09 - Pendekar Tangan Baja
"Hih...!"
Seorang pemuda tampan
bercambang lebat, dan berpakaian kuning, kembali melompat. Entah untuk yang ke
berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu berputar beberapa kali di
udara. Indah dan manis sekali gerakannya. Dan....
Pyarrr...!
Air sungai memercik tinggi,
begitu sepasang kaki pemuda itu mendarat kembali di permukaan air. Luar biasa!
Kalau saja ada orang yang melihatnya, tentu pemuda ini dikiranya hantu penunggu
sungai. Mana ada manusia yang dapat berdiri di atas permukaan air?
Tapi kenyataannya pemuda
bercambang lebat itu memang mampu berdiri di atas permukaan air. Bahkan
sesekali melompat dan bersalto beberapa kali di udara, kemudian kembali
mendarat di permukaan air!
Dan selagi tubuhnya berputar
di udara, terlihat kalau sepasang kaki pemuda itu ternyata tidak hanya
bersepatu saja, tapi ada sesuatu yang menempel pada kedua telapak sepatunya.
Memang, pada telapak kaki pemuda berpakaian kuning itu, nampak sepotong papan
yang tidak begitu tebal, tapi agak lebar. Rupanya papan itu digunakan sebagai
alas agar dapat mengapung di permukaan air. Tapi meskipun begitu, tanpa
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tidak mungkin pemuda itu dapat berbuat
begitu.
Tak lama kemudian, pemuda
berpakaian kuning itu ber- gegas mendekati pinggir sungai. Untungnya, di situ
sepi. Tidak nampak sebuah rumah pun yang terlihat, sehingga perbuatannya tidak
menarik perhatian.
"Hih...!"
Begitu telah mendekati pinggir
sungai, pemuda bercambang lebat itu melenting. Tubuhnya berputar beberapa kali
di udara, sebelum akhimya mendarat di pinggiransungai.
Begitu telah berada di tanah,
pemuda itu segera melepaskan potongan kayu yang terikat pada kedua kakinya.
Lalu dilemparkan begitu saja di tanah.
Kini pemuda berpakaian kuning
itu membalikkan tubuhnya. Sepasang matanya menerawang jauh ke seberang sungai.
Cukup lama juga pemuda
bercambang lebat itu berbuat demikian, sebelum akhimya melangkah pelan
meninggal- kan tempat itu. Mulanya langkahnya satu-satu, tapi beberapa saat
kemudian, bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ternyata pemuda bercambang
lebat dan berpakaian kuning itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Gerakannya cepat bukan main. Tubuhnya hampir tidak terlihat oleh mata. Yang
terlihat hanyalah sekelebaran bayangan kekuningan.
Pemuda berpakaian kuning itu
terus berlari seraya mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga
dalam waktu singkat, tempat tadi telah jauh tertinggal. Larinya baru
diperlambat dan akhimya berhenti sama sekali, begitu memasuki tembok batas
sebuah desa.
Luar biasa! Sungguhpun telah
berlari menempuh jarak yang jauh, tidak nampak tanda-tanda kalau pemuda
berpakaian kuning ini mengalami kelelahan. Napasnya biasa saja. Tidak nampak
memburu sedikit pun. Bahkan di wajah tampannya, sama sekali tidak terlihat
setitik pun keringat.
Pemuda bercambang lebat ini
melangkah memasuki desa. Alisnya agak berkerut ketika melihat hampir semua
anak-anak kecil di desa itu bertelanjang bulat dan ber- tubuh kurus kering.
Seolah-olah mereka tidak cukup men- dapat makanan. Padahal tadi di pinggiran
desa, jelas dilihatnya hamparan padi yang tumbuh subur.
"Aneh...," gumam
pemuda berpakaian kuning itu pelan seraya melanjutkan langkahnya.
Setelah cukup jauh berjalan,
pemuda bercambang lebat ini menghentikan Langkahnya. Sayup sayup didengamya
suara bentakan-bentakan keras
penuh kemarahan.
Rasa ingin tahu, membuat
pemuda berpakaian kuning ini mempercepat langkahnya menuju ke arah asal suara.
Dan dengan sendirinya, suara-suara bernada penuh kemarahan itu pun semakin
keras terdengar.
Tak lama kemudian, pandang
mata pemuda berpakaian kuning itu tertumbuk pada beberapa sosok yang nampak-
nya tengah terlibat pertengkaran. Beberapa orang ber- seragam prajurit, dan
seorang berpakaian putih. Dua di antara prajurit itu berdiri angker di hadapan
orang berpakaian putih yang tertunduk ketakutan.
"Rupanya kau sudah berani
menentang perintah Gusti Prabu, Paladi," ucap seorang yang berseragam
punggawa penuh kemarahan. Sementara di sebelahnya, berdiri seorang prajurit
yang menggenggam sebatang cambuk.
"Maafkan aku, Den
Rupangga. Bukannya aku menentang perintah Gusti Prabu. Tapi, hasil panen kali
ini tidak sebanyak hasil sebelumnya. Kalau kami paksakan diri memberi upeti
seperti biasa, penduduk desa ini akan mati kelaparan," sahut laki-laki
setengah baya berpakaian putih yang bemama Ki Paladi.
"Aku tidak peduli!"
bentak punggawa yang bernama Rupangga. Keras sekali suaranya sehingga Ki Paladi
sampat terjingkat ke belakang saking kagetnya. Sekilas kepala laki-laki
berpakaian putih ini terangkat, tapi begitu melihat sepasang mata penuh amarah
tertuju padanya, kepalanya ditundukkan kembali, "Kedatanganku kemari bukan
untuk mendengar segala macam alasan, Paladi. Aku datang untuk meminta pajak
sesuai dengan keputusan yang ditetapkan Gusti Prabu. Dan menjadi tugasmu selaku
kepala desa untuk memenuhinya! Soal penduduk desa ini mati kelaparan bukan
urusanku! Kau mengerti, Paladi!" sergah Rupangga.
Ki Paladi yang ternyata
seorang kepala desa meng- anggukkan kepalanya.
"Aku mengerti, Den
Rupangga. Tapi kumohon Aden mau bermurah hati memberikan kami waktu
untuk..."
"Keparat! Orang seperti
kau memang harus dihukum! Agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berani
menentang keinginan Gusti Prabu!" selak punggawa yang bernama Rupangga
cepat, sebelum kepala desa itu menyelesaikan ucapannya. "Prajurit! Beri
pembangkang ini sepuluh cambukan!"
Prajurit yang sejak tadi
berdiri di sebelah Rupangga ter- senyum lebar. Kegembiraan terbayang jelas di
wajahnya. Memang sudah menjadi kesenangannya, melihat orang menggeliat-geliat
kesakitan menerima cambukannya. Maka begitu mendapat perintah, segera saja dia
mendekati sang kepala desa. Cambuk yang sejak tadi ter- genggam di tangannya,
ditimang-timang sambil menyeringai lebar.
"Ampun, Den Rupangga. Aku
berjanji akan meng- usahakannya..." ucap Ki Paladi memohon kebijaksanaan.
Tapi punggawa ini hanya memandangi sang kepala desa dengan tatapan dingin.
Sementara prajurit itu segera mengayunkan cambuknya.
Tarr!
"Akh...!"
Kepala Desa itu menjerit
memilukan ketika ujung cambuk itu melecut punggungnya. Seketika itu juga,
tubuhnya menggeliat-geliat. Pakaiannya di bagian punggung, kontan sobek
memanjang. Di kulit punggungnya nampak garis panjang menghitam.
"Ampun, Den
Rupangga..." rintih Ki Paladi lagi. Tapi punggawa itu tetap diam tak
bergeming. Sehingga kembali lecutan cambuk menyambar punggungnya.
Tarr!
"Akh...!"
"Jahanam!" teriak
pemuda berpakaian kuning keras. Darahnya mendidih melihat adegan penyiksaan di
depan matanya. Seketika itu juga pemuda ini melesat ke arah kepala desa yang
tengah disiksa.
Wuuut..!
Untuk ke sekian kalinya,
cambuk di tangan prajurit itu kembali dilecutkan. Tapi....
Tappp...!
Kali ini ujung cambuk itu
tertahan di udara. Semula prajurit yang tengah menyiksa Ki Paladi, agak heran
ketika merasakan cambuknya tertahan di udara. Segera dibalik- kan tubuhnya.
Tampak oleh prajurit itu apa yang menyebabkan cambuknya tertahan. Ujung cambuk
itu ternyata tergenggam di tangan seorang pemuda berpakaian kuning.
"Keparat...!" geram
prajurit bercambuk itu. Dengan sekuat tenaga cambuknya dihentakkan. Tapi
walaupun telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja cambuk itu tidak
bergeming.
"Uh.uhhh...!"
Terdengar suara mengeluh dari
mulut prajurit itu, dalam upayanya menarik cambuk itu. Namun tetap saja cambuk
itu sama sekali tidak bergeming. Padahal nampak jelas olehnya kalau pemuda
berpakaian kuning itu sepertinya tidak mengerahkan tenaga sama sekali! Wajah
pemuda itu pun biasa saja. Tidak merah padam penuh otot-otot yang menggembung
seperti dirinya!
Mendadak pemuda bercambang
lebat itu melepaskan cekalan pada cambuknya. Padahal saat itu, si prajurit
tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menarik kembali cambuknya.
Akibatnya pun sudah bisa diduga! Tubuh prajurit itu terjengkang ke belakang,
terbawa tenaganya sendiri.
Brukkk... !
Prajurit itu menyeringai
kesakitan ketika bokongnya menghantam tanah dengan keras. Tentu saja hal ini
mem- buat prajurit itu menjadi naik pitam. Bergegas dia bangkit, dan langsung
melecutkan cambuknya. Tapi kali ini tidak ke arah Ki Paladi, melainkan ke arah
pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning itu
mendengus. Kemudian tangannya diulurkan, menangkis lecutan cambuk itu.
Tarr!
Keras dan telak sekali ujung
cambuk itu mengenai tangan pemuda berpakaian kuning. Luar biasa! Tidak nampak
ada tanda-tanda kalau pemuda itu menderita kesakitan. Bahkan dengan kecepatan
yang luar biasa, tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jari jemari tangan
pemuda berpakaian kuning itu telah men- cengkeram ujung cambuk.
"Hih...!"
Pemuda bercambang lebat itu
menggerakkan tangan menghentak. Hebat sekali! Tubuh prajurit itu kontan ter-
lempar ke depan, melewati kepala pemuda berpakaian kuning.
"Aaa...!"
Prajurit itu berteriak ngeri
tatkala mengetahui tubuhnya terlempar ke udara. Seketika itu juga, pegangan
pada cambuknya dilepaskan.
Brukkk... !
Suara berdebuk keras kembali
terdengar, begitu tubuh prajurit bercambuk itu jatuh dengan kerasnya di tanah.
Tapi kali ini, prajurit itu tidak langsung bangkit. Dia meng- geliat-geliat di
tanah. Dari mulutnya terdengar rintihan kesakitan.
Tentu saja Rupangga dan para
prajurit lainnya kaget bukan main. Sungguh sama sekali tidak disangka, kalau
prajurit bercambuk itu dapat dirobohkan dengan begitu mudah oleh pemuda
berpakaian kuning.
"Tangkap pengacau
ini!" perintah Rupangga keras pada para prajurit yang berada di kereta,
seraya menudingkan telunjuknya ke arah pemuda berpakaian kuning.
Tanpa menungu di perintah dua
kali, tiga orang prajurit yang semula hanya berdiam diri saja di atas kereta
kuda, segera berloncatan turun.
Srattt...! Srattt...!
Sinar-sinar terang
menyilaukan, langsung berpendar ketika prajurit-prajurit itu mencabut goloknya.
Dan langsung mengurung pemuda berpakaian kuning. Suara berdesing nyaring
terdengar, begitu golok-golok itu ber- kelebat menyambar pemuda itu.
Lagi-lagi pemuda berpakaian
kuning hanya mendengus. Tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya kelebatan golok
yang menyambar ke arahnya dengan tangan kosong.
Takkk, takkk, takkk...!
Terdengar suara nyaring begitu
golok-golok itu ber- benturan dengan lengan pemuda berpakaian kuning.
Seolah-olah yang beradu dengan golok-golok itu bukan tangan manusia yang
terdiri daging dan tulang, melainkan sepotong baja yang amat kuat.
Tiga orang prajurit itu
terkejut bukan kepalang. Seketika itu juga serangan mereka terhenti. Dan
kekagetan mereka bertambah besar begitu melihat apa yang terjadi pada mata
golok mereka. Mata golok golok itu gompal!
"Iblis...!" desis
salah seorang dari tiga prajurit itu. Perasaan ngeri membayang di wajahnya.
Tanpa sadar sepasang matanya menatap ke arah kedua tangan pemuda berpakaian
kuning. Seketika itu juga sepasang matanya semakin membelalak lebar. Tangan
pemuda bercambang lebat itu ternyata memang agak berbeda dengan tangan manusia
biasa. Kedua tangan pemuda itu menyorotkan sinar kehitaman. Kedua rekannya yang
juga menatap tangan pemuda berpakaian kuning itu sama- sama terperanjat.
Semua kejadian ini tak luput
dari perhatian Rupangga. Dan punggawa ini pun dilanda kekagetan yang serupa.
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya Rupangga. Sepasang matanya merayapi wajah pemuda yang berdiri
tak jauh di hadapannya. "Sungguh berani kau menentang pasukan
kerajaan!"
Pemuda berpakaian kuning itu
hanya tersenyum sinis.
"Aku? Aku..., Pendekar
Tangan Baja! Aku tidak peduli siapa kalian! Yang jelas, aku tidak bisa tinggal
diam, melihat kekejaman di depan mataku!" sahut pemuda berpakaian kuning
itu tegas.
Dua alis Rupangga berkerut.
Sekarang dia mengerti, mengapa kedua tangan pemuda itu begitu luar biasa. Dari
julukannya, punggawa itu sudah bisa memaklumi kekuatan tangan pemuda itu
"Kuperingatkan kau, Anak
Muda. Jangan sekali-kali ber- tindak sok pahlawan di depan kami. Kau tahu apa
akibat perbuatanmu? Kau akan menjadi musuh kerajaan! Kau akan jadi buruan
tentara Kerajaan!" gertak Rupangga.
"Tidak usah menggertakku,
Punggawa!" sahut pemuda berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Pendekar
Tangan Baja itu. "Perlu kau ketahui, untuk membela kebenaran dan melawan
kelaliman, aku tidak takut menghadapi apa pun!"
"Sombong!" teriak
Rupangga keras. Wajahnya langsung memerah menahan amarah yang bergolak di
dadanya. Punggawa ini memang mempunyai sifat pemarah, maka tidak aneh jika
kemarahannya langsung bergolak begitu melihat sikap Pendekar Tangan Baja.
"Tangkap pemberontak
ini!" perintah Rupangga keras. Kedua tangannya langsung bergerak ke
punggung.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilauan,
begitu punggawa ini meloloskan sepasang pedangnya Dan secepat kedua pedang itu
terhunus, secepat itu pula tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Baja,
menyusul anak buahnya yang telah menyerang lebih dulu.
Pendekar Tangan Baja tidak
menjadi gugup melihat hujan serangan yang mengancamnya. Sekali lihat saja
pemuda berpakaian kuning ini tahu kalau di antara ke empat serangan itu,
serangan Rupanggalah yang paling berbahaya. Serangan punggawa ini memang tidak
bisa disamakan dengan serangan anak buahnya. Serangan Rupangga mengandung
tenaga dalam dan kecepatan jauh di atas keempat prajurit itu.
Meskipun Rupangga melakukan
penyerangan belakangan dan juga jaraknya dengan Pendekar Tangan Baja paling
jauh, tapi serangannya lebih dulu tiba daripada serangan anak buahnya.
Wuk, wuk...!
Angin cukup keras telah lebih
dulu menyambar, sebelum serangan kedua pedang Rupangga tiba.
Pendekar Tangan Baja rupanya
tidak ingin bertindak setengah-setengah. Segera saja kedua tangannya diulurkan,
memapak sepasang pedang yang mengancam- nya. Dan secepat itu pula
mencengkeramnya.
Tappp, tappp...!
Tak pelak lagi sepasang pedang
Rupangga tercekal pemuda berpakaian kuning itu. Dan sebelum punggawa itu
berbuat sesuatu, kaki kanan Pendekar Tangan Baja me- luncur cepat ke perutnya.
Wut.. ! Bukkk!
"Hugh...!"
Rupangga memekik tertahan.
Tubuhnya kontan ter- jengkang ke belakang ketika tendangan Pendekar Tangan Baja
telak dan keras menghantam perutnya. Seketika itu sepasang pedangnya terlepas
dari genggaman. Rasa mules dan mual yang amat sangat menyerang punggawa ini.
Untung bagi Rupangga. Pendekar
Tangan Baja tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu melontar- kan
tendangan. Kalau tidak, punggawa ini tentu sudah tidak bernyawa lagi. Walaupun
begitu, selama beberapa
saat Rupangga tidak mampu
bangkit.
***
Baru saja Pendekar Tangan Baja
merobohkan Rupangga, serangan tiga batang golok dari anak buah punggawa itu
telah datang bertubi-tubi bagaikan hujan. Tapi, dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang berada jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi Pendekar
Tangan Baja untuk mengelak. Lincah laksana seekor kera, tubuhnya menyelinap di
antara kelebatan sinar golok yang menghujani.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan oleh Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya pun bergerak cepat. Sesaat
kemudian terdengar pekik kesakitan susul-menyusul,diiringi robohnya tubuh para
prajurit itu satu persatu.
Pendekar Tangan Baja
memandangi lima sosok yang masih terkapar sambil merintih-rintih kesakitan.
"Bagaimana Punggawa?
Masih penasaran?" tanya pemuda berpakaian kuning sambil tersernyum sinis.
Rupangga bangkit
tertatih-tatih. Sepasang matanya menatap Pendekar Tangan Baja penuh dendam.
"Kali ini kau menang,
Pendekar Tangan Baja! Tapi, ingat! Tak lama lagi kau akan merasakan
pembalasanku!" ancam punggawa itu.
Setelah mengucapkan ancaman
yang hanya ditanggapi pemuda berpakaian kuning sambil tertawa, punggawa itu
berjalan menuju kereta.
"Bangun semua,
kerbau-kerbau dungu! Kita kembali ke kotaraja!" teriak Rupangga keras.
Keempat orang prajurit itu pun
bangkit, kemudian melangkah cepat ke arah kereta, walaupun agak tertatih-
tatih.
"Paladi!" ucap Rupangga
lagi sambil memandang sang kepala desa, sebelum kereta kuda bergerak.
Kepala desa yang sial itu pun
menoleh.
"Kau dan seluruh penduduk
desa ini pun akan menerima akibatnya!" ancam punggawa itu lagi.
Seketika itu juga wajah kepala
desa itu memucat. Ki Paladi kenal betul siapa itu Rupangga. Orang yang
mempunyai sifat pemarah dan pendendam. Punggawa ini tidak akan pemah membiarkan
orang menghinanya.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
Dua ekor kuda penarik kereta
itu pun segera berlari cepat, begitu kusir kereta itu melecutkan cambuknya.
Debu mengepul tinggi begitu
kereta kuda itu bergerak meninggalkan tempat itu. Dua pasang mata melepas
kepergian kereta itu.
Sepasang mata yang bersinar
tajam milik Pendekar Tangan Baja, dan sepasang mata yang menyorotkan sinar kecemasan
milik Ki Paladi.
"Mengapa kau menolongku,
Anak Muda?" tanya Ki Paladi ketika kereta kuda itu sudah tidak terlihat
lagi.
Sepasang mata kepala desa ini
menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning di hadapannya.
Pendekar Tangan Baja terlonjak
kaget. Aneh, pertanyaan laki-laki berpakaian putih ini terdengar penuh
penyesalan. Sedikit pun tidak nampak rasa terima kasih mendapat pertolongan.
Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian kuning hanya berdiri seperti patung.
Tidak tahu harus berkata apa.
"Kau tahu, Anak Muda.
Perbuatanmu hanya akan mem- bawa bencana bagi seluruh penduduk desa ini!"
Jelas Ki Paladi
Keras dan tajam sekali suara
kepala desa itu. Tak heran jika Pendekar Tangan Baja yang memang mempunyai
sifat keras kepala jadi bangkit emoslnya.
"Jadi, kau lebih suka
kalau kubiarkan prajurit-prajurit itu menyiksamu?!" tanya pemuda
berpakaian kuning setengah menyindir.
"Ya!" tandas Ki
Paladi.
Tentu saja jawaban yang sama
sekali tidak disangkanya itu membuat Pendekar Tangan Baja terkejut. Beberapa saat
pemuda berpakaian kuning ini tercenung.
"Mengapa?" tanya
Pendekar Tangan Baja setelah ber- hasil menenangkan hati.
Ki Paladi menarik napas
panjang kemudian dihembus- kannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan berbuat seperti
itu, keresahan hatinya dapat lenyap.
"Aku rela disiksa mereka
daripada wargaku mengalami nasib yang lebih buruk lagi...," desah kepala
desa itu perlahan. Sepasang matanya menerawang jauh ke langit.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Ki"
"Lebih baik kau tidak
usah tahu, Anak Muda," tandas Ki Paladi.
"Ki? Jangan membuatku
penasaran! Jelaskan maksud ucapanmu tadi!" sentak Pendekar Tangan Baja
keras. Sepasang matanya menatap tajam wajah laki-laki setengah baya berpakaian
putih itu.
"Kau memang berotak
bebal! Perlukah kujelaskan lagi akibat tindakanmu tadi?!" sergah kepala
desa itu tak kalah keras.
Merah wajah pemuda berpakaian
kuning mendengar ucapan Ki Paladi. Kemarahannya pun bangkit. Tapi, Pendekar
Tangan Baja mencoba menahan amarahnya, meskipun dadanya serasa akan meledak
akibat emosi yang bergolak.
"Kau tahu, Pendekar
Tangan Baja! Kalau saja kau tidak campur tangan dalam urusan ini, paling-paling
hanya aku yang mereka siksa. Tapi karena kau telah campur tangan, maka semua
penduduk desa ini akan menanggung akibatnya. Rupangga dan anak buahnya pasti
akan kembali kemari! Bukankah kau telah mendengar ancaman tadi?" sambung
laki-laki setengah baya berpakaian putih itu berapi-api.
Pendekar Tangan Baja terkejut
bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau campur tangannya akan membawa akibat
yang demikian besar. Perlahan emosinya pun mulai surut.
"Aku mengaku salah, Ki.
Tapi, percayalah. Kalau mereka datang lagi, aku yang akan menghadapinya!"
tegas pemuda berpakaian kuning.
"Kuhargai bantuan yang
kau tawarkan itu, Anak Muda," ucap Ki Paladi lagi. Suaranya kini telah
mulai melunak. Memang kemarahannya telah agak mereda begitu mendengar ucapan
pemuda berpakaian kuning itu. "Tapi, sayang. Aku tidak bisa
menerimanya."
"Mengapa, Ki?!"
tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian kuning ini berkerut
dalam. Perasaan heran membayang jelas di wajahnya.
"Sebelumnya aku mohon
maaf, Anak Muda. Bukannya aku merendahkan kemampuanmu. Tapi, perlu kau ketahui,
lawan yang akan kau hadapi sangat banyak, dan memiliki kepandaian tinggi."
"Aku tidak takut
Ki!" selak Pendekar Tangan Baja cepat.
"Aku percaya kau tidak
takut, Anak Muda. Tapi bagai- mana dengan para penduduk? Bisakah kau melindungi
sekian banyak penduduk desa ini, sementara kau harus menghadapi lawan-lawan
tangguh."
Pendekar Tangan Baja terdiam.
Disadari kebenaran yang terkandung dalam ucapan kepala desa itu.
"Aku mohon dengan amat
sangat, kau bersedia menyingkir dari desa ini, Anak Muda," pinta Ki
Paladi. Sepasang matanya menatap wajah pemuda berpakaian kuning lekat-lekat
meminta pengertian pemuda itu.
"Hhh...!" desah
Pendekar Tangan Baja setelah ter- menung sekian lamanya "Baiklah. Kalau
memang itu kemauanmu, Ki. Aku akan pergi. Tapi, bagaimana kalau mereka datang
lagi?"
"Tidak usah kau pikirkan.
Anak Muda. Aku yakin akan dapat mengatasinya," sahut Ki Paladi. Meskipun
begitu, Pendekar Tangan Baja menangkap adanya nada keraguan dalam ucapan kepala
desa ini.
"Baiklah, Ki."
Pendekar Tangan Baja akhimya terpaksa mengalah.
"Terima kasih atas
pengertianmu, Anak Muda."
Pendekar Tangan Baja hanya
tersenyum pahit. Di langkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kepala desa
menatap punggung pemuda berpakaian kuning hingga lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Mudah-mudahan
saja, aku dapat mengatasinya!" gumam Ki Paladi pelan. Lalu dilangkahkan
kakinya menuju rumahnya. Kepala desa ini ingin mengobati luka- luka akibat
cambukan prajurit tadi
***
Malam datang menjelang.
Kegelapan mulai menyelimuti Desa Bakung. Suasana sepi pun mencekam sehuruh
desa. Angin dingin berhembus menggigilkan, menusuk sampai ke tulang sumsum.
Rasanya mustahil kalau ada penduduk yang keluar rumah di malam seperti ini.
Namun, tak seorang penduduk
pun tahu kalau di malam dingin ini, berkelebatan beberapa sosok bayangan yang
bergerak cepat menuju desa. Menilik dan gerakan mereka yang rata-rata cukup
gesit itu, bisa diperkirakan kalau sosok-sosok bayangan itu memiliki kepandaian
yang cukup tinggi.
Dalam keremangan malam,
sosok-sosok bayangan yang berkelebatan tadi tak ubahnya hantu-hantu yang
bergentayangan mencari mangsa.
Tak lama kemudian, sosok-sosok
bayangan itu telah memasuki mulut Desa Bakung. Sosok-sosok bayangan itu
rata-rata berwajah kasar. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang! Dan
begitu memasuki desa, mereka berpencar. Berkelompok empat-empat, menuju rumah
rumah penduduk.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilatan
susul-menyusul begitu orang- orang yang berwajah kasar itu menghunus senjatanya
masing-masing. Dan dengan senjata terhunus mereka bergerak mendekati rumah
warga desa.
Brakkk... !
Sebuah rumah yang letaknya
paling dekat dengan mulut Desa Bakung menjadi sasaran pertama. Daun pintu rumah
itu langsung hancur berantakan, mengeluarkan suara hiruk pikuk ketika sebuah
kaki kokoh menghantamnya.Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat penghuni
rumah tersentak bangun. Tapi, gerombolan orang kasar itu tidak memberi
kesempatan. Begitu pintu hancur, mereka bergegas menerobos masuk. Dan langsung
membabatkan senjatanya pada penghuni rumah yang baru saja beranjak keluar
kamar.
Cappp, ceppp...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian
saling susul. Diiringi robohnya pemilik rumah yang sial itu dengan tubuh
bermandikan darah. Penduduk yang sial itu menggelepar-gelepar sejenak sebelum
akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!
Malam yang begitu hening
membuat suara jeritan itu menggema ke seluruh desa. Tentu saja suara jerit
kematian itu mengejutkan penduduk yang berada di sekitar rumah itu. Tapi belum
sempat mereka berbuat sesuatu, gerombolan orang-orang kasar lainnya tiba di
rumah mereka.
Dan seperti kejadian di rumah
yang pertama. Peristiwa serupa pun terjadi di rumah-rumah yang lain.
"Bakar...!"
Perintah seorang yang bertubuh
tinggi besar, dan berambut jarang, begitu melihat anak buahnya telah keluar
dari rumah yang penghuninya telah dibantai. Keras dan tegas suaranya. Rupanya
orang ini adalah pemimpin rombongan.
Begitu si tanggi besar ini
selesai mengucapkan perintah, puluhan orang berwajah kasar itu pun segera
bergerak cepat. Obor-obor yang terpancang di tiap sudut rumah diambil. Lalu
dilemparkan ke rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berdinding bilik.
Obor-obor itu tidak hanya dilemparkan ke rumah-rumah yang penduduknya telah
terbantai, tapi juga ke rumah-rumah yang belum mereka masuki.
Akibatnya sudah bisa diduga.
Dalam sekejap saja rumah-rumah itu pun dilalap api yang lama-kelamaan semakin
membesar dan membesar. Kepanikan pun segera terjadi. Para penduduk berlarian
keluar rumah. Tapi, di luar ternyata telah menghadang bahaya yang tak kalah
mengerikan.
Puluhan orang-orang kasar itu
enak saja membabatkan senjatanya ke sana kemari. Tentu saja para penduduk yang
tengah sibuk menyelamatkan diri dari amukan api, tidak siap menghadapi bahaya
yang tidak terduga itu. Dalam waktu sekejap. Desa Bakung menjadi arena
pembantaian yang mengerikan!
Jerit kesakitan dari orang
yang terluka, teriakan ketakutan dari wanita-wanita, dan tangisan anak-anak
berbaur menjadi satu, di tengah tengah kobaran api yang membumbung tinggi ke
udara.
Suara hiruk-pikuk dan jeritan
yang terdengar susul menyusul, sayup sayup sampai di telinga Ki Paladi. Laki-
laki setengah baya berpakaian putih ini terkejut bukan main. Bergegas kepala
desa ini berlari ke luar rumahnya. Kontan sepasang mata kepala desa ini
terbelalak, begitu melihat api yang membumbung tinggi ke udara. Buru-buru Ki Paladi
berlari menuju ke arah asal api.
Belum juga kepala desa itu
tiba di tempat kejadian, langkahnya terhalang oleh para penduduk yang
berlari-lari ketakutan. Sementara agak jauh di belakang mereka, terlihat
puluhan sosok bergerak terus memasuki desa. Di sepanjang perjalanan, mereka
membantai para penduduk yang ditemui sambil terus membakari rumah.
Ki Paladi menggertakkan gigi.
Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini marah bukan kepalang melihat
kejadian ini. Cepat dia melesat menuju puluhan orang kasar yang masih menyebar
maut itu.
Tapi langkah kaki kepala desa
ini segera terhenti, ketika tiba-tiba sosok bayangan berkelebat menghadang di
hadapannya. Langkah Ki Paladi terpaksa dihentikan. Sepasang matanya menatap
tajam pada sosok yang berdiri menghadang.
Sosok itu ternyata seorang
laki-laki tinggi besar berambut jarang dan berkulit putih. Pimpinan gerombolan!
"Ha ha ha...! Mau ke mana
kau, Paladi?!" tegur laki-laki tinggi besar itu kasar.
Sepasang mata Ki Paladi
terbelalak, begitu mengenan laki-laki tinggi besar di hadapannya. Tokoh itu
adalah Gajah Putih. Bersama adik kembamya yang berjuluk Gajah Hitam, laki-laki
tinggi besar ini menjadi kepala rampok yang kejam dan ganas. Biasanya
gerombolan ini beroperasi di hutan- hutan. Tapi, mengapa sekarang bisa datang
ke sini? tanya Ki Paladi dalam hati. Perasaan bingung pun melanda hati Kepala
Desa Bakung ini.
"Gajah Putih! Tidak
tahukah akibat dari perbuatanmu ini?! Gusti Prabu akan mengerahkan pasukan
untuk mem- basmi kau dan anak buahmu!" ucap Ki Paladi mencoba menggertak.
"Ha ha ha...!" Gajah
Putih tertawa bergelak begitu Kepala Desa Bakung itu menghentikan ucapannya.
"Lucu! Lucu sekali! Gusti Prabu tidak mungkin akan menangkap- ku! Tahukah
kau mengapa aku datang ke sini?"
Laki-laki setengah baya berpakaian
putih menggeleng- kan kepalanya.
"Aku datang ke sini, atas
perintah Gusti Prabu!" tandas Gajah Putih tegas.
"Apa?!" Ki Paladi
terkejut bukan alang kepalang.
"Kau terkejut Paladi? Aku
datang ke sini, untuk menangkap Pendekar Tangan Baja. Hidup atau mati.
Sekaligus membumihanguskan desa ini! Semua ini atas perintah Gusti Prabu
Jayalaksana!" jelas Gajah Putih.
"Bohong! Kau bohong,
Gajah Putih!" sentak Ki Paladi dengan wajah pucat
"Ha ha ha..! Aku tidak
peduli, kau mau percaya atau tidak! Cepat beritahukan tempat pendekar keparat
itu!" bentak Gajah Putih.
"Aku tidak tahu. Pemuda
itu sudah pergi," sahut kepala desa itu.
"Kalau begitu, sekarang
giliranmu dulu, Paladi! Kau dan seluruh penduduk desa ini! Hiyaaat. !"
Setelah menyelesaikan
kata-katanya, laki-laki tinggi besar yang berjuluk Gajah Putih itu langsung
menerjang sang kepala desa. Kepalannya yang besar, meluncur deras ke arah
kepala Ki Paladi. Angin berdesir keras mengiringi tibanya pukulan itu.
Wuuuttt..!
Tapi Ki Paladi ternyata
bukanlah orang lemah. Dengan sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke
kanan. Sehingga serangan tinju Gajah Putih mengenai tempat kosong. Lewat
setengah jengkal dari pinggang laki-laki tua berpakaian putih itu.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Ki Paladi. Pada saat itu juga, kepala desa ini mengayunkan
kakinya ke arah dada lawan.
Bukkk!
"Eh...?!"
Ki Paladi memekik kaget.
Tendangannya yang telak mendarat pada sasarannya, membalik. Malah sekujur
kakinya dirasakan ngilu bukan kepalang. Seolah-olah yang ditendangnya tadi
bukanlah dada manusia, melainkan segumpal baja kuat, sehingga membuat tenaga
tendangannya tak berarti. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tangan kanan
Gajah Putih menyambar kakinya.
Tappp...!
"Akh...!"
Ki Paladi terkejut bukan main
tatkala menyadari pergelangan kakinya telah tertangkap Gajah Putih.
Laki-laki setengah baya
berpakaian putih ini sadar kalau dirinya berada dalam bahaya. Cepat-cepat
ditarik kakinya.
Tapi, ternyata cengkeraman
tangan Gajah Putih terlalu kuat. Jangankan terlepas, bergeming pun tidak!
Kepala Desa Bakung ini pun jadi ngeri bukan main. Ki Paladi tahu kalau nyawanya
kini terancam. Sekali saja Gajah Putih menggerakkan jari-jari mencengkeram,
atau membetot kakinya, celakalah dia.
Tapi di saat kritis bagi Ki
Paladi, sesosok bayangan kuning melesat cepat. Dan langsung mengirimkan pukulan
keras ke perut laki-laki tinggi besar berambut jarang itu.
Bukkk!
"Hugh...!" .
Tubuh Gajah Putih tertunduk.
Rasa mual dan mules yang a mat sangat melanda perutnya. Seketika itu juga
cengkeraman pada kaki Ki Paladi terlepas.
Tanpa membuang-buang waktu
kepala desa itu langsung melompat mundur. Tahu-tahu di sebelah Ki Paladi telah
berdiri seorang pemuda berpakaian kuning, dan bercambang lebat
"Pendekar Tangan
Baja," desis Ki Paladi memanggil pemuda itu.
Sang penolong yang memang
Pendekar Tangan Baja itu hanya melempar seulas senyum
***
Sementara itu Gajah Putih yang
kini sudah berhasil memulihkan rasa sakit di perutnya, segera berdiri tegak
kembali. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada pemuda berpakaian kuning
yang berdiri di depannya. Tapi di samping perasaan marahnya, perasaan kaget pun
melanda hatinya. Pemuda berpakaian kuning itu mampu membuat perutnya sakit,
hanya dengan sekali pukul. Padahal selama ini belum pemah seorang lawan yang
mampu menembus kekerasan kulit tubuhnya.
"Keparat!" geram
laki-laki tinggi besar berambut jarang itu. "Jadi, kau orang yang berjuluk
Pendekar Tangan Baja?!"
"Tidak salah!" sahut
pemuda berpakaian kuning seraya menganggukkan kepalanya.
Gajah Putih menggeram keras.
"Kalau begitu, kau harus
mampus di tanganku! Hiyaaa...!"
Laki-laki tinggi besar
berambut jarang itu menerjang Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya yang
terkepal, mengirimkan serangan beruntun pada dada, ulu hati, dan perut pemuda
berpakaian kuning.
Angin menderu dahsyat
mengawali tibanya serangan Gajah Putih. Tapi pemuda berpakaian kuning itu
seperti tidak mempedulikannya. Bahkan kepalanya menoleh ke arah Ki Paladi.
"Lebih baik kau bantu
para penduduk, Ki," ucap Pendekar Tangan Baja pada Ki Paladi yang berdiri
terpaku, menonton pertarungan kedua tokoh itu.
Tentu saja sikap pemuda ini
membuat Gajah Putih ber- tambah murka. Karena dilihatnya pemuda berpakaian
kuning itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya!
Memang bagi Pendekar Tangan
Baja, serangan yang dilancarkan Gajah Putih tidak terlalu berbahaya. Gerakan
laki-laki tinggi besar berambut jarang ini terlalu lamban baginya. Hanya saja
setiap serangannya mengandung tenaga dalam penuh.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
pemuda berpakaian kuning menggerakkan kedua tangannya yang terkepal, memapak
pukulan Gajah Putih.
Dukkk, dukkk...!
Suara berderak keras terdengar
ketika buku-buku tulang kedua orang ini berbenturan. Hebat akibatnya. Baik
Pendekar Tangan Baja maupun Gajah Putih sama-sama terjajar ke belakang. Tenaga
dalam kedua orang ini ternyata berimbang.
Semula begitu melihat lawan
menangkis serangannya, Gajah Putih tertawa dalam hati. Laki-laki tinggi besar
ini sudah dapat meramalkan kalau kedua tangan pemuda itu akan patah-patah bila
bertemu lengannya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya begitu melihat
kedua tangan pemuda berbaju kuning itu tidak apa-apa.
Bukan hanya Gajah Putih saja
yang terkejut Pendekar Tangan Baja pun mengalami hal yang serupa. Sungguh tidak
disangkanya kalau tenaga laki-laki tinggi besar berambut jarang ini begitu
kuatnya. Sadarlah pemuda berpakaian kuning kalau kali ini dia tidak boleh
bertindak main-main. Tapi walau bagaimana pun, Gajah Putih harus secepatnya
ditundukkan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi.
Meskipun tengah bertempur,
Pendekar Tangan Baja sempat melihat Ki Paladi tengah bertarung menghadapi
gerombolan orang-orang berwajah kasar itu. Meskipun hanya melirik sekilas,
Pendekar Tangan Baja dapat mengetahui kalau kepala desa itu tengah terdesak.
Laki- laki setengah baya berpakaian putih itu tengah menghadapi keroyokan
empat orang anggota gerombolan pengacau. Sedangkan sisa gerombolan masih
menyebar maut, sambil terus melempari obor ke rumah-rumah penduduk. Warga desa
yang memiliki sedikit kepandaian, men- coba mengadakan perlawanan. Tapi usaha
mereka sia-sia belaka. Gerombolan orang kasar itu dengan mudah me- matahkan
perlawanan mereka, dan membantainya.
Ki Paladi menggertakkan gigi.
Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sudah mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Tapi ternyata empat orang lawannya terlalu tangguh. Hal ini
membuat kepala desa ini menjadi gelisah bukan main. Sementara Pendekar Tangan
Baja dilihatnya masih sibuk bertarung dengan Gajah Putih. Tidak ada lagi orang
yang dapat diandalkan untuk menghadapi gerombolan liar itu.
Mendadak, pendengaran Ki
Paladi mendengar suara teriakan teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya
anggota gerombolan itu satu persatu. Tentu saja hal ini membuat Ki Paladi
kaget. Sambil terus menghadapi empat orang pengeroyoknya, sudut matanya
melirik.
Tampak oleh Ki Paladi, seorang
pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan telah berdiri di situ. Luar
biasa! Pemuda itu hanya mengibas-ngibaskan tangannya dengan sikap sembarangan
saja. Tapi akibatnya, gerombolan perampok itu berpentalan seperti dilanda angin
badai yang amat kuat.
Dalam waktu singkat, belasan
anggota gerombolan sudah berpentalan tak tentu arah. Dan hebatnya, setiap
anggota yang berpentalan itu tidak mampu bangkit lagi. Meskipun begitu, tidak
ada di antara mereka yang tewas!
Sementara di lain arena,
Pendekar Tangan Baja sudah menguasai keadaan. Berkat ilmu meringankan tubuh,
dan kecepatan geraknya yang jauh di atas Gajah Putih, pemuda berpakaian kuning
itu dapat menekan lawannya. Tidak sampai delapan jurus bertarung, Gajah Putih
sudah ter- desak hebat.
Gajah Punh meraung murka.
Berkali-kali laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini dibuat
pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya. Gajah Putih tidak berani
menerima setiap pukulan yang dilontarkan pemuda berpakaian kuning itu. Tapi
laki-laki tinggi besar dan berambut jarang berani membiarkan kaki Pendekar
Tangan Baja menghantam sekujur tubuhnya.
Gajah Putih memang mempunyai
kulit tubuh yang kuat seperti badak. Biasanya laki-laki tinggi besar dan
berambut jarang ini selalu memamerkan kekuatan tubuhnya, dan menerima setiap
serangan lawannya. Tapi menghadapi Pendekar Tangan Baja, dia tidak berani
mengandalkan kekuatan tubuhnya. Kehebatan tangan pemuda berpakaian kuning itu
sudah dia rasakan ketika menghantam perutnya tadi.
"Hiyaaat..!"
Seraya mengeluarkan teriakan
nyaring. Pendekar Tangan Baja melancarkan sebuah pukulan ke arah perut. Cepat
bukan main gerakannya. Cepat dan tidak terduga- duga. Gajah Putih terkejut
bukan main. Sedapat mungkin laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini
berusaha mengelak. Tapi...
Bukkk!
"Hukh...!"
Gajah Putih melenguh tertahan.
Tubuhnya terbungkuk seketika. Perutnya terasa mual dan mules bukan main. Dan di
saat itulah serangan susulan dan Pendekar Tangan Baja kembali menyambar. Dua
jari tangan pemuda berpakaian kuning itu menegang kaku dan menyambar cepat ke
arah dahi.
Wuuuttt...! Crottt..!
"Aaakh...!"
Gajah Putih menjerit
memilukan. Kedua jari Pendekar Tangan Baja amblas di dahinya. Cairan merah
bercampur cairan putih kental bermuncratan, ketika dahi laki-laki tinggi besar
itu tertembus dua jari pemuda berpakaian kuning. Tubuh laki-laki tinggi besar
dan berambut jarang itu menggelepar-gelepar sejenak. Sesaat kemudian diam, tak
bergerak untuk selamanya.
Sekilas Pendekar Tangan Baja
menatap Gajah Putih yang tergolek kaku di tanah. Baru setelah itu tubuhnya
kembali melesat. Kali ini ke arah Ki Paladi yang tengah terdesak oleh empat
orang lawannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara pemuda
berpakaian kuning itu mendarat di dekat Kepala Desa Bakung. Tangan dan kakinya
bergerak cepat.
"Akh...! Aaa...!"
Jerit kematian terdengar
susul-menyusul mengiringi robohnya keempat tubuh tanpa nyawa di tanah.
Ki Paladi segera melompat
mundur begitu melihat empat lawannya sudah roboh tidak bergerak lagi. Dan
berbareng dengan robohnya keempat pengeroyok Ki Paladi, pemuda berambut putih
keperakan itu sudah pula berhasil merobohkan anggota gerombolan perampok yang tersisa.
Berbeda dengan lawan yang
dihadapi Pendekar Tangan Baja, lawan yang berhadapan dengan pemuda berambut
putih keperakan itu tidak ada seorang pun yang tewas. Tapi usaha pemuda
berambut putih keperakan itu sia-sia belaka. Karena begitu orang-orang kasar
itu merasa tidak mampu melawan lagi, mereka bunuh diri!
Pemuda berambut putih
keperakan menghela napas ketika melihat semua lawan yang dirobohkan itu,
semuanya mati bunuh diri. Beberapa saat lamanya pemuda ini tercenung.
***
Sementara itu api yang berkobar
pun sudah mulai padam. Memang, setelah pemuda berambut putih keperakan itu
muncul para penduduk tidak terganggu lagi oleh amukan gerombolan orang-orang
kasar itu. Perhatian anggota gerombolan itu, semua tertumpah pada pemuda yang
lihai itu. Sehingga para penduduk leluasa untuk menanggulangi kebakaran.
Ki Paladi beranjak menghampiri
pemuda berambut putih keperakan. Sepasang mata laki-laki tua berpakaian putih
itu merayapi sekujur tubuh pemuda di hadapannya. Dilihat juga sebuah guci arak
yang tersampir di punggung pemuda itu.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada dirimu, entah apa yang terjadi dengan
seluruh penduduk desa ini." ucap Kepala Desa Bakung.
"Lupakanlah, Ki."
sahut pemuda berambut putih keperakan. Pelan dan halus suaranya "Apa yang
kulakukan ini adalah suatu hal yang biasa. Bukankah hidup di dunia ini kita
harus saling tolong menolong?"
Ki Paladi hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pendekar Tangan Baja hanya
menggerakkan bagian atas bibimya. Entah apa maksudnya, hanya pemuda itu sendiri
yang tahu. Tapi yang jelas, Pendekar Tangan Baja diam-diam mengagumi ketinggian
ilmu yang dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau boleh kutahu,
siapa kau, Anak Muda? Dan ke mana tujuanrnu?" tanya Ki Paladi lagi.
"Namaku Arya, Ki. Aku
pergi ke mana saja kakiku melangkah. Kalau boleh kutahu, apakah yang terjadi di
desa ini, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang ternyata adalah
Arya Buana alias Dewa Arak.
Ki Paladi tersenyum kecut.
"Sifatmu tidak jauh
berbeda dengan Pendekar Tangan Baja! Ataukah memang sifat semua orang muda
begitu? Selalu ingin mencampuri urusan orang lain?" sindir Kepala Desa
Bakung itu.
Dewa Arak saling pandang
dengan Pendekar Tangan Baja. Bibir kedua pendekar muda itu sama-sama menyunggingkan
senyum.
"Tentu saja tidak semua,
Ki. Yang kucampuri hanya urusan-urusan yang di dalamnya ada ketidak
adilan," sahut Dewa Arak tandas.
Pendekar Tangan Baja
mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak.
"Bisa kumengerti apa
maksudmu, Arya. Tapi, perlu kau ketahui, dalam urusan ini kuanjurkan kau dan
Pendekar Tangan Baja lebih baik tidak usah ikut campur," ucap Ki Paladi
memberi nasihat.
"Mengapa. Ki?" tanya
Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian kuning itu berkerut dalam
tanda kalau hatinya dilanda perasaan penasaran. "Kali ini aku mohon, kau
mau menjelaskan alasanmu, Ki. Jangan lagi berteka-teki."
Dewa Arak menatap wajah Ki
Paladi dan Pendekar Tangan Baja bergantian. Pemuda ini tidak paham maksud pembicaraan
kedua orang itu.
"Jadi, kejadian ini bukan
yang pertama kalinya. Pendekar Tangan Baja?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Benar, Arya," sahut
pemuda berpakaian kuning itu pelan. "Pagi tadi juga ada kejadian di desa
ini." Kemudian Pendekar Tangan Baja menceritakan semua kejadian yang
dialaminya.
"Apakah kejadian malam
ini ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi pagi, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Hhh...!" Ki Paladi
menghela napas panjang.
Pelahan kepalanya terangguk.
Sementara Pendekar Tangan Baja menatap pemuda berambut putih keperakan itu
dengan sorot mata penuh pertanyaan. Memang belum dimengertinya maksud
pertanyaan Dewa Arak.
"Aneh...," gumam
Dewa Arak pelan. Dahi pemuda berambut putih keperakan itu berkemyit dalam.
Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Pendekar Tangan Baja dan Ki
Paladi menatap Dewa Arak.
"Apa yang aneh,
Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu agak bingung. Sedangkan Ki
Paladi hanya terdiam.
"Bukankah pagi tadi kau
berurusan dengan prajurit- prajurit kerajaan, Pendekar Tangan Baja?" tanya
Arya tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda berpakaian kuning itu.
"Ahhh...! Kau benar,
Arya! Mengapa aku begitu bodoh?!" sentak Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda
berpakaian kuning itu mulai dapat meraba penyebab malapetaka di Desa Bakung
malam ini. Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja menatap wajah Ki
Paladi lekat- lekat. Sinar matanya menyiratkan keingintahuan yang mendalam.
"Panjang sekali
ceritanya. Mari ke rumahku. Akan kuceritakan semuanya, agar kalian berdua tidak
penasaran lagi!" ucap laki-laki tua berpakaian putih setelah tercenung
beberapa saat lamanya.
"Pardi!" panggil
Kepala Desa Bakung. Ditolehkan kepalanya ke arah kerumunan penduduk yang masih
sibuk memadamkan api yang mulai mengecil.
"Ya, Ki!" sahut
sebuah suara. Disusul dengan munculnya pemuda bertubuh kekar yang menyibak dari
kerumunan penduduk.
"Kau wakili aku mengurus
semua keadaan di sini," perintah Ki Paladi.
"Baik, Ki," pemuda
kekar yang bernama Pardi meng- anggukkan kepalanya.
Setelah Pardi berlalu, Ki
Paladi kembali mengalihkan perhatian kepada dua orang pemuda perkasa itu.
"Mari...," ucap
kepala desa mempersilakan, seraya mendahului melangkah meninggalkan tempat itu.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak segera mengikuti laki-laki tua berpakaian
putih yang telah berjalan lebih dulu.
***
"Semula aku tidak ingin
menceritakannya pada kalian," ucap Ki Paladi membuka percakapan, setelah
ketiganya berada di ruang tengah yang cukup luas di rumah kepala desa.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa
Arak hanya diam saja. Sedikit pun mereka tidak berusaha menyelak ucapan laki-
laki tua berpakaian putih itu. Meskipun begitu, pen- dengaran dan pikiran
mereka dipasang tajam-tajam, menyimak semua perkataan Ki Paladi.
"Aku sama sekali tidak
mengerti mengapa semua ini bisa terjadi," sambung laki-laki tua berpakaian
putih lagi. "Setahuku Gusti Prabu Jayalaksana adalah raja yang adil. Tidak
pernah Gusti Prabu memberatkan rakyatnya. Tapi..., beberapa pekan belakangan
ini..., banyak keputusan Gusti Prabu yang aneh. Dalam hal pajak, misalnya.
Pajak yang dibebankan Gusti Prabu pada rakyatnya terlalu mencekik leher!"
Ki Paladi menghentikan
ceritanya sejenak untuk meng- ambil napas. Sekaligus juga untuk melihat reaksi
kedua pemuda perkasa yang duduk di hadapannya. Tapi, baik Dewa Arak maupun
Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak memberikan tanggapan. Rupanya kedua
pemuda itu ingin mendengarkan cerita itu dulu hingga selesai.
"Aku khawatir kalau
keadaan seperti ini terus berlarut- larut, rakyat akan memberontak," ucap Ki
Paladi meng- akhiri centanya.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa
Arak saling pandang. Bahkan dahi Dewa Arak berkernyit. Suatu bukti nyata ada
hal yang mengganggu pikirannya.
"Bagaimana? Kalian masih
mau ikut campur tangan? Kalau menurutku, lebih baik kalian segera menyingkir
dari sini. Keluar dari wilayah Kerajaan Kamujang. Ingat, kalian berhadapan
dengan ribuan orang! Pikirlah baik-baik," ujar Ki Paladi menasihati.
"Terima kasih atas
usulmu, Ki. Tapi sayang, aku tidak dapat menerimanya. Aku telah telanjur
mencampuri urusan ini. Jadi mau tidak mau harus kuselesaikan hingga
tuntas," tegas Dewa Arak.
"Kau hanya akan mengantar
nyawa saja, Arya. Sudah banyak pendekar yang mencoba menentang kelaliman Gusti
Prabu Jayalaksana. Tapi, hanya kematian yang mereka dapatkan. Kerajaan Kamujang
memiliki jago-jago istana yang memiliki kepandaian luar biasa!" laki-laki
tua berpakaian putih mencoba mencegah niat pemuda berambut putih keperakan itu.
"Bagus sekali,
Arya!" selak Pendekar Tangan Baja cepat "Mari kita bahu-membahu
menentang kekejaman raja lalim itu!"
Dewa Arak tersenyum mendengar
ucapan penuh semangat dari pemuda berpakaian kuning itu.
"Kau dengar sendiri, Ki?
Pendekar Tangan Baja tidak gentar! Demi membela kebenaran kami rela mengorban-
kan nyawa kami, Ki," tukas pemuda berbaju ungu itu.
"Hhh...! Terserahlah
kalau itu memang sudah menjadi tekad kalian," ujar Ki Paladi seraya
menghela napas panjang.
"Terima kasih, Ki,"
sahut Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berbarengan.
"Kudoakan semoga kalian
berhasil!" ucap Kepala Desa Bakung pelan. Suaranya lebih mirip desahan.
Pendekar Tangan Baja bangkit
dari duduknya Dewa Arak bangkit juga.
"Untuk kesuksesan kita,
Arya." ujar Pendekar Tangan Baja sambil mengulurkan tangan.
Dewa Arak tersenyum lebar
seraya menyambut uluran tangan pemuda berpakaian kuning itu. Dijabatnya tangan
Pendekar Tangan Baja erat-erat. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu
merasa kagum ketika merasakan jari-jemari tangan pemuda di hadapannya. Sekilas
pandangan Dewa Arak singgah pada tangan Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda
berambut putih keperakan maklum mengapa pemuda berpakaian kuning itu berjuluk
Pendekar Tangan Baja.
Jari jemari dan tangan pemuda
ini memang benar-benar lebih mirip baja ketimbang tangan manusia. Begitu kokoh
dan kuat!
"Kami permisi dulu,
Ki." ucap Dewa Arak seraya melepaskan genggaman tangannya. Kemudian
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bicara Pendekar Tangan
Baja berjalan mengikuti.
Ki Paladi hanya menganggukkan
kepalanya. Di pandanginya terus tubuh dua orang pemuda itu hingga lenyap di
kejauhan.
***
Bangunan tua itu memang besar
dan megah. Halamannya yang luas, terkurung pagar tembok tinggi dan kokoh. Tapi
terlihat kumuh dan tidak terawat. Apalagi letaknya memang terpencil, jauh di
dalam hutan. Entah siapa yang telah membangunnya. Yang jelas, sudah sejak lama,
bangunan yang terlihat menyeramkan itu tidak ditinggali orang lagi.
Tapi malam ini ternyata
berlainan dengan malam-malam biasanya. Dari dalam bangunan itu terdengar
bentakan- bentakan keras penuh kemarahan.
Ternyata di salah satu ruangan
telah berkumpul banyak orang. Mereka duduk bertebaran di lantai yang bersih.
Memang, sungguhpun dari luar terlihat tidak terawat, tetapi bagian dalam
bangunan tua itu ternyata terpelihara baik.
Sekitar dua tombak di hadapan
orang-orang yang duduk bertebaran, duduk seorang laki-laki setengah baya
berpakaian rompi coklat.
Sebuah daun telinganya tidak
terlihat.
Rupanya laki-laki setengah
baya berpakaian rompi coklat adalah pemimpin dari orang-orang ini. Dan rupanya
sang Pemimpin tengah marah-marah. Terbukti suara-suara yang dikeluarkannya
sejak tadi selalu keras bernada penuh kemarahan.
"Bodoh! Dungu! Hanya
membunuh satu orang saja, kalian tidak becus!" sang Ketua memaki.
Sementara di depannya berdiri seorang
berwajah kasar, berbibir tebal dan berkulit hitam dengan kepala ditunduk- kan.
"Maafkan kami, Ketua.
Kalau saja tidak ada yang seorang lagi, mungkin kami berhasil membumihanguskan
Desa Bakung, sekaligus membunuh Pendekar Tangan Baja...." jawab si bibir
tebal. Memang, laki-laki berbibir tebal ini adalah salah seorang dari
gerombolan pengacau di Desa Bakung yang selamat."Jadi, ada orang lain yang
telah membantu Pendekar Tangan Baja?" selak laki-laki berdaun tellnga satu
itu tak sabar.
"Benar, Ketua,"
jawab si bibir tebal singkat.
"Hm...," laki-laki
berompi coklat yang dipanggil ketua itu hanya menggumam "Bagaimana
ciri-ciri orang itu?"
"Orangnya masih muda,
berambut putih keperakan, dan berpakaian serba ungu...."
"Dewa Arak...!"
desis laki-laki setengah baya itu. Nada suaranya jelas memancarkan keterkejutan
yang amat sangat.
"Ketua kenal dengan
pemuda itu?" tanya laki-laki berbibir tebal.
Laki-laki berompi coklat
menggelengkan kepalanya.
"Hanya mendengar
julukannya saja. Menurut cerita yang kudengar, dunia persilatan telah dibuat
geger dengan kemunculan seorang pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti yang kau
sebutkan. Julukannya Dewa Arak!"
"Pemuda itu membawa guci
di punggungnya, Ketua!" ucap laki-laki berbibir tebal itu menambahkan.
Kini dia teringat. Memang pemuda berambut putih keperakan itu membawa sebuah
guci di punggungnya.
"Kalau begitu, benar dia
Dewa Arak! Kali ini kita mendapat lawan yang benar-benar tangguh! Hhh...! Aku
harus berbuat sesuatu."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berompi coklat itu termenung. Perlahan dia bangkit dan kakinya
dilangkahkan mondar-mandir memutari ruangan. Sementara tangannya terpacak di
dagu. Jelas kalau dia tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian, laki-laki
berompi coklat itu melangkah memasuki sebuah kamar. Cukup lama juga dia berada
di sana. Ketika keluar dari kamar, di tangannya tergenggam sebuah bambu yang
diserut halus, dan di bagian dalamnya terdapat segulung surat.
"Berikan pada Gusti Prabu
Jayalaksana," perintah laki- laki berompi coklat kepada si bibir tebal.
"Baik, Ketua." sahut
laki-laki berbibir tebal itu seraya berjalan meninggalkan tempat itu.
"Ha... ha... ha...!"
laki-laki berpakaian rompi coklat itu tertawa bergelak setelah laki-laki
berbibir tebal itu telah tidak berada lagi di situ. Suara tawanya
berkumandang,menggema ke seluruh bangunan itu.
***
Sementara itu, di balariung
Istana Kerajaan Kamujang yang megah, tampak seorang laki-laki setengah baya
tengah duduk di atas singgasana. Wajahnya tampan dan berwibawa.
"Hhh...!" desah
Prabu Jayalaksana seraya menggulung kembali surat yang baru saja dibacanya.
Pandangannya dialihkan pada laki-laki berwajah kasar dan berbibir tebal yang
duduk bersila di depannya.
"Sampaikan pada ketuamu.
Permintaannya kukabul- kan," sabda Raja Kamujang itu penuh wibawa.
"Akan hamba sampaikan,
Gusti Prabu," sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya memberi hormat.
Prabu Jayalaksana tersenyum
getir.
"Apabila sudah tidak ada
lagi pesan, perkenankan hamba mohon diri, Gusti Prabu."
Raja Kerajaan Kamujang ini
menganggukkan kepalanya.
"Silakan," ucap
Prabu Jayalaksana pelan.
Laki-laki berbibir tebal
memberi hormat, kemudian melangkah meninggalkan balariung istana.
"Prajurit...'"
panggil Prabu Jayalaksana.
Prajurit penjaga pintu
balariung Istana, bergegas masuk dan memberi hormat.
"Hamba, Gusti
Prabu," ucap prajurit itu penuh hormat
"Panggil Panglima Ramkin
kemari! Cepat..!" perintah Prabu Jayalaksana keras.
Prajurit itu kembali melangkah
ke luar. Tak lama kemudian, prajurit itu sudah kembali bersama seorang berpakaian
panglima perang.
"Gusti Prabu memanggil
hamba?" tanya orang berpakaian panglima perang yang bertubuh tinggi
besar, dan bercambang bauk lebat.
Namanya Panglima Ramkin.
"Ya." sahut Raja
Kamujang. "Kau kuperintahkan membawa pasukanmu menangkap Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja, hidup atau mati!" Lalu Prabu Jayalaksana
memberitahukan ciri-cirinya.
"Akan hamba laksanakan,
Gusti Prabu," sahut Panglima Ramkin tegas.
Seorang laki-laki setengah
baya berambut jarang tersentak kaget mendengar perintah itu. Patih Juminta
namanya.
"Boleh hamba bicara,
Gusti Prabu?" tanya Patih Juminta hati-hati.
"Silakan, Patih."
sambut Prabu Jayalaksana.
"Maaf, Gusti Prabu.
Bukannya hamba bersikap lancang Tapi...., apakah Gusti Prabu tidak salah
membuat keputusan?"
Sepasang alis Prabu
Jayalaksana berkerut.
"Aku masih belum mengerti
maksudmu, Patih."
"Mengenai perintah
penangkapan itu, Gusti Prabu," jelas Patih Juminta. Nada bicaranya
terdengar berhati-hati sekali.
"Hm...! Apa ada yang aneh
dalam perintah itu, Patih?" tanya Prabu Jayalaksana. Nada suaranya jelas
menyiratkan perasaan tidak senang.
Patih Juminta tentu saja
merasakan ketidaksenangan Raja Kamujang itu. Dan ini membuatnya jadi gugup.
"Maafkan hamba, Gusti
Prabu," ucap sang Patih mem- beranikan diri.
"Katakan apa yang salah
dalam perintah itu, Patih?" desak Prabu Jayalaksana tanpa mempedulikan
permintaan maaf Patih Juminta.
"Anu..., Gusti Prabu....
Mengenai pemuda berambut putih keperakan itu. Gusti...."
"Hm...! Lalu...?"
"Kalau hamba tidak
salah..., pemuda itu pasti Dewa Arak!"
Raja Kamujang itu tersenyum
mengejek.
"Lalu mengapa kalau benar
pemuda itu Dewa Arak? Kau takut?!" sindir Prabu Jayalaksana tajam.
Merah wajah Patih Juminta
seketika.
"Bukannya hamba takut.
Tapi...."
"Diam!" bentak Prabu
Jayalaksana keras. "Kalau kau membuka mulut lagi, kau akan kupenjarakan,
Juminta!"
"Ampun, Gusti Prabu.
Hamba mengaku salah...," ucap Patih Juminta sambil memberi hormat.
"Panglima Ramkin,"
ucap Prabu Jayalaksana pada seorang bertubuh tinggi besar dan bercambang lebat
di hadapannya.
"Hamba, Gusti
Prabu." sahut Panglima Ramkin seraya memberi hormat.
"Kau sudah tahu
tugasmu?"
"Sudah, Gusti
Prabu," jawab panglima itu lagi.
"Bagus! Laksanakan
segera!" perintah Raja Kamujang.
"Baik, Gusti Prabu,"
sahut laki-laki bercambang lebat itu. "Hamba mohon diri."
Prabu Jayalaksana hanya
menganggukkan kepalanya saja. Dan Panglima Ramkin pun berlalu setelah terlebih
dulu kembali memberi hormat. Sementara itu Patih Juminta hanya diam tertunduk.
Suasana balariung istana kembali menjadi hening.
***
Pendekar Tangan Baja dan Dewa
Arak melangkah memasuki mulut sebuah desa. Dan seperti juga Desa Bakung,
keadaan desa ini juga sangat menyedihkan. Anak- anak yang kurus kering dan
tanpa pakaian, selalu mereka temui di pinggir jalan.
Pendekar Tangan Baja yang
memang berwatak berangasan menggertakkan gigi saking geram.
"Raja lalim itu memang
harus dibinasakan!" desis pemuda berbaju kuning tajam.
Dewa Arak diam saja. Sama
sekali tidak ditanggapinya ucapan Pendekar Tangan Baja. Sepasang matanya
menerawang jauh memandang ke
depan. Sementara sepasang kakinya terus dilangkahkan.
"Kalau boteh kutahu, ke
mana tujuanmu, Pendekar Tangan Baja?" tanya Dewa Arak mengalihkan
pembicaraan.
"Hhh...!" pemuda
berpakaian kuning itu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Arya.
"Sebenarnya, aku tengah mencari paman guruku."
"Paman gurumu?"
"Ya," jawab Pendekar
Tangan Baja singkat.
"Boleh kutahu.... Maaf,
bukannya aku ingin mencampuri urusanmu," ucap Dewa Arak bemada ingin tahu.
Pendekar Tangan Baja tercenung
sejenak.
"Paman guruku kabur dari
tempat penyepiannya."
"Maksudmu...?" tanya
Dewa Arak masih kurang jelas.
Memang pemuda berambut putih
keperakan ini masih belum jelas akan cerita pemuda berpakaian kuning itu.
"Begini, Arya. Di sebuah
tempat... maaf aku tidak boleh menyebutkan namanya, tinggal guruku dan adik
seper- guruannya. Guruku tahu kalau adik seperguruannya ber- watak jelek, maka
beliau sengaja mengurungnya di tempat itu. Tapi sungguh tidak disangka kalau
paman guruku itu bisa meloloskan diri dari situ. Guruku lalu menyuruhku turun
gunung untuk mencegah paman guruku itu mengacau dunia persilatan," jelas
Pendekar Tangan Baja panjang lebar.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini sudah dimengertinya semua cerita Pendekar Tangan Baja. Tapi
mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut ketika sepasang matanya
melihat debu mengepul tinggi di kejauhan. Di sela-sela kepulan debu terlihat
panji- panji kebesarah Kerajaan Kamujang berkibaran dengan megah. Rupanya orang-orang
itu adalah prajurit-prajurit Kamujang.
"Ada rintangan pertama di
depan, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak pelahan seraya menolehkan
kepala menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di sebelahnya.
"Kebetulan sekali! Sudah
sejak tadi tanganku gatal- gatal!" sambut Pendekar Tangan Baja. Mulutnya
menyunggingkan sebuah senyum kegembiraan.
"Kita tunggu saja dulu,
apa keinginan mereka," ujar Arya memberi nasihat. Setelah kepulan debu itu
semakin dekat, jelas terlihat kalau yang datang adalah serombongan prajurit
berkuda.
"Kurasa tidak perlu,
Arya!" bantah Pendekar Tangan Baja. "Menghadapi orang-orang kejam
seperti mereka, tidak pedu lagi sikap bijaksana "
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya.
"Kau lupa, Pendekar
Tangan Baja! Mereka itu hanya prajurit! Bukan tidak mungkin mereka melakukan
semua perintah itu karena terpaksa," jelas Arya.
"Aku tidak peduli!"
tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Dewa Arak menatap pemuda
berbaju kuning yang berdiri di sebelahnya tajam-tajam. Tapi yang ditatap malah
mem- balasnya tak kalah tajam.
"Selama jalan kekerasan
bisa dihindari, untuk apa kita memaksakan diri melakukannya?" sambung Dewa
Arak lagi.
"Hhh...!" Pendekar
Tangan Baja menghela napas panjang "Sayang sekali kita mempunyai pemikiran
yang berbeda, Arya."
"Hhh...!" Dewa Arak
pun menghela napas panjang.
Tapi kedua pemuda perkasa ini
tidak bisa berlama-lama terlibat pertentangan pendapat karena pasukan prajurit
berkuda telah semakin dekat.
"Hooop...!"
Seorang pasukan kerajaan
berpangkat panglima mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, seraya menarik
tali kekang kudanya. Seketika itu juga, rombongan prajurit serentak
menghentikan lari kudanya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah
dan manis, Panglima Ramkin melompat dari punggung kudanya. Berturut-turut para
prajurit dan punggawa yang berada di belakang sang Panglima melompat dari
punggung kuda masing-masing.
Panglima Ramkin memperhatikan
Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Benar kalian berdua yang
berjuluk Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja?!" tanya laki-laki bercambang
lebat ini setengah menuduh.
"Benar! Lalu, kalian mau
apa?!" jawab Pendekar Tangan Baja cepat sebelum Dewa Arak sempat menjawab.
"Kuanjurkan lebih baik
kalian menyerah. Aku tidak segan-segan menggunakan kekerasan bila kalian mem-
bangkang!" ucap laki-laki bercambang lebat. Bibirnya menyunggingkan
senyuman sinis.
"Ha ha ha...! Boleh kau
coba!" tantang Pendekar Tangan Baja sambil tertawa bergelak. "Ingin
kulihat siapa di antara kalian yang bisa menangkap Pendekar Tangan Baja!"
Merah wajah Panglima Ramkin
mendengar tantangan itu.
"Tangkap mereka!"
perintah panglima itu keras. Tanpa menunggu diperintah dua kali, lima puluh
prajurit dan punggawa bergerak berbarengan, mengepung Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja.
Diam-diam Dewa Arak menyesali
kecerobohan Pendekar Tangan Baja. Tapi, kini dia tidak bisa berbuat apa-apa,
kecuali berjuang untuk menyelamatkan selembar nyawa- nya. Tapi meskipun begitu,
Dewa Arak merasa berat hati melawan pasukan kerajaan.
Berbeda dengan Pendekar Tangan
Baja, pemuda berbaju kuning ini malah tertawa bergelak begitu melihat hujan
senjata pasukan kerajaan itu. Dengan meng- andalkan keistimewaan kedua
tangannya, Pendekar Tangan Baja tanpa ragu-ragu memapak setiap serangan senjata
lawan.
Luar biasa memang kekuatan
kedua tangan Pendekar Tangan Baja. Setiap senjata yang tertangkis tangannya,
langsung patah! Suara berderak keras terdengar setiap kali pedang, golok, atau
tombak bertemu tangannya.
Suara-suara jeritan kaget
seketika terdengar dari mulut lawan-lawannya. Tapi sesaat kemudian, berubah
menjadi jeritan-jeritan kesakitan, ketika pemuda berbaju kuning mulai
melancarkan serangan balasan.
"Aaakh...!"
Seorang prajurit berpangkat
punggawa, memekik nyaring ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan Baja
mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar jauh ke
belakang. Sekujur tulang- tulang dada remuk. Darah pun menyembur keluar dari
mulut, hidung, dan telinganya. Punggawa yang sial itu pun tewas seketika!
Memang tindakan pemuda berbaju
kuning ini benar- benar menggiriskan. Setiap kali tangan atau kakinya
bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada lawan yang jatuh tanpa nyawa.
Sehingga dalam waktu sekejap saja, tak kurang delapan orang telah tewas di
tangan pemuda berbaju kuning ini.
Panglima Ramkin menggeram
murka melihat anak buahnya dibuat porak-poranda. Sambil mengeluarkan seruan
nyaring, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Tangan Baja yang tengah mengamuk
hebat.
Wuttt..!
Selagi tubuhnya berada di
udara, Panglima Ramkin membabatkan golok besamya ke leher pemuda berbaju
kuning! Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak menjadi gugup, walaupun di saat
yang bersamaan, seorang prajurit di belakangnya membabatkan golok ke arah
leher. Sementara dari arah depan, seorang punggawa menusukkan tombak ke arah
dadanya. Dan dari samping kanan dan kiri, dua orang prajurit juga menusukkan
pedang ke arah pinggangnya.
Luar biasa! Dengan sebuah
perhitungan matang dari seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi, Pendekar Tangan Baja segera menundukkan tubuhnya serendah
mungkin. Dan dengan sendirinya serangan dari atas, belakang dan depan berhasil
dielak- kannya. Semua lewat di atas kepalanya. Sementara serangan dari samping
kiri dan kanan, dihadapinya dengan cara yang lebih mengagumkan.
Serangan dua bilah pedang itu
dipunahkan oleh pemuda berbaju kuning dengan mencengkeram mata pedang itu. Dan
begitu kedua bilah pedang telah berhasil dicengkeram, Pendekar Tangan Baja
segera membetotnya dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Kedua prajurit yang memiliki
tenaga dalam jauh di bawah Pendekar Tangan Baja, mana mampu menahan- nya?
Seketika itu juga tubuh mereka terhuyung deras ke depan. Dan di saat itulah,
pemuda berbaju kuning melancarkan serangan dengan jari-jari mengembang mem-
bentuk cakar ke arah kepala.
Crokkk, crokkk...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua teriakan menyayat
terdengar saling susul diiringi robohnya dua prajurit naas itu. Cairan merah
kental kontan bermuncratan begitu jari-jari tangan pemuda berbaju kuning amblas
ke dalam batok kepala. Sesaat keduanya menggelepar-gelepar di tanah, sebelum
akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!
Panglima Ramkin menggeram
keras melihat kematian dua orang anak buahnya lagi. Memang kejadian itu
berlangsung begitu cepat, sehingga dia dan anak buahnya tidak mampu berbuat
apa-apa untuk menolongnya.
Pendekar Tangan Baja kembali
mengamuk. Begitu dua orang lawannya tewas, segera saja tubuhnya melesat ke
prajurit yang lainnya.. Dan kembali pemuda berbaju kuning itu memulai
pembantaian.
Sementara itu di arena
lainnya, Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat sepak terjang Pendekar Tangan
Baja. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kuning ini tega bertindak
seganas itu. Dan diam-diam timbul perasaan tidak senang dalam hati Dewa Arak.
Memang tindakan Arya berbeda dengan tindakan Pendekar Tangan Baja. Tak satu pun
lawan pemuda berambut putih keperakan ini yang tewas. Semua dirobohkan tanpa
mengalami luka-luka yang cukup parah.
Baik pertarungan antara Dewa
Arak, maupun Pendekar Tangan Baja dengan lawan-lawannya tidak berlangsung
imbang. Tingkat kepandaian dua orang pemuda perkasa itu memang berada jauh di
atas lawannya. Maka tidak aneh jika pasukan Kerajaan Kamujang itu terdesak
hebat. Dan semakin lama keadaan mereka pun semakin terjepit.
Satu demi satu pasukan
kerajaan itu berjatuhan. Baik dirobohkan oleh Dewa Arak maupun Pendekar Tangan
Baja. Hanya bedanya, pasukan kerajaan yang dirobohkan Pendekar Tangan Baja,
roboh untuk selama-lamanya. Sedangkan lawan yang dirobohkan oleh Dewa Arak,
hanya mengalami luka-luka. Dan itu pun tidak parah. Walaupun begitu, cukup
untuk membuat mereka tidak mampu lagi melanjutkan pertarungan.
Dewa Arak menggertakkan gig!
Kesabarannya pun habis melihat Pendekar Tangan Baja masih terus menyebar maut.
Sudah puluhan prajurit dan punggawa yang tewas di tangan pemuda berbaju kuning
itu. Dan bila perbuatannya dibiarkan terus, semua pasukan kerajaan akan tewas
semua.
"Ha... ha... ha...!
Bukankah sudah kukatakan, Panglima! Tidak mudah menangkap Pendekar Tangan Baja!
Kini bersiap-siaplah kau mati di tanganku! Ha... ha... ha...!" ejek
Pendekar Tangan Baja.
Panghma Ramkin menggertakkan
gigi. Kemarahan yang amat sangat bergolak dalam hatinya, melihat anak buahnya
hampir musnah dibantai pemuda berbaju kuning ini. Ingin sekali laki-laki
bercambang bauk lebat ini menghancurkan kepala Pendekar Tangan Baja. Tapi
sayang, dia tidak mampu melakukannya. Panglima ini yakin, tak lama lagi dirinya
pun akan tewas menyusul anak buahnya.
"Hih...!"
Seorang prajurit bertombak
menusukkan senjatanya ke perut Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda berbaju kuning
itu hanya mendengus. Seperti biasa, ditangkisnya mata tombak itu dengan tangan
kanannya. kemudian di- cengkeramnya, lalu ditariknya.
Prajurit ini tidak mampu
menahan tarikan Pendekar Tangan Baja. Seketika itu juga tubuhnya terbetot ke
depan.
"Lepaskan tombak
itu...!" teriak Panglima Ramkin keras.
Tapi sebelum prajurit itu
melaksanakan perintah panglimanya, Pendekar Tangan Baja telah bertindak cepat
Begitu tubuh lawannya tertarik ke depan, segera disodokkan tombak yang
digenggamnya.
Blesss!
"Aaakh...!"
Prajurit itu menjerit
melengking. Gagang tombak itu menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung.
Seketika itu juga, darah bermuncratan. Dan ketika Pendekar Tangan Baja melepaskan
pegangan pada tombak, tubuh prajurit itu pun ambruk tak berkutik.
Kini hanya tinggal Panglima
Ramkin. Pemuda berbaju kuning ini tertawa terkekeh-kekeh. Dengan langkah satu-
satu, dihampirinya laki-laki bercambang lebat itu.
Tapi sebelum Pendekar Tangan
Baja menyerang Panglima Ramkin, sesosok bayangan ungu berkelebat. Sesaat
kemudian di depan pemuda berbaju kuning berdiri Dewa Arak. Rupanya, Arya tidak
ingin kalau panglima itu juga akan menemui ajal di tangan Pendekar Tangan Baja
yang sudah bagaikan iblis haus darah. Maka sebelum hal itu terjadi, cepat-cepat
Dewa Arak merobohkan semua lawannya. Lalu melesat untuk mencegah tindakan
pemuda berbaju kuning.
"Cukup, Pendekar Tangan
Baja! Sudah terlalu banyak korbanmu!" ucap Dewa Arak. Nada suaranya keras
dan tegas.
Pendekar Tangan Baja menatap
wajah Dewa Arak tajam. Seulas senyuman sinis tersungging di bibimya.
"Menyingkirlah, Arya. Dia
ini lawanku! Jangan coba-coba menghalangiku!" sahut pemuda berbaju kuning
itu. Datar
dan dingin suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas panjang. "Kau terlalu mengumbar amarah, Pendekar Tangan
Baja. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Ingat, kita belum tahu persis
permasalahannya dan...."
"Tutup mulutmu,
Arya!" sergah Pendekar Tangan Baja keras. Wajah pemuda berbaju kuning ini
nampak merah padam. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa- apa!
Aku tahu apa yang harus kulakukan! Menyingkirlah cepat, sebelum kesabaranku
hilang!"
Dewa Arak tersenyum pahit.
Sungguh tidak disangkanya pemuda berbaju kuning ini begitu keras kepala, di
samping emosinya yang besar.
"Sayang sekali, Pendekar
Tangan Baja...," ucap Arya. Nada suaranya seakan akan penuh penyesalan.
"Kalau begitu, terpaksa
kau harus kusingkirkan dulu, Arya. Baru setelah itu kubereskan panglima keparat
itu!" ancam Pendekar Tangan Baja lagi.
Setelah berkata demikian,
Pendekar Tangan Baja segera melesat menerjang Dewa Arak. Sepasang tangannya
yang mengepal, bertubi-tubi dipukulkan ke dada, perut, dan ulu hati pemuda
berambut putih keperakan.
Wuuut..!
Serangkum angin keras
mendahului menyambar sebelum serangan itu sendiri tiba. Dewa Arak tidak mau
bertindak gegabah. Pemuda berambut putih keperakan memang selalu bertindak
hati-hati dan tidak pernah memandang rendah lawannya. Maka begitu melihat serangan
yang menyambar ke arahnya, Arya tidak langsung menangkisnya. Buru-buru
didoyongkan tubuhnya ke kanan, sehingga semua serangan itu lewat setengah
jengkal di samping tubuhnya.
Kemudian secepat kilat, kaki
kanannya dilontarkan ke perut Pendekar Tangan Baja. Cepat bukan main gerakan-
nya. Tapi meskipun begitu, pemuda berpakaian kuning tidak menjadi gugup. Dengan
gerakan yang tidak kalah cepat, segera ditarik pulang tangan kanannya.
Sekaligus langsung melakukan bacokan pada kaki Arya yang meng- ancam perutnya.
Takkk!
Benturan antara tangan dan
kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.
"Heh!?" Pendekar
Tangan Baja memekik kaget. Sekujur tangannya tergetar hebat. Bahkan tangan yang
menangkis kaki pemuda berambut putih keperakan itu terpental balik.
Bukan hanya Pendekar Tangan
Baja saja yang dilanda keterkejutan itu. Hal yang serupa juga dialami Dewa
Arak. Kaki yang berbenturan dengan tangan Pendekar Tangan Baja terasa ngilu.
Arya tahu hal ini bukan disebabkan oleh keunggulan tenaga dalam pemuda
berpakaian kuning yang berada di atasnya, tapi akibat dari keistimewaan tangan
lawannya. Pantaslah kalau pemuda berpakaian kuning ini berjuluk Pendekar Tangan
Baja, pikirnya mulai memahami.
Pendekar Tangan Baja penasaran
bukan main. Memang disadari kalau kepandaian pemuda berambut putih keperakan
itu tinggi. Tapi, sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki
Arya sampai sekuat ini. Dan hal iniah yang membuatnya jadi penasaran.
Sebagai seorang ahli silat
Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Tapi Dewa Arak tahu, kalau dia menurut-
kan perasaan hatinya, pertentangan antara dia dan pemuda berpakaian kuning ini
akan semakin meruncing. Dan itu tidak dikehendakinya. Maka begitu dilihatnya
Panglima Ramkin dan anak buahnya yang tersisa telah menaiki kuda dan cukup jauh
meninggalkan tempat itu, pemuda berambut putih keperakan ini pun melesat kabur
dari situ.
"Arya! Jangan lari kau,
Pemuda Sombong!" teriak Pendekar Tangan Baja keras seraya berlari
mengejar.
Tapi Dewa Arak yang telah
mengetahui ketangguhan pemuda berpakaian kuning tidak bersikap main-main lagi.
Segera saja dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Pendekar Tangan Baja
menggertakkan gigi. Pemuda berpakaian kuning ini pun mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya mengejar Dewa Arak.
Kembali Pendekar Tangan Baja
harus menerima kenyataan pahit Arya ternyata tidak bisa dikejar. Bahkan semakin
lama jarak di antara mereka bertambah jauh. Dan akhimya pemuda berambut putih
keperakan itu mulai lenyap dari pandangan.
Pemuda berpakaian kuning ini
sadar, tidak ada gunanya lagi meneruskan pengejaran. Maka dihentikan larinya.
Dipandangi tubuh Dewa Arak yang semakin lama semakin mengecil di kejauhan, dan
akhirnya lenyap.
"Kali ini kau boleh
menang, Arya. Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung ini..," ancam
Pendekar Tangan Baja. Kemudian pelahan dibalikkan tubuhnya, lalu berlari
kembali, meneruskan perjalanan menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang.
***
Dewa Arak baru memperlambat
larinya, begitu dilihatnya Pendekar Tangan Baja tidak mengejar lagi. Karena
sudah telanjur, terpaksa dia harus mengambil jalan memutar, menuju Kotaraja
Kerajaan Kamujang. Pendekar Tangan Baja pasti akan lebih dulu tiba di sana. Dan
sudah dapat diperkirakan oleh Arya apa yang akan dilakukan pemuda pemarah itu
di sana. Apalagi kalau bukan mengamuk, mengumbar emosinya?
"Hhh...!" tanpa
sadar Arya menghela napas panjang. Kini dia sudah tidak berlari lagi, melainkan
berjalan biasa saja. Arya ingin menikmati perjalanan santai yang nikmat. Apalagi
hutan ini mempunyai barisan pepohonan yang lebat. Sehingga meskipun matahari
siang hari cukup terik, tidak membuatnya kepanasan.
Arya mengerutkan alisnya
begitu melihat seorang kakek berpakaian lusuh melangkah tertatih-tatih tidak
jauh di hadapannya. Dan karena arah yang dituju pemuda berambut putih keperakan
dan kakek itu berlawanan, semakin lama, jarak di antara mereka pun semakin
dekat.
Mendadak saja, begitu jarak
antara Arya dengan kakek berpakaian lusuh itu tinggal dua tombak lagi, kakek
yang sejak tadi memang sudah melangkah terhuyung-huyung, jatuh tersungkur.
Tentu saja Arya yang memang
sejak tadi memperhatikan kakek itu, segera melesat. Cepat sekali gerakan pemuda
berambut putih keperakan ini. Sehingga sebelum tubuh kakek berpakaian lusuh itu
menyentuh tanah, Arya telah lebih dulu menangkap tubuhnya.
"Bantu aku berdiri, Anak
Muda," ucap kakek berpakaian lusuh itu seraya mengulurkan tangan hendak
meng- genggam tangan Arya. Dewa Arak yang memang berwatak welas asih ini tidak
menolak. Tapi sesaat kemudian dahi pemuda berambut putih keperakan ini
berkemyit. Adasesuatu dalam genggaman kakek berpakaian lusuh itu.
Kakek berpakaian lusuh itu
rupanya menyadari kebingungan Arya. Maka sebelum pemuda berambut putih
keperakan ini sempat berkata sesuatu, kakek ini segera mendahuluinya.
"Ambillah surat itu, Dewa
Arak! Baca. Nanti kita bertemu lagi. Aku khawatir ada yang mengawasi
kita," bisik kakek berpakaian lusuh itu pelahan.
Arya yang cerdik ini segera
saja paham. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau kakek berpakaian
lusuh ini hendak menyampaikan sesuatu, tapi secara diam- diam. Maka setelah
kakek itu telah kembali berdiri, benda yang ada dalam genggamannya secepat
kilat diselipkan pada lipatan ikat pinggangnya. Tak lupa sebelum itu sekilas
sepasang matanya mengawasi sekelilingnya.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Anak Muda. Aku Patih Juminta." ucap kakek berpakaian lusuh
itu lagi. "Tanpa bantuanmu mungkin encokku sudah kambuh kembali."
Setelah berkata demikian,
kakek berpakaian lusuh itu kembali melangkah tertatih-tatih meninggalkan Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini memandangi kepergiannya dengan hati
bertanya-tanya. Arya terus memandanginya hingga punggung tubuh kakek itu lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan.
Rasa penasaran mendorong Arya
untuk segera mengetahui pemberian kakek berpakaian lusuh itu. Sesaat kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan setelah yakin tidak ada orang yang
melihatnya, segera diambilnya benda yang tadi diselipkan di pinggangnya.
Pelahan dibukanya lipatan kain itu.
Ternyata di balik lipatan kain
itu ada tulisannya. Jadi lipatan kain itu berisi pesan. Cukup singkat isinya.
Dewa Arak...
Aku telah melihat semua
tindakanmu terhadap pasukan Kerajaan Kamujang. Dan aku
mengagumi tindakanmu yang bijaksana.
Perlu kau ketahui, Prabu Jayahksona bukan seorang raja yang lalim. Gusti Prabu
melakukan semua itu karena terpaksa. Harap temui aku nanti malam di tempat ini
.
Patih Juminta
"Hhh...!" Arya
menghela napas panjang, setelah selesai membaca tulisan yang terdapat dalam
lipatan kain itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau semua kecurigaannya
tepat. Tidak percuma selama ini dia bersikap hati-hati, dan tidak sembarangan
membunuh orang.
Pelahan pemuda berambut putih
keperakan ini melipat kembali kain itu, dan kembali diselipkan di balik lipatan
ikat pinggangnya.
"Sungguh tidak kusangka
kalau kakek berpakaian lusuh itu ternyata seorang patih kerajaan besar seperti
Kerajaan Kamujang," gumam Arya pelan
***
Matahari pelahan-lahan mulai
tenggelam di ufuk Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Tapi hal itu
tidak berlangsung lama karena rembulan sudah muncul di langit, menyinari bumi
dengan sinamya yang lembut. Meng- gantikan tugas mentari yang sudah seharian
menyinari bumi.
Dalam keremangan malam itu
terlihat sesosok bayangan ungu berkelebatan cepat, dari balik sebatang pohon ke
batang pohon lainnya. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya
sekelebatan bayangan ungu saja.
Tak lama kemudian bayangan
ungu itu menghentikan gerakannya di dekat sebatang pohon kamboja. Dan secepat
sosok itu tiba di situ, secepat itu pula bersembunyi di balik sebatang pohon.
Dalam keremangan sinar bulan, tampak jelas sosok ungu itu.
Sosok itu ternyata adalah
seorang pemuda berwajah jantan, berambut putih keperakan. Pakaiannya berwama
ungu. Dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak dari perak. Sosok bayangan
ungu itu adalah Dewa Arak! Pemuda ini datang ke tempat ini untuk memenuhi
permintaan orang yang mengaku bernama Patih Juminta.
Dari balik sebatang pohon itu,
sepasang mata Arya menatap nyalang ke sekeliling. Mencari-cari barangkali orang
yang bernama Patih Juminta itu datang.
Cukup lama juga pemuda
berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya sepasang matanya
melihat sesosok bayangan berkelebatan cepat menghampiri tempatnya. Dan begitu
tiba di dekat tempatnya berdiri, sosok bayangan yang baru datang itu,
menolehkan kepalanya berkeliling
"Dewa Arak...,"
panggil sosok bayangan itu. Pelahan sekali suaranya. Lebih mirip bisikan.
Mendengar panggilan itu, Arya
pun yakin kalau bayangan yang baru tiba ini adalah kakek berpakaian lusuh yang
siang tadi memberinya pesan. Maka tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih
keperakan ini keluar dari tempat persembunyiannya.
"Aku di sini,
Patih...," sahut Arya tak kalah pelan.
Patih Juminta yang sejak tadi
berdiri membelakangi Arya, segera membalikkan tubuhnya begitu mendengar suara
sapaan dari belakangnya.
"Sudah lama menunggu,
Dewa Arak?" tanya laki-laki setengah baya berambut jarang ini.
"Lumayan," sahut
Arya.
"Maafkan aku yang telah
membuatmu lama menunggu. Dewa Arak."
"Lupakanlah, Patih."
jawab Arya bijaksana.
"Terima kasih, Dewa
Arak"
Sesaat lamanya suasana menjadi
hening. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.
"Apa yang hendak kau
bicarakan Patih?" tanya Arya. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
Dalam keremangan sinar bulan,
Patih Juminta menatap Dewa Arak tajam.
"Kau sudah baca pesan
yang kuberikan, Dewa Arak?" tanya laki-laki berambut jarang ini
memastikan.
Arya menganggukkan kepalanya.
"Kau bilang, Gusti Prabu
Jayalaksana tertekan. Kalau boleh kutahu siapa yang telah menekannya Paman
Patih?"
Patih Juminta menggelengkan
kepalanya.
"Siapa orang yang menekan
Gusti Prabu, aku juga tidak tahu, Dewa Arak. Tapi yang jelas, tanpa setahu
siapa pun, Gusti Permaisuri lenyap dari istana. Semula kami tidak tahu ke mana
perginya. Tapi, akhimya kami mengetahuinya juga. Gusti Permaisuri
diculik!"
"Diculik?!" tanya
Arya. Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan ini berkerut.
"Benar," sahut Patih
Juminta membenarkan. "Gusti Permaisuri diculik."
"Dari mana kau tahu kalau
Gusti Permaisuri diculik, Patih?" tanya Arya penasaran.
"Dari surat yang
ditinggalkan penculik itu," jawab Patih Juminta kalem.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Sejak saat itu, melalui
seorang urusan, penculik itu mulai mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Harta,
penangkapan-penangkapan terhadap ketua-ketua per- guruan silat beraliran putih,
dan penghancuran terhadap perguruannya. Memungut upeti yang biasanya dilakukan
prajurit kerajaan."
"Ah...! Sampai begitu
jauhnya?!" tanya Arya. Nada suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang
amat sangat.
Patih Juminta menganggukkan
kepalanya.
"Mengapa Gusti Prabu
memenuhi permintaan- permintaan itu?"
"Terpaksa. Penculik itu
mengancam akan membunuh
Gusti Permaisuri, bila
permintaannya tidak dipenuhi," jelas laki-laki berambut jarang ini lebih
jauh.
"Oh...!" pekik Arya
terkejut. "Apakah Patih tidak mempunyai dugaan sama sekali mengenai
pelakunya.
"Aku curiga ada orang di
dalam lingkungan istana yang menjadi mata-mata komplotan penculik. Rasanya
mustahil kalau orang luar tahu seluk beluk istana, sehingga sampai bisa
menculik permaisuri."
"Aku sependapat denganmu,
Paman Patih," sahut Arya mendukung.
"Gusti Prabu pun berpendapat
begitu. Bahkan beliau pernah merencanakan untuk mengirimkan jago-jago silat
istana untuk membuntuti urusan penculik. Tapi penculik itu mengancam akan
membunuh Gusti Permaisuri apa bila Gusti Prabu berani mengirimkan
orang-orangnya untuk mengikuti utusannya."
Arya tercenung mendengar
cerita ini. Sekarang baru diketahuinya mengapa semua kekacauan ini terjadi.
"Di hadapan orang banyak,
Gusti Prabu Jayalaksana bersikap keras padaku. Tapi bila kami hanya berdua.
Gusti Prabu kembali menunjukkan sikap aslinya. Bahkan tugas menemuimu ini,
adalah berdasarkan perintahnya. Dewa Arak," sambung Patih Juminta lagi.
"Hm...," Arya hanya
menggumam tidak jelas.
"Beberapa hari yang lalu,
Gusti Prabu baru menerima surat dari penculik itu. Kau ingin melihat isinya,
Dewa Arak? Ini menyangkut dirimu dan Pendekar Tangan Baja."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berambut jarang itu mengangsurkan segulungan kala Arya mengulurkan
tangan menerima, lalu dibukanya gulungan kain itu.
Prabu Jayalaksana....
Harap Gusti Prabu perintahkan
pasukan untuk menangkap seorang pemuda berbaju ungu, berambut putih keperakan,
yang berjuluk Dewa Arak. Dan seorang pemuda berpakaian kuning,
bercambang lebat, yang
berjuluk Pendekar Tangan Baja. Aku berjanji akan membebaskan permaisurimu, bila
permintaanku ini Gusti Prabu laksanakan.
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini di- makluminya mengapa kemarin ada pasukan kerajaan hendak
menangkapnya bersama Pendekar Tangan Baja.
"Jadi, satu-sarunya cara
untuk mengetahui sarang penculik, hanya dari utusan itu?" tanya Arya lagi
meminta kepastian.
"Ya," sahut Patih
Juminta singkat.
"Kalau begitu, lain kali
aku yang akan mengikutinya," usul pemuda berambut putih keperakan
tiba-tiba.
Patih Juminta menatap Dewa
Arak lekat-lekat.
"Jangan khawatir, Paman.
Aku jamin mereka tidak akan mengetahuinya," sambung Arya memberi jaminan.
"Yahhh....! Memang itulah
yang kuharapkan, Dewa Arak!" ucap laki-laki berambut jarang bernada
keluhan.
"Kapan utusan itu akan
datang lagi ke Istana Kerajaan Kamujang, Paman?" tanya Arya lagi.
"Besok pagi. Utusan itu
akan datang untuk meminta upeti."
"Baiklah! Besok aku akan
mulai bertugas," janji Arya.
"Terima kasih atas
kesediaanmu, Dewa Arak. Sekarang aku pergi dulu," ucap laki-laki berambut
jarang itu.
"Silakan, Paman,"
sahut Arya mempersilakan.
Belum juga habis gema suara
Arya, Patih Juminta sudah melesat dari situ. Cepat juga gerakannya. Dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Beberapa saat la ma nya Arya
terpaku menatap kepergian Patih Juminta. Baru sesaat kemudian tubuhnya melesat
meninggalkan tempat itu.
***
"Hhh...!" Arya
menghela napas berat. Sepasang matanya kembali menatap liar ke sekelilingnya
dari balik kerimbunan daun-daun pepohonan. Memang pemuda ini tengah berada di
cabang pohon di dalam hutan.
Semalam, setelah mendengar
cerita panjang lebar dari Patih Juminta, Arya memutuskan untuk mulai
menyelidiki misteri ini. Sejak pagi-pagi sekali, pemuda berambut putih
keperakan ini sudah berada di cabang pohon, di tempat yang biasa dilalui urusan
si penculik.
Cukup lama juga Arya menunggu,
sebelum akhirnya pendengarannya yang tajam, samar-samar menangkap derap kaki
kuda yang mendekat ke arahnya. Buru-buru, Dewa Arak lebih menyembunyikan diri
di balik kerimbunan dedaunan.
Semakin lama suara derap kaki
kuda itu semakin jelas. Tak lama kemudian di bawah pohon tempat pemuda berambut
putih keperakan ini bertengger, lewat seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang
laki-laki berusia tiga puluhan, berkulit gelap dan berbibir tebal.
Sesaat kemudian, kuda yang
ditunggangi laki-laki berbibir tebal itu pun mulai menjauh. Kian lama kian
jauh. Dan akhirnya lenyap di kejauhan. Yang tinggal hanyalah debu yang mengepul
tinggi ke udara.
Hati Arya lega karena
penantiannya tidak sia-sia.
Kini dia menanti laki-laki
berbibir tebal itu kembali. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini telah
memutuskan untuk mengikuti urusan penculik ini sampai di sarangnya.
Kini Dewa Arak baru mengetahui
kalau menunggu adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan. Entah untuk
yang keberapa kalinya, Arya kembali menyalangkan sepasang matanya ke arah
perginya laki-laki berbibir tebal tadi. Tapi akhimya wajah pemuda itu berseri
ketika melihat debu mengepul tinggi di kejauhan.
Perasaan harap-harap cemas pun
melanda hati Arya. Harapan agar debu mengepul tinggi ke udara ini berasal dari
derap langkah kuda yang ditunggangi oleh urusan penculik permaisuri.
Tak lama kemudian, kuda itu
semakin dekat. Dan betapa lega hati Arya ketika melihat kalau penunggang kuda
itu adalah orang yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. Laki-laki berbibir tebal,
utusan si penculik.
Sesaat kemudian kuda yang
ditunggangi laki-laki berbibir tebal itu pun telah mendekati tempat
pengintaian Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera menyembunyikan
tubuhnya ke balik rerimbunan dedaunan, khawatir terlihat.
Sekejap kemudian kuda itu pun
telah melaju cepat melewati pohon di mana Dewa Arak bersembunyi. Pemuda
berambut putih keperakan itu menunggu beberapa saat hingga buruannya berada
cukup jauh. Baru setelah itu tubuhnya melesat dari satu pohon, ke pohon
lainnya.
Laki-laki berbibir tebal itu
sama sekali tidak menyadari kalau dirinya dikuti. Terus saja dipacu kudanya
secepat mungkin. Sementara Dewa Arak terus mem baya ngi nya. Tapi mendadak....
Singgg...!
Suara mendesing nyaring
terdengar, disusul melesatnya sebuah benda berkilat ke arah laki-laki berbibir
tebal itu. Tentu saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu terkejut
bukan main. Buru-buru, dia melompat dari punggung kuda.
"Hih...!"
Wuuuttt..!
Benda berkilat itu menyambar
lewat di atas punggung kuda. Tubuh laki-laki berbibir tebal itu kini telah
kembali menjejak tanah, tak jauh dari tempat kudanya berdiri. Tapi sebelum
laki-laki kasar ttu berbuat sesuatu, sesosok bayangan berkelebat cepat ke
arahnya.
Cepat bukan main gerakan
bayangan orang yang baru tiba itu. Dan begitu bayangan itu telah berada dekat
dengan laki-laki berbibir tebal, tangan kanannya bergerak menyampok.
Wuttt..! Prattt..!
"Aaakh...!"
Laki-laki berbibir tebal itu menjerit
melengking ketika sampokan bayangan itu telak dan keras sekali menghantam
dadanya. Seketika itu juga terdengar suara ber- derak keras, disusul
terjengkangnya laki-laki itu. Darah mengalir dari mulut hidung, dan telinganya.
Brukkk!
Suara berdebuk keras
terdengar, begitu tubuh laki-laki berbibir tebal itu jatuh ke tanah.
Arya terkejut bukan kepalang
melihat hal itu. Jaraknya yang cukup jauh dari utusan penculik, dan juga
kejadian- nya yang berlangsung tiba-tiba, membuat pemuda berambut putih keperakan
tidak sempat berbuat sesuatu.
"Hup...!"
Sosok yang menyerang laki-laki
berbibir tebal itu mendarat ringan di tanah. Walaupun hanya sekilas, Arya
dapat mengetahui kalau pembunuh buruannya adalah seorang laki-laki setengah
baya yang berompi coklat. Tapi aneh, telinganya hanya sebuah saja. Di bagian
yang kanan.
Dewa Arak tentu saja tidak
ingin kehilangan jejak. Harus dicegahnya laki-laki berompi coklat ini melarikan
diri. Buru- buru dilepaskan jurus 'Pukulan Belalang'! Suatu jurus yang jarang
dikeluarkannya.
Wusss... !
Angin keras berhawa panas
menyengat menyambar ke arah pembunuh laki-laki berbibir tebal itu, yang baru
saja hendak beranjak dari tempat itu.
"Akh...!" terdengar
pekikan kaget dari mulut laki-laki berompi coklat. Dengan agak gugup dilempar
tubuhnya, kemudian bergulingan di tanah menjauh.
Dewa Arak tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Bergegas tubuhnya melesat. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat di tanah, berbareng dengan bangkitnya laki-laki berdaun telinga
satu itu dari bergulingnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan
nyaring, laki-laki berompi coklat itu melesat menyerang Dewa Arak. Kedua
tangannya dengan jari-jari membentuk paruh burung, mematuk-matuk mencari
sasaran. Laki-laki berdaun telinga satu itu men- dahului serangannya dengan
sebuah patukan ke arah ubun-ubun pemuda berambut putih keperakan. Angin keras
mencicit nyaring, mengawali tibanya serangan itu.
Sekali lihat saja Dewa Arak
tahu kalau lawan menggunakan jurus 'Bangau'. Posisi jari yang membentuk paruh
itulah yang membuat Arya langsung bisa menebak- nya.
Dewa Arak mengenal keganasan
jurus itu. Apalagi jurus itu dimainkan oleh tokoh seperti laki-laki berdaun
telinga satu ini. Buru-buru kepala Arya ditarik seraya mendoyong- kan tubuhnya
ke belakang, sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Namun ternyata
serangan laki- laki berompi coklat tidak hanya sampai di situ saja. Begitu
serangannya dapat dielakkan, segera disusuli dengan tendangan lurus ke arah
dada.
Dari gerakan lawan, Dewa Arak
dapat mengukur kalau laki-laki berdaun telinga satu ini berkepandaian tinggi.
Sehingga Arya tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera
dilentingkan tubuhnya ke belakang kemudian bersalto di udara beberapa kali.
Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya menjejak tanah. Di tangan kanannya kini tergenggam guci arak, yang lalu
diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar begitu
arak melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan ini. Seketika itu
juga ada hawa hangat merayap, mulai dari perutnya dan terus naik ke kepala.
***
Seraya mengeluarkan teriakan
nyaring, laki-laki berdaun telinga satu itu kembali menerjang Dewa Arak begitu
tendangannya berhasil dielakkan pemuda itu. Kedua tangannya yang mematuk-matuk
ganas mencari sasaran, mengeluarkan suara angin keras bercicitan.
Tapi berkat keunikan Jurus
'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan
serangan itu. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan mengelak, tahu-tahu
tubuhnya sudah berada di belakang lawan.
Semula laki-laki berompi
coklat itu kaget bukan main, tatkala melihat lawan yang tadi diserangnya
tahu-tahu lenyap. Padahal jelas terlihat olehnya kalau pemuda berambut putih
keperakan itu hanya melangkahkan kaki saja, itu pun dengan gerakan
terhuyung-huyung. Tapi aneh, mengapa tubuh lawannya tahu-tahu lenyap?
Namun kekagetan yang dialami
laki-laki berompi coklat itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian,
dia pun tahu di mana Dewa Arak berada, begitu dirasakan adanya sambaran angin
kuat di belakangnya. Rupanya pemuda berambut putih keperakan tengah melancarkan
serangan dengan gucinya.
Wuttt...!
Sambaran guci Dewa Arak
mengenal tempat kosong, begitu laki-laki berompi coklat melempar tubuhnya ke
depan seraya bergulingan menjauh. Arya segera melompat mengejar, seraya
menyampirkan gucinya kembali ke punggung.
Baru tiga tindak Dewa Arak
melangkah, tiba-tiba saja laki-laki bertelinga satu mengibaskan tangan
kanannya.
Wusss... !
"Akh...!"
Arya memekik kaget. Ada suara
mendesir halus begitu laki-laki berompi coklat itu mengibaskan tangannya.
Disusul dengan melesatnya puluhan jarum-jarum halus ke arahnya. Terpaksa Arya
mengurungkan serangannya. Segera dilempar tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
menjauh.
Kesempatan yang sedikit itu
tidak disia-siakan oleh laki- laki berompi coklat itu. Selagi Dewa Arak
bergulingan di tanah, cepat dia melesat kabur dari situ. Sepertinya masih ada
urusan yang lebih penting daripada bertarung dengan pemuda berambut putih
keperakan itu. Waktu masih panjang untuk menantang Dewa Arak bertarung.
"Keparat....!" desis
Arya geram begitu melihat lawannya sudah tidak kelihatan lagi. Entah ke arah
mana laki-laki berdaun telinga satu itu melarikan diri, pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak mengetahuinya. Pepohonan di dalam hutan ini
sangat lebat. Sekali saja laki-laki berdaun telinga satu itu melesat, saat itu
juga tubuhnya lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Benar apa yang dikatakan Patih
Juminta, desis Arya dalam hati. Penculik itu bertindak sangat hati-hati.
Terbukti dia lebih suka kehilangan anak buah ketimbang sarangnya diketahui
orang lain.
"Hhh...'"
Arya mendesah pelan. Apa lagi
yang harus dilakukannya untuk mengetahui sarang penculik permaisuri itu?
pikimya bingung. Tengah pemuda berambut putih keperakan ini melangkah satu-satu
dengan benak berpikir keras, terdengar rintihan lirih. Kontan kepala Arya
ditolehkan ke arah asal suara.
Ternyata rintihan lirih itu
berasal dari mulut laki-laki berbibir tebal. Sungguh Dewa Arak hampir tidak
mem- percayai apa yang dilihatnya. Laki-laki berkulit hitam itu ternyata masih
hidup! Padahal tulang tulang dadanya telah remuk. Bergegas pemuda berambut
putih keperakan ini menghampiri.
"Kaukah orang yang
berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berbibir tebal itu terputus-putus.
Arya yang tengah ber- jongkok di depan laki-laki kasar itu hanya mengangguk
pelan.
"Bu... bukankah, kau
ingin tahu sarang penculik permaisuri...?" tanya laki-laki berkulit hitam
itu lagi.
Suaranya terputus-putus dan
hampir tidak terdengar.
"Benar. Kau mau
menunjukkannya?" sahut Arya cepat. Disadari kalau nyawa laki-laki berbibir
tebal ini tidak bisa diselamatkan lagi. Kenyataan kalau dalam keadaan seperti
Itu masih mampu bertahan hidup, menunjukkan kalau laki- laki kasar itu memiliki
daya tahan tubuh yang luar biasa.
Laki-laki berbibir tebal itu
menganggukkan kepalanya. Kemudian mulutnya bergerak seperti hendak meng-
ucapkan sesuatu. Tapi karena terlalu pelan, Dewa Arak mendekatkan telinganya ke
mulut orang kasar yang tengah menanti ajal itu. Pemuda berambut putih keperakan
ini dapat menduga mengapa laki-laki berbibir tebal ini bersedia memberi tahu
sarang penculik. Laki-laki kasar itu mendendam, karena merasa dikhianati.
Hanya sebentar saja laki-laki
berbibir tebal itu meng- gerak-gerakkan mulutnya. Sesaat kemudian kepalanya pun
terkulai. Laki-laki kasar ini tewas dengan bibir tersenyum puas. Puas telah
berhasil membalas sakit hatinya.
"Hm.... Jadi orang itu
pemimpin gerombolan penculik...," desis Arya pelan.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia telah tahu sarang penculik permaisuri itu. Tapi pemuda
berambut putih keperakan tidak langsung menuju ke sana. Dia ingin ke Kotaraja
Kerajaan Kamujang dulu. Akan dicegahnya pertumpahan darah yang terjadi akibat
salah paham. Pertumpahan darah yang akan diakibatkan oleh amukan Pendekar
Tangan Baja.
***
Sementara itu di dalam benteng
Istana Kerajaan Kamujang, Pendekar Tangan Baja tengah mengamuk. Ilmu 'Tangan
Baja'nya dikerahkan sampai ke puncak kemampuannya. Suara dentingan diikuti
berpatahannya senjata-senjata pasukan Kerajaan Kamujang, mengiringi setiap
gerakan tangan pemuda berpakaian kuning ini.
Memang sudah sejak semula
Pendekar Tangan Baja mendendam pada pasukan Kerajaan Kamujang, yang sering
dilihatnya berbuat sewenang-wenang pada penduduk. Maka tindakannya pun tidak
tanggung-tanggung lagi. Setiap gerakan tangan atau kaki pemuda berpakaian
kuning ini selalu menimbulkan hawa maut.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan bentakan
nyaring, seorang prajurit melompat menerjang. Golok di tangannya ditusukkan ke
dada pemuda berpakaian kuning.
"Hiyaaa...!"
Dari arah belakang, prajurit
lainnya pun menusukkan tombaknya ke punggung Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda
berpakaian kuning ini hanya mendengus. Sekali mengenjotkan kaki, tubuhnya sudah
melenting tinggi ke atas, melewati kepala prajurit yang menyerang dari depan.
Dan begitu telah berada di atas lawan, tubuhnya berputar setengah lingkaran.
Lalu kedua tangannya mendorong punggung prajurit yang tengah menusukkan golok
itu.
Pelahan saja kelihatan tangan
pemuda berpakaian kuning itu menyentuh punggung prajurit itu. Tapi akibatnya
luar biasa! Tubuh prajurit itu terdorong ke depan, seperti diseruduk kerbau
liar. Kejadian yang sudah diperhitungkan matang oleh Pendekar Tangan Baja
terjadi.
Cappp, blesss...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat
sekali. Dan terjadi hampir berbarengan. Akibat dorongan Pendekar Tangan Baja,
prajurit itu tidak bisa mempertahankan keseimbangannya lagi. Golok yang semula
bertujuan ke arah perut pemuda berpakaian kuning, menghunjam perut prajurit
bertombak yang melancarkan serangan dari belakang. Pada saat yang bersamaan,
prajurit bertombak tadi juga menusukkan senjatanya. Dan tak pelak lagi, perut
prajurit bersenjata golok pun mengalami nasib yang sama dengan rekannya.
Perutnya terhunjam tombak hingga tembus ke punggung!
Beberapa saat lamanya tubuh
kedua prajurit itu menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian diam tidak bergerak
lagi untuk selama lamanya. Tewas!
"Hup...!"
Kedua kaki Pendekar Tangan
Baja mendarat ringan di tanah. Di wajah tampannya tersungging senyum
kegembiraan.
Tentu saja hal ini membuat
pasukan Kerajaan Kamujang yang mengepung menjadi semakin geram. Korban yang
jatuh di tangan pemuda berpakaian kuning ini sudah lebih dari sepuluh orang.
Padahal pertarungan belum berlangsung lama. Tapi sebelum para prajurit itu
kembali menyerbu, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Tahan..!"
Kontan semua pasukan kerajaan
yang akan menyerang, menahan gerakannya dan langsung melangkah mundur. Mereka
semua mengenal betul pemilik suara bentakan itu. Siapa lagi kalau bukan Prabu
Jayalaksana?
Agak jauh di belakang pasukan
kerajaan itu, berdiri seorang laki-laki setengah baya berkumis dan berjenggot
rapi. Wajahnya menyiratkan keagungan dan kewibawaan. Hanya sayangnya, pada saat
ini wajah penuh wibawa itu terlihat muram.
Dan seperti biasanya Prabu
Jayalaksana tidak pemah sendiri. Di kiri kanannya berdiri dengan wajah angker
delapan orang berseragam gemerlapan. Dan di bagian dada sebelah kiri tersulam
gambar cakar burung garuda dari benang emas. Inilah pasukan pengawal khusus
Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda. Pasukan yang terdiri dari jago-jago
istana nomor satu.
Pendekar Tangan Baja menatap
sosok tubuh yang berdiri di hadapannya satu persatu. Sekali lihat saja pemuda
berpakaian kuning ini mengetahui mana Prabu Jayalaksana. Pastilah orang yang
berdiri di tengah-tengah dan memandang dirinya dengan sinar mata muram,
pikirnya.
Begitu pandangannya tertumbuk
pada delapan orang yang berdiri di kanan kiri Prabu Jayalaksana, diam-diam
Pendekar Tangan Baja terkejut. Dari sorot mata delapan orang itu, pemuda
berpakaian kuning sudah dapat memperkirakan ketinggian ilmu yang mereka miliki.
Dan ini membuat pemuda pemarah ini bersikap hati-hati.
Prabu Jayalaksana melangkah
maju beberapa tindak. Delapan orang Pasukan Kuku Garuda pun ikut melangkah
maju. Kini jarak antara Raja Kamujang dengan Pendekar Tangan Baja, tinggal lima
tombak lagi.
Prabu Jayalaksana menatap
Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sinar matanya
begitu dingin, sehingga sulit bagi pemuda berpakaian kuning ini untuk
mengetahui makna tatapan itu.
"Kaukah yang berjuluk
Pendekar Tangan Baja, Anak Muda?" tanya Raja Kamujang itu. Datar dan
dingin suaranya.
"Tidak salah!" sahut
pemuda berpakaian kuning tanpa sikap menghormat sama sekali. Tentu saja hal ini
membuat para prajurit punggawa, dan delapan orang Pasukan Kuku Garuda,
menggeram murka. Tangan mereka yang telah menggenggam senjata masing-masing,
menegang. Siap untuk menerjang.
Tapi Prabu Jayalaksana hanya
tersenyum tipis. Tidak nampak tanda-tanda kalau Raja Kamujang ini merasa ter-
hina. Tangan kanannya diangkat untuk meredakan kemarahan pasukannya. Dan seketika
itu juga, tangan- tangan yang telah menegang itu pelahan mengendur kembali.
"Apa maksud kedatanganmu
kemari, Pendekar Tangan Baja?" tanya Raja Kamujang itu masih bernada
sabar.
"Tidak perlu banyak
basa-basi Prabu Jayalaksana! Kedatanganku kemari untuk melenyapkan keangkara-
murkaanmu!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Sesabar-sabamya seseorang,
tentu akan marah juga bila terus menerus dihina. Apalagi di hadapan banyak
orang. Lebih-lebih lagi, jika orang itu adalah seorang raja seperti Prabu Jayalaksana!
Seorang raja yang sudah terbiasa dihormati orang.
"Kau terlalu sombong,
Pendekar Tangan Baja! Orang sepertimu harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, Raja
Kamujang ini menjentik- kan jarinya. Seketika itu juga, empat orang Pasukan Kuku
Garuda menghampiri Pendekar Tangan Baja. Sementara Prabu Jayalaksana segera
melangkah mundur diikuti oleh sisa Pasukan Kuku Garudanya!
Pendekar Tangan Baja bersikap
waspada. Kali ini pemuda berpakaian kuning ini tidak berani menganggap enteng
lawannya. Menilik sikap dan gerak-gerik empat orang lawannya, sudah bisa
diperkirakan kalau keempat anggota Pasukan Kuku Garuda ini memiliki kepandalan
yang tidak rendah. Maka seluruh otot-otot dan urat-urat syaraf pemuda ini
menegang. Sepasang matanya menatap liar ke arah lawan.
"Hih...!"
Seraya berteriak keras salah
seorang anggota Pasukan Kuku Garuda yang berkulit gelap, bertubuh agak tinggi
melompat menyerang. Rambut orang ini panjang dan dikepang. Dan pada ujung
ramburnya terdapat sebuah benda berbentuk segi lima, berwama hitam mengkilat.
Kepalanya digoyangkannya ke kiri. Seketika itu juga ujung ramburnya melayang
deras ke arah kepala Pendekar Tangan Baja. Angin bercicitan tajam mengiringi
tibanya serengan itu.
Pendekar Tangan Baja tidak
berani bertindak ceroboh. Sadar kalau dirinya belum mengetahui keistimewaan
ilmu lawan, maka pemuda berpakaian kuning tidak berani menangkisnya. Ingin
diketahuinya dulu perkembangan ilmu aneh lawannya ini. Itulah sebabnya, pemuda
berpakaian kuning ini cepat-cepat menarik kakinya ke belakang.
Wuuut..!
Angin berhawa panas menerpa
wajah Pendekar Tangan Baja, begitu sabetan rambut itu lewat setengah jengkal di
depan wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat bukan main gerakan
pengawal berambut kepang ini. Begitu sabetan ramburnya lolos, segera saja
serangan selanjutnya datang menyusul. Kedua tangannya dengan posisi telunjuk
mengacung, sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, melakukan
totokan-totokan beruntun ke tenggorokan dan bawah hidung. Dua jalan darah
mematikan.
Cit, cit!
Kali ini Pendekar Tangan Baja
sama sekali tidak meng- elakkan serangan itu. Segera kedua tangannya bergerak
menangkis dengan satu jari pula.
Tak, tak!
"Akh...!"
Pengawal berambut kepang itu
memekik tertahan. Jari telunjuknya dirasakan seperti hendak patah ketika ber-
benturan dengan telunjuk pemuda berpakaian kuning di hadapannya. Walaupun
begitu, tetap saja tidak mengurangi niatnya untuk kembali melancarkan serangan
balasan. Kepalanya digoyangkan ke kiri. Seketika itu juga ujung rambutnya
melayang ke pelipis pemuda berpakaian kuning.
Serangan itu datang begitu
cepat dan tidak terduga- duga. Tapi walaupun begitu, tidak membuat Pendekar
Tangan Baja gugup. Buru-buru tubuhnya dirundukkan sehingga sambaran ujung
rambut lewat sejengkal di atas kepalanya. Tepat saat itu, dilancarkan serangan
balasan berupa totokan satu jari bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati
pengawal khusus Prabu Jayalaksana.
"Ah...!"
Pengawal berambut kepang
terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya, dalam keadaan terjepit lawannya
mampu balik menjepit dirinya. Diam-diam dalam hati salah seorang Pasukan Kuku
Garuda ini, timbul perasaan kagum. Jarang ditemuinya orang semuda laki-laki
berpakaian kuning ini yang memiliki tingkat kepandaian setinggi itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi
pengawal berambut kepang kecuali melentingkan tubuh ke belakang, kemudian ber-
salto beberapa kali di udara. Manis dan indah sekali gerakannya. Dan...
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
laki-laki berambut kepang ini menjejak bumi. Dari peragaan ini saja sudah bisa
diketahui ketinggian ilmu meringankan tubuh milik pengawal khusus Prabu
Jayalaksana ini.
Pendekar Tangan Baja sama
sekali tidak mengejar. Sepasang mata pemuda berpakaian kuning ini menatap
lawannya lekat-lekat.
"Kau hebat, Anak
Muda," puji laki-laki berambut kepang itu jujur. "Tidak percuma kau
berani menyandang nama besar. Jari-jari dan tanganmu keras seperti baja. Itukah
sebabnya kau berjuluk Pendekar Tangan Baja?!"
"Aku tidak perlu
pujianmu, Kisanak," balas Pendekar Tangan Baja singkat. Dingin dan datar
suaranya.
Merah wajah laki-laki berkulit
hitam itu. Pemuda di hadapannya ini benar-benar sombong. Orang seperti ini
harus diberi pelajaran, agar mau menghargai orang lain.
"Tapi itu bukan berarti
aku gentar padamu, Pemuda Sombong!" teriak pengawal berambut kepang itu.
Kemarahannya langsung bangkit seketika.
"Apa peduliku?!"
sentak Pendekar Tangan Baja keras.
"Keparat! Orang seperti
kau harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian,
pengawal berambut kepang itu kembali menerjang Pendekar Tangan Baja. Rambut
kepangnya dan juga totokan totokan telunjuknya, berkelebatan cepat
Bertubi-tubi mencari sasaran. Tapi lawan yang dihadapinya adalah Pendekar
Tangan Baja. Dan kini pemuda berpakaian kuning itu sudah dapat membaca
jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Maka tanpa ragu- ragu lagi, Pendekar
Tangan Baja segera mengelak sambil mengirim serangan balasan yang tak kalah
dahsyat. Pertarungan sengit pun terjadi.
Prabu Jayalaksana, Pasukan
Kuku Garuda, dan pasukan kerajaan lainnya menonton pertarungan itu dari jarak
agak jauh dengan penuh minat. Diam-diam semua memuji kelihaian kedua orang yang
tengah bertarung.
Memang cukup menggiriskan
akibat yang ditimbulkan oleh pertarungan kedua orang itu. Suara decit angin
tajam, bersiutan dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan itu. Tanah-tanah
terbongkar di sana sini. Ranting-ranting berpatahan dari dahan pohon yang
terserempet angin pukulan yang nyasar. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara.
Selama beberapa jurus,
pertarungan berjalan imbang. Tapi setelah memasuki jurus kelima belas, mulai
nampak keunggulan Pendekar Tangan Baja. Memang tingkat kepandaian pengawal
berambut kepang berada jauh di bawah pemuda berpakaian kuning itu. Baik dalam
hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam, anggota Pasukan Kuku Garuda ini
jauh di bawah lawannya. Apalagi di samping itu Pendekar Tangan Baja memiliki
keistimewaan lainnya. Tangannya yang kokoh dan kebal.
Maka tidak aneh jika setiap
kali tangan atau kaki kedua orang itu berbenturan. Selalu pengawal berambut
kepang itu terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya menyeringai kesakitan.
Semakin lama Pendekar Tangan
Baja semakin men- desak anggota Pasukan Kuku Garuda itu. Dan kini laki-laki
berambut kepang itu hanya mampu bertahan. Hanya sesekali saja dia melancarkan
serangan balasan. Itu pun dengan mudah dapat dikandaskan pemuda berbaju kuning.
Tujuh orang rekannya tentu
saja melihat keadaan laki- laki berambut kepang itu. Tapi mereka diam saja.
Hanya memandang dengan sinar mata khawatir. Mereka tidak berani bertindak
lancang tanpa perintah Prabu Jayalaksana.
Walaupun tidak memiliki ilmu
kepandaian setinggi para pengawal khususnya, Prabu Jayalaksana sedikit banyak
dapat mengetahui kalau anggota Pasukan Kuku Garuda itu terdesak.
"Kalian bantu tangkap
Pendekar Tangan Baja," perintah- nya pada tiga orang yang tadi sudah
melangkah maju.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, tiga orang anggota Pasukan Kuku Garuda itu segera melesat ke depan.
Menceburkan diri dalam arena pertarungan, dan langsung melakukan serangan serangan
berbahaya.
Dengan adanya tambahan tiga
anggota Pasukan Kuku Garuda, Pendekar Tangan Baja terpaksa menghentikan desakan
pada laki-laki berambut kepang. Cepat pemuda berbaju kuning melentingkan
tubuhnya ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara dan hinggap di
tanah. Dan secepat itu pula bersiap.
Empat orang Pasukan Kuku
Garuda tidak mengejar. Dibiarkan saja pemuda berbaju kuning itu memperbaiki
kuda-kudanya. Sementara Pendekar Tangan Baja bersiap siaga menghadapi empat
orang jago-jago istarta ini.
Tapi sebelum Pendekar Tangan
Baja dan empat pengawal khusus Raja Kamujang ini bentrok, sebuah bisikan di
telinga pemuda berbaju kuning ini membuatnya tertegun.
"Gusti Prabu Jayalaksana
tidak bersalah, Pendekar Tangan Baja. Ada orang yang memfitnahnya...."
"Arya...?" desah
pemuda berbaju kuning ini pelan. Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Siapa
lagi kalau bukan Dewa Arak. Perasaan kagum menyeruak dalam hati pemuda berbaju
kuning ini. Dia tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu menggunakan ilmu
mengirimkan suara dari jauh untuk menyampaikan pesan itu padanya.
Beberapa saat lamanya Pendekar
Tangan Baja jadi bimbang. Antara menuruti saran Dewa Arak atau melanjut- kan
pertarungan. Tapi akhimya, pemuda berbaju kuning ini memutuskan untuk menuruti
saran Arya. Toh, kalau nanti ternyata apa yang dikatakan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak benar, masih ada kesempatan lain untuk melaksanakan niat
nya itu.
Setelah memutuskan demikian,
Pendekar Tangan Baja segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Bersalto
beberapa kali di udara kemudian melesat kabur dari situ.
"Tangkap...! Jangan
biarkan dia lolos...!" teriak Panglima Ramkin, yang tiba-tiba sudah datang
ke tempat itu.
Teriakan-teriakan keras
bernada perintah terdengar bersahut- sahutan. Tentu saja pasukan Kerajaan
Kamujang tidak tinggal diam. Belasan prajurit mencoba menghadang, tapi segera
buyar begitu pemuda berbaju kuning itu mengamuk membuka jalan.
Empat orang Pasukan Kuku
Garuda tidak tinggal diam. Mereka pun segera bergerak mengejar. Tapi Pendekar
Tangan Baja segera mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh yang dimilikinya.
Tubuhnya berkelebatan cepat. Dan beberapa saat kemudian, sudah berada di
dinding tembok istana.
"Hih...!"
Pendekar Tangan Baja
menggenjotkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya pun melayang ke atas. Tepat
pada saat pasukan panah Kerajaan Kamujang melepaskan puluhan anak panah ke
arahnya.
Kembali pemuda berbaju kuning
ini membuktikan kelihaiannya. Selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya
bergerak cepat menyampok puluhan anak panah yang menyambar deras ke arahnya.
Tak, tak. tak...!
Puluhan batang anak panah itu
pun berpentalan tak tentu arah ketika tersampok sepasang tangan Pendekar Tangan
Baja. Ada beberapa di antara anak-anak panah itu yang masih utuh. Tapi sebagian
besar sudah tidak berbentuk lagi.
"Hup...!"
Wataupun agak terhuyung
sedikit, karena tingginya tembok istana dan juga karena adanya gangguan, pemuda
berbaju kuning ini berhasil mendarat mulus di luar tembok istana. Tanpa
membuang-buang waktu lagi Pendekar Tangan Baja segera melesat kabur dari situ.
Belum berapa jauh Pendekar
Tangan Baja berlari, tiba- tiba sesosok bayangan berkelebat menghadang. Dan
tahu- tahu di depan pemuda berbaju kuning telah berdiri seorang pemuda berambut
putih keperakan.
"Arya...," desis
Pendekar Tangan Baja seraya meng- hentikan larinya.
Pemuda yang memang bukan lain
dari Dewa Arak itu tersenyum lebar.
"Sudah kuduga kalau kau
mau mendengar saranku itu, Pendekar Tangan Baja," ucap pemuda berambut
putih keperakan ini.
"Benarkah yang kau
katakan tadi, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning. Mulutnya menyunggingkan
senyuman getir.
"Benar, Pendekar Tangan
Baja," sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.
"Dan kau tahu siapa orang
yang memfitnahnya?" desak Pendekar Tangan Baja lagi. Ada nada
keingintahuan yang amat sangat terpancar dari raut wajahnya.
"Hhh.... Sayang sekali,
Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa Arak sambii menghela napas panjang.
"Aku sama sekali tidak mengenalnya. Hanya yang kutahu ciri-ciri orang itu
saja."
"Bisa kau sebutkan
ciri-cirinya, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning setengah hati.
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini tercenung.
"Seorang laki-laki
setengah baya berpakaian rompi coklat. Dan.... hanya mempunyai sebuah daun
telinga...."
"Apa?!" tanya
Pendekar Tangan Baja setengah berteriak. Keterkejutan yang amat sangat jelas
membayang di wajahnya. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Bagaikan melihat
hantu di slang bolong. "Betulkah ciri-dri yang kau sebutkan itu,
Arya?"
Tentu saja Dewa Arak jadi
terkejut campur bingung melihat sikap pemuda berbaju kuning yang nampak jelas
begitu terkejut mendengar keterangannya. Masih dengan sinar mata penuh
pertanyaan, pemuda berambut putih keperakan ini menganggukkan kepalanya.
"Ada apa, Pendekar Tangan
Baja?" tanya Arya hati-hati. Khawatir kalau pertanyaan nya menyinggung
perasaan pemuda berbaju kuning yang pemarah ini.
"Ciri-ciri yang kau
sebutkan itu, mirip dengan orang yang selama ini kucari-cari, Arya," sahut
Pendekar Tangan Baja pelahan.
"Maksudmu...." Dewa
Arak tidak melanjutkan ucapannya. Memang, pemuda berbaju kuning ini pernah
bercerita mengenal tugasnya mencari paman gurunya.
"Yahhh..., paman guruku,
Arya," sahut Pendekar Tangan Baja dengan suara mendesah.
Dewa Arak terdiam mendengar
penjelasan itu. Sesaat lamanya suasana pun jadi hening.
"Kau tahu di mana paman
guruku itu berada, Arya?"
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya.
"Bisa kau beritahukan aku
tempatnya?" tanya Pendekar Tangan Baja.
"Kita pergi bersama-sama
Pendekar Tangan Baja." sahut Dewa Arak.
"Tidak! Ini adalah urusan
pribadi. Kau tidak usah ikut campur, Arya," bantah pemuda berbaju kuning
itu.
Dewa Arak tersenyum. Disadari
kebenaran ucapan pemuda berbaju kuning di hadapannya.
"Tapi kini persoalan itu
sudah bukan persoalanmu sendiri, Pendekar Tangan Baja."
"Apa maksudmu? Aku masih
belum mengerti," tanya pemuda berbaju kuning ini. Nada suaranya
menyiratkan tuntutan.
"Karena paman gurumulah
orang yang telah memfitnah Prabu Jayalaksana!"
"Memfitnah?!
Ceritakanlah, Arya!" desak Pendekar Tangan Baja ingin tahu.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa
Arak kecuali mencerita- kan hal yang sebenarnya pada pemuda berbaju kuning ini.
Dan begitu Arya menyelesaikan ceritanya. Pendekar Tangan Baja baru mengerti.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi, Arya? Mari kita serbu tempat itu!" ajak pemuda berbaju kuning itu
penuh semangat.
Dewa Arak hanya tersenyum.
Sesaat kemudian tubuh kedua pemuda perkasa itu telah melesat meninggalkan
tempat itu. Cepat bukan main gerakan kedua pemuda gagah itu. Dalam sekejap
saja, bayangan tubuh mereka telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
***
Dewa Arak dan Pendekar Tangan
Baja berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Cepat bukan main
gerakan kedua pemuda perkasa itu. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan keunguan dan kekuningan.
Diam-diam baik Pendekar Tangan
Baja maupun Dewa Arak sama-sama memuji kelihaian masing-maslng. Arya memang
sudah menduga kalau pemuda berpakaian kuning ini memiliki kepandaian tinggi.
Tapi sungguh tidak diduganya kalau sampai setinggi ini. Ilmu meringankan tubuh
Pendekar Tangan Baja ini amat luar biasa. Meskipun begitu, seandainya pemuda
berambut putih keperakan ini mau mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya,
sudah dapat dipastikan akan mampu meninggalkan pemuda berpakaian kuning.
Pendekar Tangan Baja pun
dilanda perasaan serupa. Pemuda berpakaian kuning ini adalah seorang pendekar
muda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan. Sehingga belum pemah
mendengar julukan Dewa Arak alias Arya Buana yang menggemparkan dunia
persilatan.
Pendekar Tangan Baja merasa
kagum bukan main melihat kehebatan pemuda berambut putih keperakan ini. Padahal
dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi tetap saja tidak
mampu meninggalkan Arya. Bahkan kini terlihat jelas kalau Dewa Arak itu pelahan
namun pasti, mulai meninggalkan beberapa langkah di depannya. Pendekar Tangan
Baja sama sekali tidak tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini belum mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh
kedua pemuda perkasa yang telah mencapai tingkatan tinggi, tak berapa lama
kemudian, bangunan dimaksud telah terlihat oleh keduanya. Begitu bangunan itu
sudah terlihat Jelas, DewaArak dan Pendekar Tangan Baja segera menghentikan
langkahnya. Agak jauh dari bangunan itu. Cepat kedua pemuda perkasa ini
berlindung di balik sebatang pohon.
"Kelihatannya sepi-sepi
saja, Arya," ucap Pendekar Tangan Baja setelah sepasang matanya mengamati sekitar
bangunan tua yang berhalaman cukup luas itu.
Dewa Arak hanya menggumam
tidak Jelas.
"Aku khawatir kalau
keterangan yang kau terima itu hanya tipuan belaka," ucap pemuda
berpakaian kuning lagi begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan tidak
menyahuti ucapannya.
"Aku yakin orang itu
tidak menipu kita," sahut Dewa Arak tanpa mengalihkan perhatiannya pada
bangunan tua yang menjadi pusat perhatian mereka.
"Apa yang membuatmu
begitu yakin, Arya?"
Dewa Arak mengalihkan
pandangannya dari bangunan tak terurus itu. Ditatapnya wajah Pendekar Tangan
Baja lekat-lekat.
"Orang itu merasa sakit
hati karena dikhianati oleh pemimpinnya. Coba kau pikirkan, Pendekar Tangan
Baja. Andaikan kau yang menjadi orang itu. Lalu kau telah melaksanakan tugasmu
dengan baik, tapi kau malah dibunuhnya. Apakah kau tidak sakit hati? Tidak
ingin membalas kekejian pemimpinmu itu?" Arya balik bertanya.
"Hhh...!" Pendekar
Tangan Baja menghela napas panjang. "Itukah dasar pemikIran yang membuatmu
yakin akan keterangannya, Arya?"
"Ya." sahut Dewa
Arak singkat.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Mari kita serbu bangunan itu. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu
dengan paman guruku!" ajak Pendekar Tangan Baja seraya hendak beranjak
dari tempat persembunyiannya.
"Sabar, Pendekar Tangan
Baja!" ucap Dewa Arak mencegah.
"Ada apa? Kau
takut?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya mengernyitkan kening.
Merah wajah Dewa Arak
mendengar ucapan itu. Sikap Pendekar Tangan Baja begitu keras. Dan ucapannya
pun terkadang sering menyakitkan hati. Sepertinya setiap ucapan pemuda
berpakaian kuning ini keluar begitu saja tanpa dipikir lebih dulu.
"Tidak ada kata takut
dalam kamus hidupku, Pendekar Tangan Baja!" tandas pemuda berambut putih
keperakan itu agak keras.
"Hm.... Lalu? Mengapa kau
ragu-ragu?" desak Pendekar Tangan Baja lagi.
"Dalam menghadapi setiap
persoalan, kita tidak boleh menuruti emosi saja, Pendekar Tangan Baja,"
jawab Dewa Arak setengah menggurui. Disadari kalau ucapannya itu agak keras.
Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Ber- bicara dengan pemuda di hadapannya
ini memang harus tegas.
"Jadi, menurutmu... lebih
baik kita bersembunyi saja di sini. Begitu, Arya," sindir Pendekar Tangan
Baja sambil tersenyum mengejek.
"Bukan itu yang
kumaksudkan!" ucap Dewa Arak agak keras. "Ingat, kita kemari bukan
hanya untuk bertarung saja. Tapi juga menyelamatkan Permaisuri Kerajaan
Kamujang."
"Heh?! Kau salah kira
rupanya, Arya."
"Maksudmu?" tanya
pemuda berambut putih keperakan itu masih kurang mengerti.
"Aku datang kemari bukan
untuk menyelamatkan permaisuri yang diculik itu! Tapi untuk membawa paman
guruku hidup atau mati'" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
"Kalau begitu, hapus saja
julukan pendekarmu itu. Pendekar Tangan Baja'" sambut Dewa Arak tak kalah
keras.
"Apa hubungannya sebutan
pendekar itu dengan menyelamatkan permaisuri? Hm.... Baru kali ini kudengar
kalau seorang berhak mendapat julukan pendekar, kalau sudah menyelamatkan
seorang permaisuri!" ejek Pendekar Tangan Baja.
"Hhh...! Tak kusangka
kalau secepat ini kau melupakan janjimu pada Ki Paladi. Tak kusangka kalau kau
begitu mudahnya mengingkan janji " keluh Dewa Arak.
"Jaga mulutmu,
Arya!" sentak Pendekar Tangan Baja gusar. "Aku sama sekali tidak
berjanji menyelamatkan permaisuri raja pada Ki Paladi!"
"Bukankah kau telah
bertekad untuk menghilangkan kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan
Kamujang?" tanya Arya dengan nada tinggi.
"Benar."
"Nah! Perlu kau ketahui!
Sumber semua kekacauan di Kerajaan Kamujang ini adalah karena permaisuri Prabu
Jayalaksana disandera oleh paman gurumu! Selama permaisuri masih di tangan
mereka, Raja Kamujang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentang kekacauan
itu!" jelas Dewa Arak panjang lebar.
Pendekar Tangan Baja pun
terdiam seketika. Kini baru disadarinya kalau masalah yang tengah dihadapi
tidak sesederhana yang dia duga. Memang pemuda berpakaian kuning ini kurang
mengandalkan pikirannya dalam menghadapi setiap persoalan.
"Sekarang terserah
padamu! Kalau kau tetap tidak ingin menyelamatkan permaisuri itu, aku tidak akan
memaksa! Tapi kumohon, kau menahan dulu urusan dengan paman gurumu itu sampai
aku berhasil menyelamatkan permaisuri," pinta pemuda berambut putih
keperakan itu seraya menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning.
"Hhh...!" Pendekar
Tangan Baja menghela napas panjang. Kemarahannya yang sejak tadi bangkit,
pelahan mulai mereda.
"Bagaimana? Bisa kau
penuhi permintaanku ini?" tanya Dewa Arak lagi begitu melihat pemuda
berpakaian kuning belum memberikan jawaban.
"Maafkan atas
kebodohanku, Arya," ucap pemuda berpakaian kuning lagi. Nada suaranya
menyiratkan penyesalan yang mendalam.
"Jadi...?"
"Aku ikut denganmu. Kita
bersama-sama menyelamatkan permaisuri dulu. Biar urusan dengan paman guruku,
kuurus setelah kita berhasil menyelamatkan permaisuri"
Dewa Arak tersenyum lebar.
Diulurkan tangannya. Pendekar Tangan Baja menyambut hangat, dan meng-
genggamnya erat-erat. Perasaan kagumnya kepada Arya semakin besar. Sungguh
tidak disangka, kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki pandangan
yang begitu luas. Siapakah sebenarnya Arya ini? tanya Pendekar Tangan Baja
dalam hati.
***
Matahari tepat berada di atas
kepala. Sinamya yang terik menyorot garang ke permukaan bumi Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja melesat cepat mendekati pagar tembok yang mengelilingi
bangunan tua yang tak terurus itu. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda
itu yang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam sekejap saja keduanya sudah
berada di balik pagar tembok.
"Kita bagi tugas,
Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak.
"Maksudmu?" tanya
Pendekar Tangan Baja seraya mengernyitkan keningnya.
"Kita harus bertindak
hati-hati. Bukankah kita belum mengetahui seberapa besar kekuatan gerombolan
paman gurumu itu? Untuk menghindari kegagalan, akan kucoba menarik perhatian
mereka "
"Bicara jangan
berbelit-belit, Arya," tegur pemuda berpakaian kuning itu. Memang Pendekar
Tangan Baja masih belum mengerti arah pembicaraan pemuda berambut putih
keperakan ini.
"Aku akan membuat
kekacauan. Dan begitu semua perhatian mereka sudah tertuju padaku. Kau cari dan
selamatkan permaisuri. Mengerti?"
Pendekar Tangan Baja
menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu bersiapiah,
aku akan menarik perhatian mereka!"
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuh
pemuda ini pun melenting ke atas. Dan....
"Hup...!"
Indah dan manis sekali, kedua
kakinya mendarat di pagar tembok. Tapi belum sempat pemuda berambut putih
keperakan ini berbuat sesuatu, beberapa orang yang tengah berjaga-jaga di
sekitar bangunan itu telah me- mergokinya.
"Cepat lapor pada
ketua," perintah salah seorang dari mereka. Sementara dia sendiri bersama
beberapa orang lainnya segera meluruk ke arah Dewa Arak.
Arya yang memang sengaja
hendak mengalihkan perhatian, segera melompat turun dari pagar tembok batu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya menjejak tanah, tepat pada saat delapan anggota gerombolan itu meluruk
ke arahnya dengan senjata terhunus.
Karena ingin mengalihkan
perhatian, Dewa Arak tidak bertindak setengah-setengah. Segera saja dikeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Singgg, singgg, wuttt....!
Delapan batang senjata tajam
yang terdiri dari tombak, pedang dan golok berkelebatan cepat ke berbagai
bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, Dewa Arak tetap
bersikap tenang. Dibiarkan saja hujan senjata- senjata tajam itu meluruk ke
berbagai bagian tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara-suara pekikan kaget
segera terdengar begitu hujan senjata-senjata tajam itu mengenai sasarannya.
Betapa tidak? Semua senjata yang mengenai sekujur tubuh Dewa Arak berbalik
kembali. Seolah-olah yang terbabat itu bukan tubuh manusia yang terdiri dari
daging dan tulang. Melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal.
Tapi suara pekik kekagetan itu
segera berganti dengan pekik kesakitan, begitu tangan Dewa Arak bergerak.
Padahal gerakan tangan pemuda berambut putih keperakan itu terlihat pelahan
saja. Tapi akibatnya, delapan orang kasar berpentalan tak tentu arah bagai
dilanda angin badai!
Tapi baru juga delapan orang
itu roboh, dari dalam bangunan tua itu muncul puluhan orang bahkan mungkin
seratus orang! Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya
berompi coklat, berdaun telinga satu.
Dewa Arak terperanjat kaget.
Sungguh tidak disangka- nya kalau jumlah anak buah Paman Guru Pendekar Tangan
Baja begitu besar. Beberapa saat lamanya, pemuda berambut putih keperakan ini
terlihat bingung.
Belum juga Arya berhasil
menghilangkan perasaan kagetnya, tahu-tahu tangan laki-laki setengah baya ini
berkelebat. Seketika itu juga anak buahnya yang berjumlah tak kurang dari tiga
ratus orang itu bergerak cepat mengurung. Dalam sekejap Dewa Arak telah
terkurung rapat.
Dewa Arak menyadari keadaan
yang tidak menguntung- kan baginya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dijumput-
nya guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu memasuki tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang
merayap memasuki perut Dewa Arak. Dan kemudian naik ke kepala.
Baru Juga Dewa Arak menurunkan
kembali gucinya. Laki-laki berompi coklat itu telah berseru keras.
"Serang...!"
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, orang-orang yang telah mengurung itu langsung bergerak menyerbu Dewa
Arak. Hujan senjata pun berkelebatan ke arah pemuda berambut putih keperakan
itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja
yang terkejut melihat hal ini. Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan
serupa.
Kini kekagumannya pada Dewa
Arak semakin bertambah besar. Sikap hati-hati pemuda berambut putih keperakan
itu begitu tepat, gumam pemuda berpakaian kuning dalam hati.
Tapi Pendekar Tangan Baja
tidak bisa terlalu lama larut dalam keterkejutannya. Pemuda berpakaian kuning
ini tahu, betapa pun lihainya Arya, tidak mungkin mampu menghadapi sekian
banyak orang. Apalagi di situ ada paman gurunya! Maka dia harus bertindak cepat
kalau ingin Dewa Arak tetap selamat.
Sekali lagi Pendekar Tangan
Baja memandang ke arah Dewa Arak yang sudah sibuk bertarung menghadapi
pengeroyokan lawannya. Kemudian tanpa membuang- buang waktu lagi, pemuda
berpakaian kuning ini melesat ke belakang. Mengelilingi bagian luar pagar
tembok. Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Pendekar Tangan Baja ingin buru- buru membantu Dewa Arak. Tapi untuk
itu dia harus lebih dulu menyelamatkan permaisuri.
Setelah berada di pagar tembok
bagian belakang, Pendekar Tangan Baja menghentikan Langkahnya. Pemuda
berpakaian kuning terdiam sejenak. Kemudian digenjotkan kakinya.
"Hih...!"
Sesaat kemudian tubuhnya
melenting, melewati pagar tembok. Indah dan manis gerakannya. Dan....
"Hup...!"
Seperti yang sudah
direncanakan Dewa Arak, keadaan di sini hening dan sepi. Sesaat Pendekar Tangan
Baja mengawasi keadaan di sekitar bangunan. Lalu melesat ke dalam melalui pinru
belakang.
Tanpa mengalami kesulitan,
pemuda berpakaian kuning ini memasuki pintu itu dan terus menerobos ke dalam.
Agak bingung juga pemuda berpakaian kuning melihat begitu banyak ruangan yang
ditemuinya dalam bangunan ini. Tapi perkenalannya dengan Dewa Arak telah
membuat pemuda ini mulai bisa mempergunakan akalnya.
Pendekar Tangan Baja buru-buru
menyelinap ke balik sebuah tiang, ketika dilihatnya empat orang berwajah kasar
dan bertubuh kekar berada di depan pintu sebuah ruangan. Pikiran pemuda
berpakaian kuning ini pun bekerja. Mengapa ruangan itu dijaga sementara
ruangan- ruangan lainnya tidak? Kemungkinannya hanya satu, permaisuri Prabu
Jayalaksana ditahan di dalam ruangan itu!
Setelah yakin pada dugaannya,
pemuda berpakaian kuning ini lalu melesat Pendekar Tangan Baja tidak ingin
memberi kesempatan pada para penjaga itu untuk mempergunakan permaisuri sebagai
sandera. Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya.
Tentu saja empat orang penjaga
itu kaget bukan main begitu melihat di hadapan mereka tahu-tahu berdiri seorang
pemuda berpakaian kuning. Pendekar Tangan Baja terkejut begitu mengenal salah
seorang di antara mereka adalah Rupangga. Sesaat, perasaan bimbang melanda
hatinya. Mengapa punggawa Kerajaan Kamujang ini berada di sini?
Tapi, Pendekar Tangan Baja
tidak bisa berpikir lama, Rupangga ternyata sudah mengenalnya. Terbukti, begitu
dilihatnya pemuda berpakaian kuning ini, segera dicabut goloknya. Tentu saja
ketiga rekannya mengikuti gerakannya itu.
Srat, srat.. !
Serentak keempat orang itu
menghunus senjatanya masing-masing. Dan secepat itu pula membabatkannya ke arah
Pendekar Tangan Baja. Tak pelak lagi empat buah senjata yang terdiri dari
pedang dan golok, berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh Pendekar
Tangan Baja.
Pendekar Tangan Baja hanya
mendengus. Sekali lihat saja, pemuda berpakaian kuning ini sudah dapat mengukur
tingkat kepandaian empat orang penjaga itu. Pendekar Tangan Baja tidak mau
mengulur-ulur waktu lagi. Cepat- cepat kedua tangannya digerakkan memapak hujan
senjata yang menyambar ke arahnya.
Tak, tak...!
Suara benturan keras terdengar
hampir bersamaan, begitu kedua tangan pemuda berpakaian kuning itu ber-
benturan dengan pedang dan golok di tangan para penjaga. Terdengar
pekikan-pekikan kaget dari mulut orang-orang kasar itu tatkala merasakan
tangan-tangan mereka tergetar hebat. Dan hampir hampir senjata mereka terlepas
dari genggaman.
Dengan perasaan terkejut
mereka memandang senjata masing-masing. Seketika sepasang mata mereka ter-
belalak tatkala melihat mata senjata mereka gompal. Dan belum lagi mereka
sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Pendekar Tangan Baja sudah bergerak cepat
ke a rah mereka.
Wut, wut...!
Buk! Buk!
"Hugh!"
"Aaakh...!"
Jertt melengking memilukan
terdengar hampir bersamaan ketika sepasang tangan Pendekar Tangan Baja mendarat
di perut mereka. Seketika itu juga tubuh para penjaga itu terlontar jauh ke
belakang bagai diseruduk banteng. Darah segar mengalir deras dari mulut,
hidung, dan telinga keempat penjaga itu.
Suara berdebukan keras
terdengar susul menyusul begitu tubuh mereka menghantam lantai. Saat itu juga
keempat orang penjaga itu diam tidak bergerak lagi. Diam untuk selama lamanya.
Tanpa mempedulikan keadaan
lawan-lawannya lagi, Pendekar Tangan Baja segera bergerak ke arah pintu.
Tinjunya dipukulkan ke daun pintu itu. Dan....
Brakkk!
Daun pintu itu hancur
berantakan ketika tinju Pendekar Tangan Baja menghantamnya. Pemuda berpakaian
kuning itu segera melesat ke dalam. Dan terlihatlah seorang wanita setengah
baya berpakaian indah beringsut ke sudut ruangan.
"Apakah Nisanak
permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" tanya Pendekar Tangan Baja tanpa
mempedulikan sikap wanita setengah baya itu.
Diam tak ada jawaban dari
wanita setengah baya itu.
"Bicara cepat, Nisanak!
Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku dan kawanku datang untuk menyelamatkan
Permaisuri Kerajaan Kamujang. Kawanku tengah meng- halangi yang lainnya. Cepat
jawab, Nisanak. Benarkah kau permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" desak
Pendekar Tangan Baja.
Wanita setengah baya itu
menatap wajah Pendekar Tangan Baja lekat-lekat. Kemudian pelahan kepalanya
terangguk pelan.
"Kalau begitu maafkan
aku."
Setelah berkata demikian,
Pendekar Tangan Baja melesat cepat menyambar tubuh wanita setengah baya itu.
Tappp...!
"Hup...!"
Secepat tubuh Permaisuri
Kerajaan Kamujang itu dipondongnya, secepat itu pula Pendekar Tangan Baja
melesat keluar.
***
Sementara itu di halaman depan
yang luas, laki-laki berompi coklat tengah memperhatikan Dewa Arak yang sibuk
menghadapi keroyokan anak buahnya. Wajah laki- laki setengah baya ini merah
padam, menyaksikan anak buahnya berjatuhan dan tak bangun lagi setiap kali
tangan, kaki, atau guci Dewa Arak bergerak. Sedangkan setiap serangan anak
buahnya selalu kandas. Sudah belasan orang anak buahnya yang roboh bergeletakan
di tanah.
"Minggir semua...!"
teriak laki-laki berompi coklat itu keras. Seketika itu juga anak buahnya
berlompatan mundur.
"Hup...!"
Lincah dan indah laksana
seekor kera, laki-laki berompi coklat itu melompat mendekati Arya.
"Jangan harap dapat lolos
dari sini, Dewa Arak!" desis laki-laki berdaun telinga satu itu tajam.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan penuh ancaman.
"Kita lihat saja
buktinya!" sahut Arya tenang. Memang luar biasa sekali kekuatan hati Dewa
Arak. Meskipun berada dalam ancaman maut, masih mampu bersikap tenang.
"Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan
nyaring, laki-laki berompi coklat melompat menerjang Dewa Arak. Paman Guru
Pendekar Tangan Baja ini sebelumnya memang pernah merasakan kelihaian pemuda
berambut putih keperakan itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau
melakukan patukan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun dan pelipis Arya.
Dewa Arak tidak mau bersikap
main-main lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini menyadari posisinya tidak
menguntungkan. Kalau dia bersikap setengah-setengah, sudah dapat dipastikan
akan tewas terbantai di sini. Maka tanpa ragu- ragu lagi, segera dikeluarkan
Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Dengan keunikan jurus 'Delapan Langkah
Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Laki-laki
berdaun telinga satu meng- geram keras begitu melihat lawannya tahu-tahu
lenyap. Tapi berkat pengalaman sebelumnya, sudah dapat diduga kalau lawan
berada di belakangnya. Maka begitu Dewa Arak telah tidak berada lagi di
depannya segera dibalikkan tubuhnya.
Bertepatan dengan berbaliknya
tubuh laki-laki berompi coklat itu, Arya sudah melancarkan serangan, Guci di
tangan Dewa Arak terayun deras ke arah kepala laki-laki berdaun telinga satu
itu.
Laki-laki berompi coklat itu
agak gugup. Serangan itu memang datangnya begitu tiba-tiba. Tapi laki-laki
setengah baya itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat dirunduk- kan tubuhnya.
Sehingga serangan guci itu menyambar tempat kosong. Lewat sekitar sejengkal di
atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan oleh laki- laki berompi coklat itu. Seraya merundukkan
tubuh, kedua tangannya melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk yang
tertekuk. Inilah ilmu 'Totokan Bangau'!
Dewa Arak terkesima melihat
kehebatan laki-laki berompi coklat itu. Sungguh di luar dugaannya kalau dalam
keadaan terjepit seperti itu, lawan mampu berbalik meng- ancam.
Tapi berkat jurus 'Delapan
Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu.
Kembali kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi hebatnya,
sesaat kemudian serangan lawan kandas percuma. Sesaat kemudian, kedua orang
sakti itu pun terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewa Arak kini berada dalam
puncak tertinggi pemakaian ilmunya. Banyaknya lawan dan keadaan yang
terjepitlah yang menjadikan pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Pertarungan antara kedua orang
sakti ini berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat tujuh puluh jurus
telah berlalu. Meskipun begitu, belum nampak tanda-tanda ada yang akan
terdesak. Baik Dewa Arak maupun laki-laki berpakaian coklat itu sama-sama
memiliki tingkat kepandaian seimbang. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan
kekuatan tenaga dalam, kedua orang ini pun ternyata setingkat.
Rupanya laki-laki berdaun
telinga satu itu tidak sabar lagi untuk mengakhiri pertarungan. Tapi sampai
sejauh ini dia tidak yakin kalau Dewa Arak mampu dikalahkannya seorang diri.
Bagaimana bisa mengalahkan, kalau menyentuh baju pemuda berambut putih
keperakan itu saja sudah sulit bukan main. Dengan langkah anehnya, Dewa Arak
selalu membuat semua serangannya kandas.
Perasaan tidak sabar itulah
yang mendorong, laki-laki berompi coklat ini berteriak keras memberi perintah.
"Maju...! Tangkap pemuda
ini..!"
Belum juga habis gema perintah
itu, seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan berambut jarang telah
melesat ke depan. Laki-laki ini adalah saudara kembar dari Gajah Putih. Dia
berjuluk Gajah Hitam Begitu masuk arena pertarungan, laki-laki tinggi besar
berkulit hitam ini segera mencabut senjatanya yang berupa ganco. Dan seketika
itu juga diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras
mengiringi tibanya serangan itu.
"Hih...!"
Cepat Dewa Arak menggenjotkan
kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melesat ke udara sehingga serangan ganco
itu lewat di bawah kakinya.
Tapi selagi tubuh pemuda
berambut putih keperakan masih berada di udara, laki-laki berompi coklat
melompat memburu. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau itu mematuk-
matuk cepat mencari sasaran.
Tidak ada pilihan lain bagi
Dewa Arak kecuali menangkis serangan itu. Tubuhnya yang sedang berada di udara,
menyulitkannya untuk mengelakkan serangan itu.
Plak, plak....!
Terdengar suara keras begitu
dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu bertemu.
Akibatnya, balk Dewa Arak maupun laki-laki berdaun telinga satu itu sama-sama
terpental ke belakang.
"Hup...!"
Rlngan tanpa suara kedua kaki
Dewa Arak menjejak bumi. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini
sempat berbuat sesuatu, beberapa sosok bertompatan menyerbu dengan senjata
terhunus, dan langsung membabatkan senjatanya.
Dari suara desingan senjata
mereka, Dewa Arak langsung dapat mengetahui kalau penyerangnya mem- punyai
kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Memang, mereka adalah para kepala-kepala
rampok yang ditunduk- kan dan dijadikan anak buah oleh laki-laki berompi
coklat.
Arya tidak berani menangkis
serangan-serangan itu dengan tangan kosong. Cepat-cepat diayunkan gucinya
menangkis semua serangan itu.
Klang, kang, klanggg...!
Suara berkerontangan terdengar
begitu guci itu beradu dengan senjata para penyerbu itu. Seketika itu juga,
senjata-senjata terhunus di tangan para pengeroyok itu berpentalan. Bahkan
bukan hanya senjata-senjata itu saja, tapi tubuh mereka juga berpentalan.
Tapi belum sempat Dewa Arak
menarik napas lega, serangan selanjutnya datang menyusul. Seraya berteriak
nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam kembali menerjang pemuda
berambut putih keperakan itu. Dan sebelum serangan itu sendiri tiba, serangan
dari laki-laki bertelinga satu pun datang menyusul. Berturut-turut datang pula
serangan susulan lainnya.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa
Arak kecuali melenting- kan tubuh ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara
kemudian mendarat ringan di tanah, beberapa tombak dari tempat semula.
***
Baru saja Arya menjejakkan
kakinya di tanah, tahu-tahu lawan-lawannya sudah meluruk menyerbu. Pertarungan
sengit pun kembali berlangsung
Dewa Arak mengeluh dalam hati.
Betapa pun tinggi dan uniknya jurus 'Delapan Langkah Belalang", tapi
karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak, akhirnya pemuda berambut putih
keperakan ini mulai terdesak.
"Hih...!"
Wut.. !
Gajah Hitam membabatkan
ganconya ke pelipis Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak
berani bersikap gegabah. Dari desir angin yang mengiringi tibanya serangan itu,
pendekar muda ini sudah dapat mengukur kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung
di dalamnya. Maka buru-buru dirundukkan tubuhnya.
Wusss... !
Sabetan ganco itu menyambar
lewat di atas kepala Dewa Arak. Belum lagi pemuda berbaju ungu ini sempat
berbuat sesuatu, laki-laki berompi coklat mengayunkan kaki ke perutnya. Agak
terkejut juga Dewa Arak. Posisiya benar-benar tidak menguntungkan, karena pada
saat itu dia baru saja mengelakkan serangan Gajah Hitam. Tidak ada jalan lain baginya,
kecuali menghadang tendangan itu dengan guci arak nya.
Bukkk... !
Keras bukan main tendangan
yang dilontarkan laki-laki berompi coklat itu. Kuda-kuda Dewa Arak sampai goyah
dibuatnya, dan tubuh pemuda berambut putih keperakan ini pun oleng ke belakang.
Keadaan ini segera dimanfaat- kan oleh empat orang kepala rampok yang kini
sudah meluruk cepat menyerbu Dewa Arak.Tapi untunglah Dewa Arak memiliki ilmu
'Belalang Sakti' yang membuat dirinya dapat melompat atau bergerak dalam posisi
apa pun. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Dan kini, dengan
mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berusaha meng- elakkan
serangan-serangan itu.
Tapi di saat itu, Gajah Hitam
mengayunkan ganconya. Cepat-cepat Arya mengelak. Tapi...
Crattt..!
"Akh...!"
Dewa Arak memekik pelan.
Sabetan ganco itu menyerempet perutnya. Cairan merah kental pun mengalir keluar
dari perut Arya yang terobek cukup lebar. Tubuh pemuda berambut putih keperakan
ini terhuyung-huyung ke belakang.
"Ha ha ha..!"
laki-laki berompi coklat tertawa bergelak. "Sekarang terimalah kematianmu,
Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berdaun telinga satu itu melompat menerjang Dewa Arak. Kedua
jari-Jari tangan- nya yang berbentuk cakar, meluruk ke arah dada Dewa Arak.
Tercekat hati Arya melihat hal
ini. Segera dicekalnya guci arak dengan kedua tangan, kemudian didorongkan ke
depan, memapak serangan yang menuju dadanya.
Plakkk... !
Dewa Arak terjengkang ke
belakang dan jatuh ber- gulingan di tanah saking kerasnya benturan. Darah yang
mengalir dari perutnya semakin banyak merembes keliar. Tapi pemuda berambut
putih keperakan ini bergegas bangkit. Sementara laki-laki berompi coklat,
melangkah lambat-lambat menghampiri. Namun belum tiga tindak laki- laki berdaun
telinga satu ini melangkah, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Sanca Mauk! Akulah
lawanmu....!"
Sebuah teriakan keras membuat
langkah laki-laki berompi coklat ini terhenti. Kepalanya menoleh ke arah asal
suara. Seketika wajah laki-laki setengah baya ini berubah begitu melihat
seorang yang bergerak cepat mendatanginya.
"Gumintang....,"
desah laki-laki berompi coklat yang ternyata bemama Sanca Mauk ini.
Cepat bukan main gerakan orang
yang bemama Gumintang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada tiga tombak
di depan laki-laki berdaun telinga satu.
"Pendekar Tangan
Baja," desah Dewa Arak begitu melihat orang yang dipanggil Gumintang.
"Ooo... Jadi, kau rupanya
orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja itu, Gumintang?! Ha ha ha...! Mana si
tua bangka itu?" ucap Sanca Mauk sambil tersenyum sinis.
"Untuk membawamu kembali,
tak perlu guruku turun tangan. Aku sendiri pun sanggup, Sanca Mauk!"
tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
"Ha ha ha..! Sanca Mauk
tertawa bergelak. "Kau hanya mengantarkan nyawa saja, Bocah! Jangankan
dirimu, gurumu sendiri pun tidak akan mampu melawanku!"
"Kita lihat saja
buktinya, Sanca Mauk!" sergah Pendekar Tangan Baja keras.
Setelah berkata demikian,
pemuda berpakaian kuning ini melompat menerjang Sanca Mauk. Kedua tangannya
mengirimkan pukulan beruntun ke arah dada dan ulu hati Sanca Mauk.
Begitu Pendekar Tangan Baja
telah terlibat pertarungan dengan Sanca Mauk, anak buah laki-laki berompi
coklat itu segera menyerbu Dewa Arak. Kembali pemuda berambut putih keperakan
ini harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi keroyokan puluhan
lawannya.
Walaupun telah terluka, Dewa
Arak masih mampu mengadakan perlawanan sengit. Ke mana saja tangan, kaki atau
gucinya bergerak, pasti ada lawan yang roboh dan tidak mampu bangkit lagi.
Tapi lawan yang dlhadapi
pemuda berambut putih keperakan ini terlalu banyak. Lagi pula tidak sedikit di
antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Maka pelahan namun pasti Dewa
Arak mulai terdesak. Apa lagi, pemuda berambut putih keperakan ini memang sudah
terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tapi sedikit banyak mengurangi
kelincahannya.
Di saat Dewa Arak semakin
terdesak, terdengar suara berderak keras disusul hancumya pintu gerbang depan.
Tentu saja suara ribut-ribut itu mengejutkan semua yang ada di situ. Untuk
sesaat pertarungan terhenti. Dan kini semua perhatian tertuju ke arah pintu
gerbang. Dari sekian banyak orang yang ada di situ, hanya Pendekar Tangan Baja
saja yang tidak merasa terkejut. Karena pemuda berpakaian kuning ini sudah bisa
menduga apa yang terjadi. Apalagi kalau bukan perbuatan pasukan Kerajaan
Kamujang yang datang bersamanya! Hanya saja karena tidak sabar lagi, pemuda
berpakaian kuning ini melesat lebih dulu.
Dapat dibayangkan betapa
terkejutnya Sanca Mauk dan anak buahnya, begitu melihat beratus-ratus pasukan
kerajaan memasuki markas mereka. Menilik dari banyaknya, mungkin tidak kurang
dari lima ratus orang! Dan yang lebih gila lagi, di antara mereka terdapat
Pasukan Kuku Garuda. Dan tentu saja di antara mereka ada pula Prabu Jayalaksana.
Begitu masuk, pasukan Kerajaan
Kamujang itu segera menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Dan dalam
sekejap saja keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Pasukan Kerajaan
Kamujang yang datang menyerbu adalah pasukan pilihan. Maka dalam sekejap saja,
anak buah Sanca Mauk berguguran.
Sepak terjang Pasukan Kuku
Garuda lebih hebat lagi. Setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, sudah
dapat dipastikan ada anak buah Sanca Mauk yang roboh. Amukan pasukan khusus itu
baru agak tertahan ketika berhadapan dengan Gajah Hitam dan empat orang kepala
rampok lainnya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak
sudah dapat mengetahui kalau tanpa bantuannya pun, pasukan Kerajaan Kamujang
mampu memenangkan pertarungan. Maka pemuda berambut putih keperakan ini segera
bergerak menyingkir dari kancah pertarungan. Dan hanya berdiri memperhatikan
saja.
Prabu Jayalaksana yang sejak
tadi berdiri mem- perhatikan jalannya pertarungan, dengan dikawal oleh empat
orang Pasukan Kuku Garuda, melangkah meng- hampiri Dewa Arak.
"Bagaimana Gusti Prabu
bisa sampai kemari?" tanya Arya. Sebenarnya dia sudah bisa menduganya.
Tapi pemuda berambut putih keperakan ini ingin mendengamya langsung dari mulut
yang bersangkutan.
"Pendekar Tangan Baja
datang ke istana sambil membawa permaisuri. Pemuda perkasa itu juga
menceritakan kalau kau tengah menghadapi banyak lawan di sini. Hhh...!
Mudah-mudahan saja semua kekacauan di wilayah Kerajaan Kamujang segera berakhir
karena orang dalam yang telah menculik permaisuri, juga telah tertangkap,"
jelas Prabu Jayalaksana.
"Siapa orang dalam yang
terlibat itu, Gusti Prabu?" tanya Arya setengah hati. Sekedar menyahuti
ucapan Raja Kamujang itu.
"Panglima Ramkin. Orang
yang dulu kusuruh memimpin pasukan untuk menangkapmu dan Pendekar Tangan
Baja," jawab Prabu Jayalaksana. "Dari Dinda Permaisurilah
keterlibatannya dengan para pengacau itu kuketahui. Hhh,..! Sungguh tidak
kusangka...."
Dewa Arak hanya diam
mendengarkan. Sedikit pun tidak diselanya ucapan Raja Kamujang itu.
"Ternyata Panglima Ramkin
berambisi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Maka dia bergabung dengan
komplotan penculik untuk merongrong keutuhan Kerajaan Kamujang," sambung
Raja Kamujang lagi. "Kalau saja tidak ada dirimu dan Pendekar Tangan Baja,
mungkin usahanya akan berhasil. Seluruh daerah telah siap memberontak akibat
fitnahan yang dilancarkannya. Hhh...! Syukurlah kini semua telah
teratasi."
Arya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya segera dilayangkan ke arah
pertarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk yang masih
berlangsung sengit. Seratus jurus telah berlalu. Tapi belum nampak tanda-tanda
ada yang akan terdesak. Kepandaian kedua orang itu ternyata seimbang.
Hebat bukan main akibat yang
ditimbulkan dari pertarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk
itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Desir angin tajam, menderu dan mencicit,
menyemaraki pertarungan itu. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Sebetulnya tingkat kepandaian
Pendekar Tangan Baja masih di bawah Sanca Mauk. Tapi karena keistimewaan tangan
pemuda ini, tambahan lagi gurunya telah mewariskan ilmu yang dapat dipakai
untuk melumpuhkan ilmu Sanca Mauk, membuat Pendekar Tangan Baja yang bernama
Gumintang ini mampu mengimbangi lawannya.
Sanca Mauk menggeram keras.
Sungguh tidak disangka kalau kepandaian yang dimiliki murid keponakannya ini
demikian tinggi. Tepat pada jurus ke seratus lima puluh, seraya membentak
keras, laki-laki berompi coklat ini mengibaskan tangannya.
Serrr... !
Pendekar Tangan Baja terkejut
bukan main begitu melihat berpuluh puluh jarum beracun menyambar ke arahnya.
Apalagi saat itu dirinya berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Cepat-cepat tubuhnya di lempar ke samping dan bergulingan di tanah beberapa
kali.
Sanca Mauk memang sudah
menduganya. Maka begitu dilihatnya Pendekar Tangan Baja melompat, segera laki-
laki berompi coklat ini melompat menyusul. Dan langsung melancarkan serangan
beruntun ke arah Pendekar Tangan Baja yang masih bergulingan di tanah.
Tidak ada jalan lain bagi
Pendekar Tangan Baja selain terus menggulingkan tubuh, menyelamatkan selembar
nyawanya. Tapi Sanca Mauk yang sudah menang posisi, tidak mau membiarkannya.
Diburunya tubuh yang bergulingan itu seraya terus melancarkan serangan
bertubi-tubi.
Pendekar Tangan Baja sadar
bila keadaan masih terus seperti ini, suatu saat serangan lawan akan
mengenainya juga. Maka pemuda berpakaian kuning ini mengambil keputusan nekad.
Pada suatu kesempatan, tubuhnya melenting ke atas.
"Hih...!"
Ternyata hal itu sudah
diperhitungkan oleh Sanca Mauk. Terbukti begitu tubuh Pendekar Tangan Baja itu
melenting, kakinya bergerak menendang. Cepat bukan main gerakan- nya. Gumintang
mencoba menggeliatkan tubuh untuk mengelak, tapi...
Bukkk!
"Akh...!"
Pendekar Tangan Baja memekik
tertahan. Keras dan telak sekali tendangan Sanca Mauk mengenai perutnya.
Seketika itu juga, rasa mual dan mules yang amat sangat mendera perutnya.
Cairan merah kental pun meleleh di sudut bibirnya. Belum lagi pemuda berpakaian
kuning ini berbuat sesuatu, paman gurunya kembali melancarkan serangan bertubi-tubi
Tukkk!
Plakkk!
"Akh...!"
Gumintang kembali memekik
tertahan ketika patukan tangan kanan Sanca Mauk mengenai bahunya. Sementara
tangan kiri yang mengibas mengenai dadanya. Tubuh Pendekar Tangan Baja kontan
terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah.
Pendekar Tangan Baja berusaha
bangkit. Tapi ternyata tidak mampu. Tiga buah serangan yang diterimanya,
membuat pemuda itu terluka cukup parah. Belum lagi rasa sakit yang melanda
perutnya hilang, datang lagi rasa sesak yang amat sangat di dadanya. Bahunya
juga robek mengeluarkan darah segar, terkena patukan tangan Sanca Mauk.
"Terimalah kematianmu,
Anak Keparat!" teriak laki-laki berompi coklat itu seraya melompat
menerkam Gumintang
yang sudah tergolek tidak
berdaya.
Sudah dapat dipastikan kalau
Sanca Mauk akan berhasil membunuh Pendekar Tangan Baja. Tapi sebelum serangan
laki-laki berdaun telinga satu itu mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu
melesat memapak serangannya.
Plak, plak....!
Terdengar suara keras
berkali-kali, ketika dua pasang tangan dari dua sosok tubuh yang sama-sama
berada di udara berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Sanca Mauk maupun Dewa Arak
sama-sama terjengkang ke belakang.
Tapi baik Sanca Mauk, maupun
Dewa Arak dengan mudah meredam daya dorong itu. Indah dan manis sekali tubuh
keduanya bersalto di udara.
Serrr... !
Kembali untuk yang ke sekian
katinya, Sanca Mauk mengibaskan tangan, melepaskan jarum-jarum beracun- nya.
Dan itu dilakukannya ketika tubuhnya masih bersaho di udara. Sudah barang tentu
hal ini membuat Dewa Arak kaget. Apalagi serangan jarum itu cfilepaskan selagi
tubuhnya juga masih berada di udara.
Cepat diturunkan kedua
tangannya, dan dijadikan sebagai landasan kaki. Sekali kakinya bergerak
menggenjot tubuh pemuda berambut putih keperakan ini telah melayang kembali ke
atas. Sehingga serangan jarum itu lewat di bawah kakinya.
Selagi berada di udara, Dewa
Arak menghentakkan kedua tangannya ke bawah, ke arah tubuh lawan yang masih
berada di udara. Dalam kemarahannya karena lawan berlaku licik, pemuda berambut
putih keperakan ini telah menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang
dipergunakannya.
Angin berhawa panas menyengat
berhembus keras ke arah Sanca Mauk. Laki-laki berompi coklat ini kaget bukan
main. Apalagi saat ini tubuhnya tengah berada di udara. Serangan Dewa Arak
benar-benar di luar dugaannya. Sedapat mungkin Sanca Mauk berusaha
menggeliatkan tubuhnya. Tapi..
Bresss... !
"Aaakh...!"
Sanca Mauk menjerit melengking
memilukan ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak, telak menghantam tubuhnya.
Usahanya untuk menyelamatkan diri gagal total.
Brukkk!
Dengan mengeluarkan suara
berdebuk keras, tubuh Sanca Mauk terbanting di tanah. Seketika itu juga nyawa
laki-laki berdaun telinga satu ini lepas dari raganya. Sekujur tubuhnya hangus
mengeluarkan bau sangit daging terbakar.
Berbareng tewasnya Sanca Mauk,
pertarungan antara pasukan Kerajaan Kamujang dengan anak buah laki-laki berdaun
telinga satu itu pun berakhir. Pihak pasukan Kerajaan Kamujang memperoleh
kemenangan mutlak. Sebagian besar lawan tewas terbunuh. Hanya tinggal beberapa
gelintir saja yang selamat. Itu pun karena menyerah. Dan kini mereka menjadi
tawanan.
Melihat kemenangan pasukannya,
Prabu Jayalaksana gembira bukan kepalang. Sesaat lamanya Raja Kamujang ini
melupakan Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja. Dan ketika akhirnya Prabu
Jayalaksana teringat, kedua pemuda perkasa itu telah tidak berada lagi di situ.
Bahkan mayat Sanca Mauk pun telah lenyap.
"Hhh...!" Raja
Kamujang menghela napas dalam. Orang nomor satu di Kerajaan Kamujang ini
mengetahui betul alasan kedua pemuda itu pergi tanpa pamit. Dan ini jadi
membuatnya lebih kagum. Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja tidak memerlukan
ucapan terima kasih atau imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan. Kedua
pemuda perkasa itu melakukan semua ini tanpa pamrih.
"Kalau saja di dunia ini
banyak orang seperti mereka, tidak akan ada kekacauan...," gumam Prabu
Jayalaksana. Sepasang matanya memandang kosong ke langit.
Sementara hari telah menjelang
senja. Sinar mentari yang mulai meredup, menyinari dua sosok tubuh yang tengah
berjalan pelahan. Dua sosok itu adalah Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja yang
tengah melangkah berdampingan. Di bahu Pendekar Tangan Baja nampak terpanggul
mayat Sanca Mauk.
Sesampainya di sebuah
persimpangan kedua pemuda perkasa ini menghentikan langkahnya.
"Kau tidak bersedia ikut
denganku, Arya? Kurasa guruku senang berkenalan denganmu," ucap Pendekar
Tangan Baja yang sudah agak sembuh dari luka dalamnya.
"Terima kasih, Pendekar
Tangan Baja! Sayang sekali aku tidak bisa memenuhi ajakanmu. Perjalananku masih
jauh. Percayalah! Suatu saat nanti, pasti aku akan mengunjungimu," janji
Dewa Arak.
"Kalau begitu baiklah.
Aku akan menunggu kedatangan- mu, Arya, " sahut Gumintang mengalah.
"O ya, terima kasih atas semua bantuanmu "
"Lupakanlah, Pendekar
Tangan Baja!" sambut Dewa Arak seraya tersenyum lebar. Pendekar Tangan
Baja juga tersenyum. Kemudian pemuda berpakaian kuning ini melangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak memandangi kepergian
Pendekar Tangan Baja beberapa saat. Baru setelah itu dilangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Tugas
selaku pendekar pembela kebenaran.
SELESAI