Eps 24 - Pertarungan Raja-Raja
Arak
Matahari belum bergulir jauh
ketika sosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih keperakan keluar dari
mulut sebuah hutan kecil. Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi.
Melihat sebuah guci arak yang tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda
itu adalah peminum kelas kakap. Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia
adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak!
Dewa Arak kini melesat cepat
meninggalkan Hutan Koneng. Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau,
dia harus kembali ke Desa Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda
berambut putih keperakan itu telah tiba di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya
menghentikan larinya. Pandangannya tertumbuk pada carikan kain yang menempel di
tembok. Surat tantangan yang ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh
Setan Mabuk. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu
memperhatikan, lalu mencabutnya. Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu
membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar jelas,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa
heran melihat suasana sepi yang melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama
desa begitu lengang. Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar
telah porak-poranda. Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula
daun jendela yang pergi entah ke mana.
Sambil terus menoleh ke sana
kemari, pemuda berpakaian ungu itu terus melangkah masuk ke dalam desa. Seperti
juga sebelumnya, hanya kesunyianlah yang dijumpainya. Desa Koneng benar-benar
telah menjadi desa mati.
Secara sambil lalu, Arya
melangkah menghampiri sebuah rumah yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi.
Tapi begitu melongok ke dalam, secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar.
Ada suara menggeretak keras keluar dari mulutnya ketika kepalanya berpaling.
Jelas kalau Dewa Arak dilanda kemarahan hebat.
Betapa tidak? Di ruang tengah
rumah itu nampak empat sosok tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat
saja, bisa diketahui kalau semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu
adalah anak-anak. Sementara yang dua orang lagi adalah laki-laki dan wanita,
berusia sekitar tiga puluh tahunan. Yang laki-laki tewas dengan kepala terpisah
dari tubuhnya. Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia
tewas dalam keadaan pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu
diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh
amarah bergelora, Arya melangkah meninggalkan rumah itu. Dan kini perjalanannya
dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah
lambat-lambat seperti sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat kini
hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
Entah berapa lama berlari,
Arya sama sekali tidak menghitungnya. Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya
dari tempat yang membuat hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu
baru melambatkan larinya begitu melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di
hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya
terbelalak begitu melihat sesosok tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari
dalam desa. Menilik dari gerak-gerik orang itu, seperti ada sesuatu yang
ditakutinya. Hal ini membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Dia ingin
tahu, apa yang membuat orang itu bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara
mereka masih terpisah tak kurang dari tujuh tombak, tubuh orang yang
berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan langsung diam tak bergerak lagi.
Gigi Arya bergemeletuk keras
menahan kegeraman yang amat sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat
sekelebatan benda berkilauan menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah
yang menyebabkan orang tadi roboh tersungkur.
Bertepatan robohnya orang yang
berlari-lari itu, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat.
Sambil tertawa terbahak-bahak, kakinya menjejak tubuh orang yang tersungkur
tadi. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Terdengar suara berderak keras dari
tulang-belulang yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari
mulut Dewa Arak melihat kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun
berada dalam jarak sekitar dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan
ke depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa
Arak. Apalagi dilakukan dalam keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar
ke arah laki-laki pemimpin perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Laki-laki tinggi besar itu
terkejut bukan kepalang tatkala mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi
memang telah melihat kedatangan Dewa Arak, tapi sama sekali memandang remeh.
Bahkan tak memperdulikannya. Jagar baru terperanjat begitu merasakan angin
keras yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat
sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke belakang. Dan jatuh bergulingan di
tanah. Rasa sesak yang amat sangat seketika mendera dadanya. Sehingga untuk
beberapa saat lamanya, laki-laki bercambang bauk lebat ini tidak segera bangkit
berdiri. Dicobanya untuk
bangkit tapi tetap tidak
mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak bangun. Itu pun sambil menyeringai
kesakitan.
Tapi belum juga berhasil
bangkit berdiri, pandangan matanya sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh
yang berdiri di hadapannya. Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah
bisa memperkirakan orang yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda
berambut putih keperakan itu?
Pemuda berambut putih
keperakan? Mendadak laki-laki tinggi besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk
mencari seorang pemuda yang berambut putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak?
Dan memang, salah satu ciri-ciri tokoh muda yang menggemparkan itu adalah warna
rambutnya yang putih keperakan, di samping pakaiannya yang berwarna ungu dan
sebuah guci arak terbuat dari perak yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan
kebenaran dugaan yang tiba-tiba muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk
meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh
tinggi besar ini kontan memucat ketika ciri-ciri itu ada pada pemuda yang
berdiri di hadapannya adalah benar-benar sosok Dewa Arak! Maka dia harus cepat
memberitahukannya kepada Setan Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah
dilanda amarah menggelegak, telah mengambil keputusan untuk melenyapkan orang
di hadapannya. Telah dilihatnya sendiri bukti kekejaman laki-laki tinggi besar
ini.
Meskipun kemarahan melandanya,
namun Dewa Arak tidak mau bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan
tidak siap. Maka kakinya hanya melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada
lawan untuk mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan
menghembuskan napas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa sesak yang melanda
dada. Baru ketika rasa sesak itu sudah tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri
dan langsung mencabut goloknya. Laki-laki bercambang bauk lebat ini tahu kalau
lawan adalah tokoh berkepandaian luar biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu
lagi senjata andalannya langsung dicabut.
Dan begitu golok itu telah
tercabut, Jagar langsung menerjang sambil berteriak melengking nyaring. Golok
di tangannya disabetkan ke arah kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas
ke bawah. Rupanya laki-laki tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi
dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan
tangan kanannya ke depan. Dan....
Tappp...!
Mata golok Jagar kini sudah
terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Arya.
"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik
kembali senjatanya. Tapi golok itu tetap tak bisa ditariknya kembali. Bahkan
wajahnya sampai merah padam, dan napasnya terengah-engah. Seolah-olah, bukan
dua buah jari tangan yang menjepitnya, tapi jepitan baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan
Dewa Arak bergerak menekuk, terdengar suara berderak keras disusul patahnya
mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada
saat itu tengah berjuang keras menarik pulang senjatanya, langsung terjengkang
ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Goloknya yang kini tinggal
sepotong ikut terbawa tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak
mengibaskan tangan kanannya. Maka, patahan mata golok yang berada dalam jepitan
kedua jarinya melesat cepat ke arah Jagar.
Sepasang mata laki-laki tinggi
besar ini terbelalak lebar karena perasaan kaget melihat ancaman maut yang
menuju ke arahnya. Serangan itu ingin dielakkan, tapi apa daya? Jangankan
mengelakkan serangan itu, untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung saja tidak mampu! Maka....
Cappp...!
Jagar menjerit ngeri ketika
mata golok itu menancap di dahinya, sampai tidak nampak lagi. Semua patahan
senjata itu amblas ke dalam kepala laki-laki tinggi besar itu.
Berbarengan habisnya kekuatan
yang membuat Jagar terjengkang, tubuhnya pun ambruk ke tanah. Nyawanya kini
telah melayang meninggalkan raganya.
Dewa Arak menoleh begitu
mendengar langkah kaki mendekati tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang
tajam luar biasa, bisa diperkirakan jumlah orang yang melangkah itu. Enam
orang!
Memang, dugaan pemuda berambut
putih keperakan itu tidak salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok
tubuh yang menatap ke arahnya dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini
telah berdiri di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok
tubuh itu. Yang berdiri paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil
kurus berkumis sedikit dan berompi hitam. Di tangannya tergenggam sebatang
cambuk yang juga berwarna hitam. Dialah yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di
belakangnya,
berdiri lima sosok tubuh
berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka me-ngenakan rompi.
"Diakah orang yang kau
beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya Kera Bukit Setan seraya menolehkan
kepala, menatap salah satu dari lima orang yang berdiri di belakangnya, yang
berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit
Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu sambil menganggukkan
kepala.
"Hm...!" gumam Kera
Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan kembali ke arah Arya. "Jadi kau
rupanya yang berjuluk Dewa Arak? Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin
kulenyapkan. Apalagi kau telah membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian,
laki-laki kecil kurus ini melecutkan cambuknya ke udara.
Ctarrr...!
Arya diam saja, dan sama sekali
tidak kaget atau terkejut ketika cambuk itu meledak. Wajah pemuda berpakaian
ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya
sama sekali tidak tenang. Bahkan sebaliknya, hatinya malah hampir hangus
terbakar amarah. Hanya berkat kemampuan menyimpan perasaan, semua itu tidak
tampak di wajahnya. Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah
mengambil keputusan melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan
sosok tubuh anak-anak dan wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah yang
menyebabkan dia mengambil keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram
melihat Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak
kalau pemuda berambut putih keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya.
Bahkan sepasang matanya sama sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan
telunjuk tangan kirinya ke arah Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar
itu bergerak menyerang lebih dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian
lawan. Lebih bagus lagi, kalau sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya.
Dengan begitu akan mudah diukur, bagaimana harus menghadapi pemuda berambut
putih ke-perakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, lima orang kasar itu mencabut senjata masing-masing.
Begitu senjata itu terhunus di
tangan, mereka segera bergerak mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau
lawan amat tangguh. Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung
menyerang, melainkan bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.
Tapi, orang yang mereka kurung
sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja,
seolah-olah tidak mempedulikan adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan
memberi aba-aba begitu kurungan mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar
teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu melompat menerjang. Golok di
tangannya membabat kepala dari atas ke bawah. Maksudnya, ingin membelah tubuh
Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari
berbagai penjuru meluncur serangan empat orang lainnya. Senjata-senjata di
tangan mereka yang berupa pedang dan golok berhamburan ke arah berbagai bagian
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak bersikap tenang,
tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan menghadapi
serangan lawan-lawannya. Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan
hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya
tidak lagi dua buah, tapi puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras
disusul berpentalannya tubuh lima orang kasar itu. Senjata-senjata yang semula
tergenggam di tangan, berpentalan entah ke mana.
Berbarengan jatuhnya
senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang itu pun jatuh berdebuk keras dan
tak mampu bangkit lagi. Mereka semua tewas seketika. Darah segar langsung
mengalir keluar dari mulut dan hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat
melihat hal ini. Sungguh di luar dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas
dalam segebrakan. Begitu tinggikah kepandaian pemuda itu? Ataukah lima orang
itu yang terlalu ceroboh? Rasanya mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki
kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat
Kera Bukit Setan cepat melupakan keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, tangan kanannya digerakkan. Cambuk hitam di tangannya segera meluncur
deras ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya.
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil
ditangkap Arya. Kera Bukit Setan terperanjat bukan main. Dia tidak menyangka
kalau Dewa Arak berani menangkap cambuknya! Bahkan tanpa terluka sama sekali.
Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa
Arak.
Dewa Arak kali ini benar-benar
tidak main-main lagi. Segera seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan
kanan. Dan begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak
cepat me-nyambar. Dan....
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil
ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera
Bukit Setan terperanjat. Tapi kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada
sebelumnya. Memang tidak disangka kalau pemuda berpakaian ungu itu berani
menangkap cambuknya. Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang
terlalu keras kepala. Meskipun sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan
berada di atas tenaga dalamnya, tapi tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya.
Bahkan sebaliknya malah membetot. Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik
kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki
berompi hitam ini sampai merah padam. Dari mulutnya pun keluar suara keluhan
pertanda telah mengeluarkan tenaga melewati batas dalam usaha menarik pulang
senjatanya. Tapi, usaha-nya tetap saja sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya
tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Wajah pemuda berpakaian ungu itu
biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit
Setan sibuk dengan usahanya beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya.
Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang
terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tindakan Arya tidak berhenti
sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung menendang sebuah batu sebesar
jempol kaki yang tergolek di tanah. Pelan saja kelihatannya, tapi kenyataan
yang terlihat tidak sesederhana itu.
Singgg...!
Diiringi suara mendesing
nyaring yang menyakitkan telinga, batu itu meluncur deras ke arah Kera Bukit
Setan laksana anak panah lepas dari busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus
itu terkejut bukan main melihat adanya bahaya maut yang mengancamnya. Dia ingin
mengelak, tapi terlambat. Apalagi keadaannya saat itu sama sekali tidak
menguntungkan. Maka....
Takkk!
"Aaakh!"
Tubuh Kera Bukit Setan kontan
terjengkang. Seketika, nyawanya melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah
seketika terkena sambaran batu itu.
Tapi Arya sama sekali tidak
mempedulikannya lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melesat
meninggalkan tempat itu. Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali
melangkah, tubuh Arya sudah terlihat sebesar telapak kaki di kejauhan. Semakin
lama, tubuh pemuda berpakaian ungu itu semakin mengecil. Dan akhirnya lenyap di
kejauhan.
2
Kicau burung sudah tidak
terdengar lagi. Sinar sang mentari sudah tidak begitu nikmat lagi di kulit.
Memang, hari sudah mulai beranjak siang.
Dalam suasana seperti itu,
sebuah perahu yang ditumpangi dua sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik
dari laju perahu, bisa diperkirakan kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan
kalau pertarungan kali ini jauh lebih ramai daripada sebelumnya, Malaikat Jari
Besi," kata salah seorang dari mereka yang tengah duduk di lantai perahu
seraya terus mengayuhkan dayung.
Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh sedang. Rambutnya panjang melewati bahu. Wajahnya dipenuhi bintik
hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran
demikian, Saratoga," sahut orang yang dipanggil Malaikat Jari Besi.
Malaikat Jari Besi bertubuh
kekar berotot. Jari-jari tangannya terlihat keras bukan kepalang. Laki-laki
kekar ini juga terus mengayuh dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat
sekali, mantap dan tanpa hambatan. Gelombang yang terkadang membuat perahu
mereka terombang-ambing, kontan hancur terbelah diterjang moncong perahu.
Sesekali mereka berada di puncak gelombang, tepi tak jarang seperti terbenam.
Dan nampaknya, mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah
tokoh persilatan aliran putih yang cukup ternama. Disegani kawan dan ditakuti
lawan. Telah tidak terhitung lagi, tokoh persilatan aliran hitam yang tewas di
tangannya. Dan berkat keberadaannya, Desa Ampel dan desa-desa sekitarnya aman
dari gangguan orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga
pun bukan orang sembarangan. Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari
Besi, rekannya. Tapi, kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh
kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan
Saratoga terus saja mengayuh dayungnya. Dan tentu saja kayuhan itu disertai
pengerahan tenaga dalam, karena mereka tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan,
sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi tokoh persilatan," Saratoga
kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut
Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya saja, ramai. Apalagi sekarang?
Kudengar, Dewa Arak tokoh yang menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan
kali ini."
"Kudengar juga begitu,
Malaikat Jari Besi."
"Makanya kita harus
bergegas, agar tidak bingung memilih tempat," tandas Malaikat Jari Besi
seraya menambah tenaga kayuhan pada dayungannya.
"Kau benar."
Setelah berkata demikian,
Saratoga menambah tenaga kayuhan pada dayungannya pula, sehingga perahu itu
meluncur laksana anak panah melesat dari busur.
Saratoga dan Malaikat Jari
Besi terus saja mengayuh disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika
matahari hampir berada di atas kepala, pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah
pulau yang berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Itu Pulau Selaksa Setan,
Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi seraya menudingkan telunjuk ke arah
pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh
bintik mengangguk pertanda membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau
yang begitu menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu
mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga
sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku
pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat Jari Besi setelah beberapa saat
lamanya tercenung. "Tapi menurut berita yang terdengar, dulu tempat ini
didiami makhluk-makhluk pemakan manusia."
"Makhluk pemakan
manusia?" selak Saratoga setengah tidak percaya. "Bagaimana bentuk
mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng.
"Aku pun tidak tahu
karena hanya bersumber dari berita saja. Dan menurut berita yang kudengar pula,
makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun yang lalu ketika badai mengamuk. Rupanya,
mereka semua hanyut dilanda badai. Dan sejak itu, mereka tidak ketahuan lagi
beritanya," jelas laki-laki bertubuh kekar berotot itu mengakhiri
ceritanya.
"Ahhh...!
Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam suaranya begitu
mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Malaikat Jari Besi tidak malanjutkan ucapan. Sementara Saratoga pun
tidak menanggapi lagi. Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah
oleh dayung-dayung mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih
itu mulai mengarahkan perahu mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan
tenaga dalam yang dimiliki, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami
kesulitan untuk
melawan arah gelombang laut,
dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa Setan.
Begitu perahu mereka menepi,
Saratoga dan Malaikat Jari Besi melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati
dari semula, begitu mendarat Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan
menambatkannya. Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan
pandangan ke sekeliling.
"Aneh...," gumam
laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun berkernyit. Jelas ada sesuatu
yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari
Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai
menambatkan perahunya pada sebuah batu karang di pinggir laut. Rupanya,
laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini mendengar adanya nada keheranan dalam
ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi
selebar wajah Saratoga dengan sorot mata sungguh-sungguh.
"Kau tidak melihat adanya
keanehan di sini, Saratoga?" Malaikat Jari Besi malah balik bertanya. Nada
suaranya menyiratkan keheranan dan juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik
hitam itu tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud kawannya.
"Bagaimana,
Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat adanya
keanehan yang kau maksudkan itu, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga
seraya menatap wajah laki-laki kekar berotot itu lekat-lekat "Kecuali,
yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang
kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari Besi cepat.
"Maksudmu...?"
Saratoga kini mulai mengerti maksud pembicaraan rekannya. Dan ini kontan
membuat jantungnya berdebar tegang.
"Kau tahu,
Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai penjelasannya, dengan
perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana pertemuan ini ramai
bukan main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi. Tapi sekarang...? Apa
yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi
menghentikan ucapannya sejenak, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Memang hanya kesunyian dan suasana lengang yang melingkupi sekeliling tempat
itu. Sejauh mata
memandang, yang terlihat
hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit batu terjal. Tidak tampak adanya
tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh
bintik hitam itu menggelengkan kepala.
"Sepi...," jawab
Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak orang persilatan yang tidak
mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi
menggelengkan kepala.
"Pulau Selaksa Setan amat
terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada tokoh persilatan yang belum mendengar
namanya. Jadi, dugaanmu sama sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang
diakui, bantahan Malaikat Jari Besi mengandung kebenaran yang tidak bisa
diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu,
Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh
bintik hitam itu tercekat di tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun
telah mempunyai dugaan sendiri, tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar
berotot itu. Ingin diketahuinya, apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu
dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan bertindak seperti itu, semua
ketegangan yang melanda ingin dibuangnya.
Betapa tidak tegang? Biasanya
lima hari menjelang pertarungan, belasan tokoh persilatan telah bermunculan di
tempat pertarungan. Tapi sekarang? Tidak datangkah mereka? Rasanya mustahil!
Berita tentang akan ikut sertanya Dewa Arak dalam pertarungan kali ini, telah
membuat dunia persilatan gempar. Mustahil kalau sampai dua hari menjelang
pertarungan, tak ada seorang pun yang datang? Tapi kalau benar mereka datang,
ke manakah lenyapnya? Ngeri hati kedua tokoh itu membayangkan belasan tokoh
persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa jejak.
"Aku tidak berani
menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata Malaikat Jari Besi akhirnya.
"Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga
semakin berderak tegang. Dia kenal betul siapa rekannya. Malaikat Jari Besi
memang mempunyai firasat yang amat peka. Sepertinya, dia memiliki indera keenam
sehingga dapat mengetahui bahaya yang akan terjadi. Mungkin firasatnya yang
tajam karena kebiasaannya bergaul dengan binatang-binatang peliharaannya.
Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri
semua, Saratoga...," sambung Malaikat Jari Besi dengan suara semakin
bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini mengancam tidak main-main lagi.
Hatiku gelisah bukan main."
"Kalau begitu...,
bagaimana kalau kita kembali saja?" usul Saratoga tiba-tiba. "Kau
setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung
sejenak. Rupanya, usul rekannya itu tengah dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang
baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan
Malaikat Jari Besi, Saratoga langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat
perahunya ditambatkan. Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak
keras. Wajah laki berwajah penuh bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah
tempat perahu ditambatkan. Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan
pun di sana. Apalagi perahu! Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat.
Malaikat Jari Besi pun dilanda perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka
menatap penuh perasaan tak percaya pada tempat perahu ditambatkan yang kini
telah kosong melompong.
"Firasatku ternyata
benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan suara kering.
"Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan menimpa kita akan
sangat mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya apa itu. Tapi yang jelas,
naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian,
tangan laki-laki kekar rotot itu segera bergerak ke arah punggung. Sesaat
kemudian, tangannya bergerak ke depan. Seketika sinar terang berkeredep begitu
Malaikat Jari Besi mencabut senjatanya. Kini di tangan laki-laki kekar berotot
itu telah tergenggam sebatang golok besar!
Saratoga tidak mau
ketinggalan. Seketika senjata andalannya dikeluarkan. Sebatang pedang yang
berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain.
Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi
ucapan yang keluar dari mulut Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa
setakut ini, Malaikat Jari Besi," Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut,
Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot seraya menatap rekannya
lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh
bintik-bintik itu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
sebelum menjawab pertanyaan rekannya tadi.
"Karena melihat rasa
takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi," jawab Saratoga. "Aku tahu,
siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang manusia yang mempunyai naluri
binatang. Dan dari rasa takut luar biasa
yang melandamu, aku sudah bisa
memperkirakan kalau bahaya yang mengancam akan sangat mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar
berotot itu tidak menyahuti ucapan Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga
itu benar belaka. Indera keenamnya sering memperingatkan adanya bahaya yang
mengancam. Tapi, rasanya belum pernah seperti ini, sehingga membuatnya gelisah
bukan kepalang. Bahaya seperti apakah yang akan mengancam?
Malaikat Jari Besi dan
Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian memasuki pulau. Sepasang mata mereka
menatap ke sekeliling, bersikap waspada.
Senjata-senjata yang
tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda betapa besar perasaan tegang yang
melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri,
baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka
benar-benar dicekam rasa takut yang menggelegak, padahal bahaya yang diduga
belum tentu ada.
"Saratoga...!
Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih
tetap mengawasi sekeliling, Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri
ke tanah. Sementara tangan kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah
bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke arah yang ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu,
Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-laki berwajah penuh
bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang ditunjukkannya. Keadaan tanah
di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi
sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga mengajukan
dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini, aku yakin telah terjadi sebuah
pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu
menganggukkan kepala, pertanda membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan kewaspadaan,
Saratoga. Kekhawatiran kita nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi
terpaksa dihentikan karena Saratoga memberi isyarat pada laki-laki bertubuh
kekar itu untuk menghentikan ucapannya.
"Aku mendengar
langkah-langkah kaki yang menuju kemari, Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki
berwajah penuh bintik-bintik hitam itu, sebelum rekannya sempat mengajukan
pertanyaan. Nada suaranya terdengar pelan, dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun
memusatkan perhatian pada kedua telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali
tidak keliru. Ada banyak langkah kaki yang bergerak mendekati mereka.
"Arahnya dari
sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Tangannya menuding
ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala
pertanda membenarkan, karena memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki
yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi lagi. "Mengingatkanku pada
binatang-binatang yang tengah memburu mangsa."
Saratoga mengernyitkan
dahinya.
"Aku belum mengerti
maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki
yang tidak begitu jelas menapak di tanah. Padahal, jumlah mereka cukup banyak
ini membuktikan kalau gerombolan itu sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti
ini. Dugaanku lebih condong ke situ daripada kalau gerombolan itu rata-rata
memiliki tingkat kepandaian tinggi," jawab Malaikat Jari Besi memberi
penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti
maksud pembicaraan rekannya, Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin
dipastikannya ucapan yang keluar dari mulut laki-laki kekar berotot itu.
Jantung laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini berdebar tegang ketika
mendengar penjelasan panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan
sekelompok orang yang telah biasa berburu.... Dan menilik kegelisahanku..., aku
khawatir kita berhadapan dengan para pemburu manusia."
Saratoga menelan air liur
untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"M…, ma..., maksudmu....
Kita berhadapan dengan manusia yang doyan makan daging manusia...?"
terdengar suara serak ketika Saratoga mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari
Besi menjawab pertanyaan itu, dari balik gundukan batu-batu bermunculan
sosok-sosok tubuh kekar berkulit coklat gelap.
Dan secepat mereka
bermunculan, secepat itu pula bergerak mengurung Malaikat Jari Besi dan
Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah terbiasa dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling
melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari Besi.
Saratoga mengerti maksud
ucapan rekannya. Maka, dia pun bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini,
kedua orang itu mengambil posisi saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari
Besi dan Saratoga saling beradu satu sama lain.
"Dugaanku ternyata benar,
Saratoga. Kita berhadapan dengan orang-orang yang terbiasa makan daging
manusia...," jelas Malaikat Jari Besi sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari
Besi dan Saratoga, tampak belasan orang yang bertubuh rata-rata kekar dan
bertelanjang dada. Wajah dan sekujur tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup
tubuh berbentuk rumbai-rumbai bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas
kalau mereka adalah kelompok manusia terasing yang terpisah dari manusia
umumnya.
"Kenapa mereka tidak
langsung menyerang kita, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga ketika
melihat gerombolan orang berpakaian seadanya itu hanya mengurung seraya
mengamang-amangkan senjata di ta-ngan.
Senjata-senjata gerombolan itu
aneh dan mengerikan sekali. Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang
keras, dan agak diruncingi pada bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan
mereka dulu, Saratoga," jawab Malaikat Jari Besi mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh
bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin
salah lagi. Memang, sejak tadi Saratoga telah mengedarkan pandangan untuk
menerka pimpinan gerombolan itu. Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap
saja tidak melihat sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan
yang mengurung mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu sama lain.
Sang pemimpin pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah
datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi ketika melihat dua sosok
tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat mereka.
3
Saratoga segera membalikkan
tubuh. Hatinya kini tidak merasa khawatir lagi. Laki-laki berwajah
bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan itu tidak akan menyerang sebelum ada
perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang
berada di depan Malaikat Jari Besi menyibak, memberi jalan ketika pemimpin
mereka muncul. Padahal, kedua sosok itu masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat
Jari Besi terbelalak memandang dua sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua
sosok yang sudah pasti adalah sang pemimpin.
Sosok pertama adalah seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar, dan berotot kekar. Kulit tubuhnya berwarna
hitam kecoklatan, sehingga semakin menambah keangkerannya. Apalagi dengan
adanya bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekujur wajahnya. Sehingga membuat
laki-laki ini kian terlihat garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan
lebih garang lagi adalah topi bulu burung garuda di kepalanya. Hal ini
membuktikan kalau laki-laki ini adalah pemimpin gerombolan itu.
Baik Saratoga maupun Malaikat
Jari Besi sama sekali tidak merasa kaget melihat penampilan pemimkn gerombolan
itu. Mereka memang sudah menduganya. Tapi, sosok kedua yang berada di sebelah
siang ketua itulah yang membuat mereka terperanjat. Betapa tidak? Sosok kedua
adalah seorang gadis yang wajahnya tidak jelas terlihat. Memang, di bagian dahinya
terlilit akar bahar yang dihiasi tirai penutup wajah, dari rumbai-rumbai. Tapi
meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis itu memiliki wajah yang cantik biar
biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup
rapat. Memang, tubuhnya hanya ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih,
halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi
dan Saratoga yang sudah tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur
melihat pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?"
tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang berada di
sebelahnya. "Apakah kedua orang ini harus menerima nasib yang sama dengan
orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang
dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari Besi dan Saratoga dari balik
rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang
kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas wanita cantik itu.
Laki-laki berwajah kasar yang
ternyata berjuluk Dedemit Alam Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian,
pemimpin gerombolan itu lalu melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
"Mari, Dewi! Kita
saksikan tontonan menarik ini dari tempat yang teduh."
Wanita berkulit putih itu sama
sekali tidak membantah. Kakinya kemudian melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat
yang telah meninggalkan tempat itu lebih dulu.
Saratoga, terutama sekali
Malaikat Jari Besi terkejut bukan kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil
pemimpin gerombolan pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat.
Jelas, kalau panggilan itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran
putih itu tahu, siapa Dedemit Alam Akhirat. Dia adalah seorang tokoh sesat yang
mengerikan. Julukannya saja sudah membuat nyali semua orang ciut. Tokoh itu
memang terkenal memiliki kekejaman yang tidak ada taranya. Dan lagi,
kepandaiannya pun sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi,
adalah kekejamannya! Dedemit Alam Akhirat ini gemar makan daging manusia
hidup-hidup begitu saja. Lalu, mengapa tahu-tahu tokoh itu berada di sini?
Itulah pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak
bisa terlalu lama disibuki pikiran-pikiran semacam itu. Karena, gerombolan
pemakan manusia itu sudah mendapat perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Saratoga segera bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah
bisa diterka. Apa lagi kalau bukan untuk membuat posisi saling melindungi?
Sesaat kemudian, kedua sahabat ini telah saling mengadu punggung
"Hati-hati, Saratoga,"
Malaikat Jari Besi memberi nasihat "Tampaknya mereka bukan lawan
ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi
sama sekali tidak mendapat tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi
menanggapinya. Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara
mendadak, karena gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan
senjata-senjata yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik
melengking nyaring yang mendirikan bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju
menyerang. Senjata-senjata
mereka terayun deras ke
berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih yang terjebak itu.
Malaikat Jari Besi dan
Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera melakukan perlawanan.
Senjata yang sejak tadi tergenggam di tangan digerakkan, untuk menyambut
serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang
senjata beradu terdengar menyemaraki pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik
ke udara, ikut menyemaraki pertarungan.
Malaikat Jari Besi dan
Saratoga bertarung mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu
kalau hasil pertarungan ini menentukan hidup dan mati. Baik Malaikat Jari Besi
maupun Saratoga ter-nyata memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atas
lawan-lawannya. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat kedua
orang tokoh persilatan aliran putih itu ternyata jauh lebih unggul.
Kalau saja pertarungan itu
berlangsung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi
dan Saratoga akan dapat merobohkan lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan
mausia itu menyerang secara keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit.
Apalagi, anak buah Dedemit Alam Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan,
tapi serangan gerombolan pemakan manusia itu tampak saling susul seperti
gelombang laut. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan
Saratoga tidak mampu balas menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan
menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu
melakukan tangkisan, tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat terlempar balik ke
belakang. Tak terdengar jerit tertahan keluar dari mulut, meskipun tangan
mereka terasa bergetar hebat ketika senjatanya tertangkis.
Selama beberapa jurus,
Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya menangkis saja. Baru menjelang jurus
kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
Malaikat Jari Besi menusukkan golok besarnya ke arah perut seorang anak buah
Dedemit Alam Akhirat.
Takkk!
Hampir saja laki-laki bertubuh
kekar berotot ini menjerit ketika goloknya terpental balik sewaktu mengenai
sasaran. Seakan-akan, yang ditusuk bukan perut manusia, tapi gumpalan karet
keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja
mencelakakan laki-laki bertubuh kekar berotot ini. Karena pada saat itu,
serangan kapak lawan meluncur
deras ke arah kepala. Untung
pada saat terakhir kepalanya mampu dimi-ringkan.
Wusss...!
Serangan kapak itu lewat
sekitar sejari di samping kepalanya. Rambut kepalanya yang berkibar keras
menjadi petunjuk, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam ayunan kapak
tadi.
Malaikat Jari Besi merasa
penasaran bukan kepalang. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan.
Benarkah gerombolan pemakan manusia ini memiliki kulit tubuh yang kenyal? Atau
tadi ada sebuah kekeliruan?
Banyaknya pertanyaan yang
bergayut di benak Malaikat Jari Besi, sehingga membuatnya ingin membuktikan
sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari
Besi tadi, tentu saja terdengar Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik
hitam ini seketika khawatir akan nasib rekannya. Maka begitu mendapat
kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah
bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat Malaikat Jari Besi tidak menderita
apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi menjerit?
"Ada apa, Malaikat Jari
Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri begitu kembali mendapat
kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh
kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi seraya menangkis serangan
lawan.
"Benarkah itu?"
tanya Saratoga seraya menangkis serangan beruntun yang mengancam berbagai
bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam
suara Saratoga!
Memang sejak tadi, dia belum
berhasil menyarangkan satu serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya
terlalu bertubi-tubi, sehingga tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan
balasan.
Tapi berapa jurus kemudian,
baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan
serangan balasan. Dan perasaan terkejut yang amat sangat pun mulai melanda,
tatkala menghadapi kenyataan kalau para pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat
Jari Besi maupun pedang Saratoga mengenai berbagai bagian tubuh anak buah
Dedemit Alam Akhirat. Tapi akibatnya, senjata-senjata itu malah terpental balik
seperti menghantam gumpalan karet kenyal.
Setelah berkali-kali
menghantamkan senjata ke berbagai bagian tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil,
baru kedua tokoh aliran putih ini yakin akan dugaan mereka. Para pengeroyok
ternyata memang benar-benar memiliki kekebalan kulit tubuh.
Meskipun begitu, Malaikat Jari
Besi dan Saratoga sama sekali tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja
melancarkan serangan bertubi-tubi, selama mendapat kesempatan. Hanya saja,
sasaran yang dituju selalu berganti-ganti. Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti
leher. Begitu seterusnya. Yang jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan.
Sebagai tokoh berpengalaman, kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki
kelemahan. Dan mereka berusaha menemukannya.
Entah sudah beberapa bagian
tubuh yang dibacok, tusuk, tetak, maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil
seperti yang diharapkan. Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama
sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Keuntungan yang ada di pihak
Malaikat Jari Besi dan Saratoga adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki jauh berada di atas tawan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk
mengelakkan serangan balasan yang dilancarkan lawan. Tambahan lagi, tenaga
dalam mereka juga jauh di atas lawan. Sehingga setiap kali menangkis, cukup
untuk membuat orang yang ditangkis tidak mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini
berlangsung terus-menerus, tentu akan menguras seluruh kemampuan mereka. Maka
tidak aneh ketika pertarungan menginjak seratus jurus, kedua orang itu mulai
merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang
mendera, tenaga kedua tokoh yang terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan
sendirinya, kegesitan mereka berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga.
Perlawanan Malaikat Jari Besi dan Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun
Saratoga menyadari kalau lambat laun akan roboh di tangan para pengeroyok Dan
itu sudah pasti. Betapa tidak? Setiap serangan yang dilancarkan sama sekali
tidak berarti apa-apa. Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat
merenggut nyawa! Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
"Ha ha ha...! Kau lihat
Dewi? Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah tontonan menarik. Ha ha
ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa
terbahak-bahak sambil menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan
berlangsung. Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang
putih, halus, dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor
ular merayap turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali
tidak diberikan tanggapan atas perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal
ini membuat tindakan
pemimpin gerombolan pemakan
manusia ini semakin liar. Tangan itu pun semakin merayap turun.
Telapak tangan yang semula
berada di bahu kanan Dewi, kini sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah
berada di bagian dada atas. Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja
harus menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dewi. Memang, Dedemit Alam
Akhirat dan Dewi duduk di atas sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan
itu memang disengaja pemimpin gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan
Dedemit Alam mulai menyentuh payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan
beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?"
tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri pula. Ucapannya terdengar agak
terengah-engah, pertanda mulai diamuk nafsu.
"Aku belum menemukan
orang yang kucari, tapi kau sudah hendak menagih upahnya," kata ketus.
"Tapi sampai kapan aku
harus menunggu ora yang kau inginkan, Dewi? Iya, kalau orang itu datang
kemari.... Kalau tidak?!" Suara Dedemit Alam Akhirat semakin lama semakin
meninggi. Jelas kalau amarah nya mulai bangkit. "Ingat, Dewi! Kesabaran
ada batasnya. Jangan membuat aku terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau tahu,
akibatnya akan sangat mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak
begitu Dedemit Alam Akhirat menghentikan ancamannya. Meskipun perubahan wajah
Dewi sulit diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua
kakinya yang menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa
takut yang hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri
bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat beberapa hari yang lalu. Saat itu,
laki-laki berwajah kasar ini memperkosa seorang pendekar wanita, sambil memakan
tubuh wanita malang yang berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya
merasa takut dan ngeri bukan main begitu mendengar ancaman itu. Dewi memerlukan
waktu beberapa saat untuk menenangkan hatinya. Ditarik napasnya dalam-dalam,
lalu dihembus-kannya kuat-kuat. Dan memang, setelah berbuat demikian, perasaan
hatinya mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong,
Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang
itu berjanji akan bertemu di sini untuk mengadu ilmu.... Percayalah! Bila
orang-orang yang kucari itu telah berhasil kau tangkap, dengan sukarela akan
kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang
yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit Alam Akhirat.
Suara laki-laki berwajah keras
itu masih agak keras, meskipun tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang
diucapkan gadis itulah yang telah meredakan amarahnya yang menggelegak. Tanpa
sadar, laki-laki berwajah keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan
kemolekan tubuh gadis ini bila menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan
Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan yang keluar dari mulut Dewi.
Dedemit Alam Akhirat
mengernyitkan dahinya jenak.
"Nama Dewa Arak sama
sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan Mabuk, sejak dulu telah kudengar.
Hanya sayangnya, aku belum mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal,
sudah lama aku ingin menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru
tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk, Dedemit Alam Akhirat," tegas Dewi
seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang
tokoh tangguh, mengapa aku belum pernah mendengar nama besarnya?!" sergah
laki-laki berwajah kasar itu. Nada suaranya terdengar penuh ketidakpuasan,
karena mendengar gadis yang diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa
bulan belakangan ini," jelas Dewi. "Sedangkan kau mengurung diri
tempat terpencil selama hampir dua tahun. Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar
nama besarnya yang telah menggegerkan dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau boleh memuji-muji
Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi, satu hal yang perlu kau ketahui Dedemit
Alam Akhirat tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapa pun! Belasan, bahkan
mungkin puluhan tahun lamanya aku malang-melintang dalam dunia persilatan.
Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku. Bahkan puluhan
orang pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai mereka
semua," tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu
menghentikan ucapannya sejenak. Rupanya karena terlalu berapi-api dalam
berbicara, napasnya jadi terengah-engah.
"Bahkan tanpa ada seorang
pun yang tahu, kalau aku telah melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai
ke daerah kekuasaan Iblis Hitam. Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak
memiliki ke-unggulan dalam hal senjata kapaknya yang amat beracun, dan
keistimewaan jubah pusakanya, aku pasti berhasil mengalahkannya," sambung
Dedemit Alam Akhirat penuh amarah (Untuk jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis
Hitam").
"Jadi..., Iblis Hitam berhasil
mengalahkanmu, Dedemit Alam Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu
mengenai tokoh yang disebutkan pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi
Dewi memaksakan diri untuk menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi.
Suatu hal yang wajar kalau gadis bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena
tempat tinggal Iblis Hitam amat jauh dari situ. Paling tidak harus melewati
beberapa hutan, sungai, dan puluhan desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana
mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa dikalahkan?! Pertarungan antara kami
berlangsung seimbang. Kau tahu, Dewi. Iblis Hitam di daerah sana telah menjadi
legenda. Tak ada seorang pun yang pernah mengalahkannya. Dia bercokol dan
merajalela sampai seratus tahun bahkan mungkin lebih."
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Dedemit Alam Akhirat menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali
tidak bertanya lagi. Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah
pertarungan yang tengah berlangsung.
4
Sementara itu, pertarungan
antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga dalam menghadapi gerombolan pemakan
manusia telah semakin mendekati penyelesaian. Keadaan kedua tokoh aliran putih
itu sudah semakin payah dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah
berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Bukan merupakan hal yang aneh
kalau kedua tokoh aliran putih ini merasa lelah bukan main.
Sebenarnya, bukan hanya kedua
orang tokoh itu saja yang merasa lelah. Para pengeroyoknya pun demikian pula.
Tapi, rasa lelah yang melanda gerombolan pemakan manusia itu tidak seperti yang
dialami Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika
tiba-tiba kapak batu lawan keras sekali menghantam bahunya. Kontan sambungan
tulang bahunya terlepas. Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya,
pedang di tangan kanan laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari
pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat
sesuatu, kapak di tangan pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara
berderak keras terdengar mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh
laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terguling. Dan secepat itu pula,
berbondong-bondong gerombolan pemakan manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit
keras melihat peristiwa yang menimpa rekannya. Tapi apa daya? Dia sendiri pun
tengah berada dalam keadaan terhimpit-himpit. Maka, laki-laki bertubuh kekar
berotot ini hanya sempat melihat sekilas keadaan rekannya.
Meskipun hanya sekilas, tapi
tak urung semua bulu kuduk Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan
mual! Betapa tidak? Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh
Saratoga dengan senjata, tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak
berdaya lagi.
Kemudian, setelah itu mereka
mengeluarkan pisau. Namun, sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena
matanya tumpul. Dan dengan pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat
daging Saratoga, kemudian memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur deras
dari tubuh rekannya pun dihirup dan dijilati dengan rakusnya.
Saratoga melolong-lolong
karena rasa sakit tak terkira pada sekujur tubuhnya. Rasanya, tak tahan
Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu. Kalau saja bisa, sudah diterobosnya
kumpulan orang-orang biadab itu. Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga
melolong-lolong menjelang maut. Dan bertepatan dengan lenyapnya jeritan
laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu, Malaikat Jari Besi mengalami nasib
yang sama. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhantam sebuah kapak batu.
Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi
terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali
sebuah palu batu besar menghantam dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh
terjungkal ke belakang. Dan di saat itulah dia disambut terkaman beberapa orang
pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga,
laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun menjerit-jerit menahan rasa sakit yang
tidak terhingga ketika sedikit demi sedikit daging tubuhnya dipreteli dengan
pisau tumpul. Maka, akhirnya dia tewas secara menyedihkan.
Kini gerombolan pemakan
manusia bangkit berdiri dengan perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap
menikmati santapan yang menurut mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa
terbahak-bahak. Tampak jelas sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya
menatap penuh rasa puas pada tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini
tinggal tulang-belulang saja. Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua
tengkorak itu. Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang
belum juga lenyap, Dedemit Alam Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu.
Tangan kanannya kini melingkar di bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin
muntah menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kalau saja tidak ada Dedemit Alam
Akhirat yang memaksanya untuk menyaksikan, sudah sejak tadi tempat itu
ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan,
gerombolan pemakan manusia itu pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara
mereka membawa tulang-belulang Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih
ada yang belum sempat mereka nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
Dewa Arak menatap ke arah
pulau berbentuk tengkorak kepala manusia yang tampak di hadapannya. Perlahan
dayungnya dikayuh dan perahunya diarahkan ke pulau, yang tidak lain Pulau
Selaksa Setan.
Tak lama kemudian, pemuda
berambut putih keperakan itu telah mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik
pelan begitu sepasang kaki Dewa Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan
sebentar ke sekeliling pulau, baru kemudian menyeret perahu agak ke darat.
Lalu, diambilnya sebuah kayu yang panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan
dihunjamkannya ke dalam tanah hingga lebih dari setengahnya. Pada patok yang
dibuat tadi, tali perahunya ditambatkan. Memang, pemuda berambut putih
keperakan itu masih membutuhkan perahu untuk meninggalkan Pulau Selaksa Setan
nanti.
Arya mengedarkan pandangannya
berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum
ada orang yang datang?" gumam Dewa Arak pelan. Dahinya pun berkernyit dalam,
pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap
memperhatikan sekeliling, Dewa Arak terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak
tampak pada sikapnya, tapi sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat
suasana yang hening. Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku,
bersiap menghadapi serangan mendadak.
Dan baru beberapa tombak
melangkah, Dewa Arak mendengar adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja
kedengarannya, tapi karena tengah waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya.
Dan seketika itu pula kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih
keperakan ini berseru kaget ketika melihat beberapa sosok tubuh coklat
kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi
membiarkan hal itu begitu saja. Tapi sebelum dia bergerak mengejar, terdengar
banyak sekali suara mendesing nyaring disusul berkelebatannya benda-benda
berkilat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan
keningnya. Menilik suara desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda
berkilat yang meluncur itu adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi
teka-teki tentang orang-orang berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan
kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah
yang meluncur ke arahnya semua tertangkis. Suara berderak keras akibat
beradunya kedua tangan Dewa Arak dengan anak-anak panah, seketika terdengar.
Sebagian besar runtuh ke
tanah, dalam keadaan
patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut
putih keperakan itu ingin kembali mencegah perahunya yang dibawa kabur,
terdengar suara langkah kaki ribut, disusul bermunculannya belasan sosok tubuh
seperti yang semula dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini.
Meskipun belum pernah mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan
orang-orang yang mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan
yang terasing dan biadab! Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan
diadakannya pertarungan antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa
menjebaknya? Bukankah kakek yang menggiriskan itu belum tentu kalah olehnya?
Tapi kalau Setan Mabuk tidak
menipunya, mengapa tempat ini penuh orang yang menilik dari pakaian yang
dikenakan adalah orang-orang biadab? Bukankah syarat utama tempat pertarungan,
seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, adalah tempat sepi? Tapi
mengapa kini ramai? Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini? Baik
orang-orang yang ingin menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak
bertarung?
Ataukah Dewa Arak telah salah
mendarat? Mungkinkah ini bukan Pulau Selaksa Setan? Ah! Tidak mungkin! Arya
tahu betul, perjalanannya tidak salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang
benar-benar Pulau Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa
berpikir lebih lama lagi, karena sosok yang mengurung sudah bergerak
mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan
belasan orang yang berpakaian sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati
tatkala melihat ada taring yang tersembul di sudut-sudut mulut para
pengeroyoknya.
Melihat keadaan para
pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati. Kelainan pada diri merekalah yang
membuatnya jadi lebih bersikap waspada. Sepasang mata Arya berputar,
memperhatikan semua tindak-tan-duk anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak
tatkala melihat para pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi
hanya mengurung saja. Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang
tengah ditunggu gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru!
Dari balik gundukan batu besar, melesat sesosok tubuh ramping yang kemudian
hinggap dalam jarak sekitar satu batang tombak dari kepungan gerombolan pemakan
manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak
terbelalak lebar ketika sosok bayangan itu telah berdiri tegak. Betapa tidak?
Sosok yang baru muncul ini, amat
berbeda dengan para
pengepungnya. Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya putih,
halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Raut wajah gadis
itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda
itu...!"
Gadis cantik yang tak lain
Dewi itu memberi perintah dengan suara keras. Seketika itu juga, gerombolan
pemakan manusia yang mengepung Arya mulai bergerak.
Berbeda dengan sebelumnya,
kali ini mereka tidak menggunakan kapak, melainkan tambang panjang berwarna
putih. Melihat dari keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan
alot bukan ke-palang.
Dewa Arak langsung
mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya
hidup-hidup, menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan
dilakukan mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak
hanya bisa memperhatikan sambil memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan
otot-otot tubuhnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan
manusia itu berputar mengelilingi Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak
seragam. Mereka berlari ke sana kemari tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat
Dewa Arak kebingungan. Biji matanya berkeliaran mengikuti gerakan berputar
lawan-lawannya. Tapi karena tubuh-tubuh yang berputar sama sekali tidak
beraturan, sehingga pemuda berambut putih keperakan itu jadi pusing sendiri.
Apalagi, ketika tubuhnya beberapa saat ikut pula berputar. Maka, kepalanya malah
jadi pening.
Arya memang belum pernah
mengalami peristiwa seperti ini. Jadi, tidak aneh kalau jadi bingung karenanya.
Dan tahu-tahu tubuhnya telah terbelit tambang-tambang berwarna putih itu. Baru
setelah tubuh Arya terbelit, gerakan berputar para pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk
memutuskan tambang-tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata
alot bukan main. Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha
pertamanya, Dewa Arak tidak putus asa. Segera tenaga dalam simpanannya
dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa
panas yang menjalar sekujur tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja
tambang-tambang itu tidak bisa diputuskan.
Arya sama sekali tidak putus
asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti Matahari' dikerahkan terus. Tujuannya adalah
untuk membuat para pengeroyok melepaskan pegangan pada tambang, karena tidak
kuat menahan serangan hawa panas 'Tenaga Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat.
Belasan orang yang memegang tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka
terasa panas bukan kepalang. Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung
orang-orang yang keras hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda telapak
tangan, tetap saja genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu.
Hatinya khawatir juga bila lawan tangguhnya akan berhasil lolos. Maka dia pun
cepat melesat ke depan. Dan dengan jari telunjuk menegang kaku, ditotoknya
punggung Dewa Arak!
Tukkk..!
"Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika
ujung jari telunjuknya terasa patah-patah dan panas bukan kepalang ketika
menyentuh punggung Dewa Arak. Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit
manusia, melainkan lempengan baja tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus
keras disusul melesatnya sesosok bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok
bayangan itu mengulurkan jari menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri
sesosok tubuh berwajah kasar. Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung
garuda. Siapa lagi kalau bukan Dedemit Alam Akhirat?
"Inikah orang yang kau
cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di
wajah Dedemit Akhirat ketika mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya,
betapa gadis yang bertubuh molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang,
hatinya masih merasa terkejut manakala totokannya ternyata sama sekali tidak
berarti apa-apa. Apalagi ketika teringat akan janjinya pada Dedemit Alam
Akhirat. Rasanya jijik bila membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan
berbau busuk itu akan menggelutinya.
"Ha ha ha...! Kalau
begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk menerima upahnya...!" tagih
laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh
Dewi.
"Berikan kesempatan
padaku untuk membalas dendam pada pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak
sudi diganggu sewaktu
menyiksanya," pinta
wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah De-demit Alam Akhirat dengan
sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!" pemimpin
gerombolan pemakan manusia itu menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas
kalau tengah mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas
melampiaskan dendamku padanya, aku akan sukarela menyerahkan diri kepadamu.
Terserah apa yang akan kau lakukan pada diriku...," sambung wanita
berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana, Dedemit Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki
berwajah kasar itu menelan ludah ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya
menggeluti tubuh molek yang memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan
itu.
"Baiklah. Kukabulkan
permintaanmu," jawab tokoh sesat yang menggiriskan itu dengan suara yang
mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri.
"Terima kasih, Dedemit
Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian,
gadis bertubuh menggiurkan ini melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat.
Dan....
Cuppp!
Pipi laki-laki berwajah kasar
itu langsung dikecupnya.
Dedemit Alam Akhirat tidak
tahan lagi menahan nafsunya. Dengan kasar ditahannya kepala Dewi yang akan
ditarik kembali. Kemudian, dengan buas dilumatnya sepasang bibir yang merah,
ranum, menggiurkan, dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi
Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa diri tidak sudi melepaskannya.
Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk gadis itu. Dan dengan rakus dijarahnya
sepasang bibir Dewi. Baru setelah merasa cukup puas, gadis itu dilepaskannya.
Dewi menatap dengan sinar mata
berkilat-kilat. Perutnya kini mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat
ternyata berbau busuk. Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu
terdapat onggokan bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih
belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam Akhirat Napasnya terdengar agak
memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak
mempedulikannya. Dengan gerak isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah
Dedemit Alam Akhirat membawa tubuh Dewa Arak.
Namun gerombolan pemakan
manusia yang diperintahnya justru malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat.
Baru ketika tokoh sesat yang menggariskan itu menganggukkan kepala, mereka
bergerak memenuhi permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului.
Di belakangnya, berjalan gerombolan pemakan manusia yang memawa tubuh Dewa
Arak. Baru di belakangnya lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya
bersama Dedemit Alam Akhirat.
****
5
Dengan langkah pasti, Dewi
melangkah memasuki salah satu dari sekian banyak gua yang terdapat di dinding
gundukan batu yang besar menyerupai bukit itu.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat
yang membawa tubuh Dewa Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula
melangkah masuk ke dalam. Tapi yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk
ke gua lain, tidak ikut masuk ke gua yang dimasuki Dewi.
Gua itu ternyata mempunyai
lorong yang cukup panjang dan berliku-liku. Baru setelah jarak yang ditempuh
mencapai dua belas tombak, lorong gua mulai membesar dan melebar.
Di sini, tidak hanya ada satu
lorong gua saja, tapi ada empat buah lorong. Dewi yang rupanya sudah cukup
mengetahui tempat itu segera memilih lorong gua kanan.
Setelah menempuh jalan sekitar
delapan tombak, sampailah mereka pada sebuah ruangan yang cukup luas, dan
anehnya cukup terang. Dewi sama sekali tidak pernah ambil pusing mengenai asal
sinar yang membuat ruangan gua jadi terang. Mungkin bagian atap gua yang
terbuat dari batu itu menyerap sinar, dan memantulkannya. Namun gadis bertubuh
molek itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"Masukkan dia ke dalam
kurungan itu!" perintah Dewi sambil menudingkan telunjuk ke arah salah
satu dinding gua yang berupa ruang tahanan. "Dan tinggalkan tempat
ini!"
Dua orang anak buah Dedemit
Alam Akhirat segera melemparkan tubuh Dewa Arak ke sudut ruangan, lalu
melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Mereka sama sekali tidak menoleh-noleh
lagi.
Dewi menatap tubuh kedua orang
manusia biadab itu hingga lenyap dari pandangan, baru kemudian melangkah masuk
menghampiri Arya yang tergolek lemah tak berdaya. Totokan Dedemit Alam
Akhiratlah yang menyebabkannya demikian.
Itulah sebabnya, meskipun
tubuhnya sudah tidak terikat lagi. Dewa Arak sama sekali tidak mampu untuk
bergerak lagi.
Dewi melangkah menghampiri
Dewa Arak dengan sinar mata aneh. Tapi, pemuda berpakaian ungu itu sama sekali
tidak mengetahui karena wajahnya terhalang rumbai-rumbai.
Begitu telah berada di dekat
Dewa Arak yang terbaring, gadis bertubuh molek itu menghempaskan pantarnya dan
duduk di situ.
"Kau...," sebuah
ucapan serak keluar dari mulut Dewi. "Betapa inginnya aku membunuhmu.
Kaulah yang telah membunuh ayahku. Tapi,
mengapa kau juga yang telah
menyelamatkanku dari malapetaka yang mengerikan?"
Arya mengernyitkan alisnya,
pertanda tengah berpikir keras. Sepertinya suara seperti ini pernah
didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia lupa. Hanya satu hal yang dapat
diterka. Gadis yang berada di perkampungan orang biadab itu mempunyai urusan
dengannya.
"Siapakah kau sebenarnya,
Nisanak?" tanya pemuda berpakaian ungu itu setelah lama berpikir tanpa
mendapat jawaban sepotong pun.
"Jangan selak ucapanku,
Dewa Arak!" sergah Dewi keras. "Dengarkan saja dulu ceritaku, baru
nanti kau akan mengetahuinya."
Dewa Arak pun terdiam. Bukan
karena menuruti perintah gadis berkulit putih itu, tapi merasa tidak ada
gunanya bertanya lagi.
"Aku dilanda perasaan
bimbang," lanjut Dewi. "Di satu pihak, aku ingin membalas kematian
ayahku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa melupakan begitu saja pertolonganmu
atas bahaya mengerikan yang hampir menimpaku...."
Gadis berpakaian ala kadarnya
itu menghentikan ucapan sejenak untuk menenangkan perasaannya.
"Begitu kudengar kau akan
menuju Pulau Selaksa Setan, aku bergegas mendahuluimu. Pulau ini dulu adalah
milik salah seorang yang menjadi guru ayahku. Makanya, begitu aku datang,
masalahnya langsung kuceritakan. Namun demikian, aku tidak memberitahukan nama,
sehingga dia terpaksa memanggilku Dewi. Karena, katanya wajahku cantik bukan
kepalang. Guru ayahku itu memang bersedia membantu, tapi dengan satu syarat..."
Sampai di sini, Dewi mendadak
menghentikan ucapannya. Jelas lanjutan cerita itu menyedihkan hatinya.
Sementara itu Arya hanya diam
saja mendengarkan. Dia sama sekali tidak bertanya, meskipun gadis bertubuh
molek itu menghentikan ceritanya.
"Aku harus bersedia
menjadi pendamping hidupnya. Orang yang telah pernah menjadi guru ayahku itu
mencintaiku, Dewa Arak"
"Apakah orang yang kau
maksudkan adalah laki-laki kasar yang telah menotokku?" tanya Dewa Arak
setengah hati karena khawatir tidak akan mendapatkan jawaban Dewi. Rupanya,
pemuda berpakaian ungu ini tidak mampu juga menahan rasa ingin tahunya.
Dewi menganggukkan kepala.
"Dia berjuluk Dedemit
Alam Akhirat," sahut gadis berwajah cantik jelita itu setengah mendesah.
"Hanya untuk membalas
dendam padaku saja kau harus mempertaruhkan segalanya, Nisanak?" tanya
Dewa Arak lagi, merasa heran.
"Tidak hanya pada kau
saja, Dewa Arak," sambut Dewi cepat. "Tapi juga pada Setan Mabuk,
yang telah menghinaku!"
"Ah...!"
Seruan keterkejutan terdengar
dari mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Dewi yang terakhir. Kini sudah
bisa diduga siapa sebenarnya gadis yang mengenakan rumbai-rumbai pada wajahnya
itu. Ha-nya ada seorang gadis yang diselamatkannya dari bahaya mengerikan Setan
Mabuk. Dan gadis itu adalah....
"Kau..., kau...,
Malinda...?" tanya Arya terbata-bata.
Baru saja Arya mengucapkan
demikian, wanita bertubuh menggiurkan itu merenggut rumbai-rumbai di wajahnya.
Pralll...!
Seketika itu juga seraut wajah
cantik terpampang di hadapan Dewa Arak. Dan memang, itu adalah wajah Malinda,
putri Mayat Kuburan Koneng!
"Sebelum aku membalas
dendam atas perbuatanmu terhadap ayahku..., aku ingin membalas budi padamu Dewa
Arak," kata Dewi yang ternyata adalah Malinda.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu
menghentikan ucapannya sebentar. Tampak jelas kalau hatinya merasa berat
melanjutkan kata-katanya.
"Kau adalah pemuda
pertama yang telah melihat tubuhku, Dewa Arak. Padahal aku telah bersumpah,
hanya orang yang akan menjadi suamiku saja yang berhak melihat tubuhku. Dan
apabila aku tidak menyukainya, dia harus mati!"
Wajah Dewa Arak seketika
memucat. Disadari kalau dirinya sekarang akan berhadapan dengan sebuah
persoalan rumit.
"Tapi.... Tapi..., Setan
Mabuk toh melihatnya pula. Bahkan dia lebih gila lagi...," bantah Arya
terbata-bata.
Ngeri hati Dewa Arak
membayangkan harus menjadi suami Malinda. Bagaimana nanti dengan Melati? Ah!
Betapa rindu hatinya pada gadis berpakaian serba putih itu. Hanya Melati-lah
satu-satunya wanita yang ingin dijadikan istri. Tidak ada yang lain! Tidak pula
Malinda!
"Sumpahku hanya ditujukan
untuk para pemuda, Dewa Arak. Dan kaulah orang pertamanya. Bahkan kau pula yang
telah menyelamatkanku dari bahaya mengerikan itu," tandas Malinda.
"Lalu..., bagaimana
janjimu pada Dedemit Alam Akhirat?" Arya mencoba untuk berkelit.
"Aku bukan jenis orang
yang suka mengingkari janji, Dewa Arak!" dengus gadis bertubuh molek itu.
"Janjiku pada Dedemit Alam Akhirat
tetap kupenuhi. Tapi, tentu
saja setelah aku membalas budi, sekaligus dendam padamu!"
"Tapi..., bukankah kalau
kau tidak menyukai pemuda yang melihat tubuhmu, akan kau bunuh juga?" Arya
masih terus mencoba berkelit.
Kontan selebar wajah Malinda
memerah, bahkan sampai ke kedua telinganya.
"Beruntunglah kau, Dewa
Arak. Kau terhitung pemuda yang cukup menarik."
Pelan sekali ucapan yang
keluar dari mulut Malinda. Jelas kalau gadis itu merasa malu mengucapkan
kata-kata itu. Bahkan sewaktu mengatakannya, sama sekali tidak berani
mengangkat kepala.
"Jadi...?" Arya
memutuskan ucapannya dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Kau tetap menjadi
suamiku, sekalipun hanya sehari saja!"
Kali ini ucapan Malinda
terdengar tegas dan mantap. Bahkan diucapkan seraya mengangkat kepalanya.
Arya kontan terperanjat.
Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Bahkan seandainya
ada halilintar yang menyambar di dekatnya, masih tidak seperti ini kekagetan
yang melanda hatinya.
"Bagaimana, Suamiku? Kau
bersedia, bukan? Kau tahu, aku ingin mempersembahkan kesucianku ini pada orang
yang kusukai. Dan kaulah orangnya, Dewa Arak! Aku tidak ingin orang seperti
Dedemit Alam Akhirat yang merenggutnya!"
Setelah berkata demikian,
tangan Malinda membelai pipi Dewa Arak. Perlahan tangannya merayap turun ke
leher, kemudian ke dada. Gadis itu berusaha menanggalkan pakaian Dewa Arak
dengan tangan kanannya. Sementara sebelah tangannya lagi, mulai melucuti
pakaiannya sendiri.
Karuan saja hal ini membuat
Dewa Arak kalap bukan kepalang.
"Kumohon, jangan lakukan
itu, Malinda," pinta Arya mengiba.
Dan inilah yang pertama kali
dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu. Mendapat ancaman siksaan ataupun
maut dia tidak pernah memohon. Tapi, kali ini Dewa Arak yang terkenal itu
mengajukan permohonan pada lawannya.
Tapi, Malinda sama sekali
tidak mempedulikannya. Dia terus melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, dua buah
bukit kembar yang padat indah, dan membusung, mencuat keluar.
Arya menelan ludah melihat
pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Buru-buru matanya dimeramkan.
Diusirnya pikiran kotor yang menyelinap ke benaknya.
Arya berusaha memusatkan
pikiran untuk membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas. Tapi, ternyata
totokan Dedemit Alam
Akhirat memang luar biasa.
Arya tidak mampu membebaskan dengan pengerahan tenaga dalamnya.
"Hmh...!"
Malinda menggertakkan gigi
karena kesal melihat Dewa Arak memejamkan mata.
"Orang seperti kau
rupanya ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
putri Mayat Kuburan Koneng itu melangkah meninggalkan Arya. Tapi, tak lama
kemudian sudah kembali sambil membawa sebuah kendi.
"Dengan minuman dalam
kendi ini, mau tidak mau kau akan melayani kemauanku, Dewa Arak!" Malinda
yang sudah tidak mengenal rasa malu lagi, mengacungkan kendi itu.
Dada Dewa Arak berdebar
tegang. Meskipun belum pernah merasakan, tapi dari cerita yang didengar bisa
diketahui isi kendi itu. Apalagi kalau bukan minuman perangsang nafsu birahi!
Dengan langkah perlahan-lahan,
putri Mayat Kuburan Koneng itu mendekati Dewa Arak, untuk meminumkan cairan di
dalam kendi itu!
Mendadak terdengar suara
mendesing nyaring disusul meluncurnya sebuah benda sebesar ibu jari tangan ke
arah Malinda. Dari desingan itu saja, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam
yang terkandung dalam lontaran itu.
Malinda terperanjat. Saat itu,
seluruh perhatiannya memang tengah tercurahkan pada Dewa Arak, sehingga
kewaspadaannya agak berkurang. Maka serangan yang datangnya begitu tiba-tiba
itu membuatnya agak gugup. Dan....
Pyarrr...!
Kendi di tangan gadis yang
tengah dirasuk birahi itu kontan hancur berantakan ketika benda sebesar ibu
jari tangan yang ternyata adalah batu menghantamnya. Isinya pun berpercikan ke
sana kemari.
Malinda meraung begitu melihat
minuman perangsang yang akan diberikan pada Dewa Arak habis terbuang. Bergegas
pakaiannya dirapikan kembali, lalu...
Srattt..!
Dengan didahului suara
gemeretak gigi, pedang putri Mayat Kuburan Koneng telah tercabut. Sinar terang
berkilauan ketika pedang itu keluar dari sarungnya.
Tapi kemarahan hebat yang
menggelora dalam dadanya kontan menciut, berganti rasa gentar ketika melihat
orang yang telah
menghancurkan kendinya. Dia
adalah seorang kakek berkepala botak. Tubuhnya pendek, gemuk, dan gendut.
Bajunya berupa rompi yang terbuat dari bulu burung garuda. Dan anehnya, tidak
ada alis yang tampak di atas matanya.
"He he he...! Selamat
berjumpa lagi, Wanita Liar...! He he he...!"
Kakek berkepala botak itu
mengangkat guci araknya yang besar ke atas kepala. Dan....
Glek.. glek.. glek..!
Suara tegukan keras terdengar
ketika arak itu melewati tenggorokannya.
"Setan Mabuk..!"
desis Malinda. Suaranya bergetar karena perasaan gentar yang melanda.
Kakek berperut gendut yang
memang Setan Mabuk itu hanya terkekeh pelan. Sementara kedudukan kedua kakinya
tampak terhuyung-huyung.
"Haaat..!"
Namun dari rasa takut
tiba-tiba Malinda jadi nekat. Gadis itu melompat menerjang Setan Mabuk. Pedang
di tangannya meluncur cepat ke arah leher kakek itu.
"He he he...!"
Kakek pemabukan itu hanya
tertawa terkekeh. Sambil menurunkan guci arak, tangan kirinya bergerak
menangkap pedang Malinda.
Tappp...!
Begitu pedang itu tertangkap,
Setan Mabuk langsung membetotnya. Maka putri Mayat Kuburan Koneng tak kuasa
menahan. Di samping tenaga dalamnya jauh lebih rendah, keadaan tubuhnya
sekarang sangat menguntungkan lawan. Sehingga, tubuhnya kontan tertarik ke
depan!
Sebuah seringai kejam nampak
tersungging di mulut Setan Mabuk. Tangannya yang menggenggam pedang segera
disorongkan ke arah perut Malinda. Maka....
Crottt..!
Darah kontan muncrat-muncrat
ketika gagang pedang itu amblas ke dalam perut gadis bertubuh menggiurkan itu
hingga ke punggung. Ada keluhan tertahan yang keluar dari mulut putri Mayat
Kuburan Koneng. Sepasang matanya membelalak, menahan rasa sakit yang mendera.
Setan Mabuk melepaskan cekalan
pada pedangnya, maka tubuh Malinda pun ambruk ke tanah. Diam tidak bergerak
lagi untuk selamanya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat
melihat semua peristiwa itu. Meskipun ada sedikit perasaan menyesal atas nasib
yang menimpa gadis berwajah
cantik jelita itu, tapi rasa
syukur di hatinya jauh lebih besar. Memang, kematian adalah jalan satu-satunya
yang terbaik untuk Malinda.
Masih dengan tawa
terkekeh-kekeh, dan sambil menenggak araknya, Setan Mabuk melangkah
terhuyung-huyung menghampiri Dewa Arak.
Sekali kakek berkepala botak
ini mengulurkan tangan menyentuh tubuhnya, maka Dewa Arak terbebas dari totokan
yang membelenggu.
Sejenak Arya menggerakkan
tangan dan kaki untuk memperlancar aliran darahnya.
"Dari mana kau tahu aku
berada di sini, Setan Mabuk?" tanya Dewa Arak. Memang pemuda berpakaian
ungu ini merasa heran melihat kemunculan kakek berkepala botak itu pada saat
yang tepat.
"He he he...!"
Setan Mabuk tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dengan sikap tidak peduli, dia tertawa terkekeh seraya
menenggak araknya kembali. Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu
melewati tenggorokannya.
"He he he...! Aku datang
lebih dulu, Dewa Arak," kata kakek itu seraya meneguk arak kembali. Kakek
berkepala botak ini ternyata benar-benar seorang tukang minum! "Tapi
ketika kulihat suasana sepi, aku jadi curiga dan tidak langsung mendarat.
Dugaanku pasti ada sesuatu yang terjadi. Maka kuputuskan untuk kembali."
Setan Mabuk menghentikan
ucapannya. Kemudian, dituangkannya guci arak itu ke mulut. Mau tidak mau, Dewa
Arak terpaksa diam menunggu kelanjutan cerita kakek itu.
"Di tengah jalan, aku
bertemu rombongan orang yang akan pergi ke Pulau Selaksa Setan. Maka segera
masalahnya kuutarakan, dan mereka kusuruh mencari pulau terdekat untuk
mendarat. Sedangkan aku kembali menyelidiki pulau itu."
Kakek berkepala botak itu
kembali menghentikan ucapannya. Guci araknya kembali di angkat ke atas kepala,
kemudian dituangkan ke mulut. Untuk yang kesekian katinya terdengar suara
tegukan keras ketika arak itu singgah di tenggorokannya.
Setan Mabuk menurunkan guci
araknya kembali, kemudian diusapnya arak yang membasahi pinggir mulutnya dengan
punggung tangan. Kasar dan menjijikkan sekali cara kakek itu membersihkan
mulut. Bahkan tanpa mengenal malu, dia bertahak. Suaranya keras mirip lenguh seekor
kerbau.
"He he he...! Ketika tiba
di sana, kulihat beberapa orang tengah menyeret perahu. Semula, aku tidak tahu
pemilik perahu itu. Tapi kemudian kau muncul lalu diserang gerombolan orang
biadab. Jelaslah sudah, siapa pemilik perahu itu. He he he...!"
Lagi-lagi Setan Mabuk
menghentikan ceritanya sebentar.
"Di saat kau terjebak
tambang mereka, hampir saja aku menolongmu. Tapi maksud itu kuurungkan, ketika
muncul sesosok tubuh yang membuatku terperanjat"
"Maksudmu..., Dedemit
Alam Akhirat?" duga Arya langsung
"Heh...?! Kau mengenalnya
juga, Dewa Arak?!" Sepasang mata Setan Mabuk terbelalak lebar.
Dewa Arak menggelengkan
kepala.
"Aku mendengar julukannya
dari gadis itu...," Arya menudingkan telunjuk kanan ke arah mayat Malinda.
"He he he...! Sudah kuduga...,"
kata Setan Mabuk sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau belum tahu
persis tentang tokoh itu, Dewa Arak?"
Pemuda berpakaian ungu itu
kembali menggelengkan kepala.
"He he he...! Kau tahu,
Dewa Arak. Dengan adanya Dedemit Alam Akhirat, sudah bisa kuperkirakan kalau
anak buah yang berpakaian sekadarnya itu adalah makhluk-makhluk pemakan
manusia. Dan memang, Dedemit Alam Akhirat berasal dari suku itu pula."
"Jadi, pertarungan itu
harus dibatalkan, Setani Mabuk?!"
"He he he...! Tentu saja tidak,
Dewa Arak!"l sambut Setan Mabuk cepat.
"Lalu, bagaimana dengan
Dedemit Alam Akhirat dan anak buahnya?"
"Kita harus menyingkirkan
mereka terlebih dahulu!" tandas Setan Mabuk.
Arya tercenung. Menyingkirkan
mereka? Haruskah ajakan kakek berkepala botak itu dipenuhinya. Padahal, dia
tidak melihat adanya kejahatan yang dilakukan penghuni pulau itu.
"He he he...! Kau ingin
makhluk-makhluk buas itu keluar dari pulau ini dan mengacau desa-desa, Dewa
Arak?!" desak kakek berperut gendut itu. "Kau tahu, mereka belum
keluar dari pulau ini, karena tengah menunggu mangsa-mangsa lain. Mereka telah
memangsa tokoh-tokoh persilatan yang berdatangan kemari! Itulah sebabnya,
tempat ini sepi."
Arya mengernyitkan dahinya.
Hati pemuda berambut putih keperakan ini bimbang bukan kepalang. Apakah semua
ucapan Setan Mabuk harus dipercayainya saja? Tidak! Dia harus bertindak
hati-hati, dan tidak langsung percaya pada ucapan itu. Arya telah tahu, siapa
Setan Mabuk. Seorang tokoh sesat yang berhati kejam dan keji!
"He he he...! Bagaimana,
Dewa Arak? Kau takut?!" Setan Mabuk memanas-manasi.
"Tidak ada istilah takut
dalam sejarah hidupku, Setan Mabuk!" sergah Dewa Arak keras.
"He he he...! Tapi kau
kelihatannya ragu-ragu, Dewa Arak! Apa lagi kalau bukan karena takut?"
sindir kakek berkepala botak itu sambil tersenyum mengejek.
"Mari kita cari
mereka!" Dewa Arak memutuskan dengan suara setengah membentak.
"He he he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa
terkekeh-kekeh saja, kemudian melangkah terhuyung-huyung meninggalkan tempat
itu sambil menuangkan arak ke mulutnya. Dewa Arak yang telah terbakar
perasaannya mengikuti di belakang.
6
Langkah Setan Mabuk dan Dewa
Arak mendadak terhenti di ambang gua. Pemandangan yang terlihat di depan gualah
yang menyebabkan mereka bersikap demikian.
Dalam jarak sekitar dua tombak
di depan gua, tampak berdiri belasan orang penghuni pulau. Yang paling depan
adalah Dedemit Alam Akhirat. Sementara di belakangnya, bergerombol makhluk
pemakan manusia.
"Grrrhhh...!"
Dedemit Alam Akhirat menggeram
keras. Jelas sekali kalau laki-laki berwajah kasar ini dilanda kemaahan hebat.
Dan hal ini tidak aneh, karena dia sudah bisa memperkirakan nasib Dewi, begitu
melihat Dewa Arak ada di sebelah Setan Mabuk. Wanita yang menarik hatinya itu
pasti telah tewas!
"Kaukah orang yang
berjuluk Setan Mabuk?!" tanya pemimpin makhluk pemakan manusia dengan
suara keras mengguntur.
Kakek berkepala botak tidak
langsung menjawab. Dengan sikap tidak peduli, diangkat guci araknya ke atas
kepala kemudian dituangkan ke mulutnya.
Glek... glek... glek..!
Suara tegukan keras terdengar
ketika arak itu melewati tenggorokan.
"Keparat..!"
Dedemit Alam Akhirat berteriak
memaki. Kemarahannya yang memang sejak tadi sudah bernyala-nyala, jadi semakin
berkobar-kobar. Sikap tidak peduli Setan Mabuk-lah yang menyebabkan laki-laki
berwajah kasar itu kalap. Memang, Dedemit Alam Akhirat memiliki keangkuhan
tinggi. Pantang baginya diremehkan orang lain!
Belum juga gema makiannya
lenyap, laki-laki berwajah kasar lalu menggerakkan tangan kanannya. Jari
telunjuk dan jari tengah menuding lurus, sedangkan sisa jari yang bin
dikepalkan.
Suara cicit tajam laksana
puluhan ekor tikus terjepit terdengar seiring gerakan tangan Dedemit Alam
Akhirat.
Setan Mabuk tidak berani
bertindak main-main lagi. Dan memang, dia tidak pernah menganggap remeh Dedemit
Alam Akhirat. Maka begitu tangan lawan bergerak, dan ada serentetan angin tajam
yang menyambar ke arah kepalanya, buru-buru tubuhnya ditundukkan.
Pyarrr...!
Dinding atas mulut gua itu
kontan hancur berantakan ketika angin pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Dedemit Alam Akhirat menghantamnya. Batu-batu kecil pun seketika berguguran.
Baik Dewa Arak maupun Setan
Mabuk tercekat melihat hal ini. Dalam hati, kedua tokoh besar dunia persilatan
itu memuji kehebatan ilmu pukulan jarak jauh lawan tadi.
"He he he...! Kalau aku
tidak salah duga, bukankah itu 'Ilmu Jari Pemutus Gunung' yang tersohor,
Dedemit?!" kata Setan Mabuk, kalem dan bernada merendahkan. Seakan-akan,
pertunjukan yang dipamerkan pimpinan makhluk-makhluk pemakan manusia itu sama
sekali tidak memiliki keistimewaan apa pun.
Karuan saja sikap yang
ditunjukkan Setan Mabuk itu semakin menambah kemarahan Dedemit Alam Akhirat
"Grrrhhh...!"
Diiringi geraman yang membuat
suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat Dedemit Alam Akhirat melancarkan
serangan bertubi-tubi menggunakan 'Ilmu Jari Pemutus Gunung'!
Alhasil, suasana di sekitar
tempat pun ramai dipenuhi suara mencicit tajam menyakitkan telinga yang
susul-menyusul.
Ternyata, serangan Dedemit
Alam Akhirat itu tidak hanya ditujukan pada Setan Mabuk saja. Tapi juga pada
Dewa Arak! Kedua tokoh berbeda aliran itu terpaksa dibuat pontang-panting dalam
menghindari serangan itu.
"He he he...! Lucu
sekali...! Baru pertama kali terjadi tiga makhluk luar biasa bertarung
sekaligus! Dewa, Dedemit, dan Setan. He he he...! Sungguh ajaib
sekali,..!"
Sambil terus bergerak ke sana
kemari, Setan Mabuk mengoceh tak karuan. Hal ini membuat kemarahan pimpinan
orang-orang biadab itu semakin menjadi-jadi.
Di saat Dedemit Alam Akhirat,
Setan Mabuk, dani Dewa Arak terlibat pertempuran, mendadak makhluk-makhluk
pemakan manusia menoleh ke arah belakang.
Ternyata, dari arah sana
berdatangan banyak sekati tokoh persilatan! Jumlah mereka tak kurang dari
seratus orang!
Kali ini tanpa menunggu
persetujuan pimpinannya lagi, orang-orang biadab itu bergerak menyerbu! Maka,
serbuan ini disambut hangat oleh tokoh-tokoh persilatan. Sesaat kemudian
pertarungan besar-besaran pun terjadi.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melenting
ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali menjauhi kancah pertarungan.
Pemuda berambut putih
keperakan ini bermaksud
membiarkan Setan Mabuk bertarung menghadapi Dedemit Alam Akhirat. Risih rasa
hatinya bertarung keroyokan seperti itu.
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa
berbuat apa-apa, selain membiarkan saja pemuda berpakaian ungu itu keluar dari
kancah pertarungan. Laki-laki berwajah kasar itu menyibukkan diri dalam
menghadapi Setan Mabuk.
Seandainya disuruh memilih,
pimpinan makhluk pemakan manusia ini memang lebih suka bertarung melawan Setan
Mabuk, daripada Dewa Arak. Banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya,
karena Dewa Arak seorang tokoh muda. Hal lainnya, karena Setan Mabuk telah
banyak menimbulkan kemarahan hatinya.
Kini dengan tidak adanya Dewa
Arak, Dedemit Alam Akhirat lebih leluasa melancarkan serangan. Kedua tangannya
semakin bertubi-tubi mengirimkan serangan-serangan jarak jauh dengan ilmu 'Jari
Pemutus Gunung'.
Tapi semua serangan itu mudah
berhasil dikandaskan Setan Mabuk. Sama seperti Dewa Arak, dia pun memiliki ilmu
aneh. Langkahnya terhuyung-huyung, tapi anehnya tidak ada satu serangan pun
yang berhasil mengenainya. Semuanya lolos dari sasaran yang dituju.
Dalam waktu sebentar saja,
sepuluh jurus telah terlewati. Tapi sampai sekian lamanya, Setan Mabuk belum
mampu melancarkan serangan balasan. Karena, masih berjarak terlalu jauh.
Memang, Dedemit Alam Akhirat berusaha mengajak lawan bertarung jarak jauh.
Ilmu 'Jari Pemutus Gunung'
memang menguntungkan Dedemit Alam Akhirat untuk bertarung dalam jarak jauh. Dan
memang, ilmu itu dikhususkan untuk pertarungan jarak jauh.
Setan Mabuk tentu saja tidak
sudi diajak bertarung jarak jauh. Itulah sebabnya, dalam setiap gerakan
mengelak, kakek berperut gendut ini selalu berusaha memperpendek jarak. Namun
hal itu selalu berakhir dengan kegagalan. Gerakannya sudah bisa ditebak Dedemit
Alam Akhirat. Maka usaha kakek berkepala botak itu segera dipatahkan.
Mau tak mau, Setan Mabuk
terpaksa menggunakan semburan-semburan araknya untuk balas menyerang. Apalagi dia
tidak memiliki ilmu khusus untuk bertarung jarak jauh seperti Dedemit Alam
Akhirat.
Keadaan seperti ini tentu saja
menguntungkan Dedemit Alam Akhirat. Betapapun lihainya Setan Mabuk mengelak,
tapi kalau dihujani serangan terus-menerus, tentu saja akan kewalahan juga. Dan
kalau hal
seperti ini berlangsung terus,
hasil akhir dari pertarungan ini sudah bisa ditebak! Setan Mabuk akan roboh di
tangan Dedemit Alam Akhirat!
Sementara itu, setelah
memperhatikan pertarungan antara Setan Mabuk dan Dedemit Alam Akhirat sesaat
Dewa Arak mengalihkan perhatian pada pertarungan yang berlangsung antara
gerombolan pemakan manusia dengan rombongan tokoh-tokoh persilatan.
Sepasang mata pemuda berambut
putih keperakan itu terbelalak begitu melihat kejadian yang terpampang di depan
matanya.
Memang, pertarungan antara dua
buah kelompok itu telah berlangsung belasan jurus. Beberapa orang pun telah
menjadi korban, dan ternyata berasal dari pihak tokoh persilatan. Sebuah hal
wajar, mengingat gerombolan pemakan manusia itu memiliki kekebalan. Sehingga
meskipun dihujani berbagai senjata, sedikit pun mereka tidak terluka sama
sekali. Sedangkan tokoh-tokoh persilatan itu tidak memiliki kekebalan.
Tapi sebenarnya bukan
kekebalan tubuh penghuni Pulau Selaksa Setan yang membuat Arya terperanjat.
Tapi, tindakan yang dilakukan orang-orang biadab itulah yang membuat matanya
terbelalak. Tatkala ada seorang lawan yang berhasil dirobohkan, berduyun-duyun
anak buah Dedemit Alam Akhirat merubung tubuh yang tergolek meregang maut. Maka
pesta yang mengerikan pun dimulai.
Sama sekali makhluk-makhluk
yang tengah asyik berpesta pora itu tidak mempedulikan serangan-serangan yang
dilancarkan lawan-lawannya. Karena saat itu mereka tengah menyantap makanan
lezat yang terhidang.
Beberapa kali tubuh makhluk-makhluk
yang tengah sibuk menyantap itu terguling ketika serangan-serangan yang
dilancarkan lawan menghantam. Tapi dengan gesit, mereka bangkit kembali dan
meneruskan pestanya.
Kontan perut Arya mual melihat
pemandang menjijikkan yang terpampang di hadapannya. Hampir hampir saja isi
perut yang mendadak ingin keluar, tidak kuat ditahannya. Ternyata semua yang
dikatakan Setan Mabuk sama sekali benar. Orang-orang biadab itu memang pemakan
manusia! Ngeri rasanya membayangkan bila makhluk-makhluk itu keluar dari pulau,
lalu masuk ke desa-desa. Dengan kekebalan tubuhnya, jangankan orang-orang desa,
tokoh-tokoh persilatan pun akan mendapat kesulitan yang tidak sedikit dalam
menanggulangi mereka.
Pemuda berpakaian ungu ini
tahu kalau untuk mencegah orang-orang biadab itu tidak ada jalan lain kecuali
membasminya. Mereka tidak akan bisa dinasihati karena memang tidak ubahnya
binatang buas. Manusia sudah merupakan makanan pokoknya.
Memperhatikan sekilas saja,
Dewa Arak tahu kalau tokoh-tokoh persilatan pasti akan tewas semuanya. Padahal,
jumlah tokoh itu paling
sedikit lima kali lipat dari
jumlah makhluk pemakan manusia. Tapi karena lawan tidak bisa dibinasakan,
korban-korban yang berjatuhan semuanya berasal dari gerombolan tokoh
persilatan.
Maka sambil mengeluarkan suara
melengking nyaring, Dewa Arak melompat terjun dalam kancah pertarungan. Dan
begitu masuk, guci araknya langsung saja dihantamkan ke arah kepala salah
seorang makhluk biadab itu.
Tapi seperti juga kejadian
yang dialami tokoh-tokoh persilatan, kejadian yang sama pun menimpa Dewa Arak.
Lawan yang terkena hantaman guci araknya disertai pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya, memang terpental jauh dan jatuh berdebuk di tanah. Namun, sesaat
kemudian bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Arya benar-benar takjub.
Peristiwa ini mengingatkannya pada lawan tangguhnya yang juga memiliki
kekejaman luar biasa. Tokoh itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Dan berkat
petunjuk Ular Hitam yang membimbingnya, Dewa Arak berhasil membunuh lawan yang
luar biasa itu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Dewi Penyebar Maut").
Maka tanpa ragu-ragu lagi,
Dewa Arak segera mengeluarkan sesuatu dari bagian dalam pakaiannya. Ternyata
daun kelor! Memang sejak pertarungannya dengan Raksasa Kulit Baja, Dewa Arak
selalu mengambil daun kelor di tiap-tiap tempat.
Tapi kali ini pemuda
berpakaian ungu ini kecelik. Orang-orang biadab itu sama sekali tidak
terpengaruh walaupun ranting daun kelor itu sampai hancur lebur menggebuki
sekujur tubuh mereka.
Arya tidak putus asa. Maka
dikeluarkannya bambu kuning. Tapi kejadian yang sama terulang. Sementara itu,
orang-orang biadab itu kembali berhasil melahap seorang tokoh persilatan lagi.
Dalam cekaman rasa putus asa,
Dewa Arak mengumbar jurus-jurus yang jarang digunakannya. Jurus 'Membakar
Matahari' dan jurus 'Pukulan Belalang'. Tapi, hasilnya sama sekali tidak
berbeda.
7
Setan Mabuk menjadi khawatir
melihat banyaknya tokoh persilatan yang satu demi satu berguguran. Apalagi
ketika ada beberapa di antara yang tewas itu adalah jago-jago minum yang akan
bertarung.
"Tahan Dedemit Bau ini,
Dewa Goblok! Biar aku yang akan membasmi mereka?" teriak Setan Mabuk.
Kakek berperut gendut ini
memang masih belum bisa memperpendek jarak. Padahal pertarungan sudah
berlangsung lebih dari empat puluh jurus. Maka tidak aneh kalau Setan Mabuk
terdesak. Bahkan beberapa bagian rompinya telah koyak-koyak terserempet angin
serangan pukulan jarak jauh Dedemit Alam Akhirat.
Arya kini tidak ragu-ragu
lagi. Telah dibuktikan sendiri kebenaran ucapan Setan Mabuk. Maka begitu
mendengar seruan itu, tubuhnya melesat memasuki kancah pertarungan antara Setan
Mabuk dengan Dedemit Alam Akhirat.
Begitu memasuki arena
pertarungan, langsung saja Dewa Arak melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah
Dedemit Alam Akhirat mempergunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Pemuda be-rambut putih keperakan ini sengaja mengeluarkan ilmu itu untuk
memberi kesempatan pada Setan Mabuk agar bisa keluar dari arena pertarungan.
"Hmh...!"
Dedemit Alam Akhirat mendengus
melihat serangan itu. Memang, dari deru angin kuat yang mengawalinya, bisa
diperkirakan kalau lawannya kali ini memiliki tenaga dalam kuat bukan kepalang.
Tapi, hal itu tidak mengurangi keberaniannya untuk langsung menyambuti serangan
yang bertubi-tubi itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya dua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi terdengar. Bunyi
benturan itu layaknya seperti benturan antara dua batang logam keras.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit
Alam Akhirat sama-sama terdorong ke belakang akibat benturan itu. Namun ada
satu hal yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Ternyata
punggung kedua tangannya berdarah! Luar biasa! Dan memang, kedua tangan Dedemit
Alam Akhirat dalam penggunaan ilmu 'Jari Pemutus Gunung', telah menjadi lebih
tajam daripada pedang pusaka. Dan sesungguhnya, pedang pusaka sekalipun tidak
akan mampu melukai kulit Dewa Arak kalau tidak berada di tangan seorang tokoh
yang memiliki tenaga dalam amat kuat.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa
terbahak-bahak.
Dengan rakus, dijilatinya
darah dari luka di tangan Arya yang menempel pada jari-jari tangannya.
Sepasang mata Dewa Arak kontan
terbelalak. Bukan karena tangannya yang terluka, tapi karena tindakan lawan
yang menjilati darahnya! Rupanya Dedemit Alam Akhirat ini tidak ubahnya anak
buahnya sendiri. Sama-sama pemakan manusia!
Tapi Arya tidak bisa
berlama-lama dalam keterpakuannya karena laki-laki berwajah kasar itu telah
kembali menyerang. Jangankan tangannya, angin pukulan serangannya saja sudah
cukup untuk membuat kulit tubuh Dewa Arak terluka.
Sadar akan ketangguhan lawan,
Dewa Arak tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi. Sambil mengelak, dijumputnya
guci arak. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk...!
Suara tegukan dari arak yang
melewati tenggorokan Arya terdengar. Dan seperti biasanya, tubuh pemuda
berpakaian ungu itu kemudian oleng ketika hawa arak yang hangat merayap naik
dari lambung, terus ke kepalanya.
Dan dengan ilmu 'Belalang
Sakti' andalannya, Dewa Arak mengadakan perlawanan terhadap Dedemit Alam
Akhirat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi pun berlangsung.
Arya kini benar-benar
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu 'Belalang Sakti'nya di
keluarkan sampai ke puncak kemampuan. Kedua tangan, guci, dan juga semburan
araknya, dikeluarkan semua untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Alam
Akhirat.
Tapi lawan yang dihadapi Dewa
Arak bukan orang sembarangan. Setan Mabuk yang menghadapi Dedemit Alam Akhirat
lebih dulu, telah membuktikan kelihaian pemimpin orang-orang biadab itu.
Buktinya, dia tidak mampu mengajak lawannya bertarung dalam jarak dekat.
Sama seperti ketika menghadapi
Setan Mabuk, melawan Dewa Arak pun Dedemit Alam Akhirat menggunakan kelebihan
ilmunya. Dia juga mengajak Dewa Arak untuk bertarung jarak jauh. Dipaksanya
pemuda berambut putih keperakan itu untuk bertarung yang menguntungkan dirinya.
Pertarungan antara kedua tokoh
itu berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua belah pihak memang
sama-sama memiliki kecepatan gerak luar biasa. Suara mencicit dari setiap
serangan yang dilan-carkan Dedemit Alam Akhirat terdengar, ditingkahi bunyi
berdesir, mengaung, dan bercelegukan yang keluar dari gerakan Dewa Arak.
Sehingga, suasana pertarungan jadi hingar bingar.
Ramainya pertarungan antara
Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat ternyata tidak kalah ramainya lagi
pertarungan antara Setan Mabuk dan rombongan melawan anak buah Dedemit Alam
Akhirat.
Ternyata, Setan Mabuk tidak
hanya membual saja sewaktu mengatakan kalau sanggup membasmi orang-orang biadab
yang memiliki kekebalan pada kulit tubuhnya. Kakek berperut gendut itu ternyata
mengetahui kelemahan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
"Pisahkan buntalan kain
hitam yang ada di pinggang mereka...!" seru Setan Mabuk lantang.
Mendengar seruan keras itu,
tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi sudah putus asa menjadi timbul kembali
semangatnya. Serentak pandangan mereka dialihkan pada bagian pinggang
orang-orang biadab itu.
Memang seperti yang dikatakan
kakek berkepala botak itu, pada bagian pinggang makhluk pemakan manusia itu
terdapat buntalan kain hitam kecil yang diikatkan pada tali pinggang terbuat
dari tumbuh-tum-buhan.
Sebagian besar tokoh
persilatan merasa heran mendengar perintah Setan Mabuk itu. Hanya sebagian
kecil saja yang bisa mengerti kalau buntalan kain kecil berwarna hitam itu
adalah sejenis jimat. Dan itulah yang menyebabkan kulit tubuh anak buah Dedemit
Alam Akhirat kebal. Selama ada buntalan hitam itu, mereka tetap tidak bisa
dilukai. Dan apabila tidak ada buntalan itu, baru mereka bisa dibunuh.
Meskipun tidak mengerti, tapi
tokoh persilatan yang sebagian besar itu menuruti juga perintah Setan Mabuk.
Dan memang, tidak ada salahnya mencoba-coba.
Kali ini tokoh-tokoh
persilatan itu menujukan serangan-serangan untuk memisahkan buntalan kain hitam
itu dari bagian pinggang.
Keragu-raguan yang
menghinggapi perasaan sebagian tokoh persilatan mulai memudar ketika melihat
tanggapan makhluk-makhluk pemakan manusia itu atas serangan yang tertuju ke
arah buntalan kain hitam.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat
terlihat cemas. Kini mereka selalu mengelak dan tidak membiarkan
serangan-serangan mengenai tubuh mereka.
Hasil yang diperoleh
benar-benar membuat hati mereka berbunga-bunga. Makhluk-makhluk yang semula
kebal itu, kini bisa dilukai setelah buntalan kain hitam itu berhasil
dilepaskan. Maka semakin besarlah semangat mereka jadinya.
Sekarang keadaan berubah
banyak! Makhluk-makhluk pemakan manusia kini mulai terdesak hebat. Memang kalau
dibuat perbandingan, kepandaian yang dimiliki oleh seorang makhluk pemakan
manusia itu paling hanya menyamai seorang murid persilatan yang baru masuk
perguruan. Mereka memang tidak memiliki kepandaian yang terlalu hebat, karena
Dedemit Alam Akhirat tidak mengajari ilmu silat.
Tidak aneh jika korban di
antara mereka pun berguguran, karena satu orang di antara mereka menghadapi
beberapa orang lawan.
Tak lama kemudian,
makhluk-makhluk pemakan manusia itu pun sudah tidak ada yang berdiri tegak lagi.
Semua bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Begitu semua orang biadab
Penghuni Pulau Selaksa Setan itu tewas, Setan Mabuk dan sisa tokoh-tokoh
persilatan mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi
Dedemit Alam Akhirat. Dedemit Alam Akhirat meskipun tidak bisa memperhatikan
secara jelas karena dia harus memusatkan perhatian pada Dewa Arak, ternyata
mengetahui semua kejadian yang menimpa anak buahnya. Berbagai perasaan kini
mendera hatinya.
Memang bukan Dedemit Alam
Akhirat yang memberikan jimat itu. Tapi dukun suku makhluk pemakan manusia,
yang kini telah tewas tersapu badai. Dukun itu memang ahli dalam ilmu hitam.
Berbagai ilmu hitam dimilikinya. Bermacam-macam jimat dibuatnya. Di antaranya
adalah jimat yang membuat tubuh tidak bisa dilukai!
Kalau tidak melihat buktinya
sendiri, Dedemit Alam akhirat tidak akan percaya. Betapa tidak? Isi buntalan
itu hanya berupa tulang-tulang manusia. Ada yang tulang jempol, kelingking, dan
macam-macam lagi.
Sementara itu, pertarungan
Dewa Arak melawan Dedemit Alam Akhirat telah lebih dari tujuh puluh jurus. Dan
selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Meskipun begitu, tampak jelas kalau Dewa Arak berada dalam pihak yang terdesak.
Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu balas menyerang.
Dan andaikata menyerang, hanya dengan semburan araknya saja. Dewa Arak lebih
sering menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', untuk mengelakkan setiap
serangan Sedangkan jurus 'Belalang Mabuk'nya mati kutu!
Beberapa kali Dewa Arak
berusaha mengadakan pertarungan jarak dekat, tapi usahanya selalu kandas. Dia
malah kadang-kadang terpaksa melompat mundur kembali, karena cecaran serangan
lawan yang bertubi-tubi. Dedemit Alam Akhirat juga melompat mundur ke belakang,
untuk mempertahankan jarak.
Arya mengeluh dalam hati,
menyadari betapa sulitnya mendekati lawan. Disadarinya kalau keadaan begini
terus, dia akan mengalami kerugian sendiri. Betapapun hebatnya langkah ajaib
dalam jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi serangan yang datang ke arahnya
bagaikan hujan. Jadi, bukan suatu hal yang mustahil kalau serangan lawan
akhirnya akan berhasil mengenainya. Maka harus dicari terobosan untuk melakukan
serangan balasan agar lawan tidak terus-menerus menghujani serangan.
"Hih...!"
Sambil melenting ke atas untuk
menghindari serangan lawan, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Arya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang', untuk membuat serangan lawan
berhenti beberapa saat. Ini dilakukan agar bisa mendesak lawan.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat berhembus keras ke arah Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini
membuat laki-laki berwajah kasar itu terperanjat. Serangan Dewa Arak memang
sama sekali tidak diduga, karena datangnya secara tiba-tiba.
Tahu akan kedahsyatan serangan
pukulan jarak jauh itu, Dedemit Alam Akhirat melempar tubuh ke samping dan
bergulingan di tanah.
Dewa Arak tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-buru dia melompat, memburu tubuh yang
tengah bergulingan. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memaksa lawan
bertarung dalam jarak dekat.
Dedemit Alam Akhirat tahu
maksud lawannya. Maka, dia pun terus bergerak menjauh.
Tapi, Arya pun tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu terus
melompat memburu seraya melancarkan serangan bertabi-tubi.
Tak pelak lagi, sebuah
kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Dedemit Alam Akhirat yang terus menerus
bergulingan untuk menjauhkan diri, dan Dewa Arak yang tak henti-hentinya
bergerak memburu.
Akhirnya, Dedemit Alam Akhirat
tidak punya pilihan lagi. Kalau dipaksakan terus berguling, bukan tidak mungkin
akan celaka di tangan Dewa Arak. Maka terpaksa tangannya digerakkan untuk
menangkis.
Plakkk, plakkk, plakkk..!
Kembali terjadi benturan keras
antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Dan
untuk yang kedua kalinya, tangan Dewa Arak terluka kembali.
Kali ini Arya bertindak cepat.
Buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran
darah. Kemudian, langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi kembali.
Dedemit Alam Akhirat tidak
bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa keinginan lawannya harus diladeni untuk
bertarung dalam jarak dekat.
Dengan terjadinya pertarungan jarak
dekat ini, pertempuran yang terlihat jadi lebih menarik. Kedua belah pihak kini
dapat saling melancarkan serangan.
Sebenarnya, ilmu 'Jari Pemutus
Gunung' sama sekali tidak berkurang kedahsyatannya bila bertarung dalam jarak
dekat. Sementara ilmu 'Belalang Sakti' juga lebih mengandalkan pertarungan
jarak dekat. Bila dilakukan dalam jarak jauh, akan pupus keampuhannya.
Dedemit Alam Akhirat mengeluh
dalam hati. Kini setelah bertarung dalam jarak dekat, baru dirasakan beratnya
serangan-serangan Dewa Arak. Ilmu lawan yang begitu aneh, dan mempunyai
perkembangan tidak terduga-duga, benar-benar membuatnya kewalahan. Sukar
diperkirakan serangan lanjutan yang akan dilancarkan Dewa Arak.
Satu hal lagi yang membuat
hati pemimpin orang-orang biadab itu heran adalah, pemuda berambut putih
keperakan itu seperti tidak peduli dan malah menenggak araknya. Tapi anehnya,
justru setelah menenggak araknya dan kemudian kedudukan kalanya oleng, serangan
yang dilancarkan terhadapnya malah berhasil dielakkan.
Meskipun memang ilmu 'Belalang
Sakti' yang dimiliki Dewa Arak adalah sebuah ilmu yang luar biasa, tapi karena
yang dihadapi pun bukan lawan sembarangan, maka baru setelah melewati dua ratus
jurus, lawan mulai terdesak. Itu pun karena yang dihadapinya sudah mulai merasa
lelah.
Seiring timbulnya perasaan
lelah itu, tenaga Dedemit Alam Akhirat pun mulai mengendur. Dan dengan
sendirinya, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak sedahsyat sebelumnya.
Bahkan gerakannya pun tidak sigap lagi.
Sementara serangan-serangan
dan kegesitan Dewa Arak tampak seperti tidak berkurang. Gerakan-gerakan pemuda
berambut putih keperakan itu masih terlihat gesit. Serangan-serangannya pun
masih terasa dahsyat. Seakan-akan, tenaga Arya sama sekali tidak berkurang.
Tidak merasa lelahkah pemuda
berpakaian ungu ini? Ah, mustahil! Tidak mungkin Dewa Arak tidak merasa lelah!
Apalagi sampai empat puluh jurus lamanya, seluruh kemampuan yang dimiliki
dikerahkan untuk memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Berbagai macam
pertanyaan dan bantahan berkecamuk dalam benak Dedemit Alam Akhirat.
Sama sekali Dedemit Alam
Akhirat tidak tahu kalau arak yang diminum pemuda berambut putih keperakan
itulah yang telah membuat tenaganya pulih kembali.
Semakin lama, keadaan Dedemit
Alam Akhirat semakin mengkhawatirkan, karena tenaganya terus merosot. Dan
dengan sendirinya
keampuhan ilmu 'Jari Pemutus
Gunung'nya pun jadi berkurang pula. Me-mang ilmu itu amat mengandalkan pada
kekuatan tenaga dalam. Orang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tidak
akan mampu memiliki ilmu 'Jari Pemutus Gunung'.
Tidak aneh kalau kini
laki-laki berwajah kasar ini mulai terdesak hebat. Keampuhan ilmunya semakin
merosot seiring semakin lemah tenaganya. Sementara keampuhan ilmu Dewa Arak
sama sekali tidak beru-bah, karena tenaga dalam yang dimilikinya sama sekali
tidak berkurang.
Semula, benturan tangan Dewa
Arak sama sekali tidak berpengaruh pada Dedemit Alam Akhirat. Tapi kini,
keadaan banyak berubah. Setiap kali terjadi benturan, membuat tangannya terasa
sakit dan ngilu bukan kepalang. Bahkan beberapa kali pemimpin makhluk pemakan
manusia itu terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan.
"Hih...!"
Sambil mengeluarkan seruan
melengking nyaring Dewa Arak kembali melancarkan serangan bertubi-tubi. Kedua
punggung tangannya dalam permainan jurus 'Belalang Mabuk', memukul bertubi-tubi
ke arah ulu hati dan dada dengan kekuatan penuh. Namun mana mampu Dedemit Alam
Akhirat berbuat banyak?
Tak pelak lagi, tubuhnya pun
terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak bukan kepalang.
Terutama sekali tangannya. Kedua tangan itu seperti patah-patah!
Di saat itulah, Dewa Arak
melompat melakukan tendangan dengan kedua kaki ke arah dada lawan. Persis
seperti seekor ayam jago yang merangsek lawannya.
Desss...!
Suara berderak keras dari
tulang dada yang berpatahan dan semburan darah segar dari mulut, mengiringi
terlemparnya tubuh Dedemit Alam Akhirat. Seketika itu juga, tokoh yang
menggiriskan itu tewas tanpa sempat bersambat lagi.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk nyaring,
tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu jatuh ke tanah sekitar dua belas tombak
dari tempat semula. Setelah berkelojotan sejenak kemudian dia diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Horeee...!"
Sambutan meriah dari
tokoh-tokoh persilatan bergemuruh menyambut kemenangan Dewa Arak. Tapi tentu
saja tidak semuanya bersikap seperti itu. Ada sebagian yang diam saja melihat
kemenangan Dewa Arak. Satu di antara mereka adalah Setan Mabuk. Dan kakek
berperut gendut itu malah menenggak araknya.
Glek...glek... glek...!
8
Waktu berlalu tak terasa.
Terkadang cepat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tapi tak jarang
seperti seekor keong merayap.
Akhirnya waktu yang dinantikan
untuk pertarungannya raja-raja arak tiba. Bulan bulat penuh yang tampak di
langit memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan di Pulau Selaksa
Setan. Sehingga, suasana di pulau itu cukup terang.
Di Pulau Selaksa Setan sendiri
telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan baik dari aliran hitam, maupun dari
aliran putih. Memang, pertarungan memperebutkan kedudukan sebagai jago minum
arak ini tidak hanya terbatas untuk satu golongan saja. Tapi terbuka bebas bagi
siapa saja yang berminat.
Belasan orang tokoh persilatan
yang bertindak sebagai penonton, sekaligus juri dan saksi untuk melihat siapa
di antara mereka yang unggul, telah ramai berkumpul. Mereka berdiri
mengelilingi sebuah lapangan luas terbuka, dari di bagian tengahnya terdapat
batu-batu yang berbentuk sebagai meja dan kursi.
Di kanan kiri dua batu besar,
lebar, dan pipih terdapat dua buah batu yang jauh lebih kecil daripada batu
yang dipakai sebagai pengganti meja itu. Tapi seperti juga batu besar, batu
kecil itu pun mempunyai permukaan pipih. Bisa diperkirakan kalau kegunaan batu
kecil itu adalah sebagai pengganti bangku.
Dugaan itu tidak keliru,
karena pada batu kecil yang berada di sebelah kanan batu lebar tengah duduk
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Perutnya buncit. Tampak cambang bauk
lebat menghias wajahnya. Dialah tokoh yang berjuluk Raja Minum Danau Sengon.
Dari julukannya, bisa
diketahui dari mana asal tokoh tua bercambang bauk lebat ini. Asalnya, dari
Danau Sengon. Dialah yang telah menjadi pemenang dalam pertarungan antara
raja-raja arak tahun kemarin.
Di desa-desa sekitar Danau
Sengon, julukan Raja Minum Danau Sengon amat terkenal. Dia mendapat julukan
Raja Minum, setelah tidak seorang pun jago-jago minum di daerahnya yang mampu
mengalahkannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali dia bertarung minum
tanpa pernah kalah!
Oleh karena itu, timbul
keinginannya untuk menjadi raja minum tak terkalahkan bukan hanya di tempatnya
saja. Tapi juga di dunia persilatan.
Ternyata bukan hanya dia saja
yang berpikiran demikian. Jago-jago minum wilayah lain pun memiliki maksud
sama. Maka diadakanlah pertemuan antara mereka, dan ditentukan pertarungan
minum itu.
Selama beberapa kali
pertemuan, Setan Mabuk yang menjadi juara, baru tahun kemarin Raja Minum Danau
Sengon keluar sebagai pemenang.
Karena telah menjadi juara,
maka Raja Minum Danau Sengon yang terlebih dulu duduk di arena pertarungan.
Laki-laki pemabukan ini akan berusaha mempertahankan gelar sebagai Jago Arak
Nomor Satu.
"Siapa yang akan menjadi
penantang pertamaku?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Suaranya
keras mengguntur. Jelas kalau dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang
tidak rendah. Dan me-mang, Raja Minum Danau Sengon ini bukan hanya jago minum
saja, tapi juga dalam hal ilmu silat.
Laki-laki bercambang bauk
lebat ini segera mengalihkan pandangannya ke arah tiga orang yang akan menjadi
lawannya, karena beberapa di antara raja-raja arak yang akan mengikuti
pertarungan telah tewas di tangan anak buah Dedemit Alam Akhirat. Sementara
yang lain sama sekali tidak diketahui nasibnya. Sama sekali semua orang itu
tidak tahu kalau raja-raja arak dan para tokoh persilatan yang akan menonton
telah habis dibantai makhluk-makhluk pemakan manusia itu.
Ketiga orang itu adalah Dewa
Arak, Setan Mabuk, dan seorang laki-laki yang juga berperut buncit. Tubuhnya
tinggi besar, dan berkumis tebal. Dialah yang menjadi lawan berat Raja Minum
Danau Sengon tahun lalu. Laki-laki berkumis tebal itu berjuluk Biang Guci
Gunung Kari, karena dia memang berasal dari Gunung Kari.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak,
laki-laki berkumis tebal yang berjuluk Biang Guci Gunung Kari ini melangkah
meninggalkan kerumunan orang. Dia kemudian menghampiri arena pertarungan. Bukan
sembarangan tawa yang dikeluarkan Biang Guci Gunung Kari ini. Suara tawanya
ternyata dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Rupanya, dia tidak
mau kalah dalam hal unjuk gigi kepada musuh bebuyutannya, Raja Minum Danau
Sengon.
Berbarengan langkah majunya
laki-laki berkumis tebal itu, beberapa orang persilatan pun bergerak maju
sambil membawa guci-guci besar yang berisi arak. Mereka kemudian membawanya ke
arah tempat Raja Minum Danau Sengon.
"Akulah yang akan menjadi
lawan pertamamu, Raja Minum!" sambut Biang Guci Gunung Kari, tak kalah
keras.
"Ha ha ha...!" Raja
Minum Danau Sengon tertawai bergelak. "Apakah kau sudah berlatih keras
untuk mengalahkanku, Biang Guci?! Kalau tidak, lebih baik kau kembali daripada
jatuh di tempat yang sama sampai dua kali!"
"Kau boleh umbar bacotmu
yang busuk itu sepuasmu, Raja Minum! Yang jelas, gelar Jago Arak Nomor Satu
akan kurebut dari tanganmu!" Biang Guci Gunung Kari yang rupanya tidak
bisa berdebat, langsung saja memutus pembicaraan.
Belum lagi gema ucapannya
habis, laki-laki berkumis tebal ini sudah duduk di atas bangku kecil yang masih
kosong.
Empat orang persilatan yang
berpakaian, seragam warna kuning, dan rupanya bertindak sebagai juri,
meletakkan delapan buah guci besar yang penuh arak di atas meja batu. Tak lupa,
dua buah gelas bambu pun diletakkan di depan kedua jago minum yang akan
bertarung.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh,
Raja Minum Danau Sengon menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke dalam
gelas bambunya. Ringan saja sepertinya guci itu di tangannya. Padahal guci itu
besar sekali, dan penuh berisi arak!
"Hmh...!"
Biang Guci Gunung Kari
mendengus. Dengan sikap tidak mau kalah dari lawannya, tangannya diulurkan ke
arah guci arak. Gerakannya tampak sembarangan saja. Dan sepertinya tanpa
pengerahan tenaga sama sekali. Tapi, toh guci arak itu berhasil diangkat dan
juga dituangkan ke dalam gelas bambunya.
Begitu Raja Minum Danau Sengon
meletakkan kembali guci arak itu di meja, Biang Guci Gunung Kari pun telah
meletakkan kembali gucinya di tempat yang sama. Tampak jelas kalau laki-laki
berkumis tebal itu tidak mau kalah lagak terhadap lawannya.
Kedua belah pihak saling tatap
sejenak. Masing-masing dengan sorot mata memancarkan ejekan. Baru kemudian,
Raja Minum Danau Sengon selaku pemenang tahun lalu, mengangkat gelas bambu dan
me-nenggak isinya.
Biang Guci Gunung Kari pun
tidak mau kalah. Buru-buru diangkatnya gelas bambu, dan ditenggak araknya.
Pertarungan adu minum pun telah dimulai.
Dewa Arak, Setan Mabuk, dan
semua tokoh persilatan memperhatikan jalannya pertarungan penuh perhatian.
Sepasang mata mereka semua hampir tidak berkedip memperhatikan gelas demi gelas
arak yang masuk ke dalam perut Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau
Sengon.
Sebagai orang-orang
persilatan, semua tokoh yang berada di situ tahu sesuatu yang mendukung tokoh
itu bertarung agar keluar sebagai pemenang. Selain kebiasaan meminum arak, juga
tenaga dalam yang kuat memegang peranan penting.
Semua tokoh persilatan
berharap, agar salah satu tokoh yang bertarung itu menang tipis dari lawannya.
Karena bila hal itu terjadi, pertarungan akan dilanjutkan kembali dalam adu
semburan arak dan pertarungan.
Tapi ternyata hal yang
diharapkan tidak terjadi. Baru satu guci arak yang dihabiskan, Biang Guci
Gunung Kari sudah kelenger. Kepalanya sudah berputar ke sana kemari. Mulutnya
pun sudah mengoceh tak karuan. Sementara, Raja Minum Danau Sengon baru memerah
saja wajahnya. Meskipun juga sudah terpengaruh dengan arak yang diminumnya,
tapi tidak separah lawannya. Memang arak yang disuguhkan untuk pertarungan
antara raja-raja arak itu tergolong keras.
Melihat pertunjukan ini saja,
sudah bisa diperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan memang,
ketika guci arak yang kedua baru ditenggak satu gelas, Biang Guci Gunung Kari
tak kuat lagi mengangkat gelas araknya. Bukan itu saja. Laki-laki berkumis
tebal ini mendadak bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan arena
pertarungan sambil mengoceh tak karuan. Jelas, kalau pikirannya sudah tidak
berjalan normal lagi. Jalannya pun lucu. Sekali melangkah ke depan, tapi
kemudian ke belakang dua kali. Itu pun dengan terhuyung-huyung.
Hanya beberapa langkah saja
Biang Guci Gunung Kari melangkah. Untuk kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.
Orang-orang persilatan yang
berseragam kuning pun bergegas menghampiri, dan membawa laki-laki berkumis
tebal yang sudah setengah tidak sadar untuk meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!" Raja
Minum Danau Sengon tertawa terbahak-bahak menyambuti kemenangannya. Meskipun
begitu, melihat raut wajahnya yang sudah mulai merah padam, semua orang tahu
kalau dia tidak akan mampu minum sampai satu setengah guci arak lagi.
Sesuai peraturan, tokoh yang
telah bertarung minum, tidak akan bertarung lagi sampai esok harinya. Maka kini
pertarungan dilanjutkan antara Dewa Arak melawan Setan Mabuk.
Menilik dari keadaan Arya,
hampir semua orang persilatan menjagoi Setan Mabuk Mereka semua tahu, siapa
adanya kakek berkepala botak itu. Dialah orang yang telah memegang gelar juara
Jago Arak Nomor Satu untuk berkali-kali pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Perut
Dewa Arak yang tidak, buncit, dan usia Arya yang masih muda, lebih membuat
tokoh persilatan itu condong menjagoi Setan Mabuk!
Pertarungan seperti yang
berlangsung antara Raja Minum Danau Sengon dan Biang Guci Gunung Kari kembali
berlangsung. Tapi, kali ini antara Dewa Arak menghadapi Setan Mabuk.
Sebenarnya Arya tidak yakin
kalau akan mampu menandingi kemampuan Setan Mabuk dalam hal minum arak, setelah
melihat sendiri kemampuan Raja Minum Danau Sengon. Dewa Arak memang bukan
seorang pemabukan. Walaupun memang tidak bisa melepaskan arak dari
kehidupannya, tapi dia tidak pernah minum arak sampai berguci-guci. Dewa Arak
hanya minum sekadarnya saja karena bukan pecandu arak.
Kalau saja tidak mengingat
janji, Arya lebih suka menolak tantangan itu. Tapi sekarang hal itu tidak
mungkin dilakukannya lagi. Kini, Dewa Arak telah duduk berhadapan dengan Setan
Mabuk untuk mengadu kemampuan dalam hal meminum arak.
"He he ke...! Tunjukkan
kemampuanmu kalau tidak ingin julukanmu hapus, Dewa Arak!" ejek Setan
Mabuk sambil mulai menenggak arak yang berada dalam gelas bambunya.
Arya sama sekali tidak
menanggapi ejekan itu. Dengan sikap tenang diangkatnya arak yang berada di
dalam gelas bambu dan dituangkan ke mulutnya.
Kini pemuda berpakaian ungu
ini mempunyai semangat memenangkan pertarungan adu minum, kalau tidak ingin
kehilangan gelarnya. Padahal, dia risih mendapat julukan seperti itu. Tapi,
alangkah malunya bila julukannya tergusur. Harus menang! Begitu keputusan Dewa
Arak!
Berbeda dengan Arya yang
merasa ragu bisa mengungguli lawan, Setan Mabuk yakin sekali kalau dirinya akan
mampu mengalahkan lawan. Banyak alasan yang menyebabkan kakek berkepala botak
itu begitu yakin. Satu di antaranya adalah usia pemuda itu yang masih begitu
belia! Sedangkan dirinya telah puluhan tahun lamanya hidup bergelimang arak.
Arak baginya sudah merupakan bagian dari hidup.
Pertarungan adu minum pun
dimulai. Gelas demi gelas ditenggak kedua tokoh berbeda aliran, dan juga
berbeda usia itu.
Para tokoh persilatan mulai
merasa heran dan takjub ketika melihat Dewa Arak ternyata sanggup menandingi
Setan Mabuk dalam meminum arak. Bahkan hingga habis satu buah guci, tidak
tampak adanya perubahan pada wajah Arya. Karuan saja hal itu membuat heran
bukan hanya tokoh-tokoh persilatan. Setan Mabuk dan juga Raja Minum Danau
Sengon pun kaget bukan kepalang. Dari pertunjukan itu saja sudah bisa dilihat
kalau kekuatan Dewa Arak berada di atas Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum
Danau Sengon. Buktinya, Raja Minum Danau Sengon sendiri sewaktu menghabiskan
seguci arak, wajahnya merah padam. Jelas, dia telah
terpengaruh hawa arak! Tapi,
pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan semua orang yang
melihat, Dewa Arak sendiri pun merasa heran. Sama sekali di luar dugaan kalau
dirinya sanggup menghabiskan seguci arak itu tanpa terpengaruh sama sekali.
Padahal, semula dikira tidak akan sanggup, karena memang tidak pernah meminum
arak sampai sebanyak itu. Dan bila minum pun, baik dalam pertempuran yang
paling berat, biasanya tidak sampai seguci. Paling banyak hanya setengah guci.
Guci kecil lagi! Dan dia mabuk!
Sama sekali pemuda berpakaian
ungu itu tidak tahu kalau arak yang biasa diminumnya amat keras! Jauh lebih
keras daripada arak yang paling keras sekalipun! Bahkan arak untuk pertandingan
ini, seperti tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, karena sudah terbiasa
dengan arak yang sangat keras, Arya sama saja seperti meminum air putih biasa
saat minum arak itu!
Begitu satu guci telah
selesai, dilanjutkan dengan guci kedua. Sampai akhirnya isi guci itu pun
kandas, kedua tokoh yang bertarung belum ada yang mengalah.
Akhirnya, sampai perut kedua
tokoh itu tidak mampu lagi menenggak arak, tetap saja belum mabuk. Maka Setan
Mabuk pun menghentikan pertarungan. Memang secara pasti belum ketahuan, siapa
yang keluar sebagai pemenang. Tapi melihat raut wajah kakek berkepala botak
yang mulai merah padam, sementara wajah Arya masih biasa, sudah bisa diduga
siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan Setan Mabuk pun mengetahui hal
itu. Maka, rasa penasarannya pun semakin menjadi-jadi.
Keesokan harinya, pertarungan
pun dilanjutkan. Tapi kali ini tidak adu minum arak lagi, melainkan adu
ketangkasan meruntuhkan beberapa butir batu yang digantung di atas cabang
pohon. Belasan butir batu dijajarkan. Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk akan
mengadu kemampuan merobohkan batu-batu itu dalam jarak tiga tombak!
"He he he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh.
Dengan pongahnya kakinya melangkah maju mengambil kesempatan menjadi peserta
pertama.
Kakek berperut buncit itu
menyipitkan sepasang mata, menatap jajaran batu-batu yang digantungkan di atas
cabang pohon.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras dan kasar
terdengar ketika arak yang dituangkan kakek berperut buncit itu jatuh ke dalam
mulut. Tapi kali ini tidak langsung ditelan, melainkan disimpan dalam mulutnya
sehingga kedua pipinya tampak menggembung. Dan....
Pruhhh...!
Setan Mabuk menyemburkan arak
yang disimpan dalam mulutnya. Seketika itu juga, arak itu meluncur ke arah
tali-tali yang menggantung batu-batu itu. Suara mendesing nyaring terdengar tatkala
arak itu meluncur deras menuju sasaran.
Tasss, tasss, tasss...!
Tiga belas buah batu jatuh
berguguran ke tanah tatkala percikan-percikan arak Setan Mabuk memutuskan
tali-tali penggantungnya.
"He he he...!"
Sambil terkekeh-kekeh, Setan
Mabuk menatap Dewa Arak, penuh kemenangan. Tapi Arya sama sekali tidak
mempedulikannya. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu
melangkah menghampiri tempat gantungan batu.
Kemudian guci araknya diangkat
ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu masuk ke dalam mulut Dewa Arak. Seperti juga Setan Mabuk, Dewa Arak
pun tidak menelan arak itu melainkan, menyemburkannya!
Pruhhh...!
Laksana anak panah, percikan
arak itu melesat ke arah batu yang bergantungan di cabang lainnya Memang, batu
untuk sasaran Dewa Arak dan Setan Mabuk ditempatkan pada cabang yang berlainan.
Tasss, tasss, tasss...!
Batu-batu kontan berguguran
dan jatuh ke tanah ketika tali-tali penggantungnya putus. Seketika itu juga pandangan
mata semua tokoh persilatan yang ada di situ, beralih ke arah batu-batu yang
bergeletakan di tanah. Batu-batu kecil yang masih terlibat tali.
Dengan pandangan mata,
tokoh-tokoh persilatan itu menghitungnya. Ternyata jumlahnya empat belas! Lebih
banyak satu buah ketimbang batu yang dijatuhkan Setan Mabuk.
"Grrrhhh...! Awas
serangan, Dewa Arak!"
Setan Mabuk menggeram keras
melihat kekalahannya. Sudah dua kali dia dikalahkan Dewa Arak. Meskipun yang
pertama kali tidak secara jelas, tapi semua orang yang menonton mengetahuinya.
Seiring lenyap geramannya,
kakek berperut buncit itu melompat menerjang Dewa Arak! Guci besar tangannya
meluncur deras ke arah kepala Arya.
Dewa arak yang memang sudah
bersiaga sejak semula, tidak menjadi gugup. Buru-buru kepalanya ditundukkan.
Dan....
Wusss...!
Sambaran guci itu melesat
lewat di atas kepala Arya. Menilik dari rambut dan pakaian pemuda berambut
putih keperakan yang berkibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
yang terkandung dalam ayunan guci lawan.
Dewa Arak tidak berani
bertindak ayal. Buru-buru guci araknya diangkat ke atas kepala. Lalu....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke perut.
Seketika itu juga, ada hawa hangat yang beredar di dalam perut Arya dan
perlahan naik ke atas kepala.
Pertarungan antara dua tokoh
yang sama-sama tangguh, dan sama-sama memiliki ilmu aneh pun tidak bisa
dielakkan lagi. Maka tokoh-tokoh yang berada di sekitar tempat itu buru-buru
menjauh.
Kini pertarungan yang aneh pun
berlangsung. Pertarungan aneh ini mungkin untuk pertama kalinya terjadi di
dunia persilatan. Dua orang tokoh sakti yang sama-sama memiliki ilmu aneh.
Menggeliat-geliat, terkadang lemas seperti orang mabuk akan jatuh. Tapi tak
jarang secara mendadak mengejang kaku penuh kekuatan. Perubahan gerakan kedua
orang itu me-mang terjadi secara tiba-tiba. Dari lembut berubah keras. Juga,
sebaliknya.
Tapi berbeda ketika menghadapi
Dedemit Alam Akhirat melawan Setan Mabuk, Dewa Arak sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Ilmu yang dimiliki lawan mirip ilmu yang dimilikinya. Sehingga, dia
tidak mengalami kesulitan menghadapinya.
Pertarungan antara kedua tokoh
itu berlangsung menarik, karena berkali-kali keduanya mengadu guci atau
semburan arak.
Tapi setelah pertarungan
berlangsung hampir seratus jurus, tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu yang
dimiliki Setan Mabuk meskipun mirip dengannya, tapi mengandung banyak kelemahan
di sana-sini. Dan ini jelas berbeda jauh dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Setan Mabuk menggertakkan gigi
ketika menyadari kalau tidak akan bisa mengungguli Dewa Arak. Tampak jelas,
pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi mutunya.
Gerakan guci, tangan, kaki, dan araknya merupakan satu kesatuan yang saling
tunjang-menunjang dan menutup celah-celah yang dapat digunakan lawan untuk
memasukkan serangan.
Sadar kalau dirinya tidak akan
mungkin bisa mengalahkan Dewa Arak, kakek berperut buncit itu jadi nekat untuk
mengadu nyawa. Maka
tanpa mempedulikan keselamatan
diri, kakek berkepala botak itu melancarkan serangan secara membabi buta.
Arya tahu, kalau Setan Mabuk
tidak akan bisa disadarkan. Lagi pula, dia adalah seorang tokoh sesat yang
kejam dan berbahaya. Adalah suatu kewajiban baginya untuk melenyapkan tokoh itu
selama-lamanya.
"Hattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan
nyaring, Setan Mabuk yang telah tidak mempedulikan keselamatan diri mengayunkan
gucinya ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt..!
Guci itu lewat setengah
jengkal di depan wajah ketika Arya menarik kepala ke belakang. Tidak hanya itu
saja yang dilakukan pemuda berpakaian ungu itu. Pada saat yang bersamaan, kaki
kanannya mencuat ke arah leher.
Setan Mabuk yang sejak tadi
sama sekali tidak mempedulikan pertahanan, menjadi terkejut bukan kepalang.
Sedapat mungkin, dia berusaha mengelak. Tapi...
Tukkk...!
Usaha kakek berperut buncit
itu sia-sia belaka. Kala Arya telah terlebih dulu menghantam lehernya dengan
telak. Tanpa sempat bersambat lagi, Setan Mabuk jatuh berdebuk di tanah. Dan
selagi Setan Mabuk terjerembab, Dewa Arak cepat melesat kembali. Langsung
dijejaknya leher tokoh sesat itu sekali lagi. Akibatnya, kontan kakek itu
tewas.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat.
Ditatapnya mayat Setan Mabuk. Setelah mengedarkan pandangan pada tokoh-tokoh
persilatan yang ada di sekitarnya, pemuda berambut putih keperakan itu
melangkah meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali langkah saja,
tubuhnya sudah berada di pinggir pantai.
Tanpa peduli pada panggilan
dan pandangan tokoh-tokoh persilatan, Dewa Arak mengambil sebuah perahu yang
berada di situ dan mengayuhnya meninggalkan pulau.
Raja Minum Danau Sengon dan
semua tokoh persilatan yang ada di situ, hanya bisa memandangi kepergian Dewa
Arak Dalam hati, mereka mengakui kalau Dewa Arak-lah yang berhak menjadi Jago
Arak Nomor Satu!
Selesai