11 - Memburu Putri Datuk
Seorang kakek berpakaian kulit
ular yang berwajah bengis, menghentikan semadinya. Perlahan-lahan kedua kelopak
matanya dibuka. Dan begitu telah bangkit berdiri barulah terlihat kalau kakek
berwajah bengis ini bertubuh tinggi kekar.
Kakek berpakaian kulit ular
ini lalu bergegas menelusuri lorong gua menuju pintu keluar. Rupanya kakek
tinggi kekar ini menghentikan semadinya karena mendengar suara panggilan yang
sangat dikenalnya dari luar gua.
"Ayah...!"
Kembali suara panggilan itu
terdengar. Dan seiring dengan semakin dekatnya kakek itu dengan mulut gua, maka
panggilan itu pun semakin jelas dari sebelumnya. Begitu kakek berwajah bengis
ini telah berada di luar gua, mendadak sesosok ramping berpakaian jingga segera
menghambur ke arahnya.
"Ada apa, Karmila?"
tanya kakek berpakaian kulit ular itu pelan. Suaranya lembut, menyiratkan rasa
sayang yang mendalam. Suara laki-laki ini sungguh berlawanan sekali dengan
penampilannya.
"Anu, Ayah...."
"Anu, apa?
Katakanlah," desak kakek tinggi kekar itu sambil tersenyum. Tapi karena
wajahnya bengis, senyumnya lebih mirip sebuah seringai menyeramkan.
"Aku sudah bosan berlatih
ilmu-ilmu rendahan ini, Ayah!" sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata
bernama Karmila itu ketus. Wajahnya yang cantikmemberengut, menandakan
kekesalan hatinya.
"Ha ha ha...!" kakek
berwajah bengis itu tertawa terbahak-bahak. "Kukira ada apa. Lalu, maumu
bagaimana, Karmila?"
"Aku ingin Ayah
mengajarku ilmu andalan Ayah. Ilmu yang telah mengangkat Ayah menjadi datuk tak
terkalahkan!"
"Hah?!" seketika
senyum di wajah kakek itu lenyap. Jelas kalau ucapan putrinya membuatnya
terkejut
"Mengapa Ayah
terkejut?" tanya Karmila lagi. "Bukankah wajar kalau aku ingin
memiliki ilmu-ilmu yang dapat kuandalkan. Bukan ilmu-ilmu rendahan seperti yang
Ayah ajarkan selama ini."
"Tapi, Karmila...,"
kakek berwajah bengis itu men- coba membantah.
"Pokoknya kalau tidak
diajarkan ilmu itu, aku tidak mau berlatih lagi!" potong gadis berpakaian
jingga itu ketus.
"Tapi ilmu itu adalah ilmu
keji, Karmila. Sejak aku sadar kalau kelakuanku selama ini keliru, aku telah
bersumpah tidak akan menurunkan ilmu ini kepada siapa pun! Ilmu 'Totokan
Penghancur Tulang', tidak cocok untukmu, Karmila."
"Aku berjanji tidak akan
menggunakan ilmu itu kalau tidak terpaksa, Ayah," sahut Karmila tidak
kehilangan akal. "Pokoknya kalau Ayah tidak bersedia mengajarkannya, aku
tidak mau berlatih lagi. Untuk apa berlatih ilmu-ilmu rendahan? Hanya
buang-buang waktu saja!"
Kakek berwajah bengis yang
ternyata bekas datuk sesat ini mengerutkan alisnya. Kesal juga hatinya
mendengar Karmila merendahkan ilmu-ilmu yang telah diajarkannya.
"Kau keliru, Karmila.
Ilmu yang kau pelajari selama ini bukanlah ilmu rendahan. Kau tahu, selama aku
malang melintang merambah rimba persilatan, jarang sekali aku mengeluarkan ilmu
'Totokan Penghancur Tulang'! Boleh dibilang hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu
yang kuturunkan padamu selama ini, lawan yang bagaimanapun berhasil
kukalahkan."
"Tapi, aku tetap ingin
mempelajari ilmu itu, Ayah," rengek Karmila merajuk.
Gadis berpakaian jingga ini
tahu kalau ayahnya ini sangat menyayanginya. Hampir tidak ada satu pun
permintaan yang ditolak ayahnya apabila dia telah merajuk seperti itu. Maka
kali ini pun Karmila kembali mempergunakan 'senjata pamungkasnya' untuk
meruntuhkan kekerasan hati ayahnya.
Beberapa saat lamanya kakek
berpakaian kulit ular itu tercenung. Kemudian menarik napas dalam- dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Baiklah, Karmila,"
sahut kakek berwajah bengis itu mengalah. Jelas sekali terlihat kalau
sebenarnya kakek itu terpaksa menuruti permintaan putrinya.
Seketika itu juga wajah
Karmila berubah cerah.
"Terima kasih, Ayah.
Sedari tadi, aku pun sudah yakin kalau Ayah akan mengabulkan
permintaanku," ucap Karmila seraya tersenyum manja.
Kakek berpakaian kulit ular
itu mengurut dada.
Lega sudah hatinya begitu
melihat Karmila sudah tersenyum cerah kembali. Dan seketika itu juga rasa
terpaksa di hatinya menguap entah ke mana. Hal itu memang kerap terjadi setiap
kali melihat kegembiraan putrinya.
"Kapan Ayah akan
mengajarkan ilmu itu?"
"Kapan saja kau siap,
Ayah pun siap mengajarmu," sahut kakek berwajah bengis itu. Kini suaranya
terdengar mantap.
"Bagaimana kalau sekarang
saja, Ayah?"
"Kau sudah benar-benar
siap?"
"Siap, Ayah," jawab
Karmila mantap.
Lalu kakek berpakaian kulit
ular itu pun mulai memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur
Tulang' pada Karmila. Sementara gadis berpakaian jingga itu menyimaknya penuh
seksama.
Cukup lama juga kakek itu
memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' pada Karmila.
Tapi beberapa kali sang Ayah terpaksa harus mengulang keterangannya kembali
bila ada yang kurang dipahami putrinya.
Baru setelah Karmila mengerti
semuanya, sang Ayah meninggalkannya. Dia kembali meneruskan semadinya.
Sementara Karmila masih tekun mem- pelajari ilmu yang baru didapatnya.
Sejak hari itu, Karmila sibuk
melatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Gadis berpakaian jingga itu ternyata
sangat tekun melatihnya. Terkadang sampai lupa makan dan istirahat.
***
Hari masih terlalu pagi.
Bahkan kabut pun masih belum terusir seluruhnya. Di sebuah tanah lapang
terlihat Karmila tengah sibuk melatih ilmu yang baru diajarkan ayahnya.
"Hih...!"
Dengan jari-jari telunjuk
mengacung ke depan sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, Karmila
melakukan totokan bertubi-tubi ke depan. Terdengar angin bercicitan setiap kali
tangan gadis berpakaian jingga itu bergerak menyerang.
Entah sudah berapa lama gadis
berpakaian jingga ini berlatih. Yang jelas kabut telah sirna. Dan matahari
telah bersinar cukup terik ketika tubuh gadis itu melompat dan bergulingan ke
depan. Lalu bergegas bangkit seraya melancarkan totokan beruntun ke arah
sebatang pohon besar yang kokoh di hadapannya.
Crab! Crab... !
Luar biasa! Jari-jari telunjuk
Karmila yang lembut, amblas ke dalam batang pohon ketika totokan- totokan gadis
itu menghunjamnya.
Karmila tersenyum lebar.
Hatinya cukup gembira melihat kemajuan latihannya. Meskipun jika dibandingkan
dengan kesaktian ayahnya, hasil yang dicapainya ini belumlah seberapa, tapi
gadis ini sudah cukup puas.
Plok, plok, plok... !
Suara tepuk tangan keras
membuat Karmila membalikkan tubuhnya. Dengan perasaan terkejut, mata gadis
berpakaian jingga itu berkeliling mencari asal suara tepukan. Masalahnya, di
tempat ini tidak ada orang lain selain dia dan ayahnya. Lagi pula ayahnya tak
pernah bertepuk tangan jika memujinya. Jadi, pasti orang lain yang telah
bertepuk tangan!
Keterkejutan Karmila semakin
bertambah ketika melihat tiga sosok berpakaian kuning, berdiri tidak jauh dari
tempatnya berlatih. Rupanya saking asyik- nya berlatih, dia tidak menyadari
kalau ada orang yang menonton latihannya.
"Luar biasa! Sungguh tak
kusangka kalau di tempat seperti ini ada bidadari tengah menari-nari,"
ucap salah seorang dari ketiga tamu tak diundang itu. Seorang pemuda yang cukup
tampan dan berbadan lebar. Usianya sekitar tiga puluhan. Sinar mata pemuda itu
merayapi sekujur tubuh Karmila dengan liar.
"Hm...," seorang
yang bertubuh agak pendek, ber- tubuh tegap dan berkumis jarang bergumam tidak
jelas.
"Ataukah aku salah
sangka, Adi Rupangki?!" tanya pemuda berbadan lebar itu, sambil menoleh ke
arah pemuda bertubuh tinggi kurus.
"Maksudmu bagaimana, Kang
Waji?" Rupangki balas bertanya.
"Heh...?!" pemuda
berbadan lebar yang ternyata bernama Waji, berseru keheranan. "Kau belum
mengerti maksudku, Adi Rupangki?"
"Belum, Kang," sahut
pemuda tinggi kurus bermata sipit itu seraya menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana denganmu, Adi
Jalasa? Apakah aku tidak salah kalau menyebut gadis di depan kita adalah
bidadari?" tanya Waji lagi seraya menoleh pada pemuda bertubuh pendek,
tegap, dan berkumis tipis.
Pemuda bertubuh pendek, tegap,
dan berkumis tipis yang ternyata bernama Jalasa itu hanya meng- angkat bahu.
"Aku juga tidak mengerti
maksudmu, Kang," jawab Jalasa.
"Aneh! Butakah mata
kalian? Aku yakin kalau gadis di hadapan kita ini bukan bidadari. Tapi iblis
betina!" jawab Waji akhirnya.
Tajam dan kasar suaranya.
"Apa alasanmu,
Kang?" tanya Jalasa penasaran.
"Kau tidak mengenal
jurus-jurus yang dimainkan- nya?" tukas Waji. "Apakah kau juga lupa,
Adi Rupangki? Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah yang dimainkannya tadi
adalah salah satu jurus dari ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!"
"Ahhh...!" Jalasa
dan Rupangki berseru berbareng.
Kekagetan terlihat jelas pada
wajah keduanya.
"Dan kalian tahu siapa
pemiliknya?" sambung pemuda berbadan lebar itu lagi.
"Kalapati...," desis
Jalasa dan Rupangki berbareng.
"Ya," Waji
menganggukkan kepalanya. "Datuk sesat yang menggiriskan itu."
Jalasa dan Rupangki saling
berpandangan sejenak.
"Kebetulan sekali!"
ucap Waji tiba-tiba seraya menatap wajah Jalasa dan Rupangki. Sementara yang
ditatap hanya dapat memandang wajah pemuda berbadan lebar itu. Wajah kedua orang
itu terlihat bingung.
"Apanya yang kebetulan,
Kang?" tanya Jalasa.
"Bukankah kedatangan kita
kemari adalah untuk mencari datuk sesat itu?" tanya Waji seraya menatap
pemuda bertubuh pendek tegap itu.
Jalasa mengangguk. Tanpa sadar
Rupangki menganggukkan kepalanya juga. Padahal pemuda tinggi kurus ini sama
sekali tidak ditanya.
"Kita culik saja gadis
ini! Aku yakin gadis ini ada hubungannya dengan Kalapati keparat itu!"
usul Waji.
Sepasang alis Jalasa berkerut.
"Ingat, Kang. Guru telah
berpesan agar kita tidak lagi memperpanjang urusan dengan Kalapati. Datuk itu
telah menyadari kekeliruannya. Lagi pula, dialah yang menyelamatkan guru kita
dari tangan Setan Kepala Besi," sahut pemuda bertubuh pendek kekar itu
mengingatkan.
Rupangki mengangguk-anggukkan
kepalanya per- tanda menyetujui ucapan Jalasa.
"Bodoh kalian!"
sergah Waji keras. "Apakah kalian juga berpikiran seperti guru? Menganggap
selesai semua urusan itu?!" tanya Waji bernada penasaran.
Jalasa dan Rupangki
menganggukkan kepalanya. Tentu saja hal ini membuat kegeraman pemuda berbadan
lebar itu semakin menjadi-jadi.
"Lalu, untuk apa kalian
mengikutiku kalau bukan untuk membalas dendam pada iblis itu?!" sentak
Waji gusar.
"Kami ikut karena tidak
tega melepasmu sendiri, Kang," Rupangki yang menyahuti.
"Nah! Kalau begitu,
tunggu apa lagi? Mari kita tangkap gadis itu. Dan kita paksa Kalapati
menyerah!" ucap Waji bernada memerintah.
Tapi sebelum ketiga orang ini
bergerak, Karmila telah lebih dulu melompat menghadang. Gadis ini tidak dapat
menahan kemarahannya begitu men- dengar ucapan-ucapan Waji.
"Keparat! Mulut kalian
terlalu kotor. Jangan salahkan kalau aku terpaksa merobek mulut kalian!"
bentak Karmila bernada kemarahan.
"Hm...!" Waji
mendengus. "Kaulah yang akan kami tangkap sebagai balasan atas kekejian
ayahmu dulu, Perempuan Liar. Kau akan kami telanjangi dan kami perkosa
bergantian sampai mati!" ucap pemuda berbadan lebar itu keras.
Terdengar pekik melengking
penuh keterkejutan dari mulut Karmila. Seketika itu juga sepasang bola mata
gadis berpakaian jingga ini berkilat-kilat penuh kemarahan.
Bukan hanya Karmila saja yang
terkejut men- dengar ucapan Waji. Jalasa dan Rupangki pun terkejut
mendengarnya. Serentak keduanya menatap wajah pemuda berbadan lebar itu, dengan
sorot mata penuh pertanyaan.
"Kang...!" seru
Jalasa dan Rupangki. Ada teguran keras dalam suaranya. Wajarlah kalau kedua
pemuda itu terkejut. Mereka adalah murid-murid perguruan beraliran putih yang
kelak diharapkan akan menjadi pendekar-pendekar pembela keadilan. Lagi pula, perbuatan
memperkosa adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang bermoral
rendah saja.
"Hiyaaa...!"
Karmila tidak kuat lagi
menahan kemarahannya mendengar penghinaan itu. Seketika itu juga, gadis
berpakaian jingga ini menerjang Waji. Jari-jari tangan- nya yang menegang kaku
disodokkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati pemuda berbadan lebar itu.
Terdengar suara bercicitan
nyaring mengiringi tibanya sodokan tangan Karmila. Kaget juga Waji melihat
keampuhan jurus-jurus lawan. Pemuda berbadan lebar ini sama sekali tak
menyangka kalau gadis semuda ini sudah memiliki tenaga dalam seperti itu.
Biasanya hanya tokoh-tokoh tua saja yang mampu menimbulkan angin bercicitan
dalam setiap serangannya.
Berpikir demikian, maka Waji
tidak berani ber- tindak gegabah. Cepat-cepat kakinya digeser ke kanan sehingga
serangan Karmila lewat di samping kiri pinggangnya. Lalu sambil melangkahkan
kaki kanannya ke depan, cakar tangan kanannya menyambar deras ke perut gadis
berpakaian jingga itu.
Karmila terperanjat. Buru-buru
gadis ini men- doyongkan tubuhnya ke belakang seraya menarik pulang kedua
tangannya. Dalam sekejap, kedua tangan itu sudah berkelebat menangkis serangan
yang mengancam perutnya.
Plak, plak...!
Terdengar benturan keras
begitu dua tangan yang dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya Waji
terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dengan sekujur tangan terasa
patah-patah. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Sementara Karmila hanya
terhuyung satu langkah ke belakang.
Waji menggeram murka. Rasa
penasaran yang amat sangat melandanya begitu menyadari kalau dalam adu tenaga
dalam tadi, gadis berpakaian jingga itu hampir mempecundanginya. Bagaimana Waji
tidak penasaran? Dia adalah salah seorang dari tiga murid kepala sebuah
perguruan silat besar saat ini. Jalasa dan Rupangki adalah dua orang adik
seperguruannya. Kini menghadapi seorang wanita muda saja, dia telah dibuat
terhuyung-huyung dalam segebrakan. Hal itulah yang membuatnya menjadi kalap.
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Waji
kembali menerjang Karmila. Gadis berpakaian jingga yang memang sudah murka
sejak tadi itu, langsung saja menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang itu
pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit
Baru beberapa jurus bertarung,
Waji sudah berkali- kali mengeluarkan seruan kaget. Kepandaian gadis berpakaian
jingga ini memang luar biasa. Tidak hanya dalam adu tenaga dalam saja Karmila
lebih unggul, dalam hal kelincahan pun, gadis berpakaian jingga itu berada di
atasnya.
Waji menggertakkan gigi. Tapi
meskipun pemuda berbadan lebar itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya,
tetap saja tidak merubah keadaan. Karmila memang lebih unggul segala-galanya.
Per- lahan namun pasti pemuda berbadan lebar ini mulai terdesak.
Jalasa dan Rupangki menonton
jalannya per- tarungan dengan penuh kekhawatiran. Meskipun kepandaian mereka
masih berada di bawah Waji, tapi keduanya dapat melihat kalau kakak seperguruan
mereka itu terdesak. Karuan saja hal ini membuat kedua orang ini bingung.
Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Membantu Waji berarti melanggar
pesan guru mereka, sedangkan bila tidak membantu, kakak seperguruan mereka akan
celaka.
Sementara itu keadaan Waji
semakin meng- khawatirkan. Pertarungan sudah berlangsung hampir dua puluh
jurus. Dan kini pemuda berbadan lebar itu tidak mampu lagi balas menyerang.
Yang dapat dilakukannya hanya mengelak terus. Tapi sampai kapan Waji mampu
bertahan?
Mendadak pemuda berbadan lebar
ini men- jatuhkan diri dan terus bergulingan di tanah. Karmila yang emosinya
sudah memuncak, tidak mau mem- biarkan lawannya lolos. Tanpa membuang-buang
waktu lagi segera dikejarnya tubuh yang tengah bergulingan itu.
Karmila sama sekali tidak
menyangka kalau semua itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh Waji. Girang
hati Waji begitu melihat gadis berpakaian jingga itu mengejarnya. Tapi Waji
tidak mau bertindak gegabah. Pemuda berbadan lebar ini tidak ingin rencananya
gagal. Maka ditunggunya hingga lawan mendekat .
Dan begitu Karmila telah
mendekat, mendadak tangan Waji mencengkeram tanah, dan secepat itu pula
dilemparkan ke wajah Karmila.
Wuttt..!
Pyarrr...!
Karmila gugup bukan kepalang.
Gadis berpakaian jingga ini sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan
berbuat securang itu. Sedapat-dapatnya sambaran abu itu ditangkis dengan
tangannya. Dan itulah yang dikehendaki Waji. Begitu tertangkis, abu pun
membuyar seketika. Sebagian dari abu itu menyebar ke wajah Karmila. Kontan
matanya terasa perih. Karuan saja hal ini membuat Karmila gelagapan. Rupanya
ada serpihan abu yang memasuki matanya.
Di saat Karmila sedang
gelagapan, Waji mem- bokong gadis berpakaian jingga itu. Kaki kanannya
melakukan tendangan lurus ke arah perut.
Wuttt!
Bukkk!
"Hugh...!"
Tubuh Karmila seketika
terlipat ke depan. Ada suara keluhan tertahan keluar dari mulut mungil yang bentuknya
bagus itu. Tendangan Waji telak dan keras sekali mengenai perut Karmila.
Belum lagi gadis berpakaian
jingga itu berbuat sesuatu, tangan lawan kembali menyambar. Menyampok ke arah
pelipisnya.
Walaupun sepasang matanya
tidak mampu melihat, Karmila dapat mengetahui sambaran itu dari desir angin
yang menyambar sebelum serangan itu tiba. Karmila mengetahui adanya serangan
maut yang mengancam nyawanya. Cepat-cepat tangan kirinya diangkat, melindungi
pelipis.
Plak!
Karmila terhuyung-huyung ke
samping. Kuda-kuda gadis ini memang berada dalam keadaan yang tidak
menguntungkan. Sehingga tenaga dalamnya tidak bisa dikerahkan seluruhnya untuk
menangkis serangan itu. Walaupun begitu, setidak-tidaknya tangkisan Karmila
sudah cukup membendung sambaran lawan.
Kesempatan yang sedikit itu
dipergunakan sebaik- baiknya oleh Karmila. Sambil tetap memejamkan kedua
matanya, gadis itu melenting ke belakang. Lalu bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung,
Karmila berhasil men- daratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu men- darat,
gadis ini berusaha keras membuka kelopak matanya.
Waji geram bukan main melihat
lawan berhasil meloloskan diri dari cecarannya. Kemarahan pemuda berbadan lebar
ini memang sudah mencapai puncak- nya. Maka....
Srattt..!
Seketika seberkas sinar terang
terpancar, begitu Waji menghunus pedangnya. Tapi berbeda dengan pedang umumnya,
batang pedang Waji tidak kaku, melainkan lentur dan lemas.
Secepat senjatanya keluar dari
sarungnya, secepat itu pula tubuhnya kembali menerjang. Pedang lenturnya cepat
dibabatkan ke leher gadis berpakaian jingga itu.
Wunggg...!
Suara mengaung nyaring
mengiringi tibanya sabetan pedang itu. Sehingga meskipun belum mampu membuka
matanya, Karmila dapat merasa- kan adanya serangan maut yang mengancam ke
arahnya. Tapi gadis berpakaian jingga ini tidak dapat menduga arah serangan
itu. Walaupun telah mengerahkan seluruh kemampuan pendengarannya, tetap saja
dia tidak mampu mengetahui arah yang dituju. Suara mendengung yang timbul dari
sambaran senjata lawan, menyulitkannya untuk mengetahui arah sasaran yang
dituju.
Karmila sama sekali tidak
menyadari kalau hal ini memang disengaja oleh Waji. Pemuda berbadan lebar ini
tahu kalau lawan kini hanya mengandalkan pendengaran sebagai pengganti mata. Oleh
karena itu, sengaja dimainkannya jurus pedang yang memang khusus dimainkan
untuk menghadapi orang yang hanya mengandalkan pendengaran. Suara mengaung yang
ditimbulkan gerakan pedangnya memang sengaja untuk mengacaukan pendengaran
lawan.
Wajah Karmila pucat seketika.
Gadis berpakaian jingga ini segera tersadar kalau dirinya berada dalam
cengkeraman maut. Tapi putri tunggal Kalapati ini sudah tidak tahu harus
berbuat apa untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Di saat kritis bagi
keselamatan Karmila, melesat sesosok bayangan kekuningan. Bayangan itu langsung
memotong laju tubuh Waji yang tengah melancarkan serangan maut.
Takkk!
"Akh...!"
Waji memekik tertahan. Sekujur
tangannya terasa lumpuh seketika. Tanpa dapat ditahannya lagi, pedangnya pun
terlepas dari genggaman dan terlempar jauh. Memang, Waji tadi sempat melihat
sekelebatan bayangan kekuningan yang memapak sabetan pedangnya. Tapi karena
posisi yang sedang berada di udara, pemuda berbadan lebar ini tidak mampu
berbuat apa-apa, selain meneruskan serangan itu.
"Hup...!"
Dengan agak terhuyung, Waji
menjejakkan kakinya di tanah. Sepasang matanya menatap lurus ke arah sosok yang
telah menangkis serangannya. Pada saat yang bersamaan, sosok penolong Karmila
juga telah hinggap di tanah.
***
Sekitar tujuh tombak di
hadapan Waji, tampak seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Laki-laki tua berbaju
kulit ular itu berdiri membelakangi Karmila. Sepasang matanya mencorong tajam
ke arah Waji.
Sepasang mata yang tajam itu
menatap pemuda berbadan lebar mulai dari kaki hingga ke ujung rambut. Kemudian
beralih ke arah Jalasa dan Rupangki. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan
pada Karmila.
"Kau tidak apa-apa,
Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular, sambil merayapi sekujur
tubuh putrinya. Hanya dengan sekali lihat saja, kakek ini dapat mengetahui
luka-luka yang diderita putrinya.
Karmila menggeleng sambil
menyunggingkan senyum lebar di bibirnya.
"Tidak, Ayah," sahut
gadis berpakaian jingga itu seraya menatap wajah ayahnya. Kini Karmila telah
bisa membuka matanya, namun warna merah pada sepasang bola matanya itu masih
tampak jelas.
"Sukar kupercaya, kalau
kau bisa dikalahkan, Karmila," desah kakek bertubuh tinggi kekar itu. Nada
suaranya mengandung ketidakpercayaan yang besar.
"Dia licik, Ayah,"
sergah Karmila membela diri.
Kakek berwajah bengis ini
tersenyum."Dalam sebuah pertarungan, cara apa pun dihalalkan untuk
mencapai kemenangan, Karmila. Apalagi tokoh-tokoh aliran hitam. Mereka tidak
segan- segan menggunakan cara-cara yang paling keji untuk memperoleh
kemenangan. Lain kali kau harus lebih waspada. Jangan umbar emosimu. Kau
mengerti, Karmila?!"
Karmila menganggukkan
kepalanya.
"Tapi, dia telah
menghinaku dan menghina Ayah. Mulutnya kotor sekali, Ayah," ucap gadis
berpakaian jingga ini memberitahu.
"Istirahatlah. Biar Ayah
urus orang-orang ini," ucap kakek berpakaian kulit ular itu. Ada tekanan
pada nada suaranya. Tampaknya dia tidak menghendaki adanya bantahan. Karmila
pun mengerti. Gadis berpakaian jingga ini terpaksa melangkah mundur. Meskipun
begitu, rasa dongkolnya kepada Waji masih belum sima. Perutnya yang tadi
terkena tendangan pemuda itu masih terasa mules.
"Bukankah kau murid
Perguruan Pedang Ular?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil
melangkah maju beberapa tindak.
"Kalau benar, kau mau
apa, Kalapati!? Mau menghina lagi seperti yang kau lakukan pada guruku
dulu?!" sahut Waji. Keras dan kasar suaranya.
Seketika wajah Kalapati
berubah. Sesaat sepasang matanya mencorong menakutkan. Tapi tak lama kemudian
kembali redup seperti sediakala.
"Mulutmu kotor sekali,
Anak Muda. Apa sebenar- nya keinginanmu?" kakek berwajah bengis ini masih
mencoba bersabar.
"Tidak perlu
berbasa-basi, Kalapati! Aku datang untuk membalas dendam atas penghinaanmu ter-
hadap guru dan perguruanku!" tandas Waji keras.
Terdengar suara menggeram dari
kerongkongan Kalapati. Kakek berbaju kulit ular itu memang marah bukan main.
Kata-kata yang keluar dari mulut Wajilah yang menjadi penyebab kemarahannya.
Kalau saja tidak teringat sumpahnya untuk meninggalkan segala kericuhan dunia
persilatan, sudah sejak tadi Kalapati menurunkan tangan maut kepada pemuda ini.
Kini terpaksa ditahan semua kemarahannya.
Waji yang tengah diamuk dendam
itu segera memungut pedangnya yang tergeletak di tanah. Lalu sambil
mengeluarkan suara melengking, pemuda berbadan lebar ini melompat menerjang.
Pedangnya diputar-putar di atas kepala, sebelum ditusukkan cepat mengarah ke
leher Kalapati. Suara mengaung keras mengiringi tusukan pedang itu.
"Anak tidak tahu
diri!" dengus kakek berbaju kulit ular. Dengan gerak seadanya, tangannya
diulurkan menangkap pedang yang menuju lehernya. Menilik dari gerakannya,
sepertinya kakek ini sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam.
Tappp!
Luar biasa! Enak saja Kalapati
mencengkeram mata pedang yang mengancam lehernya. Sepertinya yang dicengkeram
oleh kakek itu bukan sebuah pedang yang bermata tajam.
"Hm...!"
Kembali Kalapati mendengus
keras. Tangan yang mencengkeram itu bergerak meremas. Luar biasa! Terdengar
suara keras berkeratakan ketika pedang itu hancur berkeping-keping.
Pucat wajah Waji melihat
kejadian ini. Tapi tidak berarti pemuda berbadan lebar ini mundur. Dengan
pedang yang hanya bermata sepotong itu, tubuhnya kembali menerjang kakek
berbaju kulit ular itu. Pedang yang matanya tinggal separuh itu dibabatkan ke
leher Kalapati.
Wuttt..!
Kalapati hanya tersenyum
sinis. Kakek berbaju kulit ular ini tidak melakukan gerakan apa pun. Dia hanya
berdiri mematung.
Takkk...!
"Akh...!"
Waji memekik tertahan. Pedang
di tangannya terpental balik! Bahkan sekujur tangannya dirasakan lumpuh ketika
menghantam leher kakek berwajah bengis itu dengan telak dan keras.
Belum lagi pemuda berbadan
lebar ini berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kanan Kalapati sudah berkelebat ke
perut Waji.
Plak!
"Hugh...!"
Kelihatannya memang perlahan,
tapi akibatnya luar biasa. Tubuh pemuda berbadan lebar itu terjengkang bagai
diseruduk kerbau. Perutnya dirasakan mual dan mules bukan kepalang. Cairan
merah kental meleleh dari sudut bibirnya.
Patut dipuji kekerasan hati
Waji. Sambil mendekap perutnya, pemuda ini kembali melangkah maju. Dihampirinya
kakek berbaju kulit ular itu. Sementara itu, Jalasa dan Rupangki menatap ke
arah dua orang yang tengah bertarung itu dengan perasaan tegang. Jari-jari
tangan mereka sudah mencengkeram erat- erat hulu pedang. Bersiap-siap membantu
kakak seperguruan mereka.
"Kalau tidak mengingat
kau murid Gambala, dan sumpahku untuk tak lagi ikut campur dalam keributan
dunia persilatan, sudah sejak tadi nyawamu kuhabisi," desis Kalapati
bernada peringatan.
Tapi pemuda berbadan lebar itu
sama sekali tidak mempedulikan peringatan Kalapati. Terus saja dilangkahkan
kakinya mendekati Kalapati dengan pedang patah terhunus.
Melihat kenekatan Waji,
kesabaran Kalapati pun pupus. Segera tangan kanannya dikibaskan. Kelihatannya
perlahan saja, tapi akibatnya luar biasa! Tubuh pemuda berbadan lebar itu
terlempar jauh ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
"Kang Waji...!"
teriak Jalasa dan Rupangki berbareng seraya melesat menghampiri tubuh kakak
seperguruannya.
Waji merayap bangun. Dadanya
terasa sesak bukan main. Tapi pemuda ini sama sekali tidak mengalami luka
dalam. Memang, meskipun berada dalam kemarahan yang menggelegak, Kalapati masih
ingat akan sumpahnya. Maka dia pun hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan
tubuh lawannya saja.
"Bawa dia pergi dari
sini...!" seru Kalapati keras pada Jalasa dan Rupangki yang tengah
berjongkok di depan Waji.
Jalasa dan Rupangki segera
membantu kakak seperguruannya berdiri. Kemudian berjalan meninggalkan tempat
itu.
"Boleh aku bertanya
sesuatu?" tanya kakek berbaju kulit ular itu. Jalasa dan Rupangki
terpaksa menghentikan langkahnya.
"Terus jalan, Jalasa!
Rupangki...!" seru Waji keras bernada perintah. Sepasang matanya menatap
penuh dendam pada Kalapati.
Tapi kedua adik seperguruannya
itu ternyata tidak menghiraukan ucapannya. Terbukti Jalasa dan Rupangki
menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah kakek itu.
"Silakan, Kalapati,"
sahut Jalasa pelan. Sopan dan lembut suaranya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini
memang merasa simpati, begitu melihat sepak terjang kakek itu. Sementara sikap
Waji telah membuatnya muak. Sikap dan tindak tanduk kakak seperguruannya
benar-benar membuatnya malu. Apalagi ucapan-ucapannya tadi.
"Apa tujuan kalian
kemari?"
"Kakang Waji mengajak kami
mencarimu, Kalapati," jawab Jalasa terus terang.
"Untuk membalas dendam
peristiwa lama?" desak kakek berbaju kulit ular itu lagi.
Jalasa mengangguk perlahan.
"Apakah Ki Gambala
mengetahui kepergian kalian?"
"Tidak, Kalapati,"
sahut pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Sudah kuduga,"
desah Kalapati pelan, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. "O ya,
sampaikan salamku pada guru kalian."
"Baik, Kalapati,"
sambut Jalasa seraya mem- balikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Pemuda pendek kekar itu dan
Rupangki bersama- sama memapah tubuh Waji.
Kalapati memandangi punggung
tiga orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan.
"Hhh...! Mudah-mudahan
saja masalah ini tidak berekor panjang," desah kakek berbaju kulit ular
itu penuh harap.
Setelah berkata demikian,
kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.
"Masuk dulu,
Karmila," ucap kakek berbaju kulit ular itu. "Akan kuperiksa
luka-lukamu."
Karmila segera mengikuti
ayahnya yang telah lebih dulu berjalan. Perasaan tidak puas masih ber- kecamuk
di hatinya. Mengapa pemuda bernama Waji itu tidak dibunuh saja? Mengapa harus
dilepaskan? Berbagai macam pertanyaan menggayuti benaknya.
***
Hari sudah menjelang sore.
Sang surya pun perlahan mulai tenggelam ke Barat. Di bawah sorotan sinar
matahari yang mulai temaram itu tampak seorang pemuda berbadan lebar melangkah
ter- huyung-huyung. Dari sudut mulutnya meleleh darah segar. Pemuda ini
menderita luka dalam!
Pemuda itu terus saja berlari
walaupun dengan terhuyung-huyung. Langkahnya semakin dipercepat, begitu
sepasang matanya melihat bangunan besar di hadapannya. Sebuah bangunan
berhalaman luas yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat. Rupanya dia
tengah menuju bangunan besar itu.
Semakin lama jarak antara
pemuda itu dengan bangunan besar, semakin dekat. Tapi langkah kakinya semakin
terseok-seok.
Ketika jaraknya dengan pintu
gerbang bangunan besar itu tinggal sepuluh tombak lagi, mendadak pemuda
berbadan lebar ini ambruk. Dua orang penjaga berseragam kuning yang sejak tadi
menatap penuh perharJan, bergegas menghampiri. Mereka kenal betul dengan sosok
tubuh yang tengah berlari menuju ke arah bangunan. Sosok tubuh dari kakak
seperguruan mereka, Waji.
Memang, bangunan besar
berhalaman luas dan berpagar kayu bulat itu adalah markas Perguruan Pedang
Ular.
Sesaat kemudian, kedua penjaga
pintu gerbang itu telah berada dekat tubuh orang berpakaian kuning yang mereka
duga Waji.
"Kang Waji...! Apa yang
terjadi?!" seru salah seorang di antara penjaga, begitu mengenali kalau
sosok yang tergolek itu benar Waji. Nada suaranya menyiratkan keterkejutan
mendalam.
Murid Perguruan Pedang Ular
ini benar-benar terkejut melihat keadaan pemuda berbadan lebar itu.
"Bawa aku menghadap
guru... aku ingin melapor- kan sesuatu...," ucap Waji tanpa mempedulikan
per- tanyaan adik seperguruannya.
Tanpa banyak bertanya lagi,
dua orang murid rendahan Perguruan Pedang Ular itu segera membantu Waji
berdiri. Dan kemudian memapahnya menuju ke dalam perguruan.
Suasana di dalam perguruan
kontan gempar ketika melihat dua orang penjaga pintu gerbang masuk sambil
memapah tubuh Waji. Salah seorang murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Sepanjang perjalanan menuju
bangunan utama perguruan, semua murid memperhatikan dengan kening berkerut.
Dalam hati mereka bergayut pertanyaan. Apa yang terjadi? Mengapa Waji sampai
terluka?
Sementara itu kedua murid
penjaga pintu gerbang, terus berjalan sambil memapah tubuh Waji. Tak
dipedulikan sama sekali pandang mata penuh keheranan rekan-rekan mereka.
Tubuh Waji baru berhenti dipapah
ketika telah berada di ruang utama perguruan. Ketiganya segera menjura hormat
pada dua orang kakek yang tengah duduk di kursi berukir.
"Apa yang terjadi,
Waji?" tanya salah seorang kakek yang bermata sayu.
Raut wajahnya memancarkan
kesabaran. Dialah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.
"Kalapati, Guru,"
jawab pemuda berbadan lebar itu sambil meringis.
"Kalapati?!" kakek
lain yang berhidung besar mirip hidung kerbau berseru kaget. "Datuk sesat
itu?"
"Benar, Paman Guru,"
sahut Waji seraya meng- anggukkan kepalanya.
"Keparat!" geram
kakek berhidung besar itu keras. Sepasang matanya memancarkan kemarahan yang
berapi-api.
"Sabar dulu, Adi
Gumarang," selak Gambala halus seraya menatap tajam wajak kakek berhidung
besar. Suara Gambala mengandung tekanan yang tidak ingin dibantah. Gumarang
terpaksa menutup mulutnya.
"Ada apa dengan
dia?" tanya Gambala. Nada suaranya masih terdengar tenang. Tidak seperti
Gumarang, yang belum apa-apa sudah kalap.
"Kalapatilah yang telah
melakukan semua ini, Guru!" ucap Waji setengah berteriak.
"Apa?!" sentak
Gambala terkejut bukan main. Bahkan kakek bermata sayu ini sampai terjingkat
dari kursi yang didudukinya. "Sadarkah kau akan ucapan- mu, Waji?"
Waji menganggukkan kepalanya.
"Aku sadar, Guru,"
sahut Waji singkat.
"Bagaimana semua ini bisa
terjadi, Waji? Coba ceritakan!" desak Gambala penasaran.
Pemuda berbadan lebar ini
tercenung sejenak. Baru beberapa saat kemudian mulai bercerita.
"Pagi tadi, aku, Adi
Jalasa dan Adi Rupangki berjalan ke hutan. Semula kami berniat berburu
binatang. Di tengah hutan, kami bertemu dengan seorang wanita cantik berpakaian
jingga. Tapi ternyata gadis itu menyimpan maksud kotor. Kami tidak meladeninya.
Akibatnya dia marah dan menyerang kami. Melalui suatu pertarungan sengit, kami
berhasil mengalahkan gadis itu. Sungguh di luar dugaan, kalau gadis itu
ternyata putri Kalapati. Tak lama kemudian, datuk itu muncul dan langsung
marah-marah melihat putrinya kami kalahkan. Susah payah aku memberi penjelasan,
tapi tetap saja datuk sesat itu tidak mau mengerti," ucap Waji bernada
keluhan.
"Hm.... Lalu?" selak
Gumarang cepat
"Akhirnya kami
bertarung," sambung pemuda berbadan lebar itu. "Tapi ternyata iblis
itu terlalu lihai, Guru. Tidak sampai sepuluh jurus, Adi Jalasa dan Adi
Rupangki tewas. Sementara aku diampuni Kalapati agar mengabarkan berita ini
pada Guru."
"Keparat..!"
Gumarang berteriak memaki. Wajahnya merah padam, menahan amarah yang bergelora.
Berlainan dengan Gumarang,
Gambala masih terlihat tenang. Walaupun begitu kening kakek bermata sayu ini
berkerut. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hatinya. Sikap adik seperguruannya
tidak digubrisnya sama sekali.
"Aneh...," gumam
Gambala. Sepasang mata kakek ini menerawang ke langit-langit ruangan.
"Apanya yang aneh, Kang
Gambala?" tanya Gumarang seraya menatap tajam wajah kakak seperguruannya.
"Kalapati," sahut
kakek bermata sayu ini setengah bergumam.
"Apa maksudmu, Kang? Aku
masih belum mengerti," desak Gumarang penasaran.
"Apakah kau tidak ingat
pada sumpahnya?" Gambala balik bertanya. Nadanya mengingatkan.
"Sejak dulu aku sama
sekali tidak percaya dengan sumpahnya!" tukas Gumarang tandas.
"Hm...," Gambala
hanya menggumam tidak jelas.
"Kau percaya dengan
sumpahnya, Kang?"
Gambala menganggukkan
kepalanya.
"Mengapa, Kang? Apa
alasanmu mempercayai ucapannya?" desak kakek berhidung besar itu
penasaran.
"Entahlah...," sahut
Ketua Perguruan Pedang Ular itu sambil mengangkat bahunya. "Tapi yang
jelas, aku melihat kesungguhan dalam suara dan sinar matanya."
"Aaah...! Kau terlalu
mengada-ada, Kang!" sergah Gumarang. "Kau lihat sendiri kenyataannya?
Dua orang murid kita dibantai! Dan bukan hanya itu saja, datuk itu sengaja
membebaskan Waji, untuk mempermalukan kita. Kalapati tidak memandang sebelah
mata pada kita, Kang. Ini penghinaan yang menyakitkan!"
"Hhh...!" Gambala
hanya menghela napas panjang sebagai jawabannya. Kelihatannya wajah kakek
bermata sayu ini tenang saja. Padahal, di dalam hatinya mulai bergolak api
kemarahan yang tersulut akibat ucapan Gumarang.
"Kalau menurut
pendapatku, sulit bagi seseorang untuk meninggalkan kebiasaannya. Mungkin benar
kalau semula Kalapati bermaksud meninggalkan kebiasaannya. Tapi, sampai berapa
lama dia mampu bertahan? Tapi setelah itu? Sudah pasti timbul keinginan untuk
kembali mengerjakan kebiasaannya. Dan ini sudah pasti. Aku yakin, Kang!"
sambung Gumarang berapi-api.
Gambala tercenung mendengar
penjelasan panjang lebar adik seperguruannya. Ketua Perguruan Pedang Ular ini
mulai termakan ucapan Gumarang. Dengan sendirinya, keyakinannya kalau Kalapati
telah meninggalkan dunianya, memudar.
"O ya, Guru. Masih ada
satu hal yang kulupakan," ucap Waji lagi.
"Apa itu, Waji?"
tanya Gambala ingin tahu.
Waji tidak segera menjawab,
pemuda berbadan lebar itu malah termenung. Tentu saja hal ini membuat Gambala
dan Gumarang agak bingung.
"Ada apa denganmu,
Waji?" tanya Gambala. Dahi kakek bermata sayu ini nampak berkernyit.
"Hhh...!" pemuda
berbadan lebar itu malah menghela napas dalam.
"Katakanlah, Waji. Tidak
perlu ragu-ragu," desak Gumarang pula.
"Guru tidak marah kalau
kukatakan hal yang sebenarnya?" tanya Waji ragu-ragu.
"Mengapa harus
marah?" sahut Gambala seraya tersenyum getir. "Katakanlah."
"Kalapati
mengungkit-ungkit pertolongannya dulu. Katanya tanpa pertolongannya, Guru dan
juga Perguruan Pedang Ular sudah musnah sejak dulu!"
Gumarang menggeram keras.
Sementara Gambala hanya berdiri mematung. Tapi dari mulut Ketua Perguruan
Pedang Ular ini terdengar suara gemeretak keras. Suatu bukti kalau kakek
bermata sayu ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Benar dia berkata
begitu?!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular ini menegaskan.
"Benar, Guru," sahut
Waji.
"Ini tidak bisa
dibiarkan, Kang," sahut Gumarang.
"Maksudmu bagaimana,
Adi?" tanya Gambala ingin tahu reaksi adik seperguruannya.
"Kita harus membalas
penghinaan ini, Kang!" tandas Gumarang tegas.
"Jadi...?"
"Kita harus menyerbu
tempat kediamannya!" tukas laki-laki berhidung besar itu.
"Tapi siapa yang tahu
kediamannya. Sepengetahuanku dia tinggal di Lereng Gunung Palanjar. Tapi aku
tidak tahu tempat pastinya."
"Aku tahu tempatnya,
Guru," sahut Waji cepat.
"Kau tahu?!" tanya
Gambala dengan dahi berkerut
Waji menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi, Kang?" sergah Gumarang. "Kita serbu saja tempat itu!"
"Baiklah. Kita ke sana
besok pagi!" tandas Gambala memutuskan.
***
Cicit suara burung menyambut
munculnya matahari pagi. Angin pagi yang sejuk bertiup lembut. Seorang pemuda
berpakaian ungu merentangkan kedua tangannya ke samping seraya menarik napas
dalam- dalam. Menghirup udara pagi yang segar sebanyak- banyaknya.
Pemuda berpakaian ungu itu
berbuat begitu sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali, angin pagi yang
bertiup agak keras membuat rambutnya yang berwama putih keperakan dan dibiarkan
meriap, berkibaran. Tapi pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Terus
saja dilangkahkan kakinya seraya merentangkan tangan lebar-lebar ke samping
sambil menarik napas dalam-dalam.
Mendadak pemuda berambut putih
keperakan itu menghentikan gerakannya. Dahinya berkernyit, ketika sepasang
matanya menangkap berkelebatnya beberapa sosok tubuh. Gerakan sosok-sosok itu
rata- rata gesit dan cepat. Hal inilah yang membuat pemuda itu tertarik
mengamatinya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu melayangkan pandangan ke arah sosok-sosok itu berkelebat.
Seketika itu juga sepasang matanya tertumbuk pada sebuah gunung yang menjulang
tinggi di kejauhan.Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu bimbang.
Antara mengikuti sosok-sosok bayangan itu atau membiarkannya saja. Tapi, sesaat
kemudian pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikutinya. Perasaan ingin tahu
yang besar, mendorongnya.
Terpaksa pemuda berpakaian
ungu itu mengerah- kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, begitu menyadari
kalau sosok-sosok bayangan yang ber- kelebat cepat menuju lereng gunung itu telah
berada jauh di depannya.
Ternyata pemuda berambut putih
keperakan itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti ketika jarak antara
dia dengan sosok-sosok bayangan tadi mampu diperpendeknya dalam waktu singkat.
Semakin lama jarak di antara
mereka semakin bertambah dekat. Dan seiring dengan semakin dekatnya jarak
antara mereka, pemuda berambut putih keperakan itu pun semakin bersikap
hati-hati. Dia tidak berani melakukan pengejaran secara terang-terangan. Tapi
secara sembunyi-sembunyi.
Tentu saja dengan semakin
dekatnya jarak mereka, pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihat jelas
sosok-sosok bayangan yang dikejarnya. Mereka berjumlah lima orang. Tiga di
antaranya berseragam kuning, sementara dua orang lainnya berseragam coklat.
Kelima sosok itu terus berlari
cepat mendaki Lereng Gunung Palanjar. Sesekali kaki mereka memijak batu-batuan
yang menonjol untuk melompat dari satu tempat ke tempat lainnya.
Berlari paling depan, yang
sepertinya sebagai penunjuk jalan, adalah seorang pemuda berbadan lebar. Pada
bagian dada sebelah kiri pakaiannya, tersulam gambar seekor ular melilit
sebatang pedang terhunus. Pemuda ini adalah Waji. Sementara dua orang yang
berlari di belakangnya adalah Ketua dan Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular.
Sementara di belakang kedua
pimpinan Perguruan Pedang Ular, berlari dua orang kakek berpakaian coklat.
Menilik sikap dan sorot mata mereka yang tajam berkilat, dapat diperkirakan
kalau keduanya bukanlah orang sembarangan.
Memang, dua orang kakek itu
adalah ketua dan wakil ketua dari sebuah perguruan silat yang tak kalah besar
dari Perguruan Pedang Ular. Kedua kakek itu adalah pemimpin Perguruan Golok
Maut .
Tak lama kemudian, Waji
menghentikan larinya ketika tiba di sebuah tempat yang luas.
"Itu si perempuan liar, Guru,"
desis Waji sambil menudingkan telunjuknya ke depan.
Sekitar sepuluh tombak dari
situ, memang terlihat jelas seorang gadis cantik jelita yang berpakaian jingga
tengah berlatih silat.
Bukan hanya Gambala saja yang
memperhatikan dari balik kerimbunan semak-semak, tapi juga Gumarang dan kedua
kakek pemimpin Perguruan Golok Maut .
"Ah...!" Gumarang
mendesah tertahan. "Bukankah itu ilmu 'Totokan Penghancur Tulang',
Kang?"
"Ya," sahut Gambala
seraya mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Perempuan itu adalah calon
iblis betina yang akan mengacaukan dunia persilatan," desis Gumarang.
Jelas ada nada kegentaran tersirat dalam suaranya.
"Hm...," Gambala
hanya bergumam tidak jelas. Sama sekali tidak disahuti ucapan adik
seperguruannya itu.
"Aku tidak ingin hal itu
terjadi, Kang!" tandas Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Maksudmu...?" tanya
Gambala seraya menoleh kan kepalanya. Ditatapnya wajah Gumarang penuh selidik.
Kakek bermata sayu ini belum begitu paham maksud perkataan adik seperguruannya
ini. Tapi sedikit banyak sudah bisa diraba maksudnya.
"Perempuan itu harus
dilenyapkan sebelum berhasil mewarisi seluruh ilmu ayahnya. Terutama sekali
ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' itu!"
Gambala tertegun sejenak.
Wajah kakek ini menyiratkan adanya pertentangan di dalam batinnya.
Sementara itu, kedua orang
pemimpin Perguruan Golok Maut, hanya diam membisu. Sepertinya mereka tidak
ingin mencampuri urusan Gambala. Kepergian mereka bersama orang-orang Perguruan
Pedang Ular adalah untuk membalas dendam pada Kalapati. Sama sekali bukan
dengan putrinya.
"Apa yang dikatakan Paman
Guru, tepat sekali Guru," selak Waji cepat, sebelum Gambala sempat
menjawab. "Memang kalau melihat kecantikannya kita tidak akan percaya
kalau wanita itu seorang iblis betina yang menjijikkan!"
Gambala mengerutkan alisnya.
"Apa maksud ucapanmu itu,
Waji?" tanya kakek bermata sayu itu. Nampak jelas terdengar ada nada
tuntutan di dalamnya.
Pemuda berbadan lebar itu
menundukkan kepalanya.
"Aku... aku malu
menerangkannya, Guru."
"Malu?!" sentak
Gumarang dengan alis berkerut
Waji menganggukkan kepalanya.
"Tidak perlu malu, Waji.
Kami adalah guru-gurumu. Katakanlah terus terang," desak Gambala lembut.
Waji menarik napas dalam-dalam
dan menghembus-kannya kuat-kuat. Sepertinya dia merasa berat untuk
mengatakannya.
"Perempuan itu...
perempuan cabul, Guru....
Dengan mempergunakan
kepandaiannya dia bisa memaksa setiap laki-laki memenuhi keinginan terkutuknya.
Dan...."
"Cukup...!" sentak
Gambala dengan wajah memerah.
Seketika Waji menghentikan
ucapannya.
"Bagaimana, Kang?"
tanya Gumarang. Kakek berhidung besar ini juga dilanda perasaan yang sama.
Kegeraman yang menggelora.
"Tidak ada jalan lain
lagi...," sahut Gambala pelan setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Jadi...?" tanya
Waji menghentikan kalimatnya. Sebuah senyum gembira menghias bibirnya.
"Yahhh...! Sebelum dia
menimbulkan banyak korban, dan sebelum dia sulit untuk ditaklukkan...."
"Katakan saja secara
langsung, Kang. Tidak usah berbelit-belit begitu!" selak Gumarang bernada
teguran.
"Tanpa kuucapkan secara
jelas pun, kau dan Waji pasti sudah mengerti, Gumarang," jawab Gambala
membela diri.
"Adi Jalasa..., Adi
Rupangki..., semoga arwah kalian tenteram di alam baka. Aku akan mempertaruhkan
nyawaku untuk membalaskan kematian kalian..," desah Waji. Nada suaranya
pelan tapi tajam, sehingga terdengar jelas oleh semua yang ada di situ.
Ucapan Waji yang mengingatkan
pada kematian Jalasa dan Rupangki, membuat kemarahan Gumarang dan Gambala
semakin bergolak.
"Mari kita
serbu...!" ajak Waji seraya melangkah keluar dari kerimbunan semak-semak.
Gambala dan Gumarang pun melangkah keluar. Tak lupa Gambala menarik tangan
Ketua Perguruan Golok Maut. Tapi secara halus uluran tangan itu ditolak.
"Maaf, kami hanya ingin
mencari Kalapati. Kami tidak berurusan dengan gadis itu," sahut Ketua
Perguruan Golok Maut itu halus.
Ketua perguruan ini adalah
seorang kakek berjenggot putih panjang sampai ke bawah dada.
"Ah, maaf...!" ucap
Gambala dengan sekujur wajah merona merah.
"Tidak apa-apa...,"
jawab Ketua Perguruan Golok Maut itu sambil tersenyum lebar.
"O..., Kalapati?"
selak Waji yang ingin buru-buru menyelesaikan urusannya. "Dia ada di dalam
sana...!"
Kedua orang pemimpin Perguruan
Golok Maut melayangkan pandangannya ke arah tudingan telunjuk Waji.
"Di dalam gua itu?"
tanya kakek berjenggot putih setelah melihat arah yang ditunjuk Waji.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Waktu itu dari situlah
kulihat dia keluar," ucap pemuda berbadan lebar lagi.
"Kalau begitu kami ke
sana dulu...!"
Setelah berkata demikian,
kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu melesat cepat menuju gua.
Gambala melayangkan
pandangannya ke arah gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih, kemudian
beralih pada adik seperguruannya dan Waji.
"Kau bantu Waji
menghadapi perempuan liar itu, Gumarang," ucap kakek bermata sayu ini
bernada perintah.
"Baik, Kang,"
Gumarang menganggukkan kepalanya.
Tapi Gambala tidak sempat
melihat anggukan Gumarang, karena sehabis mengucapkan kata-kata itu tubuhnya
sudah melesat menuju gua.
***
Karmila mengerutkan alisnya
yang berbentuk indah, begitu melihat dua sosok tubuh keluar dari rerimbunan
pohon. Gadis berpakaian jingga ini menatap penuh perhatian pada salah seorang
dari mereka.
Dan kemarahannya pun meluap,
begitu mengenali- nya. Orang itu adalah pemuda yang kemarin datang dan
memakinya dengan kata-kata yang tidak senonoh.
"Keparat..! Kau
lagi...!" geram Karmila begitu jarak antara dia dengan Waji yang datang
bersama Gumarang telah dekat
"Ya. Aku datang untuk
menghentikan semua per- buatan cabulmu! Juga membalas dendam atas kekejian kau
dan ayahmu pada adik-adik seper- guruanku!" teriak Waji keras seraya
meloloskan pedangnya.
Setelah berkata demikian, Waji
melompat menerjang. Pedangnya ditusukkan cepat ke leher Karmila.
Wunggg...!
Karmila hanya tersenyum sinis.
Kakinya segera dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuhnya. Tusukan
pedang Waji mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di sebelah kiri
pelipisnya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan gadis berpakaian jingga ini. Seraya
mengelak, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula
dibabatkan ke kaki lawannya.
Waji terperanjat kaget.
Tubuhnya yang saat itu tengah berada di udara, menyulitkannya untuk mengelak.
Serangan itu datang begitu tiba-tiba.
Menangkis mempergunakan
pedangnya, sudah tidak keburu lagi. Pucat wajah pemuda berbadan lebar ini
seketika. Rasa sakit hati pada gadis itu membuatnya kurang waspada. Padahal
sebelumnya dia sudah tahu kalau Karmila memiliki kepandaian di atasnya.
Untung saja pemuda berbadan
lebar ini menemukan jalan keluar. Segera dicabut sarung pedangnya, dan
dibabatkan menangkis sambaran pedang yang mengarah ke kakinya.
Trang...!
Terdengar suara berdentang
nyaring yang disusul dengan hancurnya sarung pedang Waji. Pedang Karmila adalah
sebatang pedang pusaka. Apalagi dibabatkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
jelas-jelas berada di atas tenaga dalam Waji. Sehingga tak mengherankan kalau
sarung pedang Waji hancur berantakan.
"Hih...!"
Dengan mengandalkan dorongan
tenaga benturan tadi, Waji melentingkan tubuhnya. Bersalto beberapa kali di
udara kemudian hinggap ringan tanpa suara di tanah.
"Hhh...!"
Pemuda berbadan lebar ini
menghela napas lega. Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya.
Tapi sorot matanya memancarkan kelega- an hati. Nyawanya berhasil diselamatkan.
Walaupun untuk itu, sarung pedangnya terpaksa hancur berantakan.
Karmila yang memang merasa
geram pada pemuda berbadan lebar di hadapannya ini, tak mau memberi kesempatan.
Baru saja Waji mendarat, gadis berpakaian jingga itu telah menyusulinya dengan
tusukan ke arah dada. Serangannya aneh
sekali, dan selalu membuat
Waji kebingungan.
Memang gadis berpakaian jingga
ini selalu membuka serangannya dengan terlebih dulu memutar pedangnya membentuk
lingkaran. Ter- kadang lingkaran yang dibuatnya besar. Tapi tak jarang pula
kecil. Baru setelah membuat lingkaran, pedangnya menyambar cepat. Entah itu
menusuk ataupun membabat.
"Ah...!"
Waji memekik kaget. Buru-buru
dibantingkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. Kembali serangan
Karmila mengenai tempat kosong.
"Hiyaaa...!"
Gadis berpakaian jingga itu
kembali memekik nyaring, seraya memburu tubuh Waji yang bergulingan. Pedangnya
ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda berbadan lebar itu.
Kini Waji kalap. Tidak ada
jalan lain baginya untuk mengelakkan serangan itu selain bergulingan. Tapi,
Karmila yang sudah berada dalam posisi mendesak, mana mau membiarkan lawannya
lolos. Tubuh yang bergulingan itu terus dikejarnya. Kini terjadilah sebuah
pertarungan yang menarik.
Yang seorang berusaha
menyarangkan pedangnya, sementara yang lain bergulingan mengelak.
Gumarang memperhartikan
pertarungan di depan matanya dengan alis berkerut. Dibiarkan saja Waji
menghadapi putri Kalapati itu. Baru setelah pemuda itu benar-benar terancam
bahaya maut, dia akan turun tangan. Walau bagaimana pun juga, Gumarang tidak
mau mempertaruhkan nama sebagai seorang tokoh angkatan tua, dan juga seorang
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular, dia merasa malu untuk turun tangan
menghadapi seorang gadis muda belia seperti Karmila.
***
Sementara itu, dua orang
pemimpin Perguruan Golok Maut telah mulai mendekati mulut gua. Sikap kedua
orang itu begitu berhati-hati sekali. Memang sebenarnyalah kalau kedua orang
itu amat berhati- hati sekali. Karena keduanya tahu siapa itu Kalapati.
Seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian amat tinggi.
Tapi belum lagi kedua kaki
mereka memasuki mulut gua, terdengar teguran halus dari dalam. Perlahan saja
kedengarannya. Tapi berakibat hebat bagi kedua tokoh Perguruan Golok Maut itu.
Tubuh keduanya sampai terjingkat ke belakang. Tanpa sadar mereka menahan
langkah.
"Apa yang kalian
cari?"
Dan belum juga hilang gema
teguran itu, tahu-tahu melesat sesosok bayangan yang bergerak cepat keluar gua.
Dua orang pemimpin Perguruan Golok Maut itu tentu saja terkejut bukan main.
Segera keduanya melentingkan tubuhnya ke belakang. Lalu bersalto beberapa kali
di udara. Dan....
"Hup...!"
Hampir bersamaan kedua kakek
sakti itu men- daratkan kakinya di tanah. Dan langsung memandang ke depan.
Sikap kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu nampak waspada.
Di hadapan mereka kini telah
berdiri seorang kakek berwajah bengis berpakaian kulit ular. Tubuhnya tinggi
dan kekar.
"Kalapati...," desis
kakek berjenggot panjang. Kakek ini tak lain adalah Ketua Perguruan Golok Maut
.
"Hm..., kalian rupanya!
Bukankah kalian dari Perguruan Golok Maut?" tanya Kalapati begitu
mengenali kedua kakek ini. Nada suaranya terdengar tenang. Begitu pula raut
wajahnya. Tidak seperti kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut yang terlihat
tegang.
"Tidak salah!" sahut
kakek yang bermuka putih seperti dikapur. Inilah Wakil Ketua Perguruan Golok
Maut.
"Boleh kutahu maksud
kalian datang kemari?" tanya Kalapati, masih terdengar lembut suaranya.
"Tidak usah berpura-pura
bodoh, Kalapati!" sentak kakek berjenggot panjang.
"Apa maksud kalian?"
sepasang mata kakek berpakaian kulit ular mulai berkilat. Jelas kalau kakek ini
tengah dilanda amarah.
Ucapan Ketua Perguruan Golok
Maut itulah yang menyebabkannya.
"Kami datang untuk
membalas dendam atas penghinaanmu pada Perguruan Golok Maut!" sahut kakek
berjenggot panjang.
"Aneh...," sahut
Kalapati sambil tersenyum mengejek. "Bukankah aku telah meminta maaf pada
ketua kalian, si Golok Emas? Dan dia telah memaafkanku dan menganggap habis
persoalan. Kalian pun telah mengetahuinya. Mengapa kini diperpanjang
kembali?"
"Tidak perlu banyak
basa-basi, Kalapati. Orang seperti kau tidak layak dibiarkan hidup. Kakak
seperguruanku dulu memang pengecut, sehingga menganggap selesai masalah ini.
Tapi aku tidak! Aku akan tetap mempermasalahkan hal ini sampai tuntas!
Bagaimana pun juga penghinaanmu atas Perguruan Golok Maut harus ditebus!"
sahut kakek jenggot panjang tegas.
"Dan kau akan dihukum
oleh kakak seper- guruanmu atas kelancangan melanggar keputusan- nya,"
ejek Kalapati yang sejak tadi sudah merasa tidak senang melihat sikap kedua
orang pimpinan Perguruan Golok Maut itu.
"Ha ha ha...!" kakek
jenggot panjang itu tertawa bergelak. "Kau lihat ini, Kalapati?!"
Setelah berkata demikian,
kakek itu lalu meng- hunus golok yang sejak tadi tergantung di pinggangnya.
Srat.. !
Seketika secercah sinar
kekuningan berpendar, ketika kakek berjenggot panjang itu menghunus goloknya
tinggi-tinggi.
"Golok Emas...,"
desis Kalapati setengah tak percaya. Kekagetan membayang jelas di wajahnya.
Memang kakek berwajah bengis ini terkejut bukan main tatkala melihat kakek
berjenggot panjang itu membawa golok emas. Kalapati tahu betul aturan Perguruan
Golok Maut.
Sepengetahuannya sang Ketua
mempunyai senjata sebatang golok emas, sedangkan untuk wakil ketua adalah
sebatang golok perak. Tapi mengapa golok emas dipegang oleh kakek jenggot
panjang ini? Kalapati bertanya dalam hati.
"Ya, golok emas. Kau
kaget, Kalapati?!" tanya kakek berjenggot panjang bernada mengejek.
"Jadi, kau..."
"Ya. Akulah Ketua
Perguruan Golok Maut. Tidak lagi si tua bangka pengecut itu! Aku telah
menantangnya bertarung memperebutkan golok emas. Dan dia berhasil
kukalahkan!"
"Hhh...!"
Suara helaan napas berat
terdengar dari mulut Kalapati. Kakek berwajah bengis ini menyadari kalau
keributan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Padahal dia sudah bersumpah untuk
tidak membunuh lagi. Hal ini tentu saja membuatnya mengeluh dalam hati.
Mendadak raut wajah Kalapati
berubah. Pen- dengarannya yang tajam mendengar suara-suara teriakan melengking
di kejauhan. Kakek ini kenal betul suara itu. Suara putrinya! Dan seketika itu
juga rasa khawatir yang amat sangat mencekam hatinya.
Dan kekhawatirannya bertambah
besar, begitu dilihatnya sesosok tubuh bergerak cepat ke arahnya. Sekali lihat
saja, Kalapati telah mengenal orang yang datang itu.
"Gambala.... Ada masalah
apa lagi kakek itu kemari?" desah kakek berpakaian kulit ular itu dalam
hati.
Sesaat kemudian, Ketua
Perguruan Pedang Ular telah berada di sebelah kedua pemimpin Perguruan Golok
Maut. Kalapati menatap tajam wajah Gambala. Tapi kakek bermata sayu itu balas
menatap tak kalah tajam.
Belum sempat kakek berwajah
bengis ini berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas telah lebih dulu menerjang.
Golok berwama kuning keemasan di tangannya berkelebatan cepat, membabat ke arah
leher.
"Hih...!"
Kalapati memekik nyaring. Tapi
sebelum serangan golok itu tiba, tubuhnya sudah melompat cepat ke depan. Sama
sekali tidak ditanggapinya serangan si Golok Emas. Yang ada dalam benaknya saat
ini adalah keinginan untuk menyelamatkan Karmila.
Memang, setelah melihat
kehadiran Gambala, kekhawatiran Kalapati kian menggelegak. Kakek berpakaian
kulit ular ini tahu, bila ada Gambala, sudah dapat dipastikan Gumarang pun ada.
Dan tidak adanya kakek
berhidung besar itu di sini, sudah dapat dipastikan kalau Gumarang berhadapan
dengan putrinya. Hal inilah yang dikhawatirkan Kalapati. Dia tahu pasti kalau
saat ini Karmila masih bukan tandingan Gumarang.
Tapi si Golok Perak tidak
tinggal diam. Begitu dilihatnya kakek berpakaian kulit ular itu melompat ke
depan, segera saja kedua tangannya dihantamkan ke arah kepala lawannya.
Wuttt..!
Angin keras berkesiur sebelum
pukulan Golok Perak tiba. Tapi Kalapati tidak menjadi gugup walaupun saat itu
tubuhnya berada di udara. Dan merupakan suatu hal yang muskil untuk dapat
mengelak dari serangan yang datang begitu tiba-tiba, sementara posisinya berada
dalam keadaan tidak memungkinkan, terpaksa diputuskan untuk menangkis serangan
itu.
Buru-buru kedua tangannya
dijulurkan memapak serangan yang menyambar ke arahnya. Rasa cemas akan
keselamatan Karmila, memaksa kakek ini harus mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Wuttt..!
Plak...!
Akibatnya hebat! Tubuh Wakil
Ketua Perguruan Golok Maut terjengkang ke belakang bagai diseruduk kerbau.
Kedua tangannya dirasakan ngilu. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.
Sementara Kalapati hanya
terlihat bergetar saja tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis, dia
bersalto di udara. Dan secepat kakek bermuka bengis itu hinggap di tanah,
secepat itu pula melesat kabur dari situ tanpa mampu dicegah. Semua kejadian
itu berlangsung begitu cepat, sehingga lawan-lawannya tidak sempat menyadari.
"Kejar...!" teriak
si Golok Emas seraya melesat mengejar Kalapati yang telah lebih dulu melesat
dari situ. Bukan hanya kakek itu saja yang bergerak mengejar, tapi juga adik
seperguruannya dan Gambala.
Kalapati mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat cepat menuju arah
asal jeritan putrinya.
Berkat ketinggian ilmu
meringankan tubuhnya, sebentar saja Kalapati telah berada dekat tempat Karmila
tengah sibuk bertempur. Lega hati kakek berpakaian kulit ular ini, melihat
putrinya masih selamat. Bahkan tengah mendesak lawannya.
Kalapati menghentikan larinya
sekitar beberapa tombak dari tempat pertarungan. Dilihatnya Karmila tengah
melancarkan serangan bertubi-tubi pada seorang pemuda berpakaian kuning, yang
terus- menerus bergulingan di tanah. Sementara tak jauh dari situ, seorang
kakek berpakaian kuning berdiri tegak memperhatikan pertarungan. Kalapati
mengenali kakek itu sebagai Gumarang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Karmila berteriak
nyaring. Tubuhnya melenting memotong alur gulingan tubuh Waji, seraya
menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah pemuda berbadan lebar itu.
Crat.. !
"Akh...!"
Waji memekik tertahan ketika
ujung pedang Karmila menggores pangkal lengannya. Seketika itu juga darah
mengalir dari luka yang tergores. Belum sempat Waji berbuat sesuatu, serangan
pedang Karmila kembali menyambar.
Kini Gumarang tidak bisa
tinggal diam lagi. Secepat kilat tubuhnya melesat ke depan. Seuntai tasbih yang
biji-bijinya terbuat dari baja, diayunkan memapak serangan yang mengancam nyawa
muridnya.
Cringgg...!
Bunga api berpijar begitu
pedang dan tasbih itu beradu. Seketika Karmila memekik tertahan. Sekujur
tangannya yang menggenggam pedang dirasakan lumpuh. Hampir saja pedang itu
lepas dari genggamannya.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Tasbih di tangannya
disabetkan ke arah kepala Karmila.
Wuttt..!
Serangan tasbih itu menyambar
tempat kosong begitu gadis berpakaian jingga itu menundukkan kepalanya. Sekujur
rambut dan pakaian gadis itu berkibar keras begitu tasbih itu lewat di atas
kepalanya.
Gumarang tertawa terkekeh
seraya melayangkan kakinya ke arah perut Karmila.
Wuttt..!
"Hih...!"
Karmila melempar tubuhnya ke
belakang, dan bersalto beberapa kali di udara. Kedua belah kakinya mendarat
ringan, beberapa tombak dari tempat semula.
Gumarang sudah bertekad untuk
membinasakan Karmila. Maka begitu dilihatnya gadis berpakaian jingga itu
melempar tubuh ke belakang, segera melompat memburu.
Tapi niatnya terpaksa
diurungkan, begitu dilihatnya sesosok bayangan berkelebat cepat memotong
lompatannya. Segera tubuhnya dilempar ke samping, melakukan lompatan harimau.
"Hup...!"
***
Gumarang mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Sepasang matanya menatap tajam ke depan, ke arah orang yang
tadi memotong laju lompatannya. Dan seketika itu juga wajahnya memucat
"Kalapati...," desis
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular. Ada nada kegentaran dalam suaranya. Tapi
begitu sudut matanya melihat tiga sosok bayangan yang bergerak cepat ke
arahnya, hari kakek berhidung besar ini kembali tegar.
Kalapati sama sekali tidak
mempedulikan keterkejutan Gumarang. Dengan langkah tenang, dan tanpa
mempedulikan keberadaan kakek berhidung besar, kakinya dilangkahkan menghampiri
Karmila.
"Kau tidak apa-apa,
Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil merayapi sekujur
wajah dan tubuh Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu
menggelengkan kepalanya.
"Syukurlah...," ucap
Kalapati setengah mendesah. Pandang matanya yang tajam melihat kebenaran ucapan
putrinya.
"Terimalah kematianmu,
Kalapati...!" Terdengar suara bentakan nyaring, disusul dengan
berkelebatnya seleret sinar keemasan ke arah leher kakek berwajah bengis itu.
"Hm...,"
Kalapati bergumam tidak jelas.
Segera tubuhnya direndahkan sehingga sambaran sinar keemasan yang tak lain dari
golok emas Ketua Perguruan Golok Maut lewat di atas kepalanya.Dan sebelum
Kalapati memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu seleret sinar keperakan telah
meluruk deras ke arah perutnya. Kakek berpakaian kulit ular ini tidak menjadi
kaget melihat serangan ini. Dia tahu siapa penyerangnya kali ini. Siapa lagi
kalau bukan Wakil Ketua Perguruan Golok Maut.
Kalapati segera melangkahkan
kakinya ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Tepat
sejengkal di depan perutnya.
Baru saja lolos dari serangan
si Golok Perak, serangan pedang Gambala meluncur tiba. Pedangnya mengaung
dahsyat mengancam berbagai bagian tubuh Kalapati.
Luar biasa! Walaupun berada
dalam keadaan terjepit, kakek berpakaian kulit ular itu masih mampu untuk
mengelak. Tubuhnya dilempar ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara,
kemudian hinggap beberapa tombak dari tempatnya semula.
"Hm...," Kalapati
bergumam tidak jelas. "Rupanya kalian memang berniat
menyingkirkanku!"
"Tidak usah banyak
basa-basi, Kalapati!" sergah si Golok Emas keras. "Penghinaan belasan
tahun yang lalu harus kau tebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian,
Ketua Perguruan Golok Maut ini melompat menerjang. Dan dari atas, goloknya
dibabatkan cepat ke arah leher Kalapati.
Belum juga serangan si Golok
Emas tiba, adik seperguruannya pun meluruk menyerbu. Golok peraknya berputar
cepat di depan dada, sebelum akhirnya ditusukkan ke perut kakek berpakaian
kulit ular itu.
Sedangkan Gambala menahan
diri. Dia tidak mau mencampuri dulu. Dibiarkan saja kedua pemimpin Perguruan
Golok Maut itu menghadapi Kalapati.
Kalapati kali ini harus
berhadapan dengan lawan- lawan yang amat tangguh. Meskipun begitu kematian
bukanlah merupakan sesuatu yang menakutkan bagi datuk ini. Tapi, bagaimana
dengan Karmila kalau dia tewas? Kalapati tidak sampai hati membiarkan putrinya
hidup sendirian menghadapi kerasnya dunia persilatan. Karmila masih membutuhkan
bimbingannya.
Kekhawatiran akan keselamatan
putrinya itulah, yang menyebabkan Kalapati memutuskan untuk me- lakukan perlawanan
mati-matian.
Mau tidak mau terpaksa
melanggar sumpahnya yang akan menjauhkan diri dari kekerasan. Tanpa ragu-ragu
lagi kakek berpakaian kulit ular ini mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu
'Totokan Penghancur Tulang'.
Wuttt..!
Serangan si Golok Emas lewat
tidak sampai setengah jengkal di atas kepalanya, begitu bekas datuk sesat ini
memiringkan kepalanya. Dari rambut di kepalanya yang berkibaran keras dapat
diper- kirakan kekuatan tenaga dalam yang tersimpan dalam babatan golok itu.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Kalapati. Begitu golok itu lewat di atas kepalanya, tangan
kanannya melakukan totokan ke arah sikut si Golok Emas. Berbareng dengan itu
tangan kirinya menangkis tusukan golok perak yang menusuk perutnya. Luar biasa!
Bekas datuk sesat ini menangkis serangan itu hanya dengan jari telunjuknya.
"Akh...!"
Si Golok Emas memekik kaget
tatkala melihat totokan jari telunjuk lawan. Ketua Perguruan Golok Maut ini
tahu betul keampuhan jari Kalapati.
Jangankan tubuh manusia yang
terdiri dari daging dan tulang, batu karang yang paling keras pun dapat tembus
terkena totokan jari telunjuk kakek berwajah beringas itu. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, tangannya segera ditarik pulang. Tinggg...!
"Akh...!"
Si Golok Perak memekik
tertahan ketika jari telunjuk Kalapati membentur golok pusakanya. Serangannya
kontan menyimpang dari sasaran. Lewat di samping kiri tubuh bekas datuk sesat
itu. Sedangkan tangan yang memegang golok tergetar hebat.
Dari sini saja Wakil Ketua
Perguruan Golok Maut ini dapat mengukur tingginya kekuatan tenaga dalam lawan.
Betapa tidak?
Meskipun hanya dengan sebuah
jari saja, serangan itu mampu membuat sekujur tangannya tergetar hebat.
Tapi kenyataan itu tidak
berarti membuat kedua tokoh terlihai Perguruan Golok Maut ini gentar. Bahkan
sebaliknya, kedua orang itu menyerang semakin dahsyat. Dua batang golok di
tangan mereka pun kembali menyambar bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh
Kalapati.
Tapi ternyata tingkat
kepandaian kakek berpakaian kulit ular ini jauh di atas gabungan kepandaian
kedua tokoh utama Perguruan Golok Maut. Betapapun kedua orang ini mengerahkan
segenap kemampuan, tetap saja tak mampu men- desak Kalapati. Kakek berwajah
beringas ini mampu mematahkan semua serangan mereka, dan bahkan balas menyerang
tak kalah dahsyat.
Pertarungan antara tokoh-tokoh
sakti ini ber- langsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat, puluhan jurus
telah berlalu. Tapi selama itu tidak nampak tanda-tanda siapa yang akan
terdesak. Pertarungan masih berjalan imbang.
Melihat hal ini, Gambala
menjadi tidak sabar. Setelah mengamati pertarungan itu, segera saja kakek ini
tahu kalau kedua pemimpin Perguruan Golok Maut tidak akan mampu mengalahkan
Kalapati. Bahkan bukan tidak mungkin keduanya dirobohkan bekas datuk sesat itu.
Dan bila mereka keburu roboh, dia dan adik seperguruannya pun tidak akan mampu
mengatasi Kalapati. Maka sebelum hal yang ditakutkannya itu terjadi, Ketua
Perguruan Pedang Ular ini memutuskan untuk membantu si Golok Emas dan si Golok
Perak.
"Aku pun mempunyai
perhitungan denganmu, Kalapati!" teriak Gambala keras seraya memasuki
kancah pertempuran. Pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung keras begitu kakek
bermata sayu ini mulai membuka jurus-jurusnya.
Dan begitu masuk dalam arena
pertarungan, Gambala langsung saja menghujani Kalapati dengan serangan-serangan
maut .
"Hm...!"
Kalapati hanya mendengus
seraya menggerakkan tubuh, mengelak serangan-serangan yang dilancarkan Gambala.
Kini dengan ikut terjunnya Ketua Perguruan Pedang Ular, posisi lawan-lawan
Kalapati jadi semakin kuat, sehingga tekanan- tekanan yang datang ke arahnya
pun semakin berat.
Hebat bukan main pertarungan
antara keempat tokoh sakti itu. Deru angin mengaung, mendesing, dan mencicit
menyemarakkan pertarungan itu. Tanah-tanah terbongkar di sana-sini. Cabang-cabang
pohon, berpatahan tersambar angin serangan nyasar. Debu pun mengepul tinggi ke
angkasa.
****
Gumarang tertawa senang dalam
hati setelah memperhatikan jalannya pertarungan. Laki-laki berhidung besar ini
sudah bisa memperkirakan kalau Kalapati akan mati kutu. Maka kini dialihkan
perhatiannya pada putri bekas datuk sesat itu.
Begitu melihat kakek berhidung
besar itu menoleh ke arahnya, Karmila tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Segera saja gadis berpakaian jingga ini meluruk menyerang Gumarang. Pedangnya
diputar cepat di atas kepala sebelum akhirnya ditusukkan ke ulu hati Wakil
Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring
mengawali tibanya serangan pedang gadis berpakaian jingga itu. Tapi Gumarang
hanya tertawa terkekeh. Dengan sikap memandang rendah, kakinya dilangkahkan ke
kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri pinggangnya.
Berbareng dengan elakan itu,
tasbihnya diayunkan ke pelipis Karmila. Sengaja kakek berhidung besar ini
menggunakan tasbih, karena malu melawan seorang gadis muda dengan senjata
andalan.
Wuttt..!
Karmila cepat menundukkan
tubuhnya, sehingga serangan itu lewat sekitar satu jengkal di atas kepalanya.
Sembari merunduk, tak lupa dikirimkan serangan ke arah leher Gumarang dengan babatan
pedang miring ke atas.
Singgg...!
"Heh...?!"
Gumarang terperanjat. Serangan
yang dilakukan gadis berpakaian jingga sambil mengelakkan serangannya itu
benar-benar mengejutkan. Tidak ada jalan lain baginya kecuali melempar tubuh ke
depan dan bergulingan di tanah.
Sesaat kemudian Gumarang
bangkit dengan wajah memerah karena marah dan malu. Tapi sesungguh- nya rasa
malulah yang lebih besar! Dia adalah wakil ketua perguruan aliran putih
terbesar saat ini. Dan tadi hampir saja kehilangan nyawa di tangan gadis belia
yang sama sekali tidak terkenal. Betapa memalukan kalau hal ini diketahui oleh
tokoh-tokoh persilatan lain.
Kini kakek berhidung besar ini
tidak lagi berani bersikap memandang rendah. Pengalaman yang baru saja dialami,
membuatnya sadar akan ketangguhan gadis berpakaian jingga itu. Sekarang
Gumarang bersiap-siap mengerahkan seluruh kemampuannya.
Karmila yang mengetahui
keterkejutan lawan, telah melompat menyerang kembali. Sesaat kemudian, keduanya
sudah terlibat dalam pertarungan sengit
***
Sementara itu di cabang pohon
beringin, seorang pemuda berambut putih keperakan memperhatikan jalannya kedua
pertarungan dengan alis berkerut. Sepasang matanya menatap penuh perhatian pada
kedua pertarungan itu berganti-ganti.
Kepala pemuda berambut putih
keperakan itu menggeleng-geleng setiap kali melihat pertarungan Kalapati.
Mulutnya berdecak pelan, penuh ke- kaguman pada Kalapati yang mampu menghadapi
ketiga lawannya dengan penuh ketenangan. Padahal, sekali lihat saja, pemuda
berambut putih keperakan itu mengetahui kalau ketiga lawan bekas datuk sesat
itu berkepandaian tinggi.
Betapapun lihainya Kalapati,
tapi karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak, perlahan namun pasti dia
mulai terdesak. Kalau saja hanya menghadapi dua orang, mungkin kakek berpakaian
kulit ular ini mampu mendesak. Bahkan mengalah- kannya! .
Memasuki jurus kelima puluh,
keadaan bekas datuk sesat ini kian mengkhawatirkan. Tapi meskipun begitu,
dengan kedahsyatan ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', Kalapati masih mampu
bertahan. Beberapa kali lawan-lawannya mengeluarkan seruan kaget, setiap kali
ujung jari tangan bekas datuk sesat ini menangkis senjata mereka.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan
tertahan dari seorang perempuan. Jantung Kalapati bagai hendak me- lompat dari
rongga dadanya begitu mendengar jeritan itu. Dikenalinya betul siapa pemilik
suara itu. Karmila, putri kesayangannya. Perasaan cemas yang amat sangat
melanda kakek berwajah beringas ini. Sambil terus mengelak dari hujan serangan
lawan, sudut matanya melirik ke arah tempat putrinya bertarung.
Rupanya pedang Karmila
terlilit tasbih Gumarang. Dan hal inilah yang menyebabkan gadis itu memekik
tertahan.
"Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedangnya. Tapi Gumarang
mempertahankannya. Kakek berhidung besar ini pun mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mempertahankan belitan tasbihnya. Sesaat lamanya terjadi adu tenaga dalam
yang menegangkan.
Mendadak, Gumarang melepaskan
belitan tasbih- nya. Dan tak pelak lagi tubuh Karmila terjengkang ke belakang.
Terbawa tarikan tenaganya sendiri.
Di saat itulah, Gumarang
melompat memburu. Tasbihnya disabetkan keras ke arah kepala Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu
terkejut bukan main. Sebisa-bisanya sabetan tasbih itu ditangkis dengan
pedangnya.
Cringgg...!
Suara berdenting nyaring
terdengar begitu tasbih beradu dengan pedang. Saking kerasnya benturan,
bunga-bunga api memercik ke udara. Pedang Karmila kontan terlempar jauh. Memang
posisi kuda-kuda gadis itu tidak memungkinkan untuk mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Tapi serangan Gumarang tidak
hanya sampai di situ saja. Dengan sebuah tamparan dahsyat, tangan kirinya
menyambar ke arah pelipis Karmila.
Kali ini tidak ada ampun lagi
bagi Karmila. Tubuhnya yang masih terhuyung ke belakang, dan tangannya yang
masih terasa lumpuh, membuatnya pasrah saja pada serangan yang mengancam
pelipisnya.
"Karmila...!" teriak
Kalapati kalap begitu melihat bahaya maut mengancam keselamatan nyawa putrinya.
Bekas datuk sesat ini menggeram murka. Tanpa mempedulikan keselamatannya
sendiri, kakek ini menerobos kepungan. Tak dihiraukannya tiga buah sergapan
lawan yang tengah meluncur ke arahnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan
yang menggetarkan jantung, Kalapati memotong arah lompatan Gumarang. Kedua jari
telunjuknya bergerak cepat melakukan tangkisan dan sekaligus serangan pada
Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Kakek berpakaian kulit ular ini sama
sekali tidak peduli kalau di belakangnya ada tiga sosok yang melompat
mengejarnya sambil melancarkan serangan.
Singgg! Singgg! Wunggg...!
Plak, crot..!
"Aaakh...!"
Gumarang memekik melengking
panjang. Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Memang gerakan Kalapati cepat
bukan main.
Berbarengan dengan telunjuk
kanannya yang menangkis tamparan Gumarang, telunjuk kirinya menusuk deras ke
arah pelipis. Tak pelak lagi, tubuh kakek berhidung besar itu roboh dengan
pelipis bolong! Darah segar mengalir keluar. Sesaat lamanya Gumarang
menggelepar- gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Bersamaan dengan robohnya
tubuh Gumarang, serangan dari ketiga orang lawan Kalapati pun telah menyambar
tiba. Namun tubuh kakek berpakaian kulit ular ini masih berada di udara. Dengan
sebisa- bisanya Kalapati berusaha mengelak. Tapi....
Cappp! Sret! Cras... !
"Aaakh...!"
Kalapati memekik nyaring.
Walaupun telah menghindar, tetap saja tiga serangan itu mengenai tubuhnya.
Namun berkat kelihaiannya, tidak ada satu pun serangan itu yang mengenai bagian
yang mematikan. Yang telak mengenainya hanya tusukan pedang Gambala. Itu pun
hanya mengenai bagian atas punggung kanan. Sedangkan dua buah sabetan golok
pimpinan Perguruan Golok Maut hanya menyerempet pinggangnya.
"Hup...!"
Meskipun agak limbung,
Kalapati berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah. Darah segar mengalir dari
luka-lukanya. Terutama sekali dari luka di punggung kanan.
"Ayah...!" teriak
Karmila seraya menghambur ke arah ayahnya. Dari sepasang mata yang bening itu
mengalir deras butiran-butiran air bening. Karmila menangis, walaupun tanpa
adanya isak dari mulutnya. Hati gadis berpakaian jingga ini memang dilanda rasa
cemas yang amat sangat. Disadari kalau ayahnya mempertaruhkan nyawa karena
hendak menyelamatkan nyawanya. Segumpal perasaan ber- salah menggayuti hati
Karmila. Apalagi tatkala teringat kalau selama ini dia selalu merepotkan
ayahnya.
"Karmila...! Kau larilah
cepat..! Selamatkan dirimu! Biar Ayah yang akan menahan mereka!"
Mendengar seruan ayahnya, air
mata yang keluar dari sepasang mata bening itu semakin deras. Keharuan yang
amat sangat mendera hati Karmila. Dadanya serasa sesak menahan rasa haru yang
melanda. Tapi gadis berpakaian jingga ini menguat- kan hati. Bibirnya digigit
menahan isak tangis yang akan meledak.
"Tidak, Ayah," sahut
Karmila dengan suara serak mengandung isak. "Biar bagaimanapun aku tidak
akan meninggalkan Ayah. Biarlah kita mati bersama .......... "
Kalapati tidak sempat
menyahuti ucapan putrinya karena serangan susulan lawan telah meluncur tiba. Si
Golok Emas dan si Golok Perak berbareng menerjang. Golok emas dan perak
pimpinan Perguruan Golok Maut berkelebat cepat mencari sasaran.
Kembali Kalapati harus
berjuang keras menghadapi dua lawannya. Tapi kali ini, perlawanan yang
dilakukan bekas datuk sesat ini tidak sehebat sebelumnya. Sungguhpun
luka-lukanya tidak terlalu parah, sedikit banyak telah mengurangi kegesitannya.
"Keparat!" terdengar
suara teriakan keras. Ternyata makian itu berasal dari mulut Gambala. Memang
sehabis menyarangkan serangannya, kakek bermata sayu ini segera menghambur ke
arah tubuh Gumarang yang tergolek di tanah. Waji yang sejak tadi hanya menonton
pertarungan, ikut berlari mem- buru dan kemudian duduk bersimpuh di samping
tubuh paman gurunya.
Dapat dibayangkan betapa
marahnya hati Gambala tatkala mengetahui adik seperguruannya telah tewas.
Terdengar suara berkerotokan keras dari sekujur tulang-tulangnya ketika Ketua
Perguruan Pedang Ular ini perlahan-lahan bangkit. Sepasang matanya merah
berapi-api, menatap Kalapati penuh dendam.
"Paman Guru...,"
panggil Waji bernada desahan. Kesedihan dan dendam terbayang di wajahnya.
"Kalapati! Kau harus
memhayar hutang nyawa adik seperguruanku!"
Setelah berkata demikian,
Gambala menerjang Kalapati yang masih sibuk menghadapi dua orang lawannya.
Pedang di tangannya berkelebat, me- nimbulkan suara mengaung keras. Sementara
Waji masih belum bangkit dari jongkoknya. Pemuda berbadan lebar ini masih
terpaku menatap mayat paman gurunya.
Kalapati terkejut bukan main.
Saat tusukan pedang Gambala datang menyambar, dia baru saja menangkis dua
serangan lawannya. Karuan saja hal ini membuat bekas datuk sesat ini jadi agak
gugup. Serangan Gambala begitu cepat dan tiba-tiba.
Tapi di saat gawat bagi
keselamatan nyawa Kalapati, berkelebat sesosok bayangan jingga memapak tusukan
itu. Kalapati terkejut bukan main melihat hal ini. Walaupun tidak melihat
jelas, sekelebatan saja bekas datuk sesat itu dapat mengetahui siapa sosok
bayangan itu. Siapa lagi kalau bukan Karmila, putrinya!
"Karmila...!
Jangan...!" teriak kakek berwajah bengis ini keras.
Tapi terlambat! Tubuh Karmila
telah meluncur cepat, memapak tusukan pedang Gambala dengan babatan pedangnya.
Trang...!
"Akh...!"
Karmila memekik tertahan
begitu pedangnya membentur pedang Gambala. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh.
Bahkan saking kerasnya benturan, pedangnya sampai terlepas dari genggaman.
Dan sebelum gadis itu sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kakek bermata sayu itu telah mengibas ke arah
dadanya. Dengan susah payah Karmila mencoba mengelak. Tapi....
Plak...!
"Akh...!"
Kembali Karmila memekik tertahan
ketika kibasan tangan Ketua Perguruan Pedang Ular itu menyerempet pangkal
lengannya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang. Untunglah di saat-
saat terakhir, gadis ini masih mampu mengelak. Kalau tidak, mungkin gadis
berpakaian jingga ini sudah tewas dengan seisi dada remuk.
"Karmila...!" teriak
Kalapati begitu melihat putrinya terlempar ke belakang. Datuk ini mencoba meng-
hambur ke arah gadis itu, tapi kedua lawannya tidak memberikan kesempatan.
Kakek berwajah beringas ini terus dipaksa harus berjuang keras menghadapi
cecaran kedua orang lawannya.
"Kalau terjadi apa-apa
dengan putriku, kalian semua kucincang...!" desis kakek berpakaian kulit
ular itu tajam. Nada suaranya penuh ancaman. Membuat bulu tengkuk yang
mendengarnya meremang.
Gambala yang tengah diamuk
dendam, melampiaskannya pada Karmila. Gadis binal ini harus dibinasakan dulu,
pikirnya. Paling tidak, kematian gadis ini akan memecah perhatian Kalapati.
Apalagi gadis itu baru saja menggagalkan serangannya pada Kalapati.
Setelah memutuskan demikian,
Gambala mem- buru tubuh Karmila yang masih terbawa tenaga kibasan kakek bermata
sayu ini. Pedangnya dibabatkan ke arah leher gadis berpakaian jingga itu.
Dalam kemarahan yang
menggelegak, Gambala lupa kalau lawannya hanyalah seorang gadis belia yang
memiliki tingkat kepandaian di bawahnya. Apabila tanpa menggunakan pedang pun,
sebenarnya gadis itu bisa dikalahkannya. Apalagi kini dia menggunakan pedang.
"Karmila...!"
Kalapati menjerit tatkala
melihat bahaya maut mengancam keselamatan putrinya. Sementara dia tidak berdaya
menolong, karena kedua lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan. Akibatnya
perhatian datuk ini terpecah.
Dan kesempatan ini tidak
disia-siakan dua orang lawannya. Segera mereka memperhebat serangan
serangannya. Dan...
Cappp... !
"Akh...!"
Kalapati memekik keras ketika
senjata si Golok Perak menembus perutnya. Seketika itu juga darah segar
bermuncratan dari perut yang terkoyak lebar.
Tapi daya tahan Kalapati patut
dipuji. Meskipun perutnya telah tertembus golok, dia masih tetap tangguh. Cepat
laksana kilat, tangan kiri datuk ini menangkap tangan si Golok Perak. Dan
secepat itu pula membetotnya. Berbareng dengan itu, telunjuk kirinya meluncur
deras ke arah ubun-ubun orang kedua Perguruan Golok Maut.
Wuttt...! Crot..!
"Aaakh...!"
Si Golok Perak menjerit
memilukan. Ubun-ubunnya bolong tertembus jari telunjuk Kalapati. Seketika itu
juga tubuhnya roboh. Menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya roboh tak
berkutik lagi.
Si Golok Emas terpaku melihat
kematian adik seperguruannya. Tapi Kalapati sama sekali tidak peduli. Bergegas
dia menoleh ke arah putrinya. Legalah hatinya ketika melihat Karmila selamat.
Berdiri membelakangi putrinya, nampak seorang pemuda berpakaian ungu yang
berambut putih keperakan. Di tangan kanan pemuda tampan itu tergenggam guci
arak.
Rupanya ketika melihat Karmila
tengah terancam maut, pemuda berambut putih keperakan itu tidak tega. Dan
langsung menangkis serangan pedang Gambala dengan gucinya.
Gambala bersikap hati-hati.
Dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda berambut
putih keperakan itu ketika menangkis pedangnya. Tenaga dalam pemuda ini amat
kuat, sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Ada dugaan yang muncul di
benak Gambala begitu melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya ini. Usia, rambut,
pakaian, dan guci pemuda ini mengingatkan pada seorang tokoh muda yang
akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan, Dewa Arak! Tapi, mungkinkah
tokoh yang menggemparkan itu adalah pemuda ini? Rasanya tidak masuk akal.
Bukan hanya Gambala saja yang
dilanda perasaan kaget, Dewa Arak pun demikian. Sungguh sama sekali tidak
disangkanya kalau tenaga dalam kakek bermata sayu itu amat kuat. Sehingga
mampu membuat tangannya tergetar hebat.
***
Kini ada empat sosok tubuh
yang berdiri tertegun. Kalapati, Karmila, dan Gambala yang menatap Dewa Arak
dengan perasaan takjub, serta si Golok Emas yang menatap mayat adik
seperguruannya dengan perasaan bingung.
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya Gambala. Sepasang matanya menatap pemuda berambut putih
keperakan itu penuh selidik. "Mengapa kau mencampuri urusanku?"
"Aku Arya, Kek. Aku tidak
berniat mencampuri urusan Kakek. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman
berlangsung di depan mataku!" sahut pemuda berambut putih keperakan yang
ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Arya?!" ulang
Gambala dengan alis berkerut
"Apakah nama lengkapmu
Arya Buana?"
Arya menganggukkan kepalanya.
"Jadi..., kaukah yang
berjuluk Dewa Arak?" kejar Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Begitulah orang
menjulukiku, Kek," sahut Arya merendah.
"Kalau begitu kita orang
segolongan, Dewa Arak. Menyingkirlah...! Wanita yang kau tolong, dan juga
ayahnya adalah tokoh-tokoh hitam yang kejam dan jahat! Aku akan melenyapkan
mereka sebelum mengacau dunia persilatan lagi...."
Arya Buana menggelengkan
kepalanya.
"Sayang sekali, Kek. Aku
tidak melihat adanya keganasan dan kekejaman seperti yang kau katakan itu pada
diri mereka. Jadi, aku terpaksa tidak bisa menyingkir dari sini."
"Maksudmu...?" tanya
Gambala sambil mengerutkan keningnya.
"Aku tidak akan
menyingkir dari sini!" sahut Arya tandas.
"Jadi, kau berada di
pihak iblis-iblis itu, Dewa Arak?!" sergah kakek bermata sayu itu. Nada
suaranya menyiratkan ancaman.
"Aku berada di pihak yang
benar," ralat Arya.
"Pemuda sombong! Kau kira
aku takut pada nama besarmu!?"
Setelah berkata demikian,
Gambala segera menerjang Arya. Tapi sebelum Dewa Arak berbuat sesuatu, melesat
sesosok bayangan dan memotong serangan itu. Terpaksa Gambala melempar tubuh ke
belakang, dan bersalto beberapa kali menyelamatkan diri.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya menjejak tanah. Dan secepat kakinya hinggap, secepat itu pula sepasang
matanya menatap ke depan. Dan di hadapannya, di sebelah Dewa Arak berdiri
Kalapati dengan posisi kaki agak goyah karena luka-luka yang dideritanya.
"Pergilah, Dewa Arak.
Tolong selamatkan putriku. Biar kucoba menghadang mereka," ucap kakek
berwajah bengis itu bernada perintah. Rupanya kakek ini sudah mendengar
pembicaraan Gambala dengan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tapi, Kalapati...,"
Arya masih mencoba mem- bantah.
"Pergilah, Dewa Arak. Kau
tidak ada urusan dengan mereka. Lagi pula, mungkin aku tidak akan bertahan
hidup lebih lama lagi! Cepatlah...!"
Dewa Arak tercenung. Disadari
adanya kebenaran dalam ucapan Kalapati.
"Baiklah, Kalapati. Aku
berjanji akan menjaga Karmila dengan taruhan nyawaku," janji Arya.
"Aku percaya padamu, Dewa
Arak." Kalapati ber- paling pada putrinya. "Karmila...! Cepatlah kau
pergi! Dewa Arak akan melindungimu...!"
"Tapi, Ayah...,"
gadis berpakaian jingga itu masih mencoba membantah.
"Kau ingin jadi anak yang
tidak berbakti, Karmila?!" terpaksa Kalapati bersikap keras.
Baru saja kakek berwajah
beringas ini menyelesai- kan kata-katanya, serangan dari Gambala meluncur tiba.
Si Golok Emas yang kini sudah tersadar dari rasa terpukul atas kematian adik
seperguruannya, tidak mau ketinggalan. Ketua Perguruan Golok Maut ini segera
menusukkan pedangnya. Kalapati yang sudah terluka parah segera menyambutnya.
Dikerahkannya seluruh kemampuan untuk memberikan kesempatan pada Dewa Arak
membawa lari putrinya.
Karmila menahan isak yang
merayap naik ke tenggorokan. Dadanya terasa sesak menahan rasa haru yang
melanda. Baru sekarang gadis ini sadar akan besarnya kasih sayang ayahnya.
Ayahnya rela mengorbankan nyawa asalkan dia selamat.
Kembali butiran-butiran air
bening bergulir dari sepasang mata indah itu. Karmila harus menyelamat- kan
diri dari sini. Tapi sebelumnya dia ingin memeluk ayahnya untuk yang terakhir kali.
"Mari kita pergi,
Karmila," ajak Arya sambil menatap wajah cantik bersimbah air mata di
depannya.
Segumpal rasa haru melanda
hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dia dapat merasakan perasaan Karmila.
Karena dia sendiri pernah mengalami kesedihan ditinggal mati orang tua. Apalagi
mati terbunuh! Ibu Arya sendiri mati dibunuh orang yang mendendam padanya
(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang
Pendekar").
"Benarkah kau Dewa
Arak?" tanya gadis berpakaian jingga itu dengan suara serak.
Arya hanya mengangguk pelan.
Dia malu menjawab, karena khawatir kalau suaranya terdengar gemetar. Dewa Arak
tidak ingin gadis ini tahu kalau dirinya pun tengah dilanda rasa haru.
"Bila kau benar-benar
hendak menolong kami, mengapa kau tidak langsung membantu ayahku?"
"Ayahmu tidak mau
menerima pertolonganku, Karmila," sahut Arya setengah mendesah.
"Ayahmu sudah cukup senang asal kau selamat"
Lagi-lagi dari sepasang mata
bening indah itu bergulir air bening. Arya yang berwatak welas asih jadi ikut
terenyuh. Kalau menuruti perasaannya ingin dipeluknya gadis itu, dan
diusap-usap rambutnya.
Tapi, pemuda ini sadar kalau
hal itu tidak mungkin dilakukannya.
"Maukah kau memenuhi
permintaanku, Dewa Arak?" tanya Karmila lagi.
"Katakanlah, Karmila.
Kalau aku mampu, dan selama tidak bertentangan dengan kebenaran, aku akan
memenuhinya," janji Arya.
"Aku ingin kau menahan
musuh-musuh ayah dulu ...... "
"Hm... , lalu?"
tanya Arya masih belum memahami tujuan ucapan Karmila.
"Aku ingin meminta maaf atas
semua kesalahanku pada ayah, Dewa Arak..., agar hatiku tenang melepas
kepergiannya...."
Arya segera memalingkan
wajahnya. Dewa Arak hampir tidak kuat lagi menahan rasa haru yang menggelegak
di dadanya. Digigit-gigit bibirnya untuk menahan luapan keharuan yang
menyentak-nyentak kalbu.
"Maukah kau memenuhi
permintaanku, Dewa Arak?"
Arya menganggukkan kepalanya.
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah pertempuran. Setelah mengamati sejenak,
Dewa Arak tahu kelihaian kedua orang lawan Kalapati. Sebelumnya dia sudah
merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam Gambala. Maka pemuda ini tidak mau
bersikap ceroboh. Segera guci araknya diangkat, dan dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu melewati kerongkongannya. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang
mengalir dari perutnya, dan perlahan naik ke kepala.
"Kalapati..., putrimu
ingin berbicara sebentar. Temuilah dia demi ketenangan hatinya. Biar aku yang
menahan mereka...."
Karmila melihat mulut Dewa
Arak berkomat-kamit. Tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Gadis itu
tidak tahu kalau Arya tengah mengirimkan suara khusus untuk Kalapati.
Memang, bagi orang
berkepandaian tinggi seperti Dewa Arak, bukan merupakan hal yang sulit untuk
mengirimkan suara hanya kepada orang yang dituju.
Setelah yakin Kalapati telah
mendengar pesannya, Dewa Arak segera maju beberapa tindak.
"Awas serangan...!"
teriak Arya seraya meng- hentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'. Jurus yang jarang dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.
***
Wusss... !
Angin keras berhawa panas
menyambar deras ke arah Gambala dan si Golok Emas. Kedua kakek sakti ini
terkejut bukan main. Mereka menyadari kedahsyatan pukulan jarak jauh yang
mengandung hawa panas menyengat itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya
segera melempar tubuh ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara,
kedua tokoh itu hinggap tanpa suara beberapa tombak dari tempat semula.
Kesempatan emas itu tidak
disia-siakan oleh Dewa Arak. Segera pemuda berambut putih keperakan ini
melompat maju. Sedangkan Kalapati yang me- mahami maksud penolongnya, segera
bergerak mundur.
"Terima kasih atas
kesempatan yang kau berikan, Dewa Arak," ucap kakek berwajah beringas itu
seraya berlari menghampiri putrinya yang juga berlari meng- hambur ke arahnya.
Sementara Dewa Arak segera
menghadang Gambala dan si Golok Emas yang sudah bergerak mengejar Kalapati.
"Dewa Arak!" teriak
si Golok Emas keras. "Tak kusangka kalau nama besarmu yang selama ini
kudengar, tidak sesuai dengan apa yang kusaksikan di sini! Tahukah kau, siapa
orang yang kau bela itu?!"
"Ha ha ha...!"
Gambala tertawa mengejek. "Mana bisa dia membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, Golok Emas? Mata dan hatinya telah silau oleh kecantikan gadis
liar itu!"Merah wajah Arya mendengar kata-kata penghinaan itu.
"Tidak kusangka aku akan
mendengar ucapan kotor seperti ini dari mulut kalian," desah pemuda
berambut putih keperakan itu pelan.
"Kami beri kesempatan
kepadamu sekali lagi, Dewa Arak! Menyingkir atau kami terpaksa akan
menyingkirkanmu dengan kekerasan!" ancam Gambala.
"Sudah kukatakan. Apa pun
yang terjadi, aku tidak akan menyingkir dari sini!" tandas Dewa Arak
tegas. Guci araknya diangkat kembali, lalu dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu melewati kerongkongannya.
"Kalau begitu, jangan
salahkan kalau kau mampus di tangan kami, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
Gambala melesat menerjang. Pedangnya yang meliuk-liuk aneh seperti gerakan
seekor ular, mengancam Dewa Arak.
Wunggg...!
Dewa Arak mengerutkan alisnya
melihat ilmu pedang yang unik itu. Batang pedang yang tidak kaku seperti pedang
umumnya itu membuat pemuda berambut putih keperakan ini agak bingung. Setiap
arah serangan yang dituju, tidak dapat diduganya dengan pasti. Jurus-jurus
pedang inilah yang me- nyebabkan Gambala menamakan perguruannya, Perguruan
Pedang Ular.
Baru tatkala serangan itu
telah menyambar dekat, arah sasarannya dapat diketahui. Ujung pedang itu
ternyata mengancam leher Dewa Arak. Segera pedang itu ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Suara berdentang terdengar
begitu pedang itu berbenturan dengan guci. Bunga-bunga api memercik ke udara.
Akibatnya Gambala terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak hanya
tergetar saja. Dari benturan ini dapat diukur kalau tenaga dalam Dewa Arak
masih berada di atas tenaga dalam Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat
berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas sudah meluruk dengan sabetan golok
mendatar ke arah leher.
Singgg...!
Serangan dari Ketua Perguruan
Golok Maut itu cepat sekali. Dewa Arak yang baru saja menangkis serangan
Gambala tidak punya kesempatan lagi untuk menangkis. Maka Dewa Arak segera
mengelak dengan mengandalkan langkah unik jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Wuttt..!
Si Golok Emas terkejut begitu
menyadari kalau sabetan goloknya mengenai tempat kosong. Ketua Perguruan Golok
Maut ini lebih terperanjat lagi ketika melihat lawan telah lenyap dari
hadapannya. Padahal tadi jelas-jelas dilihatnya kalau Dewa Arak hanya melangkah
dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Ketua Perguruan Golok Maut
sama sekali tidak menduga kalau Dewa Arak telah berada di belakang- nya. Tapi
tidak seperti yang sudah-sudah, Arya kali ini tidak langsung melakukan
penyerangan dari belakang.
Dewa Arak tahu kalau
lawan-lawan yang dihadapi- nya ini adalah tokoh-tokoh persilatan golongan
putih. Maka pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau membuat urusan dengan
mereka. Tugasnya hanyalah memberi kesempatan kepada Karmila berbincang-bincang
dengan ayahnya untuk yang terakhir kalinya.
Karena hal itulah Dewa Arak
tidak mengadakan perlawanan. Arya hanya mengelak saja dari setiap serangan
kedua lawannya. Untunglah pemuda ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang'
yang unik, sehingga tidak terlalu repot untuk mengelakkan setiap serangan yang
datang. Hanya sesekali saja pemuda ini menangkis serangan lawan.
Diam-diam Dewa Arak terkejut
juga begitu mendapat kenyataan kalau kedua lawannya ini memiliki kepandaian
tinggi. Tingkat kepandaian mereka hanya berselisih sedikit dengannya. Dari sini
sudah dapat diukur tingkat kepandaian Kalapati yang mampu menahan pengeroyokan
ketiga lawannya.
Teringat akan Kalapati, Dewa
Arak meluangkan kesempatan untuk melirik ke arah ayah dan anak itu. Dilihatnya
Karmila dan ayahnya tengah berpelukan erat.
"A... Ayah...," ucap
Karmila terbata-bata dalam pelukan ayahnya. Sama sekali tidak menghiraukan
pakaiannya yang kotor terkena noda darah dari luka- luka yang diderita ayahnya.
"Ada apa, Karmila?"
tanya Kalapati lembut. Tangannya mengusap-usap rambut hitam, indah, dan harum
milik putrinya penuh kasih sayang.
"Aku.. aku ingin minta
maaf pada Ayah...," jawab Karmila terputus-putus.
"Heh?! Memangnya kau mempunyai
kesalahan pada Ayah, Karmila?" tanya Kalapati heran. Sementara tangannya
masih terus mengusap-usap rambut putrinya penuh kasih sayang.
"Aku sering membuat Ayah
jengkel...."
"Lupakanlah, Karmila.
Ayah sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai suatu kesalahan. Pergilah!
Selamatkan dirimu. Dewa Arak akan melindungimu."
"Kenapa Ayah tidak ikut
pergi bersamaku saja?!" tanya Karmila penasaran.
"Itu tidak mungkin,
Karmila," bantah Kalapati. "Pantang bagi Ayah untuk melarikan diri
dari lawan. Nah, sekarang keinginanmu sudah terpenuhi. Ayah akan menggantikan
Dewa Arak menghadapi kedua orang itu, Karmila. Kasihan, pemuda itu...."
Karmila mengikuti arah
pandangan ayahnya. Dan apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Pemuda berambut
putih keperakan itu terlihat pontang- panting menghadapi gempuran kedua orang
lawannya.
Memang dalam pandangan orang
yang belum memiliki tingkat kepandaian tinggi, Dewa Arak mungkin terlihat
terdesak. Tampak jelas kalau pemuda itu sampai terpontang-panting setiap
mengelak serangan lawan. Bahkan terlihat tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang.
Tapi tidak demikian halnya
dengan pandangan Kalapati. Diam-diam kakek ini terkejut penuh kekaguman. Sorot
matanya yang tajam, dapat melihat jelas kalau Dewa Arak sama sekali tidak
berniat membalas, tetapi hanya mengelak saja.
"Itukah jurus 'Delapan
Langkah Belalang' yang terkenal?" tanya datuk ini dalam hati.
"Sungguh luar biasa."
Kalapati menyadari kalau
luka-luka yang di- deritanya amat parah. Tubuhnya dirasakan semakin lama
semakin melemah. Namun dia masih mem- punyai tugas untuk menahan kedua kakek
sakti itu agar Dewa Arak mempunyai kesempatan membawa lari Karmila.
"Bersiap-siaplah, Dewa
Arak..., aku akan meng- gantikan tempatmu. Aku mohon kau segera menye- lamatkan
putriku," ucap Kalapati mengirimkan pesan dari jauh pada Arya.
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya pertanda telah mendengar pesan Kalapati. Kakek berwajah beringas itu
gembira melihat Dewa Arak telah mengerti pesannya.
"Selamat tinggal,
Karmila," ujar Kalapati sambil mencium kening putrinya. Perlahan-lahan
pelukan pada putrinya dilepaskan. Dengan berat hati, Karmila pun melepaskan
pelukannya.
"Selamat tinggal,
Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu tersendat-sendat. Firasat Karmila
berkata kalau perpisahan dengan ayahnya ini, adalah per- pisahan untuk
selama-lamanya.
Sementara itu begitu menerima
pesan, Dewa Arak segera bersiap memberi kesempatan pada Kalapati untuk
menggantikannya. Dan untuk itu dia harus mendesak lawannya. Maka kini gerakan
Dewa Arak pun mendadak berubah. Langsung saja pemuda itu memainkan jurus
'Belalang Mabuk'nya.
Gambala dan si Golok Emas
terkejut sekali ketika merasakan perubahan mendadak itu. Memang, sebagai tokoh
sakti mereka tahu kalau sejak tadi Dewa Arak belum melancarkan serangan
balasan. Dan ini membuat kedua tokoh itu merasa terhina. Sebagai akibatnya,
tentu saja keduanya semakin marah dan menyerang semakin dahsyat.
Kini begitu Dewa Arak
melancarkan serangan balasan, Gambala dan si Golok Emas terkejut bukan main.
Serangan Dewa Arak yang begitu dahsyat dan menderu-deru laksana amukan badai,
membuat keduanya melompat mundur ke belakang.
Begitu kedua orang itu
melompat mundur, Kalapati segera melompat ke sebelah Dewa Arak.
"Berhati-hatilah, Dewa
Arak. Kau akan mengalami banyak kesulitan dalam menyelamatkan putriku. Tapi
percayalah, kau membela orang yang benar. Aku dan putriku sama sekali tidak
tahu apa-apa. Kedua orang inilah yang mendesak kami bertarung," jelas
Kalapati agak terburu-buru.
"Percayalah padaku,
Kalapati. Aku akan me- lindungi putrimu dengan taruhan nyawaku. Aku percaya
kalau kau dan putrimu ada di pihak yang benar."
"Terima kasih, Dewa Arak.
Sayang, aku tidak akan sempat membalas kebaikan hatimu ini. Hhh...!" keluh
Kalapati.
"Aku mohon, kau jangan
menyebut-nyebut masalah hutang budi, Kalapati. Aku menolong bukan karena
mengharapkan balasanmu," tegas Dewa Arak bernada memperingatkan.
"Aku percaya, Dewa Arak.
Nah, sekarang pergilah. Aku tidak yakin akan mampu menahan mereka terlalu
lama."
"Kalau begitu, aku pergi
dulu, Kalapati," ucap Dewa Arak sambil menggerakkan kaki. Kelihatannya
pemuda berambut putih keperakan ini hanya melangkah perlahan saja, tapi
hebatnya tahu-tahu telah berada lebih sepuluh tombak dari tempat semula. Dan
sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di dekat Karmila.
"Mari kita pergi,
Karmila," ajak Dewa Arak.
Karmila menahan isak yang naik
ke tenggorokan- nya. Sekilas sepasang bola mata bening itu menatap ke arah
ayahnya yang sudah kembali terlibat pertarungan dengan kedua lawannya.
"Selamat tinggal,
Ayah...!" teriak gadis berpakaian jingga itu dengan pengerahan tenaga
dalam sehingga suaranya menggema sampai jauh. Kemudian Karmila melesat cepat
meninggalkan tempat itu dengan diikuti Dewa Arak.
Meskipun tengah sibuk
menghadapi desakan kedua lawannya, Kalapati masih sempat mengirimkan suara
dari jauh untuk putrinya.
"Selamat tinggal,
Karmila...."
Karmila agak menahan
langkahnya begitu mendengar ucapan Kalapati.
"Ada apa, Karmila?"
tanya Dewa Arak begitu melihat Karmila memperlambat langkahnya.
"Tidak ada
apa-apa...," sahut gadis berpakaian jingga itu sambil menggelengkan
kepalanya. Langkahnya pun kembali dipercepat seperti semula.
Dewa Arak tidak mendesak.
Pemuda berambut putih keperakan ini sengaja membiarkan Karmila menenangkan
batinnya yang terguncang. Terus saja kakinya dilangkahkan mengikuti Karmila
yang telah bergerak lebih dulu.
***
Kalapati tersenyum begitu
melihat tubuh Karmila dan Dewa Arak telah lenyap dari tempat itu. Seketika itu
juga perlawanannya menurun jauh. Memang, sebenarnya kakek ini telah terluka
parah, dan tenaganya pun sudah berkurang jauh. Tapi karena terdorong untuk
menyelamatkan putrinya sajalah yang membuatnya mendapat tenaga baru. Begitu
diyakini Karmila telah selamat, tenaga tambahan itu pun lenyap seketika.
Dalam beberapa gebrakan,
Kalapati telah terdesak hebat. Bahkan beberapa kali serangan lawan sempat
menyerempet tubuhnya. Luka-lukanya pun semakin banyak. Dan tentu saja hal ini
membuat tenaga Kalapati menjadi kian susut.
"Haaat..!"
Singgg...!
Sambil berteriak nyaring,
Gambala menusukkan pedangnya ke arah perut Kalapati. Dan seperti biasanya,
pedang lemas itu bergetaran, sehingga kelihatan banyak dan sukar diduga bagian
mana yang dituju.
"Hiyaaa...!"
Si Golok Emas berteriak pula.
Tubuhnya melompat ke udara. Dan dari atas, goloknya disabetkan ke arah leher
kakek berpakaian kulit ular itu.
Wuttt.. !
Kedua serangan itu datang
begitu mendadak. Sedangkan keadaan Kalapati saat itu sudah amat lemah. Meskipun
begitu, kakek berpakaian kulit ular ini berusaha mengelak. Tapi....
Ceppp, cappp... !
Telak sekah kedua serangan itu
mengenai sasarannya. Seketika itu juga tubuh Kalapati roboh ke tanah. Darah
segar memancar deras dari perut yang tertembus pedang. Dan juga dari kepala
yang terpisah dengan lehernya. Kalapati tewas tanpa sempat bersuara!
Gambala dan si Golok Emas
memandangi tubuh Kalapati yang bersimbah darah. Ada kepuasan terpancar dari
sorot mata dan wajah kedua kakek sakti itu.
"Adi Gumarang..., kau
lihatlah. Kematianmu telah kubalaskan. Pembunuhmu telah kubinasakan. Semoga kau
tenang di alam baka...," desah Gambala dalam hati.
"Golok Perak..., musuh
besarmu telah kubinasakan. Semoga arwahmu tidak penasaran...," ucap Si
Golok Emas dalam hati dengan kepala tertunduk.
Setelah itu, hampir bersamaan kedua
tokoh sakti itu melangkah menuju ke arah mayat adik seperguruan masing-masing.
"Waji...," panggil
Gambala kepada muridnya yang masih termenung menatap ke arah Barat
Pemuda berbadan lebar itu pun
berpaling menatap gurunya.
"Ke sanakah kedua orang itu
melarikan diri, Waji?" tanya Gambala seraya memandang ke arah pandangan
muridnya tadi.
"Benar, Guru," jawab
Waji sambil menganggukkan kepalanya. "Apakah Guru akan mengejarnya?"
Gambala menggelengkan
kepalanya.
"Mengapa, Guru?"
tanya Waji. Nada suaranya menyiratkan rasa penasaran yang mendalam.
"Mengejar kedua orang itu
tidak sulit, Waji. Tapi yang penting sekarang kita urus dulu mayat paman gurumu
ini"
"Maaf, Guru. Aku...
aku...."
"Ada apa lagi,
Waji?" tanya Gambala dengan alis berkerut melihat sikap muridnya yang
tampak ragu- ragu melanjutkan ucapannya.
"Aku... aku tidak bisa
ikut Guru pulang ke perguruan...," sahut Waji terputus-putus.
"Mengapa, Waji?"
"Aku ingin mencari mayat
Adi Jalasa dan Adi Rupangki dulu, Guru. Batinku tidak akan tenang sebelum mayat
mereka kutemukan," sahut Waji tersendat-sendat. Suaranya terdengar parau.
"Hhh...!" Gambala
menghela napas berat "Kalau itu sudah keputusanmu, aku tidak akan
mencegah, Waji"
"Terima kasih,
Guru," ucap pemuda berbadan lebar itu terputus-putus.
"Kalau begitu aku akan
pergi dulu. Hati-hatilah, Waji"
"Akan kuperhatikan semua
nasihat Guru."
Gambala membungkuk, lalu
mengangkat mayat Gumarang dan diletakkan di bahunya. Sesaat kemudian Ketua
Perguruan Pedang Ular itu melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya
sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning.
Waji memandangi tubuh gurunya
hingga lenyap di kejauhan. Kini di tempat itu yang tinggal hanya dia sendiri.
Si Golok Emas pun sudah sejak tadi meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat
adik seperguruannya.
***
Waji tersenyum lebar. Sorot
kesedihan mendadak lenyap di wajahnya. Perlahan kakinya dilangkahkan menuju
batu pipih dan lebar yang terdapat dekat situ. Kemudian pantatnya dihempaskan,
duduk di atasnya.
Cukup lama juga pemuda
berbadan lebar itu duduk di situ. Sampai matahari tepat berada di atas kepala,
Waji tetap duduk di atas batu itu.
"Uhhh...," keluh
Waji. Kepalanya ditolehkan ke bawah lereng. Entah sudah berapa kali pemuda itu
berbuat seperti itu. Jelas ada sesuatu yang ditunggunya.
"Mengapa lama
sekali...?"
Baru saja Waji menyelesaikan
ucapannya, mendadak terdengar suara berkaokan keras dua kali. Suara itu
mengingatkan orang akan suara burung gagak.
Waji segera berpaling ke arah
asal suara. Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Jelas kalau suara berkaokan
itu mempunyai arti bagi pemuda itu.
Belum lagi gema suara itu
lenyap, kembali terdengar lagi. Dua kali berturut-turut dan kemudian berhenti.
Waji tersenyum lebar. Wajahnya
mendadak cerah. Dari mulutnya terdengar siulan nyaring yang menggema ke seluruh
tempat itu. Hal ini tidak aneh, karena pemuda berbadan lebar itu mengerahkan
tenaga dalam sewaktu bersiul.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar tawa keras
bergelak. Tawa yang menggema ke seluruh penjuru Gunung Paianjar. Membuat
daun-daun di sekitar tempat itu bergetar. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam.
Belum juga habis gema tawa
itu, melesat sesosok bayangan dan mendarat tepat di depan Waji. Bumi bergetar
hebat begitu kedua kaki bayangan itu menjejak tanah.
Di hadapan Waji telah berdiri
sesosok tinggi besar. Sekujur tangan dan badan sosok yang bertelanjang dada ini
dipenuhi otot-otot melingkar dan bertonjolan. Kepalanya botak dan raut wajahnya
kasar dengan mata membelalak lebar. Celananya sebatas lutut, dan terbuat dari
kulit beruang salju.
"Ha ha ha...!
Kelihatannya semua rencanamu berjalan baik, Waji," ucap laki-laki bertubuh
tinggi kekar berotot itu. Suaranya mirip dengan tawanya. Keras dan menggelegar.
Waji bergegas bangkit dari
duduknya dan kemudian berdiri di hadapan laki-laki tinggi besar berotot itu.
Dan begitu pemuda berbadan lebar ini berdiri, baru teriihat betapa tingginya
orang yang baru datang itu. Tinggi Waji hanya mencapai dada laki-laki tinggi
besar berotot itu. Padahal Waji terhitung pemuda yang berpostur tubuh di atas
rata-rata.
"Mengapa kau bisa menduga
demikian, Setan Kepala Besi?!" sahut Waji cepat.
"Kulihat sikapmu begitu
gembira! Betul kan dugaanku? Ha ha ha...!" sahut laki-laki berotot kekar
yang ternyata berjuluk Setan Kepala Besi sambil tertawa bergelak. Kembali suara
tawa yang menggelegar itu menggema ke seluruh penjuru tempat itu.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana dengan
Kalapati?" tanya Setan Kepala Besi setengah berbisik. Seketika itu juga
lenyap suara tawanya. Raut wajahnya teriihat serius. Raut wajah dan suaranya
menyorotkan kegentaran. Wajarlah kalau laki-laki bertubuh tinggi besar dan
kekar berotot itu gentar pada Kalapati, karena belasan tahun yang lalu dia
telah dikalahkan oleh bekas datuk sesat itu.
"Dia telah tewas, Setan
Kepala Besi," sahut Waji memberi tahu.
"Apa...?! Kalapati
tewas?!" Sepasang mata Setan Kepala Besi membelalak. Tentu saja mata yang
memang sudah besar itu, jadi teriihat semakin membesar.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Gila! Sungguh
gila!" seru laki-laki tinggi besar kekar berotot itu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suara dan sikapnya mengandung
ketidak-percayaan. "Bagaimana dia bisa tewas?"
"Kalapati dikeroyok oleh
Gambala, si Golok Emas, dan si Golok Perak... "
"Pantas...," desah
Setan Kepala Besi. Kepalanya terangguk-angguk.
"Apakah kau ingin melihat
mayat Kalapati, Setan Kepala Besi?" tanya Waji lagi.
"Boleh," sahut
Kalapati. "Biar hatiku lebih yakin. Rasanya aku tidak percaya kalau orang
seperti Kalapati bisa ditewaskan...."
Waji tidak menyahuti ucapan
Setan Kepala Besi. Kakinya dilangkahkan menuju tempat mayat Kalapati tergolek
dengan kepala terpisah dari lehernya. Tanpa berkata apa-apa, Setan Kepala Besi
melangkah di belakang pemuda berbadan lebar itu.
"Itulah mayat
Kalapati," ucap Waji sambil menudingkan telunjuknya ke arah sosok tubuh
yang tergolek beberapa tombak di depannya. Sementara kakinya terus saja
dilangkahkan.
Setan Kepala Besi menyipitkan
mata untuk lebih memperjelas pandangan. Kalau melihat pakaiannya, memang dapat
dikenali kalau tubuh yang tergolek itu adalah Kalapati. Tapi laki-laki tinggi
besar ini tidak puas kalau hanya melihat dari jauh, maka kakinya dilangkahkan
mendekat.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak kembali menggema
ke seluruh tempat itu begitu Setan Kepala Besi melihat jelas kalau mayat itu
benar Kalapati. Orang yang selama ini sangat ditakutinya.
Waji pun tersenyum lebar
begitu melihat ke- gembiraan laki-laki tinggi besar itu.
"Memangnya untuk apa kau
menginginkan kematian Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah kakek itu telah
meninggalkan urusan persilatan? Dan kurasa dia tidak akan mengganggu seandainya
kau ingin menga-caukan dunia persilatan?" tanya Waji ingin tahu.
"Karena aku menginginkan
tempat tinggalnya. Dan itu tidak mungkin kuperoleh bila Kalapati masih hidup.
Dan ...... "
"Kau menyuruhku
merencanakan sesuatu, bukan?" sambung Waji cepat.
"Dan..., inilah
hasilnya!" tegas Setan Kepala Besi seraya tertawa bergelak. Waji pun
tertawa bergelak.
"Mengapa kau ingin
merebut tempat Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah tempat tinggalmu lebih
mewah dan indah daripada tempat ini?" tanya Waji lagi setelah tawanya
mereda.
Setan Kepala Besi terdiam
seketika. Rupanya jawaban dari pertanyaan itu merupakan rahasia. Untuk beberapa
saat, laki-laki tinggi besar ini tercenung.
"Kalau tidak mengingat
jasamu, dan juga hubungan kekeluargaan kita, pertanyaanmu itu dapat kujadikan
alasan untuk membunuhmu, Waji."
Pucat wajah pemuda berbadan
lebar itu seketika. Waji tahu kalau Setan Kepala Besi tidak pemah main- main
dalam ucapannya.
"Memangnya kenapa, Setan
Kepala Besi?" tanya Waji dengan suara bergetar. Seketika perasaan tegang
melandanya.
"Karena rencana ini
merupakan rahasiaku," jawab Setan Kepala Besi dengan suara mendesis tajam.
"Rahasia?!" Sepasang
alis Waji berkerut dalam.
"Ya. Kalau seandainya ada
orang persilatan yang tahu, mereka akan berbondong-bondong datang ke
mari," sambung Setan Kepala Besi masih dengan suara berbisik-bisik.
"Ah...!" seru Waji
terkejut "Mengapa bisa begitu, Setan Kepala Besi?"
"Karena di dalam gua
Kalapati tersimpan benda yang mampu membuat tenaga dalam orang yang memakannya
menjadi berlipat ganda...."
"Ahhh...! Kiranya
begitu...," desah Waji kaget. Kepalanya terangguk-angguk karena mulai
mengerti masalahnya.
"Kau paham, Waji?"
tanya Setan Kepala Besi sambil menatap tajam wajah pemuda di hadapannya.
"Paham, Setan Kepala
Besi," sahut Waji sambil menganggukkan kepalanya.
"Ha ha ha...!"
Kembali Setan Kepala Besi
tertawa. Waji yang semula tidak mengerti apa-apa, ikut pula tertawa
terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba pemuda berbadan lebar itu menghentikan tawanya.
Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Tentu saja hal ini tidak lepas dari perhatian Setan Kepala Besi.
"Ada apa, Waji?"
Waji menengadahkan kepala.
Ditatapnya wajah Setan Kepala Besi.
"Putri Kalapati berhasil
meloloskan diri...," sahut pemuda itu pelan, mirip desahan.
"Ha ha ha...!" Setan
Kepala Besi tertawa bergelak. Rupanya kakek tinggi besar ini gemar tertawa.
"Kukira ada apa! Kalau hanya putri Kalapati saja, mengapa dirisaukan?
Sampai seberapa tinggi sih kepandaian- nya?! Sudahlah, Waji. Lupakan saja
masalah kecil itu!"
"Bukan putri Kalapati
yang kurisaukan, Setan Kepala Besi," sambut Waji lagi.
"Heh...?! Kau ini aneh,
Waji! Kalau bukan putri Kalapati, lalu siapa lagi? Bukankah itu tadi jawabanmu
ketika kutanya?!" sergah Setan Kepala Besi penuh rasa heran.
"Memang benar putri
Kalapati berhasil meloloskan diri. Tapi, bukan wanita liar itu yang
merisaukanku."
"Lalu siapa?"
"Penolongnya," sahut
Waji singkat.
"Ah...! Jadi, ada orang
yang telah menyelamatkan putri Kalapati?" sambut Setan Kepala Besi mulai
paham.
Waji hanya menganggukkan
kepalanya.
"Siapa orang itu,
Waji?"
"Dewa Arak...,"
jawab pemuda berbadan lebar itu pelan.
"Dewa Arak?!" ulang
Setan Kepala Besi kaget. "Kau tidak salah lihat, Waji?!"
Waji menggelengkan kepalanya.
"Dari mana kau tahu kalau
penolong putri Kalapati itu Dewa Arak?" desak Setan Kepala Besi ingin
tahu.
"Gambala mengenalinya...
pemuda itu pun meng- akuinya. Dan lagi ciri-cirinya memang seperti yang
kudengar selama ini. Hhh...! Kepandaiannya tinggi sekali. Dia mampu menghadapi
Gambala dan si Golok Emas sekaligus...!"
"Jadi, Dewa Arak sempat
bertempur?"
"Ya. Eh..., kenapa aku
begini bodoh? Bukankah ini kesempatan untuk melenyapkan Dewa Arak itu?"
ucap Waji pada dirinya sendiri. Jelas ada suatu rencana di benaknya. Dan sudah
pasti rencana itu amat diyakini keberhasilannya. Hal ini terbukti dengan
lenyapnya kemuraman pada wajah pemuda itu. Wajahnya kini mendadak berseri-seri.
"Apa maksudmu,
Waji?" tanya Setan Kepala Besi yang memang tidak mengerti rencana pemuda
berbadan lebar itu.
Waji lalu menceritakan semua
kejadiannya.
"Gambala dan juga si
Golok Emas bertekad hendak melenyapkan putri Kalapati. Dan melihat kegigihan
Dewa Arak melindungi putri Kalapati itu, sudah dapat kupastikan kalau di antara
mereka akan terjadi pertarungan. Kini yang harus kulakukan hanyalah
memanas-manasi Gambala agar per- tempuran antara mereka terjadi."
"Dan sebagai seorang
tokoh persilatan golongan putih yang mempunyai pergaulan luas, aku yakin banyak
tokoh-tokoh golongan putih yang akan membantu Gambala dan si Golok Emas dalam
menghadapi Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi penuh semangat.
"Ha ha ha...!"
Kedua orang ini pun tertawa
terbahak-bahak. Yakin dengan rencana yang akan mereka jalankan.
"Kali ini Dewa Arak akan
mati kutu!" seru Waji di sela-sela tawanya.
***
Siang itu udara terik sekali.
Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Sinarnya yang menyengat, menyorot
garang ke bumi. Rasanya di siang bolong itu tidak akan ada orang yang mau
melakukan perjalanan.
Di bawah sebatang pohon besar
dan rindang, nampak dua sosok tubuh berteduh di bawahnya. Kedua sosok itu
adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang wanita cantik
berpakaian jingga.
Dua sosok itu ternyata Dewa
Arak dan Karmila. Sudah dua hari lamanya mereka menempuh per- jalanan bersama.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Dihapusnya keringat yang membasahi kening dan leher dengan punggung
tangan. Sekilas diliriknya wajah cantik jelita di sampingnya. Wajah cantik
milik Karmila. Sayang, wanita itu masih terlihat muram. Rupanya gadis
berpakaian jingga ini masih belum bisa melupakan kesedihan ditinggalkan
ayahnya yang harus me- nentang maut.
"Panas sekali hari
ini...," ucap Arya seperti ber- bicara pada diri sendiri. Padahal dalam
hati pemuda berambut putih keperakan ini berharap kalau gadis yang duduk di
sebelahnya menanggapi ucapannya.Selama dua hari ini, Arya sudah berusaha untuk
mengajak Karmila bicara. Tapi jawaban yang diterima hanya singkat-singkat saja.
Bahkan terkadang tak ada jawaban sama sekali. Nampaknya gadis berpakaian jingga
ini tidak ingin diajak bicara. Arya pun tahu diri, maka tidak mengajak bicara
lebih lanjut
Tapi setelah dua hari ini
kemurungan Karmila masih belum sirna juga, Arya memutuskan untuk ikut campur.
Itulah sebabnya setelah beberapa saat lamanya tidak ada sahutan Karmila, Arya
lalu menoleh. Ditatapnya wajah Karmila lekat-lekat.
"Karmila...," panggil
Arya pelan.
"Hm...," hanya
gumaman pelan yang tak jelas menyambut panggilan Arya. Sedangkan pandangan
gadis itu masih menatap kosong ke depan.
"Karmila...,"
panggil Arya lagi, lebih keras.
"Hm...," kembali
hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulut gadis berpakaian jingga itu.
Pandangan matanya masih tetap tertuju ke depan.
"Karmila...,"
panggil Arya lebih keras lagi. "Pandang aku, Karmila...."
Kali ini justru tidak ada
jawaban sama sekali. Karmila tetap menatap kosong ke depan pada satu titik.
Jelas kalau pikiran gadis ini tengah menerawang entah ke mana.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat.
Menghilangkan rasa mendongkol di hatinya. Dewa Arak mengerti kalau Karmila
bersikap seperti itu karena tengah ada pertentangan batin di dalamnya. Dan Arya
pun tahu kalau tidak bertindak agak kasar, tidak mungkin dia dapat menyadarkan
gadis berpakaian jingga ini. Kini pandangannya dialihkan ke depan.
"Tidak kusangka kalau kau
ternyata gadis yang lemah, Karmila. Lemah dan cengeng!" tandas Arya tegas.
Kata-katanya lebih ditekankan pada kalimat terakhir. Pemuda berambut keperakan
ini terpaksa bersikap begitu walaupun sebenarnya ada rasa tidak
tega di hatinya.
Diam-diam Dewa Arak bersorak
dalam hati begitu melihat ada perubahan pada wajah Karmila. Jelas kalau
kata-kata yang diucapkannya mengenai sasaran. Sekilas Arya melihat sepasang
mata gadis itu memancarkan sinar berapi. Tapi hal itu hanya ber- langsung
sesaat saja. Tak lama kemudian pandangan gadis itu sudah kembali seperti
semula. Dingin, dan menatap kosong pada satu titik.
Tapi Dewa Arak tidak putus
asa. Tadi telah dilihatnya sendiri bukti keberhasilan usahanya. Hanya saja
ucapan itu masih belum terlalu tegas untuk menyadarkan Karmila dari
ketermenungannya.
"Kalau saja ayahmu
melihat sikapmu ini, aku yakin beliau akan kecewa. Aku sendiri kecewa! Sungguh
tidak kusangka, kalau orang yang begitu gagah perkasa seperti ayahmu mempunyai
seorang anak yang berjiwa lembek dan cengeng!" ucap Arya lagi.
Pandangannya tetap menatap lurus ke depan. Seolah-olah pemuda ini hanya
berbicara pada dirinya sendiri. Tapi tanpa sepengetahuan Karmila, sudut mata
Dewa Arak melirik ke arahnya. Memperhatikan setiap perubahan wajah gadis
berpakaian jingga di sebelahnya.
Gembira hati Arya begitu
melihat perubahan pada wajah Karmila yang semakin kentara. Sepasang mata indah
itu mulai melirik dengan pandangan berapi-api. Bahkan suara bergemeretak
terdengar dari mulut gadis itu. Jelas kalau Karmila tengah menahan amarah yang
bergolak. Kedua tangannya pun teriihat mengepal keras. Tegang penuh kekuatan.
Dan inilah saat yang tepat bagi Arya untuk melancarkan siasat terakhir.
"Aku yakin..., kalau saja
ayahmu tahu kau akan bersikap cengeng seperti ini. Dia tidak akan mau
mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamat- kanmu. Ahhh..., kasihan kau,
Kalapati. Pengorbanan- mu sia-sia...," keluh Arya dengan suara mendesah.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam ke tanah, seperti orang yang tengah menyesali
sesuatu.
"Diaaam...!
Hentikaaan...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan
keras dari mulut Karmila. Dan seiring dengan terdengarnya teriakan itu, gadis
berpakaian jingga itu bangkit berdiri. Wajahnya merah padam. Sepasang matanya
berkilat- kilat menyorotkan api kemarahan. Sementara kedua tangannya terkepal
penuh kekuatan. Bahkan napas- nya pun menderu keras.
"Heh...?!" Arya
pura-pura tidak mengerti. Dengan pandangan mata bodoh, ditatapnya wajah gadis
berpakaian jingga itu lekat-lekat "Kenapa kau, Karmila?"
"Tidak usah berpura-pura,
Dewa Arak!" sergah Karmila sengit "Jangan mentang-mentang telah
menolongku, seenaknya saja kau menghinaku! Bangun dan hadapi aku!"
"Ha ha ha...!" Arya
tertawa pelan. Tapi tidak terdengar ada nada ejekan di dalamnya.
"Bagaimana mungkin kau
bisa menghadapi orang lain, Karmila? Menghadapi dirimu sendiri saja kau tidak
mampu!"
"Tidak usah mengejek,
Dewa Arak! Kuakui, kau memang berkepandaian tinggi. Tapi pantang bagiku diejek
orang lain!" tandas Karmila tegas.
"Duduklah dulu, Karmila.
Tenangkan pikiranmu. Nanti akan kujelaskan mengapa aku bersikap yang berlawanan
dengan hati nuraniku sendiri," ucap Arya bernada membujuk.
Karmila terdiam sejenak.
Kemarahan yang menyesakkan dadanya terpaksa ditahan. Meskipun ucapan Dewa Arak
tadi menyakitkan, tapi gadis ini menyadari kebenaran ucapan pemuda itu.
Karmila menarik napas
dalam-dalam dan meng- hembuskannya kuat-kuat. Barangkali saja dengan berbuat
begitu, kemarahan yang bergolak di dadanya dapat berkurang. Dan memang,
ternyata amarahnya kini berkurang banyak. Tidak berkobar-kobar seperti
sebelumnya.
"Sekarang coba kau
kemukakan alasanmu, Dewa Arak!" desak Karmila seraya menghempaskan tubuh
di tempat duduknya semula. Sepasang bola matanya menatap tajam wajah tampan di
depannya. Dan seketika itu juga, hati Karmila tercekat. Baru kali ini dia
melihat wajah Dewa Arak dengan jelas. Selama ini Karmila memang tidak sempat
memperhatikan wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Seluruh pikirannya
tertuju pada ayahnya. Kini setelah menatap jelas wajah Arya, ada perasaan aneh
yang menjalar di hatinya.
Wajah pemuda itu begitu tampan
dan gagah. Raut wajah seorang pemuda yang telah matang oleh tempaan pengalaman
hidup. Rambutnya yang ber- warna putih keperakan itu semakin menambah
kematangan sikapnya. Dan hal ini baru sekarang disadarinya.
Arya menghela napas panjang
sebelum menjawab pertanyaan Karmila.
"Sikapmulah yang
membuatku terpaksa mengeluarkan kata-kata keras, Karmila," ucap Dewa
Arak, pelan suaranya.
"Maksudmu...?" tanya
Karmila tak mengerti. Sementara sepasang matanya tetap merayapi wajah tampan di
hadapannya. Sikap pemuda itu dalam mengucapkan setiap kata-katanya terlihat
begitu jantan.
"Selama dua hari ini kau
hanya termenung saja. Bahkan sewaktu kita melakukan perjalanan pun pikiranmu
terus menerawang. Ketika berkali-kali kuajak bicara, kau hanya menjawab
sekali-sekali saja. Bahkan kadang-kadang tidak sama sekali! Kau terlalu hanyut
dalam lamunan dan kesedihanmu, Karmila."
Arya menghentikan ucapannya
sebentar. Ditatap- nya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat untuk
melihat reaksinya. Sekilas dilihatnya Karmila mengerutkan alisnya yang
berbentuk indah. Kemudian....
"Teruskan, Dewa
Arak...," pinta gadis itu.
"Berkali-kali kucoba
dengan lemah lembut untuk menyadarkanmu, tapi kau tetap saja tidak bereaksi.
Jangankan mendengar, kupanggil-panggil pun kau tidak menyahut!" sambung
Arya lagi.
"Lalu...?" selak
Karmila.
"Aku tahu, melalui jalan
halus, tidak mungkin akan berhasil. Jadi, terpaksa kupakai jalan kasar! Aku
tahu, jalan termudah untuk menyadarkan orang yang dilanda persoalan sepertimu
adalah dengan mem- bangkitkan amarahnya. Tapi kalau perbuatanku menyinggung
perasaanmu, aku mohon maaf," jelas pemuda berambut putih keperakan itu.
Karmila mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini telah dimengertinya mengapa Arya mengucapkan kata-kata kasar
padanya. Dan seketika itu juga kemarahannya lenyap. Bahkan diam-diam, telah
ber- desir perasaan lain dalam hati Karmila pada pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Jadi, apakah kita tidak
boleh bersedih kalau kehilangan orang yang sangat kita cintai, Dewa Arak?"
tanya Karmila tiba-tiba.
"Tentu saja boleh,
Karmila," jawab Arya sambil tersenyum. "Tapi, tentu saja tidak boleh
sampai menyiksa diri. Kau paham kata-kataku, Karmila?"
Karmila mengangguk-anggukkan
kepalanya per- tanda mengerti.
"Sekarang aku ingin
bertanya padamu. Sebenarnya persoalan apakah yang menyebabkan kau dan ayahmu
bentrok dengan para penyerbu itu?" tanya Arya tanpa membuang-buang waktu
lagi. Sudah terlalu lama pertanyaan ini disimpannya dalam hati.
"Aku sendiri tidak tahu
secara pasti, Arya. Kalau masalah-masalah yang dulu sih..., ayah pernah
menceritakannya. Tapi, sepertinya... orang-orang dari Perguruan Pedang Ular
mempersoalkan masalah baru. Mereka menuntut kematian dua orang murid perguruan
itu yang katanya dibunuh ayah. Padahal aku tahu pasti kalau ayah sama sekali tidak
mem- bunuh mereka."
Setelah berkata demikian,
Karmila pun men- ceritakan kejadian beberapa hari yang lalu. Sewaktu Waji,
Jalasa dan Rupangki tiba di tempat Kalapati menyepi.
"Begitulah ceritanya,
Dewa Arak," ucap Karmila menutup ceritanya. Sedangkan Arya mengerutkan
alisnya begitu gadis berpakaian jingga itu menyelesaikan ceritanya.
"Aneh...!" ucap
Arya. "Kalau melihat kemarahan kedua orang kakek itu, jelas mereka yakin
kalau pembunuh dua orang muridnya adalah ayahmu. Tapi, kau sendiri yakin kalau ayahmu
sama sekali tidak membunuh mereka. Aneh...!"
"Aku yakin ayahku tidak
membunuh dua orang murid Perguruan Pedang Ular itu. Orang yang meng- hina
diriku dan ayah adalah pemuda berbadan lebar itu. Rasanya tak mungkin kalau
ayah membunuh dua orang yang sama sekali tidak berbuat kesalahan, sementara
orang yang menghina itu dibiarkan hidup!" Karmila meminta pendapat pada
Arya dengan nada berapi-api.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bisa diterima alasan yang dikemukakan gadis berpakaian jingga itu.
"Jadi..., kunci jawaban
pertanyaan itu ada pada pemuda yang berbadan lebar," desah pemuda berambut
putih keperakan itu pelan.
"Kau benar, Dewa
Arak!" sergah Karmila tiba-tiba. "Ah...! Mengapa aku sampai tidak
berpikir ke sana?"
"Kau terlalu sibuk memikirkan
ayahmu, Karmila," sahut Arya setengah mencela sambil tertawa. Karmila
hanya bisa meringis. Disadarinya kebenaran ucapan Dewa Arak itu.
"Mungkin kau benar, Dewa
Arak," hanya itu yang bisa diucapkan gadis berpakaian jingga itu.
"Bisa kau ceritakan padaku
tentang ayahmu, Karmila?" tanya Dewa Arak tiba-tiba. "Barangkali saja
dari situ bisa kuketahui latar belakang semua keruwetan ini."
Karmila tercenung sejenak.
Sepertinya gadis ini berat untuk menceritakannya.
"Apakah hal ini penting
sekali, Dewa Arak?"
"Mana kutahu, Karmila?
Tapi seperti yang telah kukatakan tadi, barangkali saja masalah ini ada
hubungannya dengan masa lalu ayahmu...."
"Baiklah, Dewa
Arak," sahut Karmila mengalah. "Puluhan tahun yang lalu, ayahku
adalah seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Telah puluhan, bahkan
mungkin ratusan kali, ayah bertanding tanpa pernah kalah. Ayah adalah orang
yang gila mengadu ilmu. Setelah tidak ada lagi orang yang berani menerima
tantangannya, dia pun mendatangi perguruan-perguruan silat besar. Ditantang
ketuanya bertanding."
Karmila menghentikan ucapannya
sebentar untuk mengambil napas. Seraya menunggu, barangkali saja Dewa Arak
hendak memberi tanggapan atas ceritanya. Tapi ternyata tidak. Pemuda berambut
putih keperakan itu tenang saja mendengarkan ceritanya.
"Di antara ketua-ketua
perguruan yang ditantang ayah, termasuk Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular,
dan juga Ketua Perguruan Golok Maut yang bergelar si Golok Emas. Keduanya
dikalahkan oleh ayah. Tapi bertahun-tahun setelah itu, ibuku meninggal dunia.
Ayah merasa terpukul sekali. Akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari dunia
persilatan. Dan sebelum ayah melaksanakan sumpahnya, terlebih dulu meminta maaf
pada ketua- ketua perguruan yang telah dikalahkannya. Ke- datangan ayah sekaligus
memberi tahu sumpahnya yang hendak mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
Lagi-lagi Karmila menghentikan
ceritanya. Dahinya nampak berkernyit. Rupanya gadis ini tengah mencari
kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. Di samping itu, semua pikirannya
dikerahkan untuk mengingat-ingat cerita ayahnya.
"Gambala menerima
permintaan maaf ayah. Apalagi kedatangan ayah tepat saat Perguruan Pedang Ular
tengah dikacaukan oleh tokoh sesat yang berjuluk Setan Kepala Besi. Saat itu
kebetulan Gumarang tidak berada di sana, sehingga kalau saja ayah tidak datang,
Gambala pasti sudah tewas. Begitulah cerita masa lalu Ayah, Dewa arak,"
ucap Karmila menutup ceritanya.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dari cerita gadis berpakaian jingga itu, rasanya tidak mungkin kalau
orang-orang Perguruan Pedang Ular menyerbu Kalapati karena masalah lalu. Lagi
pula, masalah itu telah lama berlalu. Sudah belasan tahun.
"Lalu, sekarang apa yang
akan kau lakukan, Dewa Arak?" tanya Karmila tiba-tiba.
"Memenuhi janjiku pada
ayahmu, Karmila," sahut Arya. Mantap nada suaranya.
"Apa itu, Dewa
Arak?" tanya gadis berpakaian jingga itu meskipun sebenarnya telah
didengarnya sendiri ucapan pemuda itu.
"Melindungimu dengan
taruhan nyawaku, Karmila."
Belum sempat Karmila menjawab,
tiba-tiba Dewa Arak memberi isyarat pada Karmila agar diam.
"Ada banyak langkah kaki
menuju ke sini, Karmila," bisik Arya memberi tahu. "Mudah-mudahan
saja hanya orang-orang yang sekadar lewat"
Karmila terpaksa membatalkan
ucapan yang akan dikeluarkannya. Dia pun diam menanti seperti halnya Dewa Arak.
Semakin lama derap langkah
kaki itu terdengar semakin jelas. Tak lama kemudian muncullah para pemilik
langkah kaki itu. Seketika itu juga Arya dan Karmila bergerak bangkit dari
duduknya.
Di hadapan Karmila dan Dewa
arak kini telah berdiri belasan sosok tubuh. Dan sosok yang berdiri paling
depan membuat kedua muda-mudi itu terkejut Orang yang berdiri paling depan
adalah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.
Menilik dari wajah mereka,
Dewa Arak dan Karmila sudah bisa menduga kalau belasan orang ini datang tidak
dengan maksud baik. Dan dugaan kedua orang itu beralasan.
"Hm...," Gambala
mendengus. Secercah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Sungguh tak
kusangka kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Dewa
Arak, adalah pemuda mata keranjang yang langsung lupa daratan begitu melihat
dahi licin!"
Merah wajah Dewa arak
mendengar ucapan keras bernada kasar itu. Seketika itu juga rasa marah
menggayuti hatinya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini segera menekan
amarahnya.
"Ha ha ha...! Kau benar,
Gambala," sambut seorang berwajah gagah yang bersenjatakan sepasang
tombak pendek. Diam-diam orang ini merasa iri pada Arya yang bisa begitu dekat
dengan seorang gadis semolek Karmila. Menilik dari potongannya, dia adalah
seorang tokoh persilatan golongan putih. "Kalau tidak ada apa-apa, mana
mungkin Dewa Arak berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong perempuan liar
ini. Setidak-tidaknya, mereka sudah... ehm... ehm ......... "
Terdengar suara gemeletuk dari
mulut Dewa arak mendengar ucapan bernada kotor itu. Tanpa sadar kedua tangannya
dikepalkan. Ada suara berkerotokan keras begitu jari-jemari Arya mengepal. Dewa
Arak memang marah bukan main. Penghinaan orang yang bersenjatakan sepasang tombak
pendek itu telah melewati batas!
Kalau Dewa Arak saja marah
apalagi Karmila. Wajah gadis berpakaian jingga ini merah padam karena rasa malu
dan terhina. Jari telunjuknya yang runcing, indah, dan halus ditudingkan ke
arah laki-laki gagah yang tadi mengeluarkan hinaan itu.
***
"Manusia berpikiran
kotor! Mulutmu yang menjijikkan itu memang harus dihajar!" sergah Karmila.
Setelah berkata demikian,
Karmila melompat menerjang. Tangannya menampar deras ke arah mulut laki-laki
gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek.
Wuttt..!
Deru angin cukup deras
mengawali tibanya tamparan Karmila. Tapi lawan yang diserang gadis berpakaian
jingga ini ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Sungguhpun dengan agak
tergesa-gesa, tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan itu lewat setengah
jengkal di depan wajahnya. Pada saat yang bersamaan, tombak di tangan kanannya
di- tusukkan ke leher Karmila.
Wukkk...!
"Ah...!"
Karmila memekik kaget.
Buru-buru kakinya dilangkahkan ke belakang seraya mendoyongkan tubuhnya.
Serangan tombak itu tidak mengenai sasaran. Setengah jengkal di depan
lehernya.Tapi baru saja mengelak, belasan orang yang menilik dari sikap dan
pakaian mereka adalah tokoh- tokoh persilatan aliran putih, telah meluruk
menerjang Karmila. Dan sekali menyerang, mereka semua telah menggunakan
senjata.
Seketika itu juga hujan
senjata berhamburan ke berbagai bagian tubuh gadis berpakaian jingga itu.
Teringat kalau gadis di hadapan mereka adalah putri Kalapati, tokoh-tokoh
golongan putih itu tidak ragu-ragu melakukan pengeroyokan.
Tentu saja Karmila jadi
kerepotan menghadapi serangan yang begitu gencar itu. Apalagi lawan putri bekas
datuk sesat ini bukanlah tokoh-tokoh rendahan. Masing-masing memiliki
kepandaian cukup tinggi. Tak heran kalau gadis berpakaian jingga ini jadi
terpontang-panting mengelak setiap serbuan lawan-lawannya.
Melihat hal ini Dewa Arak
mengerutkan alisnya. Segera pemuda berambut putih keperakan ini maju membantu
Karmila. Tapi baru saja beberapa tindak melangkah, tahu-tahu berkelebat sesosok
bayangan kuning. Dan sesaat kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Gambala.
Sebatang pedang telanjang telah tergenggam di tangan kanannya.
"Tidak kusangka kalau kau
bisa tersesat seperti ini, Dewa Arak! Tapi sebelum kau semakin jauh tersesat,
terpaksa aku harus menyingkirkanmu!" tandas Ketua Perguruan Pedang Ular
itu.
"Menyingkirlah, Kek. Dan
biarkan gadis yang tidak berdosa itu pergi," ucap Dewa Arak tenang.
"Ha ha ha...!"
Gambala tertawa bergelak. Kakek bermata sayu ini menatap Arya dengan sorot mata
penuh ejekan. Senyum sinis pun tersungging di bibirnya. "Tidak berdosa
katamu, Dewa Arak! Dasar pemuda mata keranjang! Pikiranmu sudah tidak waras
lagi rupanya. Kau benar-benar sudah terpikat oleh kemolekan wanita iblis
itu!"
"Mulutmu terlalu kotor, Kek,"
sambut Dewa Arak sambil mengangkat alisnya. Makian Gambala telah membuat
kemarahan Arya bergolak. Tapi meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan
ini mencoba menahannya.
"Aku hanya
memperingatkanmu, Dewa Arak!" tandas Gambala. "Aku tidak ingin nama
besarmu rusak karena pembelaanmu yang terlalu berlebihan pada wanita jalang
itu! Kau tahu, Dewa Arak. Sikapmu akan menimbulkan kesulitan bagi dirimu
sendiri.
Sekarang, hampir seluruh orang
persilatan golongan putih tengah memburu wanita itu. Dan kalau kau masih
bersikeras melindunginya, kau akan berhadapan dengan mereka!"
"Demi membela kebenaran,
aku tidak akan gentar menghadapi apa pun juga! Perlu kau ketahui, Kek. Wanita
itu bukanlah wanita jalang seperti yang kau tuduhkan!" tandas Dewa Arak
tegas.
"Ah! Susah bicara
denganmu, Dewa Arak! Kau sudah terjerat oleh kemolekan wajah dan kemontokan
tubuh gadis itu! Sekarang kau kuberi peringatan terakhir. Kau tinggalkan gadis
ini atau..., kau terpaksa berhadapan denganku!"
"Aku tidak memilih
keduanya! Yang kupilih adalah menyelamatkan gadis itu!" tegas pemuda
berambut putih keperakan itu lagi.
"Kalau begitu kau harus
berhadapan denganku, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
Gambala menerjang Dewa Arak. Pedang lentur di tangannya bergetar dan menyambar ke
arah dada Dewa Arak sambil mengeluarkan suara mengaung.
Menghadapi serangan Gambala,
Dewa Arak tidak berani mengelak tanpa menggeser kaki. Pedang lawan yang lentur
itu menyulitkan pemuda berambut putih keperakan untuk memastikan arah tujuan
serangan. Maka, segera Arya melangkahkan kakinya ke kanan, seraya menyondongkan
tubuh sehingga tusukan pedang lewat setengah jengkal di samping kiri
pinggangnya.
Pada saat yang bersamaan,
tangan pemuda itu berkelebat cepat, mengambil guci arak yang tersampir di punggungnya.
Kemudian gucinya diangkat ke atas kepala dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat yang
menyebar dari perutnya. Dan terus merayap naik ke atas kepala.
Baru saja Dewa Arak menurunkan
gucinya, serangan susulan dari Gambala meluncur tiba. Pedang lenturnya bergetar
aneh, kemudian dibabatkan mendatar ke arah leher Arya.
Wunggg...!
Tapi dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewi Arak untuk mengelak. Dengan langkah
terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak berkelebat. Sesaat kemudian
tubuh pemuda berpakaian ungu itu sudah lenyap dari situ. Dan tahu- tahu telah
berada di samping lawannya.
Gambala tidak kaget lagi.
Beberapa hari yang lalu dia sudah pemah bertempur dengan Dewa Arak. Maka, kakek
bermata sayu ini tidak menjadi heran begitu lawannya tahu-tahu lenyap dari
hadapannya. Telah diketahuinya kalau Dewa Arak tidak berada di belakang, tentu
berada di sampingnya.
Sesaat kemudian terjadilah
pertarungan sengit Gambala mempergunakan jurus-jurus 'Pedang Ular'- nya yang
aneh, dan Dewa Arak yang memainkan ilmu 'Belalang Sakti'.
Sebenarnya, kalau saja Dewa
Arak mau mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan juga perhatiannya tidak
terpecah pada Karmila, tidak terlalu sulit bagi Arya untuk mengalahkan lawan.
Dewa Arak unggul dalam
segala-galanya dibanding Gambala. Baik dalam ilmu meringankan tubuh, mau- pun
dalam hal tenaga dalam.
Berkali-kali sepasang mata
Dewa Arak dialihkan ke arah Karmila yang tengah menghadapi belasan lawan.
Nampak jelas kalau gadis berpakaian jingga itu terdesak. Tapi, pemuda berambut
putih keperakan ini membiarkan saja.
***
Sementara itu Karmila mengamuk
dahsyat. Gadis berpakaian jingga ini segera mencabut pedangnya ketika melihat
belasan orang mulai mengeroyoknya. Pedangnya berkelebat cepat melakukan
tangkisan- tangkisan. Tapi, sesekali sempat juga putri Kalapati itu balas
menyerang.
Karmila berusaha menyelamatkan
selembar nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemam- puannya.
Tapi karena jumlah lawan
terlalu banyak, tetap saja gadis ini kewalahan. Dan bahkan terdesak. Gulungan
pedangnya yang semula lebar, perlahan- lahan kian mengecil. Bahkan
serangan-serangan balasannya pun semakin jarang. Karmila lebih sering menangkis
dan mengelak daripada melancarkan serangan. Hujan serangan lawan tidak
memberinya kesempatan untuk balas menyerang.
"Haaat..!"
Laki-laki gagah bersenjatakan
sepasang tombak pendek menusukkan ujung senjata di tangan kanannya ke arah dada
Karmila. Padahal saat itu gadis berpakaian jingga itu baru saja berhasil
mengelak serangan salah seorang lawannya. Maka tidak ada jalan lain bagi
Karmila, kecuali menangkis serangan itu. Segera saja pedangnya digerakkan
menangkis. Dan .......
Wuttt..!
Tranggg...!
Suara berdentang keras
terdengar begitu kedua senjata itu beradu. Bunga-bunga api memercik tinggi ke
udara. Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek memekik pelan.
Tangan kanannya bergetar hebat sehingga hampir saja genggaman tombaknya
terlepas. Diakuinya kalau tenaga dalam miliknya masih kalah bila dibandingkan
tenaga dalam Karmila.
Bagi Karmila pun benturan
antara kedua senjata itu bukannya tidak berakibat sama sekali. Posisinya yang
sangat tidak menguntungkan pada saat menangkis, membuat tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Tepat pada saat itu, salah seorang pengeroyoknya
melancarkan tendangan cepat ke arah perut.
Wuttt..! Bukkk!
"Hugh...!"
Karmila mengeluh tertahan.
Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai perutnya. Seketika itu juga tubuh
gadis berpakaian jingga itu terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun
melanda perutnya.
Belum lagi Karmila berbuat
sesuatu, sergapan- sergapan dari pengeroyok lainnya datang bertubi-tubi.
"Akh...!"
Karmila menjerit tertahan.
Gadis berpakaian jingga ini menyadari kalau kali ini tidak mungkin lagi baginya
mengelak. Maka dia hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut.
Di saat kritis bagi
keselamatan putri Kalapati itu, Dewa Arak yang memang sejak tadi tak lepas-
lepasnya mengawasi Karmila, melesat cepat ke arah gadis itu. Gambala tentu saja
mengetahui maksud pemuda berambut putih keperakan itu. Buru-buru dia memotong
arus lompatan Dewa Arak. Bersamaan dengan itu, pedang lentur di tangannya
ditebaskan ke arah leher Arya.
Luar biasa! Dewa Arak yang
melihat Gambala berusaha menghalanginya, hanya menggeliatkan tubuhnya seraya
tetap meneruskan gerakannya menuju ke arah Karmila.
Wusss... !
Hati Gambala tercekat kaget.
Sungguh tak disangkanya kalau lawan mampu berbuat seperti itu. Saking
takjubnya, sepasang kelopak mata Ketua Perguruan Pedang Ular ini terbelalak
lebar!
Tentu saja bagi Dewa Arak
gerakan itu bukan merupakan sesuatu yang aneh. Berkat ilmu "Belalang
Sakti''nya, tidak sulit bagi Arya untuk melakukan gerakan-gerakan sulit dalam
posisi apa pun.
"Hih...!"
Cepat bukan main gerakan Dewa
Arak. Belum lagi senjata para pengeroyok itu mengenai Karmila, tahu- tahu tubuh
pemuda itu sudah berada di atas kepala gadis berpakaian jingga itu. Dan sekali
tangan Dewa Arak dikibaskan, para pengeroyok Karmila bertebaran ke belakang
laksana diterjang angin topan.
Terdengar pekikan-pekikan
tertahan mengiringi tubuh-tubuh yang berpentalan itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Dewa Arak
mendaratkan kedua kakinya tepat di depan Karmila. Dan secepat kedua kakinya
menjejak tanah, secepat itu pula kepalanya ditolehkan ke arah gadis berpakaian
jingga itu.
"Kau tidak apa-apa,
Karmila?" tanya Dewa Arak seraya merayapi sekujur tubuh putri Kalapati
itu. Dan hatinya lega ketika melihat tidak ada luka berarti yang diderita gadis
itu.
Karmila menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum manis.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak. Ahhh...! Aku hanya merepotkan dirimu saja.... Awas di
belakangmu, Dewa Arak...!" seru Karmila keras.
Tanpa diperingatkan pun,
sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu mengetahui adanya angin serangan
yang menuju ke arahnya. Segera kepalanya ditolehkan. Dilihatnya laki-laki gagah
bersenjatakan sepasang tombak pendek tengah menusukkan kedua tombaknya bertubi-tubi
ke arah tengkuk dan pinggangnya.
***
Begitu mengetahui siapa yang
telah membokongnya, Dewa Arak jadi geram. Orang inilah yang tadi telah
mengucapkan kata-kata kotor padanya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk
memberi pelajaran pada laki-laki bersenjatakan sepasang tombak pendek ini. Tapi
hal ini Dewa Arak lakukan bukan karena menuruti kemarahan hatinya. Melainkan
untuk memberi pelajaran agar orang ini tidak sembarangan lagi mengucapkan
kata-kata kotor.
Setelah mengambil keputusan
itu, Dewa Arak sengaja membiarkan saja serangan tombak itu meluncur ke arahnya.
Begitu mendekat, segera di- kerahkan tenaga dalam yang dimilikinya.
Tak, tak...!
Terdengar suara keras ketika
ujung mata tombak itu mengenai sasaran. Tapi akibatnya, tombak itu sendiri yang
membalik. Laki-laki gagah bersenjatakan tombak pendek itu memekik tertahan.
Kedua tangan- nya terasa lumpuh. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan
kanan Dewa Arak telah berkelebat menampar pipinya.
Plak...!Telak dan keras sekali
telapak tangan Dewa Arak mendarat di pipi laki-laki gagah itu. Seketika itu
juga di pipi orang itu tertera tanda merah bergambar telapak tangan. Bahkan
dari sudut-sudut bibirnya menetes darah segar. Masih untung baginya, Dewa Arak
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam yang dimilikinya. Kalau tidak,
tentu saat ini laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek itu sudah tewas
dengan leher patah.
Gambala menggeram melihat
Karmila berhasil diselamatkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan pekikan nyaring,
kakek bermata sayu ini melesat cepat mendekati Dewa Arak.
"Kau jangan ke mana-mana,
Karmila," ucap Dewa Arak kepada gadis berpakaian jingga itu. "Diamlah
di tempatmu."
Karmila menganggukkan kepala
pertanda mengerti. Tapi Dewa Arak tidak melihat anggukannya karena saat itu
serangan dari Gambala telah tiba. Segera sambaran pedang lentur itu dielakkan
dengan melangkahkan kakinya ke samping. Pada saat yang bersamaan, Arya membalas
dengan serangan tak kalah dahsyat. Karena Karmila berada di belakang Dewa arak,
belasan pengeroyoknya tidak bisa lagi mencecar gadis itu. Maka kini mereka
berbondong- bondong berusaha memecahkan pertahanan Dewa Arak.
Tapi, meskipun menghadapi
keroyokan belasan lawan, Dewa Arak sama sekali tidak tampak terdesak. Dengan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit baginya untuk mengelakkan semua
serangan. Sebaliknya, setiap pemuda berbaju ungu itu balas menyerang, sudah
dapat dipastikan akan ada yang bertumbangan. Meskipun begitu, tidak ada satu
pun di antara mereka yang tewas.
Gambala menggertakkan gigi.
Sudah belasan jurus berlalu, tapi dia belum juga mampu mendesak lawannya.
Padahal kakek bermata sayu ini telah dibantu oleh belasan tokoh persilatan
aliran putih. Tapi tetap juga tidak bisa menguasai keadaan. Bahkan perlahan
namun pasti, pihaknya yang mulai terdesak. Apalagi setelah satu persatu
tokoh-tokoh persilatan yang membantunya berguguran di tanah.
Tak lama kemudian, yang
tinggal hanyalah Gambala seorang. Tapi meskipun begitu, Ketua Perguruan Pedang Ular
ini tidak putus asa. Tetap saja kakek ini melakukan periawanan sengit .
"Jangan khawatir,
Gambala! Aku datang mem- bantu...!"
Terdengar sebuah seruan keras.
Dan seiring dengan lenyapnya seruan itu, berkelebat sesosok bayangan coklat
yang kemudian langsung memasuki kancah pertempuran.
Singgg...!
Begitu tiba, orang yang baru
datang ini langsung melancarkan serangannya. Seleret sinar keemasan melesat
cepat ke leher Dewa Arak.
Dari kilauan sinar keemasan
yang mengiringi tibanya serangan pendatang itu, baik Dewa Arak maupun Gambala
mengetahui kalau si penyerang itu adalah si Golok Emas. Ketua Perguruan Golok
Maut.
Dewa Arak yang telah
mengetahui kelihaian si Golok Emas, buru-buru mengelakkan serangan itu.
"Terima kasih, Golok
Emas!" ucap Gambala. "Untung kau cepat datang. Mari kita gempur
pendekar murtad ini bersama-sama!"
Untuk kedua kalinya, Dewa Arak
harus bertarung menghadapi dua orang ketua perguruan yang sakti ini Kini, Arya
harus menguras seluruh kemampuannya bila ingin selamat.
Gambala dan si Golok Emas yang
telah mengetahui kelihaian Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi segera menguras
segenap kemampuan mereka. Dengan adanya bantuan si Golok Emas, Gambala bisa
memusatkan perhatiannya pada permainan jurus-jurus "Pedang Ular'nya. Kini
pertarungan ketiga tokoh itu berlangsung lebih imbang.
Pertarungan antara kedua belah
pihak ini berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh jurus telah
berlalu. Dan sampai sejauh ini belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Diam-diam dalam hati Gambala
dan si Golok Emas kagum luar biasa pada kelihaian Dewa Arak. Sungguh sama
sekali tidak mereka sangka kalau orang semuda Dewa Arak bisa memiliki
kepandaian setinggi ini. Rasa-rasanya tingkat kepandaian pemuda berambut putih
keperakan ini tidak kalah dengan Kalapati.
Selagi pertarungan itu
berlangsung seru, di tempat itu bermunculan kembali belasan tokoh persilatan
golongan putih. Semula mereka hendak membantu mengeroyok Dewa Arak, tapi mereka
segera mengurungkan niatnya begitu melihat pertarungan masih berjalan imbang.
Kini belasan tokoh itu hanya menonton saja. Itu pun dari kejauhan.
Belasan tokoh golongan putih
itu tidak berani mendekat lebih dari lima tombak. Angin pukulan ketiga tokoh
sakti yang tengah bertarung itu tidak dapat mereka tahan. Jadi, jangankan ikut
men- ceburkan diri dalam pertarungan, mendekat pun harus mempertaruhkan nyawa!
Sementara itu pertarungan
antara Dewa Arak meng-hadapi Gambala dan si Golok Emas berlangsung semakin
sengit. Kini pertarungan mereka sudah menginjak jurus ke seratus. Dan sampai
sejauh itu, tetap belum terlihat siapa yang akan terdesak.
"Ha ha ha...!"
Mendadak saja terdengar tawa
keras menggelegar yang didorong dengan pengerahan tenaga dalam. Gema tawa itu
terpantul ke seluruh tempat itu. Kontan semua orang yang menonton pertarungan
berpaling ke arah asal suara. Hanya yang sedang terlibat pertarungan saja yang
tidak terganggu dengan suara tawa itu.
Seiring dengan lenyapnya suara
tawa itu, tahu-tahu di dekat arena pertarungan telah berdiri seorang laki- laki
bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Seluruh otot-otot tangan, dada, dan
perutnya tampak jelas bertonjolan. Orang yang baru datang ini bertelanjang
dada. Raut wajahnya yang kasar dan kepalanya yang botak membuat penampilan
orang ini semakin angker. Celananya yang sebatas lutut terbut dari kulit
beruang salju.
"Setan Kepala
Besi...!" desis beberapa orang tokoh persilatan yang rupanya mengenai
orang ini.
Laki-laki tinggi besar yang
tak lain dari Setan Kepala Besi, kembali tertawa bergelak. Tapi, sepasang
matanya tak lepas memandang ke arah pertarungan, Mengawasinya beberapa saat.
"Ha ha ha...! Gambala,
Golok Emas! Lawan terlalu kuat bagi kalian. Biar aku yang menghadapinya!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki tinggi besar ini langsung menerjang Dewa Arak. Setan Kepala Besi,
adalah seorang yang amat cerdik. Setelah mengamati beberapa saat, diketahuinya
kalau Dewa Arak benar- benar seorang tokoh yang tangguh bukan main. Bahkan
rasa-rasanya tidak kalah dengan Kalapati. Maka kini diputuskannya untuk turun
tangan membantu Gambala dan si Golok Emas, menghadapi tokoh muda yang
berkepandaian tinggi itu.
Bahkan bukan hanya itu saja
kelicikan Setan Kepala Besi. Sewaktu menyerang pun ditunggunya sampai Dewa Arak
berada dalam keadaan terjepit. Begitu dilihatnya pemuda berambut putih
keperakan itu sibuk menghadapi serangan dua orang lawannya, Setan Kepala Besi
melancarkan serangan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Setan
Kepala Besi menerjang ke arah Dewa Arak. Kedua cakarnya melakukan sambaran
bertubi-tubi ke arah kepala pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak terkejut bukan main.
Saat serangan Setan Kepala Besi tiba, dia baru saja menangkis serangan kedua
lawannya. Dengan sebisa-bisanya Arya berusaha menangkis.
Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar
berkali-kali, disusul dengan terjengkangnya Dewa Arak ke belakang hingga
terguling-guling di tanah. Kuda-kuda Arya memang berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan saat itu. Tambahan lagi, sewaktu menangkis tadi pemuda berambut
putih keperakan ini belum sempat mengerahkan tenaga dalamnya secara penuh.
"Dewa Arak...!"
Karmila menjerit keras begitu
melihat pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang dan bergulingan di
tanah. Cepat dia menghambur dan berdiri membelakangi Arya yang masih berusaha
bangkit. Darah segar menetes dari sudut-sudut bibir Dewa Arak.
Setan Kepala Besi tertawa
bergelak. Tanpa memberi kesempatan lagi, tubuhnya melesat untuk menjatuhkan
serangan maut pada lawannya. Tapi Karmila tetap tidak bergeser dari tempatnya.
Gadis berpakaian jingga ini malah melintangkan pedangnya di depan dada.
Bersiap-siap menentang Setan Kepala Besi yang akan menjatuhkan tangan maut pada
Dewa Arak yang sudah terluka.
"Hentikan
pertempuran...!"
Terdengar suara cegahan keras
penuh wibawa. Seketika itu juga, semua kepala menoleh ke arah asal suara itu.
Tak terkecuali Setan Kepala Besi.
Tokoh-tokoh persilatan yang
berada di situ, semua mengerutkan alis melihat serombongan prajurit berkuda
yang bersenjata lengkap bergerak mendekati mereka. Berkuda paling depan adalah
seorang wanita berwajah cantik jelita berpakaian serba putih. Rambutnya yang
panjang dibiarkan tergerai di bahu.
"Melati...," desis
Dewa Arak dalam hati begitu mengenali wanita berpakaian serba putih itu.
"Atas nama Prabu Nalanda,
Raja Kerajaan Bojong Gading, kuharap kalian menghentikan keributan dan segera
meninggalkan tempat ini!" tandas Melati. Suaranya tegas penuh wibawa.
Tokoh-tokoh persilatan yang
berada di situ saling berpandangan sejenak. Kemudian serentak meng- alihkan
pandangan ke arah pasukan berkuda yang ternyata adalah pasukan Kerajaan Bojong
Gading. Memang mereka tahu kalau daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan
Bojong Gading.
"Ha ha ha...!" Setan
Kepala Besi tertawa bergelak. "Kalau aku tidak mau?"
"Berarti kau menentang
perintah Gusti Prabu. Kau akan dianggap pemberontak, dan terpaksa aku akan
menangkapmu!" sahut Melati tegas.
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian serba putih ini segera melompat dari kudanya. Dan begitu
melihat Melati turun, pasukan yang berada di belakangnya pun berlompatan
menyusul. Jumlah rombongan ini tak kurang dari tiga puluh orang.
Hati semua orang yang berada
di situ terkejut begitu melihat gerakan pasukan kerajaan itu. Rata- rata gerakan
anggota pasukan itu ringan. Dan sepasang mata mereka pun mencorong tajam. Hal
ini memang wajar, mereka adalah pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.
Sadar kalau keadaan tidak
menguntungkan, Gambala dan si Golok Emas tidak berani mencari penyakit. Sungguhpun
mereka bukan warga Kerajaan Bojong Gading, tapi mereka tahu kalau raja mereka
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Raja Bojong Gading. Maka tanpa berkata
apa-apa, keduanya pun segera meninggalkan tempat itu.
Melihat Ga mbala dan si Golok
Emas beranja k pergi, puluhan tokoh persilatan golongan putih pun melangkah
meninggalkan tempat itu.
Setan Kepala Besi menggeram
begitu menyadari kalau tak ada gunanya dia berurusan dengan prajurit- prajurit
Kerajaan Bojong Gading. Maka, sambil mendengus kesal, tubuhnya pun berkelebat
meninggalkan tempat itu. Sebagai seorang datuk persilatan, laki-laki tinggi
besar ini mengetahui kalau gadis yang sepertinya adalah pemimpin rombongan
pasukan berkuda ini berkepandaian amat tinggi. Sorot mata yang mencorong tajam
dan bersinar kehijauan itu merupakan salah satu buktinya.
"Melati...," panggil
Dewa Arak pelan. Sepasang matanya memandang gadis berpakaian putih penuh
kerinduan. Meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan itu diam-diam agak
heran kalau bisa bertemu Melati di tempat ini. Tapi kerinduannya membuat Arya
melupakan pertanyaan yang meng- gayuti benaknya itu.
Melati sama sekali tidak
menyahuti panggilan Dewa Arak. Sinar mata gadis berpakaian putih ini terlihat
dingin ketika beradu pandang dengan Arya. Sepasang mata bening dan indah itu
menatap tajam Dewa Arak dan Karmila bergantian. Pandangannya pada gadis
berpakaian jingga itu menyorot penuh kebencian. Gadis berpakaian putih itu
tidak bisa menerima kenyataan kalau tunangannya berjalan berduaan dengan gadis
secantik Karmila.
"Melati...," panggil
Dewa Arak lagi seraya melangkah menghampiri. Karmila hanya berdiri me- matung
memandangi semua itu dengan wajah pucat. Benak gadis berpakaian jingga ini bisa
menduga adanya hubungan kkusus antara Dewa Arak dengan gadis pemimpin pasukan
Kerajaan Bojong Gading itu. Dan seketika itu juga merayap rasa kenyerian yang
amat sangat mendera hatinya.
Karmila perlahan-lahan
menundukkan kepalanya. Seketika itu juga ingatannya menerawang kembali pada
ayahnya yang kini pasti sudah tiada. Tak terasa ada air bening yang bergulir di
pipinya yang putih halus dan mulus itu. Baru saja berkurang kepedihan hatinya
akibat pengorbanan ayahnya, kini dia harus menerima lagi kepedihan yang lain.
Sementara itu, baru beberapa
tindak Dewa Arak melangkah, mendadak Melati membalikkan tubuhnya. Dan secepat
kilat melompat ke punggung kudanya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu
lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Secepat kilat binatang tunggangan itu
pun melesat meninggalkan tempat itu.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading
yang sejak tadi bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, segera bergerak melompat
pula ke atas punggung kuda. Orang-orang gagah itu cepat menggebah kudanya
menyusul Melati. Sebelum berlalu, tak lupa mereka memberikan penghormatan pada
Dewa Arak.
Dewa Arak hanya dapat
memandangi rombongan berkuda yang semakin bergerak menjauh itu dengan wajah
pucat. Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau pertemuan kembali dengan
tunangannya akan terjadi seperti ini.
"Melati..., ah Melati...,"
desah Arya lirih.
"Semua ini karena
salahku, Dewa Arak," sahut Karmila dengan suara serak. "Lebih baik
aku pergi saja ..... "
Dewa Arak menoleh ke arah
Karmila. Ditatapnya wajah cantik jelita yang terlihat pucat itu lekat-lekat.
"Tidak, Karmila. Melati
hanya salah paham. Nanti pun semua masalah akan menjadi jelas," sahut Dewa
Arak bernada menghibur.
"Kalau begitu, mari kita
cari tempat untuk meng- obati lukamu," ucap Karmila mengalihkan per-
cakapan.
Dengan langkah lesu dan kepala
tertunduk, Dewa Arak dan Karmila meninggalkan tempat itu. Masing- masing sibuk
dengan pikirannya sendiri-sendiri. Sementara matahari sudah condong ke Barat.
Dan hari pun perlahan mulai gelap ketika tubuh Arya dan Karmila lenyap di
kejauhan.
Berhasilkah Dewa Arak
mengetahui pembunuh sebenarnya dari Jalasa dan Rupangki? Dan bagai- manakah
hubungan Waji dengan Setan Kepala Besi? Benda apakah yang dicari oleh Setan
Kepala Besi di gua tempat tinggal Kalapati? Dan terakhir, mampu- kah Dewa Arak
meyakinkan Melati kalau dia dan Karmila sama sekali tidak ada hubungan apa-apa?
Untuk mengetahui jawabannya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode
"JamurSisik Naga".
SELESAI