Serial Dewa Arak 11 - Memburu Putri Datuk

Seorang kakek berpakaian kulit ular yang berwajah bengis, menghentikan semadinya. Perlahan-lahan kedua kelopak matanya dibuka.
11 - Memburu Putri Datuk

Seorang kakek berpakaian kulit ular yang berwajah bengis, menghentikan semadinya. Perlahan-lahan kedua kelopak matanya dibuka. Dan begitu telah bangkit berdiri barulah terlihat kalau kakek berwajah bengis ini bertubuh tinggi kekar.

Kakek berpakaian kulit ular ini lalu bergegas menelusuri lorong gua menuju pintu keluar. Rupanya kakek tinggi kekar ini menghentikan semadinya karena mendengar suara panggilan yang sangat dikenalnya dari luar gua.

"Ayah...!"

Kembali suara panggilan itu terdengar. Dan seiring dengan semakin dekatnya kakek itu dengan mulut gua, maka panggilan itu pun semakin jelas dari sebelumnya. Begitu kakek berwajah bengis ini telah berada di luar gua, mendadak sesosok ramping berpakaian jingga segera menghambur ke arahnya.

"Ada apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu pelan. Suaranya lembut, menyiratkan rasa sayang yang mendalam. Suara laki-laki ini sungguh berlawanan sekali dengan penampilannya.

"Anu, Ayah...."

"Anu, apa? Katakanlah," desak kakek tinggi kekar itu sambil tersenyum. Tapi karena wajahnya bengis, senyumnya lebih mirip sebuah seringai menyeramkan.

"Aku sudah bosan berlatih ilmu-ilmu rendahan ini, Ayah!" sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Karmila itu ketus. Wajahnya yang cantikmemberengut, menandakan kekesalan hatinya.

"Ha ha ha...!" kakek berwajah bengis itu tertawa terbahak-bahak. "Kukira ada apa. Lalu, maumu bagaimana, Karmila?"

"Aku ingin Ayah mengajarku ilmu andalan Ayah. Ilmu yang telah mengangkat Ayah menjadi datuk tak terkalahkan!"

"Hah?!" seketika senyum di wajah kakek itu lenyap. Jelas kalau ucapan putrinya membuatnya terkejut

"Mengapa Ayah terkejut?" tanya Karmila lagi. "Bukankah wajar kalau aku ingin memiliki ilmu-ilmu yang dapat kuandalkan. Bukan ilmu-ilmu rendahan seperti yang Ayah ajarkan selama ini."

"Tapi, Karmila...," kakek berwajah bengis itu men- coba membantah.

"Pokoknya kalau tidak diajarkan ilmu itu, aku tidak mau berlatih lagi!" potong gadis berpakaian jingga itu ketus.

"Tapi ilmu itu adalah ilmu keji, Karmila. Sejak aku sadar kalau kelakuanku selama ini keliru, aku telah bersumpah tidak akan menurunkan ilmu ini kepada siapa pun! Ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', tidak cocok untukmu, Karmila."

"Aku berjanji tidak akan menggunakan ilmu itu kalau tidak terpaksa, Ayah," sahut Karmila tidak kehilangan akal. "Pokoknya kalau Ayah tidak bersedia mengajarkannya, aku tidak mau berlatih lagi. Untuk apa berlatih ilmu-ilmu rendahan? Hanya buang-buang waktu saja!"

Kakek berwajah bengis yang ternyata bekas datuk sesat ini mengerutkan alisnya. Kesal juga hatinya mendengar Karmila merendahkan ilmu-ilmu yang telah diajarkannya.

"Kau keliru, Karmila. Ilmu yang kau pelajari selama ini bukanlah ilmu rendahan. Kau tahu, selama aku malang melintang merambah rimba persilatan, jarang sekali aku mengeluarkan ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'! Boleh dibilang hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu selama ini, lawan yang bagaimanapun berhasil kukalahkan."

"Tapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu itu, Ayah," rengek Karmila merajuk.

Gadis berpakaian jingga ini tahu kalau ayahnya ini sangat menyayanginya. Hampir tidak ada satu pun permintaan yang ditolak ayahnya apabila dia telah merajuk seperti itu. Maka kali ini pun Karmila kembali mempergunakan 'senjata pamungkasnya' untuk meruntuhkan kekerasan hati ayahnya.

Beberapa saat lamanya kakek berpakaian kulit ular itu tercenung. Kemudian menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Baiklah, Karmila," sahut kakek berwajah bengis itu mengalah. Jelas sekali terlihat kalau sebenarnya kakek itu terpaksa menuruti permintaan putrinya.

Seketika itu juga wajah Karmila berubah cerah.

"Terima kasih, Ayah. Sedari tadi, aku pun sudah yakin kalau Ayah akan mengabulkan permintaanku," ucap Karmila seraya tersenyum manja.

Kakek berpakaian kulit ular itu mengurut dada.

Lega sudah hatinya begitu melihat Karmila sudah tersenyum cerah kembali. Dan seketika itu juga rasa terpaksa di hatinya menguap entah ke mana. Hal itu memang kerap terjadi setiap kali melihat kegembiraan putrinya.

"Kapan Ayah akan mengajarkan ilmu itu?"
"Kapan saja kau siap, Ayah pun siap mengajarmu," sahut kakek berwajah bengis itu. Kini suaranya terdengar mantap.
"Bagaimana kalau sekarang saja, Ayah?"
"Kau sudah benar-benar siap?"
"Siap, Ayah," jawab Karmila mantap.

Lalu kakek berpakaian kulit ular itu pun mulai memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' pada Karmila. Sementara gadis berpakaian jingga itu menyimaknya penuh seksama.

Cukup lama juga kakek itu memberi petunjuk dasar-dasar ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' pada Karmila. Tapi beberapa kali sang Ayah terpaksa harus mengulang keterangannya kembali bila ada yang kurang dipahami putrinya.

Baru setelah Karmila mengerti semuanya, sang Ayah meninggalkannya. Dia kembali meneruskan semadinya. Sementara Karmila masih tekun mem- pelajari ilmu yang baru didapatnya.

Sejak hari itu, Karmila sibuk melatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Gadis berpakaian jingga itu ternyata sangat tekun melatihnya. Terkadang sampai lupa makan dan istirahat.

***

Hari masih terlalu pagi. Bahkan kabut pun masih belum terusir seluruhnya. Di sebuah tanah lapang terlihat Karmila tengah sibuk melatih ilmu yang baru diajarkan ayahnya.

"Hih...!"

Dengan jari-jari telunjuk mengacung ke depan sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, Karmila melakukan totokan bertubi-tubi ke depan. Terdengar angin bercicitan setiap kali tangan gadis berpakaian jingga itu bergerak menyerang.

Entah sudah berapa lama gadis berpakaian jingga ini berlatih. Yang jelas kabut telah sirna. Dan matahari telah bersinar cukup terik ketika tubuh gadis itu melompat dan bergulingan ke depan. Lalu bergegas bangkit seraya melancarkan totokan beruntun ke arah sebatang pohon besar yang kokoh di hadapannya.

Crab! Crab... !

Luar biasa! Jari-jari telunjuk Karmila yang lembut, amblas ke dalam batang pohon ketika totokan- totokan gadis itu menghunjamnya.

Karmila tersenyum lebar. Hatinya cukup gembira melihat kemajuan latihannya. Meskipun jika dibandingkan dengan kesaktian ayahnya, hasil yang dicapainya ini belumlah seberapa, tapi gadis ini sudah cukup puas.

Plok, plok, plok... !

Suara tepuk tangan keras membuat Karmila membalikkan tubuhnya. Dengan perasaan terkejut, mata gadis berpakaian jingga itu berkeliling mencari asal suara tepukan. Masalahnya, di tempat ini tidak ada orang lain selain dia dan ayahnya. Lagi pula ayahnya tak pernah bertepuk tangan jika memujinya. Jadi, pasti orang lain yang telah bertepuk tangan!

Keterkejutan Karmila semakin bertambah ketika melihat tiga sosok berpakaian kuning, berdiri tidak jauh dari tempatnya berlatih. Rupanya saking asyik- nya berlatih, dia tidak menyadari kalau ada orang yang menonton latihannya.

"Luar biasa! Sungguh tak kusangka kalau di tempat seperti ini ada bidadari tengah menari-nari," ucap salah seorang dari ketiga tamu tak diundang itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan berbadan lebar. Usianya sekitar tiga puluhan. Sinar mata pemuda itu merayapi sekujur tubuh Karmila dengan liar.

"Hm...," seorang yang bertubuh agak pendek, ber- tubuh tegap dan berkumis jarang bergumam tidak jelas.

"Ataukah aku salah sangka, Adi Rupangki?!" tanya pemuda berbadan lebar itu, sambil menoleh ke arah pemuda bertubuh tinggi kurus.

"Maksudmu bagaimana, Kang Waji?" Rupangki balas bertanya.

"Heh...?!" pemuda berbadan lebar yang ternyata bernama Waji, berseru keheranan. "Kau belum mengerti maksudku, Adi Rupangki?"

"Belum, Kang," sahut pemuda tinggi kurus bermata sipit itu seraya menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana denganmu, Adi Jalasa? Apakah aku tidak salah kalau menyebut gadis di depan kita adalah bidadari?" tanya Waji lagi seraya menoleh pada pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis tipis.

Pemuda bertubuh pendek, tegap, dan berkumis tipis yang ternyata bernama Jalasa itu hanya meng- angkat bahu.

"Aku juga tidak mengerti maksudmu, Kang," jawab Jalasa.

"Aneh! Butakah mata kalian? Aku yakin kalau gadis di hadapan kita ini bukan bidadari. Tapi iblis betina!" jawab Waji akhirnya.

Tajam dan kasar suaranya.

"Apa alasanmu, Kang?" tanya Jalasa penasaran.

"Kau tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkan- nya?" tukas Waji. "Apakah kau juga lupa, Adi Rupangki? Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah yang dimainkannya tadi adalah salah satu jurus dari ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'!"

"Ahhh...!" Jalasa dan Rupangki berseru berbareng.

Kekagetan terlihat jelas pada wajah keduanya.

"Dan kalian tahu siapa pemiliknya?" sambung pemuda berbadan lebar itu lagi.
"Kalapati...," desis Jalasa dan Rupangki berbareng.

"Ya," Waji menganggukkan kepalanya. "Datuk sesat yang menggiriskan itu."
Jalasa dan Rupangki saling berpandangan sejenak.

"Kebetulan sekali!" ucap Waji tiba-tiba seraya menatap wajah Jalasa dan Rupangki. Sementara yang ditatap hanya dapat memandang wajah pemuda berbadan lebar itu. Wajah kedua orang itu terlihat bingung.

"Apanya yang kebetulan, Kang?" tanya Jalasa.
"Bukankah kedatangan kita kemari adalah untuk mencari datuk sesat itu?" tanya Waji seraya menatap pemuda bertubuh pendek tegap itu.

Jalasa mengangguk. Tanpa sadar Rupangki meng­anggukkan kepalanya juga. Padahal pemuda tinggi kurus ini sama sekali tidak ditanya.

"Kita culik saja gadis ini! Aku yakin gadis ini ada hubungannya dengan Kalapati keparat itu!" usul Waji.

Sepasang alis Jalasa berkerut.

"Ingat, Kang. Guru telah berpesan agar kita tidak lagi memperpanjang urusan dengan Kalapati. Datuk itu telah menyadari kekeliruannya. Lagi pula, dialah yang menyelamatkan guru kita dari tangan Setan Kepala Besi," sahut pemuda bertubuh pendek kekar itu mengingatkan.

Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya per- tanda menyetujui ucapan Jalasa.

"Bodoh kalian!" sergah Waji keras. "Apakah kalian juga berpikiran seperti guru? Menganggap selesai semua urusan itu?!" tanya Waji bernada penasaran.

Jalasa dan Rupangki menganggukkan kepalanya. Tentu saja hal ini membuat kegeraman pemuda berbadan lebar itu semakin menjadi-jadi.

"Lalu, untuk apa kalian mengikutiku kalau bukan untuk membalas dendam pada iblis itu?!" sentak Waji gusar.
"Kami ikut karena tidak tega melepasmu sendiri, Kang," Rupangki yang menyahuti.

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita tangkap gadis itu. Dan kita paksa Kalapati menyerah!" ucap Waji bernada memerintah.

Tapi sebelum ketiga orang ini bergerak, Karmila telah lebih dulu melompat menghadang. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya begitu men- dengar ucapan-ucapan Waji.

"Keparat! Mulut kalian terlalu kotor. Jangan salahkan kalau aku terpaksa merobek mulut kalian!" bentak Karmila bernada kemarahan.

"Hm...!" Waji mendengus. "Kaulah yang akan kami tangkap sebagai balasan atas kekejian ayahmu dulu, Perempuan Liar. Kau akan kami telanjangi dan kami perkosa bergantian sampai mati!" ucap pemuda berbadan lebar itu keras.

Terdengar pekik melengking penuh keterkejutan dari mulut Karmila. Seketika itu juga sepasang bola mata gadis berpakaian jingga ini berkilat-kilat penuh kemarahan.

Bukan hanya Karmila saja yang terkejut men- dengar ucapan Waji. Jalasa dan Rupangki pun ter­kejut mendengarnya. Serentak keduanya menatap wajah pemuda berbadan lebar itu, dengan sorot mata penuh pertanyaan.

"Kang...!" seru Jalasa dan Rupangki. Ada teguran keras dalam suaranya. Wajarlah kalau kedua pemuda itu terkejut. Mereka adalah murid-murid perguruan beraliran putih yang kelak diharapkan akan menjadi pendekar-pendekar pembela keadilan. Lagi pula, perbuatan memperkosa adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah saja.

"Hiyaaa...!"

Karmila tidak kuat lagi menahan kemarahannya mendengar penghinaan itu. Seketika itu juga, gadis berpakaian jingga ini menerjang Waji. Jari-jari tangan- nya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati pemuda berbadan lebar itu.

Terdengar suara bercicitan nyaring mengiringi tibanya sodokan tangan Karmila. Kaget juga Waji melihat keampuhan jurus-jurus lawan. Pemuda ber­badan lebar ini sama sekali tak menyangka kalau gadis semuda ini sudah memiliki tenaga dalam seperti itu. Biasanya hanya tokoh-tokoh tua saja yang mampu menimbulkan angin bercicitan dalam setiap serangannya.

Berpikir demikian, maka Waji tidak berani ber- tindak gegabah. Cepat-cepat kakinya digeser ke kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri pinggangnya. Lalu sambil melangkahkan kaki kanannya ke depan, cakar tangan kanannya menyambar deras ke perut gadis berpakaian jingga itu.

Karmila terperanjat. Buru-buru gadis ini men- doyongkan tubuhnya ke belakang seraya menarik pulang kedua tangannya. Dalam sekejap, kedua tangan itu sudah berkelebat menangkis serangan yang mengancam perutnya.

Plak, plak...!

Terdengar benturan keras begitu dua tangan yang dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya Waji terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dengan sekujur tangan terasa patah-patah. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Sementara Karmila hanya terhuyung satu langkah ke belakang.

Waji menggeram murka. Rasa penasaran yang amat sangat melandanya begitu menyadari kalau dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian jingga itu hampir mempecundanginya. Bagaimana Waji tidak penasaran? Dia adalah salah seorang dari tiga murid kepala sebuah perguruan silat besar saat ini. Jalasa dan Rupangki adalah dua orang adik seperguruannya. Kini menghadapi seorang wanita muda saja, dia telah dibuat terhuyung-huyung dalam segebrakan. Hal itulah yang membuatnya menjadi kalap.

"Haaat..!"

Sambil berteriak nyaring, Waji kembali menerjang Karmila. Gadis berpakaian jingga yang memang sudah murka sejak tadi itu, langsung saja menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang itu pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit

Baru beberapa jurus bertarung, Waji sudah berkali- kali mengeluarkan seruan kaget. Kepandaian gadis berpakaian jingga ini memang luar biasa. Tidak hanya dalam adu tenaga dalam saja Karmila lebih unggul, dalam hal kelincahan pun, gadis berpakaian jingga itu berada di atasnya.

Waji menggertakkan gigi. Tapi meskipun pemuda berbadan lebar itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak merubah keadaan. Karmila memang lebih unggul segala-galanya. Per- lahan namun pasti pemuda berbadan lebar ini mulai terdesak.

Jalasa dan Rupangki menonton jalannya per- tarungan dengan penuh kekhawatiran. Meskipun kepandaian mereka masih berada di bawah Waji, tapi keduanya dapat melihat kalau kakak seperguruan mereka itu terdesak. Karuan saja hal ini membuat kedua orang ini bingung. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Membantu Waji berarti melanggar pesan guru mereka, sedangkan bila tidak membantu, kakak seperguruan mereka akan celaka.

Sementara itu keadaan Waji semakin meng- khawatirkan. Pertarungan sudah berlangsung hampir dua puluh jurus. Dan kini pemuda berbadan lebar itu tidak mampu lagi balas menyerang. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak terus. Tapi sampai kapan Waji mampu bertahan?

Mendadak pemuda berbadan lebar ini men- jatuhkan diri dan terus bergulingan di tanah. Karmila yang emosinya sudah memuncak, tidak mau mem- biarkan lawannya lolos. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera dikejarnya tubuh yang tengah bergulingan itu.
Karmila sama sekali tidak menyangka kalau semua itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh Waji. Girang hati Waji begitu melihat gadis berpakaian jingga itu mengejarnya. Tapi Waji tidak mau bertindak gegabah. Pemuda berbadan lebar ini tidak ingin rencananya gagal. Maka ditunggunya hingga lawan mendekat .

Dan begitu Karmila telah mendekat, mendadak tangan Waji mencengkeram tanah, dan secepat itu pula dilemparkan ke wajah Karmila.

Wuttt..!
Pyarrr...!

Karmila gugup bukan kepalang. Gadis berpakaian jingga ini sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan berbuat securang itu. Sedapat-dapatnya sambaran abu itu ditangkis dengan tangannya. Dan itulah yang dikehendaki Waji. Begitu tertangkis, abu pun membuyar seketika. Sebagian dari abu itu menyebar ke wajah Karmila. Kontan matanya terasa perih. Karuan saja hal ini membuat Karmila gelagapan. Rupanya ada serpihan abu yang memasuki matanya.

Di saat Karmila sedang gelagapan, Waji mem- bokong gadis berpakaian jingga itu. Kaki kanannya melakukan tendangan lurus ke arah perut.

Wuttt!
Bukkk!
"Hugh...!"

Tubuh Karmila seketika terlipat ke depan. Ada suara keluhan tertahan keluar dari mulut mungil yang bentuknya bagus itu. Tendangan Waji telak dan keras sekali mengenai perut Karmila.

Belum lagi gadis berpakaian jingga itu berbuat sesuatu, tangan lawan kembali menyambar. Menyampok ke arah pelipisnya.

Walaupun sepasang matanya tidak mampu melihat, Karmila dapat mengetahui sambaran itu dari desir angin yang menyambar sebelum serangan itu tiba. Karmila mengetahui adanya serangan maut yang mengancam nyawanya. Cepat-cepat tangan kirinya diangkat, melindungi pelipis.

Plak!

Karmila terhuyung-huyung ke samping. Kuda-kuda gadis ini memang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Sehingga tenaga dalamnya tidak bisa dikerahkan seluruhnya untuk menangkis serangan itu. Walaupun begitu, setidak-tidaknya tangkisan Karmila sudah cukup membendung sambaran lawan.

Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik- baiknya oleh Karmila. Sambil tetap memejamkan kedua matanya, gadis itu melenting ke belakang. Lalu bersalto beberapa kali di udara.

"Hup...!"

Meskipun agak terhuyung, Karmila berhasil men- daratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu men- darat, gadis ini berusaha keras membuka kelopak matanya.

Waji geram bukan main melihat lawan berhasil meloloskan diri dari cecarannya. Kemarahan pemuda berbadan lebar ini memang sudah mencapai puncak- nya. Maka....

Srattt..!

Seketika seberkas sinar terang terpancar, begitu Waji menghunus pedangnya. Tapi berbeda dengan pedang umumnya, batang pedang Waji tidak kaku, melainkan lentur dan lemas.

Secepat senjatanya keluar dari sarungnya, secepat itu pula tubuhnya kembali menerjang. Pedang lenturnya cepat dibabatkan ke leher gadis berpakaian jingga itu.

Wunggg...!

Suara mengaung nyaring mengiringi tibanya sabetan pedang itu. Sehingga meskipun belum mampu membuka matanya, Karmila dapat merasa- kan adanya serangan maut yang mengancam ke arahnya. Tapi gadis berpakaian jingga ini tidak dapat menduga arah serangan itu. Walaupun telah mengerahkan seluruh kemampuan pendengarannya, tetap saja dia tidak mampu mengetahui arah yang dituju. Suara mendengung yang timbul dari sambaran senjata lawan, menyulitkannya untuk mengetahui arah sasaran yang dituju.

Karmila sama sekali tidak menyadari kalau hal ini memang disengaja oleh Waji. Pemuda berbadan lebar ini tahu kalau lawan kini hanya mengandalkan pendengaran sebagai pengganti mata. Oleh karena itu, sengaja dimainkannya jurus pedang yang memang khusus dimainkan untuk menghadapi orang yang hanya mengandalkan pendengaran. Suara mengaung yang ditimbulkan gerakan pedangnya memang sengaja untuk mengacaukan pendengaran lawan.

Wajah Karmila pucat seketika. Gadis berpakaian jingga ini segera tersadar kalau dirinya berada dalam cengkeraman maut. Tapi putri tunggal Kalapati ini sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan selembar nyawanya.

Di saat kritis bagi keselamatan Karmila, melesat sesosok bayangan kekuningan. Bayangan itu langsung memotong laju tubuh Waji yang tengah melancarkan serangan maut.

Takkk!
"Akh...!"

Waji memekik tertahan. Sekujur tangannya terasa lumpuh seketika. Tanpa dapat ditahannya lagi, pedangnya pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh. Memang, Waji tadi sempat melihat sekelebatan bayangan kekuningan yang memapak sabetan pedangnya. Tapi karena posisi yang sedang berada di udara, pemuda berbadan lebar ini tidak mampu berbuat apa-apa, selain meneruskan serangan itu.

"Hup...!"

Dengan agak terhuyung, Waji menjejakkan kakinya di tanah. Sepasang matanya menatap lurus ke arah sosok yang telah menangkis serangannya. Pada saat yang bersamaan, sosok penolong Karmila juga telah hinggap di tanah.

***

Sekitar tujuh tombak di hadapan Waji, tampak seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Laki-laki tua berbaju kulit ular itu berdiri membelakangi Karmila. Sepasang matanya mencorong tajam ke arah Waji.

Sepasang mata yang tajam itu menatap pemuda berbadan lebar mulai dari kaki hingga ke ujung rambut. Kemudian beralih ke arah Jalasa dan Rupangki. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan pada Karmila.

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek ber­pakaian kulit ular, sambil merayapi sekujur tubuh putrinya. Hanya dengan sekali lihat saja, kakek ini dapat mengetahui luka-luka yang diderita putrinya.

Karmila menggeleng sambil menyunggingkan senyum lebar di bibirnya.

"Tidak, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu seraya menatap wajah ayahnya. Kini Karmila telah bisa membuka matanya, namun warna merah pada sepasang bola matanya itu masih tampak jelas.

"Sukar kupercaya, kalau kau bisa dikalahkan, Karmila," desah kakek bertubuh tinggi kekar itu. Nada suaranya mengandung ketidakpercayaan yang besar.

"Dia licik, Ayah," sergah Karmila membela diri.

Kakek berwajah bengis ini tersenyum."Dalam sebuah pertarungan, cara apa pun dihalalkan untuk mencapai kemenangan, Karmila. Apalagi tokoh-tokoh aliran hitam. Mereka tidak segan- segan menggunakan cara-cara yang paling keji untuk memperoleh kemenangan. Lain kali kau harus lebih waspada. Jangan umbar emosimu. Kau mengerti, Karmila?!"

Karmila menganggukkan kepalanya.

"Tapi, dia telah menghinaku dan menghina Ayah. Mulutnya kotor sekali, Ayah," ucap gadis berpakaian jingga ini memberitahu.

"Istirahatlah. Biar Ayah urus orang-orang ini," ucap kakek berpakaian kulit ular itu. Ada tekanan pada nada suaranya. Tampaknya dia tidak menghendaki adanya bantahan. Karmila pun mengerti. Gadis berpakaian jingga ini terpaksa melangkah mundur. Meskipun begitu, rasa dongkolnya kepada Waji masih belum sima. Perutnya yang tadi terkena tendangan pemuda itu masih terasa mules.

"Bukankah kau murid Perguruan Pedang Ular?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil melangkah maju beberapa tindak.

"Kalau benar, kau mau apa, Kalapati!? Mau menghina lagi seperti yang kau lakukan pada guruku dulu?!" sahut Waji. Keras dan kasar suaranya.

Seketika wajah Kalapati berubah. Sesaat sepasang matanya mencorong menakutkan. Tapi tak lama kemudian kembali redup seperti sediakala.

"Mulutmu kotor sekali, Anak Muda. Apa sebenar- nya keinginanmu?" kakek berwajah bengis ini masih mencoba bersabar.

"Tidak perlu berbasa-basi, Kalapati! Aku datang untuk membalas dendam atas penghinaanmu ter- hadap guru dan perguruanku!" tandas Waji keras.

Terdengar suara menggeram dari kerongkongan Kalapati. Kakek berbaju kulit ular itu memang marah bukan main. Kata-kata yang keluar dari mulut Wajilah yang menjadi penyebab kemarahannya. Kalau saja tidak teringat sumpahnya untuk meninggalkan segala kericuhan dunia persilatan, sudah sejak tadi Kalapati menurunkan tangan maut kepada pemuda ini. Kini terpaksa ditahan semua kemarahannya.

Waji yang tengah diamuk dendam itu segera memungut pedangnya yang tergeletak di tanah. Lalu sambil mengeluarkan suara melengking, pemuda berbadan lebar ini melompat menerjang. Pedangnya diputar-putar di atas kepala, sebelum ditusukkan cepat mengarah ke leher Kalapati. Suara mengaung keras mengiringi tusukan pedang itu.

"Anak tidak tahu diri!" dengus kakek berbaju kulit ular. Dengan gerak seadanya, tangannya diulurkan menangkap pedang yang menuju lehernya. Menilik dari gerakannya, sepertinya kakek ini sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam.

Tappp!

Luar biasa! Enak saja Kalapati mencengkeram mata pedang yang mengancam lehernya. Sepertinya yang dicengkeram oleh kakek itu bukan sebuah pedang yang bermata tajam.

"Hm...!"

Kembali Kalapati mendengus keras. Tangan yang mencengkeram itu bergerak meremas. Luar biasa! Terdengar suara keras berkeratakan ketika pedang itu hancur berkeping-keping.

Pucat wajah Waji melihat kejadian ini. Tapi tidak berarti pemuda berbadan lebar ini mundur. Dengan pedang yang hanya bermata sepotong itu, tubuhnya kembali menerjang kakek berbaju kulit ular itu. Pedang yang matanya tinggal separuh itu dibabatkan ke leher Kalapati.

Wuttt..!

Kalapati hanya tersenyum sinis. Kakek berbaju kulit ular ini tidak melakukan gerakan apa pun. Dia hanya berdiri mematung.

Takkk...!
"Akh...!"

Waji memekik tertahan. Pedang di tangannya terpental balik! Bahkan sekujur tangannya dirasakan lumpuh ketika menghantam leher kakek berwajah bengis itu dengan telak dan keras.

Belum lagi pemuda berbadan lebar ini berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kanan Kalapati sudah berkelebat ke perut Waji.

Plak!
"Hugh...!"

Kelihatannya memang perlahan, tapi akibatnya luar biasa. Tubuh pemuda berbadan lebar itu terjengkang bagai diseruduk kerbau. Perutnya dirasakan mual dan mules bukan kepalang. Cairan merah kental meleleh dari sudut bibirnya.

Patut dipuji kekerasan hati Waji. Sambil mendekap perutnya, pemuda ini kembali melangkah maju. Dihampirinya kakek berbaju kulit ular itu. Sementara itu, Jalasa dan Rupangki menatap ke arah dua orang yang tengah bertarung itu dengan perasaan tegang. Jari-jari tangan mereka sudah mencengkeram erat- erat hulu pedang. Bersiap-siap membantu kakak seperguruan mereka.

"Kalau tidak mengingat kau murid Gambala, dan sumpahku untuk tak lagi ikut campur dalam keributan dunia persilatan, sudah sejak tadi nyawamu kuhabisi," desis Kalapati bernada peringatan.

Tapi pemuda berbadan lebar itu sama sekali tidak mempedulikan peringatan Kalapati. Terus saja dilangkahkan kakinya mendekati Kalapati dengan pedang patah terhunus.

Melihat kenekatan Waji, kesabaran Kalapati pun pupus. Segera tangan kanannya dikibaskan. Kelihatannya perlahan saja, tapi akibatnya luar biasa! Tubuh pemuda berbadan lebar itu terlempar jauh ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.

"Kang Waji...!" teriak Jalasa dan Rupangki berbareng seraya melesat menghampiri tubuh kakak seperguruannya.

Waji merayap bangun. Dadanya terasa sesak bukan main. Tapi pemuda ini sama sekali tidak mengalami luka dalam. Memang, meskipun berada dalam kemarahan yang menggelegak, Kalapati masih ingat akan sumpahnya. Maka dia pun hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan tubuh lawannya saja.

"Bawa dia pergi dari sini...!" seru Kalapati keras pada Jalasa dan Rupangki yang tengah berjongkok di depan Waji.

Jalasa dan Rupangki segera membantu kakak seperguruannya berdiri. Kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya kakek ber­baju kulit ular itu. Jalasa dan Rupangki terpaksa menghentikan langkahnya.
"Terus jalan, Jalasa! Rupangki...!" seru Waji keras bernada perintah. Sepasang matanya menatap penuh dendam pada Kalapati.

Tapi kedua adik seperguruan­nya itu ternyata tidak menghiraukan ucapannya. Terbukti Jalasa dan Rupangki menghentikan langkah­nya dan menoleh ke arah kakek itu.

"Silakan, Kalapati," sahut Jalasa pelan. Sopan dan lembut suaranya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang merasa simpati, begitu melihat sepak terjang kakek itu. Sementara sikap Waji telah membuatnya muak. Sikap dan tindak tanduk kakak seperguruannya benar-benar membuatnya malu. Apalagi ucapan-ucapannya tadi.

"Apa tujuan kalian kemari?"
"Kakang Waji mengajak kami mencarimu, Kalapati," jawab Jalasa terus terang.
"Untuk membalas dendam peristiwa lama?" desak kakek berbaju kulit ular itu lagi.

Jalasa mengangguk perlahan.

"Apakah Ki Gambala mengetahui kepergian kalian?"
"Tidak, Kalapati," sahut pemuda bertubuh pendek kekar itu sambil menggelengkan kepalanya.

"Sudah kuduga," desah Kalapati pelan, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. "O ya, sampaikan salamku pada guru kalian."
"Baik, Kalapati," sambut Jalasa seraya mem- balikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu.

Pemuda pendek kekar itu dan Rupangki bersama- sama memapah tubuh Waji.

Kalapati memandangi punggung tiga orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan.

"Hhh...! Mudah-mudahan saja masalah ini tidak berekor panjang," desah kakek berbaju kulit ular itu penuh harap.

Setelah berkata demikian, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.

"Masuk dulu, Karmila," ucap kakek berbaju kulit ular itu. "Akan kuperiksa luka-lukamu."

Karmila segera mengikuti ayahnya yang telah lebih dulu berjalan. Perasaan tidak puas masih ber- kecamuk di hatinya. Mengapa pemuda bernama Waji itu tidak dibunuh saja? Mengapa harus dilepaskan? Berbagai macam pertanyaan menggayuti benaknya.

***

Hari sudah menjelang sore. Sang surya pun perlahan mulai tenggelam ke Barat. Di bawah sorotan sinar matahari yang mulai temaram itu tampak seorang pemuda berbadan lebar melangkah ter- huyung-huyung. Dari sudut mulutnya meleleh darah segar. Pemuda ini menderita luka dalam!

Pemuda itu terus saja berlari walaupun dengan terhuyung-huyung. Langkahnya semakin dipercepat, begitu sepasang matanya melihat bangunan besar di hadapannya. Sebuah bangunan berhalaman luas yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat. Rupanya dia tengah menuju bangunan besar itu.

Semakin lama jarak antara pemuda itu dengan bangunan besar, semakin dekat. Tapi langkah kakinya semakin terseok-seok.

Ketika jaraknya dengan pintu gerbang bangunan besar itu tinggal sepuluh tombak lagi, mendadak pemuda berbadan lebar ini ambruk. Dua orang penjaga berseragam kuning yang sejak tadi menatap penuh perharJan, bergegas menghampiri. Mereka kenal betul dengan sosok tubuh yang tengah berlari menuju ke arah bangunan. Sosok tubuh dari kakak seperguruan mereka, Waji.

Memang, bangunan besar berhalaman luas dan berpagar kayu bulat itu adalah markas Perguruan Pedang Ular.

Sesaat kemudian, kedua penjaga pintu gerbang itu telah berada dekat tubuh orang berpakaian kuning yang mereka duga Waji.

"Kang Waji...! Apa yang terjadi?!" seru salah seorang di antara penjaga, begitu mengenali kalau sosok yang tergolek itu benar Waji. Nada suaranya menyiratkan keterkejutan mendalam.

Murid Perguruan Pedang Ular ini benar-benar terkejut melihat keadaan pemuda berbadan lebar itu.

"Bawa aku menghadap guru... aku ingin melapor- kan sesuatu...," ucap Waji tanpa mempedulikan per- tanyaan adik seperguruannya.

Tanpa banyak bertanya lagi, dua orang murid rendahan Perguruan Pedang Ular itu segera membantu Waji berdiri. Dan kemudian memapahnya menuju ke dalam perguruan.

Suasana di dalam perguruan kontan gempar ketika melihat dua orang penjaga pintu gerbang masuk sambil memapah tubuh Waji. Salah seorang murid kepala Perguruan Pedang Ular.

Sepanjang perjalanan menuju bangunan utama perguruan, semua murid memperhatikan dengan kening berkerut. Dalam hati mereka bergayut pertanyaan. Apa yang terjadi? Mengapa Waji sampai terluka?

Sementara itu kedua murid penjaga pintu gerbang, terus berjalan sambil memapah tubuh Waji. Tak dipedulikan sama sekali pandang mata penuh keheranan rekan-rekan mereka.

Tubuh Waji baru berhenti dipapah ketika telah berada di ruang utama perguruan. Ketiganya segera menjura hormat pada dua orang kakek yang tengah duduk di kursi berukir.

"Apa yang terjadi, Waji?" tanya salah seorang kakek yang bermata sayu.

Raut wajahnya memancarkan kesabaran. Dialah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.

"Kalapati, Guru," jawab pemuda berbadan lebar itu sambil meringis.
"Kalapati?!" kakek lain yang berhidung besar mirip hidung kerbau berseru kaget. "Datuk sesat itu?"
"Benar, Paman Guru," sahut Waji seraya meng- anggukkan kepalanya.

"Keparat!" geram kakek berhidung besar itu keras. Sepasang matanya memancarkan kemarahan yang berapi-api.

"Sabar dulu, Adi Gumarang," selak Gambala halus seraya menatap tajam wajak kakek berhidung besar. Suara Gambala mengandung tekanan yang tidak ingin dibantah. Gumarang terpaksa menutup mulutnya.

"Ada apa dengan dia?" tanya Gambala. Nada suaranya masih terdengar tenang. Tidak seperti Gumarang, yang belum apa-apa sudah kalap.

"Kalapatilah yang telah melakukan semua ini, Guru!" ucap Waji setengah berteriak.

"Apa?!" sentak Gambala terkejut bukan main. Bahkan kakek bermata sayu ini sampai terjingkat dari kursi yang didudukinya. "Sadarkah kau akan ucapan- mu, Waji?"

Waji menganggukkan kepalanya.

"Aku sadar, Guru," sahut Waji singkat.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi, Waji? Coba ceritakan!" desak Gambala penasaran.

Pemuda berbadan lebar ini tercenung sejenak. Baru beberapa saat kemudian mulai bercerita.

"Pagi tadi, aku, Adi Jalasa dan Adi Rupangki berjalan ke hutan. Semula kami berniat berburu binatang. Di tengah hutan, kami bertemu dengan seorang wanita cantik berpakaian jingga. Tapi ternyata gadis itu menyimpan maksud kotor. Kami tidak meladeninya. Akibatnya dia marah dan menyerang kami. Melalui suatu pertarungan sengit, kami berhasil mengalahkan gadis itu. Sungguh di luar dugaan, kalau gadis itu ternyata putri Kalapati. Tak lama kemudian, datuk itu muncul dan langsung marah-marah melihat putrinya kami kalahkan. Susah payah aku memberi penjelasan, tapi tetap saja datuk sesat itu tidak mau mengerti," ucap Waji bernada keluhan.

"Hm.... Lalu?" selak Gumarang cepat

"Akhirnya kami bertarung," sambung pemuda berbadan lebar itu. "Tapi ternyata iblis itu terlalu lihai, Guru. Tidak sampai sepuluh jurus, Adi Jalasa dan Adi Rupangki tewas. Sementara aku diampuni Kalapati agar mengabarkan berita ini pada Guru."

"Keparat..!" Gumarang berteriak memaki. Wajahnya merah padam, menahan amarah yang bergelora.

Berlainan dengan Gumarang, Gambala masih terlihat tenang. Walaupun begitu kening kakek bermata sayu ini berkerut. Jelas ada sesuatu yang merisaukan hatinya. Sikap adik seperguruannya tidak digubrisnya sama sekali.

"Aneh...," gumam Gambala. Sepasang mata kakek ini menerawang ke langit-langit ruangan.
"Apanya yang aneh, Kang Gambala?" tanya Gumarang seraya menatap tajam wajah kakak seperguruannya.
"Kalapati," sahut kakek bermata sayu ini setengah bergumam.
"Apa maksudmu, Kang? Aku masih belum mengerti," desak Gumarang penasaran.
"Apakah kau tidak ingat pada sumpahnya?" Gambala balik bertanya. Nadanya mengingatkan.
"Sejak dulu aku sama sekali tidak percaya dengan sumpahnya!" tukas Gumarang tandas.
"Hm...," Gambala hanya menggumam tidak jelas.
"Kau percaya dengan sumpahnya, Kang?"

Gambala menganggukkan kepalanya.

"Mengapa, Kang? Apa alasanmu mempercayai ucapannya?" desak kakek berhidung besar itu penasaran.
"Entahlah...," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu sambil mengangkat bahunya. "Tapi yang jelas, aku melihat kesungguhan dalam suara dan sinar matanya."

"Aaah...! Kau terlalu mengada-ada, Kang!" sergah Gumarang. "Kau lihat sendiri kenyataannya? Dua orang murid kita dibantai! Dan bukan hanya itu saja, datuk itu sengaja membebaskan Waji, untuk mempermalukan kita. Kalapati tidak memandang sebelah mata pada kita, Kang. Ini penghinaan yang menyakitkan!"

"Hhh...!" Gambala hanya menghela napas panjang sebagai jawabannya. Kelihatannya wajah kakek bermata sayu ini tenang saja. Padahal, di dalam hatinya mulai bergolak api kemarahan yang tersulut akibat ucapan Gumarang.

"Kalau menurut pendapatku, sulit bagi seseorang untuk meninggalkan kebiasaannya. Mungkin benar kalau semula Kalapati bermaksud meninggalkan kebiasaannya. Tapi, sampai berapa lama dia mampu bertahan? Tapi setelah itu? Sudah pasti timbul keinginan untuk kembali mengerjakan kebiasaannya. Dan ini sudah pasti. Aku yakin, Kang!" sambung Gumarang berapi-api.

Gambala tercenung mendengar penjelasan panjang lebar adik seperguruannya. Ketua Perguruan Pedang Ular ini mulai termakan ucapan Gumarang. Dengan sendirinya, keyakinannya kalau Kalapati telah meninggalkan dunianya, memudar.

"O ya, Guru. Masih ada satu hal yang kulupakan," ucap Waji lagi.
"Apa itu, Waji?" tanya Gambala ingin tahu.

Waji tidak segera menjawab, pemuda berbadan lebar itu malah termenung. Tentu saja hal ini membuat Gambala dan Gumarang agak bingung.

"Ada apa denganmu, Waji?" tanya Gambala. Dahi kakek bermata sayu ini nampak berkernyit.
"Hhh...!" pemuda berbadan lebar itu malah menghela napas dalam.
"Katakanlah, Waji. Tidak perlu ragu-ragu," desak Gumarang pula.
"Guru tidak marah kalau kukatakan hal yang sebenarnya?" tanya Waji ragu-ragu.
"Mengapa harus marah?" sahut Gambala seraya tersenyum getir. "Katakanlah."
"Kalapati mengungkit-ungkit pertolongannya dulu. Katanya tanpa pertolongannya, Guru dan juga Perguruan Pedang Ular sudah musnah sejak dulu!"

Gumarang menggeram keras. Sementara Gambala hanya berdiri mematung. Tapi dari mulut Ketua Perguruan Pedang Ular ini terdengar suara gemeretak keras. Suatu bukti kalau kakek bermata sayu ini dilanda kemarahan yang amat sangat.

"Benar dia berkata begitu?!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular ini menegaskan.
"Benar, Guru," sahut Waji.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Kang," sahut Gumarang.
"Maksudmu bagaimana, Adi?" tanya Gambala ingin tahu reaksi adik seperguruannya.
"Kita harus membalas penghinaan ini, Kang!" tandas Gumarang tegas.
"Jadi...?"
"Kita harus menyerbu tempat kediamannya!" tukas laki-laki berhidung besar itu.
"Tapi siapa yang tahu kediamannya. Sepengetahuanku dia tinggal di Lereng Gunung Palanjar. Tapi aku tidak tahu tempat pastinya."
"Aku tahu tempatnya, Guru," sahut Waji cepat.
"Kau tahu?!" tanya Gambala dengan dahi berkerut

Waji menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang?" sergah Gumarang. "Kita serbu saja tempat itu!"
"Baiklah. Kita ke sana besok pagi!" tandas Gambala memutuskan.
***

Cicit suara burung menyambut munculnya matahari pagi. Angin pagi yang sejuk bertiup lembut. Seorang pemuda berpakaian ungu merentangkan kedua tangannya ke samping seraya menarik napas dalam- dalam. Menghirup udara pagi yang segar sebanyak- banyaknya.

Pemuda berpakaian ungu itu berbuat begitu sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali, angin pagi yang bertiup agak keras membuat rambutnya yang berwama putih keperakan dan dibiarkan meriap, berkibaran. Tapi pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Terus saja dilangkahkan kakinya seraya merentangkan tangan lebar-lebar ke samping sambil menarik napas dalam-dalam.

Mendadak pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan gerakannya. Dahinya berkernyit, ketika sepasang matanya menangkap berkelebatnya beberapa sosok tubuh. Gerakan sosok-sosok itu rata- rata gesit dan cepat. Hal inilah yang membuat pemuda itu tertarik mengamatinya.

Pemuda berambut putih keperakan itu melayangkan pandangan ke arah sosok-sosok itu berkelebat. Seketika itu juga sepasang matanya tertumbuk pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di kejauhan.Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu bimbang. Antara mengikuti sosok-sosok bayangan itu atau membiarkannya saja. Tapi, sesaat kemudian pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikutinya. Perasaan ingin tahu yang besar, mendorongnya.

Terpaksa pemuda berpakaian ungu itu mengerah- kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, begitu menyadari kalau sosok-sosok bayangan yang ber- kelebat cepat menuju lereng gunung itu telah berada jauh di depannya.

Ternyata pemuda berambut putih keperakan itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti ketika jarak antara dia dengan sosok-sosok bayangan tadi mampu diperpendeknya dalam waktu singkat.

Semakin lama jarak di antara mereka semakin bertambah dekat. Dan seiring dengan semakin dekatnya jarak antara mereka, pemuda berambut putih keperakan itu pun semakin bersikap hati-hati. Dia tidak berani melakukan pengejaran secara terang-terangan. Tapi secara sembunyi-sembunyi.

Tentu saja dengan semakin dekatnya jarak mereka, pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihat jelas sosok-sosok bayangan yang dikejarnya. Mereka berjumlah lima orang. Tiga di antaranya berseragam kuning, sementara dua orang lainnya berseragam coklat.

Kelima sosok itu terus berlari cepat mendaki Lereng Gunung Palanjar. Sesekali kaki mereka memijak batu-batuan yang menonjol untuk melompat dari satu tempat ke tempat lainnya.

Berlari paling depan, yang sepertinya sebagai penunjuk jalan, adalah seorang pemuda berbadan lebar. Pada bagian dada sebelah kiri pakaiannya, tersulam gambar seekor ular melilit sebatang pedang terhunus. Pemuda ini adalah Waji. Sementara dua orang yang berlari di belakangnya adalah Ketua dan Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular.

Sementara di belakang kedua pimpinan Perguruan Pedang Ular, berlari dua orang kakek berpakaian coklat. Menilik sikap dan sorot mata mereka yang tajam berkilat, dapat diperkirakan kalau keduanya bukanlah orang sembarangan.

Memang, dua orang kakek itu adalah ketua dan wakil ketua dari sebuah perguruan silat yang tak kalah besar dari Perguruan Pedang Ular. Kedua kakek itu adalah pemimpin Perguruan Golok Maut .

Tak lama kemudian, Waji menghentikan larinya ketika tiba di sebuah tempat yang luas.
"Itu si perempuan liar, Guru," desis Waji sambil menudingkan telunjuknya ke depan.

Sekitar sepuluh tombak dari situ, memang terlihat jelas seorang gadis cantik jelita yang berpakaian jingga tengah berlatih silat.

Bukan hanya Gambala saja yang memperhatikan dari balik kerimbunan semak-semak, tapi juga Gumarang dan kedua kakek pemimpin Perguruan Golok Maut .

"Ah...!" Gumarang mendesah tertahan. "Bukankah itu ilmu 'Totokan Penghancur Tulang', Kang?"
"Ya," sahut Gambala seraya mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Perempuan itu adalah calon iblis betina yang akan mengacaukan dunia persilatan," desis Gumarang. Jelas ada nada kegentaran tersirat dalam suaranya.

"Hm...," Gambala hanya bergumam tidak jelas. Sama sekali tidak disahuti ucapan adik seper­guruannya itu.

"Aku tidak ingin hal itu terjadi, Kang!" tandas Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.

"Maksudmu...?" tanya Gambala seraya menoleh kan kepalanya. Ditatapnya wajah Gumarang penuh selidik. Kakek bermata sayu ini belum begitu paham maksud perkataan adik seperguruannya ini. Tapi sedikit banyak sudah bisa diraba maksudnya.

"Perempuan itu harus dilenyapkan sebelum ber­hasil mewarisi seluruh ilmu ayahnya. Terutama sekali ilmu 'Totokan Penghancur Tulang' itu!"

Gambala tertegun sejenak. Wajah kakek ini menyiratkan adanya pertentangan di dalam batinnya.

Sementara itu, kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut, hanya diam membisu. Sepertinya mereka tidak ingin mencampuri urusan Gambala. Kepergian mereka bersama orang-orang Perguruan Pedang Ular adalah untuk membalas dendam pada Kalapati. Sama sekali bukan dengan putrinya.

"Apa yang dikatakan Paman Guru, tepat sekali Guru," selak Waji cepat, sebelum Gambala sempat menjawab. "Memang kalau melihat kecantikannya kita tidak akan percaya kalau wanita itu seorang iblis betina yang menjijikkan!"

Gambala mengerutkan alisnya.

"Apa maksud ucapanmu itu, Waji?" tanya kakek bermata sayu itu. Nampak jelas terdengar ada nada tuntutan di dalamnya.

Pemuda berbadan lebar itu menundukkan kepala­nya.

"Aku... aku malu menerangkannya, Guru."
"Malu?!" sentak Gumarang dengan alis berkerut

Waji menganggukkan kepalanya.

"Tidak perlu malu, Waji. Kami adalah guru-gurumu. Katakanlah terus terang," desak Gambala lembut.

Waji menarik napas dalam-dalam dan menghembus-kannya kuat-kuat. Sepertinya dia merasa berat untuk mengatakannya.

"Perempuan itu... perempuan cabul, Guru....

Dengan mempergunakan kepandaiannya dia bisa memaksa setiap laki-laki memenuhi keinginan terkutuknya. Dan...."

"Cukup...!" sentak Gambala dengan wajah memerah.

Seketika Waji menghentikan ucapannya.

"Bagaimana, Kang?" tanya Gumarang. Kakek berhidung besar ini juga dilanda perasaan yang sama. Kegeraman yang menggelora.

"Tidak ada jalan lain lagi...," sahut Gambala pelan setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Jadi...?" tanya Waji menghentikan kalimatnya. Sebuah senyum gembira menghias bibirnya.
"Yahhh...! Sebelum dia menimbulkan banyak korban, dan sebelum dia sulit untuk ditaklukkan...."

"Katakan saja secara langsung, Kang. Tidak usah berbelit-belit begitu!" selak Gumarang bernada teguran.

"Tanpa kuucapkan secara jelas pun, kau dan Waji pasti sudah mengerti, Gumarang," jawab Gambala membela diri.

"Adi Jalasa..., Adi Rupangki..., semoga arwah kalian tenteram di alam baka. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk membalaskan kematian kalian..," desah Waji. Nada suaranya pelan tapi tajam, sehingga terdengar jelas oleh semua yang ada di situ.

Ucapan Waji yang mengingatkan pada kematian Jalasa dan Rupangki, membuat kemarahan Gumarang dan Gambala semakin bergolak.

"Mari kita serbu...!" ajak Waji seraya melangkah keluar dari kerimbunan semak-semak. Gambala dan Gumarang pun melangkah keluar. Tak lupa Gambala menarik tangan Ketua Perguruan Golok Maut. Tapi secara halus uluran tangan itu ditolak.

"Maaf, kami hanya ingin mencari Kalapati. Kami tidak berurusan dengan gadis itu," sahut Ketua Perguruan Golok Maut itu halus.

Ketua perguruan ini adalah seorang kakek berjenggot putih panjang sampai ke bawah dada.

"Ah, maaf...!" ucap Gambala dengan sekujur wajah merona merah.
"Tidak apa-apa...," jawab Ketua Perguruan Golok Maut itu sambil tersenyum lebar.

"O..., Kalapati?" selak Waji yang ingin buru-buru menyelesaikan urusannya. "Dia ada di dalam sana...!"

Kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut melayangkan pandangannya ke arah tudingan telunjuk Waji.

"Di dalam gua itu?" tanya kakek berjenggot putih setelah melihat arah yang ditunjuk Waji.

Waji menganggukkan kepalanya.

"Waktu itu dari situlah kulihat dia keluar," ucap pemuda berbadan lebar lagi.
"Kalau begitu kami ke sana dulu...!"

Setelah berkata demikian, kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu melesat cepat menuju gua.

Gambala melayangkan pandangannya ke arah gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih, kemudian beralih pada adik seperguruannya dan Waji.

"Kau bantu Waji menghadapi perempuan liar itu, Gumarang," ucap kakek bermata sayu ini bernada perintah.

"Baik, Kang," Gumarang menganggukkan kepalanya.

Tapi Gambala tidak sempat melihat anggukan Gumarang, karena sehabis mengucapkan kata-kata itu tubuhnya sudah melesat menuju gua.

***

Karmila mengerutkan alisnya yang berbentuk indah, begitu melihat dua sosok tubuh keluar dari rerimbunan pohon. Gadis berpakaian jingga ini menatap penuh perhatian pada salah seorang dari mereka.

Dan kemarahannya pun meluap, begitu mengenali- nya. Orang itu adalah pemuda yang kemarin datang dan memakinya dengan kata-kata yang tidak senonoh.

"Keparat..! Kau lagi...!" geram Karmila begitu jarak antara dia dengan Waji yang datang bersama Gumarang telah dekat
"Ya. Aku datang untuk menghentikan semua per- buatan cabulmu! Juga membalas dendam atas kekejian kau dan ayahmu pada adik-adik seper- guruanku!" teriak Waji keras seraya meloloskan pedangnya.

Setelah berkata demikian, Waji melompat me­nerjang. Pedangnya ditusukkan cepat ke leher Karmila.

Wunggg...!

Karmila hanya tersenyum sinis. Kakinya segera dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuhnya. Tusukan pedang Waji mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di sebelah kiri pelipisnya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan gadis berpakaian jingga ini. Seraya mengelak, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula dibabatkan ke kaki lawannya.

Waji terperanjat kaget. Tubuhnya yang saat itu tengah berada di udara, menyulitkannya untuk mengelak. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.

Menangkis mempergunakan pedangnya, sudah tidak keburu lagi. Pucat wajah pemuda berbadan lebar ini seketika. Rasa sakit hati pada gadis itu membuatnya kurang waspada. Padahal sebelumnya dia sudah tahu kalau Karmila memiliki kepandaian di atasnya.
Untung saja pemuda berbadan lebar ini menemukan jalan keluar. Segera dicabut sarung pedangnya, dan dibabatkan menangkis sambaran pedang yang mengarah ke kakinya.

Trang...!

Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul dengan hancurnya sarung pedang Waji. Pedang Karmila adalah sebatang pedang pusaka. Apalagi dibabatkan dengan pengerahan tenaga dalam yang jelas-jelas berada di atas tenaga dalam Waji. Sehingga tak mengherankan kalau sarung pedang Waji hancur berantakan.

"Hih...!"

Dengan mengandalkan dorongan tenaga benturan tadi, Waji melentingkan tubuhnya. Bersalto beberapa kali di udara kemudian hinggap ringan tanpa suara di tanah.

"Hhh...!"

Pemuda berbadan lebar ini menghela napas lega. Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya. Tapi sorot matanya memancarkan kelega- an hati. Nyawanya berhasil diselamatkan. Walaupun untuk itu, sarung pedangnya terpaksa hancur berantakan.

Karmila yang memang merasa geram pada pemuda berbadan lebar di hadapannya ini, tak mau memberi kesempatan. Baru saja Waji mendarat, gadis berpakaian jingga itu telah menyusulinya dengan tusukan ke arah dada. Serangannya aneh
sekali, dan selalu membuat Waji kebingungan.

Memang gadis berpakaian jingga ini selalu membuka serangannya dengan terlebih dulu memutar pedangnya membentuk lingkaran. Ter- kadang lingkaran yang dibuatnya besar. Tapi tak jarang pula kecil. Baru setelah membuat lingkaran, pedangnya menyambar cepat. Entah itu menusuk ataupun membabat.

"Ah...!"

Waji memekik kaget. Buru-buru dibantingkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. Kembali serangan Karmila mengenai tempat kosong.

"Hiyaaa...!"

Gadis berpakaian jingga itu kembali memekik nyaring, seraya memburu tubuh Waji yang ber­gulingan. Pedangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda berbadan lebar itu.

Kini Waji kalap. Tidak ada jalan lain baginya untuk mengelakkan serangan itu selain bergulingan. Tapi, Karmila yang sudah berada dalam posisi mendesak, mana mau membiarkan lawannya lolos. Tubuh yang bergulingan itu terus dikejarnya. Kini terjadilah sebuah pertarungan yang menarik.

Yang seorang berusaha menyarangkan pedangnya, sementara yang lain bergulingan mengelak.

Gumarang memperhartikan pertarungan di depan matanya dengan alis berkerut. Dibiarkan saja Waji menghadapi putri Kalapati itu. Baru setelah pemuda itu benar-benar terancam bahaya maut, dia akan turun tangan. Walau bagaimana pun juga, Gumarang tidak mau mempertaruhkan nama sebagai seorang tokoh angkatan tua, dan juga seorang Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular, dia merasa malu untuk turun tangan menghadapi seorang gadis muda belia seperti Karmila.

***

Sementara itu, dua orang pemimpin Perguruan Golok Maut telah mulai mendekati mulut gua. Sikap kedua orang itu begitu berhati-hati sekali. Memang sebenarnyalah kalau kedua orang itu amat berhati- hati sekali. Karena keduanya tahu siapa itu Kalapati.
Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Tapi belum lagi kedua kaki mereka memasuki mulut gua, terdengar teguran halus dari dalam. Perlahan saja kedengarannya. Tapi berakibat hebat bagi kedua tokoh Perguruan Golok Maut itu. Tubuh keduanya sampai terjingkat ke belakang. Tanpa sadar mereka menahan langkah.

"Apa yang kalian cari?"

Dan belum juga hilang gema teguran itu, tahu-tahu melesat sesosok bayangan yang bergerak cepat keluar gua. Dua orang pemimpin Perguruan Golok Maut itu tentu saja terkejut bukan main. Segera keduanya melentingkan tubuhnya ke belakang. Lalu bersalto beberapa kali di udara. Dan....

"Hup...!"

Hampir bersamaan kedua kakek sakti itu men- daratkan kakinya di tanah. Dan langsung memandang ke depan. Sikap kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu nampak waspada.

Di hadapan mereka kini telah berdiri seorang kakek berwajah bengis berpakaian kulit ular. Tubuh­nya tinggi dan kekar.

"Kalapati...," desis kakek berjenggot panjang. Kakek ini tak lain adalah Ketua Perguruan Golok Maut .

"Hm..., kalian rupanya! Bukankah kalian dari Perguruan Golok Maut?" tanya Kalapati begitu mengenali kedua kakek ini. Nada suaranya terdengar tenang. Begitu pula raut wajahnya. Tidak seperti kedua orang pemimpin Perguruan Golok Maut yang terlihat tegang.

"Tidak salah!" sahut kakek yang bermuka putih seperti dikapur. Inilah Wakil Ketua Perguruan Golok Maut.

"Boleh kutahu maksud kalian datang kemari?" tanya Kalapati, masih terdengar lembut suaranya.

"Tidak usah berpura-pura bodoh, Kalapati!" sentak kakek berjenggot panjang.
"Apa maksud kalian?" sepasang mata kakek berpakaian kulit ular mulai berkilat. Jelas kalau kakek ini tengah dilanda amarah.

Ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itulah yang menyebabkannya.

"Kami datang untuk membalas dendam atas penghinaanmu pada Perguruan Golok Maut!" sahut kakek berjenggot panjang.

"Aneh...," sahut Kalapati sambil tersenyum mengejek. "Bukankah aku telah meminta maaf pada ketua kalian, si Golok Emas? Dan dia telah memaafkanku dan menganggap habis persoalan. Kalian pun telah mengetahuinya. Mengapa kini diperpanjang kembali?"

"Tidak perlu banyak basa-basi, Kalapati. Orang seperti kau tidak layak dibiarkan hidup. Kakak seperguruanku dulu memang pengecut, sehingga menganggap selesai masalah ini. Tapi aku tidak! Aku akan tetap mempermasalahkan hal ini sampai tuntas! Bagaimana pun juga penghinaanmu atas Perguruan Golok Maut harus ditebus!" sahut kakek jenggot panjang tegas.

"Dan kau akan dihukum oleh kakak seper- guruanmu atas kelancangan melanggar keputusan- nya," ejek Kalapati yang sejak tadi sudah merasa tidak senang melihat sikap kedua orang pimpinan Perguruan Golok Maut itu.

"Ha ha ha...!" kakek jenggot panjang itu tertawa bergelak. "Kau lihat ini, Kalapati?!"

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu meng- hunus golok yang sejak tadi tergantung di pinggangnya.

Srat.. !

Seketika secercah sinar kekuningan berpendar, ketika kakek berjenggot panjang itu menghunus goloknya tinggi-tinggi.

"Golok Emas...," desis Kalapati setengah tak percaya. Kekagetan membayang jelas di wajahnya. Memang kakek berwajah bengis ini terkejut bukan main tatkala melihat kakek berjenggot panjang itu membawa golok emas. Kalapati tahu betul aturan Perguruan Golok Maut.

Sepengetahuannya sang Ketua mempunyai senjata sebatang golok emas, sedangkan untuk wakil ketua adalah sebatang golok perak. Tapi mengapa golok emas dipegang oleh kakek jenggot panjang ini? Kalapati bertanya dalam hati.

"Ya, golok emas. Kau kaget, Kalapati?!" tanya kakek berjenggot panjang bernada mengejek.

"Jadi, kau..."

"Ya. Akulah Ketua Perguruan Golok Maut. Tidak lagi si tua bangka pengecut itu! Aku telah menantangnya bertarung memperebutkan golok emas. Dan dia berhasil kukalahkan!"

"Hhh...!"

Suara helaan napas berat terdengar dari mulut Kalapati. Kakek berwajah bengis ini menyadari kalau keributan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Padahal dia sudah bersumpah untuk tidak membunuh lagi. Hal ini tentu saja membuatnya mengeluh dalam hati.

Mendadak raut wajah Kalapati berubah. Pen- dengarannya yang tajam mendengar suara-suara teriakan melengking di kejauhan. Kakek ini kenal betul suara itu. Suara putrinya! Dan seketika itu juga rasa khawatir yang amat sangat mencekam hatinya.

Dan kekhawatirannya bertambah besar, begitu dilihatnya sesosok tubuh bergerak cepat ke arahnya. Sekali lihat saja, Kalapati telah mengenal orang yang datang itu.

"Gambala.... Ada masalah apa lagi kakek itu kemari?" desah kakek berpakaian kulit ular itu dalam hati.

Sesaat kemudian, Ketua Perguruan Pedang Ular telah berada di sebelah kedua pemimpin Perguruan Golok Maut. Kalapati menatap tajam wajah Gambala. Tapi kakek bermata sayu itu balas menatap tak kalah tajam.

Belum sempat kakek berwajah bengis ini berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas telah lebih dulu menerjang. Golok berwama kuning keemasan di tangannya berkelebatan cepat, membabat ke arah leher.

"Hih...!"

Kalapati memekik nyaring. Tapi sebelum serangan golok itu tiba, tubuhnya sudah melompat cepat ke depan. Sama sekali tidak ditanggapinya serangan si Golok Emas. Yang ada dalam benaknya saat ini adalah keinginan untuk menyelamatkan Karmila.

Memang, setelah melihat kehadiran Gambala, kekhawatiran Kalapati kian menggelegak. Kakek berpakaian kulit ular ini tahu, bila ada Gambala, sudah dapat dipastikan Gumarang pun ada.

Dan tidak adanya kakek berhidung besar itu di sini, sudah dapat dipastikan kalau Gumarang berhadapan dengan putrinya. Hal inilah yang dikhawatirkan Kalapati. Dia tahu pasti kalau saat ini Karmila masih bukan tandingan Gumarang.

Tapi si Golok Perak tidak tinggal diam. Begitu dilihatnya kakek berpakaian kulit ular itu melompat ke depan, segera saja kedua tangannya dihantamkan ke arah kepala lawannya.

Wuttt..!

Angin keras berkesiur sebelum pukulan Golok Perak tiba. Tapi Kalapati tidak menjadi gugup walaupun saat itu tubuhnya berada di udara. Dan merupakan suatu hal yang muskil untuk dapat mengelak dari serangan yang datang begitu tiba-tiba, sementara posisinya berada dalam keadaan tidak memungkinkan, terpaksa diputuskan untuk me­nangkis serangan itu.

Buru-buru kedua tangannya dijulurkan memapak serangan yang menyambar ke arahnya. Rasa cemas akan keselamatan Karmila, memaksa kakek ini harus mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Wuttt..!
Plak...!

Akibatnya hebat! Tubuh Wakil Ketua Perguruan Golok Maut terjengkang ke belakang bagai diseruduk kerbau. Kedua tangannya dirasakan ngilu. Dadanya pun terasa sesak bukan kepalang.

Sementara Kalapati hanya terlihat bergetar saja tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis, dia bersalto di udara. Dan secepat kakek bermuka bengis itu hinggap di tanah, secepat itu pula melesat kabur dari situ tanpa mampu dicegah. Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat, sehingga lawan-lawannya tidak sempat menyadari.

"Kejar...!" teriak si Golok Emas seraya melesat mengejar Kalapati yang telah lebih dulu melesat dari situ. Bukan hanya kakek itu saja yang bergerak mengejar, tapi juga adik seperguruannya dan Gambala.

Kalapati mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat cepat menuju arah asal jeritan putrinya.

Berkat ketinggian ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saja Kalapati telah berada dekat tempat Karmila tengah sibuk bertempur. Lega hati kakek berpakaian kulit ular ini, melihat putrinya masih selamat. Bahkan tengah mendesak lawannya.

Kalapati menghentikan larinya sekitar beberapa tombak dari tempat pertarungan. Dilihatnya Karmila tengah melancarkan serangan bertubi-tubi pada seorang pemuda berpakaian kuning, yang terus- menerus bergulingan di tanah. Sementara tak jauh dari situ, seorang kakek berpakaian kuning berdiri tegak memperhatikan pertarungan. Kalapati mengenali kakek itu sebagai Gumarang.

"Haaat..!"

Tiba-tiba Karmila berteriak nyaring. Tubuhnya melenting memotong alur gulingan tubuh Waji, seraya menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah pemuda berbadan lebar itu.

Crat.. !
"Akh...!"

Waji memekik tertahan ketika ujung pedang Karmila menggores pangkal lengannya. Seketika itu juga darah mengalir dari luka yang tergores. Belum sempat Waji berbuat sesuatu, serangan pedang Karmila kembali menyambar.

Kini Gumarang tidak bisa tinggal diam lagi. Secepat kilat tubuhnya melesat ke depan. Seuntai tasbih yang biji-bijinya terbuat dari baja, diayunkan memapak serangan yang mengancam nyawa muridnya.

Cringgg...!

Bunga api berpijar begitu pedang dan tasbih itu beradu. Seketika Karmila memekik tertahan. Sekujur tangannya yang menggenggam pedang dirasakan lumpuh. Hampir saja pedang itu lepas dari genggamannya.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Tasbih di tangannya disabetkan ke arah kepala Karmila.

Wuttt..!

Serangan tasbih itu menyambar tempat kosong begitu gadis berpakaian jingga itu menundukkan kepalanya. Sekujur rambut dan pakaian gadis itu berkibar keras begitu tasbih itu lewat di atas kepalanya.

Gumarang tertawa terkekeh seraya melayangkan kakinya ke arah perut Karmila.

Wuttt..!
"Hih...!"

Karmila melempar tubuhnya ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara. Kedua belah kakinya mendarat ringan, beberapa tombak dari tempat semula.

Gumarang sudah bertekad untuk membinasakan Karmila. Maka begitu dilihatnya gadis berpakaian jingga itu melempar tubuh ke belakang, segera melompat memburu.

Tapi niatnya terpaksa diurungkan, begitu dilihatnya sesosok bayangan berkelebat cepat memotong lompatannya. Segera tubuhnya dilempar ke samping, melakukan lompatan harimau.

"Hup...!"

***

Gumarang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sepasang matanya menatap tajam ke depan, ke arah orang yang tadi memotong laju lompatannya. Dan seketika itu juga wajahnya memucat

"Kalapati...," desis Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular. Ada nada kegentaran dalam suaranya. Tapi begitu sudut matanya melihat tiga sosok bayangan yang bergerak cepat ke arahnya, hari kakek ber­hidung besar ini kembali tegar.

Kalapati sama sekali tidak mempedulikan keterkejutan Gumarang. Dengan langkah tenang, dan tanpa mempedulikan keberadaan kakek berhidung besar, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil merayapi sekujur wajah dan tubuh Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu menggelengkan kepalanya.

"Syukurlah...," ucap Kalapati setengah mendesah. Pandang matanya yang tajam melihat kebenaran ucapan putrinya.

"Terimalah kematianmu, Kalapati...!" Terdengar suara bentakan nyaring, disusul dengan berkelebatnya seleret sinar keemasan ke arah leher kakek berwajah bengis itu.

"Hm...,"

Kalapati bergumam tidak jelas. Segera tubuhnya direndahkan sehingga sambaran sinar keemasan yang tak lain dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut lewat di atas kepalanya.Dan sebelum Kalapati memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu seleret sinar keperakan telah meluruk deras ke arah perutnya. Kakek berpakaian kulit ular ini tidak menjadi kaget melihat serangan ini. Dia tahu siapa penyerangnya kali ini. Siapa lagi kalau bukan Wakil Ketua Perguruan Golok Maut.

Kalapati segera melangkahkan kakinya ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Tepat sejengkal di depan perutnya.

Baru saja lolos dari serangan si Golok Perak, serangan pedang Gambala meluncur tiba. Pedangnya mengaung dahsyat mengancam berbagai bagian tubuh Kalapati.

Luar biasa! Walaupun berada dalam keadaan terjepit, kakek berpakaian kulit ular itu masih mampu untuk mengelak. Tubuhnya dilempar ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap beberapa tombak dari tempatnya semula.

"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. "Rupanya kalian memang berniat menyingkirkanku!"

"Tidak usah banyak basa-basi, Kalapati!" sergah si Golok Emas keras. "Penghinaan belasan tahun yang lalu harus kau tebus dengan nyawamu!"

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Golok Maut ini melompat menerjang. Dan dari atas, goloknya dibabatkan cepat ke arah leher Kalapati.

Belum juga serangan si Golok Emas tiba, adik seperguruannya pun meluruk menyerbu. Golok peraknya berputar cepat di depan dada, sebelum akhirnya ditusukkan ke perut kakek berpakaian kulit ular itu.

Sedangkan Gambala menahan diri. Dia tidak mau mencampuri dulu. Dibiarkan saja kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu menghadapi Kalapati.

Kalapati kali ini harus berhadapan dengan lawan- lawan yang amat tangguh. Meskipun begitu kematian bukanlah merupakan sesuatu yang menakutkan bagi datuk ini. Tapi, bagaimana dengan Karmila kalau dia tewas? Kalapati tidak sampai hati membiarkan putrinya hidup sendirian menghadapi kerasnya dunia persilatan. Karmila masih membutuhkan bimbingannya.

Kekhawatiran akan keselamatan putrinya itulah, yang menyebabkan Kalapati memutuskan untuk me- lakukan perlawanan mati-matian.

Mau tidak mau ter­paksa melanggar sumpahnya yang akan menjauhkan diri dari kekerasan. Tanpa ragu-ragu lagi kakek ber­pakaian kulit ular ini mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'.

Wuttt..!

Serangan si Golok Emas lewat tidak sampai setengah jengkal di atas kepalanya, begitu bekas datuk sesat ini memiringkan kepalanya. Dari rambut di kepalanya yang berkibaran keras dapat diper- kirakan kekuatan tenaga dalam yang tersimpan dalam babatan golok itu.

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Kalapati. Begitu golok itu lewat di atas kepalanya, tangan kanannya melakukan totokan ke arah sikut si Golok Emas. Berbareng dengan itu tangan kirinya menangkis tusukan golok perak yang menusuk perutnya. Luar biasa! Bekas datuk sesat ini menangkis serangan itu hanya dengan jari telunjuknya.

"Akh...!"

Si Golok Emas memekik kaget tatkala melihat totokan jari telunjuk lawan. Ketua Perguruan Golok Maut ini tahu betul keampuhan jari Kalapati.

Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, batu karang yang paling keras pun dapat tembus terkena totokan jari telunjuk kakek berwajah beringas itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tangannya segera ditarik pulang. Tinggg...!

"Akh...!"

Si Golok Perak memekik tertahan ketika jari telunjuk Kalapati membentur golok pusakanya. Serangannya kontan menyimpang dari sasaran. Lewat di samping kiri tubuh bekas datuk sesat itu. Sedangkan tangan yang memegang golok tergetar hebat.

Dari sini saja Wakil Ketua Perguruan Golok Maut ini dapat mengukur tingginya kekuatan tenaga dalam lawan. Betapa tidak?

Meskipun hanya dengan sebuah jari saja, serangan itu mampu membuat sekujur tangannya tergetar hebat.

Tapi kenyataan itu tidak berarti membuat kedua tokoh terlihai Perguruan Golok Maut ini gentar. Bahkan sebaliknya, kedua orang itu menyerang semakin dahsyat. Dua batang golok di tangan mereka pun kembali menyambar bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh Kalapati.

Tapi ternyata tingkat kepandaian kakek ber­pakaian kulit ular ini jauh di atas gabungan kepandaian kedua tokoh utama Perguruan Golok Maut. Betapapun kedua orang ini mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tak mampu men- desak Kalapati. Kakek berwajah beringas ini mampu mematahkan semua serangan mereka, dan bahkan balas menyerang tak kalah dahsyat.

Pertarungan antara tokoh-tokoh sakti ini ber- langsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat, puluhan jurus telah berlalu. Tapi selama itu tidak nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan imbang.

Melihat hal ini, Gambala menjadi tidak sabar. Setelah mengamati pertarungan itu, segera saja kakek ini tahu kalau kedua pemimpin Perguruan Golok Maut tidak akan mampu mengalahkan Kalapati. Bahkan bukan tidak mungkin keduanya dirobohkan bekas datuk sesat itu. Dan bila mereka keburu roboh, dia dan adik seperguruannya pun tidak akan mampu mengatasi Kalapati. Maka sebelum hal yang ditakutkannya itu terjadi, Ketua Perguruan Pedang Ular ini memutuskan untuk membantu si Golok Emas dan si Golok Perak.

"Aku pun mempunyai perhitungan denganmu, Kalapati!" teriak Gambala keras seraya memasuki kancah pertempuran. Pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung keras begitu kakek bermata sayu ini mulai membuka jurus-jurusnya.

Dan begitu masuk dalam arena pertarungan, Gambala langsung saja menghujani Kalapati dengan serangan-serangan maut .

"Hm...!"

Kalapati hanya mendengus seraya menggerakkan tubuh, mengelak serangan-serangan yang dilancarkan Gambala. Kini dengan ikut terjunnya Ketua Perguruan Pedang Ular, posisi lawan-lawan Kalapati jadi semakin kuat, sehingga tekanan- tekanan yang datang ke arahnya pun semakin berat.

Hebat bukan main pertarungan antara keempat tokoh sakti itu. Deru angin mengaung, mendesing, dan mencicit menyemarakkan pertarungan itu. Tanah-tanah terbongkar di sana-sini. Cabang-cabang pohon, berpatahan tersambar angin serangan nyasar. Debu pun mengepul tinggi ke angkasa.

****

Gumarang tertawa senang dalam hati setelah memperhatikan jalannya pertarungan. Laki-laki ber­hidung besar ini sudah bisa memperkirakan kalau Kalapati akan mati kutu. Maka kini dialihkan perhatiannya pada putri bekas datuk sesat itu.

Begitu melihat kakek berhidung besar itu menoleh ke arahnya, Karmila tidak mau membuang-buang waktu lagi. Segera saja gadis berpakaian jingga ini meluruk menyerang Gumarang. Pedangnya diputar cepat di atas kepala sebelum akhirnya ditusukkan ke ulu hati Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang gadis berpakaian jingga itu. Tapi Gumarang hanya tertawa terkekeh. Dengan sikap memandang rendah, kakinya dilangkahkan ke kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri pinggangnya.

Berbareng dengan elakan itu, tasbihnya diayunkan ke pelipis Karmila. Sengaja kakek ber­hidung besar ini menggunakan tasbih, karena malu melawan seorang gadis muda dengan senjata andalan.

Wuttt..!

Karmila cepat menundukkan tubuhnya, sehingga serangan itu lewat sekitar satu jengkal di atas kepalanya. Sembari merunduk, tak lupa dikirimkan serangan ke arah leher Gumarang dengan babatan pedang miring ke atas.

Singgg...!
"Heh...?!"

Gumarang terperanjat. Serangan yang dilakukan gadis berpakaian jingga sambil mengelakkan serangannya itu benar-benar mengejutkan. Tidak ada jalan lain baginya kecuali melempar tubuh ke depan dan bergulingan di tanah.

Sesaat kemudian Gumarang bangkit dengan wajah memerah karena marah dan malu. Tapi sesungguh- nya rasa malulah yang lebih besar! Dia adalah wakil ketua perguruan aliran putih terbesar saat ini. Dan tadi hampir saja kehilangan nyawa di tangan gadis belia yang sama sekali tidak terkenal. Betapa memalukan kalau hal ini diketahui oleh tokoh-tokoh persilatan lain.

Kini kakek berhidung besar ini tidak lagi berani bersikap memandang rendah. Pengalaman yang baru saja dialami, membuatnya sadar akan ketangguhan gadis berpakaian jingga itu. Sekarang Gumarang bersiap-siap mengerahkan seluruh kemampuannya.

Karmila yang mengetahui keterkejutan lawan, telah melompat menyerang kembali. Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam per­tarungan sengit

***

Sementara itu di cabang pohon beringin, seorang pemuda berambut putih keperakan memperhatikan jalannya kedua pertarungan dengan alis berkerut. Sepasang matanya menatap penuh perhatian pada kedua pertarungan itu berganti-ganti.

Kepala pemuda berambut putih keperakan itu menggeleng-geleng setiap kali melihat pertarungan Kalapati. Mulutnya berdecak pelan, penuh ke- kaguman pada Kalapati yang mampu menghadapi ketiga lawannya dengan penuh ketenangan. Padahal, sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan itu mengetahui kalau ketiga lawan bekas datuk sesat itu berkepandaian tinggi.

Betapapun lihainya Kalapati, tapi karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak, perlahan namun pasti dia mulai terdesak. Kalau saja hanya menghadapi dua orang, mungkin kakek berpakaian kulit ular ini mampu mendesak. Bahkan mengalah- kannya! .

Memasuki jurus kelima puluh, keadaan bekas datuk sesat ini kian mengkhawatirkan. Tapi meskipun begitu, dengan kedahsyatan ilmu 'Totokan Peng­hancur Tulang', Kalapati masih mampu bertahan. Beberapa kali lawan-lawannya mengeluarkan seruan kaget, setiap kali ujung jari tangan bekas datuk sesat ini menangkis senjata mereka.

"Akh...!"

Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan dari seorang perempuan. Jantung Kalapati bagai hendak me- lompat dari rongga dadanya begitu mendengar jeritan itu. Dikenalinya betul siapa pemilik suara itu. Karmila, putri kesayangannya. Perasaan cemas yang amat sangat melanda kakek berwajah beringas ini. Sambil terus mengelak dari hujan serangan lawan, sudut matanya melirik ke arah tempat putrinya bertarung.

Rupanya pedang Karmila terlilit tasbih Gumarang. Dan hal inilah yang menyebabkan gadis itu memekik tertahan.

"Hih...!"

Karmila menggertakkan gigi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedang­nya. Tapi Gumarang mempertahankannya. Kakek berhidung besar ini pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk mempertahankan belitan tasbihnya. Sesaat lamanya terjadi adu tenaga dalam yang menegangkan.

Mendadak, Gumarang melepaskan belitan tasbih- nya. Dan tak pelak lagi tubuh Karmila terjengkang ke belakang. Terbawa tarikan tenaganya sendiri.

Di saat itulah, Gumarang melompat memburu. Tasbihnya disabetkan keras ke arah kepala Karmila.

Gadis berpakaian jingga itu terkejut bukan main. Sebisa-bisanya sabetan tasbih itu ditangkis dengan pedangnya.

Cringgg...!

Suara berdenting nyaring terdengar begitu tasbih beradu dengan pedang. Saking kerasnya benturan, bunga-bunga api memercik ke udara. Pedang Karmila kontan terlempar jauh. Memang posisi kuda-kuda gadis itu tidak memungkinkan untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Tapi serangan Gumarang tidak hanya sampai di situ saja. Dengan sebuah tamparan dahsyat, tangan kirinya menyambar ke arah pelipis Karmila.

Kali ini tidak ada ampun lagi bagi Karmila. Tubuhnya yang masih terhuyung ke belakang, dan tangannya yang masih terasa lumpuh, membuatnya pasrah saja pada serangan yang mengancam pelipisnya.

"Karmila...!" teriak Kalapati kalap begitu melihat bahaya maut mengancam keselamatan nyawa putrinya. Bekas datuk sesat ini menggeram murka. Tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, kakek ini menerobos kepungan. Tak dihiraukannya tiga buah sergapan lawan yang tengah meluncur ke arahnya.

"Haaat..!"

Sambil mengeluarkan teriakan yang menggetarkan jantung, Kalapati memotong arah lompatan Gumarang. Kedua jari telunjuknya bergerak cepat melakukan tangkisan dan sekaligus serangan pada Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Kakek berpakaian kulit ular ini sama sekali tidak peduli kalau di belakangnya ada tiga sosok yang melompat mengejarnya sambil melancarkan serangan.

Singgg! Singgg! Wunggg...!
Plak, crot..!
"Aaakh...!"

Gumarang memekik melengking panjang. Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Memang gerakan Kalapati cepat bukan main.

Berbarengan dengan telunjuk kanannya yang menangkis tamparan Gumarang, telunjuk kirinya menusuk deras ke arah pelipis. Tak pelak lagi, tubuh kakek berhidung besar itu roboh dengan pelipis bolong! Darah segar mengalir keluar. Sesaat lamanya Gumarang menggelepar- gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

Bersamaan dengan robohnya tubuh Gumarang, serangan dari ketiga orang lawan Kalapati pun telah menyambar tiba. Namun tubuh kakek berpakaian kulit ular ini masih berada di udara. Dengan sebisa- bisanya Kalapati berusaha mengelak. Tapi....
Cappp! Sret! Cras... !

"Aaakh...!"

Kalapati memekik nyaring. Walaupun telah menghindar, tetap saja tiga serangan itu mengenai tubuhnya. Namun berkat kelihaiannya, tidak ada satu pun serangan itu yang mengenai bagian yang mematikan. Yang telak mengenainya hanya tusukan pedang Gambala. Itu pun hanya mengenai bagian atas punggung kanan. Sedangkan dua buah sabetan golok pimpinan Perguruan Golok Maut hanya menyerempet pinggangnya.

"Hup...!"

Meskipun agak limbung, Kalapati berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah. Darah segar mengalir dari luka-lukanya. Terutama sekali dari luka di punggung kanan.

"Ayah...!" teriak Karmila seraya menghambur ke arah ayahnya. Dari sepasang mata yang bening itu mengalir deras butiran-butiran air bening. Karmila menangis, walaupun tanpa adanya isak dari mulutnya. Hati gadis berpakaian jingga ini memang dilanda rasa cemas yang amat sangat. Disadari kalau ayahnya mempertaruhkan nyawa karena hendak menyelamatkan nyawanya. Segumpal perasaan ber- salah menggayuti hati Karmila. Apalagi tatkala teringat kalau selama ini dia selalu merepotkan ayahnya.

"Karmila...! Kau larilah cepat..! Selamatkan dirimu! Biar Ayah yang akan menahan mereka!"

Mendengar seruan ayahnya, air mata yang keluar dari sepasang mata bening itu semakin deras. Keharuan yang amat sangat mendera hati Karmila. Dadanya serasa sesak menahan rasa haru yang melanda. Tapi gadis berpakaian jingga ini menguat- kan hati. Bibirnya digigit menahan isak tangis yang akan meledak.

"Tidak, Ayah," sahut Karmila dengan suara serak mengandung isak. "Biar bagaimanapun aku tidak akan meninggalkan Ayah. Biarlah kita mati bersama .......... "

Kalapati tidak sempat menyahuti ucapan putrinya karena serangan susulan lawan telah meluncur tiba. Si Golok Emas dan si Golok Perak berbareng menerjang. Golok emas dan perak pimpinan Perguruan Golok Maut berkelebat cepat mencari sasaran.

Kembali Kalapati harus berjuang keras meng­hadapi dua lawannya. Tapi kali ini, perlawanan yang dilakukan bekas datuk sesat ini tidak sehebat sebelumnya. Sungguhpun luka-lukanya tidak terlalu parah, sedikit banyak telah mengurangi kegesitannya.

"Keparat!" terdengar suara teriakan keras. Ternyata makian itu berasal dari mulut Gambala. Memang sehabis menyarangkan serangannya, kakek bermata sayu ini segera menghambur ke arah tubuh Gumarang yang tergolek di tanah. Waji yang sejak tadi hanya menonton pertarungan, ikut berlari mem- buru dan kemudian duduk bersimpuh di samping tubuh paman gurunya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Gambala tatkala mengetahui adik seperguruannya telah tewas. Terdengar suara berkerotokan keras dari sekujur tulang-tulangnya ketika Ketua Perguruan Pedang Ular ini perlahan-lahan bangkit. Sepasang matanya merah berapi-api, menatap Kalapati penuh dendam.

"Paman Guru...," panggil Waji bernada desahan. Kesedihan dan dendam terbayang di wajahnya.
"Kalapati! Kau harus memhayar hutang nyawa adik seperguruanku!"

Setelah berkata demikian, Gambala menerjang Kalapati yang masih sibuk menghadapi dua orang lawannya. Pedang di tangannya berkelebat, me- nimbulkan suara mengaung keras. Sementara Waji masih belum bangkit dari jongkoknya. Pemuda berbadan lebar ini masih terpaku menatap mayat paman gurunya.

Kalapati terkejut bukan main. Saat tusukan pedang Gambala datang menyambar, dia baru saja menangkis dua serangan lawannya. Karuan saja hal ini membuat bekas datuk sesat ini jadi agak gugup. Serangan Gambala begitu cepat dan tiba-tiba.

Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa Kalapati, berkelebat sesosok bayangan jingga memapak tusukan itu. Kalapati terkejut bukan main melihat hal ini. Walaupun tidak melihat jelas, sekelebatan saja bekas datuk sesat itu dapat mengetahui siapa sosok bayangan itu. Siapa lagi kalau bukan Karmila, putrinya!

"Karmila...! Jangan...!" teriak kakek berwajah bengis ini keras.

Tapi terlambat! Tubuh Karmila telah meluncur cepat, memapak tusukan pedang Gambala dengan babatan pedangnya.

Trang...!
"Akh...!"

Karmila memekik tertahan begitu pedangnya membentur pedang Gambala. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Bahkan saking kerasnya benturan, pedangnya sampai terlepas dari genggaman.

Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kakek bermata sayu itu telah mengibas ke arah dadanya. Dengan susah payah Karmila mencoba mengelak. Tapi....

Plak...!
"Akh...!"

Kembali Karmila memekik tertahan ketika kibasan tangan Ketua Perguruan Pedang Ular itu menyerempet pangkal lengannya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang. Untunglah di saat- saat terakhir, gadis ini masih mampu mengelak. Kalau tidak, mungkin gadis berpakaian jingga ini sudah tewas dengan seisi dada remuk.

"Karmila...!" teriak Kalapati begitu melihat putrinya terlempar ke belakang. Datuk ini mencoba meng- hambur ke arah gadis itu, tapi kedua lawannya tidak memberikan kesempatan. Kakek berwajah beringas ini terus dipaksa harus berjuang keras menghadapi cecaran kedua orang lawannya.

"Kalau terjadi apa-apa dengan putriku, kalian semua kucincang...!" desis kakek berpakaian kulit ular itu tajam. Nada suaranya penuh ancaman. Membuat bulu tengkuk yang mendengarnya meremang.

Gambala yang tengah diamuk dendam, melampiaskannya pada Karmila. Gadis binal ini harus dibinasakan dulu, pikirnya. Paling tidak, kematian gadis ini akan memecah perhatian Kalapati. Apalagi gadis itu baru saja menggagalkan serangannya pada Kalapati.

Setelah memutuskan demikian, Gambala mem- buru tubuh Karmila yang masih terbawa tenaga kibasan kakek bermata sayu ini. Pedangnya dibabatkan ke arah leher gadis berpakaian jingga itu.

Dalam kemarahan yang menggelegak, Gambala lupa kalau lawannya hanyalah seorang gadis belia yang memiliki tingkat kepandaian di bawahnya. Apabila tanpa menggunakan pedang pun, sebenarnya gadis itu bisa dikalahkannya. Apalagi kini dia menggunakan pedang.

"Karmila...!"

Kalapati menjerit tatkala melihat bahaya maut mengancam keselamatan putrinya. Sementara dia tidak berdaya menolong, karena kedua lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan. Akibatnya perhatian datuk ini terpecah.

Dan kesempatan ini tidak disia-siakan dua orang lawannya. Segera mereka memperhebat serangan serangannya. Dan...

Cappp... !
"Akh...!"

Kalapati memekik keras ketika senjata si Golok Perak menembus perutnya. Seketika itu juga darah segar bermuncratan dari perut yang terkoyak lebar.

Tapi daya tahan Kalapati patut dipuji. Meskipun perutnya telah tertembus golok, dia masih tetap tangguh. Cepat laksana kilat, tangan kiri datuk ini menangkap tangan si Golok Perak. Dan secepat itu pula membetotnya. Berbareng dengan itu, telunjuk kirinya meluncur deras ke arah ubun-ubun orang kedua Perguruan Golok Maut.

Wuttt...! Crot..!
"Aaakh...!"

Si Golok Perak menjerit memilukan. Ubun-ubunnya bolong tertembus jari telunjuk Kalapati. Seketika itu juga tubuhnya roboh. Menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya roboh tak berkutik lagi.

Si Golok Emas terpaku melihat kematian adik seperguruannya. Tapi Kalapati sama sekali tidak peduli. Bergegas dia menoleh ke arah putrinya. Legalah hatinya ketika melihat Karmila selamat. Berdiri membelakangi putrinya, nampak seorang pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan. Di tangan kanan pemuda tampan itu tergenggam guci arak.

Rupanya ketika melihat Karmila tengah terancam maut, pemuda berambut putih keperakan itu tidak tega. Dan langsung menangkis serangan pedang Gambala dengan gucinya.

Gambala bersikap hati-hati. Dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu ketika menangkis pedangnya. Tenaga dalam pemuda ini amat kuat, sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.

Ada dugaan yang muncul di benak Gambala begitu melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya ini. Usia, rambut, pakaian, dan guci pemuda ini mengingatkan pada seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan, Dewa Arak! Tapi, mungkinkah tokoh yang menggemparkan itu adalah pemuda ini? Rasanya tidak masuk akal.

Bukan hanya Gambala saja yang dilanda perasaan kaget, Dewa Arak pun demikian. Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau tenaga dalam kakek ber­mata sayu itu amat kuat. Sehingga mampu membuat tangannya tergetar hebat.

***

Kini ada empat sosok tubuh yang berdiri tertegun. Kalapati, Karmila, dan Gambala yang menatap Dewa Arak dengan perasaan takjub, serta si Golok Emas yang menatap mayat adik seperguruannya dengan perasaan bingung.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Gambala. Sepasang matanya menatap pemuda berambut putih keperakan itu penuh selidik. "Mengapa kau mencampuri urusanku?"

"Aku Arya, Kek. Aku tidak berniat mencampuri urusan Kakek. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!" sahut pemuda berambut putih keperakan yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.

"Arya?!" ulang Gambala dengan alis berkerut
"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?"

Arya menganggukkan kepalanya.

"Jadi..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" kejar Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.

"Begitulah orang menjulukiku, Kek," sahut Arya merendah.

"Kalau begitu kita orang segolongan, Dewa Arak. Menyingkirlah...! Wanita yang kau tolong, dan juga ayahnya adalah tokoh-tokoh hitam yang kejam dan jahat! Aku akan melenyapkan mereka sebelum mengacau dunia persilatan lagi...."

Arya Buana menggelengkan kepalanya.

"Sayang sekali, Kek. Aku tidak melihat adanya keganasan dan kekejaman seperti yang kau katakan itu pada diri mereka. Jadi, aku terpaksa tidak bisa menyingkir dari sini."

"Maksudmu...?" tanya Gambala sambil mengerutkan keningnya.
"Aku tidak akan menyingkir dari sini!" sahut Arya tandas.
"Jadi, kau berada di pihak iblis-iblis itu, Dewa Arak?!" sergah kakek bermata sayu itu. Nada suaranya menyiratkan ancaman.

"Aku berada di pihak yang benar," ralat Arya.
"Pemuda sombong! Kau kira aku takut pada nama besarmu!?"

Setelah berkata demikian, Gambala segera menerjang Arya. Tapi sebelum Dewa Arak berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan dan memotong serangan itu. Terpaksa Gambala melempar tubuh ke belakang, dan bersalto beberapa kali menyelamatkan diri.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Dan secepat kakinya hinggap, secepat itu pula sepasang matanya menatap ke depan. Dan di hadapannya, di sebelah Dewa Arak berdiri Kalapati dengan posisi kaki agak goyah karena luka-luka yang dideritanya.

"Pergilah, Dewa Arak. Tolong selamatkan putriku. Biar kucoba menghadang mereka," ucap kakek berwajah bengis itu bernada perintah. Rupanya kakek ini sudah mendengar pembicaraan Gambala dengan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Tapi, Kalapati...," Arya masih mencoba mem- bantah.

"Pergilah, Dewa Arak. Kau tidak ada urusan dengan mereka. Lagi pula, mungkin aku tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi! Cepatlah...!"

Dewa Arak tercenung. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan Kalapati.

"Baiklah, Kalapati. Aku berjanji akan menjaga Karmila dengan taruhan nyawaku," janji Arya.
"Aku percaya padamu, Dewa Arak." Kalapati ber- paling pada putrinya. "Karmila...! Cepatlah kau pergi! Dewa Arak akan melindungimu...!"

"Tapi, Ayah...," gadis berpakaian jingga itu masih mencoba membantah.
"Kau ingin jadi anak yang tidak berbakti, Karmila?!" terpaksa Kalapati bersikap keras.

Baru saja kakek berwajah beringas ini menyelesai- kan kata-katanya, serangan dari Gambala meluncur tiba. Si Golok Emas yang kini sudah tersadar dari rasa terpukul atas kematian adik seperguruannya, tidak mau ketinggalan. Ketua Perguruan Golok Maut ini segera menusukkan pedangnya. Kalapati yang sudah terluka parah segera menyambutnya. Dikerahkannya seluruh kemampuan untuk memberikan kesempatan pada Dewa Arak membawa lari putrinya.

Karmila menahan isak yang merayap naik ke tenggorokan. Dadanya terasa sesak menahan rasa haru yang melanda. Baru sekarang gadis ini sadar akan besarnya kasih sayang ayahnya. Ayahnya rela mengorbankan nyawa asalkan dia selamat.

Kembali butiran-butiran air bening bergulir dari sepasang mata indah itu. Karmila harus menyelamat- kan diri dari sini. Tapi sebelumnya dia ingin memeluk ayahnya untuk yang terakhir kali.

"Mari kita pergi, Karmila," ajak Arya sambil me­natap wajah cantik bersimbah air mata di depannya.

Segumpal rasa haru melanda hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dia dapat merasakan perasaan Karmila. Karena dia sendiri pernah mengalami kesedihan ditinggal mati orang tua. Apalagi mati terbunuh! Ibu Arya sendiri mati dibunuh orang yang mendendam padanya (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").

"Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis ber­pakaian jingga itu dengan suara serak.

Arya hanya mengangguk pelan. Dia malu menjawab, karena khawatir kalau suaranya terdengar gemetar. Dewa Arak tidak ingin gadis ini tahu kalau dirinya pun tengah dilanda rasa haru.

"Bila kau benar-benar hendak menolong kami, mengapa kau tidak langsung membantu ayahku?"

"Ayahmu tidak mau menerima pertolonganku, Karmila," sahut Arya setengah mendesah. "Ayahmu sudah cukup senang asal kau selamat"

Lagi-lagi dari sepasang mata bening indah itu bergulir air bening. Arya yang berwatak welas asih jadi ikut terenyuh. Kalau menuruti perasaannya ingin dipeluknya gadis itu, dan diusap-usap rambutnya.

Tapi, pemuda ini sadar kalau hal itu tidak mungkin dilakukannya.

"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa Arak?" tanya Karmila lagi.

"Katakanlah, Karmila. Kalau aku mampu, dan selama tidak bertentangan dengan kebenaran, aku akan memenuhinya," janji Arya.

"Aku ingin kau menahan musuh-musuh ayah dulu ...... "

"Hm... , lalu?" tanya Arya masih belum memahami tujuan ucapan Karmila.

"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku pada ayah, Dewa Arak..., agar hatiku tenang melepas kepergiannya...."

Arya segera memalingkan wajahnya. Dewa Arak hampir tidak kuat lagi menahan rasa haru yang menggelegak di dadanya. Digigit-gigit bibirnya untuk menahan luapan keharuan yang menyentak-nyentak kalbu.

"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa Arak?"

Arya menganggukkan kepalanya. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah pertempuran. Setelah mengamati sejenak, Dewa Arak tahu kelihaian kedua orang lawan Kalapati. Sebelumnya dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam Gambala. Maka pemuda ini tidak mau bersikap ceroboh. Segera guci araknya diangkat, dan dituangkan ke mulut.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongannya. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang mengalir dari perutnya, dan perlahan naik ke kepala.

"Kalapati..., putrimu ingin berbicara sebentar. Temuilah dia demi ketenangan hatinya. Biar aku yang menahan mereka...."

Karmila melihat mulut Dewa Arak berkomat-kamit. Tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Gadis itu tidak tahu kalau Arya tengah mengirimkan suara khusus untuk Kalapati.

Memang, bagi orang berkepandaian tinggi seperti Dewa Arak, bukan merupakan hal yang sulit untuk mengirimkan suara hanya kepada orang yang dituju.

Setelah yakin Kalapati telah mendengar pesannya, Dewa Arak segera maju beberapa tindak.

"Awas serangan...!" teriak Arya seraya meng- hentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'. Jurus yang jarang dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.

***

Wusss... !

Angin keras berhawa panas menyambar deras ke arah Gambala dan si Golok Emas. Kedua kakek sakti ini terkejut bukan main. Mereka menyadari kedahsyatan pukulan jarak jauh yang mengandung hawa panas menyengat itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya segera melempar tubuh ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara, kedua tokoh itu hinggap tanpa suara beberapa tombak dari tempat semula.

Kesempatan emas itu tidak disia-siakan oleh Dewa Arak. Segera pemuda berambut putih keperakan ini melompat maju. Sedangkan Kalapati yang me- mahami maksud penolongnya, segera bergerak mundur.

"Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan, Dewa Arak," ucap kakek berwajah beringas itu seraya berlari menghampiri putrinya yang juga berlari meng- hambur ke arahnya.

Sementara Dewa Arak segera menghadang Gambala dan si Golok Emas yang sudah bergerak mengejar Kalapati.

"Dewa Arak!" teriak si Golok Emas keras. "Tak kusangka kalau nama besarmu yang selama ini kudengar, tidak sesuai dengan apa yang kusaksikan di sini! Tahukah kau, siapa orang yang kau bela itu?!"

"Ha ha ha...!" Gambala tertawa mengejek. "Mana bisa dia membedakan mana yang benar dan mana yang salah, Golok Emas? Mata dan hatinya telah silau oleh kecantikan gadis liar itu!"Merah wajah Arya mendengar kata-kata peng­hinaan itu.

"Tidak kusangka aku akan mendengar ucapan kotor seperti ini dari mulut kalian," desah pemuda berambut putih keperakan itu pelan.

"Kami beri kesempatan kepadamu sekali lagi, Dewa Arak! Menyingkir atau kami terpaksa akan menyingkirkanmu dengan kekerasan!" ancam Gambala.

"Sudah kukatakan. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyingkir dari sini!" tandas Dewa Arak tegas. Guci araknya diangkat kembali, lalu dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongannya.

"Kalau begitu, jangan salahkan kalau kau mampus di tangan kami, Dewa Arak!"

Setelah berkata demikian, Gambala melesat me­nerjang. Pedangnya yang meliuk-liuk aneh seperti gerakan seekor ular, mengancam Dewa Arak.

Wunggg...!

Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat ilmu pedang yang unik itu. Batang pedang yang tidak kaku seperti pedang umumnya itu membuat pemuda berambut putih keperakan ini agak bingung. Setiap arah serangan yang dituju, tidak dapat diduganya dengan pasti. Jurus-jurus pedang inilah yang me- nyebabkan Gambala menamakan perguruannya, Perguruan Pedang Ular.

Baru tatkala serangan itu telah menyambar dekat, arah sasarannya dapat diketahui. Ujung pedang itu ternyata mengancam leher Dewa Arak. Segera pedang itu ditangkis dengan gucinya.

Klanggg...!

Suara berdentang terdengar begitu pedang itu berbenturan dengan guci. Bunga-bunga api memercik ke udara. Akibatnya Gambala terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak hanya tergetar saja. Dari benturan ini dapat diukur kalau tenaga dalam Dewa Arak masih berada di atas tenaga dalam Ketua Perguruan Pedang Ular itu.

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas sudah meluruk dengan sabetan golok mendatar ke arah leher.

Singgg...!

Serangan dari Ketua Perguruan Golok Maut itu cepat sekali. Dewa Arak yang baru saja menangkis serangan Gambala tidak punya kesempatan lagi untuk menangkis. Maka Dewa Arak segera mengelak dengan mengandalkan langkah unik jurus 'Delapan Langkah Belalang'.

Wuttt..!

Si Golok Emas terkejut begitu menyadari kalau sabetan goloknya mengenai tempat kosong. Ketua Perguruan Golok Maut ini lebih terperanjat lagi ketika melihat lawan telah lenyap dari hadapannya. Padahal tadi jelas-jelas dilihatnya kalau Dewa Arak hanya melangkah dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh.

Ketua Perguruan Golok Maut sama sekali tidak menduga kalau Dewa Arak telah berada di belakang- nya. Tapi tidak seperti yang sudah-sudah, Arya kali ini tidak langsung melakukan penyerangan dari belakang.

Dewa Arak tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi- nya ini adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Maka pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau membuat urusan dengan mereka. Tugasnya hanyalah memberi kesempatan kepada Karmila berbincang-bincang dengan ayahnya untuk yang terakhir kalinya.

Karena hal itulah Dewa Arak tidak mengadakan perlawanan. Arya hanya mengelak saja dari setiap serangan kedua lawannya. Untunglah pemuda ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang unik, sehingga tidak terlalu repot untuk mengelakkan setiap serangan yang datang. Hanya sesekali saja pemuda ini menangkis serangan lawan.

Diam-diam Dewa Arak terkejut juga begitu mendapat kenyataan kalau kedua lawannya ini memiliki kepandaian tinggi. Tingkat kepandaian mereka hanya berselisih sedikit dengannya. Dari sini sudah dapat diukur tingkat kepandaian Kalapati yang mampu menahan pengeroyokan ketiga lawannya.

Teringat akan Kalapati, Dewa Arak meluangkan kesempatan untuk melirik ke arah ayah dan anak itu. Dilihatnya Karmila dan ayahnya tengah berpelukan erat.

"A... Ayah...," ucap Karmila terbata-bata dalam pelukan ayahnya. Sama sekali tidak menghiraukan pakaiannya yang kotor terkena noda darah dari luka- luka yang diderita ayahnya.

"Ada apa, Karmila?" tanya Kalapati lembut. Tangannya mengusap-usap rambut hitam, indah, dan harum milik putrinya penuh kasih sayang.

"Aku.. aku ingin minta maaf pada Ayah...," jawab Karmila terputus-putus.

"Heh?! Memangnya kau mempunyai kesalahan pada Ayah, Karmila?" tanya Kalapati heran. Sementara tangannya masih terus mengusap-usap rambut putrinya penuh kasih sayang.

"Aku sering membuat Ayah jengkel...."

"Lupakanlah, Karmila. Ayah sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai suatu kesalahan. Pergilah! Selamatkan dirimu. Dewa Arak akan melindungimu."

"Kenapa Ayah tidak ikut pergi bersamaku saja?!" tanya Karmila penasaran.

"Itu tidak mungkin, Karmila," bantah Kalapati. "Pantang bagi Ayah untuk melarikan diri dari lawan. Nah, sekarang keinginanmu sudah terpenuhi. Ayah akan menggantikan Dewa Arak menghadapi kedua orang itu, Karmila. Kasihan, pemuda itu...."

Karmila mengikuti arah pandangan ayahnya. Dan apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Pemuda berambut putih keperakan itu terlihat pontang- panting menghadapi gempuran kedua orang lawannya.

Memang dalam pandangan orang yang belum memiliki tingkat kepandaian tinggi, Dewa Arak mungkin terlihat terdesak. Tampak jelas kalau pemuda itu sampai terpontang-panting setiap mengelak serangan lawan. Bahkan terlihat tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang.

Tapi tidak demikian halnya dengan pandangan Kalapati. Diam-diam kakek ini terkejut penuh kekaguman. Sorot matanya yang tajam, dapat melihat jelas kalau Dewa Arak sama sekali tidak berniat membalas, tetapi hanya mengelak saja.

"Itukah jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang terkenal?" tanya datuk ini dalam hati. "Sungguh luar biasa."

Kalapati menyadari kalau luka-luka yang di- deritanya amat parah. Tubuhnya dirasakan semakin lama semakin melemah. Namun dia masih mem- punyai tugas untuk menahan kedua kakek sakti itu agar Dewa Arak mempunyai kesempatan membawa lari Karmila.

"Bersiap-siaplah, Dewa Arak..., aku akan meng- gantikan tempatmu. Aku mohon kau segera menye- lamatkan putriku," ucap Kalapati mengirimkan pesan dari jauh pada Arya.

Dewa Arak menganggukkan kepalanya pertanda telah mendengar pesan Kalapati. Kakek berwajah beringas itu gembira melihat Dewa Arak telah mengerti pesannya.

"Selamat tinggal, Karmila," ujar Kalapati sambil mencium kening putrinya. Perlahan-lahan pelukan pada putrinya dilepaskan. Dengan berat hati, Karmila pun melepaskan pelukannya.

"Selamat tinggal, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu tersendat-sendat. Firasat Karmila berkata kalau perpisahan dengan ayahnya ini, adalah per- pisahan untuk selama-lamanya.

Sementara itu begitu menerima pesan, Dewa Arak segera bersiap memberi kesempatan pada Kalapati untuk menggantikannya. Dan untuk itu dia harus mendesak lawannya. Maka kini gerakan Dewa Arak pun mendadak berubah. Langsung saja pemuda itu memainkan jurus 'Belalang Mabuk'nya.

Gambala dan si Golok Emas terkejut sekali ketika merasakan perubahan mendadak itu. Memang, sebagai tokoh sakti mereka tahu kalau sejak tadi Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan. Dan ini membuat kedua tokoh itu merasa terhina. Sebagai akibatnya, tentu saja keduanya semakin marah dan menyerang semakin dahsyat.

Kini begitu Dewa Arak melancarkan serangan balasan, Gambala dan si Golok Emas terkejut bukan main. Serangan Dewa Arak yang begitu dahsyat dan menderu-deru laksana amukan badai, membuat keduanya melompat mundur ke belakang.

Begitu kedua orang itu melompat mundur, Kalapati segera melompat ke sebelah Dewa Arak.

"Berhati-hatilah, Dewa Arak. Kau akan mengalami banyak kesulitan dalam menyelamatkan putriku. Tapi percayalah, kau membela orang yang benar. Aku dan putriku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kedua orang inilah yang mendesak kami bertarung," jelas Kalapati agak terburu-buru.

"Percayalah padaku, Kalapati. Aku akan me- lindungi putrimu dengan taruhan nyawaku. Aku percaya kalau kau dan putrimu ada di pihak yang benar."

"Terima kasih, Dewa Arak. Sayang, aku tidak akan sempat membalas kebaikan hatimu ini. Hhh...!" keluh Kalapati.
"Aku mohon, kau jangan menyebut-nyebut masalah hutang budi, Kalapati. Aku menolong bukan karena mengharapkan balasanmu," tegas Dewa Arak bernada memperingatkan.

"Aku percaya, Dewa Arak. Nah, sekarang pergilah. Aku tidak yakin akan mampu menahan mereka terlalu lama."

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Kalapati," ucap Dewa Arak sambil menggerakkan kaki. Kelihatannya pemuda berambut putih keperakan ini hanya melangkah perlahan saja, tapi hebatnya tahu-tahu telah berada lebih sepuluh tombak dari tempat semula. Dan sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di dekat Karmila.

"Mari kita pergi, Karmila," ajak Dewa Arak.

Karmila menahan isak yang naik ke tenggorokan- nya. Sekilas sepasang bola mata bening itu menatap ke arah ayahnya yang sudah kembali terlibat pertarungan dengan kedua lawannya.

"Selamat tinggal, Ayah...!" teriak gadis berpakaian jingga itu dengan pengerahan tenaga dalam sehingga suaranya menggema sampai jauh. Kemudian Karmila melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan diikuti Dewa Arak.

Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan kedua lawannya, Kalapati masih sempat mengirim­kan suara dari jauh untuk putrinya.

"Selamat tinggal, Karmila...."

Karmila agak menahan langkahnya begitu mendengar ucapan Kalapati.

"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat Karmila memperlambat langkahnya.

"Tidak ada apa-apa...," sahut gadis berpakaian jingga itu sambil menggelengkan kepalanya. Langkah­nya pun kembali dipercepat seperti semula.

Dewa Arak tidak mendesak. Pemuda berambut putih keperakan ini sengaja membiarkan Karmila menenangkan batinnya yang terguncang. Terus saja kakinya dilangkahkan mengikuti Karmila yang telah bergerak lebih dulu.

***

Kalapati tersenyum begitu melihat tubuh Karmila dan Dewa Arak telah lenyap dari tempat itu. Seketika itu juga perlawanannya menurun jauh. Memang, sebenarnya kakek ini telah terluka parah, dan tenaganya pun sudah berkurang jauh. Tapi karena terdorong untuk menyelamatkan putrinya sajalah yang membuatnya mendapat tenaga baru. Begitu diyakini Karmila telah selamat, tenaga tambahan itu pun lenyap seketika.

Dalam beberapa gebrakan, Kalapati telah terdesak hebat. Bahkan beberapa kali serangan lawan sempat menyerempet tubuhnya. Luka-lukanya pun semakin banyak. Dan tentu saja hal ini membuat tenaga Kalapati menjadi kian susut.

"Haaat..!"
Singgg...!

Sambil berteriak nyaring, Gambala menusukkan pedangnya ke arah perut Kalapati. Dan seperti biasanya, pedang lemas itu bergetaran, sehingga kelihatan banyak dan sukar diduga bagian mana yang dituju.

"Hiyaaa...!"

Si Golok Emas berteriak pula. Tubuhnya melompat ke udara. Dan dari atas, goloknya disabetkan ke arah leher kakek berpakaian kulit ular itu.

Wuttt.. !

Kedua serangan itu datang begitu mendadak. Sedangkan keadaan Kalapati saat itu sudah amat lemah. Meskipun begitu, kakek berpakaian kulit ular ini berusaha mengelak. Tapi....

Ceppp, cappp... !

Telak sekah kedua serangan itu mengenai sasarannya. Seketika itu juga tubuh Kalapati roboh ke tanah. Darah segar memancar deras dari perut yang tertembus pedang. Dan juga dari kepala yang terpisah dengan lehernya. Kalapati tewas tanpa sempat bersuara!

Gambala dan si Golok Emas memandangi tubuh Kalapati yang bersimbah darah. Ada kepuasan terpancar dari sorot mata dan wajah kedua kakek sakti itu.

"Adi Gumarang..., kau lihatlah. Kematianmu telah kubalaskan. Pembunuhmu telah kubinasakan. Semoga kau tenang di alam baka...," desah Gambala dalam hati.

"Golok Perak..., musuh besarmu telah kubinasa­kan. Semoga arwahmu tidak penasaran...," ucap Si Golok Emas dalam hati dengan kepala tertunduk.

Setelah itu, hampir bersamaan kedua tokoh sakti itu melangkah menuju ke arah mayat adik seperguruan masing-masing.

"Waji...," panggil Gambala kepada muridnya yang masih termenung menatap ke arah Barat

Pemuda berbadan lebar itu pun berpaling menatap gurunya.

"Ke sanakah kedua orang itu melarikan diri, Waji?" tanya Gambala seraya memandang ke arah pandangan muridnya tadi.

"Benar, Guru," jawab Waji sambil menganggukkan kepalanya. "Apakah Guru akan mengejarnya?"

Gambala menggelengkan kepalanya.

"Mengapa, Guru?" tanya Waji. Nada suaranya menyiratkan rasa penasaran yang mendalam.
"Mengejar kedua orang itu tidak sulit, Waji. Tapi yang penting sekarang kita urus dulu mayat paman gurumu ini"
"Maaf, Guru. Aku... aku...."

"Ada apa lagi, Waji?" tanya Gambala dengan alis berkerut melihat sikap muridnya yang tampak ragu- ragu melanjutkan ucapannya.

"Aku... aku tidak bisa ikut Guru pulang ke perguruan...," sahut Waji terputus-putus.
"Mengapa, Waji?"

"Aku ingin mencari mayat Adi Jalasa dan Adi Rupangki dulu, Guru. Batinku tidak akan tenang sebelum mayat mereka kutemukan," sahut Waji tersendat-sendat. Suaranya terdengar parau.

"Hhh...!" Gambala menghela napas berat "Kalau itu sudah keputusanmu, aku tidak akan mencegah, Waji"

"Terima kasih, Guru," ucap pemuda berbadan lebar itu terputus-putus.
"Kalau begitu aku akan pergi dulu. Hati-hatilah, Waji"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru."

Gambala membungkuk, lalu mengangkat mayat Gumarang dan diletakkan di bahunya. Sesaat kemudian Ketua Perguruan Pedang Ular itu melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning.

Waji memandangi tubuh gurunya hingga lenyap di kejauhan. Kini di tempat itu yang tinggal hanya dia sendiri. Si Golok Emas pun sudah sejak tadi meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat adik seperguruannya.

***

Waji tersenyum lebar. Sorot kesedihan mendadak lenyap di wajahnya. Perlahan kakinya dilangkahkan menuju batu pipih dan lebar yang terdapat dekat situ. Kemudian pantatnya dihempaskan, duduk di atasnya.

Cukup lama juga pemuda berbadan lebar itu duduk di situ. Sampai matahari tepat berada di atas kepala, Waji tetap duduk di atas batu itu.

"Uhhh...," keluh Waji. Kepalanya ditolehkan ke bawah lereng. Entah sudah berapa kali pemuda itu berbuat seperti itu. Jelas ada sesuatu yang ditunggunya.

"Mengapa lama sekali...?"

Baru saja Waji menyelesaikan ucapannya, mendadak terdengar suara berkaokan keras dua kali. Suara itu mengingatkan orang akan suara burung gagak.

Waji segera berpaling ke arah asal suara. Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Jelas kalau suara berkaokan itu mempunyai arti bagi pemuda itu.

Belum lagi gema suara itu lenyap, kembali terdengar lagi. Dua kali berturut-turut dan kemudian berhenti.

Waji tersenyum lebar. Wajahnya mendadak cerah. Dari mulutnya terdengar siulan nyaring yang menggema ke seluruh tempat itu. Hal ini tidak aneh, karena pemuda berbadan lebar itu mengerahkan tenaga dalam sewaktu bersiul.

"Ha ha ha...!"

Mendadak terdengar tawa keras bergelak. Tawa yang menggema ke seluruh penjuru Gunung Paianjar. Membuat daun-daun di sekitar tempat itu bergetar. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.

Belum juga habis gema tawa itu, melesat sesosok bayangan dan mendarat tepat di depan Waji. Bumi bergetar hebat begitu kedua kaki bayangan itu menjejak tanah.

Di hadapan Waji telah berdiri sesosok tinggi besar. Sekujur tangan dan badan sosok yang bertelanjang dada ini dipenuhi otot-otot melingkar dan bertonjolan. Kepalanya botak dan raut wajahnya kasar dengan mata membelalak lebar. Celananya sebatas lutut, dan terbuat dari kulit beruang salju.

"Ha ha ha...! Kelihatannya semua rencanamu berjalan baik, Waji," ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar berotot itu. Suaranya mirip dengan tawanya. Keras dan menggelegar.

Waji bergegas bangkit dari duduknya dan kemudian berdiri di hadapan laki-laki tinggi besar berotot itu. Dan begitu pemuda berbadan lebar ini berdiri, baru teriihat betapa tingginya orang yang baru datang itu. Tinggi Waji hanya mencapai dada laki-laki tinggi besar berotot itu. Padahal Waji terhitung pemuda yang berpostur tubuh di atas rata-rata.

"Mengapa kau bisa menduga demikian, Setan Kepala Besi?!" sahut Waji cepat.

"Kulihat sikapmu begitu gembira! Betul kan dugaanku? Ha ha ha...!" sahut laki-laki berotot kekar yang ternyata berjuluk Setan Kepala Besi sambil tertawa bergelak. Kembali suara tawa yang menggelegar itu menggema ke seluruh penjuru tempat itu.

Waji menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana dengan Kalapati?" tanya Setan Kepala Besi setengah berbisik. Seketika itu juga lenyap suara tawanya. Raut wajahnya teriihat serius. Raut wajah dan suaranya menyorotkan kegentaran. Wajarlah kalau laki-laki bertubuh tinggi besar dan kekar berotot itu gentar pada Kalapati, karena belasan tahun yang lalu dia telah dikalahkan oleh bekas datuk sesat itu.

"Dia telah tewas, Setan Kepala Besi," sahut Waji memberi tahu.
"Apa...?! Kalapati tewas?!" Sepasang mata Setan Kepala Besi membelalak. Tentu saja mata yang memang sudah besar itu, jadi teriihat semakin membesar.

Waji menganggukkan kepalanya.

"Gila! Sungguh gila!" seru laki-laki tinggi besar kekar berotot itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suara dan sikapnya mengandung ketidak-percayaan. "Bagaimana dia bisa tewas?"

"Kalapati dikeroyok oleh Gambala, si Golok Emas, dan si Golok Perak... "
"Pantas...," desah Setan Kepala Besi. Kepalanya terangguk-angguk.
"Apakah kau ingin melihat mayat Kalapati, Setan Kepala Besi?" tanya Waji lagi.
"Boleh," sahut Kalapati. "Biar hatiku lebih yakin. Rasanya aku tidak percaya kalau orang seperti Kalapati bisa ditewaskan...."

Waji tidak menyahuti ucapan Setan Kepala Besi. Kakinya dilangkahkan menuju tempat mayat Kalapati tergolek dengan kepala terpisah dari lehernya. Tanpa berkata apa-apa, Setan Kepala Besi melangkah di belakang pemuda berbadan lebar itu.

"Itulah mayat Kalapati," ucap Waji sambil menudingkan telunjuknya ke arah sosok tubuh yang tergolek beberapa tombak di depannya. Sementara kakinya terus saja dilangkahkan.

Setan Kepala Besi menyipitkan mata untuk lebih memperjelas pandangan. Kalau melihat pakaiannya, memang dapat dikenali kalau tubuh yang tergolek itu adalah Kalapati. Tapi laki-laki tinggi besar ini tidak puas kalau hanya melihat dari jauh, maka kakinya dilangkahkan mendekat.

"Ha ha ha...!"

Tawa bergelak kembali menggema ke seluruh tempat itu begitu Setan Kepala Besi melihat jelas kalau mayat itu benar Kalapati. Orang yang selama ini sangat ditakutinya.

Waji pun tersenyum lebar begitu melihat ke- gembiraan laki-laki tinggi besar itu.

"Memangnya untuk apa kau menginginkan kematian Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah kakek itu telah meninggalkan urusan persilatan? Dan kurasa dia tidak akan mengganggu seandainya kau ingin menga-caukan dunia persilatan?" tanya Waji ingin tahu.

"Karena aku menginginkan tempat tinggalnya. Dan itu tidak mungkin kuperoleh bila Kalapati masih hidup. Dan ...... "

"Kau menyuruhku merencanakan sesuatu, bukan?" sambung Waji cepat.

"Dan..., inilah hasilnya!" tegas Setan Kepala Besi seraya tertawa bergelak. Waji pun tertawa bergelak.

"Mengapa kau ingin merebut tempat Kalapati, Setan Kepala Besi? Bukankah tempat tinggalmu lebih mewah dan indah daripada tempat ini?" tanya Waji lagi setelah tawanya mereda.

Setan Kepala Besi terdiam seketika. Rupanya jawaban dari pertanyaan itu merupakan rahasia. Untuk beberapa saat, laki-laki tinggi besar ini tercenung.

"Kalau tidak mengingat jasamu, dan juga hubungan kekeluargaan kita, pertanyaanmu itu dapat kujadikan alasan untuk membunuhmu, Waji."

Pucat wajah pemuda berbadan lebar itu seketika. Waji tahu kalau Setan Kepala Besi tidak pemah main- main dalam ucapannya.

"Memangnya kenapa, Setan Kepala Besi?" tanya Waji dengan suara bergetar. Seketika perasaan tegang melandanya.

"Karena rencana ini merupakan rahasiaku," jawab Setan Kepala Besi dengan suara mendesis tajam.

"Rahasia?!" Sepasang alis Waji berkerut dalam.
"Ya. Kalau seandainya ada orang persilatan yang tahu, mereka akan berbondong-bondong datang ke mari," sambung Setan Kepala Besi masih dengan suara berbisik-bisik.

"Ah...!" seru Waji terkejut "Mengapa bisa begitu, Setan Kepala Besi?"

"Karena di dalam gua Kalapati tersimpan benda yang mampu membuat tenaga dalam orang yang memakannya menjadi berlipat ganda...."

"Ahhh...! Kiranya begitu...," desah Waji kaget. Kepalanya terangguk-angguk karena mulai mengerti masalahnya.

"Kau paham, Waji?" tanya Setan Kepala Besi sambil menatap tajam wajah pemuda di hadapannya.

"Paham, Setan Kepala Besi," sahut Waji sambil menganggukkan kepalanya.
"Ha ha ha...!"

Kembali Setan Kepala Besi tertawa. Waji yang semula tidak mengerti apa-apa, ikut pula tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba pemuda berbadan lebar itu menghentikan tawanya. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari perhatian Setan Kepala Besi.

"Ada apa, Waji?"

Waji menengadahkan kepala. Ditatapnya wajah Setan Kepala Besi.

"Putri Kalapati berhasil meloloskan diri...," sahut pemuda itu pelan, mirip desahan.

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Rupanya kakek tinggi besar ini gemar tertawa. "Kukira ada apa! Kalau hanya putri Kalapati saja, mengapa dirisaukan? Sampai seberapa tinggi sih kepandaian- nya?! Sudahlah, Waji. Lupakan saja masalah kecil itu!"

"Bukan putri Kalapati yang kurisaukan, Setan Kepala Besi," sambut Waji lagi.

"Heh...?! Kau ini aneh, Waji! Kalau bukan putri Kalapati, lalu siapa lagi? Bukankah itu tadi jawabanmu ketika kutanya?!" sergah Setan Kepala Besi penuh rasa heran.

"Memang benar putri Kalapati berhasil meloloskan diri. Tapi, bukan wanita liar itu yang merisaukanku."
"Lalu siapa?"
"Penolongnya," sahut Waji singkat.
"Ah...! Jadi, ada orang yang telah menyelamatkan putri Kalapati?" sambut Setan Kepala Besi mulai paham.

Waji hanya menganggukkan kepalanya.

"Siapa orang itu, Waji?"
"Dewa Arak...," jawab pemuda berbadan lebar itu pelan.
"Dewa Arak?!" ulang Setan Kepala Besi kaget. "Kau tidak salah lihat, Waji?!"
Waji menggelengkan kepalanya.

"Dari mana kau tahu kalau penolong putri Kalapati itu Dewa Arak?" desak Setan Kepala Besi ingin tahu.

"Gambala mengenalinya... pemuda itu pun meng- akuinya. Dan lagi ciri-cirinya memang seperti yang kudengar selama ini. Hhh...! Kepandaiannya tinggi sekali. Dia mampu menghadapi Gambala dan si Golok Emas sekaligus...!"

"Jadi, Dewa Arak sempat bertempur?"

"Ya. Eh..., kenapa aku begini bodoh? Bukankah ini kesempatan untuk melenyapkan Dewa Arak itu?" ucap Waji pada dirinya sendiri. Jelas ada suatu rencana di benaknya. Dan sudah pasti rencana itu amat diyakini keberhasilannya. Hal ini terbukti dengan lenyapnya kemuraman pada wajah pemuda itu. Wajahnya kini mendadak berseri-seri.

"Apa maksudmu, Waji?" tanya Setan Kepala Besi yang memang tidak mengerti rencana pemuda berbadan lebar itu.

Waji lalu menceritakan semua kejadiannya.

"Gambala dan juga si Golok Emas bertekad hendak melenyapkan putri Kalapati. Dan melihat kegigihan Dewa Arak melindungi putri Kalapati itu, sudah dapat kupastikan kalau di antara mereka akan terjadi pertarungan. Kini yang harus kulakukan hanyalah memanas-manasi Gambala agar per- tempuran antara mereka terjadi."

"Dan sebagai seorang tokoh persilatan golongan putih yang mempunyai pergaulan luas, aku yakin banyak tokoh-tokoh golongan putih yang akan membantu Gambala dan si Golok Emas dalam menghadapi Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi penuh semangat.

"Ha ha ha...!"

Kedua orang ini pun tertawa terbahak-bahak. Yakin dengan rencana yang akan mereka jalankan.

"Kali ini Dewa Arak akan mati kutu!" seru Waji di sela-sela tawanya.

***

Siang itu udara terik sekali. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Sinarnya yang menyengat, menyorot garang ke bumi. Rasanya di siang bolong itu tidak akan ada orang yang mau melakukan perjalanan.

Di bawah sebatang pohon besar dan rindang, nampak dua sosok tubuh berteduh di bawahnya. Kedua sosok itu adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang wanita cantik ber­pakaian jingga.

Dua sosok itu ternyata Dewa Arak dan Karmila. Sudah dua hari lamanya mereka menempuh per- jalanan bersama.

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Dihapusnya keringat yang membasahi kening dan leher dengan punggung tangan. Sekilas diliriknya wajah cantik jelita di sampingnya. Wajah cantik milik Karmila. Sayang, wanita itu masih terlihat muram. Rupanya gadis ber­pakaian jingga ini masih belum bisa melupakan kesedihan ditinggalkan ayahnya yang harus me- nentang maut.

"Panas sekali hari ini...," ucap Arya seperti ber- bicara pada diri sendiri. Padahal dalam hati pemuda berambut putih keperakan ini berharap kalau gadis yang duduk di sebelahnya menanggapi ucapannya.Selama dua hari ini, Arya sudah berusaha untuk mengajak Karmila bicara. Tapi jawaban yang diterima hanya singkat-singkat saja. Bahkan terkadang tak ada jawaban sama sekali. Nampaknya gadis berpakaian jingga ini tidak ingin diajak bicara. Arya pun tahu diri, maka tidak mengajak bicara lebih lanjut

Tapi setelah dua hari ini kemurungan Karmila masih belum sirna juga, Arya memutuskan untuk ikut campur. Itulah sebabnya setelah beberapa saat lamanya tidak ada sahutan Karmila, Arya lalu menoleh. Ditatapnya wajah Karmila lekat-lekat.

"Karmila...," panggil Arya pelan.
"Hm...," hanya gumaman pelan yang tak jelas menyambut panggilan Arya. Sedangkan pandangan gadis itu masih menatap kosong ke depan.

"Karmila...," panggil Arya lagi, lebih keras.

"Hm...," kembali hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulut gadis berpakaian jingga itu. Pandangan matanya masih tetap tertuju ke depan.

"Karmila...," panggil Arya lebih keras lagi. "Pandang aku, Karmila...."

Kali ini justru tidak ada jawaban sama sekali. Karmila tetap menatap kosong ke depan pada satu titik. Jelas kalau pikiran gadis ini tengah menerawang entah ke mana.

"Hhh...!"

Arya menghela napas berat. Menghilangkan rasa mendongkol di hatinya. Dewa Arak mengerti kalau Karmila bersikap seperti itu karena tengah ada pertentangan batin di dalamnya. Dan Arya pun tahu kalau tidak bertindak agak kasar, tidak mungkin dia dapat menyadarkan gadis berpakaian jingga ini. Kini pandangannya dialihkan ke depan.

"Tidak kusangka kalau kau ternyata gadis yang lemah, Karmila. Lemah dan cengeng!" tandas Arya tegas. Kata-katanya lebih ditekankan pada kalimat terakhir. Pemuda berambut keperakan ini terpaksa bersikap begitu walaupun sebenarnya ada rasa tidak
tega di hatinya.

Diam-diam Dewa Arak bersorak dalam hati begitu melihat ada perubahan pada wajah Karmila. Jelas kalau kata-kata yang diucapkannya mengenai sasaran. Sekilas Arya melihat sepasang mata gadis itu memancarkan sinar berapi. Tapi hal itu hanya ber- langsung sesaat saja. Tak lama kemudian pandangan gadis itu sudah kembali seperti semula. Dingin, dan menatap kosong pada satu titik.

Tapi Dewa Arak tidak putus asa. Tadi telah dilihatnya sendiri bukti keberhasilan usahanya. Hanya saja ucapan itu masih belum terlalu tegas untuk menyadarkan Karmila dari ketermenungannya.

"Kalau saja ayahmu melihat sikapmu ini, aku yakin beliau akan kecewa. Aku sendiri kecewa! Sungguh tidak kusangka, kalau orang yang begitu gagah perkasa seperti ayahmu mempunyai seorang anak yang berjiwa lembek dan cengeng!" ucap Arya lagi. Pandangannya tetap menatap lurus ke depan. Seolah-olah pemuda ini hanya berbicara pada dirinya sendiri. Tapi tanpa sepengetahuan Karmila, sudut mata Dewa Arak melirik ke arahnya. Memperhatikan setiap perubahan wajah gadis berpakaian jingga di sebelahnya.

Gembira hati Arya begitu melihat perubahan pada wajah Karmila yang semakin kentara. Sepasang mata indah itu mulai melirik dengan pandangan berapi-api. Bahkan suara bergemeretak terdengar dari mulut gadis itu. Jelas kalau Karmila tengah menahan amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun teriihat mengepal keras. Tegang penuh kekuatan. Dan inilah saat yang tepat bagi Arya untuk melancarkan siasat terakhir.

"Aku yakin..., kalau saja ayahmu tahu kau akan bersikap cengeng seperti ini. Dia tidak akan mau mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamat- kanmu. Ahhh..., kasihan kau, Kalapati. Pengorbanan- mu sia-sia...," keluh Arya dengan suara mendesah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam ke tanah, seperti orang yang tengah menyesali sesuatu.

"Diaaam...! Hentikaaan...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut Karmila. Dan seiring dengan terdengarnya teriakan itu, gadis berpakaian jingga itu bangkit berdiri. Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat- kilat menyorotkan api kemarahan. Sementara kedua tangannya terkepal penuh kekuatan. Bahkan napas- nya pun menderu keras.

"Heh...?!" Arya pura-pura tidak mengerti. Dengan pandangan mata bodoh, ditatapnya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat "Kenapa kau, Karmila?"

"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" sergah Karmila sengit "Jangan mentang-mentang telah menolongku, seenaknya saja kau menghinaku! Bangun dan hadapi aku!"

"Ha ha ha...!" Arya tertawa pelan. Tapi tidak terdengar ada nada ejekan di dalamnya.

"Bagaimana mungkin kau bisa menghadapi orang lain, Karmila? Menghadapi dirimu sendiri saja kau tidak mampu!"

"Tidak usah mengejek, Dewa Arak! Kuakui, kau memang berkepandaian tinggi. Tapi pantang bagiku diejek orang lain!" tandas Karmila tegas.

"Duduklah dulu, Karmila. Tenangkan pikiranmu. Nanti akan kujelaskan mengapa aku bersikap yang berlawanan dengan hati nuraniku sendiri," ucap Arya bernada membujuk.

Karmila terdiam sejenak. Kemarahan yang menyesakkan dadanya terpaksa ditahan. Meskipun ucapan Dewa Arak tadi menyakitkan, tapi gadis ini menyadari kebenaran ucapan pemuda itu.

Karmila menarik napas dalam-dalam dan meng- hembuskannya kuat-kuat. Barangkali saja dengan berbuat begitu, kemarahan yang bergolak di dadanya dapat berkurang. Dan memang, ternyata amarahnya kini berkurang banyak. Tidak berkobar-kobar seperti sebelumnya.

"Sekarang coba kau kemukakan alasanmu, Dewa Arak!" desak Karmila seraya menghempaskan tubuh di tempat duduknya semula. Sepasang bola matanya menatap tajam wajah tampan di depannya. Dan seketika itu juga, hati Karmila tercekat. Baru kali ini dia melihat wajah Dewa Arak dengan jelas. Selama ini Karmila memang tidak sempat memperhatikan wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Seluruh pikirannya tertuju pada ayahnya. Kini setelah menatap jelas wajah Arya, ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya.

Wajah pemuda itu begitu tampan dan gagah. Raut wajah seorang pemuda yang telah matang oleh tempaan pengalaman hidup. Rambutnya yang ber- warna putih keperakan itu semakin menambah kematangan sikapnya. Dan hal ini baru sekarang disadarinya.

Arya menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Karmila.

"Sikapmulah yang membuatku terpaksa menge­luarkan kata-kata keras, Karmila," ucap Dewa Arak, pelan suaranya.

"Maksudmu...?" tanya Karmila tak mengerti. Sementara sepasang matanya tetap merayapi wajah tampan di hadapannya. Sikap pemuda itu dalam mengucapkan setiap kata-katanya terlihat begitu jantan.

"Selama dua hari ini kau hanya termenung saja. Bahkan sewaktu kita melakukan perjalanan pun pikiranmu terus menerawang. Ketika berkali-kali kuajak bicara, kau hanya menjawab sekali-sekali saja. Bahkan kadang-kadang tidak sama sekali! Kau terlalu hanyut dalam lamunan dan kesedihanmu, Karmila."

Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ditatap- nya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat untuk melihat reaksinya. Sekilas dilihatnya Karmila mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. Kemudian....

"Teruskan, Dewa Arak...," pinta gadis itu.

"Berkali-kali kucoba dengan lemah lembut untuk menyadarkanmu, tapi kau tetap saja tidak bereaksi. Jangankan mendengar, kupanggil-panggil pun kau tidak menyahut!" sambung Arya lagi.

"Lalu...?" selak Karmila.

"Aku tahu, melalui jalan halus, tidak mungkin akan berhasil. Jadi, terpaksa kupakai jalan kasar! Aku tahu, jalan termudah untuk menyadarkan orang yang dilanda persoalan sepertimu adalah dengan mem- bangkitkan amarahnya. Tapi kalau perbuatanku menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf," jelas pemuda berambut putih keperakan itu.

Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini telah dimengertinya mengapa Arya mengucapkan kata-kata kasar padanya. Dan seketika itu juga kemarahannya lenyap. Bahkan diam-diam, telah ber- desir perasaan lain dalam hati Karmila pada pemuda berambut putih keperakan itu.

"Jadi, apakah kita tidak boleh bersedih kalau kehilangan orang yang sangat kita cintai, Dewa Arak?" tanya Karmila tiba-tiba.

"Tentu saja boleh, Karmila," jawab Arya sambil tersenyum. "Tapi, tentu saja tidak boleh sampai menyiksa diri. Kau paham kata-kataku, Karmila?"

Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya per- tanda mengerti.

"Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya persoalan apakah yang menyebabkan kau dan ayah­mu bentrok dengan para penyerbu itu?" tanya Arya tanpa membuang-buang waktu lagi. Sudah terlalu lama pertanyaan ini disimpannya dalam hati.

"Aku sendiri tidak tahu secara pasti, Arya. Kalau masalah-masalah yang dulu sih..., ayah pernah menceritakannya. Tapi, sepertinya... orang-orang dari Perguruan Pedang Ular mempersoalkan masalah baru. Mereka menuntut kematian dua orang murid perguruan itu yang katanya dibunuh ayah. Padahal aku tahu pasti kalau ayah sama sekali tidak mem- bunuh mereka."

Setelah berkata demikian, Karmila pun men- ceritakan kejadian beberapa hari yang lalu. Sewaktu Waji, Jalasa dan Rupangki tiba di tempat Kalapati menyepi.

"Begitulah ceritanya, Dewa Arak," ucap Karmila menutup ceritanya. Sedangkan Arya mengerutkan alisnya begitu gadis berpakaian jingga itu menyelesaikan ceritanya.

"Aneh...!" ucap Arya. "Kalau melihat kemarahan kedua orang kakek itu, jelas mereka yakin kalau pembunuh dua orang muridnya adalah ayahmu. Tapi, kau sendiri yakin kalau ayahmu sama sekali tidak membunuh mereka. Aneh...!"

"Aku yakin ayahku tidak membunuh dua orang murid Perguruan Pedang Ular itu. Orang yang meng- hina diriku dan ayah adalah pemuda berbadan lebar itu. Rasanya tak mungkin kalau ayah membunuh dua orang yang sama sekali tidak berbuat kesalahan, sementara orang yang menghina itu dibiarkan hidup!" Karmila meminta pendapat pada Arya dengan nada berapi-api.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Bisa diterima alasan yang dikemukakan gadis ber­pakaian jingga itu.

"Jadi..., kunci jawaban pertanyaan itu ada pada pemuda yang berbadan lebar," desah pemuda berambut putih keperakan itu pelan.

"Kau benar, Dewa Arak!" sergah Karmila tiba-tiba. "Ah...! Mengapa aku sampai tidak berpikir ke sana?"

"Kau terlalu sibuk memikirkan ayahmu, Karmila," sahut Arya setengah mencela sambil tertawa. Karmila hanya bisa meringis. Disadarinya kebenaran ucapan Dewa Arak itu.

"Mungkin kau benar, Dewa Arak," hanya itu yang bisa diucapkan gadis berpakaian jingga itu.

"Bisa kau ceritakan padaku tentang ayahmu, Karmila?" tanya Dewa Arak tiba-tiba. "Barangkali saja dari situ bisa kuketahui latar belakang semua keruwetan ini."

Karmila tercenung sejenak. Sepertinya gadis ini berat untuk menceritakannya.

"Apakah hal ini penting sekali, Dewa Arak?"

"Mana kutahu, Karmila? Tapi seperti yang telah kukatakan tadi, barangkali saja masalah ini ada hubungannya dengan masa lalu ayahmu...."

"Baiklah, Dewa Arak," sahut Karmila mengalah. "Puluhan tahun yang lalu, ayahku adalah seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali, ayah bertanding tanpa pernah kalah. Ayah adalah orang yang gila mengadu ilmu. Setelah tidak ada lagi orang yang berani menerima tantangannya, dia pun mendatangi perguruan-perguruan silat besar. Ditantang ketuanya bertanding."

Karmila menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Seraya menunggu, barangkali saja Dewa Arak hendak memberi tanggapan atas ceritanya. Tapi ternyata tidak. Pemuda berambut putih keperakan itu tenang saja mendengarkan ceritanya.

"Di antara ketua-ketua perguruan yang ditantang ayah, termasuk Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular, dan juga Ketua Perguruan Golok Maut yang bergelar si Golok Emas. Keduanya dikalahkan oleh ayah. Tapi bertahun-tahun setelah itu, ibuku meninggal dunia. Ayah merasa terpukul sekali. Akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari dunia persilatan. Dan sebelum ayah melaksanakan sumpahnya, terlebih dulu meminta maaf pada ketua- ketua perguruan yang telah dikalahkannya. Ke- datangan ayah sekaligus memberi tahu sumpahnya yang hendak mengundurkan diri dari dunia persilatan."

Lagi-lagi Karmila menghentikan ceritanya. Dahinya nampak berkernyit. Rupanya gadis ini tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. Di samping itu, semua pikirannya dikerahkan untuk mengingat-ingat cerita ayahnya.

"Gambala menerima permintaan maaf ayah. Apalagi kedatangan ayah tepat saat Perguruan Pedang Ular tengah dikacaukan oleh tokoh sesat yang berjuluk Setan Kepala Besi. Saat itu kebetulan Gumarang tidak berada di sana, sehingga kalau saja ayah tidak datang, Gambala pasti sudah tewas. Begitulah cerita masa lalu Ayah, Dewa arak," ucap Karmila menutup ceritanya.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari cerita gadis berpakaian jingga itu, rasanya tidak mungkin kalau orang-orang Perguruan Pedang Ular menyerbu Kalapati karena masalah lalu. Lagi pula, masalah itu telah lama berlalu. Sudah belasan tahun.

"Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak?" tanya Karmila tiba-tiba.
"Memenuhi janjiku pada ayahmu, Karmila," sahut Arya. Mantap nada suaranya.
"Apa itu, Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian jingga itu meskipun sebenarnya telah didengarnya sendiri ucapan pemuda itu.
"Melindungimu dengan taruhan nyawaku, Karmila."

Belum sempat Karmila menjawab, tiba-tiba Dewa Arak memberi isyarat pada Karmila agar diam.

"Ada banyak langkah kaki menuju ke sini, Karmila," bisik Arya memberi tahu. "Mudah-mudahan saja hanya orang-orang yang sekadar lewat"

Karmila terpaksa membatalkan ucapan yang akan dikeluarkannya. Dia pun diam menanti seperti halnya Dewa Arak.

Semakin lama derap langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Tak lama kemudian muncullah para pemilik langkah kaki itu. Seketika itu juga Arya dan Karmila bergerak bangkit dari duduknya.

Di hadapan Karmila dan Dewa arak kini telah berdiri belasan sosok tubuh. Dan sosok yang berdiri paling depan membuat kedua muda-mudi itu terkejut Orang yang berdiri paling depan adalah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.

Menilik dari wajah mereka, Dewa Arak dan Karmila sudah bisa menduga kalau belasan orang ini datang tidak dengan maksud baik. Dan dugaan kedua orang itu beralasan.

"Hm...," Gambala mendengus. Secercah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Sungguh tak kusangka kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Dewa Arak, adalah pemuda mata keranjang yang langsung lupa daratan begitu melihat dahi licin!"

Merah wajah Dewa arak mendengar ucapan keras bernada kasar itu. Seketika itu juga rasa marah menggayuti hatinya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini segera menekan amarahnya.

"Ha ha ha...! Kau benar, Gambala," sambut seorang berwajah gagah yang bersenjatakan se­pasang tombak pendek. Diam-diam orang ini merasa iri pada Arya yang bisa begitu dekat dengan seorang gadis semolek Karmila. Menilik dari potongannya, dia adalah seorang tokoh persilatan golongan putih. "Kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin Dewa Arak berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong perempuan liar ini. Setidak-tidaknya, mereka sudah... ehm... ehm ......... "

Terdengar suara gemeletuk dari mulut Dewa arak mendengar ucapan bernada kotor itu. Tanpa sadar kedua tangannya dikepalkan. Ada suara berkerotokan keras begitu jari-jemari Arya mengepal. Dewa Arak memang marah bukan main. Penghinaan orang yang bersenjatakan sepasang tombak pendek itu telah melewati batas!

Kalau Dewa Arak saja marah apalagi Karmila. Wajah gadis berpakaian jingga ini merah padam karena rasa malu dan terhina. Jari telunjuknya yang runcing, indah, dan halus ditudingkan ke arah laki-laki gagah yang tadi mengeluarkan hinaan itu.

***

"Manusia berpikiran kotor! Mulutmu yang menjijikkan itu memang harus dihajar!" sergah Karmila.

Setelah berkata demikian, Karmila melompat menerjang. Tangannya menampar deras ke arah mulut laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek.

Wuttt..!

Deru angin cukup deras mengawali tibanya tamparan Karmila. Tapi lawan yang diserang gadis berpakaian jingga ini ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Sungguhpun dengan agak tergesa-gesa, tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan itu lewat setengah jengkal di depan wajahnya. Pada saat yang bersamaan, tombak di tangan kanannya di- tusukkan ke leher Karmila.

Wukkk...!
"Ah...!"

Karmila memekik kaget. Buru-buru kakinya di­langkahkan ke belakang seraya mendoyongkan tubuhnya. Serangan tombak itu tidak mengenai sasaran. Setengah jengkal di depan lehernya.Tapi baru saja mengelak, belasan orang yang menilik dari sikap dan pakaian mereka adalah tokoh- tokoh persilatan aliran putih, telah meluruk menerjang Karmila. Dan sekali menyerang, mereka semua telah menggunakan senjata.

Seketika itu juga hujan senjata berhamburan ke berbagai bagian tubuh gadis berpakaian jingga itu. Teringat kalau gadis di hadapan mereka adalah putri Kalapati, tokoh-tokoh golongan putih itu tidak ragu-ragu melakukan pengeroyokan.

Tentu saja Karmila jadi kerepotan menghadapi serangan yang begitu gencar itu. Apalagi lawan putri bekas datuk sesat ini bukanlah tokoh-tokoh rendahan. Masing-masing memiliki kepandaian cukup tinggi. Tak heran kalau gadis berpakaian jingga ini jadi terpontang-panting mengelak setiap serbuan lawan-lawannya.

Melihat hal ini Dewa Arak mengerutkan alisnya. Segera pemuda berambut putih keperakan ini maju membantu Karmila. Tapi baru saja beberapa tindak melangkah, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan kuning. Dan sesaat kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Gambala. Sebatang pedang telanjang telah tergenggam di tangan kanannya.

"Tidak kusangka kalau kau bisa tersesat seperti ini, Dewa Arak! Tapi sebelum kau semakin jauh tersesat, terpaksa aku harus menyingkirkanmu!" tandas Ketua Perguruan Pedang Ular itu.

"Menyingkirlah, Kek. Dan biarkan gadis yang tidak berdosa itu pergi," ucap Dewa Arak tenang.

"Ha ha ha...!" Gambala tertawa bergelak. Kakek bermata sayu ini menatap Arya dengan sorot mata penuh ejekan. Senyum sinis pun tersungging di bibirnya. "Tidak berdosa katamu, Dewa Arak! Dasar pemuda mata keranjang! Pikiranmu sudah tidak waras lagi rupanya. Kau benar-benar sudah terpikat oleh kemolekan wanita iblis itu!"

"Mulutmu terlalu kotor, Kek," sambut Dewa Arak sambil mengangkat alisnya. Makian Gambala telah membuat kemarahan Arya bergolak. Tapi meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan ini mencoba menahannya.

"Aku hanya memperingatkanmu, Dewa Arak!" tandas Gambala. "Aku tidak ingin nama besarmu rusak karena pembelaanmu yang terlalu berlebihan pada wanita jalang itu! Kau tahu, Dewa Arak. Sikapmu akan menimbulkan kesulitan bagi dirimu sendiri.

Sekarang, hampir seluruh orang persilatan golongan putih tengah memburu wanita itu. Dan kalau kau masih bersikeras melindunginya, kau akan berhadapan dengan mereka!"

"Demi membela kebenaran, aku tidak akan gentar menghadapi apa pun juga! Perlu kau ketahui, Kek. Wanita itu bukanlah wanita jalang seperti yang kau tuduhkan!" tandas Dewa Arak tegas.

"Ah! Susah bicara denganmu, Dewa Arak! Kau sudah terjerat oleh kemolekan wajah dan kemontokan tubuh gadis itu! Sekarang kau kuberi peringatan terakhir. Kau tinggalkan gadis ini atau..., kau terpaksa berhadapan denganku!"

"Aku tidak memilih keduanya! Yang kupilih adalah menyelamatkan gadis itu!" tegas pemuda berambut putih keperakan itu lagi.

"Kalau begitu kau harus berhadapan denganku, Dewa Arak!"

Setelah berkata demikian, Gambala menerjang Dewa Arak. Pedang lentur di tangannya bergetar dan menyambar ke arah dada Dewa Arak sambil menge­luarkan suara mengaung.

Menghadapi serangan Gambala, Dewa Arak tidak berani mengelak tanpa menggeser kaki. Pedang lawan yang lentur itu menyulitkan pemuda berambut putih keperakan untuk memastikan arah tujuan serangan. Maka, segera Arya melangkahkan kakinya ke kanan, seraya menyondongkan tubuh sehingga tusukan pedang lewat setengah jengkal di samping kiri pinggangnya.

Pada saat yang bersamaan, tangan pemuda itu berkelebat cepat, mengambil guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian gucinya diangkat ke atas kepala dan dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat yang menyebar dari perutnya. Dan terus merayap naik ke atas kepala.

Baru saja Dewa Arak menurunkan gucinya, serangan susulan dari Gambala meluncur tiba. Pedang lenturnya bergetar aneh, kemudian dibabatkan mendatar ke arah leher Arya.

Wunggg...!

Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewi Arak untuk mengelak. Dengan langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak berkelebat. Sesaat kemudian tubuh pemuda berpakaian ungu itu sudah lenyap dari situ. Dan tahu- tahu telah berada di samping lawannya.

Gambala tidak kaget lagi. Beberapa hari yang lalu dia sudah pemah bertempur dengan Dewa Arak. Maka, kakek bermata sayu ini tidak menjadi heran begitu lawannya tahu-tahu lenyap dari hadapannya. Telah diketahuinya kalau Dewa Arak tidak berada di belakang, tentu berada di sampingnya.

Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit Gambala mempergunakan jurus-jurus 'Pedang Ular'- nya yang aneh, dan Dewa Arak yang memainkan ilmu 'Belalang Sakti'.

Sebenarnya, kalau saja Dewa Arak mau mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan juga perhatiannya tidak terpecah pada Karmila, tidak terlalu sulit bagi Arya untuk mengalahkan lawan.

Dewa Arak unggul dalam segala-galanya dibanding Gambala. Baik dalam ilmu meringankan tubuh, mau- pun dalam hal tenaga dalam.

Berkali-kali sepasang mata Dewa Arak dialihkan ke arah Karmila yang tengah menghadapi belasan lawan. Nampak jelas kalau gadis berpakaian jingga itu terdesak. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini membiarkan saja.

***

Sementara itu Karmila mengamuk dahsyat. Gadis berpakaian jingga ini segera mencabut pedangnya ketika melihat belasan orang mulai mengeroyoknya. Pedangnya berkelebat cepat melakukan tangkisan- tangkisan. Tapi, sesekali sempat juga putri Kalapati itu balas menyerang.

Karmila berusaha menyelamatkan selembar nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemam- puannya.

Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, tetap saja gadis ini kewalahan. Dan bahkan terdesak. Gulungan pedangnya yang semula lebar, perlahan- lahan kian mengecil. Bahkan serangan-serangan balasannya pun semakin jarang. Karmila lebih sering menangkis dan mengelak daripada melancarkan serangan. Hujan serangan lawan tidak memberinya kesempatan untuk balas menyerang.

"Haaat..!"

Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek menusukkan ujung senjata di tangan kanannya ke arah dada Karmila. Padahal saat itu gadis berpakaian jingga itu baru saja berhasil mengelak serangan salah seorang lawannya. Maka tidak ada jalan lain bagi Karmila, kecuali menangkis serangan itu. Segera saja pedangnya digerakkan menangkis. Dan .......

Wuttt..!
Tranggg...!

Suara berdentang keras terdengar begitu kedua senjata itu beradu. Bunga-bunga api memercik tinggi ke udara. Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek memekik pelan. Tangan kanannya bergetar hebat sehingga hampir saja genggaman tombaknya terlepas. Diakuinya kalau tenaga dalam miliknya masih kalah bila dibandingkan tenaga dalam Karmila.

Bagi Karmila pun benturan antara kedua senjata itu bukannya tidak berakibat sama sekali. Posisinya yang sangat tidak menguntungkan pada saat menangkis, membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tepat pada saat itu, salah seorang pengeroyoknya melancarkan tendangan cepat ke arah perut.

Wuttt..! Bukkk!
"Hugh...!"

Karmila mengeluh tertahan. Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai perutnya. Seketika itu juga tubuh gadis berpakaian jingga itu terjengkang ke belakang. Rasa mual dan mules pun melanda perut­nya.

Belum lagi Karmila berbuat sesuatu, sergapan- sergapan dari pengeroyok lainnya datang bertubi-tubi.

"Akh...!"

Karmila menjerit tertahan. Gadis berpakaian jingga ini menyadari kalau kali ini tidak mungkin lagi baginya mengelak. Maka dia hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut.

Di saat kritis bagi keselamatan putri Kalapati itu, Dewa Arak yang memang sejak tadi tak lepas- lepasnya mengawasi Karmila, melesat cepat ke arah gadis itu. Gambala tentu saja mengetahui maksud pemuda berambut putih keperakan itu. Buru-buru dia memotong arus lompatan Dewa Arak. Bersamaan dengan itu, pedang lentur di tangannya ditebaskan ke arah leher Arya.

Luar biasa! Dewa Arak yang melihat Gambala berusaha menghalanginya, hanya menggeliatkan tubuhnya seraya tetap meneruskan gerakannya menuju ke arah Karmila.

Wusss... !

Hati Gambala tercekat kaget. Sungguh tak disangkanya kalau lawan mampu berbuat seperti itu. Saking takjubnya, sepasang kelopak mata Ketua Perguruan Pedang Ular ini terbelalak lebar!

Tentu saja bagi Dewa Arak gerakan itu bukan merupakan sesuatu yang aneh. Berkat ilmu "Belalang Sakti''nya, tidak sulit bagi Arya untuk melakukan gerakan-gerakan sulit dalam posisi apa pun.

"Hih...!"

Cepat bukan main gerakan Dewa Arak. Belum lagi senjata para pengeroyok itu mengenai Karmila, tahu- tahu tubuh pemuda itu sudah berada di atas kepala gadis berpakaian jingga itu. Dan sekali tangan Dewa Arak dikibaskan, para pengeroyok Karmila bertebaran ke belakang laksana diterjang angin topan.

Terdengar pekikan-pekikan tertahan mengiringi tubuh-tubuh yang berpentalan itu.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya tepat di depan Karmila. Dan secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kepalanya ditolehkan ke arah gadis berpakaian jingga itu.

"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Dewa Arak seraya merayapi sekujur tubuh putri Kalapati itu. Dan hatinya lega ketika melihat tidak ada luka berarti yang diderita gadis itu.

Karmila menggelengkan kepalanya sambil ter­senyum manis.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Ahhh...! Aku hanya merepotkan dirimu saja.... Awas di belakangmu, Dewa Arak...!" seru Karmila keras.

Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu mengetahui adanya angin serangan yang menuju ke arahnya. Segera kepalanya ditolehkan. Dilihatnya laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek tengah menusukkan kedua tombaknya bertubi-tubi ke arah tengkuk dan pinggangnya.

***

Begitu mengetahui siapa yang telah membokongnya, Dewa Arak jadi geram. Orang inilah yang tadi telah mengucapkan kata-kata kotor padanya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk memberi pelajaran pada laki-laki bersenjatakan sepasang tombak pendek ini. Tapi hal ini Dewa Arak lakukan bukan karena menuruti kemarahan hatinya. Melainkan untuk memberi pelajaran agar orang ini tidak sembarangan lagi mengucapkan kata-kata kotor.

Setelah mengambil keputusan itu, Dewa Arak sengaja membiarkan saja serangan tombak itu meluncur ke arahnya. Begitu mendekat, segera di- kerahkan tenaga dalam yang dimilikinya.

Tak, tak...!

Terdengar suara keras ketika ujung mata tombak itu mengenai sasaran. Tapi akibatnya, tombak itu sendiri yang membalik. Laki-laki gagah bersenjatakan tombak pendek itu memekik tertahan. Kedua tangan- nya terasa lumpuh. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan kanan Dewa Arak telah berkelebat menampar pipinya.

Plak...!Telak dan keras sekali telapak tangan Dewa Arak mendarat di pipi laki-laki gagah itu. Seketika itu juga di pipi orang itu tertera tanda merah bergambar telapak tangan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya menetes darah segar. Masih untung baginya, Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam yang dimilikinya. Kalau tidak, tentu saat ini laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek itu sudah tewas dengan leher patah.

Gambala menggeram melihat Karmila berhasil diselamatkan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, kakek bermata sayu ini melesat cepat mendekati Dewa Arak.

"Kau jangan ke mana-mana, Karmila," ucap Dewa Arak kepada gadis berpakaian jingga itu. "Diamlah di tempatmu."

Karmila menganggukkan kepala pertanda mengerti. Tapi Dewa Arak tidak melihat anggukannya karena saat itu serangan dari Gambala telah tiba. Segera sambaran pedang lentur itu dielakkan dengan melangkahkan kakinya ke samping. Pada saat yang bersamaan, Arya membalas dengan serangan tak kalah dahsyat. Karena Karmila berada di belakang Dewa arak, belasan pengeroyoknya tidak bisa lagi mencecar gadis itu. Maka kini mereka berbondong- bondong berusaha memecahkan pertahanan Dewa Arak.

Tapi, meskipun menghadapi keroyokan belasan lawan, Dewa Arak sama sekali tidak tampak terdesak. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit baginya untuk mengelakkan semua serangan. Sebaliknya, setiap pemuda berbaju ungu itu balas menyerang, sudah dapat dipastikan akan ada yang bertumbangan. Meskipun begitu, tidak ada satu pun di antara mereka yang tewas.

Gambala menggertakkan gigi. Sudah belasan jurus berlalu, tapi dia belum juga mampu mendesak lawannya. Padahal kakek bermata sayu ini telah dibantu oleh belasan tokoh persilatan aliran putih. Tapi tetap juga tidak bisa menguasai keadaan. Bahkan perlahan namun pasti, pihaknya yang mulai terdesak. Apalagi setelah satu persatu tokoh-tokoh persilatan yang membantunya berguguran di tanah.

Tak lama kemudian, yang tinggal hanyalah Gambala seorang. Tapi meskipun begitu, Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak putus asa. Tetap saja kakek ini melakukan periawanan sengit .

"Jangan khawatir, Gambala! Aku datang mem- bantu...!"

Terdengar sebuah seruan keras. Dan seiring dengan lenyapnya seruan itu, berkelebat sesosok bayangan coklat yang kemudian langsung memasuki kancah pertempuran.

Singgg...!

Begitu tiba, orang yang baru datang ini langsung melancarkan serangannya. Seleret sinar keemasan melesat cepat ke leher Dewa Arak.

Dari kilauan sinar keemasan yang mengiringi tibanya serangan pendatang itu, baik Dewa Arak maupun Gambala mengetahui kalau si penyerang itu adalah si Golok Emas. Ketua Perguruan Golok Maut.

Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian si Golok Emas, buru-buru mengelakkan serangan itu.

"Terima kasih, Golok Emas!" ucap Gambala. "Untung kau cepat datang. Mari kita gempur pendekar murtad ini bersama-sama!"

Untuk kedua kalinya, Dewa Arak harus bertarung menghadapi dua orang ketua perguruan yang sakti ini Kini, Arya harus menguras seluruh kemampuannya bila ingin selamat.

Gambala dan si Golok Emas yang telah mengetahui kelihaian Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi segera menguras segenap kemampuan mereka. Dengan adanya bantuan si Golok Emas, Gambala bisa memusatkan perhatiannya pada permainan jurus-jurus "Pedang Ular'nya. Kini pertarungan ketiga tokoh itu berlangsung lebih imbang.

Pertarungan antara kedua belah pihak ini berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

Diam-diam dalam hati Gambala dan si Golok Emas kagum luar biasa pada kelihaian Dewa Arak. Sungguh sama sekali tidak mereka sangka kalau orang semuda Dewa Arak bisa memiliki kepandaian setinggi ini. Rasa-rasanya tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini tidak kalah dengan Kalapati.

Selagi pertarungan itu berlangsung seru, di tempat itu bermunculan kembali belasan tokoh persilatan golongan putih. Semula mereka hendak membantu mengeroyok Dewa Arak, tapi mereka segera mengurungkan niatnya begitu melihat pertarungan masih berjalan imbang. Kini belasan tokoh itu hanya menonton saja. Itu pun dari kejauhan.

Belasan tokoh golongan putih itu tidak berani mendekat lebih dari lima tombak. Angin pukulan ketiga tokoh sakti yang tengah bertarung itu tidak dapat mereka tahan. Jadi, jangankan ikut men- ceburkan diri dalam pertarungan, mendekat pun harus mempertaruhkan nyawa!

Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak meng-hadapi Gambala dan si Golok Emas ber­langsung semakin sengit. Kini pertarungan mereka sudah menginjak jurus ke seratus. Dan sampai sejauh itu, tetap belum terlihat siapa yang akan ter­desak.

"Ha ha ha...!"

Mendadak saja terdengar tawa keras menggelegar yang didorong dengan pengerahan tenaga dalam. Gema tawa itu terpantul ke seluruh tempat itu. Kontan semua orang yang menonton pertarungan berpaling ke arah asal suara. Hanya yang sedang terlibat pertarungan saja yang tidak terganggu dengan suara tawa itu.

Seiring dengan lenyapnya suara tawa itu, tahu-tahu di dekat arena pertarungan telah berdiri seorang laki- laki bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Seluruh otot-otot tangan, dada, dan perutnya tampak jelas bertonjolan. Orang yang baru datang ini bertelanjang dada. Raut wajahnya yang kasar dan kepalanya yang botak membuat penampilan orang ini semakin angker. Celananya yang sebatas lutut terbut dari kulit beruang salju.

"Setan Kepala Besi...!" desis beberapa orang tokoh persilatan yang rupanya mengenai orang ini.

Laki-laki tinggi besar yang tak lain dari Setan Kepala Besi, kembali tertawa bergelak. Tapi, sepasang matanya tak lepas memandang ke arah pertarungan, Mengawasinya beberapa saat.

"Ha ha ha...! Gambala, Golok Emas! Lawan terlalu kuat bagi kalian. Biar aku yang menghadapinya!"

Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini langsung menerjang Dewa Arak. Setan Kepala Besi, adalah seorang yang amat cerdik. Setelah mengamati beberapa saat, diketahuinya kalau Dewa Arak benar- benar seorang tokoh yang tangguh bukan main. Bahkan rasa-rasanya tidak kalah dengan Kalapati. Maka kini diputuskannya untuk turun tangan mem­bantu Gambala dan si Golok Emas, menghadapi tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu.

Bahkan bukan hanya itu saja kelicikan Setan Kepala Besi. Sewaktu menyerang pun ditunggunya sampai Dewa Arak berada dalam keadaan terjepit. Begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan itu sibuk menghadapi serangan dua orang lawannya, Setan Kepala Besi melancarkan serangan.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, Setan Kepala Besi menerjang ke arah Dewa Arak. Kedua cakarnya melakukan sambaran bertubi-tubi ke arah kepala pemuda berambut putih keperakan itu.

Dewa Arak terkejut bukan main. Saat serangan Setan Kepala Besi tiba, dia baru saja menangkis serangan kedua lawannya. Dengan sebisa-bisanya Arya berusaha menangkis.

Plak, plak, plak...!

Suara benturan keras terdengar berkali-kali, disusul dengan terjengkangnya Dewa Arak ke belakang hingga terguling-guling di tanah. Kuda-kuda Arya memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan saat itu. Tambahan lagi, sewaktu menangkis tadi pemuda berambut putih keperakan ini belum sempat mengerahkan tenaga dalamnya secara penuh.

"Dewa Arak...!"

Karmila menjerit keras begitu melihat pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang dan bergulingan di tanah. Cepat dia menghambur dan berdiri membelakangi Arya yang masih berusaha bangkit. Darah segar menetes dari sudut-sudut bibir Dewa Arak.

Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Tanpa memberi kesempatan lagi, tubuhnya melesat untuk menjatuhkan serangan maut pada lawannya. Tapi Karmila tetap tidak bergeser dari tempatnya. Gadis berpakaian jingga ini malah melintangkan pedangnya di depan dada. Bersiap-siap menentang Setan Kepala Besi yang akan menjatuhkan tangan maut pada Dewa Arak yang sudah terluka.

"Hentikan pertempuran...!"

Terdengar suara cegahan keras penuh wibawa. Seketika itu juga, semua kepala menoleh ke arah asal suara itu. Tak terkecuali Setan Kepala Besi.

Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ, semua mengerutkan alis melihat serombongan prajurit berkuda yang bersenjata lengkap bergerak mendekati mereka. Berkuda paling depan adalah seorang wanita berwajah cantik jelita berpakaian serba putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.

"Melati...," desis Dewa Arak dalam hati begitu mengenali wanita berpakaian serba putih itu.

"Atas nama Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading, kuharap kalian menghentikan keributan dan segera meninggalkan tempat ini!" tandas Melati. Suaranya tegas penuh wibawa.

Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ saling berpandangan sejenak. Kemudian serentak meng- alihkan pandangan ke arah pasukan berkuda yang ternyata adalah pasukan Kerajaan Bojong Gading. Memang mereka tahu kalau daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading.

"Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. "Kalau aku tidak mau?"

"Berarti kau menentang perintah Gusti Prabu. Kau akan dianggap pemberontak, dan terpaksa aku akan menangkapmu!" sahut Melati tegas.

Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba putih ini segera melompat dari kudanya. Dan begitu melihat Melati turun, pasukan yang berada di belakangnya pun berlompatan menyusul. Jumlah rombongan ini tak kurang dari tiga puluh orang.

Hati semua orang yang berada di situ terkejut begitu melihat gerakan pasukan kerajaan itu. Rata- rata gerakan anggota pasukan itu ringan. Dan sepasang mata mereka pun mencorong tajam. Hal ini memang wajar, mereka adalah pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.

Sadar kalau keadaan tidak menguntungkan, Gambala dan si Golok Emas tidak berani mencari penyakit. Sungguhpun mereka bukan warga Kerajaan Bojong Gading, tapi mereka tahu kalau raja mereka mempunyai hubungan yang amat baik dengan Raja Bojong Gading. Maka tanpa berkata apa-apa, keduanya pun segera meninggalkan tempat itu.

Melihat Ga mbala dan si Golok Emas beranja k pergi, puluhan tokoh persilatan golongan putih pun melangkah meninggalkan tempat itu.

Setan Kepala Besi menggeram begitu menyadari kalau tak ada gunanya dia berurusan dengan prajurit- prajurit Kerajaan Bojong Gading. Maka, sambil mendengus kesal, tubuhnya pun berkelebat me­ninggalkan tempat itu. Sebagai seorang datuk persilatan, laki-laki tinggi besar ini mengetahui kalau gadis yang sepertinya adalah pemimpin rombongan pasukan berkuda ini berkepandaian amat tinggi. Sorot mata yang mencorong tajam dan bersinar kehijauan itu merupakan salah satu buktinya.

"Melati...," panggil Dewa Arak pelan. Sepasang matanya memandang gadis berpakaian putih penuh kerinduan. Meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan itu diam-diam agak heran kalau bisa bertemu Melati di tempat ini. Tapi kerinduannya membuat Arya melupakan pertanyaan yang meng- gayuti benaknya itu.

Melati sama sekali tidak menyahuti panggilan Dewa Arak. Sinar mata gadis berpakaian putih ini terlihat dingin ketika beradu pandang dengan Arya. Sepasang mata bening dan indah itu menatap tajam Dewa Arak dan Karmila bergantian. Pandangannya pada gadis berpakaian jingga itu menyorot penuh kebencian. Gadis berpakaian putih itu tidak bisa menerima kenyataan kalau tunangannya berjalan berduaan dengan gadis secantik Karmila.

"Melati...," panggil Dewa Arak lagi seraya me­langkah menghampiri. Karmila hanya berdiri me- matung memandangi semua itu dengan wajah pucat. Benak gadis berpakaian jingga ini bisa menduga adanya hubungan kkusus antara Dewa Arak dengan gadis pemimpin pasukan Kerajaan Bojong Gading itu. Dan seketika itu juga merayap rasa kenyerian yang amat sangat mendera hatinya.

Karmila perlahan-lahan menundukkan kepalanya. Seketika itu juga ingatannya menerawang kembali pada ayahnya yang kini pasti sudah tiada. Tak terasa ada air bening yang bergulir di pipinya yang putih halus dan mulus itu. Baru saja berkurang kepedihan hatinya akibat pengorbanan ayahnya, kini dia harus menerima lagi kepedihan yang lain.

Sementara itu, baru beberapa tindak Dewa Arak melangkah, mendadak Melati membalikkan tubuh­nya. Dan secepat kilat melompat ke punggung kudanya.

"Hup!"

Gadis berpakaian putih itu lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Secepat kilat binatang tunggangan itu pun melesat meninggalkan tempat itu.

Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang sejak tadi bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, segera bergerak melompat pula ke atas punggung kuda. Orang-orang gagah itu cepat menggebah kudanya menyusul Melati. Sebelum berlalu, tak lupa mereka memberikan penghormatan pada Dewa Arak.

Dewa Arak hanya dapat memandangi rombongan berkuda yang semakin bergerak menjauh itu dengan wajah pucat. Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau pertemuan kembali dengan tunangannya akan terjadi seperti ini.

"Melati..., ah Melati...," desah Arya lirih.

"Semua ini karena salahku, Dewa Arak," sahut Karmila dengan suara serak. "Lebih baik aku pergi saja ..... "

Dewa Arak menoleh ke arah Karmila. Ditatapnya wajah cantik jelita yang terlihat pucat itu lekat-lekat.

"Tidak, Karmila. Melati hanya salah paham. Nanti pun semua masalah akan menjadi jelas," sahut Dewa Arak bernada menghibur.

"Kalau begitu, mari kita cari tempat untuk meng- obati lukamu," ucap Karmila mengalihkan per- cakapan.

Dengan langkah lesu dan kepala tertunduk, Dewa Arak dan Karmila meninggalkan tempat itu. Masing- masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Sementara matahari sudah condong ke Barat. Dan hari pun perlahan mulai gelap ketika tubuh Arya dan Karmila lenyap di kejauhan.

Berhasilkah Dewa Arak mengetahui pembunuh sebenarnya dari Jalasa dan Rupangki? Dan bagai- manakah hubungan Waji dengan Setan Kepala Besi? Benda apakah yang dicari oleh Setan Kepala Besi di gua tempat tinggal Kalapati? Dan terakhir, mampu- kah Dewa Arak meyakinkan Melati kalau dia dan Karmila sama sekali tidak ada hubungan apa-apa? Untuk mengetahui jawabannya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "JamurSisik Naga".

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar