06 - Prahara Hutan Bandan
Suara cicit burung menyambut
datangnya pagi. Sang mentari bersinar lembut menyinari bumi. Dua orang lelaki
berwajah kasar melangkah memasuki mulut Desa Bandan. Melihat senjata yang
terselip di pinggangnya, bisa diketahui kalau kedua orang ini adalah
orang-orang persilatan.
"Benarkah katamu, Kang?
Apa kau yakin benda bercahaya itu jatuh di Hutan Bandan?" tanya salah
seorang yang berwajah bopeng.
Orang yang dipanggil kakang,
hanya menganggukkan kepalanya. Tubuhnya tinggi besar dan kekar tapi wajahnya
kurus. Hampir-hampir tidak berdaging. Seperti tengkorak saja layaknya.
"Begitulah berita yang
kudengar Adi. Sayang, aku tidak tahu tempatnya," sahut laki-laki yang
berwajah tengkorak. "Menurut orang yang kita tanyai, hutan itu tak jauh
dari sini. Tapi, di mana ya?" sambung si muka tengkorak lagi sambil
memandang sekelilingnya.
"Nanti bisa kita tanyakan
pada penduduk yang kita temui lagi, Kang," timpal laki-laki bermuka bopeng
itu.
Belum lagi mereka melangkah
jauh, keduanya berpapasan dengan tiga orang petani yang tengah menuju ke sawah.
Laki-laki bermuka bopeng itu bergegas mendekati.
"Hei, Pak Tua...!"
tegur laki-laki bermuka bopeng itu keras.
Tiga orang petani yang
rata-rata berusia setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Kening mereka
berkerut, begitu melihat dua orang aneh bertingkah laku kasar datang mendekat.
"Kau tahu di mana letak
Hutan Bandan, Pak Tua?" tanya laki-laki berwajah bopeng dengan kasar.
Wajah tiga orang petani itu
mendadak pucat. Tapi hal inimalah membuat si muka bopeng tertawa senang.
"Tidak perlu takut,"
ucap laki-laki berwajah bopeng itu dengan lagak memuakkan. "Kalau kalian
memberitahu letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan."
Ketiga petani itu
menggeleng-gelengkan kepalanya serempak.
"Kami... kami tidak tahu,
Tuan," jawab salah seorang yang berkumis putih.
"Apa?!" teriak si
muka bopeng. Sepasang matanya membelalak lebar. "Kau berani berbohong pada
kami, tua bangka peot?!"
Sambil berkata demikian,
tangan laki-laki kasar itu meraba hulu pedang di pinggangnya. Tentu saja hal
itu membuat ketiga orang petani itu gemetar.
"Aku... aku tidak bohong,
Tuan...," sahut salah seorang dari petani itu terbata-bata.
Terdengar suara berderak keras
saat laki-laki bermuka bopeng itu mengepalkan tangan kirinya.
"Keparat...! Rupanya kau
lebih suka memilih mati, heh?! Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua
bangka!"
Setelah berkata demikian
tangannya berkelebat cepat. Dan .....
Srat! Crak..!
"Akh...!"
Si petani berkumis putih
menjerit tertahan. Pedang laki- laki bermuka bopeng itu telah membabat
lehernya. Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya!
Dua orang petani lainnya
menatap tubuh kawannya yang tidak bernyawa lagi dengan mata tidak berkedip.
Bergidik bulu kuduk mereka menyaksikan kematian kawannya yang begitu tragis.
Jangankan melawan, berdiri saja rasanya hampir tak sanggup lagi!
"Nah! Bagaimana? Mau
menunjukkan di mana letak Hutan Bandan atau, memilih nasib seperti dia!"
ancam laki- laki bermuka bopeng seraya menunjuk mayat petani sial yang sudah
tak berkepala. Sedangkan laki-laki berwajah tengkorak hanya memperhatikan semua
peristiwa itu
sambil menyeringai kesenangan.
Dua orang petani itu saling
berpandangan sejenak. Mereka tidak berani memandang wajah beringas si muka bopeng.
"Cepat jawab...! Sebelum
kesabaranku hilang...!" sentak si muka bopeng gusar.
Tubuh dua orang itu menggigil
semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba mereka nekat membalikkan tubuh dan berlari
meninggalkan si muka bopeng.
"Rupanya kalian juga
memilih mampus...!" terdengar suara berseru nyaring. Tahu-tahu di depan
keduanya telah berdiri si muka tengkorak. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Ah...!" kedua
petani itu berseru kaget. Dengan wajah pucat mereka menghentikan langkahnya.
Belum lagi mereka sempat berbuat
sesuatu, si muka tengkorak telah menggerakkan tangannya. Dalam sekejap
tangannya telah menggenggam sebatang golok.
"Hih...!"
Si muka tengkorak menusukkan
goloknya ke arah perut salah seorang petani malang itu.
Blesss...!
"Aaakh...!"
Petani sial itu menjerit
memilukan ketika golok itu menembus perutnya. Darah segar bermuncratan dari
perutnya. Beberapa saat lamanya petani sial itu ber- kelojotan meregang nyawa,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Pelahan-lahan si muka
tengkorak mendekati petani yang tersisa. Kontan si petani muridur ketakutan.
Tapi langkahnya terhenti ketika punggungnya terasa menyentuh sesuatu. Sambil
berjingkat kaget, ia menoleh ke belakang.
Ternyata punggungnya menyentuh
ujung pedang yang diacungkan si muka bopeng. Kini dia tidak bisa lari ke mana-
mana
"Ampun... ampunkan aku,
Tuan anakku banyak.... Jangan bunuh aku...," rintih petani itu memelas.
Si muka tengkorak mendengus.
"Kami akan mengampunimu,
Pak Tua. Kalau kau sayang pada anak-anakmu, katakanlah, di mana letak Hutan
Bandan?! Bila kau menolak, maka kami tidak segan-segan mengirimmu ke
akherat!"
Tubuh si petani semakin
menggigil mendengar ancaman itu.
"Ttt... tapi, Tuan....
Hutan yang Tuan sebutkan itu adalah hutan larangan. Hutan keramat! Hutan itu
telah diamanat- kan agar dijaga oleh penduduk Desa Bandan. Tidak seorang pun
diperbolehkan masuk ke dalamnya. Kalau ada yang masuk, apalagi sampai membuat
onar, maka bencana akan menimpa desa kami..." ucap petani itu
terbata-bata.
"Aku tidak peduli apa
yang terjadi dengan desa ini! Katakan di mana letak Hutan Bandan atau kau ingin
mati pelan-pelan, heh! Ini kesempatanmu yang terakhir, Pak Tua!" si muka
bopeng sudah tak sabar. Pedangnya yang sejak tadi menempel di punggung si
petani semakin ditekan. Darah mulai menetes dari luka di punggung petani matang
itu.
Si petani menggigit bibirnya,
menahan rasa nyeri di punggungnya.
"Ba... baik,
baiKiah," ujar petani itu terputus-putus.
Si muka bopeng menarik kembali
pedangnya.
"Hutan itu ada di balik
gunung." si petani menjawab sambil menunjuk ke arah sebuah gunung di
hadapannya .
Kedua orang kasar itu
mengikuti arah yang ditunjuk oleh si petani. Benar mereka memang melihat sebuah
gunung yang menjulang di kejauhan.
Si muka tengkorak
menganggukkan kepalanya ke arah si muka bopeng. Saat itu juga, si muka bopeng
menusukkan pedangnya ke punggung si petani.
Cappp...!
"Akh...!"
Darah bermuncratan ketika
pedang itu menembus punggung hingga ke perut si petani.
Orang malang itu
terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Lukanya bertambah lebar ketika si muka
bopeng menarik kembali pedangnya .
"Kkk.... kenapa Tuan
mengingkari janji...?" si petani ber- tanya sambil menahan rasa sakit.
Desss!
Tendangan si muka tengkorak
menjawab pertanyaan si petani itu.
"Hugh...!"
Si petani mengeluh tertahan.
Tendangan itu tepat mengenai perutnya. Tubuhnya terjengkang, berguling- guling
di tanah. Sang maut telah menjemputnya.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat
petani sial itu, keduanya segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan si
petani.
Tanpa mereka sadari, sejak
tadi seorang anak belasan tahun melihat semua kejadian itu dari balik semak
belukar.
Begitu dilihatnya kedua
pembunuh itu berlalu, anak itu pun segera berlari kencang ke arah desa.
***
Ki Gayan, Kepala Desa Bandan
tersentak kaget men- dengar laporan yang dibawa oleh anak belasan tahun di
depannya, ia mengenali anak itu sebagai salah seorang warganya.
"Benarkah semua yang kau
katakan ini, Dursa?" tanyanya lagi meminta ketegasan.
"Sungguh mati, Ki, Aku
tidak bohong!" sahut anak yang bernama Dursa itu.
Ki Gayan menggelengkan
kepalanya.
"Cepat kau beritahukan
peristiwa ini pada Ki Sanca- perta, Dursa," perintah laki-laki setengah
baya itu. "Antarkan dia langsung ke tempat kejadian!"
"Sekarang, Ki?"
"Tentu saja!" sentak
Ki Gayan agak kesal.
Kembali Dursa berlari. Kali
ini tujuannya adalah rumah Ki Sancaperta, guru silat di desa ini. Sedangkan Ki
Gayan segera beranjak menuju tempat pembunuhan bersama salah seorang
pengawalnya.
Dalam waktu singkat Desa
Bandan geger. Kematian tiga warganya membuat mereka resah. Rasa cemas nam pak
terlihat di setiap wajah penduduk.
"Hal ini tidak boleh
dibiarkan!" tegas Ki Gayan. "Kita harus menangkap pembunuhnya.
"Aku setuju dengan
pendapatmu, Gayan!" dukung seorang yang bertubuh tegap. Orang ini
kelihatan gagah dengan cambang bauk lebat di wajahnya. Dia satu-satunya guru
silat di Desa Bandan ini. Murid-muridnya cukup banyak. Semuanya penduduk desa
itu. "Akan kukejar orang yang berani kurang ajar memasuki Hutan Bandan,
Gayan. Jika melalui jalan pintas, mungkin aku masih dapat mendahului mereka.
Mudah-mudahan keduanya belum sempat memasuki hutan."
"Ahhh...! Usulmu bagus
sekali, Sanca." sahut Ki Gayan gembira.
"Kalau begitu, aku pergi
dulu, Gayan."
Setelah berkata demikian, Ki
Sancaperta segera melesat dari tempat itu. Gerakannya cepat bukan main. Sekali
bergerak, tubuhnya sudah berada beberapa tombak di depan.
Ki Gayan segera memerintahkan
para penduduk meng- urus ketiga jenazah warganya. Laki-laki setengah baya ini
merasa prihatin atas malapetaka yang menimpa keluarga korban.
"Bukan tidak mungkin
masih banyak orang yang akan menanyakan letak Hutan Bandan. Entah apa yang
sebenarnya mereka inginkan?" desah Ki Gayan pada dirinya sendiri.
Sepertinya ada beban berat yang menekan batinnya.
***
Ki Sancaperta mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun
tinggal di situ, ia hapal betul seluk beluk seluruh Desa Bandan. Ki Sancaperta
tahu jalan pintas menuju Hutan Bandan.
Tanpa mempedulikan onak dan
ranting yang melukai- nya. Ki Sancaperta terus merambah semak belukar.
Begitu hamplr menembus
rerimbunan semak terakhir, matanya menangkap adanya dua sosok tubuh tengah
berjalan di depannya.
Brusss... !
Ki Sancaperta cepat-cepat
menerobos semak terakhir.
"Kisanak berdua, harap
tunggu sebentar...!" seru guru silat ini.
Kedua orang itu menghentikan
langkahnya sambil menoleh ke belakang mencari asal suara.
Sesaat kemudian Ki Sancaperta telah
berdiri menantang di depan mereka.
Ki Sancaperta mengamati kedua
orang kasar itu sejenak. Keduanya mempunyai ciri-ciri sesuai seperti yang
diceritakan Dursa. Yang satu, wajahnya bopeng, sementara yang seorang lagi
berwajah kurus. Jadi inikah kedua orang yang telah membunuh tiga orang warga
desanya?
"Siapa kau?!" tegur
si muka bopeng kasar. Matanya menatap tajam sekujur tubuh guru silat itu.
"Seharusnya akulah yang
mengajukan pertanyaan itu, Kisanak!" sergah Ki Sancaperta seraya
tersenyum.
"Kurang ajar! Rupanya kau
cari mampus, heh!" bentak si muka bopeng.
"Kalianlah yang cari
mampus! Aku menuntut balas atas kematian tiga warga desaku yang baru saja
kalian bunuh!" sahut Ki Sancaperta geram.
"Keparat..! Mampuslah
kau..!" teriak si muka tengkorak sengit.
Tanpa sungkan-sungkan lagi,
segera dicabut goloknya. Lalu disabetkannya ke leher Ki Sancaperta. Begitu si
muka bopeng melihat kawannya sudah menyerang ia bersiap- siap membokong.
Wuttt...!
Dan gerakannya, Ki Sancaperta
tahu kalau kedua orang lawannya ini hanya memiliki sedikit kepandaian. Rasanya
tidak terlalu sulit baginya merobohkan keduanya.
Segera kepalanya ditarik ke
belakang sehingga serangan itu lewat beberapa rambut dari wajahnya. Pada saat
yang bersamaan, Ki Sancaperta segera melepaskan tendangan lurus ke arah perut.
Buk!
"Hugh...!"
Si muka tengkorak mengeluh
tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang. Darah segar menetes di sudut- sudut
bibirnya.
Tapi sebelum Ki Sancaperta
mengirimkan serangan susulan, si muka bopeng lebih dulu melesat menyerang.
Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher.
Ki Sancaperta mendengus.
Laksana kilat tubuhnya menyelinap ke bawah. Pada saat yang bersamaan,
dilepaskannya pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan perut lawan.
Buk! Buk... !
"Hughk...!"
Bertubi-tubi pukulan yang
dilancarkan Ki Sancaperta mengenai sasaran. Terdengar suara berderak ketika
tulang-tulang rusuk si muka bopeng berpatahan. Darah segar keluar dari mulut,
hidung, dan telinganya.
Bruk... !
Tubuh si muka bopeng jatuh
tersungkur. Nyawanya melayang seketika.
"Keparat...!"
Si muka tengkorak berteriak
gusar. Golok di tangannya diputar-putar laksana baling-baling. Sambil
mengeluarkan teriakan melengking, diterjangnya guru silat itu.
Ki Sancaperta dengan tenang
menggerakkan tubuhnya ke sana kemari. Semua serangan si muka tengkorak mengenai
tempat kosong. Dan pada suatu ke sempatan....
Tak!
Si muka tengkorak memekik
ketika tendangan Ki Sancaperta mengenai pergelangan tangannya. Golok di
tangannya terlempar.
Sebelum orang kasar ini sempat
berbuat sesuatu, kaki yang baru saja menendang pergelangan tangannya berputar
cepat mengancam rahangnya. Gerakan itu begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga si
muka tengkorak tidak sempat menghindar.
Krak...!
Terdengar suara berderak keras
ketika tulang leher si muka tengkorak patah. Tubuhnya terlempar ke belakang.
Beberapa saat lamanya, laki-laki kasar itu menggeliat menjemput maut.
Ki Sancaperta memandangi kedua
sosok tubuh yang terkapar itu sejenak. Dengan sekali hentakan, kedua mayat itu
ditendang masuk ke semak-semak.
Setelah menyelesaikan
pekerjaannya laki-laki gagah itu bergegas kembali ke Desa Bandan.
***
"Aku semakin khawatir
melihat perkembangan akhir- akhhr ini, Gayan," ucap Ki Sancaperta ketika
malam harinya mereka berembuk membahas masalah tadi pagi.
Pertemuan itu juga dihadiri
oleh Gempal, pengawal Ki Gayan sekaligus merangkap Kepala Keamanan Desa Bandan.
Tak ketinggalan pula Jiwala, murid utama Ki Sancaperta.
"Hhh...!" Kepala
Desa Bandan itu hanya menghela napas panjang.
"Ini adalah kejadian
ketiga kalinya, Gayan. Belum lama ini beberapa warga kita ditemukan tewas
karena masalah yang sama. Orang-orang kasar itu selalu menanyakan letak Hutan
Bandan. Diberitahukan atau tidak, tetap saja mereka dibunuh." ucap
laki-laki gagah itu lagi.
"Hm..., mungkin karena
adanya berita yang beredar di dunia persilatan, Guru," tukas Jiwala.
Laki-laki gagah bercambang
bauk itu menoleh ke arah muridnya.
"Berita apa,
Jiwala?" tanya guru silat itu. Nada suaranya menyiratkan rasa ingin tahu.
Bukan hanya Ki Sancaperta saja, Ki Gayan dan Gempal pun memandang wajah Jiwala
dengan penuh perhatian.
Jiwala menarik napas panjang
sebelum memulai keterangan.
"Menurut berita yang
kudengar, ada sebuah benda ber- cahaya dari langit yang jatuh di sekitar Gunung
Bandan. Jadi, yahhh.... di sekitar Hutan Bandanlah...," tegas pemuda
bertubuh pendek kekar itu.
"Benda bercahaya dari
langit...?" gumam Ki Sancaperta. Jelas kalau guru silat itu masih belum
mengerti.
Ditatapnya Ki Gayan, dan
Gempal. Tapi keduanya terlihat tengah mengernyitkan alisnya. Rupanya kedua
orang ini juga dilanda perasaan yang sama.
"Benarkah apa yang kau
ucapkan ini, Jiwala?" tanya Ki Sancaperta meminta ketegasan.
"Begitulah berita yang
kudengar Guru," sahut Jiwala disertai anggukan kepalanya.
"Kalau benar semua yang
kau ucapkan itu, berarti kita sekarang berada dalam bahaya!"
"Mengapa demikian,
Ki?" tanya Gempal. Matanya merayapi wajah Ki Sancaperta yang terlihat
gelisah.
Guru silat itu menatap wajah
Kepala Keamanan Desa Bandan itu lekat-lekat.
"Kau tidak bisa menduga
akibat berita itu, Gempal?!" tanya laki-laki gagah itu. Suaranya
mengandung teguran.
"Orang- orang persilatan
pasti akan berbondong-bondong datang ke Hutan Bandan. Bukankah kau tahu bahwa
hutan itu merupakan daerah terlarang? Bukankah kita dipesan untuk melarang
siapa pun masuk ke dalamnya? Kalau hal itu dilanggar, maka desa kita akan
dilanda musibah!"
Wajah Gempal memerah karena
malu. Pikirannya baru terbuka setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari
gurunya. Gempal memang kurang cepat tanggap terhadap setiap masalah, meskipun
kedudukannya adalah sebagai kepala keamanan desa.
"Lalu bagaimana baiknya,
Sanca?" tanya Ki Gayan. Otaknya buntu memikirkan jalan keluar persoalan
ini.
Ki Sancaperta menghela napas
panjang mendengar pertanyaan itu. Bisa dimaklumi kebingungan di benak kepala
desa yang sejak kecil menjadi teman karibnya ini.
"Kau tidak mempunyai
usul, Gayan?" tanya guru silat itu. Pelan dan datar nada suaranya.
Ki Gayan menggelengkan
kepalanya.
"Pikiranku buntu,
Sanca." sahut kepala desa itu mendesah.
Ki Sancaperta tercenung
sejenak.
"Kalau begitu, begini
saja Jiwala dan Gempal memimpin penjagaan di mulut desa. Usahakan, cegah orang
yang akan menuju Hutan Bandan. Jika menjumpai lawan yang lebih kuat, segera
pukul kentongan. Aku akan datang membantu kalian. Kalian paham?!" tanya
guru silat ini sambil menatap kedua laki-laki muda di hadapannya .
"Paham, Guru!" sahut
Jiwala sambil menganggukkan kepalanya.
"Paham, Ki!" jawab
Gempal pula.
"Bagus! Atur penjagaan
sebaik-baiknya."
***
Seorang pemuda berambut putih
keperakan melangkah pelahan memasuki Desa Bandan. Baru saja ia melangkah
melewati tembok baru batas desa, di depannya telah menghadang belasan orang
bersenjata lengkap. Sikap mereka tampaknya tidak bersahabat.
Pemuda yang tidak lain adalah
Arya atau yang lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu mengerutkan alisnya. Tapi,
pemuda ini seolah-olah bersikap tidak tahu apa yang ter- jadi di hadapannya.
"Berhenti...!"
Terdengar teriakan bernada
kasar. Belum lagi gema teriakan itu lenyap, tahu-tahu belasan sosok tubuh tadi
sudah bergerak mengurungnya.
Srat! Srat...!
Serentak orang-orang itu
mencabut senjatanya. Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak yang tidak tahu
apa-apa, menjadi kaget bukan main.
"Tahan...!" teriak
Arya keras. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. "Ada apa Ini? Mengapa
kisanak semua menghadang perjalananku?"
Salah seorang pengepungnya
maju menghampiri. Orang itu adalah Jiwala, murid kepala Ki Sancaperta.
"Tidak usah berpura-pura,
Kisanak! Bukankah kau ingin ke Hutan Bandan untuk mendapatkan benda langit
itu?" sergah pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil ter- senyum sinis.
Dewa Arak mengerutkan
keningnya. Ia tidak mengerti maksud pembicaraan orang itu.
Belum lagi Arya menjawab, si
pendek kekar sudah melompat menyerang. Golok di tangannya disabetkan ke leher
Dewa Arak.Tentu saja serangan orang yang berkepandaian seperti Jiwala tidak
berarti apa-apa bagi Dewa Arak. Kalau dia mau, hanya dengan menyalurkan sedikit
tenaga dalamnya, serangan tadi tidak akan mampu melukai kulitnya.
Tapi Dewa Arak tidak mau
mempertunjukkan kelihaian- nya. Kepalanya dimiringkan sedikit, sehingga
serangan itu lewat di atas kepalanya. Ia tak ingin melancarkan serangan
balasan. Arya tahu kalau belasan orang ini hanya salah paham.
Jiwala kalap begitu melihat
serangannya dapat digagal- kan. Kini, golok di tangannya kembali menyambar
semakin dahsyat.
Lagi-lagi pemuda kekar ini
menerima kenyataan pahit. Semua serangannya dapat dielakkan secara mudah oleh
Dewa Arak. Hal ini membuat kemarahannya semakin meluap. Sambil menggertakkan
gigi, diperhebat serangan- serangannya.
Dewa Arak mengernyitkan
alisnya. Hatinya kesal melihat kenekatan lawan. Akhirnya Arya memutuskan untuk
segera menyelesaikan pertarungan ini .
"Lepas...!" teriak Dewa
Arak keras. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangannya bergerak
menotok ke arah sikut Jiwala.
Tuk!
"Akh !"
Murid kepala Ki Sancaperta ini
memekik tertahan. Sekujur tangannya lumpuh seketika. Belum lagi dia sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu golok di tangannya telah berada dalam genggaman Dewa
Arak.
Kini sadarlah Jiwala kalau
pemuda di hadapannya me- miliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa ragu-ragu
lagi dia segera menoleh ke belakang sambil berseru keras.
"Serang..!"
Seketika itu juga para
pengepung Dewa Arak segera menyabetkan senjatanya masing-masing.
Dewa Arak mengernyitkan
keningnya. Orang-orang ini benar-benar nekat! Mereka sama sekali tidak mau men-
dengar penjelasannya. Arya akhirnya memutuskan untuk menghindar. Pemuda berbaju
ungu ini khawatir kalau melawan dengan kekerasan hanya akan memperuncing
keadaan.
Dengan mengandalkan ilmu
peringan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak melenting ke
atas, melewati kepala para pengeroyoknya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat di luar kepungan. Dan secepat itu pula segera dilangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Jiwala dan teman-temannya
terpaku melihat lawan yang mereka serang sudah tidak berada di tempatnya lagi.
Untuk sesaat mereka celingukan mencari-cari.
"Itu dia...!" teriak
Jiwala menunjuk ke arah Dewa Arak yang tengah melangkah memasuki desa.
Mereka segera
berbondong-bondong mengejar. Tentu saja Dewa Arak yang berjalan biasa, dalam
waktu singkat sudah terkejar. Pemuda berambut putih keperakan ini kembali
dikepung.
"Jangan harap dapat
memasuki Hutan Bandan sebelum melangkahi mayat kami, Kisanak!" seru Jiwala
keras.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas panjang. "Harap kisanak semua mau mengerti penjelasanku.
Sungguh, aku sama sekali tidak berniat menuju ke Hutan Bandan. Apalagi mencari
apa yang kalian sebut benda langit itu."
Jiwala mengernyitkan
keningnya. Ucapan pemuda berambut putih keperakan ini mulai membuatnya sedikit
percaya.
"Lalu, apa maksudmu
datang ke desa ini?" tanya Jiwala lagi. Nada suaranya mulai terdengar
lunak.
"Hanya kebetulan
lewat," sahut Arya
"Hanya itu saja?"
desak Jiwala. Ada rasa tidak percaya pada nada suaranya.
"Ya." jawab Arya
singkat.
Pemuda bertubuh pendek kekar
itu mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu,
siapa namamu, Kisanak?" tanya pemuda pendek kekar itu lagi. "Aku
Jiwala."
"Arya, Arya Buana."
"Baiklah, Arya. Kami
percaya bahwa kau tidak hendak menuju Hutan Bandan. Tapi ingat, kalau ternyata
kau menuju ke sana, kami tidak akan segan-segan menindak- mu!" tandas
Jiwala tegas.
Dewa Arak menghela napas lega.
"Terima kasih atas
kepercayaan yang kau berikan pada- ku, Kakang Jiwala. Percayalah..., nama Hutan
Bandan, mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri,
Kang."
"Aku percaya padamu,
Arya. Kelihatannya kau berbeda dengan orang-orang persilatan yang pernah datang
ke sini," jelas Jiwala.
"Jadi, banyak orang yang
datang kemari menanyakan masalah Hutan Bandan itu, Kang?"
"Ya." sahut Jiwala
sambil menganggukkan kepalanya. "Semua ini karena beredarnya berita yang
tersebar luas di luaran."
"Berita apa, Kang?"
tanya Arya ingin tahu.
"Berita yang mengatakan
adanya sebuah benda ber- sinar dari langit yang jatuh ke Hutan Bandan. Entah
dari mana asal berita itu. Jelas berita itu telah membuat orang- orang
persilatan berbondong-bondong kemari mencarinya. Padahal Hutan Bandan bagi kami
merupakan hutan larangan. Tidak seorang pun diperbolehkan menginjakkan kakinya
ke sana. Kalau itu sampai terjadi, kamilah yang akan terkena
akibatnya...," jelas Jiwala sambil mendesah.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kiranya ia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi di desa ini.
Kaum persilatan, lebih-lebih dari golongan hitam, rata-rata bersikap kasar. Hal
ini sudah pasti akan menimbulkan kesulitan. Apalagi penduduk desa ini tidak
mengijinkan orang memasuki Hutan Bandan.
Bentrokan sudah pasti tidak
bisa dihindari lagi.
"Belum lama ini, tiga
orang penduduk kami tewas karena tidak mau memberitahu orang yang menanyakan
letak Hutan Bandan," sambung Jiwala lagi. "Untung sebelum kedua orang
itu memasuki Hutan Bandan, guru kami telah bertindak cepat, sehingga keduanya
tewas sebelum memasuki Hutan Bandan."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Saat itu pandangan matanya yang tajam menangkap sosok di kejauhan
bergerak mendekati tempat mereka. Gerakannya cukup cepat, sehingga tak lama
kemudian sudah berada di dekat mereka.
"Guru...!" Jiwala
dan teman-temannya segera memberi hormat begitu mengenali orang yang baru
datang itu.
Arya menatap laki-laki bertubuh
kekar dan bercambang bauk itu. Orang yang baru tiba adalah Ki Sancaperta, guru
silat desa itu.
Ki Sancaperta menatap
lekat-lekat sekujur tubuh Dewa Arak. Keningnya berkernyit dalam. Jelas ada
sesuatu yang dipikirkannya.
"Ahhh...! Tidak salahkah
penglihatanku?! Benarkah yang sekarang berada di hadapanku ini Dewa
Arak?!" ujar Ki Sancaperta beberapa saat kemudian.
Tentu saja ucapan Ki
Sancaperta membuat murid-murid- nya terperangah. Benarkah pemuda berambut putih
keperakan yang mereka kepung ini adalah pendekar yang tersohor itu?
"Ah...! Hanya julukan
kosong saja, Ki," sahut Arya merendah.
"Ha... ha... ha...!"
guru silat itu tertawa bergelak. "Begitu- lah jawaban orang yang telah
memiliki kepandalan tinggi. Semakin berisi semakin merunduk!"
Wajah Dewa Arak langsung
memerah. Memang begitu sikap Arya. Ia merasa risih jika ada orang yang
memujinya.
"O ya, Dewa Arak.
Bagaimana kalau kau singgah dulu di sini. Perlu kau ketahui sebentar lagi desa
ini akan menjadi desa neraka. Puluhan orang persilatan akan datang kemari. Kami
sangat mengharapkan bantuan darimu Dewa Arak!"
"Saya akan berusaha,
Ki," sahut Arya mendesah.
"Ha... ha... ha...!
Terima kasih atas kesediaanmu. Mari, mari...!" ajak Ki Sancaperta seraya
beranjak meninggalkan tempat itu diikuti Dewa Arak yang mengangguk setuju.
"O ya, Jiwala! Teruskan
penjagaan! Jangan biarkan orang luar masuk ke desa ini!"
"Baik, Guru!" sahut
Jiwala penuh semangat. Pikirannya masih terpaku pada apa yang baru saja di
dengarnya. Sulit dipercaya bila pemuda yang tadi diserangnya adalah Dewa Arak.
Sungguh luar biasa pengalaman yang didapatnya hari ini. Bertarung dengan tokoh
yang sangat tersohor, Dewa Arak!
***
Tiga sosok tubuh melangkah
pelahan merambah hutan. Potongan tubuh mereka rata-rata kekar dan tegap. Wajah
ketiganya pun mirip satu sama lain. Dunia persilatan men- juluki mereka Tiga
Memedi Putih. Yang membedakan mereka satu sama lain adalah ciri-ciri khas
mereka. Mata mereka memandang liar ke sana kemari.
"O ya, Kang Narda.
Benarkah berita yang Kakang dengar itu? Benarkah benda langit jatuh di hutan
ini?" tanya salah seorang dari mereka yang beralis putih. Memedi Alis
putih, julukannya.
Orang yang dipanggil Narda
menoleh. Berbeda dengan orang yang menegurnya Narda memiliki jenggot putih,
sehingga diberi julukan Memedi Jenggot Putih.
"Berita itu sudah
demikian meluasnya, Adi. Hampir semua orang persilatan tahu. Bahkan...., asal
tahu saja, aku bukan hanya mendengar berita itu... tapi juga melihat dengan
mata kepalaku sendiri."
"Benarkah yang kau
katakan itu, Kang Narda?" tanya Memedi Kumis putih. Orang ini disebut
demikian karena memiliki kumis putih.
"Sungguh! Sekarang pasang
mata kalian lebar-lebar. Aku khawatir kita keduluan orang lain. Kalian tahu,
bukan hanya kita bertiga saja yang menginginkan benda langit itu!"
Mendengar ucapan Memedi
Jenggot Putih, semangat dua orang rekannya bangkit kembali. Mata mereka semakin
liar merayapi setiap sudut Hutan Bandan.
Srak..!
Memedi Kumis Putih menyibakkan
semak-semak di depannya. Tapi begitu semak-semak itu terkuak secepat kilat
tubuhnya melenting ke belakang. Sebuah jeritan tertahan keluar dan mulutnya.
Jeritan Memedi Kumis Putih
mengejutkan kedua orang rekannya. Serentak keduanya berpaling dengan sikap
waspada. Sebelum mereka sempat bertanya, tahu-tahu dari balik semak-semak itu
melesat sesosok bayangan putih yang luar biasa besarnya. Bayangan itu langsung
melesat ke arah Memedi Kumis Putih.
"Aummm...!"
Memedi Kumis Putin terperanjat
kaget. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Buru-buru dia melompat ke
samping. Tubuhnya berguling-guling menjauhi binatang itu. Sesaat kemudian Ia
sudah berdiri dengan sebuah ganco tergenggam di tangannya.
Memedi Jenggot Putih dan
Memedi Alis Putih kaget bukan kepalang. Di hadapan mereka kini telah berdiri
seekor macan berwarna putih yang sangat besar.
"Macan putih...,"
desis Tiga Memedi Putih serentak. Pandang mata mereka seakan-akan tidak mem
percaya i apa yang dilihatnya. Mereka segera teringat kalau macan putih di
hadapan mereka ini bukan tergolong macan putih biasa. Tapi macan ajaib!
Sudah menjadi rahasia umum
kalau macan putih ajaib memiliki banyak kegunaan. Darahnya dapat menyembuh- kan
segala macam penyakit akibat keracunan. Bahkan apabila diminum akan membuat
orang kebal terhadap segala jenis racun. Racun apa pun yang masuk ke dalam
tubuhnya langsung menjadi tawar. Bukan hanya itu, tulang- tulangnya dapat
dijadikan senjata pusaka. Kulitnya apabila dijadikan pakaian akan membuat
pemakainya kebal terhadap jenis senjata apa pun!
"Gagal mendapat benda
langit, aku pun tidak penasaran... asalkan dapat menangkap binatang ini."
gumam Memedi Alis Putih pelan.
Kedua rekannya menganggukkan
kepala pertanda setuju.
Macan putih tidak membiarkan
ketiga orang di hadapan- nya berpikir lebih lama lagi. Dengan sebuah auman
dahsyat, binatang itu menerkam Memedi Alis Putih yang berada sendirian,
terpisah dari rekan-rekannya.
Tapi si alis putih ini rupanya
sudah bersiaga sebelum- nya. Begitu macan itu melompat, segera tubuhnya
dilempar ke belakang sambil menyabetkan ganconya.
Takkk...!
Telak dan keras sekali
senjatanya menghantam kepala macan itu. Tapi akhirnya, justru tangannya
tergetar hebat Sementara macan itu tampak tidak terpengaruh sama sekali.
Kedua rekannya tidak
membiarkan Memedi Alis Putih menghadapi binatang itu sendirian. Mereka segera
ber- gerak membantu. Tak lama kemudian terjadilah sebuah pertarungan yang unik.
Pertarungan antara seekor macan dengan tiga orang manusia.
Tiga Memedi Putih mengeluh
dalam hati. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau macan putih itu begitu tangguh.
Berkall-kali pukulan, tendangan atau pun sabetan ganco menghantamnya. Tapi
semua itu seolah-olah tidak dirasakannya.
Sebaliknya, setiap cakaran,
tubrukan, maupun tamparan sang macan, membuat mereka pontang-panting
mengelakkannya.
"Aummm...!"
Untuk kesekian kalinya sambil
mengeluarkan auman menggetarkan dada, macan putih menerkam Memedi Kumis Putih.
"Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit
melengking. Terkaman sang macan tak dapat dielakkannya. Tubuhnya langsung
terjengkang. Kini sang macan berada di atas tubuhnya.
Meskipun kedua bahunya telah
robek, tapi laki-laki berkumis putih itu tidak mau menyerah begitu saja.
Dengan sekuat tenaga, ditahannya leher macan yang berusaha menggigit lehernya
Dua orang rekannya tidak
tinggal diam. Mereka segera melesat menghampiri kawannya. Tapi terlambat...!
"Aaakh...!"
Memedi Kumis Putih menjerit
memilukan tatkala gigi- gigi sang macan mengoyak lehernya. Sesaat tubuhnya
menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Memedi Alis Putih dan Memedi
Jenggot Putih terpaku melihat kematian temannya. Dan di saat itulah macan putih
kembali menerkam. Kaki kanan depannya berhasil mencakar muka Memedi Alis Putih.
Prattt.!
"Akh...!"
Memedi Alis Putih memekik
tertahan. Tubuhnya terjungkal dengan leher patah. Nyawanya telah melayang
menyusul rekannya.
Kini tinggal Memedi Jenggot
Putih. Tidak mungkin baginya menghadapi macan yang luar biasa ini. Kali ini ia
berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika sang macan lengah,
tanpa malu-malu lagi Memedi Jenggot Putih melesat kabur. Tapi sang macan tidak
membiarkan lawannya lolos begitu saja. Sambil mengeluarkan auman yang
mendirikan bulu roma, binatang itu menerkam Memedi Jenggot Putih.
"Akh...!"
Memedi Jenggot Putih memekik
tertahan ketika punggungnya ditubruk macan putih. Tubuhnya langsung jatuh
terguling-guling. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, gigi-gigi sang macan
telah bersarang di tengkuk- nya.
Tubuh Memedi Jenggot Putih
menggelepar-gelepar sesaat. Tak lama kemudian tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.
Setelah melihat ketiga
korbannya tewas, macan itu mengeluarkan suara gerengan pelan. Sepertinya dia
merasa puas atas kemenangannya. Kemudian macan itu mengelilingi mayat-mayat
korbannya.
Di saat itulah, tiba-tiba
muncul seorang nenek ber- pakaian dan berkerudung hitam menghampiri sang macan.
Kulit wajahnya tampak kehitaman. Sepasang mata, hidung dan mulutnya
mengingatkan orang akan raut muka burung elang. Di tangannya tergenggam
sebatang tongkat ber- keluk yang berujung ukiran kepala burung elang berwarna
hitam.
"Bagus...! Kau memang
hebat, Putih! Ingat...! Bukan hanya mereka saja yang harus kau bunuh. Tapi juga
setiap orang yang berani memasuki hutan ini. Mengerti, Putih?"
Macan putih itu hanya
menggereng pelan pertanda mengerti.
"Bagus...!" puji si
nenek itu lagi. "Nanti malam, kau dapat pekerjaan baru. Hukum penduduk
Desa Bandan yang telah membiarkan orang-orang ini masuk kemari!"
Kembali macan putih itu
menggereng pelan.
"Hik... hik...
hik...!" si nenek berpakaian serba hitam itu tertawa mengikik seraya
berlalu meninggalkan tempat itu. Macan putih mengikutinya sambil mengaum pelan.
***
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan mengaung
panjang. Suaranya menembus kesunyian malam yang menyelimuti Desa Bandan. Malam
itu suasananya memang agak berbeda dari biasanya Langit tertutup awan tebal,
sehingga cahaya bulan terhalang sinarnya.
Di balik kegelapan malam itu,
tampak sesosok bayangan putih dari Hutan Bandan bergerak cepat memasuki desa.
Gerakannya gesit sekali. Sesekali terdengar suara gerengan lirih mengiringi
gerakannya.
Tak lama kemudian, bayangan
itu sudah tiba di daerah pemukiman penduduk. Keadaan di sini tidak segelap
keadaan di sekitarnya. Cahaya obor yang terpancang di setiap rumah penduduk,
cukup menerangi suasana di sekelilingnya.
Sosok bayangan putih mulai
memperlambat gerakannya. Kini langkahnya ditujukan pada salah satu rumah
penduduk. Di bawah penerangan obor, kini tampak jelas ujud sebenarnya. Sosok
bayangan putih itu tak lain adalah seekor macan putih!
Tubuh macan itu besar sekali.
Jauh lebih besar dari macan biasa. Paling tidak satu setengah kali besar macan
biasa!
Sambil mengeluarkan gerengan
lirih binatang itu menubruk pintu sebuah rumah yang berdinding bilik.
Brakkk... !
Pintu rumah itu langsung jebol
ketika tubuh macan itu menerjang masuk. Suara ribut-ribut membuat penghuni
rumah yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak yang masih kecil
terbangun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka tatkala melihat seekor
macan putih besar berada di dalam rumahnya.
"Cepat kalian
lari...!" teriak sang kepala keluarga sambil menyambar golok yang
tergantung di dinding bilik.
Kemudian dengan penuh
keberanian, diterjangnya macan itu dengan golok terhunus.
Dorongan semangat untuk
menyelamatkan keluarganya, telah membangkitkan keberaniannya. Tapi .....
"Aaakh...!"
Kepala keluarga yang naas itu
menjerit keras. Sebelum senjatanya mengenai sasaran, macan itu lebih dahulu
menerkamnya. Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh ke
lantai dengan tubuh binatang buas itu berada di atasnya.
Suara berdebuk nyaring
terdengar ketika tubuhnya jatuh di lantai. Sementara itu, istri dan anaknya
hanya dapat duduk bersimpuh di lantai. Perbuatan macan putih itu, membuat lutut
mereka lemas. Jangankan lari, berdiri pun tidak mampu. Lidah kedua anak beranak
ini terasa kelu.
"Aummm...!"
"Akh...!"
Pemilik rumah itu memekik
nyaring ketika gigi-gigi dan kuku macan itu bersarang di leher dan tubuhnya.
Sesaat tubuhnya berkelojotan sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.
Setelah melihat kematian
suaminya yang tragis, akhirnya sang istri mampu juga berteriak.
"Tolooong...!
Tolooong...!" teriak perempuan itu nyaring memecah kesunyian malam.
"Aummm...!"
Macan itu kembali menerkam.
Kali ini ke arah sang Istri!
"Aaakh...!"
Wanita itu memekik tertahan
ketika gigi-gigi macan itu menghunjam lehernya. Hanya sebentar tubuhnya meng-
gelepar-gelepar, lalu diam untuk selamanya.
"Ibu..., Bapak...,"
rintih sang anak antara perasaan sedih dan takut. Air matanya mengalir deras
membasahi pipi.
"Grrrh...!"
Sang macan kembali menggeram.
Ditubruknya gadis kecil itu. Tapi berbeda dengan nasib kedua orang tuanya.
Anak itu tidak dicabik-cabik,
melainkan dibawanya kabur melesat menuju Hutan Bandan.
***
Keesokan harinya para penduduk
yang tinggal di sekitar rumah korban, berbondong-bondong datang ke rumah
keluarga yang naas itu.
Sesungguhnya mereka mendengar
suara minta tolong dari sang istri. Tapi mereka pura-pura tidak mendengar.
Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa, melawan Macan Putih Hutan Bandan yang
terkenal kebal senjata itu.
Kegemparan melanda seisi Desa
Bandan ketika warganya menemukan tubuh korban yang tercerai-berai mengerikan.
"Ahhh... Macan putih itu
mulai mengambil korban...," desah salah seorang penduduk.
"Ya. Sekarang giliran Pak
Jalanta sekeluarga. Entah giliran siapa lagi nanti," sambung seorang
laki-laki setengah baya berjenggot tebat.
Ucapan laki-laki itu membuat
wajah-wajah penduduk lainnya pucat. Mereka ngeri membayangkan seandainya macan
putih itu menyatroni rumah mereka.
"Eh..., ke mana mayat
Karsini? Apakah dia berhasil melarikan diri?" tanya salah seorang penduduk
begitu teringat pada anak perempuan Pak Jalanta.
"Eh..., iya. Ke mana
Karsini, ya?" sambut yang lainnya.
"Kalian ini bodoh atau
pikun!" sergah laki-laki berjenggot itu. "Mana mungkin anak sekecil
itu dapat lolos dari maut!"
"Lalu, kalau begitu di
mana mayatnya?" tanya orang yang pertama kali teringat Karsini. Nada
suaranya menyiratkan perasaan tidak senang.
"Apalagi kalau bukan
dibawa macan itu! Yahhh..., nasibnya pasti serupa dengan remaja-remaja kita
yang dikorbankan pada setiap malam bulan purnama." sahut laki-laki yang
berjenggot lebat. Ada kesedihan yang dalam pada tekanan suaranya.
Kepala orang orang yang hadir
di situ terangguk-angguk. Ucapan laki-laki berjenggot lebat itu memang masuk
akal.
Tiba-tiba kerumunan
orang-orang itu tersibak. Ki Gayan muncul diiringi Ki Sancaperta. Di
belakangnya tampak Dewa Arak melangkah pelahan.
"Minggir semua..!"
teriak Gempal keras. Seketika itu juga kerumunan buyar, memberikan jalan kepada
tetua desanya.
"Ahhh..! Apa yang selama
ini kukhawatirkan, akhirnya menjadi kenyataan..." desah Ki Gayan manakala
melihat mayat Pak Jalanta dan istrinya. Ada nada keprihatinan pada suaranya.
"Yahhh.., macan putih itu
mulai meminta korban!" sambung Ki Sancaperta. Nada suaranya menampakkan
kemarahan.
Ki Gayan berpaling menatap
sang guru silat. Sorot matanya mengandung teguran. Tapi Ki Sancaperta yang
telah diamuk amarah tidak mempedulikannya. Sedangkan Dewa Arak memperhatikan kedua
mayat di depannya sambil mendengarkan percakapan kedua tokoh Desa Bandan itu.
Rupanya ada pertentangan pendapat di antara keduanya.
"Sejak dulu sebenarnya
aku tidak setuju dengan per- mintaan kakek itu, Gayan. Toh, apa yang kita
khawatirkan akhirnya terjadi juga." Ki Sancaperta menegur kepala desa itu.
"Hhh...,!" Ki Gayan
menghela napas. "Apa daya kita, Sanca? Kurasa orang tua itu bermaksud
baik. Dia ingin agar desa kita terhindar dari bencana yang lebih besar. Kalau
kita tidak turuti permintaannya, peristiwa seperti ini sudah terjadi sejak
lama!"
"Sekarang atau dulu sama
saja!" sergah Ki Sancaperta keras. "Bukankah kita tidak pernah lalai
memberikan apa yang dimintanya, tapi kenyataannya? Tetap saja dia mem- bantai
warga kita!"
"Mungkin permintaan kedua
yang tidak bisa kita penuhi," bantah sang kepala desa dengan nada halus
"Kalau begitu, berarti
dia benar-benar tidak punya pikiran!" teriak guru silat itu dengan nada
tinggi. "Bagaimana mungkin kita dapat menahan orang-orang persilatan yang
begitu banyak?!"
"Jadi, menurutmu
bagaimana, Sanca?"
Ki Sancaperta menghela napas
panjang.
"Kalau menurutku, keadaan
sudah telanjur. Macan itu telah mengganas. Dugaanku, tindakan macan itu tidak
sampai di sini saja." duga guru silat itu.
"Mudah-mudahan saja dugaanmu
salah, Ki," ucap Ki Gayan. Tapi dari nada suaranya, Ki Sancaperta tahu
kalau kepala desa itu tak yakin pada ucapannya sendiri.
"Hhh...!" Ki
Sancaperta menghela napas panjang. "Sudahlah, Gayan. Tidak pedu kita
ributkan masalah ini. Yang penting, kita urus mayat-mayat ini lebih
dahulu"
***
"Kami ingin bicara
denganmu sebentar, Dewa Arak," ucap Ki Sancaperta. Malam ini mereka
bertiga berkumpul di sebuah ruang yang cukup luas.
"Silakan, Ki." sahut
Arya mempersilakan.
Ki Sancaperta mendehem
sebentar kemudian memulai ucapannya.
"Begini, Dewa Arak.
Puluhan tahun yang lalu desa ini pernah dilanda musibah. Puluhan perampok
menyerbu desa ini. Untungnya muncul seorang kakek sakti bersama seekor macan
putih. Para perampok itu dengan mudah dapat diusirnya. Tapi sebelum kami sempat
berterima kasih, kakek itu bersama macan peliharaannya telah melesat masuk ke
dalam Hutan Bandan."
Guru silat itu menghentikan
sebentar ceritanya. Ditatap- nya wajah Arya untuk melihat reaksinya. Hatinya
agak lega manakala dilihatnya Dewa Arak serius mendengarkan ceritanya.
"Sekitar beberapa tahun
yang lalu, kakek itu muncul kembali menemui kami. Dia meminta kami menyediakan
seorang anak lelaki atau perempuan pada setiap bulan purnama. Mereka harus
ditinggalkan di Hutan Bandan sendirian. Bukan itu saja, dia pun melarang kami
memasuki hutan itu. Pokoknya Hutan Bandan dijadikan daerah terlarang."
"Mengapa begitu,
Ki?" tanya Arya. Kening pemuda ini berkernyit. Jelas ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya.
Ki Sancaperta menarik napas
panjang, lalu melanjutkan ceritanya.
"Kami pun tidak tahu.
Orang tua itu hanya mengatakan kalau kami melanggar larangannya, musibah akan
menimpa desa ini. Jadi, yahhh..., dengan amat terpaksa kami menuruti
permintaannya," jawab guru silat itu.
"Ada sesuatu yang
membuatku heran, Dewa Arak," selak Ki Gayan begitu Ki Sancaperta
menghentikan ceritanya.
"Apa itu, Ki?" tanya
Arya cepat Rasa keingintahuan yang besar nampak jelas pada raut wajahnya.
"Kakek itu kelihatannya
terpaksa ketika mengajukan permintaannya," sahut kepala desa itu
menjelaskan.
Dewa Arak mengernyitkan
keningnya.
"Maksud, Aki?" tanya
permuda berambut putih keperakan itu lagi. Sinar matanya menyorotkan ketidak-
mengertian.
Ki Gayan menghela napas
panjang.
"Sepertinya..., kakek itu
melakukannya dengan terpaksa," jawab Kepala Desa Bandan ini pelan.
"Jadi, ada sesuatu yang
memaksanya?" terka Arya mulai paham.
"Kira-kira begitulah,
Dewa Arak." jawab Ki Gayan seraya menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak mengernyitkan
keningnya. Nampak kalau pemuda berbaju ungu ini tengah berpikir keras.
"Dan kini malapetaka itu
telah terjadi!" tukas Ki Sancaperta tiba-tiba.
Arya menoleh. Ditatapnya wajah
guru silat itu lekat-lekat, ia masih belum mengerti ucapan Ki Sancaperta.
"Macan putih itu telah
membuat teror di Desa Bandan!"
"Mengapa begitu, Ki?
Apakah permintaan kakek itu tidak dipenuhi?"
"Permintaan mengenai anak
yang harus diantarkan ke Hutan Bandan selalu kami penuhi. Tapi, permintaan
untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke Hutan Bandan, tidak dapat kami
penuhi. Kurasa kau bisa memahaminya. Dewa Arak," jelas Ki Gayan.
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia mengerti persoalan yang tengah dihadapi penduduk Desa
Bandan. Rupanya berita tentang adanya benda langit, membuat orang-orang persilatan
berdatangan kemari.
Mana mungkin penduduk desa ini
mampu mencegah mereka memasuki Hutan Bandan?
"Kalau boleh kutahu, buat
apa kakek itu meminta seorang anak pada setiap malam bulan purnama?" tanya
Arya penasaran.
Kedua orang tetua Desa Bandan
itu menggeleng pelahan.
"Kami pun tidak pernah
tahu." keluh Ki Gayan pelan. "Tapi yang jelas, setiap anak yang kami
kirimkan, tidak pernah kembali lagi."
Dewa Arak terdiam sejenak.
"Apakah Aki berdua
mengijinkan kalau aku mencoba menyelidiki masalah ini?" tanya Arya
hati-hati.
"Maksudmu?" Ki Gayan
balas bertanya. Meskipun ia sudah dapat menduga maksud pembicaraan Arya, tapi
kepala desa ini ingin mengetahui lebih jelas.
"Aku akan ke Hutan
Bandan, Ki."
"Apa?!" sentak Ki
Gayan keras. "Kau ingin menimbulkan korban penduduk lebih banyak lagi?!
Tidak! Aku tidak mengijinkan kau ke sana!"
Arya menghela napas panjang.
Jawaban seperti itu sudah diduga sebelumnya.
"Biarkan dia pergi ke
sana, Gayan," ujar Ki Sancaperta mendukung usul Dewa Arak.
"Tidak!" tegas Ki Gayan
tetap bersikeras. "Aku tidak mau ada wargaku menjadi korban lagi!"
"Percuma! Musibah ini
telah telanjur terjadi. Aku yakin, macan putih itu tidak akan berhenti mencari
korban. Tidak ada gunanya lagi kita turuti perjanjian itu!"
"Jadi, kau...?"
"Ya!" potong Ki
Sancaperta cepat-cepat. "Aku setuju usul Dewa Arak!"
"Hhh...! Kau sudah
bermain api, Sanca!" keluh Ki Gayan.
"Apa boleh buat, Gayan.
Api itu telah mulai membakar. Agar api itu tidak semakin membesar, maka kita
harus memadamkannya. Dengan atau tanpa kau, aku akan menentang kakek dan macan
putih itu!" tegas guru silat itu. Nada suaranya mulai meninggi.
Ki Gayan tercenung.
Diserapinya semua perkataan yang keluar dari mulut sahabatnya ini. Diakuinya,
ada kebenaran yang terkandung dalam ucapan itu.
"Bagaimana, Gayan? Kau
tetap tidak setuju dengan rencana ini?" tanya Ki Sancaperta lagi. Ia masih
melihat adanya keraguan di wajah sang kepala desa.
Beberapa saat lamanya, orang
nomor satu di Desa Bandan ini termenung. Akhirnya kepalanya mengangguk pelahan.
Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak dan Ki Sancaperta lega.
Laki-laki gagah bercambang
bauk lebat itu menghampiri Ki Gayan. Ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu.
"Aku percaya kau pasti
menyetujui usulku Gayan." ucap Ki Sancaperta dengan wajah berseri-seri.
"Tapi, aku masih sangsi,
apakah usaha kita ini akan berhasil?" keluh kepala desa itu pelahan.
"Berhasil atau tidaknya
usaha ini, kita serahkan saja pada Yang Maha Kuasa. Yang penting, kita berusaha
dengan sekuat tenaga. Bukankah begitu, Dewa Arak?" tanya guru silat itu
sambil menoleh ke arah Dewa Arak.
"Tepat sekali, Ki!"
sahut Arya cepat.
***
Malam kembali menyelimuti
bumi. Langit tak berawan. Sehingga cahaya bulan mampu menerangi persada.
Di bawah keremangan sinar
bulan itu, melesat bayangan putih besar kekar dari Hutan Bandan. Bayangan itu
tak lain adalah seekor macan putih.
Macan itu melesat cepat menuju
pemukiman penduduk. Begitu cepat gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan putih.
Tapi sebelum macan putih itu
memasuki salah satu rumah penduduk, berkelebat dua bayangan menghadang di
depannya .
Kedua penghadang itu adalah Ki
Sancaperta dan Ki Gayan. Dengan sikap waspada, kedua tetua Desa Bandan ini
berdiri di hadapan macan putih itu.
"Graunggg...!"
Macan putih itu menggerung
keras, seolah-olah tahu kalau kedua orang ini bermaksud menentangnya. Lalu,
dengan sebuah gerakan cepat yang tidak terduga-duga, binatang itu melompat
menerkam.
"Awas, Gayan...!"
tedak Ki Sancaperta seraya melempar tubuhnya ke samping, sambil bergulingan
menjauh.
Meskipun kepandaiannya tidak
setinggi Ki Sancaperta, tapi dengan sebuah lompatan manis, Ki Gayan berhasil
mengelakkan terkaman harimau itu.
"Auuum...!"
Macan itu menggeram ketika
menyadari terkamannya menemui kegagalan. Binatang itu kebingungan ketika
melihat mangsanya berpencar. Ki Gayan ke sebelah kanan, sedangkan sahabatnya ke
sebelah kiri.
"Graunggg...!"
Sambil mengeluarkan raungan
keras, macan itu kembali menerkam. Sasarannya kali ini adalah Ki Sancaperta.
Tapi laki-laki tegap dan bercambang bauk itu sudah ber- siaga sejak tadi.
Begitu dilihatnya harimau itu meluruk ke arahnya, buru-buru guru silat itu
melompat ke samping. Pada saat yang bersamaan, dikirimkannya sebuah pukulan
keras ke arah lambung macan itu.
Buk!
"Eh?!"
Ki Sancaperta terpekik kaget.
Pukulannya seperti mengenai benda empuk, dan tak berpengaruh apa-apa terhadap
sang macan.
Dan belum lagi laki-laki
bercambang bauk itu sempat berbuat sesuatu, kaki depan binatang itu telah
menampar pundaknya.
Prattt...!
"Akh...!"
Ki Sancaperta memekik
tertahan. Seketika itu juga, tubuhnya terlontar ke samping. Daging pundaknya
robek. Darah segar mengalir deras dari lukanya.
"Auuum...!"
Kembali binatang itu mengaum
keras. Kemudian meluncur lagi ke arah Ki Sancaperta.
Ki Sancaperta yang masih
terhuyung-huyung itu seketika wajahnya memucat. Posisinya sama sekali tidak
mengun- tungkan, sehingga sulit baginya untuk mengelakkan terkaman sang
harimau.
Ki Gayan pun tercekat hatinya
melihat keadaan gawat yang dihadapi sahabatnya. Dia ingin menolong, namun
jaraknya yang terlalu jauh tidak memungkinkannya.
Di saat kritis itu, mendadak
sesosok tubuh berbaju ungu melesat menyambar tubuh Ki Sancaperta.
Tappp...!
"Graunggg...!"
Binatang itu menggeram murka
kehilangan lawannya! Dengan pandangan marah, ditatapnya sosok tubuh ungu yang
telah menyelamatkan mangsanya.
"Hup...!"
Si bayangan ungu mendaratkan
kedua kakinya tanpa bersuara. Jaraknya sekitar delapan tombak dari sang macan.
Wajah Ki Sancaperta langsung
berseri ketika mengenali wajah sang penolong.
"Terima kasih, Dewa Arak.
Untung kau tidak terlambat," ucap Ki Sancaperta pelan. Wajah guru silat
itu masih kelihatan pucat. Perasaan kaget belum hilang seluruhnya.
Sang penolong yang ternyata
memang Arya Buana alias Dewa Arak itu, segera menurunkan tubuh Ki Sancaperta
dari pondongannya.
Begitu tubuhnya telah berada
di tanah kembali, guru silat itu segera menotok jalan darah di sekitar lukanya
untuk menghentikan cucuran darah di bahunya. Setelah itu dikeluarkannya sebuah
obat bubuk dari selipan ikat pinggangnya, dan ditaburkannya pada luka-lukanya.
Ki Gayan datang menghampiri, dan dibantunya laki-laki brewok itu mengobati
lukanya.
Sementara itu, Dewa Arak
dengan sikap waspada melangkah mendekati macan putih. Dia tidak berani bersikap
gegabah setelah mendengar kesaktian binatang ini. Dijumputnya guci yang
tersampir di punggungnya, dan diangkatnya ke atas kepala. Lalu di tenggaknya.
Gluk...gluk...gluk...!
"Auuum...!"
Sambil mengeluarkan auman
keras, macan itu menerkam Dewa Arak. Bukan main cepatnya gerakan binatang itu.
Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Dengan langkah terhuyung-huyung
langkah khas jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkannya terkaman sang
macan.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah
berada di belakang macan yang masih berada di udara. Dengan kecepatan gerakan
tangan yang luar biasa, ditangkapnya ekor macan itu.
Tappp...!
Dengan sebelah tangannya. Arya
segera memutar- mutarkan tubuh binatang itu.
"Auuummm...!"
Macan putih itu mengaum keras.
Suara auman yang timbul karena perasaan marah bercampur takut.
Wuuukkk...! Wuuukkk...!
Semakin lama putaran tangan
Arya semakin cepat. Sehingga membuat macan putih itu menjadi pusing.
Cukup lama juga Dewa Arak
memutar-mutarkan tubuh macan itu. Dan setelah dirasanya cukup, genggaman pada
ekor macan itu dilepaskan.
Wuuukkk...!
Tubuh macan itu melesat jauh
akibat kuatnya tenaga putaran tangan Dewa Arak!
Brakkk... !
Sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa tumbang dilanda tubuh macan putih itu. Tapi binatang itu sendiri
tidak apa-apa. Tidak tampak tanda-tanda luka di sekujur tubuhnya.
Ki Gayan dan Ki Sancaperta
memandang takjub pada Dewa Arak. Begitu mudahnya pemuda ini mempecundangi
binatang luar biasa itu. Perasaan takjub mereka semakin bertambah tatkala
melihat daya tahan macan putih itu.
***
Macan itu kembali bangkit,
tapi ketika hendak menerkam Dewa Arak, terjadi sesuatu yang menggelikan. Lari
binatang itu sempoyongan. Miring ke kanan dan ke kiri. Ternyata perbuatan Dewa
Arak berpengaruh juga dan membuat kepalanya pusing .
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman
keras, macan itu melompat ke arah orang yang telah menyakiti dirinya.
Dewa Arak bersikap tenang.
Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung
mengelak. Terkaman macan itu mengenai tempat kosong. Pada saat yang bersamaan,
Dewa Arak mengirimkan sebuah pukulan ke arah perut binatang itu.
Bukkk... !
"Eh...?!"
Dewa Arak terperanjat kaget.
Tangannya seperti meng- hantam sebuah benda empuk! Tenaganya seolah-olah lenyap
begitu tangannya mengenai tubuh binatang itu. Meskipun ia hanya mengeluarkan
separuh tenaga dalamnya, tapi pukulan itu mampu membuat mati seekor banteng
yang paling kuat sekalipun! .
Belum lagi Arya sadar dari
keterkejutannya, binatang itu telah menyerangnya kembali. Kedua kaki depannya
mengarah ke pelipis.
Wuk...!
Dewa Arak mendoyongkan
tubuhnya ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Bersamaan
dengan itu, dilancarkannya sebuah pukulan ke leher binatang itu.
Bukkk... !
Tubuh macan putih itu
terlontar akibat kuatnya pukulan yang dilancarkan Arya. Kali ini Dewa Arak
mengerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya.
"Graunggg...!
Macan putih itu menggeram
murka melihat serangannya selalu gagal. Malah sebaliknya, dirinya dibuat
pontang- panting.
"Auuummm...!"
Tanpa kenal menyerah, macan
putih itu kembali menerkam Dewa Arak. Melihat hal itu, kesabaran Arya pun
habis. Macan nekat itu harus diberi pelajaran yang lebih keras lagi. Kalau
tidak, binatang itu tidak akan pernah jera!
"Hup...!"
Dewa Arak segera merendahkan
tubuhnya, sehingga terkaman macan itu lewat di atas kepalanya. Di saat itulah,
kedua tangannya yang mengepal dipukulkan ke perut binatang itu. Kali ini Arya
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bukkk .......... !
Tubuh macan putih itu tedontar
di udara. Terdengar gereng kesakitan dari mulutnya. Rupanya pukulan Arya kali
ini baru terasa olehnya. Binatang itu kali ini tidak lagi bangkit menyerang.
"Luar biasa...!"
puji Dewa Arak sambil menggeleng- gelengkan kepalanya. Macan putih itu
sepertinya tidak mengalami luka yang berarti ketika menerima serangan yang
dilancarkannya. Binatang itu hanya nampak sedikit kesakitan.
Dewa Arak jadi bingung. Ia tak
tahu lagi cara menaklukkan binatang yang luar biasa ini. Haruskah di gunakan
jurus 'Pukulan Belalang'? Jurus yang jarang digunakannya!
Dewa Arak jadi terkesiap
ketika dilihatnya macan putih itu mulai bangkit. Pemuda berambut putih
keperakan ini sudah bersiap-siap menghadapinya. Tapi tampaknya binatang itu sudah
jera. Terbukti dia tidak menyerang kembali, melainkan berlari cepat ke arah
Hutan Bandan.
Dewa Arak, Ki Sancaperta dan
Ki Gayan memandangi kepergian macan putih itu hingga lenyap di kegelapan malam.
Di wajah mereka masih tersirat kekaguman yang amat sangat.
***
"Mengapa tidak dibunuh
saja binatang itu, Dewa Arak?" tanya Ki Gayan. Nada suaranya terdengar
tidak puas.
Arya menatap wajah Kepala Desa
Bandan ini lekat-lekat.
"Bagaimana cara membunuh
macan yang luar biasa itu, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
Suaranya pelan tapi cukup membuat wajah Ki Gayan merona merah.
"Memang sebenarnya kita
tidak tega membunuh binatang itu. Biar bagaimana pun juga ia dan pemiliknya
pernah menyelamatkan desa kita dari kehancuran," ucap kepala desa itu lagi,
memperbaiki ucapannya.
Ki Sancaperta menatap tajam
wajah Ki Gayan. Tampak jelas nada teguran terpancar dari sorot matanya.
"Aku tidak setuju dengan
ucapanmu itu. Gayan!" tandas guru silat itu. Tajam dan tegas suaranya,
"Menurutku, hutang budi kita telah impas. Bukankah kita telah puluhan kali
mengantarkan remaja-remaja kita ke dalam hutan untuk dijadikan korban? Hutang
budi itu telah kita balas! Sekarang kita harus menentangnya apabila binatang
terkutuk itu kembali mengambil korban!"
Ki Gayan terdiam. Suasana
seketika menjadi hening dan tidak mengenakkan.
"Kalau menurut
pendapatku, ada sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini, Ki," ucap Arya
memecahkan keheningan.
"Hm..., apa
maksudmu?" tanya Ki Sancaperta cepat. Sepasang matanya menatap penuh rasa ingin
tahu.
"Aku baru teringat ucapan
Ki Gayan beberapa hari yang lalu."
Pernyataan Arya itu membuat
Kepala Desa Bandan itu terkejut. Dahinya berkernyit. Kelihatannya ia tengah
ber- pikir keras.
"Ucapanku?" tanya Ki
Gayan. "Ucapanku yang mana?"
"Ucapanmu tentang sikap
kakek penyelamat ketika mengajukan permintaannya," sahut Arya menjelaskan.
"Aku masih belum mengerti
maksudmu."
Arya menarik napas panjang.
"Kau pernah bilang kalau
kakek itu sepertinya tidak menyukai permintaan yang diajukannya sendiri."
jelas pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh.
"Hm.... lalu? Apa yang
janggal, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta masih belum paham. Otaknya
seperti buntu, sukar diajak berpikir.
"Kalau benar begitu,
bukankah berarti orang tua itu melakukannya dengan perasaan terpaksa?"
"Ah ..! Kau
benar...!" tukas Ki Gayan. Sepasang matanya nampak berbinar-binar.
"Artinya ada orang yang memaksa melakukannya!"
"Tepat apa yang dikatakan
Ki Gayan...!" sahut Arya cepat.
Ki Sancaperta mengernyitkan
alisnya. Dicobanya untuk mengingat peristiwa beberapa tahun lalu. Ya! Kini
dapat diingatnya. Permintaan kakek itu sepertinya berbentuk per- mohonan. Orang
tua itu sangat tertekan ketika mengatakannya.
"Kita harus
menyelidikinya!" ucap guru silat ini penuh semangat
"Biar aku saja yang
melakukannya Ki," pinta Arya. Suaranya pelan dan sopan.
"Tapi...," Ki
Sancaperta mencoba membantah.
"Tenaga Aki sangat
dibutuhkan di sini." Arya cepat memotong ucapan guru silat itu.
Ki Sancaperta langsung
terdiam. Hatinya membenarkan kata-kata pemuda berbaju ungu itu.
"Kapan kau berangkat ke
sana, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta lagi.
"Besok, Ki."
***
Di tengah kegelapan malam,
tampak seekor macan putih berlari terseok-seok memasuKi Hutan Bandan.
"Grrrh...!"
Binatang itu menggereng pelan
sambil terus berlari. Langkahnya baru dihentikan ketika di depannya berdiri
seorang nenek berwajah mirip burung elang. Pakaiannya serba hitam.
Sepasang alis nenek itu
berkerut melihat gerakan binatang peliharaannya. Jelas kalau macan putih itu
ter- luka. Pendengarannya yang peka menangkap geram kesakitan dari mulut
binatang itu.
"Putih...! Kenapa
kau...?!" tanya si nenek begitu macan itu telah berada di hadapannya.
"Grhhh...!"
Macan putih itu hanya
menggereng pelan sebagai jawabannya. Tapi rupanya nenek itu mengerti akan
maksud binatang peliharaannya.
"Keparat..!" maki
nenek berpakaian serba hitam itu. "Tenang, Putih! Nanti akan kubalaskan
dendammu. Akan kubasmi seluruh penduduk Desa Bandan... setelah semua orang yang
lancang memasuki hutan ini kubunuh...!"
Setelah berkata demikian,
nenek itu membungkukkan tubuhnya. Diperiksanya sekujur tubuh binatang
peliharaannya.
"Hm.... bekas-bekas
pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Tidak mungkin kalau penduduk Desa
Bandan yang melakukannya...," gumam nenek itu pelan seperti berbicara pada
dirinya sendiri.
"Pasti ada orang usil
ikut campur masalah ini. Tapi..., siapa orang yang mempunyai tenaga dalam
sekuat ini?"
Sambil tetap memeriksa tubuh
macan putih itu, plkiran nenek berpakaian hitam ini menerawang.Berkat kekuatan
tubuh yang dimiliki macan itu, tidak ada luka berbahaya yang dideritanya. Hanya
sedikit rasa nyeri menyerang otot-otot dan tulang-tulangnya.
"Tunggu sebentar,
Putih...!" ucap nenek itu seraya melesat pergi.
Tak lama kemudian perempuan tua
itu sudah kembali sambil membawa air dalam tempurung kelapa. Dikeluar- kannya
sebungkus obat bubuk yang kemudian dicampur dengan air. Setelah diaduk-aduk
sebentar, disodorkannya ke depan mulut binatang itu.
"Minumlah, Putih...!
Besok kau akan segar kembali...," ucap nenek itu pelan.
"Grrrh...!"
Macan itu menggereng pelan.
Kemudian bangkit dari berbaringnya. Dijilat-jilatnya ramuan yang diberikan
majikannya. Sementara si nenek hanya tersenyum memandanginya.
***
Hari masih pagi. Sang surya
baru saja menampakkan diri di ufuk timur, ketika Dewa Arak memasuki mulut Hutan
Bandan. Sikapnya nampak waspada. Pemuda itu menyadari kalau di dalam hutan ini
banyak tokoh persilatan yang berniat memperebutkan benda langit. Tapi yang
tidak kalah berbahayanya lagi adalah macan putih!
Belum seberapa Jauh pendekar
muda itu melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap suara berdesing nyaring
ke arahnya. Dari bunyi desingannya, pemuda ini dapat memperkirakan asal si
penyerang gelap.
Arya tidak berani bertindak
ceroboh. Kepalanya buru- buru dirundukkan. Sehingga benda yang mengeluarkan
suara mendesing nyaring itu lewat sejengkal di atas kepalanya.
Wut..!
Rambut Dewa Arak berkibaran
ketika benda itu lewat di atas kepalanya. Arya terkejut ketika melihat benda
itu tahu- tahu sudah kembali ke asalnya.
Tappp...!
Benda yang berbentuk piplh,
melengkung seperti bulan sabit, ditangkap oleh pemiliknya .
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Sesaat pemuda berambut putih keperakan ini terpaku melihat benda itu.
Meskipun baru kali ini dijumpainya,
tapi diketahuinya nama benda itu. Bumerang!
"Ha ha ha...! Kaget, Dewa
Arak?" tegur si penyerang. Nada suaranya terdengar penuh ejekan.
Arya sama sekali tidak
menggubris ejekan itu. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok di hadapannya.
Sosok tegap berkepala botak berpakaian rompi terbuat dari kulit beruang.
"Siapa kau? Mengapa
menyerangku?" tanya Dewa Arak. Arya memang mempunyai sifat hati-hati
sekali.
Pantang baginya bertempur
dengan seseorang tanpa alasan jelas.
Laki-laki berkepala botak itu
tertawa bergelak.
"Aku? Ha... ha... ha...!
Namaku tidak setenar namamu. Dewa Arak. Tapi, agar kau tidak mati penasaran,
ada baiknya kuperkenalkan diriku Beruang Liar julukanku. Sebentar lagi dunia
persilatan akan geger. Dewa Arak tewas di tangan Beruang Liar! Ha ha
ha...!"
Dewa Arak sama sekali tidak
menanggapi kesombongan orang itu. Dibiarkannya si botak itu hanyut oleh
kesombongannya.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku yang kedua, Beruang Liar. Mengapa kau menyerangku?!" tanya
Arya tetap sabar.
Beruang Liar menghentikan
tawanya. Dipandanginya Dewa Arak dengan tatapan penuh curiga.
"Jangan berlagak bodoh,
Dewa Arak! Bukankah kau juga ingin mendapatkan benda langit? Aku tidak ingin
ada orang lain menjadi sainganku!" ancam Beruang Liar sengit.
"Kau keliru, Beruang
Liar. Aku sama sekali tidak tertarik dengan benda langit yang kau maksudkan
itu. Kalau kau menginginkan benda itu, silakan kau mencarinya sendiri,"
Arya mencoba menjelaskan.
"Kau tidak bisa mungkir,
Dewa Arak!" rupanya si Beruang Liar tidak mempercayai penjelasan Arya.
"Hari ini adalah hari terakhir kau memandang dunia ini. Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian.
Beruang Liar mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, bumerang di tangannya
meluncur deras ke arah Arya.
Wuk.. !
Dengan kecepatan yang
menakjubkan, bumerang itu menyambar ke leher Dewa Arak.
Pemuda berpakaian ungu ini
tahu, betapa berbahayanya serangan benda itu. Dewa Arak tidak berani bersikap
ceroboh. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga sambaran benda itu melesat
melewati kepalanya.
Beruang Liar rupanya sudah
memperhitungkan hal itu. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan,
cepat-cepat dikibaskan tangan kirinya.
Wuk...!
Bumerang kedua melesat cepat.
Kali ini sasarannya adalah perut. Arya tidak punya pilihan lain, secepat kilat
dia melompat. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu guci araknya telah berada di
tangannya. Lalu pemuda berpakaian ungu ini bergulingan di tanah.
Tappp..!
"Hiyaaa...!"
Wuk...!
Begitu bumerang yang pertama
tertangkap, secepat kilat Beruang Liar mengayunkannya kembali ke arah Dewa Arak
yang masih bergulingan.
Kali ini Dewa Arak tidak
mengelakkan serangan itu. Dipapaknya kedatangan bumerang itu dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang
nyaring ketika bumerang itu menghantam guci. Anehnya, meskipun telah tertangkis
guci, bumerang itu bisa berputar kembali ke arah pemiliknya! .
Tapi lebih hebat lagi adalah
perbuatan yang dilakukan Dewa Arak. Setelah menangkis bumerang itu, sambil
tetap dalam keadaan tubuh berbaring guci arak dituang ke mulutnya .
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu melewati kerongkongannya. Seketika perutnya terasa hangat. Hawa aneh
yang naik, ke kepalanya membuatnya agak pening.
Kini Dewa Arak telah siap
menghadapi Beruang Liar. Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan, membuatnya tidak
begitu repot menghadapi senjata aneh itu. Setiap sambaran bumerang berhasil
dielakkannya tanpa kesulitan.
Beberapa jurus kemudian, Arya
sudah dapat membaca kelemahan senjata lawan. Bumerang di tangan laki-laki
berkepala botak ini tidak berarti kalau dihadapinya dalam jarak dekat.
Pelahan namun pasti tanpa
disadari lawan, Dewa Arak mulai melangkah mendekati sambil mengelakkan setiap
serangan.
"Keparat...!" si
Beruang Liar menggeram murka ketika tidak bisa lagi melepas senjatanya. Jarak
di antara mereka telah demikian dekat, sehingga tidak memungkinkan lagi baginya
menggunakan senjatanya itu.
Kini Beruang Liar
mempergunakan senjata itu seperti layaknya seseorang menggunakan sepasang
clurit.
Wuk...!
Dengan diiringi suara mengiuk
nyaring, bumerang itu disabetkan ke leher Dewa Arak. Tapi dengan keunikan jurus
'Delapan Langkah Belalang', tak sulit bagi Arya untuk mengelak.
Gerakan kakinya nampak
terhuyung-huyung. Tubuhnya limbung ketika pemuda ini mengelakkan serangan itu.
Hebatnya, secepat dilangkahkan kakinya mengelak, secepat itu pula Arya berada
di belakang lawannya.
Wut... !
Guci di tangannya terayun
keras ke kepala Beruang Liar.
Laki-laki berkepala botak itu
kaget bukan main. Rupanya ia belum mengenal kelihaian jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Seketika hatinya
tercekat tatkala menyadari adanya hembusan angin keras di belakangnya. Bahaya
maut tengah mengancamnya!
Kedua tangannya yang
menggenggam bumerang, sebisa- bisanya diayunkan ke belakang.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang
nyaring ketika kedua bumerangnya beradu dengan guci. Akibatnya, tubuh si
Beruang Liar terhuyung-huyung ke depan. Kedua bumerang di tangannya terlempar
entah ke mana.
Dewa Arak memutuskan untuk
melenyapkan manusia berbahaya ini untuk selama-lamanya. Maka, begitu dilihatnya
laki-laki berkepala botak itu terhuyung-huyung. Ia segera mengejar. Kakinya
bergerak menendang.
Bukkk... !
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras
pertanda ada tulang- tulang yang patah ketika kaki Arya telak mengenai pinggang
lawan.
Beruang Liar jauh terjerembab.
Tapi, secepat kilat dibalikkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Namun, sebelum
niatnya itu tercapai. Dewa Arak telah mengirimkan serangan susulan.
Wut...! Prak...!
"Aaakh...!"
Laki-laki berkepala botak itu
menjerit tertahan. Kepalanya pecah seketika tatkala guci yang diayunkan Arya
telak mengenai kepalanya. Tubuhnya terjerembab menyusur tanah.
Dewa Arak memperhatikan tubuh
yang tak bernyawa lagi itu sejenak. Kemudian dipungutnya kedua bumerang yang
tergeletak di tanah, lalu ditimang-timang sejenak.
"Hih...!"
Wunggg...!
Terdengar dengungan keras
laksana ribuan ekor lebah marah, begitu Dewa Arak mengayunkan tangannya. Kedua
bumerang itu melesat laksana kilat. Kecepatannya jauh lebih cepat daripada
lontaran Beruang Liar!
Crak, crak, crak....!
Cabang-cabang pohon yang
terbabat kedua bumerang itu terpapas putus. Dewa Arak memandanginya dengan
perasaan takjub. Matanya mendadak terbelalak lebar. Tahu-tahu kedua senjata itu
kembali ke arahnya!
Dewa Arak menjadi gugup. Dia
tahu betul kekuatan tenaga yang terkandung dalam lontaran kedua bumerang itu.
Pemuda ini tidak berani menangkap kedua bumerang itu seperti yang dilakukan
Beruang Liar. Kalau dia salah menangkap, tangannya bisa putus terbabat bumerang
yang tajam itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya
pilihan lain. Jurus 'Pukulan Belalang' terpaksa harus digunakannya.
"Hih...!" Dewa Arak
menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuttt..!
Bresss... !
Angin keras yang berhawa panas
menyengat, berhembus keluar dari kedua tela pak tangannya. Dan langsung
menyambar ke arah dua buah bumerang yang tengah melayang ke arahnya. Seketika
itu juga luncuran bumerang itu terhenti. Dan langsung jatuh di tanah.
"Hhh...! Sungguh
berbahaya...." desah Arya pelahan.
Kemudian setelah memperhatikan
mayat lawannya sejenak, dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
***
Dewa Arak menghentikan
langkahnya ketika sepasang matanya melihat sebuah gua tak jauh di hadapannya.
Sesaat lamanya dia terpaku. Diamatinya gua itu dengan teliti. Tapi yang
terlihat hanyalah kegelapan yang pekat.
Pelahan-lahan kakinya
melangkah mendekati mulut gua itu. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya
menegang. Sikapnya waspada menghadapi segala kemungkinan.
Tapi baru saja beberapa
langkah memasuki gua itu, terdengar sebuah seruan dari dalam. Dewa Arak
terkejut bagai disengat kalajengking.
"Sahabat yang berada di
luar, silakan masuk!"
Dewa Arak menghentikan
langkahnya. Hatinya dilanda keraguan. Rupanya kedatangannya telah diketahui
oleh orang yang berada di dalam sana. Setelah menimbang- nimbang, akhirnya Arya
meneruskan langkahnya. Telinga- nya dibuka lebar-lebar untuk berjaga-jaga kalau
ada orang yang berusaha membokongnya.
Selangkah demi selangkah Dewa
Arak menelusuri gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang agak luas dan
terang.
Mata pemuda ini tertumbuk pada
sosok yang tengah duduk bersila di atas baru besar. Ia berjalan mendekat,
sehingga sosok itu semakin nampak jelas.
Ternyata sosok tubuh itu
adalah seorang kakek berusia lanjut. Mungkin usianya lebih dari delapan puluh
tahun. Tubuhnya sedang dan terlihat ringkih. Meskipun dalam keadaan bersila,
Dewa Arak dapat mengetahui kalau kakek itu bertubuh bongkok.
Begitu Dewa Arak berada dalam
jarak sekitar tiga tombak, pelahan-lahan kakek itu membuka matanya yang sejak
tadi terpejam.
"Ah...!"
Dewa Arak berjingkat bagai
disengat kalajengking. Sepasang mata kakek itu ternyata tidak nampak hitamnya.
Hanya putihnya saja yang terlihat. Kakek bongkok itu buta!
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya kakek itu. Tentu saja ucapan itu membuat Dewa Arak semakin
terkejut. Bagaimana kakek ini tahu kalau orang yang berdiri di hadapannya
adalah seorang pemuda? Bukankah sepasang mata kakek itu buta?
"Namaku Arya, Kek,"
sahut Dewa Arak setelah perasaan terkejutnya hilang.
"Arya...," gumam
kakek itu pelan. "Apa maksudmu memasuki gua ini?"
Dewa Arak terdiam sejenak.
Mungkinkah kakek ini orang yang telah menyelamatkan Desa Bandan dari jarahan
perampok puluhan tahun silam?
"Aku masuk kemari tanpa
sengaja, Kek."
Dahi kakek bongkok itu nampak
berkernyit.
"Tanpa sengaja? Kau
berdusta, Anak Muda. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang kau cari di sini,"
bantah kakek itu.
"Memang ada sebuah urusan
yang mendorongku memasuki Hutan Bandan ini, Kek. Tapi, masuknya aku ke gua ini,
karena kebetulan," jelas Arya.
Semakin banyak kerutan di dahi
kakek itu mendengar jawaban Dewa Arak.
"Apa urusanmu memasuki
Hutan Bandan ini, Anak Muda?! Tahukah kau kalau hutan ini tempat
terlarang?!Ahhh...! Tindakanmu itu akan mengakibatkan banyak korban. Sia-sialah
jerih payahku selama ini! Korban tetap tak bisa kucegah!"
Berdebar jantung Dewa Arak.
Ternyata dugaannya tepat. Kakek buta ini adalah orang yang dulu menolong Desa
Bandan. Tapi ia belum masih mengerti ucapan kakek itu.
"Maksudmu, Kek?"
tanya Arya.
"Hhh...!" kakek
bongkok itu menghela napas panjang. Seolah-olah ada beban yang menghimpit
dadanya. "Jawab dulu pertanyaanku, Anak Muda. Apa urusanmu memasuki hutan
ini?!"
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Perasaan dongkol merayapi hatinya. Tapi cepat-cepat ditekannya perasaan itu.
"Aku terpaksa memasuki
hutan ini untuk mencari tahu. Kudengar setiap malam bulan purnama ada seorang
remaja, laki-laki atau perempuan dibawa ke hutan ini. Tapi sampai sekarang,
tidak seorang pun pernah kembali. Bahkan belum lama ini, seekor macan putih
mengamuk meminta korban. Aku ingin tahu, ke mana perginya remaja- remaja itu,
dan mengapa macan putih itu membunuhi orang-orang desa?"
Kakek bongkok itu terdiam
mendengar keterangan dan pertanyaan Dewa Arak.
"Kalau aku tidak salah
duga, bukankah Kakek adalah orang yang menyelamatkan Desa Bandan puluhan tahun
yang lalu?" sambung Arya lagi.
"Dugaanmu tidak keliru,
Anak Muda." jawab kakek itu pelan.
"Lalu, kenapa Kakek malah
menyuruh orang desa mengorbankan seorang remaja setiap malam bulan
purnama?" desak Arya. "Apakah memang itu tujuan Kakek menyelamatkan
desa itu?"
Keadaan menjadi hening begitu
Dewa Arak menyelesai- kan perkataannya. Tapi keheningan itu segera dipecahkan
oleh suara si kakek.
"Sebenarnya aku tidak
ingin menceritakan hal ini pada siapa pun. Tapi, karena kau mempunyai maksud
yang baik, maka kau kuberikan perkecualian. Arya, kaulah satu- satunya orang
yang akan kuberitahu mengenai masalah ini."
"Terima kasih, atas
kepercayaanmu, Kek." ucap Arya pelahan.
"Simpan ucapan terima
kasihmu itu, Arya. Sekarang pasang telingamu baik-baik!" ujar kakek
bongkok itu.
Dewa Arak menurut.
"Puluhan tahun yang lalu,
aku menikah dengan seorang wanita sesat yang lihai. Dia berjuluk Kuntilanak
Alam Kubur. Aku sangat mencintainya. Dan dia mencintaiku juga," ujar kakek
itu memulai ceritanya.
Perasaan heran melanda hati
Arya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau misteri yang dihadapinya ini ber-
hubungan dengan keluarga seseorang. Tapi dia sama sekali tidak memotong cerita
kakek itu. Dibiarkannya kakek bongkok itu meneruskan ceritanya.
"Semula aku ragu-ragu
menikahinya. Tapi, ketika dia berjanji akan meninggalkan kesesatannya, aku pun
bersedia menerimanya. Selama beberapa tahun dia mau memenuhi permintaanku.
Tidak pernah dia melakukan kejahatan. Kehidupan kami pun aman dan
tenteram," kakek bongkok itu menghentikan ceritanya sebentar.
Ditatapnya Dewa Arak yang
masih tekun mendengar ceritanya.
"Tapi setelah sepuluh
tahun, penyakit lamanya kambuh. Dia kembali mengumbar kejahatan. Aku marah, dan
pergi meninggalkannya sambil membawa macan putih pelihara- an kami. Macan itu
amat patuh pada kami berdua. Apa pun yang kami perintahkan, pasti dilaksanakan
dengan baik."
"Lalu dalam
pengembaraanmu, kau tiba pada sebuah desa yang tengah diserang oleh rombongan
perampok, dan kau menolongnya. Bukankah begitu, Kek?" selak Arya.
"Benar," sahut kakek
bongkok itu sambil mengangguk- kan kepalanya. "Kemudian aku menyepi di
Hutan Bandan bersama peliharaanku. Belasan tahun aku tinggal di sini. Tapi tak
kusangka kalau istriku mencium jejakku. Kemudian dia pun menyusulku. Kami
bertengkar, sampai akhirnya terjadi pertempuran. Dengan susah payah dia
berhasil kukalahkan."
Sampai di sini kakek itu
menghentikan ceritanya, Arya mengernyitkan alisnya. Dia jadi bingung mendengar
cerita kakek bongkok ini. Menurut kakek itu, nenek yang berjuluk Kuntilanak
Alam Kubur berhasil dikalahkannya tapi kenapa ia yang buta matanya?
"Mungkin hatimu
bertanya-tanya, Anak Muda. Mengapa kalau aku yang menang, mataku menjadi buta.
Begitu kan?" duga kakek itu seperti mengerti kebingungan Dewa Arak.
Kembali Arya terkejut, ia
tidak menyangka kalau kakek ini mampu membaca pikirannya.
"Tidak perlu
bingung-bingung, Arya. Kau dengarkan saja lanjutan ceritaku" ucap kakek
itu lagi. "Rupanya istriku tidak mau menerima kekalahannya. Dia lalu
menantangku bermain racun. Sebagai raja obat, jelas aku ditantang. Dia lalu
meminumkan racun ke mulutku."
"Ahhh...!" desah
Arya kaget "Racun itu diminumkan padamu, Kek?" tanyanya setengah tak
percaya.
"Ya." sahut kakek
itu. "Sialnya, ternyata aku belum mengenal jenis racun itu. Entah dari
mana dia mendapat- kannya. Untunglah racun itu bereaksi secara lambat.
Akhirnya, kami mengikat perjanjian. Ia berjanji tidak akan membunuhku asal aku bersedia
mencarikan remaja- remaja pada tiap-tiap purnama untuk menyempurnakan ilmu
hitamnya. Dengan berat hati aku menerima perjanjian itu. Dia juga mengancam
akan membantai seisi Desa Bandan apabila aku tidak memenuhi permintaannya
"
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini mulai dipahami mengapa kakek itu menyuruh penduduk berbuat
seperti itu.
"Kurasakan racun itu
mulai bekerja. Pandanganku mulai mengabur. Aku sadar, lambat laun aku akan
buta. Sebelum semua itu terjadi Ki Gayan segera kuberi tahu mengenai permintaan
istriku itu. Aku juga melarang setiap orang memasuki Hutan Bandan untuk
menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi."
"Lalu kenapa kau masih
berada di sini, Kek?" tanya Arya memotong.
"Aku tidak ingin istriku
mengingkari janjinya. Kalau aku tidak berada di sini bisa saja dia berbuat
nekat, menculik remaja-remaja di desa sekitar Hutan Bandan ini," jawab
kakek itu.
Kembali Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini semua persoalan sudah menjadi jelas
baginya.
"Sekarang macan itu telah
memulai terornya. Sudah banyak penduduk menjadi korban," sergah Arya.
Kakek bongkok itu tersenyum.
"Dalam hal ini istriku
tidak bisa disalahkan, Arya. Bagaimana pun juga dia masih tetap memegang
janjinya. Dia tidak akan menyebar maut selama tidak ada orang mengusik
ketenangannya. Bukankah aku telah memper- ingatkan mereka! Jadi, mereka
sendiriah yang mencari penyakit!" sahut kakek itu membela istrinya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Mereka tetap mematuhi
semua yang kau perintahkan, Kek!" sambut Arya dengan suara keras.
"Mematuhi apa?'"
sergah kakek itu sambil tersenyum sinis. "Buktinya, banyak orang memasuki
hutan ini!"
"Mereka sudah berusaha
mencegah! Bahkan belasan penduduk menjadi korban karena ingin mencegah orang-
orang persilatan yang hendak memasuki hutan ini!" bantah Arya dengan suara
keras.
"Betulkah semua yang kau
katakan itu, Arya?!" tanya kakek itu. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh.
Arya menganggukkan kepalanya.
Namun demikian, kemarahannya agak reda melihat sikap kakek itu.
"Orang-orang persilatan
memburu benda langit yang jatuh di hutan ini'" jelas Arya.
"Ahhh...!" kakek itu
berseru terkejut. "Kalau begitu, per- buatan istriku harus dicegah'"
"Itu memang sudah menjadi
tekadku sewaktu hendak memasuki hutan ini, Kek."
"Aku tak yakin kau mampu
mencegahnya, Arya. Asal kau tahu saja. Istriku itu mempunyai kepandaian amat
tinggi!" ujar kakek itu cemas.
"Aku tak takut, Kek!
Bagiku, mati dalam membela kebenaran adalah perbuatan yang mulia!" tandas
Arya.
"Kalau itu sudah
keputusanmu, terserah! Hanya pesan- ku. Berhati-hatilah!"
"Terima kasih atas
peringatanmu, Kek." ucap Arya sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Tujuannya kini jelas, mencari
Kuntilanak Alam Kubur!
***
Di keremangan Hutan Bandan,
tampak seekor macan putih berlari cepat. Penciumannya yang tajam menangkap bau
manusia di sekitarnya. Karena majikannya telah memerintahkan untuk membunuh
siapa pun yang berani memasuki hutan ini, maka binatang itu pun segera berlari
menuju tempat bau itu berasal.
Srakkk...!
Rerimbunan semak-semak
terkuak. Dari balik semak- semak, muncullah seorang lelaki jangkung. Tubuhnya
agak kurus dan matanya sipit. Di tangannya tergenggam sebuah gada berduri.
"Ha... ha... ha...! Macan
keparat! Maju kau...! Ayo hadapi aku, si Gada Maut...!" tantang laki-laki
tinggi kurus yang berjuluk si Gada Maut itu. Tangannya menimang-nimang gada
yang digenggamnya.
Mendadak, si Gada Maut
membalikkan tubuhnya. Ia berlari meninggalkan macan itu.
Macan putih tidak ingin
kehilangan buruannya. Binatang itu pun berlari mengejar. Tapi tiba-tiba...
Srakkk...!
"Graunggg...!"
Macan putih itu menggeram
ketika tubuhnya tahu-tahu telah terjerat jaring. Rupanya si Gada Maut telah
men- jebaknya. Kini binatang itu terkurung dalam jaring yang tergantung cukup
tinggi di atas pohon.
Macan putih itu meraung-raung.
Gigi-gigi dan kuku kukunya yang tajam, menggigit dan mencakar jaring yang
mengurungnya. Tapi ternyata jaring itu terbuat dari bahan alot yang tidak mudah
putus. Sia-sia saja segala usaha yang dilakukannya.
"Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut tertawa bergelak.
Hatinya puas melihat macan putih itu sudah tidak berdaya dalam jerat yang
dipasangnya.
"Sekarang kau tidak
berdaya lagi, macan keparat! Ha... ha... ha..! Kini kau baru tahu kecerdikan si
Gada Maut, he?! Sebentar lagi kau akan kubantai, macan keparat! Akan kuhirup
darahmu, dan kukuliti tubuhmu! Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut kembali tertawa
terbahak-bahak. Tapi mendadak saja tawanya berhenti. Didengarnya ada suara tawa
merdu mengiringi tawanya. Dengan cepat dibalikkan badannya untuk mencari asal
suara itu.
Si Gada Maut terkejut ketika
menemukan si pemilik suara. Ternyata pemiliknya adalah seorang gadis berwajah
cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun. Rambutnya yang panjang,
tergerai disapu angin. Pakaiannya serba putih, dan terdapat sulaman bunga
melati di dada kirinya.
"Siapa kau, N ini?"
tanya si Gada Maut. Laki-laki ber- tubuh kurus ini bersikap waspada. Meskipun
si pemilik tawa itu adalah seorang wanita muda yang cantik, si Gada Maut tidak
berani bersikap gegabah. Dari suara tawanya yang merdu menggema ke seluruh
penjuru hutan, dapat di- simpulkan kalau wanita cantik itu memiliki tenaga
dalam yang tinggi.
"Kau tidak perlu tahu
siapa diriku, Kisanak!" sahut wanita cantik itu seraya tersenyum sinis.
"Yang penting, kalau kau ingin selamat, segera tinggalkan macan putih
itu!"
Seketika wajah si Gada Maut
berubah. Kedatangan wanita itu menyadarkan dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja
tokoh- tokoh persilatan lainnya datang merampas macan putih yang didapatinya
dengan susah payah itu. Gadis ini harus segera dibungkamnya, sebelum yang
lainnya tahu, pikirnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik
melengking nyaring, si Gada Maut menerjang gadis berpakaian putih itu. Gada di
tangannya diayunkan cepat ke arah leher.
Wut... !
Gadis itu hanya tersenyum
sinis. Agaknya ia memandang rendah serangan lawan. Sambil tetap tersenyum
sinis, didoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga babatan gada itu lewat
setengah jengkal di depan lehernya. Pada saat yang bersamaan, dilepaskannya
sebuah tendangan ke perut si Gada Maut.
Gerakannya cepat sekali dan
tak terduga-duga.
Si Gada Maut terkejut bukan
main. Sungguh tidak disangkanya gadis muda itu mampu berbuat demikian. Kini si
Gada Maut berada dalam posisi yang tidak menguntung- kan. Kalau saja ia tahu
siapa sebenarnya gadis ini, tentu dia tidak akan berani bertindak gegabah.
Gadis itu tak lain adalah Melati. Pendekar wanita yang berjuluk Dewi Penyebar
Maut ini dulu pernah menggoncangkan dunia persilatan {Untuk jelasnya, bacalah
serial Dewa Arak dalam episode "Dewi Penyebar Maut").
Pendekar wanita ini sedang
dalam pengembaraan mencari jejak Arya, tunangannya. Begitu mendengar tentang
adanya prahara di Hutan Bandan, ia segera datang ke tempat ini dengan harapan
dapat berjumpa dengan Dewa Arak.
Sekarang sudah tidak mungkin
lagi bagi si Gada Maut untuk mengelak. Dengan terpaksa, ditangkisnya tendangan
itu menggunakan tangan kirinya yang sudah dialiri tenaga penuh. Rupanya ia
tidak berani ambil resiko.
Dukkk... !
"Akh...!"
Si Gada Maut memekik pelan.
Rasanya tulang-tulangnya hampir patah. Seolah-olah tangannya beradu dengan
potongan baja! Keras bukan main!
"Hup...!" si Gada
Maut melompat mundur.
Melati sama sekali tidak
mengejarnya. Pendekar wanita ini hanya memandang lawannya .
Si Gada Maut menatap gadis
bertubuh menggiurkan di hadapannya tajam-tajam. Wajahnya menampakkan keter-
kejutan yang amat sangat. Kini baru disadarinya kalau tenaga dalam yang
dimiliki gadis ini jauh lebih kuat darinya.
"Sebelum terlambat kau
kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, Kisanak," ucap Melati
begitu
melihat sang lawan masih
berdiri terpaku.
"Aku belum kalah,
perempuan sundal! Jangan harap kau dapat mengalahkan Gada Maut!" teriaknya
keras.
Wajah Melati berubah hebat.
Makian lawan membuat darahnya naik ke ubun-ubun. Sepasang matanya men- corong
tajam. Si tinggi kurus tersentak begitu melihat sepasang mata pendekar wanita
ini. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur.
"Kau telah menghinaku.
Jangan harap aku akan meng- ampuni nyawa tikusmu, keparat!" desis Melati
tajam.
"Akulah yang akan
membunuhmu, perempuan sundal! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, si
Gada Maut menerjang Melati. Gada di tangannya berkelebat menyambar-nyambar
mencari sasaran. Senjatanya menimbulkan suara angin menderu-deru.
Kini Melati tidak mau
bertindak setengah-setengah lagi. Penghinaan Gada Maut membuat kemarahannya
bergolak. Tanpa ragu-ragu lagi dikeluarkan ilmu andalannya 'Cakar Naga Merah' .
Sepasang tangan gadis
berpakaian putih ini terkembang membentuk cakar naga. Pelahan namun pasti,
tangannya sampai sebatas pergelangan berubah merah darah.
"Hup..!"
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang tinggi, tidak sulit bagi Melati mengelakkan setiap serangan si
Gada Maut. Bahkan sebaliknya setiap serangannya memaksa lawan jatuh bangun
menyelamatkan diri.
Tak sampai sepuluh jurus, si
Gada Maut sudah terdesak hebat. Memang tingkat kepandaian Melati telah
meningkat hebat setelah berjumpa kembali dengan gurunya. Di bawah gemblengan
laki-laki tua itu, akhirnya ia dapat menyempur- nakan ilmu 'Cakar Naga
Merah'nya (Untuk lebih jelas, bacalah serial Dewa Arak dalam episode
"Cinta Sang Pendekar").
Si Gada Maut menggertakkan
giginya. Gada di tangannya berkelebatan semakin cepat. Tapi tetap saja usahanya
sia-sia.
"Haaat..!"
Si Gada Maut berteriak
nyaring. Tubuhnya melompat tinggi. Sesaat kemudian ia menukik sambil menusukkan
gadanya ke kepala Melati. Gerakannya sangat indah, persis seekor burung raksasa
yang tengah menerkam mangsanya.
Melati tetap bersikap tenang.
Begitu serangan lawan mendekat, mendadak ia merubah posisi kuda-kudanya.
Tubuhnya direndahkan. Tangan kanannya diulurkan ke atas mengancam dada lawan.
Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.
Si Gada Maut tertawa dalam
hati. Rupanya gadis ini mencari mati, pikirnya. Bukankah sebelum cakar gadis
itu mengenainya, kepala gadis itu hancur lebih dulu terhantam gadanya.
Mendadak sebuah kejadian aneh
membuat mata si Gada Maut terbelalak. Betapa tidak? Tangan gadis itu tiba- tiba
mulur memanjang. Sebelum gada di tangannya mengenai sasaran cakar gadis itu
lebih dulu mampir di dadanya.
Buk!
"Aaakh...!"
Si Gada Maut menjerit
memilukan. Tubuhnya melambung kembali ke atas. Dari mulut, mata dan hidungnya
mengalir darah segar. Tulang-tulang dadanya hancur seketika. Saat itu juga
nyawa laki-laki tinggi kurus itu berpisah dengan raganya. Rupanya Melati telah
menyalurkan seluruh tenaganya.
Brukkk... !
Suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh si Gada Maut jatuh ke tanah.
Melati menatap tubuh yang
tergolek itu sejenak. Setelah itu dilangkahkan kakinya menghampiri macan putih
yang masih terkurung di dalam jaring.
Srat..!
Melati menghunus pedangnya.
Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, terdengar suara tawa mengikik yang
membuat bulu kuduknya berdiri. Suara tawa itu tidak semestinya keluar dari
mulut manusia, pikirnya. Melainkan dari mulut setan kuburan! Tapi anehnya,
meskipun suara itu terdengar pelan, getarannya terasa sampai ulu hatinya.
Jantung pendekar wanita ini
berdebar keras. Ia sadar kalau orang yang baru datang ini memiliki kepandaian
tinggi. Dari suara tawanya, sudah dapat diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam
pemiliknya.
Kini di hadapan Melati berdiri
seorang nenek-nenek. Tubuhnya yang tinggi, terbalut pakaian dan kerudung hitam.
Kulitnya juga agak kehitaman. Bentuk mata, hidung, dan sorot matanya
mengingatkan orang pada burung elang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat
kayu berkeluk. Ujungnya berbentuk kepala burung elang.
"Siapa kau?!" tanya
Melati. Suaranya mendesis. Gadis ini dilanda perasaan tegang. Baru kali ini ia
melihat orang seaneh itu.
"Hik... hik... hik...!
Rupanya kau hebat juga. Cah Ayu! Ah, betapa senangnya hatiku. Sejak sekian
puluh tahun tidak bertemu orang sakti, kini aku melihat orang muda seperti- mu
sudah memiliki kepandaian tinggi! Hik... hik... hik....! Bersiaplah, Cah Ayu!
Keluarkan seluruh kepandalanmu. Aku tidak segan-segan membunuhmu!" Rupanya
sejak tadi tanpa diketahui Melati, nenek ini telah menyaksikan pertarungannya
melawan si Gada Maut.
"Tunggu dulu, Nek!"
cegah Melati cepat.
"Ada apa? Cepat
katakan!" sergah nenek itu tidak sabar.
"Begini, Nek. Seingatku,
aku belum pernah berjumpa denganmu. Apalagi berbuat kesalahan. Tapi, kenapa
engkau ingin menyerangku?!"
Si nenek mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Hik... hik... hik..!
Jadi, kau ingin mengenalku dulu, Cah Ayu? Baik, orang mengenalku sebagai
Kuntilanak Alam Kubur. Nah, itulah julukanku. Puas, Cah Ayu! Sekarang,
bersiaplah kau!" ucap nenek itu lagi.
Melati terkejut! Nama
Kuntilanak Alam Kubur memang pernah didengarnya. Gurunya banyak bercerita
mengenai tokoh ini. Tokoh yang memiliki sifat aneh. Suka berbuat kejam tanpa
dasar, tapi memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sungguh tidak disangka ia
bisa berjumpa tokoh ini.
Cappp...!
Kuntilanak Alam Kubur
menancapkan tongkatnya ke tanah. Gerakannya kelihatannya pelan sekali,
sepertinya tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya tongkat itu ter- tancap
sampai lebih dari setengahnya! Sebuah per- tunjukan kekuatan tenaga dalam
tingkat tinggi yang menarik!
Melati mengawasi gerak-gerik
si nenek penuh waspada. Dilihatnya perempuan tua itu mengepalkan jari-jari
tangannya. Pelahan-lahan tapi penuh tenaga. Terdengar suara berkerotokan
nyaring ketika jemarinya dikepalkan.
Gadis berpakaian putih itu
membelalakkan matanya. Tengkuknya bergidik menyaksikan perbuatan si nenek. Kini
disadari kalau nyawanya terancam. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, dikeluarkannya
ilmu 'Cakar Naga Merah' yang sangat diandalkannya.
"Hebat juga ilmu yang kau
miliki, Cah Ayu. Melihat bentuk jari-jari tanganmu dapat kutebak kalau kau
menggunakan 'Jurus Naga'. Ingin kulihat apakah 'Jurus Naga' milikmu mampu
menghadapi 'Tinju Gajah' milikku?"
"'Tinju Gajah'?"
desah Melati dalam hati. Ia sangat terkejut mendengar nama jurus itu disebut.
Namun sebelum Melati berpikir
lebih lama, Kuntilanak Alam Kubur sudah menyerangnya. Tangan kanan nenek itu
memukul lurus ke dada, sementara tangan kirinya terkepal di sisi pinggang.
Suara gemeretak mengiringi
tibanya serangan itu. Melati merasakan ada serentetan angin keras yang
menyesakkan dada sebelum pukulan lawan mengenalnya.
Gadis yang dulu mendapat
julukan Dewi Penyebar Maut ini tidak berani menangkis serangan itu. Kakinya
buru-buru digeser ke samping, sehingga pukulan itu lewat sekitar sejengkal dari
tubuhnya.
Pakaian Melati berkibaran
akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan tadi.
Begitu pukulan itu lewat,
Melati segera melancarkan serangan balasan ke kepala Kuntilanak Alam Kubur.
Tapi si nenek hanya terkekeh
seraya merendahkan tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.
Tak lama kemudian, mereka
sudah terlibat dalam pertarungan sengit. Melati menyadari kalau lawannya
memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Maka, mau tak mau ia harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya.
Sepasang cakar Melati yang
memainkan ilmu 'Cakar Naga Merah", menyambar-nyambar cepat mencari
sasaran. Namun, tanpa kesulitan Kuntilanak Alam Kubur mengelakkan setiap
serangannya. Bahkan sebaliknya setiap serangan balasan si nenek membuat gadis
berpakaian serba putih itu pontang panting menyelamatkan diri.
Pertarungan antara kedua
wanita yang sama-sama sakti itu berlangsung semakin seru. Dalam waktu singkat
dua puluh lima jurus telah berlalu. Pelahan namun pasti, Melati mulai terdesak.
'Ilmu 'Tinju Gajah' yang dimiliki lawan benar-benar membuatnya kagum.
Setiap kali tangan mereka
beradu, tubuh Melati ter- jengkang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Dari benturan ini dapat ketahui kalau tenaga
dalam Melati berada di bawah tenaga dalam si nenek.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik
melengking, Melati melentingkan tubuhnya ke belakang .
"Hup...!"
Srattt..!
Ringan tanpa suara kedua
kakinya menjejak bumi. Kini di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Keluarkan senjatamu,
nenek peot!" teriak Melati keras.
"Hik... hik... hik...!
Dengan tangan kosong pun aku sanggup merobek mulutmu yang lancang, gadis
liar!" sahut Kuntilanak Alam Kubur tak mau kalah.
"Kalau begitu jangan
katakan aku curang kalau kau mampus di ujung pedangku! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian,
Melati melompat menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke dada Kuntilanak Alam
Kubur. Bunyi mengaung yang mengawali tibanya serangan itu menjadi pertanda,
betapa kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya.
Meskipun serangan tusukan
pedang itu berlangsung cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan si nenek.
Tahu- tahu Kuntilanak Alam Kubur sudah melenting melewati kepala Melati.
Tubuhnya berputar di udara, seraya meng- ayunkan kedua tangannya ke kepala si
gadis.
Melati terkejut bukan main.
Dia segera melompat ke depan sambil menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Hup...!"
Begitu kedua kaki Kuntilanak
Alam Kubur mendarat, Melati segera bangkit.
"Haaat...!"
Kembali gadis berbaju putih
itu menerjang. Kini pedang di tangannya memainkan Jurus 'Ilmu Pedang Seribu
Naga'. Serangannya susul-menyusul seperti tiada putus-putusnya.
Tapi Kuntilanak Alam Kubur
adalah tokoh yang sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Meskipun hanya
bertangan kosong, sedikit pun tak nampak terdesak. Bahkan kedua tangannya yang
mengepal memainkan ilmu 'Tinju Gajah', masih sempat menyerang bertubi-tubi.
Akibat dari pertarungan kedua
wanita ini sangat mengerikan. Batu-batu besar dan kecil beterbangan. Bahkan
tidak sedikit pohon-pohon besar yang bertumbangan terkena pukulan, tendangan,
atau sabetan pedang nyasar.
Tujuh puluh jurus telah
berlalu. Sampai saat ini, Melati belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini
tentu saja membuatnya geram bukan main.
Pada jurus kesembilan puluh
tiga, sambil mengeluarkan pekik nyaring, Melati melompat menerjang. Pedang di
tangannya melesat cepat menusuk ke leher lawan.
Singgg...!
Kuntilanak Alam Kubur terkekeh
pelan. Dengan tenang dibiarkannya serangan itu mendekat. Melati mengira nenek
itu sudah kehabisan tenaga. Kelelahan membuatnya lengah, pikirnya. Tapi
mendadak si nenek menggeser tubuhnya ke samping kanan, seraya tangan kanannya
menyampok tangan Melati.
Wut! Plak!
"Akh...!"
Melati memekik tertahan.
Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Pedang di tangannya terlempar jauh. Sebelum
gadis berpakaian serba putih itu berbuat sesuatu, kaki nenek itu sudah
menyambar cepat ke arah perut.
Buk!
"Hughk...!"
Keras dan telak bukan main
tendangan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh Melati terjengkang ke
belakang. Cairan merah kental terlihat di sela-sela bibirnya. Melati terluka
dalam!
"Terimalah kematianmu,
gadis liar! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian,
Kuntilanak Alam Kubur menerjang sambil memukulkan tinju kanannya ke dada
Melati.
Angin keras menyambar ke arah
Melati yang masih terhuyung-huyung ke belakang.
Melati membelalakkan sepasang
matanya. Dia tahu betapa dahsyatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan
lawannya. Keadaannya yang sudah terluka dalam tidak memungkinkan untuk
menangkis serangan itu.
Bila menangkis, berarti sama
saja dengan membunuh diri. Sementara mengelak pun sudah tidak sempat lagi. Kini
ia hanya dapat menanti datangnya sang maut menjemput.
Tapi sebelum pukulan jarak
jauh itu mengenai tubuh Melati, sesosok bayangan ungu berkelebat menyambar
tubuh gadis itu.
Tappp...!
Brakkk... !
Sebatang pohon sebesar dua
pelukan orang dewasa, tumbang seketika terkena pukulan jarak jauh yang nyasar.
Suara berderak keras mengiringi robohnya pohon itu.
"Keparat...!"
Kuntilanak Alam Kubur
berteriak memaki. Hatinya gemas sekali ketika lawannya berhasil lolos dari
tangannya. Tapi sebelum ia sempat mengejar, bayangan ungu itu telah lenyap
ditelan rerimbunan semak yang lebat.
Nenek berwajah mirip burung
elang ini menggeram. Keras bukan main geramannya. Dihampirinya macan putih yang
terkurung di jaring, tergantung di atas pohon.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur
mengacungkan dua buah jari telunjuknya ke atas. Terdengar suara mencicit
nyaring seperti suara tikus terjepit.
Tasss... !
Seketika itu juga tali
penggantung jaring yang mengurung macan putih itu putus dan jatuh ke tanah.
Brukkk!
"Aummm...!"
Macan itu bergerak menerobos
kurungan jaring. Kemudian menggeram pelan menghampiri si nenek. Tapi Kuntilanak
Alam Kubur yang rupanya masih kesal, lalu meninggalkan tempat tersebut. Macan
putih itu pun sambil tetap menggeram pelan, melangkah mengikuti si nenek.
***
Sosok bayangan ungu berkelebat
cepat menembus kerimbunan pepohonan Hutan Bandan. Kini bayangan tadi terhenti
di depan sebuah gua.
Sosok ungu itu tak lain adalah
Dewa Arak. Di pundaknya tampak tubuh Melati terkulai lemas. Gadis itu pingsan.
Rasa nyeri yang diakibatkan oleh luka dalam yang diderita- nya, sudah tak dapat
ditahannya lagi. Tanpa ragu-ragu Dewa Arak melangkah memasuki mulut gua.
Langkah- langkahnya panjang, seolah-olah tidak merasakan beban di pundaknya.
Beberapa saat kemudian, Dewa
Arak sudah melihat kakek bongkok yang tengah duduk bersila.
"Aku butuh pertolonganmu,
Kek." ucap Arya tanpa basa- basi lagi. Tubuh Melati yang sejak tadi di
pondongnya, diturunkan pelahan-lahan.
Kakek bongkok itu membuka
matanya. Sepasang matanya yang putih itu menatap Dewa Arak.
"Siapa dia, Arya?"
tanya kakek itu tanpa mempedulikan ucapan Dewa Arak.
Arya sudah tidak terkejut lagi
ketika si kakek telah mengetahui kalau dia tidak datang sendirian. Meskipun
buta, kakek itu mampu melihat melalui mata batinnya.
"Teman, Kek," sahut
Arya.
Kakek itu tercenung sejenak.
"Teman atau
kekasih?" sindir kakek itu.
Arya menghela napas panjang.
Percuma, tidak ada gunanya lagi menyembunyikan hal yang sebenarnya pada orang
tua ini.
"Sebenarnya..., dia
tunanganku, Kek," jawab Arya berterus terang.
"Hm..., lalu kenapa kau
bawa dia kemari?"
"Dia mendapat luka dalam
yang parah Kek. Karena duluKakek adalah seorang raja obat, maka kubawa dia
kemari."
Kakek bongkok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana dia bisa
terluka?" desak si kakek ingin tahu.
"Dia bertarung melawan
seorang nenek yang berpakaian serba hitam dan...."
Arya menghentikan ucapannya
ketika melihat raut wajah si kakek mendadak berubah.
"Mengapa. Kek? Ada
sesuatu yang aneh dalam ceritaku?"
"Tidak. Tidak....
teruskan ceritamu, Arya." sahut kakek itu cepat "O ya. apakah nenek
itu mengenakan kerudung hitam juga?"
"Benar, Kek. Apakah Kakek
mengenalnya?"
"Hhh...!" kakek
bongkok itu menghela napas panjang "Dia adalah orang yang kuceritakan
padamu."
"Maksud Kakek. wanita
itu... istri Kakek.?" tebak Arya.
"Yahhh...!" sambut
kakek itu sambil mengangguk pelan.
Arya tercenung mendengar
jawaban si kakek. Seketika suasana menjadi hening. Tapi hal ini tidak
berlangsung lama, karena orang tua itu sudah kembali berbicara.
"Tolong kau ambilkan
buntalan yang ada di pojok sana," pinta kakek bongkok itu sambil menunjuk
ke salah satu sudut gua.
Tanpa banyak membantah, Arya
bergegas ke arah yang ditunjuk kakek bongkok itu. Benar saja. Di situ
dijumpainya sebuah buntalan. Buntalan itu segera diambilnya.
"Buka! Ambil pil yang
berwarna merah, lalu kau minumkan pada tunanganmu," ucap si kakek sebelum
Arya menyerahkan buntalan itu padanya.
Dewa Arak membuka buntalan
itu. Diambilnya pil berwarna merah dan segera dimasukkan ke dalam mulut Melati.
"Kek...," ucap Arya
memecah keheningan yang meliputi suasana gua.
"Hm...," kakek itu
hanya bergumam pelan.
Dewa Arak menghela napas
panjang sebelum memulai ucapannya.
"Begini, Kek. Rasanya...,
tindakan istri Kakek tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi."
"Maksudmu aku harus
membunuhnya?" selak kakek itu cepat.
"Bukan itu maksudku,
Kek." sahut Arya cepat.
"Bicara yang tegas, Arya.
Katakan saja, ya!" tegur kakek itu. Tajam dan keras suaranya.
"Tidak seluruhnya benar,
Kek."
"Maksudmu?"
"Perbuatan istri kakek
memang harus dicegah. Dengan jalan lunak sepertinya tidak mungkin. Jadi,
terpaksa dilakukan lewat jalan kekerasan."
"Betul kan
dugaanku?!" selak kakek itu lagi.
"Ya. Tapi, bukan Kakek
yang harus melakukannya."
"Lalu, siapa? Kau?!"
ada keraguan dalam nada suara si kakek.
"Begitulah, Kek. Aku akan
berusaha dengan seluruh kemampuanku."
"Percuma. Kau tidak akan
mampu menandinginya. Kau hanya akan mengantar nyawa saja!" tegas kakek itu
yakin.
"Tidak mengapa, Kek. Aku
siap mengadu nyawa dengan- nya. Maksudku mengutarakan hal inl, adalah untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari," jelas Arya.
Kakek bongkok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan Arya bisa diterimanya. Pemuda ini
benar-benar bijaksana, pikirnya.
"Aku mengerti arah
pembicaraanmu, Arya. Kau khawatir aku akan salah terima bila istriku tewas di
tanganmu, begitu kan?" tebak kakek bongkok itu.
"Benar, Kek," ucap
Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.
"Hhh...! Perlu kau
ketahui Arya. Aku pun sudah muak dengan tingkah laku istriku. Sudah lama sekali
aku meng- inginkannya tewas. Tapi, ternyata tidak seorang pun yang sanggup
mengalahkannya. Sedangkan aku tak sampai hati menjatuhkan tangan maut pada
istriku sendiri. Kuharap kau berhasil. Pesanku berhati-hatilah, Arya. Saat ini
dia tengah mempelajari sebuah ilmu hitam. Aku sendiri belum tahu ilmu apa yang
ditekuninya."
"Terima kaslh atas
kerelaanmu, Kek. Aku titip tunanganku di sini."
"Pergilah, Arya. Kudoakan
semoga kau berhasil"
"Terima kasih, Kek,"
pamit Arya, seraya melesat ke luar.
Sepeninggal Dewa Arak, kakek
itu menunduk sedih. Bola mata yang hanya tinggal putihnya itu, terlihat
berkaca- kaca. Hatinya tersayat pedih saat mengingat kenangan manis bersama
istrinya. Rupanya masih ada segumpal cinta di hatinya .
***
Matahari telah sejak tadi
tenggelam di ufuk Barat. Cahaya bulan yang hanya sepotong membuat suasana Hutan
Bandan menjadi remang-remang.
Seorang kakek bertubuh pendek
terkekeh-kekeh gembira. Tubuhnya yang gemuk, terbalut rompi dan celana hijau.
Kepalanya botak, berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan.
"Akhirnya aku juga yang
mendapatkan benda langit ini. He... he... he...!" matanya menatap sebuah
lubang bergaris tengah sekitar dua tombak. Kedalamannya hampir se- tengah
tombak. Di dalamnya lam pak tergolek sebuah benda seperti batu berwarna gelap.
Besarnya sebesar kepala orang dewasa.
Tapi baru saja kakek pendek
gemuk ini hendak menuruni lubang itu, terdengar suara terkekeh. Kontan saja
kakek itu mengurungkan niatnya. Matanya berkeliling mencari asal suara.
"Hik... hik... hik...!
Kelabang Hijau..., tidak kusangka kalau langkahmu sampai juga kemari."
Kakek pendek gemuk yang
berjuluk Kelabang Hijau itu menatap sosok di hadapannya (Untuk lebih jelas
mengenai tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta
Sang Pendekar") Di depannya telah berdiri seorang nenek berwajah mirip
burung elang. Pakaian dan kerudungnya serba hitam. Sebuah tongkat berkeluk yang
ujungnya berbentuk kepala seekor burung elang ter- genggam di tangannya.
"Kuntilanak Alam
Kubur...." desis Kelabang Hijau.
Perasaan terkejut dapat
dirasakan dari suara si kakek. "Rupanya kau juga tertarik dengan benda
langit, nenek peot!? Sehingga langkahmu sampai juga kemari."
"Hik... hik... hik...!
Pasang telingamu lebar-lebar, Kelabang Hijau. Dengar! Aku adalah pemilik Hutan
Bandan ini! Jadi akulah yang lebih berhak atas benda langit itu! Lagi pula aku
tidak suka ada orang mengusik ketenanganku. Mereka semua harus mati! Tak
terkecuali kau!"
"Kita lihat saja
buktinya, nenek peot!" sahut Kelabang Hijau.
"Hik... hik...
hik...!" Kuntilanak Alam Kubur kembali tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya
ditancapkan di tanah.
"Hiyaaa...!"
Terdengar suara gemuruh ketika
nenek berpakaian serba hitam itu melontarkan kepalannya ke leher si botak.
Rupanya Kuntilanak Alam Kubur sudah mengeluarkan ilmu 'Tinju Gajah'
Kelabang Hijau tahu kalau
lawan telah mengeluarkan ilmu andalannya. Tanpa ragu-ragu lagi, ia pun segera
memainkan jurus 'Kelabang Sakti'. Ditangkisnya serangan itu.
Plak!
"Uh...!"
Tubuh Kelabang Hijau
terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Dadanya terasa
sesak, sementara lawannya hanya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kakek
berkulit kehijauan ini sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih
kuat.
"Hik... hik... hik.!
Kematianmu sudah di ambang pintu, gundul jelek!" ejek Kuntilanak Alam
Kubur.
Kelabang Hijau sama sekali
tidak mempedulikan ejekan si nenek. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, dia me-
lompat menyerang. Kini kedua tokoh sakti ini sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Mulanya pertarungan kedua
tokoh sesat ini berlangsung imbang. Tapi begitu menginjak jurus kedua puluh,
tampak- lah keunggulan Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau yang tahu
keunggulan lawannya dalam hal tenaga dalam, sedapat mungkin berusaha
menghindari bentrokan tenaga. Berkali-kali ia terpaksa harus menarik kembali
serangannya begitu Kuntilanak Alam Kubur hendak menangkisnya.
Tapi di saat gawat bagi
Kelabang Hijau, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih memasuki arena
pertempuran. Sosok bayangan putih ini langsung menghujani Kuntilanak Alam Kubur
dengan serangan-serangan dahsyat.
Tentu saja Kuntilanak Alam
Kubur terkejut, ia terpaksa mengurungkan desakannya pada Kelabang Hijau.
Serangan si bayangan putih
merupakan serangan- serangan mematikan yang disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Mau tak mau ia harus menangkis serangan yang bertubi-tubi itu dengan
pengerahan seluruh tenaga dalam pula.
Plak, plak, plak....!
Suara benturan dua pasang
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi terdengar berkali-kali. Akibatnya
hebat! Si bayangan putih memekik tertahan. Tubuhnya ter- pelanting sejauh tiga
batang tombak. Sekujur tangannya dirasakan ngilu.
Kini sosok serba putih sudah
berdiri di sebelah Kelabang Hijau kembali. Pada dahinya terlihat sebuah logam
berbentuk bulan sabit. Dialah Dewi Bulan, pasangan dari Kelabang Hijau.
"Hik... hik... hik...!
Rupanya kekasihmu datang juga, Kelabang Hijau! Hik hik hik...! Luar biasa!
Rupanya berita tentang jatuhnya benda langit di sini membuat kalian yang telah
bau tanah ini ingin juga memilikinya."
"Tutup mulutmu kuntilanak
jelek!" bentak Dewi Bulan keras.
"Kalau aku tidak
mau?!" sahut Kuntilanak Alam Kubur sambil tersenyum mengejek.
"Aku yang akan menutupnya
dengan kedua tanganku!"
"Hik hik hik...! Mampukah
kau melakukannya, dewi got!?" ejek nenek berpakaian hitam yang pandai
berdebat itu.
"Keparat...! Mampuslah
kau...!"
Setelah berkata demikian, Dewi
Bulan langsung melompat menerjang lawannya. Kaki kanannya melayang ke pelipis
Kuntilanak Alam Kubur. Cepat dan keras bukan main serangannya. Angin berdesir
keras mengawali tibanya serangan itu.
Kuntilanak Alam Kubur hanya
merendahkan tubuhnya sedikit. Dan serangan itu pun lewat di atas kepalanya.
Tapi mendadak kaki kanannya menendang ke lutut kiri Dewi Bulan.
"Ihhh...!"
Dewi Bulan tersentak kaget.
Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kelabang Hijau telah lebih dulu
bergulingan menangkis serangan itu.
Plak!
Kuntilanak Alam Kubur
menggeram murka. Apalagi di saat itu Dewi Bulan sudah mengirimkan serangan
susulan.
Belum lagi nenek berpakaian
serba hitam ini sempat menarik napas, serangan Kelabang Hijau sudah tiba lagi.
Demikian seterusnya silih berganti. Sehingga Kuntilanak Alam Kubur terdesak. Ia
tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
"Hih...!"
Tiba tiba Kuntilanak Alam
Kubur melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Kakinya mendarat tanpa suara di dekat tongkat yang tadi ditancapkannya.
Dewi Bulan dan Kelabang Hijau
tidak bergerak mengejar. Mereka tidak berani berbuat gegabah menghadapi
perempuan aneh ini. Keduanya tahu kalau lawan hendak menggunakan ilmu lainnya.
Tapi sepasang tokoh tua ini yakin, ilmu gabungan mereka dapat menghadapi lawan
yang bagaimanapun lihainya.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut
tongkatnya yang terhunjam dalam di tanah. Kedua matanya nampak terpejam
sejenak. Bibirnya berkemik seperti mengucapkan sesuatu. Tak lama kemudian,
tongkatnya diketukkan ke tanah.
***
Sepasang mata Dewi Bulan dan
Kelabang Hijau terbelalak lebar. Kini di hadapan mereka telah berdiri empat
orang Kuntilanak Alam Kubur.
"Hik... hik... hik...!
Ingin kulihat, mampukah kalian menghadapi ilmu 'Pecah Raga'! Hik hik
hik...!" ucap salah seorang dari empat nenek berpakaian serba hitam itu.
"'Pecah Raga'...?!"
desah Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bersamaan. Wajah mereka memancarkan
keterkejutan yang amat sangat. Keduanya memang pernah mendengar kedahsyatan
ilmu ini. Ilmu unik yang dapat membuat tubuh pemiliknya menjadi banyak. Sungguh
tak disangka kalau nenek itu bisa memilikinya. Namun belum lagi habis rasa
terkejut mereka. Tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
Empat orang Kuntilanak Alam
Kubur menyerbu serentak. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bertindak cepat.
Keduanya segera menggabungkan
ilmunya sehingga serangan dan pertahanan mereka menjadi berlipat ganda.
"Haaattt..!"
Salah seorang dari empat
Kuntilanak Alam Kubur berteriak nyaring. Kedua jari tangannya menusuk cepat ke
dada Dewi Bulan. Angin mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
"Hih...!"
Kelabang Hijau mengulurkan
tangan kirinya ke arah Dewi Bulan. Wanita sesat itu meyambut dan meng-
genggamnya dengan tangan kanan. Tusukan dua jari yang mengarah ke lehernya
ditangkis dengan tangan kirinya.
Plak!
"Ihhh...!"
Kuntilanak Alam Kubur memekik
tertahan. Tubuhnya langsung terjengkang ke belakang. Rupanya gabungan tenaga
dalam sepasang tokoh sesat tadi telah berhasilmemecah pertahanan keempat
Kuntilanak Alam Kubur.
Beberapa kali, baik Kelabang
Hijau maupun Dewi Bulan berhasil menyarangkan pukulan telak pada dada, perut
ataupun ulu hati lawan-lawannya. Tetapi kejadian tadi berulang kembali. Keempat
Kuntilanak Alam Kubur seolah- olah tidak merasakannya.
Tak terasa seratus jurus telah
lewat. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan merasa lelah bercampur kesal. Lelah karena
harus mengelak serangan gencar keempat Kuntilanak Alam Kubur. Kesal karena
setiap kali lawan dirobohkan, tahu-tahu sudah bangkit menyerang kembali. Lama
kelamaan rasa lelah membuat ilmu gabungan mereka mulai kacau. Sementara empat
Kuntilanak Alam Kubur masih terlihat segar.
"Hik hik hik.!"
salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur mengikik. "Tak lama lagi,
ajal kalian akan tiba. Hik... hik... hik...! Tidak ada seorang pun yang akan
kubiarkan hidup, setelah memasuki Hutan Bandan!"
Kuntilanak Alam Kubur tahu,
selama kedua lawannya masih bersatu mereka sullt dikalahkan. Keduanya harus
dipisahkan lebih dulu, pikirnya. Segera keempatnya berpencar. Kini baik Dewi
Bulan maupun Kelabang Hijau masing-masing menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau dan Dewi Bulan
sama sekali tidak menyadari siasat lawan. Baru setelah beberapa jurus kemudian,
mereka sadar. Segera keduanya bermaksud untuk bersatu kembali. Tapi Kuntilanak
Alam Kubur mem- baca maksud mereka, sehingga usaha keduanya gagal.
Crottt.. !
"Akh...!" Dewi Bulan
menjerit tertahan ketika dua buah jari tangan Kuntilanak Alam Kubur menusuk
perutnya. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, Kuntilanak Alam Kubur yang satu
lagi telah menyarangkan sebuah tendangan keras ke dadanya.
Buk... !
"Aaakh...!"
Dewi Bulan menjerit melengking
tinggi. Tubuhnya melayang jauh ke belakang dengan tulang-tulang dada remuk.
Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan telinga- nya. Nyawanya melayang
diringi jeritan kematian yang menyayat.
Brukkk... !
Kelabang Hijau terkejut
mendengar jeritan kekasihnya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaannya
sendiri terjepit. Kini ia harus bertarung melawan keempat Kuntilanak Alam Kubur
sekaligus. Belum ada dua jurus setelah kematian Dewi Bulan, sebuah tusukan jari
lawan meluruk cepat ke pelipisnya.
Tukkk.!
"Aaakh...!"
Kelabang Hijau memekik
tertahan. Tubuhnya ambruk dengan tulang pelipis pecah.
"Hik... hik...
hik...!"
Empat orang Kuntilanak Alam
Kubur itu tertawa mengikik menatap kedua mayat yang terbujur di tanah. Sesaat
kemudian, tiga orang kembaran nenek berpakaian hitam itu lenyap tanpa bekas.
Kini tinggal satu orang Kuntilanak Alam Kubur.
***
Kepala Kuntilanak Alam Kubur
menoleh ke kiri. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah bergerak ke
arahnya. Betul saja. Beberapa saat kemudian, berkelebat bayangan ungu di
hadapannya.
Kuntilanak Alam Kubur menatap
sosok bayangan ungu yang ternyata adalah Arya, si Dewa Arak.
Tiba-tiba saja macan putih
yang sejak tadi mendekam mengawasi pertarungan majikannya, bangkit. Suara
gereng kemarahan terdengar dari mulutnya begitu melihat kedatangan anak muda
ini.
"Keparat..!" geram
Kuntilanak Alam Kubur. "Jadi, inikah orang yang dulu melukaimu,
Putih?!" tanya nenek itu. Ketika dilihatnya binatang peliharaannya
menggereng- gereng penuh kemarahan.
"Grrrh...!" macan
putih kembali menggereng pelan. Kuntilanak Alam Kubur mengerti makna gerengan
binatang peliharaannya.
"Kalau begitu, kau tenang
saja di sini. Akan kubalas sakit hatimu!"
Kuntilanak Alam Kubur
melangkah mendekati Dewa Arak yang tetap bersikap tenang.
"Bukankah kau yang
berjuluk Dewa Arak?" tanya nenek itu. Kasar dan keras suaranya. Memang dia
sudah mendengar nama besar Dewa Arak yang telah meng- goncangkan dunia
persilatan. Begitu melihat ciri-ciri Arya, dia sudah bisa langsung menduganya.
Dewa Arak mengangguk.
"Begitulah orang
memberiku julukan." jawabnya seraya memutar tubuhnya. "Dan kau pasti
Kuntilanak Alam Kubur. Betul kan?" duga Dewa Arak. Sepasang matanya
memandang berkeliling.
Dewa Arak terkejut begitu
matanya tertumbuk pada dua sosok yang dikenalnya, tergolek tanpa nyawa. Dua
orang inl dulu pernah hampir mencelakainya, kalau saja tidak datang Melati
menolongnya (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode
"Cinta Sang Pendekar") Bagaimana mungkin keduanya tewas di tangan
nenek ini? pikirnya setengah tidak percaya. Bukankah kepandaian yang dimiliki
sepasang tokoh tua ini sudah sangat tinggi?
Wajah nenek berpakaian hitam
berubah hebat.
"Dari mana kau tahu
julukanku Dewa Arak?! Aku yakin ada orang yang memberitahukanmu," tanya
nenek itu penuh selidik.
"Dari mana kutahu dirimu,
itu adalah rahasiaku. Kedatanganku ke hutan ini adalah untuk menghentikan
kekejianmu terhadap penduduk Desa Bandan. Sekaligus membalas perlakuanmu
terhadap kawanku yang telah kau lukai!"
Kuntilanak Alam Kubur
tercenung sejenak mendengar ucapan terakhir Dewa Arak. Keningnya berkernyit
pertanda tengah berpikir keras.
"Temanmu?" tanyanya.
Diingat-ingatnya kembali setiap pertempuran yang dialaminya belum lama ini.
Tapi seingatnya, dia baru bertarung dua kali. Kini nenek itu teringat pada
bayangan ungu yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih dari
cengkeramannya "Jadi, kau rupanya yang telah menyelamatkan gadis
berpakaian putih itu!?"
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya.
"Benar. Akulah orangnya
" sahut Arya singkat. Setelah itu tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak
mengambil guci arak yang tergantung di punggungnya. Diangkatnya ke atas kepala.
Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk.. gluk.!
Suara tegukan terdengar ketika
arak melewati kerongkongannya. Sesaat kemudian dirasakan hawa hangat menyebar
dalam perutnya dan terus naik ke atas kepala.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur
menggertakkan gigi. Pelahan- lahan, kedua tangannya mengepal. Terdengar suara
ber- kerotokan keras seperti ada tulang-tulang berpatahan begitu jari-jarinya
dikepalkan. Firasatnya mengatakan kalau Dewa Arak mempunyai kelihaian tinggi.
Tanpa sungkan- sungkan lagi segera dikeluarkan Ilmu 'Tinju Gajah'.
"Hiyaaa...!"
Dengan diinngi teriakan
nyaring, Kuntilanak Alam Kubur menyerang Dewa Arak. Tangan kanannya dipukulkan
keras ke wajah lawan. Angin berhembus keras mengawali serangannya.
Tapi kali ini yang diserangnya
adalah Dewa Arak, meskipun masih muda, tapi memiliki ilmu-ilmu aneh dan tinggi.
Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi ciri khasnya. Arya mengelakkan
serangan itu.
"Heh ..?!"
Kuntilanak Alam Kubur terpekik kaget ketika melihat lawannya tahu-tahu lenyap
dari situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, dirasakan adanya angin dingin
berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada di belakangnya, dan
tengah mengayunkan gucinya ke arah belakang kepalanya.
"Hih...!"
Nenek berpakaian serba hitam
ini segera melompat ke depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci
Dewa Arak mengenai tempat kosong .
Wajah Kuntilanak Alam Kubur
berubah. Selama hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah dalam
segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya meluap. Begitu bangkit dari
bergulingnya, dia pun kembali menerjang lawannya dengan dahsyat.
Kedua tinju Kuntilanak Alam
Kubur menyambar- nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara gemuruh setiap
kali tinjunya melayang.
Tapi meskipun si nenek
menyerang bagaikan kerbau mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh
Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimainkan Arya membuatnya
lincah mengelakkan serangan. Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam
lawan.
"Haaat..!"
Kedua tangan Dewa Arak yang
memainkan jurus 'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis
Kuntilanak Alam Kubur.
Nenek berwajah mirip burung
elang itu tertawa mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua tangan
yang dilintangkan di sisi telinganya.
Plak... !
Benturan dua pasang tangan
yang mengandung tenaga dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali. Napasnya terasa sesak. Sementara
si nenek dilihatnya hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas,
kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur masih berada di atas Dewa
Arak! .
"Hiyaaa...!"
Belum sempat pendekar muda ini
memperbaiki kuda- kudanya, nenek berpakaian hitam itu kembali menerjang. Ilmu
'Tinju Gajah' kembali menderu-deru mencari sasaran.
Dewa Arak segera dapat
mematahkannya. Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan Arya, memungkinkannya
bergerak dalam posisi apa pun tanpa mengalami kesulitan.
Dalam waktu singkat, seratus
jurus telah berlalu. Pertarungan masih berjalan seimbang. Belum tampak ada
tanda-tanda siapa yang terdesak.
"Hm.... Bukan main
lihainya pemuda ini...," puji seorang kakek bermata putih. Punggungnya
bungkuk. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat penunjang tubuhnya.
Kaki kirinya buntung sebatas pangkal paha. Ujung celana di sebelah kirinya
berkibaran tertiup angin.
"Tidak aneh, Kek. Dia
adalah Dewa Arak," sahut gadis di sebelahnya yang tak lain adalah Melati.
Di belakang keduanya nampak berdiri tujuh orang. Mereka adalah Ki Sancaperta,
Ki Gayan, Jiwala dan empat orang penduduk Desa Bandan lainnya.
Rupanya Ki Sancapaperta dan Ki
Gayan merasa tidak enak bila hanya menunggu di desa, sementara Dewa Arak
berjuang untuk kepentingan desa mereka. Bersama Jiwala dan empat orang warga
desa lainnya, mereka berbondong- bondong masuk hutan. Di tengah perjalanan,
mereka bertemu dengan kakek penyelamat desa mereka bersama seorang gadis
berpakaian putih.
Mulanya hampir terjadi
kesalahpahaman. Ketujuh orang warga Desa Bandan ini tidak dapat menahan
amarahnya begitu mengenali si kakek. Tapi untunglah si kakek segera memberikan
penjelasan. Sehingga pertumpahan darah yang sia-sia, akhirnya dapat dihindari.
Kesembilan orang itu bergegas
ke tempat itu begitu mendengar suara pertempuran. Kini mereka menonton
pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
Melati memandang ke arah
pertempuran dengan pandangan mata cemas. Dia pernah merasakan kelihaian
Kuntilanak Alam Kubur. Dilihatnya tenaga dalam tunangan- nya tidak mampu
mengimbangi tenaga dalam lawan.
Kuntilanak Alam Kubur
menggeram hebat menahan amarah. Telah serarus lima puluh jurus berlalu, tapi
dia belum dapat mematahkan lawannya. Ilmu 'Tinju Gajah' sama sekali tidak
berdaya. Bahkan beberapa kali dia dibuat jatuh bangun oleh serangan balasan
Dewa Arak.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur menjerit
melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke belakang. Dewa Arak tidak berani
gegabah mengejarnya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, nenek
berpakaian serba hitam ini mendarat dekat tongkat yang tadi ditancapkannya di
tanah.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut
tongkatnya. Sepasang matanya terpejam. Bibirnya berkemik seperti mengucap- kan
sesuatu. Kemudian tongkatnya diketukkan ke tanah.
"Ahhh...!" seru Arya
terkejut. Di hadapannya kini telah berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur.
Masing- masing menggenggam tongkat berujung kepala burung elang.
"Ilmu si hi r...!"
teriak Melati pula tak kalah terkejutnya. Bukan cuma Melati saja, ketujuh orang
di belakangnya juga mengalami hal serupa.
"Ada apa, Melati?"
tanya kakek bongkok mendesah, begitu mendengar seruan seruan kaget itu. Dahinya
ber- kernyit seperti tengah berpikir keras.
"Ng..., anu, Kek. Lawan
Kang Arya kini telah menjadi empat orang." jawab gadis berpakaian putih
itu mem- beritahu.
"Hm...," kakek
bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ilmu 'Pecah Raga'"
desahnya pelan.
"Kau tahu ilmu itu,
Kek?" tanya Melati penuh gairah.
"Hm.... Rupanya ilmu
iblis itulah yang dipelajarinya selama ini. Kekuatan iblisnya diperoleh dari
darah remaja- remaja yang dihirupnya. Mudah-mudahan saja tunangan- mu itu
berhasil menemukan kelemahannya."
Melati terdiam. Semula dia
berharap si kakek bongkok mengetahui kelemahan ilmu Kuntilanak Alam Kubur.
Tapi mendengar ucapan tadi,
gadis ini putus harapan. Kembali dialihkan perhatiannya ke arena pertarungan.
Sementara itu, Kuntilanak Alam
Kubur yang kini telah berubah menjadi empat orang, sudah menerjang Dewa Arak.
Menghadapi seorang saja, Dewa
Arak sudah kewalahan. Apalagi menghadapi empat orang! Tapi dengan kegesitan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', dia masih mampu meng- imbangi.
"Haaat...!" salah
seorang Kuntilanak Alam Kubur menjerit keras. Tongkat kepala burung elang di
tangannya, ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.
Anak muda ini melentingkan
tubuhnya, tahu-tahu ia telah berada di belakang nenek tadi. Guci arak di
tangannya terayun deras menghantam punggung lawannya.
Buk... !
"Huakh...!"
Hantaman guci tadi dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalamnya. Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh
ke depan. Tubuhnya jatuh tersungkur sambil memuntahkan darah segar. Ia pun
tewas seketika!
Wut.. !
Belum sempat Dewa Arak
melanjutkan serangannya, Kuntilanak Alam Kubur yang lain membabatkan tongkatnya
ke kaki Arya.
"Hih...!"
Dewa Arak melompat ke atas.
Dan selagi tubuhnya berada di udara. Gucinya diayunkan ke kepala lawan.
Gerakannya cepat, sehingga sebelum Kuntilanak Alam Kubur menyadarinya,
tiba-tiba....
Wut.! Prak...!
"Aaakh...!"
Terdengar suara berderak keras
ketika kepala nenek itu pecah. Seketika itu juga nyawanya melayang meninggalkan
raga.
Dewa Arak melentingkan
tubuhnya menjauhi arena pertarungan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di tanah beberapa tombak dari arena pertarungan. Kini perasaannya
agak sedikit lega. Dua di antara lawannya sudah berhasil dirobohkan. Tidak
lerlalu berat baginya menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur yang tersisa.
Tapi, Dewa Arak terperanjat
ketika melihat lawannya masih tetap berjumlah empat orang! Hatinya penasaran.
Kepalanya ditolehkan ke arah dua mayat yang berhasil ditewaskannya. Tempat itu
kosong! .
"Hm..., ilmu Iblis!"
gumam Arya lirih.
"Hik... hik... hik...!
Kaget, Dewa Arak! Hik... hik... hik...! Jangan mimpi dapat mengalahkan
Kuntilanak Alam Kubur! Hik hik hik...!" ejek nenek itu sambil tertawa
mengikik.
Arya sadar, kali ini dia
kembali bertemu dengan tokoh berilmu aneh. Semacam ilmu sihir! Tapi, jauh lebih
dahsyat lagi. Dewa Arak memang pernah mendengar namanya, ilmu 'Pecah Raga'!
Arya adalah seorang pemuda
yang cerdas. Pengalaman demi pengalaman telah mempertajam pikirannya. Ia tahu,
meskipun lawannya terlihat empat orang, tetapi sebenarnya tetap satu. Jadi
tiga dari empat orang itu adalah palsu! Dan Kuntilanak Alam Kubur yang palsulah
yang tadi ditewaskannya. Itulah sebabnya mereka dapat hidup kembali. Kini
satu-satunya jalan adalah merobohkan Kuntilanak Alam Kubur yang asli! Tapi,
mana di antara empat orang itu yang asli?
"Hik... hik... hik.!
Mengapa termenung di situ, Dewa Arak? Berpikir unruk melarikan diri? Jangan
harap! Kau harus mati di tanganku Dewa Arak!"
Gluk... gluk... gluk...!
Dewa Arak kembali menuangkan
arak ke dalam mulutnya. Ucapan Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak
didengarnya sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan jerit melengking
nyaring, Dewa Arak melompat menerjang. Entah bagaimana caranya tahu- tahu
gucinya telah berada kembali di punggungnya. Kini sepasang tangannya
bergerak-gerak aneh menyerang lawannya.
Kali ini dia memang meminum
araknya lebih banyak dari biasanya. Jurus 'Belalang Mabuk' kin'
menyambar-nyambar dahsyat ke arah empat orang lawannya.
Empat Kuntilanak Alam Kubur
itu langsung berpencar. Tapi, Dewa Arak kini berada dalam puncak ilmunya.
Secara tak terduga-duga, dihantamnya ulu hati salah seorang Kuntilanak Alam
Kubur.
Buk. ! Buk... !
"Aaakh...!"
Kuntilanak Alam Kubur yang
sial itu memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh. Nenek itu tewas seketika
dengan sekujur tulang tulang dada hancur. Darah mengalir deras dari hidung,
mulut dan telinganya.
Dewa Arak rupanya sudah tak
sabar lagi ingin cepat- cepat mengakhiri pertarungan. Secepat Kilat kedua
tangannya yang tadi dalam bentuk tangan jari-jari belalang, berubah membentuk
cakar yang terkembang lebar. Seketika itu pula tangan kanannya dihentakkan ke
depan, disusul oleh hentakan tangan kirinya. Inilah Jurus 'Membakar Matahari'.
Jurus ini dapat menghasilkan gumpalan api yang dapat menghanguskan apa saja
yang terlanda pukulan itu!
Wusss...! Wusss...!
Dua buah gumpalan api
menyambar deras ke arah dua orang Kuntilanak Alam Kubur. Serangan Dewa Arak itu
begitu cepat dan tiba-tiba. Sehingga seorang di antara mereka tidak bisa
mengelak lagi.
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan melengking
tinggi, ketika api yang menyambar itu langsung mengenal dada salah seorang dari
Kuntilanak Alam Kubur. Seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang. Tewas
seketika dengan api menyala di atas tubuhnya!
Tapi sebelum Dewa Arak
melanjutkan serangannya, salah seorang Kuntilanak Alam Kubur telah lebih dulu
menyerangnya. Tongkat di tangan nenek itu menyambar dahsyat ke kepalanya. Arya
sempat mengelakkannya, tapi tak urung tongkat itu menghantam bahunya.
Buk... !
"Akh...!" Dewa Arak
memekik tertahan. Tubuhnya terbanting keras. Sekujur bahunya dirasakan ngilu
bukan main. Seolah-olah tulang-tulangnya remuk.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas ketika melihat lawannya kembali berjumlah empat orang lagi.
Pemuda ini hampir putus asa. Sudah lebih dua ratus lima puluh jurus dia
bertarung. Tapi sampai saat ini tak juga dapat ditemukan kelemahan ilmu
lawannya. Sulit untuk mencari mana di antara mereka yang asli. Sementara malam
mulai berganti pagi. Pelahan-lahan sang mentari mulai menampakkan diri.
"Hik... hik... hik...!
Silakan kau keluarkan semua ilmumu Dewa Arak!" ejek salah seorang dari empat
Kuntilanak Alam Kubur.
Tiba-tiba sepasang mata Dewa
Arak berbinar-binar. Sinar matahari yang mulai menyorot ke bumi membuat
semangatnya bangkit. Beta pa tidak? Di antara keempat sosok tubuh itu, hanya
ada satu yang mempunyai bayangan!
Otak Dewa Arak yang cerdik
segera mengerti. Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai bayangan inilah yang
asli. Yang lainnya palsu belaka. Tercipta karena keunikan ilmu 'Pecah Raga'.
Tapi Dewa Arak tidak bertindak
bodoh. Pemuda itu berpura-pura tidak tahu. Dikumpulkannya lagi seluruh tenaga
dalamnya. Setelah rasa ngilu di tangannya ber- kurang, dia kembali melompat
menerjang. Kini Dewa Arak sudah mempunyai sasaran. Tapi, untuk tidak membuat
kecurigaan, diterjangnya Kuntilanak Alam Kubur yang palsu. Meskipun begitu,
sepasang matanya tidak lepas mengawasi Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai
bayangan.
"Hiyaaa..!"
Guci arak yang kini telah
berada di tangannya kembali, diayunkannya ke arah kepala salah seorang
Kuntilanak Alam Kubur.
Wut.. !
Guci itu lewat di atas kepala
ketika si nenek menundukkan kepalanya.
Tapi di saat itulah, secara
tidak terduga-duga. Dewa Arak melemparkan gucinya ke arah Kuntilanak Alam Kubur
yang mempunyai bayangan.
Wut... !
Guci itu meluncur deras.
Karuan saja si nenek terkejut bukan main. Segera dia melompat mengelak. Tapi di
saat itulah Dewa Arak sudah menghentakkan kedua tangannya bergantian ke depan.
Kedua jari-jari tangannya mengembang lebar membentuk cakar. Inilah jurus
'Membakar Matahari'
Wut.. !
Dua buah gumpalan api
menyambar dahsyat ke tubuh Kuntilanak Alam Kubur yang tengah melompat tinggi ke
atas. Tidak ada jalan lain bagi nenek itu kecuali menangkisnya.
Tiga orang Kuntilanak Alam
Kubur yang lain berusaha membantu. Dua di antaranya berusaha mencegat pukulan
itu, tapi gagal. Yang seorang lagi menyerang Arya. Tongkat di tangannya
menyambar dahsyat ke kepala Dewa Arak.
Trak!
"Akh...!"
Dewa Arak menjerit keras.
Tangan kanannya yang menangkis serangan itu seperti lumpuh rasanya. Tulang-
tulangnya terasa remuk. Ngilu bukan main. Tapi di saat lawan hendak
menyusulinya dengan serangan maut, terjadi sebuah keanehan. Tubuh yang masih
berada di udara itu menggeliat. Kedua tangannya memegangi dada, seperti
menderita rasa sakit yang hebat.
Rasa penasaran membuat mata
Dewa Arak beredar ber- keliling. Pandangannya tertumbuk pada tubuh Kuntilanak
Alam Kubur asli yang tengah menggeliat-geliat di tanah. Sekujur tubuhnya penuh
nyala api berkobar. Rupanya pukulan Dewa Arak dalam pemakaian Jurus 'Membakar
Matahari', tak mampu ditahannya. Beberapa saat tubuhnya menggelepar sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!
Seiring dengan tewasnya
Kuntilanak Alam Kubur asli, tiga orang kembarannya lenyap tanpa bekas.
"Hhh...!" Arya
menghela napas. Antara perasaan lelah dan lega. Segera dipungutnya guci miliknya
yang tergeletak jauh dari mayat si nenek. Kemudian disampirkannya di punggung.
"Kang Arya ...!"
Suara yang amat dikenalnya
berseru memanggilnya. Dewa Arak tersenyum. Dilihatnya Melati tengah berlari
cepat ke arahnya.
Arya mengembangkan kedua
tangannya, memeluk gadis itu erat-erat.
"Aku khawatir sekali,
Kang." ucap Melati. Suaranya tersendat-sendat.
"Nenek itu memang lihai
sekali," desis Arya penuh kekaguman "Untung aku berhasil menemukan
kelemahan ilmunya. O, ya. Mengapa kau berada di hutan ini, Melati?"
"Kakek yang menyuruhku,
Kang. Aku disuruh mengamal- kan ilmu yang kuperoleh darinya. Kau bohong, Kang
Arya. Waktu itu, kau bilang ingin datang menjumpaiku," ucap gadis itu
merajuk (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong
Gading").
"Maafkan aku, Melati. Aku
belum sempat menemuimu. Kau bisa memakluminya kan?" tanya Arya meminta
pengertian gadis itu.
Melati tersenyum manis.
Pelahan dianggukkan kepalanya. "Tak apa, Kang. Toh, sekarang kita sudah
bertemu."
"Ehm..., ehm...!"
Suara deheman dua kali
menyadarkan kedua muda- mudi itu. Melati teringat bahwa masih ada orang lain di
sekitar mereka. Kakek bongkok yang buta dan juga Ki Sancaperta dan para
penduduk Desa Bandan. Dengan muka merah, keduanya menoleh.
"Aku ingin meminta
pertolongan pada kalian. Boleh?" tanya kakek bongkok itu.
"Pertolongan apa,
Kek?" tanya Arya heran.
"Tolong kemarikan mayat
istriku." sahut kakek itu pelan. Nada suaranya menyimpan kedukaan yang
dalam. Macan putih hampir menerkam Dewa Arak kalau kakek buta itu tidak
mencegahnya.
Dewa Arak segera menghampiri
mayat nenek yang telah hangus. Diangkatnya, kemudian dihampirinya kakek bongkok
itu.
"Bagaimana dengan benda
langit ini, Arya? Kau tidak ingin memilikinya?" tanya kakek itu sambil
menunjukkan sebuah benda mirip batu berwarna gelap. Besarnya hampir sebesar
kepala orang dewasa. Sewaktu Dewa Arak bertarung dengan Kuntilanak Alam Kubur,
Melati mengambilnya dan memberikannya pada si kakek.
Dewa Arak memperhatikan benda
yang telah menimbulkan malapetaka itu sejenak.
"Sebenarnya, apa sih
keistimewaan benda itu, Kek?" tanya Arya ingin tahu.
"Banyak, Arya,"
jawab kakek bongkok itu. "Benda ini bisa dijadikan senjata pusaka yang
ampuh. Bahkan juga dapat digunakan untuk menawarkan segala jenis racun "
"Ah...! Pantas banyak
orang yang berniat mendapat- kannya," ucap Arya mulai mengerti.
Kakek bongkok itu hanya
tersenyum.
"Bagaimana, kau mau.
Arya?"
"Terima kasih, Kek. Aku
tidak berminat memilikinya. Biarlah kakek yang menyimpannya," tolak Arya.
"Dan Ini mayat istri kakek. Aku mohon maaf atas kejadian ini, Kek,"
ucap Arya sambil mengangsurkan mayat Kuntilanak Alam Kubur pada kakek bongkok
itu.
Kakek bongkok itu
mengangsurkan tangan menerima mayat istrinya.
"Lupakanlah, Dewa Arak.
Kau tidak bersalah." sahut kakek itu "Mari, Putih!"
Setelah berkata demikian,
kakek bongkok itu melangkah pergi meninggalkan Arya, Melati, dan para penduduk
Desa Bandan. Tak jauh di belakangnya, macan putih mengikuti dengan langkah
pelan.
Dewa Arak, Melati, dan
penduduk Desa Bandan memandangi kepergian kakek itu. Baru setelah itu Arya
menolehkan kepalanya. Menatap ke arah Ki Sancaperta dan Ki Gayan.
"Kami juga ingin mohon
diri, Ki...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sebelum kedua
sesepuh Desa Bandan itu menyahut. Dewa Arak segera melesat dari situ sambil
menarik tangan Melati. Sesaat kemudian, tubuh muda-mudi perkasa itu lenyap di
balik kerimbunan pepohonan.
"Pemuda yang luar
biasa...." gumam Ki Sancaperta pelan. "Tanpa bantuannya desa kita
tidak akan lepas dari malapetaka."
"Benar," sahut Ki
Gayan.
Kemudian, dengan langkah lebar
mereka melangkah meninggalkan Hutan Bandan. Hari esok yang cerah telah menanti
mereka.
Sementara itu di kejauhan Arya
dan Melati tengah bergandengan seraya melangkah pelan. Masih banyak tugas-tugas
yang menanti Dewa Arak.
SELESAI