34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan
1
Angin berhembus agak keras,
dan sudah tidak terasa sejuk lagi di kulit. Sehingga, membuat rambut sepasang
anak muda yang sama-sama berwajah menawan menjadi berkibaran dipermainkan
angin. Mereka memang tengah melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan setapak
yang di kiri kanannya ditumbuhi pepohonan besar dan semak belukar. Memang, saat
ini matahari sudah sejak tadi muncul di langit.
Yang seorang mengenakan
pakaian ungu. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan kokoh. Tubuhnya
tegap berisi. Usianya bisa diperkirakan
tak akan lebih dari dua puluh dua tahun. Tapi anehnya, rambutnya berwama
putih! Warna rambut yang hanya layak dimiliki orang yang telah berusia lanjut.
Sebuah guci arak terbuat dari perak tampak menggantung di punggungnya.
Ciri-ciri siapa lagi dalam rimba persilatan, kalau bukan tokoh yang bernama
Arya Buana alias Dewa Arak!
Sedangkan gadis berpakaian
putih yang berjalan bersamanya, sudah tentu Melati. Dia adalah putri angkat
Raja Bojong Gading.
“Rasanya aku sudah tak sabar
lagi untuk segera tiba di Kotaraja Bojong Gading, Kang…,” keluh Melati tanpa
menghentikan langkah kakinya.
Arya menolehkan kepala.
Dilepaskannya seulas senyum pada Melati. Dia tahu, kekasihnya ini sudah tidak
sabar untuk segera tiba di Istana Bojong Gading. Akibat dirinya terkecoh oleh
penjahat- penjahat yang mengaku sebagai pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading,
memang telah menimbul- kan keinginan Melati untuk menjenguk ayah angkat- nya.
Dulu Melati pernah ditipu
adanya kabar kalau ayahnya telah sakit keras. Tapi nyatanya, kabar itu hanya
sekadar bualan belaka agar Melati terpisah dengan Dewa Arak. Dan begitu
terpisah, Melati akan dibunuh oleh penjahat-penjahat itu. Untungnya, usaha
mereka ternyata gagal.
Dan sekarang, Dewa Arak dan
Melati dalam perjalanan menuju ke Kerajaan Bojong Gading (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode “Dalam Cengkeraman Biang Iblis”).
“Bagaimana kalau kita
menggunakan ilmu lari cepat agar bisa mempersingkat perjalanan ini, Melati?” usul
Arya setelah terlebih dahulu mengawasi
sekeliling untuk meyakinkan bahwa tempat itu sunyi dan sepi.
“Usul seperti itulah yang
sejak tadi kutunggu- tunggu keluar dari mulutmu, Kang,” sambut Melati cepat.
“Baiklah kalau itu maumu,”
kata Arya. “Tapi..., di desa terdekat kita harus mampir di kedai dulu, Melati.”
“Untuk apa, Kang?” Melati
mengeryitkan kening- nya.
“Mengisi guci arakku dulu.”
Melati sama sekali tidak
memberi sambutan. Tentu saja hal itu membuat Arya semakin penasaran.
“Bagaimana, Melati? Setuju?”
“Tunggu apa lagi, Kang?”
Melati malah balas bertanya.
Maka tanpa berkata lagi,
Melati langsung melesat ke depan. Tahu akan kelihaian kekasihnya, tanpa
ragu-ragu lagi putri angkat Raja Bojong Gading itu mengerahkan seluruh
kemampuannya. Dia tahu, Arya tidak akan mengalami kesulitan untuk mengejarnya.
Dewa Arak hanya
menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tubuh Melati telah puluhan tombak di
depan. Karena tak ingin kehilangan jejak, Arya segera bergerak mengejar. Tapi
baru beberapa tombak, tiba-tiba....
Wusss. !
Tiba-tiba sebuah suara
mendesir mengarah ke tubuh Dewa Arak. Ternyata sebuah kayu gelondongan yang di
sekitarnya penuh ditancapi bambu-bambu berujung runcing dan berbau amis,
menyambar ke arah Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak
gegabah. Buru- buru langkah kakinya yang hendak melesat ke depan dirubah dengan
sebuah totolan. Maka tubuhnya pun melenting kembali ke belakang. Sehingga,
benda berduri itu meluncur melewati dadanya, yang berjarak beberapa jengkal
saja. Namun demikian, angin desingannya cukup terasa jelas di kulit Arya.
Belum juga kedua kaki Dewa
Arak mendarat di tanah, benda-benda berkilatan menyambar ke arahnya, diiringi
suara berdesing nyaring. Melihat hal ini, Dewa Arak kaget bukan kepalang.
Sepasang matanya yang tajam bisa menangkap kalau benda- benda berkilatan yang
menuju ke arahnya tidak lain adalah pisau terbang. Dan menilik dari
desingannya, bisa diketahui kekuatan tenaga dalam pemiliknya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu langsung mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangan. Lalu
serangan itu dipapaknya dengan sampokan kedua tangan.
Tak, tak, tak. !
Suara berdetak keras terdengar
ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan dengan pisau-pisau yang menuju ke
arahnya. Senjata-senjata itu pun terpental tak tentu arah. Malah sebagian kecil
menuju ke arah asalnya. Bahkah suara luncurannya jauh lebih nyaring daripada
sebelumnya. Hal ini membuktikan kalau pisau-pisau itu melesat begitu cepat.
Prasss, prasss, cappp. .!
“Akh...!
Terdengar jerit kesakitan,
pertanda ada di antara pisau-pisau itu yang mengenai pemiliknya sendiri.
Sedangkan sebagian besar menancap di pohon, atau lenyap ke dalam kerimbunan
semak-semak.
Namun begitu kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, tiba-tiba. ...
Brusss. !
Jantung Arya bagai mencelos
ketika merasakan landasan yang dipijaknya amblas. Maka, tubuhnya seketika
meluncur terus ke bawah. Benaknya berputar, dan langsung menyadari kalau
dirinya telah masuk perangkap.
Dalam keadaan meluncur, Arya
langsung memandang ke bawah. Sebagai orang yang bersikap waspada, dia langsung
mengetahui bahaya yang terkandung di bawah sana.
Dugaan Dewa Arak sama sekall
tidak meleset. Di dasar lubang tampak puluhan mata tombak siap merejam
tubuhnya. Tombak-tombak itu memang sengaja ditanam di dalam tanah, dengan
ujung- ujungnya mengarah ke atas. Bahkan dari bau amis yang menyebar di
sekitamya, Dewa Arak tahu kalau ujung tombak itu beracun. Baunya benar-benar
memualkan perut dan memusingkan kepala. Tentu saja melihat hal ini, Dewa Arak
tak mau mati sia-sia. Maka...
“Hih. !” Selagi tubuhnya belum
mencapai dasar lubang, Arya segera menusukkan tangannya ke arah dinding lubang.
Jrebbb, jrebbb...!
Kedua tangan Dewa Arak
langsung amblas ke sisi lubang. Maka dengan sendirinya, luncuran tubuh Arya pun
tertahan. Dan kini, tubuhnya ber- gelantungan dalam jarak satu tombak dari
ujung- ujung tombak yang siap merejam tubuhnya.
Arya memandang ke bawah
sejenak. Benaknya sibuk menimbang-nimbang sebelum memutuskan tindakan yang akan
dilakukan. Baru setelah merasa pasti, tangannya yang terhunjam dalam di sisi
lubang dilepaskan, sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah.
Tapi kali ini luncurannya
berbeda dengan sebelumnya. Sekarang tubuh Arya meluncur tidak secepat tadi.
Tambahan lagi, tindakan itu memang telah diperhitungkan secara cermat, disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh.
'Hup...!”
Ringan laksana segumpal kapas,
kedua kaki Dewa Arak mendarat di ujung-ujung tombak yang runcing itu. Lalu,
kepalanya ditengadahkan ke atas untuk melihat tanah berumput yang tadi ambrol
sewaktu kedua kakinya hinggap.
Dewa Arak mengukur ketinggian
lubang itu dari tempatnya berpijak. Jaraknya, tak kurang dari dua setengah
tombak. Diam-diam hatinya memuji kerajinan orang yang telah membuat rangkaian
jebakan itu. Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut di benaknya. Apakah
rangkaian perangkap ini memang ditujukan untuknya? Apabila hal itu benar,
berarti semua sudah direncanakan! Lalu, siapakah yang ingin menjebaknya? Tapi
Arya segera menepiskan semua pertanyaan itu dari benaknya. Yang harus
dilakukannya sekarang adalah keluar dari tempat itu sebelum orang yang membuat
perangkap ini melanjutkan perangkap lainnya.
Arya menekuk kedua lututnya,
kemudian kedua kakinya bergerak menggenjot. Maka, seketika tubuh- nya pun
melayang ke atas.
Bahaya yang dikhawatirkan Dewa
Arak ternyata terbukti. Selagi tubuhnya baru mencapai separuh perjalanan, di
pinggir-pinggir lubang bermunculan beberapa buah busur dalam keadaan siap
dilepaskan. Dan...
Twanggg, twanggg, twanggg...!
Beberapa buah anak panah meluncur
cepat ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah meluncur. Tentu saja hal ini membuat
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. Lubang itu sempit,
sehingga tidak memungkinkan untuk mengelak. Segera tenaga pada kedua tangannya
dikerahkan, dan dipapaknya anak panah yang meluncur ke arahnya.
Tak, tak, tak...!
Anak-anak panah itu langsung
berpatahan ketika berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Memang, dalam
pengerahan tenaga dalamnya, kedua tangan Arya jadi lebih keras ketimbang baja.
Dewa Arak memang berhasil
mengkandaskan semua serangan itu. Tapi, ternyata hal itu harus ditebus mahal.
Dengan terpaksa tubuhnya kembali meluncur deras ke bawah.
“Ha ha ha...!”
Suara tawa bergelak bemada
penuh kegembiraan terdengar dari atas lubang.
“Terimalah kematianmu, Dewa
Arak...!” Berbareng lenyapnya suara keras itu, dari atas kembali meluncur
berbagai macam senjata ke dalam lubang. Anak panah, tombak, pisau, golok, dan
beraneka ragam senjata lainnya, siap merejam tubuh Dewa Arak!
***
Arya memutar otak untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Dua ancaman maut tengah tertuju ke arahnya.
Dan apabila tidak diperhitungkan secara cermat cara untuk menyelamatkan diri
dalam waktu singkat, nyawanya jelas akan melayang ke alam baka.
Maka sebuah keputusan telah
diambil Arya. Dia harus bertindak seperti sebelumnya, kalau ingin selamat dari
ancaman maut ini.
“Hih...!”
Sambil menggeram marah, Dewa
Arak menusuk- kan tangannya ke dinding lubang. Tapi... Wusss...!
Ternyata tangan Arya hanya
menjangkau angin, dinding lubang itu sama sekali tidak tersentuh oleh jari-jari
tangannya. Ujung-ujung jarinya masih berjarak beberapa jari dari dinding
lubang.
Tubuh Arya terus meluncur
turun, diburu beraneka ragam senjata yang meluncur dari atas lubang. Sedangkan
di bawahnya, menanti puluhan ujung tombak yang siap menyate tubuh Dewa Arak.
Arya hampir putus asa. Dia
sudah bemiat mengambil tindakan untung-untungan. Kedua kakinya harus mendarat
di ujung-ujung tombak itu, lalu menangkis serangan yang mengancamnya. Untungnya
di saat yang gawat itu, Dewa Arak teringat akan keris miliik Brajageni. Memang,
keris itu kini berada di tangannya (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode “Perkawinan Berdarah”, yang merupakan lanjutan dari
episode “Dalam Cengkeraman Biang Iblis”).
Secepat teringat akan keris
itu, secepat itu pula tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika
ditarik kembali, dalam genggamannya telah tercekal sebuah keris dalam keadaan
terhunus. Keris yang mengandung hawa dingin, dan membekukan urat-urat tubuh
orang yang menjadi lawan si pemegang keris.
Wuttt..! Crabbb...!
Keris itu kontan amblas ke
dalam dinding lubang hingga sampai ke gagangnya. Dan dengan sendirinya,
luncuran tubuh Arya terhenti. Maka kini, tubuhnya bergelantungan di pertengahan
dasar lubang.
Dan pada saat itulah, beraneka
ragam senjata meluruk deras ke arahnya. Betapapun tubuh Dewa Arak telah merapat
ke dinding lubang, tapi karena terialu banyak senjata yang meluruk ke arahnya,
usaha yang dilakukannya jadi sia-sia. Tetap saja senjata-senjata itu mengenai
berbagai bagian tubuhnya.
Untung saja Dewa Arak sudah
memperhitungkan hal itu. Maka tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk membuat
kulit tubuhnya kebal dan tidak terluka oleh luncuran senjata-senjata tajam itu.
Pemuda berambut putih
keperakan ini hanya melindungi kepala dari sambaran berbagai macam senjata itu.
Sehingga, luncuran beraneka senjata itu sama sekali tidak mengenai kepalanya,
tapi tertangkis tangannya.
Tak, tak, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar
ketika hujan berbagai macam senjata berbenturan dengan tubuh atau tangan Dewa
Arak. Senjata-senjata itu pun kontan berpentalan kembali dalam keadaan patah-
patah. Memang, dalam ancaman bahaya maut seperti ini, Arya tidak ragu-ragu lagi
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Beberapa saat lamanya hujan
berbagai macam senjata itu terjadi, dan selama itu pula Dewa Arak sibuk
menangkalnya. Tangan maupun seluruh tubuhnya dialiri tenaga dalam, sampai hujan
berbagai macam senjata itu terhenti.
“Hhh...!”
Dewa Arak menghela napas lega,
tapi hanya sebentar saja. Karena, pendengarannya yang tajam menangkap adanya
suara bergemuruh di atas sana.
Meskipun tidak melihat, namun
Dewa Arak bisa menduganya. Pengalaman yang mengajarkan kepadanya, kalau suara
bergemuruh itu tak lain dari suara menggelindingnya batu-batu. Bisa diperkira-
kan kalau orang-orang yang telah menjebaknya seperti ini, tengah
menggelindingkan baru besar.
Dugaan Dewa Arak memang tepat
Di atas tanah, para penjebaknya tengah sibuk mendorong sebuah batu besar.
Jumlah mereka tak kurang dari lima belas orang, dan semuanya mengenakan pakaian
prajurit suatu kerajaan.
Sadar akan bahaya besar yang
mengancam, Dewa Arak memutar benaknya untuk menyelamatkan diri.
Hanya dalam waktu sebentar
saja, sudah di- temukan jalan keluar. Dan....
“Hih. !”
Dewa Arak memukulkan tangan
kirinya yang bebas ke dinding.
Pyarrr. !
Dinding batu itu ambrol
disertai suara hiruk- pikuk. Memang, pukulan yang dilancarkan Dewa Arak
disertai pengerahan tenaga dalam penuh. “Hahhh...?!”
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut Dewa Arak ketika melihat lorong memanjang ke dalam pada bagian
dinding yang dipukulnya. Perasaan penasaran mendorongnya untuk menguak lebih
lebar lagi. Dan hasil yang didapat, membuat Dewa Arak tertegun. Ternyata benar-benar
ada sebuah lorong memanjang, namun tampak gelap pekat. Garis tengahnya tak
lebih dari setengah tombak, jadi untuk merangkak cukup sulit.
Hati Dewa Arak merasa lega
melihat kenyataan ini. Dia menduga, sudah ada jalan baginya untuk menyelamatkan
din. Maka, kepalanya menoleh ke atas ketika suara bergemuruh itu tidak
terdengar lagi.
Tampak oleh Dewa Arak seraut
wajah yang memiliki kumis lebat
“Ha ha ha...! Dewa Arak...!
Saat ajalmu sudah tiba! Ha ha ha...! Selamat berjumpa dengan malaikat maut! Ha
ha ha...!”
Setelah mengucapkan kata-kata
bernada penuh kemenangan, laki-laki berkumis lebat itu memberi aba-aba dengan
suara keras.
“Dorong...!”
Seiring lenyapnya suara
laki-laki berkumis lebat Itu, kembali terdengar suara bergemuruh keras. Jelas,
batu besar itu telah kembali didorong.
Dewa Arak kini mengerti maksud
para penjebak- nya. Mereka ingin mengurungnya di dalam lubang jebakan ini!
Untung saja telah ditemukan lubang penyelamat. Meskipun belum diketahui kemana
tembusannya, tapi telah cukup melegakan hatinya.
Brukkk...!
Diiringi suara bergemuruh
keras, batu besar itu menutupi lubang jebakan tempat Dewa Arak terperangkap.
Kontan keadaan di dalam lubang jebakan itu jadi gelap pekat karena sinar
matahari tidak bisa lagi menembus ke dalamnya.
“Ha ha ha...!”
Masih sempat terdengar oleh
telinga Dewa Arak, suara tawa keras bernada penuh kemenangan. Memang, dia tidak
melihat pemilik tawa itu. Tapi, yang jelas sudah bisa dikenali nada suaranya.
Siapa lagi kalau bukan laki-laki berkumis lebat tadi?
Tapi, Dewa Arak tidak mau
memusingkan hal itu lagi. Masih ada urusan yang lebih penting dan harus
didahulukan, yakni menyelamatkan nyawanya!
Karena tidak ada pilihan lain
lagi, tanpa ragu- ragu pemuda berambut putih keperakan itu segera masuk ke
dalam lubang yang ditemukannya tanpa sengaja. Karena kecilnya ukuran lubang
itu, Arya hanya bisa menempuhnya dengan merayap seperti seekor ular.
Tentu saja dengan cara seperti
itu, perjalanan yang dilakukan berlangsung amat lama. Tombak demi tombak
ditempuh Arya secara lambat. Sementara, lubang itu sama sekali belum
menampakkan tanda-tanda akan berakhir.
Namun, Dewa Arak tidak putus
asa. Tubuhnya terus merayap, meskipun tidak tahu berapa lama hal itu harus
dilakukan, dan berapa jauh jarak yang telah ditempuhnya.
Arya baru berhenti merayap
apabila telah lelah. Dia beristirahat sejenak, dan meminum araknya dengan
susah-payah karena tempat yang sangat sempit. Hanya sedikit saja araknya
diteguk, karena belum tahu sampai berapa lama lorong ini akan berakhir.
Melakukan perjalanan seperti
itu tentu saja sangat melelahkan. Dan hal itu pun dirasakan pula oleh Dewa
Arak. Tak heran, kalau dia sering berhenti dan beristirahat Arya hanya minum
sedikit tanpa makan, karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.
Itulah nasib Arya. Dia terus
saja merayap menyusuri lorong gua yang seperti tidak ada putusnya. Rasa lapar
yang melilit perut, rasa haus yang mencekik tenggorokan, melanda perjalanan
menuju ujung lorong.
Entah berapa hari Arya
menempuh lorong itu. Dan kini, dia melihat ada sebuah kelainan pada lorong yang
ditempuhnya. Sekarang pandangan mata Dewa Arak tidak hanya bertemu kepekatan
ketika melihat ke depan. Kini di kejauhan, samar-samar terlihat sinar terang
yang menyilaukan.
“Hhh...!”
Suara desah bernada kelegaan
keluar dari mulut pemuda berambut putih keperakan itu. Di saat dia hampir putus
asa, akhirnya ditemukan juga ujung lorong itu. Maka, kontan semangat Arya pun
bangkit kembali.
Seiring timbulnya semangat,
kecepatan merayap Arya pun mengalami perubahan. Kini, tidak lagi loyo seperti
sebelumnya.
Sinar terang itu ternyata
memang berasal dari ujung lorong yang berbatasan dengan dunia luar. Dan kini,
Arya telah berada di ujungnya.
Namun, hati Dewa Arak kontan
tercengang ketika mengetahui kalau akhir lorong yang ditempuhnya ternyata
berujung pada sebuah tebing yang di bawahnya terhampar lautan luas! Beberapa
saat lamanya Dewa Arak menatap ke bawah, ke air laut yang terhampar. Permukaan
laut itu tampak tenang.
Setelah menenangkan hati
sejenak, Arya segera melompat ke bawah. Memang, jarak antara ujung lorong itu
dengan permukaan laut, tidak lebih dari sepuluh tombak!
Sesaat tubuh Arya
melayang-layang di udara, kemudian....
Byurrr. !
Air laut bermuncratan tinggi
ke udara ketika tubuh Dewa Arak menimpa permukaannya. Tubuhnya pun tenggelam
beberapa saat sebelum akhirnya timbul kembali.
“Pruhhh. !”
Ketika telah timbul kembali di
atas permukaan air laut, Arya segera menggoyang-goyangkan kepalanya perlahan.
Kemudian, dia menyelam kembali lalu timbul lagi. Pemuda berambut putih
keperakan itu merasakan betapa segar tubuhnya setelah lama tidak bertemu air.
Setelah puas bermain-main
dengan air, baru Dewa Arak berenang ke tepi pantai. Dia harus tiba di Istana
Bojong Gading secepatnya. Bukankah dia dan Melati tengah menuju ke sana?
Sebenarnya Arya sama sekali tidak tahu kalau dirinya berada di dalam lorong itu
selama dua hari. Pemuda berpakaian ungu itu hanya tahu kalau perjalanan dari
pantai itu ke Kerajaan Bojong Gading memakan waktu satu hari.
*** 2
Telah beberapa hari Melati
mencari Dewa Arak yang tiba-tiba hilang entah ke mana. Gadis putri angkat Raja
Bojong Gading itu jadi bingung setengah mati. Dia memang sempat menunggu
seharian, begitu menyadari kalau Arya tidak ada di belakangnya. Dikira, Arya
hanya menggoda saja. Tapi setelah seharian menunggu tidak juga bertemu, jelas
itu bukan suatu godaan. Maka, dia kemudian me- mutuskan untuk mencari Dewa Arak
lebih dulu.
Belum juga hilang rasa bingung
yang mencekam hati Melati, pergelangan kaki kanannya seperti terjerat sesuatu. Dan
sebelum sadar, tubuhnya sudah terangkat ke atas pohon!
Kejadian itu berlangsung cepat
sekali. Seperti sekejapan mata saja. Tapi, masih lebih cepat lagi putaranan
benak Melati. Maka begitu tubuhnya terasa melayang ke atas, langsung pedangnya
dicabut.
Tappp!
Bertepatan dengan tubuhnya
yang tergantung di atas cabang pohon dengan kepala di bawah, karena pergelangan
kaki kanannya terjerat tali, Melati berhasil mencekal pedangnya. Maka secepat
pedang itu tercekal tangannya, secepat itu pula dibabatkan ke arah tali yang
mengikat pergelangan kakinya. Tasss!
Tali itu kontan putus. Namun
mau tak mau tubuh Melati melayang ke bawah. Namun dengan gerakan indah,
tubuhnya langsung berputar beberapa kali di udara. Dan.... “Hup...!”
Baru saja kedua kaki Melati
mendarat di tanah, terdengar suara berkerotokan keras, disusul ber- munculannya
sosok-sosok tubuh dari balik ke- rimbunan semak-semak dan pepohonan di
sekeliling- nya.
Cepat bukan main gerakan
sosok-sosok tubuh itu. Begitu keluar dari tempat persembunyian, mereka langsung
melancarkan serangan ke arah Melati. Dan kini, hujan senjata pun meluruk ke
arah berbagai bagian tubuh gadis berpakaian putih itu.
Singgg, singgg, singgg...!
Suara mendesing yang cukup
nyaring, diiringi berkeredepnya sinar-sinar berkilatan dari senjata para
penyerang, mengawali meluncurnya
serangan ke arah sasaran.
Namun Melati tetap bersikap
tenang. Sama sekali sikapnya tidak tampak gugup mendapat serangan yang
bertubi-tubi itu. Bahkan dalam kesempatan yang singkat itu, pandangannya masih sempat
beredar ke sekeliling untuk memperhatikan lawan- lawannya.
Meskipun hanya sekilas, Melati
bisa mengetahui kalau jumlah pengeroyoknya tak kurang dari sepuluh orang.
Mereka rata-rata mengenakan seragam kerajaan. Entah kerajaan mana, putri angkat
Raja Bojong Gading ini sama sekali tidak mengetahuinya.
Melati tidak bisa berpikir
lebih lama lagi, karena serangan-serangan para pengeroyoknya telah me- luncur
tiba. Maka buru-buru pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan-serangan
itu.
Trang, trang, trang...!
Benturan nyaring diiringi
berpercikannya bunga- bunga api ke udara, membuat suasana di hutan menjadi
terang dan ramai. “Akh...!”
Keluhan kesakitan terdengar
dari mulut para pengeroyok Melati. Mereka merasakan tangan yang menggenggam
senjata seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah, senjata-senjata itu pun
terlepas dari pegangan. Memang, gadis itu telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menangkis serangan- serangan itu. Para pengeroyoknya yang hanya
ber- kepandaian pas-pasan mana mampu bertahan?
Melati tidak mau memberi
kesempatan. Maka pedang di tangannya pun diluncurkan, membabat ke arah para
pengeroyok yang berada di depannya. Untung saja, tidak diarahkan ke bagian
tubuh yang berbahaya. Melati memang tidak ingin membunuh mereka. Gadis itu
ingin menangkap mereka hidup- hidup untuk ditanyakan alasan mengapa hendak
membunuhnya. Barangkali saja hal ini hanya kesalahpahaman belaka.
Melati sudah memperkirakan
keempat orang itu akan tersungkur di tanah dengan bahu terluka. Maka, bisa
diperkirakan betapa kaget dan men- dongkolnya hati gadis berpakaian putih ini
ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya mampu menghindari ancaman
pedangnya.
Serempak empat orang prajurit
itu cepat men- cabut sesuatu dari balik punggungnya. Kemudian, dengan cepat
dipapaknya ujung pedang Melati.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang keras
terdengar berkali-kali ketika ujung pedang Melati berbenturan dengan sesuatu
yang diambil para prajurit itu dari balik punggung yang ternyata sebuah tameng.
Dan sebelum putri angkat Raja
Bojong Gading ini berbuat sesuatu, prajurit-prajurit lain kembali me- lancarkan
serangan. Di tangan mereka kini telah tergenggam tameng, di samping pedang yang
telah diambil kembali.
Melati menggertakkan gigi.
Gadis yang memiliki watak keras hati ini merasa kesal. Dan akibatnya,
serangannya makin ditingkatkan.
Kejengkelan Melati semakin
bertambah ketika menyadari kekompakan lawan-lawannya. Jelas, mereka adalah
pasukan-pasukan yang terlatih. Di samping ltu, mereka mampu menggunakan tameng
dengan baik. Tameng itu memang menyulitkan Melati untuk menjatuhkan serangan,
karena tak ubahnya seperti benteng.
Para prajurit itu rupanya
sudah mengetahui kelihaian Melati. Rupanya bentrokan pertama telah menyadarkan
mereka akan kelihaian putri angkat Raja Bojong Gading itu. Maka mereka
mengambil keputusan untuk tidak sembarangan mengadu pedang. Kecuali,
menggunakan tameng yang dapat meredam pengaruh kekuatan tenaga Melati.
Dua puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu, Melati masih belum mampu melukai seorang pun Iawannya. Karuan
saja hal ini membuatnya geram bukan kepalang. Padahal, dia dulu terkenal
sebagai tokoh persilatan yang berjuluk Dewi Penyebar Maut! Tapi kini, sama
sekali dia tidak mampu mem- bereskan lawan-lawannya yang hanya terdiri dari belasan
orang prajurit kerajaan. Kalau didengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh
mana mukanya?
Teringat akan hal ini,
menimbulkan kegeraman yang amat sangat di hati Melati. Kini dia pun tidak
ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu andalannya, 'Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Suara menggerung keras seperti
naga murka terdengar ketika Melati mulai mempergunakan ilmu Pedang Seribu Naga.
Memang hebat bukan kepalang ilmu pedang andalannya. Begitu dikeluarkan, kontan
kepungan para pengeroyoknya membuyar, seperti semut menerjang api.
Tameng-tameng yang semula
kokoh membentengi tubuh para prajurit, kini sama sekali tidak berguna. Ilmu
'Pedang Seribu Naga' memang tidak hanya besar namanya saja, tapi juga pada
kenyataannya. Serangannya bertubi-tubi dan saling menyusul dahsyat.
Seakan-akan, memang ada seribu naga yang tengah menyerang. Memang, ilmu 'Pedang
Seribu Naga' menitikberatkan pada serangan.
“Akh...!”
Jerit kesakitan terdengar
susul-menyusul dari mulut para prajurit itu. Tameng-tameng mereka kontan
terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah begitu pergelangan tangan yang
menggenggamnya tersabet pedang Melati.
Sebuah keuntungan bagi mereka.
Meskipun merasa geram bukan kepalang, Melati masih mem- punyai rasa kasihan.
Apalagi, gadis itu sadar kalau dirinya tidak mempunyai urusan dengan prajurit-
prajurit yang dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak kejam. Putri angkat
Raja Bojong Gading itu hanya melukai pergelangan tangan mereka. Cukup parah
memang, tapi tidak sampai membuat tangan itu putus.
Dalam beberapa gebrakan saja,
Melati telah mem- buat lawan-lawannya tidak berdaya. Tubuh-tubuh mereka
bergeletakan di tanah, tanpa mampu bangkit lagi.
Kini yang dilakukan para
prajurit itu hanya merintih-rintih kesakitan. Mereka semua terluka dalam yang
cukup parah, sehingga tidak bisa bangkit lagi. Trek!
Melati menyarungkan pedangnya
kembali. Kemudian dengan sorot mata dingin, kakinya melangkah menghampiri
kumpulan prajurit yang tergolek di depannya. Memang, lawan-lawan Melati
bergeletakan tidak di satu tempat, melainkan di sekelilingnya.
Hanya dalam beberapa langkah,
Melati telah terdiri di hadapan kelompok prajurit yang berada di depannya.
“Katakan..., mengapa kalian
menyerangku?” tanya Melati, dingin nada suaranya. “Cepat! Sebelum kesabaranku
hilang, dan menyiksa kalian!”
Para prajurit itu saling
berpandangan satu sama lain. Raut wajah mereka memancarkan ketegangan hebat.
Maka karuan saja hal itu membuat Melati heran.
Namun sebelum gadis berpjkaian
putih ini mengajukan pertanyaan kembali, terdengar keluhan yang membuatnya
terkejut Kepalanya segera menoleh ke arah asal suara. Dan....
Sepasang mata Melati kontan
terbelalak ketika melihat kelompok prajurit yang tadi berada di sebelah
kanannya tengah meregang maut Di perut mereka tampak terhunjam sebilah pisau
hingga gagangnya. Yang membuat kaget hati putri angkat Raja Bojong Gading itu
bukan pisaunya, melainkan tangan yang menghunjamkan pisau! Tangan itu adalah
tangan si pemilik perut sendiri. Jadi, prajurit itu bunuh diri!
Dan yang lebih gila lagi,
tidak hanya seorang saja yang bertindak nekat itu, tapi semua prajurit di
kelompok kanan tadi.
Belum juga Melati sempat
berbuat sesuatu, kembali terdengar keluhan yang sama. Kali ini, berasal dari
kumpulan prajurit yang tengah ditanyainya. Dan ketika kepalanya menoleh, kejadian
yang sama juga tengah berlangsung.
Keterkejutan yang melanda
hati, membuat Melati tidak mampu mencegah tindakan bunuh diri lawan- lawannya.
Sesaat kemudian, semua prajurit itu telah terkapar tewas!
Melati hanya bisa menatap
mayat-mayat yang tergeletak di bawah kakinya. Berbagai pertanyaan langsung
berkecamuk di benaknya. Mengapa para prajurit itu ingin membunuhnya? Dan
mengapa ketika ditanya alasannya sama sekali tidak men- jawab? Bahkan malah
bunuh diri. Lalu, ke mana pula perginya Arya? Mengapa sampai sekarang kekasih-
nya itu tidak menyusulnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu
bergulung-gulung dalam benak Melati tanpa menemukan jawabannya. Hal itu
membuatnya menjadi kesal sendiri. Maka di- singkirkan pikiran-pikiran itu
kecuali.yang mengenai diri Arya. Mengapa Arya belum juga menyusulnya?
Setelah beberapa saat lamanya
menungggu namun tidak juga terlihat tanda-tanda kemunculan ke- kasihnya, maka
Melati memutuskan untuk kembali ke tempat semula saat meninggalkan Dewa Arak.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, gadis itu segera melesat cepat ke tempat semula. Tanpa ragu- ragu pula,
seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, yang terlihat hanyalah
seleret bayangan putih yang tak jelas bentuknya tengah melesat cepat menuju ke
Timur.
Tapi belum juga berapa lama
berlari, Melati mendengar suara langkah-langkah kaki di kejauhan. Semula dia
tidak ingin mempedulikannya, dan mencari jalan lain agar tidak berpapasan. Tapi
karena rasa ingin tahu mendorongnya, maka dia cepat melompat naik ke atas pohon
yang berada tepat di belakangnya.
Tappp...!
Tanpa menimbulkan getaran
sedikit pun, kedua kaki Melati hinggap di cabang pohon. Dan dari balik
kerimbunan dedaunan yang cukup lebat, ditunggu- nya kehadiran pemilik langkah
kaki itu.
Semakin lama, semakin terdengar
jelas suara langkah-langkah itu. Ini berarti usaha Melati tidak sia sia.
Pemilik langkah kaki yang menurut per- kiraannya lebih dari sepuluh orang itu
memang menuju ke arah yang baru ditinggalkannya.
Sepasang mata Melati
membelalak lebar, dan jantungnya pun berdetak lebih cepat ketika melihat
pemilik langkah yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang itu mengenakan
pakaian yang sama dengan prajurit yang baru saja menyerang dirinya. Apakah
mereka ini memang satu kelompok dan satu kerajaan?
Pertanyaan yang menyelinap di
dalam hati mem- buat Melati menjadi semakin tertarik untuk menyelidiki belasan
orang berpakaian prajurit itu. Dia menanti hingga rombongan prajurit itu lewat
di bawahnya.
Dan seiring semakin
mendekatnya rombongan itu, hati Melati kontan berdetak kencang. Dan itu terjadi
ketika mendengar pembicaraan mereka.
“Mudah-mudahan Angkara
berhasil pula me- namatkan riwayat gadis itu! Dan dengan demikian, penyerangan
besar-besaran terhadap Kerajaan Bojong Gading bisa segera dimulai,” kata salah
seorang di antara belasan orang itu. Dia berwajah tinggi besar dan berkumis
lebat
“Dan.., Kerajaan Bojong Gading
pun pasti akan hancur berantakan! Bukankah begitu, Jaladra?” sambut yang
bertahi lalat di bawah bibir. “Ha ha ha...!”
Laki-laki tinggi besar yang
ternyata bernama Jaladra tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas kalau hatinya
merasa gembira bukan kepalang. Dan sekejap kemudian, suara tawa yang riuh
rendah segera memecah kesunyian hutan itu.
'Tapi menurutku..., meskipun
Angkara gagal toh hal itu tidak terlalu penting. Gadis itu tidak terlalu
berbahaya. Dengan kata lain, penyerangan terhadap Istana Bojong Gading pun
tetap akan dilanjutkan meskipun Angkara gagal! Bukan begitu, Jaladra?” sambut
laki-laki bertubuh pendek kekar.
Jaladra mengangguk-anggukkan
kepala. “Memang. Sasaran utama kita bukanlah gadis itu.
Dan tugas itu telah berhasil
kita selesaikan dengan baik!”
Sementara itu, jantung Melati
semakin cepat berdetak. Ketegangan seketika melanda hatinya. Betapa tidak?
Kerajaan Bojong Gading akan diserbu! Ini benar-benar kejutan yang amat besar!
Kerajaan mana yang akan menyerbu? Dan siapakah gadis yang dimaksudkan rombongan
prajurit itu? Apakah diri- nya? Dan siapa pula orang yang menjadi sasaran utama
mereka? Begitu pentingkah orang itu sehingga penyerbuan terhadap Istana Bojong
Gading pun dilakukan setelah orang itu dibereskan?
Perasaan ingin tahu yang amat
besar, mendorong Melati untuk mengikuti rombongan prajurit itu. Memang,
rombongan itu telah melalui pohon tempat- nya bersembunyi.
Dengan hati-hati, Melati
menguntit. Ilmu me- ringankan tubuhnya dikerahkan sampai ke puncak- nya, agar
langkah kakinya tidak terdengar oleh rombongan itu. Melati juga telah turun
dari cabang pohon tempat- nya mengintai. Kini dia mengikuti dengan menye- linap
di balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Sepasang matanya beredar
mengawasi tanah, berjaga-jaga agar langkah kakinya tidak melanggar ranting
kering, atau benda-benda yang dapat menimbulkan suara.
Kecurigaan Melati semakin
besar ketika orang- orang yang dikuntit menuju ke arah yang baru di-
tinggalkannya. Jelas, dugaan kalau gadis yang dimaksud dalam pembicaran
rombongan itu adalah dirinya. Jaladra dan rombongannya terpekik kaget ketika
melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak di hadapan mereka. Sesaat sepasang
mata mereka semua terbelalak kaget, kemudian langsung meng- hambur ke arah
rombongan prajurit yang tadi hendak membinasakan Melati.
“Ucapanmu ternyata tidak
meleset, Guntar,” kata Jaladra ketika mereka semua telah berada di dekat
mayat-mayat itu.
Sambil berkata demikian,
Jaladra memalingkan kepala ke arah laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama
Guntar.
“Gadis itu ternyata lihai
juga...,” desis Guntar dengan wajah pucat.
Menilik dari wajah dan
ucapannya, tampak jelas kalau Guntar sama sekali tidak menyangka ucapan- nya
menjadi kenyataan.
“Yahhh...,” sahut Jaladra
mendesah.
Sedangkan rekan-rekan mereka
yang lain hanya menatapi mayat-mayat satu persatu. Kegeraman tampak pada
tarikan wajah mereka.
“Kalau menilik dari kematian
mereka..., jelas gadis itu tidak tahu masalahnya. Angkara dan yang lain-lain
telah bunuh diri. Berarti, gadis keparat itu tidak berhasil mengorek keterangan
dari mereka...,” kata Jaladra lagi.
“Kau melupakan satu hal,
Kang,” selak laki-laki yang bertahi lalat di bawah mulut. “Apa itu?” tanya
Jaladra.
“Gadis itu tengah menuju
Istana Bojong Gading. Jadi meskipun tanpa mengorek keterangan, dia juga akan
mengetahui masalah yang sebenarnya.”
Jaladra, Guntar, dan semua
prajurit yang berada di situ mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan
kesimpulan yang diambil rekan mereka.
“Kalau begitu..., kita harus
secepatnya mengirim berita agar Istana Bojong Gading segera diserbu. Toh yang
jadi penghalang utama telah berhasil diberes- kan,” ujar Jaladra setelah
beberapa saat lamanya tercenung.
'Tapi..., gadis itu memiliki
kepandaian tinggi, Jaladra. Dan ini terbukti di depan mata kita sendiri.
Angkara dan pasukannya berhasil dilumpuhkan,” bantah Guntar khawatir.
“Gadis itu memang memiliki
kepandaian tinggi, Guntar. Tapi kau harus ingat. Di pihak kita pun banyak tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, kau tidak usah terlalu khawatir. Toh,
sasaran utama telah berhasil dibereskan!” tegas Jaladra.
“Jadi...?” Guntar menggantung
ucapannya.
“Kirim tanda untuk memulai
penyerangan ter- hadap Kerajaan Bojong Gading! Segera!” mantap dan tegas sekali
perintah yang dikeluarkan Jaladra.
“Baik...!”
Guntar lalu mengambil
busurnya. Diselipkannya sebatang anak panah yang berbentuk aneh ke busurnya.
Dan.... Tranggg...!
Anak panah itu meluncur ke
angkasa. Dan setibanya di sana, langsung memercikkan bunga- bunga api yang
berwarna-warni. Guntar tidak hanya sekali saja melepaskan anak-anak panah
berapi itu. Dia terus saja melepaskannya sampai semua anak panah yang tersedia
habis.
Karuan saja hal itu membuat
Melati yang mengintai dari tempat persembunyian merasa kaget bukan kepalang.
Sebagai seorang putri angkat raja dan pernah beberapa kali terjun untuk
mengatasi kerusuhan, dia tahu kalau anak panah yang dilepas- kan adalah untuk
memberi tanda pada orang yang berada di tempat jauh.
Melati memutar benaknya. Dan
dalam waktu singkat, telah diputuskan kalau dia harus pergi ke Istana Bojong
Gading secepatnya. Kerajaan itu berada dalam bahaya! Sebuah kerajaan lain yang
tidak diketahui Melati telah siap menyerbu.
Putri angkat Raja Bojong
Gading ini memutuskan untuk kembali ke istana tanpa menunggu Arya lagi.
Barangkali saja pemuda berambut putih keperakan itu kehilangan jejaknya dan
menempuh arah yang berbeda. Lagi pula, andaikata Arya tertinggal, pasti dia
mampu menyusul. Toh, tujuannya sudah di- sepakati. Istana Kerajaan Bojong
Gading!
Maka tanpa mempedulikan
belasan orang prajurit itu, Melati melesat cepat. Dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka yang terlihat hanyalah
sekelebat bayangan yang tidak jelas bentuknya.
“Hey...!”
Jaladra dan rekan-rekannya
yang sempat melihat kelebatan bayangan putih, langsung berteriak. Tapi hanya
itu saja yang dapat mereka lakukan. Karena belum sempat berbuat sesuatu, bayangan
tubuh Melati telah lenyap di kerimbunan semak-semak dan pepohonan.
*** 3
“Branjangan...! Lihat..!” seru
salah seorang prajurit yang selalu memasang pandangannya di angkasa.
Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar dan berambut kemerahan. Sambil berkata demikian, telunjuk tangan
kanannya ditudingkan ke angkasa.
Sementara, prajurit yang
dipanggil Branjangan menengadahkan kepala. Dan dia pun langsung melihat sesuatu
yang ditunjuk rekannya, yakni percikan bunga api yang berwarna-warni nun jauh di
sebelah Timur.
'Tanda dari Jaladra...,” desis
Branjangan.
“Benar,” laki-laki berambut
kemerahan meng- anggukkan kepala.
“Kalau begitu..., aku akan
cepat-cepat mem- beritahukan panglima,” kata Branjangan lagi.
“Ya! Cepatlah, Branjangan!”
sambut prajurit berambut kemerahan, cepat
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Branjangan segera berlari cepat meninggalkan rekannya menuju ke arah dua
ekor kuda yang tengah memakan rumput Dan begitu tinggal beberapa tombak lagi,
Branjangan melompat ke arah salah satu punggung kuda. Karuan saja binatang itu
meringkik karena kaget Tapi Branjangan sama sekali tidak peduli! Buru-buru.
diraihnya tali kekang kuda, dan digepraknya.
“Hiya...! Hiyaaa...!”
Kuda itu langsung berlari
cepat meninggalkan kepulan debu tebal di belakangnya. Sedangkan prajurit
berambut kemerahan itu masih terus mem- perhatikan angkasa.
Sementara itu, Branjangan
memacu kudanya bagai orang kesetanan. Yang ada di benaknya hanya satu. Tiba
secepat mungkin di kemah tempat rekan- rekannya berkumpul menunggu berita
darinya.
Tak lama kemudian, tenda-tenda
tempat rekan- rekannya beristirahat telah tampak oleh pandangan mata
Branjangan. Tenda-tenda itu dibangun hanya berjarak beberapa ratus tombak dari
tembok batas Kerajaan Bojong Gading. Memang, tempat Branjangan dan rekannya tak
begitu jauh dari tenda- tenda itu. Branjangan dan rekannya hanya mencari tempat
yang agak tinggi, agar mudah melihat tanda yang akan dilepaskan Jaladra.
Suara berderap keras dari
kaki-kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi, mengejutkan para prajurit
yang berjaga-jaga di sekitar tenda. Tapi ketika melihat Branjangan yang datang,
kekagetan mereka pun sirna.
Setelah menarik tali kekang
kudanya, Branjangan langsung melompat turun. Padahal, binatang itu belum
berhenti berlari. Akibatnya Branjangan hampir saja tersungkur. Namun, itu pun
sama sekali tidak dipedulikannya.
“Ada apa, Branjangan?” tanya
salah seorang dari empat prajurit yang melangkah menghampirinya.
“Ada tanda..., dari Jaladra,”
jawab Branjangan ter- putus-putus karena buru-buru ingin menyampaikan berita
itu. “Cepat beritahukan pada panglima.”
“Baik!”
Prajurit yang lain bergegas
menyanggupi dan langsung berlari cepat menuju ke arah sebuah tenda yang paling
besar dari sekian tenda-tenda yang ada di sekitar situ.
“Tunggu! Mau apa kau...?!” Dua
orang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda yang paling besar segera
menghalangi langkah prajurit yang akan memberitahukan berita yang dibawa
Branjangan.
“Ada tanda dari Jaladra...,”
beri tahu prajurit itu. “Baik! Akan kami sampaikan!”
Setelah berkata demikian,
salah seorang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda besar itu segera masuk ke
dalam. Dan tak lama kemudian, prajurit itu telah keluar kembali diiringi
seorang panglima bertubuh tinggi besar.
“Kalau begitu, kita harus
cepat berangkat!” ujar laki-laki tinggi besar yang tidak lain panglima kerajaan
ini, Galiwung, namanya. “Kirim tanda pada pasukan-pasukan lain!”
Sesaat kemudian, kesibukan
besar pun terjadi di tempat itu. Ada yang sibuk membongkar tenda atau
menyiapkan perbekalan dan senjata. Tak ketinggalan pula yang mengirim tanda
pada pasukan lainnya.
Tak lama kemudian, pasukan
prajurit yang dipimpin Panglima Galiwung pun mulai berangkat Jumlah mereka tak
kurang dari seratus orang! Sebagian besar, menunggang kuda. Dan hanya sebagian
kecil saja yang berjalan kaki. Branjangan dan prajurit berambut kemerahan
tampak pula di antara mereka.
Dengan duduk di atas punggung
kuda, Panglima Galiwung menatap satu persatu wajah-wajah anggota pasukannya.
“Akhirnya, saat yang dinanti-nantikan
tiba. Kita menyerang dan menghancurkan Kerajaan Bojong Gading! Kita akan bunuh
Prabu Nalanda! Maka..., Kerajaan Medang akan menjadi kerajaan besar!”
Pelan dan satu-satu ucapan
yang keluar dari mulut panglima Galiwung. Tapi karena memang suaranya keras dan
menggelegar, kata demi kata yang keluar dari mulutnya jadi terdengar berwibawa.
“Hidup Kerajaan Medang...!” teriak seorang prajurit yang berkumis tipis, sambil
mengangkat
tangannya ke atas.
“Hidup...!” sambut seluruh
prajurit yang berada di situ.
Gabungan seruan mereka membuat
keadaan sekitar tempat itu seperti bergetar, membahana.
“Hancurkan Kerajaan Bojong
Gading...!” Branjangan tak mau kalah.
“Benar! Hancurkan...!” sambut
prajurit yang rambut kemerahan.
“Kita bunuh Prabu Nalanda...!”
“Benar..., Prabu Nalanda harus
dibunuh!” “Hidup Prabu Indra Laksa...!”
Kali ini Panglima Galiwung
yang meneriakkan kata-kata keras sambil mengangkat kepalan tangan ke atas.
“Hidup...!”
Serempak seluruh prajurit
Kerajaan Medang menyambutnya. Bahkan seperti ada yang memberi perintah, mereka
secara berirama meneriakkan kata- kata hidup Kerajaan Medang.
Panglima Galiwung tensenyum
lebar. Kepalanya terangguk-angguk. Hatinya merasa puas sekali melihat semangat
pasukannya. Maka dibiarkan saja mereka berseru-seru keras beberapa saat. Dan
baru ketika dirasa telah cukup, segera diberinya aba-aba pada pasukannya untuk
berangkat
Bumi bagai dilanda gempa
ketika ratusan ekor kuda itu menapakkan kaki secara berbareng di tanah.
Sementara, dari mulut para prajurit
Kerajaan Medang terdengar siulan-siulan bernada kegembira- an.
Semakin lama, rombongan
prajurit Kerajaan Medang semakin jauh meninggalkan tempat itu. Sampai akhirnya,
mereka lenyap dari pandangan mata.
Kini hanya kesunyian yang
melingkupi tempat itu. Hebatnya, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau di
tempat itu pernah dijadikan tempat beristirahat pasukan prajurit! Tidak ada
tanda-tanda di tempat itu telah didirikan tenda, api unggun dan per- lengkapan
lainnya.
***
“Jadi..., Pasukan Kerajaan
Medang tengah menuju kemari?” tanya Prabu Nalanda.
Sambil duduk di singgasananya
yang indah, Raja Kerajaan Bojong Gading itu mengedarkan pandangan ke bawah. Di
sana, tengah duduk bersila seorang prajurit pintu gerbang.
“Benar, Gusti Prabu,” jawab
prajurit itu penuh hormat, sambil tetap menundukkan kepala. “Prajurit dari
Kadipaten Tasik dan beberapa kadipaten lain yang melaporkannya.”
“Hm. ”
Prabu Nalanda
mengangguk-anggukkan kepala. Jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu dielus-
elusnya. Kernyitan di dahinya memberi tanda kalau orang nomor satu di Kerajaan
Bojong Gading tengah berpikir keras.
“Apa saja yang dilaporkan
prajurit kadipaten- kadipaten itu, Prajurit?” tanya Prabu Nalanda ingin tahu.
“Menurut berita yang hamba
terima, prajurit Kerajaan Medang berjumlah banyak, Gusti Prabu,” jawab prajurit
pintu gerbang itu. “Lagi pula..., mereka dibantu tokoh-tokoh persilatan aliran
hitam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, satu persatu
kadipaten-kadipaten itu jatuh ke tangan mereka.
“Hehhh...?! Mengapa
tokoh-tokoh persilatan aliran hitam ikut campur dalam masalah ini? Apakah
mereka ingin mendapatkan kedudukan dari Kerajaan Medang apabila usaha
penyerbuan itu berhasil?!” dengus Prabu Nalanda, kaget
“Ampun, Gusti Prabu. Mengenai
hal itu, hamba sama sekali tidak tahu.”
Prabu Nalanda pun terdiam. Dia
tidak menyalahkan ketidaktahuan prajurit penjaga pintu gerbang itu.
“Bagaimana menurutmu, Paman
Patih?”
Prabu Nalanda menolehkan
kepalanya ke seorang laki-laki setengah tua berambut jarang-jarang. Dia memang
Patih Rantaka. Maka, laki-laki tua segera menghaturkan sembah. Kedua ujung jari
tangannya yang dirangkapkan, ditempelkan di hidung.
“Ampun, Gusti Prabu. Kalau
menurut perkiraan Hamba, ada dua hal yang membuat tokoh-tokoh persilatan aliran
hitam ikut ambil bagian dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Bojong Gading,”
sahut Patih Rantaka setelah beberapa saat lamanya termenung.
“Apa saja alasan itu, Paman
Patih?” tanya Prabu Nalanda penuh gairah.
Patih Rantaka tidak langsung
menjawab per- tanyaan itu. Dibasahinya dulu tenggorokannya yang mendadak
kering.
“Dugaan hamba yang pertama,
sama dengan dugaan Gusti Prabu sendiri. Keikutsertaan mereka dalam penyerbuan
itu adalah untuk mencari kedudukan.”
Prabu Nalanda
mengangguk-anggukkan kepala. Orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading ini pun
menyadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan Patih Rantaka.
“Lalu yang kedua...?” desak
Raja Kerajaan Bojong Gading tak sabar.
“Yang kedua, menurut hamba
adalah masalah pribadi, Gusti Prabu,” jawab Patih Rantaka, mantap.
“Masalah pribadi?” Prabu
Nalanda mengernyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu mu,
Paman?”
“Begini, Gusti Prabu. Seperti
diketahui, ada dua orang pendekar muda yang memiliki hubungan sangat dekat
dengan Kerajaan Bojong Gading. Gusti Ayu Melati yang juga putri Angkat Gusti
Prabu, dan Raden Arya Buana selaku kekasih Gusti Ayu. Dan sepanjang pengetahuan
hamba, hampir semua tokoh persilat mengetahui hal ini. Entah dari mana
mengetahuinya hamba sendiri tidak habis pikir. Tapi itulah dunia persilatan,
Gusti Prabu. Dunia per- silatan memiliki telinga yang jauh lebih tajam daripada
telinga kita.”
Patih Rantaka menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara, berpasang mata yang berada
di ruangan itu menatap ke arahnya penuh minat.
Di ruangan itu memang tak
banyak orang. Yang ada hanya Prabu Nalanda, Patih Rantaka, beberapa orang
panglima, Ki Temula, beberapa orang anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading, dan prajurit penjaga pintu gerbang.
“Padahal, selaku seorang
pendekar pembela kebenaran dan keadilan, Gusti Ayu Melati dan Raden Arya pasti
telah banyak menanam permusuhan. Jadi dengan adanya penyerbuan Kerajaan Medang
ini, akan terbuka kesempatan bagi tokoh-tokoh aliran hitam untuk melampiaskan
dendamnya pada pasangan pendekar muda itu. Begitu menurut dugaan hamba, Gusti
Prabu,” tutur Patih Rantaka menyelesaikan ceritanya.
Kepala semua orang yang berada
di ruangan terangguk-angguk. Mereka semua menyadari adanya kebenaran dalam
ucapan Patih Rantaka.
“Sekarang satu masalah telah
dapat kita atasi,” kata Prabu Nalanda sambil tersenyum lega. “Prajurit! kamu boleh kembali ke tempat
tugasmuu!”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut
prajurit pintu gerbang cepat sambil memberi hormat.
“Sekarang kita rundingkan cara
terbaik untuk menghadapi serbuan Kerajaan Medang,” ujar Prabu Nalanda.
“Bagaimana pendapat kalian semua?”
Setelah berkata demikian,
Prabu Nalanda meng- edarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya satu persatu
wajah-wajah panglima dan patihnya.
Dan memang, sesaat kemudian
dahi orang-orang penting Kerajaan Bojong Gading itu sama-sama berkernyit dalam.
Hanya beberapa kepala yang dahinya tidak ikut berkernyit, yaitu kepala milik
anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Dan yang satu adalah kepala Ki
Temula (Untuk jelasnya, mengenai tokoh Ki Temula, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode “Banjir Darah di Bojong Gading”).
“Ampun, Gusti Prabu,” sembah
Panglima Jumali, seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan bersuara
keras. “Menurut hemat hamba, kedatangan pasukan Kerajaan Medang kita sambut di
luar perbatasan kotaraja. Hal ini untuk mencegah mereka agar tidak masuk dan
mengacau kotaraja. Masalah- nya kalau hal itu terjadi, dapat menimbulkan korban
penduduk.”
Kepala semua panglima yang
berada di situ terangguk-angguk. Tak terkecuali, kepala Patih Rantaka. Memang,
usul yang diajukan Panglima Jumali tepat sekali.
“Di samping itu, Gusti Prabu,”
sambung Panglima Jumali lagi, lebih bersemangat melihat dukungan bagi usulnya.
“Apabila kita mengadakan pertarungan di luar kotaraja, banyak keuntungan yang
bisa dipetik.”
“Sebutkan di antaranya,
Panglima Jumali,” sabda Prabu Nalanda ingin tahu.
Panglima Jumali menelan
ludahnya sejenak, untuk melancarkan suaranya yang sudah mulai serak karena
terlalu banyak bicara.
“Begini, Gusti Prabu. Bila
kita maju menyambut serbuan itu, kekuatan mereka bisa langsung diketahui. Kalau
kekuatan mereka ternyata di bawah kita, ini yang diharapkan. Mereka dapat
dihancurkan di sana tanpa ada korban di antara penduduk yang tinggal dalam
kotaraja,” jelas Panglima Jumali, berapi-api.
“Lalu, kalau pasukan mereka
lebih kuat?” pancing Prabu Nalanda.
“Yahhh...! Apa boleh buat,
Gusti Prabu. Pasukan kita harus mundur masuk ke istana. Hamba rasa dengan
bantuan benteng yang kokoh, kita bisa bertahan,” sahut Panglima Jumali, dengan
wajah merah padam.
Prabu Nalanda mengelus-elus
jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu.
“Baiklah. Aku setuju, Panglima
Jumali. Persiap- kanlah segala sesuatunya,” titah Prabu Nalanda.
“Akan hamba laksanakan semua
perintah Gusti Prabu,” sahut Panglima Jumali sambil memberi hormat.
Prabu Nalanda menganggukkan
kepala.
Dengan agak bergegas, Panglima
Jumali, Ki Temula, dan panglima-panglima lainnya meninggal kan ruangan itu.
Kini yang tinggal hanyalah Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan enam orang anggota
pasukan khusus yang menjaga keselamatan Raja Kerajaan Bojong Gading itu.
*** 4
Di bawah pimpinan Panglima
Jumali, pasukan Kerajaan Bojong Gading berangkat menuju perbatasan Kotaraja
Bojong Gading. Di sepanjang perjalanan rombongan pasukan ini bertemu para
penduduk yang tengah mengungsi.
Memang, berita tentang
penyerbuan pasukan Kerajaan Medang telah tersebar luas. Sehingga, membuat para
penduduk yang tinggal dekat perbatasan kotaraja berbondong-bondong meninggal-
kan tempat berteduh mereka. Dengan barang-barang seadanya, rombongan penduduk
itu menuju ke pusat pemerintahan Kerajaan Bojong Gading.
Rupanya mereka tahu, tempat
yang paling aman adalah dekat istana! Tentu saja anggapan itu berubah, apabila
pasukan Kerajaan Bojong Gading hancur di tangan pasukan Kerajaan Medang, dan
Istana Bojong Gading telah dikuasai.
Sepanjang perjalanan, para
penduduk kotaraja mengelu-elukan pasukan Kerajaan Bojong Gading Mereka sadar,
nasib mereka semua bergantung pada hasil pertempuran antara pasukan itu dengan
pasukan penyerbu.
Bahkan para penduduk yang
terdiri dari pemuda bang bertubuh kekar segera memisahkan diri dari rombongan
pengungsi. Secara sukarela dan dengan berbekal senjata seadanya, mereka
menggabungkan diri pada pasukan yang dipimpin Panglima Jumali. Sedangkan
orang-orang tua, wanita, dan anak-anak yang tidak bisa membantu, mendoakan agar
pasukan Kerajaan Bojong Gading berhasil menumpas gerombolan penyerbu.
Tentu saja tindakan sukarela
pemuda-pemuda Kotaraja Bojong Gading itu diterima dengan tangan terbuka oleh
para prajurit Kerajaan Bojong Gading.
Sementara itu, kepergian
ratusan pasukan Kerajaan Bojong Gading, yang sebagian besar me- nunggang kuda,
menimbulkan suara bergemuruh di tanah. Senjata-senjata yang terhunus di tangan,
tampak berkilatan tertimpa sinar matahari.
Dan sebelum rombongan pasukan
yang dipimpin Panglima Jumali tiba di tembok batas kotaraja, dari jauh sudah
terlihat panji-panji Kerajaan Medang tengah berkibaran.
“Hooop...!”
Panglima Jumali mengangkat
tangan kanannya ke atas, sedangkan tangan kiri menarik tali kekang kuda. Maka
binatang tunggangannya seketika ber- henti. Dan ketika itu pula, pasukan
Kerajaan Bojong Gading ikut menghentikan langkah.
Lalu, Panglima Jumali
membalikkan arah kudanya. Kini sambil duduk di atas kuda, ditatapnya
wajah-wajah anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di hadapannya,
satu persatu.
“Wahai pasukan Kerajaan Bojong
Gading yang gagah perkasa...!”
Panglima Jumali membuka
ucapannya dengan suara mengguntur. Memang, sengaja dikerahkannya tenaga dalam
pada suaranya. Sehingga, membuat kata-katanya terdengar jelas oleh semua
anggota pasukannya.
“Sekaranglah saatnya berbakti
pada kerajaan dan tanah tumpah darah kalian! Di hadapan kalian, telah ada
musuh-musuh yang hendak menjarah tanh tumpah darah kita! Musuh-musuh yang akan
mem- bunuh ayah, ibu, adik, anak, dan seluruh orang yang kalian cintai. Apa pun
yang kalian miliki, akan dirampas mereka! Apakah kalian semua akan mem- biarkan
hal itu terjadi, wahai prajurit Kerajaan Bojong Gading yang perkasa?!”
“Tidak...!”
Jawaban serempak dari seluruh
anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading diikrarkan. Suasana di tempat itu sampai
bergetar hebat akibat pengaruh teriakan ratusan orang itu.
“Oleh karena itu, mari kita
pertahankan semua milik kita dengan seluruh kemampuan! Jangan kita biarkan
penjarah-penjarah itu merampok hak-hak kita. Kita harus usir dan tumpas habis
pasukan Kerajaan Medang yang akan menginjak-injak martabat kita!” sambung
Panglima Jumali lagi penuh semangat.
Akuuur...!” sambut anggota
pasukan Kerajaan Bojong Gading penuh semangat.
“Hancurkan pasukan Kerajaan
Medang...!” teriak Panglima Dampu.
“Usir mereka dari sini...!”
sambut seorang prajurit Kerajaan Bojong Gading.
“Tumpas!” tambah yang lainnya.
“Ganyang!”
Seketika itu pula, suasana di
sekitar tempat itu jadi riuh rendah oleh teriakan-teriakan penuh semangat dari
prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Mereka semua seperti tidak ingin
ketinggalan melontarkan sambutan. Tapi sebentar kemudian, suara riuh rendah itu
kontan lenyap ketika Panglima Jumali mengangkat tangannya ke atas.
“Wahai, prajurit Kerajaan
Bojong Gading yang gagah berani. Mari kita tumpas penjarah-penjarah itu! Jangan
biarkan mereka memasuki tanah leluhur kita! Kita pertahankan setiap jengkal
tanah sampai tetes darah yang penghabisan! Wahai, prajurit Kerajaan Bojong
Gading, mari kita sambut kedatangan mereka”
Usai berkata demikian,
Panglima Jumali mengibaskan tangannya ke depan seraya mem- balikkan kudanya.
Sementara itu, pasukan
Kerajaan Medang telah dekat di hadapan mereka. Pasukan itu terus menyerbu tanpa
mempedulikan teriakan-teriakan semangat pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading
yang telah dibakar semangatnya itu pun menyambut penuh semangat. Sambil
mengeluarkan pekik-pekik me- lengking tinggi, mereka meluruk memapak kedatangan
pasukan Kerajaan Medang.
Tepat seperti yang telah
direncanakan Panglima Jumali, pertempuran menghadapi pasukan Kerajaan Medang
terjadi di luar Kotaraja Bojong Gading! Tepatnya sekitar lima puluh tombak dari
tembok batas kotaraja.
Pertempuran yang mengerikan
pun terjadi ketika dua pasukan besar itu bertemu! Dentang senjata beradu,
teriakan-teriakan bernada kemarahan, jerit kesakitan dan kematian, bercampur
baur menjadi satu. Sinar sang surya yang memancar terik sama sekali tidak
dipedulikan, Yang ada di benak masing- masing pihak hanya satu. Membunuh lawan
sebanyak-banyaknya!
Panglima Jumali, dan
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya terkejut sekali ketika melihat
banyaknya jumlah lawan. Memang, mereka telah mendengar kalau Kerajaan Medang
adalah sebuah Kerajaan besar. Namun sungguh tidak disangka kalau jumlah lawan
akan sebanyak ini. Jelas, Mereka kalah dalam jumlah pasukan.
Tapi tentu saja pasukan Kerajaan
Bojong Gading tidak keluar semua dari kerajaan. Bahkan jumlah mereka sebenarnya
pun tidak kalah. Memang, di Istana Bojong Gading masih ada pasukan yang
bertugas menjaga istana.
Prajurit-prajurit Bojong
Gading bertarung seperti harimau terluka. Rupanya, ucapan Panglima Jumali tadi
termakan oleh mereka. Maka, mereka pun bertekad bertarung sampai tetes darah
yang terakhir. Tidak kalah beringasnya terlihat dalam pertarungan adalah
Panglima Jumali dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya. Setiap kali
senjata mereka berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang roboh tak
bangun lagi untuk selamanya.
Memang menggiriskan sekali
sepak terjang panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading. Mereka membabat nyawa
anggota pasukan Kerajaan Medang seperti membabat rumput saja. Dan hal ini tidak
aneh, karena panglima-panglima ini bukan orang sembarangan melainkan
tokoh-tokoh yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Panglima-panglima Kerajaan
Bojong Gading ini sebenarnya adalah bekas murid utama perguruan-perguruan besar
yang dulu pernah ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak episode “Banjir Darah di Bojong
Gading”). Meskipun amukan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading ini hebat
bukan kepalang, tapi lebih hebat lagi amukan Ki Temula! Kakek kecil berwajah
tirus ini memang guru dari beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading. Dia
dulunya adalah Ketua Perguruan Garuda Sakti, salah satu perguruan besar yang
ada di wilayah Kerajaan Bojong Gading. Dari sini saja bisa diperkirakan
kedahsyatan amukan Ki Temula.
Hanya dalam waktu sebentar
saja, sudah tidak terhitung anggota pasukan Kerajaan Medang yang roboh di
tangan mereka. Lolong kematian diikuti ambruknya tubuh-tubuh di tanah, selalu
terjadi setiap tangan atau kaki mereka bergerak.
***
Tapi bukan hanya pihak
Kerajaan Bojong Gading saja yang memiliki tokoh-tokoh berkepandaian tinggi
sehingga enak saja menyebar maut. Pihak Kerajaan Medang pun memiliki jago-jago
yang tak kalah banyak jumlahnya.
Memang, dalam usaha untuk
menguasai wilayah Kerajaan Bojong Gading, Kerajaan Medang yang pimpin
panglima-panglima pilihan telah mengikut- sertakan pula jago-jago nomor satu
istana. Bukan hanya itu saja. Jauh-jauh hari sebelum penyerbuan dilaksanakan,
telah banyak dikumpulkan tokoh persilatan aliran hitam untuk membantu meng-
hadapi pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Dengan tawaran kedudukan
apabila usaha penyerbuan itu berhasil, dan juga alasan kalau Kerajaan Bojong
Gading itu adalah kerajaan yang akan dipimpin Dewa Arak nantinya, tokoh-tokoh
persilatan aliran bltam akhirnya bisa dibujuk untuk bergabung. Dan dengan
banyaknya jago di pihak Kerajaan Medang, tak terhitung pula banyaknya pasukan
Kerajaan Bojong Gading yang tewas.
Panglima Jumali, Ki Temula,
dan panglima- panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya tentu saja melihat hal
itu. Kegeraman bercampur kemarahan pun seketika melanda hati mereka. Maka
sambil terus mengamuk untuk merobohkan lawan demi lawan, mereka bergerak
mendekati jago-jago Kerajaan Medang!
Usaha Ki Temula dan
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading yang membuka jalan, ter- nyata
berhasil. Dan kini, jago-jago kedua kerajaan itu telah terlibat pertarungan
masing-masing.
Sekarang jalannya pertarungan
lebih berimbang. Karena, jago-jago Kerajaan Medang berhadapan dengan jago-jago
Kerajaan Bojong Gading. Dengan sendirinya, prajurit berhadapan dengan prajurit.
Panglima-panglima Kerajaan
Bojong Gading yang terdiri dari Panglima Jumali, Panglima Tampaya, Panglima
Jatalu, dan Panglima Garda mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk
menghadapi panglima-panglima, dan jago-jago Kerajaan Medang. Meskipun demikian,
karena lawan yang dihadapi terlalu banyak, mereka jadi terdesak.
Di pihak lain, Ki Temula pun
menghadapi hal ya serupa. Bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti ! mengamuk laksana
macan luka. Entah sudah berapa puluh orang yang tewas di ujung pedangnya.
Sehingga, ujud pedangnya hampir tidak terlihat lagi. Apalagi darah telah
menutupi pedang itu hingga ke gagangnya Bahkan pakaian yang dikenakan kakek
sakti itu telah dipenuhi percikan darah lawan- lawannya.
Tapi kali ini, Ki Temula tidak
bisa seleluasa sebelumnya dalam merobohkan lawan. Lawan yang dihadapinya kali
ini adalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Mereka tidak selihai dirinya,
tapi karena terdiri dari banyak lawan, karuan saja dia menjadi keteter pula.
Bukan hanya Ki Temula dan
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading saja yang terdesak. Pasukan Kerajaan
Bojong Gading pun terdesak pula. Meski- pun telah bertekad mempertahankan setiap
jengkal tanah dengan percikan darah, namun tak urung terdesak juga. Karena,
pasukan Kerajaan Medang pun bertarung tak kalah nekat. Dan yang lebih
menguntungkan lagi, pasukan penyerbu ini memiliki jumlah yang lebih banyak!
Hasilnya, walaupun kemampuan perorangan prajurit Kerajaan Medang hampir
seimbang, tapi karena berjumlah banyak, mereka jadi terdesak.
Perlahan-lahan namun pasti
tempat pertempuran mulai bergeser ke arah tembok batas Kotaraja Bojong Gading.
Panglima-panglima Kerajaan
Bojong Gading tentu saja melihat hal itu, sehingga membuat mereka cemas bukan
kepalang. Mereka, terutama sekali Panglima Jumali, tidak henti-hentinya
melontarkan kata-kata keras untuk membangkitkan semangat pasukannya. Tapi,
ternyata tetap saja tidak merubah keadaan. Betapapun besar semangat pasukan
Kerajaan Bojong Gading, tapi karena memang ber- kemampuan terbatas, maka tetap
saja mereka tidak mampu berbuat banyak. Mereka terus saja didesak mundur oleh
pasukan Kerajaan Medang.
Di antara orang-orang pihak
Kerajaan Bojong Gading, hanya Ki Temula tokoh yang paling lihai. Tapi, kakek
sakti itu tetap saja tidak berdaya. Lawan yang dihadapinya terlalu banyak dan
lihai-lihai. Mati satu, segera muncul gantinya. Demikian seterusnya. Sehingga,
Ki Temula tidak bisa membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading yang tengah
terdesak hebat.
Namun tak lama kemudian,
mendadak terdengar derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam tanah di
kejauhan, tampak seekor kuda yang ditungangi seorang gadis berpakaian putih.
Rambut- nya hitam panjang hingga melewati bahu. Dia memacu kudanya dengan
kecepatan tinggi ke arah pertepuran yang tengah berlangsung.
Meskipun derap kaki kuda yang
bertubi-tubi terdengar oleh semua prajurit yang tengah bertarung namun tak ada
satu pun yang berani menoleh ke asal suara. Mereka tidak sudi membuang nyawa
hanya karena ingin mengetahui orang yang tengah memacu kudanya secara
tergesa-gesa itu.
Gadis berpakaian putih itu
memang tengah gesa- gesa. Hal ini bisa dibuktikan dari pecutan yang
bertubi-tubi ke bagian belakang tubuh kuda.
Ctar, ctar, ctar...!
“Hiyaaa...! Hiyaaa...!”
Masih dengan kecepatan tinggi,
gadis berpakaian putih ini mencabut pedang yang tergantung di punggung.
Sehingga, kini dia memegang tali kekang kuda dengan satu tangan. Dan dengan
keadaan seperti itu kudanya dipacu ke arah kancah per- tarungan, serta langsung
terjun ke dalamnya. Bahkan pedangn langsung dikelebatkan.
“Aaakh...!”
Lolong kematian terdengar
ketika pedang gadis berpakaian putih itu membabat tubuh prajurit- prajurit
Kerajaan Medang! Seketika itu pula, tubuh- tubuh mereka ambruk ke tanah, dan
tak bangun- bangun lagi.
Karuan saja kehadiran gadis
berpakaian putih itu membuat pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di
dekat situ menolehkan kepala, untuk melihat orang yang telah membantu mereka.
Maka seketika itu pula meledaklah kegembiraan mereka.
“Gusti Ayu...!” seru seorang
prajurit Kerajaan Bojong Gading keras, bernada kegembiraan.
“Hahhh...?! Gusti Ayu...?!”
prajurit lainnya mengulang tak percaya sambil terus mengadakan perlawanan.
“Hoy...! Gusti Ayu datang...!”
“Gusti Ayu datang...!”
Kegemparan langsung
menyelimuti pasukan Kerajaan Bojong Gading. Semangat mereka kembali bangkit
atas kehadiran gadis berpakaian putih yang memang Melati.
Kini dengan adanya bantuan
dari Melati, desakan terhadap pasukan Kerajaan Bojong Gading mulai berkurang.
Dengan Ilmu 'Pedang Seribu Naga' Melati memang bagai malaikat pencabut nyawa
saja. Setiap kali pedangnya berkelebat, setiap kali pula ada sesosok tubuh yang
ambruk ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Tapi hanya sebentar saja
pasukan Kerajaan Bojong Gading menarik napas lega. Pada kenyataann lawan-lawan
yang dihadapi memang terialu banyak Meskipun Melati telah membantu, tapi karena
jumlah lawan terlalu banyak, tetap saja pasukan Kerajaan Bojong Gading
terdesak. Hanya saja, desakan yang melanda memang tidak sedahsyat sebelumnya.
Tapi meskipun begitu, mereka tetap terdesak mundur. Bahkan hingga hampir
mencapai tembok batas kotaraja.
Pada saat pasukan Kerajaan
Bojong Gading tengah terdesak hebat itulah, terdengar suara tawa berkakakan
nyaring.
“Ha ha ha...!
Keras bukan kepalang tawa itu
terdengar. Jelas tawa itu ditopang tenaga dalam tinggi. Dan akibatnya memang
tidak main-main. Hampir semua prajurit yang tengah bertempur langsung ambruk,
karena kedua lutut mereka tiba-tiba terasa lemas.
Bukan para prajurit saja yang
terpengaruh oleh suara tawa itu bahkan para panglima dari dua buah kerajaan,
tokoh-tokoh aliran hitam, dan Melati serta Ki Temula pun terpengaruh pula.
Malah, Melati dan Ki Temula sampai mengerahkan tenaga dalam untuk melawan
pengaruh suara tawa itu.
Tak jauh dari kancah
pertempuran, muncul seorang kakek bertubuh tinggi kurus. Rambutnya kaku seperti
sikat kawat. Pakaian yang dikenakan pun berupa helaian kain abu-abu yang
dilibat-libat. Di pinggangnya, tampak terlilit sebuah cambuk yang
berserat-serat kasar.
Ki Temula dan Melati, dua
orang'yang paling tangguh di antara semua orang yang berada di situ, menatap
kakek berambut kaku itu penuh selidik.
“Siapa kau, Kisanak? Dan
mengapa mencampuri Urusan kami?” tanya Ki Temula bernada hati-hati.
Bekas Ketua Perguruan Garuda
Sakti itu bukan orang bodoh. Dia tahu, kakek berambut kaku itu memiliki
kepandaian tinggi. Dan itu bisa diketahui dari suara tawanya yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi sebelum kakek berambut
kaku itu sempat menjawab, semua orang yang tadi terpengaruh tawa yang
dikeluarkannya telah berhasil memulihkan diri. Maka, pertarungan pun kembali
berlangsung.
Tanpa mempedulikan pertarungan
lainnya, kakek berambut kaku itu menatap tajam wajah Ki Temula.
“Semula, aku tidak ingin
keluar dari tempat kediamanku! Tapi karena seseorang telah berjanji
mengunjungiku, namun tidak kunjung muncul, maka aku yang datang mencarinya! Aku
mencari Dewa Arak, tapi belum juga bertemu! Mungkin kalau semua pasukan
Kerajaan Bojong Gading kubantai dan Istana Bojong Gading berhasil dikuasai
orang, baru keparat itu akan muncul!”
“Siapa kau?!” tanya Ki Temula,
berdebar tegang Memang, sudah bisa diperkirakannya siapa kakek tinggi kurus
ini. Dewa Arak memang telah ceritakan padanya mengenai tokoh ini.
“Aku Kemamang Danau Neraka,”
kata kakek berambut kaku, memperkenalkan diri.
Ki Temula sama sekali tidak
merasa terkejut karena memang sudah menduganya (Untuk jelasnya silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode “Perjalanan Menantang Maut”).
Usai memperkenalkan diri,
Kemamang Danau Neraka langsung melecutkan cambuknya ke arah pelipis Ki Temula.
Untung saja laki-laki tua itu sudah
bersiap siaga sejak tadi. Maka, dia langsung melompat mundur. Sehingga....
Ctarrr. !
Asap tipis langsung mengepul.
Percikan-percikan bunga api pun mengiringi ketika lecutan cambuk tidak mengenai
sasaran, dan hanya lewat beberapa jengkal di depan wajah Ki Temula.
“Ha ha ha. !”
Kemamang Danau Neraka tertawa
gembira ketika melihat serangannya bisa dielakkan lawan. Tanpa mempedulikan
kalau serangannya akan mengancam keselamatan orang-orang yang berada di situ,
kakek tinggi kurus ini kembali melancarkan serangan susulan.
Mau tak mau orang-orang yang
tengah bertempur pun menyingkir dari situ. Mereka semua tidak ingin mati konyol
tersambar serangan nyasar dari kedua belah pihak. Namun demikian, mereka tetap
tidak menghentikan pertarungan.
Dengan menyingkirnya
orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, dua orang kakek sakti itu jadi
leluasa bertarung. Ki Temula yang sejak tadi sudah mencabut pedangnya langsung
memberi perlawanan tak kalah sengit.
Maka pertarungan antara kedua
kakek yang sama-sama memiliki tingkat kepandaian tinggi pun berlangsung.
Masing-masing mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menjatuhkan
lawan secepatnya.
*** 5
Untuk pertama kalinya, Ki
Temula harus bertarung melawan pemilik salah satu pulau yang ada di Pulau Ular.
Disadari kalau Kemamang Danau Neraka adalah lawan yang amat tangguh, maka tanpa
ragu- ragu bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti ini mengerahkan seluruh
kemampuannya.
Pedang di tangan Ki Temula
menyambar-nyambar ke arah berbagai bagian tubuh lawan. Terkadang menusuk,
membacok, dan tak ketinggalan membabat Memang, seluruh permainan ilmu pedangnya
dikeluarkan.
Hebat bukan kepalang permainan
pedang Ki Temula. Setiap gerakan pedangnya selalu menimbul kan bunyi yang
menggiriskan hati. Mengaung, mendesing, bahkan mencicit. Jelas, gerakan pedang
itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun, kelihaian Ki Temula
ternyata mampu diimbangi Kemamang Danau Neraka. Meskipun senjata kakek berambut
kaku ini kelihatan lemas, tapi sebenarnya bisa menegang kaku seperti layaknya
sebatang tombak! Memang menakjubkan sekali permainan cambuk Kemamang Danau
Neraka. Senjata di tangannya bisa meliuk-liuk seperti seekor ular,
mematuk-matuk, menegang kaku, di samping melecut seperti cambuk pada umumnya.
Dari sini saja bisa
diperkirakan kelihaian Kemamang Danau Neraka. Paling tidak membutuh- kan
kemampuan tinggi, di samping tenaga dalam yang amat kuat untuk mementahkan
serangan kakek berambut kaku ini. Tak heran, meskipun hanya mereka berdua saja
yang bertarung, namun suara yang ditimbulkannya tidak kalah dengan suara
pertempuran ratusan prajurit.
Setelah bertarung beberapa
jurus, Ki Temula baru mengakui kesaktian pemilik pulau di Pulau Ular ini.
Pekembangan gerakan cambuk Kemamang Danau Neraka benar-benar sulit diduga.
Kalau saja Ki Temula bukan bekas ketua perguruan silat besar yang telah banyak
dan kenyang pengalaman ber- tempur, pasti sudah sejak tadi ia roboh.
Tapi meskipun demikian, tetap
saja Ki Temula terdesak. Dan itu terjadi setelah pertarungan ber- langsung
lebih dari tiga puluh jurus. Di sini baru terbukti kalau bekas Ketua Perguruan
Garuda Sakti ini mulai terlihat kalah segala-galanya. Baik dalam tenaga,
kecepatan maupun mutu ilmu silat. Jadi, tak aneh kalau dia sekarang sampai
terdesak. Apalagi Ki Temula habis melakukan pertarungan yang cukup menguras
tenaga.
Memang patut dipuji kekerasan
hati Ki Temula Walaupun tahu kalau tak akan mampu menghadapi Kemamang Danau
Neraka, tetapi dia terus meng- adakan perlawanan dengan gagah berani.
Suara mendesing nyaring,
mencicit, mengaung ditingkahi suara meledak-ledak keras, meramaikan jalannya
pertarungan antara Ki Temula melawan Kemamang Danau Neraka.
Menginjak jurus ketiga puluh
lima, keadaan Ki Temula semakin terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkannya
pun semakin berkurang. Kini, dia lebih sering mengelak. Menangkis pun hanya
sesekali saja dilakukan, karena hanya akan merugikan saja. Apalagi kekuatan
tenaga dalamnya masih di bawah Kemamang Danau Neraka. Sebaliknya,
serangan-serangan Kemamang Danau Neraka semakin bertubi-tubi meluncur ke
arahnya. Sudah bisa diperkirakan, robohnya Ki Temula hanya tinggal menunggu
waktu saja.
Maka di jurus keempat puluh
tiga....
Ctarrr. !
Diiringi lecutan keras
menggelegar, Kemamang Danau Neraka meluncurkan cambuknya ke arah pelipis Ki
Temula. Andaikata sampai mengenai sasaran, past! kepala kakek itu akan hancur
lebur. Memang, lecutan itu sebenarnya mampu meng- hancurkan batu karang yang
paling keras sekalipun!
Ki Temula tentu saja
mengetahui kedahsyatan serangan itu. Maka, buru-buru serangan itu dipapak
dengan pedangnya.
Ctarrr! Rrrt..!
Ki Temula terperanjat ketika
cambuk lawan tiba- tiba melilit batang pedangnya. Tahu kalau keadaan- nya
terjepit, kakek kecil. kurus ini berusaha melepaskan senjatanya dari belitan
itu. Seluruh kekuatan yang masih tersisa dikerahkan untuk membetot.
Tapi, Kemamang Danau Neraka
yang memang sudah merencanakan hal ini sama sekali tidak mem- biarkannya. Dia
pun balas membetot sambil mem- pertahankan belitan cambuknya pada pedang lawan.
Maka adu tarik-menarik pun tidak bisa dielakkan lagi.
Tak lama kedua tokoh sakti ini
saling tarik- tarikan, namun sudah terlihat pemenangnya. Wajah Ki Temula tampak
merah padam. Bahkan dari atas kepalanya mengepul uap tipis, pertanda telah
mengeluarkan tenaga dalam sampai ke puncaknya. Sedangkan Kemamang Danau Neraka
hanya memerah saja wajahnya. Perlahan-lahan, tubuh Ki Temula menjadi condong ke
depan, karena terbawa tarikan Kemamang Danau Neraka. Hal ini tidak
mengherankan, karena di samping tenaga Ki Temula ada di bawah lawannya,
kekuatan tenaga dalamnya juga telah menurun jauh. Memang, dia telah terlalu
banyak mengeluarkan tenaga sebelum bertarung menghadapi Kemamang Danau Neraka.
Meskipun tahu kalau dirinya
kalah tenaga, tapi Ki Temula tetap tidak mau melepaskan pedangnya. masih tetap
bertahan. Sisa-sisa tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan untuk terus
membetot.
Mendadak, tanpa diduga-duga Ki
Temula, Kemamang Danau Neraka melepaskan belitan cambuknya. Akibatnya, tubuh
kakek berwajah tirus itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikannya
sendiri.
“He he he...!”
Kemamang Danau Neraka tertawa
terkekeh. Kembali cambuk di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Ki Temula yang
masih terhuyung-huyung. Padahal, Ki Temula belum mampu mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terjengkang.
Ctarrr...! “Akh...!”
Ki Temula memekik keras ketika
ujung cambuk Kemamang Danau Neraka menyengat dadanya. Keras bukan main! Darah
langsung memercik deras dari mulut Ki Temula. Jelas, kakek berwajah tirus ini
terluka dalam.
Tindakan Kemamang Danau Neraka
ternyata tidak sampai di situ saja. Tanpa mengenai rasa kasihan sedikit pun,
tubuh Ki Temula yang masih terhuyung-huyung dikejarnya. Dan sekali lagi, cambuk
di tangannya meluncur. Kali ini dengan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular.
Ki Temula yang sudah terluka
dalam dan masih terhuyung-huyung, berusaha menangkis. Tapi gerakan cambuk yang
meliuk-liuk itu, menyulitkan- nya. Meskipun demikian pedangnya tetap digerakkan
untuk menangkis.
Tukkk...!
Ternyata usaha Ki Temula
gagal. Bahkan cambuk itu langsung menotok tepat pada pelipis kanannya. Kontan
tubuh bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti Ini ambruk ke tanah, dengan nyawa
meninggalkan raga. Pelipisnya telah pecah terkena lecutan cambuk yang
mengandung tenaga dalam amat tinggi itu. Memang, menyedihkan sekali kematian Ki
Temula. Dia tewas tanpa sempat mengeluh lagi.
“He he he...!”
Tawa keras menggelegar
Kemamang Danau Neraka mengiringi perginya Ki Temula ke alam baka. Setelah puas
tertawa-tawa, dia menghambur ke dalam kancah pertarungan.
“Dewa Arak! Lihat..! Aku
datang menagih janji- mu...!”
Sambil berteriak-teriak keras,
Kemamang Danau Neraka melecutkan cambuknya ke arah pasukan Kerajaan Bojong
Gading. Hebat dan menggiriskan sekali sepak terjang kakek berambut kaku ini.
Setiap kali cambuk, tangan, atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan akan
ada yang roboh di tanah tanpa nyawa.
Maka, akibatnya terasa sekali
bagi pasukan Kerajaan Bojong Gading. Keadaan mereka memang sudah terdesak. Dan
kini, Kemamang Danau Neraka ikut terjun dalam kancah pertarungan menghadapi
mereka. Maka, keadaan pasukan Kerajaan Bojong Gading semakin kocar-kacir. ***
Mengamuknya Kemamang Danau
Neraka mengejutkan semua orang yang berada di pihak kerajaan dibawah pimpinan
Prabu Nalanda. Karena, berarti Ki Temula telah tewas!
Memang, tidak semua pasukan
Kerajaan Bojong Gading yang melihat kematian Ki Temula. Tubuh- tubuh yang
tergolek di tanah juga tidak terhitung lagi. Tambahan lagi, suasana sekitarnya
benar-benar kacau oleh pertarungan. Sehingga sulit untuk memperhatikan ke kanan
dan ke kiri.
Melati dan keempat orang
panglima Kerajaan Bojong Gading hanya bisa menghembuskan napas berat. Mereka
juga sudah bisa memperkirakan kalau Ki Temula telah tewas. Bahkan Panglima
Jatalu dan Panglima Garda, hampir menitikkan air mata di sela- sela pertarungan
menghadapi lawan. Ki Temula adalah guru mereka. Dan sedihnya mereka sama sekali
tidak bisa melihat kematian guru mereka sendiri. Siapa yang tidak menjadi
terenyuh hatinya?
Panglima Jumali dan ketiga
orang panglima lainnya sadar. Kalau pertarungan diteruskan, bukan tidak mungkin
semua prajurit Kerajaan Bojong Gading akan musnah. Maka....
“Prajurit Bojong Gading yang
gagah berani, mundurrr...!” teriak Panglima Jumali keras, sambil melompat
menjauhi lawannya.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, pasukan Kerajaan Bojong Gading cepat bergerak mundur, menjauhi lawannya.
Kini mereka melakukan per- lawanan sambil mundur.
Sebenarnya, sudah sejak tadi
pasukan Kerajaan Bojong Gading mundur. Hanya saja, gerak mereka terlalu lambat
dan tidak terasa. Sekarang dengan adanya perintah dari Panglima Jumali, mereka
bergerak lebih cepat sambil sesekali melancarkan perlawanan agar tidak mati
konyol.
Bukan hanya pasukan Kerajaan
Bojong Gading saja yang mundur seraya terus melakukan per- lawanan. Demikian
juga Melati. Meskipun penasaran, putri angkat Raja Bojong Gading itu terus
melangkah mundur. Memang disadari, kalau tindakan yang diambil Panglima Jumali
sangat tepat
Sebuah keuntungan bagi pihak
Kerajaan Bojong Gading, Kemamang Danau Neraka rupanya sudah bosan mengamuk
tanpa mendapat perlawanan berarti. Apalagi ketika pihak lawan mundur. Maka,
amukannya pun dihentikan, dan hanya berdiri sebagai penonton.
Tapi sebenarnya hal utama yang
membuat kakek berambut kaku ini menghentikan amukannya adalah teriakan-teriakan
Melati.
“Kemamang Danau Neraka! Kau
pengecut! Beraninya hanya menghadapi orang-orang lemah. Kalau jantan, tunggulah
kedatangan Dewa Arak. Dia sudah lama mencari-carimu!”
Di sela-sela kesibukannya
menghadapi lawan gadis berpakaian putih itu mengeluarkan ucapan ucapan yang
membuat telinga Kemamang Danau Neraka memerah karena malu.
Namun meskipun tidak ada
Kemamang Danau Neraka, tetap saja keadaan tidak berubah.Pihak Kerajaan Bojong
Gading tetap terdesak hebat dan dipaksa mundur.
Tanpa sadar, tempat
pertarungan terus bergeser ke dalam kotaraja. Tembok batas kotaraja sudah sejak
tadi terlewat. Dan kini, desakan pasukan Kerajaan Medang telah mulai mendekati
Istana Bojong Gading. Dan selama gerak mundurnya pasukan Kerajan Bojong Gading,
korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Di mana-mana bergeletakan
sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Dentang senjata beradu ditingkahi jerit kesakitan
membahana membelah angkasa.
Sementara itu, pasukan
Kerajaan Bojong Gading yang berada di dalam istana, memperhatikan jalannya
pertempuran dengan perasaan gelisah.
Pintu gerbang istana, telah
dibuka lebar-lebar untuk memudahkan rekan-rekan mereka masuk ke dalamnya. Dan
hal itu memang dilakukan prajurit- prajurit penjaga pintu gerbang, begitu
mendapat aba- aba dari prajurit-prajurit yang berjaga-jaga di atas benteng.
Patih Rantaka dan Panglima
Dampu, dua panglima yang bertugas menjaga keamanan benteng istana, segera
memerintahkan para prajurit yang tersisa untuk bersiap-siap. Pasukan panah
telah siap meluncurkan anak panah di semua tempat di atas benteng. Ini
dilakukan apabila rekan-rekan mereka telah dekat tembok benteng istana, agar
lawan tidak ikut masuk ke dalam benteng.
Dan ketika pasukan-pasukan
yang tengah ber- tempur itu telah berada dalam jarak luncuran anak panah,
prajurit-prajurit yang terdiri dari pemanah- pemanah ulung itu menjepretkan
busurnya.
Twanggg, twanggg...!
Puluhan, bahkan mungkin lebih
dari seratus anak- anah meluncur ke rah pasukan Kerajaan Medang.
Tidak hanya sekali saja hal
itu dilakukan, tapi berkali-kali. Karuan saja hal itu membuat pasukan Kerajaan
Medang kelabakan. Mereka segera memapak datangnya anak panah itu dengan senjata
atau tameng ya dipegang. Sebagian besar anak panah itu berhasil tertangkis
hingga runtuh. Tapi sebagian di antaranya mengenai sasaran. Jerit-jerit
kesakitan dan lolong kematian pun terdengar membahana ketika anak-anak panah
itu mendarat di berbagai bagian tubuh anggota pasukan Kerajaan Medang.
Kesempatan baik itu digunakan
oleh pasukan Kerajaan Bojong Gading untuk masuk ke dalam benteng istana. Tentu
saja tidak semuanya berhasil masuk. Sebagian di antara mereka tewas dalam
perjalanan menuju benteng, dan sebagian kecil terkena serangan anak panah
nyasar.
Dan begitu para panglima serta
Melati yang merupakan orang terakhir masuk ke dalam benteng, pintu gerbang
istana pun langsung ditutup. Sementara pasukan panah terus saja melepaskan
anak-anak panah.
Panglima Galiwung tentu saja
tidak menginginkan pasukannya banyak jatuh korban. Maka pasukannya segera
diperintahkan mundur.
Meskipun merasa penasaran,
pasukan Kerajaan Medang pun mentaati perintah pemimpinnya. Mereka segera
menghentikan penyerbuan dan ber- gerak mundur, walaupun tentu saja dengan hati
penasaran.
Perasaan penasaran yang lebih
besar melanda hati lokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Mereka merasa heran,
mengapa Panglima Galiwung menyuruh mundur?
*** 6
Kini pasukan Kerajaan Medang
dengan leluasa men- jarah semua harta benda para penduduk Kotaraja Bojong
Gading. Semua yang ada disikat, baik itu makanan maupun hewan ternak.
Yang lebih keji, ketika tidak
ada lagi sesuatu yang dapat mereka rampok, bangunan-bangunan tempat tinggal
penduduk itu pun dibakar.
“Ha ha ha...!”
Gelak tawa kegembiraan
prajurit Kerajaan Medang mengiringi berkobarnya api yang membakar rumah-rumah
penduduk Kotaraja Bojong Gading. Asap tebal berwarna kehitaman membumbung
tinggi ke angkasa ketika si jago merah melahap bangunan- bangunan rumah. Suara
gemeretak dinding-dinding bangunan yang terbakar terdengar di sana-sini.
Tentu saja semua kekejian itu
dilihat oleh pasukan Kerajaan Bojong
Gading. Terutama sekali, prajurit yang berjaga-jaga di atas benteng istana
dengan anak panah siap diluncurkan. Perasaan geram pun melanda hati mereka
semua. Kalau menuruti perasaan hati sudah tentu mereka serbu pasukan Kerajaan
Medang. Namun apa daya? Buktinya lawan lebih kuat. Mengikuti kemarahan hanya
akan merugikan diri sendiri. Maka yang dapat dilakukan prajurit-prajurit
Kerajaan bojong Gading hanya menggertakkan gigi sambil mengepalkan kedua
tangan.
Sementara orang-orang yang
membuat prajurit Kerajaan Bojong Gading itu geram, terus saja bergembira dan
berpesta pora. Kalau saja para penduduk kotaraja tidak lebih dulu mengungsi,
pasti mereka akan menjadi korban amukan pula. Dan nasib yang lebih mengerikan
jelas akan menimpa kaum wanita.
“Ha ha ha...!”
Masih dengan gelak tawa tak
putus-putus, prajurit Kerajaan Medang melangkah meninggalkan tempat itu sambil
membawa berbagai macam hasil rampokan, dan segera bergabung dengan kelompok
mereka. Kini mereka beristirahat sambil menikmati makanan dan bersenda gurau.
Mereka tahu, kemenangan sudah berada di depan mata.
Tapi, tidak semua anggota
pasukan Kerajaan Medang bersenda gurau dan bersenang-senang. Sebagian lagi
berjaga-jaga, dan sisanya beristirahat di dalam tenda-tenda yang telah
dipasang. Semua tenda berukuran kecil. Tapi, ada sebuah yang mempunyai bentuk
dan ukuran lebih besar dari lainnya.
Di tenda inilah orang-orang
penting Kerajaan Medang berkumpul. Panglima Galiwung, beberapa panglima
lainnya, jago-jago istana, dan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam tampak asyik
berbincang- bincang.
“Mengapa harus menghentikan
penyerangan, Panglima Galiwung?” tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
berpakaian coklat tua.
Suara laki-laki ini kecil dan
nyaring, mirip ringkikan kuda. Sungguh berlainan sekali dengan bentuk tubuhnya
yang tinggi besar dan kekar. Raut wajahnya kelimis, tanpa ditumbuhi kumis,
jenggot, atau cambang. Namun demikian tidak menjadikan perbawaannya berkurang.
Sebuah luka melintang tampak menghiasi wajahnya.
“Hal itu memang kusengaja,
Raksasa Batu,” sahut Panglima Galiwung sambil tersenyum. “Sengaja?”
Alis laki-laki yang memiliki
luka melintang di wajah, dan ternyata berjuluk Raksasa Batu ber- kernyit. Tapi
ternyata bukan hanya alis Raksasa Batu saja yang berkernyit dalam. Tokoh-tokoh
aliran hitam lainnya pun mengernyitkan alis pula.
“Mengapa, Panglima Galiwung?”
tanya tokoh persilatan yang berpakaian hitam kelam. Dialah yang dijuluki si
Garuda Hitam.
“Ya! Bukankah hanya tinggal
sesaat lagi, kita akan berhasil meraih kemenangan itu?” sambut laki- laki yang
berpakaian merah menyala.
Memang, di antara mereka ada
dua orang yang memiliki pakaian warna merah menyala. Sebuah ikat kepala
berwarna merah pun melilit di dahi- nya.Mereka dijuluki Sepasang Setan Api.
Panglima Galiwung tidak
langsung menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan. Dia malah
menyunggingkan senyum lebar sambil mengelus-elus dagunya yang hanya. berjenggot
tiga lembar.
“Perlu kalian ketahui semua,”
panglima Kerajaan Medang itu membuka pembicaraan. “Dalam peperangan, tidak
hanya kepalan saja yang kita butuhkan. Tapi juga otak.”
Kontan wajah tokoh-tokoh
persilatan yang ada di situ, merah padam. Memang, sedikit banyak ucapan yang
dikeluarkan Panglima Galiwung menyentil perasaan mereka walaupun tidak secara
langsung.
“Untuk apa harus mengorbankan
pasukan banyak kalau aku bisa meruntuhkan Kerajaan Bojong Gading dengan jumlah korban sedikit di
pasukanku,” kalem jawaban yang terdengar dari mulut Panglima Galiwung. “Aku
belum mengerti maksudmu, Panglima Galiwung,” kata Raksasa Batu sambil
mengernyitkan kening.
Sementara, Sepasang Setan Api,
Garuda Hitam, dan beberapa tokoh persilatan aliran hitam lainnya tidak berkata
apa-apa. Padahal, sebenarnya mereka dilanda perasaan yang sama.
Mereka inilah tokoh-tokoh
aliran hitam yang tersisa. Memang, sebagian tokoh aliran hitam lainnya telah
tewas ketika bertarung menghadapi Ki Temula dan Melati.
Panglima Galiwung menatap
sebentar satu persatu wajah-wajah yang menyiratkan ketidak- mengertian
hadapannya.
“Kalau seandainya kuteruskan
penyerbuan..., memang kemungkinan Istana Bojong Gading bisa direbut Tapi..., kemungkinan
pasukanku banyak sekali yang tewas. Benteng itu terlalu kuat, dan sangat sulit
menembusnya. Tambahan lagi, di atas benteng istana benjejer pasukan panah.
Mereka dengan mudah akan menghujani anak panah pada pasukanku. Dan sudah bisa
ditebak, banyak pasukanku yang akan jadi korban sebelum mencapai tembok
benteng!” jelas Panglima Galiwung.
Kontan kepala semua tokoh
aliran hitam yang berada di situ terangguk-angguk. Mereka menyadari adanya
kebenaran dalam ucapan panglima Kerajaan Medang itu.
“Lalu..., sekarang apa yang
akan kau lakukan, Panglima Galiwung?” tanya Garuda Hitam. “Aku sudah tidak
sabar lagi memasuki Istana Bojong Gading!”
“Tidak ada,” jawab Panglima
Galiwung, singkat Para tokoh aliran hitam itu saling berpandangan satu sama
lain. Wajah maupun sorot mata mereka menampakkan keterkejutan mendalam. Memang,
jawaban yang diberikan Panglima Galiwung sama sekali tidak disangka-sangka.
“Jadi, kita harus diam
berpangku tangan di sini, Panama Galiwung?” selak Raksasa Batu tanpa
menyembunyikan nada heran dalam pertanyaannya.
Panglima Galiwung
menganggukkan kepala. “Lalu..., bagaimana kita bisa mendapatkan Istana
Kerajaan Bojong Gading,
Panglima GaBwung?!” desak Raksasa Batu penasaran
Panglima Galiwung tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Seulas senyum malah tersungging di bibirnya.
“Karena mereka memutuskan
untuk menghadapi kita dengan cara bertahan di dalam benteng, maka akan kuturuti
kemauan mereka. Aku ingin tahu, sampai berapa lama mereka mampu bertahan di
dalam benteng itu!”
Seketika, kepala semua tokoh
persilatan aliran hitam yang ada di situ terangguk. Kini, semuanya telah
mengerti siasat yang akan dilakukan Panglima Galiwung. Rupanya, panglima
Kerajaan Medang itu ingin membuat pasukan Kerajaan Bojong Gading terkurung di
dalam benteng.
“Siasat yang kau lakukan
sangat tepat, Panglima Galiwung,” puji Raksasa Batu sambil mengacungkan jempol
kanannya.
“Benar. Mereka akan mati
seperti tikus terjepit. Mati secara perlahan-lahan!” sambut Garuda Hitam.
“Memang demikianlah maksudku!”
sambut Panglima Galiwung, gembira. “Setelah mereka semua lemah, kita akan serbu
mereka! Dan kurasa tanpa kesulitan benteng Kerajaan Bojong Gading dapat
direbut! Ha ha ha...!”
“Ha ha ha...!” Semua orang
yang berada di dalam tenda besar itu pun tertawa bergelak. Tawa gembira bernada
kemenangan.
***
Siang itu suasana di persada
panas bukan kepalang. Memang, matahari telah tepat di atas kepala. Sinarnya
memancar dengan garang, seperti akan membakar apa saja yang ada di bawahnya.
Tapi suasana seperti itu tidak
menghalangi langkah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berpakaian
panglima. Wajahnya penuh cambang bauk lebat, sehingga menambah kewibawaannya.
Panglima bertubuh tinggi besar
itu tampak tengah melangkah tergesa-gesa. Ini bisa dilihat dari langkah kakinya
yang lebar-lebar. Tampaknya, tujuannya adalah ke sebuah bangunan besar dalam
istana.
Tapi di pintu masuk bangunan
besar itu, laki-laki bertubuh tinggi besar ini menghentikan langkahnya, karena
tombak dua orang prajurit saling disilangkan sehingga menutupi jalannya.
“Maaf, Panglima Gorawangsa!
Tanpa perkenan Gusti Prabu, kami tidak bisa membiarkanmu masuk,” kata, prajurit
yang bertahi lalat di pipi kanan.
Laki-laki tinggi besar yang
ternyata Panglima Gorawangsa, panglima Kerajaan Pasugihan, ter- senyum pahit
(Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode “Perjalanan Menantang Maut”).
“Aku juga tahu peraturan itu,
Prajurit!” sergah Panglima Gorawangsa. “Tapi karena ada masalah penting dan
mendesak, aku ingin menghadap Gusti Prabu. Meskipun beliau belum memanggilku.
Harap laporkan permintaanku ini pada Gusti Prabu.” Dua orang prajurit penjaga
pintu masuk Istana Kerajaan Pasugihan itu saling berpandangan se- jenak.
Kemudian prajurit yang bertahi lalat di pipi mengalihkan pandangan kembali ke
arah Panglima Gorawangsa.
“Baik. Kami akan melaporkan
maksud Panglima.
Harap Panglima sudi menunggu
sebentar.”
Setelah berkata demikian,
laki-laki bertahi lalat itu membalikkan tubuh dan melangkah ke dalam.
Ditinggalkannya Panglima Gorawangsa dan rekan- nya.
Tak lama kemudian, prajurit
bertahi lalat itu telah kembali keluar.
“Gusti Prabu berkenan menerima
kedatanganmu, Panglima Gorawangsa.”
Sementara prajurit yang
satunya lagi segera melangkah ke samping, memberi jalan pada Panglima
Gorawangsa. Maka tanpa membuang- buang waktu lagi, panglima Kerajaan Pasugihan
itu segera melangkah ke dalam istana.
Panglima Gorawangsa segera
memberi hormat pada seorang laki-laki setengah baya yang tengah duduk di atas
singgasana. Dialah Raja Kerajaan Pasugihan. Prabu Manik Angkeran namanya.
Sedangkan di sekitar tempat
itu, tampak berdiri beberapa orang prajurit yang bersikap menjaga keselamatan
Prabu Manik Angkeran. Mereka adalah pasukan khusus Kerajaan Pasugihan, yang
terdiri dari jago-jago nomor satu Istana Kerajaan Pasugihan. Panglima
Gorawangsa segera memberi hormat dengan menekuk sebelah kakinya. Tangan
kanannya yang terkepal menekan tanah, sedang wajahnya
menatap lantai.
“Maafkan hamba, Gusti Prabu.
Hamba berani menghadap tanpa dipanggil,” ucap Panglima Gorawangsa.
“Lupakanlah, Gorawangsa.
Katakan, apa yang hendak kau sampaikan,” sahut Prabu Manik Angkeran, bijaksana.
Panglima Gorawangsa menelan
ludah sejenak untuk melonggarkan tenggorokannya.
“Hamba membawa berita buruk,
Gusti Prabu,” lapor Panglima Gorawangsa memulai ceritanya.
“Berita buruk, Gorawangsa?”
sepasang alis Prabu Manik Angkeran berkerut “Berita buruk apa? Cepat
sampaikan!”
“Kerajaan Bojong Gading
diserbu pasukan Kerajaan Medang. Dan kini, pasukan itu tengah terkurung di
benteng istana. Tanpa adanya bantuan, Kerajaan Bojong Gading akan jatuh ke
tangan Kerajaan Medang, Gusti Prabu.”
Kontan wajah Raja Pasugihan
itu mengelam. “Inikah berita yang kau katakan penting dan
mendesak itu, Gorawangsa?!”
tanya Prabu Manik Angkeran, penuh bernada teguran. Raut ketidak- senangan
tampak jelas pada wajahnya.
“Benar, Gusti Prabu. Dan hamba
mohon ampun apabila berita yang hamba bawa ini tidak berkenan di hati Gusti
Prabu.”
Brakkk!
Sambil menggebrak tangan
singgasananya, orang nomor satu di Kerajaan Pasugihan itu bangkit berdiri.
Wajahnya tampak merah padam. Jelas, Raja Pasugihan itu tengah murka.
“Gorawangsa!” tegur Prabu
Manik Angkeran bernada tinggi. “Meskipun belum diutarakan, tapi sudah bisa
kutebak maksud ucapanmu! Kau meng- inginkan aku membantu Kerajaan Bojong
Gading, bukan?!”
“Ampun, Gusti Prabu. Memang
demikianlah maksud hamba,” jawab panglima berkumis dan berjenggot rapi ini
sambil menundukkan kepala. Dia tahu, junjungannya murka kepadanya.
“Kau gila, Gorawangsa! Kau menginginkan
pasukan kerajaan kita ikut campur dalam pertempuran itu?! Apakah sudah kau
pertimbangkan masak-masak maksudmu itu?! Puluhan, bahkan mungkin ratusan
prajurit kita akan gugur bila kuizinkan kau melaksanakan rencana gila itu!”
“Ampun, Gusti Prabu. Tapi
ingatkah Gusti Prabu akan Dewa Arak?” Panglima Gorawangsa tetap nekat “Aku
ingat! Dewa Arak telah menanam budi besar pada kerajaan kita! Lalu, apa
hubungannya dengan Kerajaan Bojong Gading dan Kerajaan Medang?!” masih tetap
tinggi nada suara Prabu Manik
Angkeran.
“Ampunkan hamba, Gusti Prabu.
Kalau hamba tidak salah ingat, bukankah Gusti Prabu ingin membalas budi baik
Dewa Arak?!”
“Benar! Lalu, mengapa?!”
“Kerajaan Bojong Gading adalah
kerajaan calon mertua Dewa Arak, Gusti Prabu,” lanjut Panglima Gorawangsa
memberi penjelasan.
“Benarkah itu, Gorawangsa?”
tanya Raja Kerajaan Pasugihan, mulai lunak nada suaranya.
“Ampun, Gusti Prabu.
Demikianlah berita yang hamba ketahui.”
Prabu Manik Angkeran tertegun
sejenak. Sepasang matanya menatap tajam pada satu titik. Dan masih dengan sikap
seperti itu, dia lalu duduk kembali di singgasananya perjahan-lahan.
“Kalau begitu, kirim pasukan
ke wilayah Kerajaan Bojong Gading, Gorawangsa. Bantu kerajaan itu menghadapi
Kerajaan Medang. Hhh...! Kerajaan Medang memang kerajaan yang gemar berperang.
” “Akan hamba laksanakan perintah Gusti Prabu.”
Kemudian setelah memberi
hormat, panglima yang bertubuh tinggi besar ini segera melangkah meninggalkan
ruangan itu untuk melaksanakan titah Prabu Manik Angkeran.
*** 7
Hari masih pagi. Sang surya
baru saja muncul di ufuk Timur, namun sudah berupa bola raksasa berwarna merah
membara. Angin yang berhembus pun masih terasa sejuk menerpa dada, dan terasa
nikmat di kulit ketika pasukan Kerajaan Medang bergerak menuju Istana Kerajaan
Bojong Gading.
Di bawah pimpinan Panglima
Galiwung, pasukan Kerajaan Medang siap menyerang Istana Kerajaan Bojong Gading.
Panji-panji kerajaan berkibaran di udara. Derap kaki kuda dan kaki manusia yang
bertubi-tubi menghantam tanah, membuat persada bagai terguncang.
Berada paling depan adalah
jago-jago Istana Kerajaan Medang dan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Hal
itu memang mengikuti aturan yang dibuat Panglima Galiwung. Panglima Kerajaan
Medang itu tahu, kalau para prajurit yang berada di bagian terdepan sudah dapat
dipastikan akan banyak jatuh korban di antara mereka.
Bukan hanya itu saja yang
menyebabkan Panglima Galiwung mengambil keputusan demikian. Dia berpikiran,
jago-jago istana dan para tokoh persilatan aliran hitam itu akan digunakan
untuk melumpuhkan pasukan panah. Memang, dibutuhkan orang-orang yang
berkemampuan cukup tinggi untuk melaksanakan tugas itu. Dan hal itu tidak
mungkin bisa dilakukan para prajurit.
Tentu saja kedatangan pasukan
Kerajaan Medang itu diketahui pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mereka pun,
terutama sekali pasukan panah, segera bersiap-siap menyambut datangnya serbuan.
Pasukan panah sudah siap di
tempat masing- masing dengan anak-anak panah terentang siap dijepretkan. Mereka
semua menunggu hingga pasukan lawan berada dalam jarak jangkauan luncuran anak
panah.
Dan ketika barisan pasukan
Kerajaan Medang yang terdepan telah berada dalam jangkauan, pasukan panah
Kerajaan Bojong Gading pun mulai menjepretkan panahnya.
Twanggg, twanggg...!
Puluhan, bahkan mungkin
ratusan anak panah melesat bagai hujan ke arah pasukan Kerajaan Medang. Dan
sebelum anak panah itu mengenai sasaran, pasukan Kerajaan Bojong Gading kembali
meluncurkan anak-anak panah lainnya.
Kejadian seperti yang sudah
diperhitungkan Panglima Galiwung pun terjadi. Jago-jago istana dan tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam sama sekali tidak mengalami kesulitan memunahkan hujan
serangan anak panah itu.
Trakkk, trakkk, trakkk...!
Sebagian besar serangan
anak-anak panah itu berhasil dikandaskan. Baik terpukul runtuh, maupun
terpental balik. Hanya beberapa gelintir saja yang mengenai prajurit-prajurit
Kerajaan Medang.
“Aaakh...!” ,
Jerit kesakitan dan lolong
kematian terdengar dari mulut prajurit-prajurit yang terhunjam anak panah.
Tubuh-tubuh yang tidak bernyawa langsung ber- jatuhan ke tanah.
Seiring semakin majunya
pasukan Kerajaan Medang, maka semakin banyak jumlah prajurit yang berjatuhan di
tanah disertai lolong kematian. Tapi hal seperti itu tidak menimpa jago-jago
istana dan para tokoh persilatan aliran hitam. Mereka terus saja merangsek
maju, mendekati benteng dengan senjata- senjata di tangan yang tak
henti-hentinya diputar- putarkan untuk menangkis hujan anak panah.
Semakin lama, jarak antara
mereka semakin dekat Dan ketika telah mendekati tembok benteng istana, mereka
pun melompat ke atas.
Dengan ilmu meringankan tubuh
yang mereka miliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk melompat ke atas
tembok benteng sambil tetap memutar-mutarkan senjata untuk menangkis.
“Hup! Hup! Hup...!”
Sesaat kemudian, jago-jago
Istana Kerajaan Medang dan para tokoh persilatan aliran hitam pun telah
mendaratkan kakinya di atas tembok. Dan secepat berada di atas, secepat itu
pula menyerbu pasukan panah.
Tentu saja pasukan panah
Kerajaan Bojong Gading tidak tinggal diam. Mereka langsung mengadakan
perlawanan, tapi hanya seperti semut- semut menerjang api. Dengan mudah, mereka
ditumbahgkan lawan-lawannya.
Memang dengan perbedaan
tingkat kepandaian yang jauh dibanding lawan-lawannya, pasukan panah Kerajaan
Bojong Gading ini menjadi santapan empuk. Jerit kematian diiringi
bertumbangannya tubuh-tubuh anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading terdengar
susul-menyusul. Keadaan di atas tembok benteng istana pun kocar-kacir. Dengan
sendirinya, hujan anak panah itu pun berkurang.
Saat itulah, pasukan Kerajaan
Medang bergerak maju secara cepat di bawah pimpinan Panglima Galiwung. Dengan
kedua tangannya, panglima Kerajaan Medang ini memukul daun pintu gerbang.
Dan.... Brakkk...!
Daun pintu gerbang yang
terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu kontan hancur berantakan. Dapat
dibayangkan, betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Panglima Galiwung.
Begitu melihat daun pintu
gerbang itu telah terbuka lebar, pasukan Kerajaan Medang segera meluruk masuk
disertai pekikan keras membahana. Pasukan Kerajaan Bojong Gading pun segera
menyambut kedatangan mereka. Tak pelak lagi, pertempuran yang mengerikan pun
terjadi. Suara dentang senjata beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian pun
mengusik keheningan pagi buta. Bahkan masih ditingkahi suara berdebuknya tubuh-
tubuh yang berjatuhan ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading di bawah pimpinan lima orang
panglima, satu orang patih, dan Melati, berjuang keras menanggulangi serbuan
lawan Pedang di tangan Melati, dalam penggunaan ilmu 'Pedang Pembunuh Naga',
berkelebatan ke sana kemari. Suara menggerung keras seperti naga murka
menyertai gerakan pedangnya.
Setiap kali pedang itu
berkelebat, sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh yang roboh ke tanah dalam
keadaan tidak bemyawa lagi. Putri angkat Raja Bojong Gading ini memang bagaikan
singa betina yang terluka saja.
Bukan hanya Melati saja yang
mengamuk. Panglima Jumali, Panglima Dampu, Panglima Tampaya, Panglima Jatalu,
dan Patih Rantaka melakukan hal serupa. Tapi karena jumlah pasukan Kerajaan
Bojong Gading jauh lebih sedikit, tetap saja usaha yang dilakukan hampir tidak
berarti. Pasukan Kerajaa Bojong Gading semakin terdesak mundur. Melihat
pasukannya semakin terdesak mundur, Prabu Nalanda tidak bisa tinggal diam. Dia
pun langsung terjun dalam kancah pertempuran, sambil mengeluarkan pekikan
keras.
Tentu saja pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading pun tidak tinggal diam. Mereka terjun ke arena
pertempuran untuk melindungi junjungannya.
Cukup hebat amukan Raja Bojong
Gading Terutama sekali, amukan pasukan khusus yang selalu mendampinginya.
Meskipun tidak sedahsyat amukan panglima-panglima kerajaan, tapi sedikit banyak
cukup membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Suara hiruk-pikuk senjata
beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian terdengar saling susul. Untuk
kedua kalinya, halaman Kerajaan Bojong Gading dibanjiri darah (Untuk jelasnya
mengenai kejadian yang pertama, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
“Banjir Darah di Bojong Gading”).
***
Di saat-saat gawat bagi
keutuhan Kerajaan Bojong Gading, terdengar suara bergemuruh dari derap puluhan,
bahkan mungkin ratusan ekor kuda. Itu pun masih ditambah lagi teriakan-teriakan
bernada peperangan.
Karuan saja suara ribut-ribut
itu cukup memaksa orang-orang yang tengah bertempur mengalihkan perhatian,
walaupun hanya sekilas.
Ternyata di kejauhan, nampak
ratusan kuda tengah berpacu cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading. Menilik
dari adanya dua macam panji-panji yang dibawa, bisa diketahui kalau pasukan
berkuda itu bukan dari satu kerajaan. Dan memang, pasukan berkuda itu adalah
gabungan antara pasukan Kerajaan Pasugihan dan pasukan Kerajaan Kamujang.
Memang, seperti juga halnya
Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Kamujang pun mendengar berita buruk yang menimpa
Kerajaan Bojong Gading. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Raja Kamujang yang bernama
Prabu Jayalaksana mengirimkan pasukan untuk membantu Kerajaan Bojong Gading.
Pasukan Kerajaan Kamujang ini dipimpin langsung oleh Patih Juminta.
Tentu saja Prabu Jayalaksana
tidak begitu saja mengirimkan pasukan untuk membantu kalau tidak mempunyai
alasan kuat Mana sudi dia mengorban- kan pasukannya untuk membantu kerajaan
orang? Dan ternyata alasan kuat itu adalah Dewa Arak.
Beberapa waktu yang lalu, Dewa
Arak telah menyelamatkan keutuhan Kerajaan Kamujang. Betapapun dipaksakan
keinginan untuk memberikan hadiah tapi tetap saja Dewa Arak tidak mau
menerimanya.Kini terbukalah jalan untuk membalas budi Dewa Arak. Bukankah
Kerajaan Bojong Gading adalah kerajaan calon mertua Dewa Arak? Menolong calon
mertuanya, berarti sama dengan menolong Dewa Arak. Dan setidak-tidaknya, dia
telah mem- balas budi itu (Untuk jelasnya mengenai cerita Kerajaan Kamujang,
silakan, baca serial Dewa Arak dalam kisah 'Pendekar Tangan Baja”).
Di tengah perjalanan, pasukan
Kerajaan Kamujang yang dipimpin Patih Juminta, bertemu pasukan Kerajaan
Pasugihan yang dipimpin Panglima Gorawangsa. Setelah mengetahui maksud
masing-masing, kedua pasukan itu memutuskan untuk pergi bersama-sama. 'Dan
sekarang, dua pasukan dari dua kerajaan itu tengah meluruk ke arah Istana
Bojong Gading yang tengah dilanda kemelut.
Tentu saja kedatangan pasukan
dari dua kerajaan itu membuat pasukan Kerajaan Medang dan pasukan Kerajaan
Bojong Gading yang tengah bertempur jadi kebingungan. Dan dengan sendirinya,
meskipun pertempuran terus berlangsung sengit, tapi sudah tidak seramai
sebelumnya.
Terutama sekali, pertarungan
antara kedua panglima kerajaan. Baik Panglima Jumali dan kawan-kawan, maupun
Panglima Galiwung beserta rekan.
Pertarungan antara mereka jadi
berkurang jauh sengitnya.
Panglima dari dua kerajaan itu
sama-sama kaget atas kedatangan dua pasukan itu. Meskipun sudah bisa diketahui
asal pasukan-pasukan kerajaan itu, namun mereka tidak mengetahui maksud
kedatangannya. Maka, jantung panglima-panglima kedua kerajaan yang sedang
bertikai itu jadi berdetak jauh lebih
cepat. Tegang, karena menanti- kan kelanjutan dari kedatangan pasukan-pasukan
itu.
Meskipun demikian, pertarungan
terus ber- langsung sengit. Padahal, kedua belah pihak bertarung dengan
pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam benak.
Sementara itu, pasukan
Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang semakin lama semakin men- dekati
Istana Kerajaan Bojong Gading. Dengan sendirinya, suara bergemuruh yang
menyertai gerakan mereka semakin terdengar jelas.
“Hoi...! Pasukan Bojong
Gading...! Aku, Panglima Gorawangsa dari Kerajaan Pasugihan datang membantu
kalian...!” teriak Panglima Gorawangsa.
Teriakan Panglima Gorawangsa
ini dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam, sehingga dapat terdengar jelas.
Padahal jaraknya dengan Istana Kerajaan Bojong Gading tak kurang dari dua puluh
tombak.
“Aku, Patih Juminta dari
Kerajaan Kamujang juga berniat sama dengan kedatangan pasukan Kerajaan
Pasugihan!” Patih Juminta berteriak pula, sebelum gema teriakan Panglima
Gorawangsa lenyap seluruh- nya.
Seperti juga Panglima
Gorawangsa, teriakan Patih Juminta pun disertai tenaga dalam. Hal itu terpaksa
dilakukan agar bisa terdengar pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Dan pada kenyataannya maksud
pucuk pimpinan dua pasukan itu terkabul. Teriakan mereka ter- dengar jelas oleh
kedua belah pihak yang tengah terlibat pertarungan.
Tentu saja pemberitahuan dari
Kerajaan Kamujang maupun Kerajaan Pasugihan itu membuat semangat pasukan
Kerajaan Bojong Gading bangkit kembali. Sebaliknya, pasukan Kerajaan Medang
menjadi khawatir bercampur cemas.
Baik Patih Juminta maupun
Panglima Gora- wangsa segera memerintahkan menyerbu pasukan Kerajaan Medang.
Maka kini keadaan langsung berbalik. Pasukan Kerajaan Medang ganti kelabakan,
karena tergencet dari dua arah. Dari depan meng- hadapi pasukan Kerajaan Bojong
Gading, dan dari belakang menghadapi serbuan pasukan Kerajaan Pasugihan dan
Kerajaan Kamujang.
Dentang senjata beradu, pekik
kesakitan, dan lolong kematian semakin sering terdengar. Tubuh- tubuh berlumur
darah mulai bergelimpangan di tanah, tak mampu bergerak lagi. Memang,
pertempuran yang terjadi berlangsung semakin sengit.
Di antara orang yang melihat
datangnya bala bantuan itu adalah Melati. Padahal, gadis itu tengah sibuk
menghadapi keroyokan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam.
Melati tahu, kedatangan
pasukan itu adalah untuk membantu
Kerajaan Bojong Gading. Dan dia tahu kenapa dua kerajaan itu membantu Kerajaan
Bojong Gading. Hal ini hanyalah karena Dewa Arak. Putri angkat Raja Bojong
Gading itu tahu, karena Arya selalu menceritakan perjalanannya.
Dengan datangnya bala bantuan,
lawan yang dihadapi Melati makin berkurang. Kini lawan putri angkat Raja Bojong
Gading itu hanyalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Tidak ada lagi
prajurit Kerajaan Medang yang mengeroyoknya. Mereka semua memisahkan diri dari
kancah pertarungan untuk menghadapi serbuan pasukan Kerajaan Pasugihan dan
Kerajaan Kamujang.
Memang sejak tadi
prajurit-prajurit Kerajaan Medang-lah yang membuat Melati kerepotan. Keberadaan
mereka menyulitkannya untuk men- jatuhkan serangan pada lawan-lawannya.
Sehingga, sejak tadi hanya keroco-keroco saja yang tewas di tangan Melati.
Raksasa Batu, Sepasang Setan Api, dan Garuda Hitam, selalu mampu berlindung di
balik tubuh para prajurit itu.
Tapi sekarang, mereka tidak
bisa melakukan hal seperti itu lagi. Keempat orang ini harus berusaha keras
untuk menghadapi Melati yang menggunakan ilmu 'Pedang Seribu Naga'. Memang
dahsyat ilmu andalan putri angkat Raja Bojong Gading itu. Suara menggerung
keras mengiringi setiap pergerakan pedang Melati.
Tapi lawan-lawan yang dihadapi
Melati ternyata cukup memiliki kepandaian. Tambahan lagi, mereka menghadapinya
bersama-sama. Tidak aneh kalau perlawanan yang dilakukan pun cukup berat
dirasa- kan Melati.
***
Gigi Panglima Galiwung
bergemeletuk. Hatinya merasa geram bukan kepalang ketika menyadari kalau
pasukannya mungkin tidak berhasil me- menangkan pertempuran. Datangnya bala
bantuan tak terduga itulah penyebabnya.
Yang lebih celaka lagi,
keadaan pasukannya yang tergencet dari dua arah. Akibatnya, mereka tidak bisa
menyelamatkan diri lagi. Jadi tidak ada pilihan bagi mereka kecuali bertempur
terus hingga titik darah penghabisan.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa
keras meng- gelegar laksana ada halilintar menyambar di sekitar tempat itu.
Hebat betul pengaruh yang
ditimbulkan suara tawa itu. Semua orang yang tengah bertarung langsung
menghentikan gerakan. Bahkan langsung mendekapkan kedua tangan ke telinga, yang
men- dadak terasa berdengung keras.
Hanya ada beberapa gelintir
orang saja yang tidak mendekap telinganya. Mereka adalah panglima- panglima
kerajaan, jago-jago nomor satu istana, tokoh-tokoh persilatan aliran hitam, dan
Melati.
Semua kepala mendongak ke
atas. Ratusan pasang mata langsung
tertuju ke arah tembok benteng istana. Karena, memang dari sanalah asal suara
tawa itu.
Di atas tembok benteng Istana
Kerajaan Bojong Gading, nampak berdiri sesosok tubuh berkulit kemerahan
terbalut baju berwarna abu-abu. Dia tak lain dari Kemamang Danau Neraka.
Memang, tokoh Pulau Ular yang
menggiriskan itulah yang tadi mengeluarkan suara tawa keras menggelegar. Sebuah
keuntungan bagi semua prajurit yang ada di situ, kakek berambut kaku ini tidak
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam- nya sewaktu mengeluarkan tawa.
Tambahan lagi, tawa yang dikeluarkan pun tidak terus dilakukan. Kalau
dilanjutkan, apalagi disertai tenaga dalam penuh, pasti tidak akan ada satu
orang pun yang selamat.
“Sungguh sebuah pertarungan yang
tidak adil...,” kata Kemamang Danau Neraka.
Pelan saja ucapan yang keluar
dari mulut Kemamang Danau Neraka, seakan-akan tengah bicara pada diri sendiri.
Namun meskipun demikian, terdengar jelas oleh semua orang yang berada di situ.
“Pasukan dari tiga kerajaan,
bersatu mengeroyok pasukan sebuah kerajaan.
Tidak adil. Sungguh
tidak adil. !” lanjut Kemamang Danau Neraka, lebih
keras daripada sebelumnya.
Usai berkata demikian, kakek
berambut kaku itu melepaskan cambuk yang melilit pinggang, lalu melecutkannya
ke udara.
Ctarrr. !
Suara keras menggelegar
seperti ada halilintar menyambar langsung terdengar. Dan begitu lecutan
cambuknya lenyap, Kemamang Danau Neraka segera melompat turun. Laksana seekor
burung garuda, tubuh tokoh Pulau Ular itu melayang ke bawah, dan mendarat
ringan di tanah.
Sementara itu pertarungan
kembali berlangsung setelah pengaruh suara tawa Kemamang Danau Neraka usai.
Dengan demikian, kedua kaki Kemamang Danau Neraka mendarat di tangah- tengah
pertempuran yang tengah berkecamuk.
Tapi, rupanya Kemamang Danau
Neraka memang ingin terlibat dalam pertarungan. Maka begitu kedua kakinya
mendarat di tanah, langsung saja cambuk di tangannya dilecutkan. Kalau tidak
mengarah pada pasukan Kerajaan Bojong Gading, tentu meluncur ke arah pasukan
Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan. Tampak jelas kalau kakek berambut
kaku ini membela pihak Kerajaan Medang.
Hebat bukan kepalang tindakan
Kemamang Danau Neraka. Setiap kali cambuk di tangannya dilecutkan, pasti ada
yang roboh ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Permainan cambuk Kemamang
Danau Neraka memang luar biasa! Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi, cambuk itu bisa dikendalikan sekehendak hatinya. Terkadang
melecut seperti layaknya sebuah cambuk, tapi tak jarang menegang kaku seperti
layaknya sebatang tombak. Gilanya, gerakan cambuk itu terkadang bisa
meliuk-liuk dan mematuk-matuk seperti seekor ular!
Jerit kematian terdengar
saling susul setiap kali cambuk, tangan, atau kaki Kemamang Danau Neraka
bergerak. Secara leluasa, tokoh hitam itu menyebar maut di pihak lawan.
Memang, celakalah
prajurit-prajurit yang ber- hadapan dengan Kemamang Danau Neraka. Betapa tidak?
Setiap serangan yang dikirimkan, baik berupa tusukan, bacokan, babatan. atau
hantaman, sama sekali tidak terpengaruh. Sekujur tubuh Kemamang Danau Neraka
seolah-olah terbuat dari karet kenyal. Sehingga membuat semua serangan berbagai
senjata yang mengenai tubuhnya berpentalan kembali. Tubuh Kemamang Danau Neraka
sama sekali tidak terluka. Bahkan tangan para pengeroyoknya langsung terasa
sakit-sakit.
Melihat hal ini, Melati
menggertakkan gigi. Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketelengasan
tindakan Kemamang Danau Neraka. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah sibuk
menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Jadi, memang tidak ada yang bisa
dilakukannya. Lagi pula seandainya memang harus berhadapan dengan Kemamang
Danau Neraka, Melati tak bakal mampu membendung amukannya. Kakek berambut kaku
itu memang terlalu tangguh. Rasanya hanya Dewa Arak saja yang mampu
menanggulanginya. Terasa betul pentingnya kehadiran pemuda berambut putih
keperakan itu kalau tengah terjadi hal seperti ini.
Meskipun belum mampu
mengalahkan lawan- lawannya yang terdiri dari Sepasang Setan Api, Raksasa Batu,
dan Garuda Hitam, namun Melati sudah mampu menguasai keadaan. Gadis itu ter-
nyata telah berhasil mendesak keempat orang lawan- nya, meskipun harus memakan
lebih dari tujuh puluh jurus.
Memang, meskipun keempat orang
tokoh persilatan aliran hitam itu memiliki kepandaian cukup tinggi, bahkan
menghadapi Melati secara keroyokan, tapi ilmu 'Pedang Seribu Naga' terialu
tangguh untuk bisa dihadapi. Perlahan-lahan mereka mulai terdesak mundur.
Padahal, mereka telah menggunakan senjata andalan masing-masing yang terdiri
dari pedang dan golok.
***
“Kemamang Danau Neraka...!
Akulah lawanmu!” Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang membuat jantung semua
orang yang berada di situ bergetar. Jelas, pemilik suara itu memiliki tenaga
dalam tinggi Memang, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Belum juga teriakan itu
lenyap, sesosok bayangan ungu melesat masuk ke dalam kancah pertarungan dan
langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Kemamang Danau Neraka.
Wuttt, wuttt..!
Suara mendesing nyaring
mengiringi tibanya serangan sosok bayangan ungu itu.
Kemamang Danau Neraka tentu
saja menyadari adanya serangan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya
dilempar ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara untuk menghindari
kemungkinan serangan susulan.
“Hup...!”
Secepat kedua kakinya menjejak
tanah, secepat itu pula kakek berambut kaku ini bersiap siaga. Namun, ternyata
serangan susulan yang dikhawatirkannya sama sekali tidak kunjung datang.
Sosok bayangan itu tampak
berdiri tenang di tempat Kemamang Danau Neraka semula berada.
“Dewa Arak...,” desis Kemamang
Danau Neraka.
Ada kegembiraan dalam suara
kakek berambut kaku itu. Bahkan gambaran perasaan yang sama, tampak pula baik
pada raut wajah maupun matanya. Kemamang Danau Neraka memang merasa gembira
bukan kepalang, karena bisa bertemu orang yang dicarinya.
Sosok bayangan ungu yang tak
lain Dewa Arak, tersenyum getir. Pandangannya diedarkan ber- keliling. Lega
hatinya ketika melihat pihak Kerajaan Bojong Gading di atas angin. Memang
setelah Dewa Arak terdampar di pantai, dia langsung menuju ke Kerajaan Bojong
Gading. Satu keyakinannya, Melati pasti telah tiba dengan selamat di sana.
Itulah sebabnya, dia tidak mencari- cari lagi.
Arya menghapus peluh yang
membasahi kening- nya. Dia tadi agak terburu-buru datang ke istana, ketika dari
kejauhan terdengar suara riuh teriakan peperangan. Apalagi ketika di perjalanan
dijumpai- nya bangunan-bangunan yang porak-poranda. Dan kedatangannya tepat
pada saat Kemamang Danau Neraka belum lama mengamuk.
“Maafkan aku, Kemamang Danau
Neraka. Bukan- nya aku ingkar janji. Aku sudah menuju ke sana, tapi terhalang
badai. Aku malah terdampar, dan tidak pernah mendapatkan kesempatan lagi untuk
mengunjungimu,” jelas Arya karena tahu alasan yang mendorong Kemamang Danau
Neraka meninggalkan tempatnya.
“Tidak usah mencari-cari
alasan, Dewa Arak!” sergah Kemamang Danau Neraka, keras. “Sudah kukatakan,
apabila kau tidak datang untuk memenuhi janjimu, dunia persilatan akan kubuat
kacau. Tapi sayang, kau keburu datang. Sekarang, mari kita bertarung untuk
menentukan siapa yang lebih lihai di antara kita!”
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
“Bersiaplah, Dewa Arak! Aku
tidak segan-segan membunuhmu!” lanjut Kemamang Danau Neraka lagi, tidak memberi
kesempatan pada Dewa Arak untuk berpikir.
“Hhh...!”
Dewa Arak menghela napas
panjang. Dia tahu, pertarungan tidak akan bisa dihindari. Kemamang Danau Neraka
begitu ingin bertarung. Maka dengan hati berat, diambilnya guci arak yang tadi
tergantung di punggung, lalu dituangkan ke dalam mulut.
Gluk,... Gluk,... Gluk ...!
Suara tegukan keras terdengar
ketika arak itu melewati tenggorokan Arya sebelum tiba di lambung. Sesaat
kemudian, hawa hangat pun menjalari perut pemuda berambut putih keperakan itu.
Perlahan- lahan hawa hangat itu naik ke atas. Dan ketika telah mencapai kepala,
kedua kaki Dewa Arak pun tidak tetap lagi berdirinya di tanah. Tubuhnya oleng
sana, oleng sini. Kini, Dewa Arak telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang
Sakti' nya.
Saat itulah Kemamang Danau
Neraka mulai lancarkan serangan. Cambuk di tangannya langsung dilecutkan ke
arah pelipis Dewa Arak.
Dewa Arak tahu kedahsyatan
yang terkandung dalam serangan itu. Jangankan kepala manusia, batu karang yang
paling keras pun akan hancur bila terkena. Maka buru-buru serangan itu dielakkan,
menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang’.
Pemuda berpakaian ungu itu
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka....
Ctarrr. !
Memang merupakan hal yang
remeh bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan bila mengguna- kan jurus itu.
Buktinya ujung cambuk itu hanya beberapa jengkal di sebelah kiri Arya. Bunyinya
terdengar keras memekakkan telinga. Bahkan asap tebal pun mengepul dari lecutan
cambuk itu.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya
sampai di situ saja. Begitu serangan itu berhasil dielakkannya, dia melompat
menerjang sambil mengayunkan guci araknya ke arah kepala Kemamang Danau Neraka.
Tapi seperti juga halnya Dewa
Arak, Kemamang Danau Neraka pun mampu mengelakkan serangan itu. Bahkan juga
mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian, kedua belah pihak
sudah terlibat pertarungan sengit.
*** 8
Kegemparan segera terjadi
ketika tersiar berita akan kehadiran Dewa Arak. Panglima Galiwung geram bukan
kepalang. Kalau saja ada Jaladra di situ, mungkin sudah dibacoknya hingga tewas.
Padahal, Jaladra mengatakan kalau Dewa Arak telah ditewaskannya. Tapi buktinya,
tampak kalau tokoh muda yang menggemparkan itu masih segar bugar.
Tapi Panglima Kerajaan Medang
ini tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Yang jelas, pikirannya sekarang harus
dipusatkan pada pertempuran.
Sementara itu, para prajurit
keempat kerajaan sama sekali tidak berani mendekati kancah per- tarungan antara
Dewa Arak menghadapi Kemamang Danau Neraka, dan antara Melati melawan empat
tokoh persilatan aliran hitam. Mendekati tempat itu berarti mencari mati.
Jangankan terkena langsung, baru terkena angin serangan nyasar saja sudah
merupakan bahaya besar. Tak aneh kalau mereka menjauhi kancah kedua pertempuran
itu.
Akibatnya, kancah pertarungan
terpecah menjadi tiga kelompok. Namun demikian, pertarungan Melati dan Dewa
Arak yang menghadapi lawan masing- masing, tidak kalah berisiknya.
“Heaaat..!”
Di jurus kedelapan puluh satu,
Raksasa Batu nekat tanpa mempedulikan keselamatan diri, dia melompat maju di
saat ketiga orang rekannya melangkah mundur. Gada panjang berduri di tangannya
diayunkan ke arah kepala Melati. Wuttt..!
Melati cepat-cepat
membungkukkan tubuhnya, sehingga sambaran gada itu lewat di atas kepalanya.
Rambut dan pakaian putri angkat Raja Bojong Gading itu langsung berkibaran
keras. Jelas, tenaga yang terkandung dalam serangan itu keras sekali. Memang,
Raksasa Batu adalah seorang tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam amat
kuat
Dan belum sempat Raksasa Batu
mengatur ke- seimbangan tubuhnya, Melati cepat-cepat menusuk- kan pedangnya.
Wunggg...! Blesss...!
Tubuh Raksasa Batu kontan
terbungkuk. Sepasang matanya terbeliak lebar ketika pedang Melati menembus
perutnya hingga setengahnya lebih. Darah kontan muncrat dari bagian yang ter-
luka.
Tanpa menunggu waktu lebih
lama lagi, Melati segera mencabut pedangnya dari perut Raksasa Batu. Kontan
tubuh tokoh sesat itu ambruk ke tanah, diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya.
Namun Melati sudah tidak
sempat melihat lagi ambruknya tokoh sesat itu, karena sudah me- lancarkan
serangan pada lawan-lawannya.
Garuda Hitam segera
mengayunkan goloknya untuk menangkis serangan pedang Melati yang membabat cepat
ke arah leher.
Tranggg...!
Bunga api berpijar ketika
kedua senjata itu berbenturan keras. Garuda Hitam yang kalah tenaga kontan
menyeringai merasakan sakit yang mendera tangannya. Dan di saat itulah serangan
susulan Melati kembali meluncur. Kaki kanannya yang dialiri tenaga dalam penuh,
telak menghantam dada Garuda Hitam. Bukkk,..!
Suara berderak keras dari
tulang-tulang yang patah dan suara semburan darah dari mulut, mengiringi
melayangnya tubuh Garuda Hitam. Saat itu juga, nyawanya melayang meninggalkan
raga, dengan dada melesak ke dalam.
Meskipun kedua rekannya telah
tewas, namun Sepasang Setan Api tidak mau menyerah. Mereka tahu, lawan tidak
akan memberi ampun. Maka di- putuskannya untuk melawan terus sampai titik darah
penghabisan.
Tapi, apa artinya amukan dua
orang ini bagl Melati? Sewaktu mereka masih berempat saja, Melati mampu
mendesak. Apalagi hanya tinggal berdua?
Maka tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu berhasil mendesak lawannya.
Robohnya Sepasang Setan Api ito hanya tinggal menunggu waktu saja.
***
Sementara itu, pertempuran
antar pasukan pun sudah mendekati penyelesaian. Dengan adanya bantuan dari
pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Bojong Gading telah
berada di atas angin. Bahkan saat kehancuran bagi pasukan Kerajaan Medang hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Memang menyedihkan sekali nasib
yang menimpa pasukan Kerajaan Medang. Mereka sebenarnya ter- desak hebat. Namun
bila terus mengadakan per- lawanan, sama saja mencari penyakit. Tapi karena
keadaan tidak menguntungkan, mereka terpaksa harus melawan terus.
Ternyata, semua yang memihak
pasukan Kerajaan Medang terdesak hebat. Bukan hanya para prajuritnya saja.
Bahkan Sepasang Setan Api, dan Kemamang Danau Neraka tampak kewalahan.
Dan rupanya, di antara ketiga
pihak yang terlibat pertarungan, Sepasang Setan Api lah yang terlebih dulu menemui
malaikat pencabut nyawa. Karena, keadaan mereka memang paling gawat.
“Haaat..!
Melati melompat menerjang.
Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher Sepasang Setan Api yang
lelaki. Dan karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, salah seorang
dari Sepasang Setan Api segera menggerakkan golok besarnya untuk menangkis.
Sementara yang seorang lagi rupa- nya tidak sampai hati melihat rekannya
menangkis serangan sendirian. Maka dia pun ikut membantu memapak luncuran
pedang Melati.
Tranggg...!
Suara benturan keras yang
disertai percikan bunga api ke udara terjadi ketika pedang Melati ber- benturan
dengan sepasang golok yang menjepitnya.
Luar biasa! Ilmu 'Pedang
Seribu Naga' yang dimiliki Melati dengan gerakan sederhana pada per- gelangan
tangan, telah membuat pedangnya meliuk aneh. Sehingga, senjata lawan-lawannya
terlepas dari pegangan.
“Akh...!” jerit salah seorang
dari Sepasang Setan Api, kaget
“Ikh...!” pekik yang seorang
lagi tidak kalah ter- kejut
Dan sebelum kedua tokoh sesat
itu sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan Melati telah berkelebat cepat
secara mendatar. Langsung dibabatnya leher Sepasang Setan Api itu.
Wunggg...! Suara menggerung
keras mengawali tibanya serangan pedang Melati. Melihat hal ini, Sepasang Setan
Api kaget bukan kepalang. Apalagi, serangan itu begitu cepat. Maka dengan
sebisa-bisanya, mereka berusaha
mengelak. Tapi....
Srattt..! “Akh. !”
“Aaakh. !”
Sepasang Setan Api menjerit
memilukan ketika ujung pedang Melati menyerempet leher mereka. Maka leher itu
kontan koyak, disertai semburan darah segar.
Patut dipuji kekuatan Sepasang
Setan Api. Meskipun telah menderita luka yang cukup parah, namun masih mampu
berdiri meskipun agak terhuyung-huyung dengan tangan mendekap leher. Tampak
darah mengalir keluar dari celah-celah jari tangan mereka.
Beberapa saat lamanya tubuh
Sepasang Setan Api terhuyung-huyung ke sana kemari, sebelum akhirnya ambruk di
tanah. Sebentar mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi untuk
selamanya.
“Hhh. !”
Melati menghela napas lega.
Sejenak ditatapnya tubuh dua orang tokoh sesat yang berpakaian merah itu seraya
menyusut peluh yang membasahi wajahnya dengan saputangan
Lalu, pandangannya dialihkan
ke arah per- tempuran lain yang masih berlangsung. Yaitu pertarungan antar pasukan
kerajaan dan antara Dewa Arak dengan Kemamang Danau Neraka.
Hanya sekilas pandangan,
Melati telah bisa menilai keadaan pertempuran. Dia tahu, pihaknya akan keluar
sebagai pemenang. Maka, gadis ber- pakaian putih ini tidak ikut terjun dalam
kancah pertempuran. Kini dia hanya bertindak sebagai penonton saja.
Dugaan Melati sama sekali
tidak meleset. Pihak Dewa Arak dan pasukan Kerajaan Bojong Gading memang hanya
tinggal menunggu waktu saja untuk keluar sebagai pemenang.
Jumlah anggota pasukan
Kerajaan Medang memang tinggal sedikit. Hampir seluruh pasukan mereka telah
tewas. Demikian pula tokoh-tokoh persilatan aliran hitam lainnya. Bahkan para
panglimanya telah banyak yang tewas. Yang tinggal hanya Panglima Galiwung.
Panglima bertubuh tinggi besar
ini tengah terlibat pertarungan dengan Panglima Jumali. Satu lawan satu, tanpa
ada yang mengganggu. Sedangkan para panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya,
sudah mengundurkan diri dari kancah pertarungan, dan hanya menonton saja di
pinggir arena.
“Aaakh...!”
Lolong kematian yang keluar
dari mulut Panglima Galiwung, mengakhiri pertarungannya dengan Panglima Jumali.
Seiring tewasnya Panglima
Galiwung, para prajuritnya yang tersisa pun melemparkan senjata ke tanah.
Jelas, mereka menyerah.
“Tahan!” teriak Panglima
Jumali melihat prajurit Kerajaan Bojong Gading mau membunuh mereka.
Kontan para prajurit itu
mengurungkan niatnya. 'Tangkap mereka! Masukkan ke dalam tahanan!” “Mengapa
tidak dibunuh saja, Pangjima?” sahut
salah seorang prajurit. Nada
ketidaksetujuan atas keputusan yang diambil Panglima Jumali, tampak terdengar
jelas dalam suaranya.
Panglima Jumali memaklumi,
mengapa pasukan- nya ingin membunuh para prajurit itu. Oleh karena itu, dia
tidak marah dan hanya tersenyum saja. Tapi karena lelah, senyumnya jadi seperti
seringai saja. Dan memang, keadaan panglima tinggi besar ini sangat mengharukan
hati. Sekujur tubuhnya di- penuhi noda-noda darah yang telah mengering,
bercampur keringat dan debu.
“Hanya pengecut saja yang tega
membunuh lawan tak berdaya,” kata Panglima Jumali. “Apakah kalian mempunyai
jiwa pengecut?!”
“Tidak...!”
Hampir bersamaan, semua
prajurit Kerajaan Bojong Gading mengucapkan kata-kata demikian
“Bagus!” sambut Panglima
Jumali dengan senyum lebar tersungging di bibir. “Kalau begitu, laksanakan saja
perintahku!”
Beberapa orang prajurit
Kerajaan Bojong Gading lalu membawa anggota pasukan Kerajaan Medang yang
menyerah untuk dijebloskan ke dalam tahanan. Sementara, sisanya sibuk
membereskan segala sesuatu yang bisa dibereskan.
Sesaat kemudian, kesibukan pun
terjadi di halaman Istana Kerajaan Bojong Gading yang luas. Para prajurit
Kerajaan Bojong Gading, dibantu pasukan Kerajaan Kamujang dan Pasugihan sibuk
mengurus korban-korban peperangan. Yang hanya terluka, segera dipisahkan dengan
yang tewas.
Sementara itu, Patih Juminta
dan Panglima Gorawangsa segera berkumpul dengan pejabat- pejabat Kerajaan
Bojong Gading. Di antara mereka terdapat Melati, Patih Rantaka,
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading, pasukan khusus, dan tentu saja Prabu
Nalanda.
“Akhirnya Dewa Arak hadir
juga, Melati,” kata Prabu Nalanda begitu mendapat kesempatan ber-
bincang-bincang. Melati pun segera menceritakan perjalanannya yang sebenarnya
memang bersama Dewa Arak. Tapi karena serangan gelap, akhirnya Arya terpisah
dengan Melati.
“Mungkin dia mendapat halangan
di perjalanan, Ayahanda,” jawab Melati.
Prabu Nalanda menganggukkan
kepala.
“Aku pun menduga demikian,
Melati. Entah halangan apa yang membuatnya tertahan sampai berhari-hari.”
Setelah berkata demikian,
Prabu Nalanda menoleh ke arah tempat.
Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa berdiri. Kedua orang pemimpin pasukan
Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan itu tengah memperhatikan jalannya
pertarungan antara Dewa Arak melawan Kemamang Danau Neraka penuh perhatian.
“Terima kasih atas bantuan
yang kalian berikan. Kalau tidak, mungkin Kerajaan Bojong Gading telah hancur,”
kata Prabu Nalanda.
“Lupakanlah mengenai hal itu,
Gusti Prabu,” jawab Panglima Gorawangsa. “Pertolongan yang kami berikan ini hanya
sekadar balas jasa kami atas pertolongan Dewa Arak dulu.”
Setelah berkata demikian,
panglima Kerajaan Pasugihan ini menceritakan pertolongan yang diberikan Dewa
Arak.
“Demikianlah ceritanya, Gusti
Prabu. Sehingga, ketika raja kami mendengar berita penyerbuan Kerajaan Medang,
beliau segera mengirim pasukan untuk membantu,” tutur Panglima Gorawangsa
mengakhiri ceritanya.
Prabu Nalanda
mengangguk-anggukkan kepala. Kini orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading
itu telah mengerti, mengapa Kerajaan Pasugihan mengirimkan bantuan pasukan.
Ternyata, Dewa Arak, calon menantunya telah menanam budi pada kerajaan itu.
Apakah hal yang sama pun telah dibuat Dewa Arak pada Kerajaan Kamujang?
“Walaupun begitu, sampaikan
ucapan terima kasihku pada rajamu,” kata Prabu Nalanda, bijaksana
“Akan hamba sampaikan, Gusti
Prabu,” sahut Panglima Gorawangsa cepat.
Raja Bojong Gading tersenyum
lebar. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Patih Juminta.
“Ucapan terima kasih yang sama
pun kuucapkan atas bantuan kalian,” ucap Prabu Nalanda.
“Alasan yang mendorong
kerajaan kami mengirim pasukan, sama dengan alasan yang diberikan Panglima
Gorawangsa, Gusti Prabu,” jawab Patih Juminta sopan.
“Hehhh...?! Jadi, kerajaan
kalian pun mendapat bantuan pula dari Dewa Arak?!” tanya Raja Bojong Gading.
Perasaan heran, kagum,
bercampur bangga ber- kecamuk dalam benak Raja Bojong Gading ini. Sama sekali
tidak disangka kalau Dewa Arak demikian banyak menanam jasa pada orang!
Kekagumannya terhadap Dewa Arak pun semakin menjadi-jadi. Namun, semua itu
tidak ditampakkan pada wajah- nya.
“Bukan hanya bantuan saja,
Gusti Prabu. Dewa Arak malah telah menyelamatkan Kerajaan Kamujang dari
kehancuran.”
Kemudian secara singkat dan
jelas, Patih Juminta menceritakan semua kejadiannya.
*** Sementara itu pertarungan
antara Dewa Arak melawan Kemamang Danau Neraka telah ber- langsung hampir
seratus jurus. Dan keadaan kakek berambut kaku ini semakin terdesak saja.
Kemamang Danau Neraka
menggertakkan gigi. Sama sekali tidak disangka kalau kepandaian Dewa Arak
sampai sehebat ini. Dia sungguh tidak tahu kalau kepandaian Arya telah
bertambah akibat masuknya belalang raksasa ke dalam tubuhnya.
“Heaaat..!”
Di jurus keseratus lima,
sambil mengeluarkan bentakan keras, Kemamang Danau Neraka melayangkan cambuknya.
Senjata lemas itu meliuk- liuk ke arah kepala Dewa Arak.
Kali ini, Dewa Arak memberi
sambutan yang berbeda dengan sebelumnya. Pemuda berambut putih keperakan itu
tidak lagi menangkis dengan guci, atau mengelak. Tapi, malah menangkap ujung
cambuk itu dengan tangan telanjang.
Kemamang Danau Neraka terkejut
bukan kepalang melihat tindakan Dewa Arak. Seumur hidupnya selama ratusan kali
bertanding, belum pernah ada orang yang berani menangkap senjata andalannya.
Tidak aneh kalau tindakan Dewa Arak membuatnya kaget. Benarkah pendekar yang
masih muda itu mampu menangkap cambuknya?
Tappp!
Cambuk Kemamang Danau Neraka
ternyata mampu dicekal tangan Dewa Arak. Dan begitu tercekal, pemuda berpakaian
ungu itu langsung menariknya.
Kemamang Danau Neraka tentu
saja tidak ingin senjata andalannya terampas. Maka, dia pun balas menarik. Mau
tak mau adu tarik-menarik pun terjadi di antara dua tokoh yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi itu.
Dalam pertandingan seperti
ini, yang paling menentukan adalah kekuatan tenaga dalam. Dan ternyata, Dewa
Arak memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada di atas lawannya. Ini terbukti
dengan condongnya tubuh Kemamang Danau Neraka ke arah Dewa Arak,
“Hih...!”
Berbareng keluamya teriakan
itu, Dewa Arak menyentakkan tangannya.
“Aaah...!”
Kemamang Danau Neraka terkejut
ketika tubuh- nya melayang ke arah Dewa Arak. Namun sebagai seorang tokoh
tingkat tinggi, dia langsung bisa menguasai diri. Maka saat tubuhnya melayang,
dia menggunakannya sebagai satu kesempatan. Kedua kakinya langsung diluncurkan,
untuk menyerang dada lawan.
Namun, rupanya Dewa Arak sudah
mem- perhitungkan hal itu. Guci araknya langsung dipalangkan di depan dada
untuk memapak tibanya serangan itu.
Blanggg...!
Tubuh Dewa Arak sampai
terdorong ke belakang saking kerasnya tendangan yang dikirimkan Kemamang Danau
Neraka. Memang, tendangan yang dilakukan jauh lebih keras, karena terbawa
tenaga sentakan Dewa Arak.
Meskipun demikian, bukan hanya
Dewa Arak saja yang mengalami hal seperti itu. Tubuh Kemamang Danau Neraka pun
terlempar ke belakang. Dan saat itulah Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya
ke depan, dalam penggunaan jurus 'Pukulan Belalang’.
Wusss...! Angin keras berhawa
panas menyengat menyambar deras ke arah Kemamang Danau Neraka. Kakek berambut
kaku ini berusaha mengelak, tapi bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan?
Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Jadi yang dapat dilakukannya hanya
menggeliatkan tubuh. Namun akibatnya....
Bresss. !
“Aaakh. !”
Kemamang Danau Neraka menjerit
memilukan ketika jurus 'Pukulan Belalang' milik Dewa Arak menghantam dadanya.
Seketika itu pula, tubuhnya yang tengah melayang semakin jauh melayang.
Sekujur kulit Kemamang Danau
Neraka kontan menghitam hangus. Seketika itu tercium bau sangit daging yang
terbakar di sekitar tempat itu.
Dan ketika tubuh Kemamang
Danau Neraka jatuh di tanah, beberapa belas tombak dari tempat Dewa Arak, dia
sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya.
. Memang, Kemamang Danau
Neraka telah tewas saat tubuhnya masih melayang-layang di udara.
“Hhh. !”
Dewa Arak menghela napas
panjang. Meskipun ada perasaan menyesal karena telah menewaskan Kemamang Danau
Neraka, tapi disadari kalau itu adalah jalan yang terbaik. Tokoh sesat yang
meng- giriskan itu memang lebih baik dilenyapkan selama- lamanya daripada
menyebar maut pada orang yang tidak berdosa.
“Kang Arya..!”
Didahului jeritan kegembiraan,
Melati berlari menghampiri Dewa Arak. Sedangkan Dewa Arak berbalik sambil
menyunggingkan senyum. Kemudian, mereka bersama-sama menghampiri Prabu Nalanda
dan para pejabat kerajaan lainnya. Dewa Arak pun dihujani berbagai macarn
pertanyaan, baik oleh Prabu Nalanda maupun dari para panglima kerajaan yang ada
di situ. Terutama sekali dari Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa.
“Bagaimana, Dewa Arak? Kapan kau akan singgah
di kerajaan kami?” tagih
Panglima Gorawangsa. “Apabila ada kesempatan, pasti aku akan mampir
ke sana,” jawab Arya.
Percakapan mereka terhenti
ketika terjadi keributan di antara para prajurit.
“Ada apa?” tanya Melati, ingin
tahu.
Patih Juminta dan Panglima
Gorawangsa yang juga melihat, menjadi tersenyum. Yang dilihat para prajurit
ternyata adalah percikan bunga api berwarna-warni di langit sebelah Utara.
“Sebuah tanda dari pasukan
kami bahwa Istana Kerajaan Medang telah direbut.”
Prabu Nalanda melengak.
“Jadi..., kalian juga mengirim
pasukan ke sana?” Hampir berbareng, Panglima Gorawangsa dan
Patih Juminta menganggukkan
kepala.
“Pasukan kami pecah dua.
Sebagian menuju Istana Bojong Gading, dan sebagian lagi menuju Istana Kerajaan Medang,”
jelas Patih Juminta.
“Dan dengan adanya tanda itu
pula, berarti kami harus kembali ke kerajaan,” sambung Panglima Gorawangsa.
“Mengapa begitu
tergesa-gesa?!” tanya Prabu Nalanda agak kaget “Beristirahatlah dulu di sini
selama beberapa hari.”
“Terima kasih, Gusti Prabu.
Percayalah. Lain kali, tawaran ini tidak akan kami tolak,” sahut Panglima
Gorawangsa, berputar.
Prabu Nalanda tahu, kepergian
pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan tidak akan mungkin bisa
dicegahnya lagi. Maka dia pun tidak menahannya lagi. Maka, dia bersama Dewa
Arak, Melati, seluruh pejabat, dan prajurit Kerajaan Bojong Gading, segera
melepas kepergian pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan. Mereka
mengantarkan dua pasukan itu hingga sampai di tembok batas kotaraja.
Debu mengepul tinggi ke udara
ketika pasukan dua kerajaan itu bergerak meninggalkan wilayah Kerajaan Bojong
Gading. Ratusan pasang mata memandangi kepergian mereka, hingga lenyap di
kejauhan.
SELESAI