50 Pertarungan di Pulau Api
1
"Keparat! Monyet Busuk!
Kadal Buntung!"
Sambil mengeluarkan
makian-makian kotor penuh kemarahan, seorang kakek yang mengenakan pakaian
terbuat dari benang emas, menyeret perahunya ke pinggir pantai. Pakaiannya
tampak kuning berkilauan. Apalagi, saat itu tertimpa sinar matahari pagi.
Dengan masih mengeluarkan
makian, diikatnya perahu itu pada sebuah karang es yang ada di situ. Lalu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dan yang tampak jelas hanya
es!
"Akhirnya berhasil juga
aku sampai di sini. Hhh...! Selamat bertemu denganku, Pulau Es. Mudah-mudahan
aku tidak kedahuluan Raja Monyet Muka Hitam. Kalau tidak, dia akan lebih dulu
mendapatkan pusaka-pusaka Pulau Es,"
gumam kakek berpakaian kuning itu khawatir.
Kakek itu mengayunkan langkah,
setelah sesaat mengawasi keadaan sekitar pulau. Langkahnya tampak hati-hati.
Sepasang matanya yang tajam berkilau dan terkadang mencorong seperti mata
seekor harimau dalam gelap, diedarkan ke sana kemari. Agaknya, kakek berpakaian
kuning itu telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Mendadak....
Blosss! Wusss! "Hei
!"
Kakek berpakaian kuning
berseru kaget ketika tanah ber-es yang diinjaknya amblas. Apalagi ketika dari
rekahan tanah itu menyembur api. Untung dia telah waspada sejak semula.
Sehingga kakek itu dapat menghindar dengan melompat ke belakang untuk
menyelamatkan diri. Api itu menyembur di depannya.
"Gila!" ujar kakek
berpakaian kuning penuh kengerian. Tarikan wajahnya kelihatan menyiratkan
ketegangan. Kejadian itu rupanya telah mengejutkan hatinya.
"Apa aku tidak salah
lihat?!" tanya kakek berpakaian kuning. Sepasang matanya tertuju ke arah
api yang menyembur keluar laksana air mancur!
Untuk beberapa saat, kakek itu
terpaku di tempatnya. Rasa tidak percaya terlihat jelas pada wajah dan sorot
matanya.
"Aneh...," untuk
yang ke sekian kali ucapan tidak percaya keluar dari mulut kakek itu. Bahkan,
kali ini disertai dengan gelengan kepalanya. "Sulit kupercaya tempat ini
mengandung api alam. Luar biasa! Tak masuk akal!" Setelah cukup lama
tenggelam dalam perasaan kagum dan telah mampu menguasai diri, kakek itu
kembali melangkah memasuki pulau.
Langkah kakek itu kelihatan lebih berhati-hati dari sebelumnya. Selangkah demi
selangkah, dia berjalan menjauhi pantai.
Tapi pemandangan yang ditemuinya tetap sama. Tanah yang tertutup es,
gundukan-gundukan es dan bukit-bukit es. Semua es. Di mana-mana es.
"Hm...!”
Kakek berpakaian kuning
menggumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala, ketika melihat dua buah
tiang es setinggi dua tombak. Tiang itu mengapit sebuah jalan sekitar lima tombak di depannya. Dari bentuk
dan keadaannya, agaknya dua buah tiang itu merupakan pintu gerbang. Tanpa
ragu-ragu dan tetap waspada, kakek itu mengayunkan langkah menghampari. Tapi
ketika jarak dirinya dengan kedua tiang es tinggal dua tombak lagi, mendadak
muncul sosok-sosok tubuh berpakaian merah.
Kakek berpakaian kuning tampak
tidak terkejut. Sebab, dia sudah menduga sebelumnya kalau pulau ini
berpenghuni. Dengan tenang, langkahnya terus diayunkan. Demikian pula
sosok-sosok berpakaian merah. Kedua pihak terlihat saling mengawasi dengan
penuh selidik. Dan kakek itu tidak kelihatan kaget melihat ciri- ciri
sosok-sosok berpakaian merah yang berjumlah lima orang itu. Padahal, ciri-ciri
mereka cukup aneh. Kulit mereka
kemerahan!
Begitu jarak antara mereka
tinggal tiga tombak, lima sosok berpakaian merah yang tidak lain para penghuni
Pulau Api, melepaskan lilitan cambuk berduri pada pinggangnya. Jelas, mereka
telah siap bertarung!
Tentu maksud orang-orang
berpakaian merah itu telah diketahui kakek berpakaian kuning. Tapi, dia tidak
kelihatan gentar. Dan dengan tetap tenang kakinya diayunkan seperti tidak
terjadi apa-apa.
Sementara itu, kelima penghuni
Pulau Api sudah menyebar. Dalam waktu singkat, kakek berpakaian kuning telah
terkurung di tengah- tengah. Hingga, terpaksa kakek itu menghentikan
langkahnya. Lalu sepasang matanya yang tajam berkilat merayapi sosok-sosok
tubuh pengeroyoknya. Tampak olehnya, wajah mereka bersih dari bulu. Tidak ada
seorang pun yang berkumis dan berjenggot, apalagi bercambang!
"Siapa kalian? Dan apa
maksud kalian mencegat perjalananku?!" tanya kakek berpakaian kuning tanpa rasa takut
sedikit pun. Dan jawaban pertanyaannya adalah....
Ctar, ctar, ctar!
Bunyi keras menggelegar
terdengar ketika lima orang berpakaian merah melecutkan cambuknya. Dan sebelum
gema bunyi itu lenyap, ujung-ujung cambuk itu telah meluncur ke berbagai bagian
berbahaya di tubuh kakek berpakaian kuning.
"Hih!"
Kakek berpakaian kuning segera
menjejakkan kaki. Dan sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Hingga,
lecutan-lecutan cambuk mengenai tempat kosong di bawah kakinya.
Jliggg!
Mantap dan terlihat gagah
kakek itu mendaratkan kakinya di luar kepungan. Tapi, itu hanya berlangsung
sesaat. Sebentar kemudian, dengan sekari gerak kelima penghuni Pulau Api
berhasil mengurungnya kembali. Kini kakek berpakaian kuning tidak mau bertindak
ceroboh lagi. Cepat dicabutnya senjata andalannya yang selalu terselip di pinggang.
Sebuah suling emas!
Dan secepat itu pula
senjatanya diputar di depan dada. Luar biasa! Terdengar bunyi berirama. Nikmat
didengar telinga. Seakan-akan kakek berpakaian kuning itu meniupnya. Tapi,
kelima orang berpakaian merah tidak mempedulikannya. Kembali mereka melecutkan
cambuk.
Ctar, ctar, ctar!
Kakek berpakaian kuning tidak
segera bertindak. Dengan tenang dibiarkan ujung-ujung cambuk menyambar lebih
dekat. Baru setelah itu, suling di tangannya diputar sedemikian rupa hingga
lenyap bentuknya. Yang terlihat hanya segulungan sinar keemasan yang
mengelilingi sekujur tubuh kakek itu, seperti sebuah benteng yang memancarkan
sinar!
Trak, trak, trak!
Terdengar bunyi benturan keras
berkali-kali ketika suling itu berbenturan dengan ujung lima batang cambuk.
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh kelima penghuni Pulau Api langsung terhuyung-
huyung ke belakang dengan telapak tangan terasa panas dan pedas. Sementara
kakek berpakaian kuning tidak terpengaruh sedikit pun! Tenaga dalam kakek itu
agaknya jauh lebih unggul dari lawan-lawannya.
Hal ini diketahui para
penghuni Pulau Api. Tapi mereka tidak menjadi gentar. Dengan cepat mereka
segera melancarkan serangan-serangan susulan. Bunyi meledak-ledak terdengar
dari lecutan cambuk mereka. Serangan itu langsung mendapat sambutan hangat dari
kakek berpakaian kuning. Tak pelak lagi, pertarungan pun kembali berlangsung.
Sebuah pertarungan yang penuh dengan bunyi riuh rendah.
***
Mengetahui kalau kakek
berpakaian kuning itu bukan lawan yang ringan, maka tanpa ragu- ragu lagi
orang-orang berpakaian merah membentuk penyerangan secara teratur. Dengan
taktik seperti itu, mereka kelihatan seperti menjadi satu! Dengan kata lain,
seperti seorang yang memiliki tangan dan kaki lima pasang!
Dan hasilnya langsung
dirasakan kakek berpakaian kurung! Semula dia bersikap memandang rendah, ketika
dalam segebrakan telah membuat kepungan
mereka berantakan. Tapi sekarang? Hasil seperti itu sulit didapatkannya
kembali.
Memang, kerja sama yang
dilakukan orang- orang berpakaian merah itu sungguh luar biasa! Terkadang
serangan dilakukan secara bersamaan. Tiga di antara mereka
bertindak sebagai penyerang, sedangkah sisanya bertugas memusnahkan serangan
balasan kakek berpakaian kuning
Tapi, tak jarang serangan dilakukan perorangan. Dengan taktik
susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut. Yang lebih hebat, model
serangan perorangan itu berbeda-beda. Seorang melakukan serangan dengan
lucutan, yang lain dengan cambuk menegang kaku, dan sisanya membuat senjata
lemas dan mati itu seperti hidup! Mereka dapat membuat cambuk itu meliuk-liuk
dan mematuk-matuk seperti seekor ular!
Banyaknya model-model
serangan, membuat kakek berpakaian kuning sulit
untuk menentukan lanjutan serangan itu. Selain itu juga banyak menguras
tenaga dan pikiran. Baik serangan secara bersamaan atau perorangan, semua
memaksa kakek berpakaian kuning untuk memusatkan perhatian menghindarinya.
Suling emasnya dikelebatkan ke sana kembari mematahkan setiap serangan, dan
sekaligus melancarkan serangan balasan. Menarik dilihat dan gaduh di telinga,
pertarungan itu berlangsung. Bunyi meledak-ledak dari cambuk, ditingkahi bunyi
melengking nyaring seperti suling ditiup, senantiasa terdengar.
Jurus demi jurus terus
berlalu. Kini pertarungan memasuki jurus kedua puluh. Meskipun demikian, tetap
belum bisa dipastikan pihak mana yang akan keluar sebagai pemenang. Sebab,
pertarungan masih berlangsung sengit.
Rupanya, kenyataan ini membuat
kakek berpakaian kuning murka! Betapa tidak? Tenaga dan ilmu meringankan
tubuhnya berada jauh di atas lawan-lawannya. Tapi, kenyataannya dirinya sulit
untuk merobohkan mereka. Dan semua itu disebabkan oleh kerja sama yang baik
dari lawan- lawannya.
Hingga begitu pertarungan
memasuki jurus kedua puluh lima, namun tetap saja belum mampu menguasai
keadaan, kakek berpakaian kuning kehilangan kesabaran. Maka diputuskannya untuk
menggunakan cara lain. Padahal, semula dia tidak bermaksud untuk
mengeluarkannya. Sebab, tingkat
kemampuan lawan-lawannya berada jauh dibawahnya. "Hih!"
Kakek itu melempar tubuhnya ke
belakang dan bersalto beberapa kali. Tampaknya kakek itu hendak menjauhkan diri
dari lawan-lawannya. Melihat hal itu, lima orang penghuni Pulau Api tidak
tinggal diam. Mereka tahu, hanya ada dua kemungkinan yang menyebabkan lawan
menjauhkan diri. Pertama, melarikan diri. Dan kedua, hendak menggunakan ilmu
andalan! Kedua-duanya tidak dikehendaki mereka. Maka, pengejaran pun langsung
dilakukan! Jangankan melarikan diri,
memperbaiki kedudukan pun tidak akan mereka biarkan!
Tapi karena kakek berpakaian kuning
memiliki ilmu meringankan tubuh jauh di atas orang-orang berpakaian merah, maka
dia berhasil menjauhkan diri dari lawan-lawannya.
Jliggg!
Ringan tanpa suara kakek itu
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Kemudian segera menempelkan sulingnya di
mulut. Ujung jari-jari tangannya ditutupkan ke lubang-lubang yang terdapat pada
badan suling. Terdengar bunyi melengking ketika kakek berpakaian kuning
meniupnya. Sedang pada saat itu, lima orang penghuni Pulau Api tengah meluruk
ke arah kakek itu.
Semula suara suling memang
cukup nikmat didengar. Tapi sekejap kemudian nadanya berubah tinggi. Melengking
nyaring. Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya benar- benar menakjubkan!
Lima penghuni Pulau Api yang tengah meluruk ke arahnya langsung mengurungkan
maksud mereka. Betapa tidak? Bunyi tiupan suling kakek berpakaian kuning terasa
sakit di telinga dan dada kelima orang itu. Semakin lama bunyi suling semakin
tinggi dan tidak enak didengar telinga! Dan semakin lama, guncangan pada dada
dan rasa sakit yang melanda telinga
makin menjadi-jadi.
Akibatnya, kelima penghuni
Pulau Api tidak bisa melanjutkan perlawanan lagi. Mereka segera duduk bersila,
mengambil sikap semadi. Punggung
diluruskan dan kedua tangan dipertemukan di depan dada. Tampaknya kelima orang
itu berusaha melawan pengaruh suara
suling dengan pengerahan tenaga dalam. Dengan sendirinya bentuk pertarungan
berubah. Dan kelihatan tidak menarik lagi. Satu pihak berdiri sambil meniup
suling, dan lawannya duduk bersila. Kedua belah pihak sibuk dengan urusan
masing-masing dalam jarak satu tombak!
Di awal-awal pertarungan yang
menitikberatkan pada kekuatan tenaga dalam itu, belum dapat dipastikan pihak
mana yang akan menang. Tapi sebentar kemudian tanda-tanda keunggulan mulai
terlihat!
Wajah lima orang penghuni
Pulau Api tampak
semakin memerah. Bahkan dari atas kepala mereka mengepul uap
putih. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin banyak dan tebal. Mereka
mengeluarkan tenaga dalam di luar batas kemampuan mereka. Tidak hanya itu saja yang
terjadi. Dari kedua telinga dan lubang hidung orang-orang berpakaian merah
mengalir darah segar. Jelas, mereka telah terluka dalam! Darah yang keluar
tampak semakin banyak dan deras. Hingga dapat dipastikan robohnya mereka
tinggal menunggu waktu saja. Dan dugaan itu memang tidak salah! Sesaat
kemudian....
"Akh!"
Jeritan menyayat hati keluar
dari mulut salah seorang penghuni Pulau Api. Tubuh orang itu mengejang sesaat.
Kemudian terkulai lemas! Orang itu tewas dalam keadaan masih duduk bersila.
Belum lagi gema teriakan orang malang itu lenyap, jeritan menyayat lainnya
segera menyusul. Berturut-turut empat orang berpakaian merah mengalami hasil
yang sama.
"Ha ha ha !"
Kakek berpakaian kuning
tertawa terbahak- bahak melihat lawan-lawannya terkulai tanpa nyawa. Masih dengan
tawa yang belum putus, diselipkannya suling itu di pinggang. "Itulah
ganjaran bagi orang yang berani menentang Raja Iblis Baju Emas! Ha ha ha
!"
Setelah menatap mayat kelima
lawannya sesaat, kakek berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju
Emas, mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya yang sempat tertunda. Tapi
belum jauh ia melangkah, tiba-tiba kakek itu menyelinap ke celah-celah dinding
tebing yang ada di dekatnya. Rupanya, kakek itu mendengar ada suara orang
berbincang- bincang.
"Bodoh! Tolol! Mengapa
kalian bisa gagal mendapatkan
pusaka-pusaka itu?! Sia-sia saja aku
bersusah payah memancing Sangga Buana keluar dari sarangnya!"
Terdengar jelas oleh Raja
Iblis Baju Emas ucapan bernada kemarahan itu. Kepalanya dikeluarkan sedikit
dari tempat persembunyiannya untuk melihat pemilik suara itu. Tampak tiga sosok
berpakaian nerah tengah melangkah tergesa-gesa. Dua di antara mereka mengenakan
sabuk lebar merah menyala. Sedangkan yang seorang lagi, di samping mengenakan
sabuk juga ikat kepala. Dan berwarna merah pula.
"Maafkan kami,
Ketua," jawab salah seorang yang pinggangnya dililit sabuk. "Kalau
tidak terjadi hal-hal di luar dugaan itu, kami mungkin sudah membawa
pusaka-pusaka itu ke hadapan Ketua."
"Benar, Ketua. Sekelompok
orang berpakaian hitam yang dipimpin seorang kakek berwajah hitam dan mirip
monyet tiba-tiba datang," sambung
temannya. "Di samping jumlah mereka banyak, kakek berwajah hitam itu hebat
bukan main. Padahal, saat itu kami tengah direpotkan oleh orang-orang Pulau Es
"
"Singkatnya, kalian gagal
mendapatkan pusaka-pusaka itu kan?" potong kakek berikat kepala merah,
yang ternyata pimpinan orang- orang berpakaian merah.
"Benar, Ketua.
Pusaka-pusaka itu dilarikan orang berwajah monyet itu," jelas dua lelaki berikat pinggang
lebar sambil menundukkan kepala. Tampak jelas kalau mereka merasa bersalah.
"Hhh...!" kakek
berwajah kelimis itu, menghela napas berat "Sia-sia saja aku susah-payah
memancing Sangga Buana meninggalkan istananya."
Ada nada kekecewaan yang sangat
dalam suara pimpinan orang-orang berpakaian
merah itu. Ucapan itu tidak mendapatkan
tanggapan dari dua orang berikat pinggang merah. Mereka hanya
menundukkan kepala.
Sementara, di tempat
persembunyiannya Raja Iblis Baju Emas kelihatan terperanjat. Meskipun hanya itu
pembicaraan yang tertangkap telinganya, karena ketiga orang itu telah semakin
jauh meninggalkannya, tapi kakek itu sudah mengerti. Banyak keterangan yang
didapatkannya dari pembicaraan tiga orang berpakaian merah itu.
Dan kesimpulan yang berhasil
ditarik dari pembicaraan itu membuatnya terperanjat! Betapa tidak? Ternyata
tempat yang didatanginya ini bukan Pulau Es! Sungguh kenyataan yang mengagetkan
hati!
Kejutan yang kedua adalah
pusaka-pusaka Pulau Es telah dicuri orang! Dan semua itu mencapai puncaknya
ketika mendengar ciri-ciri orang yang berhasil membawa lari pusaka-pusaka itu.
Meskipun hanya mendengar ciri-cirinya, tapi kakek itu langsung bisa menebak
siapa orang itu. Ya! Raja Monyet Muka Hitam.
Keparat! Tak kusangka Raja
Monyet Muka Hitam berhasil mendahuluiku..., ucap Raja Iblis Baju Emas
dalam hati. Kecil sekali kemungkinannya
aku berhasil merebutnya kembali. Meskipun demikian, apa pun yang terjadi aku
harus berusaha merebutnya. Rupanya, dia dan gerombolannya masih di Pulau Es. Tunggulah, Raja Monyet! Aku akan
datang dan merebut pusaka-pusaka itu!
Setelah mengambil keputusan
seperti itu, Raja Iblis Baju Emas bermaksud kembali ke perahunya.
Tapi....
Ah! Aku lupa menyembunyikan
mayat kelima orang tadi. Tiga orang itu pasti akan melihatnya. Dan mereka akan
tahu kalau ada orang yang telah
menyelundup kemari. Lebih baik aku bersembunyi dulu, ucap Raja Iblis Baju Emas
dalam hati. Dan kakek itu memang tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Karena
sesaat kemudian, dari kejauhan terdengar suara pekikan keras penuh kemarahan.
Pekikan keras yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, keluar dari mulut Pemimpin Pulau Api. Dan
penyebabnya adalah mayat kelima orang anak buahnya.
"Keparat! Jahanam! Orang
gila dari mana yang telah melakukan semua ini?! Dia akan mendapatkan
balasannya! Bonggol! Sangora! Cari orang gila itu! Dan cincang sampai hancur tubuhnya bila ketemu! Aku yakin dia masih berada di sini!
Lihat, perahunya masih ada!" perintah Pemimpin Pulau Api pada dua lelaki
berikat pinggang merah.
"Baik, Ketua!" jawab
dua orang berikat pinggang merah yang ternyata bernama Bonggol dan Sangora.
"Aku pergi lebih dulu,
Bonggol! Kau urus orang gila yang berani mati memasuki tempat kita dan
melakukan penghinaan ini. Jangan lupa, perintahkan beberapa orang pilihan untuk
menyusulku ke Pulau Es. Barangkali saja tenaga mereka cukup berguna untuk
menghadapi cecoro- cecoro pencuri pusaka itu. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Ketua.
Perintahmu akan segera kami laksanakan," jawab Bonggol, yang mempunyai
bibir tebal.
"Bagus! Sekarang aku
pergi!" Lalu tanpa menoleh lagi, Pemimpin Pulau Api menghanyutkan perahu
miliknya ke laut. Sesaat kemudian, perahu itu meluncur cepat membelah permukaan
air. Sebab, kakek bertompel itu
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengayuh dayung. Bonggol dan Sangora
mengawasi hingga perahu pimpinan mereka lenyap. Setelah itu, baru mereka
mengalihkan perhatian ke sekitar tempat itu. Keduanya sibuk mengira-ngira di
mana pembunuh kawan-kawan mereka berada?
"Kita harus berhati-hati,
Sangora," beritahu Bonggol. "Aku yakin orang gila itu memiliki kepandaian tinggi.
Kau lihat mayat lima rekan kita, bukan?"
'Tak perlu mengajariku,
Bonggol!" sergah Sangora tidak senang. "Tanpa kau beritahu pun aku sudah
tahu. Kematian rekan-rekan kita telah membuktikan kekuatan tenaga dalam orang
itu! Tapi, harus kau ingat' Kita tidak sama dengan kelima orang itu!
Paham?!"
Tanggapan yang diberikan
Bonggol hanya dengusan. Entah apa
maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu!
*** 2
Tentu saja Sangora mengetahui
tindakan rekannya. Tapi dia bersikap tidak peduli. Pandangannya dilayangkan ke
sekitar tempat itu. Demikian pula dengan Bonggol.
Namun, seketika itu pula
keduanya tersentak kaget Bahkan tanpa sadar melangkah mundur. Sekitar delapan
tombak di hadapan mereka tampak berdiri seorang kakek berpakaian kuning! Dengan
tenang, kakek yang tidak lain Raja Iblis Baju Emas melangkah menuju ke arah
mereka.
"Keparat!"
Makian marah itu keluar dari
mulut Bonggol. Memang sudah sejak tadi, laki-laki berbibir tebal itu merasa
geram bukan main pada orang yang telah membunuh rekan-rekannya.
"Bangsat!" Sangora
tak mau ketinggalan mengumbar kemarahan. "Kaukah yang telah melakukan
semua ini, Kadal Buntung?!"
"Tidak salah!" jawab
Raja Iblis Baju Emas lantang, tanpa menghentikan langkahnya.
Sikap kakek berpakaian kuning
itu tampaknya demikian tenang. Bahkan juga terkesan meremehkan. Hingga Bonggol
dan Sangora semakin kalap. Seperti kakek-kakek kebakaran jenggot.
"Kalau begitu, kau harus
menebusnya dengan
nyawa busukmu!
Hiyaaat..!" Tanpa menunggu Raja Iblis Baju Emas berada lebih dekat lagi,
Bonggol melompat menerkam. Tindakannya mengingatkan orang pada seekor harimau
yang menerkam mangsanya.
Raja Iblis Baju Emas tetap
bersikap tenang, meskipun bahaya maut tengah mengancamnya. Ditunggunya hingga
serangan itu dekat Lalu, kakek itu melakukan lompatan harimau ke kanan. Dan dengan bertumpu pada kedua
tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya memang tidak sia-sia. Serangan Bonggol
mengenai tempat kosong.
Tapi sebelum Raja Iblis Baju
Emas sempat bangkit Sangora telah meluruk ke arahnya. Lalu....
Srattt!
Sinar terang memancar ketika golok besar yang tergantung
di pinggang dicabutnya. Dan secepat itu pula diayunkan ke arah leher Raja Iblis Baju Emas. Agaknya, Sangora
bermaksud memisahkan kepala kakek berpakaian kuning itu dari tubuhnya.
Raja Iblis Baju Emas terkejut
bukan main menerima serangan mendadak itu Apalagi, saat itu dia berada pada
kedudukan yang tak menguntungkan. Meskipun demikian, kakek itu masih mampu
menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang datuk kaum sesat Dengan kecepatan
gerak yang sulit diikuti mata, tangannya bergerak ke arah pinggang. Trakkk!
Terdengar bunyi berdetak keras
ketika Raja Iblis Baju Emas menggerakkan tangan memapaki babatan golok besar
Sangora. Akibatnya, tubuh Sangora terhuyung ke belakang.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Raja Iblis Baju Emas. Tubuhnya
dilentingkan, dan berputaran beberapa kali. Lalu mendarat mantap dengan sikap
waspada. Tangan kanannya yang menyilang
di depan dada menggenggam sebatang suling.
Rupanya, suling itulah
yang dipergunakan Raja Iblis Baju Emas
untuk memapaki babatan golok Sangora. Senjata andalannya itu diambil dari
selipan ikat pinggangnya.
Kakek berpakaian kuning itu
tidak perlu menunggu lama. Dengan diiringi teriakan menggeledek yang membuat
tempat itu bergetar hebat, Bonggol kembali melancarkan serangan. Kali ini
lelaki itu tidak bertangan kosong lagi. Tangan kanannya menggenggam sebatang golok
besar.
Wungngng!
Bunyi mengaung keras seperti
segerombolan lebah tengah murka terdengar, ketika Bonggol memutar senjatanya di
atas kepala. Kemudian dengan kecepatan menakjubkan, lelaki itu mengayunkan
goloknya mendatar ke arah batang leher Raja Iblis Baju Emas. Belum juga
serangan itu tiba, serangan Sangora telah meluncur. Sangora melompat tinggi ke
atas. Dan saat tubuhnya berada tepat di atas Raja Iblis Baju Emas, ia menukik
turun dengan ujung golok mengarah ke kepala bagian atas kakek itu! Menggiriskan
sekali bentuk serangannya.
Lagi-lagi Raja Iblis Baju Emas
mempertunjukkan sikap tenangnya.
Meskipun dua serangan dahsyat berbau maut tengah meluncur ke arahnya, kakek itu
tidak kelihatan gugup. Otaknya berputar untuk memusnahkan kedua serangan lawan
dengan cara yang paling menguntungkan. Dan hanya dalam sekejap, kakek
berpakaian kuning telah mendapatkannya. Raja Iblis Baju Emas menarik mundur
kaki kanannya sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Dan mengayunkan
sulingnya ke atas memapaki luncuran golok lawan!
Wurtt! Wusss! Trakkk!
Rentetan kejadian itu
berlangsung dalam waktu sangat singkat Babatan golok Bonggol menyambar lewat
beberapa jari di depannya, hampir bersamaan dengan berbenturannya suling Raja
Iblis Baju Emas dengan golok Sangora! Kedua serangan penghuni Pulau Api itu
berhasil dikandaskan Raja Iblis Baju Emas!
Tapi pertarungan tidak
berhenti sampai di sini. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, Bonggol
segera melancarkan serangan susulan dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah
dada kakek itu. Sementara Sangora terpental ke atas akibat tangkisan suling
Raja Iblis Baju Emas. Dengan sebuah gerakan manis, Sangora bersalto. Kemudian
sambil berputar, goloknya dibabatkan ke kuduk kakek berpakaian kuning itu.
Cepat dan mendadak datangnya
kedua
serangan itu. Tapi, Raja Iblis
Baju Emas mampu bergerak lebih cepat lagi. Sebab, kakek itu telah
memperhitungkan akan mendapat serangan susulan. Tendangan Bonggol dipapaki
dengan tendangan kaki kanannya pula. Itu dilakukannya dengan memutar
tubuh sambil merendahkan diri.
Wusss! Blakkk!
Untuk yang kedua kalinya,
babatan golok Sangora mengenai tempat kosong! Dan dengan selisih waktu yang
amat singkat terdengar benturan keras kaki Raja Iblis Baju Emas dengan kaki
Bonggol.
Akhirnya memang cukup menakjubkan. Tubuh Bonggol langsung terdorong
ke belakang. Rasa sakit yang sangat mendera kakinya. Demikian pula Raja Iblis
Baju Emas. Hanya jarak dorong kakek berpakaian kuning itu lebih dekat, dan
tidak menderita sakit. Dari sini bisa diketahui kalau kekuatan tenaga
dalam Raja Iblis Baju Emas berada di
atas lawan. Meskipun demikian, baik Bonggol
maupun Raja Iblis Baju Emas berhasil mematahkan kekuatan daya dorong
tubuh mereka. Sesaat kemudian, pertarungan sengit kembali berlangsung!
Raja Iblis Baju Emas tampaknya
harus menguras seluruh kepandaiannya jika ingin selamat. Lawan-lawannya
ternyata bukan orang sembarangan. Kalau dilihat secara perorangan, Bonggol dan
Sangora memang memiliki kemampuan di bawahnya.
Baik dalam ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam. Tapi karena
orang-orang Pulau Api itu menghadapinya secara bersama-sama, maka tak urung
Raja Iblis Baju Emas kerepotan menghadapinya. Tambahan lagi selisih kepandaian
dirinya dengan mereka tidak terlalu jauh.
Akibatnya sudah dapat diduga.
Pertarungan berlangsung sengit dan menggiriskan hati. Betapa tidak? Bunyi
mengaung, mendesing, menderu dan bunyi seperti suling ditiup, selalu terdengar
setiap kali kedua belah pihak melancarkan serangan.
***
Jurus demi jurus berlalu
cepat. Hal itu tidak aneh. Sebab, kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan
cepat Hingga dalam waktu singkat lima
puluh jurus telah berlalu. Dan selama
itu kedudukan masih berimbang. Masing- masing pihak silih berganti melancarkan
serangan. Raja Iblis Baju Emas menggertakkan gigi karena penasaran bercampur
geram. Dirinya adalah seorang datuk kaum sesat yang telah ratusan kali
bertarung, dengan selalu keluar sebagai pemenang. Tapi kali ini, sampai
demikian lamanya belum mampu mendesak lawan. Kenyataan ini benar-benar memukul
hatinya! Kalau menghadapi dua orang ini saja dia tidak mampu menang, bagaimana
bisa keluar dari pulau ini dengan
selamat? Sebab, di pulau ini masih banyak orang-orang berbaju
merah lainnya.
Rasa penasaran itu membuat
Raja Iblis Baju Emas semakin meningkatkan serangan. Hingga serangan-serangan
yang dilancarkannya pun semakin dahsyat! Meskipun demikian, hasil yang dicapai
tetap sama. Kakek itu belum juga mampu mendesak lawan-lawannya. Sejujurnya
kakek berpakaian kuning ini harus mengakui kalau kedua lawannya memang
orang-orang yang tangguh.
Hal yang menyulitkan Raja
Iblis Baju Emas untuk merobohkan Sangora dan Bonggol adalah kemampuan kedua
orang itu untuk bekerja sama. Dua orang Pulau Api itu mampu saling bantu.
Mereka saling mengisi dalam penyerangan maupun pertahanan. Dalam kerja
sama itu, Sangora dan Bonggol seperti
dua orang yang dikendalikan oleh satu
otak. Hingga Raja Iblis Baju Emas mengalami kesulitan untuk merobohkan
mereka.
Meskipun demikian, bukan
berarti dua orang Pulau Api itu dapat dengan mudah merobohkan Raja Iblis Baju
Emas. Sama sekali tidak! Kakek itu terlalu tangguh untuk dapat dikalahkan dengan mudah! Itulah
sebabnya pertarungan berlangsung sengit dan menarik
Karena terlau memusatkan
perhatian pada pertarungan, kedua belah pihak tampak tidak sadar kalau
pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula. Yang ada di benak mereka
adalah menyelesaikan pertarungan sedapat mungkin. Tidak hanya senjata di tangan
saja yang dipergunakan, pukulan-pukulan jarak jauh pun dikeluarkan.
"Hih!"
Pada jurus kesembilan puluh
tiga, di saat memperoleh sebuah kesempatan, Raja Iblis Baju Emas melepaskan
pukulan jarak jauh. Tidak hanya sekali,
tapi berkali-kali. Dan sasaran yang dituju tidak hanya Sangora. Bonggol pun
dikirimkan pula.
Tapi seperti juga kejadian
sebelumnya, dua penghuni Pulau Api itu mampu menunjukkan kalau mereka bukan
orang-orang yang dapat dengan mudah dipecundangi! Tanpa menemui kesulitan,
Sangora dan Bonggol berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Hingga pukulan
jarak jauh kakek itu menghantam sasaran yang tidak diharapkan, tanah!
Blarrr! Wusss!
Batu-batu es berpentalan ke
sana kemari terhantam pukulan jarak jauh Raja Iblis Baju Emas. Dan kejadian
selanjutnya benar-benar tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari dalam lubang
yang terbentuk akibat serangan nyasar itu, memancarkan api! Dan tidak hanya
satu, sebab lubang yang terbentuk lebih dari itu.
Seketika itu pula pertarungan
terhenti. Kedua belah pihak sama-sama terkejut. Pandangan mata mereka tertuju
ke arah api yang menyembur tinggi ke udara. Tapi kelakuan mereka tidak
berlangsung lama. Ketiganya segera tersadar, dan melanjutkan pertarungan lagi.
Suasana hiruk-pikuk kembali
menyemarakkan kancah pertarungan. Tapi, kali ini kedua belah pihak tidak bisa
bertarung seperti sebelumnya. Dari kejauhan tampak menghampiri tujuh sosok
berpakaian merah. Rupanya kegaduhan itu telah sampai ke telinga mereka.
Dalam beberapa kali lesatan,
tujuh sosok berpakaian merah itu telah berada dalam jarah sepuluh tombak dari
kancah pertarungan. Mereka tidak berani bergerak lebih dekat lagi, takut
terkena serangan nyasar. Kedatangan tujuh sosok berpakaian merah itu agaknya
diketahui pihak- pihak yang telah bertarung. Tapi mereka tidak peduli, dan
terus memusatkan perhatian pada lawan masing-masing.
Ketujuh sosok berpakaian merah
itu berkulit kemerahan. Wajah mereka kelimis. Tapi ada ciri- ciri khusus yang
memisahkan mereka menjadi dua kelompok kecil! Empat di antara mereka, paha
kanannya terbelit kain merah. Sedangkan sisanya kedua paha mereka dilibat kain
merah.
Ciri-ciri itu tidak luput dari
pandangan Raja Iblis Baju Emas. Seketika
itu pula, sebagai seorang datuk yang telah luas pengalamannya, dia langsung tahu kalau
keberadaan kain merah itu mempunyai arti tersendiri. Dengan kata lain, letak
kain merah itu menjadi tanda tingkatan orang yang bersangkutan. Tapi
hanya sebentar saja, Raja Iblis Baju Emas membiarkan pikirannya mengembara ke
arah itu. Selanjutnya, ia memusatkan seluruh perhatiannya pada pertarungan yang
dihadapinya.
Tak terasa lima puluh jurus
telah berlalu. Dengan demikian, kedua belah pihak telah bertarung hampir
seratus lima puluh jurus. Dan selama itu belum tampak ada tanda-tanda pihak
yang akan keluar sebagai pemenang. Bahkan, tanda-tanda yang akan terdesak pun
belum terlihat
Melihat kenyataan ini, Bonggol
dan Sangora sadar kalau tidak ada perubahan pertarungan akan sulit berakhir.
Dan andaikata berakhir pun akan membutuhkan waktu yang lama., Sedangkan saat
itu mereka masih mempunyai urusan lain.
Pemimpin Pulau Api tadi menyuruh mereka untuk segera menyusul bila Raja Iblis
Baju Emas sudah berhasil diringkus! Bukan tidak mungkin saat ini ketua mereka
tengah menunggu-nunggu.
Pikiran itu membuat
Sangora memutuskan untuk secepatnya
melakukan perubahan. Bagaimana caranya tidak menjadi soal. Yang penting, Raja Iblis Baju Emas
harus secepatnya diringkus. Setelah mantap dengan keputusan itu, Sangora.
melempar tubuhnya ke belakang menjauhi kancah pertarungan. Tubuhnya berputaran
beberapa kali di udara.
Jliggg!
Ringan laksana daun kering,
Sangora mendarat di tanah. Mantap, tak goyah sedikit pun. Lalu tanpa menunggu
lebih lama, kepalanya ditolehkan ke arah tujuh orang rekannya.
"Apa lagi yang kalian
tunggu?! Cepat bantu kami meringkusnya! Dia telah membunuh lima orang rekan
kita!" seru Sangora dengan mengerahkan tenaga dalam, hingga suaranya
terdengar menggeledek.
Usai berkata demikian, Sangora
kembali melesat memasuki kancah pertarungan. Sebab begitu dia menjauh, Bonggol
langsung kewalahan. Kawannya itu terus-menerus bergerak mundur menghadapi
cecaran serangan Raja Iblis Baju Emas. "Haaat..!"
Diiringi teriakan menggeledek,
Sangora menyeruak ke dalam arena pertempuran. Begitu tiba, serangan dahsyat dan
bertubi-tubi langsung dikirimnya ke arah Raja Iblis Baju Emas. Mau tidak mau
kakek berpakaian kuning itu mengendurkan desakannya pada Bonggol, kalau tidak
ingin celaka tersambar golok besar Sangora.
Kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Bonggol untuk
memperbaiki kedudukan. Sesaat kemudian, lelaki itu telah dapat membantu Sangora. Hingga, Raja Iblis
Baju Emas harus kembali berjuang keras menghadapi kerjasama kedua orang itu.
Tapi, tidak hanya mereka saja yang harus di hadapi. Ketujuh orang Pulau Api
yang tadi hanya sebagai penonton, kini ikut bertarung.
Begitu ketujuh orang itu
memasuki arena pertempuran, keadaan
langsung berubah total Raja Iblis Baju Emas segera terdesak. Hanya dalam
beberapa gebrakan, kakek itu dibuat pontang-panting ke sana kemari untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Sekarang kakek itu hanya mampu bermain mundur.
Memang tidak tanggung-tanggung
pertolongan yang diterima Sangora dan Bonggol. Ketujuh orang itu, seperti juga
Sangora dan Bonggol, ternyata juga mampu
bekerjasama. Mereka memecah menjadi dua kelompok. Yang satu beranggotakan empat
orang, sedangkan sisanya tiga. Masing-masing kelompok ini menggunakan kerjasama
yang berlainan dengan kelompok lainnya. Meskipun demikian, antara kelompok itu
bisa saling bantu dan isi.
Itu yang menyebabkan Raja
Iblis Baju Emas tidak berdaya dalam beberapa gebrakan saja. Kakek itu bingung. Ia harus menghadapi
keroyokan tiga kelompok yang menggunakan kerjasama berbeda. Dirasakan betapa
berat gelombang serangan mereka.
Susul-menyusul, dan berat laksana hantaman gelombang laut.
Sebagai datuk yang telah berpengalaman
luas, Raja Iblis Baju Emas tahu kalau
keadaan itu tidak menguntungkan dirinya. Kalau dia memaksakan diri terus
mengadakan perlawanan, sudah dapat dipastikan nyawanya akan melayang Padahal,
saat ini Raja Iblis Baju Emas belum ingin mati. Jalan satu-satunya agar tetap
hidup adalah melarikan diri!
Saat itu, keadaan Raja Iblis
Baju Emas memang amat mengkhawatirkan. Betapa tidak? Serangan-serangan yang
datang terlalu bertubi- tubi. Belum juga serangan yang satu diatasi, serangan lainnya datang menyusul. Demikian
seterusnya. Hingga, kakek berpakaian kuning itu tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Dia telah
disibukkan dengan mengelak dan menangkis serangan yang tidak kunjung habis.
Jadi, bukan tindakan keliru kalau Raja Iblis Baju Emas memutuskan untuk
meninggalkan kancah pertarungan. Sambil terus mengelak dan menangkis serangan
lawan, otaknya berputar keras mencari kesempatan untk melarikan diri. Raja
Iblis Baju Emas tidak mau bertindak sembarangan. Dengan sabar, ditunggunya kesempatan untuk kabur sebab dia
tahu kalau sekali usahanya gagal, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan
kesempatan kedua, karena lawan akan lebih waspada.
Akhirnya, kesempatan yang
ditunggu-tunggu Raja Iblis Baju Emas datang juga. Dengan sebuah hentakan
tubuhnya melambung ke udara. Dan sambil bersalto beberapa kali, suling, tangan,
dan kedua kakinya dipergunakan untuk mengirimkan serangan-serangan yang dapat
menghambat lawan.
"Hei!"
Sangora dan Bonggol yang baru
menyadari maksud lawannya menjerit kaget. Tapi semua sudah terlambat.
Karena....
Jliggg!
Dengan susah payah, akhirnya
Raja Iblis Baju Emas berhasil keluar dari kepungan. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, kakek itu melesat meninggalkan tempat itu. Karena untuk menuju pantai tak
dapat dilakukan, sebab lawan- lawannya menghalangi, terpaksa kakek berpakaian
kuning itu melesat masuk ke dalam pulau.
"Kejar dia! Jangan sampai
lolos!" seru Sangora dan Bonggol bersamaan, sambil melesat mengejar.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, tujuh rekannya segera ikut mengejar. Kejar-kejaran pun tidak dapat
dielakkan lagi. Tapi, mana mampu orang-orang Pulau Api itu mengejar Raja Iblis
Baju Emas. Kakek itu memiliki kecepatan lari yang berada jauh di aras mereka.
Hingga, tidak heran jika jarak antara mereka semakin jauh.
Meskipun demikian, para
penghuni Pulau Api itu tidak berputus asa. Mereka terus melakukan pengejaran.
Sangora dan Bonggol berada paling depan. Disusul kelompok yang berjumlah tiga
orang. Sedangkan kelompok yang berjumlah empat, berada paling belakang. Mereka
memang memiliki kemampuan paling rendah.
Sangora dan Bonggol tampak
penasaran bukan main. Sudah berturut-turut mereka bertemu dengan tokoh yang
tidak dapat mereka kalahkan. Pertama, Raja Monyet Muka Hitam. Dan yang kedua,
Raja Iblis Baju Emas! Bahkan sewaktu menghadapi Raja Monyet Muka Hitam, yang
datang bersama rombongannya, beberapa anak buahnya tewas. Padahal, saat itu
lima orang rekannya telah datang membantu setelah mendapat panggilan darinya.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Geger.
Pulau Es').
*** 3
Dengan agak tergesa-gesa, dua
sosok berpakaian putih dan ungu mengayunkan langkah. Yang berpakaian ungu
seorang pemuda tampan berambut putih keperakan. Sebuah guci arak terbuat dari
perak mengganduli punggungnya. Sedangkan yang seorang lagi seorang wanita
berpakaian putih. Wajahnya cantik jelita. Apalagi, dengan rambut yang dibiarkan
tergerai lepas.
Sekarang sudah dapat diduga,
siapa pasangan muda berwajah elok itu. Ya! Mereka adalah Arya, yang lebih dikenal
dengan julukan Dewa Arak. Sedangkan gadis cantik itu Melati. Saat ini, Dewa
Arak dan Melati tengah terburu-buru menuju pantai! (Untuk jelasnya, silakan
baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Geger Pulau Es').
"Mengapa harus menuju
pantai, Kang?" tanya Melati, memecah keheningan. "Kau yakin mereka
telah meninggalkan pulau ini?"
Arya langsung menghentikan
langkah. Hingga Melati jadi ikut-ikutan
menghentikan langkahnya. Kemudian gadis itu membalas tatapan Arya.
"Sebenarnya, aku sendiri
tidak yakin orang- orang itu telah meninggalkan pulau Tapi demi keamanan,
kuputuskan untuk melihat pantai lebih
dulu. Siapa tahu mereka tengah berkemas- kemas untuk meninggalkan tempat
ini?" sahut Arya mengemukakan alasannya.
'Tapi..., cara itu membutuhkan
waktu yang lama dan terlalu membuang tenaga, Kang! Apakah kita harus
mengelilingi pulau yang tidak kecil ini untuk membuktikan kebenaran
dugaanmu?"
"Jangan khawatir, Melati.
Hal itu telah aku pikirkan. Kita tidak perlu mengelilingi pulau ini. Kita hanya
menuju pantai yang dekat dari sini. Itu pun hanya untuk memastikan saja. Bila
perahu mereka tidak kita temukan, maka
kita akan pergi ke Pulau Api untuk meminta pertanggungjawaban atas semua yang
terjadi di Pulau Es ini!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut
Arya.
Melati langsung diam, tidak
membantah lagi. Gadis itu mendengar ada tekanan yang tidak ingin dibantah lagi dalam ucapan
kekasihnya. Walaupun belum melihat ada kebenaran di dalamnya, Melati tidak
memberikan bantahan. Dan karena Arya tidak berkata-kata lagi, suasana pun
menjadi hening. Tapi keadaan itu hanya berlangsung beberapa saat. Karena....
"Kakang! Mengapa kita
demikian pelupa?!" tanya Melati kaget, setengah mengingatkan. "Apa
maksudmu, Melati? Aku tidak mengerti?!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan
rasa heran dan ingin tahunya.
Ucapan Melari yang tiba-tiba,
dan sikap gadis itu yang demikian bersungguh-sungguh, membuat hari Arya agak
berdebar. Apa gerangan yang dimaksudkan Melati?
"Akh! Kiranya kau benar-benar telah lupa,
Kang! Luar biasa!"
'Tidak usah berteka-teki,
Melati. Cepat katakan maksudmu," desak Arya, tidak sabar melihat tanggapan
kekasihnya.
"Baiklah, Kang,"
Melati terpaksa mengalah. "Sungguh tidak kusangka kau bisa lupa. Padahal,
hal itulah yang menjadi alasan kita mendatangi Pulau Es ini."
"Ahhh...!" desah
Arya kaget. "Kau benar, Melati. Rupanya aku telah pikun! Mengapa aku bisa
melupakannya?!"
"Sekarang kau ingat,
Kang?!"
"Ya." Dewa Arak menganggukkan kepala. "Mencari
Abimanyu dan Patih Juminta beserta rombongannya kan?!"
"Tepat!" sambut
Melati cepat.
"Kalau begitu...,
sekarang tugas kita bertam- bah. Di samping mencari pusaka Pulau Es yang ada di
tangan Raja Monyet Muka Hitam dan mencari orang-orang Pulau Api, kita juga
harus menemukan Patih Juminta dan rombongannya, serta Abimanyu," putus
Arya, mengambil jalan tengah. "Bagaimana? Setuju?"
Melati mengernyitkan alisnya
yang melengkung indah. Tampak jelas gadis itu tengah mempertimbangkan
ucapan Arya. Dan sesaat kemudian,
suaranya yang nyaring dan melengking
terdengar menyeruak keheningan.
"Aku setuju saja, Kang.
Tapi perasaanku mengatakan mereka tidak berada di sini."
"Hehhh?! Apa maksudmu,
Melati? Omongan macam apa itu?! Bukankah Gusti Prabu Nalanda yang telah
memberitahukan kepergian Abimanyu, Patih Juminta serta rombongan prajurit
Kerajaan Bojong Gading?!" bantah Arya penasaran.
"Ucapanmu memang tidak
salah, Kang," sambut Melati. 'Tapi..., kau yakin mereka berhasil tiba di
Pulau Es?!"
Kata-kata Melati membuat Dewa
Arak mengangguk-anggukkan kepala. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa
dibantah dalam ucapan gadis itu. Benar!
Bukan tidak mungkin mereka tidak pernah tiba di Pulau Es!
Melihat pemuda berambat putih
keperakan tercenung dengan kepala terangguk-angguk, Melati kembali melanjutkan
ucapannya yang belum selesai.
"Bagaimana, Kang? Apakah
kita perlu menanyakannya pada Kakek Sangga Buana?!" usul Melati hati-hati.
"Saranmu baik juga, Melari," puji Arya sejujur- nya. "Nanti kita
tanyakan pada Kakek Sangga Buana. Sekarang, lebih baik kita lanjutkan pekerjaan
kita. Setelah itu, baru kita temui Kakek Sangga Buana untuk
menanyakannya."
"Begitu pun baik,
Kang," sambut Melari, gembira mengetahui usulnya diterima.
Sepasang muda-mudi berwajah
elok itu
kembali meneruskan
perjalanannya menuju pantai. Tentu saja dengan kepala ditolehkan ke sana
kemari. Harapan mereka, mudah-mudahan dapat melihat orang-orang yang tengah
mereka cari. Tapi harapan itu tidak terkabulkan. Tidak ada sesosok tubuh pun
yang mereka lihat selain kesunyian. Yang mereka temui hanya gundukan- gundukan
es dan bukit es. Segalanya serba es.
Tak berapa lama kemudian, pantai telah tampak terbentang di
hadapan sepasang muda- mudi berwajah elok itu. Malah bukan hanya pantai mereka
lihat Tapi....
"Kau lihat itu,
Melati?!" tanya Arya setengah memberitahu. Jari telunjuk tangan kanannya
ditudingkan ke depan.
"Sebuah perahu layar
besar, Kang," jawab Melati dengan suara berdesah.
"Benar." Arya
menganggukkan kepala. "Kau lihat bendera yang berkibar di tiang perahu
itu, Melati?!" "Mereka..., komplotan bajak laut, Kang?!" tanya
Melati, meminta kepastian ketika melihat bendera yang berkibar gagah di tiang
perahu.
Tentu saja bukan bendera itu
yang dimaksud- kan Arya. Tetapi, gambar yang tertera di atasnya. Gambar tulang
tengkorak manusia yang terletak di atas dua potong tulang saling menyilang.
"Tepat!" jawab Arya
mantap.
"Kalau begitu, mari kita
usir mereka dari pulau ini, Kang. Aku yakin, kedatangan mereka kemari untuk
mendapatkan pusaka-pusaka leluhurmu!" ujar Melati penuh semangat.
"Kau benar. Melati,"
ucapan Arya hanya sampai di situ.
Sebab, Melati telah meluruk
untuk menyambut kedatangan rombongan bajak laut itu. Dan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak ingin membiarkan kekasihnya menghadapi gerombolan bajak
laut seorang diri. Bila gadis berpakaian putih itu tidak ingin dibantu,
setidak- tidaknya keberadaannya di dekat Melati akan lebih mudah dan cepat untuk memberikan bantuan.
Dalam beberapa kali lesatan,
Dewa Arak dan Melati telah berada dalam jarak lima tombak dengan pantai. Kehadiran mereka tampaknya bertepatan dengan
berlompatannya keluar rombongan bajak laut itu dari atas perahu.
Jliggg! Jliggg! Berturut-turut
rombongan bajak laut itu mendaratkan kaki di tanah yang tertutup es. Seperti
sudah diduga Arya dan Melati, rombongan itu terdiri dari orang-orang yang
berperangai kasar. Dalam waktu tak lama, tidak ada lagi anggota rombongan bajak laut yang melompat
turun. Pertanda jumlah mereka hanya itu saja.
Arya dan Melati menghitung
dengan pandang- an mata. Dua puluh enam orang. Jumlah yang cukup banyak.
Berdiri paling depan seorang laki- laki tinggi besar yang mempunyai rajahan
tengkorak manusia di dada. Tampak jelas, sebab orang itu tidak berbaju.
"Ha ha ha...! Tidak
salahkan penglihatanku?! Benarkah di hadapan kita ada seorang bidadari?!"
ujar lelaki bertato dengan suara mengguntur.
Ada sifat kasar dalam suara
dan tindak- tanduknya. Malah sambil mengajukan pertanyaan itu, telunjuknya
ditudingkan ke depan.
"Ha ha ha...!"
Suasana di sekitar tempat itu
menjadi riuh rendah, ketika sosok-sosok tubuh kasar yang berdiri di belakang
lelaki bertato ikut tertawa.
"Kau bisa saja, Tuan
Besar. Tapi, ucapan Tuan Besar memang tidak salah. Di depan kita ada
bidadari," timpal seorang lelaki kasar yang berkepala botak. Sementara
itu, Arya dan Melati tidak melakukan tindakan apa pun. Meskipun mendengar
pembicaraan yang berlangsung di depan mereka, tapi dibiarkan saja. Yang mereka
lakukan hanya mengamati. Dari pengamatan itu, Dewa Arak dan Melari tahu kalau
lelaki bertato itu adalah pemimpin gerombolan bajak laut.
***
Mendadak, lelaki bertato
mengangkat tangannya ke atas. Seketika itu pula kegaduhan langsung lenyap. Tawa
mereka segera terhenti. Agaknya, rombongan orang kasar itu amat menghargai
lelaki bertato itu.
Begitu kegaduhan lenyap,
lelaki bertato menghampiri Dewa Arak dan Melati. Sikap sepasang pendekar muda
berwajah elok itu terlihat tenang. Tidak nampak ada perasaan gentar atau ngeri.
Tarikan wajah mereka kelihatan biasa saja.
"Siapa kalian, Anak Muda?
Mengapa berada dii sini? Kau! Cepat tinggakan tempat ini sebelum aku kehilangan
kesabaran!" ujar lelaki bertato dengan suara keras. Ucapan itu ditujukan
pada Dewa Arak.
"Siapa sebenarnya kami,
kau tidak perlu tahu, Kisanak. Tapi agar kau tidak penasaran, biar kami
beritahukan sedikit. Kami adalah pemilik pulau ini. Jadi, tidak mungkin kami
meningggalkan tempat ini. Lebih baik kalian yang cepat pergi dari sini sebelum
terlambat!" balas Arya tak kalah berwibawa.
"Apa kau bilang?!"
tanya lelaki bertato tidak percaya. "Coba ulangi. Aku ingin tahu, apakah
telingaku tidak salah dengar?!"
Dewa Arak tersenyum getir.
Pemuda itu tahu, mengapa lelaki bertato bersikap demikian. Orang itu terlalu
membanggakan kepandaiannya, dan menganggap remeh lawan. Hingga, dia merasa
tidak yakin dengan pendengarannya saat mendengar ucapan yang berbau tantangan
atau ancaman.
Kalau Arya tidak terpengaruh
dengan ucapan lelaki bertato, tidak demikian halnya dengan Melati. Gadis
berpakaian putih itu kelihatan jengkel.
"Kawanku bilang, kau dan
gerombolanmu harus segera meninggalkan tempat ini, Kalau tidak, jangan salahkan
dia jika bertindak kasar terhadap kalian."
"Ha ha ha...!"
Seketika, meledaklah tawa
gerombolan orang kasar itu. Tak terkecuali lelaki bertato. Bahkan, tawanya jauh
lebih keras dibanding yang lain. Menggelegar seperti halilintar.
Dan, lagi-lagi tawa itu segera
lenyap ketika lelaki bertato mengangkat tangannya ke atas sambil menghentikan
tawa. Wajahnya kini tampak beringas. Sepasang matanya yang besar dan kemerahan
menyorot marah! Pandangan itu tertuju pada Arya.
"Sungguh berani kau
mengucapkan kata-kata seperti itu padaku, Anjing Buduk?! Kau tahu tengah berhadapan dengan
siapa sekarang?! Aku Panggala! Pemimpin Gerombolan Ular Laut! Kelancangan itu harus kau tebus mahal!" seru lelaki bertato yang
ternyata bernama Panggala dengan suara mengguntur.
"Sayang sekali. Aku belum
pernah mendengar namamu atau nama gerombolanmu. Lagi pula andaikata kukenal pun
kami akan meneruskan maksud semula, yaitu mengusir kalian pergi dari sini.
Dan..."
"Diam!" potong
Panggala tidak kuat menahan amarah lagi. Pandangannya kemudian dialihkan pada
anak buahnya yang berada di belakangnya. "Cincang dia!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali. Gerombolan Ular Laut menyerbu Dewa Arak dengan diiringi teriakan keras.
Sesaat kemudian, puluhan senjata tajamyang terdiri dari bermacam jenis dan
ukuran meluncur ke arah Dewa Arak.
'Terimalah kematianmu, Anjing
Buduk! Ha ha ha...!"
Di sela-sela melunaknya
serbuan anak buahnya, Panggala melepaskan ucapan dan tawa gembira. Tampaknya,
lelaki itu merasa yakin pemuda berambut putih keperakan yang membuatnya murka
itu akan habisdicincang.
Sementara, Dewa Arak tetap
bersikap tenang, Meskipun maut tengah melunak ke arahnya, tapi pemuda itu tidak
menjadi gentar. Ditunggunya hingga lawan-lawannya dekat. Sedangkan Melari sudah
sejak tadi menjauh, begitu mendapat isyarat Arya.
Dengan sendirinya, hanya Arya
yang menyambut serbuan Gerombolan Ular Laut. Begitu serangan-serangan itu
meluncur dekat, pemuda berambut putih keperakan itu segera bertindak. Tanpa
menemui kesulitan, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata-senjata
lawan. Terlihat lincah laksana bayangan dan gesit tak ubahnya gerakan kera.
Dan tindakannya tidak hanya
sampai di situ. Begitu serangan-serangan lawan berhasil dielakkan, serangan
susulannya meluncur. Hasilnya langsung terlihat. Jeritan kesakitan terdengar
silih berganti.
Diiringi dengan berpentalannya
tubuh Gerombolan Ular Laut keluar dari kancah pertarungan.
Brukkk, brukkk!
Berturut-turut tubuh anak buah
Panggala berjatuhan, tidak bangkit lagi.
Tapi tak mari, pingsan!
Kejadian ini tidak membuat
anggota Gerombolan Ular Laut yang lain menjadi gentar. Bahkan sebaliknya.
Serangan yang mereka lancarkan semakin bertubi-tubi. Di samping karena rasa
penasaran, mereka juga ingin membalas penderitaan yang dialami rekan-rekan
mereka.
Tapi keinginan mereka lebih
mudah untuk di- pikirkan dan dikatakan daripada dilaksanakan. Dewa Arak bukan
orang yang dapat mereka taklukan dengan mudah. Semua serangan mereka selalu
kandas. Tak satu pun mengenai sasaran.
Sebuah keuntungan sebenarnya
berada di pi- hak Gerombolan Ular Laut Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh
menghadapi mereka. Di samping pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, kemampuannya pun tidak dikerahkan
seluruhnya. Pemuda itu lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan.
Andaikata sebuah serangan dilancarkan
pun hanya mengerahkan sebagian kecil tenaganya. Dewa Arak tidak ingin membuat
lawannya tewas atau terluka berat.
Memang, Dewa Arak tidak
bermaksud membunuh mereka. Sebab, pemuda itu belum menyaksikan kekejaman
mereka. Jadi, tidak ada alasan yang kuat untuk membunuh mereka. Maka, pemuda
berambut putih keperakan itu bermaksud memberi peringatan pada Gerombolan Ular
Laut! Hingga, dapat dibayangkan, betapa mendongkolnya hati Dewa Arak ketika
melihat lawan-lawannya tetap melancarkan serangan. Bahkan jauh lebih
menggebu-gebu dari sebelumnya. Tidakkah mereka tahu kalau dirinya telah
bersikap mengalah?
"Akh, akh...!"
Dua jeritan menyayat kembali
terdengar, ketika dua anggota Gerombolan Ular Laut terlempar keluar kancah
pertarungan. Mereka terkena kibasan tangan Dewa Arak Dan seperti rekan-rekan
mereka sebelumnya, kedua orang itu langsung jatuh pingsan! Tapi seperti yang
sudah- sudah, sisa Gerombolan Ular Laut masih tegak berdiri tetap tak menjadi
gentar. Bahkan serangan mereka makin dahsyat!
Kini, kesabaran Arya habis.
Disadari kalau tindakannya tak membuahkan hasil yang diharapkan. Maka, segera
diputuskan melakukan tindakan yang lebih menunjukkan kepandaiannya. Barangkali,
bila hal itu dilakukannya mereka akan gentar dan menghentikan pertarungan.
Setelah merasa pasti dengan keputusan itu, Arya segera melaksanakannya.
"Hih!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke belakang.
Dewa Arak bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.
Jliggg!
Ringan tanpa suara laksana
jatuhnya sehelai daun kering, kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah. Tapi,
hanya sampai di situ saja tindakannya. Dewa Arak berdiri di tempatnya sambil
melipat kedua tangan di depan dada!
Hingga membuat Gerombolan Ular
Laut merasa heran. Mereka saling pandang sesaat dengan raut wajah bingung. Dan
begitu rasa kaget yang melanda lenyap, mereka kembali meluruk ke arah pemuda berambut
putih keperakan itu.
Wuttt, wuttt, singngng!
Untuk kesekian kalinya,
senjata-senjata yang terdiri-dari beraneka ragam jenis dan ukuran itu,
berkelebatan ke berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun pemuda berambut putih
keperakan itu tetap berdiri dengan sikap semula. Tidak nampak tanda-tanda akan
melakukan suatu tindakan, baik elakan maupun tangkisan.
Dan memang, Dewa Arak tidak
melakukan tindakan apa pun hingga senjata-senjata itu meluncur mendekati
sasaran. Akibatnya....
Takkk, takkk, bukkk!
Bertubi-tubi terus hujan
pedang, golok, tombak, tongkat, trisula,
ruyung, dan pisau mengenai seluruh bagian tubuh Dewa Arak. Bunyi riuh
seperti logam keras berbenturan terdengar, ketika senjata-senjata itu mendarat
di sasaran.
Dan, akibatnya sungguh mengejutkan!
Bukan hanya Gerombolan Ular Laut yang kaget, Panggala pun demikian. Semula,
begitu melihat Dewa Arak tidak melakukan tindakan apa pun, Panggala sudah
membayangkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu akan luluh-lantak. Tapi,
ternyata.... Dapat dibayangkan, betapa kaget lelaki itu melihat kenyataan yang
membentang di depan matanya.
Dewa Arak tidak tewas. Apalagi
dengan sekujur tubuh hancur! Terluka sedikit pun tidak! Tokoh muda yang
menggemparkan itu tetap berdiri seperti semula. Tarikan wajahnya pun tetap
biasa. Tidak terlihat tanda-tanda pemuda itu merasa kasakitan.
Malah sebaliknya, tubuh Gerombolan Ular Laut yang terhuyung-huyung ke
belakang. Tangan mereka terasa sakit bukan main. Seperti bukan tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang yang mereka jadikan sasaran, melainkan
gundukan baja kuat!
*** 4
"Bagaimana? Sudah puas?
Kalau belum, kalian boleh mencoba lagi. Percayalah, aku tidak akan membalas!
Kalian boleh pilih bagian yang paling empuk!" ucap Dewa Arak sambil
menatap wajah Gerombolan Ular Laut satu persatu.
Jelas, ada tantangan dalam
ucapan itu. Tapi Gerombolan Ular Laut
tidak bergeming dari tempatnya. Mereka saling pandang satu sama lain,
seakan tengah meminta pendapat rekannya yang menjadi sasaran pandangan. Tapi, tidak
ada jawaban. Mereka tengah dilanda perasaan yang sama. Bingung!
Yang memberikan tanggapan atas
tantangan Dewa Arak adalah... Panggala! Dengan wajah merah padam karena
marah mendengar tantangan Dewa Arak,
lelaki bertato itu melangkah maju.
"Apakah tantanganmu
berlaku untukku, Anjing Buduk?!" tanya
Panggala sambil
mengamang-amangkan senjatanya di atas kepala. Senjata lelaki bertato itu memang
tampak mengerikan! Sebuah kapak besar dengan gagang
tongkat baja putih sepanjang
setengah tombak!
Dewa Arak tidak segera
menjawab pertanyaan bernada tantangan itu. Arya tidak berani bertindak ceroboh!
Terhadap Gerombolan Ular Laut dia berani bertindak seperti itu, karena telah
diketahui kekuatan tenaga dalam mereka. Sedangkan Panggala tidak! Dia pemimpin
gerombolan, tentu tenaga dalamnya jauh lebih kuat. Apalagi dengan senjata yang
terlihat demikian dahsyat dan mengerikan! Maka, pemuda berambut putih keperakan
itu membutuhkan waktu untuk memutuskan. Dan Dewa Arak tidak berlama-lama
mengambil keputusan. Sejenak, pemuda itu memperhatikan Panggala. Lalu....
'Tentu, Babi Busuk! Kau pun
boleh memilih bagian yang paling empuk!" tandas Dewa Arak.
"Bagus! Sekarang
terimalah kemarianmu, Anjing Buduk! Hih !"
Wukkk, wuk, wuk!
Panggala memutar kapak
panjangnya dengan segenap tenaga. Hasilnya memang mengagumkan! Bunyi mengaung
keras terdengar ketika kapak itu berputaran. Cepat bukan main. Bahkan, mampu
membuat bentuk senjata itu lenyap! Yang terlihat hanya kelebatan sinar putih
berkilauan, yang membungkus tubuh lelaki bertato itu, seperti benteng sinar.
Melihat pemandangan itu,
Gerombolan Ular Laut yang tinggal dua belas orang melangkah mundur. Mereka
khawatir terkena sabetan kapak pimpinan mereka. Walaupun itu tidak mungkin,
tapi mereka tetap khawatir. Berbeda dengan mereka, Dewa Arak tetap bersikap
tenang. Meskipun demikian, bukan berarti
pemuda berambut putih keperakan itu berdiam diri melihat maut tengah
mengancamnya. Tenaga dalamnya dikeluarkan semua. Dan dialirkan ke seluruh tubuhnya.
Dewa Arak siap menghadapi serangan Panggala!
"Hiyaaat...!" Wukkk!
Diawali teriakan keras
mengguntur yang
menggetarkan tempat itu
Panggala mengayunkan kapaknya ke arah leher Dewa Arak. Sudah dapat diduga
maksudnya. Lelaki bertato itu ingin memenggal kepala Arya. Dan....
Takkk!
Terdengar keras seperti
beradunya dua logam keras, ketika mata kapak Panggala berbenturan dengan kulit
leher Dewa Arak yang telah dilindungi
tenaga dalam. Panggala memekik kesakitan! Ayunan kapaknya membalik. Tangan yang
menggenggam kapak itu terasa sakit bukan main.
Tapi sebagai pemimpin
gerombolan, Panggala segera dapat memperbaiki keadaan. Hanya dengan sebuah
gerakan sederhana, lelaki itu berhasil mematahkan kekuatan daya dorong
tubuhnya. Panggala bukan orang bodoh! Disadarinya kalau pemuda berambut putih
keperakan itu bukan orang sembarangan. Kalau pemuda itu mau, dirinya dan anak
buahnya mungkin hanya tinggal nama sekarang. Jelas, pemuda itu telah banyak
mengalah.
Kesadaran ini membuat Panggala
bimbang. Haruskah dia bertindak nekat dan terus melancarkan serangan? Bagaimana
kalau hal itu membuat pemuda itu habis kesabarannya? Bila itu terjadi, Panggala
yakin dia dan anak buahnya tidak akan selamat! Kehebatan pemuda berambut putih
keperakan itu telah disaksikannya sendiri!
Pertimbangan-pertimbangan itu
membuat Panggala tertegun. Hingga anak buahnya menjadi heran. Mereka tidak
mengerti, mengapa pimpinannya bersikap seperti itu? Berbeda dengan mereka, Arya mengetahui
penyebab Panggala tertegun. Maka, kesempatan ini segera dipergunakan
sebaik-baiknya.
"Aku masih memberi
kesempatan padamu dan anak buahmu, Panggala! Tapi, kau pun tahu kesabaran ada
batasnya! Pemberitahuan ini adalah peringatan terakhir. Kalau tetap kau
abaikan, jangan salahkan aku bila
bertindak keras terhadap kalian!" ujar Dewa Arak dengan suara dan
raut wajah garang.
Panggala tidak segera
menanggapi pertanyaan itu. Lelaki bertato itu tercenung memikirkan ancaman Dewa
Arak. Kemudian, pandangannya diedarkan ke arah dua belas anak buahnya. Rasa
bimbang menyelimuti hati lelaki ini. Dewa Arak tahu ancamannya mulai mengena.
Maka, diputuskan untuk melancarkan ancaman terakhir. Pemuda itu ingin
mengetahui, apakah Panggala menerima atau menolak tawarannya!
"Kuberi kau kesempatan
berpikir sampai pada hitungan ketiga, Panggala! Bila sampai hitungan berakhir
kau belum memberikan jawaban, maka kuanggap kau menolak usulku. Itu berarti
telah tiba waktunya bagiku untuk menggempur gerombolanmu! Bersiaplah, Panggala!
Sekarang aku akan mulai menghitung Satu...!"
Perasaan bingung yang melanda
Panggala semakin menjadi-jadi. Pandangannya berganti- ganti tertuju ke arah
Dewa Arak dan anak buahnya. Tapi, baik Dewa Arak maupun anak buahnya tidak
memberikan tanggapan. Dewa Arak terus saja menghitung sedangkan anak buahnya
tidak berani mencampuri keputusan yang akam diambil pemimpin mereka.
"Dua...!"
Hitungan telah mendekati batas
yang ditentukan Dewa Arak, hingga Panggala semakin gugup.
Lelaki itu belum bisa
mengambil keputusan! Di dalam hatinya berkecamuk dua keputusan. Menerima atau
menolak tawaran yang diajukan Dewa Arak. Menolak, berarti dia dan anak buahnya
akan hancur di tangan Dewa Arak. Tapi menerima pun berat, berarti ia membiarkan
nama besar Gerombolan Ular Laut hancur di tangan seorang pemuda! Panggala bagai
berhadapan dengan buah simalakama. Bila dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu
mati!
Dewa Arak agaknya tahu akan
kegalauan hati Panggala. Tapi pemuda itu bersikap tidak peduli. Dengan raut
wajah dingin hitungannya dilanjutkan.
"Ti "
"Tunggu!" potong
Panggala cepat sambil mengangkat tangan kanan ke atas.
Seruan ini membuat Dewa Arak
menghentikan hitungannya.
"Bagaimana, Panggala? Kau
telah mengambil keputusan?!" tanya Arya dingin.
Tak ada riak sedikit pun di
wajah pemuda
berambut putih keperakan itu.
Seakan pilihan apa pun yang diambil Panggala
tidak menjadi masalah baginya.
"Benar," jawab
Panggala seraya mengangguk. Setelah lebih dulu menelan liur untuk melancarkan ucapan yang akan keluar dari
mulutnya.
"Hm...." Dewa
Arak menggumam pelan. "Lalu "
"Aku telah mengambil keputusan untuk me-
nerima tawaranrnu, Anak
Muda ," ujar Panggala
agak terbata-bata.
"Bagus! Kuhargai pilihanmu, Panggala! Kalau begitu, sekarang kuharap kau
segera tinggalkan tempat ini!" perintah Dewa Arak penuh wibawa.
"Hhh...!"
Panggala menghela napas berat.
Kemudian berbalik menghadap anak buahnya. "Urus kawan- kawan yang terluka,
dan tinggalkan tempat ini! Cepat!"
"Baik, Ketua," jawab
Gerombolan Ular Laut serempak seraya menganggukkan kepala.
Kemudian, tanpa membantah dua
belas orang itu mengurus rekan-rekan mereka yang terluka. Sementara Panggala,
seusai memberi perintah, membalikkan tubuhnya menghadap Dewa Arak. Di samping
pemuda berambut putih keperakan itu telah berdiri Melati.
"Sebelum aku pergi, boleh
kutahu siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda?" tanya Pemimpin Gerombolan Ular Laut pelan.
"Aku adalah ahli waris
tunggal pulau ini. Dan aku bertekad
tidak akan membiarkan seorang pun mengotorinya!" tandas Arya
mantap.
'Tapi, sepengetahuanku pemilik
pulau ini adalah Sangga Buana," ujar Panggala mengingatkan.
"Ucapanmu tidak salah,
Panggala! Tapi perlu kau ketahui, dia adalah kakekku!" beritahu Dewa Arak.
Panggala mengangguk-angguk
mengerti. "Sebagai tambahan, perlu kau ketahui juga, Panggala,"
celetuk Melati. "Di daratan, kawanku ini seorang pendekar hebat yang
ditakuti lawan dan disegani kawan!"
"Melati," tegur Dewa
Arak halus.
Tapi Melati tidak
mempedulikannya. Apalagi, ketika gadis berpakaian putih itu melihat Panggala
tertarik. Itu terbukti dengan pertanyaan yang dilontarkan lelaki bertato itu.
"Benarkah itu? Boleh
kutahu julukannya?" 'Tentu
saja!" tandas Melati.
"Bukan hanya
boleh, tapi
harus! Kawanku ini
berjuluk Dewa
Arak!"
"Hahhh?!"
Seruan kaget itu bukan hanya
keluar dari mulut Panggala. Tapi juga semua anak buahnya. Saking kagetnya,
mereka menghentikan pekerjaan yang tengah dilakukan. Betapa tidak? Mereka telah
mendengar kabar akan kehebatan dan keperkasaan tokoh muda yang berjuluk Dewa
Arak. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mimpi akan bertemu orangnya.
Apalagi berjumpa sebagai lawan! Maka, tak aneh jika mereka sangat terkejut.
'Ya, ya.... Mengapa aku begini
bodoh?!" ucap Panggala terbata-bata. "Mengapa tidak kulihat ciri-ciri
yang kau miliki? Ya. Tidak salah lagi. Kaulah tokoh yang berjuluk Dewa Arak.
Warna pakaian, rambut, kepandaian, dan gucimu., ya! Kaulah Dewa Arak...!"
Sementara itu, Dewa Arak yang tidak menyangka akan seperti ini jadinya
kelihatan agak gugup. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian, pemuda itu telah
dapat menguasai perasaannya.
"Jadi..., kalian telah
mengenal julukanku?" "Bukan
hanya kenal," jawab Panggala sambil
mengembangkan senyum pahit.
'Tapi amat kenal.
Meskipun tidak pernah
berjumpa, tapi kami tahu banyak tentang dirimu. Semua itu kami dapatkan dari
kawan-kawan."
"Apa saja yang kalian ketahui
mengenai diriku?" tanya Arya ingin tahu.
"Banyak," jawab
Panggala cepat. "Di antaranya, dikatakan kalau kau mempunyai kepandaian
yang sangat tinggi. Tak terhitung lagi banyaknya orang yang tewas di tanganmu.
Semua tokoh-tokoh golongan hitam. Kau seorang pendekar pembela kebenaran.
Begitu berita yang kudengar."
Dewa Arak dan Melati saling
berpandangan.
Senyuman lebar terlukis di
bibir mereka.
"Lalu..., kalau kalian
telah mengetahui aku De- wa Arak. Apa yang hendak kalian kakukan?!" tanya
Arya
"Melaksanakan perintah
yang kau berikan," jawab Panggala segera. "Sebab kami sadar bahwa
kemampuan kami tidak ada artinya bagimu.
Kamipergi dulu, Dewa Arak." "Silakan," jawab Dewa Arak dan Melati
hampir bersamaan.
Setelah mendengar jawaban itu,
tanpa berani membuang waktu lebih lama Pemimpin Gerombolan Ular Laut itu
berbalik. Kemudian, memberikan isyarat pada anak buahnya untuk meninggalkan
tempat itu.
Dewa Arak dan Melati bertukar
pandang dengan perasaan lega. Keduanya merasa gembira telah berhasil mengusir
Gerombolan Ular Laut, tanpa ada pertumpahan darah. Dengan sorot mata
berbinar-binar, mereka menatap kepergian rombongan bajak laut itu. Sampai
rombongan tersebut bertolak meninggalkan tempat itu. Dan, sepasang muda-mudi
berwajah elok itu tetap menatap. Hingga perahu besar Gerombolan Ular Laut
lenyap di kejauhan. Setelah itu, mereka baru mengalihkan pandang sambil
menghembuskan napas lega.
"Aku bersyukur mereka mau
berpikir sehat..," ujar Arya dengan berdesah. "Dengan demikian,
pertumpahan darah dapat dicegah."
Melati tidak menyahuti ucapan
pemuda berambut putih keperakan itu. Gadis berpakaian putih itu hanya
mengembangkan senyum manis.
"Ah! Hampir saja aku lupa!" seru Arya setengah kaget
"Apa itu, Kang?"
tanya Melari ingin tahu. "Bukankah kita ingin mengetahui, apakah Raja
Monyet Muka Hitam telah meninggalkan pantai atau belum?!"
"O, iya, Kang. Aku juga
hampir lupa," sahut Melati terkejut
"Kalau begitu..., mari
kita lanjutkan tugas yang tertunda itu, Melati," ajak Arya.
"Tentu, Kang. Tapi...,
apa yang harus kita lakukan?"
"Menyusuri pinggir pantai
ini."
"Hahhh?! Sampai kapan
pekerjaan ini akan selesai, Kang. Pulau ini tidak kecil. Sampai kapan kita
mengelilinginya?!" sahut Melati mengingatkan.
'Tentu saja tidak semuanya,
Melati. Menurut kakek, banyak bagian pulau ini yang pantainya tidak bisa
dipergunakan perahu untuk mendarat. Contohnya, pantai-pantai sebelah kanan
tempat ini. Kira-kira lima puluh tombak dari sini, dan terus ke sana,"
jelas Arya sambil menudingkan jari telunjuknya.
"Aku mengerti sekarang,
Kang," ujar Melati gembira. "Kita akan menuju ke sana," sambil
berkata demikian, Melati menudingkan jari telunjuknya ke sebelah kanan.
"Kau memang pintar,
Melati," puji Arya. Sambutan
Melari hanya cibiran
bibir. Tapi,
sorot mata gadis cantik itu
tidak bisa menyembunyikan
perasaan gembiranya
mendapat pujian seperti itu. Sepasang mata itu berbinar-binar!
Kini sepasang muda-mudi
berwajah elok itu mengayunkan langkah, menyusuri pantai sebelah kanan mereka.
*** 5
"Kakang...!
Lihat...!" seru Melari menudingkan telunjuk kanannya ke tengah laut.
Sebetulnya gadis berpakaian
putih itu tidak perlu berseru demikian. Arya juga telah melihatnya. Di kejauhan
tampak sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek berpakaian dan berikat
kepala merah, melesat cepat membelah permukaan air laut Dari laju perahunya,
bisa diketahui kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik perahu itu. Tanpa
disertai pengerahan tenaga dalam kuat, perahu itu . tidak akan meluncur
demikian cepat. Tentu saja hal itu tidak luput dari pengamatan Dewa Arak dan
Melati.
'Tampaknya dia bukan orang
sembarangan, Kang. Maksudku..., dia tidak dapat disamakan dengan orang-orang
semacam Panggala," ucap Melati memberi penilaian.
"Memang tidak,
Melati," jawab Arya seraya mengangguk. "Orang yang baru datang ini
bukan orang sembarangan. Dia seorang tokoh yang amat pandai. Bukan tidak
mungkin tingkat kepandaiannya berada di atas kita."
"Hehhh...?!" Melati
terperanjat kaget, hingga sampai mengalihkan pandang. "Apakah ucapanmu
tidak terlalu berlebihan, Kang?!" 'Tidak, Melati," jawab Arya
menatap. "Kau tidak ingat cerita kakekku?!"
"Kakek Sangga Buana
maksudmu, Kang?!" Melati meminta ketegasan.
"Benar," sahut Arya
singkat.
Melati tercenung sejenak.
Dicobanya mengingat-ingat pembicaraan Kakek Sangga Buana, pemilik Pulau Es. Sebab, Arya tidak menjelaskannya lebih
jauh "Ucapan Kakek Sangga Buana yang mana, Kang?!" tanya Melati,
tidak sabar ingin segera mengetahui jawabannya. Gadis itu agaknya malas
berpikir, mengingat- ingat dan menerka.
'Tentu saja mengenai
orang-orang berpakaian merah, Melati," ucap Arya. "Bukankah orang
yang berada di perahu itu mengenakan pakaian merah?!"
Melati mengalihkan
pandangannya kembali ke arah laut. Perahu itu kini tampak semakin jelas. Demikian
pula orang yang tengah mengayuhnya.
"Aku tahu, Kang!"
sentak Melati gembira, merasa telah dapat menerka cerita Kakek Sangga Buana
yang dimaksudkan kekasihnya. "Bukankah cerita yang kau maksud mengenai
orang-orang Pulau Api?!”
'Tepat! Bukankah kakekku
telah menceritakan cukup lengkap tentang mereka?!" Arya balas
mengajukan pertanyaan.
"Benar, Kang. Menurut
beliau, orang-orang Pulau Api rata-rata berkepandaian tinggi. Di samping itu
mereka ahli menggunakan racun dan memiliki daya tahan tubuh yang menggiriskan.
Yang aneh, perbedaan tingkat di antara mereka dapat kita lihat dari hiasan yang
dikenakan pada anggota tubuh atau pakaian mereka," urai Melati panjang
lebar.
'Tepat sekali!" puji
Arya. "Kau masih ingat hiasan masing-masing tingkat itu, Melati?!"
"Masih, Kang," jawab
gadis berpakaian putih sambil menganggukkan kepala. "Orang terendah tidak
memiliki tanda apa pun selain pakaian yang dikenakan. Tanda itu baru muncul
pada orang yang setingkat di atas mereka, berupa sebuah belitan sabuk pada salah
satu paha mereka. Tingkatan yang lebih
tinggi lagi, mempunyai belitan sabuk pada masing-masing paha. Kemudian,
tingkatan selanjutnya adalah orang- orang kepercayaan sang Pemimpin. Mereka
mengenakan sabuk lebar yang membelit
pinggang. Sedangkan sang Ketua sendiri mempunyai tanda berupa belitan kain
merah di kepala. Dan..., ah!"
Mendadak Melati menghentikan
ucapannya di tengah jalan. Tentu saja hal
itu menarik perhatian Arya.
"Apa yang terjadi,
Melati?! Mengapa kau kelihatan begitu kaget?!"
"Ng..., ti... tidak
apa-apa, Kang. Hanya aku baru mengerti, mengapa kau mengatakan orang yang
tengah berperahu itu seorang tokoh yang amat pandai," ujar Melati lirih.
"Sekarang kau ingat,
Melati?!" tanya Arya tenang.
"Ya, Kang," Melati
menganggukkan kepala. "Orang itu Pemimpin Pulau Api."
'Tepat! Orang yang tengah
menuju kemari adalah tokoh terpandai di Pulau Api!" sambung Arya
melengkapi pertanyaan kekasihnya.
Kali ini Melati tidak
menyambuti ucapan kekasihnya. Gadis itu menganggukkan kepala sedikit. Setelah
itu, pandangannya ditujukan ke arah kakek berpakaian merah yang tengah mengayuh perahunya menuju
tempat mereka.
Melati merasakan betapa
jantungnya berdetak amat cepat Diakuinya kalau rasa tegang menyergap hatinya.
Perasaan khawatir akan keselamatan Dewa Arak langsung menyeruak. Telah
disaksikannya sendiri betapa lihainya
Kakek Sangga Buana. Kalau pemimpin Pulau Api itu memiliki kepandaian setingkat
dengan pemilik Pulau Es, Dewa Arak jelas bukan tandingan tokoh itu. Sebab,
tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu berada di bawah Kakek
Sangga Buana!
Berbeda dengan
Melati yang dihantui
perasaan cemas, Dewa Arak sama
sekali tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Tidak
terlihat gambaran perasaan apa pun pada wajahnya, saat menunggu mendaratnya
perahu yang ditumpangi Pemimpin Pulau Api.
***
Tatapan penuh selidik
tampaknya bukan hanya dilakukan Dewa
Arak dan Melati. Pemimpin Pulau Api itu pun melakukan hal yang sama. Bahkan,
sebagian alis yang tidak tertutup kain merah yang membelit kepalanya berkerut.
Saat kakek itu melihat ada dua sosok tubuh yang tidak dikenalnya berdiri di
pantai.
Tapi, hanya sebentar Pemimpin
Pulau Api berbuat demikian. Sesaat kemudian, dia sudah bersikap tidak peduli.
Apa yang perlu ditakuti dari dua orang
muda itu? Andaikata mereka memiliki kepandaian, sudah sampai di mana tingginya? Berapa banyak memang
pengalaman bertarung yang mereka alami?
Dengan acuh tak acuh, Pemimpin
Pulau Api terus mengayuh dayung. Dan ketika jarak antara perahunya dengan
pantai tak sampai sembilan tombak lagi, tanpa memperbaiki kedudukan, kakinya
digenjotnya.
"Hih!"
Seketika itu pula tubuh kakek
berikat kepala merah itu melayang ke udara,
meninggalkan perahunya yang agak bergoyang karena digunakan sebagai
landasan untuk melakukan genjotan! Semua tindakan Pemimpin Pulau Api tidak
luput dari perhatian Dewa Arak dan Melati. Tampak oleh sepasang pendekar
berwajah elok itu, kakek berikat kepala merah bersalto beberapa kali sebelum
melayang turun ke tanah. Dan....
Plyarrr!
Air laut berpercikan ke sana
kemari ketika Pemimpin Pulau Api mendaratkan sepasang kakinya di bagian pantai
yang berair. Melihat hal ini, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera
menghampiri. Setelah memberi isyarat
pada Melati untuk diam di tempatnya. Hingga gadis itu dengan terpaksa memendam
rasa inginnya untuk maju. Melati tidak berani membangkang perintah kekasihnya!
Sebab, gadis itu yakin betul setiap tindakan yang diambil Arya hampir selalu
benar!
"Siapa kau, Kisanak? Dan apa tujuanmu datang ke pulau ini?"
tanya Arya berpura-pura tidak tahu. Jarak antara mereka terpisah satu tombak.
"Menyingkirlah, Monyet
Kecil! Jangan coba- coba membuat
amarahku bangkit. Akibatnya akan mengerikan bagimu!"
Datar dan dingin pernyataan
itu. Tapi di dalamnya terkandung ancaman mengerikan. Dan bukan Dewa Arak kalau
menghadapi ancaman seperti itu sudah mundur teratur. Meskipun tahu tokoh yang
dihadangnya berkepandaian tinggi dan ancaman telah dikeluarkannya, tapi Arya
tetap tenang.
"Sayang sekali, aku tidak
bisa memenuhi permintaanmu, Ki. Sebelum menjawab pertanyaanku, kau tak akan kubiarkan melangkah lebih
jauh!" mantap dan tegas kata- kata yang dikeluarkan Dewa Arak
"Keparat!"
Suara kakek berikat kepala
merah itu langsung meninggi. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan
kemarahan. Tapi itu tidak seberapa. Yang
mengherankan Melati dan Dewa Arak adalah bibir Pemimpin Pulau Api yang tidak
bergerak. Kalau sebelumnya masih bisa dimaklumi. Sebab, kakek itu berbicara
pelan. Tapi sekarang, kakek berikat kepala merah itu memaki keras! Lalu,
mengapa kedua bibir itu tidak bergeming?!
Belum lagi gema makiannya
lenyap, Pemimpin Pulau Api telah mengibaskan tangannya. Sembarangan saja,
seperti orang mengusir lalat. Namun, akibatnya sungguh hebat. Serangkum angin
keras meluncur ke arah Dewa Arak.
Arya tidak menjadi gugup
melihat serangan itu. Sudah sejak tadi pemuda itu bersikap waspada. Maka begitu
merasakan ada sambaran angin keras yang mampu membuat tubuhnya terlempar,
tenaga dalamnya langsung dikerahkan pada kedua kaki. Dengan tindakan ini, kedua
kaki Dewa Arak seperti menghunjam ke bumi.
Hasilnya memang seperti yang
diharapkan! Tubuhnya tidak bergeming ketika angin keras itu melanda. Hanya
rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras menjadi tanda kalau pemuda berambut
putih keperakan itu dilanda segundukan angin keras. Melihat serangannya tidak
membuahkan hasil, Pemimpin Pulau Api menjadi geram bukan main.
"Keparat! Pantas kau
berani kurang ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau
memiliki sedikit kepandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!"
Kali ini, kakek berikat kepala
merah tidak segan-segan lagi melancarkan serangan. Sebuah tendangan kaki kanan
lurus langsung dikirimkan ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang
mengiringi tibanya serangan itu, menandakan betapa kuat tenaga yang tersalur di
dalamnya. Tapi seperti kejadian sebelumnya, Dewa Arak tetap bersikap tenang.
Kaki kanannya ditarik ke belakang seraya mencondongkan tubuh. Pemuda itu tahu,
meskipun hanya bertindak demikian serangan kakek berikat kepala merah telah
dapat dielakkan.
Tapi, betapa kagetnya hati
pemuda berambut putih keperakan itu ketika melihat kaki Pemimpin Pulau Api
tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, pemuda itu telah melangkah mundur!
Dewa Arak tampak sedikit gugup. Meskipun
demikian, Arya tidak kehilangan akal sehat. Walau dengan agak tergesa-gesa,
karena sempitnya waktu, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kakinya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang.
Wuttt!
Tendangan Pemimpin Pulau Api meluncur beberapa jari di bawah kaki Dewa
Arak. Hanya berselisih waktu sekejap. Terlambat sedikit saja, kaki kakek
berikat kepala merah itu akan lebih dulu bersarang diangota tubuh Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah lebih dulu
bersalto beberapa kali, Dewa Arak
mendarat dengan mantap di tanah. Dan secepat itu pula bersikap menghadapi
serangan lawan selanjutnya. Namun, Pemimpin Pulau Api tidak melancarkan
serangan susulan. Kakek itu merayapi sekujur tubuh Dewa Arak dengan penuh
selidik. Kini disadarinya kalau kepandaian pemuda itu tidak serendah dugaannya
semula. Itu bisa diketahui dari berhasilnya pemuda berambut putih keperakan itu
meloloskan diri dari serangannya. Padahal, waktunya demikian singkat!
Sementara Arya pun tidak
berani bertindak ceroboh lagi. Pengalaman hampir celaka karena sikap gegabah
yang ditunjukkannya telah memberinya pelajaran berharga. Dewa Arak tahu,
mengapa kaki lawan tetap mengejar meski telah dielakkan. Pasti karena kakek
berikat kepala merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa
Arak, tidak diambil secara sembarangan. Arya tahu ada ilmu semacam itu di dunia
persilatan. Bahkan, kekasihnya pun memilikinya. Gadis berpakaian putih itu
dapat memanjangkan tangannya hampir dua kali lipat panjang semula. Jurus 'Naga
Merah Mengulur Kuku', demikian namanya.
Tapi, Arya tidak bisa terlalu
lama tenggelam dalam alun pikirannya. Keadaan saat itu sangat tidak
memungkinkan. Di hadapannya tengah berdiri seorang lawan yang teramat tangguh
Kalau dirinya bertindak sembrono, nyawanya akan melayang meninggalkan raga.
Sementara Pemimpin Pulau Api tampaknya sudah merasa cukup puas memperhatikan
lawannya. Kini, kakek itu telah siap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak
Muda. Rasanya, kau pantas menjadi lawanku,"
puji kakek berikat kepala merah dingin. 'Tapi jangan berbangga hati dulu. Tadi
hanya pemanasan saja. Sekarang
bersiaplah, Anak Muda. Aku akan memulai pertarungan sung-guhan. Hadapilah ilmu
'Tinju Topan dan Geledek'-ku ini!"
Usai berkata demikian, Pemimpin
Pulau Api menyilangkah kedua tangannya yang terkepal erat di depan dada.
Kemudian dengan perlahan- lahan tapi penuh tenaga, ditariknya kedua tangan itu
ke sisi pinggang. Bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang berpatahan,
mengiringi gerakan tangan itu menuju tempat yang dituju.
Melihat hal itu, Dewa Arak
tidak berani mengambil resiko. Ilmu yang
dikeluarkan lawan tampaknya amat dahsyat. Maka, diambilnya guci arak yang
tergantung di punggung. Kemudian isinya dituangkan ke mulut
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika
arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Ada hawa hangat yang berpusat di perut
Lalu, perlahan-lahan hawa itu naik ke atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki
pemuda berambut putih keperakan itu oleng. Doyong ke sana kemari. Itu pertanda
Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Semua gerak-gerik Dewa Arak
tidak luput dari pandangan Pemimpin Pulau Api.
Terlihat ada kerutan pada kedua alis kakek berikat kepala merah itu.
Kakek itu tengah dilanda perasaan heran. Ilmu
aneh apa yang akan dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu? Bisik
hati Pemimpin Pulau Api.
Tapi, kakek itu tidak
membiarkan perasaan bingungnya terus melanda. Buru-buru diusirnya perasaan itu.
Dia dapat menduga, meskipun kelihatannya
demikian, pasti ilmu yang akan dikeluarkan Dewa
Arak sebuah ilmu andalan. Tidak sedikit ilmu-ilmu yang kelihatan aneh,
tapi di dalamnya terkandung kedahsyatan yang menggiriskan hati! Dia sendiri
banyak memiliki ilmu-ilmu aneh!
Seiring dengan timbulnya pikiran
itu, Pemimpin Pulau Api memusatkan perhatian pada ilmu yang tengah
dikeluarkannya. Kemudian....
"Haaat !"
Diawali sebuah teriakan keras
menggelegar yang menggetarkan tempat itu, Pemimpin Pulau Api melancarkan
serangan pembuka. Tak tanggung-tanggung lagi tindakan kakek berikat kepala
merah. Dalam gebrakan pertama, langsung dikirimkan pukulan tangan kanan-kiri
bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak. Bunyi ledakan keras seperti halilintar
menyambar mengiringi serangan itu. Sungguh berbahaya serangan Pemimpin Pulau
Api. Di samping dialiri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kecepatan
menakjubkan.
Tapi orang yang diserang
adalah Dewa Arak! Pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan ilmu
'Belalang Sakti'nya. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil
mengandaskan serangan itu dengan gerakan limbung.
Kenyataan itu membuat Pemimpin
Pulau Api penasaran bukan main. Hingga, disusulinya dengan serangan lanjutan
yang tidak kalah dahsyat. Dan seperti juga serangan pertamanya, bunyi meledak-ledak
pun timbul mengiringi luncuran serangan itu. Pertarungan dahsyat dan menarik
tidak bisa dihindarkan lagi.
Pemimpin Pulau Api benar-benar
dipaksa untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya. Betapa tidak? Secara
bertubi-tubi dan susul- menyusul serangan
dilancarkan pada Dewa Arak. Namun, semua berhasil dikandaskan lawan dengan elakan uniknya. Itu
berlangsung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan
membuat kakek berikat kepala merah semakin penasaran. Apalagi sampai saat itu
Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan, hingga kakek itu merasa
diremehkan. Dalam cekaman rasa penasaran dan marah, Pemimpin Pulau Api
mengeluarkan jurus- jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'!
"Hih!"
Laksana gasing tubuh Pemimpin
Pulau Api berpusing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan atau
kakinya mencuat dari balik pusingan. Amat berbahaya! Karena meluncurnya tidak
disangka-sangka.
Dewa Arak sangat terkejut
melihat perubahan gerak lawan. Sekarang
pemuda itu mengerti, mengapa kakek berikat kepala merah menamakan ilmunya
'Tinju Topan dan Geledek'. Ilmu itu memang luar biasa! Arya mengalami kesulitan
menghadapinya. Kedudukan tubuh lawan yang berpusing, membuatnya sulit
melancarkan serangan. Sebaliknya, Pemimpin Pulau Api enak saja melancarkan
serangan. Dengan sendirinya, maka kedudukan kakek berikat kepala merah lebih
menguntungkan.
Hasilnya dapat diduga,
Dewa Arak selalu menjadi sasaran
serangan. Untung saja pemuda itu memiliki ilmu 'Belalang Sakti'. Sebuah ilmu
yang membuatnya mampu melakukan gerakan sesulit apa pun, dan dalam keadaan
bagaimanapun. Ditambah lagi jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupakan
kumpulan langkah-langkah unik untuk mengelakkan serangan dengan cara yang
membuat heran orang yang menyaksikan.
Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti' itulah, Dewa Arak mampu mengelakkan setiap serangan Pemimpin Pulau Api
hingga lebih dari sepuluh jurus! Kenyataan ini membuat bulu kuduk kakek berikat
kepala merah meremang! Selama hidupnya, belum pemah ditemukan seorang lawan
yang mampu memunahkan serangannya hanya dengan cara mengelak, selama sepuluh
jurus! Bahkan Sangga Buana, pemilik Pulau Es, tidak mampu bertindak seperti
ini!
Maka tidak aneh jika Pemimpin
Pulau Api semakin kalap. Kedahsyatan serangannya terus ditingkatkan. Akibatnya
langsung diterima oleh Dewa Arak. Dirasakannya tekanan serangan- serangan lawan
semakin dahsyat. Bila diumpamakan ombak, gelombang yang kini melandanya adalah
ombak-ombak setinggi bukit!
Semua kejadian di kancah
pertarungan tak lepas dari penglihatan Melati. Tampak jelas ada kecemasan dalam
sorot mata maupun raut wajahnya. Bagaimana Melati tidak cemas? Terlihat olehnya
betapa kekasihnya pontang- panting ke sana kemari menyelamatkan diri, tanpa
mampu melancarkan serangan balasan sedikit pun. Dan memang Dewa Arak berada
dalam keadaan mengkhawatirkan.
Yang dilakukan pemuda berambut
putih keperakan itu hanya terus-menerus mengelak.
Jurus demi jurus berlalu
cepat. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lima belas jurus. Dan selama
itu Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu meringankan tubuh 'Belalang
Sakti', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk memusnahkan setiap serangan
lawan.
Tapi begitu pertarungan telah
lewat lima belas jurus, Dewa Arak
memutuskan untuk mengadakan perubahan cara bertarung. Cara yang sekarang dilakukan tidak bisa digunakan terus. Amat berbahaya jika
terus-menerus mengelak dari serangan-serangan tokoh sehebat Pemimpin Pulau Api.
Hingga, di jurus-jurus
selanjutnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukan perubahan. Toh, dirinya telah
dapat mengira-ngira tingkat kemampuan lawan,
berkat pengamatan yang
dilakukannya selama melakukan elakan demi elakan.
*** 6
"Hih!" Wuttt!
Diiringi bunyi menderu keras,
tinju kanan Pemimpin Pulau Api mencuat dari dalam pusingan tubuhnya. Tak tanggung-tanggung
sasaran yang dituju, ubun-ubun! Tempat yang mematikan di tubuh manusia! Jangan
mengenai telak, terserempet saja sudah cukup untuk mengirim nyawa Dewa Arak ke
alambaka!
Dewa Arak benar-benar
melaksanakan keputusannya. Begitu melihat kepalan Pemimpin Pulau Api meluncur,
langsung dipapakinya dengan tinju kanan.
Pemuda berambut putih keperakan itu
tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Bahkan dalam
pengerahan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt!
Hawa panas menyengat seiring
dengan meluncurnya tinju Dewa Arak. Kepulan asap tipis tampak keluar dari
sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian....
Dukkk!
Sungguh dahsyat benturan yang
terjadi antara dua kepalan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu. Bunyi
menggelegar yang memekakkan telinga terdengar! Dan tubuh dua tokoh itu
terpental ke belakang. Tapi dengan gerakan manis, Dewa Arak dan Pemimpin Pulau
Api mematahkan kekuatan daya dorong tubuh mereka. Dan....
Jliggg!
Ringan laksana daun kering,
dua tokoh hebat yang memiliki perbedaan usia menyolok itu mendarat ringan di
tanah.
Untuk kedua kali Pemimpin
Pulau Api tidak segera melancarkan serangan. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, kakek itu menatap Dewa Arak dengan penuh
selidik Ada sorot kekaguman dan kekagetan di sana. Kagum ketika
mengetahui tenaga dalam Dewa Arak tidak berada di bawahnya, dan kaget
karena kenyataan ini di luar dugaannya.
Melihat lawannya tidak
melancarkan serangan, Dewa Arak pun melakukan hal yang sama. Bedanya, kalau
Pemimpin Pulau Api berdiri dengan mantap, maka pemuda berambut putih keperakan
itu berdiri dengan kedudukan goyah seperti akan jatuh. Dengan sikap tidak
peduli, diambilnya guci arak dan dituangkan kembali ke mulutnya. Guci itu
memang telah disimpannya di tempat semula, sewaktu dia akan bertarung.
Gluk.... Gluk... Gluk !
Kelakuan Dewa Arak membuat
alis Pemimpin Pulau Api berkerut semakin dalam.Rasa heran yang melanda hatinya
semakin besar. Tingkah laku Dewa Arak terasa aneh dilihat. "Siapa
sebenarnya kau, Anak Muda? Mengapa berada di tempat ini?" tanya Pemimpin
Pulau Api, tak kuat menahan rasa ingin tahunya.
"Seharusnya aku yang
bertanya. Bukan kau, Ki," sergah Dewa Arak
Meskipun ucapannya
terputus-putus karena pengaruh arak,
Dewa Arak berhasil menyelesaikan perkataannya. Memang walaupun kelihatan mabuk,
tapi pikiran pemuda berambut putih keperakan itu tetap jernih!
"Hehhh?! Apa alasanmu
berkata seperti itu, Anak Muda?! Jangan
katakan kau penghuni pulau ini. Aku kenal betul dengan semua penghuni
tempat ini!" sergah Pemimpin Pulau Api keras.
"Memang kuakui aku bukan
penghuni pulau ini, Ki. Tapi, aku terhitung pemiliknya!" sahut Dewa Arak
masih dengan ucapan terputus-putus.
"Huh! Rupanya kau terlalu
mabuk untuk bisa kuajak berbincang-bincang Anak Muda!" ujar Pemimpin
Pulau Api, yang merasa bingung mendengar
jawaban Dewa Arak
"Dia terlalu kuat untuk
mabuk hanya karena arak, Kakek Jelek!" celetuk Melati, terpaksa ikut
angkat bicara karena mendengar kekasihnya dise- pelekan.
"Ha ha ha...! Omonganmu
pun tidak mempunyai dasar, Gadis Bau Kencur! Bagaimana kau bisa bilang dia
tidak mabuk kalau ucapannya tidak bisa dimengerti?!" sahut Pemimpin Pulau
Api seraya mengalihkan perhatiannya pada Melati.
"Itu karena kau mempunyai
otak yang bebal, Kakek Jelek! Pernyataan yang demikian jelas kau katakan
membingungkan? Lucu! Lucu sekali!" ejek Melati menggeleng-geleng.
"Keparat!" maki
Pemimpin Pulau Api sangat geram mendengar
hinaan Melari. "Jelaskan maksud ucapanmu, Wanita Sundal! Kalau
tidak, jangan salahkan bila kepalamu kuhancurkan!"
"Kau kira aku takut
padamu?!" Melati langsung naik darah mendengar ancaman itu. "Majulah!
Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu?!"
"Keparat! Kau memang
harus dihajar!" geram Pemimpin Pulau Api sambil mengayunkan langkah
menghampiri Melati. Tapi, baru selangkah Dewa Arak telah bergerak menghadang.
"Pertarungan antara kita
belum selesai, Ki," ucap Dewa Arak menantang.
"Memang belum!"
sambut Pemimpin Pulau Api, terpaksa
membatalkan maksudnya untuk menghampiri Melari. 'Tunggulah, Wanita Sundal!
Setelah kubereskan pemuda pemabuk ini, kau akan menerima ganjaran atas hinaanmu
itu!"
Lalu Pemimpin Pulau Api
mengalihkan perhatiannya pada Dewa Arak. Dirayapinya sekujur tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu sebelum mulai melancarkan serangan. Otot- otot
tubuhnya menegang, pertanda Kakek berikat kepala merah telah bersiap-siap
melancarkan serangan. Demikian pula Dewa Arak. Meskipun tubuhnya oleng ke sana
kemari, tapi pemuda berambut putih keperakan itu telah siap bertarung.
Dan sebelum kedua tokoh itu
saling terjang, tanah di tempat itu bergetar hebat. Tentu saja kejadian itu
mengejutkan Dewa Arak dan Pemimpin Pulau Api, juga Melati!
Apa yang tengah terjadi? Tanya
ketiga orang itu dalam hati.
"Hei!"
Teriakan kaget Melati membuat
Dewa Arak dan Pemimpin Pulau Api mengalihkan
pandangan ke arah pandangan gadis berpakaian putih itu. Sepasang mata
kedua tokoh itu tiba-tiba membelalak lebar
melihat pemandangan yang membuat Melari menjerit. Raut wajah dan pandang
mata mereka memancarkan keterkejutan
yang sangat. Betapa tidak? Tampak oleh mereka salah satu bagian lereng gunung
es longsor! Gumpalan-gumpalan batu es dalam berbagai bentuk bergelindingan ke
bawah.
"Apa yang terjadi,
Kang?!" tanya Melati, tanpa mampu memyembunyikan perasaan ngeri yang
membalut hatinya. Kemudian, setengah berlari gadis itu menghambur ke arah
kekasihnya. "Aku juga tidak tahu, Melati. Mungkin pulau ini akan tenggelam
ke dasar laut," jawab Dewa Arak dengan gugup. "Kalau hanya longsor
saja tak mungkin getarannya sampai ke sini. Apalagi sampai sekuat ini! Gunung
itu letaknya jauh dari sini!"
'Tenggelam, Kang?!" ada
rasa ngeri yang membayang jelas di wajah gadis berpakaian putih itu ketika
mengucapkannya.
"Itu hanya dugaanku saja,
Melati."
Arya buru-buru memperbaiki
ucapannya untuk menenangkan hati kekasihnya. Tapi usaha Dewa Arak sia-sia.
Melati telah telanjur merasa ngeri. Gadis itu tidak mudah untuk ditenangkan
kembali. Ini terbukti....
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi?! Mari kita segera tinggalkan tempat ini, Kang! Aku tidak ingin mati
terkubur di dasar laut!" ucapa Melati kalap. Dalam cengkeraman rasa ngeri
yang menggelegak, tanpa sadar Melati mengguncang- guncangkan tubuh Dewa Arak.
'Tidak semudah itu, Melati.
Kita harus memberitahukan kejadian ini pada kakekku. Tidak sepatutnya kita
meninggalkannya begitu saja!" tandas Dewa Arak.
"Kalau begitu, mari kita
pergi ke sana, Kang!" sambut Melati cepat.
Kemudian tanpa memberi
kesempatan pada Dewa Arak untuk berpikir, Melati melesat menuju Istana Es.
Karena gadis berpakaian putih itu tidak melepaskan pegangannya, terpaksa Dewa
Arak mengikuti langkah Melati. Kalau itu tidak dilakukan, tubuhnya akan
terseret-seret.
Meskipun demikian, Dewa Arak
masih sempat melihat ke arah Pemimpin Pulau Api tadi berdiri. Ternyata kakek
berikat kepala merah itu sudah tidak ada lagi.
Pemimpin Pulau Api tengah melesat cepat ke arah gunung yang sedang
longsor itu!
Tentu saja tindakan Pemimpin
Pulau Api membuat Dewa Arak heran bukan main! Sudah gilakah kakek berikat
kepala merah itu? Kalau tidak, mengapa di saat gunung itu longsor malah
bergerak mendekati? Apakah dia ingin tertimpa gundukan-gundukan es yang
rata-rata sebesar kerbau?
Tapi Dewa Arak segera membuang
jauh-jauh pertanyaan-pertanyaan itu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah
secepatnya tiba di Istana Es, dan memberitahukan kejadian ini pada Kakek Sangga
Buana. Mudah-mudahan kakek itu tidak mengalami kejadian yang tidak diinginkan.
Merupakan hal yang wajar bila
pemuda berambut putih keperakan itu mencemaskan keselamatan Kakek Sangga Buana.
Sebab getaran itu semakin terasa jelas.
Bahkan, semakin lama guncangannya semakin kencang!
Rasa cemas Dewa Arak dan
Melari membuat mereka berlari seperti dikejar hantu! Karena kedua orang muda
itu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, maka hanya dalam beberapa lesaran
saja Istana Es telah terlihat. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba.
Hingga kecepatan lari sepasang muda-mudi itu ditambah.
"Kek...! Kakek...!"
Belum juga mencapai pintu
gerbang Istana Es, Dewa Arak telah berteriak-teriak memanggil Sangga Buana. Sebab tepat di
tengah-tengah pintu gerbang tampak sesosok tubuh yang dikenali Dewa Arak dan
Melati sebagai Sangga Buana tengah berdiri. Kakek itu kelihatan tenang-tenang
saja.
Sosok itu memang Sangga Buana!
Kakek itu tampaknya tahu kalau dirinya dipanggil-panggil, tapi tetap saja dia
berdiri di tempatnya. Kelihatan seperti tidak peduli. Tapi dari tatapan yang
tertuju pada Dewa Arak dan Melati, agaknya dia tengah menunggu kedatangan
sepasang muda- mudi itu.
"Apa yang terjadi, Arya?
Mengapa kalian berlari-lari seperti dikejar hantu?" tanya Sangga Buana
sebelum Dewa Arak dan Melati menghentikan lari. Rupanya, kakek itu tidak sabar
lagi menunggu.
"Pulau ini akan
tenggelam, Kek! Cepat kita tinggalkan tempat ini!" jawab Arya cepat begitu
berada di hadapan Sangga Buana. Lalu tanpa menunggu sambutan kakek berpakaian
putih itu, Dewa Arak langsung mencekal
per-gelangannya. Sudah dapat diduga maksudnya. Arya ingin membawa Sangga Buana
meninggalkan tempat itu.
Tapi Dewa Arak kecewa! Tubuh
Sangga Buana tidak bergeming ketika ditariknya! Pemilik Pulau Es itu
mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh. Hingga Dewa Arak heran.
Begitu pula Melati. Dengan sorot mata penuh pertanyaan, sepasang muda-mudi
berwajah elok itu menatap wajah Sangga Buana.
'Tenang dulu, Arya," ujar
Sangga Buana kalem. "Jelaskan, mengapa kau mengambil kesimpulan seperti
itu?"
"Tidakkah kau merasakan
goncangan di seluruh penjuru pulau ini, Kek?! Bahkan, tadi kulihat jelas salah
satu lereng gunung es di sana telah longsor," jelas Arya sambi menudingkan
jari telunjuknya ke arah gunung yang dimaksud.
"Ooo.... Rupanya itu yang
menyebabkan kau menduga demikian, Arya," ujar Sangga Buana setengah
tertawa, seraya melayangkan pandangan ke
arah gunung yang ditunjukkan Dewa Arak. Tampak masih terlihat banyak batu- batu
besar dan batu-batu kecil berguguran.
"Benar, Kek," sahut
Arya cepat.
"Kalau demikian,
tenangkanlah hati kalian. Percayalah, pulau ini tidak akan tenggelam. Semua
gejala-gejala yang kalian lihat hanya merupakan sebuah pertanda."
"Sebuah pertanda?
Pertanda apa, Kek?" tanya Melati, setelah saling pandang sejenak dengan
Dewa Arak.
Sangga Buana tidak segera
menjawab. Dilemparkannya seulas senyum lebar pada sepasang muda-mudi itu.
"Sebelum kujawab
pertanyaan kalian, ada baiknya bila kuceritakan sebuah legenda yang kudapatkan
dari ayahku. Menurut cerita beliau, ratusan tahun yang lalu Pulau Es dan Pulau
Api tidak terpisah. Kedua pulau itu menjadi satu."
Sampai di sini Sangga Buana
menghentikan
ceritanya. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkan dengan penuh
minat. Meskipun saat tanah masih terguncang-guncang, Dewa Arak dan Melati tidak khawatir lagi. Mereka percaya penuh pada Sangga Buana.
"Entah karena
mengapa pulau itu terpecah
dua. Yang satu dinamakan Pulau
Es, sedangkan yang lain Pulau Api.
Sampai sekarang, kedua pulau yang terpecah itu tetap terpisah. Bahkan,
jaraknya semakin jauh. Tapi menurut cerita, ada saat-saat di mana antara Pulau
Es dan Pulau Api tercipta sebuah jalan yang
menghubungkan kedua pulau itu. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku
sendiri tidak mengerti. Yang jelas, sebelum terciptanya jalan itu, pada kedua
pulau terjadi guncangan keras
mirip gempa. Nah! Kurasa inilah tanda yang dimaksudkan
ayahku. Jelas, Arya, Melati?" tanya Sangga Buana di akhir kisahnya.
Dewa Arak dan Melati tidak
segera memberikan jawaban. Mereka saling pandang sejenak, sebelum akhirnya
menganggukkan kepala.
"Jadi..., kedua pulau itu
bersatu kembali seperti dulu, Kek?" tanya Arya.
'Tidak, Arya," jawab Sangga Buana menggeleng. 'Pulau Es dan
Pulau Api tetap terpisah. Yang terjadi hanya sebuah jalan tembus mirip sebuah
terowongan, yang tercipta jauh di dasar laut. Demikian, menurut cerita
ayahku."
"Apakah beliau pernah
mengalaminya, Kek?"
"Benar, Arya. Bahkan,
beliau sempat menyelidiki keanehan itu.
Tapi hanya itu yang diketahuinya. Jawaban mengapa hal seperti itu bisa terjadi,
tidak ada yang bisa menjawabnya. Yahhh...! Ini merupakan sebuah pertanda bahwa
banyak masalah di dunia ini yang tidak bisa dipecahkan otak manusia!"
Arya mengangguk-angguk
menyetujui pendapat Sangga Buana. Pemuda berambut putih keperakan itu memang
percaya betul akan kekuasaan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.
"Lalu... di mana
terciptanya jalan tembus itu, Kek?" tanya Arya lagi ingin tahu. "Di
gunung itu, Arya," Sangga Buana menudingkan jari telunjuknya ke arah
gunung yang salah satu lerengnya longsor.
"Pantas...!" ujar
Arya seraya mengangguk- anggukkan kepala.
"Apanya yang pantas,
Kang?" tanya Melati penasaran.
Bukan hanya Melati saja yang
ingin tahu alasan Dewa Arak berkata seperti itu. Sangga Buana pun demikian.
Kakek berpakaian putih itu menatap cucunya dengan pandang mata penuh
pertanyaan.
'Tadi kulihat seorang kakek
yang menurutku pemimpin orang-orang berpakaian merah berlari menuju gunung itu.
Semula aku tidak mengerti, mengapa dia bertindak seperti itu. Pasti dia ingin
mencari jalan tembus menuju pulaunya."
"Jadi..., kau bertemu dengan Pemimpin Pulau
Api, Arya?!" tanya Sangga
Buana agak kaget "Benar, Kek Bahkan, antara kami telah terjadi
pertempuran," jawab Arya.
Kemudian, secara singkat tapi
jelas pemuda berambut putih keperakan itu menceritakan semuanya. Sementara
Sangga Buana mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek
berpakaian putih itu berdecak kagum mendengar cerita pertarungan Arya dengan
Pemimpin Pulau Api. "Kalau begitu... kau harus cepat menyusulnya,
Arya," ujar Sangga Buana ketika Dewa Arak telah menyelesaikan ceritanya.
"Boleh kutahu, mengapa
begitu, Kek?"
"Sebab, bila kau tidak
segera bertindak maka pusaka-pusaka Pulau Es akan terjatuh ke tangannya.
Orang-orang persilatan yang telah mendapatkan pusaka-pusaka itu, pasti akan
melalui jalan itu," jelas Sangga Buana.
"Apakah sudah pasti
mereka akan melalui
jalan itu, Kek? Barangkali mereka
melalui jalan lain, atau bahkan tidak menemukan jalan itu," bantah Arya.
Sangga Buana tersenyum lebar.
"Kau yakin rombongan
orang-orang persilatan itu masih berada di dalam pulau?" Sangga Buana
balasbertanya.
“Yakin, Kek,” mantap dan tegas
jawban Arya.
"Kalau begitu..., mereka
pasti akan menuju ke sana," ujar Sangga Buana tak kalah yakin.
"Mengapa demikian,
Kek?" Arya tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya.
"Memang sulit untuk
dimengerti akal, Arya. Tapi itulah kenyataannya. Setiap kali jalan tembus itu
muncul, akan timbul di hati orang- orang yang berada di dalam pulau untuk
menuju ke sana. Ada kekuatan aneh menarik orang untuk pergi ke sana."
Dewa Arak mengalihkan
pandangan ke arah Melati yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar. Pada
saat yang bersamaan, Melati pun tengah menatap ke arah Arya. Bentrok pandangan
pun tidak dapat dielakkan lagi.
"Apa kau merasakan hal
seperti itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
"Yahhh...!" Arya
menghela napas berat sebelum memberikan jawaban. "Memang ada dorongan kuat
untuk menuju ke sana. Padahal, yang ada di benakku pergi meninggalkan pulau
setelah memberitahukan pada kakek. Anehnya dorongan itu menyuruhku meninggalkan
pulau melalui gunung itu."
"Aku pun demikian,
Kang," timpal Melati. "Itulah keajaiban yang sampai sekarang belum
terpecahkan," celetuk
Sangga Buana. "Sekarang
kalian percaya?"
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa
Arak dan Melati menganggukkan kepala. Bagaimana mereka tidak percaya kalau
bukti-bukti sudah demikian jelas.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Mari kita
segera menyusul Pemimpin Pulau
Api sebelum pusaka-pusaka itu berhasil
didapatnya," ajak Sangga Buana.
Dewa Arak dan Melati kelihatan
saling pandang dengan wajah bingung.' Betapa tidak? Bukankah sebelumnya Sangga
Buana telah memberikan kekuasaan pada Dewa Arak untuk mencari dan mendapatkan
pusaka-pusaka Pulau Esyang tercuri. Tapi hanya sebentar saja keheranan itu
melanda sepasang pendekar muda ini. Mereka segera teringat akan kekuatan aneh
yang dapat mempengaruhi orang. Pasti Sangga Buana pun mengalami hal yang sama
seperti mereka berdua.
"Mari, Kek," sambut
Dewa Arak setelah sadar. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, kemudian Dewa
Arak, Sangga Buana, dan Melati melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka
jelas ke gunung es yang tengah longsor. Tanpa ragu-ragu, mereka mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya.
Tentu Dewa Arak dan Sangga
Buana tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Bila hal itu dilakukan, Melati
akan tertinggal jauh. Terpaksa keduanya mengerahkan tenaga sebatas lari Melati.
Hingga dapat lari berjajar.
"O ya, Kek. Boleh aku
bertanya sesuatu?" ujar Dewa Arak di sela-sela ayunan kakinya.
"Apa, Arya?" tanpa
menghentikan lari, Sangga Buana menolehkan kepala ke arah cucunya.
"Apakah ada orang yang
bernama Abimanyu, atau orang-orang yang berpakaian seragam kerajaan mendarat di
sini?"
'Tidak, Arya. Aku tahu pasti
hal itu. Orang- orang yang mendarat di pulau ini hanya dari Pulau Api, dan
tokoh-tokoh persilatan yang telah merampas pusaka. Memangnya kenapa?"
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak
menceritakannya. "Kalau benar demikian, mereka pasti mendarat di Pulau
Api. Kau tahu, Arya. Keadaan Pulau Api amat mirip dengan Pulau Es. Yang
membedakan hanya satu, yaitu api yang sewaktu- waktu menyembur dari dalam tanah
es!"
Kembali Dewa Arak dan Melati
bertukar pandang. Kali ini dengan sorot mata dan tarikan wajah yang memancarkan
kekhawatiran. Mereka khawatir akan keselamatan Abimanyu dan rombongan Kerajaan
Bojong Gading. Perasaan khawatir akan keselamatan Patih Juminta dan yang lainnya,
membuat Dewa Arak dan Melati ingin segera tiba di Pulau Api. Kecepatan lari
mereka pun ditambah.
*** 7
Apa yang dikatakan Sangga
Buana ternyata benar. Dewa Arak dan Melati langsung bisa membuktikan
kebenarannya. Tanah yang tadi berguncang-guncang, kini telah tenang kembali.
Dan gunung es yang tengah mereka tuju
tidak lagi meruntuhkan batu-batu es. Keadaan di pulau itu kembali tenang
seperti sediakala.
Tanpa membutuhkan waktu lama,
Sangga Buana, Dewa Arak, dan Melati telah berada di kaki gunung es itu. Dan
sesampainya di sini, perjalanan yang mereka tempuh tidak mudah lagi. Sekarang mereka harus mendaki. Tidak
jarang mereka melompat ke sana kemari, atau menotok tonjolan demi tonjolan batu
agar tubuh mereka dapat melayang ke atas.
Dengan medan yang agak sulit,
apalagi sesudah terjadi longsor itu, rombongan kecil yang dipimpin Sangga Buana
membutuhkan waktu yang agak lama untuk
tiba di bagian lereng gunung yang longsor.
"Hup!"
Berturut-turut Sangga Buana,
Dewa Arak, dan Melati mendarat di lereng gunung es itu. Hawa dingin menyengat
kulit tubuh mereka. Di tempat ini hawa memang jauh lebih dingin. Bahkan, tiupan
angin pun seperti hendak membekukan tubuh. Tapi dengan mengerahkan hawa murni,
ketiga orang itu membuat serangan hawa dingin tidak berarti apa-apa.
Tanpa membuang-buang waktu
lebih lama, Sangga Buana segera mengedarkan pandangan. Melihat hal ini, Arya
dan Melati langsung melakukan tindakan serupa. Sepasang muda mudi ini tahu kalau Sangga Buana mencari
jalan tembus yang diceritakannya. Dengan sepasang mata berkeliaran ke sana
kemari, mereka mengayunkan langkah.
"Kek...! Itukah jalan
yang kau maksud?!" Seruan
Melati membuat Sangga
Buana dan
Arya mengalihkan pandangan
ke arah yang
ditunjuk Melati. Tampak sebuah
goa berbentuk bulat dengan garis tengah dua tombak, tak jauh di samping kanan
mereka.
"Kemungkinan besar itulah
jalan yang dimaksud, Melati," jawab Sangga Buana tidak berani memastikan.
"Lalu... bagaimana cara
membuktikan kebenarannya, Kek?!" tanya Melati lagi.
Gadis berpakaian putih itu
menanyakannya dengan alis berkerut. Melati kelihatannya tidak puas dengan
jawaban yang diberikan Sangga Buana.
'Tentu dengan memasukinya,
Melati," sahut Sangga Buana kalem, seperti tidak mengetahui kekesalan
hatigadisberpakaian putih itu. Sementara Dewa Arak mengetahui perasaan yang
bergolak di hati kekasihnya. Maka, diputuskannya untuk ikut campur tangan.
"Menurutku... memang
itulah jalan tembus yang kau maksudkan, Kek."
"Hm...! Apa alasan yang
mendorongmu mengambil kesimpulan demikian, Arya?" tanya Sangga Buana
menguji.
"Keadaan goa itu,
Kek," tegas dan mantap jawaban pemuda berambut putih keperakan itu.
Terlihat ada keyakinan dalam jawabannya.
"Bisa lebih kau perjelas
maksudnya, Arya?" pinta kakek berpakaian putih itu.
Dewa Arak tidak segera
menjawab Tatapannya dialihkan ke arah Melati, mencoba untuk melihat tanggapan
kekasihnya. Ingin diketahuinya, apakah
Melati telah mengerti.
Tapi yang ditemuinya seraut
wajah yang menunjukkan ketidakmengertian. Melati belum juga menangkap
maksudnya. Berbeda dengan Sangga Buana. Wajah kakek berpakaian putih itu tampak
tenang. Arya berani bertaruh, Sangga Buana sebenarnya telah mengerti. Bahkan
Dewa Arak yakin kakek itu telah mempunyai dugaan kuat kalau goa itu jalan
tembus yang dimaksud. Sangga Buana hanya tidak mau memastikan.
"Keadaan goa ini, Kek.
Terlihat jelas kalau semuanya belum lama terbentuk," jelas Arya. "Ha
ha ha...! Kau cerdik, Arya. Sudah kuduga kecerdikan Tribuana akan menurun
padamu," kakek berpakaian putih itu kelihatan sangat gembira.
"Kau bisa saja,
Kek," sambut Arya malu, tidak enak hati mendapat pujian seperti itu.
"O, ya. Apakah tidak lebih baik bila kita segera masuk ke goa itu? Aku
khawatir kita akan terlambat."
"Kau benar, Arya.
Mari," timpal Sangga Buana cepat. Kakek berpakaian putih itu tahu kalau
Arya sengaja mengalihkan perhatian.
Dengan didahului Dewa Arak,
atas permintaan Sangga Buana mereka mengayunkan langkah menuju goa. Hanya dalam
beberapa langkah ketiganya telah berada di mulut goa itu. Sampai di sini Dewa Arak tidak langsung melangkah masuk. Untuk
memastikan tidak ada bahaya yang mengancam sejenak diperhatikannya keadaan goa
itu. Pemuda berambut putih keperakan itu memang selalu berhati-hati dalam
tindakannya.
Semua itu tidak luput dari
perhatian Sangga Buana. Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hati kakek
berpakaian putih itu. Memang seharusnya demikian tindakan seorang pendekar,
pujinya dalam hati.
Sementara itu, setelah yakin
tidak ada bahaya yang mengancam, Dewa Arak melangkah masuk. Sangga Buana dan
Melati menyusul di belakangnya. Keadaan dalam goa ternyata tidak terlalu gelap.
Cukup aneh sebenarnya, tapi Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana tidak
mempedulikannya. Andaikata teringat pun mereka tidak merasa heran. Sebab,
mereka tahu di dunia ini ada sejenis batu yang mampu menimbulkan cahaya dalam
gelap.
Suasana yang tidak
terlalu gelap menyebabkan rombongan yang
dipimpin Dewa Arak tidak mengalami kesulitan melakukan perjalanan. Apalagi
langit-langit goa cukup tinggi. Dan jalan dalam goa lurus, tidak ada belokan
satu pun. Hanya satu hal yang sempat membuat mereka bertiga mengernyitkan alis
heran, yaitu dasar goa yang terus
menurun. Tapi begitu teringat kalau jalan
ini melalui lorong bawah tanah yang terdapat di bawah dasar laut, keheranan mereka pun
lenyap.
Setelah cukup lama menempuh jalan
menurun, akhirnya dasar goa
mendatar. Jalan mendatar ini ternyata tidak kalah panjangnya dengan jalan menurun.
Kemudian, perlahan- lahan jalan yang ditempuh mulai menanjak. Melihat
kenyataan ini, Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana mulai meningkatkan
kewaspadaan. Jalan yang menanjak menandakan tak lama lagi mereka akan tiba di
Pulau Api
Dugaan mereka memang tidak
salah. Tak lama kemudian, mereka melihat
cahaya terang di depan mereka. Itu pertanda di sana ada jalan yang berhubungan
dengan dunia luar. Mendadak Dewa Arak menghentikan langkah. Hingga Melati dan
Sangga Buana heran. Terpaksa mereka pun berhenti.
"Mengapa berhenti,
Arya?" tanya Sangga Buana pelan.
"Aku mendengar bunyi
gaduh, Kek. Sepertinya ada pertempuran
di depan sana. Apa kau mendengarnya, Kek?"
"Benar, Arya. Aku
mendengarnya. Beberapa langkah sebelum kau berhenti, aku telah mendengarnya.
Tapi kubiarkan saja. Kupikir tak lama lagi kau
pun akan mendengarnya," urai Sangga Buana, tanpa ada nada
kesombongan di dalamnya. Padahal, jawabannya sudah membuktikan kalau ketajaman
pendengarannya berada di atas Arya.
"Aku... aku belum
mendengar bunyi apa pun, Kang," celetuk Melati. Setelah beberapa saat
lamanya menelengkan kepala, mencoba mendengarkan bunyi yang dimaksud
kekasihnya.
'Tak lama lagi kau pun akan
mendengarnya, Melati," sahut Arya kalem. "Yang penting, persiapkanlah
dirimu. Sebentar lagi kita akan terlibat dalam pertarungan."
Melati hanya menganggukkan
kepala menanggapi pernyataan kekasihnya.
"Sekarang mari kita
lanjutkan perjalanan," lanjut Arya seraya melangkahkan kaki.
Tanpa banyak bicara, Melati
dan Sangga Buana mengayunkan kaki. Perkataan Dewa Arak memang benar. Beberapa
ayunan langkah kemudian, Melati mendengar bunyi riuh rendah yang didengar Dewa
Arak.
***
Semakin lama sinar terang benderang itu semakin jelas.
Dugaan ketiga orang itu tidak keliru.
Sinar terang benderang itu berasal dari dunia luar. Di depan mereka tampak
mulut goa terpampang.
Kalau menuruti perasaan hati,
Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana ingin segera menghambur ke sana. Tapi akal
sehat melarang mereka melakukan tindakan itu. Yang mereka lakukan malah
sebaliknya, mendekati mulut goa yang akan mengantar mereka ke dunia luar itu
dengan langkah hati-hati. Tapi,
kekhawatiran mereka tidak terbukti. Sampai mereka berada sangat dekat dengan
mulut goa, tidak terjadi hal- hal yang dikhawatirkan.
"Dugaanmu benar, Kek.
Orang-orang yang membawa lari pusaka Pulau Es melalui jalan ini. Mereka tengah
terlibat pertarungan dengan orang-orang Pulau Api," ujar Arya sambil
menudingkan jari telunjuknya ke luar goa.
Memang dari tempat mereka
dapat terlihat jelas pemandangan di luar.
Tampak sebuah bangunan besar yang terlihat kuno berdiri megah. Tapi
bukan itu yang menarik perhatian mereka. Melainkan pertarungan yang terjadi di
depan bangunan besar mirip istana itu. Pertarungan besar-besaran yang terjadi
antara rombongan Raja Monyet Muka Hitam
dengan para penghuni Pulau Api. Menarik bukan main.
"Jumlah rombongan Raja Monyet
Muka Hitam jauh lebih banyak, Kang," kata Melati, setelah memperhatikan
keadaan pertarungan beberapa saat lamanya.
"Benar apa yang kau
katakan, Melati," jawab Arya mengangguk 'Tapi meskipun jumlah orang- orang
Pulau Api lebih sedikit, kemampuan perorangan
mereka lebih unggul. Apalagi, dengan kemampuan mereka bekerja sama. Rasanya,
kemenangan akan diraih orang-orang Pulau Api."
Sangga Buana dan Melati
mengangguk- angguk mendengar ucapan Arya. Mereka harus mengakui kesimpulan yang
diberikan pemuda berambut putih keperakan itu memang benar. Kedudukan
orang-orang Pulau Api jauh lebih baik.
Kemenangan mereka hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Kakang...! Bukankah itu
Pemimpin Pulau Api yang telah bertarung denganmu? Siapa tokoh yang menjadi lawannya itu?"
celetuk Melati lagi. Gadis berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke
kancah pertarungan. Hingga Arya mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk
Melati.
"Benar, Melati. Dialah
Pemimpin Pulau Api. Menurut pendapatku, lawan yang dihadapinya Raja Iblis Baju
Emas! Lihat saja pakaian yang dikenakannya," sahut Arya.
"Kau benar, Kang. Mengapa aku begitu pelupa? Siapa lagi
tokoh yang tengah menghadapi Pemimpin Pulau Api kalau bukan Raja Iblis Baju
Emas. Bukankah demikian berita yang kita dapatkan?" ucap Melati seperti
menyesali diri sendiri.
"Pemimpin Pulau Api itu
nama sebenarnya Gandamata," celetuk Sangga Buana, tak tahan berdiam diri..
"Ooo...!"
Dewa Arak dan Melari
membulatkan mulut mendengar pemberitahuan Sangga Buana.
"Kalau begitu, yang di
sebelah sana pasti Raja Monyet Muka Hitam," kembali Melati membuka suara.
Gadis berpakaian putih itu
menunjuk ke sebuah kancah pertarungan lain. Tampak seorang lelaki bertubuh
kecil yang berpakaian hitam tengah bertarung menghadapi dua penghuni Pulau Api. Mereka tidak lain Songora dan Bonggol.
"Apakah tidak sebaiknya
kita ikut terjun dalam kancah pertarungan, Kang?" usul Melati tiba-tiba.
Dewa Arak mengembangkan senyum
lebar. "Sabar, Melati. Kita
tunggu saat yang tepat.
Jangan sampai
tindakan campur tangan
kita membuat mereka bersatu menghadapi kita. Keadaan akan menjadi gawat.
Karena itu, saat ini biarkan saja mereka bertarung. Setelah jumlah mereka
berkurang, baru kita melakukan penyerangan untuk merampas pusaka-pusaka Pulau
Es dari tangan mereka," urai Dewa Arak.
Sementara itu, pertarungan
terus berlangsung sengit Meskipun terdiri dari banyak kelompok pertarungan,
tapi masing-masing pertempuran menarik untuk disaksikan. Tapi tentu saja
penonton, dalam hal ini Dewa Arak, Sangga
Buana, dan Melati lebih menyukai pertarungan yang berlangsung antara
tokoh-tokoh tingkat tinggi. Maka, perhatian mereka lebih banyak terpusat pada
pertarungan Raja Iblis Baju Emas dan Gandamata, serta Raja Monyet Muka Hitam
melawan Songora dan Bonggol. Dan memang, pertarungan tokoh-tokoh itu paling
dahsyat dan menarik bila dibandingkan dengan yang lainnya. Jangankah terkena
serangan langsung, angin serangan mereka saja, mampu menewaskan pesilat yang
kurang kuat tenaga dalamnya. Maka tidak aneh, jika pertarungan tokoh-tokoh
tingkat tinggi itu terpisah cukup jauh
dengan pertarungan pertarungan lainnya.
Berbeda dengan pertarungan
tokoh-tokoh itu yang terlihat berimbang, pertarungan antara rombongan Raja
Monyet Muka Hitam dan penghuni Pulau Api kelihatan tidak berimbang. Para
penghuni Pulau Api mampu mendesak lawan-lawannya, kendati jumlah mereka kalah
banyak. Orang-orang Pulau Api itu hanya berjumlah dua belas orang. Lima di
antara mereka anggota tingkat dasar, sedangkan sisanya orang-orang yang
membantu Songora dan Bonggol sewaktu menghadapi Raja Iblis Baju Emas. Perubahan
lawan tarung disebabkan oleh terjadinya jalan tembus yang menghubungkan Pulau
Api dan Pulau Es.
Seperti juga Pulau Es, Pulau
Api mengalami hal yang sama seiring dengan terjadinya jalan tembus itu.
Kejadian itu membuat kejar-mengejar antara Raja Iblis Baju Emas dan sembilan
lawannya terhenti. Mereka takut Pulau Api akan tenggelam. Maka mereka pun
melarikan diri. Dan seperti juga perasaan yang dialami Pulau Api dan Melati,
mereka tertarik oleh kekuatan aneh untuk datang ke tempat ini. Ketika mereka
tiba di mulut goa, dari sana muncul Raja Monyet Muka Hitam dan rombongannya.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Semula orang-orang Pulau Api
terdesak. Untung Gandamata segera hadir. Keadaan pun langsung berubah. Sekarang
para penghuni Pulau Api berhasil mendesak anak buah Raja Monyet Muka Hitam.
Meskipun jumlah mereka hanya sepertiga lawan.
Orang-orang Pulau Api memang
cerdik bukan main. Mereka menggunakan kerja
sama kelompok untuk menghadapi anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Tak
heran jika kancah pertarungan mereka terbagi tiga kelompok.
*** 8
Ctarrr! "Akh!"
Lolong kesakitan terdengar
ketika seorang anak buah Raja Monyet Muka Hitam terkena
cambuk lawan pada pelipisnya.
Seketika itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang, dan ambruk di tanah, lalu
menggelepar-gelepar sejenak sebelum akhirnya diam tidak bergerak. Nyawanya
telah melayang meninggalkan raga.
Belum juga lenyap jeritannya,
kembali terdengar lolong kematian lainnya. Juga berasal dari anak buah Raja
Monyet Muka Hitam. Pemilik jeritan ini pun tewas. Setelah itu, satu persatu
anak buah Raja Monyet Muka Hitam berguguran. Hingga, dengan sendirinya keadaan
mereka semakin terdesak. Dengan jumlah mereka yang semakin sedikit kekuatan
mereka pun makin berkurang.
Anak buah Raja Monyet Muka
Hitam segera sadar kalau lawan terlalu kuat untuk mereka, dan tidak ada harapan
sedikit pun untuk memenangkan pertarungan. Tapi meskipun demikian, mereka tidak
ingin mati percuma. Mereka ingin mengajak para penghuni Pulau Api mati
bersama-sama.
Anehnya, keinginan itu timbul
secara serentak di benak pengikut Raja Monyet Muka Hitam. Mungkin karena
kedudukan mereka yang sama- sama terjerat. Mereka pun menunggu saat yang tepat
untuk melaksanakan tindakan nekat itu.
"Suiiit...!"
Mendadak, salah seorang anak
buah Raja Monyet Muka Hitam mengeluarkan siulan. Tentu saja bukan sembarangan
siulan. Di dalamnya terkandung maksud tertentu yang hanya dimengerti rombongan
Raja Monyet Muka Hitam. Seketika itu pula, dari tiap-tiap kelompok pertarungan,
terdengar siulan balasan bernada sama. Ini memberi arti kalau mereka telah mengerti maksud si
pemberi siulan.
Dan semua itu didengar
orang-orang Pulau Api. Mereka pun bukan orang bodoh. Siulan itu bukan
keterampilan mulut belaka, tapi
mengandung maksud tertentu. Sayang, mereka tidak tahu arti siulan itu, yang
dapat dilakukan mereka adalah lebih bersikap hati-hati. Bersiap- siap
menghadapi segala kemungkinan.
''Suiiit...!"
Kembali terdengar siulan. Kali
ini nadanya berbeda dengan sebelumnya. Cepat, keras, dan singkat!
Dan, kali ini orang-orang
Pulau Api tidak perlu pusing-pusing memikirkannya. Maksud siulan itu langsung
dibuktikan. Begitu dari masing masing kelompok terdengar siulan. Mereka segera
berlompatan menjauhi arena pertarungan Tindakan ini membuat penghuni Pulau Api
gugup. Mereka sadar lawan tengah menggunakan sebuah siasat. Dan mereka tidak
bisa menebak, siasat apa yang akan dipergunakan. Hingga, orang orang Pulau Api
tidak berani bertindak sembrono dengan memburu lawan. Mereka hanya berdiam diri
di tempat masing-masing dengan sikap waspada. Menurut mereka, inilah cara yang
paling baik bila belum mengetahui siasat lawan.
Karena tidak mendapat hambatan
dari lawan- lawannya, tanpa menemui kesulitan pengikut Raja Monyet Muka Hitam
keluar dari kancah pertarungan. Dan dengan kecepatan yang mengagumkan langsung
membuat lingkaran besar, mengurung semua lawan mereka. Semua itu dilakukan
dengan cepat. Sehingga sebelum anak buah Gandamata sadar, tahu tahu mereka
telah terkurung. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tangan-tangan anak
buah Raja Monyet Muka Hitam dikibaskan.
Wut, wut, wut!
Seketika Itu pula, belasan
bahkan puluhan benda bulat sebesar telur bebek melayang ke arah para penghuni
Pulau Api. Sambaran benda-benda bulat ini membuat orang-orang Pulau Api
keheranan. Sekejap mereka saling pandang dengan sorot mata menyiratkan ketidakmengertian.
Mereka tidak mengenal senjata rahasia semacam itu. Sungguh mereka tidak tahu,
kalau benda yang tengah meluncur ke arah mereka jauh lebih berbahaya dari
senjata rahasia mana pun.
Karena ketidaktahuan itu,
masing-masing kelompok saling bertukar pandang.
Hanya sekejap saja. Tapi meskipun demikian telah didapat sebuah keputusan. Dan keputusan
masing-masing kelompok ternyata tidak sama. Ini terbukti beberapa saat
kemudian.
"Hih!"
Kelompok penghuni Pulau Api
yang berjumlah tiga dan empat orang mengelakkan serangan itu. Sedangkan
kelompok yang berjumlah lima orang dan bersenjatakan cambuk langsung
memapakinya dengan lecutan senjata andalannya. Dan....
Blarrr!
Ledakan dahsyat dan keras
laksana halilintar langsung terdengar ketika benda-benda sebesar telur bebek
itu berbenturan, baik dengan tanah maupun ujung cambuk!
Akibatnya, sungguh luar biasa!
Bongkahan- bongkahan es berpentalan ke sana kemari! Sedangkan lima anak buah
Gandamata yang langsung memapaki benda
bulat itu, mengalami kejadian yang menggiriskan. Tubuh mereka terjengkang ke
belakang seperti diseruduk puluhan kerbau liar!
Tapi justru kejadian itulah
yang membuat mereka selamat dari kematian yang mengerikan! Betapa tidak? Begitu
bongkahan-bongkahan es berpencaran dari dalamnya menyembur api. Tidak kepalang
tanggung lagi semburannya. Sebab, lubang yang terbentuk pun besar! Yang lebih
gila lagi, lubang itu tidak hanya satu tapi banyak!
Kematian seperti itulah yang
diterima tujuh orang anak buah Gandamata! Sebagian dari mereka tewas dengan tubuh hangus terbakar. Sedangkan sisanya terjeblos
ke dalam lubang api.
Nasib yang menimpa lima orang
penghuni Pu- lau Api yang bercambuk memang tidak sesial re- kan-rekannya. Tapi
bukan berarti mereka lepas dari bahaya. Begitu tubuh mereka melayang deras hingga keluar dari kepungan,
sebagian lawan-lawan mereka segera memburu dengan senjata di tangan. Dan dalam
keadaan tiga perempat mati, akibat ledakan keras itu, lima penghuni Pulau Api
ini tidak mampu berbuat banyak! Maka tanpa menemui kesulitan sedikit pun, anak
buah Raja Monyet Muka Hitam menyarangkan serangannya.
"Akh...!"
Jeritan singkat dan menyayat
keluar dari mulut mereka ketika senjata
anak buah Raja Monyet Muka Hitam mendarat di tubuhnya. Bertubi-tubi, dan baru
terhenti ketika tubuh mereka sudah tidak
berbentuk lagj. Tapi baru saja menyelesaikan perbuatannya, terjadi sebuah
peristiwa yang mengejutkan anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Tanah yang mereka
injak bergetar keras. Dan sebelum mereka bertindak sesuatu, tanah itu amblas!
Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh mereka amblas ke dalam tanah.
Ternyata semua terjadi akibat
ledakan benda- benda bulat. Terlalu banyak yang dilepaskan hingga menimbulkan
getaran dahsyat. Padahal, tanah di Pulau Api tidak terlalu baik! Banyak
bagian-bagian yang berongga! Hasilnya, bukan hanya para penghuni Pulau Api saja
yang menjadi korban. Anak buah Raja Monyet Muka Hitam sendiri pun mengalaminya.
Mereka tewas karena tanah yang mereka injak tiba-tiba amblas!
Mengerikan sekali pemandangan
yang terpampang! Di tengah-tengah
hamparan es tercipta danau api! Sulit untuk dipercaya! Tapi, tentu saja api-api
itu tidak lagi menyembur ke atas. Lubang yang terbentuk itu ternyata tidak
kecil, tapi sudah sebesar danau!
***
Kejadian demi kejadian yang
terlalu dahsyat dan bertubi-tubi itu membuat semua yang berada di situ sangat
terkejut. Bukan hanya Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana saja. Raja Iblis Baju
Emas, Raja Monyet Muka Hitam, Gandamata, Songora, serta Bonggol pun demikian pula. Untung saja,
tempat pertarungan tokoh-tokoh itu terpisah cukup jauh. Sehingga, tempat mereka
bertarung tidak termasuk bagian pulau yang amblas!
Meskipun demikian, karena terlalu dahsyatnya peristiwa yang terjadi,
tanpa sadar Songora dan Bonggol
mengalihkan perhatian. Apalagi, ketika mendengar jeritan rekan-rekan mereka di antara hiruk-pikuk itu.
Kesempatan yang hanya sejenak itu dipergunakan sebaik- baiknya oleh Raja Monyet
Muka Hitam. Secepat kilat tangannya dihentakkan!
Wusss! Desss!
"Aaakh...!"
Jeritan menyayat keluar dari
mulut Songora
ketika pukulan jarak jauh Raja
Monyet Muka Hitam telak dan keras menghantam dadanya. Seketika itu pula,
tubuh tokoh Pulau Api itu melayang deras
ke belakang disertai jeritan menyayat. Dari hidung dan mulutnya mengalir darah
segar! Nyawanya melayang ke alam baka saat itu juga.
"Songora...!"
Bonggol menjerit kaget melihat
kejadian yang menimpa rekannya. Kemarahan yang sangat melanda hatinya.
Diterjangnya Raja Monyet Muka Hitam.
Wungngng!
Golok besarnya
dibolang-balingkan di depan dada. Dan tetap dengan gerakan seperti itu, dia
menyerang Raja Monyet Muka Hitam. Bonggol menyerang tanpa mempedulikan
keselamatannya. Yang ada di benaknya adalah membinasakan Raja Monyet Muka
Hitam. Hal- hal lain tidak dipikirkannya.
"Hm...!"
Raja Monyet Muka Hitam
mendengus melihat serangan itu. Tanpa ragu-ragu, dipapaki serangan Bonggol
dengan tombak pendeknya.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana
kemari ketika dua senjata itu berbenturan keras. Tubuh Bonggol terhuyung-huyung
ke belakang. Sedangkan Raja Monyet Muka Hitam yang memang memiliki tenaga dalam
jauh lebih kuat, tidak mengalami kejadian apa pun. Tergetar pun tidak.
Kesempatan di saat Bonggol terhuyung-huyung segera dimanfaatkan tokoh sesat
itu. Tangan kirinya dihentakkan.
Wusss!
Serangan susulan itu terjadi
sangat cepat dan tidak disangka-sangka. Bonggol, yang tengah dilanda perasaan
kalap menjadi gugup. Sebisanya dicoba untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tapi....
Desss! "Aaakh !"
Diiringi jeritan menyayat
tubuh Bonggol
melayang deras ke belakang. Darah
segar keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Nyawa tokoh Pulau Api
itu pun melayang.
Dan kejadian itu tak luput dari
pandangan Gandamata. Betapa geram hati kakek itu. Dengan tewasnya Bonggol,
berarti dia tidak mempunyai anak buah lagi. Akibatnya, Raja Iblis Baju Emas
menjadi sasaran kemarahannya. Serangan-serangan yang dilancarkan terhadap kakek
berpakaian kuning itu semakin dahsyat.
"Hih!"
Raja Iblis Baju Emas
menggertakkan gigi untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya sampai ke puncak.
Sejak tadi kakek itu memang sudah terdesak. Dalam meringankan tubuh maupun
tenaga dalam Gandamata ternyata lebih unggul darinya. Hanya berkat
kecerdikannya saja, hingga pertarungan berlangsung seratus jurus dia belum
dapat dirobohkan.
Sementara itu, begitu berhasil
menyelesaikan pertarungan Raja Monyet Muka Hitam bergegas melesat pergi dari
situ. Tapi baru beberapa kali lesatan dia berlari. Mendadak....
"Raja Monyet Muka Hitam!
Tunggu!"
Cegahan keras yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, memaksa Raja Monyet Muka Hitam menghentikan
langkah dan membalikkan tubuh. Dalam jarak tiga tombak tampak berdiri Dewa Arak
Raja Monyet Muka Hitam mengerutkan sepasang alisnya. Dirayapinya sekujur tubuh
Dewa Arak beberapa saat. Kemudian, kepalanya mengangguk-angguk.
"Tidak salahkah mataku?
Bukankah aku tengah berhadapan dengan tokoh sombong yang berjuluk Dewa
Arak?!" ada nada ejekan sinis dalam ucapan Raja Monyet Muka Hitam.
'Tidak salah!" jawab Dewa
Arak tegas. "Akulah tokoh yang kau maksudkan!"
"Hm...! Apa maksudmu
mencegah kepergianku, Dewa Arak?!" tampak jelas Raja Monyet Muka Hitam
memandang rendah lawannya.
"Tidak usah berpura-pura,
Raja Monyet! Cepat serahkan pusaka-pusaka Pulau Es yang telah kau curi!
Percayalah, aku tidak akan memperpanjang urusan bila kau bersedia mengembalikannya," ujar
Dewa Arak tenang, berusaha tidak terpengaruh dengan sikap yang ditunjukkan
calon lawannya.
"Ha ha ha...! Enak saja
kau bicara, Dewa Arak Apa hakmu meminta pusaka yang kudapatkan dengan
kepandaian yang kumiliki, hehhh...?! Jangan kau pikir aku takut padamu!"
tandas Raja Monyet Muka Hitam dengan suara yang bergetar marah. Datuk kaum sesaat
itu murka melihat sikap Dewa Arak yang kelihatan meremehkan dirinya.
"Aku tidak mengatakan kau
takut padaku, Raja Monyet! Aku hanya
minta kau mengembatkan pusaka Pulau Es yang kau curi! Kau tidak berhak
membawanya pergi!" tegas Dewa Arak mantap.
"Ooo...! Jadi...,
menurutmu siapa yang berhak membawanya? Kau?!" ejak Raja Monyet Muka
Hitam.
"Benar," jawab Dewa
Arak singkat penuh kesungguhan. "Karena aku adalah keturunan terakhir
pemilik Pulau Es!"
"Keparat! Jangan harap
kau dapat menipuku, Dewa Arak! Kalau kau memang pemiliknya, kau boleh
mengambilnya dariku! Tentu saja dengan kepandaian. Karena aku pun
mendapatkannya dengan kepandaian yang kumiliki!" tantang Raja Monyet Muka
Hitam.
"Kalau itu yang kau
inginkan, apa boleh buat, Raja Monyet!
Dengan senang hari kuterima tantanganmu!" sambut Dewa Arak tanpa
merasa gentar sedikit pun.
"Kalau begitu bersiaplah
kau, Dewa Arak!
Hiyaaa...!"
Didahului teriakan nyaring
yang menggetarkan isi dada, Raja Monyet Muka Hitam melompat menerjang Dewa
Arak. Sadar kalau lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan, tokoh sesat
itu menggunakan senjata andalannya.
Wuk, wuk, wuk! Tombak pendek
hitam mengkilat itu dibolang- balingkan di depan dada. Cepat bukan main, hingga
bentuknya lenyap. Mendadak...
"Hih!" Wuttt!
Dengan kecepatan gerak seorang
tokoh tingkat tinggi, Raja Monyet Muka Hitam menusukkan
tombaknya ke arah perut
Dewa Arak. Bunyi menderu keras
mengiringi tibanya serangan itu. Melihat kenyataan itu, Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dan di saat
tubuhnya berada di udara, guci yang tersampir di punggung diambilnya dan
dituangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, ada hawa hangat
merayap di dalam perutnya. Perlahan-lahan hawa itu merambat ke atas.
Jliggg!
Laksana daun kering, kedua
kaki Dewa Arak ringan mendarat di tanah. Tapi, kedudukannya tidak mantap. Kedua
kaki pemuda berambut putih keperakan itu tidak berdiri tegak di tanah. Tubuhnya
oleng ke sana kemari. Pertanda ilmu 'Belalang Sakti'nya siap dipergunakan.
"Inikah ilmu 'Belalang
Sakti' yang terkenal itu?" tanya Raja Monyet Muka Hitam mengejek.
"Ingin kubuktikan sendiri sampai di
mana keampuhannya!"
Usai berkata demikian, Raja
Monyet Muka Hitam melancarkan serangan. Dewa Arak pun menyambutnya dengan
hangat. Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Raja Monyet Muka Hitam mengamuk.
Tombak di tangannya berkelebatan kian kemari, mengincar berbagai bagian tubuh
Dewa Arak. Terutama bagian-bagian yang berbahaya. Tetapi semua dapat diatasi Dewa Arak. Dengan
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' dan jurus 'Delapan Langkah Belalang', bukan
hal yang sulit baginya untuk mengelakkan semua serangan itu.
Tidak hanya sampai di situ tindakan
pemuda berambut putih keperakan itu. Serangan- serangan balasan yang tidak
kalah dahsyatnya dilancarkan pula.
Tak pelak lagi, pertarungan
sengit dan
menarik pun terjadi.
"Hih!"
Raja Monyet Muka Hitam
menggertakkan gigi karena geram dan heran. Selama ini dirinya hanya mendengar keunikan ilmu
'Belalang Sakti'. Baru kali ini dia berkesempatan mencobanya. Memang harus
diakui kalau berita yang didengarnya itu benar adanya! Ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar ilmu yang unik.
Tak masuk akal, tapi benar-benar ampuh! Betapa tidak? Dengan mata kepala
sendiri, Raja Monyet Muka Hitam melihat serangan yang dilancarkannya disambut
oleh Dewa Arak dengan tubuhnya. Tapi anehnya, justru dengan cara itu
serangannya berhasil dielakkan.
Bukan hanya itu saja
hal-hal aneh yang disaksikannya. Tak
jarang Dewa Arak menengguk minumannya di
saat dia tengah melancarkan serangan. Pemuda berambut putih keperakan itu
seperti tidak mempedulikan serangan lawan.
Meskipun demikian tidak
berarti Raja Monyet Muka Hitam menjadi gentar. Sama sekali tidak! Bahkan, semua
itu menambah semangatnya untuk segera merobohkan lawan. Kedahsyatan
serangan-serangan Raja Monyet Muka Hitam semakin meningkat.
Jurus demi jurus berlalu
cepat. Tak terasa seratus jurus telah berlalu. Dan Raja Monyet Muka Hitam
berada di pihak yang terdesak. Datuk sesat yang mirip kera itu hanya dapat
bermain mundur.
Serangan-serangannya yang
semula bertubi- tubi dan susul-menyusul laksana gelombang laut, kini jauh
berkurang. Sekarang dia lebih banyak mengelak. Robohnya Raja Monyet Muka Hitam
hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan itu diketahui secara pasti oleh Raja
Monyet Muka Hitam! "Haaat...!"
Pada jurus ke seratus tiga
puluh dua, Raja Monyet Muka Hitam bertindak nekat. Tahu kalau dirinya tidak
mungkin bisa menang, maka diputuskannya untuk mengadu nyawa. Dia tidak ingin
mati sendirian. Tokoh sesat itu ingin
membawa Dewa Arak ikut serta ke alam baka. Karena itu diputuskan untuk
melancarkan serangan balasan, tidak hanya mengelak seperti sebelumnya.
"Hih!"
Sambil menggertakkan
gigi, Raja Monyet Muka Hitam menusukkan
tombaknya ke perut Dewa Arak Tapi, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Ditunggunya
hingga serangan itu semakin dekat. Kemudian dengan kecekatan dan kepandaian
seorang tokoh tingkat tinggi, tubuhnya didoyongkan ke kanan. Dan tangan kirinya
agak sedikit diangkat. Serangan Raja Monyet Muka Hitam pun lewat di sisi kiri dadanya. Saat itulah Dewa Arak
melakukan siasat, yang sejak tadi sudah diperhitungkan masak-masak.
Kreppp!
Batang tombak Raja Monyet Muka Hitam terjepit di ketiak
Dewa Arak. Hingga datuk sesat mirip kera itu kelabakan. Buru-buru ditariknya
kembali tombak itu untuk membebaskannya.
Tapi Dewa Arak tidak membiarkan hal itu.
Tenaganya dikerahkan untuk menahan. Akibatnya terjadi adu tenaga! Yang satu
mengambil, sedangkan yang lain mempertahankan. Inilah yang ditunggu-tunggu Dewa
Arak. Guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke arah dada Raja
Monyet Muka Hitam. Cepat dan tidak disangka-sangka. Meskipun demikian, Raja
Monyet Muka Hitam masih mencoba untuk mengelak. Namun...
Blakkk!
Telak dan sangat keras guci
Dewa Arak menghantam sasaran. Seketika
itu pula, tubuh Raja Monyet Muka Hitam terjengkang ke belakang. Bunyi berderak
tulang-tulang berpatahan mengiringi muncratnya darah dari mulut, hidung, dan
telinga Raja Monyet Muka Hitam.
Brukkk!
Setelah terhuyung-huyung
beberapa tombak jauhnya. Raja Monyet Muka Hitam ambruk di tanah. Tokoh itu
menggelepar-gelepar. Kemudian, diam tidak bergerak. Mati.
Baru saja Dewa Arak bermaksud
melepaskan tombak yang masih terselip di ketiaknya, terdengar dua jeritan
menyayat. Saat itu juga pandangannya dialihkan ke arah asal suara. Tubuh
Gandamata dan Raja Monyet Muka Hitam ambruk di tanah. Tewas. Kepala Gandamata
remuk. Sedangkan Raja Iblis Baju Emas tewas dengan sebuah pisau menghunjam
jantung. "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega,
setelah berhasil menemukan pusaka-pusaka Pulau Es dari buntalan Raja Monyet
Muka Hitam. Lalu perhatian dialihkan pada Sangga Buana dan Melati. Kedua orang
itu tampak berlari-lari menghampiri.
"Bagaimana mereka bisa
mati bersama-sama?"
tanya Arya ketika kedua orang
itu telah dekat dengannya. Tidak dijelaskan pada siapa pertanyaan itu
ditujukan.
"Kami tidak
mengetahuinya, Kang. Sebab, kami lebih memperhatikan pertarunganmu," jawab
Melati.
Sangga Buana hanya
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan Melati.
"Kalau begitu, mari kita
cari Abimanyu dan rombongan Patih Juminta. Mudah-mudahan mereka berada di
sini," ajak Dewa Arak mengalihkan persoalan.
Tanpa membantah sedikit pun,
Sangga Buana dan Melati melangkah mengikuti Dewa Arak yang telah mengayunkan
kaki lebih dulu. Arah yang ditujunya bangunan besar yang sebenarnya Istana
Api. Ternyata tidak sulit menemukan
mereka. Di halaman depan istana yang
luas tampak terjajar Patih Juminta, Abimanyu dan rombongan pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mereka terikat di
sebuah tonggak besi. "Gusti, Ayu Melati...!" seru Patih Juminta
ketika melihat Melati menghampirinya.
"Paman...!" seru
Melari. Gadis itu menghambur ke tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading yang
tengah tertawan.
Dewa Arak dan Sangga Buana
hanya tersenyum melihat semua itu. Akhirnya semua berakhir seperti yang
diharapkan mereka. Pusaka-pusaka Pulau Es dapat mereka rebut kembali. Dan
Melati dapat menemukan Abimanyu, Patih Juminta
serta pasukan Kerajaan Bojong
Gading.
SELESAI