Eps 27 - Kembalinya Raja
Tengkorak
Kepak sayap kelelawar, kukuk
burung hantu, kerik suara jangkrik, dan serangga malam lainnya menguak
keheningan malam sepi yang hanya disirami sinar bulan sepotong di langit.
Malam itu langit memang
terlihat agak kelam. bulan sabit disaput awan kelabu yang tipis. Tapi sinar
sang dewi malam tidak mampu menembus awan, sehingga cahayanya tertahan. Dan,
suasana di bumi pun menjadi remang-remang.
Dalam suasana malam seperti
itu, di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan Jambak, banyak sekali orang
berkumpul. Ditilik dari dandanan dan gerak-geriknya, mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam.
Jumlah mereka tak kurang dari
tiga puluh orang, dan membentuk lingkaran luas mengelilingi tanah lapang yang
di tengahnya terdapat gundukan batu setinggi setengah tombak. Bentuknya lebar
dan pipih. Sebatang tongkat berujung tengkorak kepala manusia terhunjam di
atasnya.
Mendadak terdengar lolongan
serigala mengaung panjang. Seketika semua kepala tokoh-tokoh persilatan yang
hadir di situ tertunduk. Mereka tahu suara lolongan itu tanda akan hadirnya
tokoh yang mereka nanti-nantikan, Raja Tengkorak!
Benar saja! Begitu lolongan
serigala itu lenyap, dua sosok bayangan melesat di atas kepala tokoh tokoh
persilatan yang berdiri di situ.
Dengan gerakan indah dan
manis, dua sosok bayangan berwarna kuning dan hitam bersalto di udara. Kemudian
mereka mendarat di atas gundukan batu lebar dan tipis.
"Angkat kepala kalian
semua... seru sosok tubuh berpakaian hitam yang mengenakan seragam tengkorak.
Dialah Raja Tengkorak! Sementara sosok tubuh berpakaian kuning adalah Turgawa!
"Siapakah ayah dan ibuku,
Paman?" tanya Raja Tengkorak dengan suara parau. Jelas, dia merasa
terpengaruh dengan cerita kakek berpakaian kuning itu.
Serentak kepala tokoh-tokoh
persilatan yang hadir di situ tertengadah. Agak terperanjat hati mereka melihat
orang lain di sebelah pimpinan mereka.
"Kalian lihat orang yang
berada di sisiku ini?" tanya Raja Tengkorak dengan suara khasnya yang
peIan, berat, tapi bergaung.
Bagai diberi aba-aba semua
kepala tokoh persilatan yang ada di situ terangguk.
"Dia adalah pamanku!
Turgawa namanya!"
Kepala tokoh-tokoh persilatan
itu terangguk-angguk pertanda mengerti. Suara percakapan yang berisik seperti
segerombolan lebah yang sarangnya diusik segera terdengar mengaung.
Raja Tengkorak mengangkat
tangannya. Kontan suara-suara berisik itu lenyap.
"Perlu kalian ketahui,
aku merasa gembira sekali. Gembira dan bangga. Usaha-usaha yang telah kita
lakukan berhasil dengan baik. Semula kita berhasil melenyapkan Dewa Arak. Lalu,
Perguruan Gajah Putih. Semua usaha kita telah berjalan lancar. Dunia persilatan
akan berhasil kita kuasai. Tapi sayang ......
Laki-laki berseragam tengkorak
itu menghentikan ucapannya sejenak.
Para tokoh-tokoh persilatan
yang hadir di situ mengernyitkan alisnya ketika mendengar kalimat terakhir dari
mulut pemimpin mereka. Nada suaranya menyiratkan penyesalan, bukan kegembiraan.
Mereka merasa heran bukan kepalang. Pasti ada sesuatu yang membuat hati Raja
Tengkorak tidak senang.
"Orang yang kusangka
telah tewas ternyata masih hidup! Dewa Arak belum mati! Inilah yang membuatku
menyesal bukan kepalang. Aku terlalu ceroboh. Tapi kecerobohan itu tidak akan
kuulangi lagi! Dewa Arak harus mati!"
“Ya! Dia harus dilenyapkan
selama-lamanya!" teriak Dulimang keras.
"Betul!" sambut
Juriga tak mau kalah.
"Kita sapu bersih semua
tokoh aliran putih!" yang lain pun tak mau ketinggalan.
Sebentar saja, suasana di
sekitar tempat itu jadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan tokoh persilatan.
Tindak-tanduk yang liar, membuat mereka berteriak semaunya. Tapi suara-suara
teriakan itu kontan lenyap, ketika Raja Tengkorak mengangkat tangannya ke atas.
"Kita memang harus
melenyapkan Dewa Arak! Tapi perlu diketahui, mencari Dewa Arak sangat sulit
karena, pendekar keparat itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap! Jadi,
rencana melenyapkan Dewa Arak harus kita tangguhkan dulu!"
Raja Tengkorak menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Rupanya dia terlalu berapiapi dalam
berbicara, hingga napasnya jadi memburu dan agak tersengal-sengal.
"Meskipun begitu,"
sambung Raja Tengkorak. "Bukan berarti aku akan menyepelekannya begitu
saja! Usaha untuk melenyapkan Dewa Arak tetap diteruskan. Akan kutunjuk
beberapa orang di antara kalian untuk mencari jejak pendekar itu. Baru setelah
tempatnya diketahui, kita melenyapkannya!"
"Sekarang apa yang harus
kami lakukan, Ketua?!" tanya seorang tokoh persilatan yang mengenakan
rompi kulit ular. Tubuhnya terlihat kekar. Tapi, wajahnya layu dan penuh keriput.
Di kalangan persilatan, laki-laki ini berjuluk Naga Tua. Dia salah satu tokoh
aliran hitam yang cukup terkenal dan disegani.
"Kita serbu Perguruan
Banteng Sakti besok malam! Kita hancurkan perguruan itu seperti menghancurkan
Perguruan Gajah Putih!" tandas Raja Tengkorak tegas.
"Hidup Raja
Tengkorak...!" seru Naga Tua keras sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Hidup... !" sambut
yang lainnya.
"Kita hancurkan Perguruan
Banteng Sakti...!" "Kita cincang Ki Tampar Waja ... I"
Dalam sekejap, tempat itu
bergemuruh oleh teriakan-teriakan yang keluar dari mulut tokoh-tokoh persilatan
itu. Dan seperti sebelumnya, suara itu baru berhenti bila Raja Tengkorak
mengangkat tangannya ke atas.
"Beberapa orang di antara
kalian, tidak usah ikut dalam penyerbuan ini!" sambung Raja Tengkorak
ketika, suara-suara riuh rendah itu berhenti. "Karena mereka akan
kutugaskan untuk mencari jejak Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berseragam tengkorak itu mengedarkan pandangan berkeliling. Sepasang
matanya yang mencorong tajam dan berwarna kehijauan menatap satu persatu
wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Di dalam sorot matanya, tampak dia sedang
menilai orang-orang yang cocok mengemban tugas mencari jejak Dewa Arak!
Cukup lama juga Raja Tengkorak
menatap dan mengamati wajah-wajah pengikutnya. Kemudian ditunjuknya beberapa
orang untuk mengemban tugas mencari jejak Dewa Arak! Di antara mereka yang
terpilih adalah Dulimang dan Naga Tua.
"Kurasa pertemuan kita
cukup sampai di sini.
Ingat. Besok, sebelum malam
tiba, kita sudah berada di Desa Jarak." Belum habis gema suaranya, Raja
Tengkorak sudah menggenjotkan kakinya. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke
atas, melewati kepala tokoh-tokoh persilatan. Berbareng dengan itu, Turgawa pun
menjejakkan kakinya pula. Sesaat kemudian kedua tubuh itu lenyap ditelan
kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan.
Suasana kontan gaduh, setelah
Raja Tengkorak dan Turgawa tidak berada lagi di situ. Sambil melangkah
meninggalkan tempat itu, tokoh-tokoh persilatan terlibat perbincangan serius.
Banyak masalah yang membingungkan benak mereka. Di antaranya adalah Dewa Arak
yang berhasil lolos dari kematian!
ooOWKNBROoo
"Aku ingin bertanya
sesuatu kepadamu, Paman," Raja Tengkorak membuka pembicaraan, ketika telah
berada cukup jauh dari tempat pertemuan itu, seraya mereka terus berlari
menembus kegelapan malam.
Turgawa tidak langsung
menyahuti. Tanpa menghentikan langkah, kepalanya menoleh ke arah laki-laki
berseragam tengkorak itu.
"Katakanlah,
Sengkala," ucap Turgawa pelan.
"Aku merasa heran dengan
kejadian tadi pagi, Paman," Raja Tengkorak mulai mengeluarkan ganjalan
hatinya.
"Hm...," Turgawa
bergumam tak jelas.
"Aku tidak menyangka
kalau lawanku, pembunuh ayah dan ibuku ternyata memiliki ilmu yang serupa
denganku. Dia memiliki 'llmu Baju Ular Emas', bahkan dengan tingkat yang tidak
kalah denganku!"
Turgawa terdiam. Meskipun
begitu gerakan kakinya tidak dia hentikan. Sepasang kakinya terus saja
melangkah. Raja Tengkorak yang berjalan di sisinya, terpaksa diam dan menunggu
jawaban.
"Hhh ... !"
Setelah cukup lama laki-laki
berseragam tengkorak itu menunggu, keluar juga sambutan dari kakek berpakaian
kuning. Sekalipun hanya sebuah helaan napas berat.
Di balik selubungnya, Raja
Tengkorak mengernyitkan dahi. Dia merasa heran melihat Turgawa tidak menjawab
pertanyaannya. Malah dia menghela napas berat. Seolah-olah pertanyaannya
mengganggu hat kakek berpakaian kuning itu.
"Sangat berat untuk
mengatakannya, Sengkala," akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulut
Turgawa. "Tapi, aku terpaksa memberitahukan hal yang sebenarnya kepadamu.
"
Turgawa menghentikan ucapannya
sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat
"Ceritakanlah,
Paman," desak Raja Tengkorak tidak sabar. "Sejak kutahu, kedua orang
tuaku telah tiada dan dibunuh oleh makhluk biadab yang bernama Kalpa Reksa, aku
sudah siap untuk menghadapi kenyataan. Bagaimanapun pahitnya."
"Baiklah. Kalau itu
maumu...," Turgawa terpaksa mengalah. "Aku, Kalpa Reksa dan ayahmu
adalah saudara seperguruan. Kami bertiga saling kasih-mengasihi sampai akhirnya
kami bertemu dengan seorang wanita cantik. Kami bertiga jatuh cinta padanya.
Namun yang beruntung mendapat kasih wanita itu adalah ayahmu. "
Kakek berpakaian kuning itu
kembali menghentikan ceritanya sebentar untuk bernapas.
"Aku menerima kenyataan
pahit itu. Tapi tidak demikian halnya dengan Kalpa Reksa. Dia menjadi sakit
hati pada wanita itu. Dan juga merasa iri pada ayahmu. Tak tahan memendam
perasaan itu, suatu hari dengan cara yang licik, dia berhasil membunuh ayahmu.
Kemudian ibumu diperkosa habis-habisan."
Terdengar suara menggeretak
keras dari mulut Raja Tengkorak ketika mendengar cerita itu. Tampak jelas kalau
dia merasa geram bukan kepalang.
"Untung aku datang di
saat yang tepat, ketika Kalpa Reksa hendak membunuhmu. Buru-buru aku
menyelamatkan dirimu," sambung Turgawa lagi.
"Hm ... !" Raja
Tengkorak menggumam pelan untuk menutupi perasaan geram yang berkecamuk di
hatinya.
"Kalpa Reksa lalu
mengejarku. Malang, aku terkejar. Aku kerahkan seluruh kemampuan yang kumiliki
untuk menghadapinya. Dengan sedikit siasat aku berhasil lolos darinya meskipun
untuk itu, tanganku harus putus dan kaki kiriku cacat. Begitulah kejadian yang
sebenarnya, Sengkala. Niatku hanya satu. Mendidikmu menjadi tokoh sakti yang
tak terkalahkan" tutur Turgawa mengakhiri ceritanya.
"Ayahmu bernama Jagat
Nata dan ibumu Nilamsari. "
Raja Tengkorak kontan terdiam.
Langkah kakinya pun terhenti. Turgawa pun ikut menghentikan langkahnya.
Bagaimana? Puas?" tanya
Turgawa seraya menatap wajah laki-laki berseragam tengkorak itu.
Raja Tengkorak tidak menyahuti
pertanyaan itu. Kepalanya ditengadahkan menghadap ke langit.
"Kalpa Reksa...! Kalau
aku tidak berhasil membunuhmu, akan kubuang nama Sengkala...!"
Keras bukan kepalang suara
yang keluar dari mulut laki-laki berseragam tengkorak itu. Suaranya menggema
dan mengaung ke seluruh penjuru tempat Itu. Memang, dia telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya ketika berteriak.
Setelah mengucapkan kata-kata
bernada ancaman itu, Raja Tengkorak kembali melangkahkan kaki. Gila! Dalam
sekali langkah saja, dua belas tombak telah terlampaui. Ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya, tentu saja telah mencapai tingkatan amat tinggi.
Sambil melangkahkan kakinya,
mulut Turgawa menyunggingkan senyuman aneh. Dan sekali mengayunkan kakinya,
jarak sebelas tombak telah dicapainya. Sesaat kemudian, Turgawa dan Sengkala
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Andaikata ada penduduk yang melihat
mereka tentu akan mengira ada dua sosok hantu tengah berkejaran. Memang, dua sosok
bayangan hitam dan kuning ini berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
ooOWKNBROoo
2
Wunggg, wunggg ... !
Suara mengaung keras mengusik
keheningan malam yang sepi-senyap. Andaikata suara itu terdengar di dalam
hutan, mungkin orang akan menduga berasal dari mulut seekor harimau yang sangat
besar.
Tapi suara keras itu bukan
berasal dari hutan, melainkan dari halaman luas di hadapan sebuah bangunan yang
terkurung pagar kayu bulat tinggi. Di situ terdapat papan lebar, tebal, dan
berukir yang terletak di atas pinto gerbang bertuliskan 'Perguruan Banteng
Sakti'.
Suara keras itu ternyata
berasal dari seorang gadis yang tengah berlatih ilmu pedang di perguruan silat
itu. Di tangannya tergenggam sebilah pedang.
Cukup lama juga gadis
berpakaian putih itu berlatih ilmu pedang. Dan selama berlatih, suara
menggerung keras itu senantiasa terdengar, pertanda kalau gerakan itu didukung
oleh tenaga dalam tinggi. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi saja yang mampu mengeluarkan suara keras dalam setup pergerakan tangan
atau senjatanya.
Dari sini sudah bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian putih itu.
"Hih ... !"
Gadis berpakaian putih itu
melentingkan tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa kali, kemudian
indah sekali kedua kakinya didaratkan di tanah.
Trek!
Setelah memasukkan pedang di
punggungnya, gadis berpakaian putih itu mengusap peluh yang membasahi leher dan
dahinya dengan sapu tangan.
Plok, plok, plok... !
Terdengar suara tepuk tangan
di belakang punggung gadis berpakaian putih itu. Dia segera membalikkan
tubuhnya ke arah sumber suara.
"Luar biasa! Sudah kuduga
kalau kau bukan seorang gadis sembarangan, Melati," puji orang yang
bertepuk tangan. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun.
Seperangkat pakaian berwarna coklat membungkus tubuhnya yang pendek kekar.
Kulit wajahnya agak kemerahan, dihiasi kumis tebal dan hitam.
"Ah! Kau terlalu memuji,
Ki," sahut gadis berpakaian putih malu-malu. Yang tidak lain adalah
Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Kepandaianku tidak ada
artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu," sambung Melati.
"Ha ha ha... ! "
Laki-laki berkulit kemerahan
itu tertawa terbahak- bahak. Sehingga tubuhnya terlihat berguncang. Dia merasa
geli mendengar jawaban gadis berpakaian putih itu.
Melati tidak marah bila
ucapannya disambut dengan gelak tawa. Dia tahu laki-laki berkulit kemerahan itu
tidak bermaksud mengejeknya.
"Mengapa kau berpendapat
begitu, Melati?" tanya laki-laki berkulit kemerahan setelah tawanya
terhenti.
"Karena kau adalah Ketua
Perguruan Banteng Sakti! Siapa yang tak mengenal Ki Tampar Waja. Jangankan
ketuanya, murid-muridnya saja disegani kawan dan ditakuti lawan. Mana mungkin
kepandaianku yang hanya segini bisa berarti di hadapanmu, Ki?" sambut
Melati sambil jempolnya menekan jari kelingking.
"Kau keliru,
Melati," ujar laki-laki berkulit kemerahan yang ternyata bernama Ki Tampar
Waja, Ketua Perguruan Banteng Sakti, bernada teguran halus. Sepasang matanya
menatap tepat pada bola mata gadis berpakaian putih di hadapannya dengan sinar
mata sungguh-sungguh.
Terbayang kembali di benak
Ketua Perguruan Banteng Sakti, tatkala dia menemukan gadis berpakaian putih itu
terapung-apung di laut, di atas sekeping papan dalam keadaan pingsan. Waktu itu
laut memang sudah tenang. Dia sendiri tengah berperahu untuk memenuhi
kegemarannya memancing ikan. Lalu, gadis itu dibawa dan dirawat di
perguruannya.
Melati sama sekali tidak
menyelak tutur kata Ki Tampar Waja. Meski dia menghentikan ucapannya sejenak
untuk melihat tanggapan gadis berpakaian putih itu.
"Kau tahu, Melati. Di
atas dunia ini banyak sekali tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Ada yang memiliki
ilmu tinggi, pasti ada yang lebih tinggi. Di atas gunung yang menjulang tinggi,
masih ada langit. Dan, di atas langit masih ada langit. Jadi, jangan karena
kabar yang tersiar di luaran, kau terpengaruh dan menganggapku memiliki
kepandaian paling tinggi," urai Ketua Perguruan Banteng Sakti panjang
lebar.
Melati tetap diam. Di dalam
hatinya, dia mengakui kebenaran ucapan laki-laki berkulit kemerahan itu. Dia
sendiri memang telah memahami tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi
bersikap seperti itu. Selalu merendah dan tidak pernah takabur dengan ilmu yang
dimilikinya.
"Kau pernah mendengar
cerita tentang Raja Tengkorak?" sambung Ki Tampar Waja lagi.
Melati menggelengkan kepala.
Sepasang matanya menatap lekat-lekat pada laki-laki berkulit kemerahan itu.
"Julukan Raja Tengkorak
amat menggemparkan dunia persilatan. Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun, dia
merajalela tanpa tandingan. Tapi, toh akhirnya tewas. Malah dilakukan oleh
tokoh persilatan, yang sama sekali kurang terkenal. Begitulah berita yang
kudengar."
Memang Ki Tampar Waja belum
mendengar sama sekali tentang kemunculan Raja Tengkorak bernama Sengkala yang
mengacau dunia persilatan. Tokoh sesat yang menggiriskan itu telah
membumihanguskan Perguruan Gajah Putih. Perguruan ini letaknya terpisah jauh
dengan Perguruan Banteng Sakti.
Ki Tampar Waja tidak
melanjutkan ucapannya. Melati pun tidak menanggapi lagi. Suasana kini jadi
terasa hening.
"Kaaak, kaaak, kaaak...
Suara berkaokan keras
memecahkan keheningan suasana yang tercipta. Menilik dari suaranya, jelas kalau
suara itu keluar dari mulut burung gagak.
"Aneh ... !" gumam
Ki Tampar Waja sambil mengernyitkan kening.
"Mengapa, Ki?" tanya
Melati heran melihat sikap Ketua Perguruan Banteng Sakti itu.
"Kau dengar suara
berkaokan tadi, Melati!" Ki Tampar Waja malah balas bertanya.
Melati mengangguk.
"Suara burung gagak,
Ki."
"Hm...," laki-laki
berkulit kemerahan ini meng-gumam pelan. "Aku tidak sependapat denganmu,
Melati. "
"Maksudmu, Ki?"
kejar gadis berpakaian putih itu. "Aku tidak percaya kalau suara itu
keluar dari mulut burung gagak! Selama aku di sini, belum pernah kudengar suara
burung gagak!" tandas Ki Tampar Waja.
"Jadi...." Melati
tidak melanjutkan ucapannya.
"Suara itu keluar dari
mulut manusia!" dugs Ketua Perguruan Banteng Sakti itu. "Aku
merasakan di dalam suara itu terdapat getaran tenaga dalam.
"Tapi..., apa maksudnya
kalau benar suara itu keluar dari mulut manusia?"
"Aku tidak berani
berprasangka dulu. Tapi yang jelas, orang itu pasti tidak bermaksud baik dan
tidak sendirian!"
"Aku mendengar ada suara
langkah kaki mendekati tempat ini, Ki," beri tahu Melati.
"Ya," Ki Tampar Waja
mengangguk. "Jumlah mereka pun cukup banyak. Ayo cepat ke pintu
gerbang!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berkulit kemerahan segera melesat cepat ke arah pintu gerbang. Melati
pun melakukan gerakan serupa. Cepat bukan main gerakan mereka, sehingga yang
tampak hanya sekelebatan bayangan putih dan coklat bergerak cepat menuju pintu
gerbang.
ooOWKNBROoo
Masih dalam jarak lima tombak
dari pintu gerbang, Melati dan Ki Tampar Waja telah dikejutkan oleh kejadian
mendadak.
Brakkk ... !
Daun pintu gerbang Perguruan
Banteng Sakti hancur berantakan seperti diseruduk gajah liar! Dan dari balik
daun pintu itu melesat masuk sosok tubuh berseragam tengkorak. Siapa lagi kalau
bukan Raja Tengkorak?! Disusul oleh sosok berpakaian kuning yang Langan kanannya
putus sebatas pergelangan. Dia adalah Turgawa.
Bukan hanya mereka saja yang
melesat masuk, melainkan belasan orang yang memiliki wajah dan sikap kasar.
Mereka adalah orang-orang golongan hitam yang telah menjadi anak buah Raja
Tengkorak alias Sengkala.
Karuan saja suara riuh-rendah
itu mengejutkan murid-murid Perguruan Banteng Sakti yang berada di pos
penjagaan. Serentak mereka yang berjumlah tiga orang, melompat keluar. Dua di
antaranya melesat ke arah rombongan tamu tak diundang. Sedangkan seorang lagi
memukul kentongan.
Tong, tong, tong... !
Suara kentongan tanda bahaya
pun bergema di sekitar Perguruan Banteng Sakti. Dua orang murid Perguruan
Banteng Sakti yang mendapat giliran meronda ke sekeliling wilayah perguruan,
langsung menyambuti bunyi kentongan itu seraya berlari ke arah asal suara
kentongan.
Tak pelak lagi, seluruh
murid-murid Perguruan Banteng Sakti geger. Mereka semua bergegas melesat keluar
sambil menyambar senjata masing-masing. Ada beberapa orang di antaranya yang
tidak sempat mengenakan alas kaki.
"Raja Tengkorak...
!" desis Ki Tampar Waja pelan tapi tajam sehingga mengalahkan suara
kentongan yang bergema ke seluruh penjuru perguruan itu. Ketua Perguruan
Banteng Sakti itu terkejut ketika berada dalam jarak empat tombak di hadapan laki-laki
berpakaian seragam tengkorak, berbarengan dengan tibanya dua murid Perguruan
Banteng Sakti yang tadi berlari dari pos penjagaan. Raut keterkejutan yang
amat, sangat membayang di wajah Ki Tampar Waja. Dia melihat kehadiran tokoh
yang pernah dikabarkan tewas itu.
Melati mengernyitkan kening.
Inikah Raja Tengkorak itu? Tanyanya dalam hati. Bukankah Ki Tampar Waja
mengatakan tokoh yang menggiriskan itu telah tewas? Kenyataannya tokoh itu ada
di sini! Apakah Ketua Perguruan Banteng Sakti itu. berbohong? Mustahil! Gadis
berpakaian putih ini tidak percaya kalau laki-laki berkulit kemerahan itu
berbohong. Jadi, Raja Tengkorak tidak tewas. Berita yang tersebar itu tidak
benar.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian seragam
tengkorak tertawa bergelak. Girang hatinya melihat keterkejutan Ki Tampar Waja.
"Ki Tampar Waja, Kini
sudah saatnya kau dan perguruanmu kulumatkan! Kau dan perguruanmu akan menyusul
Perguruan Gajah Putih yang telah lebih dulu kumusnahkan!"
“Apa….!” Sepasang mata Ketua
Perguruan Banteng Sakti terbelalak lebar. Perasaan kaget yang amat sangat
mendera hatinya. Benarkah semua yang dikatakan oleh Raja Tengkorak itu?!
Ataukah hanya satu muslihat saja?
Raja Tengkorak melihat
keraguan yang membayang di wajah Ki Tampar Waja.
"Kau boleh tidak percaya
pada ucapanku, Ki Tampar Waja! Tapi yang jelas, kau dan perguruanmu, akan
kuhancurkan seperti Perguruan Gajah Putih!" lanjut laki-laki berpakaian
seragam tengkorak itu.
Setelah berkata demikian, Raja
Tengkorak bertepuk tangan sekali.
Plok ... !
Suara keras menggelegar
terdengar seperti ada halilintar menyambar. Kerasnya bukan kepalang sehingga
semua orang yang berada di situ, merasa telinganya berdengung.
"Serbu ... !"
"Hancurkan Perguruan
Banteng Sakti...
"Bunuh Ki Tampar Waja...
!"
Teriakan-teriakan keras tak
beraturan mengiringi serbuan pengikut Sengkala.
Murid-murid Perguruan Banteng
Sakti tidak tinggal diam. Mereka pun bergerak maju memapak. Sekejap kemudian
terdengar denting suara senjata beradu, dan bunga-bunga api berpercikan di
udara. Pertarungan mati-matian pun tak bisa dielakkan lagi.
Raja Tengkorak dan Turgawa pun
tidak tinggal diam. Begitu pars pengikutnya menyerbu, mereka berdua pun meluruk
maju.
Tapi sebelum kedua orang itu
menyebarkan maut di Perguruan Banteng Sakti, Melati dan Ki Tampar Waja bergerak
menyambut. Ketua Perguruan Banteng Sakti segera menghadang Raja Tengkorak. Dan,
Melati menghadapi Turgawa!
Raja Tengkorak rupanya tidak
ingin bermain-main lagi. Begitu dihadang oleh Ki Tampar Waja yang memang
diincarnya, dia langsung saja mengeluarkan 'llmu Baju Ular Emas' andalannya.
Jari-jari kedua tangannya yang menegang lurus dan kaku meluncur bertubi-tubi ke
arah leher lawan.
Ki Tampar Waja tahu kalau
lawan yang dihadapinya kali ini cukup tangguh. Maka dia pun segera mengeluarkan
ilmu andalannya, jurus 'Kera'.
"Hih ... !"
Dengan sekali mengenjotkan
kaki, tubuh Ketua Perguruan Banteng Sakti itu melayang ke atas dan melewati
kepala Raja Tengkorak. Sesuai dengan nama ilmunya, jurus 'Kera' memang
menitikberatkan pada kelincahan. Dengan sendirinya, Ki Tampar Waja yang
menguasai ilmu itu, mempunyai kegesitan seperti layaknya kera sungguhan.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Ki Tampar Waja. Begitu tubuhnya telah berada di udara, tangan
kanannya disampokkan ke arah belakang kepala lawan. Keras bukan kepalang
tamparan itu sehingga menimbulkan suara bercicitan nyaring. Jangankan kepala
manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur apabila terkena sampokan
itu.
Cepat bukan main serangan
balasan itu tiba. Dan, memang Ki Tampar Waja memiliki gerakan yang luar biasa
cepat.
Tapi orang yang mendapat
serangan bukanlah sembarang orang. Dia, adalah Raja Tengkorak! Seorang pentolan
sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Maka sampokan yang datangnya tiba-tiba
itu, tidaklah membuatnya menjadi gugup. Dia segera merundukkan kepalanya.
Dan....
Wusss ... !
Sampokan itu mengenai tempat
kosong, lewat beberapa jengkal di atas kepala Raja Tengkorak.
Bukanlah Raja Tengkorak kalau
tindakannya berhenti sampai di situ. Seiring dengan kepalanya merunduk, kaki
kanannya segera menendang ke atas melalui belakang.
Ki Tampar Waja tidak terkejut
melihat serangan balasan Raja Tengkorak. Dia telah lama mendengar lawan yang
dihadapinya. Dan, dia tahu kalau tokoh sesat yang menggiriskan itu memiliki
ilmu-ilmu aneh. Maka, dia tidak gentar melihat serangan yang mendadak itu.
Bahkan dengan tangan kirinya serangan itu dipapaknya.
Dukkk.... I
Ki Tampar Waja meringis ketika
benturan terjadi. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan kedua tangan
dirasakan sakit. Kedudukannya di udara kurang menguntungkan, selain itu Raja
Tengkorak memang memiliki tenaga dalam yang lebih kuat daripadanya.
Meskipun demikian, bukan hanya
laki-laki berkulit kemerahan saja yang terhuyung. Tubuh Raja Tengkorak pun
terhuyung akibat benturan itu. Hanya saja Ki Tampar Waja merasakan tangannya
sakit, Raja Tengkorak tak merasakan apa-apa. Kalau tubuhnya ikut terhuyung
bukan karena tenaga dalam Ki Tampar Waja, melainkan kedudukannya yang memang
kurang menguntungkan.
"Hup ... !"
Begitu Ketua Perguruan Banteng
Sakti menginjakkan kedua kakinya di tanah, Raja Tengkorak pun telah berhasil
memperbaiki kedudukannya. Dan, pertarungan yang sempat tertunda sejenak itu
kembali berlangsung sengit.
ooOWKNBROoo
Bersamaan dengan saling serang
antara Raja Tengkorak dan Ki Tampar Waja, untuk yang kedua kalinya, Turgawa
baru mulai menggebrak Melati.
Berbeda dengan Sengkala yang
sama sekali tidak merasa terkejut dengan serangan Ki Tampar Waja. Karena dia
telah mengetahui kepandaian Ketua Perguruan Banteng Sakti itu, sedang Turgawa
amat terperanjat bukan kepalang ketika mulai bergerak menyerang Melati.
Semula, laki-laki berpakaian
kuning ini memandang remeh dan hampir tertawa ketika melihat seorang gadis muda
berpakaian putih menghadang langkahnya.
Meskipun gadis berpakaian
putih itu bukanlah lawan berat, Turgawa yang berwatak keji dan telengas, sekali
serang lawan langsung menggunakan seluruh tenaga dalamnya. Memang, dia
bermaksud menewaskan Melati dengan sekali serang.
Tangan kanan Turgawa dengan kedudukan
jari terkembang membentuk cakar meluncur ke arah dada Melati. Sedangkan tangan
kirinya di sisi pinggang.
Laki-laki berpakaian kuning
itu menduga kalau Melati tidak akan bisa mengelak serangan yang demikian cepat
dikirimkannya. Tapi, betapa kaget hatinya ketika melihat gadis berpakaian putih
itu dengan mudah mengelakkan serangannya. Hanya dengan melangkahkan kaki
kirinya seraya mencondongkan tubuh, make serangan itu lewat di sebelah
kanannya.
Tidak itu saja yang dilakukan
Melati. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, tangan kanannya bergerak
menyampok ke arah pelipis lawan.
Turgawa terkejut bukan
kepalang. Dengan agak terbata-bata, dia melompat ke samping. Dia pun terpaksa
bergulingan di tanah agar terhindar dari serangan susulan Melati.
"Hup ... !"
Keringat sebesar biji jagung
bermunculan di sekujur wajah Turgawa ketika ia bangkit dari berguling-guling
menghindari serangan Melati. Hampir saja dia tewas karena terlalu memandang
rendah lawan. Untung di saat terakhir dia berhasil menyelamatkan diri. kalau
tidak? Nyawanya sudah dikirim Melati ke neraka.
"Wanita keparat ...
!" maki Turgawa keras. "Berani kau mempermalukan aku?!
Setelah berkata demikian,
laki-laki berpakaian kuning itu menyusun jari-jarinya dan membentuk jurus
'Ular'. Jeri jari kedua tangannya terbuka lures, menegang kaku. Turgawa memang
bersiap menggunakan ilmu andalannya, 'Ilmu Baju Ular Emas'.
ooOWKNBROoo
3
"Ssshhh... !"
Diiringi suara mendesis,
Turgawa mulai melancarkan serangan ke arah dada dan ulu hati Melati. Kedua tangannya
menusuk bertubi-tubi ke arah sasaran, Sehingga mengeluarkan suara angin
bercicit nyaring.
Melati terperanjat melihat
kedahsyatan ilmu lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke
belakang. Sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran.
Tapi ternyata, Turgawa sudah
memperhitungkan hal itu. Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, kedua
kakinya bergeser maju tanpa melangkah. Suara gesekan alas kaki laki-laki
berpakaian kuning itu. terdengar. Berbarengan dengan itu kembali kedua
tangannya meluncur cepat ke arah Melati. Kali ini mengarah ke bawah hidung dan
leher lawan. Dua jaIan darah kematian.
Melati tidak punya pilihan
lain. Dia menggeserkan kaki kanannya ke belakang, seraya mencondongkan tubuh ke
arah yang sama. Lalu kedua tangannya yang berbentuk cakar naga bergerak
menangkis serangan lawan. Gadis berpakaian putih ini memang mengeluarkan ilmu
'Cakar Naga Merah' untuk melumpuhkan 'Ilmu Baju Ular Emas'.
Prattt ... ! Prattt ... !
Melati dan Turgawa
terhuyung-huyung ke belakang ketika kedua pasang tangan mereka yang samasama
dialiri tenaga dalam tinggi saling berbenturan. Bersamaan dengan itu terdengar
suara keras bukan kepalang. Seolah-olah suara itu bukan berasal dari dua pasang
tangan manusia, melainkan dua logam keras yang saling berbenturan.
Melati meringis karena rasa
sakit dan nyeri yang mendera kedua tangannya. Menilik kejadian yang dialami
gadis itu, dapat diketahui kalau lawan memiliki tenaga dalam lebih kuat dari
dirinya. Sekitar tiga langkah jarak tubuh Melati terhuyung, sementara lawannya
hanya satu langkah. Hal ini memperkuat kenyataan kalau Turgawa memiliki tenaga
dalam di atasnya.
Tapi Melati tidak bisa
berlama-lama larut dalam rasa sakit dan nyeri yang melandanya, karena Turgawa
sudah kembali bersiap melancarkan serangan 'Ilmu Baju Ular Emas'. Sehingga
memaksa gadis berpakaian putih itu menggunakan jurus andalannya 'Cakar Naga
Merah'. Tak terhindarkan lagi pertarungan pun berlangsung sengit.
Gerakan-gerakan tangan kedua
tokoh Sakti itu mengeluarkan suara, bahkan suara tajam dari udara yang robek
menyemarakkan pertarungan mereka.
Di jurus-jurus awal
pertarungan berjalan imbang. Keduanya saling serang dan saling elak.
Ketika memasuki jurus ketiga
puluh lima, mulai tampak keunggulan Turgawa. Memang, kakek berpakaian kuning
ini mempunyai kelebihan dibanding Melati. Dengan kelebihan itu dia menekan
lawan. Kedua tangannya menjadi lebih keras laksana baja. Sedangkan tenaga
dalamnya jauh lebih kuat dari Melati, sehingga dia mampu menekan lawan.
Melati tak mampu melancarkan
serangan, kecuali mundur dan mengelak bila lawan menyerang. Sebab bila dia
menangkis serangan lawan akan merugikan dirinya. Lantaran lawan memiliki tenaga
dalam lebih kuat dan memiliki sepasang tangan yang keras. Jadi, bila terjadi
benturan maka kedua tangannya akan bergetar hebat dan menimbulkan rasa sakit.
Bukan hanya itu, tampak setiap
kali dia melancarkan serangan, dan lawan akan menangkis serangannya, maka gadis
berpakaian putih ini menarik tangannya kembali buru-buru. Karena itu dia senantiasa
terdesak oleh lawannya.
Bukan Melati saja yang
terdesak dalam pertarungan sengit itu, Ki Tampar Waja pun mengalami hal serupa.
Bahkan keadaan kakek bertubuh pendek kekar yang terdesak ini sangat tak
menguntungkan dirinya. Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Sakti yang
terlibat pertempuran itu terdesak dan terhimpit.
Karena jumlahnya tak seimbang
dengan pengikut Raja Tengkorak. Lagi pula mereka adalah tokoh-tokoh aliran
hitam yang cukup ternama. Dengan sendirinya ilmu mereka lebih unggul dibanding
murid Ki Tampar Waja. Sehingga tak mengherankan bila banyak korban yang jatuh.
Jeritan kematian terdengar
merobek kesunyian malam. Disusul bertumbangannya beberapa sosok tubuh dalam
keadaan tanpa nyawa. Seiring dengan gugurnya rekan-rekan mereka, keadaan
murid-murid Ki Tampar Waja semakin terdesak.
Ki Tampar Waja terdesak hebat,
dan terpontang panting dalam usahanya untuk menyelamatkan nyawa, tapi dia
sempat melihat sekilas keadaan Melati dan murid-muridnya. Kontan perasaan cemas
menyelimuti dirinya. Dia khawatir keselamatan putri angkat Raja Bojong Gading
itu. Sedang bagi murid dan dirinya tidaklah menjadi masalah.
Karena memang perguruan mereka
diserbu, dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk mempertahankannya sekalipun
nyawa sebagai taruhannya. Bagaimana dengan Melati? Gadis itu adalah seorang
tamu. Tidak layak jika dia tewas pula. Gadis berpakaian putih itu harus pergi
menyelamatkan diri sebelum menjadi korban. Maka tanpa mengalihkan perhatian
dari Raja Tengkorak, dan dalam keadaan tubuh terpontang-panting, Ki Tampar Waja
berteriak teriak,
"Melati...! Cepat pergi
selamatkan dirimu...
Tapi orang yang mempunyai
watak keras seperti Melati mana mau disuruh menyelamatkan diri, sementara
laki-laki berkulit kemerahan dan murid-muridnya dalam keadaan terancam maut.
Malah sebaliknya, seruan itu makin membuat gadis berpakaian putih itu melakukan
perlawanan sengit.
"Maaf, Ki! Aku bukan
seorang pengecut ... ! Lebih baik kita mati bersama-sama ... ! "
Karuan saja sikap Melati itu
membuat kecemasan Ketua Perguruan Banteng Sakti makin menggelegak. Sambil
membanting tubuh dan bergulingan di tanah, Ki Tampar Waja kembali berseru.
"Jangan bertindak bodoh,
Melati! Kau akan mati sia-sia dan.... Akh ... !"
Tubuh Ki Tampar Waja
terhuyung-huyung ketika totokan tangan lawan berhasil mengenai bahu kanannya.
Darah pun mengalir keluar dari bagian tubuh yang terkena serangan Raja
Tengkorak.
"Ki... !"
Melati berteriak kaget
mendengar jerit kesakitan Ki Tampar Waja. Seraya menggertakkan gigi, kedua
tangannya yang terkembang membentuk cakar dihentakkan ke depan. Gadis
berpakaian putih ini melancarkan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss ... !
Serentetan angin keras
berhembus ke arah Turgawa. Dan, kakek berpakaian kuning ini bertindak lebih
waspada. Buru-buru tubuhnya dilempar ke samping dan bergulingan ke tanah untuk
menyelamatkan diri dari serangan Melati. Dia tidak berani menangkis serangan
pukulan jarak jauh itu.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu dipergunakan Melati untuk melirik keadaan Ki Tampar Waja. Dilihatnya laki-laki
berkulit kemerahan itu tengah bergulingan di tanah, sementara Raja Tengkorak
mengejarnya seraya mengirimkan serangan-serangan mematikan.
Walaupun dalam keadaan
seperti. itu, Ki Tampar Waja masih tetap memikirkan keselamatan Melati.
Tubuhnya yang bergulingan, tidak menghalangi mulutnya untuk terus mengucapkan
kata-kata peringatan kepada gadis berpakaian putih itu.
"Melati... ! Selamatkan
dirimu ... ! Cepat ... ! Kalau tidak aku akan mati penasaran ... ! "
Melati menggertakkan gigi
untuk menguatkan hatinya yang terguncang. Dia merasa terharu bukan kepalang
melihat keadaan laki-laki berkulit kemerahan itu terancam maut, tapi masih
sempat memikirkan keselamatannya. Gadis berpakain putih ini berniat melompat
dan menerjang Raja Tengkorak untuk menyelamatkan nyawa Ketua Perguruan Banteng
Sakti. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, serangan dari Turgawa kembali
meluncur.
"Akh ... !"
Kembali terdengar jerit
tertahan dari mulut Ki Tampar Waja ketika serangan Raja Tengkorak kembali
mengenai sasarannya. Kali ini bahu kirinya terluka.
Kembali cairan merah kental
mengalir. Memang, bila menggunakan 'llmu Baju Ular Emas', sepasang tangan
laki-laki berseragam tengkorak itu jadi sekeras baja dan jari-jari tangannya
setajam pedang pusaka. Tidak aneh kalau setiap kali terkena totokan tangannya,
kulit tubuh lawan langsung robek seperti tertusuk pedang.
Melati menggertakkan gigi. Dia
bertarung dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran. Ucapan terakhir dari
Ketua Perguruan Banteng Sakti itulah yang menyebabkannya bimbang. Akibatnya,
gadis berpakaian putih ini terdesak hebat.
"Melati... ! Cepat pergi
.... !"
Lagi-lagi seruan bernada penuh
kekhawatiran itu terdengar.
Melati tidak punya pilihan
lain lagi. Dia tidak ingin Ki Tampar Waja tewas dalam keadaan penasaran. Maka
dia buru-buru mencabut pedangnya, dan langsung ditusukkan cepat ke arah perut
Turgawa.
Wunggg ... !
Suara menggerung keras seperti
naga murka terdengar ketika pedang itu meluncur cepat ke arah sasaran. Melati
menggunakan 'llmu Pedang Seribu Naga' untuk mendesak lawan.
Turgawa kontan terperanjat
begitu mendengar suara menggerung keras itu. Dia tidak berani lagi bertindak
main-main. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, dan cepat-cepat
bersalto beberapa kali di udara dalam usahanya untuk berjaga-jaga terhadap
serangan susulan lawan.
Tapi Melati sama sekali tidak
melancarkan serangan balasan. Gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan
untuk mencari kesempatan dalam upayanya melarikan diri. Maka begitu melihat
kakek berpakaian kuning itu melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara, putih angkat Raja Bojong Gading itu melesat kabur dari situ.
"Selamat tinggal, Ki.
!"
Dengan suara serak, gadis
berpakaian putih itu mengucapkan kata-katanya, sebelum tubuhnya melesat kabur
dari situ. Sekali lompat, tubuhnya telah melewati pagar kayu bulat tinggi.
Kemudian dia melesat cepat keluar menembus kepekatan malam.
"Selamat jalan, Melati...
!" balas Ki Tampar Waja sambil terus menggulingkan, tubuh. Ada senyum
kelegaan di mulut Ketua Perguruan Banteng Sakti ini. Lega melihat gadis
berpakaian putih mau memenuhi sarannya dan meninggalkan tempat itu.
ooOWKNBROoo
"Hey...!" teriak
Turgawa terkejut begitu kedua kakinya hinggap di tanah. Dia melihat lawannya
tidak berada di situ lagi. Tapi pandangan matanya yang tajam, sempat menangkap
sosok bayangan gadis itu melesat cepat keluar.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, kakek berpakaian kuning ini mengejamya. Sekali saja menggenjotkan kaki,
tubuhnya sudah melayang melompati pagar kayu bulat yang tinggi menjulang.
"Hup...
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, pandang matanya langsung diedarkan ke sekeliling. Tapi dia tidak
menjumpai bayangan tubuh Melati. Hanya kepekatan malam dan kerimbunan pepohonan
yang terlihat
Beberapa, saat lamanya,
Turgawa memperhatikan sekeliling tempat itu. Setelah yakin kalau gadis
berpakaian putih itu telah menghilang, dia segera masuk ke dalam markas
Perguruan Banteng Sakti melalui pintu gerbang yang tidak memiliki daun pintu
lagi.
Turgawa memperhatikan sejenak
jalannya pertarungan. Segera dia mengetahui kalau pertarungan tidak akan lama
lagi berakhir. Murid-murid Perguruan Banteng Sakti hanya tinggal beberapa
gelintir lagi. Sedangkan Ki Tampar Waja sudah terdesak hebat. Hanya tinggal
menunggu waktu saja laki-laki berkulit kemerahan itu akan tumbang.
"Aaakh ... !"
Dua buah jeritan melengking
nyaring mengiringi robohnya dua orang murid Perguruan Banteng Sakti yang
tersisa. Tubuh mereka rebah ke tanah, menggelepar-gelepar sejenak, lalu diam
dan tidak bergerak lagi.
Pada saat yang bersamaan
dengan robohnya kedua orang murid Perguruan Banteng Sakti itu, Raja Tengkorak
melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, laksana burung garuda
yang melayang menyambar mangsa, kedua tangannya meluncur cepat dan bertubi-tubi
menyerang ke arah pelipis dan ubun-ubun Ki Tampar Waja.
Lelaki berkulit kemerahan itu
terperanjat. Dengan sisa kemampuannya dia berusaha mengelak serangan. Tapi....
Crattt...
Tangan kanan laki-laki
berseragam tengkorak itu menyerempet dan mengenai pelipis kiri Ki Tampar Waja.
Ada suara keluhan tertahan terdengar dari mulut laki-laki berkulit kemerahan
itu ketika pelipisnya retak. Tubuhnya pun roboh ke tanah seiring dengan
melayang nyawanya meninggalkan raga. Walaupun serangan itu tidak telak, tapi
karena bagian yang terkena pukulan adalah pelipis, akibatnya pun tidak kalah
dahsyat dengan sasaran-sasaran yang mematikan.
"Hup.. !"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Raja Tengkorak mendarat di tanah. Sejenak dia memperhatikan mayat Ketua
Perguruan Banteng Sakti. Lalu pandangannya beralih ke arah
pengikut-pengikutnya.
"Bakar ... !" sera
laki-laki berseragam tengkorak itu pada pengikutnya.
Serentak puluhan tokoh
persilatan itu bergerak cepat menghampiri bangunan-bangunan yang berjejer.
Sesaat kemudian tangan-tangan kekar terlatih itu menjumput batang-batang obor
yang menyala. Lalu, mereka melemparkan obor itu ke arah bangunan, atap,
jendela, bahkan ruang dalam pun tidak ketinggalan.
Di saat tokoh-tokoh persilatan
itu sibuk membumihanguskan perguruan, Raja Tengkorak menghampiri Turgawa.
"Bagaimana, Paman? Apakah
gadis itu berhasil kau temukan?" tanya laki-laki berseragam tengkorak itu.
Dia tahu kalau lawan Turgawa berhasil meloloskan diri.
Kakek berpakaian kuning
menggeleng.
"Dia lenyap," ucap
Turgawa bernada keluhan. Raja Tengkorak diam tidak memberikan sambutan.
"Entah, murid siapa gadis
berpakaian putih itu," kata Turgawa lagi. Ada nada penasaran dan keheranan
dalam ucapan itu. "Dalam usia semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang
begitu dahsyat. Entah siapa gurunya.... "
"Kau tidak mengetahui
dari aliran mana gadis itu berasal, Paman?" tanya Raja Tengkorak.
"Tidak. ltulah yang
membuatku heran, Sengkala. Padahal, hampir semua tokoh persilatan di daerah ini
kukenal baik. Entah juga kalau gadis itu murid seorang tokoh sakti yang
mengasingkan diri...."
Raja Tengkorak
mengangguk-anggukkan kepala. Dia menerima dugaan yang dikeluarkan kakek
berpakaian kuning itu. Tapi, dia tidak menyahutinya.
Sementara api mulai berkobar.
Makin lama api itu makin besar. Hawa panas pun menjalar ke seluruh penjuru
tempat itu.
Terpaksa Raja Tengkorak,
Turgawa, dan pengikutnya melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah
terbakar hebat itu.
Setelah mereka yakin api yang
berkobar itu akan melumatkan seluruh bangunan perguruan, Raja Tengkorak menepuk
tangannya. Kali ini tidak seperti biasanya.
Plok, plok...
Laksana ada halilintar
menggelegar bunyi yang tercipta akibat tepukan tangan itu.
Seiring dengan tepuk tangannya
terhenti, Raja Tengkorak melesat meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh
Turgawa dan semua pengikutnya. Memang, tepukan dua kali itu merupakan isyarat
bagi para tokoh persilatan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Sungguhpun ada perasaan
gembira karena usahanya berhasil dengan baik, tapi ada ganjalan yang bersarang
di dalam dada Raja Tengkorak dan Turgawa. Sebab gadis berpakaian putih mampu
lolos dari maut yang mereka tebarkan. Apalagi masih ada Dewa Arak dan Kalpa
Reksa. Bila ketiga tokoh itu bergabung maka akan menjadi sebuah kekuatan yang
dahsyat.
Dengan benak dihantui
pikiran-pikiran semacam itu, Raja Tengkorak dan Turgawa melangkahkan kakinya.
Kini tinggal tiga sasaran lagi yang harus mereka bereskan, sebelum merajai
dunia persilatan.
ooOWKNBROoo
4
Hati Melati remuk dan hancur
meninggalkan Ki Tampar Waja. Dalam keadaan sendiri dia berlari cepat
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kalau tidak mengingat ucapan
terakhir Ki Tampar Waja, dia tidak akan mau melarikan diri dari pertarungan.
Kendatipun nyawanya akan melayang.
Entah berapa lama gadis
berpakaian putih ini berlari. Dia tidak peduli lagi karena hatinya terguncang
hebat akibat peristiwa yang baru saja disaksikannya. Yang jelas, dia merasakan
kedua kakinya pegal-pegal, tapi tetap saja langkah kakinya tidak berhenti.
Mendadak hati Melati tercekat.
Tidak salahkah penglihatannya? Tak jauh di hadapannya, ada sesosok tubuh yang
bergerak cepat ke arah yang ditinggalkannya. Dalam suasana malam yang agak
gelap, terlihat jelas siapa sosok tubuh itu karena pakaian yang dikenakannya
memang menyolok. Raja Tengkorak!
Melati menggertakkan gigi.
Seketika itu pula kemarahannya bergolak. Laki-laki berseragam tengkorak itu
adalah orang yang tadi bertarung dengan Ki Tampar Waja. Keberadaan Raja
Tengkorak di sini menjadi pertanda kalau Ketua Perguruan Banteng Sakti itu
telah berhasil ditewaskan. Dan, itu pula yang membuat gadis berpakaian putih
ini geram bukan kepalang.
Diam-diam ada perasaan heran
di hati Melati. Mengapa Raja Tengkorak itu malah datang dari tempat yang akan
ditujunya. Padahal, bukankah tempat yang baru ditinggalkan itu berada di
belakang? Bagaimana mungkin dia bisa melesat secepat itu dan melewati Melati.
Kemudian dia akan mencegat perjalanan gadis berpakaian putih itu?
Sepasang mata Melati beredar
ke depan, memperhatikan sekelilingnya. Dia ingin mengetahui apakah Turgawa
berada di situ pula. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau kakek berpakaian kuning
itu bersama Raja Tengkorak.
"Aku harus membuat
perhitungan...!" desis hati Melati.
Dengan mengambil keputusan
itu, Melati bergegas menghentikan langkah kakinya. Dia berdiri menunggu
kedatangan Raja Tengkorak yang akan melewati dirinya.
Dugaan Melati memang tidak
salah. Raja Tengkorak terus saja melesat menuju ke arahnya. Anehnya, dia
seperti tidak mempedulikan gadis berpakaian putih itu. Sekalipun jarak di
antara mereka semakin bertambah dekat, dia terus saja melesat cepat.
Tapi Melati tidak peduli sama
sekali. Dia beranggapan sikap Raja Tengkorak seperti itu karena memandang lawan
sepele.
Srattt...
Seberkas sinar terang mencuat
ketika gadis berpakaian putih itu menghunus pedangnya. Memang, Melati telah
mengetahui kepandaian lawannya. Maka dia tak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan
senjatanya. Gadis berpakaian putih ini bersiap-siap untuk menggunakan ilmu
pedang andalannya.
Raja Tengkorak nampak terkejut
melihat gadis berpakaian putih berdiri di hadapannya, dan menghadang jalannya
sambil menghunus pedang. Maka dia pun segera menghentikan larinya. Kini dia
berdiri dalam jarak tiga tombak dengan Melati.
"Siapa kau, Nisanak?
Mengapa menghadang jalanku?" tanya laki-laki berseragam tengkorak itu
dengan suaranya yang khas. Pelan, berat, tapi bergaung seperti suara hantu
kuburan.
"Keparat ... !"
Melati memaki seraya melangkah maju dengan sikap waspada. "Lupakah kau
padaku? Aku adalah orang yang tadi bertarung dengan kawanmu! Sekarang,
terimalah pembalasanku atas perbuatan kejimu!"
Setelah berkata demikian,
Melati melancarkan serangan berupa tusukan ke arah leher lawan. Ada suara
gerungan dahsyat seperti naga marah mengiringi tibanya serangan pedang itu.
"Hey...! Tunggu dulu ...
! Tahan sebentar, Nisanak. Kau salah paham ... !"
Raja Tengkorak
berteriak-teriak mencegah. Tapi Melati yang tengah dilanda kemarahan
menggelegak tak mau mendengarkan ucapannya. Gadis berpakaian putih itu tetap
dalam posisi menyerang.
Laki-laki berseragam tengkorak
itu tentu saja tidak mau mati konyol. Buru-buru dia menekuk kedua lututnya
seraya merendahkan tubuh, sehingga tusukan pedang Melati meluncur lewat
setengah jengkal di atas kepalanya.
Raja Tengkorak rupanya belum
mengenal kepandaian Melati. Menghadapi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' kalau mengelak
tanpa menjauhi serangan merupakan sebuah tindakan berbahaya. Karena, akan
disusul serangan berikutnya. Sesuai dengan namanya, Seribu Naga, pedang yang
sebenarnya hanya satu berubah menjadi puluhan banyaknya.
Itulah sebabnya begitu
laki-laki berseragam tengkorak itu berhasil mengelakkan serangan, pedang Melati
kembali menyambar. Dengan kecepatan gerak seorang ahli pedang tingkat tinggi,
senjata itu berputar ke kanan dan kemudian membabat cepat ke arah leher.
"Heh ... ?!"
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut Raja Tengkorak. Memang, dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis
muda itu memiliki kemampuan yang begitu luar biasa.
Tapi, dia adalah Raja
Tengkorak! Seorang datuk sesat yang terkenal memiliki kepandaian menggiriskan.
Walaupun serangan itu tiba secara mendadak dan di luar dugaannya, tidak
membuatnya menjadi gugup. Dia buru-buru merebahkan tubuhnya ke belakang. Mulai
dari bagian pinggang ke bawah mendatar. Kedua lututnya ditekuk seiring dengan
gerakan yang dilakukannya.
Wuuut..!
Babatan pedang Melati meluncur
deras lewat di atas tubuh Raja Tengkorak.
Raja Tengkorak sadar kalau
kedudukannya kurang menguntungkan. Sebab bila lawan kembali melancarkan
serangan, dapat dipastikan dia akan terancam bahaya besar. Laki-laki berseragam
tengkorak itu tidak ingin hal itu terjadi. Maka sebelum Melati mengirim
serangan kembali, dia lebih dulu melancarkan serangan.
Kaki kanan Raja Tengkorak
mencuat cepat ke arah perut Melati ketika mata pedang gadis berpakaian putih
itu telah meluncur lewat.
Melati terperanjat. Buru-buru
dia melompat ke belakang. Sehingga serangan Raja Tengkorak tidak mengenal
sasaran.
Raja Tengkorak sama sekali
tidak mempedulikan hasil serangannya. Sebab serangan yang dilancarkannya
sekadar untuk menghindarkan dirinya dari serangan susulan lawan. Sementara
kedudukannya kurang menguntungkan sama sekali.
Ketika Melati melompat ke
belakang, Raja Teng-korak pun ikut melompat ke belakang pula.
"Hup... !"
Pada saat bersamaan dengan
mendaratnya kedua kaki Melati di tanah, laki-aki berseragam tengkorak itu pun
telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Belum sempat Raja Tengkorak
berbuat sesuatu, serangan susulan Melati kembali meluncur. Mau tak mau
laki-laki berseragam tengkorak itu mengadakan perlawanan sengit Memang,
menghadapi kepandaian seperti putri angkat Raja Bojong Gading itu, tanpa
melakukan perlawanan adalah sama dengan mencari mati.
Pertarungan sengit antara Raja
Tengkorak dengan Melati pun terjadi.
Melati yang tengah diamuk
kemarahan, mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang yang berada di tangannya
berkelebatan cepat dan bertubi-tubi diarahkan ke daerah berbahaya di tubuh Raja
Tengkorak.
Kemarahan membuat pikiran
Melati buntu. Sama sekali dia tidak menyadari kalau Raja Tengkorak tidak
bersungguh-sungguh menghadapinya. Meskipun laki-laki berseragam tengkorak itu
menggunakan senjatanya, sebatang pedang bergagang kepala tengkorak manusia.
Tapi, dalam pertarungan itu, tampak dia tak menggunakannya sekalipun sewaktu
melakukan serangan.
Raja Tengkorak lebih sering
mengelak dan menangkis ketimbang menyerang. Dia baru menyerang ketika
keadaannya sudah terjepit Dan begitu kedudukannya tidak terdesak, dia
menghentikan serangannya.
Melati bukanlah orang bodoh.
Dia segera menyadari lawannya. Setelah pertarungan berlangsung hampir lima
puluh jurus, dia tahu kalau lawan tidak bersungguh-sungguh menghadapi
serangannya. Bahkan sewaktu dia menyerang tidak pernah diarahkan pada
bagian-bagian yang mematikan. Tapi semua itu dia anggap sebagai pertanda kalau
lawan meremehkan kemampuannya. Akibatnya, serangan-serangannya kini kian
bertambah dahsyat
Karuan saja serangan beruntun
membuat Raja Tengkorak kelabakan. Disadari kalau tindakan gadis berpakaian
putih ini tidak bisa ditanggulangi dengan cara baik-baik. Harus dilakukan cara
lain untuk,menahannya.
"Haaat...
Seraya mengeluarkan suara
keras melengking nyaring, Raja Tengkorak melompat menerjang. Pedang di
tangannya menusuk bertubi-tubi ke arah ubun-ubun, bawah hidung, dan leher.
Semua jalan darah kematian.
Melati terperanjat. Disadari
akan adanya bahaya besar yang terkandung dalam serangan itu. Dia pun segera
menggerakkan pedangnya dan memapak serangan yang meluncur bertubi-tubi itu.
Trang, trang, trang... !
Bunga-bunga api memercik ke
udara ketika kedua buah senjata itu berbenturan. Akibatnya tubuh Melati
terhuyung-huyung ke belakang sejauh dua langkah. Tangan yang menggenggam pedang
pun dirasakan kesemutan. Hampir saja senjata itu terlepas dari genggamannya.
Saat itu, serangan susulan
Raja Tengkorak kembali meluncur tiba. Kedua kakinya kembali meluncur ke arah
Melati dengan sebuah tendangan miring bertubi-tubi ke arah dada dan leher.
Tidak ada jalan lain bagi
gadis berpakaian putih itu, kecuali menjejakkan kedua kakinya ke tanah dan
melemparkan tubuh ke belakang. Lalu, bersalto beberapa kali di udara untuk
menghindari adanya serangan susulan dari lawan.
Raja Tengkorak tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Buru-buru dia melesat kabur dari situ. Khawatir
kalau gadis yang keras hati itu akan mengejarnya, laki-laki berseragam
tengkorak itu melesat ke arah kerimbunan pepohonan dan semak-semak yang berada
di hutan itu.
"Hup ... !"
Melati terkejut bukan kepalang
melihat lawan sudah tidak berada lagi di situ, ketika kedua kakinya berhasil
mendarat di tanah. Dengan agak bergegas dia edarkan pandangannya berkeliling,
dan mengawasi sekitarnya. Sepasang matanya mencari-cari arah kepergian lawan.
Tapi, dia tidak menemukan petunjuk sama sekali. Jalan yang tadi dilaluinya
tidak menampakkan adanya sosok tubuh itu.
Melati membanting-banting kaki
kanannya ke tanah untuk melampiaskan kekesalan melihat lawannya telah
menghilang. Disadari kalau mengejar pun tidak akan ada gunanya, sebab dia tidak
mengetahui ke arah mana jalan yang dipilih laki-laki berseragam tengkorak itu.
Dengan hati masih diliputi
rasa kesal, Melati melangkah lesu meninggalkan tempat itu. Tapi, dia tidak
mempunyai tujuan yang pasti, diikutinya saja arah kakinya melangkah.
Melati membiarkan kakinya
melangkah semaunya, dan benaknya digeluti berbagai persoalan-persoalan yang
memusingkan. Mengapa Raja Tengkorak seperti tidak mengenalnya? Bahkan tokoh
sesat itu pun terheran-heran melihat dia menghadang perjalanan dan menyerang!
Mengapa pula laki-laki berseragam tengkorak itu terlihat tidak
bersungguh-sungguh menghadapinya? Dan mengapa pula harus melarikan diri?
Padahal gadis berpakaian putih itu yakin kalau Raja Tengkorak itu belum tentu
akan kalah bila pertarungan dilanjutkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu
menghantui benak Melati. Tapi tidak ada satu pun yang terjawab. Dalam keadaan
tidak berdaya dan tidak menentu tujuannya, dia teringat pada kekasihnya, Dewa
Arak. Kalau saja pemuda berambut putih keperakan itu berada di sampingnya,
masalah seperti ini pasti dapat dipecahkannya. Tidak ada persoalan yang tidak
bisa dipecahkan Dewa Arak.
"Kang Arya ...,"
desah gadis berpakaian putih itu pelan. "Di mana kau berada? Apakah kau
berhasil menyelamatkan diri dari badai itu. Ohhh...!"
ooOWKNBROoo
"Hhh ... !"
Raja Tengkorak menghela napas
lega ketika tidak melihat lagi bayangan Melati mengejarnya. Kecepatan larinya
pun sedikit dikuranginya.
"Aku yakin gadis, itu
menyerang bukan tanpa alasan! Pasti ada hubungannya dengan Raja Tengkorak
palsu. Apakah manusia busuk itu telah menyebarkan bencana lagi?"
Berbagai pertanyaan muncul di
benaknya dan tidak mampu dipecahkan laki-laki berseragam tengkorak itu, dan
ternyata dia adalah Raja Tengkorak asli alias Kalpa Reksa. Dia pun segera
melanjutkan langkahnya.
Raja Tengkorak melesat cepat
menempuh jalan yang semula ditempuh Melati ketika meninggalkan Perguruan
Banteng Sakti.
Raja Tengkorak melangkah
tergesa-gesa. Terbukti dia hanya sebentar memperlambat larinya. Sesaat
kemudian, larinya kembali cepat menyusuri jalan yang dilalui Melati.
"Ah ... !"
Mendadak terdengar seruan
kaget dari mulut Raja Tengkorak ketika melihat asap tebal dan hitam
bergumpal-gumpal di angkasa. Keadaan langit yang cerah membuat asap hitam,
tebal dan bergumpal-gumpal itu terlihat jelas dari kejauhan.
Seiring dengan seruan kaget
itu, larinya makin dipercepat. Menilik dari tindakannya bisa diketahui kalau
asap itulah yang menjadi penyebab kenapa larinya makin cepat.
"Ya, Tuhan....
Mudah-mudahan asap itu tidak berasal dari Perguruan Banteng Sakti ....!"
desah laki-laki berseragam tengkorak itu bernada mengharap.
Semakin dekat kakinya
melangkah ke arah yang dituju, semakin jelas kalau asap itu memang berasal dari
sana.
"Ohhh...!"
Raja Tengkorak akhimya
mengeluh lirih ketika melihat secara pasti asal asap itu. Langkah kakinya pun
terhenti. Sekujur tubuhnya tampak menggigil dengan pandangan mata tertuju lurus
ke depan. Ke arah bangunan berpagar kayu bulat tinggi yang telah hampir menjadi
puing-puing.
Beberapa saat lamanya,
laki-laki berseragam tengkorak itu berdiri mematung dalam jarak sekitar delapan
tombak. Dia menatap dengan pandangan mata tak percaya pada penglihatan di
hadapannya.
Kemudian Raja Tengkorak
melangkah lesu, menghampiri bangunan itu. Lambat dan satu-satu kakinya
dilangkahkan. Dia tahu kalau tidak ada seorang pun yang hidup di dalam. Dari
tanda pisau bergagang tengkorak kepala manusia yang tertancap, di papan nama
perguruan yang tergantung di alas pintu gerbang, sudah bisa diketahui
pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Raja Tengkorak!
Kembali langkah Raja Tengkorak
terhenti. Kali ini dia berdiri di ambang pintu gerbang yang sudah tidak
memiliki daun pintu lagi. Pandang matanya terpaku pada puluhan sosok mayat yang
bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Ah ... ! Aku terlambat
... ! Tidak kusangka kalau Raja Tengkorak palsu punya pikiran cerdik. Dia lebih
dulu melenyapkan orang-orang yang dapat menghambat gerakannya," keluh Raja
Tengkorak bernada penuh penyesalan. "Kini lenyap sudah dua, kekuatan besar
yang akan menentang tindak kelaliman Raja Tengkorak palsu. Perguruan Gajah
Putih dan Perguruan Banteng Sakti telah berhasil ditumpasnya.
"Ah... !"
Laki-laki berseragam tengkorak
itu memang telah menyaksikan Perguruan Gajah Putih dibumihanguskan. Karena itu,
dia bergegas menuju Perguruan Banteng Sakti. Sebelum Raja Tengkorak palsu
dengan pengikutnya lebih dulu berada di sana.
Sungguh di luar dugaan Raja
Tengkorak, Raja Tengkorak palsu alias Sengkala telah bertindak begitu cepat.
Dengan langkah lesu, Raja
Tengkorak memeriksa mayat-mayat yang bergeletakan di halaman perguruan itu.
Sebagian besar memang terdapat tubuh-tubuh selamat dari kobaran api, karena
tergoleknya jauh dari bangunan-bangunan Perguruan Banteng Sakti yang terbakar
itu.
"Hhh ... !"
Raja Tengkorak asli alias
Kalpa Reksa menghela napas berat. Jelas, laki-laki berseragam tengkorak itu
merasa terpukul menyaksikan semua itu.
"Hiyaaa ... !"
Tiba-tiba Raja Tengkorak
membentak nyaring seraya menghentakkan kedua tangannya. Seketika itu pula,
bertiup angin keras dari kedua tangan tokoh sakti itu. Dan....
Brakkk...
Papan nama Perguruan Banteng
Sakti yang ditancapi dua bilah pisau bergagang tengkorak kepala manusia,
langsung hancur berantakan. Raja Tengkorak memang mengarahkan pukulan jarak
jauhnya ke situ sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
"Raja Tengkorak palsu...!
Jangan harap kau akan lolos dari tanganku ... !"
Setelah berkata demikian, Raja
Tengkorak alias Kalpa Reksa melesat cepat dari situ. Kemarahan hebat yang
membakar dadanya, membuat Raja Tengkorak memutuskan untuk mengejar Raja
Tengkorak palsu dan pengikut-pengikutnya.
ooOWKNBROoo
5
Tubuh Raja Tengkorak
berkelebatan cepat menembus kerimbunan pepohonan dan kegelapan malam. Mendadak,
langkahnya diperlambat ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara
lirih memanggil dirinya.
"Ketua...
Sejenak Raja Tengkorak
bimbang. Haruskah langkah kakinya dihentikan? Benarkah dirinya yang dipanggil
oleh pemilik suara yang ternyata adalah enam orang yang masing-masing berwajah
kasar. Ataukah terus saja berlari tanpa peduli?
Laki-laki berseragam tengkorak
itu mengedarkan pandangan berkeliling. Barangkali saja memang ada orang lain di
sekitar tempat itu. Dan orang itu yang sebenarnya dipanggil oleh enam orang
tokoh persilatan itu.
Tapi ternyata tidak ada satu
pun orang di sekitar tempat itu. Yang ada hanya dirinya sendiri. Jadi, jelas
kalau dialah yang dipanggilk-panggil.
Mendadak dugaan muncul di
benak Raja Tengkorak. Mungkinkah enam orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan
anak buah Raja Tengkorak palsu? Dan dia dikira sebagai pimpinan mereka. Hal itu
wajar, mengingat dia memakai seragam Raja Tengkorak!
Dugaan itu membuat Raja
Tengkorak alias Kalpa Reksa menghentikan langkah. Bila benar mereka adalah anak
buah Raja Tengkorak palsu, dan dirinya dianggap pimpinan mereka, maka bisa
dimanfaatkan kekeliruan itu untuk keuntungan dirinya.
Maka laki-laki berseragam
tengkorak itu pun berhenti melangkah. Dia berdiri dan diam menunggu keenam
orang itu medekat.
"Ketua.... kami sudah
menemukan orang yang Ketua cari...," ucap seorang yang bertubuh kekar
berotot. Dia adalah Dulimang.
"Hm ... !"
Raja Tengkorak hanya menggumam
pelan. Tidak menyambuti ucapan itu karena takut salah bicara. Karena itu dia
bersikap tenang dan menunggu sehingga masalahnya jelas.
"Benar, Ketua,"
sambung Naga Tua. "Dewa Arak telah berhasil kami temukan. Semula kami
hendak menangkapnya dan menyerahkan pada Ketua. Tapi kami tidak berani
bertindak lancang mendahului ......
Raja Tengkorak tercenung
sejenak. Benaknya berputar keras. Sungguh tidak disangkanya, Raja Tengkorak
palsu itu demikian cerdik. Memberi tugas pada anak buahnya yang lain, sementara
dia dengan anak buah lainnya menyerbu Perguruan Banteng Sakti. Raja Tengkorak
palsu itu benar-benar ingin bertindak cepat.
Apa yang harus dilakukannya
sekarang? Sudah jelas kalau dia dan Arya telah kalah cepat bergerak. Raja
Tengkorak palsu itu ternyata telah mempunyai perhitungan sampai sejauh ini. Dia
ingin secepatnya melenyapkan orang-orang yang dianggap menjadi penghalang semua
keinginannya. Bukan tidak mungkin kalau dirinya pun sudah masuk dalam rencana
Sengkala!
"Aku memang memberi
perintah seperti itu," ujar Raja Tengkorak setelah beberapa saat benaknya
berputar. "Perintah untuk mencari jejak Dewa Arak!"
Kalpa Reksa menghentikan
ucapan sejenak untuk mengambil napas.
"Tapi seingatku, tugas
itu tidak kuserahkan pada kalian. Tapi lain orang! Aku malah tidak pernah
melihat wajah-wajah kalian!"
Kontan wajah enam orang itu
berubah.
"Mungkin Ketua lupa. Kami
telah dua kali menghadiri pertemuan yang Ketua adakan," bantah Naga Tua.
"Benar, Ketua,"
sambung Dulimang.
"Ya!" sambung
Juriga.
Yang lain, sekalipun tidak
mengeluarkan suara, tapi menganggukkan kepala. Ini berarti mereka menyetujui
ucapan yang dikeluarkan oleh rekan mereka tadi.
"Hm ... !" hanya
gumam Raja Tengkorak yang menyambuti ucapan yang lebih mirip disebut teriakan
teriakan riuh rendah itu.
"Kalian berani
bermain-main dengan Raja Tengkorak?! Rupanya kalian sudah tidak sayang pada
nyawa kalian sendiri!" ancam laki-laki berseragam tengkorak itu dengan
suara khasnya yang berat, pelan, tapi bergaung.
"Kami..., kami tidak
main-main, Ketua. Kami berkata benar! Sudah dua kali kami menghadiri pertemuan
yang Ketua adakan," jawab Naga Tua, terdengar gugup nada suaranya.
"Kalau benar begitu,
mengapa aku tidak pernah melihat wajah kalian?!" desak Raja Tengkorak
keras dan tegas.
Naga Tua membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering. Ternyata bukan hanya dia saja, lima orang
rekannya pun menelan ludah untuk membasahi kerongkongan.
"Bisakah kalian buktikan
kalau kalian benar-benar hadir dalam pertemuan itu?!" sambung Raja
Tengkorak lagi dengan nada semakin meninggi.
"Bisa, Ketua...,"
sahut Dulimang, agak terbata-bata.
"Apa ... ?!" bentak
Raja Tengkorak.
"Pada pertemuan pertama
kali.... Ketua datang sendiri. Tapi pada pertemuan kedua kalinya, Ketua membawa
seorang kakek berpakaian kuning yang Ketua akui sebagai paman Ketua. Namanya
adalah......
Naga Tua menghentikan
ucapannya, dan mengernyitkan kening. Diam-diam dia memaki dirinya yang mendadak
lupa akan nama tokoh yang menjadi paman Raja Tengkorak itu.
"Turgawa ... !"
sambung Juriga cepat begitu melihat rekannya tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Dia tahu kalau Naga Tua lupa, sehingga buru-buru dia angkat suara.
"Hm...," lagi-lagi
Raja Tengkorak hanya bergumam tidak jelas. "Lalu, apa lagi yang bisa
kalian jadikan bukti kalau kalian memang pernah ikut hadir dalam
pertemuanku?"
"Ketua memerintahkan kami
dan juga tokoh-tokoh aliran hitam lainnya untuk berkumpul kembali lusa
malam," kali ini Dulimang yang menjawab. Sedangkan tiga orang tokoh
persilatan lainnya hanya diam saja. Rupanya mereka tidak terhitung orang yang
pandai berbicara.
"Hm..., ya. Pertanyaan
terakhir. Di mana tempat yang kujadikan pertemuan lusa malam?!"
"Sama dengan tempat
sebelumnya, Ketua. Tanah lapang luas di dalam Hutan Jambak!" sahut Juriga
buru-buru.
"Hm.... Semua ucapan
kalian benar," ujar Raja Tengkorak akhirnya. "Sekarang tunjukkan
padaku tempat kalian bertemu dengan Dewa Arak!"
"Baik, Ketua...!"
sahut Naga Tua.
Meskipun agak heran melihat
perangai Raja Tengkorak yang mendadak berubah, keenam orang itubergerak juga
untuk memberitahukan tempat Arya yang telah mereka temukan.
ooOWKNBROoo
Naga Tua dan kelima orang
rekannya berlari mengerahkan seluruh kemampuannya. Dan itu terpaksa mereka
lakukan agar Raja Tengkorak tidak murka karena lari mereka yang lambat.
Meskipun keenam orang itu
telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi tetap saja Raja
Tengkorak hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya,
karena memang perbedaan ilmu meringankan tubuh mereka terpaut jauh.
"Di mana. Dewa Arak
berada...?" tanya Raja Tengkorak sambil terus berlari. Tidak nampak, ada
desah napas memburu, sekalipun dia berbicara sambil berlari.
“Tak begitu jauh dari sini,
Ketua. Pendekar keparat itu berada di Desa Jawul," sahut Naga Tua dengan
napas agak memburu ketika berbicara.
Raja Tengkorak terdiam. Tidak
melanjutkan pertanyaannya lagi. Hampir saja ditamparnya mulut Naga tua yang
telah memaki Arya dengan panggilan pendekar keparat. Untung saja amarahnya
masih bisa dikendalikan.
Mereka tak lagi berbicara.
Kini yang terdengar hanyalah langkah-langkah kaki mereka yang menerabas
semak-semak dan rerumputan.
Cukup lama juga mereka
berlari, sebelum tembok batas Desa Jawul tampak di hadapan mereka. Jaraknya tak
lebih dari dua puluh tombak.
Melihat desa yang sudah tampak
di depan matanya, lari Naga Tua semakin dipercepat. Semangatnya seketika
bangkit untuk segera menunjukkan kepada pemimpinnya tempat Dewa Arak berada,
sebelum pemuda berambut putih keperakan itu pergi.
Hanya dalam beberapa langkah
saja, tujuh orang itu telah mulai memasuki mulut desa.
"Dewa Arak berada di
sana, Ketua," beri tahu Naga Tua sambil menudingkan jari telunjuknya ke
arah sebuah pos penjagaan yang di bagian depannya tergantung sebuah kentongan.
Raja Tengkorak segera bergerak
perlahan menghampiri. Diikuti oleh keenam orang tokoh sesat di belakangnya.
Dengan bantuan sinar bulan di langit, tampak cukup jelas kalau di dalam pos
penjagaan itu tergolek sesosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih
keperakan.
Tapi sebelum Raja Tengkorak
dan enam orang tokoh persilatan itu melangkah lebih dekat lagi, sosok pakaian
ungu yang memang tidak lain adalah Arya itu telah bangkit.
Begitu bangkit, pemuda berambut
putih keperakan itu langsung bersikap waspada. Apalagi di hadapannya telah
berdiri Raja Tengkorak dan enam orang tokoh persilatan lainnya. Sesaat Arya
kebingungan. Apakah laki-laki berseragam tengkorak yang berdiri di hadapannya
adalah Sengkala, atau Kalpa Reksa?
Namun hanya sebentar saja
kebingungan itu melanda hatinya. Pemuda berpakaian ungu itu sudah bisa
memperkirakan kalau Raja Tengkorak yang berada di hadapannya ini adalah
Sengkala! Buktinya, ada enam orang yang bersikap dan berdandan kasar berdiri di
samping Raja Tengkorak itu. Tentu saja laki-laki berseragam tengkorak itu
adalah Raja Tengkorak palsu!
"Haaat...
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa
Arak segera melancarkan serangan. Sambil melompat ke depan, tangan kanannya
yang berbentuk cakar, bergerak menyampok ke arah pelipis. Sedangkan tangan
kirinya terletak di sebelah kiri pinggang.
Wuttt ... !
Terdengar deru angin keras
ketika sampokan tangan pemuda berambut putih keperakan itu meluncur cepat ke
arah sasaran. Dewa Arak menggunakan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'!
"Hm...
Raja Tengkorak menggumam
pelan. Sepintas saja sudah bisa diperkirakannya kekuatan tenaga dalam yang,
terkandung pada serangan itu. Meskipun demi kian, hatinya tidak menjadi gentar
atau jerih. Segera kakinya dilangkahkan ke kanan, seraya mencondongkan tubuh.
Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya bergerak menangkis serangan itu dengan
arah gerakan dari dalam keluar.
Laki-laki berseragam tengkorak
itu sengaja menangkis sambil mencondongkan tubuh dan melangkah ke samping, agar
kekuatan serangan lawan tidak sepenuhnya menerpa. Sebagian dari kekuatan lawan,
tenaga tambahan karena lompatan, telah dipunahkannya melalui tangkisan dengan
diiringi gerakan seperti itu.
Takkk.....
Hebat bukan main akibat
benturan dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam amat tinggi itu.
Suara berdetak keras terdengar seperti beradunya dua batang logam keras.
Tubuh Arya terpental ke
belakang. Sedangkan Raja Tengkorak terhuyung-huyung. Namun berkat ilmu
meringankan tubuh mereka yang telah mencapai tingkat tinggi, dengan mudah
keduanya mematahkan daya yang mendorong tubuh mereka ke belakang.
"Hup ... !"
Pada saat yang bersamaan
dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah, Raja Tengkorak pun telah
berhasil memperbaiki kedudukannya.
Arya segera menjumput guci
araknya. Tapi belum juga sempat dituangkan ke mulut....
"Tahan, Arya... !"
Bagai dicengkeram oleh tangan
tak tampak, guci yang dipegang pemuda berambut putih keperakan itu tertahan di
udara. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Tengkorak itulah yang menyebabkannya.
Pemuda berpakaian ungu itu
menyipitkan matanya, menatap wajah Raja Tengkorak lekat-lekat. Perasaan heran
tampak di wajahnya. Dewa Arak memang tengah dilanda perasaan bingung yang amat
sangat. Pandang matanya menatap berganti-ganti pada laki-laki berseragam
tengkorak itu, juga pada enam orang tokoh persilatan yang berada tak jauh di
belakangnya.
Suara itu amat dikenal Arya.
Suara Kalpa Reksa! Tapi kalau benar, mengapa bisa bersama-sama dengan enam
tokoh persilatan yang menilik dari gerak-geriknya adalah tokoh-tokoh golongan
hitam?
Arya terpaku beberapa saat
lamanya, sebelum akhirnya teringat sesuatu.
"Raja Tengkorak...,"
ucap pemuda berambut putih keperakan itu ragu-ragu.
"Lenyapkan ...... lirih
tapi tajam ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berseragam tengkorak itu.
Kini Arya yakin kalau Raja
Tengkorak yang berada di hadapannya adalah Raja Tengkorak yang asli. Raja
Tengkorak tua yang bernama asli Kalpa Reksa!
"Lebih baik kita
singkirkan enam keroco ini dulu, Arya. Aku mempunyai sebuah rencana yang jitu
......
Serentetan kata-kata terdengar
di telinga Arya. Dewa Arak tahu kalau ucapan itu dikerahkan melalui ilmu
mengirimkan suara dari jauh. Dan suara itu hanya ditujukan untuknya. Dari suara
yang khas, Arya tahu kalau orang yang mengirimkan pesan itu adalah Kalpa Reksa!
Dewa Arak mengangguk samar
ketika beradu pandang dengan Raja Tengkorak
Sedangkan Raja Tengkorak
mengangguk pula. Sama seperti yang dilakukan Dewa Arak. Samar dan hampir tidak terlihat.
Yakin kalau laki-laki
berseragam tengkorak yang berdiri di hadapannya adalah Kalpa Reksa, Arya segera
melangkah maju. Dia melintasi camping kiri tubuh Raja Tengkorak, dan terus
menuju ke arah enam orang pengikut Raja Tengkorak palsu itu.
Enam pasang mata terbelalak
ketika melihat pimpinan mereka membiarkan Dewa Arak berialu di sebelahnya.
Tidak salah lihatkah mereka? Perasaan heran meliputi keenam orang tokoh aliran
hitam itu. Dan, mereka saling pandang dengan mata terbelalak lebar.
"Ketua...," agak
bingung Naga Tua menyapa.
Tapi Raja Tengkorak diam. Dia
sama sekali tidak membalas sapaan laki-laki berpakaian rompi kulit ular itu.
"Dia pasti Raja Tengkorak
palsu!" desis Dulimang keras.
Kontan wajah lima orang
rekannya berubah. Ucapan Dulimang tali membuat rekannya mampu melihat
keanehan-keanehan yang tampak dari Raja Tengkorak yang dikira sebagai pimpinan
mereka.
"Ya. Dia pasti menyamar
sebagai pimpinan kita!" seru Juriga mendukung dugaan rekannya.
"Keparat..!" maki
Naga Tua keras. Nada kegeraman tampak jelas di wajahnya.
Tidak cukup hanya dengan
makian saja, kedua tangannya bergerak ke arah punggung. Dan.... Srattt .. !
Sinar berkilauan terlihat saat
Naga Tua mencabut sepasang goloknya yang tersampir di punggung.
Wuk, wuk, wuk..!
Begitu sepasang goloknya
terhunus, langsung saja laki-laki berpakaian kulit ular ini memutar-mutarkannya
di depan dada, sehingga menimbulkan angin dan suara menderu.
Melihat rekannya telah
mencabut senjata dan siap untuk menyerang, Dulimang, Juriga, dan tiga orang
lainnya pun mencabut senjata masing-masing sehingga menimbulkan suara mengiuk.
Arya tetap bersikap tenang.
Bahkan guci yang tadi sudah dijumputnya, kembali disampirkan ke punggung. Dewa
Arak tahu, menghadapi enam orang lawan yang berada di hadapannya, tidak perlu
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti', karena hal itu hanya akan
menghambur-hamburkan araknya saja.
Pemuda berambut putih
keperakan itu masih tetap diam dan tidak bergeming sedikit pun. Walaupun keenam
orang lawannya sudah bergerak mendekati dengan senjata di tangan. Mereka
berpencar dan mengurung diri Arya. Semakin lama kurungan itu semakin menyempit
seiring dengan gerakan mereka yang mendekat ke arah Dewa Arak.
"Haaat ... !"
Naga Tua berteriak keras
mengguntur. Sepasang golok di tangannya meluncur ke arah leher Dewa Arak dengan
gerakan menggunting.
"Hih ... !"
"Hiyaaa ...
"Hiyaaat ...
Pada saat yang bersamaan
dengan meluncurnya serangan Naga Tua, serangan dari Dulimang, Juriga, dan tiga
orang lainnya meluncur pula. Masing-masing senjata menyambar ke arah sasaran
yang berlainan. Ubun-ubun, leher, dada, punggung, perut dan bagian-bagian
lainnya.
Dewa Arak tetap diam. Tidak
ada gelagat bila dia akan menangkis atau mengelak. Baru ketika serangan itu
menyambar dekat ke arah dirinya, dia mulai bertindak.
Luar biasa! Tubuh pemuda
berpakaian ungu itu menyelinap di antara hujan serangan senjata lawannya. Cepat
bukan main gerakan Arya, sehingga yang terlihat hanyalah bayangan berwarna ungu
yang berkelebatan cepat di antara sinar berkilauan dari senjata senjata yang
meluncur ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Dewa Arak. Berbarengan dengan lesatan tubuhnya, kedua tangannya pun
bergerak cepat.
"Hup ... !"
Begitu Arya mendaratkan kedua
kakinya di tanah, pads kedua tangannya telah tergenggam senjata-senjata
lawannya.
Naga Tua dan rekan-rekannya
tersentak kaget Sepasang mata mereka menatap tak percaya ke arah tangan mereka
yang tidak lagi menggenggam senjata. Kalau saja tidak mengalami sendiri, mereka
tidak akan percaya dengan kejadian ini.
Gerakan Dewa Arak memang
sangat cepat untuk bisa diikuti pandangan mata enam orang tokoh persilatan itu.
Naga Tua dan rekan-rekannya merasakan tangan yang menggenggam senjata langsung
lumpuh. Dan saat itulah senjata mereka berpindah ke tangan Dewa Arak. Sama
sekali mereka tidak tahu kalau Arya telah menotok jalan darah di siku, sehingga
membuat tangan mereka lumpuh sejenak.
ooOWKNBROoo
Arya tersenyum lebar melihat
lawannya terkejut lalu dengan gerakan perlahan seperti orang mematahkan lidi,
senjata-senjata yang terdiri dari pedang, golok, tombak pendek, dan toya,
dipatah-patahkannya. Suara berdetak keras terdengar ketika senjata-senjata itu
berpatahan.
Naga Tua dan kelima rekannya
menelan ludah melihat kekuatan tenaga dalam yang ditunjukkan pemuda berambut
putih keperakan itu.
Tapi hanya sesaat saja keenam
orang itu terpaku. Kemudian dengan diiringi teriakan-teriakan nyaring dan
keras, mereka kembali melancarkan serangan tangan kosong ke arah Dewa Arak.
Lagi-lagi Arya bersikap
tenang. Dibiarkan saja semua serangan itu. Baru ketika serangan-serangan itu
menyambar dekat, tangannya segera diputar-putarkan di depan dada.
Perlahan saja kelihatan
gerakan itu. Tapi akibat yang ditimbulkannya hebat bukan kepalang. Semua
serangan yang tertuju ke arahnya mendadak terhenti di tengah jalan. Betapapun
keenam orang itu telah memaksakan diri, mengeluarkan seluruh tenaganya untuk
melanjutkan serangan, tetap saja mereka tidak mampu maju. Sampai-sampai
terdengar suara keluhan dari mulut mereka sebagai pertanda telah mengerahkan
tenaga sampai ke puncaknya.
Peristiwa itu berlangsung
beberapa saat lamanya, dan baru berakhir ketika Dewa Arak menambah kecepatan
putarannya.
Tubuh enam orang pengikut Raja
Tengkorak itu berpentalan ke belakang diiringi suara jeritan kesakitan. Dari
mulut mereka memercik darah segar.
Memang, bertambahnya kecepatan
gerak tangan Dewa Arak, akan mengakibatkan kekuatan tenaganya. Enam orang itu
mana mungkin mampu bertahan?
Brukkk ... ! Brukkk ... !
Suara-suara berdebuk keras
terdengar ketika tubuh keenam orang itu berjatuhan di tanah. Dan belum sempat
mereka bangkit, sekelebatan bayangan hitam telah lebih dulu melesat. Dan....
Tuk, tuk, tuk... !
Seketika itu juga tubuh
Dulimang dan lima orang rekannya lemas. Raja Tengkorak telah menotok jalan
darah mereka di punggung, dan mengakibatkan sekujur tubuh mereka lemas tidak
berdaya.
"Mereka harus kita tahan,
Arya," ujar Raja Tengkorak.
"Mengapa, Ki?" tanya
pemuda berpakaian ungu itu.
"Aku mempunyai sebuah
rencana. Dan, aku tidak ingin rencana itu berantakan bila mereka sampai
bebas," sambung laki-laki berseragam tengkorak itu memberi penjelasan.
Dewa Arak menganggukkan kepala
pertanda mengerti.
"Kalau begitu, mari kita
sembunyikan mereka dulu, hingga rencanamu berhasil baik."
"Kau mempunyai tempat
untuk menyembunyikan mereka, Arya?" tanya Raja Tengkorak.
"Kira-kira begitu,
Ki."
"Kalau begitu, mari kita
bawa ke sana!" sambut Raja Tengkorak cepat
Arya segera mengulurkan
tangannya, menjumput tubuh-tubuh yang tergolek. Dengan kekuatan tenaga dalamnya
yang telah mencapai tingkat tinggi, tidaklah sulit untuk membawa tiga tubuh
penjahat itu. Sedangkan tiga tubuh yang lain dibawa Raja Tengkorak.
Arya sebagai penunjuk jalan,
berjalan lebih dahulu. Sedangkan Kalpa Reksa mengikuti dari belakang.
Ternyata tempat persembunyian
yang dimaksud Dewa Arak, letaknya cukup jauh dari tempat pertarungan tadi. Agak
lama juga kedua orang itu berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki sebelum akhimya tiba di tempat tujuan yang ternyata adalah sebuah gua
yang berada di dalam hutan.
"Inikah tempat yang kau
maksudkan itu, Arya?" tanya Raja Tengkorak seraya memperhatikan gua yang
letaknya agak tersembunyi, karena tertutup pepohonan dan kerimbunan semak-semak
yang berada tak jauh di depannya.
"Benar, Ki," sahut
Dewa Arak seraya menganggukkan kepala. "Bagaimana? Cukup tersembunyi,
bukan?"
"Kira-kira begitu,
Arya," sahut Raja Tengkorak.
Arya pun melangkah memasuki
mulut gua itu. Di belakangnya, Raja Tengkorak mengikuti pula.
Gua itu meskipun di luarnya
tidak terlihat besar, tapi bagian dalamnya ternyata luas dan agak terang.
Padahal tidak nampak adanya obor yang tergantung di situ. Tapi, baik Dewa Arak
maupun Raja Tengkorak sama sekali tidak mempedulikan sumber cahaya itu karna
mereka tahu ada sejenis batu yang dapat menyerap sinar, dan memancarkan kembali
apabila hari telah gelap. Barangkah saja gua itu tersusun dari batu-batu
semacam itu.
Sesampainya di bagian dalam
gua, Arya dan Raja Tengkorak Wu menjatuhkan tubuh-tubuh yang mereka bawa ke
lantai gua, tanpa peduli enam orang itu merasa kesakitan atau tidak.
Raja Tengkorak dan Arya
memperhatikan enam sosok tubuh itu sesaat, sebelum akhimya melangkah
meninggalkan tempat itu.
"Apa rencanamu, Ki?"
tanya Dewa Arak setelah mereka berada agak jauh dari mulut gua. "Menyerang
mereka!" tandas Raja Tengkorak.
"Kau sudah tahu sarang
Raja Tengkorak palsu itu, Ki?" tanya Arya lagi.
"Bukan sarangnya, Arya.
Tapi tempat pertemuan mereka," sahut-Raja Tengkorak, memperbaiki kata-kata
Dewa Arak
"Tapi, itu berbahaya
sekali, Ki," ada nada kekhawatiran dalam ucapan pemuda berpakaian ungu
itu. "Kita tidak tahu pasti seberapa besar kekuatan mereka. Padahal, Raja
Tengkorak palsu dan Turgawa saja sudah merupakan lawan-lawan yang teramat
tangguh.
"Apa yang kau ucapkan itu
memang tidak salah, Arya," Raja Tengkorak yang memang sudah mempekirakan
sambutan Arya, tetap bersikap tenang.
"Dan aku pun tentu saja
tidak bermaksud langsung menyerang.
"Hm...," Arya
menggumam pelan. "Lalu ... ?'
"Apakah menurutmu, Raja
Tengkorak dan pengikut-pengikutnya berada dalam satu sarang?" Raja
Tengkorak malah balas bertanya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu mengernyitkan dahi sebentar, pertanda tengah berpikir. Perlahan
kepalanya digelengkan.
"Tidak, Ki," sahut Arya.
"Mengapa kau menduga
demikian, Arya?" kejar laki-laki berseragam tengkorak itu lagi.
"Atas dasar adanya tempat
pertemuan itu, aku menduga demikian, Ki," jawab Dewa Arak mantap.
"Apabila Raja Tengkorak
dan pengikutnya tinggal di satu tempat, tak perlu mereka mengadakan pertemuan
di tempat yang lain."
"Tepat!" sambut Raja
Tengkorak gembira. "Begitu pula dugaanku, Arya. Jadi, begitu pertemuan
selesai, mereka kembali ke tempat masing-masing. Raja Tengkorak dan Turgawa
mungkin akan bersama-sama. Tapi tidak dengan tokoh-tokoh persilatan
lainnya."
"Aku mengerti, Ki,"
lanjut Arya buru-buru. "Di saat mereka tengah berdua, kita
menyergapnya!"
"Tepat sekali, Arya!
Memang itu maksudku... sambut Raja Tengkorak cepat. "Bagaimana rencanaku,
Arya? Cukup baik bukan?"
"Bagus sekali, Ki!"
puji Dewa Arak jujur. "Tapi, kalau boleh kutahu, dari mana kau mengetahui
tempat pertemuan Raja Tengkorak dengan tokoh-tokoh persilatan itu, Ki?"
"Dari enam orang yang
kita tawan, Arya."
"Kau yakin mereka tidak
menipu, Ki?" tanya Dewa Arak khawatir.
"Aku berbicara dengan
mereka sebagai Raja Tengkorak, Arya. Mana mungkin mereka berani ber-bohong!
Apakah mereka sudah mempunyai nyawa rangkap? Lagi pula siapa yang tahu kalau
Raja Tengkorak tidak hanya seorang selain Turgawa? Dan, aku yakin dia tidak
akan mau menceritakannya, karena hal itu akan membuat tokoh-tokoh persilatan
itu berkurang kepercayaannya pada Raja Tengkorak. Akibatnya, bisa jadi mereka
bubar!"
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Memang, penjelasan panjang lebar yang diajukan Raja Tengkorak bisa
diterima akalnya.
"Di mana tempat pertemuan
itu, Ki?"
"Di Hutan Jambak. Di
sebuah tanah lapang luas yang di bagian tengahnya terdapat sebuah gundukan batu
lebar dan pipih. Dua malam lagi pertemuan itu akan diadakan, Arya."
"Kalau begitu, kita harus
bergegas, Ki," sahut Dewa Arak cepat. "Perjalanan ke sana cukup
jauh."
"Kau benar, Arya. Mari
... !"
Begitu gema ucapannya selesai,
Raja Tengkorak pun melesat. Kini ilmu meringankan tubuhnya tidak ragu-ragu lagi
dikerahkan sampai tiga perempat bagian. Telah disaksikannya sendiri kecepatan
gerak Arya dan kekuatan tenaga dalamnya.
Laki-laki berseragam tengkorak
ini terkejut begitu melihat sekelebatan bayangan ungu melesat cepat dan
tahu-tahu sudah berada di samping kanannya. Dan terus berada di situ. Sama
sekali tidak tertinggal olehnya.
Melihat hal ini Raja Tengkorak
pun menambah kecepatan larinya. Tapi tetap saja Dewa Arak mampu mengimbanginya.
Bahkan sampai seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, tetap saja pemuda
berambut putih keperakan itu mampu mensejajari langkahnya.
Karuan saja Raja Tengkorak
kaget juga melihat hal itu. Memang sudah bisa diperkirakannya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu adalah seorang yang lihai. Tapi sama sekali tidak
disangka bisa menyamai ilmu meringankan tubuhnya. Entah dalam hal tenaga dalam
dan mutu ilmu silat.
ooOWKNBROoo
Sang surya telah lama
tenggelam. Bias-bias berwarna kemerahan tampak di ufuk Barat. Kegelapan pun
mulai menyelimuti persada.
"Kau yakin tempat kita
ini sulit diketahui oleh mereka yang di bawah, Ki?" tanya Arya sambil
berpindah ke cabang pohon yang lebih banyak dikelilingi dedaunan.
"Kira-kira begitu,
Arya," kalem jawaban Raja Tengkorak. "Di samping tempat ini tertutup
oleh kerimbunan dedaunan, juga keadaan malam pun nanti akan banyak menolong
kita."
Memang, Arya dan Kalpa Reksa
telah berada di atas cabang sebatang pohon tinggi berdaun lebat yang berjarak
sekitar lima tombak dari lapangan luas di Hutan Jambak.
Pemuda berambut putih
keperakan itu terdiam. Alasan yang diajukan Raja Tengkorak bisa diterimanya.
Kini suasana pun menjadi
hening, karena baik Dewa Arak maupun laki-laki berseragam tengkorak itu tidak
berbicara lagi. Mereka berdua hanya diam menunggu.
Waktu berlalu terasa begitu
lambat bagi kedua tokoh sakti yang tengah diam menunggu itu. Malam tiba seperti
seekor siput merayap.
"Hem... !"
Dewa Arak dan Raja Tengkorak
terjingkat bagai disengat kalajengking! Hampir saja kedua orang itu terlempar
dari atas pohon, saking besamya perasaan kaget yang melanda dada mereka.
Betapa tidak? Suara deheman
itu berasal dari atas mereka. Dengan wajah pucat, Arya dan Raja Tengkorak
mendongak ke atas. Memang, di cabang pohon di atas mereka tampak duduk sesosok
tubuh berpakaian abu-abu!
Kini tidak hanya wajah Arya
saja yang berubah. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Sejak tadi dia dan
Raja Tengkorak berada di cabang pohon ini, namun sama sekali tidak mengetahui
adanya sosok berpakaian abu-abu itu. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan
ketinggian ilmunya! Karena baik Arya maupun Raja Tengkorak memiliki pendengaran
yang luar biasa tajamnya. Tapi sama sekali tidak mampu mendengar helaan napas
sosok berpakaian abu-abu itu. Tak terasa hati kedua tokoh sakti ini berdebar
tegang.
Sebelum Arya dan Raja
Tengkorak berbuat sesuatu, sosok tubuh berpakaian abu-abu itu telah lebih dulu
melayang turun. Ringan sekali gerakannya seperti seekor burung.
Tappp ... !
Tanpa menimbulkan getaran pada
cabang pohon sedikit pun, sosok berpakaian abu-abu itu telah hinggap di cabang
pohon, persis di tengah-tengah Dewa Arak dan Raja Tengkorak. Dia lalu duduk
dalam keadaan bersila.
"Tenanglah. Aku bukan
lawan...," ucap sosok berpakaian abu-abu itu.
Ucapan sosok berpakaian
abu-abu itu membuat urat-urat syaraf dan sekujur otot-otot Raja Tengkorak dan
Dewa Arak yang semula menegang waspada, langsung, mengendur kembali. Ucapan itu
bisa mereka terima, sebab bila sosok berpakaian abu-abu itu bermaksud tidak
baik, tentu sudah sejak tadi dia turun tangan.
Arya dan Raja Tengkorak
menatap lekat-lekat sosok berpakaian abu-abu itu. Ternyata dia adalah seorang
kakek yang sudah berusia lanjut. Sekujur kulit wajahnya penuh keriput. Kumis,
dan jenggotnya telah memutih semua. Bulu-bulu hidungnya yang juga putih, nampak
menerobos keluar dari lubang hidungnya.
"Aku Jaran Sangkar....
Dan berada di sini karena memang ingin menjumpai kalian berdua. Terutama sekali
bertemu denganmu, Raja Tengkorak. Karena, kalian sepertinya tidak
mempedulikanku, maka sengaja aku berdehem. Maafkan bila perbuatanku itu
mengejutkan kalian ......
"Sama sekali tidak,
Ki," sahut Arya buru-buru. Sementara Raja Tengkorak hanya diam. Menilik
dari pandangannya yang menatap tajam pada satu titik, bisa diketahui kalau
laki-laki berseragam tengkorak ini tengah berpikir.
"Jaran Sangkar ......
ulang Raja Tengkorak setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Bukankah kau
orang yang mengasingkan diri di Gunung Lontar? Ya. Kau guru Ranjana dan Tampar
Waja."
Bibir kakek berpakaian abu-abu
itu menyunggingkan senyum pahit.
"Matamu awas juga, Kalpa
Reksa. Memang, aku adalah guru kedua orang itu."
Deg!
Tubuh Raja Tengkorak
terjengkang ke belakang. Kalau saja Arya tidak lekas mengulur tangan dan
menangkap pergelangan tangannya, tubuh laki-laki berseragam tengkorak itu akan
terjatuh dari cabang pohon.
Arya mengernyitkan dahi.
Sungguh tidak dimengertinya mengapa Raja Tengkorak kaget. Semula kakek
berpakaian abu-abu yang ternyata bernama Jaran Sangkar, disangkanya adalah
kawan Raja Tengkorak.
"Ba... bagaimana kau bisa
tahu?" tanya Raja Tengkorak agak tergagap.
Kini pemuda berpakaian ungu
itu baru terkejut Rupanya Kalpa Reksa dan Jaran Sangkar sama sekali tidak
saling mengenal.
"Tampar Waja sering
berkunjung ke tempatku, Reksa. Dia sering bercerita tentang sahabatnya yang
bernama Kalpa Reksa," jawab Jaran Sangkar tenang. "Dia juga
memberitahukan padaku ciri-cirimu. Oleh karena itu aku bisa langsung
mengenalimu."
"Aku memang sering
berkunjung ke tempatnya. Begitu pula ke tempat Ranjana. Mereka berdua sudah
kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Tapi..., aku benar-benar tidak menyangka
kalau Tampar Waja tahu kalau aku adalah Raja Tengkorak......
"Tampar Waja tidak tahu
kalau kau adalah Raja Tengkorak," masih terdengar kalem suara Jaran
Sangkar.
"Jadi..., Ranjana?"
Lagi-lagi kakek berpakaian
abu-abu itu menggelengkan kepalanya.
"Lalu ... ?! Bagaimana
kau bisa mengetahui kalau aku yang berada di balik seragam Raja Tengkorak
ini?" ada nada keputusasaan dalam suara laki-laki berseragam tengkorak
ini. Arya yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kedua orang itu pun jadi
tertarik pula.
Jaran Sangkar tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya
kuat-kuat.
"Bukankah sudah kukatakan
tadi, Tampar Waja telah menceritakan semua ciri-cirimu, Kalpa Reksa. Bahkan
sewaktu kau kebetulan pulang berkunjung dari tempatnya, aku melihatmu di jalan,
karena aku saat itu hendak menuju ke tempatnya pula. Itulah sebabnya, begitu
mehhat, aku langsung bisa mengenali dirimu.
Raja Tengkorak rupanya masih
belum mengerti juga maksud pembicaraan Jaran Sangkar. Memang, perasaan
terkejutlah yang menyebabkan hatinya terguncang. Sehingga membuat pikirannya
seperti buntu, tidak bisa diajak berpikir.
"Bukankah wajah Ki Kalpa
Reksa tersembunyi di balik selubung, Ki?" meskipun ada sekelumit dugaan
yang muncul di hatinya, Dewa Arak menanyakannya untuk memperoleh kejelasan.
"Aku mempunyai ilmu yang
mampu melihat sesuatu benda secara jelas meskipun benda itu berada di balik
tembok tebal. Jadi, selubung tengkorak itu sama sekali tidak menjadi penghalang
bagiku untuk melihat wajahnya.
"Ah ... ! " hampir
berbareng terdengar desah keterkejutan dari mulut Dewa Arak dan Raja Tengkorak.
Luar biasa ilmu yang dirnfliki kakek berpakaian abu-abu ini.
Meskipun sama-sama berseru
kaget namun ada perbedaan dalam keterkejutan Dewa Arak dan Raja Tengkorak.
Kalau kekagetan Arya, memang kekagetan murni, tidak demikian halnya dengan
kekagetan Raja Tengkorak.
Laki-laki berseragam tengkorak
itu memang kaget ketika mendengar Jaran Sangkar memiliki ilmu itu. Tapi
keterkejutan yang dialaminya bercampur dengan kemengertian. Kini dia baru tahu
mengapa kakek berpakaian abu-abu itu tahu kalau Raja Tengkorak adalah Kalpa
Reksa.
"Untung saja tadi aku
bertindak hati-hati, sehingga tidak langsung menyerang. Melainkan lebih dulu
melihat wajah yang berada di balik selubung. Kalau tidak, mungkin aku tadi
sudah langsung menyerangmu. Kau bisa mengerti kan?"
Raja Tengkorak mengangguk.
"Ya. Kedua orang muridmu
telah dibunuh oleh Raja Tengkorak."
Jaran Sangkar tersenyum getir.
"Kalpa Reksa...,"
ucap kakek berpakaian abu-abu itu. Nada suaranya kini terdengar sungguh-sungguh
seperti raut wajahnya.
Raja Tengkorak diam menunggu
kelanjutan ucapan Jaran Sangkar. Sebagai seorang yang telah banyak makan garam
kehidupan, dia tahu kalau laki-laki berpakaian abu-abu itu mulai bersikap
sungguh-sungguh.
"Aku minta penjelasan
darimu mengenai Raja Tengkorak.... Benarkah kau orang yang telah membu nuh
kedua, muridku? Dari tanda yang ditinggalkan, aku tahu kalau kedua orang
muridku dan perguruan yang mereka dirikan dihancurkan oleh Raja
Tengkorak-..."
"Hhh... !"
Raja Tengkorak asli alias
Kalpa Reksa menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Cukup panjang juga
ceritanya, Ki," terdengar pelan jawaban laki-laki berseragam tengkorak
itu. "Padahal, kami berada di sini untuk menunggu hadirnya Raja Tengkorak
yang telah membunuh kedua orang sahabatku itu ......
"Ceritakanlah secara
singkat," kata Jaran Sangkar. Raja Tengkorak tercenung sejenak, mencari
kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Aku memang Raja
Tengkorak yang puluhan tahun merajalela di rimba persilatan," laki-laki
berseragam tengkorak itu memulai ceritanya. "Tapi sebuah kejadian
menyedihkan menyadarkanku. Aku lalu mengasingkan diri ......
"Hm.... Pantas kalau
tiba-tiba saja Raja Tengkorak lenyap dari dunia persilatan...," Jaran
Sangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Tapi mendadak
keningnya berkernyit dalam ketika teringat sesuatu.
"Menurut berita yang
kudengar, Raja Tengkorak telah tewas dalam pertandingan melawan musuhnya.... !”
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian abu- abu ini menatap wajah Raja Tengkorak penuh selidik. Tampak
adanya nada tuntutan, baik dalam suara maupun sorot matanya.
ooOWKNBROoo
7
Raja Tengkorak tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya
kuat-kuat.
"Akulah yang menciptakan
desas-desus itu, Ki. Karena aku memang ingin mengubur kenangan pahit Raja
Tengkorak....
"Jadi...? Berita
pertarungan antara Raja Tengkorak dengan musuhnya itu tidak benar?!" nada
suara Jaran Sangkar terdengar penuh tuntutan. "Padahal berita yang
kudengar begitu jelas kalau Raja Tengkorak mencari-cari musuh besarnya."
Raja Tengkorak tersenyum
getir.
"Berita itu memang benar,
Ki. Raja Tengkorak memang mencari-cari musuh besarnya, bertemu dan akhimya
bertarung. Tapi dalam pertarungan itu, Raja Tengkorak berhasil membinasakan
musuhnya. Jadi, cerita yang merupakan kabar bohong adalah kekalahan Raja
Tengkorak oleh musuhnya," jelas Kalpa Reksa panjang lebar.
"Hm...." kakek berpakaian
abu-abu itu bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak jelas kalau
dia telah mengerti maksud pembicaraan Raja Tengkorak.
Sesaat suasana menjadi hening
sejenak, ketika Jaran Sangkar tidak melanjutkan pertanyaannya lagi dan Raja
Tengkorak telah selesai dengan penjelasannya.
"Boleh aku bicara?"
ucapan Dewa Arak memecahkan keheningan yang terjadi.
Hampir berbareng Jaran Sangkar
dan Raja Tengkorak menganggukkan kepala pertanda membolehkan.
"Dari mana kau tahu,
kalau kami akan menuju kemari, Ki?!" Arya langsung saja mengeluarkan
ganjalan yang mengganggu hatinya sejak tadi.
"Aku melihat sewaktu
Kalpa Reksa menanyai enam orang tokoh persilatan...."
"Jadi..., kau mengikuti
kami sejak dari sana, Ki?" tanya Raja Tengkorak kaget karena bisa memperkirakan
betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian abu-abu
ini, sehingga dia dan Dewa Arak yang sama-sama memiliki pendengaran yang tajam,
sama sekali tidak mengetahui kehadirannya.
Jaran Sangkar mengangguk.
"Tapi, aku mendahului
kalian ke pohon ini. Karena aku yakin kalau kalian berdua pasti akan sembunyi
di sini ......
Mendadak Dewa Arak, Jaran
Sangkar, dan Raja Tengkorak menghentikan pernbicaraannya. Karena pendengaran
mereka yang tajam menangkap suara langkah-langkah kaki menuju ke arah tempat
mereka bersembunyi. Benar saja! Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok bayangan
yang kemudian berhenti di pinggir lapangan.
Semula jumlah mereka terlihat
beberapa orang saja. Tapi lama-kelamaan makin banyak bayangan yang berkelebatan.
Kemudian mereka menghentikan langkahnya setelah berada di pinggir lapangan.
Dewa Arak, Jaran Sangkar, dan
Raja Tengkorak membisu. Sedangkan mata mereka menatap tajam ke arah sosok-sosok
bayangan yang berada di pinggir lapangan. Mereka tidak lagi mendengar
langkah-langkah kaki. Jelas, tidak ada lagi tokoh persilatan yang bakal datang.
"Rupanya hanya tinggal
Raja Tengkorak yang belum muncul...," ujar Raja Tengkorak asli, lirih.
"Kira-kira begitu,
Ki," sahut Arya dengan suara yang tidak kalah lirih, agar tidak terdengar
oleh tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di pinggir lapangan.
"Jadi... inikah anak buah
Raja Tengkorak palsu itu, Reksa?" tanya Jaran Sangkar pelan.
"Aku sendid tidak tahu
pastinya, Ki," jawab Raja Tengkorak sambil menggelengkan-gelengkan
kepalanya. "Tapi, dari cerita yang kudengar dari tokoh persilatan yang
menjadi pengikut Raja Tengkorak itu, bisa kujawab, ya!"
Jaran Sangkar pun terdiam.
Rupanya jawaban yang diberikan Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa cukup memuaskan
hatinya.
“Ki....!”
Setelah suasana hening
beberapa saat lamanya karena kakek berpakaian abu-abu itu menghentikan
ucapannya, Kalpa Reksa membuka suara. Menilik dari ucapannya yang tertahan,
bisa diketahui kalau dia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Hm...," gumam Jaran
Sangkar pelan, menyambut ucapan Raja Tengkorak.
"Apakah kau akan membuat
perhitungan juga dengan Raja Tengkorak palsu itu?"
Jaran Sangkar tidak langsung
menjawab pertanyan itu. Dia termenung beberapa saat lamanya. Jelas, kakek
berpakaian abu-abu itu tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian, Jaran
Sangkar menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, Ki?" tanya
Raja Tengkorak ingin tahu alasan kakek berpakaian abu-abu itu. Tapi, Raja
Tengkorak sudah dapat menduga kalau Jaran Sangkar juga ingin membalas dendam
atas kematian kedua muridnya.
"Karena sudah ada orang
yang lebih patut melakukannya. Dan orang itu adalah kau, Reksa," jawab
Jaran Sangkar. "Lagi pula sejak semula, aku masih ragu-ragu dengan niatku
sendiri. Kau tahu kan maksudku, Reksa?"
Laki-laki berseragam tengkorak
itu menganggukkan kepalanya. Dia mengetahui hal-hal yang masih menjadi hambatan
bagi Jaran Sangkar. Kakek berpakaian abu-abu itu sudah tidak ingin lagi
mencampuri urusan dunia.
Bukan hanya Raja Tengkorak
asli saja yang mengerti maksud pembicaraan Jaran Sangkar. Dewa Arak yang sejak
tadi terdiam pun memahami maksud ucapan kakek berpakaian abu-abu itu. Sifat
Jaran Sangkar memang mirip sekah dengan gurunya, Ki Gering Langit Karena dia
teringat dengan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itulah, Arya langsung
dapat menemukan jawaban dari ucapan Jaran Sangkar!
"Auuung...!"
Suara lolongan serigala
membuat pembicaraan mereka terhenti. Dewa Arak, Raja Tengkorak, dan Jaran
Sangkar terperanjat begitu melihat perubahan sikap tokoh-tokoh persilatan yang
berkerumun di bawah pohon. Mereka tidak lagi kasak-kusuk, tapi hening dan
tenang. Bahkan hampir-hampir tidak bergerak sama sekali. Kepala mereka semua
sama-sama tertunduk.
"Apakah ini pertanda Raja
Tengkorak palsu akan muncul?" ketiga orang yang berada di atas pohon
bertanya dalam hati.
Baru saja lolongan serigala
lenyap, dua sosok bayangan berkelebat cepat memasuki lingkaran tokoh-tokoh
persilatan, yang mengelilingi gundukan batu setinggi setengah tombak.
Jaran Sangkar, Raja Tengkorak,
dan Dewa Arak memperhatikan dengan penuh seksama. Sekilas pandang saja, mereka
semua tahu kalau sosok bayangan itu adalah Raja Tengkorak palsu dan Turgawa.
Tapi Jaran Sangkar tidak mengenali kedua orang itu, karena memang dia belum
pernah melihatnya.
Raja Tengkorak palsu alias
Sengkala mengedarkan Pandang berkeliling. Sedangkan Turgawa berdiri diam dengan
pandangan lurus ke depan. Sebatang tongkat yang berujung tengkorak kepala
manusia, terhunjam di hadapan mereka.
"Keberhasilan kembali
menyertai usaha kita," Raja Tengkorak palsu memulai ucapannya. Suaranya
yang terdengar pelan, berat, tapi bergaung, tampak mendukung penampilannya yang
menggiriskan itu.
Semua kepala tokoh persilatan
tertengadah, menatap pemimpin, mereka yang berdiri di tempat yang jauh lebih
tinggi.
"Kembali kita berhasil
memusnahkan lawan kita, Perguruan Banteng Sakti telah berhasil kita hancurkan.
Ketuanya, Ki Tamper Waja telah berhasil kita bunuh. Kita telah berhasil
memusnahkan orang-orang sombong itu!"
"Hidup Raja Tengkorak...!"
teriak seorang tokoh persilatan yang tak mampu menahan luapan kegembiraannya.
Tangan kanan yang dikepalkannya diangkat tinggi-tinggi ke udara, seraya meninju
ke arah langit.
"Hidup... !" sambut
yang lainnya.
Yang lain tak mau ketinggalan.
Dalam sekejap saja suasana di sekitar tempat itu menjadi hiruk-pikuk oleh
teriakan-teriakan semua tokoh persilatan yang hadir di situ.
Raja Tengkorak palsu
mengangkat tangannya ke atas. Suara berisik seperti tawon yang diusik dari
sarangnya itu pun segera lenyap.
"Kalian jangan bergembira
dulu," ucap laki-laki berseragam tengkorak yang bernama Sengkala itu.
"Kita masih mempunyai penghalang yang akan menghambat maksud
kita...."
Raja Tengkorak menghentikan
ucapannya. Diedarkan pandangannya berkeliling untuk menatap satu persatu wajah
tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Dia ingin tahu tanggapan
pengikut-pengikutnya.
"Kukira kalian sudah
tahu, siapa tokoh yang kumaksudkan ... ?!"
Semua kepala tokoh persilatan
yang berada di situ sama-sama terangguk.
"Kami tahu, Ketua.
Bukankah orang itu adalah Dewa Arak...?!" salah seorang tokoh persilatan
yang bertubuh kecil kurus angkat suara.
"Betul...!" sahut
laki-laki berseragam tengkorak itu seraya menganggukkan kepala. "Pertemuan
kali ini cukup. Ingat kalian semua harus mencari jejak Dewa Arak. Dan bila
bertemu, beritahukan padaku. Setiap malam aku akan ke sini."
Setelah berkata demikian, Raja
Tengkorak palsu menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya telah melambung
ke atas.
Selagi tubuh tokoh yang menggiriskan
itu berada di udara, tubuh Turgawa pun melesat cepat ke atas pula.
Indah dan manis sekali gerakan
kedua pimpinan tokoh sesat itu, ketika melampaui kepala belasan tokoh
persilatan yang mengelilingi gundukan batu.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Raja Tengkorak asli melesat pula dari cabang pohon yang didudukinya. Dia
tidak ingin kehilangan jejak Turgawa dan orang yang telah menjelek-jelekkan
julukannya.
Arya tahu kalau Kalpa Reksa
tidak akan mampu menghadapi dua orang tokoh sesat yang memiliki kepandaian luar
biasa itu. Maka dia pun bergegas melesat keluar dari cabang pohon yang
didudukinya.
Jaran Sangkar
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Luar biasa...! Menilik
dari ilmu meringankan tubuhnya, rasa-rasanya kepandaian yang dimiliki pemuda berambut
putih keperakan itu tidak berada di bawah Raja Tengkorak. Hhh ... ! Sayang
sekali, aku tidak pernah mendengar julukan Dewa Arak karena selalu
menyembunyikan diri. Kalau melihat dari sikap yang ditunjukkan Raja Tengkorak,
sudah bisa kupastikan kalau Dewa Arak adalah seorang tokoh yang disegani,"
ucap kakek berpakaian abu-abu itu dalam hati.
Sekali menggenjotkan kaki,
tubuh Jaran Sangkar telah melesat cepat, menyusul sosok bayangan hitam dan ungu
yang telah melesat lebih dulu.
ooOWKNBROoo
Raja Tengkorak asli
mengernyitkan dahinya ketika melihat Turgawa dan Raja Tengkorak palsu melesat
masuk ke dalam rimbunan pepohonan.
Sejenak hati laki-laki
berseragam tengkorak ini ragu-ragu. Tapi kemarahan dan penasaran yang hebat
membuatnya kembali berani. Tanpa ragu-ragu lagi segera diterobosnya kerimbunan
pepohonan yang lebat itu.
Di sini, Raja Tengkorak asli
kebingungan ketika tidak melihat tanda-tanda keberadaan kedua orang buruannya.
Sesaat dia dilanda kebimbangan. Ke mana hendak mencari buruannya itu?
Tapi hanya sekejapan saja
perasaan bimbang melandanya. Sesaat kernudian telah ditentukan pilihannya.
Dengan hati-hati dan perasaan waspada penuh, dilangkahkan kakinya menuju ke
kiri. Kalpa Reksa bersikap hati-hati karena tahu kelicikan lawan-lawannya.
Pada saat yang bersamaan
dengan lenyapnya tubuh Kalpa Reksa ditelan kerimbunan pepohonan, Dewa Arak tiba
di tempat laki-laki berseragam tengkorak yang sedang kebingungan itu.
Setelah beberapa saat lamanya
mempertimbangkan, akhirnya Arya memilih jalan ke kanan.
Jaran Sangkar yang mengikuti
secara diam-diam dari belakang, mengikuti langkah yang diambil pemuda berambut
putih keperakan itu.
Arya memasang sikap waspada
penuh. Sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya menegang waspada,
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Memang, pemuda berambut putih
keperakan ini tahu kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh persilatan
aliran hitam, yang meskipun telah memiliki kepandaian tinggi tapi tetap saja
lebih sutra menggunakan cara licik untuk mengalahkan lawan. Itulah sebabnya dia
bersikap hati-hati.
Jantung dalam dada Dewa Arak
berdebar tegang ketika melihat adanya sosok yang tidak ubahnya tengkorak tak
jauh di hadapannya, tengah membelakanginya karena tengah menempuh arah yang
sama dengannya. Siapa lagi kalau bukan Raja Tengkorak! Tapi Raja Tengkorak yang
mana? Asli atau palsu? Kalpa Reksa atau Sengkala?
Sesaat Dewa Arak kebingungan.
Tapi kemudian dia berhasil mengambil sebuah kesimpulan. Sudah bisa dipastikan
kalau Raja Tengkorak yang di hadapannya itu adalah Kalpa Reksa! Keberadaannya
yang hanya seorang diri saja sudah merupakan dugaan kalau dia adalah Kalpa
Reksa! Bukankah Raja Tengkorak palsu tadi bersama Turgawa?
Meskipun yakin kalau Raja
Tengkorak yang berada di hadapannya sekarang adalah Kalpa, Reksa, Dewa Arak
tetap saja tidak mau meninggalkan kewaspadaannya.
Walaupun agak bergegas, tapi
dengan kewaspadaan tidak berkurang, Arya melangkah menghampiri. Dan karena Raja
Tengkorak melangkah perlahan-lahan, jarak antara mereka dengan mudah dapat
diperpendek.
Srakkk...
Suara berisik ranting dan
dedaunan kering yang terpijak kaki Arya membuat Raja Tengkorak terperanjat.
Wajahnya langsung menoleh ke belakang dan sikapnya pun langsung waspada penuh.
Tapi....
"Ah ... ! Kiranya kau, Arya...
," ada nada kelegaan dalam suara. Raja Tengkorak. Kedua tangannya yang
semula menegang penuh kekuatan, kini mengendur ketika melihat orang yang telah
menimbulkan suara berkerosakan itu.
"Raja Tengkorak...,"
sebut Dewa Arak pelan untuk lebih meyakinkan diri kalau Raja Tengkorak yang
berdiri di hadapannya ini benar Kalpa Reksa. Meskipun sebenarnya dari suara
teguran itu sudah bisa diperkirakan Arya kalau Raja Tengkorak yang berada di
hadapannya benar Kalpa Reksa.
"Lenyapkan...,"
sahut laki-laki berseragam tengkorak itu.
Kini tidak ada lagi
keragu-raguan dalam diri Dewa Arak. Semua bukti-bukti telah menunjukkan kalau
Raja Tengkorak ini adalah Kalpa Reksa. Maka dia pun kian maju menghampiri.
"Anak Muda ... ! Kau
tertipu! Dia bukan Kalpa Reksa... !"
Arya terkejut bukan kepalang
mendengar teriakan itu. Dikenalinya betul kalau suara itu adalah suara Jaran
Sangkar. Dan bersamaan dengan terdengarnya suara teriakan itu, Raja Tengkorak
telah meluncurkan serangannya. Sekali menyerang, langsung dengan 'Ilmu Baju
Ular Emas' andalannya.
Ciiittt..!
Suara berdecit nyaring seperti
puluhan ekor tikus mencicit, mengawali tibanya serangan Raja Tengkorak.
Arya terperanjat bukan
kepalang. Serangan itu datang secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka,
padahal dia tengah dalam keadaan tidak bersiap sama sekali. Kalau saja tidak
ada teriakan Jaran Sangkar yang memberitahukannya, sudah bisa dipastikan kalau
dirinya akan terkena serangan itu karena yang melancarkan serangan adalah Raja
Tengkorak.
Pemberitahuan Jaran Sangkar
telah sedikit menolongnya. Dengan sebisa-bisanya dielakkannya serangan yang
datang secara tiba-tiba itu. Karena untuk menangkis serangan itu sudah tidak
tersedia kesempatan. Pemuda berambut putih keperakan itu segera melangkahkan
kakinya ke kiri sambil mendoyongkan tubuh.
Crat, crat...
Arya meringis ketika
ujung-ujung jari Raja Tengkorak palsu menyerempet bahu kanannya. Seketika itu
juga cairan merah agak kental mengalir keluar dari bagian yang terluka.
"Grrrhhh ... !"
Raja Tengkorak menggeram keras
begitu melihat serangannya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Geram
pada orang yang telah memberitahukan Dewa Arak. Kalau saja, tidak ada suara
usilan itu tentu Arya telah berhasil dikirimnya ke alam baka. Sebelum Raja
Tengkorak mengirimkan serangan lanjutan, Dewa Arak telah lebih dulu memberikan
sebuah pukulan jarak jauh dengan hentakan tangan kirinya.
Wusss...
Raja Tengkorak tidak berani
bertindak sembrono. Dari kerasnya hembusan angin yang terdengar, bisa
diperkirakan kedahsyatan serangan itu. Maka buru-buru dia melompat ke belakang.
Kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Dia melentingkan tubuhnya ke belakang, bersalto
beberapa kali di udara. Dan kemudian mendaratkan kakinya di sebelah Jaran
Sangkar. Indah dan manis sekali gerakannya.
Arya buru-buru menotok jalan
darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.
"Terima kasih atas
pemberitahuanmu, Ki," ucap Arya. "Kalau saja tidak ada kau mungkin
aku sudah tewas di tangan Raja Tengkorak palsu itu ......
"Lupakanlah, Dewa
Arak," Jaran Sangkar mengibaskan tangannya. "Kalau saja aku tidak
terkesima sebelumnya, mungkin kau tidak perlu terluka seperti itu. Raja
Tengkorak palsu ini memiliki wajah yang amat mirip dengan Kalpa Reksa. Hanya
saja dia jauh lebih muda. Itulah yang membuatku terlambat memberi peringatan
padamu ......
Jantung Dewa Arak berdebar
tegang. Mungkinkah Raja Tengkorak palsu ini mempunyai hubungan darah dengan
Kalpa Reksa? Bukankah menurut cerita Raja Tengkorak asli itu, hanya orang yang
mempunyai hubungan darah dengan Kalpa Reksa dan Turgawa-lah yang mampu
menguasai 'Ilmu Baju Ular Emas' secara sempurna. Padahal, Turgawa mandul. Hanya
tinggal satu kemungkinan saja, Kalpa Reksa. Kemungkinan besar Sengkala punya
hubungan darah dengan Kalpa Reksa! Mungkinkah Sengkala ini putra Kalpa Reksa?
Tapi bukankah menurut Raja Tengkorak asli itu, putranya telah tewas dalam
keadaan yang sangat menyedihkan?
Berbagai macam pertanyaan
bergayut di benak Dewa Arak, tapi tidak sempat dipikirkannya lebih lama lagi.
Karena Raja Tengkorak telah kembali menyerang dengan 'llmu Baju Ular Emas'nya.
Kontan baik Jaran Sangkar
maupun Dewa Arak melompat berpencaran. Arya belum ingin memapak serangan lawan,
sedangkan kakek berpakaian abu-abu itu tidak ingin ikut campur dalam urusan
Raja Tengkorak.
Sambil melompat, tangan Arya
bergerak ke arah pungung. Dan begitu kedua kakinya mendarat di tanah, guci
araknya pun dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda
berambut putih keperakan itu mulai oleng. Jelas, kalau pengaruh arak dari guci
perak itu mulai mempengaruhinya.
Raja Tengkorak tidak
mempedulikannya. Terus saja dihujaninya tubuh lawan dengan serangan-serangan
mematikan.
Tapi kini Dewa Arak telah
siap. Dengan ilmu 'Be-lalang Sakti'nya dihadapi semua gempuran Raja Tengkorak
alias Sengkala.
Berbeda dengan Raja Tengkorak
yang menyerang dengan mempergunakan seluruh kepandaiannya, Dewa Arak tidak
berlaku demikian. Ketika timbul dugaan kalau Raja Tengkorak palsu ini mempunyai
hubungan dengan Kalpa Reksa, dia tidak ingin menjatuhkan tangan maut lebih
dulu, sebelum Kalpa Reksa, mengetahui hal ini.
Itulah sebabnya, Arya hanya
mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Dia, hanya mengelak menghadapi
hujan serangan yang dilancarkan Raja Tengkorak
Untung saja, pemuda berambut
putih keperakan itu mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang membuatnya
tidak mengalami kesulitan untuk mengelakkan setiap, serangan.
Meskipun begitu, bukan berarti
mudah saja Arya memunahkan setiap serangan yang dilancarkan lawan.
Disadarinya kalau jurus
'Delapan Langkah Belalang' memang luar biasa. Tapi, lawan yang dihadapinya kah
ini adalah Raja Tengkorak. Kalau terus-menerus mengelak, meskipun mempunyai
gerakan mengelak yang luar biasa, sampai kapan dia bisa bertahan?
Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, Raja Tengkorak tentu saja mengetahui kalau Dewa Arak sama, sekali tidak
mengadakan perlawanan dan hanya mengelak saja. Hal itu membuat kemarahannya
berkobar hebat. Dia merasa direndahkan oleh lawannya. Dan sebagai akibatnya,
serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat. Dia, Raja Tengkorak
yang selama ini ditakuti di kalangan rimba persilatan, kini dihadapi oleh Dewa
Arak tanpa balas menyerang!
Kalau didengar oleh
tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya?
ooOWKNBROoo
8
Dewa Arak tidak tahu kalau
Raja Tengkorak mempunyai sebuah rencana. Sama sekali tidak disadarinya kalau.
Raja Tengkorak berusaha menggiringnya ke sebuah tempat.
Jangankan Arya, Jaran Sangkar
sendiri tidak tahu kalau Raja Tengkorak tengah berusaha mengajak lawannya ke
suatu tempat. Saking tertariknya dia dengan pertarungan yang tengah
berlangsung, tanpa sadar kakinya terus melangkah mengikuti ke mana arah pertarungan
bergeser.
Seperti juga Raja Tengkorak,
Jaran Sangkar pun tahu kalau. Dewa Arak bersikap mengalah terhadap, Raja
Tengkorak. Dia sendiri pun merasa heran, tapi tidak mempedulikannya. Kakek
berpakaian abu-abu ini yakin kalau pemuda berambut putih keperakan itu punya
alasan kuat untuk bertindak seperti itu.
Sedikit demi sedikit
pertarungan terus bergeser. Suara mencicit nyaring, diseling suara tegukan,
arak menyemaraki pertarungan yang terjadi.
Arya dan Jaran Sangkar baru
terperanjat ketika mendengar suara pertarungan lain di dekatnya. Sekilas dia
melirik, ternyata Raja Tengkorak lain tengah bertarung sengit menghadapi
Turgawa. Sudah bisa diketahui kalau Raja Tengkorak itu adalah Kalpa Reksa.
Belum sempat hilang
keterkejutan Dewa Arak, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh nyaring. Sesaat
kemudian di sekitar tempat itu bermunculan puluhan tokoh-tokoh persilatan yang
tak lain adalah pengikut-pengikut Raja Tengkorak palsu yang tadi telah pergi
menyebar untuk mencari Dewa Arak.
Begitu bermunculan, puluhan
tokoh persilatan itu langsung bergerak menyebar dan mengurung.
Ha ha ha... !"
Raja Tengkorak dan Turgawa
tertawa bergelak. Kemudian keduanya melompat mundur, menjauhi lawan
masing-masing.
Arya dan Raja Tengkorak asli
saling Pandang sejenak kemudian keduanya bergerak menghampiri. Jaran Sangkar
pun yang masuk dalam kepungan, bergerak perlahan menghampiri keduanya.
"Kita terjebak,
Arya," ucap Raja Tengkorak asli yang tak lain adalah Kalpa Reksa.
"Bagaimana mungkin mereka
bisa mengetahui kehadiran dan maksud kita?" tanya Arya heran.
"Kalian tidak melihat
adanya orang-orang yang kalian tawan di dalam gua?" pelan saja Jaran
Sangkar mengucapkannya. Tapi akibat yang dialami Arya dan Raja Tengkorak tidak
sesederhana itu.
Raja Tengkorak asli dan Dewa
Arak segera meng alihkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Jaran Sangkar.
Benar saja, dari sekian banyaknya tokohtokoh persilatan yang mengurung,
terlihat Dulimang, Juriga, Naga Tua, dan tiga orang lainnya yang mereka tawan.
"Ha ha ha... I"
Raja Tengkorak tertawa
terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan yang bernada mengejek.
"Jangan harap untuk
bermain siasat dengan Raja Tengkorak, Manusia-manusia Kerdil ... !" teriak
laki-laki berseragam tengkorak itu penuh kemenangan. "Percuma! Kalian
tidak akan menang!"
Dewa Arak dan Raja Tengkorak
asli saling pandang dengan raut wajah memancarkan keheranan.
"Bagaimana mungkin keenam
orang itu bisa tiba di sini?" gumam Raja Tengkorak asli pelan, seperti
berbicara pada dirinya sendiri. "Aku yakin, totokanku itu akan punah dalam
waktu sehari semalam. Tapi mengapa mereka sudah bisa berada di sini? Jarak
tempat itu dari sini membutuhkan waktu lebih dari sehari semalam, sekalipun
perjalanan dilakukan secara cepat dan terus-menerus ......
"Kemungkinannya hanya
satu, Ki...," sahut Arya kalem.
"Mereka dibebaskan orang.
Begitu kan, Arya?" tebak Raja Tengkorak.
Arya mengangguk.
"Kalau tidak Raja
Tengkorak, tentu Turgawa.
Karena tidak sembarangan orang
bisa memunahkan totokanku," sambung Raja Tengkorak asli lagi.
"Berarti ada dua
kemungkinan kalau benar yang melakukannya adalah Raja Tengkorak palsu. atau
Turgawa...," ajar Dewa Arak lagi.
"Apa itu, Arya?"
Kalpa Reksa ingin tahu.
"Salah satu atau justru
kedua-duanya melihat kita sewaktu tengah membawa mereka... atau salah satu atau
kedua-duanya tinggal di dalam salah satu ruang di gua tempat kita
menyembunyikan tahanan."
"Ha ha ha ... !"
Suara tawa bergelak
mengejutkan hati Dewa Arak dan Raja Tengkorak asli. Tanpa melihat pun keduanya
sudah bisa mengetahui orang yang telah mengeluarkan suara tawa itu. Suara tawa
yang nadanya aneh. Pelan, berat, tapi bergaung. Siapa lagi pemiliknya kalau
bukan Raja Tengkorak! Dan sudah pasti Raja Tengkorak palsu alias Sengkala.
Meskipun begitu Arya dan Kalpa
Reksa menoleh juga. Bahkan Jaran Sangkar pun melakukan hal yang sama.
"Ternyata kau tidak
sedungu yang kukira, Dewa Arak! Dugaanmu tepat sekali!" sambung Raja
Tengkorak palsu dengan suaranya yang menggelegar.
Arya, Raja Tengkorak asli, dan
Jaran Sangkar sama sekali tidak menyambuti ucapan itu. Mereka semua diam
menunggu kelanjutan ucapan itu.
"Gua tempat kau
menyembunyikan enam orang anak buahku adalah tempat tinggalku! Sekarang, kau
bisa menduga sendiri kan mengapa, mereka semua bisa berada di sini. Saat
kematianmu telah hampir tiba, Dewa Arak!"
"Manusia licik! Aku pun
sudah sejak lama ingin membunuhmu! Kau benar-benar seorang pengecut hina.
Menyamar menjadi Raja Tengkorak!" teriak Raja Tengkorak asli keras.
Seiring dengan lenyapnya suara
bentakan ku, Kalpa Reksa melompat menerjang Raja Tengkorak palsu.
"Ki ... !“
Arya berusaha mencegah. Tapi
terlambat Raja Tengkorak asli sudah tidak bisa dicegah lagi.
"Kau adalah lawanku, Dewa
Arak..!"
Sebuah suara keras dan parau
terdengar disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan kuning yang meluncur
cepat ke arah Dewa Arak dalam sebuah serangan totokan jari tangan lurus dan
bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Memang, meskipun sebelah
tangannya sudah tidak mempunyai jari, bukan berarti kalau keampuhan tangan itu
hilang. Kedahsyatan tangan itu, tak kalah dengan tangan yang utuh.
Sekali lihat saja Arya tahu
kalau Turgawa telah mengeluarkan ‘Ilmu Baju Ular Emas' andalannya. Maka ilmu
'Belalang Sakti' andalannya tidak ragu-ragu lagi digunakan.
Dengan langkah
terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak mengelakkan serangan
bertubi-tubi ke arahnya. Tapi hebatnya serangan yang menuju ke arah sasaran,
hanya mengenai tempat kosong.
Turgawa tidak menjadi heran
melihat serangannya berhasil digagalkan. Dia tahu kalau Dewa Arak adalah
seorang lawan yang amat tangguh. Maka begitu serangannya berhasil dielakkan,
segera disusulinya dengan serangan selanjutnya. Sesaat kemudian, pertarungan
sengit pun terjadi.
Seperti juga Turgawa, Dewa
Arak tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu
'Belalang Sakti' dikerahkan seluruhnya. Kedua tangan, guci dan semburan araknya
dipergunakan untuk menghadapi serangan Turgawa.
ooOWKNBROoo
Di arena lainnya, pertarungan
antara dua Raja Tengkorak sedang berlangsung sengit meskipun kurang menarik,
karena kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama, 'Ilmu Baju Ular Emas'.
Suara mendecit nyaring seperti
puluhan ekor tikus mencicit mengiringi pertarungan yang terjadi antara kedua
tokoh yang sama-sama menggiriskan itu.
Pertarungan antara kedua tokoh
itu memang berlangsung agak berbeda dengan pertarungan antara Dewa Arak
menghadapi Turgawa. Karena masing-masing Raja Tengkorak telah mengetahui
perkembangan ilmu masing-masing lawan. Ke mana serangan dilancarkan dan juga
serangan susulan yang akan dikirimkan.
Pertarungan antara empat orang
yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi itu berlangsung
cepat, karena memang keempat tokoh itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi.
Itulah sebabnya, di antara
puluhan tokoh persilatan yang ada di situ, hanya Jaran Sangkar seorang yang
mampu menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas. Sedangkan tokoh persilatan
lainnya hanya melihat sosok bayangan putih, ungu, dan kuning yang saling
berkelebatan. Terkadang saling belit, tapi tak jarang saling berpencaran.
Jaran Sangkar memperhatikan
jalannya pertarungan yang terjadi dengan perasaan tertarik. Memang, meskipun
telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi sebagai seorang ahli silat
tetap saja dia dijangkiti penyakit umum, senang menyaksikan pertarungan.
Terutama sekali pertarungan yang berlangsung antara tokoh-tokoh silat tingkat
tinggi, seperti pertarungan yang kini berlangsung di hadapannya.
Tapi belum juga lima puluh
jurus menyaksikan jalannya pertarungan, gangguan sudah datang melanda.
Tokoh-tokoh persilatan yang melihat adanya kakek berpakaian abu-abu, dan tahu
kalau kakek itu berada di pihak Dewa Arak, segera meluruk menyerbu.
Meskipun belum mengetahui
kelihaian lawan, tapi mengingat Jaran Sangkar datang bersama-sama Dewa Arak,
tokoh-tokoh persilatan itu tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan senjata
andalan mereka, dan juga mengeroyoknya secara bersama-sama.
"Hm.. !”
Jaran Sangkar hanya bergumam
tak jelas ketika melihat datangnya serbuan belasan orang tokoh persilatan itu.
Dengan sikap tenang dia berdiri diam menunggu datangnya serangan. Tidak tampak
adanya tanda-tanda kalau kakek sakti ini akan berbuat sesuatu.
Baru ketika serangan
lawan-lawannya menyambar dekat, kedua tangan kakek itu bergerak cepat, berputar
di depan dada.
Gila! Dari kedua tangan yang
berputaran itu tiba-tiba muncul serentetan angin keras. Seolah-olah di situ
sedang terjadi badai.
Jeritan-jeritan kekagetan
terdengar dari mulut tokoh-tokoh persilatan yang menerjang maju. Tubuh mereka
semua berpentalan tak tentu arah. Senjata-senjata yang mereka pegang pun
berpentalan ke sana kemari.
Karuan saja hal itu membuat
rekan-rekan mereka yang lain terkejut bukan kepalang. Tapi tentu saja hal itu
tidak berarti kalau mereka takut.
Kini sisa dari tokoh-tokoh
persilatan yang belum kebagian menyerang tadi, mulai menyerang. Sedangkan
rekan-rekan mereka yang tadi terlempar bergulingan pun kembali bangkit berdiri
dan langsung menyerang.
"Hhh...
Jaran Sangkar menghela napas
berat. Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terlibat dalam pertarungan
seperti ini. Padahal dia sudah tidak ingin terlibat dalam kekerasan lagi.
Itulah sebabnya tadi, dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia hanya melontarkan
tubuh-tubuh lawannya. Dan tidak melukainya.
Seperti juga sebelumnya, kali
ini pun Jaran Sangkar sama sekali tidak bermaksud melukai lawan-lawannya. Dia
hanya memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan dengan pengerahan
tenaga dalam yang dimilikinya, tubuh-tubuh lawannya dibuat berpentalan tak
tentu arah sebelum serangan-serangan mereka sempat menyentuh tubuhnya.
Keadaan tokoh-tokoh persilatan
itu seperti semut-semut menerjang api. Meskipun terlihat kalau yang melakukan
penyerangan adalah mereka, tapi tampak jelas kalau mereka sendiri yang roboh
tak tentu arah.
ooOWKNBROoo
Sementara itu pertarungan
antara Dewa Arak melawan Turgawa dan antara Raja Tengkorak tua alias Kalpa
Reksa menghadapi Raja Tengkorak palsu alias Sengkala, masih berlangsung imbang.
Padahal pertarungan sudah berlangsung hampir seratus jurus.
Di antara ketiga kancah
pertarungan itu yang sulit diketahui antara tokoh-tokoh yang tengah berlaga
adalah pertempuran antara dua Raja Tengkorak
Pertarungan antara Raja-Raja
Tengkorak itu memang membingungkan jika ada orang yang melihatnya. Karena bukan
hanya pakaian saja yang sama, kedua tokoh itu juga memiliki ilmu, potongan
tubuh serta suara yang sama.
Menginjak jurus yang
keseratus, mulailah terjadi perubahan dalam pertarungan antara dua Raja
Tengkorak. Tampak kalau salah satu dari Raja Tengkorak itu mulai terdesak oleh
lawannya. Kini Raja Tengkorak yang terdesak, bermain mundur. Dia lebih sering
mengelak ketimbang menangkis.
Tapi rupanya Raja Tengkorak
yang terdesak itu belum mengaku kalah. Tangan kanannya pun bergerak. Entah dari
mana mengambilnya, pada kedua tangannya telah tergenggam sebilah pisau
bergagang tengkorak kepala manusia.
Begitu kedua senjata itu telah
berada di tangannya, langsung digunakannya untuk melancarkan serangan pada Raja
Tengkorak yang tengah mendesaknya.
Raja Tengkorak yang unggul
tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul ketajaman senjata-senjata di
tangan lawannya. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, bersalto
beberapa kali di udara. Dan akhimya mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan
kedua bilah pisau berada di kanan kiri tangannya.
Tapi baru saja kedua kakinya
mendarat di tanah, serangan susulan dari Raja Tengkorak yang pertama kali
mengeluarkan pisau, kembah meluncur ke arahnya. Tidak ada kesempatan mengelak
bagi Raja Tengkorak yang baru hinggap di tanah. Maka segera digerakkan sepasang
pisaunya untuk memapak serangan itu.
Trang, trang, trang...!
Percikan bunga api mengiringi
dentang nyaring dua pasang pisau yang beradu. Akibatnya, kedua belah pihak
sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Hanya saja, Raja Tengkorak yang
menyerang, lebih parah lagi keadaannya. Karena kedudukan kakinya agak goyah.
Sedangkan Raja Tengkorak yang menangkis sama sekali tidak terpengaruh.
"Hih ... !”
Sambil menggertakkan gigi,
Raja Tengkorak yang menyerang, kembali membabatkan pisaunya ke arah leher Raja
Tengkorak yang diserang.
Anehnya, Raja Tengkorak yang
diserang sama sekali tidak mempedulikannya. Justru ketika lawan meluncurkan
serangan, dia pun mengirimkan serangan pula, dengan sebuah tusukan ke arah
dada.
Blesss, crattt ... !
Hampir berbareng kedua pisau
itu sama-sama mendarat pada sasarannya masing-masing. Serangan Raja Tengkorak
yang pertama kali mencabut pisau, menabas putus kepala lawannya. Sebaliknya,
dia pun terkena serangan pisau lawan pada dada kanannya. Memang, di saat
terakhir, Raja Tengkorak yang pertama kali mencabut pisau ini sempat
menggeliatkan tubuh, sehingga serangan lawan tidak tepat mengenai ulu hatinya.
Pada saat yang bersamaan
dengan terjengkangnya Raja Tengkorak yang pertama kali mencabut pisau, kepala
Raja Tengkorak yang satu lagi menggelinding lepas dari lehernya. Tapi anehnya,
tubuh yang sudah tidak memiliki kepala itu tidak roboh ke tanah.
Raja Tengkorak yang terluka
pada dadanya menatap dengan sepasang mata terbelalak pemandangan di hadapannya.
Tangannya sibuk menotok jalan darah di sekitar luka untuk mencegah mengalirnya
darah. Sementara racun yang terkandung dalam pisau yang mengenai tubuhnya sama
sekali tidak dihiraukan, karena memang dia sudah memiliki penangkal di dalam
tubuhnya.
Dengan tubuh agak terbungkuk,
dia melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
Tampak kepala Raja Tengkorak
yang tergeletak di tanah, bergerak-gerak. Kemudian mendadak meluncur bagaikan
terbang dan mendarat di tempatnya kembali.
Dan begitu kepala itu telah bersatu
kembali dengan tubuhnya, tangan Raja Tengkorak mengusap bagian sayatan pada
lehernya.
Ajaib! Luka babatan pedang itu
mendadak lenyap seperti sediakala!
"Ha ha ha... I"
Raja Tengkorak yang terbabat
putus kepalanya tertawa bergelak
"Ki...! Jangan bunuh Raja
Tengkorak palsu! Aku yakin dia adalah anakmu ... !" seru Dewa Arak sambil
melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Memang, Arya baru teringat
kembali akan dugaannya ketika melihat bentrok berdarah kedua Raja Tengkorak itu.
Karena tidak tahu mana di antara Raja Tengkorak itu yang Kalpa Reksa, dia
langsung berteriak saja ketika melihat salah seorang dari Raja Tengkorak itu
terancam maut.
Hebat akibat ucapan Dewa Arak!
Turgawa, dan Raja Tengkorak yang kepalanya tadi putus kontan terpaku kaku.
Tampak jelas, kalau kedua orang itu terkejut bukan kepalang. Kekagetan yang
sama melanda Raja Tengkorak yang tertusuk dadanya. Bahkan kedua kakinya tampak
menggigil.
Dengan sendirinya, suara-suara
pertarungan pun lenyap karena tokoh-tokoh persilatan yang mengeroyok Jaran
Sangkar merasa jerih, dan tidak melanjutkan penyerangan lagi ketika
berkali-kali usaha mereka kandas.
"Bohong...!"
Suara pekikan keras Turgawa
memecahkan keheningan yang tercipta. Sekaligus juga menyadarkan dua Raja Tengkorak
yang sama-sama terpaku kaku.
"Jangan percaya ucapan
busuk Dewa Arak, Sengkala!" seru Turgawa lagi seraya bergerak menghampiri
Raja Tengkorak yang tadi putus kepalanya. "Orang yang menyamar sebagai
Raja Tengkorak itu adalah pembunuh ayahmu! Cepat kau binasakan dia!"
Hebat akibat pengaruh yang
ditimbulkan oleh ucapan Turgawa. Sepasang mata Raja Tengkorak palsu alias
Sengkala kembali mencorong kehijauan. Kedua tangannya tampak bergetar hebat.
Jelas, kalau dia tengah bersiap mengirimkan serangan mematikan. Tapi....
"Kau jangan kena, dihasut
oleh Turgawa, Sengkala! Sebelum kau menyesal seumur hidupmu karena telah
membunuh ayah kandungmu, lebih baik kau beri kesempatan pada ayahmu untuk
menjelaskan masalahnya!" teriak Arya tak kalah kalap.
Ucapan Dewa Arak membuat Raja
Tengkorak palsu itu menghentikan gerakannya. Memang, sudah sejak lama dia
heran, mengapa Turgawa yang mengaku pamannya, sepertinya selalu menyembunyikan
rahasia tentang keluarganya. Baru kalau telah didesak-desak, akan diceritakan.
Itu pun hanya sekadarnya saja. Sehingga tetap saja Sengkala tidak mengetahui
secara persis tentang ayahnya.
"Keparat ... ! "
teriak Turgawa. Tubuhnya pun bergerak, slap untuk melancarkan serangan. Tapi,
kontan ditariknya kembah ketika ada tangan kuat yang mencekal tangannya.
"Biarkan mereka
mengemukakan masalah itu, Paman...," pelan saja ucapan yang keluar dari
mulut Raja Tengkorak palsu itu. Tapi dari nada suaranya, semua orang tahu ada
tekanan dalam ucapan itu. Tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan.
Turgawa menatap wajah Raja
Tengkorak lekat-lekat Perlahan-lahan dia melangkah mundur ketika melihat sorot
mata penuh ancaman dari sepasang mata laki-laki berseragam tengkorak itu.
"Bisa kau memberikan
bukti kalau aka adalah putra dari Raja Tengkorak palsu ini, Dewa Arak?!"
agak bergetar suara yang keluar dari mulut Raja Tengkorak palsu alias Sengkala.
Dia tetap menyangka kalau Raja Tengkorak yang di hadapannya adalah Raja
Tengkorak palsu dan dirinya Raja Tengkorak tulen.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa. Tapi
mungkin ayahmu. bisa.... "
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh ke arah Raja Tengkorak asli yang
masih terpaku dengan tangan mendekap dada. Kedua kaki Kalpa Reksa tampak
menggigil keras, karena guncangan perasaan. Benarkah Raja Tengkorak palsu itu
adalah anaknya?
"Kalau kau benar
anakku.... Kau mempunyai beberapa ciri...."
Sesampainya di sini, Raja
Tengkorak asli alias Kalpa Reksa menghentikan ucapannya sejenak karena
tenggorokannya dirasakan kering. Ditelannya air liur untuk membasahinya.
"Apa ciri-ciri yang
kumiliki ... ?!" selak Raja Tengkorak palsu tak sabar. Lenyap sudah suara
khasnya karena getaran perasaan yang melanda. Kini suara tokoh sesat yang
menggiriskan itu terdengar serak.
"Kau... kau..., mempunyai
benjolan daging di ketiak sebelah kirimu ...... Agak terputus-putus ucapan yang
keluar dari mulut Raja Tengkorak yang terluka dada kirinya.
"Lalu..., apa
lagi...?!" tanya Raja Tengkorak palsu dengan suara semakin serak.
Kekagetan tampak jelas dari tubuhnya yang agak terjingkat.
"Di bawah dagumu ada
tompel...," lanjut Kalpa Reksa lagi. "Dan nama aslimu bukan
Sengkala... tapi Prawira.... Sedangkan Turgawa adalah orang yang telah membunuh
ibumu dan membawa lari dirimu...
"Dusta...!"
Teriakan keras Turgawa
menyambuti ucapan Kalpa Reksa. Tidak cukup hanya sampai di situ saja, dia pun
mengibaskan tangannya. Seketika itu juga beberapa buah benda berkilat yang
tidak lain adalah pisau meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan kakek berpakaian kuning. Begitu pisau-pisaunya meluncur, tubuhnya pun
meluruk menyusul pisau-pisaunya.
Dews Arak, Raja Tengkorak
palsu, dan Jaran Sangkar terperanjat bukan main melihat serangan yang sama
sekali tidak terduga-duga itu. Apalagi Raja Tengkorak asli sendiri.
Kalpa Reksa saat itu tengah
tidak berwaspada sama sekali karena tengah tenggelam dalam luapan perasaannya.
ltulah sebabnya dia merasa terkejut bukan kepalang melihat datangnya serangan
itu Tapi, meskipun begitu sebagai seorang tokoh tingkat tinggi walaupun dalam
keadaan terluka, dan tengah tidak bersiap, dia masih mampu berbuat sesuatu.
Cepat-cepat tangan kanannya
yang memegang pisau, digerakkan menangkis. Memang, pisau yang terpegang di
tangan kirinya, terpental sewaktu dia terkena tusukan lawan.
Tranggg, tranggg, tranggg...!
Cappp ... !
"Akh ... !”
Satu di antara sekian
banyaknya pisau itu berhasil menghunjam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi,
tubuh laki-laki berseragam tengkorak itu terhuyung, Pisau yang tergenggam di tangannya
pun telepas dari pegangan.
Saat itu, serangan susulan
dari Turgawa menyusul tiba.
Tapi sebelum serangan itu
mencapai sasaran, angin keras berhawa panas menyengat dari Dewa Arak dan
pukulan jarak jauh yang dilepaskan Raja Tengkorak palsu telah lebih dulu
menyambar ke arahnya.
Memang, Saking terkejutnya,
Arya dan Sengkala langsung melancarkan pukulan jarak jauh masing-masing ke arah
Turgawa.
Brass... !
Kakek berpakaian kuning itu
memekik ngeri. Dahsyat bukan main pukulan jarak jauh gabungan itu. Tubuh
Turgawa yang tengah berada di udara terpental Darah segar mengucur deras ketika
tubuhnya terpental. Dan sekujur tubuhnya hangus seketika.
Brukkk .. !
Tubuh Turgawa jatuh berdebuk
di tanah dan diam tidak bergerak lagi. Karena saat tubuhnya melayang, nyawanya
sudah meninggalkan raganya.
ooOWKNBROoo
"Ayah ... !”
Raja Tengkorak palsu melesat
memburu tubuh Raja Tengkorak asli yang tergolek rebah di tanah. Kini dia tidak
ragu-ragu lagi menyebut demikian pada laki-laki yang memiliki seragam sama
dengan dirinya.
Memang, semua keterangan yang
diberikan Raja Tengkorak asli telah membuat dirinya yakin kalau dia, anak Kalpa
Reksa. Di samping semua ciri-ciri yang disebutkan pada dirinya benar. Ada hal
lain yang membuat pertanyaan yang selama, ini bergayut di benaknya dan tak
pernah terjawab oleh pamannya, kini terjawab. Huruf bertuliskan 'Prawira' pada
selimutnya sewaktu dia masih bayi ternyata adalah namanya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Raja
Tengkorak palsu itu duduk di tanah dan meletakkan kepala ayahnya di pangkuan.
Tak dipedulikannya darah segar yang keluar dari luka di tubuh ayahnya mengotori
pakaiannya.
"Prawira, Anakku....
Syukur kau telah membalaskan sakit hati ibumu...," dengan suara
terputus-putus, Raja Tengkorak asli mengeluarkan ucapannya. "Sebelum aku
mati... ingin kulihat wajah aslimu ......
Raja Tengkorak palsu membuka
selubung tengkoraknya. Tampaklah seraut wajah seorang pemuda yang mempunyai
wajah mirip dengan Kalpa Reksa. Dialah Prawira alias Sengkala.
"Bukalah selubungku,
Prawira.:.," pinta Raja Tengkorak asli.
Dengan tangan gemetar Sengkala
mengulurkan tangan dan membuka selubung ayahnya. Dan....
"Kau...?!" seru
Sengkala kaget. "Kalpa Reksa...
Raja Tengkorak asli
menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan terputus-putus diceritakan semua kejadian
yang menimpa keluarganya akibat tindakan jahat Turgawa.
Dewa Arak, Jaran Sangkar, dan
seluruh tokoh persilatan yang ada di situ menatap penuh haru. Meskipun begitu,
sebagai orang yang telah kenyang makan garam kehidupan, mereka bisa
mengendalikan diri.
Sementara Sengkala sendiri
kini mengerti keculasan hati Turgawa. Kini dia baru mengerti mengapa kakek
berpakaian kuning itu memberikan perlengkapan Raja Tengkorak, yang katanya
adalah peninggalan ayahnya yang telah tewas oleh Kalpa Reksa. Rupanya Turgawa
ingin menjelek-jelekkan nama Raja Tengkorak yang telah tidak muncul ke dunia
persilatan lagi.
"Begitulah ceritanya,
Prawira ...... kata Kalpa Reksa menutup ceritanya. "Kuharap kau segera
melepas seragam tengkorakmu itu. Masa Raja Tengkorak telah lenyap karena aku
telah menguburnya belasan tahun lalu. Kau mau memenuhi permintaanku ini,
Prawira?!"
Prawira alias Sengkala
menganggukkan kepalanya. Meskipun tidak ada butiran air yang mengalir keluar
dari matanya. Tapi tampak jelas kalau sepasang mata itu berkaca-kaca. Memang,
tokoh yang menggiriskan ini merasa sedih sekali.
"Kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu pada Ki Jaran Sangkar. Kedua orang muridnya,
Ki Tampar Waja dan Ranjana, telah kau bunuh ......
Sambil berkata demikian, Raja
Tengkorak mengalihkan pandangannya ke arah kakek berpakaian abu-abu itu.
"Lupakanlah, Reksa. Aku
tidak mendendam," sahut Jaran Sangkar cepat. Dia tidak sampai hati
menghukum Sengkala di depan ayahnya yang telah menjelang ajal ini. Biarlah di
akhir hayatnya, Kalpa Reksa merasa lega karena anaknya tidak kurang suatu apa.
"Asalkan dia tidak mengulangi kejahatannya lagi... semua kesalahannya
kumaafkan,"
"Terima kasih, Ki. Kau
memang bijaksana," kata Kalpa Reksa dengan raut wajah penuh terima kasih.
"O ya, Prawira. Katakan dari mana kau mendapat ilmu 'Rawa Rontek'
itu?!"
"Dari orang sakti yang
bersedia menjadikanku murid, Ayah.... Dan..., Ayaaah ... !"
Sengkala terpaksa memutuskan
ucapannya karena kepala Kalpa Reksa telah terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.
"Ayah... !" teriak
Sengkala lagi seraya menggoyang-goyangkan pipi Kalpa Reksa.
Dengan hati sedih, Sengkala
bangkit berdiri, kemudian menatap satu persatu wajah-wajah anak buahnya.
"Kalian dengarkan
semua...!" ujar Raja Tengkorak palsu. "Mulai saat ini aku tidak lagi
menjadi Raja Tengkorak. Kalian boleh memilih jalan sendiri-sendiri. "
Raja Tengkorak palsu
menghentikan ucapannya sebentar. Sementara anak buahnya tetap menunduk-kan
kepala.
"Kalian tahu..., kalau Ki
Jaran Sangkar mau, sudah sejak tadi kalian jadi mayat! Bagaimana? Yang ingin
sadar, boleh mengikutiku! Bagi yang tak mau, kuberi kebebasan untuk pergi! Tapi
ingat! Bila kalian melakukan kejahatan dan bertemu denganku, jangan harap akan
kuampuni...!"
Setelah berkata demikian,
Prawira alias Sengkala lalu membungkukkan tubuh dan mengangkat mayat Kalpa
Reksa, lalu berjalan sambil membopong mayat ayahnya.
Jaran Sangkar dan Dewa Arak
membiarkannya. Mereka berdua tahu, hati putra Kalpa Reksa itu sangat terpukul.
Jaran Sangkar dan Arya hanya
memandangi saja Sengkala yang semakin jauh sambil membawa ayahnya. Sementara di
belakang pemuda yang telah menggemparkan karena telah menjadi Raja Tengkorak
itu, berjalan dengan kepala tertunduk, tokoh-tokoh persilatan yang menjadi anak
buahnya. Hanya sebagian kecil saja yang tidak mengikuti Prawira.
"Ada orang yang tengah
menuju kemari, Arya...," ucap Jaran Sangkar pada Dewa Arak yang juga telah
mendengar langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. "Aku pergi
dulu...."
"Tunggu sebentar, Ki
...... cegah Arya cepat.
"Ada apa, Arya?"
tanya Jaran Sangkar, sambil menghentikan langkahnya.
"Boleh kutahu tempat
tinggalmu, Ki?" tanya Arya.
"Lupakanlah, Arya. Aku
tidak ingin terlibat dalam kekerasan dunia persilatan...."
Belum lagi lenyap, ucapannya,
tubuh kakek berpakaian abu-abu telah berada dalam jarak belasan tombak di
depan.
Arya hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat kehebatan kakek itu. Lalu dipalingkan
kepalanya ke arah asal suara. Dan mendadak wajahnya berubah!
"Kang Arya...!" seru
sosok serba putih yang berada dalam jarak lima tombak.
"Melati... !" jawab
pemuda berambut putih keperakan itu tak kalah keras. Nada suaranya mengandung
kekagetan tapi juga kegembiraan yang tak terkirakan. Dan memang, Dewa Arak
merasa gembira bukan kepalang melihat siapa adanya sosok tubuh yang bergerak
mendatangi. Sosok tubuh wanita cantik jelita laksana bidadari, berpakaian serba
putih dan berambut panjang terurai. Siapa lagi kalau bukan Melati?
Seiring keluarnya ucapan itu,
Arya melesat ke depan dengan kedua Lengan terkembang. Hal yang sama pun
dilakukan oleh sosok tubuh yang tidak lain Melati adanya.
Dua sosok tubuh yang berlari
cepat saling mendekati itu akhirnya bertemu di pertengahan jalan.
"Kang Arya... !"
sebut Melati dengan sepasang mata berkaca-kaca. Kepalanya disandarkan di dada
Arya yang bidang dan kokoh itu. Nada suara gadis berpakaian putih ini terdengar
agak serak karena rasa haru yang menyekat tenggorokannya.
Arya pun dilanda perasaan yang
sama. Sungguh tidak diduga kalau dia bisa bertemu dengan tunangannya.
Bertubi-tubi diciuminya, rambut, telinga dan pipi gadis berpakaian putih itu
dengan kerinduan yang menggelegak.
"Melati..., syukur kau
selamat...," dengan suara tak kalah serak, Arya menyahuti. Dipeluknya
tubuh Melati erat-erat seakan-akan khawatir kalau gadis itu akan pergi lagi.
Melati pun balas memeluk tak
kalah erat. Dan tanpa melepaskan pelukannya dia pun menceritakan semua kejadian
yang dialami.
"Ketika aku tiba di hutan
ini, kudengar sayup-sayup suara ribut-ribut. Karena ingin tahu, kudekati.
Syukur, aku malah bertemu denganmu, Kang."
Arya sama sekali tidak
menyahuti. Dia masih diliputi rasa gembira melihat gadis yang dicintainya,
berhasil ditemukan kembali dalam keadaan selamat.
Waktu terus saja bergulir,
tapi Melati dan Dewa Arak tetap dalam kerinduan dan kebahagiaan. Mereka tidak
mempedulikan lagi keadaan alam sekelilingnya.
SELESAI