38 Neraka Untuk Sang Pendekar
1
Malam telah larut. Bahkan
sudah mendekati dini hari. Tapi seorang pemuda tampan berambut keperakan dan
seorang laki-laki setengah baya berpakaian indah, masih memeriksa bangunan demi
bangunan di dalam lingkungan Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!"
Sambil melangkah keluar dari
salah satu bangunan yang telah selesai diperiksa, laki-laki setengah baya itu
menghela napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan kelesuan.
Memang, laki-laki tinggi besar
ini merasa lelah bukan kepalang, baik lahir maupun batin. Hampir semalam suntuk
dia bersama pemuda yang kalau dilihat dari ciri-cirinya adalah Dewa Arak itu
memeriksa seisi bangunan. Harapannya akan didapatkan sebuah petunjuk. Tapi,
ternyata semuanya nihil. Tidak ada satu pun petunjuk yang didapatkan.
"Bagaimana, Kang? Rasanya
semua bangunan sudah diperiksa. Tapi, tak satu pun petunjuk yang
diperoleh." Celetuk Arya seraya menatap wajah laki-laki setengah baya yang
tak lain dari Adipati Blambang yang bernama Subali.
"Aku juga bingung,
Arya," sambut Adipati Subali bernada keluhan. "Entah, dari mana lagi
aku harus menyingkap teka-teki yang menyelimuti Rara Kunti."
Arya tidak menyahuti ucapan
itu. Dan Adipati Subali pun tidak meneruskan ucapannya lagi. Maka, suasana jadi
hening. Masing-masing pihak tenggelam dalam alun lamunan. Sambil menghela napas
panjang, Adipati Subali mengedarkan pandang. Tapi ketika kedua bola matanya
tertumbuk pada pot-pot tanaman dia terjingkat kaget.
Meskipun tidak memperhatikan,
tapi sudut mata Arya melihat gerakan mendadak laki-laki tinggi besar itu. Sudah
bisa diperkirakan ada sesuatu yang mengejutkan harinya. Hanya saja Arya tidak
ingin bertindak lancang. Sikapnya seperti berpura-pura tidak tahu. Barangkali
saja hal itu tidak boleh diketahuinya.
"Masih ada harapan,
Arya," ungkap Adipati Subali sambil menoleh Dewa Arak disertai sinar mata
penuh harap.
"Mengapa kau berkata
demikian, Kang?" Tanya Arya ingin tahu.
"Ada sebuah ruang
rahasia. Tepatnya lagi, sebuah tempat persembunyian. Di... ah! Lebih baik kutunjukkan
saja tempatnya, Arya. Mari."
Lalu Adipati Subaji bergegas
menuju pot-pot kayu yang terletak beberapa tombak di hadapannya. Dewa Arak pun
mengikuti di belakangnya.
Hanya dalam beberapa langkah
saja, mereka telah berada di dekat pot-pot kayu itu. Adipati Subali langsung
membungkukkan tubuhnya. Dengan bantuan sinar bulan yang cukup terang,
diperhatikannya satu persatu pot-pot tanaman itu. Sedangkan Arya hanya
memperhatikan tingkah lakunya saja.
Meskipun tidak diberi tahu,
pemuda berambut putih keperakan sudah bisa menduga penyebab Adipati Subali
bertindak demikian. Salah satu dari sekian banyaknya pot yang berjejer, ada
yang mempunyai hubungan dengan ruangan rahasia. Itu kesimpulan yang didapatnya.
Mendadak Arya merasakan keanehan dalam dirinya. Dia merasa seakan-akan ada
orang yang tengah memperhatikan mereka. Arya tahu, kalau telah mempunyai indera
keenam yang pada binatang disebut naluri. Bahkan nalurinya lebih tajam. Dengan
agak bergegas pandangannya dialihkan ke sekeliling. Dan ternyata nalurinya
tidak keliru. Di pinggir atap bangunan, tampak sesosok tubuh tengah duduk
bersila. Sorot matanya tampak angker bukan kepalang.
Dalam siraman sinar rembulan
yang pucat, terlihat cukup jelas sosok tubuh itu. Dia ternyata seorang kakek
berusia sangat lanjut. Tubuhnya kurus kering, sehingga yang terlihat, hanyalah
tonjolan tulangtulang di sana-sini, terbungkus kulit keriput, kumis, dan
jenggotnya berwarna putih. Kepalanya agak sedikit botak, karena rambutnya telah
banyak yang rontok.
Yang membuat penampilan sosok
tubuh itu semakin menyeramkan adalah pakaiannya yang berwarna merah menyala.
Pada bagian dadanya, tampak gambar sebuah peri mati berwarna hitam.
"Hentikan usahamu, Kang.
Ada orang yang tengah mengintai kita," bisik Arya, pelan.
Kontan hati Adipati Subali
tercekat mendengar penjelasan Arya. Buru-buru dia berdiri tegak. Pandangannya
juga beralih ke arah Arya menatap. Seketika itu pula, laki-laki tinggi besar
ini terjingkat kaget.
"Dia..., dia.... Iblis
Mayat Hidup...," desis Adipati Subali bergetar penuh nada gentar.
Arya tidak menyambuti ucapan
itu. Memang, dia sudah menduga siapa kakek kurus kering ini, setelah melihat
wama pakaian dan gambar yang sama dengan pakaian Jaranta. Dan Jaranta sendiri
adalah anak Iblis Mayat Hidup. Arya tahu, kakek kurus kering yang ternyata
berjuluk Iblis Mayat Hidup itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Putranya
saja memiliki kepandaian tinggi. Apalagi Iblis Mayat Hidup?! Pemuda berambut
putih keperakan ini sukar membayangkannya.
Bukan hanya hal itu saja yang membuat
Arya menduga demikian. Sepasang mata Iblis Mayat Hidup yang mencorong tajam dan
bersinar kehijauan seperti mata harimau dalam gelap, menunjukkan kalau tenaga
dalamnya amat kuat. Karena hanya tokoh yang memiliki tenaga dalam amat tinggi
yang mempunyai sorot mata seperti itu.
***
Mendadak, tubuh Iblis Mayat
Hidup melesat. Herannya masih dalam keadaan duduk bersila. Beberapa saat
lamanya, tubuh Iblis Mayat Hidup yang dalam keadaan bersila itu melayang-layang
di udara. Dan sekitar setengah tombak dari permukaan tanah, kedua kaki yang
dilipat segera diluruskan kembali. Kemudian, kakinya menjejak tanah tanpa suara
sama sekali.
"Siapa di antara kalian
yang menjadi keturunan Eyang Mandura?"
Bulu kuduk Adipati Subali
langsung merinding mendengar pertanyaan itu. Tapi bukan karena suara yang
bernada serak, berat, dan bergaung itu yang menjadi penyebabnya. Tapi justru
ketakutannya karena ketika melihat bibir Iblis Mayat Hidup sama sekali tidak
bergerak sewaktu mengucapkannya. Padahal, jelas-jelas kalau kakek kurus kering
itu yang mengatakannya.
Iblis Mayat Hidup menggeram
ketika tak mendengar adanya jawaban sepotong pun dari mulut kedua orang yang
hanya berjarak tiga tombak di hadapannya. Bila Adipati Subali mungkin karena
masih dilanda perasaan kaget, sedangkan Arya memang tidak ingin menjawab.
Seiring lenyap geraman, Iblis
Mayat Hidup menatap wajah Adipati Subali dan Arya. Ada nada selidik di samping
kemarahan di dalam sorot matanya.
Adipati Subali merasa gentar
bukan kepalang. Tanpa sadar kakinya mundur selangkah. Sedangkan Arya tetap
tenang. Meskipun demikian, sekujur urat syaraf dan otot pemuda berambut putih
keperakan ini telah menegang penuh kewaspadaan.
"Kau..., ya.... Pasti kau
yang menjadi keturunan Eyang Mandura," tuding Iblis Mayat Hidup ke wajah
Adipati Subali.
Karuan saja hal itu membuat
Adipati Subali terperanjat. Wajahnya langsung pucat pasi. Disadari ada bahaya
yang tengah mengancamnya sekarang. Meskipun kematian bukan merupakan hal yang
menakutkan bagi Adipati Subali, tapi mati di tangan datuk sesat seperti Iblis
Mayat Hidup merupakan sebuah hal yang mengerikan.
Perasaan ngeri itulah yang
membuat Adipati Subali tanpa sadar melangkah mundur. Sementara, Iblis Mayat
Hidup terus menatapnya penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan keberadaan
Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersikap waspada. Bahkan telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
"Benar..., kau
pasti keturunan Eyang Mandura....
Ada kemiripan antara dirimu
dengannya," lanjut Iblis Mayat Hidup, semakin meninggi nada ucapannya.
"Kau harus bertanggung
jawab atas perbuatan leluhurmu! Ayo, hadapi aku! Akan
kubuktikan kalau ilmuilmu ciptaanku lebih dahsyat daripada ilmu
leluhurmu!"
Usai berkata demikian, kakek
kurus kering itu mengulurkan tangan kanannya. Jari-jari tangan yang terkembang
membentuk cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun Adipati Subali, diiringi suara
mencicit menyakitkan telinga.
Arya yang memang sudah
bersiaga sejak tadi, tidak tinggal diam.
Buru-buru kakinya melangkah ke kiri, menghadang di depan Iblis Mayat Hidup. Tak
lupa, tangan kanannya diayunkan untuk menangkis serangan dengan arah dari dalam
keluar.
Takkk!
Suara keras seperti beradunya
dua batang logam keras terdengar, ketika benturan terjadi. Dewa Arak dan Iblis
Mayat Hidup sama-sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas, tenaga
dalam dua tokoh tingkat tinggi berbeda aliran ini berimbang.
"Keparat!"
Iblis Mayat Hidup mendesis
penuh kemurkaan, disamping keterkejutan seorang pemuda belia ternyata mampu
membuatnya terhuyung dalam benturan! Padahal, tadi telah seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan. Ini benar-benar merupakan sebuah tamparan keras padanya.
Ini adalah penghinaan! Lawan di hadapannya ini harus menanggung akibat
perbua-tannya.
"Siapa kau,
Keparat?!" Tanya Iblis Mayat Hidup, keras dengan sepasang mata
menyala-nyala.
"Namaku Arya Buana.
Orang-orang biasa memanggilku Arya," kalem jawaban pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Ha ha ha...!" Iblis
Mayat Hidup tertawa bergelak-gelak dan keras sekali. Bahkan mulutnya sampai
terbuka lebar. Padahal sejak tadi jangankan terbuka. Bibirnya bergerak-gerak
saja, tidak!
"Jadi, kiranya kau yang
berjuluk Dewa Arak?! Ha ha ha...! Sungguh kebetulan! Julukanmu terkenal sekali,
Dewa Arak! Menurut berita yang kudengar, kau telah banyak merobohkan lawanmu.
Sehingga banyak tokoh persilatan yang mangatakan, kalau kau patut mendapat
julukan Jago Nomor Satu!"
Iblis Mayat Hidup menghentikan
ucapannya. Matanya nyalang, menatap Dewa Arak.
"Hatiku seketika panas
mendengar berita itu. Rasanya, ingin kubuktikan sendiri kebenarannya. Aku akan
mati penasaran, apabila belum sempat bertemu dan membuktikan sendiri
kelihaianmu! Sama sekali tidak kusangka kalau kita akan bertemu di sini! Ha ha
ha...! Roboh di tanganmu, bukan merupakan hal yang memalukan, Dewa Arak!
Bersiaplah kau! Hiyaaat..!"
Iblis Mayat Hidup membuka
serangannya dengan sebuah gedoran ke arah dada. Tapi hanya melangkah mundur,
telah membuat serangan kakek kurus kering itu luput.
Iblis Mayat Hidup tidak kecil
hati melihat serangannya berhasil dipunahkan Dewa Arak. Disadari kalau lawannya
berkepandaian amat tangguh. Hasil dari benturan tenaga dalam saat pertama kali,
telah menjadi patokannya. Kalau tidak mengalami sendiri, Iblis Mayat Hidup
tidak akan percaya. Tidak masuk diakal, orang semuda Arya mempunyai tenaga
dalam demikian tinggi.
Atas dasar pemikiran itulah,
Iblis Mayat Hidup terus melancarkan serangan-serangan lanjutan. Tentu saja kali
ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Bukan hanya Iblis Mayat Hidup
saja yang menyadari ketangguhan lawan. Dewa Arak pun demikian pula. Itulah
sebabnya, pemuda berambut putih keperakan itu tidak berani bertindak main-main.
Seluruh kemampuannya dikerahkan. Meskipun demikian, ilmu 'Belalang Sakti'
andalannya belum dikeluarkan. Dewa Arak tahu, Iblis Mayat Hidup pun belum
mengeluarkan ilmu andalan. Tapi tak urung, pertarungan berlangsung letap
dahsyat dan menggiriskan. Masalahnya, ilmu-ilmu yang dimiliki kedua tokoh
berbeda aliran itu nemang bermutu tinggi.
Suara mencicit, mendesing, dan
mengaung menyemaraki pertarungan. Dan hal itu terdengar setiap kali Iblis Mayat
Hidup dan Dewa Arak menggerakkan tangan atau kakinya.
Akibatnya hebat bukan kepalang
pada keadaan di sekitamya. Pepohonan, semak-semak, tanah, dan tembok-tembok
bangunan, porak-poranda. Keadaan sekitar tempat itu seperti habis diobrak-abrik
puluhan ekor kerbau liar.
Untung saja, Adipati Subali
sudah sejak tadi menyingkir dari tempat itu. Kalau tidak, mungkin dia sudah
terkapar di tanah terkena angin pukulan yang bisa saja nyasar, meskipun hanya
terkena angin pukulan nyasar dari kedua tokoh sakti itu, ternyata cukup membuat
nyawa melayang ke alam baka.
Sementara itu, karena kedua
belah pihak samasama memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, pertarungan
menjadi berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, pertarungan sudah
berlangsung lima puluh jurus. Selama itu, belum nampak adanya tandatanda yang
akan terdesak dan masih berlangsung imbang. Mendadak terdengar suara melengking
tinggi, seperti pekik seekor burung garuda. Nadanya pun menyakitkan telinga.
Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Menilik dari
suaranya, bisa diketahui kalau pemiliknya masih berada di tempat yang jauh.
"Hi...!"
Mendadak Iblis Mayat hidup
menjauhkan diri dari kancah pertarungan. Kakek kurus kering ini kemudian bersalto beberapa kali di udara,
sebelum hinggap di tanah tanpa suara sedikit pun.
Dewa Arak sama sekali tidak
mengejar. Padahal, hal itu bisa saja dilakukannya sambil mengirimkan
serangan-serangan susulan. Paling tidak, dia akan berada di atas angin. Dan
kenyataannya, Dewa Arak memang membiarkan saja tindakan Iblis Mayat Hidup yang
kini berdiri tenang.
"Kau hebat, Dewa Arak!
Julukanmu yang menggemparkan memang bukan omong kosong. Sayang, aku mempunyai
urusan lain yang lebih penting. Apabila urusanku telah selesai, kau akan
kutantang lagi, Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, tubuh
Iblis Mayat Hidup lalu berbalik. Begitu kakinya dijejakkan, maka seketika itu
juga tubuhnya melesat dari situ. Tampak jelas kalau arah yang ditempuh adalah
asal jeritan melengking tinggi yang tadi terdengar.
Luar biasa! Hanya dalam
beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap di balik tembok benteng
Istana Kadipaten Blambang.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pandangannya masih tertuju ke arah yang
tengah dituju Iblis Mayat Hidup. Sementara Adipati Subali yang sejak tadi
menyaksikan jalannya pertarungan dari kejauhan, menghampiri Arya.
"Mengapa tidak kau kejar,
Arya?" Tanya Adipati Subali heran.
Arya tersenyum getir.
"Iblis Mayat Hidup sudah
tidak menghendakinya lagi, Kang. Tidak ada gunanya pertarungan
dilangsungkan."
Adipati Subali
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Iblis Mayat Hidup memang
seorang lawan tangguh, Kang. Padahal, dia belum mengeluarkan ilmu andalannya.
Tak bisa kubayangkan kalau ilmu andalannya telah dikeluarkan," desah Arya
penuh kagum.
"Tapi..., bukankah kau
juga belum mengeluarkan Ilmu andalanmu, Arya," bantah Adipati Subali.
"Jadi, kalian sama-sama belum mengeluarkan ilmu andalan."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Memang, dia tadi juga belum mengeluarkan ilmu andalan. Dan Dewa Arak
jadi tersenyum kecut dalam hati.
"Kalau begitu, kita
lanjutkan urusan yang belum selesai, Arya." Ajak Adipati Subali ketika
teringat kembali akan maksudnya semula.
"Kau benar, Kang,"
sambut Arya cepat.
Mendapat sambutan
menggebu-gebu seperti itu, Adipati Subali jadi bersemangat. Cepat kakinya
diayunkan menuju pot-pot kayu yang sebagian besar telah porak-poranda.
Sekarang, Adipati Subali tidak
terlalu sulit lagi untuk mengetahui pot yang menjadi kunci masuk ke tempat
rahasia. Karena, pot-pot yang masih utuh tinggal sedikit. Dan ketika akhirnya
berhasil menemukannya, Adipati Subali langsung memegang sisisisi pot itu dan
memutarnya ke kanan. Dan, ternyata pot itu sama sekali tidak bergeming.
"Harapan kita semakin
besar, Arya!" cetus Adipati Subali penuh rasa gembira.
"Aku masih belum mengerti
maksudmu, Kang," kata Arya.
"Kalau ruangan rahasia
itu belum dimasuki orang, pot ini bisa diputar untuk membuka jalan masuk ke
ruangan rahasia. Dan apabila pot ini tidak bisa diputar, berarti seseorang
telah masuk ke dalam ruangan dan menghambat bekerjanya pot yang menjadi pembuka
ini. Memang, dari dalam kegunaan pot ini bisa ditangkal," urai Adipati
Subali panjang lebar.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Lalu..., bagaimana
caranya kita masuk ke sana, Kang?" Tanya Arya, agak heran.
"Melalui tembusan jalan
rahasia ini," jawab Adipati Subali, kalem. "Mari, Dewa Arak...!"
Arya tersenyum geli sendiri
ketika mendengar jawaban Adipati Subali. Mengapa dia menjadi begitu bodoh?
Bukankah hal-hal seperti itu telah dialaminya sendiri. Bahkan di lstana
Kerajaan Bojong Gading juga ada hal seperti ini.
Arya tahu, tembusan
jalan-jalan rahasia seperti itu biasanya terletak di tempat-tempat terpencil
dan sulit ditemukan orang.
"Ada apa, Arya?"
Tanya Adipati Subali ketika melihat Arya termenung dengan bibir menyunggingkan
senyuman lebar.
Teguran ini membuat Arya
tersentak. Buru-buru kepalanya digelengkan beberapa kali. "Ah...! Tidak
apa-apa, Kang...," jawab pemuda berambut putih keperakan.
Tentu saja Adipati Subali
tidak percaya atas jawaban Arya. Dia tahu, tidak ada sesuatu yang dipikirkan
bila pemuda berambut putih keperakan itu tidak termenung. Tapi laki-laki tinggi
besar itu berusaha bertindak bijaksana, dan tidak berusaha mendesaknya lagi.
Adipati Subali tahu, pendekar muda itu adalah seorang yang berwawasan luas.
Apabila telah mengeluarkan jawaban seperti itu, berarti memang tidak ada hal
yang penting.
"Kalau begitu, mari kita
mencari Rara Kunti."
Arya menganggukkan kepala.
Sesaat kemudian kedua tokoh yang baru berkenalan ini sudah melesat meninggalkan
tempat itu. Suara cicit burung, dan keruyuk ayam jantan menjadi pertanda dini
hari telah tiba. Itu berarti sang Surya akan segera muncul di ufuk Timur untuk
mengusir kegelapan yang mencengkeram bumi.
*** 2
Hari sudah tidak pagi lagi.
Bola raksasa di langit sudah mulai menyilaukan mata, ketika sesosok bayangan
hitam melesat cepat. Dia ternyata seorang gadis cantik berusia dua puluh tahun.
Pakaiannya serba hitam, membungkus tubuhnya yang langsing. Rambutnya yang
berwarna hitam digelung ke atas dan dihiasi sebuah amel berbentuk bunga mawar.
Menilik dari larinya yang
cepat dan ringan, bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian hitam itu memiliki
ilmu silat yang cukup tinggi.
Sementara itu, gadis
berpakaian hitam terus berlari cepat. Di tangan kanannya tercekal dua ekor
kelinci yang masih hidup. Entah, bagaimana binatang itu bisa tertangkap
hidup-hidup.
Langkah gadis berpakaian hitam
melambat, dan akhirnya terhenti ketika melihat sesosok tubuh berdiri di
depannya. Dia berhenti dalam jarak sekitar lima tombak di depan penghadangnya.
"Siapa kau?! Mengapa
menghadang jalanku?!" tanya gadis berambut digelung itu, keras.
Sepasang mata bening dan indah
milik gadis berpakaian hitam itu menatap ke arah penghadangnya, sesosok tubuh
berpakaian hitam. Wajahnya tidak terlihat, karena tertutup selubung berwarna
hitam pekat. Yang terlihat hanya sepasang matanya, karena pada bagian selubung
itu memang terdapat dua buah lubang, tepat pada bagian matanya.
"Ha ha ha...!" sosok
berpakaian hitam itu tertawa bergelak. "Siapa adanya aku, tidak soal. Yang
jelas, kau harus ikut denganku, Nisanak! Atau... kau ingin dibunuh
kawan-kawanku. Mereka tidak puas hanya dengan merebut Kadipaten Blambang!
Mereka juga menginginkan dirimu!"
Gadis berpakaian hitam itu
mengedarkan pandangan berkeliling. Dia tahu, sosok berpakaian hitam itu seorang
laki-laki. Nada suaranyalah yang memperkuat dugaannya. Tapi hal itu tidak
menarik perhatiannya. Dan pandangannya kembali beredar berkeliling, untuk
memastikan kalau laki-laki berpakaian hitam itu hanya sendirian.
"Kau hanya akan dapat
membawaku, apabila aku telah menjadi mayat!"
Usai berkata demikian, gadis
berpakaian hitam itu langsung melemparkan kelinci dalam genggamannya. Pada saat
yang bersamaan, tangan kanannya bergerak mencabut pedang yang tergantung di
punggungnya.
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
pedang itu keluar dari sarungnya. Sinar mata hari yang menyorot tepat di bilah
pedang yang putih mengkilat, dapat membuat lawan silau memandangnya. Maka hal
itu akan membuat sasaran yang dituju oleh pedang tidak terlihat.
Tapi, rupanya hal itu sama
sekali tidak berlaku bagi laki-laki berpakaian hitam. Buktinya ketika pedang
menyambar ke arah lehernya dengan arah serangan mendatar, hal itu bisa
diketahuinya. Malah, dia bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan senjata
lawan mendekat. Baru ketika angin serangannya sudah mulai menghembus lehernya,
tubuhnya dirundukkan. Dan...
Wusss! Babatan pedang itu
lewat beberapa jari di atas kepalanya. Menilik dari berkibarnya penutup kepala
ketika bilah pedang lewat, bisa diketahui kalau tenaga yang menopang serangan
gadis berpakaian hitam itu cukup kuat.
Gadis berpakaian hitam itu
merasa penasaran bukan kepalang melihat serangannya mampu dielakkan begitu
mudah. Maka ketika serangan pembukanya gagal mengenai sasaran, masih dalam
keadaan berada di udara, kaki kanannya meluncur ke arah dada.
Wuttt!
Kali ini, laki-laki berpakaian
hitam itu tidak mengelakkannya. Tendangan itu hanya dipapak dengan kedua tangan
terkepal yang saling disilangkan di depan dada.
Dukkk!
Benturan antara tangan dan
kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tidak bisa dielakkan lagi. Kontan
tubuh gadis berpakaian hitam terpental balik ke belakang. Sedangkan
penghadangnya terhuyung satu langkah ke belakang.
Meskipun demikian, laki-laki
maupun gadis berpakaian hitam itu mampu mematahkan kekuatan yang membuat
tubuhnya terhuyung dengan gerakan manis.
"Hup!"
Pada saat yang bersamaan
dengan hinggapnya kedua kaki gadis berpakaian hitam itu di tanah, penghadangnya
pun telah berhasil memperbaiki keadaannya pula. Tanpa memberi kesempatan lagi,
gadis berambut digelung itu langsung melancarkan serangan kembali. Pedang di
tangannya kembali berkelebat cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan disertai
suara mendesing nyaring.
Tapi, lak-laki berpakaian
hitam ternyata bukan orang sembarangan. Meskipun gadis berambut digelung itu
melancarkan serangan secara cepat dan bertubi-tubi, namun berhasil ditangkal
tanpa menemui kesulitan. Laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah
sambaran pedang lawan.
Bahkan ketika pertarungan
mulai menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berpakaian hitam itu telah berani
menangkis serangan pedang lawan dengan tangan telanjang. Luar biasa! Jangankan
putus atau terluka. Tergores pun tidak. Malah sebaliknya, tangan kanan gadis
berambut digelung itu yang terasa sakit dan kesemutan setiap kali pedangnya
berbenturan dengan tangan lawan.
Perlahan-lahan gadis
berpakaian hitam itu mulai terdesak. Gulungan sinar pedangnya yang tadi
membentuk gundukan lebar, dan terkadang mengurung tubuhnya bersama lawannya,
kini mulai menyempit Serangan-serangan yang dilancarkannya juga mulai
berkurang!
"Hhh...!"
Gadis berpakaian hitam itu
mengeluh dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau penghadangnya akan
selihai ini. Padahal, semula dia telah berbesar hati ketika melihat laki-laki
berpakaian hitam itu hanya sendirian saja. Dan dia yakin akan mampu
membereskannya. Perasaan kaget bercampur cemas mulai melanda, ketika dalam
benturan pertama kali ternyata kemampuan lawan tidak di bawahnya. Dan
kekhawatirannya semakin membesar ketika mengetahui kepandaian laki-laki berpakaian
hitam itu kian lama kian hebat. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun
serangan-serangannya ternyata jauh lebih dahsyat.
Namun gadis berambut digelung
itu juga bukan orang bodoh. Dia tahu, tadi lawannya tidak mengeluarkan seluruh
kemampuannya. Rupanya lakilaki berpakaian hitam itu ingin menjajaki
kepandaiannya lebih dahulu.
Tak sampai lima belas jurus,
gadis berpakaian hitam itu sudah dibuat terpontang-panting untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Beberapa kali tubuhnya jatuh bangun dan bergulingan. Sekujur
wajah dan tubuhnya telah basah kuyup oleh keringat. Napasnya pun
terengah-engah, karena terlalu memaksakan diri untuk mengerahkan seluruh
kemampuan.
"Akh...!"
Gadis berambut digelung itu
menjerit tertahan ketika kaki lawan menggaet kakinya, sehingga tubuhnya jatuh
telentang di tanah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, laki-laki berpakaian
hitam itu telah memburunya dengan sebuah totokan ke arah jalan darah di leher.
Kali ini, gadis berambut
digelung itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Untuk mengelak atau menang kis,
sama sekali tidak bisa dilakukan. Memang, keadaannya yang lelah dan keadaannya
yang sama sekali tidak menguntungkan, membuatnya tidak mampu bertindak apa-apa.
Namun, rasanya dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau dirinya tertotok
lumpuh tidak berdaya. Jelas malapetaka mengerikan akan terjadi atas dirinya.
Maka dengan sikap pasrah sepasang matanya dipejamkan agar tidak menyaksikan
kejadian itu.
Tapi, gadis berpakaian hitam
itu menjadi heran ketika menyadari serangan yang ditunggu-tunggu sama sekali
tidak kunjung datang. Bahkan suasana di sekelingnya terasa hening dan sepi.
Masih disertai perasaan heran yang melanda, kelopak matanya segera dibuka. Maka
seketika itu pula matanya terbelalak.
Betapa tidak? Laki-laki berpakaian
hitam itu ternyata sudah tidak berada lagi di situ. Tentu saja hal ini membuat
gadis berambut digelung itu heran bukan kepalang. Benarkah orang tadi telah
pergi? Lalu, mengapa meninggalkannya begitu saja. Padahal, dirinya tadi telah
dirobohkan! Perasaan heran pun berkecamuk di dalam benak gadis berpakaian hitam
itu. Benarkah laki-laki berpakaian hitam itu telah pergi?
Perasaan penasaran mendorong
gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap
saja tidak dijumpai adanya laki-laki berpakaian hitam tadi. Sekitar tempat itu
sepi, tidak nampak adanya sepotong makhluk pun disana.
Masih dengan dahi berkemyit
dalam, gadis itu bangkit dari tertelentangnya. Pakaiannya yang kotor
dikebut-kebutkan, lalu dijumput pedangnya dan dimasukkan kembali ke dalam
sarung. Kemudian setelah mengedarkan pandangan sekali lagi ke sekitarnya, dia
melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kunti...!"
Suara panggilan keras
membahana terdengar di sekitarnya, ketika gadis berambut digelung itu baru saja
melangkah beberapa tombak. Anehnya, dia terlonjak pertanda terkejut. Cepat
laksana kilat kepalanya dipalingkan ke belakang, karena suara itu memang
berasal dari sana.
"Ayah...!"
Terdengar teriakan bernada
ketidakpercayaan, keheranan, sekaligus bercampur kegembiraan dari mulutnya.
Kemudian dengan kedua tangan terkembang, gadis berpakaian hitam itu menghambur
ke arah asal panggilan tadi.
Orang yang memanggil tadi
ternyata seorang lakilaki tinggi besar. Tubuhnya kekar, terbungkus pakaian
indah berwarna kuning keemasan. Cambang bauk lebat yang menghias wajah, semakin
menambah kegagahan dan keangkerannya. Dia tak lain dari Adipati Subali!
"Tahan!" tiba-tiba
Adipati Subali menjulurkan tangannya ke depan.
"Ayah...?!"
Di tengah-tengah perjalanan,
tubuh gadis berpakaian hitam yang ternyata Rara Kunti itu langsung berhenti tak
mengerti. Raut kekecewaan dan ketidakmengertiannya tampak jelas pada wajahnya.
"Sebelum telanjur, bisa
kau tunjukkan punggungmu lebih dulu, Kunti?" Tanya Adipati Subali.
Sambil mengucapkan pertanyaan
demikian, lakilaki tinggi besar itu melangkah mundur. Sikapnya tampak penuh
kewaspadaan. Jelas, dia masih mencurigai Rara Kunti. Dan mundurnya, Adipati
Subali pun sudah dapat dipastikan untuk menjaga jarak antara mereka berdua.
Setidak-tidaknya apabila Rara Kunti melancarkan serangan, sebelum mengenai
sasaran dia mampu lebih dulu mengelak atau menangkis.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Ayah?!" sambut Rara Kunti disertai sorot mata penuh tanda-tanya.
Dan tampaknya, dia merasa tidak suka atas usul yang diajukan ayahnya.
"Untuk saat sekarang ini
kau tidak perlu mengerti, Kunti," penuh kesungguhan ucapan Adipati Subali.
"Yang penting, lakukan saja perintah yang kuberikan itu."
"Kau membuatku bingung,
Ayah. Perintahmu sama sekali tidak masuk di akal. Aku tidak sudi
melakukannya!" Tandas Rara Kunti, keras.
"Mengapa?" Tanya
Adipati Subali, agak bergetar suaranya.
"Karena itu akan
membuatku malu! Kau ingin aku memperlihatkan punggungku di depan orang
asing?!"
Sambil mengucapkan perkataan
berapi-api, gadis berpakaian hitam itu.mengerling ke arah sosok tubuh yang tadi
datang bersama ayahnya, dan kini berdiri di belakang. Sosok tubuh seorang
pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu, yang tak lain dari Dewa
Arak!
Adipati Subali terlonjak kaget
bagai disengat kalajengking. Mengapa hal itu sampai dilupakannya? Rara Kunti
benar! Kalau perintah itu dilakukan, putrinya akan menanggung malu!
Namun bukan hanya Adipati
Subali saja yang terkejut. Arya demikian pula. Bahkan pemuda berambut putih
keperakan itu dilanda perasaan malu yang lebih besar lagi. Selebar wajahnya
kontan memerah. Maka, bergegas, Arya membalikkan tubuh.
"Nah! Sekarang apa lagi
alasanmu, Kunti? Arya telah memberikan kelonggaran padamu untuk melaksanakan
perintahku. Cepat, Kunti! Terus terang, aku ingin menyingkap tabir yang
menyelimuti perasaanku. Bagaimana, Kunti? Kau keberatan memenuhi perintahku
itu?" Tanya Adipati Subali lagi, meminta kepastian.
Rara Kunti tidak sanggup
menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menganggukkan kepala perlahan. Bibirnya
digigit kuat-kuat gejolak perasaan yang melanda hatinya.
"Jadi..., kau setuju,
Kunti?" desak Adipati Subali lagi.
Rara Kunti kembali
mengangguk-anggukkan kepala.
Kini Adipati Subali tidak
ragu-ragu lagi. Buru-buru dihampirinya Rara Kunti. Meskipun demikian, laki-laki
tinggi besar itu masih bersikap waspada. Tapi, ternyata tidak dijumpai adanya
tindakan-tindakan yang mencurigakan pada Rara Kunti. Maka buru-buru kedua
tangannya dibalikkan dan diletakkan pada bahu gadis berpakaian hitam itu.
Sementara itu, Rara Kunti
tampak terguncangguncang menahan isak tangis. Hal ini karena ayahnya seperti
sudah tak mempercayainya sebagai anak. Namun, dia dapat memakluminya, karena
diyakini tujuan ayahnya benar.
Dan kini, ternyata Rara Kunti
tidak tinggal diam. Dia ikut membantu memperlihatkan bagian punggungnya, dengan
mengangkat baju bagian belakang.
Srrrkkk!
Sesaat kemudian, terpampang
punggung yang berkulit putih, halus, dan mulus, tanpa cacat sama sekali. Namun
kemulusan itu terusik oleh tanda yang berbentuk seekor ular kobra berwarna
biru. Suatu tanda kalau gadis berpakaian hitam itu adalah keturunan Eyang
Mandura.
"Kau memang benar Rara
Kunti. Anakku. Hhh...! Kini sudah jelas masalahnya. Kau sama sekali tidak
terlibat dalam pembunuhan terhadap ibumu!" desah Adipati Subali sambil
merapikan kembali pakaian Rara Kunti, seraya memeluk anaknya.
"Apa?! Apa katamu,
Ayah?!" Pekik Rara Kunti, keras. Raut wajah maupun sinar matanya kontan
memancarkan ketidakpercayaan dan keterkejutan yang amat sangat, tepat ketika
dia melepaskan pelukannya.
"Ibumu tewas, Kunti! Dan
perintahku padamu tadi bukan perbuatan mengada-ada. Itu merupakan salah satu
cara untuk menyingkap tabir pembunuhan terhadap ibumu!" Jelas Adipati
Subali panjang lebar.
"Ohhh...?!"
Rara Kunti mengeluh tertahan,
bibirnya tampak berkembik-kembik seperti ingin menangis. Raut wajahnya pucat
pasi laksana mayat. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Keluhan-keluhan
kesedihan keluar dari tenggorokannya. Jelas, gadis berpakaian hitam ini makin
dilanda sedih yang menggelegak.
"Ayah...!"
Tangis Rara Kuntj langsung
meledak ketika Adipati Subali tanpa ragu-ragu memeluknya kembali. Rara Kunti
menangis sesenggukan di pelukan ayahnya.
Adipati Subali membiarkan saja
Rara Kunti menumpahkan perasaannya. Dia tahu, hal itu akan melegakan tekanan
batin yang melanda putrinya. Yang dilakukan Adipati Subali hanyalah
mengeluselus rambut hitam dan tebal milik putrinya penuh kasih sayang. Sepasang
mata laki-laki tinggi besar ini nampak memerah, karena perasaan haru yang
melanda. Haru karena telah yakin kalau yang berada dalam pelukannya benar-benar
anaknya. Di samping itu juga karena mereka kembali bertemu.
Dan kini Rara Kunti sudah bisa
menguasai perasaannya. Perlahan-lahan gadis berpakaian hitam itu melepaskan
pelukannya. Air mata dan ingus yang timbul karena tangis disusut dengan sapu
tangannya. Kemudian, disimpannya kembali benda yang telah basah itu ke selipan
pinggangnya.
Sementara itu, Dewa Arak yang
berdiri di belakang mereka tampak tersenyum haru melihat pertemuan ayah dan
anak itu.
"Mengapa kau hanya
sendirian saja, Ayah? Mana Paman Sagala? Dan mengapa kau waktu itu
meninggalkanku sendirian, Ayah?" Tanya Rara Kunti bertubi-tubi, seraya
menatap wajah laki-laki tinggi besar itu lekat-lekat.
Sinar mata Rara Kunti tampak
penuh tuntutan dan menghendaki jawaban atas pertanyaannya.
"Hhh...!"
Sambil menghela napas berat,
Adipati Subali membalas tatapan putrinya tak kalah tajam.
"Panjang ceritanya,
Kunti," jawab laki-laki tinggi besar itu setengah mendesah.
Tarikan wajah Adipati Subali
tampak penuh kedukaan. Karuan saja hal itu membuat wajah Rara Kunti yang telah
basah oleh air mata itu menjadi heran bukan kepalang.
"Apakah kau keberatan
untuk menceritakan semua peristiwa itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti, melihat
tatapan ayahnya seperti itu.
Masih terdengar serak dan
tersendat-sendat suara Rara Kunti, meskipun tangisnya telah usai. Sekarang,
yang tertinggal hanyalah sepasang mata dan ujung hidung yang merah.
"Tidak," sahut
Adipati Subali sambil menggelengkan kepala.
Kemudian laki-laki tinggi
besar ini lalu menceritakan semua kejadiannya. Sementara, Rara Kunti
mendengarkan penuh perhatian. ***
"Begitulah ceritanya,
Kunti. Kalau saja tidak ada Arya alias Dewa Arak, mungkin kau tidak akan pernah
bertemu lagi dengan ayahmu ini," tutur Adipati Subali mengakhiri
ceritanya.
Seiring selesainya cerita itu,
Adipati Subali dan Rara Kunti teringat akan keberadaan pemuda berambut putih
keperakan yang berdiri membelakangi mereka. Bagai diperintah, keduanya samasama
mengalihkan pandangan ke tempat Arya berada. Tampak pemuda berambut putih
keperakan itu masih dalam keadaan seperti tadi.
"Cukup, Arya." ujar
Adipati Subali.
Arya membalikkan badan,
kemudian menghampiri Adipati Subali dan Rara Kunti.
"Maaf. Kami terlupa Arya.
Ah! Masalah ini memang membingungkan kami...," desah Adipati Subali penuh
penyesalan.
"Lupakan, Kang. Tidak ada
yang perlu dimaafkan. Karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Aku
memakluminya, kok," ringan jawaban Arya.
"Aku pun minta maaf
padamu, Arya," ucap Rara Kunti pula sambil mengulurkan tangan. Dan Arya
menyambutnya.
"Justru akulah yang
seharusnya minta maaf padamu, Kunti." tegas Arya, menyebut nama gadis
berpakaian hitam itu seperti Adipati Subali memanggilnya.
"Hehhh...?! Mengapa
begitu, Arya?" Tanya Rara Kunti dengan alis berkerut, heran.
"Karena, akulah yang
telah membuatmu terjatuh tadi," jelas Arya. "Jadi..., kau...?!"
Rara Kunti sengaja menggantung ucapannya di tengah jalan. Tapi, Arya tahu
kelanjutannya. Maka kepalanya pun dianggukkan.
"Benar. Akulah orang yang
tadi bertarung denganmu. Akulah laki-laki yang berpakaian hitam tadi,"
jelas pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ahhh...!"
*** 3
Rara Kunti berseru kaget.
Memang, apa yang didengar tadi sama sekali tidak disangka-sangka.
"Mengapa kau lakukan itu,
Arya?" Tanya Rara Kunti bernada kesal. "Apakah hendak menunjukkan
ketinggian ilmu yang kau miliki, atau ingin menghinaku?"
Karuan saja nada tidak senang
yang terdengar jelas dalam ucapan gadis berpakaian hitam itu, membuat Arya
kelabakan. Apalagi, ketika melihat sorot mata Rara Kunti yang begitu tajam
menusuk. Tidak lagi ramah, seperti sebelumnya. Arya bisa memaklumi sikap yang
ditunjukkan Rara Kunti. Dia tahu, kelakuannya tadi pasti menyinggung hati gadis
itu.
"Sabar dulu, Kunti."
Sergah Arya cepat sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Kau salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Tidak usah pura-pura,
Dewa Arak!" Potong Rara Kunti keras. "Aku tahu, kepandaianku memang
tidak ada artinya bila dibanding kepandaianmu. Kuakui, kau seorang tokoh besar.
Tapi itu bukan berarti kau bisa seenaknya menghinaku! Mari, kita lanjutkan
pertarungan tadi."
Arya kebingungan melihat
kemarahan Rara Kunti semakin berkobar-kobar. Apalagi, ketika melihat tangan
gadis itu sudah terjulur ke punggung. Maksudnya sudah bisa ditebak. Apalagi
kalau bukan untuk menghunus pedangnya?
Tapi sebelum maksud gadis
berpakaian hitam itu tercapai, sebuah tangan kekar telah mencekal pergelangan
tangannya.
"Sabar dulu, Kunti,"
cegah Adipati Subali lembut Memang, dialah pemilik tangan kekar itu.
"Lepaskan, Ayah. Biar aku
mengadu nyawa dengan pendekar besar ini! Jangan dikira mentang-mentang telah
menolong, lantas bisa seenaknya saja menghina orang lain!" Rara Kunti
tetap bersikeras.
"Dengar dulu penjelasan
Ayah, baru setelah itu terserah padamu untuk memutuskannya. Jangan khawatir,
Ayah akan berada di pihakmu!"
Tangan Rara Kunti yang semula
sudah menegang keras dan siap untuk memberontak, perlahan-lahan mengendur.
Bahkan akhirnya kembali ke sisi pinggang.
"Kalau begitu...,
terserah Ayah," desah Rara Kunti mengalah. Pelan sekali suaranya, mirip
bisikan.
Adipati Subali
menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Dia tahu betul sifat Rara
Kunti yang demikian keras! Apabila berkata hitam, tetap hitam sebelum mendapat
bukti kalau ucapannya salah. Meskipun demikian, dia tidak pernah membantah
perintah. Terutama apabila ayahnya telah menunjukkan sikap sungguh-sungguh.
"Arya tidak bisa
disalahkan, Kunti. Karena itu memang bukan kesalahannya. Hal itu dilakukan
hanya untuk memenuhi permintaan Ayah," jelas lakilaki tinggi besar itu.
"Aku..., aku jadi semakin
tidak mengerti, Ayah. Arya menghadang perjalananku dan memaksaku bertarung
adalah untuk memenuhi permitaan Ayah. Atau..., Ayah ingin melihat kemajuanku?"
Bertubi-tubi dan hampir tanpa henti Rara Kunti mengutarakan kedongkolan
hatinya.
"Kau kan sudah dengar
cerita ayah tadi, Kunti?!" tanya Adipati Subali, mengingatkan.
Rara Kunti menganggukkan
kepala. Namun masih belum dimengerti, mengapa laki-laki tinggi besar itu
mengaitkan penyerangan Dewa Arak dengan peristiwa berdarah yang menimpa
rombongan ayahnya.
"Kau lupa, Kunti. Gadis
yang bersama Sagala, menampilkan wajah dan sosok tubuh dirimu! Hanya saja,
kepandaiannya amat tinggi. Aku dan Dewa Arak mempunyai dua buah dugaan mengenai
dirimu tadi."
Sampai di sini Adipati Subali
menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan anaknya. Tapi gadis
berpakaian hitam itu sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun. Dia hanya
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengernyitkan dahi. Jelas, ada sesuatu yang
tengah dipikirkannya.
"Dugaan pertama, gadis
yang bernama Sagala benar-benar dirimu. Hanya saja, diam-diam kau telah
mempelajari ilmu kepandaian darinya. Sedangkan dugaan kedua, ada gadis yang
mempunyai hubungan perguruan dengan Sagala, dan menyamar sebagai dirimu. Untuk
membuktikan dugaan itulah, aku dan Arya kembali kemari," sambung Adipati
Subali.
Ekor mata Rara Kunti mulai
mengerling ke arah Arya. Tampak pemuda berambut putih keperakan itu bersikap tenang.
Tak terlihat ada sedikit pun gambaran dendam di wajahnya. Hal ini membuat hati
gadis berpakaian hitam tidak enak. Dan gelagat adanya ketidakbenaran tuduhannya
terhadap Dewa Arak sudah mulai tercium. Diam-diam dia mulai menyesali
kecerobohannya.
"Di istana, aku tidak
menemukan dirimu. Untung, aku ingat ruang rahasia di balik pot. Sampai
akhirnya, aku bertemu denganmu. Untuk membuktikan dugaanku, Arya kuminta untuk
membuatmu terlibat dalam pertarungan. Sedangkan aku menyaksikan dari tempat
tersembunyi. Lega hatiku ketika kulihat kau benar-benar mengeluarkan ilmu
warisanku. Dan aku tidak melihat adanya kelihaian yang ditampilkan sewaktu
terjadi peristiwa pembunuhan itu. Maka aku yakin, ada orang yang telah
memalsukan dirimu. Namun demikian, aku masih belum yakin atas dirimu. Makanya,
aku memintamu agar memperlihatkan punggungmu!" Adipati Subali mengakhiri
penjelasannya dengan raut wajah gembira bercampur lega.
"Tapi... Mengapa Ayah
masih mencurigaiku?" Sergah Rara Kunti penasaran.
"Aku hanya merasa penasaran.
Tanda di punggungmu itu merupakan bukti kalau kau adalah keturunanku,"
sahut Adipati Subali mantap. "Tanda itu berupa gambar seekor ular kobra.
Maaf. Selama ini aku belum menceritakannya padamu."
Rara Kunti kontan terdiam.
Tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut, baik di benak maupun di hatinya.
Semuanya jelas, kalau dia telah salah duga terhadap Arya. Maka dengan wajah
merah padam karena perasaan malu, tatapannya dialihkan pada pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Maafkan aku, Arya. Aku
telah menuduhmu yang bukan-bukan," ucap gadis berpakaian hitam itu pelan.
Bahkan ucapan itu dikeluarkan sambil menundukkan wajah. Kalau saja Arya dan
Adipati Subali bukan orang-orang yang memiliki kepandaian, pasti tidak akan
mendengarnya.
"Lupakanlah, Kunti. Aku
tahu, kau hanya salah paham. Lagi pula, kau memang patut untuk marah, kok. Aku
memang keterlaluan memperlakukanmu. Dan justru akulah yang seharusnya minta
maaf padamu," ucap Arya. Kontan Rara Kunti jadi tersipu-sipu mendengar
sambutan Dewa Arak.
"Nah! Sekarang masalah
ini telah selesai. Kini tinggal dua masalah lagi yang belum diselesaikan,"
kata Adipati Subali mengalihkan pembicaraan agar suasana canggung itu lenyap.
"Apa masalah itu,
Ayah?" Tanya Rara Kunti, cepat. Sebenarnya bukan karena Rara Kunti ingin
menge-
tahui masalah-masalah itu.
Tapi sebagian besar didorong oleh perasaan ingin membebaskan diri dari keadaan
tidak enak yang mengungkukungnya.
"Masalah pertama, mencari
dan membalas dendam pada pembunuh ibumu. Kunci masalah ini ada di tangan Sagala.
Dan kedua, memecahkan rahasia leluhurmu!"
Setelah berkata demikian,
Adipati Subjali menoleh ke arah Arya. Tanpa laki-laki tinggi besar itu membuka
suara pun, Dewa Arak telah tahu maksudnya. Maka buru-buru dikeluarkannya
gulungan kulit binatang dari batik
bajunya.
Adipati Subali mengulurkan
tangan menerimanya. Kemudian secara singkat tapi jelas, semua hal yang
berhubungan dengan surat peninggalan ini diceritakannya. (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca episode sebelumnya, serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia
Syair Leluhur").
Rara Kunti mendengarkan semua
cerita ayahnya penuh minat. Karena, memang baru kali inilah Adipati Subali
menceritakannya.
"Begitulah ceritanya,
Kunti," kata Adipati Subali mengakhiri ceritanya.
"Bisa kulihat surat itu,
Ayah?" Pinta gadis berpakaian hitam itu.
"Tentu saja, Rara
Kunti!" Lalu Adipati Subali menyerahkan gulungan surat yang terbuat dari
kulit binatang itu pada putrinya. Rara Kunti menerimanya penuh gairah, dan
langsung membuka gulungannya. Sementara Arya dan Adipati Subali hanya
memperhatikan tanpa perasaan curiga. Memang, kedua orang ini telah percaya
kalau Rara Kunti sama sekali tidak terlibat dalam masalah pembunuh itu.
Dengan bibir sedikit
berkemik-kemik, Rara Kunti membaca huruf-huruf yang tertera di atas surat yang
terbuat dari kulit binatang.
Matahari beredar....
Dari tempat hati yang pilu Air
berasal...
Tempat yang akan dituju Bukti
leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir dari Raja Memberi Derma
Pintu kebahagiaan
"Bagaimana tanggapanmu,
Kunti?" Tanya Adipati Subali tak sabar ketika melihat gadis berpakaian
hitam itu termenung.
Rara Kunti mengalihkan
pandangannya dari gulungan kulit binatang itu. Kini, ditatapi wajah ayahnya
lekat-lekat. Kemudian, perlahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Aku tidak bisa mengambil
kesimpulan apa-apa dari bait-bait syair ini, Ayah. Tapi aku hanya merasa heran.
Mengapa 'Bukti Leluhur' yang baru saja Ayah ceritakan dan 'Raja Memberi Derma'
yang merupakan salah satu jurus yang kita miliki masuk dalam bait-bait
ini." gumam Rara Kunti. Adipati Subali terlonjak. Wajahnya pun kontan
berubah hebat. Tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat.
Jelas, hal ini karena ucapan Kara Kunti. Melihat sikap ini, tentu saja membuat
gadis berpakaian hitam itu jadi heran.
Belum lagi hilang perasaan
kagetnya, Adipati Subali telah mengulurkan tangan. Dan....
Tappp!
Tanpa Rara Kunti mampu berbuat
apa-apa, gulungan kulit binatang itu telah berpindah tangan. Memang, gerakan
laki-laki tinggi besar terlalu cepat Ja-di, andaikata dia sempat berbuat
sesuatu pun, tetap saja gulungan kulit binatang itu akan terampas oleh Adipati
Subali.
***
Secepat surat itu berada di
tangan, secepat itu pula Adipati Subali membuka gulungannya dan membaca ulang.
Sementara, Rara Kunti mengawasi dengan perasaan heran. Tapi, tidak demikian
halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu, ucapan Rara Kunti
telah membuat Adipati Subali menemukan hubungan bait-bait yang berada dalam
surat peninggalan leluhurnya.
"Ah! Kau benar,
Kunti!" seru Adipati Subali seraya menggulung surat itu. "Mengapa,
aku demikian bodoh?! Ah! Ucapanmu ini telah membuat salah satu bait ini telah
terpecahkan. Sekarang, tinggal satu bait lagi, Kunti, Arya."
"Aku tidak mengerti,
bagaimana hal itu bisa kau pecahkan, Ayah?" Tanya Rara Kunti tidak
mengerti.
"Baris demi baris yang
terdapat dibait kedua ini mudah sekali diartikan, setelah kau menemukan
kuncinya, Kunti. Ah! Kau benar-benar seorang gadis cerdik," jawab Adipati
Subali. "Agar kau jelas, sebaiknya kuterangkan padamu."
Laki-laki tinggi besar ini
menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Syair dibait kedua ini
berhasil kupecahkan setelah menggabungkan kesimpulan yang kudapatkan bersama
Arya, dengan ucapanmu tadi. Menurut dugaanku, kita harus mencari tempat yang
memiliki tanda atau gambar seperti yang tertera pada punggung kita. Di sini
dikatakan, bukti leluhur awal dari kerja keras. Oleh karena itu, kita harus
mencarinya."
Adipati Subali menghentikan
ucapannya sejenak untuk menenangkan deru napasnya. Perasaan tergesa-gesa untuk
memberitahukan kesimpulan yang didapatnya pada Arya serta Rara Kunti, dan
perasaan gembira karena telah berhasil menemukan kesimpulan bait kedua, menjadi
penyebabnya.
"Dan apabila kita telah
menemukan gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' di tempat itu, maka kita dapat
menemukan tempatnya hanya dengan jurus 'Raja Memberi Derma'," sambung
laki-laki tinggi besar itu lagi.
Rara Kunti Dan Arya
mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya kedua orang itu sama-sama menyetujui
kesimpulan yang didapatkan Adipati Subali.
"Bagaimana pendapatmu
atas kesimpulanku, Arya?" Adipati Subali yang belum puas melihat anggukan
kepala Arya, mengajukan pertanyaan secara langsung.
"Aku yakin, kesimpulan
yang kau dapatkan itu sangat tepat, Kang," sahut Arya. "Apa alasanmu,
Arya?" desak Adipati Subali tidak begitu saja menelan jawaban itu.
"Ada dua alasan yang
menyebabkannya."
"Dua?!" Alis Adipati
Subali berkernyit dalam. "Banyak sekali, Arya?!"
Arya hanya menyunggingkan
senyum lebar. "Pertama, kesimpulan yang Kakang dapatkan itu
memang masuk akal apabila
dihubung-hubungkan dengan syair yang terdapat pada bait kedua," Arya mulai
menguraikan alasannya.
Adipati Subali menggumam pelan
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Jawaban seperti itu memang sudah diduga.
"Lalu yang kedua?"
"Ini alasan yang paling
tepat, Kang. Begini. Leluhurmu tak akan mungkin sembarangan membuat surat
rahasia yang berisi pusaka-pusaka peninggalannya. Aku yakin, dia tidak ingin
surat itu terjatuh di tangan orang yang bukan keturunannya. Jadi, dia harus
membuat sebuah teka-teki yang hanya dapat dipecahkan keturunannya. Itu
alasanku, Kang," urai Arya panjang lebar.
"Kau benar, Arya,"
ujar Adipati Subali, setelah termenung sejenak memikirkan kata-kata pemuda
berambut putih keperakan itu. "Kini aku baru ingat, mengapa ayahku begitu
memperhatikan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Padahal, ilmu itu termasuk ilmu
rendahan. Ketika kutanyakan mengapa demikian? Jawabannya, itu adalah pesan
kakek sebelum meninggal. Hhh...! Sama sekali tidak kusangka kalau ilmu 'Enam
Jurus Tingkah Raja'lah yang akan menjadi bagian terpenting untuk bisa
mendapatkan pusaka itu."
"Ilmu 'Enam Jurus Tingkah
Raja'?!" Tanya Arya dengan alis berkerut.
"Benar," Adipati
Subali menganggukkan kepala. "Jurus-jurus yang terkandung dalam ilmu itu,
di antaranya adalah jurus 'Raja Menolak Sembah', jurus 'Raja Merebut Tahta',
dan jurus 'Raja Memberi Derma'."
Sekarang Arya baru mengerti,
dan membuatnya terdiam. Adipati Subali tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Demikian pula Rara Kunti. Gadis berpakaian hitam ini pun membisu. Hasilnya,
suasana menjadi hening.
"Tapi, di mana tempat
gambar atau tanda 'Bukti Leluhur' itu, Ayah?" Tanya Rara Kunti memecahkan
keheningan yang terjadi.
"Itu yang harus kita
cari, Kunti," jawab Adipati Subali cepat.
"Di mana kita harus
mencarinya, Ayah? Dunia ini begitu luas? Apakah kita harus meneliti setiap
tempat yang ditemui? Lalu sampai kapan kita akan menemukannya? Aku yakin sampai
usia selesai pun, dunia ini belum habis kita jelajahi." Sambut Rara Kunti
mengemukakan pendapat
Adipati Subali tercenung
mendengar ucapan putrinya. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Rara Kunti.
"Jangan berputus asa
seperti itu, Kunti. Tidak baik," celetuk Arya. "Ingat, ayahmu baru
memecahkan rahasia di bait kedua. Aku yakin, jawaban pertanyaanmu ada di bait
pertama."
"Kau benar, Arya!"
Sentak Adipati Subali cepat. Kembali laki-laki tinggi besar ini membuka kem-
bali gulungan kulit binatang
itu.
"Ah! Mengapa aku sampai
lupa? Bukankah aku baru memecahan rahasia di bait kedua?!" rutuk Adipati
Subali dalam hati.
Tampak kedua tangan Adipati
Subali agak menggigil ketika membuka gulungan surat itu. Meskipun hafal syair
itu, tapi dia lebih suka membaca ketimbang mengingat-ingat hafalannya. Karena
dengan melihat lulisan syair itu, lebih mudah untuk memikirkan pemecahannya.
"Mungkin aku bisa
menyumbangkan pikiran, Kang. Aku mempunyai sebuah kesimpulan, tapi sayangnya
tidak untuk keseluruhan syair," sambu Arya yang sejak tadi juga berusaha
memecahkan bait pertama. Tanpa disengaja, Rara Kunti telah membuat tabir gelap
yang melingkupi syair leluhur itu mulai tersingkap.
"Apa kesimpulan yang kau
dapatkan, Arya? Katakanlah," desah Adipati Subali seraya mengalihkan
pandangan ke arah Dewa Arak.
"Aku hanya bisa menarik
kesimpulan dari tiga baris syair itu, Kang. Satu baris di antaranya, tidak bisa
kuartikan. Aku yakin hal ini hanya akan dapat dipecahkan oleh kau atau Rara
Kunti!" sahut Arya.
"Begini, Kang. Baris
pertama, baris kedua, baris ke tiga, dan keempat, tidak bisa diartikan
perbaris. Karena masing-masing mempunyai hubungan. Untuk mengetahui arti baris
pertama atau ketiga, kita harus meminta bantuan baris kedua dan keempat."
Sampai di sini Arya
menghentikan penjelasannya untuk melihat tanggapan Adipati Subali dan Rara
Kunti atas kesimpulan yang diutarakan. Dan seperti yang sudah diduga, baik Rara
Kunti maupun Adipati Subali sama-sama menganggukkan kepala pertanda menyetujui
kesimpulannya. Maka Dewa Arak pun meneruskan ucapannya.
"Baris pertama mengandung
arti, kalau kita ingin menemukan tempat yang memiliki gambar bukti leluhur,
maka kita harus mengikuti terbitnya matahari. Jadi kita harus menuju ke arah
Timur. Sayangnya, darimana harus memulai pencarian itu, aku tidak bisa
memastikan. Di situ dikatakan, 'Dari tempat hati yang pilu’. Aku tidak bisa
mengartikannya. Tapi aku yakin, kau akan tahu."
Arya menghentikan ucapannya
sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya.
"Baris ketiga menunjukkan
pada mata air. Dan tempat itu akan ditemukan, apabila kita telah melakukan perjalanan
ke arah Timur, 'Dari tempat hati yang pilu itu'. Begitulah kesimpulan yang
kudapatkan, Kang," Kata Arya, mengakhiri.
"Luar biasa!" seru
Adipati Subali sambil mengacungkan jempol kanannya. Laki-laki tinggi besar ini
tampak gembira bukan kepalang. "Kau benar-benar hebat, Arya! Aku yakin
kesimpulan yang kau dapatkan tidak meleset. Kita akan dapat memecahkan rahasia
syair ini!"
"Mengapa kau demikian
yakin, Kang? Bukankah itu hanya kesimpulanku saja. Dan lagi, baris kedua tidak
bisa kujabarkan," sambut Arya, heran.
"Baris kedua tidak jadi
masalah, Arya. Karena, aku telah bisa menduga di mana tempatnya," jawab
Adipati Subali bernada yakin.
Seketika itu juga, wajah Arya
dan Rara Kunti berseri-seri.
"Benarkah ucapanmu itu,
Ayah? Kau tahu arti yang terkandung di dalam baris kedua?!" Tanya Rara
Kunti, penasaran.
Adipati Subali menganggukkan
kepala.
"Aku teringat cerita ayah
padaku. Beliau mengatakan, kakek meninggal dunia karena penyakit. Penyakit itu
timbul karena kakek dilanda perasaan sedih yang amat sangat dan berkepanjangan.
Dan kesedihan itu timbul karena kakek terpaksa harus meninggalkan tempat yang
amat dicintainya. Memang, kakek meninggalkan tempatnya disertai perasaan
pilu."
"Jadi...," Rara
Kunti menggantung ucapannya. "Kita harus menuju ke tempat kediaman kakek
kalau ingin menemukan pusaka peninggalannya," sahut Adipati Subali,
memberi keputusan.
"Berarti, teka-teki ini
telah terpecahkan, Ayah?” Tanya Rara Kunti, meminta kepastian.
Laki-laki tinggi besar itu
menganggukkan kepala. Sepasang matanya berbinar-binar. Wajahnya pun tampak
ceria. Jelas, Adipati Subali merasa gembira bukan kepalang.
"Sekarang, kita harus
menuju tempat tinggal kakek yang dulu. Dari sana, kita akan menuju ke arah
Timur sampai akhirnya bertemu sebuah mata air kecil. "
"Lalu, kita cari tanda
atau gambar 'Bukti Leluhur’ di sekitar tempat itu. Dan bila telah bertemu,
mainkan jurus 'Raja Memberi Derma' untuk menemukan pusaka rahasia itu. Bukan
begitu, Ayah?" potong Rara Kunti, cepat.
"Kau cerdik, Kunti,"
puji Adipati Subali.
"Kau mengejekku,
Ayah," rajuk Rara Kunti manja. 'Tidak, Kunti. Ayah mengatakan yang
sejujumya.
Kau memang benar-benar cerdik.
Bukankah kau yang telah menyebabkan Ayah berhasil memecahkan tekateki
ini?" Adipati Subali memberi alasan.
Rara Kunti pun terdiam.
Diam-diam matanya mengerling pada Arya. Memang, timbul perasaan suka di hatinya
melihat pemuda berambut keperakan itu. Ketenangannya, ketampanan wajahnya, dan
kematangan sikapnya membuat hatinya tergetar. Tapi, gadis berpakaian hitam ini
merasa kecewa ketika mengetahui Arya sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
"Tidak sukakah dia
padaku? Bukankah aku cantik?" kata Rara Kunti sendiri dalam hati.
"Mengapa melamun, Kunti.
Mari berangkat. Kita harus bergegas agar tidak keduluan orang lain."
Ucapan Adipati Subali membuat
Rara Kunti tersadar dari lamunannya. Buru-buru kakinya melangkah mengikuti
Adipati Subali dan Arya yang telah bersiap berangkat Sesaat kemudian, ketiga
orang ini pun telah beranjak meninggalkan tempat itu.
*** 4
"Keparat!"
Sebuah makian keras menguak
keheningan pagi. Embun belum seluruhnya terusir pergi. Tampak masih ada
sebagian yang menempel di dedaunan.
"Mengapa, Kang
Sagala?" Suara bernada lembut menyambut makian kera tadi. Meskipun
demikian, tampak jelas nada keingintahuannya.
Pemilik suara lembut itu
ternyata seorang wanita berwajah cantik. Pakaiannya berwarna hitam. Rambutnya
digelung ke atas dan ditusuk sebatang amel berbentuk bunga mawar.
Wanita berpakaian hitam itu
menatap ke arah seorang lelaki di sebelahnya yang dipanggil Sagala tadi. Lelaki
itu berwajah pucat, seperti orang penyakitan. Pakaiannya berwarna kuning,
membungkus tubuhnya yang kecil kurus. Saat ini, Sagala memang tengah
marah-marah. Ini bisa dibuktikan dari sorot matanya dan raut wajahnya yang merah
padam.
"Kau bertanya mengapa,
Kumari? Tidak bisakah kau menduga?! Aku sedang kesal tahu! Berhari-hari makna
syair ini kupikirkan, tapi tak juga kutemukan maksud yang terkandung di
dalamnya. Syair sialan!"
Sagala mengalihkan pandangan
ke arah surat yang tergenggam di kedua tangannya. Secarik surat yang terbuat
dari kulit binatang.
"Hehhh...?! Mengapa kau
memanggilku Kemari, Sagala? Mengapa tidak lagi Rara Kunti seperti
sebelumnya?!" wanita berpakaian hitam yang menyamar sebagai Rara Kunti,
padahal sebenarnya bernama Kumari, menyambuti penuh ejekan. "Sudahlah,
Kumari. Aku sedang tidak ingin ber-
main-main! Lebih baik, copot
penyamaranmu! Tidak ada gunanya lagi menyamar sebagai Rara 'Kunti! Aku muak
melihatnya, tahu!" Sergah Sagala keras.
"Hi hi hi...! Baiklah
kalau itu maumu, Sagala!"
Setelah berkata demikian,
Kumari bangkit. Hanya dengan sekali lesatan, tubuhnya telah lenyap di balik
semak-semak yang terletak di dekat mereka.
"Hhh...!"
Sagala menghela napas berat.
Sama sekali tidak dipedulikan keadaan Kumari lagi. Pandangannya dialihkan
sebentar ke arah sungai yang terbentang di hadapannya. Sebuah sungai berair
jemih dan terlihat segar. Begitu indah. Apalagi di bagian kirinya tampak
gerombolan semak-semak memanjang, yang membuat sungai ini tidak tampak dari
arah kiri.
Tapi hanya sebentar saja
Sagala terlarut dalam lamunan seperti itu, karena sekejap kemudian sepasang
mata dan pikirannya ditujukan ke arah secarik kulit binatang yang dibentang
oleh kedua tangannya. Dibacanya sekali lagi huruf-huruf yang tertera di atas
kulit binatang itu.
Orang mengajukan pertanyaan
padaku. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Untuk pergi mengelilingi dunia?
Itu pertanyaannya
Aku hanya tersenyum saja
Karena itu pertanyaan yang
mudah Aku jawab sambil tertawa
Sehari bagi sang surya
"Keparat! Syair terkutuk!"
Kembali Sagala memaki. Tapi,
kali ini disertai gerakan kedua tangannya yang meremas. Terdengar suara
berkerisik pelan ketika lembaran kulit binatang itu hancur berkeping-keping.
"Phuhhh...!"
Sagala meniup cabikan-cabikan
kulit binatai yang tergenggam di kedua tangannya. Maka cabikancabikan itu pun
melayang jauh ke angkasa. Lelaki kecil kurus itu hanya mengikuti dengan
pandangan matanya.
Dan pandangan mata Sagala sama
sekali tidak berubah sekalipun, di angkasa sudah tidak terlihat lagi adanya
cabikan-cabikan kulit binatang. Tampaknya Sagala tengah melamun.
***
"Ikh...!"
Sagala sampai terlompat dari
duduknya ketika mendengar pekik keterkejutan itu. Pemilik suara itu dikenalinya
betul. Rara Kunti palsu alias Kumari! Cepat laksana kilat, laki-laki kecil
kurus Ini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Sekujur uraturat syaraf Ian
otot-otot tubuhnya menegang waspada. Sagala tahu, pasti ada sesuatu yang tengah
terjadi. Oleh karena itu, dia bersiap-siap untuk menyambutnya.
Belum juga Sagala sempat
berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan biru. Cepat bukan kepalang
gerakannya, sehingga hanya dalam sekejapan saja telah berada didepan Sagala.
"Ada apa, Kumari?! Kau
tampak demikian pucat?!" Tanya Sagala, heran. Bayangan biru itu memang tak
lain dari Kumari, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Wajahnya cantik, tapi pesolek dan terlihat genit. Rambutnya yang semula
digelung ke atas, sekarang dibiarkan terurai di bahu.
Tapi bukan dandanan Kumari
yang membuat Sagala kaget, karena memang dandanannya demikian. Yang membuat
Sagala heran adalah sikap Kumari yang nampak demikian gugup. Bahkan wajahnya
pun pucat bukan kepalang.
"Celaka, Sagala! Cepat
pergi dari sini...!"
Bukannya menjawab pertanyaan
Sagala, Kumari malah mengajaknya pergi. Bahkan diucapkan dengan suara gugup.
Terbukti, bibir yang mengucapkan perkataan itu tampak menggigil. Karuan saja
hal itu membuat Sagala semakin heran dan kesal.
"Tingkahmu seperti anak
kecil saja, Kumari! Katakan, mengapa kau bersikap seperti ini! Kalau kau tidak
mau mengatakannya, jangan harap aku akan memenuhi ajakanmu itu!" keras
ucapan Sagala.
"Aku melihat
guru...," pelan dan bergetar ucapan Kumari, pertanda dikeluarkan lewat
hati yang ketakutan. Kepala yang menoleh kesana kemari sebelum berucap, menjadi
pertanda betapa besarnya perasaan takut yang tengah melandanya.
"Apa...?! Kau yakin itu
guru?" Tanya Sagala berbisik. Meskipun demikian, tarikan wajahnya
menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
Maka dengan sebuah lesatan
cepat, Sagala bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak. Hal yang sama pun
dilakukan Kumari.
"Aku yakin sekali,
Sagala! Karena, aku jelas melihatnya. Aku tengah berganti pakaian di dalam
semak-semak, ketika melihat guru bersama orang yang kuduga adalah Iblis Mayat
Hidup, tengah berjalan perlahan-lahan menuju kemari. Ahhh...! Mudahmudahan saja
tua bangka-tua bangka itu tidak lewat sini...!" desah wanita berpakaian
hitam itu lagi dalam bisiknya di telinga Sagala.
"Sayang sekali,
keinginanmu tidak terkabul, Kumari."
Sebuah suara serak dan berat
menyambuti ucapan Kumari.
Bagai disengat ular berbisa,
tubuh Kumari dan Sagala terjingkat ke belakang. Raut wajah mereka menampakkan
keterkejutan yang amat sangat. Bahkan wajah keduanya pucat pasi, seperti tidak
dialiri darah sama-sekali.
Bagai diperintah, Sagala dan
Kumari langsung memalingkan wajah ke arah belakang. Kontan keduanya melangkah
mundur tanpa sadar, ketika melihat dua sosok tubuh tengah berdiri berjarak tiga
tombak di depan mereka.
"Bagaimana kabar kalian
berdua, Sagala, Kumari?"
Suara yang berasal dari
pemilik yang sama kembali terdengar serak dan berat.
Sagala dan Kumari saling
berpandangan sejenak. Kelihatan sekali kalau kedua orang ini merasa gugup bukan
kepalang. Kemudian, pandangan mereka dialihkan ke arah orang yang menegur. Dia
adalah seorang kakek berwajah mirip kera. Tubuhnya agak membungkuk. Kedua
tangannya terkulai di bawah lutut, mirip seekor kera. Bulu-bulu lebat, tebal,
dan hitam memenuhi sekujur tangan dan dadanya yang terbuka. Memang, guru Kumari
dan Sagala ini mengenakan rompi berwarna hitam dan berbulu kasar.
"Ba..., baik, Guru.
Ka..., kami baik-baik saja. Bukan begitu, Kumari?" sahut Sagala
gugup. "Be..., benar, Guru,"
sahut Kumari, cepat. "Ha ha ha...!"
Kakek berwajah mirip kera itu
tertawa bergelak. Keras bukan kepalang, sehingga terdengar menggelegar seperti
suara halilintar. Bahkan suasana di sekitar tempat itu seperti tergetar. Jelas,
tawa itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam.
"Kau lihat sendiri, Iblis
Mayat Hidup. Inilah murid muridku yang membanggakan hati!" ujar kakek
berwajah kera sambil menoleh ke arah orang yang berdiri di sebelah kirinya.
"Aku tidak butuh
khotbahmu, Lutung Tangan Baja! Aku hanya ingin melihat, bagaimana tindakanmu
terhadap kedua orang muridmu yang sangat membanggakan hati itu," sambut
Iblis Mayat Hidup tak acuh.
Kakek berwajah keras yang
ternyata berjuluk Lutung Tangan Baja mendengus keras mendengar ucapan yang
cukup menyakitkan hati itu. Dengan langkah satu-satu, dihampirinya Sagala dan
Kumari.
"Perlu kalian ketahui.
Aku sengaja keluar dari tempat kediamanku hanyalah untuk mencari kalian,
Murid-Murid Murtad!"
"Ampunilah kami, Guru.
Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami lagi," ratap Sagala,
mewakili dirinya dan Kumari.
"Benar, Guru. Aku pun
bersedia kembali pada Guru. Aku tidak akan menyeleweng lagi," pinta Kumari
pula.
"Tidak ada ampunan bagi
kalian berdua!" tandas Lutung Tangan Baja keras. "Kesalahan yang
kalian lakukan sudah terialu banyak dan tidak bisa diampuni. Hukuman mati
tampaknya adalah ganjaran yang paling tepat untuk kalian!"
Lutung Tangan Baja sampai
terengah-engah ketika mengucapkan kata-katanya. Jelas hatinya tengah dilanda
kemarahan yang amat sangat. Sehingga, membuat napasnya memburu hebat.
"Kesalahan pertama,
kalian berdua berani bermain gila di belakangku! Kedua, kalian malah
bersekongkol meracuniku sehingga aku hampir tewas. Untung, nyawaku mampu
kuselamatkan. Walau untuk itu aku harus beristirahat, mengobati luka dan
bersemadi selama bertahun-tahun. Dan ketiga, kalian tidak mewakiliku menerima
tantangan yang diajukan Tengkorak Darah. Sekarang, bersiaplah kalian menerima
kematian!"
Sagala dan Kumari sadar,
Lutung Tangan Baja tidak akan mengampuni mereka. Maka diputuskanlah untuk
mengadakan perlawanan daripada mati konyol! Memang, tampaknya Lutung Tangan
Baja tidak salah. Buktinya, Sagala telah berani bermain gila dengan Kumari.
Padahal, dia tahu kalau wanita berpakaian biru itu adalah murid, sekaligus
gundik Lutung Tangan Baja. Tidak heran
hal itu membuat kakek berwajah kera ini mencak-mencak.
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
Sagala mencabut goloknya. Ctarrr!
Kumari pun tidak tinggal diam.
Wanita berpakaian hitam ini mengeluarkan sabuknya, kemudian melecutkannya ke
udara. Sehingga, terdengar ledakan keras yang memekakkan telinga.
"Ha ha ha...! Anak-anak
domba ingin menantang harimau?! Silakan! Majulah kalian!" tantang Lutung
Tangan Baja sambil tertawa bergelak. Kegembiraan yang amat sangat, tampak jelas
di wajahnya. ***
Iblis Mayat Hidup sama sekali
tidak menampakkan perasaan apa-apa di wajahnya, melihat sikap guru dan murid
yang jelas-jelas akan terlibat dalam pertarungan. Dengan sikap tak acuh kakinya
melangkah menyingkir dari tempat itu.
Sementara itu, Sagala dan
Kumari sudah saling memberi tanda. Maka.... "Haaat...!"
Sagala menyerang lebih dulu.
Laki-laki kecil kurus ini melompat ke udara, menubruk Lutung Tangan Baja.
"Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan tak kalah
nyaring, Kumari menerjang pula. Hanya saja, dia tidak melompat seperti Sagala.
Wanita itu bergerak mendekati Lutung Tangan Baja dengan langkah-langkah silang.
Ctarrr!
Pada saat yang bersamaan
dengan gerakan membabat golok Sagala ke arah leher Lutung Tangan Baja, Kumari
melecutkan sabuknya. Diawali lecutan keras, benda lemas itu meluncur ke arah
ulu hati Lutung Tangan Baja. Jangan dipandang ringan serangan sabuk ini. Karena
sekali lecut saja, akan mampu menumbangkan sebatang pohon besar sekalipun!
Apalagi, dada manusia!
"Ha ha ha...!"
Lutung Tangan Baja masih
tertawa terkekeh-kekeh melihat serangan-serangan dari murid-muridnya. Sama
sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau dia akan mengelak atau menangkis. Baru
ketika seranganserangan itu menyambar dekat, kakek berwajah kera ini bertindak.
Cepat laksana kilat, Lutung
Tangan Baja bergerak. Tangan kirinya diangkat ke atas untuk melindungi leher.
Sementara, tangan kanannya digunakan untuk memapak lecutan sabuk.
Takkk, ctarrr!
Hampir bersamaan waktunya, dua
kejadian berlangsung. Kedua tangan Lutung Tangan Baja berhasil menangkis dua
serangan yang menuju ke arah sasaran. Tangan kiri membentur mata golok,
sedangkan tangan kanan memapak sabuk.
"Akh...!"
Baik Sagala maupun Kumari
melompat mundur disertai perasaan kaget. Bahkan pada Sagala sampai terdengar
suara pekik tertahan. Memang, laki-laki kecil kurus ini merasakan betapa tangan
yang menggenggam golok terasa sakit-sakit ketika berbenturan dengan tangan
Lutung Tangan Baja. Pada Kumari, hal itu tidak terasakan karena senjata yang
digunakannya lemas. Sehingga meskipun kalah tenaga benturan, sama sekali tidak
mempengaruhinya.
"Ha ha ha...!"
Lutung Tangan Baja tertawa
bergelak. Hatinya gembira melihat kedua orang bekas muridnya terpukul mundur.
Masih dengan tawa yang belum putus, ditunggunya serangan lanjutan yang akan
meluncur.
Dan memang, Lutung Tangan Baja
tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima serangan susulan. Begitu telah
berhasil memperbaiki kedudukannya, Sagala dan Kumari kembali menerjang. Sekejap
kemudian, suara mengaung dari gerakan golok Sagala dan suara ledakan keras dari
sabuk Kumari, mulai memeriahkan suasana di sekitar tempat itu.
Sagala dan Kumari mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimiliki. Memang mereka tahu kelihaian Lutung Tangan
Baja, guru mereka. Lutung Tangan Baja adalah salah satu dari empat datuk aliran
hitam yang dulu dikalahkan Eyang Mandura. Maka bisa diperkirakan ketinggian
ilmunya. Tak pelak lagi, pertarungan antara ketiga orang ini pun berlangsung
sengit.
Memang hebat bukan kepalang
pertarungan yang terjadi. Hanya saja, terlihat tidak menarik karena kedua belah
pihak terutama sekali Lutung Tangan Baja, telah mengetahui semua ilmu yang
digunakan Sagala dan Kumari. Tidak heran, kedua orang itu adalah muridnya.
Sebagai akibatnya, kakek berwajah kera itu tahu arah yang dituju setiap serangan
yang dilancarkan Kumari maupun Sagala.
Pada jurus-jurus awal,
pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik pihak Lutung Tangan Baja
maupun pihak Sagala dan Kumari sama-sama mengetahui tujuan serangan lawan. Tapi
begitu menginjak jurus ketiga puluh, Lutung Tangan Baja mulai mengeluarkan
ilmu-ilmu yang belum diajarkannya. Hasilnya, Kumari dan Sagala mulai
kebingungan. Dan sebagai akibatnya, mereka mulai terdesak.
Di jurus keempat puluh tiga,
Lutung Tangan Baja melompat mundur. Sagala dan Kumari sama sekali tidak
mengejarnya, karena khawatir kalau tindakan yang dilakukan lawan hanya
pancingan saja. Maka, kedua orang ini sama-sama menatap penuh selidik ke arah
bekas guru mereka.
Tampak Lutung Tangan Baja
termenung sejenak.
Kemudian....
"Hih. !"
Kakek berwajah kera ini
meluruk ke arah Sagala dan Kumari sambil memutar tubuhnya seperti gasing. Suara
angin menderu mengiringi berpusingnya tubuh Lutung Tangan Baja. Sagala dan
Kumari membelalakkan mata. Mereka merasa bingung bukan kepalang melihat hal ini.
Memang, keduanya tahu kalau guru mereka menggunakan ilmu andalan, 'Hujan Angin
Badai Neraka'. Dan mereka sering pula melihat kakek berwajah kera itu
mempertunjukkannya. Tapi sayangnya, mereka belum mendapatkan kesempatan
mempelajarinya. Dan kini, Lutung Tangan Baja menggunakan ilmu itu untuk
menghadapi mereka. Maka tak heran kalau keduanya kontan bingung.
Sagala dan Kumari sama sekali
tidak melakukan tindakan apa pun. Keduanya hanya berdiri terpaku dengan senjata
di tangan. Hanya pandangan mata mereka saja yang tertuju ke arah tubuh Lutung
Tangan Baja yang tengah berpusing. Dan arahnya jelas menuju tempat mereka
berdua.
Mendadak, ketika telah berada
cukup dekat, dari tubuh yang berpusing itu mencuat serangan-serangan ke arah
Sagala.
Laki-laki kecil kurus ini
terkejut bukan kepalang ketika mendadak sekelebatan bayangan meluncur ke arah
ubun-ubunnya. Meskipun demikian, Sagala mampu melihat sesuatu yang tengah
meluncur ke arahnya. Yang tengah mengancam ubun-ubunnya jelas adalah tangan
Lutung Tangan Baja.
Walaupun serangan itu begitu
mendadak dan tak disangka-sangka, namun Sagala masih mampu membuktikan kalau
dirinya adalah seorang berkepandaian cukup tinggi. Maka cepat-cepat pedangnya
dibabatkan untuk menangkis.
Takkk!
Gila! Pedang Sagala malah
terlepas dari pegangan ketika berbenturan dengan tangan Lutung Tangan Baja. Dan
sebelum Sagala sempat berbuat sesuatu, kembali dari tubuh yang berpusing itu
mencuat kaki Lutung Tangan Baja. Bahkan terus meluncur ke arah perut.
Bukkk!
Telak dan keras sekali
tendangan Lutung Tangan Baja mendarat di sasaran. Maka seketika itu juga tubuh
Sagala terlempar jauh ke belakang. Darah segar langsung memancur deras dari
mulut, dan membasahi tanah sepanjang tubuhnya melayang. Terus....
Byurrr!
Tubuh Sagala terjatuh ke dalam
sungai. Seketika itu juga laki-laki keci kurus pun hanyut. Memang, arus sungai
itu kuat cukup deras.
"Sagala. !" teriak
Kumari keras.
Wanita berpakaian biru ini
memang terkejut bukan kepalang melihat kejadian ini. Sayang, dia tidak sempat
bertindak apa-apa. Karena, semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Dan
tahu-tahu, tubuh Sagala sudah terlempar jauh.
Dari perasaan kaget, muncul
perasaan murka dalam diri Kumari. Maka...
"Hiyaaat. !"
Kumari menjerit keras. Sabuk
di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Lutung Tangan Baja yang tengah berputar.
Wanita berpakaian biru ini mengarahkan secara sembarangan saja. Hal itu
terpaksa dilakukan, karena mengalami kesulitan untuk menentukan bagian yang
akan diserang. Tubuh Lutung Tangan Baja yang berpusing itu membuatnya tidak
bisa melihat bagian demi bagian tubuh lawan secara jelas. Yang kelihatan
hanyalah segulung bayangan kehitaman yang berpusing laksana gasing. Tappp! 5
"Akh!"
Kumari memekik tertahan ketika
ujung sabuknya tidak bisa ditarik pulang. Dia pun sadar kalau senjata
andalannya telah kena cengkeraman lawan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu tubuhnya telah terbetot ke depan. Rupanya Lutung Tangan Baja telah
membetot ujung sabuk itu secara tiba-tiba. Kumari terkejut bukan kepalang
ketika menyadari tubuhnya telah melayang ke arah Lutung Tangan Baja. Otaknya
seketika diputar, mencari jalan untuk
menyelamatkan diri.
Dalam waktu yang demikian
singkat, wanita berpakaian biru ini telah menemukan sebuah jalan keluar. Segera
pegangan pada sabuknya dilepaskan, kemudian kedua tangannya dimasukkan ke balik
baju.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring
terdengar ketika Kumari mengibaskan kedua tangannya. Sekejap kemudian, melesat
benda-benda berkilat ke arah Lutung Tangan Baja! Sementara di belakangannya,
Kumari menyusul. Malah di kedua
tangannya telah tergenggam sebilah pisau.
Tapi Lutung Tangan Baja tidak
gugup melihat perubahan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Dia tahu,
benda-benda berkilat itu adalah pisaupisau terbang. Dan apabila mengenai
sasaran, hal yang akan terjadi sudah bisa diperkirakan.
Maka kakek berwajah kera ini
cepat-cepat bertindak cepat. Sabuk yang dilepaskan Kumari segera
dipergunakannya. Meskipun hanya memegang ujung sabuk, tapi kemampuannya
menggunakan senjata lemas itu tidak kalah dengan Kumari.
"Hih!"
Lutung Tangan Baja
menggertakkan gigi, dan menggerak-gerakkan tangannya. Luar biasa! Sabuk itu
bergerak naik turun seperti gelombang laut! Hebatnya lagi, pisau-pisau yang
meluncur ke arahnya jadi terhalang!
Ajaib! Semua pisau langsung
runtuh begitu berpapakan dengan sabuk yang bergerak naik turun. Sementara,
sabuk itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun. Tanpa mempunyai tenaga
dalam tinggi, rasanya sulit melakukan hal seperti itu.
Saat itulah tubuh Kumari
meluruk turun dengan sebilah pisau di kanan kiri tangannya. Jelas, dia
bersiap-siap melancarkan tikaman
Tapi sebelum jarak jangkauan
tikaman tercapai, Lutung Tangan Baja. kembali melakukan tindakan yang tidak
terduga-duga. Bahkan sepasang matanya kontan memancarkan kilatan aneh.
Mendadak....
Blesss. !
"Aaakh. !"
Kumari menjerit memilukan
ketika perutnya tertembus sabuk yang tahu-tahtu telah mengejang kaku laksana
sebilah pedang panjang. Sabuk yang telah kaku itu menembus perut Kumari hingga
sampai ke punggung. Darah kontan muncrat-muncrat dari bagian yang terluka.
Lutung Tangan Baja
menghentikan pengerahan tenaga dalam, sehingga telah membuat sabuk itu menegang
kaku laksana sebilah pedang. Seketika itu juga, sabuk itu melemas kembali Tapi
tetap saja masih menghunjam di perut Kumari hingga tembus ke punggung.
Sementara itu, tubuh Kumari
langsung meluncur turun. Wajahnya menampakkan perasaan penasaran. Rupanya, dia
tidak menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu. Masalahnya, tadi sabuk itu
tampak terkulai, sehabis Lutung Tangan Baja membuatnya bergerak naik turun
seperti gelombang laut.
Brukkk!
Tanpa sempat menggelepar lagi,
Kumari langsung tewas! Nyawanya langsung melayang meninggalkan raga ketika
tubuhnya masih berada di udara. Sementara, sepasang pisaunya sudah jatuh lebih
dulu ke tanah.
"Cuhhh...!"
Lutung Tangan Baja meludahi
mayat Kumari, kemudian tubuhnya berbalik. Lalu, dihampirinya Iblis Mayat Hidup
yang sejak tadi hanya bertindak sebagai penonton saja.
"Kau hebat, Lutung.Tangan
Baja," puji Iblis Mayat Hidup, kalem. "Ilmu 'Hujan Angin Badai
Neraka'mu memang hebat bukan kepalang. Entah mana yang lebih hebat bila
dibandingkan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'."
"Ha ha ha..! Kau memang
cerdik, Iblis Mayat Hidup! Katakan saja
terus terang, kau ingin menantangku bertarung, bukan?" Sergah Lutung
Tangan Baja, cepat.
"Itulah dugaanku ketika
kau mengeluarkan pekikan. Huh! Betapa kecewanya hatiku, ketika kau malah
meminta bantuanku untuk mencari tempat muridmurid murtadmu berada!" rutuk
Iblis Mayat Hidup.
"Dugaanmu tidak
seluruhnya benar, Iblis Mayat Hidup," bantah Lutung Tangan Baja.
"Lengkingan yang kukeluarkan, semula untuk menantang bertarung. Tapi
setelah kupikir-pikir, pertarungan antara kita bisa diurus belakangan. Maka
kuurus murid-muridku lebih dahulu."
"Terserahlah, Iblis Mayat
Hidup!" Lutung Tangan Baja mengangkat bahu. "Ingat! Dua minggu lagi
kita bertemu di Lembah Seribu Bunga!"
Usai berkata demikian, Lutung
Tangan Baja menjejakkan kakinya. Gila! Hanya dalam sekali langkah saja, tubuhnya
telah berada dua belas tombak didepan. Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah
kera ini memang luar biasa.
Iblis Mayat Hidup memandangi
hingga tubuh Lutung Tangan Baja Lenyap ditelah kejauhan. Disadari kalau dia
merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Baru setelah tubuh Lutung Tangan
Baja telah tidak terlihat lagi, kakek kurus kering ini berlari cepat menempuh
arah yang berbeda.
***
"Hih!"
Sesosok bayangan kuning
melambung ke atas, kemudian mendarat di atas sebongkah batu yang menonjol. Kembali
kakinya menjejak, maka tubuhnya pun kembali melambung ke udara. Begitu hinggap
di tonjolan batu yang lebih atas. Kakinya menotol lagi. Demikian seterusnya.
Rupanya, sosok bayangan kuning itu tengah mendaki lereng sebuah gunung.
Ternyata bukan hanya bayangan
kuning saja yang mendaki. Terbukti di belakangnya menyusul sosok bayangan
hitam, dan sosok bayangan ungu. Gerakan mereka rata-rata gesit dan lincah.
Terutama sekali, sosok bayangan ungu.
"Hup!" Ringan hampir
tanpa suara, sosok bayangan kuning itu mendarat di tanah datar. Memang, dia
telah berada di bagian gunung yang mempunyai permukaan datar. Sesampainya di
sini, sosok bayangan kuning itu menghentikan gerakannya dan berdiri diam di
situ, seakan-akan tengah menunggu sesuatu.
Sesaat kemudian, melesat sosok
bayangan hitam dan disusul sosok bayangan ungu. Kini, tiga sosok bayangan itu
telah berkumpul di bagian yang datar.
Mereka ternyata Adipati
Subali, Dewa Arak, dan Rara Kunti.
"Masih jauhkah tempat
yang akan kita tuju, Ayah?" Tanya Rara Kunti, agak terengah-engah.
Rupanya gadis berpakaian hitam
ini telah merasa lelah. Bahkan wajahnya yang cantik itu pun dipenuhi
butir-butir keringat.
"Memang masih cukup jauh,
Kunti," kata Adipati Subali sambil menganggukkan kepala. "Kita masih
harus melalui jalan setapak, padang ruput yang cukup tinggi dan luas, serta
sebuah sungai untuk tiba di sana."
"Hhh...!" Rara Kunti
menghela napas berat. "Bagaimana kalau kita beristirahat dulu, Ayah?"
"Sebuah usul yang cukup
baik," Arya yang menyahuti. "Sebaiknya kita memang beristirahat
dulu."
Adipati Subali sama sekali
tidak membantah. Terus terang, dia sendiri juga merasa lelah, meskipun tidak
selelah putrinya. Hanya Arya sendiri yang terlihat biasa-biasa saja, tidak
terlihat adanya tanda-tanda kelelahan. Padahal, mereka bertiga telah men-daki
hingga ke lereng.
Kini Arya, Adipati Subali, dan
Rara Kunti mengedarkan pandangan berkeliling untuk mencari tempat istirahat.
Sekitar beberapa tombak di kanan mereka, tampak sebatang pohon yang cukup
rindang. Maka ke sanalah ketiga orang ini menuju, karena hanya itulah
satu-satunya yang dapat dijadikan tempat beristirahat. Tempat itu memang sebuah
lapangan terbuka.
Pada, saat itu matahari telah
mulai beranjak menuju titik tengahnya, sehingga suasana terasa panas bukan
kepalang.
Tapi langkah ketiga orang itu
langsung terhenti ketika mendengar suara riuh, yang berasal dari lereng yang
dituju. Karuan saja hal itu membuat mereka terperanjat.
Baik Adipati Subali maupun
Arya langsung bisa menduga apa yang telah terjadi. Dari ciri-ciri suaranya,
sepertinya ada seseorang yang tengah mendaki puncak. Tapi sewaktu menjejakkan
kaki, batu yang dipijaknya ternyata menggelincir dan menggelinding ke bawah.
Perasaan ingin tahu mendorong
Arya, Adipati Subali, dan terutama sekali Rara Kunti yang tidak menduga apa
pun, untuk bergegas meluruk ke sana. Tapi baru beberapa tindak, langkah ketiga
orang itu kontan terhenti. Karena, sesosok bayangan hitam itu bersalto beberapa
kali di udara dari bawah lereng, lalu.
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, kedua
kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di tanah. Jaraknya hanya empat tombak
dari Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti.
Ada perubahan di wajah kedua
belah pihak, pertanda tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Untuk
beberapa saat, mereka hanya saling tatap penuh selidik. "Lutung Tangan
Baja! Dia... Lutung Tangan Baja." desis Adipati Subali.
Ada nada kegentaran dalam
ucapan laki-laki tinggi besar ini. Masalahnya, Adipati Subali kenal betul tokoh
yang berjuluk Lutung Tangan Baja ini.
Arya menganggukkan kepala,
dengan sikap tampak waspada. Memang, dia telah mendengar tentang tokoh yang
berjuluk Lutung Tangan Baja. Baik dari mulut Adipati Subali sendiri, maupun
dari kabar dalam dunia persilatan. Dewa Arak langsung teringat Iblis Mayat
Hidup yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan sekarang, dia bertemu lagi
dengan tokoh yang mempunyai tingkat setara dengan Iblis Mayat Hidup. Lutung
Tangan Baja, julukannya!
Sementara itu, Lutung Tangan
Baja yang juga memperhatikan ketiga sosok di hadapannya, mulai berkernyit
dahinya.
"Kau...," tuding
kakek berwajah kera ini pada Adipati Subali. "Apa hubunganmu dengan Eyang
Mandura?!"
Ucapan Lutung Tangan Baja
benar-benar mengejutkan. Bukan hanya Adipati Subali yang merasa kaget, tapi
juga Rara Kunti dan Arya! Dari mana kakek berwajah kera ini tahu kalau Adipati
Subali mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura?
"Kau tidak bisa mungkir,
Keparat! Kau pasti mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura? Entah sebagai
anaknya atau cucunya!" Cetus Lutung Tangan Baja lagi, ketika melihat
Adipati Subali malah diam. "Kalau kau bukan seorang pengecut, mengakulah!
Atau..., keturunan Eyang Mandura adalah seorang pengecut hina?!"
"Tutup mulutmu yang
busuk, Manusia Kera!" tandas Rara Kunti keras sambil menudingkan
telunjuknya. "Ayahku memang keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang
telah membuatmu lari terkentut-kentut!"
Keras dan tajam bukan kepalang
ucapan Rara Kunti, sehingga membuat Lutung Tangan Baja sampai menggemeretakkan
gigi karena hawa amarah yang melanda.
"Bocah liar! Rupanya kau
dan ayahmu adalah keturunan-keturunan si Keparat Eyang Mandura?! Kalau
demikian, kalian berdua harus mampus!"
Usai berkata demikian, Lutung
tangan Baja langsung menerjang Adipati Subali! Tanpa ragu-ragu lagi, segera
seluruh kemampuannya dikerahkan dalam serangan pembukaannya. Kakek berwajah
kera ini menyangka kalau Adipati Subali sebagai keturunan Eyang Mandura, pasti
memiliki kepandaian amat tinggi.
Wuttt!
Deru angin keras terdengar
ketika Lutung Tangan Baja melancarkan serangan. Kakek berwajah kera ini
menyampokkan tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar ke arah pelipis
kiri Adipati Subali. Kalau mengenai sedikit saja, sepertinya cukup untuk
mengirim nyawa laki-laki tinggi besar itu ke neraka!
***
Dewa Arak tahu, Adipati Subali
tidak mungkin bisa mengelakkan serangan yang datang secara tiba-tiba dan cepat
bukan kepalang. Maka buru-buru tubuhnya melesat ke arah orang nomor satu di
Kadipaten Blambang itu. Dengan tangan kanan, didorongnya tubuh Adipati Subali.
Sedangkan, tangan kirinya memapak serangan Lutung Tangan Baja. Tappp! Plakkk!
Berbarengan dengan
terdorongnya tubuh Adipati Subali hingga jatuh terpelanting, tangan kiri Dewa
Arak berbenturan dengan tangan kanan Lutung Tangan Baja. Akibatnya, baik tubuh
Arya maupun tubuh Lutung Tangan Baja sama-sama terjengkang ke belakang. Hanya
saja, Dewa Arak terpental lebih jauh, dan tangannya terasa nyeri. Hal. ini
bukan karena tenaga dalam Arya kalah kuat dibanding lawannya, tapi karena
tenaganya terbagi. Sebagian digunakan untuk mendorong tubuh Adipati Subali,
sebagian lagi untuk memapak.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Lutung
Tangan Baja dan Dewa Arak sama-sama mendaratkan kedua kaki di tanah tanpa
terhuyung sedikit pun. Sementara, Adipati Subali dan Rara Kunti telah
menyingkir dari situ. Memang, mereka mengetahui betapa besar bahaya yang
mengancam apabila berada di sekitar pertarungan.
Kini dari jarak yang aman,
Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja
yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak.
"Hm.... Rupanya kau tokoh
yang berjuluk Dewa Arak," Lutung Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala,
setelah memperhatikan Arya beberapa saat lamanya. "Memang, julukanmu
sempat juga mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh luar biasa, Dewa Arak.
Tapi nyaliku tidak ciut karenanya. Aku bahkan berkeinginan untuk mengajakmu
bertarung! Dan keinginan itu semakin membesar ketika Iblis Mayat Hidup kudengar
telah bertarung denganmu. Hm. Dia pun memujimu." "Sayang sekali, Kek.
Aku tidak ingin bertarung denganmu," kalem ucapan Arya.
"Apakah kau tetap tidak
ingin bertarung denganku, apabila aku berminat membunuh kedua orang kawanmu
itu!"
Usai berkata demikian, Lutung
Tangan Baja melesat ke arah Adipati Subali dan Rara Kunti. Cepat dan indah
gerakannya. Apalagi, ketika bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, tubuhnya
menukik ke bawah dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar. Tingkahnya
mengingatkan orang akan seekor burung garuda yang tengah menyambar mangsa.
Hebatnya, dalam sekali serang
kakek berwajah kera ini telah mengancam ke arah Adipati Subali dan Rara Kunti.
Sasaran kedua cakar itu adalah ubunubun kepala.
"Ihhh...!"
Rara Kunti tidak bisa menahan
jeritan yang keluar dari mulutnya. Memang, dia dan ayahnya merasa terkejut
bukan kepalang melihat serangan yang tengah meluncur itu.
Tapi untuk yang kedua kalinya,
Dewa arak kembali menyelamatkan Adipati Subali dan putrinya. Pemuda berambut
putih keperakan itu menghentakkan kedua tangannya kedepan, mengeluarkan
serangan pukulan jarak jauh. Langsung dipotongnya jalur lompatan Lutung Tangan
Baja. Apabila kakek berwajah kera itu melanjutkan serangan, pukulan jarak jauh
Dewa Arak akan lebih dulu menghempaskan tubuhnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, Lutung Tangan Baja tahu akan hal itu. Dan tentu saja dia tidak ingin
bertindak bodoh dengan meneruskan serangan. Buru-buru maksudnya diurungkan. Dan
dengan menjadikan tangan sebagai tumpuan, tubuhnya melenting ke udara.
Sehingga, serangan pukulan jarak jauh itu meluncur di bawah kakinya.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Lutung
Tangan Baja mendarat di tanah, Dewa Arak telah berada didepan Adipati Subali
dan Rara Kunti. Pemuda berambut putih keperakan itu berdiri membelakangi. Sikap
yang ditunjukkannya memberi tanda seperti bermaksud melindungi ayah dan anak
itu.
"Hiaaat..!"
Kali ini Dewa Arak yang
membuka serangan lebih dulu. Hal itu terpaksa dilakukan untuk menghindarkan
bahaya yang akan mengancam Adipati Subali dan Rara Kunti, kalau Lutung Tangan
Baja dibiarkan menyerang lebih dahulu. Karena bukan mustahil, angin serangannya
akan mengenai kedua orang itu.
Serangan Dewa Arak dibuka
dengan sebuah terjangan. Hebatnya begitu berada di tengah jalan, tubuhnya
langsung berbalik. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya bergerak mengibas ke
arah pelipis lawan. Dan apabila mengenai sasaran, meskipun hanya menyerempet
saja, cukup untuk mengirim nyawa ke alam baka.
Lutung Tangan Baja tidak
berani bertindak gegabah. Dari deru angin yang mengawali serangan lawan, bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Memang, Dewa
Arak telah mengetahui kalau lawan yang dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap
sembarangan. Maka, langsung saja dikeluarkannya seluruh kemampuannya.
Wukkk!
Kibasan kaki Dewa Arak lewat
di atas kepala, ketika Lutung Tangan Baja merundukkan tubuhnya. Pada saat yang
bersamaan, kakek itu mengirimkan serangan berupa tusukan jari-jari tangan
terbuka ke arah ulu hati Dewa Arak. Terpaksa pemuda berambut putih keperakan
itu memapaknya, karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi.
Pratrt!
Benturan keras yang terjadi
membuat kedua belah pihak sama-sama mundur. Lutung Tangan Baja
terhuyung-huyung, sedangkan Dewa arak terpental belakang. Masalahnya, kedudukan
Arya tengah berada di udara.
Lutung Tangan Baja dan Dewa
Arak saling berpandangan sejenak. Dalam adu pandang itu, tampak sinar kekagumam
terhadap lawan di dalamnya. Tapi hal itu hanya berlangsung sekejap saja, karena
sesaat kemudian keduanya telah saling menggebrak kembali.
Hebat bukan kepalang
pertarungan antara dua tokoh sakti berkepandaian tinggi itu. Suara mencicit
mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki. Tanah kontan
terbongkar di sana sini, sehingga menimbulkan kepulan debu tebal. Keadaan di
sekitar tempat itu seperti habis dibajak belasan kerbau liar saja layaknya.
Adipati Subali dan Rara Kunti
menatap ke arah pertarungan penuh takjub. Hati ayah dan anak ini diliputi
perasaan kagum bukan kepalang, terutama sekali terhadap Dewa Arak.
Sementara, tokoh-tokoh yang
dikagumi sama sekali tidak tahu-menahu. Keduanya sibuk mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk bisa mengalahkan satu sama lain.
Lima puluh jurus telah
berlalu. Dan selama ini belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung, dan saling bergantian melancarkan
serangan.
"Hih...!"
Di jurus keenam puluh tiga,
Lutung Tangan Baja melentingkan tubuh ke belakang. Kemudian, dia bersalto
beberapa kali ke belakang.
Dewa Arak sama sekali tidak
mengejar. Dia tahu, lawan ingin mengeluarkan ilmu andalan. Maka guci araknya
segera dijumput, dan diangkatnya di atas kepala. Kemudian, isinya dituangkan ke
dalam mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, kedua kaki pemuda berambut
putih keperakan itu mulai oleng ke sana dan oleng ke sini. Itu berarti pertanda
Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah
limbung itu, Lutung Tangan Baja melompat menerjang! Dan ketika telah berada di
tengah perjalanan, tubuhnya berputaran. Inilah ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka'
yang dahsyat.
*** 6
Hebat bukan kepalang ilmu
'Hujan Angin Badai Neraka'. Seiring meluncurnya tubuh Lutung Tangan Baja yang
sambil berputaran seperti gasing, bertiup angin keras berhawa panas membawa
debu. Inilah salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup membuat pandangan
lawan terhalang. Padahal, serangan yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat
ilmu lawannya. Tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran, membuatnya mengalami
kesulitan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terlihat hanyalah segulungan
bayangan hitam yang berputaran.
Belum juga kebingungannya itu
lenyap, dari balik tubuh yang berputaran mencuat serangan-serangan ke arah
bagian-bagian berbahaya di tubuh Dewa Arak. Terkadang tangan, tapi tidak jarang
kaki. Dan yang lebih gila lagi, setiap serangan itu selalu didahului sergapan
angin panas.
Menghadapi ilmu aneh lawannya
ini, Dewa Arak tidak berani bertarung jarak dekat. Disadari kalau hal itu amat
berbahaya, sehingga akan menjadi sasaran empuk lawannya. Sedangkan tubuh Lutung
Tangan Baja sepertinya sukar diserang.
Untuk pertama kali dalam
pertarungan yang sudah tidak terhitung, Dewa Arak menghadapi penyerbuan lawan
dengan elakan-elakan jauh. Dia tidak berani mengelak, tanpa menggerakkan kaki.
Malah, itu pun dengan melompat jauh ke belakang. Untuk beberapa jurus lamanya,
tokoh muda yang menggemparkan itu hanya mengelak saja. Kalau pun beberapa kali
melancarkan serangan, itu hanya berupa semburan araknya saja.
Akibatnya bisa ditebak. Dewa
Arak berada di bawah angin, dan terus-menerus terdesak.
Meskipun demikian, bukan
berarti Dewa Arak harus putus asa. Jelas tidak ada kata putus asa dalam kamus
hidup Dewa Arak. Dia tahu, dalam setiap persoalan selalu ada jalan keluarnya.
Maka sambil terus mengelak, benaknya berputar keras. Disadari kalau betapa pun
tingginya setiap ilmu, selalu mempunyai kelemahan. Apalagi, ilmu-ilmu yang
diciptakan tokoh sesat seperti Lutung Tangan Baja.
Sementara itu, Adipati Subali
dan Rara Kunti yang menyaksikan jalannya pertarungan menjadi cemas. Meskipun,
tak bisa menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas, tapi Adipati Subali dan
Rara Kunti dapat memperkirakannya. Sehingga yang jadi patokan ayah dan anak ini
hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu. Memang, gerakan-gerakan Dewa Arak
dan Lutung Tangan Baja terlalu cepat. Dan tidak bisa tertangkap oleh pandang
mata mereka.
Dan karena melihat bayangan
ungu terdesak dan bergerak mundur, Adipati Subali dan Rara Kunti cemas.
Rupanya, Dewa Arak yang berpakaian ungu terus bermain mundur.
Tak terasa, pertarungan sudah
berlangsung masuk seratus jurus. Dan selama itu, Lutung Tangan tetap belum
mampu merobohkan Dewa Arak. Padahal, sejak jurus kedua puluh kakek berwajah kera
telah mendesak lawannya. Memang, meskipun kelihatannya ilmu 'Belalang Sakti'
tidak berdaya, tetap saja ilmu itu menunjukkan keanehannya. Dalam penggunaan
ilmu itu, Dewa Arak laksana bayangan. Sulit dijadikan sasaran serangan lawan.
Beberapa kali, Dewa Arak
sangat terhimpit. Tapi dengan semburan arak dan jurus 'Pukulan Belalang”,
desakan lawannya berhasil dikendurkan. Itulah sebabnya, sampai seratus jurus
tetap saja Lutung Tangan Baja yang mendesak tetap tidak mampu merobohkan lawan.
Karuan saja hal ini membuat
Lutung Tangan Panjang penasaran bukan kepalang. Apalagi, ketika melihat Dewa
Arak mengelak sambil masih sempat menengak araknya beberapa kali. Hal ini
membuat kegeraman kakek berwajah kera ini semakin kalap. Disangkanya, Dewa Arak
melakukan hal itu untuk mengejek dirinya. Sama sekali Lutung Tangan Baja tidak
mengetahui kalau ilmu 'Belalang Sakti' memang harus demikian. Akibatnya,
serangan-serangan yang dilancarkan tokoh sesat itu semakin menggebu-gebu.
Dengan sendirinya, Arya semakin kerepotan dibuatnya.
Menginjak jurus keseratus
sepuluh, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk menghadapi ilmu 'Hujan Angin
Badai Neraka' itu. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera dipergunakannya.
"Hih!"
Dewa Arak menggertakkan gigi
dalam usahanya mengerahkan seluruh kemampuan sampai ke puncaknya. Sekejap
kemudian, tubuhnya melesat seraya berputar mengelilingi tubuh Lutung Tangan
Baja disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat
kesempurnaan. Hanya saja, arah putarannya berbeda dengan kakek berwajah kera
itu.
Dan kini bentuk tubuh Dewa
Arak pun lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tak jelas
bentuknya mengelilingi tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran.
Siasat Dewa Arak ternyata
tidak meleset. Begitu cara ini dipergunakan, Lutung Tangan Baja tampak
kebingungan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilingi, membuatnya kesulitan
untuk menjatuhkan serangan. Keadaan yang berbeda didapat Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu sambil berlari mengelilingi, terkadang melancarkan
serangan-serangan. Kadang dengan jurus 'Pukulan Belalang', tak jarang dengan
semburan araknya. Tanpa disadari, tempat pertarungan mulai bergeser.
Tak sampai dua puluh jurus,
Lutung Tangan Baja sudah kebingungan. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang,
karena berusaha mencari-cari tubuh lawan yang terus berputaran untuk diserang.
Perlahan-lahan kakek berwajah kera ini mulai terdesak.
Memang bila diperbandingkan,
keadaan Arak lebih menguntungkan. Putaran tubuhnya yang tidak di satu tempat,
membuatnya lebih sulit diserang lawan.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus empat puluh
lima, Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan melengking nyaring sambil
menghentikan putaran tubuhnya. Sekarang dia berdiri diam, tidak bertindak
apa-apa pun. Hanya sepasang matanya yang melirik kesana ke-mari memperhatikan
Dewa Arak yang masih mengelilinginya. Mendadak....
"Haaat. !"
Lutung Tangan Baja
mengeluarkan teriakan kencang menggeledek, sehingga mampu membuat Adipati
Subali terhuyung-huyung dan Rara Kunti jatuh terduduk. Memang, teriakan itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Bukan hanya itu saja
akibatnya. Suasana di sekitar tempat itu pun sampai bergetar hebat.
Dan berbareng keluarnya
teriakan menggeledek itu, Lutung Tangan Baja melesat menerjang Di Arak yang
masih berputar mengelilinginya Kakek berwajah kera ini berlari, menyambut tubuh
Dewa Arak yang tengah berputar. Tentu saja tidak hanya hal itu yang dilakukan.
Sambil meluruk menghadang laju gerakan Dewa Arak, kedua tangan dihentakkan
kedepan.
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang. Tindakan Lutung Tangan Baja sama sekali tidak diduga. Tambahan lagi,
tubuhnya saat itu tengah melesat dengan kecepatan penuh. Jadi, tidak mungkin
untuk menahannya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menghadapi serangan
itu sama kerasnya.
"Hih!"
Dewa Arak pun menghentakkan
kedua tangan pula untuk menyambuti. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dalam
tangkisan ini, karena betapa besar bahayanya mengadu tenaga dalam secara
langsung seperti ini. Akibatnya, yang kalah kuat sedikit saja akan tewas.
Apalagi, bila perbedaan tenaga dalam itu terpaut hanya sedikit Tapi memang,
pertemuan tenaga dalam seperti itu tidak bisa dicegah lagi. Dan...
Blanggg...!
Suara menggelegar keras
seperti halilintar menyambar di tempat itu kontan terdengar ketika benturan itu
terjadi. Bahkan lereng gunung itu bergetar hebat seperti akan runtuh.
Sampai-sampai, Rara Kunti dan Adipati Subali terhuyung-huyung.
Dengan raut wajah memancarkan
kengerian yang amat sangat, Adipati Subali dan putrinya itu memandang ke arah
pertarungan. Dan seketika itu pula, sepasang mata mereka terbelalak. Betapa
tidak? Tampak jelas tubuh Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja sama-sama melayang
ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Beberapa saat lamanya tubuh
kedua tokoh sakti itu melayanglayang di udara.
"Arya...!"
Hampir berbarengan, Adipati
Subali dan Kunti menjerit. Mereka terkejut bukan kepalang melihat keadaan yang
diderita Dewa Arak. Apalagi, ketika melihat arah melayangnya tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu. Bagai diperintah, keduanya ber gegas melesat
mengejar ke arah tubuh Dewa Arak yang melayang ke jurang!
Tapi, ternyata usaha yang
dilakukan sia-sia. Tubuh Dewa Arak telah melayang deras ke jurang yang sama
sekali tidak kelihatan dasarnya.
"Arya...!"
Adipati Subali dan Rara Kunti
kembali memang untuk yang kedua kalinya, ketika telah berada di bibir jurang.
Pandangan mata mereka terhunjam ke bawah tapi sama sekali tidak melihat
apa-apa. Di bawah sana terlalu pekat, terselimut kabut yang menghalangi pandangan.
Beberapa saat lamanya ayah dan
anak itu terpaku di bibir jurang. Raut wajah mereka menampakkan kedukaan besar.
Kemudian sambil menghela nafas berat dan menggumam ucapan selamat tinggal,
mereka beranjak dari tempat itu. Adipati Subali dan Rara Kunti melanjutkan
perjalanan, mencari tempat leluhur mereka. Sama sekali tidak dipedulikan tubuh
Lutung Tangan Baja yang tergolek tak jauh dari situ. Kakek berwajah kera itu
memang telah tewas, aklbat benturan tadi yang telah membuat seluruh isi dadanya
hancur! ***
Wusss!
Tubuh Arya terus melayang ke
dalam jurang, tanpa disadarinya. Entah, sudah mati atau masih hidup. Sukar
diketahui, karena tidak nampak adanya gerakan apapun yang dilakukan.
Mendadak....
Brusss! Srakkk!
Sebuah keajaiban terjadi.
Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini berhenti meluncur, begitu menimpa
sebuah pohon berdaun rimbun yang tumbuh di dinding jurang. Cabang-cabangnya
yang alot dan rapat, membuat tubuhnya tersangkut di situ. Tapi, Arya tetap
tidak tahu apa-apa.
Matahari terus bergulir. Hari
pun berganti. Malam telah tiba. Dan persada kini disaput kegelapan. Bulan yang
tampak di langit, hanya mampu membuat suasana menjadi remang-remang. Dan Arya
tetap belum sadarkan diri dari pingsannya.
Ketika sang Surya mulai muncul
di ufuk Timur berupa sebuah bola raksasa berwarna merah menyala, baru tampak
adanya gerakan-gerakan Arya. Memang masih lemah, tapi sudah menunjukkan adanya
tanda-tanda kehidupan. Dan semakin lama, gerakan yang timbul semakin terlihat.
Sampai akhirnya....
"Uhhh. !"
Dewa Arak menggeliat Tapi
seketika itu pula, mulutnya menyunggingkan seringai kenyerian. Perlahan-lahan
kelopak matanya dibuka, tapi langsung ditutup kembali. Ada keterkejutan yang
amat sangat pada sorot mata pemuda berambut putih keperakan itu. Arya membuka
kembali kedua kelopak matanya setelah beberapa saat. Tapi, ternyata pemandangan
yang tampak di hadapannya sama sekali tidak berubah. Yang dilihatnya hanya
tebing-tebing yang menjulang tinggi ke atas, tanpa teriihat ujungnya.
Sekarang Arya baru yakin kalau
dirinya berada atas cabang sebatang pohon yang berada di dalam jurang. Mengapa
bisa sampai ada di sini? Beberapa pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Masih dengan pertanyaan yang
belum terjawab Dewa Arak bangkit dari berbaringnya. Tapi baru badannya terangkat
sedikit...
"Ukh...!"
Arya batuk-batuk setelah
sebelumnya menyunggingkan seringai kenyerian. Dadanya terasa sakit bukan
kepalang. Bahkan ketika batuk, tampak ada percikan-percikan cairan kemerahan
keluar dari mulutnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau dirinya telah terluka dalam.
Arya berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya. Tak memakan waktu
lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah teringat.
"Jadi..., aku telah
terjatuh ke dalam jurang sehabis berbenturan dengan Lutung Tangan Baja,"
desah Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Masalahnya telah jelas
sekarang. Dan yang penting, Dewa Arak harus mengobati luka dalamnya dulu.
Paling tidak, agar bisa mencari jalan untuk lolos dari dalam jurang ini.
Berpikir sampai di sini, Arya
memaksakan diri untuk bangkit. Betapapun besar rasa sakit dan nyeri yang
melanda, sama sekali tidak dipedulikan. Yang penting, dirinya harus bisa duduk
bersila untuk bersemadi.
Pohon itu bergoyang-goyang ketika
Arya berusaha bangkit, dan akhirnya gagal. Tapi, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak putus asa, dan terus mengulangi sampai akhimya bisa duduk
bersila. Tampak airan merah kental di sudut-sudut mulutnya mengalir, ketika
telah mulai bersemadi.
Sesaat kemudian, pemuda
berambut putih keperakan itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini
yang terdengar hanyalah alunan napasnya yang secara teratur dan berirama tetap.
Punggung Arya tampak lurus, dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan
dada. Arah ujungujung jari tangannya mengarah ke langit.
Arya terus menarik, menahan,
dan mengeluarkan napas tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di
benaknya hanya satu, mengobati luka dalamnya. Sama sekali tidak diketahui kalau
letak matahari kini sudah hampir berada di atas kepala.
Krrrkkk!
Terdengar suara gemeretak
pelan, disusul goyanggoyangnya pohon tempat Arya bersemadi. Tanah tempat akar
pohon itu terhunjam mulai guguran. Tampaknya, pohon itu sudah tidak kuat lagi
menahan bobot tubuhnya.
Goyangan pada pohon itu sama
sekali tidak mengganggu keheningan semadi Arya. Tapi, semakin liar goyangan itu
semakin sering dan menjadi-jadi. Mau tidak mau, semadi Dewa Arak mulai terusik.
Dengan agak segan, tarikan napasnya dihentikan. Kemudian sepasang matanya
dibuka.
Krakkk!
Pada saat yang bersamaan
dengan terbukanya kedua kelopak mata Dewa Arak, pohon itu tidak lagi bertahan.
Bahkan langsung tumbang ke jurang bersama akar-akamya.
Arya terkejut bukan kepalang
ketika menyadari tubuhnya melayang turun seiring robohnya pohon yang
didudukinya. Padahal, dasar jurang sama sekali tidak terlihat Seandainya jatuh
ke bawah sana, kemungkinan nyawanya akan melayang.
Dewa Arak tentu saja tidak
menginginkan hal itu terjadi. Maka, dia berusaha menyelamatkan diri, dengan
sebisa-bisanya menjejakkan kakinya pada pohon yang tengah meluncur turun.
Tukkk!
Tubuh Arya pun kembali
melayang ke atas. Sasarannya adalah lubang tempat tumbuhnya akar pohon tadi.
Karena, memang hanya itulah satusatunya tempat yang bisa dijadikan pegangan.
Tappp!
Usaha Arya tidak sia-sia,
begitu kedua tangannya berhasil menggapai mulut lubang. Tak pelak lagi, tubuh
pemuda berambut putih keperakan ini pun tergantung di dinding jurang.
"Ukh...!"
Arya menyeringai ketika
dadanya terasa sesak. Cairan merah kental pun kembali mengalir di sudutsudut
mulutnya. Memang, luka dalam yang diderita Dewa Arak terlalu parah. Meskipun
telah diobati dengan semadi, tapi rupanya belum sembuh betul. Maka ketika
tenaga dalamnya dipergunakan kembali, luka dalamnya pun kambuh.
Arya menggigit bibirnya untuk
menguatkan tekadnya. Biar bagaimanapun, Dewa Arak harus tiba dulu di dalam
lubang. Apapun yang terjadi! Tidak mungkin dia mampu bertahan tergantung
seperti ini.
Berpikir demikian, Arya segera
menggerakkan kedua tangan untuk mengangkat tubuhnya ke atas. Cairan merah
kental yang mengalir melalui sudut bibirnya semakin banyak. Bahkan rasa nyeri
yang amat sangat pun semakin melanda. Tapi Arya berusaha keras untuk bertahan.
Dan ternyata, usahanya tidak sia-sia. Dia kini telah berhasil sampai di dalam
lubang.
Dan lubang itu ternyata besar
juga. Garis tengahnya lebih dari setengah tombak. Sebuah lubang yang cukup
besar untuk akar sebatang pohon. "Hehhh...?"
Arya terperanjat ketika
melihat lubang tempat akar pohon itu ternyata panjang, sehingga berbentuk
lorong. Seketika itu pula timbul harapan di hati Arya untuk bisa lotos dari
jurang ini. Dia yakin, lubang yang ternyata lorong ini mempunyai hubungan
dengan dunia luar. Dan hal seperti itu sudah dibuktikan sendiri kebenarannya
(Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode "Runtuhnya
Sebuah Kerajaan").
Meskipun demikian, Arya tidak
gegabah oleh perasaan gembira. Disadari, ada hal terpenting yang harus
dilakukannya, yakni mengobati luka dalamnya. Paling tidak agar perjalanan bisa
dilakukan secara cepat. Di samping itu, untuk menghindari adanya bahaya yang
tidak diinginkan. Maka pemuda berambut putih keperakan itu pun kembali
bersemadi. Bagian tubuh depannya menghadap keluar lubang, sedangkan punggungnya
berhadapan dengan bagian dalam gua.
Arya baru menghentikan
semadinya ketika malam telah menyelimuti persada. Rasa nyeri yang menusuknusuk
dada setiap kali napas ditarik, sudah tidak terasa lagi. Sekarang yang
tertjnggal adalah perasaan lapar. Masalahnya, sudah dua hari perutnya tidak
diisi. Minuman pun demikian pula. Malah, Dewa Arak sendiri tengah dilanda
kebingungan tentang keberadaan gucinya! Yang diketahui, guci itu sudah tidak
ada lagi sewaktu tersadar dari pingsannya.
Tapi, Dewa Arak berusaha untuk
tidak mempedulikan perasaan lapar dan haus yang menyerangnya. Bahkan dia malah
memulai usahanya, merayapi lorong itu.
Dewa Arak mengernyitkan dahi
ketika menyadari lorong ini ternyata panjang dan berkelok-kelok. Tapi anehnya,
arahnya selalu menanjak. Karena tinggi lorong ini tidak sama, sehingga membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa menyusurinya dengan beberapa cara.
Terkadang merayap seperti seekor ular, tapi tak jarang merangkak seperti seekor
kambing.
Entah berapa lama menempuh
perjalanan itu, Dewa Arak sama sekali tidak tahu. Yang jelas, bajunya di bagian
perut telah koyak-koyak. Demikian pula celananya. Bahkan kedua tangan dan
kakinya pun telah terasa pegal-pegal ketika akhirnya berhadapan dengan jalan
buntu. Kini, di hadapannya terpampang dinding batu yang menghambat jalannya.
Berbeda dengan lorong
sebelumnya, atap lorong ini berjarak tak kurang satu tombak dari tanah.
Sehingga, di sini Arya bisa berdiri secara leluasa.
Meskipun berhadapan dengan
jalan buntu, Dewa Arak tidak putus asa. Dia sudah terlalu sering bertemu
ruangan-ruangan rahasia. Maka begitu melihat kenyataan kalau lorong yang
ditelusurinya buntu, dia tidak begitu saja percaya. Dia yakin, ada cara untuk
membuka jalan.
Itulah sebabnya, pemuda
berambut putih keperakan ini mengedarkan pandangan berkeliling. Seketika itu
pula, sepasang matanya tertumbuk pada sebatang obor yang bertengger di dinding
sebelah kiri. Maka buru-buru tangannya terulur, dan menekan obor ke bawah.
Grrrggghhh...!
Entah bagaimana caranya,
tahu-tahu dinding batu yang menghadang jalan bergeser ke kanan. Perlahanlahan
namun pasti, dinding batu itu memperlihatkan pemandangan di baliknya. Ternyata,
di balik dinding itu terdapat sebuah ruangan luas.
Dewa Arak bergegas melangkah
maju. Pandangannya seketika beredar ke sekeliling ruangan. Tampak di bagian
kanan ruangan terdapat sebuah gua. Dengan langkah perlahan-lahan Arya segera
memasukinya. Ruangan itu berbentuk memanjang. Dan dalam jarak sekitar tujuh
tombak dari ambang gua terdapat sebuah gundukan batu setinggi dua jengkal, dan
mempunyai bagian atas pipih.
Di atas gundukan itu tampak
sesosok kerangka manusia yang tengah duduk bersila. Dan kini, mata Dewa Arak
tertumbuk pada sebuah benda di pangkuan kerangka itu. Sebuah buntalan kain yang
cukup besar dan berwarna hitam.
Dewa Arak terkesima melihat
hal ini. Tapi ketika matanya tertumbuk pada sebuah papan yang tergantung di
atas gua dengan dua buah tali, dia langsung mengerti. Jaraknya sekitar dua
tombak darinya, dan letaknya di sebelah kanan.
Sebuah papan berukir dan
berwarna hitam, sehingga terlihat indah. Tidak terlalu panjang atau terlalu
lebar. Tapi, bukan itu yang membuat Dewa Arak nengangguk-anggukkan kepala
pertanda mengerti, melainkan tulisan-tulisan yang tertera di atasnya. Arya
segera membacanya dalam hati. 7
Aku ucapkan selamat atas
keberuntunganmu. Kaulah yang telah berhasil mengungkapkan rahasia syair itu.
Kini terimalah hasil
jerih payahmu. Semua pusaka
ini menjadi milikmu. Di dalam buntalan itu ada kitabkitab ilmu silat,
senjata-senjata pusaka, buku pengobatan, dan pel-pel yang dapat membuat
dirimu mempunyai tenaga dalam
dahsyat yang berhawa dingin dan panas, apabila menuruti saran-saran yang
tertera.
(Eyang Mandura)
"Eyang Mandura. "
Arya mendesis setengah tak
percaya. Jadi, ini tempat pusaka leluhur Adipati Subali. Sungguh gila! Mengapa
jadi dirinya yang menemukan tempatnya? Yang lebih gila lagi, Eyang Mandura
malah mewariskan pusaka itu padanya. Bukankah dalam papan itu tidak
disebut-sebut tentang keturunannya? Dia hanya mengatakan kalau orang yang telah
berhasil menemukan tempat itu akan menjadi pemiliknya.
Tapi, Arya bukan termasuk
orang yang serakah terhadap ilmu dan pusaka-pusaka. Apalagi, diketahuinya ada
orang yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu. Adipati Subali dan Rara Kunti!
Tidak! Dia tidak akan mengambil hak orang lain!
Maka Arya menundukkan kepala
iintuk memberi hormat.
"Maafkan aku, Eyang. Aku
tidak bisa menerima kebaikanmu. Aku telah mempunyai guru. Pantang bagiku
menerima warisan ilmu orang lain, tanpa seizin guruku," ucap Arya, pelan.
Mendadak Arya mengernyitkan
dahi ketika tertumbuk pada guratan-guratan halus di tanah. Secara kebetulan
saja, guratan itu tertangkap matanya. Dan itu terjadi karena dia bermaksud
memberi hormat pada Eyang mandura.
Sekali lihat saja, Dewa Arak
tahu kalau guratanguratan itu adalah tulisan. Hanya yang membuatnya heran
bercampur curiga, mengapa ditulis di tempat yang begitu tersembunyi?
Kecil-kecil lagi! Seakanakan memang sengaja ditulis agar tidak diketahui orang!
Perasaan penasaran pun
bersemayam di hati Dewa Arak. Dan perasaan itulah yang menyebabkannya
membungkukkan tubuh untuk melihat lebih jelas lagi. Kemudian dibacanya tulisan
yang tertera di dalam hati.
Cucuku....
Apabila kau maju setindak saja
melewati guratan tulisan, kau akan mati keracunan. Karena di sekitar tempat ini
telah kutaburkan racun yang mematikan. Di samping itu, ada jebakan-jebakan maut
lainnya. Kalau kau ingin selamat, gunakan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Tapi
hanya gerakan-gerakan langkah kakinya saja yang perlu dipergunakan.
Eyang Mandura
Arya mengangguk-anggukkan
kepala, menyiratkan kemengertiannya. Perasaan kagum di hatinya terhadap Eyang
Mandura semakin membesar. Sama sekali tidak diduga kalau kakek Adipati Subali
itu ternyata memiliki kecerdikan
yang mengagumkan! Semua jalan untuk mendapatkan pusaka-pusaka
peninggalannya hanya ditujukan untuk keturunannya. Karena bila orang ingin
selamat dalam mengambil pusaka, harus menggunakan ilmu milik Eyang Mandura
turun-temurun. Jadi yang tidak mempunyai ilmu itu, mustal akan berhasil.
Bahkan di bagian terakhir,
Eyang Mandura mengadakan penyaringan juga. Sekalipun, orang itu keturunannya.
Dan andaikata orang itu lupa daratan begitu melihat pusaka sehingga tidak
memberi penghormatan terlebih dulu, jelas tidak akan pemah berhasil mendapatkan
pusaka. Bahkan ajallah yang akan menjemput.
Arya menghela napas berat,
kemudian melangkah kembali ke tempat semula. Tempat dia tadi keluar dinding
batu. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tampak sebuah gua di depannya,
dan nampak terlihat terang. Maka bergegas langkahnya diayunkan menuju kesana.
Arya terkejut ketika melihat
gua itu, seperti terang benderang. Sekitar satu tombak di depannya,
berkasberkas cahaya tampak menyinari dari atasnya. Sesaat kemudian, Dewa Arak
tahu kalau bagian gua yang berbentuk bundar ini mirip sebuah sumur. Jadi kalau
digambarkan, seperti sebuah sumur yang berhubungan dengan sebuah gua tempat
Arya berdiri.
Gua ini ternyata tidak beda
dengan sebuah sumur, namun tidak terlalu dalam sinar terang yang menyinari
dasarnya, memang karena sinar matahari dari langit yang cerah. Rupanya, hari
telah siang.
*** "Hih!"
Arya menjejakkan kaki. Sesaat
kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melayang ke atas. Dan....
"Hup!"
Ringan laksana daun kering,
tubuh Dewa Arak telah mendarat di tanah, tidak jauh dari letak sumur. Suara
bergemerisik nyaring terdengar ketika kaki pemuda berambut putih keperakan
hinggap di tumpukan daun dan rerumputan mengering.
"Hey!"
Terdengar seruan kaget,
disusul dengan berpalingnya tiga sosok tubuh yang tengah membersihkan tangan
dan wajah, di sebuah sungai yang terletak bawah sebatang pohon besar.
Kontan wajah tiga orang yang
tengah membersihkan diri di sungai jernih itu, berubah ketika melihat Dewa
Arak. Hal yang sama juga melanda pemuda berambut putih keperakan itu. Menilik
dari sikap kedua belah pihak yang langsung waspada, bisa diketahui kalau
masing-masing telah saling mengenal.
Tentu saja Arya mengenali
ketiga orang itu, karena belum lama ini telah berjumpa. Bahkan telah bertarung
dengan salah satu di antara mereka.
"Kita berjumpa lagi, Dewa
Arak," kata salah seorang pemuda yang berwajah pucat dan berpakaian merah
menyala. Pada bagian dadanya tertera gambar sebuah peti mati berwarna hitam.
Dialah Jaranta.
"Sungguh suatu hal yang
sangat kebetulan," sambung seorang lagi yang berkepala botak. Namanya,
Taliwang. Tubuhnya pendek gemuk, dan hanya mengenakan celana pendek putih.
"Kita tuntaskan urusan
yang belum selesai," lanjut wanita berpakaian serba putih dan bertopeng
tengkorak, yang tidak lain dari Ratna Ningsih.
Dewa Arak sama sekali tidak
menanggapi ucapan ketiga orang keturunan datuk-datuk sesat di empat penjuru
angin itu. Disadari, tidak ada gunanya hal itu dilakukan.
"Terimalah kematianmu,
Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, Jaranta
menyerang Dewa Arak. Tak tanggung-tanggung, sekali menyerang langsung
menggunakan ilmu andalannya, 'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Hasilnya, sebelum
secangan itu tiba, muncul kekuatan tak nampak yang menekan Dewa Arak dari berbagai
arah. Semakin serangan Jaranta mendekat, kekuatan tekanan itu semakin membesar
pula. Kontan Dewa Arak merasakan sesak pada dadanya.
Dewa Arak tidak berani
bertindak setengahsetengah lagi. Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk
melawan pengaruh kekuatan tak nampak yang menekannya. Dan ketika pengaruh
tekanan itu lenyap, kakinya cepat melangkah mundur. Sehingga, serangan-serangan
Jaranta hanya mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di depan sasaran yang
dicari.
Jaranta, Taliwang, dan Ratna
Ningsih seketika mengernyitkan kening. Mereka merasa heran bukan kepalang
melihat tindakan yang diambil Dewa Arak! Mengapa pemuda berambut putih
keperakan itu tidak menangkis, tapi malah mengelak? Bukankah dengan tenaga
dalamnya yang jauh lebih kuat, dia bisa menekan Jaranta? Tapi mengapa malah
mengelak? Tidak seperti pertemuan di waktu lalu!
Ketiga pemuda sesat itu sama
sekali tidak tahu kalau Dewa Arak baru saja berhasil memulihkan tenaga dalamnya
akibat luka dalam yang baru-baru ini diderita. Memang, luka dalamnya telah
sembuh. Tapi, tenaga yang dimilikinya belum pulih seluruhnya. Paling tidak
masih membutuhkan beberapa kali semadi untuk mengembalikan kekuatannya seperti
semula.
Meskipun heran, Jaranta tidak
mengambil pusing. Sebagai seorang pemuda cerdik, maka bisa diduga ada sesuatu
yang terjadi pada Dewa Arak. Kalau tidak terjadi apa-apa, tak akan mungkin
pemuda berambut putih keperakan itu bertindak demikian. Pasti ada penyebabnya.
Yakin pada dugaannya, Jaranta
semakin bersemangat melancarkan serangan-serangan. Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru
Angin' dikerahkan sampai di puncaknya. Dewa Arak dicecarnya dengan
seranganserangan beruntun yang mematikan.
Celakalah bagi Dewa Arak!
Keadaan pemuda berambut putih keperakan ini bagai telur di ujung tanduk. Tenaga
dalamnya belum pulih semua. Senjata andalannya yang berupa guci arak pun tidak
berada di tangannya. Maka, leluasalah Jaranta melancarkan desakan.
Taliwang dan Ratna Ningsih
yang semula akan membantu, jadi mengurungkan niatnya melihat rekan mereka
berhasil mendesak Dewa Arak. Tampak jelas pemuda berambut putih keperakan itu
terpontangpanting kesana kemari untuk menyelamatkan diri. Kedua orang ini pun
saling berpandangan dengan perasaan heran. Benarkah orang ini adalah Dewa Arak
yang beberapa waktu lalu mereka temui? Kalau benar demikian, mengapa
kepandaiannya begitu cepat menurun? Serangan-serangannya pun tidak terlalu
hebat.
Memang, hanya di jurus-jurus
awal saja Dewa Arak berhasil mengimbangi lawannya. Begitu menginjak jurus kedua
puluh, dia sudah terdesak. Hal ini membuat Jaranta semakin bernafsu untuk dapat
merobohkan lawannya secepat mungkin.
Merupakan hal yang tidak aneh
kalau Dewa Arak sampai terdesak. Kali ini dia kalah segala-galanya dibanding
Jaranta. Kalah tenaga, kegesitan, dan mutu ilmu silat. Dan tanpa adanya guci,
Dewa Arak sama sekali tidak bisa menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', yang hanya
bisa muncul apabila dalam keadaan mabuk! Di samping itu juga, membutuhkan arak
untuk diminum dalam pertarungan.
Tanpa arak, menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' untuk menghadapi lawan samasaja mencari celaka. Apalagi di
saat keadaan seperti ini. Mempergunakan ilmu andalan itu sama saja mencari
mati! Dan hal itu memang sudah dibuktikan Dewa Arak dalam
pertarungan-pertarungannya terdahulu.
Maka Dewa Arak hanya menggunakan
ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga'. Padahal, ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' milik Jaranta mempunyai
mutu di atas kedua ilmu yang dipergunakan Dewa Arak.
Di jurus kelima puluh satu,
Dewa Arak tidak mampu lagi bertahan. Tekanan kekuatan tak nampak yang berasal
dari berbagai penjuru dan membuat dadanya sesak itulah, yang menjadikan Dewa
Arak tidak berdaya. Tubuhnya kini tampak terhuyunghuyung. Dan sebelum sempat
berbuat sesuatu, kedua tangan Jaranta telah meluncur ke arah dadanya.
Bukkk! "Huakh...!"
Cairan merah kental terlontar
dari mulut Arya seiring tubuhnya yang melayang, begitu serangan Jaranta
menghantam sasaran dengan telak. Untungnya, pemuda berwajah pucat itu tidak
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah
tewas. Memang Jaranta mempunyai rencana atas diri Dewa Arak. Byurrr!
Tubuh Dewa Arak tercebur di
permukaan air dan langsung tenggelam ke dasar. Dewa Arak yang sudah terluka
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sehingga banyak menelan air sungai. Tak aneh
kalau beberapa saat kemudian, gelap melingkupi pandangan pemuda berambut putih
keperakan itu. Tapi sebelum tidak sadarkan diri, matanya masih sempat melihat
kalau di dekat pohon ada air mengalir keluar. Mata air! Jadi, inilah tempat
yang dimaksud Eyang Mandura. Sekejap
kemudian, Dewa Arak sudah tidak ingat apaapa lagi.
***
Dewa Arak membuka matanya
ketika merasakan perih menyengat sekujur punggungnya. Dia membutuhkan waktu
beberapa saat untuk mengetahui kalau dirinya tengah diseret-seret melalui jalan
berbatu.
Tampak oleh Dewa Arak, Jaranta
tengah menyeret tubuhnya. Kedua kakinya diikat dan disatukan.
Demikian pula tangannya, yang
diikat pada bagian pergelangan. Sedangkan ujung tali lainnya dipegang Jaranta.
Dengan keadaan telentang, tubuh Dewa Arak ditarik oleh pemuda berwajah pucat
itu. Tak pelak lagi, tubuh tak berdaya itu terseret-seret.
Srettt! "Akh...!"
Sebuah pekikan tertahan keluar dari mulut Dewa Arak ketika sebuah gundukan batu
kerikil tajam, menggurat punggungnya. Seketika itu pula pakaian di bagian
punggungnya koyak-koyak. Bahkan darah yang keluar dari bagian punggung semakin
banyak.
Dewa Arak hanya bisa menggigit
bibir, dan tidak mampu berbuat apa pun. Jangankan mengerahkan tenaga dalam
untuk membuat kulit tubuhnya kebal, menggerakkan ujung jari kelingkingnya saja
tidak mampu! Rupanya, Jaranta telah menotok lumpuh tubuhnya.
Maka, leluasalah Jaranta
menyiksa Dewa Arak. Sambil tertawa-tawa, diseretnya tubuh Arya melewati
jalan-jalan yang berbatu runcing. Darah pun membasahi sepanjang jalan yang
dilalui pemuda berwajah pucat itu.
Bisa dibayangkan penderitaan
yang dialami Dewa Arak. Pakaian di bagian punggungnya sampai habis tergesek,
berbarengan dengan kulitnya. Darah merembes keluar ketika kulit pemuda berambut
putih keperakan itu mulai direncah-rencah batu-batu runcing. Sakitnya sukar
dilukiskan. Bahkan Dewa Arak yang
terkenal paling kuat menahan rasa sakit. Sepertinya sudah tak sanggup bertahan
lagi. Suara kesakitan dan desah kenyerian, bercampur baur dengan suara tawa
Jaranta dan kedua orang sekutunya. Jaranta baru menghentikan siksaannya ketika
Dewa Arak tidak kuat lagi menahan rasa sakit, dan akhirnya jatuh pingsan.
"Hmh...!"
Jaranta mendengus kesal ketika
melihat korbannya pingsan. Dicampakkannya tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu di tanah. Kemudian, dia bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi tak lama,
Jaranta sudah kembali sambil membawa sebuah guci.
"He he he...!"
Taliwang dan Rama Ningsih
tertawa terkekeh, karena tahu apa isi guci itu. Air cuka!
"Tunggu sebentar,
Jaranta! Terlalu enak baginya kalau kau melakukannya pada saat dia tak sadar
diri. Lebih baik kusadarkan dulu, dan kuberi beberapa tambahan pekenaan yang
membuat calon korban kita menggeliat-geliat karena perasaan nikmat!"
Sambil berkata demikian,
Taliwang menghampiri tubuh Arya yang tergolek. Di tangan pemuda berkepala botak
ini terjinjing sebuah ember kayu berisi air. Lalu, disiramkannya air itu pada
Dewa Arak.
Byurrr!
Air sungai itu tepat mengguyur
wajah Arya. Kontan pemuda berambut putih keperakan itu gelagapan, dan langsung
tersadar dari pingsannya. Sesaat sepasang mata itu kebingungan, tapi langsung
sadar akan kejadian yang tengah dialami ketika melihat raut-raut wajah yang
tengah memperhatikannya dengan sinar mata bengis! Wajah Ratna Ningsih, Jaranta,
dan Taliwang.
"Nah! Sekarang, baru
kuberikan latihan tambahan padanya!" desis Taliwang dengan sinar mata
menyiratkan kekejaman.
Tangan pemuda berkepala botak
ini pun bergerak ke arah pinggang. Ternyata, pinggangnya terbelit cambuk
berwarna coklat dan berbulu kasar. Hanya dengan sekali sentak saja, Taliwang
telah membuat cambuk itu lolos dari pinggangnya.
"Hih!"
Ctarrr, ctarrr, ctarrr...!
Arya hanya mampu menggigit
bibir. Dia berusaha untuk tidak berteriak, ketika cambuk itu melecuti sekujur
dadanya yang memang dalam keadaan telentang.
Dari tersentaknya tubuh Dewa
Arak setiap kali cambuk melecut tubuhnya, bisa diketahui kalau rasa sakit
benar-benar melanda tubuhnya. Garis-garis kehitaman memanjang pun menghias
sekujur tubuh Dewa Arak seiring terkoyak-koyak pakaian yang dikenakan.
Bukan hanya di perut dan di
dada, tapi juga di wajah. Untungnya, seperti juga Jaranta, Taliwang mencambuk
hanya mengerahkan tenaga kasar saja. Kalau disertai pengerahan tenaga dalam,
Dewa Arak yang sudah tidak berdaya itu pasti akan tewas!
Taliwang menghentikan
tindakannya ketika seluruh tubuh Arya telah dipenuhi garis-garis menghitam
bekas cambukan.
"Hanya seperti itu saja
hasil pekerjaanmu, Taliwang," cibir Jaranta, bernada mencomooh.
"Hanya sebuah perbuatan yang membuang-buang tenaga percuma!"
"Tutup dulu bacotmu,
Jaranta! Lihat apa yang terjadi?!"
Ternyata bukan hanya Jaranta
saja yang mengalihkan pandangan ke arah Arya. Ratna Ningsih pun demikian pula.
Rupanya wanita bertopeng tengkorak ini ingin tahu juga peristiwa yang dialami
Dewa Arak.
Bagaikan menyaksikan sebuah
tontonan yang menarik, Ratna Ningsih, Taliwang, dan Jaranta menatap ke arah
Dewa Arak. Ternyata, pemuda berambut putih keperakan itu tengah mendesis-desis.
Sepasang bola matanya berputaran liar. Jelas, ada sesuatu yang amat dahsyat
tengah dirasakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan memang demikian
kenyataannya. Ada rasa gatal yang tidak tertahankan menjalar dari bilur-bilur
bekas cambukan. Kalau bisa, tentu Arya akan menggaruknya, sekalipun kulitnya
sampai terkelupas. Tapi karena hal itu tidak bisa dilakukan, bisa dibayangkan
rasa tersiksa yang melandanya.
Meskipun demikian, Arya
berusaha bertahan sekuat tenaga. Dia tidak ingin mengeluarkan keluhan sedikit
pun dari mulutnya. Tapi karena tubuhnya tidak bisa bergerak, tidak ada
pelampiasan lain yang harus dikeluarkannya. Dan akhirnya, Dewa Arak tidak
tahan. Maka desisan-desisan kesakitan pun meluruk dari mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang
malah terbahak-bahak melihat adegan yang terpampang di hadapan mereka.
Seakan-akan yang mereka saksikan adalah sebuah pertunjukkan lucu yang
menggelitik hati.
"Kurasa, sekaranglah saat
yang paling tepat untuk menyiramkan ini!" ujar Jaranta sambil menuangkan
isi gucinya ke tubuh Arya. Dan...
Cuuur...!
"Aaakh...!"
Arya memekik tertahan ketika
air cuka itu mengguyur sekujur tubuhnya yang telah dipenuhi luka. Rasanya,
sukar dilukiskan lagi. Rasa gatal, panas, dan nyeri yang tidak tertahankan bercampur
aduk menjadi satu. Kalau saja Dewa Arak mampu bergerak, tentu sudah bergulingan
ke sana kemari seperti ayam disembelih. Tapi karena tidak mampu melakukannya,
dia hanya memekik tertahan. Rupanya, kekerasan hati saja tidak cukup untuk
bertahan terhadap siksaan.
Beberapa saat lamanya pendekar
muda yang telah menggemparkan itu hanya mendesis-desis karena siksaan ketiga
orang lawannya, sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Pingsan.
*** 8
Hari sudah agak siang. Sang
Mentari tampak menyorot cukup garang ke bumi. Sinarnya yang cukup panas itu
menyengat tubuh Arya yang tergantung di atas cabang pohon dengan kepala di
bawah dan kaki di atas. Pergelangan kaki kanannya diikat dengan seutas tali
yang kuat ke cabang pohon itu.
Sudah sejak matahari terbit
Dewa Arak tergantung seperti itu. Kepalanya telah terasa panas bukan kepalang.
Terutama sekali, matanya. Hal ini disebabkan, semua darah mengalir ke kepala.
Kalau dibiarkan terus, Arya akan tewas dengan pembuluhpembuluh darah di bagian
kepala pecah!
Luar biasa perubahan yang
dialami Dewa Arak Tidak sampai sehari di tangan Jaranta, Ratna Ningsih dan
Taliwang, dia sudah berubah demikian jauh. Sekujur tubuhnya mulai dari wajah
sampai kaki, penuh luka-luka. Bahkan rambutnya yang semula berwarna putih
keperakan, dan meriap-riap, kini tampak kotor, kumuh, dan rusak di sana-sini.
Dewa Arak benar-benar mengalami perubahan yang amat cepat. Untung saja Dewa
Arak yang mengalami siksaan seperti itu. Kalau saja orang lain, mungkin sudah
tewas. Memang, meskipun saat itu kemampuan Arya yang sesungguhnya tidak keluar,
tapi tetap saja tubuhnya yang sudah terlatih mempunyai kekuatan di atas orang
lain.
Tapi kalau disiksa seperti
itu, rasanya Arya tidak akan bertahan lama. Kepalanya sudah terasa panas
demikian pula sepasang matanya. Rasanya tidak akan lama lagi, pendekar muda
yang menggemparkan itu akan tamat riwayatnya.
"Hi hi hi...! Bagaimana
siksaanku, Dewa Arak?' Tegur sebuah suara kecil dan melengking nyaring.
Sepertinya suara seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Ratna Ningsih?
Arya sama sekali tidak
berminat menyambuti, dan hanya diam saja. Lagi pula andai kata berminat pun
belum tentu mampu menyambuti ucapan Ratna Nigsih. Yang dapat dilakukannya hanya
menatap tiga orang lawannya dengan sepasang mata yang telah berwarna merah
membara.
Terlihat olehnya, meskipun
dalam keadaan terbalik, Rama Ningsih, berdiri paling depan. Sementara Taliwang
dan Jaranta berdiri di belakangnya. Wajah wajah mereka tampak menyiratkan
kegembiraan.
"Ah!" Terdengar
jeritan kaget dari mulut Ratna Ningsih. "Kau tidak boleh mati dulu, Dewa
Arak! Aku mempunyai permainan yang menyenangkan untukmu!"
Setelah berkata demikian,
Ratna Ningsih menudingkan dua buah jarinya ke arah tambang.
Cittt, tasss! Brukkk!
Tubuh Arya jatuh berdebuk
keras di tanah, ketika tali pengikat kakinya putus tersambar angin pukulan
Ratna Ningsih. Luar biasa ilmu yang dimiliki wanita bertopeng tengkorak ini.
Angin pukulannya tak kalah tajam dengan babatan pedang atau pisau yang bermata
paling tajam!
Dewa Arak menyeringai kesakitan.
Memang bukan kepalanya yang jatuh lebih dahulu melainkan bahu kanannya, tapi,
tetap saja terasa sakit bukan kepalang. Dan dia tidak mengeluh sedikit pun.
Mendadak, tubuh Dewa Arak
terangkat naik. Ketika matanya melirik, ternyata Ratna Ningsih yang telah
mengangkatnya. Lalu bagaikan menjinjing sehelai kain basah, wanita bertopeng
tengkorak itu membawanya pergi. Sedangkan Taliwang dan Jaranta melangkah di
belakangnya.
"Aku ingin tahu,
permainan apa yang akan kau suguhkan, Ratna Ningsih!" Kata Jaranta bernada
mengejek.
Tawa bergelak bernada
mendukung Jaranta diperdengarkan Taliwang. Tapi semua itu hanya disambut
dengusan Ratna Ningsih. Jelas, murid Ratu Tengkorak Putih ini tidak terpengaruh
ejekan rekan-rekannya, dan terus saja berjalan.
Tak lama kemudian, terdengar
decak kekaguman dari mulut Jaranta dan Taliwang.
"Luar biasa! Sama sekali
tidak kusangka, kalau kau mempunyai pemikiran yang demikian cemerlang, Ratna
Ningsih! Permainanmu akan menjadi tontonan yang paling menarik," puji
Jaranta.
"Benar, Ratna Ningsih.
Kau benar-benar luar biasa! Aku sama sekali tidak terpikir sampai kemari. Kau
memang pintar mencari permainan!" Taliwang ikut memuji.
"Hi hi hi...!" Ratna
Ningsih hanya tertawa mengikik saja mendengar pujian kedua orang rekannya.
***
Arya memandang ke depan.
Seketika, sepasang matanya terbelalak lebar. Betapa tidak? Sekitar lima tombak
di depannya nampak empat ekor kuda yang masing-masing menghadap arah mata
angin. Binatang-binatang itu berdiri seperti patung, tidak bergerak-gerak sama
sekali. Jelas, kuda-kuda itu telah ditotok oleh tokoh yang mengerti jalan-jalan
darah binatang itu.
Yang membuat Arya terkejut
adalah ketika melihat di leher masing-masing binatang itu, tampak di situ
terlilit tali panjang yang terhampar ke belakang. Bisa diperkirakan hal yang
akan dilakukan Ratna Ningsih dengan kuda-kuda itu.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa
berpikir lebih lama lagi, karena Ratna Ningsih telah membawanya ke arah tempat
kuda-kuda itu berada. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu diturunkannya.
Kemudian, masing-masing tali yang terhampar di tanah, diikatkan pada
pergelangan kedua tangan dan kaki Arya.
"Mhh...!"
Arya mengeluh dalam hati.
Disadari akan bahaya yang tengah mengancamnya. Apabila dikejutkan, maka
seketika itu pula kuda-kuda ini akan berlari cepat ke arah masing-masing
menghadap. Dan karena masing-masing kuda menghadap satu mata angin, maka tubuh
Arya dapat dipastikan akan tercerai-berai ke tempat-tempat yang terpisah.
"Hi hi hi...!"
Ranta Ningsih tertawa terkikih
ketika telah selesai mengikatkan tali-tali itu pada pergelangan tangan dan kaki
Arya. Lalu, tangannya bergerak menepuk punggung Arya. Maka totokan pada tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu pun punah. Kini, Arya berdiri limbung di
tengah-tengah empat ekor kuda yang akan menamatkan riwayatnya secara
mengerikan.
Hanya sekali lesatan, Ratna
Ningsih telah berada di sebelah Jaranta Dan Taliwang yang sejak tadi
terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. Sudah terbayang di benak kedua orang itu
tubuh Dewa Arak yang akan tercerai-berai.
"Mari kita
mulai...!"
Seiring ucapannya, Ratna
Ningsih mengayunkan tangannya. Maka meluncurlah dua buah benda kecoklatan
sebesar ibu jari kaki ke arah dua dari empat ekor kuda yang berdiri mematung.
Pada saat yang bersamaan,
Taliwang dan Jaranta pun mengayunkan tangan pula. Maka, benda-benda coklat
sebesar ibu jari yang tak lain adalah kerikil itu meluncur menuju dua ekor kuda
lainnya.
Sing, sing, sing...!
Sementara itu pemuda berambut
putih keperakan ini menyadari akan adanya bahaya yang tengah mengancam.
Disadari pula kalau saat ini dia tidak bisa menyelamatkan selembar nyawanya.
Maka pada saat yang bersamaan dengan ketiga orang lawannya me-nyambitkan
kerikil untuk membebaskan totokan pada keempat ekor kuda, Dewa Arak cepat
memusatkan pikiran pada belalang raksasa. Hati dan pikirannya disatukan untuk
memanggil binatang yang terdapat di alam gaib itu.
Seketika itu pula, tubuh Arya
bergetar ketika belalang Raksasa masuk ke dalam dirinya. Dan masuknya binatang
dari alam gaib itu, berbarengan waktunya dengan tibanya kerikil-kerikil yang
diluncurkan Ratna Ningsih dan rekan-rekannya pada tubuh empat ekor kuda.
Tuk, tuk, tukkk...!
Begitu kerikil-kerikil itu
mengenai sasaran, totokan yang membelenggu kuda-kuda itu langsung punah. Bagai
diberi perintah, maka binatang-binatang itu segera berlari ke arah
menghadapnya.
Tapi baru beberapa langkah
kuda-kuda itu berlari, terdengar suara geraman keras yang mengejutkan.
"Grrrhhh...!"
Suara geraman keras yang
membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar ternyata berasal dari mulut
Arya! Dan secepat geraman itu keluar, secepat itu pula tangan dan kaki Dewa
Arak bergerak aneh! Luar biasa! Tali-tali yang membelenggu pergelangan tangan
dan kakinya langsung terputus. Hasilnya, kuda-kuda itu berlari cepat meninggalkan
tempat itu tanpa membuat tubuh Dewa Arak cerai berai.
Pemandangan yang tidak
disangka-sangka itu tentu saja terlihat jelas oleh Ratna Ningsih, Taliwang dan
Jaranta. Sepasang mata mereka kontan terbelalak. Tapi bukan karena kejadian
yang tidak disangkasangka itu, karena melihat adanya bayangan seekor binatang
berwarna coklat dan bersayap di belakang tubuh Dewa Arak. Bentuknya besar bukan
kepalang, tapi hanya tampak seperti bayangan. Samar namun jelas. Mereka tidak
tahu, binatang apa itu.
Dan sebelum Jaranta, Ratna
Ningsih, dan Taliwang sadar dari keterkejutan yang mendera, Dewa Arak telah
melesat ke arah mereka disertai suara geraman mengerikan. Bahkan geraman
seperti itu rasanya tidak layak keluar dari mulut manusia.
Jaranta, Ratna Ningsih dan
Taliwang, kontan terkejut ketika melihat gerakan Dewa Arak. Saat itu, Dewa Arak
seperti bukan manusia, melainkan seekor burung. Gerakannya ketika meluruk, tak
ubahnya seekor burung garuda menyambar mangsa.
Hati Jaranta, Taliwang, dan
Ratna Ningsih kontan tercekat melihat hal ini. Sekerika mereka saling
mendahului untuk menyelamatkan diri. Ratna Ningsih ke kiri, Taliwang ke kanan,
dan Jaranta yang berada di tengah-tengah segera melompat ke belakang.
Menakjubkan! Masih dengan keadaan tubuh berada di udara, Dewa Arak
menghentakkan tangannya ke arah Jaranta. Tidak hanya sekali saja tangan itu
dihentakkan dalam penggunaan jurus 'Pukulan belalang', tapi berkali-kali.
Seketika deru angin ke berhawa panas menyengat, meluncur bertubi-tubi arah
Jaranta.
Jaranta kelabakan bukan main.
Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dikerahkan untuk mengelakkan
diri dari incaran serangan pukulan jarak jauh Dewa Arak. Beberapa kali dia
memang berhasil mengelakkan. Dan pukulan jarak jauh itu hanya me-ngenai tanah,
sehingga menimbulkan lubang yang mengepulkan asap tipis. Tapi pada hentakan
tangan Dewa Arak yang ketiga, keturunan Iblis Makhluk Hidup ini tidak bisa
menghindari lagi. Telak dan sekali jurus 'Pukulan Belalang' menghantam dada
Jaranta.
Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh Jaranta langsung melayang jauh ke belakang diiringi pekik kesakitan.
Darah segar langsung memancur deras dari mulut. Tubuh Jaranta jatuh berdebuk
keras di tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Jaranta seketika
tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tewas dengan seluruh tubuh gosong.
Samar-samar tercium bau hangus daging yang terbakar.
***
Ratna Ningsih dan Taliwang
terperanjat melihat hal ini. Mereka sama sekali tidak sempat bertindak apaapa
untuk membantu Jaranta. Memang, kejadian itu berlangsung cepat bukan kepalang,
Mereka juga baru saja bangkit dari mengelaknya, ketika tubuh Jaranta terhantam
jurus 'Pukulan Belalang'.
Tapi hanya sebentar saja Ratna
Ningsih dan Taliwang dilanda perasaan itu, karena sebentar kemudian telah mampu
menguasai diri. Dan mereka langsung mencabut senjata masing-masing, siap
menyerang Dewa Arak.
Wuk, wuk, wuk! '
Suara mengaung keras terdengar
ketika Ratna Ningsih memutar tongkat berujung kepala tengkoraknya di depan
dada. Hebat! Kontan bentuk senjata itu lenyap, dan kini menjadi segulungan
sinar berwarna kecoklatan.
Ctar!
Taliwang tidak mau kalah.
Cambuknya segera dicabut dan dilecutkan. Sehingga, memperdengarkan suara
menggelegar keras laksana halilintar. Samarsamar terlihat kepulan asap tipis
keluar ketika cambuk itu dilecutkan.
"Haaat...!"
Hampir berbareng, Taliwang dan
Ratna Ningsih mengeluarkan teriakan keras menggeledek. Tubuh mereka melesat
menuju Dewa Arak. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan, siap diarahkan ke
tubuh lawan.
Wukkk!
Setelah sebelumnya
memutar-mutarkan tongkatnya laksana baling-baling di atas kepala, Ratna Ningsih
menyodokan senjata itu ke arah dada Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, dari
arah samping kanan Taliwang meluncurkan cambuknya ke arah ubunubun. Hebat!
Cambuk itu bergerak mematuk-matuk seperti gerakan seekor ular.
Serangan-serangan yang
dilancarkan kedua tokoh sesat ini memang serangan maut. Apabila salah satu ada
yang mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa tokoh berkepandaian tanggung
ke akhirat.
Dewa Arak tentu saja tahu hal
itu. Meskipun telah kemasukan belalang raksasa, pikirannya berjalan seperti
biasa. Hanya saja, gerakan-gerakan yang dilakukannya lebih liar dan ganas.
Gerakannya mirip tingkah laku binatang. Dan dengan perantaraan belalang
raksasa, Dewa Arak tidak mengalami kesulitan sedikit pun dalam menggunakan ilmu
'Belalang Sakti'! Kegunaan arak dan gucinya, telah digantkan belalang alam gaib
itu.
Kini, Dewa Arak bersiap-siap
menghadapi serangan-serangan yang datang dari Ratna Ningsih dan Taliwang. Luar
biasa! Serangan-serangan yang meluncur ke arahnya, dihadapi. dengan cara
menakjubkan. Tangan kanan ditetakkan ke bawah, sedangkan tangan kiri diangkat
ke atas kepala untuk melindungi ubun-ubun.
Takkk, tappp, tappp...!
Gila! Dalam waktu demikian
singkat, senjatasenjata milik Ratna Ningsih dan Taliwang telah tertang-kap!
Hanya bedanya tongkat Ratna Ningsih lebih dulu ditangkis, dan baru ditangkap!
Karuan saja Ratna Ningsih dan
Taliwang kaget bukan kepalang melihat senjata andalan masingmasing tercengkeram
tangan lawan. Buru-buru mereka mengerahkan tenaga untuk menarik pulang senjata
itu. Tapi sampai terdengar suara keluhan berat dari mulut mereka, tetap saja
senjata-senjata itu tidak bergeming dari cengkeraman tangan Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak melepaskan
cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang,
terbawa tenaga tarikan sendiri. Namun dengan sebuah jejakan kaki pada tanah,
Ratna Ningsih dan Taliwang telah berhasil memperbaiki keadaannya. Dan saat
itulah Dewa Arak meluruk ke arahnya. Ratna Ningsih dan Taliwang bergegas
menyambutnya. Maka, pertarungan sengit pun berlangsung.
Baik Ratna Ningsih, Taliwang,
maupun Dewa Arak sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Masing-masing pihak berkeinginan merobohkan lawan secepat mungkin. Suara
mengaung, meledak-ledak, dan menderu dari setiap gerakan tangan, kaki, atau
senjata-senjata pihak yang bertarung, menyemaraki pertarungan.
Di awal jurus, pertarungan
berlangsung imbang. Masing-masing pihak saling melancarkan serangan. Tapi
begitu menginjak jurus kelima puluh, Ratna Ningsih dan Taliwang mulai terdesak.
Serangan-serangan mereka yang semula gencar, kian lama kian berkurang.
Sebaliknya, gerakan mengelak lebih sering dilakukan.
Memang, meskipun tanpa adanya
guci dan arak, kelihaian Dewa Arak sama sekali tidak berkurang. Bahkan
sepertinya malah bertambah. Keberadaan belalang raksasa di dalam tubuhnya
ternyata jauh lebih menguntungkan daripada hanya guci dan arak saja.
"Haaat..!"
Di jurus kerujuh puluh dua,
Ratna Ningsih membabatkan tongkatnya ke arah pinggang Dewa Arak. Pada saat yang
bersamaan, dari sebelah kanan Taliwang melecutkan cambuknya ke arah pelipis.
Dua buah serangan yang benar-benar berbahaya.
Tapi, Dewa Arak tidak gugup
menghadapi Kenyataan seperti ini. Kakinya segera dijejakkan, sehingga tubuhnya
melayang ke atas. Dan tangan kanannya langsung digerakkan untuk menangkap
cambuk Taliwang yang meluncur ke arahnya.
Wukkk! Bukkk!
"Akh...!"
Begitu babatan tongkat Ratna
Ningsih lewat bawah kakinya, kaki kanan Dewa Arak langsung meluncur ke arah
dada. Bidang lowong itu sama sekali tidak disadari Ratna Ningsih. Akibatnya,
tendangan Dewa Arak telak mengenai sasaran. Suara bergeme-retak keras terdengar
diiringi terpentalnya tubuh wanita bertopeng tengkorak itu ke belakang disertai
jerit memilukan dari mulutnya. Dapat dipastikan, wanita itu langsung tewas
sekerika.
Pada saat yang bersamaan
dengan terpentalnya tubuh Ratna Ningsih, tangan kanan Dewa Arak bergerak
menangkap cambuk Taliwang yang tengah meluncur ke arah pelipis.
Tappp!
Cambuk itu berhasil
dicengkeram. Lalu, cepatcepat Dewa Arak menyentakkannya.
"Ah...!"
Tubuh Taliwang seketika
melayang ke atas, meluncur ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah berada di udara.
Maka, Dewa Arak buru-buru melepaskan cekalan cambuknya. Dan secepat cambuk itu
terlepas, secepat itu pula tangan kanannya bergerak ke arah ubun-ubun Taliwang.
Taliwang terperanjat bukan
kepalang. Rentetan kejadian yang demikian cepat sungguh membuatnya gugup.
Meskipun demikian, dia berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawanya.
Sebisabisa tubuhnya digeliatkan. Tapi....
Crokkk! "Aaakh...!"
Taliwang menjerit memilukan
ketika jari-jari tangan Dewa Arak mencucuk ubun-ubunnya. Darah bercampur otak
langsung muncrat-muncrat.
Brukkk!
Tubuh Taliwang jatuh di tanah,
dan diam tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak
hinggap di tanah, belalang raksasa itu pun keluar dari dalam tubuhnya. Anehnya,
saat itu juga semua luka dalam yang diderita Arya sembuh sama sekali! Luar
biasa!
"Hehhh...?!"
Arya terperanjat ketika
mendengar jeritan di kejauhan. Apalagi, ketika dikenalinya betul pemilik
jeritan itu. Rara Kunti! Maka secepat kilat, pemuda beram-but putih keperakan
itu melesat cepat menuju ke arah asal suara. Dan ternyata, suara itu berasal
dari sumur yang tadi ditinggalkannya.
Begitu telah berada di pinggir
sumur, tanpa raguragu lagi Dewa Arak melompat turun. Ringan laksana daun
kering, kedua kakinya mendarat di tanah. Lalu, dia melesat cepat ke arah tempat
pusaka peninggalan Eyang Mandura.
Tapi beberapa tombak sebelum
mencapai pintu gua ruangan pusaka peninggalan Eyang Mandura, Dewa Arak terpaksa
menghentikan langkahnya. Memang, dari arah depannya tengah bergerak, dua sosok
tubuh menghampirinya. Mereka tak lain dari Adipati Subali dan Rara Kunti. Dan
di tangan Adipati Subali sudah terjinjing buntalan kain hitam. Sementara tidak
jauh dari situ, tergolek sosok mayat yang sepertinya jasad Iblis Mayat Hidup.
"Arya...!" Hampir
berbareng, Adipati Subali dan Rara Kunti berseru kaget ketika melihat Dewa
Arak. Apalagi ketika melihat keadaan pendekar muda yang menggemparkan itu.
Bagai berlomba, keduanya melesat cepat mendekati Dewa Arak.
"Apa yang terjadi
terhadapmu, Arya?"
Begitu telah berada di dekat
Arya, gadis berpakaian hitam ini langsung mengajukan pertanyaan. Sepasang
matanya seperti juga sepasang mata ayahnya, beredar memperhatikan sekujur tubuh
Dewa Arak.
"Tidak apa-apa,"
jawab Arya.
Kemudian secara singkat tapi
jelas, Dewa Arak menceritakan semua kejadiannya. Rara Kunti dan Adipati Subali
mendengarkan penuh perhatian. Tidak sekali pun ada yang menyelak, hingga cerita
yang dituturkan selesai. Tentu saja Arya tidak menceritakan kalau telah
berhasil lolos dari maut karena bantuan belalang raksasa.
"Hhh...!"
Rara Kunti dan Adipati Subali
menghela napas berat mendengar cerita Dewa Arak.
"Sekarang, ganti kau dan
putrimu yang harus bercerita, Kang. Mengapa Iblis Mayat Hidup sampai
tewas?" Tanya Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah tubuh Iblis
Mayat Hidup yang tergolek dengan tubuh hangus.
"Hhh..!" Adipati
Subali menghembuskan napas berat terlebih dulu. "Setelah kau jatuh ke
dalam jurang, terpaksa kami melanjutkan perjalanan tanpa dirimu. Terus terang,
kami berkeyakinan kau telah tewas. Di tengah perjalanan, atau tepatnya di
pinggir sebuah sungai, kami bertemu Sagala yang tengah sekarat. Tapi sebelum
tewas, dia sempat menceritakan banyak hal pada kami."
Sampai di sini, Adipati Subali
menghentikan cerita. Dengan gerak isyarat diperintahkannya Rara Kunti
melanjutkan ceritanya.
"Paman Sagala mengakui,
bahwa dia dan adik seperguruannya yang menyamar sebagai diriku, memang menjadi
dalang kehancuran Kadipaten Blambang. Begitu pula pembunuhan terhadap ibuku.
Namun pelaku yang telah membunuh anggota rombongan ayah, telah
dibinasakannya," tutur Rara Kunti.
"Sagala dan adik
seperguruannya telah tewas di tangan Lutung Tangan Baja, karena sebuah
kesalahan. Itulah yang diceritakan Sagala sebelum tewas." urai Adipati
Subali.
"Kami melanjutkan
perjalanan, hingga menemukan tempat tinggal Eyang Mandura. Kemudian, kami
mengikuti petunjuk yang telah didapat hingga berhasil sampai di sini. Tapi
sayang, Iblis Mayat Hidup menguntit perjalanan kami, tanpa diketahui mulai dari
mana. Begitu melihat pusaka peninggalan Eyang Mandura, dia lalu muncul dan
langsung melesat ke arah buntalan itu," lanjut Rara Kunti.
Tapi sebelum maksudnya
tercapai, tubuhnya kontan menggelepar-gelepar. Rupanya, lantai gua di depan
pusaka itu telah ditaburi racun ganas, yang mampu menembus alas kaki. Dan
akhirnya dia tewas dengan tubuh hangus. Malah Rara Kunti sampai menjerit!"
sambung Adipati Subali.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia mengerti, mengapa Rara Kunti tadi menjerit.
"Semula kami kebingungan.
Tapi sewaktu memberi hormat pada tengkorak manusia yang diyakini adalah leluhur
kami, tampaklah tulisan-tulisan tertera di atas lantai. Kami pun mengikuti
petunjuknya. Dan inilah hasilnya," tutur Adipati Subali sambil
mengacungkan buntalan kain itu.
"Selamat, Kang, Kunti.
Mudah-mudahan harapan leluhur kalian terkabul," ujar Arya.
"Terima kasih,
Arya," sahut Rara Kunti dan Adipati Subali berbareng.
Arya mengembangkan senyum
lebar.
"O ya, Kang. Aku ingin
memberi hadiah padamu atas segala jasa yang kau berikan pada kami. Bukan
begitu, Ayah?"
Adipati Subali tampak
kebingungan. Tapi ketika melihat kerdipan pada mata anaknya, buru-buru
kepalanya terangguk.
"Benar... Benar sekali,
Arya. Memang, kami akan menghadiahkan sesuatu padamu," kata laki-laki
tinggi besar itu agak gagap.
"Tapi...," Arya mencoba
membantah.
"Tidak ada penolakan,
Arya. Lagi pula, aku yakin kau akan menerimanya. Inilah hadiah dari kami!"
Sepasang mata Arya membelalak
lebar ketika melihat benda yang tergenggam di tangan Rara Kunti. Benda itu
adalah guci araknya. Maka buru-buru tangannya diulurkan untuk menerimanya.
"Terima kasih, Kunti,
Kang," ucap Arya penuh kegembiraan.
"Aku menemukannya di
dekat mulut jurang. Rupanya, benda ini terjatuh sewaktu tubuhmu
terpental," jelas Rara Kunti, senang karena melihat kegembiraan Arya melihat
pemberiannya.
Sementara Adipati Subali hanya
bisa menganggukanggukkan kepala, bingung. Memang, dia tidak tahumenahu akan
masalah ini.
Matahari mulai tergelincir
dari titik tengahnya ketika Dewa Arak, Adipati Subali, dan Rara Kunti keluar
dari sumur yang menjadi kunci masuk tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
SELESAI