17 - Keris Peminum Darah
Hari sudah agak siang. Sinar
sang surya begitu terik, menyengat kulit. Namun semua itu tidak dipedulikan
oleh dua sosok tubuh yang melangkah bergegas memasuki hutan.
Dua sosok yang ternyata dua
orang lelaki itu melangkah gesit, dan bersikap penuh tanggap. Jelas kalau
mereka tidak asing lagi dengan ilmu silat.
"Masih jauhkah gua itu,
Rakapitu?" tanya orang yang wajahnya penuh tahi lalat.
Orang yang dipanggil Rakapitu
segera meng-edarkan pandangan ke sekeliling. Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar, kekar dan berotot. Tapi, kepalanya kecil, sehingga
kelihatan lucu sekali.
"Rasanya tidak jauh lagi,
Gibang," sahut Rakapitu. Tapi, nada suaranya terdengar mengambang. Jelas
kalau dia merasa bimbang akan jawabannya sendiri.
"Heh...?! Jadi kau
sendiri tidak tahu tempatnya, Rakapitu?" Gibang terperanjat dengan dahi
berkerut dalam.
"Tentu saja tahu!"
sergah Rakapitu keras seraya menatap tajam wajah rekannya.
"Hm.... Lalu..., mengapa
sekarang kau kelihatan bingung?" secercah senyum mengejek tersungging di
bibir Gibang.
"Siapa yang
bingung?!" semakin meninggi suara Rakapitu. Sikap laki-laki yang wajahnya
penuh tahi lalat itu menyebabkan amarahnya bangkit. "Aku tengah mencari
patokannya. Apa kau sudah melihat pohon beringin yang batangnya sedikit
terkelupas?"
Sambil berkata demikian,
kepala laki-laki tinggi besar ini menoleh ke kanan dan ke kiri. Gibang pun mau
tak mau ikut mengedarkan pandangannya, mencari-cari pohon beringin seperti yang
dikatakan rekannya.
"Itu dia...!" teriak
Rakapitu gembira, seraya meng-arahkan telunjuk kanannya pada sebatang pohon
beringin.
Gibang mengikuti arah tudingan
itu. Memang benar apa yang dikatakan Rakapitu. Batang pohon beringin itu
terkelupas.
Seketika itu juga, Rakapitu
mempercepat langkahnya. Mau tak mau, Gibang pun melakukan hal yang sama jika
tidak ingin tertinggal. Dari pohon beringin itu Rakapitu menuju ke kiri. Dia
berjalan menerobos kerimbunan semak dan pepohonan yang lebat.
"Itu tempatnya,
Gibang," tunjuk Rakapitu seraya menudingkan telunjuk kanannya ke arah
sebuah gua yang terletak tak jauh di depan mereka.
"Hm...," hanya gumam
pelan dan tak jelas yang keluar dari mulut Gibang untuk menyambuti ucapan
rekannya.
Begitu telah menemukan apa
yang dicari, kedua laki-laki ini kian mempercepat langkah. Jelas sudah, tujuan
mereka adalah ke gua itu.
Tapi, ketika jarak antara
mereka dengan mulut gua tinggal sekitar tiga tombak lagi, terdengar suara
gerengan. Perlahan saja suara itu, tapi akibatnya telah membuat wajah Rakapitu
dan Gibang memucat. Langkah kaki mereka kontan terhenti. Tanpa melihat pun,
mereka telah tahu kalau suara gerengan itu tak lain berasal dari seekor
harimau.
Sebenarnya baik Rakapitu
maupun Gibang sama sekali tidak merasa gentar terhadap harimau. Tapi binatang
yang terdapat di gua ini tidak bisa dianggap sembarangan. Binatang itu adalah
seekor macan putih ajaib, yang kebal terhadap segala macam senjata. Bahkan juga
memiliki kekuatan yang menggiriskan (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode "Prahara Hutan Bandan").
Belum lagi gema gerengan itu
lenyap, dari dalam gua keluar seekor macan yang berbulu putih dengan langkah
tenang. Besarnya mungkin satu setengah kali macan biasa yang paling besar.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih itu
menggereng. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Sepasang matanya yang
bersinar kehijauan menatap tajam wajah kedua tamu tak diundang itu. Mulutnya
terbuka memamerkan deretan gigi-gigi yang panjang dan runcing.
Karuan saja hal itu membuat
Rakapitu dan Gibang jadi semakin ketakutan. Dengan tubuh gemetar kedua orang
itu beringsut melangkah ke belakang.
Tapi ternyata macan putih itu
tidak bermaksud jahat. Terbukti begitu melihat Rakapitu dan Gibang undur,
binatang itu pun tidak mengejar. Macan putih itu hanya menggereng pelan,
kemudian mem-baringkan tubuhnya di depan gua. Tapi wajahnya tetap tertuju pada
Rakapitu dan Gibang.
Melihat macan itu tidak
mengejar, rasa takut Rakapitu dan Gibang mulai mereda. Kedua orang ini tidak
lagi melangkah mundur, tapi diam di tempat. Beberapa saat lamanya, kedua
laki-laki ini berdiam diri. Maju tidak, mundur pun tidak.
"Bagaimana, Gibang?"
tanya Rakapitu meminta pendapat rekannya.
"Sudah kepalang basah,
Kang. Mandi saja sekalian," sahut laki-laki berwajah penuh tahi lalat itu.
Nada suaranya terdengar tegas.
Meskipun lebih mirip bisikan.
"Bagaimana dengan macan
itu?" Rakapitu menunjuk macan putih dengan dagunya.
Gibang terdiam sejenak. Sesaat
lamanya matanya menatap macan putih yang terbaring di depan gua. Wajah binatang
itu tetap tertuju pada mereka. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau akan melakukan
sesuatu. Bahkan sepertinya macan putih itu tengah bersenang hati. Terbukti,
ekornya mengibas ke sana kemari.
"Tampaknya binatang itu
tidak buas, Rakapitu."
"Dugaanmu mungkin benar,
Gibang," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar itu mendukung penilaian
rekannya.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi?" desak Gibang dengan suara pelan. "Kita coba saja masuk ke
dalam."
"Bagaimana kalau macan
itu menyerang?" Rakapitu masih ragu-ragu.
"Kita usahakan agar binatang
itu jangan sampai merasa terganggu."
"Aku mengerti," kata
Rakapitu. "Tapi bagaimana caranya?"
"Kita melangkah
perlahan-lahan," usul Gibang.
"Kalau begitu, kau
bergerak dulu. Aku rnengikuti dari belakang," tambah Rakapitu yang masih
khawatir kalau macan putih itu akan menyerang.
"Hhh...!"
Gibang menghela napas berat,
mencoba me-nenangkan debaran jantungnya yang kembali ber-detak cepat, begitu
memutuskan untuk nekat me-nerobos masuk ke dalam gua.
Perlahan dan hati-hati sekali
Gibang melangkahkan kaki. Tapi baru juga melangkah setindak, ekor macan itu
berhenti mengibas. Tampak jelas kalau binatang itu mulai curiga.
Tentu saja Gibang melihat hal
ini, tapi berpura-pura tidak melihat. Kembali kakinya dilangkahkan. Sementara
Rakapitu mulai melangkah maju pula.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan
sambil meng-gerak-gerakkan misainya.
Melihat hal ini, Gibang
semakin gugup. Jelas kalau macan putih itu telah menunjukkan tanda-tanda
mengkhawatirkan bagi diri dan rekannya. Tapi Gibang sudah nekat. Kembali
kakinya melangkah. Rakapitu pun terpaksa melangkahkan kakinya pula. Tapi kali
ini langkah kedua orang ini tidak setenang semula, dan tampak mulai oleng. Yang
pasti, kedua lelaki ini dilanda perasaan tegang.
Mendadak macan putih itu
bangkit dari ber-baringnya seraya terus menggereng. Gerengannya kali ini lebih
keras dari sebelumnya, pertanda kalau mulai marah.
Kontan wajah Rakapitu dan
Gibang memucat. Langkah mereka pun terhenti, tapi terlambat. Macan itu rupanya
sudah merasa terganggu dan marah pada kedua laki-laki itu. Sambil mengaum
menggetarkan dada, macan putih itu melompat menerkam Gibang dan Rakapitu. Maka
kedua orang ini terkejut bukan main.
"Awas, Rakapitu...!"
seru Gibang seraya melempar tubuh ke samping kanan. Dan begitu kedua tangannya menyentuh
tanah, tubuhnya segera ber-gulingan menjauh.
Rakapitu tentu saja tidak mau
mati konyol. Laki-laki tinggi besar ini melempar tubuh ke samping untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Hanya bedanya, kalau Gibang melompat ke kanan,
dia melompat ke kiri. Dan berbareng dengan bangkitnya Gibang, Rakapitu juga
bangkit dari bergulingannya.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih ini
menggereng begitu melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri dari
terkaman. Dan begitu mendarat di tanah, binatang itu kebingungan melihat
mangsanya berpencar. Tapi sesaat kemudian macan putih telah kembali menyerang.
Kini Gibanglah yang menjadi sasarannya.
Gibang menggertakkan gigi,
bersiap-siap meng-hadapi serangan macan itu. Di tangan kanannya tampak
tergenggam sebatang golok besar. Maka begitu melihat binatang itu menerkam,
segera dipapak dengan ayunan goloknya.
Bukkk...!
Telak dan keras sekali golok
Gibang menghantam bahu macan putih itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki
berwajah penuh tahi lalat ini malah terjengkang ke belakang dan jatuh di tanah.
Ini terjadi, karena dia terbawa dorongan tenaga terkaman macan putih itu.
Sementara binatang itu sama
sekali tidak merasakan apa-apa. Jangankan terluka, merasa sakit pun tidak.
Sebaliknya, justru Gibang yang merasa tangannya seperti lumpuh. Goloknya
seperti berbenturan dengan sebuah benda yang amat kenyal, dan tanpa dapat
ditahan lagi terlepas dari pegangan.
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman
menggelegar, macan putih itu kembali menerkam. Padahal saat itu tubuh Gibang
tengah tergolek di tanah. Rasanya, untuk bangkit berdiri atau melompat tidak
ada waktu lagi. Maka tubuhnya segera bergulingan untuk menyelamatkan selembar
nyawanya.
Untuk yang kesekian kalinya,
Gibang lolos dari maut. Dan sebelum macan putih itu terus memburu, bantuan dari
rekannya tiba. Rakapitu langsung membabatkan goloknya pada punggung binatang
itu.
Bukkk...!
Seperti yang dialami Gibang,
Rakapitu pun merasa babatannya seakan-akan menghantam sebuah benda kenyal.
Akibatnya, tenaga serangannya berbalik, dan tangannya terasa lumpuh. Hanya
saja, sebelum senjata itu terlepas dari pegangan, dia masih mampu mencekalnya.
Macan putih membalikkan
tubuhnya menghadap Rakapitu. Binatang ini marah bukan main mengetahui
tindakannya dihalangi. Maka serangannya kini dialihkan pada laki-laki tinggi
besar itu. Macan putih itu mengayunkan kaki kanan depannya, menyampok ke arah
pelipis Rakapitu.
Laki-laki tinggi besar itu
menggertakkan gigi. Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan
untuk memapak sampokan macan putih itu dengan goloknya. Dia bermaksud membuat
kaki binatang itu buntung.
Takkk...!
Terdengar suara keras seperti
bunyi logam beradu. Rakapitu begitu terperanjat, menyadari kalau sampokan macan
itu ternyata kuat bukan main. Seketika tangan kanannya terasa sakit-sakit.
Bahkan lumpuh sejenak. Dan kini tak pelak lagi goloknya terlempar jauh.
Rakapitu tahu kalau dirinya
kini terancam. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya dilempar
ke samping dan bergulingan menjauh.
Tapi macan putih itu rupanya
tak mau membiarkan mangsanya lolos. Langsung dikejarnya tubuh yang tengah
berguling-guling itu. Tapi sebelum macan itu kembali menerkam, terdengar seruan
mencegah.
"Putih...!
Tahan...!"
Pelan saja suara bernada
perintah itu. Meskipun begitu, pengaruh yang ditimbulkannya begitu luar biasa.
Macan putih itu langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar cegahan, lalu
menoleh sebentar. Binatang itu menggereng pelan, kemudian melangkah menghampiri
si pemilik suara.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Rakapitu dan
Gibang menghela napas lega. Keduanya sadar, kalau pertarungan dilanjutkan,
pasti akan tewas di tangan macan putih yang kebal itu. Dengan pandangan penuh
rasa syukur, kedua lelaki ini mengalihkan pandangan ke arah asal seruan itu.
Di depan gua, tampak berdiri
seorang kakek berpakaian kuning. Rambut, alis, kumis, dan jenggotnya telah
memutih semua. Tubuhnya agak bungkuk dan kaki kirinya buntung sampai pangkal
paha. Di tangan kiri kakek ini tergenggam sebatang tongkat butut untuk
menyangga tubuhnya.
Rakapitu dan Gibang
mengerutkan alisnya, lalu melangkah menghampiri kakek itu. Macan putih yang
kini telah berada di sebelah kakek bertubuh bungkuk itu menggereng pelan, penuh
kemarahan.
"Tenanglah, Putih,"
ujar kakek berpakaian kuning menenangkan. Tangan kanannya mengelus-elus kepala
binatang itu.
Seketika itu juga, macan putih
itu berhenti menggereng. Tampak jelas kalau binatang ini amat patuh pada kakek
bertubuh bungkuk dan berpakaian kuning itu. Hal ini tidak aneh, karena binatang
itu memang peliharaannya.
Kini macan putih itu hanya
menatap penuh curiga pada Rakapitu dan Gibang yang tengah melangkah menghampiri
majikannya.
"Siapa kalian? Dan
mengapa mengganggu binatang peliharaanku?" tanya kakek berpakaian kuning
begitu Rakapitu dan Gibang menghentikan langkahnya. Sepasang mata kakek itu
menatap tajam wajah Rakapitu dan Gibang secara bergantian. Jarak mereka
terpisah sekitar tiga batang tombak.
"Aku Gibang, Kek,"
sahut laki-laki berwajah penuh tahi lalat mengenalkan diri. "Dan ini
kawanku, Rakapitu."
Sambil berkata demikian,
Gibang menudingkan telunjuk pada rekannya. Rakapitu menganggukkan kepala sambil
tersenyum.
"Hm...," kakek
berpakaian kuning hanya bergumam pelan, tak jelas.
"Kami tidak menyerang
peliharaan Kakek. Sebaliknya, binatang itulah yang menyerang kami,"
sambung Gibang memberi penjelasan.
"Tidak mungkin. Putih
tidak pernah menyerang orang, terkecuali kalau diganggu lebih dulu,"
bantah kakek berpakaian kuning.
"Tapi, kami sama sekali
tidak mengganggunya, Kek," sambut Gibang lagi, membela diri.
"Benar," sambung
Rakapitu. "Kami berdua akan masuk ke dalam gua, dan ingin menemui
penghuni-nya yang bernama Eyang Aji Ranta."
"Akulah orang yang kalian
cari itu," kata kakek berpakaian kuning, pelan.
Rakapitu dan Gibang
mengerutkan kening. Memang beberapa ciri Eyang Aji Ranta ini, mirip dengan
orang yang mereka cari. Tapi, ada ciri yang amat penting yang tidak dimiliki
kakek berpakaian kuning itu. Inilah yang membuat kedua laki-laki ini ragu.
"Jadi, kakek yang bernama
Eyang Aji Ranta itu?" tanya Gibang masih kurang percaya.
Kakek berpakaian kuning itu
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Tapi setahu kami,
sepasang mata Eyang Aji Ranta buta," Rakapitu ikut ambil bagian,
mengutarakan keragu-raguannya. Sepasang matanya menatap ke arah mata kakek
berpakaian kuning di depannya. Dan memang, sepasang mata kakek itu tidak buta.
Gibang menganggukkan kepala
pertanda mem-benarkan ucapan rekannya.
"Aku telah berhasil
menyembuhkannya," jawab kakek yang ternyata bernama Eyang Aji Ranta, masih
dengan senyum di bibir. Dan ternyata kakek ini juga suami dari Kuntilanak Alam
Kubur (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan
Bandan").
Rakapitu dan Gibang
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Sekarang katakanlah, apa
maksud kalian datang menemuiku?" tanya Eyang Aji Ranta. Sebagai bekas
orang buta, perasaannya jauh lebih tajam dibanding orang lain. Maka, kakek
berpakaian kuning ini sudah bisa merasa kalau kedua orang di hadapannya adalah
orang baik-baik.
"Ada orang yang sangat
membutuhkan bantuan Eyang," sahut Gibang. "Dia sakit parah. Karena
men-dengar kabar kalau Eyang ahli dalam pengobatan, maka kami lalu memaksakan
diri menemui Eyang."
Eyang Aji Ranta terdiam.
Memang, dia sering mengobati para penduduk sekitar Hutan Dadap.
Maka mendengar permintaan
Rakapitu dan Gibang, dia tidak merasa heran.
"Di mana tempat tinggal
kalian?" tanya Eyang Aji Ranta setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Desa Pucung,
Eyang," jawab Gibang cepat.
"Desa Pucung...,"
ulang kakek berpakaian kuning.
"Bagaimana, Eyang?"
tanya Gibang penuh harap. "Eyang bersedia?"
Eyang Aji Ranta menganggukkan
kepala.
"Terima kasih atas
kebaikan hati Eyang Aji Ranta," ucap Rakapitu dan Gibang berbarengan
begitu melihat gerak kepala Eyang Aji Ranta. Wajah kedua orang itu nampak
berseri-seri.
"Sudahlah. Aku paling
tidak suka banyak peradatan," sergah Eyang Aji Ranta penuh teguran.
"Maafkan kami,
Eyang," ucap Gibang buru-buru. "Kami terlalu gembira karena Eyang
bersedia me-luluskan permintaan kami, sehingga tidak bisa menahan luapan
perasaan."
Eyang Aji Ranta tidak
menyahut.
"Putih. Aku akan pergi
sebentar. Jaga tempat ini baik-baik," ujar kakek berpakaian kuning pada
binatang peliharaannya.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan
sebagai jawabannya.
"Mari kita
berangkat," ajak Eyang Aji Ranta sambil melangkah mendahului meninggalkan
tempat itu.
Kelihatannya Eyang Aji Ranta
hanya melangkah perlahan saja. Tapi hebatnya, dia sudah berada dalam jarak
sepuluh tombak dari tempat semula.
Karuan saja hal ini membuat
Rakapitu dan Gibang terkejut bukan kepalang. Jelas terbukti kalau Eyang Aji
Ranta adalah orang sakti. Tapi mereka tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
keterkejutan, karena Eyang Aji Ranta telah berjalan cukup jauh. Kini buru-buru
mereka berlari menyusul.
***
Baru saja tubuh ketiga orang
itu lenyap ditelan kejauhan, dari arah yang berlawanan bermunculan belasan
orang berwajah kasar dari balik pepohonan. Di tangan mereka tampak tergenggam
senjata terhunus.
Rupanya kedatangan belasan orang
itu diketahui macan putih, maka binatang itu langsung bangkit dari
berbaringnya. Memang sejak Eyang Aji Ranta pergi, macan putih segera
membaringkan tubuhnya di depan gua. Dan binatang itu baru bangkit begitu
mencium bau banyak orang yang berdatangan ke tempat ini.
Macan putih menggereng keras,
begitu melihat di depannya telah berkumpul belasan orang berwajah kasar sambil
membawa senjata terhunus. Nalurinya langsung mengisyaratkan kalau belasan orang
itu tidak bermaksud baik.
"Serbu...!"
Salah seorang yang berikat
kepala hitam langsung memberi aba-aba. Tangan kanannya yang meng-genggam
sebatang golok besar diangkat ke atas. Salah satu mata golok tampak bergerigi.
Sepertinya dia adalah pemimpin gerombolan ini.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, belasan orang itu meluruk ke arah mulut gua. Dan karena macan putih
berdiri menghadang di depan, mereka terpaksa harus merobohkannya terlebih
dahulu.
Suara berdesing nyaring,
diiringi kilatan senjatasenjata yang ditimpa sinar matahari mengiringi
tibanya serangan gerombolan
itu.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras
menggetarkan jantung, macan putih melompat memapak tibanya belasan senjata yang
siap merajamnya.
Tak pelak lagi, sekujur tubuh
macan putih langsung disambut hujan bermacam-macam senjata tajam. Dan ternyata
belasan penyerang itu harus menemui kenyataan pahit. Buktinya, senjata-senjata
itu malah terpental balik sewaktu menghantam kulit binatang itu. Bahkan tubuh
macan putih itu terus meluncur tanpa bisa ditahan lagi.
Jerit kematian pun terdengar
seketika, saat seorang dari mereka diterkam macan putih. Tanpa ampun lagi,
gigi-gigi runcing binatang itu menghunjam leher orang malang itu. Sementara
kedua kaki depannya, mencengkeram kedua bahunya.
Berbareng dengan robohnya
tubuh itu di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.
Kematian salah seorang dari
mereka, membuat belasan orang itu jadi murka. Segera tubuh macan putih itu
dihujani dengan bacokan dan tusukan senjata.
Lagi-lagi, tindakan gerombolan
itu hanya membuang tenaga secara percuma saja. Kulit tubuh macan putih itu sama
sekali tak mampu ditembus. Bahkan senjata-senjata mereka terpental balik.
Wuttt...! Prattt..!
Kembali seseorang yang
berwajah pucat seperti orang penyakitan telah menjadi korban. Kaki kanan depan
macan putih itu telah menyampok pelipisnya.
Seketika tubuh laki-laki
berwajah pucat itu ter-pelanting dan jatuh di tanah. Tanpa sempat berteriak
lagi, orang itu tewas seketika. Tulang pelipisnya retak, terkena sampokan macan
putih yang memang keras bukan main.
Macan putih itu terus
mengamuk, menyebar maut pada lawan-lawannya. Beberapa saat kemudian, kembali
jerit memilukan terdengar diiringi robohnya anggota gerombolan yang lain.
Karuan saja hal ini membuat
kemarahan pemimpin gerombolan itu bergolak. Sementara, macan putih itu sama
sekali belum terluka. Sedang-kan empat orang anak buahnya sudah pergi ke alam
baka. Bukan tidak mungkin kalau dibiarkan terus, anak buahnya akan habis
dibantai binatang buas itu.
"Mundur semua...!"
teriak laki-laki berikat kepala hitam. Suaranya terdengar keras bukan main,
karena disertai pengerahan tenaga dalam.
Tanpa diperintah dua kali,
anggota gerombolan itu saling dahulu-mendahului bergerak mundur. Tapi, macan
putih tidak mau membiarkan begitu saja. Binatang itu terus bergerak mengejar
mereka.
Kembali salah seorang anggota
gerombolan menjadi korban, karena ditubruk macan putih dari bela-kang. Tak
pelak lagi, tubuh laki-laki itu pun terjerembab ke depan. Sedangkan macan putih
masih berada di atasnya.
Sebelum laki-laki berwajah
bopeng itu bangkit, macan putih telah lebih dahulu menghunjamkan giginya di
tengkuk. Suara jeritan menyayat terdengar ketika laki-laki berwajah bopeng itu
meregang nyawa.
"Keparat..!" maki
laki-laki berikat kepala hitam. Perasaan geram yang hebat tampak jelas baik
pada wajah maupun suaranya.
Seiring hilangnya gema makian
itu, tangan kanannya bergerak ke arah pinggang. Sesaat kemudian, di tangan
kanannya telah tergenggam seutas cambuk berwarna merah darah. Panjangnya, tak
kurang dari satu setengah tombak.
Darrr...!
Ledakan keras yang memekakkan
telinga terdengar ketika laki-laki berikat kepala hitam ini melecutkan
cambuknya.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras, macan
putih melompat menerkam laki-laki berikat kepala hitam. Sedangkan yang akan
diterkam malah mendengus, namun cepat mengelak. Gerakannya gesit juga, laksana
kera dia menyelinap di bawah tubuh macan itu. Sesaat kemudian tubuhnya sudah
berada di belakang macan putih, mendekati sebuah pohon besar.
Secepat laki-laki berikat
kepala hitam itu berada di sana, secepat itu pula cambuknya dilecutkan.
Darrr...! Rrrt..!
"Grrrh...!"
Macan putih menggeram keras
ketika kaki kiri belakangnya erat sekali terlilit cambuk, dan langsung terikat
mati. Sebelum tubuh binatang itu menyentuh tanah, laki-laki berikat kepala
hitam itu segera mengikatkan ujung cambuk yang dipegang ke sebatang pohon besar
di dekatnya. Hal ini memang sudah direncanakan.
Laki-laki berikat kepala hitam
itu tersenyum puas setelah selesai mengikatkan ujung cambuknya ke batang pohon.
Sepasang matanya menatap penuh kepuasan pada macan putih yang meronta-ronta
berusaha melepaskan diri, tapi tanpa hasil. Cambuk itu bukan cambuk
sembarangan, karena terbuat dari bahan yang alot dan sulit diputuskan. Bahkan
oleh senjata tajam sekali pun.
"Cari benda itu..!"
perintah laki-laki berikat kepala hitam.
Anak buahnya yang tengah
menatap penuh kagum, segera bergerak mengikuti perintah pemimpinnya. Sama
sekali tidak disangka kalau macan putih yang menggiriskan itu, dapat
dilumpuhkan oleh pemimpin mereka dalam segebrakan.
Padahal, binatang itu
kelihatan perkasa. Buktinya, beberapa nyawa telah melayang akibat terkamannya.
Dan kini, binatang itu hanya dapat meronta-ronta, tanpa mampu melepaskan diri
dari ikatan cambuk pada kakinya.
Dan memang, anggota gerombolan
itu tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam kekaguman. Apa lagi, mereka
berlomba dengan waktu. Apabila Eyang Aji Ranta keburu kembali, mereka akan
menghadapi kesulitan yang amat besar. Benda yang berada di dalam gua harus
cepat diambil!
Maka anggota gerombolan itu
bergegas masuk ke dalam gua. Tak dihiraukan lagi macan putih yang meraung-raung
murka melihat anggota gerombolan itu memasuki gua tempat tinggal majikannya.
***2
Begitu memasuki mulut gua,
gerombolan yang kini berjumlah sembilan orang itu bergegas mengedarkan
pandangan berkeliling, mencari-cari benda yang diperintahkan pemimpin mereka.
Tapi suasana dalam gua yang
hanya remang-remang, rupanya cukup menjadi penghalang juga. Besar kemungkinan
kalau benda yang dicari tidak akan diketemukan.
Tapi ternyata anggota
gerombolan itu sudah memperhitungkannya. Dan kini, tiga orang di antara mereka
segera mengeluarkan tiga batang obor dari balik bajunya. Dan berkat tenaga
dalam yang lumayan, tidak sulit untuk menyalakan api. Dua batang obor yang
terbuat dari kayu nangka itu digosok-gosokkan, hingga menimbulkan percikan api.
Sementara sebatang obor lain didekatkan ke percikan api. Maka begitu ujung obor
terkena percikannya api langsung membesar menjadi obor yang menyala. Kemudian,
mereka menyulut dua obor berikutnya. Dan kini, suasana dalam gua itu telah
terang-benderang oleh tiga batang obor.
Dengan bantuan cahaya obor,
sembilan orang anggota gerombolan itu meneruskan pencarian. Sepasang mata
masing-masing menelusuri setiap jengkal ruangan yang terdapat dalam gua itu. Dinding,
lantai, dan atap diperjksa dengan teliti.
Semakin lama langkah sembilan
orang itu semakin jauh masuk ke dalam gua. Tapi sampai sekian jauh, benda yang
dicari belum diketemukan.
Akhirnya mereka sampai di
ujung terakhir gua itu, di sebuah ruangan yang cukup luas. Di situlah tempat
Eyang Aji Ranta bersemadi dan beristirahat.
"Hei...! Kemarii…!"
Tiba-tiba terdengar seruan
salah seorang anggota gerombolan yang berambut keriting. Obor di tangan-nya
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara sepasang matanya menatap penuh
selidik pada sebuah benda berwarna gelap sebesar kepala manusia.
Mendengar seruan itu serentak
anggota gerombolan lainnya bergegas menghampiri. Dengan bertambahnya dua batang
obor yang menerangi tempat laki-laki berambut keriting, maka sekitar tempat itu
jadi semakin terang-benderang.
"Benarkah itu benda
langit yang dicari-cari Kakang Wisesa?" tanya laki-laki berambut keriting.
Nada suaranya menyiratkan keragu-raguan. Obor yang dipegangnya segera
diletakkan ke dinding gua.
"Entahlah...," sahut
orang yang mempunyai anting-anting di hidung.
"Aku yakin, benda itulah
yang dicari Kakang Wisesa," tegas orang yang berkulit hitam legam. Nada
suara dan sikapnya menyiratkan keyakinan besar.
"Ya," sambut yang
lainnya. "Kakang Wisesa telah menceritakan ciri-ciri benda langit itu. Dan
semua yang dikatakan Kakang Wisesa, sesuai dengan benda ini."
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi?!" tegas orang yang berambut keriting. "Ambil benda itu, dan
kita berikan secepatnya pada Kakang Wisesa!"
Tapi, tidak ada satu pun yang
berani mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Tak terkecuali, laki-laki
berambut keriting sendiri.
"Kau saja yang
mengambilnya, Guntara," orang yang di hidungnya ada anting-anting balas
meng-usulkan pada laki-laki berambut keriting.
"Heh...?! Mengapa harus
aku, Gota?!" laki-laki berambut keriting yang bernama Guntara terperanjat.
"Tentu saja tidak harus
kau, Guntara," lanjut laki-laki beranting di hidung yang ternyata bernama
Gota. "Tapi, karena kau yang mengusulkan lebih dulu, tidak ada salahnya
jika kau yang mengambilnya."
"Apakah benda itu tidak
beracun?" tanya Guntara ragu-ragu.
"Itulah yang membuat kami
khawatir meng-ambilnya," sahut Gota tenang.
Guntara langsung terdiam
dengan dahi berkerut. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Sementara Gota juga
tak melanjutkan ucapannya. Maka, keheningan pun menyelimuti tempat itu.
"Hhh...!" Guntara
menghela napas berat, me-mecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Semua
rekannya tanpa sadar menoleh ke arahnya.
"Baiklah. Aku akan
mengambilnya," ucap laki-laki berambut keriting memutuskan. Suaranya
terdengar agak bergetar, menyiratkan ketegangan hatinya.
Bukan hanya Guntara saja yang
merasa tegang.
Gota dan rekan-rekan yang lain
pun mengalami perasaan yang sama. Apakah benda langit itu beracun atau tidak,
Guntaralah yang menjadi kelinci percobaan.
Guntara membungkukkan badan,
lalu perlahan-lahan menjulurkan tangan kanannya. Tampak tangan laki-laki
berambut keriting ini gemetar keras. Keringat sebesar besar jagung membasahi
seluruh tubuhnya.
Mula-mula hanya tangan kanan
saja yang menyentuh benda berwarna gelap itu. Itu pun hanya sekadar menyentuh
saja. Beberapa saat lamanya Guntara membiarkan tangannya menempel pada benda
itu. Wajahnya terlihat tegang bukan main. Keringat sebesar-besar jagung semakin
banyak mem-basahi wajah dan tubuhnya.
Tapi setelah menunggu beberapa
saat, hal-hal yang dikhawatirkan ternyata tidak kunjung terjadi. Perlahan-lahan
raut ketegangan di wajah Guntara mulai sirna. Kini laki-laki berambut keriting
itu mulai berani mencengkeram benda berwarna gelap itu.
Ketika tidak juga terjadi
apa-apa, Guntara meng-ulurkan tangan kirinya. Maka dengan kedua tangan,
diangkatnya benda yang diduga berasal dari langit itu.
Dengan penuh rasa bangga,
Guntara mengangkat benda berwarna gelap itu tinggi-tinggi di atas kepala. Baru
kemudian kakinya melangkah menuju ke luar.
Tanpa berkata apa-apa, Gota
dan yang lainnya melangkah mengikuti Guntara dari belakang.
***
"Hhh...!"
Laki-laki berikat kepala hitam
yang bernama Wisesa menghela napas berat. Untuk yang kesekian kali,
pandangannya dialihkan ke arah pintu gua. Tapi anak buahnya yang sejak tadi
ditunggu-tunggu, tak kunjung muncul.
Wisesa khawatir, macan putih
dapat meloloskan diri. Masalahnya, sejak tadi binatang itu tak henti-hentinya
meronta. Tapi usaha yang dilakukannya itu sia-sia saja. Memang, cambuk yang
mengikatnya terlalu a lot.
Wisesa membiarkan saja macan
putih itu merontaronta, dan sama sekali tidak berusaha mencegah. Bahkan
laki-laki berikat kepala hitam juga tidak mempergunakan kesempatan ini untuk
menyerang macan putih. Karena dia tahu, semua itu percuma saja. Macan putih
memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa. Menyerangnya hanya melelahkan diri
sendiri.
Sambil menunggu anak buahnya
keluar dari dalam gua, Wisesa mengawasi macan putih itu. Di saat kesabaran
laki-laki berikat kepala hitam ini hampir habis, orang-orang yang ditunggunya
muncul. Mula-mula yang terlihat Guntara. Di tangan laki-laki berambut keriting
itu tampak sebuah benda berwarna gelap, mirip sebuah batu. Tak salah lagi,
pasti itu benda langit!
Melihat hal ini, Wisesa tidak
mampu menahan perasaannya lagi. Dia bergegas berlari menyambut. Tak sabar lagi
harinya untuk memiliki benda itu. Karena kedua belah pihak bergerak saling
meng-hampiri, maka Guntara dan Wisesa telah saling berhadapan.
"Inikah benda langit itu,
Kang?" tanya Guntara seraya mengangsurkan benda di tangannya.
Dengan bernafsu sekali
laki-laki berikat kepala hitam menerima benda berwarna gelap itu, lalu
diamat-amatinya sejenak.
"Benar!" sahut
Wisesa setelah memeriksa benda itu. Nada suaranya menyiratkan perasaan gembira
yang meledak-ledak. "Inilah benda langit itu!"
Semua orang yang ada di situ
menarik napas lega. Mereka tampak tersenyum gembira karena berhasil menjalankan
tugas.
"Mari kita tinggalkan
tempat ini," ajak Wisesa seraya bergerak meninggalkan tempat itu, diikuti
oleh anak buahnya yang membawa mayat-mayat rekan mereka. Tak dipedulikannya
macan putih yang masih meronta-ronta melepaskan diri.
Sesaat kemudian tubuh mereka
telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
***
Eyang Aji Ranta segera
menghentikan langkahnya begitu mulai mendekati batas tembok Desa Pucung. Dengan
sendirinya, Rakapitu dan Gibang yang sejak tadi berlari sekuat tenaga untuk
mengimbangi kakek berpakaian kuning itu berhasil menyusul. Sekujur tubuh kedua
laki-laki itu nampak dibanjiri peluh, dengan napas terengah-engah.
Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati Rakapitu dan Gibang melihat Eyang Aji Ranta sama sekali tidak
terlihat lelah. Bahkan desah napasnya biasa saja. Tidak ada setitik pun peluh
nampak di wajahnya, maupun tubuhnya.
"Mengapa tergesa-gesa
betul, Eyang?" tanya Gibang dengan suara terputus-putus, karena napas-nya
masih memburu hebat.
Eyang Aji Ranta menoleh. Ditatapnya
sejenak wajah pemuda berwajah penuh tahi lalat itu.
"Entahlah, Anak
Muda," sahut kakek berpakaian kuning, mendesah. "Yang jelas,
perasaanku tidak enak sekali hari ini."
"Maksud, Eyang?"
tanya Gibang tidak mengerti.
"Sudahlah, Anak
Muda." Eyang Aji Ranta mengulapkan tangannya memutuskan pembicaraan.
Gibang tahu diri. Disadari
kalau Eyang Aji Ranta tidak ingin memperpanjang pembicaraan itu. Maka pemuda
berwajah penuh tahi lalat ini tidak bertanya lagi.
Kini ketiga orang itu
melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Beberapa kali Rakapitu dan Gibang
harus tersenyum dan menganggukkan kepala setiap kali ada yang menyapanya.
"Itu rumahnya,
Eyang," kata Rakapitu sambil menudingkan telunjuknya ke sebuah rumah
berdinding bilik. Letaknya, terpisah dari rumah-rumah lainnya.
Setelah berkata demikian,
Rakapitu bergegas mempercepat langkahnya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini
berjalan mendahului. Sesaat kemudian, Rakapitu telah berada di depan pintu yang
tertutup itu, dan langsung mengetuknya.
Tok, tok, tok...!
Rakapitu menunggu sejenak. Dan
sebentar saja, telinganya menangkap suara langkah kaki mendekati pintu.
Derit daun pintu yang dibuka
lebar terdengar, bertepatan dengan tibanya Eyang Aji Ranta dan Gibang di
sebelah Rakapitu. Dan di balik daun pintu nampak seraut wajah keriput seorang
kakek.
"Ini Eyang Aji Ranta,
Ki," jelas Rakapitu, memperkenalkan laki-laki tua di sebelahnya.
"Orang yang Aki mintai pertolongannya."
"Oh, iya. Mengapa aku
begini lupa," kakek pemilik rumah itu menepak kepala, kemudian segera
mengulurkan tangan.
"Waskita," sebut
kakek pemilik rumah mengenalkan diri.
"Aji Ranta," balas
Eyang Aji Ranta, memperkenalkan namanya.
"Silakan masuk dulu,
Eyang Aji Ranta," ujar Ki Waskita mempersilakan.
Kakek berpakaian kuning itu
terkekeh pelan.
"Kedengarannya repot
sekali mengucapkannya. Bagaimana kalau panggil aku, Kang Aji saja. Rasanya
lebih singkat dan enak didengar," usul Eyang Aji Ranta.
"Dan kau sendiri
memanggilku Adi Waskita?!" sambung kakek pemilik rumah. Nada suara maupun
raut wajahnya menyiratkan kegembiraan. "Begitu, kan?"
"Tepat sekali, Adi
Waskita!" Eyang Aji Ranta menganggukkan kepala.
"Boleh kulihat orang yang
sakit itu, Adi?" pinta Eyang Aji Ranta setelah mareka semua duduk di
dalam.
Senyum di wajah Ki Waskita
seketika lenyap. Tentu saja hal itu membuat Eyang Aji Ranta, Rakapitu, dan
Gibang jadi khawatir. Menilik dari sikap kakek pemilik rumah itu, bisa
diperkirakan kalau ada hal-hal tidak menyenangkan telah terjadi.
"Orang yang sakit itu
telah sembuh," jawab Ki Waskita, pelan.
"Apa??" seru Gibang
dan Rakapitu berseru kaget.
Sementara itu, Eyang Aji Ranta
nampak tenang-tenang saja. Walaupun sebenarnya juga merasa terkejut, tapi kakek
berpakaian kuning ini bisa menyembunyikannya.
"Mengapa bisa begitu,
Ki?!" tanya Gibang penasaran. "Bukankah semalam sakitnya amat parah?
Begitu juga tadi pagi, sebelum kami berangkat."
Rakapitu menganggukkan kepala
pertanda mendukung ucapan rekannya. Sedangkan Ki Waskita hanya mengangkat bahu.
"Bagaimana ini bisa
terjadi, Ki?" tanya Rakapitu berusaha tenang.
"Hhh...!" kakek
pemilik rumah itu menghela napas. "Aku sendiri tidak tahu, Rakapitu. Tapi
yang jelas, orang itu sembuh, tak lama setelah kalian pergi ke Hutan
Dadap."
Rakapitu dan Gibang kontan
terdiam. Dahi kedua orang ini berkernyit, seperti ada sesuatu yang dipikirkan.
"Sebenarnya... siapakah
yang sakit?" tanya Eyang Aji Ranta.
Kakek berpakaian kuning ini
tidak kuat menahan rasa ingin tahunya. Tapi tidak dijelaskan, pada siapa
pertanyaan itu ditujukan.
"Lebih baik kumulai saja
dari mula. Agar kau jelas, Kang," kata Ki Waskita. "Kemarin sore
beberapa orang penduduk datang membawa seorang laki-laki berpakaian prajurit
yang tengah terluka padaku. Di antara mereka, terdapat pula Rakapitu dan
Gibang. Dan memang, keahlianku adalah mengobati orang terluka. Maka dia segera
kuperiksa. Sedangkan Rakapitu dan Gibang menemaniku melakukan pengobatan."
Ki Waskita menghentikan
ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Eyang Aji Ranta
lekat-lekat. Memang kepada kakek berpakaian kuning itulah, cerita ini
ditujukan. Rakapitu dan Gibang sudah mengetahuinya, karena ikut terlibat dalam
penyelamatan orang itu.
"Setelah memeriksa
beberapa lama, akhirnya aku menyerah. Orang itu ternyata terkena racun yang
amat jahat. Dan aku tidak tahu cara pengobatannya. Untunglah, racun itu
mempunyai daya kerja lambat. Sehingga, orang itu dapat bertahan lama,"
sambung Ki Waskita. "Maka begitu pagi tiba, Rakapitu dan Gibang segera
kuperintahkan untuk menemuimu. Ini kulakukan, karena namamu sudah cukup
terkenal dalam hal pengobatan racun. Apalagi orang yang terkena racun juga
mengatakan kalau kaulah satu-satunya yang bisa menyembuhkan lukanya. Tapi,
sayang...."
Ki Waskita menghentikan
ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dihembuskannya kuat-kuat.
"Aku tak tahu, bagaimana
kejadiannya. Yang jelas begitu Rakapitu dan Gibang berangkat ke Hutan Dadap,
orang itu berangsur-angsur sembuh."
"Jadi, orang itu telah
sembuh, Ki?" tanya Gibang ingin lebih jelas lagi.
Ki Waskita menganggukkan
kepala, tapi tidak ada sinar kegembiraan di wajahnya. Tentu saja hal ini
membuat Gibang dan Rakapitu heran. Mengapa Ki Waskita sama sekali tidak
kelihatan gembira?
Dengan perasaan agak bingung,
kedua orang ini mengalihkan pandangan pada Eyang Aji Ranta. Lagi-lagi mereka
terkejut. Wajah kakek berpakaian kuning ini juga tidak terlihat gembira.
"Ada apa ini?" tanya
Rakapitu dan Gibang dalam hati.
"Mengapa kau tidak tampak
gembira, Ki?" akhirnya Gibang tak kuasa menahan pertanyaan yang bergolak
dalam dadanya.
"Hhh...!" hanya
desah napas berat Ki Waskita yang menyahuti pertanyaan laki-laki berwajah penuh
tahi lalat itu.
"Katakanlah, Ki,"
Rakapitu ikut mendesak "Jangan biarkan kami dilanda kebingungan."
Ki Waskita menatap wajah
Rakapitu dan Gibang berganti-ganti. "Aku mencium adanya hal yang
men-curigakan dalam peristiwa ini...."
Rakapitu mengernyitkan dahi.
Pemuda bertubuh tinggi besar ini tidak mengerti maksud ucapan kakek pemilik
rumah. Ditatapnya Gibang, tapi laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat itu menggelengkan
kepala pertanda tidak mengerti.
"Janganlah berteka-teki,
Ki," pinta Gibang memohon pengertian.
"Aku curiga kalau
peristiwa ini sudah direncana-kan," desah Ki Waskita pelan.
"Dugaanku, orang itu sengaja minum racun. Namun juga membawa pemunahnya.
Dan begitu Rakapitu dan Gibang pergi, obat pemunahnya segera diminum. Pantas
saja orang itu seperti mendesakku agar memanggil Eyang Aji Ranta saja. Hhh....
Memancing harimau keluar sarang. Entah apa yang mereka cari di sarang
harimau...."
Eyang Aji Ranta terperanjat.
Dugaan Ki Waskita ternyata tidak berbeda dengan dugaannya. Jelas, peristiwa ini
sudah direncanakan. Tujuannya, untuk memancingnya keluar gua. Seketika itu pula
kakek berpakaian kuning ini teringat kembali dengan perasaan tidak enak yang tadi
mengganggunya.
"Kalau begitu, aku pergi
dulu, Adi Waskita."
Tanpa menunggu jawaban, Eyang
Aji Ranta bergegas bangkit, dan langsung melangkah ke luar. Langkahnya
kelihatan perlahan saja, tapi hebatnya tubuh kakek berpakaian kuning ini telah
berada sekitar delapan tombak dari tempat semula. Padahal, Eyang Aji Ranta
hanya mempunyai sebuah kaki!
"Hebat...!"
Ki Waskita
menggeleng-gelengkan kepala. Perasaan takjub dan kagum menghiasi wajahnya.
Harus diakui kalau ilmu meringankan tubuh Eyang Aji Ranta amat luar biasa.
"Ki...!
Maksudmu...," Rakapitu yang masih kurang jelas kembali buka suara.
"Kemungkinan semua ini
adalah sebuah siasat, yang telah diatur rapi untuk memancing Eyang Aji Ranta
keluar dari tempat tinggalnya."
"Apa maksudnya, Ki?"
tanya Rakapitu lagi.
"Aku juga tidak tahu,
Rakapitu," jawab Ki Waskita.
"Mungkin mereka bermaksud
menangkap macan putih?" Gibang mengajukan dugaannya.
"Yaaah..., mungkin
saja," sambut Ki Waskita.
***3
Kini Eyang Aji Ranta tidak
ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekarang dia
sendirian, jadi bebas berlari secepat yang diinginkannya.
Eyang Aji Ranta memang bukan
tokoh sembarangan. Dia adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi.
Kecepatan gerakannya pun luar biasa, meskipun hanya mempunyai kaki sebelah!
Tubuh kakek berpakaian kuning
ini berkelebat cepat laksana anak panah lepas dari busur. Saking cepatnya,
tubuh kakek ini seperti lenyap bentuknya. Yang terlihat hanyalah seleret
bayangan kuning melesat menuju Hutan Dadap.
Karuan saja, banyak penduduk
Desa Pucung yang terheran-heran begitu melihat sekelebatan bayangan kuning
melesat cepat menuju mulut desa. Mereka tidak dapat mengetahui, apakah
sebenarnya kelebatan bayangan kuning itu. Meskipun begitu, memang bisa diduga
kalau bayangan kuning itu adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Angin
menderu keras begitu bayangan kuning itu lewat, pertanda kuatnya tenaga yang
mendorong gerakannya.
Dalam sekejapan saja, mulut
Desa Pucung telah terlewat. Tapi, Eyang Aji Ranta sama sekali tidak
mengendurkan larinya. Kakek berpakaian kuning ini tetap mengerahkan kemampuan
lari yang ditunjang ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin.
Tak lama kemudian, mulut Hutan
Dadap telah terlihat Hal ini membuat semangat Eyang Aji Ranta semakin membesar.
Kakek ini terus berlari cepat menuju ke sana.
Eyang Aji Ranta tetap tidak
mengendurkan larinya ketika melewati kerimbunan semak-semak dan pepohonan
lebat. Tongkat bututnya bergerak ke kiri dan ke kanan, sebagai pembuka jalan.
Suara berkerosakan keras dari semak-semak yang terlanda, dan suara
berkeretakannya ranting-ranting patah terdengar ketika Eyang Aji Ranta
melewatinya.
Sebentar kemudian, Eyang Aji
Ranta sudah berada beberapa tombak di depan gua tempat tinggalnya. Tercekat
hati kakek ini tatkala melihat macan putihnya terikat di sebatang pohon.
Binatang itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri, tapi hanya
berputar-putar mengelilingi pohon. Bisa diduga kalau ada sesuatu yang terjadi
pada binatang itu. Dan ini membuat Eyang Aji Ranta khawatir bukan main.
Macan putih mengaum keras
begitu melihat kedatangan majikannya. Seketika semangat binatang itu bangkit
kembali untuk melepaskan diri. Macan itu kembali meronta-ronta. Tapi seperti
kejadian sebelumnya, usaha yang dilakukannya sia-sia.
Eyang Aji Ranta segera
melepaskan ikatan yang membelenggu binatang peliharaannya. Dengan hati cemas
sekujur tubuh macan putih itu diperiksanya, kalau-kalau ada bagian yang
teriuka. Lega hati kakek ini begitu tidak terlihat ada luka di tubuh macan
kesayangannya.
Macan putih menggereng-gereng.
Sementara Eyang Aji Ranta mendengarkan penuh perhatian. Cukup lama juga
binatang itu bersikap demikian. Dan ketika macan putih menghentikan gerengan,
kakek berpakaian kuning itu menundukkan kepala. Sepertinya Eyang Aji Ranta mengerti
arti gerengan macan itu. Dan memang binatang itu seperti mengungkapkan sesuatu.
"Hhh...!"
Eyang Aji Ranta menghela napas
berat. Sekarang dia tahu maksud orang-orang memancingnya keluar dari tempat
tinggalnya. Macan putih telah mencerita-kannya, walau hanya lewat gerengan.
"Jadi..., benda langit
itu yang mereka cari...," gumam Eyang Aji Ranta pelan seraya mengangkat
kepalanya. Sepasang matanya menatap ke atas, melihat matahari yang telah
melewati atas kepala.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng kembali.
Tapi nadanya kali ini berbeda dengan sebelumnya. Sementara Eyang Aji Ranta
hanya menggelengkan kepala. Secercah senyum pahit tersungging di bibirnya.
"Terima kasih atas
kesediaanmu, Putih," sahut kakek berpakaian kuning itu pelan. "Tapi
kurasa kita tidak perlu mengejar mereka. Aku yakin, kalau saran-mu kuikuti...,
kita akan terlibat kembali dalam kekerasan! Padahal, aku sudah muak dengan
keras-nya dunia persilatan. Aku ingin, di sisa-sisa hidupku ini dapat hidup
tenang."
Eyang Aji Ranta membelai-belai
kepala binatang peliharaannya. Dalam hati, dia berterima kasih sekali pada
macan putih. Binatang itu tadi mengajaknya mencari orang-orang yang telah
mencuri, kalau dia ingin benda langit itu kembali.
"Maafkan aku, Putih.
Bukannya menolak usulmu, tapi aku tidak ingin terlibat kembali dalam kekerasan.
Kau bisa mengerti, Putih?"
Macan putih itu menggereng
pelan.
"Kalau begitu, mari kita
kembali ke gua," ajak Eyang Aji Ranta seraya melangkahkan kaki menuju
tempat yang dimaksud.
Sambil menggereng pelan, macan
putih itu bergerak mengikuti. Binatang itu berlari-lari kecil di sebelah
majikannya.
Tak lama kemudian, tubuh Eyang
Aji Ranta dan macan putih itu telah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan
kegelapan gua.
***
Waktu berputar sesuai
kodratnya. Matahari bergerak menurut aturannya. Timbul di langit sebelah Timur,
dan tenggelam di sebelah Barat. Seiring tenggelamnya matahari, kegelapan pun
menyelimuti bumi. Malam pun datang menjelang.
Kini kehidupan berganti. Tidak
ada lagi cicit burung atau keruyuk ayam jantan. Yang terdengar adalah kepak
sayap kelelawar yang keluar mencari makan. Tak jarang pula terdengar kukuk
burung hantu menguak keheningan malam.
Tapi ternyata tidak hanya
binatang-binatang malam itu saja yang keluar meninggalkan tempat tinggalnya. Ternyata,
masih ada lagi yang berkeliaran dalam suasana malam sehening itu.
'Makhluk' itu adalah sesosok
bayangan hitam yang bergerak cepat menuju Hutan Dadap. Dalam keremangan malam
yang hanya diterangi bulan sabit di langit, tidak nampak jelas wajah sosok
bayangan hitam itu. Apalagi dia mengenakan caping bambu yang membuat wajahnya
terlindung.
Bukan itu saja. Mulai dari
bawah mata sampai bawah dagu, ditutupi pula oleh sehelai kain yang berwarna
hitam. Kain itu diikatkan ke belakang kepala. Maka lengkaplah sudah tanda
tanya, siapa sosok bayangan hitam itu.
Sosok itu melesat terus masuk
ke dalam hutan, menerobos kerimbunan semak-semak dan pe-pohonan yang lebat.
Namun mendadak langkahnya berhenti. Capingnya diangkat sedikit ke atas untuk
memperjelas pandangannya. Tapi pandangan mata-nya memang tidak salah. Dalam
keremangan malam itu, di sebatang pohon beringin yang berjarak sekitar dua
tombak darinya, tertancap sebatang tombak berwarna putih mengkilat.
Bisa diduga kalau orang yang
menancapkan tombak di situ memang mempunyai maksud agar hal itu diketahui orang
yang dituju.
Sosok bayangan hitam itu
kemudian melangkah menghampiri. Tampak jelas kalau di dekat mata tombak itu
terbelit sebuah rantai baja yang juga berwarna putih, di ujung rantai itu
tergantung sebuah tengkorak manusia! Menilik dari ukurannya, dapat diketahui
kalau tengkorak itu adalah tengkorak kepala anak kecil.
"Hm...," sosok
bayangan hitam itu hanya meng-gumam pelan, seperti tahu maksudnya.
Tiba-tiba terdengar suara
berkaokan keras. Panjang dan tiga kali berturut-turut, lalu berhenti. Sebentar
kemudian suara itu terdengar lagi seperti tadi. Panjang dan tiga kali
berturut-turut.
Bagi orang yang tidak terlalu
ambil peduli, tentu akan menduga kalau suara itu berasal dari burung kuak-kuak.
Tapi kalau saja orang mau sedikit men-curahkan perhatian, akan jelas
kejanggalannya. Suara berkaokan itu nadanya selalu sama. Panjang, dan tiga kali
berturut-turut. Lalu, berhenti sejenak. Sesaat terdengar lagi. Begitu
seterusnya.
Memang, suara berkaokan itu bukan
berasal dari burung kuak-kuak, melainkan dari mulut sosok bayangan hitam itu.
Tampaknya dia tengah menanti sesuatu.
Tak lama kemudian terdengar
suara berkaokan keras pula, tapi berirama lain dengan yang sebelum-nya. Suara
kaokan kali ini meskipun nadanya panjang, tapi tidak tiga kali berturut-turut.
Bunyinya cukup dua kali. Bahkan berhenti agak lama, lalu ter-dengar kembali.
Tak lama kemudian, terdengar
suara gemerisik dari rerumputan yang terlanda sesuatu. Sosok bayangan hitam itu
menoleh ke arah asal suara gemerisik. Sepasang matanya menatap ke depan dari
balik caping yang bertengger di atas kepala.
Sesaat kemudian, dari balik
kerimbunan semaksemak dan pepohonan, bermunculan beberapa sosok tubuh yang
semuanya berpakaian hitam. Maka seketika sosok bayangan hitam mengangkat
sedikit capingnya. Dengan tatapan mata, dihitungnya jumlah sosok yang berdiri
di hadapannya. Ternyata sembilan orang.
"Bagaimana, Wisesa?
Berhasil?" tanya sosok bercaping itu, seraya menatap sosok yang berdiri
paling depan. Sembilan sosok yang berdiri di hadapan orang bercaping itu memang
Wisesa bersama anak buahnya.
"Begitulah, Kang,"
sahut laki-laki berikat kepala hitam itu. Menilik dari panggilan, dapat
diketahui kalau dirinya mempunyai hubungan baik dengan orang bercaping bambu.
"Bagus..!" puji
orang bercaping, gembira. "Cepat serahkan padaku!"
"Sabar, Kang,"
sergah Wisesa buru-buru. "Bagai-mana dengan janjimu? Perlu kau ketahui,
Kang. Mengambil benda itu sulit sekali."
"Hm... Bukankah aku sudah
mengirim orang untuk memancing kakek jompo itu keluar dari guanya?!"
sergah orang bercaping penasaran.
"Apa yang kau katakan itu
tidak salah, Kang," sahut Wisesa dengan suara tawar. "Tapi, kau
melupakan binatang peliharaannya."
"Maksudmu..., macan
putih?" orang bercaping mulai teringat.
"Benar, Kang,"
laki-laki berikat kepala hitam meng-anggukkan kepalanya. "Binatang itu
ternyata kuat sekali. Bahkan empat orang anak buahku tewas ketika berusaha
merobohkannya. Kalau saja aku tidak turun tangan, mungkin mereka semua tewas."
Orang bercaping itu hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja.
"Permintaan kami tidak
berat, Kang. Kami hanya mohon agar kau bersedia membantu bila kami menghadapi
lawan tangguh."
"Hanya itu yang kau
minta, Wisesa?"
Laki-laki berikat kepala hitam
menganggukkan kepala.
"Jadi, kau bersedia
memenuhi permintaan kami, Kang?"
Orang bercaping itu
menganggukkan kepala. "Mana benda itu?" pinta orang bercaping itu.
"Guntara...!" Wisesa
mendongakkan kepala ke atas pohon.
Belum juga lenyap gema
teriakan itu, dari atas pohon melayang turun sesosok tubuh. Lalu, sosok tubuh
itu mendarat dengan manisnya di tanah. Di tangannya tergenggam sebuah benda
mirip batu berwarna gelap, berukuran sebesar kepala manusia.
Sepasang mata di balik caping
itu berkilat-kilat. Secercah senyum mengejek tersungging di mulut yang tertutup
kain hitam. Diam-diam dipujinya kecerdikan laki-laki berikat kepala hitam.
Ternyata Wisesa tidak meninggalkan kewaspadaannya. Kepala rampok itu menyuruh
salah seorang anak buahnya untuk membawa benda itu, dan bersembunyi. Dia
berjaga-jaga, kalau-kalau sosok bercaping akan bertindak tidak jujur.
Wisesa segera mengambil benda
itu dari tangan anak buahnya.
"Ini benda itu,
Kang," laki-laki berikat kepala hitam itu mengangsurkan benda langit pada
orang bercaping.
Orang bercaping itu
mengulurkan tangan menyambut. Beberapa saat diperiksanya benda itu, sambil
mengetuk sana-sini.
"Bagaimana, Kang?"
tanya Wisesa.
"Hm...."
Hanya gumaman tak jelas dari
orang bercaping itu yang menyambuti ucapan Wisesa. Kemudian benda itu
dimasukkannya ke dalam buntalan kain hitam yang tersampir di punggung.
Mendadak, tangan sosok
bercaping itu bergerak ke pinggang. Cepat bukan main gerakannya. Dan begitu
kembali ke tempat semula, di tangannya telah tergenggam sebilah keris berkeluk
tujuh. Dan secepat keris itu tergenggam, secepat itu pula ditusukkan ke leher
Wisesa.
Wisesa terperanjat. Sebagai
seorang tokoh hitam, tentu saja dia tidak menjadi kaget mendapat serangan tak
terduga-duga ini. Tapi kecepatan gerak sosok bercaping itu benar-benar di luar
dugaan.
Karena sejak tadi sudah
bersiap siaga, maka begitu melihat datangnya serangan maut yang mengancam
nyawa, Wisesa segera melempar tubuh ke samping. Dia langsung bergulingan di
tanah beberapa kali.
"Serang...!"
Sambil terus bergulingan di
tanah, laki-laki berikat kepala hitam ini memberi perintah. Wisesa juga
khawatir, selagi dia bergulingan, serangan susulan dari orang bercaping itu
datang.
Singgg, singgg, singgg...!
Sinar-sinar berkilatan
berpendar ketika anak buah Wisesa menyerbu orang bercaping itu dengan senjata
terhunus. Suara-suara berdesing nyaring mengiringi hujan serangan itu.
Orang bercaping menggertakkan
gigi melihat serangannya dapat dielakkan. Belum lagi serangan susulan
dilancarkan, serangan anak buah Wisesa telah datang bertubi-tubi bagai hujan.
Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk mengirimkan serangan pada laki-laki berikat
kepala hitam itu.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring
terdengar berkali-kali begitu orang bercaping menggerakkan kerisnya, menangkis
tiga buah serangan yang datang lebih dulu. Bunga-bunga api seketika memercik ke
sana kemari.
Guntara dan dua orang kawannya
terperanjat begitu merasakan tangan yang berbenturan dengan senjata lawan
terasa lumpuh. Hampir saja senjata-senjata mereka terlepas. Dan kini keadaan
mereka amat berbahaya.
Untung pada saat yang gawat,
serangan rekanrekan mereka yang lain tiba. Sehingga, orang ber-caping itu tidak
mempunyai kesempatan mengirim-kan serangan susulan.
Kembali terdengar suara keras
denting senjata beradu, diikuti percikan bunga-bunga api di udara. Dan di saat
itulah, Wisesa telah berhasil memperbaiki keadaannya. Dan dia ikut terjun dalam
kancah pertempuran kembali.
"Kau ceroboh,
Brajageni...! Kau mencari penyakit sendiri! Kalau saja tadi kau tidak bertindak
macam-macam, pemunah racun ini akan kuberikan! Tapi sekarang, jangan
harap!" ancam Wisesa keras.
"Jangan merasa menang
dulu, Wisesa! Kau kira aku tidak tahu kalau benda langit itu ditaburi racun? Ha
ha ha...! Racun bagiku adalah permainan anak-anak, Wisesa! Racunmu sama sekali
tidak berarti bila digunakan padaku!"
"Keparat!" maki
Wisesa kalap. "Serbu...!" Tanpa menunggu perintah dua kali, anak buah
Wisesa segera meluruk ke arah Brajageni.
"Hmh...!"
Brajageni mendengus. Mendadak
tangan kanan-nya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu tangan itu dikeluarkan,
secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...!
Wisesa terperanjat. Sebagai
tokoh yang telah berpengalaman, dia tahu benda yang mengeluarkan suara berdesir
itu.
"Awas...!" teriak
Wisesa seraya melempar tubuh ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Laki-laki berikat kepala hitam
ini berhasil lolos dari maut. Tapi tidak demikian anak buahnya. Serangan itu
sama sekali tidak disangka-sangka. Apalagi, datangnya selagi tubuh mereka telah
dekat dengan lawan. Tambahan lagi, suasana malam yang remang-remang membuat
mereka tidak dapat melihat jelas benda yang datang menyambar. Tapi meskipun
begitu, mereka berusaha menyelamatkan diri semampunya begitu mengetahui ada
bahaya meng-ancam.
Suara-suara jerit kesakitan
terdengar begitu benda-benda yang tak lain adalah jarum-jarum halus itu
mengenai sasaran. Jarum-jarum itu tentu saja bukan jarum sembarangan, karena
mengandung racun ganas. Terbukti begitu empat di antara mereka terkena,
langsung saja meringis sambil memegang bagian yang terluka. Mereka jatuh
menggelepar-gelepar di tanah beberapa saat lamanya, kemudian tidak bergerak
lagi untuk selamanya.
Wisesa meraung keras.
Laki-laki berikat kepala hitam ini murka bukan kepalang. Segera senjata
andalannya dicabut. Senjata yang berupa sebatang golok besar yang sisi-sisinya
bergerigi mirip gergaji itu telah diputar-putarnya.
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras, Wisesa
melompat. Dan dari atas, golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah leher
Brajageni. Ada suara mengaung yang cukup keras mengiringi tibanya serangan itu.
Jelas, laki-laki berikat kepala hitam ini memiliki tenaga dalam cukup tinggi.
Pada saat yang sama, Guntara
dan Gota yang berhasil selamat dari serangan jarum-jarum beracun, juga meluruk
menyerang Brajageni. Guntara menyerang dari depan dengan sebuah tusukan tombak
ke arah dada, sementara Gota menyerang dari belakang. Pedangnya menusuk cepat
ke arah punggung.
Mendapat serangan maut yang
berbarengan, tidak juga membuat Brajageni gugup. Bahkan malah ditunggunya
hingga semua serangan itu menyambar dekat. Lalu dengan perhitungan matang
seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Brajageni segera
melempar tubuh ke belakang. Dan dengan sendirinya, serangan yang datang dari
belakang dan depan kandas. Sementara serangan Wisesa ditangkisnya.
Tranggg...!
Bunga api memercik ke sana
kemari begitu kedua senjata beradu keras bukan main. Wisesa menggigit bibir
ketika merasakan tangannya pegal-pegal.
Dengan meminjam tenaga
benturan, Brajageni bersalto ke belakang sekali. Dan ketika berada di belakang
Gota, tangannya bergerak mendorong. Kelihatannya perlahan saja. Tapi akibatnya,
tubuh laki-laki beranting di hidung itu terhuyung ke depan seperti diseruduk
banteng!
Guntara terperanjat kaget.
Pada saat itu, tombak-nya tengah ditusukkan ke depan, dan tidak mampu ditahan
lagi. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat tubuh Gota
menyambut ujung tombaknya. Sementara, ujung pedang Gota pun mengarah dadanya.
Crabbb, cappp...!
Rentetan kejadian itu
berlangsung begitu cepat. Dan tahu-tahu, tubuh Gota dan Guntara telah
tersungkur di tanah dengan senjata yang saling hunjam tubuh mereka. Nyawa kedua
orang itu langsung melayang tanpa memperdengarkan suara sedikit pun.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Brajageni. Begitu kedua kakinya mendarat, tangannya kembali
mengibas. Disambutnya serbuan sisa-sisa anak buah Wisesa.
Singgg, singgg...!
Cappp, cappp, cappp...!
Empat senjata rahasia
berbentuk bintang itu mengenai dahi sisa anak buah Wisesa dengan telak dan
keras. Senjata rahasia itu menghunjam sampai setengahnya lebih. Seketika itu
juga tubuh keempat orang itu roboh di tanah. Sesaat mereka menggelepar-gelepar,
kemudian diam tidak bergerak lagi.
Wisesa hanya bisa memandang
semua ini dengan wajah pucat laksana mayat. Semua anak buahnya telah tewas. Dan
sekarang, dia hanya tinggal seorang diri.
"Bersiaplah untuk mati,
Wisesa!" ancam Brajageni lambat lambat tapi penuh tekanan. Ada ancaman
maut dalam suaranya.
"Keparat kau,
Brajageni!" teriak Wisesa kalap. "Kau atau aku yang harus mati!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berikat kepala hitam menerjang orang bercaping itu. Golok di
tangannya menusuk cepat ke arah dada.
Brajageni hanya mendengus.
Buru-buru kakinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. Maka serangan
itu lewat sejengkal di sebelah kanan pinggangnya. Pada saat itulah, keris di
tangannya dibabatkan ke arah perut lawan.
Wisesa terperanjat melihat
bahaya maut yang mengancamnya. Dengan semampu mungkin dia berusaha mengelak.
Tapi....
Crattt..!
Ujung keris itu menyerempet
perut Wisesa. Seketika itu juga kulit laki-laki berikat kepala hitam itu sobek.
Cairan berwarna merah kehitam-hitaman segera merembes keluar. Ternyata, keris
itu mengandung racun!
"Uuuh...!"
Wisesa mengeluh. Kepalanya
dirasakan pusing. Pandangan matanya berkunang-kunang. Laki-laki berikat kepala
hitam ini sadar kalau racun itu telah bekerja.
Perasaan pusing yang
menyerangnya semakin menjadi-jadi. Tubuh Wisesa mulai oleng, dan kemudian jatuh
di tanah. Dia menggelepar-gelepar meregang nyawa.
"Ha ha ha...!"
Brajageni tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa bernada kemenangan. "Selamat
tinggal Wisesa...!"
Setelah berkata demikian,
Brajageni lalu melesat meninggalkan tempat itu. Ditinggalkannya Wisesa yang
tengah sekarat menanti datangnya maut Brajageni yakin kalau laki-laki berikat
kepala hitam itu akan tewas. Dia yakin, racunnya tidak pernah gagal mengambil
nyawa orang. Sesaat kemudian, tubuh laki-laki bercaping itu telah lenyap
ditelan kegelapan malam.
Wisesa tidak mempedulikan
Brajageni lagi. Rasa sakit yang mendera tubuhnya benar-benar menyiksa. Bahkan
ucapan terakhir laki-laki bercaping itu tidak didengarnya lagi.
Laki-laki berikat kepala hitam
ini hanya bisa menyesali dirinya. Mengapa dia mau saja waktu diajak bekerja
sama untuk mendapatkan benda langit itu? Tapi, Wisesa hanya mempunyai waktu
menyesal sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian, nyawanya segera pergi ke
alam baka.
***4
Brajageni meninggalkan Hutan
Dadap dengan diliputi perasaan gembira. Sungguh tidak disangka, kalau semudah
ini masalahnya akan beres. Kini tinggal satu pekerjaan lagi yang harus
diselesaikannya, maka dia akan memiliki sebuah senjata pusaka yang ampuh.
Laki-laki bercaping ini terus
berlari mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Dalam waktu sebentar saja,
Hutan Dadap telah jauh ditinggalkannya.
Brajageni terus berlari
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Lesatannya
bagaikan bayangan setan yang berkelebat, menye-lusup rapatnya pepohonan dan
semak belukar. Lesatannya baru diperlambat ketika terlihat sebuah rumah
berdinding bilik di kejauhan. Rumah itu letak-nya terpencil, jauh dari
rumah-rumah yang lainnya. Ke sanalah laki-laki bercaping ini menuju.
Semakin lama jarak antara
Brajageni dengan rumah itu semakin dekat. Ketika jaraknya tinggal sekitar dua
tombak lagi, laki-laki bercaping ini menghentikan larinya sama sekali. Kini
Brajageni melangkah perlahan mendekati pintu.
Tok, tok, tok..!
Kelihatannya perlahan saja
Brajageni mengetuk-kan tangannya. Tapi akibatnya, daun pintu itu bergetar keras
laksana dipukul palu godam yang besar.
"Siapa?" terdengar
suara teguran dari dalam, diiringi langkah-langkah kaki mendekati pintu.
Brajageni sama sekali tidak
menyahuti. Bahkan caping bambunya semakin ditekankan ke bawah. Maka, wajahnya
jadi semakin tersembunyi.
Kriiit..!
Suara berderit tajam terdengar
begitu daun pintu itu terbuka. Tampaklah seorang kakek di balik pintu. Kulitnya
hitam legam, bertelanjang dada. Sepasang matanya menatap tamu tak diundang ini
penuh selidik.
Belum sempat kakek berkulit
hitam itu bertanya, Brajageni telah mendorong daun pintu, lalu me-langkah
masuk. Langsung ditutupnya daun pintu begitu berada di dalam.
"Kau yang bernama Empu
Sawung?" tanya Brajageni langsung pada pokok persoalan.
Kakek berkulit hitam
mengerutkan alis. Sungguh dia tidak senang mendapat perlakuan yang begitu kasar
dari tamu tak diundang ini. Apalagi orang ini baru pertama kali dilihatnya.
Untunglah hati kakek ini sedikit sabar. Kalau tidak, pasti langsung dihajarnya
tamu tak diundang ini.
Brajageni jadi gusar melihat
kakek berkulit hitam itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dengan
kasar, dicengkeramnya leher baju kakek itu. Dan didekatkan wajah kakek itu ke
wajahnya.
"Jawab
pertanyaanku!" bentak Brajageni. Se-pasang mata Brajageni menatap bengis,
menusuk langsung ke bola mata kakek yang bernama Empu Sawung. Ada ancaman maut
yang terkandung dalam sinar matanya. Tapi kakek berkulit hitam tetap diam,
dengan sikap tetap tenang. Sepasang matanya malah menatap lepas ke atap rumah.
"Keparat..!" maki
Brajageni keras.
Laki-laki bertubuh tinggi
kurus ini tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan kasar, didorongnya tubuh
kakek pemilik rumah itu.
Brakkk...!
Punggung kakek berkulit hitam
itu membentur keras dinding yang terbuat dari papan. Mulut kakek itu
menyeringai, menahan rasa sakit akibat benturan itu. Perlahan-lahan tubuhnya
merosot ke bawah.
Brajageni mencabut kerisnya,
kemudian bergerak menghampiri. Langkahnya lebar-lebar, sehingga dalam beberapa
tindak saja, telah berada di depan kakek pemilik rumah. Perlahan-lahan
Brajageni berjongkok.
"Jangan buat kesabaranku
habis!" ancam laki-laki bertubuh tinggi kurus ini "Kaukah orang yang
bernama Empu Sawung?! Jawab...! Atau kau ingin bisu selamanya?!"
Brajageni mendekatkan kerisnya
ke wajah kakek berkulit hitam itu, bersikap mengancam. Tapi, kakek itu tetap
membisu. Maka kesabaran Brajageni pun habis.
"Kau pikir aku main-main,
heh?!"
Setelah berkata demikian,
perlahan-lahan keris di tangan laki-laki tinggi kurus ini bergerak, siap hendak
memotong lidah kakek berkulit hitam yang tetap diam membisu. Tapi, mendadak
saja gerakannya terhenti.
Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya langkah kaki mendekati ruangan ini. Arahnya dari dalam rumah.
Menilik dari gerakannya,
Brajageni tahu kalau pemilik langkah itu sama sekali tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh. Andaikata memiliki, tingkatannya masih rendah sekali.
Langkahnya pun terdengar berat. Meskipun begitu, Brajageni tidak bersikap
ceroboh dan memandang rendah. Kepalanya menoleh tatkala mendengar langkah kaki
itu tiba-tiba berhenti.
Di ambang pintu yang menuju ke
dalam, tampak berdiri seorang bocah perempuan berusia sekitar sebelas tahun.
Rambutnya panjang dan berkulit putih bersih.
"Kakek...," panggil
bocah perempuan itu.
Sesaat Brajageni tercenung.
Jadi, bocah perempuan itu adalah cucu kakek berkulit hitam ini? Secercah senyum
keji tersungging di bibir yang tertutup kain hitam itu. Perlahan dia bangkit
berdiri, lalu berjalan menghampiri bocah perempuan itu.
Kakek berkulit hitam ini
terkesiap begitu melihat laki-laki bercaping melangkah menghampiri cucunya.
"Ayu! Lari...!" seru
kakek berkulit hitam itu seraya bergerak bangkit. Dan secepat tubuhnya berdiri,
secepat itu pula Brajageni diterkamnya.
Sementara itu gadis kecil itu
hanya menatap tak mengerti melihat kakeknya diancam. Malah saat kakeknya
menyuruh pergi, dia seperti tak mampu pergi dari situ. Gadis itu kian gemetar
melihat laki-laki bercaping semakin mendekati. Lidahnya terasa kelu, tak mampu
mengucapkan kata-kata.
Namun laki-laki tinggi kurus
itu hanya mendengus. Dan sekali tangannya bergerak, tangan kanan kakek berkulit
hitam telah tercekal. Dan sekali Brajageni bergerak mendorong, maka tubuh kakek
berkulit hitam itu langsung terhuyung menabrak dinding.
Tanpa mempedulikan keadaan
kakek berkulit hitam itu, Brajageni meneruskan maksudnya. Dengan sekali
mengulurkan tangan, tubuh bocah perempuan bernama Ayu itu telah ditangkapnya.
"Lepaskan
cucuku...!" teriak kakek berkulit hitam keras seraya menggoyang-goyangkan
kepala, akibat rasa pusing yang diderita dari benturan tadi.
"Ha ha ha...!"
Brajageni tertawa bergelak.
Dengan kasar, laki-laki tinggi
kurus itu menjambak rambut Ayu. Karuan saja gadis kecil itu menjerit kesakitan.
Tapi Brajageni malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan cengkeramannya semakin
diperkuat. Maka jerit kesakitan anak itu pun semakin nyaring terdengar.
"Jahanam! Iblis
terkutuk!" maki kakek berkulit hitam dengan suara mengandung isak tangis.
Pilu hati kakek ini melihat cucunya disiksa tanpa dia mampu berbuat sesuatu
untuk menolongnya. "Lepaskan cucuku! Aku berjanji akan memenuhi apa pun
permintaanmu."
Kembali Brajageni tertawa
bergelak.
"Kalau saja sejak tadi
kau bersikap begitu, kau, dan cucumu tidak perlu mengalami hal seperti ini."
Setelah berkata demikian,
laki-laki tinggi kurus ini lalu melepaskan Ayu. Seketika itu juga, bocah
perempuan itu menghambur ke arah kakek berkulit hitam yang segera mengembangkan
kedua tangannya.
"Kakek... Ayu
takut..," keluh bocah perempuan itu sambil memeluk kakeknya erat-erat.
Wajahnya disembunyikan di pelukan kakek berkulit hitam. Ayu tak berani menoleh,
takut melihat Brajageni.
"Tenanglah, Ayu,"
hibur kakek berkulit hitam sambil mengusap-usap rambut gadis kecil itu penuh
kasih sayang.
"Jawab pertanyaanku,
sebelum terlambat. Kaukah orang yang bernama Empu Sawung?!" selak
Brajageni tidak sabar.
Kakek berkulit hitam itu
menganggukkan kepala.
"Jawab...!" hardik
Brajageni dengan suara mengguntur. "Kau punya mulut, bukan?!"
Keras bukan kepalang bentakan
itu. Kakek berkulit hitam sendiri sampai terjingkat kaget. Apalagi Ayu. Gadis
kecil itu makin erat memeluk kakeknya. Bahkan tubuhnya nampak menggigil.
"Benar. Aku Empu
Sawung...," sahut kakek berkulit hitam, pelan.
Brajageni mengambil buntalan
yang tersampir di punggungnya. Lalu dibuka dan dikeluarkan isinya.
"Kuminta, kau membuatkan
aku sebuah keris. Keris yang mempunyai bilah lurus."
Kakek berkulit hitam yang
ternyata bernama Empu Sawung itu memperhatikan benda mirip batu, berwarna gelap
itu. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan. Dirabanya benda langit yang
berada di tangan Brajageni itu. Untunglah, laki-laki tinggi kurus itu telah
membersihkan racun yang semula ditabur-kan Wisesa di batu itu. Kalau tidak,
Empu Sawung mungkin sudah tidak bernyawa lagi.
"Bahan yang amat
baik," ucap Empu Sawung jujur.
Tapi Brajageni sama sekali
tidak menggubrisnya.
"Tiga hari lagi aku akan
datang untuk mengambil pesananku," kata laki-laki tinggi kurus itu dingin.
"Dan ini bayarannya."
Setelah berkata demikian,
laki-laki tinggi kurus ini melemparkan buntalan kain kecil.
Cringgg,..!
Suara berdencing nyaring
terdengar begitu buntalan kain kecil itu menimpa lantai.
Eyang Sawung memandang
buntalan kain itu dengan sinar mata hampa. Kakek ini sama sekali tidak berharap
kalau laki-laki bercaping ini akan membayar pesanannya. Yang ada di benaknya
hanya satu, Brajageni harus buru-buru angkat kaki dari rumahnya.
"Ingat, Sawung!"
ancam Brajageni sebelum melangkah meninggalkan tempat itu. "Jangan
coba-coba mempermainkanku! Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Dan sebelum gema suaranya
lenyap, tubuh Brajageni sudah tidak berada di situ lagi. Empu Sawung seketika
bergidik, tidak berani main-main. Kakek ini tahu, orang seperti Brajageni bukan
ter-masuk orang yang suka menggertak sambal saja. Empu Sawung melihat sinar
kekejaman di mata orang bercaping itu.
***
Empu Sawung bekerja keras,
bagai tidak pernah merasa lelah. Kakek ini adalah seorang pandai besi sejati.
Tidak ada hal yang paling menggembirakan hatinya, kecuali membuat sebuah
senjata dari bahan yang baik. Dan benda yang dibawa Brajageni adalah sebuah
bahan yang amat bagus. Dan itu diketahuinya betul! Maka, kini Eyang Sawung
mengerjakannya penuh semangat.
Tanpa mengenal lelah, Eyang
Sawung membakar benda langit di tungkunya. Sampai warnanya agak gelap berubah
merah membara, kemudian menempanya.
Suara berdentang nyaring dari
benda logam yang beradu selalu terdengar dari ruang kerja Eyang Sawung. Kakek
berkulit hitam ini bekerja penuh ketekunan, berusaha keras untuk merampungkan
tugas tepat pada waktunya.
Tepat pada hari yang
dijanjikan, keris itu selesai dibuat. Sebuah keris yang mempunyai bilah lurus,
tidak berkeluk sama sekali. Kakek berkulit hitam itu memandanginya penuh rasa
puas.
Eyang Sawung menghela napas lega.
Sebentar lagi Brajageni tentu akan datang. Tapi kali ini Eyang Sawung sama
sekali tidak merasa khawatir. Ayu telah kembali ke rumah orang tuanya, dan kini
dirinya kembali sendirian di rumah yang terpencil ini. Perlahan kakinya
melangkah kembali ke ruang depan.
"Hhh...!"
Eyang Sawung menghela napas
berat. Kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi. Sebentar matanya dipejamkan,
tak lama kemudian sudah tertidur.
Entah sudah berapa lama
tertidur, Eyang Sawung tidak mengetahuinya. Yang jelas, dia terbangun ketika
mendengar bentakan keras menggelegar.
"Bangun, Bandot Tua
Pemalas...! Mana pesananku...?!"
Eyang Sawung kontan gelagapan
begitu tahu-tahu di depannya telah berdiri orang yang ditunggu-tunggu. Siapa
lagi kalau bukan laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bercaping bambu.
Dengan kesadaran yang belum
sepenuhnya pulih, Eyang Sawung menatap ke luar rumah. Ternyata di luar gelap.
Berarti hari sudah malam. Dalam se-kejapan itu, otaknya bekerja keras. Dan
teringatlah kakek ini kalau setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia duduk di
kursi dan memejamkan mata. Jadi, rupa-nya dia tertidur.
"Keparat..!"
Amarah Brajageni meluap begitu
melihat Eyang Sawung tidak mengambilkan pesanannya, tapi malah celingukan.
Kakinya pun bergerak menendang.
Krakkk..!
Terdengar suara berderak keras
ketika kaki salah satu kursi patah terkena tendangan laki-laki tinggi kurus
itu. Tak pelak lagi, kursi itu pun oleng. Dan karuan saja hal itu membuat Eyang
Sawung semakin gelagapan, kaget.
"Bandot tua...!"
tanpa peduli kalau Eyang Sawung belum sadar sepenuhnya, Brajageni mencekal
leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas. "Jangan main-main
denganku! Bagaimana dengan pesanan-ku?! Cepat sebelum kupuntir batang
lehermu!"
"Ppp..., pe..., pesanan
apa...?" tanya kakek berkulit hitam terputus-putus. Dahinya berkernyit
dalam seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
Brajageni yang memang pemarah,
tidak sabar lagi. Tangannya langsung bergerak. Tapi sebelum mengenai sasaran,
Eyang Sawung telah keburu teringat.
"Ah, ya...! Aku ingat sekarang...!
Keris, kan?!"
Brajageni menurunkan tubuh
kakek itu, seraya melepaskan leher baju laki-laki tua itu.
"Ya! Bagaimana? Sudah
selesai?!"
Eyang Sawung menganggukkan
kepala, kemudian beranjak ke dalam. Sebentar kemudian dia sudah kembali lagi.
Di tangan kakek berkulit hitam ini sudah tergenggam sebilah keris.
"Ini keris
pesananmu," kata Eyang Sawung sambil mengangsurkan keris di tangannya.
"Sebuah senjata pusaka yang hebat."
Brajageni mengulurkan
tangannya. Diambilnya keris yang diangsurkan kakek berkulit hitam itu, lalu
perlahan-lahan dihunusnya. Tampak sebuah keris yang bilahnya berwarna hitam
pekat.
Laki-laki tinggi kurus ini
mendekatkan keris itu ke kulitnya. Dahinya berkernyit ketika tidak merasakan
akibat apa-apa. Sementara, Eyang Sawung yang melihat adanya kernyit di dahi
Brajageni jadi berdebar-debar hatinya.
"Jangan coba-coba
menipuku, Sawung!" ancam Brajageni. Keras, dan kasar suaranya. Sepasang
matanya menatap penuh ancaman pada kakek berkulit hitam itu.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Kisanak," jawab Eyang Sawung jujur.
"Keris ini tidak terbuat
dari benda pesananku!"
Merah padam selebar wajah
Eyang Sawung mendengar tuduhan itu. Betapa tidak? Sebab, setengah mati membuat
keris itu, malah dituduh menipu!
"Jaga mulutmu, Kisanak!
Seumur hidup, belum pernah aku menipu orang lain! Keris itu kubuat berdasarkan
benda yang kau berikan padaku!"
Brajageni menatap wajah Eyang
Sawung tajam-tajam, mencoba mencari kebenaran di wajah itu. Dan laki-laki
tinggi kurus ini menghela napas berat tatkala menangkap adanya kesungguhan di
sana. Jelas kalau kakek berwajah hitam itu tidak berbohong.
Beberapa saat lamanya
Brajageni termenung. Dahi laki-laki tinggi kurus ini berkernyit, pertanda ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sesaat kemudian, kerut-kerut di dahinya lenyap.
Dengan agak terburu-buru keris miliknya yang tergantung di bawah punggung
dicabut dengan tangan kiri.
Sekarang di tangan Brajageni
terdapat dua bilah keris. Keris yang terbuat dari benda langit berada di tangan
kanan. Sementara keris miliknya berada di tangan kiri. Laki-laki tinggi kurus
ini menatap kedua keris itu berganti-ganti, dengan senyum tersungging.
Kemudian perhatiannya
dipusatkan pada kedua tangan. Setelah mengambil napas dalam-dalam, tenaga dalam
di bawah pusarnya disalurkan ke arah kedua tangan. Sekejap kemudian sebuah
aliran tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya.
"Hih...!"
Brajageni menggertakkan gigi,
lalu keris yang berada di kedua tangannya diadu.
Tranggg...!
Bunga api seketika memercik ke
udara begitu kedua keris itu berbenturan. Eyang Sawung yang semula tidak
mengerti maksud orang bercaping itu memegang dua buah keris, kini paham.
Rupanya, Brajageni ingin mencoba keampuhan keris pesanannya.
Sepasang mata Brajageni
terpelalak lebar. Tampak keris yang berada di tangan kirinya punggal. Padahal,
keris miliknya itu bukan keris sembarangan, melainkan sebuah keris pusaka yang
ampuh. Tak diragukan lagi kalau keris yang berada di tangan kanannya itu
terbuat dari benda langit!
"Bagaimana,
Kisanak?!" tanya Eyang Sawung. Ada nada kemenangan dalam suaranya. Sekali
lihat saja, kakek berkulit hitam itu tahu kalau keris yang punggal itu bukan
keris sembarangan.
Sedangkan Brajageni sama
sekali tidak menyahuti ucapan kakek itu. Benaknya tengah dipenuhi pertanyaan
yang tidak mampu dijawab. Semua itu berpangkal dari keris yang terbuat dari
benda langit ini.
Laki-laki tinggi kurus ini
tidak bisa menyangkal lagi. Jelas sudah kalau keris itu terbuat dari benda
langit. Dan itu berarti Eyang Sawung tidak menipunya. Kakek pandai besi itu telah
melakukan pekerjaannya dengan baik.
"Kau benar, Sawung,"
kata Brajageni pelan. Datar dan dingin suaranya. "Keris ini memang terbuat
dari benda pesananku. Kau tahu, dari mana benda ini berasal?"
Eyang Sawung menggelengkan
kepala.
"Selama hidupku, belum
pernah kutemukan benda seperti itu. Sebuah benda yang terbuat dari campuran
logam-logam. Beberapa di antaranya sama sekali tidak kukenal. Entah, dari mana
kau mendapat-kannya.... Ataukah... benda itu tidak berasal dari bumi?"
"Tepat. Benda itu jatuh dari
langit. Jadi, namanya benda langit! Benda yang diperebutkan orang-orang rimba
persilatan!" sahut Brajageni pelan tapi tajam.
"Ahhh...!" Eyang
Sawung terperanjat.
"Kau tahu, Sawung. Apa
yang terjadi jika mereka tahu, kalau keris yang terbuat dari benda langit ini
ada di tanganku?" sambung Brajageni.
Meskipun Brajageni baru
berbicara sampai di sini, namun Eyang Sawung sudah menduga kelanjutan ucapan
laki-laki tinggi kurus itu. Kontan hati kakek ini berdebar tegang. Sudah bisa
dirasakan, ada bahaya maut yang mengancamnya. Tapi, kakek berkulit hitam tetap
bersikap tenang. Sejak pertama kali bertemu dan melihat sikap Brajageni. Eyang
Sawung memang sudah bersiap untuk menerima kematian.
Brajageni rupanya memang tidak
membutuhkan jawaban Eyang Sawung. Terbukti begitu kakek berkulit hitam itu sama
sekali tidak menanggapi pertanyaannya, dia sama sekali tidak peduli.
"Mereka semua akan
memburuku untuk mendapatkan keris ini!" tandas Brajageni tajam. "Bila
itu terjadi, ada dua buah pilihan. Aku atau mereka yang mati!"
Kembali Brajageni menghentikan
ucapannya.
Ditatapnya wajah Eyang Sawung
dengan sinar mata mengandung ancaman.
"Aku tidak mau hal itu
terjadi. Maka sedapat mungkin akan kuusahakan untuk mencegah ter-sebarnya
berita ini! Tapi sayang, ternyata sudah ada orang yang mengetahuinya! Maka
sebelum orang itu menyebarluaskan, harus lebih dulu dibungkam mulutnya! Kau
tahu siapa orang itu, Sawung?!"
Eyang Sawung tersenyum getir.
Perlahan kepala-nya terangguk.
"Aku," kata kakek
berkulit hitam itu, tenang.
"Tepat!" Brajageni
tertawa bergelak. "Kau harus mati, Sawung!"
"Telah kuduga sebelumnya,
Kisanak!" sahut Eyang Sawung mantap. Tak ada nada kegentaran dalam
suaranya.
"Ha ha ha...!"
Brajageni tertawa bergelak. Men-dadak sekali tawa itu. Dan secara tiba-tiba
pula, suara tawa itu terhenti. "Kau menjadi orang pertama yang akan
mencicipi kehebatan keris ini, Sawung!"
Setelah berkata demikian,
Brajageni melompat menerjang kakek pandai besi itu. Keris di tangannya meluncur
deras ke arah dada, menimbulkan suara bersiutan nyaring.
Sebenarnya Eyang Sawung
memiliki ilmu silat.
Tapi, kepandaian yang dimiliki
hanya sekadarnya saja. Tenaga dalam yang dimilikinya pun hanya sedikit saja.
Kakek pandai besi ini hanya memiliki tenaga luar yang besar. Dan itu tidak
aneh, mengingat pekerjaan kakek berkulit hitam itu adalah pandai besi.
Sialnya, lawan yang
menyerangnya adalah Brajageni. Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian
tinggi. Eyang Sawung berusaha semampunya untuk mengelak. Tapi....
Cappp...!
Telak dan keras sekali keris
itu menghunjam dada Eyang Sawung, sampai hampir ke gagangnya. Seketika
Brajageni melepaskan pegangan pada keris. Sepasang mata kakek pandai besi ini
terbelalak. Tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Dia meng-gelepar, sesaat
kemudian diam tidak bergerak lagi.
Bukan hanya Eyang Sawung yang
membelalakkan sepasang matanya. Brajageni pun demikian juga. Sepasang matanya
terbelalak karena melihat kejadian aneh yang terpampang di depannya.
Begitu keris itu menancap di
dada Eyang Sawung, sama sekali tidak ada darah yang keluar dari luka yang robek
itu. Jangankan mengalir, menetes pun tidak! Saking terkejutnya, Brajageni tidak
buru-buru menarik kembali keris itu. Jadi untuk beberapa saat lamanya, keris
itu terhunjam di dada kakek pandai besi itu.
Kembali kejadian yang aneh
terjadi. Entah dari bagian dada yang tertembus, atau dari bilah keris yang
masih terhunjam, yang jelas dari situ keluar asap. Semula sedikit dan tipis
saja, tapi lama-kelamaan semakin banyak dan tebal.
Melihat peristiwa yang sama
sekali tidak diduga ini, tentu saja Brajageni terpukau. Tapi, hanya sesaat
saja. Sekejap kemudian, dia sudah bisa bersikap biasa kembali. Dengan dahi
berkernyit, diperhati-kannya asap yang semakin menebal itu.
Tak lama kemudian, asap itu
mulai menipis dan semakin sedikit. Sampai akhirnya, asap itu lenyap sama
sekali. Dan begitu asap itu sirna, untuk yang kesekian kalinya sepasang mata
Brajageni terbelalak.
Betapa tidak? Tubuh Eyang
Sawung yang terhunjam keris kini telah berubah kurus dan pucat. Tidak ada
tanda-tanda darah yang keluar dari tubuh kakek pandai besi itu.
Brajageni memang seorang tokoh
hitam yang kejam. Tidak ada kata ampun bagi orang yang berurusan dengannya.
Sudah biasa baginya mem-bunuh banyak orang sambil tertawa. Menyiksanya pun
sudah merupakan kegemaran. Tapi melihat peristiwa kali ini, tak terasa bulu
kuduknya merinding. Perasaan ngeri pun mencekam hatinya.
Masih dengan perasaan ngeri,
kerisnya dicabut Beberapa saat lamanya, Brajageni menatap mayat itu. Kemudian,
dia melesat cepat keluar rumah itu, menembus gelap dan heningnya malam.
***5
Brajageni berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Kenyataan yang
dihadapi benar-benar membingungkan hatinya. Melihat keampuhannya, tak
dipungkiri lagi kalau keris itu benar terbuat dari benda langit. Tapi, kenapa
tidak menunjukkan pengaruh lain seperti yang selama ini diketahuinya. Hal ini
benar-benar membuatnya tidak mengerti.
Belum begitu jauh berlari,
laki-laki bertubuh tinggi kurus ini terpaksa memperlambat langkahnya. Sekitar
beberapa tombak di depan nampak berdiri sesosok tubuh. Menilik dari sikapnya,
dapat diketahui kalau orang itu sengaja menghadang perjalanannya.
Brajageni menghentikan
langkahnya ketika telah berjarak tiga tombak dari sosok yang menghadang
perjalanannya. Dalam keremangan cahaya bulan di langit, dapat terlihat jelas
sosok penghadang jalannya.
Sosok itu ternyata seorang
laki-laki bertubuh pendek kekar. Pakaian tanpa lengan membungkus tubuhnya yang
bulat. Usianya tak lebih dari tiga puluh lima tahun. Sebuah cambuk berwarna
hitam seperti warna pakaiannya, tampak tergenggam di tangan.
"Cambuk
Halilintar...," desis Brajageni. Perlahan saja suaranya. Tapi karena
suasana malam yang hening, ucapan itu terdengar nyaring.
Berbeda dengan Brajageni,
laki-laki pendek kekar yang berjuluk Cambuk Halilintar itu sama sekali tidak
mengenal laki-laki tinggi kurus ini.
"Kalau ingin selamat,
serahkan keris itu padaku, Kisanak," ancam Cambuk Halilintar. Menilik dari
sikap dan nada suaranya, Cambuk Halilintar yakin sekali kalau dirinya akan
mengalahkan Brajageni.
"Hmh...!"
Brajageni mendengus. Meskipun
telah mengenal penghadangnya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Orang yang
berjuluk Cambuk Halilintar ini memang terkenal sebagai tokoh sesat yang
memiliki kesaktian cukup tinggi.
"Apa maksudmu, Cambuk
Halilintar? Aku sama sekali tidak mengerti," sahut Brajageni berpura-pura.
"Kau ingin menyerahkannya
baik-baik, atau..., ingin aku merampasnya dengan kekerasan?!" ancam Cambuk
Halilintar. Sama sekali tidak dipedulikan jawaban Brajageni tadi. "Perlu
kau tahu, Kisanak. Aku telah mengetahui semuanya sejak kau ribut-ribut dengan
Eyang Sawung. Itulah sebabnya, aku mencegat di sini. Karena aku tahu kau akan
melalui jalan ini"
Mendengar ucapan ini Brajageni
sadar kalau tidak ada gunanya lagi berpura-pura. Yang harus dilaku-kannya
adalah membungkam mulut Cambuk Halilintar selama-lamanya. Kalau tidak,
kemungkinan besar berita mengenai keris yang berasal dari benda langit ini akan
tersebar luas. Dan yang pasti, akan banyak tokoh persilatan yang datang untuk
mem-perebutkannya.
Maka jika hal itu terjadi,
Brajageni yakin kalau dirinya tidak akan sanggup mempertahankannya.
***
Tanpa ragu-ragu lagi,
Brajageni segera mencabut keris yang berasal dari benda langit itu. Dan secepat
keris itu tercabut, secepat itu pula ditusukkan ke arah dada Cambuk Halilintar.
Singgg...!
Suara berdesing Nyaring
mengiringi tibanya serangan itu. Cambuk Halilintar seketika terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau serangan lawan begitu dahsyat. Dan ini benar-benar
di luar dugaan. Maka, laki-laki bertubuh pendek kekar ini langsung bersikap
waspada, karena baru merasakan kedahsyatan serangan lawan. Dengan agak gugup
dan terburu-buru dia mengelak, melempar tubuh ke belakang lalu bersalto
beberapa kali di udara.
Tapi Brajageni sama sekali
tidak memberinya kesempatan. Begitu lawannya melempar tubuh ke belakang, segera
dikejarnya. Keris di tangannya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh
Cambuk Halilintar yang mematikan. Dan begitu kedua kaki Cambuk Halilintar
mendarat di tanah, serangan Brajageni telah mengancamnya.
Meskipun begitu, Cambuk
Halilintar mampu juga membuktikan kelihaiannya. Sebelum serangan keris itu
tiba, cambuk di tangannya telah lebih dulu bergerak.
Darrr...!
Ledakan keras terdengar, begitu
laki-laki pendek kekar ini melecutkan cambuknya. Dan seiring ledakan itu, ujung
cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-ubun Brajageni.
Hebat dan berbahaya bukan main
serangan cambuk ini. Jangankan ubun-ubun yang merupakan jalan darah kematian
manusia. Bahkan batu karang yang paling keras pun akan hancur bila terkena
lecutan ini.
Brajageni tentu saja mengenal
serangan ber-bahaya ini. Maka segera serangannya diurungkan. Tidak hanya itu
saja yang dilakukan laki-laki tinggi kurus ini. Sambil membatalkan serangan,
Brajageni melempar tubuhnya ke samping, lalu bergulingan di tanah.
Cambuk Halilintar yang kini
telah mengetahui kalau lawan di hadapannya bukan tokoh sembarangan, tidak
ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu yang dimiliki. Sadar akan kelebihan
jangkauan senjatanya, maka begitu lawan men-jauhkan diri, dia segera memburu.
Cambuk di tangannya meledak-ledak di udara mencari sasaran.
Sesaat kemudian, terjadilah
pertarungan sengit antara kedua orang itu.
Di jurus-jurus awal,
pertarungan berlangsung menarik dan seru. Masing-masing pihak mengerah-kan
seluruh kemampuan yang dimiliki. Suara men-desing nyaring dari keris Brajageni,
dan suara ledakan cambuk dari Cambuk Halilintar menyemaraki pertarungan.
Begitu pertarungan menginjak
jurus ketiga puluh, mulai tampak keunggulan Brajageni. Kalau dibanding-kan,
laki-laki tinggi kurus ini memang masih lebih unggul daripada Cambuk
Halilintar. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun ilmu tenaga dalam.
Hanya saja karena Cambuk
Halilintar meng-gunakan cambuk, keunggulan Brajageni dalam hal tenaga dapat
tertandingi. Benturan antara cambuk dengan keris, sukar terjadi seperti
beradunya keris dan pedang.
Itulah yang menyebabkan sampai
sekian lama, Brajageni belum mampu mendesak lawannya. Dan hal ini tentu saja
membuat laki-laki tinggi kurus itu merasa penasaran bukan main. Sebagai
akibatnya, serangan-serangannya pun jadi semakin dahsyat.
Satu hal lagi yang menyulitkan
Brajageni mendesak Cambuk Halilintar adalah jangkauan senjata lawan yang jauh
lebih panjang ketimbang senjatanya. Tambahan lagi, Cambuk Halilintar ternyata
tahu kelebihannya dalam hal jangkauan serangan. Maka laki-laki pendek kekar itu
selalu mengajak bertanding jarak jauh.
Brajageni tentu saja tidak mau
bertindak bodoh. Sedapat mungkin diusahakan agar pertarungan dapat terjadi
dalam jarak dekat. Maka yang terjadi adalah pertarungan yang kurang menarik. Di
satu pihak, Brajageni berusaha keras mengajak lawan bertarung jarak dekat dan
di lain pihak, Cambuk Halilintar berusaha keras agar pertarungan dapat
berlangsung jarak jauh.
Itulah sebabnya, mengapa
laki-laki bertubuh pendek kekar ini selalu melompat ke belakang untuk menjaga
jarak setiap kali lawan mendesak. Tak lupa, dikirimkannya serangan
lecutan-lecutan cambuk, untuk menahan desakan Brajageni.
Hasilnya, begitu memasuki
jurus kelima puluh, pertarungan berlangsung tidak menarik. Mereka berdua
seperti tidak bertarung, tapi bermain kejarkejaran.
Brajageni di pihak pengejar,
sedangkan Cambuk Halilintar pihak yang diburu.
Karena Cambuk Halilintar
bertarung sambil mundur, maka sedikit demi sedikit pertarungan berpindah
tempat. Sehingga tanpa disadari, begitu pertarungan menginjak jurus ketujuh
puluh, per-tarungan sudah bergeser jauh dari tempat semula.
Brajageni menggertakkan gigi.
Perasaan cemas mulai menggayut di dadanya. Dia khawatir kalau pertarungan ini
akan menarik perhatian orang. Masih untung kalau bukan tokoh persilatan. Tapi
kalau tidak? Celakalah dirinya! Cambuk Halilintar harus
cepat dibereskan sebelum yang
dikhawatirkan terjadi.
"Hih...!"
Brajageni mengibaskan tangan
kirinya. Seketika itu pula terdengar suara berdesir pelan. Dan dalam keremangan
sinar rembulan, tampak benda-benda kecil berwarna hitam melesat cepat ke arah
Cambuk Halilintar.
Laki-laki bertubuh pendek
kekar ini terperanjat. Meskipun hanya samar-samar, tapi bisa diduga kalau benda
yang menuju ke arahnya pasti jarum yang mengandung racun ganas!
Cambuk Halilintar tidak berani
bertindak ceroboh. Cepat bagai kilat tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara. Maka jarum-jarum itu hanya mengenai tempat kosong.
Tapi hal itu sudah
diperhitungkan Brajageni. Maka begitu lawannya meloloskan diri, tangannya
kembali mengibas. Lagi-lagi terdengar suara berdesir halus ketika jarum-jarum
beracunnya meluncur cepat menuju sasaran. Tidak hanya itu saja yang dilakukan
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Dia juga langsung melompat menyusul,
melakukan serangan dengan kerisnya.
Cambuk Halilintar terkejut
bukan kepalang. Serangan kali ini ternyata jauh lebih berbahaya daripada
sebelumnya. Karena di samping serangan itu tiba di saat tubuhnya tengah berada
di udara, serangan lain pun datang menyusul.
"Hup!"
Begitu laki-laki bertubuh
pendek kekar ini mendaratkan kedua kakinya di tanah, serangan jarum-jarum
beracun itu telah menyambar dekat. Maka sebisa-bisanya cambuknya digerakkan.
Darrr, darrr...!
Hebat bukan main permainan
cambuk laki-laki bertubuh pendek kekar ini. Meskipun dalam keadaan yang sangat
sulit, masih mampu membuktikan kalau julukan Cambuk Halilintar yang disandangnya
bukan sekadar julukan kosong. Nyatanya semua jarum beracun itu tersampok
runtuh.
Tapi sebelum Cambuk Halilintar
sempat berbuat sesuatu, serangan susulan dari Brajageni telah menyambar tiba.
Keris di tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah
perutnya.
Cappp...!
"Aaakh...!" Cambuk
Halilintar menjerit keras.
Keris itu menghunjam sampai ke
gagang. Dan kejadian seperti sebelumnya pun kembali terulang. Asap yang
mula-mula tipis dan sedikit, kemudian menebal dan banyak. Sampai akhirnya, asap
itu sirna dan muncul kembali. Dan begitu asap itu benar-benar lenyap, tubuh
Cambuk Halilintar yang telah menjadi kurus kering karena kehabisan darah,
ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.
Brajageni terpaku. Kini baru
disadari kalau kejadian yang menimpa Empu Sawung akibat keris yang terbuat dari
benda langit itu. Hanya yang menjadi tanda tanya, ke mana perginya darah Empu
Sawung dan Cambuk Halilintar?
Dengan benak masih dipenuhi
tanda tanya, Brajageni memasukkan keris itu ke sarungnya. Tapi, gerakannya
terhenti di udara. Dia merasa seperti ada hawa yang cukup dingin menghembus
kulitnya, berasal dari bilah keris itu.
Dahi Brajageni seketika
berkernyit. Tadi pun, sehabis membunuh Empu Sawung, ada hawa cukup dingin yang
menghembus kulitnya begitu keris itu akan dimasukkan ke sarungnya.
Tapi Brajageni buru-buru
mengusir pikiran yang menggelayuti benaknya. Dia khawatir, kalau berlama-lama
di sini, bukan tidak mungkin akan ada tokoh persilatan lain yang datang kemari.
Masih untung kalau menang. Kalau kalah?
Itulah sebabnya, meskipun
dengan benak yang masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang bergolak,
laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat meninggalkan tempat itu.
***
Entah sudah berapa lama dan
berapa jauh berlari, Brajageni tidak mempedulikannya. Yang diketahui cuma satu.
Dirinya telah berada di dalam Hutan Dadap, menembus tempat yang jarang
didatangi orang.
Brajageni terus berlari,
meskipun malam telah mulai berlalu. Dini hari telah mulai datang. Ayam jantan
mulai berkokok bersahut-sahutan. Sebentar lagi, matahari akan menerangi
mayapada.
Laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu baru mem-perlambat larinya, tatkala pandangan matanya tertumbuk pada
sebatang pohon beringin yang tinggi, dikelilingi pepohonan dan semak-semak
lebat.
Brajageni menghentikan langkah
ketika jaraknya dengan pohon beringin itu tinggal dua tombak lagi. Pohon itu
besar sekali, berukuran lebih dari empat pelukan tangan orang dewasa. Ada satu
keanehan pada pohon itu. Di bagian bawah batangnya terdapat sebuah lubang berbentuk
setengah lingkaran. Dan tanpa ragu-ragu, Brajageni melangkah menghampirinya.
Baru juga melangkah beberapa
tindak, dari dalam pohon itu melesat sesosok bayangan yang langsung melancarkan
serangan bertubi-tubi ke dada, ulu hati, dan pusar Brajageni.
Brajageni terkejut bukan main.
Apalagi begitu merasakan hembusan angin kuat yang menyambar sebelum serangan
tiba. Karena mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, maka diputuskan untuk
menangkisnya. Tahu akan kedahsyatan serangan itu, laki-laki tinggi kurus ini
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis.
Plak, plak, plak...!
Benturan keras terdengar
berkali-kali begitu sepasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
penuh beradu. Akibatnya, tubuh Brajageni terjengkang ke belakang. Kedua tangannya
dirasakan seperti patah-patah. Bahkan dadanya pun terasa sesak bukan main.
Terdengar suara berdebuk keras
ketika tubuh Brajageni terjatuh di tanah. Dari seringai yang nampak di
wajahnya, dapat diketahui kalau dia merasa kesakitan.
Dengan pandangan mata nanar,
Brajageni menatap penyerangnya. Dalam keremangan malam yang telah berganti dini
hari, samar-samar dapat terlihat wajah dan potongan tubuh sosok yang ternyata
seorang kakek bertubuh sedang mengena-kan pakaian serba merah. Kumis dan
jenggotnya nampak hitam. Tapi anehnya, kulit wajahnya putih sekali, seperti
kapur.
"Hm…!"
Kakek bermuka putih itu
mendengus. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, nampak bersilang di depan
dada. Lalu perlahan-lahan jari-jari tangannya mengepal, menimbulkan suara
berkerotokan keras.
Wajah Brajageni pucat pasi
begitu melihat gerakan kakek bermuka putih.
"Guru...! Tahan...!"
teriak laki-laki bertubuh tinggi kurus, keras. Nada suaranya terdengar agak
bergetar, karena dilanda perasaan tegang dan takut yang menggelegak.
Seketika itu juga jari-jari
tangan kakek bermuka putih yang semula sudah mengepal keras, mengendur
mendadak.
"Apa katamu?!" seru
kakek bermuka putih. Wajah dan suaranya menyiratkan perasaan kaget yang amat
sangat. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku Brajageni,
Guru," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus cepat "Lupakah Guru
padaku?"
"Brajageni?!"
"Benar, Guru,"
Brajageni menganggukkan kepala. "Begitu berubahkah wajahku sehingga Guru
sampai tidak mengenalku lagi. Dan bahkan hampir saja membunuhku."
"Kunyuk!" umpat
kakek bermuka kurus itu. "Bagaimana aku bisa mengenalmu, kalau wajahmu
disembunyikan seperti itu?!"
Brajageni tersentak. Betapa
bodohnya dia! Pantas saja gurunya sama sekali tidak mengenali. Ternyata caping
dan kain yang menutup wajahnya belum ditanggalkan. Maka buru-buru penyamarannya
ditanggalkan.
"Kau mengagetkan aku
saja, Brajageni," desah kakek muka putih itu setelah menyaksikan sendiri
kalau orang bercaping itu benar muridnya. "Semula aku merasa heran melihat
racunku sama sekali tidak bekerja. Tapi kini, semuanya telah menjadi
jelas."
Brajageni hanya bisa
tersenyum. Gurunya ini memang berwatak telengas. Dalam setiap serangan,
racunnya tak pernah ketinggalan. Dan lagi, racun-racunnya pasti memiliki akibat
yang menggiriskan. Hal itu sebenarnya tidak aneh. Karena, kakek bermuka putih
itu berjuluk Raja Racun Muka Putih!
"Jelaskan, mengapa kau
sampai melakukan penyamaran seperti ini, Brajageni?" pinta kakek bermuka
putih, pelan. Ada tuntutan yang besar dalam nada suaranya.
"Terpaksa, Guru. Aku kini
membawa keris yang terbuat dari benda langit. Kalau wajahku kutampil-kan, maka
seluruh tokoh persilatan pasti akan mengejarku. Dan tentu aku bisa celaka,
Guru."
Kemarahan yang melanda hati
Raja Racun Muka Putih langsung sirna, berganti perasaan kaget yang bergelora.
Kepalanya menoleh ke sana kemari sebentar.
"Masuk...," ujar
Raja Racun Muka Putih seraya melangkah memasuki lubang yang terdapat di batang
pohon.
Dengan agak bergegas,
Brajageni melangkah di belakang gurunya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
tahu, di dalam pohon besar inilah tempat tinggal Raja Racun Muka Putih. Sebuah
tempat yang agak sulit untuk diketahui orang lain. Siapa yang menyangka kalau
sebenarnya bagian dalam pohon itu tak ubahnya bagian dalam rumah pada umumnya?
***
"Mana keris yang kau
katakan itu, Brajageni?" tagih Raja Racun Muka Putih tatkala mereka berdua
telah duduk di dalam.
Brajageni segera mengambil
keris yang terselip di belakang tubuhnya, lalu menyerahkan pada gurunya.
Kakek bermuka putih mengulurkan
tangan menerima. Diawasinya sejenak benda itu, sebelum akhirnya dihunus
perlahan-lahan. Sepasang matanya merayapi sekujur bilah keris yang terbuat dari
benda langit, kemudian memasukkannya kembali lambatlambat.
"Ceritakan dengan jelas,
bagaimana kau bisa mendapatkan benda langit itu. Karena sepenge-tahuanku, hanya
Dewa Arak dan kawan wanitanya saja yang berhasil keluar dari Hutan Bandan dalam
keadaan hidup. Dan sepatutnya, dialah yang men-dapatkan benda itu. Tapi
ternyata tidak. Benda langit itu lenyap, seiring lenyapnya peristiwa yang
meng-gegerkan hutan itu." (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode "Prahara Hutan Bandan").
"Semua ucapanmu betul,
Guru," sahut Brajageni membenarkan. "Tapi ternyata ada tokoh yang
kita lupakan. Eyang Aji Ranta, namanya. Dan ternyata Dewa Arak menyerahkan
benda langit itu kepadanya."
"Hm...," Raja Racun
Muka Putih hanya meng-gumam pelan.
"Itu pun kuketahui
setelah beberapa waktu lamanya, Guru," sambung Brajageni. "Dan begitu
kucari, kakek itu ternyata telah tidak berada lagi di situ. Eyang Aji Ranta
telah pindah ke Hutan Dadap. Maka segera kususun rencana untuk mendapatkan
benda itu. Karena aku merasa bila menghadapi secara terang-terangan tidak
mungkin menang. Terpaksa dia kulawan dengan siasatku."
Brajageni menghentikan
ceritanya sejenak, untuk mengambil napas.
"Waktu itu, kuperintahkan
seorang kepala rampok yang pernah kutolong dari tangan maut seorang pendekar
untuk melaksanakan rencanaku. Seorang anak buahnya yang kuberi pakaian prajurit
kulukai dengan racun ganas, dan kubuang di dekat Desa Pucung. Semuanya berjalan
lancar sesuai rencana. Dia ditemukan penduduk desa, dan segera dibawa ke rumah
Ki Waskita, dukun ampuh desa itu." Kembali Brajageni menghentikan
ceritanya untuk mengambil napas seraya mencari kata-kata yang tepat untuk
melanjutkan ceritanya.
"Dan seperti yang sudah
kuduga, Ki Waskita tidak mampu menyembuhkan luka itu. Atas desakan orang yang
kuracun, Ki Waskita kemudian menyuruh dua orang penduduk untuk meminta bantuan
Eyang Aji Ranta. Kakek itu memang dikenal sebagai orang yang ahli mengobati
penyakit akibat racun," lanjut laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Tak lama setelah utusan itu pergi, orang yang kulukai sembuh. Karena, dia
kubekali obat penawar racunnya."
Raja Racun Muka Putih
mengangguk-anggukkan kepala.
"Dan begitu Eyang Aji
Ranta telah pergi untuk mengobati, rombongan perampok mengambil benda langit
itu. Usaha mereka berhasil, lalu benda langit itu diserahkan padaku. Dan
setelah itu, mereka semua kukirim ke akhirat"
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa Raja Racun Muka
Putih meledak. Tampak jelas kalau hatinya gembira bukan main mendengar ucapan
muridnya. Memang kakek ini memiliki sifat mengerikan. Gembira sekali jika
men-dengar penderitaan orang lain.
"Hm.... Lalu?" tanya
kakek muka putih itu penuh gairah.
Brajageni lalu menceritakan
semua kejadiannya.
"Begitulah, Guru,"
ujar Brajageni menutup cerita-nya. "Aku ingin menanyakan kepada Guru
tentang hal-hal aneh pada keris ini."
Raja Racun Muka Putih
tercenung sejenak. Dahinya berkernyit, seperti tengah berpikir keras.
Brajageni tidak berani
mengganggu. Dibiarkannya saja kakek muka putih itu berbuat demikian. Hanya
sepasang matanya saja yang menatap tajam setiap gerak-gerik yang dilakukan Raja
Racun Muka Putih.
Setelah beberapa saat lamanya
tercenung, Raja Racun Muka Putih menghunus kembali keris itu. Diperhatikannya
baik-baik bilah keris yang berwarna hitam kelam itu.
"Aku akan memeriksanya
dulu, Brajageni. Mungkin membutuhkan waktu beberapa hari. Dan selama itu, aku
tidak mau diganggu. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Guru,"
sahut Brajageni seraya menganggukkan kepala. "Aku pergi dulu."
***6
"Hhh...!"
Seorang pemuda berwajah tampan
menghapus keringat yang membasahi wajahnya dengan pung-gung tangan. Kepalanya
mendongak ke atas, menatap ke arah matahari yang berada di atas kepala.
Sinarnya memancar dengan garang ke bumi.
Pemuda itu berusia sekitar dua
puluh satu tahun. Tubuhnya tegap berisi, terbungkus pakaian berwarna ungu.
Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya.
Ada satu hal yang aneh pada
diri pemuda ber-pakaian ungu ini. Rambutnya ternyata tidak berwarna hitam
seperti layaknya yang terdapat pada pemuda umumnya, tapi berwarna putih.
Rambutnya benar-benar seperti orang yang telah berusia tua, hanya saja warnanya
lebih indah. Putih keperakan!
Langkah pemuda berambut putih
keperakan ini berhenti ketika sepasang matanya tertumbuk pada sesosok tubuh
hitam yang tergolek di tengah jalan. Bergegas, dihampirinya sosok yang tergolek
itu.
Sesaat kemudian, pemuda
berambut putih keperakan ini telah berada di hadapan sosok hitam itu. Sekali
lihat saja, dia tahu kalau sosok itu telah tidak bernyawa lagi.
Pemuda itu kemudian
berjongkok, karena melihat mayat yang nampak aneh! Begitu mengenaskan, kurus
kering, dan pucat pasi. Sepertinya seluruh darah di tubuhnya telah habis tanpa
sisa.
Sepasang mata pemuda
berpakaian ungu itu kemudian beredar berkeliling. Di sekitar tempat itu tampak
jarum-jarum berserakan. Menilik dari warna-nya, dapat diketahui kalau jarum-jarum
itu mengan-dung racun.
Bukan hanya itu saja yang
ditemukan pemuda berambut putih keperakan ini. Ternyata di situ juga tergeletak
sebuah cambuk berwarna hitam pekat. Dan memang, mayat itu adalah mayat Cambuk
Halilintar yang tewas di tangan Brajageni.
"Keadaan mayat ini
sungguh mengerikan. Seluruh darah di tubuhnya habis. Tapi anehnya, tidak ada
bercak-bercak darah di tanah. Ke manakah perginya darah orang ini?" gumam
pemuda berambut putih keperakan dengan perasaan bingung. "Padahal melihat
luka di perutnya, jelas kalau orang ini tertusuk senjata tajam."
Tapi walau pemuda berpakaian
ungu ini telah memutar otaknya untuk mencari-cari jawaban, dia tak juga
menemukannya. Sebaliknya, dia justru kepusingan. Sadar kalau tidak akan
menemukan jawabannya, pemuda berambut putih keperakan ini menghentikan
pemikirannya.
Pemuda itu kemudian bangkit,
dan melangkahkan kakinya menghampiri sebuah tempat yang terlindung. Diambilnya
sebatang kayu yang cukup kuat. Lalu dengan kayu itu, digalinya tanah.
Menakjubkan! Hanya menggunakan
sebatang kayu, pemuda itu membuat sebuah lubang berbentuk persegi panjang yang
cukup besar. Dan dengan waktu yang cukup singkat pula, pekerjaannya
diselesaikan. Tidak lebih lambat dari orang-orang yang terbiasa bekerja kasar
membuat lubang menggunakan cangkul.
Ketika sebuah lubang terbuat,
pemuda berambut putih keperakan itu lalu menyeret mayat Cambuk Hatitintar. Dan
dimasukkannya mayat itu ke dalam lubang, kemudian ditimbunnya dengan tanah.
Baru setelah semuanya selesai, pemuda itu melanjutkan langkahnya kembali.
Kini pemuda berambut putih
keperakan itu tidak melangkah pelan seperti sebelumnya, tapi bergerak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekali langkah saja, tubuhnya sudah
melesat sebelas tombak. Luar biasa!
Pemuda berambut putih
keperakan itu terus berlari cepat. Kini sinar matahari yang terik dan menyengat
tidak dirasakan lagi olehnya. Dan tak lama kemudian, dia telah melihat tembok
batas sebuah desa. Maka pemakaian ilmu meringankan tubuhnya dihentikan.
Kemudian, kakinya melangkah seperti biasa.
Dengan langkah tenang, pemuda
berambut putih keperakan itu melangkah memasuki mulut desa itu. Tak
dipedulikannya pandangan mata keheranan dari penduduk desa yang melihat keadaan
rambutnya yang menyolok. Langkahnya tetap tenang ketika memasuki sebuah kedai.
Sesaat pemuda berambut putih
keperakan itu menatap ke sekeliling. Kedai ini tampak kecil saja, dan kebetulan
tengah kosong. Dia pun memilih satu di antara beberapa meja yang ada di
dalamnya.
Seorang laki-laki setengah tua
bermuka codet, bergegas menghampiri. Rupanya, dialah pemilik kedai ini.
"Mau pesan apa,
Den?" tanya laki-laki bermuka codet itu. Pelan dan sopan suaranya.
"Berikan aku seguci besar
arak," sahut pemuda berambut putih keperakan itu.
Pemilik kedai itu bergegas kembali
ke dalam. Tak lama kemudian, dia sudah kembali sambil membawa seguci besar
arak, berikut sebuah gelas bambu. Dan setelah meletakkannya di meja pemuda itu,
laki-laki bermuka codet itu bergegas kembali.
Pemuda berambut putih
keperakan itu lalu menjumput guci arak yang tersampir di punggungnya, kemudian
meletakkannya di atas meja. Perlahan guci arak pesanannya diangkat dengan
enaknya. Seolaholah yang diangkat hanya sebuah benda ringan saja.
Suara bercegukan terdengar
ketika arak di guci besar itu dituang ke guci arak perak yang bentuknya jauh
lebih kecil. Tak lama kemudian, guci perak itu sudah penuh.
Kini pemuda berambut putih
keperakan itu menuangkan arak ke dalam gelas bambu. Sesaat kemudian, dia sudah
menikmati minumannya.
Entah sudah berapa gelas arak
yang masuk ke perutnya. Mendadak, pemuda berpakaian ungu itu menghentikan
minumnya sejenak. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya banyak langkah
kaki ringan di luar kedai. Paling tidak pemilik langkah-langkah itu cukup
berisi juga. Seketika, dia bersikap waspada.
Meskipun begitu, pemuda
berambut putih keperakan itu tetap berlaku tenang. Kembali gelas bambunya
diangkat, untuk meneruskan minumnya. Dia bersikap seolah-olah tidak tahu akan
kehadiran orang-orang di depan pintu kedai. Tapi pen-dengarannya dipasang
setajam mungkin, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Dengan sudut matanya, pemuda
berambut putih keperakan itu melihat dua sosok tubuh yang melangkah memasuki
pintu kedai, kemudian menghampiri tempat duduknya. Langkah mereka berhenti
tepat di sebelah meja pemuda itu.
Mau tak mau, pemuda berpakaian
ungu itu menghentikan minumnya. Kepalanya mendongak menatap ke arah empat orang
yang juga tengah menatapnya.
"Semula aku tidak percaya
ketika mendengar kalau desa ini kedatangan orang aneh. Pemuda berambut putih
keperakan menyandang guci, dan berpakaian ungu. Tapi ternyata berita itu benar.
Sungguh tidak kusangka kalau orang sepertimu sudi datang ke desa ini, Dewa
Arak!" kata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya
tinggi kurus dan berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya masih berwarna hitam.
Tapi rambut di bagian pelipisnya telah bercampur warna putih. "Kenalkan,
aku Ki Jayus! Kepala Desa Pucung!"
Setelah berkata begitu,
laki-laki berpakaian putih ini mengulurkan tangan pada pemuda berambut putih
keperakan.
Pemuda berpakaian ungu yang
memang Dewa Arak alias Arya Buana tersenyum. Disambutnya uluran tangan kepala
desa itu, lalu dijabatnya erat-erat.
"Kau terlalu
berlebih-lebihan, Ki. Panggil saja aku Arya," sahut Dewa Arak. Risih
hatinya melihat sikap kepala desa itu yang terlalu berlebih-lebihan.
"Dan ini Wikalpa! Guru
silat kenamaan Desa Pucung!" ujar Ki Jayus lagi seraya melepaskan
genggaman tangannya, memperkenalkan orang yang berada di sebelahnya.
Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya
hitam. Kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajahnya.
Arya mengulurkan tangannya,
tapi Wikalpa sama sekali tidak menyambutnya. Bahkan, sebaliknya malah tersenyum
mengejek. Terpaksa walau dengan muka merah, Dewa Arak menarik kembali
tangannya.
"Memang sifatnya begitu,
De... eh! Arya," Ki Jayus cepat-cepat menengahi keadaan yang tidak enak
itu. "Tapi, percayalah. Hatinya sangat baik."
Dewa Arak hanya menganggukkan
kepala, tidak menyahuti ucapan Kepala Desa Pucung itu.
"Sayang sekali kami tidak
bisa menemanimu minum, Arya. Kami mempunyai sebuah urusan penting tentang Empu
Sawung. Pandai besi desa kami itu telah tewas semalam. Keadaan mayatnya rnengerikan
sekali. Kurus kering dan pucat pasi seperti kehabisan darah...!'
Setelah berbasa-basi sebentar,
Ki Jayus me-langkah meninggalkan tempat itu. Wikalpa pun mengikuti di
belakangnya, meninggalkan Dewa Arak yang tengah tercenung kaget. Jadi, masih
ada lagi korban dengan tubuh kurus kering kehabisan darah? Kalau begitu, di
desa ini tengah terjadi sesuatu. Dewa Arak bertekad dalam hati untuk mencoba
meng-ungkap rahasia pembunuhan yang penuh teka-teki itu. Makanya dia memutuskan
untuk tinggal di sini sementara waktu.
Setelah menyelesaikan minum
dan membayar pesanannya, Arya melangkah meninggalkan tempat itu. Kini tidak ada
Melati di sampingnya. Gadis berpakaian putih itu, sudah kembali ke Kerajaan
Bojong Gading. Kerusuhan masih saja terjadi di sana, karena ada dugaan Kerajaan
Bojong Gading sedang lemah akibat pemberontakan Adipati Tasik (Untuk jelasnya,
baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
***
Waktu berlalu tanpa disadari.
Terkadang cepat laksana anak panah lepas dari busur. Tapi kadang pula merayap
seperti seekor keong. Tak terasa tiga hari telah berlalu, sejak Brajageni
menyerahkan keris pada gurunya. Dia memang selalu menunggu, sehingga terasa
membosankan.
"Bagaimana, Guru?"
tanya Brajageni begitu datang menagih janji gurunya.
"Keris ini akan menjadi
senjata luar biasa, Brajageni," jelas Raja Racun Muka Putih.
"Maksud, Guru?"
tanya Brajageni ingin tahu.
"Begitu mendengar
ceritamu tentang keanehan keris ini, aku lalu memeriksanya. Dan hasil yang
ku-dapatkan, begitu mengejutkan!"
"Apa itu, Guru?"
Brajageni mulai bergairah.
"Keris ini adalah keris
peminum darah, Brajageni," sahut kakek muka putih itu.
"Maksud, Guru?"
"Setiap kali ditusukkan
ke tubuh lawan, keris ini akan menghisap darahnya."
"Ahhh...!" Brajageni
terperanjat.
"Setiap kali meminum
darah, keris ini akan mendapat sebuah kekuatan menggiriskan," sambung Raja
Racun Muka Putih, tanpa mempedulikan keterkejutan muridnya.
"Kekuatan apa itu,
Guru?"
"Hanya satu yang baru
kuketahui, Brajageni," jawab Raja Racun Muka Putih bernada mengeluh.
"Apa itu, Guru?"
meskipun hatinya agak kecewa mendengar gurunya hanya mengetahui satu, tapi
Brajageni tak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Hawa dingin yang luar
biasa!"
"Tapi kenyataannya tidak
demikian, Guru," bantah Brajageni ketika teringat pada salah seorang
korban keris itu.
Raja Racun Muka Putih
mendengus. Dia sudah tahu, mengapa laki-laki tinggi kurus itu berkata demikian.
"Darah yang diminumnya,
tidak cukup untuk menimbulkan pengaruh sampai seperti itu," selak kakek
bermuka putih itu. "Itulah sebabnya, hanya angin dingin biasa yang
menghembus kulitmu. "
"Jadi, maksud
guru...?"
"Keris itu membutuhkan
darah yang lebih banyak, Brajageni. Dan juga, selama keris itu belum
me-nunjukkan hasil yang diharapkan, jangan dipisahkan dari darah!"
"Memangnya kenapa kalau
dipisahkan, Guru?" tanya Brajageni ingin tahu, meskipun sebenarnya sudah
bisa menduga.
"Kekuatan yang timbul itu
akan kembali lenyap...."
Brajageni mengangguk-anggukkan
kepala. Semua yang dikatakan gurunya benar-benar masuk akal.
"Kesimpulannya..., keris
itu harus direndam dalam darah. Begitu kan, Guru?"
"Tepat!" jawab Raja
Racun Muka Putih cepat. "Dan setelah itu, kita akan membuktikan keampuhan
senjata ini!"
"Kalau begitu, malam ini
juga aku akan mulai bergerak, Guru."
Raja Racun Muka Putih sama
sekali tidak menyahut. Hanya bibir atasnya saja yang bergerak sedikit, pertanda
menanggapi ucapan muridnya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Brajageni segera melesat cepat meningalkan tempat itu.
***
Tong tong, tong...!
Bunyi kentongan terdengar
mengiringi langkah dua orang peronda, yang berjalan mengelilingi wilayah Desa
Pucung. Kedua orang ini tak lain dari Rakapitu dan Gibang.
"Rakapitu..."
Laki-laki bertubuh tinggi
besar itu menoleh.
"Ada apa, Gibang?"
tanya Rakapitu.
Gibang terdiam sesaat, nampak
kalau merasa ragu-ragu untuk berbicara. Karuan saja hal ini mem-buat rekannya
kesal. Untung, sebelum laki-laki tinggi besar itu memuntahkan kekesalannya,
Gibang telah terlebih dulu membuka suara.
"Kau tidak merasa ada
keanehan malam ini, Rakapitu?"
"Kau ini bicara apa,
sih?!" Rakapitu malah balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan kekesalan.
Rupanya, dia tengah tidak mau diganggu.
"Dengar dulu,
Rakapitu," sahut Gibang cepat. "Aku belum selesai bicara!"
Rakapitu pun menghentikan
ucapannya. Tangan-nya yang memegang kentongan kembali bekerja.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan itu terdengar
nyaring menembus kesunyian malam yang mencekam.
"Malam ini perasaanku
tidak enak sekali, Rakapitu," keluh Gibang setelah suara kentongan itu
lenyap. "Bahkan bulu kudukku sampai berdiri."
"Hm.... Lalu?" tanya
Rakapitu dengan suara sumbang, seperti dilanda ketegangan.
Memang sebenarnya, dia sejak
tadi dicekam perasaan tidak enak dan rasa takut yang aneh. Itulah sebabnya,
laki-laki tinggi besar ini jadi agak kesal ketika Gibang membuka pembicaraan
seperti itu. Akibatnya, rasa takutnya semakin besar melanda hatinya.
"Perasaanku..., ada
sesuatu yang akan terjadi..," sambung Gibang pelan, lebih mirip bisikan.
Belum juga laki-laki berwajah
penuh tahi lalat ini menutup mulut, pandangan matanya menangkap adanya sosok
serba hitam tak jauh di depan mereka. Sosok serba hitam itu berjarak sekitar
lima tombak dengan mereka.
Hati Rakapitu dan Gibang
tercekat. Apalagi ketika menyadari kalau kini mereka tengah berada di tempat
yang agak jauh dari rumah-rumah penduduk.
Rakapitu dan Gibang sudah bisa
memperkirakan kalau sosok serba hitam itu mempunyai maksud buruk. Tanpa
ragu-ragu lagi, Gibang segera me-mindahkan obornya ke tangan kiri. Sementara
tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang.
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika
golok itu keluar dari sarung. Sementara Rakapitu masih tetap belum bertindak
apa-apa. Hanya sepasang matanya saja yang menatap sosok serba hitam itu penuh
selidik. Di tangan kanannya tetap tergenggam kentongan. Dalam keremangan sinar
bulan, tampak sosok hitam itu memang berniat menghadang mereka.
Sosok bertubuh tinggi kurus.
Pakaiannya serba hitam. Wajahnya terturup kain hitam mulai dari bawah mata.
Bukan itu saja. Kepalanya pun ter-bungkus sebuah caping bambu. Memang tidak ada
yang menyangka kalau sosok di balik semua itu adalah Brajageni. Namun siapa pun
orangnya, Rakapitu dan Gibang harus bersikap waspada.
"Siapa kau?!" tanya
Gibang agak keras, dengan jantung berdetak kencang. Sikap dan dandanan orang
ini menimbulkan kecurigaan di hatinya.
Namun bukan jawaban yang
didapatkan Gibang. Tapi terjangan! Tanpa berkata-kata lagi, Brajageni segera
melompat. Tangan kanannya yang berbentuk cakar meluncur deras ke arah dada.
Wuuut…!
Angin menderu keras mengiringi
tibanya serangan Brajageni. Jelas, serangannya itu mengandung tenaga dalam
tinggi. Hal ini tidak aneh, karena laki-laki bertubuh tinggi kurus ini telah
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Gibang terkejut bukan main
melihat kecepatan gerak lawannya. Dengan gugup, obor yang dipegang dilemparkan
ke arah tubuh lawan yang tengah menuju ke arahnya.
Brajageni hanya mendengus.
Terpaksa serangan-nya dibatalkan. Dan secepat itu pula tangannya dikibaskan ke
arah obor yang tengah menyambarnya.
Takkk...!
Suara berderak keras terdengar
begitu batang obor itu hancur berkeping-keping.
"Haaat..!"
Gibang berseru keras seraya
melompat menerjang. Golok di tangannya menusuk cepat ke arah perut Brajageni.
Rakapitu pun tak tinggal diam. Maka cepat dipukulnya kentongan berkali-kali.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya
pun terdengar. Dan sehabis memberi tanda, laki-laki tinggi besar ini mencabut
golok untuk membantu rekannya yang tengah menghadapi Brajageni. Golok di
tangannya membabat cepat ke arah leher.
Brajageni geram bukan kepalang
melihat Rakapitu memukul kentongan tanda bahaya. Sudah dapat diperkirakan kalau
tak lama lagi penduduk desa akan berdatangan. Dan dia tidak ingin masih berada
di sini saat para penduduk datang. Bila hal itu terjadi, maka akan banyak penduduk
yang menjadi korban. Brajageni tidak menginginkan hal itu. Malam itu cukup dua
orang saja yang akan dijadikan korban. Sisanya esok malam. Makanya, kini dia
harus bertindak cepat.
Brajageni sama sekali tidak
berusaha mengelak atau menangkis, saat kedua orang lawannya bergerak menyerang.
Sepertinya laki-laki bertubuh kurus itu tidak mempedulikan mereka. Karuan saja
hal ini membuat Rakapitu dan Gibang jadi gembira. Mereka menduga laki-laki
bercaping itu tidak mampu meng-elakkan serangan gabungan yang dilakukan.
Takkk, takkk...!
Dua batang golok itu membalik
ketika mengenai sasaran. Sementara tangan kedua orang penyerang itu bergetar
hebat, sampai-sampai senjata yang di-genggam hampir terlepas dari pegangan.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Brajageni. Tubuhnya cepat menyelinap ke belakang. Dan setibanya di
sana, cepat laksana kilat, kedua tangannya menepuk tengkuk Rakapitu dan Gibang
Gerakan Brajageni cepat bukan
mata. Terdengar suara keluhan lirih, disusul robohnya tubuh kedua orang itu
begitu kedua tangan Brajageni hinggap di sasaran. Rakapitu dan Gibang kontan
pingsan.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Brajageni menyambar mereka sebelum menyentuh tanah. Dan secepat itu pula
laki-laki serba hitam itu melesat kabur dari situ, sambil memanggul tubuh kedua
orang yang akan menjadi korbannya.
Baru saja tubuh Brajageni
lenyap ditelan kegelapan malam, para penduduk Desa Pucung muncul di tempat itu.
Jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang. Di tangan mereka semua
tergenggam sebatang obor, membuat suasana di tempat itu jadi terang-benderang.
Dengan dipimpin empat orang
peronda lain yang tadi berjaga-jaga di pos, para penduduk mencari-cari di
sekitar tempat itu.
"Kau yakin suara
kentongan itu berasal dari sini, Guriang?" tanya salah seorang penduduk yang
berusia setengah baya.
Guriang, yang ternyata adalah
seorang pemuda, langsung menoleh.
"Aku yakin sekali,
Paman," sahut Guriang, mantap.
"Kalau begitu, mari kita
cari di sekitar sini!" seru laki-laki setengah baya itu.
"Hey...!" seru salah
seorang penduduk. Telunjuk tangan kanannya menuding ke tanah.
Seperti mendapat aba-aba,
belasan orang rekannya menoleh ke arah yang ditunjuk, kemudian bergegas
melangkah menghampiri.
Guriang membungkukkan
tubuhnya, memungut dua batang golok. Kemudian diperhatikannya golok itu dengan
seksama.
"Ini golok Rakapitu dan
Gibang," desak Guriang.
"Berarti mereka tadi
berada di sini...," sambut seorang penduduk yang berbibir tebal dan hitam.
"Benar!" sahut
Guriang memberi dukungan. "Mekipun tanda-tandanya sedikit, bisa diketahui
kalau di sini telah terjadi pertarungan...."
"Tapi, ke mana
mereka...?!" tanya seorang penduduk yang bertubuh kecil kurus. Tidak
jelas, kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Dan andaikata ditujukan pun,
orang yang ditanya tidak akan bisa menjawabnya. Mereka semua memang sama-sama
tidak tahu.
"Kita berpencar
mencarinya," lagi-lagi Guriang yang mengambil keputusan cepat. "Kita
memecah diri menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima
orang. Bagaimana? Setuju?!"
"Setuju...!" sahut
belasan orang penduduk serentak.
Guriang tersenyum lebar
melihat sambutan yang menggembirakan itu. Setelah merundingkan kembali, apa-apa
yang hams dilakukan, keempat orang itu pun segera berpencar.
Dua puluh orang penduduk yang
terbagi menjadi empat kelompok mulai menyusuri sekitar daerah itu. Mereka
mencari-cari dengan penuh semangat. Mereka menguak kerimbunan pepohonan dan
semak-semak seraya memanggil-manggil nama kedua orang peronda itu. Tapi, tetap
saja tidak ada tanda-tanda keberadaan Rakapitu dan Gibang.
Akhirnya setelah lama
mencari-cari tanpa hasil, para penduduk putus asa. Kedua kaki mereka telah
lelah sekali. Leher terasa sakit, dan suara pun serak karena terlalu sering
memanggil-manggil. Sedangkan, yang dicari tak kunjung datang.
Satu demi satu kelompok
pencari itu mulai kembali ke pos masing-masing dengan langkah lesu. Mereka
hanya dapat berharap, agar kedua orang itu selamat.
***7
Hari masih pagi di Desa
Pucung. Matahari yang berbentuk bola raksasa baru saja muncul di ufuk Timur.
Warnanya merah jingga. Suasana pagi yang semula sunyi, mendadak dipecahkan oleh
teriakan keras diiringi sesosok tubuh yang berlari terpontangpanting.
Menilik dari pakaiannya, dia
pasti penduduk Desa Pucung. Orang itu terus saja berlari cepat, sekalipun telah
memasuki desa. Tentu saja hal ini menarik perhatian beberapa penduduk lainnya.
"Ada apa, Soma?"
tanya seorang yang rambutnya dikuncir, pada laki-laki berpakaian kuning yang
tengah berlari-lari itu.
Tapi Soma sama sekali tidak
menghiraukannya, dan malah terus saja berlari. Hal ini membuat laki-laki
berkuncir itu penasaran. Segera perhatiannya dialihkan pada orang yang berada
di sebelahnya.
"Ada apa?" tanya
laki-laki berkuncir itu.
Tapi orang yang ditanya juga
hanya meng-gelengkan kepala.
"Sepertinya dia menuju ke
rumah kepala desa," tebak seorang penduduk yang bermata picak.
"Pasti ada sesuatu yang
akan dilaporkannya," sambut laki-laki yang berambut dikuncir.
Karena perasaan ingin tahu,
orang-orang itu pun bergerak mengikuti. Dan memang, apa yang dikata-kan orang
bermata picak itu benar. Soma ternyata menuju rumah kepala desa.
"Ki..! Ki...!" masih
dalam keadaan berlari-lari, dan dalam jarak tak kurang dari lima tombak,
laki-laki berpakaian kuning itu berteriak-teriak memanggil Ki Jayus yang
kebetulan tengah berada di halaman.
Karuan saja hal ini membuat
Kepala Desa Pucung itu terperanjat.
"Ada apa?!" tanya Ki
Jayus ketika Soma telah berada di hadapannya.
"Anu, Ki...." Dengan
terputus-putus karena napas-nya masih memburu, Soma berusaha berbicara.
"Tenanglah dulu,"
ujar Ki Jayus pelan. "Kau tidak akan bisa mengatakannya kalau tidak tenang
dulu."
Laki-laki berpakaian kuning
yang bernama Soma itu terdiam, berusaha menenangkan diri.
"Tarik napas dalam-dalam,
lalu keluarkan," saran Ki Jayus.
Kembali laki-laki setengah
baya itu menuruti anjuran Kepala Desa Pucung itu. Napasnya segera ditarik
dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat. Memang setelah beberapa kali melakukan
hal itu, dia mulai merasa tenang.
"Sekarang, katakanlah.
Mengapa kau bersikap seperti itu?" ujar Ki Jayus penuh wibawa.
"Mereka, Ki. Aku telah
menemukannya," Soma berusaha menjelaskan.
"Mereka siapa?" Ki
Jayus mengerutkan kening. "Bicaralah yang jelas!"
"Rakapitu dan Gibang,
Ki."
"Rakapitu dan
Gibang?!" ulang Ki Jayus lambat-lambat. "Memangnya, ada apa dengan
kedua orang itu?!"
"Jadi..., kau belum
mengetahuinya, Ki?" sekarang malah laki-laki berpakaian kuning itu yang
terheranheran.
"Mengetahui? Mengetahui
apa?!" tanya Ki Jayus, tak mengerti.
"Rakapitu dan Gibang
hilang secara aneh semalam, setelah memukul kentongan tanda bahaya," jelas
laki-laki berpakaian kuning itu.
"Heh?! Mengapa aku tidak
diberi tahu?!" ada nada teguran dalam pertanyaan itu.
"Kami belum sempat
memberitahukanmu, Ki," selak sebuah suara menyahuti, sebelum Soma
menjawab.
Serentak Ki Jayus dan
laki-laki setengah baya menoleh ke arah asal suara. Di sana berdiri Guriang dan
tiga orang lainnya. Mereka berempat adalah yang bertugas ronda semalam.
"Semalam kami ingin
memberitahukanmu, tapi malam sudah terlalu larut. Dan menjelang dini hari, kami
terpaksa mengurungkannya. Maaf, Ki. Kami tidak ingin mengganggumu," jelas
Guriang mewakili rekan-rekannya.
"Hm...," hanya
gumaman tak jelas yang menyam-buti ucapan pemuda bertubuh kekar itu.
"Rencananya, pagi ini kami
akan memberitahumu. Sekalian meneruskan pencarian. Tapi, rupanya kami sudah
didahului Kakang Soma."
"Aku telah menemukan
mereka, Guriang," jelas Soma.
"Aku telah mendengarnya
tadi, Kang," sahut Guriang. "Bagaimana keadaan mereka?"
"Tidak ada harapan sama
sekali," sahut Soma bernada mengeluh.
"Jadi...?" suara
Guriang tercekat di tenggorokan.
"Ya," Soma
menganggukkan kepala. "Mereka tewas."
"Ya, Tuhan...!"
hampir berbareng, semua mulut berseru.
"Mari kita ke
sana...!" ajak Ki Jayus yang terlebih dulu sadar dari kesedihannya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, keenam orang itu segera meninggalkan tempat itu, menuju tempat Rakapitu
dan Gibang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Di tengah perjalanan mereka
bertemu rombongan penduduk yang bermaksud menyusul Soma. Dan begitu para
penduduk itu mengetahui maksud rombongan kecil itu, mereka juga ikut
meng-gabungkan diri.
Semakin lama rombongan itu
semakin banyak jumlahnya. Dan menjelang mulut desa, Dewa Arak dan Wikalpa yang
kebetulan ada di situ segera meng-gabungkan diri. Suara riuh seperti ada
serombongan lebah marah terdengar ketika para penduduk ber-bicara satu sama
lain.
Soma bertindak sebagai
penunjuk jalan, mem-bawa rombongan penduduk ini menuju Hutan Dadap.
"Bagaimana kau bisa
menemukannya, Soma?" tanya Guriang. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Maklum, semalam dia bersama rekan-rekannya telah mencari-cari sampai semalam
suntuk, tapi tanpa hasil.
"Aku pun menemukannya
secara tidak sengaja, Guriang. Kau tahu kan, aku selalu mencari kayu bakar, di
hutan ini. Dan secara tidak sengaja aku melihat mayat mereka. Mengerikan!"
Setelah berkata demikian, Soma
bergidik. Namun, Guriang tidak menanggapi. Sehingga laki-laki setengah baya itu
pun menghentikan ucapannya.
Tak lama kemudian rombongan
penduduk Desa Pucung ini telah memasuki Hutan Dadap. Soma terus berjalan di
depan, sampai akhirnya tiba di depan sebatang pohon yang di sekitarnya terdapat
semaksemak.
"Di situlah mayat mereka
kutemukan," tunjuk laki-laki berpakaian kuning itu memberi tahu. Telunjuk
tangan kanannya menuding ke arah pohon dan semak-semak.
Guriang dan tiga orang
rekannya segera melangkah maju, lalu menguak kerimbunan semak-semak. Sementara
yang lainnya menunggu di tempat.
"Ah...!"
Terdengar jerit pelan bernada
keluhan. Sesaat kemudian, keempat orang itu bergerak terhuyung-huyung keluar
kerimbunan. Wajah mereka tampak pucat pasi.
"Guriang! Ada
apa...?!" tanya Ki Jayus tak sabar. "Mengapa mayat mereka tidak
dibawa keluar?!"
Tapi Guriang sama sekali tidak
menyahuti per-tanyaan Kepala Desa Pucung itu. Tampak jelas kalau dia masih
dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Melihat hal ini, Wikalpa jadi
tidak sabar lagi. Segera kakinya melangkah, memasuki kerimbunan semak-semak
itu.
Kini para penduduk kembali
menanti, dengan perasaan tegang. Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi lagi.
Tapi, tidak terdengar suara keluhan sedikit pun dari dalam kerimbunan
semak-semak itu. Bahkan tak lama kemudian, laki-laki berkumis jarang-jarang itu
telah keluar dari kerimbunan semak-semak. Di bahu kanan kirinya sudah
terpanggul dua sosok tubuh.
Dengan wajah tenang, Wikalpa
menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Memang yang dikatakan Soma benar, bahwa dua
sosok mayat itu adalah Rakapitu dan Gibang. Tapi, keadaan mereka benar-benar
mengerikan. Kepala hampir terlepas dari leher, sedangkan tubuhnya kurus kering
dan pucat seolah-olah tak ada darah setetes pun di tubuh mereka.
Bukan itu saja. Sekujur tubuh
mereka juga penuh luka sayatan. Bahkan pakaian kedua orang itu compang-camping.
Arya mengerutkan alisnya.
Kembali Dewa Arak melihat mayat-mayat dengan luka-luka yang sama dengan yang
pernah ditemukannya. Apakah ada makhluk peminum darah yang berkeliaran di desa
ini?
"Keparat...!" Ki
Jayus, Kepala Desa Pucung itu menggertakkan gigi begitu melihat mayat kedua
orang warganya. "Iblis mana yang telah melakukan semua ini?!"
Tapi tidak ada satu pun
warganya yang menjawab pertanyaan itu. Mereka semua sama menundukkan kepala.
"Guriang...! Bagaimana
ini bisa terjadi?! Bukankah Rakapitu dan Gibang bertugas bersamamu?"
Guriang mengangkat kepala,
menatap sebentar wajah Ki Jayus.
"Maafkan aku, Ki,"
pinta Guriang. "Waktu peristiwa itu terjadi, aku tidak berada bersama
mereka."
"Hm.... Lalu, kau berada
di mana?!" sentak Ki Jayus.
"Aku dan yang lain berada
di gardu jaga, Ki. Sementara Rakapitu dan Gibang berkeliling."
"Hm...," hanya
gumaman pelan yang keluar dari mulut Kepala Desa Pucung itu.
"Ki...," sapa Arya
begitu mendapat kesempatan.
"Ada apa, Arya?"
tanya Ki Jayus seraya menoleh ke arah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apakah ini adalah
kejadian yang baru pertama kali?" tanya Arya ingin tahu.
"Tidak, Arya," Ki
Jayus menggelengkan kepala. "Ini adalah kejadian yang kedua kalinya.
Kejadian pertama telah menimpa Empu Sawung."
Dewa Arak menganggukkan
kepala. Jadi, ini adalah kejadian ketiga kalinya yang dilihat Arya. Yang kedua
adalah sosok hitam yang kemudian dikuburkannya.
"Keadaan mayat mereka
mengerikan sekali, Ki," kata Arya lagi. "Sepertinya darah di seluruh
tubuh mereka habis! Apa mungkin di desa ini ada makhluk peminum darah?"
Ki Jayus mengangkat bahu.
"Aku sama sekali tidak
tahu, Arya. Tapi yang jelas, aku belum pernah mendengarnya."
Dewa Arak terdiam.
"Nanti malam penjagaan
harap lebih ditingkatkan. Kalian semua harus bersikap waspada. Begitu melihat
gelagat mencurigakan, lekas pukul kentongan secepatnya," ujar Ki Jayus
pada Guriang.
"Baik, Ki," semua
kepala terangguk pelan.
"Bagus! Sekarang mari
kita kembali, mengurus mayat kedua orang ini dulu," ujar Ki Jayus lagi.
Sesaat kemudian, rombongan penduduk
Desa Pucung itu pun bergerak meninggalkan Hutan Dadap.
***
Malam itu suasana terasa lebih
menyeramkan. Kematian demi kematian yang datang susul-menyusul, benar-benar
membuat Desa Pucung geger. Para penduduknya kini dicekam rasa ketakutan. Mereka
khawatir, kalau pembunuh misterius itu akan mendatangi mereka.
Tong, tong, tong…!
Suara kentongan terdengar
mengusik keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan sabit di langit.
Guriang dan ketiga orang kawannya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masing-masing
mengawasi arah yang berlainan.
"Hei...!" seru
Guriang kaget. Mendadak saja, sesosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus
tampak melesat cepat ke arahnya. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang
bertugas mengawasi belakang. "Cepat menyingkir...!"
Seraya berseru demildan,
Guriang melompat ke samping, dan membuang tubuhnya ke tanah. Begitu juga ketiga
orang kawannya. Maka serangan sosok hitam itu hanya mengenai tempat kosong.
"Cepat pukul
kentongan...!" teriak Guriang keras seraya melompat menyerang sosok hitam
itu. Golok di tangannya membabat cepat ke arah leher sosok bercaping itu.
"Hmh...!"
Sosok hitam yang jika dibuka
selubung kain hitamnya adalah Brajageni, hanya mendengus. Tangan kirinya
bergerak cepat ke arah golok yang menyambarnya.
Tappp…!
Guriang terbelalak kaget
ketika goloknya dapat dicengkeram lawan. Dan sekali Brajageni bergerak
membetot, kontan tubuh pemuda pendek kekar ini terhuyung ke depan. Di saat
itulah telunjuk kanan laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat ke arah dada.
Tidak ada pilihan lagi bagi
Guriang, kecuali melepaskan goloknya dan melempar tubuh ke belakang. Maka,
serangan Brajageni hanya mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama, salah
seorang peronda telah memukul kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya
terdengar keras menguak keheningan malam sepi.
Brajageni menggertakkan gigi.
Sayang, dia harus berusaha keras agar calon korbannya tidak mati. Korbannya
harus dibawa dalam keadaan hidup kalau ingin darah itu berguna untuk kerisnya.
Dengan perasaan geram,
Brajageni melompat menyerang. Laki-laki tinggi kurus ini tahu, kalau dia harus
bertindak cepat. Masalahnya, orang-orang pasti akan berkumpul di sini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi,
segera dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Betapapun Guriang dan
ketiga orang kawannya telah mengerahkan seluruh kemampuan, namun dalam dua
gebrakan saja, laki-laki tinggi kurus ini telah berhasil menotok lemas dua
orang lawannya.
Dan secepat kedua orang itu
roboh, secepat itu pula Brajageni memanggulnya. Kemudian, laki-laki tinggi
kurus itu membawanya kabur.
Di saat itulah, melesat
sesosok bayangan ungu. Dan dengan gerakan indah dan manis, sosok bayangan itu
bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap di hadapan Brajageni.
"Mau lari ke mana,
Penjahat Keji?!" bentak sosok ungu yang tak lain dari Dewa Arak. Sepasang
mata pemuda berambut putih keperakan itu merayapi sekujur tubuh laki-laki
bercaping.
Brajageni tercenung bingung.
Dia kini tengah memanggul tubuh dua orang korbannya. Lalu, bagaimana mungkin
melawan Dewa Arak? Di saat laki-laki bertubuh tinggi kurus ini kebingungan,
sesosok bayangan merah tiba-tiba menerjang dari udara ke arah Dewa Arak dengan
serangan totokan-totokan jari tangan terbuka lurus ke arah ubun-ubun dan
pelipis.
Arya terperanjat. Sama sekali
tidak disangka akan mendapat serangan mendadak dan dahsyat begitu. Tanpa pikir
panjang lagi, pemuda berambut putih keperakan itu membalikkan tubuh dan
menggerak-kan tangan menangkis.
Plak, plak, plak...!
Terdengar benturan keras seperti
dua batang logam beradu ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan.
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh
Dewa Arak terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangan-nya terasa bergetar
hebat. Sementara sosok bayangan merah itu terpental balik ke atas.
Arya terkejut. Disadari kalau
penyerangnya memiliki tenaga dalam amat kuat. Tenaga sosok bayangan merah itu
tidak kalah dengan tenaganya sendiri.
Sebenarnya, bukan hanya Dewa
Arak saja yang terkejut. Ternyata sosok bayangan merah itu pun dilanda perasaan
yang sama. Dan dengan gerakan indah dan manis, kakinya mendarat di tanah.
Brajageni tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dia tahu kalau sosok bayangan merah itu adalah gurunya yang
berjuluk Raja Racun Muka Putih. Maka tanpa pikir panjang lagi, laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini melesat kabur.
"Hey...!" seru Arya
keras seraya melesat memburu.
Tapi sebelum maksud Dewa Arak
terlaksana, sesosok bayangan merah telah berkelebat cepat dan tahu-tahu telah
berada di hadapannya. Mau tak mau Arya terpaksa mengurungkan niatnya untuk
mengejar Brajageni. Sosok bayangan merah di hadapannya ini memang seorang lawan
yang amat tangguh.
Dalam keremangan malam yang
hanya diterangi cahaya bulan, Dewa Arak menatap penyerangnya. Dia adalah
seorang kakek bertubuh sedang, berpakaian serba merah. Kumis dan jenggotnya
berwarna hitam. Sangat pas sekali dengan kulit wajahnya yang putih seperti
kapur. Kulit wajahnya yang putih, nampak terlihat jelas dalam suasana malam
kelam.
"Ha ha ha...!" Raja
Racun Muka Putih tertawa keras sekali. Bahkan bagai menggelegar seperti guntur.
Jelas kalau tawanya disertai pengerahan tenaga dalam.
Dan akibatnya sungguh hebat.
Guriang dan seorang temannya yang masih berada di situ seketika terjungkal
jatuh. Dari mulut, hidung, dan telinga kedua orang itu mengalir darah segar.
Yang pasti, mereka tewas seketika dengan dada pecah.
Arya kaget bukan main,
merasakan pengaruh suara tawa itu. Dadanya tergetar hebat dan telinganya pun
berdengung keras. Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk menahan serangan
tawa Raja Racun Muka Putih.
Belasan orang penduduk yang
berdatangan, dan berada dalam jarak yang cukup jauh pun mengalami akibat yang
serupa. Tubuh mereka terjungkal, lalu buru-buru mendekapkan kedua tangan ke telinga
dalam usaha menahan serangan suara tawa itu.
Meskipun tidak melihat, Arya
tahu apa yang dialami para penduduk itu. Dan kalau dibiarkan, mereka semua akan
tewas. Maka pemuda berambut putih keperakan ini segera menghentakkan kedua
tangannya ke arah lawan menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar ke arah Raja Racun Muka Putih. Seketika tokoh sesat yang
menggiriskan ini terperanjat, mengenali serangan berbahaya itu. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera dilempar ke samping dan bergulingan
di tanah. Dengan sendirinya, suara tawanya pun terhenti.
Tanpa diduga, begitu kakek
bermuka putih ini bangkit dari berguling, tubuhnya langsung melesat ke arah
kerumunan penduduk yang tadi terjungkal di tanah sambil mendekap telinga. Dan
sekali tangan kakek ini terulur, dua sosok tubuh telah berada dalam
panggulannya.
Tentu saja Dewa Arak tidak
membiarkan begitu saja. Cepat laksana kilat tubuhnya melompat mem-buru. Tapi,
rupanya hal itu sudah diperhitungkan Raja Racun Muka Putih. Tangan kanannya
yang bebas langsung dikibaskan. Maka sekumpulan benda-benda berbentuk serbuk
berbau amis memuakkan, meluncur ke arah Arya.
Pemuda berambut putih
keperakan ini tidak punya pilihan lagi, kecuali cepat melompat ke samping dan
bergulingan di tanah. Untunglah taburan serbuk beracun dari lawannya mengenai
tempat kosong.
Raja Racun Muka Putih memang
tidak bermaksud sungguh-sungguh menyerang. Serangan itu ternyata dimaksudkan
hanya untuk mencegah usaha Dewa Arak menghalangi kepergiannya. Maka begitu Arya
mengelak, kesempatan ini segera dipergunakannya. Tubuhnya melesat cepat bagai
kilat. Dan dalam sekejapan saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan
pepohonan di tengah kegelapan malam.
***8
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat, dan sama sekali tidak mengejar. Dia merasa, hal itu sama sekali tidak
ada gunanya. Maka bergegas perhatiannya dialihkan pada para penduduk desa yang
masih terduduk di tanah.
"Mana Ki Jayus dan
Wikalpa?" tanya Arya, setelah tidak melihat adanya kedua orang itu dalam
kerumunan penduduk.
Tidak ada satu pun penduduk
yang menyahut.
"Aneh...," gumam
Dewa Arak pelan. "Kedua orang itu tidak pernah ada setiap kali terjadi
pembunuhan seperti ini."
"Kau menduga, mereka
pelakunya, Dewa Arak?" tanya Soma begitu mendengar nada suara Arya.
"Tidak sampai sejauh itu.
Aku hanya agak curiga saja. Ketidakhadiran merekalah yang membuatku curiga.
Apalagi ciri-ciri kedua orang itu mirip sosok hitam bercaping," sahut Arya
tidak berani menduga sembarangan. "Tapi yang membuatku ragu, mengapa
sampai kedua-duanya tidak hadir pada setiap kejadian."
"Jadi, salah satu di
antara mereka kau curigai sebagai pelakunya, Dewa Arak?" desak Soma lagi.
Perlahan kepala Arya
mengangguk.
"Andaikata benar, siapa
di antara kedua orang itu yang lebih kau curigai?" tanya Soma ingin tahu.
"Ki Jayus," kata
Arya pelan.
"Hm...! Mengapa bukan
Wikalpa, Dewa Arak?!" Soma terkejut. "Aku lebih condong
padanya."
"Mengapa?" tanya
Arya ingin tahu.
"Gerak-geriknya kasar.
Dan lagi, pakaiannya pun cocok dengan orang tadi," sahut laki-laki
berpakaian kuning memberi alasan.
"Aku lebih condong pada
Ki Jayus," pelan suara Dewa Arak.
"Apa dasarnya hingga kau
menuduh begitu?" kejar Soma. Rasa penasarannya terdengar jelas dalam
suaranya.
Arya menarik napas dalam-dalam
dan meng-hembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab per-tanyaan itu.
"Seorang pembunuh yang
tidak ingin dikenali, dengan sendirinya berusaha menyamarkan diri. Wikalpa
terlalu menonjol sikap kasarnya. Juga pakaiannya. Jadi, itulah sebabnya aku
lebih condong pada Ki Jayus," urai Dewa Arak panjang lebar.
Soma kontan terdiam, kemudian
bangkit berdiri. Sikapnya diikuti penduduk lainnya. Mereka juga tak lupa
membawa mayat Guriang dan rekannya.
Arya pun melangkah di belakang
mereka. Menjelang tembok batas desa, tampak sosok ber-pakaian putih
berlari-lari menyambut. Sosok itu bertubuh tinggi kurus.
Baik Dewa Arak maupun penduduk
Desa Pucung segera mengetahui, siapa adanya sosok berpakaian putih itu.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, namun potongan tubuh sosok itu sangat
dikenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Jayus!
Dugaan mereka memang tidak
salah! Laki-laki berpakaian putih itu memang Ki Jayus, Kepala Desa Pucung.
Seketika jantung Dewa Arak dan Soma berdebar tegang, karena teringat akan
pembicaraan tadi.
Begitu telah berada dekat
mereka, tanpa mem-pedulikan yang lain, Ki Jayus berlari mendekati Dewa Arak.
Kemudian ditariknya tangan Dewa Arak, men-jauhkannya dari rombongan penduduk
"Kalian berangkat lebih
dulu...!" seru Ki Jayus pada para penduduk yang menghentikan langkah, dan
baru kembali berjalan setelah mendengar perintah itu.
Setelah rombongan penduduk itu
melangkah pergi, Ki Jayus menarik tangan Arya melangkah me-ninggalkan tempat
itu. Mereka menuju arah yang berlawanan.
"Ada apa, Ki?" tanya
Arya.
Teringat akan dugaannya,
membuat pemuda berambut putih keperakan ini bersikap waspada.
Ki Jayus tidak langsung
menjawab, tapi terus saja melangkah. Arya yang merasa penasaran terpaksa
mengikuti, meskipun kini tangannya tidak dituntun seperti tadi.
"Aku telah mengetahui
tempat persembunyian orang bercaping itu, Arya," jelas Kepala Desa Pucung
pelan seraya menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil tetap melangkah.
Jelas kalau Ki Jayus tidak ingin ada orang lain yang mendengar ucapannya.
"Benarkah apa yang kau
katakan itu, Ki?" tanya Arya meminta ketegasan, seraya ikut melangkah di
sebelah Kepala Desa Pucung itu.
Ki Jayus menatap Arya
tajam-tajam.
"Kau tidak mempercayaiku,
Arya?" tanya laki-laki berpakaian putih itu. Ada nada ketidaksenangan
dalam suaranya.
"Bukannya tidak percaya,
Ki," sahut Arya mengelak. "Tapi merasa ragu...."
"Apa yang membuatmu ragu,
Arya?" selak Ki Jayus ingin tahu.
"Dari mana kau mengetahui
tempat tinggal orang bercaping itu, Ki?"
"Diam-diam aku mengikutinya,"
sahut laki-laki berpakaian putih itu.
Dewa Arak menoleh. Menatap
wajah Ki Jayus tanpa berkata-kata.
"Begitu mendengar suara
kentongan tadi, aku segera menuju ke sana. Tapi, kulihat kau tengah bertempur
menghadapi seorang kakek berpakaian merah. Sementara orang bercaping hitam
kulihat melarikan diri sambil membawa dua orang wargaku. Semula aku
kebingungan, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengikuti orang bercaping itu.
Ternyata usaha-ku tidak sia-sia, karena aku berhasil mengetahui
sarangnya," jelas laki-laki berpakaian putih panjang lebar.
Arya tercenung mendengar
uraian panjang lebar Ki Jayus. Hatinya jadi ragu dengan dugaannya semula.
Kalau apa yang di katakan
Kepala Desa Pucung ini benar, berarti orang bercaping itu adalah Wikalpa!
Sementara, dugaan kalau orang bercaping adalah Ki Jayus kontan menguap. Memang,
rasanya tidak mungkin kalau Kepala Desa Pucung ini pelakunya. Benar kata Soma.
Pasti pembunuh biadab itu adalah Wikalpa!
"Sekarang apa rencanamu,
Ki?"
"Kita serbu sarang
mereka...!" sahut Ki Jayus. Tegas dan mantap kata-katanya.
"Sekarang, Ki?"
tanya Arya memastikan.
Ki Jayus menggelengkan kepala.
"Besok," jawab
laki-laki berpakaian putih itu.
***
Hari masih pagi. Angin yang
sejuk dan dingin berhembus pelan, terasa nikmat sampai ke dalam dada. Tampak
dua sosok tubuh melangkah pelan memasuki Hutan Dadap.
Dua sosok itu adalah Dewa Arak
dan Ki Jayus.
"Ki...," ucap Arya
memecah keheningan pagi.
"Hm...," hanya gumam
pelan Ki Jayus yang menyambuti sapaan Arya.
"Apakah kau sanggup
menghadapi orang ber-caping itu?" tanya Arya ragu-ragu.
"Aku tidak berani
memastikannya, Arya," jawab laki-laki berpakaian putih bernada memutar.
Dewa Arak terdiam, tidak
berkata-kata lagi. Dan karena Ki Jayus juga tidak berkata-kata lagi, suasana
pun jadi hening. Kini yang terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan dan
semak-semak kering yang terpijak kaki-kaki mereka.
Mendadak Arya mengernyitkan
keningnya. Pen-dengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah perlahan
dan ringan di belakangnya. Tapi, dia berpura-pura tidak tahu, dan terus saja
melangkah. Hanya saja, Dewa Arak mulai bersikap waspada, bersiap-siap
menghadapi serangan mendadak.
"Masih jauhkah tempat
itu, Ki?" tanya Arya lagi ketika mereka telah semakin jauh masuk ke dalam
hutan.
Tidak ada sahutan yang
menyambuti pertanyaan Dewa Arak. Karuan saja hal itu mengherankan hati Arya.
Apalagi ketika beberapa saat menunggu, juga tak terdengar sahutan.
"Hih...!"
Mendadak Ki Jayus mendoyongkan
tubuh ke kanan sambil mengirimkan kibasan tangan kiri ke arah pelipis Arya.
Karuan saja hal ini membuat pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. Sama
sekali tidak disangka kalau akan mendapat serangan maut yang dilakukan dalam
jarak dekat dan tiba-tiba sekali.
Tapi Dewa Arak adalah tokoh
berkepandaian tinggi, yang telah kenyang bertempur menghadapi tokoh-tokoh licik
dan menggiriskan. Sudah tak ter-hitung lagi ancaman maut dan serangan mendadak
yang dihadapinya.
Maka meskipun berada dalam
keadaan gawat seperti itu, Dewa Arak masih mampu menyelamatkan diri. Cepat-cepat
tubuhnya didoyongkan ke kiri, sehingga kibasan itu mengenai tempat kosong.
Hanya berjarak sekitar tiga jari dari sasaran semula.
Menilik dari rambut dan
pakaian Arya yang ber-kibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
yang terkandung dalam serangan itu.
Belum juga Dewa Arak berbuat
sesuatu, Ki Jayus telah melancarkan serangan susulan. Laki-laki ber-pakaian
putih ini mengirimkan tendangan miring ke arah pelipis, sambil memutar tubuh.
Arya tetap bersikap tenang,
karena sudah tidak berada dalam keadaan berbahaya lagi. Namun demikian, dia
masih berada dalam keadaan terdesak. Tanpa ragu-ragu, segera ditangkisnya
serangan lawan dengan tangan kanan.
Plakkk...!
Ki Jayus memekik tertahan.
Tubuh laki-laki ini terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak
hanya merasakan tangan yang ber-benturan dengan kaki Kepala Desa Pucung itu
bergetar. Dan hebatnya, kuda-kudanya sama sekali tidak bergeming.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa
terbahak-bahak mengan-dung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sesaat kemudian, di
belakang Ki Jayus telah berdiri Raja Racun Muka Putih.
"Ini milikmu,
Brajageni...!" kata Raja Racun Muka Putih seraya menyerahkan sebilah keris
kepada Ki Jayus. Laki-laki berpakaian putih itu langsung menerimanya.
"Brajageni?!" ulang
Dewa Arak.
"Ha ha ha...!" Raja
Racun Muka Putih tertawa bergelak. "Brajageni tunjukkanlah padanya siapa
dirimu."
"Baik, Guru," sahut
Ki Jayus yang ternyata adalah Brajageni. Kemudian laki-laki berpakaian putih
ini menyelinap ke balik rerimbunan pohon.
Begitu tubuh Kepala Desa
Pucung itu lenyap di balik kerimbunan pepohonan, Arya kembali meng-alihkan
perhatian pada Raja Racun Muka Putih. Kakek berpakaian merah itu juga balas
menatap, tak kalah tajam.
Tapi sebelum kedua orang ini
berbuat sesuatu, terdengar bentakan keras.
"Mau kabur ke mana lagi
kau, Raja Racun...?!"
Berbareng dengan lenyapnya
bentakan itu, tiba-tiba di dekat Arya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh
tinggi kurus.
"Wikalpa...," desis
Arya.
"Malaikat
Halilintar...," desah Raja Racun Muka Putih. Ada nada kegentaran dalam
nada suaranya. Sepasang matanya menatap penuh rasa tak percaya pada sosok yang
berdiri di hadapannya.
"Malaikat
Halilintar...?" desis Arya tak percaya.
Dewa Arak memang pernah
mendengar julukan itu. Memang, Malaikat Halilintar adalah seorang pendekar yang
terkenal memiliki kepandaian amat tinggi. Hanya sayangnya, dia telah
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sungguh tidak disangka kalau tokoh itu
tiba-tiba ada di sini. Kini Dewa Arak tahu, langkah ringan yang tadi
didengarnya adalah langkah kaki Malaikat Halilintar.
"Uruslah pembunuh itu,
Arya," ujar Wikalpa alias Malaikat Halilintar. "Biar aku yang
mengurus orang ini."
Dewa Arak tidak membantah.
Bergegas disusulnya Brajageni, alias Ki Jayus. Dan kedatangannya ber-tepatan
dengan selesainya laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berganti pakaian.
Brajageni terperanjat, namun
sekejap kemudian, sudah bisa menguasai diri. Sambil berteriak keras, laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini menghunus kerisnya.
Srattt..!
Bulu tengkuk Dewa Arak
meremang ketika melihat keris yang digenggam Brajageni, karena memiliki perbawa
yang begitu menggiriskan. Jantung Arya berdetak keras tanpa mampu menahannya.
Ada hawa dingin yang memancar dari bilah keris itu.
Tahu akan keampuhan keris
lawan, Dewa Arak tidak berani bersikap main-main lagi. Cepat-cepat guci araknya
diangkat, lalu dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya.
Baru saja Dewa Arak menurunkan
guci itu, Brajageni sudah melompat menerjang. Keris di tangannya ditusukkan
cepat ke arah leher Arya.
Dewa Arak terperanjat kaget,
merasakan hawa dingin yang amat sangat menyambar sebelum serangan-serangan
keris itu tiba. Hawa dingin itu membuat sekujur otot-otot tubuh Dewa Arak kaku
seperti tak bisa digerakkan. Bahkan giginya pun bergemeletukan.
Begitu serangan itu menyambar
dekat, hawa dingin yang menyerang Dewa Arak semakin menjadi-jadi. Buru-buru
Arya mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya untuk menghilangkan
pengaruh hawa dingin yang membuatnya sukar bergerak!
Untung Dewa Arak bertindak
cepat. Kalau tidak, mungkin sudah tersambar keris Brajageni karena otot-ototnya
mendadak kaku. Berkat ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari', pemuda berambut putih
keperakan itu mampu menggerakkan ototnya kembali, meskipun masih kaku.
Berbeda dengan biasanya, kali
ini Arya tidak berani, mengelak tanpa berpindah tempat. Apalagi tanpa berpindah
kaki! Dewa Arak mengelak sejauh-jauhnya, dengan melempar tubuh ke belakang. Dia
bersalto beberapa kali di tanah, kemudian hinggap dengan agak terhuyung karena
kekakuan yang melanda otot-ototnya.
Sesaat kemudian, pertarungan
sengit yang tidak menarik pun terjadi. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Dewa
Arak mengalami kesulitan me-mainkan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Ilmu 'Belalang Sakti' adalah
ilmu yang meng-andalkan kelenturan otot. Tenaga yang terkandung dalam setiap
serangan ilmu 'Belalang Sakti', adalah pengerahan tenaga yang teratur dan
tiba-tiba. Jadi perubahan yang mendadak seperti yang dialami Dewa Arak ini
sungguh menyulitkannya dalam menguasai ilmu 'Belalang Sakti'.
Dan kali ini, Dewa Arak
seperti tidak bisa meng-gunakan ilmu. 'Belalang Sakti' dengan sempurna.
Gerakannya kaku dari patah-patah. Menyerang pun kelihatannya hampir tidak
pernah. Arya selalu mengajak lawan agar bertarung jarak jauh. Ini dilakukan
agar pengaruh keris tidak terlalu menekannya. Beberapa kali Dewa Arak menyerang
lawan dengan semburan araknya. Hebatnya, berkat tenaga dalamnya yang telah
terlatih baik, semburan arak itu tak kalah dengan serangan senjata rahasia
lainnya! Bila terkena, mampu merobek pakaian dan menembus daging!
Menggiriskan sekali akibat
pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak dan Brajageni. Suasana di sekitar
arena pertarungan diliputi hawa dingin menusuk tulang. Sementara dari atas
kepala Arya, mengepul uap berwarna putih tebal. Ini karena Dewa Arak
mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari' untuk mengurangi kekakuan yang
melanda ototototnya.
"Haaat..!"
Brajageni yang merasa di atas
angin melompat menerjang. Dan dari atas, kerisnya ditusukkan ke arah ubun-ubun
Arya.
Kali ini Arya tidak
mengelakkan serangan. Dia, memekik keras seraya mengerahkan seluruh tenaga
dalam. Dan bersamaan dengan itu, gucinya segera disampirkan di punggung. Lalu,
kedua tangannya dihentakkan ke depan. Maka, angin keras berhawa panas menyengat
seketika berhembus keras ke arah laki-laki bercaping itu. Memang, Dewa Arak
mengerahkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Hebat serangan beruntun yang
dilakukan Dewa Arak. Akibat teriakan yang dikeluarkannya, tubuh Brajageni yang
tengah di udara, kontan menggeliat. Tangan kanannya yang memegang keris nampak
menggigil. Dada laki-laki bertubuh tinggi kurus ini terguncang hebat, dan
telinganya pun terasa sakit bukan main.
Di saat itulah serangan jurus
'Pukulan Belalang' Dewa Arak tiba, telak dan keras sekali menghantam dadanya.
Seketika itu juga tubuh Brajageni terlempar jauh ke belakang, dan kerisnya pun
terlepas dari pegangan, terlempar entah ke mana. Dari mulut, hidung, dan telinganya,
mengalir darah segar. Sekujur tubuhnya pun hangus. Brajageni tewas seketika
sebelum sempat menyentuh tanah.
Brukkk...!
Dengan mengeluarkan suara
berdebuk keras, tubuh laki-laki tinggi kurus itu jatuh ke tanah.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega,
kemudian mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung tangan. Ketika
mata Dewa Arak melihat keris Brajageni yang terjatuh tadi, dia lalu
memungutnya. Kemudian dimasukkan ke dalam sarungnya. Maka kini keris yang telah
banyak meminta korban itu diselipkan di pinggangnya. Terpaksa Arya mengambil
keris yang menggiriskan itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggung jawab. Telah dirasa-kannya sendiri kemukjizatan keris itu. Dia
me-mutuskan untuk menyimpannya di tempat yang aman.
"Sebuah pukulan jarak
jauh yang ampuh...."
Tentu saja ucapan itu membuat
Arya terperanjat. Cepat dia menoleh ke arah asal suara, dan tampak Malaikat
Halilintar tengah memandangnya takjub.
"Ah! Kau terlalu memuji,
Ki," sahut Arya malu-malu. "O, ya. Bagaimana dengan Raja
Racun...?"
"Hhh...!" Malaikat
Halilintar menghela napas berat. Diliriknya sebentar pinggang Arya. Memang
laki-laki tinggi kurus ini melihat pemuda berpakaian ungu itu menyelipkan
keris. Tapi karena dia sendiri tengah dilibat masalah, hal itu tidak
dipedulikannya. "Dia kabur."
"Kabur?"
"Benar! Dia telah
melemparkan sebuah benda kepadaku, kemudian meledak. Dan dari situ, keluar asap
hitam beracun. Di saat itulah dia kabur tanpa aku dapat berbuat apa-apa."
"Kalau boleh kutahu, ada
urusan apakah antara kau dengannya, Ki?" tanya Arya hati-hati.
"Dia membunuh muridku.
Maka aku harus mencarinya, untuk membalaskan dendam. Setelah bertemu, kami
bertarung, dan dia berhasil ku-kalahkan. Tapi sayang, dia berhasil melarikan
diri dan bersembunyi. Bertahun-tahun aku berusaha men-carinya. Sampai akhirnya,
kulihat muridnya di Desa Pucung. Aku pun lalu tinggal di sini, berpura-pura
menjadi guru silat untuk anak-anak kecil."
Malaikat Halilintar
menghentikan ceritanya sejenak.
"Dan akhirnya usahaku
tidak sia-sia. Aku berhasil bertemu dengannya, hanya sayang... Dia berhasil
kabur...."
"Lalu, mengapa waktu itu
kau sepertinya tidak menyukai kedatanganku, Ki?" tanya Arya begitu
teringat sikap laki-laki bertubuh tinggi kurus ini padanya.
"Aku khawatir, kau mengganggu
usahaku. Takutnya pencarianku selama bertahun-tahun akan siasia."
Mendadak Malaikat Halilintar
menghentikan ucapannya, lalu menoleh. Dewa Arak pun bersikap demikian. Mereka
mendengar banyak langkah kaki menuju ke arah mereka yang ternyata penduduk Desa
Pucung.
"Aku pergi dulu, Dewa
Arak. Aku harus mencari si keparat itu...!"
Setelah berkata demikian,
Malaikat Halilintar melesat meninggalkan tempat itu.
Arya menatap tubuh laki-laki
tinggi kurus itu sebentar, kemudian menatap ke arah penduduk desa. Para
penduduk memang tahu kalau dia dan Ki Jayus pergi untuk menumpas pembunuh kejam
itu.
Setelah menatap tubuh
Brajageni sesaat, Dewa Arak kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Angin
yang tidak lagi dingin menggigilkan, meniup kulit pemuda berambut putih
keperakan itu.
SELESAI