Serial Dewa Arak 09 - Pendekar Tangan Baja

Seorang pemuda tampan bercambang lebat, dan berpakaian kuning, kembali melompat. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu berputar beberapa kali di udara.
09 - Pendekar Tangan Baja

"Hih...!"

Seorang pemuda tampan bercambang lebat, dan berpakaian kuning, kembali melompat. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu berputar beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali gerakannya. Dan....

Pyarrr...!

Air sungai memercik tinggi, begitu sepasang kaki pemuda itu mendarat kembali di permukaan air. Luar biasa! Kalau saja ada orang yang melihatnya, tentu pemuda ini dikiranya hantu penunggu sungai. Mana ada manusia yang dapat berdiri di atas permukaan air?

Tapi kenyataannya pemuda bercambang lebat itu memang mampu berdiri di atas permukaan air. Bahkan sesekali melompat dan bersalto beberapa kali di udara, kemudian kembali mendarat di permukaan air!

Dan selagi tubuhnya berputar di udara, terlihat kalau sepasang kaki pemuda itu ternyata tidak hanya bersepatu saja, tapi ada sesuatu yang menempel pada kedua telapak sepatunya. Memang, pada telapak kaki pemuda ber­pakaian kuning itu, nampak sepotong papan yang tidak begitu tebal, tapi agak lebar. Rupanya papan itu digunakan sebagai alas agar dapat mengapung di permukaan air. Tapi meskipun begitu, tanpa memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tidak mungkin pemuda itu dapat berbuat begitu.

Tak lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu ber- gegas mendekati pinggir sungai. Untungnya, di situ sepi. Tidak nampak sebuah rumah pun yang terlihat, sehingga perbuatannya tidak menarik perhatian.

"Hih...!"

Begitu telah mendekati pinggir sungai, pemuda ber­cambang lebat itu melenting. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, sebelum akhimya mendarat di pinggiransungai.

Begitu telah berada di tanah, pemuda itu segera melepaskan potongan kayu yang terikat pada kedua kakinya. Lalu dilemparkan begitu saja di tanah.

Kini pemuda berpakaian kuning itu membalikkan tubuh­nya. Sepasang matanya menerawang jauh ke seberang sungai.

Cukup lama juga pemuda bercambang lebat itu berbuat demikian, sebelum akhimya melangkah pelan meninggal- kan tempat itu. Mulanya langkahnya satu-satu, tapi beberapa saat kemudian, bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Ternyata pemuda bercambang lebat dan berpakaian kuning itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Tubuhnya hampir tidak ter­lihat oleh mata. Yang terlihat hanyalah sekelebaran bayangan kekuningan.

Pemuda berpakaian kuning itu terus berlari seraya mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam waktu singkat, tempat tadi telah jauh tertinggal. Larinya baru diperlambat dan akhimya berhenti sama sekali, begitu memasuki tembok batas sebuah desa.

Luar biasa! Sungguhpun telah berlari menempuh jarak yang jauh, tidak nampak tanda-tanda kalau pemuda ber­pakaian kuning ini mengalami kelelahan. Napasnya biasa saja. Tidak nampak memburu sedikit pun. Bahkan di wajah tampannya, sama sekali tidak terlihat setitik pun keringat.

Pemuda bercambang lebat ini melangkah memasuki desa. Alisnya agak berkerut ketika melihat hampir semua anak-anak kecil di desa itu bertelanjang bulat dan ber- tubuh kurus kering. Seolah-olah mereka tidak cukup men- dapat makanan. Padahal tadi di pinggiran desa, jelas dilihatnya hamparan padi yang tumbuh subur.

"Aneh...," gumam pemuda berpakaian kuning itu pelan seraya melanjutkan langkahnya.
Setelah cukup jauh berjalan, pemuda bercambang lebat ini menghentikan Langkahnya. Sayup sayup didengamya
suara bentakan-bentakan keras penuh kemarahan.

Rasa ingin tahu, membuat pemuda berpakaian kuning ini mempercepat langkahnya menuju ke arah asal suara. Dan dengan sendirinya, suara-suara bernada penuh kemarahan itu pun semakin keras terdengar.

Tak lama kemudian, pandang mata pemuda berpakaian kuning itu tertumbuk pada beberapa sosok yang nampak- nya tengah terlibat pertengkaran. Beberapa orang ber- seragam prajurit, dan seorang berpakaian putih. Dua di antara prajurit itu berdiri angker di hadapan orang ber­pakaian putih yang tertunduk ketakutan.

"Rupanya kau sudah berani menentang perintah Gusti Prabu, Paladi," ucap seorang yang berseragam punggawa penuh kemarahan. Sementara di sebelahnya, berdiri se­orang prajurit yang menggenggam sebatang cambuk.

"Maafkan aku, Den Rupangga. Bukannya aku me­nentang perintah Gusti Prabu. Tapi, hasil panen kali ini tidak sebanyak hasil sebelumnya. Kalau kami paksakan diri memberi upeti seperti biasa, penduduk desa ini akan mati kelaparan," sahut laki-laki setengah baya berpakaian putih yang bemama Ki Paladi.

"Aku tidak peduli!" bentak punggawa yang bernama Rupangga. Keras sekali suaranya sehingga Ki Paladi sampat terjingkat ke belakang saking kagetnya. Sekilas kepala laki-laki berpakaian putih ini terangkat, tapi begitu melihat sepasang mata penuh amarah tertuju padanya, kepalanya ditundukkan kembali, "Kedatanganku kemari bukan untuk mendengar segala macam alasan, Paladi. Aku datang untuk meminta pajak sesuai dengan keputusan yang ditetapkan Gusti Prabu. Dan menjadi tugasmu selaku kepala desa untuk memenuhinya! Soal penduduk desa ini mati kelaparan bukan urusanku! Kau mengerti, Paladi!" sergah Rupangga.

Ki Paladi yang ternyata seorang kepala desa meng- anggukkan kepalanya.

"Aku mengerti, Den Rupangga. Tapi kumohon Aden mau bermurah hati memberikan kami waktu untuk..."

"Keparat! Orang seperti kau memang harus dihukum! Agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berani menentang keinginan Gusti Prabu!" selak punggawa yang bernama Rupangga cepat, sebelum kepala desa itu menyelesaikan ucapannya. "Prajurit! Beri pembangkang ini sepuluh cambukan!"

Prajurit yang sejak tadi berdiri di sebelah Rupangga ter- senyum lebar. Kegembiraan terbayang jelas di wajahnya. Memang sudah menjadi kesenangannya, melihat orang menggeliat-geliat kesakitan menerima cambukannya. Maka begitu mendapat perintah, segera saja dia men­dekati sang kepala desa. Cambuk yang sejak tadi ter- genggam di tangannya, ditimang-timang sambil menyeringai lebar.

"Ampun, Den Rupangga. Aku berjanji akan meng- usahakannya..." ucap Ki Paladi memohon kebijaksanaan. Tapi punggawa ini hanya memandangi sang kepala desa dengan tatapan dingin. Sementara prajurit itu segera mengayunkan cambuknya.

Tarr!
"Akh...!"

Kepala Desa itu menjerit memilukan ketika ujung cambuk itu melecut punggungnya. Seketika itu juga, tubuh­nya menggeliat-geliat. Pakaiannya di bagian punggung, kontan sobek memanjang. Di kulit punggungnya nampak garis panjang menghitam.

"Ampun, Den Rupangga..." rintih Ki Paladi lagi. Tapi punggawa itu tetap diam tak bergeming. Sehingga kembali lecutan cambuk menyambar punggungnya.

Tarr!
"Akh...!"

"Jahanam!" teriak pemuda berpakaian kuning keras. Darahnya mendidih melihat adegan penyiksaan di depan matanya. Seketika itu juga pemuda ini melesat ke arah kepala desa yang tengah disiksa.

Wuuut..!

Untuk ke sekian kalinya, cambuk di tangan prajurit itu kembali dilecutkan. Tapi....

Tappp...!

Kali ini ujung cambuk itu tertahan di udara. Semula prajurit yang tengah menyiksa Ki Paladi, agak heran ketika merasakan cambuknya tertahan di udara. Segera dibalik- kan tubuhnya. Tampak oleh prajurit itu apa yang menyebabkan cambuknya tertahan. Ujung cambuk itu ternyata tergenggam di tangan seorang pemuda ber­pakaian kuning.

"Keparat...!" geram prajurit bercambuk itu. Dengan sekuat tenaga cambuknya dihentakkan. Tapi walaupun telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja cambuk itu tidak bergeming.

"Uh.uhhh...!"

Terdengar suara mengeluh dari mulut prajurit itu, dalam upayanya menarik cambuk itu. Namun tetap saja cambuk itu sama sekali tidak bergeming. Padahal nampak jelas olehnya kalau pemuda berpakaian kuning itu sepertinya tidak mengerahkan tenaga sama sekali! Wajah pemuda itu pun biasa saja. Tidak merah padam penuh otot-otot yang menggembung seperti dirinya!

Mendadak pemuda bercambang lebat itu melepaskan cekalan pada cambuknya. Padahal saat itu, si prajurit tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menarik kembali cambuknya. Akibatnya pun sudah bisa diduga! Tubuh prajurit itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaganya sendiri.

Brukkk... !

Prajurit itu menyeringai kesakitan ketika bokongnya menghantam tanah dengan keras. Tentu saja hal ini mem- buat prajurit itu menjadi naik pitam. Bergegas dia bangkit, dan langsung melecutkan cambuknya. Tapi kali ini tidak ke arah Ki Paladi, melainkan ke arah pemuda berpakaian kuning.

Pemuda berpakaian kuning itu mendengus. Kemudian tangannya diulurkan, menangkis lecutan cambuk itu.

Tarr!

Keras dan telak sekali ujung cambuk itu mengenai tangan pemuda berpakaian kuning. Luar biasa! Tidak nampak ada tanda-tanda kalau pemuda itu menderita kesakitan. Bahkan dengan kecepatan yang luar biasa, tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jari jemari tangan pemuda berpakaian kuning itu telah men- cengkeram ujung cambuk.

"Hih...!"

Pemuda bercambang lebat itu menggerakkan tangan menghentak. Hebat sekali! Tubuh prajurit itu kontan ter- lempar ke depan, melewati kepala pemuda berpakaian kuning.

"Aaa...!"

Prajurit itu berteriak ngeri tatkala mengetahui tubuhnya terlempar ke udara. Seketika itu juga, pegangan pada cambuknya dilepaskan.

Brukkk... !

Suara berdebuk keras kembali terdengar, begitu tubuh prajurit bercambuk itu jatuh dengan kerasnya di tanah. Tapi kali ini, prajurit itu tidak langsung bangkit. Dia meng- geliat-geliat di tanah. Dari mulutnya terdengar rintihan kesakitan.

Tentu saja Rupangga dan para prajurit lainnya kaget bukan main. Sungguh sama sekali tidak disangka, kalau prajurit bercambuk itu dapat dirobohkan dengan begitu mudah oleh pemuda berpakaian kuning.

"Tangkap pengacau ini!" perintah Rupangga keras pada para prajurit yang berada di kereta, seraya menudingkan telunjuknya ke arah pemuda berpakaian kuning.

Tanpa menungu di perintah dua kali, tiga orang prajurit yang semula hanya berdiam diri saja di atas kereta kuda, segera berloncatan turun.

Srattt...! Srattt...!

Sinar-sinar terang menyilaukan, langsung berpendar ketika prajurit-prajurit itu mencabut goloknya. Dan langsung mengurung pemuda berpakaian kuning. Suara berdesing nyaring terdengar, begitu golok-golok itu ber- kelebat menyambar pemuda itu.

Lagi-lagi pemuda berpakaian kuning hanya mendengus. Tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya kelebatan golok yang menyambar ke arahnya dengan tangan kosong.

Takkk, takkk, takkk...!

Terdengar suara nyaring begitu golok-golok itu ber- benturan dengan lengan pemuda berpakaian kuning. Seolah-olah yang beradu dengan golok-golok itu bukan tangan manusia yang terdiri daging dan tulang, melainkan sepotong baja yang amat kuat.

Tiga orang prajurit itu terkejut bukan kepalang. Seketika itu juga serangan mereka terhenti. Dan kekagetan mereka bertambah besar begitu melihat apa yang terjadi pada mata golok mereka. Mata golok golok itu gompal!

"Iblis...!" desis salah seorang dari tiga prajurit itu. Perasaan ngeri membayang di wajahnya. Tanpa sadar sepasang matanya menatap ke arah kedua tangan pemuda berpakaian kuning. Seketika itu juga sepasang matanya semakin membelalak lebar. Tangan pemuda ber­cambang lebat itu ternyata memang agak berbeda dengan tangan manusia biasa. Kedua tangan pemuda itu menyorotkan sinar kehitaman. Kedua rekannya yang juga menatap tangan pemuda berpakaian kuning itu sama- sama terperanjat.

Semua kejadian ini tak luput dari perhatian Rupangga. Dan punggawa ini pun dilanda kekagetan yang serupa.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Rupangga. Sepasang matanya merayapi wajah pemuda yang berdiri tak jauh di hadapannya. "Sungguh berani kau menentang pasukan kerajaan!"

Pemuda berpakaian kuning itu hanya tersenyum sinis.

"Aku? Aku..., Pendekar Tangan Baja! Aku tidak peduli siapa kalian! Yang jelas, aku tidak bisa tinggal diam, melihat kekejaman di depan mataku!" sahut pemuda ber­pakaian kuning itu tegas.

Dua alis Rupangga berkerut. Sekarang dia mengerti, mengapa kedua tangan pemuda itu begitu luar biasa. Dari julukannya, punggawa itu sudah bisa memaklumi kekuatan tangan pemuda itu

"Kuperingatkan kau, Anak Muda. Jangan sekali-kali ber- tindak sok pahlawan di depan kami. Kau tahu apa akibat perbuatanmu? Kau akan menjadi musuh kerajaan! Kau akan jadi buruan tentara Kerajaan!" gertak Rupangga.

"Tidak usah menggertakku, Punggawa!" sahut pemuda berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Pendekar Tangan Baja itu. "Perlu kau ketahui, untuk membela kebenaran dan melawan kelaliman, aku tidak takut menghadapi apa pun!"

"Sombong!" teriak Rupangga keras. Wajahnya langsung memerah menahan amarah yang bergolak di dadanya. Punggawa ini memang mempunyai sifat pemarah, maka tidak aneh jika kemarahannya langsung bergolak begitu melihat sikap Pendekar Tangan Baja.

"Tangkap pemberontak ini!" perintah Rupangga keras. Kedua tangannya langsung bergerak ke punggung.

Srattt, srattt...!

Sinar terang berkilauan, begitu punggawa ini meloloskan sepasang pedangnya Dan secepat kedua pedang itu terhunus, secepat itu pula tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Baja, menyusul anak buahnya yang telah menyerang lebih dulu.

Pendekar Tangan Baja tidak menjadi gugup melihat hujan serangan yang mengancamnya. Sekali lihat saja pemuda berpakaian kuning ini tahu kalau di antara ke empat serangan itu, serangan Rupanggalah yang paling berbahaya. Serangan punggawa ini memang tidak bisa disamakan dengan serangan anak buahnya. Serangan Rupangga mengandung tenaga dalam dan kecepatan jauh di atas keempat prajurit itu.

Meskipun Rupangga melakukan penyerangan belakangan dan juga jaraknya dengan Pendekar Tangan Baja paling jauh, tapi serangannya lebih dulu tiba daripada serangan anak buahnya.

Wuk, wuk...!

Angin cukup keras telah lebih dulu menyambar, sebelum serangan kedua pedang Rupangga tiba.

Pendekar Tangan Baja rupanya tidak ingin bertindak setengah-setengah. Segera saja kedua tangannya diulurkan, memapak sepasang pedang yang mengancam- nya. Dan secepat itu pula mencengkeramnya.

Tappp, tappp...!

Tak pelak lagi sepasang pedang Rupangga tercekal pemuda berpakaian kuning itu. Dan sebelum punggawa itu berbuat sesuatu, kaki kanan Pendekar Tangan Baja me- luncur cepat ke perutnya.

Wut.. ! Bukkk!
"Hugh...!"

Rupangga memekik tertahan. Tubuhnya kontan ter- jengkang ke belakang ketika tendangan Pendekar Tangan Baja telak dan keras menghantam perutnya. Seketika itu sepasang pedangnya terlepas dari genggaman. Rasa mules dan mual yang amat sangat menyerang punggawa ini.

Untung bagi Rupangga. Pendekar Tangan Baja tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu melontar- kan tendangan. Kalau tidak, punggawa ini tentu sudah tidak bernyawa lagi. Walaupun begitu, selama beberapa
saat Rupangga tidak mampu bangkit.

***
Baru saja Pendekar Tangan Baja merobohkan Rupangga, serangan tiga batang golok dari anak buah punggawa itu telah datang bertubi-tubi bagaikan hujan. Tapi, dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi Pendekar Tangan Baja untuk mengelak. Lincah laksana seekor kera, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar golok yang menghujani.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya pun bergerak cepat. Sesaat kemudian terdengar pekik kesakitan susul-menyusul,diiringi robohnya tubuh para prajurit itu satu persatu.

Pendekar Tangan Baja memandangi lima sosok yang masih terkapar sambil merintih-rintih kesakitan.

"Bagaimana Punggawa? Masih penasaran?" tanya pemuda berpakaian kuning sambil tersernyum sinis.

Rupangga bangkit tertatih-tatih. Sepasang matanya menatap Pendekar Tangan Baja penuh dendam.

"Kali ini kau menang, Pendekar Tangan Baja! Tapi, ingat! Tak lama lagi kau akan merasakan pembalasanku!" ancam punggawa itu.

Setelah mengucapkan ancaman yang hanya ditanggapi pemuda berpakaian kuning sambil tertawa, punggawa itu berjalan menuju kereta.

"Bangun semua, kerbau-kerbau dungu! Kita kembali ke kotaraja!" teriak Rupangga keras.

Keempat orang prajurit itu pun bangkit, kemudian melangkah cepat ke arah kereta, walaupun agak tertatih- tatih.

"Paladi!" ucap Rupangga lagi sambil memandang sang kepala desa, sebelum kereta kuda bergerak.

Kepala desa yang sial itu pun menoleh.

"Kau dan seluruh penduduk desa ini pun akan menerima akibatnya!" ancam punggawa itu lagi.

Seketika itu juga wajah kepala desa itu memucat. Ki Paladi kenal betul siapa itu Rupangga. Orang yang mempunyai sifat pemarah dan pendendam. Punggawa ini tidak akan pemah membiarkan orang menghinanya.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Dua ekor kuda penarik kereta itu pun segera berlari cepat, begitu kusir kereta itu melecutkan cambuknya.
Debu mengepul tinggi begitu kereta kuda itu bergerak meninggalkan tempat itu. Dua pasang mata melepas kepergian kereta itu.

Sepasang mata yang bersinar tajam milik Pendekar Tangan Baja, dan sepasang mata yang menyorotkan sinar kecemasan milik Ki Paladi.

"Mengapa kau menolongku, Anak Muda?" tanya Ki Paladi ketika kereta kuda itu sudah tidak terlihat lagi.
Sepasang mata kepala desa ini menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning di hadapannya.

Pendekar Tangan Baja terlonjak kaget. Aneh, pertanyaan laki-laki berpakaian putih ini terdengar penuh penyesalan. Sedikit pun tidak nampak rasa terima kasih mendapat pertolongan. Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian kuning hanya berdiri seperti patung. Tidak tahu harus berkata apa.

"Kau tahu, Anak Muda. Perbuatanmu hanya akan mem- bawa bencana bagi seluruh penduduk desa ini!" Jelas Ki Paladi

Keras dan tajam sekali suara kepala desa itu. Tak heran jika Pendekar Tangan Baja yang memang mempunyai sifat keras kepala jadi bangkit emoslnya.

"Jadi, kau lebih suka kalau kubiarkan prajurit-prajurit itu menyiksamu?!" tanya pemuda berpakaian kuning setengah menyindir.
"Ya!" tandas Ki Paladi.

Tentu saja jawaban yang sama sekali tidak disangkanya itu membuat Pendekar Tangan Baja terkejut. Beberapa saat pemuda berpakaian kuning ini tercenung.

"Mengapa?" tanya Pendekar Tangan Baja setelah ber- hasil menenangkan hati.

Ki Paladi menarik napas panjang kemudian dihembus- kannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan berbuat seperti itu, keresahan hatinya dapat lenyap.

"Aku rela disiksa mereka daripada wargaku mengalami nasib yang lebih buruk lagi...," desah kepala desa itu perlahan. Sepasang matanya menerawang jauh ke langit.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki"
"Lebih baik kau tidak usah tahu, Anak Muda," tandas Ki Paladi.

"Ki? Jangan membuatku penasaran! Jelaskan maksud ucapanmu tadi!" sentak Pendekar Tangan Baja keras. Sepasang matanya menatap tajam wajah laki-laki setengah baya berpakaian putih itu.

"Kau memang berotak bebal! Perlukah kujelaskan lagi akibat tindakanmu tadi?!" sergah kepala desa itu tak kalah keras.

Merah wajah pemuda berpakaian kuning mendengar ucapan Ki Paladi. Kemarahannya pun bangkit. Tapi, Pendekar Tangan Baja mencoba menahan amarahnya, meskipun dadanya serasa akan meledak akibat emosi yang bergolak.

"Kau tahu, Pendekar Tangan Baja! Kalau saja kau tidak campur tangan dalam urusan ini, paling-paling hanya aku yang mereka siksa. Tapi karena kau telah campur tangan, maka semua penduduk desa ini akan menanggung akibatnya. Rupangga dan anak buahnya pasti akan kembali kemari! Bukankah kau telah mendengar ancaman tadi?" sambung laki-laki setengah baya berpakaian putih itu berapi-api.

Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau campur tangannya akan membawa akibat yang demikian besar. Perlahan emosinya pun mulai surut.

"Aku mengaku salah, Ki. Tapi, percayalah. Kalau mereka datang lagi, aku yang akan menghadapinya!" tegas pemuda berpakaian kuning.
"Kuhargai bantuan yang kau tawarkan itu, Anak Muda," ucap Ki Paladi lagi. Suaranya kini telah mulai melunak. Memang kemarahannya telah agak mereda begitu men­dengar ucapan pemuda berpakaian kuning itu. "Tapi, sayang. Aku tidak bisa menerimanya."

"Mengapa, Ki?!" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian kuning ini berkerut dalam. Perasaan heran membayang jelas di wajahnya.

"Sebelumnya aku mohon maaf, Anak Muda. Bukannya aku merendahkan kemampuanmu. Tapi, perlu kau ketahui, lawan yang akan kau hadapi sangat banyak, dan memiliki kepandaian tinggi."

"Aku tidak takut Ki!" selak Pendekar Tangan Baja cepat.

"Aku percaya kau tidak takut, Anak Muda. Tapi bagai- mana dengan para penduduk? Bisakah kau melindungi sekian banyak penduduk desa ini, sementara kau harus menghadapi lawan-lawan tangguh."

Pendekar Tangan Baja terdiam. Disadari kebenaran yang terkandung dalam ucapan kepala desa itu.

"Aku mohon dengan amat sangat, kau bersedia menyingkir dari desa ini, Anak Muda," pinta Ki Paladi. Sepasang matanya menatap wajah pemuda berpakaian kuning lekat-lekat meminta pengertian pemuda itu.

"Hhh...!" desah Pendekar Tangan Baja setelah ter- menung sekian lamanya "Baiklah. Kalau memang itu kemauanmu, Ki. Aku akan pergi. Tapi, bagaimana kalau mereka datang lagi?"

"Tidak usah kau pikirkan. Anak Muda. Aku yakin akan dapat mengatasinya," sahut Ki Paladi. Meskipun begitu, Pendekar Tangan Baja menangkap adanya nada keraguan dalam ucapan kepala desa ini.

"Baiklah, Ki." Pendekar Tangan Baja akhimya terpaksa mengalah.
"Terima kasih atas pengertianmu, Anak Muda."

Pendekar Tangan Baja hanya tersenyum pahit. Di langkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kepala desa menatap punggung pemuda berpakaian kuning hingga lenyap di kejauhan.

"Hhh...! Mudah-mudahan saja, aku dapat mengatasi­nya!" gumam Ki Paladi pelan. Lalu dilangkahkan kakinya menuju rumahnya. Kepala desa ini ingin mengobati luka- luka akibat cambukan prajurit tadi
***

Malam datang menjelang. Kegelapan mulai menyelimuti Desa Bakung. Suasana sepi pun mencekam sehuruh desa. Angin dingin berhembus menggigilkan, menusuk sampai ke tulang sumsum. Rasanya mustahil kalau ada penduduk yang keluar rumah di malam seperti ini.

Namun, tak seorang penduduk pun tahu kalau di malam dingin ini, berkelebatan beberapa sosok bayangan yang bergerak cepat menuju desa. Menilik dan gerakan mereka yang rata-rata cukup gesit itu, bisa diperkirakan kalau sosok-sosok bayangan itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

Dalam keremangan malam, sosok-sosok bayangan yang berkelebatan tadi tak ubahnya hantu-hantu yang bergentayangan mencari mangsa.

Tak lama kemudian, sosok-sosok bayangan itu telah memasuki mulut Desa Bakung. Sosok-sosok bayangan itu rata-rata berwajah kasar. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang! Dan begitu memasuki desa, mereka berpencar. Berkelompok empat-empat, menuju rumah rumah penduduk.

Srattt, srattt...!

Sinar terang berkilatan susul-menyusul begitu orang- orang yang berwajah kasar itu menghunus senjatanya masing-masing. Dan dengan senjata terhunus mereka bergerak mendekati rumah warga desa.

Brakkk... !

Sebuah rumah yang letaknya paling dekat dengan mulut Desa Bakung menjadi sasaran pertama. Daun pintu rumah itu langsung hancur berantakan, mengeluarkan suara hiruk pikuk ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya.Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat penghuni rumah tersentak bangun. Tapi, gerombolan orang kasar itu tidak memberi kesempatan. Begitu pintu hancur, mereka bergegas menerobos masuk. Dan langsung membabatkan senjatanya pada penghuni rumah yang baru saja beranjak keluar kamar.

Cappp, ceppp...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"

Terdengar jerit kematian saling susul. Diiringi robohnya pemilik rumah yang sial itu dengan tubuh bermandikan darah. Penduduk yang sial itu menggelepar-gelepar sejenak sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!

Malam yang begitu hening membuat suara jeritan itu menggema ke seluruh desa. Tentu saja suara jerit kematian itu mengejutkan penduduk yang berada di sekitar rumah itu. Tapi belum sempat mereka berbuat sesuatu, gerombolan orang-orang kasar lainnya tiba di rumah mereka.

Dan seperti kejadian di rumah yang pertama. Peristiwa serupa pun terjadi di rumah-rumah yang lain.

"Bakar...!"

Perintah seorang yang bertubuh tinggi besar, dan berambut jarang, begitu melihat anak buahnya telah keluar dari rumah yang penghuninya telah dibantai. Keras dan tegas suaranya. Rupanya orang ini adalah pemimpin rombongan.

Begitu si tanggi besar ini selesai mengucapkan perintah, puluhan orang berwajah kasar itu pun segera bergerak cepat. Obor-obor yang terpancang di tiap sudut rumah diambil. Lalu dilemparkan ke rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berdinding bilik. Obor-obor itu tidak hanya dilemparkan ke rumah-rumah yang penduduknya telah terbantai, tapi juga ke rumah-rumah yang belum mereka masuki.

Akibatnya sudah bisa diduga. Dalam sekejap saja rumah-rumah itu pun dilalap api yang lama-kelamaan semakin membesar dan membesar. Kepanikan pun segera terjadi. Para penduduk berlarian keluar rumah. Tapi, di luar ternyata telah menghadang bahaya yang tak kalah mengerikan.

Puluhan orang-orang kasar itu enak saja membabatkan senjatanya ke sana kemari. Tentu saja para penduduk yang tengah sibuk menyelamatkan diri dari amukan api, tidak siap menghadapi bahaya yang tidak terduga itu. Dalam waktu sekejap. Desa Bakung menjadi arena pembantaian yang mengerikan!

Jerit kesakitan dari orang yang terluka, teriakan ketakutan dari wanita-wanita, dan tangisan anak-anak berbaur menjadi satu, di tengah tengah kobaran api yang membumbung tinggi ke udara.

Suara hiruk-pikuk dan jeritan yang terdengar susul menyusul, sayup sayup sampai di telinga Ki Paladi. Laki- laki setengah baya berpakaian putih ini terkejut bukan main. Bergegas kepala desa ini berlari ke luar rumahnya. Kontan sepasang mata kepala desa ini terbelalak, begitu melihat api yang membumbung tinggi ke udara. Buru-buru Ki Paladi berlari menuju ke arah asal api.

Belum juga kepala desa itu tiba di tempat kejadian, langkahnya terhalang oleh para penduduk yang berlari-lari ketakutan. Sementara agak jauh di belakang mereka, terlihat puluhan sosok bergerak terus memasuki desa. Di sepanjang perjalanan, mereka membantai para penduduk yang ditemui sambil terus membakari rumah.

Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini marah bukan kepalang melihat kejadian ini. Cepat dia melesat menuju puluhan orang kasar yang masih menyebar maut itu.

Tapi langkah kaki kepala desa ini segera terhenti, ketika tiba-tiba sosok bayangan berkelebat menghadang di hadapannya. Langkah Ki Paladi terpaksa dihentikan. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok yang berdiri menghadang.

Sosok itu ternyata seorang laki-laki tinggi besar berambut jarang dan berkulit putih. Pimpinan gerombolan!

"Ha ha ha...! Mau ke mana kau, Paladi?!" tegur laki-laki tinggi besar itu kasar.

Sepasang mata Ki Paladi terbelalak, begitu mengenan laki-laki tinggi besar di hadapannya. Tokoh itu adalah Gajah Putih. Bersama adik kembamya yang berjuluk Gajah Hitam, laki-laki tinggi besar ini menjadi kepala rampok yang kejam dan ganas. Biasanya gerombolan ini beroperasi di hutan- hutan. Tapi, mengapa sekarang bisa datang ke sini? tanya Ki Paladi dalam hati. Perasaan bingung pun melanda hati Kepala Desa Bakung ini.

"Gajah Putih! Tidak tahukah akibat dari perbuatanmu ini?! Gusti Prabu akan mengerahkan pasukan untuk mem- basmi kau dan anak buahmu!" ucap Ki Paladi mencoba menggertak.

"Ha ha ha...!" Gajah Putih tertawa bergelak begitu Kepala Desa Bakung itu menghentikan ucapannya. "Lucu! Lucu sekali! Gusti Prabu tidak mungkin akan menangkap- ku! Tahukah kau mengapa aku datang ke sini?"

Laki-laki setengah baya berpakaian putih menggeleng- kan kepalanya.

"Aku datang ke sini, atas perintah Gusti Prabu!" tandas Gajah Putih tegas.
"Apa?!" Ki Paladi terkejut bukan alang kepalang.

"Kau terkejut Paladi? Aku datang ke sini, untuk menangkap Pendekar Tangan Baja. Hidup atau mati. Sekaligus membumihanguskan desa ini! Semua ini atas perintah Gusti Prabu Jayalaksana!" jelas Gajah Putih.

"Bohong! Kau bohong, Gajah Putih!" sentak Ki Paladi dengan wajah pucat
"Ha ha ha..! Aku tidak peduli, kau mau percaya atau tidak! Cepat beritahukan tempat pendekar keparat itu!" bentak Gajah Putih.
"Aku tidak tahu. Pemuda itu sudah pergi," sahut kepala desa itu.
"Kalau begitu, sekarang giliranmu dulu, Paladi! Kau dan seluruh penduduk desa ini! Hiyaaat. !"

Setelah menyelesaikan kata-katanya, laki-laki tinggi besar yang berjuluk Gajah Putih itu langsung menerjang sang kepala desa. Kepalannya yang besar, meluncur deras ke arah kepala Ki Paladi. Angin berdesir keras mengiringi tibanya pukulan itu.

Wuuuttt..!

Tapi Ki Paladi ternyata bukanlah orang lemah. Dengan sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke kanan. Sehingga serangan tinju Gajah Putih mengenai tempat kosong. Lewat setengah jengkal dari pinggang laki-laki tua berpakaian putih itu.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Ki Paladi. Pada saat itu juga, kepala desa ini mengayunkan kakinya ke arah dada lawan.

Bukkk!
"Eh...?!"

Ki Paladi memekik kaget. Tendangannya yang telak mendarat pada sasarannya, membalik. Malah sekujur kakinya dirasakan ngilu bukan kepalang. Seolah-olah yang ditendangnya tadi bukanlah dada manusia, melainkan segumpal baja kuat, sehingga membuat tenaga tendangannya tak berarti. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tangan kanan Gajah Putih menyambar kakinya.

Tappp...!
"Akh...!"

Ki Paladi terkejut bukan main tatkala menyadari pergelangan kakinya telah tertangkap Gajah Putih.

Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sadar kalau dirinya berada dalam bahaya. Cepat-cepat ditarik kakinya.

Tapi, ternyata cengkeraman tangan Gajah Putih terlalu kuat. Jangankan terlepas, bergeming pun tidak! Kepala Desa Bakung ini pun jadi ngeri bukan main. Ki Paladi tahu kalau nyawanya kini terancam. Sekali saja Gajah Putih menggerakkan jari-jari mencengkeram, atau membetot kakinya, celakalah dia.

Tapi di saat kritis bagi Ki Paladi, sesosok bayangan kuning melesat cepat. Dan langsung mengirimkan pukulan keras ke perut laki-laki tinggi besar berambut jarang itu.

Bukkk!
"Hugh...!" .

Tubuh Gajah Putih tertunduk. Rasa mual dan mules yang a mat sangat melanda perutnya. Seketika itu juga cengkeraman pada kaki Ki Paladi terlepas.

Tanpa membuang-buang waktu kepala desa itu langsung melompat mundur. Tahu-tahu di sebelah Ki Paladi telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning, dan bercambang lebat

"Pendekar Tangan Baja," desis Ki Paladi memanggil pemuda itu.

Sang penolong yang memang Pendekar Tangan Baja itu hanya melempar seulas senyum

***

Sementara itu Gajah Putih yang kini sudah berhasil memulihkan rasa sakit di perutnya, segera berdiri tegak kembali. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada pemuda berpakaian kuning yang berdiri di depannya. Tapi di samping perasaan marahnya, perasaan kaget pun melanda hatinya. Pemuda berpakaian kuning itu mampu membuat perutnya sakit, hanya dengan sekali pukul. Padahal selama ini belum pemah seorang lawan yang mampu menembus kekerasan kulit tubuhnya.

"Keparat!" geram laki-laki tinggi besar berambut jarang itu. "Jadi, kau orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja?!"
"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning seraya menganggukkan kepalanya.

Gajah Putih menggeram keras.

"Kalau begitu, kau harus mampus di tanganku! Hiyaaa...!"

Laki-laki tinggi besar berambut jarang itu menerjang Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya yang terkepal, mengirimkan serangan beruntun pada dada, ulu hati, dan perut pemuda berpakaian kuning.

Angin menderu dahsyat mengawali tibanya serangan Gajah Putih. Tapi pemuda berpakaian kuning itu seperti tidak mempedulikannya. Bahkan kepalanya menoleh ke arah Ki Paladi.

"Lebih baik kau bantu para penduduk, Ki," ucap Pendekar Tangan Baja pada Ki Paladi yang berdiri terpaku, menonton pertarungan kedua tokoh itu.

Tentu saja sikap pemuda ini membuat Gajah Putih ber- tambah murka. Karena dilihatnya pemuda berpakaian kuning itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya!

Memang bagi Pendekar Tangan Baja, serangan yang dilancarkan Gajah Putih tidak terlalu berbahaya. Gerakan laki-laki tinggi besar berambut jarang ini terlalu lamban baginya. Hanya saja setiap serangannya mengandung tenaga dalam penuh.

"Hih...!"

Sambil menggertakkan gigi, pemuda berpakaian kuning menggerakkan kedua tangannya yang terkepal, memapak pukulan Gajah Putih.

Dukkk, dukkk...!

Suara berderak keras terdengar ketika buku-buku tulang kedua orang ini berbenturan. Hebat akibatnya. Baik Pendekar Tangan Baja maupun Gajah Putih sama-sama terjajar ke belakang. Tenaga dalam kedua orang ini ternyata berimbang.

Semula begitu melihat lawan menangkis serangannya, Gajah Putih tertawa dalam hati. Laki-laki tinggi besar ini sudah dapat meramalkan kalau kedua tangan pemuda itu akan patah-patah bila bertemu lengannya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya begitu melihat kedua tangan pemuda berbaju kuning itu tidak apa-apa.

Bukan hanya Gajah Putih saja yang terkejut Pendekar Tangan Baja pun mengalami hal yang serupa. Sungguh tidak disangkanya kalau tenaga laki-laki tinggi besar berambut jarang ini begitu kuatnya. Sadarlah pemuda berpakaian kuning kalau kali ini dia tidak boleh bertindak main-main. Tapi walau bagaimana pun, Gajah Putih harus secepatnya ditundukkan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi.

Meskipun tengah bertempur, Pendekar Tangan Baja sempat melihat Ki Paladi tengah bertarung menghadapi gerombolan orang-orang berwajah kasar itu. Meskipun hanya melirik sekilas, Pendekar Tangan Baja dapat mengetahui kalau kepala desa itu tengah terdesak. Laki- laki setengah baya berpakaian putih itu tengah meng­hadapi keroyokan empat orang anggota gerombolan pengacau. Sedangkan sisa gerombolan masih menyebar maut, sambil terus melempari obor ke rumah-rumah pen­duduk. Warga desa yang memiliki sedikit kepandaian, men- coba mengadakan perlawanan. Tapi usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan orang kasar itu dengan mudah me- matahkan perlawanan mereka, dan membantainya.

Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya. Tapi ternyata empat orang lawannya ter­lalu tangguh. Hal ini membuat kepala desa ini menjadi gelisah bukan main. Sementara Pendekar Tangan Baja dilihatnya masih sibuk bertarung dengan Gajah Putih. Tidak ada lagi orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi gerombolan liar itu.

Mendadak, pendengaran Ki Paladi mendengar suara teriakan teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya anggota gerombolan itu satu persatu. Tentu saja hal ini membuat Ki Paladi kaget. Sambil terus menghadapi empat orang pengeroyoknya, sudut matanya melirik.

Tampak oleh Ki Paladi, seorang pemuda berpakaian ungu dan berambut putih keperakan telah berdiri di situ. Luar biasa! Pemuda itu hanya mengibas-ngibaskan tangan­nya dengan sikap sembarangan saja. Tapi akibatnya, gerombolan perampok itu berpentalan seperti dilanda angin badai yang amat kuat.

Dalam waktu singkat, belasan anggota gerombolan sudah berpentalan tak tentu arah. Dan hebatnya, setiap anggota yang berpentalan itu tidak mampu bangkit lagi. Meskipun begitu, tidak ada di antara mereka yang tewas!

Sementara di lain arena, Pendekar Tangan Baja sudah menguasai keadaan. Berkat ilmu meringankan tubuh, dan kecepatan geraknya yang jauh di atas Gajah Putih, pemuda berpakaian kuning itu dapat menekan lawannya. Tidak sampai delapan jurus bertarung, Gajah Putih sudah ter- desak hebat.

Gajah Punh meraung murka. Berkali-kali laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini dibuat pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya. Gajah Putih tidak berani menerima setiap pukulan yang dilontarkan pemuda berpakaian kuning itu. Tapi laki-laki tinggi besar dan berambut jarang berani membiarkan kaki Pendekar Tangan Baja menghantam sekujur tubuhnya.

Gajah Putih memang mempunyai kulit tubuh yang kuat seperti badak. Biasanya laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini selalu memamerkan kekuatan tubuhnya, dan menerima setiap serangan lawannya. Tapi menghadapi Pendekar Tangan Baja, dia tidak berani mengandalkan kekuatan tubuhnya. Kehebatan tangan pemuda ber­pakaian kuning itu sudah dia rasakan ketika menghantam perutnya tadi.

"Hiyaaat..!"

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring. Pendekar Tangan Baja melancarkan sebuah pukulan ke arah perut. Cepat bukan main gerakannya. Cepat dan tidak terduga- duga. Gajah Putih terkejut bukan main. Sedapat mungkin laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini berusaha mengelak. Tapi...

Bukkk!
"Hukh...!"

Gajah Putih melenguh tertahan. Tubuhnya terbungkuk seketika. Perutnya terasa mual dan mules bukan main. Dan di saat itulah serangan susulan dan Pendekar Tangan Baja kembali menyambar. Dua jari tangan pemuda ber­pakaian kuning itu menegang kaku dan menyambar cepat ke arah dahi.

Wuuuttt...! Crottt..!
"Aaakh...!"

Gajah Putih menjerit memilukan. Kedua jari Pendekar Tangan Baja amblas di dahinya. Cairan merah bercampur cairan putih kental bermuncratan, ketika dahi laki-laki tinggi besar itu tertembus dua jari pemuda berpakaian kuning. Tubuh laki-laki tinggi besar dan berambut jarang itu menggelepar-gelepar sejenak. Sesaat kemudian diam, tak bergerak untuk selamanya.

Sekilas Pendekar Tangan Baja menatap Gajah Putih yang tergolek kaku di tanah. Baru setelah itu tubuhnya kembali melesat. Kali ini ke arah Ki Paladi yang tengah terdesak oleh empat orang lawannya.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara pemuda berpakaian kuning itu mendarat di dekat Kepala Desa Bakung. Tangan dan kakinya bergerak cepat.

"Akh...! Aaa...!"

Jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi robohnya keempat tubuh tanpa nyawa di tanah.

Ki Paladi segera melompat mundur begitu melihat empat lawannya sudah roboh tidak bergerak lagi. Dan berbareng dengan robohnya keempat pengeroyok Ki Paladi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah pula berhasil merobohkan anggota gerombolan perampok yang tersisa.

Berbeda dengan lawan yang dihadapi Pendekar Tangan Baja, lawan yang berhadapan dengan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ada seorang pun yang tewas. Tapi usaha pemuda berambut putih keperakan itu sia-sia belaka. Karena begitu orang-orang kasar itu merasa tidak mampu melawan lagi, mereka bunuh diri!

Pemuda berambut putih keperakan menghela napas ketika melihat semua lawan yang dirobohkan itu, semuanya mati bunuh diri. Beberapa saat lamanya pemuda ini tercenung.
***
Sementara itu api yang berkobar pun sudah mulai padam. Memang, setelah pemuda berambut putih keperakan itu muncul para penduduk tidak terganggu lagi oleh amukan gerombolan orang-orang kasar itu. Perhatian anggota gerombolan itu, semua tertumpah pada pemuda yang lihai itu. Sehingga para penduduk leluasa untuk menanggulangi kebakaran.

Ki Paladi beranjak menghampiri pemuda berambut putih keperakan. Sepasang mata laki-laki tua berpakaian putih itu merayapi sekujur tubuh pemuda di hadapannya. Dilihat juga sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda itu.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada dirimu, entah apa yang terjadi dengan seluruh penduduk desa ini." ucap Kepala Desa Bakung.

"Lupakanlah, Ki." sahut pemuda berambut putih keperakan. Pelan dan halus suaranya "Apa yang kulakukan ini adalah suatu hal yang biasa. Bukankah hidup di dunia ini kita harus saling tolong menolong?"

Ki Paladi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pendekar Tangan Baja hanya menggerakkan bagian atas bibimya. Entah apa maksudnya, hanya pemuda itu sendiri yang tahu. Tapi yang jelas, Pendekar Tangan Baja diam-diam mengagumi ketinggian ilmu yang dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu.

"Kalau boleh kutahu, siapa kau, Anak Muda? Dan ke mana tujuanrnu?" tanya Ki Paladi lagi.

"Namaku Arya, Ki. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah. Kalau boleh kutahu, apakah yang terjadi di desa ini, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
Ki Paladi tersenyum kecut.

"Sifatmu tidak jauh berbeda dengan Pendekar Tangan Baja! Ataukah memang sifat semua orang muda begitu? Selalu ingin mencampuri urusan orang lain?" sindir Kepala Desa Bakung itu.

Dewa Arak saling pandang dengan Pendekar Tangan Baja. Bibir kedua pendekar muda itu sama-sama menyunggingkan senyum.

"Tentu saja tidak semua, Ki. Yang kucampuri hanya urusan-urusan yang di dalamnya ada ketidak adilan," sahut Dewa Arak tandas.

Pendekar Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala­nya, pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak.

"Bisa kumengerti apa maksudmu, Arya. Tapi, perlu kau ketahui, dalam urusan ini kuanjurkan kau dan Pendekar Tangan Baja lebih baik tidak usah ikut campur," ucap Ki Paladi memberi nasihat.

"Mengapa. Ki?" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang alis pemuda berpakaian kuning itu berkerut dalam tanda kalau hatinya dilanda perasaan penasaran. "Kali ini aku mohon, kau mau menjelaskan alasanmu, Ki. Jangan lagi berteka-teki."

Dewa Arak menatap wajah Ki Paladi dan Pendekar Tangan Baja bergantian. Pemuda ini tidak paham maksud pembicaraan kedua orang itu.

"Jadi, kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Pendekar Tangan Baja?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.

"Benar, Arya," sahut pemuda berpakaian kuning itu pelan. "Pagi tadi juga ada kejadian di desa ini." Kemudian Pendekar Tangan Baja menceritakan semua kejadian yang dialaminya.

"Apakah kejadian malam ini ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi pagi, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Hhh...!" Ki Paladi menghela napas panjang.

Pelahan kepalanya terangguk. Sementara Pendekar Tangan Baja menatap pemuda berambut putih keperakan itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Memang belum dimengertinya maksud pertanyaan Dewa Arak.

"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. Dahi pemuda berambut putih keperakan itu berkemyit dalam. Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Pendekar Tangan Baja dan Ki Paladi menatap Dewa Arak.

"Apa yang aneh, Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu agak bingung. Sedangkan Ki Paladi hanya terdiam.

"Bukankah pagi tadi kau berurusan dengan prajurit- prajurit kerajaan, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda berpakaian kuning itu.

"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku begitu bodoh?!" sentak Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berpakaian kuning itu mulai dapat meraba penyebab malapetaka di Desa Bakung malam ini. Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja menatap wajah Ki Paladi lekat- lekat. Sinar matanya menyiratkan keingintahuan yang mendalam.

"Panjang sekali ceritanya. Mari ke rumahku. Akan kuceritakan semuanya, agar kalian berdua tidak penasaran lagi!" ucap laki-laki tua berpakaian putih setelah tercenung beberapa saat lamanya.

"Pardi!" panggil Kepala Desa Bakung. Ditolehkan kepalanya ke arah kerumunan penduduk yang masih sibuk memadamkan api yang mulai mengecil.

"Ya, Ki!" sahut sebuah suara. Disusul dengan munculnya pemuda bertubuh kekar yang menyibak dari kerumunan penduduk.

"Kau wakili aku mengurus semua keadaan di sini," perintah Ki Paladi.
"Baik, Ki," pemuda kekar yang bernama Pardi meng- anggukkan kepalanya.

Setelah Pardi berlalu, Ki Paladi kembali mengalihkan perhatian kepada dua orang pemuda perkasa itu.

"Mari...," ucap kepala desa mempersilakan, seraya mendahului melangkah meninggalkan tempat itu. Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak segera mengikuti laki-laki tua berpakaian putih yang telah berjalan lebih dulu.

***

"Semula aku tidak ingin menceritakannya pada kalian," ucap Ki Paladi membuka percakapan, setelah ketiganya berada di ruang tengah yang cukup luas di rumah kepala desa.

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak hanya diam saja. Sedikit pun mereka tidak berusaha menyelak ucapan laki- laki tua berpakaian putih itu. Meskipun begitu, pen- dengaran dan pikiran mereka dipasang tajam-tajam, menyimak semua perkataan Ki Paladi.

"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi," sambung laki-laki tua berpakaian putih lagi. "Setahuku Gusti Prabu Jayalaksana adalah raja yang adil. Tidak pernah Gusti Prabu memberatkan rakyatnya. Tapi..., beberapa pekan belakangan ini..., banyak keputusan Gusti Prabu yang aneh. Dalam hal pajak, misalnya. Pajak yang dibebankan Gusti Prabu pada rakyatnya terlalu mencekik leher!"

Ki Paladi menghentikan ceritanya sejenak untuk meng- ambil napas. Sekaligus juga untuk melihat reaksi kedua pemuda perkasa yang duduk di hadapannya. Tapi, baik Dewa Arak maupun Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak memberikan tanggapan. Rupanya kedua pemuda itu ingin mendengarkan cerita itu dulu hingga selesai.

"Aku khawatir kalau keadaan seperti ini terus berlarut- larut, rakyat akan memberontak," ucap Ki Paladi meng- akhiri centanya.

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak saling pandang. Bahkan dahi Dewa Arak berkernyit. Suatu bukti nyata ada hal yang mengganggu pikirannya.

"Bagaimana? Kalian masih mau ikut campur tangan? Kalau menurutku, lebih baik kalian segera menyingkir dari sini. Keluar dari wilayah Kerajaan Kamujang. Ingat, kalian berhadapan dengan ribuan orang! Pikirlah baik-baik," ujar Ki Paladi menasihati.

"Terima kasih atas usulmu, Ki. Tapi sayang, aku tidak dapat menerimanya. Aku telah telanjur mencampuri urusan ini. Jadi mau tidak mau harus kuselesaikan hingga tuntas," tegas Dewa Arak.

"Kau hanya akan mengantar nyawa saja, Arya. Sudah banyak pendekar yang mencoba menentang kelaliman Gusti Prabu Jayalaksana. Tapi, hanya kematian yang mereka dapatkan. Kerajaan Kamujang memiliki jago-jago istana yang memiliki kepandaian luar biasa!" laki-laki tua berpakaian putih mencoba mencegah niat pemuda berambut putih keperakan itu.

"Bagus sekali, Arya!" selak Pendekar Tangan Baja cepat "Mari kita bahu-membahu menentang kekejaman raja lalim itu!"

Dewa Arak tersenyum mendengar ucapan penuh semangat dari pemuda berpakaian kuning itu.

"Kau dengar sendiri, Ki? Pendekar Tangan Baja tidak gentar! Demi membela kebenaran kami rela mengorban- kan nyawa kami, Ki," tukas pemuda berbaju ungu itu.

"Hhh...! Terserahlah kalau itu memang sudah menjadi tekad kalian," ujar Ki Paladi seraya menghela napas panjang.
"Terima kasih, Ki," sahut Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berbarengan.
"Kudoakan semoga kalian berhasil!" ucap Kepala Desa Bakung pelan. Suaranya lebih mirip desahan.

Pendekar Tangan Baja bangkit dari duduknya Dewa Arak bangkit juga.

"Untuk kesuksesan kita, Arya." ujar Pendekar Tangan Baja sambil mengulurkan tangan.

Dewa Arak tersenyum lebar seraya menyambut uluran tangan pemuda berpakaian kuning itu. Dijabatnya tangan Pendekar Tangan Baja erat-erat. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa kagum ketika merasakan jari-jemari tangan pemuda di hadapannya. Sekilas pandangan Dewa Arak singgah pada tangan Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berambut putih keperakan maklum mengapa pemuda berpakaian kuning itu berjuluk Pendekar Tangan Baja.

Jari jemari dan tangan pemuda ini memang benar-benar lebih mirip baja ketimbang tangan manusia. Begitu kokoh dan kuat!

"Kami permisi dulu, Ki." ucap Dewa Arak seraya melepaskan genggaman tangannya. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bicara Pendekar Tangan Baja berjalan mengikuti.

Ki Paladi hanya menganggukkan kepalanya. Di pandanginya terus tubuh dua orang pemuda itu hingga lenyap di kejauhan.
***

Bangunan tua itu memang besar dan megah. Halamannya yang luas, terkurung pagar tembok tinggi dan kokoh. Tapi terlihat kumuh dan tidak terawat. Apalagi letaknya memang terpencil, jauh di dalam hutan. Entah siapa yang telah membangunnya. Yang jelas, sudah sejak lama, bangunan yang terlihat menyeramkan itu tidak ditinggali orang lagi.

Tapi malam ini ternyata berlainan dengan malam-malam biasanya. Dari dalam bangunan itu terdengar bentakan- bentakan keras penuh kemarahan.

Ternyata di salah satu ruangan telah berkumpul banyak orang. Mereka duduk bertebaran di lantai yang bersih. Memang, sungguhpun dari luar terlihat tidak terawat, tetapi bagian dalam bangunan tua itu ternyata terpelihara baik.

Sekitar dua tombak di hadapan orang-orang yang duduk bertebaran, duduk seorang laki-laki setengah baya ber­pakaian rompi coklat.

Sebuah daun telinganya tidak terlihat.

Rupanya laki-laki setengah baya berpakaian rompi coklat adalah pemimpin dari orang-orang ini. Dan rupanya sang Pemimpin tengah marah-marah. Terbukti suara-suara yang dikeluarkannya sejak tadi selalu keras bernada penuh kemarahan.

"Bodoh! Dungu! Hanya membunuh satu orang saja, kalian tidak becus!" sang Ketua memaki.

Sementara di depannya berdiri seorang berwajah kasar, berbibir tebal dan berkulit hitam dengan kepala ditunduk- kan.

"Maafkan kami, Ketua. Kalau saja tidak ada yang seorang lagi, mungkin kami berhasil membumihanguskan Desa Bakung, sekaligus membunuh Pendekar Tangan Baja...." jawab si bibir tebal. Memang, laki-laki berbibir tebal ini adalah salah seorang dari gerombolan pengacau di Desa Bakung yang selamat."Jadi, ada orang lain yang telah membantu Pendekar Tangan Baja?" selak laki-laki berdaun tellnga satu itu tak sabar.

"Benar, Ketua," jawab si bibir tebal singkat.
"Hm...," laki-laki berompi coklat yang dipanggil ketua itu hanya menggumam "Bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Orangnya masih muda, berambut putih keperakan, dan berpakaian serba ungu...."
"Dewa Arak...!" desis laki-laki setengah baya itu. Nada suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat sangat.
"Ketua kenal dengan pemuda itu?" tanya laki-laki ber­bibir tebal.

Laki-laki berompi coklat menggelengkan kepalanya.

"Hanya mendengar julukannya saja. Menurut cerita yang kudengar, dunia persilatan telah dibuat geger dengan kemunculan seorang pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti yang kau sebutkan. Julukannya Dewa Arak!"

"Pemuda itu membawa guci di punggungnya, Ketua!" ucap laki-laki berbibir tebal itu menambahkan. Kini dia teringat. Memang pemuda berambut putih keperakan itu membawa sebuah guci di punggungnya.

"Kalau begitu, benar dia Dewa Arak! Kali ini kita mendapat lawan yang benar-benar tangguh! Hhh...! Aku harus berbuat sesuatu."

Setelah berkata demikian, laki-laki berompi coklat itu termenung. Perlahan dia bangkit dan kakinya dilangkahkan mondar-mandir memutari ruangan. Sementara tangannya terpacak di dagu. Jelas kalau dia tengah berpikir keras.

Tak lama kemudian, laki-laki berompi coklat itu me­langkah memasuki sebuah kamar. Cukup lama juga dia berada di sana. Ketika keluar dari kamar, di tangannya tergenggam sebuah bambu yang diserut halus, dan di bagian dalamnya terdapat segulung surat.

"Berikan pada Gusti Prabu Jayalaksana," perintah laki- laki berompi coklat kepada si bibir tebal.
"Baik, Ketua." sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya berjalan meninggalkan tempat itu.

"Ha... ha... ha...!" laki-laki berpakaian rompi coklat itu tertawa bergelak setelah laki-laki berbibir tebal itu telah tidak berada lagi di situ. Suara tawanya berkumandang,menggema ke seluruh bangunan itu.

***

Sementara itu, di balariung Istana Kerajaan Kamujang yang megah, tampak seorang laki-laki setengah baya tengah duduk di atas singgasana. Wajahnya tampan dan berwibawa.

"Hhh...!" desah Prabu Jayalaksana seraya menggulung kembali surat yang baru saja dibacanya. Pandangannya dialihkan pada laki-laki berwajah kasar dan berbibir tebal yang duduk bersila di depannya.

"Sampaikan pada ketuamu. Permintaannya kukabul- kan," sabda Raja Kamujang itu penuh wibawa.
"Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu," sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya memberi hormat.

Prabu Jayalaksana tersenyum getir.

"Apabila sudah tidak ada lagi pesan, perkenankan hamba mohon diri, Gusti Prabu."

Raja Kerajaan Kamujang ini menganggukkan kepalanya.

"Silakan," ucap Prabu Jayalaksana pelan.

Laki-laki berbibir tebal memberi hormat, kemudian melangkah meninggalkan balariung istana.

"Prajurit...'" panggil Prabu Jayalaksana.

Prajurit penjaga pintu balariung Istana, bergegas masuk dan memberi hormat.

"Hamba, Gusti Prabu," ucap prajurit itu penuh hormat
"Panggil Panglima Ramkin kemari! Cepat..!" perintah Prabu Jayalaksana keras.

Prajurit itu kembali melangkah ke luar. Tak lama kemudian, prajurit itu sudah kembali bersama seorang ber­pakaian panglima perang.

"Gusti Prabu memanggil hamba?" tanya orang ber­pakaian panglima perang yang bertubuh tinggi besar, dan bercambang bauk lebat.

Namanya Panglima Ramkin.

"Ya." sahut Raja Kamujang. "Kau kuperintahkan mem­bawa pasukanmu menangkap Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja, hidup atau mati!" Lalu Prabu Jayalaksana memberitahukan ciri-cirinya.

"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut Panglima Ramkin tegas.

Seorang laki-laki setengah baya berambut jarang tersentak kaget mendengar perintah itu. Patih Juminta namanya.

"Boleh hamba bicara, Gusti Prabu?" tanya Patih Juminta hati-hati.

"Silakan, Patih." sambut Prabu Jayalaksana.

"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba bersikap lancang Tapi...., apakah Gusti Prabu tidak salah membuat keputusan?"

Sepasang alis Prabu Jayalaksana berkerut.

"Aku masih belum mengerti maksudmu, Patih."

"Mengenai perintah penangkapan itu, Gusti Prabu," jelas Patih Juminta. Nada bicaranya terdengar berhati-hati sekali.

"Hm...! Apa ada yang aneh dalam perintah itu, Patih?" tanya Prabu Jayalaksana. Nada suaranya jelas menyiratkan perasaan tidak senang.

Patih Juminta tentu saja merasakan ketidaksenangan Raja Kamujang itu. Dan ini membuatnya jadi gugup.

"Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap sang Patih mem- beranikan diri.

"Katakan apa yang salah dalam perintah itu, Patih?" desak Prabu Jayalaksana tanpa mempedulikan permintaan maaf Patih Juminta.

"Anu..., Gusti Prabu.... Mengenai pemuda berambut putih keperakan itu. Gusti...."
"Hm...! Lalu...?"
"Kalau hamba tidak salah..., pemuda itu pasti Dewa Arak!"

Raja Kamujang itu tersenyum mengejek.

"Lalu mengapa kalau benar pemuda itu Dewa Arak? Kau takut?!" sindir Prabu Jayalaksana tajam.

Merah wajah Patih Juminta seketika.

"Bukannya hamba takut. Tapi...."
"Diam!" bentak Prabu Jayalaksana keras. "Kalau kau membuka mulut lagi, kau akan kupenjarakan, Juminta!"
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba mengaku salah...," ucap Patih Juminta sambil memberi hormat.
"Panglima Ramkin," ucap Prabu Jayalaksana pada seorang bertubuh tinggi besar dan bercambang lebat di hadapannya.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut Panglima Ramkin seraya memberi hormat.
"Kau sudah tahu tugasmu?"
"Sudah, Gusti Prabu," jawab panglima itu lagi.
"Bagus! Laksanakan segera!" perintah Raja Kamujang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut laki-laki bercambang lebat itu. "Hamba mohon diri."

Prabu Jayalaksana hanya menganggukkan kepalanya saja. Dan Panglima Ramkin pun berlalu setelah terlebih dulu kembali memberi hormat. Sementara itu Patih Juminta hanya diam tertunduk. Suasana balariung istana kembali menjadi hening.

***

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak melangkah memasuki mulut sebuah desa. Dan seperti juga Desa Bakung, keadaan desa ini juga sangat menyedihkan. Anak- anak yang kurus kering dan tanpa pakaian, selalu mereka temui di pinggir jalan.

Pendekar Tangan Baja yang memang berwatak berangasan menggertakkan gigi saking geram.

"Raja lalim itu memang harus dibinasakan!" desis pemuda berbaju kuning tajam.

Dewa Arak diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya ucapan Pendekar Tangan Baja. Sepasang matanya
menerawang jauh memandang ke depan. Sementara sepasang kakinya terus dilangkahkan.

"Kalau boteh kutahu, ke mana tujuanmu, Pendekar Tangan Baja?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan.

"Hhh...!" pemuda berpakaian kuning itu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Arya. "Sebenarnya, aku tengah mencari paman guruku."

"Paman gurumu?"
"Ya," jawab Pendekar Tangan Baja singkat.

"Boleh kutahu.... Maaf, bukannya aku ingin mencampuri urusanmu," ucap Dewa Arak bemada ingin tahu.

Pendekar Tangan Baja tercenung sejenak.

"Paman guruku kabur dari tempat penyepiannya."
"Maksudmu...?" tanya Dewa Arak masih kurang jelas.

Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih belum jelas akan cerita pemuda berpakaian kuning itu.

"Begini, Arya. Di sebuah tempat... maaf aku tidak boleh menyebutkan namanya, tinggal guruku dan adik seper- guruannya. Guruku tahu kalau adik seperguruannya ber- watak jelek, maka beliau sengaja mengurungnya di tempat itu. Tapi sungguh tidak disangka kalau paman guruku itu bisa meloloskan diri dari situ. Guruku lalu menyuruhku turun gunung untuk mencegah paman guruku itu mengacau dunia persilatan," jelas Pendekar Tangan Baja panjang lebar.

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah dimengertinya semua cerita Pendekar Tangan Baja. Tapi mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut ketika sepasang matanya melihat debu mengepul tinggi di kejauhan. Di sela-sela kepulan debu terlihat panji- panji kebesarah Kerajaan Kamujang berkibaran dengan megah. Rupanya orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Kamujang.

"Ada rintangan pertama di depan, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak pelahan seraya menolehkan kepala menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di sebelahnya.

"Kebetulan sekali! Sudah sejak tadi tanganku gatal- gatal!" sambut Pendekar Tangan Baja. Mulutnya menyunggingkan sebuah senyum kegembiraan.

"Kita tunggu saja dulu, apa keinginan mereka," ujar Arya memberi nasihat. Setelah kepulan debu itu semakin dekat, jelas terlihat kalau yang datang adalah serombongan prajurit berkuda.

"Kurasa tidak perlu, Arya!" bantah Pendekar Tangan Baja. "Menghadapi orang-orang kejam seperti mereka, tidak pedu lagi sikap bijaksana "

Dewa Arak menggelengkan kepalanya.

"Kau lupa, Pendekar Tangan Baja! Mereka itu hanya prajurit! Bukan tidak mungkin mereka melakukan semua perintah itu karena terpaksa," jelas Arya.

"Aku tidak peduli!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.

Dewa Arak menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di sebelahnya tajam-tajam. Tapi yang ditatap malah mem- balasnya tak kalah tajam.

"Selama jalan kekerasan bisa dihindari, untuk apa kita memaksakan diri melakukannya?" sambung Dewa Arak lagi.

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang "Sayang sekali kita mempunyai pemikiran yang berbeda, Arya."

"Hhh...!" Dewa Arak pun menghela napas panjang.

Tapi kedua pemuda perkasa ini tidak bisa berlama-lama terlibat pertentangan pendapat karena pasukan prajurit berkuda telah semakin dekat.

"Hooop...!"

Seorang pasukan kerajaan berpangkat panglima mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, seraya menarik tali kekang kudanya. Seketika itu juga, rombongan prajurit serentak menghentikan lari kudanya.

"Hup...!"

Dengan sebuah gerakan indah dan manis, Panglima Ramkin melompat dari punggung kudanya. Berturut-turut para prajurit dan punggawa yang berada di belakang sang Panglima melompat dari punggung kuda masing-masing.

Panglima Ramkin memperhatikan Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Benar kalian berdua yang berjuluk Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja?!" tanya laki-laki bercambang lebat ini setengah menuduh.
"Benar! Lalu, kalian mau apa?!" jawab Pendekar Tangan Baja cepat sebelum Dewa Arak sempat menjawab.

"Kuanjurkan lebih baik kalian menyerah. Aku tidak segan-segan menggunakan kekerasan bila kalian mem- bangkang!" ucap laki-laki bercambang lebat. Bibirnya menyunggingkan senyuman sinis.

"Ha ha ha...! Boleh kau coba!" tantang Pendekar Tangan Baja sambil tertawa bergelak. "Ingin kulihat siapa di antara kalian yang bisa menangkap Pendekar Tangan Baja!"

Merah wajah Panglima Ramkin mendengar tantangan itu.

"Tangkap mereka!" perintah panglima itu keras. Tanpa menunggu diperintah dua kali, lima puluh prajurit dan punggawa bergerak berbarengan, mengepung Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja.

Diam-diam Dewa Arak menyesali kecerobohan Pendekar Tangan Baja. Tapi, kini dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berjuang untuk menyelamatkan selembar nyawa- nya. Tapi meskipun begitu, Dewa Arak merasa berat hati melawan pasukan kerajaan.

Berbeda dengan Pendekar Tangan Baja, pemuda berbaju kuning ini malah tertawa bergelak begitu melihat hujan senjata pasukan kerajaan itu. Dengan meng- andalkan keistimewaan kedua tangannya, Pendekar Tangan Baja tanpa ragu-ragu memapak setiap serangan senjata lawan.

Luar biasa memang kekuatan kedua tangan Pendekar Tangan Baja. Setiap senjata yang tertangkis tangannya, langsung patah! Suara berderak keras terdengar setiap kali pedang, golok, atau tombak bertemu tangannya.

Suara-suara jeritan kaget seketika terdengar dari mulut lawan-lawannya. Tapi sesaat kemudian, berubah menjadi jeritan-jeritan kesakitan, ketika pemuda berbaju kuning mulai melancarkan serangan balasan.

"Aaakh...!"

Seorang prajurit berpangkat punggawa, memekik nyaring ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan Baja mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sekujur tulang- tulang dada remuk. Darah pun menyembur keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Punggawa yang sial itu pun tewas seketika!

Memang tindakan pemuda berbaju kuning ini benar- benar menggiriskan. Setiap kali tangan atau kakinya ber­gerak, sudah dapat dipastikan akan ada lawan yang jatuh tanpa nyawa. Sehingga dalam waktu sekejap saja, tak kurang delapan orang telah tewas di tangan pemuda berbaju kuning ini.

Panglima Ramkin menggeram murka melihat anak buahnya dibuat porak-poranda. Sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Tangan Baja yang tengah mengamuk hebat.

Wuttt..!

Selagi tubuhnya berada di udara, Panglima Ramkin membabatkan golok besamya ke leher pemuda berbaju kuning! Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak menjadi gugup, walaupun di saat yang bersamaan, seorang prajurit di belakangnya membabatkan golok ke arah leher. Sementara dari arah depan, seorang punggawa menusukkan tombak ke arah dadanya. Dan dari samping kanan dan kiri, dua orang prajurit juga menusukkan pedang ke arah pinggangnya.

Luar biasa! Dengan sebuah perhitungan matang dari seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Pendekar Tangan Baja segera menundukkan tubuhnya serendah mungkin. Dan dengan sendirinya serangan dari atas, belakang dan depan berhasil dielak- kannya. Semua lewat di atas kepalanya. Sementara serangan dari samping kiri dan kanan, dihadapinya dengan cara yang lebih mengagumkan.

Serangan dua bilah pedang itu dipunahkan oleh pemuda berbaju kuning dengan mencengkeram mata pedang itu. Dan begitu kedua bilah pedang telah berhasil dicengkeram, Pendekar Tangan Baja segera membetotnya dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.

Kedua prajurit yang memiliki tenaga dalam jauh di bawah Pendekar Tangan Baja, mana mampu menahan- nya? Seketika itu juga tubuh mereka terhuyung deras ke depan. Dan di saat itulah, pemuda berbaju kuning melancarkan serangan dengan jari-jari mengembang mem- bentuk cakar ke arah kepala.

Crokkk, crokkk...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"

Dua teriakan menyayat terdengar saling susul diiringi robohnya dua prajurit naas itu. Cairan merah kental kontan bermuncratan begitu jari-jari tangan pemuda berbaju kuning amblas ke dalam batok kepala. Sesaat keduanya menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!

Panglima Ramkin menggeram keras melihat kematian dua orang anak buahnya lagi. Memang kejadian itu berlangsung begitu cepat, sehingga dia dan anak buahnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya.

Pendekar Tangan Baja kembali mengamuk. Begitu dua orang lawannya tewas, segera saja tubuhnya melesat ke prajurit yang lainnya.. Dan kembali pemuda berbaju kuning itu memulai pembantaian.

Sementara itu di arena lainnya, Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat sepak terjang Pendekar Tangan Baja. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kuning ini tega bertindak seganas itu. Dan diam-diam timbul perasa­an tidak senang dalam hati Dewa Arak. Memang tindakan Arya berbeda dengan tindakan Pendekar Tangan Baja. Tak satu pun lawan pemuda berambut putih keperakan ini yang tewas. Semua dirobohkan tanpa mengalami luka-luka yang cukup parah.

Baik pertarungan antara Dewa Arak, maupun Pendekar Tangan Baja dengan lawan-lawannya tidak berlangsung imbang. Tingkat kepandaian dua orang pemuda perkasa itu memang berada jauh di atas lawannya. Maka tidak aneh jika pasukan Kerajaan Kamujang itu terdesak hebat. Dan semakin lama keadaan mereka pun semakin terjepit.

Satu demi satu pasukan kerajaan itu berjatuhan. Baik dirobohkan oleh Dewa Arak maupun Pendekar Tangan Baja. Hanya bedanya, pasukan kerajaan yang dirobohkan Pendekar Tangan Baja, roboh untuk selama-lamanya. Sedangkan lawan yang dirobohkan oleh Dewa Arak, hanya mengalami luka-luka. Dan itu pun tidak parah. Walaupun begitu, cukup untuk membuat mereka tidak mampu lagi melanjutkan pertarungan.

Dewa Arak menggertakkan gig! Kesabarannya pun habis melihat Pendekar Tangan Baja masih terus menyebar maut. Sudah puluhan prajurit dan punggawa yang tewas di tangan pemuda berbaju kuning itu. Dan bila perbuatannya dibiarkan terus, semua pasukan kerajaan akan tewas semua.

"Ha... ha... ha...! Bukankah sudah kukatakan, Panglima! Tidak mudah menangkap Pendekar Tangan Baja! Kini bersiap-siaplah kau mati di tanganku! Ha... ha... ha...!" ejek Pendekar Tangan Baja.

Panghma Ramkin menggertakkan gigi. Kemarahan yang amat sangat bergolak dalam hatinya, melihat anak buahnya hampir musnah dibantai pemuda berbaju kuning ini. Ingin sekali laki-laki bercambang bauk lebat ini menghancurkan kepala Pendekar Tangan Baja. Tapi sayang, dia tidak mampu melakukannya. Panglima ini yakin, tak lama lagi dirinya pun akan tewas menyusul anak buahnya.

"Hih...!"

Seorang prajurit bertombak menusukkan senjatanya ke perut Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda berbaju kuning itu hanya mendengus. Seperti biasa, ditangkisnya mata tombak itu dengan tangan kanannya. kemudian di- cengkeramnya, lalu ditariknya.

Prajurit ini tidak mampu menahan tarikan Pendekar Tangan Baja. Seketika itu juga tubuhnya terbetot ke depan.

"Lepaskan tombak itu...!" teriak Panglima Ramkin keras.

Tapi sebelum prajurit itu melaksanakan perintah panglimanya, Pendekar Tangan Baja telah bertindak cepat Begitu tubuh lawannya tertarik ke depan, segera disodokkan tombak yang digenggamnya.

Blesss!
"Aaakh...!"

Prajurit itu menjerit melengking. Gagang tombak itu menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung. Seketika itu juga, darah bermuncratan. Dan ketika Pendekar Tangan Baja melepaskan pegangan pada tombak, tubuh prajurit itu pun ambruk tak berkutik.

Kini hanya tinggal Panglima Ramkin. Pemuda berbaju kuning ini tertawa terkekeh-kekeh. Dengan langkah satu- satu, dihampirinya laki-laki bercambang lebat itu.

Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja menyerang Panglima Ramkin, sesosok bayangan ungu berkelebat. Sesaat kemudian di depan pemuda berbaju kuning berdiri Dewa Arak. Rupanya, Arya tidak ingin kalau panglima itu juga akan menemui ajal di tangan Pendekar Tangan Baja yang sudah bagaikan iblis haus darah. Maka sebelum hal itu terjadi, cepat-cepat Dewa Arak merobohkan semua lawannya. Lalu melesat untuk mencegah tindakan pemuda berbaju kuning.

"Cukup, Pendekar Tangan Baja! Sudah terlalu banyak korbanmu!" ucap Dewa Arak. Nada suaranya keras dan tegas.

Pendekar Tangan Baja menatap wajah Dewa Arak tajam. Seulas senyuman sinis tersungging di bibimya.

"Menyingkirlah, Arya. Dia ini lawanku! Jangan coba-coba menghalangiku!" sahut pemuda berbaju kuning itu. Datar
dan dingin suaranya.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau terlalu mengumbar amarah, Pendekar Tangan Baja. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Ingat, kita belum tahu persis permasalahannya dan...."

"Tutup mulutmu, Arya!" sergah Pendekar Tangan Baja keras. Wajah pemuda berbaju kuning ini nampak merah padam. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa- apa! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Menyingkirlah cepat, sebelum kesabaranku hilang!"

Dewa Arak tersenyum pahit. Sungguh tidak disangkanya pemuda berbaju kuning ini begitu keras kepala, di samping emosinya yang besar.

"Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja...," ucap Arya. Nada suaranya seakan akan penuh penyesalan.

"Kalau begitu, terpaksa kau harus kusingkirkan dulu, Arya. Baru setelah itu kubereskan panglima keparat itu!" ancam Pendekar Tangan Baja lagi.

Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja segera melesat menerjang Dewa Arak. Sepasang tangannya yang mengepal, bertubi-tubi dipukulkan ke dada, perut, dan ulu hati pemuda berambut putih keperakan.

Wuuut..!

Serangkum angin keras mendahului menyambar sebelum serangan itu sendiri tiba. Dewa Arak tidak mau bertindak gegabah. Pemuda berambut putih keperakan memang selalu bertindak hati-hati dan tidak pernah memandang rendah lawannya. Maka begitu melihat serangan yang menyambar ke arahnya, Arya tidak langsung menangkisnya. Buru-buru didoyongkan tubuhnya ke kanan, sehingga semua serangan itu lewat setengah jengkal di samping tubuhnya.

Kemudian secepat kilat, kaki kanannya dilontarkan ke perut Pendekar Tangan Baja. Cepat bukan main gerakan- nya. Tapi meskipun begitu, pemuda berpakaian kuning tidak menjadi gugup. Dengan gerakan yang tidak kalah cepat, segera ditarik pulang tangan kanannya. Sekaligus langsung melakukan bacokan pada kaki Arya yang meng- ancam perutnya.

Takkk!

Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.

"Heh!?" Pendekar Tangan Baja memekik kaget. Sekujur tangannya tergetar hebat. Bahkan tangan yang menangkis kaki pemuda berambut putih keperakan itu terpental balik.

Bukan hanya Pendekar Tangan Baja saja yang dilanda keterkejutan itu. Hal yang serupa juga dialami Dewa Arak. Kaki yang berbenturan dengan tangan Pendekar Tangan Baja terasa ngilu. Arya tahu hal ini bukan disebabkan oleh keunggulan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning yang berada di atasnya, tapi akibat dari keistimewaan tangan lawannya. Pantaslah kalau pemuda berpakaian kuning ini berjuluk Pendekar Tangan Baja, pikirnya mulai memahami.

Pendekar Tangan Baja penasaran bukan main. Memang disadari kalau kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu tinggi. Tapi, sungguh di luar dugaannya kalau tenaga dalam yang dimiliki Arya sampai sekuat ini. Dan hal iniah yang membuatnya jadi penasaran.

Sebagai seorang ahli silat Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Tapi Dewa Arak tahu, kalau dia menurut- kan perasaan hatinya, pertentangan antara dia dan pemuda berpakaian kuning ini akan semakin meruncing. Dan itu tidak dikehendakinya. Maka begitu dilihatnya Panglima Ramkin dan anak buahnya yang tersisa telah menaiki kuda dan cukup jauh meninggalkan tempat itu, pemuda berambut putih keperakan ini pun melesat kabur dari situ.

"Arya! Jangan lari kau, Pemuda Sombong!" teriak Pendekar Tangan Baja keras seraya berlari mengejar.

Tapi Dewa Arak yang telah mengetahui ketangguhan pemuda berpakaian kuning tidak bersikap main-main lagi. Segera saja dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh­nya. Pendekar Tangan Baja menggertakkan gigi. Pemuda berpakaian kuning ini pun mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya mengejar Dewa Arak.

Kembali Pendekar Tangan Baja harus menerima kenyataan pahit Arya ternyata tidak bisa dikejar. Bahkan semakin lama jarak di antara mereka bertambah jauh. Dan akhimya pemuda berambut putih keperakan itu mulai lenyap dari pandangan.

Pemuda berpakaian kuning ini sadar, tidak ada gunanya lagi meneruskan pengejaran. Maka dihentikan larinya. Dipandangi tubuh Dewa Arak yang semakin lama semakin mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap.

"Kali ini kau boleh menang, Arya. Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung ini..," ancam Pendekar Tangan Baja. Kemudian pelahan dibalikkan tubuhnya, lalu berlari kembali, meneruskan perjalanan menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang.

***

Dewa Arak baru memperlambat larinya, begitu dilihatnya Pendekar Tangan Baja tidak mengejar lagi. Karena sudah telanjur, terpaksa dia harus mengambil jalan memutar, menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang. Pendekar Tangan Baja pasti akan lebih dulu tiba di sana. Dan sudah dapat diperkirakan oleh Arya apa yang akan dilakukan pemuda pemarah itu di sana. Apalagi kalau bukan mengamuk, mengumbar emosinya?

"Hhh...!" tanpa sadar Arya menghela napas panjang. Kini dia sudah tidak berlari lagi, melainkan berjalan biasa saja. Arya ingin menikmati perjalanan santai yang nikmat. Apalagi hutan ini mempunyai barisan pepohonan yang lebat. Sehingga meskipun matahari siang hari cukup terik, tidak membuatnya kepanasan.

Arya mengerutkan alisnya begitu melihat seorang kakek berpakaian lusuh melangkah tertatih-tatih tidak jauh di hadapannya. Dan karena arah yang dituju pemuda berambut putih keperakan dan kakek itu berlawanan, semakin lama, jarak di antara mereka pun semakin dekat.

Mendadak saja, begitu jarak antara Arya dengan kakek berpakaian lusuh itu tinggal dua tombak lagi, kakek yang sejak tadi memang sudah melangkah terhuyung-huyung, jatuh tersungkur.

Tentu saja Arya yang memang sejak tadi memperhatikan kakek itu, segera melesat. Cepat sekali gerakan pemuda berambut putih keperakan ini. Sehingga sebelum tubuh kakek berpakaian lusuh itu menyentuh tanah, Arya telah lebih dulu menangkap tubuhnya.

"Bantu aku berdiri, Anak Muda," ucap kakek berpakaian lusuh itu seraya mengulurkan tangan hendak meng- genggam tangan Arya. Dewa Arak yang memang berwatak welas asih ini tidak menolak. Tapi sesaat kemudian dahi pemuda berambut putih keperakan ini berkemyit. Adasesuatu dalam genggaman kakek berpakaian lusuh itu.

Kakek berpakaian lusuh itu rupanya menyadari kebingungan Arya. Maka sebelum pemuda berambut putih keperakan ini sempat berkata sesuatu, kakek ini segera mendahuluinya.

"Ambillah surat itu, Dewa Arak! Baca. Nanti kita bertemu lagi. Aku khawatir ada yang mengawasi kita," bisik kakek berpakaian lusuh itu pelahan.

Arya yang cerdik ini segera saja paham. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau kakek berpakaian lusuh ini hendak menyampaikan sesuatu, tapi secara diam- diam. Maka setelah kakek itu telah kembali berdiri, benda yang ada dalam genggamannya secepat kilat diselipkan pada lipatan ikat pinggangnya. Tak lupa sebelum itu sekilas sepasang matanya mengawasi sekelilingnya.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Aku Patih Juminta." ucap kakek berpakaian lusuh itu lagi. "Tanpa bantuanmu mungkin encokku sudah kambuh kembali."

Setelah berkata demikian, kakek berpakaian lusuh itu kembali melangkah tertatih-tatih meninggalkan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini memandangi kepergiannya dengan hati bertanya-tanya. Arya terus memandanginya hingga punggung tubuh kakek itu lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.

Rasa penasaran mendorong Arya untuk segera mengetahui pemberian kakek berpakaian lusuh itu. Sesaat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan setelah yakin tidak ada orang yang melihatnya, segera diambilnya benda yang tadi diselipkan di pinggangnya. Pelahan dibukanya lipatan kain itu.

Ternyata di balik lipatan kain itu ada tulisannya. Jadi lipatan kain itu berisi pesan. Cukup singkat isinya.

Dewa Arak...

Aku telah melihat semua tindakanmu terhadap pasukan Kerajaan Kamujang. Dan aku
mengagumi tindakanmu yang bijaksana. Perlu kau ketahui, Prabu Jayahksona bukan seorang raja yang lalim. Gusti Prabu melakukan semua itu karena terpaksa. Harap temui aku nanti malam di tempat ini .

Patih Juminta

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang, setelah selesai membaca tulisan yang terdapat dalam lipatan kain itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau semua kecurigaannya tepat. Tidak percuma selama ini dia bersikap hati-hati, dan tidak sembarangan membunuh orang.

Pelahan pemuda berambut putih keperakan ini melipat kembali kain itu, dan kembali diselipkan di balik lipatan ikat pinggangnya.

"Sungguh tidak kusangka kalau kakek berpakaian lusuh itu ternyata seorang patih kerajaan besar seperti Kerajaan Kamujang," gumam Arya pelan

***

Matahari pelahan-lahan mulai tenggelam di ufuk Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena rembulan sudah muncul di langit, menyinari bumi dengan sinamya yang lembut. Meng- gantikan tugas mentari yang sudah seharian menyinari bumi.

Dalam keremangan malam itu terlihat sesosok bayangan ungu berkelebatan cepat, dari balik sebatang pohon ke batang pohon lainnya. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu saja.

Tak lama kemudian bayangan ungu itu menghentikan gerakannya di dekat sebatang pohon kamboja. Dan secepat sosok itu tiba di situ, secepat itu pula bersembunyi di balik sebatang pohon. Dalam keremangan sinar bulan, tampak jelas sosok ungu itu.

Sosok itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah jantan, berambut putih keperakan. Pakaiannya berwama ungu. Dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak dari perak. Sosok bayangan ungu itu adalah Dewa Arak! Pemuda ini datang ke tempat ini untuk memenuhi permintaan orang yang mengaku bernama Patih Juminta.

Dari balik sebatang pohon itu, sepasang mata Arya menatap nyalang ke sekeliling. Mencari-cari barangkali orang yang bernama Patih Juminta itu datang.

Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya sepasang matanya melihat sesosok bayangan berkelebatan cepat menghampiri tempatnya. Dan begitu tiba di dekat tempatnya berdiri, sosok bayangan yang baru datang itu, menolehkan kepalanya berkeliling

"Dewa Arak...," panggil sosok bayangan itu. Pelahan sekali suaranya. Lebih mirip bisikan.

Mendengar panggilan itu, Arya pun yakin kalau bayangan yang baru tiba ini adalah kakek berpakaian lusuh yang siang tadi memberinya pesan. Maka tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini keluar dari tempat persembunyiannya.

"Aku di sini, Patih...," sahut Arya tak kalah pelan.

Patih Juminta yang sejak tadi berdiri membelakangi Arya, segera membalikkan tubuhnya begitu mendengar suara sapaan dari belakangnya.

"Sudah lama menunggu, Dewa Arak?" tanya laki-laki setengah baya berambut jarang ini.
"Lumayan," sahut Arya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu lama menunggu. Dewa Arak."
"Lupakanlah, Patih." jawab Arya bijaksana.
"Terima kasih, Dewa Arak"

Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.

"Apa yang hendak kau bicarakan Patih?" tanya Arya. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.

Dalam keremangan sinar bulan, Patih Juminta menatap Dewa Arak tajam.

"Kau sudah baca pesan yang kuberikan, Dewa Arak?" tanya laki-laki berambut jarang ini memastikan.

Arya menganggukkan kepalanya.

"Kau bilang, Gusti Prabu Jayalaksana tertekan. Kalau boleh kutahu siapa yang telah menekannya Paman Patih?"

Patih Juminta menggelengkan kepalanya.

"Siapa orang yang menekan Gusti Prabu, aku juga tidak tahu, Dewa Arak. Tapi yang jelas, tanpa setahu siapa pun, Gusti Permaisuri lenyap dari istana. Semula kami tidak tahu ke mana perginya. Tapi, akhimya kami mengetahuinya juga. Gusti Permaisuri diculik!"

"Diculik?!" tanya Arya. Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan ini berkerut.
"Benar," sahut Patih Juminta membenarkan. "Gusti Permaisuri diculik."
"Dari mana kau tahu kalau Gusti Permaisuri diculik, Patih?" tanya Arya penasaran.
"Dari surat yang ditinggalkan penculik itu," jawab Patih Juminta kalem.

Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.

"Sejak saat itu, melalui seorang urusan, penculik itu mulai mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Harta, penangkapan-penangkapan terhadap ketua-ketua per- guruan silat beraliran putih, dan penghancuran terhadap perguruannya. Memungut upeti yang biasanya dilakukan prajurit kerajaan."

"Ah...! Sampai begitu jauhnya?!" tanya Arya. Nada suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat sangat.

Patih Juminta menganggukkan kepalanya.

"Mengapa Gusti Prabu memenuhi permintaan- permintaan itu?"
"Terpaksa. Penculik itu mengancam akan membunuh

Gusti Permaisuri, bila permintaannya tidak dipenuhi," jelas laki-laki berambut jarang ini lebih jauh.

"Oh...!" pekik Arya terkejut. "Apakah Patih tidak mem­punyai dugaan sama sekali mengenai pelakunya.

"Aku curiga ada orang di dalam lingkungan istana yang menjadi mata-mata komplotan penculik. Rasanya mustahil kalau orang luar tahu seluk beluk istana, sehingga sampai bisa menculik permaisuri."

"Aku sependapat denganmu, Paman Patih," sahut Arya mendukung.

"Gusti Prabu pun berpendapat begitu. Bahkan beliau pernah merencanakan untuk mengirimkan jago-jago silat istana untuk membuntuti urusan penculik. Tapi penculik itu mengancam akan membunuh Gusti Permaisuri apa bila Gusti Prabu berani mengirimkan orang-orangnya untuk mengikuti utusannya."

Arya tercenung mendengar cerita ini. Sekarang baru diketahuinya mengapa semua kekacauan ini terjadi.

"Di hadapan orang banyak, Gusti Prabu Jayalaksana bersikap keras padaku. Tapi bila kami hanya berdua. Gusti Prabu kembali menunjukkan sikap aslinya. Bahkan tugas menemuimu ini, adalah berdasarkan perintahnya. Dewa Arak," sambung Patih Juminta lagi.

"Hm...," Arya hanya menggumam tidak jelas.

"Beberapa hari yang lalu, Gusti Prabu baru menerima surat dari penculik itu. Kau ingin melihat isinya, Dewa Arak? Ini menyangkut dirimu dan Pendekar Tangan Baja."

Setelah berkata demikian, laki-laki berambut jarang itu mengangsurkan segulungan kala Arya mengulurkan tangan menerima, lalu dibukanya gulungan kain itu.

Prabu Jayalaksana....

Harap Gusti Prabu perintahkan pasukan untuk menangkap seorang pemuda berbaju ungu, berambut putih keperakan, yang berjuluk Dewa Arak. Dan seorang pemuda berpakaian kuning,
bercambang lebat, yang berjuluk Pendekar Tangan Baja. Aku berjanji akan membebaskan permaisurimu, bila permintaanku ini Gusti Prabu laksanakan.

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di- makluminya mengapa kemarin ada pasukan kerajaan hendak menangkapnya bersama Pendekar Tangan Baja.

"Jadi, satu-sarunya cara untuk mengetahui sarang penculik, hanya dari utusan itu?" tanya Arya lagi meminta kepastian.
"Ya," sahut Patih Juminta singkat.
"Kalau begitu, lain kali aku yang akan mengikutinya," usul pemuda berambut putih keperakan tiba-tiba.

Patih Juminta menatap Dewa Arak lekat-lekat.

"Jangan khawatir, Paman. Aku jamin mereka tidak akan mengetahuinya," sambung Arya memberi jaminan.
"Yahhh....! Memang itulah yang kuharapkan, Dewa Arak!" ucap laki-laki berambut jarang bernada keluhan.
"Kapan utusan itu akan datang lagi ke Istana Kerajaan Kamujang, Paman?" tanya Arya lagi.
"Besok pagi. Utusan itu akan datang untuk meminta upeti."
"Baiklah! Besok aku akan mulai bertugas," janji Arya.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak. Sekarang aku pergi dulu," ucap laki-laki berambut jarang itu.
"Silakan, Paman," sahut Arya mempersilakan.

Belum juga habis gema suara Arya, Patih Juminta sudah melesat dari situ. Cepat juga gerakannya. Dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

Beberapa saat la ma nya Arya terpaku menatap kepergian Patih Juminta. Baru sesaat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.

***

"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sepasang matanya kembali menatap liar ke sekelilingnya dari balik kerimbunan daun-daun pepohonan. Memang pemuda ini tengah berada di cabang pohon di dalam hutan.

Semalam, setelah mendengar cerita panjang lebar dari Patih Juminta, Arya memutuskan untuk mulai menyelidiki misteri ini. Sejak pagi-pagi sekali, pemuda berambut putih keperakan ini sudah berada di cabang pohon, di tempat yang biasa dilalui urusan si penculik.

Cukup lama juga Arya menunggu, sebelum akhirnya pendengarannya yang tajam, samar-samar menangkap derap kaki kuda yang mendekat ke arahnya. Buru-buru, Dewa Arak lebih menyembunyikan diri di balik kerimbunan dedaunan.

Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas. Tak lama kemudian di bawah pohon tempat pemuda berambut putih keperakan ini bertengger, lewat seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki berusia tiga puluhan, berkulit gelap dan berbibir tebal.

Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi laki-laki ber­bibir tebal itu pun mulai menjauh. Kian lama kian jauh. Dan akhirnya lenyap di kejauhan. Yang tinggal hanyalah debu yang mengepul tinggi ke udara.

Hati Arya lega karena penantiannya tidak sia-sia.

Kini dia menanti laki-laki berbibir tebal itu kembali. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini telah memutuskan untuk mengikuti urusan penculik ini sampai di sarangnya.

Kini Dewa Arak baru mengetahui kalau menunggu adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan. Entah untuk yang keberapa kalinya, Arya kembali menyalangkan sepasang matanya ke arah perginya laki-laki berbibir tebal tadi. Tapi akhimya wajah pemuda itu berseri ketika melihat debu mengepul tinggi di kejauhan.

Perasaan harap-harap cemas pun melanda hati Arya. Harapan agar debu mengepul tinggi ke udara ini berasal dari derap langkah kuda yang ditunggangi oleh urusan penculik permaisuri.

Tak lama kemudian, kuda itu semakin dekat. Dan betapa lega hati Arya ketika melihat kalau penunggang kuda itu adalah orang yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. Laki-laki berbibir tebal, utusan si penculik.

Sesaat kemudian kuda yang ditunggangi laki-laki ber­bibir tebal itu pun telah mendekati tempat pengintaian Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera menyembunyikan tubuhnya ke balik rerimbunan dedaunan, khawatir terlihat.

Sekejap kemudian kuda itu pun telah melaju cepat melewati pohon di mana Dewa Arak bersembunyi. Pemuda berambut putih keperakan itu menunggu beberapa saat hingga buruannya berada cukup jauh. Baru setelah itu tubuhnya melesat dari satu pohon, ke pohon lainnya.

Laki-laki berbibir tebal itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya dikuti. Terus saja dipacu kudanya secepat mungkin. Sementara Dewa Arak terus mem baya ngi nya. Tapi mendadak....

Singgg...!

Suara mendesing nyaring terdengar, disusul melesatnya sebuah benda berkilat ke arah laki-laki berbibir tebal itu. Tentu saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu ter­kejut bukan main. Buru-buru, dia melompat dari punggung kuda.

"Hih...!"
Wuuuttt..!

Benda berkilat itu menyambar lewat di atas punggung kuda. Tubuh laki-laki berbibir tebal itu kini telah kembali menjejak tanah, tak jauh dari tempat kudanya berdiri. Tapi sebelum laki-laki kasar ttu berbuat sesuatu, sesosok bayangan berkelebat cepat ke arahnya.

Cepat bukan main gerakan bayangan orang yang baru tiba itu. Dan begitu bayangan itu telah berada dekat dengan laki-laki berbibir tebal, tangan kanannya bergerak menyampok.

Wuttt..! Prattt..!
"Aaakh...!"

Laki-laki berbibir tebal itu menjerit melengking ketika sampokan bayangan itu telak dan keras sekali meng­hantam dadanya. Seketika itu juga terdengar suara ber- derak keras, disusul terjengkangnya laki-laki itu. Darah mengalir dari mulut hidung, dan telinganya.

Brukkk!

Suara berdebuk keras terdengar, begitu tubuh laki-laki berbibir tebal itu jatuh ke tanah.

Arya terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Jaraknya yang cukup jauh dari utusan penculik, dan juga kejadian- nya yang berlangsung tiba-tiba, membuat pemuda berambut putih keperakan tidak sempat berbuat sesuatu.

"Hup...!"

Sosok yang menyerang laki-laki berbibir tebal itu men­darat ringan di tanah. Walaupun hanya sekilas, Arya dapat mengetahui kalau pembunuh buruannya adalah seorang laki-laki setengah baya yang berompi coklat. Tapi aneh, telinganya hanya sebuah saja. Di bagian yang kanan.

Dewa Arak tentu saja tidak ingin kehilangan jejak. Harus dicegahnya laki-laki berompi coklat ini melarikan diri. Buru- buru dilepaskan jurus 'Pukulan Belalang'! Suatu jurus yang jarang dikeluarkannya.

Wusss... !

Angin keras berhawa panas menyengat menyambar ke arah pembunuh laki-laki berbibir tebal itu, yang baru saja hendak beranjak dari tempat itu.

"Akh...!" terdengar pekikan kaget dari mulut laki-laki berompi coklat. Dengan agak gugup dilempar tubuhnya, kemudian bergulingan di tanah menjauh.

Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Bergegas tubuhnya melesat. Dan....

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah, berbareng dengan bangkitnya laki-laki berdaun telinga satu itu dari bergulingnya.

"Haaat..!"

Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, laki-laki berompi coklat itu melesat menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya dengan jari-jari membentuk paruh burung, mematuk-matuk mencari sasaran. Laki-laki berdaun telinga satu itu men- dahului serangannya dengan sebuah patukan ke arah ubun-ubun pemuda berambut putih keperakan. Angin keras mencicit nyaring, mengawali tibanya serangan itu.

Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau lawan menggunakan jurus 'Bangau'. Posisi jari yang membentuk paruh itulah yang membuat Arya langsung bisa menebak- nya.

Dewa Arak mengenal keganasan jurus itu. Apalagi jurus itu dimainkan oleh tokoh seperti laki-laki berdaun telinga satu ini. Buru-buru kepala Arya ditarik seraya mendoyong- kan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Namun ternyata serangan laki- laki berompi coklat tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya dapat dielakkan, segera disusuli dengan tendangan lurus ke arah dada.

Dari gerakan lawan, Dewa Arak dapat mengukur kalau laki-laki berdaun telinga satu ini berkepandaian tinggi. Sehingga Arya tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera dilentingkan tubuhnya ke belakang kemudian bersalto di udara beberapa kali. Dan....

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Di tangan kanannya kini tergenggam guci arak, yang lalu diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk..!

Suara tegukan terdengar begitu arak melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan ini. Seketika itu juga ada hawa hangat merayap, mulai dari perutnya dan terus naik ke kepala.

***

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berdaun telinga satu itu kembali menerjang Dewa Arak begitu tendangannya berhasil dielakkan pemuda itu. Kedua tangannya yang mematuk-matuk ganas mencari sasaran, mengeluarkan suara angin keras bercicitan.

Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan mengelak, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang lawan.

Semula laki-laki berompi coklat itu kaget bukan main, tatkala melihat lawan yang tadi diserangnya tahu-tahu lenyap. Padahal jelas terlihat olehnya kalau pemuda berambut putih keperakan itu hanya melangkahkan kaki saja, itu pun dengan gerakan terhuyung-huyung. Tapi aneh, mengapa tubuh lawannya tahu-tahu lenyap?

Namun kekagetan yang dialami laki-laki berompi coklat itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian, dia pun tahu di mana Dewa Arak berada, begitu dirasakan adanya sambaran angin kuat di belakangnya. Rupanya pemuda berambut putih keperakan tengah melancarkan serangan dengan gucinya.

Wuttt...!

Sambaran guci Dewa Arak mengenal tempat kosong, begitu laki-laki berompi coklat melempar tubuhnya ke depan seraya bergulingan menjauh. Arya segera melompat mengejar, seraya menyampirkan gucinya kembali ke punggung.

Baru tiga tindak Dewa Arak melangkah, tiba-tiba saja laki-laki bertelinga satu mengibaskan tangan kanannya.

Wusss... !
"Akh...!"

Arya memekik kaget. Ada suara mendesir halus begitu laki-laki berompi coklat itu mengibaskan tangannya. Disusul dengan melesatnya puluhan jarum-jarum halus ke arahnya. Terpaksa Arya mengurungkan serangannya. Segera dilempar tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
menjauh.

Kesempatan yang sedikit itu tidak disia-siakan oleh laki- laki berompi coklat itu. Selagi Dewa Arak bergulingan di tanah, cepat dia melesat kabur dari situ. Sepertinya masih ada urusan yang lebih penting daripada bertarung dengan pemuda berambut putih keperakan itu. Waktu masih panjang untuk menantang Dewa Arak bertarung.

"Keparat....!" desis Arya geram begitu melihat lawannya sudah tidak kelihatan lagi. Entah ke arah mana laki-laki berdaun telinga satu itu melarikan diri, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengetahuinya. Pepohonan di dalam hutan ini sangat lebat. Sekali saja laki-laki berdaun telinga satu itu melesat, saat itu juga tubuhnya lenyap di balik kerimbunan pepohonan.

Benar apa yang dikatakan Patih Juminta, desis Arya dalam hati. Penculik itu bertindak sangat hati-hati. Terbukti dia lebih suka kehilangan anak buah ketimbang sarangnya diketahui orang lain.

"Hhh...'"

Arya mendesah pelan. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk mengetahui sarang penculik permaisuri itu? pikimya bingung. Tengah pemuda berambut putih keperakan ini melangkah satu-satu dengan benak berpikir keras, ter­dengar rintihan lirih. Kontan kepala Arya ditolehkan ke arah asal suara.

Ternyata rintihan lirih itu berasal dari mulut laki-laki berbibir tebal. Sungguh Dewa Arak hampir tidak mem- percayai apa yang dilihatnya. Laki-laki berkulit hitam itu ternyata masih hidup! Padahal tulang tulang dadanya telah remuk. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini menghampiri.

"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berbibir tebal itu terputus-putus. Arya yang tengah ber- jongkok di depan laki-laki kasar itu hanya mengangguk pelan.

"Bu... bukankah, kau ingin tahu sarang penculik permaisuri...?" tanya laki-laki berkulit hitam itu lagi.

Suaranya terputus-putus dan hampir tidak terdengar.

"Benar. Kau mau menunjukkannya?" sahut Arya cepat. Disadari kalau nyawa laki-laki berbibir tebal ini tidak bisa diselamatkan lagi. Kenyataan kalau dalam keadaan seperti Itu masih mampu bertahan hidup, menunjukkan kalau laki- laki kasar itu memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.

Laki-laki berbibir tebal itu menganggukkan kepalanya. Kemudian mulutnya bergerak seperti hendak meng- ucapkan sesuatu. Tapi karena terlalu pelan, Dewa Arak mendekatkan telinganya ke mulut orang kasar yang tengah menanti ajal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini dapat menduga mengapa laki-laki berbibir tebal ini bersedia memberi tahu sarang penculik. Laki-laki kasar itu mendendam, karena merasa dikhianati.

Hanya sebentar saja laki-laki berbibir tebal itu meng- gerak-gerakkan mulutnya. Sesaat kemudian kepalanya pun terkulai. Laki-laki kasar ini tewas dengan bibir tersenyum puas. Puas telah berhasil membalas sakit hatinya.

"Hm.... Jadi orang itu pemimpin gerombolan penculik...," desis Arya pelan.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia telah tahu sarang penculik permaisuri itu. Tapi pemuda berambut putih keperakan tidak langsung menuju ke sana. Dia ingin ke Kotaraja Kerajaan Kamujang dulu. Akan dicegahnya pertumpahan darah yang terjadi akibat salah paham. Pertumpahan darah yang akan diakibatkan oleh amukan Pendekar Tangan Baja.

***

Sementara itu di dalam benteng Istana Kerajaan Kamujang, Pendekar Tangan Baja tengah mengamuk. Ilmu 'Tangan Baja'nya dikerahkan sampai ke puncak kemampuannya. Suara dentingan diikuti berpatahannya senjata-senjata pasukan Kerajaan Kamujang, mengiringi setiap gerakan tangan pemuda berpakaian kuning ini.

Memang sudah sejak semula Pendekar Tangan Baja mendendam pada pasukan Kerajaan Kamujang, yang sering dilihatnya berbuat sewenang-wenang pada pen­duduk. Maka tindakannya pun tidak tanggung-tanggung lagi. Setiap gerakan tangan atau kaki pemuda berpakaian kuning ini selalu menimbulkan hawa maut.

"Haaat..!"

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, seorang prajurit melompat menerjang. Golok di tangannya ditusukkan ke dada pemuda berpakaian kuning.

"Hiyaaa...!"

Dari arah belakang, prajurit lainnya pun menusukkan tombaknya ke punggung Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda berpakaian kuning ini hanya mendengus. Sekali mengenjotkan kaki, tubuhnya sudah melenting tinggi ke atas, melewati kepala prajurit yang menyerang dari depan. Dan begitu telah berada di atas lawan, tubuhnya berputar setengah lingkaran. Lalu kedua tangannya mendorong punggung prajurit yang tengah menusukkan golok itu.

Pelahan saja kelihatan tangan pemuda berpakaian kuning itu menyentuh punggung prajurit itu. Tapi akibatnya luar biasa! Tubuh prajurit itu terdorong ke depan, seperti diseruduk kerbau liar. Kejadian yang sudah diperhitungkan matang oleh Pendekar Tangan Baja terjadi.

Cappp, blesss...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"

Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dan terjadi hampir berbarengan. Akibat dorongan Pendekar Tangan Baja, prajurit itu tidak bisa mempertahankan keseimbangannya lagi. Golok yang semula bertujuan ke arah perut pemuda berpakaian kuning, menghunjam perut prajurit bertombak yang melancarkan serangan dari belakang. Pada saat yang bersamaan, prajurit bertombak tadi juga menusukkan senjatanya. Dan tak pelak lagi, perut prajurit bersenjata golok pun mengalami nasib yang sama dengan rekannya. Perutnya terhunjam tombak hingga tembus ke punggung!

Beberapa saat lamanya tubuh kedua prajurit itu menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian diam tidak ber­gerak lagi untuk selama lamanya. Tewas!

"Hup...!"

Kedua kaki Pendekar Tangan Baja mendarat ringan di tanah. Di wajah tampannya tersungging senyum kegembiraan.

Tentu saja hal ini membuat pasukan Kerajaan Kamujang yang mengepung menjadi semakin geram. Korban yang jatuh di tangan pemuda berpakaian kuning ini sudah lebih dari sepuluh orang. Padahal pertarungan belum berlangsung lama. Tapi sebelum para prajurit itu kembali menyerbu, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.

"Tahan..!"

Kontan semua pasukan kerajaan yang akan menyerang, menahan gerakannya dan langsung melangkah mundur. Mereka semua mengenal betul pemilik suara bentakan itu. Siapa lagi kalau bukan Prabu Jayalaksana?

Agak jauh di belakang pasukan kerajaan itu, berdiri seorang laki-laki setengah baya berkumis dan berjenggot rapi. Wajahnya menyiratkan keagungan dan kewibawaan. Hanya sayangnya, pada saat ini wajah penuh wibawa itu terlihat muram.

Dan seperti biasanya Prabu Jayalaksana tidak pemah sendiri. Di kiri kanannya berdiri dengan wajah angker delapan orang berseragam gemerlapan. Dan di bagian dada sebelah kiri tersulam gambar cakar burung garuda dari benang emas. Inilah pasukan pengawal khusus Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda. Pasukan yang terdiri dari jago-jago istana nomor satu.

Pendekar Tangan Baja menatap sosok tubuh yang berdiri di hadapannya satu persatu. Sekali lihat saja pemuda berpakaian kuning ini mengetahui mana Prabu Jayalaksana. Pastilah orang yang berdiri di tengah-tengah dan memandang dirinya dengan sinar mata muram, pikirnya.

Begitu pandangannya tertumbuk pada delapan orang yang berdiri di kanan kiri Prabu Jayalaksana, diam-diam Pendekar Tangan Baja terkejut. Dari sorot mata delapan orang itu, pemuda berpakaian kuning sudah dapat memperkirakan ketinggian ilmu yang mereka miliki. Dan ini membuat pemuda pemarah ini bersikap hati-hati.

Prabu Jayalaksana melangkah maju beberapa tindak. Delapan orang Pasukan Kuku Garuda pun ikut melangkah maju. Kini jarak antara Raja Kamujang dengan Pendekar Tangan Baja, tinggal lima tombak lagi.

Prabu Jayalaksana menatap Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sinar matanya begitu dingin, sehingga sulit bagi pemuda berpakaian kuning ini untuk mengetahui makna tatapan itu.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Tangan Baja, Anak Muda?" tanya Raja Kamujang itu. Datar dan dingin suaranya.

"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning tanpa sikap menghormat sama sekali. Tentu saja hal ini mem­buat para prajurit punggawa, dan delapan orang Pasukan Kuku Garuda, menggeram murka. Tangan mereka yang telah menggenggam senjata masing-masing, menegang. Siap untuk menerjang.

Tapi Prabu Jayalaksana hanya tersenyum tipis. Tidak nampak tanda-tanda kalau Raja Kamujang ini merasa ter- hina. Tangan kanannya diangkat untuk meredakan kemarahan pasukannya. Dan seketika itu juga, tangan- tangan yang telah menegang itu pelahan mengendur kembali.

"Apa maksud kedatanganmu kemari, Pendekar Tangan Baja?" tanya Raja Kamujang itu masih bernada sabar.
"Tidak perlu banyak basa-basi Prabu Jayalaksana! Kedatanganku kemari untuk melenyapkan keangkara- murkaanmu!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.

Sesabar-sabamya seseorang, tentu akan marah juga bila terus menerus dihina. Apalagi di hadapan banyak orang. Lebih-lebih lagi, jika orang itu adalah seorang raja seperti Prabu Jayalaksana! Seorang raja yang sudah terbiasa dihormati orang.

"Kau terlalu sombong, Pendekar Tangan Baja! Orang sepertimu harus diberi pelajaran!"

Setelah berkata demikian, Raja Kamujang ini menjentik- kan jarinya. Seketika itu juga, empat orang Pasukan Kuku Garuda menghampiri Pendekar Tangan Baja. Sementara Prabu Jayalaksana segera melangkah mundur diikuti oleh sisa Pasukan Kuku Garudanya!

Pendekar Tangan Baja bersikap waspada. Kali ini pemuda berpakaian kuning ini tidak berani menganggap enteng lawannya. Menilik sikap dan gerak-gerik empat orang lawannya, sudah bisa diperkirakan kalau keempat anggota Pasukan Kuku Garuda ini memiliki kepandalan yang tidak rendah. Maka seluruh otot-otot dan urat-urat syaraf pemuda ini menegang. Sepasang matanya menatap liar ke arah lawan.

"Hih...!"

Seraya berteriak keras salah seorang anggota Pasukan Kuku Garuda yang berkulit gelap, bertubuh agak tinggi melompat menyerang. Rambut orang ini panjang dan dikepang. Dan pada ujung ramburnya terdapat sebuah benda berbentuk segi lima, berwama hitam mengkilat. Kepalanya digoyangkannya ke kiri. Seketika itu juga ujung ramburnya melayang deras ke arah kepala Pendekar Tangan Baja. Angin bercicitan tajam mengiringi tibanya serengan itu.

Pendekar Tangan Baja tidak berani bertindak ceroboh. Sadar kalau dirinya belum mengetahui keistimewaan ilmu lawan, maka pemuda berpakaian kuning tidak berani menangkisnya. Ingin diketahuinya dulu perkembangan ilmu aneh lawannya ini. Itulah sebabnya, pemuda berpakaian kuning ini cepat-cepat menarik kakinya ke belakang.

Wuuut..!

Angin berhawa panas menerpa wajah Pendekar Tangan Baja, begitu sabetan rambut itu lewat setengah jengkal di depan wajahnya.

"Hiyaaa...!"

Cepat bukan main gerakan pengawal berambut kepang ini. Begitu sabetan ramburnya lolos, segera saja serangan selanjutnya datang menyusul. Kedua tangannya dengan posisi telunjuk mengacung, sementara jari-jari tangan lainnya terkepal, melakukan totokan-totokan beruntun ke tenggorokan dan bawah hidung. Dua jalan darah mematikan.

Cit, cit!

Kali ini Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak meng- elakkan serangan itu. Segera kedua tangannya bergerak menangkis dengan satu jari pula.

Tak, tak!
"Akh...!"

Pengawal berambut kepang itu memekik tertahan. Jari telunjuknya dirasakan seperti hendak patah ketika ber- benturan dengan telunjuk pemuda berpakaian kuning di hadapannya. Walaupun begitu, tetap saja tidak mengurangi niatnya untuk kembali melancarkan serangan balasan. Kepalanya digoyangkan ke kiri. Seketika itu juga ujung rambutnya melayang ke pelipis pemuda berpakaian kuning.

Serangan itu datang begitu cepat dan tidak terduga- duga. Tapi walaupun begitu, tidak membuat Pendekar Tangan Baja gugup. Buru-buru tubuhnya dirundukkan sehingga sambaran ujung rambut lewat sejengkal di atas kepalanya. Tepat saat itu, dilancarkan serangan balasan berupa totokan satu jari bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati pengawal khusus Prabu Jayalaksana.

"Ah...!"

Pengawal berambut kepang terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya, dalam keadaan terjepit lawannya mampu balik menjepit dirinya. Diam-diam dalam hati salah seorang Pasukan Kuku Garuda ini, timbul perasaan kagum. Jarang ditemuinya orang semuda laki-laki berpakaian kuning ini yang memiliki tingkat kepandaian setinggi itu.

"Hih...!"

Tidak ada jalan lain bagi pengawal berambut kepang kecuali melentingkan tubuh ke belakang, kemudian ber- salto beberapa kali di udara. Manis dan indah sekali gerakannya. Dan...

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kaki laki-laki berambut kepang ini menjejak bumi. Dari peragaan ini saja sudah bisa diketahui ketinggian ilmu meringankan tubuh milik pengawal khusus Prabu Jayalaksana ini.

Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak mengejar. Sepasang mata pemuda berpakaian kuning ini menatap lawannya lekat-lekat.

"Kau hebat, Anak Muda," puji laki-laki berambut kepang itu jujur. "Tidak percuma kau berani menyandang nama besar. Jari-jari dan tanganmu keras seperti baja. Itukah sebabnya kau berjuluk Pendekar Tangan Baja?!"

"Aku tidak perlu pujianmu, Kisanak," balas Pendekar Tangan Baja singkat. Dingin dan datar suaranya.

Merah wajah laki-laki berkulit hitam itu. Pemuda di hadapannya ini benar-benar sombong. Orang seperti ini harus diberi pelajaran, agar mau menghargai orang lain.

"Tapi itu bukan berarti aku gentar padamu, Pemuda Sombong!" teriak pengawal berambut kepang itu. Kemarahannya langsung bangkit seketika.

"Apa peduliku?!" sentak Pendekar Tangan Baja keras.
"Keparat! Orang seperti kau harus diberi pelajaran!"

Setelah berkata demikian, pengawal berambut kepang itu kembali menerjang Pendekar Tangan Baja. Rambut kepangnya dan juga totokan totokan telunjuknya, ber­kelebatan cepat Bertubi-tubi mencari sasaran. Tapi lawan yang dihadapinya adalah Pendekar Tangan Baja. Dan kini pemuda berpakaian kuning itu sudah dapat membaca jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Maka tanpa ragu- ragu lagi, Pendekar Tangan Baja segera mengelak sambil mengirim serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun terjadi.

Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda, dan pasukan kerajaan lainnya menonton pertarungan itu dari jarak agak jauh dengan penuh minat. Diam-diam semua memuji kelihaian kedua orang yang tengah bertarung.

Memang cukup menggiriskan akibat yang ditimbulkan oleh pertarungan kedua orang itu. Suara decit angin tajam, bersiutan dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan itu. Tanah-tanah terbongkar di sana sini. Ranting-ranting berpatahan dari dahan pohon yang terserempet angin pukulan yang nyasar. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara.

Selama beberapa jurus, pertarungan berjalan imbang. Tapi setelah memasuki jurus kelima belas, mulai nampak keunggulan Pendekar Tangan Baja. Memang tingkat kepandaian pengawal berambut kepang berada jauh di bawah pemuda berpakaian kuning itu. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam, anggota Pasukan Kuku Garuda ini jauh di bawah lawannya. Apalagi di samping itu Pendekar Tangan Baja memiliki keistimewaan lainnya. Tangannya yang kokoh dan kebal.

Maka tidak aneh jika setiap kali tangan atau kaki kedua orang itu berbenturan. Selalu pengawal berambut kepang itu terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya menyeringai kesakitan.

Semakin lama Pendekar Tangan Baja semakin men- desak anggota Pasukan Kuku Garuda itu. Dan kini laki-laki berambut kepang itu hanya mampu bertahan. Hanya sesekali saja dia melancarkan serangan balasan. Itu pun dengan mudah dapat dikandaskan pemuda berbaju kuning.

Tujuh orang rekannya tentu saja melihat keadaan laki- laki berambut kepang itu. Tapi mereka diam saja. Hanya memandang dengan sinar mata khawatir. Mereka tidak berani bertindak lancang tanpa perintah Prabu Jayalaksana.

Walaupun tidak memiliki ilmu kepandaian setinggi para pengawal khususnya, Prabu Jayalaksana sedikit banyak dapat mengetahui kalau anggota Pasukan Kuku Garuda itu terdesak.

"Kalian bantu tangkap Pendekar Tangan Baja," perintah- nya pada tiga orang yang tadi sudah melangkah maju.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, tiga orang anggota Pasukan Kuku Garuda itu segera melesat ke depan. Menceburkan diri dalam arena pertarungan, dan langsung melakukan serangan serangan berbahaya.

Dengan adanya tambahan tiga anggota Pasukan Kuku Garuda, Pendekar Tangan Baja terpaksa menghentikan desakan pada laki-laki berambut kepang. Cepat pemuda berbaju kuning melentingkan tubuhnya ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara dan hinggap di tanah. Dan secepat itu pula bersiap.

Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak mengejar. Dibiarkan saja pemuda berbaju kuning itu memperbaiki kuda-kudanya. Sementara Pendekar Tangan Baja bersiap siaga menghadapi empat orang jago-jago istarta ini.

Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja dan empat pengawal khusus Raja Kamujang ini bentrok, sebuah bisikan di telinga pemuda berbaju kuning ini membuatnya tertegun.

"Gusti Prabu Jayalaksana tidak bersalah, Pendekar Tangan Baja. Ada orang yang memfitnahnya...."

"Arya...?" desah pemuda berbaju kuning ini pelan. Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak. Perasaan kagum menyeruak dalam hati pemuda berbaju kuning ini. Dia tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu menggunakan ilmu mengirimkan suara dari jauh untuk menyampaikan pesan itu padanya.

Beberapa saat lamanya Pendekar Tangan Baja jadi bimbang. Antara menuruti saran Dewa Arak atau melanjut- kan pertarungan. Tapi akhimya, pemuda berbaju kuning ini memutuskan untuk menuruti saran Arya. Toh, kalau nanti ternyata apa yang dikatakan pemuda berambut putih keperakan itu tidak benar, masih ada kesempatan lain untuk melaksanakan niat nya itu.

Setelah memutuskan demikian, Pendekar Tangan Baja segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara kemudian melesat kabur dari situ.

"Tangkap...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Panglima Ramkin, yang tiba-tiba sudah datang ke tempat itu.

Teriakan-teriakan keras bernada perintah terdengar bersahut- sahutan. Tentu saja pasukan Kerajaan Kamujang tidak tinggal diam. Belasan prajurit mencoba menghadang, tapi segera buyar begitu pemuda berbaju kuning itu mengamuk membuka jalan.

Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak tinggal diam. Mereka pun segera bergerak mengejar. Tapi Pendekar Tangan Baja segera mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebatan cepat. Dan beberapa saat kemudian, sudah berada di dinding tembok istana.

"Hih...!"

Pendekar Tangan Baja menggenjotkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya pun melayang ke atas. Tepat pada saat pasukan panah Kerajaan Kamujang melepaskan puluhan anak panah ke arahnya.

Kembali pemuda berbaju kuning ini membuktikan kelihaiannya. Selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya bergerak cepat menyampok puluhan anak panah yang menyambar deras ke arahnya.

Tak, tak. tak...!

Puluhan batang anak panah itu pun berpentalan tak tentu arah ketika tersampok sepasang tangan Pendekar Tangan Baja. Ada beberapa di antara anak-anak panah itu yang masih utuh. Tapi sebagian besar sudah tidak berbentuk lagi.

"Hup...!"

Wataupun agak terhuyung sedikit, karena tingginya tembok istana dan juga karena adanya gangguan, pemuda berbaju kuning ini berhasil mendarat mulus di luar tembok istana. Tanpa membuang-buang waktu lagi Pendekar Tangan Baja segera melesat kabur dari situ.

Belum berapa jauh Pendekar Tangan Baja berlari, tiba- tiba sesosok bayangan berkelebat menghadang. Dan tahu- tahu di depan pemuda berbaju kuning telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan.

"Arya...," desis Pendekar Tangan Baja seraya meng- hentikan larinya.

Pemuda yang memang bukan lain dari Dewa Arak itu tersenyum lebar.

"Sudah kuduga kalau kau mau mendengar saranku itu, Pendekar Tangan Baja," ucap pemuda berambut putih keperakan ini.

"Benarkah yang kau katakan tadi, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning. Mulutnya menyunggingkan senyuman getir.

"Benar, Pendekar Tangan Baja," sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.

"Dan kau tahu siapa orang yang memfitnahnya?" desak Pendekar Tangan Baja lagi. Ada nada keingintahuan yang amat sangat terpancar dari raut wajahnya.

"Hhh.... Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa Arak sambii menghela napas panjang. "Aku sama sekali tidak mengenalnya. Hanya yang kutahu ciri-ciri orang itu saja."

"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya, Arya?" tanya pemuda berbaju kuning setengah hati.

Dewa Arak menganggukkan kepalanya. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini tercenung.

"Seorang laki-laki setengah baya berpakaian rompi coklat. Dan.... hanya mempunyai sebuah daun telinga...."

"Apa?!" tanya Pendekar Tangan Baja setengah berteriak. Keterkejutan yang amat sangat jelas membayang di wajahnya. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Bagaikan melihat hantu di slang bolong. "Betulkah ciri-dri yang kau sebutkan itu, Arya?"

Tentu saja Dewa Arak jadi terkejut campur bingung melihat sikap pemuda berbaju kuning yang nampak jelas begitu terkejut mendengar keterangannya. Masih dengan sinar mata penuh pertanyaan, pemuda berambut putih keperakan ini menganggukkan kepalanya.

"Ada apa, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya hati-hati. Khawatir kalau pertanyaan nya menyinggung perasaan pemuda berbaju kuning yang pemarah ini.

"Ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan orang yang selama ini kucari-cari, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja pelahan.

"Maksudmu...." Dewa Arak tidak melanjutkan ucapannya. Memang, pemuda berbaju kuning ini pernah bercerita mengenal tugasnya mencari paman gurunya.

"Yahhh..., paman guruku, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja dengan suara mendesah.

Dewa Arak terdiam mendengar penjelasan itu. Sesaat lamanya suasana pun jadi hening.

"Kau tahu di mana paman guruku itu berada, Arya?"

Dewa Arak menganggukkan kepalanya.

"Bisa kau beritahukan aku tempatnya?" tanya Pendekar Tangan Baja.
"Kita pergi bersama-sama Pendekar Tangan Baja." sahut Dewa Arak.
"Tidak! Ini adalah urusan pribadi. Kau tidak usah ikut campur, Arya," bantah pemuda berbaju kuning itu.

Dewa Arak tersenyum. Disadari kebenaran ucapan pemuda berbaju kuning di hadapannya.

"Tapi kini persoalan itu sudah bukan persoalanmu sendiri, Pendekar Tangan Baja."
"Apa maksudmu? Aku masih belum mengerti," tanya pemuda berbaju kuning ini. Nada suaranya menyiratkan tuntutan.

"Karena paman gurumulah orang yang telah memfitnah Prabu Jayalaksana!"
"Memfitnah?! Ceritakanlah, Arya!" desak Pendekar Tangan Baja ingin tahu.

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali mencerita- kan hal yang sebenarnya pada pemuda berbaju kuning ini. Dan begitu Arya menyelesaikan ceritanya. Pendekar Tangan Baja baru mengerti.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Arya? Mari kita serbu tempat itu!" ajak pemuda berbaju kuning itu penuh semangat.

Dewa Arak hanya tersenyum. Sesaat kemudian tubuh kedua pemuda perkasa itu telah melesat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakan kedua pemuda gagah itu. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh mereka telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
***

Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Cepat bukan main gerakan kedua pemuda perkasa itu. Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan keunguan dan kekuningan.

Diam-diam baik Pendekar Tangan Baja maupun Dewa Arak sama-sama memuji kelihaian masing-maslng. Arya memang sudah menduga kalau pemuda berpakaian kuning ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi sungguh tidak diduganya kalau sampai setinggi ini. Ilmu meringankan tubuh Pendekar Tangan Baja ini amat luar biasa. Meskipun begitu, seandainya pemuda berambut putih keperakan ini mau mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, sudah dapat dipastikan akan mampu meninggalkan pemuda berpakaian kuning.

Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa. Pemuda berpakaian kuning ini adalah seorang pendekar muda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan. Sehingga belum pemah mendengar julukan Dewa Arak alias Arya Buana yang menggemparkan dunia persilatan.

Pendekar Tangan Baja merasa kagum bukan main melihat kehebatan pemuda berambut putih keperakan ini. Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi tetap saja tidak mampu meninggalkan Arya. Bahkan kini terlihat jelas kalau Dewa Arak itu pelahan namun pasti, mulai meninggalkan beberapa langkah di depannya. Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini belum mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda perkasa yang telah mencapai tingkatan tinggi, tak berapa lama kemudian, bangunan dimaksud telah terlihat oleh keduanya. Begitu bangunan itu sudah terlihat Jelas, DewaArak dan Pendekar Tangan Baja segera menghentikan langkahnya. Agak jauh dari bangunan itu. Cepat kedua pemuda perkasa ini berlindung di balik sebatang pohon.

"Kelihatannya sepi-sepi saja, Arya," ucap Pendekar Tangan Baja setelah sepasang matanya mengamati sekitar bangunan tua yang berhalaman cukup luas itu.

Dewa Arak hanya menggumam tidak Jelas.

"Aku khawatir kalau keterangan yang kau terima itu hanya tipuan belaka," ucap pemuda berpakaian kuning lagi begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan tidak menyahuti ucapannya.

"Aku yakin orang itu tidak menipu kita," sahut Dewa Arak tanpa mengalihkan perhatiannya pada bangunan tua yang menjadi pusat perhatian mereka.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, Arya?"

Dewa Arak mengalihkan pandangannya dari bangunan tak terurus itu. Ditatapnya wajah Pendekar Tangan Baja lekat-lekat.

"Orang itu merasa sakit hati karena dikhianati oleh pemimpinnya. Coba kau pikirkan, Pendekar Tangan Baja. Andaikan kau yang menjadi orang itu. Lalu kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, tapi kau malah dibunuhnya. Apakah kau tidak sakit hati? Tidak ingin membalas kekejian pemimpinmu itu?" Arya balik bertanya.

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang. "Itukah dasar pemikIran yang membuatmu yakin akan keterangannya, Arya?"
"Ya." sahut Dewa Arak singkat.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita serbu bangunan itu. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan paman guruku!" ajak Pendekar Tangan Baja seraya hendak beranjak dari tempat persembunyiannya.

"Sabar, Pendekar Tangan Baja!" ucap Dewa Arak mencegah.
"Ada apa? Kau takut?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya mengernyitkan kening.

Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Sikap Pendekar Tangan Baja begitu keras. Dan ucapannya pun terkadang sering menyakitkan hati. Sepertinya setiap ucapan pemuda berpakaian kuning ini keluar begitu saja tanpa dipikir lebih dulu.

"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Pendekar Tangan Baja!" tandas pemuda berambut putih keperakan itu agak keras.

"Hm.... Lalu? Mengapa kau ragu-ragu?" desak Pendekar Tangan Baja lagi.

"Dalam menghadapi setiap persoalan, kita tidak boleh menuruti emosi saja, Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa Arak setengah menggurui. Disadari kalau ucapannya itu agak keras. Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Ber- bicara dengan pemuda di hadapannya ini memang harus tegas.

"Jadi, menurutmu... lebih baik kita bersembunyi saja di sini. Begitu, Arya," sindir Pendekar Tangan Baja sambil tersenyum mengejek.

"Bukan itu yang kumaksudkan!" ucap Dewa Arak agak keras. "Ingat, kita kemari bukan hanya untuk bertarung saja. Tapi juga menyelamatkan Permaisuri Kerajaan Kamujang."

"Heh?! Kau salah kira rupanya, Arya."

"Maksudmu?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu masih kurang mengerti.

"Aku datang kemari bukan untuk menyelamatkan permaisuri yang diculik itu! Tapi untuk membawa paman guruku hidup atau mati'" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.

"Kalau begitu, hapus saja julukan pendekarmu itu. Pendekar Tangan Baja'" sambut Dewa Arak tak kalah keras.

"Apa hubungannya sebutan pendekar itu dengan menyelamatkan permaisuri? Hm.... Baru kali ini kudengar kalau seorang berhak mendapat julukan pendekar, kalau sudah menyelamatkan seorang permaisuri!" ejek Pendekar Tangan Baja.

"Hhh...! Tak kusangka kalau secepat ini kau melupakan janjimu pada Ki Paladi. Tak kusangka kalau kau begitu mudahnya mengingkan janji " keluh Dewa Arak.

"Jaga mulutmu, Arya!" sentak Pendekar Tangan Baja gusar. "Aku sama sekali tidak berjanji menyelamatkan permaisuri raja pada Ki Paladi!"
"Bukankah kau telah bertekad untuk menghilangkan kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan Kamujang?" tanya Arya dengan nada tinggi.

"Benar."

"Nah! Perlu kau ketahui! Sumber semua kekacauan di Kerajaan Kamujang ini adalah karena permaisuri Prabu Jayalaksana disandera oleh paman gurumu! Selama permaisuri masih di tangan mereka, Raja Kamujang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentang kekacauan itu!" jelas Dewa Arak panjang lebar.

Pendekar Tangan Baja pun terdiam seketika. Kini baru disadarinya kalau masalah yang tengah dihadapi tidak sesederhana yang dia duga. Memang pemuda berpakaian kuning ini kurang mengandalkan pikirannya dalam menghadapi setiap persoalan.

"Sekarang terserah padamu! Kalau kau tetap tidak ingin menyelamatkan permaisuri itu, aku tidak akan memaksa! Tapi kumohon, kau menahan dulu urusan dengan paman gurumu itu sampai aku berhasil menyelamatkan permaisuri," pinta pemuda berambut putih keperakan itu seraya menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning.

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas panjang. Kemarahannya yang sejak tadi bangkit, pelahan mulai mereda.

"Bagaimana? Bisa kau penuhi permintaanku ini?" tanya Dewa Arak lagi begitu melihat pemuda berpakaian kuning belum memberikan jawaban.

"Maafkan atas kebodohanku, Arya," ucap pemuda ber­pakaian kuning lagi. Nada suaranya menyiratkan penyesalan yang mendalam.

"Jadi...?"

"Aku ikut denganmu. Kita bersama-sama menyelamat­kan permaisuri dulu. Biar urusan dengan paman guruku, kuurus setelah kita berhasil menyelamatkan permaisuri"

Dewa Arak tersenyum lebar. Diulurkan tangannya. Pendekar Tangan Baja menyambut hangat, dan meng- genggamnya erat-erat. Perasaan kagumnya kepada Arya semakin besar. Sungguh tidak disangka, kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki pandangan yang begitu luas. Siapakah sebenarnya Arya ini? tanya Pendekar Tangan Baja dalam hati.

***

Matahari tepat berada di atas kepala. Sinamya yang terik menyorot garang ke permukaan bumi Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja melesat cepat mendekati pagar tembok yang mengelilingi bangunan tua yang tak terurus itu. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda itu yang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di balik pagar tembok.

"Kita bagi tugas, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa Arak.
"Maksudmu?" tanya Pendekar Tangan Baja seraya mengernyitkan keningnya.

"Kita harus bertindak hati-hati. Bukankah kita belum mengetahui seberapa besar kekuatan gerombolan paman gurumu itu? Untuk menghindari kegagalan, akan kucoba menarik perhatian mereka "

"Bicara jangan berbelit-belit, Arya," tegur pemuda berpakaian kuning itu. Memang Pendekar Tangan Baja masih belum mengerti arah pembicaraan pemuda berambut putih keperakan ini.

"Aku akan membuat kekacauan. Dan begitu semua perhatian mereka sudah tertuju padaku. Kau cari dan selamatkan permaisuri. Mengerti?"

Pendekar Tangan Baja menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu bersiapiah, aku akan menarik perhatian mereka!"

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuh pemuda ini pun melenting ke atas. Dan....

"Hup...!"

Indah dan manis sekali, kedua kakinya mendarat di pagar tembok. Tapi belum sempat pemuda berambut putih keperakan ini berbuat sesuatu, beberapa orang yang tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan itu telah me- mergokinya.

"Cepat lapor pada ketua," perintah salah seorang dari mereka. Sementara dia sendiri bersama beberapa orang lainnya segera meluruk ke arah Dewa Arak.

Arya yang memang sengaja hendak mengalihkan perhatian, segera melompat turun dari pagar tembok batu.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah, tepat pada saat delapan anggota gerombolan itu meluruk ke arahnya dengan senjata terhunus.

Karena ingin mengalihkan perhatian, Dewa Arak tidak bertindak setengah-setengah. Segera saja dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Singgg, singgg, wuttt....!

Delapan batang senjata tajam yang terdiri dari tombak, pedang dan golok berkelebatan cepat ke berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Dibiarkan saja hujan senjata- senjata tajam itu meluruk ke berbagai bagian tubuhnya.

Tak, tak, tak...!

Suara-suara pekikan kaget segera terdengar begitu hujan senjata-senjata tajam itu mengenai sasarannya. Betapa tidak? Semua senjata yang mengenai sekujur tubuh Dewa Arak berbalik kembali. Seolah-olah yang terbabat itu bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal.

Tapi suara pekik kekagetan itu segera berganti dengan pekik kesakitan, begitu tangan Dewa Arak bergerak. Padahal gerakan tangan pemuda berambut putih keperakan itu terlihat pelahan saja. Tapi akibatnya, delapan orang kasar berpentalan tak tentu arah bagai dilanda angin badai!

Tapi baru juga delapan orang itu roboh, dari dalam bangunan tua itu muncul puluhan orang bahkan mungkin seratus orang! Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya berompi coklat, berdaun telinga satu.

Dewa Arak terperanjat kaget. Sungguh tidak disangka- nya kalau jumlah anak buah Paman Guru Pendekar Tangan Baja begitu besar. Beberapa saat lamanya, pemuda berambut putih keperakan ini terlihat bingung.

Belum juga Arya berhasil menghilangkan perasaan kagetnya, tahu-tahu tangan laki-laki setengah baya ini berkelebat. Seketika itu juga anak buahnya yang berjumlah tak kurang dari tiga ratus orang itu bergerak cepat mengurung. Dalam sekejap Dewa Arak telah terkurung rapat.

Dewa Arak menyadari keadaan yang tidak menguntung- kan baginya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dijumput- nya guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang merayap memasuki perut Dewa Arak. Dan kemudian naik ke kepala.

Baru Juga Dewa Arak menurunkan kembali gucinya. Laki-laki berompi coklat itu telah berseru keras.

"Serang...!"

Tanpa menunggu diperintah dua kali, orang-orang yang telah mengurung itu langsung bergerak menyerbu Dewa Arak. Hujan senjata pun berkelebatan ke arah pemuda berambut putih keperakan itu.

Bukan hanya Dewa Arak saja yang terkejut melihat hal ini. Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa.
Kini kekagumannya pada Dewa Arak semakin bertambah besar. Sikap hati-hati pemuda berambut putih keperakan itu begitu tepat, gumam pemuda berpakaian kuning dalam hati.

Tapi Pendekar Tangan Baja tidak bisa terlalu lama larut dalam keterkejutannya. Pemuda berpakaian kuning ini tahu, betapa pun lihainya Arya, tidak mungkin mampu menghadapi sekian banyak orang. Apalagi di situ ada paman gurunya! Maka dia harus bertindak cepat kalau ingin Dewa Arak tetap selamat.

Sekali lagi Pendekar Tangan Baja memandang ke arah Dewa Arak yang sudah sibuk bertarung menghadapi pengeroyokan lawannya. Kemudian tanpa membuang- buang waktu lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat ke belakang. Mengelilingi bagian luar pagar tembok. Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Pendekar Tangan Baja ingin buru- buru membantu Dewa Arak. Tapi untuk itu dia harus lebih dulu menyelamatkan permaisuri.

Setelah berada di pagar tembok bagian belakang, Pendekar Tangan Baja menghentikan Langkahnya. Pemuda berpakaian kuning terdiam sejenak. Kemudian digenjotkan kakinya.

"Hih...!"

Sesaat kemudian tubuhnya melenting, melewati pagar tembok. Indah dan manis gerakannya. Dan....

"Hup...!"

Seperti yang sudah direncanakan Dewa Arak, keadaan di sini hening dan sepi. Sesaat Pendekar Tangan Baja mengawasi keadaan di sekitar bangunan. Lalu melesat ke dalam melalui pinru belakang.

Tanpa mengalami kesulitan, pemuda berpakaian kuning ini memasuki pintu itu dan terus menerobos ke dalam. Agak bingung juga pemuda berpakaian kuning melihat begitu banyak ruangan yang ditemuinya dalam bangunan ini. Tapi perkenalannya dengan Dewa Arak telah membuat pemuda ini mulai bisa mempergunakan akalnya.

Pendekar Tangan Baja buru-buru menyelinap ke balik sebuah tiang, ketika dilihatnya empat orang berwajah kasar dan bertubuh kekar berada di depan pintu sebuah ruangan. Pikiran pemuda berpakaian kuning ini pun bekerja. Mengapa ruangan itu dijaga sementara ruangan- ruangan lainnya tidak? Kemungkinannya hanya satu, permaisuri Prabu Jayalaksana ditahan di dalam ruangan itu!

Setelah yakin pada dugaannya, pemuda berpakaian kuning ini lalu melesat Pendekar Tangan Baja tidak ingin memberi kesempatan pada para penjaga itu untuk mempergunakan permaisuri sebagai sandera. Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.

Tentu saja empat orang penjaga itu kaget bukan main begitu melihat di hadapan mereka tahu-tahu berdiri seorang pemuda berpakaian kuning. Pendekar Tangan Baja terkejut begitu mengenal salah seorang di antara mereka adalah Rupangga. Sesaat, perasaan bimbang melanda hatinya. Mengapa punggawa Kerajaan Kamujang ini berada di sini?

Tapi, Pendekar Tangan Baja tidak bisa berpikir lama, Rupangga ternyata sudah mengenalnya. Terbukti, begitu dilihatnya pemuda berpakaian kuning ini, segera dicabut goloknya. Tentu saja ketiga rekannya mengikuti gerakan­nya itu.

Srat, srat.. !

Serentak keempat orang itu menghunus senjatanya masing-masing. Dan secepat itu pula membabatkannya ke arah Pendekar Tangan Baja. Tak pelak lagi empat buah senjata yang terdiri dari pedang dan golok, berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh Pendekar Tangan Baja.

Pendekar Tangan Baja hanya mendengus. Sekali lihat saja, pemuda berpakaian kuning ini sudah dapat mengukur tingkat kepandaian empat orang penjaga itu. Pendekar Tangan Baja tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Cepat- cepat kedua tangannya digerakkan memapak hujan senjata yang menyambar ke arahnya.

Tak, tak...!

Suara benturan keras terdengar hampir bersamaan, begitu kedua tangan pemuda berpakaian kuning itu ber- benturan dengan pedang dan golok di tangan para penjaga. Terdengar pekikan-pekikan kaget dari mulut orang-orang kasar itu tatkala merasakan tangan-tangan mereka tergetar hebat. Dan hampir hampir senjata mereka terlepas dari genggaman.

Dengan perasaan terkejut mereka memandang senjata masing-masing. Seketika sepasang mata mereka ter- belalak tatkala melihat mata senjata mereka gompal. Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Pendekar Tangan Baja sudah bergerak cepat ke a rah mereka.

Wut, wut...!
Buk! Buk!
"Hugh!"
"Aaakh...!"

Jertt melengking memilukan terdengar hampir bersamaan ketika sepasang tangan Pendekar Tangan Baja mendarat di perut mereka. Seketika itu juga tubuh para penjaga itu terlontar jauh ke belakang bagai diseruduk banteng. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinga keempat penjaga itu.

Suara berdebukan keras terdengar susul menyusul begitu tubuh mereka menghantam lantai. Saat itu juga keempat orang penjaga itu diam tidak bergerak lagi. Diam untuk selama lamanya.

Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya lagi, Pendekar Tangan Baja segera bergerak ke arah pintu. Tinjunya dipukulkan ke daun pintu itu. Dan....

Brakkk!

Daun pintu itu hancur berantakan ketika tinju Pendekar Tangan Baja menghantamnya. Pemuda berpakaian kuning itu segera melesat ke dalam. Dan terlihatlah seorang wanita setengah baya berpakaian indah beringsut ke sudut ruangan.

"Apakah Nisanak permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" tanya Pendekar Tangan Baja tanpa mempedulikan sikap wanita setengah baya itu.
Diam tak ada jawaban dari wanita setengah baya itu.

"Bicara cepat, Nisanak! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku dan kawanku datang untuk menyelamatkan Permaisuri Kerajaan Kamujang. Kawanku tengah meng- halangi yang lainnya. Cepat jawab, Nisanak. Benarkah kau permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" desak Pendekar Tangan Baja.

Wanita setengah baya itu menatap wajah Pendekar Tangan Baja lekat-lekat. Kemudian pelahan kepalanya terangguk pelan.

"Kalau begitu maafkan aku."

Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja melesat cepat menyambar tubuh wanita setengah baya itu.

Tappp...!
"Hup...!"

Secepat tubuh Permaisuri Kerajaan Kamujang itu dipondongnya, secepat itu pula Pendekar Tangan Baja melesat keluar.
***
Sementara itu di halaman depan yang luas, laki-laki berompi coklat tengah memperhatikan Dewa Arak yang sibuk menghadapi keroyokan anak buahnya. Wajah laki- laki setengah baya ini merah padam, menyaksikan anak buahnya berjatuhan dan tak bangun lagi setiap kali tangan, kaki, atau guci Dewa Arak bergerak. Sedangkan setiap serangan anak buahnya selalu kandas. Sudah belasan orang anak buahnya yang roboh bergeletakan di tanah.

"Minggir semua...!" teriak laki-laki berompi coklat itu keras. Seketika itu juga anak buahnya berlompatan mundur.
"Hup...!"

Lincah dan indah laksana seekor kera, laki-laki berompi coklat itu melompat mendekati Arya.

"Jangan harap dapat lolos dari sini, Dewa Arak!" desis laki-laki berdaun telinga satu itu tajam. Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan penuh ancaman.

"Kita lihat saja buktinya!" sahut Arya tenang. Memang luar biasa sekali kekuatan hati Dewa Arak. Meskipun berada dalam ancaman maut, masih mampu bersikap tenang.

"Hiyaaa...!"

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berompi coklat melompat menerjang Dewa Arak. Paman Guru Pendekar Tangan Baja ini sebelumnya memang pernah merasakan kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau melakukan patukan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun dan pelipis Arya.

Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini menyadari posisinya tidak menguntungkan. Kalau dia bersikap setengah-setengah, sudah dapat dipastikan akan tewas terbantai di sini. Maka tanpa ragu- ragu lagi, segera dikeluarkan Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Dengan keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Laki-laki berdaun telinga satu meng- geram keras begitu melihat lawannya tahu-tahu lenyap. Tapi berkat pengalaman sebelumnya, sudah dapat diduga kalau lawan berada di belakangnya. Maka begitu Dewa Arak telah tidak berada lagi di depannya segera dibalikkan tubuhnya.

Bertepatan dengan berbaliknya tubuh laki-laki berompi coklat itu, Arya sudah melancarkan serangan, Guci di tangan Dewa Arak terayun deras ke arah kepala laki-laki berdaun telinga satu itu.

Laki-laki berompi coklat itu agak gugup. Serangan itu memang datangnya begitu tiba-tiba. Tapi laki-laki setengah baya itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat dirunduk- kan tubuhnya. Sehingga serangan guci itu menyambar tempat kosong. Lewat sekitar sejengkal di atas kepalanya.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan oleh laki- laki berompi coklat itu. Seraya merundukkan tubuh, kedua tangannya melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk yang tertekuk. Inilah ilmu 'Totokan Bangau'!

Dewa Arak terkesima melihat kehebatan laki-laki berompi coklat itu. Sungguh di luar dugaannya kalau dalam keadaan terjepit seperti itu, lawan mampu berbalik meng- ancam.

Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Kembali kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi hebatnya, sesaat kemudian serangan lawan kandas percuma. Sesaat kemudian, kedua orang sakti itu pun terlibat dalam pertarungan sengit.

Dewa Arak kini berada dalam puncak tertinggi pemakaian ilmunya. Banyaknya lawan dan keadaan yang terjepitlah yang menjadikan pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Pertarungan antara kedua orang sakti ini berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu singkat tujuh puluh jurus telah berlalu. Meskipun begitu, belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak. Baik Dewa Arak maupun laki-laki berpakaian coklat itu sama-sama memiliki tingkat kepandaian seimbang. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan kekuatan tenaga dalam, kedua orang ini pun ternyata setingkat.

Rupanya laki-laki berdaun telinga satu itu tidak sabar lagi untuk mengakhiri pertarungan. Tapi sampai sejauh ini dia tidak yakin kalau Dewa Arak mampu dikalahkannya seorang diri. Bagaimana bisa mengalahkan, kalau menyentuh baju pemuda berambut putih keperakan itu saja sudah sulit bukan main. Dengan langkah anehnya, Dewa Arak selalu membuat semua serangannya kandas.

Perasaan tidak sabar itulah yang mendorong, laki-laki berompi coklat ini berteriak keras memberi perintah.

"Maju...! Tangkap pemuda ini..!"

Belum juga habis gema perintah itu, seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan berambut jarang telah melesat ke depan. Laki-laki ini adalah saudara kembar dari Gajah Putih. Dia berjuluk Gajah Hitam Begitu masuk arena pertarungan, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini segera mencabut senjatanya yang berupa ganco. Dan seketika itu juga diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.

Wuuuttt..!

Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan itu.

"Hih...!"

Cepat Dewa Arak menggenjotkan kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melesat ke udara sehingga serangan ganco itu lewat di bawah kakinya.

Tapi selagi tubuh pemuda berambut putih keperakan masih berada di udara, laki-laki berompi coklat melompat memburu. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau itu mematuk- matuk cepat mencari sasaran.

Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis serangan itu. Tubuhnya yang sedang berada di udara, menyulitkannya untuk mengelakkan serangan itu.

Plak, plak....!

Terdengar suara keras begitu dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu bertemu. Akibatnya, balk Dewa Arak maupun laki-laki berdaun telinga satu itu sama-sama terpental ke belakang.

"Hup...!"

Rlngan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak menjejak bumi. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini sempat berbuat sesuatu, beberapa sosok bertompatan menyerbu dengan senjata terhunus, dan langsung membabatkan senjatanya.

Dari suara desingan senjata mereka, Dewa Arak langsung dapat mengetahui kalau penyerangnya mem- punyai kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Memang, mereka adalah para kepala-kepala rampok yang ditunduk- kan dan dijadikan anak buah oleh laki-laki berompi coklat.

Arya tidak berani menangkis serangan-serangan itu dengan tangan kosong. Cepat-cepat diayunkan gucinya menangkis semua serangan itu.

Klang, kang, klanggg...!

Suara berkerontangan terdengar begitu guci itu beradu dengan senjata para penyerbu itu. Seketika itu juga, senjata-senjata terhunus di tangan para pengeroyok itu berpentalan. Bahkan bukan hanya senjata-senjata itu saja, tapi tubuh mereka juga berpentalan.

Tapi belum sempat Dewa Arak menarik napas lega, serangan selanjutnya datang menyusul. Seraya berteriak nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam kembali menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sebelum serangan itu sendiri tiba, serangan dari laki-laki bertelinga satu pun datang menyusul. Berturut-turut datang pula serangan susulan lainnya.

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melenting- kan tubuh ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara kemudian mendarat ringan di tanah, beberapa tombak dari tempat semula.
***

Baru saja Arya menjejakkan kakinya di tanah, tahu-tahu lawan-lawannya sudah meluruk menyerbu. Pertarungan sengit pun kembali berlangsung

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Betapa pun tinggi dan uniknya jurus 'Delapan Langkah Belalang", tapi karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak, akhirnya pemuda berambut putih keperakan ini mulai terdesak.

"Hih...!"
Wut.. !

Gajah Hitam membabatkan ganconya ke pelipis Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani bersikap gegabah. Dari desir angin yang mengiringi tibanya serangan itu, pendekar muda ini sudah dapat mengukur kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Maka buru-buru dirundukkan tubuhnya.

Wusss... !

Sabetan ganco itu menyambar lewat di atas kepala Dewa Arak. Belum lagi pemuda berbaju ungu ini sempat berbuat sesuatu, laki-laki berompi coklat mengayunkan kaki ke perutnya. Agak terkejut juga Dewa Arak. Posisiya benar-benar tidak menguntungkan, karena pada saat itu dia baru saja mengelakkan serangan Gajah Hitam. Tidak ada jalan lain baginya, kecuali menghadang tendangan itu dengan guci arak nya.

Bukkk... !

Keras bukan main tendangan yang dilontarkan laki-laki berompi coklat itu. Kuda-kuda Dewa Arak sampai goyah dibuatnya, dan tubuh pemuda berambut putih keperakan ini pun oleng ke belakang. Keadaan ini segera dimanfaat- kan oleh empat orang kepala rampok yang kini sudah meluruk cepat menyerbu Dewa Arak.Tapi untunglah Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti' yang membuat dirinya dapat melompat atau bergerak dalam posisi apa pun. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Dan kini, dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berusaha meng- elakkan serangan-serangan itu.

Tapi di saat itu, Gajah Hitam mengayunkan ganconya. Cepat-cepat Arya mengelak. Tapi...

Crattt..!
"Akh...!"

Dewa Arak memekik pelan. Sabetan ganco itu menyerempet perutnya. Cairan merah kental pun mengalir keluar dari perut Arya yang terobek cukup lebar. Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-huyung ke belakang.

"Ha ha ha..!" laki-laki berompi coklat tertawa bergelak. "Sekarang terimalah kematianmu, Dewa Arak!"

Setelah berkata demikian, laki-laki berdaun telinga satu itu melompat menerjang Dewa Arak. Kedua jari-Jari tangan- nya yang berbentuk cakar, meluruk ke arah dada Dewa Arak.

Tercekat hati Arya melihat hal ini. Segera dicekalnya guci arak dengan kedua tangan, kemudian didorongkan ke depan, memapak serangan yang menuju dadanya.

Plakkk... !

Dewa Arak terjengkang ke belakang dan jatuh ber- gulingan di tanah saking kerasnya benturan. Darah yang mengalir dari perutnya semakin banyak merembes keliar. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini bergegas bangkit. Sementara laki-laki berompi coklat, melangkah lambat-lambat menghampiri. Namun belum tiga tindak laki- laki berdaun telinga satu ini melangkah, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

"Sanca Mauk! Akulah lawanmu....!"

Sebuah teriakan keras membuat langkah laki-laki berompi coklat ini terhenti. Kepalanya menoleh ke arah asal suara. Seketika wajah laki-laki setengah baya ini berubah begitu melihat seorang yang bergerak cepat mendatanginya.

"Gumintang....," desah laki-laki berompi coklat yang ternyata bemama Sanca Mauk ini.

Cepat bukan main gerakan orang yang bemama Gumintang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada tiga tombak di depan laki-laki berdaun telinga satu.

"Pendekar Tangan Baja," desah Dewa Arak begitu melihat orang yang dipanggil Gumintang.

"Ooo... Jadi, kau rupanya orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja itu, Gumintang?! Ha ha ha...! Mana si tua bangka itu?" ucap Sanca Mauk sambil tersenyum sinis.

"Untuk membawamu kembali, tak perlu guruku turun tangan. Aku sendiri pun sanggup, Sanca Mauk!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.

"Ha ha ha..! Sanca Mauk tertawa bergelak. "Kau hanya mengantarkan nyawa saja, Bocah! Jangankan dirimu, gurumu sendiri pun tidak akan mampu melawanku!"

"Kita lihat saja buktinya, Sanca Mauk!" sergah Pendekar Tangan Baja keras.

Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian kuning ini melompat menerjang Sanca Mauk. Kedua tangannya mengirimkan pukulan beruntun ke arah dada dan ulu hati Sanca Mauk.

Begitu Pendekar Tangan Baja telah terlibat pertarungan dengan Sanca Mauk, anak buah laki-laki berompi coklat itu segera menyerbu Dewa Arak. Kembali pemuda berambut putih keperakan ini harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi keroyokan puluhan lawannya.

Walaupun telah terluka, Dewa Arak masih mampu mengadakan perlawanan sengit. Ke mana saja tangan, kaki atau gucinya bergerak, pasti ada lawan yang roboh dan tidak mampu bangkit lagi.

Tapi lawan yang dlhadapi pemuda berambut putih keperakan ini terlalu banyak. Lagi pula tidak sedikit di antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Maka pelahan namun pasti Dewa Arak mulai terdesak. Apa lagi, pemuda berambut putih keperakan ini memang sudah terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tapi sedikit banyak mengurangi kelincahannya.

Di saat Dewa Arak semakin terdesak, terdengar suara berderak keras disusul hancumya pintu gerbang depan. Tentu saja suara ribut-ribut itu mengejutkan semua yang ada di situ. Untuk sesaat pertarungan terhenti. Dan kini semua perhatian tertuju ke arah pintu gerbang. Dari sekian banyak orang yang ada di situ, hanya Pendekar Tangan Baja saja yang tidak merasa terkejut. Karena pemuda berpakaian kuning ini sudah bisa menduga apa yang terjadi. Apalagi kalau bukan perbuatan pasukan Kerajaan Kamujang yang datang bersamanya! Hanya saja karena tidak sabar lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat lebih dulu.

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Sanca Mauk dan anak buahnya, begitu melihat beratus-ratus pasukan kerajaan memasuki markas mereka. Menilik dari banyaknya, mungkin tidak kurang dari lima ratus orang! Dan yang lebih gila lagi, di antara mereka terdapat Pasukan Kuku Garuda. Dan tentu saja di antara mereka ada pula Prabu Jayalaksana.

Begitu masuk, pasukan Kerajaan Kamujang itu segera menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Dan dalam sekejap saja keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Pasukan Kerajaan Kamujang yang datang menyerbu adalah pasukan pilihan. Maka dalam sekejap saja, anak buah Sanca Mauk berguguran.

Sepak terjang Pasukan Kuku Garuda lebih hebat lagi. Setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat dipastikan ada anak buah Sanca Mauk yang roboh. Amukan pasukan khusus itu baru agak tertahan ketika berhadapan dengan Gajah Hitam dan empat orang kepala rampok lainnya.

Sekali lihat saja, Dewa Arak sudah dapat mengetahui kalau tanpa bantuannya pun, pasukan Kerajaan Kamujang mampu memenangkan pertarungan. Maka pemuda berambut putih keperakan ini segera bergerak menyingkir dari kancah pertarungan. Dan hanya berdiri memperhatikan saja.

Prabu Jayalaksana yang sejak tadi berdiri mem- perhatikan jalannya pertarungan, dengan dikawal oleh empat orang Pasukan Kuku Garuda, melangkah meng- hampiri Dewa Arak.

"Bagaimana Gusti Prabu bisa sampai kemari?" tanya Arya. Sebenarnya dia sudah bisa menduganya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini ingin mendengamya langsung dari mulut yang bersangkutan.

"Pendekar Tangan Baja datang ke istana sambil mem­bawa permaisuri. Pemuda perkasa itu juga menceritakan kalau kau tengah menghadapi banyak lawan di sini. Hhh...! Mudah-mudahan saja semua kekacauan di wilayah Kerajaan Kamujang segera berakhir karena orang dalam yang telah menculik permaisuri, juga telah tertangkap," jelas Prabu Jayalaksana.

"Siapa orang dalam yang terlibat itu, Gusti Prabu?" tanya Arya setengah hati. Sekedar menyahuti ucapan Raja Kamujang itu.

"Panglima Ramkin. Orang yang dulu kusuruh memimpin pasukan untuk menangkapmu dan Pendekar Tangan Baja," jawab Prabu Jayalaksana. "Dari Dinda Permaisurilah keterlibatannya dengan para pengacau itu kuketahui. Hhh,..! Sungguh tidak kusangka...."

Dewa Arak hanya diam mendengarkan. Sedikit pun tidak diselanya ucapan Raja Kamujang itu.

"Ternyata Panglima Ramkin berambisi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Maka dia bergabung dengan komplotan penculik untuk merongrong keutuhan Kerajaan Kamujang," sambung Raja Kamujang lagi. "Kalau saja tidak ada dirimu dan Pendekar Tangan Baja, mungkin usahanya akan berhasil. Seluruh daerah telah siap memberontak akibat fitnahan yang dilancarkannya. Hhh...! Syukurlah kini semua telah teratasi."

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya segera dilayangkan ke arah pertarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk yang masih berlangsung sengit. Seratus jurus telah berlalu. Tapi belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak. Kepandaian kedua orang itu ternyata seimbang.

Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan dari per­tarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Desir angin tajam, menderu dan mencicit, menyemaraki pertarungan itu. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Sebetulnya tingkat kepandaian Pendekar Tangan Baja masih di bawah Sanca Mauk. Tapi karena keistimewaan tangan pemuda ini, tambahan lagi gurunya telah mewariskan ilmu yang dapat dipakai untuk melumpuhkan ilmu Sanca Mauk, membuat Pendekar Tangan Baja yang bernama Gumintang ini mampu mengimbangi lawannya.

Sanca Mauk menggeram keras. Sungguh tidak disangka kalau kepandaian yang dimiliki murid keponakannya ini demikian tinggi. Tepat pada jurus ke seratus lima puluh, seraya membentak keras, laki-laki berompi coklat ini mengibaskan tangannya.

Serrr... !

Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main begitu melihat berpuluh puluh jarum beracun menyambar ke arahnya. Apalagi saat itu dirinya berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Cepat-cepat tubuhnya di lempar ke samping dan bergulingan di tanah beberapa kali.

Sanca Mauk memang sudah menduganya. Maka begitu dilihatnya Pendekar Tangan Baja melompat, segera laki- laki berompi coklat ini melompat menyusul. Dan langsung melancarkan serangan beruntun ke arah Pendekar Tangan Baja yang masih bergulingan di tanah.

Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Tangan Baja selain terus menggulingkan tubuh, menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi Sanca Mauk yang sudah menang posisi, tidak mau membiarkannya. Diburunya tubuh yang bergulingan itu seraya terus melancarkan serangan bertubi-tubi.

Pendekar Tangan Baja sadar bila keadaan masih terus seperti ini, suatu saat serangan lawan akan mengenainya juga. Maka pemuda berpakaian kuning ini mengambil keputusan nekad. Pada suatu kesempatan, tubuhnya melenting ke atas.

"Hih...!"

Ternyata hal itu sudah diperhitungkan oleh Sanca Mauk. Terbukti begitu tubuh Pendekar Tangan Baja itu melenting, kakinya bergerak menendang. Cepat bukan main gerakan- nya. Gumintang mencoba menggeliatkan tubuh untuk mengelak, tapi...

Bukkk!
"Akh...!"

Pendekar Tangan Baja memekik tertahan. Keras dan telak sekali tendangan Sanca Mauk mengenai perutnya. Seketika itu juga, rasa mual dan mules yang amat sangat mendera perutnya. Cairan merah kental pun meleleh di sudut bibirnya. Belum lagi pemuda berpakaian kuning ini berbuat sesuatu, paman gurunya kembali melancarkan serangan bertubi-tubi

Tukkk!
Plakkk!
"Akh...!"

Gumintang kembali memekik tertahan ketika patukan tangan kanan Sanca Mauk mengenai bahunya. Sementara tangan kiri yang mengibas mengenai dadanya. Tubuh Pendekar Tangan Baja kontan terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah.

Pendekar Tangan Baja berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak mampu. Tiga buah serangan yang diterimanya, membuat pemuda itu terluka cukup parah. Belum lagi rasa sakit yang melanda perutnya hilang, datang lagi rasa sesak yang amat sangat di dadanya. Bahunya juga robek mengeluarkan darah segar, terkena patukan tangan Sanca Mauk.

"Terimalah kematianmu, Anak Keparat!" teriak laki-laki berompi coklat itu seraya melompat menerkam Gumintang
yang sudah tergolek tidak berdaya.

Sudah dapat dipastikan kalau Sanca Mauk akan berhasil membunuh Pendekar Tangan Baja. Tapi sebelum serangan laki-laki berdaun telinga satu itu mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memapak serangannya.

Plak, plak....!

Terdengar suara keras berkali-kali, ketika dua pasang tangan dari dua sosok tubuh yang sama-sama berada di udara berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Sanca Mauk maupun Dewa Arak sama-sama terjengkang ke belakang.

Tapi baik Sanca Mauk, maupun Dewa Arak dengan mudah meredam daya dorong itu. Indah dan manis sekali tubuh keduanya bersalto di udara.

Serrr... !

Kembali untuk yang ke sekian katinya, Sanca Mauk mengibaskan tangan, melepaskan jarum-jarum beracun- nya. Dan itu dilakukannya ketika tubuhnya masih bersaho di udara. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak kaget. Apalagi serangan jarum itu cfilepaskan selagi tubuhnya juga masih berada di udara.

Cepat diturunkan kedua tangannya, dan dijadikan sebagai landasan kaki. Sekali kakinya bergerak menggenjot tubuh pemuda berambut putih keperakan ini telah melayang kembali ke atas. Sehingga serangan jarum itu lewat di bawah kakinya.

Selagi berada di udara, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke bawah, ke arah tubuh lawan yang masih berada di udara. Dalam kemarahannya karena lawan berlaku licik, pemuda berambut putih keperakan ini telah menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang dipergunakannya.

Angin berhawa panas menyengat berhembus keras ke arah Sanca Mauk. Laki-laki berompi coklat ini kaget bukan main. Apalagi saat ini tubuhnya tengah berada di udara. Serangan Dewa Arak benar-benar di luar dugaannya. Sedapat mungkin Sanca Mauk berusaha menggeliatkan tubuhnya. Tapi..

Bresss... !
"Aaakh...!"

Sanca Mauk menjerit melengking memilukan ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak, telak menghantam tubuhnya. Usahanya untuk menyelamatkan diri gagal total.

Brukkk!

Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras, tubuh Sanca Mauk terbanting di tanah. Seketika itu juga nyawa laki-laki berdaun telinga satu ini lepas dari raganya. Sekujur tubuhnya hangus mengeluarkan bau sangit daging terbakar.

Berbareng tewasnya Sanca Mauk, pertarungan antara pasukan Kerajaan Kamujang dengan anak buah laki-laki berdaun telinga satu itu pun berakhir. Pihak pasukan Kerajaan Kamujang memperoleh kemenangan mutlak. Sebagian besar lawan tewas terbunuh. Hanya tinggal beberapa gelintir saja yang selamat. Itu pun karena menyerah. Dan kini mereka menjadi tawanan.

Melihat kemenangan pasukannya, Prabu Jayalaksana gembira bukan kepalang. Sesaat lamanya Raja Kamujang ini melupakan Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja. Dan ketika akhirnya Prabu Jayalaksana teringat, kedua pemuda perkasa itu telah tidak berada lagi di situ. Bahkan mayat Sanca Mauk pun telah lenyap.

"Hhh...!" Raja Kamujang menghela napas dalam. Orang nomor satu di Kerajaan Kamujang ini mengetahui betul alasan kedua pemuda itu pergi tanpa pamit. Dan ini jadi membuatnya lebih kagum. Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja tidak memerlukan ucapan terima kasih atau imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan. Kedua pemuda perkasa itu melakukan semua ini tanpa pamrih.

"Kalau saja di dunia ini banyak orang seperti mereka, tidak akan ada kekacauan...," gumam Prabu Jayalaksana. Sepasang matanya memandang kosong ke langit.

Sementara hari telah menjelang senja. Sinar mentari yang mulai meredup, menyinari dua sosok tubuh yang tengah berjalan pelahan. Dua sosok itu adalah Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja yang tengah melangkah berdampingan. Di bahu Pendekar Tangan Baja nampak terpanggul mayat Sanca Mauk.

Sesampainya di sebuah persimpangan kedua pemuda perkasa ini menghentikan langkahnya.

"Kau tidak bersedia ikut denganku, Arya? Kurasa guruku senang berkenalan denganmu," ucap Pendekar Tangan Baja yang sudah agak sembuh dari luka dalamnya.

"Terima kasih, Pendekar Tangan Baja! Sayang sekali aku tidak bisa memenuhi ajakanmu. Perjalananku masih jauh. Percayalah! Suatu saat nanti, pasti aku akan mengunjungimu," janji Dewa Arak.

"Kalau begitu baiklah. Aku akan menunggu kedatangan- mu, Arya, " sahut Gumintang mengalah. "O ya, terima kasih atas semua bantuanmu "

"Lupakanlah, Pendekar Tangan Baja!" sambut Dewa Arak seraya tersenyum lebar. Pendekar Tangan Baja juga tersenyum. Kemudian pemuda berpakaian kuning ini melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Dewa Arak memandangi kepergian Pendekar Tangan Baja beberapa saat. Baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Masih banyak tugas yang harus diselesaikannya. Tugas selaku pendekar pembela kebenaran.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar