37 Rahasia Syair Leluhur
1
Bulan bersinar penuh tampak
indah di langit. Bentuknya bagai sebuah piring tembaga, yang bersinar
keperakan. Bintang-bintang pun bertaburan menghias angkasa. Nyanyian
binatang-binatang malam semakin menambah semaraknya suasana malam. Persada
tampak terang dan meriah, layak untuk dinikmati.
Namun itu tidak berlangsung
lama. Suara lecutan cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah
mengganggu malam yang begitu indah ini.
Sesaat kemudian, muncullah
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa ekor kuda yang masing-masing
ditunggangi laki-laki bersikap gagah, tampak mengiringinya.
Jumlah laki-laki berwajah
gagah itu ada dua belas orang. Enam di depan, empat di belakang, dan
masing-masing satu orang di kanan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda
pilihan.
"Kau yakin kita telah
jauh meninggalkan bahaya, Kakang Subali?" tanya salah seorang dari enam
penunggang kuda terdepan.
Orang itu adalah seorang
laki-laki tinggi kurus bermata sipit. Gagang pedangnya tampak menyembul dari
balik punggung. Menilik dari pakaiannya yang terlihat mewah, bisa diketahui
kalau laki-laki tinggi kurus itu orang kecukupan.
Penunggang kuda yang dipanggil
Subali menoleh. Sepasang matanya menatap wajah laki-laki tinggi kurus yang
mengenakan pakaian kuning. Subali ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Tubuhnya terlihat gagah bukan kepalang. Apalagi dengan adanya cambang
bauk lebat yang menghias wajahnya. Seperti laki-laki bermata sipit, pakaian
yang dikenakannya juga tampak indah. Hanya saja warnanya kuning keemasan. Jadi
terlihat lebih indah daripada pakaian yang dikenakan laki-laki tinggi kurus.
"Hhh. !”
Subali menghela napas panjang,
sebelum menjawab pertanyaan laki-laki tinggi kurus itu. Langkah kudanya juga
tidak dihentikan, namun tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
"Kurasa untuk sementara
kita aman, Adi Sagala. Kita telah cukup jauh dan kadipaten. Keparat-keparat itu
tidak mungkin bisa cepat mengejar kita. Aku yakin, mereka tengah berpesta pora
menikmati kemenangan!" ada nada kegeraman pada kalimat-kalimat terakhir
yang diucapakan Subali. Jelas, laki-laki tinggi besar ini tengah murka.
Laki-laki berpakaian kuning
yang ternyata bernama Sagala itu mengangguk-anggukkan kepala, pertanda
menyetujui ucapan yang dikeluarkan Subali.
"Tak pemah terbayangkan
di benakku kalau jabatan adipati akan lepas darimu, Kang," keluh Sagala.
Subali yang ternyata seorang
adipati ini menghela napas berat.
"Bukan hanya kau saja
yang merasa tak percaya, Sagala. Aku pun masih merasa kalau kejadian yang
menimpaku ini seperti sebuah mimpi buruk! Aku masih belum percaya kalau
Kadipaten Blambang telah lepas dari tanganku!"
Adipati Subali menghentikan
ucapannya sejenak. Kepalanya ditolehkan ke belakang, menatap kereta kuda yang
bergerak tertatih-tatih merayapi jalan penuh bebatuan dan lubang.
Rombongan berkuda yang
dipimpin Adipati Subali itu terus melanjutkan perjalanan. Dan perlahan-lahan,
rombongan ini mulai memasuki mulut Hutan Maung.
"Aku tidak pemah bermimpi
akan kabur menyelamatkan diri seperti anjing hina yang teraniaya." keluh
Adipati Subali lagi. "Kalau tidak mengingat keselamatan anakku, terutama
sekali istriku yang tengah mengandung, aku lebih baik bertempur sampai titik
darah penghabisan!" Kali ini Sagala tidak menyahuti ucapan Adipati Subali.
Mungkin kehabisan kata-kata atau malas menyambuti. Dan karena Adipati Subali
tidak melanjutkan ucapannya, suasana menjadi hening.
Kini yang terdengar hanyalah
suara langkah kaki kuda dan gemeretak roda kereta menggilas jalanan.
Iring-iringan rombongan yang dipimpin orang nomor satu Kadipaten Blambang ini
kian masuk ke dalam hutan. Mendadak…..
"Hooop...!"
Adipati Subali mengangkat
tangan kanan ke atas, sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga
langkahnya berhenti. Dengan sendirinya, iring-iringan yang berada di
belakangnya pun berhenti pula.
"Kita istirahat dulu di
sini." ujar Adipati Subali setelah membalikkan arah binatang tunggangannya
hingga menghadap rombongan.
Usai berkata demikian,
laki-laki tinggi besar itu melompat turun dari kudanya. Indah dan manis
gerakannya. Jelas, Adipati Subali bukan orang sembarangan. Dan memang sebelum
menjadi adipati di Kadipaten Blambang, Subali adalah seorang Panglima Kerajaan
Sewu. Dan karena telah banyak berjasa pada kerajaan, Prabu Cakra Ningrat
meng-hadiahkan pangkat adipati pada Subali di Kadipaten Blambang.
***
Kesibukan melingkupi rombongan
kecil itu. Belasan lakilaki bersikap gagah yang tak lain dari prajurit pilihan
Kadipaten Blambang, bergegas berlompatan dari
punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka rata-rata lincah, pertanda
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.
Begitu menjejak di tanah,
belasan prajurit itu segera menambatkan kuda masing-masing. Lalu, mereka
membantu kusir untuk menempatkan kereta kuda di tempat yang terlindung. Dan
kini, kereta kuda itu ditempatkan di tengah-tengah belasan prajurit pilihan
Kadipaten Blambang. Ini dimaksudkan, agar bila ada serangan dari arah manapun,
akan berhadapan dengan prajurit lebih dulu. Sang Kusir pun ikut pula berjaga-jaga.
Kriiit..!
Terdengar suara bergerit pelan
ketika daun pintu kereta sebelah kanan terbuka. Sebuah tangan yang berkulit
putih halus dan mulus menyembul dari dalam kereta. Kemudian tampak sosok wanita
cantik keluar dari dalam kereta.
Tidak terdengar suara yang
berarti ketika sepasang kaki ramping itu mendarat di tanah. Hal ini menjadi
pertanda kalau si pemilik kaki itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi.
"Akan ke mana, Gusti
Ayu?"
Sebuah suara berat telah
menyapa penuh hormat, begitu wanita cantik ini baru saja merayapi
sekelilingnya. Memang, derit pintu kereta itu begitu jelas terdengar, sehingga
membuat para prajurit yang tengah berjaga langsung menolehkan kepala. Dan kini,
kepala pasukan pengawal itu pun segera menghampiri.
"Ah! Kiranya Paman Lembu
Sura." desah gadis cantik yanag dipanggil Gusti Ayu setengah terkejut.
Gadis itu tersenyum manis.
Senyum seorang gadis yang paling banyak baru berusia dua puluh tahun. Sehingga
membuat siapa saja yang memandangnya, enggan memalingkan wajah. Kulit putih
halus dan mulus. Pas sekali dengan pakaian indah berwama hitam kelam yang
dikenakannya. Rambutnya digelung ke atas dan dijepit dengan sebuah aruel
berbentuk bunga mawar.
"Benar, Gusti Ayu. Hamba
Lembu Sura," jawab kepala pasukan pengawal yang ternyata bernama Lembu
Sura sambil membungkuk sedikit.
Lembu Sura ternyata memang
mempunyai tubuh hampir sebesar lembu. Begitu kekar! Gumpalan otot dan urat yang
melingkar-lingkar menghiasi sekujur tubuhnya. Senjata golok besar yang terselip
di pinggang, semakin menambah seram penampilannya. "Aku ingin menghirup
udara malam, Paman," jawab gadis berpakain hitam itu, pelan.
"Tapi.., Gusti Adipati
telah melarang keluar siapa pun yang berada di dalam kereta," bantah Lembu
Sura dengan dahi berkernyit dalam.
"Apakah aku pun termasuk
dalam larangan ayah?" desak gadis berambut digelung yang ternyata putri
Adipati Subali.
"Benar. Gusti Ayu Rara
Kunti termasuk di dalamnya," tegas Lembu Sura.
"Kalau aku tidak
mau?!" tanya Rara Kunti bernada menantang.
Lembu Sura tercenung sejenak.
"Apa boleh buat. Hamba
tidak berani melalaikan perintah Gusti Adipati." tegas Lembu Sura,
setengah berdesah.
"Maksudmu..., kau akan
menggunakan kekerasan untuk memaksaku masuk kembali ke dalam kereta?!"
Lembu Sura mengangguk mantap.
Rara Kunti kontan terdiam,
tanpa berkata-kata lagi. Putri Adipati Subali ini tentu saja tidak bisa
menyalahkan Lembu Sura. Disadari kalau kepala pasukan pengawal itu hanya
menjalankan perintahnya.
“Tapi aku tidak betah terus
menerus di dalam kereta, Paman. Sumpek rasanya! Aku ingin keluar, menghirup
udara malam dan berbincang-bincang bersama ayah."
"Hamba tidak berani
mengizinkannya, Gusti Ayu," ada nada penyesalan dalam suara Lembu Sura.
"Lagi pula, perlu Gusti Ayu ketahui. Larangan itu dikeluarkan oleh Gusti
Adipati, karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas Gusti Ayu
sendiri. Dan. "
"Biarkan dia keluar,
Lembu Sura," potong sebuah suara, sehingga membuat ucapan kepala pasukan
pengawal itu terputus di tengah jalan.
Hampir berbarengan, Lembu Sura
dan Rara Kunti menoleh ke arah yang sama. Tampak dua sosok tubuh yang tengah
menghampiri. Baik Lembu Sura, maupun Rara Kunti mengenalinya. Mereka adalah
Adipati Subali dan Sagala!
"Hamba, Gusti
Adipati." sahut Lembu Sura memberi hormat.
Seusai bersikap demikian,
laki-laki bertubuh kekar berotot inl lalu bergerak menyingkir. Lembu Sura
memberi jalan pada Rara Kunti untuk menghampiri ayahnya. Maka tanpa
membuang-buang waktu, Rara Kunti segera bergerak menghampiri ayahnya.
"Kau ingin bicara
denganku, Kunti?" tanya Adipati Subali, orang nomor satu di Kadipaten
Blambang dengan suara lembut.
"Benar, Ayahanda."
jawab Rara Kunti, gembira. "Kalau begitu, mari kita cari tempat yang
enak!"
Adipati Subali, Sagala, dan
Rara Kunti segera melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, belasan
prajurit mulai bertugas. Lembu Sura, selaku kepala pasukan pengawal segera
mengatur anak buahnya. Sebagian besar berjaga-jaga, sedangkan sisanya tidur
setelah terlebih dahulu mengisi perut sekadarnya.
***
"Sebenarnya, sudah cukup
lama aku ingin berbicara dengan Ayah," Rara Kunti mulai membuka
pembicaraan.
Rara Kunti duduk di sisi
ayahnya, Adipati Subali. Sedangkan Sagala duduk menghadap Adipati Blambang itu,
mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang di bawah sebatang pohon besar
berdaun rimbun yang letaknya hanya beberapa tombak dari rombongan.
"Mengapa tidak segera kau
katakan padaku, Kunti?" tanya Adipati Subali, bernada teguran.
"Bagaimana mungkin hal
itu bisa kulakukan, Ayah! Rombongan inl bergerak hampir tanpa henti. Lagi pula,
kulihat Ayah kelihatan sibuk. Jadi, aku tidak berani mengganggu," kilah
Rara Kunti.
"Ooo...! Kukira
pertanyaan itu sudah kau pendam berbulan-bulan, atau tahunan. Kiranya baru
beberapa hari yang lalu?! Nah! Sekarang katakan, Kunti. Ayah akan
mendengarkannya!" sahut Adipati Subali memberi kesempatan.
Rara Kunti tidak langsung
mengutarakannya. Dia malah tercenung. Mungkin tengah memilih kata-kata yang
tepat sebagai pembuka cerita. Sementara, Adipati Subali dan Sagala menunggu dengan
sabar.
"Aku merasa kecewa
melihat tindakan Ayah..."
Pelan ucapan Rara Kunti, dan
lebih mirip bisikan. Kalau saja Adipati Subali dan Sagala tidak mempunyai
pendengaran tajam, perkataan itu tidak akan terdengar. Apalagi, Rara Kunti
mengucapkannya sambil menundukkan wajah. Sehingga gerak bibirnya tidak terlihat
Adipati Subali dan Sagala.
Meskipun dikatakan pelan, tapi
bagi Adipati Subali dan Sagala, perkataan Rara Kunti bagaikan halilintar di
siang hari. Begitu mengejutkan hati mereka. Tapi, tentu saja kekagetan yang
dialami Adipati Subali jauh lebih besar daripada Sagala
“Mengapa kau berkata demikian,
Kunti?!" tanya Adipati Subali agak parau suaranya.
"Selama ini aku merasa
bangga pada Ayah. Telah banyak cerita yang kudengar tentang kegagahan Ayah sewaktu
menjadi panglima di Kerajaan Sewu. Tapi, apa kenyataan yang kulihat?! Di saat
kadipaten diserbu orang. Ayah malam melarikan diri sambil membawa keluarga.
Kabur pontang-panting seperti anjing digebuk orang. Tindakan Ayah membuatku
kecewa bukan kepalang! Mana cerita kegagahan Ayah yang selama ini
kudengar?!"
Rara Kunti berapi-api
mengucapkan kata-katanya! Sama sekali tidak dipedulikan kalau setiap ucapannya
laksana tusukan pisau berkarat pada hati Adipati Subali. Wajah orang nomor satu
Kadipaten Blambang itu sebentar pucat, sebentar merah sepanjang putri
tunggalnya mengungkapkan kehancuran hatinya.
"Kau pantas kecewa
padaku. Kunti," sahut Adipati Subali ketika Rara Kunti telah menghentikan
ungkapan kekesalannya. “Aku memang bukan jenis orang yang patut kau kagumi. Aku
melarikan diri di saat Kadipaten Blambang berada di ambang kehancuran! Adipati
macam apa aku ini?! Di saat para prajurit berjuang mati-matian menyelamatkan
kadipaten, aku malah kabur! Hhh …! Aku memang seorang pengecut, Kunti!"
Rara Kunti terkejut bukan
kepalang mendengar jawaban tak terduga yang dikemukakan ayahnya. Semula dikira
Adipati Subali akan mengemukakan berbagai macam alasan, mengapa tindakan
melarikan diri itu harus dilakukan. Tapi, ternyata ayahnya itu malah
membenarkan tuduhan yang dilontarkan. Karuan saja gadis berambut digelung ini
jadi kebingungan.
Bukan hanya Rara Kunti saja
yang menjadi kebingungan. Sagala pun mengalami perasaan yang sama. Hanya saja
ada sedikit perbedaan pada keduanya. Sagala tahu, mengapa Adipati Subali sama
sekali tidak mengemukan alasan yang menyebabkan dirinya melarikan diri. Karena
jelas, Adipati Subali merasa terpukul!
Sagala adalah adik misan
Adipati Subali. Telah dua tahun dia tinggal bersama laki-laki tinggi besar itu.
Maka tidak aneh kalau watak
kakak misannya dikenalnya betul. Sagala tahu, sebenarnya Adipati Subali merasa
terpukul atas tindakannya dengan meninggalkan Kadipaten Blambang. Namun,
perasaan itu bisa disembunyikan orang nomor satu di Kadipaten Blambang. Dan
kini, ucapan Rara Kunti telah membuat perasaan itu muncul. Bahkan jauh lebih
parah!
"Kau keterlaluan,
Kunti!" sentak Sagala, agak keras. Sepasang matanya menatap gadis
berpakaian hitam itu penuh teguran "Perkataanmu benar-benar tak pantas
diucapkan di depan ayahmu.”
“Terus terang aku membenci
orang yang mempunyai sikap pengecut. Tak terkecuali ayahku!" sambut Rara
Kunti tak kalah keras.
"Ayahmu bukan seorang
pengecut, Kunti!" semakin meninggi kata-kata Sagala.
"Lalu apa namanya kalau
di saat para prajurit mempertahankan istana tapi justru sang Pemimpin malah
melarikan diri?! Orang lain bergulat dengan maut, sementara dia sendiri
melarikan diri! Bukan pengecutkah itu namanya?!"
"Ayahmu mempunyai alasan
kuat untuk bertindak seperti itu! Berilah kesempatan padanya untuk mengemukakannya
padamu!" sambut Sagala setengah membentak.
"Sudahlah, Adi! Tidak
usah diributkan lagi masalah itu!" Adipati Subali berusaha melerai.
"Kurasa, lebih baik kau
beri tahukan padanya, Kang!" tukas Sagala tak mau kalah.
Setelah berkata demikian. Sagala
terdiam. Rara Kunti pun diam, ingin mengetahui tanggapan Adipati Subali.
Sedangkan adipati yang bertubuh tinggi besar ini belum juga membuka
pembicaraan. Maka suasana pun menjadi hening.
"Hhh...!" Adipati
Subali menghembuskan napas berat "Kau benar, Sagala. Lebih baik
kuceritakan saja masalah yang sesungguhnya. Bukankah dengan demikian, dia bisa
bersikap lebih hati-hati?
Sagala menganggukkan kepala,
pertanda membenarkan. Sementara Rara Kunti jadi bingung. Dia tahu, Adipati
Subali dan Sagala tengah membicarakannya. Tapi, gadis itu tidak mengerti
maksudnya.
"Nah, Kunti. Sekarang
dengarlah baik-baik ceritaku ini.
Dan setelah itu, terserah apa
tanggapanmu!"
Adipati Subali menatap wajah
Rara Kunti sejenak. Tapi yang ditatap malah menampakkan wajah beku. Tanpa ada
perasaan apa-apa Adipati Kadipaten Blambang kemudian menarik napas panjang, dan
menghembuskannya kuatkuat.
"Sekitar sepuluh hari
yang lalu, di salah satu dinding istana kadipaten ditemukan sebuah surat yang
ditancapkan oleh sebatang ranting sebesar jari kelingking. Padahal, dinding itu
terbuat dari batu keras. Dan hebatnya, ranting itu menancap hingga setengahnya
lebih. Beberapa orang prajurit segera melaporkan hal itu padaku. Jelas, ini
berarti ada orang telah berani masuk ke dalam istana secara diam-diam. Dan
hunjaman ranting itu membuktikan kalau pelakunya adalah orang yang memilik
tenaga dalam tinggi! Rasanya aku sendiri tidak mampu melakukan hal seperti
itu!"
Adipati Subali menghentikan
cerita. Lalu tenggorokannya yang terasa kering dibasahi dengan ludah-nya
sendiri. Sementara Rara Kunti memperhatikan semua ceritanya penuh minat.
Karena, dia memang belum mengetahui hal itu.
"Mengapa aku tidak
mengetahui kejadian itu?” tanya Rara Kunti penasaran.
"Karena hal itu memang
sengaja disembunyikan," kalem jawaban Adipati Subali.
"Mengapa?!" desak
Rara Kunti.
"Karena, kami tidak ingin
seisi Istana kadipaten gempar dan menjadi gelisah. Hanya saja Lembu Sura
kuperintahkan agar lebih memperketat penjagaan," jelas Adipati Kadipaten
Blambang ini.
Kini Rara Kunti mengerti.
"Lalu, apa isi surat itu,
Ayah?" tanya Gadis berambut digelung itu. Suaranya kini terdengar mulai
melunak.
"Surat yang tidak
kuketahui dari mana asalnya itu, meminta agar aku menyerahkan pusaka warisan
kakekku! Kalau tidak, Kadipaten Blambang akan dihancurkan!"
"Apa?!" jerit Rara
Kunti kaget "Pusaka warisan kakek?! Mengapa ayah tidak pernah bercerita
padaku?! Berupa apa pusaka itu? Dan mengapa orang yang mengirim surat itu
mengetahuinya?”
*** 2
Adipati Subali tidak langsung
menjawab pertanyaan itu, dan kembali terdiam. Masih dicarinya beberapa kata
yang tepat untuk menjawabnya. Dan sebentar kemudian…..
"Aku memang sengaja tidak
menceritakannya, sampai kau telah benar-benar menjadi dewasa. Setidak-tidaknya
sudah mengerti hal-hal yang boleh dinyatakan, dan yang perlu
dirahasiakan," sahut laki-laki tinggi besar ini.
"Tapi, sekarang aku telah
cukup dewasa, Ayah. Aku telah bisa membedakan hal-hal yang bersifat rahasia
atau bukan," sambut Rara Kunti. "Jadi, aku sekarang sudah berhak mengetahui
pusaka peninggalan leluhur kita."
Adipati Subali
mengangguk-anggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu
benar, Kunti! Sekarang kau boleh mengetahui rahasia itu. Aku pun memang sudah
ingin bicara padamu, karena keadaan sudah segawat ini. Dan aku tidak ingin mati
sebelum memberitahukan hal ini padamu"
"Apakah aku boleh
mendengarnya, Kang?" selak Sagala. "Karena kau adalah adik misanku,
kau pun berhak mendengarnya, Adi," kata Adipati Subali dengan suara pelan
"Nah! Sekarang dengarkan
baik-baik"
Sagala dan Rara Kunti mulai
memasang telinga baikbaik. Raut wajah mereka menyiratkan perasaan ingin tahu
yang amat sangat. Bahkan karena khawatir ucapan Adipati Subali tidak terdengar,
keduanya sampai menahan napas tanpa sadar.
"Dulu, sebelum meninggal
dunia kakek telah memberi sehelai surat wasiat pada ayahku, Adi Sagala. Lalu,
surat wasiat itu diberikan lagi oleh ayahku, kepadaku. Tak lama kemudian ayahku
meninggal dunia," Adipati Subali memulai ceritanya. "Meskipun
demikian, ayahku sempat berpesan agar keberadaan surat ini diberitahukan pula
pada adik laki-lakinya yaitu ayahmu, Adi. Maksudnya, kalau aku tidak berhasil
memecahkan rahasianya, ayahmu atau keturunannya diharapkan bisa
memecahkannya."
"Jadi…., pusaka
peninggalan kakek hanya berupa sehelai surat?" tanya Sagala.
Adipati Subali merasakan
adanya kekecewaan. Baik dalam raut wajah mapun ucapan adik misannya ini.
"Memang hanya berupa
sehelai surat, tapi surat rahasia! Apabila berhasil dipecahkan maka akan
ditemukan pusaka-pusaka peninggalan kakek," jelas Adipati Subali.
"Kalau hanya untuk
sehelai surat, lalu ayah sampai merelakan Kadipaten Blambang dihancurkan
sungguh membuatku tidak habis pikir!" tukas Rara Kunti penuh kekecewaan.
Adipati Subali tersenyum
pahit.
"Bukankah sudah kukatakan
kalau di balik surat peninggalan itu tersimpan pusaka-pusaka peninggalan
kakek?!" sergah orang nomor satu Kadipaten Blambang ini, cepat.
"Apakah pusaka-pusaka
peninggalan kakek buyutku, Ayah?" tanya Rara Kunti setengah hati.
“Kitab-kitab ilmu silat,
pengobatan, senjata-senjata, dan berbagai macam," sahut Adipati Subali
cepat. "Kau tahu, Kunti. Puluhan tahun yang lalu, datuk-datuk persilatan
di empat penjuru mata angin telah mengadakan pertemuan untuk menentukan, siapa
yang lebih lihai di antara mereka semua! Keempat datuk itu adalah tokoh tak
terkalahkan di wilayah masing-masing. Meskipun demikian, mereka belum puas. Dan
ingin menjadi jago nomor satu di kolong langit dengan bekal surat wasiat milik
kakekku itu. Itulah sebabnya, mereka mengadakan pertemuan."
Adipati Subali menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ini merupakan kesempatan bagi Sagala
dan Rara Kunti bila ingin mengajukan pertanyaan. Tapi, ternyata keduanya itu
sama sekali tidak bicara apa-apa. Baik Sagala maupun Rara Kunti terlalu tertarik
untuk mendengarkan cerita Adipati Subali.
"Masing-masing datuk pun
lalu memilih lawan dan bertanding. Datuk Timur bertarung melawan Datuk Barat.
Dan Datuk Utara melawan Datuk Selatan," sambung Adipati Subali lagi.
"Pertarungan berlangsung alot, tanpa ada yang keluar sebagai pemenang.
Lalu, masing-masing pihak beristirahat untuk memulihkan tenaga. Dan
kemudian, mereka memutuskan untuk
melanjutkan pertarungan di tempat lain, di sebuah lereng gunung. Kali ini satu
sama lain menukar lawan"
Untuk yang kesekian kalinya
Adipati Subali menghentikan cerita. Dia tercenung mencari-cari kata yang tepat
untuk meneruskan kisahnya. Sementara, Sagala dan Rara Kunti mendengarkan dengan
perasaan tidak sabar.
"Tapi sebelum pertarungan
dilangsungkan, muncul seorang kakek yang mencegah mereka agar tidak bertarung
di situ. Kakek itu rupanya tahu kalau orang yang akan bertarung adalah
tokoh-tokoh sakti. Makanya dia berusaha mencegah, karena khawatir sekitar
tempat itu akan longsor. Padahal, dia tinggal di sekitar tempat itu."
"Kakek itu pasti kakek
Ayah, kan?" tebak Rara Kunti tidak sabar menunggu Adipati Subali
menjelaskannya.
Laki-laki tinggi besar itu
menganggukkan kepala.
"Benar. Namanya, Eyang
Mandura." Jawab Adipati Subali. "Dan ketika Eyang Mandura berusaha
mencegah terjadinya pertarungan, empat datuk itu malah marahmarah. Bahkan kakek
malah diancam. Karena kesabarannya hilang, kakek pun meladeni mereka. Satu demi
satu, datuk-datuk itu dirobohkannya. Sehingga karena malu, datuk-datuk itu
pergi meninggalkan tempat itu."
"Ah! Luar biasa sekali
kepandaian Eyang Mandura!" pekik Rara Kunti kaget. "Apa julukannya,
Ayah!"
"Kakek tidak mempunyai
julukan, Kunti. Dia bertekad tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan.
Penduduk sekitar gunung itu hanya mengenalnya sebagai ahli pengobatan,"
tutur Adipati Subali menutup ceritanya.
“Tapi, mengapa kepandaian yang
kau miliki biasa-biasa saja, Kang?!" celetuk Sagala, heran. "Ataukah
ilmu datukdatuk itu yang masih terlampau cetek?" Adipati Subali
menghembuskan napas berat.
"Kakek memang tidak
mempunyai keturunan yang berbakat. Ayah sebagai keturunan kakek, ternyata
memiliki bakat yang amat mengecewakan. Dia hanya menerima sebagian kecil dari
ilmu-ilmu warisan kakek. Bahkan ilmuilmu andalan hampir tidak ada yang didapatkannnya.
Jadi, bisa kau perkirakan sendiri tingkat kepandaianku. Karena, aku hanya
belajar dari ayah."
"Mengapa Ayah tidak
belajar dari buyut saja? Apakah buyut tidak mau mengajarimu? Atau. Ayah juga tidak me-
miliki bakat seperti
kakek?!" tanya Rara Kunti bertubi-tubi. "Kakek meninggal dunia karena
usia tua sewaktu aku
baru berusia tiga tahun. Kalau
aku tidak salah, kakek meninggal pada usia seratus sepuluh tahun. Dan sebelum
meng-hembuskan napasnya yang penghabisan, kakek telah membuat surat wasiat untuk
diberikan pada keturunannya."
"Kalau begitu,
datuk-datuk yang menjadi lawan kakek sekarang telah tidak ada pula,
Kang?!" tanya Sagala ingin tahu.
"Dua di antara mereka
kudengar sudah meninggal, Adi. Entah meninggalkan murid atau tidak. Sedangkan
yang dua lagi, kudengar masih hidup. Mungkin sekarang umur mereka telah
mencapai delapan puluh tahun lebih. Memang, kakek jauh lebih tua daripada
datuk-datuk persilatan itu."
Suasana kontan hening ketika
Adipati Subali menghentikan cerita. Baik Rara Kunti, Sagala, maupun Adipati
Subali tenggelam dalam alunan pikiran masing-masing.
***
"Ayah lalu berusaha
sekuat tenaga memecahkan tekateki surat wasiat kakek. Maksudnya, andaikata dia
berhasil memecahkannya, keturunannya tinggal mempelajarinya saja. Tapi usahanya
ternyata sia-sia. Surat itu tetap terselimut tekateki. Aku pun meneruskan
perjuangannya, tapi nihil juga."
"Kau gagal juga,
Ayah?" tanya Rara Kunti.
Bodoh sekali sebenarnya
pertanyaan itu. Kalau Adipati Subali berhasil, tak akan mungkin memiliki tingkat
kepandaian seperti itu. Dan Adipati Subali hanya menganggukkan kepala saja.
Secercah senyum getir tersungging di bibirnya.
"Bisa kau perlihatkan
surat peninggalan kakek pada kami, Kang?" tanya Sagala tiba-tiba.
"Mengapa tidak, Adi.
Bukankah kau dan Rara Kunti merupakan keturunan Eyang Mandura pula? Barangkali
saja kau atau Rara Kunti yang berhasil menemukan rahasia itu!”
Adipati Subali segera
membungkuk kemudian menggulung celananya. Karuan saja tindakannya membuat Rara
Kunti dan Sagala heran. Tapi sesaat kemudian, perasaan itu pun lenyap ketika
Adipati Subali mengambil segulung surat yang terikat di betisnya.
Begitu tubuhnya tegak kembali,
Adipati Subali segera mengulurkan gulungan surat itu pada Sagala. Tapi
mendadak….
"Aaakh...!"
Adipati Subali, Sagala, dan
Rara Kunti sampai berjingkat kaget ketika mendengar jeritan menyayat dari
seseorang yang tengah menerima ajal itu. Apalagi ketika mereka mengenali
jeritan itu. Jeritan Menggala, salah seorang prajurit Kadipaten Blambang.
"Sagala! Rara Kunti! Tunggu
di sini! Atur penjagaan! Biar aku yang akan melihat sendiri, apa yang telah
menimpanya!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Adipati Subali melesat cepat ke depan. Gerakannya cepat juga. Sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning yang melesat cepat menuju asal
teriakan tadi.
Sambil terus berlari, Adipati
Subali mengulurkan tangan mencabut pedangnya. Meskipun jeritan yang terdengar
hanya sekali tapi cukup membuat Adipati Kadipaten Blambang mengetahui asalnya.
Dan kini, larinya kian dipercepat menuju arah asal suara.
Crasss!
Semak-semak kontan berhamburan
ketika laki-laki tinggi besar yang tengah kalap ini membabatkan pedangnya.
Memang, Adipati Subali yakin kalau jeritan tadi keluar dari balik semak-semak
ini.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya
Adipati Subali ketika tidak menemukan adanya mayat Menggala di situ. Bahkan
tidak nampak noda-noda darah di sekitar situ. Sinar bulan yang cukup terang
membantu laki-laki tinggi besar ini, tidak dapat membantu melihat pencariannya.
Tapi Adipati Subali tidak
langsung percaya begitu saja. Meskipun mayat Menggala tidak ditemukan, dia
tidak putus asa. Segera pandangannya beredar ke sekeliling, meneliti keadaan
sekitarnya. Paling tidak, dia harus mendapatkan tanda-tanda kalau di tempat itu
telah terjadi pembunuhan.
Tanah, semak-semak, dan
dedaunan pun tidak luput dari sasaran perhatian Adipati Subali. Dan perasaan
heran pun merayap di hati, ketika tidak juga menemukan tandatandanya!
Mungkinkah dia salah tempat? Mungkinkah Menggala tidak dibunuh, melainkan
diculik? Tapi kalau diculik, mengapa harus melolong seperti itu?! Berbagai
macam pertanyaan bergayut di benak Adipati Subali.
Tengkuk Adipati Subali
mendadak dingin ketika telinganya mendengar jeritan lagi. Tapi kali ini,
berasal dari tempat yang ditinggalkannya! Hanya saja, jeritan kali ini
terdengar pendek, tidak panjang seperti tadi.
Sebagai seorang bekas panglima
perang, Adipati Subali tahu kalau rombongannya telah diserbu. Namun serangan
itu tampaknya tidak ingin diketahui olehnya. Menyerang secara diam-diam,
sementara Adipati Subali tengah lengah. Buktinya para penyerang itu membungkam
teriakan salah seorang prajurit Kadipaten Blambang!
Kegelisahan kini menghantui
hati Adipati Subali. Disadari kalau dirinya telah terpancing. Lawan yang tengah
bersembunyi, menunggu saat-saat yang tepat. Dan begitu Adipati Subali menjauhi
rombongannya, lawan langsung menyerang anggota-anggota rombongan itu.
Karena kekhawatiran yang amat
sangat akan keselamatan anggota rombongannya, Adipati Subali berlari seperti orang
gila! Laki-laki tinggi besar ini berlari tanpa mempedulikan apa yang ada di
depannya. Semua yang menghalangi jalannya langsung diterabas. Semak-semak lebat
langsung diterabasnya. Sedangkan semak-semak berduri dipangkas dulu dengan
pedangnya sebelum diterjang.
***
Adipati Subali begitu geram
ketika melihat Rara Kunti dan Sagala tengah dikeroyok orang-orang berpakaian serba hitam. Sementara beberapa
sosok tubuh telah bergeletakan di tanah, mandi darah. Hatinya jadi geram juga ketika
tidak mendapati prajurit-prajurit Kadipaten Blambang yang lainnya. Ke manakah
perginya belasan orang prajurit Kadipaten Blambang?
Adipati Subali terus melesat
ke arah pertarungan. Dan begitu tiba di tempat Sagala dan Rara Kunti, dia
segera membantu menghadapi lawan. Dan rupanya kehadirannya memang telah
diketahui orang-orang berpakaian serba hitam itu. Terbukti tiga dari tujuh
orang pengeroyok Sagala dan Rara Kunti, melompat menjauhi pertarungan.
"Hup!"
Begitu menjejak tanah,
tangan-tangan kanan mereka bergerak mengayun.
Wusss, wuttt, wuttt!
Tiga buah benda berbentuk
bulat sebesar telur bebek meluncur ke arah Adipati Subali yang tengah membantu
Sagala dan Rara Kunti. Dan pada saat yang bersamaan, empat orang pengeroyok
Rara Kunti dan Sagala juga berbuat yang sama!
Adipati Subali, Sagala, dan
Rara Kunti bergegas melompat menjauh. Tindakan ketiga orang itu ternyata tepat,
karena…..
Darrr, darrr, darrr!
Ledakan keras terdengar ketika
benda-benda bulat itu menghantam tanah. Asap tebal dan hitam kontan mengepul.
Mau tidak mau hal ini membuat Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti tidak bisa
melihat apa-apa. Yang terlihat kini hanyalah gumpalan asap hitam. Dan tanpa
diketahui mereka, orang-orang berpakaian serba hitam itu cepat melesat kabur.
Adipati Subali yang merasa
tidak sabar menunggu asap itu terusir, segera mendorong-dorongkan tangannya.
Rupanya dia bermaksud mengusir asap itu dengan pengerahan tenaga dalamnya.
Wusss!
Hembusan angin yang cukup
keras timbul dari gerakan mendorong yang dilakukan Adipati Subali berkali-kali.
Dan ternyata, usaha laki-laki tinggi besar ini sama sekali tidak siasia. Kini
asap yang menghalangi pandangannya lenyap. Seiring lenyapnya tabir asap hitam
itu, lawan-lawannya ternyata telah lenyap dari situ. Jelas, mereka menggunakan
tabir asap untuk memudahkan
kabur.
Adipati Subali sadar, kini
tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Orang-orang berseragam hitam itu memang
sudah tidak ada lagi. Dan dia tidak tahu, ke mana arah yang mereka tempuh. Maka
perhatiannya dipalingkan buru-buru pada Sagala dan Rara Kunti. Untung mereka
belum celaka! Hanya Sagala yang menderita luka kecil pada bahunya yang
tersayat.
"Apa yang terjadi, Adi
Sagala?!" tanya Adipati Subali bergetar karena menahan perasaan.
Seiring keluarnya pertanyaan
itu, laki-laki tinggi besar itu mengedarkan pandangan berkeliling. Tampak
tubuh-tubuh pengawal Kadipaten Blambang berserakan di tanah. Jelas, mereka
semua telah tewas!
"Hhh...!" Sagala
menghela napas berat. "Sepeninggalmu, muncul belasan orang berseragam
hitam-hitam menyerbu kami, Kang. Mereka berkepandaian cukup tinggi. Dalam
beberapa gebrakan saja, pengawal-pengawal kita berguguran. Bahkan aku dan Rara
Kunti dibuat tidak berdaya. Kami menghadapi keroyokan beberapa orang seperti
yang kau lihat. Kelihatan mereka membuat kami tidak sempat memperhatikan yang
lain-lain. Dan...
"Ah...!"
Adipati Subali menjerit keras
seraya melesat ke arah kereta. Ucapan Sagala mengingatkannya pada istri dan
dayang-dayang kadipaten yang berada di dalam kereta. Memang berbeda dengan
adipati lainnya, Adipati Subali tidak mempunyai gundik.
Tapi lesatannya langsung
terhenti ketika melihat apa yang ada di hadapannya. Daun pintu kereta tampak
telah lepas dari engselnya. Dan tepat di pintu kereta, terjuntai sesosok mayat
wanita!
"Marni...!"
Setelah beberapa saat mulutnya
berkemak-kemik tanpa ada sepatah kata pun, akhirnya keluar juga jeritan dari
mulut Adipati Subali.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Adipati Subali! Sebelum gema teriakannya lenyap, tubuhnya telah
melesat ke arah sosok tubuh wanita yang terjuntai di pintu kereta.
"Marni..., ahhh...
Marni...!" ratap Adipati Subali ketika telah berjongkok di depat mayat
wanita yang tak lain dari istrinya.
Memang tidak ada air mata yang
keluar dari matanya. Bekas Panglima Kerajaan Sewu ini. Meskipun demikian rasa
sedih yang menggelegak jelas mengguncang hatinya juga. Berkali-kali Adipati
Subali mengepal dan membuka genggaman jemari tangannya, seraya menarik napas
panjang dan dihembuskannya. Tampak jelas kalau Adipati Kadipaten Blambang ini
tengah menenangkan hatinya.
"Ibu...!"
Terdengar jeritan melengking
nyaring. Rupanya jeritan seorang wanita. Tanpa menoleh pun Adipati Subali tahu,
orang yang telah menjerit itu adalah putrinya, Rara Kunti! Sekejap kemudian,
Rara Kunti telah berada di sebelah Adipati Subali. Gadis berpakaian hitam ini
langsung bersimpuh. Sepasang matanya menatap ke arah mayat ibunya.
Akhirnya, Adipati Subali
berhasil meredakan perasaan sedihnya. Dan kini dia bangkit berdiri, seraya
menepuknepuk pundak Rara Kunti.
“Hentikan semua kecengengan
itu, Kunti!" ujar Adipati Subali.
Bekas Panglima Kerajaan Sewu
ini bermaksud untuk mengambil sikap wibawa. Tapi, tetap saja suaranya masih
terdengar serak. Jelas, kesedihan belum bisa sepenuhnya dihilangkan.
Rara Kunti menghentikan
tangisnya. Dengan kedua bahu masih terguncang-guncang, dia bangkit berdiri.
Kedua belah pipinya yang putih, halus, dan mulut tampak masih dibasahi air
mata.
"Biarkan Kunti
menyelesaikan tangisnya dulu, Kang. Biar rasa sesak di dadanya hilang. Tangis
merupakan sebuah obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa sedih yang
menggelegak buat seorang wanita," Sagala yang ikut melangkah menghampiri,
segera angkat suara.
Adipati Subali tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Kali ini gadis berambut digelung itu tidak dilarang
menangis lagi.
"Apa yang harus kita
lakukan sekarang, Kang?!" tanya Sagala lagi.
“Terus melanjutkan
perjalanan," sahut Adipati Subali cepat "O, ya. Kau juga harus segera
memecahkan rahasia yang tersembunyi di dalam surat peninggalan kakek,
Sagala."
"Baik Kang. Tapi,
sebaiknya kita kuburkan mayat-mayat ini dulu."
Tak lama kemudian, rombongan
Kadipaten Blambang yang kini tinggal tiga orang kembali melanjutkan perjalanan.
Mayat-mayat para korban telah dikuburkan. Dan sebelum berangkat Adipati Subali
sempat bersumpah di depan kubur istrinya, untuk mencari orang-orang berpakaian
hitam itu sekaligus memusnahkannya.
Malam telah mendekati pagi.
Satu-satu mulai terdengar keruyuk ayam hutan di kejauhan. Tampaknya, sebentar
lagi pagi akan tiba. Sang surya akan timbul dan kehidupan baru dimulai kembali.
*** 3
Sang surya muncul di ufuk
Timur. Sinarnya merah membara, namun tidak menyilaukan mata. Kicau riang burung
mengiringi langkah tiga sosok tubuh keluar dari dalam Hutan Maung. Dan kini,
mereka berhadapan dengan padang ilalang yang cukup luas. Untungnya ilalang itu
hanya sebatas betis, sehingga tidak mengganggu pemandangannya.
Semua orang itu berpakaian
indah. Tampaknya mereka berasal dari golongan orang berada. Dua di antara
mereka adalah laki-laki yang telah berusia empat puluhan. Sedangkan yang
seorang lagi adalah seorang gadis dengan rambut digelung. Dan mereka memang
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti!
Beberapa tindak sebelum
melintasi padang ilalang itu Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali tiba-tiba
menghentikan langkah. Pandangan mata mereka tertuju lurus ke depan, begitu
sekitar empat tombak di depan tertancap sebuah tongkat berwarna hitam kelam.
Pada bagian atas tongkat, berkibar secarik kain berbentuk persegi berwama merah
menyala. Gambar sebuah peti mati berwama hitam tampak pada kain itu.
Tampak jelas Adipati Subali,
Rara Kunti, dan Sagala terkejut bukan kepalang melihatnya. Raut wajah mereka
menampakkan gambaran perasaan terkejut yang nyata.
"Benarkah Iblis Mayat
Hidup berada di sini?" desis Adipati Subali. Suaranya terdengar bergetar
karena perasaan tegang yang melanda.
Sagala dan Rara Kunti menoleh.
Tanpa dijelaskan pun keduanya tahu kalau tokoh yang berjuluk Iblis Mayat Hidup
itu adalah seorang datuk kaum sesat yang merajai wilayah Utara! Dan dia juga salah
satu dari empat datuk yang menguasai rimba persilatan. "Kau mengenalnya
Kang?" tanya Sagala, pelan suaranya. Sementara Rara Kunti hanya diam
mendengarkan.
"Mengenalnya sih, tidak.
Aku hanya mendengar ceritanya saja. Dan perlu kau tahu, Sagala. Iblis Mayat
Hidup adalah salah satu dari empat datuk sesat yang dikalahkan kakek kita
puluhan tahun lalu." jelas Adipati Subali.
"Ah...!" desis
Sagala dan Rara Kunti kaget.
Bagai diperintah kedua orang
itu saling berpandangan. Tarikan wajah-wajah mereka menampakkan perasaan kaget.
Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang tokoh lblis Mayat Hidup
itu. Tapi sungguh tak disangka, kalau tokoh itu ternyata salah satu dari empat
datuk yang pernah dikalahkan leluhur mereka.
"Jadi.., datuk-datuk
sesat yang dikalahkan kakek adalah datuk-datuk sesat yang masih merajai dunia
persilatan sekarang ini, Kang?" tanya laki laki tinggi kurus setengah tak
percaya.
Adipati Subali hanya
menganggukkan kepala, sementara sepasang matanya beredar mengawasi sekeliling.
"Kalau begitu..., bisa
kuperkirakan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki kakek..," desah
Sagala penuh perasaan kagum. “Tapi, Kang. "
"Ssst..!"
Adipati Subali buru-buru
memberi isyarat agar Sagala diam.
"Aku kahwatir, berita
mengenai surat rahasia ini telah tersebar luas, Sagala. Kalau tidak, Iblis
Mayat Hidup tak mungkin kemari. Tempat tinggalnya terlalu jauh dari sini. Dia
tinggal di Utara. Sedangkan kita berada di Selatan. Kutakutkan, bukan hanya dia
saja yang muncul. Tapi juga satu datuk lainnya. "
"Ha ha ha. !"
Tiba-tiba suara tawa keras
menggelegar membuat Adipati Subali menghentikan ucapannya. Adipati Subali,
Sagala, dan Rara Kunti terkejut bukan kepalang. Seketika perasaan tegang
menyelimuti hati mereka semua. Benarkah Iblis Mayat Hidup yang akan datang?
Dengan jantung berdetak
kencang, mereka menunggu keluarnya si pemilik suara tawa. Tapi sampai lama
menunggu, tidak juga ada tanda-tanda kemunculannya. Maka ketiga orang itu pun
mencoba mengira-ngira tempat keberadaan pemiliknya. Namun ternyata sia-sia.
Suara tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
Betapapun Adipati Subali,
Sagala, dan Rara Kunti telah mengerahkan seluruh kemampuannya, namun tetap saja
tidak mengetahuinya. Tubuh ketiga orang itu sampaisampai terputar-putar karena
ingin bisa mendengar lebih jelas. Tapi, tetap saja sia-sia.
"Aku tidak bisa
memperkirakan, dari mana asal suara tawa ini, Kang," kata Sagala masih
terus berputar-putar.
"Iblis itu pasti
menggunakan ilmu istimewanya dalam suara tawa ini," Jawab Adipati Subali. “Tidak
ada gunanya kita bertindak seperti ini. Lebih baik, diam menunggu. Aku yakin
iblis itu akan datang menemui kita."
Sagala dan Rara Kunti
menyadari ada kebenaran juga dalam ucapan bekas orang nomor satu Kadipaten
Blambang itu. Maka keduanya ikut berdiri menunggu.
"Kakek menceritakan pada
Ayah mengenai ilmu-ilmu andalan yang dimiliki empat datuk itu. Aku yakin, Iblis
Mayat Hidup menggukan dasar ilmu andalan dalam pengerahan tawanya,” jelas
Adipati Subali lagi.
"Aku belum mengerti
maksudmu, Kang," ujar Sagala jujur.
Rara Kunti pun menganggukkan
kepala.
Adipati Subali menatap adik
misan dan anak kandungnya sejenak.
"Iblis Mayat Hidup
memiliki sebuah ilmu yang bernama 'Tangan Delapan Penjuru Angin'. Apabila ilmu
itu digunakan lawan yang menghadapinya seakan-akan mendapat tekanan dari
delapan arah. Nah! Aku yakin, dasar ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'
digunakannya dalam tawanya. Buktinya, kita merasakan kalau suara tawa itu
sepertinya berasal dari semua arah!" Rara Kunti dan Sagala menganggukkan
kepala.
"Lalu, mengapa iblis itu
mencegat perjalanan kita.
Ayah?" tanya Rara Kunti,
ingin tahu.
"Mana aku tahu,"
Jawab Adipati Subali sambil mengangkat bahu. "Mungkin saja juga berminat
merampas surat wasiat peninggalan kakek."
"Kalau begitu, berbahaya
sekali," celetuk Rara Kunti, tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.
Adipati Subali dan Sagala sama
sekali tidak menyambutinya. Tapi meskipun demikian, bisa diketahui kalau mereka
membenarkan ucapan gadis berpakaian hitam itu. Tarikan wajah dan sikap mereka
menjadi jawabannya.
***
Mendadak suara tawa itu
lenyap. Dan seketika itu pula, perasaan tegang menyelimuti hati Adipati Subali,
Rara Kunti, dan Sagala. Bisa diduga, berhentinya suara tawa itu menjadi
pertanda kalau orang yang diyakini sebagai Iblis Mayat Hidup akan segera keluar
dari sarangnya.
Dugaan ketiga orang itu
ternyata tidak keliru. Sesaat kemudian, berkelebat sesosok bayangan. Cepat
bukan main gerakannya, sehingga tidak terlihat jelas bentuknya. Yang terlihat
hanyalah sekelebat bayangan merah, dan tahu-tahu hinggap di sebelah tongkat
berlambang peti mati itu.
Adipati Subali, Sagala, dan
Rara Kunti menatap sosok bayangan merah yang baru tiba itu lekat-lekat. Dan
seketika, sepasang mata mereka terbelalak. Sorot ketiga pasang mata itu
memancarkan keterkejutan, tapi juga kelegaan. Betapa tidak? Semula dikira di
depan mereka akan berdiri sesosok tubuh ringkih seorang kakek. Tapi ternyata
dugaan itu keliru!
Di sebelah tongkat berlambang
peti mati itu berdiri seorang pemuda bertubuh kurus. Wajahnya tampan, tapi
sayang terlihat pucat seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang berwama merah
menyala dan gambar peti mati besar pada bagian dada, semakin menambah kepucatan
wajahnya. Di tangannya tampak tergenggam sebatang cangkul!
"Siapa di antara kalian
yang menjadi keturunan si keparat Eyang Mandura?!" tanya pemuda berwajah
pucat itu bemada mengancam.
Sambil berkata demikian,
pemuda kurus itu mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya wajah Adipati
Subali, Rara Kunti, dan Sagala satu persatu. Seakan-akan ketiga orang yang
menjadi turunan Eyang Mandura tengah dinilainya.
Kontan wajah Adipati Subali
merah padam. Sepasang matanya pun berkilat-kilat. Tampak jelas, laki-laki
tinggi besar ini marah bukan kepalang. Kakeknya dihina, siapa yang tidak
menjadi marah? Dengan yang langkah lebarlebar dia maju ke depan.
"Aku! Akulah yang menjadi
keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang telah menumbangkan kesombongan Iblis
Mayat Hidup! Siapa kau, Orang Sakti?!" sahut Adipati Subali tak kalah
kasar.
"Ha ha ha...! Kebetulan
sekali sudah lama sekali aku ingin membuktikan kepandaian si keparat Eyang
Mandura. Tak kusangka, aku akan bertemu keturunannya di sini! Hei, Brewok
Jelek! Ketahuilah! Aku adalah Jaranta putra tunggal Iblis Mayat Hidup,
kekalahan ayahku dulu karena terlalu mengalah! Nah! Sekarang, mari kita
buktikan kenyataannya!"
Adipati Subali menggertakkan
giginya menahan geram. Untuk pertama kalinya dia menyesali diri, mengapa dulu
tidak mewarisi ilmu-ilmu kakeknya. Padahal, di depannya telah berdiri orang yang
mengajaknya bertarung. Dan bahkan lawan itu adalah keturunan orang yang telah
dirobohkan kakeknya.
Meskipun sudah bisa menduga
kalau Jaranta memiliki tingkat kepandaian yang jauh di atasnya, Adipati Subali
tidak gentar. Demi membela nama baik kakeknya, dia rela mati di tangan
lawannya. Maka dihampirinya Jaranta. Baik Jaranta maupun Adipati Subali
sama-sama menghentikan langkah ketika telah berjarak kurang dari tiga tombak.
Keduanya saling pandangan sejenak. Mendadak...
"Haaat...!"
Diiringi suara keras
melengking nyaring, Jaranta menyerang Adipati Subali. Pemuda berwajah pucat ini
membuka serangannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-tubi ke arah leher
dan ulu hati.
Wut, wut!
Suara berkesiutan nyaring
mengiringi serangan Jaranta. Hal ini menjadi pertanda kalau serangan itu
dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Adipati Subali paham kalau
serangan yang dibuka lawannya sangat berbahaya. Bukan hanya serangannya saja
yang berbahaya, tapi juga bagian yang akan dijadikan sasaran. Ternyata Jaranta
lebih memilih bagian-bagian yang mematikan. Kalau sampai terkena, Adipati
Subali akan celaka!
Dan belum Juga Adipati Subali
sempat berbuat sesuatu, terasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang
menggencet tubuhnya dari berbagai penjuru. Kuat sekali tenaga yang menekan,
sehingga membuat dada laki-laki tinggi besar ini terasa sesak bukan kepalang.
Dan seiring semakin mendekatnya serangan Jaranta, kekuatan tak nampak yang
menekan dadanya semakin membesar pula. Betapapun seluruh kemampuannya telah
dikerahkan untuk membebaskan diri dari tekanan itu, tapi tetap saja tidak
mampu. Kini yang dapat dilakukan Adipati Subali hanyalah menunggu datangnya
sang Maut!
Adipati Subali pun sadar kalau
kekuatan tak nampak yang menekannya dari berbagai penjuru adalah akibat
serangan lawannya. Dan seketika itu pula, dia teringat. Ya! Jaranta pasti
menggunakan ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'! Ilmu yang menjadi andalan
Datuk Utara, ayahnya.
Selama ini, Adipati Subali
hanya mendengar cerita tentang kehebatan Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru’. Dan dia
sama sekali belum pernah membuktikannya. Sama sekali tidak disangka kalau akan
sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia sudah dlbuat tidak berdaya. Tubuhnya bagaikan
tengah digencet kekuatan raksasa!
Memang dahsyat ilmu 'Tangan
Delapan Penjuru Angin'! Orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam rendah akan
celaka. Karena sewaktu ilmu ini dipergunakan untuk menyerang, sebelum serangan
itu sendiri tiba akan muncul sebuah kekuatan maha dahsyat yang menekan lawan
dari segala penjuru. Akibatnya, lawan akan sukar untuk mengelak, hingga menjadi
sasaran serangan pemakai ilmu ‘Tangan Delapan Penjuru Angin'!
Kini sudah dapat diperkirakan
nasib yang akan menimpa Adipati Subali. Dia akan tewas di tangan Jaranta.
Bahkan putra Iblis Mayat Hidup itu sudah terrawa bergelak, karena yakin
serangannya akan mengenai sasaran dengan tepat.
Di saat yang gawat bagi
keselamatan Adipati Subali, melesat sesosok bayangan ungu ke arah kancah
pertarungan. Lalu bayangan itu langsung memapak serangan yang tengah
dilancarkan Jaranta.
Plak plak…!
Suara berderak keras terdengar
berkali-kali ketika Jaranta mengalihkan serangan ke arah bayangan yang hendak
memapaknya. Akibatnya dahsyat sekali, tubuh Jaranta kontan terhuyung-huyung ke
belakang. Hampir saja, putra Iblis Mayat Hidup ini terjengkang kalau tidak
segera mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Sementara itu, sosok bayangan
ungu itu pun terpental balik ke atas! Tapi dengan sebuah salto yang indah,
kekuatan yang melontarkannya berhasil dipatahkan. Tidak hanya itu saja yang
dilakukannya. Sambil berjumpalitan di udara, disambarnya tangan Adipati Subali.
Tappp! "Hup!"
Ringan laksana daun kering
jatuh ke tanah, sosok bayangan ungu itu mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Menyingkirlah, Kisanak. Dia terlalu lihai untukmu," ujar sosok bayangan
ungu itu pada Adipati Subali.
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Kisanak," ucap orang
nomor satu Kadipaten Blambang sambil menatap wajah penolongnya.
Hanya sekilas saja Adipati
Subali menatap wajah penolongnya, lalu menghampiri Sagala dan Rara Kunti.
Adipati Subali bukan orang bodoh! Dia tahu, Jaranta terlalu sakti untuk
dirinya. Bila terus mengadakan perlawanan sama dengan mencari mati!
***
Jaranta menatap penolong
Adipati Subali dengan wajah beringas. Sepasang matanya memancarkan hawa
kematian. Dia benar-benar murka, karena sudah hampir berhasil menamatkan
riwayat Adipati Subali tapi ternyata gagal. Tentu saja pemuda berwajah pucat
ini jadi kalap ketika mengetahui ada orang yang telah menolongnya. Kekalapannya
bertambah ketika mengetahui tangkisan penolong Adipati Subali membuat tubuhnya
terhuyunghuyung dengan tangan sakit-sakit.
Sosok bayangan ungu itu yang
menolong Adipati Subali ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua
puluh tahun. Pakaiannya berwarna ungu, membalut tubuhnya yang tegap dan kekar.
Rambutnya berwama putih keperakan dan
meriap sampai ke punggung. Bahkan sebagian rambutnya sampai menutupi sebuah
guci perak yang tersampir di punggung.
"Siapa kau,
Keparat?!" benrak Jaranta setelah puas memperhatikan sosok yang berdiri di
hadapannya.
Ada kernyitan pada dahi
Jaranta. Dan itu tercipta ketika memandang wama rambut penolong Adipati Subali.
Aneh sekali warna rambut pemuda berpakaian ungu itu!
"Namaku Arya. Dan kau
siapa, Biang Keparat?!" pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya.
Jaranta mengangguk-anggukkan
kepala. "Kini aku tahu, mengapa kau mempunyai sikap begitu sombong!
Bukankah nama lengkapmu adalah Arya Buana?! Hm, jadi kau yang berjuluk Dewa
Arak itu?" tebak pemuda berwajah pucat disertai senyum sinis yang
tersungging di bibir.
"Dugaanmu sama sekali
tidak salah, Kisanak!" kalem sambutan Arya
"Ha... ha... ha...!"
Jaranta tertawa
bergelak-gelak.
Tentu saja kelakuan putra
Iblis Mayat Hidup itu membuat semua orang yang berada di situ jadi terkejut
bercampur heran. Mengapa Jaranta malah tertawa-tawa? Gilakah dia?! Kini mereka
semua menatap wajah Jaranta dengan dahi berkernyit.
"'Sudah lama kudengar
nama besarmu. Dewa Arak! Dan sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu! Aku
ingin tahu, apakah gema kebesaran julukanmu sebanding kepandaian yang kau
miliki?! Bersaplah kau, Dewa Arak?!"
Dewa Arak tersenyum hambar.
"Sayang sekali, Kisanak.
Aku tidak suka bertarung tanpa alasan kuat," tolak Arya sambil
menggelengkan kepala.
"Kau bilang tidak
mempunyai alasan, Dewa Arak?!" sergah Jaranta dengan sepasang mata
membelalak lebar. "Apakah tindakan yang barusan kau lakukan tidak bisa
dianggap sebagai alasan?! Kau telah mencapuri urusanku, Dewa Arak! Itulah
alasannya!"
Kembali Dewa Arak
menggelengkan kepala.
“Itu lain, Kisanak! Aku hanya
bermaksud menyelamatkan nyawa orang yang tengah terancam. Lain tidak!"
Jaranta menggeram. Dia
kehabisan akal untuk memaksa Arya bertarung.
"Kalau begitu,
menyingkirlah dari situ, Dewa Pengecut!" perintah Jaranta keras.
"Mengapa kau menyuruhku
menyingkir dari sini, Kisanak?!" Arya masih mencoba bersabar.
"Aku ingin membunuh
keturunan si keparat Eyang Mandura!" "Sayang sekali. Kalau itu
maksudmu, terpaksa aku tidak bisa menyingkir dari sini." kalem ucapan yang
keluar dari mulut Arya.
Arya mengambil keputusan untuk
bertarung dengan Jaranta. Hal itu karena didorong beberapa alasan. Satu di
antaranya karena orang di hadapannya hendak membunuh. Dan Arya sadar kalau yang
dihadapinya ternyata berpakaian seperti Iblis Mayat Hidup, seorang datuk sesat
yang amat kejam. Jadi, paling tidak pemuda berwajah pucat itu punya hubungan
dekat dengan Iblis Mayat Hidup. Dan Dewa Arak tahu, kalau Iblis Mayat Hidup
adalah tokoh yang amat kejam dalam rimba persilatan.
"Kalau begitu, kau dulu
yang harus kusingkirkan, Dewa Arak!" seru Jaranta, keras.
Usai berkata demikian, Jaranta
bersiap-siap melancarkan serangan. Tahu kalau yang yang dihadapinya kali ini
adalah lawan tangguh, Jaranta tidak ingin bertindak mainmain.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras,
Jaranta menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar
meluncur berbareng ke arah dada.
Cit, cit!
Suara mencicit nyaring
mengiringi tibanya serangan itu. Sementara, Dewa Arak tahu, kalau ada kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan lawan.
"Heh...?!"
Dewa Arak tersentak ketika
merasa ada kekuatan tak nampak yang menekan tubuhnya dari berbagai penjuru.
Begitu kuat tekanannya, sehingga membuat dadanya terasa sesak. Dan seiring
semakin mendekat serangan Jaranta, kekuatan tak nampak itu semakin kuat
menekan.
Pemuda berambat putih
keperakan itu sadar, mengapa Adipati Subali sama sekali tidak menghindar
meskipun serangan Jaranta hampir mengenai sasaran. Rupanya, lakilaki tinggi
besar itu terhimpit tenaga yang menekan, sehingga tidak bisa mampu bergerak.
Tapi tentu saja hal yang dialami Adipati Subali tidak terus menerus menimpa
Dewa Arak. Sekali pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalam,
kekuatan yang menekannya pun sirna. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dipapaknya
serangan yang mengancam dada.
Prakkk! "Akh!"
Jaranta memekik kesakitan.
Tangannya kontan terasa sakit-sakit. Bahkan, tubuhnyapun terhuyung tiga langkah
ke belakang. Sementara, Dewa Arak hanya terhuyung satu langkah. Jelas, tenaga
dalam putra Iblis Mayat Hidup masih di bawah Dewa Arak.
Jaranta menggeram keras. Dia
sama sekali tidak pemah mimpi akan mengalami kejadian seperti ini.
Terhuyunghuyung dalam benturan tenaga dalam, melawan seorang pemuda. Sekali pun
orang itu Dewa Arak, dia tidak sudi hal itu terjadi. Jaranta adalah putra
tunggal Iblis Mayat Hidup! Jadi, pantang baginya disaingi orang. Apalagi
dikalahkan.
Perasaan geram bercampur
penasaran membuat Jaranta mengambil keputusan untuk melancarkan serangan
susulan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, mendadak....
"He... he... he... ho...
ho... ho... hi... hi... hi. !"
Sebuah tawa aneh membuat
Jaranta menghentikan gerakan. Menilik dari gerakan yang terhenti tiba-tiba,
bisa diperkirakan kalau Jaranta merasa terkejut bukan kepalang.
Bahkan dia melangkah mundur
setindak. Kepalanya, langsung menoleh ke arah asal suara tawa aneh itu
terdengar.
Krosek!
Ilalang dan semak-semak yang
berada di sebelah kiri berkerosakan. Sesaat kemudian, muncul seorang pemuda
berkepala botak. Tubuhnya pendek gemuk. Perutnya yang buncit terlihat jelas,
karena tidak mengenakan pakaian kecuali sebuah celana pendek. Masih dengan tawa
aneh yang tidak putus-putus pemuda berkepala botak ini melesat ke arah Jaranta
dan Arya. Sementara Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang agak jauh dari
situ hanya memperhatikan saja kehadiran sosok berkepala botak itu.
Gerakan sosok berkepala botak
itu terlihat lucu bukan main. Karena gerakannya seperti tidak tengah berlari,
melainkan menggelinding!
Arya terkejut ketika
memperhatikan wajah Jaranta, Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti satu
persatu. Tampak wajah mereka berubah menegang ketika melihat kedatangan pemuda
berkepala botak itu. Siapakah sebenarnya pemuda itu?
*** 4
Adipati Subali rupanya
mengetahui perasaan yang bergolak di hati Dewa Arak. Buktinya, segera
dihampirinya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Suara tawa itu hanya
dipunyai seorang datuk kaum sesat wilayah Barat. Namanya Setan Gila, Dewa
Arak." jelas laki-laki tinggi besar itu.
Dan sebenarnya, Adipati Subali
sungguh-sungguh tidak menyangka kalau akan bisa bertemu Dewa Arak! Tokoh muda
aliran putih yang julukannya sudah lama didengarnya. Terus terang, Dewa Arak
adalah pendekar yang amat dikaguminya. Tadi ketika melihatnya, Adipati Subali
merasa ragu. Tapi, akhirnya dia baru percaya ketika Jantara menerka, dan Arya
tidak membantahnya. Perasaan yang sama pun bersemayam di hati Rara Kunti dan
Sagala.
Sementara itu, Arya
mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar penjelasan Adipati Subali. Julukan
Setan Gila telah didengar. Dia adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat
kepandaian sejajar dengan Iblis Mayat Hidup.
Tapi menilik dari keadaannya,
Arya tahu kalau pemuda berkepala botak ini bukan datuk sesat yang menggiriskan
itu. Jadi paling tidak kalau bukan anak, pasti muridnya.
"Cihuiii...!”
Pemuda berkepala botak berseru
nyaring. Begitu larinya dihentikan, tubuhnya langsung berbalik. Dan seketika,
dia mengunjukkan pantatnya. Sesaat kemudian....
Dut!
Bunyi cukup keras keluar dari
pantat pemuda cebol itu. Apalagi kalau kentut, atau angin yang berbau busuk
itu? Bagai diperintah, semua yang berada di situ melangkah mundur sambil
menutupi lubang hidung, untuk mencegah hawa busuk dari angin keras yang keluar
lewat pantat pemuda berkepala botak itu. "Ha... ha... ha... ho... ho...
ho... hi... hi... hi...! Bagaimana bunyi siulanku?! Merdu, bukan?!"
Pemuda berperut gendut itu
kembali tertawa-tawa, dan terlihat gembira sekali. Perutnya yang buncitpun
sampai terguncang-guncang. Masih belum puas juga, maka tubuhnya langsung
dijatuhkan ke tanah dan berguling-gullngan.
"Keparat'"
Jantara yang paling berangasan
di antara mereka berteriak memaki. Dia murka bukan kepalang mendapat perlakuan
seperti itu dari pemuda berkepala botak yang diduga mempunyai hubungan dengan
Setan Gila.
"Hi... hi... hi...!
Lucu.. ! Lucu sekali!"
Tiba-tiba terdengar lagi
sebuah seruan melengking tinggi. Jelas seruan itu keluar dari mulut seorang
wanita. Serentak semua kepala menoleh ke arah sebuah bayangan yang berkelebatan
sambil memperdengarkan suara tawanya. Dan hebatnya akibat yang ditimbulkan
suara itu membuat telinga semua orang yang berada di situ seperti
ditusuk-tusuk. Sangat sakit!
Tampak sesosok tubuh ramping
berpakaian serba putih telah berdiri di sebelah kiri pemuda berkepala botak.
Rambutnya berwarna hitam, panjang dan tergerai sampai ke bawah. Rasanya tidak
ada yang ditakutkan kalau saja tidak terlihat wajahnya yang ternyata tertutup
sebuah topeng tengkorak! Bahkan di tangannya pun tergenggam sebuah topeng yang
ujungnya dihiasi tengkorak kepala manusia dewasa.
Tidak hanya itu saja. Di
lingkaran pinggang wanita bertopeng tengkorak itu pun berjajar tengkorak
kepala. Hanya saja, ukurannya jauh lebih lecil. Mungkin tengkorak bayi yang
baru lahir.
"Ha... ha... ha... ho...
ho.. ho... hi... hi... hi...!" pemuda berkepala botak tertawa
terkekeh-kekeh. "Luar biasa! Tinggal satu orang lagi, maka lengkaplah
keturunan datuk-datuk di empat penjuru! Hi... hi... hi...! Ciri-cirimu mirip
sekali dengan Ratu Tengkorak Putih, ho ho ho...!"
Memang, seperti juga Jantara,
wanita bertopeng tengkorak itu juga mempunyai hubungan dengan Ratu Tengkorak
Putih, salah satu dari empat datuk kaum sesat dunia persilatan!
"Hmh!" dengus wanita
bertopeng tengkorak itu. "Tingkahmu sama sekali tidak lucu, Cebol Jelek!
Padahal, guruku pernah bercerita kalau Setan Gila memiliki tingkah amat lucu!
Rupanya, kau terhitung murid bebal. Buktinya, kau tidak bisa mewarisi kelucuan
gurumu!"
"Setan Gila bukan guruku,
Penghuni Kuburan!" maki pemuda berkepala botak itu sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. "Orang tua gila itu adalah kakekku! Dan namaku
pun bukan Cebol Jelek! Tapi, Taliwang!"
"Aku pun bukan Penghuni
Kuburan! Namaku Ratna Ningsih!" balas wanita bertopeng tengkorak tak mau
kalah. Kemudian perhatiannya dialihkan ke tempat lain, dan tidak mau menoleh
kembali ke arah Taliwang.
***
Adipati Subali terkejut bukan
kepalang menyaksikan semua ini. Sungguh tidak disangka, tiga ahli waris dari
tiga datuk sesat yang merajai dunia persilatan bisa berkumpul di sini. Tinggal,
seorang ahli waris dari seorang datuk sesat lainnya yang belum muncul. Dan
mereka semua menginginkan surat wasiat yang dibawa Adipati Subali, akan
celakalah jadinya. Memang benar di situ ada Dewa Arak! Tapi mampukah pendekar
muda yang menggemparkan itu menanggulangi tiga orang lawannya?
"Sungguh tidak disangka
kita semua bisa berkumpul di sini. Walaupun masih kurang seorang lagi, tapi
merupakan sebuah hal yang aneh kalau pertemuan yang terjadi hanya secara
kebetulan," kata Jaranta, sambil berusaha bersikap tenang.
"Ho... ho... ho...!"
Taliwang yang tidak bisa
melucu seperti gurunya, tertawa sambil menggaruk-garuk dadanya dengan kedua
tangan. Sikapnya mengingatkan pada seekor kera.
"Tidak usah berpura-pura
seperti monyet bodoh, Jaranta! Kami semua tahu, kau berminat memperebutkan
kotoran Eyang Mandura!" keras ucapan Taliwang.
Wajah Jaranta merah padam
seketika. Dia tahu, kotoran Eyang Mandura yang dimaksud Taliwang adalah pusaka
peninggalannya. Memang, Jaranta berniat merampasnya dari tangan Adipati Subali.
Makanya, dia mencegahnya di sini. Tapi sama sekali tidak disangka kalau murid
datukdatuk pun melakukan hal yang sama.
"Jangan samakan aku
dengan kalian!” sergah Jaranta keras. "Aku sama sekali tidak berniat memperebut
kotoran Eyang Mandura. Toh dengan ilmu warisan ayahku, dunia persilatan bisa
kukuasai! Aku akan menjadi jago nomor satu menggantikan ayahku!"
"Jangan harap impianmu
terujud Jaranta! Selama masih ada aku, kau tidak akan bisa menjadi jago nomor
satu di kolong langit!" balas Ratna Ningsih.
"Ho... ho... ho...!
Rupanya Jaranta tengah bermimpi," Taliwang menyambung ucapan murid Ratu
Tengkorak Putih. Kali ini sambil berjingkrak-jingkrak.
"Apakah kalian
membutuhkan bukti? Silakan maju! Akan kalian lihat sendiri betapa mudahnya
bagiku untuk merobohkan kalian!" sumbar Jaranta bernada tantangan.
"Kau benar-benar berotak
udang Jaranta! Untuk apa kita cakar-cakaran sekarang?! Masalah sepele ini bisa
diurus belakangan. Yang penting sekarang, membereskan lawanlawan di hadapan
kita. Terutama sekali, Dewa Arak!" tukas Ratna Ningsih.
Jaranta terperanjat. Dia
tersadar seketika. Kalau ucapan murid Ratu Tengkorak Putih benar belaka! Yang
penting, sekarang membereskan Dewa Arak dan mendapatkan pusaka Eyang Mandura
terlebih dulu. Telah dibuktikannya sendiri kelihaian Dewa Arak. Tingkatan
tenaga dalam pemuda berambut putih keperakan itu benar-benar berada di atasnya.
Bukan mustahil keunggulan pendekar berambut putih keperakan itu tidak hanya
sampai di situ saja!
"Kau benar! Lebih baik,
kita bereskan mereka lebih dulu!"
Setelah berkata demiktan,
Jaranta melangkah menghampiri Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti yang sejak
tadi menyaksikan apa yang terjadi. Dan langkah Jaranta segera diikuti Ratna
Ningsih dan Taliwang.
Menilik dari langkah kaki
mereka, bisa diketahui adanya ancaman besar yang tengah bergerak ke arah
Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti. Tapi sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak
yang tadi menyisih ke samping segera memotong langkah mereka. Maka hal ini membuat Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang terpaksa
menghentikan langkah. Kini di hadapan mereka telah berdiri Dewa Arak yang
membelakangi Adipati Subali, Sagala, dan Rara Kunti.
"Keparat! Kau terlalu
sombong, Dewa Arak! Mampuslah kau, hiyaaat..!"
Jaranta yang tidak bisa
menahan kemarahannya lagi, langsung menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya
menyampok bertubi-tubi ke arah kedua pelipis Dewa Arak.
Wuttt, wuttt!
Seperti kejadian sebelumnya,
muncul kekuatan tak nampak yang menekan Dewa Arak dari segala penjuru. Dan
seiring semakin dekatnya serangan Jaranta, kekuatan yang menghimpit itu semakin
membesar.
Tapi juga seperti sebelumnya,
dengan mengerahkan tenaga dalam dari bawah pusat ke seluruh tubuh, Dewa Arak
berhasil membebaskan diri dari kekuatan tak nampak yang menekannya. Tidak hanya
sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Sadar akan ketangguhan lawan, apalagi
tidak hanya seorang saja yang akan dihadapi, pemuda berambut putih keperakan
ini memutuskan untuk melakukan perlawanan.
Meskipun demikian, Dewa Arak
belum berniat menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Yang dikeluarkannya
hanya ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau dan 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga’. Dan dalam penggunaan ilmu itu, serangan Jaranta dipapaknya. Namun tak
lupa, 'Tenaga Dalam Inti Matahari'nya juga dikerahkan.
Prat, prat!
"Akh...!"
Jaranta terpekik kaget. Bukan
karena tubuhnya terhuyung akibat benturan itu, tapi ketika terasa ada hawa
panas yang merayap melalui jari-jari tangannya.
Buru-buru putra Iblis Mayat
Hidup itu mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa panas yang merayap.
Kemudian dengan hati panas karena perasaan amarah dan penasaran, kembali
dilancarkannya serangan pada pemuda berambut putih keperakan itu.
Perasaan yang bergolak di
hati, membuat Jaranta mengumbar serangan-serangan dahsyat. Hebat bukan kepalang
ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' itu. Di samping sebelum serangan itu tiba,
telah didahului lebih dulu kekuatan tak nampak yang menekan seluruh tubuh
lawan. Dalam penggunaan ilmu itu pun, tangan Jaranta seperti berubah menjadi
berpasang-pasang.
Dewa Arak terperanjat melihat
keistimewaan ilmu yang dipergunakan lawan. Tampak kedua tangan Jaranta telah
berjumlah banyak. Sehingga, sukar untuk diketahui tangan yang asli. Di samping
itu, tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit tubuhnya cukup untuk membuat
Dewa Arak kerepotan. Setidak-tidaknya, Dewa Arak harus mengerahkan sebagian
tenaga dalamnya untuk memunahkan tekanan kekuatan tak nampak yang menghimpit
sekujur tubuhnya.
Melihat kenyataan ini, timbul
perasaan kagum dalam hati Dewa Arak. Kalau Jaranta saja sudah mampu berbuat
seperti ini, apalagi ayahnya?! Sukar dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu Iblis Mayat Hidup!
Namun Dewa Arak segera
membuang pikiran-pikiran yang menggayuti benaknya. Lalu perhatiannya dipusatkan
untuk menghadapi serbuan Jaranta. Dan pertarungan menarik antara dua tokoh muda
pun berlangsung sengit. ***
Ratna Ningsih dan Taliwang
mengawasi jalannya pertarungan penuh perhatian. Memang sebagai seorang tokoh
persilatan, tidak ada kegemaran lain bagai mereka, kecuali mengadu ilmu dan
menyaksikan pertarungan. Apalagi, bila tokoh-tokoh yang bertempur memiliki
kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dan Jaranta.
Ternyata bukan hanya kedua
orang pewaris ilmu datukdatuk sesat itu saja yang sibuk memperhatikan jalannya
pertarungan. Sagala, Rara Kunti, dan Adipati Subali mengarahkan pandangannya
pada pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu di kancah
pertarungan, begitu menginjak jurus kelima puluh, Dewa Arak mulai berhasil
menekan lawan. Ada banyak hal yang membuat pemuda berambut putih keperakan
berhasil mendesak lawannya. Keunggulan dalam hal tenaga, kelincahan, dan
pengalaman bertarung.
Tentu saja keadaan yang tengah
dialami Jaranta diketahui secara pasti oleh Ratna Ningsih dan Taliwang. Dahi
kedua tokoh sesat ini pun berkernyit dalam. Mereka tahu, tingkat kepandaian
yang dimiliki Jaranta kurang lebih setingkatan dengan mereka. Kalau pemuda
berwajah pucat itu bisa didesak, dengan sendirinya pendekar muda yang memiliki
rambut aneh itu pun akan mampu melakukan hal yang sama pada mereka.
Perasaan khawatir melanda hati
Ratna Ningsih dan Taliwang. Hati mereka cemas kalau maksud pencegatan terhadap
Adipati Subali akan pupus. Mendadak....
"Haaat..!"
Tiba-tiba Ratna Ningsih menggenjotkan
kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke arah Adipati Subali. Tak ada yang
melihat gerakannya, kecuali satu orang Taliwang!
"Hih!"
Taliwang yang juga sudah
berpikir sampai ke situ tapi telah keduluan Ratna Ningsih, tidak mau tinggal
diam. Pemuda cebol itu pun ikut pula melesat ke arah Adipati Subali! Rupanya,
dia tidak ingin ketinggalan oleh murid Ratu Tengkorak Putih.
Tapi, rasa-rasanya usaha
Taliwang ini akan pupus! Kenyataannya Ratna Ningsih telah lebih dulu melesat,
dan telah beberapa jengkal di depannya. Biar bagaimanapun, wanita bertopeng
tengkorak itu pasti akan lebih dulu mencapai Adipati Subali. Maka benak
Taliwang pun berputar. Dan...
Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika kedua tangan Taliwang bergerak mengibas, setelah sebelumnya
dimasukkan ke balik pakaiannya. Beberapa buah gelang berwarna putih mengkilat
seketika meluncur ke arah punggung dan belakang kepala Ratna Ningsih!
Tentu saja murid Ratu
Tengkorak Putih itu tahu adanya bahaya mengancam. Disadari apabila diteruskan
sebelum maksudnya tercapai, senjata-senjata yang dilepaskan Taliwang akan
merencah tubuhnya lebih dahulu. Dan, tentu saja Ratna Ningsih tidak
menginginkan hal itu terjadi.
Luar biasa! Tanpa membalikkan
tubuhnya. Ratna Ningsih mengibaskan tongkat bergagang kepala tengkorak manusia
ke belakang Maka....
Trang, tring, tring!
Bunga api berpercikan ke udara
ketika geleng-gelang baja itu tertangkis kibasan tongkat Ratna Ningsih, hingga
terpental jauh! Maka, pupuslah semua serangan Taliwang. Tapi akibatnya,
luncuran tubuhnya yang tengah menuju ke arah Adipati Subali pun terhenti. Dan
kini kedua kakinya pun mendarat di tanah. Sementara, Adipati Subali baru sadar
kalau dirinya akan dijadikan sasaran gelap oleh Ratna Ningsih. Maka, bergegas
dia bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
"He he he !"
Taliwang tertawa
terkekeh-kekeh ketika telah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Serangan yang
dilancarkannya memang tidak diharapkan akan berhasil. Hal itu dilakukan hanya
untuk mencegah Ratna Ningsih mendahuluinya dalam meringkus Adipati Subali.
Karuan saja suara tawa
Taliwang membuat kemarahan Ratna Ningsih semakin berkobar dahsyat. Memang,
sejak Taliwang mengirimkan serangan yang membuat maksudnya kandas dia sudah
murka.
"Keparat! Akan kupecahkan
kepalamu yang botak itu, Taliwang! Hih!"
Wukkk!
Angin berhembus keras ketika
Ratna Ningsih mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Taliwang! Tapi sambil
tertawa terkekeh-kekeh, laki-laki berkepala botak itu berhasil mengelakkannya.
Tubuhnya berguling ke depan, hingga serangan itu kandas.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Taliwang. Setelah menggulingkan tubuhnya beberapa kali dengan
sebuah gerakan indah, tubuhnya melenting ke atas.
"Kereaaah!"
Dibarengi jeritan keras
laksana seekor kera murka, Taliwang melompat ke atas dan langsung
dilancarkannya sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis, dengan kedua tangannya
yang terkembang membentuk cakar.
Ratna Ningsih terperanjat
bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau dari keadaan terancam,
Taliwang masih bisa berbalik mengancam. Tindakan yang dilakukan Taliwang
sungguh menakjubkan! Dia sendiri pun mungkin tidak akan mampu melakukan hal
seperti itu. Dan dia yakin, Jaranta pun tidak akan mampu. Tapi, Taliwang
merupakan sebuah kekecualian! Ratna Ningsih tahu, pemuda bertubuh gendut itu
adalah pewaris ilmu 'Setan Gila'! Seorang datuk yang ilmu meringankan tubuhnya
telah terkenal dan menakjubkan.
Setan Gila adalah salah
seorang datuk kaum sesat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu meringankan
tubuh. Ilmu andalannya yang bemama 'Kera Gila', memang menitik beratkan pada
meringankan tubuh, di samping serangan-serangan tiba-tiba yang berbentuk kasar.
Sementara itu walaupun terperanjat, Ratna
Ningsih masih mampu untuk membuktikan kelihaiannya. Dalam kesempatan yang hanya
sekejap, kepalanya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuhnya ke
belakang. Itu dilakukannya tanpa menggeser kaki, karena waktunya tidak
memungkinkan.
Wuttt, wuttt!
Sampokan bertubi-tubi yang
dilancarkan Taliwang lewat beberapa jengkal di depan wajah Ratna Ningsih.
Menilik dari sekujur pakaian dan rambut wanita bertopeng tengkorak yang
berkibar keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan itu.
Baru setelah serangan itu
berhasil dielakkan, Ratna Ningsih melempar tubuh ke belakang. Dia bersalto
beberapa kali di udara, seraya mengobat-abitkan tongkatnya untuk mencegah
serangan susulan Taliwang.
"Hup!"
Keinginan murid Ratu Tengkorak
Putih terlaksana. Dia berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, tanpa ada gangguan
apa pun. Memang, putaran tongkatnya telah berhasil menggagalkan maksud Taliwang
untuk mengejarnya.
"He... he... he...! Kau
mengajakku bertarung, Ratna Ningsih?! Boleh! Boleh! Dengan senang hati
kemauanmu akan kulayani!" tantang Taliwang sambil berjingkrakan di tanah.
Kalau ditilik dari
gerakan-gerakannya, Taliwang tidak ubahnya kera. Caranya memamerkan mulut,
menggarukgaruk badan, bertepuk-tepuk tangan, berjingkrakan, maupun
menjerit-jerit, lebih mirip kera daripada manusia!
Ratna Ningsin diam. Sama
sekali tidak ditanggapinya tantangan Taliwang. Topeng yang menutupi wajahnya
menyulitkan pemuda bertubuh gendut itu untuk mengetahui perasaan yang tengah
berkecamuk di hati Rama Ningsih!
"Kalau menuruti perasaan,
ingin rasanya mulutmu kuhancurkan sekarang juga, Monyet Gendut! Tapi, aku tidak
sebodoh dirimu! Berikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan urusan dengan
Adipati Subali! Baru tantanganmu akan kulayani!" kata Ratna Ningsih,
mantap.
*** 5
"He... he... he… Kau kira
aku orang bodoh, Ratna Ningsih?! Kau tahu, bukan hanya dirimu saja yang
mempunyai urusan dengan Adipati Subali! Tapi juga aku!" sergah Taliwang,
sambil memamerkan gigi-giginya yang kuning.
"Lalu..., apa maumu
sekarang, Taliwang?!" sambut Ratna Ningsih, bernada menantang.
Rupanya kesabaran Ratna
Ningsih sudah tidak bisa ditahan lagi. Sikap Taliwang yang urakan membuat Ratna
Ningsih mengambil keputusan untuk melabrak murid Setan Gila itu.
"Ho... ho... ho...! Kau
menginginkan Adipati Subali? Aku pun demikian. Nah! Sekarang apa cara yang
lebih tepat untuk menentukan orang yang lebih berhak atas adipati itu?
Bertarung?!" tukas Taliwang tak kalah hangat.
"Baik kalau itu
maumu!" sergah Ratna Ningsih disertai perasaan geram.
Murid Ratu Tongkat Putih ini
sudah memutuskan untuk menerima tantangan yang diajukan Taliwang. Tapi sesaat
kemudian, sebuah pikiran baik berkelebat di benaknya. Pikiran itu timbul ketika
matanya melihat Jaranta yang semakin terdesak oleh Dewa Arak. Sedangkan Adipati
Subali kini telah berdiri dekat Sagala dan Rara Kunti. Matanya terus
memperhartikan tingkah Ratna Ningsih dan Taliwang.
"Kita jangan bertindak
bodoh, Taliwang!" desis Ratna Ningsih. "Lebih baik, kita sekarang
bekerja sama untuk mendapatkan Adipati Subali! Nanti setelah berhasil, baru
kita tentukan yang lebih berhak!"
Taliwang tercenung sambil
menggaruk-garuk dadanya yang tidak gatal dengan kedua tangan. Meskipun
kelihatannya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini adalah orang bodoh, tapi
sebenarnya memiliki otak cerdik. "Apa maksud kata kerja sama itu, Ratna
Ningsih?" tanya Taliwang, masih tetap melanjutkan kesibukannya
menggaruk-garuk dada.
"Begini, Taliwang. Kalau
berusaha sendiri-sendiri, aku yakin kita gagal! Dewa Arak memiliki kepandaian
di atas kita. Jadi jelas, dia yang akan berhasil mendapatkan Adipati Subali!
Kau mengerti, Taliwang?!" Jelas Ratna Ningsih.
Taliwang menganggukkan kepala
sambil berjingkrakan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita ringkus
Adipati
Subali!"
Usai berkata demikian,
laki-laki bertubuh pendek gemuk ini langsung melesat ke arah Adipati Subali,
disusul Ratna Ningsih!
Adipati Subali memang sudah
menduga sejak tadi. Tapi tak urung hatinya gentar bukan kepalang melihat
serangan itu. Jangankan dua orang. Untuk menghadapi satu orang saja dia tidak
akan mampu berbuat sesuatu! Meskipun demikian, bekas Panglima Kerajaan Sewu ini
bukan seorang pengecut! Segera pedangnya yang tersampir di pinggang dicabut.
Adipati Subali bertekad mengadakan perlawanan.
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
pedang itu keluar dan sarungnya.
Pada saat yang bersamaan,
kepalanya menoleh ke samping Adipati Subali bermaksud memerintahkan Sagala dan
Rara Kunti untuk menyelamatkan diri. Tapi kenyataan yang terlihat benar-benar
mengejutkan hati! Rara Kunti dan Sagala malah telah melesat kabur dari situ
lebih dahulu.
Kontan benak orang nomor satu
di Kadipaten Blambang ini dipenuhi pertanyaan. Begitu tegakah Rara Kunti
meninggalkan dirinya menentang maut? Meski Adipati Subali memang tidak
mengharapkan pembelaan, dan andaikata dibelapun akan disuruhnya pergi, tapi
sama sekali tidak disangka kalau Rara Kunti akan melarikan diri seperti seorang
pengecut. Kalau mengenai Sagala, dia tidak terlalu memusingkan. Karena
pertemuannya dengan adik misannya itu baru beberapa tahun! Jadi belum bisa
dipahami sikapnya.
Perasaan hati Adipati Subali
benar-benar terpukul. Benarkah Rara Kunti adalah seorang anak yang mementingkan
keselamatan sendiri.
Di samping perasaan terpukul,
timbul perasaan heran di hati laki-laki tinggi besar ini. Gerakan Rara Kunti
ternyata gesit sekali. Demikian pula gerakan Sagala. Sehingga ketika mereka
melesat kabur, yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan kuning dan hitam yang
tak jelas bentuknya. Sama sekali Adipati Subali tidak pemah tahu kalau Rara
Kunti dan Sagala memiliki ilmu lari cepat yang demikian tinggi!
Tapi Adipati Subali tidak bisa
berpikir lebih lama lagi. Dia harus bersiap-siap menghadapi Taliwang dan Ratna
Ningsih. Maka pedangnya diputar laksana kitiran, untuk menyambut serangan yang
keroyokan itu.
***
"Hei!"
Bagai telah sepakat, Ratna
Ningsih dan Taliwang berseru berbarengan begitu melihat Sagala dan Rara Kunti
melarikan diri. Kedua tokoh sesat ini terkejut bukan kepalang melihat kecepatan
gerakan dua orang yang mempunyai hubungan dengan Adipati Subali! Dan lagi,
mengapa mereka meninggalkan adipati itu? Keterkejutan inilah yang membuat Ratna
Ningsih dan Taliwang mengurungkan serangannya pada Adipati Subali.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat
tinggi, sekali lihat saja Ratna Ningsih dan Taliwang bisa menilai kalau ilmu
lari yang dimiliki Sagala dan Rara Kunti tidak di bawah mereka! Dan ini
merupakan suatu hal yang amat mengejutkan! Apakah tingkat tenaga dalam dan mutu
ilmu silat Sagala dan Rara Kunti pun setara dengan mereka? Dan kalau benar,
mengapa Rara Kunti dan Sagala malah melarikan diri? Mengapa bukannya membantu
Adipati Subali menghadapi lawan-lawannya?
Banyaknya pertanyaan yang
tidak terjawab, berputarputar di dalam benak. Sehingga, menimbulkan kecurigaan
di benak Ratna Ningsih dan Taliwang. Tanpa diperintah, Taliwang mengambil
keputusan sendiri.
"Kukejar mereka, Ratna
Ningsih. Kau uruslah dulu Adipati Subali!"
Usai berkata demikian,
Taliwang mengambil ancangancang. Kemudian jari-jari kedua tangannya saling
dirapatkan. Dan…..
Tappp!
Tubuh Taliwang kembali
melesat. Kali ini, arahnya menuju arah yang ditempuh Sagala dan Rara Kunti.
Pada saat yang bersamaan,
Ratna Ningsih melesat ke arah Adipati Subali. Begitu berada di udara, langsung
dilancarkannya sebuah totokan ke arah dada. Padahal saat itu, Adipati Subali
masih memutar-mutar pedangnya laksana kitiran untuk mencegah serangan ke arah
kirinya.
Wunggg, wunggg!
Suara mengaung keras
mengiringi berputarnya pedang itu. Dan apabila Ratna Ningsih terus memaksakan
serangannya, bisa diperkirakan tangannya akan terpapas putaran pedang Adipati
Subali!
Adipati Subali terperanjat
ketika melihat Ratna Ningsih tetap meneruskan serangannya. Sudah gilakah wanita
bertopeng tengkorak ini? Ataukah Ratna Ningsih telah memiliki tenaga dalam yang
demikian kuat, sehingga berani memapak pedangnya dengan tangan telanjang?!
Adipati Subali bisa menduga demikian, karena leluhurnya sendiri mampu melakukan
tindakan-tindakan yang bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ratna Ningsih!
Timbulnya pikiran demikian
membuat Adipati Subali menggertakkan gigi. Maksudnya untuk menambah kekuatan
tenaga pada putaran pedangnya.
Trak, trak! "Akh!"
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Tangan Ratna Ningsih langsung
berbenturan dengan putaran pedang Adipati Subali, sehingga menimbulkan suara
berdetak keras. Hebatnya tidak terjadi sesuatu pun atas tangan Ratna Ningsih.
Jangankan buntung, tergores pun tidak.
Tapi tidak demikian halnya
dengan Adipati Subali. Begitu terjadi benturan, tangannya terasa hampir lumpuh.
Tanpa dapat dicegahnya lagi, pedangnya terlepas dari cekalan. Khawatir akan
munculnya serangan susulan Adipati Subali buru-buru melompat ke belakang untuk
menjaga jarak.
Tapi, ternyata kekhawatiran
Adipati Subali sama sekali tidak beralasan! Ratna Ningsih sama sekali tidak
melancarkan serangan kembali. Kedua kakinya kini tengah mendarat di tanah.
Sebentar kemudian, Ratna Ningsih telah berdiri berhadapan dengan Adipati
Subali.
***
Sementara itu, Taliwang telah
berhasil mencegat perjalanan Sagala dan Rara Kunti. Memang kedua orang itu
belum terlalu jauh berlari. Apa lagi, Taliwang telah mengambil jalan pintas,
disamping ilmu lari cepat nya juga tinggi. Dan karena Sagala dan Rara Kunti
belum terlalu jauh berlari, di samping daerah ini terdiri dari padang ilalang,
Adipati Subali masih dapat
melihat keadaan mereka.
"He... he... he,..!"
Taliwang tertawa terkekeh sambil melompat-lompat. "Akan ke mana kalian?
Jangan harap bisa lolos dari tangan Taliwang!"
Sagala dan Rara Kunti saling
berpandangan. Sementara Taliwang masih tertawa-tawa. Meskipun demikian, sepasang
matanya menatap dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh selidik.
Mendadak....
"Hiyaaat..!" teriak
Sagala keras seraya melesat ke arah Taliwang.
"Hiyaaa. !" Rara
Kunti pun melesat pula.
Tawa Taliwang seketika
terhenti. Hatinya kontan tercekat ketika melihat dua orang buruannya meluruk
cepat ke arahnya dengan senjata yang sudah terhunus di tangan masing-masing.
Begitu berada di udara Rara Kunti dan Sagala langsung mengarahkan senjatanya
masing-masing. Ke bagian-bagian tubuh Taliwang yang mematikan.
Indah dan menggiriskan gerakan
Sagala dan Rara Kunti. Sehingga, Adipati Subali dan Ratna Ningsih yang tengah
bertarung terkejut bukan kepalang. Memang walaupun tengah bertarung mereka
masih sempat membagi perhatian ke sana. Mungkin karena rasa terkejut dan rasa
ketertarikan yang menyelimuti, entah bagaimana Adipati Subali dan Ratna Ningsih
tiba-tiba menghentikan pertarungan. Bahkan kini mereka seperti mendapat
tontonan menarik, melihat pertarungan Sagala dan Rara Kunti melawan Taliwang.
Namun di pihak Adipati Subali
tersirat suatu ketidakpercayaan. Bahkan wajahnya sampai memucat. Betapa tidak?
Gerakan yang dilakukan Rara Kunti sama sekali bukan gerakan yang diajarkannya.
Bahkan Adipati Subali belum pemah melihat gerakan seperti itu. Yang lebih gila lagi,
gerakan Rara Kunti sama dengan gerakan Sagala! Hal ini benar-benar membuat
orang nomor satu di Kadipaten Blambang ini terperanjat.
***
Begitu telah mendekati sasaran
tiba-tiba Sagala bersalto beberapa kali di udara, melewati atas kepala
Taliwang. Dan ketika telah berada di belakang, pedang di tangannya dibabatkan,
seperti ingin memisahkan kepala Taliwang dari badannya. Pada saat yang
bersamaan, pedang di tangan Rara Kunti menusuk deras ke arah tenggorokan. Suara
mengaung keras mengiringi tibanya serangan kedua senjata itu.
"Gila!"
Tanpa sadar Adipati Subali
mendesis tajam. Sama sekali tidak pemah diketahuinya kalau Sagala dan Rara
Kunti memiliki kepandalan setinggi itu. Sepengetahuannya, kepandaian Sagala
masih di bawah tingkatannya. Dan itu diakui sendiri oleh Sagala. Tapi
kenyataannya, ternyata tidak demikian! Mengapa Sagala menyembunyikan
kepandaiannya?
Demikian pula terhadap Rara
Kunti. Berbagai pertanyaan benar-benar menggayut di benak Adipati Subali. Kapan
putrinya mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi seperti itu? Apakah Sagala yang
mengajarinya? Kalau benar demikian, mengapa dia tidak mengetahuinya?
Hebat dan menggiriskan
serangan yang dilancarkan Rara Kunti dan Sagala. Meskipun demikian, gerakan
yang dilakukan Taliwang tidak kalah hebat! Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini
segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah, sehingga serangan-serangan itu lewat
beberapa jengkal di atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ
tindakan Taliwang. Begitu berhasil mengelakkan serangan lawan, tubuhnya lalu bergulingan.
Dan itu dilakukan Taliwang, karena menyadari ancaman besar terhadap dirinya.
Kedua lawannya ternyata memiliki kepandaian tinggi. Sementara dirinya berada
dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kalau lawanlawannya melakukan serangan
susulan, jelas keadaannya terancam bahaya besar!
Tapi, rupanya Sagala dan Rara
Kunti tidak berminat melakukan serangan susulan. Kedua orang itu malah melesat
cepat, menempuh arah yang berlawanan dengan arah gulingan Taliwang.
Taliwang yang sedang sibuk
bergulingan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya dapat melihat kepergian dua
orang buruannya, walaupun dengan kerlingan mata.
Semakin leluasalah Sagala dan
Rara Kunti melarikan diri, ketika Ratna Ningsih ternyata tidak mengejar.
Memang, wanita bertopeng tengkorak ini lebih mementingkan Adipati Subali
daripada Sagala dan Rara Kunti.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, tubuh Sagala dan Rara Kunti telah lenyap dari pandangan mata. Dan
berbareng dengan lenyapnya bayangan tubuh dua orang itu, perhatian Ratna
Ningsih beralih ke arah Adipati Subali. Sementara, Adipati Subali sendiri sama
sekali tidak merasa kalau dirinya tengah diperhatikan. Dia memang tengah
dilanda bingung mengenai Sagala dan Rara Kunti.
Ratna Ningsih sama sekali
tidak tahu perasaan yang tengah berkecamuk di hati Adipati Subali. Dan
andaikata tahu, sama sekali tidak dipedulikannya. Tapi sebelum wanita itu
sempat berbuat sesuatu, sesosok bayangan ungu melesat melewati kepalanya. Dan
tahu-tahu, di sebelah Adipati Subali telah berdiri Dewa Arak
Ratna Ningsih terperanjat
melihat keberadaan Dewa Arak di sebelah Adipati Subali. Dengan agak bergegas
kepalanya menoleh ke tempat pertarungan Jaranta melawan Dewa Arak tadi. Dia
ingin tahu, apa yang telah menimpa Jaranta sehingga Dewa Arak bisa berada di
sebelah Adipati Subali
Ternyata, Jaranta sama sekali
tidak cedera.
Dewa Araklah yang meninggalkan
pertarungan untuk melindungi Adipati Subali. Karena keadaan pendekar berambut
aneh itu memang menguntungkan, maka mudah saja baginya untuk meninggalkan
Jaranta.
Sementara itu Ratna Ningsih
tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau kepandaian Dewa Arak kemungkinan
di atasnya. Dan itu terbukti dalam pertarungannya melawan Jaranta. Maka wanita
bertopeng tengkorak ini tidak langsung bertindak.
"Untuk sementara, sebaiknya
kita lupakan dulu masalah kita, Ratna Ningsih," ujar Jaranta sambil
melangkah menghampiri.
"Benar! Kita bereskan
dulu Dewa Arak. Baru setelah itu urusan kita!" sambung Taliwang, juga
dengan langkah yang ter-tuju ke arah Ratna Ningsih.
"Rupanya kalian mempunyai
otak juga," sambut Ratna Ningsih "Kuterima usul kalian. Sekarang kita
harus hadapi dulu Dewa Arak!" ***
Sesaat kemudian Jaranta dan
Taliwang telah berada di dekat Ratna Ningsih. Seperti juga Ratna Ningsih,
Jaranta, dan Taliwang menatap Dewa Arak dengan sorot mata tidak bersahabat.
Kini Adipati Subali dan Dewa Arak berhadapan dengan Jaranta, Taliwang, dan
Ratna Ningsih!
Dewa Arak memperhatikan tiga
sosok tubuh yang berdiri di hadapannya penuh selidik. Diakui kepandaian ketiga
orang itu rata-rata tinggi. Namun, kini mereka bersatu. Sudah bisa diperkirakan
kedahsyatan serangan mereka jika dilakukan bersama-sama. Dan terus terang, Dewa
Arak tidak yakin akan mampu menanggulangi mereka.
"He... he... he...! Kami
ingin tahu, bagaimana kau akan bisa menghadapi kami bertiga, Dewa Arak!"
tantang Taliwang.
"Kau akan kami kirim ke
akhirat, Manusia Sombong!" desis Jaranta penuh dendam, karena tadi dirinya
hampir dirobohkan Dewa Arak!
"Hik... hik... hik...!
Apa yang kalian katakan, sama sekali tidak salah! Julukan Dewa Arak pasti akan
punah dari dunia persilatan!" sambung Ratna Ningsih, gembira.
Dewa Arak tidak menyambuti
ucapan mereka, dan tengah sibuk memutar otaknya. Jelas Dewa Arak tidak bisa
gegabah, dan tidak mau bertindak sembarangan. Kalau sampai terjadi pertarungan,
pasti akan terjadi jatuh korban. Padahal, dia tidak ingin hal itu terjadi.
Masalahnya, persoalan yang mereka hadapi belum terlalu jelas baginya
"Bersiap-siaplah,
Kisanak. Aku akan membawamu pergi meninggalkan mereka," kata Dewa Arak
pada Adipati Subali.
Adipati Subali yang saat itu
melirik ke arah Dewa Arak jadi tersentak ketika mendengar suara di telinganya.
Itu memang suara Dewa Arak pada hal jelas-jelas, kalau pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak menggerakkan bibirnya tadi. Karuan saja hal itu
membuatnya heran bukan kepalang. Kembali tatapannya beralih ke sekitar. Kalau
musuh di hadapan mereka rasanya tidak mungkin. Kalau orang lain, siapa
orangnya?
Karena perasaan penasaran yang
melanda Adipati Subali kembali menatap Dewa Arak. Dia ingin mengetahui
kepastiannya. Benarkah tadi Dewa Arak berbicara padanya?
"Kau tidak usah
memandangku seperti itu, Kisanak Bersiaplah! Kalau mereka keburu menyerang,
rasanya akan sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kau sudah siap?!"
Kini Adipati Subali yakin
kalau suara tadi adalah benarbenar Dewa Arak yang berbicara. Maka tanpa
ragu-ragu kepalanya dianggukkan, memberi tanda kalau dirinya telah siap untuk
kabur bersama Dewa Arak.
"Hih!"
Dengan gerakan yang tidak
terlihat mata biasa, Dewa Arak menggamit tangan Adipati Subali. Kemudian, kedua
orang itu melesat kabur dari situ. Karuan saja hal itu membuat Jaranta. Ratna
Ningsih, dan Taliwang terkejut bukan kepalang.
"Hei!"
Hampir berbareng, ketiga orang
itu berseru kaget. Dan secepat seruan itu keluar, secepat itu pula Jaranta,
Ratna Ningsih, dan Taliwang melesat mengejar. Tapi, Dewa Arak yang telah
mengetahui kelihaian lawan-lawannya tidak berani bertindak gegabah. Langsung
saja dikerahkan seluruh kemampuan ilmu larinya.
Hebat! Hanya dalam sekali
langkah, Dewa Arak telah berjarak hampir dua belas tombak di depan. Kemudian
hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah jauh di depan. Seperti juga
Dewa Arak ketiga orang ini pun mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Sesaat kemudian, kejar mengejar antara dua pihak yang berbeda
kepentingan pun berlangsung.
Namun hal itu tidak
berlangsung lama. Pada kenyataannya, ilmu lari Dewa Arak memang beberapa
tingkat di atas lawan lawannya. Maka semakin lama, jarak antara mereka semakin
jauh. Sampai akhirnya, Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang kehilangan jejak
sama sekali. Dewa Arak yang lari dan masuk ke dalam Hutan Maung telah lenyap di
balik kerimbunan pepohonan dan semaksemak.
Beberapa saat kemudian, baru
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang tiba di tempat lenyapnya Dewa Arak! Tidak
ada yang bisa dilakukan kecuali menjulurkan kepala ke sana kemari dengan
perasaan geram.
"Keparat!" maki
Jaranta keras.
"Telur busuk!" maki
Taliwang sambil membantingbanting kaki kanannya.
"Dewa Arak memang
hebat!" desah Ratna Ningsih, lesu. "Dia memiliki kepandaian yang jauh
di atas kita. Kalau tidak lekas-lekas dilenyapkan, dia akan menjadi penghalang
paling berat!"
Jaranta dan Taliwang
mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya menyadari kebenaran dalam ucapan wanita
bertopeng tengkoran itu.
"Kau benar, Ratna
Ningsih! Kita harus melenyapkannya!" dukung Jaranta.
Setelah kata sepakat didapat,
ketiga orang pewaris ilmu para datuk-datuk persilatan aliran hitam itu pun
melesat meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka jelas, melanjutkan pengejaran
kembali terhadap Dewa Arak!"
*** 6
Dewa Arak menghentikan lari
ketika tidak melihat bayangan Ratna Ningsih, Jaranta, Taliwang di belakang.
Jelas, ketiga tokoh sesat itu telah kehilangan jejak atas dirinya. Buat Arya,
hal itu sama sekali tidak mengherankan, karena memang telah direncanakan.
Pemuda berambut putih keperakan itu berlari melalui pepohonan dan semaksemak
yang lebat.
Seiring berhenti larinya, Arya
lalu melepaskan cekalan tangannya pada Adipati Subali.
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap laki-laki tinggi besar itu.
"Lupakanlah,
Kisanak," sahut Arya buru-buru sambil mengulapkan tangannya.
"Tolong-menolong sesama manusia itu biasa. Jangan terlalu
dibesar-besarkan. O, ya. Boleh kutahu, mengapa tiga orang itu ingin
membunuhmu?!"
"Hhh...!"
Bukannya menjawab pertanyaan
itu, Adipati Subali malah menghembuskan napas berat. Dahinya berkernyit dalam.
Sepertinya, dia ingin membuang semua kegalauan dalam hatinya.
"Mereka menginginkan pusaka
peninggalan leluhurku, Dewa Arak. Sungguh tidak kusangka kalau mereka bisa
mengenaliku," desah Adipati Subali, lirih.
"Aku belum mengerti
maksudmu, Kisanak?" tanya Dewa Arak, belum mengerti.
"Puluhan tahun yang lalu,
di tempat kediaman leluhurku terjadi pertarungan antara leluhurku melawan
masingmasing orang tua tiga orang itu. Hasilnya, leluhurkau menang. Karena
khawatir mereka yang dikalahkannya masih mendendam dan akan membuat keributan
lagi, leluhurku pergi meninggalkan tempat tinggalnya. Kemudian Adipati Subali
pun menceritakan semua kejadiannya. Mulai dari sejarah leluhurnya, sampai
kaburnya rombongan keluarganya dari Kadipaten Blambang. Sepertinya laki-laki
tinggi besar ini telah percaya penuh pada Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak
mendengarkan penuh perhatian. Sekalipun cerita yang tengah dipaparkan Adipati
Subali tak pernah diselaknya.
"Begirulah centanya,
Arya," tutur Adipati Subali mengakhiri ceritanya.
Laki-Laki tinggi besar ini
merubah panggilannya pada Dewa Arak atas permintaan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan dia pun mengajukan permintaan yang serupa, agar Dewa Arak
memanggilnya dengan sebutan kakang saja.
Dewa Arak tercenung sejenak.
"Ada sesuatu yang
membuatku heran, Kang," desah Arya pelan bernada hati-hati.
"Apa itu, Arya?"
tanya Adipati Subali cepat.
"Tapi, aku merasa tidak
enak untuk mengutarakannya padamu," ada keraguan dalam ucapan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Katakanlah, Arya,"'
dukung Adipati Subali "Percayalah.
Aku tidak akan marah atau
tersinggung."
"Mengenai Sagala dan Rara
Kunti," kata Dewa Arak, pelan.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghentikan ucapannya sejenak. Segera ditatapnya wajah Adipati
Subali sekilas. Dan seperti yang sudah dktuga, tampak adanya perubahan pada
wajah Adipati Subali.
"Maaf, kalau dugaanku ini
salah, Kang. Tapi aku melihat adanya kejanggalan pada mereka berdua. Apakah kau
tidak merasakannya? sambung pemuda putih keperakan itu lagi.
"Hhh...!"
Adipati Subali menghembuskan
napas berat. Perlahanlahan kepalanya dianggukkan. Rupanya dia sependapat dengan
ucapan Arya.
"Memang, aku tadinya
melihat hal yang mencurigakan itu," desah orang nomor satu di Kadipaten
Blambang "Bisa kutahu, apa keanehan yang kau maksudkan itu, Arya?"
Walaupun bisa menduga, tak
urung Adipati Subali meminta Dewa Arak agar menjelaskannya juga.
“Tadi kau ceritakan, Sagala
adalah adik misanmu. Sedangkan Rara Kunti adalah anak kandungmu. Tapi, mengapa
mereka berdua malah melarikan diri di saat kau terancam bahaya maut? Padahal,
jelas kulihat Sagala dan Rara Kunti memiliki kepandaian tinggi. Aku yakin,
tingkat kepandaian mereka tidak di bawah tiga orang pencegatmu itu, Kang. Dan
kalau diperhitungkan, kekuatan kita berada di atas mereka. Karena Jaranta telah
menjadi lawanku," urai Arya tentang kecurigaannya.
"Dugaanmu sama sekali
tidak salah, Arya!" sambut Adipati Subali. “Tapi, itu hanya sebagian kecil
dari keheranan yang menimpaku. Namun memang wajar, karena kau tidak tahu jelas
duduk masalahnya."
Laki-laki tinggi besar ini
menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rupanya, dia
bermaksud mengusir kegalauan hatinya.
"Sepengetahuanku, Sagala
dan Rara Kunti tidak memiliki kepandaian setinggi itu. Sagala memiliki tingkat
kepandaian di bawahku. Sedangkan Rara Kunti aku yang mendidiknya. Jadi mustahil
kalau mereka bisa memiliki kepandaian yang melampauiku. Dan andaikata benar
pun, tidak akan terpaut demikian jauh," sambung Adipati Subali.
"Heh...?!" Dewa Arak tersentak kaget "Kalau ucapanmu itu benar, berarti ada hal-hal yang tidak
beres di sini,
Kang."
"Apa maksudmu Arya?”
tanya Adipati Subali, tak kalah kaget.
"Aku rasa, ada hal-hal
tertentu yang menyebabkan mereka selama ini menyembunyikan kepandaian! Lagi
pula, maaf, Kang. Menurut penglihatanku, Rara Kunti memiliki jurus yang mirip dengan
Sagala. Mungkin mereka mempelajari dari sumber yang sama. "
"Mustahil! Hal itu tidak
mungkin, Arya!" tukas Adipati Subali cepat "Sejak kecil, Rara Kunti
kudidik ilmu-ilmu warisan keluargaku. Sedangkan Sagala baru datang ke Kadipaten
Blambang, dua tahun yang lalu."
Dahi Dewa Arak berkernyit
dalam.
"Apakah kau telah
mengenalnya sejak kecil, Kang?" kejar pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tidak Arya! Aku baru
tahu kalau mempunyai seorang adik misan bernama Sagala, setelah dia datang dan
mengenalkan diri padaku. Itu pun dua tahun yang lalu. Jangankan dirinya.
Pamanku saja tidak pernah kulihat, bagaimana rupanya," jelas Adipati
Subali.
"Lalu, bagaimana kau bisa
yakin kalau Sagala adalah adik misanmu? Padahal, kau belum pernah melihat
wajahnya!" tanya Arya, penuh rasa heran.
"Hal itu tidak menjadi
masalah, Arya. Setiap keturunan kakekku, mempunyai ciri-ciri pada bagian
punggung berupa rajahan gambar seekor ular kobra. Tanda itu ada pada diri
Sagala, dan juga pada punggung Rara Kunti. Kalau rajahan anakku, akulah yang
membuatnya."
Kali ini Arya tidak bisa
membantah lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya bisa
menganggukanggukkan kepala.
"Bisa kau ceritakan
sedikit mengenai pamanmu itu, Kang?" tanya Arya.
"Mengapa tidak,
Arya?" sahut Adipati Subali cepat, sambil tersenyum lebar. "Seperti
juga ayahku, paman kurang memiliki bakat untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu kakek.
Walaupun memang, bila dibandingkan ayah, paman memiliki bakat yang lebih baik.
Apabila latihannya sungguhsungguh, niscaya akan berhasil memiliki tingkatan
yang melampaui ayahku "
Adipati Subali menghentikan
ucapannya sejenak, untuk mengambil napas.
"Sayang, kemauan paman
tidak sebesar kemauan ayah. Paman merasa jenuh, lalu pergi mengembara. Dan dia
tidak pernah kembali sampai kakek meninggal. Ayah yang merasa terpukul, lalu
meninggalkan desa tempat kelahiran kakek. Lalu, kami menetap di tempat lain
sampai aku lahir. Jadi, sampai sekarang aku belum pemah melihat rupa
pamanku!"
Dewa Arak termenung ketika
Adipati Subali telah menyelesaikan ceritanya.
"Kalau Sagala rasanya
masuk akal apabila meninggalkanmu pada saat kau tengah terancam bahaya, Kang.
Mungkin dia belum punya hubungan batin denganmu. Tapi kalau Rara Kunti, sulit
untuk bisa diterima akal sehat. Tega benar dia sampai meninggalkan dirimu.
Sekalipun dia tidak memiliki kepandaianpun, tentunya akan menunjukkan baktinya
padamu. Apalagi, dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Ada masalah
tersembunyi di sini, Kang," jelas Arya panjang lebar.
Adipati Subali menganggukkan
kepala setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat. Memang, dia pun sudah
menduga hal itu. Dan rasanya tidak aneh. Karena laki-laki tinggi besar ini
bukan orang sembarangan. Dia bekas Panglima Kerajaan Sewu yang disegani! Tentu
saja Adipati Subali terhitung orang yang memiliki kecerdikan.
"Kau tidak keberatan bila
aku ikut menyelidikinya, Kang?" Arya menawarkan bantuan.
“Tentu saja tidak, Arya. Malah
dengan senang hati akan kuterima. Hm, kita memang harus bekerja sama untuk
memecahkan masalah aneh ini," sambut Adipati Subali gembira.
"Apakah kau tidak
berminat merebut kembali Kadipaten Blambang, Kang'" tanya Arya,
iseng-iseng.
"Tentu saja berminat,
Arya. Dan itu akan kulakukan setelah berhasil menyelamatkan surat peninggalan
leluhurku Dan…, ah! Celaka!"
"Ada apa, Kang?"
tanya Arya kaget.
Kontan sekujur urat syaraf dan
otot Dewa Arak menegang waspada. Sikap Adipati Subali-lah yang menyebabkannya
demikian. "Surat peninggalkan kakekku telah kuberikan pada Sagala!"
sentak Adipati Subali, kalap.
Memang, laki-laki tinggi besar
ini merasa kalap bukan main, dugaan Dewa Araklah yang membuatnya demikian.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyadarkannya, akan adanya kemungkinan
maksud tidak baik dari Sagala. Padahal, surat peninggalan leluhurnya berada di
tangan Sagala!
"Ah!" desah Arya
tidak kalah kaget "Surat wasiat itu kau berikan padanya?"
"Aku tidak bermaksud
memberikannya, Arya. Tapi kejadian bertubi-tubi yang menimpa, membuatku
lupa." Jelas Adipati Subali. "Padahal, aku telah menyembunyikannya
secara rapi di.. eh..."
"Ada apa lagi,
Kang'" tanya Arya ketika melihat Adipati Subali untuk yang kedua kalinya
menghentikan ucapan, dan menampakkan raut wajah kaget.
"Aku telah melupakan
sesuatu hal. Tapi, untungnya lupa yang menguntungkan."
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Kang?" tanya Arya.
Tanpa menyembunyikan perasaan
tidak mengertinya.
"Aku telah membuat tiruan
surat itu untuk mengamankannya dari kejadian yang tidak kuinginkan. Kemudian,
surat yang palsu kuletakkan di tempat yang asli. Ah! Sama sekali tidak kusangka
kalau terlupanya aku, malah menimbulkan sebuah keuntungan."
"Jadi, surat yang asli
tetap berada di tanganmu?" tanya Arya, gembira.
Adipati Subali menganggukkan
kepala. "Benar."
Usai berkata demikian,
laki-laki tinggi besar itu lalu memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika
dikeluarkan, di genggaman tangannya terdapat segulungan kulit binatang.
"Inilah surat yang asli
itu, Arya!" seru Adipati Subali gembira.
Kemudian Adipati Subali
mengangsurkan ke arah Dewa Arak.
"Kau tidak ingin mengetahui
isinya, Arya?"
Pemuda berambut putih
keperakan itu hanya menyunggingkan senyum di bibir.
"Sebenarnya, aku juga
merasa penasaran mengenai isi surat peninggalan leluhurmu. Ingin kutahu hal
yang membuat keturunan datuk-datuk persilatan itu berniat memperebutkannya.
Tapi tanpa perkenanmu, aku tidak berani bertindak lancang, Kang," jelas
Arya.
"Aku mengizinkan, bahkan
memohon agar kau sudi melihat surat peninggalan leluhurku ini, Arya. Barangkali
saja kau bisa menguak rahasia yang tersembunyi di baliknya."
"Terima kasih atas
kepercayaan yang kau berikan padaku," sambut Arya sambil mengulurkan
tangan menerima gulungan surat yang diangsurkan Adipati Subali.
Begitu kulit binatang itu
telah berada di tangan, Arya lalu membuka gulungannya. Kontan sepasang matanya
bertumbukan dengan huruf-huruf yang tertera di atas kulit binatang lusuh itu.
Matahari beredar….
Dari tempat hati yang pilu Air
berasal…..
Tempat yang akan dituju. Bukti
leluhur....
Awal dari kerja keras
Akhir sang Raja memberi
derma....
Kunci kebahagiaan
Arya mengernyitkan dahi
setelah membaca kalimatkalimat yang tertera sampai usai.
"Bagaimana, Arya? Bisa
kau pecahkan arti kalimatkalimat itu?" tanya Adipati Subali ketika melihat
Arya mengalihkan pandangan dari surat itu.
"Mari kita pecahkan
masalah ini di sana, Kang"
Sambil berkata demikian, Arya
menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar yang akarnya
menyembul dari tanah. Pohon itu berdaun rimbun, sehingga panasnya sinar
matahari tidak akan sampai ke bawah pohon. Memang, saat itu hari sudah siang.
Dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik ke bumi.
***
Adipati Subali menatap ke arah
pohon itu sejenak. kemudian mengalihkan perhatian pada Arya.
"Sebuah usul yang baik,
Arya," puji laki-laki tinggi besar itu.
"Kau bisa saja,
Kang," sambut Arya sambil menyunggingkan senyum kecil.
Usai berkata demikian, pemuda
berambut putih keperakan itu melangkah menghampiri pohon, diikuti Adipati
Subali.
Masih dengan dahi berkernyit
dalam, pemuda berambut putih keperakan itu menghempaskan pantatnya di akar
pohon yang melintang. Sedangkan Adipati Subali pun mengikutinya.
"Bagaimana, Arya? Bisa
kau pecahkan arti teka-teki itu?" desak lelaki tinggi besar itu lagi. Raut
keingintahuan tampak jelas tersirat pada wajahnya.
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepala
perlahan-lahan sambil menghembuskan napas berat.
"Aku tidak bisa
memecahkannya, Kang," jawab Arya, pelan.
"Sedikit gambaran kasar
mengenai arti dan maksud syair itu barangkali bisa kau utarakan, Arya?"
desak Adipati Subali, lagi.
Ucapan Adipati Subali membuat
Arya mengalihkan perhatian lagi pada surat yang berada di tangannya. Dibacanya
kembali baris demi baris kalimat yang tertera di atas gulungan kulit binatang
itu.
"Bagaimana, Arya? Ada
dugaan yang berhasil kau dapatkan?"
"Memang ada, Kang. Tapi,
hanya berupa dugaan kasar…."
“Tapi, setidak-tidaknya akan
memudahkan kita untuk menyelidiki selanjutnya " potong Adipati Subali
ketika melihat Arya seperti ragu-ragu untuk mengutarakan ucapannya.
"Baiklah, Kang. Bait
pertama menunjukkan tempat yang dimaksud leluhurmu, sedangkan bait kedua
menunjukkan cara untuk mendapatkannya."
"Kau hebat, Arya!"
puji Adipati Subali dengan wajah berseri-seri. "Aku yakin, teka-teki
leluhurku ini akan bisa kupecahkan dengan bantuanmu "
“Tapi, itu hanya dugaan saja,
Kang. Lagi pula, belum pasti kebenarannya," bantah Arya, memperbaiki
dugaannya.
"Aku yakin dugaanmu itu
benar," sergah laki-Laki tinggi besar itu bernada yakin. "Karena,
jawaban itulah yang kudapatkan setelah memutar otak selama berbulan-bulan. Dan
hasil pemikiranku selama berbulan-bulan, ternyata sama dengan hasil pemikiranmu
yang sebentar. Kau hebat, Arya! Bisa kau utarakan pendapatmu selanjutnya?"
"Belum. Hanya itu yang
baru kudapatkan," sahut pemuda berambut putih keperakan itu sambil
menggelengkan kepala.
Adipati Subali tidak berani
mendesak lagi. Bagaimana pun juga, perkembangan yang menggembirakan telah
didapatnya. Ternyata Dewa Arak mampu menjawab teka-teki yang telah berhasil
dijawabnya berbulan-bulan, hanya dalam waktu sebentar. Jadi, bukan tidak
mungkin kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan berhasil memecahkan
teka-teki syair itu.
Maka meskipun keinginan untuk
menyuruh Arya memikirkan masalah itu lagi amat menggebu-gebu, Adipati Subali
terpaksa menahannya. Arya tampak sudah pusing, dan perlu beristirahat.
"O, ya, Arya. Aku belum
menjawab pertanyaan yang kau ajukan tadi." Adipati Subali sengaja
mengalihkan persoalan.
"Pertanyaan yang mana,
Kang?" Arya mengernyitkan alisnya. Rupanya dia terlupa.
"Kau tadi menanyakan
apakah aku berminat merebut kembali Kadipaten Blambang. Dan tadi aku akan
menjawabnya, tapi.., surat peninggalan leluhurku membuatku terlupa. Bukankah
itu tadi yang kau tanyakan?"
Dewa Arak menganggukkan
kepala.
"Sekarang kujawab, Arya.
Aku memang berminat. Dan itu kulakukan setelah mengamankan surat peninggalan
leluhurku. Aku akan kembali ke Kerajaan Sewu, untuk meminta bantuan pasukan.
Gerombolan yang telah merebut Kadipaten Blambang dari tanganku pasti akan
kugempur!"
"Jadi..., sewaktu kau
bersama rombonganmu melarikan diri, ke mana tujuanmu, Kang?" tanya Arya.
"Ke Kerajaan Sewu.
Menitipkan anak istriku di sana. Sekaligus, surat leluhur ini kuserahkan pada
Rara Kunti. Setelah itu, aku akan menggempur gerombolan yang telah merebut
kadipatenku!"
Mantap dan tegas sekali ucapan
yang keluar dari mulut Adipati Subali. Apalagi, ucapan itu ditutup dengan
kepalanya yang menengadah, sambil membusungkan dada.
Arya tercenung ketika Adipati
Subali telah menyelesaikan ucapannya.
"Jadi, kau ingin ke
Kerajaan Sewu sekarang, Kang?" tanya Arya ingin tahu.
"Entahlah, Arya. Aku
sendiri tidak tahu. Kematian istriku, dan tindakan anakku serta Sagala, membuat
keinginanku merebut kembali Kadipaten Blambang musnah!" sahut laki-laki
tinggi besar itu dengan suara berdesah.
"Bagaimana kalau kita
menyelidiki keanehan itu dulu?" usul Arya.
"Aku belum mengerti
maksudmu, Arya?" Adipati Subali mengernyitkan alis.
"Maaf kalau ucapanku ini
tidak berkenan di hatimu. Masalah Sagala, sama sekali tidak kupikirkan. Yang
menjadi pertanyaan bagiku, adalah Rara Kunti. Maaf, apakah kau pernah memergoki
keanehan sikapnya belakangan ini?"
"Mengapa kau menanyakan
hal itu, Arya?" Adipati Subali balas bertanya.
Arya menghela napas berat.
"Ketika aku sempat
memperhatikan pertarungan, aku berpikir pula kalau ilmu yang dimiliki Rara
Kunti adalah ilmu keji. Serangan maupun perkembangan Ilmu seperti itu hanya
dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam! Dan lagi, ilmu yang dimilikinya mempunyai
mutu yang amat tinggi. Ilmunya bukan ilmu sembarangan. Tak cukup dua tahun
untuk mempelajarinya. Aku yakin, dia telah mempelajarinya jauh sebelum
itu!" tegas Arya bemada yakin.
“Tapi... dari mana dia
mendapatkannya? Padahal, aku tahu pasti Rara Kunti tidak memiliki ilmu
itu!" Adipati Subali jadi kebingungan.
"Kalau begitu, ada dugaan
yang memungkinkan, Kang. Dugaan pertama, wanita itu benar Rara Kunti. Tapi,
tanpa sepengetahuan dia mempelajari ilmu-ilmu sesat tingkat tinggi. Dan itu
telah dimulai paling tidak tujuh tahun lalu. Dan, juga gurunya bukan Sagala,
melainkan guru dari Sagala."
"Mengapa demikian,
Arya?!" tanya Adipati Subali, serak. "Sagala tidak akan bisa
mengajarinya sampai setinggi
itu. Yang jelas. Tingkat
kepandaian Rara Kunti hanya berselisih sedikit dengan Sagala."
Adipati Subali tercenung.
Terbayang kembali di benaknya semua kemampuan mengagumkan yang dimiliki Rara
Kunti Dan diam-diam, harus diakui kebenaran ucapan Dewa Arak.
"Lalu..., bagaimana
dengan dugaan yang kedua, Arya?" tanya Adipati Subali setengah hati.
"Wanita itu bukan Rara
Kunti. Melainkan, seorang tokoh sesat yang mempunyai kemampuan untuk menyamar,
menjadi seperti orang lain," Jawab Arya, kalem. "Ah...!" Adipati
Subali terperangah. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Dewa Arak. "Kalau
dugaan itu benar, lalu ke mana Rara Kunti yang asli, Arya?"
"Kemungkinan sudah
dibunuh. Tapi, mungkin pula hanya ditawan."
"Apa pun yang terjadi
pada Rara Kunti, aku harus menemukannya! Adaikata dia sudah mati, aku harus
menemukan mayatnya!" tandas Adipati Subali dengan suara bergetar.
"Aku ikut Kang!"
sambut Arya cepat.
"Tapi, ke mana kita harus
mencarinya?" keluh Adipati Subali.
Dalam cekaman perasaan cemas,
laki-laki tinggi besar ini tidak bisa mempergunakan otaknya sama sekali.
Benaknya benar-benar seperti buntu.
"Kita mulai saja dan awal
tempat kejadian, Kang." "Maksudmu. Kadipaten Blambang?!" duga
Adipati
Subali.
"Tepat! Bagaimana?!"
Jawaban dari pertanyaan Arya,
adalah berupa lesatan tubuh Adipati Subali. Jelas, laki-laki tinggi besar itu
sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat yang dituju.
Tanpa berkata apa pun, pemuda
berambut putih keperakan itu melesat menyusul. Sesaat kemudian, kedua orang itu
telah berlari cepat menuju Kadipaten Blambang.
*** 7
Matahari telah tergelincir ke
Barat. Angin yang berhembus pun sudah terasa tidak terlalu panas lagi. Dan saat
itulah Arya dan Adipati Subali telah berada di wilayah perbatasan Kadipaten
Blambang.
"O, ya, Kang Masih ada
hal yang membuatku agak bingung," kata Arya, sambil menoleh ke samping dan
tanpa menghentikan larinya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu terus berlari. Tapi tentu saja, hanya mengerahkan sebagian kecil
dari ilmu larinya. Memang, bila dikerahkan agak penuh, Adipati Subali jelas
akan tertinggal jauh.
"Katakanlah, Arya."
sambut Adipati Subali terputusputus. Tampak jelas kalau bekas orang nomor satu
di Kadipaten Blambang ini telah lelah.
"Kau hanya menceritakan,
kalau istana kadipaten diserbu. Kalau boleh kutahu, apakah kau mengenali para
penyerbu itu? Apa mungkin dari kadipaten lain? Atau yahhh, setidak-tidaknya kau
mengenalnya, barangkali "
"Hhh…!" Adipati
Subali menghembuskan napas berat. "Kalau teringat hal itu, aku masih heran
dan bingung, Arya."
"Mengapa, Kang?"
Arya juga merasa heran.
"Rombongan itu terdiri
dari berbagai golongan aliran hitam. Aku sendiri tidak habis pikir, mengapa
mereka bersatu. Padahal, mereka tidak pernah akur. Dan yang lebih gila lagi,
mereka menyerang kadipaten! Entah, siapa yang menjadi dalangnya," jawab
laki-laki tinggi besar itu setengah berdesah.
"Berbagai aliran golongan
hitam? Aku belum mengerti maksudmu, Kang?" tanya Arya jujur.
Adipati Subali menganggukkan
kepala. Dia berdehem sejenak, untuk menenangkan napasnya yang menderuderu.
"Maksudmu. para penyerbu itu sebenarnya terdiri dari
beberapa kelompok yang
mempunyai pimpinan sendiri sendiri. Ada yang berasal dari gerombolan perampok,
maling, dan biang kerok di sekitar Kadipaten Blambang," jelas Adipati
Subali.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala, pertanda mengerti.
"Kau yakin, selama ini
mereka tidak pernah akur, Kang?!" tanya Arya, memastikan.
"Aku yakin betul. Karena,
mereka satu sama lain sering kulihat saling bentrok!" tandas Adipati
Subali.
"Kau melihat sendiri
pertarungan yang berlangsung?!" “Ya!"
"Bisa kau perkirakan,
kelompok mana yang menjadi pimpinan dalam penyerbuan itu?" kejar Arya,
penuh gairah. Adipati Subali tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Sepasang alisnya berkerut
dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Dan memang, laki-laki
tinggi besar ini tengah mengingat-ingat.
Arya sama sekai tidak
mendesak. Dengan sabar, ditunggunya ucapan yang keluar dari mulut Adipati
Subali. Dan karena laki-laki tinggi besar itu agak lama berpikir, suasana
hening pun terjadi. Yang terdengar hanyalah suara ayunan kaki Adipati Subali
yang berlari. Memang mereka masih terus berlari. Tentu saja langkah kaki Arya
sama sekali tidak terdengar, karena tingkat ilmu meringankan tubuhnya susah
diukur tingginya.
"Kini aku mengerti
maksudmu, Arya. Dalam pertarungan itu, jelas-jelas tidak ada seorang pun yang
bertindak sebagai pemimpin rombongan penyerbuan. Jadi mungkin ada orang luar
yang telah menyatukan mereka. Tapi, mengapa orang itu tidak terlihat dalam
penyerbuan itu?"
"Kurasa kau bisa menjawab
pertanyaan itu sendiri, Kang. Mengapa orang luar yang menjadi pemimpin
rombongan tidak ikut dalam penyerbuan? Atau lebih tegasnya lagi, tidak berani
menampakkan diri? Padahal, menilik dari bisa bersatunya kelompok-kelompok yang
selama ini suka bentrok, bisa kuperkirakan kalau dia mempunyai pengaruh yang
besar. Orang itu ditakuti oleh seluruh tokoh yang ikut dalam penyerbuan. Jadi,
dia berarti memiliki kepandaian tinggi. Tapi, mengapa dia tidak muncul?"
urai Arya panjang lebar dan penuh semangat.
Adipati Subali terdiam. Dia
tidak berani menjawab. Meskipun sudah mempunyai dugaan, tapi dia takut
menghadapi kenyataan bila jawaban yang akan diucapkannya itu betul belaka.
"Kemungkinannya hanya ada
dua, Kang," sambung Arya lagi ketika melihat Adipati Subali sama sekali
tidak ada tanggapan.
Namun, Arya, segera
menghentikan ucapannya saat melihat raut wajah Adipati Subali yang seperti
tengah menderita rasa nyeri yang hebat.
"Perlukah menguraikan dua
kemungkinan itu, Kang?" tanya Arya hati-hati
Perlahan-lahan kepala Adipati
Subali tergeleng.
"Tidak perlu, Arya. Aku
sudah bisa menebak dua kemungkinan itu. Pertama, orang itu gentar. Kedua, dia
tidak ingin dikenal. Dan kalau aku lebih condong yang kedua."
"Jadi?"
“Tokoh yang menjadi penyebab
bencana di Kadipaten Blambang adalah Sagala, adik misanku sendiri!'"
tandas Adipati Subali, sambil menyeringai "Kini aku mengerti, mengapa
setelah surat peninggalan itu kuserahkan pada Sagala, tiba-tiba terdengar suara
lolong kematian. Padahal sewaktu kuselidiki, mayat itu tidak ada. Bahkan dalam
perjalanan kembali menuju kereta, ketika hampir tiba terdengar suara berkaok
nyaring. Aku tahu, pasti itu bukan suara burung gagak. Sayangnya, aku tidak
mempedulikannya."
Adipati Subali menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas dan menenangkan hati.
"Aku yakin, dugaanku tida
salah lagi, Sagala-lah dalang semua kejadian ini! Orang-orang berseragam hitam
itu kemungkinan besar anak buahnya! Kalau benar dia dan juga Rara Kunti berada
di pihakku, gerombolan orang berseragam hitam itu pasti akan bisa
dihancurkan," sambung Adipati Subali berapi-api.
Dewa Arak sama sekali tidak
memberi tanggapan, karena memang tidak menyaksikan gerombolan berseragam hitam
yang menyerbu rombongan Adipati Subali. Jadi, dia tidak bisa memperkirakan, sampai
di mana tingkat kepandaian mereka.
"Mari, Arya. Kita harus
secepatnya ke Istana kadipaten. Aku sudah tidak sabar lagi mengungkap semua
rahasia ini," ajak Adipati Subali tidak sabar.
"Jadi kita memulainya
dengan penyelidikan mengenai Rara Kunti, Kang?"
"Ya!"
Lalu, Adipati Subali melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Tampak jelas kalau laki-laki tinggi besar itu
sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di Istana Kadipaten Blambang.
***
Perlahan-lahan kegelapan mulai
turun menyelimuti bumi. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Karena sang dewi
malam segera dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai menguak kepekatan
malam.
Dalam suasana seperti itu,
tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat mendekati tembok Istana Kadipaten
Blambang. Sosok bayangan yang satu berwama kuning, sedangkan yang lain ungu.
Sekejap kemudian, tubuh dua
sosok telah menempel pada pagar tembok Istana kadipaten. Tampak dua sosok
bayangan itu terdiam. Punggung mereka sama-sama bersentuhan dengan tembok batu.
Siraman sinar sang rembulan,
membuat wajah kedua tokoh itu jadi tampak cukup jelas. Mereka ternyata tidak
lain dari Arya dan Adipati Subali!
Adipati Subali menoleh ke arah
Arya. Dan Arya pun menganggukkan kepala sambil menunjuk dirinya sendiri, baru
kemudian menujuk Adipati Subali. Tanpa dijelaskan pun, laki-laki tinggi besar
itu telah mengerti maksudnya. Arya hendak melompat lebih dulu, baru kemudian
Adipati Subali!
"Hih!"
Hanya dengan sebuah genjotan
ringan, Dewa Arak telah membuat tubuhnya melayang ke atas. Begitu ringan
kakinya mendarat di atas tembok istana.
Begitu kedua kakinya hinggap,
Arya langsung bersikap waspada. Pandangannya beredar berkeliling. Lega hatinya
ketika tidak menjumpai adanya sesosok tubuh pun di sana. Ke mana perginya
orang-orang yang telah menguasai kadipaten?
Tapi Arya tidak
mempedulikannya lagi. Diberinya isyarat pada Adipati Subali untuk segera
melompat menyusulnya. Laki-laki tinggi besar itu pun melompat ke atas, dan
mendarat di atas tembok di sebelah Dewa Arak. Indah dan manis gerakannya! Memang,
bekas Panglima Kerajaan Sewu ini memiliki kepandaian lumayan juga.
"Mengapa begini
sepi?" tanya Adipati Subali heran, seperti bicara untuk diri sendiri.
Setelah mengawasi sekeliling
beberapa saat lamanya, tampak semua sudut begitu sepi dan mati. Tidak tampak
adanya tanda-tanda kehidupana sama sekali!
"Hm...! Kesunyian yang
mencurigakan, Kang," sambut Arya yang merasa kan adanya keanehan suasana
itu.
Sambil berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu melompat rurun. Ringan tanpa suara kedua
kakinya menginjak tanah.
"Mungkin ini sebuah
perangkap, Arya?" duga Adipati Subali, setelah kedua kakinya mendarat di
tanah.
"Mungkin," sahut
Arya menyambuti.
Meskipun ucapan dan anggukan
kepalanya terlihat menyetujui dugaan Adipati Subali, tapi tampak jelas kalau
Dewa Arak merasa bimbang. Raut wajahnya menampakkan keragu-raguan. Bukan hanya
itu saja. Nada suaranya pun terdengar sumbang, pertanda keluar dari hati yang
tidak yakin.
"Sepertinya, kau tidak
setuju dengan dugaanku, Arya?!" Adipati Subali yang merasakan ada nada
ketikdakyakinan dalam suara Arya, langsung mengajukan pertanyaan.
Arya menganggukkan kepala.
"Mengapa, Arya?"
kejar Adipati Subali, penasaran. "Kalau benar mereka telah siap menjebak
kita, setidak-
tidaknya bisa kudengar adanya
desah napas atau langkah kaki. Tapi, sekarang aku tidak mendengarnya sama
sekali," jelas Arya.
"Lalu, bagaimana
maksudmu, Arya?"
"Aku khawatir ada sesuatu
yang tidak kita inginkan "
Hanya itu jawaban yang
dlutarakan Dewa Arak. Dan setelah itu, pemuda berambut putih keperakan ini
menghampiri sebuah bangunan yang bentuknya paling besar dan megah. Itulah
bangunan Istana Kadipaten Blambang.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, Arya telah berada di mulut pintu bangunan itu. Sementara, Adipati
Subali tetap mengikuti di belakangnya.
"Aku mencium bau anyir
darah Arya," bisik Adipati Subali, parau. Jelas, laki-laki tinggi besar
ini merasa tegang. Arya hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh.
Memang, dia pun mencium bau
yang sama sebelum Adipati Subali menciumnya. Karena di samping melangkah lebih
dulu. Dewa Arak memiliki ketajaman penciuman di atas Adipati Subali!
Adipati Subali sama sekali
tidak merasa tersinggung melihat Arya menganggukkan kepala tanpa menoleh. Itu
pun masih ditambah sambil berjalan. Disadari kalau pemuda berambut putih
keperakan itu tengah bersikap waspada. Dan hal itu tidak berlebihan. Karena
sudah bisa diperkirakan kalau di dalam lingkungan istana Kadipaten Blambang ini
telah terjadi peristiwa menggemparkan.
Sementara itu, Arya terus saja
melangkah masuk. Tapi baru saja beberapa tindak, langkahnya kontan terhenti.
Raut wajah maupun sorot matanya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat
Betapa tidak! Di hadapan Dewa
Arak, terpampang pemandangan mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam
keadaan mengerikan. Seluruh anggota tubuhnya tercerai-berai. Potongan-potongan
tubuh, tangan, kaki, dan kepala berserakan. Darah tampak menggenangi lantai.
Dewa Arak dan Adipati Subali
sangat terperanjat! Betapa tidak?! Di hadapan mereka terpampang pemandangan
yang mengerikan! Belasan sosok tubuh tergolek dalam keadaan mengerikan. Seluruh
anggota tubuhnya terceraiberai! Potongan-potongan tubuh, tangan, kaki, dan
kepala berserakan!
*** 8
"Iblis dari mana yang
tengah melakukan hal seperti ini?" desis Arya, penuh kengerian.
Sambil berkata demikian,
pandang matanya dilayangkan ke arah potongan-potongan tubuh yang berserakan di
lantai. Menilik dari banyaknya, mungkin puluhan orang yang telah terbantai.
"Mmm…. mereka adalah
gerombolan yang telah menyerbu kadipaten ini, Arya," jelas Adipati Subali
agak tergagap. Rupanya, laki-laki tinggi besar ini belum bisa meredakan
perasaannya yang terguncang.
"Jadi, mereka adalah
gerombolan yang terdiri dari berbagai kelompok penjahat itu, Kang?" tanya
Arya setengah hati.
Tanpa diberi tahu pun,
sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu sudah bisa menduga kalau para
korban adalah gerombolan yang telah meruntuhkan Kadipaten Blambang.
Adipati Subali menganggukkan
kepala kepala sambil menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak
kering. Sementara, Arya membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan mayat-mayat
itu. Sesaat kemudian dia bangkit kembali.
"Pembunuhan ini belum
lama terjadi, Kang. Mungkin tadi sore. Bukan mustahil pembunuhnya masih berada di
sini," ujar pemuda berambut putih keperakan itu.
Kontan wajah Adipati Subali
semakin menegang.
Mendadak Arya menelengkan
kepala. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya gerakan halus di sebelah
kanannya.
"Ada apa, Arya?"
tanya Adipati Subali. Serak terdengar suaranya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak menjawab. Telunjuk tangan kanannya diletakkan
di bibir, memberi isyarat agar laki-laki tinggi besar itu jangan berisik.
Adipati Subali sama sekali
tidak membantah. Meskipun perasaan ingin tahunya amat besar, tapi berusaha
ditekannya. Disadari kalau Dewa Arak bersikap demikian, karena mempunyai alasan
kuat
Benar saja. Baru saja Dewa
Arak mengembalikan jari telunjuk yang semula diletakkan di bibir ke tempat
semula, terdengar tawa keras menggelegar dan bergaung. Karena mereka berada di
dalam bangunan, gema suara jadi terdengar panjang.
Obor-obor yang cukup banyak
terpasang di tiap-tiap dinding ruangan membuat suasana di dalam bangunan itu
cukup terang. Sehingga, tampak jelas perawakan dan wajah pemilik tawa yang
keras menggelegar itu.
Dia ternyata seorang laki-laki
setengah tua. Pakaiannya hanya berupa rompi abu-abu, membungkus tubuhnya yang
kurus kering. Saking kurus keringnya, dia jadi seperti cecak kelaparan. Bahkan
wajahnya tampak pucat. Sepasang matanya yang sipit, semakin menambah keras
dugaan kalau laki-laki berompi abu-abu ini seperti penyakitan.
"Siapa kau?!" tanya
Adipati Subali, mantap.
Sikap dan tingkah Adipati
Subali menunjukkan kalau dirinya adalah pemilik bangunan itu. Memang, meskipun
sudah terusir dari istana kadipatennya, Adipati Subali tetap merasa sebagai
pemiliknya.
"He... he... he...!
Rupanya meskipun sudah tidak memiliki gigi lagi, kau masih bisa menggonggong,
Subali!" ejek lakilaki berompi abu-abu itu. "Kau ingin tahu aku?
Baik! Aku adalah Hantu Hutan Lodan!"
Adipati Subali menelan ludah,
untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Julukan laki-Laki kurus
kering itulah yang membuat tenggorokannya kering. Laki-laki tinggi besar ini
tahu betul tokoh yang mempunyai julukan seperti itu.
Hantu Hutan Lodan adalah
seorang tokoh aliran hitam yang muncul beberapa tahun lalu. Karena sepak
terjangnya yang menggemparkan, laki-laki kurus kering ini telah berhasil
mengukir nama besar. Julukannya memang ditakuti, baik oleh tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam maupun aliran putih. Ini disebabkan karena tindakannya
yang kejam dan kepandaiannya yang tinggi.
Tak terhitung tokoh golongan
hitam dan putih yang tewas di tangannya, secara mengerikan. Hantu Hutan Lodan memang
sakti disamping wataknya yang sombong. Dan itu terbukti ketika dengan beraninya
laki-laki kurus kering ini mengajukan tantangan pada datuk wilayah Selatan.
Tantangan yang diajukan Hantu
Hutan Lodan benarbenar menggemparkan dunia persilatan. Karena, untuk pertama
kalinya ada seorang tokoh yang berani mengajukan tantangan pada salah satu dari
empat datuk itu.
Maka, berbondong-bondonglah
tokoh persilatan dari berbagai aliran datang untuk menyaksikan pertarungan
antara Hantu Hutan Lodan dan Datuk Selatan.
Namun, ternyata Datuk Selatan
tidak kunjung datang. Sehingga, Hantu Hutan Lodan pun mengukuhkan diri menjadi
salah satu dari empat orang datuk di empat penjuru angin.
"Mengapa kau membunuhi
mereka, Hantu Hutan Lodan?" tanya Adipati Subali dengan suara bergetar.
Seiring keluarnya pertanyaan
yang diajukan, tangan lakilaki tinggi besar itu ditudingkan ke arah mayat-mayat
yang bergeletakan di lantai.
"Cuh!"
Hantu Hutan Lodan meludah
secara kasar di tanah. "Mereka patut dibunuh! Tindakan mereka terlalu
lancang. Mereka telah menyerbu
Kadipaten Blambang, atas perintah orang datuk wilayah Selatan, yang tidak
pantas memangku kedudukan datuk!"
Laki-laki bertubuh kurus
kering ini menghentikan ucapannya sebentar. Dirayapinya dua sosok tubuh yang
penuh perhatian mendengarkan ucapannya yang terlalu berapi-api dan penuh
semangat.
"Tidakkah mereka tahu,
kalau aku yang telah menjadi Datuk Selatan?! Mereka berani bertindak lancang
mentaati perintah orang lain, tanpa sepengetahuanku! Dan hukuman yang tepat
bagi mereka adalah kematian!" tandas Hantu Hutan Lodan tegas.
Usal berkata demikian,
laki-laki kurus kering ini lalu menatap wajah Adipati Subali dan Dewa Arak
lekat-lekat. Mendadak wajah Hantu Hutan Lodan berubah. Sepasang mata nya yang
semula hanya beredar pada wajah Arya, kemudian beralih ke arah rambut dan
pakaian.
Arya yang sejak tadi diam
mendengarkan, menjadi tahu mengapa Hantu Hutan Lodan menatapnya demikian.
Seperti juga yang lainnya, dia tahu kalau laki-laki kurus kering tengah
meneliti ciri-ciri pada diri Dewa Arak. Dan dugaan pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak meleset.
"Hm.... Bukankah kau,
Dewa Arak?!" agak tergagap suara yang terdengar dari mulut Hantu Hutan
Lodan.
Arya menganggukkan kepala.
"Kalau memang demikian,
memangnya kenapa Hantu Hutan Lodan? Aku tahu, julukanmu tidak kalah tenar
daripadaku .
"Ha ha ha...! Itu memang
betul!"
Hantu Hutan Lodan yang memang
mempunyai watak sombong dan senang diagung-agungkan, langsung menyambuti penuh
semangat Dia tertawa-tawa gembira, tapi sesaat kemudian tawanya lenyap.
Pandangannya dialihkan pada Adipati Subali.
"Kalau ingin selamat,
cepat serahkan pusaka peninggalan leluhurmu padaku, Adipati Subali?!"
ancam Hantu Hutan Lodan.
"Sayang sekali, pusaka
itu tidak ada padaku," kalem jawaban yang terdengar dari mulut Adipati
Subali.
Memang, laki-Laki tinggi besar
ini berkata sejujurnya. Surat wasiat leluhurnya itu sekarang ada pada Arya.
Adipati Subali sendirilah yang menyuruh Dewa Arak memegangnya dengan alasan
agar lebih aman.
"Kau mencari penyakit
sendiri, Adipati Subali! Kau kuberi kesempatan sekali lagi! Serahkan pusaka
itu, atau nyawamu akan kucabut?!” geram Hantu Hutan Lodan memberi pilihan.
Adipati Subali membusungkan
dada.
"Sayang sekali, Hantu
Hutan Lodan. Andaikata pusaka itu ada padaku pun, tidak akan kuberikan
padamu!" jawab laki taki tinggi besar ini lantang.
"Keparat!"
Kali ini Hantu Hutan Lodan
tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Tanpa bergeser dari tempat semula, tangan
kanannya meluncur ke arah dada Adipati Subali dalam sebuah cengkeraman yang
menimbulkan suara angin bercicitan.
Adipati Subali tahu, jarak
antara dirinya dengan Hantu Hutan Lodan tidak mungkin bisa dijangkau tangan.
Jadi biar bagaimana pun, serangan Hantu Hutan Lodan tidak akan mungkin bisa
mencapai sasaran. Maka, dia hanya bersikap tenang. Dia yakin tidak akan terjadi
sesuatu yang membahayakan dirinya. Lain halnya, apabila Hantu Hutan Lodan
menyerang mempergunakan pukulan jarak jauh.
Seperti juga Adipati Subali,
Dewa Arak pun merasa heran pula. Hanya saja, ada perbedaannya. Pemuda berambut
putih keperakan ini langsung bisa mengetahui kalau laki-laki kurus kering itu
mempunyai maksud yang tersembunyi dalam serangannya.
Seiring timbulnya dugaan ini,
Dewa Arak pun teringat sesuatu. Melati, tunangannya, sering menggunakan
serangan seperti ini! Hal ini tidak aneh, karena gadis berpakaian putih itu
memiliki ilmu yang bisa membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih
panjang! Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku", demikian namanya.
Teringat akan hal itu, membuat
Dewa Arak terperanjat. "Awas, Kang...!"
Sambil berseru demikian, Dewa
Arak langsung bertindak. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah pangkal lengan
kiri Adipati Subali. Memang, saat ini pemuda berambut putih keperakan itu
berada di sebelah kiri Adipati Subali.
Tappp!
Secepat tangan kanannya
hinggap di tempat yang dituju, secepat itu pula didorongnya. Akibatnya, tubuh
Adipati Subali pun terjengkang
Tapi, justru karena itulah,
Adipati Subali selamat dari maut! Pada saat yang bersamaan, tangan Hantu Hutan
Lodan meluncur ke arah dada. Dugaan Dewa Arak memang tepat! Tangan laki-laki
kurus kering itu ternyata terus terulur dengan serangan membahayakan. Jadi,
tangan itu memang bertambah panjang!
“Terkutuk!"
Untuk yang kesekian kalinya,
Hantu Hutan Lodan memaki. Tapi hal ini tidak ditujukan pada Adipati Subali,
melainkan pada Dewa Arak. Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu tetap
bersikap tenang. Bahkan sempat mengerling sekilas ke arah Adipati Subali.
"Cepat menjauh dari sini,
Kang." kata Dewa Arak bernada perintah.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Adipati Subali segera bangkit dan bergerak menjauh. Dia tahu, mengapa
Arya menyuruhnya bertindak demikian. Karena bila terjadi pertarungan, ada
kemungkinan akan terkena serangan nyasar jika berada di daerah pertarungan.
***
"Semula, aku berniat
membiarkanmu pergi, Dewa Arak. Kau sama sekali tidak masuk hitunganku. Tapi
sekarang, kau malah mencampuri urusanku. Maka, terpaksa kau pun akan
kulenyapkan!"
Puas mengucapkan kalimat
bernada penuh kesombongan, Hantu Hutan Lodan mengedarkan pandangan berkeliling.
Tampak olehnya mayat-mayat yang berserakan di sana sini. Tentu saja hal ini
akan mengganggu jalannya pertarungan. Karena, mereka berdua akan mengalami
kesulitan untuk berpindah tempat
"Biarlah ruangan ini
kubuat agak luas sedikit"
Hantu Hutan Lodan lalu
mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Kelihatannya sembarangan dan tanpa
pengerahan tenaga dalam. Tapi hebatnya, potonganpotongan tubuh mayat itu
berpentalan seperti tertiup angjn keras.
Dan ketika laki-laki kurus
kering itu menghentikan gerakan tangannya, lantai ruangan tempat mereka berada
jadi bertambah luas. Karena, sebagian besar potongan tubuh mayat telah
berpindah tempat ke sudut.
"Aku bukan sejenis orang
yang mau enaknya sendiri, Hantu Hutan Lodan. Biarlah kusumbangkan kemampuanku
yang tidak seberapa, untuk membuat ruangan di sekitar tempat ini jadi bertambah
luas!"
Dan begitu ucapannya selesai
itu, Dewa Arak ikut mengibas-ngibaskan tangannya pula. Sama seperti Hantu Hutan
Lodan, hal itu dilakukannya secara sembarangan.
Tapi pemandangan yang
terpampang justru lebih hebat! Potongan-potongan tubuh mayat yang masih
bergeletakan memenuhi tiap ruangan, kontan beterbangan ke sudut dan langsung
berkumpul membentuk tumpukan. Hebatnya, potongan yang berupa kepala berada di
bagian atas!
Adipati Subali
menggeleng-gelengkan kepala melihat pertunjukkan ini. Meskipun tingkatannya
tidak bisa disamakan dengan kedua tokoh itu, tapi bisa diketahui kalau dalam
pertunjukan tadi Dewa Arak lebih unggul, ketimbang Hantu Hutan Lodan!
Tentu saja Hantu Hutan Lodan
pun menyadari hal itu. Maka, seketika perasaan sombongnya pun bangkit. Dia
tidak percaya kalau orang semuda Dewa Arak akan mampu menyainginya! Apalagi,
mengalahkannya. Mungkin tadi ada kesalahan dalam pengerahan tenaga dalam?
"Aku belum kalah, Dewa
Arak! Hiyaaa!"
Diiringi teriakan keras. Hantu
Hutan Lodan mulai melancarkan serangan. Kedua tangannya meluncur cepat dan
bertubi-tubi ke arah kedua tulang rusuk Dewa Arak, disertai angin bercicitan
nyaring. Jelas sebuah serangan berbahaya!
Tapi, orang yang diserangnya
adalah Dewa Arak! Hanya dengan sebuah lompatan ke belakang, Dewa Arak telah
membuat serangan Hantu Hutan Lodan mengenai tempat kosong. Tahu kalau lawannya
bukan orang sembarangan, maka selagi tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak
mengambil guci araknya. Lalu, isinya dituangkan ke dalam mulut
Gluk…. Gluk….Gluk…!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat berputar
di perutnya, lalu perlahan naik ke atas kepala. Kontan tubuh Dewa Arak limbung
ketika mendarat di tanah. Ini terjadi karena kedua kakinya tidak bisa menapak
tepat di tanah.
Tapi, justru pada saat seperti
inilah Dewa Arak berada dalam keadaan siap untuk memainkan ilmu 'Belalang
Sakti’ Kedua tangannya bergerak-gerak aneh di depan dada, seperti seekor
belalang yang tengah mempermainkan kedua kaki depannya. Bukan itu saja. Tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu pun berkelejetan. Sementara, kedua kakinya
oleng ke sana kemari.
Melihat hal ini, Hantu Hutan
Lodan agak terperanjat. Tapi sesaat kemudian, langsung bisa ditebak kalau Dewa
Arak telah mulai menggunakan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu lagi, dia
melancarkan serangan susulan.
Wuk, wuk, wuk...! Wuttt!
Entah dari mana mengambilnya
tahu-tahu di tangan Hantu Hutan Lodan telah tergenggam sebilah ganco. Sebentar
senjata itu diputar-putar di atas kepala, baru kemudian disabetkan ke arah
kepala Dewa Arak.
Tranggg!
Benturan keras terdengar
diiringi berpercikannya bungabunga api ketika Dewa Arak menangkis serangan
ganco itu dengan gucinya Hantu Hutan Lodan menyeringai ketika merasakan sekujur
tangannya tergetar hebat, akibat benturan itu. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi
tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara, Dewa Arak sama sekali
tidak terpengaruh.
Maka, kesempatan itu
dipergunakan masing-masing pihak untuk melihat senjata masing-masing. Memang,
keduanya merasa khawatir akan rusaknya senjata akibat benturan keras tadi.
Dan begitu melihat tidak
terjadi sesuatu atas senjata masing-masing, keduanya kembali saling gebrak.
Sesaat kemudian, kedua tokoh berbeda aliran ini terlihat dalam pertarungan
sengit.
Hebat bukan kepalang
pertarungan yang berlangsung. Suara mengaung dan mencicit, diiringi tegukan
ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa Arak menenggak araknya, membuat
suasana semakin bertambah semarak.
Akibatnya, keadaan sekitar
ruangan itu lebih parah lagi. Ubin-ubin retak-retak. Tembok-tembok mulai
berguguran. Kalau pertarungan itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin
bangunan itu akan ambruk.
Tapi begitu pertarungan
menginjak jurus ke seratus, mulai tampak keunggulan Dewa Arak.
Tampaknya pemuda berambut
putih keperakan ini mulai bisa menguasai keadaan. Serangan-serangan Hantu Hutan
Lodan yang semula menggebu-gebu, kini semakin berkurang. Sampai akhirnya, dia
hanya bisa mengelak.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus delapan,
Dewa Arak mengayunkan guci araknya ke arah pelipis kiri Hantu Hutan Lodan.
Melihat hal ini, pentolan aliran hitam yang berjiwa kejam ini terkejut bukan
kepalang. Serangan itu meluncur demikian tiba-tiba Maka dengan agak gugup,
tubuhnya dirundukkan.
Wusss!
Guci Dewa Arak meluncur lewat
di atas kepala, hingga membuat rambut dan seluruh pakaian Hantu Hutan Lodan
berkibaran keras. Ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam ayunan guci itu.
Tapi, serangan Dewa Arak
ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah
perut. Tapi karena Hantu Hutan Lodan tengah membungkuk, maka ujung kaki itu
jadi mengarahkan ke arah dada. Dan....
Krakkk! "Akh. !"
Hantu Hutan Lodan menjerit
ngeri ketika kaki Dewa Arak menghantam telak pada sasaran. Memang, tibanya
serangan itu hanya berselisih sedikit sekali dengan serangan guci.
Kontan tubuh laki-laki kurus
kering itu terlempar ke belakang. Darah segar seketika memancur deras dari
mulutnya, dan membasahi lantai sepanjang tubuhnya melayang. Sesaat itu juga,
nyawa Hantu Hutan Lodan melayang dari raganya. Tendangan Dewa Arak telah
membuat tulang dadanya hancur berantakan.
Brukkk!
Disertai suara berdebuk keras,
tubuh Hantu Hutan Lodan jatuh ke lantai
"Hhh. !"
Dewa Arak menghembuskan napas
lega. Sama sekali tidak disesali, karena telah membunuh Hantu Hutan Lodan. Dewa Arak tahu, tokoh seperti
laki-laki kurus kering itu memang harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak
menyebar malapetaka lebih luas.
"Kau hebat, Arya,"
puji Adipati Subali sambil mendekati pemuda berambut putih keperakan itu.
"Lupakanlah, Kang.
Sekarang yang penting, kita harus mencari tahu keberadaan Rara Kunti,"
kata Arya mengalihkan persoalan.
"Kau benar, Arya,"
sambut Adipati Subali.
Lalu laki-laki tinggi besar
itu mengayunkan langkah mengikuti Dewa Arak. Memang, pemuda berambut putih
keperakan itu telah melangkah lebih dulu.
Berhasilkah Dewa Arak dan
Adipati Subali menguak rahasia Rara Kunti? Benarkah Sagala yang telah memimpin penyerbuan terhadap Kadipaten
Blambang? Kalau betul, mengapa? Murid siapakah Sagala, sehingga bisa memiliki
kepandaian yang demikian tinggi? Bagaimana akhir persekutuan keturunan
datuk-datuk persuatan yang ingin menumpas Dewa Arak? Apakah 'Rahasia Syair
Leluhur" itu bisa terungkap? Siapakah yang berhasil mengungkapnya? Dan,
apakah datuk-datuk persilatan puluhan tahun lalu pun akan ikut meninggalkan
sarang untuk mengejar pusaka Eyang Mandura? Jawaban semua itu ada di dalam
episode "Neraka untuk Sang Pendekar".
SELESAI