Serial Dewa Arak 06 - Prahara Hutan Bandan

Suara cicit burung menyambut datangnya pagi. Sang mentari bersinar lembut menyinari bumi. Dua orang lelaki berwajah kasar melangkah memasuki mulut Desa Bandan.
06 - Prahara Hutan Bandan

Suara cicit burung menyambut datangnya pagi. Sang mentari bersinar lembut menyinari bumi. Dua orang lelaki berwajah kasar melangkah memasuki mulut Desa Bandan. Melihat senjata yang terselip di pinggangnya, bisa diketahui kalau kedua orang ini adalah orang-orang persilatan.

"Benarkah katamu, Kang? Apa kau yakin benda bercahaya itu jatuh di Hutan Bandan?" tanya salah seorang yang berwajah bopeng.

Orang yang dipanggil kakang, hanya menganggukkan kepalanya. Tubuhnya tinggi besar dan kekar tapi wajahnya kurus. Hampir-hampir tidak berdaging. Seperti tengkorak saja layaknya.

"Begitulah berita yang kudengar Adi. Sayang, aku tidak tahu tempatnya," sahut laki-laki yang berwajah tengkorak. "Menurut orang yang kita tanyai, hutan itu tak jauh dari sini. Tapi, di mana ya?" sambung si muka tengkorak lagi sambil memandang sekelilingnya.

"Nanti bisa kita tanyakan pada penduduk yang kita temui lagi, Kang," timpal laki-laki bermuka bopeng itu.

Belum lagi mereka melangkah jauh, keduanya berpapasan dengan tiga orang petani yang tengah menuju ke sawah. Laki-laki bermuka bopeng itu bergegas mendekati.

"Hei, Pak Tua...!" tegur laki-laki bermuka bopeng itu keras.

Tiga orang petani yang rata-rata berusia setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Kening mereka berkerut, begitu melihat dua orang aneh bertingkah laku kasar datang mendekat.

"Kau tahu di mana letak Hutan Bandan, Pak Tua?" tanya laki-laki berwajah bopeng dengan kasar.

Wajah tiga orang petani itu mendadak pucat. Tapi hal inimalah membuat si muka bopeng tertawa senang.

"Tidak perlu takut," ucap laki-laki berwajah bopeng itu dengan lagak memuakkan. "Kalau kalian memberitahu letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan."

Ketiga petani itu menggeleng-gelengkan kepalanya serempak.

"Kami... kami tidak tahu, Tuan," jawab salah seorang yang berkumis putih.

"Apa?!" teriak si muka bopeng. Sepasang matanya membelalak lebar. "Kau berani berbohong pada kami, tua bangka peot?!"

Sambil berkata demikian, tangan laki-laki kasar itu meraba hulu pedang di pinggangnya. Tentu saja hal itu membuat ketiga orang petani itu gemetar.

"Aku... aku tidak bohong, Tuan...," sahut salah seorang dari petani itu terbata-bata.

Terdengar suara berderak keras saat laki-laki bermuka bopeng itu mengepalkan tangan kirinya.

"Keparat...! Rupanya kau lebih suka memilih mati, heh?! Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua bangka!"

Setelah berkata demikian tangannya berkelebat cepat. Dan .....
Srat! Crak..!
"Akh...!"

Si petani berkumis putih menjerit tertahan. Pedang laki- laki bermuka bopeng itu telah membabat lehernya. Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya!

Dua orang petani lainnya menatap tubuh kawannya yang tidak bernyawa lagi dengan mata tidak berkedip. Bergidik bulu kuduk mereka menyaksikan kematian kawannya yang begitu tragis. Jangankan melawan, berdiri saja rasanya hampir tak sanggup lagi!

"Nah! Bagaimana? Mau menunjukkan di mana letak Hutan Bandan atau, memilih nasib seperti dia!" ancam laki- laki bermuka bopeng seraya menunjuk mayat petani sial yang sudah tak berkepala. Sedangkan laki-laki berwajah tengkorak hanya memperhatikan semua peristiwa itu
sambil menyeringai kesenangan.

Dua orang petani itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak berani memandang wajah beringas si muka bopeng.

"Cepat jawab...! Sebelum kesabaranku hilang...!" sentak si muka bopeng gusar.

Tubuh dua orang itu menggigil semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba mereka nekat membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan si muka bopeng.

"Rupanya kalian juga memilih mampus...!" terdengar suara berseru nyaring. Tahu-tahu di depan keduanya telah berdiri si muka tengkorak. Kedua tangannya terlipat di dada.

"Ah...!" kedua petani itu berseru kaget. Dengan wajah pucat mereka menghentikan langkahnya.

Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, si muka tengkorak telah menggerakkan tangannya. Dalam sekejap tangannya telah menggenggam sebatang golok.

"Hih...!"

Si muka tengkorak menusukkan goloknya ke arah perut salah seorang petani malang itu.

Blesss...!
"Aaakh...!"

Petani sial itu menjerit memilukan ketika golok itu menembus perutnya. Darah segar bermuncratan dari perutnya. Beberapa saat lamanya petani sial itu ber- kelojotan meregang nyawa, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

Pelahan-lahan si muka tengkorak mendekati petani yang tersisa. Kontan si petani muridur ketakutan. Tapi langkahnya terhenti ketika punggungnya terasa menyentuh sesuatu. Sambil berjingkat kaget, ia menoleh ke belakang.

Ternyata punggungnya menyentuh ujung pedang yang diacungkan si muka bopeng. Kini dia tidak bisa lari ke mana- mana

"Ampun... ampunkan aku, Tuan anakku banyak.... Jangan bunuh aku...," rintih petani itu memelas.

Si muka tengkorak mendengus.

"Kami akan mengampunimu, Pak Tua. Kalau kau sayang pada anak-anakmu, katakanlah, di mana letak Hutan Bandan?! Bila kau menolak, maka kami tidak segan-segan mengirimmu ke akherat!"

Tubuh si petani semakin menggigil mendengar ancaman itu.

"Ttt... tapi, Tuan.... Hutan yang Tuan sebutkan itu adalah hutan larangan. Hutan keramat! Hutan itu telah diamanat- kan agar dijaga oleh penduduk Desa Bandan. Tidak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalamnya. Kalau ada yang masuk, apalagi sampai membuat onar, maka bencana akan menimpa desa kami..." ucap petani itu terbata-bata.

"Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan desa ini! Katakan di mana letak Hutan Bandan atau kau ingin mati pelan-pelan, heh! Ini kesempatanmu yang terakhir, Pak Tua!" si muka bopeng sudah tak sabar. Pedangnya yang sejak tadi menempel di punggung si petani semakin ditekan. Darah mulai menetes dari luka di punggung petani matang itu.

Si petani menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di punggungnya.

"Ba... baik, baiKiah," ujar petani itu terputus-putus.

Si muka bopeng menarik kembali pedangnya.

"Hutan itu ada di balik gunung." si petani menjawab sambil menunjuk ke arah sebuah gunung di hadapannya .

Kedua orang kasar itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh si petani. Benar mereka memang melihat sebuah gunung yang menjulang di kejauhan.

Si muka tengkorak menganggukkan kepalanya ke arah si muka bopeng. Saat itu juga, si muka bopeng menusukkan pedangnya ke punggung si petani.

Cappp...!
"Akh...!"

Darah bermuncratan ketika pedang itu menembus punggung hingga ke perut si petani.

Orang malang itu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Lukanya bertambah lebar ketika si muka bopeng menarik kembali pedangnya .

"Kkk.... kenapa Tuan mengingkari janji...?" si petani ber- tanya sambil menahan rasa sakit.

Desss!

Tendangan si muka tengkorak menjawab pertanyaan si petani itu.

"Hugh...!"

Si petani mengeluh tertahan. Tendangan itu tepat mengenai perutnya. Tubuhnya terjengkang, berguling- guling di tanah. Sang maut telah menjemputnya.

Tanpa mempedulikan mayat-mayat petani sial itu, keduanya segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan si petani.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi seorang anak belasan tahun melihat semua kejadian itu dari balik semak belukar.

Begitu dilihatnya kedua pembunuh itu berlalu, anak itu pun segera berlari kencang ke arah desa.

***

Ki Gayan, Kepala Desa Bandan tersentak kaget men- dengar laporan yang dibawa oleh anak belasan tahun di depannya, ia mengenali anak itu sebagai salah seorang warganya.

"Benarkah semua yang kau katakan ini, Dursa?" tanyanya lagi meminta ketegasan.
"Sungguh mati, Ki, Aku tidak bohong!" sahut anak yang bernama Dursa itu.

Ki Gayan menggelengkan kepalanya.

"Cepat kau beritahukan peristiwa ini pada Ki Sanca- perta, Dursa," perintah laki-laki setengah baya itu. "Antarkan dia langsung ke tempat kejadian!"

"Sekarang, Ki?"
"Tentu saja!" sentak Ki Gayan agak kesal.

Kembali Dursa berlari. Kali ini tujuannya adalah rumah Ki Sancaperta, guru silat di desa ini. Sedangkan Ki Gayan segera beranjak menuju tempat pembunuhan bersama salah seorang pengawalnya.

Dalam waktu singkat Desa Bandan geger. Kematian tiga warganya membuat mereka resah. Rasa cemas nam pak terlihat di setiap wajah penduduk.

"Hal ini tidak boleh dibiarkan!" tegas Ki Gayan. "Kita harus menangkap pembunuhnya.

"Aku setuju dengan pendapatmu, Gayan!" dukung seorang yang bertubuh tegap. Orang ini kelihatan gagah dengan cambang bauk lebat di wajahnya. Dia satu-satunya guru silat di Desa Bandan ini. Murid-muridnya cukup banyak. Semuanya penduduk desa itu. "Akan kukejar orang yang berani kurang ajar memasuki Hutan Bandan, Gayan. Jika melalui jalan pintas, mungkin aku masih dapat mendahului mereka. Mudah-mudahan keduanya belum sempat memasuki hutan."

"Ahhh...! Usulmu bagus sekali, Sanca." sahut Ki Gayan gembira.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Gayan."

Setelah berkata demikian, Ki Sancaperta segera melesat dari tempat itu. Gerakannya cepat bukan main. Sekali bergerak, tubuhnya sudah berada beberapa tombak di depan.

Ki Gayan segera memerintahkan para penduduk meng- urus ketiga jenazah warganya. Laki-laki setengah baya ini merasa prihatin atas malapetaka yang menimpa keluarga korban.

"Bukan tidak mungkin masih banyak orang yang akan menanyakan letak Hutan Bandan. Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan?" desah Ki Gayan pada dirinya sendiri. Sepertinya ada beban berat yang menekan batinnya.

***

Ki Sancaperta mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun tinggal di situ, ia hapal betul seluk beluk seluruh Desa Bandan. Ki Sancaperta tahu jalan pintas menuju Hutan Bandan.

Tanpa mempedulikan onak dan ranting yang melukai- nya. Ki Sancaperta terus merambah semak belukar.

Begitu hamplr menembus rerimbunan semak terakhir, matanya menangkap adanya dua sosok tubuh tengah berjalan di depannya.

Brusss... !

Ki Sancaperta cepat-cepat menerobos semak terakhir.

"Kisanak berdua, harap tunggu sebentar...!" seru guru silat ini.

Kedua orang itu menghentikan langkahnya sambil menoleh ke belakang mencari asal suara.
Sesaat kemudian Ki Sancaperta telah berdiri menantang di depan mereka.

Ki Sancaperta mengamati kedua orang kasar itu sejenak. Keduanya mempunyai ciri-ciri sesuai seperti yang diceritakan Dursa. Yang satu, wajahnya bopeng, sementara yang seorang lagi berwajah kurus. Jadi inikah kedua orang yang telah membunuh tiga orang warga desanya?

"Siapa kau?!" tegur si muka bopeng kasar. Matanya menatap tajam sekujur tubuh guru silat itu.
"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu, Kisanak!" sergah Ki Sancaperta seraya tersenyum.
"Kurang ajar! Rupanya kau cari mampus, heh!" bentak si muka bopeng.
"Kalianlah yang cari mampus! Aku menuntut balas atas kematian tiga warga desaku yang baru saja kalian bunuh!" sahut Ki Sancaperta geram.

"Keparat..! Mampuslah kau..!" teriak si muka tengkorak sengit.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, segera dicabut goloknya. Lalu disabetkannya ke leher Ki Sancaperta. Begitu si muka bopeng melihat kawannya sudah menyerang ia bersiap- siap membokong.

Wuttt...!

Dan gerakannya, Ki Sancaperta tahu kalau kedua orang lawannya ini hanya memiliki sedikit kepandaian. Rasanya tidak terlalu sulit baginya merobohkan keduanya.

Segera kepalanya ditarik ke belakang sehingga serangan itu lewat beberapa rambut dari wajahnya. Pada saat yang bersamaan, Ki Sancaperta segera melepaskan tendangan lurus ke arah perut.

Buk!
"Hugh...!"

Si muka tengkorak mengeluh tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang. Darah segar menetes di sudut- sudut bibirnya.

Tapi sebelum Ki Sancaperta mengirimkan serangan susulan, si muka bopeng lebih dulu melesat menyerang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher.

Ki Sancaperta mendengus. Laksana kilat tubuhnya menyelinap ke bawah. Pada saat yang bersamaan, dilepaskannya pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan perut lawan.

Buk! Buk... !
"Hughk...!"

Bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Ki Sancaperta mengenai sasaran. Terdengar suara berderak ketika tulang-tulang rusuk si muka bopeng berpatahan. Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.

Bruk... !

Tubuh si muka bopeng jatuh tersungkur. Nyawanya melayang seketika.

"Keparat...!"

Si muka tengkorak berteriak gusar. Golok di tangannya diputar-putar laksana baling-baling. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, diterjangnya guru silat itu.

Ki Sancaperta dengan tenang menggerakkan tubuhnya ke sana kemari. Semua serangan si muka tengkorak mengenai tempat kosong. Dan pada suatu ke sempatan....

Tak!

Si muka tengkorak memekik ketika tendangan Ki Sancaperta mengenai pergelangan tangannya. Golok di tangannya terlempar.

Sebelum orang kasar ini sempat berbuat sesuatu, kaki yang baru saja menendang pergelangan tangannya berputar cepat mengancam rahangnya. Gerakan itu begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga si muka tengkorak tidak sempat menghindar.

Krak...!

Terdengar suara berderak keras ketika tulang leher si muka tengkorak patah. Tubuhnya terlempar ke belakang. Beberapa saat lamanya, laki-laki kasar itu menggeliat menjemput maut.

Ki Sancaperta memandangi kedua sosok tubuh yang terkapar itu sejenak. Dengan sekali hentakan, kedua mayat itu ditendang masuk ke semak-semak.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya laki-laki gagah itu bergegas kembali ke Desa Bandan.

***

"Aku semakin khawatir melihat perkembangan akhir- akhhr ini, Gayan," ucap Ki Sancaperta ketika malam harinya mereka berembuk membahas masalah tadi pagi.

Pertemuan itu juga dihadiri oleh Gempal, pengawal Ki Gayan sekaligus merangkap Kepala Keamanan Desa Bandan. Tak ketinggalan pula Jiwala, murid utama Ki Sancaperta.

"Hhh...!" Kepala Desa Bandan itu hanya menghela napas panjang.

"Ini adalah kejadian ketiga kalinya, Gayan. Belum lama ini beberapa warga kita ditemukan tewas karena masalah yang sama. Orang-orang kasar itu selalu menanyakan letak Hutan Bandan. Diberitahukan atau tidak, tetap saja mereka dibunuh." ucap laki-laki gagah itu lagi.

"Hm..., mungkin karena adanya berita yang beredar di dunia persilatan, Guru," tukas Jiwala.

Laki-laki gagah bercambang bauk itu menoleh ke arah muridnya.

"Berita apa, Jiwala?" tanya guru silat itu. Nada suaranya menyiratkan rasa ingin tahu. Bukan hanya Ki Sancaperta saja, Ki Gayan dan Gempal pun memandang wajah Jiwala dengan penuh perhatian.

Jiwala menarik napas panjang sebelum memulai keterangan.

"Menurut berita yang kudengar, ada sebuah benda ber- cahaya dari langit yang jatuh di sekitar Gunung Bandan. Jadi, yahhh.... di sekitar Hutan Bandanlah...," tegas pemuda bertubuh pendek kekar itu.

"Benda bercahaya dari langit...?" gumam Ki Sancaperta. Jelas kalau guru silat itu masih belum mengerti.

Ditatapnya Ki Gayan, dan Gempal. Tapi keduanya terlihat tengah mengernyitkan alisnya. Rupanya kedua orang ini juga dilanda perasaan yang sama.

"Benarkah apa yang kau ucapkan ini, Jiwala?" tanya Ki Sancaperta meminta ketegasan.
"Begitulah berita yang kudengar Guru," sahut Jiwala disertai anggukan kepalanya.
"Kalau benar semua yang kau ucapkan itu, berarti kita sekarang berada dalam bahaya!"
"Mengapa demikian, Ki?" tanya Gempal. Matanya merayapi wajah Ki Sancaperta yang terlihat gelisah.

Guru silat itu menatap wajah Kepala Keamanan Desa Bandan itu lekat-lekat.

"Kau tidak bisa menduga akibat berita itu, Gempal?!" tanya laki-laki gagah itu. Suaranya mengandung teguran.

"Orang- orang persilatan pasti akan berbondong-bondong datang ke Hutan Bandan. Bukankah kau tahu bahwa hutan itu merupakan daerah terlarang? Bukankah kita dipesan untuk melarang siapa pun masuk ke dalamnya? Kalau hal itu dilanggar, maka desa kita akan dilanda musibah!"

Wajah Gempal memerah karena malu. Pikirannya baru terbuka setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari gurunya. Gempal memang kurang cepat tanggap terhadap setiap masalah, meskipun kedudukannya adalah sebagai kepala keamanan desa.

"Lalu bagaimana baiknya, Sanca?" tanya Ki Gayan. Otaknya buntu memikirkan jalan keluar persoalan ini.

Ki Sancaperta menghela napas panjang mendengar pertanyaan itu. Bisa dimaklumi kebingungan di benak kepala desa yang sejak kecil menjadi teman karibnya ini.

"Kau tidak mempunyai usul, Gayan?" tanya guru silat itu. Pelan dan datar nada suaranya.
Ki Gayan menggelengkan kepalanya.
"Pikiranku buntu, Sanca." sahut kepala desa itu mendesah.
Ki Sancaperta tercenung sejenak.

"Kalau begitu, begini saja Jiwala dan Gempal memimpin penjagaan di mulut desa. Usahakan, cegah orang yang akan menuju Hutan Bandan. Jika menjumpai lawan yang lebih kuat, segera pukul kentongan. Aku akan datang membantu kalian. Kalian paham?!" tanya guru silat ini sambil menatap kedua laki-laki muda di hadapannya .

"Paham, Guru!" sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya.
"Paham, Ki!" jawab Gempal pula.

"Bagus! Atur penjagaan sebaik-baiknya."

***

Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah pelahan memasuki Desa Bandan. Baru saja ia melangkah melewati tembok baru batas desa, di depannya telah menghadang belasan orang bersenjata lengkap. Sikap mereka tampaknya tidak bersahabat.

Pemuda yang tidak lain adalah Arya atau yang lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu mengerutkan alisnya. Tapi, pemuda ini seolah-olah bersikap tidak tahu apa yang ter- jadi di hadapannya.

"Berhenti...!"

Terdengar teriakan bernada kasar. Belum lagi gema teriakan itu lenyap, tahu-tahu belasan sosok tubuh tadi sudah bergerak mengurungnya.

Srat! Srat...!

Serentak orang-orang itu mencabut senjatanya. Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak yang tidak tahu apa-apa, menjadi kaget bukan main.

"Tahan...!" teriak Arya keras. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. "Ada apa Ini? Mengapa kisanak semua meng­hadang perjalananku?"

Salah seorang pengepungnya maju menghampiri. Orang itu adalah Jiwala, murid kepala Ki Sancaperta.

"Tidak usah berpura-pura, Kisanak! Bukankah kau ingin ke Hutan Bandan untuk mendapatkan benda langit itu?" sergah pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil ter- senyum sinis.

Dewa Arak mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti maksud pembicaraan orang itu.

Belum lagi Arya menjawab, si pendek kekar sudah melompat menyerang. Golok di tangannya disabetkan ke leher Dewa Arak.Tentu saja serangan orang yang berkepandaian seperti Jiwala tidak berarti apa-apa bagi Dewa Arak. Kalau dia mau, hanya dengan menyalurkan sedikit tenaga dalamnya, serangan tadi tidak akan mampu melukai kulitnya.

Tapi Dewa Arak tidak mau mempertunjukkan kelihaian- nya. Kepalanya dimiringkan sedikit, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Ia tak ingin melancarkan serangan balasan. Arya tahu kalau belasan orang ini hanya salah paham.

Jiwala kalap begitu melihat serangannya dapat digagal- kan. Kini, golok di tangannya kembali menyambar semakin dahsyat.

Lagi-lagi pemuda kekar ini menerima kenyataan pahit. Semua serangannya dapat dielakkan secara mudah oleh Dewa Arak. Hal ini membuat kemarahannya semakin meluap. Sambil menggertakkan gigi, diperhebat serangan- serangannya.

Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Hatinya kesal melihat kenekatan lawan. Akhirnya Arya memutuskan untuk segera menyelesaikan pertarungan ini .

"Lepas...!" teriak Dewa Arak keras. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangannya bergerak menotok ke arah sikut Jiwala.

Tuk!
"Akh      !"

Murid kepala Ki Sancaperta ini memekik tertahan. Sekujur tangannya lumpuh seketika. Belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu golok di tangannya telah berada dalam genggaman Dewa Arak.

Kini sadarlah Jiwala kalau pemuda di hadapannya me- miliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera menoleh ke belakang sambil berseru keras.

"Serang..!"

Seketika itu juga para pengepung Dewa Arak segera menyabetkan senjatanya masing-masing.

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Orang-orang ini benar-benar nekat! Mereka sama sekali tidak mau men- dengar penjelasannya. Arya akhirnya memutuskan untuk menghindar. Pemuda berbaju ungu ini khawatir kalau melawan dengan kekerasan hanya akan memperuncing keadaan.

Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak melenting ke atas, melewati kepala para pengeroyoknya.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di luar kepungan. Dan secepat itu pula segera dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Jiwala dan teman-temannya terpaku melihat lawan yang mereka serang sudah tidak berada di tempatnya lagi. Untuk sesaat mereka celingukan mencari-cari.

"Itu dia...!" teriak Jiwala menunjuk ke arah Dewa Arak yang tengah melangkah memasuki desa.

Mereka segera berbondong-bondong mengejar. Tentu saja Dewa Arak yang berjalan biasa, dalam waktu singkat sudah terkejar. Pemuda berambut putih keperakan ini kembali dikepung.

"Jangan harap dapat memasuki Hutan Bandan sebelum melangkahi mayat kami, Kisanak!" seru Jiwala keras.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Harap kisanak semua mau mengerti penjelasanku. Sungguh, aku sama sekali tidak berniat menuju ke Hutan Bandan. Apalagi mencari apa yang kalian sebut benda langit itu."

Jiwala mengernyitkan keningnya. Ucapan pemuda berambut putih keperakan ini mulai membuatnya sedikit percaya.

"Lalu, apa maksudmu datang ke desa ini?" tanya Jiwala lagi. Nada suaranya mulai terdengar lunak.
"Hanya kebetulan lewat," sahut Arya
"Hanya itu saja?" desak Jiwala. Ada rasa tidak percaya pada nada suaranya.
"Ya." jawab Arya singkat.

Pemuda bertubuh pendek kekar itu mengangguk- anggukkan kepalanya.

"Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Kisanak?" tanya pemuda pendek kekar itu lagi. "Aku Jiwala."
"Arya, Arya Buana."

"Baiklah, Arya. Kami percaya bahwa kau tidak hendak menuju Hutan Bandan. Tapi ingat, kalau ternyata kau menuju ke sana, kami tidak akan segan-segan menindak- mu!" tandas Jiwala tegas.

Dewa Arak menghela napas lega.

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan pada- ku, Kakang Jiwala. Percayalah..., nama Hutan Bandan, mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri, Kang."

"Aku percaya padamu, Arya. Kelihatannya kau berbeda dengan orang-orang persilatan yang pernah datang ke sini," jelas Jiwala.

"Jadi, banyak orang yang datang kemari menanyakan masalah Hutan Bandan itu, Kang?"

"Ya." sahut Jiwala sambil menganggukkan kepalanya. "Semua ini karena beredarnya berita yang tersebar luas di luaran."

"Berita apa, Kang?" tanya Arya ingin tahu.

"Berita yang mengatakan adanya sebuah benda ber- sinar dari langit yang jatuh ke Hutan Bandan. Entah dari mana asal berita itu. Jelas berita itu telah membuat orang- orang persilatan berbondong-bondong kemari mencarinya. Padahal Hutan Bandan bagi kami merupakan hutan larangan. Tidak seorang pun diperbolehkan menginjakkan kakinya ke sana. Kalau itu sampai terjadi, kamilah yang akan terkena akibatnya...," jelas Jiwala sambil mendesah.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiranya ia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi di desa ini. Kaum persilatan, lebih-lebih dari golongan hitam, rata-rata bersikap kasar. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan kesulitan. Apalagi penduduk desa ini tidak mengijinkan orang memasuki Hutan Bandan.

Bentrokan sudah pasti tidak bisa dihindari lagi.

"Belum lama ini, tiga orang penduduk kami tewas karena tidak mau memberitahu orang yang menanyakan letak Hutan Bandan," sambung Jiwala lagi. "Untung sebelum kedua orang itu memasuki Hutan Bandan, guru kami telah bertindak cepat, sehingga keduanya tewas sebelum memasuki Hutan Bandan."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat itu pandangan matanya yang tajam menangkap sosok di kejauhan bergerak mendekati tempat mereka. Gerakannya cukup cepat, sehingga tak lama kemudian sudah berada di dekat mereka.

"Guru...!" Jiwala dan teman-temannya segera memberi hormat begitu mengenali orang yang baru datang itu.

Arya menatap laki-laki bertubuh kekar dan bercambang bauk itu. Orang yang baru tiba adalah Ki Sancaperta, guru silat desa itu.

Ki Sancaperta menatap lekat-lekat sekujur tubuh Dewa Arak. Keningnya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Ahhh...! Tidak salahkah penglihatanku?! Benarkah yang sekarang berada di hadapanku ini Dewa Arak?!" ujar Ki Sancaperta beberapa saat kemudian.

Tentu saja ucapan Ki Sancaperta membuat murid-murid- nya terperangah. Benarkah pemuda berambut putih keperakan yang mereka kepung ini adalah pendekar yang tersohor itu?

"Ah...! Hanya julukan kosong saja, Ki," sahut Arya merendah.

"Ha... ha... ha...!" guru silat itu tertawa bergelak. "Begitu- lah jawaban orang yang telah memiliki kepandalan tinggi. Semakin berisi semakin merunduk!"

Wajah Dewa Arak langsung memerah. Memang begitu sikap Arya. Ia merasa risih jika ada orang yang memujinya.

"O ya, Dewa Arak. Bagaimana kalau kau singgah dulu di sini. Perlu kau ketahui sebentar lagi desa ini akan menjadi desa neraka. Puluhan orang persilatan akan datang kemari. Kami sangat mengharapkan bantuan darimu Dewa Arak!"

"Saya akan berusaha, Ki," sahut Arya mendesah.

"Ha... ha... ha...! Terima kasih atas kesediaanmu. Mari, mari...!" ajak Ki Sancaperta seraya beranjak meninggalkan tempat itu diikuti Dewa Arak yang mengangguk setuju.

"O ya, Jiwala! Teruskan penjagaan! Jangan biarkan orang luar masuk ke desa ini!"

"Baik, Guru!" sahut Jiwala penuh semangat. Pikirannya masih terpaku pada apa yang baru saja di dengarnya. Sulit dipercaya bila pemuda yang tadi diserangnya adalah Dewa Arak. Sungguh luar biasa pengalaman yang didapatnya hari ini. Bertarung dengan tokoh yang sangat tersohor, Dewa Arak!

***

Tiga sosok tubuh melangkah pelahan merambah hutan. Potongan tubuh mereka rata-rata kekar dan tegap. Wajah ketiganya pun mirip satu sama lain. Dunia persilatan men- juluki mereka Tiga Memedi Putih. Yang membedakan mereka satu sama lain adalah ciri-ciri khas mereka. Mata mereka memandang liar ke sana kemari.

"O ya, Kang Narda. Benarkah berita yang Kakang dengar itu? Benarkah benda langit jatuh di hutan ini?" tanya salah seorang dari mereka yang beralis putih. Memedi Alis putih, julukannya.

Orang yang dipanggil Narda menoleh. Berbeda dengan orang yang menegurnya Narda memiliki jenggot putih, sehingga diberi julukan Memedi Jenggot Putih.

"Berita itu sudah demikian meluasnya, Adi. Hampir semua orang persilatan tahu. Bahkan...., asal tahu saja, aku bukan hanya mendengar berita itu... tapi juga melihat dengan mata kepalaku sendiri."

"Benarkah yang kau katakan itu, Kang Narda?" tanya Memedi Kumis putih. Orang ini disebut demikian karena memiliki kumis putih.

"Sungguh! Sekarang pasang mata kalian lebar-lebar. Aku khawatir kita keduluan orang lain. Kalian tahu, bukan hanya kita bertiga saja yang menginginkan benda langit itu!"

Mendengar ucapan Memedi Jenggot Putih, semangat dua orang rekannya bangkit kembali. Mata mereka semakin liar merayapi setiap sudut Hutan Bandan.

Srak..!

Memedi Kumis Putih menyibakkan semak-semak di depannya. Tapi begitu semak-semak itu terkuak secepat kilat tubuhnya melenting ke belakang. Sebuah jeritan tertahan keluar dan mulutnya.

Jeritan Memedi Kumis Putih mengejutkan kedua orang rekannya. Serentak keduanya berpaling dengan sikap waspada. Sebelum mereka sempat bertanya, tahu-tahu dari balik semak-semak itu melesat sesosok bayangan putih yang luar biasa besarnya. Bayangan itu langsung melesat ke arah Memedi Kumis Putih.

"Aummm...!"

Memedi Kumis Putin terperanjat kaget. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Buru-buru dia melompat ke samping. Tubuhnya berguling-guling menjauhi binatang itu. Sesaat kemudian Ia sudah berdiri dengan sebuah ganco tergenggam di tangannya.

Memedi Jenggot Putih dan Memedi Alis Putih kaget bukan kepalang. Di hadapan mereka kini telah berdiri seekor macan berwarna putih yang sangat besar.

"Macan putih...," desis Tiga Memedi Putih serentak. Pandang mata mereka seakan-akan tidak mem percaya i apa yang dilihatnya. Mereka segera teringat kalau macan putih di hadapan mereka ini bukan tergolong macan putih biasa. Tapi macan ajaib!

Sudah menjadi rahasia umum kalau macan putih ajaib memiliki banyak kegunaan. Darahnya dapat menyembuh- kan segala macam penyakit akibat keracunan. Bahkan apabila diminum akan membuat orang kebal terhadap segala jenis racun. Racun apa pun yang masuk ke dalam tubuhnya langsung menjadi tawar. Bukan hanya itu, tulang- tulangnya dapat dijadikan senjata pusaka. Kulitnya apabila dijadikan pakaian akan membuat pemakainya kebal ter­hadap jenis senjata apa pun!

"Gagal mendapat benda langit, aku pun tidak penasaran... asalkan dapat menangkap binatang ini." gumam Memedi Alis Putih pelan.

Kedua rekannya menganggukkan kepala pertanda setuju.

Macan putih tidak membiarkan ketiga orang di hadapan- nya berpikir lebih lama lagi. Dengan sebuah auman dahsyat, binatang itu menerkam Memedi Alis Putih yang berada sendirian, terpisah dari rekan-rekannya.

Tapi si alis putih ini rupanya sudah bersiaga sebelum- nya. Begitu macan itu melompat, segera tubuhnya dilempar ke belakang sambil menyabetkan ganconya.

Takkk...!

Telak dan keras sekali senjatanya menghantam kepala macan itu. Tapi akhirnya, justru tangannya tergetar hebat Sementara macan itu tampak tidak terpengaruh sama sekali.

Kedua rekannya tidak membiarkan Memedi Alis Putih menghadapi binatang itu sendirian. Mereka segera ber- gerak membantu. Tak lama kemudian terjadilah sebuah pertarungan yang unik. Pertarungan antara seekor macan dengan tiga orang manusia.

Tiga Memedi Putih mengeluh dalam hati. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau macan putih itu begitu tangguh. Berkall-kali pukulan, tendangan atau pun sabetan ganco menghantamnya. Tapi semua itu seolah-olah tidak dirasakannya.

Sebaliknya, setiap cakaran, tubrukan, maupun tamparan sang macan, membuat mereka pontang-panting mengelakkannya.

"Aummm...!"

Untuk kesekian kalinya sambil mengeluarkan auman menggetarkan dada, macan putih menerkam Memedi Kumis Putih.

"Aaakh...!"

Memedi Kumis Putih menjerit melengking. Terkaman sang macan tak dapat dielakkannya. Tubuhnya langsung terjengkang. Kini sang macan berada di atas tubuhnya.

Meskipun kedua bahunya telah robek, tapi laki-laki ber­kumis putih itu tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga, ditahannya leher macan yang berusaha menggigit lehernya

Dua orang rekannya tidak tinggal diam. Mereka segera melesat menghampiri kawannya. Tapi terlambat...!

"Aaakh...!"

Memedi Kumis Putih menjerit memilukan tatkala gigi- gigi sang macan mengoyak lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.

Memedi Alis Putih dan Memedi Jenggot Putih terpaku melihat kematian temannya. Dan di saat itulah macan putih kembali menerkam. Kaki kanan depannya berhasil mencakar muka Memedi Alis Putih.

Prattt.!
"Akh...!"

Memedi Alis Putih memekik tertahan. Tubuhnya terjungkal dengan leher patah. Nyawanya telah melayang menyusul rekannya.

Kini tinggal Memedi Jenggot Putih. Tidak mungkin baginya menghadapi macan yang luar biasa ini. Kali ini ia berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri.

Ketika sang macan lengah, tanpa malu-malu lagi Memedi Jenggot Putih melesat kabur. Tapi sang macan tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Sambil mengeluarkan auman yang mendirikan bulu roma, binatang itu menerkam Memedi Jenggot Putih.

"Akh...!"

Memedi Jenggot Putih memekik tertahan ketika punggungnya ditubruk macan putih. Tubuhnya langsung jatuh terguling-guling. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, gigi-gigi sang macan telah bersarang di tengkuk- nya.

Tubuh Memedi Jenggot Putih menggelepar-gelepar sesaat. Tak lama kemudian tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.

Setelah melihat ketiga korbannya tewas, macan itu mengeluarkan suara gerengan pelan. Sepertinya dia merasa puas atas kemenangannya. Kemudian macan itu mengelilingi mayat-mayat korbannya.

Di saat itulah, tiba-tiba muncul seorang nenek ber- pakaian dan berkerudung hitam menghampiri sang macan. Kulit wajahnya tampak kehitaman. Sepasang mata, hidung dan mulutnya mengingatkan orang akan raut muka burung elang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat ber- keluk yang berujung ukiran kepala burung elang berwarna hitam.

"Bagus...! Kau memang hebat, Putih! Ingat...! Bukan hanya mereka saja yang harus kau bunuh. Tapi juga setiap orang yang berani memasuki hutan ini. Mengerti, Putih?"

Macan putih itu hanya menggereng pelan pertanda mengerti.

"Bagus...!" puji si nenek itu lagi. "Nanti malam, kau dapat pekerjaan baru. Hukum penduduk Desa Bandan yang telah membiarkan orang-orang ini masuk kemari!"

Kembali macan putih itu menggereng pelan.

"Hik... hik... hik...!" si nenek berpakaian serba hitam itu tertawa mengikik seraya berlalu meninggalkan tempat itu. Macan putih mengikutinya sambil mengaum pelan.

***

"Auuung...!"

Lolongan anjing hutan mengaung panjang. Suaranya menembus kesunyian malam yang menyelimuti Desa Bandan. Malam itu suasananya memang agak berbeda dari biasanya Langit tertutup awan tebal, sehingga cahaya bulan terhalang sinarnya.

Di balik kegelapan malam itu, tampak sesosok bayangan putih dari Hutan Bandan bergerak cepat memasuki desa. Gerakannya gesit sekali. Sesekali ter­dengar suara gerengan lirih mengiringi gerakannya.

Tak lama kemudian, bayangan itu sudah tiba di daerah pemukiman penduduk. Keadaan di sini tidak segelap keadaan di sekitarnya. Cahaya obor yang terpancang di setiap rumah penduduk, cukup menerangi suasana di sekelilingnya.

Sosok bayangan putih mulai memperlambat gerakan­nya. Kini langkahnya ditujukan pada salah satu rumah penduduk. Di bawah penerangan obor, kini tampak jelas ujud sebenarnya. Sosok bayangan putih itu tak lain adalah seekor macan putih!

Tubuh macan itu besar sekali. Jauh lebih besar dari macan biasa. Paling tidak satu setengah kali besar macan biasa!

Sambil mengeluarkan gerengan lirih binatang itu menubruk pintu sebuah rumah yang berdinding bilik.

Brakkk... !

Pintu rumah itu langsung jebol ketika tubuh macan itu menerjang masuk. Suara ribut-ribut membuat penghuni rumah yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak yang masih kecil terbangun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka tatkala melihat seekor macan putih besar berada di dalam rumahnya.

"Cepat kalian lari...!" teriak sang kepala keluarga sambil menyambar golok yang tergantung di dinding bilik.

Kemudian dengan penuh keberanian, diterjangnya macan itu dengan golok terhunus.

Dorongan semangat untuk menyelamatkan keluarganya, telah membangkitkan keberaniannya. Tapi .....

"Aaakh...!"

Kepala keluarga yang naas itu menjerit keras. Sebelum senjatanya mengenai sasaran, macan itu lebih dahulu menerkamnya. Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh ke lantai dengan tubuh binatang buas itu berada di atasnya.

Suara berdebuk nyaring terdengar ketika tubuhnya jatuh di lantai. Sementara itu, istri dan anaknya hanya dapat duduk bersimpuh di lantai. Perbuatan macan putih itu, membuat lutut mereka lemas. Jangankan lari, berdiri pun tidak mampu. Lidah kedua anak beranak ini terasa kelu.

"Aummm...!"
"Akh...!"

Pemilik rumah itu memekik nyaring ketika gigi-gigi dan kuku macan itu bersarang di leher dan tubuhnya. Sesaat tubuhnya berkelojotan sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.

Setelah melihat kematian suaminya yang tragis, akhir­nya sang istri mampu juga berteriak.

"Tolooong...! Tolooong...!" teriak perempuan itu nyaring memecah kesunyian malam.
"Aummm...!"

Macan itu kembali menerkam. Kali ini ke arah sang Istri!
"Aaakh...!"

Wanita itu memekik tertahan ketika gigi-gigi macan itu menghunjam lehernya. Hanya sebentar tubuhnya meng- gelepar-gelepar, lalu diam untuk selamanya.

"Ibu..., Bapak...," rintih sang anak antara perasaan sedih dan takut. Air matanya mengalir deras membasahi pipi.

"Grrrh...!"

Sang macan kembali menggeram. Ditubruknya gadis kecil itu. Tapi berbeda dengan nasib kedua orang tuanya.
Anak itu tidak dicabik-cabik, melainkan dibawanya kabur melesat menuju Hutan Bandan.

***

Keesokan harinya para penduduk yang tinggal di sekitar rumah korban, berbondong-bondong datang ke rumah keluarga yang naas itu.

Sesungguhnya mereka mendengar suara minta tolong dari sang istri. Tapi mereka pura-pura tidak mendengar. Mereka tidak berani mempertaruhkan nyawa, melawan Macan Putih Hutan Bandan yang terkenal kebal senjata itu.

Kegemparan melanda seisi Desa Bandan ketika warganya menemukan tubuh korban yang tercerai-berai mengerikan.

"Ahhh... Macan putih itu mulai mengambil korban...," desah salah seorang penduduk.

"Ya. Sekarang giliran Pak Jalanta sekeluarga. Entah giliran siapa lagi nanti," sambung seorang laki-laki setengah baya berjenggot tebat.

Ucapan laki-laki itu membuat wajah-wajah penduduk lainnya pucat. Mereka ngeri membayangkan seandainya macan putih itu menyatroni rumah mereka.

"Eh..., ke mana mayat Karsini? Apakah dia berhasil melarikan diri?" tanya salah seorang penduduk begitu teringat pada anak perempuan Pak Jalanta.

"Eh..., iya. Ke mana Karsini, ya?" sambut yang lainnya.

"Kalian ini bodoh atau pikun!" sergah laki-laki berjenggot itu. "Mana mungkin anak sekecil itu dapat lolos dari maut!"

"Lalu, kalau begitu di mana mayatnya?" tanya orang yang pertama kali teringat Karsini. Nada suaranya menyiratkan perasaan tidak senang.

"Apalagi kalau bukan dibawa macan itu! Yahhh..., nasibnya pasti serupa dengan remaja-remaja kita yang dikorbankan pada setiap malam bulan purnama." sahut laki-laki yang berjenggot lebat. Ada kesedihan yang dalam pada tekanan suaranya.

Kepala orang orang yang hadir di situ terangguk-angguk. Ucapan laki-laki berjenggot lebat itu memang masuk akal.

Tiba-tiba kerumunan orang-orang itu tersibak. Ki Gayan muncul diiringi Ki Sancaperta. Di belakangnya tampak Dewa Arak melangkah pelahan.

"Minggir semua..!" teriak Gempal keras. Seketika itu juga kerumunan buyar, memberikan jalan kepada tetua desanya.

"Ahhh..! Apa yang selama ini kukhawatirkan, akhirnya menjadi kenyataan..." desah Ki Gayan manakala melihat mayat Pak Jalanta dan istrinya. Ada nada keprihatinan pada suaranya.
"Yahhh.., macan putih itu mulai meminta korban!" sambung Ki Sancaperta. Nada suaranya menampakkan kemarahan.

Ki Gayan berpaling menatap sang guru silat. Sorot mata­nya mengandung teguran. Tapi Ki Sancaperta yang telah diamuk amarah tidak mempedulikannya. Sedangkan Dewa Arak memperhatikan kedua mayat di depannya sambil mendengarkan percakapan kedua tokoh Desa Bandan itu. Rupanya ada pertentangan pendapat di antara keduanya.

"Sejak dulu sebenarnya aku tidak setuju dengan per- mintaan kakek itu, Gayan. Toh, apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi juga." Ki Sancaperta menegur kepala desa itu.

"Hhh...,!" Ki Gayan menghela napas. "Apa daya kita, Sanca? Kurasa orang tua itu bermaksud baik. Dia ingin agar desa kita terhindar dari bencana yang lebih besar. Kalau kita tidak turuti permintaannya, peristiwa seperti ini sudah terjadi sejak lama!"

"Sekarang atau dulu sama saja!" sergah Ki Sancaperta keras. "Bukankah kita tidak pernah lalai memberikan apa yang dimintanya, tapi kenyataannya? Tetap saja dia mem- bantai warga kita!"

"Mungkin permintaan kedua yang tidak bisa kita penuhi," bantah sang kepala desa dengan nada halus

"Kalau begitu, berarti dia benar-benar tidak punya pikiran!" teriak guru silat itu dengan nada tinggi. "Bagaimana mungkin kita dapat menahan orang-orang persilatan yang begitu banyak?!"

"Jadi, menurutmu bagaimana, Sanca?"

Ki Sancaperta menghela napas panjang.

"Kalau menurutku, keadaan sudah telanjur. Macan itu telah mengganas. Dugaanku, tindakan macan itu tidak sampai di sini saja." duga guru silat itu.

"Mudah-mudahan saja dugaanmu salah, Ki," ucap Ki Gayan. Tapi dari nada suaranya, Ki Sancaperta tahu kalau kepala desa itu tak yakin pada ucapannya sendiri.

"Hhh...!" Ki Sancaperta menghela napas panjang. "Sudahlah, Gayan. Tidak pedu kita ributkan masalah ini. Yang penting, kita urus mayat-mayat ini lebih dahulu"

***

"Kami ingin bicara denganmu sebentar, Dewa Arak," ucap Ki Sancaperta. Malam ini mereka bertiga berkumpul di sebuah ruang yang cukup luas.

"Silakan, Ki." sahut Arya mempersilakan.

Ki Sancaperta mendehem sebentar kemudian memulai ucapannya.

"Begini, Dewa Arak. Puluhan tahun yang lalu desa ini pernah dilanda musibah. Puluhan perampok menyerbu desa ini. Untungnya muncul seorang kakek sakti bersama seekor macan putih. Para perampok itu dengan mudah dapat diusirnya. Tapi sebelum kami sempat berterima kasih, kakek itu bersama macan peliharaannya telah melesat masuk ke dalam Hutan Bandan."

Guru silat itu menghentikan sebentar ceritanya. Ditatap- nya wajah Arya untuk melihat reaksinya. Hatinya agak lega manakala dilihatnya Dewa Arak serius mendengarkan ceritanya.

"Sekitar beberapa tahun yang lalu, kakek itu muncul kembali menemui kami. Dia meminta kami menyediakan seorang anak lelaki atau perempuan pada setiap bulan purnama. Mereka harus ditinggalkan di Hutan Bandan sendirian. Bukan itu saja, dia pun melarang kami memasuki hutan itu. Pokoknya Hutan Bandan dijadikan daerah terlarang."

"Mengapa begitu, Ki?" tanya Arya. Kening pemuda ini berkernyit. Jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

Ki Sancaperta menarik napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya.

"Kami pun tidak tahu. Orang tua itu hanya mengatakan kalau kami melanggar larangannya, musibah akan menimpa desa ini. Jadi, yahhh..., dengan amat terpaksa kami menuruti permintaannya," jawab guru silat itu.

"Ada sesuatu yang membuatku heran, Dewa Arak," selak Ki Gayan begitu Ki Sancaperta menghentikan ceritanya.

"Apa itu, Ki?" tanya Arya cepat Rasa keingintahuan yang besar nampak jelas pada raut wajahnya.

"Kakek itu kelihatannya terpaksa ketika mengajukan permintaannya," sahut kepala desa itu menjelaskan.

Dewa Arak mengernyitkan keningnya.

"Maksud, Aki?" tanya permuda berambut putih keperakan itu lagi. Sinar matanya menyorotkan ketidak- mengertian.

Ki Gayan menghela napas panjang.

"Sepertinya..., kakek itu melakukannya dengan ter­paksa," jawab Kepala Desa Bandan ini pelan.
"Jadi, ada sesuatu yang memaksanya?" terka Arya mulai paham.
"Kira-kira begitulah, Dewa Arak." jawab Ki Gayan seraya menganggukkan kepalanya.

Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Nampak kalau pemuda berbaju ungu ini tengah berpikir keras.

"Dan kini malapetaka itu telah terjadi!" tukas Ki Sancaperta tiba-tiba.

Arya menoleh. Ditatapnya wajah guru silat itu lekat-lekat, ia masih belum mengerti ucapan Ki Sancaperta.

"Macan putih itu telah membuat teror di Desa Bandan!"
"Mengapa begitu, Ki? Apakah permintaan kakek itu tidak dipenuhi?"

"Permintaan mengenai anak yang harus diantarkan ke Hutan Bandan selalu kami penuhi. Tapi, permintaan untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke Hutan Bandan, tidak dapat kami penuhi. Kurasa kau bisa memahaminya. Dewa Arak," jelas Ki Gayan.

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti persoalan yang tengah dihadapi penduduk Desa Bandan. Rupanya berita tentang adanya benda langit, membuat orang-orang persilatan berdatangan kemari.

Mana mungkin penduduk desa ini mampu mencegah mereka memasuki Hutan Bandan?

"Kalau boleh kutahu, buat apa kakek itu meminta seorang anak pada setiap malam bulan purnama?" tanya Arya penasaran.

Kedua orang tetua Desa Bandan itu menggeleng pelahan.

"Kami pun tidak pernah tahu." keluh Ki Gayan pelan. "Tapi yang jelas, setiap anak yang kami kirimkan, tidak pernah kembali lagi."

Dewa Arak terdiam sejenak.

"Apakah Aki berdua mengijinkan kalau aku mencoba menyelidiki masalah ini?" tanya Arya hati-hati.

"Maksudmu?" Ki Gayan balas bertanya. Meskipun ia sudah dapat menduga maksud pembicaraan Arya, tapi kepala desa ini ingin mengetahui lebih jelas.

"Aku akan ke Hutan Bandan, Ki."
"Apa?!" sentak Ki Gayan keras. "Kau ingin menimbulkan korban penduduk lebih banyak lagi?! Tidak! Aku tidak mengijinkan kau ke sana!"

Arya menghela napas panjang. Jawaban seperti itu sudah diduga sebelumnya.

"Biarkan dia pergi ke sana, Gayan," ujar Ki Sancaperta mendukung usul Dewa Arak.
"Tidak!" tegas Ki Gayan tetap bersikeras. "Aku tidak mau ada wargaku menjadi korban lagi!"

"Percuma! Musibah ini telah telanjur terjadi. Aku yakin, macan putih itu tidak akan berhenti mencari korban. Tidak ada gunanya lagi kita turuti perjanjian itu!"

"Jadi, kau...?"
"Ya!" potong Ki Sancaperta cepat-cepat. "Aku setuju usul Dewa Arak!"
"Hhh...! Kau sudah bermain api, Sanca!" keluh Ki Gayan.

"Apa boleh buat, Gayan. Api itu telah mulai membakar. Agar api itu tidak semakin membesar, maka kita harus memadamkannya. Dengan atau tanpa kau, aku akan menentang kakek dan macan putih itu!" tegas guru silat itu. Nada suaranya mulai meninggi.

Ki Gayan tercenung. Diserapinya semua perkataan yang keluar dari mulut sahabatnya ini. Diakuinya, ada kebenaran yang terkandung dalam ucapan itu.

"Bagaimana, Gayan? Kau tetap tidak setuju dengan rencana ini?" tanya Ki Sancaperta lagi. Ia masih melihat adanya keraguan di wajah sang kepala desa.

Beberapa saat lamanya, orang nomor satu di Desa Bandan ini termenung. Akhirnya kepalanya mengangguk pelahan. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak dan Ki Sancaperta lega.

Laki-laki gagah bercambang bauk lebat itu menghampiri Ki Gayan. Ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu.

"Aku percaya kau pasti menyetujui usulku Gayan." ucap Ki Sancaperta dengan wajah berseri-seri.

"Tapi, aku masih sangsi, apakah usaha kita ini akan berhasil?" keluh kepala desa itu pelahan.

"Berhasil atau tidaknya usaha ini, kita serahkan saja pada Yang Maha Kuasa. Yang penting, kita berusaha dengan sekuat tenaga. Bukankah begitu, Dewa Arak?" tanya guru silat itu sambil menoleh ke arah Dewa Arak.

"Tepat sekali, Ki!" sahut Arya cepat.

***

Malam kembali menyelimuti bumi. Langit tak berawan. Sehingga cahaya bulan mampu menerangi persada.

Di bawah keremangan sinar bulan itu, melesat bayangan putih besar kekar dari Hutan Bandan. Bayangan itu tak lain adalah seekor macan putih.

Macan itu melesat cepat menuju pemukiman penduduk. Begitu cepat gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan putih.

Tapi sebelum macan putih itu memasuki salah satu rumah penduduk, berkelebat dua bayangan menghadang di depannya .

Kedua penghadang itu adalah Ki Sancaperta dan Ki Gayan. Dengan sikap waspada, kedua tetua Desa Bandan ini berdiri di hadapan macan putih itu.

"Graunggg...!"

Macan putih itu menggerung keras, seolah-olah tahu kalau kedua orang ini bermaksud menentangnya. Lalu, dengan sebuah gerakan cepat yang tidak terduga-duga, binatang itu melompat menerkam.

"Awas, Gayan...!" tedak Ki Sancaperta seraya melempar tubuhnya ke samping, sambil bergulingan menjauh.

Meskipun kepandaiannya tidak setinggi Ki Sancaperta, tapi dengan sebuah lompatan manis, Ki Gayan berhasil mengelakkan terkaman harimau itu.

"Auuum...!"

Macan itu menggeram ketika menyadari terkamannya menemui kegagalan. Binatang itu kebingungan ketika melihat mangsanya berpencar. Ki Gayan ke sebelah kanan, sedangkan sahabatnya ke sebelah kiri.

"Graunggg...!"

Sambil mengeluarkan raungan keras, macan itu kembali menerkam. Sasarannya kali ini adalah Ki Sancaperta. Tapi laki-laki tegap dan bercambang bauk itu sudah ber- siaga sejak tadi. Begitu dilihatnya harimau itu meluruk ke arahnya, buru-buru guru silat itu melompat ke samping. Pada saat yang bersamaan, dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah lambung macan itu.

Buk!
"Eh?!"

Ki Sancaperta terpekik kaget. Pukulannya seperti mengenai benda empuk, dan tak berpengaruh apa-apa terhadap sang macan.

Dan belum lagi laki-laki bercambang bauk itu sempat berbuat sesuatu, kaki depan binatang itu telah menampar pundaknya.

Prattt...!
"Akh...!"

Ki Sancaperta memekik tertahan. Seketika itu juga, tubuhnya terlontar ke samping. Daging pundaknya robek. Darah segar mengalir deras dari lukanya.

"Auuum...!"

Kembali binatang itu mengaum keras. Kemudian meluncur lagi ke arah Ki Sancaperta.

Ki Sancaperta yang masih terhuyung-huyung itu seketika wajahnya memucat. Posisinya sama sekali tidak mengun- tungkan, sehingga sulit baginya untuk mengelakkan terkaman sang harimau.

Ki Gayan pun tercekat hatinya melihat keadaan gawat yang dihadapi sahabatnya. Dia ingin menolong, namun jaraknya yang terlalu jauh tidak memungkinkannya.

Di saat kritis itu, mendadak sesosok tubuh berbaju ungu melesat menyambar tubuh Ki Sancaperta.

Tappp...!
"Graunggg...!"

Binatang itu menggeram murka kehilangan lawannya! Dengan pandangan marah, ditatapnya sosok tubuh ungu yang telah menyelamatkan mangsanya.

"Hup...!"

Si bayangan ungu mendaratkan kedua kakinya tanpa bersuara. Jaraknya sekitar delapan tombak dari sang macan.

Wajah Ki Sancaperta langsung berseri ketika mengenali wajah sang penolong.

"Terima kasih, Dewa Arak. Untung kau tidak terlambat," ucap Ki Sancaperta pelan. Wajah guru silat itu masih kelihatan pucat. Perasaan kaget belum hilang seluruhnya.

Sang penolong yang ternyata memang Arya Buana alias Dewa Arak itu, segera menurunkan tubuh Ki Sancaperta dari pondongannya.

Begitu tubuhnya telah berada di tanah kembali, guru silat itu segera menotok jalan darah di sekitar lukanya untuk menghentikan cucuran darah di bahunya. Setelah itu dikeluarkannya sebuah obat bubuk dari selipan ikat pinggangnya, dan ditaburkannya pada luka-lukanya. Ki Gayan datang menghampiri, dan dibantunya laki-laki brewok itu mengobati lukanya.

Sementara itu, Dewa Arak dengan sikap waspada melangkah mendekati macan putih. Dia tidak berani bersikap gegabah setelah mendengar kesaktian binatang ini. Dijumputnya guci yang tersampir di punggungnya, dan diangkatnya ke atas kepala. Lalu di tenggaknya.

Gluk...gluk...gluk...!
"Auuum...!"

Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu menerkam Dewa Arak. Bukan main cepatnya gerakan binatang itu. Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Dengan langkah terhuyung-huyung langkah khas jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkannya terkaman sang macan.

Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di belakang macan yang masih berada di udara. Dengan kecepatan gerakan tangan yang luar biasa, ditangkapnya ekor macan itu.

Tappp...!

Dengan sebelah tangannya. Arya segera memutar- mutarkan tubuh binatang itu.

"Auuummm...!"

Macan putih itu mengaum keras. Suara auman yang timbul karena perasaan marah bercampur takut.

Wuuukkk...! Wuuukkk...!

Semakin lama putaran tangan Arya semakin cepat. Sehingga membuat macan putih itu menjadi pusing.

Cukup lama juga Dewa Arak memutar-mutarkan tubuh macan itu. Dan setelah dirasanya cukup, genggaman pada ekor macan itu dilepaskan.

Wuuukkk...!

Tubuh macan itu melesat jauh akibat kuatnya tenaga putaran tangan Dewa Arak!

Brakkk... !

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa tumbang dilanda tubuh macan putih itu. Tapi binatang itu sendiri tidak apa-apa. Tidak tampak tanda-tanda luka di sekujur tubuhnya.

Ki Gayan dan Ki Sancaperta memandang takjub pada Dewa Arak. Begitu mudahnya pemuda ini mempecundangi binatang luar biasa itu. Perasaan takjub mereka semakin bertambah tatkala melihat daya tahan macan putih itu.

***

Macan itu kembali bangkit, tapi ketika hendak menerkam Dewa Arak, terjadi sesuatu yang menggelikan. Lari binatang itu sempoyongan. Miring ke kanan dan ke kiri. Ternyata perbuatan Dewa Arak berpengaruh juga dan membuat kepalanya pusing .

"Auuummm...!"

Sambil mengeluarkan auman keras, macan itu melompat ke arah orang yang telah menyakiti dirinya.

Dewa Arak bersikap tenang. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung mengelak. Terkaman macan itu mengenai tempat kosong. Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak mengirimkan sebuah pukulan ke arah perut binatang itu.

Bukkk... !
"Eh...?!"

Dewa Arak terperanjat kaget. Tangannya seperti meng- hantam sebuah benda empuk! Tenaganya seolah-olah lenyap begitu tangannya mengenai tubuh binatang itu. Meskipun ia hanya mengeluarkan separuh tenaga dalamnya, tapi pukulan itu mampu membuat mati seekor banteng yang paling kuat sekalipun! .

Belum lagi Arya sadar dari keterkejutannya, binatang itu telah menyerangnya kembali. Kedua kaki depannya mengarah ke pelipis.

Wuk...!

Dewa Arak mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Bersamaan dengan itu, dilancarkannya sebuah pukulan ke leher binatang itu.

Bukkk... !

Tubuh macan putih itu terlontar akibat kuatnya pukulan yang dilancarkan Arya. Kali ini Dewa Arak mengerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya.

"Graunggg...!

Macan putih itu menggeram murka melihat serangannya selalu gagal. Malah sebaliknya, dirinya dibuat pontang- panting.

"Auuummm...!"

Tanpa kenal menyerah, macan putih itu kembali menerkam Dewa Arak. Melihat hal itu, kesabaran Arya pun habis. Macan nekat itu harus diberi pelajaran yang lebih keras lagi. Kalau tidak, binatang itu tidak akan pernah jera!

"Hup...!"

Dewa Arak segera merendahkan tubuhnya, sehingga terkaman macan itu lewat di atas kepalanya. Di saat itulah, kedua tangannya yang mengepal dipukulkan ke perut binatang itu. Kali ini Arya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Bukkk .......... !

Tubuh macan putih itu tedontar di udara. Terdengar gereng kesakitan dari mulutnya. Rupanya pukulan Arya kali ini baru terasa olehnya. Binatang itu kali ini tidak lagi bangkit menyerang.

"Luar biasa...!" puji Dewa Arak sambil menggeleng- gelengkan kepalanya. Macan putih itu sepertinya tidak mengalami luka yang berarti ketika menerima serangan yang dilancarkannya. Binatang itu hanya nampak sedikit kesakitan.

Dewa Arak jadi bingung. Ia tak tahu lagi cara menaklukkan binatang yang luar biasa ini. Haruskah di gunakan jurus 'Pukulan Belalang'? Jurus yang jarang digunakannya!

Dewa Arak jadi terkesiap ketika dilihatnya macan putih itu mulai bangkit. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah bersiap-siap menghadapinya. Tapi tampaknya binatang itu sudah jera. Terbukti dia tidak menyerang kembali, melainkan berlari cepat ke arah Hutan Bandan.

Dewa Arak, Ki Sancaperta dan Ki Gayan memandangi kepergian macan putih itu hingga lenyap di kegelapan malam. Di wajah mereka masih tersirat kekaguman yang amat sangat.

***

"Mengapa tidak dibunuh saja binatang itu, Dewa Arak?" tanya Ki Gayan. Nada suaranya terdengar tidak puas.

Arya menatap wajah Kepala Desa Bandan ini lekat-lekat.

"Bagaimana cara membunuh macan yang luar biasa itu, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi cukup membuat wajah Ki Gayan merona merah.

"Memang sebenarnya kita tidak tega membunuh binatang itu. Biar bagaimana pun juga ia dan pemiliknya pernah menyelamatkan desa kita dari kehancuran," ucap kepala desa itu lagi, memperbaiki ucapannya.

Ki Sancaperta menatap tajam wajah Ki Gayan. Tampak jelas nada teguran terpancar dari sorot matanya.

"Aku tidak setuju dengan ucapanmu itu. Gayan!" tandas guru silat itu. Tajam dan tegas suaranya, "Menurutku, hutang budi kita telah impas. Bukankah kita telah puluhan kali mengantarkan remaja-remaja kita ke dalam hutan untuk dijadikan korban? Hutang budi itu telah kita balas! Sekarang kita harus menentangnya apabila binatang terkutuk itu kembali mengambil korban!"

Ki Gayan terdiam. Suasana seketika menjadi hening dan tidak mengenakkan.

"Kalau menurut pendapatku, ada sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini, Ki," ucap Arya memecahkan keheningan.

"Hm..., apa maksudmu?" tanya Ki Sancaperta cepat. Sepasang matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

"Aku baru teringat ucapan Ki Gayan beberapa hari yang lalu."

Pernyataan Arya itu membuat Kepala Desa Bandan itu terkejut. Dahinya berkernyit. Kelihatannya ia tengah ber- pikir keras.

"Ucapanku?" tanya Ki Gayan. "Ucapanku yang mana?"

"Ucapanmu tentang sikap kakek penyelamat ketika mengajukan permintaannya," sahut Arya menjelaskan.

"Aku masih belum mengerti maksudmu."

Arya menarik napas panjang.

"Kau pernah bilang kalau kakek itu sepertinya tidak menyukai permintaan yang diajukannya sendiri." jelas pemuda berambut putih keperakan itu lebih jauh.

"Hm.... lalu? Apa yang janggal, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta masih belum paham. Otaknya seperti buntu, sukar diajak berpikir.

"Kalau benar begitu, bukankah berarti orang tua itu melakukannya dengan perasaan terpaksa?"
"Ah ..! Kau benar...!" tukas Ki Gayan. Sepasang matanya nampak berbinar-binar. "Artinya ada orang yang memaksa melakukannya!"

"Tepat apa yang dikatakan Ki Gayan...!" sahut Arya cepat.

Ki Sancaperta mengernyitkan alisnya. Dicobanya untuk mengingat peristiwa beberapa tahun lalu. Ya! Kini dapat diingatnya. Permintaan kakek itu sepertinya berbentuk per- mohonan. Orang tua itu sangat tertekan ketika mengatakannya.

"Kita harus menyelidikinya!" ucap guru silat ini penuh semangat
"Biar aku saja yang melakukannya Ki," pinta Arya. Suaranya pelan dan sopan.
"Tapi...," Ki Sancaperta mencoba membantah.
"Tenaga Aki sangat dibutuhkan di sini." Arya cepat memotong ucapan guru silat itu.

Ki Sancaperta langsung terdiam. Hatinya membenarkan kata-kata pemuda berbaju ungu itu.

"Kapan kau berangkat ke sana, Dewa Arak?" tanya Ki Sancaperta lagi.
"Besok, Ki."

***

Di tengah kegelapan malam, tampak seekor macan putih berlari terseok-seok memasuKi Hutan Bandan.

"Grrrh...!"

Binatang itu menggereng pelan sambil terus berlari. Langkahnya baru dihentikan ketika di depannya berdiri seorang nenek berwajah mirip burung elang. Pakaiannya serba hitam.

Sepasang alis nenek itu berkerut melihat gerakan binatang peliharaannya. Jelas kalau macan putih itu ter- luka. Pendengarannya yang peka menangkap geram kesakitan dari mulut binatang itu.

"Putih...! Kenapa kau...?!" tanya si nenek begitu macan itu telah berada di hadapannya.
"Grhhh...!"

Macan putih itu hanya menggereng pelan sebagai jawabannya. Tapi rupanya nenek itu mengerti akan maksud binatang peliharaannya.

"Keparat..!" maki nenek berpakaian serba hitam itu. "Tenang, Putih! Nanti akan kubalaskan dendammu. Akan kubasmi seluruh penduduk Desa Bandan... setelah semua orang yang lancang memasuki hutan ini kubunuh...!"

Setelah berkata demikian, nenek itu membungkukkan tubuhnya. Diperiksanya sekujur tubuh binatang peliharaan­nya.

"Hm.... bekas-bekas pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Tidak mungkin kalau penduduk Desa Bandan yang melakukannya...," gumam nenek itu pelan seperti berbicara pada dirinya sendiri.

"Pasti ada orang usil ikut campur masalah ini. Tapi..., siapa orang yang mempunyai tenaga dalam sekuat ini?"

Sambil tetap memeriksa tubuh macan putih itu, plkiran nenek berpakaian hitam ini menerawang.Berkat kekuatan tubuh yang dimiliki macan itu, tidak ada luka berbahaya yang dideritanya. Hanya sedikit rasa nyeri menyerang otot-otot dan tulang-tulangnya.

"Tunggu sebentar, Putih...!" ucap nenek itu seraya melesat pergi.

Tak lama kemudian perempuan tua itu sudah kembali sambil membawa air dalam tempurung kelapa. Dikeluar- kannya sebungkus obat bubuk yang kemudian dicampur dengan air. Setelah diaduk-aduk sebentar, disodorkannya ke depan mulut binatang itu.

"Minumlah, Putih...! Besok kau akan segar kembali...," ucap nenek itu pelan.
"Grrrh...!"

Macan itu menggereng pelan. Kemudian bangkit dari berbaringnya. Dijilat-jilatnya ramuan yang diberikan majikannya. Sementara si nenek hanya tersenyum memandanginya.

***

Hari masih pagi. Sang surya baru saja menampakkan diri di ufuk timur, ketika Dewa Arak memasuki mulut Hutan Bandan. Sikapnya nampak waspada. Pemuda itu menyadari kalau di dalam hutan ini banyak tokoh persilatan yang berniat memperebutkan benda langit. Tapi yang tidak kalah berbahayanya lagi adalah macan putih!

Belum seberapa Jauh pendekar muda itu melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap suara berdesing nyaring ke arahnya. Dari bunyi desingannya, pemuda ini dapat memperkirakan asal si penyerang gelap.

Arya tidak berani bertindak ceroboh. Kepalanya buru- buru dirundukkan. Sehingga benda yang mengeluarkan suara mendesing nyaring itu lewat sejengkal di atas kepalanya.

Wut..!

Rambut Dewa Arak berkibaran ketika benda itu lewat di atas kepalanya. Arya terkejut ketika melihat benda itu tahu- tahu sudah kembali ke asalnya.

Tappp...!

Benda yang berbentuk piplh, melengkung seperti bulan sabit, ditangkap oleh pemiliknya .

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Sesaat pemuda berambut putih keperakan ini terpaku melihat benda itu.

Meskipun baru kali ini dijumpainya, tapi diketahuinya nama benda itu. Bumerang!

"Ha ha ha...! Kaget, Dewa Arak?" tegur si penyerang. Nada suaranya terdengar penuh ejekan.

Arya sama sekali tidak menggubris ejekan itu. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok di hadapannya. Sosok tegap berkepala botak berpakaian rompi terbuat dari kulit beruang.

"Siapa kau? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak. Arya memang mempunyai sifat hati-hati sekali.

Pantang baginya bertempur dengan seseorang tanpa alasan jelas.

Laki-laki berkepala botak itu tertawa bergelak.

"Aku? Ha... ha... ha...! Namaku tidak setenar namamu. Dewa Arak. Tapi, agar kau tidak mati penasaran, ada baiknya kuperkenalkan diriku Beruang Liar julukanku. Sebentar lagi dunia persilatan akan geger. Dewa Arak tewas di tangan Beruang Liar! Ha ha ha...!"

Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi kesombongan orang itu. Dibiarkannya si botak itu hanyut oleh kesombongannya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku yang kedua, Beruang Liar. Mengapa kau menyerangku?!" tanya Arya tetap sabar.

Beruang Liar menghentikan tawanya. Dipandanginya Dewa Arak dengan tatapan penuh curiga.

"Jangan berlagak bodoh, Dewa Arak! Bukankah kau juga ingin mendapatkan benda langit? Aku tidak ingin ada orang lain menjadi sainganku!" ancam Beruang Liar sengit.

"Kau keliru, Beruang Liar. Aku sama sekali tidak tertarik dengan benda langit yang kau maksudkan itu. Kalau kau menginginkan benda itu, silakan kau mencarinya sendiri," Arya mencoba menjelaskan.

"Kau tidak bisa mungkir, Dewa Arak!" rupanya si Beruang Liar tidak mempercayai penjelasan Arya. "Hari ini adalah hari terakhir kau memandang dunia ini. Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian. Beruang Liar mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, bumerang di tangannya meluncur deras ke arah Arya.

Wuk.. !

Dengan kecepatan yang menakjubkan, bumerang itu menyambar ke leher Dewa Arak.

Pemuda berpakaian ungu ini tahu, betapa berbahayanya serangan benda itu. Dewa Arak tidak berani bersikap ceroboh. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga sambaran benda itu melesat melewati kepalanya.

Beruang Liar rupanya sudah memperhitungkan hal itu. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan, cepat-cepat dikibaskan tangan kirinya.

Wuk...!

Bumerang kedua melesat cepat. Kali ini sasarannya adalah perut. Arya tidak punya pilihan lain, secepat kilat dia melompat. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu guci araknya telah berada di tangannya. Lalu pemuda berpakaian ungu ini bergulingan di tanah.

Tappp..!
"Hiyaaa...!"
Wuk...!

Begitu bumerang yang pertama tertangkap, secepat kilat Beruang Liar mengayunkannya kembali ke arah Dewa Arak yang masih bergulingan.

Kali ini Dewa Arak tidak mengelakkan serangan itu. Dipapaknya kedatangan bumerang itu dengan gucinya.

Klanggg...!

Terdengar suara berdentang nyaring ketika bumerang itu menghantam guci. Anehnya, meskipun telah tertangkis guci, bumerang itu bisa berputar kembali ke arah pemilik­nya! .

Tapi lebih hebat lagi adalah perbuatan yang dilakukan Dewa Arak. Setelah menangkis bumerang itu, sambil tetap dalam keadaan tubuh berbaring guci arak dituang ke mulutnya .

Gluk... gluk... gluk...!

Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati kerongkongannya. Seketika perutnya terasa hangat. Hawa aneh yang naik, ke kepalanya membuatnya agak pening.

Kini Dewa Arak telah siap menghadapi Beruang Liar. Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan, membuatnya tidak begitu repot menghadapi senjata aneh itu. Setiap sambaran bumerang berhasil dielakkannya tanpa kesulitan.

Beberapa jurus kemudian, Arya sudah dapat membaca kelemahan senjata lawan. Bumerang di tangan laki-laki berkepala botak ini tidak berarti kalau dihadapinya dalam jarak dekat.

Pelahan namun pasti tanpa disadari lawan, Dewa Arak mulai melangkah mendekati sambil mengelakkan setiap serangan.

"Keparat...!" si Beruang Liar menggeram murka ketika tidak bisa lagi melepas senjatanya. Jarak di antara mereka telah demikian dekat, sehingga tidak memungkinkan lagi baginya menggunakan senjatanya itu.

Kini Beruang Liar mempergunakan senjata itu seperti layaknya seseorang menggunakan sepasang clurit.

Wuk...!

Dengan diiringi suara mengiuk nyaring, bumerang itu disabetkan ke leher Dewa Arak. Tapi dengan keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tak sulit bagi Arya untuk mengelak.

Gerakan kakinya nampak terhuyung-huyung. Tubuhnya limbung ketika pemuda ini mengelakkan serangan itu. Hebatnya, secepat dilangkahkan kakinya mengelak, secepat itu pula Arya berada di belakang lawannya.

Wut... !

Guci di tangannya terayun keras ke kepala Beruang Liar.

Laki-laki berkepala botak itu kaget bukan main. Rupanya ia belum mengenal kelihaian jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Seketika hatinya tercekat tatkala menyadari adanya hembusan angin keras di belakangnya. Bahaya maut tengah mengancamnya!

Kedua tangannya yang menggenggam bumerang, sebisa- bisanya diayunkan ke belakang.
Klanggg...!

Terdengar suara berdentang nyaring ketika kedua bumerangnya beradu dengan guci. Akibatnya, tubuh si Beruang Liar terhuyung-huyung ke depan. Kedua bumerang di tangannya terlempar entah ke mana.

Dewa Arak memutuskan untuk melenyapkan manusia berbahaya ini untuk selama-lamanya. Maka, begitu dilihatnya laki-laki berkepala botak itu terhuyung-huyung. Ia segera mengejar. Kakinya bergerak menendang.

Bukkk... !
"Akh...!"

Terdengar suara berderak keras pertanda ada tulang- tulang yang patah ketika kaki Arya telak mengenai pinggang lawan.

Beruang Liar jauh terjerembab. Tapi, secepat kilat dibalikkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Namun, sebelum niatnya itu tercapai. Dewa Arak telah mengirimkan serangan susulan.

Wut...! Prak...!
"Aaakh...!"

Laki-laki berkepala botak itu menjerit tertahan. Kepalanya pecah seketika tatkala guci yang diayunkan Arya telak mengenai kepalanya. Tubuhnya terjerembab menyusur tanah.

Dewa Arak memperhatikan tubuh yang tak bernyawa lagi itu sejenak. Kemudian dipungutnya kedua bumerang yang tergeletak di tanah, lalu ditimang-timang sejenak.

"Hih...!"
Wunggg...!

Terdengar dengungan keras laksana ribuan ekor lebah marah, begitu Dewa Arak mengayunkan tangannya. Kedua bumerang itu melesat laksana kilat. Kecepatannya jauh lebih cepat daripada lontaran Beruang Liar!

Crak, crak, crak....!

Cabang-cabang pohon yang terbabat kedua bumerang itu terpapas putus. Dewa Arak memandanginya dengan perasaan takjub. Matanya mendadak terbelalak lebar. Tahu-tahu kedua senjata itu kembali ke arahnya!

Dewa Arak menjadi gugup. Dia tahu betul kekuatan tenaga yang terkandung dalam lontaran kedua bumerang itu. Pemuda ini tidak berani menangkap kedua bumerang itu seperti yang dilakukan Beruang Liar. Kalau dia salah menangkap, tangannya bisa putus terbabat bumerang yang tajam itu.

Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Jurus 'Pukulan Belalang' terpaksa harus digunakannya.
"Hih...!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Wuttt..!
Bresss... !

Angin keras yang berhawa panas menyengat, berhembus keluar dari kedua tela pak tangannya. Dan langsung menyambar ke arah dua buah bumerang yang tengah melayang ke arahnya. Seketika itu juga luncuran bumerang itu terhenti. Dan langsung jatuh di tanah.

"Hhh...! Sungguh berbahaya...." desah Arya pelahan.

Kemudian setelah memperhatikan mayat lawannya sejenak, dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

***

Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika sepasang matanya melihat sebuah gua tak jauh di hadapannya. Sesaat lamanya dia terpaku. Diamatinya gua itu dengan teliti. Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan yang pekat.

Pelahan-lahan kakinya melangkah mendekati mulut gua itu. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya menegang. Sikapnya waspada menghadapi segala kemungkinan.

Tapi baru saja beberapa langkah memasuki gua itu, terdengar sebuah seruan dari dalam. Dewa Arak terkejut bagai disengat kalajengking.

"Sahabat yang berada di luar, silakan masuk!"

Dewa Arak menghentikan langkahnya. Hatinya dilanda keraguan. Rupanya kedatangannya telah diketahui oleh orang yang berada di dalam sana. Setelah menimbang- nimbang, akhirnya Arya meneruskan langkahnya. Telinga- nya dibuka lebar-lebar untuk berjaga-jaga kalau ada orang yang berusaha membokongnya.

Selangkah demi selangkah Dewa Arak menelusuri gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang agak luas dan terang.

Mata pemuda ini tertumbuk pada sosok yang tengah duduk bersila di atas baru besar. Ia berjalan mendekat, sehingga sosok itu semakin nampak jelas.

Ternyata sosok tubuh itu adalah seorang kakek berusia lanjut. Mungkin usianya lebih dari delapan puluh tahun. Tubuhnya sedang dan terlihat ringkih. Meskipun dalam keadaan bersila, Dewa Arak dapat mengetahui kalau kakek itu bertubuh bongkok.

Begitu Dewa Arak berada dalam jarak sekitar tiga tombak, pelahan-lahan kakek itu membuka matanya yang sejak tadi terpejam.

"Ah...!"

Dewa Arak berjingkat bagai disengat kalajengking. Sepasang mata kakek itu ternyata tidak nampak hitamnya. Hanya putihnya saja yang terlihat. Kakek bongkok itu buta!

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya kakek itu. Tentu saja ucapan itu membuat Dewa Arak semakin terkejut. Bagaimana kakek ini tahu kalau orang yang berdiri di hadapannya adalah seorang pemuda? Bukankah sepasang mata kakek itu buta?

"Namaku Arya, Kek," sahut Dewa Arak setelah perasaan terkejutnya hilang.
"Arya...," gumam kakek itu pelan. "Apa maksudmu memasuki gua ini?"

Dewa Arak terdiam sejenak. Mungkinkah kakek ini orang yang telah menyelamatkan Desa Bandan dari jarahan perampok puluhan tahun silam?

"Aku masuk kemari tanpa sengaja, Kek."

Dahi kakek bongkok itu nampak berkernyit.

"Tanpa sengaja? Kau berdusta, Anak Muda. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang kau cari di sini," bantah kakek itu.

"Memang ada sebuah urusan yang mendorongku memasuki Hutan Bandan ini, Kek. Tapi, masuknya aku ke gua ini, karena kebetulan," jelas Arya.

Semakin banyak kerutan di dahi kakek itu mendengar jawaban Dewa Arak.

"Apa urusanmu memasuki Hutan Bandan ini, Anak Muda?! Tahukah kau kalau hutan ini tempat terlarang?!Ahhh...! Tindakanmu itu akan mengakibatkan banyak korban. Sia-sialah jerih payahku selama ini! Korban tetap tak bisa kucegah!"

Berdebar jantung Dewa Arak. Ternyata dugaannya tepat. Kakek buta ini adalah orang yang dulu menolong Desa Bandan. Tapi ia belum masih mengerti ucapan kakek itu.

"Maksudmu, Kek?" tanya Arya.

"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang. Seolah-olah ada beban yang menghimpit dadanya. "Jawab dulu pertanyaanku, Anak Muda. Apa urusanmu memasuki hutan ini?!"

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan dongkol merayapi hatinya. Tapi cepat-cepat ditekannya perasaan itu.

"Aku terpaksa memasuki hutan ini untuk mencari tahu. Kudengar setiap malam bulan purnama ada seorang remaja, laki-laki atau perempuan dibawa ke hutan ini. Tapi sampai sekarang, tidak seorang pun pernah kembali. Bahkan belum lama ini, seekor macan putih mengamuk meminta korban. Aku ingin tahu, ke mana perginya remaja- remaja itu, dan mengapa macan putih itu membunuhi orang-orang desa?"

Kakek bongkok itu terdiam mendengar keterangan dan pertanyaan Dewa Arak.

"Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kakek adalah orang yang menyelamatkan Desa Bandan puluhan tahun yang lalu?" sambung Arya lagi.

"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda." jawab kakek itu pelan.

"Lalu, kenapa Kakek malah menyuruh orang desa mengorbankan seorang remaja setiap malam bulan purnama?" desak Arya. "Apakah memang itu tujuan Kakek menyelamatkan desa itu?"

Keadaan menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesai- kan perkataannya. Tapi keheningan itu segera dipecahkan oleh suara si kakek.

"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini pada siapa pun. Tapi, karena kau mempunyai maksud yang baik, maka kau kuberikan perkecualian. Arya, kaulah satu- satunya orang yang akan kuberitahu mengenai masalah ini."

"Terima kasih, atas kepercayaanmu, Kek." ucap Arya pelahan.

"Simpan ucapan terima kasihmu itu, Arya. Sekarang pasang telingamu baik-baik!" ujar kakek bongkok itu.

Dewa Arak menurut.

"Puluhan tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang wanita sesat yang lihai. Dia berjuluk Kuntilanak Alam Kubur. Aku sangat mencintainya. Dan dia mencintaiku juga," ujar kakek itu memulai ceritanya.

Perasaan heran melanda hati Arya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau misteri yang dihadapinya ini ber- hubungan dengan keluarga seseorang. Tapi dia sama sekali tidak memotong cerita kakek itu. Dibiarkannya kakek bongkok itu meneruskan ceritanya.

"Semula aku ragu-ragu menikahinya. Tapi, ketika dia berjanji akan meninggalkan kesesatannya, aku pun bersedia menerimanya. Selama beberapa tahun dia mau memenuhi permintaanku. Tidak pernah dia melakukan kejahatan. Kehidupan kami pun aman dan tenteram," kakek bongkok itu menghentikan ceritanya sebentar.
Ditatapnya Dewa Arak yang masih tekun mendengar ceritanya.

"Tapi setelah sepuluh tahun, penyakit lamanya kambuh. Dia kembali mengumbar kejahatan. Aku marah, dan pergi meninggalkannya sambil membawa macan putih pelihara- an kami. Macan itu amat patuh pada kami berdua. Apa pun yang kami perintahkan, pasti dilaksanakan dengan baik."

"Lalu dalam pengembaraanmu, kau tiba pada sebuah desa yang tengah diserang oleh rombongan perampok, dan kau menolongnya. Bukankah begitu, Kek?" selak Arya.

"Benar," sahut kakek bongkok itu sambil mengangguk- kan kepalanya. "Kemudian aku menyepi di Hutan Bandan bersama peliharaanku. Belasan tahun aku tinggal di sini. Tapi tak kusangka kalau istriku mencium jejakku. Kemudian dia pun menyusulku. Kami bertengkar, sampai akhirnya terjadi pertempuran. Dengan susah payah dia ber­hasil kukalahkan."

Sampai di sini kakek itu menghentikan ceritanya, Arya mengernyitkan alisnya. Dia jadi bingung mendengar cerita kakek bongkok ini. Menurut kakek itu, nenek yang berjuluk Kuntilanak Alam Kubur berhasil dikalahkannya tapi kenapa ia yang buta matanya?

"Mungkin hatimu bertanya-tanya, Anak Muda. Mengapa kalau aku yang menang, mataku menjadi buta. Begitu kan?" duga kakek itu seperti mengerti kebingungan Dewa Arak.

Kembali Arya terkejut, ia tidak menyangka kalau kakek ini mampu membaca pikirannya.

"Tidak perlu bingung-bingung, Arya. Kau dengarkan saja lanjutan ceritaku" ucap kakek itu lagi. "Rupanya istriku tidak mau menerima kekalahannya. Dia lalu menantangku bermain racun. Sebagai raja obat, jelas aku ditantang. Dia lalu meminumkan racun ke mulutku."

"Ahhh...!" desah Arya kaget "Racun itu diminumkan padamu, Kek?" tanyanya setengah tak percaya.

"Ya." sahut kakek itu. "Sialnya, ternyata aku belum mengenal jenis racun itu. Entah dari mana dia mendapat- kannya. Untunglah racun itu bereaksi secara lambat. Akhirnya, kami mengikat perjanjian. Ia berjanji tidak akan membunuhku asal aku bersedia mencarikan remaja- remaja pada tiap-tiap purnama untuk menyempurnakan ilmu hitamnya. Dengan berat hati aku menerima perjanjian itu. Dia juga mengancam akan membantai seisi Desa Bandan apabila aku tidak memenuhi permintaannya "

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mulai dipahami mengapa kakek itu menyuruh penduduk berbuat seperti itu.

"Kurasakan racun itu mulai bekerja. Pandanganku mulai mengabur. Aku sadar, lambat laun aku akan buta. Sebelum semua itu terjadi Ki Gayan segera kuberi tahu mengenai permintaan istriku itu. Aku juga melarang setiap orang memasuki Hutan Bandan untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi."

"Lalu kenapa kau masih berada di sini, Kek?" tanya Arya memotong.

"Aku tidak ingin istriku mengingkari janjinya. Kalau aku tidak berada di sini bisa saja dia berbuat nekat, menculik remaja-remaja di desa sekitar Hutan Bandan ini," jawab kakek itu.

Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini semua persoalan sudah menjadi jelas baginya.
"Sekarang macan itu telah memulai terornya. Sudah banyak penduduk menjadi korban," sergah Arya.

Kakek bongkok itu tersenyum.

"Dalam hal ini istriku tidak bisa disalahkan, Arya. Bagai­mana pun juga dia masih tetap memegang janjinya. Dia tidak akan menyebar maut selama tidak ada orang mengusik ketenangannya. Bukankah aku telah memper- ingatkan mereka! Jadi, mereka sendiriah yang mencari penyakit!" sahut kakek itu membela istrinya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.

"Mereka tetap mematuhi semua yang kau perintahkan, Kek!" sambut Arya dengan suara keras.
"Mematuhi apa?'" sergah kakek itu sambil tersenyum sinis. "Buktinya, banyak orang memasuki hutan ini!"

"Mereka sudah berusaha mencegah! Bahkan belasan penduduk menjadi korban karena ingin mencegah orang- orang persilatan yang hendak memasuki hutan ini!" bantah Arya dengan suara keras.

"Betulkah semua yang kau katakan itu, Arya?!" tanya kakek itu. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh.

Arya menganggukkan kepalanya. Namun demikian, kemarahannya agak reda melihat sikap kakek itu.

"Orang-orang persilatan memburu benda langit yang jatuh di hutan ini'" jelas Arya.
"Ahhh...!" kakek itu berseru terkejut. "Kalau begitu, per- buatan istriku harus dicegah'"
"Itu memang sudah menjadi tekadku sewaktu hendak memasuki hutan ini, Kek."

"Aku tak yakin kau mampu mencegahnya, Arya. Asal kau tahu saja. Istriku itu mempunyai kepandaian amat tinggi!" ujar kakek itu cemas.

"Aku tak takut, Kek! Bagiku, mati dalam membela kebenaran adalah perbuatan yang mulia!" tandas Arya.
"Kalau itu sudah keputusanmu, terserah! Hanya pesan- ku. Berhati-hatilah!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Kek." ucap Arya sambil berlalu meninggalkan tempat itu.

Tujuannya kini jelas, mencari Kuntilanak Alam Kubur!

***

Di keremangan Hutan Bandan, tampak seekor macan putih berlari cepat. Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia di sekitarnya. Karena majikannya telah memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang berani memasuki hutan ini, maka binatang itu pun segera berlari menuju tempat bau itu berasal.

Srakkk...!

Rerimbunan semak-semak terkuak. Dari balik semak- semak, muncullah seorang lelaki jangkung. Tubuhnya agak kurus dan matanya sipit. Di tangannya tergenggam sebuah gada berduri.

"Ha... ha... ha...! Macan keparat! Maju kau...! Ayo hadapi aku, si Gada Maut...!" tantang laki-laki tinggi kurus yang berjuluk si Gada Maut itu. Tangannya menimang-nimang gada yang digenggamnya.

Mendadak, si Gada Maut membalikkan tubuhnya. Ia berlari meninggalkan macan itu.

Macan putih tidak ingin kehilangan buruannya. Binatang itu pun berlari mengejar. Tapi tiba-tiba...

Srakkk...!
"Graunggg...!"

Macan putih itu menggeram ketika tubuhnya tahu-tahu telah terjerat jaring. Rupanya si Gada Maut telah men- jebaknya. Kini binatang itu terkurung dalam jaring yang tergantung cukup tinggi di atas pohon.

Macan putih itu meraung-raung. Gigi-gigi dan kuku kukunya yang tajam, menggigit dan mencakar jaring yang mengurungnya. Tapi ternyata jaring itu terbuat dari bahan alot yang tidak mudah putus. Sia-sia saja segala usaha yang dilakukannya.

"Ha... ha... ha...!"

Si Gada Maut tertawa bergelak. Hatinya puas melihat macan putih itu sudah tidak berdaya dalam jerat yang dipasangnya.

"Sekarang kau tidak berdaya lagi, macan keparat! Ha... ha... ha..! Kini kau baru tahu kecerdikan si Gada Maut, he?! Sebentar lagi kau akan kubantai, macan keparat! Akan kuhirup darahmu, dan kukuliti tubuhmu! Ha... ha... ha...!"

Si Gada Maut kembali tertawa terbahak-bahak. Tapi mendadak saja tawanya berhenti. Didengarnya ada suara tawa merdu mengiringi tawanya. Dengan cepat dibalikkan badannya untuk mencari asal suara itu.

Si Gada Maut terkejut ketika menemukan si pemilik suara. Ternyata pemiliknya adalah seorang gadis berwajah cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun. Rambutnya yang panjang, tergerai disapu angin. Pakaiannya serba putih, dan terdapat sulaman bunga melati di dada kirinya.

"Siapa kau, N ini?" tanya si Gada Maut. Laki-laki ber- tubuh kurus ini bersikap waspada. Meskipun si pemilik tawa itu adalah seorang wanita muda yang cantik, si Gada Maut tidak berani bersikap gegabah. Dari suara tawanya yang merdu menggema ke seluruh penjuru hutan, dapat di- simpulkan kalau wanita cantik itu memiliki tenaga dalam yang tinggi.

"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Kisanak!" sahut wanita cantik itu seraya tersenyum sinis. "Yang penting, kalau kau ingin selamat, segera tinggalkan macan putih itu!"

Seketika wajah si Gada Maut berubah. Kedatangan wanita itu menyadarkan dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja tokoh- tokoh persilatan lainnya datang merampas macan putih yang didapatinya dengan susah payah itu. Gadis ini harus segera dibungkamnya, sebelum yang lainnya tahu, pikirnya.

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, si Gada Maut menerjang gadis berpakaian putih itu. Gada di tangannya diayunkan cepat ke arah leher.

Wut... !

Gadis itu hanya tersenyum sinis. Agaknya ia memandang rendah serangan lawan. Sambil tetap tersenyum sinis, didoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga babatan gada itu lewat setengah jengkal di depan lehernya. Pada saat yang bersamaan, dilepaskannya sebuah tendangan ke perut si Gada Maut.

Gerakannya cepat sekali dan tak terduga-duga.

Si Gada Maut terkejut bukan main. Sungguh tidak disangkanya gadis muda itu mampu berbuat demikian. Kini si Gada Maut berada dalam posisi yang tidak menguntung- kan. Kalau saja ia tahu siapa sebenarnya gadis ini, tentu dia tidak akan berani bertindak gegabah. Gadis itu tak lain adalah Melati. Pendekar wanita yang berjuluk Dewi Penyebar Maut ini dulu pernah menggoncangkan dunia persilatan {Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Dewi Penyebar Maut").

Pendekar wanita ini sedang dalam pengembaraan mencari jejak Arya, tunangannya. Begitu mendengar tentang adanya prahara di Hutan Bandan, ia segera datang ke tempat ini dengan harapan dapat berjumpa dengan Dewa Arak.

Sekarang sudah tidak mungkin lagi bagi si Gada Maut untuk mengelak. Dengan terpaksa, ditangkisnya tendangan itu menggunakan tangan kirinya yang sudah dialiri tenaga penuh. Rupanya ia tidak berani ambil resiko.

Dukkk... !
"Akh...!"

Si Gada Maut memekik pelan. Rasanya tulang-tulangnya hampir patah. Seolah-olah tangannya beradu dengan potongan baja! Keras bukan main!

"Hup...!" si Gada Maut melompat mundur.

Melati sama sekali tidak mengejarnya. Pendekar wanita ini hanya memandang lawannya .

Si Gada Maut menatap gadis bertubuh menggiurkan di hadapannya tajam-tajam. Wajahnya menampakkan keter- kejutan yang amat sangat. Kini baru disadarinya kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis ini jauh lebih kuat darinya.

"Sebelum terlambat kau kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, Kisanak," ucap Melati begitu
melihat sang lawan masih berdiri terpaku.

"Aku belum kalah, perempuan sundal! Jangan harap kau dapat mengalahkan Gada Maut!" teriaknya keras.

Wajah Melati berubah hebat. Makian lawan membuat darahnya naik ke ubun-ubun. Sepasang matanya men- corong tajam. Si tinggi kurus tersentak begitu melihat se­pasang mata pendekar wanita ini. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur.

"Kau telah menghinaku. Jangan harap aku akan meng- ampuni nyawa tikusmu, keparat!" desis Melati tajam.

"Akulah yang akan membunuhmu, perempuan sundal! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, si Gada Maut menerjang Melati. Gada di tangannya berkelebat menyambar-nyambar mencari sasaran. Senjatanya menimbulkan suara angin menderu-deru.

Kini Melati tidak mau bertindak setengah-setengah lagi. Penghinaan Gada Maut membuat kemarahannya bergolak. Tanpa ragu-ragu lagi dikeluarkan ilmu andalannya 'Cakar Naga Merah' .

Sepasang tangan gadis berpakaian putih ini terkembang membentuk cakar naga. Pelahan namun pasti, tangannya sampai sebatas pergelangan berubah merah darah.

"Hup..!"

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak sulit bagi Melati mengelakkan setiap serangan si Gada Maut. Bahkan sebaliknya setiap serangannya memaksa lawan jatuh bangun menyelamatkan diri.

Tak sampai sepuluh jurus, si Gada Maut sudah terdesak hebat. Memang tingkat kepandaian Melati telah meningkat hebat setelah berjumpa kembali dengan gurunya. Di bawah gemblengan laki-laki tua itu, akhirnya ia dapat menyempur- nakan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya (Untuk lebih jelas, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").

Si Gada Maut menggertakkan giginya. Gada di tangannya berkelebatan semakin cepat. Tapi tetap saja usahanya sia-sia.

"Haaat..!"

Si Gada Maut berteriak nyaring. Tubuhnya melompat tinggi. Sesaat kemudian ia menukik sambil menusukkan gadanya ke kepala Melati. Gerakannya sangat indah, persis seekor burung raksasa yang tengah menerkam mangsa­nya.

Melati tetap bersikap tenang. Begitu serangan lawan mendekat, mendadak ia merubah posisi kuda-kudanya. Tubuhnya direndahkan. Tangan kanannya diulurkan ke atas mengancam dada lawan. Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.

Si Gada Maut tertawa dalam hati. Rupanya gadis ini mencari mati, pikirnya. Bukankah sebelum cakar gadis itu mengenainya, kepala gadis itu hancur lebih dulu terhantam gadanya.

Mendadak sebuah kejadian aneh membuat mata si Gada Maut terbelalak. Betapa tidak? Tangan gadis itu tiba- tiba mulur memanjang. Sebelum gada di tangannya mengenai sasaran cakar gadis itu lebih dulu mampir di dadanya.

Buk!
"Aaakh...!"

Si Gada Maut menjerit memilukan. Tubuhnya melambung kembali ke atas. Dari mulut, mata dan hidungnya mengalir darah segar. Tulang-tulang dadanya hancur seketika. Saat itu juga nyawa laki-laki tinggi kurus itu berpisah dengan raganya. Rupanya Melati telah menyalurkan seluruh tenaganya.

Brukkk... !

Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh si Gada Maut jatuh ke tanah.

Melati menatap tubuh yang tergolek itu sejenak. Setelah itu dilangkahkan kakinya menghampiri macan putih yang masih terkurung di dalam jaring.

Srat..!

Melati menghunus pedangnya. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, terdengar suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri. Suara tawa itu tidak semestinya keluar dari mulut manusia, pikirnya. Melainkan dari mulut setan kuburan! Tapi anehnya, meskipun suara itu terdengar pelan, getarannya terasa sampai ulu hatinya.

Jantung pendekar wanita ini berdebar keras. Ia sadar kalau orang yang baru datang ini memiliki kepandaian tinggi. Dari suara tawanya, sudah dapat diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam pemiliknya.

Kini di hadapan Melati berdiri seorang nenek-nenek. Tubuhnya yang tinggi, terbalut pakaian dan kerudung hitam. Kulitnya juga agak kehitaman. Bentuk mata, hidung, dan sorot matanya mengingatkan orang pada burung elang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat kayu berkeluk. Ujungnya berbentuk kepala burung elang.

"Siapa kau?!" tanya Melati. Suaranya mendesis. Gadis ini dilanda perasaan tegang. Baru kali ini ia melihat orang seaneh itu.

"Hik... hik... hik...! Rupanya kau hebat juga. Cah Ayu! Ah, betapa senangnya hatiku. Sejak sekian puluh tahun tidak bertemu orang sakti, kini aku melihat orang muda seperti- mu sudah memiliki kepandaian tinggi! Hik... hik... hik....! Bersiaplah, Cah Ayu! Keluarkan seluruh kepandalanmu. Aku tidak segan-segan membunuhmu!" Rupanya sejak tadi tanpa diketahui Melati, nenek ini telah menyaksikan pertarungannya melawan si Gada Maut.

"Tunggu dulu, Nek!" cegah Melati cepat.
"Ada apa? Cepat katakan!" sergah nenek itu tidak sabar.

"Begini, Nek. Seingatku, aku belum pernah berjumpa denganmu. Apalagi berbuat kesalahan. Tapi, kenapa engkau ingin menyerangku?!"

Si nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Hik... hik... hik..! Jadi, kau ingin mengenalku dulu, Cah Ayu? Baik, orang mengenalku sebagai Kuntilanak Alam Kubur. Nah, itulah julukanku. Puas, Cah Ayu! Sekarang, bersiaplah kau!" ucap nenek itu lagi.

Melati terkejut! Nama Kuntilanak Alam Kubur memang pernah didengarnya. Gurunya banyak bercerita mengenai tokoh ini. Tokoh yang memiliki sifat aneh. Suka berbuat kejam tanpa dasar, tapi memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sungguh tidak disangka ia bisa berjumpa tokoh ini.

Cappp...!

Kuntilanak Alam Kubur menancapkan tongkatnya ke tanah. Gerakannya kelihatannya pelan sekali, sepertinya tanpa pengerahan tenaga. Tapi akibatnya tongkat itu ter- tancap sampai lebih dari setengahnya! Sebuah per- tunjukan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi yang menarik!

Melati mengawasi gerak-gerik si nenek penuh waspada. Dilihatnya perempuan tua itu mengepalkan jari-jari tangan­nya. Pelahan-lahan tapi penuh tenaga. Terdengar suara berkerotokan nyaring ketika jemarinya dikepalkan.

Gadis berpakaian putih itu membelalakkan matanya. Tengkuknya bergidik menyaksikan perbuatan si nenek. Kini disadari kalau nyawanya terancam. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, dikeluarkannya ilmu 'Cakar Naga Merah' yang sangat diandalkannya.

"Hebat juga ilmu yang kau miliki, Cah Ayu. Melihat bentuk jari-jari tanganmu dapat kutebak kalau kau meng­gunakan 'Jurus Naga'. Ingin kulihat apakah 'Jurus Naga' milikmu mampu menghadapi 'Tinju Gajah' milikku?"

"'Tinju Gajah'?" desah Melati dalam hati. Ia sangat terkejut mendengar nama jurus itu disebut.

Namun sebelum Melati berpikir lebih lama, Kuntilanak Alam Kubur sudah menyerangnya. Tangan kanan nenek itu memukul lurus ke dada, sementara tangan kirinya terkepal di sisi pinggang.

Suara gemeretak mengiringi tibanya serangan itu. Melati merasakan ada serentetan angin keras yang menyesakkan dada sebelum pukulan lawan mengenalnya.

Gadis yang dulu mendapat julukan Dewi Penyebar Maut ini tidak berani menangkis serangan itu. Kakinya buru-buru digeser ke samping, sehingga pukulan itu lewat sekitar sejengkal dari tubuhnya.

Pakaian Melati berkibaran akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan tadi.

Begitu pukulan itu lewat, Melati segera melancarkan serangan balasan ke kepala Kuntilanak Alam Kubur.

Tapi si nenek hanya terkekeh seraya merendahkan tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.

Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat dalam per­tarungan sengit. Melati menyadari kalau lawannya memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Maka, mau tak mau ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Sepasang cakar Melati yang memainkan ilmu 'Cakar Naga Merah", menyambar-nyambar cepat mencari sasaran. Namun, tanpa kesulitan Kuntilanak Alam Kubur meng­elakkan setiap serangannya. Bahkan sebaliknya setiap serangan balasan si nenek membuat gadis berpakaian serba putih itu pontang panting menyelamatkan diri.

Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama sakti itu berlangsung semakin seru. Dalam waktu singkat dua puluh lima jurus telah berlalu. Pelahan namun pasti, Melati mulai terdesak. 'Ilmu 'Tinju Gajah' yang dimiliki lawan benar-benar membuatnya kagum.

Setiap kali tangan mereka beradu, tubuh Melati ter- jengkang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dari benturan ini dapat ketahui kalau tenaga dalam Melati berada di bawah tenaga dalam si nenek.

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan pekik melengking, Melati melentingkan tubuhnya ke belakang .

"Hup...!"
Srattt..!

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak bumi. Kini di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.

"Keluarkan senjatamu, nenek peot!" teriak Melati keras.

"Hik... hik... hik...! Dengan tangan kosong pun aku sanggup merobek mulutmu yang lancang, gadis liar!" sahut Kuntilanak Alam Kubur tak mau kalah.

"Kalau begitu jangan katakan aku curang kalau kau mampus di ujung pedangku! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke dada Kuntilanak Alam Kubur. Bunyi mengaung yang mengawali tibanya serangan itu menjadi pertanda, betapa kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya.

Meskipun serangan tusukan pedang itu berlangsung cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan si nenek. Tahu- tahu Kuntilanak Alam Kubur sudah melenting melewati kepala Melati. Tubuhnya berputar di udara, seraya meng- ayunkan kedua tangannya ke kepala si gadis.

Melati terkejut bukan main. Dia segera melompat ke depan sambil menggulingkan tubuhnya menjauh.

"Hup...!"

Begitu kedua kaki Kuntilanak Alam Kubur mendarat, Melati segera bangkit.

"Haaat...!"

Kembali gadis berbaju putih itu menerjang. Kini pedang di tangannya memainkan Jurus 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Serangannya susul-menyusul seperti tiada putus-putusnya.

Tapi Kuntilanak Alam Kubur adalah tokoh yang sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Meskipun hanya bertangan kosong, sedikit pun tak nampak terdesak. Bahkan kedua tangannya yang mengepal memainkan ilmu 'Tinju Gajah', masih sempat menyerang bertubi-tubi.

Akibat dari pertarungan kedua wanita ini sangat mengerikan. Batu-batu besar dan kecil beterbangan. Bahkan tidak sedikit pohon-pohon besar yang bertumbangan terkena pukulan, tendangan, atau sabetan pedang nyasar.

Tujuh puluh jurus telah berlalu. Sampai saat ini, Melati belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini tentu saja membuatnya geram bukan main.

Pada jurus kesembilan puluh tiga, sambil mengeluarkan pekik nyaring, Melati melompat menerjang. Pedang di tangannya melesat cepat menusuk ke leher lawan.

Singgg...!

Kuntilanak Alam Kubur terkekeh pelan. Dengan tenang dibiarkannya serangan itu mendekat. Melati mengira nenek itu sudah kehabisan tenaga. Kelelahan membuatnya lengah, pikirnya. Tapi mendadak si nenek menggeser tubuhnya ke samping kanan, seraya tangan kanannya menyampok tangan Melati.

Wut! Plak!
"Akh...!"

Melati memekik tertahan. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Pedang di tangannya terlempar jauh. Sebelum gadis berpakaian serba putih itu berbuat sesuatu, kaki nenek itu sudah menyambar cepat ke arah perut.

Buk!
"Hughk...!"

Keras dan telak bukan main tendangan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh Melati terjengkang ke belakang. Cairan merah kental terlihat di sela-sela bibirnya. Melati terluka dalam!

"Terimalah kematianmu, gadis liar! Hiyaaa...!"

Setelah berkata demikian, Kuntilanak Alam Kubur menerjang sambil memukulkan tinju kanannya ke dada Melati.

Angin keras menyambar ke arah Melati yang masih terhuyung-huyung ke belakang.

Melati membelalakkan sepasang matanya. Dia tahu betapa dahsyatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan lawannya. Keadaannya yang sudah terluka dalam tidak memungkinkan untuk menangkis serangan itu.

Bila menangkis, berarti sama saja dengan membunuh diri. Sementara mengelak pun sudah tidak sempat lagi. Kini ia hanya dapat menanti datangnya sang maut menjemput.

Tapi sebelum pukulan jarak jauh itu mengenai tubuh Melati, sesosok bayangan ungu berkelebat menyambar tubuh gadis itu.

Tappp...!
Brakkk... !

Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang seketika terkena pukulan jarak jauh yang nyasar. Suara berderak keras mengiringi robohnya pohon itu.

"Keparat...!"

Kuntilanak Alam Kubur berteriak memaki. Hatinya gemas sekali ketika lawannya berhasil lolos dari tangan­nya. Tapi sebelum ia sempat mengejar, bayangan ungu itu telah lenyap ditelan rerimbunan semak yang lebat.

Nenek berwajah mirip burung elang ini menggeram. Keras bukan main geramannya. Dihampirinya macan putih yang terkurung di jaring, tergantung di atas pohon.

"Hih...!"

Kuntilanak Alam Kubur mengacungkan dua buah jari telunjuknya ke atas. Terdengar suara mencicit nyaring seperti suara tikus terjepit.

Tasss... !

Seketika itu juga tali penggantung jaring yang mengurung macan putih itu putus dan jatuh ke tanah.

Brukkk!
"Aummm...!"

Macan itu bergerak menerobos kurungan jaring. Kemudian menggeram pelan menghampiri si nenek. Tapi Kuntilanak Alam Kubur yang rupanya masih kesal, lalu meninggalkan tempat tersebut. Macan putih itu pun sambil tetap menggeram pelan, melangkah mengikuti si nenek.

***

Sosok bayangan ungu berkelebat cepat menembus kerimbunan pepohonan Hutan Bandan. Kini bayangan tadi terhenti di depan sebuah gua.

Sosok ungu itu tak lain adalah Dewa Arak. Di pundaknya tampak tubuh Melati terkulai lemas. Gadis itu pingsan. Rasa nyeri yang diakibatkan oleh luka dalam yang diderita- nya, sudah tak dapat ditahannya lagi. Tanpa ragu-ragu Dewa Arak melangkah memasuki mulut gua. Langkah- langkahnya panjang, seolah-olah tidak merasakan beban di pundaknya.

Beberapa saat kemudian, Dewa Arak sudah melihat kakek bongkok yang tengah duduk bersila.

"Aku butuh pertolonganmu, Kek." ucap Arya tanpa basa- basi lagi. Tubuh Melati yang sejak tadi di pondongnya, diturunkan pelahan-lahan.

Kakek bongkok itu membuka matanya. Sepasang mata­nya yang putih itu menatap Dewa Arak.

"Siapa dia, Arya?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan ucapan Dewa Arak.

Arya sudah tidak terkejut lagi ketika si kakek telah mengetahui kalau dia tidak datang sendirian. Meskipun buta, kakek itu mampu melihat melalui mata batinnya.

"Teman, Kek," sahut Arya.

Kakek itu tercenung sejenak.

"Teman atau kekasih?" sindir kakek itu.

Arya menghela napas panjang. Percuma, tidak ada gunanya lagi menyembunyikan hal yang sebenarnya pada orang tua ini.

"Sebenarnya..., dia tunanganku, Kek," jawab Arya berterus terang.
"Hm..., lalu kenapa kau bawa dia kemari?"
"Dia mendapat luka dalam yang parah Kek. Karena duluKakek adalah seorang raja obat, maka kubawa dia kemari."

Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagaimana dia bisa terluka?" desak si kakek ingin tahu.
"Dia bertarung melawan seorang nenek yang berpakaian serba hitam dan...."

Arya menghentikan ucapannya ketika melihat raut wajah si kakek mendadak berubah.

"Mengapa. Kek? Ada sesuatu yang aneh dalam ceritaku?"

"Tidak. Tidak.... teruskan ceritamu, Arya." sahut kakek itu cepat "O ya. apakah nenek itu mengenakan kerudung hitam juga?"

"Benar, Kek. Apakah Kakek mengenalnya?"
"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang "Dia adalah orang yang kuceritakan padamu."
"Maksud Kakek. wanita itu... istri Kakek.?" tebak Arya.
"Yahhh...!" sambut kakek itu sambil mengangguk pelan.

Arya tercenung mendengar jawaban si kakek. Seketika suasana menjadi hening. Tapi hal ini tidak berlangsung lama, karena orang tua itu sudah kembali berbicara.

"Tolong kau ambilkan buntalan yang ada di pojok sana," pinta kakek bongkok itu sambil menunjuk ke salah satu sudut gua.

Tanpa banyak membantah, Arya bergegas ke arah yang ditunjuk kakek bongkok itu. Benar saja. Di situ dijumpainya sebuah buntalan. Buntalan itu segera diambilnya.

"Buka! Ambil pil yang berwarna merah, lalu kau minumkan pada tunanganmu," ucap si kakek sebelum Arya menyerahkan buntalan itu padanya.

Dewa Arak membuka buntalan itu. Diambilnya pil berwarna merah dan segera dimasukkan ke dalam mulut Melati.

"Kek...," ucap Arya memecah keheningan yang meliputi suasana gua.
"Hm...," kakek itu hanya bergumam pelan.

Dewa Arak menghela napas panjang sebelum memulai ucapannya.

"Begini, Kek. Rasanya..., tindakan istri Kakek tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi."
"Maksudmu aku harus membunuhnya?" selak kakek itu cepat.
"Bukan itu maksudku, Kek." sahut Arya cepat.
"Bicara yang tegas, Arya. Katakan saja, ya!" tegur kakek itu. Tajam dan keras suaranya.
"Tidak seluruhnya benar, Kek."
"Maksudmu?"

"Perbuatan istri kakek memang harus dicegah. Dengan jalan lunak sepertinya tidak mungkin. Jadi, terpaksa dilakukan lewat jalan kekerasan."

"Betul kan dugaanku?!" selak kakek itu lagi.
"Ya. Tapi, bukan Kakek yang harus melakukannya."
"Lalu, siapa? Kau?!" ada keraguan dalam nada suara si kakek.
"Begitulah, Kek. Aku akan berusaha dengan seluruh kemampuanku."

"Percuma. Kau tidak akan mampu menandinginya. Kau hanya akan mengantar nyawa saja!" tegas kakek itu yakin.

"Tidak mengapa, Kek. Aku siap mengadu nyawa dengan- nya. Maksudku mengutarakan hal inl, adalah untuk men­cegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari," jelas Arya.

Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan Arya bisa diterimanya. Pemuda ini benar-benar bijaksana, pikirnya.

"Aku mengerti arah pembicaraanmu, Arya. Kau khawatir aku akan salah terima bila istriku tewas di tanganmu, begitu kan?" tebak kakek bongkok itu.

"Benar, Kek," ucap Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.

"Hhh...! Perlu kau ketahui Arya. Aku pun sudah muak dengan tingkah laku istriku. Sudah lama sekali aku meng- inginkannya tewas. Tapi, ternyata tidak seorang pun yang sanggup mengalahkannya. Sedangkan aku tak sampai hati menjatuhkan tangan maut pada istriku sendiri. Kuharap kau berhasil. Pesanku berhati-hatilah, Arya. Saat ini dia tengah mempelajari sebuah ilmu hitam. Aku sendiri belum tahu ilmu apa yang ditekuninya."

"Terima kaslh atas kerelaanmu, Kek. Aku titip tunanganku di sini."
"Pergilah, Arya. Kudoakan semoga kau berhasil"
"Terima kasih, Kek," pamit Arya, seraya melesat ke luar.

Sepeninggal Dewa Arak, kakek itu menunduk sedih. Bola mata yang hanya tinggal putihnya itu, terlihat berkaca- kaca. Hatinya tersayat pedih saat mengingat kenangan manis bersama istrinya. Rupanya masih ada segumpal cinta di hatinya .

***

Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk Barat. Cahaya bulan yang hanya sepotong membuat suasana Hutan Bandan menjadi remang-remang.

Seorang kakek bertubuh pendek terkekeh-kekeh gembira. Tubuhnya yang gemuk, terbalut rompi dan celana hijau. Kepalanya botak, berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan.

"Akhirnya aku juga yang mendapatkan benda langit ini. He... he... he...!" matanya menatap sebuah lubang bergaris tengah sekitar dua tombak. Kedalamannya hampir se- tengah tombak. Di dalamnya lam pak tergolek sebuah benda seperti batu berwarna gelap. Besarnya sebesar kepala orang dewasa.

Tapi baru saja kakek pendek gemuk ini hendak menuruni lubang itu, terdengar suara terkekeh. Kontan saja kakek itu mengurungkan niatnya. Matanya berkeliling mencari asal suara.

"Hik... hik... hik...! Kelabang Hijau..., tidak kusangka kalau langkahmu sampai juga kemari."

Kakek pendek gemuk yang berjuluk Kelabang Hijau itu menatap sosok di hadapannya (Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar") Di depannya telah berdiri seorang nenek berwajah mirip burung elang. Pakaian dan kerudungnya serba hitam. Sebuah tongkat berkeluk yang ujungnya berbentuk kepala seekor burung elang ter- genggam di tangannya.

"Kuntilanak Alam Kubur...." desis Kelabang Hijau.

Perasaan terkejut dapat dirasakan dari suara si kakek. "Rupanya kau juga tertarik dengan benda langit, nenek peot!? Sehingga langkahmu sampai juga kemari."

"Hik... hik... hik...! Pasang telingamu lebar-lebar, Kelabang Hijau. Dengar! Aku adalah pemilik Hutan Bandan ini! Jadi akulah yang lebih berhak atas benda langit itu! Lagi pula aku tidak suka ada orang mengusik ketenanganku. Mereka semua harus mati! Tak terkecuali kau!"

"Kita lihat saja buktinya, nenek peot!" sahut Kelabang Hijau.

"Hik... hik... hik...!" Kuntilanak Alam Kubur kembali tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya ditancapkan di tanah.
"Hiyaaa...!"

Terdengar suara gemuruh ketika nenek berpakaian serba hitam itu melontarkan kepalannya ke leher si botak. Rupanya Kuntilanak Alam Kubur sudah mengeluarkan ilmu 'Tinju Gajah'

Kelabang Hijau tahu kalau lawan telah mengeluarkan ilmu andalannya. Tanpa ragu-ragu lagi, ia pun segera memainkan jurus 'Kelabang Sakti'. Ditangkisnya serangan itu.

Plak!
"Uh...!"

Tubuh Kelabang Hijau terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Dadanya terasa sesak, sementara lawannya hanya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kakek berkulit kehijauan ini sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat.

"Hik... hik... hik.! Kematianmu sudah di ambang pintu, gundul jelek!" ejek Kuntilanak Alam Kubur.

Kelabang Hijau sama sekali tidak mempedulikan ejekan si nenek. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, dia me- lompat menyerang. Kini kedua tokoh sakti ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Mulanya pertarungan kedua tokoh sesat ini berlangsung imbang. Tapi begitu menginjak jurus kedua puluh, tampak- lah keunggulan Kuntilanak Alam Kubur.

Kelabang Hijau yang tahu keunggulan lawannya dalam hal tenaga dalam, sedapat mungkin berusaha menghindari bentrokan tenaga. Berkali-kali ia terpaksa harus menarik kembali serangannya begitu Kuntilanak Alam Kubur hendak menangkisnya.

Tapi di saat gawat bagi Kelabang Hijau, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih memasuki arena pertempuran. Sosok bayangan putih ini langsung menghujani Kuntilanak Alam Kubur dengan serangan-serangan dahsyat.

Tentu saja Kuntilanak Alam Kubur terkejut, ia terpaksa mengurungkan desakannya pada Kelabang Hijau.

Serangan si bayangan putih merupakan serangan- serangan mematikan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Mau tak mau ia harus menangkis serangan yang bertubi-tubi itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalam pula.

Plak, plak, plak....!

Suara benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi terdengar berkali-kali. Akibatnya hebat! Si bayangan putih memekik tertahan. Tubuhnya ter- pelanting sejauh tiga batang tombak. Sekujur tangannya dirasakan ngilu.

Kini sosok serba putih sudah berdiri di sebelah Kelabang Hijau kembali. Pada dahinya terlihat sebuah logam berbentuk bulan sabit. Dialah Dewi Bulan, pasangan dari Kelabang Hijau.

"Hik... hik... hik...! Rupanya kekasihmu datang juga, Kelabang Hijau! Hik hik hik...! Luar biasa! Rupanya berita tentang jatuhnya benda langit di sini membuat kalian yang telah bau tanah ini ingin juga memilikinya."

"Tutup mulutmu kuntilanak jelek!" bentak Dewi Bulan keras.
"Kalau aku tidak mau?!" sahut Kuntilanak Alam Kubur sambil tersenyum mengejek.
"Aku yang akan menutupnya dengan kedua tanganku!"

"Hik hik hik...! Mampukah kau melakukannya, dewi got!?" ejek nenek berpakaian hitam yang pandai berdebat itu.

"Keparat...! Mampuslah kau...!"

Setelah berkata demikian, Dewi Bulan langsung melompat menerjang lawannya. Kaki kanannya melayang ke pelipis Kuntilanak Alam Kubur. Cepat dan keras bukan main serangannya. Angin berdesir keras mengawali tibanya serangan itu.

Kuntilanak Alam Kubur hanya merendahkan tubuhnya sedikit. Dan serangan itu pun lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak kaki kanannya menendang ke lutut kiri Dewi Bulan.

"Ihhh...!"

Dewi Bulan tersentak kaget. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kelabang Hijau telah lebih dulu ber­gulingan menangkis serangan itu.

Plak!

Kuntilanak Alam Kubur menggeram murka. Apalagi di saat itu Dewi Bulan sudah mengirimkan serangan susulan.

Belum lagi nenek berpakaian serba hitam ini sempat menarik napas, serangan Kelabang Hijau sudah tiba lagi. Demikian seterusnya silih berganti. Sehingga Kuntilanak Alam Kubur terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

"Hih...!"

Tiba tiba Kuntilanak Alam Kubur melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Kakinya mendarat tanpa suara di dekat tongkat yang tadi ditancapkannya.

Dewi Bulan dan Kelabang Hijau tidak bergerak mengejar. Mereka tidak berani berbuat gegabah meng­hadapi perempuan aneh ini. Keduanya tahu kalau lawan hendak menggunakan ilmu lainnya. Tapi sepasang tokoh tua ini yakin, ilmu gabungan mereka dapat menghadapi lawan yang bagaimanapun lihainya.

"Hih...!"

Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya yang terhunjam dalam di tanah. Kedua matanya nampak terpejam sejenak. Bibirnya berkemik seperti mengucapkan sesuatu. Tak lama kemudian, tongkatnya diketukkan ke tanah.

***

Sepasang mata Dewi Bulan dan Kelabang Hijau terbelalak lebar. Kini di hadapan mereka telah berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur.

"Hik... hik... hik...! Ingin kulihat, mampukah kalian menghadapi ilmu 'Pecah Raga'! Hik hik hik...!" ucap salah seorang dari empat nenek berpakaian serba hitam itu.

"'Pecah Raga'...?!" desah Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bersamaan. Wajah mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Keduanya memang pernah mendengar kedahsyatan ilmu ini. Ilmu unik yang dapat membuat tubuh pemiliknya menjadi banyak. Sungguh tak disangka kalau nenek itu bisa memilikinya. Namun belum lagi habis rasa terkejut mereka. Tiba-tiba....

"Hiyaaa...!"

Empat orang Kuntilanak Alam Kubur menyerbu serentak. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bertindak cepat.

Keduanya segera menggabungkan ilmunya sehingga serangan dan pertahanan mereka menjadi berlipat ganda.

"Haaattt..!"

Salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur berteriak nyaring. Kedua jari tangannya menusuk cepat ke dada Dewi Bulan. Angin mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu.

"Hih...!"

Kelabang Hijau mengulurkan tangan kirinya ke arah Dewi Bulan. Wanita sesat itu meyambut dan meng- genggamnya dengan tangan kanan. Tusukan dua jari yang mengarah ke lehernya ditangkis dengan tangan kirinya.

Plak!
"Ihhh...!"

Kuntilanak Alam Kubur memekik tertahan. Tubuhnya langsung terjengkang ke belakang. Rupanya gabungan tenaga dalam sepasang tokoh sesat tadi telah berhasilmemecah pertahanan keempat Kuntilanak Alam Kubur.
Beberapa kali, baik Kelabang Hijau maupun Dewi Bulan berhasil menyarangkan pukulan telak pada dada, perut ataupun ulu hati lawan-lawannya. Tetapi kejadian tadi berulang kembali. Keempat Kuntilanak Alam Kubur seolah- olah tidak merasakannya.

Tak terasa seratus jurus telah lewat. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan merasa lelah bercampur kesal. Lelah karena harus mengelak serangan gencar keempat Kuntilanak Alam Kubur. Kesal karena setiap kali lawan dirobohkan, tahu-tahu sudah bangkit menyerang kembali. Lama kelamaan rasa lelah membuat ilmu gabungan mereka mulai kacau. Sementara empat Kuntilanak Alam Kubur masih terlihat segar.

"Hik hik hik.!" salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur mengikik. "Tak lama lagi, ajal kalian akan tiba. Hik... hik... hik...! Tidak ada seorang pun yang akan kubiarkan hidup, setelah memasuki Hutan Bandan!"

Kuntilanak Alam Kubur tahu, selama kedua lawannya masih bersatu mereka sullt dikalahkan. Keduanya harus dipisahkan lebih dulu, pikirnya. Segera keempatnya berpencar. Kini baik Dewi Bulan maupun Kelabang Hijau masing-masing menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur.

Kelabang Hijau dan Dewi Bulan sama sekali tidak menyadari siasat lawan. Baru setelah beberapa jurus kemudian, mereka sadar. Segera keduanya bermaksud untuk bersatu kembali. Tapi Kuntilanak Alam Kubur mem- baca maksud mereka, sehingga usaha keduanya gagal.

Crottt.. !

"Akh...!" Dewi Bulan menjerit tertahan ketika dua buah jari tangan Kuntilanak Alam Kubur menusuk perutnya. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, Kuntilanak Alam Kubur yang satu lagi telah menyarangkan sebuah tendangan keras ke dadanya.

Buk... !
"Aaakh...!"

Dewi Bulan menjerit melengking tinggi. Tubuhnya melayang jauh ke belakang dengan tulang-tulang dada remuk. Darah segar keluar dari mulut, hidung, dan telinga- nya. Nyawanya melayang diringi jeritan kematian yang menyayat.

Brukkk... !

Kelabang Hijau terkejut mendengar jeritan kekasihnya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaannya sendiri terjepit. Kini ia harus bertarung melawan keempat Kuntilanak Alam Kubur sekaligus. Belum ada dua jurus setelah kematian Dewi Bulan, sebuah tusukan jari lawan meluruk cepat ke pelipisnya.

Tukkk.!
"Aaakh...!"

Kelabang Hijau memekik tertahan. Tubuhnya ambruk dengan tulang pelipis pecah.

"Hik... hik... hik...!"

Empat orang Kuntilanak Alam Kubur itu tertawa mengikik menatap kedua mayat yang terbujur di tanah. Sesaat kemudian, tiga orang kembaran nenek berpakaian hitam itu lenyap tanpa bekas. Kini tinggal satu orang Kuntilanak Alam Kubur.

***

Kepala Kuntilanak Alam Kubur menoleh ke kiri. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah bergerak ke arahnya. Betul saja. Beberapa saat kemudian, berkelebat bayangan ungu di hadapannya.

Kuntilanak Alam Kubur menatap sosok bayangan ungu yang ternyata adalah Arya, si Dewa Arak.

Tiba-tiba saja macan putih yang sejak tadi mendekam mengawasi pertarungan majikannya, bangkit. Suara gereng kemarahan terdengar dari mulutnya begitu melihat kedatangan anak muda ini.

"Keparat..!" geram Kuntilanak Alam Kubur. "Jadi, inikah orang yang dulu melukaimu, Putih?!" tanya nenek itu. Ketika dilihatnya binatang peliharaannya menggereng- gereng penuh kemarahan.

"Grrrh...!" macan putih kembali menggereng pelan. Kuntilanak Alam Kubur mengerti makna gerengan binatang peliharaannya.

"Kalau begitu, kau tenang saja di sini. Akan kubalas sakit hatimu!"

Kuntilanak Alam Kubur melangkah mendekati Dewa Arak yang tetap bersikap tenang.

"Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" tanya nenek itu. Kasar dan keras suaranya. Memang dia sudah men­dengar nama besar Dewa Arak yang telah meng- goncangkan dunia persilatan. Begitu melihat ciri-ciri Arya, dia sudah bisa langsung menduganya.

Dewa Arak mengangguk.

"Begitulah orang memberiku julukan." jawabnya seraya memutar tubuhnya. "Dan kau pasti Kuntilanak Alam Kubur. Betul kan?" duga Dewa Arak. Sepasang matanya me­mandang berkeliling.

Dewa Arak terkejut begitu matanya tertumbuk pada dua sosok yang dikenalnya, tergolek tanpa nyawa. Dua orang inl dulu pernah hampir mencelakainya, kalau saja tidak datang Melati menolongnya (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar") Bagaimana mungkin keduanya tewas di tangan nenek ini? pikirnya setengah tidak percaya. Bukankah kepandaian yang dimiliki sepasang tokoh tua ini sudah sangat tinggi?

Wajah nenek berpakaian hitam berubah hebat.

"Dari mana kau tahu julukanku Dewa Arak?! Aku yakin ada orang yang memberitahukanmu," tanya nenek itu penuh selidik.

"Dari mana kutahu dirimu, itu adalah rahasiaku. Kedatanganku ke hutan ini adalah untuk menghentikan kekejianmu terhadap penduduk Desa Bandan. Sekaligus membalas perlakuanmu terhadap kawanku yang telah kau lukai!"

Kuntilanak Alam Kubur tercenung sejenak mendengar ucapan terakhir Dewa Arak. Keningnya berkernyit pertanda tengah berpikir keras.

"Temanmu?" tanyanya. Diingat-ingatnya kembali setiap pertempuran yang dialaminya belum lama ini. Tapi seingatnya, dia baru bertarung dua kali. Kini nenek itu teringat pada bayangan ungu yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih dari cengkeramannya "Jadi, kau rupanya yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih itu!?"

Dewa Arak menganggukkan kepalanya.

"Benar. Akulah orangnya " sahut Arya singkat. Setelah itu tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak mengambil guci arak yang tergantung di punggungnya. Diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk.. gluk.!

Suara tegukan terdengar ketika arak melewati kerongkongannya. Sesaat kemudian dirasakan hawa hangat menyebar dalam perutnya dan terus naik ke atas kepala.

"Hih...!"

Kuntilanak Alam Kubur menggertakkan gigi. Pelahan- lahan, kedua tangannya mengepal. Terdengar suara ber- kerotokan keras seperti ada tulang-tulang berpatahan begitu jari-jarinya dikepalkan. Firasatnya mengatakan kalau Dewa Arak mempunyai kelihaian tinggi. Tanpa sungkan- sungkan lagi segera dikeluarkan Ilmu 'Tinju Gajah'.

"Hiyaaa...!"

Dengan diinngi teriakan nyaring, Kuntilanak Alam Kubur menyerang Dewa Arak. Tangan kanannya dipukulkan keras ke wajah lawan. Angin berhembus keras mengawali serangannya.

Tapi kali ini yang diserangnya adalah Dewa Arak, meskipun masih muda, tapi memiliki ilmu-ilmu aneh dan tinggi. Dengan langkah terhuyung-huyung yang menjadi ciri khasnya. Arya mengelakkan serangan itu.

"Heh ..?!" Kuntilanak Alam Kubur terpekik kaget ketika melihat lawannya tahu-tahu lenyap dari situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, dirasakan adanya angin dingin berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada di belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah belakang kepalanya.

"Hih...!"

Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke depan. Tubuhnya berguling-guling menjauh. Serangan guci Dewa Arak mengenai tempat kosong .

Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah dalam segebrakan. Hal ini tentu saja membuat amarahnya meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya, dia pun kembali menerjang lawannya dengan dahsyat.

Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar- nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara gemuruh setiap kali tinjunya melayang.

Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh Dewa Arak. Jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang dimainkan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan. Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan.

"Haaat..!"

Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus 'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis Kuntilanak Alam Kubur.

Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua tangan yang dilintangkan di sisi telinganya.

Plak... !

Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan ngilu sekali. Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya hanya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur masih berada di atas Dewa Arak! .

"Hiyaaa...!"

Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda- kudanya, nenek berpakaian hitam itu kembali menerjang. Ilmu 'Tinju Gajah' kembali menderu-deru mencari sasaran.

Dewa Arak segera dapat mematahkannya. Ilmu 'Belalang Sakti' yang dimainkan Arya, memungkinkannya bergerak dalam posisi apa pun tanpa mengalami kesulitan.

Dalam waktu singkat, seratus jurus telah berlalu. Pertarungan masih berjalan seimbang. Belum tampak ada tanda-tanda siapa yang terdesak.

"Hm.... Bukan main lihainya pemuda ini...," puji seorang kakek bermata putih. Punggungnya bungkuk. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat penunjang tubuhnya. Kaki kirinya buntung sebatas pangkal paha. Ujung celana di sebelah kirinya berkibaran tertiup angin.

"Tidak aneh, Kek. Dia adalah Dewa Arak," sahut gadis di sebelahnya yang tak lain adalah Melati. Di belakang keduanya nampak berdiri tujuh orang. Mereka adalah Ki Sancaperta, Ki Gayan, Jiwala dan empat orang penduduk Desa Bandan lainnya.

Rupanya Ki Sancapaperta dan Ki Gayan merasa tidak enak bila hanya menunggu di desa, sementara Dewa Arak berjuang untuk kepentingan desa mereka. Bersama Jiwala dan empat orang warga desa lainnya, mereka berbondong- bondong masuk hutan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan kakek penyelamat desa mereka bersama seorang gadis berpakaian putih.

Mulanya hampir terjadi kesalahpahaman. Ketujuh orang warga Desa Bandan ini tidak dapat menahan amarahnya begitu mengenali si kakek. Tapi untunglah si kakek segera memberikan penjelasan. Sehingga pertumpahan darah yang sia-sia, akhirnya dapat dihindari.

Kesembilan orang itu bergegas ke tempat itu begitu mendengar suara pertempuran. Kini mereka menonton pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.

Melati memandang ke arah pertempuran dengan pandangan mata cemas. Dia pernah merasakan kelihaian Kuntilanak Alam Kubur. Dilihatnya tenaga dalam tunangan- nya tidak mampu mengimbangi tenaga dalam lawan.

Kuntilanak Alam Kubur menggeram hebat menahan amarah. Telah serarus lima puluh jurus berlalu, tapi dia belum dapat mematahkan lawannya. Ilmu 'Tinju Gajah' sama sekali tidak berdaya. Bahkan beberapa kali dia dibuat jatuh bangun oleh serangan balasan Dewa Arak.

"Hih...!"

Kuntilanak Alam Kubur menjerit melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke belakang. Dewa Arak tidak berani gegabah mengejarnya.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, nenek berpakaian serba hitam ini mendarat dekat tongkat yang tadi ditancapkannya di tanah.

"Hih...!"

Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya. Sepasang matanya terpejam. Bibirnya berkemik seperti mengucap- kan sesuatu. Kemudian tongkatnya diketukkan ke tanah.

"Ahhh...!" seru Arya terkejut. Di hadapannya kini telah berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur. Masing- masing menggenggam tongkat berujung kepala burung elang.

"Ilmu si hi r...!" teriak Melati pula tak kalah terkejutnya. Bukan cuma Melati saja, ketujuh orang di belakangnya juga mengalami hal serupa.

"Ada apa, Melati?" tanya kakek bongkok mendesah, begitu mendengar seruan seruan kaget itu. Dahinya ber- kernyit seperti tengah berpikir keras.

"Ng..., anu, Kek. Lawan Kang Arya kini telah menjadi empat orang." jawab gadis berpakaian putih itu mem- beritahu.

"Hm...," kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ilmu 'Pecah Raga'" desahnya pelan.
"Kau tahu ilmu itu, Kek?" tanya Melati penuh gairah.

"Hm.... Rupanya ilmu iblis itulah yang dipelajarinya selama ini. Kekuatan iblisnya diperoleh dari darah remaja- remaja yang dihirupnya. Mudah-mudahan saja tunangan- mu itu berhasil menemukan kelemahannya."

Melati terdiam. Semula dia berharap si kakek bongkok mengetahui kelemahan ilmu Kuntilanak Alam Kubur.

Tapi mendengar ucapan tadi, gadis ini putus harapan. Kembali dialihkan perhatiannya ke arena pertarungan.

Sementara itu, Kuntilanak Alam Kubur yang kini telah berubah menjadi empat orang, sudah menerjang Dewa Arak.

Menghadapi seorang saja, Dewa Arak sudah kewalahan. Apalagi menghadapi empat orang! Tapi dengan kegesitan jurus 'Delapan Langkah Belalang', dia masih mampu meng- imbangi.

"Haaat...!" salah seorang Kuntilanak Alam Kubur menjerit keras. Tongkat kepala burung elang di tangannya, ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.

Anak muda ini melentingkan tubuhnya, tahu-tahu ia telah berada di belakang nenek tadi. Guci arak di tangannya terayun deras menghantam punggung lawannya.

Buk... !
"Huakh...!"

Hantaman guci tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga dalamnya. Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh ke depan. Tubuhnya jatuh tersungkur sambil memuntahkan darah segar. Ia pun tewas seketika!

Wut.. !

Belum sempat Dewa Arak melanjutkan serangannya, Kuntilanak Alam Kubur yang lain membabatkan tongkatnya ke kaki Arya.

"Hih...!"

Dewa Arak melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara. Gucinya diayunkan ke kepala lawan. Gerakannya cepat, sehingga sebelum Kuntilanak Alam Kubur menyadarinya, tiba-tiba....

Wut.! Prak...!
"Aaakh...!"

Terdengar suara berderak keras ketika kepala nenek itu pecah. Seketika itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.

Dewa Arak melentingkan tubuhnya menjauhi arena pertarungan.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah beberapa tombak dari arena pertarungan. Kini perasaannya agak sedikit lega. Dua di antara lawannya sudah berhasil dirobohkan. Tidak lerlalu berat baginya menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur yang tersisa.

Tapi, Dewa Arak terperanjat ketika melihat lawannya masih tetap berjumlah empat orang! Hatinya penasaran. Kepalanya ditolehkan ke arah dua mayat yang berhasil ditewaskannya. Tempat itu kosong! .

"Hm..., ilmu Iblis!" gumam Arya lirih.

"Hik... hik... hik...! Kaget, Dewa Arak! Hik... hik... hik...! Jangan mimpi dapat mengalahkan Kuntilanak Alam Kubur! Hik hik hik...!" ejek nenek itu sambil tertawa mengikik.

Arya sadar, kali ini dia kembali bertemu dengan tokoh berilmu aneh. Semacam ilmu sihir! Tapi, jauh lebih dahsyat lagi. Dewa Arak memang pernah mendengar namanya, ilmu 'Pecah Raga'!

Arya adalah seorang pemuda yang cerdas. Pengalaman demi pengalaman telah mempertajam pikirannya. Ia tahu, meskipun lawannya terlihat empat orang, tetapi sebenar­nya tetap satu. Jadi tiga dari empat orang itu adalah palsu! Dan Kuntilanak Alam Kubur yang palsulah yang tadi ditewaskannya. Itulah sebabnya mereka dapat hidup kembali. Kini satu-satunya jalan adalah merobohkan Kuntilanak Alam Kubur yang asli! Tapi, mana di antara empat orang itu yang asli?

"Hik... hik... hik.! Mengapa termenung di situ, Dewa Arak? Berpikir unruk melarikan diri? Jangan harap! Kau harus mati di tanganku Dewa Arak!"

Gluk... gluk... gluk...!

Dewa Arak kembali menuangkan arak ke dalam mulutnya. Ucapan Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak didengarnya sama sekali.

"Hiyaaa...!"

Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, Dewa Arak melompat menerjang. Entah bagaimana caranya tahu- tahu gucinya telah berada kembali di punggungnya. Kini sepasang tangannya bergerak-gerak aneh menyerang lawannya.

Kali ini dia memang meminum araknya lebih banyak dari biasanya. Jurus 'Belalang Mabuk' kin' menyambar-nyambar dahsyat ke arah empat orang lawannya.

Empat Kuntilanak Alam Kubur itu langsung berpencar. Tapi, Dewa Arak kini berada dalam puncak ilmunya. Secara tak terduga-duga, dihantamnya ulu hati salah seorang Kuntilanak Alam Kubur.

Buk. ! Buk... !
"Aaakh...!"

Kuntilanak Alam Kubur yang sial itu memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh. Nenek itu tewas seketika dengan sekujur tulang tulang dada hancur. Darah mengalir deras dari hidung, mulut dan telinganya.

Dewa Arak rupanya sudah tak sabar lagi ingin cepat- cepat mengakhiri pertarungan. Secepat Kilat kedua tangannya yang tadi dalam bentuk tangan jari-jari belalang, berubah membentuk cakar yang terkembang lebar. Seketika itu pula tangan kanannya dihentakkan ke depan, disusul oleh hentakan tangan kirinya. Inilah Jurus 'Membakar Matahari'. Jurus ini dapat menghasilkan gumpalan api yang dapat menghanguskan apa saja yang terlanda pukulan itu!

Wusss...! Wusss...!

Dua buah gumpalan api menyambar deras ke arah dua orang Kuntilanak Alam Kubur. Serangan Dewa Arak itu begitu cepat dan tiba-tiba. Sehingga seorang di antara mereka tidak bisa mengelak lagi.

"Aaakh...!"

Terdengar pekikan melengking tinggi, ketika api yang menyambar itu langsung mengenal dada salah seorang dari Kuntilanak Alam Kubur. Seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang. Tewas seketika dengan api menyala di atas tubuhnya!

Tapi sebelum Dewa Arak melanjutkan serangannya, salah seorang Kuntilanak Alam Kubur telah lebih dulu menyerangnya. Tongkat di tangan nenek itu menyambar dahsyat ke kepalanya. Arya sempat mengelakkannya, tapi tak urung tongkat itu menghantam bahunya.

Buk... !

"Akh...!" Dewa Arak memekik tertahan. Tubuhnya terbanting keras. Sekujur bahunya dirasakan ngilu bukan main. Seolah-olah tulang-tulangnya remuk.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas ketika melihat lawannya kembali berjumlah empat orang lagi. Pemuda ini hampir putus asa. Sudah lebih dua ratus lima puluh jurus dia bertarung. Tapi sampai saat ini tak juga dapat ditemukan kelemahan ilmu lawannya. Sulit untuk mencari mana di antara mereka yang asli. Sementara malam mulai berganti pagi. Pelahan-lahan sang mentari mulai menampakkan diri.

"Hik... hik... hik...! Silakan kau keluarkan semua ilmumu Dewa Arak!" ejek salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur.

Tiba-tiba sepasang mata Dewa Arak berbinar-binar. Sinar matahari yang mulai menyorot ke bumi membuat semangatnya bangkit. Beta pa tidak? Di antara keempat sosok tubuh itu, hanya ada satu yang mempunyai bayangan!

Otak Dewa Arak yang cerdik segera mengerti. Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai bayangan inilah yang asli. Yang lainnya palsu belaka. Tercipta karena keunikan ilmu 'Pecah Raga'.

Tapi Dewa Arak tidak bertindak bodoh. Pemuda itu berpura-pura tidak tahu. Dikumpulkannya lagi seluruh tenaga dalamnya. Setelah rasa ngilu di tangannya ber- kurang, dia kembali melompat menerjang. Kini Dewa Arak sudah mempunyai sasaran. Tapi, untuk tidak membuat kecurigaan, diterjangnya Kuntilanak Alam Kubur yang palsu. Meskipun begitu, sepasang matanya tidak lepas mengawasi Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai bayangan.

"Hiyaaa..!"

Guci arak yang kini telah berada di tangannya kembali, diayunkannya ke arah kepala salah seorang Kuntilanak Alam Kubur.

Wut.. !

Guci itu lewat di atas kepala ketika si nenek menundukkan kepalanya.

Tapi di saat itulah, secara tidak terduga-duga. Dewa Arak melemparkan gucinya ke arah Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai bayangan.

Wut... !

Guci itu meluncur deras. Karuan saja si nenek terkejut bukan main. Segera dia melompat mengelak. Tapi di saat itulah Dewa Arak sudah menghentakkan kedua tangannya bergantian ke depan. Kedua jari-jari tangannya mengembang lebar membentuk cakar. Inilah jurus 'Membakar Matahari'

Wut.. !

Dua buah gumpalan api menyambar dahsyat ke tubuh Kuntilanak Alam Kubur yang tengah melompat tinggi ke atas. Tidak ada jalan lain bagi nenek itu kecuali menangkisnya.

Tiga orang Kuntilanak Alam Kubur yang lain berusaha membantu. Dua di antaranya berusaha mencegat pukulan itu, tapi gagal. Yang seorang lagi menyerang Arya. Tongkat di tangannya menyambar dahsyat ke kepala Dewa Arak.

Trak!
"Akh...!"

Dewa Arak menjerit keras. Tangan kanannya yang menangkis serangan itu seperti lumpuh rasanya. Tulang- tulangnya terasa remuk. Ngilu bukan main. Tapi di saat lawan hendak menyusulinya dengan serangan maut, terjadi sebuah keanehan. Tubuh yang masih berada di udara itu menggeliat. Kedua tangannya memegangi dada, seperti menderita rasa sakit yang hebat.

Rasa penasaran membuat mata Dewa Arak beredar ber- keliling. Pandangannya tertumbuk pada tubuh Kuntilanak Alam Kubur asli yang tengah menggeliat-geliat di tanah. Sekujur tubuhnya penuh nyala api berkobar. Rupanya pukulan Dewa Arak dalam pemakaian Jurus 'Membakar Matahari', tak mampu ditahannya. Beberapa saat tubuhnya menggelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!

Seiring dengan tewasnya Kuntilanak Alam Kubur asli, tiga orang kembarannya lenyap tanpa bekas.

"Hhh...!" Arya menghela napas. Antara perasaan lelah dan lega. Segera dipungutnya guci miliknya yang tergeletak jauh dari mayat si nenek. Kemudian disampirkannya di punggung.

"Kang Arya ...!"

Suara yang amat dikenalnya berseru memanggilnya. Dewa Arak tersenyum. Dilihatnya Melati tengah berlari cepat ke arahnya.

Arya mengembangkan kedua tangannya, memeluk gadis itu erat-erat.

"Aku khawatir sekali, Kang." ucap Melati. Suaranya tersendat-sendat.

"Nenek itu memang lihai sekali," desis Arya penuh kekaguman "Untung aku berhasil menemukan kelemahan ilmunya. O, ya. Mengapa kau berada di hutan ini, Melati?"

"Kakek yang menyuruhku, Kang. Aku disuruh mengamal- kan ilmu yang kuperoleh darinya. Kau bohong, Kang Arya. Waktu itu, kau bilang ingin datang menjumpaiku," ucap gadis itu merajuk (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").

"Maafkan aku, Melati. Aku belum sempat menemuimu. Kau bisa memakluminya kan?" tanya Arya meminta pengertian gadis itu.

Melati tersenyum manis. Pelahan dianggukkan kepala­nya. "Tak apa, Kang. Toh, sekarang kita sudah bertemu."

"Ehm..., ehm...!"

Suara deheman dua kali menyadarkan kedua muda- mudi itu. Melati teringat bahwa masih ada orang lain di sekitar mereka. Kakek bongkok yang buta dan juga Ki Sancaperta dan para penduduk Desa Bandan. Dengan muka merah, keduanya menoleh.

"Aku ingin meminta pertolongan pada kalian. Boleh?" tanya kakek bongkok itu.

"Pertolongan apa, Kek?" tanya Arya heran.

"Tolong kemarikan mayat istriku." sahut kakek itu pelan. Nada suaranya menyimpan kedukaan yang dalam. Macan putih hampir menerkam Dewa Arak kalau kakek buta itu tidak mencegahnya.

Dewa Arak segera menghampiri mayat nenek yang telah hangus. Diangkatnya, kemudian dihampirinya kakek bongkok itu.

"Bagaimana dengan benda langit ini, Arya? Kau tidak ingin memilikinya?" tanya kakek itu sambil menunjukkan sebuah benda mirip batu berwarna gelap. Besarnya hampir sebesar kepala orang dewasa. Sewaktu Dewa Arak bertarung dengan Kuntilanak Alam Kubur, Melati mengambilnya dan memberikannya pada si kakek.

Dewa Arak memperhatikan benda yang telah menimbulkan malapetaka itu sejenak.

"Sebenarnya, apa sih keistimewaan benda itu, Kek?" tanya Arya ingin tahu.

"Banyak, Arya," jawab kakek bongkok itu. "Benda ini bisa dijadikan senjata pusaka yang ampuh. Bahkan juga dapat digunakan untuk menawarkan segala jenis racun "

"Ah...! Pantas banyak orang yang berniat mendapat- kannya," ucap Arya mulai mengerti.

Kakek bongkok itu hanya tersenyum.

"Bagaimana, kau mau. Arya?"

"Terima kasih, Kek. Aku tidak berminat memilikinya. Biarlah kakek yang menyimpannya," tolak Arya. "Dan Ini mayat istri kakek. Aku mohon maaf atas kejadian ini, Kek," ucap Arya sambil mengangsurkan mayat Kuntilanak Alam Kubur pada kakek bongkok itu.

Kakek bongkok itu mengangsurkan tangan menerima mayat istrinya.

"Lupakanlah, Dewa Arak. Kau tidak bersalah." sahut kakek itu "Mari, Putih!"

Setelah berkata demikian, kakek bongkok itu melangkah pergi meninggalkan Arya, Melati, dan para penduduk Desa Bandan. Tak jauh di belakangnya, macan putih mengikuti dengan langkah pelan.

Dewa Arak, Melati, dan penduduk Desa Bandan memandangi kepergian kakek itu. Baru setelah itu Arya menolehkan kepalanya. Menatap ke arah Ki Sancaperta dan Ki Gayan.

"Kami juga ingin mohon diri, Ki...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sebelum kedua sesepuh Desa Bandan itu menyahut. Dewa Arak segera melesat dari situ sambil menarik tangan Melati. Sesaat kemudian, tubuh muda-mudi perkasa itu lenyap di balik kerimbunan pepohonan.

"Pemuda yang luar biasa...." gumam Ki Sancaperta pelan. "Tanpa bantuannya desa kita tidak akan lepas dari malapetaka."

"Benar," sahut Ki Gayan.

Kemudian, dengan langkah lebar mereka melangkah meninggalkan Hutan Bandan. Hari esok yang cerah telah menanti mereka.

Sementara itu di kejauhan Arya dan Melati tengah bergandengan seraya melangkah pelan. Masih banyak tugas-tugas yang menanti Dewa Arak.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar