16 - Pewaris Ilmu Tokoh
Sesat
Brakkk...!
Terdengar suara berderak
keras, ketika sepasang tangan kokoh seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus
berompi kuning, menghantam daun pintu gerbang Perguruan Kumbang Merah. Kontan,
daun pintu itu hancur berkeping-keping mengeluarkan suara hiruk pikuk. Padahal
daun pintu gerbang itu terbuat dari kayu jati yang keras dan tebal.
Suara ribut-ribut itu tentu
saja membuat murid-murid Perguruan Kumbang Merah berlarian menuju ke arah asal
suara. Apalagi murid-murid yang mendapat tugas jaga. Merekalah yang tahu lebih
dahulu. Dan buru-buru melesat ke arah pintu gerbang.
"Siapa kau?!" tanya
salah seorang murid yang bertubuh pendek gemuk bernada kasar.
Laki-laki inilah yang bertugas
sebagai kepala jaga hari itu. Ditatapnya wajah orang yang berdiri di
hadapannya. Seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun. Berwajah meruncing
ke depan, dengan bola mata yang selalu berputar liar. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah trisula.
"He he he...!"
Hanya suara tawa terkekeh saja
yang menyahuti pertanyaan murid bertubuh pendek gemuk itu.
''Tidak usah banyak basa-basi
lagi, Kang Gilang. Hajar saja pengacau ini!" ucap salah seorang yang
berdiri di belakang laki-laki pendek gemuk yang bernama Gilang. Memang kepala
jaga itu berdiri paling depan. Sementara rekan-rekannya yang berjumlah tiga
orang, berada di belakangnya. Mereka telah menghunus senjata masing-masing.
Sebatang pedang yang batangnya berwarna merah.
"Hmh...!" laki-laki
berompi kuning itu mendengus dan mendesis tajam. "Kalianlah yang akan
mampus!"
"Keparat!"
Seorang murid Perguruan
Kumbang Merah yang berambut merah, tidak kuat lagi menahan kemarahan. Sambil
berteriak nyaring, dia melompat menerjang laki-laki berompi kuning itu. Pedang
di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher.
Tapi, laki-laki berompi kuning
itu hanya tersenyum sinis. Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke
samping kanan, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Lewat setengah
jengkal di sebelah kiri lehernya. Dan pada saat yang sama, trisulanya
ditusukkan ke arah perut lawan.
Wukkk!
Angin mengiuk keras mengiringi
tibanya sambaran trisula itu. Suatu pertanda kalau trisula itu dimainkan oleh
orang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Laki-laki berambut merah
terkejut bukan main. Serangan lawan datang secara tiba-tiba dan cepat sekali.
Padahal, saat itu posisinya tidak menguntungkan. Tubuhnya masih berada di
udara. Jangankan mengelak, menangkis pun sudah tidak ada waktu lagi.
Gilang dan kedua temannya pun
mengetahui bahaya maut yang tengah mengancam rekannya ini. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, hampir berbarengan mereka melesat untuk menolong.
Tapi..,
Jrebbb...!
Trisula milik laki-laki
berompi kuning, telah lebih dulu menghunjam dalam di perut murid yang sial itu.
Darah pun bermuncratan dari luka yang menganga lebar ketika trisula itu dicabut
kembali.
Brukkk!
Suara berdebuk keras
terdengar, begitu tubuh laki-laki berambut merah ambruk di tanah. Sesaat
tubuhnya menggelepar-gelepar. Kemudian diam tidak bergerak lagi.
Bertepatan dengan robohnya
tubuh murid yang sial itu, serangan Gilang dan rekan-rekannya menyusul tiba.
Kembali trisula di tangan laki-laki berompi kuning itu berkelebat
Tranggg, tranggg, tranggg...!
Suara berdentangan nyaring
terdengar. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, diikuti dengan berpentalannya
senjata murid-murid Perguruan Kumbang Merah. Karena tangan yang menggenggam
senjata terasa lumpuh! Tapi tindakan laki-laki berompi kuning itu tidak hanya
sampai di situ saja. Trisulanya kembali berkelebat. Dan....
Crattt, crattt, crattt!
Darah segar bermuncratan
ketika trisula merobek perut dan dada, serta leher Gilang dan kawan-kawannya.
Suara jerit memilukan terdengar saling susul. Jeritan kematian. Seketika itu
juga, tubuh Gilang dan kawan-kawannya ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi
untuk selama-lamanya. Luar biasa! Hanya dalam segebrakan saja, ketiga murid
Perguruan Kumbang Merah itu telah menggeletak tanpa nyawa.
Baru saja Gilang dan kedua
rekannya melepas nyawa, muncul sembilan murid Perguruan Kumbang Merah lainnya.
Memang sejak mendengar hiruk-pikuk hancurnya pintu gerbang, mereka telah
bergegas memburu ke arah asal suara. Tapi, karena jarak yang agak jauh,
kedatangan mereka terlambat. Apalagi, para murid penjaga pintu gerbang itu
tewas hanya dalam segebrakan!
Begitu tiba, sembilan orang
murid Perguruan Kumbang Merah langsung terpaku.
Menatap ke arah mayat-mayat
saudara seperguruan mereka yang bergeletakan tanpa nyawa. Tapi hanya sesaat
saja, kemudian telah berganti dengan perasaan marah dan dendam yang berkobar-kobar.
"Iblis! Kau harus menebus
semua ini dengan nyawamu!" seru seorang murid yang berwajah bopeng.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berompi kuning itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh ejekan.
"Majulah kalian semua!"
"Kawan-kawan...!
Serbu...! Kita cincang iblis ini!" seru murid yang berwajah bopeng itu
lagi seraya bergerak mendahului menyerang. Tentu saja kawan-kawannya tidak
tinggal diam. Mereka pun meluruk menyerang tamu tak diundang ini sambil
berteriak-teriak penuh kemarahan.
Tapi Laki-laki berompi kuning
itu hanya tersenyum mengejek. Jelas kalau dia memandang rendah murid-murid
Perguruan Kumbang Merah. Baru setelah serangan-serangan itu menyambar dekat,
tubuhnya menyelinap di antara hujan senjata lawan-lawannya. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi
laki-laki berompi kuning itu untuk melakukannya.
Begitu berhasil mengelakkan
diri, laki-laki berompi kuning itu lalu melancarkan serangan balasan. Trisula
di tangannya berkelebatan cepat mencari-cari sasaran. Hebatnya, setiap kali
senjatanya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada seorang murid Perguruan
Kumbang Merah yang roboh. Suara jerit kematian terdengar saling susul. Sampai
akhirnya, tidak ada lagi seorang pun yang masih hidup.
"Biadab...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring penuh kegeraman. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, yang
kemudian hinggap di depan laki-laki berompi kuning itu.
Laki-laki berompi kuning
tersenyum sinis. Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di hadapannya
lekat-lekat. Dilihatnya seorang pria bertubuh tegap, berwajah gagah, berkumis
dan berjenggot rapi, berdiri di hadapannya. Usianya paling banyak tiga puluh
lima tahun. Pakaiannya, seperti juga pakaian murid-murid Perguruan Kumbang
Merah lainnya, berwarna merah. Inilah Ketua Perguruan Kumbang Merah. Suntara
namanya.
Sepasang mata Suntara merayapi
sekitarnya. Terdengar suara gemeletuk dari mulutnya. Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini merasa geram, ketika melihat belasan muridnya bergelimpangan tumpang
tindih tanpa nyawa. Murid-murid yang telah bertahun-tahun dididiknya dengan
susah payah. Perguruan Kumbang Merah memang terbilang sebuah perguruan silat
yang kecil. Jumlah murid-muridnya hanya belasan orang. Dan sama sekali belum
punya murid-murid kepala. Jadi, Suntaralah yang turun tangan mendidiknya
sendiri.
"Bagaimana,
Suntara?" tanya laki-laki berompi kuning seraya menyunggingkan senyum
mengejek.
Ketua Perguruan Kumbang Merah
menggertakkan gigi. Kemarahannya semakin meluap mendengar ucapan itu. Dengan sekuat
tenaga, ditahannya amarah yang hampir meledak. Sekujur tubuh laki-laki berkumis
dan berjenggot rapi ini, nampak menggigil menahan kemarahan yang amat sangat.
"Siapa kau, Keparat
Keji?! Mengapa membantai semua muridku?!" suara Suntara terdengar bergetar.
Ada nada ancaman dalam ucapannya.
"He he he...!"
laki-laki berompi kuning itu terkekeh pelan. "Kau lupa padaku,
Suntara?"
Wajah Suntara seketika
berubah. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini mengernyitkan dahi, mencoba
mengingat-ingat sesuatu. Suara orang ini sepertinya memang pernah didengar dan
dikenalnya. Tapi, dia lupa kapan dan di mana. Amarah yang sudah bergelora,
membuatnya sulit berpikir.
"Aku tidak peduli siapa
kau, Keparat! Yang jelas..., kau harus menebus nyawa semua muridku!" tegas
Suntara tandas.
"Kau telah jadi pikun
sebelum tua, Suntara. Seharusnya bukan kau yang mengucapkan perkataan itu. Tapi
aku!" tegas laki-laki berompi kuning itu keras. Lenyap sudah tawanya.
Rupanya ucapan Ketua Perguruan Kumbang Merah membuat dia teringat pada maksud
kedatangannya ke sini!
"Katakan siapa kau
sebenarnya, sebelum hilang kesabaranku!" sambut Suntara tak sabar.
Kemarahannya hampir tidak bisa ditahan lagi.
"Aku Wisanggeni! Asalku
Desa Babut!" sahut laki-laki berompi kuning itu keras.
"Wisanggeni...? Desa
Babut?!" gumam Suntara dengan wajah berubah hebat. Jelas kalau ucapan
laki-laki yang mengaku bernama Wisanggeni itu membuatnya terkejut. Ingatannya
langsung melayang pada kejadian belasan tahun silam di desa kelahirannya, Desa
Babut, yang membuat keluarganya pindah dari desa itu. Dulu, di desa itu, dia
memang terkenal sebagai orang yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Ya. Aku,
Wisanggeni!" sahut laki-laki berompi kuning itu menegaskan. "Aku
datang untuk membalas kematian kakakku di tanganmu!"
"Kakakmu memang layak
mati, Wisanggeni!" sergah Suntara tak kalah keras. "Dia telah menodai
adikku!"
"Menodai?!" ejek
Wisanggeni sinis. "Adikmu memang sudah bukan gadis lagi saat berkenalan
dengan kakakku. Dan..., semua peristiwa itu pun terjadi karena kebinalan adikmu
sendiri!"
"Keparat! Kau harus
mampus di tanganku!" bentak Ketua Perguruan Kumbang Merah keras.
Setelah berkata demikian,
Suntara mencabut senjata andalannya. Sepasang tombak pendek berwarna hitam
mengkilat yang sejak tadi ditancapkan di tanah.
Wuk, wuk, wuk...!
Angin menderu cukup keras,
begitu Ketua Perguruan Kumbang Merah memutar sepasang tombaknya laksana
baling-baling hingga lenyap bentuknya. Terdengar suara mengaung keras begitu
tombak itu diputar.
Melihat Suntara sudah mulai
memainkan jurus-jurus mautnya, maka Wisanggeni tidak bersikap main-main lagi.
Trisula di tangannya pun diputar-putar di depan dada sehingga mengeluarkan
suara mengiuk nyaring.
"Hiyaaa...!"
Suntara berteriak nyaring
seraya cepat menusukkan tombak pendek di tangan kanannya ke arah perut.
Sementara tombak yang satu lagi, disilangkan di depan dada. Berjaga-jaga bila
lawan mengirimkan serangan balasan.
Wunggg!
Suara mengaung terdengar cukup
keras, begitu tombak itu meluncur deras menuju sasaran. Wisanggeni yang ingin
melihat dulu perkembangan ilmu lawannya, tidak langsung menangkis. Tapi segera
melangkahkan kakinya ke kanan, sehingga ujung tombak itu lewat setengah jengkal
di samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang bersamaan, Wisanggeni segera
menusukkan trisulanya ke leher Suntara.
Ketua Perguruan Kumbang Merah
yang memang sudah menduga hal itu, tidak menjadi gugup. Tombak yang berada di
tangan kiri segera digerakkan untuk menangkis.
Tranggg!
Keras bukan main benturan
kedua senjata itu. Bunga-bunga api pun sampai memercik ke sana kemari.
Suntara terperanjat kaget
ketika merasakan sekujur tangannya tergetar hebat. Hampir-hampir tombaknya
lepas dari genggaman. Bahkan bukan hanya itu saja, tubuhnya pun sampai
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sementara Wisanggeni sama sekali
tidak bergeming.
"Ha ha ha...!"
Wisanggeni tertawa terbahak-bahak melihat keunggulannya. "Ajalmu hampir
tiba, Suntara!"
Ketua Perguruan Kumbang Merah
ini menggertakkan gigi. Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, laki-laki berkumis
dan berjenggot rapi ini segera melompat, dan kembali menyerang dengan
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Hanya dua pilihan yang ada
dalam benaknya. Membunuh atau dibunuh!
Tapi bukan hanya Suntara saja
yang mempunyai tekad begitu. Wisanggeni pun mempunyai tekad serupa. Maka tak
aneh jika laki-laki berompi kuning ini mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Pertarungan sengit dan mati-matian pun tidak bisa dihindarkan
lagi.
***
Sementara itu dari balik pintu
sebuah bangunan yang daun pintunya sedikit terbuka, nampak beberapa kepala
mengintai ke arah pertarungan. Kepala seorang laki-laki setengah tua bermata
juling. Seorang anak lelaki berusia dua belas tahun berpakaian coklat, dan
seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun berpakaian biru.
"Apakah ayah mampu
mengalahkan orang jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian coklat
pada laki-laki bermata juling.
Laki-laki setengah tua yang
sebenarnya bernama Wijaya itu menoleh. Dia adalah pelayan sekaligus pengasuh
anak majikannya.
"Entahlah, Den Wuraji.
Aku khawatir sekali. Tampaknya orang jahat itu memiliki kepandaian amat
tinggi...," sahut Wijaya setengah mendesah. Raut kekhawatiran tergambar
jelas di wajahnya.
"Jadi..., ayah akan
kalah, Paman?" tanya anak berpakaian coklat yang ternyata bernama Wuraji.
Nada suara dan wajahnya menyorotkan ketidakpercayaan. Memang, bocah ini tidak
percaya kalau ayahnya akan kalah. Selama ini dia menganggap ayahnya adalah
orang yang paling sakti di jagat ini!
"Aku tidak tahu,
Den," Wijaya menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita berdoa agar
ayah Aden bisa mengalahkan penjahat itu."
Wuraji tidak menyahuti ucapan
pengasuhnya. Pandangannya dilayangkan ke arah pertempuran. Baru kali ini dia
melihat ayahnya bertarung. Dan bocah kecil ini merasa kagum sekali. Wuraji
yakin kalau ayahnya akan menang. Ayahnya sangat sakti, ucapnya dalam hati penuh
rasa bangga.
Tapi Wuraji sama sekali tidak
tahu kalau ayahnya tengah berada dalam cengkeraman maut. Memang pada
jurus-jurus awal, pertarungan antara kedua orang itu berjalan imbang. Tapi,
begitu menginjak jurus ke lima belas, Ketua Perguruan Kumbang Merah itu mulai
terdesak
Dan seiring dengan semakin
lamanya pertarungan, keadaan Suntara kian terdesak hebat. Ruang gerak permainan
sepasang tombak pendeknya semakin lama semakin menyempit. Suntara hanya mampu
mengelak dan bertahan. Hanya sesekali saja dia mampu balas menyerang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Wisanggeni berteriak
nyaring. Trisulanya berputar cepat di depan dada. Kemudian masih dengan gerakan
berputar, trisula itu melesat ke arah perut Suntara.
Wunggg...!
Suara mengaung keras
mengiringi tibanya serangan trisula.
"Apakah ayah mampu
mengalahkan orang jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian coklat
yang bernama Wuraji itu.
"Aku tidak tahu,
Den," Wijaya menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita berdoa agar
ayah Aden bisa mengalahkan penjahat itu."
Hati Suntara tersekat karena
senjata yang berputaran itu membuatnya bingung bukan main. Sepasang matanya
jadi berkunang-kunang. Meskipun begitu, Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
berusaha keras menyelamatkan selembar nyawanya. Jalan satu-satunya hanya
menangkis. Dan itulah yang sekarang dilakukannya. Kedua tombak pendeknya
disilangkan di depan dada.
Trang, trang...!
"Uh...!"
Suntara mengeluh tertahan. Sepasang
tombak pendeknya seketika terlepas dari genggaman. Serangan trisula yang
berputar seperti orang mengebor itu, membuatnya mati kutu. Dan sebelum Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini sempat berbuat sesuatu, trisula yang masih
berputaran terus meluncur ke arah perutnya.
Crattt, crattt...!
Darah segar bermuncratan dari
perut yang koyak-koyak dibor trisula. Seketika itu juga tubuh Suntara
terjengkang ke belakang disertai jeritan menyayat yang keluar dari mulutnya.
Tapi tindakan Wisanggeni tidak
hanya sampai di situ saja. Trisula di tangannya kembali melesat. Kali ini ke
arah leher. Meluncur deras, tanpa berputaran lagi. Dan....
Crasss!
Seketika kepala Suntara
terlepas dari leher, begitu ujung trisula mengenai sasaran. Tanpa bersuara
lagi, tubuhnya roboh ke tanah. Nyawa Ketua Perguruan Kumbang Merah melayang
saat itu juga.
"A.... Hups...!"
Wijaya cepat-cepat mendekap
mulut Wuraji, sebelum bocah lelaki itu sempat menjerit ketika melihat ayahnya
tewas di tangan Wisanggeni. Pada saat yang sama, tangan yang satunya lagi
menepuk tengkuk gadis kecil berpakaian biru. Perlahan saja kelihatannya, tapi
hebatnya, gadis kecil itu langsung pingsan. Dan sekali tangan pelayan ini
bergerak menekan tengkuk Wuraji, seketika itu juga putra Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini pingsan.
Kemudian dengan langkah
hati-hati tapi bergegas, Wijaya segera meninggalkan tempat itu.
Pelayan setia ini bergerak
cepat menuju ke dapur, sambil memondong tubuh kedua anak itu di bahunya. Dia
harus memburu waktu, kalau tidak ingin didahului laki-laki berompi kuning.
Sesampainya di dapur, Wijaya
segera menekan ke bawah batang obor yang tertempel di dinding.
Grrrkkk...!
Terdengar suara berderak keras
yang disusul dengan bergesernya salah satu dinding dapur. Dan di balik dinding,
terlihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah.
Tanpa ragu-ragu Wijaya segera
menuruni anak tangga batu. Dan begitu laki-laki bermata juling ini melangkah
masuk, tiba-tiba pintu ruangan itu tertutup kembali.
Wijaya melangkahkan kakinya
perlahan-lahan menuruni anak tangga. Cukup lama juga dia bergerak turun,
sebelum akhirnya tidak ada lagi anak tangga. Tangga itu ternyata berakhir di
sebuah ruangan yang cukup luas.
Berkat lampu obor yang
terpasang di dinding-dinding ruangan bawah tanah ini, Wijaya dapat melihat cukup
jelas suasana di sekitarnya. Ternyata hanya ada sebuah jalan yang ada di
ruangan ini. Jalan yang berbentuk sebuah lorong panjang.
Untuk yang kesekian kalinya,
tanpa ragu-ragu Wijaya menempuhnya. Berjalan melalui lorong yang panjang dan
lengang. Agak meremang juga bulu kuduk laki-laki bermata juling ini melihat
suasana yang cukup seram itu. Hanya kesunyian yang melingkupi suasana lorong.
Yang terdengar hanyalah desah napas Wijaya yang memburu, dan detak suara
langkahnya di lantai.
Entah sudah berapa lama dia
berjalan, Wijaya tidak tahu pasti. Yang dia tahu, kedua kakinya telah hampir
tidak kuat lagi melangkah, ketika akhirnya mengetahui lorong itu berakhir di
sebuah pintu.
Kriiittt...!
Suara berderit tajam dan
nyaring bergema di sepanjang lorong, tatkala Wijaya membuka pintu. Ternyata di
balik pintu itu tidak ada jalan lagi. Yang ada hanyalah ruang kecil berukuran
satu tombak kali satu tombak.
Yang pertama kali dilihat
pelayan setia berpakaian serba hitam ini adalah sebuah tangga kayu yang
menjulang ke langit-langit ruangan.
Wijaya mengedarkan
pandangannya ke setiap sudut ruangan. Seketika wajahnya berseri-seri ketika
melihat sebuah pot bunga bertengger di sudut. Bergegas dia melangkahkan kakinya
menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya dan meletakkan kedua bocah yang
dipanggulnya di tanah. Baru setelah itu laki-laki bermata juling ini memegang
pot dengan kedua tangan. Kemudian memutarnya ke kanan.
Grrrrggghhh...!
Sesaat kemudian terdengar
suara berderak keras, yang membuat dinding-dinding dan atap ruangan bergetar.
Sesaat kemudian, di atap ruangan, tepat di bawah tangga, terpampang sebuah
lubang bergaris tengah setengah tombak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wijaya
segera menaiki anak-anak tangga sambil membawa tubuh kedua bocah itu satu
persatu. Tak lama kemudian, laki-laki bermata juling ini telah berada di atas.
Wijaya memandang ke
sekelilingnya. Yang tampak hanyalah kelebatan pepohonan dan rerimbunan
semak-semak. Rupanya pelayan setia ini telah berada di dalam sebuah hutan.
Laki-laki bermata juling ini lalu memutar sebuah gundukan batu. Seketika itu
pula, salah sebuah kelompok rerimbunan semak bergerak. Sesaat kemudian, lubang
tadi telah tertutup rerimbunan semak-semak.
"Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan.
Wijaya menolehkan kepalanya. Dilihatnya Wuraji mulai siuman. Putra almarhum
Ketua Perguruan Kumbang Merah ini mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak.
“Uhhh...!”
Kembali terdengar keluhan
lirih, yang disusul dengan mengerjap-ngerjapnya sepasang mata bening milik
gadis kecil berpakaian biru.
"Syukurlah, kalian sudah
sadar...," ucap Wijaya sambil memandang wajah kedua anak itu bergantian.
"Di mana kita,
Paman?" tanya gadis berpakaian biru sambil mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tapi yang dilihatnya hanya rerimbunan semak dan pepohonan yang
lebat.
"Di sebuah tempat yang
aman, Marni," jawab Wijaya, seraya menatap wajah gadis kecil berpakaian
biru yang ternyata bernama Marni.
"Ayah...," desah
Wuraji lirih ketika teringat kembali pada semua kejadian yang dilihatnya.
Memang, sejak siuman, anak berpakaian coklat ini tercenung. Sepasang matanya
nampak merembang berkaca-kaca. Bahkan kedua bibirnya terlihat gemetar. Jelas
kalau bocah laki-laki ini dilanda perasaan sedih yang amat sangat. Hanya
kekerasan hatinya saja yang membuat dia tidak menitikkan air mata.
"Kuatkanlah hatimu,
Den," hibur Wijaya seraya menatap wajah bocah di hadapannya penuh rasa
haru. Laki-laki bermata juling ini dapat merasakan betapa sedih dan terpukulnya
hati anak tunggal majikannya ini. Karena Wijaya tahu kalau selama ini Wuraji
amat mengagumi ayahnya. Wuraji menganggap ayahnya adalah orang yang paling
sakti. Bagaimana hatinya tidak terpukul? Dengan mata kepala sendiri, bocah itu
melihat ayah yang sangat dikaguminya tewas terbunuh!
"Aku sama sekali tidak
menyangka kalau Paman adalah seorang pengecut! Bahkan Paman telah membawa-bawa
aku menjadi seorang pengecut! Melarikan diri dari musuh yang telah membunuh
ayah dan menghancurkan perguruan!" Dengan berapi-api, Wuraji mencela
pelayannya. Sepasang matanya menatap penuh penyesalan pada laki-laki bermata
juling di hadapannya. "Aku lebih suka mati bersama ayah daripada menjadi
seorang pengecut seperti ini!"
Keras dan tajam sekali ucapan
yang keluar dari mulut bocah berpakaian coklat ini. Seketika itu juga wajah
Wijaya merah padam. Kalau saja tidak mengingat orang yang mencelanya adalah
putra tunggal majikannya, mungkin sudah ditamparnya mulut itu.
Dia bukanlah seorang pengecut!
Dan paling tidak suka dimaki seperti itu.
"Wuraji...!" tegur
Marni seraya menatap tajam putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu.
Gadis kecil ini kasihan pada Wijaya yang dimaki sekasar itu.
"Tutup mulutmu...! Ini
bukan urusan anak perempuan!" bentak Wuraji kasar
Seketika wajah Marni memucat.
Kontan dia terdiam. Agak heran juga hatinya mendengar kata-kata kasar yang
dilontarkan Wuraji barusan. Biasanya setiap kali ditegur, Wuraji akan mengalah.
Tapi kali ini, bocah itu malah membentaknya.
Melihat kejadian itu, Wijaya
segera mengelus rambut Marni dan menganggukkan kepalanya. Gadis kecil ini segera
tahu apa arti anggukan itu. Dia disuruh diam, dan tidak usah ikut campur.
"Hhh...!"
Wijaya hanya dapat menghela
napas berat. Laki-laki bermata juling ini memaklumi mengapa anak yang biasanya
sopan dan hormat kepadanya, dan pengalah kepada Marni, kini bicara sekasar itu.
Wijaya tahu kalau hati Wuraji masih terguncang hebat dengan kejadian yang baru
saja dilihatnya.
"Kau salah sangka,
Den," sahut Wijaya dengan suara berdesah. "Asal kau tahu saja, Den.
Semua ini kulakukan atas perintah ayahmu. Kau tahu, kalau menuruti perasaan,
aku lebih suka tewas bersama-sama yang lain. Tapi, aku juga tidak berani
menolak perintah. Walau dengan hati berat, terpaksa kusanggupi perintah
ini...."
''Tidak mungkin!" bantah
Wuraji cepat dan dengan suara keras. ''Tak mungkin ayah memberi perintah
seperti itu!"
"Dengar dulu
penjelasanku, Den," sahut Wijaya tetap sabar.
Wuraji pun terdiam seketika.
"Ayahmu punya banyak
alasan untuk menyuruhku berbuat seperti ini."
Wijaya menghentikan ucapannya
sejenak. Menghela napas panjang seraya melihat tanggapan anak berpakaian coklat
ini. Tapi Wuraji tetap diam saja.
"Ayahmu tahu kalau musuh
yang datang tadi memiliki kepandaian amat tinggi. Dan dia tidak yakin dapat
mengalahkannya. Maka dia berpesan padaku, apabila sesuatu terjadi pada
dirinya, aku harus cepat
menyelamatkanmu dan Marni. Ayahmu tidak ingin kau mati percuma, Den! Dan untuk
itu, ayahmu telah memberi tahu jalan rahasia untuk membawamu kabur."
"Tapi, aku tidak takut
mati!" selak Wuraji keras. Wijaya tersenyum getir.
"Ayahmu juga tahu hal
itu, Den. Demikian pula aku. Oleh karena itu, ayahmu telah menyuruhku.
Yahhh..., kalau memang terpaksa, aku diijinkan menggunakan kekerasan untuk
membawamu pergi."
Wuraji menutup wajahnya yang
pucat pasi dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat lamanya anak
berpakaian coklat ini berbuat seperti itu.
"Mengapa ayah berbuat
seperti itu....?" keluh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
lirih. Seperti berbicara pada dirinya sendiri. Perlahan-lahan kepalanya
diangkat kembali.
"Karena ayahmu ingin kau
selamat, Den," sahut Wijaya cepat.
"Aku tahu itu,
Paman," sergah Wuraji. Masih dengan nada tinggi. "Tapi untuk
apa?!"
"Karena ayahmu tidak
ingin kau mati sia-sia, Den. Ayahmu menginginkan kau memiliki ilmu kepandaian
lebih tinggi darinya. Baru setelah itu, kau boleh menghadapi musuh tadi!"
"Jadi...," sepasang
mata Wuraji terbelalak.
"Ya! Setelah kau memiliki
ilmu kepandaian tinggi, baru kau bisa membalaskan sakit hati ayah dan juga
kakak-kakak seperguruanmu! Kalau bukan kau, lalu siapa lagi yang akan
membalaskannya. Itulah sebabnya, ayahmu memerintahku untuk menyelamatkanmu...''
Kini Wuraji mulai mengerti.
Maksud ayahnya memang benar! Untuk apa dia ikut melawan, kalau akhirnya hanya
akan mengantar nyawa sia-sia! Perlahan-lahan emosinya pun mulai reda.
"Tapi, apakah ada orang
yang memiliki kepandaian tinggi selain ayah, Paman?" tanya bocah
berpakaian coklat itu beberapa saat kemudian.
Wijaya tersenyum lebar.
"Dunia sangat luas, Den.
Orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi tak terhitung jumlahnya.
Mudah-mudahan saja kau bernasib baik. Menemukan tokoh sakti yang bersedia
menjadikanmu sebagai muridnya."
"Tapi..., apakah orang
itu memiliki kepandaian melebihi ayah, Paman?"
"Perlu kau ketahui, Den.
Orang yang memiliki kepandaian melebihi ayahmu tidak sedikit jumlahnya di dunia
ini. Salah satu contohnya adalah pembunuh ayahmu. Jadi, kau tidak perlu
khawatir." Wijaya menjelaskan dengan sabar. Hatinya menjadi lega melihat
Wuraji sudah bisa ditenangkan.
"Lalu..., ke mana kita
harus mencari orang sakti itu, Paman?" tanya Wuraji lagi. Nada suaranya
menyiratkan keragu-raguan.
Seketika itu juga Wijaya
terdiam. Ya, ke mana dia harus mencari orang sakti? Dan andaikata sudah
bertemu, belum tentu orang itu bersedia mengambil Wuraji sebagai murid.
"Aku juga tidak tahu,
Den. Tapi yang jelas, aku akan berusaha. Kalau perlu kita datangi
perguruan-perguruan silat aliran putih yang besar dan ternama."
Wuraji menganggukkan
kepalanya. Kini wajahnya mulai berseri-seri. Begitu pula Marni yang sejak tadi
hanya diam mendengarkan tanpa berkata-kata.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi, Paman? Mart kita cari orang sakti itu!" ucap Wuraji penuh semangat
seraya bergegas bangkit.
"Mari, Den," sahut
Wijaya seraya menggandeng tangan kedua anak itu. Wuraji di kiri dan Marni di
kanan. Baru setelah itu, dilangkahkan kakinya, menerobos rerimbunan semak dan
pepohonan yang lebat.
Wuraji dan Marni melangkah
penuh semangat. Ucapan Wijaya benar-benar membuat semangat mereka bangkit. Kini
kedua anak itu sudah punya tujuan. Mencari orang-orang sakti untuk berguru.
Lega hati Wijaya melihat kedua
anak itu mulai melupakan kesedihannya. Meskipun begitu, ada perasaan tidak
tenang yang menyelimuti hatinya. Ke mana dia harus mencari orang sakti untuk
guru kedua anak ini? Tapi, laki-laki bermata juling ini tidak ingin menampakkan
kecemasan hatinya. Justru perasaan gembiranya yang ditonjolkan.
Setelah menerobos rerimbunan
semak-semak dan pepohonan, di hadapan ketiga orang ini terpampang sebuah sungai
yang lebar dan cukup deras arusnya.
Wijaya mengedarkan
pandangannya ke sepanjang aliran sungai. Sepasang matanya berbinar. Wajahnya
pun berseri tatkala melihat sebuah rakit terapung di pinggir sungai.
Dengan langkah penuh semangat,
masih tetap menggandeng tangan Wuraji dan Marni, laki-laki bermata juling ini
bergegas melangkah menuju rakit itu.
***2
Wijaya, Marni, dan Wuraji
segera menaiki rakit. Dan begitu semua telah berada di atasnya, Wijaya mengayuh
rakit itu menuju seberang. Dengan menggunakan sebatang bambu panjang, laki-laki
bermata juling itu berusaha melawan derasnya arus sungai.
Karena tenaga yang mendorong
rakit itu terlalu lemah, ditambah lagi derasnya arus sungai, meskipun rakit itu
sedikit demi sedikit dapat menuju ke seberang, tapi arahnya tidak lurus,
melainkan miring.
"Paman! Awas...!"
Wuraji yang berada di pinggir,
terkejut ketika melihat tak jauh di samping kiri rakit terdapat batu besar yang
menonjol di permukaan sungai. Dan rakit itu bergerak menuju ke situ.
Wiyaya terkejut bukan main
mendengar teriakan putra tunggal majikannya. Dengan sekuat tenaga, dia mengayuh
rakit itu menghindari batu yang menonjol. Seluruh urat-urat tangan dan wajahnya
menggembung ketika berusaha membelokkan arah rakit. Tapi....
Brakkk...!
"Paman..!"
Wuraji berteriak keras ketika
tubuhnya terlempar ke sungai. Benturan yang terjadi antara rakit dan batu besar
begitu keras, sehingga Wuraji yang tengah berada di pinggir, tidak mampu
mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Byurrr...!
Air memercik ke atas ketika
tubuh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu jatuh ke sungai.
"Den Wuraji...!"
"Wuraji...!"
Hampir berbareng Wijaya dan
Marni menjerit keras melihat bocah berpakaian coklat itu terpental ke dalam
sungai, dan langsung terseret arus yang deras.
Tanpa pikir panjang lagi,
Wijaya segera terjun ke sungai. Pelayan setia ini tidak mengkhawatirkan nasib
Marni. Karena yakin kalau anak perempuan itu tidak akan tertimpa bahaya
apa-apa.
Wijaya berpikir secara biasa.
Rakit itu tersangkut di batu besar yang menonjol di permukaan sungai, sehingga
tidak bisa bergerak ke sana kemari lagi walaupun arus sungai terus-menerus
mendorongnya.
Byurrr...!
Air sungai kembali memercik ke
atas ketika tubuh Wijaya melayang ke arah sungai. Kali ini percikannya lebih
tinggi dari sebelumnya.
Marni yang tetap tinggal di
atas rakit, berpegangan kuat-kuat. Gadis kecil ini berharap agar Wijaya
berhasil menyelamatkan Wuraji. Ngeri hatinya membayangkan temannya itu tewas
dibawa arus sungai.
"Den Wuraji...! Di mana
kau...?!" teriak Wijaya begitu kepalanya muncul di permukaan sungai,
setelah terbenam beberapa saat lamanya.
Diam-diam laki-laki bermata
juling ini terkejut bukan main tatkala merasakan kuatnya arus sungai.
Wijaya menunggu sejenak. Tapi
sama sekali tidak terdengar sahutan dari anak berpakaian coklat itu. Dengan
jantung berdetak keras, pandangannya diedarkan ke seluruh permukaan sungai.
Hatinya mencelos ketika tidak melihat adanya Wuraji. Tidak ada kemungkinan
lain, Wuraji pasti terseret arus sungai. Begitu kesimpulan laki-laki bermata
juling ini.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, segera Wijaya kembali menyelam dan berenang mengikuti arus. Sepasang
matanya berkeliaran ke sana kemari. Barangkali saja dapat menemukan anak
tunggal mendiang majikannya. Air sungai itu memang jernih, sehingga pelayan setia
ini dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas.
Wijaya terus berenang
mengikuti arus sungai. Sama sekali dia tidak menyadari kalau semakin lama, arus
sungai semakin deras.
"Den...! Di mana
kau...?!"
Wijaya kembali berseru keras,
ketika untuk yang kesekian kalinya kepalanya muncul di permukaan air. Sepasang
matanya terus menatap berkeliling.
Hati Wijaya tersekat begitu
merasakan arus sungai yang semakin deras. Apalagi ketika pendengarannya yang
tajam mendengar suara gemuruh di depannya. Sebagai seorang yang telah kenyang
pengalaman, laki-laki bermata juling ini tahu apa sebenarnya suara gemuruh itu.
Apalagi kalau bukan air terjun!
Sadar akan bahaya besar yang
mengancam di depannya, Wijaya segera berbalik arah begitu menyadari dirinya
terseret ke air terjun.
Kembali hatinya tersekat
ketika tak lagi melihat rakit beserta Marni yang tadi ditinggalkannya. Rupanya
dia telah terlalu jauh dari tempat semula.
Kini Wijaya berusaha keras
berenang melawan arus yang akan menyeretnya ke air terjun. Tapi, betapapun dia
telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja laki-laki bermata juling ini
tidak mampu maju. Tubuhnya hanya bergerak di situ-situ saja.
Semakin lama tenaga Wijaya
semakin lemah. Dan dengan sendirinya, perlahan-lahan mulai terbawa arus. Seiring
dengan tubuhnya terbawa aliran sungai, tenaga arus yang menyeretnya pun semakin
membesar. Sementara tenaganya sendiri semakin lemah. Tubuh laki-laki berpakaian
hitam ini pun mulai terbawa arus.
Meskipun begitu, Wijaya tidak
putus asa. Tenaganya terus dikerahkan untuk melawan dorongan arus sungai,
meskipun tubuhnya terus saja terseret.
Tapi akhirnya Wijaya terpaksa
mengalah. Tidak ada lagi tenaga yang dimilikinya untuk melawan arus sungai yang
menyeretnya.
Sementara itu, agak jauh di
depan Wijaya, Wuraji terus terseret cepat mendekati pinggir air terjun. Putra
tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah ini memang sama sekali tidak bisa
berenang. Maka seketika itu juga, tubuhnya hanyut terbawa arus yang deras itu.
Dalam keadaan setengah sadar,
Wuraji mendengar suara panggilan pelayannya. Dia berusaha menyahut, tapi tidak
mampu. Hanya suara mirip bisikan saja yang keluar dari mulutnya ketika dia
berusaha menyahuti panggilan Wijaya.
Bahkan, ketika tubuhnya telah
berada di tepi air terjun, dan akhirnya jatuh ke bawah, Wuraji sama sekali
tidak mampu berteriak. Tubuhnya melayang deras ke bawah. Siap untuk
dicabik-cabik batu-batuan yang berada di bawah sana!
***
Di dasar air terjun, sekitar
beberapa tombak dari tempat jatuhnya air, dua sosok tubuh tengah duduk bersila
saling berhadapan. Keduanya duduk di sebongkah batu besar dan lebar yang
menonjol di permukaan sungai. Yang satu berpakaian hitam, sedangkan yang
satunya lagi berpakaian kulit ular.
Sosok berpakaian hitam yang
duduk menghadap jatuhnya air terjun terperanjat ketika melihat sesosok tubuh
kecil meluncur deras dari atas.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, disertai teriakan nyaring, sosok bayangan hitam itu melesat cepat ke arah
tubuh yang tengah melayang jatuh. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan hitam saja. Dan....
Tappp...!
Luar biasa! Tubuh Wuraji
berhasil ditangkap oleh sosok bayangan hitam itu, sebelum sempat terhempas ke
batu-batuan di bawahnya. Kemudian dengan indah dan manis, sosok bayangan hitam
itu melenting dan hinggap di atas salah satu baru yang menonjol di permukaan
sungai.
Perasaan heran yang melanda
hati sosok tubuh berpakaian kulit ular lenyap ketika melihat sosok bayangan
hitam itu mendarat di batu-batuan dengan seorang anak dalam pondongannya.
Memang, semula dia merasa heran tatkala melihat sosok bayangan hitam itu
melesat meninggalkannya.
Sosok bayangan hitam itu
kembali menggerakkan kakinya. Kelihatannya hanya melangkah perlahan saja. Tapi
sekejap kemudian, tubuhnya sudah berada di sebelah sosok yang mengenakan
pakaian kulit ular.
"Nasib bocah ini baik
sekali, Ular Kaki Seribu," ucap sosok bayangan hitam seraya mengangsurkan
Wuraji yang telah pingsan dalam pondongannya. Suaranya terdengar aneh.
Kecil, tapi melengking tinggi,
seperti suara seorang wanita. Sepasang matanya menatap wajah sosok berpakaian
kulit ular yang ternyata adalah seorang laki-laki setengah baya. Laki-laki itu
bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan agak bungkuk.
Wajahnya mirip wajah seekor
kuda. Apalagi dengan adanya jenggot kasar, panjang dan jarang-jarang yang
menghiasi dagunya. Pakaiannya terbuat dari kulit ular yang berwarna kuning
keemasan.
"Yahhh...," sosok
berpakaian kulit ular yang ter, nyata mempunyai julukan Ular Kaki Seribu hanya
mendesah. "Dia akan jadi murid kita, Monyet Tanpa Bayangan."
Kini terlihat jelas kalau
sosok hitam itu ternyata adalah seorang kakek kecil kurus berpakaian serba
hitam. Pakaiannya yang hitam terbuat dari kulit beruang. Kakek kecil kurus yang
berjuluk Monyet Tanpa Bayangan ini hanya terkekeh pelan. Kemudian merebahkan
tubuh Wuraji di atas batu.
Ular Kaki Seribu memperhatikan
wajah bocah berpakaian coklat mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Tampak jelas kalau kakek bertubuh tinggi kurus ini tengah menilai Wuraji.
Setelah memperhatikan beberapa
saat, kemudian Ular Kaki Seribu membungkukkan tubuh dan memegang-megang seluruh
tulangbelulang Wuraji. Secercah senyum gembira menghias bibirnya. Kakek ini
merasa puas ketika mengetahui kalau putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
memiliki bakat yang amat baik untuk dilatih ilmu silat.
"Bagaimana, Ular Kaki
Seribu?" tanya Monyet Tanpa Bayangan meminta pendapat rekannya.
"Kurasa anak ini tidak
memalukan kalau menjadi murid kita," jawab Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan tersenyum
lega mendengar keputusan rekannya.
"Mari kita kembali,"
sahut Ular Kaki Seribu seraya bergerak meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak bicara, Monyet
Tanpa Bayangan membungkuk, mengangkat tubuh Wuraji dan memondongnya. Kemudian
membawanya melesat, menyusul rekannya yang telah berkelebat lebih dulu.
Hebatnya, meskipun Ular Kaki
Seribu bergerak lebih dulu, Monyet Tanpa Bayangan mampu memperpendek jarak.
Bahkan membarenginya. Dan dengan berlari bersisian, kedua kakek ini bergerak ke
arah air terjun.
Lincah dan gesit laksana kera,
kedua kakek itu berlompatan ke sana kemari. Anehnya, Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan malah melesat ke arah air terjun.
Mendadak langkah kaki kedua
kakek ini terhenti ketika mendengar sebuah jeritan panjang menyayat hati.
Hampir berbarengan keduanya mendongak ke atas. Tampak oleh mereka sesosok tubuh
yang melayang jatuh, bersama dengan curahan air terjun.
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular
Kaki Seribu hanya memperhatikan saja hingga sosok tubuh yang tak lain dari
Wijaya jatuh ke dasar air terjun. Terdengar suara berderak keras dari
tulang-belulang yang patah ketika tubuh pelayan setia itu menghantam
batu-batuan. Seketika itu juga nyawa Wijaya langsung lepas dari raganya.
Seolah-olah tidak ada kejadian
apa-apa, kedua kakek sakti ini kembali melanjutkan langkahnya. Dan begitu dekat
dengan air terjun, Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu bergerak
menerobosnya. Menerobos curahan air terjun!
Pyarrr...!
Air yang tercurah dari atas
berpentalan ke sana kemari tatkala tubuh kedua kakek itu menerobos. Ternyata di
balik air terjun terdapat sebuah gua yang cukup besar. Inilah tempat tinggal
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu.
Lubang gua itu cukup besar.
Garis tengahnya saja tak kurang dari dua tombak. Kedua kakek itu melangkah
pelan ke dalam gua yang cukup lebar dan sedikit berliku. Di kanan kiri
dindingnya tergantung obor, sehingga membuat suasana di dalam agak terang.
Monyet Tanpa Bayangan lalu
merebahkan Wuraji di atas sebongkah batu pipih berbentuk persegi panjang
seukuran balai-balai. Baru setelah itu, kakek kecil kurus berpakaian kulit
beruang ini duduk bersila, di atas batu pipih dan lebar lainnya. Duduk
berhadapan dengan Ular Kaki Seribu.
"Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan yang
disusul dengan mengerjap-ngerjapnya kelopak mata Wuraji. Sesaat kemudian,
setelah kesadarannya pulih, bocah berpakaian coklat ini lalu memperhatikan
keadaan sekelilingnya.
Seketika itu juga pandangannya
tertumbuk pada dua orang kakek yang tengah memperhatikan dirinya.
"Di manakah aku...?"
tanya Wuraji lirih seperti pada diri sendiri. Sepasang matanya menatap
berkeliling. Sementara benaknya sibuk berpikir keras. Mengingat-ingat semua
kejadian yang dialaminya.
"Kau berada di tempat
kami, Bocah," sahut Monyet Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Di tempatmu, Kek?"
Wuraji bertanya lagi meminta kepastian.
Kembali Monyet Tanpa Bayangan
yang menjawab. Kepala kakek kecil kurus ini mengangguk pelan.
"Ya, aku melihat tubuhmu
jatuh dari air terjun. Kau segera kutangkap sebelum menghantam batu-batuan, dan
kubawa ke sini," Monyet Tanpa Bayangan menjelaskan.
Kini Wuraji mulai teringat
dengan kejadian yang dialaminya. Dia telah terseret menuju tepi air terjun dan
kemudian jatuh ke dasarnya. Bagaimana dengan nasib Marni dan Wijaya? tanya anak
berpakaian coklat ini dalam hati.
''Terima kasih atas
pertolonganmu, Kek," ucap Wuraji seraya bangkit dari berbaringnya.
"He he he...!" Hanya
suara tawa terkekeh Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti ucapan terima kasih
putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini.
"Siapa namamu,
Bocah?" Ular Kaki Seribu mulai membuka suara.
"Wuraji, Kek," sahut
anak berpakaian coklat itu cepat.
"Wuraji...," gumam
Ular Kaki Seribu seraya mengelus-elus dagunya. "Begini, Wuraji. Hari ini
kami tengah berbahagia. Karena telah berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu yang
kami miliki....
Dan karena rasa gembira, kami
telah bersumpah, akan mengangkat murid pada orang yang pertama bertemu dengan
kami. Kebetulan kaulah orang yang bernasib baik itu. Jadi, kaulah yang akan
jadi murid kami."
Jantung Wuraji berdebar
mendengar kata-kata itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau dirinya akan
begitu mudah mendapat guru. Tapi, masih ada yang dipikirkannya. Apakah tingkat
kepandaian kedua kakek ini melebihi ayahnya. Kalau melebihi, dia pun bersedia
menjadi murid. Tapi kalau tidak, dia akan menolak.
''Tapi, Kek. Aku hanya mau
jadi murid orang yang memiliki kepandaian tinggi, Kek."
"Ha ha ha...."
Monyet Tanpa Bayangan tertawa bergelak. "Kau pintar, Wuraji. Tapi akan
kami penuhi permintaanmu. Nah, sekarang kau perhatikan baik-baik. Akan kami
buktikan kalau kami pantas menjadi guru-gurumu."
Setelah berkata demikian,
Monyet Tanpa Bayangan lalu menoleh. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah
sebatang obor yang tergantung di dinding. Jaraknya sekitar lima tombak dari
tempatnya berdiri.
"Mampukah kau mematikan
obor itu dari sini, Wuraji?" tanya kakek kurus itu seraya menatap Wuraji.
"Tidak, Kek," Wuraji
menggeleng, setelah memperhatikan obor sejenak. "Apakah Kakek bisa?"
''Tentu saja," sahut
Monyet Tanpa Bayangan cepat. "Kau lihat ini...!"
Setelah berkata demikian,
kakek kecil kurus ini lalu mengepalkan tangan kanannya. Kemudian dipukulkan ke
depan.
Wusss...
Angin berhembus keras begitu
Monyet Tanpa Bayangan memukulkan tangannya. Sesaat kemudian, apl obor pun
padam, tanpa meliuk-liuk lebih dahulu!
"Hebat...!" Wuraji
memuji penuh kagum.
"He he he...!"
Monyet Tanpa Bayangan terkekeh gembira mendengar pujian calon muridnya.
''Tapi, ilmu seperti itu tidak
berguna untuk menghadapi musuh," sambung Wuraji seraya menghela napas
panjang.
"Siapa bilang?!"
Monyet Tanpa Bayangan mulai bangkit emosinya begitu mendengar ucapan itu.
"Dengan gerakan seperti itu kau dapat membunuh lawan tanpa
menyentuhnya!"
"Aku tidak percaya!"
sergah Wuraji cepat dan berani. Memang, anak yang sudah yatim piatu ini
memiliki keberanian luar biasa.
Monyet Tanpa Bayangan menjadi
kesal melihat sikap yang ditunjukkan Wuraji. Tanpa banyak bicara, kepalan
tangan kanannya kembali dipukulkan. Tapi sasaran kali ini adalah sebongkah batu
sebesar anak kambing, yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya duduk
bersila.
Wusss...! Brakkk...!
Batu itu langsung hancur
berkeping-keping ketika pukulan jarak jauh kakek berpakaian kulit beruang itu
menghantamnya. Pecahannya berpentalan ke segala arah.
Wajah Wuraji pucat seketika.
Sama sekali tidak disangkanya kalau Monyet Tanpa Bayangan memiliki kepandaian
begitu tinggi. Dia tahu betul kalau ayahnya sendiri pun tidak sanggup untuk
melakukan hal seperti yang dilakukan kakek ini. Tanpa pikir panjang lagi,
Wuraji segera memberi hormat.
"Guru...!" tanpa
ragu-ragu lagi, putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini menyebut guru pada
Monyet Tanpa Bayangan. Kakek kecil kurus ini tertawa terkekeh.
"Ular Kaki Seribu pun
akan mengajarmu pula, Wuraji," jelas Monyet Tanpa Bayangan seraya
menudingkan telunjuknya pada kakek bermuka kuda. "Dia memiliki kepandaian
yang tidak kalah denganku."
"Guru...!" panggil
Wuraji pula pada Ular Kaki Seribu.
Sejak saat itu Wuraji menjadi
murid Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Putra Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini sama sekali tidak tahu kalau orang yang menjadi guru-gurunya adalah
tokoh-tokoh golongan hitam.
Kedua kakek itu adalah
pentolan-pentolan tokoh aliran sesat.
***3
Krotok, krotok...!
Suara berkerotokan keras
terdengar memecahkan keheningan pagi di sebuah sungai di dasar air terjun.
Suara itu ternyata berasal dari seorang pemuda yang tengah berlatih silat.
Pemuda itu berdiri di atas sebongkah batu pipih dan lebar yang menonjol di
permukaan sungai.
Pemuda itu berusia sekitar dua
puluh dua tahun. Wajahnya tampan, tapi terlihat keras. Mungkin disebabkan oleh
tulang rahangnya yang kokoh dan kuat. Tubuhnya yang kekar dan penuh otot-otot
melingkar tampak jelas, karena dia memang tengah bertelanjang dada. Menilik
peluh yang telah membasahi sekujur wajah dan tubuhnya, bisa ditebak kalau
pemuda berwajah tampan namun keras ini telah lama berlatih.
Dan itu memang benar. Sejak
pagi-pagi sekali, sebelum sang surya muncul di ufuk Timur, pemuda berwajah
keras ini telah berlatih. Kini, dia hampir menyelesaikan bagian terakhir
latihannya.
Ternyata suara berkerotokan
keras tadi terdengar ketika pemuda tampan berwajah keras itu menarik kedua
tangannya yang terkepal ke sisi pinggang. Perlahan-lahan tapi penuh tenaga, dia
menarik kedua tangan yang terkepal dan saling bersilangan di depan dada. Kedua
kakinya terletak sejajar, dengan kuda-kuda rendah.
"Hih!"
Sambil mengeluarkan pekikan
nyaring, pemuda tampan berwajah keras itu menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Ke arah sebongkah batu sebesar anak kerbau yang terletak di pinggir
sungai yang berjarak sekitar tiga tombak dari tempatnya berdiri.
Wusss!
Angin menderu keras. Debu-debu
pun mengepul tinggi ke udara. Dan....
Blarrr!
Disertai suara hiruk-pikuk,
batu besar itu hancur berkeping-keping. Pecahan-pecahannya berpentalan ke
segala arah. Bahkan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuhnya. Tapi,
sama sekali tidak nampak ada tanda-tanda kalau dia merasa kesakitan.
"Phhh...!"
Pemuda berwajah keras itu
menghembuskan napas panjang. Perasaan puas tergambar jelas di wajahnya. Dengan
punggung tangan, peluh yang membasahi keningnya segera dihapus.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa bergelak
yang kasar begitu pemuda tampan berwajah keras itu selesai menghapus peluhnya.
Tapi, sama sekali tidak nampak raut keterkejutan di wajahnya. Tenang saja dia
membalikkan tubuh. Tampak sekitar tiga tombak di hadapannya, di seberang
sungai, berdiri dua sosok tubuh.
"Guru...!" ucap
pemuda berwajah keras itu seraya memberi hormat. Kedua kakinya saling
bersilangan dengan tubuh agak direndahkan. Kedua tangannya saling bertemu di
depan dada. Tangan kanan terkepal, sementara tangan kiri terbuka. Ujung
jari-jari tangan kiri menghadap ke atas. Kedua tangannya didorong ke depan.
Kemudian dikembalikan lagi ke depan dada.
"Bagus...! Rupanya kau
telah menguasai 'Pukulan Penghancur Gunung', Wuraji," ucap salah seorang
di antara dua orang itu. Dia bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan berwajah
mirip kuda. Usianya sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit
ular berwarna kuning keemasan. Siapa lagi kalau bukan Ular Kaki Seribu?!
"Tidak percuma kami
mengangkatmu sebagai murid, Wuraji," ucap kakek yang satunya lagi.
Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi melengking, mirip suara wanita. Kakek ini
bertubuh kecil kurus. Wajahnya terlihat pucat dan layu, seperti orang
penyakitan. Pakaiannya yang berwarna hitam terbuat dari kulit beruang. Masih
tampak jelas kekasaran pakaian yang dikenakannya. Kakek itu tak lain dari
Monyet Tanpa Bayangan
Sikap kedua kakek itu tampak
liar, dan tidak menghiraukan sopan santun. Sepasang mata keduanya menyiratkan
kekejaman yang tersembunyi. Memang dua orang kakek ini adalah pentolan-pentolan
tokoh golongan hitam. Mereka terkenal memiliki kepandaian tinggi.
"Semua ini berkat
bimbingan Guru berdua," ucap pemuda berahang kokoh yang ternyata bernama
Wuraji. Pelan, lembut, dan sopan suaranya. Berbeda sekali dengan kedua gurunya
yang berwatak kasar dan liar.
"Ahhh...!" sergah
Ular Kaki Seribu. Keras dan kasar nada suaranya. "Sudah berkali-kali
kukatakan, Wuraji. Buang semua sifat-sifat yang membuat kami muak itu.
Bersikaplah seperti kami!"
"Kukira, ada baiknya
kalau Wuraji kita suruh bergabung dengan Pati Gala, Ular Kaki Seribu,"
usul Monyet Tanpa Bayangan. "Barangkali kalau mereka bergaul bersama,
sifat Wuraji akan berubah."
"Itu sudah kupikirkan,
Monyet Tanpa Bayangan," sahut Ular Kaki Seribu.
"Pati Gala? Siapa dia,
Guru?" tanya Wuraji seraya mengernyitkan alisnya. Jelas kalau pemuda
berahang kokoh ini tidak mengenal orang yang disebutkan gurunya. Ditatapnya
wajah kedua kakek itu berganti-ganti.
"Kami memang belum pernah
menceritakannya padamu, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu.
"Maukah Guru
memberitahukannya padaku?" pinta Wuraji.
"Memang, kami ingin
memberitahumu. Dan harus memberitahumu!" Monyet Tanpa Bayangan ikut
menimpali.
"Pati Gala adalah murid
kami sebelum kau, Wuraji," sambung Ular Kaki Seribu. "Jadi, dia
adalah kakak seperguruanmu."
''Tapi, mengapa aku tidak
pernah mengetahuinya, Guru?" tanya Wuraji lagi. Masih terdengar nada
keheranan dalam suaranya.
"Karena kau jadi murid
kami setelah dia pergi," lagi-lagi Monyet Tanpa Bayangan menyahuti.
Wuraji mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini pemuda berahang kokoh ini baru mengerti permasalahannya.
"Jadi..., aku harus mencari
kakak seperguruanku itu, Guru?" tanya Wuraji meminta kepastian.
Ular Kaki Seribu menganggukkan
kepalanya.
''Tapi, bagaimana aku bisa
menemukan dia, Guru? Bukankah aku belum pernah bertemu dengan dia?! Dan...,
andaikata bertemu pun, belum tentu dia akan mengenaliku."
"He he he...!"
Ular Kaki Seribu hanya tertawa
terkekeh-kekeh saja melihat muridnya kebingungan.
"Kau cari saja orang yang
berjuluk Siluman Tangan Maut. Aku yakin tidak akan sulit kau menemukan
dia," Monyet Tanpa Bayangan yang menjawab pertanyaan muridnya.
"Sedangkan pertanyaanmu
yang lain, tidak perlu kujawab, Wuraji. Kau punya otak, bukan? Nah!
Pergunakanlah otakmu!"
Wuraji terdiam seketika.
"Kapan aku harus
berangkat, Guru?" tanya Wuraji setelah terdiam beberapa saat.
''Terserah kau, Wuraji. Tapi,
lebih cepat lebih baik!" sahut Ular Kaki Seribu tegas. Kemudian
dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, diikuti Monyet Tanpa Bayangan.
Kini yang tinggal hanya Wuraji.
"Hhh...!"
Pemuda berahang kokoh ini
menghela napas berat. Ada perasaan tidak enak di hatinya, melihat tingkah laku
kedua gurunya. Tapi, bagaimana lagi? Guru-gurunya adalah tokoh-tokoh sesat
persilatan. Hanya dia saja yang bernasib tidak begitu baik. Memiliki guru tokoh
golongan hitam! Dan, menjadi pewaris ilmu tokoh sesat
Akan tetapi Wuraji mengusir
semua pikiran-pikiran itu. Dipusatkan perhatian untuk memenuhi tugas gurunya.
Di samping itu juga, di dalam hatinya tersirat niat untuk membalas dendam atas
kematian ayahnya. Dan juga mencari Marni dan Wijaya. Bagaimana keadaan mereka
sekarang? Wuraji tidak pernah tahu. Walaupun sejak menjadi murid Ular Kaki
Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan, dia selalu memikirkan nasib kedua orang itu.
Tapi apa dayanya? Kedua gurunya melarang dia mencari mereka. Tapi sekarang
kesempatan itu terbuka. Dia telah bebas.
***
Seorang pemuda berwajah tampan
namun keras, dan berpakaian coklat melangkah pelan memasuki mulut hutan. Sebuah
buntalan yang berisi pakaian tergantung di bahunya.
Pemuda berahang kokoh ini
menoleh ketika pendengarannya yang tajam, menangkap suara derak roda kereta di
belakangnya. Ternyata agak jauh di belakang, dilihatnya sebuah rombongan
berkuda. Bergegas dia berjalan agak ke pinggir, agar tidak mengganggu jalannya
rombongan itu
Semakin lama, rombongan kereta
semakin dekat jaraknya dengan pemuda tampan berahang kokoh itu. Tak lama
kemudian, rombongan kereta itu pun sudah menyusulnya.
Sekilas orang-orang yang
berkuda paling depan memalingkan kepala. Menatap pemuda tampan berahang kokoh
itu penuh perhatian. Pemuda itu pun balas menoleh. Sebentar saja. Bahkan hanya
sekilas. Lalu tidak ambil peduli. Terus saja kakinya melangkah kian jauh ke
dalam hutan.
Iring-iringan berkuda itu
ternyata adalah serombongan orang berkuda yang mengawal sebuah kereta. Di
belakang, kanan, kiri, dan belakang kereta, empat orang berwajah dan bersikap
gagah mengiringi. Tampak jelas kalau orang-orang berkuda itu tengah mengawal
kereta.
Semakin lama, rombongan itu
pun semakin jauh meninggalkan pemuda berpakaian coklat itu. Pemuda berahang
kokoh itu terus memandangi rombongan itu hingga semakin jauh ke dalam hutan.
Ada pertanyaan yang bergayut di benaknya. Siapakah gerangan orang yang ada di
dalam kereta? Sehingga sampai dikawal oleh sekumpulan orang yang menilik dari
gerak-geriknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tidak rendah.
Tapi pemuda berahang kokoh itu
tidak ambil peduli. Terus saja dia melanjutkan perjalanannya. Kini tidak lagi
perlahan-lahan seperti tadi, melainkan berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Ternyata pemuda tampan
berahang kokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat bukan main.
Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kecoklatan yang melesat
cepat menembus ke dalam hutan.
Pemuda berahang kokoh itu
berlari tidak mengikuti jalan yang ditempuh rombongan kereta tadi. Tapi
mengambil jalan pintas. Menembus rerimbunan pepohonan lebat. Bahkan tidak
jarang harus berlompatan dari satu batang ke batang pohon lainnya. Gerakannya
gesit dan lincah sekali. Tak ubahnya seekor kera.
Mendadak gerakannya terhenti
ketika mendengar dentang suara senjata beradu di kejauhan. Cepat pemuda berbaju
coklat ini berhenti sejenak dan mendengarkan lebih seksama. Mencoba mengetahui
asal suara.
Sesaat kemudian, pemuda
berahang kokoh ini telah mengetahui asal suara. Cepat laksana kilat, kakinya.
bergerak menuju ke sana sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Berlompatan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Tak lama kemudian, pemuda
berahang kokoh ini berhasil menemukan penyebab suara keributan. Dari cabang
sebatang pohon, pemuda itu melihat rombongan kereta yang tadi melawannya telah
berhenti, dan kini tengah terlibat pertarungan dengan serombongan orang-orang
berwajah kasar.
Beberapa saat lamanya pemuda
berpakaian coklat itu kebingungan. Meskipun sudah dapat menduga kalau rombongan
itu dihadang oleh gerombolan orang kasar. Tapi dia masih belum dapat membedakan
rombongan kereta dan rombongan penghadang.
Tapi sesaat kemudian, pemuda
berahang kokoh ini sudah bisa membedakan. Rombongan berkuda yang tadi mengawal
kereta rata-rata berpakaian hijau muda. Sementara para penghadang rata-rata
mengenakan rompi.
Sama sekali pemuda berpakaian
coklat ini tidak tahu kalau dia bukan hanya berada di pihak yang mengintai.
Tapi juga sedang diintai. Dua sosok yang berpakaian kulit ular dan hitam,
tengah memperhatikannya dari cabang pohon lain. Dan ternyata bukan hanya sosok
berpakaian hitam dan kulit ular saja yang memperhatikan. Tapi juga sepasang
muda-mudi. Yang satu berpakaian ungu dan yang satu lagi berpakaian putih.
Sejenak pemuda berahang kokoh
itu memperhatikan jalannya pertempuran. Sesaat kemudian, dia sudah tahu kalau
kepandaian para pengawal kereta berkuda sebenarnya tidak kalah dibanding
lawan-lawannya. Tapi karena jumlahnya kalah banyak, akhirnya mereka terdesak
hebat. Satu orang pengawal berkuda, rata-rata menghadapi dua sampai tiga
penghadang.
Beberapa sosok tubuh yang
menilik dari pakaiannya adalah rombongan pengawal berkuda, sudah bergeletakan
bersimbah darah di tanah. Dan jumlah korban di antara mereka semakin bertambah,
ketika beberapa saat kemudian, terdengar jerit kematian melengking nyaring.
Pemimpin rombongan yang
berkumis melintang, marah bukan main melihat anak buahnya satu demi satu
terbantai. Tapi, apa dayanya? Dia sendiri tengah sibuk mempertahankan selembar
nyawanya dari ancaman maut pimpinan rombongan penghadang. Seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar dan bersenjata sebatang golok besar.
Laki-laki berkumis melintang
ini menggertakkan gigi. Dan pedang di tangannya pun berkelebatan semakin cepat,
berusaha merobohkan lawan secepat mungkin.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan bentakan
nyaring, pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher. Tapi, pimpinan
penghadang hanya tertawa bergelak. Dan sekali memiringkan kepala, tusukan
pedang lewat di samping kepalanya. Dan pada saat yang sama, golok besar di
tangannya disabetkan ke leher laki-laki berkumis melintang.
Pemimpin rombongan kereta
berkuda itu terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Crattt!
Ujung golok besar tadi
tahu-tahu sudah menyerempet bagian atas dada kirinya. Dan seketika itu juga,
darah segar merembes dari luka yang robek cukup lebar. Tapi tidak terdengar
suara keluhan dari mulut laki-laki berkumis melintang itu.
Belum lagi pemimpin rombongan
pengawal ini sempat berbuat sesuatu, pimpinan penghadang yang bertubuh tinggi
besar itu sudah melayangkan kakinya.
Bukkk!
Telak dan keras sekali
tendangan itu mengenai perut laki-laki berkumis melintang. Seketika itu juga
tubuhnya terjengkang ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Haaat...!"
Melihat lawannya tak berdaya,
pimpinan penghadang itu segera menubruk tubuh yang tertelentang di tanah,
disertai pekikan melengking nyaring. Golok besar di tangannya, ditusukkan cepat
ke arah perut lawannya.
Laki-laki berkumis melintang
terkejut bukan main. Serangan itu datang begitu tiba-tiba. Sehingga tidak ada
waktu lagi baginya untuk mengelak. Bahkan untuk menangkis pun sudah tidak
sempat lagi. Pedangnya sudah terlempar entah ke mana ketika perutnya kena tendang.
Kini yang dapat dilakukannya hanyalah berdiam diri, menanti datangnya maut.
Tapi sebelum golok itu
menghunjam perutnya, sesosok bayangan biru melesat cepat, memotong arah
lompatan pemimpin rombongan penghadang itu.
Tranggg...!
Suara berdentang keras
terdengar memekakkan telinga. Bunga-bunga api pun memercik ke sana kemari.
Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan main begitu merasakan seluruh
tubuhnya tergetar hebat. Tangan yang menggenggam golok terasa lumpuh. Bahkan
senjatanya pun hampir terlepas dari genggaman.
Kini di hadapan laki-laki
tinggi besar, membelakangi pemimpin rombongan pengawal kereta berkuda, berdiri
seorang gadis cantik jelita berambut kepang, berpakaian biru. Di tangan gadis
itu tergenggam sebatang pedang.
"Kurang ajar! Siapa kau,
Wanita Liar! Mengapa mencampuri urusanku?! Apakah sudah bosan hidup?!"
pimpinan penghadang itu memaki kalang kabut.
"Pasang telingamu
baik-baik! Aku Marni! Kedatanganku sengaja untuk membasmimu!" gadis
berambut kepang itu balas membentak tak kalah keras.
"Sapi! Rupanya kau sudah
bosan hidup, sehingga berani menentang Raksageti!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Raksageti itu menyerang Marni.
Golok besarnya dibabatkan ke arah leher.
Tapi Marni hanya
tersenyum-senyum saja. Baru setelah sambaran golok mendekat, dengan enak dia
merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan begitu
sabetan golok besar itu lewat, tangan kanannya bergerak cepat .
Crattt!
Luar biasa sekali kecepatan
gerak Marni! Sebelum Raksageti sempat menyadari, pedang di tangan gadis
berpakaian biru itu telah membabat sikunya. Tak pelak lagi tangan laki-laki
tinggi besar itu buntung sebatas siku. Dan seketika itu juga, darah mengalir
deras dari tangan yang putus itu.
Raksageti menggigit bibir
menahan rasa sakit yang mendera. Buru-buru dia menotok jalan darah di sekitar
lukanya untuk menghentikan aliran darah. Sesaat kemudian aliran darah itu pun
terhenti.
"Bagaimana, Raksageti?!
Masih mau diteruskan lagi...?" tanya Marni sambil bertolak pinggang.
Cairan merah kental masih menetes dari batang pedangnya.
Raksageti menggeram keras.
Rupanya laki-laki tinggi besar ini tidak jera melihat akibat yang diterimanya.
Pemimpin rombongan penghadang ini tidak percaya kalau gadis semuda Marni mampu
memiliki kepandaian selihai itu. Dia lebih percaya kalau penyebab tangannya
putus adalah keteledorannya sendiri.
Kini dia memungut golok
besarnya dengan tangan kiri. Dan kembali menyerang Marni. Kali ini Raksageti
mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Sementara itu, begitu gadis
berpakaian biru menyebut namanya, seketika wajah pemuda berpakaian coklat
berubah. Jelas, kalau nama itu mempunyai arti baginya.
"Apakah Marni yang dulu
kurus dan kerempeng itu kini sudah menjadi gadis yang cantik jelita? Menjadi
gadis berwajah molek dan bertubuh menggiurkan?" tanya pemuda berahang
kokoh itu dalam hati.
Karena didorong rasa ingin
tahu tentang gadis itu, juga di samping ingin menolong rombongan pengawal
berkuda yang sudah dapat dipastikan akan terbantai semuanya, akhirnya pemuda
berpakaian coklat ini melompat ke tengah arena pertempuran.
Dan begitu kedua kakinya
mendarat di tanah, pemuda berahang kokoh itu langsung menyelak ke arah seorang
pengawal yang tengah terdesak hebat oleh tiga orang penghadang.
Hebat dan menggiriskan sekali
tindakan pemuda berahang kokoh itu. Begitu memasuki arena pertempuran, kedua
tangan dan kakinya langsung berkelebat. Dan hanya dalam dua gebrakan saja,
ketiga penghadang itu telah berpentalan jauh, dalam keadaan tanpa nyawa! Jerit
panjang memilukan, mengiringi melayangnya nyawa mereka.
Tapi tindakan pemuda berahang
kokoh itu tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat ke
arah kelompok penghadang lain yang tengah mengeroyok seorang pengawal pasukan
berkuda. Kaki dan tangan pemuda ini pun kembali beraksi. Tak lama kemudian,
jerit-jerit kematian pun terdengar saling susul.
Marni melirik sekilas ke arah
pemuda berahang kokoh yang juga tengah melirik ke arahnya. Dua pasang mata pun
saling bertemu. Marni melempar sebuah senyum manis. Dan seketika pemuda
berahang kokoh itu terkesima.
Hanya sesaat memang. Tapi,
karena saat itu pemuda itu tengah dikeroyok banyak lawan, hampir saja membuat
lehernya putus tersambar senjata lawan. Untung saja dia sempat membanting tubuh
ke tanah, sehingga serangan itu berhasil dihindarkan.
"Hi hi hik..!"
Gadis berpakaian biru tertawa
mengikik, melihat kejadian yang menimpa pemuda berahang kokoh. Karuan saja hal
ini membuat sekujur wajah pemuda berpakaian coklat merah padam ketika bangkit
dari bergulingnya.
Ternyata baik Marni mau pun
pemuda berahang kokoh sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi
lawan-lawannya. Tingkat kepandaian si gadis dan juga tingkat kepandaian pemuda
berahang kokoh itu berada amat jauh di atas lawan-lawannya.
Apalagi Marni yang hanya
menghadapi seorang lawan. Enak saja dia menghadapi dan mempermainkannya.
Rupanya gadis berpakaian biru ini suka mempermainkan orang. Baru setelah dirasa
cukup, tiba-tiba Marni bergerak cepat. Kaki kanannya melakukan tendangan
bertubi-tubi ke depan.
Plakkk, bukkk, bukkk...!
Terdengar suara keras
berkali-kali ketika kaki Marni menghujani Raksageti. Tubuh pimpinan penghadang
itu pun terlempar jauh ke belakang. Darah segar menetes deras dari mulut
hidung, dan telinganya. Raksageti tewas sebelum tubuhnya ambruk mencium tanah.
Tendangan pertama yang
dilepaskan gadis berpakaian biru itu mengenai pergelangan tangan Raksageti,
sehingga sambungan tulang pergelangan laki-laki itu terlepas, dan senjatanya
terlepas dari genggaman. Tendangan susulan yang dikirimkan Marni, mengenai
perut dan dada. Dan tendangan susulan itulah yang menyebabkan nyawa laki-laki
tinggi besar ini melayang seketika.
Bersamaan dengan tewasnya
Raksageti, pemuda berahang kokoh pun berhasil merobohkan dua orang pengeroyok
yang tersisa.
Seluruh pengawal yang sejak
tadi memperhatikan jalannya pertarungan, menghela napas lega begitu melihat
seluruh rombongan penghadang berhasil dibinasakan.
Laki-laki berkumis melintang,
yang menjadi pemimpin rombongan, segera menghampiri sepasang muda-mudi itu
sambil tersenyum lebar.
Tapi baru juga beberapa tindak
kakinya melangkah, gadis berpakaian biru sudah berkelebat meninggalkan tempat
itu. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, tubuh Marni sudah
berada dalam jarak sepuluh tombak dari situ.
"Nisanak!
Tunggu...!" laki-laki berkumis melintang berteriak mencegah. Tapi Marni
sama sekali tidak mempedulikan, dan terus saja melangkahkan kakinya.
"Hhh...!"
Pemimpin rombongan itu
menghela napas berat. Kemudian mengalihkan perhatian ke arah pemuda berpakaian
coklat. Namun, kembali dia tersentak. Ternyata pemuda itu pun melesat pergi.
Sia-sia dia berteriak-teriak menyuruh pemuda penolongnya untuk berhenti
melangkah sejenak.
Akhirnya laki-laki berkumis melintang
hanya bisa mengangkat bahu, kemudian melangkahkan kakinya. Kembali ke tempat
semula.
"Urus semua kawan-kawan
kita yang tewas atau yang luka. Dan kita lanjutkan perjalanan!" ucap
pemimpin rombongan itu pada anak buahnya yang masih tersisa.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, sisa pengawal yang masih hidup bergegas melaksanakan perintah pemimpin
mereka. Sementara si kumis melintang menatap ke depan, ke arah kepergian
sepasang muda-mudi perkasa penolongnya, dengan pandang mata kecewa. Kecewa karena
tidak sempat mengenai kedua orang itu lebih jauh.
Bukan hanya laki-laki berkumis
melintang itu saja yang menatap kepergian sepasang muda-mudi tadi dengan
perasaan kecewa. Masih ada empat pasang mata lagi yang menatap penuh kecewa.
Tapi, rasa kecewa yang melanda mereka, masing-masing berbeda. Mata dari sosok
hitam, kulit ular, dan ungu serta putih.
Dan begitu melihat pemuda
berpakaian coklat tadi melesat pergi, bayangan hitam dan kulit ular itu pun
melesat cepat pula. Menyusul arah kepergian pemuda itu.
Belum lama dua sosok bayangan
itu melesat sosok bayangan ungu dan putih, bergerak pula menguntit dua sosok
bayangan yang menguntit pemuda berahang kokoh.
***4
"Nisanak...!
Tunggu...!"
Pemuda berpakaian coklat
berteriak keras memanggil, setelah sampai sekian lamanya, tak juga mampu
mengejar gadis berpakaian biru. Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Jangankan mengejar, memperpendek jarak pun
tidak mampu! Diam-diam dalam hati pemuda berahang kokoh ini timbul rasa penasaran.
Dia adalah murid seorang tokoh sesat yang terkenal dengan ilmu meringankan
tubuh yang luar biasa. Dan dia telah mewarisinya. Mengapa sekarang tidak mampu
mengejar seorang gadis muda?
Bukan hanya pemuda berpakaian
coklat itu saja yang merasa penasaran. Marni pun dilanda perasaan serupa.
Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki telah dikeluarkannya, tapi tetap
saja dia tidak mampu memperpanjang jarak. Hal ini menandakan kalau pengejarnya
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya.
Rasa penasaran itulah yang
membuat gadis ini malah semakin mempercepat larinya. Tapi, ternyata pemuda yang
mengejarnya tetap saja mampu mengimbangi. Sehingga jarak di antara mereka tetap
tidak berubah.
"Nisanak...! Tunggu
sebentar...!" lagi-lagi pemuda berpakaian coklat itu berteriak.
Kali ini gadis berpakaian biru
tidak meneruskan langkah. Seketika dia menghentikan larinya. Kemudian
membalikkan tubuh. Berdiri menanti pemuda yang mengejarnya. Napas gadis ini
nampak memburu. Bahkan wajahnya yang berkulit putih, halus dan mulus pun nampak
memerah. Peluh membasahi kening dan lehernya.
Pemuda berahang kokoh gembira
bukan main melihat gadis berpakaian biru menghentikan larinya dan berdiri
menunggu. Bergegas dia berlari menghampiri dan menghentikan langkahnya begitu
berada dalam jarak dua tombak.
"Mau apa kau
mengejar-ngejarku?!" tanya gadis berpakaian biru itu pelan.
“Aku hanya ingin bertanya satu
hal padamu, Nisan,” ucap pemuda berpakaian coklat, langsung pada pokok
permasalahan. Wajahnya terlihat tegang. Bahkan suaranya pun terdengar bergetar.
Suatu pertanda kalau pemuda ini dilanda perasaan tegang.
"Apa itu?
Katakanlah," sahut gadis berpakaian biru, pelan. Tentu saja dia mengenal
pemuda ini sebagai orang yang telah membantunya melawan gerombolan orang kasar.
Ada perasaan suka di hatinya
melihat pemuda yang berwajah gagah dan bersikap sopan itu.
"Apakah benar namamu
Marni, Nisanak?" tanya pemuda berahang kokoh. Sepasang matanya menatap
wajah molek gadis di hadapannya penuh selidik.
"Benar. Namaku memang
Marni. Memangnya kenapa?" gadis berpakaian biru malah balik bertanya.
Perasaan heran merayapi hati
gadis ini. Mengapa pemuda berpakaian coklat itu begitu ingin tahu kepastian
namanya?
"Kau... kenal dengan
Wuraji?" pemuda tampan berahang kokoh itu balas bertanya.
"Wuraji...," ucap
Marni lambat-lambat "Aku memang kenal orang yang bernama Wuraji. Dia
memang sahabatku sewaktu kecil. Tapi apakah orang yang kau maksudkan sama
dengan Wuraji yang kukenal, aku tidak yakin. Yang jelas, Wuraji sahabatku itu
mungkin telah tewas."
Ada nada kesedihan dalam
ucapan gadis berpakaian biru itu.
"Mengapa kau begitu yakin
kalau Wuraji sahabatmu itu telah tewas?" selidik pemuda berpakaian coklat
Marni tercenung sejenak. Tidak
langsung menjawab pertanyaan itu.
"Dalam sebuah perjalanan,
dia terlempar ke sungai yang berarus deras. Dan tak pernah kembali"
"Akulah Wuraji sahabatmu
Marni," ucap pemuda berpakaian coklat.
"Apa?!" Marni
membelalakkan sepasang matanya. "Jangan harap kau bisa membohongiku,
Kisanak. Aku tahu betul wajah Wuraji. Wajahnya tidak sepertimu. Memang ada
sedikit kemiripan antara wajahmu dengannya. Tapi, aku yakin kau bukan
Wuraji."
Pemuda berahang kokoh
tersenyum lebar.
"Akulah Wuraji itu,
Marni. Suntara, Ketua Perguruan Kumbang Merah adalah ayahku."
"Kau... kau...."
Marni tergagap.
"Aku selamat, Marni. Dua
orang sakti telah menyelamatkanku dari kematian. Bahkan mengangkatku sebagai
murid. Kau pun kulihat telah jadi pendekar wanita yang lihai. Ceritakanlah
semua pengalamanmu, Marni Dan..., mana Paman Wijaya?"
"Aku tidak tahu,
Kang," kini Marni tidak ragu-ragu lagi kalau pemuda di hadapannya
benar-benar Wuraji. Dan dengan sendirinya perasaan sukanya semakin membesar.
"Dia menyusulmu terjun ke sungai. Dan setelah itu, aku tidak pernah
menemuinya lagi." Wuraji tercenung sejenak.
"Mudah-mudahan saja Paman
Wijaya selamat, Marni." Hanya itu saja yang diucapkan Wuraji.
"Mudah-mudahan,
Kang," harap Marni pula. Suasana jadi hening sejenak setelah gadis
berpakaian biru itu menghentikan kata-katanya.
"O ya, Marni. Aku ingin
mendengar semua pengalamanmu. Perlu kau ketahui, aku pun sampai tidak
mengenalimu lagi tadi. Kau kini telah jadi seorang gadis yang begini lihai
dan... cantik."
Seketika wajah Marni
menyemburat merah. Pujian Wuraji-lah yang menjadi penyebabnya. Sejenak gadis
ini tercenung. Rupanya tengah mengumpulkan segenap ingatannya.
"Sewaktu kau terlempar ke
sungai, Paman Wijaya segera menyusulmu. Karena tidak ada hal lain yang dapat
kulakukan, aku hanya diam menunggu di rakit. Tapi sampai bosan menunggu, kau
dan Paman Wijaya tidak pernah datang. Sementara perutku mulai terasa lapar.
Rasa lapar dan takut membuatku tak mampu menahan perasaan hati. Aku
menangis."
Marni menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas, dan juga mencari-cari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Rupanya suara tangisku
membuat seorang kakek datang. Setelah menceritakan semua yang terjadi kakek itu
lalu mencari kalian. Hebat sekali cara kakek itu mencari, Kang. Dia menggunakan
papan yang agak lebar di bawah tapak sepatunya. Lalu bergerak di atas air.
Meloncat ke sana kemari."
"Hm..., lalu?" tanya
Wuraji menyelak.
''Tak lama kemudian, kakek itu
muncul kembali dengan membawa cerita yang mengejutkan. Katanya kau dan Paman
Wijaya mungkin sudah tewas, terseret air terjun."
"Hm...!" Wuraji
bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Rupanya kakek itu
kasihan padaku. Lalu mengajakku ke tempat tinggalnya. Kemudian mengajarkan
ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya. Kakek itu ternyata memiliki ilmu yang
tinggi, Kang. Terutama sekali ilmu meringankan tubuhnya. Kakek itu berjuluk
Camar Laut Merah. "
Wuraji menganggukkan
kepalanya. Dari kedua orang gurunya, dia telah mendengar tokoh yang berjuluk
Camar Laut Merah. Seorang tokoh persilatan aliran putih yang memiliki ilmu
kepandaian amat tinggi, dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Tidak kalah
dengan Monyet Tanpa Bayangan, gurunya.
"Sepuluh tahun aku
dididiknya, Kang. Lalu aku pamit untuk mencari musuh besar kita. Membalas
dendam kematian ayahmu, orang yang telah menanam budi besar padaku."
Wuraji tercenung. Memang
pemuda berpakaian coklat ini telah mengetahui cerita itu. Ayahnya telah
menceritakan padanya kalau Marni adalah anak yang berhasil ditemukan ayahnya,
di sebuah desa yang telah hancur lebur dijarah perampok. Kala itu Marni baru
berusia lima tahun. Ayahnya lalu membawa Marni karena sudah tidak punya kerabat
lagi.
"Sekarang kau yang ganti
bercerita, Kang. Aku ingin mendengar semua pengalamanmu."
Wuraji pun menceritakan semua
pengalamannya. Tapi sama sekali tidak memberitahukan kalau kedua gurunya adalah
pentolan-pentolan kaum sesat.
"Sekarang ke mana
tujuanmu, Kang?" tanya Marni ketika pemuda berpakaian coklat itu
menyelesaikan ceritanya. Sepasang matanya menatap wajah pemuda itu.
"Hhh...!" Wuraji menghela
napas berat. "Tujuan utamaku adalah mencari pembunuh ayah dan seluruh
kakak seperguruanku..., dan membalaskan kematian mereka.Tapi...."
"Kenapa, Kang?"
Marni merasa heran melihat keragu-raguan yang membayang di wajah pemuda itu.
"Guru-guruku menyuruh
mencari kakak seperguruanku...."
"Apa keperluannya,
Kang?"
"Mereka ingin aku belajar
hidup darinya...," pelan dan berdesah suara Wuraji.
"Belajar hidup?!"
dahi Marni bekernyit. "Aku tidak mengerti maksud ucapan Kakang."
Wuraji terdiam. Pemuda
berahang kokoh ini tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sementara Marni
masih terus menunggu jawaban dengan penuh rasa ingin tahu.
"Guru-guruku adalah
tokoh-tokoh sesat. Dan mereka ingin agar aku jadi penjahat juga. Tapi, tetap
saja aku tidak bisa. Sehingga mereka menyuruhku bergabung dengan kakak
seperguruanku. Maksud mereka, agar aku dapat meniru-niru kelakuan kakak
seperguruanku."
"Ih...!" Marni
berseru kaget. "Rencana gila!
Siapakah nama kakak
seperguruanmu itu, Kang?"
"Aku sendiri belum pernah
berjumpa dengannya. Tapi, guruku memberi tahu julukannya, Siluman Tangan
Maut."
"Siluman Tangan
Maut?!" Marni berseru kaget "Dia adalah seorang tokoh hitam yang amat
jahat dan kejam!"
"Kau mengenalnya,
Marni?" Wuraji ingin tahu.
"Kenal sih tidak,"
Marni menggelengkan kepalanya. ''Tapi, sepak terjangnya sudah lama kudengar.
Dia telah membuat kekacauan di dunia persilatan. Sudah tak terhitung lagi
orang-orang yang mati di tangannya. Kau tahu, Kang? Rombongan berkuda yang kita
tolong tadi adalah orang kaya yang melarikan diri dari tempat tinggalnya karena
takut pada Siluman Tangan Maut. Padahal orang kaya itu tahu kalau di hutan ini
ada segerombolan perampok yang akan menghadang perjalanannya. Aku sendiri
mengetahuinya secara kebetulan. Mendengar percakapan orang yang mengawal orang
kaya itu."
"Ah...! Sejahat itukah
dia?" desah Wuraji penuh rasa terkejut
Marni menganggukkan kepalanya.
"Dan kau..., menuruti
saja saran guru-gurumu untuk belajar hidup dari orang seperti dia?!"
Kini ganti Wuraji yang
menganggukkan kepalanya.
"Gila!" desis Marni
tajam. "Mengapa kau mau saja melaksanakan perintah mereka, Kang?!
Kau ingin jadi penjahat?!
Ah...! Kalau saja ayahmu mendengar semua ini, mungkin dia akan bangkit dari
liang kuburnya.''
Wuraji tercenung mendengar
ucapan berapi-api itu. Kepala pemuda ini tertunduk dalam.
"Aku terpaksa,"
sahut Wuraji. Suaranya terdengar mendesah.
"Maksudmu...? Guru-gurumu
memaksa?!" selak Marni cepat "Jangan khawatir, Kang. Aku ada di
sampingmu. Kita tentang kesewenangwenangan mereka!"
"Kau salah paham,
Marni," kembali Wuraji menggelengkan kepalanya. "Guru-guruku sama
sekali tidak memaksa."
"Aku semakin tidak
mengerti maksudmu, Kang."
"Aku terpaksa menerima
usul mereka hanya sekadar, yahhh...! Kuanggap ini sebagai balas budi atas
kebaikan mereka yang telah susah payah merawat dan mendidikku."
"Lalu..., hanya untuk
membalas budi mereka, kau rela jadi penjahat...?" desak Marni penasaran.
"Siapa yang ingin jadi
penjahat?!" bantah Wuraji cepat
"Heh...?!" Marni
terkejut "Bukankah kau sendiri yang mengatakannya tadi?"
"Aku tidak berkata
demikian. Aku hanya mengatakan, guru menyuruh untuk menjumpai kakak
seperguruanku dan belajar hidup darinya. Kalau aku tetap tidak bisa, tidak jadi
masalah. Yang penting, hati ini tenang, karena telah menunaikan perintah
mereka."
"Jadi...?" wajah
Marni mulai berseri kembali.
"Kewajibanku hanya
menemui kakak seperguruanku. Masalah mengikuti jejaknya atau tidak, tergantung
pada kemauanku sendiri."
"Kalau begitu..., aku
ikut, Kang," ucap Marni sambil tersenyum gembira. "Aku juga ingin
tahu, seperti apakah tokoh yang menggemparkan itu!"
***
Wuraji dan Marni melangkah
perlahan menuju sebuah bangunan besar berhalaman luas yang dikelilingi pagar
tembok tinggi dan kokoh. Di bagian depan pintu gerbang, nampak berdiri dua
orang kasar berwajah angker. Sebatang golok nampak tergantung di pinggang
mereka.
Dua orang berwajah kasar itu
mengerutkan alisnya, begitu melihat sepasang muda-mudi yang melangkah mendekati
pintu gerbang.
"Berhenti...!" seru
penjaga yang berwajah bopeng, seraya memasang wajah angker, begitu jarak di
antara mereka tinggal dua tombak lagi.
Wuraji dan Marni langsung
berhenti melangkah.
"Siapa kalian?! Dan
mengapa kalian kemari?!" tanya penjaga yang berkumis jarang. Tangan
kanannya bergerak memelintir kumisnya yang hanya beberapa lembar saja.
Sementara sepasang matanya melirik ke arah Marni. Merayapi wajah molek dan
tubuh montok menggiurkan di hadapannya.
Marni langsung membuang muka
melihat tingkah laki-laki berkumis jarang yang memuakkan itu.
Melihat sikap Marni, wajah
laki-laki berkumis jarang itu merah padam karena marah. Wuraji yang melihat hal
ini jadi merasa khawatir akan terjadi keributan. Dan itu tidak diinginkannya.
Maka buru-buru dia melangkah maju.
"Aku Wuraji. Kedatanganku
kemari untuk bertemu Siluman Tangan Maut."
Ucapan pemuda berahang kokoh
itu terbukti ampuh. Mendengar julukan itu disebut seketika wajah laki-laki
berkumis jarang berubah hebat
"Apa keperluanmu menemui
ketua kami?" tanya laki-laki yang berwajah bopeng. Kali ini suaranya
terdengar lunak. Tidak keras dan kasar seperti sebelumnya.
"Aku adalah adik
seperguruannya," sahut Wuraji pelan
"Ahhh...!"
Tentu saja kedua penjaga itu
terkejut bukan main mendengarnya. Beberapa saat lamanya mereka terlongong
bingung. Menilik sikap dan gerak-geriknya, sepasang muda-mudi ini bukanlah
termasuk golongan kaum sesat. Lalu mengapa pemuda berpakaian coklat ini mengaku
adik seperguruan Siluman Tangan Maut?
"Siapa gurumu?"
tanya laki-laki berkumis jarang. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan
"Guruku berjuluk Ular
Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan."
Kedua penjaga itu tercenung
sejenak. Mereka memang tidak pernah tahu asal-usul ketua mereka. Maka keduanya
tidak bisa memastikan kebenaran ucapan Wuraji.
"Kalian tunggu
sebentar," ucap laki-laki berwajah bopeng. "Aku hendak memberi tahu
kedatangan kalian pada ketua."
Setelah berkata demikian, dia
bergegas melangkah ke dalam. Pintu gerbang memang sengaja tidak dikunci
sehingga laki-laki berwajah bopeng itu tidak mengalami kesulitan ketika masuk
ke dalam.
Wuraji dan Marni terpaksa
menunggu dengan ditemani penjaga yang berkumis jarang. Cukup lama juga sepasang
muda-mudi itu menunggu, sebelum akhirnya laki-laki berwajah bopeng muncul
kembali.
"Kalian berdua disuruh
masuk," ucap laki-laki itu mempersilakan.
Tanpa merasa ragu-ragu sedikit
pun, Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Dan begitu sampai di halaman yang
luas, sepasang muda-mudi ini melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak seperti
sedang menunggu. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Wajah Wuraji dan Marni kontan
berubah begitu mengenali sosok tubuh itu. Seorang laki-laki berusia sekitar
empat puluh lima tahun dan berwajah meruncing ke depan. Pakaiannya adalah
sebuah rompi berwarna kuning. Tangan kirinya menggenggam sebuah trisula.
Baik Wuraji maupun Marni kenal
betul siapa laki-laki berompi kuning ini. Dialah orang yang telah membunuh
Ketua Perguruan Kumbang Merah, ayah Wuraji! Laki-laki inilah yang dikenal oleh
Wuraji dan Marni bernama Wisanggeni.
Memang sepasang muda-mudi ini
mendengar nama itu dari mulut almarhum ayah Wuraji.
Meskipun kemarahan yang amat
sangat melanda hatinya, tapi Wuraji masih mampu menahan diri untuk tidak
terburu-buru membuat perhitungan. Sebuah dugaan lain yang berkelebat di
benaknya, membuatnya masih mampu menahan diri.
Suara gemeretak di sebelahnya,
menyadarkan Wuraji kalau bukan hanya dirinya saja yang dilanda amarah. Ada
seorang lagi yang juga tengah diamuk dendam. Orang itu adalah Marni. Dan untuk
mencegah gadis berpakaian biru itu tidak langsung menyerang, maka Wuraji segera
berbisik pelan di telinga gadis itu.
''Tahan dulu amarahmu, Marni.
Aku ingin tahu, apakah dia yang berjuluk Siluman Tangan Maut. Menurut guruku,
nama kakak seperguruanku adalah Pati Gala."
Mendengar keseriusan ucapan
Wuraji, Marni tidak berani membantah. Dia tahu betul arti penting hal itu bagi
Wuraji. Ditariknya napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk
meredakan gejolak amarah yang seperti akan memecahkan dadanya.
"Kau yang bernama
Wuraji?" tanya laki-laki berompi kuning yang bukan lain adalah Wisanggeni.
Wuraji hanya menganggukkan
kepalanya. Dia sengaja tidak menjawab. Khawatir kalau-kalau suaranya akan
terdengar bergetar.
"Benar kau murid Ular
Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan?" tanya Wisanggeni lagi.
Kembali Wuraji menganggukkan
kepalanya.
"Apakah gadis itu saudara
seperguruan kita juga?"
Wuraji menggelengkan
kepalanya.
"Kau tidak bisa bicara,
Wuraji?" Wisanggeni mulai jengkel, begitu menyadari kalau pertanyaannya
hanya dijawab dengan anggukan dan gelengan kepala. "Bicaralah sebelum
hilang kesabaranku. Dan kau kubunuh! Ingat, meskipun kau adik seperguruanku,
aku tidak segan-segan membunuhmu!"
Tidak nampak ada perubahan
pada wajah Wuraji.
"Aku ingin menanyakan
sesuatu. Boleh?" terdengar kaku suara pemuda berahang kokoh ini. Padahal
Wuraji sudah berusaha keras untuk melunakkan suaranya.
*****
Wisanggeni mengerutkan
alisnya. Rupanya laki-laki berpakaian rompi kuning ini menangkap nada suara
yang terdengar agak kasar itu. Kelakuan orang yang mengaku sebagai adik
seperguruannya ini begini aneh sehingga membuatnya curiga. Dengan sendirinya,
seluruh otot-otot dan urat-urat syaraf di tubuhnya pun menegang. Apalagi ketika
melihat wanita berpakaian biru yang sejak tadi menundukkan kepala saja. Tak
sedikit pun mengangkat kepalanya.
"Tanyalah apa yang ingin
kau tanyakan." Wisanggeni menyahut tak kalah kaku.
"Apakah kau yang berjuluk
Siluman Tangan Maut dan bernama Pati Gala?"
"Benar. Akulah orang yang
kau cari," sahut Wisanggeni dingin. ''Tapi sekarang namaku bukan lagi Pari
Gala. Tapi Wisanggeni."
"Mengapa?!" tanya
Wuraji dengan suara kian gemetar karena dugaan yang semakin kuat kalau orang di
hadapannya adalah musuh besarnya.
"Karena musuh besarku
telah berhasil kubunuh. Dulu aku bersumpah, selama belum berhasil membunuh
musuh besarku, nama asliku tidak kuperkenalkan." Siluman Tangan Maut
memberi tahu.
Wuraji mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini dia mengerti. Rupanya Pati Gala hanya nama samaran.
"Siapakah musuh besarmu,
Wisanggeni?" Wuraji bertanya lagi, ingin memastikan.
"Suntara."
"Kalau begitu, mampuslah
kau!"
Terdengar bentakan nyaring,
yang bukan hanya membuat Siluman Tangan Maut terkejut. Tapi juga Wuraji.
Bentakan itu ternyata keluar
dari mulut Marni. Dan seiring dengan keluarnya suara bentakan, gadis berpakaian
biru ini sudah menyerang Siluman Tangan Maut dengan sebuah serangan mematikan.
Jari-jari telunjuk kedua
tangan Marni menegang kaku. Dan langsung menusuk cepat ke arah tenggorokkan
Wisanggeni alias Pati Gala.
Ciiit, ciiit...!
Suara mencicit nyaring
terdengar mengiringi tibanya totokan-totokan Marni. Memang hebat bukan main
serangan gadis berpakaian biru ini Apalagi dilakukan dengan tiba-tiba.
Untung, Siluman Tangan Maut
sudah sejak tadi bersikap waspada. Sehingga meskipun serangan Marni tiba begitu
cepat, dia mampu bergerak lebih cepat lagi.
Wisanggeni menarik kaki
kanannya ke belakang, seraya mendoyongkan tubuh, sehingga totokan-totokan itu
mengenai tempat kosong. Sejengkal di depan wajahnya.
Marni yang tengah diamuk
dendam, tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan totokannya luput,
kaki kanannya mencuat ke arah perut, dengan sebuah tendangan lurus.
Kali ini Siluman Tangan Maut
tidak mengelak. Tapi menangkis dengan membacokkan tangan kanannya ke bawah.
Takkk!
Terdengar suara berdetak keras
seperti beradunya dua buah benda keras, tatkala tangan dan kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam penuh itu berbenturan.
Marni meringis begitu
merasakan kakinya sakit bukan main. Gadis berpakaian biru ini terhuyung-huyung
dua langkah ke belakang. Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Sementara Siluman
Tangan Maut hanya tergetar saja kedua tangannya.
"Keparat! Kenapa kau
menyerangku, Gadis Liar?!" bentak Wisanggeni seraya melempar tubuh ke
belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara sebelum mendarat ringan di
tanah.
Sepasang mata gadis ini
berapi-api memandang Siluman Tangan Maut.
“Aku adalah murid musuh
besarmu!” tandas Marni keras.
"Ooo..., jadi kau murid
Suntara?" kalem dan tenang suara Siluman Tangan Maut
''Tidak usah banyak
bicara!" sergah Marni keras. "Yang jelas, kau harus membayar semua
kekejianmu dengan nyawa!"
Setelah berkata demikian,
Marni kembali melancarkan serangan. Tubuh gadis berpakaian biru ini melayang di
udara, melancarkan tendangan terbang.
Wisanggeni hanya tersenyum
mengejek. Dari benturan tadi, dia sudah bisa menebak kalau tenaga dalamnya
masih lebih unggul daripada tenaga dalam Marni. Oleh karena itu, dia tidak mau
mengelak. Laki-laki berompi kuning ini sengaja akan menggunakan kelebihannya
untuk mendesak gadis berpakaian biru ini.
Sebagai orang yang telah
kenyang makan asam garam dunia persilatan, dan puluhan bahkan mungkin ratusan
kali bertempur menghadapi lawan tangguh, Wisanggeni dapat menduga kalau
tendangan terbang itu kemungkinan besar akan datang beruntun. Maka, dia pun
bersiap siaga.
Dugaan laki-laki berompi
kuning ini ternyata tepat. Serangan Marni ternyata tidak hanya sekali saja.
Mula-mula yang datang lebih dulu adalah kaki kanan, ke arah leher Wisanggeni.
Siluman Tangan Maut segera
menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan
Dukkk!
Saking kuatnya tendangan yang
dilakukan Marni, apalagi ditambah dengan tenaga luncurnya, menyebabkan tenaga
serangan itu jadi berlipat ganda. Maka meskipun telah mengerahkan seluruh
tenaganya, tak urung kuda-kuda Wisanggeni tergempur. Bahkan kedua tangannya
goyah.
Dan di saat itulah, kaki kiri
Marni meluncur tiba! Cepat bukan main datangnya serangan yang kedua ini.
Serangan ini memang merupakan serangan beruntun. Tapi, masih lebih cepat lagi
gerakan Wisanggeni. Laki-laki berompi kuning ini segera menghentakkan kedua
tangannya ke bawah.
Plakkk!
Marni meringis. Kaki kirinya
terasa sakit bukan main. Tangkisan yang dilakukan Siluman Tangan Maut memang
keras sekali. Meskipun begitu, gadis ini masih sempat mempertunjukkan
kelihaiannya. Seraya mengeluarkan pekik melengking nyaring, tubuhnya melenting
ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat ringan tanpa suara
di tanah, walaupun agak terhuyung.
Terdengar suara gemeretak
ketika Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi. Laki-laki berompi kuning ini
memang murka bukan main. Maka begitu melihat Marni menghentikan serangan, dia
pun balas menyerang.
***5
"Hiyaaa...!"
Sekali menyerang, Siluman
Tangan Maut sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin Puyuh'. Kaki
kanannya melakukan tendangan miring bertubi-tubi ke arah perut, dada, dan
leher. Cepat bukan main tendangan beruntun itu. Angin serangannya pun
menimbulkan suara menderu-deru yang membuat batu-batu kecil berpentalan tak
tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Marni tidak berani bertindak
gegabah. Gadis berpakaian biru ini sadar kalau serangan lawan amat berbahaya.
Tambahan lagi dia belum mengetahui perkembangan gerakan lawan. Maka dia tidak
berani menangkis. Marni langsung melompat mundur ke belakang, sehingga
tendangan tadi mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di depan tubuhnya.
Tapi Wisanggeni yang tengah
murka, tidak mau memberi kesempatan lagi. Begitu serangannya berhasil
dielakkan, dia pun kembali melancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian, kedua
tokoh ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Tentu saja keributan yang
terjadi, segera mengundang perhatian anak buah Siluman Tangan Maut. Sebentar
saja tempat itu telah dikurung belasan orang berwajah kasar. Tapi mereka sama
sekali tidak berani bertindak, kalau tidak diperintah Wisanggeni.
Wuraji memperhatikan jalannya
pertarungan dengan perasaan cemas bukan main. Di dalam dada pemuda berpakaian
coklat ini tengah terjadi pertentangan batin yang hebat. Sungguh dia tidak
menyangka kalau kakak seperguruan yang belum pernah dilihatnya adalah pembunuh
ayah dan kakak-kakak seperguruannya.
Hal inilah yang membuat pemuda
berpakaian coklat ini terpaku untuk beberapa saat Tak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu pertarungan
antara Marni dan Siluman Tangan Maut berlangsung cepat. Kedua orang ini memang
sama-sama memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Hal ini tidak aneh. Karena
Wisanggeni adalah murid kesayangan tokoh sesat yang memiliki ilmu meringankan
tubuh luar biasa, dan berjuluk Monyet Tanpa Bayangan. Begitu pula halnya dengan
Marni.
Karena pertarungan yang
berjalan cepat itulah, maka dalam waktu singkat tiga puluh jurus telah berlalu.
Dan mulai tampak kalau Marni bukan tandingan Siluman Tangan Maut yang memiliki
kepandaian menggiriskan.
Marni terdesak hebat. Memang
gadis berpakaian biru ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah dalam
hal tenaga dalam, kecepatan gerak, maupun pengalaman bertarung.
Lewat tiga puluh lima jurus,
Marni hanya mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang
mengirim serangan balasan.
"Haaat..!"
Marni berteriak keras. Dan
seiring dengan teriakannya, tubuhnya melenting jauh ke belakang, lalu bersalto
beberapa kali di udara. Tapi Wisanggeni tidak mau memberinya kesempatan. Begitu
melihat tubuh lawannya melenting, segera dia melompat mengejar. Siluman Tangan
Maut tidak mau memberi kesempatan pada Marni untuk memperbaiki posisi.
Tapi kali ini Wisanggeni salah
perhitungan. Sambil bersalto, tangan Marni bergerak cepat ke arah punggung. Dan
begitu serangan yang memburunya menyambar tiba, tahu-tahu pedang gadis ini
melesat cepat memapak.
Wisanggeni terkejut bukan main
melihat hal ini. Sebelum serangannya tiba, sudah dapat dipastikan kalau
tubuhnya akan terlebih dulu tertembus pedang lawan. Oleh karena itu, buru-buru
serangannya dibatalkan.
Bukan hanya itu saja yang
dilakukan laki-laki berompi kuning ini. Seraya menarik pulang serangannya,
tubuhnya dilempar ke samping kiri, sehingga sabetan pedang Marni mengenai
tempat kosong. Berbareng dengan itu, tangan kanannya dikibaskan.
Takkk!
Pedang Marni terlempar jauh,
ketika tangan Wisanggeni mengenai pergelangan tangan kirinya. Padahal kibasan
tangannya hanya menyerempet saja.
Wuraji tentu saja terperanjat
melihat hal itu. Kini pemuda berahang kokoh ini sudah mengambil keputusan untuk
membantu Marni. Apa pun yang terjadi, dia harus membuat perhitungan dengan
orang yang telah membunuh ayah dan kakak-kakak seperguruannya.
Tapi sebelum Wuraji menerjang,
anak buah Wisanggeni yang sejak tadi hanya mengurung, tidak tinggal diam.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar menyilaukan
berpendar tatkala anak buah Siluman Tangan Maut mencabut senjata masing-masing.
Dan secepat senjata mereka terhunus, secepat itu pula diayunkan ke arah pemuda
berpakaian coklat itu. Seketika itu juga, hujan senjata berkelebatan ke arah
berbagai bagian tubuh Wuraji
Terpaksa pemuda berahang kokoh
ini mengurungkan niat hendak menolong Marni, ketika melihat berkelebatannya
senjata-senjata lawan. Dengan gerakan yang lincah laksana kera, Wuraji berhasil
mengelakkan semua serangan.
Tubuhnya berkelebatan di
antara hujan senjata tajam yang mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Sebaliknya, setiap kali tangan
atau kaki putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini bergerak, sudah dapat
dipastikan ada yang bergelimpangan di tanah tanpa nyawa.
Sebetulnya Wuraji tidak
berniat membunuh keroco-keroco seperti mereka. Tapi, karena tahu lawan
berjumlah banyak, dan lagi keadaan Marni sudah mengkhawatirkan, maka pemuda
berpakaian coklat ini tidak mempunyai pilihan lain lagi.
Suara jerit kematian terdengar
susul-menyusul mengiringi bertumbangannya tubuh-tubuh tanpa nyawa.
Siluman Tangan Maut
menggertakkan gigi begitu melihat anak buahnya bertumbangan satu persatu. Dan
seiring dengan kemarahannya yang bergolak, serangannya pun jadi kian dahsyat.
Dan akibatnya segera dirasakan Marni. Gadis berpakaian biru ini merasakan
serangan-serangan Wisanggeni semakin tambah sulit dibendung.
Tentu saja Wuraji pun tahu
keadaan yang dialami Marni. Maka dia segera bergerak menerobos kepungan, dan
langsung melompat menerjang musuh besarnya.
Begitu Wuraji ikut campur
tangan, keadaan langsung berubah. Kini Marni tidak mengalami tekanan berat
lagi. Malah sebaliknya, Siluman Tangan Maut yang kerepotan.
Wuraji kini tidak
sungkan-sungkan lagi mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ada dalam benaknya
hanya satu. Membalas dendam kepada pembunuh ayah dan saudara-saudara
seperguruannya.
Wisanggeni menggertakkan gigi.
Kini dia harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi kedua lawannya.
Kepandaian kedua orang muda itu tidak berselisih jauh dengannya. Tapi, dia
lebih menitikberatkan serangannya pada Marni.
Memang pemuda berpakaian
coklat itu memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Marni. Tapi, ada satu
kekurangan pada Wuraji. Semua ilmu yang dimilikinya, dimiliki Siluman Tangan
Maut. Dan dengan sendirinya Wisanggeni tahu cara mengatasinya.
Berbeda dengan Marni. Gadis
berpakaian biru ini memiliki ilmu-ilmu yang sama sekali tidak dikenalnya.
Itulah sebabnya mengapa
Siluman Tangan Maut lebih memperhatikan setiap serangan gadis itu ketimbang
serangan yang dikirim Wuraji
Begitu bertarung dengan
Siluman Tangan Maut, Wuraji baru sadar kalau ada beberapa ilmu yang tidak
dimilikinya. Di antaranya adalah 'Tendangan Angin Puyuh' yang merupakan ilmu
andalan Ular Kaki Seribu. Dan juga jurus 'Kera', milik Monyet Tanpa Bayangan
Kini pemuda berpakaian coklat
ini pun sadar kalau guru-gurunya tidak menurunkan seluruh ilmu-ilmu yang mereka
miliki. Tapi Wuraji tidak sempat memikirkan hal itu. Seluruh pikirannya
dipusatkan untuk merobohkan kakak seperguruannya secepat mungkin
Hebat bukan main pertarungan
antara ketiga orang sakti itu. Suara angin menderu-deru dan bercicitan
terdengar meningkahi pertarungan. Batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah,
dan tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan debu pun mengepul tinggi ke udara.
Tapi lewat lima puluh jurus,
Siluman Tangan Maut mulai terdesak.
"Haaat...!"
Laki-laki berompi kuning
berteriak keras menggelegar. Sesaat kemudian, di tangan kanannya telah
tergenggam trisula yang tadi ditancapkannya di tanah, sewaktu Marni melompat
menyerangnya. Tahu akan kelihaian Wisanggeni, apalagi dengan senjata andalan di
tangan, Wuraji tidak berani bertindak ceroboh. Cepat dia mengeluarkan senjata
andalannya yang berupa sepasang tombak pendek. Bahkan Marni pun telah mengambil
pedangnya yang tadi telah terlempar ke tanah.
Pertarungan kembali terjadi.
Kali ini lebih seru dari sebelumnya, karena kedua belah pihak telah
mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Suara bercicitan, mendesing, dan
mengaung, menyemaraki pertempuran.
Semua anak buah Siluman Tangan
Maut yang sejak tadi sudah menyingkir, menjauhi pertempuran, kini bergerak
semakin menjauh. Mereka khawatir terkena serangan nyasar. Jangankan terkena
telak, tersambar angin serangannya saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka
ke alam baka.
Pertarungan berlangsung cepat.
Sehingga tak terasa lima puluh jurus lagi telah berlalu. Dan lagi-lagi,
Wisanggeni harus menelan kenyataan pahit. Dia tetap tidak mampu mengatasi
lawan-lawannya.
Semakin lama keadaan Siluman
Tangan Maut semakin terdesak. Kini dia hanya mampu mengelak. Sesekali
menangkis, dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.
Wisanggeni menggertakkan gigi.
Berusaha menguras seluruh kemampuannya. Tapi karena lawan terlalu kuat, semua
yang dilakukannya tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Laki-laki berompi kuning ini tetap saja terdesak hebat
"Haaat..!"
Seraya mengeluarkan pekikan
melengking nyaring, Marni melompat ke atas. Dan laksana seekor burung garuda
menerkam mangsa, dari atas, tubuhnya menukik deras ke bawah. Pedang di
tangannya ditusukkan cepat ke arah dada.
Hati Siluman Tangan Maut
tersekat. Apalagi pada saat yang sama, Wuraji juga mengirim serangan tak kalah
dahsyat. Sepasang tombak pendek pemuda berpakaian coklat itu berputaran,
sebelum akhirnya menotok deras ke arah ulu hati dan pusar.
"Hih...!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Wisanggeni segera membanting tubuh di tanah, dan langsung bergulingan menjauh.
Tapi Wuraji dan Marni mana mau
membiarkan musuh besar mereka lolos? Tanpa membuang-buang waktu, mereka
langsung mengejar tubuh laki-laki berompi kuning itu. Dan langsung menghujani dengan
serangan-serangan maut
Kini Siluman Tangan Maut jadi
sibuk mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak ada jalan lain lagi baginya
untuk menyelamatkan selembar nyawanya kecuali terus bergulingan di atas tanah.
Tapi, sampai berapa lama dia bisa bertahan seperti ini?
Sebuah pemandangan menarik pun
terlihat Tubuh Siluman Tangan Maut yang terus bergulingan. Sementara Wuraji dan
Marni berusaha keras menyarangkan serangan, Menghujani tubuh yang bergulingan
dengan serangan-serangan mematikan.
Sambil terus bergulingan,
Wisanggeni memutar otaknya. Sebagai orang yang kenyang pengalaman bertempur,
laki-laki berompi kuning ini sadar kalau dirinya berada dalam keadaan
berbahaya. Kemungkinan untuk terkena sasaran serangan lawan, besar sekali. Dia
harus cepat-cepat membebaskan diri, kalau tidak ingin celaka. Tapi, bagaimana
caranya?
Sampai beberapa saat lamanya,
Siluman Tangan Maut terus bergulingan, sambil memutar trisula di atas tubuh
untuk melindungi selembar nyawanya. Benaknya terus berputar untuk mencari jalan
agar bebas dari keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Desss!
Hati Siluman Tangan Maut
tersekat ketika sebuah tendangan Marni tepat mengenai pergelangan tangannya.
Tak pelak lagi, trisulanya pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh. Di
saat itulah pedang di tangan gadis berpakaian biru itu dan sepasang tongkat
Wuraji menyambar deras ke arah tubuhnya.
Sepasang mata Wisanggeni
terbelalak lebar. Dia sudah berada dalam posisi yang benar-benar terjepit.
Tidak ada jalan lagi baginya untuk mengelak.
Tapi di saat gawat bagi
keselamatan nyawa Siluman Tangan Maut tiba-tiba berkelebat sosok bayangan
kuning keemasan dan hitam memapak serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
Terdengar suara benturan keras
berkali-kali, disusul dengan terlemparnya tubuh Wuraji dan Marni ke belakang.
Sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Dada pun terasa sesak bukan main. Bahkan
tangan yang terbentur itu bagaikan patah-patah. Tanpa dapat dicegah lagi,
senjata mereka pun terlepas dari genggaman.
***
Wuraji dan Marni menatap dua
sosok tubuh yang berdiri membelakangi Siluman Tangan Maut yang kini mulai
bergerak bangkit. Seketika wajah pemuda berahang kokoh itu memucat begitu
mengenali orang yang telah menggagalkan serangannya dan Marni.
Betapa tidak? Di hadapan
mereka telah berdiri dua orang yang tak lain adalah Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan. Guru-gurunya!
"Guru...," ucap
Wuraji pelan seraya bergerak memberi hormat , Kedua kakek itu hanya mendengus
kasar.
"Untung kami tidak
percaya penuh padamu, Wuraji," Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti. Nada
suaranya terdengar datar. Tidak ada nada penyesalan di dalamnya. "Kalau
tidak, Pati Gala sudah terbunuh."
''Tanpa kau ketahui, kami
mengikuti semua perjalananmu," sambung Ular Kaki Seribu. "Kami lihat
semua kelakuanmu yang benar-benar mengecewakan kami. Seperti menolong rombongan
kereta berkuda."
Wuraji hanya diam. Kepalanya
tertunduk dalam. Sama sekali tidak membantah semua ucapan kedua gurunya.
Sementara Marni menatap kedua kakek itu dengan sepasang mata penuh selidik.
Inikah guru-guru Wuraji? tanyanya dalam hati
"Bagaimana ceritanya
sehingga Guru bisa salah memungut murid? Kedua orang ini punya hubungan erat
dengan orang yang telah kubunuh!" Siluman Tangan Maut angkat suara.
"Karena kecerobohan kami
juga," keluh Monyet Tanpa Bayangan. "Untung saja ilmu-ilmu andalan
kami tidak diturunkan semua."
"Lalu..., apa yang akan
Guru lakukan terhadap murid murtad ini?" Wisanggeni ingin tahu.
"Hanya mengambil kembali
ilmu yang telah kami wariskan kepadanya," jawab Ular Kaki Seribu ringan.
Siluman Tangan Maut tampak
gembira bukan main. Sepasang matanya berbinar-binar. Seulas senyum keji
tersungging di mulutnya. Sementara wajah Wuraji dan Marni berubah pucat. Mereka
tahu apa arti mengambil kembali ilmu yang telah diberikan itu. Membuat pemuda berahang
kokoh ini menjadi orang cacat
Meskipun begitu, Wuraji sama
sekali tidak bersikap seperti hendak menentang atau melawan. Dia tetap diam
dengan kepala tertunduk. Tentu saja Marni jadi cemas bukan kepalang melihat hal
ini .
"Bersiaplah,
Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu seraya melangkah maju. Nada suaranya
terdengar dingin. "Aku akan mengambil kembali ilmu yang telah kami
wariskan kepadamu."
"Silakan, Guru,"
sahut Wuraji dengan suara bergetar.
''Tidak!" Terdengar suara
bentakan tinggi melengking, disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan biru.
Tahu-tahu di depannya, membelakangi Wuraji, berdiri seorang gadis cantik
jelita, berwajah molek, dan bertubuh montok menggiurkan.
"Siapa kau,
Nisanak?!" tanya Ular Kaki Seribu kalem. "Menyingkirlah, sebelum aku
lupa kalau kau hanya seorang gadis ingusan."
"Aku kawan Wuraji!"
jawab Marni ketus. "Dan aku tidak akan membiarkan kau melakukan kekejaman
terhadapnya!"
"Hm...," Ular Kaki
Seribu hanya menggumam pelan. Lalu menatap wajah gadis di hadapannya lekat-lekat.
"Marni! Menyingkirlah...!
Jangan campuri urusanku...!" ujar Wuraji memberi nasihat
''Tidak!" bantah Marni
tegas. "Aku tidak akan menyingkir!"
Berkilat sepasang mata Ular
Kaki Seribu. Laki-laki berpakaian kulit ular ini memang pemarah. Begitu melihat
sikap keras kepala Marni, kemarahannya bergolak seketika.
"Kau membuat kesabaranku
habis, Wanita Sial!" desis Ular Kaki Seribu. Tangan kanannya, dengan
jari-jari terbuka, mengarah ke ubun-ubun Marni. Sebuah serangan keji! Sekali
menyerang, Ular Kaki Seribu telah bermaksud membinasakan gadis berpakaian biru
itu.
Cepat bukan main serangan itu.
Angin yang bercicitan tajam mengiringi tibanya serangan. Tapi, Marni bukan
seorang gadis lemah. Gadis berpakaian biru ini tahu kalau lawan yang
dihadapinya kali ini adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian amat
tinggi. Maka sejak tadi dia sudah bersiap siaga.
Oleh karena itu, begitu
melihat serangan maut Ular Kaki Seribu, Marni tidak menjadi gugup. Cepat
tubuhnya direndahkan, sehingga serangan lawan lewat di atas kepalanya. Semula,
gadis berpakaian biru ini ingin melompat ke belakang, tapi karena di
belakangnya ada Wuraji, maka niatnya diurungkan.
Wuttt..!
Angin bersiutan keras kembali
terdengar, begitu Ular Kaki Seribu melancarkan serangan susulan. Kaki kanannya
mencuat ke arah perut Marni.
Tidak ada jalan mengelak lagi
bagi Marni. Gadis ini tahu jika dia mengelak, maka Wurajilah yang akan terkena
tendangan itu. Karena pemuda berpakaian coklat itu memang berdiri tepat di
belakangnya. Maka gadis ini pun memaksakan diri menangkis tendangan Ular Kaki
Seribu dengan kedua tangan yang disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.
Plakkk...!
Suara keras seperti beradunya
dua batang logam keras, terdengar. Marni meringis. Sekujur tangannya terasa
seperti patah-patah tulangnya. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Bahkan
bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun terlempar keras ke belakang, dan menabrak
tubuh Wuraji. Tak pelak lagi, sepasang muda-mudi itu jatuh saling tumpang
tindih.
Dan sebelum Marni sempat
berbuat sesuatu, Ular Kaki Seribu telah kembali melancarkan serangan. Kaki
kirinya menendang ke arah kepala gadis itu.
Wuraji terperanjat ketika
melihat bahaya maut yang mengancam keselamatan gadis berpakaian biru itu.
Pemuda berpakaian coklat ini tahu betul kedahsyatan tendangan laki-laki bermuka
kuda itu. Jangankan kepala manusia, sebongkah batu karang yang keras pun akan
hancur lebur terkena tendangan itu.
Wuraji tidak bisa menahan diri
lagi melihat gadis yang diam-diam mulai memikat hatinya terancam maut
"Guru...!
Jangan...!" teriak Wuraji keras. Dan dalam kekhawatiran yang amat sangat
akan keselamatan Marni, masih dalam keadaan berbaring, Wuraji memapak tendangan
gurunya dengan tendangan kaki kanan juga.
Dukkk!
Dua buah kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Wuraji meringis, menahan sakit yang
membuat sekujur tulang-tulang kakinya seperti patah-patah. Bukan hanya itu
saja, tubuhnya pun terjengkang ke belakang dan kembali bergulingan di tanah.
Meskipun begitu, akhirnya Marni berhasil diselamatkan.
"Keparat! Kau berani
melawanku, Murid Murtad?!" Ular Kaki Seribu membentak keras. Amarahnya
menggelegak seketika melihat muridnya berani menangkis serangannya.
"Jangan celakakan dia,
Guru...," pinta Wuraji memohon, seraya bangkit berdiri. Tampak mulut
pemuda ini menyeringai ketika berhasil berdiri. Kaki kanannya tidak lagi
menapak dengan kokoh di tanah. Jelas kalau dia merasa kesakitan akibat benturan
tadi.
Ular Kaki Seribu yang tengah
murka mana mau mendengar ucapan muridnya. Sambil
memutar tubuh, kaki kanannya
dikibaskan ke arah kepala muridnya.
Tapi Wuraji sama sekali tidak
berusaha mengelak atau menangkis. Untunglah di saat terakhir, Marni cepat
mencekal tangan pemuda itu dan menariknya ke belakang.
*** 6
Wusss...!
Kibasan Ular Kaki Seribu
mengenai tempat kosong. Lewat sejengkal di depan wajah Wuraji. Rambut dan
sekujur pakaian yang dikenakan pemuda berahang kokoh itu berkibaran keras,
saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam kibasan kaki tadi.
Ular Kaki Seribu meraung murka
melihat serangannya kembali lolos. Sambil mengeluarkan suara teriakan keras
menggelegar, kakek bermuka kuda ini melompat menerjang. Ular Kaki Seribu
melompat tinggi di udara. Dan dari atas, tubuhnya menukik deras bagaikan seekor
burung garuda. Kedua tangannya yang membentuk cakar mengancam ubun-ubun Marni
dan Wuraji.
"Kalau kau tidak mau
menangkis, aku pun tidak akan menangkis serangan itu, Wuraji," bisik Marni
tajam. "Biarlah aku mati penasaran di tangan gurumu"
Wajah Wuraji berubah seketika mendengar
ucapan Marni. Terpaksa dia mengurungkan niatnya yang hendak membiarkan serangan
gurunya. Rupanya dia tidak mau gadis berpakaian biru itu tewas karena dirinya.
"Haaat..!"
Wuraji memekik melengking
nyaring. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar dihentakkan ke depan,
menangkis serangan tangan kiri Ular Kaki Seribu.
"Hyaaa...!" teriak
Marni pula. Tangan kanannya pun dihentakkan menangkis serangan tangan kanan
kakek bermuka kuda itu.
Prattt, prattt..!
Tubuh Wuraji dan Marni
terjengkang ke belakang, dan terbanting keras di tanah. Seluruh tubuh mereka
terasa sakit bukan main. Apalagi tangan yang menangkis. Tangan itu terasa
patah-patah!
Tubuh Ular Kaki Seribu pun
terpental balik ke atas. Namun dengan manis, tubuhnya bersalto beberapa kali di
di udara kemudian mendarat di tanah.
Dengan raut wajah beku, kakek
bermuka kuda ini menghampiri Wuraji dan Marni yang masih belum mampu bangkit.
Sekujur tubuh sepasang muda-mudi itu terasa lemas. Seolah-olah tidak bertulang
sama sekali. Sementara Ular Kaki Seribu telah siap menjatuhkan serangan
mematikan.
Wuraji dan Marni tidak bisa
berbuat apa-apa lagi selain pasrah menerima nasib. Kakek bermuka kuda itu
memang terlalu kuat untuk mereka. Apabila pertarungan akan terjadi, sepasang
muda-mudi itu pasti akan kalah. Tapi kalau saja Wuraji mau melawan
sungguh-sungguh, tidak akan semudah itu Ular Kaki Seribu dapat merobohkan
mereka berdua.
Namun sebelum Ular Kaki Seribu
menjatuhkan tangan maut, terdengar sebuah seruan cukup keras yang menyindirnya.
"Sebuas-buasnya seekor
harimau, belum pernah kudengar memakan anaknya sendiri. Tapi sekarang, aku
melihat ada seorang guru yang begitu tega hendak membunuh murid yang tidak mau
melawannya."
Ular Kaki Seribu menoleh ke
arah asal suara dengan wajah merah padam. Sepasang matanya berkilat memancarkan
hawa maut. Dia ingin tahu, siapa orang yang telah berani menyindirnya.
Dalam jarak sekitar lima
tombak di samping kirinya, berdiri dua sosok tubuh. Sosok pertama adalah
seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sebuah guci arak
yang terbuat dari perak tersampir di punggungnya.
Sedangkan sosok kedua adalah
seorang wanita berpakaian putih berambut panjang terurai. Sebatang pedang
tergantung di punggungnya.
Sekali lihat saja, Ular Kaki
Seribu tahu kalau orang yang tadi menyindirnya adalah pemuda berambut putih
keperakan itu. Suara yang tadi didengarnya, jelas-jelas suara seorang lelaki.
Oleh karena itu, perhatiannya lebih dicurahkan pada pemuda berambut putih
keperakan.
Mendadak jantung kakek bermuka
kuda ini berdebar tegang, tatkala teringat pada seorang tokoh yang
menggemparkan dunia persilatan belum lama ini. Tokoh itu mempunyai ciri-ciri
yang mirip dengan pemuda di hadapannya.
"Siapa kau, Keparat?!
Mengapa mencampuri urusanku?!" bentak Ular Kaki Seribu keras.
"Aku Arya, orang yang
kebetulan lewat. Dan sudah jadi tekadku untuk ikut campur bila melihat tindak
kejahatan berlangsung di depan mataku!" sahut pemuda berambut putih
keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Hm..., kalau begitu,
kaulah kiranya orang berjuluk Dewa Arak, Manusia Usil?!" Ular Kaki Seribu
mulai yakin dengan dugaannya. Memang telah menjadi rahasia umum kalau Dewa Arak
mempunyai nama asli Arya.
Tapi Dewa Arak sama sekali
tidak tampak marah mendengar ejekan itu. Bahkan pemuda berambut putih keperakan
ini diam-diam merasa geli mendengar makian Ular Kaki Seribu.
"Julukan yang terlalu
berlebihan, Kek," jawab Arya merendah. Masih tetap tersenyum.
"Orang lain boleh gentar
mendengar julukanmu, Dewa Arak. Tapi jangan harap kalau aku, Ular Kaki Seribu
akan gentar. Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Sudah lama aku menanti-nanti
kesempatan untuk bertarung denganmu!"
"Hhh...!" Arya
menghela napas panjang. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan
menerima tantangan itu. Memang, Dewa Arak sebenarnya tidak suka mencari
permusuhan. Kalau bisa, dia ingin agar setiap masalah yang dihadapinya dapat
diselesaikan tanpa perkelahian. Apalagi pertumpahan darah.
Tapi kini, pertarungan pasti
tidak bisa dihindari lagi. Ular Kaki Seribu sudah tidak bisa dicegah. Dewa Arak
tahu kalau kakek bermuka kuda ini memiliki kepandaian tinggi. Nama besar kakek
itu sebagai seorang tokoh kaum sesat yang
ditakuti, telah lama
didengarnya. Dan tadi pun dia telah menyaksikan sendiri kelihaian Ular Kaki
Seribu.
Sementara itu Monyet Tanpa
Bayangan dan Siluman Tangan Maut, begitu tahu kalau pemuda berambut putih
keperakan ini adalah Dewa Arak, segera melangkah maju dan berdiri di sebelah
Ular Kaki Seribu. Nama besar Dewa Arak telah lama mereka dengar, tapi baru kali
inilah mereka berkesempatan melihat tokoh muda yang menggemparkan itu.
Arya yang telah dapat
memperkirakan kelihaian kakek bermuka kuda ini, segera menjumput guci araknya.
Kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang
merayap di perut Arya. Kemudian bergerak naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking
nyaring, Ular Kaki Seribu menyerang Dewa Arak. Sekali menyerang, kakek bermuka
kuda ini sudah menggunakan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin Puyuh'.
Ular Kaki Seribu membuka
serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Dewa Arak tidak berani
bertindak gegabah dengan langsung menangkis serangan itu. Tapi dia ingin
mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan lebih dahulu, agar bisa menangkis tanpa
melukai, bila ternyata tenaga dalam kakek itu berada di bawahnya. Dan seperti
biasanya, pemuda berambut putih keperakan ini menggunakan jurus 'Delapan
Langkah Belalang'.
Ular Kaki Seribu terkejut
bukan main tatkala melihat lawannya mendadak lenyap, dan serangannya mengenai
tempat kosong. Sesaat lamanya kakek bermuka kuda ini kebingungan. Baru ketika
merasakan adanya sambaran angin dari arah belakang, dia tahu kalau lawan berada
di belakang, dan tengah melancarkan serangan ke arahnya.
Memang begitu telah berada di
belakang lawan, Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah
tengkuk.
Cepat bukan main serangannya.
Tapi, gerakan Ular Kaki Seribu pun tidak kalah cepat. Segera tubuhnya
dirundukkan, sehingga serangan Arya mengenai tempat kosong. Pada saat yang
bersamaan, kaki kanannya menyapu kaki Dewa Arak sambil memutar tubuh.
"Hih...!"
Arya menjejakkan kakinya.
Sesaat kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dan dari atas, kedua tangannya
meluncur cepat ke arah kepala lawan.
Hebat bukan main serangan Dewa
Arak. Apalagi datangnya begitu mendadak. Tapi, Ular Kaki Seribu kembali
menunjukkan kalau dirinya adalah seorang pentolan tokoh sesat. Tiba-tiba kakek
bermuka kuda ini menghempaskan tubuhnya. Dan dengan bertumpu pada punggung,
tubuhnya berputar. Sesaat kemudian kakinya telah bergerak menangkis serangan
Arya.
Plakkk, plakkk...!
Dengan bantuan tenaga
benturan, Dewa Arak melenting ke udara. Tubuhnya bersalto beberapa kali sebelum
mendarat beberapa tombak dari tempat semula. Pada saat yang bersamaan, Ular
Kaki Seribu pun telah bangkit berdiri. Kini kedua tokoh sakti ini saling tatap
dalam jarak tiga tombak.
Arya menatap Ular Kaki Seribu
penuh takjub. Kini dia mengerti mengapa kakek bermuka kuda ini mendapat julukan
seperti itu. Kecepatan gerak, dan kedahsyatan kakinya memang luar
biasa!
"Kau hebat Dewa
Arak," puji Ular Kaki Seribu seraya menatap tajam wajah Arya.
"Kaulah yang hebat Ular
Kaki Seribu," Arya balas memuji sejujurnya. "Aku harap kau sudi
mengalah dan membiarkan kedua orang muda itu pergi dari sini."
"Mereka harus mati!"
terdengar suara bentakan keras menggelegar. Dan sebelum gema suara itu lenyap,
sesosok tubuh berompi kuning, telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan pun tak
mau ketinggalan. Segera kakek berpakaian kulit beruang ini melangkahkan kaki
menghampiri. Dan sesaat kemudian, telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu dan
Wisanggeni
***
Dewa Arak mengernyitkan
dahinya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau keadaan menguntungkan
pihak lawan. Sekali lihat saja Arya tahu kalau kedua orang yang berada di
sebelah Ular Kaki Seribu, memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata mereka yang
mencorong tajam, merupakan salah satu buktinya.
Seandainya hanya dia dan
Melati yang ada di situ, tidak jadi persoalan bagi Dewa Arak untuk menghadapi
ketiga orang ini. Tapi, karena di situ masih ada Wuraji dan Marni yang tengah
membutuhkan pertolongan, sementara kedua orang itu tengah terluka, membuat Arya
harus berpikir dua kali.
"Melati..., selamatkan
kedua orang muda itu.... Biar aku yang menahan mereka...," pesan Dewa Arak
pada Melati dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Gadis berpakaian putih itu
rupanya mengerti maksud tunangannya. Menyadari posisi lawan yang lebih
menguntungkan. Maka tanpa menunggu disuruh dua kali, Melati melesat cepat
ke arah Wuraji dan Marni.
"Hei...!"
Siluman Tangan Maut
terperanjat. Cepat laksana kilat, tubuhnya berkelebat memburu tubuh Melati yang
telah melesat lebih dulu.
Kejadian seperti ini sudah
diperhitungkan sebelumnya oleh Arya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Memapak tubuh Wisanggeni.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat,
meluncur ke arah tubuh Siluman Tangan Maut. Laki-laki berompi kuning ini kaget
bukan main. Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk memburu Melati. Kemudian
melempar tubuhnya ke samping menghindari serangan Dewa Arak. Dan bergulingan di
tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar dua
pelukan orang dewasa tumbang seketika. Suara hiruk-pikuk terdengar mengiringi
robohnya pohon itu ke tanah. Batangnya hangus. Sementara daun-daunnya layu
mengering.
Dengan wajah sepucat mayat,
Wisanggeni bangkit berdiri. Keringat sebesar biji-biji jagung membasahi
wajahnya. Meskipun begitu, sorot kelegaan memancar dari sepasang matanya. Lega
karena telah berhasil lolos dari maut
Bukan hanya Siluman Tangan
Maut yang terkejut melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak. Ular Kaki
Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan pun terperanjat. Sungguh tidak mereka sangka
kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki pukulan jarak jauh yang
begitu menggiriskan.
Sementara Melati sudah
langsung memanggul tubuh Marni yang sudah terkulai tak berdaya.
"Mari kita
pergi...!" seru gadis berpakaian putih itu pada Wuraji, seraya melesat
dari situ.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Wuraji yang tengah dilanda perasaan bingung ini segera berkelebat
menyusul Melati.
Tapi anak buah Siluman Tangan
Maut tidak tinggal diam. Cepat mereka mencegat lari Melati dan Wuraji. Gadis
berpakaian putih yang tengah diburu waktu ini tidak bertindak tanggung-tanggung
lagi. Segera tangan kanannya bergerak. Dan sesaat kemudian di tangan gadis ini
telah tergenggam sebatang pedang.
Secepat pedang keluar dari
sarungnya, secepat itu pula Melati menggerakkannya.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung
keras seperti di dalam pedang itu ada naga yang tengah murka. Dan sesaat
kemudian, suara jerit kematian terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh tak
bernyawa pun berjatuhan satu persatu.
Melati dan Wuraji bahu-membahu
berjuang membuka jalan untuk bisa lolos dari tempat itu. Pedang di tangan
Melati dan sepasang tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan cepat mencari sasaran.
Setiap kali pedang atau tombak mereka bergerak, sudah dapat dipastikan, ada
nyawa yang terlepas dari badan.
Sementara di arena lain, Dewa
Arak tengah berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. Pemuda berambut putih
keperakan ini memang sengaja menahan ketiga orang lawannya dalam usaha mencegah
mereka mengejar tunangannya menyelamatkan sepasang muda-mudi itu.
Monyet Tanpa Bayangan dan
Siluman Tangan Maut yang semula hendak mengejar Melati, jadi membatalkan
maksudnya. Beberapa kali usaha mereka untuk mengejar dihambat oleh Dewa Arak.
Mau tidak mau hal itu membuat mereka geram. Dan kegeraman itu pun dilampiaskan
pada pemuda yang telah menghalangi tindakan mereka.
Setelah kini tiga orang
lawannya memusatkan perhatian menghadapinya, baru terasa oleh Dewa Arak betapa
hebatnya kepandaian mereka. Masing-masing lawan punya keistimewaan
sendiri-sendiri.
Ular Kaki Seribu dengan
keistimewaan kakinya. Monyet Tanpa Bayangan dengan keistimewaan ilmu
meringankan tubuhnya. Sementara Siluman Tangan Maut, tak kalah lihai dari kedua
orang itu. Karena laki-laki berompi kuning ini justru memiliki gabungan
keistimewaan kedua gurunya. Gerakan kaki yang menggiriskan, dan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa.
Dewa Arak menggertakkan gigi.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke puncaknya.
Pada jurus-jurus awal, Dewa
Arak masih mampu mengimbangi. Tapi menginjak jurus kelima belas, dia mulai
terdesak. Serangan-serangan ketiga lawannya datang susul-menyusul bagaikan
ombak di lautan.
Menginjak jurus ke dua puluh,
Dewa Arak hanya dapat mengelak. Sesekali menangkis. Tapi hampir tidak pernah
menyerang. Arya sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang. Pemuda
berambut putih keperakan ini terus didesak.
Untung saja Dewa Arak memiliki
langkah ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga beberapa kali, di saat
kritis, masih berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Sambil terus mengelakkan
setiap serangan yang datang, Arya menyempatkan diri melihat Melati dan Wuraji.
Lega hatinya tatkala melihat kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri.
"Hih...!"
Arya memekik nyaring. Dan
berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', yang membuat pemuda ini dapat
melakukan gerakan yang bagaimanapun sulitnya. Dewa Arak melentingkan tubuh
menerobos kepungan. Dan kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Arya memang
tidak ingin mencari keributan dengan mereka.
Cepat sekali gerakan Dewa
Arak. Tapi masih lebih cepat lagi gerakan Monyet Tanpa Bayangan. Tubuhnya
melesat ke depan. Cepat bukan main gerakannya. sehingga yang terlihat hanya
sekelebatan bayangan hitam yang melesat melewati Dewa Arak.
Tapi Arya sudah
memperhitungkan hal ini. Maka begitu melihat bayangan hitam melesat, memotong
arus lompatannya, segera dia menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah
jurus 'Pukulan Belalang'
Wussss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat, meluncur ke arah Monyet Tanpa Bayangan. Tapi, kakek berpakaian kulit
beruang ini dengan mudah mengelak. Ringan laksana seekor kera, tubuhnya
melenting ke atas, menghindari pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. Begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, secepat itu pula tubuhnya berkelebat meninggalkan lawan-lawannya.
Anak buah Siluman Tangan Maut
yang hanya tinggal beberapa orang saja, tidak berani menghalangi Dewa Arak.
Mereka semua telah melihat sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan
itu. Dan mereka tidak mau mencari celaka sendiri.
Ular Kaki Seribu dan Siluman
Tangan Maut tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak lolos. Cepat mereka bergerak
mengejar. Bahkan hingga Arya telah berada di luar pun mereka terus memburu.
Monyet Tanpa Bayangan juga bergerak mengejar.
Tapi, karena Dewa Arak telah
cukup jauh meninggalkan mereka, tambahan lagi ilmu meringankan tubuh mereka
berada di bawah Dewa Arak, maka walaupun telah berusaha sekuat tenaga, tetap
saja ketiganya tidak mampu mengejar. Jangankan mengejar, memperpendek jarak pun
tidak mampu! Bahkan jarak di antara mereka semakin jauh.
Terpaksa mereka menghentikan
pengejaran, dan membiarkan tubuh Arya lenyap di kejauhan.
Dengan langkah lunglai Ular
Kaki Seribu, Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan Maut kembali ke markas.
***7
"Kang...," sebuah
suara yang amat dikenal Arya, membuat Dewa Arak menghentikan larinya. Kepalanya
lalu ditolehkan ke arah rerimbunan semak yang berada di sebelah kanan. Tempat
asal suara panggilan.
Dari balik rerimbunan semak,
tahu-tahu muncul sosok tubuh ramping dari seorang gadis berpakaian putih dan
berambut panjang. Siapa lagi kalau bukan Melati.
"Bagaimana dengan
lawan-lawanmu, Kang?" tanya Melati begitu Arya menghampirinya.
"Kutinggalkan...,"
sahut Arya kalem seraya mengedipkan sebelah mata pada tunangannya.
Seketika itu juga, apa yang
akan diucapkan Melati buyar. Mulut gadis ini pun merengut. Tapi sepasang
matanya sama sekali tidak menampakkan kemarahan. Karena memang dia tidak marah.
Justru bahagia.
Melati tahu, Arya menggodanya.
Dan itu bukan untuk yang pertama kalinya. Pemuda berambut putih keperakan itu
sudah sering kali menggodanya, dengan mengedipkan sebelah mata. Anehnya, dia
sendiri senang digoda seperti itu. Malah menginginkan kekasihnya itu
menggodanya lagi
Tapi tentu saja bila keadaan
memungkinkan. Tidak seperti sekarang ini. Di situ masih ada Marni dan Wuraji.
Tapi itulah Arya! Pemuda ini selalu mengedipkan matanya bila sedang timbul
keinginan menggodanya. Sekalipun ada orang lain, dia akan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya tatkala orang itu lengah.
"Mengapa kau
tinggalkan?!" tanya Melati dengan suara ketus yang dibuat-buat
"Aku tidak punya urusan
dengan mereka, Melati," sahut Arya. "Lagi pula..., aku tidak tahu ada
urusan apa antara kedua orang muda ini
dengan mereka."
Melati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia telah tahu betul sifat Arya. Pemuda ini tidak pernah ikut campur
dalam urusan orang lain, kalau tidak benar-benar terpaksa.
"O ya, bagaimana keadaan
mereka, Melati?" tanya Dewa Arak begitu teringat pada sepasang muda-mudi
yang baru saja mereka tolong. "Apakah keadaan mereka
mengkhawatirkan?"
Melati menggelengkan
kepalanya.
''Yang terluka agak parah
hanya yang wanita. Sementara kawannya tidak," sahut Melati memberi tahu
seraya melangkah menerobos semak-semak.
Sesaat kemudian, Arya telah
melihat sepasang muda-mudi itu. Tampak oleh Dewa Arak, gadis berpakaian biru
tengah bersemadi. Mencoba mengobati luka dalamnya. Sementara laki-laki
berpakaian coklat berdiri tak jauh darinya. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang
tidak diinginkan datang secara tiba-tiba.
Begitu mendengar adanya suara
langkah-langkah kaki yang mendekat, Wuraji segera menoleh. Sikapnya nampak
waspada. Bahkan wajahnya terlihat tegang. Tapi, begitu tahu siapa yang datang,
dia menganggukkan kepalanya sambil melempar senyum.
Arya pun balas tersenyum.
"Bantulah gadis itu
mengobati luka dalamnya, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu
pada kekasihnya.
Melati menganggukkan
kepalanya, kemudian menghampiri Marni. Tanpa bicara apa-apa, gadis berpakaian
putih ini segera duduk bersila di belakang Marni. Kemudian menempelkan kedua
tangannya ke punggung gadis berpakaian biru itu. Menyalurkan tenaga dalamnya
secara perlahan-lahan. Berusaha membantu Marni mengobati luka dalamnya.
***
Melihat Melati telah mulai
membantu Marni mengobati luka dalamnya, Dewa Arak segera mendekati Wuraji.
Pemuda berpakaian coklat ini sejak tadi hanya termenung saja.
Dahinya tampak bekernyit
dalam. Jelas, ada sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Bahkan tadi, sehabis
mengangguk dan tersenyum, pemuda ini kembali termenung.
"Ehm...!"
Arya mendehem sebentar, untuk
menarik perhatian pemuda berpakaian coklat itu. Dan cara yang dilakukan pemuda
ini memang terbukti ampuh. Wuraji menoleh, menatap Dewa Arak seraya melempar
senyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu,
Dewa Arak," ucap pemuda berpakaian coklat ini pelan.
"Lupakanlah, Kisanak.
Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-menolong antar
sesama manusia?" sahut Arya kalem. "O ya, siapa namamu?"
"Wuraji," jawab
pemuda berpakaian coklat itu. Masih pelan suaranya. Pelan dan tidak
bersemangat.
"Aku Arya Buana."
Dewa Arak balas memperkenalkan diri
"Aku sudah tahu,"
sahut Wuraji kalem.
"O ya?!" Arya agak
kaget juga. Tapi sesaat kemudian, dia sudah bisa menduga dari mana pemuda
berpakaian coklat ini mengetahui namanya. "Pasti Melati yang memberi
tahu."
Wuraji menganggukkan
kepalanya.
"Kalau begitu...,
panggillah aku dengan namaku saja," pinta pemuda berambut putih keperakan
itu. "Arya. Jangan Dewa Arak."
"Baiklah, Arya."
Wuraji mengalah.
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Wuraji menghentikan ucapannya.
"Kalau boleh kutahu...,
mengapa kau terlibat perkelahian dengan orang-orang yang berada di bangunan
tadi?" tanya Arya setelah beberapa saat lama nya terdiam.
"Hhh...!" Wuraji menghela
napas berat
Sementara Dewa Arak tetap
diam. Sabar menunggu pemuda berpakaian coklat itu menjawab pertanyaannya.
Sepasang matanya menatap sekujur wajah Wuraji.
Tak terasa putra tunggal Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini bergidik. Sepasang mata Dewa Arak begitu mencorong
tajam dan bersinar kehijauan. Laksana mata seekor harimau dalam gelap! Wuraji
tidak bisa membayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu pemuda di hadapannya
ini. Tadi sempat dilihatnya dua orang guru berikut kakak seperguruannya, telah
mengeroyok pemuda ini. Tapi Dewa Arak masih mampu menyelamatkan diri. Luar
biasa!
Tanpa ragu-ragu, Wuraji
menceritakan semuanya. Semenjak kejadian yang menimpa perguruan ayahnya sampai
dia dan Marni diselamatkan Dewa Arak. Tidak lupa Wuraji menceritakan sepak
terjang Siluman Tangan Maut yang kejam. Meskipun hal itu hanya didengarnya dari
mulut Marni.
Arya mendengarkan semua cerita
Wuraji penuh perhatian. Tak sedikit pun pemuda berambut putih keperakan ini
menyelak, sampai pemuda berpakaian coklat ini selesai bercerita.
Kening Dewa Arak bekernyit
ketika Wuraji menyelesaikan ceritanya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
Dan memang dia tengah berpikir keras.
"Itulah yang sejak tadi
membuatku bimbang, Arya. Aku mgin membalaskan dendamku pada Siluman Tangan Maut
yang telah membunuh ayah dan seluruh kakak
seperguruanku. Tapi,
guru-guruku membela dia. Tak mungkin aku melawan mereka yang telah susah payah
mendidikku selama sepuluh tahun. Aku tidak ingin jadi murid murtad, Arya."
"Siluman Tangan
Maut?!" Arya mengerutkan alisnya. Tampak jelas kalau pemuda berambut putih
keperakan ini terperanjat. Memang Dewa Arak telah mendengar sepak terjang tokoh
yang berjuluk Siluman Tangan Maut. Seorang tokoh jahat dan kejam, yang memiliki
tingkat kepandaian tinggi.
"Di antara tiga orang di
gedung itu, manakah yang berjuluk Siluman Tangan Maut, Wuraji?" tanya
Arya. Meskipun sebenarnya dia sudah bisa menduga, kalau yang berjuluk Siluman
Tangan Maut itu adalah orang yang memakai rompi kuning. Karena dialah orang
termuda di antara mereka. Sementara yang dua orang lagi telah berusia lanjut.
Jadi, kemungkinan besar kedua orang itu adalah guru-guru Wuraji.
"Orang yang berompi
kuning," sahut Wuraji lirih.
"Jadi, kedua orang kakek
yang sakti tadi adalah guru-gurumu?" tanya Arya.
Wuraji menganggukkan
kepalanya.
"Pantas mereka begitu
lihai," desah Arya.
"Arya...."
"Ada apa, Wuraji?"
tanya Dewa Arak seraya menoleh ke arah pemuda tampan berahang kokoh di
sebelahnya.
"Bagaimana menurutmu,
Arya?" Wuraji meminta pendapat "Apakah aku harus melupakan dendamku?
Aku berada dalam pilihan yang sangat sulit, Arya. Kalau tidak membalas, rasanya
terlalu enak bagi orang sekejam Siluman Tangan Maut kubiarkan begitu saja.
Membalas pun bingung juga. Tak mungkin aku melawan guruku sendiri."
"Aku ada jalan,
Wuraji," ucap Arya setelah sekian lamanya termenung.
"Katakanlah, Arya.
Bagaimana caranya?" tanya Wuraji penuh gairah.
"Kau dan Marni yang
menghadapi Siluman Tangan Maut. Sementara guru-gurumu, biar aku dan Melati yang
akan mengurus."
"Tapi, Arya...."
Wuraji masih mencoba membantah.
"Sudahlah, Wuraji,"
potong Arya. "Nanti, setelah Marni sembuh dari luka-lukanya, kita menyerbu
kediaman Siluman Tangan Maut. Orang seperti dia harus cepat-cepat dilenyapkan
dari muka bumi."
Wuraji tak bisa membantah
lagi. Pemuda berpakaian coklat ini terdiam. Dan dengan sendirinya, suasana pun
jadi hening karena Dewa Arak sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Kini, baik
Arya maupun Wuraji mengalihkan perhatian pada Melati dan Marni yang tengah
sibuk mengobati luka dalam.
"Cukup, Melati,"
ucap Marni seraya menghentikan semadinya. "Terima kasih atas
bantuanmu."
Melati pun segera menarik
tangannya kembali. Dan begitu Marni bangkit gadis berpakaian putih ini pun
bangkit berdiri.
Arya dan Wuraji tersenyum
lebar.
"Bagaimana, Marni?"
tanya Wuraji lirih seraya menatap wajah molek gadis berpakaian biru itu.
Marni tersenyum lebar. Rupanya
gadis berpakaian biru ini telah sembuh dari luka dalamnya.
"Nanti malam kita
menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut" ucap Wuraji memberi tahu.
"Benarkah itu, Kang?" tanya Marni seraya menatap wajah Wuraji
lekat-lekat
Perlahan kepala Wuraji
mengangguk.
"Lalu kedua gurumu?"
tanya Marni lagi.
Nada ucapan dan suaranya
menyiratkan perasaan gentar. Dan memang sebenarnya Marni merasa gentar bukan
main. Dia telah merasa kan sendiri kehebatan guru Wuraji yang bermuka kuda.
"Dewa Arak dan Melati
yang akan menghadapi mereka," jelas Wuraji lagi.
"Ah...!" Marni
terkejut bukan main. Tapi rasa terkejut bercampur gembira. "Benarkah itu,
Melati?"
Gadis berpakaian biru itu
merasa risih bertanya pada Arya. Oleh karena itu dia bertanya pada Melati.
Tentu saja gadis berpakaian putih yang tidak tahu apa-apa itu jadi gelagapan.
Sesaat lamanya gadis ini melongo. Baru setelah tersadar, Melati menoleh ke arah
Arya.
Dewa Arak menjadi geli melihat
kekasihnya bingung. Meskipun telah berusaha menahan, tapi tetap saja seulas
senyum geli terpampang di wajahnya. Dan masih dengan senyum di bibir, pemuda
berambut putih keperakan ini menganggukkan kepala. Dan tak lupa mengedipkan
sebelah matanya.
Melati merengut melihat Arya
masih sempat menggodanya. Tapi dia tidak bisa berlama-lama begitu, karena Marni
masih menunggu jawabannya.
"Eh..., nggg.... Ya. Ya
benar...," Melati menyahut agak tergagap.
Mendengar jawaban itu, seketika
wajah Marni berseri-seri.
***
Suara kepak kelelawar
memecahkan keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan sepotong di langit.
Angin dingin yang berhembus, dan sesekali agak keras, terasa menusuk sampai ke
tulang. Dalam suasana malam seperti ini, orang rasanya akan lebih suka berdiam
diri di rumah.
Tapi rupanya ada juga orang
yang berkeliaran dalam suasana malam seperti ini. Terbukti dengan
berkelebatannya empat sosok bayangan. Gerakan mereka rata-rata cepat. Pertanda
kalau keempat orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Empat sosok bayangan itu
bergerak cepat menuju sebuah bangunan yang besar dan megah. Bangunan yang
memiliki halaman luas dan terkurung pagar tembok tinggi.
Tapi ternyata tingginya tembok
pagar tidak bisa menghambat masuknya empat sosok bayangan itu. Dengan mudah,
indah, dan manis keempat sosok bayangan itu melompati pagar tembok. Sesaat
kemudian keempat orang itu telah berada di halaman.
Baru saja orang terakhir
mendaratkan kedua kakinya di tanah, terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hei...! Siapa
kalian...?!"
Seiring dengan lenyapnya gema
suara bentakan, tiba-tiba di hadapan empat sosok
bayangan itu berdiri belasan
sosok tubuh bersenjata tajam. Dan langsung mengepung.
Hebatnya, empat sosok bayangan
itu sama sekali tidak merasa gugup melihat hal ini. Bahkan sebaliknya, para
pengepungnya itulah yang merasa kaget begitu melihat jelas wajah empat sosok
yang mereka kurung. Mereka mengenali empat sosok bayangan itu karena empat
orang itulah yang siang tadi telah menyerbu dan telah menimbulkan banyak korban
di antara mereka.
Empat sosok bayangan itu
memang tidak lain dari Dewa Arak, Melati, Marni, dan Wuraji.
Marni dan Wuraji tanpa
membuang-buang waktu lagi segera mencabut senjata andalannya, dan langsung menerjang
para pengepung. Mau tidak mau, anak buah Siluman Tangan Maut terpaksa melayani.
Tranggg, tranggg, tringgg...!
Dentang suara senjata beradu
kontan mengusik keheningan malam begitu senjatasenjata mereka sating
berbenturan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara.
Marni dan Wuraji bertindak
tidak kepalang tanggung. Pedang di tangan Marni dan sepasang tombak pendek di
tangan Wuraji berkelebatan cepat mencari sasaran.
Suara jerit kematian terdengar
susul-menyusul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa di tanah. Roboh dan
tidak pernah bangkit lagi untuk selama-lamanya. Memang Wuraji dan Marni tidak
bermaksud untuk memberi ampun pada lawan-lawannya. Setiap serangan mereka
selalu mengandung hawa kematian,
Dewa Arak mengernyitkan
alisnya melihat tindakan Wuraji dan Marni. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang tidak mau membunuh lawan kecuali kalau memang terpaksa sekali. Sementara
yang dilihatnya kini, Wuraji dan Marni enak saja menyebar maut. Dalam waktu
sebentar saja hanya tinggal beberapa orang saja yang tersisa. Dan tentu saja
mereka merupakan sasaran empuk buat Marni dan Wuraji. Sesaat kemudian, sisa
gerombolan itu menjerit memilukan. Roboh di tanah dengan nyawa terlepas dari
raga.
Marni menyeka batang pedang
yang penuh berlumuran darah dengan pakaian salah seorang pengeroyok. Kemudian
menyarungkan pedangnya kembali.
Dewa Arak hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mayat-mayat yang bergeletakan di
sana-sini. Tapi hal itu tidak lama. Karena Marni dan Wuraji sudah bergerak
cepat menuju ke dalam. Arya tidak bisa membiarkan sepasang muda-mudi itu
mengantar nyawa menghadapi Siluman Tangan Maut dan kedua orang gurunya. Oleh
karena itu, pemuda berambut putih keperakan ini segera menyusul, diiringi
Melati.
Dengan langkah gagah, Wuraji
dan Marni melangkah ke dalam. Tapi langkah keduanya langsung terhenti ketika
pandang mata mereka tertumbuk pada tiga sosok tubuh yang berdiri menghadang.
Dan tak terasa sepasang muda-mudi ini melangkah mundur begitu mengenali tiga
sosok di hadapan mereka. Siapa lagi kalau bukan Siluman Tangan Maut Ular Kaki
Seribu, dan Monyet Tanpa Bayangan?
Dewa Arak dan Melati segera
melangkah maju. Kini mereka berdiri di kanan kiri Wuraji dan Marni. Dengan
tenang Arya memperhatikan ketiga orang itu. Kemudian menjumput guci arak yang
berada di punggung, lalu menuangkan ke mulut
Gluk.. gluk... gluk...
Terdengar suara tegukan ketika
arak melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu juga ada hawa hangat menyebar
di dalam perutnya. Kemudian perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas kepala.
"Kali ini kalian tidak
akan kubiarkan lolos!" desis Ular Kaki Seribu tajam. Nada suaranya sarat
dengan ancaman. "Terutama sekali kau, Murid Murtad!"
Tanpa sadar Wuraji melangkah
mundur mendengar ucapan gurunya. Apalagi ketika kakek berpakaian kulit ular itu
menudingkan telunjuk ke arahnya begitu ucapannya selesai. Wajah pemuda tampan
berahang kokoh ini seketika pucat pasi. Bukan karena takut menghadapi kematian.
Tapi karena tidak ingin menjadi murid murtad yang menentang guru sendiri.
Marni tahu perasaan yang
bergolak di hati Wuraji. Segera dia mengulurkan tangannya. Kemudian menggenggam
tangan pemuda berpakaian coklat itu erat-erat. Meskipun untuk melakukan itu
gadis berpakaian biru ini harus berjuang keras memerangi perasaan malunya.
Wuraji menoleh. Pemuda
berpakaian coklat ini bukan orang bodoh. Tentu saja dia tahu maksud Marni
melakukan itu. Maka dia pun memberikan senyum penuh rasa terima kasih.
Tangannya pun balas menggenggam tak kalah erat.
"Ular Kaki
Seribu...," ucap Dewa Arak dengan langkah kaki tidak tetap. Oleng ke sana
kemari."Pertarungan di antara kita belum selesai. "
"Kau benar, DewaArak!
Mari kita lanjutkan pertarungan yang tertunda," sambut Ular Kaki Seribu
tak kalah gertak
Belum lagi gema kata-katanya
lenyap, kakek bermuka kuda ini sudah menerjang Arya dengan sebuah tendangan
terbang.
***8
Karena telah merasakan sendiri
kelihaian ilmu tendangan lawannya, Dewa Arak tidak berani bersikap ceroboh.
Maka dia tidak berani langsung menangkis serangan itu. Pemuda berambut putih
keperakan ini ingin mengetahui perkembangan serangan lawan lebih dulu.
Oleh karena itu, Dewa Arak
langsung saja melempar tubuhnya ke belakang kemudian bersalto beberapa kali di
udara. Akibatnya sudah bisa diduga. Tendangan lawan mengenai tempat kosong
karena Arya sudah tidak berada di situ lagi
Ular Kaki Seribu menggertakkan
gigi melihat serangannya berhasil dielakkan. Kemarahannya pada Dewa Arak
semakin berkobar-kobar. Tentu saja akibatnya, serangan kakek bermuka kuda ini
semakin dahsyat. Sambaran-sambaran kakinya datang susul-menyusul bagaikan angin
ribut. Tapi, berkat keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya tidak
mengalami kesulitan untuk menangkalnya.
Sementara itu Melati sendiri
sudah mulai sibuk menghadapi Monyet Tanpa Bayangan. Gadis berpakaian putih ini
telah melihat sendiri kesaktian lawannya. Maka begitu menyerang, dia langsung
mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya, sampai
sebatas pergelangan, berubah merah seperti darah.
"Hiyaaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, Melati menyerang. Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka,
membentuk cakar naga, meluncur deras ke arah ulu hati lawan.
Rupanya gelar Monyet Tanpa
Bayangan yang disandang kakek kecil kurus ini bukan omong kosong. Meskipun serangan
Melati meluruk cepat ke arahnya, kakek kecil kurus ini mampu bergerak lebih
cepat lagi. Tanpa menggeser kaki, dia segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan
sehingga serangan Melati lewat setengah jengkal di samping kiri pinggangnya.
Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya disampokkan ke arah pelipis
Melati.
Tapi Melati tidak menjadi
gugup. Serangan balasan ini, sudah diperhitungkannya sejak tadi. Hanya saja
yang membuat gadis ini agak gelagapan adalah kecepatannya yang luar biasa.
Meskipun begitu, berkat
pengalaman menghadapi berbagai macam pertempuran, Melati masih dapat memunahkan
serangan mendadak itu. Tangan kanannya cepat diangkat ke atas kepala. Dan....
Plakkk...!
Suara benturan keras seperti
beradunya dua batang logam terdengar, ketika dua tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Baik Melati maupun Monyet Tanpa
Bayangan, sama-sama terhuyung. Dari benturan ini dapat diketahui kalau kedua
tokoh ini memiliki tenaga dalam seimbang.
Monyet Tanpa Bayangan
menggeram keras. Rupanya kakek ini merasa penasaran bukan main. Dia adalah
seorang pentolan kaum sesat yang jarang menemukan tandingan. Selama
berpuluh-puluh tahun merajalela di dunia persilatan, dia hampir tidak pernah
menemukan tandingan. Maka tentu saja kakek kecil kurus ini jadi penasaran bukan
main tatkala mengetahui ada seorang tokoh muda yang mampu menandingi tenaga
dalamnya.
Dalam luapan perasaan amarah
bercampur penasaran yang menggelora, Monyet Tanpa Bayangan mengerahkan seluruh
kemampuannya. Jurus 'Kera' yang dimilikinya langsung dimainkan. Ilmu
meringankan tubuhnya pun dikerahkan sampai ke puncaknya.
"Hiyaaat..!"
Monyet Tanpa Bayangan
membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Kemudian langsung
melompat, menyerang dengan sampokan tangan kiri ke arah pelipis.
Melati terkejut bukan main.
Gadis berpakaian putih ini benar-benar gelagapan menghadapi cara penyerangan
lawannya. Gerakannya begitu liar, tapi sangat cepat Mengingatkan dia pada
seekor kera!
Dengan agak terburu-buru
Melati merundukkan tubuhnya sehingga serangan kakek berpakaian kulit beruang
itu lewat di atas kepalanya. Pada saat yang sama, kedua tangannya meluncur
deras ke arah dada dan perut.
Hebat bukan main serangan yang
dilakukan Melati. Apalagi pada saat itu, tubuh Monyet Tanpa Bayangan sedang
berada di udara. Posisi yang benar-benar tidak menguntungkan.
Tapi kelihaian Monyet Tanpa
Bayangan benar-benar luar biasa! Dalam keadaan seperti itu, dia masih mampu
memunahkan bahaya besar yang mengancam keselamatan nyawanya. Tangan kanannya
segera dikibaskan ke bawah, menangkis kedua serangan itu.
Prattt...!
Baik Melati maupun Monyet
Tanpa Bayangan sama -sama meringis begitu terjadi benturan. Namun kakek kecil
kurus ini sama sekali tidak peduli. Dengan tubuh yang masih berada di udara, kaki
kanannya menendang dada Melati.
Wuuuttt..!
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi
gadis berpakaian putih itu selain melempar tubuh ke belakang. Kemudian bersalto
beberapa kali di udara. Kembali untuk yang kesekian kalinya serangan Monyet
Tanpa Bayangan gagal total.
Dengan sebuah gerakan yang
indah dan manis, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pada saat yang
sama, Monyet Tanpa Bayangan pun hinggap di tanah.
Secepat kedua pasang kaki
mereka mendarat di tanah, secepat itu pula keduanya kembali terlibat dalam
pertarungan sengit. Kini Melati harus berjuang keras untuk menundukkan lawan
tangguhnya ini.
***
Sementara di arena yang lain,
Wuraji dan Marni pun tengah sibuk bahu-membahu menghadapi Siluman Tangan Maut.
Untuk yang kedua kalinya, sepasang muda-mudi ini kembali berhadapan dengan
musuh besar mereka. Bedanya, kali ini mereka bisa lebih memusatkan perhatian
pada lawan. Tidak khawatir diganggu yang lain.
Kali ini kedua belah pihak
yang bertarung sama-sama mengerahkan kemampuan sampai di puncaknya. Siluman
Tangan Maut telah memainkan trisulanya. Sementara Wuraji menggunakan tombak
pendek, dan pedang digunakan oleh Marni.
Suara desing, deru, dan decit
senjata tajam menyemarakkan pertarungan antara musuh bebuyutan itu.
Baik Wisanggeni maupun Wuraji
dan Marni, sama-sama bersikap hati-hati. Kedua belah pihak telah sama-sama
mengenal kelihaian lawan, sehingga pertarungan jadi berlangsung seru. Tak kalah
seru dengan pertarungan antara Monyet Tanpa Bayangan dengan Melati
Memang kalau dihitung perorangan,
baik Wuraji maupun Marni bukan tandingan Wisanggeni. Siluman Tangan Maut jauh
lebih unggul daripada mereka. Baik kekuatan tenaga dalam, maupun ilmu
meringankan tubuh.
Setiap kali terjadi benturan
senjata, tubuh Marni maupun Wuraji terhuyung-huyung ke belakang dengan sekujur
tangan terasa hampir lumpuh. Di saat itulah, Siluman Tangan Maut melancarkan
serangan susulan. Kalau saja yang seorang lagi tidak membantu kawannya yang
tengah terancam, sudah sejak tadi Wisanggeni menghabisi sepasang muda-mudi ini.
Selama puluhan jurus,
pertarungan antara musuh bebuyutan itu berlangsung imbang. Tapi menginjak jurus
ke enam puluh, Siluman Tangan Maut mulai terdesak. Semakin lama laki-laki
berompi kuning ini semakin terdesak.
Pada jurus ke tujuh puluh
tiga, Marni melompat tinggi ke udara. Dan dari atas, pedangnya menyabet cepat
ke arah leher. Pada saat yang bersamaan, Wuraji melemparkan tombak pendek di
tangan kirinya. Bukan hanya itu saja. Pemuda berpakaian coklat ini pun meloncat
menerjang. Tombak pendek di tangan kanannya menusuk deras ke arah dada.
Wunggg...!
Siluman Tangan Maut terkejut
bukan main melihat serangan beruntun ini. Trisulanya diputar cepat laksana
baling-baling dalam upaya menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring
terdengar dua kali ketika trisula Wisanggeni berhasil menangkis serangan pedang
Marni dan lemparan tombak pendek Wuraji. Tapi sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, tusukan tombak putra Ketua Perguruan Kumbang Merah telah meluncur
tiba. Dan....
Cappp...!
Telak dan keras sekali tombak
pendek Wuraji menembus perut Siluman Tangan Maut hingga ke punggung. Seketika
itu juga cairan merah kental bermuncratan dari perutnya yang robek lebar.
Tubuh Wisanggeni
terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya mendekap luka yang menganga lebar
di perutnya. Tapi pada saat itu juga, serangan susulan Marni menyambar tiba.
Gadis berpakaian biru ini mengirimkan sebuah tendangan keras ke arah dada.
Desss!
Terdengar suara berderak keras
ketika tendangan itu telak mengenai sasaran. Seketika itu juga, tubuh
Wisanggeni terlempar jauh ke belakang. Tulang dadanya remuk seketika. Cairan
merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Nyawa Siluman
Tangan Maut telah melayang meninggalkan raganya sebelum tubuhnya jatuh di
tanah.
Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan hanya bisa menggertakkan gigi menahan geram melihat kematian
Wisanggeni. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong Siluman Tangan
Maut karena keadaan mereka sendiri pun tengah terdesak.
Memang, baik Dewa Arak maupun
Melati, telah berhasil mendesak lawan masing-masing, setelah melalui
pertarungan sengit seratus lima puluh jurus lebih. Baik Melati maupun Monyet
Tanpa Bayangan sama-sama telah mengeluarkan senjata andalannya. Kakek kecil
kurus berpakaian kulit beruang ini telah menggunakan kipas baja berwarna merah.
***
"Haaat...!"
Arya memekik keras. Tubuhnya
melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya di atas, tubuhnya
berputar. Kemudian tangan kirinya menepak ke arah punggung Ular Kaki Seribu.
Plakkk!
Telak dan keras sekali tepakan
Dewa Arak mengenai sasaran. Seketika itu juga, Ular Kaki Seribu
terhuyung-huyung ke depan dan tersungkur di tanah. Segumpal cairan merah kental
menyembur dari mulutnya. Ular Kaki Seribu terluka dalam!
Pada saat yang sama, Monyet
Tanpa Bayangan menusukkan kipas baja merahnya ke arah dada Melati. Tapi dengan
mudahnya gadis berpakaian putih itu mendoyongkan tubuh ke samping kanan, hingga
serangan itu mengenai tempat kosong. Lewat setengah jengkal di samping kirinya.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Melati. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur cepat ke arah dada kanan
lawan.
Monyet Tanpa Bayangan segera
mendoyongkan tubuh ke belakang. Menurut perhitungannya, dengan cara seperti
itu, serangan gadis berpakaian putih tidak mungkin mengenai sasaran.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati kakek kecil kurus ini ketika tangan Melati terus mengejarnya.
Sebisa-bisanya dia mencoba mengelak.
Tapi... Pratt...!
Tubuh Monyet Tanpa Bayangan
terjengkang ke belakang ketika tangan Melati mengenai dada kanannya. Darah
segar menyembur deras dari mulut kakek kecil kurus ini. Jelas kalau dia terluka
dalam. Kakek berpakaian kulit beruang ini sama sekali tidak tahu kalau Melati
menggunakan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku’, yang membuat tangannya bisa
memanjang hampir dua kali lipat
“Haaaat...!” Arya memekik
keras. Tubuhnya melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya di
atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan kirinya menepak ke arah punggung Ular
Kaki Seribu.
Plakkk! Telak dan keras sekali
tepakan Dewa Arak mengenai sasarannya!
Kini Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan hanya bisa pasrah saja ketika Dewa Arak dan Melati
menghampiri mereka yang terduduk berjejer di tanah. Aneh memang, kedua kakek ini
jatuh di tempat yang berdekatan.
Tapi di saat itulah sesosok
bayangan coklat berkelebat menghadang langkah Dewa Arak dan Melati. Pemuda itu
ternyata adalah Wuraji. Sepasang tombak pendeknya disilangkan di depan dada.
Tampak jelas kalau Wuraji telah siap bertarung.
"Langkahi dulu mayatku
kalau kalian ingin membunuh guruku," tegas dan mantap sekali kata-kata
yang keluar dari mulut pemuda berpakaian coklat itu.
Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan saling pandang dengan perasaan terharu melihat pembelaan Wuraji.
Mereka tahu betul kalau pemuda berpakaian coklat itu bukanlah lawan Dewa Arak
dan gadis berpakaian putih yang memiliki kepandaian menggiriskan. Dan seketika
itu pula, timbul rasa khawatir mereka pada keselamatan muridnya. Dari semula
mereka memang telah tahu kalau Wuraji adalah seorang murid yang berbakti. Hanya
saja saat itu kesadaran belum timbul dalam hati mereka.
"Menyingkirlah, Wuraji.
Kedua orang itu bukan tandinganmu," ucap Ular Kaki Seribu serak seraya
berusaha bangkit yang diikuti Monyet Tanpa Bayangan.
"Tidak, Guru,"
bantah Wuraji tak mau kalah. "Guru telah terluka. Biar aku yang akan
menghadapi mereka"
Ternyata bukan hanya Monyet
Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu yang merasa khawatir. Marni pun dilanda
perasaan serupa. Hanya saja kekhawatirannya berbeda. Dia mengkhawatirkan
keselamatan Wuraji. Pemuda yang menarik hatinya sejak pertama kali bertemu.
Dan tanpa ragu-ragu lagi,
gadis berpakaian biru ini berdiri di sebelah Wuraji menentang Dewa Arak dan
Melati. Pedangnya melintang di depan dada. Kini di hadapan Dewa Arak dan Melati
berdiri empat sosok yang siap bertarung.
"Apa maksudmu,
Wuraji?" tanya Melati seraya menghentikan langkah dan menatap pemuda
berpakaian kuning itu tajam. Nada suara gadis ini menyiratkan rasa penasaran
yang amat sangat .
"Kalian hanya dapat
membunuh guruku setelah terlebih dulu melangkahi mayatku!" tandas Wuraji
tegas. Kedua tangannya yang memegang sepasang tombak pendek tampak menegang.
Jelas pemuda berpakaian kuning ini telah siap bertarung.
Wajah Melati memerah. Dia
merasa tersinggung mendengar ucapan Wuraji. Gadis berpakaian putih ini memang
paling pantang mendengar tantangan yang ditujukan padanya. Tidak heran kalau
ucapan Wuraji membuat amarahnya bangkit
"Gurunya setan, muridnya
pun sudah pasti iblis!"
Setelah berkata demikian,
Melati melompat menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke arah leher. Ada suara
menggerung keras seperti naga murka ketika pedang itu bergerak.
Cepat bukan main serangan yang
dilancarkan Melati. Tapi gerakan Wuraji pun tak kalah cepat. Sepasang tombak
pendeknya disilangkan, menangkis serangan Melati. Wuraji yang tahu kelihaian
lawan, segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam
tangkisannya.
Tranggg...!
Suara berdentang nyaring
terdengar ketika dua macam senjata itu beradu. Bunga-bunga api pun memercik ke
sana kemari mengiringi benturan itu
Wuraji menggertakkan gigi.
Kedua tangannya terasa bergetar hebat bahkan tubuhnya pun sampai terhuyung dua
langkah ke belakang. Sementara Melati sama sekali tidak bergeming.
Suatu bukti kalau tenaga
dalamnya masih berada di bawah Melati.
Belum juga Melati melancarkan
serangan susulan, sebuah serangan yang mengeluarkan suara mencuit nyaring,
membuatnya melompat ke belakang untuk mengelak.
"Marni...! Kau...?!"
seru Melati tak percaya, begitu melihat orang-orang telah menyerangnya.
Marni menganggukkan kepala.
Memang gadis berbaju biru inilah yang tadi telah menyerang Melati.
"Maafkan aku
Melati," ucap Marni pelan. "Bukannya aku bermaksud melawanmu. Tapi
aku tidak bisa membiarkan kau mencelakai Wuraji."
Pelan tapi mantap suara Marni,
meskipun diucapkan dengan wajah memerah. Memang, gadis berpakaian biru ini
merasa malu karena ucapannya itu sama saja membuka rahasia hatinya terhadap
Wuraji.
"Tahan...!" seru
Arya. Dan sekali melangkahkan kaki, tubuhnya sudah berada di tengah-tengah
kedua wanita cantik itu. Mencegah pertarungan yang sudah bisa dipastikan akan
terjadi.
"Sabar dulu, Melati.
Sarungkan pedangmu," ucap Dewa Arak pada tunangannya. "Dan kau juga,
Marni."
Melati tidak membantah.
Meskipun dengan mulut agak cemberut, dimasukkan pedangnya ke dalam sarung.
Begitu melihat Melati telah
memasukkan pedang, Marni tanpa ragu-ragu lagi memasukkan pedangnya pula.
"Wuraji...," panggil
Arya pada pemuda tampan berahang kokoh yang kini sudah berada di sebelah Marni.
Wuraji mengangkat wajahnya,
memandang Dewa Arak.
"Jawab
pertanyaanku," ucap Arya lagi dengan suara yang lebih tegas. "Mengapa
kau menghalangi kami?"
"Aku tidak bisa
membiarkan guru-guruku dibunuh di hadapanku!" sahut Wuraji tegas. Meskipun
tahu kalau dirinya bukan tandingan Dewa Arak, pemuda berahang kokoh ini tidak
merasa gentar.
''Tapi, guru-gurumu adalah
datuk-datuk sesat yang jahat, Wuraji," bantah Arya. "Merupakan
kesalahan besar kalau aku membiarkan mereka mengumbar kejahatan di
sana-sini."
"Biar bagaimanapun,
mereka adalah guru-guruku, Dewa Arak! Orang yang telah menanam budi besar
kepadaku! Mendidikku selama bertahun-tahun. Dan kini kau menyuruhku diam
melihat mereka kau bunuh?!"
Wuraji menghentikan kata-katanya
sebentar untuk mengambil napas.
"Andaikata mereka benar
telah melakukan kejahatan besar pun, aku akan membela mereka sekalipun untuk
itu aku harus mati di tanganmu. Hitung-hitung sebagai balas budiku atas jasa
kedua guruku selama ini! Apalagi mereka tidak melakukan kejahatan! Aku lebih
berkewajiban lagi untuk membela mereka!"
"Maksudmu.., mereka sama
sekali tidak jahat..?" tanya Arya ragu-ragu.
"Mereka telah lama
mengundurkan diri dari dunia persilatan, Arya. Dan selama bertahun-tahun aku
tinggal bersama mereka, tak sekali pun kudengar mereka melakukan kejahatan.
Siluman Tangan Maut alias Wisanggenilah yang telah mengacau dunia
persilatan!"
Arya dan Melati tercenung.
Mereka percaya sepenuhnya kebenaran ucapan Wuraji. Setelah saling pandang
sejenak dan Arya memberi isyarat. Mendadak keduanya membalikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu
Tentu saja ha! itu membuat
keempat orang itu terkejut. Beberapa saat lamanya mereka memandangi arah
kepergian Dewa Arak dan Melati dengan perasaan bingung. Terutama sekali Monyet
Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Semakin besarlah niat mereka untuk kembali
ke jalan yang benar. Baru sesaat kemudian Wuraji tersadar.
"Guru...," panggil
Wuraji seraya memberi hormat
Kali ini Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Siapakah gadis cantik
ini, Wuraji?" tanya Ular Kaki Seribu sambil menatap Marni.
"Temanku sejak kecil,
Guru," sahut Wuraji malu-malu. Sementara Marni hanya menunduk. Wajah gadis
itu merona merah.
Sejenak Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan saling pandang. Kemudian kedua kakek ini saling melempar
senyum. Keduanya tahu kalau sepasang muda-mudi ini saling mencintai. Karena
gadis inilah Wuraji sampai berani melawan mereka. Dan karena hendak membela
Wuraji-lah, Marni berani menentang Dewa Arak dan Melati.
Sementara itu nun jauh di
sana, Dewa Arak dan Melati tengah berjalan bersisian. Wajah sepasang muda-mudi
ini nampak cerah. Satu tugas lagi telah mereka selesaikan dengan hasil baik
SELESAI