Serial Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat
44 Tawanan Datuk Sesat

1

Malam ini begitu cerah. Langit tampak bersih, tanpa sepotong awan pun menggantung di sana. Bintang-bintang seperti leluasa memancarkan sinar lembutnya ke persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan semakin menambah indahnya suasana malam. Rasanya, suasana di persada begitu aman dan tenteram.

"Auuung...!"

Mendadak, terdengar tolongan anjing hutan. Suaranya melengking panjang dan menyelusup sampai ke lubuk hati. Nadanya menimbulkan perasaan ngeri bagi setiap orang yang mendengarnya. Dan menurut kepercayaan sebagian orang, lolongan anjing hutan tadi menjadi pertanda akan adanya sebuah peristiwa berdarah!

Sementara itu, di bawah siraman sinar sang Dewi Malam, tampak sosok-sosok tubuh tengah bergerak cepat dan ringan, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang! Dan tampaknya mereka rata-rata memiliki kepandaian silat Namun anehnya, rombongan itu selalu mengambil jalan di tempat yang te-lindung. Kalau tidak pepohonan, tentu semak belukar. Bahkan sepasang mata masing-masing selalu beredar mengawasi sekitarnya. Tampaknya, mereka tidak ingin kehadirannya diketahui orang. Apakah yang hendak mereka perbuat?

Mendadak, sosok yang berjalan paling depan mengangkat tangannya ke atas. Dia, seorang kakek bertubuh tinggi besar. Pakaiannya berwarna hitam mengkilat. Wajahnya dipenuhi cambang bauk yang cukup lebat. Penampilannya semakin menyeramkan oleh potongan rambutnya yang dikepang satu. Dan pada bagian ujung kepangan, dipasangi sebuah benda logam berbentuk bintang segi lima. Tampaknya, dari sini bisa dinilai kalau kakek berambut dikepang itu rnempunyai pengaruh besar dalam rombongan ini.

"Setan Kecil!" panggil kakek itu sambil menatap salah satu dari empat orang kakek yang tadi berjalan di belakangnya.

"Hamba, Yang Mulia Mata Malaikat," sahut seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah hitam.

"Setan Botak! Setan Muka Tengkorak! Setan Tenaga Raksasa!" sebut kakek berambut dikepang, yang ternyata berjuluk Mata Malaikat.

"Hamba, Yang Mulia Mata Malaikat," sahut tiga orang kakek yang memiliki ciri-ciri berlainan satu sama lain.

"Kalian telah siap dengan rencana ini?" tanya Mata Malaikat seraya menatap satu persatu wajahwajah di depannya.

"Siap, Yang Mulia Mata Malaikat," sahut empat orang kakek yang ternyata datuk-datuk sesat dari empat penjuru mata angin (Untuk jelasnya mengenai tokoh-tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Garuda Mata Satu").

"Bagus! Ingat, jangan sampai gagal! Besok Istana Kerajaan Gambang harus kita ambil alih," tandas Mata Malaikat Suaranya terdengar bergetar, karena menahan gejolak nafsu angkara murka. Sudah terbayang di benak, betapa dirinyalah yang seharusnya duduk di singgasana istana. "Percayalah, Yang Mulia Mata Malaikat. Sebelum matahari tenggelam, singgasana Istana Kerajaan Gambang berhasil direbut!" tegas Setan Botak yang memang gemar bicara.

"Kau benar, Setan Botak! Akulah yang akan menduduki takhta Kerajaan Gambang. Lalu, barulah Kerajaan Mandau kutundukkan. Dan, saat keberhasilan itu sebentar lagi akan tiba," kata Mata Malaikat, gembira. "Tunggu apa lagi? Mari kita serbu kerajaan keparat itu!"

Usai berkata demikian, Mata Malaikat melangkah meninggalkan tempat itu. Langkah kakinya tampak lebar-lebar, saking semangatnya untuk buruburu mewujudkan impiannya selama ini. Menjadi raja diraja!

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, rombongan besar yang ternyata anak buah Mata Malaikat bergerak mengikuti. Malam ini, mereka harus mencari tempat beristirahat. Paling tidak untuk menyimpan tenaga, guna dipakai menghadapi pertarungan esok pagi.

***

Sesuai kodratnya, pagi ini sang Surya kembali muncul di ufuk timur. Roda kehidupan kembali berputar. Dan orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sama sekali tidak ada yang peduli kalau saat ini akan terjadi penjagalan manusia oleh orang yang tengah dimabuk nafsu.

Dan memang, Mata Malaikat sudah tidak sabar lagi untuk dapat segera menduduki Istana Kerajaan Gambang. Anak buahnya seketika diberi aba-aba....

"Serbu   !" perintah Mata Malaikat, berteriak.

Seketika itu pula, bumi bagai berguncang oleh derap kaki rombongan yang jumlahnya tak kurang dari tiga ratus orang itu! Kakek berambut dikepang itu tampak berkuda paling depan. Sementara anak buahnya yang masing-masing menggenggam senjata telanjang di tangan, mengiringi dari belakang.

Derap kaki-kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi, mengejutkan para prajurit yang menjaga pintu gerbang. Untungnya, Istana Kerajaan Gambang terletak di hamparan tanah lapang yang luas membentang. Sehingga, kedatangan rombongan itu segera dapat diketahui meskipun jaraknya masih cukup jauh.

"Tidak salahkah penglihatanku, Mota?" tanya prajurit yang bertubuh pendek gemuk. Suaranya terdengar bergetar, karena rasa kaget yang menyergapnya.

"Tidak, Doga! Aku juga melihat serombongan orang berkuda yang menuju kemari. Dan dari gerakgeriknya, rasa-rasanya mereka hendak menyerbu istana ini. Kau tunggu di sini, Doga! Aku akan memberitahukan hal ini ke dalam!"

Seiring keluarnya ucapan itu, Mota berlari measuki pintu gerbang istana. Gerakannya begitu cepat, bagai dikejar hantu menuju gardu penjagaan.

"Hhh...! Hhh..., Kang Garwa! Gawat, Kang."

Tanpa mengatur napas lagi, Mota sudah berteriak-teriak. Suaranya terdengar terputus-putus. Napasnya juga terengah-engah, karena disertai rasa tegang yang melanda hati.

Karuan saja sikap Mota membuat laki-laki yang berpangkat punggawa dan bernama Garwa ikut kelabakan juga. Bergegas dia keluar dari gardu penjagaan.

"Tenang, Mota! Ceritakan dengan jelas masalahnya," ujar Garwa penuh wibawa.

Sikap tegas Garwa membuat Mota tersadar.

Buru-buru napasnya diatur, dan mulai bicara.

"Ada serombongan orang dalam jumlah besar menuju kemari, Kang," lapor Mota. Suaranya terdengar lebih tenang daripada sebelumnya.

"Hahhh...?! Cepat pukul kentongan tanda bahaya!" perintah Garwa, cepat

Untuk yang kedua kalinya, Mota harus berlari. Tapi kali ini arahnya menuju kentongan yang ada di sudut gardu jaga itu. Tak lama, dipukulnya kentongan itu.

Tong, tong, tong...!

Bunyi kentongan tanda bahaya, berkumandang memecahkan kesunyian pagi, dan terus menyelusup ke seluruh pelosok Istana Kerajaan Gambang.

Sekejap kemudian, suasana kalut pun melingkupi seisi istana. Memang, sama sekali tidak disangka akan terjadi peristiwa seperti ini. Namun herannya, mengapa penjaga perbatasan sama sekali tidak mengirim kabar?

Meskipun demikian, ternyata para prajurit Kerajaan Gambang mampu mengendalikan kekalutan itu, berkat bimbingan seorang panglima. Hanya dalam waktu singkat, semua prajurit telah menempati posnya masing-masing. Dan seperti biasanya, bila kerajaan diserbu lawan, maka pasukan yang mendapat bagian pertama untuk menghalau lawan adalah pasukan panah!

Luar biasa kesigapan prajurit-prajurit Kerajaan Gambang di bawah pimpinan seorang panglima perang bernama Reksabaya. Sebelum rombongan anak buah Mata Malaikat masuk dalam jarak luncuran anak panah, pasukan pemanah telah siaga dengan busur terentang siap melontarkan anak-anak panah.

Sementara itu, rombongan Mata Malaikat terus meluruk maju. Seperti sebelumnya, berada di barisan depan adalah Mata Malaikat. Di belakangnya, tampak datuk empat penjuru angin, serta tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Dan paling bela-ang, adalah anak buah Mata Malaikat.

Siasat yang digunakan rombongan Mata Malaikat ini cukup cerdik! Karena apabila tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian rendah berada di bagian depan, pasti akan kesulitan menghadapi serbuan anak-anak panah yang dilepaskan prajurit-prajurit Kerajaan Gambang. Sudah bisa dipastikan, akan banyak timbul korban di pihak mereka.

Mata Malaikat tampaknya sudah tidak sabar untuk segera masuk ke dalam Istana Kerajaan Gambang. Sedangkan prajurit-prajurit Kerajaan Gambang tampaknya merasa tegang. Terutama sekali, pasukan panah! Sepertinya waktu berjalan demikian lambat. Padahal, mereka sudah tidak sabar lagi untuk segera meluncurkan serangan.

Dan kini rombongan Mata Malaikat terlihat mulai memasuki jarak luncuran anak panah. Dan....

"Tembak !" teriak Panglima Reksabaya.

Twang! Twang! Twang !

Puluhan, bahkan mungkm ratusan anak panah seketika meluncur bagai hujan, begitu dilepaskan oleh prajurit-prajurit Kerajaan Gambang. Anak-anak panah itu terus meluncur, mengancam rombongan Mata Malaikat yang hendak menjarah Istana Kerajaan Gambang.

Mendapat serangan itu, orang-orang yang ilmunya hampir menyamai Mata Malaikat, kelihatannya tidak peduli. Dengan pengerahan tenaga dalam saja, tubuh mereka mampu dibuat kebal terhadap senjata tajam. Kecuali, bila anak-anak panah itu meluncur ke mata, yang terpaksa harus ditangkis dengan tangan. Memang dalam pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, kedua tangan itu bagaikan besi saja!

Namun tidak demikian dengan seluruh anak buah Mata Malaikat Mereka terpaksa menangkisi luncuran anak panah dengan senjata. Sementara itu, tindakan Mata Malaikat lebih mengagumkan lagi! Beberapa kali anak panah yang meluncur ke arahnya berhasil ditangkapnya. Dan begitu berada dalam genggaman, anak panah itu dilontarkan untuk memapak anak panah lain yang meluncur ke arahnya.

Mengagumkan! Anak panah yang dilemparkan Mata Malaikat mampu membentur anak panah prajurit-prajurit Kerajaan Gambang, tepat pada ujungnya! Aneh, ujung anak panah prajurit Kerajaan Gambang itu hancur seketika!

Sementara itu, sebagian besar anak buah Mata Malaikat menangkisi luncuran-luncuran anak panah dengan senjata di tangan. Sungguh suatu keberuntungan bagi tokoh-tokoh berkepandaian rendahan. Anak panah yang menyambar ke arah mereka tampaknya tidak gencar. Bahkan, tidak jarang hanya sesekali. Masalahnya, sebagian besar telah diruntuhkan oleh mereka yang berada di depan.

Wajah Panglima Reksabaya langsung berubah ketika melihat kejadian di bawah. Betapa tidak? Dari ratusan anak panah yang telah diluncurkan, tak satu pun yang mengenai sasaran. Semuanya berhasil dikandaskan dengan cara yang membuat seluruh prajurit Kerajaan Gambang menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan putus asa!" seru Panglima Reksabaya memberi semangat "Hujani terus! Jangan biarkan mereka maju!"

Begitu mendengar perintah, prajurit-prajurit panah Kerajaan Gambang kembali menjepretkan busurnya.

Twang, twang, twang...!

Seketika ratusan batang anak panah menghujani rombongan Mata Malaikat. Tapi untuk yang kesekian kalinya, semua usaha yang dilakukan sia-sia belaka.

Sementara itu, sambil menangkis hujan anak panah yang belum juga berhenti, Mata Malaikat dan pengikut-pengikutnya terus merangsek maju. Dan kini, jarak antara mereka dengan Istana Kerajaan Gambang semakin dekat saja.

"Celaka! Mereka terus merangsek maju. Rasanya mereka sulit ditahan lagi," kata salah seorang prajurit pemanah.

"Jangan pikirkan hal itu! Yang penting, cegah mereka agar jangan semakin mendekat. Masalah gagal atau berhasil, tidak usah dipikirkan," sergah Panglima Reksabaya.

Ucapan panglima tinggi gagah itu dipatuhi prajurit-prajurit pasukan panah. Mereka kembali memasangkan anak-anak panah pada rentangan tali busur, kemudian menjepretkannya.

Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, hujan anak panah itu kembali dapat dikandaskan. Dan sambil terus mematahkan serangan demi serangan, gerombolan Mata Malaikat terus merangsek maju.

Siasat Mata Malaikat ternyata luar biasa jitu. Empat datuk dan beberapa tokoh aliran hitam yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi diperintahkan agar tidak meninggalkan rekan-rekan yang lain saat bergerak maju. Tentu saja ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian di pihaknya.

Dan sekarang, mereka terus memapak setiap serangan yang datang sambil terus merangsek maju secara teratur. Kedua tangan dan berbagai macam senjata diputar di atas kepala, untuk melindungi diri dari hujan serangan anak panah.

Setapak demi setapak, para tokoh persilatan aliran hitam di bawah pimpinan Mata Malaikat itu semakin mendekati dinding bangunan Istana Kerajaan Gambang. Sampai akhirnya, mereka semua benarbenar hampir merapat dengan tembok!

"Sekarang...!" teriak Mata Malaikat memberi perintah.

Belum juga gaung ucapannya lenyap, kakek berambut dikepang itu telah menjejak tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Rupanya, pimpinan tokoh-tokoh aliran hitam yang memiliki penampilan menggiriskan ini ingin masuk ke dalam Istana Kerajaan Gambang dengan melompati dinding!

Sebetulnya dinding Istana Kerajaan Gambang ini tingginya tak kurang dari tiga tombak. Namun, Mata Malaikat sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk meluncur ke atas. Tubuhnya terus melayang, tanpa terlihat tanda-tanda akan mandek di tengah jalan. Dan di saat tubuhnya tengah berada di udara, empat datuk golongan hitam ikut pula melompat ke atas.

Tentu saja prajurit-prajurit panah Kerajaan Gambang di bagian atas dinding, tidak mau membiarkan mereka begitu saja. Apalagi, sampai berhasil masuk ke dalam istana. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha menghambat dengan anakanak panah yang kembali meluncur!

Wir, wir, wir...!

Tap, tap, tap...!

Beberapa batang anak panah yang meluncur, mudah sekali ditangkap oleh Mata Malaikat hanya dengan sekali cekal!

Tindakan Mata Malaikat tidak berhenti sampai di situ. Tangan yang berhasil menangkap anak-anak panah, seketika dikibaskan ke atas. Dan....

Wut, wut..!

Cap, cap !

"Akh !"

"Aaa !"

Beberapa jerit kematian terdengar, ketika anakanak panah yang dikibaskan Mata Malaikat mendarat di leher para prajurit Kerajaan Gambang. Tak pelak lagi, para prajurit itu ambruk ke tanah dengan leher terpanggang. Tewas!

Sementara itu, Mata Malaikat terus saja meluncur ke atas. Tapi sebelum mencapai bagian atas dinding, beberapa prajurit berusaha mencegah. Dan kini senjata yang dipakai para prajurit adalah pedang dan golok.

Sing, sing, sing !

Beberapa senjata meluncur ke arah tubuh bagian atas Mata Malaikat. Namun menghadapi serangan itu, Mata Malaikat tetap bersikap tenang. Dengan enaknya tangannya segera diulurkan. Dan....

Tappp!

Dua dari sambaran beberapa batang pedang dan golok berhasil ditangkap kedua tangan Mata Malaikat Dan secepat itu pula, ditariknya. "Hih!"

Pada saat tubuh Mata Malaikat melayang ke atas, tubuh dua orang prajurit Kerajaan Gambang terjungkal ke bawah disertai jeritan menyayat

Jliggg!

Ringan laksana daun jatuh, kedua kaki Mata Malaikat hinggap di bagian atas dinding istana. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, sebagian prajurit pasukan panah yang sudah berganti senjata meluruk ke arahnya dengan pedang di tangan. Sedangkan busur-busur, ditinggalkan di tempat semula.

Sing, sing, sing...!

Sinar-sinar terang menyilaukan mata langsung menyemburat ketika mata-mata golok itu tertimpa matahari. Dan itu cukup membuat Mata Malaikat memejamkan matanya yang mengerikan karena merasa silau.

Hebatnya, kakek bermata mengerikan ini ternyata tetap tidak membuka matanya. Padahal, serangan lawan-lawannya menyambar semakin dekat. Memang, bagi tokoh tingkat tinggi seperti Mata Malaikat, hal itu tidak jadi masalah. Sepasang telinganya yang tajam, ternyata lebih mampu untuk membaca sasaran yang dituju lawan. Dan itu bisa diketahui dari desir angin yang mengiringi tibanya serangan.

Masih dalam keadaan sepasang mata terpejam, Mata Malaikat memapak serangan lawan-lawannya.

Tak, tak...! Bukkk! Desss! "Aaakh...!"

Rincian kejadiannya terlalu sulit diikuti mata biasa. Beradunya senjata-senjata prajurit Kerajaan Gambang dengan kedua tangan Mata Malaikat terdengar begitu keras. Itu pun masih ditambah dengan suara berdebuk keras dari serangan balasan kaki dan tangan Mata Malaikat yarig mengenai sasaran, dan terpentalnya tubuh prajurit-prajurit Kerajaan Gambang.

Menilik nada jeritan-jeritan itu, bisa diketahui kalau para prajurit Kerajaan Gambang harus menerima kematian.

Tapi, Mata Malaikat sama sekali tidak mempedulikan kejadian yang menimpa lawanlawannya. Begitu serangan balasan dikirimkan, dia segera melompat turun. Indah dan manis gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, sedikit pun tidak ada suara terdengar.

Namun seperti juga sebelumnya, begitu Mata Malaikat mendarat, para prajurit Kerajaan Gambang Jangsung menyambutnya. Hanya saja, kali ini yang menyambutnya bukan pasukan panah lagi.

"Grrrhhh...!"

Mata Malaikat menggeram, karena merasa jengkel bukan kepalang melihat prajurit Kerajaan Gambang berbondong-bondong datang menyerbu dengan senjata terhunus. Padahal, saat itu dia tengah tidak ada keinginan meladeni mereka, karena buruburu ingin menghancurkan pintu gerbang Istana Kerajaan Gambang. Mata Malaikat jadi kalap. Maka, seluruh kemampuannya pun dikeluarkan. Kedua tangan dan kakinya juga digerakkan ke sana kemari.

Hebat bukan kepalang akibat amukannya. Ke mana pun tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan ada tubuh yang berpentalan tak tentu arah, disertai lengkingan kematian yang menyayat.

Memang, tindakan para prajurit Kerajaan Gambang dalam mengeroyok Mata Malaikat, tak ubahnya segerombolan semut menerjang api. Begitu berada di dekat kakek bermata mengerikan itu, mereka langsung berpentalan tak tentu arah.

Ternyata, lolong kesakitan dan kematian bukan hanya keluar dari mulut para prajurit yang menjadi lawan Mata Malaikat. Di pertarungan lain, tampak dua dari empat datuk golongan hitam tengah mengamuk pula. Rupanya, mereka juga telah berhasil melewati penjagaan pasukan panah.

Di saat tengah sengit-sengitnya pertarungan berlangsung, mendadak....

Blarrr!

Terdengar ledakan keras seperti ada halilintar menyambar di sekitar tempat itu. Bagai diberi perintah, pertarungan langsung terhenti. Dan kini, semua perhatian langsung beralih ke arah asal suara gaduh itu.

Ternyata, bunyi keras yang menggelegar tadi akibat hancurnya daun pintu gerbang istana. Pecahanpecahan dan potongan-potongan kayu tebal berukir pun berpentalan ke sana kemari. Ternyata itu akibat hantaman Setan Kecil Muka Hitam dengan pengerahan tenaga dalam.

Dan seiring berpentalannya pecahan-pecahan kayu tebal berukir itu, rombongan anak buah Mata Malaikat pun menyerbu masuk. Mau tak mau, hal ini membuat sebagian prajurit Kerajaan Gambang meninggalkan Mata Malaikat dan dua datuk golongan hitam. Karena, mereka terpaksa harus menghadang serbuan anak buah Mata Malaikat agar jangan sampai masuk ke bagian dalam istana. Maka, tak pelak lagi pertarungan sengit pun terjadi.

Dentang senjata beradu, percikan bunga api, jeritan kesakitan, dan raung kematian menyemaraki pertarungan. Halaman Istana Kerajaan Gambang pun mulai digenangi darah dan dipenuhi sosok tubuh yang bergeletakan tanpa nyawa.

Ternyata, sebagian besar dari sosok tubuh yang bergeletakan ada di pihak prajurit Kerajaan Gambang. Memang, tampaknya pertempuran berlangsung tak seimbang. Meskipun jumlah anak buah Mata Malaikat jauh di bawah lawan-lawannya, tapi dalam hal kepandaian jelas lebih segala-galanya.

Bahkan punggawa yang bernama Garwa telah tewas ketika menghadang Setan Kecil Muka Hitam. Demikian pula, Panglima Reksabaya dan beberapa panglima lain. Mereka tewas di tangan tiga dari empat datuk yang menguasai penjuru mata angin.

Mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menghadapi jumlah prajurit Kerajaan Gambang yang jauh lebih banyak. Apalagi para panglima perang Kerajaan Gambang sebagian besar sudah tewas. Maka, tidak heran tokoh-tokoh seperti Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam secara leluasa menyebar maut. Jeritan-jeritan kesakitan selalu terdengar setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak.

Tanda-tanda kemenangan gerombolan Mata Malaikat sudah terlihat. Buktinya, prajurit-prajurit Kerajaan Gambang terlihat terus-menerus bergerak mundur, semakin mendekati bangunan istana. Padahal, semua pasukan panah telah bergabung.

Dan ketika akhirnya pasukan Kerajaan Gambang semakin terdesak ke dalam bangunan, pasukan yang bertugas menjaga bagian dalam istana pun ikut bertempur pula. Namun tetap saja semuanya tergilas.

Sesumbar Setan Botak ternyata tidak meleset. Matahari belum lagi mencapai titik tengahnya, namun perlawanan pasukan Kerajaan Gambang telah berhasil dilumpuhkan. Kecuali yang melarikan diri, semua prajurit Kerajaan Gambang dibantai. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup, meski telah menyerah. Kerajaan Gambang kini telah runtuh ketika rajanya ikut terbunuh.

Seiring tidak adanya lagi perlawanan dari pihak prajurit Kerajaan Gambang, pesta kegembiraan gerombolan Mata Malaikat pun dimulai. Mereka semua sibuk memenuhi keinginan masing-masing.

2

"Hhh...!"

Helaan napas berat keluar dari mulut seorang muda tampan. Rambutnya yang putih keperakan, tampak dipermainkan angin. Badannya sedang, terbungkus pakaian berwarna ungu. Menilik dari helaan dan raut wajahnya, bisa ditebak kalau hatinya tengah dilanda perasaan gelisah.

"Kenapa, Kang?"

Pertanyaan bernada penuh rasa ingin tahu dari seorang gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang sampai pinggang, membuat pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Meskipun demikian, ayunan langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Memang, sepasang anak muda yang tidak lain Dewa Arak dan Melati itu tengah berlari.

"Aku geiisah sekali kalau teringat gerombolan Mata Malaikat, Melati," kata Arya. "Dengan anak buah sebanyak itu, mereka pasti mampu berbuat apa saja. Entah bagaimana cara menanggulanginya. Mudahmudahan saja mereka belum memulai tindak kejahatan."

"Mudah-mudahan saja harapanmu terkabul, Kang," sambut Melati bernada tidak yakin. "Tapi menurut pendapatku, hal itu tidak mungkin. Aku yakin sekali, saat ini Mata Malaikat dan anak buahnya tengah berusaha mewujudkan rencananya."

"Apa yang kau utarakan sama sekali tidak salah, Melati. Tapi sebelum terjadi, aku akan menentangnya! Apa pun akibatnya," tandas Arya mantap.

"Kau lupa, Kang. Aku kan bersamamu. Kita sama-sama akan menentang tindakan angkara murka Mata Malaikat, apa pun taruhannya!" sambut Melati, setengah memperbaiki ucapan kekasihnya.

Arya hanya tersenyum. "Hey! Lihat, Kang!"

Seruan kaget Melati yang disertai tudingan jari telunjuk ke depan, membuat Arya mengarahkan pandangan ke depan. Maka masih sempat dilihatnya sesosok tubuh berpakaian prajurit kerajaan, terjatuh dari atas punggung seekor kuda yang tengah berlari cepat menuju tempat mereka.

Brukkk!

Keras sekali tubuh sosok berpakaian prajurit itu jatuh di tanah. Sementara, kuda yang berwarna coklat bercak-bercak putih itu terus saja berpacu meninggalkan penunggangnya yang mengerang-erang kesakitan di tanah.

Semua kejadian itu jelas disaksikan Arya dan Melati. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera melesat ke arah tubuh sosok berpakaian prajurit itu tergolek.

Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, sepasang pendekar muda itu telah dekat dengan sosok berpakaian prajurit. Kemudian, mereka berjongkok.

Arya dan Melati saling berpandangan ketika melihat keadaan sosok yang ternyata memang seorang prajurit. Meskipun belum memeriksa lebih teliti, bisa diketahui kalau nyawa si prajurit tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Bahkan napasnya pun tinggal satu-satu. Melihat hal ini, Arya tidak berani membuang-buang waktu secara percuma.

"Apa yang terjadi, Kisanak?" tanya Arya, cepat "Hhh..., hhh     Istana telah diserbu oleh orang-

orang sakti. Hhh..., hhh     Aku khawatir, mereka telah

berhasil merebut istana...," jawab prajurit yang tengah di ambang ajal itu, terengah-engah.

Arya dan Melati saling berpandangan. Tanpa diberi tahu lebih jelas lagi, bisa diperkirakan kalau para penyerbu istana adalah gerombolan Mata Malaikat Seketika itu pula, perasaan gelisah yang melanda hati Dewa Arak dan Melati semakin besar. Betapa tidak? Ternyata gerombolan Mata Malaikat telah mulai bertindak! Kalau begitu, mereka harus bergegas sebelum Mata Malaikat berhasil merampungkan maksudnya.

"Tolong katakan pada kami, kerajaan asalmu.

Dan, di mana letaknya?" pinta Arya agak kalap.

Namun permintaan Dewa Arak tidak langsung terpenuhi, karena keadaan prajurit itu benar-benar sudah payah. Dia malah tersengal-sengal beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Aku  prajurit  Kerajaan  Gambang.  Hhh    Dari

sini, kau pilih arah barat. Setelah melalui hutan kecil, kau tinggal menempuh arah lurus saja. Dan ,

aaakh !" Kepala prajurit yang malang itu pun terkulai, karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga.

"Hhh...!"

Hampir berbareng, Arya dan Melati menarik napas berat Sambil menatap wajah prajurit Kerajaan Gambang yang malang itu, sepasang anak muda itu bangkit.

"Maafkan aku, Kisanak. Bukannya aku tidak mau mengurus mayatmu dengan layak. Tapi..., keadaanlah yang tidak mengizinkan. Aku harus bergegas kalau tidak ingin Mata Malaikat dan anak buahnya menyebar bencana di mana-mana," kata Arya, lirih.

Kemudian pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan pandangan pada Melati.

"Mari, Melati!" ajak Arya pada kekasihnya. Melati menganggukkan kepala. Sesaat kemu-

dian, sepasang pendekar muda ini telah berlari cepat meninggalkan tempat itu. Arah yang dituju, sesuai arah yang ditunjukkan oleh prajurit Kerajaan Gambang yang sempat meloloskan diri tadi, sebelum tewas.

***

Ternyata ucapan prajurit Kerajaan Gambang yang berhasil kabur dan kemudian tewas itu benar. Belum juga jauh berlari, tak jauh di hadapan Arya dan Melati membentang sebuah hutan kecil. Dan begitu dilalui, tampaklah hamparan tanah lapang luas. Samar-samar, di kejauhan terlihat sebuah bangunan. Kalau tidak diberi tahu lebih dulu oleh prajurit Kerajaan Gambang sebelum meninggal, mungkin Arya dan Melati tidak akan menyangka kalau bangunan itu adalah sebuah istana!

"Itukah Istana Kerajaan Gambang, Kang?" tanya Melati sambil menudingkan jari telunjuk ke depan, tanpa menghentikan larinya.

"Kalau prajurit tadi tidak salah memberi keterangan, pasti itu Istana Kerajaan Gambang," jawab Arya, berputar.

Melati pun diam. Disadari perkataan Dewa Arak ada benarnya.

Semakin lama, jarak antara sepasang pendekar muda itu dengan tempat yang dituju semakin dekat. Dengan demikian, bentuk bangunan itu semakin jelas. Dan, ternyata memang benar sebuah istana!

Arya dan Melati menghentikan larinya. Sekarang mereka berdiri dengan pandangan tertuju lurus ke depan. Terlihat jelas kalau sorot mata mereka penuh selidik.

"Kelihatannya sepi-sepi saja, Kang? Tidak terlihat adanya pertempuran sama sekali. Apakah prajurit yang kita temui itu tidak berdusta?" Melati yang mulai ragu-ragu mengutarakan kekhawatirannya.

"Aku tidak sependapat denganmu, Melati," sahut Arya sambil mengalihkan pandangan ke arah Melati. "Aku yakin, prajurit yang kita temui tadi berkata jujur."

''Tapi..., mengapa tidak terlihat hal-hal seperti yang dikatakannya? Jangankan pertempuran. Keributan pun, tidak kelihatan. Suasana aman-aman saja. Lihat saja dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang! Coba, lihat juga ke atas tembok. Nah! betul, kan? Bukankah itu pasukan panah?!" urai Melati mengajukan alasan ketidakpercayaan atas cerita prajurit yang mengaku berasal dari Kerajaan Gambang. Arya tidak langsung menjawab. Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan ini malah termenung. Kepalanya agak tertengadah. Sedangkan pandangannya menerawang jauh menembus langit

Menilik dari kernyitan pada dahinya, bisa diperkirakan kalau tokoh muda yang menggemparkan ini tengah berpikir.

"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak salah, Melati. Keadaan istana itu terlihat tenangtenang saja. Bahkan prajurit-prajurit sepertinya berada di tempat penjagaan masing-masing. Meskipun demikian, aku tetap yakin kalau prajurit itu sama sekali tidak berbohong! Pasti ada kekeliruan di sini!" mantap dan penuh keyakinan Arya mengutarakan pendapatnya.

"Jadi..., bagaimana maksudmu, Kang?" tanya Melati, masih merasa kurang jelas dengan ucapan kekasihnya.

"Ada dua kemungkinan, Melati," sahut Arya. "Apa itu, Kang?" sambut Melati, tak sabar. "Pertama, mungkin istana yang kita lihat seka-

rang ini bukan yang dimaksud prajurit tadi," kata Arya memulai pendapatnya.

"Dan yang kedua?" potong Melati, cepat Rupanya, gadis berpakaian putih ini tidak

sabar menunggu penjelasan kedua Dewa Arak. Dan Melati merasa kan penjelasan pertama ada benarnya, tapi kemungkinannya terlalu kecil.

"Kedua, istana ini memang yang dimaksud prajurit tadi. Dan penyerbuan itu benar terjadi. Hanya saja, sekarang telah usai," lanjut Arya lagi.

"Maksudmu..., pertempuran itu telah berakhir, Kang?" duga Melati.

Arya menganggukkan kepala. "Benar."

"Jadi..., gerombolan Mata Malaikat berhasil dipukul mundur?! Ah! Sepertinya hal mustahil, Kang. Anak buah Mata Malaikat terdapat banyak orang sakti, di samping Mata Malaikat sendiri dan empat datuk golongan hitam. Rasanya, tidak mungkin kalau rombongan itu bisa dikalahkan pasukan Kerajaan Gambang yang hanya sebuah kerajaan kecil!" urai Melati panjang lebar.

"Siapa yang mengatakan kalau gerombolan Mata Malaikat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Gambang?" tanya Arya dengan senyum tersungging di bibir.

"Lho?! Bukankah kau sendiri yang mengatakannya, Kang?!" dengus Melati, pura-pura sewot

"Rupanya kau gemar mengada-ada, Melati. Seingatku, aku tidak pernah berkata seperti itu," Arya juga bersikeras.

"Kau mengatakannya!" Melati tak mau kalah. "Tidak, Melati!"

"Kau mengatakannya!" tandas Melati lagi.

Kali ini Arya tidak langsung menyambutinya. Pemuda berambut putih keperakan ini termenung sejenak. Kemudian, perlahan-lahan kepalanya terangguk.

"Baiklah, Melati. Mungkin kau benar. Tapi..., seingatku aku tidak bilang begitu," Arya terpaksa mengalah agar persoalan ini tidak berlarut-larut.

"Memang, kau tidak mengatakan begitu, Kang. Tapi pengertian yang terkandung di dalamnya seperti itu," tandas Melati.

Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Boleh kutahu ucapanku yang mengandung pengertian seperti itu, Melati?" pinta Arya ingin tahu.

"Ucapan itu adalah, alasan keyakinanmu atas ucapan prajurit yang telah membawa kita kemari," jelas Melati.

"Ooo..., itu!"

Seketika itu pula terbentuk bulatan di mulut Arya. Kepalanya pun terangguk-angguk, sementara di bibirnya tersungging sebuah senyuman.

"Bagaimana? Benar kan, pengertian ucapanmu seperti itu? Bukankah kau mengatakan, rombongan Mata Malaikat benar menyerbu Istana Kerajaan Gambang dan pertempuran terjadi. Hanya saja, sekarang telah usai! Nah! Melihat dari keadaan istana yang dijaga prajurit-prajurit Kerajaan Gambang, bukankah berarti kalau gerombolan Mata Malaikat telah dipukul mundur?!" urai Melati, penuh semangat

"Rupanya kau terlalu terburu buru menarik simpulan, Melati," kata Arya sambil tersenyum lebar.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" Melati mengernyitkan kening. "Aku terburu-buru menarik kesimpulan?!"

"Benar," sahut Arya sambil menganggukkan kepala. "Kau tahu, Melati. Ucapanku sebenarnya belum selesai. Masih ada lanjutannya, sehingga jangan sampai menimbulkan salah pengertian. Pantas saja kau menarik kesimpulan seperti itu."

Tanpa sadar, Melati terlongong bengong. "Pertempuran telah usai. Tapi, bukan pihak Ke-

rajaan Gambang yang mendapat kemenangan, melainkan gerombolan Mata Malaikat"

"Tapi..., mengapa yang terlihat prajurit Kerajaan Gambang? Atau.... Jadi, maksudmu prajuritprajurit itu tak lain adalah anak buah Mata Malaikat yang berseragam prajurit?!"

Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan.

"Mengapa hal itu dilakukannya, Kang?" tanya Melati, ingin tahu.

"Entahlah, Melati," jawab Arya sambil mengangkat bahu. ''Tapi..., ingatkah kau dengan cerita Garuda Mata Satu?"

Melati mengernyitkan alisnya yang berbentuk indah itu sejenak. Rupanya, itulah kebiasaannya bila setiap kali mengingat-ingat sesuatu.

"Ingat sih ingat, Kang. Tapi, cerita Garuda Mata Satu kan cukup banyak. Ucapan mana yang kau maksudkan?"

"Kau ingat cerita Garuda Mata Satu tentang nafsu serakah Mata Malaikat? Tokoh sesat itu mempunyai keinginan untuk menjadi seorang raja besar. Jadi, mana mungkin disebut raja kalau tidak mempunyai prajurit? Mungkin itulah sebabnya, mengapa anak buahnya mengenakan seragam prajurit kerajaan! Tapi ingat, Melati! Ini baru dugaanku saja. Jadi, bukan tidak mungkin ada kesalahan!"

''Tapi aku yakin dugaanmu benar, Kang," ujar Melati, sok yakin.

"Jangan terlalu yakin, Melati," sergah Arya dengan senyum tersungging di bibir. "Barangkali saja dugaanmu yang benar."

"Ah! Kau ini bagaimana, Kang. Ucapanmu membuatku jadi bingung, tahu?!" rajuk Melati.

"Ha ha ha...!" Arya tertawa bergelak. "Hanya ada satu jalan untuk membuktikan dugaan siapa yang benar."

"Kita harus menyelinap ke sana dan menyelidikinya, kan?" tebak Melati, cepat "Kau memang pintar. Jawabanmu tepat!" puji Arya sambil tersenyum menggoda.

"Kapan kita harus ke sana, Kang?" tanya Melati berusaha sungguh-sungguh. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya sama sekali tidak mempedulikan pujian itu.

"Nanti malam," jawab Arya, singkat

3

Angin lembut membawa hawa dingin menusuk tulang, berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Juga, tidak terlihat adanya bintang di langit. Keadaan angkasa saat itu memang tidak cerah.

Dalam suasana malam seperti itu, tampak dua sosok bayangan melesat cepat menuju Istana Kerajaan Gambang. Cepat bukan main gerakan mereka. Sehingga, yang terlihat hanyalah dua kelebatan bayangan berwarna ungu dan putih dalam bentuk tidak jelas.

Hanya dalam beberapa kali lesatan, dua sosok bayangan itu telah semakin mendekati dinding istana. Dan....

"Hup!"

Dua sosok bayangan itu langsung menempelkan punggungnya ke dinding istana, agar tidak terlihat para prajurit penjaga. Sesaat keduanya bersikap demikian, sambil mengatur desah napas.

Di bawah siraman sinar bulan sepotong, ternyata masih bisa terlihat wajah dan perawakan kedua sosok bayangan itu. Mereka adalah Arya dan Melati. Dan sepasang pendekar muda itu saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Lalu....

"Hih!"

Hanya dengan sebuah genjotan perlahan, Arya dan Melati telah berhasil meluncur ke atas. Lalu ringan laksana sehelai daun, kaki mereka hinggap di atas dinding istana.

"Hey! Siapa...?! Ah...! Rupanya kau, Dewa

Arak?!"

Serangkaian teguran bernada penuh

keterkejutan menyambut kehadiran sepasang pendekar muda yang memiliki kesaktian tinggi, begitu mendarat

Seketika itu pula, Dewa Arak dan Melati langsung berpaling ke arah asal suara tanpa terkejut sama sekali. Dan memang, hal itu sudah diduga sebelumnya. Maka, seketika beberapa orang berpakaian seragam prajurit kerajaan meluruk ke arah mereka.

Srattt! Srattt! Singgg! Singgg!

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, prajurit-prajurit itu mencabut senjata masing-masing, kemudian meluruk ke arah Dewa Arak dan Melati. Pancaran sinar bulan yang menjilati mata pedang dan golok, menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata.

Namun orang yang diserang adalah Dewa Arak dan Melati. Dua tokoh yang meskipun masih muda belia, namun telah memiliki kepandaian begitu tinggi. Maka menghadapi serangan semacam itu, kedua pendekar muda ini sama sekali tidak gugup.

Apalagi banyak keadaan yang menguntungkan mereka. Salah satu di antaranya, lebar bagian atas tembok yang tidak memungkinkan lawan untuk menyerang secara berbarengan. Tak, tak!

Bunyi keras seperti ada dua logam kuat berbenturan, terdengar ketika serangan para prajurit itu dipapak sepasang tangan Dewa Arak. Yang lebih gila lagi, mata senjata-senjata itu malah berpatahan! Itu pun masih diselingi jerit kesakitan dari mulut para prajurit begitu tangan yang menggenggam pedang terasa sakit bukan kepalang.

Meskipun demikian, prajurit-prajurit lain tidak menjadi gentar. Diiringi pekikan-pekikan nyaring yang memekakkan telinga, mereka menerjang Dewa Arak dan Melati dalam jumlah lebih banyak. Ternyata prajurit-prajurit yang lain telah berdatangan karena mendengar adanya keributan. Dan mereka langsung memberi bantuan.

Tapi tindakan yang dilakukan para prajurit itu tak ubahnya segerombolan semut menerjang api. Mereka semua roboh tanpa daya, sebelum sempat menyarangkan sebuah serangan pun.

Desing senjata menyambar, dentang senjata berbenturan, jerit kesakitan, dan suara jatuhnya tubuh prajurit-prajurit ke tanah, menyemaraki jalannya pertarungan. Sudah dapat dipastikan, semua prajurit akan berhasil dirobohkan Dewa Arak dan Melati

Tapi sebelum hal itu terjadi....

"Menyingkir semua !"

Bentakan keras menggelegar yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar keras tiba-tiba terdengar. Jelas, orang yang mengeluarkan bentakan tadi menyertainya dengan tenaga dalam.

Akibatnya, semua prajurit yang masih tersisa langsung menghentikan penyerangannya. Mereka tahu, kalau pemilik bentakan itu adalah pimpinan mereka.

Melihat para prajurit menghentikan serangan, Dewa Arak dan Melati pun menghentikan perlawanan. Maka, kini pertempuran langsung berhenti, dan mereka semua mengalihkan perhatian pada orang yang tadi mengeluarkan bentakan. Namun prajuritprajurit itu hanya sebentar memperhatikannya, karena sudah berlompatan turun dari dinding istana.

Jliggg!

Sampai prajurit terakhir telah berhasil mendarat di bagian atas dinding, Dewa Arak dan Melati masih tetap berada di tempat semula. Keduanya mengedarkan pandangan ke bawah untuk melihat orang yang telah mengeluarkan bentakan tadi.

Ternyata, orang itu adalah Setan Kecil Muka Hitam! Sementara di belakangnya, berdiri belasan orang berpakaian seragam prajurit. Rupanya, datuk sesat berwajah hitam ini telah mendengar adanya keributan yang berlangsung tadi.

"Kiranya Dewa Arak! Ha ha ha...! Betapa gagahnya tindakanmu, Dewa Arak! Menjatuhkan tangan keras pada prajurit-prajurit rendahan! Ha ha ha..., hebat! Hebat!" ejek Setan Kecil Muka Hitam. Sikapnya terlihat jelas memandang rendah pada Dewa Arak.

Namun, Dewa Arak bukan orang bodoh. Dia tahu, lawan tengah berusaha memanas-manasi hatinya. Maka, Dewa Arak berusaha untuk tidak terpengaruh ejekan lawan dengan bersikap tenang.

Tanpa mengeluarkan kata sepatah pun, Dewa Arak melompat ke bawah, diikuti Melati. Sesaat kemudian, laksana dua ekor burung garuda, tubuh sepasang pendekar muda ini meluncur ke bawah.

"Hup!" Ringan tanpa suara, Dewa Arak dan Melati mendarat di tanah, sekitar tiga tombak di depan Setan Kecil Muka Hitam.

''Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau Setan Kecil?! Luar biasa! Sejak kapan kau menjadi seorang panglima kerajaan, Setan Kecil?" sindir Melati, mencoba membalas makian datuk berwajah hitam itu. "Sekarang tahulah aku! Semua prajurit yang ada di sini pun pasti anak buahmu! Hi hi hi Gerombolan

kalian ternyata tak lebih dari pengecut hina! Kalian mengenakan seragam prajurit Kerajaan Gambang, karena takut kalau kejadian ini didengar kerajaan tetangga! Kalian takut diserbu dan dihancurleburkan!"

"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" maki Setan Kecil Muka Hitam, geram. "Atau aku yang akan menutupnya dengan kekerasan!"

Memang, dugaan yang dilontarkan Melati sama sekali tidak keliru. Meskipun demikian, tidak semuanya benar.

"Hi hi hi !"

Hanya tawa mengikik dari Melati yang menyambuti ancaman Setan Kecil Muka Hitam. Tampak jelas kalau gadis berpakaian putih itu tidak menganggap ancaman datuk berwajah hitam itu sebagai suatu ancaman.

"Kau akan menutup mulutku dengan kekerasan?! Hi hi hi...! Apakah aku tidak salah dengar? Ingin kulihat, bagaimana kau membuktikan ucapanmu, Kerbau Muka Hitam?!"

"Mampus kau, Wanita Sombong!"

Belum juga gema ucapan itu lenyap, Setan Kecil Muka Hitam telah melancarkan serangan ke arah gadis berpakaian putih itu. Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah perut. Dan agar dapat mencapai sasaran, terpaksa Setan Kecil Muka Hitam bergerak mendekat lebih dahulu.

Wuttt!

Serangan Setan Kecil Muka Hitam mengenai tempat kosong begitu Melati telah lebih dulu mengelak sambil melancarkan serangan. Gadis berpakaian putih itu melompat sambil melancarkan sampokan ke arah pelipis.

Cittt!

Deru angin tajam terdengar dari udara yang terobek oleh sampokan tangan Melati yang berbentuk cakar. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangannya. Memang dalam pengerahan tenaga dalam, Melati mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun dengan sampokan tangannya! Bisa diperkirakan akibat yang akan terjadi, apabila jari-jari tangan itu menghantam kepala manusia!

Hal ini tentu saja disadari Setan Kecil Muka Hitam. Itulah sebabnya, dia tidak berani membuangbuang waktu. Serangan itu terlalu tiba-tiba datangnya. Tambahan lagi, meluncur demikian cepat. Apabila terlambat sedikit, tentu akan gawat akibatnya.

Karena kesempatan yang tidak memungkinkan, Setan Kecil Muka Hitam hanya sempat menarik kepala ke belakang sambil mendoyongkan tubuhnya. Meskipun hanya demikian, tapi cukup membuat serangan Melati hanya mengenai tempat kosong. Dan sampokan cakar Melati hanya lewat beberapa jari di depan wajah Setan Kecil Muka Hitam.

Namun, hasilnya memang cukup mengerikan. Rambut dan sekujur pakaian Setan Kecil Muka Hitam berkibaran keras. Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan gadis itu.

Melati menggertakkan gigi, karena rasa penasaran yang menggelegak melihat lawan berhasil mengelakkan serangan. Dan seiring munculnya perasaan itu, diputuskannya untuk semakin memperhebat serangan.

Tapi, ternyata Setan Kecil Muka Hitam bukan termasuk lawan yang mudah dirobohkan. Buktinya setiap serangan Melati berhasil dipatahkan. Bahkan datuk berwajah hitam ini mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya! Maka, kini terjadilah pertarungan sengit antara dua tokoh sakti yang berbeda jenis, usia, dan aliran.

Karena sama-sama memiliki gerakan hebat dalam waktu sebentar saja lima belas jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum nampak adanya tandatanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Masing-masing saling serang, menangkis, dan mengelak.

Semua kejadian itu disaksikan penuh perhatian oleh Dewa Arak dan anak buah Mata Malaikat yang memakai seragam prajurit Kerajaan Gambang. Tapi tentu saja di antara mereka semua, hanya Dewa Arak yang dapat melihat jelas berlangsungnya pertarungan.

Memang kecepatan gerak Melati dan Setan Kecil Muka Hitam tidak dapat tertangkap pandangan mata anak buah Mata Malaikat. Yang dapat mereka lihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan putih, dalam bentuk tidak jelas yang saling belit dan kadang saling pisah.

*** Dengan penuh perhatian Dewa Arak menyaksikan jalannya pertarungan yang berlangsung semakin seru. Apalagi kedua belah pihak telah mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Lima puluh jurus telah lewat, namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.

Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Disadari kalau pertarungan akan berjalan alot. Buktinya, sampai sekian jauh tidak terlihat ada yang terdesak. Setan Kecil Muka Hitam memang lawan tangguh untuk Melati!

Kontan perasaan cemas melilit hati Dewa Arak. Segumpal pertanyaan bergayut di benaknya. Menghadapi Setan Kecil Muka Hitam saja Melati sudah dibuat kerepotan. Padahal di tempat ini, masih ada empat orang lagi yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan salah seorang memiliki kepandaian yang menggiriskan! Dan dia adalah Mata Malaikat!

Hal itulah yang menyebabkan timbulnya rasa gelisah di hati Dewa Arak. Keselamatan Melati benarbenar membuatnya gelisah!

Dan sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengusir perasaan geiisah yang melanda, hal yang dicemaskannya terjadi. Di kejauhan, terlihat puluhan sosok tubuh bergerak mendatangi. Dalam keremangan sinar bulan, bisa diketahui kalau empat sosok terdepan adalah Mata Malaikat dan tiga datuk golongan hitam. Maka, seketika itu pula jantung Dewa Arak teras berdetak kencang.

"Ha ha ha...!"

Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Mata Malaikat telah mengeluarkan tawa bergelak bernada penuh kegembiraan.

"Pucuk dicinta ulam tiba!" kata kakek bermata mengerikan itu, setelah menghentikan tawanya. "Sama sekali tidak kusangka! Tanpa bersusah payah mencari, kau datang ke hadapanku, Dewa Arak! Ha ha ha...! Berarti, pertarungan kita yang belum selesai dapat dilanjutkan."

Seraya berkata demikian, Mata Malaikat mengibaskan tangan kanannya.

"Ringkus wanita itu! Dia adalah calon bahan yang baik sekali untuk penyempurnaan ilmu yang kumiliki!"

"Baik, Yang Mulia," kata Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa, berbarengan.

Kemudian ketiga datuk sesat ini melangkah, menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Setan Kecil Muka Hitam.

Dewa Arak terkejut mendengar perintah Mata Malaikat. Betapa tidak? Hal itu mengandung arti kalau keselamatan Melati terancam!

''Tunggu!" cegah Dewa Arak cepat sambil melesat maju.

Hanya sekali lesat saja Arya telah berada di hadapan tiga datuk yang tengah menuju kancah pertarungan antara Melati dan Setan Kecil Muka Hitam.

Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa terpaksa menghentikan langkah, begitu Dewa Arak berdiri menghadang jalan mereka. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, pemuda berambut putih keperakan itu telah mendahuluinya.

"Mata Malaikat! Persoalan yang ada, adalah antara kau dan aku! Lepaskan gadis itu, dan mari kita bertarung sampai ada yang mati!" seru Dewa Arak, lantang.

Pemuda berambut putih keperakan itu mencoba membuat Mata Malaikat merubah keputusannya. Tapi, usahanya ternyata sia-sia!

"He he he...! Tidak usah mengaturku, Dewa Arak! Sekalipun tidak ada urusan, kalau memang aku ingin menginginkannya, kau mau apa?! Apalagi gadis itu! Dia telah banyak menanam persoalan denganku. Telah cukup banyak anak buahku yang dilukainya! Kau mengerti?! Kini, pusatkanlah perhatianmu kalau tidak ingin mati percuma di tanganku!"

Seiring selesainya ucapan itu, Mata Malaikat bergerak menghampiri Dewa Arak dengan langkah satu-satu. Terlihat jelas kalau sikapnya sangat waspada. Masalahnya, kakek bermata mengerikan ini telah merasakan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.

Pada saat yang bersamaan dengan bergeraknya Mata Malaikat menghampiri Dewa Arak, Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa melanjutkan maksud yang tertunda. Mereka kembali menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Setan Kecil Muka Hitam.

Tentu saja semua ini tak luput dari penglihatan Dewa Arak. Dan dalam waktu yang hanya sekejap saja, Dewa Arak memutar benaknya untuk memperhitungkan tindakan yang harus dilakukan. Maka, sebuah keputusan langsung diambilnya.

"Hih!"

Dewa Arak seketika menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang menuju kancah pertarungan yang terjadi antara Melati dan Setan Kecil Muka Hitam. "Melati! Cepat pergi!"

Di saat tubuhnya tengah meluruk ke dalam kancah pertarungan, Dewa Arak menyerukan perintah pada kekasihnya.

Karuan saja, seruan Dewa Arak membuat Melati kaget. Memang, saking terlalu memusatkan perhatian untuk mengalahkan Setan Kecil Muka Hitam, gadis berpakaian putih ini tidak tahu hal-hal yang tengah berlangsung di sekelilingnya. Namun meskipun demikian, perintah Dewa Arak tidak berani dibantahnya. Dia tahu, Dewa Arak pasti mempunyai alasan kuat.

Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi Melati segera melempar tubuh ke belakang. Langsung dijauhinya kancah pertarungan. Tubuhnya yang ramping berputaran di udara dalam usaha untuk menjauhi lawan.

Tentu saja Setan Kecil Muka Hitam tidak sudi memberi kesempatan pada lawan. Dia pun melesat mengejar. Dan sekarang, Melati benar-benar dalam bahaya besar. Ini karena maksudnya dijalankan disaat keadaannya tidak menguntungkan.

Tapi sebelum Setan Kecil Muka Hitam sempat melancarkan serangan terhadap Melati, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memotong jalur lompatannya. Bukan hanya itu saja. Kedua tangannya cepat dilayangkan untuk memapak serangan Setan Kecil Muka Hitam. Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Apalagi, keadaan yang dihadapi sekarang amat gawat!

Kesudahannya sudah bisa diduga! Terjadilah benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat!

Plakkk, plakkk! "Aih...!"

Terdengar jeritan tertahan dari mulut Setan Kecil Muka Hitam ketika tubuhnya melayang deras ke belakang. Kedua tangannya terasa sakit bukan main. Bahkan dadanya pun terasa sesak. Memang, tenaga dalam datuk berwajah hitam ini cukup jauh di bawah Dewa Arak.

Meskipun demikian, Setan Kecil Muka Hitam masih bisa menunjukkan kelihaiannya sebagai datuk golongan hitam! Maka tanpa menemui kesulitan, dipatahkannya kekuatan yang membuat tubuhnya melayang ke belakang. Lalu....

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan manis, Setan Kecil Muka Hitam mendarat di tanah. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu tidak terpengaruh apaapa setelah terjadi benturan.

Namun Dewa Arak tidak sempat berbuat sesuatu. Karena di saat tubuh Setan Kecil Muka Hitam tadi tengah melayang, Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa telah mengurungnya dan Melati yang belum melesat jauh.

"He he he !"

Suara tawa bergetar yang mengandung pengerahan tenaga dalam, membuat Melati terjingkat bagai disengat ular berbisa. Cepat kepalanya menoleh ke kanan, tempat suara terkekeh tadi berasal.

Dada Melati seperti diseruduk seekor kerbau ketika pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang menyorot aneh. Sorotannya begitu terang menyilaukan, dan mengandung pengaruh mengerikan! Sepasang mata milik Mata Malaikat!

"He he he !"

Mata Malaikat kembali terkekeh melihat Melati terpaku. Dia tahu, mengapa gadis berpakaian putih itu bersikap demikian. Maka....

"Tataplah mataku terus, Anak Manis.

Tataaap...! Tataaap !" ujar Mata Malaikat, bergetar.

Kedengarannya sepele saja ucapan Mata Malaikat. Tapi anehnya, ada kekuatan tidak nampak yang memaksa Melati mengikuti perintah itu. Betapapun hatinya dikeraskan untuk tidak menuruti, tapi kepalanya sukar digerakkan! Terutama sekali, sepasang matanya yang terus saja terpaku pada sepasang mata Mata Malaikat.

Ternyata, bukan hanya Melati saja yang merasakan pengaruh aneh itu. Bahkan semua orang yang berada di situ, merasakan adanya keinginan menuruti perintah itu. Hanya saja, keinginan itu kecil sekali!

Dan termasuk di antara orang yang merasakan adanya pengaruh itu adalah Dewa Arak! Dan seketika itu pula, pemuda berambut putih keperakan ini sadar oleh sesuatu yang tengah dihadapi kekasihnya. Melati hendak ditundukkan dengan kekuatan ilmu sihir. Dewa Arak tahu, karena telah pernah mengalaminya sendiri. Kalau saja tidak ada yang menolongnya, mungkin dia sudah tewas di tangan ahli sihir itu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Penganut Ilmu Hitam").

"Melati! Jangan tatap matanya! Dia tengah menyihirmu!" sentak Dewa Arak, keras.

Kemudian pemuda berambut putih keperakan ini melesat ke tempat Melati dan Mata Malaikat tengah berhadapan.

"Hih!" 4

Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak meloloskan diri dari kepungan. Maka begitu melihat pemuda berambut putih keperakan itu bergerak, mereka pun melesat untuk mencegah.

Di antara tiga datuk golongan hitam itu, hanya Setan Botak yang berada di tempat yang akan dilalui Dewa Arak. Maka dia tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menghadang.

Sadar kalau Dewa Arak merupakan lawan tangguh, Setan Botak tidak berani bertindak mainmain. Segera dilepaskannya cambuk berujung dua yang semula membelit pinggang, lalu dilecutkannya ke arah Dewa Arak.

Siuttt, siuttt!

Diiringi bunyi berkesiutan cukup nyaring, ujung-ujung cambuk itu meluncur. Hebatnya, masingmasing ujung menuju ke arah yang berbeda. Yang satu menuju ubun-ubun, sedangkan yang lain menuju bawah hidung. Dan itu merupakan dua jalan darah kematian! Apabila terkena, nyawa Dewa Arak  pun akan melesat ke alam baka!

Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya serangan Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa tengah meluruk ke arah Dewa Arak. Setan Muka Tengkorak melompat, sedangkan Setan Tenaga Raksasa menggelindingkan tubuhnya laksana bola. Rupanya, masing-masing datuk itu tidak ingin mempunyai kesamaan dalam menyerang Dewa Arak. Tentu saja, Dewa Arak tidak mempedulikan Setan Tenaga Raksasa dan Setan Muka Tengkorak yang masih berada di belakangnya. Perhatiannya hanya dipusatkan pada Setan Botak yang telah melancarkan serangan mematikan.

Kalau menuruti perasaan, sepertinya Dewa Arak ingin menangkap ujung-ujung cambuk yang tengah meluncur ke arahnya. Dia tahu, dengan kelebihan tenaga dalam yang dimiliki, cambuk itu dapat ditangkapnya tanpa harus terluka.

Namun Dewa Arak tidak ingin terlarut oleh perasaan. Pengalaman demi pengalaman yang dialami telah memberi pelajaran kepadanya kalau kebanyakan senjata tokoh golongan hitam mengandung racun mematikan. Dia yakin kalau telapak tangannya tidak akan terluka apabila cambuk itu ditangkapnya. Tapi, keadaan akan menjadi lain jika cambuk itu mengandung racun ganas!

Maka dalam waktu yang hanya sedikit, guci arak yang tergantung di punggungnya diambil, kemudian disampoknya lecutan cambuk itu.

Ctarrr, ctarrr!

Ledakan keras seperti halilintar menyambar, terdengar ketika ujung-ujung cambuk itu beradu dengan badan guci. Maka kesudahannya, lesatan Dewa Arak terhambat. Dan....

"Hup!"

Pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di tanah. Sementara, Setan Botak sendiri terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini saja cukup menjadi bukti kalau tenaga dalam Setan Botak masih di bawah Dewa Arak.

Tapi sebelum Dewa Arak meneruskan maksudnya, Setan Tenaga Raksasa dan Setan Muka Tengkorak telah lebih dulu meluruk ke arahnya dari tempat yang berbeda. Setan Muka Tengkorak dari udara, sedangkan Setan Tenaga Raksasa masih dalam keadaan bergelindingan.

Maka, terpaksa Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah dua datuk itu. Dan untuk itu, terpaksa tubuhnya berbalik.

"Hih!"

Ketika telah berada di dekat Dewa Arak, Setan Muka Tengkorak langsung melancarkan serangan berupa sampokan tangan kanan dengan jari-jarinya terkembang ke arah pelipis.

Wuttt!

Di saat yang bersamaan, dari bawah Setan Tenaga Raksasa mengirimkan tendangan ke arah dada Dewa Arak.

Cepat sekali kedua serangan itu riba, Dewa Arak baru saja berbalik, ketika kedua serangan itu meluncur. Namun, meskipun demikian dia tidak gugup. Dalam waktu yang hanya sekejap saja, jalan keluar telah ditemukan.

Memang tepat sekali tindakan yang diambil Dewa Arak. Tubuhnya cepat merendah, lalu guci yang sejak tadi terpegang di tangan langsung dipalangkan di depan dada.

Wuttt! Blanggg!

Rentetan kejadiannya berlangsung demikian cepat. Sampokan tangan Mata Malaikat hanya menyambar angin di atas kepala Dewa Arak. Sedangkan kaki Setan Tenaga Raksasa terpaksa berbenturan dengan guci. Kejadian itu berlangsung dalam selisih waktu yang demikian singkat!

Tapi kesudahannya, baik Setan Tenaga Raksasa maupun Dewa Arak sama-sama terhuyung ke belakang. Setan Tenaga Raksasa terhuyung tiga langkah, sedangkan Dewa Arak hanya satu langkah. Itu pun sebagian besar karena kedudukan pemuda berambut putih keperakan ini kurang  menguntungkan.

Belum juga Dewa Arak sempat memperbaiki keadaannya, Setan Muka Tengkorak telah kembali melancarkan serangan susulan. Tangan kirinya yang berbentuk mengepal, dipukulkan ke arah dada.

Dan selagi serangan Setan Muka Tengkorak meluncur, dari arah belakang cambuk Setan Botak kembali mematuk-matuk ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Kali ini, Dewa Arak diserang dari dua arah.

"Hih!"

Dewa Arak cepat melompat ke kanan. Dan selagi tubuhnya berada di udara, gucinya diangkat ke atas kepala....

Gluk... gluk... gluk !

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju perut. Sesaat kemudian, ada hawa hangat berputar di dalam perut, lalu merayap ke atas kepala.

"Hup!

Tubuh Dewa Arak limbung ke kanan dan ke  kiri ketika mendarat di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' miliknya telah siap digunakan.

Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa langsung tertegun bercampur heran ketika melihat tingkah laku Dewa Arak. Dengan sendirinya, pertarungan pun terhenti. Meskipun mereka telah mendengar akan ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak yang khas, namun begitu melihat sendiri tetap saja rasa heran itu muncul.

Tapi hanya sebentar saja Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dari Setan Tenaga Raksasa tertegun. Dan seiring hilangnya perasaan kaget, mereka kembali melancarkan serangan. Hasilnya, pertarungan yang sempat tertunda sejenak itu kembali berlangsung.

Sementara itu di arena Iain, Melati benar-benar telah berada di bawah pengaruh Mata Malaikat Pandangannya terus saja tertuju pada sepasang mata Mata Malaikat

"Bagus, Anak Manis. Tatap terus mataku...! Tatap...! Tataaap...! Dan sekarang tubuhmu terasa lemas...! Lemaaas...! Lemaaas...! Kau tidak mampu lagi berdiri. Lemaaas...!" ujar Mata Malaikat.

Akibatnya memang hebat! Melati yang memang sudah berada di bawah pengaruh kekuasaan Mata Malaikat, tidak kuasa melawan perintah itu. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Seakan-akan, semua tulangbelulangnya copot. Tanpa mampu ditahan lagi, tubuhnya ambruk di tanah. Dan kedua kakinya memang sudah tidak mampu lagi menyangga tubuh.

Brukkk!

Melihat Melati sudah tergolek tidak berdaya lagi, Mata Malaikat menghampiri. Perlahan-lahan saja kakinya terayun. Rupanya, kakek bermata mengerikan ini tidak merasa khawatir kalau Melati akan bangkit dan menyerangnya.

Dan memang, gadis berpakaian putih itu tetap tergolek lemah di tanah. Bahkan sampai Mata Malaikat berada di dekatnya dan membungkuk, tubuhnya tetap tak bergeming. Demikian juga ketika kakek bermata mengerikan itu menotoknya.

Tukkk!

Tak terdengar adanya keluhan dari mulut Melati ketika jari-jari tangan Mata Malaikat menotoknya. Sekarang, tubuhnya terasa lemas. Tidak hanya karena pengaruh ilmu sihir lawan, tetapi juga karena totokan!

"Ha ha ha...!"

Tawa Mata Malaikat meledak. Dan masih dengan suara tawa yang belum putus, dia bangkit. Nada kemenangan dan kegembiraan tampak jelas dalam suaranya. Bahkan tawanya pun belum putus ketika pandangannya beralih ke tempat anak buahnya bergerombol.

"Bawa gadis itu ke dalam!" perintah Mata Malaikat sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah Melati.

Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang gerombolan golongan hitam yang kini berseragam prajurit, melangkah menuju tempat tubuh Melati tergolek.

Sementara, Mata Malaikat sama sekali tidak mempedulikan Melati lagi. Pandangannya kini dialihkan ke arah pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak melawan empat datuk golongan hitam. Memang, kini Setan Kecil Muka Hitam telah ikut menceburkan diri dalam kancah pertarungan.

Dengan penuh perhatian, Mata Malaikat menyaksikan jalannya pertarungan. Sepasang matanya yang bersinar kehijauan, hampir tidak pernah berkedip sama sekali. Beberapa kali kepalanya terangguk-angguk.

"Ternyata berita yang terdengar di dunia persilatan tentang keanehan dan kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti, tidak berlebihan. Ilmu itu benar-benar dahsyat..," desah Mata Malaikat Nadanya penuh kekaguman, setelah memperhatikan jalannya pertarungan beberapa saat.

Kekaguman Mata Malaikat atas kepandaian Dewa Arak memang beralasan. Tokoh muda yang menggemparkan itu dikeroyok empat datuk golongan hitam. Namun, tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu berada di pihak yang terdesak. Padahal, pertarungan telah berlangsung lebih dari lima belas jurus!

Sementara itu, orang yang dikagumi Mata Malaikat sama sekali tidak tahu apa-apa. Masalahnya seluruh perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada lawan-lawannya. Segenap kemampuannya dikerahkan, karena serbuan gabungan dari keempat lawan memang dahsyat bukan kepalang.

Kepandaian perseorangan dari empat datuk golongan hitam itu sudah cukup hebat. Dan kini mereka maju menghadapi Dewa Arak secara berbarengan. Bisa dibayangkan kedahsyatan serangan gabungan itu. Tambahan lagi, keempat datuk itu mampu saling isimengisi di antara mereka. Serangan mereka seperti dikendalikan satu pikiran. Dengan sendirinya, kedahsyatan serangan pun semakin bertambah.

Dan, kedahsyatan serangan itu jelas dirasakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan tekanan yang amat kuat dan setiap serangan lawan yang datang silih berganti dan bertubitubi. Tentu saja hal itu membuat Dewa Arak hampir tidak mempunyai kesempatan melancarkan serangan balasan. Hanya sesekali saja kesempatan ini didapat. Dan itu pun selalu berhasil dikandaskan lawanlawannya. Memang, kerjasama empat datuk itu patut diberikan acungan jempol.

Namun hal itu bukan berarti Dewa Arak tidak berdaya. Meskipun kelihatannya kewalahan, tapi sebenarnya sama sekali tidak terdesak.

Dan hal itu diketahui Mata Malaikat. Itulah sebabnya kepalanya teangguk-angguk pertanda kagum pada Dewa Arak. Dan kekagumannya semakin menebal ketika melihat tingkah tokoh muda yang menggemparkan itu.

Betapa tidak? Di kancah pertarungan itu, Mata Malaikat melihat Dewa Arak masih sempat meminum araknya! Padahal, serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Yang lebih gila lagi, beberapa kali sewaktu serangan meluncur, Dewa Arak malah enakenak menenggak araknya! Baru ketika serangan hampir mengenai sasaran, dia mengelak dengan gerakan seperti orang akan jatuh. Dan..., serangan itu pun lolos!

Karuan saja hal itu membuat lawan Dewa Arak semakin kalap! Sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat.

Menginjak jurus keenam puluh lima, Dewa Arak mulai kewalahan. Memang, betapapun hebatnya ilmu 'Belalang Sakti' dan kepandaiannya tinggi, namun karena lawan-lawan yang dihadapi adalah tokoh utama dunia persilatan, tetap saja jadi keteter.

Jurus demi jurus berlalu. Dan seiring semakin lamanya pertarungan berlangsung, semakin terlihat jelas keadaan Dewa Arak yang terus dihimpit. Sudah bisa ditebak kalau pertarungan terus berlanjut, Dewa Arak akan berada di pihak yang rugi!

"Ha ha ha...!"

Mata Malaikat tertawa bergelak ketika melihat perubahan pada jalannya pertarungan. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja akhir pertarungan itu bisa dinilainya. "Sekarang kau baru tahu kelihaian kami, Dewa Arak! Jangan coba-coba menentang tingkah kami. Karena siapa pun yang mencoba menghambat, akan hancur! Ha ha ha...!"

Mata Malaikat mengakhiri ejekan bernada kemenangan dengan sebuah tawa keras menggelegar yang panjang. Rupanya, kakek bermata mengerikan ini merasa gembira sekali. Hatinya begitu yakin kalau Dewa Arak akan roboh. Walaupun demikian, di hati kecilnya timbul perasaan kagum. Sukar dipercaya kalau orang semuda Dewa Arak mampu menghadapi empat datuk golongan hitam sekaligus. Bahkan  sampai sekian lamanya. Padahal, dia sendiri tidak yakin akan mampu bertarung sampai sekian puluh jurus.

***

Tentu saja bukan hanya Mata Malaikat yang bisa menilai akhir dari pertarungan. Dewa Arak dan empat datuk golongan hitam itu pun demikian pula.

Kini pertarungan telah menginjak jurus kedelapan puluh. Sementara, keadaan Dewa Arak semakin memburuk, terus terdesak dan terhimpit!

Dewa Arak sadar kalau pertarungan terus dilanjutkan, pasti akan kalah. Bila hal itu terjadi, kalau tidak tewas, pasti akan tertawan. Lalu, bagaimana nasib Melati kalau dia pun ikut tertawan?

Memang, Arya selalu mempertimbangkan setiap langkah yang akan diambil. Kadangkala, di dalam mengambil keputusan perasaannya harus diabaikan. Demikian pula kali ini. Dewa Arak yang menyadari akan keadaan yang tak menguntungkan, berpikir keras meneari jalan untuk melarikan diri. Kalau menuruti perasaan, sebenarnya Dewa Arak tidak ingin meninggalkan tempat itu. Masalahnya, hatinya sangat khawatir  oleh keselamatan Melati yang tengah tertawan. Tapi, akal sehatnya menyuruhnya pergi meninggalkan tempat  itu. Karena kalau sampai tertawan pula, siapa lagi yang akan menolong Melati. Dia harus selamat agar bisa menolong Melati selama ada kesempatan.

Tapi begitu melihat Melati dibawa anak buah Mata Malaikat, Dewa Arak tak tinggal diam. Dia berusaha keras menolong. Tapi jangankan melakukan hal itu. Untuk keluar dari kepungan empat lawannya saja, sudah sulit bukan kepalang. Sampai tubuh kekasihnya lenyap dibawa masuk ke dalam bangunan istana, Dewa Arak tetap belum bisa menerobos kepungan yang amat kuat dari lawannya.

Dewa Arak bukan orang bodoh! Malah sebaliknya, dia adalah pendekar muda cerdik dan memiliki wawasan luas. Itulah sebabnya, keinginannya untuk melarikan diri tidak ditunjukkan secara terangterangan. Karena apabila maksudnya terbaca, besar kemungkinan akan sulit dilaksanakan. Pasti empat datuk golongan hitam itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Bahkan bukan tidak mungkin Mata Malaikat akan ikut campur.

Yakin akan dugaannya, Dewa Arak tetap menunjukkan sikap seperti sebelumnya. Melakukan perlawanan sekuatnya, sambil menunggu kesempatan muncul.

Akhirnya setelah menunggu sampai lima belas jurus, kesempatan baik menghampiri Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya dihentakkan berkali-kali.

"Hih!" Wusss!

Hembusan angin keras berhawa panas menyengat, keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.

Dan kejadian yang berlangsung, sama sekali tidak menyimpang dari rencana dan dugaan Dewa Arak. Begitu pukulan jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang' menyambar, kontan empat datuk golongan hitam itu bertindak untuk menyelamatkan diri secara serabutan.

Kesempatan seperti inilah yang ditunggutunggu Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilemparkan ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu....

Tukkk!

Dewa Arak langsung menotokkan ujung kakinya. Maka sesaat kemudian, tubuhnya pun kembali melayang. Hanya saja, kali ini menuju bagian atas dinding istana.

"Keparat!" maki Mata Malaikat geram.

Kakek bermata mengerikan ini tidak menyangka kalau Dewa Arak akan bertindak seperti itu. Dengan sendirinya, dia sama sekali tidak siap untuk mengejar. Sebagai akibatnya, dia terlambat mengejar. Disadari kalau tidak akan sempat mencegah, pemuda berambut putih keperakan itu akan meninggalkan istana.

Tapi hal itu tak berarti Mata Malaikat diam berpangku tangan saja. Cepat kakinya digenjotkan. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat memburu Dewa Arak.

"Cegah dewa pengecut itu pergi!" perintah Mata Malaikat pada anak buahnya yang bertugas menjaga pintu gerbang. Terdengar keras menggelegar seruan Mata Malaikat, karena hampir seluruh tenaga dalam yang dimilild dikerahkan pada teriakannya. Hal itu dilakukan karena perasaan khawatir akan lolosnya Dewa Arak.

Usaha Mata Malaikat ternyata tidak sia-sia. Teriakannya yang keras terdengar oleh anak buahnya yang bertugas menjadi pasukan panah di bagian atas dinding. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka merentangkan busur masing-masing dengan anak panah siap luncur!

"Lepas!"

Salah seorang di antara mereka yang mendapat tugas sebagai pemimpin kelompok, mengeluarkan perintah. Tak pelak lagi....

Twang, twang, twang !

Puluhan anak panah meluruk ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak disertai suara berdesing nyaring. Sudah terbayang di benak kalau sekujur tubuh pendekar muda yang menggemparkan itu akan ditembus puluhan anak panah! Apalagi, Dewa Arak tengah berada di udara ketika mendapat seranganserangan anak panah itu. Kelihatannya, antara Dewa Arak dan puluhan anak panah itu saling songsong.

Namun menghadapi luncuran puluhan anak panah itu, Dewa Arak tidak gugup. Sebelum ujungujung anak panah yang runcing itu menembus tubuhnya, kedua tangannya segera diputar-putar di depan dada. Arah gerakannya, dari dalam keluar dengan kedudukan kedua tangan saling memalang.

Wut, wut, wut. !

Kelihatannya, sembarangan dan tidak mengandung tenaga putaran kedua tangan Dewa Arak. Tapi akibatnya, benar-benar menggiriskan! Dari kedua tangan yang berputaran itu keluar angin keras yang membuat luncuran anak-anak panah berpentalan tak tentu arah, sebelum sempat mendekati tubuh Dewa Arak. Yang lebih gila lagi, sebagian di antaranya berpentalan dalam keadaan berpatahan. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.

Karuan saja kejadian itu membuat pasukan panah gerombolan Mata Malaikat terkejut bukan kepalang. Dan ternyata puluhan anak panah yang tengah meluncur cepat tadi berbalik arah. Dan untuk sesaat, mereka semua terkesima.

Hanya sekejap saja, gerombolan anak buah Mata Malaikat terkesima. Tapi waktu yang sangat singkat itu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arya. Kedua kakinya kini sudah hingga di atas dinding.

Tappp! "Hih!"

Tak sampai sekedipan mata, Dewa Arak sudah melayang keluar laksana seekor kelelawar besar.

Jliggg!

Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Mata Malaikat berhasil hinggap di atas dinding. Dan saat itulah tangannya dihentakkan.

Wusss! Bresss!

Hebat bukan kepalang pukulan jarak jauh yang dilepaskan Mata Malaikat. Dan ternyata serangan itu menghantam punggung sebelah kiri Dewa Arak hingga terguling-guling. Namun, tak ada keluhan sedikit pun dari mulutnya. Bahkan dengan menggunakan bantuan tenaga gulingan itu, dia terus melesat kabur.

"Keparat!" maki Mata Malaikat penuh geram, melihat Dewa Arak telah melesat meninggalkan tempat itu.

Kini disadari tidak ada gunanya lagi melakukan

pengejaran. Dewa Arak telah berhasil lolos. Maka yang dapat dilakukan Mata Malaikat hanya menatap penuh rasa marah pada Dewa Arak yang semakin mengecil.

"Sekarang kau boleh lolos lagi, Dewa Arak! Tapi tak untuk lain saat. Cukup sudah dua kali kau memperdayaiku," desis Mata Malaikat. Suaranya terdengar tertahan, menandakan kemarahan.

Setelah mengucapkan kata-kata bernada ancaman, Mata Malaikat berbalik dan melompat turun.

"Perketat penjagaan! Jangan biarkan ada seorang pun yang masuk kemari!"

Tanpa menunggu tanggapan anak buahnya lagi, Mata Malaikat melangkah ke dalam istana.

5

"Bangsat terkutuk!"

Ucapan bernada penuh rasa geram keluar dari mulut seorang pemuda berambut putih keperakan. Suara menggelutuk keras pun terdengar dari mulutnya. Jelas, dia tengah dilanda kemarahan hebat.

Pemuda itu berpakaian ungu. Rambutnya yang panjang, berwarna putih keperakan, dan sebuah guci arak yang tergantung di punggung, adalah ciri khasnya. Ya! Dialah Dewa Arak!

Kali ini tampak Dewa Arak tengah murka! Ini bisa dilihat dari tarikan wajahnya yang menegang dan sorot penuh kemarahan dari sepasang matanya. Hal ini tidak aneh! Di sekelilingnya ternyata tampak rumah-rumah yang telah menjadi onggokan arang! "Mata Malaikat! Orang seperti kau memang

harus cepat dilenyapkan! Kalau tidak, malapetaka akan tersebar di mana-mana!" desis Dewa Arak penuh geram.

Diam-diam di dalam hati kecilnya, pemuda berambut putih keperakan ini merasa menyesal bukan kepalang melihat keadaan sekitarnya. Dia tahu, kejadian itu belum lama berlangsung. Baru dua hari tempat ini dilalui, dan saat itu keadaan belum seperti sekarang ini. Kalau saja tidak terluka dalam yang cukup parah, sehingga memaksanya tinggal di hutan selama dua hari untuk mengobati luka, mungkin tidak akan terjadi keadaan seperti ini. Paling tidak, akan dapat mengulurkan pertolongan.

Kini Dewa Arak sudah sehat kembali. Luka dalamnya telah sembuh sama sekali. Maka, sekaranglah saatnya untuk membuat perhitungan terhadap Mata Malaikat dan gerombolannya. Meskipun tahu kalau pihak lawan amat kuat, tapi Dewa Arak tidak putus asa. Biar bagaimapanun, Melati harus diselamatkan!

Memang, sudah dua hari Melati menjadi tahanan Mata Malaikat. Dan Arya tidak tahu, apa yang tengah terjadi pada kekasihnya. Meskipun demikian, hatinya yakin Melati tidak akan menerima tindakan tidak senonoh dari gerombolan Mata Malaikat. Apalagi dia telah mendengar sendiri kalau Mata Malaikat sangat membenci perbuatan itu. Dan memang, tak pernah terdengar kalau Mata Malaikat dan gerombolannya melakukan perbuatan rendah seperti itu.

Hal itulah yang menjadikan Dewa Arak tidak terlalu cemas. Dia yakin, anak buah Mata Malaikat tidak akan ada yang berani melanggar larangan pimpinannya. Jadi, ancaman bagi Melati hanya akan muncul dari Mata Malaikat. Dewa Arak tahu, Mata Malaikat adalah tokoh sesat yang menguasai ilmu sihir! Jadi, kemungkinan besar Melati akan dijadikan semacam tumbal untuk ilmunya. Begitulah dugaan Dewa Arak.

Terkaan seperti itu semakin mengurangi kecemasannya akan nasib Melati. Dari pengalaman, Dewa Arak tahu kalau menuntut ilmu seperti itu tidak bisa sembarangan. Ada saat-saat yang tepat untuk melakukannya. Misalnya, di malam bulan purnama.

Dan yang penting, setelah sembuh tujuan untuk menyelamatkan Melati harus dilaksanakan. Dalam keadaan siap tarung seperti ini, kemungkinan untuk berhasil menyelamatkan Melati menjadi lebih besar.

Teringat kembali akan Melati, membuat Dewa Arak jadi tidak sabar. Setelah melempar pandangan sejenak ke arah onggokan arang yang berhamparan di sana-sini, kakinya kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas. Tiba di Istana Kerajaan Gambang secepat mungkin untuk membebaskan Melati.

Perasaan tidak sabar mendorong Dewa Arak untuk mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar bisa segera tiba di Istana Kerajaan Gambang. Sesaat kemudian, tubuhnya lenyap. Sekarang yang terlihat hanya sekelebatan bayangan  ungu dalam bentuk tidak jelas, terus melesat ke depan.

Karena Dewa Arak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh, maka dalam waktu sebentar saja bentuk bangunan itu sudah terlihat. Tambahan lagi, jarak antara tempat pemuda berambut putih keperakan itu berada dengan Istana Kerajaan Gambang memang tidak begitu jauh.

Di dalam hati, Dewa Arak memuji kecerdikan orang yang telah membangun Istana Kerajaan Gambang. Nyatanya, letak istana itu berada di tengahtengah lapangan luas tanpa halangan. Hal ini amat menguntungkan, karena membuat pandangan tidak terhalang bila datang serbuan dari mana pun.

Hanya sayangnya, Istana Kerajaan Gambang itu kini telah jatuh ke tangan Mata Malaikat dan gerombolannya. Dewa Arak yakin, kedatangannya telah diketahui. Namun, hal itu tidak dipedulikan. Sepasang kakinya terus saja diayunkan.

Sambil terus melangkah, Dewa Arak mengarahkan pandangan ke depan. Sepasang matanya tertuju pada bangunan istana yang semakin kelihatan membesar seiring semakin dekatnya jarak antara dirinya dengan istana itu.

Namun, seiring semakin terlihat jelas istana itu, kernyitan mulai timbul di dahi Dewa Arak. Dan semakin lama, kernyitan itu semakin bertambah banyak. Jelas, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Memang, hal itu tidak salah! Ada perasaan tidak enak yang melingkupi hati Dewa Arak ketika mulai melihat jelas keadaan Istana Kerajaan Gambang yang sepi sekali! Tak terlihat seorang pun di sana.

Inilah yang menimbulkan kernyitan di dahi Dewa Arak. Bermacam-macam dugaan menyelinap di benaknya. Mengapa Istana Kerajaan Gambang terlihat demikian sepi? Apakah memang benar-benar tidak ditinggali lagi? Kalau ya, ke mana Mata Malaikat dan gerombolannya pergi?

Atau..., sepinya keadaan di Istana Kerajaan Gambang ini hanya buatan saja? Dan mereka bersembunyi, untuk menjebaknya? Ini bukan merupakan hal mustahil! Bukankah Mata Malaikat dan gerombolannya adalah orang-orang dari golongan hitam yang terbiasa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan?

Dugaan yang terakhir memaksa Dewa Arak bertindak hati-hati. Dengan sendirinya, kecepatan larinya dikurangi. Dan sekujur urat syaraf dan otototot tubuhnya menegang waspada. Dia telah bersiapsiap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Semakin dekat jaraknya dengan Istana Kerajaan Gambang, lari Dewa Arak semakin pelan. Bahkan akhirnya berhenti sama sekali, ketika telah berjarak lima tombak dari pintu gerbang istana.

Dewa Arak mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru istana yang pintu gerbangnya tertutup rapat. Tatapannya lebih terarah pada dinding-dinding bagian atas istana. Dan ternyata tetap sepi!

"Mata Malaikat! Keluar kau!" teriak Dewa Arak sambil mengerahkan tenaga dalam.

Dan memang, tindakan pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak sia-sia. Teriakannya membahana ke seluruh penjuru. Gema yang ditimbulkannya terdengar bersahut-sahutan.

Dewa Arak menunggu sejenak untuk melihat tanggapan atas teriakannya. Tapi sampai gema suaranya habis dipantulkan, tetap saja sedikit pun tidak ada tanggapan.

Dewa Arak menajamkan telinganya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada kedua belah alat pendengarannya. Barangkali saja bisa ditangkap adanya suara-suara mencurigakan dari balik dinding istana yang tinggi. Setidak-tidaknya, hal itu cukup untuk menunjukkan adanya seseorang di Istana Kerajaan Gambang.

Tapi, untuk yang kesekian kalinya harapan Dewa Arak tidak terkabul. Buktinya tidak terdengar adanya suara-suara seperti yang diharapkannya. Yang tertangkap sepasang pendengarannya hanya suara desah angin!

"Mata Malaikat! Keluar kau, Pengecut! Hadapi aku! Jangan berlindung di balik panggung tahanan wanitamu! Hadapi aku, Mata Malaikat!"

Untuk yang kedua kalinya, Dewa Arak mengeluarkan kata-kata bernada tantangan. Kali ini, bahkan lebih keras daripada sebelumnya.

Hasil yang didapat Dewa Arak sama dengan sebelumnya. Tidak ada sambutan sedikit pun atas tantangan yang diajukannya, selain gema teriakannya sendiri dan desah angin. Maka kesabaran Dewa Arak pun habis. Dia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Seketika kedua lututnya ditekuk. Lalu....

"Hih!"

Tubuh Dewa Arak melayang ke atas, dan berputaran beberapa kali di udara. Gerakannya tampak indah dan manis.

Jliggg!

Ringan laksana sehelai daun, sepasang kaki tokoh muda yang menggemparkan ini hinggap di atas dinding istana. Dan ternyata, sepanjang dinding bagian atas kosong! Tak nampak adanya seorang pun di sekitarnya.

Dewa Arak mengedarkan pandangan ke bawah. Tapi hanya suasana lengang dan sepi yang terlihat, tanpa ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Jelas, Istana Kerajaan Gambang telah tidak berpenghuni lagi,

"Hhh !" Dewa Arak menghela napas berat. Tanpa memeriksa satu persatu bangunan, telah bisa diketahui kalau Istana Kerajaan Gambang memang sudah tidak berpenghuni lagi. Mata Malaikat dan gerombolannya ternyata sudah tidak berada di situ, dan kemungkinan besar telah pergi!

Lalu, bagaimana nasib Melati? Apakah gadis berpakaian putih itu ikut dibawa pergi? Dan, ke mana perginya? Lalu, mengapa Mata Malaikat pergi? Bukankah dia telah menjadi raja, meskipun hanya di sebuah kerajaan kecil? Tidak sayangkah dia meninggalkan tempat yang susah payah telah direbutnya itu?

Berbagai macam pertanyaan menggayuti benak Dewa Arak, namun tidak ada satu pun yang dapat terjawab. Meskipun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Dicobanya untuk mencari jawaban dengan cara menghubung-hubungkan kejadian yang dialami belakangan ini.

"Ah!"

Dewa Arak tersentak ketika telah mendapat sebuah jawaban, begitu mengingat-ingat tentang bekas kepala rampok yang dulu pernah menjabat sebagai pengawal khusus Kerajaan Gambang. Dialah Garuda Mata Satu. Tokoh itu pemah bercerita padanya, tentang keinginan Mata Malaikat (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Garuda Mata Satu").

"Ya! Pasti Mata Malaikat menuju Kerajaan Mandau," desah Dewa Arak perlahan. "Mungkin keinginannya itu akan dilaksanakan sekarang!"

Tapi..., apakah anak buahnya telah cukup untuk memerangi sebuah kerajaan besar seperti Kerajaan Mandau? Keberhasilan Mata Malaikat dan anak buahnya merebut Kerajaan Gambang, tidak bisa dijadikan patokan. Masalahnya, Kerajaan Gambang adalah sebuah kerajaan kecil, di bawah pimpinan seorang raja yang tidak ingin di istananya ada manusia yang berjenis wanita!

Pikiran-pikiran seperti itu membimbangkan Dewa Arak! Memang rasanya mustahil kalau Mata Malaikat akan menyerbu Kerajaan Mandau! Sepertinya, itu tindakan gegabah dan terlalu terburuburu. Tapi kalau bukan untuk menyerbu Kerajaan Mandau, untuk apa Istana Kerajaan Gambang ditinggalkan?

Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa saat, Dewa Arak mengambil keputusan untuk pergi ke Kerajaan Mandau. Dan kalau ternyata dugaannya salah, dugaan selanjutnya akan dipikirkan lagi.

Yakin akan keputusannya, Dewa Arak melompat turun dari atas tembok. Dan begitu kedua kakinya mendarat di tanah, langsung saja melesat menuju ke timur, tempat Kerajaan Mandau terletak. Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Masalahnya dia tidak tahu, sejak kapan Mata Malaikat dan rombongannya meninggalkan Istana Kerajaan Gambang?

Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak sudah terlihat seperti sebuah benda berwarna ungu sebesar ibu jari kaki. Semakin lama, bentuknya semakin mengecil. Dan akhirnya, lenyap di kejauhan.

Rasa cemas akan terjadinya pertumpahan darah besar-besaran, membuat Dewa Arak harus mempercepat perjalanannya. Seluruh kecepatan lari yang dimiliki dikeluarkan hingga mencapai puncaknya. Dan pemuda berambut putih keperakan itu terus berlari tanpa mengendurkan kecepatan sedikit pun. Entah berapa lama berlari, Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikannya. Yang jelas, sewaktu meninggalkan Istana Kerajaan Gambang, matahari baru saja terbit.

Tapi sekarang, sang surya telah hampir berada di atas kepala. Sinarnya sudah terasa tidak nyaman di kulit. Dan selama itu Dewa Arak belum berhenti berlari. Apalagi, mengendurkan kecepatannya.

Hebatnya, meskipun telah berlari sekian lamanya, tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau Dewa Arak kelelahan. Alunan napasnya masih biasa saja. Peluh yang tampak pun hanya pada dahi, bawah hidung, dan sekitar leher.

Mendadak raut wajah Dewa Arak berubah, begitu matanya tertumbuk pada sesuatu kejadian, dalam jarak belasan tombak di depan. Di kejauhan sana, terlihat kepulan asap tebal berwarna hitam, bergumpal-gumpal, membubung tinggi ke angkasa. Menilik keadaan itu bisa diperkirakan kalau di kejauhan sana telah terjadi kebakaran.

Perkiraan ini mengingatkan Dewa Arak akan peristiwa yang tadi pagi disaksikan. Rumah-rumah di Desa Sekupang telah menjadi onggokan arang. Apakah kebakaran di kejauhan itu sengaja dibuat orang? Dan, pelakunya adalah Mata Malaikat dan gerombolannya?

Dengan benak dililit pertanyaan-pertanyaan, Dewa Arak meneruskan larinya. Rasanya, dia ingin segera tiba di sana. Tapi bagaimana lagi? Hanya sampai di situlah puncak kemampuan kecepatan larinya.

Beberapa lesatan kemudian, dugaan Dewa Arak terbukti. Kebakaranlah yang menjadi penyebab timbulnya asap itu. Dan ternyata kebakaran itu mengandung unsur kesengajaan. Buktinya, segerombolan orang berpakaian prajurit kerajaan tengah bertindak di luar batas, dengan membakari rumah yang masih tersisa dan membunuhi penghuninya.

Dewa Arak menggeram, murka bukan kepalang. Masalahnya, enak saja mereka menyebar maut pada para pemilik rumah yang berusaha mencegah pembakaran.

Desing suara senjata, gemeretak api memakan kayu, disertai jeritan kesakitan dan kematian terdengar dari para pemilik rumah. Mereka berusaha mencegah tempat bernaung dari si jago merah!

"Keparat! Orang-orang seperti kalian memang tidak pantas dibiarkan hidup!" seru Dewa Arak, keras sambil melompat menerjang.

Lompatan Dewa Arak ternyata bertepatan dengan seorang prajurit yang tengah mengayunkan pedangnya ke arah leher seorang pemilik rumah.

Singgg! Takkk!

Mata pedang yang hampir mengirim nyawa seorang pemilik rumah ke alam baka itu, berhasil dipapak Dewa Arak dengan sentilan jari telunjuk. Akibatnya, mata pedang itu patah jadi dua! Bahkan patahannya malah meluncur ke arah tenggorokan prajurit itu.

Tentu saja mendapat serangan yang sama sekali tidak terduga, prajurit yang apes itu jadi kelabakan dan gugup. Dengan sebisa-bisanya, pedangnya yang tinggal sepotong diayunkan untuk menangkis. Dan....

Tranggg!

Usaha untung-untungan prajurit itu berhasil juga. Nyawanya yang sudah hampir terbang,. berhasil diselamatkan. Namun prajurit itu tidak bisa buru-buru menarik napas lega. Karena begitu luncuran mata pedang berhasil ditangkis, Dewa Arak cepat melepaskan tendangan.

Wuttt! Bukkk! "Hugkh!"

Karena kejadiannya berlangsung demikian cepat, prajurit itu sama sekali tidak sempat berbuat apaapa. Dan tahu-tahu, perutnya telah tertendang. Kelihatannya pelan saja, tapi akibatnya cukup dahsyat. Rasanya, perutnya seperti mendapat serudukan seekor banteng liar yang paling besar!

Tak pelak lagi, tubuh prajurit itu pun terpental ke belakang disertai jeritan menyayat. Bahkan lebih mirip lolong kematian. Memang, tendangan Dewa Arak terlalu dahsyat untuk dapat diterima prajurit sial itu. Seluruh isi perutnya langsung hancur berantakan. Darah segar pun mengalir di sudut-sudut mulutnya. Saat itu juga, nyawanya melayang ke alam baka, sebelum tubuhnya sempat mencapai tanah.

"Dewa Arak...!"

Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut rekan-rekan prajurit yang malang itu. Jelas, mereka telah mengenai Dewa Arak!

Dewa Arak hanya tersenyum pahit mendengar panggilan itu. Diperhatikannya wajah para prajurit itu sekilas. Dan seketika itu juga, langsung dikenalinya.

"Kiranya kalian anak buah Mata Malaikat! Kali ini, jangan harap kuampuni!" ancam Dewa Arak dengan suara berdesis.

Dewa Arak memang telah murka. Maka setelah melihat kekejaman yang dilakukan anak buah Mata Malaikat, langsung diputuskan untuk melenyapkan mereka selama-lamanya.

"Hanya sekian sajakah jumlah kalian?! Mana yang lainnya?! Dan mana pula Mata Malaikat?!" dengus Dewa Arak tanpa menyembunyikan perasaan heran.

Tidak aneh kalau pemuda berambut putih keperakan itu merasa heran. Terutama ketika melihat jumlah gerombolan anak buah Mata Malaikat yang hanya sedikit. Mereka tak lebih berjumlah sepuluh orang saja! Itu pun bila digabung dengan prajurit yang tewas di tangan Dewa Arak tadi.

Kesembilan anak buah Mata Malaikat hanya saling berpandangan satu sama lain. Tampak adanya sorot kegentaran dalam sinar mata mereka, begitu telah mengetahui kelihaian Dewa Arak. Jangankan hanya sembilan. Biar ditambah lima kali lipat lagi, Dewa Arak pasti akan mampu menggilas mereka.

"Dengar! Apabila bersedia menunjukkan di mana kawanku ditahan, dengan senang hati kalian akan kubiarkan hidup! Cepat! Jangan sia-siakan kesempatan yang kuberikan ini!" ujar Dewa Arak, memberi penawaran.

Kembali kesembilan anak buah Mata Malaikat itu saling berpandangan sejenak. Kemudian....

"Haaat..!"

Diawali teriakan keras membahana, kesembilan orang golongan hitam itu menerjang. Golok dan pedang yang sejak tadi tercekal di tangan, diayunkan ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.

"Rupanya kalian memilih mati!" kata Dewa

Arak.

Seiring keluarnya  ucapan itu, Dewa  Arak lang-

sung bertindak. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menyelinap di antara kelebatan senjata lawan, tak ubahnya bayangan. Dan ketika tangan serta kakinya mulai bergerak, tubuh anak buah Mata Malaikat telah berpentalan ke sana kemari. Jerit kesakitan dan lolong kematian tampak mengiringi tertemparnya tubuh mereka.

Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sudah tidak ada lagi anak buah Mata Malaikat yang masih berdiri tegak. Semuanya telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah.

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatinya ketika melihat semua lawan telah tewas. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini jarang membunuh lawan kecuali terpaksa.

Setelah memperhatikan mayat lawan-lawannya sekilas, Dewa Arak mengalihkan pandangan ke arah para pemilik rumah yang berdiri tertegun, memperhatikan tempat tinggal mereka yang telah menjadi onggokan arang.

"Sebenarnya apa alasan gerombolan penjahat itu membumihanguskan rumah-rumah ini, Kisanak?" tanya Arya pada salah seorang di antara pemilik rumah yang masih terkesima.

"Mereka menanyakan pada kami tentang orang yang berjuluk Garuda Mata Satu. Karena memang tidak tahu, kami jawab saja apa adanya. Tapi, mereka menyangka kami berbohong. Dan akibatnya, seperti ini!" jawab seorang laki laki berkumis tebal. Dia adalah salah seorang dari tiga pemilik rumah yang masih hidup.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.

"O ya, Kisanak. Apakah di samping sepuluh orang ini kau melihat yang lain? Dan mereka adalah kawan dari sepuluh orang ini," tanya Dewa Arak.

"Aku sendiri tidak tahu pasti rombongan yang kau maksudkan, Tuan Pendekar. Tapi yang jelas, aku memang melihat serombongan besar orang berpakaian prajurit. Menilik arah yang ditempuh, mungkin rombongan itu tengah menuju Kerajaan Mandau," jawab laki-Iaki berkumis tebal itu.

''Terima kasih, Kisanak."

Hanya itu yang diucapkan Dewa Arak, karena sesaat kemudian tubuhnya telah lenyap dari situ. Yang dilihat tiga orang pemilik rumah itu kini hanya sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat ke depan.

"Luar biasa! Orang semuda itu sudah memiliki kepandaian demikian tinggi," desis tiga orang pemilik rumah itu hampir berbareng.

Ada nada kekaguman yang sarat dalam ucapan tiga orang itu. Bahkan sepasang mata mereka terus tertuju pada Dewa Arak, sampai akhirnya lenyap ditelan kejauhan. Baru setelah itu, mereka menghampiri rumah yang telah menjadi onggokan arang. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi akan terjadi hal seperti ini, karena tinggal di sebuah tempat yang letaknya terpisah dari perumahan penduduk lainnya.

Segumpal kesedihan kembali membalut hati kebga orang itu. Bukan karena tempat tinggal yang sudah tidak karuan bentuknya, tapi karena ditinggalkan oleh anggota keluarga yang tewas. 6

"Hm...!"

Sambil mengelus-elus jenggot yang hanya beberapa lembar, Raja Kerajaan Mandau yang bernama Prabu Tanjula mengangguk-anggukkan kepala. Tampak sekali keagungannya, saat duduk di atas singgasana kerajaan.

"Jadi..., gerombolan yang akan menyerbu istana kita adalah benar-benar gerombolan Mata Malaikat, Patih Sanggara?" tanya Prabu Tanjula sambil menatap tajam wajah seorang laki-laki tinggi kurus yang duduk di lantai.

Di sebelah kanan, kiri, dan depan laki-laki tinggi kurus yang ternyata menjabat patih itu, duduk pula pejabat kerajaan lain.

"Begitulah laporan yang hamba terima dari para telik sandi, Gusti Prabu," jawab Patih Sanggara.

"Jadi, semua laporan yang diberikan Garuda Mata Satu benar. Ahhh...! Dia benar-benar seorang prajurit setia," gumam Prabu Tanjula lirih sambil mengelus-elus jenggotnya. Rupanya, orang nomor satu di Kerajaan Mandau ini memiliki kebiasaan, gemar mengelus-elus jenggot.

Beberapa saat lamanya, Prabu Tanjula bertindak seperti itu. Sementara, Patih Sanggara dan semua pejabat kerajaan yang ada di situ menunggu keluarnya ucapan selanjutnya dari junjungan mereka dengan sabar.

"Kalau begitu, kita akan siapkan penyambutan untuk mereka. Biar mereka tahu, kalau Kerajaan Mandau tidak bisa dianggap remeh. Pengawal!" seru Prabu Tanjula, agak keras.

"Hamba, Gusti Prabu," sambut salah satu dari dua orang pengawal yang menjaga pintu ruangan. Kedua orang ini adalah prajurit pilihan yang bertugas menjaga keselamatan raja, dan sekaligus menjadi anggota pasukan khusus.

"Katakan pada Panglima Tungga agar segera menghadapku!" ritah Prabu Tanjula.

"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut pengawal yang memiliki banyak tahi lalat di dahi itu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit sambil menyentuhkan ujung-ujung jari kedua tangan yang dirapatkan ke hidung.

Usai berkata demikian, pengawal khusus itu segera melangkah meninggalkan ruangan ini.

Sepeninggal pengawal khusus yang memiliki banyak tahi lalat itu, suasana menjadi hening. Masingmasing orang hanyut dalam alun pikiran sendirisendiri.

"O ya, Patih Sanggara. Apakah sudah ada berita mengenai Garuda Mata Satu?"

Pertanyaan Prabu Tanjula memecahkan keheningan yang mencekam.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Sampai saat ini, pasukan telik sandi yang dikirimkan belum mendapatkan berita mengenai Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka."

"Hm "

Hanya gumaman pelan dan anggukan Prabu Tanjula yang menanggapi jawaban Patih Sanggara.

"Mudah-mudahan, tugas yang kuberikan padanya bisa berhasil dengan baik," harap Prabu Tanjula lagj.

Tidak ada satu suara pun yang menyahuti. Mereka semua diam. Namun di dalam hati, sama-sama menginginkan agar harapan Prabu Tanjula terkabul. Masalahnya, hal itu menyangkut keutuhan Kerajaan Mandau. Kalau tugas Garuda Mata Satu sampai gagal, Kerajaan Mandau akan mendapat kerugian besar! Kembali suasana jadi hening, larut oleh pikiran masing-masing.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Keheningan itu langsung membuyar ketika terdengar suara langkah kaki mendekati ruangan ini. Dan sesaat kemudian, tampak dua sosok tubuh melangkah masuk. Yang seorang pengawal khusus bertahi lalat banyak. Sedangkan sarunya lagi, seorang laki-laki tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Siapa lagi kalau bukan Panglima Tungga?

"Hamba datang menghadap, Gusti Prabu," kata Panglima Tungga sambil memberi hormat

Laki-laki tinggi besar ini kemudian bersimpuh. Lutut sebelah kirinya ditekuk, dan tangan terkepal ditekankan ke bumi.

"Hm...," gumam Prabu Tanjula sambil kembali mengelus-elus jenggotnya. "Memang, aku mempunyai sebuah rencana. Dan hanya kau dan pasukanmu saja yang lebih cocok untuk melaksanakan tugas ini. Itulah sebabnya kau kupanggil kemari."

"Hamba siap melaksanakan tugas, Gusti Prabu," sambut Panglima Tungga cepat.

"Bagus! Nah! Sekarang dengarkan baik-baik tugas yang akan kuberikan padamu "

Prabu Tanjula diam sebentar. Hal itu memang disengaja agar Panglima Tungga lebih siap mendengarnya. Dan dengan adanya kesempatan yang diberikan Prabu Tanjula, Panglima Tungga yang bertubuh tinggi besar itu jadi punya kesempatan untuk memusatkan perhatian.

"Kau sudah mendengar berita akan adanya penyerbuan terhadap Kerajaan Mandau ini, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba belum mendengarnya. Kalau boleh hamba tahu, kerajaan manakah yang mempunyai nyali demikian besar, hingga berani menyerang kerajaan kita?" Panglima Tungga malah balas bertanya.

"Tidak ada kerajaan yang akan menyerbu kita, Panglima Tungga," sanggah orang nomor satu di Kerajaan Mandau ini.

"Ampun,  Gusti  Prabu.  Hamba  belum mengerti "

"Yang akan menyerbu kerajaan kita, segerombolan tokoh golongan hitam di bawah pimpinan Mata Malaikat. Menurut laporan mata-mata kita, mereka berjumlah banyak. Mungkin tidak kurang dari tiga ratus orang! Bayangkan, Panglima Tungga. Kemampuan tokoh persilatan aliran hitam yang paling rendah pun, belum tentu kalah menghadapi tiga orang prajurit kita!" Prabu Tanjula mengutarakan kekhawatirannya.

Panglima Tungga mengangguk-anggukkan kepala. Cukup masuk akal juga kekhawatiran yang melanda junjungannya.

''Tapi..., ada satu hal yang Gusti Prabu lupakan," tegas Panglima Tungga.

"Hm Apa itu, Panglima Tungga?" tanya Prabu

Tanjula ingin tahu. Dan memang telah diketahuinya kalau Panglima Tungga adalah seorang ahli siasat perang yang ulung.

"Begini, Gusti Prabu. Dalam hal kemampuan perseorangan, boleh jadi gerombolan Mata Malaikat memiliki kemampuan di atas rata-rata kemampuan pasukan kita. Tapi dalam sebuah pertempuran besar, yang memegang peranan adalah siasat! Kalau kita mempunyai siasat jitu, mereka akan bisa dikalahkan!" tandas Panglima Tungga, yakin.

Seketika itu pula Prabu Tanjula terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Panglima Tungga.

"Apa siasatmu, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu.

Panglima Tungga tidak langsung menjawab. Dahinya berkernyit sejenak sebelum kepalanya terangguk.

"Jelaskan kepada kami-kami di sini, siasat apa yang akan kau gunakan, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula.

"Tentu, Gusti Prabu," jawab Panglima Tungga. "Tapi sebelumnya, hamba ingin tahu pendapat Panglima Banu. Dan, ampunkan hamba bila bertindak terlalu lancang."

"Sama sekali tidak, Panglima Tungga," sahut Prabu Tanjula sambil menyunggingkan senyum.

"Panglima Banu! Coba kemukakan siasatmu untuk menghadapi penyerbuan gerombolan Mata Malaikat!" titah Prabu Tanjula pada panglima yang bernama Panglima Banu.

"Ampunkan hamba kalau keliru, Gusti Prabu. Menurut pendapat hamba, lebih baik seluruh pasukan Kerajaan Mandau berada di dalam benteng. Lalu, kita tempatkan pasukan panah di bagian atas benteng untuk mencegah serbuan gerombolan itu."

Panglima yang bertubuh tegap dan kekar yang bernama Panglima Banu itu menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. "Setiap kali mereka berada dalam jarak tembak anak panah, kita akan menghujani dengan anak panah. Dengan demikian, mereka tidak bisa mendekati benteng. Dan andaikata nekat, anak panah pasukan kita akan banyak menelan korban dari mereka," lanjut Panglima Banu panjang lebar.

Semua orang yang berada di ruangan itu samasama menganggukkan kepala. Disadari pen-jelasan Panglima Banu ada benarnya.

"Sebuah usul yang bagus!" puji Prabu Tanjula. "Bukankah demikian, Panglima Tungga?"

"Benar, Gusti Prabu," sahut Panglima Tungga sambil mengangguk. "Siasat yang dikemukakan Panglima Banu memang bagus. Tapi rasanya, untuk menghadapi gerombolan Mata Malaikat, siasat seperti itu tidak bisa dilaksanakan."

Prabu Tanjula mengangguk-angguk, pertanda membenarkan pendapat Panglima Tungga.

"Apa yang kau kemukakan sama sekali tidak salah, Panglima Tungga. Siasat yang dikemukakan Panglima Banu tidak bisa diterapkan kali ini. Garuda Mata Satu telah memberi masukan yang berharga sekali. Katanya, di samping Mata Malaikat, masih banyak lagi tokoh kelas atas dari golongan hitam yang menjadi anak buahnya. Bahkan termasuk datuk-datuk di empat penjuru angin. Banyaknya tokoh yang memiliki kemampuan tinggilah yang menyebabkan siasat Panglima Banu sulit diterapkan."

Prabu Tanjula menghentikan ucapannya sejenak untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Kalau kita gunakan pasukan panah, kemungkinan besar tokoh-tokoh kelas ataslah yang bertugas sebagai pembuka jalan. Serbuan pasukan anak panah kita pasti akan mudah dilumpuhkan. Nah! Setelah pasukan panah kita lumpuh, baru mereka akan menyerbu. Di sinilah ketidaktepatannya usul Panglima Banu."

Panglima Tungga dan semua orang yang berada di situ sama sekali tidak merasa heran mendengar penjelasan Prabu Tanjula yang bisa mengupas secara demikian meyakinkan. Dan mereka semua tahu, Prabu Tanjula memiliki ilmu kedigdayaan yang cukup tinggi. Hanya saja mereka tidak tahu, di mana sang Junjungan itu belajar.

"Sekarang giliranmu, Panglima Tungga. Bisa kau utarakan siasat yang akan kau terapkan?" tanya Prabu Tanjula ingin tahu.

"Pada dasarnya, tidak berbeda dengan siasat Panglima Banu, Gusti Prabu. Hanya saja, ada sedikit perbedaannya. Pada siasat hamba, pasukan kita tidak hanya bertahan. Tapi, juga mendahului."

"Maksudmu..., kita yang melakukan penyerangan lebih dulu. Begitu maksudmu, Panglima Tungga?"

"Kira-kira demikian, Gusti Prabu. Tapi, tentu saja tidak hanya siasat itu yang akan dijalankan. Siasat Panglima Banu pun nanti akan diterapkan pula. Dan itu tentu ada sedikit perbedaan di sana-sini. Bahkan serangan yang akan dilakukan pun, tidak untuk menghadapi pertarungan secara langsung. Yang akan kita terapkan adalah siasat pukul dan lari."

"Bisa diutarakan secara lengkap rencanarencana yang akan kau buat, Panglima Tungga?" tanya Prabu Tanjula, ingin tahu lebih banyak.

"Dengan senang hati, Gusti Prabu," sambut Panglima Tungga cepat

Kemudian, Panglima Kerajaan Mandau yang memiliki tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat ini menjelaskan secara lengkap siasat-siasat yang akan dijalankan. Prabu Tanjula dan semua orang yang berada di situ mendengarkan penuh seksama. Tak sekali pun ada yang menyelak sampai Panglima Tungga menyelesaikan keterangannya.

"Begitulah rencana hamba, Gusti Prabu. Yaaah...! Walaupun mungkin tidak memuaskan, tapi itulah siasat yang hamba dapatkan," kata Panglima Tungga menutup keterangannya.

''Tidak mengapa, Panglima Tungga. Aku percaya, kau telah memilihkan sebuah siasat terbaik. Untuk selanjutnya, kau dan Panglima Banu bisa saling berembuk untuk mempersiapkan rencana yang telah dirancang," ujar Prabu Tanjula.

"Akan hamba laksanakan semua perintah Gusti Prabu," hampir berbareng Panglima Tungga dan Panglima Banu menjawabnya.

Saat yang ditunggu-tunggu disertai rasa kecemasan pun tiba. Pasukan panah Kerajaan Mandau yang berdiri di atas benteng istana melihat serombongan orang yang tengah menuju ke tempat mereka.

"Beritahukan pada Panglima Tungga. Gerombolan Mata Malaikat telah terlihat!" ujar kepala pasukan panah pada salah seorang anak buahnya.

"Siap!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, anggota pasukan panah yang memiliki tubuh kecil ramping itu meluruk turun mempergunakan tambang-tambang yang tersedia, menjulur hampir mencapai tanah. Dia kemudian beriari cepat ke arah pos penjagaan.

"Lapor, Panglima!" kata prajurit itu sambil memberi hormat ketika telah berada di pos pusat penjagaan. Di sana terlihat Panglima Tungga dan Panglima Banu tengah berbincang-bincang.

"Ya! Cepat sampaikan!" ucap Panglima Tungga, penuh wibawa.

"Rombongan yang kita tunggu-tunggu telah

tiba!"

"Apa?!" Panglima Tungga sampai terlonjak dari

kursi yang didudukl "Kalau begitu, aku akan ke sana untuk melihatnya. Tolong siapkan segala sesuatu yang telah dirembuk itu, Panglima Banu."

Setelah meninggalkan pesan seperti itu, Panglima Tungga berlari cepat menuju dinding istana. Tidak dipedulikannya lagi anak buahnya yang tadi memberikan laporan.

Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Panglima Tungga telah tiba di dekat dinding istana.

"Hih!"

Tanpa menimbulkan suara yang berarti, Panglima Tungga mendarat di dinding atas. Dan secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu pula pandangannya dilayangkan ke luar.

"Benar..., mereka telah datang," desah Panglima Tungga pelan seperti berbicara pada diri sendiri. Kemudian, perhatiannya dialihkan pada prajurit berkumis tebal yang menjadi pimpinan pasukan panah.

"Musuh telah di ambang mata. Apakah kau telah siap menyambutnya?"

"Siap, Panglima," sahut prajurit berkumis tebal itu.

"Bagus!"

Usai berkata demikian, Panglima Tungga beranjak meninggalkan pimpinan pasukan panah itu. Kemudian dengan tergesa-gesa dia melompat turun dan melesat menuju tempatnya semula. Dia bahkan sampai tidak ingat pada prajurit yang telah memberi laporan padanya. Padahal di saat hendak turun, prajurit itu tengah merayap naik ke dinding istana.

Sementara itu, pimpinan pasukan panah segera mengumpulkan anak buahnya.

"Ingat! Apabila aku memberi aba-aba, baru anak-anak panah kalian lepaskan. Yang pertama kali, adalah anak panah biasa. Kedua, panah berapi. Dan yang terakhir, panah-panah istimewa. Tapi, ingat! Anak panah berapi dan istimewa jumlahnya terbatas. Jadi, jangan langsung dihambur-hamburkan begitu saja. Mengerti?!"

"Mengerti!" sahut prajurit-prajurit itu serempak. "Kalau demikian, sekarang kalian kembali ke  tempat masing-masing!" perintah prajurit berkumis

tebal itu.

Tanpa menungggu perintah dua kali, prajuritprajurit itu bubar untuk menuju tempat masingmasing. Dan begitu telah sampai di tempat yang dituju, masing-masing prajurit segera menyiapkan peralatannya. Sesaat kemudian, anak-anak panah yang siap meluncur telah berada di tangan.

Kini pasukan panah Kerajaan Mandau tinggal menunggu perintah. Pandangan mata mereka semua tertuju ke depan menanrj hingga rombongan anak buah Mata Malaikat tiba di tempat yang dapat dijangkau luncuran anak panah.

Tapi penantian yang dilakukan ternyata membutuhkan kesabaran besar. Karena ternyata, sebelum mencapai tempat yang dapat dijangkau luncuran anak panah, rombongan anak buah Mata Malaikat ternyata tidak bergerak maju lagi. Tentu saja hal itu membuat pasukan panah Kerajaan Mandau merasa heran bukan kepalang. Tanpa sadar, mereka saling berpandangan satu sama lain, dengan sinar mata menyorotkan pertanyaan besar. Memang, tidak satu pun dari mereka yang tahu pasti, mengapa rombongan anak buah Mata Malaikat berhenti bergerak. Apalagi, jaraknya masih terlalu jauh untuk bisa dilihat jelas. Tak kurang dari pimpinan pasukan panah ikut merasa heran. Apa yang hendak dilakukan rombongan Mata Malaikat? Begitu pertanyaan yang bergayut di benak mereka.

Sementara itu, pihak yang menjadi bahan pemikiran sama sekali tidak tahu apa-apa. Mereka berpencar, mencari tempat-tempat yang teduh di bawah pohon. Apalagi, saat itu udara cukup panas, karena matahari sudah hampir berada di atas kepala.

Di tempat yang terpisah dari rombongan lain, duduk enam sosok tubuh. Mereka adalah Mata Malaikat, datuk-datuk sesat dari empat penjuru angin, dan Melati! Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak terbelenggu. Bahkan sepertinya Melati telah menjadi kawan mereka.

''Pertempuran kali ini tidak bisa disamakan dengan pertempuran sebelumnya," Mata Malaikat membuka percakapan tanpa mengalihkan pandangan dari bangunan Istana Kerajaan Mandau yang nampak dari kejauhan. "Kerajaan Mandau tidak bisa disamakan dengan Kerajaan Gambang. Di samping jumlah pasukan yang besar, kemampuan perorangan mereka berada di atas prajurit-prajurit Kerajaan Gambang. Bahkan Kerajaan Mandau pun memiliki sekumpulan prajurit terlatih! Bukan begitu, Setan Kecil?"

"Benar, Yang Mulia," jawab Setan Kecil Muka Hitam sambil menganggukkan kepala. "Berita yang kudapatkan sama seperti Yang Mulia katakan."

"Aku pun telah mendengarnya pula," selak Setan Botak. "Kudengar, Kerajaan Mandau memiliki prajurit-prajurit yang mampu melakukan serangan secara berkelompok dengan kerja sama yang baik. Sehingga meskipun serangan mereka terdiri dari delapan orang, tapi seperti dikendalikan satu pikiran. Kerja sama mereka demikian rapi!"

Dua datuk yang Iain mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan rekan mereka.

"Itulah sebabnya, aku memberi kesempatan pada rombongan kita untuk beristirahat. Meskipun jumlah kita kali ini jauh lebih besar, tapi demi keberhasilan, kuputuskan untuk melakukan serangan dalam keadaan segar bugar!" urai Mata Malaikat panjang lebar.

Empat datuk golongan hitam itu menganggukanggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan Mata Malaikat.

"Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak, Yang Mulia. Karena bukan hal yang mustahil kalau dia akan datang nanti. Aku yakin, dia telah sembuh dari luka dalamnya," sergah Setan Kecil Muka Hitam tiba-tiba.

"Ha ha ha...!" mendadak Mata Malaikat tertawa. "Apalah artinya seorang Dewa Arak? Lagi pula apabila dia benar datang mengganggu, akan kita bungkam untuk selama-lamanya dengan perantaraan kekasihnya! Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"

Setan Botak, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa ikut tertawa bergelak. Di dalam hati, mereka semua memuji kecerdikan akal Mata Malaikat.

"Bagaimana, Melati? Kau telah siap melenyapkan Dewa Arak selama-lamanya?" tanya Mata Malaikat pada Melati yang sejak tadi hanya diam saja.

"Siap, Yang Mulia!" jawab gadis berpakaian putih itu dengan raut wajah beku.

"Kau ingat semua rencana yang kujelaskan padamu?" tanya Mata Malaikat lagi.

"Ingat, Yang Mulia!"

"Bagus! Ingat, Melati! Jangan sampai gagal! Dewa Arak harus berhasil kau bunuh!" tandas Mata Malaikat

Melati hanya mengangguk.

Keheningan langsung menyelimuti mereka, setelah Mata Malaikat tidak mengatakan apa-apa lagi. Hal itu terjadi karena, Melati, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka Tengkorak, Setan Tenaga Raksasa, dan Setan Botak tidak berkata-kata lagi.

Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena Mata Malaikat bangkit dari duduknya.

"Siapkan pasukan! Sekarang juga kita akan mengambil alih kekuasaan Istana Mandau!" ujar Mata Malaikat.

"Baik, Yang Mulia!" jawab empat datuk golongan hitam itu hampir berbareng.

Usai berkata demikian, Setan Kecil Muka Hitam mengalihkan perhatian ke arah tokoh-tokoh golongan hitam yang berpencar-pencar di sekitar tempat itu.

"Bangun semua! Sekarang saatnya merebut Istana Mandau!"

"Horeee...!" seru seluruh anggota rombongan serempak.

"Hidup Yang Mulia Mata Malaikat!" pekik salah seorang dari mereka.

"Hidup!" sambut yang lain beramai-ramai. "Hancurkan Kerajaan Mandau!" "Bunuh Prabu Tanjula!"

Hanya dalam waktu sekejap, suasana di sekitar tempat itu langsung gaduh. Masing-masing orang berteriak semaunya. Namun ketika Setan Kecil Muka Hitam mengangkat tangan kanan ke atas, hiruk-pikuk itu kontan terhenti.

"Siapkan perlengkapan kalian! Dan mari kita berangkat!" perintah Setan Kecil Muka Hitam.

Tanpa membantah sama sekali, rombongan yang terdiri dari orang-orang golongan hitam itu bergerak maju. Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi genangan darah akan membasahi bumi!

Tapi ternyata tidak semua orang yang berada di situ meninggalkan tempat ini. Masih ada yang tertinggal! Dan dia adalah gadis cantik berpakaian putih dan berambut panjang tergerai! Melati!

Dan ternyata, Melati pun tidak lama-lama duduk di situ. Sesaat kemudian, dia bangkit dan melangkah. Tapi arah yang dituju tidak searah dengan Mata Malaikat dan rombongannya.

7

Tentu saja tindakan gerombolan Mata Malaikat segera diketahui pasukan panah Kerajaan Mandau yang sejak tadi sudah menunggu saat-saat yang tepat untuk meluncurkan anak panah.

Seiring semakin dekatnya jarak gerombolan Mata Malaikat, semakin keras pula debaran jantung masing-masing prajurit Kerajaan Mandau. Mereka semua merasa tegang Apalagi orang yang memimpin pasukan panah. Dialah yang paling merasa tegang. Masalahnya, meluncurnya anak-anak panah para prajurit, ada pada perintahnya. Dan kini, perhatian prajurit berkumis tebal itu terpusat pada kedatangan lawan.

"Seluruh pasukan...! Siaaap...! Aku akan mulai menghitung. Dan sampai pada hitungan ketiga, baru anak panah diluncurkan! Semua, mengerti?!"

"Mengerti!" sambut seluruh prajurit, kompak. "Satu.... Dua.... Ti... ga!"

Twang! Twang! Twang...!

Ratusan anak panah langsung melesat dari busurnya ketika prajurit berkumis tebal itu selesai menghitung. Bunyi terlepasnya anak panah dari busur, membuat telinga terasa sakit. Apalagi ketika anak-anak panah itu meluncur membelah udara.

Kemudian tanpa menunggu hasilnya, semua pasukan panah kembali mementangkan anak panah lain pada busur, lalu melepaskannya kembali.

Twang! Twang! Twang...!

Kembali, tak kurang dari seratus anak panah meluncur ke arah gerombolan Mata Malaikat. Dan pemandangan yang terlihat mengerikan sekali. Bagi gerombolan Mata Malaikat, anak-anak panah yang datang laksana buriran-butiran hujan.

Namun gerombolan Mata Malaikat memang sudah memperhitungkannya. Itulah sebabnya, mereka tidak gugup. Senjata-senjata yang sejak tadi tercekal di tangan pun langsung dikibaskan, untuk mematahkan serangan anak-anak panah yang tengah mengancam keselamatan nyawa.

Dan tentu saja tidak semua orang yang menggunakan senjata. Tokoh-tokoh yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, langsung menggunakan sepasang tangannya untuk mematahkan semua serangan. Memang, dengan pengerahan tenaga dalam, tangan-tangan itu sudah merupakan senjata bagiya.

Trang, trang! Takkk!

Dentang beradunya anak-anak panah dengan senjata-senjata di tangan gerombolan Mata Malaikat, terdengar susul-menyusul. Itu pun masih ditambah lagi memerciknya bunga-bunga api ke sana kemari! Tak pelak lagi, suasana hiruk pikuk pun menyelimuti.

Dan sambil terus mengibaskan tangan ke sana kemari para tokoh golongan hitam itu terus merangsek maju. Dan setapak demi setapak, benteng Istana Kerajaan Mandau semakin dekat.

Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam berada di baris terdepan. Sambil mengibaskan kedua tangan ke sana kemari, mereka cepat merangsek maju. Dan sudah pasti maksudnya adalah untuk masuk ke dalam istana lebih dulu!

Namun sebelum maksud itu kesampaian, terjadi suatu hal yang mengejutkan. Ternyata anak-anak panah yang dilepaskan pasukan Kerajaan Mandau adalah panah berapi!

Kalau Mata Malaikat dan empat anak buah utamanya saja terkejut, apalagi para tokoh golongan hitam lain yang menjadi anak buahnya. Mereka kini dilanda perasaan kaget yang berlipat ganda. Dan mau tak mau, mereka harus lebih hati-hati dalam melancarkan tangkisan!

Trang, trang, cappp! "Wuaaa...!"

Lolong kesakitan terdengar dari mulut seorang tokoh golongan hitam yang kurang cepat bertindak menangkis. Anak panah berapi menancap telak di bahu kirinya. Dan seketika itu pula, tubuhnya terhuyung dengan kobaran api langsung membakar dirinya. Tak pelak lagi, dia menggeliat-geliat menahan panas dan sakit

Sambil meraung-raung kesakitan, tokoh golongan hitam yang sial itu berusaha mencabut anak panah yang menancap di bahunya. Tapi, usahanya siasia belaka. Tubuhnya telah terlampau termakan api demikian cepat, karena pakaiannya terbuat dari bahan yang mudah terbakar.

Dan yang lebih sial lagi, tidak seorang rekan pun yang sudi menolongnya. Masalahnya, mereka semua sendiri tengah sibuk menghadapi anak-anak panah yang terus saja meluncur, seakan-akan tidak pernah habis.

Sementara, gerombolan itu terus saja bergerak sambil terus mengibaskan tangan untuk menangkis hujan anak panah yang sesekali berapi! Korban pun mulai berjatuhan. Jerit kesakitan dan lolong kematian menyeruak, mencoba mengatasi bisingnya benturan anak-anak panah dengan senjata.

Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam yang mendengar jeritan-jeritan anak buahnya, menjadi murka setengah mati. Maka, kemampuannya pun segera dikerahkan untuk cepat bisa tiba di atas dinding istana!

Mereka semua tahu pasti, kalau keadaan tidak segera diperbaiki, akan banyak jatuh korban. Paling tidak, kemampuan yang dimiliki akan menurun.

Dan dengan tekad yang bulat, Mata Malaikat dan empat datuk sesat itu merangsek maju mendekati dinding tinggi yang melingkari bangunan Istana Kerajaan Mandau yang berhalaman luas. Pada kenyataannya mereka berhasil. Bahkan tak lama lagi, dipastikan akan berhasil naik ke atas dinding. Dan ketika akhirnya telah berhasil mendekati dinding istana, kelima orang pimpinan datuk hitam itu sama-sama menjejak tanah.

"Hih!"

Hanya sekali genjot, tubuh Mata Malaikat, Setan Botak, Setan Kecil Muka Hitam, Setan Muka Tengkorak, dan Setan Tenaga Raksasa, telah melayang ke atas. Sementara, para prajurit yang melihat segera melepaskan anak-anak panah. Namun semua itu siasia belaka, karena dengan mudah berhasil dipapak Mata Malaikat dan empat datuk sesat itu.

Tapi setelah berhasil memapak, Mata Malaikat dan empat orang andalannya sama sekali tidak menduga kalau pihak lawan telah mempersiapkan serangan lain. Dan di saat tubuh mereka baru setengah perjalanan, dari atas meluncur jala!

Wrrr! "Hehhh...?!"

Jeritan-jeritan kaget langsung terdengar dari mulut Mata Malaikat dan empat orang anak buahnya, ketika melihat serangan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Mereka ingin mengelak, tapi bagaimana bisa? Jala-jala itu terkembang lebar dan langsung menutupi tubuh, tanpa mereka sempat berbuat sesuatu.

Mau tak mau, Mata Malaikat dan empat anak buah andalannya terpaksa membatalkan maksudnya. Bagaimana bisa tiba di atas kalau tubuh mereka tertutupi jala-jala? Maka yang dilakukan mereka adalah segera mendarat kembali di tanah.

Namun untuk yang kesekian kalinya, Mata Malaikat dan empat datuk golongan hitam itu harus menelan kenyataan pahit. Ternyata lawan benar-benar tidak bisa diremehkan. Kenyataannya, sebelum kaki menyentuh tanah, daun pintu gerbang telah terbuka lebar. Dan dari daun pintu yang terkuak, keluar tak kurang dari seratus orang bersenjata lengkap! Sungguh sebuah rencana yang rapi dan matang!

Kali ini Mata Malaikat dan datuk-datuk golongan hitam dari empat penjuru mata angin itu benarbenar dibuat sibuk. Padahal di saat tubuh mereka tengah meluncur turun dengan tertutupi jala, hujan anak panah tetap tak berkurang! Hanya saja, anak panah yang dilepaskan bukan anak panah api! Namun meskipun demikian, tetap saja cukup membuat kelima orang sakti itu kerepotan! Betapa tidak? Dalam keadaan tertutup jaring, mereka masih berusaha menghalau serangan anak-anak panah yang mengancam!

Sementara, hujan anak panah terhadap orangorang golongan hitam itu tetap tidak berkurang sedikit pun! Korban di pihak anak buah Mata Malaikat terus berjatuhan. Padahal di pihak Kerajaan Mandau sendiri, belum ada satu pun yang jadi korban.

Sedangkan baru saja Mata Malaikat dan empat anak buah andalannya mendarat tanpa sempat membuka jaring, pasukan Kerajaan Mandau telah lebih dulu menyerbu. Hebatnya, mereka tak menyerang serampangan. Bahkan membentuk kelompok serangan sendiri-sendiri, tanpa memberi kesempatan pada kelima orang lawannya untuk memperbaiki diri.

Patut dipuji siasat yang diterapkan Panglima Tungga! Mata Malaikat dan gerombolannya dibuat kocar-kacir. Terutama sekali, di pihak anak buah Mata Malaikat yang telah banyak jatuh korban. Sedangkan sisanya, sudah mulai dihinggapi rasa letih. Meskipun demikian usaha mereka tidak sia-sia, karena telah mulai mendekati dinding istana.

Tapi sebelum mampu mencapai jarak yang lebih dekat lagi, dari dalam pintu gerbang meluruk serombongan besar pasukan Kerajaan Mandau dalam jumlah yang banyak! Bahkan mungkin tak kurang dari delapan ratus orang! Dan yang lebih hebat lagi, mereka semua mengenakan perlengkapan prajurit!

Begitu keluar, rombongan Kerajaan Mandau langsung meluruk ke arah gerombolan anak buah Mata Malaikat. Teriakan-teriakan bernada perang kontan keluar dari mulut mereka.

Memang, sejak tadi pasukan Kerajaan Mandau sudah menahan-nahan kejengkelan yang membara di hati. Maka datangnya serbuan ini, membuka kesempatan untuk melampiaskan rasa jengkelnya. Tak pelak lagi, pertempuran besar-besaran pun tidak terelakkan lagi.

Seketika itu pula, dentang senjata beradu, percikan bunga api, dan jerit kesakitan serta lolong kematian segera menghiasi pertarungan acak-acakan yang tengah berlangsung.

***

"Ahhh...! Jangan-jangan aku telah terlambat!" Ucapan bernada keluhan ini keluar dari mulut

Dewa Arak tanpa menghentikan ayunan langkahkakinya yang masih saja berlari. Sepasang matanya yang menyiratkan kecemasan, diarahkan ke depan.

Di kejauhan, terlihat debu-debu mengepul tinggi ke angkasa. Juga, tampak banyak titik hitam yang jelas bergerak-gerak. Tampaknya, itu adalah suatu pertarungan besar. Yakin dengan dugaannya, Dewa Arak memaksakan diri untuk terus berlari cepat bagai kilat. Tapi baru juga beberapa lesatan... "Kang...! Kang Arya...!"

Panggilan itu membuat Dewa Arak tersentak bagai disengat ular berbisa! Seketika itu juga, larinya terhenti. Bahkan hampir terjatuh, karena kedua kakinya mendadak lemas mendengar panggilan itu. Dan yang lebih membuatnya lemas, orang yang memanggil adalah... Melati!

Dewa Arak yakin, kalau orang yang memanggilnya Melati. Tapi, akal sehatnya membantah. Bukankah kekasihnya menjadi tawanan Mata Malaikat? Jadi, mana mungkin Melati yang memanggil?

Takut akan menghadapi kenyataan, meskipun langkahnya telah berhenti, tetap saja pandangan Dewa Arak tidak berani beralih ke tempat asal panggilan itu.

"Kang..., Kang Arya...!"

Lagi-lagi terdengar panggilan untuk Dewa Arak. Hanya saja, kali ini lebih jelas. Mungkinkah kupingnya salah dengar? Dan hal ini membuat Dewa Arak menjadi penasaran. Maka dengan perlahan-lahan Dewa Arak berpaling ke arah kanan. Dan....

"Melati...!" pekik Arya kaget campur gembira ketika melihat kekasihnya berdiri beberapa tombak di sebelah kanan agak ke belakang.

"Kang Arya...!" orang yang tak lain Melati itu balas memanggil.

Entah siapa yang memulai, tahu-tahu Dewa Arak maupun Melati berlari saling menghampiri dengan kedua tangan sama-sama terkembang. Hanya beberapa langkah saja saling menghampiri, karena sesaat kemudian sepasang muda muda ini telah saling berpelukan erat.

"Melati..., ah...! Melati...!" desah Arya setengah mengeluh tanpa mengendurkan pelukannya. "Syukur kau selamat..."

"Aku berhasil meloloskan diri, Kang," jawab Melati lirih.

Dan seperti juga Dewa Arak, gadis berpakaian putih ini sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Tapi tanpa Arya tahu, Melati mengeluarkan sebilah pisau dari balik lengan bajunya. Sebilah pisau yang berkilat-kilat tajam dan ada sorot kehijauan pada batangnya. Ini menjadi pertanda kalau pisau itu mengandung racun ganas!

Dewa Arak yang tengah dilanda rasa kaget dan gembira, menjadi berkurang kewaspadaannya. Tambahan lagi, dia percaya penuh pada kekasihnya. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak tahu kalau maut tengah mengancam. Dan memang, Melati hanya tinggal menghunjamkan pisau itu ke tengkuk Dewa Arak!

Mendadak...

"Dewa Arak..! Awaaas…'' "Hih!"

8

Tepat di saat Melati hampir menikamkan pisau di tengkuk Dewa Arak, terdengar seruan keras memperingatkan. Karuan saja Dewa Arak tersentak kaget. Dan ini mengakibatkan pelukannya pada Melati mengendur. Dan, saat itulah Melati menghunjamkan pisaunya ke tengkuk Dewa Arak. Dan...

Trakkk!

Ujung pisau Melati menghunjam di tempat yang keliru. Bukannya tengkuk Dewa Arak yang ditikam, tapi guci araknya! Namun tak urung, beberapa helai rambut Dewa Arak terpapas.

"Melati..., kau...!" ujar Dewa Arak kaget ketika menyadari kalau serangan itu berasal dari kekasihnya. Dalam kagetnya, pemuda berambut putih keperakan itu tidak bertindak apa-apa kecuali melangkah mundur. Sorot matanya memancarkan

ketidakpercayaan yang amat sangat.

Tapi, Melati sama sekali tidak mempedulikan keadaan Dewa Arak. Kegagalan usahanya tidak membuatnya putus asa. Dibuangnya pisau di tangannya begitu saja ke tanah, kemudian pedangnya dicabut.

Srattt! Wunggg!

Suara menggerung keras terdengar ketika Melati langsung menerjang Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga'.

Hal ini membuat keterkejutan Dewa Arak semakin menjadi-jadi. Dan disadari betul, Melati benarbenar hendak membunuhnya! Buktinya, gadis berpakaain putih itu langsung menggunakan ilmu pedang andalan!

"Melati..., apa yang terjadi terhadap dirimu...," keluh Dewa Arak bingung.

Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini tidak bisa bingung terlalu lama, ketika serangan Melati telah meluncur. Terpaksa ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, dan serangan kekasihnya didakkan.

"Jangan buang-buang waktu lagi, Anak Muda. Cepat robohkan dia. Gadis itu telah terpengaruh sihir dan obat!"

Terdengar pemberitahuan di telinga Dewa Arak. Kini Dewa Arak mengerti, kenapa Melati mempunyai keinginan yang demikian keras untuk membunuhnya. Ternyata, gadis berpakaian putih itu berada dalam pengaruh sihir dan obat! Ternyata, begitu telah tahu penyebab keanehan tindakan Melati, Dewa Arak mulai melancarkan serangan. Dia tahu, orang yang memberitahukannya berkepandaian tinggi. Terbukti, orang itu tahu keadaan yang menimpa Melati. Dan yang lebih menegaskan kesaktian orang  itu adalah kemampuannya dalam mengirimkan suara dari jauh. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan tingkat kepandaiannya.

Meskipun sekarang telah melakukan perlawanan, namun bukan berarti hal mudah bagi Dewa Arak untuk merobohkan Melati. Masalahnya, dia ingin merobohkan gadis itu tanpa harus melukai. Dan hal itu lebih mudah dibicarakan, daripada dilaksanakan. Kenyataannya Melati memiliki kepandaian tinggi. Tambahan lagi, gadis berpakaian putih itu menyerang tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri. Dan akibatnya, pertarungan berlangsung agak lama.

Baru pada jurus kedua puluh lima, sebuah kesempatan emas terbuka bagi Dewa Arak. Itu pun setelah memancing Melati lebih dulu. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan.

Tukkk! "Uhhh...!"

Melati terkulai lemas ketika jari tangan Dewa Arak menotoknya. Tapi sebelum tubuh gadis berpakaian putih itu ambruk, Dewa Arak telah lebih dulu menangkapnya. Dan dengan tubuh Melati berada di pondongannya, Dewa Arak menoleh ke arah asal suara pemberitahuan itu.

"Garuda Mata Satu! Puspa Kenaka! Ah! Hendak ke mana kalian...!" seru Arya gembira, ketika melihat dua di antara tujuh sosok tubuh yang berada di sana. Garuda Mata Satu dan putrinya.

Kemudian dengan langkah lebar, Dewa Arak menghampiri Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka.

"Kami hendak ke Istana Kerajaan Mandau. Tapi, terlebih dulu kuperkenalkan tokoh-tokoh sakti yang bersamaku ini. Mereka berjuluk Lima Dewa Hati Emas "

"Ah !" desah Dewa Arak kaget.

Memang, nama besar Lima Dewa Hati Emas pernah disebut-sebut gurunya sebagai tokoh yang memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi menurut cerita gurunya, lima dewa itu telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Bahkan tempat pengasingannya tak ada yang tahu! Maka merupakan hal yang luar biasa kalau Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka bisa bersama mereka.

"Merupakan sebuah kehormatan besar bila bertemu kalian berlima. Terimalah salam hormatku, Ki," kata Dewa Arak sambil membungkuk dengan penuh rasa hormat.

"Sudahlah, Dewa Arak! Lupakan saja semua peradatan itu. Kau pun mempunyai nama besar yang tidak kalah dengan kami! Garuda Mata Satu banyak bercerita tentang dirimu!" sergah salah seorang dari Lima Dewa Hati Emas.

''Tapi, mana bisa dibandingkan dengan nama besar Lima Dewa Hati Emas," kata Dewa Arak merendah.

Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak heran melihat wajah, pakaian, dan potongan tubuh Lima Dewa Hati Emas yang mirip satu sama Iain. Semuanya bertubuh kecil kurus dan berpakaian putih. Yang membedakan hanya alisnya yang masing-masing berwana merah, biru, hitam, putih, dan kuning.

"Mereka adalah guru-guru dari Gusti Prabu Tanjula, Raja Kerajaan Mandau, Dewa Arak," jelas Garuda Mata Satu tanpa diminta. "Dan beliau-beliau ini diminta datang oleh Gusti Prabu, karena ada urusan yang sangat penting! Dan kamilah yang diutus menjemputnya. O ya, Dewa Arak. Kami akan kembali ke Kerajaan Mandau."

"Selamat, Garuda Mata Satu, Puspa," ucap Dewa Arak.

''Terima kasih, Dewa Arak "

"Ayah!" selak Puspa Kenaka. "Jangan-jangan gerombolan Mata Malaikat telah menyerbu Kerajaan Mandau."

"Ah! Kau benar! Mari kita ke sana sebelum terlambat!" sambut Garuda Mata Satu, cepat.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, rombongan kecil itu langsung melesat cepat menuju Istana Kerajaan Mandau.

***

Sementara itu, pertempuran besar-besaran yang berlangsung tampak semakin sengit. Tempat pertarungan pun telah bergeser. Sekarang, kancah pertarungan sudah tidak terbagi-bagi lagi. Namun pertarungan masih terus berlangsung acak. Bahkan Mata Malaikat dan datuk-datuk golongan hitam kini hanya menghadapi pasukan biasa. Maka akibatnya bisa diduga. Setiap kali tangan atau kaki Mata Malaikat bersama empat datuk sesat itu bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada nyawa yang melayang.

Dan saat Kerajaan Mandau berada dalam keadaan terdesak, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas, Garuda Mata Satu dan Puspa Kenaka tiba di sana. Tanpa membuang-buang waktu, mereka semua melesat ke dalam kancah pertarungan.

Namun sebelum Puspa Kenaka terlibat dalam pertarungan, Dewa Arak sudah keburu memanggilnya. ''Tolong jaga Melati, Puspa," pinta Dewa Arak

sambil menyerahkan tubuh kekasihnya.

Tanpa berkata apa-apa, Puspa Kenaka segera menerima tubuh Melati. Kemudian dia menjauhkan diri, mencari tempat yang agak jauh dari kancah pertarungan

Dan begitu telah memasuki kancah pertarungan, Dewa Arak, Lima Dewa Hati Emas, serta Garuda Mata Satu langsung mencari lawan! Empat dari Lima Dewa Hati Emas telah menghadang empat datuk golongan hitam. Sedangkan yang satu lagi terpaksa menghadapi anak buah Mata Malaikat lainnya. Masalahnya, Dewa Arak telah lebih dulu menghadang Mata Malaikat.

"Ha ha ha...! Rupanya kau masih punya nyali untuk menghadapiku, Dewa Arak?! Jangan-jangan, kau akan melarikan diri lagi! Ha ha ha...!" ejek Mata Malaikat, sambil tertawa bergelak.

''Tutup mulutmu, Mata Malaikat! Kali ini jangan harap nyawamu akan kuampuni!"

Setelah berkata demikian, Dewa Arak langsung menenggak araknya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanan menuju perut. Sesaat kemudian, ada hawa hangat yang menjalar di perut Dewa Arak. Kemudian hawa hangat itu naik ke atas. Maka seketika itu pula tubuh pemuda berambut putih keperakan ini oleng ke kanan dan ke kiri. Ini menandakan kalau Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belakang Sakti'nya.

"Mampuslah kau, Dewa Arak!"

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Mata Malaikat langsung menerjang Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher.

Wuttt!

Deru angin keras yang seiring luncuran serangan Mata Malaikat, menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.

Dewa Arak menyadari kedahsyatan serangan lawan. Maka, buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Mata Malaikat hanya mengenai tempat kosong.

Tapi, tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, tangan kirinya diluncurkan untuk menangkap pergelangan kaki Mata Malaikat yang belum sempat ditarik kembali.

Tappp!

Tangkapan Dewa Arak ternyata mengenai tempat kosong, karena Mata Malaikat telah lebih dulu menarik kakinya. Tak lupa, dikirimkannya serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang berbeda aliran dan usia ini telah terlibat pertarungan sengit!

Ternyata, bukan hanya di kancah pertarungan Dewa Arak dan Mata Malaikat saja yang berlangsung sengit dan ramai. Meskipun demikian, harus diakui kalau pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat paling menarik dan seru.

Sedangkan pada pertarungan antara empat datuk golongan hitam melawan empat dari Lima Dewa Hati Emas, berlangsung kurang seru. Karena tak sampai lima puluh jurus, para tokoh sesat itu telah berhasil didesak. Tak bisa disangkal lagi kalau anggota-anggota Lima Dewa Hati Emas terlalu kuat untuk dilawan.

Hal yang sama pun menimpa anak buah Mata Malaikat lainnya. Memang, semula mereka berhasil mendesak pihak Kerajaan Mandau, karena adanya lima pentolan tokoh hitam. Dan begitu tokoh-tokoh yang diandalkan sudah berjatuhan, mereka pun terdesak kembali!

Apalagi, di pihak lawan ada salah seorang dari Lima Dewa Hati Emas. Meskipun anggota Lima Dewa Hati Emas ini tidak mau membunuh lawannya, tapi sekali kena sentuhan atau tepakan, sudah cukup membuat gerombolan Mata Malaikat roboh dan tidak mampu melanjutkan pertarungan. Dan akibatnya, gerombolan Mata Malaikat jelas akan hancur berantakan!

Tanda-tanda kehancuran gerombolan Mata Malaikat diawali oleh robohnya satu persatu empat datuk golongan hitam. Berturut-turut mereka terjengkang ke belakang dan ambruk di tanah. Tewas dengan isi dada remuk!

Setelah berhasil merobohkan lawan-lawannya, empat dari lima kakek berpakaian putih yang bergelar Lima Dewa Hati Emas ini ikut terjun dalam kancah pertarungan yang acak-acakan. Tentu saja hal ini membuat keadaan anak buah Mata Malaikat semakin kalang kabut.

Belum sampai sepuluh jurus, anak buah Mata Malaikat yang masih hidup langsung melempar senjata dan menyerah. Dan tanpa membuang-buang waktu, prajurit-prajurit Kerajaan Mandau langsung meringkus.

Dengan menyerahnya anak buah Mata Malaikat, maka Lima Dewa Hati Emas pun terpaksa harus menganggur. Di saat prajurit-prajurit Kerajaan Mandau sibuk membenahi keadaan di sekitar tempat itu, lima kakek sakti ini memperhatikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak melawan Mata Malaikat sudah mencapai tahap-tahap penentuan.

"Guru...!"

Sebuah sapaan bernada hormat membuat Lima Dewa Hati Emas menoleh.

"Ah! Kiranya kau, Tanjula...!" kata kakek yang beralis merah. "Kau benar. Dialah orang yang kami cari-cari. Rupanya, Mata Malaikat julukannya. O, ya. Dari mana kau tahu kalau dia adalah orang yang kami cari-cari, Tanjula? Padahal, kau belum pernah melihatnya. Dan kami hanya menceritakan tentang matanya yang buta sebelah."

Prabu Tanjula, Raja Kerajaan Mandau itu tersenyum lebar.

''Itu hanya dugaanku saja, Guru. O, ya. Kalau boleh kutahu, apa urusannya Mata Malaikat dengan Guru berlima?"

"Dia sebenarnya bekas murid kami. Tapi karena wataknya yang tidak baik, kami mengusirnya. Dan begitu mendengar berita yang kau bawa, kami memutuskan untuk melenyapkannya.  Syukurlah kalau Dewa Arak telah mendahului kami," urai kakek beralis merah itu panjang lebar. Rupanya, dialah yang paling suka banyak bicara.

"Hanya untuk masalah Mata Malaikat saja, Guru berlima sampai datang kemari!"

''Tentu saja tidak. Kami ingin melihatmu dan kerajaanmu. Ingat, Tanjula. Kita sudah dua puluh tahun lebih tidak bertemu."

Prabu Tanjula hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tapi baru saja hendak melanjutkan ucapannya, terdengar suara keras dari kancah pertarungan.

"Haaat...!"

"Hiyaaat...!"

Ternyata, di jurus kedua ratus sepuluh, baik Mata Malaikat maupun Dewa Arak sama-sama saling terjang. Dan begitu sama-sama berada di udara, Mata Malaikat langsung mengegoskan rambu kuncir kepalanya.

Wuttt..!

Rambut berujung bintang segi lima yang mengandung racun jahat itu tiba-tiba meluncur ke arah pelipis Dewa Arak. Apabila terkena sedikit saja, Dewa Arak pasti tewas.

Dan herannya, kali ini Dewa Arak mengambil tindakan berbahaya. Lewat perhitungan matang seorang tokoh silat berkepandaian tinggi, ditangkisnya sabetan rambut Mata Malaikat dengan tangan kiri. Dan tangkisannya diusahakan agar tidak mengenai bintang segi lima Mata Malaikat

Tappp! Rrrttt!

Rambut Mata Malaikat seketika membelit tangan kiri Dewa Arak. Dan tentu saja, tidak melilit secara erat. Maka, di saat itulah Dewa Arak menghantamkan guci araknya ke dada Mata Malaikat disertai pengerahan tinaga dalam tinggi sekali.

Wuttt! Bukkk!

Telak dan keras sekali dada Mata Malaikat terhantam guci Dewa Arak! Akibatnya, tubuhnya kontan melayang ke belakang. Darah segar yang memancur dari mulut, hidung, dan telinganya langsung membasahi tanah sepanjang luncuran tubuhnya yang tanpa nyawa lagi.

Jliggg!

Ringan laksana daun kering, Dewa Arak mendarat di tanah. Kemudian, langsung dihampirinya Puspa Kenaka untuk meminta Melati kembali. Tidak dipedulikannya lagi mayat Mata Malaikat. Yang ada di benak Dewa Arak hanyalah mengobati Melati secepatnya. Dan Dewa Arak tahu, Melati akan sembuh dalam waktu dekat!

SELESAI



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar