di depannya. "Sekarang saatnya
pembalasan untukmu, Monyet Botak!" ujar Mahendra sambil menginjakkan kaki
di paha Penjagal Nyawa. Lalu dihentakkan kakinya dengan keras sekali.
Krrrkkkhhh!
"Aaakh...!
Huaaahhh...!"
Bunyi gemeretak terdengar
ketika tulang-tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Jeritan menyayat
hati pun keluar dari mulut lelaki berompi merah itu mengiringi hancurnya tulang
paha itu.
"Ha ha ha...! Nikmat
bukan?" ejek Mahendra sambil menatap wajah Penjagal Nyawa.
Sementara itu mulut Penjagal
Nyawa masih mengerang keras karena rasa sakit yang mendera kedua tulang
pahanya. Sekujur badannya basah oleh keringat bercampur debu. Kakinya basah
dialiri darah segar dari lukanya yang parah.
Penjagal Nyawa sama sekali
tidak memberikan jawaban. Sorot matanya memancarkan kengerian. Disadari akan
adanya siksaan mengerikan lainnya. Raut wajah Mahendra yang memancarkan dendam
kesumat membuktikan kalau pemuda berpakaian biru itu akan membunuh lawannya
secara perlahan-lahan.
Penjagal Nyawa bukan orang
yang takut mati. Tetapi, mati secara perlahan-lahan dengan siksaan demi
siksaan, tetap membuat hatinya bergetar ketakutan. Dan dalam cekaman rasa ngeri yang memuncak, tokoh yang berkepala
botak ini terpaksa harus bertindak nekat. Ketika Mahendra tengah hanyut dalam
perasaan gembiranya, tiba-tiba digigitnya lidah sendiri keras-keras hingga
putus.
"Hmmmhhh...!"
Krrrttt!
"Hey...!"
Mahendra menjerit kaget ketika
melihat mulut Penjagal Nyawa berlumuran darah. Sesaat kemudian, baru mengetahui
hal yang telah terjadi. Maka buru-buru diperiksanya tubuh tokoh berkepala botak
itu. Sayang, terlambat. Penjagal Nyawa telah tewas dengan potongan lidahnya
masih di dalam mulut
"Keparat!" maki Mahendra
geram. Rasa penasaran yang amat sangat membayang jelas pada wajahnya.
"Betapa bodohnya aku! Tapi, kecerobohan seperti ini tak akan terulang
lagi!"
Setelah berkata demikian,
Mahendra segera mengalihkan pandangan pada lelaki kecil
kurus. Tapi, lagi-lagi kecele.
Lelaki kecil kurus telah terbujur tak bernyawa di tanah. Nampak lelaki kurus
itu pun telah melakukan bunuh diri karena merasa ketakutan menghadapi
kebengisan pemuda berpakaian biru itu.
"Hmh...! Bedebah!"
Dengan cepat Mahendra melesat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali hentakan saja, tubuhnya
telah melesat dan tak nampak lagi.
Kini suasana kembali hening.
Tidak ada lagi denting senjata beradu maupun jerit kesakitan dan kematian.
Keadaan telah kembali seperti semula sebelum terjadinya peristiwa mengerikan
itu. Hening dan sepi, yang terdengar hanyalah bunyi hembusan angin. Pelan,
seperti ikut merasa sedih atas kejadian yang baru saja terjadi. Dua tubuh
lelaki terkulai berlumur darah di atas tanah berdebu.
Tapi kesunyian itu tidak
berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, dari kejauhan
nampak dua sosok berpakaian
ungu dan putih bergerak menuju tempat itu. Kedua sosok ungu dan putih itu
melesat begitu cepat. Hanya dalam sekejap mata keduanya telah mencapai tempat
kedua tubuh lelaki itu terkulai.
"Kang, lihat!" seru
sosok berpakaian putih yang tak lain Melati, sambil menuding ke tubuh dua
lelaki yang terkulai berlumuran darah itu.
Dewa Arak, sosok yang satunya
lagi, hanya menganggukkan kepala mengerti maksud kekasihnya. Karena tanpa
diberitahukan pun matanya telah melihat. Jarak antara mereka dengan kedua mayat
itu tinggal beberapa tombak.
"Hup!"
Sesaat kemudian Dewa Arak dan
Melati telah berada di dekat mayat Penjagal Nyawa dan laki-laki kecil kurus.
Keduanya langsung memeriksa kedua tubuh yang berlumur darah itu.
"Baru saja tewas,
Kang," kata Melati setelah memeriksa tubuh Penjagal Nyawa. "Berarti
kejadiannya belum lama, Melati," sambut Dewa Arak sambil menganggukkan
kepala.
"Dia mati bunuh diri,
Kang. Lidahnya putus...," ujar Melati lagi.
Dewa Arak tercenung sebentar.
Wajahnya kemudian memandangi tempat sekelilingnya.
"Hanya ada satu
kemungkinan yang menjadi penyebab lelaki ini melakukan bunuh diri, Melati. Dia tidak kuat menahan siksaan.
Begitu menurut dugaanku," ujar Dewa Arak mencoba menerka kejadian yang
dialami lelaki naas ini.
"Aku pun menduga begitu,
Kang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah persoalan yang menyebabkan lawan
orang ini melakukan penyiksaan yang demikian keji ini. Tulang- belulangnya
dihancurleburkan! Sungguh sebuah siksaan yang kejam!" tandas Melati.
Dewa Arak hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara. "Hmmmhhh...!"
Rintihan pelan membuat Dewa
Arak dan Melati menolehkan kepala ke asal suara. Seketika itu pula mereka ingat
kembali akan sosok tubuh yang satu lagi. Dewa Arak dan Melati melesat ke tubuh
lelaki kurus kecil yang tergolek lemas tak jauh di belakang mereka.
Suara rintihan itu ternyata
berasal dari mulut lelaki kecil kurus yang tengah berusaha untuk duduk. Nampak jelas
betapa lelaki kecil kurus ini mengalami kesulitan. Perut lelaki kecil kurus itu
robek. Tubuhnya dibasahi darah bercampur debu dan tanah.
Dan sebelum lelaki kecil kurus
berhasil dengan usahanya, Dewa Arak dan Melati telah sampai di dekatnya. Dewa
Arak dan Melati segera berjongkok.
Tanpa memeriksa lagi, hanya
dengan sekali pandang Dewa Arak langsung mengetahui kalau nyawa lelaki kecil
kurus tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang diderita terlalu parah.
Darah yang keluar telah terlalu banyak, menyebabkan tubuh lelaki kecil kurus
itu lemas dan tak berdaya.
"Apa yang telah terjadi,
Kisanak?" tanya Dewa Arak buru-buru, karena mengetahui bahwa lelaki kecil
kurus itu tak mungkin bertahan lebih lama lagi.
"Pemuda berpakaian
biru... mengamuk. Pemuda itu punya dendam terhadap Penjagal Nyawa..., karena
orangtuanya telah dibasmi secara kejam. Dan... akh!" ucapannya terputus.
Kepala lelaki kecil kurus
telah terkulai sebelum ucapannya berhasil diselesaikan. Saat
itu nyawa lelaki kecil kurus
telah melayang, dan sampailah ajalnya.
Dewa Arak dan Melati sating
pandang. Meskipun erangan lelaki kecil kurus terputus, nampaknya mereka telah
tahu orang yang dimaksudkan lelaki kecil kurus itu. Karena baru saja mereka
telah bertemu dengan pemuda berpakaian biru. Bahkan sempat bentrok dengan
Melati
"Rupanya dia,
Kang...," desah Melati pelan.
"Hhh...! Pemuda
berpakaian biru itu rupanya telah mulai menyebar maut. Dugaanku benar. Pemuda
itu bukan orang jahat. Hanya karena menyimpan dendam terhadap tokoh- tokoh
golongan hitam. Tetapi tindak pembasalan yang dilakukannya terlalu keji. Sayang
sekali...!" keluh Dewa Arak sambil mengarahkan pandangan matanya ke
sekitar tempat itu.
"Pembalasan dendamnya
terlalu sadis, Kang. Pantas kalau lelaki berompi merah itu bunuh diri. Pasti
merasa ngeri dengan siksaan yang akan diterimanya."
"Kurasa julukan yang
cocok baginya adalah Pendekar Sadis!" ujar Dewa Arak setengah berseloroh.
"Tepat, Kang!"
Melati langsung mendukungnya.
"Lupakanlah, Melati! Yang
penurig sekarang, bagaimana caranya agar kita bisa menyadarkan pemuda itu dari
kekeliruannya. Kita harus bertindak cepat sebelum dia merajalela secara
mengerikan!"
Melati hanya mengangkat alis.
Tak bisa ditafsirkan maksudnya. Namun yang jelas,
sesaat kemudian sepasang
pendekar muda itu telah kembali melesat meninggalkan tempat itu. Mereka bermaksud mengejar pemuda
berpakaian biru yang telah melakukan tindakan begitu sadis dan mengerikan
terhadap lawan-lawannya. 6
"Hait..! Hiaaat...!
Hih!"
Teriakan-teriakan keras
melengking terdengar penuh semangat memecah kesunyian pagi. Saat itu keadaan
masih sepi. Sang Surya pun baru saja muncul di ufuk timur berwarna kuning
kemerahan. Namun teriakan-teriakan melengking itu seolah-olah tak mempedulikan
suasana pagi itu.
Suara-suara itu ternyata berasal
dari halaman belakang sebuah bangunan besar dan
megah yang terkurung pagar
tembok tebal, kokoh, dan tinggi. Suara-suara itu keluar dari mulut mungil sosok
tubuh ramping terbungkus pakaian jingga.
Sosok ramping ini ternyata
seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya yang cantik itu jadi
semakin terlihat cantik karena rambutnya yang panjang dikepang satu. Gadis
berpakaian jingga itu tengah berlatih silat. Nampak di tangannya sepasang
sumpit terbuat dari baja putih. Kedua batang sumpit itu berujung runcing.
Suit! Siiit!
Bunyi menderit nyaring selalu
terdengar setiap kali gadis berpakaian jingga itu menusukkan sepasang sumpitnya
ke depan. Hal ini karena gadis itu memiliki tenaga dalam kuat yang dialirkan
dalam gerakan-gerakan menusuk itu. Nampaknya karena kekuatan tenaga dalamnya itu yang menyebabkan bunyi
berderit dari tusukan-tusukan sepasang
sumpit itu.
"Hih!"
Mendadak gadis berpakaian
jingga itu menjejakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya telah terlontar
ke belakang, dan berputar beberapa kali di udara. Dan ketika tubuhnya meluncur
turun, kedua tangannya bergerak mengibas.
Sing! Sing!
Desingan nyaring terdengar
disusul meluncurnya benda-benda putih berkilat Dan....
Crabs! Crabs!
Benda-benda berkilat yang
ternyata hiasan berbentuk bunga mawar sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari
baja putih itu menancap pada batang sebuah pohon. Dan hebatnya lagi, tancapan
bunga-bunga itu, berjajar membentuk segi tiga. Sungguh sebuah gerakan yang
mengagumkan. Karena tanpa kemahiran dan kepandaian tak mungkin tindakan itu
dapat dilakukan. Gadis itu mampu melakukannya.
Plok, plok, plok !
Rangkaian tepuk tangan nyaring
mengiringi mendaratnya sepasang kaki gadis itu di tanah. Gadis berpakaian
jingga menoieh ke asal suara tepukan tangan yang mengandung pujian itu.
"Ah! Kiranya kau,
Ayah," ujar gadis berpakaian jingga sambil tersenyum, ketika melihat
sesosok tubuh hitam yang memiliki ciri-ciri aneh.
Betapa tidak? Sosok berpakaian
hitam itu menyerupai kera besar. Sulit dikatakan manusia jenis manakah sosok
serba hitam ini? Manusia yang mirip kera, atau sebaliknya?
Dan pertanyaan seperti itu
tidak berlebihan. Raut wajah lelaki bertubuh besar itu ditumbuhi bulu-bulu
halus yang hitam. Potongan tubuhnya pun agak mem-ungkuk sehingga kedua tangannya
yang memang melebihi ukuran manusia biasa, tergantung sampai di bawah lutut
Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
"Kau kira siapa,
Winarti?" sapa tokoh yang mirip kera besar sambil tersenyum.
Terdengar lemah lembut
suaranya mengandung perasaan kasih sayang yang dalam. "Kukira ada orang
usil yang masuk kemari. "
"Dan bermaksud
mengganggumu, begitu?! Ho ho ho..., apakah orang itu mempunyai nyawa cadangan
sehingga berani mengganggumu?!" tukas tokoh yang mirip kera besar penuh
bernada kebanggaan.
Gadis berpakaian jingga yang
ternyata bernama Winarti itu tersenyum malu. Namun, sorot kebanggaan tampak
jelas pada sinar matanya. Winarti menyadari kebenaran ucapan ayahnya. Siapa
orangnya yang berani mati mendatangi tempat itu? Hampir semua orang tahu siapa
ayahnya. Raja Monyet Tangan Delapan! Seorang datuk sesat yang belum pernah
terkalahkan sejak puluhan tahun lalu. Jangankan untuk mengganggu, mendengar
julukannya saja sudah cukup membuat merinding bulu kuduk tokoh persilatan mana
pun.
"Nah, sekarang
tenangkanlah hatimu! Percayalah! Tak seorang pun yang berani memasuki tempat
tinggal kita. Berlatihlah lebih keras, Winarti! Aku ingin semua ilmu yang
kuberikan padamu dapat kau kuasai dengan sempurna sebelum aku meninggal
dunia!"
"Jangan khawatir, Ayah!
Aku berjanji akan memperhatikan semua nasihat yang Ayah
berikan," ujar Winarti
mantap.
"O, ya. Tak lama lagi
akan ada orang yang mengajarkanmu cara-cara mempergunakan pisau terbang sebagai
senjata rahasia."
"Ah! Mengapa harus orang
lain, Ayah. Mengapa tidak Ayah sendiri?!" sahut gadis
berpakaian jingga itu dengan
wajah agak bersungut-sungut
"He he he...!" Raja
Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh. "Memang, aku mampu mengajarkanmu,
Winarti. Tapi, aku bukan ahlinya. Tokoh yang akan datang nanti, seorang yang
amat mahir dalam penggunaan pisau terbang. Kudengar dia mampu melakukan
penyerangan dengan pisau-pisau terbang hanya dengan pemusatan pikiran. Nah,
apakah kau masih tidak tertarik? Terus terang, aku tidak mampu melakukan hal
seperti itu."
"Benarkah ucapan yang kau
katakan itu, Ayah?!" tanya Winarti setengah tak percaya. "Aku sendiri
belum membuktikan kebenarannya. Tapi berita yang tersebar di dunia
persilatan, mengatakan
demikian. Nanti, kalau tokoh itu datang kita buktikan saja kebenarannya!
Bagaimana?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan sambil menepuk-nepuk bahu
Winarti.
"Baik, Ayah!" sahut
Winarti gembira membayangkan betapa dirinya mampu
melancarkan serangan dengan
pisau terbang menggunakan pikiran seperti layaknya menggunakan tangan.
"Tapi, apa julukan orang itu?"
"Setan Pisau! Sekarang,
berlatihlah lagi!" jawab Raja Monyet Tangan Delapan.
Setelah berkata demikian,
tokoh yang mirip kera besar itu mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu.
Winarti mernandangi hingga punggung ayahnya lenyap di balik bangunan. Baru
setelah itu dara cantik itu meneruskan kembali latihannya.
Sementara itu, Raja Monyet
Tangan Delapan terus melangkah menuju ke depan.
"Naga!" panggil Raja
Monyet Tangan Delapan keras.
"Ya, Ketua!" sahut
seorang lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Naga. Dadanya yang telanjang
tampak bergambar seekor naga. Lelaki bertubuh besar dan kekar itu berjuluk Naga
Berekor Sembilan. Seorang kepala bajak sungai yang memiliki kepandaian cukup
tinggi, namun telah takluk dan mengabdi pada Raja Monyet Tangan Delapan.
"Apakah Penjagal Nyawa
telah tiba?!" tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika Naga Berekor
Sembilan telah berdiri di depannya.
"Belum, Ketua. Aku pun
sejak tadi tertgah menunggunya," jawab Naga Berekor
Sembilan penuh hormat
"Aneh!" desis Raja
Monyet Tangan Delapan sambil mengernyitkan kening. "Menurut perhitungan,
dia harus sudah sampai semalam. Tapi, mengapa sampai saat ini belum
muncul?"
"Barangkali si Setan
Pisau berani main gila, Ketua," Naga Berekor Sembilan menyampaikan
dugaannya.
"Mustahil!" sergah
Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara
keras. "Aku tidak
percaya si Setan Pisau berani
bertindak demikian. Tapi, apabila dugaanmu benar..., dia akan merasakan
hukumannya!"
"Perlukah aku
menyusulnya, Ketua?" ujar Naga Berekor Sembilan menawarkan diri.
"Tidak perlu!"
"Tapi, Ketua "
"Apa lagi, Naga?!"
sentak Raja Monyet Tangan Delapan kesal.
"Anu..., Ketua. Aku telah
bertindak lancang. Tanpa seijinmu telah kukirim beberapa orang untuk menyusul,
barangkali saja mereka mendapat halangan di jalan...," terbata-bata karena
cekaman rasa takut melanda Naga Berekor Sembilan mengeluarkan ucapan yang sejak
tadi ingin dikatakannya. "Hhh...! Kalau begitu tidak mengapa, Naga.
Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan mereka."
Seketika merasa lega hati Naga
Berekor Sembilan. Hatinya merasa khawatir kalau
tindakari yang dilakukannya
telah menyinggung hati Raja Monyet Tangan Delapan dan mengakibatkan dirinya mendapat hukuman.
Tapi ternyata tidak. Datuk sesat yang mirip kera itu sama sekali tidak
menghukumnya.
Sesaat suasana menjadi hening.
Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya.
Namun baru saja hal itu
berlangsung sebentar, tiba-tiba salah seorang penjaga pintu gerbang berlari
tergopoh-gopoh menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
"Lapor, Ketua.
Orang-orang yang bertugas menyusul Penjagal Nyawa telah tiba!" ujar
penjaga pintu gerbang yang bermata juling itu.
"Apakah mereka datang
bersama Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?!" tanya Raja Monyet Tangan
Delapan, cepat
"Tidak, Ketua!" jawab
lelaki bermata juling itu cepat
"Jadi...," Raja
Monyet Tangan Delapan tidak melanjutkan ucapannya.
"Mereka datang tanpa
disertai Penjagal Nyawa dan Setan Pisau!" jelas lelaki bermata
juling.
"Keparat! Mengapa mereka
berani kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?!
Apakah mereka ingin
mendapatkan hukuman dariku?!" terdengar penuh ancaman ucapan Raja Monyet
Tangan Delapan.
Karuan saja Naga Berekor
Sembilan dan penjaga pintu gerbang itu menundukkan kepala penuh rasa gentar,
mengetahui pimpinan mereka murka. Belum lenyap suaranya, Raja Monyet Tangan
Delapan melangkah tergesa-gesa menuju pintu gerbang.
Melihat hal ini, tanpa
diperintah Naga Berekor Sembilan dan penjaga yang bermata juling segera
melangkah, mengikuti di belakang Raja Monyet Tangan Delapan. Seperti juga sang
Ketua, mereka pun ingin mengetahui mengapa utusan yang dikirimkan untuk menjemput Penjagal Nyawa telah kembali
demikian cepat
Hanya dalam beberapa langkah
saja ketiga orang ini telah sampai di pintu gerbang. Ternyata laporan penjaga
bermata juling itu tidak salah. Dari kejauhan tampak dua ekor kuda tengah
berpacu cepat. Di atas punggung kuda itu duduk dua orang yang diutus Naga
Berekor Sembilan untuk menyusul Penjagal Nyawa.
Seperti halnya orang-orang
yang berada di pintu gerbang yang melihat mereka, dua orang utusan Naga Berekor
Sembilan pun demikian pula. Mereka segera menggebah kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke
angkasa, ketika kuda-kuda itu berpacu cepat menuju bangunan tempat tinggal Raja
Monyet Tangan Delapan.
"Hooop...!"
Masih berada dalam jarak lima
tombak, dua orang utusan Naga Berekor Sembilan yang sama-sama bertubuh pendek
kekar itu melompat dari atas punggung kuda dan mendarat ringan di tanah.
Kemudian tanpa mempedulikan kuda mereka, keduanya berlari menuju Raja Monyet
Tangan Delapan.
"Mengapa kalian berani
kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?!" tegur Raja
Monyet Tangan Delapan tak
sabar dan penuh ancaman.
"Penjagal Nyawa dan Setan
Pisau telah tewas, Ketua," jawab salah satu di antara mereka yang berbibir
tebal.
"Apa kau bilang?! Coba
katakan sekali lagi!" perintah Raja Monyet Tangan Delapan, penuh perasaan
tak percaya.
"Penjagal Nyawa dan Setan
Pisau tewas, Ketua," ulang lelaki berbibir tebal lagi sambil menelan ludah
karena perasaan gentar melihat kemarahan pemimpinnya.
"Siapa yang telah
membunuh mereka?!" desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil
menggemeretakkan gigi-giginya.
"Kami tak tahu, Ketua.
Yang kami temukan hanya mayat mereka. Tapi, menurut berita yang kami dengar dari
penduduk desa yang letaknya tak jauh dari situ, ada seorang pemuda berpakaian
biru yang mengejar-ngejar mereka," jelas lelaki lain yang berkumis jarang.
"Pemuda berpakaian biru...?!" ulang Raja Monyet Tangan Delapan dengan
alis berkernyit seolah-olah tengah berusaha mengingat-ingat. Tapi sampai lelah
dia menggali ingatannya tetap saja tidak dikenalnya tokoh yang berpakaian
seperti itu.
"Kau yakin kalau yang
mengejar-ngejar Penjagal Nyawa dan Setan Pisau seorang pemuda?" tanya Raja
Monyet Tangan Delapan lagi penasaran.
"Kami yakin betul, Ketua.
Karena kami telah menanyakannya pada beberapa orang.
Dan jawaban yang mereka
berikan ternyata sama," jawab lelaki berbibir tebal mantap.
Raja Monyet Tangan Delapan
tercenung. Sementara benaknya sibuk memikirkan tokoh muda yang mengenakan
pakaian biru.
"Kau yakin warna
pakaiannya biru? Bukannya ungu?" ulang Raja Monyet Tangan Delapan lagi
meminta kejelasan.
Tokoh yang mirip kera besar
itu sengaja mengajukan pertanyaan demikian. Karena dirinya telah mendengar keberadaan
seorang tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak. Menurut kabar yang tersiar, tokoh
itu juga seorang pemuda dan mengenakan pakaian ungu. Barangkali orang yang
dimaksudkan dua anak buahnya ini Dewa Arak.
"Bukan, Ketua! Pengejar
Penjagal Nyawa seorang pemuda berpakaian biru. Sedangkan pemuda berpakaian ungu
teman dari seorang gadis yang telah bertarung menghadapi pemuda berpakaian
biru," jelas lelaki berkumis jarang.
"Jadi..., pemuda
berpakaian ungu pun ada pula?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan
setengah tak percaya karena
sama sekali tidak menduganya. "Coba kau ceritakan secara lengkap!"
Lelaki berbibir tebal tidak
langsung memenuhi perintah pimpinannya. Wajahnya tercenung sejenak, memikirkan
dari mana cerita itu harus dimulai sesuai dengan berita yang didengarnya.
"Menurut cerita yang kami
dapatkan, ada tiga orang kasar hendak mencuri kuda pemuda berpakaian biru.
Tapi, sebelum mereka berhasil, pemuda berpakaian biru telah mengetahuinya.
Sehingga pertarungan antara mereka pun terjadi."
Lelaki berbibir tebal
menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan kembali menelan ludah
yang mengumpul di mulutnya.
"Ternyata pemuda
berpakaian biru itu sangat tangguh. Hanya segebrakan mereka
telah dirobohkan. Kemudian
ketiga orang kasar itu disiksanya secara kejam. Namun, sebelum ketiga orang itu
tewas, karena menderita siksaan demi siksaan, muncul seorang berpakaian ungu
dan seorang gadis berpakaian putih. Kedua orang ini rupanya tidak tega melihat
penyiksaan itu. Sehingga pertarungan pun terjadi lagi."
"Jadi..., pemuda
berpakaian biru itu bertarung dengan pemuda berpakaian ungu?" potong Raja
Monyet Tangan Delapan tidak sabar.
"Tidak, Ketua,"
lelaki berkumis jarang memberikan jawaban. "Pemuda berpakaian biru itu
bertarung melawan gadis berpakaian putih, teman pemuda berpakaian ungu,"
lanjutnya.
"Dengan gadis berpakaian
putih itu?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara kurang bersemangat. Dan helaan
napas kecewa pun terhempas dari mulutnya ketika lelaki berkumis jarang itu
menganggukkan kepala.
"Pemuda berpakaian biru
itu ternyata sangat tangguh dan lihai. Ilmu yang
dipergunakan juga sangat aneh
dan dahsyat sekali. Hanya dalam beberapa gebrakan gadis berpakaian putih itu
hampir dibuatnya tak berdaya. Tapi, ketika pertarungan tengah berlangsung seru,
pemuda berpakaian biru tiba-tiba menghentikannya. Semula orang-orang merasa
heran. Tapi sesaat kemudian mereka tahu. Pemuda berpakaian biru ternyata memburu dua orang penunggang kuda.
Jelas, urusannya dengan dua orang penunggang kuda itu lebih penting daripada
menghadapi si gadis berpakaian putih."
"Dan..., dua orang
penunggang kuda itu Penjagal Nyawa dan Setan Pisau! Iya?" lagi-
lagi Raja Monyet Tangan
Delapan menyelak karena perasaan tidak sabar.
"Benar, Ketua," kini
ganti lelaki berbibir tebal yang memberikan jawaban.
"Dia benar-benar sadis,
Ketua. Penjagal Nyawa akhirnya mati bunuh diri! Mungkin karena merasa tak tahan
dengan siksaan yang diberikan pemuda berpakaian biru," tutur lelaki berbibir tebal mengakhiri
ceritanya. Suasana berubah hening ketika lelaki berbibir tebal dan lelaki
berkumis jarang telah menghentikan ceritanya. Mereka semua tenggelam dalam alun
pikirannya masing-masing. Hati mereka bertanya-tanya siapakah sebenarnya pemuda
berpakaian biru itu?
"Apakah kau tidak mendapat
berita siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu?" tanya Raja Monyet
Tangan Delapan ketika teringat
Lelaki berbibir tebal
menggelengkan kepala.
"O, ya. Tadi kau bilang
dia menggunakan ilmu aneh tapi dahsyat. Di mana keanehannya?"
"Dia bertarung dalam
keadaan tubuh terbalik, Ketua. Kepalanya di bawah dan kedua kakinya di
atas," jelas lelaki berbibir tebal.
"Hhh...!" jerit
keterkejutan keluar dari mulut Raja Monyet Tangan Delapan.
Raut wajah tokoh mirip gorila
itu memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Begitu pula Naga Berekor
Sembilan dan beberapa orang yang berada di pintu gerbang itu.
Tentu saja hal itu membuat
semua anak buahnya merasa heran. Tapi, mereka berpura-pura tidak tahu dan
menundukkan kepala.
"Lalu..., mengapa pemuda
berpakaian biru itu membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau? Apa urusannya
dengan Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan
lagi setelah berhasil menguasai perasaannya.
"Kami tidak tahu, Ketua.
Tapi menurut dugaan kami, yang mempunyai urusan dengan
pemuda berpakaian biru itu
hanya Penjagal Nyawa. Karena dialah nampaknya yang menjadi tujuan pelampiasan
dendam. Pada tubuh Penjagal Nyawa kami lihat bekas-bekas siksaan, sedangkan
pada Setan Pisau tidak ada sama sekali," lanjut lelaki berbibir tebal
menjelaskan apa yang telah dilihatnya.
Raja Monyet Tangan Delapan
mengangguk-anggukan kepala, sambil memukul- mukulkan kepalan tangan kanan ke
telapak tangan kirinya.
"Kalau begitu, kembali ke
tempatmu semula! Kau juga, Naga!" perintah tokoh mirip
gorila itu seraya melangkah
menuju ke dalam.
Hal yang sama pun dilakukan
Naga Berekor Sembilan, lelaki berbibir tebal, dan lelaki berkumis jarang.
Mereka mengayunkan langkah kembali ke tempat semula.
Sementara itu, sambil terus
menindakkan kaki, benak Raja Monyet Tangan Delapan
berputar keras. Kabar yang
dibawa dua orang anak buahnya benar-benar telah menyebabkan benaknya dipenuhi
banyak pertanyaan yang tak terjawab.
Berbagai macam pertanyaan
memenuhi benak tokoh yang mirip kera besar itu. Siapa sebenarnya pemuda
berpakaian biru itu? Mengapa begitu dendam terhadap Penjagal Nyawa? Lalu, dari
mana didapatkan ilmu aneh itu. Raja Monyet Tangan Delapan tahu pasti nama ilmu
itu dan siapa pemiliknya.
Tanpa sadar, terbayang kembali
di benaknya kejadian puluhan tahun silam saat dirinya masih berusia tiga belas
tahun. Bersama dua orang kawannya berperahu ke
laut untuk mencari ikan. Malang, badai datang. Maka perahu mereka pun
diombang-ambingkan gelombang dan akhirnya hancur berantakan.
Untung Raja Monyet Tangan
Delapan dan seorang kawannya yang bernama Songka Lawung berhasil menangkap
pecahan perahu. Raja Monyet Tangan Delapan dan Songka Lawung akhirnya dapat
selamat. Berhari-hari lamanya mereka berdua dipermainkan gelombang sebelum
akhirnya terhempas ke sebuah pulau.
Nasib baik menyertai mereka
berdua. Mereka bertemu dengan seorang kakek yang sudah amat tua. Keadaannya
sudah lebih mendekati tengkorak daripada manusia. Meskipun demikian, kakek itu
memiliki kepandaian amat tinggi. Dan Raja Monyet Tangan Delapan serta Songka
Lawung akhirnya menjadi muridnya. Mereka berdua berlarih dengan giat ilmu-ilmu
dari kakek itu.
Mula-mula mereka mengalami
kemajuan berbarengan. Tapi lama-kelamaan, bakat Songka Lawung terhadap ilmu
silat mulai terlihat. Dirinya mampu maju secara cepat dalam ilmu-ilmu yang
dipelajarinya. Sehingga, Raja Monyet Tangan Delapan tertinggal. Semakin lama
perbedaan tingkat mereka semakin jauh. Hal ini menimbulkan perasaan iri hati
Raja Monyet Tangan Delapan. Apalagi, ketika akhirnya Songka Lawung menerima
ilmu 'Pembalik Jagad', dan Raja Monyet Tangan Delapan hanya mendapatkan ilmu
'Tangan Seribu". Rasa iri di hatinya berubah menjadi kebencian. Raja
Monyet Tangan Delapan pun mengambil keputusan singkat, Songka
Lawung harus dilenyapkan.
Dan peluang bagi Raja Monyet
Tangan Delapan untuk melaksanakan niat jahatnya
semakin terbuka, ketika guru
mereka akhirnya pergi meninggalkan mereka. Sang Guru hanya meninggalkan pesan
yang mengatakan bahwa mereka berdua telah menamatkan semua ilmu darinya.
Dengan sebuah siasat licik,
Raja Monyet Tangan Delapan berhasil menjebak Songka
Lawung di sebuah sumur yang
amat dalam. Kemudian dari atas, Raja. Monyet Tangan Delapan mengguyurkan cairan
besi yang panas membara.
Setelah kejadian itu, hari
Raja Monyet Tangan Delapan pun puas. Karena dirinya yakin betul Songka Lawung
telah tewas.
Itulah sebabnya kini Raja
Monyet Tangan Delapan terkejut bukan kepalang, ketika mengetahui ada seorang
pemuda yang memiliki ilmu 'Pembalik Jagat' itu. Mungkinkah pemuda berpakaian
biru itu mempunyai hubungan dengan Songka Lawung? Apakah saudara seperguruannya
itu masih hidup? Kalau benar demikian, berarti bahaya besar tengah
mengancamnya. Mulai sekarang, kewaspadaannya harus ditingkatkan. Demikian Raja
Monyet Tangan Delapan memutuskan. Nampaknya pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi
hati dan benaknya sedikit mulai terjawab, ingatannya terhadap masa lalunya
membuka jalan bagi jawaban atas semua pertanyaan tadi. 7
Perlahan-lahan matahari terus
merangkak, dan kini telah berada tepat di atas kepala. Cahaya terik menerpa
seluruh permukaan bumi. Di bawah teriknya cahaya matahari siang itu, nampak dari kejauhan
melesat cepat sesosok bayangan biru. Gerakan melesat sosok bayangan biru itu
menuju tempat kediaman Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu, dua orang
penjaga pintu gerbang rumah Raja Monyet Tangan Delapan mengawasi dari kejauhan
gerakan cepat bayangan kebiruan yang menuju tempatnya.
"Kau lihat?!" tanya
penjaga yang bermata juling pada kawannya, menunjuk ke bayangan biru itu.
"Ya, aku
melihatnya," jawab penjaga yang satunya lagi. "Apakah dia yang
membunuh Penjagal Nyawa dan Setan Pisau?"
"Mungkin orang itu!"
sahut penjaga yang bermata juling. "Bukankah dia mengenakan pakaian
biru?!"
"Kalau begitu, cepat
beritahukan Naga Berekor Sembilan! Biar, aku yang
mengawasinya!" usul kawan
si mata juling. "Baik!"
Tanpa membuang waktu, penjaga
yang bermata juling itu segera melesat ke dalam. Sementara kawannya terus
mengawasi sosok bayangan biru yang ternyata jelas-jelas menuju tempat mereka.
Gerakan sosok bayangan biru
itu ternyata sangat cepat. Dalam waktu sebentar saja, kawan si mata jubng mampu
melihat dengan jelas ciri-cirinya. Karena sosok bayangan biru kini telah berada hanya dalam jarak
belasan tombak.
Dan, ternyata sosok bayangan biru
itu memang benar seorang pemuda
berpakaian biru. Karuan saja hati penjaga pintu gerbang itu menjadi
gentar dan melangkah mundur.
"Hup!"
Pemuda berpakaian biru itu
mendaratkan kaki berjarak tiga tombak dari tempat penjaga pintu gerbang
berdiri. Kemudian dengan sepasang matanya yang tajam dirayapinya sekujur tubuh
penjaga pintu gerbang itu.
Karuan saja, tindakan pemuda
berpakaian biru itu membuat nyali penjaga pintu gerbang itu semakin menciut.
Kalau Penjagal Nyawa dan Setan Pisau saja bisa dibinasakan, apalagi dirinya
yang memiliki kepandaian tidak seberapa jika dibanding dengan Penjagal Nyawa.
"Kau...! Ya..., aku
ingat! Kau salah satu di antara mereka. Kau pun akan merasakan
pembalasanku!" desis
Mahendra penuh dendam.
Ucapan Mahendra semakin menciutkan
nyali penjaga itu. Dirasakan adanya ancaman dari ucapan yang terdengar penuh
getaran itu. Penjaga itu jadi teringat akan cerita-cerita yang didengarnya
tentang Mahendra. Pemuda berpakaian biru ini berwatak sadis, yang akan menyiksa
lawannya sampai mati.
Penjaga itu melangkah mundur.
Namun, langkahnya segera terhenti. Dan
nyalinya yang telah kuncup pun kembali mekar, ketika Naga Berekor Sembilan dan
belasan kawannya telah berada di dekatnya.
Naga Berekor Sembilan langsung
maju ke depan.
"Kaukah orang yang telah
membunuh Penjagal Nyawa?!" tanya Naga Berekor Sembilan menuduh, sambil
menudingkan jari telunjuknya.
"Hmh...!" Mahendra
mendengus penuh ejekan. "Bukan hanya Penjagal Nyawa yang
kubunuh! Kau dan semua orang
yang berada di tempat ini akan bernasib yang sama dengannya!"
"Keparat! Kau akan
menerima balasan atas tindakan keji yang kau lakukan terhadap Penjagal Nyawa!
Serbu..,!" seru Naga Berekor Sembilan keras sambil mengibaskan tangannya.
Mendengar perintah itu belasan
anak buah Raja Monyet Tangan Delapan bergerak menerjang Mahendra.
Senjata-senjata yang terdiri dari berbagai macam jenis meluncur ke berbagai
bagian tubuh Mahendra. Sing! Sing! Wuk!
Mahendra masih bersikap
tenang. Dibiarkan hingga semua serangan itu meluncur dekat. Baru ketika ujung
senjata-senjata itu mengenainya, dirinya pun bertindak. Laksana bayangan,
tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata-senjata lawan. Kemudian tangan
dan kakinya bergerak.
Setiap kali tangan atau kaki
Mahendra bergerak, pasti ada sosok tubuh yang terpental keluar dari kancah
pertarungan diiringi jeritan kesakitan.
Karuan saja hal itu membuat
Naga Berekor Sembilan yang menjadi pimpinan penyerang semakin kalap. Golok
besar di tangannya semakin merajalela mencari sasaran di tubuh Mahendra. Hal
yang sama pun dilakukan belasan kawan-kawannya.
Maka pertarungan sengit pun
tak terelakkan. Pertarungan antara belasan anak buah
Raja Monyet Tangan Delapan
yang menggunakan aneka ragam senjata dengan Mahendra yang bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan
senjata, sepak-terjang Mahendra benar-benar menggiriskan. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit untuk
mengelakkan setiap serangan. Sebaliknya, setiap kali tangan atau kakinya
bergerak, sudah dapat dipasrikan akan ada tubuh-tubuh yang terpental dan tak
mampu bangkit lagi. Meskipun mereka tidak tewas seketika.
Tak sampai dua puluh jurus,
lebih dari setengah jumlah anak buah Raja Monyet
Tangan Delapan yang
bergeletakan di tanah dalam keadaan tak berdaya. Meskipun demikian, mereka
tetap melakukan perlawanan sengit
Patut dipuji semangat anak
buah Raja Monyet Tangan Delapan. Padahal, mereka tahu kalau tindakan yang
dilakukan tak ubahnya kelompok semut menerjang api. Mereka semuanya roboh
terkulai tak berdaya. Jika tak ada perubahan, mereka akan roboh semua di tangan
Mahendra.
Ketika pertarungan berjalan
semakin tak seimbang, karena tubuh-tubuh pengeroyok telah bergelimpangan,
tiba-tiba nampak sesosok bayangan jingga.
"Mundur semua,
Cecunguk-Cecunguk Tak Berguna! Biar aku yang menghadapinya!"
Sebuah bentakan keras dan
melengking nyaring keluar dari mulut sosok bayangan jingga itu. Sisa-sisa anak
buah Raja Monyet Tangan Delapan melompat mundur, mematuhi perintah itu. Mereka
semua kenal betul suara itu. Siapa lagi kalau bukan Winarti? Putri Raja Monyet
Tangan Delapan yang mempunyai sifat manja itu, namun terkadang mampu juga
bertindak kejam.
Melihat lawan-lawannya
melompat mundur, Mahendra pun menghentikan serangan.
Tubuhnya berdiri di tempat dan
siap menghadapi segala kemungkinan. "Hup!"
Di hadapan Mahendra telah
berdiri seorang gadis berpakaian jingga. Gadis cantik itu tidak lain Winarti
putri dari Raja Monyet Tangan Delapan.
"Siapa kau, Keparat!
Mengapa mengacau tempat kediamanku?!" bentak Winarti keras. "Namaku
Mahendra. Dan kedatanganku kemari untuk membalas dendam atas
tindakan semua orang yang
berada di tempat ini terhadap orangtua dan kakak-kakak seperguruanku sepuluh
tahun yang lalu. Menyingkirlah kau, Nisanak! Kau tidak termasuk di antara
mereka!" jawab Mahendra panjang lebar.
"Apa kau bilang? Kau
suruh aku menyingkir? Kau kira aku tidak tersangkut dalam masalah ini?! Kau
tahu, siapa pemilik rumah ini? Kau tahu siapa orang orang yang hendak kau bunuh
itu?!" sahut Winarti.
"Siapa pun dirimu aku
tidak tahu, Nisanak! Yang jelas, aku tahu siapa pemilik bangunan ini. Raja
Monyet Tangan Delapan, bukan? Menyingkirlah, Nisanak! Aku telah bersumpah untuk
membalas sakit hati orangtua dan kakak-kakak seperguruanku. Siapa pun yang
menghalangi akan kuterjang!" tandas Mahendra.
"Kalau begitu, terjanglah
aku, Manusia Sombong! Akulah orang yang akan menjadi perintang pertama atas
sumpahmu itu!" tegas Winarti tak kalah mantap.
"Kalau itu keinginanmu
apa boleh buat! Berhati-hatilah, Nisanak! Hiyaaat..!" Dengan sebuah
teriakan keras menggelegar, Mahendra memulai penyerangan. Pemuda berpakaian
biru itu membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar lawannya.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi
serangan yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Winarti
pun mengetahuinya. Itulah sebabnya gadis itu tak mau bertindak gegabah. Segera
didoyongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di sisi kiri
tubuhnya. Lalu secepat kilat dikirimkan bacokan tangan kanan ke lutut kanan
Mahendra.
Mahendra yang tetap bersikap
tenang telah menduga serangan balasan itu. Sehingga ketika serangan itu
dilakukan dirinya siap untuk menangkalnya. Dan itu memang benar! Sebelum sisi
tangan Winarti mengenai sasaran, telah lebih dulu Mahendra menarik kakinya.
Wusss!
Bacokan sisi tangan miring
Winarti hanya membabat tempat kosong. Namun, Winarti pun sudah menduga akan
terjadi hal seperti itu. Maka sambil melangkahkan kaki kanan ke depan, dengan
cepat tinju tangan kirinya diluncurkan ke ulu hati Mahendra.
"Heits!"
Mahendra agak terkejut
menerima serangan susulan ini. Karena pikirannya tak menduga demikian cepat
tindakan Winarti. Ternyata gadis berpakaian jingga itu memiliki kepandaian yang
perlu diperhitungkan. Mahendra dengan cepat menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga serangan pun luput
Karena menyadari keadaan kalau
Winarti bukan lawan yang bisa dianggap ringan, Mahendra mulai melancarkan
serangan balasan. Sesaat kemudian pertarungan sengit antara mereka pun terjadi.
Baik Mahendra maupun Winarti telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang
dimiliki.
Pertarungan antara sepasang
muda-mudi yang sama-sama berwajah rupawan itu berlangsung cepat. Pada
jurus-jurus awal keduanya nampak berimbang. Baik Winarti maupun Mahendra
sama-sama bertarung dengan gerakan cepat sekali. Sehingga pertarungan makin
seru dan ramai. Bunyi angin menderu dan mencicit menyemarakkan suasana ditambah
pekikan dan teriakan setiap kali serangan dilancarkan.
Pada jurus-jurus awal itu
nampak keduanya saling berhati-hati, masing-masing tidak
berani bertindak sembrono
karena belum mengenal ilmu lawan. Tapi ketika pertarungan menginjak pada jurus
kesepuluh, baik Mahendra maupun Winarti mulai unjuk gigi.
***
Naga Berekor Sembilan dan
kawan-kawannya masih berdiri tegak, terus mengawasi jalannya pertarungan yang
cukup menarik dan seru itu. Meskipun mereka tidak dapat melihat jelas jalannya
pertarungan. Tapi, karena Mahendra dan Winarti mengenakan pakaian yang menyolok
perbedaannya, mereka tidak kesulitan untuk membedakan antara kedua orang itu.
Ketika pertarungan telah
mencapai jurus ketiga puluh mulai tampak adanya perubahan. Perlahan-lahan
Mahendra dapat menekan Winarti.
Dan saat itulah Raja Monyet
Tangan Delapan muncul. Tokoh yang mirip kera besar itu
tidak langsung menceburkan
diri dalam kancah pertarungan. Tubuhnya yang besar berdiri dekat anak buahnya,
turut menyaksikan jalannya pertarungan. Raja Monyet Tangan Delapan ingin
membuktikan apakah benar pemuda berpakaian biru itu murid Songka Lawung. Itulah
sebabnya dibiarkan saja Mahendra terus mendesak putrinya.
Tak perlu waktu lama bagi
tokoh yang mirip kera besar ini untuk
memastikan dugaannya. Pengamatan itu membuatnya terkejut. Betapa tidak?
Terlihat jelas, betapa ilmu yang digunakan Mahendra dan Winarti berasal dari satu
cabang.
Memang terdapat kelainan pada
beberapa jurus. Namun, itu terjadi mungkin karena pengembangan dari dirinya dan
Songka Lawung Atau mungkin juga karena bakat yang berada pada Winarti dan
Mahendra berbeda. Yang jelas, secara kasar bisa ditarik kesimpulan kalau
Mahendra dan Winarti memiliki ilmu dari sumber yang sama. Jadi benar Mahendra
murid Songka Lawung. Dan ini berarti Songka Lawung tidak tewas. Begitulah
pikiran Raja Monyet Tangan Delapan setelah menyaksikan sendiri pertarungan
pemuda berpakaian biru itu.
Sementara itu, keadaan Winarti semakin
mengkhawatirkan, semakin terdesak. Hal itu rupanya membuat gadis berpakaian
jingga itu penasaran. Kenyataannya, ketika mendapatkan sedikit kesempatan
dengan cepat tubuhnya melenting ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Lalu....
Jliggg!
Manis sekali gerakan yang
dilakukan Winarti. Dan itu dapat dilakukannya tanpa hambatan sama sekali.
Padahal, Winarti menduga Mahendra pasti akan memburu agar
dirinya tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya.
Ternyata pemuda berpakaian biru itu sama sekali tak melakukannya. Pemuda
berpakaian biru malah berdiam diri di tempatnya. Mahendra bermaksud menunggu
tindakan selanjutnya yang dilakukan lawan. Mahendra tahu, gadis itu menjauhkan
diri darinya pasti untuk mempergunakan ilmu lainnya.
Dugaan Mahendra memang tidak
meleset. Winarti memang hendak menggunakan ilmu andalan. Gadis berpakaian
jingga nampak memejamkan mata. Kedua tangannya dipalangkan di depan dada,
dengan kedudukan yang kanan berada di atas yang kiri. Kedua tangan yang
berselisih jarak sekitar seperempat jengkal itu, menegang kaku, penuh dengan
kekuatan tenaga dalam.
"Hih!"
Diiringi suara bentakan,
tiba-tiba Winarti menarik kedua tangannya dengan begitu cepat ke sisi pinggang.
Kemudian diputar-putarkannya di depan dada. Tangan Winarti pun telah berubah
menjadi banyak, saling berputaran di
depan dadanya. Belasan, bahkan mungkin
puluhan jumlahnya. Hal itu terjadi karena saking cepatnya pergerakan tangan
Winarti. Inilah ilmu 'Tangan Seribu' andalan Raja Monyet Tangan Delapan!
"Hiaaat..!"
Dengan teriakan menggelegar
dan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Winarti
menerjang Mahendra. Tangannya yang kini seperti berjumlah banyak itu meluncur
deras ke tubuh Mahendra. Sukar untuk diketahui sasaran yang tengah dituju
karena banyaknya jumlah tangan yang terus berputar-putar.
Namun Mahendra tidak mudah
tertipu. Pikirannya tahu kalau tangan Winarti tetap berjumlah dua. Kecepatan
gerakan tangannya itulah yang menyebabkan jumlah tangannya seperti banyak.
Segera dipusatkan perhatian pada sepasang matanya untuk mengetahui mana tangan
yang aslinya.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi
segera dipapaknya serangan Winarti yang meluncur deras ke tubuhnya.
Plakkk! Plakkk! Bukkk !
"Akh !"
Suara keluhan tertahan keluar
dari mulut Mahendra. Bahu kanannya terhajar. Memang, berturut-turut dirinya
berhasil menangkis serangan yang mengancam. Tapi serangan lanjutan yang datang
begitu cepat, tidak mampu ditangkisnya. Dalam penggunaan ilmu 'Tangan Seribu',
kecepatan gerak tangan Winarti jadi berlipat ganda. Sehingga serangan pertama
dan kedua dapat ditangkis serangan lainnya telah kembali meluncur dengan
kecepatan tinggi.
Melihat keberhasilan serangan
perdananya, maka semangat Winarti membesar. Kembali dilancarkan serangan
susulan ketika Mahendra tengah terhuyung-huyung karena sakit dibahunya.
Tapi bagi Mahendra, tidak
terlalu sulit mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terhuyung.
Hanya dengan sebuah gerakan sederhana, tubuhnya telah berhasil mengatasi
keadaannya. Dan saat itulah serangan lanjutan Winarti kembali meluncur.
Wuttt!
Kali ini Mahendra tidak berani
bertindak gegabah lagi. Pengalaman pertama telah memberinya pelajaran. Masih
untung hanya bahunya yang terhajar. Kalau pelipis atau ulu hati? Akibatnya
tentu akan lebih parah bagi dirinya.
Itulah sebabnya Mahendra tidak
menangkis serangan itu. Yang dilakukannya kini
melempar tubuh ke samping dan
bergulingan menjauh. Lalu....
"Hih!" Dug!
Secepat kilat Mahendra merubah
keadaan tubuhnya yang barusan masih bergulingan. Sekarang Mahendra telah siap
dengan ilmu 'Pembalik Jagat' andalannya. Kini yang bersentuhan dengan tanah
bukan kakinya melainkan kepalanya. Sekarang sepasang kakinya menjulang tinggi
ke atas.
"Hey...!"
"Akh...!"
"Hah...!"
Tanggapan-tanggapan yang penuh
keterkejutan keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tidak hanya
Winarti dan belasan tokoh golongan hitam yang merasa kaget melihat keanehan
ilmu Mahendra. Raja Monyet Tangan Delapan pun demikian pula. Namun tokoh yang
mirip kera besar ini mampu menyembunyikan rasa kagetnya sehingga yang keluar
dari mulutnya hanya dengusan pendek.
Padahal kalau diperbandingkan,
rasa kaget yang dialami Raja Monyet Tangan Delapan malah jauh lebih besar.
Karena kini sudah tidak diragukan, Mahendra ternyata murid dari Songka Lawung.
Ilmu 'Pembalik Jagat' yang dimiliki menjadi bukti kuat yang tidak bisa
dibantahnya lagi. Ini berarti Mahendra mempunyai bakat besar terhadap ilmu
silat. Hanya orang-orang berbakat besar yang bisa menguasai ilmu itu. Ini
berarti, Mahendra merupakan orang yang amat berbahaya. Pemuda ini harus
dilenyapkan secepat mungkin.
Begitulah yang terus
berkecamuk di dalam kepala Raja Monyet Tangan Delapan.
Tapi sebelum itu, Raja Monyet
Tangan Delapan ingin menyaksikan lebih dulu ilmu 'Pembalik Jagat' yang dimiliki
Mahendra. Benarkah pemuda berpakaian biru itu telah berhasil menguasainya?
Ataukah hanya kulit-kulitnya saja?! Keinginan itu membuat tokoh yang mirip kera
besar memutuskan untuk membiarkan Winarti terus melakukan pertarungan dengan
Mahendra.
Raja Monyet Tangan Delapan
tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikan
jalannya pertarungan yang
diharapkan itu. Sebentar kemudian Winarti yang terkejut melihat keanehan ilmu
yang dihadapinya kini gadis berpakaian jingga itu telah sadar kembali.
Begitu kesadaran itu timbul,
Winarti kembali menerjang Mahendra. Kedua tangannya yang terlihat berjumlah
banyak itu meluncur ke berbagai bagian tubuh Mahendra.
Dengan keadaan tubuh Mahendra
yang terbalik seperti itu Winarti pun
segera merubah arah sasaran. Serangan kedua tangan Winarti kini lebih
banyak tertuju pada sepasang kaki yang terlihat kokoh kuat itu. Sasaran lainnya
yang dapat dituju hanya perut atau pusar. Tak mungkin Winarti menyerang dada
atau leher, apalagi kepala! Keadaan tubuh Mahendra benar-benar mempersulit
gerakan Winarti.
Mahendra sebaliknya justru
mendapat keuntungan. Di samping dirinya sulit dijadikan sasaran serangan,
bidang sasaran untuknya terbuka banyak. Bahkan sebagian besar merupakan bagian
sasaran yang tidak terlindung.
Dan keadaan menguntungkan itu
dirasakan benar-benar ketika Winarti melancarkan serangan terhadapnya. Serangan
yang semula ditujukan ke kepala dan leher itu, terpaksa berubah menuju perut
dan selangkangannya atau kaki.
Mahendra tidak berani
bertindak gegabah. Buru-buru dipapak serangan itu dengan
kedua tangannya. Pada saat
yang bersamaan, laksana sebuah pohon tumbang, kedua kakinya meluncur ke
ubun-ubun dan pelipis Winarti. Dua jalan darah kematian.
Wuttt..! Bletakkk..!
"Aikh...!"
Winarti menjerit kaget. Di
samping karena tangkisan tangan Mahendra membuat tubuhnya terhuyung dan
tangannya merasa sakit, serangan kedua kaki pemuda berpakaian biru itu
benar-benar membuatnya gugup.
Namun, Winarti masih sanggup
membuktikan bahwa dirinya bukan orang yang gampang dipecundangi. Dalam keadaan
gawat itu Winarti masih mampu menyelamatkan diri. Dilemparkan tubuhnya ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara sebelum akhirnya mendarat
mantap di tanah.
Sit! Sit! Tangan gadis berpakaian
jingga ini kini menggenggam sepasang sumpit putih. Mahendra seolah-olah tak
mempedulikan. Dengan tangan kosong dan keadaan tubuh terbalik terus
menghadapinya. Diiringi suara dag- dug dag- dug kepalanya yang berbenturan
dengan tanah, pemuda itu mendekati Winarti. Sesaat kemudian pertarungan pun
kembali berlangsung.
Tapi jalannya pertarungan kali
ini berbeda jauh dengan sebelumnya. Sekarang, semakin tampak jelas
ketidakberdayaan Winarti. Padahal, gadis cantik itu telah menggunakan senjata
andalannya yang digabung dengan penggunaan ilmu 'Tangan Seribu'. Ditambah lagi
dengan lontaran-lontaran senjata rahasianya yang berupa bunga. Sedangkan
Mahendra hanya bertangan kosong. Namun dengan ilmu pembalik jagatnya Mahendra
terus berhasil mendesak Winarti.
Sejak awal jurus, Winarti
terus dihimpit dan didesak. Sehingga ambruknya
tubuh gadis berpakaian jingga ini tinggal menunggu waktu saja. Karena
begitu menginjak jurus ke tujuh, serangan-serangan yang dilancarkan terus
mengendor. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak dan terus bergerak mundur.
Keadaan kritis gadis
berpakaian jingga ini diketahui Raja Monyet Tangan Delapan. Sedangkan Naga
Berekor Sembilan dan kawannya tidak. Namun, mereka dapat menduganya, melihat
dari terus-menerusnya sosok bayangan jingga bermain mundur, sedangkan sosok
bayangan biru mengejarnya. Pertarungan semakin berjalan tak seimbang.
Ketika pertarungan menginjak
jurus ke tujuh belas, Raja Monyet Tangan Delapan tidak bisa tinggal diam lagi.
Dia tidak ingin Winarti keburu celaka!
"Menyingkir, Winarti!
Hiyaaat..!" 8
Sambil mengeluarkan bentakan
menggelegar, Raja Monyet Tangan Delapan terjun ke kancah pertarungan. Tokoh
yang mirip kera besar ini langsung melancarkan serangan. Tak tanggung-tanggung
lagi, serangan yang dilancarkannya. Dia mengirimkan sebuah tendangan terbang.
Tetapi karena sikap lawan yang tidak semestinya, Raja Monyet Tangan Delapan
sedikit merubah tendangan terbangnya. Tendangan itu dilakukan tidak dengan
lompatan yang tinggi.
Wuttt!
Winarti menyadari kalau
dirinya bukan tandingan Mahendra. Ilmu lawan
yang aneh itu benar-benar
membuatnya bingung dan hilang akal. Oleh karena itu ketika melihat ayahnya
telah menyerbu Mahendra, dirinya langsung melesat keluar dari kancah
pertarungan.
Mahendra sama sekali tidak
mengejar Winarti. Karena saat itu, serangan Raja Monyet Tangan Delapan tengah
meluncur ke punggungnya. Disadari betapa dahsyatnya serangan tokoh yang mirip
kera besar itu. Kalau dirinya bertindak kurang cepat, bukan mustahil nyawanya
akan melayang saat itu juga.
"Hih!" Dug!
Mahendra dengan cepat sekali
membalikkan tubuh sehingga berhadapan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Lalu
tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya tendangan terbang tokoh yang mirip kera besar
dengan kakinya pula. Akibatnya....
Dukkk!
Benturan keras antara dua
batang kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Bunyi keras
seperti halilintar menyambar membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar
hebat
Akibat yang lebih hebat
menimpa kedua tokoh itu. Karena Mahendra berada di pihak
yang bertahan, tubuhnya
merasakan getaran hebat dari benturan itu. Tetapi yang jelas kedua tubuh nampak
sama-sama terpental ke belakang.
Duggg!
Pada saat yang bersamaan
dengan mendaratnya Raja Monyet Tangan Delapan di tanah, Mahendra berdiri dengan kepalanya.
Untuk beberapa saat lamanya
pertarungan terhenti. Kedua belah pihak saling tatap. Agak aneh, karena Raja
Monyet Tangan Delapan harus agak menundukkan kepala untuk melakukan hal itu.
"Siapa kau sebenarnya,
Pemuda Sombong! Dan mengapa kau sepertinya memusuhi kami?" tanya Raja
Monyet Tangan Delapan ingin tahu.
Pertanyaan ini membuktikan
kalau Raja Monyet Tangan Delapan seorang yang cerdik.
Dirinya menyadari kalau
Mahendra memiliki kepandaian tinggi. Bahkan mungkin tidak kalah dengannya.
Apabila terjadi pertarungan, dan di antara mereka ada yang tewas, lainnya pasti
terluka parah! Dan, tokoh yang mirip kera besar ini tidak ingin mempertaruhkan
risiko yang demikian besar tanpa lebih dulu mengetahui secara jelas masalah
yang tengah mereka perselisihkan.
"Dengar baik-baik, Iblis
Keparat!" seru Mahendra keras. Suaranya terdengar aneh, akibat sikap
berdi-rinya yang tidak semestinya. "Ingatkah kau akan Malaikat Ruyung yang
keluarga dan perguruannya telah kau musnahkan?"
"Ooo...!" mulut Raja
Monyet Tangan Delapan langsung membulat.
Kepalanya pun terangguk-angguk. "Aku mengerti sekarang! Jadi..., kau putra
Malaikat Ruyung, hehhh?! Dan kau ingin membalas dendam kematian seluruh
keluarga dan Perguruan Ruyung Baja milik ayahmu itu?"
"Tidak salah!" tandas
Mahendra keras. "Dan sekaranglah saatnya hutang nyawa itu harus kau tebus,
hih!"
Dug! Dug! Dengan mengandalkan
kepala, Mahendra melompat-lompat menghampiri Raja Monyet Tangan Delapan. Dan
ketika jaraknya dekat, kedua kakinya melayang ke tubuh tokoh mirip kera besar
itu.
Wut! Wut!
Raja Monyet Tangan Delapan
nampaknya telah siap menghadapi serangan seperti itu. Sehingga, tidak sedikit
pun rasa gugup menghadapi serangan itu. Buru-buru dipapaknya dengan kedua
tangannya. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya diayunkan ke arah ulu hah
Mahendra.
Plak! Plak! Dukkk!
Tiga benturan keras terdengar
berturut-turut ketika tangan dan kaki itu berbenturan
berkali-kali. Tubuh Raja
Monyet Tangan Delapan tergetar, sedangkan sikap tubuh Mahendra bergoyang-goyang
hampir ambruk. Gerakan melompat menggunakan kepala itu berhasil memperbaiki
kedudukannya yang tak menguntungkan itu. Dari benturan yang terjadi tadi jelas
kalau tenaga dalam Mahendra belum bisa menyamai tenaga dalam Raja Monyet Tangan
Delapan.
Sebagai seorang datuk kaum
sesat yang mempunyai banyak pengalaman, Raja Monyet Tangan Delapan mengetahui
keunggulannya. Dan dia pun tahu kalau saat itu lawannya tengah berada dalam
kedudukan yang tidak menguntungkan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera
dilancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat
dalam pertarungan sengit
Raja Monyet Tangan Delapan
menyadari kalau Mahendra memiliki kepandaian tinggi dan ilmu 'Pembalik Jagat'
yang aneh. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkan ilmu 'Tangan
Seribu'nya. Akhirnya pertarungan antara dua tokoh yang berbeda usia, namun
memiliki ilmu ilmu yang sealiran itu berlangsung semakin seru.
Unik dan terlihat menggelikan
pertarungan yang tengah berlangsung. Namun semua orang yang menyaksikan
jalannya pertarungan itu tahu kalau setiap gerakan Mahendra maupun Raja Monyet
Tangan Delapan mampu mengirim nyawa masing-masing ke alam baka. Mereka pun
menyaksikannya dengan perasaan tegang.
Kali ini jalannya pertarungan
tidak seperti ketika Mahendra menghadapi Winarti. Raja
Monyet Tangan Delapan seorang
datuk kaum hitam dan telah memiliki pengalaman
bertempur tak terhitung, sehingga sedikit banyak bisa menerapkan taktik
yang baik untuk menghadapi ilmu aneh Mahendra.
Apalagi, dulu pernah
menyaksikan Songka Lawung mempertunjukkannya. Bahkan
mereka sering berlatih
menggunakan ilmu masing-masing. Sehingga ilmu 'Pembalik Jagat' tidak terlalu
membingungkan Raja Monyet Tangan Delapan.
Pertarungan antara kedua tokoh
sakti itu semakin dahsyat. Jangankan terkena secara telak, terkena angin
serangan mereka pun cukup untuk menghabisi nyawa mereka.
Jurus demi jurus berlangsung
begitu cepat karena baik Mahendra maupun
Raja Monyet Tangan Delapan memang memiliki gerakan yang sama-sama cepat.
Saking cepatnya, jangankan Naga Berekor Sembilan dan yang lain-lainnya, mata
Winarti sendiri tak dapat melihat dengan jelas pertarungan yang tengah
berlangsung.
Tak terasa pertarungan telah
menginjak jurus ke tujuh puluh. Dan selama itu belum terlihat adanya pihak yang
akan menang, pertarungan masih berlangsung seimbang.
Hal ini membuat Raja Monyet
Tangan Delapan semakin penasaran. Disadari jika taktik
pertarungan tidak diubah,
keadaan yang berlangsung akan tetap seperti ini. Maka, tokoh yang mirip kera
besar ini mempersiapkan siasat untuk secepat mungkin bisa mengakhiri
pertarungan.
Dan siasat itu dilaksanakannya
pada jurus kesembilan puluh tiga. Sambil melompat
ke belakang untuk mengelakkan
serangan, Raja Monyet Tangan Delapan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
Kemudian dilemparkannya ke tubuh Mahendra.
Karuan saja Mahendra yang sama
sekali tidak menyangka akan terjadinya peristiwa itu kaget bercampur gugup. Buru-buru tubuhnya
mengelak dengan melompat ke belakang. Dan....
Glaaarrr...! Benda yang
dilemparkan Raja Monyet Tangan Delapan meledak menghantam tanah.
Disusul dengan munculnya asap
kehijauan.
"Racun" desis
Mahendra kaget ketika sempat mengisap asap itu yang membuat kepalanya langsung
pening. Dengan cepat tubuhnya melenting beberapa kali ke belakang untuk
menjauhi.
Dug! Dug! Dug!
Tapi tindakan Mahendra sudah
diperhitungkan Raja Monyet Tangan Delapan. Maka tokoh mirip kera itu pun
menggerak-gerakkan kedua tangannya. Seketika itu pula dari kedua tangan yang
digerak-gerakkan berhembus angin keras yang membuat asap asap beracun itu terus
mengejar Mahendra.
Kontan Mahendra kelabakan
ketika asap asap beracun itu menyelubungjnya. Dan tak
dapat dicegahnya lagi,
Mahendra mengisap asap itu. Akibatnya, rasa pusing yang menderanya pun semakin
menjadi-jadi. Dirasakan kepalanya menjadi berat dan pandangannya
berkunang-kunang. Sesaat kemudian semua yang terlihat Mahendra menjadi gelap.
Dan....
Brukkk!
Tubuh Mahendra ambruk di
tanah. Pemuda berpakaian biru yang sakti dan memiliki ilmu menggiriskan itu
roboh pingsan.
"Ha ha ha !"
Raja Monyet Tangan Delapan
tertawa bergelak melihat lawan tangguhnya roboh tak berdaya. Sesaat kemudian
sekitar tempat itu pun dipenuhi gelak tawa dari mulut seluruh anak buah Raja
Monyet Tangan Delapan. Tawa kemenangan yang sarat kegembiraan dan kebanggaan.
***
"Uuuh...!"
Mahendra mengeluarkan keluhan
panjang. Kepalanya dirasakan masih berat bukan kepalang, sehingga dirinya belum
mau membuka matanya. Dan dalam keadaan
sepasang mata terpejam, dicobanya untuk menggerakkan tubuhnya. Ternyata
tidak mampu.
Tentu saja hal itu menyebabkan
Mahendra merasa penasaran. Dicobanya lagi sebelum
akhirnya menyadari kalau
dirinya terbelenggu "Ha ha ha...!"
Suara tawa keras bergelak yang
penuh dengan nada ejekan membuat Mahendra mulai teringat akan kejadian yang
dialaminya. Dibukanya mata. Tampak di hadapannya Raja Monyet Tangan Delapan, Winarti, dan
belasan tokoh golongan hitam.
"Merontalah, Kunyuk
Kecil! Ingin kulihat, mampukah kau membebaskan diri?!" ejek Raja Monyet
Tangan Delapan lagi.
"Cuhhh!"
Mahendra meludah ke samping.
Lalu usahanya untuk meronta-ronta dihentikan. Disadari kalau sekarang tubuhnya
telah terbelenggu pada sebuah tonggak besi. Kedua tangan dan kakinya diikat ke
belakang. Sementara di sekeliling tonggak-tonggak itu terhampar
tumpukan-tumpukan kayu. Tanpa berpikir lebih lama lagi pun, Mahendra tahu kalau
tubuhnya akan dibakar hidup-hidup.
"Sama sekali tidak
kusangka kekhawatiranku yang dulu menjadi kenyataan. Kau menjadi duri yang
berusaha merobohkanku! Dan sama sekali tidak kusangka pula kalau kau bisa
mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat'!" ujar Raja Monyet Tangan Delapan lagi.
Ada perubahan pada wajah
Mahendra begitu mendengar ucapan Raja Monyet Tangan Delapan. Hal itu terjadi
karena merasa terkejut mendengar tokoh yang mirip kera besar itu mengenal nama
ilmunya.
"Kau kaget, Kunyuk
Kecil?! Kau tidak menyangka kalau aku bisa mengetahui ilmumu ini. Ho ho ho...!
Ketahuilah, sebelum kau tahu apa-apa. Aku telah tahu ilmu 'Pembalik Jagat' itu.
Aku tahu dari mana asal mulanya. Dan pencipta ilmu itu bukan gurumu. Kau kaget?
Aku tahu siapa gurumu, Kunyuk Kecil! Si Songka Lawung!" lanjut Raja Monyet
Tangan Delapan.
"Jadi..., jadi... kau
orang yang telah mencelakakan guruku?! Kaukah saudara seperguruannya?!"
ucap Mahendra terbata-bata. Ada penyesalan dalam suaranya.
"Aku ingin tahu, bila kau
kubakar hidup-hidup, apakah gurumu akan menolongmu, Mahendra?!" ujar Raja
Monyet Tangan Delapan keras. "Naga, bakar!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Naga Berekor Sembilan segera melangkah maju. Obor dalam genggamannya
diangkat tinggi ke udara. Siap membakar tumpukan kayu bakar yang telah disirami
minyak! Memang Songka Lawung pernah menceritakan riwayatnya pada Mahendra,
bagaimana saudara seperguruannya bermaksud membunuhnya. Kalau saja dia tidak
menemukan sebuah lubang yang menuju ke luar sumur, mungkin sudah tewas.
Meskipun Mahendra
bertahun-tahun bersamanya, Songka Lawung tak mau mengatakan pada Mahendra kalau
Raja Monyet Tangan Delapan itu saudara seperguruannya. Padahal kakek itu mengetahuinya.
Ah! Mengapa aku demikian
bodoh?! Mahendra memaki dirinya sendiri dalam hati.
Kalau saja pikiran Mahendra
tidak terlalu dirasuki keinginan untuk membalas dendam, tentu dirinya sudah
bisa menduganya. Sebab, sebagian besar ilmu-ilmu yang dipergunakan Winarti dan
Raja Monyet Tangan Delapan mempunyai kemiripan dengan yang dimilikinya.
"Aku ingin tahu, apakah
gurumu akan menolongmu bila kau kubakar hidup-hidup!" ujar Raja Monyet
Tangan Delapan keras, sehingga membuat Mahendra tersadar kembali dari alun
pikirannya.
"Kau boleh melakukan
tindakan apa pun terhadapku, Monyet! Tapi, ketahuilah usaha
yang kau lakukan akan sia-sia.
Beliau sudah tidak berniat terjun ke dunia persilatan lagi!" tandas
Mahendra.
"Kita lihat saja
nanti!" sergah Raja Monyet Tangan Delapan. "Naga, bakar!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Naga Berekor Sembilan segera melangkah maju. Obor menyala yang sejak tadi
berada dalam genggamannya, diangkat tinggi-tinggi ke udara. Dengan senyum
mengejek menghias bibir ditujukan kepada Mahendra, Naga Berekor Sembilan
bersiap menyulut tumpukan kayu bakar yang telah disirami minyak
"Guru...! Ayah, Ibu, dan
semua kakak seperguruanku, maafkan atas kegagalanku ini!"
teriak Mahendra lantang.
Tidak sedikit pun terlihat
perasaan gentar, baik dalam raut wajah maupun tatapan matanya. Bahkan dengan
tatapan tajam, diperhatikannya semua gerak-gerik Naga Berekor Sembilan.
Selangkah demi selangkah jarak
Naga Berekor Sembilan semakin dekat dengan tumpukan kayu bakar. Hanya tinggal
beberapa langkah lagi, dan kobaran api pun akan membakar Mahendra hidup-hidup.
Di saat yang amat gawat itu,
mendadak....
Singgg! Tukkk! "Akh
!"
Naga Berekor Sembilan menjerit
tertahan ketika sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki
menghantam sikunya. Seketika
itu pula tangannya langsung lumpuh. Maka tanpa dapat dicegahnya, obor itu jatuh
ke tanah.
Dan sebelum Naga Berekor
Sembilan atau semua orang yang berada di situ sempat berbuat sesuatu, dua sosok
bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di tempat itu, telah berdiri membelakangi Mahendra,
Melati, dan Dewa Arak!
"Keparat! Monyet-monyet
tak tahu diri! Sungguh berani kalian mencampuri urusanku?!" bentak Raja
Monyet Tangan Delapan dengan suara menggeledek menandakan besarnya kemarahan
yang melanda hati.
Tokoh yang mirip kera besar
ini seperti juga yang lain-lainnya tidak sempat berbuat sesuatu. Di samping
mereka sama sekali tak menyangka, kejadiannya pun berlangsung demikian cepat.
Bahkan Naga Berekor Sembilan yang sempat mendengar dan melihat meluncurnya
benda kecil ke tubuhnya tidak sempat menghindar sama sekali.
"Raja Monyet Tangan
Delapan! Tindak kejahatan yang kau lakukan telah melampaui batas. Orang seperti
kau harus dilenyapkan selama-lamanya dari muka bumi!" ucap Dewa Arak
tenang.
Masih dengan sikap tenang,
pemuda berambut putih keperakan itu mengambil guci araknya, dan menuangkan ke
mulutnya.
Gluk...! Gluk...! Gluk !
Bunyi tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat yang
berputaran di perut Dewa Arak.
Perlahan-lahan hawa hangat itu
merayap ke atas. Kontan tubuh Dewa Arak iimbung. Kedudukan kedua kakinya sudah
tidak tetap lagi di tanah. Hal ini menjadi pertanda kalau Dewa Arak telah siap
menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
"Ah! Rupanya kau, Dewa
Arak?! Sungguh kebetulan! Sudah lama aku mendengar
julukanmu yang menggemparkan.
Sama sekali tak kusangka kau akan datang ke sini! Pucuk dicinta ulam tiba! Aku
tak perlu repot-repot lagi mencarimu! Mimpi apa aku semalam sehingga bisa
sekaligus mendapatkan pemuda berpakaian biru dan dirimu! Bersiap-siaplah untuk
menerima kematian Dewa Arak!"
Usai berkata demikian Raja
Monyet Tangan Delapan langsung menerjang Dewa Arak. Kebetulan pemuda berambut
putih keperakan itu memang telah siap, dan langsung menyambutinya. Tak pelak
lagi, sesaat kemudian keduanya telah terlibat dalam pertarungan.
Melihat ayahnya telah terlibat
dalam pertarungan dengan Dewa Arak, Winarti tidak
tinggai diam. Tanpa bicara
sepatah kata pun diterjangnya Melati. Karena ingin buru-buru menyelesaikan urusannya,
Winarti langsung saja menggunakan senjata andalannya.
Sit! Sit!
Bunyi mendesit terdengar
ketika sepasang sumpit itu meluncur ke tubuh Melati. Namun bunyi itu langsung
tertutup ketika Melati mencabut pedangnya, kemudian membolang-balingkan di depan
dada dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'!
Wunggg! Wunggg!
Dan seperti juga yang terjadi
antara Dewa Arak dengan Raja Monyet Tangan Delapan, pertarungan antara Melati
dan Winarti pun terjadi.
Kini yang belum mendapatkan
lawan adalah Naga Berekor Sembilan dan kawan- kawannya. Namun, hal itu sama
sekali tak menjadi masalah bagi mereka. Karena
begitu empat tokoh sakti itu terlibat pertarungan, Naga Berekor Sembilan
dan kawan-kawannya langsung mengalihkan pandangan, menyaksikan pertarungan
sengit itu.
Kesempatan itu dipergunakan
Mahendra. Dia tahu Naga Berekor Sembilan dan kawan- kawannya tengah terlupa.
Maka harus dipergunakan saat itu sebaik-baiknya, karena jika
Naga Berekor Sembilan mengetahuinya jelas nyawanya tak mungkin
terselamatkan. Dewa Arak dan Melati sulit untuk diharapkan pertolongannya
karena tengah sibuk menghadapi lawan masing-masing.
Mahendra memusatkan perhatian.
Dia menyadari kalau racun yang masuk ke
tubuhnya racun pembius. Dan
pengaruh itu pun sudah mulai berkurang, kini yang tinggal hanya rasa lemas di
tubuhnya.
Mahendra sadar bahwa rasa
lemas di tubuhnya tidak hanya karena racun pembius dari Raja Monyet Tangan
Delapan, melainkan totokan yang membuat aliran darahnya tersumbat
Tapi Mahendra tahu, dia
mempunyai kelainan ketimbang orang lain. Berkat latihan- latihan yang
dilakukannya ketika hendak mendapatkan ilmu 'Pembalik Jagat', aliran dan jalan
darahnya bisa diatur. Mahendra mampu memindahkan jalan darah di dalam tubuhnya.
Dan masih banyak lagi keistimewaan lain yang dapat dikuasai selama berguru
kepada Ki Songka Lawung.
Sadar akan kelebihan yang
dimilikinya, membuat pemuda berpakaian biru itu berusaha untuk membebaskan
totokan yang membuatnya tidak berdaya. Mahendra tahu kalau bukan dirinya
rasanya tidak mungkin bisa membebaskan diri dari kungkungan totokan Raja Monyet
Tangan Delapan. Jadi, ketika Dewa Arak, Melati, Winarti, dan Raja Monyet Tangan
Delapan berusaha sekuat tenaga untuk secepat mungkin menaklukkan lawan. Dan
Naga Berekor Sembilan serta kawan-kawannya sibuk memperhatikan jalannya
pertarungan, Mahendra pun sibuk untuk dapat segera melepaskan diri dari
pengaruh totokan Raja Monyet Tangan Delapan.
Sementara itu di arena,
pertarungan antara Mahendra dan Raja Monyet Tangan
Delapan berlangsung jauh lebih
menarik daripada pertarungan antara Melati melawan Winarti. Baik Dewa Arak
maupun Raja Monyet Tangan Delapan harus mengakui kalau lawan yang dihadapi amat
tangguh.
Betapapun kedua belah pihak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, hingga empat
puluh jurus, pertarungan belum
mengaiami perubahan. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Ternyata Dewa Arak
maupun Raja Monyet Tangan Delapan memiliki tingkat yang sama, baik tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuh. Jadi, akhir dari pertarungan ini hanya
ditentukan mutu ilmu silat masing-masing dan pengalaman bertarung.
Dalam bidang pertarungan,
meskipun memang jumlah pertarungan yang dilakoni
Dewa Arak belum bisa
dibandingkan dengan Raja Monyet Tangan Delapan. Namun, hal itu hampir tidak
banyak berpengaruh, karena Dewa Arak pun telah banyak melakukan berbagai
pertarungan maut melawan tokoh tokoh sakti yang berkepandaian tinggi.
Ternyata dalam mutu ilmu silat
pun rupanya tidak bisa ditarik keuntungan. Ilmu
'Tangan Seribu' ternyata cukup
mampu menanggulangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Buktinya, setelah
pertarungan melewati seratus jurus keadaan belum berubah.
Seperti juga halnya
pertarungan Dewa Arak dan Raja Monyet Tangan Delapan, pertarungan antara Melati
dan Winarti pun berlangsung seimbang. Seperti telah diatur saja. Kemampuan
mereka pun hampir sama. Hanya saja Melati lebih unggul dalam ilmu meringankan
tubuh. Sedangkan Winarti unggul di bidang lainnya. Akhirnya, dengan sedikit
kelebihan dan kekurangan itu, pertarungan jadi berlangsung imbang.
Tapi menginjak jurus kedua
ratus, mulai ada perubahan dalam pertarungan antara
Dewa Arak dan Raja Monyet
Tangan Delapan. Tokoh mirip kera besar ini mulai merasa lelah. Tenaga dan
kegesitannya pun berkurang. Apalagi bila diingat, Raja Monyet Tangan Delapan
telah berusia cukup lanjut. Tak aneh kalau dirinya segera merasa lelah.
Hal yang dialami Raja Monyet
Tangan Delapan tidak dialami Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu
tetap segar bugar seperti semula. Karena sebentar-sebentar sempat meminum
araknya. Bahkan tadi, beberapa kali sewaktu tengah diserang Dewa Arak
enak-enakan menenggak araknya. Justru karena arak itulah Dewa Arak selalu
berada dalam keadaan segar. Setiap kali tenaga dan kegesitannya mengendur,
menenggak araknya, kembali pulih seperti sediakala
Perlahan-lahan Dewa Arak mulai
bisa mendesak Raja Monyet Tangan Delapan. Karuan saja tokoh yang mirip kera
besar ini merasa khawatir bukan kepalang. Di hatinya juga terselip rasa kagum
melihat Dewa Arak masih tetap segar bugar, padahal telah bertarung sedemikian
lamanya.
Raja Monyet Tangan Delapan
menyadari keadaan kalau dirinya tidak akan mungkin bisa menundukkan Dewa Arak.
Siasat yang berhasil merobohkan Mahendra pun segera dipergunakan untuk pemuda
berambut putih keperakan yang berjuiuk Dewa Arak itu. Namun hasilnya tidak
sama. Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan Mahendra yang masih hijau. Dewa
Arak seorang pendekar besar yang telah kenyang dengan pengalaman sehingga tidak
mudah dikelabui.
"Hiaaat..!"
Pada jurus kedua ratus lima
belas, sambil mengeluarkan teriakan menggelegar Dewa Arak menerjang Raja Monyet
Tangan Delapan. Tangan kirinya dengan kedudukan jari-jari tangan terbuka
ditepakkan ke dada.
Raja Monyet Tangan Delapan
bertindak nekat. Dirinya sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dikumpulkan
seluruh sisa tenaganya dan dipapaknya serangan Dewa Arak dengan tindakan
serupa.
Plakkk!
"Arrrggghhh...!"
Raja Monyet Tangan Delapan
memekik penuh kengerian. Tubuhnya melayang ke belakang bagai layang-layang
putus.
Anehnya, tubuh Raja Monyet Tangan
Delapan melayang ke tumpukan kayu yang mengelilingi tiang tempat Mahendra
terbelenggu. Dan...
"Hih!"
Sebelum tubuh Raja Monyet
Tangan Delapan jatuh di tumpukan kayu itu, Mahendra yang sejak tadi berjuang
keras untuk membebaskan diri, berhasil. Cepat, pemuda ini melompat memapak
tubuh Raja Monyet Tangan Delapan.
Tukkk!
Sebuah totokan dilancarkan
Mahendra membuat tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lemas tak berdaya. Akibatnya,
tubuh datuk sesat yang menggiriskan itu jatuh berdebuk di hamparan kayu! Sedangkan
Mahendra, begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, langsung saja
menggosok-gosokkan dua batang kayu.
Bruakkk...!
Tanpa menemui kesulitan, api
pun tercipta. Kemudian tanpa buang-buang waktu dilemparkannya api itu ke
hamparan kayu. Seketika api berkobar membakar tumpukan kayu. Dan tak pelak lagi
tubuh Raja Monyet Tangan Delapan yang berada di sana diselimuti kobaran api!
Jerit kematian pun keluar dari mulut tokoh yang mirip kera besar itu.
"Huaaakhhh...!"
"Ayah...!" "Ketua...!"
Hampir berbarengan Winarti dan
anak buah Raja Monyet Tangan Delapan memekik kaget melihat kejadian yang sama
sekali tidak tersangka-sangka itu. Kejadian itu begitu cepat dan tak terduga.
Sehingga Dewa Arak sendiri tidak sempat berbuat sesuatu. Karena saat itu dirinya
pun baru saja mendarat di tanah.
Sementara itu bagai diberi
perintah, Winarti dan anak buah Raja Monyet Tangan Delapan meluruk ke
kobaran api. Malang, bagi Winarti. Saat
itu, pedang Melati tengah meluncur deras ke punggungnya.
Jrabbb! "Hukh!"
Pedang Melati menancap di
punggung Winarti hingga tembus ke perut. Seketika itu
langkah gadis berpakaian
jingga terhenti. Sepasang matanya membelalak lebar. Dan ketika Melati mencabut
pedangnya, tubuh putri Raja Monyet Tangan Delapan itu ambruk ke tanah.
Nasib yang sama dialami oleh
Naga Berekor Sembilan dan kawan-kawannya. Mereka yang tengah melesat ke tubuh
Raja Monyet Tangan Delapan, dan kalau mampu bermaksud menolongnya, disambut
kayu-kayu berapi yang dilontarkan Mahendra.
Wuuukkk!
Bletak Bletak!
"Aaakh !"
"Aaakh !"
Jeritan menyayat terdengar
susul-menyusul ketika tubuh-tubuh mereka diterjang kayu-kayu berapi Tubuh Naja
Berekor Sembilan dan kawan-kawannya bergulingan di tanah meregang nyawa.
Sementara api terus berkobar membakar tubuh-tubuh mereka yang berkelojotan.
"Ayah.... Ibu....
Kakak-kakak seperguruan semua..., lihatlah! Aku telah berhasil membalaskan
dendam kalian, Tenanglah, di alam baka!" seru Mahendra sambil mendongakkan kepalanya ke langit
ketika tubuh Naga Berekor Sembilan dan
kawan- kawannya tak bergerak lagi.
Terlihat jelas kalau sepasang
mata pemuda berpakaian biru itu berkaca-kaca. Bahkan suaranya pun tergetar.
Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh perasaan.
Dewa Arak dan Melati hanya
bisa menghela napas dan memandang punggung Mahendra. Kedua pendekar muda sadar
tak dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra telah menyelesaikan tugasnya.
Sementara itu api terus membesar dan membumbung tinggi. Bangunan tempat tinggal
Raja Monyet Tangan Delapan sebentar lagi akan musnah. Maka, sepasang pendekar
muda itu pun mengayunkan langkah meninggalkan halaman depan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
SELESAI