07 - Rahasia Surat
Berdarah
Seekor kuda coklat melangkah
pelan memasuki Miatasan Desa Rinji yang besar dan ramai. Penunggunya adalah
seorang pemuda berbadan kekar, berwajah keras. Alisnya tebal berbentukgolok.
Usianya sekitartiga puluhtahun.
Mulut pemuda itu berdecak.
Kedua tangannya yang menggenggam tali kekang kuda itu pun digoyang-goyangkan.
Jelas pemuda itu memaksa binatang tunggangannya agar terus berjalan.
Kuda coklat itu memang sudah
terlihat lelah. Nampaknya binatang itu telah menempuh perjalanan jauh dan
melelahkan. Dan itu memang sudah pasti, karena keadaan penunggangnya pun tidak
jauh berbeda dengan tunggangannya. Terlihat lelah. Pakaian dan wajahnya kotor
berdebu.
Laki-laki berwajah keras itu
menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sepasang alisnya yang tebal
berbentuk golok berkerut. Jelas ada sesuatu yang dicarinya. Pandang matanya
liar menatap rumah-rumah yang ada di kanan kirinya. Tak dihiraukannya pandang
mata keheranan dari pendudukyang melihatnya.
Sepasang alis yang berkerut itu
lenyap. Wajah keras itu pun berseri ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah
bangunan besar dan megah. Bangunan ini berhalaman luas dan terkurung pagar
tembok tinggi. Di depan pintu gerbangnya berdiri dengan gagahnya dua orang yang
berjaga-jaga dengan sikap waspada.
"Hooop...!"
Laki-laki berwajah keras itu
menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu gerbang bangunan mewah dan
megah itu. Hanya berjarak tiga tombak di depan kedua penjaga. Tentu saja hal
itu membuat ke dua penjaga memperhatikan laki-laki berwajah keras Itu dengan
sikap penuh curiga."Hup...!"
Dengan sebuah gerakan yang
indah dan manis laki-laki berwajah keras itu melompat dari punggung kudanya.
Ringan tanpa suara, kedua kakinya menjejaktanah.
Kemudian sambil memegang tali
kekang kuda, dituntunnya binatang itu menuju pintu gerbang. Karuan saja
tindakan laki- laki berwajah keras itu membuat penjaga pintu gerbang terkejut.
Serentak keduan melangkah menghadang sambil meraba gagang golok masing-masing.
Bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Mengapa kalian
menghalangi jalanku?!" tanya laki-laki berwajah keras itu. Nada suaranya
mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang
itu saling berpandangan. Sorot mata mereka jelas menyiratkan kebingungan. Tidak
salahkah pendengaran mereka ini?
"Maaf, kalau kami boleh
tahu, siapakah Kisanak? Dan apa maksud Kisanak datang kemari?" tanya salah
seorang penjaga yang berambut coklat, dengan suara meiendah. Teguran laki- laki
berwajah keras itu membuat mereka bersikap hati-hati.
"Kalian tidak mengenalku?
O ya, mungkin kalian orang baru di sini. Apakah kalian pernah dengar nama
Kanulaga?" laki-laki berwajah keras itu balikbertanya.
Wajah kedua penjaga itu
berubah. Mereka sebenamya bukan tergolong orang baru. Sudah sepuluh tahun
mereka bekerja pada pemilik bangunan megah dan mewah itu. Sehingga wajar kalau
keduanya mengenal semua anggota keluarga majikannya. Memang, keduanya pernah
mendengar kalau salah seorang anak majikan mereka yang bernama Kanulaga, pergi
mengembara lima belas tahun lalu. Jadi, laki- laki inikah putra sulung pemilik
rumah mewah dan megah ini? pikir mereka menduga-duga.
Kedua penjaga itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut salah
seorang lagi yang memiliki sebuah tompel di pipi.
"Nah! Akulah
orangnya!" sahut laki-laki berwajah keras itu tegas.
"Ahhh...!" desah
kedua penjaga itu berbareng. Perasaan terkejut yang amat sangat menghiasi wajah
mereka.
"Kalau begitu..., maafkan
kami, Den. Kami tidak mengenal Aden, sehingga bersikap tidak sopan kepada
Aden," ucap keduanya sambil membungkuk hormat.
"Hm...," laki-laki
berwajah keras yang mengaku bernama Kanulaga itu mendengus.
"Menyingkirlah, kalian! Aku ingin lewat..!"
Penjaga yang memiliki tompel
di pipinya segara beringsut menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan yang
berambut coklat. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Den.
Sebelum kami yakin kalau Aden benar-benar Aden Kanulaga, kami tidak bisa
memperkenankan Aden masuk. Maafkan kami, Den Kami tidak ingin terjadi sesuatu
pada diri Tuan Suradiraja."
Si tompel tercekat Ucapan
rekannya menyadarkannya kalau laki-laki berwajah keras itu belum tentu
Kanulaga! Maka dia pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya!
Kanulaga tersenyum.
"Bagus! Aku ingin tahu
sampai di mana kepandaian kalian!" sambut laki laki yang mengaku bernama
Kanulaga. Tali kekang kudanya lalu dilepaskan, kemudian ditepuk-tepuknya leher
kuda coklat itu.
"Menyingkirlah sebentar
Manis," ujar laki-laki berwajah keras itu pelan.
Seperti mengerti ucapan
majikannya, kuda coklat itu mendengus pelan kemudian membalikkan tubuh dan
berjalan meninggalkan tuannya.
Laki-laki yang mengaku bernama
Kanulaga itu kini mengalihkan perhatiannya pada dua orang penjaga di
hadapannya.
"Aku akan masuk ke dalam.
Ingin kulihat apakah kalian mampu menghalangiku...?" ujar laki-laki
berwajah keras itu pelan bernada menantang.
"Maafkan kami, Den. Kami
hanya menjalankan tugas...," sahut si rambut coklat.
Tidak usah banyak basa-basi!
Ayo serang aku!" bentak laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga itu
"Maafkan kami. Den.
Hiyaaa...!"
Penjaga yang memiliki tompel
di pipinya ini lalu menyerang laki-laki yang mengaku bernama Kanulaga. Kakinya
menyambar cepat ke arah wajah dengan sebuah tendangan miring yang keras.
Laki-laki berwajah keras itu
hanya mendengus pelan. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu
hanya mengenai tempat kosong. Sekitar sejengkal di depan wajahnya.
Sebelum si tompel sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak
cepat!
Tappp...!
"Akh...!"
Si tompel memekik kaget
tatkala pergelangan kakinya sudah dicengkeram lawannya.
"Hih...!"
Secepat pergelangan kakinya
tertangkap, secepat itu pula laki-laki berwajah keras itu menyentakkannya. Kuat
bukan main tenaga yang terkandung dalam sentakan itu. Tak pelak lagi, si tompel
terlempar ke atas
Tapi si tompel membuktikan
kalau dirinya bukan-lah orang yang mudah dipecundangi. Tubuhnya berputar di
udara. Dan....
"Hup...!"
Meskipun agak
terhuyung-huyung, namun kedua kakinya berhasil hinggap di tanah. Mulut si
tompel menyeringai, kaki kanannya dirasakan agak sakit. Memang sentakan
laki-laki berwajah keras itu kuat bukan main Tapi si tompel tahu kalau lawan
tak ingin melukainya Dia yakin, seandainya laki-laki ber wajah keras itu mau,
dengan tenaga dalamnya yang kuat itu, tulang pangkal kakinya bisa terlepas!
Bukan hanya tubuhnya saja yang terlempar ke udara!
Penjaga yang berambut coklat
terkejut bukan main. Melihat betapa mudah rekannya dapat dipecundangi laki-laki
berwajah keras itu. Tanpa ragu-ragu la segera dicabut goloknya.
Srattt...!
Sinar terang terpancar begitu
golok pendek be warna putih, keluardari sarungnya!
Wuk, wuk, wuk...!
Si rambut coklat memutar
mutarkan senjatanya depan dada. Angin mengiuk cukup keras, mengiringi gerakan golok
itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan seruan
nyaring melengking golok di tangannya ditusukkan cepat ke perut laki-laki yang
mengaku bernama Kanulaga itu! Tapi, laki-lnl berwajah keras itu bersikap
tenang. Ditunggunya hingga serangan itu mendekat
Dan begitu serangan sudah
dekat, dengan kecepatan yang mengagumkan tubuhnya didoyongkan ke samping kiri.
Sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong, lewat di samping kanan
pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya bergerak menepak.
Plakkk..!
"Akh...!"
Penjaga berambut coklat itu
memekik tertahan. Tepakkan laki-laki berwajah keras itu telakdan keras sekali
menghantam pergelangan tangannya yang menggenggam golok. Tulang- tulangnya
terasa remuk, seketika itu juga, goloknya terlepas dari genggaman
Belum lagi si rambut coklat
sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berwajah keras itu bergerak
menendang ke arah perut.
Bukkk... !
"Hugh...!"
Penjaga yang sial ini mengeluh
tertahan. Tubuhnya langsung terjengkang beberapa tombak ke belakang. Perutnya
dirasakan mules bukan kepalang. Untunglah laki-laki yang mengaku bernama
Kanulaga itu hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Sehingga ia
tidak menderita luka dalam. Hanya rasa mualdan mules melanda perutnya
Melihat penderitaan kawannya,
si tompel yang kini sudah mencabut goloknya, bergerak menyerang. Tapi
gerakannya segera terhenti ketika terdengar suara bentakan keras.
Tahan...!"
Dari dalam pintu gerbang yang
memang terbuka itu bergerak cepat seorang laki-laki setengah baya.
Serentaktiga orang itu menoleh
ke arah laki-laki setengah baya itu.
"Ki Taji...!" seru
orang yang mengaku bernama Kanulaga, memanggil laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu
merandek kaget melihat laki laki yang tadi dilihatnya tengah bertempur dengnn
dua orang penjaga, mengenalnya Memang betul dia bernama Ki Taji. Dia adalah
kepala urusan dalam rumah tangga. Jadi, jarang keluar. Hampir tidk ada
pendudukyang mengenal namanya, kecuali hanya orang-orang yang bekerja pada Tuan
Sudiraja Tapi, yang menjadi pertanyaan baginya, mengapa laki laki berwajah
keras itu mengenalinya?
Bukan hanya Ki Taji saja yang
terkejut Dua orang penjaga pintu gerbang itu pun terkejut Kini keraguan mereka
tentang kebenaran laki-laki berwajah keras ini adalah Kanulaga pupus.
"Siapa kau, Kisanak? Dari
mana kau tahu namaku?" tanya kepala urusan dalam rumah tangga itu setelah
mendekat. Sekujur tubuh laki-laki berwajah keras itu dipandangi penuh selidik.
"Kau lupa padaku,
Ki?" laki-laki berwajah keras itu balik bertanya. Sama sekali tak
dipedulikannya pertanyaan Ki Taji.
Wajah Ki Taji terlihat tegang.
Dahinya pun berkerut-kerut. Jelas kalau laki-laki setengah baya ini tengah
berpikir keras.
"Rasanya..., aku seperti
pernah mengenalmu Kisanak. Wajah dan suaramu sepertinya pernah kukenal "
ucap Ki Taji setengah bergumam.
"Aku Kanulaga,
Ki...!" sahut laki-laki berwajah keras itu menjelaskan.
"Gusti Allah...! Aku
memang benar-benar sudah pikun, sehingga tidak mengenalimu, Den?" pekik Ki
Taji penuh rasa terkejut. Memang sejak berumur lima tahun, Raden Kanulaga akrab
dengan Ki Taji. Pada usia lima belas tahun, Kanulaga pergi meninggalkan rumah
untuk memenuhi kegemarannya, mengembara.
"Beliau adalah Aden
Kanulaga...," ucap kepala urusan dalam rumah tangga itu memberitahu kedua
penjaga pintu gerbang. Kedua penjaga itu termasuk anak buah dari kepala urusan
rumah tangga bagian luar. Hanya saja saat itu, pimpinan mereka itu sedang
keluar.
"Ah...! Kalau begitu,
maafkan kelancangan kami, Den," ucap kedua penjaga itu buru-buru, sambil
membungkuk hormat.
"Lupakanlah. Aku bangga,
kalian berdua telah menjalankan tugas dengan baik," sahut Kanulaga
bijaksana.
Tentu saja kedua penjaga itu
menjadi girang bukan main. Tadi ketika mendengar Ki Taji memanggil pemuda
berwajah keras itu dengan sebutan Kanulaga, mereka menjadi gelisah. Menurut
dugaan mereka, Kanulaga akan menghukum mereka. Lega hari mereka tatkala
mengetahui laki-laki berwajah keras itu sama kali tidak marah atas kejadian
itu.
"Mari, Den. Ayah Aden
sudah lama sekali menunggu kepulangan Aden." ajak Ki Taji sambil menggamit
tangan Kanulaga dan mengajaknya masuk ke dalam.
"Tolong urus kudaku,
Paman," pinta Kanulaga pada kedua penjaga itu.
"Baik, Den," jawab
kedua penjaga itu berbareng.
***
Ruang tengah Itu nampak mewah
dan megah Biasanya ruangan itu kosong. Paling hanya Sudiraja yang duduk
termenung di sana. Tapi kini di ruanga tengah yang mewah dan megah itu, tampak
tiga orang tengah duduk mengelilingi sebuah meja bulat yang indah dan mewah.
"Aku gembira sekali atas
kepulanganmu, Kanulaga. Hampir saja aku mengutus orang-orangku untuk
mencarimu," ucap seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemukdan
berperut gendut. Pakaiannya indah dan mewah. Bulu-bulu halus menghiasi kedua
pipinya.
"Mengapa begitu,
Ayah?" tanya Kanulaga menatapnya wajah laki-laki gendut berpakaian indah
mewah yang ternyata adalah Sudiraja. Laki-laki ber perut gendut yang kini telah
berusia enam puluh tahun itu menarik napas panjang.
"Aku sudah tua, Kanulaga.
Aku sudah lelah mengurus semua usahaku," jawab Sudiraja pelan. Tapi karena
suasana disitu hening, suara laki-laki gendut itu jadi terdengar keras.
"Lho?! Bukankah ada
Jalatara dan Nirmala? Apakah mereka tidak membantu Ayah?" tanya Kanulaga
lagi. Keheranan nampak jelas pada wajahnya. Jalatara dan Nirmala adalah
adik-adik kandung Kanulaga. "Ke manakah mereka, Ayah? Sejaktadi aku tidak
melihat mereka?"
"Hhh...!" Sudiraja
menghela napas panjang. "Beberapa tahun semenjak kepergianmu mengembara,
Jalatara pergi. Kepergiannya sama sekali tidak ada yang tahu. Belakangan baru
kuketahui, bahwa selagi bermain di halaman, ada seorang kakekyang membawanya.
Dan mengajarkannya ilmu- ilmu kesaktin. Kini kudengar dia menjadi salah seorang
pengawal adipati," jelas Sudiraja.
"Lalu, Nirmala ke mana,
Ayah?" tanya Kanulaga
"Nirmala kutitipkan pada
sahabat karibku yang memiliki sebuah perguruan silat Aku tidak ingin anak itu
jadi perempuan yang lemah. Yahhh...! Setidak-tidaknya dia memiliki sesuatu
untuk menjaga dirinya sendiri."
Kanulaga mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti.
"Sudah beberapa bulan ini
aku ingin beristirahat dari kesibukan-kesibukanku, Kanulaga. Kau kan tahu aku
sudah tua. Kesehatanku tidak memungkinkan lagi untuk mengurus semua
usahaku," ujar laki-laki berperut gendut itu menyambung ucapannya.
"Jadi maksud, Ayah?"
tanya Kanulaga lagi. Laki-Iaki berwajah keras ini masih belum mengerti maksud
pembicaraan ayahnya.
"Begini, Kanulaga."
Sudiraja memutuskan untuk mengatakannya secara gamblang dan jelas. "Aku
sudah tua. Harta yang kumiliki berlimpah ruah. Aku tidak ingin sepeninggalku
nanti, kalian gontok-gontokan memperebutkan warisanku. Jadi, sebelum aku
menutup mata, aku ingin membagi semua kekayaanku secera adil. Pamanmu inilah
yang akan menjadi saksinya."
Sudiraja menunjuk seorang
berpakaian hitamdan berkumis lebat yang duduk di sebelahnya.
Kanulaga menolehkan kepalanya,
menatap orang yang diperkenalkan ayahnya sebagai pamannya. Memang laki laki
berwajah keras itu tidak mengenal laki laki berkumis lebat itu. Laki-laki
berkumis lebat yang usianya sekitar lima puluh tahun itu datang ke rumah ini,
setelah dia pergi meninggalkan rumah untuk mengembara.
Laki-laki berkumis lebat
menggerakkan bibirnya sedikit pada Kanulaga. Mungkin laki-laki itu bermaksud
tersenyum. Tapi, Kanulaga tidak dapat menggolongkan gerakan bibiryang hanya
sedikit itu sebagai senyum. Laki-laki berwajah keras ini hanya menganggukkan
kepala sedikit pertanda menghormat. Kanulaga mengalihkan pandangannya ke arah
laki-laki yang diakui Sudiraja sebagai adik bungsunya.
"Kalau boleh kutahu,
siapakah nama Pa man?" tanya Kanulaga.
"Pandira," jawab
laki-laki berkumis lebat itu pendek. Nada suaranya dingin dan datar.
Belum lagi Kanulaga sempat
mengajukan pertanyaan lain kepada orang yang mengaku sebagai pamannya itu,
Sudiraja telah menyelanya.
"Bagaimana,
Kanulaga?" tanya Sudiraja meminta pendapat putra sulungnya itu.
Terserah, Ayah. Aku akan
menurut semua keputusan, Ayah," jawab Kanulaga.
"Kalau begitu, besok akan
kukirim utusan untuk memberitahukan kedua adikmu agar datang ke sini secepatnya,"
ucap Sudiraja memutuskan. Kegembiraan yang besar nampak jelas pada wajahnya.
Sementara Kanulaga hanya diam
saja. Kepalanya menundukkan dalam-dalam. Tapi dari balik bulu mata nya,
sepasang matanya memperhatikan wajah Pandira lekat-lekat .
"O ya, Kanulaga. Ayah
ingin mendengar pengalamanmu selama mengembara. Apa saja yang kau dapatkan
dalam pengembaraanmu selama lima belas tahun ini. Dari Ki Taji, kudengar kau
telah memiliki Ilmu kepandaian tinggi."
Kanulaga mengangkat kepalanya.
"Tidak ada yang istimewa,
Ayah," jawab laki-laki berwajah keras itu pelan.
"Lalu, ilmu kepandaianmu
itu, kau dapatkan dari mana?" desak Sudiraja.
"Dari seorang kakekyang
berkenan mengangkatku sebagai murid."
"Pasti kakek itu memiliki
ilmu kepandaian yang tinggj," sahut Sudiraja lagi. "Aku hampir tidak
mengenalimu tadi, Kanulaga. Wajah dan perawakanmu jauh berubah. Sekarang kau
nampak begitu jantan dan matang. O ya, mungkin kau masih lelah sehabis menempuh
perjalanan jauh dan melelahkan. Biar kupanggil Ki Taji untuk mengurus
kamarmu," ujar Sudiraja seraya bangkit, hendak memanggil Ki Taji.
"Tidak usah, Ayah. Biar
kuurus sendiri. Masih kamar yang dulu kan?" cegah Kanulaga seraya bangkit
dari duduknya.
Sudiraja hanya menganggukkan
kepalanya. Begitu putra sulungnya melangkah menuju kamarnya, dalam mangan itu
tinggal Sudiraja dan adik bungsunya.
***2***
Hari masih pagi. Matahari
belum naiktinggi ketika seekor kuda berpacu cepat memasuki mulut sebuah hutan.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
Si penunggang melecutkan
cemetinya berkali-kali ke arah pantat kuda yang berwarna hitam putih. Nampaknya
si penunggang bermaksud memacu binatang itu berlari lebih cepat lagi.
Debu pun mengepul tinggi ke
udara ketika kaki-kaki kuda itu menapak cepat di tanah berdebu.
Belum jauh kuda itu memasuki
hutan, tiba-tiba terdengar suara mendesing nyaring. Disusul melesatnya sebuah
sinar kemerahan menyambar ke arah binatang itu.
Cappp...!
Telak sekali sinar kemerahan
itu mengenai leher kuda hitam putih itu. Seketika itu juga binatang itu
meringkik keras. Kedua kakinya terangkat tinggi-tinggi ke depan, membuat
penunggangnya terlempar ke atas.
Tapi si penunggang kuda
ternyata bukanlah orang sembarangan. Manis sekali tubuhnya bersalto beberapa
kali di udara kemudian hinggap ringan di tanah.
"Hup..,!"
Tahu kalau ada bahaya
mengancam, begitu sepasang kakinya mendarat di tanah, tangannya cepat
meloloskan sebatang pedang yang tersampir di punggungnya Sepasang matanya
menatap ke arah binatang tunggangannya yang telah tergolektanpa nyawa. Pada
leher binatang itu tertancap sebuah benda dari logam berwarna merah, berbentuk
ekor kalajengking.
Wajah si penunggang kuda
berubah pucat. Sepasang matanya menatap liar ke sekelilingnya. Rupanya orang
itu kenal betul dengan logam berbentuk ekor kalajengking merah itu. Benda itu
adalah senjata khas, Perkumpulan Kalajengking Merah!
Belum lagi penunggang kuda itu
berbuat sesuatu, mendadak melesat sesosok bayangan hitam. Sesaat kemudian sosok
serba hitam itu telah berdiri di hadapan si penunggang kuda. Pada bagian
dadanya terdapat gambar seekor kalajengking merah. Bagian wajahnya tidak
terlihat karena tertutup selubung hitam. Tangan penghadang itu menggenggam
sebatang tongkat panjang merah berujung ekor kalajengking.
"Kau...?! Mengapa
menghadang jalanku? Bukankah majikanku, Tuan Sudiraja tidak pernah lalai
memberikan upeti?" tanya penunggang kuda Nada suaranya terdengar penuh
tuntutan.
"Ha ha ha...! Tidak usah
banyak bacot! Kalau kau ingin selamat, serahkan surat itu padaku!" ucap si
penghadang sambil tertawa bergelak.
"Surat? Surat apa?"
tanya si penunggang kuda itu berpura- pura tidak mengerti. Majikannya memang
menugaskan membawa surat untuk diserahkan pada Nirmala di Perguruan Hati Suci.
Entah untuk urusan apa, dia tidak tahu. Tapi yang menjadi tanda tanya bagi si
penunggang kuda, dari mana orang Perkumpulan Kala lajengklng Merah ini
mengetahuinya?
"Tidak usah pura-pura!
Serahkan surat untuk Nirmala itu padaku. Atau kau ingin mampus?" sergah
orang berpakaian serba hitam itu. Keras dan kasar suaranya.
Kini utusan Sudiraja sadar,
kalau tidak ada gunanya lagi dia berpura-pura. Orang yang menghadang di
depannya ini jelas tahu tugas yang diembannya.
"Langkahi dulu mayatku!
Baru kau akan mendapatkan surat itu!" sahut utusan itu tegas.
"Hm.... Rupanya kau lebih
suka memilih mati!" dengus si penghadang murka.
Setelah berkata demikian,
orang yang di dadanya bergambar kalajengking merah ini, melompat menerjang.
Senjata di tangannya, yang berupa tongkat panjang berujung logam merah
berbentuk ekor kalajengking, disabetkan ke leher utusan Sudiraja.
Wuuuttt..!
Angin meniup cukup keras
mengawali tibanya serangan itu. Utusan Sudiraja yang tahu betapa lihainya
orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah, tidak berani bertindak gegabah.
Cepat-cepat kepalanya dirundukkan sehingga babatan tongkat itu lewat di atas
kepalanya. Sementara utusan Sudiraja merunduk, goloknya ditusukkan ke perut
lawan.
"Eh...?!"
Orang berpakaian serba hitam
itu memekik tertahan. Kaget juga dia melihat lawan dapat mengelakkan
serangannya. Bahkan kini mampu membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Buru buru dia melompat ke belakang, sehingga tusukan golok Itu mengenaitempat
kosong.
"Keparat...! Kau harus
mampus!" teriak orang yang di dadanya bergambar kalajengking merah. Hampir
saja dia celaka karena terlalu menganggap enteng lawannya. Pengalaman pah it
yang baru saja dialami, membuatnya tidak lagi bersikap terlalu memandang rendah
lawannya.
"Haatttt...!"
Sambil berteriak melengking,
pertanda kemarahan hatinya, tongkat berujung ekor kalajengking itu menyambar dahsyat
ke arah lawannya. Tapi utusan Sudiraja bertekad untuk melawan mati-matian. Dia
tidak ingin mengecewakan majikannya.
Pertarungan sengit pun tak
dapat dihindari lagi. Tapi hal ini hanya berlangsung beberapa jurus saja. Pada
jurus-jurus berikutnya, nampak jelas keunggulan orang berpakaian serba hitam
itu. Tongkat merah berujung ekor kalajengking di tangannya, berkali-kali hampir
mengenai tubuh tawannya.
Utusan Sudiraja menggertakkan
gigi. Sejak semula sudah diketahui kalau dirinya bukanlah tandingan si
penghadang. Tapi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, membuat
laki-laki ini nekad dan berusaha melawan mati- matian. Apa yang semula
diduganya, kini menjadi kenyataan. Hujan serangan lawan benar-benar membuatnya
repot bukan main. Dan robohnya dirinya, hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sret.. !
"Akh... l
Utusan Sudiraja me me ki k
tertahan ketika ekor kalajengking yang runcing itu menyerempet perutnya. Cairan
merah kental mengalir dari luka goresan itu. Seketika Itu juga rasa pening
menyerang kepalanya.
"Racun...!" pekik
utusan Sudiraja tajam. Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
"Ha ha ha...!" si
penghadang tertawa terbahak-bahak mendengar seruan kaget lawannya.
"Keparat! Kau..., kau
curang...," maki utusan Sudiraja. Seketika kemarahannya meluap.
"Ha ha ha...!" hanya
suara tawa terbahak saja yang menyahuti makian utusan Sudiraja itu.
"Ohhh...!" keluh
utusan Sudiraja itu. Rasa pening di kepalanya semakin kuat menyerang.
Sekelilingnya dirasakan bagai berputar-putar.
"Sekarang terimalah
ajalmu, keparat! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian,
orang berpakaian serba hitam itu melompat menerjang. Tongkat merah berujung
ekor kalajengking di tangannya menyambar cepat ke leher lawannya.
Di saat gawat bagi keselamatan
utusan Sudiraja itu, mendadak sesosok bayangan putih melesat cepat. Daann...
Tranggg...!
"Akh...l"
Orang yang berpakaian serba
hitam itu memekik tertahan Tubuhnya kembali terlempar ke belakang. Tapi dengan
gerakan yang indah dan manis, tubuhnya bersalto beberapa kali di udara dan
mendarat ringan di tanah. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Tongkat merah
berujung ekor kalajengking di tangannya pun terpental.
"Siapa kau? Mengapa
mencampuri urusanku?!" bentak orang yang di dadanya bergambar
kalajengking. Ditatapnya orang yang telah menyelamatkan korbannya tajam-tajam.
Berdiri membelakangi utusan
Sudiraja, nampak seorang wanita cantik berpakaian serba putih. Rambut wanita
itu dibiarkan meriap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang. Sementara agak
jauh di belakangnya, berdiri seorang pemuda tampan berambut putih keperakan
berpakaian serba ungu.
Sadar kalau lawan di
hadapannya berilmu tinggi dan lagi pula utusan Sudiraja itu pun tidak lama lagi
akan tewas, si penghadang memutuskan untuk melarikan diri. Cepat dibalikkan
tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu, setelah teriebih dulu memungut
senjatanya.
Gadis berpakaian serba putih
itu sama sekali tidak mengejar. Sosok serba hitam itu dibiarkan saja melarikan
diri.
Brukkk...!
Suara berdebuk jatuhnya tubuh
utusan Sudiraja, membuat pemuda berambut putih keperakan dan gadis berpakaian
serba putih itu terkejut Buru-buru keduanya melangkah menghampiri.
"Ah...! Dia terkena racun
ganas yang cepat daya kerjanya, Kang Arya," ucap gadis berpakaian serba
putih itu setelah melihat luka di perut utusan Itu.
"Hm.... Dapatkah kau
menolongnya. Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang memang
bernama Arya Buana atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
Gadis berpakaian putih yang
bernama Melati itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Kang. Racun ini
ganas. Lagi pula hampir mencapai jantung. Tampaknya dia tinggal menunggu
ajalnya saja," jawab Melati.
"Hhh...!" desah
Arya. Nampak jelas kalau pemuda Ini kecewa mendengar jawaban itu.
"Jangan pedulikan
aku...," tiba-tiba utusan Sudiraja itu membuka matanya yang sejak tadi
terpejam. Sekujur wajahnya dipenuhi keringat sebesar butiran-butiran jagung.
'Yang penting..., tolong selamatkan surat ini. Dan berikan pada
Nirmala...," lanjutnya terputus-putus.
Setelah berkata demikian,
dikeluarkannya sebuah gulungan surat yang diselipkan di balik ikat pinggangnya.
Gulungan surat itu lalu diangsurkannya pada Dewa Arak
"Ke mana kami harus
mengantarkannya, Kisanak?" tanya Arya cepat, setelah menerima surat yang
diangsurkan utusan Sudiraja. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau
orang itu keburu tewas sebelum sempat memberitahukan ke mana dia harus
mengantar surat itu.
"Ke... Perguruan...
Hati... Suci...," sahut utusan itu terputus-putus. "Tolong..., jangan
biarkan orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah merebutnya...."
"Perkumpulan Kalajengking
Merah? Kami tidak mengerti maksudmu, Kisanak? Bisakah kau beritahukan pada kami
siapa mereka?" desak Melati.
Keringat sebesar jagung
semakin banyak bermunculan di wajah utusan yang tengah berada di ambang maut
itu.
"Mereka adalah
perkumpulan orang jahat dan..., kh...!" kepala utusan Sudiraja terkulai
sebelum sempat menyelesaikan keterangannya.
"Hhh...!" Dewa Arak
mendesah bingung. Kini dia dan Melati dihadapkan pada satu urusan. Dan sudah
menjadi sifat Arya untuk selalu mencampuri urusan yang dirasanya mengandung
unsur ketidakadilan. Tapi yang menjadi pertanyaan Dewa Arak, dari mana dia
harus memulainya?
"Sudahlah, Kang Arya.
Yang penting kita harus kuburkan mayatnya dulu," selak Melari ketika
melihat tunangannya hanya berdiri termangu.
"Hhh...!" Dewa Arak
mendesah. Dipungutnya golok utusan Sudiraja. Kemudian kakinya dilangkahkan ke
sebuah tempat yang agaktersembunyi dan terlindung. Golok itu dipakai untuk
menggali lubang mengubur mayat utusan Sudiraja.
Dengan tenaga dalamnya yang
memang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk
membuat sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Meskipun tanah di situ keras,
tapi Arya menggali seperti orang menggali tanah lunak mempergunakan cangkul
saja layaknya.
Dalam waktu singkat, sebuah
lubang yang cukup dalam dan lebar selesai dibuat Dewa Arak segera memasukkan
mayat itu dan menguruknya dengan tanah dan batu-batuan Tak lupa di atasnya
ditancapkan! sebuah batu persegi sebagai pengganti nisan.
***
"Kang Arya...,"
panggil Melati ketika dilihatnya Dewa Arak telah menyelesaikan pekerjaannya.
Arya menoleh. Dilihatnya gadis
berpakaian serba putih Itu tengah memperhatikan sebuah benda yang tergenggam di
tangannya. Arya bergegas menghampiri.
Melati segera memberikan logam
berbentuk ekor kalajengking merah pada Dewa Arak. Pemuda berambut putih
keperakan Itu menerimanya. Diperhatikannya benda yang kini dipegangnya dengan
seksama.
"Dari mana kau dapatkan
benda ini, Melati?" tanya Arya.
"Dari leher kuda itu,
Kang," jawab gadis itu sambil menunjuk kuda hitam putih yang tergolek
tanpa nyawa di dekatnya.
Dewa Arak membungkukkan
tubuhnya. Sejenak diperhatikannya sekujur tubuh kuda itu, kemudian bangkit
berdiri.
"Racun yang sama,"
desis Arya pelahan.
"Senjata rahasia itu
bentuknya aneh sekali, Kang."
'Ya. Seperti ekor
kalajengking," jawab Arya sambil mengernyitkan keningnya.
Melati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Ada apa, Melati?"
tanya Arya. Jelas ada suatu kesimpulan yang didapatkan gadis itu sehingga
membuatnya mengangguk-anggukpertanda mengerti.
"Jelas pembunuhnya adalah
orang dari Perkumpulan Kalajengking Merah, Kang," sahut gadis berpakaian
serba putih itu.
Dewa Arak mengernyitkan
alisnya. Memang sudah didengarnya, orang yang menitipkan surat tadi menyebutkan
nama Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Perkumpulan Kalajengking
Merah...," gumam pemuda berambut putih keperakan itu. Sepasang matanya
menatap kosong. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kau pernah
mendengarnya, Melati?"
"Tidak. Kau mengetahuinya.
Kang?" Melari balik bertanya sambil menatap Arya tajam. Gadis ini memang
belum pernah mendengar nama perkumpulan Itu.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya
"Lalu bagaimana dengan
surat itu, Kang?" tanya Melari lagi.
"Yahhh..., seperti yang
telah dipesankan oleh orang tadi."
"Jadi...?"
"Ya. Kita antarkan kepada
Nirmala di Perguruan Hati Suci," jelas Arya. Melati terdiam sejenak.
"Lalu bagaimana dengan
bangkai kuda ini, Kang? Aku khawatir racun ini akan menyebar. Tubuh binatang
ini telah mengandung racun," ucap Melati meminta pendapat Dewa Arak.
Arya tercenung sejenak.
Disadari kebenaran ucapan tunangannya ini.
"Jalan saru satunya
hanyalah membakarnya. Mengubur bangkai ini terlalu menyita waktu. Harap kau
menyingkir sebentar, Melati," pinta pemuda berambut putih keperakan Itu.
Tanpa berkata apa-apa, Melati
segera melangkah menyingkir Tanpa diberitahu pun gadis ini tahu kalau Dewa Arak
akan mempergunakan Jurus yang belum lama dikuasainya. Jurus 'Membakar
Matahari'.
Dewa Arak melangkah mundur.
Jarak antara dia dengan bangkai binatang itu sekitar empat tombak. Kemudian
kedua tangannya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar, dihentakkan dua
kali berturut-turut
Wusss, wusss...!
Dua gumpal api meluncur dari
telapak tangan Dewa Arak ke arah bangkai kuda itu. Terdengar suara letupan
pelan ketika kedua bola api itu mengenai tubuh binatang itu. Sesaat kemudian,
api pun berkobar.
Tak lama kemudian di tempat
itu tercium bau sanglt daging terbakar, diiringi bau amis yang memuakkan.
Melati segera menyingkir lebih menjauh lagi. Kedua hidungnya ditutup untuk
mencegah bau tidak enakyang membuat perutnya mual.
Dalam waktu sekejap, api itu
telah membakar habis bangkai kuda hitam putih tersebut Kini yang tinggal
hanyalah onggokan daging dan tulang-tulang yang kemudian buyar tertiup angin.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega.
Kakinya kemudian dilangkahkan menghampiri Melati.
"Mari kita tuntaskan
tugas kita, Melati."
Gadis berpakaian serba pulih
itu menatap wajah Dewa Arak penuh takjub sesaat Baru kemudian dia pun Ikut
melangkah di sebelah Arya, meninggalkan tempat itu.
***
Matahari telah naiktinggi.
Sinarnya yang menyengat kulit menyoroti bumi dengan garang. Tapi teriknya sinar
itu tidak dirasakan oleh orang yang berada dalam bangunan termegah di Desa
Rinji.
"Apa itu, Ayah?"
tanya Kanulaga ketika melihat nyahnya tengah membungkus sesuatu dalam sebuah
kantung kain yang cukup besar.
Sudiraja terkejut bukan main.
Hampir saja dia terlonjak kaget mendengat teguran itu. Diam-diam dia memaki
dirinya sendiri, mengapa dia lupa mengunci pintu kamarnya, sehingga putra
sulungnya itu dapat masuk dan mengetahui perbuatannya?
"Tidak ada apa-apa,
Kanulaga," jawab Sudiraja gugup. Jelas kalau kedatangan Kanulaga ke
kamarnya, diluar dugaannya.
Kanulaga mengernyitkan
alisnya. Perasaan curiganya pun timbul ketika melihat perubahan air muka
nyahnya. Dengan langkah lebar, dihampiri ayahnya.
" Boleh kulihat apa yang
Ayah bungkus itu?" tanya laki-laki berwajah keras itu penuh rasa ingin
tahu.
" Tidakada apa-apa,
Kanulaga. Yahhh..., hanya...."
" Tidak perlu
membohongiku. Ayah. Aku tahu apa yang Ayah bungkus itu," selak Kanulaga
cepat
" Kau tahu?!" tanya
Sudiraja setengah tidak percaya.
" Ya." jawab
Kanulaga singkat
" Apa!" desak
Sudiraja penasaran. Ingin diketahuinya jawaban putra sulungnya.
" Apa lagi kalau bukan
harta kekayaan ayah?!"
Wajah Sudiraja berubah pucat
Tapi hal ini hanya berangsung sesaat, sebentar kemudian wajahnya sudah kembali
seperti sediakala.
"Dugaanmu tidak salah,
Kanulaga. Ayah memang sengaja memisahkannya Yahhh...! Tempat penyimpanan harta
Ayah sudah penuh," jelas Sudiraja mencoba tersenyum.
"Hhh...!" Kanulaga
menghela napas dalam-dalam. Ditatap wajah ayahnya lekat-lekat. "Ayah masih
saja berusaha menyembunyikan hal ini padaku," keluhnya pelan.
"Apa maksudmu, Kanulaga?
Ayah tidak mengerti!" sergah Sudiraja dengan suara ditekan. Tapi
sungguhpun begitu, tetap saja laki-laki gendut ini tidak bisa menyembunyikan
kegelisahannya.
"Ayah masih juga
berpura-pura Aku sudah tahu untuk apa harta kekayaan itu! Aku telah tahu
semuanya!" tandas Kanulaga tegas.
Pucat pias wajah Sudiraja
mendengar ucapan anaknya. Sepasang matanya menatap liar ke kanan dan ke kiri,
seperti ada sesuatu yang ditakutinya.
"Tutup mulutmu, Kanulaga!
Kau tahu, tindakanmu itu hanya akan membahayakan dirimu sendiri!"
bentakSudiraja.
Kanulaga menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Perlu Ayah tahu, dalam
pengembaraanku berka li-kali aku berhadapan dengan maut Jadi, kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan bagiku, Ayah. Aku lebih suka mati terhormat daripada
hidup terinjak-injak," tegas dan keras kata-kata Kanulaga.
Sudiraja menatap wajah putra
sulungnya lekat-lekat
" Kau tidak tahu siapa
mereka, Kanulaga," desis laki-laki gendut itu tajam.
" Aku tahu, Ayah.
Bukankah mereka adalah Perkumpulan Kalajengking Merah?!" sahut Kanulaga
tegas.
" Kau hanya tahu satu,
tapi tidak tahu yang kedua, Kanulaga!" sentak Sudiraja.
" Maksud, Ayah?"
tanya Kanulaga tidak mengerti.
" Kau tahu di mana markas
mereka?"
Laki-laki berwajah keras itu
mengangkat bahu.
"Aku tidak tahu. Ayah.
Tapi apakah Ayah tahu?" Kanulaga balik bertanya.
Laki-laki berperut gendut itu
tersenyum penuh kemenangan.
"Itulah yang membuat
mereka lebih berbahaya, Kanulaga. Tidak seorang pun tahu di mana markas mereka!
Yang jelas setiap orang yang membangkang kemauan mereka, pasti tewas!"
"Lalu, ke mana Ayah
mengantarkan upeti itu?" tanya Kanulaga lagi setelah termenung sejenak.
Sudiraja mengernyitkan
alisnya. Laki-laki berperut gendut Ini mencium gelagat yang mencurigakan pada Sikap
putera sulungnya.
"Untuk apa kau
mengetahuinya?" tanya Sudiraja. Sepasang matanya merayapi sekujur wajah
Kanulaga. Sepertinya di wajah itu dapat ditemukan jawaban dari pertanyannya.
"Hanya ingin tahu
saja," sahut laki-laki berwajah keras Itu sekenanya.
"Kalau begitu, kau tak
perlu mengetahuinya, Kanulaga," jawab Sudiraja ringan.
Kanulaga menatap wajah ayahnya
sejenak Laki-laki berwajah keras yang juga memiliki watak keras ini
menghembuskan napas panjang.
"Biar bagaimanapun juga,
aku akan berusaha agar harta itu tidak terjatuh ke tangan pemeras-pemeras
terkutuk itu!" tegas Kanulaga tandas.
Setelah berkata demikian,
Kanulaga melangkah meninggalkan ka mar ayahnya.
"Kanulaga...!"
panggil Sudiraja dengan suara keras. Tapi laki-laki berwajah keras itu sama
sekali tidak menghiraukan. Terus saja dilangkahkan kakinya.
"Hhh...!" laki-laki
berperut gendut itu menghela napas dalam-dalam. "Anak tidak tahu
penyakit...," keluhnya pelan sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
***3***
Siang itu udara terasa panas
sekali. Sang matahari memancarkan sinarnya yang terik, menyorot garang ke bumi.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas. Disusulnya peluh yang membasahi sekujur wajah dan lehernya
dengan punggung tangan. Ditolehkan kepalanya ke arah Melati yang duduk di sebelahnya.
Gadis itu juga tengah menyusuri peluh yang membasahi wajah dan lehernya yang
berkulit putih, halus, dan mulus itu. Memang Dewa Arak dan Melari tengah duduk
beristirahat di bawah pohon yang berdaun rindang.
"Daerah di sini panas ya,
Kang," ucap Melati pelan membuka percakapan.
"Ya," sahut Arya
sambil menatap wajah gadis berpakaian serba putih itu lekat-lekat "Tapi
sabarlah, Melati. Tidak lama lagi semuanya akan berakhir. Setelah menyampaikan
surat ini, kita akan meninggalkan tempat ini secepatnya."
Seraya berkata demikian, Dewa
Arak menunjukkan surat yang terselip di pinggangnya.
"Mudah-mudahan
saja," jawab Melati dengan suara mendesah.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Sepertinya kau tidak
senang, Melati," tanya Dewa Arak setengah memastikan.
"Bukan aku tidak senang,
Kang," bantah gadis berpakaian serba putih itu cepat
"Hm , tapi nada ucapanmu
sepertinya menyiratkan begitu "
Melati menghela napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Aku tidak kerasan berada
di daerah seperti ini, Kang. Apabila siang, panas bukan main. Tapi sebaliknya
malamnya dingin sekali. Tapi tugas itu...."
"Kenapa tugas ini,
Melati?"
"Tugas ini sepertinya
tidak akan mudah kita laksanakan. Kang."
"Maksud mu...?"
"Aku yakin mau tidak mau
kita akan terseret ke dalam urusan yang akan membuat kita berada di sini untuk
waktu yang cukup lama, Kang," tegas dan jelas a kata-kata Melati.
Arya tercenung. Disadarinya
kebenaran dalam ucapan gadis yang dicintainya ini. Dia pun tidak yakin, kalau
sehabis mengantarkan surat ini, tugasnya akan selesai.
"Mungkin kau benar,
Melati," desah pemuda berambut putih keperakan ini pelan.
Suasana menjadi hening ketika
Dewa Arak menyelesaikan ucapannya. Kedua pendekar muda ini tenggelam dalam
lamunannya masing-masing. Tapi tiba-tiba hampir berbareng keduanya saling
pandang. Dahi mereka berkerut-kerut
"Ada banyak langkah kaki
yang menuju kemari, Melati," ucap Dewa Arak memberitahu.
"Aku pun mendengarnya,
Kang," sahut gadis berpakaian serba putih itu. Memang, baik Melati maupun
Arya telah sama- sama mendengar suara itu.
"Waspadalah, Melati.
Sepertinya, mereka tidak bermaksud baik."
Belum juga gema suara Dewa
Arak lenyap, terdengar suara-suara mendesing nyaring. Disusul dengan
berkelebatnya belasan sinar kemerahan ke arah mereka.
Bagai dikomando, meskipun
masih dalam posisi duduk, kedua muda-muda itu serentak menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dewa Arak dengan jurus 'Pukulan Belalang'nya, sedangkan
Melati dengan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika',
Angin berhembus keras ke arah
sinar-sinar kemerahan yang menyambar ke arah dua muda-mudi yang sakti itu.
Hebat akibatnya! Belasan sinar merah itu rontok, berjatuhan di tanah sebelum
sempat mendekati Dewa Arak dan Melati.
Tapi baru saja belasan sinar
merah yang ternyata adalah logam merah berbentuk ekor kalajengking itu rontok
ke tanah, belasan sosok berpakaian serba hitam muncul dari balik rerimbunan
semak dan pohon.
"Hhh...! Ada saja
gangguan...," keluh Melati.
Dewa Arak tersenyum mendengar
gerutu gadis Itu. Tak lama kemudian, pemuda itu bangkit dari duduknya.
"Kau istirahat saja,
Melati. Biar aku yang menghadapi mereka," ujar Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak lalu menghampiri belasan orang yang sudah siap menyerang. Diperhatikannya
mereka sejenak. Jumlah mereka sebelas orang, berpakaian serba hitam, yang di
dadanya berqambar kalajengking merah. Wajah mereka tidak terlihat karena
tertutup selubung hitam. Senjata tongkat panjang merah berujung ekor
kalajengking, tergenggamdi tangan mereka.
"Serahkan surat itu pada
kami, Kisanak. Dan kami berjanji akan membiarkan kau dan temanmu pergi dengan
selamat'" ucap salah seorang dari para pengepung itu. Berbeda dengan yang
lainnya, pada dahi selubungnya tertera tanda totol merah. Sementara pada dahi
selubung yang lainnya tidak terdapat tanda apa-apa.
"Sayang sekali. Aku telah
dipesan oleh yang bersangkutan untuk menyerahkan surat ini pada yang berhak
menerimanya," sahut Arya kalem.
"Keparat! Jadi, kau tidak
mau memberikan surat itu, Kisanak?!" gertaksi selubung bertotol merah.
"Sudah kukatakan, aku
hanya akan memberikan pada yang berhak menerimanya!" tegas Dewa
Araktandas.
"Rupanya kau lebih suka
mampus! Hiyaaa...!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian serba hitam
ini menusukkan senjata anehnya ke arah perut Arya. Tapi Dewa Arak hanya
tersenyum tipis. Tubuhnya segera didoyongkan ke samping kanan, sehingga senjata
itu lewat di samping kiri sambil tangan kanannya bergerak menangkap.
Tappp...!
"Akh...!"
Si penyerang terpekik kaget
ketika tangannya telah ditangkap Dewa Arak. Dan jerit kekagetan Itu segera
berubah menjadi jerit kesakitan, ketika Arya menggerakkan jari-jari tangannya
meremas.
Terdengar suara gemeretak dari
tulang-tulang tangan yang remuk Pemuda berambut putih keperakan Ini tahu kalau
orang-orang yang mengepungnya Ini berwatak kejam dan jahat Maka Dewa Arak
sengaja bertindak agak keras terhadap mereka.
Belum lagi, penyerang yang
sial ini berbuat sesuatu, Dewa Arak menyentakkan tangannya. Tak pelak lagi
tubuh orang itu melayang ke depan.
"Aaa..!"
jerit orang berpakaian serba
hitam itu penuh rasa ngeri. Tubuhnya melayang deras ke arah batang pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa.
Bukkk... !
"Akh...!"
Terdengar keluhan tertahan
dari mulut penyerang yang sial, ketika kepalanya menghantam batang pohon.
Seketika itu juga orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dahi
selubungnya terdapat totol merah ini pingsan.
Seruan-seruan kaget terdengar
dari mulut para penyerang, begitu melihat rekannya roboh hanya dalam segebrakan
saja di tangan pemuda berambut putih keperakan ini.
Meskipun begitu, belasan orang
itu tidak menjadi gentar. Sambil memekik nyaring, mereka serentak menyerang
Dewa Arak. Belasan senjata tajam pun berkelebatan menghujani Arya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak
dapat mengukur tongkat kepandaian para pengeroyoknya Memang tingkat kepandaian
mereka rata-rata cukup tinggi. Tapi masih terlalu Jauh Jika diperbandingkan
dengannya Maka, Dewa Arak tidak merasa perlu mempergunakan ilmu andalannya.
Pemuda itu hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Ilmu yang
diwariskan ayahnya.
Hebat bukan main sepakterjang
Dewa Arak. Ke mana saja, tangan atau kakinya bergerak, pastilah di situ ada
lawan yang roboh. Tapi Dewa Arak yang memang tidak berwatak kejam, tidak pernah
menurunkan tangan maut pada mereka. Paling- paling dia hanya mematahkan satu
kaki atau tangan mereka untuk sekedar memberi pelajaran.
Jerit kesakitan terdengar
susul-menyusul seiring dengan berjatuhannya tubuh mereka satu persatu ke tanah.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dengan terdengarnya dua
jeritan terakhir, berakhir pula pertarungan antara Dewa Arak dengan para
pengeroyoknya. Kini tinggal Arya yang masih berdiri di arena pertarungan.
Sementara para pengeroyoknya bertebaran tanpa daya di sekelilingnya. Hanya
rintihan mereka saja yang masih terdengar.
Dewa Arak memandangi
lawan-lawannya yangj tergolektak berdaya di tanah, sejenak. Baru setelah itu
menghampiri mereka. Arya bermaksud mengorek keterangan dari mulut mereka.
Tapi baru juga Dewa Arak
berjalan beberapa tingkah, terdengar suara bersiut nyaring, disusul dengan
melesatnya sebuah benda bulat sebesar telur angsa. Dewa Arak tidak berani
bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, dan bersalto
beberapa kali di udara.
Blarrr...!
Terdengar ledakan yang cukup
keras begitu benda bulat sebesar telur angsa itu jatuh di tanah. Asap tebal
berwama hitam pekat segera menyebar memenuhi tempat itu.
Hup... !
Dewa Arak hinggap sekitar
tujuh tombak dari tempatnya semula. Dahi pemuda itu berkernyit ketika mencium
bau amis memuakkan dari asap yang sedikit terbawa angin ke tempatnya
"Menyingkir, Melati! Asap
itu beracun!" seru Arya pada tunangannya, seraya melesat menjauhi asap
itu.
Mendengar seruan kekasihnya,
Melati bergegas bangkit dari duduknya dan berlari menyingkir dari situ.
Menyusul Dewa Arak.
Baru setelah asap tebal
berwarna hitam itu telah sirna tertiup angin. Dewa Arak dan Melati kembali ke
tempat semula. Bergidik hati mereka melihat belasan Bosok berpakaian hitam tadi
telah tak bergerak lagi. Tewas! Sekujur kulit tubuh mereka hangus!
Dewa Arak mengalihkan
perhatian ke arah penyerang pertama yang telah dibuatnya pingsan tadi. Ternyata
yang seorang ini pun sudah tidak bernyawa pula. Kepalanya pecah!
Sepasang mata Dewa Arak
bergerak liar mengamati sekelilingnya Barangkali saja dapat menemukan penyerang
gelap yang telah melemparkan benda bulat yang dapat meledak itu Tapi sampai
lelah matanya berputar ke sana kemari, tidak juga dilihatnya hal yang
mencurigakan.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas. Kini persoalannya menjadi gelap kembali.
Melati bergidik ngeri melihat
keadaan mayat-mayat Itu. Digamitnya lengan Dewa Arak. Kemudian ditariknya
meninggalkan tempat itu.
Arya sama sekali tidak
membantah. Pemuda ini tahu, tidak ada gunanya lagi mencari si penyerang gelap.
Orang itu pasti telah jauh meninggalkan tempati ini. Maka dibiarkan saja Melati
membawanya.
***
Dewa Arak dan Melati
menghentikan langkahnya. Kepala mereka sama-sama agak menengadah, menatap
sebuah papan tebal yang tergantung di atas pintu gerbang sebuah bangunan besar
berhalaman luas. Bangunan besar itu dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi.
Jelas terbaca oleh mereka huruf-huruf yang tertera di papan berukir indah itu.
Huruf-huruf yang dibuat dengan tinta emas, bertuliskan 'Perguruan Hati Suci'.
"Mari kita ke sana,
Melati," ajak Dewa Arak sambil melangkah mendahului ke arah pintu gerbang
itu. Melati bergegas mengikuti tangkah kekasihnya.
"Maaf, Kisanak. Apakah
kami bisa bertemu dengan Nirmala?" tanya Dewa Arak sopan pada dua orang
murid Perguruan Hati Suci yang menjaga pintu gerbang.
Kedua orang murid itu saling
pandang sejenak. Raut keterkejutan jelas terbayang pada wajah mereka.
"Maaf, kalau boleh kami
tahu siapakah kisanak berdua?" tanya salah seorang dari dua murid itu.
"Aku Arya dan ini
temanku..., Melati," jawab Dewa Arak memperkenalkan diri.
"Hm.., maksud kami...,
apa hubungan kisanak berdua dengan Nirmala?" tanya orang itu lagi
memperbaiki pertanyaannya yang tadi.
Dewa Arak dan Melari melongo.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau untuk bertemu dengan gadis itu sangat
sulit Mereka sama sekali tidak tahu, kalau keberadaan Nirmala di Perguruan Hati
Suci sangat dirahasiakan. Hanya beberapa gelintir orang saja yang
mengetahuinya.
Dan kebetulan di antara mereka
adalah dua orang vang menjaga pintu gerbang ini. Tentu saja mereka terkejut
bukan main begitu melihat seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang
gadis cantik berpakaian putih, mencari putri Sudiraja Itu.
"Kami... kami bukan
apa-apanya. Kami hanya...."
Belum lagi Arya menyelesaikan
ucapannya, dua orang itu sudah menghunus golok masing-masing.
Srattt...! Srattt...!
Sinar terang berkilatan,
ketika kedua golok itu keluar dari sarungnya.
"Tunggu sebentar,
Kisanak! Percayalah, kami tidak bermaksud jahat," cegah Dewa Arak
buru-buru
Tapi dua orang penjaga Itu
sama sekali tidak mempedulikan kata-kata Dewa Arak. Golok di tangan mereka
berkelebat cepat menyerang Arya. Tampaknya kedua penjaga itu benar-benar
menginginkan kematiai Dewa Arak!
Melati yang memang berwatak
keras, menjadi tidak senang melihat sikap kedua orang itu.
"Kalian pikir, hanya
kalian saja yang memiliki kepandaian?" ucapnya keras, seraya melayangkan
tubuhnya. Sesaat kemudian gadis berpakaian putih itu telah berdiri membelakangi
Arya.
"Mundur, Melati...!"
teriak Dewa Arak mencegah. Pemuda berambut putih keperakan Ini tidak ingin
keadaan menjadi lebih kacau dengan ikut campur tangannya Melati, gadis yang
diketahuinya memiliki watak keras.
Tapi Melati sama sekali tidak
mempedulikan seruan kekasihnya. Kedua tangan gadis berpakaian serba putih itu
tahu-tahu sudah bergerak cepat menangkis golok yang menyambar ke arahnya dengan
tangan kosong!
Takkk...! Takkk...!
Tappp, tappp...!
Seolah-olah yang menyambarnya
bukan dua bilah golok, tangan halus Melati menangkisnya Bahkan menangkapnya
sekaligus!
"Uh... uh...!"
Dua orang murid Perguruan Hati
Suci itu berusaha sekuat tenaga menarik pulang senjata mereka dari cengkeraman
Melati. Tapi cengkeraman itu begitu kuat bagaikan sebuah jepitan baja.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap saja usaha
mereka sia-sia.
Melati hanya tersenyum sin is.
Berbeda dengan wajah kedua murid Perguruan Hari Suci yang memerah karena
mengerahkan tenaga yang melewati batas, wajah gadis ini terlihat biasa-biasa
saja. Tak terihat kalau Melati sedang mengerahkan tenaga dalamnya.
Beberapa saat kemudian,
mendadak Melati melepaskan cengkeramannya. Akibatnya sudah bisa didugai Kedua
murid Perguruan Hati Suci itu terjengkang ke belakang dan jatuh berdebukdi
tanah, terbawa betotan tenaga mereka sendiri.
Melati bertolak pinggang
menatap kedua lawannya yang tengah bangkit sambil tersenyum sinis. Tapi rupanya
kedua orang itu masih penasaran. Terbukti begitu bangkit, mereka sudah bersiap
akan menyerang kembali. Tapi sebelum hal itu terjadi, terdengar sebuah suara
keras mencegah.
"Tahan...!"
Belum lagi habis gema suara
bentakan itu, angin ding in berkesiur. Disusul dengan munculnya seorang lelaki
bertubuh sedang, berusia sekitar lima puluh lima tahun. Laki-laki itu
berbibirtebal dan berpakaian jingga
"Guru...!" seru
kedua murid Perguruan Hati Suci Itu berbareng sambil menjura hormat.
Laki-laki berbibir tebal yang
ternyata adalah Ketua Perguruan Hari Suci ini menatap tajam wajah kedua
muridnya, setelah sekilas melirik ke arah Melati dan Dewa Arak.
"Puja, Jaya, apa-apaan
ini?" tegur laki-laki berpakaian Jingga itu.
"Maafkan kami, Guru...
tapi kedua orang ini mencurigakan," jawab salah seorang dari mereka yang
bertubuh pendek.
"Mencurigakan...?
Mencurigakan bagaimana, Puja?" tanya laki-laki berbibir tebal itu lagi.
Kembali sudut matanya melirik
pada Melati dan Dewa Arak.
"Mereka mencari Nirmala,
Guru," jawab laki-laki pendek yang ternyata bernama Puja. Pelahan sekali
suaranya, seperti suara desahan saja.
Wajah Ketua Perguruan Hati
Suci langsung berubah. Penjelasan dari Puja telah cukup jelas baginya Dapat
dimaklumi sikap kedua muridnya. Kini perhatiannya dialihkan pada Melati dan
Dewa Arak.
"Maafkan atas kelancangan
kedua muridku yang kurang sopan ini, Nisanak. Tapi, benarkah apa yang dikatakan
kedua muridku?" tanya laki-laki berbibir tebal itu kepada Melati yang
berada lebih dekat dengannya. Memang, gadis berpakaian putih itu berdiri agak
jauh di depan Dewa Arak.
Melihat sikap sopan yang
ditunjukkan laki-laki berpakaian jingga itu, kedongkolan Melati pun berkurang.
Tangannya yang semula bertolakpinggang, diturunkan.
"Benar, Ki," sahut
Melati sambil menganggukkan kepalanya.
Ketua Perguruan Hati Suci itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu,
siapakah Nisanak dan Kisanak ini sebenarnya. Dan ada urusan apa mencari
Nirmala? Aku Ki Tanu, Ketua Perguruan Hati Suci."
"Aku Melati, sedangkan
temanku Ini berjuluk Dewa Arak...," jawab Melari. Sengaja gadis ini
memperkenalkan pemuda berambut putih keperakan ini dengan julukannya, tidak
dengan namanya. Memang, julukan Dewa Arak jauh lebih dikenal ketimbang nama
Arya Buana.
Dugaan gadis berpakaian serba
putih ini tidak salah. Begitu mendengar nama Dewa Arak, terdengar seruan-seruan
kaget dari mulut ketiga orang di hadapannya. Sementara Arya sendiri hanya dapat
menghela napas. Dia tahu Melati masih merasa mendongkol dengan kejadian tadi.
"Ah, kalau begitu pasti
ada sesuatu yang penting, sehingga kalian mencari Nirmala. Mari, mari masuk.
Lebih baik kita bicarakan masalah ini di dalam," ucap Ki Tanu setelah
hilang rasa kagetnya.
Setelah berkata demikian,
Ketua Perguruan Hari Suci melangkah masuk ke dalam. Melati pun ikut melangkah
masuk, setelah teriebih dulu melempar pandang mata penuh kemenangan pada kedua
orang murid Ki Tanu. Dewa Arak yang melihat hal itu hanya tersenyum geli di
dalam hati. Sifat tidak mau kalah dari gadis itu masih belum juga hilang,
ucapnya dalam hati sambil
terus melangkah ke dalam.
***
"Sekali lagi aku mohon
maaf atas perlakuan yang kurang pantas kedua muridku tadi, Dewa Arak,"
ucap Ki Tanu setelah ketiganya berada dalam ruang khusus tempat Kl Tanu
membicarakan masalah-masalah penting dan rahasia.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Ki," sahut pemuda berbaju ungu itu bijaksana. "Semua ini hanya
kesalahpahaman belaka. Dan kuminta Aki memanggllku dengan namaku saja. Arya,
Ki."
"Baiklah kalau begitu,
De... eh, Arya. Kalau boleh kutahu, ada urusan apa, kau dan Nini Melati ini
mencari Nirmala?" tanya laki-laki berpakaian jingga lni.
"Sebetulnya kami sama
sekali tidak mempunyai urusan dengan Nirmala, Ki Mengenalnya pun tidak Bahkan
mendengar namanya saja belum lama," jelas Dewa Arak.
"Eh...?! Mengapa
begitu?" tanya Ki Tanu agak kaget
"Yahhh...! Hanya sebuah
ketidaksengajaan saja yang menyebabkan kami mencari Nirmala, Ki," jawab
Dewa Arak memberi penjelasan. Lalu diceritakannya tentang semua kejadian yang
dialaminya sebelumtiba di Perguruan Hati Suci.
Ki Tanu mendengarkan cerita
Dewa Arak dengan wajah sungguh-sungguh hingga pemuda berambut putih keperakan
itu menyelesaikan ceritanya.
"Bisa kulihat surat itu,
Arya?" tanya Ki Tanu setelah Dewa Arak menyelesaikan ceritanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya
mendengar permintaan laki-laki berbibir tebal itu.
"Maaf, Ki. Aku tidak
dapat memberikannya padamu. Pesan orang itu, surat Ini harus kuberikan langsung
pada Nirmala," jawab Dewa Arak tegas.
Ki Tanu tersenyum. Ketua
Perguruan Hari Suci ini benar- benar mengagumi sikap Dewa Arak.
"Aku mengerti, Arya. Tapi
bila kau berikan surat itu padaku atau pada Nirmala, sama saja. Nirmala adalah
muridku. Murid istimewa. Ayah gadis itu sendiri yang menitipkannya padaku.
Sudiraja, ayah Nirmala adalah kawan akrabku. Dia biasa mengirim surat padaku
menanyakan bagaimana keadaan putrinya. Atau dia mengirimkan surat untuk
putrinya sendiri.Tapi surat kali ini agaknya banyak mengandung keanehan,
Arya."
"Maksud, Aki?" tanya
Dewa Arak. Kini sudah jelas baginya siapa Itu Nirmala, dan siapa laki-laki
berbibir tebal ini.
Tadi kau bilang, orang yang
bertugas mengirimkan surat ini tewas di tangan orang yang berpakaian dan
berselubung hitam, bergambar kalajengking merah di dada?" tanya Ki Tanu
lagi, meyakinkan.
"Benar, Ki. Orang Itu
juga mempunyai senjata rahasia berbentuk ekor kalajengking berwarna merah yang
mengandung racun ganas," tambah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kau tahu siapa mereka,
Arya?" tanya Ki Tanu. Sepasang matanya merayapi sekujur wajah Dewa Arak.
Seolah-olah di wajah pemuda Itu terdapat jawaban bagi pertanyaannya.
"Sedikit, Ki. Sebelum
mati, pembawa surat Ini sempat mengatakan padaku, kalau orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merahlah yang melakukannya," jawab Dewa Arak.
"Apa yang dikatakan
utusan Sudiraja itu memang benar. Hm..., selain itu apa lagi yang kau ketahui
tentang Perkumpulan Kalajengking Merah, Arya?" desak Ki Tanu ingin tahu.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya.
" Tidak ada lagi,
Ki."
"Sudah kuduga! Aku saja
yang sudah puluhan tahun tinggal di sini, masih belum begitu jelas mengetahui
perkumpulan misterius itu. Hhh...," ujar Ki Tanu sambil menghela napas
panjang.
"Perkumpulan misterius,
Ki?" tanya Dewa Arak. Sepasang matanya menyorotkan ketidakmengertian.
"Ya," jawab
laki-laki berpakaian Jingga ini seraya menganggukkan kepalanya.
"Mengapa begitu,
Ki?" tanya Dewa Arakpenasaran.
Ki Tanu tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam kemudian dihembuskannya
kuat-kuat
"Perkumpulan itu
kukatakan misterius, karena tak seorang pun tahu di mana markasnya. Mereka
selalu muncul secara tiba-tiba. Dan andaikata ada anggotanya yang tertangkap,
kalau tidak anggota yang sial Itu mati terbunuh sebelum buka mulut, pasti dia
bunuh diri," jelas laki-laki berbibir tebal ini membentahu.
"Aneh...," desah
Dewa Arak tanpa sadar.
"Tapi ada yang lebih aneh
lagi, Arya," selak Ketua Perguruan Hati Suci itu.
"Apa, Ki?"
"Mengapa Perkumpulan
Kalajengking Merah itu begitu gigih berusaha merampas surat untuk Nirmala.
Itulah yang menjadi tanda tanya buatku. Padahal selama ini surat-surat untuk
Nirmala atau untukku selalu aman-aman saja. Yahhh..., selalu sampai di
tujuan," ujar Ki Tanu.
"Jadi, itukah sebabnya
kau ingin mengetahui isi surat itu, Ki?" tanya Dewa Arak mulai paham
persoalannya.
Ki Tanu menganggukkan
kepalanya.
"Aku tahu betul,
perkumpulan macam apa, Perkumpulan Kalajengking Merah itu. Sebuah perkumpulan
misterius yang tidak ketahuan jelas anggota dan pemimpinnya. Perkumpulan itu
memeras penduduk. Apalagi penduduk yang agak kaya. Sudah lama Gusti Adipati
Palangka hendak menghancurkan gerombolan Itu. Tapi sampai sekarang tidak pernah
berhasil. Kalau melihat gelagatnya, aku yakin kalau Perkumpulan Kalajengking
Merah hendak merebut Kadipaten Palangka," jelas laki-laki berbibir tebal
itu panjang tebar.
Dewa Araktercenung. Sungguh
takdisangka kalau masalah yang dihadapinya menjadi sebesar ini.
"Lalu, kenapa hal Itu
tidak dilakukan, Ki?"
"Entahlah. Mungkin, takut
kalau pasukan kerajaan akan datang menghancurkan mereka," sambut Ketua
Perguruan Hati Suci itu, mendesah.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. bisa diterimanya alasan Ki Tanu.
"Bagaimana, Arya? Bisa
kulihat isi surat itu?" tanya laki-laki berbibir tebal itu lagi.
Dewa Arak sama sekali tidak
berkata apa-apa. Diambilnyai gulungan surat dari lipatan ikat pinggangnya.
Kemudian surat itu diberikan pada Ki Tanu
"Terima kasih atas
kepercayaan yang kau berikan padaku, Arya," ucap laki-laki berpakaian
Jingga Itu sambil menerima gulungan surat yang diangsurkan Dewa Arak.
Pelahan-lahan Ketua Perguruan
Hati Suci ini membuka gulungan surat itu, lalu dibacanya. Sementara Dewa Arak
dan Melati hanya memperhatikannya saja tanpa berkeinginan untuk mengetahui isi
surat itu. Mereka sadar, apa pun isi surat itu, bukan hak mereka untuk
mengetahuinya.
"Aneh...," desah Ki
Tanu sambil menggulung surat Itu kembali. Sepasang alisnya berkerut Jelas ada
sesuatu yang membingungkan hatinya.
Dewa Arak dan Melati diam
saja. Mereka sama sekali tidak menanggapi ucapan kebingungan laki-laki berbibir
tebal itu.
Semula Ki Tanu agak heran
juga. Tapi, beberapa saat kemudian dia pun sadar. Dewa Arak dan Melati tidak
mau bersikap lancang mencampuri urusan yang jelas-jelas bukan urusannya.
"isi surat ini,
biasa-biasa saja, Arya. Sama sekali tidak ada yang penting. Tapi kenapa
orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah begitu bernafsu untuk mendapatkannya?"
"Kalau boleh kutahu, apa
sebenarnya Isi surat itu, Ki? Barangkali saja aku dapat menyingkap
rahasianya," pinta Dewa Arak.
Ki Tanu segera memberikan
gulungan surat Itu pada Arya. Pemuda itu pun langsung membuka gulungan surat
dan membacanya.
Nirmala,
Bila surat Ini telah kau
terima, segeralah pamit pada gurumu. Minta izin untuk pulang. Ada urusan
penting yang ingin Ayah bicarakan O ya, Ayah juga telah memanggil kakakmu,
Jalatara untuk pulang. Kakak sulungmu, Kanulaga telah kembali
Sudiraja .
Setelah membaca surat itu,
Dewa Arak segera memberikannya pada Melati. Sama seperti juga Dewa Arak dan Ki
Tanu, sepasang alis gadis ini pun berkerut setelah membaca surat itu.
"Bagaimana, Arya? Ada
kesimpulan yang dapat kau tarik dari isi surat itu?" tanya Ki Tanu tak
sabar.
Dewa Arak tercenung sebentar.
Kemudian pelahan namun pasti kepalanya pun menggeleng.
"Hhh...! Tidak ada sama
sekali, Arya?" tanya Ki Tanu, seolah-olah menuntut Dewa Arak untuk
berpikir keras.
Arya menatap wajah laki-laki
berbibir tebal itu lekat-lekat .
"Bukannya kesimpulan yang
kudapatkan, Ki. Tapi malah pertanyaan-pertanyaan. Banyak hal mencurigakan
sehubungan dengan isi surat ini," jawab Dewa Arak.
"Apa Itu, Arya?"
tanya KiTanu penuh gairah.
"Sebelum kujawab
pertanyaan Aki, bisakah Aki sedikit menjelaskan tentang keluarga Nirmala?"
pinta Arya.
"Untuk apa?" Ki Tanu
masih belum mengerti maksud pemuda berbaju ungu itu.
"Untuk lebih memperjelas
masalah, Ki," sahut Dewa Arak cepat
"Baiklah. Sudiraja adalah
seorang kaya raya Kekayaannya berlimpah ruah. Dia mempunyai, tiga orang anak
Yang sulung bernama Kanulaga, pergi mengembara lima belas tahun yang lalu. Yang
kedua Jalatara, menjadi pengawal Adipati Palangka. Sedangkan yang bungsu,
Nirmala, dititipkan padaku di sini. Nah, sekarang jelaskan hal-hal yang
mencurigakanmu itu. Dewa Arak!"
Dewa Arak menghembuskan napas
kuat-kujat sebelum memulai ucapannya.
"Begini, Ki. Pertanyaan
pertama adalah, dari mana Perkumpulan Kalajengking Merah ini tahu mengenai
surat ini," Arya mengemukakan kesimpulannya.
Ki Tanu mengernyitkan dahinya.
"Aku tidak berpikir ke
situ, Arya. Yang kupikirkan adalah mengapa Perkumpulan Kalajengking Merah itu
begitu bersikeras untuk merampas surat yang isinya menyuruh Nirmala
pulang?"
"Jawaban bagi pertanyaan
itu, mudah sekali, Ki Ada dua jawaban yang mungkin bagi pertanyaan itu."
"Apa, Arya?" tanya
laki-laki berbibir tebal itu ingin tahu.
"Pertama, orang-orang
Kalajengking Merah Itu salah duga mengenai isi surat Barangkali mereka mengira
surat itu berisi hal-halyang penting," sahut Dewa Arak menduga-duga.
"Yang kedua?" selak
Ki Tanu tidak sabar.
"Mereka tahu isi surat
itu! Dan bila itu benar, berarti mereka memang sengaja tidak membiarkan Nirmala
pulang!" jelas Arya lagi.
Ketua Perguruan Hari Suci ini
mengangguk-anggukkan kepalanya Jawaban Dewa Arak bisa diterima. Kedua-duanya
masuk akal.
"Aku lebih condong pada
jawaban yang kedua, Arya," ujar Ki Tanu seraya terus mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Jelas pemuda Itu tengah berpikir keras.
"Kalau apa yang Aki
katakan benar, timbul pertanyaan lagi. Dari mana orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merah itu tahu kalau Nirmala disuruh pulang? Ini berarti, di dalam
rumah Tuan Sudiraja ada mata-mata Perkumpulan Kalajengking Merah!" tegas
Dewa Arak menyimpulkan.
"Ahhh...! Kau benar,
Arya! Mengapa aku tidak berpikir sampai di situ?" sambut kakek itu seperti
menyesali diri. "Kini aku telah menemukan kejanggalan lain, Arya."
"Apa itu, Ki?" tanya
Arya ingin tahu. "Mengapa orang Perkumpulan Kalajengking Merah tidak
membiarkan Nirmala pulang?!"
"Mengapa Ki" tanya
Arya ingin tahu jawaban kakek berpakaian Jingga itu.
"Mereka tidak ingin
rahasia mereka terbongkar!!" jawab kakek Itu yakin.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya Bisa diterimanya alasan Ki Tanu.
Hening sejenak setelah Ki Tanu
mengemukakan dugaannya.
"O ya, Ki. Bisa kami
bertemu dengan Nirmala?! tanya Dewa Arakhati-hati.
Ki Tanu menghela napas
panjang.
"Sayang sekati, Arya.
Gadis itu tengah pergi berburu! Itulah sebabnya dia tidak dapat kubawa
menemuimu Tadi, telah kusuruh salah seorang muridku menyusulnya. Maafkan aku,
Arya Aku telah mengecewakanmu."
"Tidak mengapa, Ki,"
sahut Arya. "Yang jelas, surat itu telah kami sampaikan pada yang berhak.
O, ya. Kami permisi dulu, Ki, Masih banyak urusan yang harus
diselesaikan."
Setelah berkata demikian, Arya
segera bangkit dari duduknya. Melati pun bergegas bangkit. Dikembalikannya
surat itu pada Ki Tanu.
Ketua Perguruan Hati Suci
mengantar Dewa Arak dan Melari sampai di pintu gerbang.
"Terima kasih atas
bantuan kalian," ucap Ki Tanu sebelum Arya dan Melati meninggalkan tempat
Itu. "Sering-seringlah kalian mampir kemari. Banyak hal yang ingin
kubicarakan denganmu."
"Mudah-mudahan, Ki,"
jawab Arya memberi harapan.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak menggerakkan kakinya melangkah. Sepertinya pemuda berambut putih keperakan
ini hanya melangkah satu langkah saja. Tapi anehnya, tahu-tahu tubuhnya sudah
berada puluh tombak dari tempat semula. Melati pun tidak mau kalah. Sesaat
kemudian tubuhnya sudah berada di samping kekasihnya.
"Pemuda-pemudi yang
hebat..," desis Ki Tanu penuh kagum. Dipandanginya bayangan tubuh Dewa
Arak dan Melati, sampai tubuh keduanya lenyap ditelan jalan.
***
Seekor kuda hitam yang
ditunggangi seorang gadis, melangkah gagah merambah hutan. Gadis itu berwajah
cantik jelita. Rambutnya digelung ke atas, pakaiannya yang merah menyala
semakin menampakkan kecantikannya.
Singgg... !
Suara mendesing nyaring,
mengejutkan si gadis. Seketika itu juga, kepalanya ditolehkan ke arah asal
suara. Kontan sepasang matanya terbelalak ketika melihat sinar kemerahan
melesat cepat ke arahnya.
Gadis berpakaian merah ini
sadar akan bahaya maut yang mengancam. Maka cepat dia melompat dari atas kuda.
Bersalto beberapa kali di udara lalu mendarat ringan di tanah. Sehingga sinar
kemerahan itu menyambar tempat kosong dan menancap di sebuah pohon.
Cappp....'
Gadis berpakaian merah itu
bergidik ngeri ketika melihat nasib pohon yang tertancap sinar merah, yang
ternyata adalah benda logam berbentuk ekor kalajengking berwarna merah. Pelahan
namun pasti, pohon Itu mulai mengering. Daun- daunnya pun layu berguguran.
Gadis berpakaian merah ini
menatap liar ke sekelilingnya. Namun yang nampak hanyalah kesunyian.
Sepertinya hanya dia sendiri
saja yang berada di dalam hutan itu. Kuda hitamnya sudah kabur ketika gadis Itu
melompat dari punggungnya. Rupanya naluri binatangnya yang tajam, mencium
adanya bahaya mengancam. Sehingga tanpa mempedulikan tuannya lagi, kuda hitam
itu melesat kabur."Ha ha ha...!"
Terdengar tawa bergelak
menggema ke seluruh penjuru hutan. Suara tawa yang mengandung getaran tenaga
dalam kuat .
Gadis berpakaian merah itu
memandang berkeliling dengan sikap waspada. Kedua tangannya bergerak cepat Dan
di lain saat, di kedua tangannya masing-masing tergenggam sebatang sumpityang
ujungnya runcirig.
Tiba-tiba terdengar suara
berkerosakan dari delapan penjuru. Belum lagi suara itu lenyap, tahu-tahu dari
balik semak-semak dan pepohonan yang lebat, keluar belasan sosokyang kemudian
mengurung si gadis.
Gadis berpakaian merah itu
menatap tajam para pengurungnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama
Pakaian serba hitam yang di dadanya bergambar kalajengking merah.
Selubung-selubung hitam menutupi wajah mereka Orang-orang Perkumpulan Kalajengking
Merah
"Siapa kalian? Dan
mengapa menyerangku?!" tanya gadis berpakaian merah itu keras. Sepasang
matanya menatap liar ke arah orang-orang yang mengurungnya.
"Ha ha ha...! Tidak usah
bingung-bingung, Nirmala," ucap salah seorang dari pengurung itu menyapa.
Orang Itu rupanya pemimpin dari belasan orang Itu. Terbukti dengan adanya tanda
totol merah pada dahi selubungnya. Sementara pada yang lainnya tidak terdapat
tanda apa pun.
Gadis berpakaian merah itu
melengak kaget "Dari mana kau tahu namaku?.'" tanya gadis itu. Memang
Gadis berpakaian serba merah itu adalah Nirmala. Putri Sudiraja. Dan saat ini
gadis Itu dalam perjalanan pulang memenuhi panggilan ayahnya. Sore hari
sepulang berburu, gurunya datang memberi suri dari ayahnya. Ki Tanu juga menceritakan
perjalanan surat Itu hingga sampai ke tangannya.
"Jadi, benar namamu
Nirmala?! Kalau begitu kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian,
orang yang menyapa Nirmala tadi langsung menyabetkan senjatanya yang berupa
tongkat berujung ekor kalajengking ke lehergadis itu.
Tapi Nirmala bukanlah gadis
yang lemah. Dia adalah murid terkasih dari Ketua Perguruan Hati Suci, Ki Tanu.
Apalagi, gadis ini ternyata sangat berbakat! maka tidak mengherankan kalau
dalam usia semuda! Itu hampir seluruh ilmu-ilmu gurunya telah dikuasainya.
Mudah saja Nirmala mengelakkan
serangan. Kepala gadis itu ditarik ke belakang, tanpa merubah posisi kakinya.
Wuuusss....'
Angin berbau amis memuakkan
tercium hidung indah milik gadis itu ketika senjata lawannya lewat sejengkal di
depan wajahnya. Gadis ini segera sadar kalau senjata lawannya ini mengandung
racun.
Murid Ki Tanu tidak bersikap
sungkan-sungkan lagi. Dari cerita gurunya, gadis berpakaian merah Ini tahu
kalau para penghadangnya ini adalah gerombolan yang telah membunuh utusan
ayahnya. Sekarang Nirmala bertekad untuk membalaskan dendam utusan ayahnya itu.
Begitu senjata lawannya
menyambar lewat di depan lehernya. Nirmala mengayunkan kakinya menendang ke
perut orang itu.
"Eh...?!"
Terdengar seruan kaget dari
mulut penyerang Nirmala. Rupanya dia tidak menyangka kalau gadis berpakaian
merah Itu mampu berbuat demikian cepat
Maka buru-buru pimpinan
penghadang itu melompat ke belakang, sehingga tendangan gadis itu mengenai
tempat kosong.
Tapi serangan Nirmala tidak
berhenti sampai di situ saja Begitu dilihatnya, lawan melompat ke belalang,
segera gadis ini bergegas memburu dengan tusukan-tusukan sumpit yang terbuat
dari tanduk kerbau.
Suara berciutan terdengar
ketika kedua batang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi ke bagian pelipis
dan ubun- ubun. Dua buah jalan darah yang mematikan.
Namun lawan yang dihadapi
Nirmala bukanlah orang berkepandaian rendah. Menghadapi totokan-Intokan sumpit
bertubi-tubi, laki-laki berselubung totol merah menggeser kakinya ke samping. Sehingga
serangan Itu lewat di samping kepalanya. Tak lupa dikirimkan sebuah tusukan
tongkat berujung ekor kalajengking Itu ke perut Nirmala.
Nirmala terperanjat! Posisi
tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkannya mengelakkan serangan Itu.
Tapi, gadis berpakaian merah ini masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya.
Digeliatkan tubuhnya sehingga tusukan tongkat lawan mengenai tempat kosong.
Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran sengit.
DI jurus-jurus awal,
pertarungan kedua orang itu masih berlangsung imbang. Tapi memasuki jurus ke-
dua puluh, Nirmala mulai mendesak lawannya. Memang gadis berpakaian merah ini
lebih unggul segala-galanya, baik ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam.
Sudah dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi Nirmala akan merobohkan
lawannya.
Pada jurus ketiga puluh satu,
dengan diiringi suara teriakan nyaring, orang berselubung itu membabatkan
senjatanya ke perut Nirmala.
"Hih...!"
Nirmala melompat sehingga
serangan itu lewat di bawah kakinya. Dan dari atas, dengan gerakan tidak
terduga-duga, kedua sumpitnya menotok bertubi-tubi ke leher lawan.
Orang berselubung merah itu
terkejut bukan main. Sedapat mungkin totokan itu berusaha dielakkannya. Tapi
sayang, tak urung salah satu totokan sumpit itu mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!"
Orang berselubung merah itu
memekik kesakitan.
Darah merembes keluar dari
pangkal lengan yang sobek terkena ujung sumpit Seketika itu juga, senjatanya
terlepas dari genggaman. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kaki Nirmala telah
terayun deras ke perutnya.
Bukkk... !
"Akh...!"
Pimpinan belasan penghadang
itu kembali memekik kesakitan. Tendangan gadis berpakaian merah Itu telak dan
keras sekali menghantam perutnya. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang. Rasa
mual dan mules pun mendera perutnya,
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
gadis berpakaian serba merah itu menjejaktanah.
"Serbu...!" teriak
orang berselubung hitam yang telah dipecundangi Nirmala Orang ini rupanya sudah
tidak sanggup menghadapi Nirmala. Kini dia memberi perintah pada anak buahnya
yang sejak tadi hanya menonton pertarungan untuk mengeroyok gadis itu.
Serentak belasan orang
berselubung hitam itu menyerbu Nirmala Senjata-senjata di tangan mereka
berkelebatan cepat mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah itu dari segala
arah.
Kembali Nirmala
mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya menyelinap gesit di antara serbuan
senjata lawan yang datang bagaikan hujan. Gadis berpakaian merah Ini terpaksa
harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya betul akan bahaya senjata
lawan yang beracun. Terserempet sedikit saja mungkin akan berakibat maut!
Nirmala mengeluh dalam hati.
Pelahan-lahan murid terkasih KI Tanu ini mulai terdesak. Jumlah lawan memang
terlalu banyak. Apalagi di antara mereka ada si selubung hitam bertotol merah.
Meskipun si selubung hitam bertotol merah itu telah berkurang kelihaiannya
karena luka-luka yang dideritanya, tapi tetap saja di merupakan lawan yang
berbahaya.
Tambahan lagi, senjata
lawan-lawannya yang beracun. Membuat gadis berpakaian serba merah Ini harus
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Hal inilahyang
membuat Nirmala jadi cepat lelah.
"Hiyaaa...!"
Nirmala berteriak keras.
Totokan kedua sumpit di tangannya bergerak cepat
"Akh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit melengking,
disusul robohnya dua sosok ke tanah ketika sepasang sumpit Nirmala mengenai
sasaran. Yang satu mengenai ubun-ubun. Dai yang satu lagi mengenai bawah
hidung. Salah satu di antara jalan darah mematikan.
Tapi sebelum Nirmala memperbaiki
posisinya, si selubung hitam totol merah telah mengirim sebuah tendangan ke
perutnya.
Bukkk... !
"Hugh...!"
Gadis berpakaian merah ini
kontan terjengkang aki bat kerasnya tendangan itu. Di saat itu empat orang
berselubung hitam yang lain meluruk menyerbunya.
Dan empat buah tongkat
berujung ekor kalajengking pun berkelebatan mengancam ke berbagai bagian
tubuhnya.
Nirmala terpekik Posisinya
sama sekali tidak memungkinkan untuk mengelak serangan itu. Tidak ada lagi yang
dapat dilakukannya. Gadis itu hanya dapat memejamkan mata, menanti datangnya
maut!
Di saat gawat bagi keselamatan
gadis berpakaian merah itu, mendadak berhembus angin keras berhawa panas
menyengat Angin pukulan itu langsung memapak datangnya tubuh orang-orang
berselubung hitam yang meluruk ke arah Nirmala.
Wusss...!
Jerit kengerian terdengar
berbarengan. Disusul herpentalannya empat sosok yang tadi tengah menyerbu
Nirmala. Tubuh empat anggota Perkumpulan Kalajengking Merah itu
melayang-layang. Dan kemudian Jatuh berdebuk di tanah, sepuluh tombakdari
tempatnya semula.
Sekujur tubuh mereka hangus.
Seketika di tempat itu menyebar bau sangit seperti daging yang terbakar. Empat
orang itu tewas seketika!
Orang-orang Perkumpulan
Kalajengking Merah yang tersisa terperanjat Tedebih-lebih si selubung hitam
totol merah. Dari kejadian yang menimpa anak buahnya, diketahuinya kalau si
penolong yang baru datang ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Kini di belakang Nirmaia telah
berdiri dua sosok. Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis
cantik jelita berpakaian serba putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan
Melati?
Laki Iaki berselubung totol
merah menyadari kesdaan yang tidak menguntungkan pihaknya. Cepat dilemparkan
sesuatu ke arah tiga orang lawannya.
Mata Dewa Arak dan Melati yang
tajam segera melihat bentuk benda yang dilemparkan si selubung bertotol murah.
Sebuah benda bulat sebesar telur angsa
Dawa Arak dan Melari yang
telah mengenal ke dahsyatan racun yang terkandung dalam benda bulti Itu,
melompat menjauh. Tak lupa, Melati, menyambar Nirmala yang masih terdudukdi
tanah.
Blarrr...!
Suara ledakan keras terdengar
begitu benda bulat sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika ini juga
asap hitam berbau busuk menyebar, me menu hi tempat di mana Dewa Arak, Melati
dan Nirmala tadi berdiri.
"Hhh..., berbahaya
sekali," desah Dewa Arak lirih Sementara Nirmala hanya mampu berdecak
ngeri bercampur takjub melihatnya
Dan seperti kejadian
sebelumnya, begitu asap tebal dan hitam itu sirna, sirna pulalah orang-orang
Perkumpulan Kalajengking Merah itu.
***
"Siapa kau, Nisanak?
Mengapa terlibat perkelahian dengan orang-orang itu?" tanya Dewa Arak
Sepasang matanya menatap tajam wajah cantik di hadapannya Dalam hatinya, Dewa
Arak mengakui kecantikan gadis berpakaian serba merah ini.
Nirmala menatap Dewa Arak dan
Melari bergantian. Inikah orang yang menyampaikan surat ayahnya itu ? tanyanya
dalam hati. Apa yang dikatakan gurunya memang tidak salah. Wajah pemuda yang
berjuluk Dewa Arak ini begitu tampan. Tampan dan gagah. Rambutnya yang berwarna
keperakan, membuat pemuda Itu terlihat matang.
Melati mengerutkan alisnya
melihat gadis berpakaian merah Itu bukannya menjawab pertanyaan kekasihnya,
tapi malah menatap wajah mereka bergantian. Rasa cemburu pun menyeruakdi hati
gadis berpakaian serba putih ini.
"Kawanku bertanya padamu,
Nisanak!" ucap Melati agak ketus.
Ucapan Melari yang bernada
teguran itu membuat Nirmala sadar. Wajah gadis ini pun me merah seketika
seperti warna pakaiannya.
"Ahhh..., maafkan aku,
Nisanak. Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kisanak dan Nisanak ini
adalah..., Dewa Arak dan Melati?"
Dewa Arak dan Melati
terjingkat bagai disengat ular berbisa. Dari mana gadis berpakaian merah ini
tahu nama mereka?
"Tidak usah heran...,
guruku teiah bercerita banyaktentang kalian," sambung Nirmala lagi begitu
melihat kedua orang di hadapannya saling pandang «eperti orang kebingungan.
Sepasang mata gadis berpakaian
serba merah itu menatap Dewa Arak lekat-lekat
"Siapa gurumu?"
selak Melati cepat Dia tidak Ingin gadis berpakaian merah itu berbicara
lama-lama dengan kekasihnya
"KI Tanu...," sahut
Nirmala memberitahu.
"KI Tanu?! Jadi, kau
Ini... Nirmala?" tanya Arya setengah menduga.
"Betul, Kang," jawab
Nirmala sambil menganggukkan kepalanya.
"Kang?" desis hati
Melati. Ada perasaan cemburu yang menyelinap di hatinya, begitu mendengar gadis
berpakaian serba merah ini memanggil 'kang' pada Dewa Arak.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya, Pemuda ini rupanya sedang berpikir keras, sehingga tidak
mempedutikan panggilan murid Ki Tanu ini. Kini dia mengerti mengapa gadis ini
bentrok dengari orang-orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Kau akan menjumpai
ayahmu, Nirmala?" tanya Melati cepat sebelum Arya kembali bertanya
"Ya," jawab Nirmala
singkat Ditolehkan kepalanya ke arah Melati.
'Kalau begitu, mari kita
berangkat" ucap Melati lagi buru- buru seraya menggamit lengan gadis
berpakaian serba merah itu. Lalu dibawanya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kedua gadis cantik itu
telah meninggalkannya. Dewa Arak tak punya pilihan lagi.
Segera dilangkahkan kakinya
mengikuti. Sejenak ditolehkan kepalanya, ke tempat bekas pertarungan antara
Nirmala dengan gerombolan Kalajengking Merah tadi. Tapi suasana di situ telah
sepi. Hanya ada enam mayat yang bergeletakan di tanah.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas lega.
Untunglah dia dan Melari lewat
hutan ini, sehingga dapat mengetahui adanya pertarungan dan datang pada saat
yang tepat Memang, semula mereka hendak langsung melanjutkan perjalanan. Tapi,
begitu melewati hutan Ini, tiba-tiba Melati ingin makan daging kelinci
panggang. Terpaksalah mereka menginap di hutan ini. Dan keinginan Melati akan
kelinci panggang itulah yang menjadi penyebab selamatnya Nirmala dari maut
***
Malam Itu bulan penuh nampak
di langit. Bintang-bintang pun bertebaran menghias angkasa, menambah cerahnya
suasana malam.
Kanulaga bergolek-golek resah
di pembaringan. Ingatannya selalu terbayang pada saat memergoki ayahnya yang
tengah membungkus sebagian hartanya dalam sebuah buntalan.
Kanulaga tahu untuk apa semua
itu. Dia telah mendengar cerita itu dari si tompel. Setiap malam bulan purnama,
ayahnya diharuskan mengirim upeti dan menaruhnya di suatu tempat yang selalu
berlainan pada setiap pengirimannya
Dari si tompel, laki-laki
berwajah keras ini juga tahu siapa pemeras ayahnya Sebuah kelompok yang
menamakan diri Perkumpulan Kalajengking Merah. Kanulaga tidakrela ayahnya yang
telah bersusah payah mengumpulkan harta itu, memberikannya begitu saja.
Kanulaga bertekad untuk membasmi pemeras ayahnya
Seluruh urat syaraf laki-laki
berwajah keras ini mendadak menegang. Pendengarannya yang tajam menangkap suara
gemerisik pelan di luar jendela kamarnya. Yakin kalau orang yang berada dekat
jendela itu tidak bermaksud baik, Kanulaga bermaksud menangkap basah.
Maka laki-laki berwajah keras
Ini berpura-pura memejamkan mata. Tapi dari balik bulu matanya, Kanulaga tetap
mengintai ke arah jendela. Tercekat hati pemuda ini ketika melihat asap putih
tipis masuk ke kamarnya, melalui kisi- kisi jendela.
Pikiran laki-laki berwajah
keras Ini berputar cepat. Sungguhpun belum pasti, tapi sudah dapat diduganya
kalau asap Itu adalah asap pembius. Asap yang dapat membuatnya tertidur pulas.
Kanulaga tidak berani
bertindak gegabah. Segerai diambilnya pil pemunah racun pemberian gurunya.
Tanpa ragu-ragu lagi pil itu segera ditelannya.
Kemudian tanpa mempedulikan
asap yang semakin banyak memasuki kamarnya, Kanulaga segera membaringkan
kembali tubuhnya. Berpura-pura tidur pulas.
Tak lama kemudian, terdengar
suara berderak agak keras ketika jendela kamarnya dibuka secara paksa. Dan
seiring dengan terbukanya jendela itu, sesosok tubuh melompat masuk ke
kamarnya. Ringan bukan main gerakannya. Tanpa suara kedua kaki orang itu
mendarat di lantai.
Kemudian setelah menutupkan
jendela itu kembali, sosok yang ternyata berpakaian serba hitam dengan gambar
seekor kalajengking merah di dadanya, berjalan menghampiri pembaringan di mana
Kanulaga terbaring pulas. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang
di dahinya bergambar ekor kalajengking merah.
"Kau hanya akan menjadi
duri penghalangku, anak keparat..!" desis sosok hitam itu. "Sekarang
pergilah kau ke neraka!"
Setelah berkata demikian,
bayangan hitam itu menggerakkan tangan memukul kepala Kanulaga. Angin
berkesiutan keras, menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
pukulan itu.
Tapi sebelum pukulan itu
mengenai sasaran, Kanulaga yang memang berpura-pura terbius itu menggulingkan
tubuhnya.
Brakkkk...!
Pembaringan itu hancur
berentakan ketika pukulan yang berhasil dielakkan oleh Kanulaga menghantamnya.
Di saat itulah Kanulaga yang memang sudah berwaspada sejak tadi, mengayunkan
kaki kanannya ke arah perut orang yang hendak membunuhnya.
"Eh...?!"
Si pembokong itu memekik kaget
Cepat-cepat sosok itu melompat ke belakang sehingga tendangan Kanulaga mengenai
tempat kosong. Tapi, tindakan laki-laki berwajah keras itu tidak hanya sampai
di situ saja. Begitu serangannya dapat dielakkan lawan, segera tubuhnya
melompat seraya mengirimkan tendangan ke pelipis.
Wuttt...!
Angin menderu keras mengiringi
tibanya serangan Kanulaga. Tapi kembali si pembokong itu memperlihatkan
kelihaiannya. Tubuhnya membungkuk, sehingga sapuan itu lewat di atas kepalanya.
Berbareng, digerakkan tangannya memukul perut putra sulung Sudiraja itu.
Kanulaga yang tengah berada di
udara, tentu saja tidak bisa mengelakkan serangan itu. Kalau dia masih Ingin
selamat, pukulan itu harus ditangkisnya. Dan itu yang dilakukan laki-laki
berwajah keras ini.
Plak!
Suara keras terdengar begitu
dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Akibatnya,
tubuh Kanulaga terpental balik dan jatuh di pembaringan. Sementara tubuh si
pembokong itu Juga terjengkang ke belakang.
"Hup...!"
Hampir bersamaan keduanya
dapat kembali memperbaiki posisinya. Tapi sebelum Kanulaga sempat berbuat
sesuatu, si pembokong itu sudah bergerak cepat melompat ke arah jendela.
Brakkk..!
Jendela kamar Kanulaga
langsung hancur berkeping-keping begitu tubuh si pembokong itu menabraknya. Dan
setelah tubuhnya berada di luar, cepat-cepat sosok hitam itu melesat kabur.
"Jangan lari,
pengecut..!" bentak Kanulaga keras. Laki-laki berwajah keras ini memang
penasaran bukan main. Dari benturan yang terjadi tadi, diketahuinya kalau orang
yang hendak membunuhnya itu memiliki tenaga dalam yang a mat kuat.
"Hih..."
Kanulaga segera menerobos
jendela kamarnya yang telah takberdaun lagi.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat diluar kamarnya. Tapi, si pembokong itu sudah tidak terlihat
lagi batang hidungnya. Kanulaga memandang berkeliling. Namun tetap tidak
dijumpainya bayangan si pembokong itu .
"Hhh...!" desah
Kanulaga kesal melihat lawannya berhasil lolos.
Sungguhpun begitu, laki-laki
berwajah keras ini tetap melanjutkan langkahnya. Dia ingin mengetahui ke mana
ayahnya akan mengirimkan upeti malam ini. Dan untuk itu dia harus mengikuti
ayahnya secara diam-diam. Segera pemuda itu melangkah mengendap-endap menuju
kamar ayahnya yang terletak agak jauh dari kamarnya.
Kanulaga melangkahkan kakinya
pelahan. Sepasang matanya menatap rajam sekelilingnya. Memperhatikan siapa tahu
bayangan hitam tadi berusaha membokongnya lagi
Jantung laki-laki berwajah
keras ini berdetak kencang ketika melihat sosok serba hitami tengah bersembunyi
di balik sebatang pohon, dekat semak-semakyang cukup lebat. 'Sosok tubuh
berpakaian serba hitam' pekik Kanulaga dalam hati.
Dengan langkah hati-hati,
Kanulaga mengendap-endap menghampiri. Dia tidak ingin lawannya kembali kabur
seperti sebelumnya.
Betapapun Kanulaga telah
membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, tak juga dapat dikenalinya sosok
bayangan hitam yang rupanya tengah mengintai itu sekitar bangunan. Orang itu
bersembunyi di balik pohon, sehingga membuat cahaya oboryang menyoroti wajahnya
terhalang.
"Jangan harap dapat lolos
dari tanganku, pengecut..!" seru laki-laki berwajah keras ini tiba-tiba,
begitu telah berada di belakang sosok serba hitam Itu.
Tentu saja sosok serba hitam
yang tengah bersembunyi itu terkejut bukan main. Tubuhnya terlonjak seakan-akan
disengat ular berbisa. Segera ditolehkan kepalanya ke belakang. Seluruh
urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
"Kau...?!" desah
Kanulaga tidak percaya ketika melihat wajah orang itu. Seorang laki-laki
setengah baya, berkumis lebat. Dikenali betul orang itu, Pandira, adik bungsu
ayahnya .
Bukan hanya Kanulaga yang
terkejut Pandira pun terkejut melihat kedatangan keponakannya. Tapi sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, Kanulaga telah mendahuluinya.
"Ternyata kecurigaanku
tidak keliru!" dingin dan datar suara Kanulaga
"Apa maksudmu,
Kanulaga?!" tanya Pandira setengah membentak.
Kanulaga tersenyum sinis.
"Tidak usah berpura-pura
lagi, Pa man. Aku sudah tahu semuanya. Permainanmu telah berakhir. Lebih baik,
kau menyerah. Sebelum aku terpaksa berbuat tidak pantas terhadapmu!" ancam
Kanulaga.
Merah wajah pria berkumis
lebat ini mendengar ucapan Kanulaga yang sama sekali tidak menaruh hormat
padanya.
"Bocah kurang ajar! Orang
seperti kau sudah selayaknya diberi pelajaran. Agar tidak menyangka hanya kau
yang memiliki kepandaian di kolong langit Ini!"
Selelah berkata demikian,
Pandira segera melompat menerjang keponakannya dengan sebuah totokan beruntun
ke arah dada dan ulu hati. Cepat bukan main gerakannya.
Tapi Kanulaga yang memang
sudah bersiap sejaktadi tidak menjadi gugup. Tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya
serangan- serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar
berkali-kali begitu dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
kuat itu berbenturan.
Tubuh Kanulaga terhuyung dua
langkah ke belakang. Mulut laki-laki berwajah keras ini menyeringai Sekujur
tangannya terasa ngilu. Dadanya pun dirasakan sesak Sedangkan pamannya hanya
terhuyungi satu langkah ke belakang. Sadarlah Kanulaga kalau tenaga dalamnya
bukan tandingan tenaga dalam pamannya.
Tapi Kanulaga, bukan hanya
memiliki raut wajah yang keras. Sifatnya pun keras. Kenyataan yang menunjukkan
keunggulan tenaga dalam orang yang di perkenalkan ayahnya sebagai pamannya,
tidak membuatnya menjadi jerih. Bahkan sebaliknya, perasaan penasaranlah yang
timbul. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah menyerang kembali dengan dahsyat
"Hiyaaa...!"
Sambil berseru keras, Kanulaga
melontarkan tendangan lurus ke arah dada.
"Hm...!"
Pandira mengeluarkan dengusan
kasar, menutupi keterkejutan hatinya melihat kecepatan dan kekuatan yang
terkandung dalam tendangan itu. Tapi meskipun begitu, laki- laki berkumis lebat
ini tidak menjadi gugup. Cepat-cepat tubuhnya didoyongkan ke samping kiri.
Sehingga tendangan itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Berbareng dengan itu
tangan kanannya melayang deras, melakukan tebasan ke arah betis lawan
Wuttt.. !
Kanulaga tersentak kaget.
Laki-laki berwajah keras ini tidak berani bertindak ceroboh. Dia tidak ingin
tulang kakinya remuk terkena tebasan tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi
itu. Segera kakinya ditarik pulang, sehingga serangan itu mengenai tempat
kosong. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
***
Sementara itu, di saat
Kanulaga dan Pandira terlibat dalam sebuah pertarungan sengit, sesosok bayangan
hitam melesat ke kamar Sudiraja. Sosok serba hitam itu berhenti tepat di depan
jendela yang tertutup rapat.
Tok, tok, tok...!
Diketuknya daun jendela itu
pelahan.
Sudiraja yang berada di dalam
kamar memang sudah siap dengan bungkusan hartanya. Begitu didengamya ada orang
yang mengetuk daun jendela, laki laki gendut itu segera bergerak menghampiri.
Kemudian dibukanya daun jendela itu.
Tanpa suara sedikit pun daun
jendela itu terkuak! Dan tampaklah oleh sepasang mata Sudiraja, seraut wajah
berselubung hitam. Di bagian dahi selubung itu terdapat gambar ekor
kalajengking merah.
"Mana bungkusan
itu?" tanya si selubung hitam itu pelan.
"Ada," sahut
Sudiraja.
"Mana? Cepat
lemparkan...," desis si selubung hitam itu tajam.
Sudiraja tercenung sejenak,
seperti ada sesuatu yang ditunggunya.
"Cepat..! Atau kau ingin
kubunuh, gendut..!" Desis si selubung hitam itu lagi. Dalam ucapannya
terkandung ancaman maut
Sudiraja bergidik mendengar
ancaman itu. Maka buru-buru diberikannya bungkusan itu. Si selubung hitam
menerimanya dengan sinar mata berbinar. Dibukanya sebentar buntalan itu. Baru
setelah melihat Isinya, tubuhnya kemudian melesat kabur dari situ. Cepat bukan
main gerakannya. Sehingga yang nampak hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang
bergerak cepat dan lenyap di kegelapan malam.
"Hhh..." Sudiraja
menghela napas. Dibiarkan saja jendela kamarnya terbuka. Sedangkan sepasang
matanya bergerak liar ke sana kemari.
Sepertinya ada yang lengah
dicarinya.
"Mana si
Pandira...," gumam laki-laki gendut itu. "Ataukah dia
terlupa...?"
Sementara itu orang yang
sedang dinantikannya masih terlibat pertarungan sengit dengan Kanulaga.
Keduanya memang sama-sama memiliki kepandaian tinggi. Tapi setelah bertarung
tiga puluh lima jurus, Kanulaga mulaiterdesak
"Ahhh...!" tiba-tiba
saja Pandira memekik kaget "Anak keparat..! Kau membuatku melupakan urusan
yang lebih penting...!"
Setelah berkata demikian,
Pandira melancarkan serangan beruntun ke arah Kanulaga. Tidak ada jalan lain
bagi laki-laki berwajah keras itu, kecuali melempar tubuh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di lanah, berjarak beberapa tombak dari tempat semula.
Sikapnya langsung siaga. Siap
menghadapi tibanya serangan usulan. Tapi Kanulaga jadi terperanjat. Lawan di
hadapannya telah lenyap.
Betapapun laki laki berwajah
keras ini mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tetap tidak dijumpainya
laki-laki berkumis lebat Itu.
"Pengecut
keparat..!" desis Kanulaga. Kemudian setelah termenung sesaat, tubuh anak
muda itu melesat cepat menuju kamar ayahnya.
Suasana di sekitarnya kembali
sunyi. Memang, begitulah keadaan di rumah Itu pada setiap malam bulan purnama.
Sudiraja selalu meliburkan semua pekerjanya.
Termasuk penjaga keamanan
rumahnya.
***
Pandira berlari mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu singkat,
kamar Sudiraja sudah terlihat
"Ahhh...! Jangan-jangan
aku terlambat...," desis laki-laki berkumis lebat ini cemas. Dan perasaan
cemasnya kian menjadi-jadi begitu dilihatnya daun jendela kamar Sudiraja
terkuak.
"Hup...!"
Begitu tiba di depan jendela
itu, segera saja dllongokkan kepalanya ke dalam. Sinar bulan purnama yang
menembus ke kamar itu membuat Pandira dapat melihat jelas keadaan di dalam.
"Kakang Sudira...,"
panggil laki-laki berkumis lebat itu. Dilihatnya seorang laki-laki berperut
gendut tengah tergolek di pembaringan.
Sudiraja membuka matanya
menatap nyalang ke Arah jendela Begitu dilihatnya wajah yang telah dikenalnya,
segera laki-laki gendut itu bangkit
"Bagaimana, Kang...? Dia
belum datang?" berondong Pandira begitu dilihatnya laki-laki gendut itu
bangkit dari berbaringnya.
"Dia sudah
pergi...," sahut Sudiraja Pelan sekali suaranya. Lebih mirip sebuah
desahan.
"Ah...! Jadi aku
terlambat..?" tanya laki-laki berkumis lebat itu. Nada suaranya jelas
mengandung penyesalan yang mendalam.
"Masuklah,
Pandira...," ucap Sudiraja tanpa mempedulikan kebingungan yang melanda
laki-laki berpakaian serba hitam itu.
Dengan langkah lunglai,
Pandira melompat ke dalam kamar.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di lantai kamar Sudiraja.
"Duduklah, Pandira,"
ujar Sudiraja mempersilakan ketika dilihatnya laki-laki berkumis lebat itu
berdiri saja.
Tanpa banyak membantah, Pandira
duduk di sebuah bangku.
"Jelaskan padaku, mengapa
kau begitu terlambat Padahal tadi aku sudah berusaha mengulur-ulur waktu.
Menunggu kedatanganmu. Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul!" tanya
Sudiraja begitu dilihatnya laki-laki berpakaian serba hitam itu telah duduk.
Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
"Hhh" Pandira
menghela napas panjang seperti hendak membuang perasaan sesal yang menyelimuti
hatinya "Semua Ini karena ulah anak keparat itu!" desisnya tajam.
Bekernyit dahi Sudiraja
mendengar ucapan laki-laki berkumis lebat.
"Siapa yang kau
maksudkan, Pandira?" tanya laki-laki gendut Itu sambil menatap tajam wajah
adiknya.
"Kanulaga...," jawab
Pandira pelan.
"Apa?! Kanulaga?!"
tanya Sudiraja tidak percaya "Apa yang dilakukannya?"
Laki laki berkumis lebat itu
menarik napas dalan dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Aku tengah bersembunyi,
mengintai kedatangan! pemerasmu. Tapi tiba-tiba Kanulaga datang. Dan
mengucapkan kata-kata yang tidak pantas Aku menjadi marah dan akhirnya kami
bertarung," jelas laki-laki berkumis lebat itu.
"Lalu, kau bunuh dia,
Pandira?" selak Sudiraja Secercah senyumsinis tersungging di bibirnya.
Pandira menggelengkan
kepalanya.
"Tidak. Sewaktu aku
tengah mendesaknya, aku teringat akan tugasku. Bergegas kutinggalkan dia. Tapi
sayang aku tertambat Si keparat itu telah pergi lebih dahulu. Ahhh...! Sia- sia
saja perjalananku kemari, keluh laki-laki berkumis lebat ini.
Belum juga Sudiraja menimpali
ucapan adik bungsunya ini, terdengar suara bentakan keras dari luar jendela.
"Kiranya kau berada di
sini, keparat!"
Tanpa menoleh pun, baik
Sudiraja maupun Pandira telah mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara
bentakan keras itu. Suara itu telah mereka kenal betul. Suara Kanulaga.
Seiring dengan selesainya
ucapan itu, dari luar jendela melesat sesosok tubuh yang kemudian mendarat
ringan tanpa suara di lantai.
"Jaga mulutmu,
Kanulaga!" bentak Sudiraja dengan nada keras begitu laki-laki berwajah
keras itu telah berada di dalam kamarnya. Telah dilihatnya sendiri sikap putra
sulungnya yang tidak pantas.
Tapi, Ayah...," Kanulaga
mencoba untuk membantah.
"Diam...!" sergah
Sudiraja memotong bantahan laki-laki berwajah keras itu.
Wajah Kanulaga me merah.
Laki-laki berwajah keras ini memang memiliki sifat yang aneh. Semakin orang
bersikap keras padanya, dia akan semakin keras.
"Bagaimana aku bisa
mendiamkan orang yang hampir saja membunuhku?!"
"Itu karena kau telah
bersikap kurang ajar padanya!" sentak laki-laki berperut gendut itu. Nada
suaranya semakin men inggi.
"Bersikap kurang ajar
bagaimana?! Pa man hendak membunuhku, di saat aku berada di kamarku!"
sahut Kanulaga tak kalah keras.
"Apa?! Benarkah apa yang
kau ucapkan Itu, Kanulaga?!" tanya laki-laki berperut gendut itu sambil
menatap tajam wajah anaknya. Cerita yang didengarnya dari adik bungsunya tidak
seperti ini!
"Dia bohong!" bantah
Pandira keras. Sejak tadi laki-laki berkumis lebat itu hanya terdiam saja
mendengarkan semuanya Dia sengaja membiarkan Sudiraja menyelesaikan masalah
itu. Tapi begitu mendengar tuduhan keponakannya ini, amarahnya seketika bangkit
Kanulaga melemparkan senyum
sinis pada pamannya. Tentu saja hal ini semakin membuat kemarahan Pandira
meledak.
"Anak keparat! Kau hanya
mencari-cari alasan saja. Aku malah curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah
salah seorang dari gerombolan itu! Kau sengaja mengalihkan perhatianku agar
rekanmu itu lolos dari pengawasanku!" ujar laki-laki berkumis lebat ini
balik menuduh.
"Anggota gerombolan?
Mengalihkan perhatian? Apa maksudmu, Paman?!" tanya Kanulaga tidak
mengerti. Betapapun marahnya, namun laki-laki beta wajah keras ini, sebenarnya
masih menghormati pamannya.
Sudiraja mengerutkan alisnya.
Dia melihat ada nada kesungguhan dalam cerita kedua orang ini. Bukan tidak
mungkin kalau telah terjadi kesalahpahaman.
"Lebih baik kita
selesaikan persoalan ini dengan kepala dingin. Aku khawatir ada kesalahpahaman
terselip di sini," ucap laki-laki gendut ini menenangkan.
Kanulaga dan Pandira terdiam.
Mereka menyadari kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sudiraja. Mengikuti
perasaan amarah saja tidak akan menyelesaikan masalah, pikir mereka.
Setelah melihat kedua orang
itu sudah dapat ditenangkan, Sudiraja kembali membuka suara.
"Sekarang coba kau
ceritakan kejadian yang kau alami, Kanulaga," ucap laki-laki berperut
gendut itu pada anak sulungnya.
Kanulaga pun menceritakan
semuanya.
"Nah, ketika aku tengah
mencari bayangan hitam Itu, kulihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon.
sikapnya mencurigakan sekali. Aku yakin kalau orang Itulah yang tadi menyerangku.
Pakaiannya sama. Aku kaget juga ketika kulihat orang itu adalah Paman Pandira.
Ribut mulut tak dapat dihindari lagi. Akhirnya kami bertarung," ujar
laki-laki berwajah keras ini mengakhiri ceritanya.
"Hhh...! Sekarang sudah
jelas masalahnya. Sudah kuduga semua ini hanya salah paham saja," ucap
Sudiraja dengan suara mendesah.
"Salah paham?! Aku masih
tidak mengerti, Ayah," sahut Kanulaga. Nada suaranya menyimpan perasaan
penasaran yang mendalam.
Laki-laki berperut gendut itu
termenung sejenak belum memulai ceritanya. Dipandangi wajah Pandira
tajam-tajam.
"Bagaimana, Pandira?
Tidakkah lebih baik kalau diceritakan saja?" tanya Sudiraja meminta
pendapat laki-laki berkumis lebat itu.
Pandira mengangkat bahunya.
"Terserah kau saja, Kang," jawab laki-laki berkumis lebat Ini
menyerahkan keputusan pada Sudiraja
"Sebenarnya aku tidak
berniat memberitahumu, Kanulaga. Tapi, agar kau tidak penasaran... terpaksa
perlu kuberitahukan. Pandira ini bukanlah paman mu...."
"Sudah
kuduga...,"desah Kanulaga pelan.
"Kau sudah tahu?!"
tanya Sudiraja setengah takpercaya.
"Ya," jawab Kanulaga
seraya menganggukkan kepalanya. "Sepengetahuanku Ayah adalah anak tunggal
Aku menjadi curiga ketika Ayah memperkenalkannya sebagai paman."
Sudiraja mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda mengerti.
"Pandira sebenarnya
adalah salah seorang pengawal rahasia Adipati Palangka," sambung laki-laki
berperut gendut itu lagi.
"Ah...!" desah
Kanulaga terkejut. "Lalu, mengapa dia berada di sini dan Ayah mengakui
sebagai adik bungsu?"
"Lebih baik kau tanyakan
saja padanya, Kanulaga. Biar dia yang akan menjelaskannya padamu. Nah Pandira.
Harap kau jelaskan pada Kanulaga!" pinta Sudiraja.
***
Pandira menghela napas panjang
sebelum memulai ceritanya. Jelas tampak kalau laki-laki berkumis lebat ini merasa
berat menceritakannya.
"Sebenarnya tugasku ini a
mat rahasia, Kanulaga Demi keberhasilannya, sengaja aku tidak ingin seorang pun
tahu. Kecuali ayahmu," ucap Pandira memulai ceritanya.
Kanulaga hanya diam saja
mendengarkan. Tidak diselaknya sedikit pun cerita laki-laki berkumis lebat Itu.
"Kau pernah mendengar
tentang Perkumpulan Kalajengking Merah?" tanya pengawal rahasia Adipati
Palangka ini tiba-tiba.
Kanulaga tercenung sejenak
sebelum menjawab.
"Pernah juga. Sewaktu aku
mulai memasuki Kadipaten Palangka."
"Kau tahu perkumpulan
macam apa itu?" tanya Pandira lagi.
"Aku tidak tahu pasti.
Tapi menurut berita yang kudengar, Perkumpulan Kalajengking Merah adalah sebuah
perkumpulan jahat..."
"Tepat! Melihat
gelagatnya, perkumpulan itu sepertinya hendak meruntuhkan Kadipaten Palangka.
Tapi karena perkumpulan itu sangat misterius, Gusti Adipati mengalami kesulitan
untuk membasminya. Maka terpaksa Gusti Adipati mengirim beberapa orang
kepercayaannya untuk menyelidiki di mana markas perkumpulan itu," Pandira
menghentikan ceritanya sejenak Agaknya laki-laki ini ingin melihat tanggapan
Kanulaga pada ceritanya. Tapi ternyata laki-laki berwajah keras itu
tidakberniat memotong ceritanya.
"Dari penyelidikan, kami
tahu kalau perkumpulan itu membiayai usahanya dari pemerasan dan perampokan
terhadap orang-orang kaya. Gusti Adipati tahu, Kakang Sudiraja memiliki
kekayaan yang berlimpah. Dengan dibekali surat perintah dari Gusti Adipati aku
dapat tinggal di sini. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, ayahmu memperkenalkanku
sebagai adik bungsunya. Tapi sayang, usahaku gagal!" keluh laki-laki
berkumis lebat ini.
"Tapi, kenapa Ayah
merahasiakan hal ini padaku," tanya Kanulaga bernada penasaran seraya
menoleh pada ayahnya.
"Aku yang melarang ayahmu
memberitahukan kepada siapa pun. Maksudku untuk mencegah bocornya rencana ini.
Aku khawatir kalau ada anggota gerombolan itu yang menyusup dalam rumah ini.
Maaf, bukannya aku menuduh. Tapi, yahhh..., hanya ber-jaga-jaga saja,"
jelas Pandira panjang lebar.
"Lalu sekarang, bagaimana
baiknya, Pandira?" tanya Sudiraja seraya menatap wajah laki-laki berkumis
lebat itu
"Hhh...!" pengawal
rahasia Adipati Palangka itu menghela napas panjang. "Mungkin aku akan
kembali ke kadipaten, melaporkan kegagalan tugasku."
"Mengapa begitu
tergesa-gesa, Pandira?" tanya Sudiraja. Kekagetan jelas terbayang di
wajahnya. Tinggallah barang satu atau dua hari lagi. Barangkali orang itu
muncul lagi."
Pandira tercenung sejenak.
"Baiklah, Kakang
Sudiraja. Aku akan tinggal dua hari lagi di sini."
"Maafkan atas kebodohanku
yang membuat Paman gagal menjalankan tugas Gusti Adipati," ucap Kanulaga
tiba-tiba seraya mengulurkan tangan meminta maaf.
Pandira tersenyum.
"Lupakanlah, Kanulaga.
Kau tidak salah," jawab laki-laki berpakaian serba hitam ini bijaksana.
Disambutnya uluran tangan Kanulaga dan digenggamnya erat-erat Sudiraja hanya
tersenyum menyaksikan kejadian Itu.
***
Hari masih pagi, matahari pun
baru saja muncul di ufuk Timur, ketika tiga sosok tubuh melangkah pelahan
mendekati pintu gerbang bangunan mewah dan megah milikSudiraja.
Tiga sosok itu terdiri dari
seorang pemuda dan dua orang gadis. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun,
berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sementara dua orang gadis yang
sama-sama cantik itu mengenakan pakaian dan berdandan yang berlainan. Yang
seorang berpakaian serba putih dan berambut meriap. Sementara yang seorang
lagi, berpakaian serba merah dan berambut digelung ke atas. Mereka adalah Dewa
Arak, Melati dan Nirmala.
"Maaf, siapakah kisanak
bertiga?" tanya dua orang penjaga pintu gerbang saat melihat Dewa Arak,
Melati dan Nirmala hendak melangkah masuk.
Nirmala membusungkan dada dan
menegakkan kepalanya.
"Aku Nirmala," sahut
gadis berpakaian merah itu. Nada suaranya terdengar penuh wibawa.
"Ah...I" desah kedua
penjaga itu terkejut. Meskipun belum pernah melihat wajahnya, namun kedua orang
Itu telah mengetahui semua keturunan majikan mereku. Dan Nirmala ini adalah
putri bungsu pemilikrurah ini.
"Maalkan kami, Den Ayu.
Tapi siapakah kedua orang itu ?" tanya si tompel sambil menatap tajam
wajah Dewa Arak dan Melati yang berdiri di belakang gadis berpakaian merah itu.
"Mereka adalah
kawan-kawanku, dan akan kuperkenalkan pada Ayah! Mari, Kang Arya, Kak
Melati," ajak Nirmala sambil melangkah masuk.
Kedua penjaga itu tidak bisa
lagi menghalangi. Mereka pun menyingkir memberi jalan pada putri majikan mereka
dan kedua temannya.
Tentu saja kedatangan gadis
berpakaian merah itu menggembirakan hati Sudiraja yang saat itu tengah
berjalan- jalan di taman, menghirup kesejukan udara pagi.
"Ayah...!" seru
Nirmala seraya berlari ke arah laki-laki berperut gendut itu. Sepasang
tangannya terkembang.
"Nirmala...," sambut
Sudiraja. Kemudian. dipeluknya putri bungsunya erat-erat
"Siapa mereka,
Nirmala?" tanya Sudiraja begitu pandangannya tertumbuk pada dua orang yang
berdiri sambil menundukkan kepalanya.
"Eh, iya...," ucap
gadis berpakaian merah itu teringat Segera dilepaskannya pelukan sang ayah.
"Mereka adalah penolongku, Ayah. Tanpa pertolongan mereka mungkin Ayah tidak
akan pernah melihatku"
"Ah...!" seru
Sudiraja kaget. Sepasang matanya terbelalak menatap anak gadisnya, kemudian
pandangannya dialihkan pada Dewa Arak dan Melati bergantian. Berita yang
didengarnya ini benar-benar membuat laki-laki berperut gendut ini terkejut
bukan kepalang.
"Mari kuperkenalkan pada
mereka, Ayah," ucap gadis itu lagi seraya berjalan mendahului ayahnya yang
sudah melangkah kearah Dewa Arak dan Melati.
"Inilah ayahku, Kang
Arya, Kak Melari," ucap Nirmala memperkenalkan.
Sudiraja mengulurkan
tangannya.
"Sudiraja," ucap
laki-laki berperut gendut itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana," sahut
Dewa Arak sambil menyambut uluran tangan itu.
"Melati," sahut
Melati pula.
Sudiraja menatap wajah kedua
muda-mudi di hadapannya berganti-ganti.
"Terima kasih atas
pertolongan yang kalian berikan pada anakku," ucap laki-laki berperut
gendut itu ramah.
"Ah...! Hanya kebetulan
saja, KI," sahut Dewa Arak merendah.
Sudiraja hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kagum hatinya melihat kerendahan hati pemuda
berambut putih keperakan di hadapannya ini.
"Mari kita bicara di
dalam saja," ajaknya sambil melangkah mendahului. Tidak ada pilihan lain
bagi Dewa Arak dan Melati kecuali turut melangkah lebih dahulu.
***
Pandira dan Kanulaga yang
sedang berbincang-bincang di ruangan tengah yang mewah dan megah Itu
menghentikan pembicaraan, begitu mendengar banyak langkah kaki mendekat.
Tak lama kemudian pintu
ruangan itu pun terkuak Kanulaga dan Pandira menduga-duga dalam hati, siapakah
orang-orang yang menuju ruang ini. Bukankah ruang ini khusus untuk Sudiraja?
Semula Kanulaga dan Pandira
tidak heran begitu melihat orang yang pertama kali muncul. Tapi sepasang alis
mereka berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah,
melangkah di belakang laki-laki berperut gendut itu.
Wajar apabila Kanulaga sama
sekali tidak mengenal Nirmala. Gadis berpakaian serba merah ini belum berumur
lima tahun ketika laki-laki berwajah keras ini pergi mengembara.
Pandira saja mengagumi
kecantikan Nirmala, apalagi Kanulaga yang masih muda dan berdarah panas.
Pandang matanya tidak berkedip memperhatikan Nirmala dari ujung rambut sampai
ke ujung kaki.
Sepasang mata Kanulaga semakin
terbelalak lebar ketika dari balik pintu itu masuk lagi seorang gadis
berpakaian serba putih. Tak kalah cantiknya dari gadis berpakaian serba merah
tadi.
Tapi pandang mata kekaguman
Kanulaga dan Pandira segera lenyap, begitu melihat orang terakhir yang masuk ke
dalam ruangan. Seorang pemuda berambut putih keperakan, berbaju ungu. Sebuah guci
arakterbuat dari perak, tersampir di punggungnya.
Berbeda dengan Sudiraja.
Kanulaga dan Pandira tahu pergolakan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka
telah mendengar berita yang menggemparkan tentang munculnya tokoh muda berilmu
tinggi, berjuluk Dewa Arak. Inikah tokoh yang menggemparkan itu? tanya mereka
dalam hati.
"Kau kenal gadis ini,
Kanulaga?" tanya Sudiraja pada putra sulungnya. Kepalanya ditolehkan ke
arah Nirmala. Sementara gadis berpakaian merah itu hanya tersenyum geli dalam
hati.
Laki-laki berwajah keras itu
menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak
mengenalnya?!" tanya Sudiraja lagi setengah tidak percaya.
Tidak, Ayah," jawab
Kanulaga, setelah dipandanginya kembali gadis berpakaian merah itu lekat-lekat
"Ha ha ha...!"
laki-laki berperut gendut itu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja hal ini
membuat Kanulaga terheran-heran.
"Dia adikmu,
Kanulaga," jelas Sudiraja setelah rasa gelinya lenyap.
Kanulaga terlongong.
"Adikku?" tanya
laki-laki berwajah keras irii tak percaya.
"Dia.. dia Nirmala...?"
Kanulaga agaknya masih belum mempercayai ucapan ayahnya.
"Benar," sahut
Sudiraja. Sementara Nirmala tidak dapat menahan perasaan geli melihat
kebingungan kakak sulungnya
"Anak nakaL..! Awas!
Nanti kujewer telingamu...!" gurau Kanulaga dengan hatigembira.
"Lalu kedua orang ini
siapa, Kang?" tanya Pandira sambil menatap Melati dan Dewa Arak.
"Mereka adalah
penolong-penolong Nirmala. Yang gadis bernama Melati. Dan pemuda ini bernama
Arya Buana," jelas Sudiraja seraya menepuk-nepuk bahu Arya.
"Ah..., Dewa
Arak...!" seru Kanulaga dan Pandira berbareng. Memang sudah menjadi
rahasia umum kalau nama Dewa Arak yang sesungguhnya adalah Arya Buana.
"Sungguh tidak disangka,
pendekar yang tersohor sepertimu bisa sampai ke Kadipaten Palangka ini,"
desah Pandira setengah tidak percaya.
"Hanya kebetulan lewat.
Paman," sahut Dewa Arak merendah seraya menatap wajah laki-laki berkumis
lebat itu.
"Ayo, Nirmala. Ceritakan
pada Ayah dan semua yang ada di sini, pengalaman yang kau a la mi," ucap
Sudiraja.
Nirmala pun menceritakan
semuanya. Mulai dari surat yang bisa sampai ke tangannya atas pertolongan Dewa
Arak dan Melati, hingga dirinya diselamatkan dari tangan orang-orang
Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Aneh sekali...,"
desah Pandira begitu Nirmala mengakhiri ceritanya. Sebagai seorang pengawal
rahasia Adipati, laki-laki berkumis lebat ini dapat merasakan adanya hal-hal
mencurigakan dalam kejadian yang dialami Nirmala.
Semua mata kini tertuju pada
Pandira. Mereka menunggu kelanjutan ucapan yang akan disampaikan pengawal
rahasia Adipati Palangka ini.
"Apa yang aneh, Adi
Pandira?" tanya Sudiraja.
Laki-laki berkumis lebat itu
menatap tajam wajah Sudiraja.
"Sepengetahuanku, yang
mengetahui kalau Kakang mengirim surat untuk memanggil Nirmala dan Jalatara
hanya Kakang Sudiraja sendiri, aku, dan Kanulaga. Lalu mengapa sampai diketahui
orang Perkumpulan Kalajengking Merah?" Ada nada kecurigaan dalam suara
pengawal rahasia Adipati Palangka. Sementara Dewa Arak hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Diam-diam dikaguminya kecerdikan laki-laki berkumis lebat
ini.
Kanulaga menarik napas
panjang.
"Memang, aku telah
menceritakan hal ini," ucap laki-laki berwajah keras pelan. Ada nada
penyesalan dalam suaranya.
"Kau?l" Sudiraja
membelalakkan sepasang matanya. Sementara berpasang-pasang mata lainnya juga
tertuju pada putra sulung Sudiraja ini.
"Sudah kuduga...,"
sambut Pandira cepat "Pada siapa kau menceritakannya, Kanulaga?"
"Ki Toji"
"Ki Tojl?!" Sudiraja
mengerutkan alisnya. Sementara yang lain memandang pada laki-laki berperut gendut
Ini dengan sinar mata bingung.
"Siapa itu Ki Taji,
Kang?" tanya Pandira lagi.
"Kepala urusan dalam
rumah tangga. Tapi mungkinkah dia anggota gerombolan itu?" tanya Sudiraja
setengah tidak percaya.
"Kemungkinan itu bisa
juga. Kang. Bagaimana denganmu, Dewa Arak?" tanya Pandira sambil menoleh
pada Arya yang sejaktadi hanya diam saja mendengarkan.
Kini semua mata tertuju pada
Dewa Arak Tanpa setahu mereka, sejak tadi pun sudah ada sepasang mata yang
menatap Dewa Arak secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata bening dan indah
milik Nirmala.
"Sejak pertama kali
membaca surat itu, sebenarnya aku sudah menduga adanya orang dalam rumah Ini
yang menjadi anggota gerombolan itu," jelas Dewa Arak. Nada bicaranya
hati-hati. Pemuda itu tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang yang ada di
ruangan ini.
Sudiraja mengerutkan
keningnya.
"Sayang sekali, Jalatara
belum juga tiba. Kalau tidak masalah ini akan dapat diselesaikan sekarang,
" ucap laki-laki berperut gendut itu mengalihkan persoalan.
"Memangnya ada masalah
apa, Ayah?" tanya Nirmala yang sejaktadi hanya berdiam diri saja.
"Ayah ingin beristirahat
dan menyerahkan semua usaha Ayah pada kalian bertiga," sahut Sudiraja,
seakan-akan enggan untuk menjelaskan.
"Jangan-jangan utusan
yang membawa surat Itu juga tidak pernah sampai ke sana, Ayah," duga
Kanulaga. Sepasang matanya kembali melirik ke arah Melati. Gadis yang berwajah
cantik luar biasa itu memang telah membuat hati laki-laki berwajah keras Ini
terpikat
"Mudah-mudahan saja
tidak," sahut laki-laki gendut itu mengharap.
"Tapi sudah dua hari
utusan itu berangkat, dan sampai sekarang belum Juga kembali," bantah
Kanulaga lagi.
"Kita tunggu saja,
Kanulaga. O ya, mungkin dua penolongmu ini ingin beristirahat, Nirmala.
Antarkan mereka beristirahat Kau juga mungkin lelah. Beristirahatlah
dulu."
"Hhh...!" Kanulaga
menghela napas panjang melihat ayahnya memutuskan begitu saja pembicaraannya.
Laki-laki berwajah keras ini pun terpaksa diam.
"Baik, Ayah," sambut
gadis berpakaian merah itu cepat Kemudian diantarnya Dewa Arak dan Melati yang
mau tak mau terpaksa menurut, menuju ke tempat peristirahatannya. Kanulaga
menundukkan kepalanya. Tapi sepasang matanya sempat melirik ke arah Melati,
hingga bayangan gadis berpakaian serba putih lenyap di balik pintu.
***
"Aunggg...!"
Suara lolong anjing hutan
memecah kesunyian malam. Rembulan di langit kini tidak bulat lagi. Malam bulan
purnama telah bedaki kemarin.
Dalam keremangan malam itu,
berkelebat dua sol sok bayangan memasuki hutan. Gerakan mereka cepat bukan
main. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan merah dan hitam.
Dua sosok bayangan itu terus
berlari. Sesekali keduanya menoleh ke belakang. Sepertinya mereka khawatir
kalau ada yang mengikuti.
Kedua bayangan itu terus saja
bergerak melewati jalan berliku-liku. Lari mereka baru diperlambat setelah
mendekati sebuah bangunan tua yang sudah tidak terawat lagi. Dan tepat di depan
bangunan itu, kedua bayangan tadi menghentikan larinya.
Dalam keremangan sinar bulan,
terlihat cukup jelas kedua bayangan itu. Yang seorang berpakaian serba hitam.
Di dadanya bergambar kalajengking merah. Wajahnya tidak nampak jelas, karena
tertutup selubung. Pada dahi selubungnya terdapat gambar kalajengking merah.
Sementara yang seorang lagi
adalah seorang kakek berkulit merah. Kakek berkulit merah ini mengenakan rompi
yang juga berwarna merah. Pada bagian dahi dan dadanya, terdapat gambar
kalajengking merah. Berbeda dengan rekannya, gambar kalajungking pada kakek
berkulit merah ini tertera pada kulitnya, bukan pada pakaian atau selubungnya.
Baru saja kedua orang ini
melangkah masuk, terdengar suara sapaan penuh hormat "Hormat kami untuk
Ketua...!" Sosok berselubung hitam yang di dahi selubungnya bergambar
kalajengking, menoleh ke arah asal suara. Rupanya orang ini adalah Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah.
Kini di hadapan Ketua
Perkumpulan Kalajengking Merah, telah berdiri dua sosok yang tengah menjura
padanya Kedua orang itu mengenakan seragam yang sama. Pakaian serba hitam yang
di dadanya bergambar kalajengking berwarna merah.
Yang membedakan kedua orang
itu adalah pada kedua selubung wajahnya Memang mereka sama-sama mengenakan
selubung hitam. Tapi pada dahi selubungnya, tertera gambar yang berlainan. Pada
yang seorang terdapat totol merah.
Sementara pada yang lain,
bergambar ekor kalajengking merah.
Memang, Perkumpulan
Kalajengking Merah mempunyai aturan tersendiri. Tanda tingkatan seseorang dalam
perkumpulan itu dapat diketahui dengan melihat tanda pada dahi selubungnya
Tanda kalajengking merah menunjukkan kalau orang itu adalah sang ketua. Tanda
ekor kalajengking, menunjukkan wakil ketua. Tanda totol merah menunjukkan ketua
kelompok. Sementara anggota biasa sama sekali tidak mempunyai tanda.
"Bagaimana usaha kalian?
Berhasil?" tanya sai ketua.
"Maafkan kami,
Ketua...," jawab kedua orang itu berbareng.
"Jadi, kalian
gagal?!" sergah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah agak keras. Sementara
kakek berkulit merah itu hanya berdiam diri saja.
"Benar, Ketua,"
jawab kedua orang itu lagi. "Hhh...! Tolol...! Membunuh dua tikus kecil
saja tidak mampu?! Haruskah aku yang turun tangan sendiri?!" bentaksang
ketua gusar.
"Kau...!" tunjuk
sang pemimpin pada orang yang di dahi selubungnya bergambar ekor kalajengking,
Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah.
"Ya, Ketua," sahut
si selubung bergambar ekor kalajengking cepat
"Jelaskan mengapa kau
gagal? Hanya membunuh orang seperti Kanulaga saja tidak becus?!" sang
ketua kembali membentak,
"Pemuda itu memiliki
kepandaian tinggi, Ketua. Yang membuatku tambah repot lagi Di situ ada
Pandira," Jawab si selubung bergambar ekor kalajengking. Kemudian
diceritakan kejadian yang dialaminya.
"Pandira? Apakah orang
yang selalu berpakaian serba hitam dan memiliki kumis lebat itu?" tanya
sang ketua. Nada keterkejutan jelas terlihat pada wajahnya.
"Benar, Ketua. Ketua
mengenalnya?" tanya si selubung bergambar ekor kalajengking.
Sang pemimpin itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dia adalah salah seorang
pengawal rahasia Adipati Palangka."
"Ahhh...!" seru
Wakil Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu terkejut "Lalu, untuk apa
dia di sana, Ketua?"
"Adipati Palangka sudah
mencium adanya gerakan kita. Pada saat ini Adipati Palangka sudah menyebar
pengawal- pengawal rahasianya untuk menyelidiki perkumpulan kita. Sungguh tidak
kusangka kalau Pandira bisa sampai ke sana...," desah sang ketua.
"Kalau menurutku,
Sudiraja telah bekerjasama dengan Pandira, Ketua," ucap si wakil itu lagi.
"Mengapa kau bisa menduga
begitu?" tanya sang ketua.
"Sewaktu aku datang
meminta upeti, kulihat Sudiraja seperti sengaja mengulur-ulur waktu. Sepertinya
ada sesuatu yang ditunggunya. Kalau tidak mengingat pesan Ketua, sudah kubunuh
dia."
"Kau bertindak bodoh
kalau membunuhnya!" sergah sang ketua keras. "Kalau kau lakukan itu,
sama saja kau menghancurkan apa yang kita cita-citakan selama ini! Menguasai
Kadipaten Palangka! Dan kemudian merebut kerajaan!"
"Ada yang membuatku
heran, Ketua," ucap orang yang di dahinya bergambar ekor kalajengking
lagi.
"Apa itu?"
"Mengapa Ketua tidak
membunuh adipati itu saja. Bukankah dengan kedudukan Ketua sekarang ini, tidak
sulit untuk membunuh adipati itu?"
"Apa yang kau katakan itu
benar. Tapi, untuk apa membunuh adipati itu kalau akhirnya aku tidak bisa
menggantikan kedudukannya? Lagi pula raja tidak akan tinggal diam. Beliau pasti
akan mengirimkan pasukan besar untuk menghancurkan kita. Tapi yang jelas,
rencanaku hampir sampai di puncaknya. Sayang sekali kailan gagal membunuh
Kanulaga dan Nirmala Rencanaku terpaksa berubah!" ucap sang ketua jang
lebar.
Setelah berkata demikian,
Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah ini terdiam. Sesaat lamanya di berbuat
seperti itu. Baru kemudian perhatiannya diarahkan pada si selubung totol merah.
"Kau..., mengapa gagal
membunuh Nirmala? Padahal dua belas anggota perkumpulan telah kuberikan untuk
membantumu?" tanya sang ketua meminta penjelasan.
"Maafkan aku, Ketua.
Sebetulnya kami sudah hampir berhasil membunuh gadis itu," ucap si
selubung totol merah.
"Lalu, kenapa
gagal?!" sergah sang ketua keras.
"Ada orang yang
menolongnya, Ketua!" sahut si selubung totol merah.
"Hm..., siapa
orangnya?!"tanya sang ketua agak terkejut .
"Aku tidak mengenalnya,
Ketua. Tapi kepandaiannya tinggi sekali. Hanya dengan angin pukulannya saja,
dia bisa menewaskan empat anggota kita sekaligus. Mereka tewas seketika dengan
tubuh hangus."
Sang ketua terdiam mendengar
penjelasan si totol merah. Sementara kakek berkulit merah tercenung.
"Bagaimana ciri-ciri
orang sok jagoan Itu?" tanya sang ketua lagi.
Si selubung bertotol merah
terdiam sejenak. Rupa nya dia sedang berusaha mengingat-ingat wajah penolong
Nirmala.
"Nggg..., pemuda berambut
keperakan, berpakaian ungu. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak..."
"Dewa Arak...!"
potong kakek berkulit merah keras. Ada nada keterkejutan yang amat sangat pada
wajahnya.
"Dewa Arak...?!"
sentak sang ketua terkejut mendengar ucapan kakek kulit merah itu.
"Benarkah orang itu Dewa Arak yang menggemparkan itu, Guru?" tanyanya
pada kakek berkulit merah.
Kakek berkulit merah, yang
ternyata guru sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah itu menganggukkan kepalanya.
"Kalau ciri-ciri yang
disebutnya benar, sudah pasti pemuda itu adalah Dewa Arak. Seorang pendekar
muda yang telah menggemparkan dunia persilatan beberapa bulan belakangan
ini," jelas kakek kulit merah itu lebih jauh.
Sang ketua tercenung mendengar
penjelasan gurunya.
Terpaksa rencana harus
kuubah," ucap sang ketua. Kemudian dlhampirinya kedua anak buahnya, dan
dibisikkan rencana barunya ke telinga mereka
"Mengerti?!" tanya
Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah setelah selesai membisikkan rencananya.
"Mengerti, Ketua!"
sahut kedua orang itu serempak
"Bagus! Sekarang kalian
boleh pergi!" perintah sang ketua.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, dua orang Itu pun melesat pergi, setelah terlebih dahulu menjura pada
sang ketua dan kakek kulit merah.
Sepeninggal kedua anak
buahnya, sang ketua mengalihkan perhatian pada kakek berkulit merah.
"Untung Guru telah
kembali Bagaimana Guru, berhasilkah Guru mendapatkan racun itu?" tanya
sang ketua.
Kakek bermuka merah itu
tertawa bergelak "Jangan panggil aku Kalajengking Merah kalau tidak mampu
mendapatkannya! Ha ha ha...," sahut kakek yang ternyata berjuluk
Kalajengking Merah itu sambil tertawa bergelak.
"Terima kasih atas semua
bantuan Guru," ucap sang Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah. Kalajengking
Merah mengidapkan tangannya. "Tidak usah berterima kasih. Kau adalah
muridku, apalagi kau mempunyai cita-cita yang begitu besar. Sudah merupakan
kewajibanku sebagal gurumu untuk membantu mewujudkan cita-cita mu! Tambahan
lagi kau telah mengharumkan namaku dengan menggunakan nama Kalajengking Merah
sebagai nama perkumpulan rahasiamu! Tertawalah...! Tawa untukkeberhasilan
kita!"
Setelah berkata demikian,
kakek berkulit merah ini tertawa bergelak. Sang Ketua Perkumpulan Kalajengking
Merah pun ikut tertawa bergelak tawa mereka yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi, menggema dan membuat bangunan tua Itu bergetar hebat
***
Hari sudah agak siang,
matahari pun sudah naik agak tinggi. Pada siang yang terik ini tampak seekor
kuda melangkah pelan memasuki perbatasan Desa Rinji. Penunggangnya adalah
seorang pemuda berusia selatar dua puluh lima tahun. Pada wajahnya yang tampan
terhias sebaris kumis tipis. Pakaiannya serba hitam.
"Hooop...!"
Tali kekang kudanya ditarik,
tepat di depan pintu gerbang rumah termegah di desa itu. Dari kejauhan, rumah
itu sudah terlihat kalau dikelilingi pagartemboktinggi.
Kuda coklat putih yang
ditungganginya meringkik. Kedua kaki depannya pun diangkat tinggi-tinggi.
"Hup...!"
Dengan gerakan manis dan
indah, pemuda berkumis tipis itu melompat dari punggung kudanya. Ringan tanpa
suara kedua kakinya mendarat di tanah.
Kemudian dipegangnya tali
kekang kudanya. Lalu binatang tunggangan itu dituntunnya menghampiri pintu
gerbang.
"Aku Jalatara, putra Tuan
Sudiraja," ucap pemuda berkumis tipis itu ketika melihat dua orang penjaga
mencoba menghadang.
"Ah...I Maafkan kami.
Den. Silakan masuk. Keda tangan Aden memang sudah ditunggu-tunggu," ucap
salah seorang penjaga.
Tanpa bicara apa-apa, Jalatara
melangkah ke dalam. Kuda tunggangannya ditinggalkan di depan pintu gerbang.
Pandira yang tengah duduk di teras depan, langsung mengenali Jalatara.
"Jalatara...," desis
laki-laki berkumis lebat ini pelan seraya bangkit dari duduknya dan berjalan
menyambut kedatangan pemuda berkumis tipis itu. Dikenali betul siapa Jalatara,
salah seorang kepercayaan Adipati Palangka.
"Ah...! Kakang
Pandira...! Rupanya kau berada di sini...! Sungguh tidak kusangka!" ucap
Jalatara kaget Mulutnya menyunggingkan senyum lebar.
"Kedatanganmu yang begitu
tiba-tiba ini membuatku terkejut, Jalatara. Ah, terpaksa kepulanganku kutunda
sejenak," ucap pengawal rahasia Adipati Palangka ini.
"Eh...?! Mengapa begitu,
Kang?" tanya Jalatara tidak mengerti.
"Yahhh...! Tugasku gagal,
Jala! Aku baru saja akan kembali ke kadipaten sambil membawa pesan dari
ayahmu," Jelas Pandira seraya menarik napas panjang.
"Pesan? Pesan apa,
Kang?" tanya Jalatara lagi. Wajahnya terlihat agaktegang.
"Agar kau segera pulang.
Ada urusan penting yang akan dibicarakan denganmu," beritahu Pandira.
"Urusan penting? Urusan
penting apa, Kang" tanya pemuda berkumis tipis ini dengan alis berkerut.
Tanyalah pada ayahmu,"
sahut Pandira kalem. Baru saja Jalatara hendak meninggalkan tempat Itu,
Sudiraja telah keburu keluar dari dalam rumahnya. Rupanya percakapan kedua
orang itu terdengar olehnya, sehingga buru-buru dia berlari keluar.
Jalatara mengerutkan alisnya
begitu melihat banyak orang yang berjalan di belakang ayahnya. Tapi sesaat
kemudian dia menjadi gembira begitu mengetahui dua di antara mereka adalah
saudaranya.
"O ya, Jalatara,"
ucap Sudiraja tiba-tiba.
"Ada apa, Ayah?"
tanya pemuda berkumis tipis itu. Ditolehkan kepalanya menatap ayahnya.
"Apakah surat yang Ayah
kirimkan sudah kau terima?" tanya Sudiraja.
"Surat?!" tanya
Jalatara. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya.
"Ya! Surat!" sahut
Sudiraja menegaskan. "Kau terima?"
"Tidak!" sahut
Jalatara seraya menggelengkan kepalanya. "KapanAyah mengirimkannya?"
"Beberapa hari yang lalu.
Hhh...! Kukira kau datang kemari karena surat itu telah kau terima."
Kemudian Sudiraja menceritakan perjalanan surat yang dikirimkan untuk Nirmala.
"Tidak, Ayah. Aku sama
sekali tidak menerima sepucuk surat pun. Aku kemari karena rindu pada
Ayah."
Sudiraja tersenyum lebar.
"Kalau begitu, lupakan
saja persoalan itu! Sekarang mari kita rayakan berkumpulnya seluruh keluarga
kita dengan minum-minum! "teriak Sudiraja penuh ra aa gembira.
"Biarlah hari ini aku
yang menjadi pelayannya, Ayah," pinta Jalatara.
Tawa Sudiraja terhenti.
Tidak, Jala! Kau baru saja
tiba dari perjalanan yang Jauh. Kau masih capek!" bantah laki-laki
berperut gendut Ini.
Pemuda berkumis tipis Itu
tersenyum.
Tadi, memang aku lelah, Ayah.
Tapi setelah bertemu dengan Ayah, Kakang Kanulaga dan Adik Nir mala, rasa lelahku
langsung sirna. Percayalah, Ayah. Aku sudah tidak lelah lagi."
"Kalau begitu, terserah
kaulah...," sahut Sudiraja mengalah.
Tanpa sepengetahuan mereka,
sesosok bayangan! merah berkelebat melompati pagar tembok rumah Sudiraja yang
tinggi Itu. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejaktanah. Lalu cepat bayangan
itu menyelinap di balik kerimbunan pohon.
Keluarga Sudiraja, Pandira,
Dewa Arak dan Melati memasuki ruang tengah. Sudiraja berjalan paling depan.
Dengan gembira laki-laki berperut gendut ini mengajak semuanya ke dalam ruangan
tengah yang mewah dan megah.
Tiba-tiba Melati merandek
kaget Dia mendengar suara bisikan halus di telinganya. Suara Itu dikenalnya
betul Suara kekasihnya, Dewa Arak!
"Masukkan benda pemberian
Gusti Prabu Nalan da dalam minumanmu nanti, Melati...."
"Ada apa, Kak
Melati?" tanya Nirmala, begitu dilihatnya Melati menghentikan langkahnya.
Nirmala dan yang lain- lainnya memang tidak mendengar ucapan itu. Dengan
kepandaian yang dimilikinya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengirimkan suara
kepada orang yang dikehendakinya.
"Tidakada apa-apa,
Mala," sahut Melati cepat
Nirmala pun terdiam. Apalagi
setelah dilihatnya gadis berpakaian serba putih itu sudah kembali melangkah.
Tak diketahuinya kalau pikiran Melati berputar keras. Gadis itu memang telah
menceritakan pada Dewa Arak bahwa semenjak dia diangkat anak oleh Prabu
Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading itu memberikan pusaka istana padanya.
Pusaka itu berbentuk bulat kecil, sebesar kelereng dan berwarna bening. Apabila
benda itu di masukkan dalam minuman yang diduga mengandung racun, benda pusaka
itu akan berubah warna. Setelah racun Itu terserap habis oleh pusaka itu, maka
benda pusaka itu akan kembali ke warna asalnya.
Tak lama kemudian mereka pun
sudah tiba di ruang tengah yang mewah dan megah. Mereka duduk di bangku yang
mengelilingi sebuah meja marmer panjang. Sementara Jalatara sibuk menyiapkan
minuman.
Sudiraja adalah seorang kaya
raya, tidak aneh kalau dia memiliki persediaan arak yang berlimpah. Semua Itu
disimpannya dalam sebuah ruang khusus di sebelah ruangan tengah ini.
Pemuda berkumis tapis itu
mengambil satu di antara sekian banyak guci arak yang berjejer. Tanpa
sepengetauan siapa pun, diambilnya sebuah bungkusan dari balik lipatan ikat
pinggangnya. Dibukanya bungkusan yang ternyata berisi bubuk putih, kemudian
dimasukkannya ke dalam guci arak itu. Setelah itu, Jalatara kembali ke ruang
tengah.
Dituangkannya arak itu ke
dalam gelas-gelas indah yang berjejerdi atas meja. Setelah selesai mengisi
gelas-gelas yang berada di meja, Jalatara pun duduk di bangku yang masih
kosong.
Sementara itu, diam-diam
Melati me masukkan benda bulat berang sebesar kelereng pemberian Prabu Nalanda,
ke dalam gelasnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya gadis ini ketika melihat
benda bulat bening itu berubah warna.
Melati mengerutkan alisnya.
Gadis itu tahu kalau pusaka pemberian Prabu Nalanda itu tengah menghiisap racun
yang terkandung dalam minuman itu. Dan memang tak lama kemudian, warna benda
itu kembali seperti semula. Bening.
Sudiraja mengangkat gelas
minumannya. "Mari kita rayakan peristiwa besar ini...!" ucap
laki-laki bertubuh gemuk itu. Kemudian didekatkan gelasnya itu ke mulutnya dan
diminumnya. Jalatara pun mengikuti, diteguknya araknya. Tapi ekor mata pemuda itu
melirik ke orang-orang di sekelilingnya. Pemuda itu mengerutkan alisnya saat
melihat Dewa Arak sama sekali belum menyentuh minumannya. Rupanya Arya tahu
kalau arak di gelasnya mengandung racun. Ketika Sudiraja mengangkat gelas tadi,
pemuda Ini sempat melihat benda pusaka Melati berubah warna.
"Maaf, Tuan Sudiraja. Aku
sudah terbiasa minum melalui guci. Bagaimana kalau aku minum arak dalam guciku
saja?" pinta Dewa Arak.
Jantung Jalatara berdebar
tegang. Otaknya berputar keras. Sebelum ayahnya sempat menjawab pertanyaan
Arya, buru- buru dia mendahului. Cepat diambil guci arak yang sebagian isinya
sudah dibagi-bagikan.
Dewa Arak diam-diam memaki
kecerdikan pemuda berkumis tipis itu. Tapi, bukan Arya Buana namanya kalau
menghadapi orang seperti itu saja kehilangan akal.
"Sayang sekali, Kang
Jalatara. Aku sudah terbiasa minum arak dari guciku sendiri. Boleh aku tuang
arak dalam guci ini ke dalam guciku?"
"Silakan...! Silakan,
Arya. Jangankan hanya seguci. Seratus guci pun akan kuberikan kalau kau
mau!" Sudiraja yang menyahuti.
Terima kasih, Tuan
Sudiraja."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak segera menuangkan arak dalam guci itu ke dalam gucinya. Memang, guci arak
pemuda itu memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah mampu membuat
semua jenis racun jadi tawar. Maka, meskipun diketahuinya kalau minuman yang
disediakan Jalatara mengandung racun, Dewa Arak tetap berani meminumnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu memasuki tenggorokannya.
Lega hati Jalatara, ketika
dilihatnya semua yang ada di situ telah me minum arak yang disediakannya Dia
sendiri telah lebih dulu menelan obat penawar racun itu, sehingga berani
meminumnya.
Rupanya racun yang dicampurkan
dalam minuman Itu tergolong racun yang bereaksi cepat. Sudiraja adalah orang pertama
yang menerima akibatnya. "Ah..., kok kepalaku pusing...," desah
laki-laki berperut gendut ini sambil memegangi kepalanya Suaranya mengambang,
seperti orang pilek.
Nirmala dan Kanulaga tidak
terkejut melihat kejadian yang dialami ayahnya. Dugaan mereka, hal Itu terjadi
karena usia ayah mereka yang sudah tua.
Baru ketika tubuh Sudiraja
limbung dan sudah pasti jatuh, keadaan menjadi gempar. Untunglah Kanulaga yang
duduk di sebelahnya, sigap menangkap tubuh ayahnya. Serentak mereka bangkit
dari duduk dan mendekati Sudiraja.
Tapi sebelum berhasil
mendekat, berturut-turut mereka memegang kepalanya yang tiba-tiba mendadak
pusing. Melati dan Dewa Arak tentu saja merupakan kekecualian. Melati bingung,
tak tahu harus berbuat apa. Diliriknya wajah Dewa Arak. Dan di saat Itulah,
pendengarannya menangkap suara bisikan halus "Berpura-puralah, Melati.
Kita tunggu perkembangannya...."
Melati tidak membantah. Begitu
dilihat Arya memegangi kepalanya, gadis itu pun berpura-pura memegangi
kepalanya, bersikap seolah-olah terserang pusing.
"Arak itu
beracun...," desah Arya sebelum roboh terguling.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa berkepanjangan
menyambut ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa kemenangan. Tawa yang berasal dari
mulut Jalatara.
***
Begitu melihat yang lain
pingsan, Dewa Arak dan Melati pun turut berpura-pura pingsan. Tidak sulit bagi
dua orang sakti ini untuk berbuat seperti itu Jangankan hanya berpura- pura
pingsan, berpura-pura mati pun mereka sanggup.
Baru ketika pendengaran mereka
menangkap suara keluhan lirih dari Kanulaga dan Pandira yang mulai sadar, Dewa
Arakdan Melati pun membuka matanya .
Begitu mereka membuka mata,
tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri Jalatara, seorang kakek berkulit
merah dan belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah. Pada bagian dada
pakaian hitam yang dikenakan Jalatara terdapat gambar kalajengking merah.
Nirmala dan Sudiraja merupakan
orang terakhir tersadar dari pingsannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
laki-laki berperut gendut itu tatkala melihat putranya berdiri bersama- sama
dengan perkumpulan yang selama ini selalu memerasnya.
"Kau...?! Jalatara...?!
Apa maksudmu?! Mengapa kau melakukan semua ini?! Dan mengapa kau berhubungan
dengan orang-orang jahat seperti mereka!" seru Sudiraja sambil menunjuk
belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah.
Jalatara hanya tersenyum
sinis.
"Berhubungan? Aku adalah
pemimpin mereka Akulah Ketua Perkumpulan Kalajengking Merah!"
"Kau?!" sentak
Sudiraja dan Pandira berbarengan. Berbeda dengan Sudiraja yang masih bingung,
Pandira nampaknya sudah mengerti. Dan hal ini membuatnya geram bukan main.
Sayangnya racun yang dicampur dalam minuman itu telah membuat sekujur tubuhnya
lemas. Walaupun sudah dipusatkan seluruh pikirannya, namun tetap saja tidak ada
getaran tenaga dalam yang bergolak Baik di bawah pusarnya, maupun ke tangan dan
kakinya. Tenaga dalamnya telah musnah!
"Rupanya kaulah pemimpin
mereka, Jalatara! Pantas, gerombolan itu sukar dibasmi!" ujar pengawal
rahasia Adipati Palangka ini.
"Dasar kalian saja semua
yang dungu!" sahut pemuda berkumis tipis itu kasar.
"Hanya satu yang
kuherankan, Jalatara! Mengapa kau tidak membunuh Gusti Adipati sejak dulu.
Bukan kah kau mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh beliau?" tanya
Pandira tidak mengerti.
"Ha ha ha...!
Pertanyaanmu itu semakin membuktikan kebodohanmu, Pandira! Buat apa aku
membunuhnya kalau aku tidak dapat menggantikan kedudukannya? Saat itu
kedudukanku masih terlalu rendah. Dan bila aku membunuhnya, pastilah kau atau
yang lainnya yang akan menjadi penggantinya. Aku tidak sebodoh itu,
Pandira!" sergah Jalatara sambil tersenyum mengejek.
"Lalu kenapa tidak kau
rebut saja Kadipaten Palangka dengan kekerasan?!" pancing pengawal rahasia
adipati ini.
"Kau kira aku ini bodoh,
Pandira?! Kalau aku merebut dengan kekerasan, pasukan kerajaan tidak akan
tinggal diam. Mereka pasti akan menghancurkanku. Dan aku tidak ingin hal itu
terjadi!" jawab Jalatara agak sengit.
"Lalu sekarang,
bagaimana?" Pandira kembal bertanya.
"Sekarang saatnya sudah
tiba. Kau tahu, Pandira, Cita- citaku tidak kecil! Aku tidak hanya ingin
menjadi adipati, tapi aku ingin menjadi raja! Kau dengar, Pandira? Raja! Dan
untuk mewujudkan cita-citaku, aku membutuhkan biaya besar untuk membentuk
pasukan yang besar dan terlatih!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya, "Jadi, itukah sebabnya kau ingin menyingkirkan Nirmala dan
Kanulaga, Jalatara?" selakArya cepat.
"Ha ha ha...! Kau pintar,
Dewa Arak. Kau tidak sebodoh si kumis lebat Ini Dari Ki Taji, kudengar ayahku
mengirim utusan untuk memanggil Nirmala dan aku pulang, karena Kakang Kanulaga
telah terlebih dahulu pulang. Ayah ingin membagi- bagi warisan. Aku tidak ingin
warisan ayah dibagi-bagi. Aku ingin semuanya. Jalan satu-satunya untuk
memperolehnya hanyalah dengan melenyapkan Kanulaga dan Nirmala! Tapi, sayang anak
buahku gagal. Terpaksalah aku yang harus turun tangan. Yahhh..., seperti apa
yang kalian rasakan sekarang ini!" jelas Jalatara panjang lebar.
Terdengar suara geram
kemarahan dari mulut Kanulaga. Laki-laki berwajah keras ini memang geram bukan
main mendengar semua keterangan adiknya.
Ingin rasanya dia melompat
menyerang, tapi apa dayanya. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga.
Bahkan tenaga dalamnya pun lenyap. Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali
menggeram dan mengutuk
"Jahanam kau, Jalatara...!"
desis Kanulaga tajam. Sinar matanya menyorotkan kemarahan hebat. Tapi ucapan
kemarahan kakaknya hanya ditanggapi Jalatara dengan tawa terbahak-bahak. Sebuah
tawa kemenangan.
"Kau yakin rencanamu akan
berhasil, Jalatara?" Pandira angkat suara.
Tentu saja!" sentak
pemuda berkumis tipis itu keras.
"Aku telah
merencanakannya dengan matang. Guruku telah mendapatkan racun yang dapat
kumasukkan ke makanan atau minuman adipati. Racun yang bekerja tanpa
meninggalkan bekas, seolah-olah kematian adipati adalah kematian yang wajar.
Lagi pula guruku akan membantu menyingkirkan orang-orang kepercayaan adipati
sepertimu, Pandira. Dan dengan kedudukanku sekarang, tidak sulit bagiku menjadi
adipati. Dengan harta milik ayahku, akan kubentuk pasukan yang besar dan
terlatih untuk menyerbu kotaraja. Dan kemudian aku akan menjadi raja! Ha ha
ha...!"
"Sayang sekari, usahamu
tidak akan berhasil, Jalatara!" sergah Dewa Arak seraya bangkit dari
berbaringnya. Melati pun segera pula bangkit.
"Heh?l Kau...? Kau tidak
terkena racunku?" tanya Jalatara gagap.
"Untunglah aku sedikit
menaruh curiga padamu, Jalatara," sahut Arya kalem. Diangkatnya guci
araknya ke atas kepala, kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.. gluk...
gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu memasuki kerongkongan Dewa Arak.
"Keparat..!
Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan suara
bentakan nyaring Jalatara melompat menyerbu. Kedua tangannya yang membentuk
cakar aneh, menyampok deras ke arah Dewa Arak. Yang kanan ke arah pelipis,
sementara yang kiri mengancam dagu. Dari bawah ke atas.
Suara berciutan nyaring
terdengar sebelum serangan itu mencapai sasaran. Tapi Dewa Arak bersikap
tenang. Dengan penuh percaya diri, dipapaknya kedua serangan itu Kedua
tangannya yang membentuk jari-jari belalang bergerak aneh, sebelum akhirnya
menangkis serangan lawannya. Dewa Arak yang mengetahui keadaan yang tidak
menguntungkan, tanpa sungkan-sungkan segera mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Plak, plak...!
"Ah...!"
Jalatara berseru kaget. Pemuda
berkumis tipis ini langsung terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya
dirasakan ngilu bukan main. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang. Sedangkan
Dewa Arak hanya mundur satu langkah ke belakang. Tampak jelas kalau tenaga
dalam Arya berada jauh di atas lawannya.
"Kau urus yang lain,
Jalatara! Biar Dewa Arak bagianku!" seru kakek berkulit merah seraya
melompat ke depan Arya.
Kalajengking Merah tahu kalau
Jalatara bukan tandingan Dewa Arak.
"Sudah lama kudengar nama
besarmu. Dewa Arak. Dan sudah lama pula aku ingin menjajal kelihaianmu. Aku,
Kalajengking Merah ingin mengetahui sampai di mana kehebatanmu yang tersohor
itu!"
Setelah berkata demikian,
kakek berkulit merah itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, seraya mengirimkan
sebuah kibasan kaki.
Wusss...!
Angin menderu keras mengawali
tibanya serangan itu. Tapi, dengan permainan jurus 'Delapan Langkah Belalang',
tidak sulit bagi Dewa Arak untuk memunahkan serangan itu. Dengan langkah
terhuyung-huyung yang menjadi khasnya, dielakkan serangan itu. Secepat kakinya
melangkah, secepat itu pula, Dewa Arak berbalik mengancam lawan. Arya kini
telah berada di belakang lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak mengayunkan guci
yang tergenggam di tangannya ke kepala lawannya.
Tapi, Kalajengking Merah
memang seorang tokoh luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan, sehingga
serangan itu lewat di atas punggungnya. Berbareng dengan itu, kaki kanannya
menendang ke belakang. Persis seperti tendangan kaki belakang seekor kuda.
"Eh...?!" pekik Dewa
Arak terkejut. Serangan seperti itu sungguh di luar dugaannya. Tapi berkat
keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan yang datang begitu
tiba-tiba itu masih dapat dielakkan-nya
Tak lama kemudian kedua tokoh
inipun sudah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit Jalatara memperhatikan
sejenak pertarunganan tara gurunya menghadapi Dewa Arak
"Bunuh mereka
semua...!" perintah pemuda ber kumis tipis ini kepada anak buahnya, seraya
menunjuk beberapa tubuh yang tergoleklemah tanpa daya.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, belasan orang Perkumpulan Kalajengking Merah itu bergerak menyerbu.
Tongkat merah berujung ekor kalajengking mereka, berkelebatan mengancam. Tapi
sebelum balasan orang itu berhasil melaksanakan perintah sang ketua, Melati
telah menghadang.
Srattt.. !
Tanpa sungkan-sungkan lagi
gadis berpakaian putih ini mencabut pedangnya. Disadari akan keadaan pihak
lawan yang lebih menguntungkan, seketika Itu juga segera dikeluarkan ilmu
pedang andalannya, 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Terdengar suara mengaung bagaikan
seekor naga yang tengah meraung murka, begitu Melati menggerakkan pedangnya.
"Selubung ini sudah tidak
kuperlukan lagi!" ucap orang yang pada dahi selubungnya bergambar ekor
kalajengking, seraya mencabut selubungnya.
"Ah...! Kau... kau... Ki
Taji!"
Terdengar seruan-seruan kaget
dari mulut keluarga Sudiraja begitu melihat wajah di balik selubung itu.
Wajah Ki Taji! Kepala urusan
dalam rumah tangga. Jadi, orang yang hendak membunuh Kanulaga, dan orang yang
selama Ini menerima upetidari Sudiraja adalah Ki Taji.
"Ya, aku! Kaget?"
ejek Ki Taji sambil tersenyum sinis. Tunggulah. Setelah kubereskan wanita liar
ini. Baru kalian akan kubereskan!"
Setelah berkata demikian,
Wakil Ketua Perguruan Kalajengking Merah itu segera membabatkan tongkat
berujung ekor kalajengking ke leher Melati.
Wuttt.. !
Tongkat itu lewat di atas
kepala Melati, begitu gadis itu merendahkan tubuhnya. Tidak sampai di situ saja
yang dilakukan Melati. Pada saat yang bersamaan, pedangnya menusuk cepat ke
leher Ki Taji. Suara menggerung dahsyat bagaikan seekor naga murka, mengiringi
tibanya serangan itu. Hebat bukan main 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang di mi li
ki gadis itu.
Ki Taji terpekik kaget
Serangan itu datang begitu cepat Tak mungkin lagi Wakil Ketua Perkumpulan
Kalajengking Merah itu mengelak. Tapi sebelum ujung pedang Melati menembus
tenggorokannya, Jalatara melesat cepat, memapak pedang itu dengan tongkat
berujung ekor kalajengking yang sejak tadi digenggamnya .
Tranggg...!
Bunga-bunga api memercik ke
udara, begitu kedua senjata itu beradu. Jalatara merasakan betapa sekujur
tangannya tergetar hebat Pemuda berkumis tipis ini kaget bukan main. Sungguh di
luar dugaannya kalau tenaga dalam yang di mi li ki gadis berpakaian puuh Ini
kuat sekali! Semula Jalatara menduga kalau hanya Dewa Arak sajalah yang
merupakan lawan tangguh. Sungguh tidak diduganya kalau Melati pun merupakan
lawan yang a mat berat baginya.
Jalatara tidak punya pilihan
lain. Pemuda ini tidak Ingin usahanya yang telah lama dirintisnya gagal total
Maka tanpa malu-malu lagi, anak buahnya diperintah kan mengepung Melati .
"Serbu...!"
Tanpa diperintah dua kali,
belasan anak buahnya meluruk menyerang Melati, Sesaat kemudian hujan senjata
pun berkelebatan ke arah gadis berpakaian serba putih itu. Jalatara pun tidak
tinggal diam. Bersama Ki Taji, pemuda berkumis tipis ini ikut menyerbu.
Melati menggertakkan gigi. Dua
belas orang anak buah Perkumpulan Kalajengking Merah bukanlah lawan yang berat
baginya. Tapi Jalatara dan Ki Taji, merupakan lawan yang patut diperhitungkan.
Mau tak mau Melati terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya, bila ingin
selamat Sesaat kemudian d ruangan Itu telah terjadi pertempuran sengit.
Sementara itu pertarungan
antara Dewa Arak melawan Kalajengking Merah sudah bergeser jauh dari tempat
semula. Ruang tengah yang sebenarnya cukup luas, terasa sangat sempit bagi
kedua orang sakti itu. Lantai dan dinding ruangan telah banyak yang
retak-retak, karena setiap kali kedua tokoh itu melancarkan pukulan, dinding
ruangan itu selalu bergetar. Hal ini membuat kedua tokoh sakti Itu tidak leluasa
untuk melancarkan serangan. Khawatir bila bangunan itu roboh dan menimpa
mereka.
Kini Dewa Arak dan
Kalajengkingi Merah telah berada di halaman. Semakin bertambah luas tempat
pertarungan gerakan mereka pun semakin leluasa.
Pertarungan antara kedua orang
yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi ini berlangsung cepat. Dalam
hati, Dewa Arak memuji kelihaian lawannya. Kalajengking Merah memang memiliki
kepandaian luar biasai Baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuhnya tidak
berada di bawah Dewa Arak.
Dan yang lebih menyulitkan
bagi Dewa Arak, adalah keanehan ilmu yang dimainkan kakek berkulit merah itu.
Ilmu milik kakek berkulit merah itu mengingatkan Arya pada binatang
kalajengking dan kuda.
Sepasang tangannya yang
membentuk cakar aneh menyambar-nyambar penuh ancaman maut ke berbagai bagian
tubuh Dewa Arak. Tapi yang lebih berbahaya adalah kibasan kakinya. Kibasan kaki
itu mengingatkan Dewa Arak pada sabetan ekor kalajengking. Di samping itu, kaki
kakek berkulit merah itu pun dapat mementil seperti seekor kuda. Itulah
sebabnya, sepasang kaki kakek itu jauh lebih berbahaya daripada kedua
tangannya.
Serangan sepasang kaki si
kakek selalu datang tiba-tiba. Kalau saja Dewa Arak tidak mempunyai jurus
'Delapan Langkah Belalang', sudah sejaktadi pemuda berambut putih keperakan ini
roboh di tangan Kalajengking Merah.
Setelah bertarung selama
seratus enam puluh jurus, Dewa Arak belum juga mampu mendesak kakek berkulit
merah itu. Kehebatan jurus'Belalang Mabukpupus menghadapi sepasang kaki Kalajengking
Merah yang selalu datang tiba-tiba. Beberapa kali Dewa Alah hampir saja terkena
serangan kaki yang terkadang, mengibas dan sesekali mementil itu. Tapi berkat
keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih mampu mengelakkannya.
Dewa Arak tidak punya pilihan
lain lagi. Pemuda itu memutuskan untuk mengeluarkan Jurus yang jarang
digunakannya kalau tidak terpaksa sekali, Jurus 'Pukulan Belalang'!
"Haaattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan
nyaring, di jurus ke seratus delapan puluh tujuh, Kalajengking Merah
mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh. Dan seperti biasanya, serangan
itu datang secara tidak terduga-duga, sehingga membuat Dewa Arak kaget bukan
main. Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya masih
sanggup mengelakkan serangan itu.
Cepat-cepat pemuda berambut
putih keperakan ini merunduk, sehingga kibasan itu lewat sejengkal di atas
kepalanya. Rambutnya sampai berkibaran akibat kerasnya tenaga dalam yang
terkandung dalam tendangan itu.
Tapi sungguh di luar dugaan
Dewa Arak kalau tiba-tiba saja kaki kiri Kalajengking Merah menendang kearah
perutnya.
Bukkk... !
"Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan.
Tendangan itu keras bukan main. Seketika itu juga tubuh pemuda itu terjengkang
beberapa tombak ke belakang. Rasa sesakyang amat sangat mendera Arya. Untung
saja Dewa Arak yang terkena tendangan itu, kalau orang lain pastitewas
seketika,
"He he he...!"
Kakek berkulit merah itu
terkekeh. Tanpa memberi kesempatan lagi, segera diserbunya Dewa Arak yang masih
terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya bagaikan dua buah capit
kalajengking menyambar ganas ke pelipis dan ubun-ubun Dewa Arak.
Mendadak saja, Arya
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan angin keras berhawa panas menyengat
menyambar, memapaktubuh Kalajengking Merah yang tengah melunak ke arahnya.
Kakek berkulit merah ini
terpekik kaget. Serangan Itu datangnya begitu tiba-tiba. Apalagi tubuhnya
tengah berada di udara. Belum sempat guru Jalatara itu berbuat sesuatu, jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak, telak menghantamnya.
Bresss...!
"Aaakh...!"
Kalajengking Merah melayang
jauh diiringi teriakan menyayat, dan jatuh beberapa tombak dari tempatnya
semula. Kakek berkulit merah ini menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi. Kalajengking Merah tewas dengan sekujur
tubuh hangus.
"Uhk... uhk...!"
Dewa Arak terbatuk-batuk. Ada
cairan merah kental yang memercikdari mulutnya seiring suara batuknya. Arya
memang menderita luka dalam. Tendangan Kalajengking Merah yang mengenal
perutnya memang kuat luar biasa. Tapi pengerahan tenaga dalam akhir jurus
'Pukulan Belalang' itulah yang semakin memperparah luka dalamnya.
Meskipun terluka dalam, tapi
kekhawatiran Dewa Arak akan keselamatan Melati yang tengah dikeroyok, membuat
pemuda itu mengesampingkan luka dalam nya. Bergegas Arya melangkah ke dalam
ruang tengah yang luas dan megah itu.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghela napas lega. Dilihatnya Melati telah berhasil menguasai
keadaan. Dua belas orang Perkumpulan Kalajengking Merah telah bergeletakan di
lantai. Semuanya tewas. Kini yang dihadapi gadis berpakaian putih itu tinggal
Jalatara dan Ki Taji saja. Itu pun keduanya sudah terdesak hebat Memang, Melati
dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya terlalu kuat bagi kedua lawannya.
Hati Dewa Araktenang melihat
hal ini. Kini pemuda berbaju ungu itu tidak perlu khawatir lagi akan
keselamatan Melati. Segera saja Arya duduk bersila. Tak lama kemudian Dewa Arak
sudah tenggelam dalam semadinya untuk mengatasi luka dalamnya yang cukup parah.
Sementara itu pertarungan
antara Melati dengan kedua orang pimpinan Perkumpulan Kalajengking Merah
semakin sengit.
"Hiyaaat..!"
Cappp...!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Ki Taji menjerit memilukan
ketika pedang Melati menghunjam perutnya.
Jalatara tidak menyia- nyiakan
kesempatan itu Selagi pedang Melati masih tertancap di perut Ki Taji, dari
belakang dia melompat menerjang. Dan selagi tubuhnya berada di udara,
senjatanya disabetkan ke leher Melati.
Tidak ada jalan lain bagi
Melati. Pegangan pada pedangnya terpaksa dilepaskan, sambil menjatuhkan diri ke
lantai. Melati terpaksa bergulingan sehingga kini gadis ini berada dalam posisi
terlentang.
Wuttt.. !
Babatan tongkat berujung ekor
kalajengking itu mengenai tempat kosong. Dan di saat itulah Melati
menghentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar naga ke atas, ke arah tubuh
Jalatara yang masih berada di udara. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
Mustika'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Jalatara menjerit memilukan.
Tubuhnya yang tengah berada di udara itu melambung kembali atas. Pukulan jarak
jauh Melati telak mengenai dadanya. Seketika itu juga sekujur tulang dadanya
remuk. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinga-nya. Pemuda
berkumis tipis ini tewas sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah. Dengan mengeluarkan
suara berdebuk keras tubuh Jalatara jatuh ke lantai.
Sudiraja, Kanulaga, dan
Nirmala menatap mayat. Jalatara dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan.
Ada perasaan lega melihat pemuda itu mati. Tapi perasaan sedih, mendera lebih
besar lagi. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah keluarga mereka. Terlebih lagi
Sudiraja! Tanpa dapat ditahannya, sepasang mainnya merembang berkaca-kaca.
Dewa Arak dan Melari
menghampiri. Sudiraja sekeluarga dan Pandira yang kini sudah tidak terlalu
lemah lagi. Mereka kini sudah mampu bangkit dan dapat berbuat sebagaimana orang
biasa layaknya. Tapi, tetap saja tenaga dalam yang mereka miliki musnah.
"Sayang sekali, kami
tidak tahu bagaimana caranya memunahkan racun itu," keluh Dewa Arak penuh
sesal setelah menyelesaikan semadinya. Kini luka-luka dalamnya telah sembuh.
"Aku dapat memunahkannya,
Dewa Arak," sahut Kanulaga.
"Kau bisa?" tanya
Arya ingin memastikan.
"Ya! Guruku ahli
pengobatan. Racun ini bukan apa-apa bagiku," ucap laki-laki berwajah keras
itu seperti menyombongkan diri.
"Lalu, kenapa sejaktadi
kau diam saja?" tanya Dewa Arak menyalahkan.
Tadi aku belum mampu
bangkit.... Eh! Dewa Arak...!" panggil Kanulaga keras.
Sebelum pemuda itu
menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak melesat pergi dari situ diikuti oleh Melati.
Tapi Arya dan Melari sama
sekali tidak mempedulikan panggilan Kanulaga. Kedua pendekar muda ini sengaja
bergegas pergi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih dari orang yang
ditolongnya. Lagi pula urusannya telah selesai. Kanulaga, Sudiraja, Pandira,
dan Nirmala, hanya dapat teriongong melihat kepergian penolong mereka.
Sementara itu, nun jauh di
sana nampak dua sejoli tengah berjalan berdampingan. Seorang pemuda berambut
putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih. Kedua orang
itu adalah Dewa Arak dan Melati yang terus mengembara me menu hi tugas sebagai
pendekar pembela kebenaran .
SELESAI