Serial Dewa Arak 08 - Penganut Ilmu Hitam

Sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda beipacu cepat merambah sebuah hutan.
08 - Penganut Ilmu Hitam

Hiyaaa...!"

Sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda beipacu cepat merambah sebuah hutan. Sang kusir lernyata seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh tahun dan pakaiannya berwarna biru muda. Gadis itu tak henti-henfinya melecutkan сетей ke punggung kuda itu, dalam usahanya memacu laju kudanya secepat mungkin.

Wajah gadis itu menampakkan kecemasan yang hebat Jelas ada sesuatu yang ditakutinya. Dan itu memangbenar! Di belakangnya, hanya berjarak sekitar beberapa tombak, belasan orang berkuda mengejarnya.

Sedikit demi sedikit jarak di antara mereka kian dekat Так lama kemudian, para pengejar yang berada di bagian terdepan, mulai menyusul kuda itu. Sudah dapat ditebak maksudnya. Apalagi kalau bukan me- nyalip kereta kuda itu.

Ketika dua orang pengejar itu sudah menyusul, mereka masing-masing berada di kanan kiri kereta kuda. Tirai yang menutupi pintu kanan dan kiri kereta kuda itu tersingkap. Dan dari balik tirai yang tersingkap Itu, muncul masing-masing sebuah tangan yang lang- uung mengibas.

Singgg...! Singgg...!

Sebilah pisau melesat dari masing-masing pintu kereta, dan mengarah pada pengejar yang menyusul kerela kuda itu.

Peristiwa selanjutnya terjadi begitu cepat.

"Akh...! Akh...!"

Jerit lengking kematian terdengar ketika pisaiu- pisau itu mengenai tubuh dua pengejar yang menyusul kereta kuda itu. Seketika itu juga tubuh mereka roboh ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.

Tentu saja melihat kejadian itu, para pengejar yang berada di belakang kedua orang yang sial itu menjadi gusar bukan kepalang. Dua di antara mereka yang terdepan, segera menggerakkan tangannya.

Singgg...! Singgg...!

Dua bilah pisau berwarna putih mengkilat melesat cepat ke arah dua ekor kuda yang menarik kereta.

Cappp...! Cappp...!

Telak dan keras sekali dua bilah pisau menembus leher dl.4 e':or kuda itu. Seketika itu juga dua ekor kuda penarik kereta meringkik keras, kemudian roboh ke tanah, mati.

Tentu saja dengan matinya dua ekor kuda itu, laju kereta pun terhenti diiringi suara hlruk pikuk.

Wanita cantik berusia dua puluh tahun yang men­jadi kusir itu melompat turun dari keretanya.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kaki gadis berpakaian biru muda itu hinggap di tanah, di bagian belakang kereta. Tepat berada di depan para penunggang yang mengejarnya. Menilik dari sikapnya, terlihal jelas kalau gadis itu berusaha melindungi isi kereta dari para pengejarnya.

"Hup...!"

Belasan orang pengejar kereta kuda itu pun ber- lompatan turun dari kudanya, begitu melihat gadis cantik berpakaian bim muda itu bersikap menghalangi. Di tangan gadis itu terhunus sebilah pedang.

"Ke mana pun kalian pergi, tetap akan kami kejar. Orang seperti kau dan kedua orang tuamu itu harus mati, Malini!" seru salah seorang dari belasan pengejar itu yang berusia setengah baya, berpakaian wama kuning emas. Cambang yang cukup lebat menghiasi pipinya. Wajah dan sikapnya gagah, seperti juga be­lasan orang lainnya. Tidak ada potongan perampok ataupun penjahat sama sekali baik pada wajah mau- pun sikap mereka.

Gadis berpakaian biru muda yang dipanggil Malini itu teisenyum sinis. Ditatapnya wajah laki-laki ber­pakaian kuning emas. Sorot matanya memancarkan cemoohan.

"Kalian tidak lebih baik dariku atau orang tuaku! Kalian yang menyebut diri sendiri sebagai pendekar dan tokoh golongan putih, nyatanya tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan terhadap keluarga kami. Kalian tidak berani melawan kami satu persatu. Begitu pula dengan kau, Pendekar Baju Emas."

Sekujur wajah laki-laki berbaju kuning emas yang dipanggil Pendekar Baju Emas memerah.

"Tutup mulutmu, wanita liar! Menghadapi kau dan orang tuamu tidak perlu segala aturan! Kalian sekeluarga bukan manusia, tapi iblis! Kalian tidak patut dibiarkan hidup! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian kuning emas itu melompat menerjang Malini. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah leher. Ada suara mendesing yang cukup nyaring mengiringi tibanya se- rangan itu .

Tapi gadis berpakaian biru muda itu hanya tersenyum mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke samping kanan, sehingga tusukan pedang itu lewat di samping lehernya. Dan begitu se- rangan lawan telah berhasil dielakkannya, Malini menyabetkan pedangnya ke tangan Pendekar Baju Emas.

Tapi orang berpakaian kuning itu bukan orang lemah. Buru-buru ditarik kembali serangannya se­hingga babatan pedang gadis berpakaian biru muda itu mengenai tempat kosong. Bersamaan ditarik kem­bali serangannya, kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya.

Takkk...!
"Aaakh...!"

Gadis berpakaian biru muda itu terpekik. Serangan Pendekar Baju Emas begitu mendadak datangnya, sehingga tak sempat lagi dihindarinya. Telak dan keras sekali tenrlangan ttu mengenai pergelangan tangannya. Seketika itu juga pedangnya teriempar dari pegangan.

Trek!

Laki-laki berbaju kuning emas itu menyamngkan kcmbali pedang ke dalam sarungnya.

"Kawan-kawan...! Urus suami istri iblis itu! Biar aku yang akan mengurus wanita liar ini!" seru Pende­kar Baju Emas itu keras.

Mendengar seruan itu, belasan orang yang sejak ladi hanya mengawasi sekeliling dengan sikap waspada, serentak bergerak menghampiri kereta.

"Keparat...! Jangan harap kalian akan dapat me- nyentuh kedua orang tuaku, selama aku masih ada disini!" seru gadis berpakaian biru muda keras. Sekali dlgerakkan kakinya, maka tubuh yang ramping dan menggiurkan itu telah menghadang di depan belasan orang yang hendak menuju kereta.

"Teruskan tugas kalian!" seru Pendekar Baju Emas.

Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya Itu segera melesat menerjang gadis berpakaian biru muda.

Tangan kanannya menyampok keras ke arah pelipis, sementara tangan kirinya terpalang di depan dada. Berjaga-jaga apabila lawan melancarkan serangan .

Wuttt..!

Angin cukup keras berhembus ketika serangan itu menyambar. Tanpa ragu-ragu Malini menggerakkan tangan kiri menangkis serangan itu.

Plakkk...!

Tubuh gadis berpakaian biru muda terhuyung dua langkah ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara pekikan kaget. Tangan yang berbenturan dengan ta­ngan Pendekar Baju Emas itu terasa ngilu. Seolah-olah yang beradu dengan tangannya tadi bukan tangan manusia yang terdiri dari kuli dan daging, melainkar batang baja yang keras.

Bukan hanya itu saja yang dirasakan Malini. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Sementara laki-laki berpakaian kuning itu hanya tergetar saja ta­ngannya. Jelas terbukti keunggulan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Baju Emas.

***

Kembali laki-laki berbaju kuning emas ini melom- pat menyerang Malini. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.

Melihat gadis berpakaian biru muda yang tadi berdiri menghadang jalan telah dihadapi oleh Pendekar Baju Emas, rekan-rekannya pun segera bergerak menuju kereta kuda.

Srat...! Sret...!

Semakin dekat mereka menghampiri kereta kuda itu, langkah belasan orang itu semakin hati-hati. Senjata-senjata pun telah terhunus semua di tangan mereka. Sikap mereka tampak waspada.

"Hantu Putih! Keluar kau...! Atau kamibakar gerobakmu ini!" seru salah seorang yang mendekati kereta.

Belasan orang itu menunggu sejenak. Tapi, iidak lampak tanda-tanda kalau orang yang berada di dalam kereta akan keluar. Jangankan keluar, I nyahut pun tidak.

"Baik, Hantu Putih! Jangan katakan kejam, kalau kami bakar keretamu ini!"

Setelah berkata demikian, salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi besar dan bersenjatakan gada berduri, segera menyalakan obor.

"Kami beri kau kesempatan sekali lagi, Hantu Putih! Keluar, atau kereta ini kami bakar!"

Orang yang bersenjatakan gada berduri itu menunggu sejenak. Tapi, seperti kejadian sebelumnya, sama sekali tidak ada sahutan dari dalam kereta yang tertutup rapat kedua pintunya itu.

"Kesempatan untukmu telah kau sia-siakan sendiri, Iblis! Terimalah kematianmu...!"

Orang yang bersenjatakan gada berduri, melem- parkan obor yang sejak tadi digenggamnya, ke arah kereta kuda itu.

Obor itu pun melayang cepat ke arah kereta. Sudah dapat dipastikar kalau kereta kuda itu akan menjadi kobaran api.

Mendadak terdengar suara bentakan keras.

"Manusia terkutuk...!"

Belum juga gema suara itu habis, angin keras berhawa panas menyerigat, menderu memapak obor yang melayang ke arah kereta itu.

Prattt...!

Terdengar suara berderak keras ketika tangkai obor itu hancur berkeping-keping dan bereerakan entah ke mana. Apinya pun seketika itu juga padam.

"Orang gila dari mana yang berani unjuk gigi di hadapan Gada Pencabut Nyawa?" teriak orang yang bersenjatakan gada berduri. Sepasang matanya mena- tap Bar ke arah angin keras itu berasal.

Beberapa tombak di depan Gada Pencabut Nya­wa, berdiri seorang pemuda tampan berwajah jantan. Rambutnya putih keperakan dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak perak.

"Kau?! Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau menghalangi pekerjaanku?!" tanya Gada Pencabut Nyawa setengah membentak.

Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah orang-orang di sekelilmgnya. Sorot matanya tajam menusuk.

"Aku Arya, seorang pengelana. Dan memang su­dah menjadi sifatku untuk tidak tinggal diam begitu saja melihat adanya kesewenang-wenangan di depan mataku!" tandas pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya alias Dewa Атак. Так terlihat Melati di sampingnya, karena gadis berpakaian serba putih itu dimintai pertolongannya oleh Prabu Nalanda sehubungan dengan terjadinya kemelut di Kerajaan Bojong Gading.

"Huh...," Gada Pencabut Nyawa mendengus. "Jangan berlagak menjadi pahlawan, bocah sombong! Menyingkirlah cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"

Dewa Arak tersenyum pahit. Kemarahannya timbul mendapat ucapan seperti itu. Tapi buru-buru ditahannya. Pengalaman selama ini telah mengajarkan pemuda berambut putih keperakan itu untuk tetap ti­dak terpengaruh emosi. Kemarahan hanya akan menyempitkan pandangan. Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi pada dirinya.

"Aku tidak akan bergeming dari tempatku, selama kau belum meninggalkan tempat ini!" tegas dan man- lap kata-kafa Dewa Arak

"Keparat..!" maid Gada Pencabut Nyawa. Kemarahannya sudah tidak bisa ditahannya lagi. "Orang seperti kau harus diberi pelajaran! Kalau tidak, akan semakin sombong dan kurang ajar! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, Gada Pencabut Nyawa tegera menetjang Dewa Arak. Gada panjang berduri dl tangannya diayunkan deras ke arah kepala Dewa Arak .

Wuuuttt..!

Angin berhembus keras mengiringi tibanya serang­an gada itu. Suatu bukti nyata kekuatan tenaga dalam yang dimiliki oleh Gada Pencabut Nyawa.

Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Sama sekali ti­dak dikeluarkan ilmu andalannya. Arya hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Segera didoyongkan badannya ke belakang, sehingga babatan gada itu lewat sejengkal dl depan wajahnya.

Gada Pencabut Nyawa bertambah murka melihat serangannya dapat dielakkan begitu mudah oleh pe­muda berambut putih keperakan itu Sebagai akibatnya, serangan gadanya pun semakin dahsyat Menderu-deru seperti angin topan mengamuk.

Tapi Dewa Arak benar-benar membukfikan kelihaiannya. Sungguhpun serangan gada berduri itu datang bertubi-tubi, susul-menyusul seperti angin topan mengamuk, tetap saja Arya tidak mengalami kesubtan mengelakkannya. Так terasa lima belas jurus telah ber ialu. Dan selama itu, Dewa Arak sama sekali tidak per nah membalas serangan lawannya, hanya mengelak saja, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.

Memang, dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan, tidak sulit bagi Arya untuk mengelakkan setiap serangan. Enak saja tubuhnya menyelinap, di antara kelebatan gada berduri lawan­nya.

Gada Pencabut Nyawa meraung murka. Sikap tenang dan menganggap enteng dari Dewa Arak, menyebabkan kemarahannya memuncak. Pemuda berambut putih keperakan Itu sama sekali tidak bar sungguh-sungguh menghadapinya. Arya sama sekttt tidak pernah balas menyerang, dan hanya menghincW saja. Sebagai seorang tokoh persilatan, Gada Pencabut Nyawa merasa terhina sekali melihat sikap Dewa Arak. Dan sebagai akibatnya, amukannya pun semak'ji dahsyat dan membabi buta.

Begitu melihat Gada Pencabut Nyawa telah teril- bat perkelahian dengan pemuda berambut putih ke perakan, rekan-rekan Gada Pencabut Nyawa segera menghampiri kereta yang kedua pintunya masih ter- tutup rapat Entah tokoh macam ара yang berada di dalam kereta sehingga membuat belasan orang gagah itu bersikap khawatir sekali.

"Hiyaaa...!"

Seraya mengeluarkan suara jerit melengking rea­ring, Dewa Arak melenting ke atas. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu berputar beberapa kali dl udara, kemudian mendarat tingan tanpa suara di lanah, di hadapan belasan orang itu .

Tentu saja hal ini membuat belasan orang gagah llu menjadi geram. Kini mereka sadar bahwa Dewa Atak harus disingkirkan lebih dahulu kalau niat mereka lerhadap orang yang berada di dalam kereta ingin terlaksana.

Tanpa sungkan-sungkan lagi belasan orang gagah llu menyerbu Arya. Gada Pencabut Nyawa pun se­makin bersemangat melihat rekan-rekannya ikut membantu .

Kini Dewa Arak tidak berani hanya mengelak saja seperti tadi. Tapi sungguhpun begitu, Arya masih tetap belum mengeluarkan ilmu andalannya. Masih digunakan juga ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' andalannya.

"Haaattt...!" teriak Gada Pencabut Nyawa keras. Tokoh ini memang sejak tadi sudah geram bukan main pada pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Serangan laki-laki bertubuh pendek gemuk ini selalu membawa ancaman maut.

Wuuuttt...!

Gada berduri menyambar deras ke arah kepala Dewa Arak. Di saat itu dari arah belakang Arya, meluncur pula sebilah pedang yang menyambar cepat ke arah lehemya. Sementara dari sebelah kanannya menyambar deras sebuah cambuk yang melecut deras ke arah kepalanya. Sungguh figa buah serangan maul yang berbahaya. Dan sulit untuk mengelakkannya.

Dewa Arak pun menyadari hal itu. Tapi tidak membuatnya menjadi gugup. Dengan perhitunganl yang matang, dirundukkan tubuhnya. Sehingga se­rangan gada dan tusukan pedang lewat begitu saja di atas kepalanya.

Sementara lecutan cambuk itu disambutnya dengan tangan, secepat kilat kaki kanannya mementil ke belakang. Ke arah orang yang menusukkan pedang .

Prattt..! Tappp...! Bukkk...!
"Hih...!"
"Hugh...! Aaa...!"

Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tubuh dua orang penyerang itu segera berpentalan. Si penye- rang yang bersenjatakan pedang terjengkang ke bela­kang ketika tendangan Dewa Arak telak dan keras mengenai perutnya. Untung Arya hanya mengerahkan sebagian kecil saja dari tenaga dalam yang dimilikinya Kalau tidak, tentu penyerang itu akan tewas dengan seluruh isi perut berantakan.

Si penyerang yang bersenjatakan cambuk agak lebih baik nasibnya ketimbang rekannya yang bersen­jatakan pedang. Cambuk yang melecut ke arah leher pemuda itu, ternyata tidak hanya ditangkis oleh pemu­da itu melainkan dibelit dan langsung disentakkan. Keras bukan main' sentakan Dewa Arak, sehingga tanpa ampun lagi tubuh si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu terlempar ke atas.

"Hup...!"

Sungguhpun dengan agak terhuyung-huyung, si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu masih juga dapat mendaratkan kedua kakinya di tanah.

Tapi belum juga Dewa Arak menghela napas lega, Imlasan orang lainnya telah kembali menyerang.

Sesaat kemudian Dewa Arak pun kembali terlibat dalam pertempuran sengit.

****

Sementara itu pertarungan antara Malini dan P'cndekar Baju Emas semakin berlangsung sengit dalam hal tenaga dalam memang gadis berpakaian bi­ru muda ini berada di bawah lawannya. Tapi kekalahannya itu tertutup oleh kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Alhasil pertarungan berjalan seimbang! .

Tiga puluh lima jurus telah berlalu, namun belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Baju Emas yang merupakan seorang tokoh persilatan cukup ternama, menjadi geram bukan kepalang. Betapa tidak? Menghadapi seorang gadis muda saja tidak mampu mengalahkannya ?

Tanpa seorang pun yang melihat, pintu kereta yang sejak tadi tertutup itu pelahan-lahan terbuka.

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun! Kemudian dari dalam pintu kereta yang terbuka itu melesat keluar dua sosok tubuh. Yang satu seorang laki-laki setengah tua bertubuh kurus kering, bergigi tonggos, dan berpakaian putih. Inilah tokoh yang berjuluk Hantu Putih.

Sedangkan yang seorang lagi, adalah istrinya yang berjuluk Hantu Merah. Pakaiannya merah menyala dengan sebuah cadar tipis berwarna hitam menutupi sebagian wajahnya. Suami istri inilah yang di dunia persilatan mendapat julukan Sepasang Hantu.

Kemudian kedua orang ini melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Menilik dari gerakan mereka berdua, dapat diketahui kalau kedua orang ini tengah menderita luka dalam yang parah.

Dengan langkah pelahan-lahan dan kepala yang selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang melihatnya, kedua orang ini mendekaii tempat pertarungan antara Malini dan Pendekar Baju Emas.

Pendekar Baju Emas yang berada dalam posisi membelakangi dua orang yang tengah berindap-indap mendekatinya, tentu saja tidak melihat adanya bahaya yang mengancam Tapi tidak demikian halnya Malini.

Gadis berpakaian biru muda itu tentu saja melihat jelas kedatangan dua orang tua yang sebenarnya adalah ayah dan ibunya. Tapi dia berpura-pura tidak tahu ketika melihat adanya isyarat dari Ibunya.

Pendekar Baju Emas baru sadar adanya bahaya mengancam ketika mendengar desiran angin menyam­bar ke arahnya. Padahal saat itu, Malini tengah menerjang ke arahnya. Pedang di tangan gadis itu meluncur cepat ke arah dada!

Lakilaki berbaju kuning emas itu menjadi gugup. Ditolehkan kepalanya ke belakang, untuk mengetahui лра yang berkesiur ke arahnya itu. Seketika wajahnya pucat begitu melihat sehelai selendang yang tengah meliuk-Iiuk ke arah pelipisnya.

Так ketinggalan juga sebuah kerikil yang meluncur ke lehernya. Tapi bukan kedua serangan itu yang membuat Pendekar Baju Emas ini kaget, melainkan dua orang penyerangnya. Dikenalinya betul kedua pe­nyerang itu. Dua orang yang tengah dikajar oleh dia dan rekan-rekannya.

Sungguhpun perasaan gugup dan kaget melanda dlrinya, Pendekar Baju Emas masih mampu untuk menghindarkan selendang yang menotok ke arah pe­lipisnya. Tapi dua buah serangan lainnya tidak mampu dlhindarinya.

Tukkk...!

Kerikil kecil yang dilemparkan salah seorang dari dua orang tua itu tepat sekali mengenai urat gagunya. Bersamaan pedang di tangan Malini menyambar tiba.

Crottt!

Pendekar Baju Emas menggelepar ketika pedang dl tangan gadis berpakaian biru muda Itu menghunjam dalam di perutnya hingga tembus ke punggung. Darah langsung muncrat dari perut yang terobek lebar. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut Pendekar Baju Emas, karena urat gagunya telah tertotok oleh batu yang dilontarkan laki-laki tua bergigi tonggos.

Beberapa saat lamanya tubuh Pendekar Baj Emas menggelepar-gelepar sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan mata terbeliak lebar!

Tanpa mempeduiikan mayat laki-laki gagah berbaju kuning emas itu, Malini bersama ayah dan ibunya meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian tubuh ketiga orang itu telah lenyap ditelan kelebatan pepohonan dan semak-semak.

Sementara, Dewa Arak masih terlibat pertarungan sengit menghadapi belasan orang gagah itu. Sudah ada lima sosok tubuh yang tergeletak di tanah, tidak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Sungguhpun begitu, tidak satu pun di antara mereka yang tewas. Dewa Arak memang tidak ingjn sembarangan membunuh. Apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusannya.

Gada Pencabut Nyawa menggertakkan gigi menahan geram. Pertarungan sudah berlangsung lebih dari tiga puluh jurus, dan selama itu, tak satu pun serangan salah seorang dari mereka yang mengenai pemuda berambut putih keperakan Itu. Jangankan menyarangkan pukulan, mendesak pun tidak mampu. Padahal, Dewa Arak terlihat tidak bersungguh-sungguh mengha­dapi mereka.

***

"Hiyaaa...!"

Didahulul suara melengking nyaring, salah seorang .fori delapan orang pengeroyok itu menusukkan tombak pendeknya ke arah perut Dewa Arak. Sementara dari arah belakang, Gada Pencabut Nyawa tengah mengayunkan gadanya ke arah kepala. Sedangkan dari kanan dan kiri Arya, menyambar pula babatan golok dan tusukan pedang.

"Hih...!"

Dewa Arak melompat ke atas sehingga semua se- imigan itu mengenai tempat kosong. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di udara, kemudian hinggap di tanah beberapa tombak dari situ.

Gada Pencabut Nyawa dan tujuh orang rekannya menjadi geram, melihat lawan mereka untuk yang ke sekian kalinya berhasil meloloskan diri dari serangan mereka. Berbondong-bondong mereka kembali bergerak menyerbu. Tapi tiba-tiba....

"Tahan..!"

Suara bentakan keras terdengar lantang. Dan sebelum suara bentakan itu lenyap, di hadapan delapan orang pengeroyok itu telah berdiri sesosok tubuh pendek gemuk, bercambang lebat. Sekujur tubuhnya yang tidak tertutup pakaian terlihat penuh ditumbuhi bulu-bulu hitam yang lebat. Dalam dunia persilatan laki-laki ini berjuluk Singa Hitam.

Gada Pencabut Nyawa dan rekan-rekannya rupanya mengenal Singa Hitam, terbukti begitu mereka melihat я pendek gemuk yang bercambang lebat ini , mereka serentak menahan gerakannya.

Singa Hitam menatap Dewa Arak sekilas. Lalu dialihkan pandangannya pada Gada Pencabut Nyawa Ditatapnya laki-laki tinggi besar itu tajam-tajam.

"Ара yang kau lakukan, Gada?! Lupakah kau dengan tugasmu?!" tanya Singa Hitam. Nada suaranya mengandung teguran.

"Aku tidak lupa dengan tugasku, Singa Hitam Bahkan aku tengah bertempur dengan kawan iblis itu!' sahut Gada Pencabut Nyawa. Tegas dan mantap suaranya.

"Lalu, iblis itu mana, Gada?" tanya Singa Hitam lagi.

Gada Pencabut Nyawa tersentak kaget. Baru teringat kembali olehnya akan iblis itu. Dan seketika itu pula teringat kembali pada Pendekar Baju Emas yang tengah bertempur melawan Malini. Apakah pendekar itu telah berhasil mengalahkan gadis berpakaian biru muda itu?

Seiring munculnya pertanyaan itu, kepalanya pun menoleh ke arah tempat Pendekar Baju Emas bertarung menghadapi Malini. Hati laki laki tinggi besar ini tercekat ketika melihat tempat itu telah sepi. Tapi di tanah, tergolek sesosok tubuh berpakaian kuning Gada Pencabut Nyawa tercekat begitu mengenal sosok tubuh yang tergolek itu adalah Pendekar Baju Emas! Lalu ke mana perginya gadis berpakaian biru muda itu?

"Iblis itu mana, Gada?" desak Singa Hitam ketika melihat Gada Pencabut Nyawa tercenung bingung telah menolehkan kepalanya ke sekeliEngnya.

"Di kereta," jawab si tinggi besar itu ragu.

'Tidak ada!" sergah Singa Hitam keras.

"Ара?!" Sepasang mata Gada Pencabut Nyawa terbelalak. Kegelisahan tampak jelas membayang pada wnjahnya. Tapi, beberapa saat kemudian, wajahnya kembali berseri ketika sorot matanya tertuju ke arah Dewa Arak yang sejak tadi hanya diam saja.

"Kita bisa tanyakan pada kawannya!" ucap Gada Pencabut Nyawa sambil menunjuk Dewa Arak "Dia Inilah yang telah menyebabkan iblis itu lolos!"

Singa Hitam menoleh. Ditatapnya wajah Dewa Arak lekat-lekat.

"Benarkah kau kawan iblis itu, Kisanak? Rasanya sulit kupercaya! Ciri-cirimu, mengingatkanku pada seseorang. Siapakah kau, Kisanak?" tanya Singa Hitam.

Dewa Arak menghembuskan napas panjang. Sedi­kit banyak dari pembicaraan kedua orang di hadapannya, sudah bisa dlkira-kira kalau dia telah menyelamatkan orang yang salah. Dan itu membuatnya merasa tidak enak.

"Aku Arya, seorang pengelana yang kebetulan lewat di sini. Aku sama sekali tidak mengenal orang yang kalian sebut iblis itu," jawab pemuda berambu putih keperakan itu.

"Arya...," gumam Singa Hitam pelahan. "Apakai nama lengkapmu Arya Buana?"

Dewa Arak menganggukkan kepalanya.

"Tepat dugaanku! Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak yang menggemparkan itu?" ucap laki laki pendek gemuk itu lagi memastikan.

Kembali Dewa Arak menganggukkan kepalanya .

"Begitulah orang menjulukiku.... Julukan yang terlalu berlebihan," sahut Arya merendah.

Gada Pencabut Nyawa dan tujuh orang rekannya yang tadi bertempur melawan Dewa Arak terperanja kaget tatkala mengetahui pemuda dl hadapan mereka adalah tokoh yang menggemparkan itu.

"Kalau begitu..., ada kesalah pahaman yang terjadi...," ucap laki-laki tinggi besar ini. Suaranya pelahan sekali, mirip desahan.

"Hhh...!" desah Arya pelahan. "Akulah yang salah. Kalau boleh kutahu, siapakah sebenarnya orang yang kalian kejar itu?"

Singa Hitam tercenung sejenak

"Dia adalah seorang tokoh hitam yang mengerikan," jawab tokoh yang sekujur tubuhnya penuh bulu-bulu hitam itu. "Kepandaiannya amat tinggi. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ilmu-ilmu hitam yang dimilikinya."

Singa Hitam menghentikan ceritanya sejenak, seraya melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu sebelum melanjutkan ceritanya kembali.

"Selama ini dia selalu membuat teror. Seluruh desa di Kadipaten Malaya tidak ada yang luput dari terornya. Adipati Malaya lalu meminta bantuan kepada semua perguruan silat dan tokoh-tokoh persilatan yang ada di wilayah kekuasaannya. Kami pun berbondong- bondong menyerbu ke sana. Pasukan Kadipaten Ma­laya pun ikut. Dalam pertarungan itu, enam orang ketua perguruan silat tewas di tangan suami istri iblis yang berjuluk Sepasang Hantu itu. Tapi kedua iblis itu pun terluka parah. Sayang berhasil dibawa kabur anaknya. Cerita selanjutnya telah kau ketahui sendiri, Dewa Arak."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya Kini telah dimengertinya masalah yang membuat dia dan belasan orang gagah ini salah paham.

"Belasan orang gagah, di bawah pimpinan Pende­kar Baju Emas dan Gada Pencabut Nyawa melakukan pengejaran. Sementara aku dan yang lainnya mengadakan pembersihan. Membunuh semua orang yang ada di tempat iblis itu, lalu membumi hanguskan tempat tinggalnya. Sungguh tidak kusangka kalau iblis yang tcrluka parah itu akhirnya lolos juga. Berbahaya sekali! Dunia persilatan akan geger kembali apabila iblis itu telah pulih kembali seperti sediakala."

Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Maafkan atas kecerobohanku, Singa Hitam," ucap Dewa Arak meminta maaf.

"Kau tidak sepenuhnya salah, Dewa Arak," bantah Gada Pencabut Nyawa "Kalau saja aku bersifat bijaksana, mungkin kesalah pahaman itu tidak akan terjadi."

"Tapi, betapapun juga akulah yang telah membuat orang yang amat berbahaya itu lepas. Biarlah aku yang akan mencarinya," sambut Dewa Arak ingin menebus kesalahannya.

"Hati-hati, Dewa Arak. Iblis itu memiliki banyak ilmu hitam yang keji-keji!" ujar Singa Hitam memberitahu.

"Akan kuingat pesanmu itu, Singa Hitam...!"

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini melangkahkan kakinya. Langkahnya tampak pelahan saja, tapi sekali diayunkan kakinya, tubuhnya sudah berada pada jarak sepuluh tombak dari tempatnya semula.

"Hebat..!" desis Singa Hitam penuh takjub.

Kesembilan orang itu menatap terus punggung Dewa Arak, sehingga lenyap di kejauhan. Baru kemu­dian mereka melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Membawa teman-teman mereka yang terluka dan meninggal.

***

Suara jangkrik dan binatang malam lainnya menyemaraki kesunyian malam yang mencekam. BuUn sepotong yang nampak di langit, Bupan angin dingin membekukan tulang, dan suara lolong anjing di keja- ill inn semakin menambah seramnya suasana. Dan rasanya akan membuat orang berpikir beberapa kali untuk keluar di malam seperti itu.

Tapi rupanya ada juga orang yang tidak merasa takut untuk keluar rumah pada malam yang cukup seram itu. Terbukti dalam keremangan sinar rembulan di langit, tampak sekelebatan bayangan melesat.

Sosok bayangan itu temyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti gerakannya terlihat cepat dan gesit sekali.

Langkah kaki sosok bayangan itu baru terhenti ! ketika tiba di depan sebuah daerah pekuburan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sosok bayangan itu jelas takut kalau ada orang yang melihatnya.

Dalam keremangan sinar rembulan, ter;ihat samar- samar perawakan dan wajah sosok bayangan itu. sosok bayangan itu ternyata seorang gadis berpakaian biru muda. Rambutnya digelung ke atas. Siapa lagi gadis itu kalau bukan Malini!

Setelah yakin tidak ada yang melihatnya, gadis itu melangkah memasuki areal pemakaman itu. Kali ini seperti juga tadi, Malini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, berlari melalui jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat gundukan tanah yang berjejer.

Cukup jauh juga gadis berpakaian biru muda ini berlari, melalui jalan yang berkelak-kelok. Sampai akhimya tak jauh di depannya, nampak sebuah rumah kecil berdinding bilik. Cahaya remang-remang tampak dari dalam rumah kecil itu.

Malini menghentikan langkahnya. Kemudian diambilnya sebuah kain hitam dari lipatan sabuknya Lalu diikatkan ke wajahnya. Dijadikan cadar. Dan kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri rumah kecil berdinding bilik itu.

Ток, tok, tok!

Kelihatannya pelahan saja gadis berpakaian biru muda itu mengetukkan tangannya pada daun pintu Tapi akibatnya pintu itu seperti dipukul oleh palu besi Mengeluarkan suara ribut.

"Siapa?" terdengar suara sahutan dari dalam. Ta­pi Malini sama sekali tidak menjawab.

"Siapa di luar?" suara dari dalam kembali terdengar. Tapi kali ini diiringi bunyi derit dan langkah langkah mendekati pintu.

Kriiittt..!

Suara berderit nyaring terdengar begitu daun pintu itu terkuak. Dan seraut wajah kasar dari seorang laki laki setengah baya segera terpampang di hadapan Malini.

Sepasang mata laki-laki berwajah kasar itu menjadi liar, begitu melihat seraut wajah di hadapannya Sungguhpun sebagian wajah itu tertutup cadar, dapat diketahuinya kalau pemilik wajah itu adalah seorang wanita cantik.

Dengan sorot mata liar, dirayapinja sekujur tubuh wanlta itu.

Malini pun merasakan adanya gelagat yang tidak baik. Segera dipungutnya sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang kelihatan keras sekali. Kemudia digerakkan tangannya meremas. Kelihatannya pelahan saja Tapi, akibatnya batu itu hancur Iuluh jadi tepung.

Wajah kasar laki-laki setengah baya itu kontan memucat. Sepasang matanya terbelalak melihat pertunjukan tenaga dalam yang menakjubkan itu. Sinar matanya pun berubah. Tidak lagi kurang ajar dan liar seperti tadi. Tapi menyiratkan perasaan takut .

"S... a... siapakah kau, Nisanak?" tanya laki-laki eetengah baya itu agak gugup.

'Tidak perlu tahu siapa aku...," desis Malini tajam. "Aku datang kemari membawa keuntungan bagimu...."
"Ke... keuntungan buatku?"
"Ya!" jawab Malini. "Ini!"

Entah dari mana dan kapan mengambilnya, di tangan gadis berpakaian biru muda itu telah tergenggam sekantung uang. Suara berkerincingan ter­dengar begitu gadis itu menggoyang-goyangkan ta­ngannya.

Sepasang mata laki-laki setengah tua itu ter­belalak Kedua biji matanya bergerak mengikuti ayunan kantung uang itu.

"Bagaimana?" tanya Malini lagi.

"Ара... ара yang haius kulakukan?" tanya laki-laki eetengah baya itu. Jakunnya turun naik. Sepasang matanya tak lepas memandangl kantung uang itu.

"Mudah saja," sahut Malini. "Bukankah kau yang bertugas menggali makam di sini ? "

"Iya, Nini. Lalu...," jawab laki-laki setengah baya yang temyata adalah penggali makam itu. Ki Samura
namanya

Malini menatap laki-laki setengah tua itu tepat pada bola matanya .

"Apakah ada orang yang belum lama meninggal dan dikubur di sini?"
"Ada, Nini. Ada... tapi aku belum mengerti mакsudmu, Nini?" tanya Ki Samura belum mengerti.

"Gali makam itu, dan berikan mayatnya padaku!" tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut Malini .

Mulut laki-laki setengah tua itu ternganga. Sepasang matanya membeliak lebar seperti melihat hantu .

"Tapi..., Nini...."
"Kau mau uang ini atau tidak?!" sergah Malini cepat
"Mau, Nini," jawab si penggali makam itu cepat. " Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian...!" bentak Malini. "Katakan saja cepat, mau atau tidak! Titik!"

Ki Samura tercenung sejenak. Dahinya berkerut dalam. Jelas kalau dalam benak laki-laki setengah baya ini ada pertentangan yang hebat Antara menerima atau menolak tawaran itu.

"Cepat putuskan, aku tidak punya banyak waktu!" ьеntaк Malini tidak sabar.
"Baiklah, Nini. Aku terima pekerjaan ini!" sahu penjaga makam itu mengalah.
"Kalau begitu, cepatlah...!"

"Tunggu sebentar, Nini," ujar Ki Samura. seraya berlari masuk ke dalam. Malini hanya memandangi saja . Sepasang bibirnya yang indah dan tersembunyi di balik cadar menyunggingkan sebuah senyuman.

Так lama kemudian, penjaga makam itu telah kembali. Di tangannya tergenggam sebuah cangkul.

"Mari, Nini," ajak laki-laki setengah baya itu pada Malini seraya berjalan mendahului. Tanpa banyak Ысага, gadis berpakaian biru muda ini melangkah mengikuti.

***

Di bawah keremangan sinar bulan, Ki Samura dan Malini melangkah melewafi jalan setapak yang di ka­nan kirinya terdapat gundukan tanah makam.

Cukup jauh juga kedua orang itu berjalan. Mele­wafi jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemudian berhenti dekat sebuah pohon kamboja.

"Inilah makam orang yang baru kemarin meninggal, Nini," ucap Ki Samura seraya menunjuk sebuah gundukan tanah merah yang teriihat masih baru.

Malini menatap makam itu dengan sinar mata berbinar-binar.

"Cepat gali...," perintah gadis berpakaian biru muda Itu dengan suara mendesis tajam.

Tanpa diperintah dua kali, laki-laki setengah baya Itu mengayunkan cangkulnya.

Crab!

Sebongkah demi sebongkah gundukan tanah itu mulai menciut. Ki Samura mengayunkan cangkulnya penuh semangat. Setiap kali cangkul di tangannya diayunkan, kantung uang di tangan gadis berpakaiar biru muda itulah yang terbayang di benaknya. Setelal lubang itu tergali cukup dalam, laki-laki setengah baya itu mulai mengayunkan cangkulnya hati-hati. Так 1аma kemudian, tampaklah sebuah peti di dalam lubang makam itu.

"Hup...!"

Ki Samura melompat turun ke lubang itu. Dibukanya tutup peti mati itu dengan mempergunakan mata cangkulnya .

Sepasang mata Malini menatap ke dalam peti itu. Kepalanya terangguk-angguk ketika dilihatnya ada sesosok tubuh berkain putih yang terbaring di sana. Hidung gadis berpakaian biru muda yang terlindung cadar hitam tipis itu tampak mendengus-dengus begitu mencium bau kurang sedap yang menyeruak dari dalam peti.

"Cukup...!" sentak Malini. 'Tutup kembali peti itu!"

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Ki Samura kembali menutup peti mati Itu. Sejenak dia termangu- mangu di bawah sana. Bagaimana mungkin dia mampu mengangkat peti Itu ke atas?

Malini rupanya tahu kebingungan yang melanda penggali makam itu.

"Naiklah. Biar aku yang akan mengeluarkannya," perintah gadis berpakaian biru muda itu.

Ki Samura terkejut mendengar ucapan itu. Tidak salahkah ара yang didengamya barusan?

"Ара, Nini?" tanya penggali makam itu untuk lebih meyakinkan pendengarannya tadi.

"Naiklah! Biar aku yang akan mengurus peti itu!" sahut Malini. Kali ini suaranya lebih keras ketimbang yang pertama kali.

Kini Ki Samura yakin kalau pendengarannya tidak salah. Dan tanpa banyak membantah lagi segera dia kembali naik ke atas.

Setelah laki-laki setengah baya itu berada di atas. Gadis berpakaian biru muda itu pun melompat turun. Indah dan manis sekali gerakannya.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di dasar lubang.

Malini terdiam sebentar. Sepasang tangannya dirangkapkan di depan dada. Mulutnya komat-kamit mengucapkan gumaman-gumaman tidak jelas. Sesaat kemudian, tubuh gadis itu menggigil. Semakin lama getaran pada tubuhnya semakin kuat Dan tiba-tiba saja ....

"Hih...!"
Dug!

Gadis berpakaian biru muda ini menjejakkan kaki kanannya keras ke tanah. Ajaib! Tiba-tiba saja, peti mafi ini terlontar naik ke atas, bagai didorong dari bawah.

Begitu peti mati itu teiah melewati lubang makam, tubuh Malini melesat ke atas.

"Hup...!"
Tappp...!

Sebelum peti mati itu jatuh ke tanah, Malini telah lebih dulu melesat dan menahannya dengan kedua tangan.

Kemudian mendarat ringan di tanah.

Mata Ki Samura terbeliak menatap semua kejadian llu. Sampai Malini menurunkan peti mati itu, laki-laki tengah baya itu masih terkesima. Tapi Malini sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Segera dilemparkannya kantung uang yang dijanjikannya tadi.

"Lusa aku datang lagi ...."

Setelah berkata demikian, Malini melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Padahal di bahunya terpanggul sebuah peti mati yang berat dan berisikan mayat seorang manusia! Tapi tetap saja gadis itu berlari seperti layaknya orang yang tidak membawa beban apa-apa.

Ki Samura menggeleng-gelengkan kepalanya, me­lihat kesaktian yang dimiliki gadis berpakaian biru muda itu.

***

Ki Samura beijalan mondar-mandir di dalam rumahnya. Sudah seminggu lamanya dia terlibat dengan pekerjaan barunya. Menyediakan mayat untuk seorang wanita berpakaian biru muda! Urusanya sangat menguntungkannya.

Sudah tiga kali dia menjual mayat pada gadis itu. Tanpa ada seorang penduduk pun yang tahu perbuatannya.
Tapi kali ini, Ki Samura dilanda kebingungan yang amat sangat. Betapa tidak? Kemarin malam, gadis berpakaian biru muda itu datang lagi. Kini permintaannya lain lagi. Gadis itu meminta mayat yang meninggal malam bulan purnama. Bahkan kali ini tidak hanya satu mayat, melainkan tiga mayat! .

Dan sekarang bulan di langit telah tampil sempurna, malam bulan pumama. Ki Samura mondar-mandir di dalam rumahnya. Perasaan gelisah yang amat sa­ngat menghantui hatinya. Bagaimana bila malam bulan pumama ini tidak ada yang meninggal? Andaikata ada pun sulit rasanya sampai berjumlah tiga orang. Terbayang kembali, di benaknya kedatangan gadis itu malam kemarin.

"Lusa aku datang kembali, Samura! Dan ingat, mayat pesananku harus ada!" ucap gadis berpakaian biru muda itu. Datar dan dingin suaranya.

"Tapi, Nini, bagaimana bila malam bulan purnama nanti tidak ada penduduk yang meninggal?" tanya Ki Samura waktu itu.

"Kalau tidak meninggal wajar, usahakanlah olehmu sendiri jalan yang tidak wajar! Pokoknya mayat itu harus meninggal malam bulan purnama!"

"Maksud, Nini?" tanya Ki Samura tidak mengerti.

Malini menatap Ki Samura tepat pada kedua bola matanya. Laki-laki setengah baya ini yang sudah tahu betul kesaktian gadis di hadapannya ini segera menundukkan kepalanya. Так sanggup menantang mata ga­dis itu

"Kau belum mengerti maksudku, Samura?" tanya gadis berpakaian biru muda itu. Nada suaranya ter­dengar penuh selidik

'Belum, Nini," jawab Ki Samura tetap menundukkan kepalanya.

"Dungu kau, Samura!" desis Malini tajam. Ki Sa­mura hanya dlam saja dimaki seperti itu. Kepalanya masih tetap tertunduk.

"Kalau tidak ada penduduk yang meninggal pada malam bulan purnama..., terpaksa kau yang harus mengusahakan agar ada penduduk yang meninggal pada malam Itu!"

Berubah hebat wajah Ki Samura. Sudah dapat diduganya maksud ucapan gadis pakaian biru muda itu.

"Maksud, Nini...." Ki Samura menahan jawabannya.

"Ya," sahut Malini seraya menganggukkan kepalanya. Gadis berpakaian biru muda Itu telah tahu jawaban yang akan diucapkan penggali makam itu "Kau yang harus membunuhnya!"

"Ah...!" Ki Samura terpekik kaget Sungguhpif Jawaban seperti itu sudah diduganya, tapi tak urung hatinya terguncang mendengarnya.

"Mengapa tidak kau saja, Nini?" tanya laki-laki setengah baya itu heran, Dengan kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian biru muda itu, jangankan tiga, dua puluh mayat penduduk pun bisa didapatkannya dalam malam bulan purnama.

Malini menatap wajah penggali makam itu tajam-tajam. Sungguh tidak disangkanya kalau laki-laki sete­ngah baya itu mengajukan pertanyaan demikian. Tidak dapat disangkal, kalau dia mampu mendapatkan mayat itu dengan kepandaian yang dimilikinya. Tapi untuk ара? Kalau dia yang membunuhnya, mayat-mayat itu tidak akan berguna! Mayat-mayat itu hanya акаn berguna, apabila meninggal bukan oleh tangannya! Itulah sebabnya dia mengadakan kerjasama dengan penggali makam ini.

"Kau tidak usah banyak tanya, Samura! Cukup kau laksanakan saja perintahku! Tidak perlu mengutak atik urusanku! Paham?!" hardik Malini dengan raut muka bengis.

"Paham, Nini," sahut penggali makam itu cepat.

"Auuunggg... !"

Suara lolong anjing hutan menyadarkan Ki Samura dari lamunannya.
"Hhh...! Kalau besok tidak ada penduduk yang meninggal, celakalah aku!" desah laki-laki setengah baya ini mendesah. Kebingungan tampak terlihat di wajahnya.

"Ара boleh buat! Aku masih belum ingin mati!"

Setelah berkata demikian, Ki Samura melangkah masuk ke dalam. Так lama kemudian muncul lagi. Se­buah golok yang masih bersarung tercekal di tangan­nya.

Srattt...!

Ki Samura menghunus golok itu. Sinar terang berkilat ketika golok itu keluar. Ki Samura memperhatikan golok yang berwarna putih mengkilap itu prnuh perhatian. Lalu dimasukkan kembali ke sarungnya dan diselipkan di pinggang.

Kemudian dengan langkah lebar penggali makam Itu berjalan meninggalkan rumahnya Menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terhampar gundukan tanah.

Так lama kemudian, laki-laki setengah baya ini lelah berada di depan areal pemakaman, Sesampainya di sini Ki Samura kembali bimbang, antara meneruskan langkahnya ataukah kembali ke rumahnya.

Tapi hanya sesaat saja perasaan itu mengganggu nya. Ancaman Malini membuatnya memilih menerus­kan langkah. Sepanjang perjalanan, benak Ki Samura lerus berputar, siapakah yang akan menjadi korbannya nanti?

Malam-malam seperti ini rasanya tak akan ada penduduk yang keluar rumah. Semuanya tertidur lelap di peraduannya masing-masing. Entah sudah berapa jauh, laki-laki setengah baya ini melangkahkan kakinya, tapi yang jelas jantung dalam dadanya berdebar tegang ketika melihat sebuah rumah yang terletak menyendiri jauh dari rumah yang lainnya.

Dengan jantung berdegup kencang, dan kaki agak gemetar Ki Samura melangkahkan kakinya mendekati rumah yang letaknya menyendiri itu. Ki Samura tahu kalau rumah itu ditinggali oleh sepasang suami istri yang telah berusia tua. Anak-anaknya telah berkeluargа dan tidak tinggal dl situ lagi. Hanya ada seorang gadis kecil yang tinggal di rumah itu untuk membantu segala keperluan kakek dan nenek itu.

Sesampainya di depan rumah kecil berdinding bilik ini, Ki Samura mengatur napasnya yang agak terengah-engah. Perasaan tegang yang melanda hatinya menjadi penyebabnya.

Setelah atur napasnya mulai normal, laki-laki setengah baya ini mengambil selubung yang diselipkan di lipatan pinggangnya. Kemudian dikenakannya.

Tangan penggali makam itu tampak agak gemetar ketika mendorong pintu itu. Suara berderit pelan terdengar. Rupanya pintu itu sama sekali tidak terkunci.

Dengan detak jantung yang semakin kencang, Ki Samura menutupkan daun pintu kembali. Seumr hidupnya belum pemah laki-laki setengah baya ini membunuh orang. Jangankan membunuh, mengkhayalkan untuk membunuh orang pun belum pernah . Мака tidak aneh kalau penggali makam ini merasa tegang bukan main.

Dalam keremangan cahaya obor, terlihat oleh Ki Samura dua sosok tubuh yang tertidur di balai-balai bambu. Sungguhpun suasana di situ remang-remang,laki-laki setengah baya ini mampu mengenali sosok tubuh yang terbaring itu. Sosok tubuh seorang wanita tua dan seorang anak gadis kecil. Ke mana sang kakek itu tanya Ki Samura dalam hati. Sepasang matanya liar mengamati sekeliling. Tapi tetap saja tidak dijumpainya kakek itu di situ.

Persetan dengan tua bangka itu. Dia bisa dibereskaп belakangan. Yang penting bereskan yang ada dulu! teriak laki-laki setengah baya ini dalam hati.

Srattt..!

Dicabutnya golok yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Dengan golok terhunus di tangan, penggali makam ini melangkah pelahan-lahan mendekati balai-balai bambu.

Sebelum mengayunkan goloknya, Ki Samura lebih dulu mengambil segumpal kain yang telah dipersiapkan, untuk meredam suara teriakan si korban.

Kreppp...!
"Efffh...!"

Kain itu ditekapkan tepat ke mulut si nenek. Karuan saja hal itu membuat si nenek bangun dan meronta kaget. Dl saat itulah golok di tangan Ki Sa­mura terayun deras ke arah perut si nenek .

Crottt..!

Tidak ada suara jeritan yang terdengar dari mulut si nenek yang malang ini. Sepasang matanya membeliak lebar. Tangan dan kakinya meronta-ronta meregang nyawa. Tapi itu hanya berlangsung sekejap, Sesaat kemudian tubuhnya pun terkulai lemas seiring dengan lepasnya nyawa dari badannya.

Tidak ada yang tahu kematian nenek yang malang itu. Bahkan gadis kecil di sebelahnya pun tidak mengetahui. Rupanya anak itu terlalu letih setelah seharian penuh bekerja.

Hal yang sama pun berulang pada gadis kecil itu ia pun tewas dibacok golok penggali makam itu. Ki Samura tersenyum di balik selubungnya. Так pemah dibayangkan, kalau pekerjaannya akan semudah ini. Kini hanya tinggal menunggu sang kakek. Kemana lagi, malam-malam begini kalau bukan buang air. Мака tanpa membuang-buang waktu lagi, penggali makam ini bergegas berjalan ke pintu belakang dan bersembunyi di baliknya.

Dugaan penggali makam ini tidak salah. Belum berapa lama dia berdiri di situ, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Jantung Ki Samura berdegup keras, terbawa perasaan tegang yang melanda dirinya.

Kriut..!

Terdengar suara derit keras pintu yang terbuka, disusul dengan melangkah masuknya sesosok tubuh tua.

"Hih...!"

Ki Samura mengayunkan tangannya. Menghantam tengkuk kakek itu dengan sisi telapak tangan mi­ring.

Bukkk...!
"Hekh...!"

Kakek yang sial itu pun roboh ke lantai. Pukulan tangan miring penggali makam ini memang keras bukan main. Maklum pekerjaannya sehari-hari me­mang memerlukan tenaga kuat Ki Samura tertawa dalam hati. Tidak disangkanya kalau pekerjaannya akan bisa terlaksana semudah ini. taпра membuang-buang waktu lagi diayunkan goloknya ke punggung kakek yang telah pingsan itu.

Crottt..!

Так ada sedikit pun suara yang terdengar begitu golok itu menghunjam dalam di punggung kakek itu.

Ki Samura mencabut kembali goloknya. Cairan merah kental mengalir deras begitu golok itu tercabut penggali makam ini menyeringai puas, lalu dimasukкaп golok itu kembali ke sarungnya setelah terlebih dulu disekanya golok yang berlumuran darah itu de­ngan pakaian sang kakek .

Ki Samura lalu membungkukkan tubuhnya memeriksa kakek itu. Khawatir kalau korbannya belum mati. baru setelah yakin kakek itu telah benar-benar tewas, laki-laki setengah baya ini membuka pintu dan berlari meninggalkan tempat itu.

***

"Hhh...!"

Ki Samura berdesah resah. Sudah sejak tadi dia menunggu kedatangan gadis berpakaian biru muda. Pegal rasanya sepasang matanya dibelalakkan ke arah gadis itu biasa datang.

Kembali ditundukkan kepalanya. Menatap ke aral tiga buah peti mati yang berjajar di dekat kakinya Berlainan dengan biasanya, kali ini Ki Samura sudah menggali dan sekaligus menaikkannya ke atas sehingga bila gadis berpakaian biru muda itu datang, hanya tinggal membawanya saja. Tentu saja penggali makam Ini tidak mungkin melakukannya sendirian. Diajaknya seorang keponakannya untuk membantu, dan tentu saja dijanjikan upah yang memuaskan.

Di benak Ki Samura terbayang kembali peristiwa pembunuhan itu. Seluruh penduduk desa gempar ketika mengetahui adanya korban pembunuhan. Ki Bacan, sang kepala desa, dan Bajuri, seorang guru silat desa itu, berusaha keras mencari si pembunuh, tapi akhimya mereka gagal.

Lamunan Ki Samura sirna seketika, tatkala dilihatnya tiga sosok bayangan yang berkelebat cepat menuju ke arahnya. Sungguhpun suasana masih remang- emang, laki-laki setengah baya ini dapat mengenal kalau sosok tubuh yang berada paling depan adalah sosok tubuh dari gadis berpakaian biru muda.

Ketiga sosok bayangan itu semakin lama semakin dekat dengan penggali makam itu. Di tengah-tengah suasana malam agak remang-remang, Ki Samura masih bisa mengenail kedua sosok bayangan yang datang bersama Malini.

Sekejap kemudian, ketiga sosok tubuh itu telah berada di depan Ki Samura. Laki-laki setengah baya ini melirik sekilas ke arah dua orang yang datang bersama Malini. Dan seketika itu juga bulu di sekujur tubuhnya merinding.

Betapa tidak?

Sosok tubuh pertama adalah seorang laki-laki tengah baya bertubuh kurus kering, bergigi tonggos. Tapi bukan itu yang membuat Ki Samura merasa ngeri, melainkan sinar mata laki-laki itu. Sorot mata kakek itu begitu mengerikan. Begitu juga sorot mata sosoк tubuh orang kedua, yang ternyata adalah seorang wanita setengah baya berpakaian merah dan bercadar hitam.

"Bagaimana, Samura? Sudah kau dapatkan pesananku?" tanya Malini.

Penggali makam itu hanya dapat menganggukkan kepalanya. Tangannya menunjuk ke arah tiga buah peti mati yang berjajar di bawah kakinya. Kengerian yang masih mencekam, membuatnya belum mampu mengeluarkan suara sedikit pun.

Malini membungkukkan tubuhnya. Kemudian tangannya yang halus dan mungil itu terjulur ke arah peti mati. Pelahan saja kelihatannya jari-jari tangan berkulit halus itu bergerak. Tapi akibatnya suara berderak keras terdengar ketika tutup peti mati itu terbuka.

Ayah dan ibu gadis berpakaian biru muda itu tidak berpangku tangan saja, mereka pun segera membuka tutup peti mati itu.

Serentak anak beranak itu melongokkan kepala melihat isi peti mati itu.

"Bagaimana, Ayah? Benar mereka tewas malam bulan purnama?" tanya Malini.

Laki-laki setengah baya itu hanya mengangguk kepala. Terdengar suara gumaman tidak jelas dari mulutnya.

"Mail kita pergi, Malini," ajak sang ibu. "Tapi, jangan lupa. berikan imbalan atas jerih payah orang suruhanmu ini."

Malini hanya menganggukkan kepalanya. Sementara Ki Samura menunggu dengan perasaan tegang Sudah bisa dipastikan kalau upahnya kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya.

"Ini upahmu, Samura...," desis Malini tajam seraya mengulurkan tangannya ke arah wajah penggali makam itu.

Cepat bukan main gerakannya sehing sebelum laki-lald setengah baya itu tahu ара yang terjadi, jari-jari tangan gadis berpakaian biru muda itu telah mencengkeram keras rahangnya.

"Akh...!"

Ki Samura berteriak keras. Tulang rahangnya sakit luar biasa seperti bukan dicengkeram oleh tangan halus seorang gadis, melainkan oleh jepitan baja yang amat kuat Semakin lama cengkeraman jari-jari tangan gadis itu semakin kuat dan menyakitkan.

Terdengar suara bergemeretakan keras ketika tu­lang rahang Ki Samura hancur berantakan. Darah menyembur deras dari mulut laki-laki setengah baya malang itu.

Tapi pekerjaan Malini tidak hanya sampai di situ saja . Tangan kanannya kembali bergerak mengibas. Kelihatannya pelahan saja.

Plakkk..!
"Akh...!"

Suara berderak keras terdengar mengiringi remuknya tulang tulang pelipis Ki Samura. Tubuh penggali makam itu terpelanting dan jatuh di tanah. Laki-laki setengah baya itu menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi .

Malini mengebut-ngebutkan tangannya. Dipandanginya tubuh yang tergolek diam itu sejenak Baru setelah itu dihampirinya peti mati yang berjajar, lalu diambilnya satu dan diangkatnya. Sementara yang dua lagi, dibawa oleh ayah dan ibunya.

"Dengan mayat-mayat ini, dunia persilatan akan kita buat gempar...!" ucap kakek bergigi tonggos itu. suaranya terdengar aneh. Parau tapi bergaung.

Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat dari situ. Diikuti oleh istri dan anaknya. Dalam sekejap saja bayangan tiga sosok tubuh itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.

Kini kesunyian kembali melanda daerah pekuburan itu. Yang tampak hanyalah sesosok tubuh tak bernyawa dari seorang laki iaki setengah baya. Tubuh Ki Samura.

***

Plak ..... !

Seorang pemuda berambut putih keperakan menepuk punggung tangan kirinya. Dan begitu tapak tangan kanannya digeserkan, tampaklah bangkai seekor semut merah di punggung tangan kirinya itu.

"Hhh...!" desah pemuda yang temyata adalah Dewa Arak ini Dijulurkan tangannya mengambil guci arak yang digantungkan di salah satu cabang pohon .Memang Arya saat ini tengah beristirahat di atas sebuah cabang pohon.

Bagi orang seperti Dewa Arak, merupakan hal yang biasa tidur dan beristirahat di atas pohon. Tapi kali ini rupanya nasib sial tengah melanda dirinya. Baru saja sepasang matanya terpejam, seekor semut merah besar telah mengggitnya. Sehingga membuat tidurnya terjaga .

Tapi baru saja Arya mengangkat guci arak ke ata kepala untuk dituangkan ke mulutnya, pendengaran­nya yang tajam menangkap suara langkah kaki ringan yang berlari cepat ke arahnya. Perasaan ingin tahu mendorong pemuda berbaju ungu ini untuk menolehkan kepalanya.

Begitu kepalanya menoleh, dilihatnya tiga sosok bayangan melesat lewat di bawahnya. Karuan saja Dewa Arak menyipitkan matanya untuk lebih jelas melihat orang yang di malam selarut ini masih berlari-lari.

Hati Arya tercekat begitu melihat agak jelas. Betapa tidak? Ketiga sosok tubuh yang berlari cepat itu semua membopong sebuah peti mati ? Hantukah mereka ? tanya Dewa Arak dalam hati. Seketika dadanya berdebar tegang.

Tapi hantu atau bukan, yang jelas kelakuan mereka sangat mencurigakan. Pencurikah ketiga orang ini ? duga Dewa Arak lagi dalam hati.

"Hup...!"

Dewa Arak melompat turun dari atas pohon. Dibatalkan maksudnya untuk meminum arak Kembali guci Itu disampirkan di punggung. Kemudian pemuda berambut putih keperakan ini berlari mengejar ke arah tiga bayangan itu melesat. Masih terlihat olehnya ketiga sosok tubuh yang berlari dalam jarak puluhan tombak di depannya.

Tiga sosok tubuh yang berlari cepat sambil memanggul peti mati itu, adalah Malini bersama ayah dan ibunya, yang baru saja pergi setelah membunuh Ki Samura.

"Ada orang yang mengikuti kita," bisik laki-Iaki setengah baya bergigi tonggos itu pada anak dan istrinya.

"Biar kubereskan dia, Ayah," sahut Malini menawarkan diri.

"Jangan," cegah Hantu Putih. "Kau terus saja lanjutkan perjalanan bersama ibumu. Biar Ayah yang akan mengurus penguntit berani mati itu!"

Malini dan ibunya tidak membantah. Terus saja keduanya melanjutkan lari mereka. Sedangkan Hantu Putih berhenti berlari, kemudian dibalikkan tubuhnya menanti kedatangan si pengejar. Peti mati yang sejak tadi dibopomgnya, diletakkan di tanah.

Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika meli­hat salah satu dari tiga orang yang dikejar menunggunya.

Dalam jarak sekitar tiga tombak, Arya menatap sosok tubuh yang berdiri di hadapannya tajam-tajan Kemudian pandangannya beralih pada peti mati yan tergeletak di tanah dekat kaki orang itu.

"Siapa kau, Kisanak? Dan mengapa di malam selarut ini berlari-Iari dengan membawa-bawa peti. Boleh kutahu, peti mati milik siapakah itu?"

Ayah Malini mengerutkan dahi, sepertinya dia pernah melihat pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi dia lupa, kapan dan di mana? Betapapun telah diusahakannya untuk mengingat-ingat, tapi tetap saja Hantu Pufih tidak mampu mengingatnya.

Dewa Arak mengerutkan alisnya tatkala pertanyaannya sama sekali tidak dijawab laki-laki setengah baya di depannya. Arya menjadi bertambah curiga. Sikap laki-laki bergigi tonggos ttu terlalu mencurigakan. Apalagi jika melihat potongannya. Potongan Hantu Putih mengjngatkan Dewa Arak pada orang-orang yang berkelakuan tidak baik .

"Hih...!"

Mendadak saja Hantu Putih melesat menerjang , tangan kanannya menyampok pelipis Dewa Arak

Wuuttt...!

Angin keras berkesiur mengiringi tibanya serangan ini. Dewa Arak tidak berani bersikap gegabah. Sama sekali tidak ingin ditangkisnya serangan itu sebelum mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Memang begitulah sifat Dewa Arak, selalu bersikap hati-hati dalam menghadapi setiap persoalan.

Arya mendoyongkan tubuhnya ke belakang, se­hingga sampokan tangan yang berbentuk cakar itu liwat sejengkal di depan wajahnya. Angin yang berkesiur keras membuat rambutnya berkibar.

Wuttt..!

Kini tangan kiri laki-laki bergigi tonggos itu yang ganti menyambar begitu serangan pertamanya lolos. Tangan yang berbentuk cakar itu menyampok deras dagu Dewa Arak dari arah bawah ke atas.

Dan Arya tidak ragu-ragu lagi. Dari angin serangan lawannya tadi, sudah dapat diketahui kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan tenaga dalam lawan ternyata mencapai tiga perempat tenaga dalamnya. Мака Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisannya. Tangan kirinya digerakkan ke bawah untuk menjegal tibanya serangan Itu.

Takkk...!
"Akh...!"

Laki-laki bergigi tonggos itu terpekik kaget Sekujur tangannya terasa lumpuh. Dadanya pun dirasaкап sesak Apalagi tulang-tulang tangannya yang berbenturan dengan tulang-tulang tangan pemuda berambut putih keperakan di hadapannya.

Tulang-tulang itu nyeri dan sakit bukan kepalang. Seolah-olah yang beradu dengan tulang tangannya bukan tangan manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan sebatang baja yang amat kuat .

Dewa Arak yang tidak mempunyai urusan dengan orang di hadapannya, tidak membalas dengan serangan susulan. Dia hanya ingjn mengetahui, mengai orang ini berlari-lari sambil memanggul peti mati pada malam hari.

Hantu Putih menggeram. Rasa sakit yang dideritanya akibat benturan tadi, menimbulkan kemarahan yang amat sangat Tapi di samping kemarahan, timbul pula rasa khawatir. Pemuda di hadapannya ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Rasanya akan sangat memakan waktu bila terlibat pertarungan. Sementara malam telah semakin larut, bahkan telah mulai menjelang dinihari. Dia harus cepat pergi dari sini, sebelum pagi tiba.

Laki-laki setengah baya itu memejamkan matanya sejenak Kedua tangannya dibuka dan segera dirapatкап di depan dada. Mulutnya komat-kamit sebentar, seperti mengucapkan sesuatu. Sesaat kemudian terlihat tangan yang kedua telapaknya menempel itu, tergetar hebat.

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak mengetahui ара yang akan dilakukan lawannya. Tapi, yang jelas pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan tengah mengeluarkan ilmunya. Entah ilmu ара yang akan digunakannya, Dewa Arak sama sekali tidak mengetahui.

Beberapa saat kemudian, kedua tangan yang menempel itu terbuka dan bergerak pelan seperti melambai-lambai.

Semula Arya sama sekali tidak mengerti. Tapi sesaat kemudian, keterkejutan yang amat sangat pun melandanya. Tubuhnya tiba-tiba saja tertarik ke depan. Karuan saja tarikan tiba-tiba tanpa sepengetahuan Dewa Arak, membuat tubuh pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-huyung ke depan! .

Arya sadar akan adanya bahaya besar yang mengancamnya, kalau dia tidak segera mematahkan tarikan aneh pada tubuhnya. Seketika itu juga, Dewa Arak sadar kalau dirinya kembali berhadapan dengan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu aneh. Мака bergegas dijejakkan kedua kakinya sambil mendoyongkan tubuh ke belakang, untuk memusnahkan daya tarik aneh pada tubuhnya.

Tapi kejadian yang tidak disangka-sangka Dewa Arak kembali terjadi. Selagi pemuda ini berkutet menahan tarikan kuat aneh yang memaksanya ke de­pan, tiba-tiba tangan laki-laki setengah baya itu mengibas ke depan.

Dan akibatnya mengejutkan Dewa Arak Daya tarik yang membetotnya ke depan tiba-tiba hilang secara mendadak, berganti dengan daya dorong ke arah belakang!

Tentu saja perubahan yang terjadi secara tiba-tiba Ini membuat Dewa Arak yang tidak menduga hal itu tidak berdaya. Pada saat itu, tengah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik tubuhnya ke belakang. Мака karuan saja begitu daya tarik itu berubah menjadi daya dorong, Arya tidak sempat berbuat sesuatu.

Jangankan daya tarik itu berubah menjadi daya dorong, daya tarik itu hilang saja, sudah cukup untuk membuat Dewa Arak terjengkang ke belakang. Apalagi setelah tubuhnya mendapat tambahan daya dorong. Мака kekuatan yang mendorongnya ke belakang pun semakin bertambah kuat .

Так pelak lagi, tubuh Dewa Arak pun terjengkang jauh ke belakang, tanpa pemuda itu mampu untuk berbuat sesuatu

Brukkk...!

Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras. Tu­buh Dewa Arak jatuh di tanah. Dan sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah sekali.

Derrr!

Begitu Hantu Putih menghentakkan kakinya di tanah, sepasang mata Dewa Arak terbelalak ketika menyadari tubuhnya tidak mampu bangkit berdiri. Ada kekuatan aneh yang membuat tubuhnya terpaku kaku di tanah.

Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga da­lamnya untuk mematahkan kekuatan tak nampak yang menekannya.

Hantu Putih tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi Dewa Arak belum mampu membebaskan diri dari pengaruh ilmunya, segera dia melompat menyerang.

Arya berusaha keras untuk memberontak lepas dari tekanan kekuatan aneh itu. Tapi, walaupun telah dikerahkan selurah tenaga dalam yang dimilikinya, tetap saja pemuda itu tidak mampu membebaskan diri. Sedangkan serangan dari Hantu Putih semakin me­nyambar dekat

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak Dengan posisi tubuh setengah berjongkok itu, dimainkannya jurus 'Pukulan Belalang'. Kedua tangannya dihentakkan ke depan ke arah tubuh lald-laki bergigi tonggos yang tengah meneijang ke arahnya.

Wusss...!

Angin keras berhawa panas menderu dahsyat ke arah tubuh Hantu Putih. Laki-laki bergigi tonggos ini terbeliak kaget Sungguh tidak disangkanya kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu pukulan yang begitu dahsyat Serangan itu datang begitu tiba-tiba, padahal tubuhnya sedang berada di udara. Sebisa-bisanya digeliatkan tubuhnya. Tidak berani dia menangkis pukulan jarak jauh yang dahsyat Itu.

Usaha untung-untungan yang dilakukan Hantu Putih membuahkan hasil juga. Angin keras berhawa panas itu menyambar lewat di samping kiri pinggangnya.

"Hup...!"

Dengan wajah pucat penuh keringat dingin, Hantu Putih mendaratkan kedua kakinya di tanah. Hampir saja nyawanya melayang! keluhnya dalam hati. Dengan punggung tangan, diusap keringat dingin yang membasahi wajahnya.

"Hiya...!"

Arya mengeluarkan teriakan nyaring melengking tinggi dalam upayanya untuk membebaskan diri dari tekanan aneh ilmu lawannya. Suara teriakan ini membuktikan kalau Dewa Arak telah mengerahkan te­naga dalam yang dimiliki sampai ke puncaknya.

Hantu Putih merasa betapa dadanya terguncang. Telinganya pun dirasakan sakit bukan main. Laki-laki bergigi tonggos ini tidak Ingin membuang-buang waktu lagi. Dia tidak berani mencoba menyerang Dewa Arak lagi. Walaupun pemuda itu telah dibuatnya tidak mampu berganti posisi, tapi tetap membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membinasakannya. Sementara waktunya sangat terbatas.

Hantu Putih tahu, seorang sakti seperti pemuda, berambut putih keperakan itu tidak akan dapat ditahan lama dengan pengaruh ilmunya. Mumpung pemuda itu belum mampu bangkit, Hantu Putih bergegas mengangkat peti yang tergeletak di tanah. Kemudian melesat kabur dari situ, setelah sebelumnya menghen­takkan kakinya sekali lagi ke tanah untuk membuat pemuda itu agak lama membebaskan diri.

"Ahhh...!" keluh Arya dalam hati.

Pemuda berbaju ungu ini baru saja merasakan kekuatan aneh yang menekan sekujur tubuhnya sudah mulai berkurang, tapi kembali menguat begitu Hantu Putih menghentakkan kakinya sekali lagi. Dewa Arak merasa penasaran bukan main. Kembali dikerahkan teluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari Ilmu aneh Hantu Putih. Urat-urat di sekujur tubuhnya menggembung ketika Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki sampai ke puncaknya.

"Kenapa kau, Anak Muda?" terdengar di telinga Dewa Arak suara lembut menegurnya. Luar biasa! Seiring dengan hilangnya gema suara teguran itu, pantekan pada sekujur tubuhnya lenyap secara mendadak .

Bergegas Dewa Arak bangkit dari posisinya yang setengah berjongkok Peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya, diusap dengan punggung tangan.

Dewa Arak menatap wajah orang yang menegur­nya tadi. Tapi secepat sepasang matanya melihat wa­jah orang itu, secepat itu pula dialihkan sepasang mata­nya dari orang yang berdiri di hadapannya.

Orang itu ternyata adalah seorang kakek yang su­dah berusia sangat tua. Alis, kumis, cambang, dan jenggotnya telah memutih semua Bahkan panjang jenggotnya pun sampai melewati dada. Pakaian kakek Itu putih bersih. Rambutnya digelung. Di tangan kanannya tergenggam seuntai tasbeh.

Tapi bukan hal itu yang membuat Dewa Arak mengalihkan pandangan. Sekujur tubuh kakek Itu bersinar. Apalagi wajahnya. Sinar yang membuat orang tidak kuat untuk menatap lama-lama.

"Tidak, Kek. Aku tidak apa-apa...," sahut DewaArak- Ditatapnya wajah kakek itu sekilas.

"He he he...! Kau tidak jujur, Anak Muda," ujar kakek berpakaian putih bersih itu . "Kau baru saja terbebas dari pantekan ilmu lawanmu, bukan?"

Diam-diam Dewa Arak terkejut. Kakek tua ini temyata mengetahui keadaan yang dialaminya! .

"Ара yang Kakek katakan memang benar. Tapi aku pun sama sekali tidak berbohong. Bukankah aku tidak apa-apa?" bantah Arya.

Kakek berpakaian serba putih itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan seulas senyuman lebar. Tapi, tiba-tiba dahinya berkerut ketika melihat punggung Dewa Arak.

"Dari mana kau dapatkan guci Itu, Anak Muda?" tanya kakek itu lagi, seraya menuding ke arah guci yang tersampir di punggung Dewa Arak

"Kata adik guruku, guci ini pemberian dari guruku, Kek," jawab Dewa Arak jujur (Untuk jelasnya, bacalah Serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").

"Hm..., siapa kau, Anak Muda. Siapa pula yang kau sebut guru dan adik dari gurumu itu?" desak kakek itu lagi.
"Namaku Arya, Kek Arya Buana...."
"Arya Buana?" gumam kakek berpakaian putih Itu mengulang. "Lalu, siapa gurumu dan adik gurumu itu?"

"Maafkan aku, Kek. Sebelum kuberitahukan nama guru dan adik guruku Itu, bolehkah aku tahu siapa Kakek?" tanya Dewa Arak hati-hati.

"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa lerkekeh. "Aku? Aku sendiri hampir lupa dengan namaku. Bahkan nama adik kandungku sendiri saja aku sudah lupa. Tapi julukannya aku tidak lupa. Ular Hitam, begitu julukan adik kandungku."

Arya sampai terlonjak ke belakang mendengar jawaban ini. Ular Hitam hanya mempunyai seorang kakak kandung. Dan kakak kandung Ular Hitam itu adalah guru Dewa Arak, bemama Ki Gering Langjt. Jadi kakek berpakaian putih bersih di hadapannya inlkah yang bernama Ki Gering Langit?

"Jadi..., jadi... Kakek Ini guruku? Kakek Ular Hitam adalah adik kandung guruku...," ucap Arya terbata-bata.

Ada rasa keharuan yang melanda hatinya. Memang sudah sejak lama pemuda ini Ingin bertemu dengan gurunya. Karena selama ini Arya belum pernah bertemu langsung. Dia hanya belajar di bawah pengawasan Ular Hitam, adik gurunya ini (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").

Мака tentu saja pertemuan yang tidak disangka-sangka ini membuatnya seolah-olah sedang bermimpi.

Kakek berpakaian puiih yang ternyata Ki Gering Langit, menepuk-nepuk pundak Dewa Arak .

"Sudah kuduga..., begitu melihat guci di punggungmu, aku sudah menduga kalau kau adalah muridku. О ya, Arya. Aku tidak melihat adanya Pedang Bintang. Ke mana pedang itu?" tanya Ki Gering La­ngit.

"Kusimpan di tempat tinggal Kakek Ular Hitam, Guru," jawab Dewa Arak "Di sebuah tempat yang aman dan tidak akan mungkin orang tahu."

Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala­nya pertanda mengerti.

"O ya, Arya.... Bagaimana keadaan Ular Hitam sekarang?"

Seketika itu juga wajah Dewa Arak berubah mendung. Pertanyaan gurunya itu membuatnya teringat kembali akan kematian Kakek Ular Hitam dan ibunya yang tewas di tangan Darba (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").

Tanpa mendapat jawaban lagi pun, Ki Gering Langit sudah dapat mengetahui kalau ada kejadian buruk yang telah menimpa adik kandungnya itu. Tapi meskipun begitu, tanpa mendengar berita itu sendiri dari mulut muridnya, dia masih kurang yakin.

"Katakanlah, Arya. Seburuk ара pun berita yang kuterima, masih lebih baik daripada dilanda ketidak pastian mengenai nasib adik kandungku."

Dewa Arak menghela napas panjang.

"Kakek Ular Hitam telah tewas, Guru," ucap pemuda berambut putih keperakan itu pelan.

Tidak ada perubahan sama sekali yang teriihat pada wajah Ki Gering Langit. Wajah itu masih tetap seperti semula. Tenang. Hati Arya kagum melihat hal ini Sama sekali pemuda berambut putih keperakan ini tidak mengetahui kalau berita itu bagi kakek berpakaian putih bersih itu, lebih terasa mengejutkan daripada halilintar menyambar di dekatnya. Tapi berkat kematangannya, sungguhpun hatinya kaget bukan main, wajahnya sama sekali tidak menampakkan perasaan ара-ара.

"Bagaimana dia bisa tewas, Arya?" tanya Ki Ge­ring Langit lagi penuh rasa ingin tahu.

Dewa Arak pun menceritakan semua yang telah terjadi. Sementara Ki Gering Langit mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Так sekali pun kakek berpa­kaian putih bersih ini menyela cerita muridnya, hingga Arya menghentikan ceritanya.

"Begitulah kejadiannya. Guru," ucap Dewa Arak menutup ceritanya.

Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala .

"Tidak usah disedihkan lagi Arya. Yang sudah nya terjadi biarlah berlalu," ucap kakek berpakaian putih bersih itu memberi nasehat "O ya, tadi aku melihat kau sepertinya tidak mampu bangkit Ара yang telah terjadi, Arya?"

"Entahlah, Guru. Aku pun tidak mengerti," sahul Dewa Arak pelahan Memang pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengerti ара yang dialaminya tadi.

"Ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantu," sambut Ki Gering Langit .

Dewa Arak tercenung sebentar. Kemudian diceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dari mulai dia melihat tiga sosok bayangan berkelebatan membawa peti mati, sampai akhimya Hantu Putih kabur setelah membuat dirinya tidak berdaya.

Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala­nya.

"Rupanya kau berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu hitam, Arya. Dan peti mati yang kau lihat itu sudah pasti berisi mayat manusia. Sudah bisa kutebak kalau orang itu pasti menggunakannya untuk mendapatkan sebuah ilmu."

"Lalu, ilmu apakah yang dipergunakan oleh lawanku tadi, Guru?"

"Semacam ilmu yang kumiliki. Hanya saja, Ilmu yang dimiliku orang itu didapatkan melalui jalan hitam. Yahhh..., seperti yang kau ceritakan tadi. Mencuri mayat! Mendengar ceritamu tadi, ilmu yang dipergu­nakan orang Itu mirip dengan aji 'Tarik Raga', dan aji 'Tolak Raga'. Sedangkan ilmu yang membuatmu terpaku di tanah tanpa mampu berbuat apa-apa adalah aji 'Pantek Raga'!" .

"Apakah Guru juga memiliki Ilmu-Ilmu itu?" tanya Dewa Arak ingin tahu.

Ki Gering Langit menganggukkan kepalanya.

"Maukah Guru mengajarkannya padaku?" pinta Arya penuh harap.

"Sayang sekali, Arya," jawab Ki Gering Langit " Ilmu itu tidak bisa kau dapatkan, karena Ilmu 'Belalang Sakti' yang kau miliki, menjadi penghambat untuk bisa menguasai ilmu-ilmu itu. Tapi aku bisa memberikan padamu cara untuk menangkal ilmu-ilmu seperti Itu."

Dewa Arak pun terdiam.

"Kalau kau ingin tahu, aku bisa mempertunjukkan Ilmu-ilmu itu kepadamu. Terutama sekali ilmu yang bernama 'Pitunduk'!"

"'Pitunduk...?" ulang Arya Buana. Sepasang alisnya berkerut pertanda pemuda itu dilanda perasaan heran. "Ilmu ара itu, Guru?"

Ki Gering Langit tersenyum lebar.

"Pengertian flmu 'Pitunduk', adalah ilmu yang menyempurnakan raga manusia," sahut Ki Gering Langit menjelaskan.

Semakin banyak kerut-merut di dahi Dewa Arak. Penjelasan gurunya semakin membuat dirinya bertam- bah bingung.

"Aku belum mengerti, Guru," ucap Arya jujur.

"Memang susah untuk dimengerti, Arya. Dan kau tidak akan bisa mendapatkannya sampai kapanpun Namun secara kasar dapat kuberi penjelasan. Dan ilmu 'Pitunduk' itu, kau dapat memperlakukan orang atau benda ара pun sesuai kehendakmu."

"Maukah Guru memperlihatkannya padaku?" pinta Dewa Arak

Ki Gering Langit menganggukkan kepalanya.

"Bersiaplah kau, Arya," ucap kakek berpakaian putih bersih itu.

Dewa Arak pun melangkah mundur tiga tindak

"Serang aku dengan seluruh kemampuan yang kau miliki," perintah Ki Gering Langit.

Dewa Arak memberi hormat.

"Maafkan aku, Guru," ucap Dewa Arak sebelum memulai penyerangan. Diambilnya guci yang tersampir di punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan begitu arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak Seketika itu juga hawa hangat yang melanda perut pemuda berambut putih keperakan itu menyebar. Dan terus naik ke kepala.

"Hiyaaa...!"

Dewa Arak melompat menerjang Ki Gering Langit Guci peraknya diayunkan ke arah bahu gurunya.

Angin keras berhembus sebelum serangan guci itu tiba. Tapi kakek berpakaian putih bersih itu masih teriihat tenang saja. Tidak tampak melakukan suatu gerakan ара pun.

Baru setelah serangan Itu menyambar dekat, Ki Gering Langit menghentakkan kakinya sekali ke tanah seraya berseru keras.

"Rubuh...!"

Akibatnya hebat sekali! Tubuh Dewa Arak yang tengah melompat itu tiba-tiba terhenti di tengah Jalan, dan langsung ambruk ke tanah seperti karung basah.

Dewa Arak menyeringai. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Dan ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Biasanya setiap kali menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', jangankan lemas seperti ini, tenaganya berkurang pun tidak pernah!

Untuk yang kedua kafinya Ki Gering Langit kem­bali berteriak seraya menghentakkan kakinya ke tanah.

Derrr!
"Naik...!"

Ajaib! Tubuh Dewa Arak yang tergolek lemah di tanah itu tiba-tiba terangkat naik sampai setinggi dua tombak, dan diam terapung di udara. Tentu saja hal ini. membuat Arya kaget setengah mati. Walaupun pe­muda berambut putih keperakan itu berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh, tetap saja usahanya itu sia-sia.

"Selama aku belum memerintahkan turun, kau tidak akan pemah turun, Arya. Sampai kapan pun...," jelas Ki Gering Langit .

Dewa Arak hanya dapat menganggukkan kepala­nya. Pemuda berbaju ungu ini masih terlalu kaget me­lihat kemukjizatan ilmu 'Pitunduk' itu, sehingga tidak mampu berkata-kata.

Setelah berkata demikian, kakek berpakaian putih bersih itu kembali menghentakkan kakinya ke tanah.

"Jatuh...!" teriak Ki Gering Langit keras.

Begitu teriakan kakek berpakaian putih bersih itu selesai diucapkan. Tubuh Dewa Arak meluncur jatuh.

Brukkk..!

Dewa Arak menyeringai menahan rasa nyeri yang amat sangat pada pantatnya. Betapa tidak? Dia melun­cur jatuh dari ketinggian dua tombak tanpa mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Teriakan-teriakan dan hentakan-hentakan kaki Ki Gering Langit telah membuat seluruh tubuhnya lemah lunglai tanpa daya.

"Sudah jelas, Arya?" tanya kakek berpakaian putih bersih itu .

Dewa Arak hanya mampu menganggukkan kepa­lanya. Lidah dan bibirnya terasa kelu.

"Pulihkan dulu kekuatanmu, Arya," perintah Ki Gering Langit Lembut dan pelahan saja suaranya.

Dewa Arak sama sekali tidak membantah. Segera dia duduk bersila. Kemudian dirapatkan kedua tangan­nya di depan dada, bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sesaat kemudian pemuda berambut putih keperakan Itu pun sudah tenggelam dalam semadinya.

Так lama kemudian, setelah dirasakan tenaganya telah pulih kembali, Arya pun menghentikan semadinya. Tapi, gurunya sudah tidak teriihat lagi. Dewa Arak menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari .

"Guru...," panggil pemuda berambut putih keperakan itu pelahan.

"Aku pergi dulu, Arya. Aku akan menjenguk kuburan adikku," terdengar suara Ki Gering Langit menggema di sekitar tempat itu.

"Lalu, bagaimana janji Guru untuk mengajarkan padaku ilmu yang dapat memunahkan ilmu hitam lawanku tadi?" tanya Dewa Arak bemada mengingatkan.

"Sebutlah namaku tiga kali, kemudian hentakkan kakimu sekali ke tanah...."

"Guru...," panggil Dewa Arak lagi. Tapi kini tidak terdengar suara sahutan lagi. Jelas, Ki Gering Langit telah pergi meninggalkan tempat itu.

****

'"Pitunduk'..." desah Dewa Arak Ada nada kengerian tatkala pemuda berambut putih keperakan itu mengucapkanriya. "Sungguh sebuah ilmu mukjizat!"

Setelah berkata demikian, Dewa Arak bangkit dari duduk bersilanya. Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Arya kini mempunyai sebuah tugas. Mencari dan menangkap Hantu Putih beserta anak dan istrinya.

Plakkk!

Dewa Arak menepak kepalanya sendiri. Mengapa dia begitu bodoh. Bukankah Singa Hitam telah menceritakan kepadanya ciri-ciri tokoh sesat yang banyak memiliki ilmu hitam itu? Dan semua ciri-ciri yang diberitahukan Singa Hitam, menunjuk kepada orang yang tadi bertarung melawannya. Ah, mengapa dia jadi begitu bodoh?

„Hantu Putih, istri, dan anaknya. Berarti mereka berjumlah tiga orang. Sementara orang-orang pembawa peti yang dikejamya juga beijumlah tiga orang. Ya! Jelas sudah! Tiga orang yang tadi di adalah Hantu Putih bersama anak istrinya.

Kini teringat lagi Dewa Arak akan cerita Singa Hitam, kalau Hantu Putih tengah mempelajari ilmu hitam baru yang mengerikan. Tapi ilmu ара tidak diketahuinya.

"Ah...! Jangan-jangan, ketiga peti yang sudah pasti berisi mayat manusia itu adalah salah satu syarat untuk mempelajari Ilmu hitam itu!" duga Dewa Arak ketika teringat pada peti-peti mati yang dibawa Hantu Putih sekeluarga.

Berpikir begitu, Dewa Arak pun melanjutkan langkahnya. Arya tahu tidak ada gunanya lagi mengikuti jejak Hantu Putih. Tokoh hitam itu telah lenyap tanpa ketahuan jejaknya. Kini Dewa Arak memutuskan untuk mencari kebenaran dugaannya. Benarkah ada keluarga yang kehilangan mayat keluarganya?

***

Hantu Putih berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Laki-laki bergigi tonggos ini khawatir kalau-kalau pemuda be­rambut putih keperakan Itu bebas dari pantekan ilmunya. Padahal dia tengah memburu waktu.

Setelah cukup jauh berlari keluar dari hulan itu,Hantu Putih mulai mendaki sebuah bukit kecil. Lincah dan ringan laksana seekor kera tubuhnya melenting ke sana kemari.

Так lama kemudian, laki-laldibergigi tonggos ini pun tiba di depan sebuah gua yang cukup besar. Di situ telah menunggu anak dan istrinya. Di dekat kaki keduanya tergeletak dua buah peti mati.

"Bagaimana, Ayah? Sudah Ayah bunuh orang yang menguntit kita?" tanya Malini begitu dilihatnya Hantu Putih telah meletakkan peti yang dibawanya di tanah.

Laki-laki berpakaian serba putih itu menggelengkan kepalanya.

"Mengapa, Ayah? Apakah orang itu kabur?" tanya gads berpakaian biru itu lagi penasaran.
"Tidak...."
"Lalu kenapa, Ayah?" desak Malini lagi.

Hantu Putih menatap wajah putrinya lekat-lekat.

"Pemuda itu memiliki kepandaian luar biasa," jawab laki-laki bergigi tonggos itu setengah mendesah.

Sepasang mata Malini terbelalak

"Seorang pemuda? Dan Ayah tidak mampu mengalahkannya?" tanya gadis berpakaian biru muda itu setengah tak percaya.

Hantu Putih menganggukkan kepalanya. Kekecewaan yang amat sangat terbayang jelas pada wajah laki-laki berpakaian putih itu. Dan memang, Hantu Putih merasa terpukul bukan main. Belum pernah seumur hidupnya, dia dikalahkan oleh seorang pemuda.Jangankan pemuda, tokoh tingkatan tua pun jarang yang mampu menandinginya . Tidak aneh jika dia merasa penasaran bukan main. Kalau saja tidak terlalu dikejar waktu, mungkin sudah ditandinginya pemuda yang membuatnya penasaran itu.

"Ingin sekali aku melihat seperti ара pemuda yang telah mampu membuat Ayah kewalahan itu," gumam Malini pelan.

Sepasang mata Hantu Putih merayapi wajah putrinya lekat-lekat Seperti ingin mencari kesungguhan ucapan gadis itu di wajahnya.

"Pemuda itu berbaju ungu dan berambut putih keperakan," sambut laki-laki berpakaian putih ini memberitahu.

"Ah...! Dia...?!" seru Malini terkejut Ingatan gadis ini seketika melayang pada orang yang telah membuat dia sekeluarga selamat. Seorang pemuda lihai yang telah membuat perasaannya jadi tidak menentu.

Pekik keterkejutan putrinya tentu saja membuat Hantu Putih dan istrinya terkejut Sepasang mata Han­tu Putih menatap Malini tepat pada bola matanya, se­perti ingin menguak rahasia yang tersembunyi di dalam dada gadis itu.

"Kau mengenalnya, Malini?" tanya Hantu Putih. Ada nada ketidakpercayaan pada suaranya.

"Mengenalriya sih, tidak," sahut Malini dengan wajah merona merah. Entah kenapa pertanyaan ayahnya itu membuat perasaan malunya timbul. Gadis berpakaian biru muda ini merasa seolah-olah perasaan simpafinya pada pemuda Itu diketahui ayahnya.

'Tapi sepertinya kau terkejut ketika Ayah memberitahukan ciri-cirinya padamu," desak laki-laki ber­gigi tonggos itu lagi. Nada suaranya menyiratkan kepenasaran yang mendalam.

Malini menundukkan kepalanya. Desakan Hantu Putih membuat gadis ini merasa Idkuk dan gugup. Ten­tu saja hal ini membuat ayah dan ibunya menjadi heran bukan main.

"Pemuda itulah yang telah menyelamatkan kita, Ayah," jawab Malini pelan, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Ah..., kau benarf" teriak Hantu Putih mulai teringat. "Ya! Memang pemuda itulah yang kulihat tengah bertarung dengan para pengejar kita!"

"Apakah tidak sebaiknya kalau kita mengurus mayat-mayat itu dulu, Kang?" selak istri Hantu Putih memotong pembicaraan suami dan anaknya.

Hantu Putih menganggukkan kepalanya. Юга dia teringat kembali dengan maksud utamanya.

"Kau benar! Ha ha ha...! Tunggu saja pembalasanku, manusia-manusia keparat! Akan kubuat dunia persilatan gempar! Ha ha ha...!"

***

Malam telah larut. Так lama lagi fajar akan datang menyingsing. Tapi kegelapan masih menyeBmuti bumi Suara jangkrik dan binatang malam lainnya pun ma­sih terdengar.

Dewa Arak menghentikan langkah kakinya di depan sebuah daerah pemakaman. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini bimbang, antara meneruskan langkahnya menuju desa yang tak berada jauh lagi di depannya. Atau memeriksa pemakaman ini dulu.

Kini dugaan Dewa Arak berubah. Sudah bisa di perkirakannya kalau Hantu Putih sekeluarga mengam­bil mayat berikut petinya itu dari tempat pemakaman umum ini. Tinggal dicarinya saja, makam yang terbongkar. Pemuda berambut putih keperakan ini akhirnya memutuskan untuk pergi ke areal pemakaman du­lu.

Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak lalu melangkahkan kakinya memasuki arel pemakaman Itu. Meremang Juga bulu kuduk Dewa Arak melihat gun­dukan tanah yang berjejer di sekelilingnya. Arya memang seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tapi tetap saja manusia biasa. Perasaan takutnya tetap ada. Cepat-cepat dibuangnya jauh-jauh pikiran Jdek yang membayangkan seandainya mayat-mayat dalam kuburan itu bangkit .

Dewa Arak terus melangkahkan kakinya. Sementara sepasang matanya nyalang mengawasi gundukan tanah di sekitamya. Mencari-cari, barangkali saja ter­iihat tanda-tanda makam yang baru dibongkar.

Cukup lama juga Dewa Arak mencari-cari, dan sudah hampir seluruh areal pemakaman yang luas itu dkelilinginya. Akhirnya sepasang matanya tertumbuk pada sesosok tubuh laki-lald setengah baya yang tergolek di antara makam. Bergegas Arya menghampirinya.

Dewa Arak membungkukkan tubuhnya agar lebih jelas mengetahui penyebab orang itu tergolek di areal pemakaman ini. Apakah orang itu memang sengaja tidur di sini karena tidak mempunyai tempat tinggal ? duganya dalam hati.

"Ah...!" seru Dewa Arak terkejut tatkala menge­tahui kalau sosok tubuh yang tergolek itu sudah mati.

Penglihatannya yang awas segera saja dapat melihat luka-luka yang menyebabkan kematian pada laki-laki
setengah baya itu.

" Bekas perbuatan orang yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi," gumam Dewa Arak pelan seperti berbicara pada dirinya sendiri ketika melihat luka-luka pada rahang dan pelipis mayat itu.

Dewa Arak bangkit berdiri. Dilayangkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Berharap barangkali saja ditemukannya sesuatu yang memberinya petunjuk mangenal kematian orang itu.Arya mengerutkan alisnya ketika melihat sebuah cangkul yang tergolek dekat mayat laki-laki setengah baya itu.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala­nya melihat kejadian ini. Cangkul itu telah memberi petunjuk, siapa adanya laki-laki setengah baya yang telah menjadi mayat itu, penggali makam.

Sementara pemuda berambut putih keperakan itu termenung memikirkan masalah ini, pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki yang bergerak mendekafi. Dari suara langkah Itu, De­wa Arak sudah dapat mengetahui kalau si pemilik lang­kah itu tidak menguasai ilmu meringankan tubuh. Andaikata memilikinya pun, sudah pasti masih amat rendah.

Dewa Arak tidak mau bertindak gegabah. Ingin diketahuinya dulu maksud pemilik langkah kakl itu datang ke pemakaman malam-malam begini Мака, cepat bagai kilat tubuhnya melesat Dan menyelinap ke balik sebatang pohon, bersembunyi dan mengintai.

Belum lama Arya menyelinap ke balik pohon, si pemilik langkah kaki itu pun muncul. Dari tempat pengintaiannya, walaupun suasana agak remang-remang, Arya dapat mengenali sosok tubuh itu. Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, berkulit coklat dan berbadan tegap.

"Ah...!"

Pemuda berkulit coklat itu berseru kaget Dengan langkah cepat, dihampirinya mayat yang tadi baru saja diperiksa Arya.

"Paman! Mengapa Jadi begin!?" desah pemuda berkulit coklat Itu. Suaranya mengandang kesedihan mendalam.

Melihat hal ini, Arya tahu kalau pemuda berkulit coklat itu adalah keponakan dari mayat laki laki setengah baya yang diduganya penggali makam itu. Kini tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak keluar dari tempat persembunyiannya.

"Ара yang teijadi, Kisanak?" tanya Arya.

Pemuda berkulit coklat itu tersentak kaget Kepalanya menoleh cepat ke arah asal suara itu. Dan kontan sepasang matanya terbelalak ketika melihat Dewa Arak.

"Han... hantu...," desis pemuda berkulit coklat itu dengan wajah pucat. Dan sebelum Dewa Arak sempat membantah ucapan itu, pemuda itu sudah bergerak bangkit dan berlari pontang-panting meninggalkan tempat itu.

"Hantu..., tolooong...! Ada Hantu...!" jerit pemu­da berkulit coklat itu seraya teras berlari.

Tentu sa]a kelakuan pemuda itu membuat Dewa Arak jadi agak geli. Begitu seramkah tampangnya sehingga membuat orang takut? Ataukah karena rambutnya yang berwama putih keperakan, yang mem­buat pemuda berkulit coklat itu menyangkanya hantu. Tapi Arya tidak bisa terlalu lama memikirkan hal itu. Harus ditangkapnya dulu pemuda itu. Barangkali saja dapat dikorek keterangan mengenai mayat itu, walaupun sedikit banyak Dewa Arak sudah dapat menduga siapa pembunuhnya. Siapa lagi kalau bukan Hantu Putih, istri atau anaknya?

"Hup...!"

Ringan tanpa suara Dewa Arak telah berada di depan pemuda berkulit coklat itu. Seketika wajah pemuda itu pucat pasi, begitu melihat 'hantu' itu telah menghadang jalannya. Мака buru-buru dibalikkan tubuhnya, dan berlari kembali menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan semula.

Tapi, kali ini Dewa Arak tidak mau membiarkannya lagi. Cepat bukan main tangannya bergerak.

Tappp...!

Telapak tangan Dewa Arak mendarat di bahu pe­muda berkulit coklat itu. Terlihat hanya menempel saja tangan Arya di bahu pemuda berkulit coklat. Tapi anehnya, betapapun pemuda itu berlari mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja usahanya tidak menampakkan hasil. Kedua kakinya melangkah berlari di tempat itu-itu juga.

'Tenanglah, Kisanak. Aku bukan hantu. Aku manusia biasa seperti juga dirimu," ucap Dewa Arak pe­lan, namun terdengar jelas suaranya.

Pemuda berkulit coklat itu menolehkan kepalanya. Ucapan 'hantu' itu membuat hatinya lebih berani. Ditatapnya wajah dan sekujur tubuh Dewa Arak penuh selidik. Mula-mula masih dengan perasaan takut Tapi ketika dilihatnya kedua kaki pemuda Itu menginjak tanah, legalah hatinya. Pemuda berambut mengerikan ini memang bukan hantu! desah hatinya lega. Kaki hantu tidak menginjak tanah!

Setelah melihat pemuda berkulit coklat itu sudah tidak takut lagi, Dewa Arak menarik kembali tangannya.

"Ceritakanlah, mengapa malam-malam begini kau ke pemakaman ini. Dan ара yang terjadi dengan orang itu?" tanya Dewa Arak seraya menudingkan telunjuknya pada sosok mayat yang kini diketahuinya adalah paman dari anak muda di hadapannya .

Pemuda berkulit coklat itu bimbang. Dewa Arak yang sudah berpengalaman, segera saja mengetahui kalau pemuda di hadapannya Ini masih belum percaya padanya.

"Percayalah padaku, Kisanak. Aku bukan orang Jahat Namaku Arya. Pengelana yang hanya kebetulan lewat dan mampir ke pemakaman ini karena agak curiga. Di depan sana kulihat ada tiga orang membawa peti mati. Perasaan penasaran mendorongku kemari. Tapi yang kutemui hanya mayat laki-laki itu."

Ucapan Dewa Arak yang lemah lembut dan si­kapnya yang terlihat sopan, membuat keraguan pemu­da berkulit coklat itu lenyap.

"Namaku Ganta. Aku penduduk desa ini."

"Hm..., lalu, bagaimana, Kang Ganta?" desak Dewa Arak. Sengaja Arya memanggil pemuda berkulit coklat itu 'kakang' untuk lebih membuat keakraban di antara mereka.

"Malam ini, aku disuruh menemui pamanku di sini," sambung Ganta "Namanya Ki Samura."

"Kau tinggal bersama dia, Kang? "

Ganta menggelengkan kepalanya.

"Aku tinggal di desa. Sedangkan dia tinggal diareal pemakaman ini. Pekerjaannya sebagai penggali makam, yang mengharuskan begitu."

"Kau tahu maksud pamanmu menyuruhmu datang menemuinya malam-malam begini?" tanya Dewa Arak lebih jauh.

"Tahu," sahut Ganta sambil menganggukkan ke palanya. "Paman ingin memberiku upah atas jerih payahku membantunya membongkar makam tadi, sewaktu menjelang malam."

"Membongkar makam?" tanya Dewa Arak. Dahl nya berkerut dalam. "Untuk ара?"

Ganta menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Jelas kalau pemuda berkulit coklat itu merasa berat untuk menceritakannya.

"Sebenamya aku tidak setuju dengan ajakan pamanku. Tapi, karena kebetulan aku sedang butuh uang, lagi pula paman terus-menerus mendesakku, akhimya aku menyanggupinya. Menjelang malam, paman dan aku membongkar tiga makam orang yang baru dikubur."

Ganta menghentikan sebentar ceritanya. Sedangkan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa diperkirakarmya sendiri kelanjutan cerita itu. Tapi, dengan bijaksana Arya terus saja mendengarkan tatkala Ganta kembali bercerita.

"Paman juga bercerita, bahwa da mendapat penghasilan yang amat banyak dari membongkar ma­kam ini. Dan ini adatah pekerjaan yang keempat kali nya. Katanya penghasilan kali ini, pasti akan sangat besar. Jauh lebih besar dari penghasilan sebelumnya. Karena di samping jumlahnya yang lebih dari biasanya, Juga ada hal-hal lain yang memberatkannya. Tapi begitu kutanyakan, Paman tidak memberitahu, hal-hal ара yang memberatkannya."

"Apakah pamanmu memberitahukan, siapa orang yang telah memberinya peketjaan itu?" tanya Dewa Arak ingin memastikan.

"Ya," sahut Ganta seraya menganggukkan kepa­lanya. "Katanya seorang wanita yang berpakaian biru muda. Wajahnya tidak teriihat jelas karena tertutup ca­dar hitam."

Tepat! Gadis berpakaian biru muda itu adalah putri Hantu Putih. Kalau tidak salah, namanya adalah Ma­lini! jerit hati Dewa Arak. Tepat semua dugaannya. Tepat pula semua dugaan Singa Hitam. Sepasang Hantu tengah mempelajari sebuah Ilmu hitam baru!

"Pertu kau ketahui, Ganta. Wanita berpakaian biru muda itu adalah seorang gadis jahat. Dan pamanmu telah mengambil resiko yang amat besar bekerjasama dengan wanita itu. Tapi sudahlah, lupakan saja semua ini Sekarang yang lebih penting adalah kita kuburkan mayat pamanmu dulu"

Ganta tidak membantah. Cepat-cepat diambilnya cangkul yang tergolek di situ. Kemudian digalinya kem­bali makam yang telah dibongkar tadi. Так lama kemu­dian, dimasukkan tubuh pamannya ke dalam, lalu diuruknya dengan tanah.

Fajar mulal menyingsing ketika Dewa Arak dan Ganta meninggalkan areal pemakaman itu. Suara kokok ayam hutan dan cicit burung terdengar merdu , menyambut datangnya sang pagi.

Dewa Arak dan Ganta berjalan pelahan meninggalkan areal pemakaman itu. Ganta menunjuk ke salah sebuah rumah yang terpencil, terpisah dari rumah- rumah lainnya.

"Itulah rumah orang yang makamnya kami bong kar," ucap pemuda berkulit coklat itu memberitahu Dewa Arak.
Arya menolehkan kepalanya mengikuti arah telunjuk Ganta.

"Lalu, rumah yang lainnya mana, Kang?" tanya Dewa Arak setengah hati.
"Yang lainnya? Ара maksudmu, Arya?" Ganta ba­tik tanya.
"Heh?!" Dewa Arak terperangah. "Bukankah ma­kam yang kalian bongkar ada tiga?"

Ganta menganggukkan kepalanya.

"Ара yang kau katakan itu benar, Arya. Makam yang kami bongkar memang tiga. Mayatnya pun tiga. Tapi, mereka semua tinggal dalam satu rumah. Suami istri tua bersama seorang gadis kecil yang rnenjadi anak angkat mereka."

"Aneh...," gumam Arya. "Belum pernah kudengar ada satu keluarga bisa meninggal bersama sama...."

Memang aneh kalau mereka meninggal secara wajar...," desah Ganta menyahuti.

Dewa Arak mengemyitkan dahi.

"Maksudmu..., mereka meninggal secara tidak wajar ... ?"

Ganta menganggukkan kepalanya.

"Yahhh..., mereka semua mati terbunuh. Так ada leorang pun yang tahu siapa pembunuhnya."

Dewa Arak mengerinyitkan dahinya. Mungkinkah pembunuhnya adalah Ki Samura? duganya dalam hati. Tapi, tentu saja Arya tidak memberitahu dugaannya Ini pada Ganta.

"O ya, kau hendak ke mana, Arya?" tanya Ganta liba-tiba.

Dewa Arak terdiam sejenak. Kali ini dia belum Ingin melanjutkan peijalanannya. Dia ingin beristirahat dulu karena sejak semalam belum tidur. Tubuhnya terasa penat sekali. Sudah sejak tadi ingin direbahkan tubuhnya. Hanya saja belum ditemukan tempatnya.

"Ke mana saja sepasang kakiku ini membawaku, Kang."
"Bagaimana kalau kau singgah di rumahku dulu, Arya?" ajak Ganta.

Dewa Arak menggelengkan kepalanya.

"Kuucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu, Kang. Hanya saja tidak bisa kupenuhi permintaanmu. Aku ingin melanjutkan perjalananku kembali."

Setelah berkata demikian, Dewa Arak melesat cepat Sekali bergerak saja, sudah berada dalam jarak puluhan tombak. Sesaat kemudian tubuhnya semakin mengecil dan mengecil, kemudian lenyap di kejauhan.

"Luar biasa...," desah Ganta penuh kagum. "Pe­muda itu memiliki kepandaian yang luar biasa. Mengapa dia tidak menetap saja di sebuah desa dan mendiriкап perguruan silat?"

Walaupun tubuh Dewa Arak sudah tidak terlihat lagi, Ganta masih terus memandangi. Beberapa saat lamanya laki-laki berkulit coklat itu berdiri mematung di situ, sebelum akhirnya melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Kembali ke rumahnya.

***

Dewa Arak mengerahkan seluruh ilmu meringan­kan tubuh yang dimilikinya. Sekilas matanya melihat kearah hamparan sawah yang padinya telah mengering. Arya tahu, sawah itu untuk sementara belum dipergunakan lagi.

Dan diketahuinya pula di tengah sawah ada gubuk sederhana yang dapat digunakannya untuk beristirahat. Мака sengaja dia menuju ke sana.

Dugaannya tepat Так lama kemudian dilihatnya sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Semakin dipercepat larinya, karena rasa penat dan mengantuk hampir tidak tertahankan lagi.

"Hup...!"

Secepat berada di depan pintu gubuk itu, secepat Itu pula dibukanya daun pintu gubuk kecil itu. Tepat seperti dugaannya pintu itu sama sekali tidak terkunci.

Kriiit..!

Suara derit pelan mengiringi terbukanya daun pintu itu. Dewa Arak membuka pintu lebar-lebar dan mengamati seisi ruangan itu. Temyata cukup bersih dan ada selembar tikar butut yang terhampar di lantai.

Arya tersenyum puas. Tempat ini temyata sangat memuaskan. Masih lebih nikmat ketimbang tidur di atas pohon, yang terkadang diganggu semut merah. Segera ditutupnya daun pintu itu. Kemudian direbahкап tubuhnya di atas hamparan tikar, setelah sebelumnya menaruh guci yang tersampir di punggungnya di lantai .

Так lama kemudian, Dewa Arak pun tertidui pulas. Makium sudah dua malam pemuda berambut putih keperakan ini tidak tidur. Sang matahari pun terus bergulir. Dan ketika sang matahari telah condonij ke Barat, baru Dewa Arak terbangun dari tidumya.

"Huah...!"

Dewa Arak membuka mulut lebar-lebar, menguap. Tubuhnya menggebat, menghilangkan rasa kantuknya. Kemudian Arya duduk bersila. Kedua telapak tangan nya dirapatkan di depan dada, bersemadi. Так lama kemudian pemuda berambut putih keperakan ini sudah tenggelam dalam semadinya.

Memang Dewa Arak tidak pernah lalai bersemadi . Setiap ada kesempatan yang luang, tak pemah disia siakannya. Kalau situasi mengijinkan, dia melatih kembali ilmu-ilmu yang dimilikinya. Bila tidak sempat, hanya semadi dan pemapasan saja yang dikerjakannya. Dan bila tidak sempat juga, hanya pernapasan saja.

Dewa Arak baru menghentikan semadinya ketika kegelapan telah menyelimuti bumi. Malam rupanya telah turun. Kedudukan matahari telah digantikan oleh bulan.

"Auuunggg...!"

Suara lolong anjing hutan mengaung panjang mengusik kesunyian malam. Dewa Arak bangkit dari bersilanya. Kemudian bangkit berdiri. tak lupa disambar gucinya dan disampirkan di punggung. Baru kemudian dilangkahkan kakinya menuju ke pintu.

Suara jangkrik dan binatang malam lainnya segera menyambut Arya, begitu pemuda berambut putih ke­perakan ini membuka pintu gubuk itu.

Begitu berada di luar, Dewa Arak segera melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Kini Arya mempunyai tugas yang cukup berat Menangkap Hantu Putih. Tokoh sesat yang terkenal banyak memiliki ilmu-ilmu hitam. Dan Dewa Arak sendiri telah membuktikan kelihaian tokoh itu. Kalau saja dia tidak memiliki jurus 'Pukulan Belalang' mungkin sudah tewas di tangan tokoh sakti itu.

Tapi, sesampainya di depan areal pemakaman, Dewa Arak terperangah kaget Sepasang matanya membelalak lebar. Tidak salahkah ара yang dilihatnya? tanyanya sambil mengucek-ngucek matanya dengan tangan. Betapa tidak? Dari areal pemakaman itu dilihatnya banyak sosok tubuh melangkah keluar. Bau busuk tercium oleh hidung Arya.

Seketika itu juga bulu kuduk Dewa Arak merinding. Kini Arya mengetahui kalau sosok-sosok tubuh yang bergerombol keluar dari areal pemakaman itu adalah mayat-mayat yang berada di dalam kubur! .

Belum juga Dewa Arak sadar dari rasa terkejutnya, mayat-mayat itu berbondong-bondong menyerbunya. Bau busuk yang amat sangat menyergap hidungnya.

Beberapa saat lamanya, Dewa Arak terpaku kaku. Pikirannya seperti buntu. Apakah dia tidak sedang bermimpi ? plkirnya. Belum pernah didengarnya ada mayat yang telah sekian lama dikubur, bangkit kenbali! Dicubit tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak mimpi. "Akh...!"

Dewa Arak terpekik. Sakit rasanya bagian уапg tadi dicubitnya. Berarti dia tidak mimpi! .

Tapi Arya tidak bisa berpildr lebih lama lagi Serangan-serangan mayat-mayat itu telah meluruk tiba Так ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melayaninya.

"Hih...!"

Tubuhnya melenting ke atas, bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap tanpa suara di tanah Separuh wajahnya, mulai dari bawah mata sampai ke dagu telah tertutup selembar kain yang berguna untuk mencegah bau busuk yang menyebar.

Dengan gerakan lambat, sebagai ciri khasnya, mayat-mayat itu berbondong-bondong menyerbu Dewa Arak. Arya menghitung jumlah mayat itu dengan mempergunakan matanya. Dan kagetlah hati pemuda ini tatkala mengetahui betapa banyaknya jumlah ma­yat-mayat itu. Kalau saja mayat-mayat ini sampai memasuki desa, ngeri Dewa Arak membayangkannya.

Berpikir begitu, Dewa Arak mengambil keputusan untuk memusnahkan semua mayat-mayat ini. Arya pun menjumput gucinya, kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk.. gluk..!

Suara tegukan terdengar, ketika arak Itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian rasa hangat menerpa perutnya, dan kemudian naik ke kepala. "Hih...!"

Dewa Arak mengayunkan gucinya ke arah kepala salah satu mayat yang berada paling dekat

Prakkk...!

Suara berderak keras terdengar, tatkala kepala mayat itu pecah. Tubuh mayat itu pun ambruk dan tidak bergerak-gerak lagi. Kini Dewa Arak benar-benar mengamuk, dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya

"Hih...!"
Bukkk..!

Tendangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya itu mengenai telak dada sa­lah satu mayat Terdengar suara berderak keras ketika tulang-tulang dada mayat itu hancur berantakan, seiring dengan terpentalnya tubuh mayat itu sejauh belasan tombak Darah merah kehitaman menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga mayat itu. Tap anehnya, mayat itu bangkit kembali.

Selagi Dewa Arak tengah sibuk-sibuknya membantai mayat-mayat itu. Tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menyarangkan sebuah pukulan mematikan ke arah Arya.

"Hih...!"

Dewa Arak melempar tubuhnya ke belakang, ke­mudian bersalto beberapa kali, dan hinggap di luar arena pertarungan. Kini yang berada dalam kurungan mayat-mayat itu adalah sosok bayangan putih itu Anehnya, tak satu pun ada mayat yang menyerang sosok bayangan putih yang temyata adalah Hantu Putih.

Hantu Putih menudingkan jari telunjuknya ke arah desa. Ajaib! Mayat-mayat itu bergerak meninggalkan tempat itu dan berjalan lambat-lambat menuju desa.

Begitu melihat kehadiran Hantu Putih dan mellhal betapa patuhnya mayat-mayat itu pada salah seorang dari Sepasang Hantu itu, Dewa Arak pun mengerti mengapa mayat-mayat itu bisa bangkit dari kuburnya. Sudah dapat dipastikan kalau kejadian aneh ini terjadi karena kekuatan ilmu hitam yang dimiliki tokoh sesat itu.

Melihat mayat-mayat itu bergerak lambat namun pasti menuju ke arah desa, pemuda berambut putih keperakan ini merasa khawatir sekali. Dewa Arak tahu kalau mayat-mayat itu sampai memasuki desa, akan banyak jatuh korban di antara penduduk. Dan ini harus dicegahnya untuk menghindari malapetaka terhadap penduduk desa.

Tapi sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, Hantu Putih yang sudah mengetahui kehadiran Dewa Arak di pekuburan itu, segera bergerak menghadangnya.

"Kita selesaikan urusan kita yang waktu itu terbengkalai, Anak Muda," ucap laki-laki bergigi tonggos itu dingin.

Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Lawan telah mengajukan tantangan. Merupakan pantangan baginya, jika dia menolak. Segera diurungkan niatnya untuk menghadang mayat-mayat itu. Dan kini dipusatkan perhatiannya untuk menghadapl lawan yang teramat tangguh ini.

"Hiyaaa...!"

Hantu Putih melompat ringan menyerang Dewa Arak. Sungguh aneh serangan yang dilakukan tokoh hitam ini Laki-laki bergigi tonggos ini membuka serangannya dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada.

Dewa Arak tidak bertindak sungkan-sungkan lagi.
I
Dipapaknya segera pukulan yang mengarah ke dadanya itu, dengan kedua punggung tangannya. Kedudukan jari-jari jurus belalangnya mengarah ke tanah.

Dukkk!

Benturan kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat pun tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya tubuh Hantu Putih terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan seperti lumpuh. Dadanya pun terasa sesak bukan main.

Sementara Dewa Arak dilihatnya hanya tergetar saja tubuhnya. Sekarang hati Hantu Pufih pun yakin, kalau tenaga dalam lawan berada di atasnya. Dan kalau dipaksakan dirinya untuk mengadu tenaga terus, sudah dapat dipastikan dia akan roboh di tangan lawan muda yang tangguh ini.

Tapi Dewa Arak tidak memberinya kesempatan berpikir terlalu lama. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung saja menyerbu Hantu Putih dengan ayunan guci araknya ke arah kepala. Hantu Putih tidak ingin kepalanya pecah disambar guci Dewa Атак, maka cepat-cepat didoyongkan tubuhnya ke belakang.

Wuuuttt...!

Guci arak itu hanya menyambar tempat kosong lewat sejengkal di depan wajahnya. Hantu Putih tidak terkejut lagi, sewaktu seluruh rambut dan pakaiannyn berkibaran keras begitu angin ayunan guci itu lewat .

Hantu Putih tak menyia-nyiakan kesempatan lowong itu, segera dikirimkan serangan-serangan mautnya Sesaat kemudian kedua tokoh berbeda aliran Ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit

***

Dapat dibayangkan betapa kagetnya para penduduk desa begitu melihat rombongan mayat hidup datang menyerbu. Kentongan tanda bahaya pun dipukul bertalu-talu. Para pemuda yang memiliki kemampuan berkelahi, berusaha melawan mati-matian dengan senjata seadanya. Sementara perempuan, orang-orany tua, dan anak disuruh pergi menyelamatkan diri.

Sebentar saja jerit kematian terdengar di sana-sini Korban di antara para penduduk pun mulai berjatuhan Mayat-mayat itu terralu tangguh untuk dihadapl oleh orang seperti mereka. Beberapa orang di antara mereka telah berhasil mengunjamkan golok atau pedangnya ke perut, leher, ataupun dada mayat itu, tapi sama sekali tidak berarti apa-apa. Mayat-mayat itu hanya dapat mati apabila kepala mereka telah hancur .

Padahal menghancurkan kepala bukan pekerjaan yang mudah bagi penduduk desa itu.

Ki Bacan, Kepala Desa Sajajar dan Ki Bajuri, ketua perguruan silat di desa itu, merupakan dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di Desa Sajajar itu. Sudah tak terhitung lagi senjata di tangan mereka mendarat di berbagai bagian tubuh mayat-mayat itu, tapi mayat-mayat itu tak juga binasa. Hal ini tentu saja , membuat mereka seperti habis daya. Kelelahan mulai mendera.

Pada suatu kesempatan, Ki Bajuri agak lengah dan salah seorang mayat berhasil menubruknya hingga jatuh terguling. Nasib Ki Bajuri sudah sangat mengenaskan ketika belasan mayat itu melompat menerkamnya.

"Aaakh...!"

Terdengar jerit kematian dari Bajuri. Tampak seluruh kulit tubuhnya tercabik-cabik bagai diserang puluhan ekor harimau lapar.

Ki Bacan terperangah kaget. Dia tahu tidak ada gunanya lagi mengadakan perlawanan. Jumlah mayat hidup itu banyak sekali. Walaupun mayat-mayat itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat, tapi karena mereka sulit untuk mati, dan jumlah yang banyak, membuat mereka sulit dikalahkan.

"Mundur...! Selamatkan diri kalian...! Pergi ke Kota Kadipaten...!" seru Kepala Desa Sajajar ini keras.

Para penduduk yang memang sudah merasa gentar sejak tadi, tanpa diperintah dua kali segera berlari menyelamatkan diri. Sedangkan rombongan anak-anak, perempuan dan orang-orang tua, telah mengungsi lebih dulu. Memang desa ini letaknya tidak begitu jauh dari Kadipaten Malaya

Suatu keberuntungan bagi para penduduk itu Mayat-mayat itu bergerak sangat lambat, sehingga mereka dapat leluasa menyelamatkan diri. Tapi tentu saja itu tidak berarti kalau mayat-mayat itu tidak mengejar mereka. Mayat-mayat itu tetap saja mengejar para penduduk yang menyelamatkan diri di bawah pimpinan Ki Bacan.

Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak dan Hantu Putih yang semula berlangsung sengit, segera mulai terlihat berat sebelah ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh. Dewa Arak memang menang segala-galanya dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat.

Hantu Putih tampak terdesak hebat .

Hantu Putih meraung murka. Akhirnya kenyataan menunjukkan, kalau kepandaiannya masih jauh di bawah ilmu Dewa Arak. Beberapa kali, serangan tak terduga pemuda berambut putih keperakan itu hampir merenggut nyawanya. Tidak ada jalan lain baginya untuk mengalahkan Dewa Arak kecuali dengan ilmu hitam yang dimilikinya.

"Hih...!"

Tubuh Hantu Putih melenting tinggi ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara, seraya melemparkan beberapa bilah pisau kecil ke arah Dewa Arak untuk mencegah pemuda itu mengejarnya

Semula Dewa Arak bermaksud memburu tubuh lawannya. Так akan diberinya kesempatan lawannya untuk mengeluarkan ilmu hitamnya. Tapi, segera niatnya diurungkan begitu dilihatnya beberapa buah pisau kecil melesat ke arahnya. Segera dielakkan serangan itu.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara Hantu Putih mendaratkan sepasang kakinya di tanah. Sepasang matanya langsung dipejamkan sejenak. Sementara kedua telapak tangannya yang terbuka, dirapatkan di depan dada. Mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan sesuatu.

Sekejap kemudian tampak sekujur tangan laki-laki bergigi tonggos itu menggigil hebat Setelah itu dijulurkan kedua tangannya ke depan. Lalu tangan kanannya bergerak seperti melambai.

Dewa Arak sejak tadi sudah bersikap waspada. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk memberatkan bobot tubuhnya. Inilah ilmu 'Pasak Bumi'. Ilmu yang terdapat dalam kitab 'Jurus Membakar Matahari'. Gunanya, agar tubuhnya tidak mudah untuk ditarik atau didorong seperti waktu lalu. Dengan ilmu 'Pasak Bumi', tubuh Dewa Arak laksana sebuah batu gunung yang tidak akan tergoyahkan walaupun dilanda badai.

"Hih...!"

Dewa Arak menggertakkan gigi. Dirasakan adanya tarikan amat kuat yang menarik tubuhnya ke depaa Tapi berkat ilmu 'Pasak Bumi', aji 'Tarik Raga' Hantu Putih sama sekali tidak berdaya.

Hantu Putih mendesis geram melihat usahanya menarik tubuh lawan, gagal. Perasaan penasaran mendorongnya untuk tetap meneruskan usahanya menarik tubuh Dewa Arak.

Dewa Arak tersentak kaget Dirasakan kekuatan tak nampak yang menarik tubuhnya ke depan semakin menggila.

Sekuat tenaga Arya mencoba bertahan Seluruh urat-urat di tubuh Dewa Arak mulai bertonjolan sewaktu berjuang menggagalkan usaha lawan nya Dan pelahan namun pasti tubuh Dewa Arak mulai mendoyong ke depan, tapi anehnya kedua kakinya masih melekat di tanah.

Di saat itulah, Hantu Putih tiba-tiba mengibaskan tangannya.

"Akh...!"

Terdengar seruan tertahan dari mulut Dewa Arak. Kini pemuda berambut putih keperakan ini tidak mampu bertahan lagi. Tubuhnya kontan terhempas ke belakang laksana daun kering.

Hantu Putih tersenyum lebar. Hatinya gembira bukan kepalang melihat usahanya berhasil. Sekali saja usahanya, menarik atau mendorong tubuh lawannya berhasil, setelah itu lawan sudah tidak mampu melawan lagi. Begitu pula dengan Dewa Arak. Kini pemuda itu sudah tidak akan berdaya lagi melawannya.

Tubuh Dewa Arak terguling menjauh. Tapi sebelum daya guling itu habis, laki-laki bergigi tonggos itu tiba-tiba melambaikan tangannya. Seketika itu juga gulingan tubuh Arya berubah arah. Kini tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terguling ke arah Hantu Putih.

Tapi sebelum tubuh Dewa Arak terlalu dekat dengannya, Hantu Putih kembali mengibaskan tangan­nya Menariknya kembali. Dan begitu seterusnya. Dewa Arak kini menjadi permainan lawannya.

Setelah dirasanya cukup, dan lawan tangguhnya telah tak berdaya lagi, Hantu Putih menghentikan per- mainannya.

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Seluruh tubuh­nya kini terasa lemas sekali. Так sanggup dia untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Menggerakkan jari kelingking pun pemuda ini tidak mampu! Tenaga dalamnya seperfi musnah. Tubuhnya tergolek lemas seperti karung basah. Kini yang dapat dilakukan pe­muda ini hanya menatap lawannya.

"Ha ha ha...!"

Hantu Putih tertawa bergelak. Sebuah tawa kemenangan. Dihampirinya Dewa Arak yang tergolek lemas di tanah.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Orang sepertimu akan menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagiku. Kau harus mampus...!"

Setelah berkata demikian, Hantu Putih mengge­rakkan tangannya, melakukan totokan ke arah ubun-ubun.

Tidak ada yang dapat dilakukan Dewa Arak, selain dari menunggu datangnya kematian dengan sepasang mata terbuka lebar.

"Ayah! Tahan...!" Terdengar teriakan nyaring mencegah, ketika ta­ngan Hantu Putih hampir menyentuh ubun-ubun Dewa Arak. Seketika itu juga tangan Hantu Putih tertahan di udara. Kepalanya menoleh ke arah teriakan itu berasal. Dikenalinya betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan anaknya, Malini! .

Benar saja. Sekejap kemudian, di hadapan Hantu Putih telah berdiri seorang gadis cantik jelita berpakaian biru muda dan berambut panjang. Malini, putri Sepasang Hantu.

Hantu Putih menatap gadis berpakaian biru muda itu tajam. Sinar matanya menyorotkan pertanyaan.

"Mengapa kau mencegah Ayah membunuhnya, Malini?" tanya Hantu Putih.

Pelan saja suaranya tapi mengandung teguran keras. Sementara Dewa Arak pun terheran. Mengapa gadis berpakaian biru muda ini mencegah Hantu Putih yang hendak membunuh nya? tanyanya dalam hati.

Tentu saja tidak mungkin Malini mengatakan terus terang, bahwa alasannya mencegah ayahnya membu­nuh Dewa Arak, adalah karena dia telah jatuh cinta pada pemuda berambut putih keperakan itu. Memang sebenarnyalah sejak pertama kali melihat Arya menempur belasan orang-orang rimba persilatan golongan putih yang mengejarnya, perasaan itu telah muncul.

"Lupakah, Ayah? Pemuda ini adalah orang yang telah menyelamatkan kita waktu itu. Kalau tidak ada dia kita semua akan tewas!" jawab Malini memberi alasan.

Hantu Putih mengerutkan alisnya. Tidak salahkah pendengarannya? Aneh betul sikap putrinya kali ini. Benarkah sekarang Malini telah menjadi seorang yang mudah terikat hutang budi?

"Kau inl aneh, Malini!" ucap Hantu Putih itu setelah beberapa saat lamanya tercenung bingung. "Mengapa sekarang kau menjadi bersikap seperti orang-orang tolol yang menyebut diri sendiri pendekar itu?! Sudahlah! Menyingkirlah kau, Malini! Pemuda ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Sangat berbahaya kalau dibiarkan hidup!"

'Tidak, Ayah!" sahut Malini Keras dan tegas suaranya. Dengan beraninya dia melangkah maju, berdiri membelakangi Dewa Arak Jelas teriihat kalau gadis berpakaian biru muda itu bersiap melindungi Arya Buana.

"Dengar kataku, Malini. Menyingkirlah cepat! Ingat! Aku tak segan-segan membunuhmu kalau kau berani melindungi pemuda keparat ini!" gertak Hantu Putih.

"Aku tidak akan menyingkir dari sini! Sekalipun Ayah akan membunuhku!" sahut Malini tegas.

Dewa Arak tersentak kaget mendengar jawaban gadis itu. Benarkah gadis ini bukan orang jahat seperti halnya kedua orang tuanya. Benarkah hanya karena hendak membalas budi, gadis itu rela menentang maut di tangan ayah kandungnya.

Bukan hanya Arya saja, Hantu Putih pun tersentak kaget Selama ini belum pernah, Malini berani menentangnya. Tapi sekarang? Benarkah putrinya melakukan semua ini untuk membalas budi pemuda itu? Hantu Putih tidak percaya. Laki-laki bergigi tonggos itu adalah seorang yang telah kenyang makan garam, maka dia pun segera tahu

"Hhh...!"

Hantu Putih mendesah pelan. "Baiklah, Ayah mengalah. Ayah tidak akan membunuh pemuda ini."

"Terima kasih, Ayah," ucap Malini gembira.

Wa­jahnya berseri-seri. Segera dia berlari memeluk tubuh Hantu Putih itu. Laki-laki bergigi tonggos itu pun balas memeluk putrinya. Diusap-usapnya rambut hitam, tebal, dan indah putrinya penuh kasih sayang. Memang Hantu Putih kejam dan keji bukan main. Tapi, itu ha­nya terhadap orang lain. Terhadap putri tunggalnya, tokoh hitam ini sayang bukan main. Sejahat-jahatnya seekor harimau toh tidak akan memakan anaknya sendiri! Begitu pula Hantu Putih.

"Tapi ingat, Malini. Permintaanmu hanya kali ini saja Ayah kabulkan. Apabila kelak pemuda ini berani menentang lagi, Ayah tidak akan mengampuninya lagi. Kau mengerti?!"

"Mengerti, Ayah," sahut gadis berbaju biru muda itu sambil menganggukkan kepalanya.

Hantu Putih melepaskan pelukannya.

"Ayah akan pergi dulu, Malini. Malam ini juga semua dendam akan Ayah tuntaskan...! Kau mau ikut?"
"Aku menyusul belakangan saja, Ayah," tolak Malini halus.
"Baiklah kalau begitu."

Setelah berkata demikian, Hantu Putih melesat dari situ. Tujuannya sudah jelas Kadipaten Malaya Tempat berkumpul musuh-musuhnya!

Malini memandangi hingga bayangan tubuh ayah nya lenyap di kejauhan. Baru setelah itu dialihkan pandangannya ke arah Dewa Arak.

"Kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Malini," ucap Dewa Arak pelan.

Malini tersenyurn manis.

'Tidak usah berterima kasih. lngat, kau pun pernah menolong kami, bukan? О ya, dari mana kau tahu namaku? Namamu sendiri siapa?" berondong ga­dis berpakaian biru muda itu.

"Aku Arya Aku tahu namamu dari Singa Hitam," sahut Dewa Arak memberitahu. Suaranya masih pelan,
karena rasa lemas yang amat sangat masih melanda dirinya .

"Singa Hitam?" ulang Malini dengan alis berkerut. "Dia adalah salah seorang dari musuh besar keluargaku! Kau... bercakap-cakap dengan dia...?"

"Ya," jawab Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya. "Bahkan aku telah menyanggupinya untuk membawa orang tuamu hidup atau mati pada mere­ka!"

"Kau?!" sentak Malini tak percaya.

"Maafkan aku, Malini. Tapi, orang tuamu sangat berbahaya. Mereka selalu menimbulkan keonaran dan bencana. Kali ini mayat-mayat hidup..!"

Wajah Malini memucat.Bingung hatinya melihat pemuda yang dicintainya ternyata bermusuhan dengan orang tuanya.

"Arya...."
"Ada ара, Malini?" tanya Dewa Arak ketika me­lihat gadis itu sepertinya ragu meneruskan ucapannya.

"Ng..., bagaimana kalau kita lupakan saja semua masalah ini. Kita pergi jauh... ke tempat yang tidak akan ada orang yang mengusik...."

"Ара maksudmu, Malini?" tanya Dewa Arak. Jantungnya dirasakan berdebar tegang. Ucapan gadis itu benar-benar sukar untuk dimengertinya.

Wajah Malini yang sudah merah jadi semakin memerah. Nampak jelas kalau gadis berpakaian biru ini merasa berat sekali untuk mengatakannya.

"Ng..., kau.... Apakah kau... nggg..., tidak menyukaiku?" tanya Malini terputus-putus seraya menunduk-
kan kepalanya.

"Kau aneh, Malini. Siapa sih orang yang tidak suka pada seorang gadis yang cantik jelita sepertimu?"
sahut Dewa Arak.

Wajah Malini bereeri-seri mendengar jawaban ini.

"Jadi..., kau... menclntalku...?"

Dewa Arak tersentak bagai disengat kalajengldng.

"Maafkan aku, Malini. Bukarmya aku bermaksud menyakiti hatimu... terus terang kukatakan..., aku ha­nya menyukai. Bukan mencintai. Aku... aku sudah mempunyai tunangan...!"

Terdengar suara isak tertahan dari kerongkongai Malini. Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat meninggalkan Dewa Arak. Gadis ini merasa malu bukan main. Betapa tidak? Dewa Arak yang dikira mencintai dirinya, ternyata menolak cintanya.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas dalam. Ada perasaan kasihan terhadap Malini. Arya sendiri sudah merasakan, betapa tidak enaknya cinta yang tidak terbalas. Oleh karena itu, dapat dirasakan kepedihan gadis berpakaian biru muda itu.

Namun perasaan itu segera terusir jauh-jauh begitu teringat olehnya bahaya yang tengah mengancam banyak orang di Kadipaten Malaya. Tapi, ара yang dapat diperbuatnya? Tenaga dalamnya sendiri lenyap entah ke mana? Bagaimana mampu mencegah semua itu? .

Mendadak Dewa Arak teringat pada gurunya. Ti­dak ada jalan lain. Dia harus minta pertolongan pada Ki Gering Langit! Dengan susah payah, Arya bangkit berdiri. Kemudian disebutnya nama gurunya tiga kali, lalu dihentakkan kakinya ke tanah.

Ajaib! Tiba-tiba saja di hadapan Dewa Arak telah berdiri kakek berpakaian putih bersih itu .

"Ada keperluan apakah, Arya? Sehingga kau memanggilku? Ah...! Kau bertempur lagi dengan lawanmu yang dulu itu, Arya?" tanya Ki Gering Langit ketika melihat keadaan Dewa Arak.

"Benar, Guru. Aku bertempur lagi dengan orang itu." Kemudian Dewa Arak pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya.

Ki Gering Langit menggeleng-gelengkan kepala setelah Dewa Arak menyelesaikan ceritanya.

"Benar-benar ilmu iblis," gumam kakek berpakai­an putih itu pelan. "Sayang sekali, Arya. Aku sudah tidak mungkin lagi untuk ikut campur dalam urusan ini. Tapi, aku dapat memberi petunjuk padamu, untuk
menghadapi lawanmu."

'Terima kasih atas kesediaan Guru memberi pe­tunjuk," jawab Dewa Arak penuh hormat.

"Mayat-mayat itu ada yang menggerakkannya, Arya. Selama si penggerak itu masih hidup, serbuan mayat-mayat itu akan terns saja ada. Hancurkan si penggerak. Dan mayat-mayat itu akan mati sendiri tanpa kau membunuhnya." Setelah berkata demikian, kakek berpakaian putih itu memegang tangan Arya dengan tangan kirinya Sementara tangan kanannya menuding lurus ke arah Utara.

Aneh bukan main! Kini sepasang mata Dewa Arak dapat melihat seorang wanita setengah tua berpakaian merah mengenakan cadar hitam di wajahnya. Wanita tua itu tengah duduk bersila di dalam gua yang sekelilingnya bertebaran mayat-mayat manusia. Sedangkan di depan gua itu terdapat sebatang pohon pepaya berbatang dua.

Semua itu teriihat jelas oleh Dewa Arak seperti dia melihatnya dari dekat.

"Wanita itu tinggal di Bukit Gendari," ucap Ki Gering Langit lagi sambil melepaskan pegangannya. Seketika itu juga pandangan yang dilihat Dewa Arak pun lenyap.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Dia bersyukur sekali gurunya mau memberitahu sarang si penggerak mayat-mayat itu Kalau harus mencarinya dulu, entah sudah berapa banyak korban jiwa yang jatuh oleh mayat-mayat itu, sebelum akhimya sarang Hantu Merah itu ditemukan .

"Sekarang kuberi kau pemunah aji 'Tarik Raga', aji 'Tolak Raga', dan aji 'Pantek Raga' milik lawanmu itu, Arya. Sekaligus kupulihkan tenaga dalammu. Berdirilah tegak, Arya. Dan hadapkan wajah, dada dan perutmu ke arahku."

Dewa Arak patuh mengikuti perintah itu. Ki Gering Langit menatap wajah muridnya dulu sejenak. Lalu jari-jari tangannya mengepal, sedikit menyentak seperti mengambil sesuatu kemudian menggenggamnya. Se­telah itu tangan yang mengepal itu dibawanya ke de­pan mulutnya. Lalu....

"Puuuhhh...!"

Berbareng dengan dibukanya kepalan tangannya, mulut Ki Gering Langit bergerak meniup. Hampir Dewa Arak berteriak kaget ketika merasakan seluruh bulu-bulu di tubuhnya berdiri semua. Dan begitu keadaan bulu-bulu di sekujur tubuhnya Itu kembali normal. Arya merasakan tubuhnya kembali segar. Bahkan di atas pusamya kini sudah kembali timbul hawa hangat yang berputaran. Tenaga dalam miliknya .

"Arya...."
"Ya, Guru ..."

"Aku telah memberikan pemunah ilmu-ilmu la­wanmu ke dalam tubuhmu. Bila lawanmu menyerang dengan hentakan kaki pada tanah. Kau juga harus ikut menghentakkan kakimu. Kau tahu, Arya. Begitu lawan menghentakkan kaki, kekuatan ilmunya merambat melalui perantara tanah. Nah, kalau kau ikut menghen­takkan kakimu, pemunah ilmu lawanmu pun meram­bat melalui tanah. Sehingga sebelum pengaruh ilmu lawanmu sempat mencapaimu, di tengah jalan sudah punah ditahan penangkalnya. Kau paham?"

"Paham, Guru," jawab Dewa Arak mengangguk­kan kepala.

"Nah, jika lawanmu kau lihat akan menggunakan ilmu tarik dan tolak, kau harus buru-buru menekan perutmu sekali, kemudian kau guratkan ujung kakimu ke tanah arahnya mendatar. Itu maksudnya adalah benteng. Begitu lawan akan menarik atau menolak tubuhmu, pengaruh ilmunya akan tertahan oleh garis yang kau buat Kau mengerti, Arya."

Kembali Dewa Arak mengangguk.

"Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk pergi, Arya. Dan bila tidak ada hal yang mendesak, kau tidak perlu mamanggilku."

"Akan kuingat semua nasihatmu, Guru ," sahut Dewa Arak sambil menundukkan kepalanya.

Ki Gering Langit tersenyum mendengar jawaban muridnya. Sesaat kemudian tubuhnya sudah lenyap tanpa bekas.

Dewa Arak menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub. Так bisa dibayangkan ketinggian ilmu yang dimiliki gurunya. Tapi, Arya tidak bisa berlama-lama termenung. Ratusan bahkan ribuan orang tengah menunggu pertolongannya. Мака Dewa Arak pun segera melesat menuju ke arah tadi Hantu Putih dun mayat-mayat tadi menuju.

Dewa Arak berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meiingankan tubuhnya. Pemuda berambut puti keperakan ini memang berusaha untuk tiba di Kota Kadipaten Malaya secepat mungkin. Meskipun begitu Dewa Arak menyadari bahwa tidak mungltin baginys untuk mencegah timbulnya korban lebih banyak.

Arya semakin mempercepat larinya begitu melihat dua sosok tubuh berpakaian prajurit, tergeletak di perbatasan Kota Kadipaten Malaya.

Beberapa saat kemudian, Istana Kadipaten Malaya pun sudah terlihat Dan seperti yang sudah diduganya, di sini terjadi pertempuran yang mengerikan. Para prajurit Kadipaten Malaya yang dibantu para pendu­duk, tampak tengah bertempur menghadapi serbuan mayat-mayat hidup.

Dewa Arak tak mau membuang-buang waktu lagi.Segera diambil guci yang tersampir di punggungnya.kemudian segera dituangkan arak ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh Dewa Arak telah melesat ke arah pertempuran.

Memang menggiriskan sekali sepak terjang Dewa Arak! Setiap kali tangan, kaki, atau gucinya bergerak, pasti ada sesosok mayat yang roboh ke tanah, dan tak bangkit lagi. Karena kepala mayat itu telah pecah berantakan.

Memang Dewa Arak yang telah tahu kelemahan mayat-mayat hidup itu, selalu mengarahkan setiap serangan tangan, kaki, atau gucinya ke arah tepala.

Dalam waktu yang tak berapa lama saja, puluhan mayat-mayat itu telah bergeletakan di tanah dan tidak bangkit lagi. Mayat-mayat hidup yang gerakannya lambat itu tak mampu menghadapi Dewa Arak yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa!

Melihat betapa pemuda yang baru tiba ini, begitu mudah membuat mayat-mayat hidup itu tidak bangkit kembali, semangat para prajurit dan penduduk pun bangldt! Mereka yang tadinya sudah putus asa dan lelah, mendadak bangkit kembali tenaganya.

Selagi bertarung, sepasang mata Dewa Arak ber­gerak liar ke sana kemari mencari-cari Hantu Putih. Akhirnya laki-laki bergigi tonggos itu terlihat juga olehnya. Hantu Putih itu nampak tengah bertarung sengit menghadapi pengeroyokan jago-jago istana kadipaten yang dibantu oleh beberapa tokoh rimba persilatan. Walaupun para pengeroyoknya berjumlah delapan orang, tokoh sesat itu masih tetap dalam posisi mendesak.

Beberapa sosok tubuh tampak telah berge­letakan di tanah. Dewa Arak mengenai beberapa orang di antara mereka. Singa Hitam dan Gada Pencabut Nyawa yang merupakan orang tersakti di antara para pengeroyok itu, nampak selalu mendapat desakan yang hebat.

Dewa Arak telah mengetahui kepandaian yang di miliki Hantu Putih itu memang tinggi. Tapi yang membuat laki-laki bergigi tonggos itu sukar ditaklukkan adalah karena kehebatannya yang mampu menggabungkan antara ilmu silat dengan ilmu sihir.

Derrr!

Tiba-tiba Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga, salah seorang jago istana yang menjadi sasaran aji 'Pantek Raga' Hantu Putih Itu terpaku kaku di tanah. Tubuh laki-laki bergigi tonggos itu pun melesat cepat ke arahnya. Tangan kanannya menyampok keras ke arah pelipis.

Plakkk! "Akh...!"

Suara pekik tertahan terdengar. Disusul dengar robohnya jago istana itu dengan pelipis pecah.

Dewa Arak yang melihat kejadian ini sadar, kalau dia tidak cepat turan tangan, sudah dapat dipastikan sepak terjang Hantu Putih akan berhasil membinasakan semua lawan-lawannya.

"Ha ha ha...!" Hantu Putih tertawa bergelak. "Sekarang kalian rasakan pembalasan dendamku!"

Tapi senyumnya kontan lenyap begitu melihat sesosok bayangan berkelebat, disusul dengan muncul- nya seorang pemuda berambut putih keperakan di arena pertempuran.

"Kau lagi?!" sentak laki laki bergigi tonggos ini geram. "Jangan harap kali ini kau akan kuampuni lagi !!"

Orang yang tak lain adalah Dewa Arak itu tersenyum getir.

"Hantu Putih, kejahatanmu sudah melampaui batas! Orang sepertimu tidak patut dibiarkan hidup di muka bumi ini!" tegas Arya.

"Kaulah yang akan kubunuh, keparat!"

Setelah beikata demikian, Hantu Putih melambaikan tangannya. Tapi, Dewa Arak yang sejak tadi memang sudah bersikap waspada, segera mengeraskan perutnya. Kemudian mengguratkan garis mendatar.

"Heh?!" Hantu Putih berseru kaget ketika merasa­kan ada sesuatu yang tidak tampak membuat tangan­nya yang bergerak melambai jadi tertahan. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengulanginya lagi. Tapi seperti kejadian sebelumnya, tetap saja, tangan­nya yang hendak melambai itu jadi tertahan.

Hantu Putih menggeram keras. Kali ini tangannya bergerak mengibas. Tapi kembali tangannya yang hendak mengibas itu terhenti di tengah jalan. Kini laki-laki bergigi tonggos ini pun sadar, ternyata pemuda berambut keperakan ini, telah memiliki penangkal ilmunya.

Dewa Arak tersenyum lebar. Sungguh tidak disangkanya hanya dengan gerakan yang begitu sederhana , dia bisa membuat ilmu Hantu Putih yang luar biasa itu menjadi lumpuh tak berdaya. Dalam hatinya, Dewa Arak memuji kesaktian gurunya!

Sementara itu, Singa Hitam dan beberapa tokoh persilatan lainnya menjadi gembira melihat kemunculan Dewa Arak. Apalagi, jelas teriihat oleh mereka kalau pemuda itu mampu menghadapi lawannya. Ма­ка mereka pun memutuskan untuk membiarkan pemu­da berambut putih keperakan itu bertarung meng­hadapi Hantu Putih sendirian. Tokoh-tokoh rimba persilatan itu, bersama jago-jago istana lalu terjun dalam pertarungan menghadapi mayat-mayat hidup.

Kini Hantu Putih sadar bahwa tidak mungkin lagi menggunakan ilmu tolak dan tarik pada Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu telah memiliki penangkalnya. Kini tinggal pada satu ilmunya saja harapannya tertumpu, aji 'Pantek Raga'!

"Hih...!"
Derrr!

Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah. Tapi, Dewa Arak yang memang berwaspada sejak tadi, buru-buru menghentakkan kakinya pula.

Derrr!

Ajaib! Kini tidak dirasakannya lagi, kekuatan tidak tampak yang menekannya kuat ke tanah. Ki Gering Langit benar! Jerit hati Arya gembira. Hentakan kald lawan telah dapat dipunahkannya!

"Arrrggghhh...!"

Hantu Putih meraung keras. Raung keputus asaan. Kini dia tidak mempunyai satu pun ilmu andalan lagi yang dapat dipakai untuk menghadapi Dewa Arak Padahal dalam hal ilmu silat, dia bukan tandingan pemuda berambut putih keperakan yang luar biasa itu.

Tapi, Hantu Putih adalah seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia tahu kalau Dewa Arak hanya memiliki ilmu-ilmu yang khusus untuk menangkal ilmunya saja, dan sama sekali tidak mempunyai kekuatan menyerang. Tinggal dicarinya kesempatan untuk melancarkan ilmunya pada saat yang tepat Di saat pemuda itu lengah.

Kini Hantu Putih menghadapi Dewa Arak dengan ilmu silatnya. Tapi, berbeda dengan pertarungan sebelumnya, kini sampai puluhan jurus lamanya per­tarungan masih tetap berimbang. Hal ini terjadi karena Dewa Arak selalu bersikap waspada. Pemuda ini tidak mau terlalu bemafsu mendesak sampai akhimya lupa, dan lawan menyarangkan serangan ilmunya tanpa dia sempat menangkalnya.

Hantu Putih menjadi geram bukan main melihat sikap hati-hati Dewa Arak. Berkali-kali, ilmu tarik, tolak, dan pantek yang dikirimkannya gagal, karena Dewa Arak selalu cepat menangkalnya.

Pertarungan antara kedua orang sake ini jadi terlihat aneh. Beberapa kali, sewaktu Dewa Arak sedang mulai mendesaknya, Hantu Putih menghentak­kan kakinya ke tanah, dan Dewa Arak pun secepat itu pula menghentakkan kakinya ke tanah. Menghentikan desakannya terhadap laki-laki bergigi tonggos itu untuk sementara.

Terikadang pula sewaktu Dewa Arak tengah men­desak lawannya agak gencar, Hantu Putih mengibas­kan tangannya. Мака terpaksa buru-buru Dewa Arak mengeraskan perutnya sambil tak lupa mengguratkan kakinya. Terpaksa Dewa Arak pun menghentikan desakannya.

Dan karena Kulah sampai lebih dari seratus jurus, pertarungan masih berlangsung begitu-begitu saja Dewa Arak mampu mendesak lawannya, tapi tetap tak mampu mengalahkan .

Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak menjadi jenuh. Disadari kalau dia tidak berara mengambll resiko, sampai kapan pun pertempuran mereka akan terus begitu-begitu saja. Otak Dewa Arak pun beiputar mencari cara untuk mengalahkan lawannya.

Sesaat kemudian, Dewa Arak pun sudah menemukan sebuah siasat Мака buru-buru disampirkan gucinya di punggung.

"Hiyaaa...!"

Kembali untuk ke sekian kalinya Dewa Arak merangsek lawannya. Mendesaknya dengan serangan-serangan mematikan. Tentu saja hal ini, membuat Hantu Putih yang memang sejak tadi sudah terpepet menjadi kian terpojok.

Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, laki-laki bergigi tonggos ini, kemudian menghentakkan kakinya.

Derrr!

Tapi, Dewa Arak memang sudah memperhitungkan hal Itu. Мака begitu dilihatnya Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah, secepat Itu pula tu­buhnya melompat Dan tepat ketika aliran aji 'Pantek Raga' tiba di tempat tadi Dewa Arak berdiri, Arya telah tidak berada di situ lagi, tubuhnya telah berada di udara. Мака, hentakan aji 'Pantek Raga' tidak berarti вра-ара karena Dewa Arak tidak berada di tanah

"Hiya...!"
Wuuuttt..!

Dewa Arak mengayunkan tangannya ke arah pelipis laki-laki bergigi tonggos itu.

Hantu Putih kaget bukan main. Tokoh hitam ini memang tidak menyangka akan teijadi hal seperti ini. Menurut perkiraannya, pasti Dewa Arak akan balas menghentakkan kaki untuk memunahkan serangannya atau bisa jadi malah tidak sempat, karena terlalu menggebu-gebu dengan serangannya. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya tatkala mengetahui dugaannya meleset

Plakkk!
"Aaakh...!"

Hantu Putih berteriak melengking panjang ketika pukulan Dewa Arak tidak sempat dielakkannya lagi. Seketika itu juga pelipis salah seorang dari Sepasang Hantu ini retak. Darah menyembur keluar dari hidung, mulut, dan telinga. Tubuhnya terlempar jauh dan kemudian ambruk di tanah. Menggelepar-gelepar sejenak untuk kemudian diam tidak bergerak lagi.

Dewa Arak memperhatikan lawannya sejenak. Untuk memastikan apakah Hantu Putih Itu telah tewas. Baru kemudian setelah diyakininya tokoh yang memi­liki ilmu hitam mengerikan itu telah tewas, ditinggalkannya tubuh yang tergolek tidak bergerak lagi itu. Terjun ke arena pertarungan, membasmi mayat-mayat hidup! .

Tak lama kemudian mayat-mayat hidup itu pun habis .

Memang sebenarnya mayat-mayat itu tidak punya kepandaian apa-apa, kecuali kekuatan tubuh dan tenaga yang luar biasa. Bagi seorang yang memiliki ilmu silat cukup tinggi mereka bukan lawan yang cukup berarti. Gerakan mereka terlalu lambat .

***

Adipati Janati, yang menjadi adipati di Kadipaten Malaya, yang sejak tadi memperhatikan semua jalannya pertempuran, segera menghampiri Dewa Arak.

"Terima kasih atas semua bantuanmu, Anak Muda. Tanpa bantuanmu munglan kami semua sudah menjadi mayat," ucap Adipati Janati. Sepasang mata­nya merayapi wajah Dewa Arak penuh kagum. Me­mang adipati ini kagum bukan kepalang pada Dewa Arak. Seorang diri saja mampu membunuh Hantu Putih yang telah diketahuinya memiliki kepandaian silat tinggi, di samping ilmu hitamnya yang mengerikan!

"Ah, bukankah memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu pada yang membutuhkan, Gusti Adipati?" sahut Dewa Arak merendah.

"Ha ha ha...! Kau benar, Anak Muda. О у a, kalau boleh kutahu siapa namamu? Dan ара tujuanmu kemari? Apakah kau ingin mencari pekerjaan? Tinggal bilang saja padaku, jabatan ара yang kau inginkan!"

Dewa Arak merapatkan kedua tangan di ujung hidung seraya membungkukkan tubuhnya sedikit

"Hamba bernama Arya, Gusti Adipati. Seorang pengelana. Ke mana langkah kaki hamba membawa ke situlah hamba pergi. Jadi, maafkan hamba yang tidak bisa menerima anugerah Gusti." Adipati Janati mengulapkan tangannya.

"Lupakanlah, Arya."
"Kalau begitu, hamba mohon diri, Gusti. Masih ada urusan yang harus diselesaikan," pamit Dewa Arak.
"Silakan, Arya."

Sementara itu, Singa Hitam dan Gada Pencabut Nyawa nampak terkejut melihat Dewa Arak terburu burn pergi. Tapi begitu pemuda berambut putih ke perakan itu menceritakan akan menyatroni sarang Hantu Merah, mereka tidak menahan Dewa Arak lebih lama laep. Memang orang seperti Hantu Merah haiut segera dilenyapkan selama-lamanya. Kalau tidak dia akan terus mencari korban.

Bahkan tatkala Adipati Janati mendengar bahwa Dewa Arak akan menuju Bukit Gendari, segera dihadiahkannya Aiya seekor kuda yang kuat dan memffiki kemampuan lari cepat .

Dewa Arak yang memang membutuhkan seekor kuda tunggangan untuk lebih mempercepat perjalanannya, segera saja menerima kuda pemberian Adipati Malaya ini. Memang perjalanan ke Bukit Gendari terhitung jauh. Tapi apabila ditempuh dengan seekor kuda, tidak sampai seperempat hari akan sampai.

Bersamaan dengan munculnya fajar menyingslng, Dewa Arak memacu cepat kudanya menuju Bukit Gendari.

***

Tubuh Dewa Arak melesat ke sana kemari, sesekali ujung kakinya menotol tonjolan-tonjolan batu untuk dapat membantunya cepat tiba di Lereng Bukit Gendari. Sementara kuda pemberian Adipati Janati sudah ditambatkannya di kaki bukit .

Так lama kemudian Dewa Arak sudah berada tak jauh di depan gua yang dicarinya. Kini dilihatnya dengan mata kepala sendiri pohon pepaya berbatang dua. Seperti dipesankan gurunya, Ki Gering langit, Dewa Arak langsung bersikap waspada begitu melihat di luar gua agak kesebelah kanan sedikit berdiri seorang wanita setengah baya, berpakaian serba me­rah. Sebagian wajahnya mulai dari mata, tertutup cadar hitam tipis. Siapa lagi kalau bukan Hantu Merah?

Dari Singa Hitam telah diketahuinya kalau Hantu Merah tidak kalah lihai dibanding Hantu Putih. Мака Arya tidak berani memandang rendah, dan sudah menjadi sifat pemuda berambut putih keperakan ini, tidak pernah memandang rendah orang lain.

Bukan hanya Dewa Arak yang langsung bersikap waspada begitu melihat lawan. Hantu Merah pun demikian pula. Begitu melihat Arya, segera saja ter- ingat akan pemuda yang diceritakan suaminya Мака dia pun bersikap hati-hati.

Dewa Arak melangkah mendekat Так lupa pemu­da ini bersiap-siap apabila lawan tahu-tahu menyerangnya dengan ilmu hitam seperti yang dimiliki Hantu Putih, suaminya.

"Kejahatanmu telah melewati takaran, Hantu Me­rah! Orang sepertimu tidak layak dibiarkan hidup!" sera Dewa Arak keras. "Kau harus segera menyusul suamimu."

"Ара?! Ара katamu?!" jerit Hantu Merah keras.

Memang sejak tadi istri Hantu Putih ini sudah curiga, mengapa suaminya belum juga kembali. Dia tidak percaya suaminya gagal dan tewas. Tapi ucapan Dewa Arak membuatnya kaget bukan main.

"Hantu Putih telah tewas!" ulang Arya lagi mene- gaskan.

Setelah berkata demikian, diambilnya guci arak yang tersampir di punggung Lalu dituangnya arak ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan dari kerongkongan Dewa Arak begitu arak itu melewati tenggorokannya.

"Bohong! Kau bohong! Kubunuh kau, pemuda keparat! Hiyaaa...!"

Hantu Merah murka bukan kepalang. Dan dalam kemarahan yang amat sangat itu, wanita berpakaian merah ini langsung saja mengeluarkan senjata sabuk merah andalannya.

Wut, wut, wut..!

Ujung sabuk itu meliuk-liuk aneh, dan mematuk- matuk seperti seekor ular yang hendak menyambar mangsa. Sesekali terdengar suara ledakan keras begitu ujung sabuk itu melecut di udara.

"Hih...!"

Hantu Merah memekik keras. Ujung sabuk meluncur cepat laksana seekor ular ke arah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini terperanjat kaget Buru-buru dilempar tubuhnya ke belakang.

Tanr...!

Suara ledakan keras terdengar begitu ujung sabuk itu merobek udara.

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Kembali untuk yang ke sekian kalinya Arya tidak bisa menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk mengelakkan serangan itu. Senjata sabuk milik Hantu Merah mem­buat wanita berpakaian merah itu mampu mengirimkan serangan yang tidak terduga-duga! Dan ini menyulitkan Dewa Arak menggunakan jurus 'Delapan Lang­kah Belalang'. Terpaksa kali ini digunakannya jurus 'Belalang Mabuk'.

Tanpa menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', baru terasa oleh Dewa Arak, betapa ilmu 'Belalang Sakti' jadi berkurang kelihaiannya. Memang, kemukjizatan ilmu 'Belalang Sakti' bertumpu pada keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang setiap kali mengelakkan serangan, langsung berbalik mengancam.

Тапт...!
"Hih...!"

Kembali ujung sabuk milik Hantu Merah menyambar deras ke arah pelipis Dewa Arak. Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan ini melompat mundur untuk mengelakkannya. Sungguhpun Arya tahu kalau meng­hadapi lawan yang menggunakan senjata panjang se­perti itu, seharusnya dia memancing lawan untuk bertarung dalam jarak dekat Tapi karena keadaan masih tidak memungkinkan, terpaksa dia melompat mundur.

Tairr...!

Suara ledakan keras kembali terdengar begitu ujung sabuk itu mengenai tempat kosong.

Mendadak Hantu Metah berteriak. Dan tiba-tiba saja sabuk merah di tangannya menegang kaku taksana sebatang tombak. Peristiwa itu teijadi secara mendadak. Dan tidak pernah diduga Arya. Dengan agak gugup diayunkan gucinya menangkis sabuk yang kini sudah setajam pedang!

Klanggg...!

Terdengar suara berdentang nyaring ketika guci Dewa Arak berbenturan dengan sabuk merah yang telah menegang kaku itu. Seketika itu juga sabuk Itu kembali melemas seperti sediakala. Sesaat kemudian kedua orang ini sudah terlibat dalam sebuah pertarung- an sengit.

Setelah beberapa kali menggebrak, Dewa Arak sadar kalau Hantu Merah ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi ketimbang suaminya. Baik dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh, wanita bercadar hitam ini masih lebih unggul!

Tapi meskipun demikian, tetap saja wanita ini bukan tandingan Dewa Arak. Baik dalam hal ilmu me­ringankan tubuh, maupun tenaga dalam, Dewa Arak masih lebih unggul daripada lawannya. Apalagi setelah beberapa saat kemudian Arya mulai dapat menemukan cara untuk bertarung dalam jarak dekat, senjata sabuk Hantu Merah pun kehilangan keampuhannya.

Setelah lewat tujuh puluh jurus bertarung, pelahan namun pasti Dewa Arak mulai dapat mendesak lawan­nya. Diam-diam seraya terus mendesak, benak Dewa Arak berpikir keras. Apakah Hantu Merah ini tidak memiliki ilшu-ilmu aneh seperti yang dimiliki suami­nya? Padahal sejak tadi, pemuda berambut putih ke­perakan ini sudah bersiaga. Sepasang matanya tak lepas mengawasi kaki dan tangan wanita berpakaian merah itu.

Kembali lima belas jurus berlalu cepat Dan keadaan Hantu Merah semakin terjepit Sabuk di tangannya kini tidak lagi dapat bergerak leluasa karena jarak mereka sangat dekat Kini wanita berpakaian merah ini hanya dapat menggunakan sabuknya setelah terlebih dulu melipatnya. Senjatanya itu kini lebih sering digunakannya untuk mengibas!.

Tengah sibuk-sibuknya Dewa Arak mendesak, pendengarannya menangkap sebuah suara. Suara yang cukup dikenalnya. Suara Hantu Merah.

"Tataplah mataku, Anak Muda...."

Dewa Arak terperanjat kaget ketika merasakan kepalanya bergerak ingin menuruti perintah Itu. Ada tenaga aneh tapi kuat yang mendorongnya berbuat itu. Suara itu menyelusup ke seluruh pembuluh darahnya. Tapi, Dewa Arak berusaha untuk tidak menghiraukannya.

" Tataplah mataku, Anak Muda...."

Kembali suara bemada memerintah itu terdengar lagi. Kali ini getaran yang terkandung di dalamnya lebih kuat Dan begitu pula yang dirasakan Dewa Arak.Tanpa sadar seraya melakukan serangan, kepalanya ditolehkan ke arah wajah Hantu Merah, dan sepasang matanya menatap ke arah mata wanita berpakaian merah itu.

Dan inilah kesalahan Dewa Arak. Begitu sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata Hantu Me­rah.

Seketika itu pula pandangan mata pemuda berambut putih keperakan ini terpacak di sana. Betapapun Dewa Arak berusaha untuk mengalihkan pan­dangan matanya, tetap saja tidak mampu. Dengan sendirinya, serangannya pun terhenti seketika.

"Tataplah mataku, Anak Muda.... Tataaap...!" seru Hantu Merah dengan nada suara bergetar. Sengaja wanita berpakaian merah ini mengulang-ulang kata itu. Seorang yang memiliki kepandaian seperti pemuda berambut putih keperakan ini, tidak boleh dianggap enteng. Sekali pemuda ini berhasil lolos dari jerat ilmu sihimya. Так akan bisa lagi ditaklukkannya.

"Kini seluruh tubuhmu terasa lemas, Anak Muda. Lemas...! Lemaaas sekali...!" sambung Hantu Merah lagi. "Tenagamu pun lenyap...! Lenyap ....!"

Hebat akibatnya! Dewa Arak merasakan lemas yang amat sangat menyelimuti seluruh tubuhnya. Ара yang dikatakan Hantu Merah itu benar-benar dirasakannya. Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap entah ke mana!

"Kakimu terasa lumpuh..., lumpuuuh...!"

Sepasang kaki Dewa Arak tiba-tiba oleng. Seketika itu juga tubuhnya limbung. Dan kemudian jatuh terduduk di tanah tanpa daya.

"Kau akan terus seperti itu, Anak Muda. Terus seperti ituuu... teruuusss selama aku belum menyuruhmu bangkit!"

Setelah berkata demikian, Hantu Merah mengambil sebatang pedang.

Srattt..!

Sinar terang berkilat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Kemudian dengan langkah hati-hati dihampirinya Dewa Arak. Sudah bulat tekadnya untuk membunuh pemuda berambut putih kepe­rakan ini dan mengambil jantungnya untuk dimakan mentah-mentah sebagai balas dendam atas kematian suaminya.

Tapi sewaktu jarak antara Hantu Merah dengan korbannya tinggal dua tombak lagi, berkelebat sesosok bayangan biru. Sesaat kemudian di antara Hantu Merah dan Dewa Arak, berdiri seorang wanita canflk berpakaian biru muda, yang tak lain dari Malini.

"Mengapa kau menghadang di depanku, Malini?!" tanya Hantu Merah heran. "Menyingkirlah...! Pemuda keparat ini telah membunuh ayahmu! Biar kubelah dadanya dan kumakan jantungnya sebagai hukuman atas kelancangannya membunuh ayahmu!"

Malini menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Ibu. Jangan lakukan itu. Aku mohon... jangan bunuh dia...," ucap gadis berpakaian biru muda ini gemetar.

Seketika wajah Hantu Merah menjadi beringas."Menyingkirlah, Malini! Menyingkirlah...!"

" Tidak, Ibu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membunuhnya...."

Terbelalak sepasang mata Hantu Merah mende- ngar ucapan anaknya itu.

"Anak dungu! Rupanya kau mencintainya, ya? Kalau begitu, lebih baik kau mampus bersamanya!"

Setelah berkata demikian, terdorong oleh pera­saan amarah yang menggelegak, wanita berpakaian merah ini menusukkan pedangnya ke tubuh Malini.

Wut..! Blesss...!
"Akh...!"

Malini memekik tertahan ketika pedang yang ditusukkan ibunya, menghunjam dalam di perutnya hingga tembus ke punggung. Darah muncrat seketika.

Tentu saja Hantu Merah yang sama sekali tidak menyangka kejadian ini jadi terpaku di tempatnya. Sungguh sangat di luar dugaannya kalau anaknya itu sama sekali tidak mengelakkan tusukan pedangnya .

"Malini..!" jerit Hantu Merah histeris, tatkala melihat tubuh anaknya roboh ke tanah berlumuran darah.

"Semua ini gara-garamu, Keparat!" desis Hantu Merah tajam seraya berpaling menatap Dewa Arak. Sepasang matanya memancarkan sorot kebenglsan. "Mampuslah kau! Hiyaaa...!"

Dengan amarah yang meluap, ditusukkan pedang­nya ke arah leher Dewa Arak.

Tapi ketika serangan pedang itu tinggal beberapa jengkal lagi dari leher Dewa Arak, mendadak pemuda
berambut putih keperakan ini mengeluarkan suara pekik melengking nyaring. Keras bukan main.

Suara pekik yang keluar dari mulut Dewa Arak memang dahsyat! Seketika itu juga Hantu Merah yang tengah merangsek maju, menggigil seluruh tubuhnya. Pedangnya pun terlepas dari pegangan, dan jatuh di tanah.

Di saat itulah, Dewa Arak yang akhirnya berhasil membebaskan diri dari kungkungan sihir dengan suara pekiknya tadi, melesat menerjang Hantu Merah. Tu­buhnya melompat Dan seketika itu juga, dilancarkan satu kibasan kaki yang dilakukan sambil memutar tubuh, selagi berada di udara.

Wusss...! Plakkk!
"Aaakh...!"

Hantu Merah menjerit memilukan. Tubuhnya terlempar jauh seketika dengan nyawa yang sudah ter­lepas dari tubuhnya. Kepalanya hancur terkena ki­basan kaki Dewa Arak.

Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh wanita berpakaian merah ini menghantam tanah . Dewa Arak bergegas menghampiri tubuh Malini yang terkapar diam di tanah, dengan dada berlumuran darah.

Robohnya Malini dengan dada berlumuran darah itulah yang membuatnya terkejut, dan tersadar dari pengaruh kungkungan ilmu sihir Hantu Merah. Dan langsung mengeluarkan suara jerit melengking nyaring.

Memang jauh di lubuk hati Dewa Arak ada perasaan kasih terhadap gadis berpakaian biru muda ini Wajah, dan sorot mata gadis itu seperti menyembunyikan kedukaan mendalam. Kalau saja tidak ada Melati, yang telah lebih dulu mengisi lubuk hatinya, mungkin Arya bisa tertarik pada Malini.

"Malini...," panggil Dewa Arak pelan begitu dirasa- kannya masih ada detak-detak jantung gadis itu, sungguhpun sangat lemah sekali.

Pelahan-lahan bulu mata lentik dan iridah yang sudah terpejam itu kembali terbuka.

"A... Ar... Aiya?" tanya gadis berpakaian biru muda itu tak percaya.

Sesak dada Dewa Arak oleh perasaan haru yang mendalam. Sepasang mata gadis itu sudah hampir ti­dak bersinar lagi. Arya tahu tak lama lagi Malini akan meninggal, luka-luka yang dideritanya sangat parah.

"lya..., ini aku, Malini...," sahut Dewa Arak ta­ngan suara serak.

"Ar... ya..., maukah... kau memenuhi... permin%- an terakhirku...?" tanya Malini lemah dan teiputus- putus.

"Katakanlah, Malini. Aku berjanji akan memenuhinya," jawab Dewa Arak tanpa pikir panjang lagi. Sebab Arya pun merasa berhutang budi pada gadis ini. Tanpa adanya Malini, mungkin dia sudah tewas sejak tadi. Sudah dua kali gadis ini menolongnya dari maut!

"Aku... aku ingin mati... dalam pelukanmu, Arya."

Sesaat Dewa Arak tersentak. Tapi sekejap kemu­dian sudah bisa menguasai perasaannya kembali. Diangkatnya tubuh gadis itu. Kemudian tanpa mempedulikan darah yang mengalir deras dari luka lebar di dada Malini mengotori pakaiannya, dipeluknya tubuh itu.

Bahkan pelahan dikecupnya kening gadis itu. Sementara Malini pun melingkarkan tangannya di leher Dewa Arak.

"Aku menyayangimu, Malini," bisik Arya di telinga gadis itu.

"Terima kasih, Arya," ucap Malini.

Dan sehabis ucapannya itu selesai, pelukan tangan gadis itu pada leher Dewa Arak pun terlepas. Kepalanya terkulai. Gadis itu pergi selama-lamanya dengan senyum di bibir.

Keinginannya untuk meninggal dalam pelukan orang yang dicintainya ternyata terkabul.

Dewa Arak tahu kalau gadis yang dipeluknya telah fiada. Segera pemuda berambut putih keperakan inl bftigkit berdiri. Kemudian dibopongnya mayat Malini meninggalkan tempat itu. Akan dicarikan tempat yang teduh, sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi gadis yang telah menyelamatkan nyawanya ini.

Pelahan-lahan punggung Dewa Arak pun semakin teriihat mengecil dan mengecil, hingga akhimya lenyap di kejauhan. Masih banyak tugas yang menanti uluran tangan Dewa Arak

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar