44 Tawanan Datuk Sesat
1
Malam ini begitu cerah. Langit
tampak bersih, tanpa sepotong awan pun menggantung di sana. Bintang-bintang
seperti leluasa memancarkan sinar lembutnya ke persada. Bulan purnama berwarna
kuning keemasan semakin menambah indahnya suasana malam. Rasanya, suasana di
persada begitu aman dan tenteram.
"Auuung...!"
Mendadak, terdengar tolongan
anjing hutan. Suaranya melengking panjang dan menyelusup sampai ke lubuk hati.
Nadanya menimbulkan perasaan ngeri bagi setiap orang yang mendengarnya. Dan
menurut kepercayaan sebagian orang, lolongan anjing hutan tadi menjadi pertanda
akan adanya sebuah peristiwa berdarah!
Sementara itu, di bawah
siraman sinar sang Dewi Malam, tampak sosok-sosok tubuh tengah bergerak cepat
dan ringan, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Jumlahnya tak kurang dari
seratus orang! Dan tampaknya mereka rata-rata memiliki kepandaian silat Namun
anehnya, rombongan itu selalu mengambil jalan di tempat yang te-lindung. Kalau
tidak pepohonan, tentu semak belukar. Bahkan sepasang mata masing-masing selalu
beredar mengawasi sekitarnya. Tampaknya, mereka tidak ingin kehadirannya
diketahui orang. Apakah yang hendak mereka perbuat?
Mendadak, sosok yang berjalan
paling depan mengangkat tangannya ke atas. Dia, seorang kakek bertubuh tinggi
besar. Pakaiannya berwarna hitam mengkilat. Wajahnya dipenuhi cambang bauk yang
cukup lebat. Penampilannya semakin menyeramkan oleh potongan rambutnya yang
dikepang satu. Dan pada bagian ujung kepangan, dipasangi sebuah benda logam
berbentuk bintang segi lima. Tampaknya, dari sini bisa dinilai kalau kakek
berambut dikepang itu rnempunyai pengaruh besar dalam rombongan ini.
"Setan Kecil!"
panggil kakek itu sambil menatap salah satu dari empat orang kakek yang tadi
berjalan di belakangnya.
"Hamba, Yang Mulia Mata
Malaikat," sahut seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah hitam.
"Setan Botak! Setan Muka
Tengkorak! Setan Tenaga Raksasa!" sebut kakek berambut dikepang, yang
ternyata berjuluk Mata Malaikat.
"Hamba, Yang Mulia Mata
Malaikat," sahut tiga orang kakek yang memiliki ciri-ciri berlainan satu
sama lain.
"Kalian telah siap dengan
rencana ini?" tanya Mata Malaikat seraya menatap satu persatu wajahwajah
di depannya.
"Siap, Yang Mulia Mata
Malaikat," sahut empat orang kakek yang ternyata datuk-datuk sesat dari
empat penjuru mata angin (Untuk jelasnya mengenai tokoh-tokoh ini, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Garuda Mata Satu").
"Bagus! Ingat, jangan
sampai gagal! Besok Istana Kerajaan Gambang harus kita ambil alih," tandas
Mata Malaikat Suaranya terdengar bergetar, karena menahan gejolak nafsu angkara
murka. Sudah terbayang di benak, betapa dirinyalah yang seharusnya duduk di
singgasana istana. "Percayalah, Yang Mulia Mata Malaikat. Sebelum matahari
tenggelam, singgasana Istana Kerajaan Gambang berhasil direbut!" tegas
Setan Botak yang memang gemar bicara.
"Kau benar, Setan Botak!
Akulah yang akan menduduki takhta Kerajaan Gambang. Lalu, barulah Kerajaan
Mandau kutundukkan. Dan, saat keberhasilan itu sebentar lagi akan tiba,"
kata Mata Malaikat, gembira. "Tunggu apa lagi? Mari kita serbu kerajaan
keparat itu!"
Usai berkata demikian, Mata
Malaikat melangkah meninggalkan tempat itu. Langkah kakinya tampak lebar-lebar,
saking semangatnya untuk buruburu mewujudkan impiannya selama ini. Menjadi raja
diraja!
Bagai kerbau dicucuk
hidungnya, rombongan besar yang ternyata anak buah Mata Malaikat bergerak
mengikuti. Malam ini, mereka harus mencari tempat beristirahat. Paling tidak
untuk menyimpan tenaga, guna dipakai menghadapi pertarungan esok pagi.
***
Sesuai kodratnya, pagi ini
sang Surya kembali muncul di ufuk timur. Roda kehidupan kembali berputar. Dan
orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sama sekali tidak ada yang
peduli kalau saat ini akan terjadi penjagalan manusia oleh orang yang tengah
dimabuk nafsu.
Dan memang, Mata Malaikat
sudah tidak sabar lagi untuk dapat segera menduduki Istana Kerajaan Gambang.
Anak buahnya seketika diberi aba-aba....
"Serbu !" perintah Mata Malaikat, berteriak.
Seketika itu pula, bumi bagai
berguncang oleh derap kaki rombongan yang jumlahnya tak kurang dari tiga ratus
orang itu! Kakek berambut dikepang itu tampak berkuda paling depan. Sementara
anak buahnya yang masing-masing menggenggam senjata telanjang di tangan,
mengiringi dari belakang.
Derap kaki-kaki kuda yang
bertubi-tubi menghantam bumi, mengejutkan para prajurit yang menjaga pintu
gerbang. Untungnya, Istana Kerajaan Gambang terletak di hamparan tanah lapang
yang luas membentang. Sehingga, kedatangan rombongan itu segera dapat diketahui
meskipun jaraknya masih cukup jauh.
"Tidak salahkah
penglihatanku, Mota?" tanya prajurit yang bertubuh pendek gemuk. Suaranya
terdengar bergetar, karena rasa kaget yang menyergapnya.
"Tidak, Doga! Aku juga
melihat serombongan orang berkuda yang menuju kemari. Dan dari gerakgeriknya,
rasa-rasanya mereka hendak menyerbu istana ini. Kau tunggu di sini, Doga! Aku
akan memberitahukan hal ini ke dalam!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Mota berlari measuki pintu gerbang istana. Gerakannya begitu cepat, bagai
dikejar hantu menuju gardu penjagaan.
"Hhh...! Hhh..., Kang
Garwa! Gawat, Kang."
Tanpa mengatur napas lagi,
Mota sudah berteriak-teriak. Suaranya terdengar terputus-putus. Napasnya juga
terengah-engah, karena disertai rasa tegang yang melanda hati.
Karuan saja sikap Mota membuat
laki-laki yang berpangkat punggawa dan bernama Garwa ikut kelabakan juga.
Bergegas dia keluar dari gardu penjagaan.
"Tenang, Mota! Ceritakan
dengan jelas masalahnya," ujar Garwa penuh wibawa.
Sikap tegas Garwa membuat Mota
tersadar.
Buru-buru napasnya diatur, dan
mulai bicara.
"Ada serombongan orang
dalam jumlah besar menuju kemari, Kang," lapor Mota. Suaranya terdengar
lebih tenang daripada sebelumnya.
"Hahhh...?! Cepat pukul
kentongan tanda bahaya!" perintah Garwa, cepat
Untuk yang kedua kalinya, Mota
harus berlari. Tapi kali ini arahnya menuju kentongan yang ada di sudut gardu
jaga itu. Tak lama, dipukulnya kentongan itu.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan tanda bahaya,
berkumandang memecahkan kesunyian pagi, dan terus menyelusup ke seluruh pelosok
Istana Kerajaan Gambang.
Sekejap kemudian, suasana
kalut pun melingkupi seisi istana. Memang, sama sekali tidak disangka akan
terjadi peristiwa seperti ini. Namun herannya, mengapa penjaga perbatasan sama
sekali tidak mengirim kabar?
Meskipun demikian, ternyata
para prajurit Kerajaan Gambang mampu mengendalikan kekalutan itu, berkat
bimbingan seorang panglima. Hanya dalam waktu singkat, semua prajurit telah
menempati posnya masing-masing. Dan seperti biasanya, bila kerajaan diserbu
lawan, maka pasukan yang mendapat bagian pertama untuk menghalau lawan adalah
pasukan panah!
Luar biasa kesigapan
prajurit-prajurit Kerajaan Gambang di bawah pimpinan seorang panglima perang
bernama Reksabaya. Sebelum rombongan anak buah Mata Malaikat masuk dalam jarak
luncuran anak panah, pasukan pemanah telah siaga dengan busur terentang siap
melontarkan anak-anak panah.
Sementara itu, rombongan Mata
Malaikat terus meluruk maju. Seperti sebelumnya, berada di barisan depan adalah
Mata Malaikat. Di belakangnya, tampak datuk empat penjuru angin, serta
tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Dan paling bela-ang, adalah anak buah
Mata Malaikat.
Siasat yang digunakan
rombongan Mata Malaikat ini cukup cerdik! Karena apabila tokoh-tokoh yang
memiliki kepandaian rendah berada di bagian depan, pasti akan kesulitan
menghadapi serbuan anak-anak panah yang dilepaskan prajurit-prajurit Kerajaan
Gambang. Sudah bisa dipastikan, akan banyak timbul korban di pihak mereka.
Mata Malaikat tampaknya sudah
tidak sabar untuk segera masuk ke dalam Istana Kerajaan Gambang. Sedangkan
prajurit-prajurit Kerajaan Gambang tampaknya merasa tegang. Terutama sekali,
pasukan panah! Sepertinya waktu berjalan demikian lambat. Padahal, mereka sudah
tidak sabar lagi untuk segera meluncurkan serangan.
Dan kini rombongan Mata
Malaikat terlihat mulai memasuki jarak luncuran anak panah. Dan....
"Tembak !" teriak
Panglima Reksabaya.
Twang! Twang! Twang !
Puluhan, bahkan mungkm ratusan
anak panah seketika meluncur bagai hujan, begitu dilepaskan oleh
prajurit-prajurit Kerajaan Gambang. Anak-anak panah itu terus meluncur,
mengancam rombongan Mata Malaikat yang hendak menjarah Istana Kerajaan Gambang.
Mendapat serangan itu,
orang-orang yang ilmunya hampir menyamai Mata Malaikat, kelihatannya tidak
peduli. Dengan pengerahan tenaga dalam saja, tubuh mereka mampu dibuat kebal
terhadap senjata tajam. Kecuali, bila anak-anak panah itu meluncur ke mata,
yang terpaksa harus ditangkis dengan tangan. Memang dalam pengerahan tenaga dalam
yang dimiliki, kedua tangan itu bagaikan besi saja!
Namun tidak demikian dengan
seluruh anak buah Mata Malaikat Mereka terpaksa menangkisi luncuran anak panah
dengan senjata. Sementara itu, tindakan Mata Malaikat lebih mengagumkan lagi!
Beberapa kali anak panah yang meluncur ke arahnya berhasil ditangkapnya. Dan
begitu berada dalam genggaman, anak panah itu dilontarkan untuk memapak anak
panah lain yang meluncur ke arahnya.
Mengagumkan! Anak panah yang
dilemparkan Mata Malaikat mampu membentur anak panah prajurit-prajurit Kerajaan
Gambang, tepat pada ujungnya! Aneh, ujung anak panah prajurit Kerajaan Gambang
itu hancur seketika!
Sementara itu, sebagian besar
anak buah Mata Malaikat menangkisi luncuran-luncuran anak panah dengan senjata
di tangan. Sungguh suatu keberuntungan bagi tokoh-tokoh berkepandaian rendahan.
Anak panah yang menyambar ke arah mereka tampaknya tidak gencar. Bahkan, tidak
jarang hanya sesekali. Masalahnya, sebagian besar telah diruntuhkan oleh mereka
yang berada di depan.
Wajah Panglima Reksabaya
langsung berubah ketika melihat kejadian di bawah. Betapa tidak? Dari ratusan
anak panah yang telah diluncurkan, tak satu pun yang mengenai sasaran. Semuanya
berhasil dikandaskan dengan cara yang membuat seluruh prajurit Kerajaan Gambang
menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan putus asa!" seru Panglima
Reksabaya memberi semangat "Hujani terus! Jangan biarkan mereka
maju!"
Begitu mendengar perintah,
prajurit-prajurit panah Kerajaan Gambang kembali menjepretkan busurnya.
Twang, twang, twang...!
Seketika ratusan batang anak
panah menghujani rombongan Mata Malaikat. Tapi untuk yang kesekian kalinya,
semua usaha yang dilakukan sia-sia belaka.
Sementara itu, sambil
menangkis hujan anak panah yang belum juga berhenti, Mata Malaikat dan
pengikut-pengikutnya terus merangsek maju. Dan kini, jarak antara mereka dengan
Istana Kerajaan Gambang semakin dekat saja.
"Celaka! Mereka terus
merangsek maju. Rasanya mereka sulit ditahan lagi," kata salah seorang
prajurit pemanah.
"Jangan pikirkan hal itu!
Yang penting, cegah mereka agar jangan semakin mendekat. Masalah gagal atau
berhasil, tidak usah dipikirkan," sergah Panglima Reksabaya.
Ucapan panglima tinggi gagah
itu dipatuhi prajurit-prajurit pasukan panah. Mereka kembali memasangkan
anak-anak panah pada rentangan tali busur, kemudian menjepretkannya.
Tapi seperti juga kejadian
sebelumnya, hujan anak panah itu kembali dapat dikandaskan. Dan sambil terus
mematahkan serangan demi serangan, gerombolan Mata Malaikat terus merangsek
maju.
Siasat Mata Malaikat ternyata
luar biasa jitu. Empat datuk dan beberapa tokoh aliran hitam yang memiliki
tingkat kepandaian cukup tinggi diperintahkan agar tidak meninggalkan
rekan-rekan yang lain saat bergerak maju. Tentu saja ini dimaksudkan untuk
menghindari kerugian di pihaknya.
Dan sekarang, mereka terus
memapak setiap serangan yang datang sambil terus merangsek maju secara teratur.
Kedua tangan dan berbagai macam senjata diputar di atas kepala, untuk
melindungi diri dari hujan serangan anak panah.
Setapak demi setapak, para
tokoh persilatan aliran hitam di bawah pimpinan Mata Malaikat itu semakin
mendekati dinding bangunan Istana Kerajaan Gambang. Sampai akhirnya, mereka
semua benarbenar hampir merapat dengan tembok!
"Sekarang...!"
teriak Mata Malaikat memberi perintah.
Belum juga gaung ucapannya
lenyap, kakek berambut dikepang itu telah menjejak tanah. Sesaat kemudian,
tubuhnya melayang ke atas. Rupanya, pimpinan tokoh-tokoh aliran hitam yang
memiliki penampilan menggiriskan ini ingin masuk ke dalam Istana Kerajaan Gambang
dengan melompati dinding!
Sebetulnya dinding Istana
Kerajaan Gambang ini tingginya tak kurang dari tiga tombak. Namun, Mata
Malaikat sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk meluncur ke atas. Tubuhnya
terus melayang, tanpa terlihat tanda-tanda akan mandek di tengah jalan. Dan di
saat tubuhnya tengah berada di udara, empat datuk golongan hitam ikut pula
melompat ke atas.
Tentu saja prajurit-prajurit
panah Kerajaan Gambang di bagian atas dinding, tidak mau membiarkan mereka
begitu saja. Apalagi, sampai berhasil masuk ke dalam istana. Dengan sekuat
tenaga, mereka berusaha menghambat dengan anakanak panah yang kembali meluncur!
Wir, wir, wir...!
Tap, tap, tap...!
Beberapa batang anak panah
yang meluncur, mudah sekali ditangkap oleh Mata Malaikat hanya dengan sekali
cekal!
Tindakan Mata Malaikat tidak
berhenti sampai di situ. Tangan yang berhasil menangkap anak-anak panah,
seketika dikibaskan ke atas. Dan....
Wut, wut..!
Cap, cap !
"Akh !"
"Aaa !"
Beberapa jerit kematian
terdengar, ketika anakanak panah yang dikibaskan Mata Malaikat mendarat di
leher para prajurit Kerajaan Gambang. Tak pelak lagi, para prajurit itu ambruk
ke tanah dengan leher terpanggang. Tewas!
Sementara itu, Mata Malaikat
terus saja meluncur ke atas. Tapi sebelum mencapai bagian atas dinding,
beberapa prajurit berusaha mencegah. Dan kini senjata yang dipakai para
prajurit adalah pedang dan golok.
Sing, sing, sing !
Beberapa senjata meluncur ke
arah tubuh bagian atas Mata Malaikat. Namun menghadapi serangan itu, Mata Malaikat
tetap bersikap tenang. Dengan enaknya tangannya segera diulurkan. Dan....
Tappp!
Dua dari sambaran beberapa
batang pedang dan golok berhasil ditangkap kedua tangan Mata Malaikat Dan
secepat itu pula, ditariknya. "Hih!"
Pada saat tubuh Mata Malaikat
melayang ke atas, tubuh dua orang prajurit Kerajaan Gambang terjungkal ke bawah
disertai jeritan menyayat
Jliggg!
Ringan laksana daun jatuh,
kedua kaki Mata Malaikat hinggap di bagian atas dinding istana. Tapi belum juga
sempat berbuat sesuatu, sebagian prajurit pasukan panah yang sudah berganti
senjata meluruk ke arahnya dengan pedang di tangan. Sedangkan busur-busur,
ditinggalkan di tempat semula.
Sing, sing, sing...!
Sinar-sinar terang menyilaukan
mata langsung menyemburat ketika mata-mata golok itu tertimpa matahari. Dan itu
cukup membuat Mata Malaikat memejamkan matanya yang mengerikan karena merasa
silau.
Hebatnya, kakek bermata
mengerikan ini ternyata tetap tidak membuka matanya. Padahal, serangan
lawan-lawannya menyambar semakin dekat. Memang, bagi tokoh tingkat tinggi
seperti Mata Malaikat, hal itu tidak jadi masalah. Sepasang telinganya yang
tajam, ternyata lebih mampu untuk membaca sasaran yang dituju lawan. Dan itu
bisa diketahui dari desir angin yang mengiringi tibanya serangan.
Masih dalam keadaan sepasang
mata terpejam, Mata Malaikat memapak serangan lawan-lawannya.
Tak, tak...! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Rincian kejadiannya terlalu
sulit diikuti mata biasa. Beradunya senjata-senjata prajurit Kerajaan Gambang
dengan kedua tangan Mata Malaikat terdengar begitu keras. Itu pun masih
ditambah dengan suara berdebuk keras dari serangan balasan kaki dan tangan Mata
Malaikat yarig mengenai sasaran, dan terpentalnya tubuh prajurit-prajurit
Kerajaan Gambang.
Menilik nada jeritan-jeritan
itu, bisa diketahui kalau para prajurit Kerajaan Gambang harus menerima
kematian.
Tapi, Mata Malaikat sama
sekali tidak mempedulikan kejadian yang menimpa lawanlawannya. Begitu serangan
balasan dikirimkan, dia segera melompat turun. Indah dan manis gerakannya. Bahkan
ketika kedua kakinya hinggap di tanah, sedikit pun tidak ada suara terdengar.
Namun seperti juga sebelumnya,
begitu Mata Malaikat mendarat, para prajurit Kerajaan Gambang Jangsung
menyambutnya. Hanya saja, kali ini yang menyambutnya bukan pasukan panah lagi.
"Grrrhhh...!"
Mata Malaikat menggeram,
karena merasa jengkel bukan kepalang melihat prajurit Kerajaan Gambang
berbondong-bondong datang menyerbu dengan senjata terhunus. Padahal, saat itu
dia tengah tidak ada keinginan meladeni mereka, karena buruburu ingin
menghancurkan pintu gerbang Istana Kerajaan Gambang. Mata Malaikat jadi kalap.
Maka, seluruh kemampuannya pun dikeluarkan. Kedua tangan dan kakinya juga
digerakkan ke sana kemari.
Hebat bukan kepalang akibat
amukannya. Ke mana pun tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan ada
tubuh yang berpentalan tak tentu arah, disertai lengkingan kematian yang
menyayat.
Memang, tindakan para prajurit
Kerajaan Gambang dalam mengeroyok Mata Malaikat, tak ubahnya segerombolan semut
menerjang api. Begitu berada di dekat kakek bermata mengerikan itu, mereka
langsung berpentalan tak tentu arah.
Ternyata, lolong kesakitan dan
kematian bukan hanya keluar dari mulut para prajurit yang menjadi lawan Mata
Malaikat. Di pertarungan lain, tampak dua dari empat datuk golongan hitam
tengah mengamuk pula. Rupanya, mereka juga telah berhasil melewati penjagaan
pasukan panah.
Di saat tengah
sengit-sengitnya pertarungan berlangsung, mendadak....
Blarrr!
Terdengar ledakan keras
seperti ada halilintar menyambar di sekitar tempat itu. Bagai diberi perintah,
pertarungan langsung terhenti. Dan kini, semua perhatian langsung beralih ke
arah asal suara gaduh itu.
Ternyata, bunyi keras yang
menggelegar tadi akibat hancurnya daun pintu gerbang istana. Pecahanpecahan dan
potongan-potongan kayu tebal berukir pun berpentalan ke sana kemari. Ternyata
itu akibat hantaman Setan Kecil Muka Hitam dengan pengerahan tenaga dalam.
Dan seiring berpentalannya
pecahan-pecahan kayu tebal berukir itu, rombongan anak buah Mata Malaikat pun
menyerbu masuk. Mau tak mau, hal ini membuat sebagian prajurit Kerajaan Gambang
meninggalkan Mata Malaikat dan dua datuk golongan hitam. Karena, mereka
terpaksa harus menghadang serbuan anak buah Mata Malaikat agar jangan sampai
masuk ke bagian dalam istana. Maka, tak pelak lagi pertarungan sengit pun
terjadi.
Dentang senjata beradu,
percikan bunga api, jeritan kesakitan, dan raung kematian menyemaraki
pertarungan. Halaman Istana Kerajaan Gambang pun mulai digenangi darah dan
dipenuhi sosok tubuh yang bergeletakan tanpa nyawa.
Ternyata, sebagian besar dari
sosok tubuh yang bergeletakan ada di pihak prajurit Kerajaan Gambang. Memang,
tampaknya pertempuran berlangsung tak seimbang. Meskipun jumlah anak buah Mata
Malaikat jauh di bawah lawan-lawannya, tapi dalam hal kepandaian jelas lebih
segala-galanya.
Bahkan punggawa yang bernama
Garwa telah tewas ketika menghadang Setan Kecil Muka Hitam. Demikian pula,
Panglima Reksabaya dan beberapa panglima lain. Mereka tewas di tangan tiga dari
empat datuk yang menguasai penjuru mata angin.
Mereka sama sekali tidak
mengalami kesulitan untuk menghadapi jumlah prajurit Kerajaan Gambang yang jauh
lebih banyak. Apalagi para panglima perang Kerajaan Gambang sebagian besar
sudah tewas. Maka, tidak heran tokoh-tokoh seperti Mata Malaikat dan empat
datuk golongan hitam secara leluasa menyebar maut. Jeritan-jeritan kesakitan
selalu terdengar setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak.
Tanda-tanda kemenangan
gerombolan Mata Malaikat sudah terlihat. Buktinya, prajurit-prajurit Kerajaan
Gambang terlihat terus-menerus bergerak mundur, semakin mendekati bangunan
istana. Padahal, semua pasukan panah telah bergabung.
Dan ketika akhirnya pasukan
Kerajaan Gambang semakin terdesak ke dalam bangunan, pasukan yang bertugas
menjaga bagian dalam istana pun ikut bertempur pula. Namun tetap saja semuanya
tergilas.
Sesumbar Setan Botak ternyata
tidak meleset. Matahari belum lagi mencapai titik tengahnya, namun perlawanan
pasukan Kerajaan Gambang telah berhasil dilumpuhkan. Kecuali yang melarikan
diri, semua prajurit Kerajaan Gambang dibantai. Tidak ada seorang pun yang
dibiarkan hidup, meski telah menyerah. Kerajaan Gambang kini telah runtuh
ketika rajanya ikut terbunuh.
Seiring tidak adanya lagi
perlawanan dari pihak prajurit Kerajaan Gambang, pesta kegembiraan gerombolan
Mata Malaikat pun dimulai. Mereka semua sibuk memenuhi keinginan masing-masing.
2
"Hhh...!"
Helaan napas berat keluar dari
mulut seorang muda tampan. Rambutnya yang putih keperakan, tampak dipermainkan
angin. Badannya sedang, terbungkus pakaian berwarna ungu. Menilik dari helaan
dan raut wajahnya, bisa ditebak kalau hatinya tengah dilanda perasaan gelisah.
"Kenapa, Kang?"
Pertanyaan bernada penuh rasa
ingin tahu dari seorang gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang
sampai pinggang, membuat pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Meskipun
demikian, ayunan langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Memang, sepasang anak
muda yang tidak lain Dewa Arak dan Melati itu tengah berlari.
"Aku geiisah sekali kalau
teringat gerombolan Mata Malaikat, Melati," kata Arya. "Dengan anak
buah sebanyak itu, mereka pasti mampu berbuat apa saja. Entah bagaimana cara
menanggulanginya. Mudahmudahan saja mereka belum memulai tindak
kejahatan."
"Mudah-mudahan saja harapanmu
terkabul, Kang," sambut Melati bernada tidak yakin. "Tapi menurut
pendapatku, hal itu tidak mungkin. Aku yakin sekali, saat ini Mata Malaikat dan
anak buahnya tengah berusaha mewujudkan rencananya."
"Apa yang kau utarakan
sama sekali tidak salah, Melati. Tapi sebelum terjadi, aku akan menentangnya!
Apa pun akibatnya," tandas Arya mantap.
"Kau lupa, Kang. Aku kan
bersamamu. Kita sama-sama akan menentang tindakan angkara murka Mata Malaikat,
apa pun taruhannya!" sambut Melati, setengah memperbaiki ucapan
kekasihnya.
Arya hanya tersenyum.
"Hey! Lihat, Kang!"
Seruan kaget Melati yang
disertai tudingan jari telunjuk ke depan, membuat Arya mengarahkan pandangan ke
depan. Maka masih sempat dilihatnya sesosok tubuh berpakaian prajurit kerajaan,
terjatuh dari atas punggung seekor kuda yang tengah berlari cepat menuju tempat
mereka.
Brukkk!
Keras sekali tubuh sosok
berpakaian prajurit itu jatuh di tanah. Sementara, kuda yang berwarna coklat
bercak-bercak putih itu terus saja berpacu meninggalkan penunggangnya yang
mengerang-erang kesakitan di tanah.
Semua kejadian itu jelas
disaksikan Arya dan Melati. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera
melesat ke arah tubuh sosok berpakaian prajurit itu tergolek.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, sepasang pendekar muda itu telah dekat dengan sosok berpakaian
prajurit. Kemudian, mereka berjongkok.
Arya dan Melati saling
berpandangan ketika melihat keadaan sosok yang ternyata memang seorang
prajurit. Meskipun belum memeriksa lebih teliti, bisa diketahui kalau nyawa si
prajurit tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang diderita terlalu parah.
Bahkan napasnya pun tinggal satu-satu. Melihat hal ini, Arya tidak berani
membuang-buang waktu secara percuma.
"Apa yang terjadi,
Kisanak?" tanya Arya, cepat "Hhh..., hhh Istana telah diserbu oleh orang-
orang sakti. Hhh..., hhh Aku khawatir, mereka telah
berhasil merebut
istana...," jawab prajurit yang tengah di ambang ajal itu, terengah-engah.
Arya dan Melati saling
berpandangan. Tanpa diberi tahu lebih jelas lagi, bisa diperkirakan kalau para
penyerbu istana adalah gerombolan Mata Malaikat Seketika itu pula, perasaan
gelisah yang melanda hati Dewa Arak dan Melati semakin besar. Betapa tidak?
Ternyata gerombolan Mata Malaikat telah mulai bertindak! Kalau begitu, mereka
harus bergegas sebelum Mata Malaikat berhasil merampungkan maksudnya.
"Tolong katakan pada
kami, kerajaan asalmu.
Dan, di mana letaknya?"
pinta Arya agak kalap.
Namun permintaan Dewa Arak
tidak langsung terpenuhi, karena keadaan prajurit itu benar-benar sudah payah.
Dia malah tersengal-sengal beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Aku prajurit
Kerajaan Gambang. Hhh
Dari
sini, kau pilih arah barat.
Setelah melalui hutan kecil, kau tinggal menempuh arah lurus saja. Dan ,
aaakh !" Kepala prajurit
yang malang itu pun terkulai, karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
"Hhh...!"
Hampir berbareng, Arya dan
Melati menarik napas berat Sambil menatap wajah prajurit Kerajaan Gambang yang
malang itu, sepasang anak muda itu bangkit.
"Maafkan aku, Kisanak.
Bukannya aku tidak mau mengurus mayatmu dengan layak. Tapi..., keadaanlah yang
tidak mengizinkan. Aku harus bergegas kalau tidak ingin Mata Malaikat dan anak
buahnya menyebar bencana di mana-mana," kata Arya, lirih.
Kemudian pemuda berambut putih
keperakan itu mengalihkan pandangan pada Melati.
"Mari, Melati!" ajak
Arya pada kekasihnya. Melati menganggukkan kepala. Sesaat kemu-
dian, sepasang pendekar muda
ini telah berlari cepat meninggalkan tempat itu. Arah yang dituju, sesuai arah
yang ditunjukkan oleh prajurit Kerajaan Gambang yang sempat meloloskan diri
tadi, sebelum tewas.
***
Ternyata ucapan prajurit
Kerajaan Gambang yang berhasil kabur dan kemudian tewas itu benar. Belum juga
jauh berlari, tak jauh di hadapan Arya dan Melati membentang sebuah hutan
kecil. Dan begitu dilalui, tampaklah hamparan tanah lapang luas. Samar-samar,
di kejauhan terlihat sebuah bangunan. Kalau tidak diberi tahu lebih dulu oleh
prajurit Kerajaan Gambang sebelum meninggal, mungkin Arya dan Melati tidak akan
menyangka kalau bangunan itu adalah sebuah istana!
"Itukah Istana Kerajaan
Gambang, Kang?" tanya Melati sambil menudingkan jari telunjuk ke depan,
tanpa menghentikan larinya.
"Kalau prajurit tadi
tidak salah memberi keterangan, pasti itu Istana Kerajaan Gambang," jawab
Arya, berputar.
Melati pun diam. Disadari
perkataan Dewa Arak ada benarnya.
Semakin lama, jarak antara
sepasang pendekar muda itu dengan tempat yang dituju semakin dekat. Dengan
demikian, bentuk bangunan itu semakin jelas. Dan, ternyata memang benar sebuah
istana!
Arya dan Melati menghentikan
larinya. Sekarang mereka berdiri dengan pandangan tertuju lurus ke depan.
Terlihat jelas kalau sorot mata mereka penuh selidik.
"Kelihatannya sepi-sepi
saja, Kang? Tidak terlihat adanya pertempuran sama sekali. Apakah prajurit yang
kita temui itu tidak berdusta?" Melati yang mulai ragu-ragu mengutarakan
kekhawatirannya.
"Aku tidak sependapat
denganmu, Melati," sahut Arya sambil mengalihkan pandangan ke arah Melati.
"Aku yakin, prajurit yang kita temui tadi berkata jujur."
''Tapi..., mengapa tidak
terlihat hal-hal seperti yang dikatakannya? Jangankan pertempuran. Keributan
pun, tidak kelihatan. Suasana aman-aman saja. Lihat saja dua orang prajurit
yang menjaga pintu gerbang! Coba, lihat juga ke atas tembok. Nah! betul, kan?
Bukankah itu pasukan panah?!" urai Melati mengajukan alasan
ketidakpercayaan atas cerita prajurit yang mengaku berasal dari Kerajaan
Gambang. Arya tidak langsung menjawab. Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan
ini malah termenung. Kepalanya agak tertengadah. Sedangkan pandangannya
menerawang jauh menembus langit
Menilik dari kernyitan pada
dahinya, bisa diperkirakan kalau tokoh muda yang menggemparkan ini tengah
berpikir.
"Apa yang kau katakan itu
sama sekali tidak salah, Melati. Keadaan istana itu terlihat tenangtenang saja.
Bahkan prajurit-prajurit sepertinya berada di tempat penjagaan masing-masing.
Meskipun demikian, aku tetap yakin kalau prajurit itu sama sekali tidak
berbohong! Pasti ada kekeliruan di sini!" mantap dan penuh keyakinan Arya
mengutarakan pendapatnya.
"Jadi..., bagaimana
maksudmu, Kang?" tanya Melati, masih merasa kurang jelas dengan ucapan
kekasihnya.
"Ada dua kemungkinan,
Melati," sahut Arya. "Apa itu, Kang?" sambut Melati, tak sabar.
"Pertama, mungkin istana yang kita lihat seka-
rang ini bukan yang dimaksud
prajurit tadi," kata Arya memulai pendapatnya.
"Dan yang kedua?"
potong Melati, cepat Rupanya, gadis berpakaian putih ini tidak
sabar menunggu penjelasan
kedua Dewa Arak. Dan Melati merasa kan penjelasan pertama ada benarnya, tapi
kemungkinannya terlalu kecil.
"Kedua, istana ini memang
yang dimaksud prajurit tadi. Dan penyerbuan itu benar terjadi. Hanya saja,
sekarang telah usai," lanjut Arya lagi.
"Maksudmu..., pertempuran
itu telah berakhir, Kang?" duga Melati.
Arya menganggukkan kepala.
"Benar."
"Jadi..., gerombolan Mata
Malaikat berhasil dipukul mundur?! Ah! Sepertinya hal mustahil, Kang. Anak buah
Mata Malaikat terdapat banyak orang sakti, di samping Mata Malaikat sendiri dan
empat datuk golongan hitam. Rasanya, tidak mungkin kalau rombongan itu bisa
dikalahkan pasukan Kerajaan Gambang yang hanya sebuah kerajaan kecil!"
urai Melati panjang lebar.
"Siapa yang mengatakan
kalau gerombolan Mata Malaikat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan
Gambang?" tanya Arya dengan senyum tersungging di bibir.
"Lho?! Bukankah kau
sendiri yang mengatakannya, Kang?!" dengus Melati, pura-pura sewot
"Rupanya kau gemar
mengada-ada, Melati. Seingatku, aku tidak pernah berkata seperti itu,"
Arya juga bersikeras.
"Kau mengatakannya!"
Melati tak mau kalah. "Tidak, Melati!"
"Kau mengatakannya!"
tandas Melati lagi.
Kali ini Arya tidak langsung
menyambutinya. Pemuda berambut putih keperakan ini termenung sejenak. Kemudian,
perlahan-lahan kepalanya terangguk.
"Baiklah, Melati. Mungkin
kau benar. Tapi..., seingatku aku tidak bilang begitu," Arya terpaksa
mengalah agar persoalan ini tidak berlarut-larut.
"Memang, kau tidak
mengatakan begitu, Kang. Tapi pengertian yang terkandung di dalamnya seperti
itu," tandas Melati.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Boleh kutahu ucapanku yang mengandung
pengertian seperti itu, Melati?" pinta Arya ingin tahu.
"Ucapan itu adalah,
alasan keyakinanmu atas ucapan prajurit yang telah membawa kita kemari,"
jelas Melati.
"Ooo..., itu!"
Seketika itu pula terbentuk
bulatan di mulut Arya. Kepalanya pun terangguk-angguk, sementara di bibirnya
tersungging sebuah senyuman.
"Bagaimana? Benar kan,
pengertian ucapanmu seperti itu? Bukankah kau mengatakan, rombongan Mata
Malaikat benar menyerbu Istana Kerajaan Gambang dan pertempuran terjadi. Hanya
saja, sekarang telah usai! Nah! Melihat dari keadaan istana yang dijaga
prajurit-prajurit Kerajaan Gambang, bukankah berarti kalau gerombolan Mata
Malaikat telah dipukul mundur?!" urai Melati, penuh semangat
"Rupanya kau terlalu
terburu buru menarik simpulan, Melati," kata Arya sambil tersenyum lebar.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Kang?" Melati mengernyitkan kening. "Aku terburu-buru
menarik kesimpulan?!"
"Benar," sahut Arya
sambil menganggukkan kepala. "Kau tahu, Melati. Ucapanku sebenarnya belum
selesai. Masih ada lanjutannya, sehingga jangan sampai menimbulkan salah
pengertian. Pantas saja kau menarik kesimpulan seperti itu."
Tanpa sadar, Melati terlongong
bengong. "Pertempuran telah usai. Tapi, bukan pihak Ke-
rajaan Gambang yang mendapat
kemenangan, melainkan gerombolan Mata Malaikat"
"Tapi..., mengapa yang
terlihat prajurit Kerajaan Gambang? Atau.... Jadi, maksudmu prajuritprajurit itu
tak lain adalah anak buah Mata Malaikat yang berseragam prajurit?!"
Arya menganggukkan kepala
pertanda membenarkan.
"Mengapa hal itu
dilakukannya, Kang?" tanya Melati, ingin tahu.
"Entahlah, Melati,"
jawab Arya sambil mengangkat bahu. ''Tapi..., ingatkah kau dengan cerita Garuda
Mata Satu?"
Melati mengernyitkan alisnya
yang berbentuk indah itu sejenak. Rupanya, itulah kebiasaannya bila setiap kali
mengingat-ingat sesuatu.
"Ingat sih ingat, Kang.
Tapi, cerita Garuda Mata Satu kan cukup banyak. Ucapan mana yang kau
maksudkan?"
"Kau ingat cerita Garuda
Mata Satu tentang nafsu serakah Mata Malaikat? Tokoh sesat itu mempunyai
keinginan untuk menjadi seorang raja besar. Jadi, mana mungkin disebut raja
kalau tidak mempunyai prajurit? Mungkin itulah sebabnya, mengapa anak buahnya
mengenakan seragam prajurit kerajaan! Tapi ingat, Melati! Ini baru dugaanku
saja. Jadi, bukan tidak mungkin ada kesalahan!"
''Tapi aku yakin dugaanmu
benar, Kang," ujar Melati, sok yakin.
"Jangan terlalu yakin,
Melati," sergah Arya dengan senyum tersungging di bibir. "Barangkali
saja dugaanmu yang benar."
"Ah! Kau ini bagaimana,
Kang. Ucapanmu membuatku jadi bingung, tahu?!" rajuk Melati.
"Ha ha ha...!" Arya
tertawa bergelak. "Hanya ada satu jalan untuk membuktikan dugaan siapa yang
benar."
"Kita harus menyelinap ke
sana dan menyelidikinya, kan?" tebak Melati, cepat "Kau memang
pintar. Jawabanmu tepat!" puji Arya sambil tersenyum menggoda.
"Kapan kita harus ke
sana, Kang?" tanya Melati berusaha sungguh-sungguh. Sikapnya menunjukkan
kalau dirinya sama sekali tidak mempedulikan pujian itu.
"Nanti malam," jawab
Arya, singkat
3
Angin lembut membawa hawa
dingin menusuk tulang, berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan
sepotong. Juga, tidak terlihat adanya bintang di langit. Keadaan angkasa saat
itu memang tidak cerah.
Dalam suasana malam seperti
itu, tampak dua sosok bayangan melesat cepat menuju Istana Kerajaan Gambang.
Cepat bukan main gerakan mereka. Sehingga, yang terlihat hanyalah dua kelebatan
bayangan berwarna ungu dan putih dalam bentuk tidak jelas.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, dua sosok bayangan itu telah semakin mendekati dinding istana. Dan....
"Hup!"
Dua sosok bayangan itu
langsung menempelkan punggungnya ke dinding istana, agar tidak terlihat para
prajurit penjaga. Sesaat keduanya bersikap demikian, sambil mengatur desah
napas.
Di bawah siraman sinar bulan
sepotong, ternyata masih bisa terlihat wajah dan perawakan kedua sosok bayangan
itu. Mereka adalah Arya dan Melati. Dan sepasang pendekar muda itu saling
berpandangan sejenak, sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Lalu....
"Hih!"
Hanya dengan sebuah genjotan
perlahan, Arya dan Melati telah berhasil meluncur ke atas. Lalu ringan laksana
sehelai daun, kaki mereka hinggap di atas dinding istana.
"Hey! Siapa...?! Ah...!
Rupanya kau, Dewa
Arak?!"
Serangkaian teguran bernada
penuh
keterkejutan menyambut
kehadiran sepasang pendekar muda yang memiliki kesaktian tinggi, begitu
mendarat
Seketika itu pula, Dewa Arak
dan Melati langsung berpaling ke arah asal suara tanpa terkejut sama sekali.
Dan memang, hal itu sudah diduga sebelumnya. Maka, seketika beberapa orang
berpakaian seragam prajurit kerajaan meluruk ke arah mereka.
Srattt! Srattt! Singgg!
Singgg!
Tanpa menunggu waktu lebih
lama lagi, prajurit-prajurit itu mencabut senjata masing-masing, kemudian
meluruk ke arah Dewa Arak dan Melati. Pancaran sinar bulan yang menjilati mata
pedang dan golok, menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata.
Namun orang yang diserang
adalah Dewa Arak dan Melati. Dua tokoh yang meskipun masih muda belia, namun
telah memiliki kepandaian begitu tinggi. Maka menghadapi serangan semacam itu,
kedua pendekar muda ini sama sekali tidak gugup.
Apalagi banyak keadaan yang
menguntungkan mereka. Salah satu di antaranya, lebar bagian atas tembok yang
tidak memungkinkan lawan untuk menyerang secara berbarengan. Tak, tak!
Bunyi keras seperti ada dua
logam kuat berbenturan, terdengar ketika serangan para prajurit itu dipapak
sepasang tangan Dewa Arak. Yang lebih gila lagi, mata senjata-senjata itu malah
berpatahan! Itu pun masih diselingi jerit kesakitan dari mulut para prajurit
begitu tangan yang menggenggam pedang terasa sakit bukan kepalang.
Meskipun demikian,
prajurit-prajurit lain tidak menjadi gentar. Diiringi pekikan-pekikan nyaring
yang memekakkan telinga, mereka menerjang Dewa Arak dan Melati dalam jumlah
lebih banyak. Ternyata prajurit-prajurit yang lain telah berdatangan karena
mendengar adanya keributan. Dan mereka langsung memberi bantuan.
Tapi tindakan yang dilakukan
para prajurit itu tak ubahnya segerombolan semut menerjang api. Mereka semua
roboh tanpa daya, sebelum sempat menyarangkan sebuah serangan pun.
Desing senjata menyambar,
dentang senjata berbenturan, jerit kesakitan, dan suara jatuhnya tubuh
prajurit-prajurit ke tanah, menyemaraki jalannya pertarungan. Sudah dapat
dipastikan, semua prajurit akan berhasil dirobohkan Dewa Arak dan Melati
Tapi sebelum hal itu
terjadi....
"Menyingkir semua !"
Bentakan keras menggelegar
yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar keras tiba-tiba terdengar.
Jelas, orang yang mengeluarkan bentakan tadi menyertainya dengan tenaga dalam.
Akibatnya, semua prajurit yang
masih tersisa langsung menghentikan penyerangannya. Mereka tahu, kalau pemilik
bentakan itu adalah pimpinan mereka.
Melihat para prajurit
menghentikan serangan, Dewa Arak dan Melati pun menghentikan perlawanan. Maka,
kini pertempuran langsung berhenti, dan mereka semua mengalihkan perhatian pada
orang yang tadi mengeluarkan bentakan. Namun prajuritprajurit itu hanya
sebentar memperhatikannya, karena sudah berlompatan turun dari dinding istana.
Jliggg!
Sampai prajurit terakhir telah
berhasil mendarat di bagian atas dinding, Dewa Arak dan Melati masih tetap
berada di tempat semula. Keduanya mengedarkan pandangan ke bawah untuk melihat
orang yang telah mengeluarkan bentakan tadi.
Ternyata, orang itu adalah
Setan Kecil Muka Hitam! Sementara di belakangnya, berdiri belasan orang
berpakaian seragam prajurit. Rupanya, datuk sesat berwajah hitam ini telah
mendengar adanya keributan yang berlangsung tadi.
"Kiranya Dewa Arak! Ha ha
ha...! Betapa gagahnya tindakanmu, Dewa Arak! Menjatuhkan tangan keras pada
prajurit-prajurit rendahan! Ha ha ha..., hebat! Hebat!" ejek Setan Kecil
Muka Hitam. Sikapnya terlihat jelas memandang rendah pada Dewa Arak.
Namun, Dewa Arak bukan orang
bodoh. Dia tahu, lawan tengah berusaha memanas-manasi hatinya. Maka, Dewa Arak
berusaha untuk tidak terpengaruh ejekan lawan dengan bersikap tenang.
Tanpa mengeluarkan kata
sepatah pun, Dewa Arak melompat ke bawah, diikuti Melati. Sesaat kemudian,
laksana dua ekor burung garuda, tubuh sepasang pendekar muda ini meluncur ke
bawah.
"Hup!" Ringan tanpa
suara, Dewa Arak dan Melati mendarat di tanah, sekitar tiga tombak di depan
Setan Kecil Muka Hitam.
''Tidak salahkah
penglihatanku? Benarkah kau Setan Kecil?! Luar biasa! Sejak kapan kau menjadi
seorang panglima kerajaan, Setan Kecil?" sindir Melati, mencoba membalas
makian datuk berwajah hitam itu. "Sekarang tahulah aku! Semua prajurit
yang ada di sini pun pasti anak buahmu! Hi hi hi Gerombolan
kalian ternyata tak lebih dari
pengecut hina! Kalian mengenakan seragam prajurit Kerajaan Gambang, karena
takut kalau kejadian ini didengar kerajaan tetangga! Kalian takut diserbu dan
dihancurleburkan!"
"Tutup mulutmu, Wanita
Liar!" maki Setan Kecil Muka Hitam, geram. "Atau aku yang akan
menutupnya dengan kekerasan!"
Memang, dugaan yang
dilontarkan Melati sama sekali tidak keliru. Meskipun demikian, tidak semuanya
benar.
"Hi hi hi !"
Hanya tawa mengikik dari
Melati yang menyambuti ancaman Setan Kecil Muka Hitam. Tampak jelas kalau gadis
berpakaian putih itu tidak menganggap ancaman datuk berwajah hitam itu sebagai
suatu ancaman.
"Kau akan menutup mulutku
dengan kekerasan?! Hi hi hi...! Apakah aku tidak salah dengar? Ingin kulihat,
bagaimana kau membuktikan ucapanmu, Kerbau Muka Hitam?!"
"Mampus kau, Wanita
Sombong!"
Belum juga gema ucapan itu
lenyap, Setan Kecil Muka Hitam telah melancarkan serangan ke arah gadis
berpakaian putih itu. Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan kaki kanan
lurus ke arah perut. Dan agar dapat mencapai sasaran, terpaksa Setan Kecil Muka
Hitam bergerak mendekat lebih dahulu.
Wuttt!
Serangan Setan Kecil Muka
Hitam mengenai tempat kosong begitu Melati telah lebih dulu mengelak sambil
melancarkan serangan. Gadis berpakaian putih itu melompat sambil melancarkan
sampokan ke arah pelipis.
Cittt!
Deru angin tajam terdengar
dari udara yang terobek oleh sampokan tangan Melati yang berbentuk cakar. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangannya. Memang dalam
pengerahan tenaga dalam, Melati mampu menghancurkan batu karang yang paling
keras sekalipun dengan sampokan tangannya! Bisa diperkirakan akibat yang akan
terjadi, apabila jari-jari tangan itu menghantam kepala manusia!
Hal ini tentu saja disadari
Setan Kecil Muka Hitam. Itulah sebabnya, dia tidak berani membuangbuang waktu.
Serangan itu terlalu tiba-tiba datangnya. Tambahan lagi, meluncur demikian
cepat. Apabila terlambat sedikit, tentu akan gawat akibatnya.
Karena kesempatan yang tidak
memungkinkan, Setan Kecil Muka Hitam hanya sempat menarik kepala ke belakang
sambil mendoyongkan tubuhnya. Meskipun hanya demikian, tapi cukup membuat
serangan Melati hanya mengenai tempat kosong. Dan sampokan cakar Melati hanya
lewat beberapa jari di depan wajah Setan Kecil Muka Hitam.
Namun, hasilnya memang cukup
mengerikan. Rambut dan sekujur pakaian Setan Kecil Muka Hitam berkibaran keras.
Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan gadis itu.
Melati menggertakkan gigi,
karena rasa penasaran yang menggelegak melihat lawan berhasil mengelakkan
serangan. Dan seiring munculnya perasaan itu, diputuskannya untuk semakin
memperhebat serangan.
Tapi, ternyata Setan Kecil
Muka Hitam bukan termasuk lawan yang mudah dirobohkan. Buktinya setiap serangan
Melati berhasil dipatahkan. Bahkan datuk berwajah hitam ini mampu mengirimkan
serangan balasan yang tidak kalah berbahaya! Maka, kini terjadilah pertarungan
sengit antara dua tokoh sakti yang berbeda jenis, usia, dan aliran.
Karena sama-sama memiliki
gerakan hebat dalam waktu sebentar saja lima belas jurus telah berlalu. Dan
selama itu, belum nampak adanya tandatanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang. Masing-masing saling serang, menangkis,
dan mengelak.
Semua kejadian itu disaksikan
penuh perhatian oleh Dewa Arak dan anak buah Mata Malaikat yang memakai seragam
prajurit Kerajaan Gambang. Tapi tentu saja di antara mereka semua, hanya Dewa
Arak yang dapat melihat jelas berlangsungnya pertarungan.
Memang kecepatan gerak Melati
dan Setan Kecil Muka Hitam tidak dapat tertangkap pandangan mata anak buah Mata
Malaikat. Yang dapat mereka lihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan putih,
dalam bentuk tidak jelas yang saling belit dan kadang saling pisah.
*** Dengan penuh perhatian
Dewa Arak menyaksikan jalannya pertarungan yang berlangsung semakin seru.
Apalagi kedua belah pihak telah mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Lima
puluh jurus telah lewat, namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang
akan keluar sebagai pemenang.
Dewa Arak mengernyitkan
alisnya. Disadari kalau pertarungan akan berjalan alot. Buktinya, sampai sekian
jauh tidak terlihat ada yang terdesak. Setan Kecil Muka Hitam memang lawan
tangguh untuk Melati!
Kontan perasaan cemas melilit
hati Dewa Arak. Segumpal pertanyaan bergayut di benaknya. Menghadapi Setan
Kecil Muka Hitam saja Melati sudah dibuat kerepotan. Padahal di tempat ini,
masih ada empat orang lagi yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan salah seorang
memiliki kepandaian yang menggiriskan! Dan dia adalah Mata Malaikat!
Hal itulah yang menyebabkan
timbulnya rasa gelisah di hati Dewa Arak. Keselamatan Melati benarbenar
membuatnya gelisah!
Dan sebelum pemuda berambut
putih keperakan itu berhasil mengusir perasaan geiisah yang melanda, hal yang
dicemaskannya terjadi. Di kejauhan, terlihat puluhan sosok tubuh bergerak
mendatangi. Dalam keremangan sinar bulan, bisa diketahui kalau empat sosok
terdepan adalah Mata Malaikat dan tiga datuk golongan hitam. Maka, seketika itu
pula jantung Dewa Arak teras berdetak kencang.
"Ha ha ha...!"
Sebelum Dewa Arak sempat
berbuat sesuatu, Mata Malaikat telah mengeluarkan tawa bergelak bernada penuh
kegembiraan.
"Pucuk dicinta ulam
tiba!" kata kakek bermata mengerikan itu, setelah menghentikan tawanya.
"Sama sekali tidak kusangka! Tanpa bersusah payah mencari, kau datang ke
hadapanku, Dewa Arak! Ha ha ha...! Berarti, pertarungan kita yang belum selesai
dapat dilanjutkan."
Seraya berkata demikian, Mata
Malaikat mengibaskan tangan kanannya.
"Ringkus wanita itu! Dia
adalah calon bahan yang baik sekali untuk penyempurnaan ilmu yang
kumiliki!"
"Baik, Yang Mulia,"
kata Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa, berbarengan.
Kemudian ketiga datuk sesat
ini melangkah, menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Setan Kecil
Muka Hitam.
Dewa Arak terkejut mendengar
perintah Mata Malaikat. Betapa tidak? Hal itu mengandung arti kalau keselamatan
Melati terancam!
''Tunggu!" cegah Dewa
Arak cepat sambil melesat maju.
Hanya sekali lesat saja Arya
telah berada di hadapan tiga datuk yang tengah menuju kancah pertarungan antara
Melati dan Setan Kecil Muka Hitam.
Setan Botak, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa terpaksa menghentikan langkah, begitu Dewa
Arak berdiri menghadang jalan mereka. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu,
pemuda berambut putih keperakan itu telah mendahuluinya.
"Mata Malaikat! Persoalan
yang ada, adalah antara kau dan aku! Lepaskan gadis itu, dan mari kita
bertarung sampai ada yang mati!" seru Dewa Arak, lantang.
Pemuda berambut putih
keperakan itu mencoba membuat Mata Malaikat merubah keputusannya. Tapi,
usahanya ternyata sia-sia!
"He he he...! Tidak usah
mengaturku, Dewa Arak! Sekalipun tidak ada urusan, kalau memang aku ingin
menginginkannya, kau mau apa?! Apalagi gadis itu! Dia telah banyak menanam
persoalan denganku. Telah cukup banyak anak buahku yang dilukainya! Kau
mengerti?! Kini, pusatkanlah perhatianmu kalau tidak ingin mati percuma di
tanganku!"
Seiring selesainya ucapan itu,
Mata Malaikat bergerak menghampiri Dewa Arak dengan langkah satu-satu. Terlihat
jelas kalau sikapnya sangat waspada. Masalahnya, kakek bermata mengerikan ini
telah merasakan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
Pada saat yang bersamaan
dengan bergeraknya Mata Malaikat menghampiri Dewa Arak, Setan Botak, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa melanjutkan maksud yang tertunda. Mereka
kembali menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Setan Kecil Muka
Hitam.
Tentu saja semua ini tak luput
dari penglihatan Dewa Arak. Dan dalam waktu yang hanya sekejap saja, Dewa Arak
memutar benaknya untuk memperhitungkan tindakan yang harus dilakukan. Maka,
sebuah keputusan langsung diambilnya.
"Hih!"
Dewa Arak seketika menjejakkan
kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang menuju kancah pertarungan yang terjadi
antara Melati dan Setan Kecil Muka Hitam. "Melati! Cepat pergi!"
Di saat tubuhnya tengah
meluruk ke dalam kancah pertarungan, Dewa Arak menyerukan perintah pada
kekasihnya.
Karuan saja, seruan Dewa Arak
membuat Melati kaget. Memang, saking terlalu memusatkan perhatian untuk
mengalahkan Setan Kecil Muka Hitam, gadis berpakaian putih ini tidak tahu
hal-hal yang tengah berlangsung di sekelilingnya. Namun meskipun demikian,
perintah Dewa Arak tidak berani dibantahnya. Dia tahu, Dewa Arak pasti
mempunyai alasan kuat.
Itulah sebabnya, tanpa
ragu-ragu lagi Melati segera melempar tubuh ke belakang. Langsung dijauhinya
kancah pertarungan. Tubuhnya yang ramping berputaran di udara dalam usaha untuk
menjauhi lawan.
Tentu saja Setan Kecil Muka
Hitam tidak sudi memberi kesempatan pada lawan. Dia pun melesat mengejar. Dan
sekarang, Melati benar-benar dalam bahaya besar. Ini karena maksudnya
dijalankan disaat keadaannya tidak menguntungkan.
Tapi sebelum Setan Kecil Muka
Hitam sempat melancarkan serangan terhadap Melati, Dewa Arak telah lebih dulu
melesat memotong jalur lompatannya. Bukan hanya itu saja. Kedua tangannya cepat
dilayangkan untuk memapak serangan Setan Kecil Muka Hitam. Kali ini, Arya tidak
ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Apalagi, keadaan yang
dihadapi sekarang amat gawat!
Kesudahannya sudah bisa
diduga! Terjadilah benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam kuat!
Plakkk, plakkk!
"Aih...!"
Terdengar jeritan tertahan
dari mulut Setan Kecil Muka Hitam ketika tubuhnya melayang deras ke belakang.
Kedua tangannya terasa sakit bukan main. Bahkan dadanya pun terasa sesak. Memang,
tenaga dalam datuk berwajah hitam ini cukup jauh di bawah Dewa Arak.
Meskipun demikian, Setan Kecil
Muka Hitam masih bisa menunjukkan kelihaiannya sebagai datuk golongan hitam!
Maka tanpa menemui kesulitan, dipatahkannya kekuatan yang membuat tubuhnya
melayang ke belakang. Lalu....
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan
manis, Setan Kecil Muka Hitam mendarat di tanah. Memang, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak terpengaruh apaapa setelah terjadi benturan.
Namun Dewa Arak tidak sempat
berbuat sesuatu. Karena di saat tubuh Setan Kecil Muka Hitam tadi tengah
melayang, Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa telah
mengurungnya dan Melati yang belum melesat jauh.
"He he he !"
Suara tawa bergetar yang
mengandung pengerahan tenaga dalam, membuat Melati terjingkat bagai disengat
ular berbisa. Cepat kepalanya menoleh ke kanan, tempat suara terkekeh tadi
berasal.
Dada Melati seperti diseruduk
seekor kerbau ketika pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang menyorot
aneh. Sorotannya begitu terang menyilaukan, dan mengandung pengaruh mengerikan!
Sepasang mata milik Mata Malaikat!
"He he he !"
Mata Malaikat kembali terkekeh
melihat Melati terpaku. Dia tahu, mengapa gadis berpakaian putih itu bersikap
demikian. Maka....
"Tataplah mataku terus,
Anak Manis.
Tataaap...! Tataaap !"
ujar Mata Malaikat, bergetar.
Kedengarannya sepele saja
ucapan Mata Malaikat. Tapi anehnya, ada kekuatan tidak nampak yang memaksa
Melati mengikuti perintah itu. Betapapun hatinya dikeraskan untuk tidak
menuruti, tapi kepalanya sukar digerakkan! Terutama sekali, sepasang matanya
yang terus saja terpaku pada sepasang mata Mata Malaikat.
Ternyata, bukan hanya Melati
saja yang merasakan pengaruh aneh itu. Bahkan semua orang yang berada di situ,
merasakan adanya keinginan menuruti perintah itu. Hanya saja, keinginan itu
kecil sekali!
Dan termasuk di antara orang
yang merasakan adanya pengaruh itu adalah Dewa Arak! Dan seketika itu pula,
pemuda berambut putih keperakan ini sadar oleh sesuatu yang tengah dihadapi
kekasihnya. Melati hendak ditundukkan dengan kekuatan ilmu sihir. Dewa Arak
tahu, karena telah pernah mengalaminya sendiri. Kalau saja tidak ada yang
menolongnya, mungkin dia sudah tewas di tangan ahli sihir itu (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Penganut Ilmu Hitam").
"Melati! Jangan tatap
matanya! Dia tengah menyihirmu!" sentak Dewa Arak, keras.
Kemudian pemuda berambut putih
keperakan ini melesat ke tempat Melati dan Mata Malaikat tengah berhadapan.
"Hih!" 4
Setan Botak, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak
meloloskan diri dari kepungan. Maka begitu melihat pemuda berambut putih
keperakan itu bergerak, mereka pun melesat untuk mencegah.
Di antara tiga datuk golongan
hitam itu, hanya Setan Botak yang berada di tempat yang akan dilalui Dewa Arak.
Maka dia tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menghadang.
Sadar kalau Dewa Arak
merupakan lawan tangguh, Setan Botak tidak berani bertindak mainmain. Segera
dilepaskannya cambuk berujung dua yang semula membelit pinggang, lalu
dilecutkannya ke arah Dewa Arak.
Siuttt, siuttt!
Diiringi bunyi berkesiutan
cukup nyaring, ujung-ujung cambuk itu meluncur. Hebatnya, masingmasing ujung
menuju ke arah yang berbeda. Yang satu menuju ubun-ubun, sedangkan yang lain
menuju bawah hidung. Dan itu merupakan dua jalan darah kematian! Apabila
terkena, nyawa Dewa Arak pun akan
melesat ke alam baka!
Pada saat yang bersamaan
dengan meluncurnya serangan Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga
Raksasa tengah meluruk ke arah Dewa Arak. Setan Muka Tengkorak melompat,
sedangkan Setan Tenaga Raksasa menggelindingkan tubuhnya laksana bola. Rupanya,
masing-masing datuk itu tidak ingin mempunyai kesamaan dalam menyerang Dewa
Arak. Tentu saja, Dewa Arak tidak mempedulikan Setan Tenaga Raksasa dan Setan
Muka Tengkorak yang masih berada di belakangnya. Perhatiannya hanya dipusatkan
pada Setan Botak yang telah melancarkan serangan mematikan.
Kalau menuruti perasaan,
sepertinya Dewa Arak ingin menangkap ujung-ujung cambuk yang tengah meluncur ke
arahnya. Dia tahu, dengan kelebihan tenaga dalam yang dimiliki, cambuk itu
dapat ditangkapnya tanpa harus terluka.
Namun Dewa Arak tidak ingin
terlarut oleh perasaan. Pengalaman demi pengalaman yang dialami telah memberi
pelajaran kepadanya kalau kebanyakan senjata tokoh golongan hitam mengandung
racun mematikan. Dia yakin kalau telapak tangannya tidak akan terluka apabila
cambuk itu ditangkapnya. Tapi, keadaan akan menjadi lain jika cambuk itu
mengandung racun ganas!
Maka dalam waktu yang hanya
sedikit, guci arak yang tergantung di punggungnya diambil, kemudian disampoknya
lecutan cambuk itu.
Ctarrr, ctarrr!
Ledakan keras seperti
halilintar menyambar, terdengar ketika ujung-ujung cambuk itu beradu dengan
badan guci. Maka kesudahannya, lesatan Dewa Arak terhambat. Dan....
"Hup!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu mendarat di tanah. Sementara, Setan Botak sendiri
terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini saja cukup menjadi bukti kalau tenaga
dalam Setan Botak masih di bawah Dewa Arak.
Tapi sebelum Dewa Arak
meneruskan maksudnya, Setan Tenaga Raksasa dan Setan Muka Tengkorak telah lebih
dulu meluruk ke arahnya dari tempat yang berbeda. Setan Muka Tengkorak dari
udara, sedangkan Setan Tenaga Raksasa masih dalam keadaan bergelindingan.
Maka, terpaksa Dewa Arak
mengalihkan perhatian ke arah dua datuk itu. Dan untuk itu, terpaksa tubuhnya
berbalik.
"Hih!"
Ketika telah berada di dekat
Dewa Arak, Setan Muka Tengkorak langsung melancarkan serangan berupa sampokan
tangan kanan dengan jari-jarinya terkembang ke arah pelipis.
Wuttt!
Di saat yang bersamaan, dari
bawah Setan Tenaga Raksasa mengirimkan tendangan ke arah dada Dewa Arak.
Cepat sekali kedua serangan
itu riba, Dewa Arak baru saja berbalik, ketika kedua serangan itu meluncur.
Namun, meskipun demikian dia tidak gugup. Dalam waktu yang hanya sekejap saja,
jalan keluar telah ditemukan.
Memang tepat sekali tindakan
yang diambil Dewa Arak. Tubuhnya cepat merendah, lalu guci yang sejak tadi
terpegang di tangan langsung dipalangkan di depan dada.
Wuttt! Blanggg!
Rentetan kejadiannya
berlangsung demikian cepat. Sampokan tangan Mata Malaikat hanya menyambar angin
di atas kepala Dewa Arak. Sedangkan kaki Setan Tenaga Raksasa terpaksa
berbenturan dengan guci. Kejadian itu berlangsung dalam selisih waktu yang
demikian singkat!
Tapi kesudahannya, baik Setan
Tenaga Raksasa maupun Dewa Arak sama-sama terhuyung ke belakang. Setan Tenaga
Raksasa terhuyung tiga langkah, sedangkan Dewa Arak hanya satu langkah. Itu pun
sebagian besar karena kedudukan pemuda berambut putih keperakan ini kurang menguntungkan.
Belum juga Dewa Arak sempat
memperbaiki keadaannya, Setan Muka Tengkorak telah kembali melancarkan serangan
susulan. Tangan kirinya yang berbentuk mengepal, dipukulkan ke arah dada.
Dan selagi serangan Setan Muka
Tengkorak meluncur, dari arah belakang cambuk Setan Botak kembali mematuk-matuk
ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Kali ini, Dewa Arak diserang dari dua arah.
"Hih!"
Dewa Arak cepat melompat ke
kanan. Dan selagi tubuhnya berada di udara, gucinya diangkat ke atas kepala....
Gluk... gluk... gluk !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju perut.
Sesaat kemudian, ada hawa hangat berputar di dalam perut, lalu merayap ke atas
kepala.
"Hup!
Tubuh Dewa Arak limbung ke
kanan dan ke kiri ketika mendarat di
tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' miliknya telah siap
digunakan.
Setan Botak, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa langsung tertegun bercampur heran ketika
melihat tingkah laku Dewa Arak. Dengan sendirinya, pertarungan pun terhenti.
Meskipun mereka telah mendengar akan ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak yang
khas, namun begitu melihat sendiri tetap saja rasa heran itu muncul.
Tapi hanya sebentar saja Setan
Botak, Setan Muka Tengkorak, dari Setan Tenaga Raksasa tertegun. Dan seiring
hilangnya perasaan kaget, mereka kembali melancarkan serangan. Hasilnya,
pertarungan yang sempat tertunda sejenak itu kembali berlangsung.
Sementara itu di arena Iain,
Melati benar-benar telah berada di bawah pengaruh Mata Malaikat Pandangannya
terus saja tertuju pada sepasang mata Mata Malaikat
"Bagus, Anak Manis. Tatap
terus mataku...! Tatap...! Tataaap...! Dan sekarang tubuhmu terasa lemas...!
Lemaaas...! Lemaaas...! Kau tidak mampu lagi berdiri. Lemaaas...!" ujar
Mata Malaikat.
Akibatnya memang hebat! Melati
yang memang sudah berada di bawah pengaruh kekuasaan Mata Malaikat, tidak kuasa
melawan perintah itu. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Seakan-akan, semua
tulangbelulangnya copot. Tanpa mampu ditahan lagi, tubuhnya ambruk di tanah.
Dan kedua kakinya memang sudah tidak mampu lagi menyangga tubuh.
Brukkk!
Melihat Melati sudah tergolek
tidak berdaya lagi, Mata Malaikat menghampiri. Perlahan-lahan saja kakinya
terayun. Rupanya, kakek bermata mengerikan ini tidak merasa khawatir kalau
Melati akan bangkit dan menyerangnya.
Dan memang, gadis berpakaian
putih itu tetap tergolek lemah di tanah. Bahkan sampai Mata Malaikat berada di
dekatnya dan membungkuk, tubuhnya tetap tak bergeming. Demikian juga ketika
kakek bermata mengerikan itu menotoknya.
Tukkk!
Tak terdengar adanya keluhan
dari mulut Melati ketika jari-jari tangan Mata Malaikat menotoknya. Sekarang,
tubuhnya terasa lemas. Tidak hanya karena pengaruh ilmu sihir lawan, tetapi
juga karena totokan!
"Ha ha ha...!"
Tawa Mata Malaikat meledak.
Dan masih dengan suara tawa yang belum putus, dia bangkit. Nada kemenangan dan
kegembiraan tampak jelas dalam suaranya. Bahkan tawanya pun belum putus ketika
pandangannya beralih ke tempat anak buahnya bergerombol.
"Bawa gadis itu ke
dalam!" perintah Mata Malaikat sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah
Melati.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, empat orang gerombolan golongan hitam yang kini berseragam prajurit,
melangkah menuju tempat tubuh Melati tergolek.
Sementara, Mata Malaikat sama
sekali tidak mempedulikan Melati lagi. Pandangannya kini dialihkan ke arah
pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak melawan empat datuk golongan
hitam. Memang, kini Setan Kecil Muka Hitam telah ikut menceburkan diri dalam
kancah pertarungan.
Dengan penuh perhatian, Mata
Malaikat menyaksikan jalannya pertarungan. Sepasang matanya yang bersinar
kehijauan, hampir tidak pernah berkedip sama sekali. Beberapa kali kepalanya
terangguk-angguk.
"Ternyata berita yang
terdengar di dunia persilatan tentang keanehan dan kedahsyatan ilmu 'Belalang
Sakti, tidak berlebihan. Ilmu itu benar-benar dahsyat..," desah Mata
Malaikat Nadanya penuh kekaguman, setelah memperhatikan jalannya pertarungan
beberapa saat.
Kekaguman Mata Malaikat atas
kepandaian Dewa Arak memang beralasan. Tokoh muda yang menggemparkan itu
dikeroyok empat datuk golongan hitam. Namun, tidak tampak kalau pemuda berambut
putih keperakan itu berada di pihak yang terdesak. Padahal, pertarungan telah
berlangsung lebih dari lima belas jurus!
Sementara itu, orang yang
dikagumi Mata Malaikat sama sekali tidak tahu apa-apa. Masalahnya seluruh
perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada lawan-lawannya. Segenap kemampuannya
dikerahkan, karena serbuan gabungan dari keempat lawan memang dahsyat bukan
kepalang.
Kepandaian perseorangan dari
empat datuk golongan hitam itu sudah cukup hebat. Dan kini mereka maju
menghadapi Dewa Arak secara berbarengan. Bisa dibayangkan kedahsyatan serangan
gabungan itu. Tambahan lagi, keempat datuk itu mampu saling isimengisi di
antara mereka. Serangan mereka seperti dikendalikan satu pikiran. Dengan
sendirinya, kedahsyatan serangan pun semakin bertambah.
Dan, kedahsyatan serangan itu
jelas dirasakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan
tekanan yang amat kuat dan setiap serangan lawan yang datang silih berganti dan
bertubitubi. Tentu saja hal itu membuat Dewa Arak hampir tidak mempunyai
kesempatan melancarkan serangan balasan. Hanya sesekali saja kesempatan ini
didapat. Dan itu pun selalu berhasil dikandaskan lawanlawannya. Memang,
kerjasama empat datuk itu patut diberikan acungan jempol.
Namun hal itu bukan berarti
Dewa Arak tidak berdaya. Meskipun kelihatannya kewalahan, tapi sebenarnya sama
sekali tidak terdesak.
Dan hal itu diketahui Mata
Malaikat. Itulah sebabnya kepalanya teangguk-angguk pertanda kagum pada Dewa
Arak. Dan kekagumannya semakin menebal ketika melihat tingkah tokoh muda yang
menggemparkan itu.
Betapa tidak? Di kancah
pertarungan itu, Mata Malaikat melihat Dewa Arak masih sempat meminum araknya!
Padahal, serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Yang lebih gila lagi,
beberapa kali sewaktu serangan meluncur, Dewa Arak malah enakenak menenggak
araknya! Baru ketika serangan hampir mengenai sasaran, dia mengelak dengan
gerakan seperti orang akan jatuh. Dan..., serangan itu pun lolos!
Karuan saja hal itu membuat
lawan Dewa Arak semakin kalap! Sebagai akibatnya, serangan-serangan yang
dilancarkan pun semakin dahsyat.
Menginjak jurus keenam puluh
lima, Dewa Arak mulai kewalahan. Memang, betapapun hebatnya ilmu 'Belalang
Sakti' dan kepandaiannya tinggi, namun karena lawan-lawan yang dihadapi adalah
tokoh utama dunia persilatan, tetap saja jadi keteter.
Jurus demi jurus berlalu. Dan
seiring semakin lamanya pertarungan berlangsung, semakin terlihat jelas keadaan
Dewa Arak yang terus dihimpit. Sudah bisa ditebak kalau pertarungan terus
berlanjut, Dewa Arak akan berada di pihak yang rugi!
"Ha ha ha...!"
Mata Malaikat tertawa bergelak
ketika melihat perubahan pada jalannya pertarungan. Sebagai seorang tokoh persilatan
yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja akhir pertarungan itu bisa
dinilainya. "Sekarang kau baru tahu kelihaian kami, Dewa Arak! Jangan
coba-coba menentang tingkah kami. Karena siapa pun yang mencoba menghambat,
akan hancur! Ha ha ha...!"
Mata Malaikat mengakhiri
ejekan bernada kemenangan dengan sebuah tawa keras menggelegar yang panjang.
Rupanya, kakek bermata mengerikan ini merasa gembira sekali. Hatinya begitu
yakin kalau Dewa Arak akan roboh. Walaupun demikian, di hati kecilnya timbul
perasaan kagum. Sukar dipercaya kalau orang semuda Dewa Arak mampu menghadapi
empat datuk golongan hitam sekaligus. Bahkan
sampai sekian lamanya. Padahal, dia sendiri tidak yakin akan mampu
bertarung sampai sekian puluh jurus.
***
Tentu saja bukan hanya Mata
Malaikat yang bisa menilai akhir dari pertarungan. Dewa Arak dan empat datuk
golongan hitam itu pun demikian pula.
Kini pertarungan telah
menginjak jurus kedelapan puluh. Sementara, keadaan Dewa Arak semakin memburuk,
terus terdesak dan terhimpit!
Dewa Arak sadar kalau
pertarungan terus dilanjutkan, pasti akan kalah. Bila hal itu terjadi, kalau
tidak tewas, pasti akan tertawan. Lalu, bagaimana nasib Melati kalau dia pun
ikut tertawan?
Memang, Arya selalu
mempertimbangkan setiap langkah yang akan diambil. Kadangkala, di dalam
mengambil keputusan perasaannya harus diabaikan. Demikian pula kali ini. Dewa
Arak yang menyadari akan keadaan yang tak menguntungkan, berpikir keras meneari
jalan untuk melarikan diri. Kalau menuruti perasaan, sebenarnya Dewa Arak tidak
ingin meninggalkan tempat itu. Masalahnya, hatinya sangat khawatir oleh keselamatan Melati yang tengah tertawan.
Tapi, akal sehatnya menyuruhnya pergi meninggalkan tempat itu. Karena kalau sampai tertawan pula, siapa
lagi yang akan menolong Melati. Dia harus selamat agar bisa menolong Melati
selama ada kesempatan.
Tapi begitu melihat Melati
dibawa anak buah Mata Malaikat, Dewa Arak tak tinggal diam. Dia berusaha keras
menolong. Tapi jangankan melakukan hal itu. Untuk keluar dari kepungan empat
lawannya saja, sudah sulit bukan kepalang. Sampai tubuh kekasihnya lenyap
dibawa masuk ke dalam bangunan istana, Dewa Arak tetap belum bisa menerobos
kepungan yang amat kuat dari lawannya.
Dewa Arak bukan orang bodoh!
Malah sebaliknya, dia adalah pendekar muda cerdik dan memiliki wawasan luas.
Itulah sebabnya, keinginannya untuk melarikan diri tidak ditunjukkan secara
terangterangan. Karena apabila maksudnya terbaca, besar kemungkinan akan sulit
dilaksanakan. Pasti empat datuk golongan hitam itu akan berusaha sekuat tenaga
untuk menahannya. Bahkan bukan tidak mungkin Mata Malaikat akan ikut campur.
Yakin akan dugaannya, Dewa
Arak tetap menunjukkan sikap seperti sebelumnya. Melakukan perlawanan
sekuatnya, sambil menunggu kesempatan muncul.
Akhirnya setelah menunggu
sampai lima belas jurus, kesempatan baik menghampiri Dewa Arak. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya dihentakkan berkali-kali.
"Hih!" Wusss!
Hembusan angin keras berhawa
panas menyengat, keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Inilah
jurus 'Pukulan Belalang'.
Dan kejadian yang berlangsung,
sama sekali tidak menyimpang dari rencana dan dugaan Dewa Arak. Begitu pukulan
jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang' menyambar, kontan empat datuk golongan
hitam itu bertindak untuk menyelamatkan diri secara serabutan.
Kesempatan seperti inilah yang
ditunggutunggu Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilemparkan
ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu....
Tukkk!
Dewa Arak langsung menotokkan ujung
kakinya. Maka sesaat kemudian, tubuhnya pun kembali melayang. Hanya saja, kali
ini menuju bagian atas dinding istana.
"Keparat!" maki Mata
Malaikat geram.
Kakek bermata mengerikan ini
tidak menyangka kalau Dewa Arak akan bertindak seperti itu. Dengan sendirinya,
dia sama sekali tidak siap untuk mengejar. Sebagai akibatnya, dia terlambat
mengejar. Disadari kalau tidak akan sempat mencegah, pemuda berambut putih
keperakan itu akan meninggalkan istana.
Tapi hal itu tak berarti Mata
Malaikat diam berpangku tangan saja. Cepat kakinya digenjotkan. Sesaat
kemudian, tubuhnya melesat memburu Dewa Arak.
"Cegah dewa pengecut itu
pergi!" perintah Mata Malaikat pada anak buahnya yang bertugas menjaga
pintu gerbang. Terdengar keras menggelegar seruan Mata Malaikat, karena hampir
seluruh tenaga dalam yang dimilild dikerahkan pada teriakannya. Hal itu
dilakukan karena perasaan khawatir akan lolosnya Dewa Arak.
Usaha Mata Malaikat ternyata
tidak sia-sia. Teriakannya yang keras terdengar oleh anak buahnya yang bertugas
menjadi pasukan panah di bagian atas dinding. Tanpa menunggu perintah dua kali,
mereka merentangkan busur masing-masing dengan anak panah siap luncur!
"Lepas!"
Salah seorang di antara mereka
yang mendapat tugas sebagai pemimpin kelompok, mengeluarkan perintah. Tak pelak
lagi....
Twang, twang, twang !
Puluhan anak panah meluruk ke
arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak disertai suara berdesing nyaring. Sudah
terbayang di benak kalau sekujur tubuh pendekar muda yang menggemparkan itu
akan ditembus puluhan anak panah! Apalagi, Dewa Arak tengah berada di udara
ketika mendapat seranganserangan anak panah itu. Kelihatannya, antara Dewa Arak
dan puluhan anak panah itu saling songsong.
Namun menghadapi luncuran
puluhan anak panah itu, Dewa Arak tidak gugup. Sebelum ujungujung anak panah
yang runcing itu menembus tubuhnya, kedua tangannya segera diputar-putar di
depan dada. Arah gerakannya, dari dalam keluar dengan kedudukan kedua tangan
saling memalang.
Wut, wut, wut. !
Kelihatannya, sembarangan dan
tidak mengandung tenaga putaran kedua tangan Dewa Arak. Tapi akibatnya,
benar-benar menggiriskan! Dari kedua tangan yang berputaran itu keluar angin
keras yang membuat luncuran anak-anak panah berpentalan tak tentu arah, sebelum
sempat mendekati tubuh Dewa Arak. Yang lebih gila lagi, sebagian di antaranya
berpentalan dalam keadaan berpatahan. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Karuan saja kejadian itu
membuat pasukan panah gerombolan Mata Malaikat terkejut bukan kepalang. Dan
ternyata puluhan anak panah yang tengah meluncur cepat tadi berbalik arah. Dan
untuk sesaat, mereka semua terkesima.
Hanya sekejap saja, gerombolan
anak buah Mata Malaikat terkesima. Tapi waktu yang sangat singkat itu dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arya. Kedua kakinya kini sudah hingga di atas
dinding.
Tappp! "Hih!"
Tak sampai sekedipan mata,
Dewa Arak sudah melayang keluar laksana seekor kelelawar besar.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, Mata Malaikat berhasil hinggap di atas dinding. Dan saat
itulah tangannya dihentakkan.
Wusss! Bresss!
Hebat bukan kepalang pukulan
jarak jauh yang dilepaskan Mata Malaikat. Dan ternyata serangan itu menghantam
punggung sebelah kiri Dewa Arak hingga terguling-guling. Namun, tak ada keluhan
sedikit pun dari mulutnya. Bahkan dengan menggunakan bantuan tenaga gulingan
itu, dia terus melesat kabur.
"Keparat!" maki Mata
Malaikat penuh geram, melihat Dewa Arak telah melesat meninggalkan tempat itu.
Kini disadari tidak ada gunanya
lagi melakukan
pengejaran. Dewa Arak telah
berhasil lolos. Maka yang dapat dilakukan Mata Malaikat hanya menatap penuh
rasa marah pada Dewa Arak yang semakin mengecil.
"Sekarang kau boleh lolos
lagi, Dewa Arak! Tapi tak untuk lain saat. Cukup sudah dua kali kau
memperdayaiku," desis Mata Malaikat. Suaranya terdengar tertahan,
menandakan kemarahan.
Setelah mengucapkan kata-kata
bernada ancaman, Mata Malaikat berbalik dan melompat turun.
"Perketat penjagaan!
Jangan biarkan ada seorang pun yang masuk kemari!"
Tanpa menunggu tanggapan anak
buahnya lagi, Mata Malaikat melangkah ke dalam istana.
5
"Bangsat terkutuk!"
Ucapan bernada penuh rasa
geram keluar dari mulut seorang pemuda berambut putih keperakan. Suara
menggelutuk keras pun terdengar dari mulutnya. Jelas, dia tengah dilanda
kemarahan hebat.
Pemuda itu berpakaian ungu.
Rambutnya yang panjang, berwarna putih keperakan, dan sebuah guci arak yang
tergantung di punggung, adalah ciri khasnya. Ya! Dialah Dewa Arak!
Kali ini tampak Dewa Arak tengah
murka! Ini bisa dilihat dari tarikan wajahnya yang menegang dan sorot penuh
kemarahan dari sepasang matanya. Hal ini tidak aneh! Di sekelilingnya ternyata
tampak rumah-rumah yang telah menjadi onggokan arang! "Mata Malaikat!
Orang seperti kau memang
harus cepat dilenyapkan! Kalau
tidak, malapetaka akan tersebar di mana-mana!" desis Dewa Arak penuh
geram.
Diam-diam di dalam hati
kecilnya, pemuda berambut putih keperakan ini merasa menyesal bukan kepalang
melihat keadaan sekitarnya. Dia tahu, kejadian itu belum lama berlangsung. Baru
dua hari tempat ini dilalui, dan saat itu keadaan belum seperti sekarang ini.
Kalau saja tidak terluka dalam yang cukup parah, sehingga memaksanya tinggal di
hutan selama dua hari untuk mengobati luka, mungkin tidak akan terjadi keadaan
seperti ini. Paling tidak, akan dapat mengulurkan pertolongan.
Kini Dewa Arak sudah sehat
kembali. Luka dalamnya telah sembuh sama sekali. Maka, sekaranglah saatnya
untuk membuat perhitungan terhadap Mata Malaikat dan gerombolannya. Meskipun tahu
kalau pihak lawan amat kuat, tapi Dewa Arak tidak putus asa. Biar bagaimapanun,
Melati harus diselamatkan!
Memang, sudah dua hari Melati
menjadi tahanan Mata Malaikat. Dan Arya tidak tahu, apa yang tengah terjadi
pada kekasihnya. Meskipun demikian, hatinya yakin Melati tidak akan menerima
tindakan tidak senonoh dari gerombolan Mata Malaikat. Apalagi dia telah
mendengar sendiri kalau Mata Malaikat sangat membenci perbuatan itu. Dan
memang, tak pernah terdengar kalau Mata Malaikat dan gerombolannya melakukan
perbuatan rendah seperti itu.
Hal itulah yang menjadikan
Dewa Arak tidak terlalu cemas. Dia yakin, anak buah Mata Malaikat tidak akan
ada yang berani melanggar larangan pimpinannya. Jadi, ancaman bagi Melati hanya
akan muncul dari Mata Malaikat. Dewa Arak tahu, Mata Malaikat adalah tokoh
sesat yang menguasai ilmu sihir! Jadi, kemungkinan besar Melati akan dijadikan
semacam tumbal untuk ilmunya. Begitulah dugaan Dewa Arak.
Terkaan seperti itu semakin
mengurangi kecemasannya akan nasib Melati. Dari pengalaman, Dewa Arak tahu
kalau menuntut ilmu seperti itu tidak bisa sembarangan. Ada saat-saat yang
tepat untuk melakukannya. Misalnya, di malam bulan purnama.
Dan yang penting, setelah
sembuh tujuan untuk menyelamatkan Melati harus dilaksanakan. Dalam keadaan siap
tarung seperti ini, kemungkinan untuk berhasil menyelamatkan Melati menjadi
lebih besar.
Teringat kembali akan Melati,
membuat Dewa Arak jadi tidak sabar. Setelah melempar pandangan sejenak ke arah
onggokan arang yang berhamparan di sana-sini, kakinya kemudian melangkah
meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas. Tiba di Istana Kerajaan Gambang
secepat mungkin untuk membebaskan Melati.
Perasaan tidak sabar mendorong
Dewa Arak untuk mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar bisa segera
tiba di Istana Kerajaan Gambang. Sesaat kemudian, tubuhnya lenyap. Sekarang
yang terlihat hanya sekelebatan bayangan
ungu dalam bentuk tidak jelas, terus melesat ke depan.
Karena Dewa Arak mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuh, maka dalam waktu sebentar saja bentuk bangunan
itu sudah terlihat. Tambahan lagi, jarak antara tempat pemuda berambut putih
keperakan itu berada dengan Istana Kerajaan Gambang memang tidak begitu jauh.
Di dalam hati, Dewa Arak
memuji kecerdikan orang yang telah membangun Istana Kerajaan Gambang. Nyatanya,
letak istana itu berada di tengahtengah lapangan luas tanpa halangan. Hal ini
amat menguntungkan, karena membuat pandangan tidak terhalang bila datang
serbuan dari mana pun.
Hanya sayangnya, Istana
Kerajaan Gambang itu kini telah jatuh ke tangan Mata Malaikat dan
gerombolannya. Dewa Arak yakin, kedatangannya telah diketahui. Namun, hal itu
tidak dipedulikan. Sepasang kakinya terus saja diayunkan.
Sambil terus melangkah, Dewa
Arak mengarahkan pandangan ke depan. Sepasang matanya tertuju pada bangunan
istana yang semakin kelihatan membesar seiring semakin dekatnya jarak antara
dirinya dengan istana itu.
Namun, seiring semakin
terlihat jelas istana itu, kernyitan mulai timbul di dahi Dewa Arak. Dan
semakin lama, kernyitan itu semakin bertambah banyak. Jelas, ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya.
Memang, hal itu tidak salah!
Ada perasaan tidak enak yang melingkupi hati Dewa Arak ketika mulai melihat
jelas keadaan Istana Kerajaan Gambang yang sepi sekali! Tak terlihat seorang
pun di sana.
Inilah yang menimbulkan
kernyitan di dahi Dewa Arak. Bermacam-macam dugaan menyelinap di benaknya.
Mengapa Istana Kerajaan Gambang terlihat demikian sepi? Apakah memang
benar-benar tidak ditinggali lagi? Kalau ya, ke mana Mata Malaikat dan
gerombolannya pergi?
Atau..., sepinya keadaan di
Istana Kerajaan Gambang ini hanya buatan saja? Dan mereka bersembunyi, untuk
menjebaknya? Ini bukan merupakan hal mustahil! Bukankah Mata Malaikat dan
gerombolannya adalah orang-orang dari golongan hitam yang terbiasa menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan?
Dugaan yang terakhir memaksa
Dewa Arak bertindak hati-hati. Dengan sendirinya, kecepatan larinya dikurangi.
Dan sekujur urat syaraf dan otototot tubuhnya menegang waspada. Dia telah
bersiapsiap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Semakin dekat jaraknya dengan
Istana Kerajaan Gambang, lari Dewa Arak semakin pelan. Bahkan akhirnya berhenti
sama sekali, ketika telah berjarak lima tombak dari pintu gerbang istana.
Dewa Arak mengedarkan pandangan
ke seluruh penjuru istana yang pintu gerbangnya tertutup rapat. Tatapannya
lebih terarah pada dinding-dinding bagian atas istana. Dan ternyata tetap sepi!
"Mata Malaikat! Keluar
kau!" teriak Dewa Arak sambil mengerahkan tenaga dalam.
Dan memang, tindakan pemuda
berambut putih keperakan ini sama sekali tidak sia-sia. Teriakannya membahana
ke seluruh penjuru. Gema yang ditimbulkannya terdengar bersahut-sahutan.
Dewa Arak menunggu sejenak
untuk melihat tanggapan atas teriakannya. Tapi sampai gema suaranya habis
dipantulkan, tetap saja sedikit pun tidak ada tanggapan.
Dewa Arak menajamkan
telinganya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada kedua belah alat
pendengarannya. Barangkali saja bisa ditangkap adanya suara-suara mencurigakan
dari balik dinding istana yang tinggi. Setidak-tidaknya, hal itu cukup untuk
menunjukkan adanya seseorang di Istana Kerajaan Gambang.
Tapi, untuk yang kesekian
kalinya harapan Dewa Arak tidak terkabul. Buktinya tidak terdengar adanya
suara-suara seperti yang diharapkannya. Yang tertangkap sepasang pendengarannya
hanya suara desah angin!
"Mata Malaikat! Keluar
kau, Pengecut! Hadapi aku! Jangan berlindung di balik panggung tahanan
wanitamu! Hadapi aku, Mata Malaikat!"
Untuk yang kedua kalinya, Dewa
Arak mengeluarkan kata-kata bernada tantangan. Kali ini, bahkan lebih keras
daripada sebelumnya.
Hasil yang didapat Dewa Arak
sama dengan sebelumnya. Tidak ada sambutan sedikit pun atas tantangan yang
diajukannya, selain gema teriakannya sendiri dan desah angin. Maka kesabaran
Dewa Arak pun habis. Dia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Seketika kedua
lututnya ditekuk. Lalu....
"Hih!"
Tubuh Dewa Arak melayang ke
atas, dan berputaran beberapa kali di udara. Gerakannya tampak indah dan manis.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun,
sepasang kaki tokoh muda yang menggemparkan ini hinggap di atas dinding istana.
Dan ternyata, sepanjang dinding bagian atas kosong! Tak nampak adanya seorang
pun di sekitarnya.
Dewa Arak mengedarkan
pandangan ke bawah. Tapi hanya suasana lengang dan sepi yang terlihat, tanpa
ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Jelas, Istana Kerajaan Gambang telah
tidak berpenghuni lagi,
"Hhh !" Dewa Arak
menghela napas berat. Tanpa memeriksa satu persatu bangunan, telah bisa
diketahui kalau Istana Kerajaan Gambang memang sudah tidak berpenghuni lagi.
Mata Malaikat dan gerombolannya ternyata sudah tidak berada di situ, dan
kemungkinan besar telah pergi!
Lalu, bagaimana nasib Melati?
Apakah gadis berpakaian putih itu ikut dibawa pergi? Dan, ke mana perginya?
Lalu, mengapa Mata Malaikat pergi? Bukankah dia telah menjadi raja, meskipun
hanya di sebuah kerajaan kecil? Tidak sayangkah dia meninggalkan tempat yang
susah payah telah direbutnya itu?
Berbagai macam pertanyaan
menggayuti benak Dewa Arak, namun tidak ada satu pun yang dapat terjawab.
Meskipun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Dicobanya untuk mencari jawaban
dengan cara menghubung-hubungkan kejadian yang dialami belakangan ini.
"Ah!"
Dewa Arak tersentak ketika
telah mendapat sebuah jawaban, begitu mengingat-ingat tentang bekas kepala
rampok yang dulu pernah menjabat sebagai pengawal khusus Kerajaan Gambang.
Dialah Garuda Mata Satu. Tokoh itu pemah bercerita padanya, tentang keinginan
Mata Malaikat (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Garuda
Mata Satu").
"Ya! Pasti Mata Malaikat
menuju Kerajaan Mandau," desah Dewa Arak perlahan. "Mungkin
keinginannya itu akan dilaksanakan sekarang!"
Tapi..., apakah anak buahnya
telah cukup untuk memerangi sebuah kerajaan besar seperti Kerajaan Mandau? Keberhasilan
Mata Malaikat dan anak buahnya merebut Kerajaan Gambang, tidak bisa dijadikan
patokan. Masalahnya, Kerajaan Gambang adalah sebuah kerajaan kecil, di bawah
pimpinan seorang raja yang tidak ingin di istananya ada manusia yang berjenis
wanita!
Pikiran-pikiran seperti itu
membimbangkan Dewa Arak! Memang rasanya mustahil kalau Mata Malaikat akan
menyerbu Kerajaan Mandau! Sepertinya, itu tindakan gegabah dan terlalu
terburuburu. Tapi kalau bukan untuk menyerbu Kerajaan Mandau, untuk apa Istana
Kerajaan Gambang ditinggalkan?
Akhirnya setelah
mempertimbangkan beberapa saat, Dewa Arak mengambil keputusan untuk pergi ke
Kerajaan Mandau. Dan kalau ternyata dugaannya salah, dugaan selanjutnya akan
dipikirkan lagi.
Yakin akan keputusannya, Dewa
Arak melompat turun dari atas tembok. Dan begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, langsung saja melesat menuju ke timur, tempat Kerajaan Mandau terletak.
Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Masalahnya
dia tidak tahu, sejak kapan Mata Malaikat dan rombongannya meninggalkan Istana
Kerajaan Gambang?
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, Dewa Arak sudah terlihat seperti sebuah benda berwarna ungu sebesar
ibu jari kaki. Semakin lama, bentuknya semakin mengecil. Dan akhirnya, lenyap
di kejauhan.
Rasa cemas akan terjadinya
pertumpahan darah besar-besaran, membuat Dewa Arak harus mempercepat
perjalanannya. Seluruh kecepatan lari yang dimiliki dikeluarkan hingga mencapai
puncaknya. Dan pemuda berambut putih keperakan itu terus berlari tanpa mengendurkan
kecepatan sedikit pun. Entah berapa lama berlari, Dewa Arak sama sekali tidak
mempedulikannya. Yang jelas, sewaktu meninggalkan Istana Kerajaan Gambang,
matahari baru saja terbit.
Tapi sekarang, sang surya
telah hampir berada di atas kepala. Sinarnya sudah terasa tidak nyaman di
kulit. Dan selama itu Dewa Arak belum berhenti berlari. Apalagi, mengendurkan
kecepatannya.
Hebatnya, meskipun telah
berlari sekian lamanya, tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau Dewa Arak
kelelahan. Alunan napasnya masih biasa saja. Peluh yang tampak pun hanya pada
dahi, bawah hidung, dan sekitar leher.
Mendadak raut wajah Dewa Arak
berubah, begitu matanya tertumbuk pada sesuatu kejadian, dalam jarak belasan
tombak di depan. Di kejauhan sana, terlihat kepulan asap tebal berwarna hitam,
bergumpal-gumpal, membubung tinggi ke angkasa. Menilik keadaan itu bisa
diperkirakan kalau di kejauhan sana telah terjadi kebakaran.
Perkiraan ini mengingatkan
Dewa Arak akan peristiwa yang tadi pagi disaksikan. Rumah-rumah di Desa Sekupang
telah menjadi onggokan arang. Apakah kebakaran di kejauhan itu sengaja dibuat
orang? Dan, pelakunya adalah Mata Malaikat dan gerombolannya?
Dengan benak dililit
pertanyaan-pertanyaan, Dewa Arak meneruskan larinya. Rasanya, dia ingin segera
tiba di sana. Tapi bagaimana lagi? Hanya sampai di situlah puncak kemampuan
kecepatan larinya.
Beberapa lesatan kemudian,
dugaan Dewa Arak terbukti. Kebakaranlah yang menjadi penyebab timbulnya asap
itu. Dan ternyata kebakaran itu mengandung unsur kesengajaan. Buktinya,
segerombolan orang berpakaian prajurit kerajaan tengah bertindak di luar batas,
dengan membakari rumah yang masih tersisa dan membunuhi penghuninya.
Dewa Arak menggeram, murka
bukan kepalang. Masalahnya, enak saja mereka menyebar maut pada para pemilik
rumah yang berusaha mencegah pembakaran.
Desing suara senjata,
gemeretak api memakan kayu, disertai jeritan kesakitan dan kematian terdengar
dari para pemilik rumah. Mereka berusaha mencegah tempat bernaung dari si jago
merah!
"Keparat! Orang-orang seperti
kalian memang tidak pantas dibiarkan hidup!" seru Dewa Arak, keras sambil
melompat menerjang.
Lompatan Dewa Arak ternyata
bertepatan dengan seorang prajurit yang tengah mengayunkan pedangnya ke arah
leher seorang pemilik rumah.
Singgg! Takkk!
Mata pedang yang hampir
mengirim nyawa seorang pemilik rumah ke alam baka itu, berhasil dipapak Dewa
Arak dengan sentilan jari telunjuk. Akibatnya, mata pedang itu patah jadi dua!
Bahkan patahannya malah meluncur ke arah tenggorokan prajurit itu.
Tentu saja mendapat serangan
yang sama sekali tidak terduga, prajurit yang apes itu jadi kelabakan dan
gugup. Dengan sebisa-bisanya, pedangnya yang tinggal sepotong diayunkan untuk
menangkis. Dan....
Tranggg!
Usaha untung-untungan prajurit
itu berhasil juga. Nyawanya yang sudah hampir terbang,. berhasil diselamatkan.
Namun prajurit itu tidak bisa buru-buru menarik napas lega. Karena begitu
luncuran mata pedang berhasil ditangkis, Dewa Arak cepat melepaskan tendangan.
Wuttt! Bukkk!
"Hugkh!"
Karena kejadiannya berlangsung
demikian cepat, prajurit itu sama sekali tidak sempat berbuat apaapa. Dan
tahu-tahu, perutnya telah tertendang. Kelihatannya pelan saja, tapi akibatnya
cukup dahsyat. Rasanya, perutnya seperti mendapat serudukan seekor banteng liar
yang paling besar!
Tak pelak lagi, tubuh prajurit
itu pun terpental ke belakang disertai jeritan menyayat. Bahkan lebih mirip
lolong kematian. Memang, tendangan Dewa Arak terlalu dahsyat untuk dapat
diterima prajurit sial itu. Seluruh isi perutnya langsung hancur berantakan.
Darah segar pun mengalir di sudut-sudut mulutnya. Saat itu juga, nyawanya
melayang ke alam baka, sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah.
"Dewa Arak...!"
Seruan-seruan kaget terdengar
dari mulut rekan-rekan prajurit yang malang itu. Jelas, mereka telah mengenai
Dewa Arak!
Dewa Arak hanya tersenyum
pahit mendengar panggilan itu. Diperhatikannya wajah para prajurit itu sekilas.
Dan seketika itu juga, langsung dikenalinya.
"Kiranya kalian anak buah
Mata Malaikat! Kali ini, jangan harap kuampuni!" ancam Dewa Arak dengan
suara berdesis.
Dewa Arak memang telah murka.
Maka setelah melihat kekejaman yang dilakukan anak buah Mata Malaikat, langsung
diputuskan untuk melenyapkan mereka selama-lamanya.
"Hanya sekian sajakah
jumlah kalian?! Mana yang lainnya?! Dan mana pula Mata Malaikat?!" dengus
Dewa Arak tanpa menyembunyikan perasaan heran.
Tidak aneh kalau pemuda
berambut putih keperakan itu merasa heran. Terutama ketika melihat jumlah
gerombolan anak buah Mata Malaikat yang hanya sedikit. Mereka tak lebih berjumlah
sepuluh orang saja! Itu pun bila digabung dengan prajurit yang tewas di tangan
Dewa Arak tadi.
Kesembilan anak buah Mata
Malaikat hanya saling berpandangan satu sama lain. Tampak adanya sorot
kegentaran dalam sinar mata mereka, begitu telah mengetahui kelihaian Dewa
Arak. Jangankan hanya sembilan. Biar ditambah lima kali lipat lagi, Dewa Arak
pasti akan mampu menggilas mereka.
"Dengar! Apabila bersedia
menunjukkan di mana kawanku ditahan, dengan senang hati kalian akan kubiarkan
hidup! Cepat! Jangan sia-siakan kesempatan yang kuberikan ini!" ujar Dewa
Arak, memberi penawaran.
Kembali kesembilan anak buah
Mata Malaikat itu saling berpandangan sejenak. Kemudian....
"Haaat..!"
Diawali teriakan keras
membahana, kesembilan orang golongan hitam itu menerjang. Golok dan pedang yang
sejak tadi tercekal di tangan, diayunkan ke arah berbagai bagian tubuh Dewa
Arak.
"Rupanya kalian memilih
mati!" kata Dewa
Arak.
Seiring keluarnya ucapan itu, Dewa Arak lang-
sung bertindak. Sekali kakinya
bergerak, tubuhnya telah menyelinap di antara kelebatan senjata lawan, tak
ubahnya bayangan. Dan ketika tangan serta kakinya mulai bergerak, tubuh anak
buah Mata Malaikat telah berpentalan ke sana kemari. Jerit kesakitan dan lolong
kematian tampak mengiringi tertemparnya tubuh mereka.
Hanya dalam beberapa gebrakan
saja, sudah tidak ada lagi anak buah Mata Malaikat yang masih berdiri tegak.
Semuanya telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatinya ketika melihat semua lawan
telah tewas. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini jarang membunuh lawan
kecuali terpaksa.
Setelah memperhatikan mayat
lawan-lawannya sekilas, Dewa Arak mengalihkan pandangan ke arah para pemilik
rumah yang berdiri tertegun, memperhatikan tempat tinggal mereka yang telah
menjadi onggokan arang.
"Sebenarnya apa alasan
gerombolan penjahat itu membumihanguskan rumah-rumah ini, Kisanak?" tanya
Arya pada salah seorang di antara pemilik rumah yang masih terkesima.
"Mereka menanyakan pada
kami tentang orang yang berjuluk Garuda Mata Satu. Karena memang tidak tahu,
kami jawab saja apa adanya. Tapi, mereka menyangka kami berbohong. Dan
akibatnya, seperti ini!" jawab seorang laki laki berkumis tebal. Dia
adalah salah seorang dari tiga pemilik rumah yang masih hidup.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala.
"O ya, Kisanak. Apakah di
samping sepuluh orang ini kau melihat yang lain? Dan mereka adalah kawan dari
sepuluh orang ini," tanya Dewa Arak.
"Aku sendiri tidak tahu
pasti rombongan yang kau maksudkan, Tuan Pendekar. Tapi yang jelas, aku memang
melihat serombongan besar orang berpakaian prajurit. Menilik arah yang
ditempuh, mungkin rombongan itu tengah menuju Kerajaan Mandau," jawab
laki-Iaki berkumis tebal itu.
''Terima kasih, Kisanak."
Hanya itu yang diucapkan Dewa
Arak, karena sesaat kemudian tubuhnya telah lenyap dari situ. Yang dilihat tiga
orang pemilik rumah itu kini hanya sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat
ke depan.
"Luar biasa! Orang semuda
itu sudah memiliki kepandaian demikian tinggi," desis tiga orang pemilik
rumah itu hampir berbareng.
Ada nada kekaguman yang sarat
dalam ucapan tiga orang itu. Bahkan sepasang mata mereka terus tertuju pada
Dewa Arak, sampai akhirnya lenyap ditelan kejauhan. Baru setelah itu, mereka
menghampiri rumah yang telah menjadi onggokan arang. Mereka sama sekali tidak
pernah mimpi akan terjadi hal seperti ini, karena tinggal di sebuah tempat yang
letaknya terpisah dari perumahan penduduk lainnya.
Segumpal kesedihan kembali membalut
hati kebga orang itu. Bukan karena tempat tinggal yang sudah tidak karuan
bentuknya, tapi karena ditinggalkan oleh anggota keluarga yang tewas. 6
"Hm...!"
Sambil mengelus-elus jenggot
yang hanya beberapa lembar, Raja Kerajaan Mandau yang bernama Prabu Tanjula
mengangguk-anggukkan kepala. Tampak sekali keagungannya, saat duduk di atas
singgasana kerajaan.
"Jadi..., gerombolan yang
akan menyerbu istana kita adalah benar-benar gerombolan Mata Malaikat, Patih
Sanggara?" tanya Prabu Tanjula sambil menatap tajam wajah seorang
laki-laki tinggi kurus yang duduk di lantai.
Di sebelah kanan, kiri, dan
depan laki-laki tinggi kurus yang ternyata menjabat patih itu, duduk pula
pejabat kerajaan lain.
"Begitulah laporan yang
hamba terima dari para telik sandi, Gusti Prabu," jawab Patih Sanggara.
"Jadi, semua laporan yang
diberikan Garuda Mata Satu benar. Ahhh...! Dia benar-benar seorang prajurit
setia," gumam Prabu Tanjula lirih sambil mengelus-elus jenggotnya.
Rupanya, orang nomor satu di Kerajaan Mandau ini memiliki kebiasaan, gemar
mengelus-elus jenggot.
Beberapa saat lamanya, Prabu
Tanjula bertindak seperti itu. Sementara, Patih Sanggara dan semua pejabat
kerajaan yang ada di situ menunggu keluarnya ucapan selanjutnya dari junjungan
mereka dengan sabar.
"Kalau begitu, kita akan
siapkan penyambutan untuk mereka. Biar mereka tahu, kalau Kerajaan Mandau tidak
bisa dianggap remeh. Pengawal!" seru Prabu Tanjula, agak keras.
"Hamba, Gusti
Prabu," sambut salah satu dari dua orang pengawal yang menjaga pintu ruangan.
Kedua orang ini adalah prajurit pilihan yang bertugas menjaga keselamatan raja,
dan sekaligus menjadi anggota pasukan khusus.
"Katakan pada Panglima
Tungga agar segera menghadapku!" ritah Prabu Tanjula.
"Akan hamba laksanakan,
Gusti Prabu," sahut pengawal yang memiliki banyak tahi lalat di dahi itu.
Tubuhnya dibungkukkan sedikit sambil menyentuhkan ujung-ujung jari kedua tangan
yang dirapatkan ke hidung.
Usai berkata demikian,
pengawal khusus itu segera melangkah meninggalkan ruangan ini.
Sepeninggal pengawal khusus
yang memiliki banyak tahi lalat itu, suasana menjadi hening. Masingmasing orang
hanyut dalam alun pikiran sendirisendiri.
"O ya, Patih Sanggara.
Apakah sudah ada berita mengenai Garuda Mata Satu?"
Pertanyaan Prabu Tanjula
memecahkan keheningan yang mencekam.
"Ampunkan hamba, Gusti
Prabu. Sampai saat ini, pasukan telik sandi yang dikirimkan belum mendapatkan
berita mengenai Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka."
"Hm "
Hanya gumaman pelan dan
anggukan Prabu Tanjula yang menanggapi jawaban Patih Sanggara.
"Mudah-mudahan, tugas
yang kuberikan padanya bisa berhasil dengan baik," harap Prabu Tanjula
lagj.
Tidak ada satu suara pun yang
menyahuti. Mereka semua diam. Namun di dalam hati, sama-sama menginginkan agar
harapan Prabu Tanjula terkabul. Masalahnya, hal itu menyangkut keutuhan
Kerajaan Mandau. Kalau tugas Garuda Mata Satu sampai gagal, Kerajaan Mandau
akan mendapat kerugian besar! Kembali suasana jadi hening, larut oleh pikiran
masing-masing.
Tapi hal itu tidak berlangsung
lama. Keheningan itu langsung membuyar ketika terdengar suara langkah kaki
mendekati ruangan ini. Dan sesaat kemudian, tampak dua sosok tubuh melangkah
masuk. Yang seorang pengawal khusus bertahi lalat banyak. Sedangkan sarunya
lagi, seorang laki-laki tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Siapa lagi
kalau bukan Panglima Tungga?
"Hamba datang menghadap,
Gusti Prabu," kata Panglima Tungga sambil memberi hormat
Laki-laki tinggi besar ini
kemudian bersimpuh. Lutut sebelah kirinya ditekuk, dan tangan terkepal ditekankan
ke bumi.
"Hm...," gumam Prabu
Tanjula sambil kembali mengelus-elus jenggotnya. "Memang, aku mempunyai
sebuah rencana. Dan hanya kau dan pasukanmu saja yang lebih cocok untuk
melaksanakan tugas ini. Itulah sebabnya kau kupanggil kemari."
"Hamba siap melaksanakan
tugas, Gusti Prabu," sambut Panglima Tungga cepat.
"Bagus! Nah! Sekarang
dengarkan baik-baik tugas yang akan kuberikan padamu "
Prabu Tanjula diam sebentar.
Hal itu memang disengaja agar Panglima Tungga lebih siap mendengarnya. Dan
dengan adanya kesempatan yang diberikan Prabu Tanjula, Panglima Tungga yang
bertubuh tinggi besar itu jadi punya kesempatan untuk memusatkan perhatian.
"Kau sudah mendengar
berita akan adanya penyerbuan terhadap Kerajaan Mandau ini, Panglima
Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.
"Ampun, Gusti Prabu.
Hamba belum mendengarnya. Kalau boleh hamba tahu, kerajaan manakah yang
mempunyai nyali demikian besar, hingga berani menyerang kerajaan kita?"
Panglima Tungga malah balas bertanya.
"Tidak ada kerajaan yang
akan menyerbu kita, Panglima Tungga," sanggah orang nomor satu di Kerajaan
Mandau ini.
"Ampun, Gusti
Prabu. Hamba belum mengerti "
"Yang akan menyerbu
kerajaan kita, segerombolan tokoh golongan hitam di bawah pimpinan Mata
Malaikat. Menurut laporan mata-mata kita, mereka berjumlah banyak. Mungkin
tidak kurang dari tiga ratus orang! Bayangkan, Panglima Tungga. Kemampuan tokoh
persilatan aliran hitam yang paling rendah pun, belum tentu kalah menghadapi
tiga orang prajurit kita!" Prabu Tanjula mengutarakan kekhawatirannya.
Panglima Tungga
mengangguk-anggukkan kepala. Cukup masuk akal juga kekhawatiran yang melanda
junjungannya.
''Tapi..., ada satu hal yang
Gusti Prabu lupakan," tegas Panglima Tungga.
"Hm Apa itu, Panglima
Tungga?" tanya Prabu
Tanjula ingin tahu. Dan memang
telah diketahuinya kalau Panglima Tungga adalah seorang ahli siasat perang yang
ulung.
"Begini, Gusti Prabu.
Dalam hal kemampuan perseorangan, boleh jadi gerombolan Mata Malaikat memiliki
kemampuan di atas rata-rata kemampuan pasukan kita. Tapi dalam sebuah
pertempuran besar, yang memegang peranan adalah siasat! Kalau kita mempunyai
siasat jitu, mereka akan bisa dikalahkan!" tandas Panglima Tungga, yakin.
Seketika itu pula Prabu
Tanjula terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Panglima Tungga.
"Apa siasatmu, Panglima
Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.
Panglima Tungga tidak langsung
menjawab. Dahinya berkernyit sejenak sebelum kepalanya terangguk.
"Jelaskan kepada
kami-kami di sini, siasat apa yang akan kau gunakan, Panglima Tungga?"
tanya Prabu Tanjula.
"Tentu, Gusti
Prabu," jawab Panglima Tungga. "Tapi sebelumnya, hamba ingin tahu
pendapat Panglima Banu. Dan, ampunkan hamba bila bertindak terlalu
lancang."
"Sama sekali tidak,
Panglima Tungga," sahut Prabu Tanjula sambil menyunggingkan senyum.
"Panglima Banu! Coba
kemukakan siasatmu untuk menghadapi penyerbuan gerombolan Mata Malaikat!"
titah Prabu Tanjula pada panglima yang bernama Panglima Banu.
"Ampunkan hamba kalau
keliru, Gusti Prabu. Menurut pendapat hamba, lebih baik seluruh pasukan
Kerajaan Mandau berada di dalam benteng. Lalu, kita tempatkan pasukan panah di
bagian atas benteng untuk mencegah serbuan gerombolan itu."
Panglima yang bertubuh tegap
dan kekar yang bernama Panglima Banu itu menghentikan ucapannya untuk mengambil
napas. "Setiap kali mereka berada dalam jarak tembak anak panah, kita akan
menghujani dengan anak panah. Dengan demikian, mereka tidak bisa mendekati
benteng. Dan andaikata nekat, anak panah pasukan kita akan banyak menelan korban
dari mereka," lanjut Panglima Banu panjang lebar.
Semua orang yang berada di
ruangan itu samasama menganggukkan kepala. Disadari pen-jelasan Panglima Banu
ada benarnya.
"Sebuah usul yang
bagus!" puji Prabu Tanjula. "Bukankah demikian, Panglima
Tungga?"
"Benar, Gusti
Prabu," sahut Panglima Tungga sambil mengangguk. "Siasat yang
dikemukakan Panglima Banu memang bagus. Tapi rasanya, untuk menghadapi
gerombolan Mata Malaikat, siasat seperti itu tidak bisa dilaksanakan."
Prabu Tanjula
mengangguk-angguk, pertanda membenarkan pendapat Panglima Tungga.
"Apa yang kau kemukakan
sama sekali tidak salah, Panglima Tungga. Siasat yang dikemukakan Panglima Banu
tidak bisa diterapkan kali ini. Garuda Mata Satu telah memberi masukan yang
berharga sekali. Katanya, di samping Mata Malaikat, masih banyak lagi tokoh
kelas atas dari golongan hitam yang menjadi anak buahnya. Bahkan termasuk
datuk-datuk di empat penjuru angin. Banyaknya tokoh yang memiliki kemampuan
tinggilah yang menyebabkan siasat Panglima Banu sulit diterapkan."
Prabu Tanjula menghentikan
ucapannya sejenak untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Kalau kita gunakan
pasukan panah, kemungkinan besar tokoh-tokoh kelas ataslah yang bertugas
sebagai pembuka jalan. Serbuan pasukan anak panah kita pasti akan mudah dilumpuhkan.
Nah! Setelah pasukan panah kita lumpuh, baru mereka akan menyerbu. Di sinilah
ketidaktepatannya usul Panglima Banu."
Panglima Tungga dan semua
orang yang berada di situ sama sekali tidak merasa heran mendengar penjelasan
Prabu Tanjula yang bisa mengupas secara demikian meyakinkan. Dan mereka semua
tahu, Prabu Tanjula memiliki ilmu kedigdayaan yang cukup tinggi. Hanya saja
mereka tidak tahu, di mana sang Junjungan itu belajar.
"Sekarang giliranmu,
Panglima Tungga. Bisa kau utarakan siasat yang akan kau terapkan?" tanya
Prabu Tanjula ingin tahu.
"Pada dasarnya, tidak
berbeda dengan siasat Panglima Banu, Gusti Prabu. Hanya saja, ada sedikit
perbedaannya. Pada siasat hamba, pasukan kita tidak hanya bertahan. Tapi, juga
mendahului."
"Maksudmu..., kita yang
melakukan penyerangan lebih dulu. Begitu maksudmu, Panglima Tungga?"
"Kira-kira demikian,
Gusti Prabu. Tapi, tentu saja tidak hanya siasat itu yang akan dijalankan.
Siasat Panglima Banu pun nanti akan diterapkan pula. Dan itu tentu ada sedikit perbedaan
di sana-sini. Bahkan serangan yang akan dilakukan pun, tidak untuk menghadapi
pertarungan secara langsung. Yang akan kita terapkan adalah siasat pukul dan
lari."
"Bisa diutarakan secara
lengkap rencanarencana yang akan kau buat, Panglima Tungga?" tanya Prabu
Tanjula, ingin tahu lebih banyak.
"Dengan senang hati,
Gusti Prabu," sambut Panglima Tungga cepat
Kemudian, Panglima Kerajaan
Mandau yang memiliki tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat ini
menjelaskan secara lengkap siasat-siasat yang akan dijalankan. Prabu Tanjula
dan semua orang yang berada di situ mendengarkan penuh seksama. Tak sekali pun
ada yang menyelak sampai Panglima Tungga menyelesaikan keterangannya.
"Begitulah rencana hamba,
Gusti Prabu. Yaaah...! Walaupun mungkin tidak memuaskan, tapi itulah siasat
yang hamba dapatkan," kata Panglima Tungga menutup keterangannya.
''Tidak mengapa, Panglima
Tungga. Aku percaya, kau telah memilihkan sebuah siasat terbaik. Untuk
selanjutnya, kau dan Panglima Banu bisa saling berembuk untuk mempersiapkan
rencana yang telah dirancang," ujar Prabu Tanjula.
"Akan hamba laksanakan
semua perintah Gusti Prabu," hampir berbareng Panglima Tungga dan Panglima
Banu menjawabnya.
Saat yang ditunggu-tunggu
disertai rasa kecemasan pun tiba. Pasukan panah Kerajaan Mandau yang berdiri di
atas benteng istana melihat serombongan orang yang tengah menuju ke tempat
mereka.
"Beritahukan pada
Panglima Tungga. Gerombolan Mata Malaikat telah terlihat!" ujar kepala
pasukan panah pada salah seorang anak buahnya.
"Siap!"
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, anggota pasukan panah yang memiliki tubuh kecil ramping itu meluruk turun
mempergunakan tambang-tambang yang tersedia, menjulur hampir mencapai tanah.
Dia kemudian beriari cepat ke arah pos penjagaan.
"Lapor, Panglima!"
kata prajurit itu sambil memberi hormat ketika telah berada di pos pusat
penjagaan. Di sana terlihat Panglima Tungga dan Panglima Banu tengah
berbincang-bincang.
"Ya! Cepat
sampaikan!" ucap Panglima Tungga, penuh wibawa.
"Rombongan yang kita tunggu-tunggu
telah
tiba!"
"Apa?!" Panglima
Tungga sampai terlonjak dari
kursi yang didudukl
"Kalau begitu, aku akan ke sana untuk melihatnya. Tolong siapkan segala
sesuatu yang telah dirembuk itu, Panglima Banu."
Setelah meninggalkan pesan
seperti itu, Panglima Tungga berlari cepat menuju dinding istana. Tidak
dipedulikannya lagi anak buahnya yang tadi memberikan laporan.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, Panglima Tungga telah tiba di dekat dinding istana.
"Hih!"
Tanpa menimbulkan suara yang
berarti, Panglima Tungga mendarat di dinding atas. Dan secepat kedua kakinya
mendarat, secepat itu pula pandangannya dilayangkan ke luar.
"Benar..., mereka telah
datang," desah Panglima Tungga pelan seperti berbicara pada diri sendiri.
Kemudian, perhatiannya dialihkan pada prajurit berkumis tebal yang menjadi
pimpinan pasukan panah.
"Musuh telah di ambang
mata. Apakah kau telah siap menyambutnya?"
"Siap, Panglima,"
sahut prajurit berkumis tebal itu.
"Bagus!"
Usai berkata demikian,
Panglima Tungga beranjak meninggalkan pimpinan pasukan panah itu. Kemudian
dengan tergesa-gesa dia melompat turun dan melesat menuju tempatnya semula. Dia
bahkan sampai tidak ingat pada prajurit yang telah memberi laporan padanya.
Padahal di saat hendak turun, prajurit itu tengah merayap naik ke dinding
istana.
Sementara itu, pimpinan
pasukan panah segera mengumpulkan anak buahnya.
"Ingat! Apabila aku
memberi aba-aba, baru anak-anak panah kalian lepaskan. Yang pertama kali,
adalah anak panah biasa. Kedua, panah berapi. Dan yang terakhir, panah-panah
istimewa. Tapi, ingat! Anak panah berapi dan istimewa jumlahnya terbatas. Jadi,
jangan langsung dihambur-hamburkan begitu saja. Mengerti?!"
"Mengerti!" sahut
prajurit-prajurit itu serempak. "Kalau demikian, sekarang kalian kembali ke tempat masing-masing!" perintah prajurit
berkumis
tebal itu.
Tanpa menungggu perintah dua
kali, prajuritprajurit itu bubar untuk menuju tempat masingmasing. Dan begitu
telah sampai di tempat yang dituju, masing-masing prajurit segera menyiapkan peralatannya.
Sesaat kemudian, anak-anak panah yang siap meluncur telah berada di tangan.
Kini pasukan panah Kerajaan
Mandau tinggal menunggu perintah. Pandangan mata mereka semua tertuju ke depan
menanrj hingga rombongan anak buah Mata Malaikat tiba di tempat yang dapat
dijangkau luncuran anak panah.
Tapi penantian yang dilakukan
ternyata membutuhkan kesabaran besar. Karena ternyata, sebelum mencapai tempat
yang dapat dijangkau luncuran anak panah, rombongan anak buah Mata Malaikat
ternyata tidak bergerak maju lagi. Tentu saja hal itu membuat pasukan panah
Kerajaan Mandau merasa heran bukan kepalang. Tanpa sadar, mereka saling
berpandangan satu sama lain, dengan sinar mata menyorotkan pertanyaan besar.
Memang, tidak satu pun dari mereka yang tahu pasti, mengapa rombongan anak buah
Mata Malaikat berhenti bergerak. Apalagi, jaraknya masih terlalu jauh untuk
bisa dilihat jelas. Tak kurang dari pimpinan pasukan panah ikut merasa heran.
Apa yang hendak dilakukan rombongan Mata Malaikat? Begitu pertanyaan yang bergayut
di benak mereka.
Sementara itu, pihak yang
menjadi bahan pemikiran sama sekali tidak tahu apa-apa. Mereka berpencar,
mencari tempat-tempat yang teduh di bawah pohon. Apalagi, saat itu udara cukup
panas, karena matahari sudah hampir berada di atas kepala.
Di tempat yang terpisah dari
rombongan lain, duduk enam sosok tubuh. Mereka adalah Mata Malaikat,
datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin, dan Melati! Gadis berpakaian putih
itu sama sekali tidak terbelenggu. Bahkan sepertinya Melati telah menjadi kawan
mereka.
''Pertempuran kali ini tidak
bisa disamakan dengan pertempuran sebelumnya," Mata Malaikat membuka
percakapan tanpa mengalihkan pandangan dari bangunan Istana Kerajaan Mandau
yang nampak dari kejauhan. "Kerajaan Mandau tidak bisa disamakan dengan
Kerajaan Gambang. Di samping jumlah pasukan yang besar, kemampuan perorangan
mereka berada di atas prajurit-prajurit Kerajaan Gambang. Bahkan Kerajaan
Mandau pun memiliki sekumpulan prajurit terlatih! Bukan begitu, Setan
Kecil?"
"Benar, Yang Mulia,"
jawab Setan Kecil Muka Hitam sambil menganggukkan kepala. "Berita yang
kudapatkan sama seperti Yang Mulia katakan."
"Aku pun telah
mendengarnya pula," selak Setan Botak. "Kudengar, Kerajaan Mandau
memiliki prajurit-prajurit yang mampu melakukan serangan secara berkelompok
dengan kerja sama yang baik. Sehingga meskipun serangan mereka terdiri dari
delapan orang, tapi seperti dikendalikan satu pikiran. Kerja sama mereka
demikian rapi!"
Dua datuk yang Iain
mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan rekan mereka.
"Itulah sebabnya, aku
memberi kesempatan pada rombongan kita untuk beristirahat. Meskipun jumlah kita
kali ini jauh lebih besar, tapi demi keberhasilan, kuputuskan untuk melakukan
serangan dalam keadaan segar bugar!" urai Mata Malaikat panjang lebar.
Empat datuk golongan hitam itu
menganggukanggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan Mata Malaikat.
"Lalu..., bagaimana
dengan Dewa Arak, Yang Mulia. Karena bukan hal yang mustahil kalau dia akan
datang nanti. Aku yakin, dia telah sembuh dari luka dalamnya," sergah
Setan Kecil Muka Hitam tiba-tiba.
"Ha ha ha...!"
mendadak Mata Malaikat tertawa. "Apalah artinya seorang Dewa Arak? Lagi
pula apabila dia benar datang mengganggu, akan kita bungkam untuk
selama-lamanya dengan perantaraan kekasihnya! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Setan Botak, Setan Muka
Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa ikut tertawa bergelak. Di dalam hati,
mereka semua memuji kecerdikan akal Mata Malaikat.
"Bagaimana, Melati? Kau
telah siap melenyapkan Dewa Arak selama-lamanya?" tanya Mata Malaikat pada
Melati yang sejak tadi hanya diam saja.
"Siap, Yang Mulia!"
jawab gadis berpakaian putih itu dengan raut wajah beku.
"Kau ingat semua rencana
yang kujelaskan padamu?" tanya Mata Malaikat lagi.
"Ingat, Yang Mulia!"
"Bagus! Ingat, Melati!
Jangan sampai gagal! Dewa Arak harus berhasil kau bunuh!" tandas Mata
Malaikat
Melati hanya mengangguk.
Keheningan langsung
menyelimuti mereka, setelah Mata Malaikat tidak mengatakan apa-apa lagi. Hal
itu terjadi karena, Melati, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka Tengkorak, Setan
Tenaga Raksasa, dan Setan Botak tidak berkata-kata lagi.
Tapi keheningan itu tidak
berlangsung lama, karena Mata Malaikat bangkit dari duduknya.
"Siapkan pasukan!
Sekarang juga kita akan mengambil alih kekuasaan Istana Mandau!" ujar Mata
Malaikat.
"Baik, Yang Mulia!"
jawab empat datuk golongan hitam itu hampir berbareng.
Usai berkata demikian, Setan
Kecil Muka Hitam mengalihkan perhatian ke arah tokoh-tokoh golongan hitam yang
berpencar-pencar di sekitar tempat itu.
"Bangun semua! Sekarang
saatnya merebut Istana Mandau!"
"Horeee...!" seru
seluruh anggota rombongan serempak.
"Hidup Yang Mulia Mata
Malaikat!" pekik salah seorang dari mereka.
"Hidup!" sambut yang
lain beramai-ramai. "Hancurkan Kerajaan Mandau!" "Bunuh Prabu
Tanjula!"
Hanya dalam waktu sekejap,
suasana di sekitar tempat itu langsung gaduh. Masing-masing orang berteriak
semaunya. Namun ketika Setan Kecil Muka Hitam mengangkat tangan kanan ke atas,
hiruk-pikuk itu kontan terhenti.
"Siapkan perlengkapan
kalian! Dan mari kita berangkat!" perintah Setan Kecil Muka Hitam.
Tanpa membantah sama sekali,
rombongan yang terdiri dari orang-orang golongan hitam itu bergerak maju. Sudah
dapat dipastikan, sebentar lagi genangan darah akan membasahi bumi!
Tapi ternyata tidak semua
orang yang berada di situ meninggalkan tempat ini. Masih ada yang tertinggal!
Dan dia adalah gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang tergerai!
Melati!
Dan ternyata, Melati pun tidak
lama-lama duduk di situ. Sesaat kemudian, dia bangkit dan melangkah. Tapi arah
yang dituju tidak searah dengan Mata Malaikat dan rombongannya.
7
Tentu saja tindakan gerombolan
Mata Malaikat segera diketahui pasukan panah Kerajaan Mandau yang sejak tadi
sudah menunggu saat-saat yang tepat untuk meluncurkan anak panah.
Seiring semakin dekatnya jarak
gerombolan Mata Malaikat, semakin keras pula debaran jantung masing-masing
prajurit Kerajaan Mandau. Mereka semua merasa tegang Apalagi orang yang
memimpin pasukan panah. Dialah yang paling merasa tegang. Masalahnya,
meluncurnya anak-anak panah para prajurit, ada pada perintahnya. Dan kini,
perhatian prajurit berkumis tebal itu terpusat pada kedatangan lawan.
"Seluruh pasukan...!
Siaaap...! Aku akan mulai menghitung. Dan sampai pada hitungan ketiga, baru
anak panah diluncurkan! Semua, mengerti?!"
"Mengerti!" sambut
seluruh prajurit, kompak. "Satu.... Dua.... Ti... ga!"
Twang! Twang! Twang...!
Ratusan anak panah langsung
melesat dari busurnya ketika prajurit berkumis tebal itu selesai menghitung.
Bunyi terlepasnya anak panah dari busur, membuat telinga terasa sakit. Apalagi
ketika anak-anak panah itu meluncur membelah udara.
Kemudian tanpa menunggu
hasilnya, semua pasukan panah kembali mementangkan anak panah lain pada busur,
lalu melepaskannya kembali.
Twang! Twang! Twang...!
Kembali, tak kurang dari
seratus anak panah meluncur ke arah gerombolan Mata Malaikat. Dan pemandangan
yang terlihat mengerikan sekali. Bagi gerombolan Mata Malaikat, anak-anak panah
yang datang laksana buriran-butiran hujan.
Namun gerombolan Mata Malaikat
memang sudah memperhitungkannya. Itulah sebabnya, mereka tidak gugup.
Senjata-senjata yang sejak tadi tercekal di tangan pun langsung dikibaskan,
untuk mematahkan serangan anak-anak panah yang tengah mengancam keselamatan
nyawa.
Dan tentu saja tidak semua
orang yang menggunakan senjata. Tokoh-tokoh yang telah memiliki tenaga dalam
tinggi, langsung menggunakan sepasang tangannya untuk mematahkan semua
serangan. Memang, dengan pengerahan tenaga dalam, tangan-tangan itu sudah
merupakan senjata bagiya.
Trang, trang! Takkk!
Dentang beradunya anak-anak
panah dengan senjata-senjata di tangan gerombolan Mata Malaikat, terdengar
susul-menyusul. Itu pun masih ditambah lagi memerciknya bunga-bunga api ke sana
kemari! Tak pelak lagi, suasana hiruk pikuk pun menyelimuti.
Dan sambil terus mengibaskan
tangan ke sana kemari para tokoh golongan hitam itu terus merangsek maju. Dan
setapak demi setapak, benteng Istana Kerajaan Mandau semakin dekat.
Mata Malaikat dan empat datuk
golongan hitam berada di baris terdepan. Sambil mengibaskan kedua tangan ke
sana kemari, mereka cepat merangsek maju. Dan sudah pasti maksudnya adalah
untuk masuk ke dalam istana lebih dulu!
Namun sebelum maksud itu
kesampaian, terjadi suatu hal yang mengejutkan. Ternyata anak-anak panah yang
dilepaskan pasukan Kerajaan Mandau adalah panah berapi!
Kalau Mata Malaikat dan empat
anak buah utamanya saja terkejut, apalagi para tokoh golongan hitam lain yang
menjadi anak buahnya. Mereka kini dilanda perasaan kaget yang berlipat ganda.
Dan mau tak mau, mereka harus lebih hati-hati dalam melancarkan tangkisan!
Trang, trang, cappp!
"Wuaaa...!"
Lolong kesakitan terdengar
dari mulut seorang tokoh golongan hitam yang kurang cepat bertindak menangkis.
Anak panah berapi menancap telak di bahu kirinya. Dan seketika itu pula,
tubuhnya terhuyung dengan kobaran api langsung membakar dirinya. Tak pelak
lagi, dia menggeliat-geliat menahan panas dan sakit
Sambil meraung-raung
kesakitan, tokoh golongan hitam yang sial itu berusaha mencabut anak panah yang
menancap di bahunya. Tapi, usahanya siasia belaka. Tubuhnya telah terlampau
termakan api demikian cepat, karena pakaiannya terbuat dari bahan yang mudah
terbakar.
Dan yang lebih sial lagi,
tidak seorang rekan pun yang sudi menolongnya. Masalahnya, mereka semua sendiri
tengah sibuk menghadapi anak-anak panah yang terus saja meluncur, seakan-akan
tidak pernah habis.
Sementara, gerombolan itu
terus saja bergerak sambil terus mengibaskan tangan untuk menangkis hujan anak
panah yang sesekali berapi! Korban pun mulai berjatuhan. Jerit kesakitan dan
lolong kematian menyeruak, mencoba mengatasi bisingnya benturan anak-anak panah
dengan senjata.
Mata Malaikat dan empat datuk
golongan hitam yang mendengar jeritan-jeritan anak buahnya, menjadi murka
setengah mati. Maka, kemampuannya pun segera dikerahkan untuk cepat bisa tiba
di atas dinding istana!
Mereka semua tahu pasti, kalau
keadaan tidak segera diperbaiki, akan banyak jatuh korban. Paling tidak,
kemampuan yang dimiliki akan menurun.
Dan dengan tekad yang bulat,
Mata Malaikat dan empat datuk sesat itu merangsek maju mendekati dinding tinggi
yang melingkari bangunan Istana Kerajaan Mandau yang berhalaman luas. Pada
kenyataannya mereka berhasil. Bahkan tak lama lagi, dipastikan akan berhasil
naik ke atas dinding. Dan ketika akhirnya telah berhasil mendekati dinding
istana, kelima orang pimpinan datuk hitam itu sama-sama menjejak tanah.
"Hih!"
Hanya sekali genjot, tubuh
Mata Malaikat, Setan Botak, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka Tengkorak, dan
Setan Tenaga Raksasa, telah melayang ke atas. Sementara, para prajurit yang
melihat segera melepaskan anak-anak panah. Namun semua itu siasia belaka,
karena dengan mudah berhasil dipapak Mata Malaikat dan empat datuk sesat itu.
Tapi setelah berhasil memapak,
Mata Malaikat dan empat orang andalannya sama sekali tidak menduga kalau pihak
lawan telah mempersiapkan serangan lain. Dan di saat tubuh mereka baru setengah
perjalanan, dari atas meluncur jala!
Wrrr! "Hehhh...?!"
Jeritan-jeritan kaget langsung
terdengar dari mulut Mata Malaikat dan empat orang anak buahnya, ketika melihat
serangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Mereka ingin mengelak, tapi
bagaimana bisa? Jala-jala itu terkembang lebar dan langsung menutupi tubuh, tanpa
mereka sempat berbuat sesuatu.
Mau tak mau, Mata Malaikat dan
empat anak buah andalannya terpaksa membatalkan maksudnya. Bagaimana bisa tiba
di atas kalau tubuh mereka tertutupi jala-jala? Maka yang dilakukan mereka
adalah segera mendarat kembali di tanah.
Namun untuk yang kesekian
kalinya, Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam itu harus menelan
kenyataan pahit. Ternyata lawan benar-benar tidak bisa diremehkan.
Kenyataannya, sebelum kaki menyentuh tanah, daun pintu gerbang telah terbuka
lebar. Dan dari daun pintu yang terkuak, keluar tak kurang dari seratus orang
bersenjata lengkap! Sungguh sebuah rencana yang rapi dan matang!
Kali ini Mata Malaikat dan
datuk-datuk golongan hitam dari empat penjuru mata angin itu benarbenar dibuat
sibuk. Padahal di saat tubuh mereka tengah meluncur turun dengan tertutupi
jala, hujan anak panah tetap tak berkurang! Hanya saja, anak panah yang
dilepaskan bukan anak panah api! Namun meskipun demikian, tetap saja cukup
membuat kelima orang sakti itu kerepotan! Betapa tidak? Dalam keadaan tertutup
jaring, mereka masih berusaha menghalau serangan anak-anak panah yang
mengancam!
Sementara, hujan anak panah
terhadap orangorang golongan hitam itu tetap tidak berkurang sedikit pun!
Korban di pihak anak buah Mata Malaikat terus berjatuhan. Padahal di pihak
Kerajaan Mandau sendiri, belum ada satu pun yang jadi korban.
Sedangkan baru saja Mata
Malaikat dan empat anak buah andalannya mendarat tanpa sempat membuka jaring,
pasukan Kerajaan Mandau telah lebih dulu menyerbu. Hebatnya, mereka tak
menyerang serampangan. Bahkan membentuk kelompok serangan sendiri-sendiri,
tanpa memberi kesempatan pada kelima orang lawannya untuk memperbaiki diri.
Patut dipuji siasat yang
diterapkan Panglima Tungga! Mata Malaikat dan gerombolannya dibuat kocar-kacir.
Terutama sekali, di pihak anak buah Mata Malaikat yang telah banyak jatuh
korban. Sedangkan sisanya, sudah mulai dihinggapi rasa letih. Meskipun demikian
usaha mereka tidak sia-sia, karena telah mulai mendekati dinding istana.
Tapi sebelum mampu mencapai
jarak yang lebih dekat lagi, dari dalam pintu gerbang meluruk serombongan besar
pasukan Kerajaan Mandau dalam jumlah yang banyak! Bahkan mungkin tak kurang
dari delapan ratus orang! Dan yang lebih hebat lagi, mereka semua mengenakan
perlengkapan prajurit!
Begitu keluar, rombongan
Kerajaan Mandau langsung meluruk ke arah gerombolan anak buah Mata Malaikat.
Teriakan-teriakan bernada perang kontan keluar dari mulut mereka.
Memang, sejak tadi pasukan
Kerajaan Mandau sudah menahan-nahan kejengkelan yang membara di hati. Maka
datangnya serbuan ini, membuka kesempatan untuk melampiaskan rasa jengkelnya.
Tak pelak lagi, pertempuran besar-besaran pun tidak terelakkan lagi.
Seketika itu pula, dentang
senjata beradu, percikan bunga api, dan jerit kesakitan serta lolong kematian
segera menghiasi pertarungan acak-acakan yang tengah berlangsung.
***
"Ahhh...! Jangan-jangan
aku telah terlambat!" Ucapan bernada keluhan ini keluar dari mulut
Dewa Arak tanpa menghentikan
ayunan langkahkakinya yang masih saja berlari. Sepasang matanya yang
menyiratkan kecemasan, diarahkan ke depan.
Di kejauhan, terlihat
debu-debu mengepul tinggi ke angkasa. Juga, tampak banyak titik hitam yang
jelas bergerak-gerak. Tampaknya, itu adalah suatu pertarungan besar. Yakin
dengan dugaannya, Dewa Arak memaksakan diri untuk terus berlari cepat bagai
kilat. Tapi baru juga beberapa lesatan... "Kang...! Kang Arya...!"
Panggilan itu membuat Dewa
Arak tersentak bagai disengat ular berbisa! Seketika itu juga, larinya terhenti.
Bahkan hampir terjatuh, karena kedua kakinya mendadak lemas mendengar panggilan
itu. Dan yang lebih membuatnya lemas, orang yang memanggil adalah... Melati!
Dewa Arak yakin, kalau orang
yang memanggilnya Melati. Tapi, akal sehatnya membantah. Bukankah kekasihnya
menjadi tawanan Mata Malaikat? Jadi, mana mungkin Melati yang memanggil?
Takut akan menghadapi
kenyataan, meskipun langkahnya telah berhenti, tetap saja pandangan Dewa Arak
tidak berani beralih ke tempat asal panggilan itu.
"Kang..., Kang Arya...!"
Lagi-lagi terdengar panggilan
untuk Dewa Arak. Hanya saja, kali ini lebih jelas. Mungkinkah kupingnya salah
dengar? Dan hal ini membuat Dewa Arak menjadi penasaran. Maka dengan
perlahan-lahan Dewa Arak berpaling ke arah kanan. Dan....
"Melati...!" pekik
Arya kaget campur gembira ketika melihat kekasihnya berdiri beberapa tombak di
sebelah kanan agak ke belakang.
"Kang Arya...!"
orang yang tak lain Melati itu balas memanggil.
Entah siapa yang memulai,
tahu-tahu Dewa Arak maupun Melati berlari saling menghampiri dengan kedua
tangan sama-sama terkembang. Hanya beberapa langkah saja saling menghampiri,
karena sesaat kemudian sepasang muda muda ini telah saling berpelukan erat.
"Melati..., ah...!
Melati...!" desah Arya setengah mengeluh tanpa mengendurkan pelukannya.
"Syukur kau selamat..."
"Aku berhasil meloloskan
diri, Kang," jawab Melati lirih.
Dan seperti juga Dewa Arak,
gadis berpakaian putih ini sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Tapi tanpa
Arya tahu, Melati mengeluarkan sebilah pisau dari balik lengan bajunya. Sebilah
pisau yang berkilat-kilat tajam dan ada sorot kehijauan pada batangnya. Ini
menjadi pertanda kalau pisau itu mengandung racun ganas!
Dewa Arak yang tengah dilanda
rasa kaget dan gembira, menjadi berkurang kewaspadaannya. Tambahan lagi, dia
percaya penuh pada kekasihnya. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak tahu kalau maut
tengah mengancam. Dan memang, Melati hanya tinggal menghunjamkan pisau itu ke
tengkuk Dewa Arak!
Mendadak...
"Dewa Arak..! Awaaas…''
"Hih!"
8
Tepat di saat Melati hampir
menikamkan pisau di tengkuk Dewa Arak, terdengar seruan keras memperingatkan.
Karuan saja Dewa Arak tersentak kaget. Dan ini mengakibatkan pelukannya pada
Melati mengendur. Dan, saat itulah Melati menghunjamkan pisaunya ke tengkuk
Dewa Arak. Dan...
Trakkk!
Ujung pisau Melati menghunjam
di tempat yang keliru. Bukannya tengkuk Dewa Arak yang ditikam, tapi guci
araknya! Namun tak urung, beberapa helai rambut Dewa Arak terpapas.
"Melati..., kau...!"
ujar Dewa Arak kaget ketika menyadari kalau serangan itu berasal dari
kekasihnya. Dalam kagetnya, pemuda berambut putih keperakan itu tidak bertindak
apa-apa kecuali melangkah mundur. Sorot matanya memancarkan
ketidakpercayaan yang amat
sangat.
Tapi, Melati sama sekali tidak
mempedulikan keadaan Dewa Arak. Kegagalan usahanya tidak membuatnya putus asa.
Dibuangnya pisau di tangannya begitu saja ke tanah, kemudian pedangnya dicabut.
Srattt! Wunggg!
Suara menggerung keras
terdengar ketika Melati langsung menerjang Dewa Arak dalam penggunaan ilmu
'Pedang Seribu Naga'.
Hal ini membuat keterkejutan
Dewa Arak semakin menjadi-jadi. Dan disadari betul, Melati benarbenar hendak
membunuhnya! Buktinya, gadis berpakaain putih itu langsung menggunakan ilmu
pedang andalan!
"Melati..., apa yang
terjadi terhadap dirimu...," keluh Dewa Arak bingung.
Tapi, pemuda berambut putih
keperakan ini tidak bisa bingung terlalu lama, ketika serangan Melati telah
meluncur. Terpaksa ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, dan serangan
kekasihnya didakkan.
"Jangan buang-buang waktu
lagi, Anak Muda. Cepat robohkan dia. Gadis itu telah terpengaruh sihir dan
obat!"
Terdengar pemberitahuan di
telinga Dewa Arak. Kini Dewa Arak mengerti, kenapa Melati mempunyai keinginan
yang demikian keras untuk membunuhnya. Ternyata, gadis berpakaian putih itu
berada dalam pengaruh sihir dan obat! Ternyata, begitu telah tahu penyebab
keanehan tindakan Melati, Dewa Arak mulai melancarkan serangan. Dia tahu, orang
yang memberitahukannya berkepandaian tinggi. Terbukti, orang itu tahu keadaan
yang menimpa Melati. Dan yang lebih menegaskan kesaktian orang itu adalah kemampuannya dalam mengirimkan
suara dari jauh. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan tingkat kepandaiannya.
Meskipun sekarang telah
melakukan perlawanan, namun bukan berarti hal mudah bagi Dewa Arak untuk
merobohkan Melati. Masalahnya, dia ingin merobohkan gadis itu tanpa harus
melukai. Dan hal itu lebih mudah dibicarakan, daripada dilaksanakan.
Kenyataannya Melati memiliki kepandaian tinggi. Tambahan lagi, gadis berpakaian
putih itu menyerang tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri. Dan akibatnya,
pertarungan berlangsung agak lama.
Baru pada jurus kedua puluh
lima, sebuah kesempatan emas terbuka bagi Dewa Arak. Itu pun setelah memancing
Melati lebih dulu. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan.
Tukkk! "Uhhh...!"
Melati terkulai lemas ketika
jari tangan Dewa Arak menotoknya. Tapi sebelum tubuh gadis berpakaian putih itu
ambruk, Dewa Arak telah lebih dulu menangkapnya. Dan dengan tubuh Melati berada
di pondongannya, Dewa Arak menoleh ke arah asal suara pemberitahuan itu.
"Garuda Mata Satu! Puspa
Kenaka! Ah! Hendak ke mana kalian...!" seru Arya gembira, ketika melihat
dua di antara tujuh sosok tubuh yang berada di sana. Garuda Mata Satu dan
putrinya.
Kemudian dengan langkah lebar,
Dewa Arak menghampiri Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka.
"Kami hendak ke Istana
Kerajaan Mandau. Tapi, terlebih dulu kuperkenalkan tokoh-tokoh sakti yang
bersamaku ini. Mereka berjuluk Lima Dewa Hati Emas "
"Ah !" desah Dewa
Arak kaget.
Memang, nama besar Lima Dewa
Hati Emas pernah disebut-sebut gurunya sebagai tokoh yang memiliki kepandaian
amat tinggi. Tapi menurut cerita gurunya, lima dewa itu telah mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Bahkan tempat pengasingannya tak ada yang tahu! Maka
merupakan hal yang luar biasa kalau Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka bisa
bersama mereka.
"Merupakan sebuah
kehormatan besar bila bertemu kalian berlima. Terimalah salam hormatku,
Ki," kata Dewa Arak sambil membungkuk dengan penuh rasa hormat.
"Sudahlah, Dewa Arak!
Lupakan saja semua peradatan itu. Kau pun mempunyai nama besar yang tidak kalah
dengan kami! Garuda Mata Satu banyak bercerita tentang dirimu!" sergah
salah seorang dari Lima Dewa Hati Emas.
''Tapi, mana bisa dibandingkan
dengan nama besar Lima Dewa Hati Emas," kata Dewa Arak merendah.
Pemuda berambut putih
keperakan ini sama sekali tidak heran melihat wajah, pakaian, dan potongan
tubuh Lima Dewa Hati Emas yang mirip satu sama Iain. Semuanya bertubuh kecil
kurus dan berpakaian putih. Yang membedakan hanya alisnya yang masing-masing
berwana merah, biru, hitam, putih, dan kuning.
"Mereka adalah guru-guru
dari Gusti Prabu Tanjula, Raja Kerajaan Mandau, Dewa Arak," jelas Garuda
Mata Satu tanpa diminta. "Dan beliau-beliau ini diminta datang oleh Gusti
Prabu, karena ada urusan yang sangat penting! Dan kamilah yang diutus
menjemputnya. O ya, Dewa Arak. Kami akan kembali ke Kerajaan Mandau."
"Selamat, Garuda Mata
Satu, Puspa," ucap Dewa Arak.
''Terima kasih, Dewa Arak
"
"Ayah!" selak Puspa
Kenaka. "Jangan-jangan gerombolan Mata Malaikat telah menyerbu Kerajaan
Mandau."
"Ah! Kau benar! Mari kita
ke sana sebelum terlambat!" sambut Garuda Mata Satu, cepat.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, rombongan kecil itu langsung melesat cepat menuju Istana Kerajaan Mandau.
***
Sementara itu, pertempuran
besar-besaran yang berlangsung tampak semakin sengit. Tempat pertarungan pun
telah bergeser. Sekarang, kancah pertarungan sudah tidak terbagi-bagi lagi.
Namun pertarungan masih terus berlangsung acak. Bahkan Mata Malaikat dan
datuk-datuk golongan hitam kini hanya menghadapi pasukan biasa. Maka akibatnya
bisa diduga. Setiap kali tangan atau kaki Mata Malaikat bersama empat datuk
sesat itu bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada nyawa yang melayang.
Dan saat Kerajaan Mandau
berada dalam keadaan terdesak, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas, Garuda Mata Satu
dan Puspa Kenaka tiba di sana. Tanpa membuang-buang waktu, mereka semua melesat
ke dalam kancah pertarungan.
Namun sebelum Puspa Kenaka
terlibat dalam pertarungan, Dewa Arak sudah keburu memanggilnya. ''Tolong jaga
Melati, Puspa," pinta Dewa Arak
sambil menyerahkan tubuh
kekasihnya.
Tanpa berkata apa-apa, Puspa
Kenaka segera menerima tubuh Melati. Kemudian dia menjauhkan diri, mencari
tempat yang agak jauh dari kancah pertarungan
Dan begitu telah memasuki
kancah pertarungan, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas, serta Garuda Mata Satu
langsung mencari lawan! Empat dari Lima Dewa Hati Emas telah menghadang empat
datuk golongan hitam. Sedangkan yang satu lagi terpaksa menghadapi anak buah
Mata Malaikat lainnya. Masalahnya, Dewa Arak telah lebih dulu menghadang Mata
Malaikat.
"Ha ha ha...! Rupanya kau
masih punya nyali untuk menghadapiku, Dewa Arak?! Jangan-jangan, kau akan
melarikan diri lagi! Ha ha ha...!" ejek Mata Malaikat, sambil tertawa
bergelak.
''Tutup mulutmu, Mata
Malaikat! Kali ini jangan harap nyawamu akan kuampuni!"
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak langsung menenggak araknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanan menuju perut. Sesaat
kemudian, ada hawa hangat yang menjalar di perut Dewa Arak. Kemudian hawa
hangat itu naik ke atas. Maka seketika itu pula tubuh pemuda berambut putih
keperakan ini oleng ke kanan dan ke kiri. Ini menandakan kalau Dewa Arak telah
siap menggunakan ilmu 'Belakang Sakti'nya.
"Mampuslah kau, Dewa
Arak!"
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Mata Malaikat langsung menerjang Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan
sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher.
Wuttt!
Deru angin keras yang seiring
luncuran serangan Mata Malaikat, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya.
Dewa Arak menyadari
kedahsyatan serangan lawan. Maka, buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil
mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Mata Malaikat hanya mengenai tempat kosong.
Tapi, tindakan Dewa Arak tidak
hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan lawan berhasil dikandaskan,
tangan kirinya diluncurkan untuk menangkap pergelangan kaki Mata Malaikat yang
belum sempat ditarik kembali.
Tappp!
Tangkapan Dewa Arak ternyata
mengenai tempat kosong, karena Mata Malaikat telah lebih dulu menarik kakinya.
Tak lupa, dikirimkannya serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Sesaat
kemudian, kedua tokoh yang berbeda aliran dan usia ini telah terlibat
pertarungan sengit!
Ternyata, bukan hanya di
kancah pertarungan Dewa Arak dan Mata Malaikat saja yang berlangsung sengit dan
ramai. Meskipun demikian, harus diakui kalau pertarungan antara Dewa Arak
melawan Mata Malaikat paling menarik dan seru.
Sedangkan pada pertarungan
antara empat datuk golongan hitam melawan empat dari Lima Dewa Hati Emas,
berlangsung kurang seru. Karena tak sampai lima puluh jurus, para tokoh sesat
itu telah berhasil didesak. Tak bisa disangkal lagi kalau anggota-anggota Lima
Dewa Hati Emas terlalu kuat untuk dilawan.
Hal yang sama pun menimpa anak
buah Mata Malaikat lainnya. Memang, semula mereka berhasil mendesak pihak
Kerajaan Mandau, karena adanya lima pentolan tokoh hitam. Dan begitu
tokoh-tokoh yang diandalkan sudah berjatuhan, mereka pun terdesak kembali!
Apalagi, di pihak lawan ada
salah seorang dari Lima Dewa Hati Emas. Meskipun anggota Lima Dewa Hati Emas
ini tidak mau membunuh lawannya, tapi sekali kena sentuhan atau tepakan, sudah
cukup membuat gerombolan Mata Malaikat roboh dan tidak mampu melanjutkan
pertarungan. Dan akibatnya, gerombolan Mata Malaikat jelas akan hancur
berantakan!
Tanda-tanda kehancuran
gerombolan Mata Malaikat diawali oleh robohnya satu persatu empat datuk
golongan hitam. Berturut-turut mereka terjengkang ke belakang dan ambruk di
tanah. Tewas dengan isi dada remuk!
Setelah berhasil merobohkan
lawan-lawannya, empat dari lima kakek berpakaian putih yang bergelar Lima Dewa
Hati Emas ini ikut terjun dalam kancah pertarungan yang acak-acakan. Tentu saja
hal ini membuat keadaan anak buah Mata Malaikat semakin kalang kabut.
Belum sampai sepuluh jurus,
anak buah Mata Malaikat yang masih hidup langsung melempar senjata dan
menyerah. Dan tanpa membuang-buang waktu, prajurit-prajurit Kerajaan Mandau
langsung meringkus.
Dengan menyerahnya anak buah
Mata Malaikat, maka Lima Dewa Hati Emas pun terpaksa harus menganggur. Di saat
prajurit-prajurit Kerajaan Mandau sibuk membenahi keadaan di sekitar tempat
itu, lima kakek sakti ini memperhatikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak
melawan Mata Malaikat sudah mencapai tahap-tahap penentuan.
"Guru...!"
Sebuah sapaan bernada hormat
membuat Lima Dewa Hati Emas menoleh.
"Ah! Kiranya kau,
Tanjula...!" kata kakek yang beralis merah. "Kau benar. Dialah orang
yang kami cari-cari. Rupanya, Mata Malaikat julukannya. O, ya. Dari mana kau
tahu kalau dia adalah orang yang kami cari-cari, Tanjula? Padahal, kau belum
pernah melihatnya. Dan kami hanya menceritakan tentang matanya yang buta
sebelah."
Prabu Tanjula, Raja Kerajaan
Mandau itu tersenyum lebar.
''Itu hanya dugaanku saja,
Guru. O, ya. Kalau boleh kutahu, apa urusannya Mata Malaikat dengan Guru
berlima?"
"Dia sebenarnya bekas
murid kami. Tapi karena wataknya yang tidak baik, kami mengusirnya. Dan begitu
mendengar berita yang kau bawa, kami memutuskan untuk melenyapkannya. Syukurlah kalau Dewa Arak telah mendahului
kami," urai kakek beralis merah itu panjang lebar. Rupanya, dialah yang
paling suka banyak bicara.
"Hanya untuk masalah Mata
Malaikat saja, Guru berlima sampai datang kemari!"
''Tentu saja tidak. Kami ingin
melihatmu dan kerajaanmu. Ingat, Tanjula. Kita sudah dua puluh tahun lebih
tidak bertemu."
Prabu Tanjula hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Tapi baru saja hendak melanjutkan ucapannya,
terdengar suara keras dari kancah pertarungan.
"Haaat...!"
"Hiyaaat...!"
Ternyata, di jurus kedua ratus
sepuluh, baik Mata Malaikat maupun Dewa Arak sama-sama saling terjang. Dan
begitu sama-sama berada di udara, Mata Malaikat langsung mengegoskan rambu
kuncir kepalanya.
Wuttt..!
Rambut berujung bintang segi
lima yang mengandung racun jahat itu tiba-tiba meluncur ke arah pelipis Dewa
Arak. Apabila terkena sedikit saja, Dewa Arak pasti tewas.
Dan herannya, kali ini Dewa
Arak mengambil tindakan berbahaya. Lewat perhitungan matang seorang tokoh silat
berkepandaian tinggi, ditangkisnya sabetan rambut Mata Malaikat dengan tangan
kiri. Dan tangkisannya diusahakan agar tidak mengenai bintang segi lima Mata
Malaikat
Tappp! Rrrttt!
Rambut Mata Malaikat seketika
membelit tangan kiri Dewa Arak. Dan tentu saja, tidak melilit secara erat.
Maka, di saat itulah Dewa Arak menghantamkan guci araknya ke dada Mata Malaikat
disertai pengerahan tinaga dalam tinggi sekali.
Wuttt! Bukkk!
Telak dan keras sekali dada
Mata Malaikat terhantam guci Dewa Arak! Akibatnya, tubuhnya kontan melayang ke
belakang. Darah segar yang memancur dari mulut, hidung, dan telinganya langsung
membasahi tanah sepanjang luncuran tubuhnya yang tanpa nyawa lagi.
Jliggg!
Ringan laksana daun kering,
Dewa Arak mendarat di tanah. Kemudian, langsung dihampirinya Puspa Kenaka untuk
meminta Melati kembali. Tidak dipedulikannya lagi mayat Mata Malaikat. Yang ada
di benak Dewa Arak hanyalah mengobati Melati secepatnya. Dan Dewa Arak tahu,
Melati akan sembuh dalam waktu dekat!
SELESAI