08 - Penganut Ilmu Hitam
Hiyaaa...!"
Sebuah kereta yang ditarik
oleh dua ekor kuda beipacu cepat merambah sebuah hutan. Sang kusir lernyata
seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh tahun dan pakaiannya berwarna
biru muda. Gadis itu tak henti-henfinya melecutkan сетей ke punggung kuda itu,
dalam usahanya memacu laju kudanya secepat mungkin.
Wajah gadis itu menampakkan
kecemasan yang hebat Jelas ada sesuatu yang ditakutinya. Dan itu memangbenar!
Di belakangnya, hanya berjarak sekitar beberapa tombak, belasan orang berkuda
mengejarnya.
Sedikit demi sedikit jarak di
antara mereka kian dekat Так lama kemudian, para pengejar yang berada di bagian
terdepan, mulai menyusul kuda itu. Sudah dapat ditebak maksudnya. Apalagi kalau
bukan me- nyalip kereta kuda itu.
Ketika dua orang pengejar itu
sudah menyusul, mereka masing-masing berada di kanan kiri kereta kuda. Tirai
yang menutupi pintu kanan dan kiri kereta kuda itu tersingkap. Dan dari balik
tirai yang tersingkap Itu, muncul masing-masing sebuah tangan yang lang- uung
mengibas.
Singgg...! Singgg...!
Sebilah pisau melesat dari
masing-masing pintu kereta, dan mengarah pada pengejar yang menyusul kerela
kuda itu.
Peristiwa selanjutnya terjadi
begitu cepat.
"Akh...! Akh...!"
Jerit lengking kematian
terdengar ketika pisaiu- pisau itu mengenai tubuh dua pengejar yang menyusul
kereta kuda itu. Seketika itu juga tubuh mereka roboh ke tanah dalam keadaan
tanpa nyawa.
Tentu saja melihat kejadian
itu, para pengejar yang berada di belakang kedua orang yang sial itu menjadi
gusar bukan kepalang. Dua di antara mereka yang terdepan, segera menggerakkan
tangannya.
Singgg...! Singgg...!
Dua bilah pisau berwarna putih
mengkilat melesat cepat ke arah dua ekor kuda yang menarik kereta.
Cappp...! Cappp...!
Telak dan keras sekali dua
bilah pisau menembus leher dl.4 e':or kuda itu. Seketika itu juga dua ekor kuda
penarik kereta meringkik keras, kemudian roboh ke tanah, mati.
Tentu saja dengan matinya dua
ekor kuda itu, laju kereta pun terhenti diiringi suara hlruk pikuk.
Wanita cantik berusia dua
puluh tahun yang menjadi kusir itu melompat turun dari keretanya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
gadis berpakaian biru muda itu hinggap di tanah, di bagian belakang kereta.
Tepat berada di depan para penunggang yang mengejarnya. Menilik dari sikapnya,
terlihal jelas kalau gadis itu berusaha melindungi isi kereta dari para
pengejarnya.
"Hup...!"
Belasan orang pengejar kereta
kuda itu pun ber- lompatan turun dari kudanya, begitu melihat gadis cantik
berpakaian bim muda itu bersikap menghalangi. Di tangan gadis itu terhunus
sebilah pedang.
"Ke mana pun kalian
pergi, tetap akan kami kejar. Orang seperti kau dan kedua orang tuamu itu harus
mati, Malini!" seru salah seorang dari belasan pengejar itu yang berusia
setengah baya, berpakaian wama kuning emas. Cambang yang cukup lebat menghiasi
pipinya. Wajah dan sikapnya gagah, seperti juga belasan orang lainnya. Tidak
ada potongan perampok ataupun penjahat sama sekali baik pada wajah mau- pun
sikap mereka.
Gadis berpakaian biru muda
yang dipanggil Malini itu teisenyum sinis. Ditatapnya wajah laki-laki
berpakaian kuning emas. Sorot matanya memancarkan cemoohan.
"Kalian tidak lebih baik
dariku atau orang tuaku! Kalian yang menyebut diri sendiri sebagai pendekar dan
tokoh golongan putih, nyatanya tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan
terhadap keluarga kami. Kalian tidak berani melawan kami satu persatu. Begitu
pula dengan kau, Pendekar Baju Emas."
Sekujur wajah laki-laki
berbaju kuning emas yang dipanggil Pendekar Baju Emas memerah.
"Tutup mulutmu, wanita
liar! Menghadapi kau dan orang tuamu tidak perlu segala aturan! Kalian
sekeluarga bukan manusia, tapi iblis! Kalian tidak patut dibiarkan hidup!
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berpakaian kuning emas itu melompat menerjang Malini. Pedang di
tangannya meluncur cepat ke arah leher. Ada suara mendesing yang cukup nyaring
mengiringi tibanya se- rangan itu .
Tapi gadis berpakaian biru
muda itu hanya tersenyum mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, digeser
kakinya ke samping kanan, sehingga tusukan pedang itu lewat di samping
lehernya. Dan begitu se- rangan lawan telah berhasil dielakkannya, Malini
menyabetkan pedangnya ke tangan Pendekar Baju Emas.
Tapi orang berpakaian kuning
itu bukan orang lemah. Buru-buru ditarik kembali serangannya sehingga babatan
pedang gadis berpakaian biru muda itu mengenai tempat kosong. Bersamaan ditarik
kembali serangannya, kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan
lawannya.
Takkk...!
"Aaakh...!"
Gadis berpakaian biru muda itu
terpekik. Serangan Pendekar Baju Emas begitu mendadak datangnya, sehingga tak
sempat lagi dihindarinya. Telak dan keras sekali tenrlangan ttu mengenai
pergelangan tangannya. Seketika itu juga pedangnya teriempar dari pegangan.
Trek!
Laki-laki berbaju kuning emas
itu menyamngkan kcmbali pedang ke dalam sarungnya.
"Kawan-kawan...! Urus
suami istri iblis itu! Biar aku yang akan mengurus wanita liar ini!" seru
Pendekar Baju Emas itu keras.
Mendengar seruan itu, belasan
orang yang sejak ladi hanya mengawasi sekeliling dengan sikap waspada, serentak
bergerak menghampiri kereta.
"Keparat...! Jangan harap
kalian akan dapat me- nyentuh kedua orang tuaku, selama aku masih ada
disini!" seru gadis berpakaian biru muda keras. Sekali dlgerakkan kakinya,
maka tubuh yang ramping dan menggiurkan itu telah menghadang di depan belasan
orang yang hendak menuju kereta.
"Teruskan tugas
kalian!" seru Pendekar Baju Emas.
Setelah berkata demikian,
laki-laki setengah baya Itu segera melesat menerjang gadis berpakaian biru
muda.
Tangan kanannya menyampok
keras ke arah pelipis, sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.
Berjaga-jaga apabila lawan melancarkan serangan .
Wuttt..!
Angin cukup keras berhembus
ketika serangan itu menyambar. Tanpa ragu-ragu Malini menggerakkan tangan kiri
menangkis serangan itu.
Plakkk...!
Tubuh gadis berpakaian biru
muda terhuyung dua langkah ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara pekikan
kaget. Tangan yang berbenturan dengan tangan Pendekar Baju Emas itu terasa
ngilu. Seolah-olah yang beradu dengan tangannya tadi bukan tangan manusia yang
terdiri dari kuli dan daging, melainkar batang baja yang keras.
Bukan hanya itu saja yang
dirasakan Malini. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Sementara laki-laki berpakaian
kuning itu hanya tergetar saja tangannya. Jelas terbukti keunggulan tenaga
dalam yang dimiliki Pendekar Baju Emas.
***
Kembali laki-laki berbaju
kuning emas ini melom- pat menyerang Malini. Sesaat kemudian keduanya sudah
terlibat dalam pertarungan sengit.
Melihat gadis berpakaian biru
muda yang tadi berdiri menghadang jalan telah dihadapi oleh Pendekar Baju Emas,
rekan-rekannya pun segera bergerak menuju kereta kuda.
Srat...! Sret...!
Semakin dekat mereka
menghampiri kereta kuda itu, langkah belasan orang itu semakin hati-hati.
Senjata-senjata pun telah terhunus semua di tangan mereka. Sikap mereka tampak
waspada.
"Hantu Putih! Keluar
kau...! Atau kamibakar gerobakmu ini!" seru salah seorang yang mendekati
kereta.
Belasan orang itu menunggu
sejenak. Tapi, iidak lampak tanda-tanda kalau orang yang berada di dalam kereta
akan keluar. Jangankan keluar, I nyahut pun tidak.
"Baik, Hantu Putih!
Jangan katakan kejam, kalau kami bakar keretamu ini!"
Setelah berkata demikian,
salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi besar dan bersenjatakan gada
berduri, segera menyalakan obor.
"Kami beri kau kesempatan
sekali lagi, Hantu Putih! Keluar, atau kereta ini kami bakar!"
Orang yang bersenjatakan gada
berduri itu menunggu sejenak. Tapi, seperti kejadian sebelumnya, sama sekali
tidak ada sahutan dari dalam kereta yang tertutup rapat kedua pintunya itu.
"Kesempatan untukmu telah
kau sia-siakan sendiri, Iblis! Terimalah kematianmu...!"
Orang yang bersenjatakan gada
berduri, melem- parkan obor yang sejak tadi digenggamnya, ke arah kereta kuda
itu.
Obor itu pun melayang cepat ke
arah kereta. Sudah dapat dipastikar kalau kereta kuda itu akan menjadi kobaran
api.
Mendadak terdengar suara
bentakan keras.
"Manusia
terkutuk...!"
Belum juga gema suara itu
habis, angin keras berhawa panas menyerigat, menderu memapak obor yang melayang
ke arah kereta itu.
Prattt...!
Terdengar suara berderak keras
ketika tangkai obor itu hancur berkeping-keping dan bereerakan entah ke mana.
Apinya pun seketika itu juga padam.
"Orang gila dari mana
yang berani unjuk gigi di hadapan Gada Pencabut Nyawa?" teriak orang yang
bersenjatakan gada berduri. Sepasang matanya mena- tap Bar ke arah angin keras
itu berasal.
Beberapa tombak di depan Gada
Pencabut Nyawa, berdiri seorang pemuda tampan berwajah jantan. Rambutnya putih
keperakan dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak perak.
"Kau?! Siapa kau, Anak
Muda? Mengapa kau menghalangi pekerjaanku?!" tanya Gada Pencabut Nyawa
setengah membentak.
Pemuda berambut putih keperakan
itu menatap wajah orang-orang di sekelilmgnya. Sorot matanya tajam menusuk.
"Aku Arya, seorang
pengelana. Dan memang sudah menjadi sifatku untuk tidak tinggal diam begitu
saja melihat adanya kesewenang-wenangan di depan mataku!" tandas pemuda
berambut putih keperakan yang ternyata Arya alias Dewa Атак. Так terlihat
Melati di sampingnya, karena gadis berpakaian serba putih itu dimintai
pertolongannya oleh Prabu Nalanda sehubungan dengan terjadinya kemelut di
Kerajaan Bojong Gading.
"Huh...," Gada Pencabut
Nyawa mendengus. "Jangan berlagak menjadi pahlawan, bocah sombong!
Menyingkirlah cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
Dewa Arak tersenyum pahit.
Kemarahannya timbul mendapat ucapan seperti itu. Tapi buru-buru ditahannya.
Pengalaman selama ini telah mengajarkan pemuda berambut putih keperakan itu
untuk tetap tidak terpengaruh emosi. Kemarahan hanya akan menyempitkan
pandangan. Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi pada dirinya.
"Aku tidak akan bergeming
dari tempatku, selama kau belum meninggalkan tempat ini!" tegas dan man-
lap kata-kafa Dewa Arak
"Keparat..!" maid
Gada Pencabut Nyawa. Kemarahannya sudah tidak bisa ditahannya lagi. "Orang
seperti kau harus diberi pelajaran! Kalau tidak, akan semakin sombong dan
kurang ajar! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Gada
Pencabut Nyawa tegera menetjang Dewa Arak. Gada panjang berduri dl tangannya
diayunkan deras ke arah kepala Dewa Arak .
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras
mengiringi tibanya serangan gada itu. Suatu bukti nyata kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki oleh Gada Pencabut Nyawa.
Tapi Dewa Arak bersikap
tenang. Sama sekali tidak dikeluarkan ilmu andalannya. Arya hanya mengeluarkan
ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Segera didoyongkan
badannya ke belakang, sehingga babatan gada itu lewat sejengkal dl depan
wajahnya.
Gada Pencabut Nyawa bertambah
murka melihat serangannya dapat dielakkan begitu mudah oleh pemuda berambut
putih keperakan itu Sebagai akibatnya, serangan gadanya pun semakin dahsyat
Menderu-deru seperti angin topan mengamuk.
Tapi Dewa Arak benar-benar
membukfikan kelihaiannya. Sungguhpun serangan gada berduri itu datang
bertubi-tubi, susul-menyusul seperti angin topan mengamuk, tetap saja Arya
tidak mengalami kesubtan mengelakkannya. Так terasa lima belas jurus telah ber
ialu. Dan selama itu, Dewa Arak sama sekali tidak per nah membalas serangan
lawannya, hanya mengelak saja, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
Memang, dengan ilmu
meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan, tidak sulit bagi Arya untuk
mengelakkan setiap serangan. Enak saja tubuhnya menyelinap, di antara kelebatan
gada berduri lawannya.
Gada Pencabut Nyawa meraung
murka. Sikap tenang dan menganggap enteng dari Dewa Arak, menyebabkan
kemarahannya memuncak. Pemuda berambut putih keperakan Itu sama sekali tidak
bar sungguh-sungguh menghadapinya. Arya sama sekttt tidak pernah balas
menyerang, dan hanya menghincW saja. Sebagai seorang tokoh persilatan, Gada
Pencabut Nyawa merasa terhina sekali melihat sikap Dewa Arak. Dan sebagai akibatnya,
amukannya pun semak'ji dahsyat dan membabi buta.
Begitu melihat Gada Pencabut
Nyawa telah teril- bat perkelahian dengan pemuda berambut putih ke perakan,
rekan-rekan Gada Pencabut Nyawa segera menghampiri kereta yang kedua pintunya
masih ter- tutup rapat Entah tokoh macam ара yang berada di dalam kereta
sehingga membuat belasan orang gagah itu bersikap khawatir sekali.
"Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan suara
jerit melengking rearing, Dewa Arak melenting ke atas. Tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu berputar beberapa kali dl udara, kemudian mendarat tingan
tanpa suara di lanah, di hadapan belasan orang itu .
Tentu saja hal ini membuat
belasan orang gagah llu menjadi geram. Kini mereka sadar bahwa Dewa Atak harus
disingkirkan lebih dahulu kalau niat mereka lerhadap orang yang berada di dalam
kereta ingin terlaksana.
Tanpa sungkan-sungkan lagi
belasan orang gagah llu menyerbu Arya. Gada Pencabut Nyawa pun semakin
bersemangat melihat rekan-rekannya ikut membantu .
Kini Dewa Arak tidak berani
hanya mengelak saja seperti tadi. Tapi sungguhpun begitu, Arya masih tetap
belum mengeluarkan ilmu andalannya. Masih digunakan juga ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' andalannya.
"Haaattt...!" teriak
Gada Pencabut Nyawa keras. Tokoh ini memang sejak tadi sudah geram bukan main
pada pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Serangan laki-laki bertubuh
pendek gemuk ini selalu membawa ancaman maut.
Wuuuttt...!
Gada berduri menyambar deras
ke arah kepala Dewa Arak. Di saat itu dari arah belakang Arya, meluncur pula
sebilah pedang yang menyambar cepat ke arah lehemya. Sementara dari sebelah
kanannya menyambar deras sebuah cambuk yang melecut deras ke arah kepalanya.
Sungguh figa buah serangan maul yang berbahaya. Dan sulit untuk mengelakkannya.
Dewa Arak pun menyadari hal
itu. Tapi tidak membuatnya menjadi gugup. Dengan perhitunganl yang matang,
dirundukkan tubuhnya. Sehingga serangan gada dan tusukan pedang lewat begitu
saja di atas kepalanya.
Sementara lecutan cambuk itu
disambutnya dengan tangan, secepat kilat kaki kanannya mementil ke belakang. Ke
arah orang yang menusukkan pedang .
Prattt..! Tappp...! Bukkk...!
"Hih...!"
"Hugh...! Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Tubuh dua orang penyerang itu segera berpentalan. Si penye-
rang yang bersenjatakan pedang terjengkang ke belakang ketika tendangan Dewa
Arak telak dan keras mengenai perutnya. Untung Arya hanya mengerahkan sebagian
kecil saja dari tenaga dalam yang dimilikinya Kalau tidak, tentu penyerang itu
akan tewas dengan seluruh isi perut berantakan.
Si penyerang yang
bersenjatakan cambuk agak lebih baik nasibnya ketimbang rekannya yang
bersenjatakan pedang. Cambuk yang melecut ke arah leher pemuda itu, ternyata
tidak hanya ditangkis oleh pemuda itu melainkan dibelit dan langsung
disentakkan. Keras bukan main' sentakan Dewa Arak, sehingga tanpa ampun lagi
tubuh si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu terlempar ke atas.
"Hup...!"
Sungguhpun dengan agak
terhuyung-huyung, si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu masih juga dapat
mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Tapi belum juga Dewa Arak
menghela napas lega, Imlasan orang lainnya telah kembali menyerang.
Sesaat kemudian Dewa Arak pun
kembali terlibat dalam pertempuran sengit.
****
Sementara itu pertarungan
antara Malini dan P'cndekar Baju Emas semakin berlangsung sengit dalam hal
tenaga dalam memang gadis berpakaian biru muda ini berada di bawah lawannya.
Tapi kekalahannya itu tertutup oleh kelebihannya dalam hal ilmu meringankan
tubuh. Alhasil pertarungan berjalan seimbang! .
Tiga puluh lima jurus telah
berlalu, namun belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Hal ini tentu
saja membuat Pendekar Baju Emas yang merupakan seorang tokoh persilatan cukup
ternama, menjadi geram bukan kepalang. Betapa tidak? Menghadapi seorang gadis
muda saja tidak mampu mengalahkannya ?
Tanpa seorang pun yang
melihat, pintu kereta yang sejak tadi tertutup itu pelahan-lahan terbuka.
Tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun! Kemudian dari dalam pintu kereta yang terbuka itu melesat keluar dua
sosok tubuh. Yang satu seorang laki-laki setengah tua bertubuh kurus kering,
bergigi tonggos, dan berpakaian putih. Inilah tokoh yang berjuluk Hantu Putih.
Sedangkan yang seorang lagi,
adalah istrinya yang berjuluk Hantu Merah. Pakaiannya merah menyala dengan
sebuah cadar tipis berwarna hitam menutupi sebagian wajahnya. Suami istri
inilah yang di dunia persilatan mendapat julukan Sepasang Hantu.
Kemudian kedua orang ini
melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Menilik dari gerakan mereka berdua,
dapat diketahui kalau kedua orang ini tengah menderita luka dalam yang parah.
Dengan langkah pelahan-lahan
dan kepala yang selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang
melihatnya, kedua orang ini mendekaii tempat pertarungan antara Malini dan Pendekar
Baju Emas.
Pendekar Baju Emas yang berada
dalam posisi membelakangi dua orang yang tengah berindap-indap mendekatinya,
tentu saja tidak melihat adanya bahaya yang mengancam Tapi tidak demikian
halnya Malini.
Gadis berpakaian biru muda itu
tentu saja melihat jelas kedatangan dua orang tua yang sebenarnya adalah ayah
dan ibunya. Tapi dia berpura-pura tidak tahu ketika melihat adanya isyarat dari
Ibunya.
Pendekar Baju Emas baru sadar
adanya bahaya mengancam ketika mendengar desiran angin menyambar ke arahnya.
Padahal saat itu, Malini tengah menerjang ke arahnya. Pedang di tangan gadis
itu meluncur cepat ke arah dada!
Lakilaki berbaju kuning emas
itu menjadi gugup. Ditolehkan kepalanya ke belakang, untuk mengetahui лра yang
berkesiur ke arahnya itu. Seketika wajahnya pucat begitu melihat sehelai
selendang yang tengah meliuk-Iiuk ke arah pelipisnya.
Так ketinggalan juga sebuah
kerikil yang meluncur ke lehernya. Tapi bukan kedua serangan itu yang membuat
Pendekar Baju Emas ini kaget, melainkan dua orang penyerangnya. Dikenalinya
betul kedua penyerang itu. Dua orang yang tengah dikajar oleh dia dan
rekan-rekannya.
Sungguhpun perasaan gugup dan
kaget melanda dlrinya, Pendekar Baju Emas masih mampu untuk menghindarkan
selendang yang menotok ke arah pelipisnya. Tapi dua buah serangan lainnya
tidak mampu dlhindarinya.
Tukkk...!
Kerikil kecil yang dilemparkan
salah seorang dari dua orang tua itu tepat sekali mengenai urat gagunya.
Bersamaan pedang di tangan Malini menyambar tiba.
Crottt!
Pendekar Baju Emas menggelepar
ketika pedang dl tangan gadis berpakaian biru muda Itu menghunjam dalam di
perutnya hingga tembus ke punggung. Darah langsung muncrat dari perut yang
terobek lebar. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut Pendekar Baju Emas,
karena urat gagunya telah tertotok oleh batu yang dilontarkan laki-laki tua
bergigi tonggos.
Beberapa saat lamanya tubuh
Pendekar Baj Emas menggelepar-gelepar sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi.
Tewas dengan mata terbeliak lebar!
Tanpa mempeduiikan mayat laki-laki
gagah berbaju kuning emas itu, Malini bersama ayah dan ibunya meninggalkan
tempat itu. Sesaat kemudian tubuh ketiga orang itu telah lenyap ditelan
kelebatan pepohonan dan semak-semak.
Sementara, Dewa Arak masih
terlibat pertarungan sengit menghadapi belasan orang gagah itu. Sudah ada lima
sosok tubuh yang tergeletak di tanah, tidak mampu melanjutkan pertarungan lagi.
Sungguhpun begitu, tidak satu pun di antara mereka yang tewas. Dewa Arak memang
tidak ingjn sembarangan membunuh. Apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak
ada sangkut paut dengan urusannya.
Gada Pencabut Nyawa
menggertakkan gigi menahan geram. Pertarungan sudah berlangsung lebih dari tiga
puluh jurus, dan selama itu, tak satu pun serangan salah seorang dari mereka
yang mengenai pemuda berambut putih keperakan Itu. Jangankan menyarangkan
pukulan, mendesak pun tidak mampu. Padahal, Dewa Arak terlihat tidak
bersungguh-sungguh menghadapi mereka.
***
"Hiyaaa...!"
Didahulul suara melengking
nyaring, salah seorang .fori delapan orang pengeroyok itu menusukkan tombak
pendeknya ke arah perut Dewa Arak. Sementara dari arah belakang, Gada Pencabut
Nyawa tengah mengayunkan gadanya ke arah kepala. Sedangkan dari kanan dan kiri
Arya, menyambar pula babatan golok dan tusukan pedang.
"Hih...!"
Dewa Arak melompat ke atas
sehingga semua se- imigan itu mengenai tempat kosong. Tubuhnya berjumpalitan
beberapa kali di udara, kemudian hinggap di tanah beberapa tombak dari situ.
Gada Pencabut Nyawa dan tujuh
orang rekannya menjadi geram, melihat lawan mereka untuk yang ke sekian kalinya
berhasil meloloskan diri dari serangan mereka. Berbondong-bondong mereka
kembali bergerak menyerbu. Tapi tiba-tiba....
"Tahan..!"
Suara bentakan keras terdengar
lantang. Dan sebelum suara bentakan itu lenyap, di hadapan delapan orang
pengeroyok itu telah berdiri sesosok tubuh pendek gemuk, bercambang lebat.
Sekujur tubuhnya yang tidak tertutup pakaian terlihat penuh ditumbuhi bulu-bulu
hitam yang lebat. Dalam dunia persilatan laki-laki ini berjuluk Singa Hitam.
Gada Pencabut Nyawa dan
rekan-rekannya rupanya mengenal Singa Hitam, terbukti begitu mereka melihat я
pendek gemuk yang bercambang lebat ini , mereka serentak menahan gerakannya.
Singa Hitam menatap Dewa Arak
sekilas. Lalu dialihkan pandangannya pada Gada Pencabut Nyawa Ditatapnya
laki-laki tinggi besar itu tajam-tajam.
"Ара yang kau lakukan,
Gada?! Lupakah kau dengan tugasmu?!" tanya Singa Hitam. Nada suaranya
mengandung teguran.
"Aku tidak lupa dengan
tugasku, Singa Hitam Bahkan aku tengah bertempur dengan kawan iblis itu!' sahut
Gada Pencabut Nyawa. Tegas dan mantap suaranya.
"Lalu, iblis itu mana,
Gada?" tanya Singa Hitam lagi.
Gada Pencabut Nyawa tersentak
kaget. Baru teringat kembali olehnya akan iblis itu. Dan seketika itu pula
teringat kembali pada Pendekar Baju Emas yang tengah bertempur melawan Malini.
Apakah pendekar itu telah berhasil mengalahkan gadis berpakaian biru muda itu?
Seiring munculnya pertanyaan
itu, kepalanya pun menoleh ke arah tempat Pendekar Baju Emas bertarung
menghadapi Malini. Hati laki laki tinggi besar ini tercekat ketika melihat
tempat itu telah sepi. Tapi di tanah, tergolek sesosok tubuh berpakaian kuning
Gada Pencabut Nyawa tercekat begitu mengenal sosok tubuh yang tergolek itu
adalah Pendekar Baju Emas! Lalu ke mana perginya gadis berpakaian biru muda
itu?
"Iblis itu mana,
Gada?" desak Singa Hitam ketika melihat Gada Pencabut Nyawa tercenung
bingung telah menolehkan kepalanya ke sekeliEngnya.
"Di kereta," jawab
si tinggi besar itu ragu.
'Tidak ada!" sergah Singa
Hitam keras.
"Ара?!" Sepasang
mata Gada Pencabut Nyawa terbelalak. Kegelisahan tampak jelas membayang pada
wnjahnya. Tapi, beberapa saat kemudian, wajahnya kembali berseri ketika sorot
matanya tertuju ke arah Dewa Arak yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kita bisa tanyakan pada
kawannya!" ucap Gada Pencabut Nyawa sambil menunjuk Dewa Arak "Dia
Inilah yang telah menyebabkan iblis itu lolos!"
Singa Hitam menoleh.
Ditatapnya wajah Dewa Arak lekat-lekat.
"Benarkah kau kawan iblis
itu, Kisanak? Rasanya sulit kupercaya! Ciri-cirimu, mengingatkanku pada
seseorang. Siapakah kau, Kisanak?" tanya Singa Hitam.
Dewa Arak menghembuskan napas
panjang. Sedikit banyak dari pembicaraan kedua orang di hadapannya, sudah bisa
dlkira-kira kalau dia telah menyelamatkan orang yang salah. Dan itu membuatnya
merasa tidak enak.
"Aku Arya, seorang
pengelana yang kebetulan lewat di sini. Aku sama sekali tidak mengenal orang
yang kalian sebut iblis itu," jawab pemuda berambu putih keperakan itu.
"Arya...," gumam
Singa Hitam pelahan. "Apakai nama lengkapmu Arya Buana?"
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya.
"Tepat dugaanku! Bukankah
kau yang berjuluk Dewa Arak yang menggemparkan itu?" ucap laki laki pendek
gemuk itu lagi memastikan.
Kembali Dewa Arak
menganggukkan kepalanya .
"Begitulah orang
menjulukiku.... Julukan yang terlalu berlebihan," sahut Arya merendah.
Gada Pencabut Nyawa dan tujuh
orang rekannya yang tadi bertempur melawan Dewa Arak terperanja kaget tatkala
mengetahui pemuda dl hadapan mereka adalah tokoh yang menggemparkan itu.
"Kalau begitu..., ada
kesalah pahaman yang terjadi...," ucap laki-laki tinggi besar ini.
Suaranya pelahan sekali, mirip desahan.
"Hhh...!" desah Arya
pelahan. "Akulah yang salah. Kalau boleh kutahu, siapakah sebenarnya orang
yang kalian kejar itu?"
Singa Hitam tercenung sejenak
"Dia adalah seorang tokoh
hitam yang mengerikan," jawab tokoh yang sekujur tubuhnya penuh bulu-bulu
hitam itu. "Kepandaiannya amat tinggi. Tapi yang lebih berbahaya lagi
adalah ilmu-ilmu hitam yang dimilikinya."
Singa Hitam menghentikan
ceritanya sejenak, seraya melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu
sebelum melanjutkan ceritanya kembali.
"Selama ini dia selalu
membuat teror. Seluruh desa di Kadipaten Malaya tidak ada yang luput dari
terornya. Adipati Malaya lalu meminta bantuan kepada semua perguruan silat dan
tokoh-tokoh persilatan yang ada di wilayah kekuasaannya. Kami pun berbondong-
bondong menyerbu ke sana. Pasukan Kadipaten Malaya pun ikut. Dalam pertarungan
itu, enam orang ketua perguruan silat tewas di tangan suami istri iblis yang
berjuluk Sepasang Hantu itu. Tapi kedua iblis itu pun terluka parah. Sayang
berhasil dibawa kabur anaknya. Cerita selanjutnya telah kau ketahui sendiri,
Dewa Arak."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya Kini telah dimengertinya masalah yang membuat dia dan belasan orang
gagah ini salah paham.
"Belasan orang gagah, di
bawah pimpinan Pendekar Baju Emas dan Gada Pencabut Nyawa melakukan
pengejaran. Sementara aku dan yang lainnya mengadakan pembersihan. Membunuh
semua orang yang ada di tempat iblis itu, lalu membumi hanguskan tempat
tinggalnya. Sungguh tidak kusangka kalau iblis yang tcrluka parah itu akhirnya
lolos juga. Berbahaya sekali! Dunia persilatan akan geger kembali apabila iblis
itu telah pulih kembali seperti sediakala."
Dewa Arak menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Maafkan atas
kecerobohanku, Singa Hitam," ucap Dewa Arak meminta maaf.
"Kau tidak sepenuhnya
salah, Dewa Arak," bantah Gada Pencabut Nyawa "Kalau saja aku
bersifat bijaksana, mungkin kesalah pahaman itu tidak akan terjadi."
"Tapi, betapapun juga
akulah yang telah membuat orang yang amat berbahaya itu lepas. Biarlah aku yang
akan mencarinya," sambut Dewa Arak ingin menebus kesalahannya.
"Hati-hati, Dewa Arak.
Iblis itu memiliki banyak ilmu hitam yang keji-keji!" ujar Singa Hitam
memberitahu.
"Akan kuingat pesanmu
itu, Singa Hitam...!"
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan ini melangkahkan kakinya. Langkahnya tampak
pelahan saja, tapi sekali diayunkan kakinya, tubuhnya sudah berada pada jarak
sepuluh tombak dari tempatnya semula.
"Hebat..!" desis
Singa Hitam penuh takjub.
Kesembilan orang itu menatap
terus punggung Dewa Arak, sehingga lenyap di kejauhan. Baru kemudian mereka
melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Membawa teman-teman mereka yang
terluka dan meninggal.
***
Suara jangkrik dan binatang
malam lainnya menyemaraki kesunyian malam yang mencekam. BuUn sepotong yang
nampak di langit, Bupan angin dingin membekukan tulang, dan suara lolong anjing
di keja- ill inn semakin menambah seramnya suasana. Dan rasanya akan membuat
orang berpikir beberapa kali untuk keluar di malam seperti itu.
Tapi rupanya ada juga orang
yang tidak merasa takut untuk keluar rumah pada malam yang cukup seram itu.
Terbukti dalam keremangan sinar rembulan di langit, tampak sekelebatan bayangan
melesat.
Sosok bayangan itu temyata
memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti gerakannya terlihat cepat dan
gesit sekali.
Langkah kaki sosok bayangan
itu baru terhenti ! ketika tiba di depan sebuah daerah pekuburan. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri. Sosok bayangan itu jelas takut kalau ada orang
yang melihatnya.
Dalam keremangan sinar
rembulan, ter;ihat samar- samar perawakan dan wajah sosok bayangan itu. sosok
bayangan itu ternyata seorang gadis berpakaian biru muda. Rambutnya digelung ke
atas. Siapa lagi gadis itu kalau bukan Malini!
Setelah yakin tidak ada yang
melihatnya, gadis itu melangkah memasuki areal pemakaman itu. Kali ini seperti
juga tadi, Malini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, berlari melalui jalan
setapak yang di kanan kirinya terdapat gundukan tanah yang berjejer.
Cukup jauh juga gadis
berpakaian biru muda ini berlari, melalui jalan yang berkelak-kelok. Sampai
akhimya tak jauh di depannya, nampak sebuah rumah kecil berdinding bilik.
Cahaya remang-remang tampak dari dalam rumah kecil itu.
Malini menghentikan
langkahnya. Kemudian diambilnya sebuah kain hitam dari lipatan sabuknya Lalu
diikatkan ke wajahnya. Dijadikan cadar. Dan kemudian dilangkahkan kakinya
menghampiri rumah kecil berdinding bilik itu.
Ток, tok, tok!
Kelihatannya pelahan saja
gadis berpakaian biru muda itu mengetukkan tangannya pada daun pintu Tapi
akibatnya pintu itu seperti dipukul oleh palu besi Mengeluarkan suara ribut.
"Siapa?" terdengar
suara sahutan dari dalam. Tapi Malini sama sekali tidak menjawab.
"Siapa di luar?"
suara dari dalam kembali terdengar. Tapi kali ini diiringi bunyi derit dan
langkah langkah mendekati pintu.
Kriiittt..!
Suara berderit nyaring
terdengar begitu daun pintu itu terkuak. Dan seraut wajah kasar dari seorang
laki laki setengah baya segera terpampang di hadapan Malini.
Sepasang mata laki-laki
berwajah kasar itu menjadi liar, begitu melihat seraut wajah di hadapannya
Sungguhpun sebagian wajah itu tertutup cadar, dapat diketahuinya kalau pemilik
wajah itu adalah seorang wanita cantik.
Dengan sorot mata liar,
dirayapinja sekujur tubuh wanlta itu.
Malini pun merasakan adanya
gelagat yang tidak baik. Segera dipungutnya sebongkah batu sebesar kepalan
tangan yang kelihatan keras sekali. Kemudia digerakkan tangannya meremas.
Kelihatannya pelahan saja Tapi, akibatnya batu itu hancur Iuluh jadi tepung.
Wajah kasar laki-laki setengah
baya itu kontan memucat. Sepasang matanya terbelalak melihat pertunjukan tenaga
dalam yang menakjubkan itu. Sinar matanya pun berubah. Tidak lagi kurang ajar
dan liar seperti tadi. Tapi menyiratkan perasaan takut .
"S... a... siapakah kau,
Nisanak?" tanya laki-laki eetengah baya itu agak gugup.
'Tidak perlu tahu siapa aku...,"
desis Malini tajam. "Aku datang kemari membawa keuntungan bagimu...."
"Ke... keuntungan
buatku?"
"Ya!" jawab Malini.
"Ini!"
Entah dari mana dan kapan
mengambilnya, di tangan gadis berpakaian biru muda itu telah tergenggam
sekantung uang. Suara berkerincingan terdengar begitu gadis itu
menggoyang-goyangkan tangannya.
Sepasang mata laki-laki
setengah tua itu terbelalak Kedua biji matanya bergerak mengikuti ayunan
kantung uang itu.
"Bagaimana?" tanya
Malini lagi.
"Ара... ара yang haius
kulakukan?" tanya laki-laki eetengah baya itu. Jakunnya turun naik.
Sepasang matanya tak lepas memandangl kantung uang itu.
"Mudah saja," sahut
Malini. "Bukankah kau yang bertugas menggali makam di sini ? "
"Iya, Nini.
Lalu...," jawab laki-laki setengah baya yang temyata adalah penggali makam
itu. Ki Samura
namanya
Malini menatap laki-laki
setengah tua itu tepat pada bola matanya .
"Apakah ada orang yang
belum lama meninggal dan dikubur di sini?"
"Ada, Nini. Ada... tapi
aku belum mengerti mакsudmu, Nini?" tanya Ki Samura belum mengerti.
"Gali makam itu, dan
berikan mayatnya padaku!" tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut
Malini .
Mulut laki-laki setengah tua
itu ternganga. Sepasang matanya membeliak lebar seperti melihat hantu .
"Tapi..., Nini...."
"Kau mau uang ini atau
tidak?!" sergah Malini cepat
"Mau, Nini," jawab
si penggali makam itu cepat. " Tapi...."
"Tidak ada
tapi-tapian...!" bentak Malini. "Katakan saja cepat, mau atau tidak!
Titik!"
Ki Samura tercenung sejenak.
Dahinya berkerut dalam. Jelas kalau dalam benak laki-laki setengah baya ini ada
pertentangan yang hebat Antara menerima atau menolak tawaran itu.
"Cepat putuskan, aku
tidak punya banyak waktu!" ьеntaк Malini tidak sabar.
"Baiklah, Nini. Aku
terima pekerjaan ini!" sahu penjaga makam itu mengalah.
"Kalau begitu,
cepatlah...!"
"Tunggu sebentar,
Nini," ujar Ki Samura. seraya berlari masuk ke dalam. Malini hanya
memandangi saja . Sepasang bibirnya yang indah dan tersembunyi di balik cadar
menyunggingkan sebuah senyuman.
Так lama kemudian, penjaga
makam itu telah kembali. Di tangannya tergenggam sebuah cangkul.
"Mari, Nini," ajak
laki-laki setengah baya itu pada Malini seraya berjalan mendahului. Tanpa
banyak Ысага, gadis berpakaian biru muda ini melangkah mengikuti.
***
Di bawah keremangan sinar
bulan, Ki Samura dan Malini melangkah melewafi jalan setapak yang di kanan
kirinya terdapat gundukan tanah makam.
Cukup jauh juga kedua orang
itu berjalan. Melewafi jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemudian berhenti
dekat sebuah pohon kamboja.
"Inilah makam orang yang
baru kemarin meninggal, Nini," ucap Ki Samura seraya menunjuk sebuah
gundukan tanah merah yang teriihat masih baru.
Malini menatap makam itu
dengan sinar mata berbinar-binar.
"Cepat gali...,"
perintah gadis berpakaian biru muda Itu dengan suara mendesis tajam.
Tanpa diperintah dua kali,
laki-laki setengah baya Itu mengayunkan cangkulnya.
Crab!
Sebongkah demi sebongkah
gundukan tanah itu mulai menciut. Ki Samura mengayunkan cangkulnya penuh
semangat. Setiap kali cangkul di tangannya diayunkan, kantung uang di tangan
gadis berpakaiar biru muda itulah yang terbayang di benaknya. Setelal lubang
itu tergali cukup dalam, laki-laki setengah baya itu mulai mengayunkan
cangkulnya hati-hati. Так 1аma kemudian, tampaklah sebuah peti di dalam lubang
makam itu.
"Hup...!"
Ki Samura melompat turun ke
lubang itu. Dibukanya tutup peti mati itu dengan mempergunakan mata cangkulnya
.
Sepasang mata Malini menatap
ke dalam peti itu. Kepalanya terangguk-angguk ketika dilihatnya ada sesosok
tubuh berkain putih yang terbaring di sana. Hidung gadis berpakaian biru muda
yang terlindung cadar hitam tipis itu tampak mendengus-dengus begitu mencium
bau kurang sedap yang menyeruak dari dalam peti.
"Cukup...!" sentak
Malini. 'Tutup kembali peti itu!"
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, Ki Samura kembali menutup peti mati Itu. Sejenak dia termangu- mangu di
bawah sana. Bagaimana mungkin dia mampu mengangkat peti Itu ke atas?
Malini rupanya tahu
kebingungan yang melanda penggali makam itu.
"Naiklah. Biar aku yang
akan mengeluarkannya," perintah gadis berpakaian biru muda itu.
Ki Samura terkejut mendengar
ucapan itu. Tidak salahkah ара yang didengamya barusan?
"Ара, Nini?" tanya
penggali makam itu untuk lebih meyakinkan pendengarannya tadi.
"Naiklah! Biar aku yang
akan mengurus peti itu!" sahut Malini. Kali ini suaranya lebih keras
ketimbang yang pertama kali.
Kini Ki Samura yakin kalau
pendengarannya tidak salah. Dan tanpa banyak membantah lagi segera dia kembali
naik ke atas.
Setelah laki-laki setengah
baya itu berada di atas. Gadis berpakaian biru muda itu pun melompat turun.
Indah dan manis sekali gerakannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di dasar lubang.
Malini terdiam sebentar.
Sepasang tangannya dirangkapkan di depan dada. Mulutnya komat-kamit mengucapkan
gumaman-gumaman tidak jelas. Sesaat kemudian, tubuh gadis itu menggigil.
Semakin lama getaran pada tubuhnya semakin kuat Dan tiba-tiba saja ....
"Hih...!"
Dug!
Gadis berpakaian biru muda ini
menjejakkan kaki kanannya keras ke tanah. Ajaib! Tiba-tiba saja, peti mafi ini
terlontar naik ke atas, bagai didorong dari bawah.
Begitu peti mati itu teiah
melewati lubang makam, tubuh Malini melesat ke atas.
"Hup...!"
Tappp...!
Sebelum peti mati itu jatuh ke
tanah, Malini telah lebih dulu melesat dan menahannya dengan kedua tangan.
Kemudian mendarat ringan di
tanah.
Mata Ki Samura terbeliak
menatap semua kejadian llu. Sampai Malini menurunkan peti mati itu, laki-laki
tengah baya itu masih terkesima. Tapi Malini sama sekali tidak mempedulikan hal
itu. Segera dilemparkannya kantung uang yang dijanjikannya tadi.
"Lusa aku datang lagi
...."
Setelah berkata demikian,
Malini melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Padahal di bahunya
terpanggul sebuah peti mati yang berat dan berisikan mayat seorang manusia!
Tapi tetap saja gadis itu berlari seperti layaknya orang yang tidak membawa
beban apa-apa.
Ki Samura menggeleng-gelengkan
kepalanya, melihat kesaktian yang dimiliki gadis berpakaian biru muda itu.
***
Ki Samura beijalan
mondar-mandir di dalam rumahnya. Sudah seminggu lamanya dia terlibat dengan
pekerjaan barunya. Menyediakan mayat untuk seorang wanita berpakaian biru muda!
Urusanya sangat menguntungkannya.
Sudah tiga kali dia menjual
mayat pada gadis itu. Tanpa ada seorang penduduk pun yang tahu perbuatannya.
Tapi kali ini, Ki Samura
dilanda kebingungan yang amat sangat. Betapa tidak? Kemarin malam, gadis
berpakaian biru muda itu datang lagi. Kini permintaannya lain lagi. Gadis itu
meminta mayat yang meninggal malam bulan purnama. Bahkan kali ini tidak hanya
satu mayat, melainkan tiga mayat! .
Dan sekarang bulan di langit
telah tampil sempurna, malam bulan pumama. Ki Samura mondar-mandir di dalam
rumahnya. Perasaan gelisah yang amat sangat menghantui hatinya. Bagaimana bila
malam bulan pumama ini tidak ada yang meninggal? Andaikata ada pun sulit
rasanya sampai berjumlah tiga orang. Terbayang kembali, di benaknya kedatangan
gadis itu malam kemarin.
"Lusa aku datang kembali,
Samura! Dan ingat, mayat pesananku harus ada!" ucap gadis berpakaian biru
muda itu. Datar dan dingin suaranya.
"Tapi, Nini, bagaimana
bila malam bulan purnama nanti tidak ada penduduk yang meninggal?" tanya
Ki Samura waktu itu.
"Kalau tidak meninggal
wajar, usahakanlah olehmu sendiri jalan yang tidak wajar! Pokoknya mayat itu
harus meninggal malam bulan purnama!"
"Maksud, Nini?"
tanya Ki Samura tidak mengerti.
Malini menatap Ki Samura tepat
pada kedua bola matanya. Laki-laki setengah baya ini yang sudah tahu betul
kesaktian gadis di hadapannya ini segera menundukkan kepalanya. Так sanggup
menantang mata gadis itu
"Kau belum mengerti
maksudku, Samura?" tanya gadis berpakaian biru muda itu. Nada suaranya
terdengar penuh selidik
'Belum, Nini," jawab Ki
Samura tetap menundukkan kepalanya.
"Dungu kau, Samura!"
desis Malini tajam. Ki Samura hanya dlam saja dimaki seperti itu. Kepalanya
masih tetap tertunduk.
"Kalau tidak ada penduduk
yang meninggal pada malam bulan purnama..., terpaksa kau yang harus
mengusahakan agar ada penduduk yang meninggal pada malam Itu!"
Berubah hebat wajah Ki Samura.
Sudah dapat diduganya maksud ucapan gadis pakaian biru muda itu.
"Maksud, Nini...."
Ki Samura menahan jawabannya.
"Ya," sahut Malini
seraya menganggukkan kepalanya. Gadis berpakaian biru muda Itu telah tahu
jawaban yang akan diucapkan penggali makam itu "Kau yang harus
membunuhnya!"
"Ah...!" Ki Samura
terpekik kaget Sungguhpif Jawaban seperti itu sudah diduganya, tapi tak urung
hatinya terguncang mendengarnya.
"Mengapa tidak kau saja,
Nini?" tanya laki-laki setengah baya itu heran, Dengan kepandaian yang
dimiliki gadis berpakaian biru muda itu, jangankan tiga, dua puluh mayat
penduduk pun bisa didapatkannya dalam malam bulan purnama.
Malini menatap wajah penggali
makam itu tajam-tajam. Sungguh tidak disangkanya kalau laki-laki setengah baya
itu mengajukan pertanyaan demikian. Tidak dapat disangkal, kalau dia mampu
mendapatkan mayat itu dengan kepandaian yang dimilikinya. Tapi untuk ара? Kalau
dia yang membunuhnya, mayat-mayat itu tidak akan berguna! Mayat-mayat itu hanya
акаn berguna, apabila meninggal bukan oleh tangannya! Itulah sebabnya dia
mengadakan kerjasama dengan penggali makam ini.
"Kau tidak usah banyak
tanya, Samura! Cukup kau laksanakan saja perintahku! Tidak perlu mengutak atik
urusanku! Paham?!" hardik Malini dengan raut muka bengis.
"Paham, Nini," sahut
penggali makam itu cepat.
"Auuunggg... !"
Suara lolong anjing hutan
menyadarkan Ki Samura dari lamunannya.
"Hhh...! Kalau besok
tidak ada penduduk yang meninggal, celakalah aku!" desah laki-laki
setengah baya ini mendesah. Kebingungan tampak terlihat di wajahnya.
"Ара boleh buat! Aku
masih belum ingin mati!"
Setelah berkata demikian, Ki
Samura melangkah masuk ke dalam. Так lama kemudian muncul lagi. Sebuah golok
yang masih bersarung tercekal di tangannya.
Srattt...!
Ki Samura menghunus golok itu.
Sinar terang berkilat ketika golok itu keluar. Ki Samura memperhatikan golok
yang berwarna putih mengkilap itu prnuh perhatian. Lalu dimasukkan kembali ke
sarungnya dan diselipkan di pinggang.
Kemudian dengan langkah lebar
penggali makam Itu berjalan meninggalkan rumahnya Menyusuri jalan setapak yang
di kanan kirinya terhampar gundukan tanah.
Так lama kemudian, laki-laki
setengah baya ini lelah berada di depan areal pemakaman, Sesampainya di sini Ki
Samura kembali bimbang, antara meneruskan langkahnya ataukah kembali ke
rumahnya.
Tapi hanya sesaat saja
perasaan itu mengganggu nya. Ancaman Malini membuatnya memilih meneruskan
langkah. Sepanjang perjalanan, benak Ki Samura lerus berputar, siapakah yang
akan menjadi korbannya nanti?
Malam-malam seperti ini
rasanya tak akan ada penduduk yang keluar rumah. Semuanya tertidur lelap di
peraduannya masing-masing. Entah sudah berapa jauh, laki-laki setengah baya ini
melangkahkan kakinya, tapi yang jelas jantung dalam dadanya berdebar tegang
ketika melihat sebuah rumah yang terletak menyendiri jauh dari rumah yang
lainnya.
Dengan jantung berdegup
kencang, dan kaki agak gemetar Ki Samura melangkahkan kakinya mendekati rumah
yang letaknya menyendiri itu. Ki Samura tahu kalau rumah itu ditinggali oleh
sepasang suami istri yang telah berusia tua. Anak-anaknya telah berkeluargа dan
tidak tinggal dl situ lagi. Hanya ada seorang gadis kecil yang tinggal di rumah
itu untuk membantu segala keperluan kakek dan nenek itu.
Sesampainya di depan rumah
kecil berdinding bilik ini, Ki Samura mengatur napasnya yang agak
terengah-engah. Perasaan tegang yang melanda hatinya menjadi penyebabnya.
Setelah atur napasnya mulai
normal, laki-laki setengah baya ini mengambil selubung yang diselipkan di
lipatan pinggangnya. Kemudian dikenakannya.
Tangan penggali makam itu
tampak agak gemetar ketika mendorong pintu itu. Suara berderit pelan terdengar.
Rupanya pintu itu sama sekali tidak terkunci.
Dengan detak jantung yang
semakin kencang, Ki Samura menutupkan daun pintu kembali. Seumr hidupnya belum
pemah laki-laki setengah baya ini membunuh orang. Jangankan membunuh,
mengkhayalkan untuk membunuh orang pun belum pernah . Мака tidak aneh kalau
penggali makam ini merasa tegang bukan main.
Dalam keremangan cahaya obor,
terlihat oleh Ki Samura dua sosok tubuh yang tertidur di balai-balai bambu.
Sungguhpun suasana di situ remang-remang,laki-laki setengah baya ini mampu
mengenali sosok tubuh yang terbaring itu. Sosok tubuh seorang wanita tua dan
seorang anak gadis kecil. Ke mana sang kakek itu tanya Ki Samura dalam hati.
Sepasang matanya liar mengamati sekeliling. Tapi tetap saja tidak dijumpainya
kakek itu di situ.
Persetan dengan tua bangka
itu. Dia bisa dibereskaп belakangan. Yang penting bereskan yang ada dulu!
teriak laki-laki setengah baya ini dalam hati.
Srattt..!
Dicabutnya golok yang sejak
tadi terselip di pinggangnya. Dengan golok terhunus di tangan, penggali makam
ini melangkah pelahan-lahan mendekati balai-balai bambu.
Sebelum mengayunkan goloknya,
Ki Samura lebih dulu mengambil segumpal kain yang telah dipersiapkan, untuk
meredam suara teriakan si korban.
Kreppp...!
"Efffh...!"
Kain itu ditekapkan tepat ke
mulut si nenek. Karuan saja hal itu membuat si nenek bangun dan meronta kaget.
Dl saat itulah golok di tangan Ki Samura terayun deras ke arah perut si nenek
.
Crottt..!
Tidak ada suara jeritan yang
terdengar dari mulut si nenek yang malang ini. Sepasang matanya membeliak
lebar. Tangan dan kakinya meronta-ronta meregang nyawa. Tapi itu hanya
berlangsung sekejap, Sesaat kemudian tubuhnya pun terkulai lemas seiring dengan
lepasnya nyawa dari badannya.
Tidak ada yang tahu kematian
nenek yang malang itu. Bahkan gadis kecil di sebelahnya pun tidak mengetahui.
Rupanya anak itu terlalu letih setelah seharian penuh bekerja.
Hal yang sama pun berulang
pada gadis kecil itu ia pun tewas dibacok golok penggali makam itu. Ki Samura
tersenyum di balik selubungnya. Так pemah dibayangkan, kalau pekerjaannya akan
semudah ini. Kini hanya tinggal menunggu sang kakek. Kemana lagi, malam-malam
begini kalau bukan buang air. Мака tanpa membuang-buang waktu lagi, penggali
makam ini bergegas berjalan ke pintu belakang dan bersembunyi di baliknya.
Dugaan penggali makam ini
tidak salah. Belum berapa lama dia berdiri di situ, terdengar suara langkah
kaki mendekati pintu. Jantung Ki Samura berdegup keras, terbawa perasaan tegang
yang melanda dirinya.
Kriut..!
Terdengar suara derit keras
pintu yang terbuka, disusul dengan melangkah masuknya sesosok tubuh tua.
"Hih...!"
Ki Samura mengayunkan
tangannya. Menghantam tengkuk kakek itu dengan sisi telapak tangan miring.
Bukkk...!
"Hekh...!"
Kakek yang sial itu pun roboh
ke lantai. Pukulan tangan miring penggali makam ini memang keras bukan main.
Maklum pekerjaannya sehari-hari memang memerlukan tenaga kuat Ki Samura
tertawa dalam hati. Tidak disangkanya kalau pekerjaannya akan bisa terlaksana
semudah ini. taпра membuang-buang waktu lagi diayunkan goloknya ke punggung
kakek yang telah pingsan itu.
Crottt..!
Так ada sedikit pun suara yang
terdengar begitu golok itu menghunjam dalam di punggung kakek itu.
Ki Samura mencabut kembali
goloknya. Cairan merah kental mengalir deras begitu golok itu tercabut penggali
makam ini menyeringai puas, lalu dimasukкaп golok itu kembali ke sarungnya
setelah terlebih dulu disekanya golok yang berlumuran darah itu dengan pakaian
sang kakek .
Ki Samura lalu membungkukkan
tubuhnya memeriksa kakek itu. Khawatir kalau korbannya belum mati. baru setelah
yakin kakek itu telah benar-benar tewas, laki-laki setengah baya ini membuka
pintu dan berlari meninggalkan tempat itu.
***
"Hhh...!"
Ki Samura berdesah resah.
Sudah sejak tadi dia menunggu kedatangan gadis berpakaian biru muda. Pegal
rasanya sepasang matanya dibelalakkan ke arah gadis itu biasa datang.
Kembali ditundukkan kepalanya.
Menatap ke aral tiga buah peti mati yang berjajar di dekat kakinya Berlainan
dengan biasanya, kali ini Ki Samura sudah menggali dan sekaligus menaikkannya
ke atas sehingga bila gadis berpakaian biru muda itu datang, hanya tinggal
membawanya saja. Tentu saja penggali makam Ini tidak mungkin melakukannya
sendirian. Diajaknya seorang keponakannya untuk membantu, dan tentu saja
dijanjikan upah yang memuaskan.
Di benak Ki Samura terbayang
kembali peristiwa pembunuhan itu. Seluruh penduduk desa gempar ketika
mengetahui adanya korban pembunuhan. Ki Bacan, sang kepala desa, dan Bajuri,
seorang guru silat desa itu, berusaha keras mencari si pembunuh, tapi akhimya
mereka gagal.
Lamunan Ki Samura sirna
seketika, tatkala dilihatnya tiga sosok bayangan yang berkelebat cepat menuju
ke arahnya. Sungguhpun suasana masih remang- emang, laki-laki setengah baya ini
dapat mengenal kalau sosok tubuh yang berada paling depan adalah sosok tubuh dari
gadis berpakaian biru muda.
Ketiga sosok bayangan itu
semakin lama semakin dekat dengan penggali makam itu. Di tengah-tengah suasana
malam agak remang-remang, Ki Samura masih bisa mengenail kedua sosok bayangan
yang datang bersama Malini.
Sekejap kemudian, ketiga sosok
tubuh itu telah berada di depan Ki Samura. Laki-laki setengah baya ini melirik
sekilas ke arah dua orang yang datang bersama Malini. Dan seketika itu juga
bulu di sekujur tubuhnya merinding.
Betapa tidak?
Sosok tubuh pertama adalah seorang
laki-laki tengah baya bertubuh kurus kering, bergigi tonggos. Tapi bukan itu
yang membuat Ki Samura merasa ngeri, melainkan sinar mata laki-laki itu. Sorot
mata kakek itu begitu mengerikan. Begitu juga sorot mata sosoк tubuh orang
kedua, yang ternyata adalah seorang wanita setengah baya berpakaian merah dan
bercadar hitam.
"Bagaimana, Samura? Sudah
kau dapatkan pesananku?" tanya Malini.
Penggali makam itu hanya dapat
menganggukkan kepalanya. Tangannya menunjuk ke arah tiga buah peti mati yang
berjajar di bawah kakinya. Kengerian yang masih mencekam, membuatnya belum
mampu mengeluarkan suara sedikit pun.
Malini membungkukkan tubuhnya.
Kemudian tangannya yang halus dan mungil itu terjulur ke arah peti mati.
Pelahan saja kelihatannya jari-jari tangan berkulit halus itu bergerak. Tapi
akibatnya suara berderak keras terdengar ketika tutup peti mati itu terbuka.
Ayah dan ibu gadis berpakaian
biru muda itu tidak berpangku tangan saja, mereka pun segera membuka tutup peti
mati itu.
Serentak anak beranak itu
melongokkan kepala melihat isi peti mati itu.
"Bagaimana, Ayah? Benar
mereka tewas malam bulan purnama?" tanya Malini.
Laki-laki setengah baya itu
hanya mengangguk kepala. Terdengar suara gumaman tidak jelas dari mulutnya.
"Mail kita pergi,
Malini," ajak sang ibu. "Tapi, jangan lupa. berikan imbalan atas
jerih payah orang suruhanmu ini."
Malini hanya menganggukkan
kepalanya. Sementara Ki Samura menunggu dengan perasaan tegang Sudah bisa
dipastikan kalau upahnya kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya.
"Ini upahmu,
Samura...," desis Malini tajam seraya mengulurkan tangannya ke arah wajah
penggali makam itu.
Cepat bukan main gerakannya
sehing sebelum laki-lald setengah baya itu tahu ара yang terjadi, jari-jari
tangan gadis berpakaian biru muda itu telah mencengkeram keras rahangnya.
"Akh...!"
Ki Samura berteriak keras.
Tulang rahangnya sakit luar biasa seperti bukan dicengkeram oleh tangan halus
seorang gadis, melainkan oleh jepitan baja yang amat kuat Semakin lama
cengkeraman jari-jari tangan gadis itu semakin kuat dan menyakitkan.
Terdengar suara bergemeretakan
keras ketika tulang rahang Ki Samura hancur berantakan. Darah menyembur deras
dari mulut laki-laki setengah baya malang itu.
Tapi pekerjaan Malini tidak
hanya sampai di situ saja . Tangan kanannya kembali bergerak mengibas.
Kelihatannya pelahan saja.
Plakkk..!
"Akh...!"
Suara berderak keras terdengar
mengiringi remuknya tulang tulang pelipis Ki Samura. Tubuh penggali makam itu
terpelanting dan jatuh di tanah. Laki-laki setengah baya itu
menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi .
Malini mengebut-ngebutkan
tangannya. Dipandanginya tubuh yang tergolek diam itu sejenak Baru setelah itu
dihampirinya peti mati yang berjajar, lalu diambilnya satu dan diangkatnya. Sementara
yang dua lagi, dibawa oleh ayah dan ibunya.
"Dengan mayat-mayat ini,
dunia persilatan akan kita buat gempar...!" ucap kakek bergigi tonggos
itu. suaranya terdengar aneh. Parau tapi bergaung.
Setelah berkata demikian,
tubuh kakek itu melesat dari situ. Diikuti oleh istri dan anaknya. Dalam
sekejap saja bayangan tiga sosok tubuh itu telah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Kini kesunyian kembali melanda
daerah pekuburan itu. Yang tampak hanyalah sesosok tubuh tak bernyawa dari
seorang laki iaki setengah baya. Tubuh Ki Samura.
***
Plak ..... !
Seorang pemuda berambut putih
keperakan menepuk punggung tangan kirinya. Dan begitu tapak tangan kanannya
digeserkan, tampaklah bangkai seekor semut merah di punggung tangan kirinya
itu.
"Hhh...!" desah pemuda
yang temyata adalah Dewa Arak ini Dijulurkan tangannya mengambil guci arak yang
digantungkan di salah satu cabang pohon .Memang Arya saat ini tengah
beristirahat di atas sebuah cabang pohon.
Bagi orang seperti Dewa Arak,
merupakan hal yang biasa tidur dan beristirahat di atas pohon. Tapi kali ini
rupanya nasib sial tengah melanda dirinya. Baru saja sepasang matanya terpejam,
seekor semut merah besar telah mengggitnya. Sehingga membuat tidurnya terjaga .
Tapi baru saja Arya mengangkat
guci arak ke ata kepala untuk dituangkan ke mulutnya, pendengarannya yang
tajam menangkap suara langkah kaki ringan yang berlari cepat ke arahnya.
Perasaan ingin tahu mendorong pemuda berbaju ungu ini untuk menolehkan
kepalanya.
Begitu kepalanya menoleh,
dilihatnya tiga sosok bayangan melesat lewat di bawahnya. Karuan saja Dewa Arak
menyipitkan matanya untuk lebih jelas melihat orang yang di malam selarut ini
masih berlari-lari.
Hati Arya tercekat begitu
melihat agak jelas. Betapa tidak? Ketiga sosok tubuh yang berlari cepat itu
semua membopong sebuah peti mati ? Hantukah mereka ? tanya Dewa Arak dalam
hati. Seketika dadanya berdebar tegang.
Tapi hantu atau bukan, yang
jelas kelakuan mereka sangat mencurigakan. Pencurikah ketiga orang ini ? duga
Dewa Arak lagi dalam hati.
"Hup...!"
Dewa Arak melompat turun dari
atas pohon. Dibatalkan maksudnya untuk meminum arak Kembali guci Itu
disampirkan di punggung. Kemudian pemuda berambut putih keperakan ini berlari
mengejar ke arah tiga bayangan itu melesat. Masih terlihat olehnya ketiga sosok
tubuh yang berlari dalam jarak puluhan tombak di depannya.
Tiga sosok tubuh yang berlari
cepat sambil memanggul peti mati itu, adalah Malini bersama ayah dan ibunya,
yang baru saja pergi setelah membunuh Ki Samura.
"Ada orang yang mengikuti
kita," bisik laki-Iaki setengah baya bergigi tonggos itu pada anak dan
istrinya.
"Biar kubereskan dia,
Ayah," sahut Malini menawarkan diri.
"Jangan," cegah
Hantu Putih. "Kau terus saja lanjutkan perjalanan bersama ibumu. Biar Ayah
yang akan mengurus penguntit berani mati itu!"
Malini dan ibunya tidak
membantah. Terus saja keduanya melanjutkan lari mereka. Sedangkan Hantu Putih
berhenti berlari, kemudian dibalikkan tubuhnya menanti kedatangan si pengejar.
Peti mati yang sejak tadi dibopomgnya, diletakkan di tanah.
Dewa Arak menghentikan
langkahnya ketika melihat salah satu dari tiga orang yang dikejar menunggunya.
Dalam jarak sekitar tiga
tombak, Arya menatap sosok tubuh yang berdiri di hadapannya tajam-tajan
Kemudian pandangannya beralih pada peti mati yan tergeletak di tanah dekat kaki
orang itu.
"Siapa kau, Kisanak? Dan
mengapa di malam selarut ini berlari-Iari dengan membawa-bawa peti. Boleh
kutahu, peti mati milik siapakah itu?"
Ayah Malini mengerutkan dahi,
sepertinya dia pernah melihat pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi dia
lupa, kapan dan di mana? Betapapun telah diusahakannya untuk mengingat-ingat,
tapi tetap saja Hantu Pufih tidak mampu mengingatnya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya
tatkala pertanyaannya sama sekali tidak dijawab laki-laki setengah baya di
depannya. Arya menjadi bertambah curiga. Sikap laki-laki bergigi tonggos ttu
terlalu mencurigakan. Apalagi jika melihat potongannya. Potongan Hantu Putih
mengjngatkan Dewa Arak pada orang-orang yang berkelakuan tidak baik .
"Hih...!"
Mendadak saja Hantu Putih
melesat menerjang , tangan kanannya menyampok pelipis Dewa Arak
Wuuttt...!
Angin keras berkesiur
mengiringi tibanya serangan ini. Dewa Arak tidak berani bersikap gegabah. Sama
sekali tidak ingin ditangkisnya serangan itu sebelum mengetahui kekuatan tenaga
dalam lawan. Memang begitulah sifat Dewa Arak, selalu bersikap hati-hati dalam
menghadapi setiap persoalan.
Arya mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, sehingga sampokan tangan yang berbentuk cakar itu liwat sejengkal di
depan wajahnya. Angin yang berkesiur keras membuat rambutnya berkibar.
Wuttt..!
Kini tangan kiri laki-laki
bergigi tonggos itu yang ganti menyambar begitu serangan pertamanya lolos.
Tangan yang berbentuk cakar itu menyampok deras dagu Dewa Arak dari arah bawah
ke atas.
Dan Arya tidak ragu-ragu lagi.
Dari angin serangan lawannya tadi, sudah dapat diketahui kekuatan tenaga
dalamnya. Kekuatan tenaga dalam lawan ternyata mencapai tiga perempat tenaga
dalamnya. Мака Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh tenaga
dalam pada tangkisannya. Tangan kirinya digerakkan ke bawah untuk menjegal
tibanya serangan Itu.
Takkk...!
"Akh...!"
Laki-laki bergigi tonggos itu
terpekik kaget Sekujur tangannya terasa lumpuh. Dadanya pun dirasaкап sesak
Apalagi tulang-tulang tangannya yang berbenturan dengan tulang-tulang tangan
pemuda berambut putih keperakan di hadapannya.
Tulang-tulang itu nyeri dan
sakit bukan kepalang. Seolah-olah yang beradu dengan tulang tangannya bukan
tangan manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan sebatang baja
yang amat kuat .
Dewa Arak yang tidak mempunyai
urusan dengan orang di hadapannya, tidak membalas dengan serangan susulan. Dia
hanya ingjn mengetahui, mengai orang ini berlari-lari sambil memanggul peti
mati pada malam hari.
Hantu Putih menggeram. Rasa
sakit yang dideritanya akibat benturan tadi, menimbulkan kemarahan yang amat
sangat Tapi di samping kemarahan, timbul pula rasa khawatir. Pemuda di
hadapannya ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Rasanya akan sangat
memakan waktu bila terlibat pertarungan. Sementara malam telah semakin larut,
bahkan telah mulai menjelang dinihari. Dia harus cepat pergi dari sini, sebelum
pagi tiba.
Laki-laki setengah baya itu
memejamkan matanya sejenak Kedua tangannya dibuka dan segera dirapatкап di
depan dada. Mulutnya komat-kamit sebentar, seperti mengucapkan sesuatu. Sesaat
kemudian terlihat tangan yang kedua telapaknya menempel itu, tergetar hebat.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Dia sama sekali tidak mengetahui ара yang akan dilakukan lawannya. Tapi, yang
jelas pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan tengah mengeluarkan
ilmunya. Entah ilmu ара yang akan digunakannya, Dewa Arak sama sekali tidak
mengetahui.
Beberapa saat kemudian, kedua
tangan yang menempel itu terbuka dan bergerak pelan seperti melambai-lambai.
Semula Arya sama sekali tidak
mengerti. Tapi sesaat kemudian, keterkejutan yang amat sangat pun melandanya.
Tubuhnya tiba-tiba saja tertarik ke depan. Karuan saja tarikan tiba-tiba tanpa
sepengetahuan Dewa Arak, membuat tubuh pemuda berambut putih keperakan ini
terhuyung-huyung ke depan! .
Arya sadar akan adanya bahaya
besar yang mengancamnya, kalau dia tidak segera mematahkan tarikan aneh pada
tubuhnya. Seketika itu juga, Dewa Arak sadar kalau dirinya kembali berhadapan
dengan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu aneh. Мака bergegas dijejakkan
kedua kakinya sambil mendoyongkan tubuh ke belakang, untuk memusnahkan daya
tarik aneh pada tubuhnya.
Tapi kejadian yang tidak
disangka-sangka Dewa Arak kembali terjadi. Selagi pemuda ini berkutet menahan
tarikan kuat aneh yang memaksanya ke depan, tiba-tiba tangan laki-laki
setengah baya itu mengibas ke depan.
Dan akibatnya mengejutkan Dewa
Arak Daya tarik yang membetotnya ke depan tiba-tiba hilang secara mendadak,
berganti dengan daya dorong ke arah belakang!
Tentu saja perubahan yang
terjadi secara tiba-tiba Ini membuat Dewa Arak yang tidak menduga hal itu tidak
berdaya. Pada saat itu, tengah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik
tubuhnya ke belakang. Мака karuan saja begitu daya tarik itu berubah menjadi
daya dorong, Arya tidak sempat berbuat sesuatu.
Jangankan daya tarik itu
berubah menjadi daya dorong, daya tarik itu hilang saja, sudah cukup untuk
membuat Dewa Arak terjengkang ke belakang. Apalagi setelah tubuhnya mendapat
tambahan daya dorong. Мака kekuatan yang mendorongnya ke belakang pun semakin
bertambah kuat .
Так pelak lagi, tubuh Dewa
Arak pun terjengkang jauh ke belakang, tanpa pemuda itu mampu untuk berbuat
sesuatu
Brukkk...!
Dengan mengeluarkan suara
berdebuk keras. Tubuh Dewa Arak jatuh di tanah. Dan sebelum Arya sempat
berbuat sesuatu, Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah sekali.
Derrr!
Begitu Hantu Putih
menghentakkan kakinya di tanah, sepasang mata Dewa Arak terbelalak ketika
menyadari tubuhnya tidak mampu bangkit berdiri. Ada kekuatan aneh yang membuat
tubuhnya terpaku kaku di tanah.
Dewa Arak mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk mematahkan kekuatan tak nampak yang menekannya.
Hantu Putih tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi Dewa Arak belum mampu membebaskan diri
dari pengaruh ilmunya, segera dia melompat menyerang.
Arya berusaha keras untuk
memberontak lepas dari tekanan kekuatan aneh itu. Tapi, walaupun telah
dikerahkan selurah tenaga dalam yang dimilikinya, tetap saja pemuda itu tidak
mampu membebaskan diri. Sedangkan serangan dari Hantu Putih semakin menyambar
dekat
Tidak ada jalan lain bagi Dewa
Arak Dengan posisi tubuh setengah berjongkok itu, dimainkannya jurus 'Pukulan
Belalang'. Kedua tangannya dihentakkan ke depan ke arah tubuh lald-laki bergigi
tonggos yang tengah meneijang ke arahnya.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menderu dahsyat ke arah tubuh Hantu Putih. Laki-laki bergigi tonggos ini
terbeliak kaget Sungguh tidak disangkanya kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki ilmu pukulan yang begitu dahsyat Serangan itu datang begitu
tiba-tiba, padahal tubuhnya sedang berada di udara. Sebisa-bisanya digeliatkan
tubuhnya. Tidak berani dia menangkis pukulan jarak jauh yang dahsyat Itu.
Usaha untung-untungan yang
dilakukan Hantu Putih membuahkan hasil juga. Angin keras berhawa panas itu
menyambar lewat di samping kiri pinggangnya.
"Hup...!"
Dengan wajah pucat penuh
keringat dingin, Hantu Putih mendaratkan kedua kakinya di tanah. Hampir saja
nyawanya melayang! keluhnya dalam hati. Dengan punggung tangan, diusap keringat
dingin yang membasahi wajahnya.
"Hiya...!"
Arya mengeluarkan teriakan
nyaring melengking tinggi dalam upayanya untuk membebaskan diri dari tekanan
aneh ilmu lawannya. Suara teriakan ini membuktikan kalau Dewa Arak telah
mengerahkan tenaga dalam yang dimiliki sampai ke puncaknya.
Hantu Putih merasa betapa
dadanya terguncang. Telinganya pun dirasakan sakit bukan main. Laki-laki
bergigi tonggos ini tidak Ingin membuang-buang waktu lagi. Dia tidak berani
mencoba menyerang Dewa Arak lagi. Walaupun pemuda itu telah dibuatnya tidak
mampu berganti posisi, tapi tetap membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
membinasakannya. Sementara waktunya sangat terbatas.
Hantu Putih tahu, seorang
sakti seperti pemuda, berambut putih keperakan itu tidak akan dapat ditahan
lama dengan pengaruh ilmunya. Mumpung pemuda itu belum mampu bangkit, Hantu
Putih bergegas mengangkat peti yang tergeletak di tanah. Kemudian melesat kabur
dari situ, setelah sebelumnya menghentakkan kakinya sekali lagi ke tanah untuk
membuat pemuda itu agak lama membebaskan diri.
"Ahhh...!" keluh
Arya dalam hati.
Pemuda berbaju ungu ini baru
saja merasakan kekuatan aneh yang menekan sekujur tubuhnya sudah mulai berkurang,
tapi kembali menguat begitu Hantu Putih menghentakkan kakinya sekali lagi. Dewa
Arak merasa penasaran bukan main. Kembali dikerahkan teluruh tenaga dalamnya
untuk membebaskan diri dari Ilmu aneh Hantu Putih. Urat-urat di sekujur
tubuhnya menggembung ketika Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki sampai ke puncaknya.
"Kenapa kau, Anak
Muda?" terdengar di telinga Dewa Arak suara lembut menegurnya. Luar biasa!
Seiring dengan hilangnya gema suara teguran itu, pantekan pada sekujur tubuhnya
lenyap secara mendadak .
Bergegas Dewa Arak bangkit
dari posisinya yang setengah berjongkok Peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya,
diusap dengan punggung tangan.
Dewa Arak menatap wajah orang
yang menegurnya tadi. Tapi secepat sepasang matanya melihat wajah orang itu,
secepat itu pula dialihkan sepasang matanya dari orang yang berdiri di
hadapannya.
Orang itu ternyata adalah
seorang kakek yang sudah berusia sangat tua. Alis, kumis, cambang, dan
jenggotnya telah memutih semua Bahkan panjang jenggotnya pun sampai melewati
dada. Pakaian kakek Itu putih bersih. Rambutnya digelung. Di tangan kanannya
tergenggam seuntai tasbeh.
Tapi bukan hal itu yang
membuat Dewa Arak mengalihkan pandangan. Sekujur tubuh kakek Itu bersinar.
Apalagi wajahnya. Sinar yang membuat orang tidak kuat untuk menatap lama-lama.
"Tidak, Kek. Aku tidak
apa-apa...," sahut DewaArak- Ditatapnya wajah kakek itu sekilas.
"He he he...! Kau tidak
jujur, Anak Muda," ujar kakek berpakaian putih bersih itu . "Kau baru
saja terbebas dari pantekan ilmu lawanmu, bukan?"
Diam-diam Dewa Arak terkejut.
Kakek tua ini temyata mengetahui keadaan yang dialaminya! .
"Ара yang Kakek katakan
memang benar. Tapi aku pun sama sekali tidak berbohong. Bukankah aku tidak
apa-apa?" bantah Arya.
Kakek berpakaian serba putih
itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan seulas senyuman
lebar. Tapi, tiba-tiba dahinya berkerut ketika melihat punggung Dewa Arak.
"Dari mana kau dapatkan
guci Itu, Anak Muda?" tanya kakek itu lagi, seraya menuding ke arah guci
yang tersampir di punggung Dewa Arak
"Kata adik guruku, guci
ini pemberian dari guruku, Kek," jawab Dewa Arak jujur (Untuk jelasnya,
bacalah Serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").
"Hm..., siapa kau, Anak
Muda. Siapa pula yang kau sebut guru dan adik dari gurumu itu?" desak
kakek itu lagi.
"Namaku Arya, Kek Arya
Buana...."
"Arya Buana?" gumam
kakek berpakaian putih Itu mengulang. "Lalu, siapa gurumu dan adik gurumu
itu?"
"Maafkan aku, Kek.
Sebelum kuberitahukan nama guru dan adik guruku Itu, bolehkah aku tahu siapa
Kakek?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"He he he...!" kakek
berpakaian putih itu tertawa lerkekeh. "Aku? Aku sendiri hampir lupa
dengan namaku. Bahkan nama adik kandungku sendiri saja aku sudah lupa. Tapi
julukannya aku tidak lupa. Ular Hitam, begitu julukan adik kandungku."
Arya sampai terlonjak ke
belakang mendengar jawaban ini. Ular Hitam hanya mempunyai seorang kakak
kandung. Dan kakak kandung Ular Hitam itu adalah guru Dewa Arak, bemama Ki
Gering Langjt. Jadi kakek berpakaian putih bersih di hadapannya inlkah yang
bernama Ki Gering Langit?
"Jadi..., jadi... Kakek
Ini guruku? Kakek Ular Hitam adalah adik kandung guruku...," ucap Arya
terbata-bata.
Ada rasa keharuan yang melanda
hatinya. Memang sudah sejak lama pemuda ini Ingin bertemu dengan gurunya.
Karena selama ini Arya belum pernah bertemu langsung. Dia hanya belajar di
bawah pengawasan Ular Hitam, adik gurunya ini (Untuk jelasnya, bacalah serial
Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Мака tentu saja pertemuan yang
tidak disangka-sangka ini membuatnya seolah-olah sedang bermimpi.
Kakek berpakaian puiih yang
ternyata Ki Gering Langit, menepuk-nepuk pundak Dewa Arak .
"Sudah kuduga..., begitu
melihat guci di punggungmu, aku sudah menduga kalau kau adalah muridku. О ya,
Arya. Aku tidak melihat adanya Pedang Bintang. Ke mana pedang itu?" tanya
Ki Gering Langit.
"Kusimpan di tempat
tinggal Kakek Ular Hitam, Guru," jawab Dewa Arak "Di sebuah tempat
yang aman dan tidak akan mungkin orang tahu."
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti.
"O ya, Arya.... Bagaimana
keadaan Ular Hitam sekarang?"
Seketika itu juga wajah Dewa
Arak berubah mendung. Pertanyaan gurunya itu membuatnya teringat kembali akan
kematian Kakek Ular Hitam dan ibunya yang tewas di tangan Darba (Untuk
jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang
Pendekar").
Tanpa mendapat jawaban lagi
pun, Ki Gering Langit sudah dapat mengetahui kalau ada kejadian buruk yang
telah menimpa adik kandungnya itu. Tapi meskipun begitu, tanpa mendengar berita
itu sendiri dari mulut muridnya, dia masih kurang yakin.
"Katakanlah, Arya.
Seburuk ара pun berita yang kuterima, masih lebih baik daripada dilanda ketidak
pastian mengenai nasib adik kandungku."
Dewa Arak menghela napas panjang.
"Kakek Ular Hitam telah
tewas, Guru," ucap pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
Tidak ada perubahan sama
sekali yang teriihat pada wajah Ki Gering Langit. Wajah itu masih tetap seperti
semula. Tenang. Hati Arya kagum melihat hal ini Sama sekali pemuda berambut
putih keperakan ini tidak mengetahui kalau berita itu bagi kakek berpakaian
putih bersih itu, lebih terasa mengejutkan daripada halilintar menyambar di
dekatnya. Tapi berkat kematangannya, sungguhpun hatinya kaget bukan main,
wajahnya sama sekali tidak menampakkan perasaan ара-ара.
"Bagaimana dia bisa
tewas, Arya?" tanya Ki Gering Langit lagi penuh rasa ingin tahu.
Dewa Arak pun menceritakan
semua yang telah terjadi. Sementara Ki Gering Langit mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Так sekali pun kakek berpakaian putih bersih ini menyela
cerita muridnya, hingga Arya menghentikan ceritanya.
"Begitulah kejadiannya.
Guru," ucap Dewa Arak menutup ceritanya.
Ki Gering Langit
mengangguk-anggukkan kepala .
"Tidak usah disedihkan
lagi Arya. Yang sudah nya terjadi biarlah berlalu," ucap kakek berpakaian
putih bersih itu memberi nasehat "O ya, tadi aku melihat kau sepertinya
tidak mampu bangkit Ара yang telah terjadi, Arya?"
"Entahlah, Guru. Aku pun
tidak mengerti," sahul Dewa Arak pelahan Memang pemuda berambut putih
keperakan ini sama sekali tidak mengerti ара yang dialaminya tadi.
"Ceritakanlah. Mungkin
aku bisa membantu," sambut Ki Gering Langit .
Dewa Arak tercenung sebentar.
Kemudian diceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dari mulai dia melihat
tiga sosok bayangan berkelebatan membawa peti mati, sampai akhimya Hantu Putih
kabur setelah membuat dirinya tidak berdaya.
Ki Gering Langit
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Rupanya kau berhadapan
dengan orang yang memiliki ilmu hitam, Arya. Dan peti mati yang kau lihat itu
sudah pasti berisi mayat manusia. Sudah bisa kutebak kalau orang itu pasti
menggunakannya untuk mendapatkan sebuah ilmu."
"Lalu, ilmu apakah yang
dipergunakan oleh lawanku tadi, Guru?"
"Semacam ilmu yang
kumiliki. Hanya saja, Ilmu yang dimiliku orang itu didapatkan melalui jalan
hitam. Yahhh..., seperti yang kau ceritakan tadi. Mencuri mayat! Mendengar
ceritamu tadi, ilmu yang dipergunakan orang Itu mirip dengan aji 'Tarik Raga',
dan aji 'Tolak Raga'. Sedangkan ilmu yang membuatmu terpaku di tanah tanpa
mampu berbuat apa-apa adalah aji 'Pantek Raga'!" .
"Apakah Guru juga
memiliki Ilmu-Ilmu itu?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Ki Gering Langit menganggukkan
kepalanya.
"Maukah Guru
mengajarkannya padaku?" pinta Arya penuh harap.
"Sayang sekali,
Arya," jawab Ki Gering Langit " Ilmu itu tidak bisa kau dapatkan,
karena Ilmu 'Belalang Sakti' yang kau miliki, menjadi penghambat untuk bisa
menguasai ilmu-ilmu itu. Tapi aku bisa memberikan padamu cara untuk menangkal
ilmu-ilmu seperti Itu."
Dewa Arak pun terdiam.
"Kalau kau ingin tahu,
aku bisa mempertunjukkan Ilmu-ilmu itu kepadamu. Terutama sekali ilmu yang
bernama 'Pitunduk'!"
"'Pitunduk...?"
ulang Arya Buana. Sepasang alisnya berkerut pertanda pemuda itu dilanda
perasaan heran. "Ilmu ара itu, Guru?"
Ki Gering Langit tersenyum
lebar.
"Pengertian flmu
'Pitunduk', adalah ilmu yang menyempurnakan raga manusia," sahut Ki Gering
Langit menjelaskan.
Semakin banyak kerut-merut di
dahi Dewa Arak. Penjelasan gurunya semakin membuat dirinya bertam- bah bingung.
"Aku belum mengerti,
Guru," ucap Arya jujur.
"Memang susah untuk
dimengerti, Arya. Dan kau tidak akan bisa mendapatkannya sampai kapanpun Namun
secara kasar dapat kuberi penjelasan. Dan ilmu 'Pitunduk' itu, kau dapat memperlakukan
orang atau benda ара pun sesuai kehendakmu."
"Maukah Guru
memperlihatkannya padaku?" pinta Dewa Arak
Ki Gering Langit menganggukkan
kepalanya.
"Bersiaplah kau,
Arya," ucap kakek berpakaian putih bersih itu.
Dewa Arak pun melangkah mundur
tiga tindak
"Serang aku dengan
seluruh kemampuan yang kau miliki," perintah Ki Gering Langit.
Dewa Arak memberi hormat.
"Maafkan aku, Guru,"
ucap Dewa Arak sebelum memulai penyerangan. Diambilnya guci yang tersampir di
punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan begitu
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak Seketika itu juga hawa hangat yang
melanda perut pemuda berambut putih keperakan itu menyebar. Dan terus naik ke
kepala.
"Hiyaaa...!"
Dewa Arak melompat menerjang
Ki Gering Langit Guci peraknya diayunkan ke arah bahu gurunya.
Angin keras berhembus sebelum
serangan guci itu tiba. Tapi kakek berpakaian putih bersih itu masih teriihat
tenang saja. Tidak tampak melakukan suatu gerakan ара pun.
Baru setelah serangan Itu
menyambar dekat, Ki Gering Langit menghentakkan kakinya sekali ke tanah seraya
berseru keras.
"Rubuh...!"
Akibatnya hebat sekali! Tubuh
Dewa Arak yang tengah melompat itu tiba-tiba terhenti di tengah Jalan, dan
langsung ambruk ke tanah seperti karung basah.
Dewa Arak menyeringai. Sekujur
tubuhnya terasa lemas. Dan ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Biasanya
setiap kali menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', jangankan lemas seperti ini,
tenaganya berkurang pun tidak pernah!
Untuk yang kedua kafinya Ki
Gering Langit kembali berteriak seraya menghentakkan kakinya ke tanah.
Derrr!
"Naik...!"
Ajaib! Tubuh Dewa Arak yang
tergolek lemah di tanah itu tiba-tiba terangkat naik sampai setinggi dua
tombak, dan diam terapung di udara. Tentu saja hal ini. membuat Arya kaget
setengah mati. Walaupun pemuda berambut putih keperakan itu berusaha
mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh, tetap saja usahanya itu
sia-sia.
"Selama aku belum
memerintahkan turun, kau tidak akan pemah turun, Arya. Sampai kapan
pun...," jelas Ki Gering Langit .
Dewa Arak hanya dapat
menganggukkan kepalanya. Pemuda berbaju ungu ini masih terlalu kaget melihat
kemukjizatan ilmu 'Pitunduk' itu, sehingga tidak mampu berkata-kata.
Setelah berkata demikian,
kakek berpakaian putih bersih itu kembali menghentakkan kakinya ke tanah.
"Jatuh...!" teriak
Ki Gering Langit keras.
Begitu teriakan kakek
berpakaian putih bersih itu selesai diucapkan. Tubuh Dewa Arak meluncur jatuh.
Brukkk..!
Dewa Arak menyeringai menahan rasa
nyeri yang amat sangat pada pantatnya. Betapa tidak? Dia meluncur jatuh dari
ketinggian dua tombak tanpa mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Teriakan-teriakan dan hentakan-hentakan kaki Ki Gering Langit telah membuat
seluruh tubuhnya lemah lunglai tanpa daya.
"Sudah jelas, Arya?"
tanya kakek berpakaian putih bersih itu .
Dewa Arak hanya mampu
menganggukkan kepalanya. Lidah dan bibirnya terasa kelu.
"Pulihkan dulu
kekuatanmu, Arya," perintah Ki Gering Langit Lembut dan pelahan saja
suaranya.
Dewa Arak sama sekali tidak
membantah. Segera dia duduk bersila. Kemudian dirapatkan kedua tangannya di
depan dada, bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sesaat kemudian pemuda
berambut putih keperakan Itu pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Так lama kemudian, setelah
dirasakan tenaganya telah pulih kembali, Arya pun menghentikan semadinya. Tapi,
gurunya sudah tidak teriihat lagi. Dewa Arak menolehkan kepalanya ke sana
kemari, mencari-cari .
"Guru...," panggil
pemuda berambut putih keperakan itu pelahan.
"Aku pergi dulu, Arya.
Aku akan menjenguk kuburan adikku," terdengar suara Ki Gering Langit
menggema di sekitar tempat itu.
"Lalu, bagaimana janji
Guru untuk mengajarkan padaku ilmu yang dapat memunahkan ilmu hitam lawanku
tadi?" tanya Dewa Arak bemada mengingatkan.
"Sebutlah namaku tiga
kali, kemudian hentakkan kakimu sekali ke tanah...."
"Guru...," panggil
Dewa Arak lagi. Tapi kini tidak terdengar suara sahutan lagi. Jelas, Ki Gering
Langit telah pergi meninggalkan tempat itu.
****
'"Pitunduk'..."
desah Dewa Arak Ada nada kengerian tatkala pemuda berambut putih keperakan itu
mengucapkanriya. "Sungguh sebuah ilmu mukjizat!"
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak bangkit dari duduk bersilanya. Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan
tempat itu. Arya kini mempunyai sebuah tugas. Mencari dan menangkap Hantu Putih
beserta anak dan istrinya.
Plakkk!
Dewa Arak menepak kepalanya
sendiri. Mengapa dia begitu bodoh. Bukankah Singa Hitam telah menceritakan
kepadanya ciri-ciri tokoh sesat yang banyak memiliki ilmu hitam itu? Dan semua
ciri-ciri yang diberitahukan Singa Hitam, menunjuk kepada orang yang tadi
bertarung melawannya. Ah, mengapa dia jadi begitu bodoh?
„Hantu Putih, istri, dan
anaknya. Berarti mereka berjumlah tiga orang. Sementara orang-orang pembawa
peti yang dikejamya juga beijumlah tiga orang. Ya! Jelas sudah! Tiga orang yang
tadi di adalah Hantu Putih bersama anak istrinya.
Kini teringat lagi Dewa Arak
akan cerita Singa Hitam, kalau Hantu Putih tengah mempelajari ilmu hitam baru
yang mengerikan. Tapi ilmu ара tidak diketahuinya.
"Ah...! Jangan-jangan,
ketiga peti yang sudah pasti berisi mayat manusia itu adalah salah satu syarat
untuk mempelajari Ilmu hitam itu!" duga Dewa Arak ketika teringat pada
peti-peti mati yang dibawa Hantu Putih sekeluarga.
Berpikir begitu, Dewa Arak pun
melanjutkan langkahnya. Arya tahu tidak ada gunanya lagi mengikuti jejak Hantu
Putih. Tokoh hitam itu telah lenyap tanpa ketahuan jejaknya. Kini Dewa Arak
memutuskan untuk mencari kebenaran dugaannya. Benarkah ada keluarga yang
kehilangan mayat keluarganya?
***
Hantu Putih berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Laki-laki bergigi
tonggos ini khawatir kalau-kalau pemuda berambut putih keperakan Itu bebas
dari pantekan ilmunya. Padahal dia tengah memburu waktu.
Setelah cukup jauh berlari
keluar dari hulan itu,Hantu Putih mulai mendaki sebuah bukit kecil. Lincah dan
ringan laksana seekor kera tubuhnya melenting ke sana kemari.
Так lama kemudian,
laki-laldibergigi tonggos ini pun tiba di depan sebuah gua yang cukup besar. Di
situ telah menunggu anak dan istrinya. Di dekat kaki keduanya tergeletak dua
buah peti mati.
"Bagaimana, Ayah? Sudah
Ayah bunuh orang yang menguntit kita?" tanya Malini begitu dilihatnya
Hantu Putih telah meletakkan peti yang dibawanya di tanah.
Laki-laki berpakaian serba
putih itu menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Ayah? Apakah
orang itu kabur?" tanya gads berpakaian biru itu lagi penasaran.
"Tidak...."
"Lalu kenapa, Ayah?"
desak Malini lagi.
Hantu Putih menatap wajah
putrinya lekat-lekat.
"Pemuda itu memiliki
kepandaian luar biasa," jawab laki-laki bergigi tonggos itu setengah
mendesah.
Sepasang mata Malini
terbelalak
"Seorang pemuda? Dan Ayah
tidak mampu mengalahkannya?" tanya gadis berpakaian biru muda itu setengah
tak percaya.
Hantu Putih menganggukkan
kepalanya. Kekecewaan yang amat sangat terbayang jelas pada wajah laki-laki
berpakaian putih itu. Dan memang, Hantu Putih merasa terpukul bukan main. Belum
pernah seumur hidupnya, dia dikalahkan oleh seorang pemuda.Jangankan pemuda,
tokoh tingkatan tua pun jarang yang mampu menandinginya . Tidak aneh jika dia
merasa penasaran bukan main. Kalau saja tidak terlalu dikejar waktu, mungkin
sudah ditandinginya pemuda yang membuatnya penasaran itu.
"Ingin sekali aku melihat
seperti ара pemuda yang telah mampu membuat Ayah kewalahan itu," gumam
Malini pelan.
Sepasang mata Hantu Putih
merayapi wajah putrinya lekat-lekat Seperti ingin mencari kesungguhan ucapan
gadis itu di wajahnya.
"Pemuda itu berbaju ungu
dan berambut putih keperakan," sambut laki-laki berpakaian putih ini
memberitahu.
"Ah...! Dia...?!"
seru Malini terkejut Ingatan gadis ini seketika melayang pada orang yang telah
membuat dia sekeluarga selamat. Seorang pemuda lihai yang telah membuat
perasaannya jadi tidak menentu.
Pekik keterkejutan putrinya
tentu saja membuat Hantu Putih dan istrinya terkejut Sepasang mata Hantu Putih
menatap Malini tepat pada bola matanya, seperti ingin menguak rahasia yang
tersembunyi di dalam dada gadis itu.
"Kau mengenalnya,
Malini?" tanya Hantu Putih. Ada nada ketidakpercayaan pada suaranya.
"Mengenalriya sih,
tidak," sahut Malini dengan wajah merona merah. Entah kenapa pertanyaan
ayahnya itu membuat perasaan malunya timbul. Gadis berpakaian biru muda ini
merasa seolah-olah perasaan simpafinya pada pemuda Itu diketahui ayahnya.
'Tapi sepertinya kau terkejut
ketika Ayah memberitahukan ciri-cirinya padamu," desak laki-laki bergigi
tonggos itu lagi. Nada suaranya menyiratkan kepenasaran yang mendalam.
Malini menundukkan kepalanya.
Desakan Hantu Putih membuat gadis ini merasa Idkuk dan gugup. Tentu saja hal
ini membuat ayah dan ibunya menjadi heran bukan main.
"Pemuda itulah yang telah
menyelamatkan kita, Ayah," jawab Malini pelan, setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Ah..., kau benarf"
teriak Hantu Putih mulai teringat. "Ya! Memang pemuda itulah yang kulihat
tengah bertarung dengan para pengejar kita!"
"Apakah tidak sebaiknya
kalau kita mengurus mayat-mayat itu dulu, Kang?" selak istri Hantu Putih
memotong pembicaraan suami dan anaknya.
Hantu Putih menganggukkan
kepalanya. Юга dia teringat kembali dengan maksud utamanya.
"Kau benar! Ha ha ha...!
Tunggu saja pembalasanku, manusia-manusia keparat! Akan kubuat dunia persilatan
gempar! Ha ha ha...!"
***
Malam telah larut. Так lama
lagi fajar akan datang menyingsing. Tapi kegelapan masih menyeBmuti bumi Suara
jangkrik dan binatang malam lainnya pun masih terdengar.
Dewa Arak menghentikan langkah
kakinya di depan sebuah daerah pemakaman. Beberapa saat lamanya pemuda berambut
putih keperakan ini bimbang, antara meneruskan langkahnya menuju desa yang tak
berada jauh lagi di depannya. Atau memeriksa pemakaman ini dulu.
Kini dugaan Dewa Arak berubah.
Sudah bisa di perkirakannya kalau Hantu Putih sekeluarga mengambil mayat
berikut petinya itu dari tempat pemakaman umum ini. Tinggal dicarinya saja,
makam yang terbongkar. Pemuda berambut putih keperakan ini akhirnya memutuskan
untuk pergi ke areal pemakaman dulu.
Setelah memutuskan demikian,
Dewa Arak lalu melangkahkan kakinya memasuki arel pemakaman Itu. Meremang Juga
bulu kuduk Dewa Arak melihat gundukan tanah yang berjejer di sekelilingnya.
Arya memang seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tapi tetap saja
manusia biasa. Perasaan takutnya tetap ada. Cepat-cepat dibuangnya jauh-jauh
pikiran Jdek yang membayangkan seandainya mayat-mayat dalam kuburan itu bangkit
.
Dewa Arak terus melangkahkan
kakinya. Sementara sepasang matanya nyalang mengawasi gundukan tanah di
sekitamya. Mencari-cari, barangkali saja teriihat tanda-tanda makam yang baru
dibongkar.
Cukup lama juga Dewa Arak
mencari-cari, dan sudah hampir seluruh areal pemakaman yang luas itu
dkelilinginya. Akhirnya sepasang matanya tertumbuk pada sesosok tubuh laki-lald
setengah baya yang tergolek di antara makam. Bergegas Arya menghampirinya.
Dewa Arak membungkukkan
tubuhnya agar lebih jelas mengetahui penyebab orang itu tergolek di areal
pemakaman ini. Apakah orang itu memang sengaja tidur di sini karena tidak
mempunyai tempat tinggal ? duganya dalam hati.
"Ah...!" seru Dewa
Arak terkejut tatkala mengetahui kalau sosok tubuh yang tergolek itu sudah
mati.
Penglihatannya yang awas
segera saja dapat melihat luka-luka yang menyebabkan kematian pada laki-laki
setengah baya itu.
" Bekas perbuatan orang
yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi," gumam Dewa Arak pelan seperti
berbicara pada dirinya sendiri ketika melihat luka-luka pada rahang dan pelipis
mayat itu.
Dewa Arak bangkit berdiri.
Dilayangkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Berharap barangkali saja
ditemukannya sesuatu yang memberinya petunjuk mangenal kematian orang itu.Arya
mengerutkan alisnya ketika melihat sebuah cangkul yang tergolek dekat mayat
laki-laki setengah baya itu.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya melihat kejadian ini. Cangkul itu telah memberi petunjuk, siapa
adanya laki-laki setengah baya yang telah menjadi mayat itu, penggali makam.
Sementara pemuda berambut
putih keperakan itu termenung memikirkan masalah ini, pendengarannya yang tajam
menangkap adanya suara langkah kaki yang bergerak mendekafi. Dari suara langkah
Itu, Dewa Arak sudah dapat mengetahui kalau si pemilik langkah itu tidak
menguasai ilmu meringankan tubuh. Andaikata memilikinya pun, sudah pasti masih
amat rendah.
Dewa Arak tidak mau bertindak
gegabah. Ingin diketahuinya dulu maksud pemilik langkah kakl itu datang ke
pemakaman malam-malam begini Мака, cepat bagai kilat tubuhnya melesat Dan
menyelinap ke balik sebatang pohon, bersembunyi dan mengintai.
Belum lama Arya menyelinap ke balik
pohon, si pemilik langkah kaki itu pun muncul. Dari tempat pengintaiannya,
walaupun suasana agak remang-remang, Arya dapat mengenali sosok tubuh itu.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, berkulit coklat dan berbadan
tegap.
"Ah...!"
Pemuda berkulit coklat itu
berseru kaget Dengan langkah cepat, dihampirinya mayat yang tadi baru saja
diperiksa Arya.
"Paman! Mengapa Jadi
begin!?" desah pemuda berkulit coklat Itu. Suaranya mengandang kesedihan
mendalam.
Melihat hal ini, Arya tahu
kalau pemuda berkulit coklat itu adalah keponakan dari mayat laki laki setengah
baya yang diduganya penggali makam itu. Kini tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak
keluar dari tempat persembunyiannya.
"Ара yang teijadi,
Kisanak?" tanya Arya.
Pemuda berkulit coklat itu
tersentak kaget Kepalanya menoleh cepat ke arah asal suara itu. Dan kontan
sepasang matanya terbelalak ketika melihat Dewa Arak.
"Han... hantu...,"
desis pemuda berkulit coklat itu dengan wajah pucat. Dan sebelum Dewa Arak
sempat membantah ucapan itu, pemuda itu sudah bergerak bangkit dan berlari
pontang-panting meninggalkan tempat itu.
"Hantu..., tolooong...!
Ada Hantu...!" jerit pemuda berkulit coklat itu seraya teras berlari.
Tentu sa]a kelakuan pemuda itu
membuat Dewa Arak jadi agak geli. Begitu seramkah tampangnya sehingga membuat
orang takut? Ataukah karena rambutnya yang berwama putih keperakan, yang
membuat pemuda berkulit coklat itu menyangkanya hantu. Tapi Arya tidak bisa
terlalu lama memikirkan hal itu. Harus ditangkapnya dulu pemuda itu. Barangkali
saja dapat dikorek keterangan mengenai mayat itu, walaupun sedikit banyak Dewa
Arak sudah dapat menduga siapa pembunuhnya. Siapa lagi kalau bukan Hantu Putih,
istri atau anaknya?
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Dewa Arak
telah berada di depan pemuda berkulit coklat itu. Seketika wajah pemuda itu
pucat pasi, begitu melihat 'hantu' itu telah menghadang jalannya. Мака
buru-buru dibalikkan tubuhnya, dan berlari kembali menempuh jalan yang
berlawanan dengan jalan semula.
Tapi, kali ini Dewa Arak tidak
mau membiarkannya lagi. Cepat bukan main tangannya bergerak.
Tappp...!
Telapak tangan Dewa Arak
mendarat di bahu pemuda berkulit coklat itu. Terlihat hanya menempel saja
tangan Arya di bahu pemuda berkulit coklat. Tapi anehnya, betapapun pemuda itu
berlari mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja usahanya tidak menampakkan
hasil. Kedua kakinya melangkah berlari di tempat itu-itu juga.
'Tenanglah, Kisanak. Aku bukan
hantu. Aku manusia biasa seperti juga dirimu," ucap Dewa Arak pelan,
namun terdengar jelas suaranya.
Pemuda berkulit coklat itu
menolehkan kepalanya. Ucapan 'hantu' itu membuat hatinya lebih berani.
Ditatapnya wajah dan sekujur tubuh Dewa Arak penuh selidik. Mula-mula masih
dengan perasaan takut Tapi ketika dilihatnya kedua kaki pemuda Itu menginjak
tanah, legalah hatinya. Pemuda berambut mengerikan ini memang bukan hantu!
desah hatinya lega. Kaki hantu tidak menginjak tanah!
Setelah melihat pemuda
berkulit coklat itu sudah tidak takut lagi, Dewa Arak menarik kembali
tangannya.
"Ceritakanlah, mengapa
malam-malam begini kau ke pemakaman ini. Dan ара yang terjadi dengan orang
itu?" tanya Dewa Arak seraya menudingkan telunjuknya pada sosok mayat yang
kini diketahuinya adalah paman dari anak muda di hadapannya .
Pemuda berkulit coklat itu
bimbang. Dewa Arak yang sudah berpengalaman, segera saja mengetahui kalau
pemuda di hadapannya Ini masih belum percaya padanya.
"Percayalah padaku,
Kisanak. Aku bukan orang Jahat Namaku Arya. Pengelana yang hanya kebetulan
lewat dan mampir ke pemakaman ini karena agak curiga. Di depan sana kulihat ada
tiga orang membawa peti mati. Perasaan penasaran mendorongku kemari. Tapi yang
kutemui hanya mayat laki-laki itu."
Ucapan Dewa Arak yang lemah
lembut dan sikapnya yang terlihat sopan, membuat keraguan pemuda berkulit
coklat itu lenyap.
"Namaku Ganta. Aku
penduduk desa ini."
"Hm..., lalu, bagaimana,
Kang Ganta?" desak Dewa Arak. Sengaja Arya memanggil pemuda berkulit
coklat itu 'kakang' untuk lebih membuat keakraban di antara mereka.
"Malam ini, aku disuruh menemui
pamanku di sini," sambung Ganta "Namanya Ki Samura."
"Kau tinggal bersama dia,
Kang? "
Ganta menggelengkan kepalanya.
"Aku tinggal di desa.
Sedangkan dia tinggal diareal pemakaman ini. Pekerjaannya sebagai penggali
makam, yang mengharuskan begitu."
"Kau tahu maksud pamanmu
menyuruhmu datang menemuinya malam-malam begini?" tanya Dewa Arak lebih
jauh.
"Tahu," sahut Ganta
sambil menganggukkan ke palanya. "Paman ingin memberiku upah atas jerih
payahku membantunya membongkar makam tadi, sewaktu menjelang malam."
"Membongkar makam?"
tanya Dewa Arak. Dahl nya berkerut dalam. "Untuk ара?"
Ganta menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Jelas kalau pemuda berkulit coklat
itu merasa berat untuk menceritakannya.
"Sebenamya aku tidak setuju
dengan ajakan pamanku. Tapi, karena kebetulan aku sedang butuh uang, lagi pula
paman terus-menerus mendesakku, akhimya aku menyanggupinya. Menjelang malam,
paman dan aku membongkar tiga makam orang yang baru dikubur."
Ganta menghentikan sebentar ceritanya.
Sedangkan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa diperkirakarmya
sendiri kelanjutan cerita itu. Tapi, dengan bijaksana Arya terus saja
mendengarkan tatkala Ganta kembali bercerita.
"Paman juga bercerita,
bahwa da mendapat penghasilan yang amat banyak dari membongkar makam ini. Dan
ini adatah pekerjaan yang keempat kali nya. Katanya penghasilan kali ini, pasti
akan sangat besar. Jauh lebih besar dari penghasilan sebelumnya. Karena di
samping jumlahnya yang lebih dari biasanya, Juga ada hal-hal lain yang
memberatkannya. Tapi begitu kutanyakan, Paman tidak memberitahu, hal-hal ара
yang memberatkannya."
"Apakah pamanmu
memberitahukan, siapa orang yang telah memberinya peketjaan itu?" tanya
Dewa Arak ingin memastikan.
"Ya," sahut Ganta seraya
menganggukkan kepalanya. "Katanya seorang wanita yang berpakaian biru
muda. Wajahnya tidak teriihat jelas karena tertutup cadar hitam."
Tepat! Gadis berpakaian biru
muda itu adalah putri Hantu Putih. Kalau tidak salah, namanya adalah Malini!
jerit hati Dewa Arak. Tepat semua dugaannya. Tepat pula semua dugaan Singa
Hitam. Sepasang Hantu tengah mempelajari sebuah Ilmu hitam baru!
"Pertu kau ketahui,
Ganta. Wanita berpakaian biru muda itu adalah seorang gadis jahat. Dan pamanmu
telah mengambil resiko yang amat besar bekerjasama dengan wanita itu. Tapi
sudahlah, lupakan saja semua ini Sekarang yang lebih penting adalah kita
kuburkan mayat pamanmu dulu"
Ganta tidak membantah.
Cepat-cepat diambilnya cangkul yang tergolek di situ. Kemudian digalinya kembali
makam yang telah dibongkar tadi. Так lama kemudian, dimasukkan tubuh pamannya
ke dalam, lalu diuruknya dengan tanah.
Fajar mulal menyingsing ketika
Dewa Arak dan Ganta meninggalkan areal pemakaman itu. Suara kokok ayam hutan
dan cicit burung terdengar merdu , menyambut datangnya sang pagi.
Dewa Arak dan Ganta berjalan
pelahan meninggalkan areal pemakaman itu. Ganta menunjuk ke salah sebuah rumah
yang terpencil, terpisah dari rumah- rumah lainnya.
"Itulah rumah orang yang
makamnya kami bong kar," ucap pemuda berkulit coklat itu memberitahu Dewa
Arak.
Arya menolehkan kepalanya
mengikuti arah telunjuk Ganta.
"Lalu, rumah yang lainnya
mana, Kang?" tanya Dewa Arak setengah hati.
"Yang lainnya? Ара
maksudmu, Arya?" Ganta batik tanya.
"Heh?!" Dewa Arak
terperangah. "Bukankah makam yang kalian bongkar ada tiga?"
Ganta menganggukkan kepalanya.
"Ара yang kau katakan itu
benar, Arya. Makam yang kami bongkar memang tiga. Mayatnya pun tiga. Tapi,
mereka semua tinggal dalam satu rumah. Suami istri tua bersama seorang gadis
kecil yang rnenjadi anak angkat mereka."
"Aneh...," gumam
Arya. "Belum pernah kudengar ada satu keluarga bisa meninggal bersama
sama...."
Memang aneh kalau mereka
meninggal secara wajar...," desah Ganta menyahuti.
Dewa Arak mengemyitkan dahi.
"Maksudmu..., mereka
meninggal secara tidak wajar ... ?"
Ganta menganggukkan kepalanya.
"Yahhh..., mereka semua
mati terbunuh. Так ada leorang pun yang tahu siapa pembunuhnya."
Dewa Arak mengerinyitkan
dahinya. Mungkinkah pembunuhnya adalah Ki Samura? duganya dalam hati. Tapi,
tentu saja Arya tidak memberitahu dugaannya Ini pada Ganta.
"O ya, kau hendak ke
mana, Arya?" tanya Ganta liba-tiba.
Dewa Arak terdiam sejenak.
Kali ini dia belum Ingin melanjutkan peijalanannya. Dia ingin beristirahat dulu
karena sejak semalam belum tidur. Tubuhnya terasa penat sekali. Sudah sejak
tadi ingin direbahkan tubuhnya. Hanya saja belum ditemukan tempatnya.
"Ke mana saja sepasang
kakiku ini membawaku, Kang."
"Bagaimana kalau kau
singgah di rumahku dulu, Arya?" ajak Ganta.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya.
"Kuucapkan terima kasih
atas kebaikan hatimu, Kang. Hanya saja tidak bisa kupenuhi permintaanmu. Aku
ingin melanjutkan perjalananku kembali."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak melesat cepat Sekali bergerak saja, sudah berada dalam jarak puluhan
tombak. Sesaat kemudian tubuhnya semakin mengecil dan mengecil, kemudian lenyap
di kejauhan.
"Luar biasa...,"
desah Ganta penuh kagum. "Pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa.
Mengapa dia tidak menetap saja di sebuah desa dan mendiriкап perguruan
silat?"
Walaupun tubuh Dewa Arak sudah
tidak terlihat lagi, Ganta masih terus memandangi. Beberapa saat lamanya
laki-laki berkulit coklat itu berdiri mematung di situ, sebelum akhirnya
melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Kembali ke rumahnya.
***
Dewa Arak mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sekilas matanya melihat kearah
hamparan sawah yang padinya telah mengering. Arya tahu, sawah itu untuk
sementara belum dipergunakan lagi.
Dan diketahuinya pula di
tengah sawah ada gubuk sederhana yang dapat digunakannya untuk beristirahat.
Мака sengaja dia menuju ke sana.
Dugaannya tepat Так lama
kemudian dilihatnya sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Semakin dipercepat
larinya, karena rasa penat dan mengantuk hampir tidak tertahankan lagi.
"Hup...!"
Secepat berada di depan pintu
gubuk itu, secepat Itu pula dibukanya daun pintu gubuk kecil itu. Tepat seperti
dugaannya pintu itu sama sekali tidak terkunci.
Kriiit..!
Suara derit pelan mengiringi
terbukanya daun pintu itu. Dewa Arak membuka pintu lebar-lebar dan mengamati
seisi ruangan itu. Temyata cukup bersih dan ada selembar tikar butut yang
terhampar di lantai.
Arya tersenyum puas. Tempat
ini temyata sangat memuaskan. Masih lebih nikmat ketimbang tidur di atas pohon,
yang terkadang diganggu semut merah. Segera ditutupnya daun pintu itu. Kemudian
direbahкап tubuhnya di atas hamparan tikar, setelah sebelumnya menaruh guci
yang tersampir di punggungnya di lantai .
Так lama kemudian, Dewa Arak
pun tertidui pulas. Makium sudah dua malam pemuda berambut putih keperakan ini
tidak tidur. Sang matahari pun terus bergulir. Dan ketika sang matahari telah
condonij ke Barat, baru Dewa Arak terbangun dari tidumya.
"Huah...!"
Dewa Arak membuka mulut
lebar-lebar, menguap. Tubuhnya menggebat, menghilangkan rasa kantuknya.
Kemudian Arya duduk bersila. Kedua telapak tangan nya dirapatkan di depan dada,
bersemadi. Так lama kemudian pemuda berambut putih keperakan ini sudah
tenggelam dalam semadinya.
Memang Dewa Arak tidak pernah
lalai bersemadi . Setiap ada kesempatan yang luang, tak pemah disia siakannya.
Kalau situasi mengijinkan, dia melatih kembali ilmu-ilmu yang dimilikinya. Bila
tidak sempat, hanya semadi dan pemapasan saja yang dikerjakannya. Dan bila
tidak sempat juga, hanya pernapasan saja.
Dewa Arak baru menghentikan
semadinya ketika kegelapan telah menyelimuti bumi. Malam rupanya telah turun.
Kedudukan matahari telah digantikan oleh bulan.
"Auuunggg...!"
Suara lolong anjing hutan
mengaung panjang mengusik kesunyian malam. Dewa Arak bangkit dari bersilanya.
Kemudian bangkit berdiri. tak lupa disambar gucinya dan disampirkan di
punggung. Baru kemudian dilangkahkan kakinya menuju ke pintu.
Suara jangkrik dan binatang
malam lainnya segera menyambut Arya, begitu pemuda berambut putih keperakan
ini membuka pintu gubuk itu.
Begitu berada di luar, Dewa
Arak segera melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Kini Arya mempunyai tugas yang cukup berat Menangkap Hantu Putih.
Tokoh sesat yang terkenal banyak memiliki ilmu-ilmu hitam. Dan Dewa Arak
sendiri telah membuktikan kelihaian tokoh itu. Kalau saja dia tidak memiliki
jurus 'Pukulan Belalang' mungkin sudah tewas di tangan tokoh sakti itu.
Tapi, sesampainya di depan areal
pemakaman, Dewa Arak terperangah kaget Sepasang matanya membelalak lebar. Tidak
salahkah ара yang dilihatnya? tanyanya sambil mengucek-ngucek matanya dengan
tangan. Betapa tidak? Dari areal pemakaman itu dilihatnya banyak sosok tubuh
melangkah keluar. Bau busuk tercium oleh hidung Arya.
Seketika itu juga bulu kuduk
Dewa Arak merinding. Kini Arya mengetahui kalau sosok-sosok tubuh yang
bergerombol keluar dari areal pemakaman itu adalah mayat-mayat yang berada di
dalam kubur! .
Belum juga Dewa Arak sadar
dari rasa terkejutnya, mayat-mayat itu berbondong-bondong menyerbunya. Bau
busuk yang amat sangat menyergap hidungnya.
Beberapa saat lamanya, Dewa
Arak terpaku kaku. Pikirannya seperti buntu. Apakah dia tidak sedang bermimpi ?
plkirnya. Belum pernah didengarnya ada mayat yang telah sekian lama dikubur,
bangkit kenbali! Dicubit tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak
mimpi. "Akh...!"
Dewa Arak terpekik. Sakit
rasanya bagian уапg tadi dicubitnya. Berarti dia tidak mimpi! .
Tapi Arya tidak bisa berpildr
lebih lama lagi Serangan-serangan mayat-mayat itu telah meluruk tiba Так ada
jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melayaninya.
"Hih...!"
Tubuhnya melenting ke atas,
bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap tanpa suara di tanah Separuh
wajahnya, mulai dari bawah mata sampai ke dagu telah tertutup selembar kain
yang berguna untuk mencegah bau busuk yang menyebar.
Dengan gerakan lambat, sebagai
ciri khasnya, mayat-mayat itu berbondong-bondong menyerbu Dewa Arak. Arya
menghitung jumlah mayat itu dengan mempergunakan matanya. Dan kagetlah hati
pemuda ini tatkala mengetahui betapa banyaknya jumlah mayat-mayat itu. Kalau
saja mayat-mayat ini sampai memasuki desa, ngeri Dewa Arak membayangkannya.
Berpikir begitu, Dewa Arak
mengambil keputusan untuk memusnahkan semua mayat-mayat ini. Arya pun menjumput
gucinya, kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk.. gluk..!
Suara tegukan terdengar,
ketika arak Itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian rasa hangat
menerpa perutnya, dan kemudian naik ke kepala. "Hih...!"
Dewa Arak mengayunkan gucinya
ke arah kepala salah satu mayat yang berada paling dekat
Prakkk...!
Suara berderak keras
terdengar, tatkala kepala mayat itu pecah. Tubuh mayat itu pun ambruk dan tidak
bergerak-gerak lagi. Kini Dewa Arak benar-benar mengamuk, dikeluarkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya
"Hih...!"
Bukkk..!
Tendangan yang dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya itu mengenai telak dada salah satu
mayat Terdengar suara berderak keras ketika tulang-tulang dada mayat itu hancur
berantakan, seiring dengan terpentalnya tubuh mayat itu sejauh belasan tombak
Darah merah kehitaman menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga mayat
itu. Tap anehnya, mayat itu bangkit kembali.
Selagi Dewa Arak tengah sibuk-sibuknya
membantai mayat-mayat itu. Tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang
langsung menyarangkan sebuah pukulan mematikan ke arah Arya.
"Hih...!"
Dewa Arak melempar tubuhnya ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali, dan hinggap di luar arena
pertarungan. Kini yang berada dalam kurungan mayat-mayat itu adalah sosok
bayangan putih itu Anehnya, tak satu pun ada mayat yang menyerang sosok
bayangan putih yang temyata adalah Hantu Putih.
Hantu Putih menudingkan jari
telunjuknya ke arah desa. Ajaib! Mayat-mayat itu bergerak meninggalkan tempat
itu dan berjalan lambat-lambat menuju desa.
Begitu melihat kehadiran Hantu
Putih dan mellhal betapa patuhnya mayat-mayat itu pada salah seorang dari
Sepasang Hantu itu, Dewa Arak pun mengerti mengapa mayat-mayat itu bisa bangkit
dari kuburnya. Sudah dapat dipastikan kalau kejadian aneh ini terjadi karena
kekuatan ilmu hitam yang dimiliki tokoh sesat itu.
Melihat mayat-mayat itu
bergerak lambat namun pasti menuju ke arah desa, pemuda berambut putih keperakan
ini merasa khawatir sekali. Dewa Arak tahu kalau mayat-mayat itu sampai
memasuki desa, akan banyak jatuh korban di antara penduduk. Dan ini harus
dicegahnya untuk menghindari malapetaka terhadap penduduk desa.
Tapi sebelum Arya sempat
berbuat sesuatu, Hantu Putih yang sudah mengetahui kehadiran Dewa Arak di
pekuburan itu, segera bergerak menghadangnya.
"Kita selesaikan urusan
kita yang waktu itu terbengkalai, Anak Muda," ucap laki-laki bergigi
tonggos itu dingin.
Dewa Arak tidak punya pilihan
lagi. Lawan telah mengajukan tantangan. Merupakan pantangan baginya, jika dia
menolak. Segera diurungkan niatnya untuk menghadang mayat-mayat itu. Dan kini
dipusatkan perhatiannya untuk menghadapl lawan yang teramat tangguh ini.
"Hiyaaa...!"
Hantu Putih melompat ringan
menyerang Dewa Arak. Sungguh aneh serangan yang dilakukan tokoh hitam ini
Laki-laki bergigi tonggos ini membuka serangannya dengan pukulan kedua
tangannya ke arah dada.
Dewa Arak tidak bertindak
sungkan-sungkan lagi.
I
Dipapaknya segera pukulan yang
mengarah ke dadanya itu, dengan kedua punggung tangannya. Kedudukan jari-jari
jurus belalangnya mengarah ke tanah.
Dukkk!
Benturan kedua tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Akibatnya tubuh Hantu Putih terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur
tangannya dirasakan seperti lumpuh. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Sementara Dewa Arak dilihatnya
hanya tergetar saja tubuhnya. Sekarang hati Hantu Pufih pun yakin, kalau tenaga
dalam lawan berada di atasnya. Dan kalau dipaksakan dirinya untuk mengadu
tenaga terus, sudah dapat dipastikan dia akan roboh di tangan lawan muda yang
tangguh ini.
Tapi Dewa Arak tidak
memberinya kesempatan berpikir terlalu lama. Pemuda berambut putih keperakan
itu langsung saja menyerbu Hantu Putih dengan ayunan guci araknya ke arah
kepala. Hantu Putih tidak ingin kepalanya pecah disambar guci Dewa Атак, maka
cepat-cepat didoyongkan tubuhnya ke belakang.
Wuuuttt...!
Guci arak itu hanya menyambar
tempat kosong lewat sejengkal di depan wajahnya. Hantu Putih tidak terkejut
lagi, sewaktu seluruh rambut dan pakaiannyn berkibaran keras begitu angin
ayunan guci itu lewat .
Hantu Putih tak menyia-nyiakan
kesempatan lowong itu, segera dikirimkan serangan-serangan mautnya Sesaat
kemudian kedua tokoh berbeda aliran Ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit
***
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya para penduduk desa begitu melihat rombongan mayat hidup datang
menyerbu. Kentongan tanda bahaya pun dipukul bertalu-talu. Para pemuda yang
memiliki kemampuan berkelahi, berusaha melawan mati-matian dengan senjata
seadanya. Sementara perempuan, orang-orany tua, dan anak disuruh pergi menyelamatkan
diri.
Sebentar saja jerit kematian
terdengar di sana-sini Korban di antara para penduduk pun mulai berjatuhan
Mayat-mayat itu terralu tangguh untuk dihadapl oleh orang seperti mereka.
Beberapa orang di antara mereka telah berhasil mengunjamkan golok atau
pedangnya ke perut, leher, ataupun dada mayat itu, tapi sama sekali tidak
berarti apa-apa. Mayat-mayat itu hanya dapat mati apabila kepala mereka telah
hancur .
Padahal menghancurkan kepala
bukan pekerjaan yang mudah bagi penduduk desa itu.
Ki Bacan, Kepala Desa Sajajar
dan Ki Bajuri, ketua perguruan silat di desa itu, merupakan dua orang yang
memiliki kepandaian paling tinggi di Desa Sajajar itu. Sudah tak terhitung lagi
senjata di tangan mereka mendarat di berbagai bagian tubuh mayat-mayat itu,
tapi mayat-mayat itu tak juga binasa. Hal ini tentu saja , membuat mereka
seperti habis daya. Kelelahan mulai mendera.
Pada suatu kesempatan, Ki
Bajuri agak lengah dan salah seorang mayat berhasil menubruknya hingga jatuh
terguling. Nasib Ki Bajuri sudah sangat mengenaskan ketika belasan mayat itu
melompat menerkamnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kematian dari
Bajuri. Tampak seluruh kulit tubuhnya tercabik-cabik bagai diserang puluhan
ekor harimau lapar.
Ki Bacan terperangah kaget.
Dia tahu tidak ada gunanya lagi mengadakan perlawanan. Jumlah mayat hidup itu
banyak sekali. Walaupun mayat-mayat itu sama sekali tidak memiliki kepandaian
silat, tapi karena mereka sulit untuk mati, dan jumlah yang banyak, membuat
mereka sulit dikalahkan.
"Mundur...! Selamatkan
diri kalian...! Pergi ke Kota Kadipaten...!" seru Kepala Desa Sajajar ini
keras.
Para penduduk yang memang
sudah merasa gentar sejak tadi, tanpa diperintah dua kali segera berlari
menyelamatkan diri. Sedangkan rombongan anak-anak, perempuan dan orang-orang
tua, telah mengungsi lebih dulu. Memang desa ini letaknya tidak begitu jauh
dari Kadipaten Malaya
Suatu keberuntungan bagi para
penduduk itu Mayat-mayat itu bergerak sangat lambat, sehingga mereka dapat
leluasa menyelamatkan diri. Tapi tentu saja itu tidak berarti kalau mayat-mayat
itu tidak mengejar mereka. Mayat-mayat itu tetap saja mengejar para penduduk
yang menyelamatkan diri di bawah pimpinan Ki Bacan.
Sementara itu pertarungan
antara Dewa Arak dan Hantu Putih yang semula berlangsung sengit, segera mulai
terlihat berat sebelah ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh. Dewa
Arak memang menang segala-galanya dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga
dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat.
Hantu Putih tampak terdesak hebat
.
Hantu Putih meraung murka.
Akhirnya kenyataan menunjukkan, kalau kepandaiannya masih jauh di bawah ilmu
Dewa Arak. Beberapa kali, serangan tak terduga pemuda berambut putih keperakan
itu hampir merenggut nyawanya. Tidak ada jalan lain baginya untuk mengalahkan
Dewa Arak kecuali dengan ilmu hitam yang dimilikinya.
"Hih...!"
Tubuh Hantu Putih melenting
tinggi ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara, seraya melemparkan
beberapa bilah pisau kecil ke arah Dewa Arak untuk mencegah pemuda itu mengejarnya
Semula Dewa Arak bermaksud
memburu tubuh lawannya. Так akan diberinya kesempatan lawannya untuk
mengeluarkan ilmu hitamnya. Tapi, segera niatnya diurungkan begitu dilihatnya
beberapa buah pisau kecil melesat ke arahnya. Segera dielakkan serangan itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Hantu Putih
mendaratkan sepasang kakinya di tanah. Sepasang matanya langsung dipejamkan
sejenak. Sementara kedua telapak tangannya yang terbuka, dirapatkan di depan
dada. Mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan sesuatu.
Sekejap kemudian tampak
sekujur tangan laki-laki bergigi tonggos itu menggigil hebat Setelah itu
dijulurkan kedua tangannya ke depan. Lalu tangan kanannya bergerak seperti
melambai.
Dewa Arak sejak tadi sudah
bersikap waspada. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk
memberatkan bobot tubuhnya. Inilah ilmu 'Pasak Bumi'. Ilmu yang terdapat dalam
kitab 'Jurus Membakar Matahari'. Gunanya, agar tubuhnya tidak mudah untuk
ditarik atau didorong seperti waktu lalu. Dengan ilmu 'Pasak Bumi', tubuh Dewa
Arak laksana sebuah batu gunung yang tidak akan tergoyahkan walaupun dilanda
badai.
"Hih...!"
Dewa Arak menggertakkan gigi.
Dirasakan adanya tarikan amat kuat yang menarik tubuhnya ke depaa Tapi berkat
ilmu 'Pasak Bumi', aji 'Tarik Raga' Hantu Putih sama sekali tidak berdaya.
Hantu Putih mendesis geram
melihat usahanya menarik tubuh lawan, gagal. Perasaan penasaran mendorongnya
untuk tetap meneruskan usahanya menarik tubuh Dewa Arak.
Dewa Arak tersentak kaget
Dirasakan kekuatan tak nampak yang menarik tubuhnya ke depan semakin menggila.
Sekuat tenaga Arya mencoba
bertahan Seluruh urat-urat di tubuh Dewa Arak mulai bertonjolan sewaktu
berjuang menggagalkan usaha lawan nya Dan pelahan namun pasti tubuh Dewa Arak
mulai mendoyong ke depan, tapi anehnya kedua kakinya masih melekat di tanah.
Di saat itulah, Hantu Putih
tiba-tiba mengibaskan tangannya.
"Akh...!"
Terdengar seruan tertahan dari
mulut Dewa Arak. Kini pemuda berambut putih keperakan ini tidak mampu bertahan
lagi. Tubuhnya kontan terhempas ke belakang laksana daun kering.
Hantu Putih tersenyum lebar.
Hatinya gembira bukan kepalang melihat usahanya berhasil. Sekali saja usahanya,
menarik atau mendorong tubuh lawannya berhasil, setelah itu lawan sudah tidak
mampu melawan lagi. Begitu pula dengan Dewa Arak. Kini pemuda itu sudah tidak
akan berdaya lagi melawannya.
Tubuh Dewa Arak terguling
menjauh. Tapi sebelum daya guling itu habis, laki-laki bergigi tonggos itu
tiba-tiba melambaikan tangannya. Seketika itu juga gulingan tubuh Arya berubah
arah. Kini tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terguling ke arah Hantu
Putih.
Tapi sebelum tubuh Dewa Arak
terlalu dekat dengannya, Hantu Putih kembali mengibaskan tangannya Menariknya
kembali. Dan begitu seterusnya. Dewa Arak kini menjadi permainan lawannya.
Setelah dirasanya cukup, dan
lawan tangguhnya telah tak berdaya lagi, Hantu Putih menghentikan per-
mainannya.
Dewa Arak mengeluh dalam hati.
Seluruh tubuhnya kini terasa lemas sekali. Так sanggup dia untuk menggerakkan
anggota tubuhnya. Menggerakkan jari kelingking pun pemuda ini tidak mampu!
Tenaga dalamnya seperfi musnah. Tubuhnya tergolek lemas seperti karung basah.
Kini yang dapat dilakukan pemuda ini hanya menatap lawannya.
"Ha ha ha...!"
Hantu Putih tertawa bergelak.
Sebuah tawa kemenangan. Dihampirinya Dewa Arak yang tergolek lemas di tanah.
"Kau memang hebat, Anak
Muda. Orang sepertimu akan menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagiku. Kau
harus mampus...!"
Setelah berkata demikian,
Hantu Putih menggerakkan tangannya, melakukan totokan ke arah ubun-ubun.
Tidak ada yang dapat dilakukan
Dewa Arak, selain dari menunggu datangnya kematian dengan sepasang mata terbuka
lebar.
"Ayah! Tahan...!"
Terdengar teriakan nyaring mencegah, ketika tangan Hantu Putih hampir
menyentuh ubun-ubun Dewa Arak. Seketika itu juga tangan Hantu Putih tertahan di
udara. Kepalanya menoleh ke arah teriakan itu berasal. Dikenalinya betul
pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan anaknya, Malini! .
Benar saja. Sekejap kemudian,
di hadapan Hantu Putih telah berdiri seorang gadis cantik jelita berpakaian
biru muda dan berambut panjang. Malini, putri Sepasang Hantu.
Hantu Putih menatap gadis
berpakaian biru muda itu tajam. Sinar matanya menyorotkan pertanyaan.
"Mengapa kau mencegah
Ayah membunuhnya, Malini?" tanya Hantu Putih.
Pelan saja suaranya tapi
mengandung teguran keras. Sementara Dewa Arak pun terheran. Mengapa gadis
berpakaian biru muda ini mencegah Hantu Putih yang hendak membunuh nya?
tanyanya dalam hati.
Tentu saja tidak mungkin
Malini mengatakan terus terang, bahwa alasannya mencegah ayahnya membunuh Dewa
Arak, adalah karena dia telah jatuh cinta pada pemuda berambut putih keperakan
itu. Memang sebenarnyalah sejak pertama kali melihat Arya menempur belasan
orang-orang rimba persilatan golongan putih yang mengejarnya, perasaan itu
telah muncul.
"Lupakah, Ayah? Pemuda
ini adalah orang yang telah menyelamatkan kita waktu itu. Kalau tidak ada dia
kita semua akan tewas!" jawab Malini memberi alasan.
Hantu Putih mengerutkan
alisnya. Tidak salahkah pendengarannya? Aneh betul sikap putrinya kali ini.
Benarkah sekarang Malini telah menjadi seorang yang mudah terikat hutang budi?
"Kau inl aneh,
Malini!" ucap Hantu Putih itu setelah beberapa saat lamanya tercenung
bingung. "Mengapa sekarang kau menjadi bersikap seperti orang-orang tolol
yang menyebut diri sendiri pendekar itu?! Sudahlah! Menyingkirlah kau, Malini!
Pemuda ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Sangat berbahaya kalau
dibiarkan hidup!"
'Tidak, Ayah!" sahut
Malini Keras dan tegas suaranya. Dengan beraninya dia melangkah maju, berdiri
membelakangi Dewa Arak Jelas teriihat kalau gadis berpakaian biru muda itu
bersiap melindungi Arya Buana.
"Dengar kataku, Malini.
Menyingkirlah cepat! Ingat! Aku tak segan-segan membunuhmu kalau kau berani
melindungi pemuda keparat ini!" gertak Hantu Putih.
"Aku tidak akan
menyingkir dari sini! Sekalipun Ayah akan membunuhku!" sahut Malini tegas.
Dewa Arak tersentak kaget
mendengar jawaban gadis itu. Benarkah gadis ini bukan orang jahat seperti halnya
kedua orang tuanya. Benarkah hanya karena hendak membalas budi, gadis itu rela
menentang maut di tangan ayah kandungnya.
Bukan hanya Arya saja, Hantu
Putih pun tersentak kaget Selama ini belum pernah, Malini berani menentangnya.
Tapi sekarang? Benarkah putrinya melakukan semua ini untuk membalas budi pemuda
itu? Hantu Putih tidak percaya. Laki-laki bergigi tonggos itu adalah seorang
yang telah kenyang makan garam, maka dia pun segera tahu
"Hhh...!"
Hantu Putih mendesah pelan.
"Baiklah, Ayah mengalah. Ayah tidak akan membunuh pemuda ini."
"Terima kasih,
Ayah," ucap Malini gembira.
Wajahnya berseri-seri. Segera
dia berlari memeluk tubuh Hantu Putih itu. Laki-laki bergigi tonggos itu pun
balas memeluk putrinya. Diusap-usapnya rambut hitam, tebal, dan indah putrinya
penuh kasih sayang. Memang Hantu Putih kejam dan keji bukan main. Tapi, itu
hanya terhadap orang lain. Terhadap putri tunggalnya, tokoh hitam ini sayang
bukan main. Sejahat-jahatnya seekor harimau toh tidak akan memakan anaknya
sendiri! Begitu pula Hantu Putih.
"Tapi ingat, Malini.
Permintaanmu hanya kali ini saja Ayah kabulkan. Apabila kelak pemuda ini berani
menentang lagi, Ayah tidak akan mengampuninya lagi. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Ayah,"
sahut gadis berbaju biru muda itu sambil menganggukkan kepalanya.
Hantu Putih melepaskan
pelukannya.
"Ayah akan pergi dulu,
Malini. Malam ini juga semua dendam akan Ayah tuntaskan...! Kau mau ikut?"
"Aku menyusul belakangan
saja, Ayah," tolak Malini halus.
"Baiklah kalau
begitu."
Setelah berkata demikian,
Hantu Putih melesat dari situ. Tujuannya sudah jelas Kadipaten Malaya Tempat
berkumpul musuh-musuhnya!
Malini memandangi hingga
bayangan tubuh ayah nya lenyap di kejauhan. Baru setelah itu dialihkan
pandangannya ke arah Dewa Arak.
"Kuucapkan terima kasih
atas pertolonganmu. Malini," ucap Dewa Arak pelan.
Malini tersenyurn manis.
'Tidak usah berterima kasih.
lngat, kau pun pernah menolong kami, bukan? О ya, dari mana kau tahu namaku?
Namamu sendiri siapa?" berondong gadis berpakaian biru muda itu.
"Aku Arya Aku tahu namamu
dari Singa Hitam," sahut Dewa Arak memberitahu. Suaranya masih pelan,
karena rasa lemas yang amat
sangat masih melanda dirinya .
"Singa Hitam?" ulang
Malini dengan alis berkerut. "Dia adalah salah seorang dari musuh besar
keluargaku! Kau... bercakap-cakap dengan dia...?"
"Ya," jawab Dewa
Arak sambil menganggukkan kepalanya. "Bahkan aku telah menyanggupinya
untuk membawa orang tuamu hidup atau mati pada mereka!"
"Kau?!" sentak
Malini tak percaya.
"Maafkan aku, Malini.
Tapi, orang tuamu sangat berbahaya. Mereka selalu menimbulkan keonaran dan
bencana. Kali ini mayat-mayat hidup..!"
Wajah Malini memucat.Bingung
hatinya melihat pemuda yang dicintainya ternyata bermusuhan dengan orang
tuanya.
"Arya...."
"Ada ара, Malini?"
tanya Dewa Arak ketika melihat gadis itu sepertinya ragu meneruskan ucapannya.
"Ng..., bagaimana kalau
kita lupakan saja semua masalah ini. Kita pergi jauh... ke tempat yang tidak
akan ada orang yang mengusik...."
"Ара maksudmu,
Malini?" tanya Dewa Arak. Jantungnya dirasakan berdebar tegang. Ucapan
gadis itu benar-benar sukar untuk dimengertinya.
Wajah Malini yang sudah merah
jadi semakin memerah. Nampak jelas kalau gadis berpakaian biru ini merasa berat
sekali untuk mengatakannya.
"Ng..., kau.... Apakah
kau... nggg..., tidak menyukaiku?" tanya Malini terputus-putus seraya
menunduk-
kan kepalanya.
"Kau aneh, Malini. Siapa
sih orang yang tidak suka pada seorang gadis yang cantik jelita
sepertimu?"
sahut Dewa Arak.
Wajah Malini bereeri-seri
mendengar jawaban ini.
"Jadi..., kau...
menclntalku...?"
Dewa Arak tersentak bagai
disengat kalajengldng.
"Maafkan aku, Malini.
Bukarmya aku bermaksud menyakiti hatimu... terus terang kukatakan..., aku
hanya menyukai. Bukan mencintai. Aku... aku sudah mempunyai tunangan...!"
Terdengar suara isak tertahan
dari kerongkongai Malini. Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat meninggalkan
Dewa Arak. Gadis ini merasa malu bukan main. Betapa tidak? Dewa Arak yang
dikira mencintai dirinya, ternyata menolak cintanya.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas dalam. Ada perasaan kasihan terhadap Malini. Arya sendiri sudah
merasakan, betapa tidak enaknya cinta yang tidak terbalas. Oleh karena itu,
dapat dirasakan kepedihan gadis berpakaian biru muda itu.
Namun perasaan itu segera
terusir jauh-jauh begitu teringat olehnya bahaya yang tengah mengancam banyak
orang di Kadipaten Malaya. Tapi, ара yang dapat diperbuatnya? Tenaga dalamnya
sendiri lenyap entah ke mana? Bagaimana mampu mencegah semua itu? .
Mendadak Dewa Arak teringat pada
gurunya. Tidak ada jalan lain. Dia harus minta pertolongan pada Ki Gering
Langit! Dengan susah payah, Arya bangkit berdiri. Kemudian disebutnya nama
gurunya tiga kali, lalu dihentakkan kakinya ke tanah.
Ajaib! Tiba-tiba saja di
hadapan Dewa Arak telah berdiri kakek berpakaian putih bersih itu .
"Ada keperluan apakah,
Arya? Sehingga kau memanggilku? Ah...! Kau bertempur lagi dengan lawanmu yang
dulu itu, Arya?" tanya Ki Gering Langit ketika melihat keadaan Dewa Arak.
"Benar, Guru. Aku
bertempur lagi dengan orang itu." Kemudian Dewa Arak pun menceritakan
semua kejadian yang dialaminya.
Ki Gering Langit
menggeleng-gelengkan kepala setelah Dewa Arak menyelesaikan ceritanya.
"Benar-benar ilmu
iblis," gumam kakek berpakaian putih itu pelan. "Sayang sekali,
Arya. Aku sudah tidak mungkin lagi untuk ikut campur dalam urusan ini. Tapi,
aku dapat memberi petunjuk padamu, untuk
menghadapi lawanmu."
'Terima kasih atas kesediaan
Guru memberi petunjuk," jawab Dewa Arak penuh hormat.
"Mayat-mayat itu ada yang
menggerakkannya, Arya. Selama si penggerak itu masih hidup, serbuan mayat-mayat
itu akan terns saja ada. Hancurkan si penggerak. Dan mayat-mayat itu akan mati
sendiri tanpa kau membunuhnya." Setelah berkata demikian, kakek berpakaian
putih itu memegang tangan Arya dengan tangan kirinya Sementara tangan kanannya
menuding lurus ke arah Utara.
Aneh bukan main! Kini sepasang
mata Dewa Arak dapat melihat seorang wanita setengah tua berpakaian merah
mengenakan cadar hitam di wajahnya. Wanita tua itu tengah duduk bersila di
dalam gua yang sekelilingnya bertebaran mayat-mayat manusia. Sedangkan di depan
gua itu terdapat sebatang pohon pepaya berbatang dua.
Semua itu teriihat jelas oleh
Dewa Arak seperti dia melihatnya dari dekat.
"Wanita itu tinggal di
Bukit Gendari," ucap Ki Gering Langit lagi sambil melepaskan pegangannya.
Seketika itu juga pandangan yang dilihat Dewa Arak pun lenyap.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti. Dia bersyukur sekali gurunya mau memberitahu
sarang si penggerak mayat-mayat itu Kalau harus mencarinya dulu, entah sudah
berapa banyak korban jiwa yang jatuh oleh mayat-mayat itu, sebelum akhimya
sarang Hantu Merah itu ditemukan .
"Sekarang kuberi kau
pemunah aji 'Tarik Raga', aji 'Tolak Raga', dan aji 'Pantek Raga' milik lawanmu
itu, Arya. Sekaligus kupulihkan tenaga dalammu. Berdirilah tegak, Arya. Dan
hadapkan wajah, dada dan perutmu ke arahku."
Dewa Arak patuh mengikuti
perintah itu. Ki Gering Langit menatap wajah muridnya dulu sejenak. Lalu
jari-jari tangannya mengepal, sedikit menyentak seperti mengambil sesuatu
kemudian menggenggamnya. Setelah itu tangan yang mengepal itu dibawanya ke
depan mulutnya. Lalu....
"Puuuhhh...!"
Berbareng dengan dibukanya
kepalan tangannya, mulut Ki Gering Langit bergerak meniup. Hampir Dewa Arak
berteriak kaget ketika merasakan seluruh bulu-bulu di tubuhnya berdiri semua.
Dan begitu keadaan bulu-bulu di sekujur tubuhnya Itu kembali normal. Arya
merasakan tubuhnya kembali segar. Bahkan di atas pusamya kini sudah kembali
timbul hawa hangat yang berputaran. Tenaga dalam miliknya .
"Arya...."
"Ya, Guru ..."
"Aku telah memberikan
pemunah ilmu-ilmu lawanmu ke dalam tubuhmu. Bila lawanmu menyerang dengan
hentakan kaki pada tanah. Kau juga harus ikut menghentakkan kakimu. Kau tahu,
Arya. Begitu lawan menghentakkan kaki, kekuatan ilmunya merambat melalui
perantara tanah. Nah, kalau kau ikut menghentakkan kakimu, pemunah ilmu
lawanmu pun merambat melalui tanah. Sehingga sebelum pengaruh ilmu lawanmu
sempat mencapaimu, di tengah jalan sudah punah ditahan penangkalnya. Kau
paham?"
"Paham, Guru," jawab
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Nah, jika lawanmu kau
lihat akan menggunakan ilmu tarik dan tolak, kau harus buru-buru menekan
perutmu sekali, kemudian kau guratkan ujung kakimu ke tanah arahnya mendatar.
Itu maksudnya adalah benteng. Begitu lawan akan menarik atau menolak tubuhmu,
pengaruh ilmunya akan tertahan oleh garis yang kau buat Kau mengerti,
Arya."
Kembali Dewa Arak mengangguk.
"Kalau begitu, sudah tiba
waktunya bagiku untuk pergi, Arya. Dan bila tidak ada hal yang mendesak, kau
tidak perlu mamanggilku."
"Akan kuingat semua
nasihatmu, Guru ," sahut Dewa Arak sambil menundukkan kepalanya.
Ki Gering Langit tersenyum
mendengar jawaban muridnya. Sesaat kemudian tubuhnya sudah lenyap tanpa bekas.
Dewa Arak menggeleng-gelengkan
kepalanya, takjub. Так bisa dibayangkan ketinggian ilmu yang dimiliki gurunya.
Tapi, Arya tidak bisa berlama-lama termenung. Ratusan bahkan ribuan orang
tengah menunggu pertolongannya. Мака Dewa Arak pun segera melesat menuju ke
arah tadi Hantu Putih dun mayat-mayat tadi menuju.
Dewa Arak berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meiingankan tubuhnya. Pemuda berambut puti keperakan
ini memang berusaha untuk tiba di Kota Kadipaten Malaya secepat mungkin.
Meskipun begitu Dewa Arak menyadari bahwa tidak mungltin baginys untuk mencegah
timbulnya korban lebih banyak.
Arya semakin mempercepat
larinya begitu melihat dua sosok tubuh berpakaian prajurit, tergeletak di
perbatasan Kota Kadipaten Malaya.
Beberapa saat kemudian, Istana
Kadipaten Malaya pun sudah terlihat Dan seperti yang sudah diduganya, di sini
terjadi pertempuran yang mengerikan. Para prajurit Kadipaten Malaya yang
dibantu para penduduk, tampak tengah bertempur menghadapi serbuan mayat-mayat
hidup.
Dewa Arak tak mau
membuang-buang waktu lagi.Segera diambil guci yang tersampir di
punggungnya.kemudian segera dituangkan arak ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh Dewa Arak telah melesat
ke arah pertempuran.
Memang menggiriskan sekali
sepak terjang Dewa Arak! Setiap kali tangan, kaki, atau gucinya bergerak, pasti
ada sesosok mayat yang roboh ke tanah, dan tak bangkit lagi. Karena kepala
mayat itu telah pecah berantakan.
Memang Dewa Arak yang telah
tahu kelemahan mayat-mayat hidup itu, selalu mengarahkan setiap serangan
tangan, kaki, atau gucinya ke arah tepala.
Dalam waktu yang tak berapa
lama saja, puluhan mayat-mayat itu telah bergeletakan di tanah dan tidak
bangkit lagi. Mayat-mayat hidup yang gerakannya lambat itu tak mampu menghadapi
Dewa Arak yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa!
Melihat betapa pemuda yang
baru tiba ini, begitu mudah membuat mayat-mayat hidup itu tidak bangkit
kembali, semangat para prajurit dan penduduk pun bangldt! Mereka yang tadinya
sudah putus asa dan lelah, mendadak bangkit kembali tenaganya.
Selagi bertarung, sepasang
mata Dewa Arak bergerak liar ke sana kemari mencari-cari Hantu Putih. Akhirnya
laki-laki bergigi tonggos itu terlihat juga olehnya. Hantu Putih itu nampak
tengah bertarung sengit menghadapi pengeroyokan jago-jago istana kadipaten yang
dibantu oleh beberapa tokoh rimba persilatan. Walaupun para pengeroyoknya
berjumlah delapan orang, tokoh sesat itu masih tetap dalam posisi mendesak.
Beberapa sosok tubuh tampak
telah bergeletakan di tanah. Dewa Arak mengenai beberapa orang di antara
mereka. Singa Hitam dan Gada Pencabut Nyawa yang merupakan orang tersakti di
antara para pengeroyok itu, nampak selalu mendapat desakan yang hebat.
Dewa Arak telah mengetahui
kepandaian yang di miliki Hantu Putih itu memang tinggi. Tapi yang membuat
laki-laki bergigi tonggos itu sukar ditaklukkan adalah karena kehebatannya yang
mampu menggabungkan antara ilmu silat dengan ilmu sihir.
Derrr!
Tiba-tiba Hantu Putih
menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga, salah seorang jago istana
yang menjadi sasaran aji 'Pantek Raga' Hantu Putih Itu terpaku kaku di tanah.
Tubuh laki-laki bergigi tonggos itu pun melesat cepat ke arahnya. Tangan kanannya
menyampok keras ke arah pelipis.
Plakkk! "Akh...!"
Suara pekik tertahan
terdengar. Disusul dengar robohnya jago istana itu dengan pelipis pecah.
Dewa Arak yang melihat
kejadian ini sadar, kalau dia tidak cepat turan tangan, sudah dapat dipastikan
sepak terjang Hantu Putih akan berhasil membinasakan semua lawan-lawannya.
"Ha ha ha...!" Hantu
Putih tertawa bergelak. "Sekarang kalian rasakan pembalasan
dendamku!"
Tapi senyumnya kontan lenyap
begitu melihat sesosok bayangan berkelebat, disusul dengan muncul- nya seorang
pemuda berambut putih keperakan di arena pertempuran.
"Kau lagi?!" sentak
laki laki bergigi tonggos ini geram. "Jangan harap kali ini kau akan
kuampuni lagi !!"
Orang yang tak lain adalah
Dewa Arak itu tersenyum getir.
"Hantu Putih, kejahatanmu
sudah melampaui batas! Orang sepertimu tidak patut dibiarkan hidup di muka bumi
ini!" tegas Arya.
"Kaulah yang akan
kubunuh, keparat!"
Setelah beikata demikian,
Hantu Putih melambaikan tangannya. Tapi, Dewa Arak yang sejak tadi memang sudah
bersikap waspada, segera mengeraskan perutnya. Kemudian mengguratkan garis
mendatar.
"Heh?!" Hantu Putih
berseru kaget ketika merasakan ada sesuatu yang tidak tampak membuat
tangannya yang bergerak melambai jadi tertahan. Perasaan penasaran
mendorongnya untuk mengulanginya lagi. Tapi seperti kejadian sebelumnya, tetap
saja, tangannya yang hendak melambai itu jadi tertahan.
Hantu Putih menggeram keras.
Kali ini tangannya bergerak mengibas. Tapi kembali tangannya yang hendak
mengibas itu terhenti di tengah jalan. Kini laki-laki bergigi tonggos ini pun
sadar, ternyata pemuda berambut keperakan ini, telah memiliki penangkal
ilmunya.
Dewa Arak tersenyum lebar.
Sungguh tidak disangkanya hanya dengan gerakan yang begitu sederhana , dia bisa
membuat ilmu Hantu Putih yang luar biasa itu menjadi lumpuh tak berdaya. Dalam
hatinya, Dewa Arak memuji kesaktian gurunya!
Sementara itu, Singa Hitam dan
beberapa tokoh persilatan lainnya menjadi gembira melihat kemunculan Dewa Arak.
Apalagi, jelas teriihat oleh mereka kalau pemuda itu mampu menghadapi lawannya.
Мака mereka pun memutuskan untuk membiarkan pemuda berambut putih keperakan
itu bertarung menghadapi Hantu Putih sendirian. Tokoh-tokoh rimba persilatan
itu, bersama jago-jago istana lalu terjun dalam pertarungan menghadapi
mayat-mayat hidup.
Kini Hantu Putih sadar bahwa
tidak mungkin lagi menggunakan ilmu tolak dan tarik pada Dewa Arak Pemuda
berambut putih keperakan itu telah memiliki penangkalnya. Kini tinggal pada
satu ilmunya saja harapannya tertumpu, aji 'Pantek Raga'!
"Hih...!"
Derrr!
Hantu Putih menghentakkan
kakinya ke tanah. Tapi, Dewa Arak yang memang berwaspada sejak tadi, buru-buru
menghentakkan kakinya pula.
Derrr!
Ajaib! Kini tidak dirasakannya
lagi, kekuatan tidak tampak yang menekannya kuat ke tanah. Ki Gering Langit
benar! Jerit hati Arya gembira. Hentakan kald lawan telah dapat dipunahkannya!
"Arrrggghhh...!"
Hantu Putih meraung keras.
Raung keputus asaan. Kini dia tidak mempunyai satu pun ilmu andalan lagi yang
dapat dipakai untuk menghadapi Dewa Arak Padahal dalam hal ilmu silat, dia
bukan tandingan pemuda berambut putih keperakan yang luar biasa itu.
Tapi, Hantu Putih adalah
seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia tahu kalau Dewa Arak hanya memiliki
ilmu-ilmu yang khusus untuk menangkal ilmunya saja, dan sama sekali tidak
mempunyai kekuatan menyerang. Tinggal dicarinya kesempatan untuk melancarkan
ilmunya pada saat yang tepat Di saat pemuda itu lengah.
Kini Hantu Putih menghadapi
Dewa Arak dengan ilmu silatnya. Tapi, berbeda dengan pertarungan sebelumnya,
kini sampai puluhan jurus lamanya pertarungan masih tetap berimbang. Hal ini
terjadi karena Dewa Arak selalu bersikap waspada. Pemuda ini tidak mau terlalu
bemafsu mendesak sampai akhimya lupa, dan lawan menyarangkan serangan ilmunya
tanpa dia sempat menangkalnya.
Hantu Putih menjadi geram
bukan main melihat sikap hati-hati Dewa Arak. Berkali-kali, ilmu tarik, tolak,
dan pantek yang dikirimkannya gagal, karena Dewa Arak selalu cepat
menangkalnya.
Pertarungan antara kedua orang
sake ini jadi terlihat aneh. Beberapa kali, sewaktu Dewa Arak sedang mulai
mendesaknya, Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah, dan Dewa Arak pun
secepat itu pula menghentakkan kakinya ke tanah. Menghentikan desakannya
terhadap laki-laki bergigi tonggos itu untuk sementara.
Terikadang pula sewaktu Dewa
Arak tengah mendesak lawannya agak gencar, Hantu Putih mengibaskan tangannya.
Мака terpaksa buru-buru Dewa Arak mengeraskan perutnya sambil tak lupa
mengguratkan kakinya. Terpaksa Dewa Arak pun menghentikan desakannya.
Dan karena Kulah sampai lebih
dari seratus jurus, pertarungan masih berlangsung begitu-begitu saja Dewa Arak
mampu mendesak lawannya, tapi tetap tak mampu mengalahkan .
Tentu saja hal ini membuat
Dewa Arak menjadi jenuh. Disadari kalau dia tidak berara mengambll resiko,
sampai kapan pun pertempuran mereka akan terus begitu-begitu saja. Otak Dewa
Arak pun beiputar mencari cara untuk mengalahkan lawannya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak pun
sudah menemukan sebuah siasat Мака buru-buru disampirkan gucinya di punggung.
"Hiyaaa...!"
Kembali untuk ke sekian
kalinya Dewa Arak merangsek lawannya. Mendesaknya dengan serangan-serangan
mematikan. Tentu saja hal ini, membuat Hantu Putih yang memang sejak tadi sudah
terpepet menjadi kian terpojok.
Dan seperti yang sudah diduga
Dewa Arak, laki-laki bergigi tonggos ini, kemudian menghentakkan kakinya.
Derrr!
Tapi, Dewa Arak memang sudah
memperhitungkan hal Itu. Мака begitu dilihatnya Hantu Putih menghentakkan
kakinya ke tanah, secepat Itu pula tubuhnya melompat Dan tepat ketika aliran
aji 'Pantek Raga' tiba di tempat tadi Dewa Arak berdiri, Arya telah tidak
berada di situ lagi, tubuhnya telah berada di udara. Мака, hentakan aji 'Pantek
Raga' tidak berarti вра-ара karena Dewa Arak tidak berada di tanah
"Hiya...!"
Wuuuttt..!
Dewa Arak mengayunkan
tangannya ke arah pelipis laki-laki bergigi tonggos itu.
Hantu Putih kaget bukan main.
Tokoh hitam ini memang tidak menyangka akan teijadi hal seperti ini. Menurut
perkiraannya, pasti Dewa Arak akan balas menghentakkan kaki untuk memunahkan
serangannya atau bisa jadi malah tidak sempat, karena terlalu menggebu-gebu
dengan serangannya. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya tatkala mengetahui
dugaannya meleset
Plakkk!
"Aaakh...!"
Hantu Putih berteriak
melengking panjang ketika pukulan Dewa Arak tidak sempat dielakkannya lagi.
Seketika itu juga pelipis salah seorang dari Sepasang Hantu ini retak. Darah
menyembur keluar dari hidung, mulut, dan telinga. Tubuhnya terlempar jauh dan
kemudian ambruk di tanah. Menggelepar-gelepar sejenak untuk kemudian diam tidak
bergerak lagi.
Dewa Arak memperhatikan
lawannya sejenak. Untuk memastikan apakah Hantu Putih Itu telah tewas. Baru
kemudian setelah diyakininya tokoh yang memiliki ilmu hitam mengerikan itu
telah tewas, ditinggalkannya tubuh yang tergolek tidak bergerak lagi itu.
Terjun ke arena pertarungan, membasmi mayat-mayat hidup! .
Tak lama kemudian mayat-mayat
hidup itu pun habis .
Memang sebenarnya mayat-mayat
itu tidak punya kepandaian apa-apa, kecuali kekuatan tubuh dan tenaga yang luar
biasa. Bagi seorang yang memiliki ilmu silat cukup tinggi mereka bukan lawan
yang cukup berarti. Gerakan mereka terlalu lambat .
***
Adipati Janati, yang menjadi
adipati di Kadipaten Malaya, yang sejak tadi memperhatikan semua jalannya
pertempuran, segera menghampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas semua
bantuanmu, Anak Muda. Tanpa bantuanmu munglan kami semua sudah menjadi
mayat," ucap Adipati Janati. Sepasang matanya merayapi wajah Dewa Arak
penuh kagum. Memang adipati ini kagum bukan kepalang pada Dewa Arak. Seorang
diri saja mampu membunuh Hantu Putih yang telah diketahuinya memiliki
kepandaian silat tinggi, di samping ilmu hitamnya yang mengerikan!
"Ah, bukankah memang
sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu pada yang membutuhkan, Gusti
Adipati?" sahut Dewa Arak merendah.
"Ha ha ha...! Kau benar,
Anak Muda. О у a, kalau boleh kutahu siapa namamu? Dan ара tujuanmu kemari?
Apakah kau ingin mencari pekerjaan? Tinggal bilang saja padaku, jabatan ара
yang kau inginkan!"
Dewa Arak merapatkan kedua
tangan di ujung hidung seraya membungkukkan tubuhnya sedikit
"Hamba bernama Arya,
Gusti Adipati. Seorang pengelana. Ke mana langkah kaki hamba membawa ke situlah
hamba pergi. Jadi, maafkan hamba yang tidak bisa menerima anugerah Gusti."
Adipati Janati mengulapkan tangannya.
"Lupakanlah, Arya."
"Kalau begitu, hamba
mohon diri, Gusti. Masih ada urusan yang harus diselesaikan," pamit Dewa
Arak.
"Silakan, Arya."
Sementara itu, Singa Hitam dan
Gada Pencabut Nyawa nampak terkejut melihat Dewa Arak terburu burn pergi. Tapi
begitu pemuda berambut putih ke perakan itu menceritakan akan menyatroni sarang
Hantu Merah, mereka tidak menahan Dewa Arak lebih lama laep. Memang orang
seperti Hantu Merah haiut segera dilenyapkan selama-lamanya. Kalau tidak dia
akan terus mencari korban.
Bahkan tatkala Adipati Janati
mendengar bahwa Dewa Arak akan menuju Bukit Gendari, segera dihadiahkannya Aiya
seekor kuda yang kuat dan memffiki kemampuan lari cepat .
Dewa Arak yang memang
membutuhkan seekor kuda tunggangan untuk lebih mempercepat perjalanannya,
segera saja menerima kuda pemberian Adipati Malaya ini. Memang perjalanan ke
Bukit Gendari terhitung jauh. Tapi apabila ditempuh dengan seekor kuda, tidak
sampai seperempat hari akan sampai.
Bersamaan dengan munculnya
fajar menyingslng, Dewa Arak memacu cepat kudanya menuju Bukit Gendari.
***
Tubuh Dewa Arak melesat ke
sana kemari, sesekali ujung kakinya menotol tonjolan-tonjolan batu untuk dapat
membantunya cepat tiba di Lereng Bukit Gendari. Sementara kuda pemberian
Adipati Janati sudah ditambatkannya di kaki bukit .
Так lama kemudian Dewa Arak
sudah berada tak jauh di depan gua yang dicarinya. Kini dilihatnya dengan mata
kepala sendiri pohon pepaya berbatang dua. Seperti dipesankan gurunya, Ki Gering
langit, Dewa Arak langsung bersikap waspada begitu melihat di luar gua agak
kesebelah kanan sedikit berdiri seorang wanita setengah baya, berpakaian serba
merah. Sebagian wajahnya mulai dari mata, tertutup cadar hitam tipis. Siapa
lagi kalau bukan Hantu Merah?
Dari Singa Hitam telah
diketahuinya kalau Hantu Merah tidak kalah lihai dibanding Hantu Putih. Мака
Arya tidak berani memandang rendah, dan sudah menjadi sifat pemuda berambut
putih keperakan ini, tidak pernah memandang rendah orang lain.
Bukan hanya Dewa Arak yang
langsung bersikap waspada begitu melihat lawan. Hantu Merah pun demikian pula.
Begitu melihat Arya, segera saja ter- ingat akan pemuda yang diceritakan
suaminya Мака dia pun bersikap hati-hati.
Dewa Arak melangkah mendekat
Так lupa pemuda ini bersiap-siap apabila lawan tahu-tahu menyerangnya dengan
ilmu hitam seperti yang dimiliki Hantu Putih, suaminya.
"Kejahatanmu telah
melewati takaran, Hantu Merah! Orang sepertimu tidak layak dibiarkan
hidup!" sera Dewa Arak keras. "Kau harus segera menyusul
suamimu."
"Ара?! Ара katamu?!"
jerit Hantu Merah keras.
Memang sejak tadi istri Hantu
Putih ini sudah curiga, mengapa suaminya belum juga kembali. Dia tidak percaya
suaminya gagal dan tewas. Tapi ucapan Dewa Arak membuatnya kaget bukan main.
"Hantu Putih telah
tewas!" ulang Arya lagi mene- gaskan.
Setelah berkata demikian,
diambilnya guci arak yang tersampir di punggung Lalu dituangnya arak ke
mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan dari
kerongkongan Dewa Arak begitu arak itu melewati tenggorokannya.
"Bohong! Kau bohong!
Kubunuh kau, pemuda keparat! Hiyaaa...!"
Hantu Merah murka bukan
kepalang. Dan dalam kemarahan yang amat sangat itu, wanita berpakaian merah ini
langsung saja mengeluarkan senjata sabuk merah andalannya.
Wut, wut, wut..!
Ujung sabuk itu meliuk-liuk
aneh, dan mematuk- matuk seperti seekor ular yang hendak menyambar mangsa.
Sesekali terdengar suara ledakan keras begitu ujung sabuk itu melecut di udara.
"Hih...!"
Hantu Merah memekik keras.
Ujung sabuk meluncur cepat laksana seekor ular ke arah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih
keperakan ini terperanjat kaget Buru-buru dilempar tubuhnya ke belakang.
Tanr...!
Suara ledakan keras terdengar
begitu ujung sabuk itu merobek udara.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Kembali untuk yang ke sekian kalinya Arya tidak bisa menggunakan jurus 'Delapan
Langkah Belalang' untuk mengelakkan serangan itu. Senjata sabuk milik Hantu
Merah membuat wanita berpakaian merah itu mampu mengirimkan serangan yang tidak
terduga-duga! Dan ini menyulitkan Dewa Arak menggunakan jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Terpaksa kali ini digunakannya jurus 'Belalang Mabuk'.
Tanpa menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang', baru terasa oleh Dewa Arak, betapa ilmu 'Belalang
Sakti' jadi berkurang kelihaiannya. Memang, kemukjizatan ilmu 'Belalang Sakti'
bertumpu pada keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang setiap kali
mengelakkan serangan, langsung berbalik mengancam.
Тапт...!
"Hih...!"
Kembali ujung sabuk milik
Hantu Merah menyambar deras ke arah pelipis Dewa Arak. Lagi-lagi pemuda
berambut putih keperakan ini melompat mundur untuk mengelakkannya. Sungguhpun
Arya tahu kalau menghadapi lawan yang menggunakan senjata panjang seperti
itu, seharusnya dia memancing lawan untuk bertarung dalam jarak dekat Tapi
karena keadaan masih tidak memungkinkan, terpaksa dia melompat mundur.
Tairr...!
Suara ledakan keras kembali
terdengar begitu ujung sabuk itu mengenai tempat kosong.
Mendadak Hantu Metah
berteriak. Dan tiba-tiba saja sabuk merah di tangannya menegang kaku taksana
sebatang tombak. Peristiwa itu teijadi secara mendadak. Dan tidak pernah diduga
Arya. Dengan agak gugup diayunkan gucinya menangkis sabuk yang kini sudah
setajam pedang!
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang
nyaring ketika guci Dewa Arak berbenturan dengan sabuk merah yang telah
menegang kaku itu. Seketika itu juga sabuk Itu kembali melemas seperti
sediakala. Sesaat kemudian kedua orang ini sudah terlibat dalam sebuah
pertarung- an sengit.
Setelah beberapa kali
menggebrak, Dewa Arak sadar kalau Hantu Merah ini memiliki kepandaian yang
lebih tinggi ketimbang suaminya. Baik dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu
meringankan tubuh, wanita bercadar hitam ini masih lebih unggul!
Tapi meskipun demikian, tetap
saja wanita ini bukan tandingan Dewa Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan
tubuh, maupun tenaga dalam, Dewa Arak masih lebih unggul daripada lawannya.
Apalagi setelah beberapa saat kemudian Arya mulai dapat menemukan cara untuk
bertarung dalam jarak dekat, senjata sabuk Hantu Merah pun kehilangan
keampuhannya.
Setelah lewat tujuh puluh
jurus bertarung, pelahan namun pasti Dewa Arak mulai dapat mendesak lawannya.
Diam-diam seraya terus mendesak, benak Dewa Arak berpikir keras. Apakah Hantu
Merah ini tidak memiliki ilшu-ilmu aneh seperti yang dimiliki suaminya?
Padahal sejak tadi, pemuda berambut putih keperakan ini sudah bersiaga.
Sepasang matanya tak lepas mengawasi kaki dan tangan wanita berpakaian merah
itu.
Kembali lima belas jurus
berlalu cepat Dan keadaan Hantu Merah semakin terjepit Sabuk di tangannya kini
tidak lagi dapat bergerak leluasa karena jarak mereka sangat dekat Kini wanita
berpakaian merah ini hanya dapat menggunakan sabuknya setelah terlebih dulu
melipatnya. Senjatanya itu kini lebih sering digunakannya untuk mengibas!.
Tengah sibuk-sibuknya Dewa
Arak mendesak, pendengarannya menangkap sebuah suara. Suara yang cukup
dikenalnya. Suara Hantu Merah.
"Tataplah mataku, Anak
Muda...."
Dewa Arak terperanjat kaget
ketika merasakan kepalanya bergerak ingin menuruti perintah Itu. Ada tenaga
aneh tapi kuat yang mendorongnya berbuat itu. Suara itu menyelusup ke seluruh
pembuluh darahnya. Tapi, Dewa Arak berusaha untuk tidak menghiraukannya.
" Tataplah mataku, Anak
Muda...."
Kembali suara bemada memerintah
itu terdengar lagi. Kali ini getaran yang terkandung di dalamnya lebih kuat Dan
begitu pula yang dirasakan Dewa Arak.Tanpa sadar seraya melakukan serangan,
kepalanya ditolehkan ke arah wajah Hantu Merah, dan sepasang matanya menatap ke
arah mata wanita berpakaian merah itu.
Dan inilah kesalahan Dewa
Arak. Begitu sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata Hantu Merah.
Seketika itu pula pandangan
mata pemuda berambut putih keperakan ini terpacak di sana. Betapapun Dewa Arak
berusaha untuk mengalihkan pandangan matanya, tetap saja tidak mampu. Dengan
sendirinya, serangannya pun terhenti seketika.
"Tataplah mataku, Anak
Muda.... Tataaap...!" seru Hantu Merah dengan nada suara bergetar. Sengaja
wanita berpakaian merah ini mengulang-ulang kata itu. Seorang yang memiliki
kepandaian seperti pemuda berambut putih keperakan ini, tidak boleh dianggap
enteng. Sekali pemuda ini berhasil lolos dari jerat ilmu sihimya. Так akan bisa
lagi ditaklukkannya.
"Kini seluruh tubuhmu
terasa lemas, Anak Muda. Lemas...! Lemaaas sekali...!" sambung Hantu Merah
lagi. "Tenagamu pun lenyap...! Lenyap ....!"
Hebat akibatnya! Dewa Arak
merasakan lemas yang amat sangat menyelimuti seluruh tubuhnya. Ара yang
dikatakan Hantu Merah itu benar-benar dirasakannya. Bahkan tenaga dalamnya pun
lenyap entah ke mana!
"Kakimu terasa lumpuh...,
lumpuuuh...!"
Sepasang kaki Dewa Arak
tiba-tiba oleng. Seketika itu juga tubuhnya limbung. Dan kemudian jatuh
terduduk di tanah tanpa daya.
"Kau akan terus seperti
itu, Anak Muda. Terus seperti ituuu... teruuusss selama aku belum menyuruhmu
bangkit!"
Setelah berkata demikian,
Hantu Merah mengambil sebatang pedang.
Srattt..!
Sinar terang berkilat ketika
pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Kemudian dengan langkah hati-hati
dihampirinya Dewa Arak. Sudah bulat tekadnya untuk membunuh pemuda berambut
putih keperakan ini dan mengambil jantungnya untuk dimakan mentah-mentah
sebagai balas dendam atas kematian suaminya.
Tapi sewaktu jarak antara
Hantu Merah dengan korbannya tinggal dua tombak lagi, berkelebat sesosok
bayangan biru. Sesaat kemudian di antara Hantu Merah dan Dewa Arak, berdiri
seorang wanita canflk berpakaian biru muda, yang tak lain dari Malini.
"Mengapa kau menghadang
di depanku, Malini?!" tanya Hantu Merah heran. "Menyingkirlah...!
Pemuda keparat ini telah membunuh ayahmu! Biar kubelah dadanya dan kumakan
jantungnya sebagai hukuman atas kelancangannya membunuh ayahmu!"
Malini menggelengkan
kepalanya.
"Tidak, Ibu. Jangan
lakukan itu. Aku mohon... jangan bunuh dia...," ucap gadis berpakaian biru
muda ini gemetar.
Seketika wajah Hantu Merah
menjadi beringas."Menyingkirlah, Malini! Menyingkirlah...!"
" Tidak, Ibu. Aku tidak
akan membiarkan siapa pun membunuhnya...."
Terbelalak sepasang mata Hantu
Merah mende- ngar ucapan anaknya itu.
"Anak dungu! Rupanya kau
mencintainya, ya? Kalau begitu, lebih baik kau mampus bersamanya!"
Setelah berkata demikian,
terdorong oleh perasaan amarah yang menggelegak, wanita berpakaian merah ini
menusukkan pedangnya ke tubuh Malini.
Wut..! Blesss...!
"Akh...!"
Malini memekik tertahan ketika
pedang yang ditusukkan ibunya, menghunjam dalam di perutnya hingga tembus ke
punggung. Darah muncrat seketika.
Tentu saja Hantu Merah yang
sama sekali tidak menyangka kejadian ini jadi terpaku di tempatnya. Sungguh
sangat di luar dugaannya kalau anaknya itu sama sekali tidak mengelakkan
tusukan pedangnya .
"Malini..!" jerit
Hantu Merah histeris, tatkala melihat tubuh anaknya roboh ke tanah berlumuran
darah.
"Semua ini gara-garamu,
Keparat!" desis Hantu Merah tajam seraya berpaling menatap Dewa Arak.
Sepasang matanya memancarkan sorot kebenglsan. "Mampuslah kau!
Hiyaaa...!"
Dengan amarah yang meluap,
ditusukkan pedangnya ke arah leher Dewa Arak.
Tapi ketika serangan pedang
itu tinggal beberapa jengkal lagi dari leher Dewa Arak, mendadak pemuda
berambut putih keperakan ini mengeluarkan suara pekik melengking nyaring. Keras bukan main.
berambut putih keperakan ini mengeluarkan suara pekik melengking nyaring. Keras bukan main.
Suara pekik yang keluar dari
mulut Dewa Arak memang dahsyat! Seketika itu juga Hantu Merah yang tengah
merangsek maju, menggigil seluruh tubuhnya. Pedangnya pun terlepas dari
pegangan, dan jatuh di tanah.
Di saat itulah, Dewa Arak yang
akhirnya berhasil membebaskan diri dari kungkungan sihir dengan suara pekiknya
tadi, melesat menerjang Hantu Merah. Tubuhnya melompat Dan seketika itu juga,
dilancarkan satu kibasan kaki yang dilakukan sambil memutar tubuh, selagi
berada di udara.
Wusss...! Plakkk!
"Aaakh...!"
Hantu Merah menjerit
memilukan. Tubuhnya terlempar jauh seketika dengan nyawa yang sudah terlepas
dari tubuhnya. Kepalanya hancur terkena kibasan kaki Dewa Arak.
Suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh wanita berpakaian merah ini menghantam tanah . Dewa Arak bergegas
menghampiri tubuh Malini yang terkapar diam di tanah, dengan dada berlumuran
darah.
Robohnya Malini dengan dada
berlumuran darah itulah yang membuatnya terkejut, dan tersadar dari pengaruh
kungkungan ilmu sihir Hantu Merah. Dan langsung mengeluarkan suara jerit
melengking nyaring.
Memang jauh di lubuk hati Dewa
Arak ada perasaan kasih terhadap gadis berpakaian biru muda ini Wajah, dan
sorot mata gadis itu seperti menyembunyikan kedukaan mendalam. Kalau saja tidak
ada Melati, yang telah lebih dulu mengisi lubuk hatinya, mungkin Arya bisa
tertarik pada Malini.
"Malini...," panggil
Dewa Arak pelan begitu dirasa- kannya masih ada detak-detak jantung gadis itu,
sungguhpun sangat lemah sekali.
Pelahan-lahan bulu mata lentik
dan iridah yang sudah terpejam itu kembali terbuka.
"A... Ar... Aiya?"
tanya gadis berpakaian biru muda itu tak percaya.
Sesak dada Dewa Arak oleh
perasaan haru yang mendalam. Sepasang mata gadis itu sudah hampir tidak
bersinar lagi. Arya tahu tak lama lagi Malini akan meninggal, luka-luka yang
dideritanya sangat parah.
"lya..., ini aku,
Malini...," sahut Dewa Arak tangan suara serak.
"Ar... ya..., maukah...
kau memenuhi... permin%- an terakhirku...?" tanya Malini lemah dan
teiputus- putus.
"Katakanlah, Malini. Aku
berjanji akan memenuhinya," jawab Dewa Arak tanpa pikir panjang lagi.
Sebab Arya pun merasa berhutang budi pada gadis ini. Tanpa adanya Malini,
mungkin dia sudah tewas sejak tadi. Sudah dua kali gadis ini menolongnya dari
maut!
"Aku... aku ingin mati...
dalam pelukanmu, Arya."
Sesaat Dewa Arak tersentak.
Tapi sekejap kemudian sudah bisa menguasai perasaannya kembali. Diangkatnya
tubuh gadis itu. Kemudian tanpa mempedulikan darah yang mengalir deras dari
luka lebar di dada Malini mengotori pakaiannya, dipeluknya tubuh itu.
Bahkan pelahan dikecupnya
kening gadis itu. Sementara Malini pun melingkarkan tangannya di leher Dewa
Arak.
"Aku menyayangimu,
Malini," bisik Arya di telinga gadis itu.
"Terima kasih,
Arya," ucap Malini.
Dan sehabis ucapannya itu
selesai, pelukan tangan gadis itu pada leher Dewa Arak pun terlepas. Kepalanya
terkulai. Gadis itu pergi selama-lamanya dengan senyum di bibir.
Keinginannya untuk meninggal
dalam pelukan orang yang dicintainya ternyata terkabul.
Dewa Arak tahu kalau gadis
yang dipeluknya telah fiada. Segera pemuda berambut putih keperakan inl
bftigkit berdiri. Kemudian dibopongnya mayat Malini meninggalkan tempat itu.
Akan dicarikan tempat yang teduh, sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi
gadis yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
Pelahan-lahan punggung Dewa
Arak pun semakin teriihat mengecil dan mengecil, hingga akhimya lenyap di
kejauhan. Masih banyak tugas yang menanti uluran tangan Dewa Arak
SELESAI