35 Kemelut Rimba Hijau
1
Hari sudah agak siang. Kicau
sang burung-burung sudah tidak seramai sebelumnya. Angin yang bertiup pun
terasa tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, sang surya sudah sejak tadi
muncul di ufuk Timur, menglringi perjalanan sebuah kereta kuda yang dikawal
delapan orang penunggang kuda. Para pengiringnya rata-rata memiliki wajah
maupun sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata juga tidak memakai kusir. Jadi
jalannya kereta itu karena tali kekang kuda penariknya ditarik oleh seorang
pengawal yang berada di depan.
Rombongan kereta kuda itu
tampak bergerak pelan di dalam hutan Kaji. Sebuah hutan yang cukup lebat dan
ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun rimbun, sehingga menghalangi pancaran sinar
matahari yang berhasil menerobos lebatnya hutan hanya berupa bias sinar- sinar
yang berbentuk cahaya memanjang. Meskipun demikian, cukup membuat suasana di
dalam hutan jadi terang.
Para pengiring kereta kuda itu
masing-masing empat berada di depan, dan yang empat lagi berada di belakang.
Menilik dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau mereka benar-benar bertugas
sebagai pengawal kereta.
Memang, sebenarnya mereka
bertugas sebagai pengawal barang-barang kiriman yang dibawa kereta kuda itu.
Pada bagian badan kereta kuda tampak sehelai kain panjang berwarna putih
bersih, bergambar seekor harimau bersayap yang disulam dari benang warna merah.
Gambar serupa tampak pula pada bagian dada kiri pakaian para pengawal yang
berwarna putih bersih itu.
Seorang yang bertubuh kekar
dan berkumis tebal rupanya menjadi
pemimpin rombongan ini. Terbukti, dialah
yang berkuda paling depan sambil memberi aba-aba.
"Kakang Sangga
Juwana," sapa salah seorang dari empat orang yang berkuda paling depan.
Laki-laki berkumis tebal yang
ternyata bernama Sangga Juwana itu menoleh ke arah
orang yang menyapanya. Dia
seorang laki-laki bertubuh kekar berotot dan berwajah persegi. "Ada apa,
Lantar?" tanya Sangga Juwana.
"Begitu berhargakah
kiriman yang harus kita antarkan, sehingga sampai-sampai guru menyuruhmu ikut
dalam rombongan ini? Padahal, biasanya kau tidak pernah diikutsertakan "
Dua orang penunggang kuda lainnya
yang berada di depan
kereta menganggukkan
kepala, pertanda membenarkan
ucapan Lantar. Sementara, Sangga Juwana menyunggingkan senyum lebar sebelum
menjawab pertanyaan Lantar.
"Mungkin kau benar,
Lantar. Sayang sekali, aku juga tidak tahu barang yang akan kita
antarkan ini. Tapi menilik
dari pesan guru yang memperingatkan agar kita lebih meningkatkan kewaspadaan,
bisa diperkirakan kalau barang yang akan dikirim ini benar- benar berbahaya.
Oleh karena itu, kuharap kalian semua lebih meningkatkan kewaspadaan."
"Jangan khawatir,
Kang," jawab Lantar mantap. "Aku pun tidak ingin memupuskan
kepercayaan orang yang
menitipkan barang-barang ini, karena kita tidak sanggup mengantarnya sampai
tujuan."
"Benar, Kang,"
sambut orang yang berwajah bulat "Kalau hal itu terjadi, langganan kita
akan lari ke Perguruan Naga Laut"
"Syukur kalau kau pun
tahu itu, Guntar," sahut Sangga Juwana. "Memang, Perguruan Naga Laut
adalah saingan kuat kita dalam hal pengiriman barang."
"Tapi, toh Perguruan
Harimau Terbang tidak kalah dengan Perguruan Naga Laut. Buktinya, orang-orang
lebih suka menitipkan barang kiriman pada kita," sanggah Lantar bernada
sombong.
"Buang jauh-jauh sikap
seperti itu, Lantar," tegur Sangga Juwana sambil menatap tajam wajah
laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Maafkan aku, Kang. Aku
tidak bermaksud menyombongkan diri," sahut Lantar
dengan kepala tertunduk.
"Lupakanlah," desah
Sangga Juwana, tanpa mampu memperpanjang persoalan. Kini, iring-iringan
Perguruan Harimau Terbang melanjutkan perjalanan tanpa berkata- kata lagi.
Langkah pelan kaki kuda yang menapak tanah, dan disertai derit pelan suara roda
kereta, memecah keheningan hutan. Karena, Sangga Juwana dan rekan-rekannya sama
sekali tidak terlibat dalam percakapan lagi. Sikap mereka semuanya tampak
waspada, memperhatikan sekeliling hutan.
"Hati-hatilah," ujar
Sangga Juwana memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Kudengar, di hutan ini ada gerombolan perampok..."
"Tapi, Kang....
Gerombolan perampok di sini telah kami hancurkan beberapa waktu yang
lalu," bantah Lantar.
Sangga Juwana menatap wajah
Lantar sekilas. Seakan-akan dia ingin mencari kebenaran di wajah laki-laki
kekar berotot itu.
"Meskipun benar begitu,
kita harus tetap berhati-hati. Beritahukan pada rombongan di belakang, agar
bersikap lebih waspada."
"Baik, Kang," sahut
Lantar, tak berani membantah lagi. Disadari ada kebenaran dalam ucapan
laki-laki berkumis tebal itu.
Lantar lalu bersiul. Tentu
saja disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga terdengar sampai ke rombongan
belakang. Inilah tanda rahasia untuk bersikap hati-hati. Baru saja siulan itu lenyap, mendadak....
Singgg Cappp!
Diiringi suara mendesing
nyaring, tiba-tiba sebatang tombak meluncur dan menancap di tanah. Tepat, hanya
beberapa tombak di depan Sangga Juwana dan ketiga rekannya.
Tentu saja hal itu mengejutkan
seluruh anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang. Kontan Sangga Juwana dan
ketiga rekannya menarik tali kekang kuda, lalu baru diikuti yang lain. Dan
didahului suara ringkikan nyaring, kuda-kuda itu menghentikan langkahnya sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas.
Srat, srat, srat..!
Sinar-anar keperakan langsung
berkelebatan ketika Sangga Juwana dan semua rekannya mencabut pedang
masing-madng, yang bergagang kepala harimau.
Dan sambil tetap memegangi
tali kekang kuda dengan tangan kiri agar binatang itu tidak menjadi liar,
rombongan Perguruan Harimau Terbang mengedarkan pandangan berkeliling. Sikap
mereka tampak waspada. Bahkan tangan yang menggenggam pedang tampak sudah
mengejang penuh tenaga.
Tidak percuma mereka bersikap
demikian. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berkerosakan keras. Lalu,
disusul bermunculannya sosok-sosok tubuh dari balik kerimbunan semak-semak di
depan iring-iringan rombongan itu.
Melihat hal ini,
penunggang-penunggang kuda yang berada di belakang kereta langsung bergerak ke
depan, bergabung dengan rombongan Sangga
Juwana. Meskipun demikian, dua di antara mereka tetap berjaga-jaga di
belakang kereta. Mereka bersiap-siap untuk menghadapi hal yang tidak
diinginkan.
***
Para penghadang yang berjumlah
lima belas orang itu rata-rata bertubuh kekar dan bersikap liar. Menilik cara
kemunculan mereka, bisa ditebak kalau mereka bermaksud tidak baik.
"Siapa kalian?! Mengapa
menghadang perjalanan kami?!" tanya Sangga Juwana tidak mau bersikap
sembrono.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa bergelak yang
keluar dari seorang laki-laki berkepala botak menjadi jawaban pertanyaan Sangga
Juwana tadi. Sekujur wajah laki-laki itu tampak dipenuhi kumis, cambang, dan
jenggot yang kasar serta lebat.
Rupanya, laki-laki berkepala
botak ini adalah pimpinan rombongan penghadang itu.
Buktinya, ketika dia tertawa,
belasan orang kasar lainnya tertawa bergelak. Meskipun mendapat sambutan
seperti itu, Sangga Juwana tetap bersikap tenang. Raut wajahnya sama sekali
tidak menyiratkan ketegangan. Hanya sinar matanya tampak sekelebatan berkilat,
pertanda amarahnya mulai bangkit.
Berbeda dengan Sangga Juwana
yang mampu mengekang amarah, ternyata Lantar tidak demikian. Perasaannya kontan
tersinggung bukan kepalang melihat perlakukan belasan orang kasar itu. Suara
bergemeretak keras dari gigi-giginya yang beradu karena perasaan geram, menjadi
pertanda kemarahannya.
"Anjing-anjing kurap dari
mana kalian?!" teriak Lantar keras dan lantang "Aku yakin, kalian
bukan perampok-perampok Hutan Kaji. Karena, semua perampok di sini telah kami
basmi beberapa waktu yang lalu!"
Keras dan kasar bukan kepalang
makian yang dilontarkan Lantar. Sehingga, bukan
hanya membuat belasan orang
kasar itu menghentikan tawa, tapi juga membuat Sangga Juwana terkejut. Dia pun
sadar, bentrokan tidak akan bisa dihindari lagi. Laki-laki berkumis tebal itu
tidak menyangka kalau Lantar akan bersikap seperti itu.
"Semula, kami tidak ingin
bertindak kejam, kecuali mengambil barang kiriman kalian.
Tapi, kini kami berubah
pikiran. Di samping barang itu, kami juga ingin ambil nyawa kalian semua!"
tegas lelaki berkepala botak.
"Kau lucu, Kisanak,"
sambut Sangga Juwana, tenang. Bagi kami, lebih baik mati daripada kehilangan
barang kiriman. Kami adalah orang yang dipercayakan mengawal barang. Bagi kami,
keberadaan barang ini lebih berharga ketimbang nyawa kami. Sikap kami tidak
main-main lagi bila kau terus melanjutkan keinginan untuk mengambil
barang!"
"Keparat! Kau tahu,
dengan siapa berhadapan sekarang?!" bentak laki-laki berkepala botak,
sete-ngah menggertak.
Sangga Juwana menggelengkan
kepala.
"Sudah banyak aku
mengenal tokoh persilatan, baik aliran hitam maupun putih. Tapi aku belum
pernah bertemu atau mengenal tokoh sepertimu," lanjut Sangga Juwana.
"Keparat! Rupanya kau
mencari mampus sendiri, Kunyuk! Serbu...!" teriak laki-laki berkepala
botak memberi aba-aba pada kawan-kawannya.
Maka, serentak belasan orang
kasar itu menyerbu rombongan Sangga
Juwana. Disertai teriakan-teriakan keras membahana, mereka meluruk maju
dengan senjata terhunus di tangan. Namun Sangga Juwana dan kawan-kawannya memang
sudah siaga sejak tadi. Mereka menyambut serangan ini dengan lompatan lincah
laksana kera dari punggung kuda. Para pengawal kereta barang ini langsung
bergerak menyongsong serbuan belasan orang laki- laki kasar itu. Sementara dua
orang pengawal barang lainnya hanya berjaga-jaga di belakang kereta. Kedua
orang itu tidak ikut bertarung, karena hams menjaga kereta.
Pertarungan antara para
pengawal barang kiriman dari Perguruan Harimau Terbang menghadapi lima belas
orang kasar pun tidak bisa dielakkan lagi
Trang, trang..!
Dentang senjata beradu
diiringi percikan bunga-bunga api ke udara menyemaraki bentrokan yang terjadi.
Apalagi, kedua belah pihak mengerahkan sekuruh kemampuan yang dimiliki. Maka
yang terjadi adalah pertempuran yang benar-benar menegangkan.
Sadar kalau laki-laki berkepala
botak itu bertindak sebagai pemimpin, yang sudah
pasti memihki kepandaian
paling tinggi, Sangga Juwana tidak tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Sedangkan Lantar, Guntar, dan yang lainnya menghadapi belasan orang kasar itu.
Sementara, dua orang lagi tetap berjaga-jaga.
"Haaat...!"
Laki-laki berkepala botak itu
berteriak keras sambil melancarkan serangan bertubi- tubi. Senjata andalannya
berupa golok besar yang salah satu matanya bergerigj dikelebatkan cepat ke
leher lawan.
Wuttt...!
Sambaran golok itu ternyata
hanya mengenai tempat kosong, ketika Sangga Juwana menundukkan kepala sedikit.
Bahkan sebaliknya, serangan balasan Sangga Juwana yang berupa sapuan kaki telah
memaksa laki-laki berkepala botak itu melompat mundur. Namun sambil melompat mundur,
goloknya dibabatkan untuk mencegah pengejaran lawan. Dan memang, usaha
laki-laki berkepala botak itu tidak sia-sia. Buktinya, Sangga Juwana terpaksa
menahan serangan untuk memburu lawannya, kalau tidak ingin terbacok! Namun
sesaat kemudian, kedua orang itu sudah terlibat pertarungan sengit.
Namun bukan hanya pertarungan
antara kedua orang pemimpin itu saja yang berlangsung sengit. Di tempat lain,
pertarungan para pengawal kereta barang melawan para perampok juga tak kalah
sengitnya.
Memang, meskipun jumlah
orang-orang kasar itu dua kali lipat, tapi belum mampu
mendesak para pengawal kereta
barang. Hal itu terjadi karena kepandaian murid-murid Perguruan Harimau Terbang
memang di atas anggota gerombolan perampok itu. Terutama sekali kepandaian
Lantar dan Guntar. Dua orang ini biasanya bertindak sebagai pimpinan rombongan,
apabila Sangga Juwana tidak ditunjuk guru mereka. Dan tentu saja sebagai
pimpinan rombongan, mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada
para anggota lainnya.
Sekarang pun, baik Lantar
maupun Guntar menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Masing-masing menghadapi
empat orang lawan. Sedangkan sisanya dihadapi oleh tiga orang anggota Perguruan
Harimau Terbang Sementara, dua orang pengawal masih tetap berjaga- jaga di belakang
kereta barang dengan sikap waspada. Sampai saat ini, memang belum ada perampok
yang menyerang mereka.
Walaupun menghadapi lawan
lebih banyak, tidak ada satu pengawal barang pun yang
terdesak. Bahkan sebaliknya,
pihak Perguruan Harimau Terbang tampak berada di atas angin.
Terutama sekali, pertarungan
antara Sangga Juwana menghadapi laki-laki berkepala botak. Tidak sampai lima
belas jurus, pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu telah berhasil
mendesak lawan.
Kini, laki-laki berkepala
botak itu hanya bisa bertarung mundur. Serangan- serangannya yang semula
bertubi-tubi, kini tampak tumpul kembali. Laki-laki berkepala botak itu sekarang lebih sering
mengelak. Bahkan menangkis pun jarang dilakukan, karena hanya akan merugikan
dirinya. Memang, tenaga dalam Sangga Juwana jauh lebih unggul daripada tenaga
pimpinan orang-orang kasar itu. Beberapa kali ketika menangkis, laki-laki
berkepala botak itu menyeringai. Tangannya tergetar hebat, dan jari-jari
tangannya terasa seperti tersengat kala berbisa.
Sementara itu, dua anggota
Perguruan Harimau Terbang yang tidak ikut bertempur, menyaksikan jalannya
pertarungan dengan hati lega. Mereka tahu, kemenangan di pihak para pengawal
barang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dugaan itu ternyata tidak
salah. Karena beberapa saat kemudian terdengar jeritan menyayat, yang disusul
oleh robohnya salah seorang dari pihak penghadang. Ternyata, pedang di tangan Lantar telah merobek
lehernya.
Belum juga lenyap gema
teriakan itu, segera menyusul jerit kematian lainnya.
Kematian, susul-menyusul
orang-orang kasar itu berguguran di tanah tanpa mampu bangkit lagi untuk
selamanya. Maka dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari lima orang perampok
yang tewas. Sedangkan lelaki berkepala botak itu pun tampaknya sudah terdesak
hebat.
"Haaat...!"
Sangga Juwana berteriak keras.
Pedang di tangan kanannya ditusukkan bertubi-tubi ke arah leher lawan. Karuan
saja hal ini membuat laki-laki berkepala botak itu terkejut bukan kepalang. Dia
ingin mengelak, tapi sudah tidak memiliki kesempatan lagi. Maka, terpaksa
serangan itu ditangkisnya.
Trang, tranggg....
Cappp!
Lelaki berkepala botak ini
memang berhasil menangkis serangan Sangga Juwana. Tapi, serangan yang dilakukan
laki-laki berkumis tebal itu begitu bertubi-tubi. Dan pada tusukan yang ketiga
kalinya, laki-laki berkepala botak itu tidak mampu menangkis lagi. Akibatnya,
pedang Sangga Juwana langsung memanggang lehernya!
Darah segar kontan menyembur
keluar. Apalagi, ketika mencabut pedang itu. Maka darah semakin mengucur deras.
Pimpinan perampok kasar itu rupanya memiliki kekuatan tubuh yang mengagumkan
juga. Meskipun luka-luka yang dideritanya amat parah, tapi masih mampu berdiri
beberapa saat lamanya dengan kedua kaki limbung.
Tapi, hanya beberapa saat saja
lelaki berkepala botak itu mampu bertahan. Karena tak lama kemudian, dia roboh
di tanah tanpa bergerak lagi untuk selamanya.
Berbarengan dengan robohnya
laki-laki berkepala botak itu, Lantar, Guntar, dan tiga orang anggota Perguruan
Harimau Terbang telah berhasil pula merobohkan lawan-lawannya. Dan hebatnya,
tidak ada seorang pun anggota Perguruan Harimau Terbang yang tewas. Bahkan
terluka berat pun tidak. Meskipun demikian, ternyata seorang di antara mereka
yang menderita luka ringan.
Trek!
Sangga Juwana memasukkan kembali
pedangnya ke dalam warangkanya. Demikian pula yang dilakukan rekan-rekannya.
Kemudian setelah memperhatikan mayat orang-orang kasar itu sejenak, mereka
beranjak menghampiri binatang tunggangan mereka.
"Hup!"
Indah dan manis gerakan
anggota-anggota Perguruan Harimau Terbang itu saat melompat ke atas punggung
kuda.
"Mari kita lanjutkan
perjalanan," kata Sangga Juwana memberi perintah sambil mengibaskan
tangannya.
Setelah memberi aba-aba
demikian, laki-laki berkumis tebal ini menggeprak pelan tali kekang kudanya.
Mulutnya pun berdecak pelan, memberi tanda pada binatang tunggangannya untuk segera berangkat. Maka,
kuda itu pun melangkah perlahan.
Lantar, Guntar, dan yang
lainnya pun berbuat hal yang sama. Maka, sesaat kemudian
rombongan Perguruan Harimau
Terbang telah kembali melanjutkan perjalanan. Pengawalan pun telah seperti
semula. Empat orang berada di belakang, dan empat orang berada di depan kereta.
Hanya saja, kedudukan Guntar diubah. Dia tidak lagi berada di depan, melainkan
di belakang. Hal ini karena atas perintah Sangga Juwana. Sangga Juwana ingin,
di rombongan belakang juga mempunyai orang yang dapat diandalkan. Jadi tidak
semua tokoh yang memiliki kemampuan tinggi berada di depan.
Suara tapak kaki kuda dan
derit roda kereta terdengar kembali. Rombongan Perguruan
Harimau Terbang melanjutkan
perjalanan untuk meng-antarkan barang kiriman ke tempat yang telah ditentukan.
2
Waktu berjalan sesuai
kodratnya. Dan kini, sang surya tidak lagi berada di langit sebelah Timur.
Tapi, tepat berada di atas kepala. Warna dan bentuknya pun sudah mulai berubah.
Tidak lagi merah dan besar seperti waktu pagi. Tapi kecil dan menyilaukan mata.
Seiring letak matahari yang
telah berubah, suasana di persada pun berganti. Tidak lagi sejuk seperti
sebelumnya, melainkan panas menyengat kulit. Bahkan angin yang berhembus pun
terasa kering
"Hooop...!"
Sangga Juwana mengangkat
tangannya tinggi-tinggi ke atas. Berbarengan dengan itu, tangan kirinya menarik
tali kekang kudanya. Dengan sendirinya, langkah binatang tunggangannya pun
berhenti. Lantar dan yang lainnya pun menghentikan langkah kudanya pula.
"Kita beristirahat di
sini," ujar Sangga Juwana.
Lantar memandang berkeliling.
Diam-diam hatinya memuji tempat yang dipilih Sangga Juwana untuk beristirahat.
Terlihat sejuk, karena terlindung pepohonan lebat. Sehingga, sinar matahari
tidak mampu menerobos masuk ke tempat itu.
"Bagaimana, Lantar?"
tanya Sangga Juwana, meminta pendapat.
Laki-laki berkumis tebal itu
tahu kalau Lantar tengah menilai tempat beristirahat yang dipilihnya. Itulah
sebabnya pertanyaan seperti itu diajukannya.
"Kau memang pintar
memilih tempat, Kang," puji Lantar sambil mengacungkan ibu jari tangan
kanannya.
"Ha ha ha...!"
Sangga Juwana tertawa terbahak-bahak. "Kau memang pintar
mengangkat perasaan orang,
Lantar!"
"Lho?! Aku mengatakan
yang sebenarnya, Kang!" sambut Lantar cepat. "Kalau tidak percaya,
tanyakan saja pada Guntar!"
"Tidak perlu, Lantar. Aku
percaya padamu. Lebih baik, kita lupakan masalah itu. Mari
lata istirahat dan mengisi
perut. Setuju?!"
"Tidak usah kau tanyakan
lagi, Kang. Memang sudah sejak tadi perutku menjerit-jerit minta diisi.
Pertempuran tadi rupanya telah membuat perutku lebih cepat lapar," sergah
Lantar.
"Itulah sebabnya kalian
semua kuajak beristirahat," tegas Sangga
Juwana. "Karena aku pun
merasa lapar juga."
Usai berkata demikian, Sangga
Juwana langsung melompat turun dari kudanya diikuti
yang lainnya. Sesaat kemudian
mereka semua sudah duduk di atas rerumputan hijau tebal yang menghampar laksana
permadani.
Sementara, kuda-kuda mereka
dibiarkan istirahat sambil menikmati rumput-rumput hijau segar yang terhampar
luas. Sama sekali tak ada perasaan khawatir kalau binatang- binatang itu akan
kabur.
Dengan perasaan tenang,
rombongan Perguruan Harimau Terbang
mulai mengeluarkan bekal makanan yang dibawa. Nasi, ikan bakar, sambal
terasi, dan arak.
"Lantar!" panggil
Sangga Juwana sebelum mulai menyentuhkan tangan pada bekalnya.
"Ya, Kang," sahut
Lantar, cepat.
Laki-laki bertubuh kekar
berotot itu langsung mengalihkan pandangan dari bekal yang dibawa-nya.
"Kurasa, ada baiknya
sebelum kita makan kau mencari air dulu. Tanganku kotor
sekali. Penuh debu."
Lantar melirik ke arah
tangannya. Ternyata, sama seperti yang dikatakan laki-laki berkumis tebal itu.
Maka mangkuknya diletakkan, lalu bangkit berdiri.
"Apakah di sekitar tempat
ini ada sungai, Lantar?" tanya Sangga Juwana lagi.
Lantar membalikkan tubuhnya.
"Sepengetahuanku, di
dekat sini ada sungai, Kang." "Kalau begitu, lekaslah," perintah
Sangga Juwana. "Tapi, ingat. Jangan tinggalkan kewaspadaan, Lantar."
"Beres, Kang."
Lantar pun beranjak
meninggalkan anggota Perguruan Harimau Terbang lainnya. Sementara, Sangga
Juwana dan yang lain mulai terlibat dalam percakapan. Tapi, tentu saja tanpa melepaskan
perhatian pada kereta yang berisikan barang kiriman.
***
Dengan agak tergesa-gesa,
Lantar mengayunkan langkahnya. Dia ingin secepatnya tiba di sungai untuk
mengambil air. Perutnya sudah lapar bukan kepalang.
Memang, Lantar tidak berdusta
pada Sangga Juwana. Sungai yang ditujunya memang tidak jauh dari tempat
rekan-rekannya beristirahat. Paling jauh, hanya berjarak sepuluh tombak. Hanya
saja, letaknya tidak bisa terlihat dari tempat peristirahatan mereka karena
terhalang pepohonan.
Sebentar kemudian, Lantar
telah tiba di tempat yang dimaksud. Ternyata, bukan sungai seperti yang
dikatakannya, melainkan sebuah mata air. Letaknya di bawah sebatang pohon besar
dengan garis tengah tak lebih dari satu setengah tombak.
Lantar tersenyum melihat air
yang terlihat amat jernih itu. Kelihatannya segar sekali
kalau wajahnya yang telah
dipenuhi keringat ini dibasuh dengan air itu. Tapi itu nanti! Yang penting,
sekarang memasukkan air yang jernih itu ke dalam guci besar yang dibawanya
sebagai tempat menampung air.
Dengan hati-hati Lantar
menenggelamkan guci itu ke dalam air. Dan ketika seluruh
bagian guci telah terendam
air, laki-laki kekar berotot ini lalu mengangkatnya ke atas. Mudah saja Lantar
melakukannya, karena leher guci itu telah diikat dengan tali. Jadi dia hanya
tinggal menarik saja.
Permukaan air tampak
bergelombang ketika guci itu terangkat keluar. Lalu, Lantar meletakkannya di
atas tanah. Lantar kemudian menggulung lengan bajunya, dan mengulurkan
tangannya ke permukaan air. Memang, melihat jernihnya air itu, laki-laki kekar
berotot ini tidak kuat menahan keinginannya untuk membasuh wajahnya. Kesegaran
air itu sudah terasa pada kulit wajahnya, meskipun belum membasuhnya.
"Akh...!"
Jeritan keras keluar dari
mulut Lantar ketika kedua tangannya telah tercelup ke dalam air. Secepat itu
pula, kedua tangannya ditarik.
Dengan wajah pucat Lantar
menatap kedua tangannya. Tampak warna kedua punggung tangannya merah seperti
kepiting rebus. Memang, sakit yang diderita kedua tangannya ketika tercelup ke
dalam air, membuat laki-laki kekar berotot buru-buru menarik tangannya. Namun
rasa panas membakar dan gatal-gatal yang luar biasa langsung mendera. Baik
ketika kedua tangannya berada di dalam air, maupun sesudahnya.
Wajah Lantar yang sudah pucat
semakin pias ketika melihat warna merah yang semula hanya mencapai pergelangan
tangannya kini bergerak naik ke atas. Demikian pula rasa panas dan gatal yang
mendera.
Mendadak, telinga Lantar
mendengar suara langkah-langkah kaki yang menuju ke arahnya. Maka, buru-buru
kepalanya menoleh ke belakang. Dia bersiap-siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Tapi, sekujur urat-urat syaraf
di tubuhnya yang semula menegang kaku penuh kewaspadaan, langsung mengendur
kembali. Ternyata, yang datang kedua orang rekannya sendiri, yakni Sangga
Juwana dan salah seorang anggota Perguruan Harimau Terbang.
"Ada apa, Lantar?"
tanya Sangga Juwana, cepat bernada khawatir.
Raut kecemasan tampak jelas di
wajah Sangga Juwana. Bahkan pertanyaan tadi diajukannya saat masih berada beberapa
tombak dari Lantar.
Memang, jeritan yang keluar
dari mulut Lantar terdengar sampai ke tempat peristirahatan rekan-rekannya.
Begitu mendengar, Sangga Juwana langsung melesat bersama salah seorang
rekannya. Dan rupanya kedatangan Sangga Juwana bersama rekannya ini tepat
waktunya dengan Lantar memperhatikan tangannya.
"Aku tidak tahu, Kang.
Yang jelas, tanganku jadi seperti ini ketika kucelupkan ke
dalam air ini," jelas
Lantar sambil menunjukkan kedua tangannya.
Kemudian secara singkat,
laki-laki kekar berotot menceritakan semua kejadiannya. Sementara Sangga Juwana
memperhatikan tangan Lantar sambil mendengarkan cerita yang tengah dituturkan.
"Air itu pasti mengandung
racun ganas, Lantar," jelas Sangga Juwana ketika Lantar telah
menyelesaikan ceritanya.
"Aku juga menduga
demikian, Kang. Lalu, apa yang harus kulakukan?"
Baru kali ini Lantar merasa
begitu tidak berdaya. Otaknya sama sekali tidak bisa digunakan untuk berpikir.
Sedangkan sepasang matanya menatap wajah Sangga Juwana penuh permohonan.
Sangga Juwana tentu saja
mengerti arti pandangan mata Lantar. Tapi apa dayanya? Pikirannya juga sama
seperti Lantar. Bingung! Harus diakui, baru pertama kalinya dia melihat racun
yang demikian ganas, dan menyebar demikian cepat. Untuk beberapa saat lamanya, pimpinan
rombongan Perguruan Harimau Terbang ini tertegun.
"Kang...?! Tanganku,
Kang...?!"
Panggilan yang bercampur
kengerian itu mem buat Sangga Juwana kembali menatap ke arah tangan Lantar. Dan
seketika itu pula, sepasang matanya terbelalak lebar.
Betapa tidak? Jari-jari tangan
Lantar ternyata mulai mencair seperti film terkena api!
Dan hal itu dimulai dari
ujung-ujung jarinya.
Sangga Juwana bingung bukan
kepalang. Apalagi ketika tanda merah itu semakin merayap naik. Dan sekarang,
tanda merah itu sudah hampir mencapai sikut!
Srattt..!
Sinar terang berkiblat ketika
Sangga Juwana mencabut pedangnya. Melihat tindakan Sangga Juwana, karuan saja
Lantar dan rekannya merasa heran. Apa yang hendak dilakukan laki-laki berkumis
tebal itu?
Namun, Sangga Juwana sama
sekali tidak mempedulikan keheranan dalam pandangan mata kedua rekannya.
"Maafkan aku, Lantar.
Terpaksa hal ini harus kulakukan, agar kau selamat! Kau jangan bertindak apa
pun."
Setelah berkata demikian,
sambil menggertakkan gigj Sangga Juwana mengayunkan pedangnya. Dan....
Crasss !
"Aaakh !"
Lantar menjerit ngeri ketika
pedang Sangga Juwana membabat kedua sikutnya. Maka darah segar kontan membanjir
ke luar.
Sedangkan Sangga Juwana segera
melemparkan pedangnya ke tanah, lalu
secepat kilat bergerak menghampiri Lantar. Segera ditotoknya jalan darah
di sekitar luka, agar darah yang mengalir keluar terhenti. Memang, setelah
Sangga Juwana menotok beberapa jalan darah di sekitar luka, aliran darah itu
langsung terhenti.
***
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
lega ketika melihat tidak ada warna kemerahan di tangan Lantar. Dengan
pandangan mata sayu, ditatapnya wajah laki-laki kekar berotot itu.
"Maafkan aku, Lantar.
Terpaksa hal ini kulakukan agar dirimu sdamat! Kau jangan bertindak apa
pun!"
Setelah berkata demikian,
Sangga Juwana langsung mengayunkan pedangnya,
membabat kedua sikut Lantar.
Sementara itu, Lantar sama sekali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Dia
hanya berdiri mematung, dengan pandangan tertuju lurus, ke depan. Sekujur
wajahnya dipenuhi buur-butir keringat sebesar biji jagung
Sangga Juwana tahu perasaan
yang bergolak di hati Lantar. Maka dengan langkah perlahan-lahan dihampirinya
Lantar. Kemudian, ditepuk-tepuknya bahu laki-laki kekar berotot itu.
Sedangkan anggota Perguruan
Harimau Terbang yang tadi datang bersama Sangga
Juwana, sama sekali tidak
berkata apa-apa. Seperti juga Lantar, hatinya begitu terkesiap melihat tindakan
yang diambil Sangga Juwana. Raut keterkejutan pun masih tampak jelas pada
wajahnya.
"Sudahlah, Lantar.
Lupakanlah kedua tanganmu yang telah hilang itu. Walaupun
sebenarnya aku menyesal
melakukan hal ini, tapi penyesalanku akan lebih besar lagi apabila membiarkan
kau tewas secara mengerikan. Yahhh..., hanya inilah satu-satunya yang bisa
kulakukan untukmu," urai Sangga Juwana panjang lebar.
Lantar tetap diam. Wajahnya
sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa pun. Jelas,
laki-laki kekar berotot ini
mengalami pukulan batin yang amat kuat. "Lantar, sadarlah,"
Sangga Juwana masih terus
berusaha menyadarkan Lantar sambil memukul-mukul bahu Lantar. Malah kini, tidak
lagi dipukul-pukulkan ke bahu, tapi ke pipi.
Plok, plok...!
Tapi usaha yang dilakukan
Sangga Juwana sama sekali tidak menunjukkan hasil. Keadaan Lantar masih tetap
seperti semula. Dia berdiri mematung dengan sepasang mata menatap tajam pada
satu titik. Wajahnya pun tetap tidak berubah. Dingin tanpa gairah kehidupan apa
pun!
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
berat. Dia tahu, Lantar sangat terpukul menerima kenyataan kalau tangannya
telah buntung. Memang sungguh tidak disangka, akan sebesar ini pukulan yang
diterima laki-laki kekar berotot itu.
"Tampaknya dia sangat
terpukul, Kang," kata anggota Perguruan
Harimau Terbang yang datang bersama Sangga Juwana.
"Yahhh...! Kira-kira
begitulah, Sarka," sahut Sangga Juwana setengah mendesah. "Lalu, apa
yang harus kita lakukan, Kang?" tanya orang yang bernama Sarka, ingin
tahu. Sangga Juwana menatap
Sarka sejenak, kemudian kembali menatap Lantar.
"Apa boleh buat,"
desah Sangga Juwana pelan. "Menyadarkan orang yang mengalami hal seperti
ini, membutuhkan kekuatan hati."
"Aku belum mengerti
maksudmu, Kang." Sarka mengernyitkan keningnya.
"Menghadapi orang yang
mengalami guncangan batin seperti ini,
membutuhkan kekuatan hati untuk melawan perasaan kita sendiri,"
jelas Sangga Juwana lagi.
Setelah berkata demikian,
Sangga Juwana kembali mengalihkan
perhatian pada Lantar. Ditariknya napas
dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, seperti hendak membuang perasaan yang
mengganjal hatinya.
Mendadak Sangga Juwana
mengayunkan tangannya. Dan....
Plak, plak, plak !
Keras dan bertubi-tubi telapak
tangan Sangga Juwana singgah di wajah Lantar. Kepala laki-laki kekar berotot
itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri mengikuti gerak tamparan.
"Kang !" seru Sarka,
bernada tidak setuju.
Memang, Sarka merasa tidak
tega melihat Lantar yang baru saja
mengalami kehilangan tangan harus menerima tamparan keras bertubi-tubi.
Itulah sebabnya, mengapa dia mengeluarkan teriakan keras.
Tapi, Sangga Juwana sama
sekali tidak mempedulikannya. Tangannya terus saja diayunkan untuk menampar
wajah Lantar, dengan seluruh kekuatan tenaga kasarnya.
Pada tamparan yang entah untuk
keberapa belas kalinya, Lantar tidak diam begitu saja. Badannya tiba-tiba
dicondongkan ke belakang, sehingga tamparan itu mengenai tempat kosong. Lewat
beberapa jari di depan wajahnya. Kontan Sangga
Juwana menghentikan tamparannnya. Bibirnya menyunggingkan senyum getir
ketika menatap Lantar. Raut wajah laki-laki kekar berotot itu membuat hati
Sangga Juwana tersiksa. Wajah yang bengkak-bengkak. Bahkan sepasang matanya pun
hampir tak terlihat, karena tertutup bengkak dan memar.
"Mengapa kau memukulku,
Kang?" tanya Lantar, pelan. Bahkan hampir tak terdengar suaranya.
Sangga Juwana tersenyum getir,
meskipun terselip perasaan gembira di hatinya ketika
Lantar bisa disadarkan.
"Maafkan aku, Lantar. Aku
tidak menemukan jalan lain untuk
menyadarkanmu, kecuali dengan cara itu," jelas Sangga Juwana, meminta
pengertian laki-laki kekar berotot.
"Hahhh…?!"
Lantar tersentak. Ucapan
Sangga Juwana mengingatkannya kembali pada keadaan tangannya. Dengan pandangan
mata sayu, ditatapnya kedua tangannya yang hanya sampai sikut saja.
"Apa yang bisa kulakukan
tanpa adanya kedua tangan, Kang?! Mengapa aku tidak
dibiarkan mati saja? Hidup
seperti ini malah akan menyiksa diriku!" "Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
berat. "Aku pun bisa merasakannya, Lantar. Tapi percayalah. Masih banyak
hal yang bisa kau lakukan, meskipun kau tidak mempunyai tangan lagi. Kau toh,
masih dapat menggunakan kaki," hibur Sangga Juwana sambil menepuk-nepuk
pundak Lantar.
Lantar hanya memandang kedua
tangannya yang telah buntung itu. Dia tampaknya masih belum percaya dengan
keadaannya. Namun demikian, dia berusaha memaklumi maksud Sangga Juwana.
"Tenagamu masih kami
butuhkan Lantar. Perjalanan kami masih panjang. Dan kau merupakan orang yang
paling mengetahui keadaan," sambung Sangga Juwana.
Lantar masih terdiam. Namun,
semangatnya yang tadi sudah hampir pudar pun timbul kembali.
Sangga Juwana bukan orang
bodoh. Dia tahu ucapannya itu mengenai sasaran. Maka buru-buru ditepuk-tepuknya
bahu Lantar, kemudian secara halus diajaknya meninggalkan tempat itu.
"Mari kita kembali ke
tempat peristirahatan, Lantar. Kawan-kawan yang lain sudah menunggu kita,"
ajak Sangga Juwana seraya melangkah meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak bicara, Sarka pun
melangkah mengikuti. Dalam hati dipujinya
kemampuan Sangga Juwana yang
selalu saja menemukan cara untuk menemukan jalan keluar bagi setiap persoalan
yang dihadapi. 3
"Hieeeh...!"
Ringkik suara kuda membuat
Sangga Juwana, Lantar, dan Sarka terperanjat. Nampaknya ringkikan itu
menandakan kegelisahan. Dan hal ini menjadi pertanda kalau ada sesuatu yang
membuat binatang-binatang itu ketakutan.
"Sarka...!" Sangga
Juwana menolehkan kepala ke arah Sarka. "Kau berangkat lebih dulu. Lihat
apa yang terjadi! Kalau tidak ada sesuatu, tak mungkin kuda-kuda itu akan
demikian gelisah."
"Baik, Kang!" sahut
Sarka cepat sambil berlari meninggalkan Sangga Juwana dan Lantar.
"Hieeeh...!"
Kali ini ringkikan itu
terdengar lebih keras dari sebelumnya. Bahkan bukan hanya itu saja. Berbarengan
dengan terdengarnya ringkikan itu, terdengar pula derap kaki kuda yang
bertubi-tubi menghantam bumi. Menilik dari suaranya, jelas tidak hanya seekor
kuda saja yang tengah berlari, tapi beberapa ekor!
Sangga Juwana dan Lantar
saling berpandangan.
"Sepertinya, kuda-kuda
itu kabur, Kang," kata Lantar, pelan
"Sepertinya memang
begitu," sambut Sangga Juwana setelah mengernyitkan kening sejenak.
"Apa saja sih, kerjanya yang lain? Mengapa tidak berusaha menenangkan
kuda-kuda itu?"
Ada nada kejengkelan dalam
pembicaraan laki-laki berkumis tebal. Hal ini wajar saja, bila mengingat bahwa
Sangga Juwana telah ditimpa masalah yang bertubi-tubi dalam waktu sebentar
saja. Persoalan yang satu belum tuntas, muncul persoalan lainnya. Siapa yang
tidak menjadi jengkel?
Belum juga Lantar sempat
mengatakan sesuatu sebagai sambutan atas kata-kata Sangga Juwana, terdengar
siulan nyaring. Bunyinya mengingatkan orang akan suara burung perkutut.
"Tanda bahaya dari
Guntar," desis Sangga Juwarna,
setelah saling berpandangan sejenak dengan Lantar.
Laki-laki bertubuh kekar
berotot itu menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, kita harus
cepat, Kang," ajak Lantar. "Kalau tidak ada bahaya yang terlalu
besar, Guntar tak akan mengirimkan tanda seperti itu."
"Kau benar, Lantar."
Kini kedua orang tokoh penting
dari Perguruan Harimau Terbang ini segera berlari cepat. Perasaan gelisah akan
keselamatan rekan-rekan mereka, membuat Lantar mampu berlari cepat. Rasa sakit
yang mendera tangannya sama sekali tidak diingatnya lagi.
Berkat ilmu meringahkan tubuh
yang sudah mencapai tingkat lumayan, tambahan lagi
jarak tempat peristirahatan
itu memang tidak terlalu jauh, sekejapan saja Lantar dan Sangga Juwana telah
bisa melihat bahaya yang tengah mengancam rombongan mereka.
Di depan sana, tampak Guntar
dan yang lain tengah berdiri di depan kereta, dengan pedang terhunus di tangan
masing-masing. Tapi, sebenarnya bukan hal itu yang menarik perhatian Sangga
Juwana dan Lantar, melainkan apa yang ada di sekeliling rekan-rekan mereka.
Sekerika baru disadari, mengapa kuda-kuda mereka kabur.
Betapa tidak? Di sekeliling
rombongan Perguruan Harimau Terbang tampak puluhan, bahkan mungkin ratusan ekor
ular dari berbagai jenis. Maka berdiri bulu tengkuk Sangga Juwana dan Lantar
melihat pemandangan yang disaksikan.
Untuk sesaat lamanya Sangga
Juwana dan Lantar terpaku dengan sepasang mata terbelalak lebar. Saat itu pula,
pertanyaan bergayut di benak mereka. Dari mana munculnya ular sebanyak itu?
Tapi ketika tampak sosok yang
tengah berdiri di hadapan rombongan Perguruan Harimau Terbang, seketika kedua
orang ini baru mengerti. Memang, mereka telah banyak mendengar tentang sosok
tubuh itu. Sosok tubuh itu adalah seorang kakek kecil kurus, namun bermata
picak. Pakaiannya hanya berupa sebuah rompi dan celana sebatas lutut, terbuat
dari kulit ular. Di tangannya tampak tergenggam sebuah suling yang telah
ditiupnya. Baik Sangga Juwana maupun Lantar tahu, alunan tiupan suling itulah
yang telah mendatangkan ratusan ekor binatang melata yang menjijikkan itu.
Sosok tubuh itu dikenal Sangga
Juwana dan Lantar sebagai tokoh sesat aliran hitam. Bahkan bukan hanya sekadar
tokoh, melainkan seorang datuk gotongan hitam. Dia adalah satu di antara tiga
datuk yang merajai dunia persilatan. Julukannya Raja Ular Beracun, dan dia
adalah datuk sesat yang merajai daratan.
Raja Ular Beracun menolehkan
kepala ke arah Sangga Juwana dan Lantar tanpa menghentikan tiupan sulingnya
yang bernada aneh di telinga. Memang, nada aneh inilah yang menyebabkan
datangnya ular-ular yang ada di hutan itu.
Sangga Juwana dan Lantar
menoleh ketika mendengar suara berkerosakan di belakang mereka. Maka seketika
keduanya terperanjat saat melihat banyak sekali ular yang tengah merayap ke
arah Raja Ular Beracun.
Srattt..!
Khawatir akan terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan, Sangga Juwana segera mencabut pedangnya. Dia
bersiap-siap untuk melindungi dirinya dan Lantar, apabila binatang-binatang
melata yang menjijikkan itu menyerang.
Tapi kekhawatiran Sangga
Juwana sama sekali tidak beralasan. Binatang-binatang itu sama sekali tidak
mempedulikan keberadaan mereka. Ular-ular itu terus saja merayap melewati
Sangga Juwana dan Lantar. Bahkan beberapa di antaranya ada yang melewati sela-
sela kaki dua orang tokoh penting Perguruan Harimau Terbang itu.
Tampak jelas kalau ular-ular
itu ingin segera tiba di tempat asal suara suling itu. "He he he...!"
Raja Ular Beracun tertawa terkekeh
melihat ratusan ular telah berada di sekitar
tempat itu. Baru kemudian,
tiupan sulingnya dihentikan.
Berbeda dengan Raja Ular
Beracun yang merasa gembira bukan kepalang melihat banyaknya ular telah
berkumpul, rombongan Perguruan Harimau Terbang merasa ngeri. Mereka tak berani membayangkan apabila
binatang-binatang melata yang menjijikkan itu menyerang.
Sangga Juwana dan Lantar yang
berada di luar kurungan ular-ular itu saja sudah merasa ngeri. Apalagi Guntar
dan kawan-kawannya yang berada dalam kepungan ular, bersama-sama Raja Ular
Beracun.
"He he he...!"
Untuk yang kedua kalinya, Raja
Ular Beracun kembali tertawa terkekeh, Kemudian pandangannya beralih ke arah
Sangga Juwana dan Lantar.
"Sebentar lagi, kalian
berdua akan melihat sebuah pertunjukan menarik," kata Raja
Ular Beracun.
Sangga Juwana dan Lantar
saling berpandangan. Meskipun Raja Ular Beracun belum menjelaskan, mereka
berdua sudah mengerti. Pertunjukan menarik itu pasti serangan ratusan ular pada
rombongan Perguruan Harimau Terbang!
Tentu saja hal itu membuat
Sangga Juwana dan Lantar merasa khawatir bukan kepalang. Kalau Raja Ular
Beracun benar-benar akan memerintahkan binatang-binatang peliaraannya agar
menyerang Guntar dan rekan-rekan Perguruan Harimau Terbang lainnya, jelas mereka
tidak akan bisa membantu. Karena, tempat rombongan Perguruan Harimau Terbang
itu terkurung ratusan ekor ular. Jadi, bagaimana mereka bisa menerobos?
"Kalau tidak salah lihat,
kau adalah Raja Ular Beracun," kata Sangga Juwana mencoba mengulur-ulur
waktu.
Sambil berkata demikian,
laki-laki berkumis tebal ini memutar otaknya, mencari jalan untuk menyelamatkan
nyawa rekan-rekannya.
"He he he...! Matamu awas
juga, Monyet Kecil," sambut Raja Ular Beracun seenaknya. "Guruku
sering menceritakan tentang dirimu. Kata beliau, kau adalah seorang datuk
sesat yang memiliki kepandaian
amat tinggi. Di samping itu, kau pun memiliki ilmu yang dapat memerintahkan
ular." "Hanya itu yang diceritakan gurumu?" tanya Raja Ular
Beracun setengah tidak percaya.
"Ya," sahut Sangga
Juwana sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu,
pengetahuan gurumu tentang diriku tidak seberapa banyak," terdengar agak
kesal nada suara Raja Ular Beracun.
"Apa yang tidak
diketahuinya. Raja Ular?" tanya Sangga
Juwana, berpura-pura tertarik. Dan
sewaktu mengajukan pertanyaan itu, benaknya terus berputar untuk mencari jalan
agar dapat menyelamatkan rekan-rekannya.
"Keahlianku mengenai
racun," jelas kakek berompi ular ini. "Bukankah kawanmu itu telah
merasakannya. Bagaimana, Kecoa Buntung? Hebat tidak racun yang kusebarkan dalam
mata air itu?"
Raja Ular Beracun menatap
Lantar.
Gigi Lantar kontan
bergemeletuk, menahan geram bukan kepalang. Dia memang sudah menyangka kalau ada orang yang telah
mencampurkan racun tidak berwarna dan tidak berbau dalam air itu. Tapi sungguh
di luar dugaan kalau justru akan mendengar pengakuan dari mulut si pelaku
sendiri.
"Ah...!" Sangga
Juwana mendesah kaget. Kini Sangga Juwana tidak merasa heran lagi, mengapa ada
orang yang bisa menaruh racun dalam mata air itu tanpa diketahui. Lagi pula,
dari mana Raja Ular Beracun itu tahu kalau Lantar akan menuju ke mata air?
Hanya ada sebuah kesimpulan yang berhasil didapat Raja Ular Beracun mengikuti
semua gerak-gerik mereka dari jarak dekat. Dan menilik dari ketidaktahuan mereka,
bisa diperkirakan kelihaian penguntit itu.
Sebenarnya, Sangga Juwana pun
merasa marah bukan kepalang berhadapan dengan
orang yang telah membuat
buntung kedua tangan rekannya. Tapi, perasaan itu terpaksa ditelannya dulu demi
keselamatan rekan-rekannya. Maka buru-buru pergelangan tangan Lantar
disentuhnya untuk menenangkan hati laki-laki kekar berotot itu. Untungnya,
Lantar bisa ditenangkan.
"Aku hanya merasa heran,
mengapa orang yang memiliki kepandaian sepertimu, sampai hati mencegat
rombongan kami? Apabila sampai didengar orang-orang persilatan, apakah kau
tidak malu?"
Merah selebar wajah Raja Ular
Beracun ketika Sangga Juwana
menghentikan pertanyaannya. Jelas, pertanyaan itu mengenai sasaran.
"Kalau saja tidak suatu
hal yang lebih penting, jangan harap keroco-keroco dari Perguruan Harimau
Terbang lolos dari tanganku," jawab Raja Ular Beracun mencari alasan.
"Katakan, apa yang dapat
kami lakukan?" tawar Sangga Juwana.
Laki-laki berkumis tebal ini
bukan orang bodoh. Dia tahu, keadaan Raja Ular Beracun berada di atas angin.
Kalau dituruti perasaan hati, maka yang rugi adalah pihaknya sendiri.
"Kalau permintaanku
dituruti, kalian semua tidak akan kusakiti atau kubunuh."
Raja Ular Beracun memutuskan
demikian karena termakan pujian yang dikeluarkan Sangga Juwana.
"Tidak berat,"
lanjut Raja Ular Beracun kalem. "Serahkan barang yang hendak kalian
antarkan, maka kalian semua akan selamat."
"Hehhh...?!" Sangga
Juwana tersentak kaget. "Tidak salahkah pendengaranku? Apakah kini Raja
Ular Beracun yang menjadi datuk persilatan aliran hitam bagian daratan telah
menjadi seorang perampok barang kiriman?"
Kata-kata itu diucapkan Sangga
Juwana untuk menolak permintaan Raja Ular Beracun. Paling tidak, agar tokoh
hitam itu malu hati.
"Tutup mulutmu!"
sentak Raja Ular Beracun, keras.
"Bagaimana kalau
peristiwa ini didengar orang-orang persilatan, Raja Ular?" sambung Sangga
Juwana lagi tanpa mengenal takut "Mau ditaruh di mana mukamu?"
Raja Ular Beracun tersentak
kaget. Diam-diam hatinya memaki kecerobohan rencana sebelumnya. Dan pikirannya
baru terbuka ketika Sangga Juwana mengucapkannya.
Namun, hanya sesaat saja kakek
bermata picak ini kebingungan. Karena, sekarang
wajahnya telah kembali cerah
seperti semula. Bahkan sebuah senyum keji tersungging di bibirnya. "Kalau
begitu, apa boleh buat," kata Raja Ular Beracun. "Kalian berdua pun
akan mendapat giliran setelah semua rekan kalian kubereskan."
Sangga Juwana dan Lantar
saling berpandangan. Tampak ada sorot keheranan yang
amat sangat dalam pandangan
mata mereka. Memang kedua orang ini merasa heran bukan kepalang, karena seorang
seperti Raja Ular Beracun berminat pula dengan barang yang akan dikirimkan!
Sebenarnya, barang apakah yang dikawal ini, sehingga seorang tokoh sakti
seperti Raja Ular Beracun ingin pula merebutnya?
"Sebenarnya tanpa
binatang-binatang ini pun sangat mudah bagiku untuk membunuh kalian
semua," kata Raja Ular Beracun, pongah. "Tapi saat ini, aku ingin
sebuah pertunjukan menarik untuk menyegarkan otakku. Maka, dengan terpaksa hal
ini kulakukan."
Usai berkata demikian, datuk
sesat yang merajai daratan ini menghentakkan tangan
kanannya ke arah sebatang
pohon besar yang berjarak tak kurang dari delapan tombak.
Wusss! Brakkk...!
Hembusan angin keras seketika
keluar dari tangan yang dihentakkan, dan langsung menghantam sebatang pohon
besar hingga tumbang. Suara gemuruh terdengar mengiringi robohnya pohon itu.
Sangga Juwana, Lantar, Guntar,
dan semua orang yang berada dalam rombongan Perguruan Harimau Terbang memandang
dengan sepasang mata terbelalak. Kalau sebatang pohon yang berbatang besar dan
terlihat kuat itu saja hancur berantakan, apalagi tubuh mereka?
"Hak hak hak...!"
Suara tawa keras mirip burung
gagak terdengar menyambut, seiring robohnya pohon besar itu. Ada nada
meremehkan dan mengejek dalam suara tawa tadi.
"Tak kusangka, Raja Ular
Beracun sekarang telah memiliki jiwa seperti anak kecil.
Suka me-memamerkan kemampuan
yang tak seberapa," sambung si pemilik tawa.
Seperti juga suara tawa tadi,
nada ucapan pemilik tawa itu pun terdengar parau dan serak seperti suara burung
gagak.
Bukan hanya Raja Ular Beracun
saja yang menoleh ke arah teguran itu, tapi juga seluruh rombongan Perguruan
Harimau Terbang. Termasuk di antaranya,
Sangga Juwana dan Lantar.
Tampak oleh mereka seorang
kakek bertubuh kurus, namun tinggi sekali. Mungkin tingginya tak akan kurang
dari satu setengah kali manusia biasa. Sedangkan kepalanya kecil, sepasang
matanya sipit. Kumis dan jenggot yang pendek-pendek tapi kasar, tampak menghias
wajahnya.
Yang lebih menggelikan hati,
seluruh tubuh laki-laki tua itu tertutup pakaian hingga ke jari-jari tangannya.
Warna pakaiannya yang berwarna merah menyala semakin menampakkan kepucatan
wajahnya.
Alis Sangga Juwana dan
rombongan Perguruan Harimau Terbang mengerut, mencoba
mengingat-ingat tokoh yang
memiliki ciri-ciri seperti ini. Tapi, tetap saja mereka tidak mengetahuinya.
Tapi kebingungan rombongan
Perguruan Harimau Terbang, tidak melanda Raja Ular Beracun. Karena, nyatanya
dia sudah mengenal kakek itu.
"Garuda Laut Timur,"
desis Raja Ular Beracun menyebut julukan kakek berpakaian merah menyala itu.
"Hak hak hak...!"
Kakek tinggi kurus yang
ternyata berjuluk Garuda Laut Timur itu tertawa berkakakan.
Sebuah tawa yang membuat
telinga terasa sakit
"Sungguh tidak kusangka,
kau akan pergi meninggalkan kandangmu," kata Raja Ular Beracun lagi.
"Tentu ada hal penting, sehingga mendorongmu merantau kemari."
"Tidak usah berpura-pura
bodoh, Raja Ular Beracun!" sergah Garuda Laut Timur, keras. "Urusan
yang membuatku keluar dari istanaku, tidak berbeda denganmu!"
Sangga Juwana, Lantar, dan
Guntar yang mendengarkan percakapan itu menjadi terkejut bukan kepalang. Dua
buah keterkejutan kini melanda hati mereka. Pertama, ketika mengetahui kakek
berpakaian merah menyala itu berjuluk Garuda Laut Timur. Sementara kedua ketika
mendengar kalau kedatangan tokoh itu bermaksud sama dengan Raja Ular Beracun!
Apa lagi kalau bukan merampas barang kiriman?
Sangga Juwana, Lantar, dan
Guntar saling berpandangan satu sama lain. Sebuah
pertanyaan seketika bergayut
dalam benak mereka. Barang apakah yang tengah mereka kawal sehingga tokoh
seperti Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun pun berkeinginan untuk
memilikinya?
Memang meskipun tidak
mengenal, julukan Garuda Laut Timur pernah didengar para
pemimpin rombongan Perguruan
Harimau Terbang ini. Seperti juga Raja Ular Beracun, Garuda Laut Timur adalah
seorang datuk golongan hitam. Hanya saja, kakek tinggi kurus itu merajai
seluruh lautan. Dan tempat tinggalnya memang di Laut Timur.
Untuk pertama kalinya barang
kiriman yang dibawa Perguruan Harimau Terbang
diinginkan dua orang datuk
persilatan aliran hitam. Jangankan menyangka, dalam mimpi pun Sangga Juwana
tidak pernah terlintas akan terjadi hal seperti ini.
Tapi tokoh-tokoh penting
Perguruan Harimau Terbang ini tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun
pikirannya. Karena, perdebatan antara kedua tokoh persilatan aliran hitam itu
sudah mulai memanas. Maka mereka pun mengalihkan perhatian ke arah perdebatan
itu kembali.
***
"Kau benar-benar keterlaluan,
Garuda Laut Timur," kata Raja Ular Beracun, mulai meninggi nada suaranya.
"Kau ternyata telah berani melanggar wilayah kekuasaanku."
"Hak hak hak...!"
Garuda Laut Timur melepas sebuah tawa parau. "Masalah barang
kiriman itu membuatku harus melupakan
wilayah kekuasaanmu, Raja Ular Beracun!"
"Ini artinya kau
mengajukan sebuah tantangan terbuka kepadaku, Garuda Laut Timur!" tandas
Raja Ular Beracun
"Terserah bagaimana
anggapanmu, Raja Ular!" sahut Garuda Laut Timur, tak kalah gertak.
"Demi benda itu, apa pun akan kulakukan!"
Raja Ular Beracun
menggertakkan gigi. Tampak jelas kalau datuk penguasa daratan ini tengah
dilanda amarah menggelegak.
"Kini aku mengerti,
mengapa banyak kujumpai beberapa mayat, di sekitar tempat ini. Padahal aku
tahu, mereka tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Beberapa di antara
mereka adalah tokoh aiiran putih dan hitam yang cukup ternama. Semula aku
bingung, siapa pembunuh mereka? Dan rasanya, tak mungkin kalau rombongan kecoa dari Perguruan Harimau
Terbang yang membunuh mereka. Karena aku tahu, mereka tidak akan mampu
melakukan hal itu," kata Raja Ular Beracun pelan, seperti bicara pada diri
sendiri.
"Hak hak hak...! Syukur
kalau kau telah mengetahuinya, Raja Ular! Aku benar-benar tidak menyangka,
demikian banyak orang yang menginginkan benda itu. Tidak hanya dari golongan
kita, tapi juga dari golongan putih. Daripada merepotkan nantinya, kukirim saja
mereka semuanya ke neraka!"
"Sebenarnya aku ingin
segera menerjangmu, Garuda Laut Timur! Tapi sayang sekali..., aku sudah lama
tidak menonton pertunjukan menarik. Jadi, kau akan kuurus belakangan. Aku akan
mengurus kecoa-kecoa Perguruan Harimau Terbang dulu!"
Usai berkata demikian. Raja
Ular Beracun segera menempelkan ujung suling ke mulutnya, dan mulai meniup.
Tapi nada kali ini berbeda dengan sebelumnya.
Luar biasa pengaruh tiupan
suling itu. Ratusan ular dari berbagai jenis yang sejak tadi diam saja seperti
menunggu perintah, langsung bergerak cepat ke arah rombongan Guntar dan
rekan-rekannya.
"Sss...!"
Suara mendesis dari ratusan
ekor ular segera meramaikan suasana di tempat itu. Dan berbareng keluarnya
desisan, binatang-binatang itu merayap ke arah sasaran.
"Ha ha ha...! Sebentar
lagi aku akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang sangat menarik!" kata Raja
Ular Beracun gembira, di sela-sela tiupan sulingnya.
*** Sangga Juwana dan Lantar
saja yang tidak diserang menjadi terkesiap hatinya. Apalagi Guntar dan
rekan-rekannya yang diserang. Bulu kuduk mereka berdiri melihat sekian
banyaknya ular telah menyergap ke arah mereka.
Meskipun demikian, sebagai
pengawal-pengawal barang yang sudah terbiasa berhadapan dengan maut, mereka
tidak menjadi gugup. Rombongan Perguruan Harimau Terbang ini pun bersiap
mengadakan perlawanan
Guntar dan rekan-rekannya
tidak sudi menunggu hingga gerombolan binatang melata
itu mendekat. Karena bila hal
itu terjadi, kecelakaanlah yang akan diterima. Jumlah binatang itu terlalu
banyak. Dan dalam waktu yang sama, mungkin bisa puluhan ular yang melancarkan
patukan. Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa menghalau serangan sebanyak itu?
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Guntar dan rekan-rekannya segera mengeluarkan senjata rahasia yang berupa
pisau-pisau terbang, mata anak panah, dan juga jarum-jarum.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, rombongan
Perguruan Harimau Terbang melontarkan senjata-senjata rahasia ke arah kumpulan
ular yang tengah merayap ke arah mereka.
Singgg, siuttt, wuttt...!
Riuh suara senjata-senjata
rahasia yang meluncur, menyaingi suara desis yang keluar dari mulut ular-ular
itu.
Tasss, cappp, cappp...!
Belasan ekor ular langsung
menggelepar sesaat, dan tidak bergerak lagi untuk selamanya ketika tersambar
senjata-senjata rahasia yang dilemparkan anggota Perguruan Harimau Terbang.
Sebagian tewas dengan kepala terpisah dari badan, dan sebagian lagi mati
tertembus jarum atau mata anak panah.
Tidak hanya sekali saja hal
itu dilakukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Mereka terus saja
melontarkan senjata-senjata rahasia ke sasaran. Dan seperti juga yang pertama,
usaha mereka selanjutnya tampaknya membuahkan hasil.
Tapi sisa ular-ular lainnya
terus saja merangsek maju. Matinya puluhan ular itu seakan-akan tidak
mengurangi jumlahnya. Padahal, dari belakang pun Sangga Juwana membantu
mengurangi jumlah binatang melata itu dengan lemparan-lemparan senjata
rahasianya hingga habis.
Malah Lantar pun tidak
ketinggalan pula. Meskipun kedua tangannya tidak bisa digunakan lagi, namun
laki-laki bertubuh kekar berotot ini tidak kehilangan akal. Dengan kakinya,
dikirimkannya bantuan untuk rekan-rekannya. Secara bergantian, kedua kakinya
menendangi batu-batu kecil yang ada di situ.
Tentu saja Lantar tidak
sembarangan menendangi batu-batu itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi,
Lantar mampu menendangi batu-batu dengan sebagai sasaran adalah kepala
ular-ular yang tengah mengancam rekan-rekannya.
Tak, tak, tak...!
Berkali kali batu-batu yang
ditendangi Lantar menghancurkan kepala ular-ular yang tengah merayap itu.
Tapi seperti juga Sangga
Juwana, tak lama kemudian Lantar pun kehabisan batu-
batu. Tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya, pemuda kekar berotot ini melesat ke arah kumpulan ular
yang telah dekat sekali dengan rombongan Perguruan Harimau Terbang yang
dipimpin Guntar. Padahal, Guntar dan rekan-rekannya telah bergerak mundur dan
merapat dengan kereta.
"Lantar...!"
Sangga Juwana terpekik kaget
ketika melihat tindakan yang diambil laki-laki kekar berotot itu. Memang,
tindakan yang diambil Lantar sama saja bunuh diri. Jelas, dia menghadapi
gerombolan ular itu hanya dengan kakinya. Dan itu berarti, kemungkinan terpatuk
ular sangat besar. Maka, tanpa ragu-ragu Sangga Juwana pun melesat menyusul
Lantar, menerobos gerombolan ular.
Bertepatan dengan masuknya
Lantar ke dalam gerombolan ular yang paling belakang,
rombongan ular yang di depan
telah berada dalam jarak patuk terhadap Guntar dan rekan- rekannya. Saat itu
pula, Sangga Juwana tiba di samping Lantar. Mereka berdua pun mengamuk. Lantar
menggunakan sepasang kakinya untuk membasmi gerombolan binatang melata itu. Dan
tentu saja hal ini cukup menyulitkan, karena berarti Lantar harus mengarahkan
serangannya ke kepala ular.
Namun tidak demikian halnya
dengan Sangga Juwana atau rombongan Perguruan Harimau Terbang lainnya. Mereka
bebas mengayunkan senjata ke berbagai bagian tubuh ular. Dan pertarungan
mengerikan antara manusia menghadapi gerombolan ular pun berlangsung.
Dan pada akhirnya, Lantar
memang menjadi korban pertama. Keadaan tubuhnya yang memang kurang
menguntungkan, menjadi penyebabnya. Beberapa ekor ular langsung mematuknya
tanpa mampu dielakkan.
Tuk, tuk, tuk...!
"Aaakh...!" pekik
Lantar, menahan sakit.
Di saat Lantar jatuh ambruk di
tanah, puluhan ekor ular segera mengerubutinya. Hanya dalam sekejap, tubuh
laki-laki kekar berotot ini sudah tidak terliat lagi, tertutup kerumunan
binatang melata itu!
"Lantar...!" Jerit
Sangga Juwana kaget ketika melihat nasib yang menimpa rekannya
itu.
Kalau saja menuruti hati,
ingin rasanya Sangga Juwana berlari ke sana. Namun apa
daya? Dia juga tengah
terkurung puluhan ekor ular. Jangankan untuk menuju ke tempat robohnya Lantar,
untuk melindungi diri sendiri dari keroyokan ular itu saja sudah kewalahan.
Guntar pun tahu nasib
mengenaskan yang menimpa Lantar. Dan itu membuatnya geram bukan kepalang. Maka
kegeramannya itu dilampiaskan pada binatang-binatang yang tengah mengeroyoknya.
Pedang di tangannya langsung berkelebat cepat membabati tubuh- tubuh ular yang
mengurungnya.
Darah langsung muncrat-muncrat
setiap kali pedang Guntar berkelebat. Entah sudah berapa puluh ekor ular yang
tewas terbabat pedangnya. Sehingga, senjatanya pun hampir tidak kelihatan lagi
karena dipenuhi darah ular. Bahkan sampai hampir ke gagangnya!
Bukan hanya Guntar saja yang
telah merobohkan demikian banyak binatang melata, tapi juga semua anggota
Perguruan Harimau Terbang Maka, darah pun membanjiri seluruh tempat itu.
Potongan-potongan tubuh ular berserakan di sana-sini. Bau anyir darah pun
menyebar di sekitar tempat itu.
Sementara itu, gerombolan ular
yang tadi menggeluti tubuh Lantar telah bergerak meninggalkan korbannya.
Seketika, berdiri bulu kuduk semua anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang
saat melihat keadaan mayat Lantar yang sudah tidak berbentuk lagi. Yang tampak
hanyalah tubuh bengkak membiru, dengan kulit terkelupas! Benar-benar mengerikan!
Namun perasaan ngeri sama sekali tidak melanda hati Raja Ular Beracun dan
Garuda
Laut Timur yang menyaksikan
jalannya pertarungan antara manusia melawan keroyokan ular di depan mereka.
Bahkan wajah kedua datuk sesat itu tampak berseri-seri.
"Ha ha ha...!" Raja
Ular Beracun tertawa terbahak-bahak. "Baru kali ini tontonan yang begitu
menarik kulihat. Hm..., sebentar lagi akan terpampang yang lebih menarik."
Apa yang diucapkan Raja Ular
Beracun ternyata tidak salah. Beberapa saat kemudian, anggota rombongan
Perguruan Harimau Terbang mulai roboh satu persatu. Dan nasib seperti yang
menimpa Lantar pun terjadi pada mereka. Gerombolan ular mengerubuti tubuh dan
mematuki mereka. Sehingga, tubuh mereka menjadi bengkak membiru dengan kulit
terkelupas!
"Aaakh...!"
Setelah enam anggota rombongan
Perguruan Harimau Terbang tewas, kali ini giliran Guntar. Bahkan salah seekor
ular telah berhasil mematuk betisnya. Kontan tubuh Guntar menegang kaku, lalu
roboh. Tak pelak lagi, ular-ular lainnya segera mengerubuti tubuhnya. Kini
tubuh Guntar tak terlihat lagi. Dan sudah bisa dipastikan, bagaimana bentuk
tubuh Guntar.
Kini hanya tinggal Sangga
Juwana seorang yang masih mengamuk.
Namun, gerakannya sudah tidak begitu lincah lagi. Memang tenaga yang
dimiiikinya telah hampir habis terkuras.
Sudah dapat dipastikan, nyawa laki-laki berkumis tebal ini pun akan sirna pula
menyusul rekan-rekannya. Mendadak.... "Swiiinggg...!"
Tiba-tiba siulan bernada aneh
terdengar. Keras sekali, dan bahkan mampu membuat telinga Sangga Juwana sakit.
Jelas, siulan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Hebatnya, serangan ular-ular
itu terhadap Sangga Juwana kontan terhenti. Binatang- binatang melata itu
bergerak mundur. Jelas, siulan itu mempunyai pengaruh besar terhadap binatang-binatang
melata ini.
Sangga Juwana bukan orang
bodoh. Dia tahu, pasti ada orang sakti yang menolongnya untuk mengusir
ular-ular dengan siulan tadi. Maka tanpa membuang-buang waktu, dia melompat
meninggalkan kerumunan ular yang terus bergerak mundur.
Kalau Sangga Juwana saja tahu
ada pertolongan terhadap dirinya, apalagi Raja Ular
Beracun dan Garuda Laut Timur.
"Keparat! Siapa yang
berani main-main dengan Raja Ular Beracun?!" teriak kakek kecil kurus ini
bernada kemarahan.
Setelah berkata demikian, kembali
sulingnya ditiup. Dibunyikannya nada-nada yang
menyuruh ular-ular berbisa itu
untuk menyerang Sangga Juwana kembali.
Pengaruh tiupan suling Raja
Ular Beracun segera nampak. Gerombolan ular yang semula bergerak mundur,
kembali merayap maju sambil mendesis keras. Memang, dalam kemarahannya, Raja
Ular Beracun telah menciptakan nada-nada yang membuat ular-ular berbisa itu
menjadi amat ganas!
Tapi baru juga beberapa
rayapan, suara melengking nyaring tadi kembali terdengar. Untuk kedua kalinya,
rayapan gerombolan binatang melata itu kembali terhenti. Suara desis
kegelisahan kembali keluar dari mulut ular-ular yang hendak menyerang Sangga
Juwana.
Meskipun tidak paham dengan
nada-nada suling maupun siulan tadi, Garuda Laut Timur dan Sangga Juwana tahu
kalau ada dua belah pihak tengah berusaha memerintah binatang-binatang melata
itu. Yang satu memerintahkan menyerang, sedangkan yang lain mengusir. Tak heran
kalau ular-ular itu menjadi kebingungan.
"Keparat!" bentak
Raja Ular Beracun.
Raja Ular Beracun tahu, tidak
ada gunanya meneruskan perintah terhadap ular-ular itu. Maka, tiupan suling
yang bernada perintah dihentikannya. Sebaliknya, dia malah mengeluarkan nada
yang menyuruh binatang-binatang itu pergi.
Ular-ular itu pun merayap
pergi, dan kini yang tinggal hanyalah ceceran darah potongan-potongan tubuh
ular, dan mayat-mayat rombongan Perguruan Harimau Terbang.
"Kalau benar-benar
jantan, tunjukkan dirimu, Pengecut! Jangan hanya berani main
kucing-kucingan seperti anak
kecil!" tantang Raja Ular Beracun sambil mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya.
Datuk sesat yang merajai
daratan ini memang ingin melihat orang yang telah membuat pasukan ularnya
berantakan. Dia marah bukan kepalang, karena hal itu disaksikan saingannya,
Garuda Laut Timur. Bahkan kakek tinggi kurus itu tertawa terbahak-bahak. Sudah
bisa ditebak maksudnya. Apalagi kalau bukan menertawakan dirinya yang mendapat
sandungan? Masih terdengar jelas, tawa Garuda Laut Timur di sampingnya.
"Hak hak hak...!"
"Aku sudah berada di sini
sejak tadi, Raja Ular Beracun," sahut pemilik siulan itu.
Raja Ular Beracun, Garuda Laut
Timur, dan Sangga Juwana menoleh ke arah asal suara: Berbeda dengan sebelumnya,
suara kali ini terdengar jelas arahnya. Memang, siulan tadi tidak jelas berasal
dari mana, dan seakan-akan keluar dari delapan penjuru angin.
Tampak beberapa tombak di
hadapan mereka sosok tubuh berpakaian ungu. Dia adalah seorang pemuda berwajah
tampan dan gagah, serta memiliki tubuh tegap dan kekar. Pemuda itu tengah duduk
di sebuah cabang pohon yang agak tinggi.
Raja Ular Beracun, Garuda Laut
Timur, dan Sangga Juwana menatap penuh selidik. Ternyata warna rambut pemuda
itu aneh sekali. Rambutnya yang putih keperak-perakan itu kini tengah
berkibaran keras, karena tertiup angin. Sebuah guci arak di punggungnya,
membuat ketiga orang itu mengenal pemilik siulan tadi "He he he...!
Rupanya Dewa Arak!" kata Raja Ular Beracun, terdengar kalem suaranya.
"Pantas saja berani mencampuri urusanku! Berita tentang keusilanmu sudah
lama kudengar. Tapi, baru kali ini kubuktikan sendiri kebenaran
beritanya."
"Hak hak hak...! Apa yang
kau ucapkan itu sama sekali tidak salah, Raja
Ular! Beberapa pekan yang lalu, dia telah melanggar wilayah kekuasaanku.
Gerombolan bajak laut di bawah pimpinan
Tengkorak Mata Satu yang terhitung taklukanku, telah dihancurkannya. Sayang
sebelum sempat bertemu denganku, dia telah kabur!" sambung Garuda Laut
Timur. (Untuk jelasnya mengenai cerita ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode 'Perjalanan Menantang Maut").
"Belum terlambat untuk
menghukumnya sekarang, Garuda Laut Timur," tandas Raja Ular Beracun
"Kau benar, Raja
Ular."
Sementara itu, di saat dua
orang datuk sesat dunia persilatan itu terlibat dalam pembicaraan, pemuda
berpakaian ungu yang memang Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon yang didudukinya. Kelihatan
enak saja Arya saat melompat. Ringan seperti kapas.
Tentu saja semua tindakan Dewa
Arak tidak lepas dari pengamatan Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur.
Memang, kedua datuk sesat ini berbincang-bincang dengan mata tertuju pada Arya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, Dewa Arak
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Kemudian dengan langkah tenang, kakinya
terayun ke arah tempat Sangga Juwana berdiri. Laki-laki berkumis tebal itu
tetap memperhatikan semua gerak-gerik Dewa Arak.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sangga Juwana, masih dengan pandangan
penuh kagum pada Arya.
"Lupakanlah,
Kisanak," sambung Dewa Arak. "Tolong-menolong sudah menjadi
kewajiban kita bersama. Sayang
sekali, kedatanganku agak terlambat. Sehingga, semua temanmu menjadi
korban."
Ada nada penyesalan dalam
ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan memang, sebenarnya Arya merasa
menyesal atas keterlambatannya. Saat itu, Dewa Arak memang tengah melalui hutan
ini ketika mendengar suara seperti orang bertarung. Dan ketika dihampirinya, ternyata Sangga Juwana
tengah dikeroyok gerombolan ular.
Dengan pengerahan tenaga
dalamnya, Arya menciptakan bunyi-bunyian yang dapat digunakan untuk menguasai
ular. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini mampu membunyikan siulan
bernada untuk memanggil dan juga mengusir binatang. Bahkan bukan hanya ular
saja, tapi juga binatang-binatang lain. Ilmu itu didapatkan ketika telah
beberapa kali memasukkan belalang raksasa ke dalam dirinya.
Kali ini, Arya terlihat
sendirian. Melati saat ini tidak ikut bersamanya, karena masih
tinggal di Kerajaan Bojong
Gading. Gadis itu memang harus ikut membantu memulihkan keadaan di wilayah
Kerajaan Bojong Gading yang hancur berantakan akibat serbuan Kerajaan Medang
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Runtuhnya
Sebuah Kerajaan"). 5
"Dewa Arak...!"
panggil Raja Ular Beracun keras, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Arya
menoleh. Tenang sekali kelihatan sikapnya.
"Kau telah berani
mencampuri urusanku, Dewa Arak! Padahal, tidak ada seorang pun, yang bisa
selamat setelah mencampuri urusan Raja Ular Beracun! Bersiaplah kau, Dewa Arak!"
Arya tersenyum getir.
"Bukan hanya kau saja
yang menjadi urusan, Raja Ular!" sambut pemuda berambut putih keperakan
itu. "Aku pun demikian pula! Tindakanmu yang begitu keji telah membuatku
cukup mempunyai alasan untuk membunuhmu!"
Sambil berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan ke arah rombongan
Perguruan Harimau Terbang yang telah membengkak dan membiru, serta kulit
terkelupas.
"Orang lain boleh kau
robohkan, Dewa Arak. Tapi jangan harap bisa merobohkanku!" tandas Raja
Ular Beracun, bernada jumawa.
"Hm...!"
Hanya gumaman perlahan Dewa
Arak yang menyambuti ucapan datuk sesat yang merajai wilayah daratan itu. Dan
rupanya, Raja Ular Beracun sudah tidak sabar lagi untuk segera bertempur. Maka
sulingnya segera diselipkan di pinggang.
"Haaat..!"
Diawali teriakan keras yang
menggetarkan sekitar tempat itu, Raja Ular Beracun menerjang Dewa Arak.
Serangannya kali ini dibuka dengan sebuah sampokan ke arah pelipis Dewa Arak.
Wuttt...!
Angin berhembus keras ketika
sampokan tangan Raja Ular Beracun meluncur ke arah sasaran. Dari suara yang
terdengar bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada
sampokannya.
Memang, Raja Ular Beracun
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada serangan pendahuluannya. Hal ini
dilakukan, karena dia tahu kalau Dewa Arak adalah seorang lawan yang amat
lihai! Berita yang didengar, dan juga kenyataan kalau pemuda itu mampu membuat
suara seolah-olah berasal dari delapan penjuru angin, telah memperjelas
kelihaiannya.
Sementara itu, Dewa Arak yang
diserang, belum memperlihatkan tanda-tanda untuk mengelak atau menangkis. Baru
ketika serangan itu menyambar dekat, Arya melompat ke belakang.
Wuttt...!
Sampokan itu hanya menyambar
lewat beberapa jengkal di depan wajah Dewa Arak. Namun, Raja Ular Betacun
rupanya sudah memperhitungkannya. Maka begitu salah satu kakinya mendarat di
tanah, langsung saja dikirimkan serangan lanjutannya.
Tapi, Dewa Arak tetap mampu
menanggulanginya. Bahkan bisa mengirimkan serangan
balasan yang tak kalah dahsyat
Maka sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung.
Dewa Arak sama sekali belum
mengeluarkan ilmu ‘Belalang Sakti’ andalannya. Dia masih mempelajari
kedahsyatan ilmu lawan dan perkembangannya. Jadi selama beberapa jurus lamanya,
dia hanya menggunakan ilmu yang diwariskan ayahnya, yakni ilmu .'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Pehakluk Naga'.
Pertarungan yang terjadi
antara dua orang sakti ini berlangsung seru bukan kepalang. Padahal, kedua
belah pihak belum menggunakan ilmu andalan. Suara mendesing, mengaung, dan
mencicit menyemaraki pertarungan.
Baik Dewa Arak maupun Raja
Ular Beracun sama-sama memiliki gerakan cepat. Tak aneh, hanya dalam sekejap
saja, sepuluh jurus sudah terlewat Memang, pertarungan tampaknya berlangsung
cepat. Saking cepatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu seperti lenyap. Yang
terlihat hanyalah bayangan ungu dan kekuning-kuningan. Terkadang saling belit,
tapi tak jarang saling pisah.
Setelah lebih sepuluh jurus
bertarung, baik Dewa Arak maupun Raja Ular Beracun
harus sama-sama mengakui kalau
satu sama lain memiliki kepandaian luar biasa.
Plak, plak...!
Untuk yang pertama kali
terjadi benturan dahsyat antara dua pasang tangan dari orang-orang yang tengah
bertarung itu. Akibatnya, tubuh Raja Ular Beracun terhuyung- huyung dua langkah
ke belakang. Sedangkan Dewa Arak hanya selangkah saja.
Raja Ular Beracun
menggertakkan gigi. Hatinya merasa penasaran bukan main melihat hasil benturan
yang terjadi. Karena, hal itu membuktikan kalau tenaga dalamnya kalah kuat,
dibanding Dewa Arak. Kalau tidak mengalami sendiri, datuk sesat penguasa
daratan ini tidak akan percaya. Seorang pemuda mengalahkannya dalam hal
kekuatan tenaga. Sungguh sulit dipercaya!
Perasaan penasaran
mendorongnya untuk buru-buru mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung. Bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Raja Ular
Beracun, bukan hal sulit untuk melakukannya.
Dan ketika telah berhasil
melaksanakan maksudnya, langsung saja dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah
Dewa Arak. Tapi serangan Raja Ular Beracun bisa dipunahkan Arya. Bahkan dia
segera melancarkan serangkaian serangan balasan yang bertubi-tubi, sehingga
membuat Raja Ular Beracun kerepotan.
Sementara itu, Sangga Juwana
dan Garuda Laut Timur menyaksikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Mereka
tampak sungguh-sungguh memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Namun
rupanya hanya Garuda Laut Timur yang dapat menyaksikan dengan jelas jalannya
pertarungan. Memang, gerakan-gerakan Dewa Arak dan Raja Ular Beracun terlalu
cepat untuk bisa diikuti mata Sangga Juwana.
Yang bisa dilihat oleh
pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu hanyalah
kelebatan bayangan ungu dan
kuning yang terkadang saling belit dan tak jarang berpencar.
Diam-diam, Dewa Arak memuji
kelihaian lawannya. Padahal, seluruh kemampuan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' telah dikerahkannya. Namun
tetap saja agak sulit baginya untuk mendesak lawan. Ilmu yang dimiliki Raja
Ular Beracun tidak kalah dahsyatnya dibanding ilmu-ilmu warisan ayahnya
Sebenarnya, bukan hanya Dewa
Arak saja yang merasa penasaran. Raja Ular Beracun pun demikian pula. Sungguh
di luar dugaan kalau Dewa Arak akan memiliki ilmu-ilmu yang mempunyai daya
serang laksana gelombang. Tambahan lagi, setiap serangan yang dilakukannya
mengandung tekanan-tekanan berat. Susul-menyusul, bertubi-tubi, dan berat untuk
ditahan.
Akhirnya setelah pertarungan
berlangsung hampir tujuh puluh jurus, perlahan namun pasti Dewa Arak mulai bisa
menguasai keadaan. Tanda-tanda kemenangan pemuda itu telah tampak. Buktinya
Raja Ular Beracun tampak mulai kewalahan. Serangan-serangan yang dilancarkannya
mulai berkurang, dan kini lebih sering mengelak atau menangkis.
Hal ini sebenarnya tidak aneh.
Karena, Raja Ular Beracun memang kalah dalam segala hal. Baik tenaga,
kelincahan, maupun mutu ilmu silat
Meskipun demikian. Raja Ular
Beracun belum merasa kalah. Memang, ilmu andalannya belum dikeluarkan. Demikian
pula kemampuan racunnya.
Walaupun dia tahu kalau Dewa
Arak juga belum mengeluarkan ilmu andalannya, tapi
dia yakin ilmu yang
dimilikinya akan mampu digunakan untuk menggilas habis pertahanan lawan.
Berpikir sampai di sini,
membuat Raja Ular Beracun memutuskan untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
Tapi....
"Hey !"
Seru keterkejutan dari Sangga
Juwana membuat Raja Ular Beracun menoleh. Dan ketika itu pula, dia pun
terkejut. Betapa tidak? Karena tiba-tiba saja Garuda Laut Timur melesat cepat
ke arah kereta. Tanpa berpikir lebih lama lagi, datuk sesat wilayah daratan ini
tahu apa yang hendak dilakukan Garuda Laut Timur. Pasti mengambil barang
kawalan yang dibawa rombongan Perguruan Harimau Terbang! Berbareng keluarnya
teriakan itu, Sangga Juwana segera melesat mengejar Garuda Laut Timur. Jelas,
perasaan tanggung jawabnya akan keselamatan barang kawalan membuat laki-laki
berkumis tebal ini melupakan kenyataan kalau dirinya bukan tandingan datuk
sesat yang merajai wilayah lautan itu.
Tapi, Sangga Juwana bukan
satu-satunya orang yang bergerak mengejar Garuda Laut Timur. Ternyata, Raja
Ular Beracun pun ikut pula mengejar. Kakek kecil kurus ini melesat cepat
mengejar Garuda Laut Timur yang tengah meluruk ke arah kereta.
Dalam ketakutannya kalau
barang kiriman yang ada di dalam kereta itu jatuh ke tangan Garuda Laut Timur,
Raja Ular Beracun melupakan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan yang
menjadi lawannya ditinggalkan begitu saja.
Cepat bukan kepalang gerakan
Raja Ular Beracun. Sehingga, meskipun Sangga
Juwana melesat lebih dulu,
tetap saja tersusul. Namun meskipun demikian, Raja Ular Beracun tetap saja
terlambat! Hal ini tidak aneh, karena orang yang dikejarnya memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya.
Sementara itu, Garuda Laut
Timur yang telah berada dekat sekali dengan kereta
langsung menghantamkan tangan
kanannya ke arah samping kereta.
Brakkk..!
Didahului suara berderak
keras, samping kereta itu hancur berantakan terhantam tangan yang dialiri
tenaga dalam dahsyat. Dan secepat badan kereta itu hancur berantakan, secepat
itu pula Garuda Laut Timur melesat ke dalamnya. Dan begitu keluar, di ketiaknya
terkempit sebuah peti berukir berwarna hitam. Ukurannya, dua jengkal kali dua
jengkal tangan lelaki dewasa.
Namun ketika tubuhnya berada
di luar, Raja Ular Beracun telah berhasil pula
mendekati kereta. Tak pelak
lagi, kedua datuk golongan hitam itu hampir bertubrukan, apabila masing-masing
meneruskan langkahnya.
Rupanya, Raja Ular Beracun
sudah memperhitungkan hal ini. Terbukti, dia langsung
saja mengirimkan sebuah
gedoran telapak tangan terbuka ke arah dada Garuda Laut Timur.
Garuda Laut Timur terkejut
bukan kepalang mendapat serangan tak terduga-duga ini. Tapi sebagai seorang
datuk yang telah terbiasa menghadapi bahaya, dan berkat pengalamannya
bertarung, serangan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dipapaknya serangan
Raja Ular Beracun dengan gedoran tangan kanan pula.
Prattt..!
Benturan antara kedua tangan
yang sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu menimbulkan suara keras yang
memekakkan telinga. Sesaat kemudian, tubuh kedua belah pihak sama-sama terjajar
mundur sejauh dua langkah dengan tangan bergetar hebat. Jelas, tenaga dalam dua
orang datuk kaum sesat ini berimbang.
Namun baik Raja Ular Beracun
maupun Garuda Laut Timur sama sekali tidak mempedulikannya.
Bahkan dengan kecerdikannya,
Garuda Laut Timur memanfaatkan kesempatan tubuhnya yang terhuyung ke belakang,
untuk meninggalkan tempat itu.
Garuda Laut Timur cepat-cepat
menjejakkan kaki kanannya, sehingga tubuhnya melenting ke udara. Tubuhnya
kemudian bersalto beberapa kali. Dan ketika mendarat di tanah, dia langsung
melesat kabur.
"Keparat! Jangan harap
bisa lolos dari tanganku, Garuda Licik!" bentak Raja Ular Beracun keras,
sambil melesat mengejar.
Tapi Garuda Laut Timur sama
sekali tidak mempedulikan makian saingannya. Dia terus saja berlari
meninggalkan tempat itu. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
dikerahkan untuk dapat meninggalkan Raja Ular Beracun sejauh-jauhnya.
"Hih...!"
Raja Ular Beracun yang tidak
ingin kehilangan buruannya, segera melesat mengejar. Giginya bergemeletuk
geram, sambil mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya sampai ke puncak
tertinggi.
Sesaat kemudian, dua orang
datuk golongan hitam itu sudah terlibat dalam adu kejar-
kejaran yang menakjubkan.
Gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang terhilat hanya dua sosok bayangan
kuning dan merah, yang melesat cepat meninggalkan tempat itu.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
berat. Dengan sinar mata hampa, ditatapnya dua sosok bayangan yang semakin lama
semakin menjauh. Sungguh dia tidak pernah bermimpi kalau barang kawalannya akan
bisa diambil orang. Sementara, dirinya selaku pengawal barang itu sama sekali
tidak terluka. Sulit dibayangkan, sampai di mana kemarahan gurunya apabila
mendengar berita ini.
Suara batuk-batuk kecil
menyadarkan Sangga Juwana dan kesibukan lamunannya.
Dia tahu, siapa orang yang
telah mengeluarkan batuk-batuk kecil itu. Pasti Dewa Arak! Karena memang tidak
ada orang lain di tempat ini kecuali mereka berdua.
Dengan lesu, Sangga Juwana
menoleh. Dan tepat seperti yang diduga, Dewa Araklah yang mengeluarkan
batuk-batuk kecil itu. Sangga Juwana tentu saja tahu maksud batuk buatan itu.
Apalagi kalau bukan untuk menyadarkan dirinya dari keterpakuan. Dan kini, Arya
tengah melangkah menghampirinya.
"Mengapa kau tidak
mengejar mereka, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana ketika pemuda berambut
putih keperakan itu telah berada di sebelahnya.
"Untuk apa, Kisanak? Aku
tidak suka bertarung dengan orang yang tidak mau melawan," jawab Arya
kalem.
"Apakah..., kau tidak
berminat, Dewa Arak?" tanya Sangga Juwana, agak ragu.
"Berminat?!" Arya tersentak.
Ada kerutan di dahi Dewa Arak.
Kerutan yang timbul karena tidak mengerti maksud pembicaraan Sangga Juwana.
"Berminat terhadap apa,
Kisanak? Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu?!"
Sangga Juwana menatap wajah
Arya lekat-lekat. Dirayapinya selebar wajah pemuda berambut putih keperakan
itu, seakan-akan ingin mencari kebenaran ucapan tadi lewat pandangan matanya.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
berat, seakan-akan ingin membuang sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Aku juga tidak mengerti,
Dewa Arak.... Tapi. "
"Panggil saja aku dengan
nama saja, Kisanak. Namaku Arya Buana. Orang-orang biasa memanggilku
Arya," potong Arya yang merasa risih mendengar panggilan yang dikeluarkan
Sangga Juwana.
Sangga Juwana merasakan adanya
tekanan pada nada suara pemuda berambut
keperakan itu, meskipun tadi diucapkan dengan suara datar. Maka dia pun tidak
berani banyak membantah.
"Kalau begitu,
baiklah," sahut laki-laki berkumis tebal, mengalah. "Tapi kuminta kau
pun juga demikian. Namaku Sangga Juwana. Kau boleh memanggilku Sangga, atau
Juwana. Itu terserah. Tapi, orang biasa memanggilku Sangga."
"Kuturuti panggilan
orang-orang saja, Sangga," sahut Arya memutuskan. "Nah!
Sekarang, ceritakanlah semua
kejadiannya. Dan apa maksud ucapanmu tadi."
Sangga Juwana tidak langsung
menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia tercenung beberapa saat lamanya, mencari
kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Semua ceritamu akan
kudengarkan sampai selesai, Sangga. Sepanjang apa pun yang akan kau ceritakan.
Tapi, akan lebih bagus lagi kalau kau bisa menceritakannya secara singkat tapi
jelas."
"Akan kucoba, Arya,"
sambut Sangga Juwana, penuh semangat mendengar sambutan Dewa Arak.
"Saat itu, perguruan kami
kedatangan seorang tamu. Dia meminta agar
perguruan kami bersedia mengantarkan suatu barang ke tempat yang
diinginkannya. Maaf, aku tidak bisa
menyebutkan nama tempatnya, Arya," ucap Sangga Juwana memulai ceritanya.
"Tidak mengapa, Sangga.
Aku bisa memakluminya," sahut Arya bijaksana.
"Terima kasih, Arya.
Baiklah, akan kulanjutkan ceritaku. Tidak seperti biasanya, kali ini guruku
menyuruhku agar ikut dalam rombongan ini. Katanya, barang yang akan dikirimkan
sangat penting. Dengan adanya aku, guru akan merasa lega melepas kepergian
kami." Sangga Juwana menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil
napas. Sementara, Arya sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun.
Didengarkannya saja cerita yang dituturkan pimpinan rombongan Perguruan Harimau
Terbang penuh perhatian.
"Tapi sungguh tidak kami
sangka-sangka, dalam perjalanan kali ini begitu penuh halangan," sambung
Sangga Juwana lagi.
Kemudian secara singkat tapi
jelas, kejadian demi kejadian yang dialami rombongan yang dipimpinnya
diceritakan. Arya terus mendengarkan. Sedikit pun tidak diselaknya cerita yang
dituturkan Sangga Juwana.
"Begitulah ceritanya,
Arya," urai laki-laki berkumis tebal hu menutup ceritanya. "Itulah
sebabnya, aku menduga kau pun berminat terhadap barang itu. Hhh...! Aku sama
sekali tidak pernah mimpi kalau datuk-datuk persilatan aliran hitam itu akan
memperebutkannya."
Arya tercenung ketika Sangga
Juwana menyelesaikan cerita. Benak pemuda berambut putih keperakan ini berputar
keras. Seperti juga halnya Sangga Juwana, dia pun merasa heran. Datuk-datuk
persilatan aliran hitam sampai menjadi perampok? Sulit dipercayai! Tapi, dia
sendiri telah melihat kenyataannya. Kalau bukan sebuah benda yang amat
berharga, tidak akan mungkin melakukan perbuatan serendah itu!
"Apakah mereka tidak
menyebutkan benda yang dimaksud itu, Sangga? Barangkali, salah seorang dan
mereka?" tanya Arya, mulai mencari keterangan.
Sangga Juwana hanya
menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Benda yang
dikirimkan memang merupakan
rahasia pemiliknya. Maka Dewa Arak yakin Sangga Juwana tidak mengetahuinya.
Makanya, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menanyakan hal itu lagi.
"Mereka sama sekali tidak
menyebut-nyebut benda yang dimaksud. Tapi yang jelas,
hampir semua tokoh persilatan
mengetahui, dan berusaha memperebutkannya. Hanya saja, mereka semua belum
sempat bertemu rombonganku. Mereka semua bertemu Garuda Laut Timur, dan
langsung dibantainya."
"Kalau kau tidak bertemu
mereka, bagaimana kau tahu kalau Garuda Laut Timur yang membantai mereka?"
tanya Arya ingin tahu.
"Aku mendengarkan
pembicaraan Garuda Laut Timur dan Raja Ular Beracun," jelas Sangga Juwana.
Semakin dalam kerutan di dahi
Dewa Arak.
"Jadi tanpa diketahui,
barang yang kalian bawa telah diincar tokoh-tokoh persilatan. Hal itu
sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang membuatku bingung, dari mana asal berita
itu?"
"Jangan-jangan, ada orang
yang memancing di air keruh, untuk menghancurkan Perguruan Harimau
Terbang," duga Sangga Juwana.
"Maksudmu?"
"Selain kami, ada satu
lagi yang membuka jasa pengawalan barang. Namanya Perguruan Naga Laut.
Barangkali saja mereka menyebarkan berita yang tidak benar ke dunia
persilatan," jelas Sangga Juwana.
"Maksudmu, orang-orang
Perguruan Naga Laut menyebarkan berita ke
dunia persilatan kalau kalian membawa sebuah barang yang amat berharga.
Barang yang..., yah katakanlah digandrungi semua orang persilatan. Padahal,
sebenarnya barang yang kalian bawa itu barang biasa saja? Begitu maksudmu,
Sangga?" tebak Arya.
"Tepat, Arya!"
Arya mengernyitkan kening
sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. "Aku tidak setuju
pada dugaanmu itu, Sangga."
"Mengapa, Arya? Apa
alasannya?" kejar Sangga Juwana, penasaran.
"Kudengar, Perguruan Naga
Laut adalah kelompok pengawal barang aliran putih seperti kalian. Jadi, rasanya
tak mungkin kalau mereka melakukan hal sekeji itu," sahut Arya memberi
alasan. "Mestinya, memang kemungkinannya ada. Tapi, lebih baik kita
menyelidikinya dan awal dulu."
"Kita?" tanya Sangga
Juwana setengah tak percaya. "Maksudmu..., kau akan ikut
campur dalam masalah ini,
Arya?!" "Begitulah, Sangga," mantap jawaban Dewa Arak.
"Masalah ini sudah bukan masalah kecil lagi. Dunia persilatan telah
guncang karenanya. Jadi, aku ingin ikut serta menyingkap rahasia aneh ini.
Tentu saja kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja tidak,
Arya!" jawab Sangga Juwana cepat tanpa menyembunyikan kegembiraannya.
"Kalau begitu, mari kita
ke Perguruan Harimau Terbang," ajak Arya.
"Hehhh...?! Mengapa harus
ke sana, Arya. Itu kan tempatku?!" tanya Sangga Juwana,
heran.
"Untuk memecahkan masalah
pelik ini, kita harus memulainya dari awal timbulnya
masalah, Sangga. Dan sumbernya
adalah perguruanmu!" jelas Arya. "Barangkali saja ada titik terang di
sana."
Kali ini Sangga Juwana tidak
membantah lagi. Disadari ada kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu. Perasaan kagumnya terhadap Dewa Arak pun semakin menjadi. Sama sekali tidak disangka
dalam diri orang semuda Dewa Arak terdapat wawasan yang begitu luas.
"Kapan kita berangkat,
Arya?" tanya Sangga Juwana, setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Lebih cepat, lebih baik,
Sangga," jawab Arya. "Berarti..., sekarang juga kita berangkat,
Arya."
"Itu lebih baik, Sangga.
Bagaimana? Apa kau keberatan kalau kita berangkat sekarang?" tanya Arya
ketika melihat adanya keraguan di wajah maupun sikap laki-laki berkumis tebal itu.
Sejenak Sangga Juwana gugup.
Rupanya, dia tidak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu.
"Keberatan ah tidak,
Arya. Malah aku senang. Tapi..., aku tidak tega meninggalkan rekan-rekanku
dalam keadaan seperti itu, tanpa dikubur secara layak."
Sambil berkata demikian,
Sangga Juwana mengedarkan pandangan ke arah mayat- mayat rombongan Perguruan
Harimau Terbaog yang telah tak berbenruk itu.
"Kuatkanlah hatimu,
Sangga. Toh, mereka telah menjadi mayat beracun. Jadi tidak ada binatang buas
yang akan mengganggju. Nanti setelah dari perguruanmu, kita akan menguburkan
mereka secara layak. Barangkali saja dengan keberadaan mereka di situ, akan
berguna bagi kita untuk menyelidiki masalah ini," hibur Arya.
Sangga Juwana tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Pikbannya buntu, tidak bisa digunakan sama sekali.
Dihelanya napas berat untuk menguatkan hati.
"Kalau begitu, mari kita
berangkat, Arya," ujar Sangga Juwana sambil menggertakkan
gigi.
Tanpa banyak bicara, Dewa Arak
melangkah menyusul Sangga Juwana yang telah
berjalan lebih dulu. 6
Sesosok tubuh berpakaian
coklat tampak berlari cepat menuju ke arah sebuah bangunan yang terkurung pagar
kayu bulat tinggi. Pada bagian atas pintu gerbang bangunan, terpampang sebuah
papan tebal berukir bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Harimau
Terbang'.
Sosok tubuh berpakaian coklat
itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Tidak heran bila
hanya dalam beberapa kali lesatan saja, dia sudah berada dalam jarak dua batang
tombak di depan pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang.
Beberapa tindak sebelum
mencapai pintu gerbang, sosok berpakaian coklat ini menghentikan langkahnya.
Karena, dua orang berpakaian putih yang pada dada kirinya bersulamkan gambar
seekor harimau bersayap dan berwarna merah telah menghadangnya.
"Katakan kepada Ki
Waringin. Sancaka ingin bertemu dengannya. Ada hal amat penting yang akan kubicarakan padanya,"
ujar sosok berpakaian coklat itu, sebelum kedua orang penjaga pintu gerbang
menanyakannya.
Dua orang penjaga pintu gerbang
itu saling berpandangan sejenak. Mereka tentu saja mengenal nama Sancaka, yang
biasa disebut orang Ki Sancaka. Dia adalah pemilik Perguruan Naga Laut
Dalam adu pandang sejenak
tadi, kedua orang anggota Perguruan Harimau Terbang
itu sama-sama dilanda keraguan.
Sebuah pertanyaan besar berkecamuk dalam benak kedua orang itu. Apa maksud Ki
Sancaka ingin bertemu dengan guru mereka?
Melihat kedua orang penjaga
pintu gerbang itu hanya saling pandang, Ki Sancaka yang tengah tergesa-gesa
menjadi tidak sabar.
"Cepat beritahukan
kedatanganku pada Ki Waringin, sebelum semuanya terlambat!" ujar Ketua
Perguruan Naga Laut itu. Nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.
"Atau..., aku yang akan masuk sendiri ke dalam?!"
Rupanya ucapan yang lebih
mirip bentakan ini membuat kedua orang penjaga pintu
gerbang itu kaget. Maka,
beberapa saat lamanya mereka gugup. Bahkan jawaban yang diberikan salah seorang
dari mereka terdengar terbata-bata.
"Ba..., baik.... Akan
kami sampaikan, Ki"
Usai berkata demikian, salah
seorang penjaga pintu gerbang itu berlari cepat ke dalam.
Sedangkan yang satunya lagi
tetap berjaga di luar bersama Ki Sancaka.
Hanya sebentar saja. Ki
Sancaka menunggu, karena sesaat kemudian penjaga pintu gerbang yang tadi masuk
telah kembali. Hanya saja, dia tidak sendirian. Di sebelahnya kini berdiri
seorang kakek bertubuh sedang. Rambutnya yang berwarna putih pada kedua atas
telinganya, menambah kewibawaannya.
"Sancaka," sapa
kakek berpakaian putih itu.
"Waringin," sahut Ki
Sancaka cepat. Orang yang bernama Ki Sancaka ternyata seorang kakek yang masih
terlihat kekar. Hanya bulu-bulu alisnya saja yang kelihatan mulai berwarna
putih. Pada bagian dada kiri pakaiannya yang berwarna coklat, tersulam gambar
seekor naga dari benang emas.
"Angin apa yang membawamu
kemari, Sancaka?" tanya Ki Waringin lagi.
Terdengar akrab nada suara
Ketua Perguruan Harimau Terbang ini. Sehingga, membuat kedua orang penjaga
pintu gerbang menjadi heran. "Bukankah Ki Waringin sedang berbicara dengan
saingan usahanya? Mengapa kini mereka teriihat demikian akrab?
"Angin buruk,
Waringin," jawab Ki Sancaka, setelah beberapa saat lamanya termenung.
Ki Waringin tertegun mendengar
jawaban Ketua Perguruan Naga Laut itu. Apalagi ketika melihat kegelisahan Ki
Sancaka. Maka perasaan heran yang mendera hatinya semakin menjadi-jadi.
"Kalau begitu, mari kita
bicara di dalam," ajak Ki Waringin.
Ketua Perguruan Harimau
Terbang ini lalu melangkah mendahului masuk ke dalam. Sedangkan tanpa
memberikan tanggapan apa-apa, Ki Sancaka segera melangkah mengikutinya. Karuan
saja pemandangan ini membuat kedua orang penjaga pintu gerbang itu menjadi
semakin heran. Mereka sama sekali tidak tahu kalau puluhan tahun yang lalu, Ki
Sancaka dan Ki Waringin adalah sahabat baik. Tentu saja sikap yang ditunjukkan pun
ramah satu sama lain. Memang, sampai sekarang kedua kakek itu masih tetap
menjalin persahabatan, walaupun jarang bertemu.
Ki Waringin dan Ki Sancaka
berjalan melalui halaman yang cukup luas dan sepi. Tidak ada seorang pun
anggota Perguruan Harimau Terbang terlihat, kecuali kedua orang penjaga pintu
gerbang dan beberapa pelayan di belakang.
Memang, sebenarnya Perguruan
Harimau Terbang bukan sebuah perguruan silat, karena tidak menerima murid. Ki
Waringin hanya mengambil beberapa orang, kemudian dididik ilmu silat. Dia
kemudian menjadikan mereka sebagai pengawal barang. Demikian pula Perguruan
Naga Laut
***
"Sekarang, ceritakanlah
berita buruk yang kau bawa itu, Sancaka," tagih Ki Waringin, ketika mereka
telah berada di sebuah ruangan tengah yang cukup luas.
"Berita yang menyedihkan
dan mengerikan, Waringin," jawab Ki Sancaka langsung pada pokok persoalan.
"Jangan membuatku
penasaran, Sancaka. Ceritakan secara jelas, apa yang kau maksudkan," desak
Ki Waringin tidak sabar lagi.
Sancaka tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditariknya napas panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.
Seakan-akan dia tengah mencari kekuatan hati sebelum memulai cerita.
Meskipun keinginan untuk
mendengar cerita yang dibawa Ki Sancaka meluap-luap, Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu masih tetap mampu untuk tidak langsung mendesak rekannya. Dengan
sabar, ditunggunya hingga Ki Sancaka siap bercerita.
"Aku mendengar kabar yang
tersiar dalam dunia persilatan, Waringin. Sebuah kabar yang mengerikan,"
Ki Sancaka memulai ceritanya.
"Kabar apa,
Sancaka?" tanya Ki Waringin.
"Murid-murid asuhanmu
yang membawa sebuah barang, telah membuat dunia persilatan gempar. Semua tokoh
persilatan, baik dari aliran hitam maupun putih, telah keluar dari sarangnya
untuk merampas barang kiriman itu," tutur Ki Sancaka.
"Ah!" desah Ki
Waringin kaget. "Apakah ada yang aneh terhadap barang kiriman itu,
Sancaka? Padahal, pemilik
barang hanya mengatakan kalau barang itu penting. Maka, kutugaskan Sangga
Juwana untuk ikut dalam rombongan. Rasanya, aku tidak melihat adanya keanehan dalam hal ini. Andaikan
barang yang dititipkannya amat berharga, rasanya belum tentu mampu menarik hati
tokoh-tokon persilatan tingkat atas."
Ki Sancaka
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Kau tahu, Waringin.
Berpuluh-puluh tokoh persilatan dari berbagai aliran dan tingkatan menyerang
rombongan anak didikmu. Mereka semuanya ingin merampas barang kawalan itu.
Mungkin kau tidak percaya kalau kuberitahu bahwa ada dua tokoh hitam yang
menggiriskan, ikut berminat pula terhadap barang kiriman itu."
"Katakanlah, Sancaka. Aku
ingin mendengarnya," sahut Ki Waringin cepat "Kau tidak akan kaget
mendengarnya?"
"Akan kuusahakan,"
jawab Ki Waringin, tidak berani memastikan.
"Di antara orang-orang
yang akan merampas barang itu..., adalah Raja Ular Beracun dan Garuda Laut
Timur!" tandas Ki Sancaka.
"Hahhh...?!"
Ki Waringin sampai tersentak
kaget. Raut keterkejutan yang amat sangat tergambar jelas pada wajahnya. Kedua
tokoh yang disebutkan rekannya adalah datuk-datuk persilatan aliran hitam.
Rasanya, mustahil kalau mereka akan merampok barang kawalan Perguruan Harimau
Terbang!
"Raja Ular Beracun dan
Garuda Laut Timur...?!" ulang Ki Waringin dengan suara bergetar karena
perasaan terkejut "Benar," jawab Ki Sancaka sambil menganggukkan
kepala.
"Aku tidak percaya!"
sentak Ki Waringin keras. "Mustahil orang seperti mereka ikut- ikutan
memperebutkan sebuah benda kiriman!"
"Aku tidak memaksamu
untuk percaya, Waringin," keluh Ki Sancaka. "Hanya yang perlu
diketahui, murid-murid asuhanku secara kebetulan bertemu mereka berdua
yang tengah memperebutkan sebuah peti
kecil berukir."
Deggg!
Dada Ki Waringin tiba-tiba
terasa sesak seperti diseruduk seekor kerbau liar. Peti kecil! Ucapan Ki
Sancaka sama sekali tidak salah! Barang kiriman itu memang berupa sebuah peti
kecil. Entah apa isinya, Ketua Perguruan Harimau Terbang ini memang tidak tahu.
"Dari mana muridmu tahu
kalau kedua orang itu adalah Garuda Laut Timur dan Raja
Ular Beracun?" kejar Ki
Waringin, masih belum mempercayai.
"Kedua tokoh itu saling
memanggil satu sama lain," jawab Ki Sancaka, setelah termenung sejenak
untuk mengingat-ingat cerita muridnya.
"Hanya itu?" ada
nada kekecewaan dalam ucapan Ki Waringin. Kalau hanya itu, belum
pasti kalau kedua tokoh itu
adalah Raja Ular Beracun dan Garuda Laut Timur.
"Tidak. Muridku itu juga
menceritakan ciri-cirinya. Dan ternyata, keterangan yang diberikan sama dengan
yang kuketahui selama ini," jawab Ki Sancaka, bernada menang.
"Muridku melihat mereka berkejaran, jauh di luar Hutan Kaji. Garuda Laut
Timur yang dikejar, karena dia yang membawa peti."
"Lalu, bagaimana nasib
murid-muridku, Sancaka?" tanya Ki Waringin tanpa menyembunyikan kecemasan,
baik pada raut wajah maupun nada suaranya.
Ki Sancaka mengangkat bahu.
"Maafkan aku, Waringin.
Aku tidak tahu. Hanya kedua datuk sesat itulah yang terlihat olah muridku. Itu
pun secara tidak sengaja. Dan dia lalu memberitahukannya padaku. Hhh… Untung
saja kedua datuk sesat itu tidak melihatnya. Kalau saja terlihat, nasib muridku
pasti sudah bisa kutebak."
Ki Waringin sama sekali tidak
memberi tanggapan. Rupanya, dia masih terpengaruh cerita yang dibawa Ki
Sancaka. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat
"Kau belum mendengar
berita yang tersiar dalam dunia persilatan mengenai barang kiriman yang
dititipkan padamu, Waringin?" tanya Ki Sancaka lagi.
Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu menggelengkan kepalanya. Sikapnya kelihatan lesu sekali.
"Peti yang kau kirimkan
itu berisikan..., kepala manusia "
"Hahhh...?! Kau tidak
main-main, Sancaka?! Kepala manusia?! Kepala siapa?!" tanya Ki Waringin bertubi-tubi, sambil bangkit
berdiri.
"Siapa adanya pemilik
kepala itu, aku tidak tahu. Tapi menurut berita yang kudengar,
pemilik kepala itu telah
meninggal hampir seratus lima puluh tahun yang lalu." "Hhh !"
Ki Waringin menghela napas
berat. Tangan kanannya memegangi kepalanya. Kemudian, kepalanya
tergeleng-geleng seperti hendak mengusir rasa pusing yang mendera. Lalu,
perlahan-lahan pantatnya dijatuhkan kembali ke kursi.
"Aku pusing, Sancaka.
Pusing sekali. Persoalan ini semakin tidak kumengerti. Untuk apa orang itu
memintaku mengantarkan barang, kalau ternyata isinya hanya kepala manusia.
Bahkan manusia yang telah meninggal seratus lima puluh tahun yang lalu. Tak bisa
kubayangkan, sudah bagaimana bentuknya kepala manusia itu," keluh Ki
Waringin sambil memijit-mijit kepalanya.
"Tenanglah, Waringin. Aku
akan menceritakan semuanya secara singkat tapi jelas,
agar kau bisa mengerti dan
tidak kebingungan lagi. Bagaimana? Setuju?!"
Ki Waringin menatap wajah Ki
Sancaka sejenak. Sementara, Ki Sancaka pun tengah menatapnya. Tak pelak lagi,
untuk sesaat lamanya kedua orang pemilik jasa pengawalan barang itu pun saling
berpandangan. Namun kemudian, perlahan-lahan kepala Ki Waringin terangguk.
"Nah, begitu dong!"
seru Ki Sancaka gembira. "Sekarang, dengarkan baik-baik!" Ki Waringin
terdiam. Seluruh perhatiannya dipusatkan untuk mendengarkan cerita yang akan
disampaikan Ki Sancaka. 33
"Menurut cerita yang
tersebar dan yang kudengar, sekitar hampir dua ratus tahun yang lalu hidup
seorang tokoh amat sakti. Dia banyak memiliki kepandaian ajaib. Sayangnya,
tokoh itu memiliki watak telengas
sehingga perbuatannya sangat sewenang-wenang. Kesukaannya adalah
menyebar malapetaka di sana-sini," tutur Ki Sancaka memulai ceritanya.
Ki Waringin
sama sekali tidak menyelak
cerita rekannya. Dibiarkannya
Ki Sancaka
bercerita, sambil mendengarkan
penuh minat.
"Kelakuannya yang buruk
itu tentu saja mendapat tentangan dari tokoh-tokoh persilatan aliran putih.
Tidak terhitung sudah tokoh sesat ini bertarung, namun selalu berhasil
mengalahkan lawan-lawannya. Entah sudah berapa ratus tokoh golongan putih yang
tewas di tangannya."
Ki Sancaka menghentikan
ceritanya sejenak. Ditatapnya wajah Ki Waringin sejenak. Barangkali saja ada
yang ingin ditanyakan. Tapi, ternyata tidak. "Tokoh sesat itu semakin
merajalela ketika tindakan angkara murkanya tidak bisa dibendung tokoh-tokoh
persilatan aliran putih. Bahkan tindak kejahatannya semakin beringas saja.
Membunuh, memperkosa, dan menganiaya. Malah, masih banyak kejahatan lain yang
diperbuatnya," lanjut Ki Sancaka.
"Sampai akhirnya, semua
tokoh golongan putih mengadakan pertemuan untuk
menanggulangi tindakan angkara
murka tokoh sesat itu."
"Tidak adakah tokoh
golongan putih yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari tokoh sesat
itu?" tanya Ki Waringin tiba-tiba, ketika Ki Sancaka menghentikan
ceritanya sejenak.
"Menurut berita yang
kudengar, ada beberapa tokoh golongan putih yang memiliki
kepandaian di atas tokoh sesat
itu," jawab Ki Sancaka.
"Lalu, mengapa mereka
tidak rnembasmi tokoh sesat itu?!" potong Ki Waringin, cepat.
Ada nada penasaran besar dalam
kata-katanya.
"Tokoh sesat itu memiliki
ilmu yang membuatnya tidak bisa mati," sahut Ki Sancaka. "Setiap kali
berhasil dibunuh, dia hidup kembali. Telah berbagai macam cara dilakukan, tapi
dia tetap hidup. Sampai akhinya tokoh golongan putih kelelahan, dan mati
dibantai tokoh sesat itu."
"Ah! Jadi, tokoh sesat
itu memiliki ilmu yang membuatnya tidak bisa dibunuh?"
"Benar. Namun, waktu itu
belum ada seorang pun yang tahu nama ilmunya dan penangkalnya," jawab
Ketua Perguruan Naga Laut. "Baru
setelah pertemuan diadakan, seorang tokoh tua berilmu tinggi memberitahukan
tentang ilmu itu dan cara penanggulangannya."
"Apa nama ilmu itu,
Sancaka?" tanya Ki Waringin penuh gairah.
"Ilmu 'Rawa
Rontek'," jawab Ki Sancaka." Dan menurut tokoh tua itu, kalau hendak
menumpas tokoh sesat yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek', harus memisahkannya
dengan tanah. Tubuhnya jangan dibiarkan bersatu dengan tanah. Dengan kata lain,
membunuh tokoh sesat itu harus sewaktu tubuhnya berada di udara. Dan memang,
ketika petunjuk dan kakek itu diikuti, tokoh sesat yang angkara murka itu
berhasil ditumpas. Dan sesuai petunjuk dari kakek itu pula, kepala dan badannya
yang sengaja dipisahkan dan diletakkan di tempat yang berjauhan. Itu pun tidak
sampai berhubungan dengan tanah."
"Jadi. kepala yang berada
dalam peti barang kawalan adalah kepala tokoh sesat yang
tewas seratus lima puluh tahun
yang lalu itu?" tanya Ki Waringin, mulai mengerti. "Benar," Ki
Sancaka menganggukkan kepala.
"Lalu , kenapa
tokoh-tokoh persilatan hendak merebutnya?!" tanya Ketua Perguruan Harimau
Terbang tidak mengerti.
"Kalau tokoh-tokoh aliran
putih, mungkin ingin menghalang-halangi agar kiriman itu tidak sampai ke tempat
tujuan. Entah apa maksud tokoh aliran hitam merebutnya," jawab Ki Sancaka.
Ki Waringin pun terdiam. Dia
memang tidak mengetahui, karena itu tidak memberikan jawaban. Tapi mendadak....
tiba. "Aku harus pergi
sekarang, Sancaka!" ucap
Ketua Perguruan Harimau Terbang, tiba-
Ki Waringin segera bangkit dari kursinya. Karuan saja, hal itu
membuat Ki Sancaka terkejut. Maka dia pun cepat bangkit
dan berdiri menghadang sahabatnya.
"Tunggu sebentar,
Waringin! Mau ke mana kau? Apa yang akan kau lakukan?" tanya kakek
berpakaian coklat ini ingin tahu.
"Menyusul murid-muridku,
Sancaka. Sebelum mereka tertimpa marabahaya," jawab Ki
Waringin, apa adanya.
"Kalau begitu, aku
ikut!" tandas Ki Sancaka.
"Kau...?!" desis Ki
Waringin tidak percaya. "Kau ingin ikut bersamaku?"
"Benar, Waringin,"
Ketua Perguruan Naga Laut itu menganggukkan kepala. "Ingat! Kita adalah
sahabat. Kesusahanmu, adalah kesusahanku juga. Jadi, biarkan aku ikut bersamamu!"
Ki Waringin tidak langsung
menjawab permintaan itu. Ditatapnya
wajah kakek berpakaian coklat itu lekat-lekat, sebelum akhirnya kepalanya
terangguk sambil tersenyum simpul.
"Sudah kuduga, kau akan
mengizinkanku, Waringin," kata Ki Sancaka, gembira. "Sudahlah. Yang
penting, sekarang kita harus bergegas!"
"Kau benar,
Waringin," hanya itu yang bisa dikatakan Ki Sancaka, karena harus buru-
buru melesat mengejar Ki
Waringin yang telah berjalan keluar lebih dulu.
***
"O ya, Waringin,"
kata Ki Sancaka ketika mereka berdua telah berada di luar pintu bangunan tempat
mereka bercakap-cakap tadi.
"Ada apa, Sancaka?"
tanya Ki Waringin sambil membalikkan tubuh.
Hal itu terpaksa dilakukan
kakek berpakaian putih ini, karena Ki Sancaka memang berada di belakangnya.
"Ada sesuatu hal yang
kulupakan," jawab Ketua Perguruan Naga Laut. "Apa itu, Sancaka?"
tanya Ki Waringin ingin tahu.
"Aku ingin tahu orang
yang telah menyuruhmu mengirimkan barang itu," ujar Ki Sancaka.
Ki Waringin tercenung sejenak,
seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Dia seorang wanita
cantik. Menilik dari keadaannya, dia bukan orang daerah sini. Kulit wajahnya
putih bersih. Dan rambutnya melingkar-lingkar," jelas Ketua Perguruan
Harimau Terbang tentang ciri-ciri pemilik barang.
Ki Sancaka mengangguk-anggukkan
kepala. Entah apa arti anggukannya. Hanya dia sendiri yang mengerti maknanya.
"Hebatnya, orang hitam
itu membayar begitu banyak. Padahal, jarak yang diajukannya sebagai tempat
pengiriman barang tidak terlalu jauh. Maka, begitu dia mengatakan kalau barang
itu penting dan berharga sekali, segera kuperintahkan Sangga Juwana untuk ikut
dalam rombongan."
"Bagaimana kalau setelah
menemukan murid-muridmu, tempat pengantaran barang itu kita datangi, Waringin?" usul Ki
Sancaka.
"Kau ini bagaimana,
Sancaka? Tanpa kau usulkan pun, rombongan kami akan ke sana
untuk mengantarkan
barang?" bantah Ki Waringin, keras. "Kau lupa, Waringin," tuding
Ki Sancaka.
"Menurut cerita muridku,
peti itu telah diambil Garuda Laut Timur."
"Kalau begitu, usulmu kita
bicarakan lagi nanti," jawab Ki Waringin setelah kebingungan sejenak.
Usai berkata demikian, Ki
Waringin lalu membalikkan tubuh dan kembali melangkah menuju pintu gerbang.
Ki Sancaka bergegas menyusul
dan menjajari langkah sahabatnya. "Ada sebuah hal yang ingin kuketahui.
Mengapa Garuda Laut Timur membutuhkan kepala itu. Mungkinkah dia ingin
menghidupkan kembali tokoh sesat yang telah tewas itu?" tanya kakek
berpakaian coklat itu. Rupanya, dia belum puas membicarakan masalah itu.
Ki Waringin diam saja, tanpa
memberikan tanggapan sama sekali. Tapi, hal itu tidak membuat Ki Sancaka
berhenti berbicara. Rupanya, bagi kakek berpakaian coklat itu tak ada masalah
apakah ditanggapi atau tidak. Yang penting, uneg-uneg yang mengganjal telah keluar.
"Masalah kedua yang
membingungkanku adalah, siapakah sumber berita yang menyebarkan kalau Perguruan
Harimau Terbang membawa kepala tokoh sesat yang tewas seratus tahun
lalu?!" sambung Ki Sancaka lagi
Langkah Ki Waringin kontan
terhenti. Mulai disadari adanya ketidakberesan dalam
masalah ini. Apa yang
dikatakan Ki Sancaka sama sekali tidak salah. Memang, dari mana asal berita
kalau iring-iringan pengawalan barang Perguruan Harimau Terbang itu membawa
kepala tokoh sesat zaman dulu yang memiliki ilmu 'Rawa Rontek'?
Namun sebelum Ki Waringin
sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba terdengar
jeritan keras. Jelas, jeritan
kematian!
Jeritan itu saja rupanya sudah
cukup menimbulkan keterkejutan di hati Ki Waringin dan Ki Sancaka. Apalagi,
ketika Ki Waringin mengenali pemilik suara. Yang rupanya seorang dari murid
Perguruan Harimau Terbang penjaga pintu gerbang.
Keyakinan Ki Waringin semakin
membesar setelah mendengarkan lebih seksama, arah jerit kematian itu. Dan
memang, itu benar berasal dari pintu gerbang.
"Kau dengar suara itu,
Sancaka?" tanya Ki Waringin untuk lebih meyakinkan diri. Dia takut kalau
telinganya salah dengar.
Ki Sancaka menganggukkan
kepala. "Sepertinya jeritan kematian."
Bagai kucing dibawakan
sapulidi, Ki Waringin segera melesat cepat menuju pintu
gerbang. Dia ingin tahu
kejadian yang menimpa di sana. Cepat bukan kepalang gerakannya. Sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan sinar putih yang melesat cepat menuju pintu
gerbang.
"Heyyy...!"
Ki Sancaka memekik keras
ketika melihat tubuh Ki Waringin melesat. Tanpa membuang-buang waktu, dia pun
bergerak mengejar. Sesaat kemudian sosok bayangan coklat yang tak jelas
bentuknya telah melesat mengejar sosok bayangan putih yang tak lain adalah Ki Waringin.
Ki Waringin mengerahkan
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk tiba di depan pintu gerbang
secepat mungkin. Kekhawatirannya akan nasib kedua orang muridnyalah yang
membuatnya bersikap demikian.
Tapi belum juga mencapai pintu
gerbang, tampak sesosok tubuh tinggi kurus tengah
melangkah masuk dengan tenang.
Dia adalah seorang kakek berpakaian merah menyala. Bahkan kedua tangannya
tertutup sarung tangan yang juga berwarna merah.
Tapi yang membuat Ki Waringin
terkejut adalah sebuah peti kecil berwarna hitam berukir yang terkempit di ketiak
kanan kakek tinggi kurus itu. Peti itu adalah barang kiriman yang dibawa Sangga
Juwana dan rombongannya. Kalau peti kecil itu kini berada di tangan kakek ini,
sudah bisa diperkirakan nasib rombongan murid-muridnya.
Sepasang alis Ki Waringin
berkerut ketika teringat cerita Ki Sancaka. Dia kini berdiri terpaku dengan
sepasang mata terbelalak lebar, menatap tamu tak diundang itu. Memang sejak
melihat kedatangan kakek itu, Ki Waringin sudah menghentikan larinya.
Keterkejutannyalah yang membuat langkahnya terhenti tanpa sadar.
"Garuda Laut
Timur...," sebuah desisan keluar dari mulut Ki Sancaka yang telah
berada di sebelah Ki Waringin.
Dia ingin meyakinkan Ketua Perguruan Harimau Terbang ini kalau kakek berpakaian
putih itu adalah Garuda Laut Timur.
Wajah Ki Sancaka tampak cemas
bukan kepalang. Gambaran perasaan yang
sama juga tampak pada wajah Ki Waringin. Memang kehadiran datuk kaum
sesat yang merajai wilayah lautan itu amat mengejutkan hati mereka. Sementara
orang yang membuat mereka gentar tengah melangkah menghampiri. Raut wajahnya
memancarkan kemarahan yang amat sangat. Bahkan sepasang matanya menyiratkan
hawa maut. Jelas, Garuda Laut Timur tengah murka.
Selangkah demi selangkah,
jarak Garuda Laut Timur dengan Ki Waringin dan Ki Sancaka semakin bertambah
dekat. Baik Ki Waringin maupun Ki Sancaka kini tahu, kepada siapa pandangan
mata penuh kemarahan dari Garuda Laut Timur itu ditujukan. Jelas, pada Ki
Waringin!
Ketika jarak antara Garuda
Laut Timur dengan Ki Sancaka dan Ki Waringin berdiri tinggal sekitar dua tombak
lagi, langkah tokoh sesat yang menggiriskan itu berhenti.
Brakkk!
Peti kecil berukir yang
terkempit di ketiak kanannya dibanting ke tanah. Dan karena disertai pengerahan
tenaga dalam, tak pelak lagi peti itu hancur berkeping-keping. Sehingga, isi
peti itu terpental keluar, lalu menggelinding di tanah beberapa saat lamanya
sebelum akhirnya berhenti.
Mata Ki Waringin dan Ki
Sancaka yang mengikuti arah benda yang menggelinding itu
langsung terbelalak. Mereka
kini tahu, apa sebenarnya benda itu. Ternyata sebuah kepala.
Tapi yang membuat mereka lebih
terkejut, adalah ketika mengetahui secara pasti
kalau kepala itu bukan kepala manusia. Melainkan, kepala sejenis kera!
Tepatnya kepala seekor orang hutan.
"Berani kau mempermainkan
dengan menciptakan lelucon seperti ini,
Keparat Busuk?!"
Teguran keras bernada
kemarahan membuat Ki Waringin dan Ki Sancaka mengalihkan pandangan. Kini mata
mereka tertuju pada Garuda Laut Timur. Lagi-lagi, kedua orang ini langsung
tahu, kepada siapa kemarahan Garuda Laut Timur ditujukan.
Ki Waringin dan Ki Sancaka
langsung bisa meraba-raba penyebab kemarahan datuk penguasa wilayah lautan itu.
Pasti karena peti yang berisi kepala orang hutan itu. Bukankah berita yang
tersiar luas di dunia persilatan mengatakan, kalau peti itu berisi kepala
manusia pemilik ilmu 'Rawa Rontek'? Jelas, Garuda Laut Timur merasa dirinya
dipermainkan. Tak heran kalau dia datang ke sini dan langsung murka.
"Kau tahu, tidak ada
ampun bagi orang yang berani mempermainkan Garuda Laut
Timur!" sambung kakek
tinggi kurus itu, masih dengan nada tinggi.
Garuda Laut Timur sama sekali
tidak peduli ucapannya didengar atau tidak. Yang dibutuhkannya adalah
pelampiasan kekesalan yang terpendam. Baik pelampiasan dalam bentuk ucapan,
maupun tindakan.
Betapa Garuda Laut Timur tidak
menjadi jengkel bukan kepalang? Dengan susah payah peti yang diperebutkan
didapatkan. Bahkan dia datang dari tempat yang amat jauh. Dan ketika sudah berhasil
memperolehnya, juga harus bermain kucing-kucingan dengan Raja Ular Beracun,
agar tidak terjadi bentrokan. Bukan karena Garuda Laut Timur takut, tapi karena
ingin menyelamatkan peti berukir itu lebih dulu.
Dapat dibayangkan betapa geram
hatinya, ketika akhirnya berhasil lolos dari kejaran Raja Ular Beracun dan
hanya menjumpai kepala seekor orang hutan di dalamnya. Dengan kemarahan yang
meluap-luap dalam dada, maka diputuskannya untuk menyatroni tempat Perguruan
Harimau Terbang. Dan setelah bertanya sana sini, markas Perguruan Harimau
terbang berhasil ditemukannya.
Brakkk!
Garuda Laut Timur membanting
peti kecil berukir yang terkempit di ketiaknya. Sehingga, isi peti yang berupa
kepala seekor orang hutan, terpental ke luar, lalu menggelinding di tanah
beberapa saat lamanya. 8
Ki Waringin tahu, bahaya besar
tengah mengancamnya. Garuda Laut Timur tak akan mungkin mau mengampuninya.
Datuk sesat penguasa wilayah lautan itu jelas akan membunuhnya. Bahkan mungkin
dengan cara mengerikan. Maka, diputuskannya untuk melakukan perlawanan.
Sekalipun disadari kalau bukan tandingan Garuda Laut Timur, namun dia tidak mau
mati konyol. Setidak-tidaknya, dia tewas secara gagah berani. Maka tanpa
ragu-ragu lagi, senjatanya segera dicabut.
Srattt!
Sinar terang berkiblat ketika
pedang bergagang kepala harimau itu keluar dari sarungnya.
Srattt!
Untuk yang kedua kali sinar
terang menyilaukan mata kembali berkeredep ketika Ki Sancaka mencabut
senjatanya pula, berupa sebilah golok pendek bergagang kepala naga.
Rupanya Ki Sancaka tidak ingin
berpangku tangan saja melihat bahaya besar yang
tengah mengancam keselamatan
sahabatnya. Meskipun tidak masuk calon korban Garuda Laut Timur, Ketua
Perguruan Naga Laut ini berniat mengadakan perlawanan. Dan itu jelas
dilakukannya untuk membela Ki Waringin.
Ki Sancaka tahu Garuda Laut
Timur adalah seorang tokoh amat sakti. Jangankan Ki
Waringin sendirian. Biarpun
dibantu olehnya pun, belum tentu Garuda Laut Timur bisa dikalahkan. Meskipun
demikian, tetap Ki Sancaka nekat. Dia tidak rela membiarkan Ki Waringin mati
sendirian. Biariah, kalau perlu mati bersama-sama.
Ki Waringin merasa terharu
melihat pembelaan Ki Sancaka. Dia tahu, tindakan Ki
Sancaka sama saja
mempertaruhkan nyawa. Dan itu dilakukan laki-laki berpakaian coklat itu untuk
membelanya. Betapa Ketua Perguruan Harimau Terbang ini tidak terharu?
"Mengapa kau lakukan ini,
Sancaka?" tanya Ki Waringin. Agak serak suaranya. karena perasaan haru
yang menggelegak.
Ki Sancaka menoleh, menatap
wajah sahabatnya lekat-lekat
"Aku tidak mau melihat
kau mati dibantai iblis itu, Waringin. Biariah kita mati bersama," jawab
Ki Sancaka kalem.
"Terima kasih, Sancaka.
Kau memang sahabatku yang terbaik," puji Ki Waringin
dengan suara semakin serak.
"Lupakanlah, Waringin.
Kita adalah sahabat baik. Kau ingat?!"
"Apakah kalian sudah
saling mengucapkan selamat tinggal? Kalau belum, cepat lakukan! Kalian kuberi
kesempatan agar tidak mati penasaran!"
Ucapan keras Garuda Laut Timur
menghentikan percakapan antara Ki Waringin dan Ki Sancaka. Mereka pun
kembali mengalihkan perhatian ke arah datuk sesat penguasa lautan itu. Memang,
kedua pimpinan tertinggi jasa pengawalan barang kiriman itu bercakap-cakap
tanpa memperhatikan Garuda Laut Timur. Mereka tahu, Garuda Laut Timur tidak
akan mungkin membokong!
"Kami tidak perlu
mengucapkan kata-kata itu, Garuda Laut Timur!" sambut Ki Waringin lantang,
untuk menutupi kegentaran hatinya. "Karena kami akan melenyapkanmu untuk
selama-lamanya!"
"Keparat! Kau mencari
mati sendiri, Macan Ompong! Haaat..!"
Diiringi suara mendesing
nyaring, Garuda Laut Timur melompat menerjang Ki Waringin. Dan sewaktu berada
di udara, tubuhnya berbalik seraya mengibaskan kaki kanan ke arah pelipis.
Wuttt..!
Hembusan angin keras
mengiringi tibanya tendangan datuk sesat penguasa wilayah lautan itu.
Ki Waringin tidak berani
bertindak gegabah. Buru-buru Ketua Perguruan Harimau Terbang ini melompat ke
belakang. Sehingga, serangan itu mengenai tempat kosong, beberapa jengkal dari
sasaran. Meskipun demikian, angin kihasan serangan itu saja telah membuat
rambut dan pakaian Ki Waringin berkibar keras. Dari sini saja sudah bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam kibasan itu.
Tapi, bukan Garuda Laut Timur
namanya kalau serangan yang dilancarkannya hanya
berhenti sampai di situ.
Begitu kakinya menyentuh tanah, langsung saja dikirimkan serangan bertubi-tubi
ke arah Ki Waringin.
Karuan saja, hal ini membuat
Ki Waringin kelabakan. Dengan susah payah Ketua Perguruan Harimau Terbang ini
berusaha keras mengelakkan serangan. Malah tubuhnya sampai terpontang-panting
ke sana kemari dalam usaha mengelakkan serangan itu.
Sebuah keuntungan bagi Ki
Waringin, Ki Sancaka tidak tinggal diam. Begitu sahabatnya tampak terancam
bahaya maut, dia langsung terjun ke dalam
kancah pertarungan. Ketua Perguruan Naga Laut ini langsung saja mengirimkan
serangan mematikan dan bertubi-tubi ke arah Garuda Laut Timur yang tengah
memburu Ki Waringin.
Sing, sing, sing...!
Desingan tajam terdengar
saling susul ketika golok di tangan Ki Sancaka menyambar ke arah leher dan
pelipis Garuda Laut Timur. Pada saat yang sama, tubuh datuk sesat penguasa
wilayah lautan itu tengah meluruk, memburu Ki Waringin.
Garuda Laut Timur menggeram.
Sungguh sama sekali tidak diduganya kalau Ki Sancaka akan secerdik ini. Yang
diserang Ketua Perguruan Naga Laut adalah bagian-bagian terlemah dari tubuhnya,
yang tidak mungkin bisa dilindungi dengan pengerahan tenaga dalam. Jadi, Garuda Laut Timur tidak mungkin
membiarkan serangan itu begitu saja.
Mau tak mau, Garuda Laut Timur
terpaksa membatalkan serangannya terhadap Ki Waringin Namun, kini serangannya
dialihkan untuk menangkis serangan-serangan yang dikirimkan Ki Sancaka. Dengan
tangan telanjang, dipapaknya sambaran golok Ki Sancaka.
Trak, trak, trak...!
"Akh...!"
Sebuah pekik kesakitan keluar
dari mulut Ki Sancaka ketika golok di tangannya berbenturan dengan tangan
Garuda Laut Timur. Tangannya kontan terasa linu-linu. Bahkan jari-jari tangan
yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Sehingga, hampir saja golok itu terlepas
dari pegangan.
Sedangkan Garuda Laut Timur
seperti tidak merasakan akibat benturan itu.
Tangannya yang dipakai
menangkis babatan golok tidak kurang suatu apa. Jangankan terluka, tergores pun
tidak! Hal ini membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam Garuda Laut Timur mampu
membuat tangannya seperti sekuat baja!
Tapi, Ki Sancaka berusaha
tidak mempedulikan perasaan sakit yang mendera
tangannya. Kembali
diterjangnya Garuda Laut Timur dengan serangan-serangan mematikan.
Bukan hanya Ki Sancaka saja
yang bertindak demikian. Ki Waringin pun melakukan hal yang sama. Pedang di
tangannya berkelebat cepat, mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Garuda
Laut Timur.
Di lain pihak, Garuda Laut
Timur pun memang tidak bertindak main-main lagi. Meskipun kakek berpakaian
merah ini sama sekali tidak menggunakan senjata, tapi seluruh kemampuannya
dikerahkan. Maka tak pelak lagi pertarungan yang cukup seru dan menarik pun
berlangsung.
Tapi, menariknya pertarungan
itu tak berlangsung sampai lama. Lewat lima belas jurus, Garuda Laut Timur
mulai menguasai kancah pertarungan. Memang tingkat kepandaian datuk sesat
penguasa lautan ini terlalu tinggi untuk bisa ditandingi Ki Waringin dan Ki
Sancaka. Sekalipun, mereka menghadapinya secara bersama-sama.
Kekuatan tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh, dan mutu ilmu silat mereka terlalu jauh. Sehingga,
perlawanan yang dilakukan tampaknya sia-sia. Setiap serangan yang dilancarkan
Ki Sancaka dan Ki Waringin selalu kandas. Kalau tidak tertangkis, pasti bisa
dielakkan. Ki Sancaka dan Ki Waringin seperti menyerang bayangan saja, karena
kecepatan gerakan Garuda Laut Timur.
Dan menginjak jurus ke dua
puluh dua....
Tuk, tuk !
"Akh..., akh !" Ki
Sancaka dan Ki Waringin memekik tertahan ketika tiba-tiba tangan mereka terasa
lumpuh. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata-senjata mereka pun terlepas dari pegangan.
Ki Sancaka dan Ki Waringin sama sekali tidak tahu kalau Garuda Laut Timur
dengan kecepatan geraknya yang luar biasa, telah menotok sikut-sikut mereka.
Sehingga, membuat tangan- tangan mereka lumpuh seketika. Walaupun hanya
sekejap.
Dan sebelum Ki Sancaka dan Ki
Waringin sempat berbuat sesuatu, kaki Garuda Laut Timur telah menendang kedua
senjata yang terlepas dari pegangan.
Tak, tak...! Singgg,
singgg...! "Akh, akh...!"
Pekik kesakitan tertahan
keluar dari mulut Ki Sancaka dan Ki Waringin ketika pedang
dan golok yang ditendang
Garuda Laut Timur, menghunjam telak pada paha kanan masing- masing sampai
setengahnya lebih. Seketika itu pula, tubuh kedua kakek itu terhuyung- huyung
ke belakang sambil menyeringai kesakitan.
***
"Hak hak hak...!"
Garuda Laut Timur tertawa
terbahak-bahak. Sejenak ditatapnya kedua lawan yang masih terhuyung-huyung
mundur ke belakang. Kemudian dengan langkah lambat-lambat, dia menghampiri
kedua kakek tak berdaya itu. Ada sorot kematian pada sepasang matanya.
Ki Sancaka dan Ki Waringin
saling berpandangan pasrah. Keduanya yakin, tidak akan selamat dari maut.
"Bersiap-siaplah menerima
kematian, Monyet-Monyet Kecil!" ujar Garuda Laut Timur dengan suara
menyeramkan.
Namun sebelum Garuda Laut
Timur mengirimkan pukulan terakhir...
"Sungguh gagah sekali
tindakanmu, Garuda Laut Timur! Beraninya hanya membunuh lawan tidak
berdaya!"
Keras dan lantang suara itu
diucapkan, sehingga terdengar jelas ke seluruh penjuru.
Jelas, hal ini membuktikan
kekuatan tenaga dalam pemiliknya.
Bukan hanya Garuda Laut Timur
saja yang menoleh untuk melihat orang yang telah begitu berani mencelanya. Ki
Sancaka dan Ki Waringin pun ikut pula menoleh. Kedua kakek yang sudah tidak
berdaya ini ingin tahu pula orang yang sudah pasti bermaksud menolong.
Garuda Laut Timur menggeram,
begitu melihat salah satu dari dua orang yang berdiri
di ambang pintu gerbang. Dia
seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau
bukan Dewa Arak? Sedangkan orang yang satunya
lagi sudah bisa ditebak. Ya. Sangga Juwana! Sebab, dia memang diajak
Dewa Arak untuk kembali ke perguruannya.
"Lagi-lagi kau, Dewa
Arak!" desis Garuda Laut Timur tajam. "Tapi bagus kau datang kemari,
sehingga aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu. Memang, sudah lama aku
ingin membuat perhitungan denganmu!"
Arya hanya tersenyum getir.
"Pantang bagiku menolak
tantangan, Garuda Laut Timur!" sambut pemuda berambut putih keperakan itu.
Usai berkata demikian, Arya
segera melangkah menghampiri Garuda Laut Timur,
Sementara, Sangga Juwana
bergegas mendekati Ki Sancaka dan Ki Waringin.
"Kau tidak apa-apa,
Guru?" tanya Sangga Juwana bernada khawatir, seraya menatap kaki Ki
Waringin yang tertancap senjatanya sendiri.
Ketua Perguruan Harimau
Terbang hanya menggelengkan kepala.
"Hanya sebuah luka kecil,
Sangga," jawab Ki Waringin kalem. "O ya, benarkah pemuda yang datang
bersamamu itu Dewa Arak?"
Sangga Juwana menganggukkan
kepala. "Benar, Guru."
"Ah...!" Hampir
berbareng Ki Sancaka dan Ki Waringin berseru kaget. Memang keduanya sama sekali
tidak menduga bisa berjumpa pendekar muda yang mempunyai julukan menggemparkan
dunia persilatan itu.
"Berita yang tersebar itu
benar," desah Ki Sancaka dengan pandangan mata tak lepas dari Dewa Arak.
"Tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu ternyata demikian
muda."
"Hm...!"
Hanya gumam perlahan dari
mulut Ki Waringin yang menyambuti ucapan penuh kekaguman dari Ki Sancaka. Dia
lebih tertarik memperhatikan Dewa Arak dan Garuda Laut Timur yang sudah pasti
akan terlibat dalam pertarungan.
Memang, pertarungan antara
Dewa Arak melawan Garuda Laut Timur tidak akan mungkin bisa dielakkan lagi.
Garuda Laut Timur sudah terlalu dilanda amarah, dan tidak akan mungkin bisa
disabarkan kembali.
Dan itu terbukti. Tampaknya
Garuda Laut Timur tidak sabar menunggu hingga Arya mendekat. Dia pun melangkah
menghampiri. Dan kini kedua belah pihak saling menghampiri satu sama lain. Lalu
langkah keduanya baru terhenti ketika telah berjarak dua tombak lagi.
Sesaat, baik Dewa Arak maupun
Garuda Laut Timur saling berpandangan. Seakan- akan kedua tokoh yang hendak
berlaga itu saling mengadu kekuatan pandangan lebih dulu, sebelum bertarung.
"Haaat..!"
Garuda Laut Timur berteriak,
keras menggelegar laksana halilintar. Dan sebelum gema teriakan itu lenyap, dia
sudah melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika tubuhnya telah berada di udara,
Garuda Laut Timur meluruk turun menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya yang
membentuk cakar garuda, siap merejam lawannya. Ibu jari dan kelingking terlipat
ke dalam, sementara jari-jari lainnya terkembang membentuk cakar. Serangannya
mirip seekor garuda menyerbu mangsa.
Dan dengan bentuk jari-jari
seperti itulah Garuda Laut Timur melancarkan serangan,
bertubi-tubi ke arah pelipis
dan ubun-ubun Dewa Arak. Suara mencicit nyaring, menjadi pertanda kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya. Inilah jurus 'Garuda', ilmu
andalan Garuda Laut Timur.
Dewa Arak tahu kalau lawannya
telah mengeluarkan ilmu andalan. Maka dia tidak
berani bertindak gegabah.
Buru-buru kakinya digenjot, sehingga tubuhnya melayang ke belakang. Akibatnya,
serangan serangan yang dilancarkan Garuda Laut Timur kandas.
Dan di saat tubuhnya tengah
melayang ke belakang, Dewa Arak mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Kemudian isinya dituangkan ke dalam mulut
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Kini, pemuda berambut putih keperakan
itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
"Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak
menginjak tanah, serangan susulan dari Garuda Laut Timur kembali meluncur tiba.
Suara bercicitan nyaring mengawali serangan yang dilancarkan.
Tapi, Dewa Arak telah siap.
Dan rasanya, tak sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'nya. Bahkan, langsung dikirimkannya serangan balasan
yang membuat Garuda Laut Timur agak sibuk. Sesaat kemudian, kedua tokoh sakti
ini sudah teriibat pertarungan sengit
Pertarungan yang berlangsung
antara Dewa Arak dan Garuda Laut Timur memang benar-benar menarik. Tubuh kedua
tokoh sakti itu seperti melayang-layang di udara. Memang, keduanya memiliki
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Baik Dewa Arak maupun Garuda
Laut Timur sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing Kedua tangan,
guci, dan semburan-semburan, dikeluarkan Dewa Arak dalam usaha menggilas habis
semua perlawanan Garuda Laut Timur.
Tapi, Garuda Laut Timur pun
bukan tokoh sembarangan. Dia adalah seorang datuk sesat penguasa wilayah lautan
yang memiliki kepandaian tinggi. Maka perlawanan yang dilakukannya pun tak
kalah hebat
Suara mencicit dan mengaung
menyemaraki pertarungan yang terjadi. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Memang
dahyat sekali pertarungan yang berlangsung. Sehingga, mampu memaksa. Ki
Sancaka, Ki Waringin, dan Semgga Juwana mundur menjauhi arena, tanpa
mengalihkan pandangan dari pertempuran. Bahkan tanpa berkedip!
Sementara itu, pertarungan
telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan perlahan-
lahan, Dewa Arak berhasil
mendesak lawannya. Padahal, Garuda Laut Timur telah menggunakan senjata
andalannya, yang berupa tongkat berujung logam tajam, berbentuk bulan sabit.
Hebatnya, Dewa Arak tidak terdesak. Memang ilmu 'Belalang Sakti' yang terdiri
dari kumpulan serangan tangan, guci, dan semburan arak, merupakan satu kesatuan
yang mampu menggilas habis perlawanan lawan. Dan kini, yang menjadi korbannya
adalah Garuda Laut Timur.
Menginjak jurus keseratus dua
puluh lima, Garuda Laut Timur semakin terdesak. Dan datuk sesat ini pun sadar
kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengalahkan Dewa Arak. Kemungkinan besar
dia yang akan tewas. Padahal, seumur hidupnya Garuda Laut Timur belum pernah
kalah. Namun, dia juga tidak ingin kalah. Maka, diputuskannya untuk mengajak
Dewa Arak mati bersama!
Setelah mengambil keputusan demikian,
Garuda Laut Timur menyerang kalang kabut
Namun serangannya tanpa
mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. Yang ada di benaknya hanya satu. Dewa
Arak harus mati!
Dan memang, menyerang secara
kalap seperti ini membuat desakan Dewa Arak berkurang. Bahkan kini, ganti
pemuda berambut putih keperakan itu yang terdesak.
Tapi terdesaknya Dewa Arak
hanya berlangsung beberapa jurus saja. Dan hal itu pun karena Dewa Arak tidak
mau meladeni keinginan gila lawannya.
Memang, dengan cara menyerang
kalap seperti itu kedahsyatannya semakin berlipat ganda. Tapi akibatnya,
pertahanan pun melemah. Banyak celah kosong yang dapat dijadikan sasaran
serangan lawan. Hal ini pun telah diperhitungkan oleh Dewa Arak.
"Haaat...!"
Garuda Laut Timur menusukkan
tongkat berujung bulan sabit ke arah perut Dewa Arak. Dan dengan perhitungan
matang seorang tokoh berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas, Dewa Arak
melangkahkan kaki kanannya ke belakang sambil mencondongkan tubuh. Pada saat
yang bersamaan, tangan kanannya digerakkan.
Tappp!
Tongkat itu berhasil dicekal
jari tangan kiri Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan itu langsung
menyentakkannya. Sedangkan Garuda Laut Timur sama sekali tidak menduga tindakan
lawan. Tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kontan melayang ke arah Dewa Arak.
Dan saat inilah yang
ditunggu-tunggu Dewa Arak. Tubuh Garuda Laut Timur yang melayang itu dipapak
dengan gedoran guci araknya. Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Maka....
Bukkk!
"Akh !"
Garuda Laut Timur melolong
memilukan, ketika gedoran guci Dewa Arak tepat menghantam dadanya. Seketika itu
pula tubuhnya terjungkal ke belakang. Suara berderak keras dari tulang-tulang
yang patah kontan terdengar.
Sungguh mengerikan kejadian
yang teriihat Sepanjang tubuh Garuda Laut Timur melayang, darah segar mengalir
deras dari dalam mulutnya, mengotori tanah berumput.
Brukkk!
Sama sekali tidak ada gerakan
ketika tubuh Garuda Laut Timur menghantam tanah. Datuk sesat ini tewas ketika
tubuhnya masih berada di udara. Memang, pukulan guci Dewa Arak keras sekali,
hingga membuat isi dada lawan hancur berantakan.
"Hhh !"
Dewa Arak menghela napas
berat. Ditatapnya sejenak mayat lawannya, baru kemudian tubuhnya berbalik.
Dihampirinya Sangga Juwana, Ki Sancaka, dan Ki Waringin yang tengah menatap
penuh kekaguman.
Perlahan-lahan matahari mulai
turun tergelincir dari titik kulminasi. Angin yang
bertiup sepoi-sepoi,
seakan-akan menyambut kemenangan Dewa Arak. Siapakah sebenarnya pemilik peti
itu? Benarkah peti itu hanya berisi kepala seekor orang hutan? Lalu, kalau
benar berisi kepala tokoh sesat yang telah tewas seratus lima puluh tahun yang
lalu, seperti yang tersiar di dunia persilatan, ke manakah perginya kepala
tokoh sesat itu? Lalu, apakah alasan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam merampas
kiriman barang yang dikawal orang-orang Perguruan Harimau Terbang. Untuk
jelasnya, silakan ikuti petualangan Dewa Arak dalam episode "Tokoh dari
Masa Silam".
SELESAI