31 Perkawinan Berdarah
1
Sang surya mulai tenggelam di
ufuk Barat. Sinarnya yang kuning keperakan, membias dan menerobos pohon- pohon.
Angin sepoi-sepoi menerpa kulit. Saat itu, tampak dua sosok tubuh tengah
berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. Yang seorang adalah pemuda berambut putih keperakan. Bajunya yang
berwarna ungu, tampak berkibaran ketika dia berlari.
Yang seorang lagi adalah gadis
cantik berbaju putih. Rambutnya panjang terurai, semakin menambah
kecantikannya. Kedua orang itu tampak menuruni Bukit Siluman.
"Melati...," panggil
pemuda berambut putih keperakan itu, membuka pembicaraan tanpa menghentikan
larinya.
"Hm...," gumam gadis
yang ternyata Melati, menyambuti panggilan pemuda tampan yang ternyata memang
Arya Buana atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
"Mengapa kau berada di
sini? Apakah kau batal ke Istana Kerajaan Bojong Gading?" tanya Arya yang
merasa tidak yakin kalau Melati telah kembali dari Istana Kerajaan Bojong
Gading secepat itu.
"Hhh...!" Melati
menghela napas berat. "Lima orang yang mengaku pasukan khusus Kerajaan
Bojor Gading ternyata penipu-penipu, Kang! Mereka bermaksud membunuhku..."
"Apa?!" sentak Arya
kaget, dan langsung menghentikan lari cepatnya. Melati pun juga menghentikan
larinya. Dewa Arak menatap dalam-dalam wajah kekasihnya. "Mengapa bisa
begitu, Melati?"
"Aku pun tidak tahu,
Kang," sahut putri angkat Raja Bojong Gading itu sambil menggelengkan
kepala.
Kemudian secara singkat semua
peristiwa yang dialami diceritakannya. Dewa Arak tampak mendengarkan penuh
perhatian.
"Sayang..., sebelum aku
sampai mengetahui dalangnya, mereka semua keburu bunuh diri," tutur Melati
mengakhiri ceritanya.
Arya. "Yahhh...! Baiklah
nanti kita selidiki bersama," janji
"Benar, Kang.
Sekarang kita harus
menyelesaikan dulu urusan yang tertunda..., mengunjungi Perguruan Pedang
Ular untuk menghadiri pesta pernikahan Karmila dan Rupangki."
Arya menganggukkan kepala
pertanda membenarkan. "O ya, Kang. Kau belum menceritakan padaku
mengapa sampai bisa tertawan
tokoh-tokoh yang menggiriskan itu," pinta Melati.
Arya menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian secara singkat tapi jelas semua kejadian
itu diceritakan pada kekasihnya yang
mendengarkan penuh perhatian.
Tapi Dewa Arak tidak
menceritakan semuanya. Tentu saja pertemuan dengan gurunya di dalam mimpi tidak
diceritakan, karena Arya masih belum yakin dengan kejadian yang dialaminya
(Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis").
Suasana hening menyelimuti
keadaan tempat itu ketika Arya menghentikan cerita. Sedangkan Melati tidak
mengajukan pertanyaan. Kini mereka melanjutkan, perjalanan kembali. Seorang pun
tak ada yang berbincang- bincang lagi.
"Kang...," sebut
Melati memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Ada apa, Melati?"
tanya Arya sambil menoleh. Dewa Arak agak heran melihat Melati menahan
ucapannya, dan seolah-olah merasa ragu untuk melanjutkannya.
"Nggg "
"Katakanlah, Melati. Ada apa?
Tidak usah malu- malu," desak Arya ketika Melati tetap belum meneruskan
ucapan setelah ditunggu beberapa saat lamanya.
"Nggg.... Tidak jadi ah,
Kang "
"Lho...?!" Arya
tercengang. "Aneh! Katakanlah, Melati.
Ada apa sebenarnya?!"
"Tidak ada apa-apa, Kang.
Sungguh!" sahut Melati mencoba meyakinkan hati Dewa Arak.
"Kalau kau tidak mau
memberitahukannya, aku tidak akan melanjutkan perjalanan ini," gertak
Arya.
"Silakan," tantang
Melati sambil tersenyum. "Baik kalau itu maumu, Melati," sambut Arya pura-
pura bersikap sungguh-sungguh.
Dewa Arak tahu kalau Melati
tengah menggodanya. Maka hal itu diladeninya dengan senang hati. Tidak ada
sesuatu yang paling menyenangkan Arya kecuali kalau Melati menggodanya. Dan
saat seperti inilah yang paling ditunggunya, karena Melati jarang sekali mau
menggodanya.
Usai berkata demikian, Arya
menghentikan larinya kembali. Melati pun demikian pula. Dan kini mereka berdiri
berjajar, dengan pandangan tertuju lurus ke depan.
Tapi hal itu tidak berlangsung
lama, karena Melati kemudian sudah berbalik. Kini, tubuhnya menghadap ke kanan.
Arya masih membiarkannya. Bahkan masih memasang wajah dan sikap
sungguh-sungguh, seakan akan benar-benar marah pada kekasihnya.
Ketika beberapa saat lamanya
menunggu namun tidak ada gerakan sedikit
pun di sebelahnya, Arya jadi khawatir juga. Hatinya cemas kalau Melati
benar-benar marah.
Tanpa sepengetahuan Melati,
tiba-tiba Dewa Arak melesat ke atas dan hinggap di atas pohon yang menaungi
mereka. Karena ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi, maka
sedikit pun tak ada suara yang terdengar.
Melati yang tidak tahu sama
sekali kalau Arya sudah tidak ada di sampingnya, tiba-tiba berbalik menghadap
Dewa Arak. Alangkah terkejutnya Melati, karena Dewa Arak sudah tidak ada lagi.
"Kang..,!" teriak
Melati.
Hati gadis itu jadi cemas,
karena menyangka kalau Arya marah padanya, lalu pergi dari situ.
"Kang...!" panggil
Melati lagi.
Melati makin cemas. Dan ketika
akan beranjak dari situ, tiba-tiba....
"Hai! Aku di sini!"
Arya berseru mengejutkan
Melati sambil menepuk bahu kanan gadis itu. Tentu saja tidak keras-keras. Dan
seperti yang sudah diduga, Melati terjingkat kaget sambil memekik kecil.
"Ha ha ha !" Arya
tertawa terbahak-bahak karena kekagetan kekasihnya. Tawa yang keluar dari
perasaan hati yang benar- benar gembira. Memang, hanya bila saat-saat seperti
inilah Arya benar-benar merasa gembira. Alam yang dilihatnya selalu terasa
lebih indah. Matahari, angin, langit, pohon- pohon dan apa pun yang dilihatnya
selalu jauh lebih indah bila ada Melati di dekatnya.
"Kau terlalu,
Kang...!" rungut Melati.
Raut wajah gadis itu kelihatan
marah. Tapi dari sinar di matanya, tampak jelas kalau dia tidak marah. Melati
memberengut hanya ketika melihat Arya yang terus saja tertawa terbahak-bahak
sambil memegangi perutnya.
"Ayo. Cepat katakan,
Melati. Apa yang tadi ingin dibicarakan?" desah Arya ketika telah
menghentikan tawanya.
"Tidak akan
kukatakan!" dengus Melati, manja.
"Kalau kau tidak mau
mengatakannya, aku akan menggelitikmu sampai mau mengatakannya," ancam
Arya. "Ayo, cepat. Kuberi kau waktu sampai tiga hitungan "
Sambil berkata demikian, Dewa
Arak melangkah mendekati Melati dengan tangan yang telah siap membuktikan
ancamannya.
"Satu.... Dua.... Ti
"
"Baiklah," kata Melati
terpaksa mengalah ketika Arya telah menghitung hampir sampai pada hitungan
ketiga.
Arya tersenyum lebar ketika
akhirnya berhasil juga memaksa Melati untuk mengutarakan ucapannya. Sementara
itu, Melati hanya menundukkan kepalanya.
"Aku lapar, Kang...,"
ucap gadis berpakaian putiti itu. Pelan sekali suaranya. Mungkin kalau Arya
tidak memiliki pendengaran tajam, pasti tidak akan mendengarnya.
Melati mengira Arya akan
tertawa geli mendengar ucapannya. Tapi, ternyata pemuda berambut putih
keperakan itu malah tersentak kaget Bahkan seruan keterkejutannya keluar dari
mulutnya.
"Mengapa tidak kau
katakan sejak tadi. Melati. Ah! Aku memang keterlaluan! O, ya. Katakan, apa
yang kau inginkan? Ayam panggang? Kelinci? Kijang...? Katakan saja. Nanti di
hutan depan kita akan kucarikan untukmu."
Melati mengangkat wajahnya.
"Aku ingin gajah,
Kang," goda Melati lagi. "Hahhh?! Gajah?!" Arya menggaruk-garuk
kepala yang tidak gatal, "Kau memang harus digelitiki. Biar tidak
seenaknya menggoda orang, Melati."
Tapi sambil tertawa terkikik
Melati berlari mening- galkan Arya menuju hutan yang terletak tak begitu jauh
lagi di depan mereka. Sementara Arya mengejar di belakangnya. Sesaat kemudian,
tubuh sepasang muda-mudi ini sudah saling kejar-mengejar.
***
Matahari telah cukup-lama
muncul di ufuk Timur. Sinarnya sudah tidak begitu lembut !agi. Saat itu, pagar
kayu yang melingkupi Perguruan Pedang Ular telah terlihat Dewa Arak dan Melati.
"Itu markas Perguruan
Pedang Ular, Melati," jelas Arya sambil menudingkan jari telunjuk ke arah
bangunan yang terletak belasan tombak di hadapan mereka.
Melati hanya menganggukkan
kepala.
"Sepertinya sudah ada
keramaian di sana, Kang?" tanya Melati pelan.
Sepasang mata gadis itu
menatap ke arah pintu gerbang Perguruan Pedang Ular yang terbuka lebar dan
diperindah berbagai macam hiasan yang beraneka warna.
"Yahhh...!" sambut
Arya setengah mendesah.
Memang, Dewa Arak juga telah
melihat adanya keramaian di sana. Bahkan sayup-sayup telinganya mendengar suara
riuh rendah yang berasal dari bangunan perguruan.
"Alangkah bahagianya
Rupangki dan Karmila...," desah Melati pelan. Sepasang matanya yang indah
tampak menerawang ke atas, sekan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya di
sana.
Arya menoleh. Sepertinya ada
perasaan iri yang menyeruak di dalam ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Bukan hanya kau saja
yang merasa iri pada mereka, Melati. Tapi juga aku. Tapi, yahhh...! Apa mau
dikata? Inilah kenyataan yang harus dihadapi. Tapi, percayalah. Saat untuk kita
pasti akan datang."
Suasana menjadi hening sejenak
begitu Dewa Arak menghentikan ucapan. Apalagi, Melati juga tidak menyahutinya
lagi. Kini mereka meneruskan langkah tanpa berkata-kata lagi.
Ketika jarak antara Arya dan
Melati telah mencapai sembilan tombak dari pintu Perguruan Pedang Ular, dua
orang penjaga pintu gerbang rupanya telah mengenalinya. Salah seorang dari
mereka tampak bergegas masuk ke dalam. Sedangkan yang seorang lagi bergegas
menyambut kedatangan Dewa Arak dan Melati.
"Dewa Arak...!"
sebut penjaga pintu gerbang yang bertubuh pendek kekar, ketika telah berhadapan
dengan Arya. "Sungguh tidak disangka kau akan sempat hadir...!"
Arya hanya tersenyum lebar.
"Rupangki dan Karmila
adalah kawan-kawan baik ku. Mana mungkin kalau aku tidak hadir dalam perayaan
ini?" sahut Arya seraya menyunggingkan senyum. "Lagi pula, Ki Gambala
sendiri telah mengundangku. Dan ini merupakan sebuah kehormatan besar."
Murid Perguruan Pedang Ular
yang bertubuh kekar itu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Dewa Arak.
Kemudian kepalanya menoleh ke arah Melati.
"Siapakah dia Dewa
Arak?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu tanpa menolehkan kepala ke arah
Arya, dan tetap tertuju pada wajah Melati. Ada kekaguman besar pada sepasang
matanya.
Melati langsung menundukkan
kepala karena merasa risih dipandangi seperti itu. Meskipun di dalam hatinya,
dia merasa bangga melihat orang mengagumi kecantikannya.
"Tunanganku...,"
jawab Arya jujur. Ada nada kebanggaan dalam suara Dewa Arak. Dan memang, pemuda
berambut putih keperakan itu merasa bangga memiliki calon istri secantik
Melati.
"Ah!" seru murid
Perguruan Pedang Ular kaget seraya buru-buru memalingkan pandangannya. Tampak
wajahnya merah begitu menyadari ketidakpantasan tindakkannya barusan.
"Arya...!"
Sebuah panggilan keras membuat
mereka meno- lehkan kepala ke arah asal suara. Tampak di pintu gerbang empat
sosok tubuh yang bergerak keluar.
Arya, Melati, dan murid
perguruan Pedang Ular itu bergegas menghampiri. Baik Melati maupun Arya kenal
betul dengan tiga dari empat orang itu. Mereka adalah Ki Gambala, Rupangki dan
Karmila. Sementara satu seorang lagi adalah murid Perguruan Pedang Ular yang
tadi menjaga pintu gerbang. Rupanya, dia masuk ke dalam untuk memberitahukan
kedatangan Dewi Arak pada Ki Gambala.
"Sungguh tidak pantas
kelakuanmu, Samba," tegur Ki Gambala pada laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Ada tamu terhormat datang, bukannya diajak masuk malah diajak
berpanas-panasan di luar."
Laki-laki pendek kekar yang
ternyata bernama Samba hanya menundukkan kepala.
"Di antara sahabat, tak
perlu banyak peradatan Ki," sahut Arya dengan wajah sungguh-sungguh.
"Ucapkan terima kasih
pada Dewa Arak, Samba," perintah Ki Gambala. "Karena, keinginanku
untul menghukummu jadi kubatalkan."
"Terima kasih atas
pembelaanmu, Dewa Arak,' ucap Samba buru-buru.
"Ha ha ha...! Kau ini
memang luar biasa, Ki," puji Arya. "Meskipun sudah tua, tapi masih
mempunyai jiwa yang penuh semangat dan senang bercanda."
"Ha ha ha...!"
Tawa Ki Gambala pun meledak
mendengar kelakar
Arya.
"Bagaimana kalau kita
berbincang-bincang di dalam
saja, Arya," selak
Rupangki. "Tidak enak rasanya berbincang- bincang di luar. Apalagi, dalam
suasana yang cukup panas begini "
Ki Gambala melengak, dan
wajahnya memerah. Ucapan Rupangki menyadarkannya kalau mereka semua masih
berada di luar.
"Kau benar
Rupangki." kata ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Mari Arya. Kita
berbincang-bincang di dalam."
Arya menganggukkan kepala,
kemudian melangkah mengikuti Ki Gambala yang berjalan lebih dulu, bersama
Rupangki. Sementara Melati yang sejak tadi tidak kebagian berbicara, berjalan
bersama Karmila yang juga belum mendapat kesempatan berbincang-bincang. Di
belakang mereka, berjalan Samba bersama penjaga pintu gerbang satu lagi. Samba
berjalan sambil tersenyum ketika teringat Ki Gambala pun melakukan kesalahan
yang sama dengan dirinya.
***
"Sungguh tidak kusangka
kalau kau bisa menghadiri pesta pernikahan ini, Dewa Arak," kata Ki
Gambala ketika mereka semua telah duduk di dalam sebuah ruangan tengah yang
luas. "Padahal, semula hatiku tidak yakin kalau kau akan hadir."
"Bukankah aku telah
berjanji, Ki," sahut Arya kalem. "Pantang bagiku untuk menjilat ludah
yang keluar dari mulutku."
Rupangki dan Ki Gambala
mengangguk.
"Aku yakin, kau tidak
akan mengingkari janjimu, Arya," kata Ketua Perguruan Pedang Ular.
"Hanya saja, aku tidak yakin kalau kau bisa hadir disini. Apalagi, kau
datang lebih cepat sehari dari pesta yang akan kami adakan. Ini benar-benar
sebuah kejutan yang amat besar. Terus terang, kami merasa terharu sekali. Entah
bagaimana aku harus membalas budimu yang telah begitu banyak pada kami."
Rupangki dan Karmila
mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan Ketua Perguruan Pedang
Ular itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Jamur Sisik Naga dan "Memburu Putri Datuk").
"Lupakanlah, Ki. Bukankah
hal wajar kalau saling tolong-menolong, selama kita yakin kalau tindakan itu
benar. Lagi pula, kukira Kang Arya tidak memikirkan pembalasan atas kebaikan
yang dilakukannya. Bukan begitu, Kang?" Melati kini angkat bicara.
"Apa yang dikatakan
tunanganku ini memang benar, Ki. Aku sama sekali tidak menganggap pertolongan
yang kulakukan itu sebagai hutang budi. Karena aku yakin kau pun akan melakukan
hal yang sama bila berada di pihakku."
"Hhh...! Semua yang kau
katakan itu benar, Arya," sambut Rupangki. "Aku juga tahu, kau
melakukan semua itu tanpa pamrih. Tapi sebagai seorang manusia yang punya
perasaan, kami pun ingin sesekali ganti melakukan sebuah tindakan yang...,
anggaplah sebagai tanda terima kasih."
Ki Gambala menganggukkan
kepala. "Benar, Arya," celetuk Karmila. "Kami harap, kau pun
bisa cepat-cepat menyusul kami."
Sambil berkata demikian, gadis
cantik berpakaiai merah yang pernah mencintai Arya ini mengerling ke arah
Melati. Memang, Karmila telah mengetahui kalau Melati adalah tunangan Dewa
Arak. Dan itu didengarnya sendiri dari mulut Dewa Arak.
Wajah Arya langsung memerah.
Lebih-lebih lagi Melati Gadis berpakaian putih itu kini malah menundukkan
kepalanya.
"O ya, Arya. Aku sempat
mendengar berita kalau kau ditahan Dedemit Api dan Dedemit Salju. Apakah semua
berita itu benar? Bahkan kudengar pula, banyak tokoh persilatan aliran putih
yang tewas di tangan sepasang biang iblis itu ketika hendak
menyelamatkanmu," Ki Gambala buru-buru mengalihkan persoalan untuk tidak
semakin membuat Arya dan Melati terjerat dalam perasaan malu.
"Semua berita itu benar,
Ki," jawab Arya, mendesak "Aku menyesal sekali, Ki. Banyak tokoh
persilatan yang tewas dalam usaha
untuk membebaskanku dari
tawanan mereka "
"Hal itu tidak usah kau
pikirkan, Arya," hibur Ki Gambala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau tahu, semua tokoh aliran putih rela mati demi kau. Karena, kau telah
banyak melenyapkan tindak ketidakadilan di dunia ini. Kau masih muda.
Perjalanan hidupmu masih panjang deh karena itu, semua tokoh aliran putih
berusaha mati-matian membelamu. Mereka yakin kalau kau berhasil dibebaskan,
biang-biang iblis itu pasti dapat kau tumpas."
Arya terdiam. Disadari adanya
kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam penjelasan yang diuraikan secara
panjang lebar oleh Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Aku khawatir, tidak akan
bisa memenuhi harapan mereka, Ki ," kata Dewa Arak setelah beberapa saat
lamanya
termenung.
"Hm.... Apa maksudmu,
Arya ?"
"Iblis-iblis itu terlalu
sakti. Keberhasilanku melolos- kan diri dari mereka pun terjadi karena nasibku
yang baik saja."
Kemudian, Arya menceritakan
semua kejadiannya. Dari pertarungannya melawan Raja Racun Muka Putih, sampai
dia berhasil menewaskan Dedemit Api. Tentu saja tidak diceritakan perihal
belalang raksasa yang masuk ke tubuhnya.
Ki Gambala
mengangguk-anggukkan kepala ketika Arya telah menyelesaikan ceritanya.
"Sepertinya, kau akan
mengadakan pesta besar besaran, Ki," tebak Arya. "Tadi kulihat
beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular tengah membenahi panggung yang
hampir selesai."
"Memang aku bermaksud
begitu, Arya. Aku ingin pesta pernikahan Rupangki dan Karmila berlangsung
besar- besaran. Banyak tokoh persilatan yang kuundang. Bahkan aku juga membuat
panggung untuk tempat pertandingan silat," jawab Ki Gambala penuh
semangat, seraya mengerling ke arah Rupangki dai Karmila. Sepasang calon
pengantin itu langsung menundukkan kepala mendengar Ketua Perguruan Pedang Ular
itu membicarakan diri mereka.
Arya hanya mengangguk-anggukkan
kepala. Di sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa, meskipun ada
kekhawatiran yang berkecamuk di hatiny. Tindakan Ki Gambala yang mengundang
banyak tokoh persilatan memang tidak bisa disalahkan. Tapi khawatir kalau hal
itu akan timbul keributan. Dia tahu ayah Karmila banyak mempunyai musuh. Baik
dari kalangan hitam, maupun putih. Bukan tidak mungkin, kalau ketidak puasan
yang mereka bawa dari rumah, akan meledak apabila terjadi pertemuan antara
tokoh-tokoh yang tidak puas. Dan puncaknya, akan terjadi keributan!
"O ya, Arya. Mungkin kau
dan Melati masih lelah. Mari kuantarkan ke tempat istirahat kalian," ajak
Ki Gambala sambil bangkit berdiri.
Diiring oleh Karmila dan
Rupangki, Arya dan Melati melangkah mengikuti Ki Gambala untuk menuju tempat
peristirahatan. 2
Hari masih pagi. Matahari baru
saja muncul di ufuk Timur, bagai bola api raksasa berwarna merah jelaga. Saat
ini di Perguruan Pedang Ular kesibukan telah berlangsung.
Murid-murid perguruan itu
tidak ada yang berpangku tangan. Sejak kemarin, semuanya sibuk bekerja keras
menyelesaikan hiasan warna-warni yang belum di pasang. Sementara yang lain juga
masih sibuk membenahi panggung untuk tempat pertandingan persahabatan.
Hingga akhirnya ketika
matahari telah mulai bergerak naik, semua kesibukan itu selesai, tepat seperti
yang telah diperhitungkan Ki Gambala.
Kini, tamu-tamu mulai
berdatangan. Dan oleh murid- murid Perguruan Pedang Ular, mereka dipersilakan
menempati tempat yang telah disediakan. Dan untuk tokoh- tokoh utama, diberikan
tempat di bangku kehormatan.
Semakin siang, tamu-tamu
semakin banyak berda- tangan. Maka suasana di halaman depan Perguruan Pedang
Ular pun semakin ramai. Apalagi, di antara yang hadir ada tamu-tamu yang tidak
diundang. Dan rupanya, mereka sebagian besar berasal dari tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam. Untung saja, kedatangan mereka diterima dengan tangan
terbuka dan senyum terhias di bibir oleh murid-murid Perguruan Pedang Ular.
Setelah tidak ada lagi
tamu-tamu yang datang, Jirin murid kepala Perguruan Pedang Ular menoleh ke arah
Ki Gambala, seraya mengerling sejenak ke arah Karmila. Memang, diam-diam Jirin
menaruh hati juga pada Karmila yang montok menggiurkan. Apalagi pada saat ini,
Karmila mengenakan pakaian pengantinnya sehingga gadis itu jadi tampak semakin
cantik jelita.
Ketika Ki Gambala
menganggukkan kepala, Jirin menekuk kedua lututnya. Kemudian kakinya menotol
tanah sehingga tubuhnya melayang ke atas. Indah dan manis gerakannya. Bahkan
ketika mendarat di lantai panggung, sedikit pun tidak ada suara yang terdengar.
Dan tak lama setelah kakinya mendarat, Laki-laki bertubuh kekar berotot itu
membungkukkan tubuhnya ke empat arah. "Maaf. Bukannya bermaksud
menyombongkan kepandaianku yang tidak ada artinya ini. Tapi, hanya inilah yang
bisa, kami berikan sebagai hiburan."
Usai berkata demikian, Jirin
menggerakkan ta- ngannya ke punggung. Dan....
Srattt !
Sinar terang berkeredep ketika
pedang murid kepala Perguruan Pedang Ular ini lolos dari sarungnya.
"Haaat !"
Diawali teriakan keras yang
mampu membuat sebagian tokoh-tokoh persilatan mendekap telinga, Jirin mulai
memperagakan ilmu pedangnya.
Tidak percuma Jirin menjadi
murid kepala Perguruan Pedang Ular. Kepandaian yang dimilikinya memang cukup
tinggi. Tubuh maupun pedangnya seperti menjadi lenyap bentuknya. Yang tampak
hanyalah seleret bayangan kuning yang berkelebatan cepat disertai suara
mendesing dari setiap gerakannya.
Melihat hal ini para tokoh
persilatan yang menyaksikannya diam-diam memuji dalam hati kehebatan ilmu
pedang Perguruan Pedang Ular.
Setelah sepuluh jurus, Jirin
menghentikan gerakannya. Napas dan wajahnya terlihat biasa saja. Tidak tampak
adanya tanda-tanda kalau dia habis mengerahkan seluruh kemampuan dalam
permainan pedangnya barusan. Hanya sedikit peluh yang membasahi dahinya.
Trek!
Murid kepala Perguruan Pedang
Ular itu memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya. Kemudian tubuhnya
membungkuk kembali ke empat arah, lalu bersiap turun dari panggung. Tapi
mendadak....
"Tunggu sebentar, Manusia
sombong !"
Bentakan keras menggelegar
pertanda dialiri tenaga dalam cukup tinggi, sehingga membuat Jirin mengurungkan
maksudnya. Tubuhnya segera berbalik ke arah asal suara itu.
Tampak sesosok bayangan hitam
berkelebat dari kumpulan para tamu. Bayangan itu berjumpalitan beberapa kali di
udara, kemudian mendarat ringan di lantai panggung.
Jirin hanya memperhatikan
sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Ternyata, sosok itu adalah laki-laki
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kekar, dan berkulit hitam.
Sebaris kumis tebal dan melintang tampak menghias wajahnya. Tubuhnya terbungkus
sehelai rompi yang berwarna hitam.
"Siapa kau,
Kisanak?" tanya Jirin tenang. Nada suara maupun raut wajahnya tidak
menyiratkan kalau ucapan laki- laki berompi hitam itu berpengaruh terhadapnya.
"Aku tidak sudi
memperkenalkan diri pada orang yang akan menjalin hubungan dengan keturunan
makhluk terkutuk Kalapati!" tegas laki-laki berompi hitam.
Karmila yang duduk
bersebelahan dengan Rupangki di kursi indah berukir penuh dihiasi warna-warni,
dan diapit Dewa Arak dan Ki Gambala, menjadi terlonjak. Selebar wajahnya tampak
merah padam karena gejolak marah yang membakar dada mendengar makian laki-laki
berompi hitam terhadap ayahnya.
Rupangki tahu perasaan yang
melanda calon istrinya. Maka tangannya buru-buru diulurkan, lalu digenggamnya
tangan Karmila erat-erat. Dan ketika gadis berpakaian merah itu menolehkan
kepala, Rupangki memberikan senyum manis.
"Jangan turuti hawa
amarahmu, Karmila," bisik Rupangki. "Sekarang adalah hari bersejarah
dan hari bahagia bagi kita. Aku tidak ingin hari ini dikotori kemarahan.
Biarkan yang lain mengurusnya."
Amarah Karmila mereda
mendengar ucapan Rupangki. Disadari adanya kebenaran dalam ucapannya itu.
"Kau benar,
Rupangki," sahut Karmila tak kalah pelan seraya balas menggenggam Jemari
laki-laki tinggi kurus itu.
Senyum di mulut Rupangki
semakin lebar ketika hati Karmila tampak mulai tenang. Kini dengan perasaan
tenang, pandangannya dilayangkan kembali arah panggung, ketika Karmila juga
telah mengarahkan pandangan matanya ke sana.
Di atas panggung, suasana
telah mulai memanas. Jirin rupanya tersinggung mendengar hinaan yang keluar
dari mulut laki-laki berompi hitam itu.
"Cabut kembali omonganmu
itu, Kisanak. Atau terpaksa tubuhmu kulempar ke bawah panggung!" seru Jirin
keras. "Ha ha ha...! Luar biasa! Baru hendak menjalin hubungan dengan
keturunan Kalapati terkutuk saja sudah langsung berubah menjadi galak begini!
Hebat. Begitu pesat kemajuan yang kau peroleh dari Perguruan Pedang Ular!" ejek laki-laki berompi hitam.
"Mulutmu kotor sekali,
Kisanak! Aku ingin tahu apakah kepalanmu pun sehebat mulutmu?!" seru Jirin
bernada tantangan.
"Boleh kau coba, antek
Kalapati!" sahut laki-laki berompi hitam tak mau kalah.
"Aku tidak mau dianggap
sebagai tuan rumah yang kurang ajar. Maka, kau kuberi kehormatan untuk
menyerang lebih dulu, Kisanak. Kau boleh pilih, bertarung tangan kosong atau
menggunakan senjata. "
"Ha ha ha...! Lucu...!
Lucu...! Kau masih mencoba bersikap gagah juga, Penjilat Pantat Kalapati?!
Tapi, akan kuladeni kemauanmu! Haaat...!"
Laki-laki berompi hitam
melompat ke depan. Dan selagi berada di udara, kakinya dikibaskan seraya
membalikkan tubuh.
Wuuut…!
Angin menderu cukup keras
ketika tendangan laki- laki berompi hitam itu menyambar ke arah kepala Jirin.
Jirin tidak berani bersikap
sembrono. Kekuatan te- naga dalam lawan belum diketahuinya. Apalagi, keisti-
mewaan ilmunya. Maka dia tidak berani bertindak lancang untuk menangkis. Jirin
melompat ke belakang, sehingga serangan itu menyambar lewat beberapa langkah di
depannya.
Begitu kedua kaki Jirin
hinggap di lantai panggung, laki-laki berompi hitam pun mendaratkan kakinya
pula.
Rupanya laki-laki berompi
hitam sangat bernafsu untuk merobohkan Jirin. Maka langsung dikirimkannya
tendangan miring dengan kaki kanannya. Untuk itu, kaki kirinya harus melompat
agar tendangannya mencapai sasaran.
Kali ini, Jirin tidak bisa
mundur lagi karena telah berada di sudut panggung. Apabila dipaksakan mundur,
pasti akan jatuh ke bawah panggung. Tentu saja Jirin tidak mau hal itu terjadi.
Memang, sudah merupakan sebuah perjanjian tidak tertulis, seorang tokoh
persilatan akan dianggap kalah bila kakinya mendarat di bawah panggung.
Jirin benar-benar dalam
keadaan sulit. Mengelak ke kanan atau ke kiri sama sekali tidak mungkin dapat
dilakukan. Menangkis pun merupakan hal yang harus dihindari. Karena benturan
akibat tangkisan, kemungkinan besar akan membuat tubuhnya terhuyung ke
belakang. Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan murid kepala Perguruan Pedang
Ular itu adalah melompat ke atas.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
Jirin melompati kepwla lawannya sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.
Kemudian, kedua tangannya disampokkan cepat ke arah belakang kepala, tapi
berhasil dipunahkan oleh laki-laki berompi hitam, dengan menundukkan kepala.
"Hup...!"
Tepat pada saat kedua kaki
Jirin mendarat di lantai panggung, laki-laki berompi hitam itu telah berhasil
memperbaiki kedudukannya.
Sesaat satu sama lain
bertatapan dalam jarak sekitar satu setengah tombak. Kemudian, saling gebrak
kembali dan langsung terlibat dalam pertarung sengit.
Baik Jirin maupun laki-laki
berompi hitam itu ternyata sama-sama memiliki tingkat kepandaian seimbang.
Sehingga, bukan hal yang aneh kalau keduanya terlibat dalam pertarungan sengit.
Tiga puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak.
Beberapa kali terjadi benturan, baik tangan atau pun kaki yang mengakibatkan
tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung- huyung ke belakang.
Tapi hal itu hanya berlangsung
sesaat, karena baik Jirin maupun laki-laki berompi hitam itu langsung bisa
mematahkannya dan kembali melompat menerjang. Tampak jelas kalau mereka sama
sama bernafsu untuk mengalahkan lawan secepatnya.
Kembali sepuluh jurus,
berlalu. Tapi, keadaan sama sekali tidak berubah. Pertarungan memang kelihatan
alot.
Sadar kalau diteruskan keadaan
sama sekali tidak berubah, kedua belah pihak pun menggunakan senjata
masing-masing. Laki-laki berompi hitam itu mengeluarkan sebuah ruyung berbatang
dua yang dihubungkan sebuah rantai baja. Sedangkan Jirin mencabut pedangnya.
Dengan adanya senjata di
tangan, pertarungan yang berlangsung pun jadi semakin sengit. Suara mendesing
nyaring dari setiap gerakan pedang Jirin, dan suara mengaung kelebatan ruyung
laki-laki berompi hitam, terdengar menyemaraki pertarungan.
Hebat dan menggiriskan sekali
permainan ruyung laki-laki berompi hitam. Tapi, masih lebih hebat lagi gerakan
pedang Jirin. Batang pedangnya yang lemas, membuat serangan murid utama Perguruan Pedang Ular
itu sulit diduga. Terkadang
pedang itu meliuk-liuk seperti
seekor ular, tapi tak jarang bergetar seperti berjumlah puluhan batang
banyaknya.
Memang, setelah pertarungan
senjata telah berlangsung
lebih dari dua puluh
jurus, perlahan-lahan mulai
bisa mendesak lawan. Gulungan sinar pedangnya semakin melebar, sedangkan
gulungan sinar ruyung laki-laki berompi hitam semakin menyempit. Jelas, mutu
ilmu pedang milik Perguruan Pedang Ular lebih unggul daripada ilmu ruyung milik
laki-laki berompi hitam.
Semakin lama, keadaan
laki-laki berompi hitam semakin gawat. Bahkan serangan-serangannya semakin
berkurang, sehingga lebih banyak menangkis dan mengelak. Sebaliknya, serangan
Jirin semakin bertubi-tubi datang ke arahnya. "Akh...!"
Laki-laki berompi hitam
memekik tertahan ketika pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga
sobek. Darah segar seketika mengucur dari bagian yang terluka. Dan di saat
tubuhnya tengah terhuyung-huyung, kaki Jirin melesat cepat ke arah perut.
Maka....
Bukkk! "Hugh !"
"Akh !"
Laki-laki berompi hitam
memekik tertahan ketika pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga
sobek. Darah segar seketika mengucur!
Dan di saat tubuhnya tengah
terhuyung-huyung kaki Jirin sudah melesat cepat ke arah perut!
Keras dan telak bukan kepalang
tendangan Jirin. Akibatnya tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang deras
ke belakang dan jatuh di bawah panggung.
Suara tepuk tangan riuh dari
murid-murid Perguruan Pedang Ular dan tokoh-tokoh persilatan yang mendukung
perguruan itu segera menyambut kemenangan Jirin.
Namun baru saja Jirin menghela
napas lega, sesosok bayangan kembali berkelebat dan mendarat dengan ringan di
lantai panggung. Berbeda dengan laki-laki berompi hitam tadi, sosok bayangan
ini melesat dari deretan bangku yang ditempati tamu-tamu kehormatan. Dari sini
saja sudah bisa dibuktikan, sosok bayangan ini jelas memiliki kepandaian
tinggi.
"Luar biasa perubahan di
Perguruan Pedang Ular...," kata sosok bayangan yang ternyata seorang
laki-laki gagah. Tubuhnya tegap, terbungkus pakaian putih. "Tak aneh kalau
kini menjalin hubungan dengan keturunan tokoh sesat yang menjijikkan."
Jirin bersikap waspada.
Pertunjukan ilmu meringankan tubuh laki-laki berpakaian putih yang dengan
sebatang golok terselip di pinggang cukup mengejutkan hatinya. Dia tahu, lawan
kali ini tidak bisa disamakan dengan
laki-laki berompi hitam tadi. Hanya sayangnya, Jirin tidak mengenal tokoh yang
berdiri hadapannya ini. Namun sebagian besar tokoh persilatan yang hadir,
mengenal betul laki-laki berpakaian putih itu. Demikian pula Ki Gambala dan si
Golok Emas, Ketua Perguruan Golok Maut yang duduk di deretan tamu kehormatan.
"Golok Malaikat..."
desis Ki Gambala dan si Golok Emas berbarengan.
Mereka berdua tentu saja
mengenal si Golok Malaikat. Dia adalah seorang tokoh aliran putih yang tidak
pernah mempunyai tempat tinggal tetap. Tokoh ini selalu malang melintang dalam
kancah persilatan untuk memerangi kejahatan. Puluhan tahun lalu, sepak terjang
Golok Malaikat sangat menggegerkan, dan jadi pembicaraan di mana-mana. Tapi
kemudian, lenyap tak kedengaran lagi beritanya.
"Turun, Jirin...!"
seru Ki Gambala. Laki-laki tua itu tahu kalau muridnya bukan tandingan Golok
Malaikat yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, tanpa menunggu perintah dua
kali, Jirin segera membalikkan tubuh dan turun panggung.
Ki Gambala segera bangkit dari
duduknya untuk melompat ke panggung. Tapi, niatnya tertahan ketika ada yang
memegang pergelangan tangannya.
"Biar aku yang
mewakilimu, Gambala," kata si Golok Emas, orang yang menyentuh tangannya.
Ki Gambala terdiam sejenak. "Saat ini, kau tidak pantas turun tangan
sendiri, Gambala," kata Ketua Perguruan Golok Maut itu lagi. "Tugasmu
adalah mendampingi pengantin laki-laki. Lagi pula..., aku ingin sekali menjajal
kelihaian ya. Dulu, dia dan kakak seperguruanku bertarung untuk membuktikan
siapa yang lebih pantas menyandung julukan Raja Golok."
"Hm.... Lalu...?"
tanya Ki Gambala mulai tertarik. "Kepandaian keduanya ternyata berimbang,
tidak ada yang kalah dan menang. Jadi, tidak ada di antara mereka yang berhak
memakai julukan Raja Golok. Kakak seperguruanku tetap berjuluk si Golok Emas,
yang kini julukannya telah beralih padaku. Sedangkan Golok Malaikat tetap pada
julukannya."
"Jadi, sekarang kau ingin
mencoba mengulangi maksud kakak seperguruanmu yang gagal itu?" tanya Kl
Gambala lagi.
Golok Emas menganggukkan
kepala. "Kukira Golok Malaikat pun mempunyai maksud yang sama," kata
Ketua Perguruan Golok Maut memberi alasan.
Ki Gambala mengerutkan alis.
"Kau sudah
memperhitungkan masak-masak tindakanmu ini, Golok Emas?"
"Apa maksudmu,
Gambala?" Golok Emas menatap wajah Ketua Perguruan Pedang Ular dengan alis
berkerut.
"Kalau dulu Golok
Malaikat sudah setingkat dengan kakak seperguruanmu, bisa kubayangkan tingkat
yang dimilikinya sekarang. Sedangkan kau, belum lama mencapai tingkat kakak
seperguruanmu," jelas Gambala mengutarakan kekhawatiran hatinya.
"Kau tidak usah khawatir,
Gambala," sergah Golok Emas sambil mengulapkan tangan. "Dalam sebuah
pertarungan, kalau tidak menang, ya kalah. Dan itu biasa, tapi perlu diingat.
Aku telah mengalahkan kakak serperguruanku dalam pertarungan memperebutkan
golok emas. Jadi berarti, tingkat kepandaian yang kumiliki berada di atas kakak
seperguruanku."
Kali ini Gambala tidak
membantah lagi. Disadari kalau niat Golok Emas tidak mungkin bisa dicegah lagi.
Semangat bertarung kakek beralis putih itu telah demikian besar. Akan sia-sia
saja menahannya. 3
Hanya sekali genjot saja,
kedua kaki Golok Emas telah mendarat di lantai panggung, sekitar satu tombak di
hadapan Golok Malaikat.
"Ha ha ha...!"
Golok Malaikat tertawa
bergelak, begitu melihat seseorang telah berdiri di hadapannya. Sepasang
matanya yang berkilat tajam dan menyiratkan tenaga dalamnya yang kuat, meneliti
sekujur tubuh Ketua Perguruan Golok Maut. Sementara, orang yang ditatap
bersikap tenang saja.
"Tidak salahkan
penglihatanku?! Kau..., Golok Emas...! Lalu..., ke mana Golok Emas yang dulu?!
Apakah dia telah kau singkirkan karena tidak mau berhubungan dengan
Kalapati?!" ejek Golok Malaikat.
Golok Malaikat memang merasa
dendam pada Kalapati karena dulu pernah dikalahkan datuk sesat itu. Dapat
dibayangkan, betapa kecewa hatinya ketika terdengar kabar Kalapati telah tewas.
Padahal, kekalahannya belum sempat terbalaskan.
"Tidak usah berbasa-basi,
Golok Malaikat!" sentak Golok Emas. "Aku tahu, kau masih merasa
penasaran dengan kakak seperguruanku."
"Hm.... Jadi...? Kau yang
indin melanjutkan perta- rungan yang belum ketahuan pemenangnya itu?" Ha
ha ha… Kuperingatkan, lebih baik urungkan niatmu kalau tidak ingin mendapat
malu!"
Golok Emas
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau tidak merasakan
sendiri, aku tidak akan percaya, Golok Malaikat! Padahal ucapan-ucapan seperti
itu hanya pantas keluar dari mulut gerombolan penjahat kecil yang hina!"
"Tutup mulutmu. Golok
Emas!" bentak Golok Malaikat keras. "Aku tidak sudi bermanis-manis
kata dengan orang yang menjadi sahabat baik iblis terkutut Kalapati!"
"Aku tidak mengajakmu
bertarung silat lidah, Golok Malaikat! Aku mengajakmu melanjutkan pertarungan
belasan tahun lalu yang belum selesai!" "Pucuk dicinta ulam tiba! Aku
pun memang ingin membuktikan, siapa di antara kita yang patut mendapat julukan
Raja Golok!" sambut Golok Malaikat keras.
Suasana kontan hening ketika
Golok Malaikat menghentikan ucapannya. Kini, kedua belah pihak sama- sama
berdiam diri dengan pandangan tertuju ke arah satu sama lain.
"Jaga seranganku, Golok
Emas...!"
Belum lenyap gema suaranya.
Golok Malaikat telah melancarkan serangan pukulan yang bertubi-tubi ke arah
dada dan ulu hari Golok Emas. Berbahaya, bukan kepalang serangannya. Di samping
begitu cepat, serangan itu juga mengandung pengerahan tenaga dalam kuat.
Sehingga, seketika timbul deru angin berkesiutan.
Tapi Golok Emas memang bukan
tokoh sembarangan. Dia adalah Ketua Perguruan Golok Maut, sebuah perguruan
besar beraliran putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka menghadapi
serangan itu, Golok Emas tidak menjadi gugup. Buru-buru kaki kirinya melangkah
ke kiri seraya mendoyongkan tubuh, sehingga serangan-serangan itu lewat
beberapa jari di samping kanan tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Golok Emas. Pada saat yang bersamaan dengan lolosnya serangan Golok
Malaikat, tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis lawan.
Wuttt...!
Serangan Golok Emas meluncur
di atas kepala, ketika tubuh Golok Malaikat menunduk. Kuat sekali tenaga dalam
yang dikeluarkan, sehingga menimbulkan suara angin menderu tajam. Dan begitu
sampokannya berhasil dielakkan Golok Malaikat, Ketua Perguruan Golok Maut
segera menjauhkan diri. Dan ternyata, Golok Malaikat juga melompat menjauh.
Maka kembali kedua belah pihak berada dalam jarak berjauhan.
Tapi hal itu hanya berlangsung
sebentar, karena beberapa saat kemudian mereka sudah saling gebrak kembali. Tak
pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang tokoh tingkat tinggi pun
berlangsung.
Pertarungan antara Golok Emas
dan Golok Malaikat tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pertarungan Jirin
melawan laki-laki berompi hitam! Pertarungan kali ini adalah antara dua orang
tokoh yang sama-sama memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Bahkan hanya sebagian kecil
saja tokoh persilatan yang mengetahui jalannya pertarungan. Hal itu karena saking cepatnya gerakan kedua orang yang
saling bertarung itu. Memang, gerakan Golok Emas dan Golok Malaikat cepat bukan
kepalang. Sehingga, yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan kuning dan hitam
putih. Terkadang saling belit, dan tak jarang saling pisah.
Dalam waktu sebentar saja,
lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda
yang akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya pertarungan masih berlangsung
seimbang.
Bosan dengan pertarungan
tangan kosong, kedua belah pihak mencabut senjata maing-masing. Golok Emas
mencabut senjatanya yang berupa golok besi berbatang emas. Sedangkan Golok
Malaikat dengan goloknya yang bergerigi pada salah satu matanya.
Kini dengan senjata andalan di
tangan, kedua belah pihak mulai saling menerjang kembali. Dan memang,
sebenarnya inti pertarungan mereka adalah menggunakan senjata. Karena, kedua
belah pihak ingin meraih gelar sebagai Raja Golok!
***
"Lenyapkan keturunan
Iblis Kalapati...!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dari kumpulan
tokoh-tokoh persilatan.
Suara itu ternyata berasal
dari mulut seorang laki-laki berwajah tirus. Kumisnya panjang dan
jarang-jarang, mirip kumis tikus. Pakaian dari kulit ular berwarna kuning
bercak- bercak coktat, membungkus tubuhnya yang tinggi kurus. Sedangkan di
tangan kanannya tergenggam sebatang suling yang berbentuk kepala ular kobra.
"Benar! Basmi habis
keturunan Kalapati!" sambut seorang laki-laki gagah bersenjatakan sepasang
tombak pendek berwarna putih.
"Gilas semua orang yang
akan menghalangi niat suci kita!" kembali laki-laki berwajah tirus yang
berjuluk Raja Ular Gunung Pare membuka suara sambil mengangkat tinggi- tinggi
tangannya yang memegang suling.
"Betul...!"
Kali ini tidak hanya satu
orang saja yang menyahuti ucapan Raja Ular Gunung Pare.
"Tampaknya, pertumpahan
darah tidak bisa dielakkan lagi, Ki," kata Arya pada Ki Gambala. Sekujur
urat syarat dan otot tubuh Dewa Arak telah menegang waspada.
"Kau benar, Dewa Arak!
Raja Ular Gunung Pare memang cerdik. Padahal, aku yakin dia tidak punya urusan
dengan Kalapati. Tapi, denganku. Hanya saja dia tidak berani menantangku
sendirian. Maka digunakannya alasan membasmi keturunan Kalapati untuk mencari
dukungan yang banyak dari berbagai kalangan tokoh persilatan. Kalapati memang
banyak menanam persoalan," sambut Gambala setengah berdesah.
Dewa Arak mengeryitkan
keningnya. Julukan Raja Ular Gunung Pare memang telah lama terdengar sebagai
pentolan kalangan hitam yang telah banyak merobohkan tokoh golongan putih.
Telah belasan tahun tokoh sesat ini merajalela di daerah Timur, hingga ditakuti
lawan dan disegani kawan.
Tapi Arya terpaksa
menghentikan lamunannya karena Raja Ular Gunung Pare telah meluruk ke tempat
mereka berada.
Bukan hanya Raja Ular Gunung
Pare yang menyerbu, tapi juga tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hanya
saja masing-masing berbeda kepentingannya. Kalau tokoh-tokoh aliran putih
memang bermaksud membunuh keturunan Kalapati, dan sedapat mungkin tidak
berurusan dengan Perguruan Pedang Ular. Namun tidak demikian halnya tokoh-
tokoh aliran hitam. Di samping untuk melenyapkan keturunan Kalapati, maksud yang
lebih penting adalah menghancurkan Perguruan Pedang Ular. Apalagi perguruan
besar aliran putih itu selama ini cukup banyak menghambat tindakan mereka.
Tentu saja murid-murid
Perguruan Pedang Ular tidak sudi membiarkan perguruan mereka hancur. Dipimpin
Jirin, maka serbuan itu pun disambut. Maka dalam waktu sebentar saja, beberapa
orang murid-murid Perguruan Pedang Ular roboh di tanah. Mereka tewas dalam
keadaan bersimbah darah.
Memang, lawan yang mereka
hadapi rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama sekali Raja Ular
Gunung Pare. Ke mana saja sulingnya menyambar, pasti akan ada sesosok tubuh
yang roboh tanpa nyawa.
Rupangki dan Karmila saling
berpandangan dengan wajah pucat. Sungguh tidak disangka kalau pernikahan mereka
akan berakibat seperti ini. Hari yang diharapkan penuh kegembiraan, ternyata
tidak terkabulkan. Sama sekali tidak dibayangkan kalau hari penikahan ini
dihiasi semburan darah segar, denting senjata beradu, dan jerit kesakitan dan
kematian.
Rupangki dan Karmila jadi
bingung. Haruskah mereka ikut turun tangan? Padahal mereka tengah berpakaian
pengantin! Rasanya tidak mungkin!
Sementara itu Ki Gambala
memperhatikan jalannya pertarungan sejenak. Dia tahu, kalau hal ini di
dibiarkan, murid-muridnya akan tewas. Jelas-jelas mereka bukan tandingan lawan
yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Namun demikian, memang tidak semua
tokoh persilatan itu memiliki kepandaian berada di atas murid-murid Perguruan
Pedang Ular.
Untungnya, tidak semua tokoh
itu bersikap kejam. Hanya tokok-tokoh aliran hitam yang bersikap telengas.
Sedangkan tokoh-tokoh aliran putih yang tidak memiliki urusan dengan Perguruan
Pedang Ular, dan hanya menginginkan Karmila, merobohkan lawan tanpa membunuh.
"Akh...!"
Untuk yang kesekian kalinya,
terdengar jerit kematian dari mulut seorang murid Perguruan Pedang Ular ketika
suling di tangan Raja Ular Gunung Pare menghantam ubun- ubunnya hingga remuk.
Jirin yang sejak tadi merasa
geram melihat ketelengasan Raja Ular Gunung Pare, segera melompat langsung
diterjangnya laki-laki berwajah tirus itu, begitu mendapat kesempatan. Pedang
di tangannya meluncur cepat ke arah leher.
Singgg...! Suara mendesing
nyaring mengiringi tibanya serangan maut itu.
"Hmh...!"
Raja Ular Gunung Pare
mendengus, mendapat serangan yang begitu cepat bagai kilat. Maka, suling di
tangannya segera meluncur cepat ke arah datangnya serangan.
Tukkk!
Entah dengan cara bagaimana,
ujung suling itu tahu- tahu telah berhasil menotok pergelangan tangan Jirin.
Keras bukan kepalang totokannya, sehingga sambungan pergelangan tangan itu
terlepas. Tak pelak lagi pedangnya pun terlepas dari pegangan. Meskipun begitu,
Jirin masih mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan mantap.
Rupanya, Raja Ular Gunung Pare
tidak sudi membiarkan lawannya hidup. Kembali suling di tangannya bergerak, dan
kali ini meluncur deras ke arah ulu hati.
Melihat serangan yang mendadak
datang, Jirin terkejut bukan kepalang. Disadari kalau kesempatan untuk mengelak
merupakan hal yang musykil. Tibanya serangan begitu cepat. Dan saking kagetnya,
dia hanya bisa terpaku kaku.
Tapi di saat keadaan Jirin
bagaikan telur di ujung tanduk, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih.
Dan...
Trakkk..! "Hey...!"
Raja Ular Gunung Pare terpekik
kaget. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang saat sosok bayangan putih
yang tak lain dari Melati menangkis serangannya dengan pedang. Dan kini
laki-laki berwajah Urus itu menghentikan gerakannya. Ditatapnya Melati penuh
selidik.
"Siapa kau, Nisanak?
Mengapa mencampuri urusanku?!" tanya Raja Ular Gunung Pare.
Sengaja pentolan sesat ini
tidak langsung menyerang Melati, karena tahu kalau lawan di hadapannya memiliki
kepandaian tinggi. Sebagai seorang tokoh cerdik, dia tidak ingin saat ini
mendapat lawan tangguh, sebelum maksudnya tercapai. Sedapat mungkin,
lawan-lawan tangguh akan dijatuhinya.
Melati tersenyum mengejek.
"Namaku terlalu berharga untuk diperkenalkan pada orang licik sepertimu,
Tahi Ular! Yang perlu kau lahu, kehadiranku di sini untuk membunuhmu!"
ancam putri angkat Raja Bojong Gading keras.
"Keparat! Mulutmu
ternyata sangat busuk, Wanita liar...!" teriak Raja Ular Gunung Pare.
Kegeraman tampak membayang jelas di wajahnya.
Dan sebelum gema ucapannya
lenyap, pentolan tokoh sesat itu telah melancarkan serangan ke arah Melati.
Suling berujung kepala ular kobra ditangannya meluncur deras ke arah jalan
darah kematian di leher Melati.
Melati tampak begitu geram
melihat ketelengasan lawannya. Maka, buru-buru kaki kanannya ditarik ke
belakang, seraya mencondongkan tubuh sehingga suling itu menyambar tempat
kosong beberapa jari di depannya. Dan pada saat yang bersamaan, pedang di
tangannya dibabatkan ke arah tangan lawan yang menggenggam suling.
Raja Ular Gunung Pare tentu
saja tidak menginginkan tangannya putus terbabat pedang Melati. Maka tangannya
cepat ditarik pulang, sehingga tebasan pedang gadis berpakaian putih itu lewat
beberapa jengkal dari sasaran.
Melati yang sudah bertekat
untuk melenyapkan Raja Ular Gunung Pare selama-lamanya, tidak sudi memberi
kesempatan. Gadis itu pun melompat menerjang seraya melancarkan serangan
bertubi-tubi.
Tapi, terjangan Melati
langsung disambut Raja Ular Gunung Pare dengan cepat. Laki-laki berwajah tirus
ini sadar, putri angkat Raja Bojong Gading itu memiliki kepandaian yang tidak
bisa diremehkan. Maka kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
***
Pertarungan sengit bukan hanya
terjadi antara Melati dan Raja Ular Gunung Pare saja. Hampir semui orang yang
ada disitu terlibat dalam kancah pertarungan. Bahkan Dewa Arak juga sudah
terlibat dalam kancah pertarungan, untuk membantu murid-murid Perguruan Pedang
Ular. Kini tampaknya pertarungan berjalan seimbang.
Sementara itu Ki Gambala,
Rupangki dan Karmila hanya bisa mengawasi jalannya pertarungan dengan wajah
berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang mempelai itu sama sekali
tidak menduga akan terjadi peristiwa seperti ini. Berbeda dengan Ki Gambala
yang memang sudah bisa menduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia
tahu, Kalapati banyak menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan dari
berbagai aliran. Hanya saja, dia tidak menyangka kalau peristiwanya akan
sebesar ini.
Sepasang mata Ki Gambala,
Rupangki dan Karmila berpindah-pindah ke sana-kemari, memperhatikan pertarungan
yang terpecah menjadi tiga arena. Untung halaman Perguruan Pedang Ular cukup
luas, sehingga mampu menampung pertarungan campur baur itu. Meskipun begitu,
tak urung bangku-bangku dan hiasan yang dipasang berpentalan tak tentu arah.
Sebagian besar rusak berat dan terkena noda darah. Perguruan Pedang Ular kini
benar-benar bergelimang darah.
Berbeda dengan Melati dan
Golok Emas yang menghadapi lawan setingkatan, Dewa Arak sama sekali tidak
menjumpai lawan yang memiliki kepandaian yang setara. Tingkat kepandaian lawan
rata-rata berselisih jauh dengannya. Tak aneh kalau Arya sama sekali tidak
mengalami kesulitan untuk menghalau lawan-lawannya tanpa melukai.
Dewa Arak sama sekali tidak
menggunakan ilmu andalannya dalam pertarungan ini. Yang digunakannya hanya
ilmu-ilmu yang diwarisi dari ayahnya, 'Ilmu Pedang Penakluk Naga' dan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Dalam menggunakan kedua ilmu
itu pun, Arya tidak terlalu bersungguh-sungguh. Hujan berbagai macam senjata
yang tertuju ke arahnya pun dibiarkan saja. Arya hanya mengerahkan tenaga
dalamnya untuk membuat kulit tubuhnya tidak bisa dilukai. Memang dengan selisih
tenaga dalamnya yang amat jauh dibanding lawan, tindakannya itu bukan suatu hal
yang sulit buat Dewa Arak.
Hasilnya memang sudah diduga.
Setiap senjata yang menghantam tubuh Dewa Arak selalu terpental balik ke arah
si pemilik. Seolah-olah, tubuhnya terbuat dari gumpalan karet keras. Akibatnya,
di samping membuat hantaman setiap senjata terpental balik, juga membuat tangan
lawan yang menggenggam senjata jadi bergetar hebat.
Sebaliknya setiap Arya
melancarkan serangan balasan berupa kibasan-kibasan tangan secara sembarang
saja, tubuh lawan kontan terjengkang ke belakang dan terguling- guling di tanah
dengan dada terasa sakit.
Untungnya Dewa Arak bukan
termasuk orang yang bertangan kejam. Tubuh mereka hanya dibuat terjengkang dan
terguling-guling di tanah tanpa menderita luka apa pun, kecuali sedikit rasa
sesak di dada.
Tapi, tentu saja tindakannya
hanya diperuntukkan bagi tokoh-tokoh aliran putih yang sejak tadi menjatuhkan
tangan maut pada murid-murid Perguruan Pedang Ular. Sedangkan bagi tokoh aliran
hitam yang jelas-jelas bermaksud membasmi Perguruan Pedang Ular, Dewa Arak tak
tanggung-tanggung untuk memberi hajaran. Mereka semua roboh di tanah, tak mampu
bangkit lagi, walaupun tidak terluka terlalu parah.
Jerit kesakitan diiringi bunyi
berdebuk keras dari tubuh-tubuh yang jatuh di tanah, mengiringi setiap gerakan
tangan Dewa Arak. Memang, baik kibasan, kebutan, ataupun dorongan tangan Arya
selalu menimbulkan angin keras yang mampu membuat tubuh berpentalan tak tentu
arah, seperti daun-daun kering yang diterbangkan angin.
Dalam waktu sebentar saja
serangan-serangan yang semula menekan Perguruan Pedang Ular, mulai berkurang.
Satu persatu para perusuh dirobohkan Dewa Arak.
Bahkan beberapa saat kemudian,
murid-murid Perguruan Pedang Ular dan sebagian kecil tokoh persilatan yang
memilih perguruan itu mulai mundur satu persatu karena tidak mendapat lawan.
Sampai akhirnya, mereka semua hanya menyaksikan Dewa Arak membereskan lawan-
lawannya saja.
Berlainan dengan Dewa Arak
yang sama sekali tidak menemui halangan berarti dalam menghadapi lawan-
lawannya, Melati tampak harus berjuang keras untuk bisa mengalahkan Raja Ular
Gunung Pare. Kepandaian tokoh sesat itu memang tinggi. Tidak aneh kalau belasan
tahun yang lalu Ki Gambata agak kerepotan untuk merubuhkan kakek berwajah tirus
itu. Dalam hati. Melati mengakui kehebatan lawannya. Meskipun memang dalam hal
ilmu meringankan tubuh dan kekuatan tenaga dalam, gadis berpakaian putih ini
lebih unggul. Tapi keunggulan itu tertutup oleh berbagai macam tipu yang
terkandung dalam ilmu yang dimiliki Raja Ular Gunung Pare.
Dulu, Ki Gambala menghadapi
kesulitan menghadapi Ilmu silat Raja Ular Gunung Pare yang penuh tipuan ini.
Dan kali ini, kesulitan yang sama menimpa Melati, tipuan-tipuan yang terkandung
dalam serangan itu membuat repot bukan main.
Melati benar-benar merasa
penasaran. Apalagi, sudah sejak tadi ilmu andalannya, 'Pedang Seribu Naga'
telah dikeluarkannya. Dan dengan ilmu pedang yang mempunyai daya serang laksana
badai mengamuk itu, Melati berusaha merobohkan Raja Ular Gunung Pare.
Putri angkat Raja Bojong
Gading itu membutuhkan waktu seratus jurus lebih, untuk bisa mendesak Raja Ular
Gunung Pare. Ilmu laki-laki berwajah tirus yang banyak mengandung tipuan itulah
yang membuatnya kesulitan dalam melakukan desakan. 4
Sementara itu, Raja Ular
Gunung Pare sendiri se- benarnya merasa terpukul bukan kepalang menghadapi
kenyataan ini. Kalau tidak mengalami sendiri, mungkin tidak akan percaya kalau
dirinya tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda belia yang pantas menjadi
anaknya. Tapi kenyataan menunjukkan demikian. Maka mau tidak mau dia harus
menerima kenyataan kalau lawannya memang memiliki kepandaian di atasnya.
Raja Ular Gunung Pare adalah
seorang tokoh sesat yang memiliki watak angkuh dan selalu membanggakan
kepandaian sendiri. Puluhan tahun lalu, dia merasa sebagai tokoh persilatan
nomor satu dunia, setelah malang melintang di dunia persilatan bagian Timur
tanpa tanding.
Maka dapat dibayangkan, berapa
besar sakit hatinya tatkala mengalami kekalahan pertama kali di tangan Ki
Gambala. Sehingga, dia pun mengundurkan diri dari dunia persilatan disertai
rasa penuh dendam. Satu tekat terselip di hatinya. Ilmunya harus diperdalam
untuk membalas kekalahan pada Ki Gambala.
Tapi belum juga maksudnya
tercapai, Raja Ular dunung Pare telah menemui kenyataan yang lebih pahit.
Sebuah kenyataan disadari kalau kepandaian yang dimilikinya tidak mampu
menandingi Melati. Hal ini lebih menyakitkan daripada sewaktu menghadapi Ki
Gambala. Hatinya rela kalah dalam pertarungan menghadapi Ketua Perguruan Pedang
Ular itu dari pada menghadapi Melati yang masih muda!
Sadar akan kenyataan kalau
tidak mungkin bisa mengalahkan Melati, membuat Raja Ular Gunung Pare menjadi nekat.
Kini laki-laki berwajah tirus itu bertarung tanpa mempedulikan pertahanan diri.
Tekatnya adalah mengajak Melati mati bersama!
Dengan keputusan seperti itu.
Raja Ular Gunung Pare segera menyerang kalang kabut. Akibatnya, kedahsyatan serangan-serangannya
pun menjadi berlipat ganda.
Melati bukan orang bodoh.
Maksud serangan- serangan yang mendadak berubah cepat dan pertahanan yang
terbuka di sana-sini, jelas sekali diketahuinya. Tentu saja hal ini tidak sudi
diladeninya. Untuk beberapa jurus lamanya, Melati hanya menghindar terus.
Dengan demikian, untuk
beberapa jurus lamanya Raja Ular Gunung
Pare berhasil membebaskan diri dari desakan Melati. Bahkan kini Melati yang
terlihat seperti terdesak, karena terus menghindar.
"Melati...! Awas...!"
Ki Gambala yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertarungan, berseru keras memperingatkan Melati. Saat
itu matanya yang tajam menangkap adanya seleret sinar berkilauan dari atas
bangunan. Dan seiring teriakannya, Ki Gambala melesat cepat meninggalkan kursi
yang didudukinya. Hatinya benar-benar khawatir akan keselamatan kekasih Dewa
Arak itu.
Memang, pada saat itu Melati
berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Tubuhnya tengah berada di udara,
sehabis mengelakkan serangan yang kalang kabut dari Raja Ular Gunung Pare. Dan
pada saat itu pula seleret sinar berkilauan menyambar deras ke arah lehernya.
Namun meskipun berada dalam
keadaan sulit, Melati masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya
digeliatkan, karena memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Tapi....
"Ikh !"
Melati terpekik pelan, begitu
benda berkilauan yang ternyata sebuah logam putih mengkilat berbentuk mata anak
panah, mengenai punggung kanannya.
Dan secepat itu pula hawa
dingin yang amat sangat meresap ke dalam tubuh gadis irii. Hawa dingin itu
membuat sekujur urat-urat dan otot-otot tubuh Melati kaku! Maka tanpa ampun
lagi, tubuh Melati terjungkal ke bawah, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Melati !"
Hampir berbareng, Arya,
Karmila, dan Rupangki berseru kaget ketika melihat tubuh Melati jatuh berdebuk
di tanah. Mereka sempat pula melihat adanya sebuah benda berwarna putih
mengkilat yang menghunjam tubuh gadis berpakaian putih itu. Dan secepat kilat,
tubuh Arya segera melesat ke arah Melati.
Cepat bukan main gerakan Dewa
Arak, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tanpa ketahuan
bentuknya. Memang, dalam cekaman rasa khawatir yang menggelegak, Dewa Arak
telah mengerahkan sampai titik terakhir ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Meskipun gerakan Arya cepat
bukan kepalang, tapi tetap saja kalah oleh Raja Ular Gunung Pare yang telah
lebih dulu melesat menerjang Melati dengan ujung suling menotok ke arah
ubun-ubun. Apabila serangan ini mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan kalau
nyawa Melati akan melayang saat itu juga.
Rupanya, nasib baik masih
berpihak pada Melati. Meskipun Dewa Arak terlambat memberikan pertolongan, tapi
tidak demikian dengan Ki Gambala. Pedang lemas Ketua Perguruan Pedang Ular itu
cepat memotong luncuran suling Raja Ular Gunung Pare.
Trakkk...!
Akibat tangkisan pedang Ki
Gambala, serangan suling Raja Ular Gunung Pare jadi menyeleweng jauh dari
sasaran. Bahkan tangan yang menggenggam suling bergetar hebat.
Raja Ular Gunung Pare langsung
menghentikan serangannya terhadap Melati. Dan kini, di hadapannya telah berdiri
Ki Gambala. Di belakang Ketua Perguruan Pedang Ular itu masih ada Dewa Arak
yang tengah membungkukkan tubuh, memeriksa keadaan Melati. Kecemasan tampak
membayang di wajah pemuda bel rambut putih keperakan itu.
"Ah…!" seru Arya
kaget.
Dewa Arak merasakan sekujur
tubuh Melati dingin seperti layaknya orang mati. Dia tahu, senjata yang
menghunjam tubuh Melati mengandung racun ganas.
Maka buru-buru ditotoknya
jalan darah di sekitar luka untuk mencegah racun itu menalar lebih jauh.
Bukan hanya Dewa Arak yang
merasa cemas. Ki Gambala, Karmila, dan Rupangki pun merasa cemas bukan kepalang
melihat tubuh Melati tergolek. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya Karmila
dan Rupangki melesat menghampiri Melati.
"Ha ha ha...! Percuma,
Dewa Arak...! Racun itu telah menjalar. Dan kujamin, tidak akan ada seorang pun
di kolong langit ini yang bisa menyembuhkan kekasihmu itu kecuali aku!"
Bukan hanya Arya saja yang menoleh ke arah asal suara itu, tapi juga Ki Gambala
dan Raja Ular Gunung Pare.
"Keparat, kau!" seru
Dewa Arak tertahan seraya bangkit berdiri. Sepasang matanya menyorotkan hawa
maut ketika menatap ke arah pemilik suara yang ternyata Raja Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!"
Raja Racun Muka Putih tertawa
bergelak untuk menutupi perasaan gentar ketika melihat ancaman yang memancar
dari sepasang mata Dewa Arak.
"Cepat berikan obat
pemunahnya, sebelum kesabaranku hilang!" ancam Dewa Arak dengan suara
bergetar karena amarah yang bergejolak dalam dada.
Raja Racun Muka Putih
bergidik. Dia tahu, ucapan Dewa Arak tidak main-main. Terasa ada nada
kesungguhan dalam ucapan dan sikap pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi
dengan cerdiknya, kakek berpakaian merah ini menyembunyikan perasaannya
sehingga tidak nampak pada wajahnya.
"Menyembuhkan gadis itu
perkara gampang, Dewa Arak," jawab Raja Racun Muka Putih. "Asal, kau
bersedia memenuhi permintaanku."
"Keparat licik!"
maki Arya kalap. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan busukmu!"
Raja Racun Muka Putih
mengangkat bahu.
"Aku tidak punya banyak
waktu, Dewa Arak. Racun yang mengeram di tubuh kekasihmu bukan racun main-
main, tapi racun ganas. Apabila ada tanda bundar berwarna biru sebesar kuku
jari kelingking telah timbul di dahinya,
aku tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya lagi. Semua terserah padamu. Dewa
Arak. Asal tahu saja, aku tidak takut mati. Lagi pula, mati bersama seorang
gadis cantik seperti kawanmu merupakan kematian yang amat menyenangkan."
Dewa Arak menggeram keras.
Disadari kalau Raja Racun Muka Putih bermaksud memerasnya. Kalau menuruti
perasaan, ingin rasanya kakek berpakaian merah itu dilabraknya. Tapi sayangnya,
hal itu tidak mungkin dilakukan mengingat keselamatan Melati berada di tangan
kakek berpakaian merah itu. Dengan kecemasan yang semakin memuncak,
diperhatikannya tubuh Melati. Memang, ucapan Raja Racun Muka Putih rasanya ada
benarnya juga. Tanda bulat berwarna biru sekuku jari kelingking memang tampak.
Hanya saja, bukan pada dahi, melainkan di tangan.
"Baiklah, Raja Racun,"
Arya menyerah, setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat "Apa
permintaanmu?"
"Ha ha ha...!" Raja
Racun Muka Putih tertawa penuh kemenangan. "Permintaanku masih sama dengan
yang dulu, Dewa Arak."
"Maksudmu..."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya,
karena Raja Racun Muka Putih telah buru-buru mencegahnya. Rupanya kakek
berpakaian merah itu tidak ingin orang-orang yang ada di situ mengetahui
permintaannya.
"Bagaimana aku tahu kalau
kau tidak akan meni- puku. Raja Racun?" tanya Dewa Arak.
"Ucapkanlah janji, kalau
permintaanku akan kau penuhi. Maka, saat ini juga kekasihmu akan kuberikan obat
yang membuat racun itu tidak akan mencabut nyawanya," ujar Raja Racun Muka
Putih.
Arya tercenung sebentar.
"Cepat, Dewa Arak!"
desak Raja Racun Muka Pulih tidak sabar. "Kalau tanda biru itu muncul di
dahi, jangan harap aku bisa menyelamatkan nyawanya."
"Baik, Raja Racun.
Permintaanmu kupenuhi," ucap Arya mantap.
"Kau juga harus berjanji
akan membiarkanku pergi, setelah memenuhi permintaanku itu," tegas Raja
Racun Muka Putih lagi. "Katakan, Dewa Arak "
"Aku berjanji akan
membiarkanmu pergi, setelah kuberikan permintaanmu itu, Raja Racun. Tapi,
ingat. Janjiku ini tidak berlaku untuk selamanya. Apabila dalam perjalanan aku
bertemu denganmu, dan tengah melakukan kejahatan, aku akan menantangmu!"
"Ha ha ha...! Aku setuju
dengan janji itu, Dewa Arak!" sambut Raja Racun Muka Putih, cepat.
"Cepat berikan obat itu,
Raja Racun!" seru Dewa Arak tak sabar.
Raja Racun Muka Putih tertawa
bergelak, kemudian tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika keluar, di
tangan itu telah tergenggam sebuah kantung kain kecil berwarna merah. Dari
dalam kantung itu diambilnya sebuah obat pulung berwarna Jingga.
"Berikan obat ini
padanya," kata Raja Racun Muka putih seraya mengangsurkan tangannya pada
Dewa arak.
Arya segera mengambil obat
pulung itu dan memasukkannya ke dalam mulut Melati.
"Tunggu sampai dua ratus
hitungan," ucap Raja Racun Muka Putih lagi.
Arya sama sekali tidak
menyambuti ucapan kakek berpakaian merah itu. Seluruh perhatiannya ditujukan
kepada Melati, sambil menghitung dalam hati.
Bukan Arya saja yang
menunggu-nunggu kebenaran ucapan Raja Racun Muka Putih. Ki Gambala dan Raja
Ular Gunung Pare seperti diam seribu bahasa sambil juga memperhatikan gadis
itu. Memang, kedua tokoh ini terkejut bukan kepalang begitu melihat kehadiran
Raja Racun Muka putih, yang merupakan pentolan kaum sesat terkenal. Itulah
sebabnya, mereka melupakan perkelahiannya. Dan kini malah terpaksa menunggu
kelanjutan kejadian antara Dewa Arak dan Raja Racun Muka Putih.
Di antara semua kancah
pertarungan, hanya per- tarungan antara Golok Malaikat dan Golok Emas saja yang
masih berlangsung sengit.
Pertarungan antara kedua orang
itu memang ramai bukan kepalang. Kepandaian mereka yang sama-sama memiliki
keahlian bermain golok itu, ternyata hanya berselisih sedikit saja. Sehingga
baru pada jurus keseratus tujuh puluh lima. Golok Malaikat mulai berhasil
mendesak Golok Emas.
Sekarang serangan-serangan
Golok Emas semakin berkurang, dan lebih banyak menangkis dan mengelak.
Sebaliknya, Golok Malaikat mulai semakin bertubi-tubi mengancam lewat
serangan-serangan yang dahsyat.
Semakin lama, gulungan sinar
keemasan yang berasal dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut makin
mengecil. Hal ini menandakan kalau keadaan Golok Emas yang semakin terjepit.
Pada jurus keseratus sembilan
puluh satu, Golok Malaikat melompat ke atas. Golok di tangannya dibalutkan ke
arah kepala dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawan
menjadi dua bagian yang sama.
Golok Emas terkejut bukan
kepalang melihat hal ini. Apalagi, keadaannya saat itu tidak menguntungkan.
Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu. Dan
sepertinya, jalan satu-satunya hanya menangkis untuk menyelamatkan nyawa.
"Hih…!"
Sambil menggertakkan gigi, si
Golok Emas memalangkan senjata andalannya di atas kepala. Dan....
Tranggg !
Bunga api memercik ke
sana-kemari ketika dua buah senjata yang mempunyai nama sama tapi berbeda
ukuran, bertemu dalam sebuah benturan keras yang memekakkan telinga.
Tubuh si Golok Emas
terhuyung-huyung ke belakang. Golok besarnya terlepas dari pegangan, karena
tangan yang menggenggam terasa lumpuh karena berbenturan. Hal ini terjadi
karena keadaan si Golok Emas kurang memungkinkan untuk mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Di lain pihak, tenaga yang terkandung dalam serangan Golok
Malaikat jadi bertambah besar, karena dibantu tenaga ayunan lompatannya. Dan
akibatnya, hal itulah yang terjadi.
Wajah si Golok Emas berubah
ubah. Sebentar pucat, sebentar merah. Disadari kalau dirinya telah kalah
seiring jatuhnya senjata andalannya. Memang, seorang tokoh tingkat atas,
senjata andalan merupa nyawa kedua. Maka, bila telah terlepas dari tangan
berarti telah kalah. Walau merupakan ketentuan tidak tertulis di kalangan tokoh
persilatan, tapi baik Golok Emas maupun Golok Malaikat sama-sama tahu tentang
hal itu.
"Ha ha ha...!" Golok
Malaikat tertawa bergelak. "Akhirnya, terwujud juga keinginanku sejak
belasan tahun lalu. Kini akulah ahli golok nomor satu! Ha ha...! Maka, sekarang
aku berhak memakai gelar Raja Golok! Ha ha ha...!"
Golok Emas hanya bisa
tersenyum pahit. Tapi sebagai orang yang gagah dan berjiwa ksatria, dia pun
mengakui keunggulan lawannya.
"Kau memang hebat, Golok
Malaikat. Sekarang kau berhak mendapat julukan Raja Golok. Ilmu golokmu memang
luar biasa," puji Ketua Perguruan Golok Emas itu jujur. Seketika itu pula
tawa Golok Malaikat terhenti. Sebagai tokoh aliran putih, dia merasa malu
melihat kebesaran jiwa Golok Emas yang mengakui kekalahannya.
"Ah! Kemenangan yang
kudapatkan hanya karena kebetulan belaka, Golok Emas. Aku yakin, kalau
pertarungan diulangi bukan tidak mungkin aku akan roboh di tanganmu. Ilmu golok
yang kau miliki benar-benar luar biasa, Golok Emas! Aku puas dapat bertarung
denganmu. Biarlah. Sebagai tanda gembiraku mendapatkan seorang lawan sepertimu,
aku tidak akan mengejar-ngejar lagi keturunan Kalapati."
"Benarkah itu, Raja
Golok?" tanya Golok Emas memastikan. Sengaja dipanggilnya Golok Malaikat
dengan gelar barunya.
Golok Malaikat mengulapkan
tangannya.
"Aku minta, panggillah
aku dengan julukan yang dulu. Golok Emas."
"Mengapa..., Ra... eh,
Golok Malaikat?!" Golok Emas mengeryitkan keningnya.
"Karena, aku belum yakin
akan kemenanganku kali ini!" tandas Golok Malaikat "Kalau kau tetap
berkeras memanggilku Raja Golok, aku akan pergi sini!"
Golok Emas tersenyum getir.
"Baiklah," desah
Ketua Perguruan Golok mengalah. "Tapi boleh kutahu, apa alasanmu
membiararkan keturunan Kalapati?"
"Hhh...! Karena aku tahu,
orang seperti kau dan Ki Gambala tidak akan mungkin melindungi orang bersalah.
Apalagi sampai menjadikannya mantu! Ha ha...!"
"Kau benar, Golok
Malaikat. Ha ha ha...!"
Dua ahli golok yang tadi
terlibat dalam pertarungan mati-matian, kini sama-sama tertawa bergelak.
Suasana keakraban tampak jelas dalam sikap dan tawa mereka.
Di arena yang lain pun, Arya
merasa lega bukan kepalang ketika melihat tanda biru di tangan dan leher Melati
mulai memudar, walaupun tidak lenyap benar.
"Sekarang kekasihmu tidak
terancam bahaya lagi Dewa Arak. Tapi dia tetap tidak akan sadar. Aku akan
menyembuhkannya apabila kau telah berhasil memenuhi permintaanku. Semakin cepat
kau membawanya, semakin cepat kekasihmu sembuh," jelas Raja Racun Muka
Putih. Arya berjalan menghampiri Ki Gambala, kemudian berdiri di sebelahnya.
"Kau...," sebut Dewa
Arak sambil menuding jari telunjuknya ke arah Raja Ular Gunung Pare.
"Mengapa tidak lekas pergi dari sini?! Atau..., menunggu kemarahanku
bangkit dan membunuhmu?!"
Raja Ular Gunung Pare menelan
ludah dengan susah payah. Meskipun belum merasakan kelihaian Dewa Arak, tapi
melihat kenyataan betapa Raja Racun Muka Putih yang begitu terkenal saja
terlihat gentar pada Dewa Arak, maka bisa diperkirakan tingkat kepandaian
pemuda berambut putih keperakan itu.
Meskipun begitu, Raja Ular
Gunung Pare belum merasa yakin kalau tidak mencobanya sendiri. Mana mungkin
orang semuda Arya akan mampu mengunggulinya? Kalau saja tidak ada Ki Gambala di
situ, Dewa Arak mungkin sudah diterjangnya. Tapi disadari, keadaannya tidak
menguntungkan. Maka Raja Ular Gunung Pare hanya menahan perasaan saja. Tubuhnya
kemudian segera melesat meninggalkan tempat itu setelah terlebih dulu membuang
ludah ke tanah.
Melihat kepergian Raja Ular
Gunung Pare, tokoh- tokoh persilatan yang tidak tewas segera melangkah
tertatih- tatih meninggalkan tempat itu. Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi
berada di situ. Bahkan tokoh-tokoh aliran putih yang tadi secara tak langsung
membantu tokoh-tokoh aliran hitam, melangkah meninggalkan tempat itu. Hati
mereka merasa tidak enak melihat akibat yang diderita Perguruan Pedang Ular.
Tapi tindakan mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena ada masalah
yang jauh lebih gawat, terutama bagi Melati.
"Ki... Bersediakah bila
aku menitipkan Melati di sini?" tanya Arya hati-hati ketika melihat Raja
Ular Gunung Pare telah tidak berada di situ lagi.
"Perguruan Pedang Ular
selalu terbuka untukmu,
Arya."
"Tapi..., apakah kau
percaya begitu saja akan ucapan
orang seperti Raja Racun Muka
Putih ini?!" Ki Gambala seraya menatap tajam wajah kakek berpakaian merah
itu. "Aku khawatir, kau akan ditipu mentah mentah, Arya." "Kalau
tidak memandang Dewa Arak, sudah hancurkan mulutmu, Gambala!" dengus Raja
Muka Putih. "Aku adalah seorang datuk. Pantang menarik ucapan yang telah
kukeluarkan. Dewa Arak percaya padaku, sebagaimana halnya aku percaya akan
janji yang diucapkannya "
Ki Gambala pun terdiam
sejenak.
"Kalau begitu, terserah
padamu, Arya. Aku tahu kau tidak pernah sembarangan mengambil keputusan."
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak berpaling pada Raja Racun Muka Putih.
"Setelah permintaanmu
kupenuhi ke mana harus mengantarkannya?"
"Bagaimana kalau aku
tinggal di sini saja, Dewa Arak. Percayalah. Sebagaimana aku percaya pada
janjimu, kau pun harus percaya padaku. Barangkali saja tenagaku di sini ada
gunanya."
"Aku belum mengerti
maksudmu, Raja Racun," kata Dewa Arak sambil mengernyitkan kening.
"Aku khawatir terhadap
keadaan kekasihmu, Dewa Arak. Sekarang dia berada dalam keadaan tak berdaya.
Lalu, bagaimana kalau ada orang mempunyai niat yang tidak baik padanya? Aku
yakin kekasihmu ini banyak mempunyai musuh, mengingat kepandaiannya yang tidak
rendah dan wataknya yang berangasan terhadap penjahat. Sedangkan kau tidak
berada di sisinya. Kau yakin akan penjagaan yang dilakukan oleh kakek-kakek
jompo ini? Dengan adanya aku di sini, setidak-tidaknya ada tambahan tenaga yang
tidak ternilai, seandainya ada orang yang akan berbuat jahat terhadapnya,"
urai Raja Racun Muka Putih panjang lebar.
Arya terdiam sejenak. Disadari
ada kebenaran dalam ucapan Raja Racun Muka Putih itu. Dia bukannya bermaksud
meremehkan penjagaan Ki Gambala. Tapi, ucapan Raja Racun Muka Putih memang
mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah.
"Bagaimana, Ki?"
tanya Dewa Arak meminta per- setujuan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Terserah padamu,
Arya," jawab Ki Gambala sambil mengangkat bahu. "Aku percaya, semua
keputusan yang kau ambil, sudah dipikirkan masak-masak." "Maaf, Ki.
Bukannya aku bermaksud merendahkan kepandaianmu dan membenarkan ucapan Raja
Racun. Tapi memang banyak keuntungan apabila dia berada di sini.
Setidak-tidaknya, dapat memeriksa keadaan Melati. Barangkali saja, ada kelainan
yang tidak terduga," ucap Arya hati-hati agar Ki Gambala tidak tersinggung.
"Aku mengerti,
Arya," desah Ketua Pergurunn Pedang Ular pelan.
Walaupun hatinya tersinggung
ketika melihat Dewa Arak seperti membenarkan ucapan Raja Racun Muka Putih, tapi
Ki Gambala berusaha menyembunyikannya. Inilah saatnya untuk membalas budi Dewa
Arak yang telah bertumpuk-tumpuk. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apalagi
ketika disadari kalau Melati terluka karena membela Perguruan Pedang Ular.
"Terima kasih, Ki,"
ucap Arya sambil menggenggam tangan Ki Gambala erat-erat. Dan genggaman itu
langsung disambut tak kalah hangat oleh Ketua Perguruan Pedang Ular.
"Lupakanlah, Arya. Di
antara sahabat tidak perlu banyak peradatan seperti ini," ujar Ki Gambala
sambil tersenyum simpul. Karena, ucapan itu dulu pernah dikatakan Dewa Arak padanya.
Arya melengak sesaat ketika
menyadari kalau perkataan Ki Gambala itu adalah ucapannya sendiri. Tapi ketika
melihat senyum yang tersungging di bibir Ketua Perguruan Pedang Ular, dia tahu
kalau dirinya tengah diledek. Maka sebuah senyum simpul pun tak bisa ditahan Dewa
Arak lagi.
"Sebaiknya, kita bawa
Melati ke dalam, Arya. Rasanya tidak pantas membiarkannya berlama-lama di
luar," ujar Ki Gambala bernada mengingatkan.
"Kau benar, Ki,"
sambut Arya cepat.
Usai berkata demikian, Dewa
Arak segera membungkukkan tubuhnya dan mengangkat Melati.
"Mari, Arya," kata
Ki Gambala seraya melangkah menuju ke salah satu bangunan yang ada di dalam
Perguruan Pedang Ular. Sebelumnya, dia memberi perintah pada murid-muridnya
untuk membereskan bekas pertarungan. Tanpa menunggu ajakan dua kali, Dewa Arak
segera melangkah di belakang Ki Gambala, diikuti Raja Racun Muka Putih, Golok
Malaikat, dan si Golok Emas. Tak ketinggalan pula Rupangki dan Karmila. 5
Matahari mulai condong ke
Barat. Bias-bias kemerahan pun menyeruak di bagian langit, tempat matahari
terbenam. Tak lama lagi, kegelapan pun akan turun menyelimuti seluruh persada.
Murid-murid Perguruan Pedang
Ular baru saja selesai membereskan halaman depan perguruan yang porak- poranda.
Panggung, hiasan warna-warni, dan tubuh rekan- rekan mereka yang mati atau
terluka telah diurus. Dan kini, mereka tengah beristirahat melepas lelah.
Brakkk...!
Tiba-tiba suara gaduh
bersamaan hancurnya daun pintu gerbang, membuat murid-murid Perguruan dang Ular
tersentak kaget. Terutama sekali, yang ada di gardu penjagaan. Tiga orang yang
menjaga gardu penjagaan inilah yang langsung menyadari akan apa yang telah
terjadi.
Walapun masih lelah, tiga
orang murid Perguruan Pedang Ular ini langsung melesat ke arah pintu gerbang.
Tampak di balik daun pintu gerbang
perguruan tampak seorang kakek bertubuh pendek gemuk. Pakaiannya terbuat dari
bulu binatang berwarna putih. Sebuah topi berbentuk kerucut. Terbuat dari kulit
binatang, bertengger di kepalanya. Siapa lagi kakek ini kalau bukan Dedemit
Salju (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode "Dalam Cengkeraman Biang
Iblis").
"Katakan, di mana Dewa
Arak! Cepat!" bentak Dedemit Salju begitu melihat adanya tiga sosok tubuh
di hadapannya.
"Andaikata tahu pun, kami
tidak akan katakan padamu," sahut salah seorang murid Perguruan Pedang
Ular yang berkumis tipis.
"Keparat! Berani kalian
mempermainkan Dedemit Salju?!" seru kakek pendek gemuk, geram.
Usai berkata demikian, Dedemit
Salju mengibaskan tangannya. Kelihatannya sembarangan saja, tapi hebatnya
langsung terjadi hembusan angin keras yang keluar dari tangan yang mengibas
itu. Hembusan angin yang berhawa dingin dan menggigit tulang. Begitu kerasnya
angin yang berhembus, sehingga membuat tubuh tiga orang murid Perguruan Pedang
Ular itu terjengkang ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
Tiga orang murid perguruan
yang sial itu tidak segera dapat bangkit berdiri. Hawa dingin dari serangan
Dedemit Salju benar-benar membekukan kulit. Sehingga, urat-urat dan otot-otot
tubuh mereka terasa kaku. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk bangkit.
Kini tiga orang murid perguruan itu malah mendekapkan kedua tangan ke tubuh,
untuk menahan cekaman hawa dingin yang melanda.
"Cepat katakan, di mana
Dewa Arak! Aku tahu ia berada di sini. Atau kalian semua ingin mampus?!"
ancam Dedemit Salju sambil menatap tiga raut wajah yang tergolek di bawah
kakinya.
"Kami..., kami
benar-benar tidak tahu...," jawab laki laki yang berkumis tipis. Suaranya
terdengar tersendat sendat, karena cekaman hawa dingin yang melanda.
"Tikus-tikus tak tahu
diuntung...!" bentak Dedemit Salju geram. "Kalian rupanya lebih suka
mati!"
Begitu ucapannya selesai,
Dedemit Salju segera mendorongkan kedua tangannya ke bawah.
Wuuut...!
Seketika serentetan angin
berhawa dingin, berhembus ke arah tiga orang murid Perguruan Pedang Ular yang
tengah tergolek di tanah. Memang kali ini Dedemit Salju tidak main- main lagi.
Maka, akibatnya pun begitu dahsyat. Tiga orang keroco itu mana mampu bertahan?
Mereka pun tewas dengan sekujur tubuh membiru!
Bertepatan tewasnya tiga orang
penjaga pintu ger- bang, murid-murid Perguruan Pedang Ular lainnya ber-
munculan. Di antara mereka, tampak terlihat Jirin. Mau tak mau, mereka langsung
menggeram marah ketika melihat tiga orang rekan mereka tergolek di tanah. Tanpa
ditegaskan lagi, sudah bisa diperkirakan kalau tiga orang itu telah tewas.
Kulit tubuh mereka yang seperti membiru menjadi tanda kalau ketiga orang itu
telah mati.
"Seraaang,..!"
teriak Jirin keras memberi perintah pada adik-adik seperguruannya.
Murid utama Perguruan Pedang
Ular itu memang tidak berani bertindak sembrono lagi dengan menyerang Dedemit
Salju seorang diri. Tanpa menunggu perintah dua kali, murid-murid Perguruan
Pedang Ular yang telah dibakar amarah melihat mayat ketiga rekannya, langsung
melesat menerjang. Suara senjata-senjata yang keluar dari sarungnya, dan juga
sinar- sinar berkeredep yang mengiringi, terdengar silih berganti. Dan secepat
senjata itu tercabut, secepat itu pula diluncurkan ke arah Dedemit Salju.
Dedemit Salju tidak menjadi
gugup melihat hujan berbagai macam senjata yang meluncur deras ke arah berbagai
bagian tubuhnya.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar
ketika beraneka ragam senjata menghantam sekujur tubuh Dedemit Salju. Namun,
justru pekik-pekik keterkejutan dari mulut para pemegang senjata itu sendiri.
Karena tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan bergetar, bagai
tersengat kala berbisa. Bahkan sebagian dari mereka, terpaksa melepaskan
senjata. Memang tangan yang menggenggam kontan terasa lumpuh.
"Grrrh...!"
Dedemit Salju menggeram.
Untung saja tenaga dalam pada geramannya tidak dikerahkan. Kalau saja
dikerahkan, sudah dapat dipastikan seluruh murid Perguruan Pedang Ular akan
tewas.
"Rupanya kalian semua
sudah bosan hidup!" desis Dedemit Salju geram.
Kemudian, jari telunjuknya
diluruskan, sedan jari-jari lainnya terkepal. Dengan susunan jari seperti itu.
Dedemit Salju lalu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah lawan- lawannya
tanpa menggeser kaki sedikitpun. Padahal, jarak antara dirinya dengan
murid-murid Perguruan Pedang Ular itu tak kurang empat tombak!
Cit, cit, cit...!
Suara berdicit seperit ada
puluhan ekor tikus mencicit, terdengar ketika Dedemit Salju menggerak gerakkan
tangannya.
"Akh, akh...!"
Jeritan menyayat terdengar
diiringi bertumbangannya tubuh murid-murid Perguruan Pedang Ular dalam keadaan
tidak beryawa lagi, dengan dahi berlubangan. Mengerikan sekali keadaan mereka,
karena darah yang keluar dari bagian yang terluka langsung membeku!
Jirin menggertakkan gigi
melihat satu demi satu teman-temannya berguguran. Dia tahu, lawan telah
menggunakan sebuah ilmu yang membuat angin serangan jari-jarinya seakan-akan
seperti pedang atau tombak. Yang lebih mengerikan lagi, serangan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi itu juga mengandung hawa dingin. Sehingga, darah yang
mengalir keluar langsung membeku.
Dedemit Salju benar-benar
bertekat membinasakan lawan-lawannya. Setiap kali tangannya bergerak, sudah
dapat dipastikan ada murid Pergurua Pedang Ular yang tewas. Yang lebih
menggiriskan hati setiap serangan kakek pendek gemuk ini selalu menghunjam
dahi.
Dalam waktu sekejap saja,
sudah lebih separuh murid Perguruan Pedang Ular yang tewas. Kini yang tinggal
hanyalah beberapa gelintir saja, dan di antaranya terdapat Jirin.
***
Tentu saja lolongan kematian
yang susul-menyusul itu terdengar sampai ke telinga Kl Gambala dan Raja Racun
Muka Putih. Saat itu mereka tengah duduk dalam sebuah ruangan dalam di salah
satu bangunan.
Sementara itu Karmila dan
Rupangki berada dalam sebuah kamar lain. Sebuah kamar yang semarak, penuh
hiasan. Mereka rupanya tengah sibuk dan hanya diketahui oleh mereka berdua.
Sehingga, mereka seperti tak peduli, karena begitu tenggelam dalam lautan
asmara. Tidak terpikirkan lagi nasib Melati yang tadi sempat mereka
khawatirkan.
"Hhh...!" Ki Gambala
menghela napas berat.
Wajah laki-laki tua itu tampak
membayangkan ke- bingungan yang hebat. Memang, di dalam hati Ketua Perguruan
Pedang Ular ini tengah terjadi pertentangan batin. Lolong kematian susul-menyusul
dari murid-muridnya, membuatnya ingin melihat apa yang tengah terjadi di depan
sana. Tapi, kekhawatiran terhadap keadaan Melati yang tengah terbaring tak
berdaya, memaksanya untuk duduk diam di situ. Ingin rasanya Ketua Perguruan
Pedang Ular itu memanggil Rupangki dan Karmila. Tapi, dia tidak sampai hati
untuk melakukannya. Kl Gambala tahu, Rupangkl dan Karmila pasti tengah
menikmati malam pertamanya
Raja Racun Muka Putih bukan
orang bodoh. Ia tahu, Ki Gambala tengah dilanda perasaan tegang. Maka tanpa
bicara apa-apa, dia pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar.
"Mau ke mana kau, Raja
Racun?!" tanya Ki Gambala dengan suara tidak begitu ramah.
"Keluar! Melihat orang
yang telah menjagal murid- muridmu!" sahut Raja Racun Muka Putih tak kalah
kasar. Dia menjawab tanpa menghentikan langkah kakinya, bahkan sama sekali
tanpa membalikkan tubuh.
Ki Gambala tidak
menyambutinya. Andaikata menanggapinya pun, tidak akan berguna. Memang tubuh
Raja Racun Muka Putih sudah menghilang dari ruang itu.
Sepeninggal Raja Racun Muka
Putih, Ketua Perguruan Pedang Ular tercenung. Berbagai macam pikiran berputar
di benaknya. Apakah yang sedang terjadi pada murid- muridnya? Siapakah orang
yang tengah dihadapi? Mudah- mudahan saja Raja Racun Muka Putih berhasil
menghalau penjagal itu!
Namun sepercik perasaan curiga
bersemayam hati Ki Gambala. Sungguh-sungguhkah Raja Racun Muka Putih akan
membantu? Apakah tidak mungkin kalau hanya bersandiwara saja? Dan itu memang
bukan mustahil!
Begitu mendapat dugaan seperti
itu, Ki Gambala langsung tersentak kaget. Sandiwara? Raja Racun Muka Putih
bersandiwara? Mengapa hal itu tidak terpikirkan olehnya? Bukan tidak mungkin
kalau kejadian ini memang sudah direncanakan oleh Raja Racun Muka Putih!
Ki Gambala sampai terjingkat
kaget ketika mendapat dugaan seperti itu. Kontan kekhawatiran akan nasib murid-
muridnya semakin membesar. Bukan tidak mungkin kalau Raja Racun Muka Putih akan
membantu si perusuh itu dalam menjagal murid-muridnya!
Kecurigaan Ki Gambala semakin
menebal ketika lolongan kematian murid-muridnya belum juga berhenti. Bukankah
Raja Racun Muka Putih akan menghentikan tindakan pengacau itu? Lalu, mengapa
sampai sekarang lolongan kematian itu masih juga terdengar? Bukan tidak mungkin
kalau Raja Racun Muka Putih ikut menjagal pula!
Karena tak kuat menahan rasa
gelisah yang melanda, Ki Gambala bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-
mandir. Hatinya ingin sekali melihat kejadian yang menimpa murid-muridnya. Tapi
dia merasa khawatir meninggalkan Melati sendirian.
Saat hatinya tengah dilanda
kebimbangan itu, muncul Raja Racun Muka Putih di ambang pintu.
"Mengapa kau kembali,
Raja Racun? Apakah pengacau itu sudah kau tanggulangi?" tanya Ki Gambala
sebelum Raja Racun Muka Putih mengatakan sesuatu.
Perasaan ingin tahu itu membuat
Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak memperhatikan kalau sikap Raja Racun Muka
Putih tampak gugup bukan kepalang. Kalau saja kulit wajah datuk sesat itu tidak
putih, mungkin bisa terlihat gambaran perasaan itu pada wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya,
Gambala!" sentak Raja Racun Muka Putih. Cepat pergi dari sini! Bawa kabur
gadis itu dari sini!"
Wajah Ki Gambala berubah
merah. Jelas batin merasa tersinggung melihat tanggapan Raja Racu Muka Putih.
"Aku akan tetap tinggal
di sini, apa pun yang akan terjadi!" tandas Ki Gambala. "Kalau kau
ingin kabur silakan pergi!"
"Tua Bangka dungu!"
maki Raja Racun Muka Putih geram. "Aku sama sekali tidak mempedutikan
keselamatanmu, tahu?! Yang kupikirkan adalah nasib gadis itu! Cepat pergi!
Sebelum semuanya terlambat!"
Tapi peringatan Raja Racun
Muka Putih terlambat. Sebuah suara keras terdengar seiring hadirnya sosok yang
bukan lain dari Dedemit Salju.
Raja Racun Muka Putih
melangkah mundur berdiri di sebelah Ki Gambala. Sikapnya menunjukkan kalau dia
bersiap untuk bertarung dengan Dedemit Salju.
"Jangan harap kalian bisa
kabur dari sini!" dengus Dedemit Salju. "Kalian semua akan kubunuh,
karena aku telah bersumpah untuk membunuh semua orang yang mempunyai hubungan
dengan Dewa Arak!"
Ki Gambala melirik ke arah Raja
Racun Muka Putih. "Tidak salahkah penglihatanku ini, Raja Racun?! Apakah
dia adalah Dedemit Salju?!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu setengah
tidak percaya.
Memang, Ki Gambala belum
pernah bertemu Dedemit Salju. Tapi julukannya sudah lama di dengar dan
diketahuinya. Dedemit Salju adalah salah satu dari biang- biang iblis dunia
persilatan yang selama ini menjadi ancaman!
"Ya!" jawab Raja
Racun Muka Putih. Nada suaranya menyiratkan kejengkelan, karena Ki Gambala
tidak mau mendengar nasihatnya. "Sekarang kita tidak akan mungkin bisa
kabur lagi! Dan semua itu karena sikap keras kepalamu!"
"Aku bukan orang pengecut
sepertimu, Raja Racun!" tandas Ki Gambala. Suaranya sama pelannya dengan
Raja Racun Muka Putih. Tapi ada tekanan yang kuat dalam suaranya. "Pantang
bagiku untuk melarikan diri dari musuh!" "Itulah bodohnya dirimu! Kau
hanya mementingkan
diri sendiri! Kau lupa nasib
kekasih Dewa Arak!"
Seketika kepala Ki Gambala
bagai diguyur seember air es. Raja Racun Muka Putih benar! Masih ada orang yang
harus dipikirkan keselamatannya. Dan orang itu adalah Melati! Mengapa dia lupa
terhadap pesan Dewa Arak? Bukankah keselamatan Melati telah dipercayakan
padanya?
"Teruskanlah perdebatan
kalian. Karena, sekarang merupakan perbincangan kalian yang terakhir!"
potong Dedemit Salju.
Ki Gambala dan Raja Racun Muka
Putih saling berpandangan sejenak. Sungguh tidak disangka kalau Dedemit Salju
begitu yakin akan mampu mengalahkan mereka. Tapi, baik Ki Gambala maupun Raja
Racun Muka Putih tidak memikirkan hal itu lagi. Masih ada hal lebih penting
yang harus dipikirkan.
"Mengapa kau sepertinya
memikirkan keselamatan Melati, Raja Racun?" tanya Ki Gambala tanpa
menyembunyikan perasaan heran dalam suaranya.
Raja Racun Muka Putih tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Meskipun kulit wajahnya yang pulih seperti
dikapur berubah pucat tanpa diketahui, tapi sorot matanya yang mendadak sayu,
memberi pertanda kalau datuk sesat yang ahli dalam racun ini tengah dilanda
perasaan sedih. "Keadaan yang menimpa gadis ini mengingatkanku akan anak
angkatku, Gambala," kata Raja Racun Muka Putih, pelan. "Seorang gadis
yang seumur Melati, telah tewas karena tanpa sengaja telah menelan racun.
Keadaan Melati mengingatkanku akan keadaannya. Itulah sebabnya, aku menjadi
khawatir atas selamatannya. "
"Kalau begitu, mengapa
kau tidak menyembuhkannya?" tanya Ki Gambala heran.
Raja Racun Muka Putih menatap
wajah Ki Gambala tajam-tajam.
"Aku bukan sejenis orang
yang suka menarik kembali ucapan yang telah kukeluarkan, Gambala. Di depan Dewa
Arak, aku telah berjanji untuk menyembuhkan Melati setelah dia membawa
permintaanku."
Ki Gambala
mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterima alasan yang dikemukakan Raja Racun
Muka Putih itu.
"Kuakui, aku adalah
seorang tokoh sesat yang selalu bergelimang kejahatan. Tapi pantang bagiku
untuk menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah!" sambung Raja Racun Muka
Putih penuh semangat.
"Cukup!"
Bentakan Dedemit Salju menutup
pembicaraan, Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala. Kedua tokoh berbeda aliran
yang kini terpaksa akan bekerja sama untuk menyelamatkan nyawa Melati, menatap
ke arah Dedemit Salju yang berjarak tiga tombak di hadapan mereka.
Usai mengeluarkan bentakan,
Dedemit Salju me- langkah menghampiri Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala yang
berdiri tegak membelakangi pembaringan tempat Melati tergolek tak berdaya.
"Haaat..!"
Diiringi bentakan nyaring,
Gambala melompat me- nerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya
benar-benar tangguh, maka, dalam serangan-serangan pertama Ketua Perguruan
Pedang Ular ini telah menghunus pedangnya dan menusukkannya ke arah leher.
Wunggg...!
Suara mengaung terdengar
mengiringi tibanya se- rangan Ki Gambala. Dan seperti biasanya, bilah pedangnya
yang lemas itu menyulitkan lawan untuk menebak arah yang dituju. Getarannya
demikian hebat, sehingga pedang itu seperti berjumlah puluhan batang.
"Hmh...!"
Dedemit Salju mendengus,
melihat serangan itu. Maka, kedua tangannya langsung bergerak ke arah punggung.
Sesaat kemudian di kedua tangannya telah tergenggam sepasang senjata berbentuk
segi tiga, terbuat dari kayu keras berwarna putih!
Begitu sepasang senjata itu
telah berada di kedua tangannya, langsung saja digerakkan untuk menyambut
sambaran pedang Ki Cambala.
Trakkk...!
Suara keras terjadi akibat
benluran kedua senjata itu membuat tubuh Ki Gambala terhuyung ke belakang
dengan tangan bergetar hebat. Ada hawa dingin yang menyelusup masuk lewat
tangannya, tapi segera dipunahkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Dedemit Salju rupanya tidak
bersikap main-main lagi. Tanpa memberi kesempatan, diburunya tubuh Ki Gambala
yang tengah terhuyung-huyung itu. Lalu, dihujamnya dengan serangan-serangan
sepasang senjata yang berbentuk segi tiga.
Tapi Ki Gambala yang memang
sudah bersiap siaga sejak tadi segera mengadakan perlawanan dengan seluruh
kemampuan. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang permainan
pedang KI Gambala. Tapi masih lebih
hebat lagi permainan sepasang senjata segi tiga milik Dedemit Sahu. Datuk sesat
yang menggiriskan itu memainkan senjatanya dengari terlebih dahulu
memutarkannya, sehingga mengeluarkan suara mengaung dan lenyap bentuknya.
Kemudian secara tidak terduga-duga senjata itu meluruk deras ke arah Ki
Gambala. Terkadang menyodok atau menggaet. Tapi, tak jarang mencangkul.
Pergerakan sepasang senjata
lawan yang aneh itu membuat Ki Gambala kelabakan. Tak sampai sepuluh jurus, dia
sudah tampak kebingungan.
Setiap serangan Ki Gambala
mudah sekali berhasil dikandaskan Dedemit Salju dengan hadangan sepasang segi tiganya.
Dan setiap kali terjadi benturan senjata, tangan Ki Gambala selalu tergetar
hebat, disertai tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Memang, tenaga
dalam Ketua Perguruan Pedang Ular ini cukup berselisih jauh di bawah tenaga
dalam Dedemit Salju.
Sebaliknya setiap serangan
balasan Dedemit Salju pasti akan membuat Ki Gambala kelabakan bukan kepalang.
Hal ini memang tidak aneh. Karena, sebelum senjatanya itu diluncurkan ke arah
Ki Gambala, terlebih dulu diputar laksana baling-baling.
Tak sampai tiga puluh jurus,
Ki Gambala sudah terdesak. Tampaknya, dia kini hanya bisa bertahan sambil
mengelak. Bahkan menangkis pun jarang dilakukan, karena akan merugikan dirinya.
Karena Ki Gambala lebih banyak
mengelak, dan menangkis hanya dilakukan kalau keadaan sudah sangat memaksa,
akibatnya pertahananya semakin kedodoran. Tapi hatinya tetap dikuatkan, dan
terus bertahan. 6
Raja Racun Muka Putih
menyaksikan jalannya pertarungan dengan dahi berkernyit. Dia tidak kaget lagi
melihat Ki Gambala terdesak. Memang suda diduga kalau Ketua Perguruan Pedang
Ular itu bukan tandingan Dedemit Salju. Tapi sungguh tidak disangka kalau akan
semudah itu Dedemit Salju membuat lawannya keteter.
Raja Racun Muka Putih tahu,
robohnya Ki Gambala hanya tinggal menunggu waktu saja. Gerakan sepasang senjata
berbentuk segi tiga milik Dedemit Salju memang terlalu kuat untuk bisa ditahan
dengan ilmu pedang Ki Gambala. Tampak jelas kalau mutu ilmu senjata segi tiga
Dedemit Salju jauh di atas ilmu pedang Ki Gambala.
Raja Racun Muka Putih tahu,
robohnya Ki Gambala hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka, dia tidak ingin
menunggu sampai Ketua Perguruan Peda Ular roboh. Karena bila hal itu terjadi,
berarti akan berhadapan dengan Dedemit Salju sendirian. Padahal Raja Racun Muka
Putih tahu kalau dirinya bukan tandingan Dedemit Salju yang luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Diiringi suara melengking
nyaring, Raja Racun Muka Putih terjun ke dalam kancah pertarungan. Selagi
tubuhnya berada di udara sepasang pisaunya dihunuskan. Kedua senjata itu
langsung ditusukkan ke arah berbagai bagian tubuh Dedemit Salju yang mematikan.
Trang, tranggg...!
Benturan keras antara
pisau-pisau dengan senjata berbentuk segi tiga mengawali terlemparnya kembali
tubuh Raja Racun Muka Putih ke belakang. Sementara tubuh Dedemit Salju hanya
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah.
Ki Gambala kini bisa bernapas
lega. Dengan munculnya bantuan Raja Racun Muka Putih, beratnya serangan Dedemit
Salju menjadi berkurang jauh.
Memang setelah Raja Racun Muka
Putih ikut campur, jalannya pertarungan jadi lebih menarik, dan tidak berat
sebelah lagi. Bahkan kini kakek berpakaian bulu tebal itu kewalahan. Tapi hal
itu hanya berlangsung sekitar sepuluh jurus saja. Lewat jurus itu, Dedemit
Salju telah bisa menguasai keadaan kembali. Sulit untuk mendesaknya kembali.
Hebat bukan kepalang
pertarungan yang terjadi antara ketiga orang tokoh tingkat tinggi dunia
persilatan itu. Suara mengaung, mendesing, dan mencicit menyemaraki jalannya
pertarungan.
Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangka
kalau permainan senjata lawan ternyata dahsyat luar biasa. Semula dikiranya
hanya dalam tangan kosong saja biang iblis ini memiliki kemampuan tinggi.
Ternyata permainan senjatanya pun tidak kalah hebat. Karena masing-masing tokoh yang
bertanding memiliki kecepatan gerakan yang sudah mencapai tingkat
tinggi, dalam waktu sebentar saja empat puluh jurus telah berlalu, sejak Raja
Racun Muka Putih dan Ki Gambala bekerja sama dalam pertarungan. Dan selama ini, pertarungan masih berlangsung imbang.
Tidak nampak
adanya tanda-tanda yang akan
keluar sebagai pemenang.
Rupanya hal itu membuat
Dedemit Salju penasaran bukan kepalang. Maka, 'Tenaga Inti Salju' segera
dikerahkan. Akibatnya hebat bukan kepalang. Sodokan, gaetan, tangkisan,
paculan, dan terutama sekali putaran sepasang segi tiga itu, mengeluarkan hawa
dingin yang luar biasa! Hal itu membuat Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih
terkejut bukan kepalang.
Memang, mula-mula serangan
hawa dingin tidak terlalu merepotkan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih. Tapi
lama kelamaan, akibatnya mulai terasa. Hawa dingin yang menyebar, semakin lama
semakin menggila.
Kalau semula serangan hawa
dingin itu sama sekali tidak mengganggu Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih,
tidak demikian dengan kejadian selanjutnya. Perlahan-lahan serangan hawa dingin
mulai terasa.
Kini baik Ki Gambala maupun
Raja Racun Muka Putih harus membagi
tenaga. Sebagian kini digunakan untuk menahan serangan hawa dingin. Karena bila
hal itu dibiarkan, sekujur otot-otot dan urat-urat tubuh mereka akan sulit
digerakkan. Dan bila itu terjadi, jelas akan membuat kegesitan mereka berkurang
jauh! Memang, setelah Dedemit Salju mengerahkan 'Tenaga Inti Salju', Ki Gambala
dan Raja Racun Muka Putih mulai terdesak.
Betapapun Ki Gambala dan Raja
Racun Muka Putih mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak
bisa mengubah keadaan.
Sergapan hawa dingin telah
membuat kelihaian kedua tokoh berbeda aliran itu berkurang jauh.
Diam-diam Raja Racun Muka
Putih mengeluh dalam hati. Keadaannya memang suit. Sebenarnya dia lebih suka
kalau Dedemit Salju dihadapi oleh seorang saja. Dengan demikian, akan leluasa
untuk mengeluarkan segala macam kemampuan ilmu racunnya tanpa takut melukai Ki
Gambala seperti sekarang ini.
Seperti pada saat sekarang
ini, Raja Racun Muka Putih jadi tidak bisa mengeluarkan jurus 'Ular Hitam'
andalannya. Karena bila jurus itu dipergunakan, Ki Gambala akan celaka lebih
dulu. Apalagi di atas kertas, kemampuan Dedemit Salju berada di atas Ki
Gambala!
Meskipun Raja Racun Muka Putih
tidak bisa meng- gunakan ilmu racunnya, tapi yang dihadapi Dedemit Salju
sebenarnya berat. Karena lawan kali ini adalah gabungan dari Raja Racun Muka
Putih dan Ki Gambala, yang justru lebih kuat dibanding perlawanan menghadapi
Raja Racun Muka Putih dengan ilmu racunnya.
Meskipun berada dalam keadaan
terhimpit, Raja Racun Muka Putih masih sempat membagi perhatiannya untuk
melihat Melati, meskipun hanya sekilas. Dan tentu saja hal itu tidak akan bisa
dilakukannya kalau menghadapi Dedemit Salju seorang diri.
Mendadak... Brakkk...!
Daun jendela ruangan itu
hancur berantakan. Dan dari balik hancuran jendela melesat masuk sesosok
berpakaian biru. Ternyata, dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Sesaat pemuda berpakaian biru
itu menatap ke arah pertarungan yang tengah berlangsung, kemudian pandangannya
beredar ke sekeliling. Lalu, matanya tertumbuk pada tubuh Melati yang tergolek
tak daya. "Rupanya kau tengah sekarat, Melati. Dan kekasihmu rupanya tengah
mencari obatnya. Hmh...! Tak akan kubiarkan kau mendapat obat penyembuhnyal Aku
ingin melihatmu tewas secara perlahan-lahan," desis pemuda berpakaian biru
dalam hati.
Sebuah seringai kejam
tersungging di mulut pemuda berpakaian biru itu. Dengan langkah pasti,
dihampirinya pembaringan Melati.
Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala terkeji bukan kepalang. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman
hidup, mereka tahu kalau pemuda berpakaian biru itu bukan kawan Melati.
Gerak-geriknya menunjukkan kalau pemuda itu mempunyai dendam terhadap putri
angkat Raja Bojong Gading itu.
Karuan saja hal itu membuat Ki
Gambala dan Raja Racun Muka Putih bingung bukan kepalang. Kalau menuruti
perasaan, keduanya ingin melesat ke arah pembaringan Melati. Tapi sayangnya,
kesempatan itu tidak dapat dilakukan. Apalagi keadaan mereka tengah terpojok.
Perasaan cemas akan
keselamatan Melati, membuat keadaan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih
semakin terdesak. Bahkan kini perhatian mereka terpecah. Dan akhirnya, Raja
Racun Muka Putih tidak kuat menanggung perasaan cemasnya ketika melihat pemuda
berpakaian biru itu membopong tubuh Melati.
"Hiyaaa...!"
Didahului sebuah teriakan
nyaring, Raja Racun Muka Putih meninggalkan kancah pertarungan. Tubuhnya
melesat ke arah pemuda berpakaian biru.
Tapi Dedemit Salju rupanya
tidak sudi memberikan kesempatan Raja Racun Muka Putih untuk mewujudkan
maksudnya. Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya mengejar.
Ngunggg...!
Sepasang senjata segi tiganya
berputar cepat menimbulkan suara mengaung. Lalu, senjata yang berada di tangan
kanannya diluncurkan cepat ke arah belakang kepala Raja Racun Muka Putih!
"Raja Racun!
Awas...!" teriak Ki Gambala keras ketika melihat bahaya maut yang tengah
mengancam Raja Racun Muka Putih. Sebenarnya, tanpa diberitahu Ki Gambala pun,
Raja Racun Muka Putih tahu kalau ada bahaya maut yang tengah mengancamnya.
Suara mengaung keras dari luncuran senjata itu jelas tertangkap telinganya.
Tanpa melihat pun, Raja Racun
Muka Putih tahu kalau serangan yang dituju oleh senjata Dedemit Salju adalah ke
arahnya. Oleh karena itu, tanpa menghentikan lompatannya karena keadaan yang
tidak menguntungkan, tubuhnya membungkuk sehingga serangan itu lewat di atas
kepala.
Tapi kejadian seperti itu
sudah diperhitung Dedemit Salju. Di saat itulah, senjata segi tiga yang berada
di tangan kiriinya disodokkan ke arah punggung!
Bukkk...!
"Huakhhh...!"
Darah segar menyembur dari
mulut Raja Racun Muka Putih ketika ujung senjata segi tiga itu mendara dengan
telak dan keras sekali dipunggungnya. Tidak hanya itu saja yang diderita Raja
Racun Muka Putih. Tubuhnya pun terjungkal ke depan. Untung di saat terakhir,
dia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke arah punggung. Kalau tidak,
mungkin sudah sejak tadi nyawanya melayang ke alam baka.
"Raja Racun...!"
jerit Ki Gambala kaget ketika melihat tubuh Raja Racun Muka Putih terpental
kemudian jatuh bergulingan di lantai. Berbarengan teriakannya Ketua Perguruan
Pedang Ular ini melompat menyusul. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah
tengkuk Dedemit Salju.
"Hmh...!"
Meskipun tubuhnya tengah
berada di udara, sementara serangan Ki Gambala tiba begitu cepat, Dedemit Salju
mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Kepalanya ditundukkan, sehingga serangan
pedang itu meluncur cepat ke atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan yang dilakukan Dedemit Salju. Pada saat kepalanya merunduk, kaki
kanannya bergerak menendang ke belakang seperti layaknya seekor kuda menendang.
Ki Gambala terperanjat melihat
datangnya serangan balasan yang sama sekali tidak diperhitungkan. Sebenarnya
kalau saja Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak kalap, hal seperti ini ada
dalam perhitungannya. Tapi kenyataan mengatakan lain. Maka....
Bukkk! "Hugh !"
Tubuh Ki Gambala terlempar
jauh ke belakang ketika kaki Dedemit Salju mendarat di perutnya, telak dan
keras sekali. Darah segar menyembur deras sepanjang melayangnya tubuh Ki
Gambala ke belakang. Luncuran tubuh Ketua Perguruan Pedang Ular itu baru
terhenti ketika menabrak dinding! Perlahan-lahan tubuh Ki Gambala merosot jatuh
ke lantai, disertai darah segar yang mengalir dari sudut-sudut mulutnya.
Ketua Perguruan Pedang Ular
itu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Memang, nyawa Ki Gambala telah
meninggalkan raga saat tubuhnya tengah melayang di udara.
***
"Hup !"
Begitu kedua kakinya mendarat
di lantai, Dedemit Salju langsung melesat keluar melalui jendela. Memang,
pemuda berpakaian biru itu telah kabur meninggalkan tempat itu sambil membopong
tubuh Melati.
Sesampainya di luar jendela,
Dedemit Salju langsung menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Barangkali
saja masih bisa melihat bayangan tubuh pemuda berpakaian biru. Tapi harapannya
tidak terkabul. Tidak nampak sepotong tubuh pun yang terlihat walaupun sepasang
matanya telah berkeliling.
"Keparat ! Siapa pemuda
yang berani menculik calon
korbanku...!" desis
Dedemit Salju penuh geram. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman.
Setelah puas mengucapkan
sumpah serapah, Dedemit Salju kembali masuk ke dalam ruangan tempat tubuh Raja
Racun Muka Putih dan Ki Gambala tergolek.
"Hm. !"
Dengan ujung kakinya Dedemit
Salju membalikkan tubuh Raja Racun Muka Putih yang tertelungkup di lantai,
hingga menelentang. Sesaat diperhatikannya keadaan tubuh Raja Racun Muka Putih.
Pandang matanya yang tajam langsung bisa mengetahui kalau kakek berpakaian
merah itu telah tewas!
Tapi untuk lebih menyakinkan
hati, kakinya diletakkan di atas dada Raja Racun Muka Putih, kemudian
ditekannya. Terdengar suara gemeretak keras dari tulang- tulang dada yang
hancur, diiringi mengalirnya darah segar dari mulut, hidung, dan telinga Raja
Racun Muka Putih.
Tanpa mempedulikan keadaan
Raja Racun Muka Putih lagi, Dedemit Salju melangkah menghampiri tubuh Ki
Gambala. Hanya sekilas saja dapat diketahui kalau Ki Gambala telah tewas.
Dengan langkah dan sikap
tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa, Dedemit Salju melangkah
meninggalkan ruang itu. Tapi baru juga beberapa langkah keluar dari ambang
pintu, langkahnya berhenti.
"Berhenti...! Siapa
kau?! Mengapa berkeliaran
di sini ?!"
Dedemit Salju menolehkan
kepala ke kanan, arah asal suara itu. Tampak olehnya dua sosok tubuh, yang
terdiri dari seorang wanita berpakaian merah menyala dan laki-laki berpakaian
seragam Perguruan Pedang Ular. Mereka ini tak lain dari Karmila dan Rupangki.
Sebenarnya Karmila dan
Rupangki sudah sejak tadi mendengar adanya ribut-ribut. Tapi karena percaya
pada adanya Ki Gambala, terpaksa mereka berpura-pura tidak mendengar. Bahkan
terus tenggelam dalam lautan asamara.
Baru setelah berakhir, mereka
melesat keluar untuk melihat keributan yang tengah terjadi. Saat itulah
Rupangki dan Karmila melihat Dedemit Salju tengah beranjak keluar dari tempat
penjagalannya.
Rupangki dan Karmila
menghentikan langkah ketika telah berjarak tiga tombak dari Dedemit Salju.
Kini, mereka saling berdiri berhadapan. Dan dengan hati curiga, Rupangki
melirik ke arah ruangan yang baru ditinggalkan Dedemit Salju.
"Mereka semua sudah
kubunuh...!" kata Dedemit Salju yang melihat lirikan mata Rupangki.
"Bohong...! Kau bohong...!"
teriak Karmila gemetar. "Orang sepertimu mana bisa membunuh mereka!"
Kontan sepasang mala Dedemit Salju berkilat karena amarah yang melanda. Memang,
dia paling tidak suka jika ada orang yang meragukan kemampuannya.
"Kalau tidak mengingat
kau adalah wanita, sudah kulenyapkan nyawamu, Nisanak!" kata Dedemit Salju
geram.
"Tenanglah,
Karmila," tegur Rupangki pelan seraya menoleh wanita yang telah menjadi
istrinya ini.
"Kalau kalian tidak
percaya, silakan lihat sendiri!" tandas Dedemit Salju yang merasa tersinggung
karena ucapannya tidak dipercaya.
Usai berkata demikian, Dedemit
Salju menggeser tubuh, memberi jalan pada Rupangki dan Karmila untuk melihat ke
dalam ruangan.
Rupangki dan Karmila tahu
maksud Dedemit Salju. Tapi, mereka tentu saja tidak langsung percya.a Mereka
merasa khawatir kalau Dedemit Salju akan menggunakan kesempatan itu untuk
membokong mereka. Oleh karena itu, Rupangki menyuruh Karmil berjalan lebih
dulu. Sedangkan dia berjalan di belakangnya, dengan sepasang mata mengawasi
semua gerak-gerik Dedemit Salju.
Tapi kekhawatiran Rupangki
ternyata tidak beralasan. Dedemit Salju sama sekali tidak menggunakan
kesempatan itu, dan malah berdiri tenang.
Ki…!"
Jerit keterkejutan Karmila
membuat Rupangki melupakan perhatiannya terhadap Dedemit Salju. Kepala pemuda
tinggi kurus ini menoleh pula ke dalam. Seketika itu pula, Rupangki terpaku di
tempat. Sepasang matanya membelalak lebar seakan-akan tidak percaya akan apa
yang dilihatnya. Bahkan kedua kakinya pun menggigil keras. Memang, pemandangan yang
terlihat terlalu mengejutkan.
Rupangki terpukul bukan
kepalang. Baru kemarin pagi dia dan seluruh murid Perguruan Pedang Ular
berkabung besar akibat tewasnya beberapa orang murid Perguruan Pedang Ular,
kini disaksikan sendiri kematian gurunya secara begitu mengenaskan.
"Bagaimana? Kalian masih
tidak percaya ucapanku?" sindir Dedemit Salju penuh kepuasan karena
berhasil membuktikan kebenaran ucapannya barusan.
"Jahanam...!" jerit
Rupangki keras sambil mem- balikkan tubuh. Ucapan Dedemit Salju memang telah
berhasil menyadarkannya dari keterpakuan. Kini dia menatap ke arah Dedemit
Salju dengan sinar mata memancarkan hawa maut. Sekujur tubuh Rupangki tampak
bergetar hebat karena kemarahan yang melanda. Wajahnya pun tampak merah padam
pertanda besarnya kemarahan yang melanda hati.
"Kubunuh kau...!"
Didahului jerit kemarahan yang
lebih patut raungan binatang buas terluka, Rupangki menerjang Dedemit Salju.
Dengan tubuh berada di udara, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya yang
tergantung di punggung. Lalu, pedangnya disabetkan ke arah leher kakek
berpakaian bulu binatang berwarna putih itu. Dalam kemarahan hebat yang melanda
Rupangki lupa kalau orang yang telah berhasil membunuh gurunya, pasti memiliki
kepandaian tinggi. Tentu saja dia jelas bukan tandingannya. Yang ada di benak
Rupangki hanya satu, membatas kematian gurunya.
Karmila tidak tinggal diam.
Seperti juga Rupangki, dia pun tersadar dari keterkejutannya. Maka begitu
melihat suaminya menyerang, dia pun segera mencabut pedang dan menusukkannya ke
arah perut Dedemit Salju.
"Hmh...!"
Dedemit Salju mendengus
melihat serangan tiba-tiba itu. Kemudian dengan sikap sembarangan saja kedua
tangannya digerakkan. Yang kiri diangkat ke atas melindungi leher, sedangkan
yang kanan menangkis pedang Karmila.
Takkk...takkk...!
Dua benturuan keras terdengar
ketika dua batang pedang itu berbenturan dengan tangan Dedemit Salju.
Akibatnya, tubuh Rupangki dan Karmila tedempar ke belakang saking kuatnya
tenaga yang terkandung dalam tangkisan yang diberikan Dedemit Salju.
Untung saja Rupangki dan
Karmila mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, sehingga mampu mematahkan daya
lontar pada tubuh mereka. Kedua kaki mereka langsungi mendarat di lantai
meskipun agak terhuyung.
Rupangki dan Karmila saling
berpandangan. Mereka berdua tahu, lawan memiliki kepandaian yang luar biasa.
Hasil dari benturan itulah yang telah membuktikan. Tampak jelas Dedemit Salju
sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan mereka tadi. Jangankan terhuyung,
tangannya bergetar saja pun tidak. Padahal kedudukan Dedemit Salju tidak lebih
menguntungkan dibandingkan kedudukan Karmila dan Rupangki.
Sedangkan Rupangki dan Karmila
merasakan tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Untung saja mereka
berhasil mempertahankan pedang, sehingga tidak jatuh ke lantai.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Salju hanya tertawa
terkekeh melihat sikap kedua orang lawannya. Kesempatan itu sama sekali tidak
dipergunakan untuk melancarkan serangan. Jelas kalau Dedemit Salju sama sekali
tidak memandang Karmila dan Rupangki sebagai lawan yang perlu diperhitungkan.
Karmila dan Rupangki tahu,
lawan memiliki ke- pandaian berada di atas mereka. Tapi hal itu tidak
menjadikan gentar karenanya. Setelah saling berpandangan, keduanya kembali
menatap ke arah Dedemit Salju sejenak. Lalu....
"Hiyaaat...!" seru
Karmila keras.
Wanita itu menusukkan
pedangnya bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati dan dada. Cepat bukan main
serangannya sehingga batang pedangnya lenyap bentuknya. Yang terlihat hanyalah
seleret sinar menyilaukan yang meluncur ke arah Dedemit Salju.
"Haaat...!"
Rupangki berseru tak kalah
keras. Dia melompat ke atas, dan bersalto beberapa kali di udara melewati
kepala Dedemit Salju. Kemudian dari belakang, batang pedang lemasnya yang
bergetar langsung mengancam berbagai bagian tubuh belakang lawan.
Dedemit Salju hanya
menyeringai melihat serangan ini. Sebuah rencana keji terlintas di benaknya
melihat serangan yang mengancamnya dari dua jurusan itu. Serangan-serangan
ditunggunya hingga menyambar dekat.
Baru ketika kedua serangan itu
menyambar dekat, Dedemit Salju menjatuhkan tubuhnya di lantai. Tangan kanannya
diulur, menangkap pedang Rupangki. Sedangkan tangan kirinyanya diulur menangkap
pedang Karmila.
Tappp...! Tappp...! Secepat
kedua tangannya mencekal senjata kedua lawannya, secepat itu pula
disentakkannya. Tak tanggung- targgung lagi, hampir seluruh tenaga dalam
dikerahkan untuk keberhasilan rencana kejinya.
Karmila dan Rupangki mana
mampu bertahan. Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu pun terbawa tarikan.
Dan....
Cappp...! Blesss...!
"Akh...! Akh...!"
Rupangki dan Karmila saling
berpandangan dengan sepasang mata terbelalak dan wajah pucat. Betapa tidak?
Pedang di tangan Rupangki menembus perut Karmila, dan begitu pula sebaliknya.
"Karmila...," ucap
Rupangki pelan dan terputus-putus. Sepasang mata laki-laki muda itu menatap ke
arah pedang miliknya yang menembus-perut Karmila. Pandangan matanya tampak
penuh penyesalan. Tampak darah segar
menyembur dari bagian yang
terluka. "Rupangki...," sebut Karmila pula.
Hanya ucapan itu yang keluar
dari mulut Karmila dan Rupangki, karena sesaat kemudian tubuh mereka ambruk ke
lantai. Nyawa sepasang pengantin baru itu telah melayang meninggalkan raga saat
itu juga. Memang, luka-luka yang diderita terlalu parah. Pedang-pedang itu menembus
hingga sampai ke punggung.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Salju tertawa bergelak
penuh kegembiraan melihat keberhasilan rencananya. Tawanya tak berhenti
sekalipun sudah berjalan keluar meninggalkan ruang itu. Tawa yang keras
menggelegar dan membuat suasana tempat itu bergetar hebat, karena Dedemit Salju
mengerahkan tenaga dalamnya pada suara tawa itu.
Sesaat kemudian suasana di
tempat Itu pun he nlng. Tidak ada lagi suara teriakan-teriakan kematian atau
denting senjata beradu. Kegelapan yang mulai turun menyelimuti bumi mengiringi
kepergian Dedemit Salju yang telah menjagal belasan orang di Perguruan Pedang
Ular.
Sungguh menyedihkan peristiwa
yang menimpa Perguruan Pedang Ular. Perguruan aliran putih yang ditakuti lawan
dan disegani kawan itu kini telah musnah, di tangan Dedemit Salju.
65
Matahari sudah sejak tadi
menampakkan dirinya. Tapi meskipun begitu, sinarnya masih terasa nikmat di
kulit. Langit tampak cerah, tak ada awan yang tampak bergumpal di sana.
Dalam suasana seperti itulah,
Arya melesat cepat menuju Perguruan Pedang Ular. Memang, dia telah mengambil
keris milik Brajageni yang disimpannya. Arya harus mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, untuk segera tiba di
Perguruan Pedang Ular.
Dewa Arak melakukan perjalanan
tanpa mengenal waktu. Perjalanannya hanya berhenti kalau kedua kakinya sudah
tidak sanggup lagi melangkah. Makan pun apabila perutnya sudah menjerit-jerit
minta diisi. Demikian pula halnya dengan tidur. Sepasang matanya dipejamkan
apabila sudah tidak bisa terbuka lagi.
Karena itu, tidak aneh kalau
dalam dua hari saja keadaan Dewa Arak berubah banyak. Wajahnya terlihat layu
dan kuyu. Sepasang matanya pun merah karena kurang tidur. Rambutnya yang putih
panjang dan meriap, tampak awut-awutan tak terurus. Tapi, Dewa Arak tidak
mempedulikan hal itu. Keadaan dirinay tidak dipikirkan lagi. Yang ada di
benaknya hanya Melatri dan Melati!
Langkah kaki pemuda berambut
putih keperakan ini semakin cepat ketika melihat pagar kayu bulat yang
mengelilingi Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
"Tunggulah, Melati. Aku
datang untuk menebus obat untukmu...," ucap Arya dalam hati seraya terus
melangkah.
Sebenarnya, Dewa Arak merasa
berat untuk menyerahkan keris yang diketahuinya amat berbahaya ini ke tangan
Raja Racun Muka Putih. Apalagi ketika diketahuinya kalau keris itu terbuat dari
benda langit, dan itu didengarnya dari mulut Raja Racun Muka Putih sendiri,
maka Dewa Arak semakin tidak ingin untuk memberikan keris itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya
pilihan lain lagi. Nyawa Melati lebih dari segalanya. Jangankan hanya sebuah
keris. Seribu keris pun akan direlakannya kalau memang dapat digunakan untuk
menyembuhkan Melati.
Semakin lama, jarak antara
Arya dengan markas Perguruan Pedang Ular semakin dekat. Dan seiring semakin
dekat jaraknya, mulai tampak ada kernyitan di dahi Arya ketika melihat jelas
markas Perguruan Pedang Ular.
Memang, meskipun jaraknya
masih tersisa lebih dari dua puluh tombak, tapi sepasang mata Dewa Arak yang
tajam bisa melihat adanya keanehan pada markas Perguruan Pedang Ular. Pintu
gerbang Perguruan Pedang Ular terbuka lebar, padahal tidak ada satu pun murid
perguruan yang berada di luar. Begitu cerobohkan mereka? Atau jangan- jangan
telah terjadi sebuah peristiwa besar lagi di perguruan itu?
Perasaan tidak enak seketika
melanda hati Arya, ketika terpikir kemungkinan terjadinya peristiwa tidak
diinginkan di Perguruan Pedang Ular. Tapi segera hatinya dihibur dengan
menimbulkan keyakinan, siapa yang berani mengusik Perguruan Pedang Ular yang
berada di bawah pimpinan Ki Gambala? Belum lagi dengan adanya Raja Racun Muka
Putih yang kelihaiannya telah diketahui. Ah..., jangan- jangan malah Raja Racun
Muka Putih yang mengacau?
"Tidak mungkin!"
bantah Arya dalam hati.
Dewa Arak tahu betul, Raja
Racun Muka Putih amat menginginkan keris benda langit ini. Tidak mungkin kalau
kakek berpakaian merah itu akan melakukan perbuatan yang tidak-tidak.
Dengan pikiran-pikiran yang
berkecamuk dalami benaknya, Arya terus melangkahkan kakinya dengari kecepatan
tinggi. Sehingga, tak lama kemudian dia telah berada di depan pintu gerbang
yang terbuka lebar.
Sepasang mata Arya terbelalak
seketika. Belum sempat kakinya melangkah melewati ambang pintu gerbang,
pemandangan yang membuat kekhawatirannya memuncak terpampang di hadapannya.
Belasan sosok tubuh yang dari pakaiannya dikenalinya betul sebagai murid-murid
Perguruan Pedang Ular, tampak bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa!
"Iblis keji dari mana
yang melakukan semua ini...?!" desis Arya, geram. Tanpa mempedulikan
mayat-mayat yang bergeletakan, Dewa Arak segera melesat cepat ke salah satu
bangunan. Kekhawatirannya akan nasib Melati yang menyebabkan pemuda berambut
putih keperakan itu tidak lagi meneliti mayat-mayat yang bergeletakan. Dewa
Arak begitu khawatir akan terjadinya hal yang tidak diinginkan pada gadis yang
dicintainya.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, Dewa Arak telah berada di dalam. Tapi langkah kakinya kontan
terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada dua sosok tubuh yang tergolek di
lantai bermandikan darah.
Arya merasakan kedua kakinya
menggigil ketika melihat dua sosok tubuh itu. Sesaat dia berdiri terpaku dengan
jantung terasa diremas-remas. Kemudian, kaki- kakinya yang menggigil diayunkan
menghampiri.
"Rupangkiii...!
Karmilaaa...!" jerit Dewa Arak dengan hati pilu ketika yakin kalau dua
sosok mayat yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu benar-benar Rupangki dan
Karmila.
Arya membungkukkan tubuhnya,
dan menatap ke arah mayat Rupangki dan Karmila. Bahunya tampak
terguncang-guncang karena perasaan haru dan kesedihan yang melanda. Hati Arya
bagai ditusuk pisau karatan melihat keadaan mayat sepasang pengantin baru itu.
"Rupangki...,
Karmila..., betapa buruknya nasib kalian," ratap Arya serak
karena cekaman perasaan haru membuat tenggorokannya terasa tercekik. "Aku
bersumpah, Karmila, Rupangki.... Akan kucari Iblis yang telah berlaku sekejam
ini pada kalian... Akan kubalaskan sakit hati kalian!" Arya mengepalkan
kedua tangannya. Suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang
patah terdengar keras ketika jari-jari tangannya mengepal. Bahkan dari sekujur
tubuh, terutama sekali ubun-ubunnya, keluar asap berwarna putih. Ini menandakan
kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari' telah
mengalir keluar karena cekaman
kemarahan yang melanda.
Tapi berbeda dengan biasanya,
asap yang keluar tidak lagi
tipis tapi agak tebal dan banyak. Arya yang
tengah larut dalam
keharuan, kesedihan,
dan kemarahan hebat, sama
sekali tidak mengetahuinya. Andaikan
melihat, dia akan
merasa heran karena
hal itu berarti 'Tenaga Sakti
Inti Matahari' nya telah bertambah kuat. Tenaganya telah maju pesat!
Memang, tanpa diketahui Arya,
masuknya belalang raksasa ke dalam tubuhnya bukan tanpa pengaruh apa-apa.
Setiap kali belalang raksasa itu masuk dalam tubuhnya, dan Arya menggunakannya
dalam pertarungan, maka akibatnya akan menjadi luar biasa! Hanya saja, pemuda
itu tidak mengetahuinya.
Mendadak Arya tersentak kaget
ketika teringat kembali pada Melati. Apakah kekasihnya itu pun mengalami
kejadian yang serupa,
tewas seperti halnya
murid-murid
Perguruan Pedang Ular
dan
Karmila?! Siapakah sebenarnya
pembunuh keji itu? Dan ke mana perginya
Ki
Gambala dan Raja Racun Muka
Putih? Berbagai
macam pertanyaan bergayut di
benak
Dewa Arak.
Teringat
kembali akan Melati, membuat
Arya bergegas bangkit. Dengan detak
jantung
memukul-mukul keras, kakinya
melangkah menghampiri ruangan yang diketahuinya sebagai tempat Melati dulu
dibaringkan.
"Hugh...!"
Suara keluhan tertahan keluar
dari mulut Arya ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Tanpa
sadar, kakinya melangkah mundur ke belakang.
Wajah pemuda berpakaian ungu ini nampak pucat pasi. "Ki Gambala...
Raja Racun Muka Putih...," desis Arya dengan bibir bergetar ketika melihat
mayat dua orang kakek sakti berbeda aliran tergeletak di lantai.
Rasa khawatir yang amat sangat
menjalari hati Arya. Kedua orang sakti yang bertugas menjaga keselamatan Melati
kini telah tewas. Lalu, bagaimana nasib Melati?
Cepat laksana kilat, Arya
melesat ke arah pemba- ringan Melati. Tapi, yang dijumpainya hanyalah
pembaringan itu tanpa Melati ada di sana!
"Melati...," desis
Arya dengan kekhawatiran menggelegak. Kecemasannya akan nasib Melati membuatnya
tidak ingat lagi akan mayat Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih.
"Melati! Melati...!
Melati...!"
"Melati! Melati...!
Melatiii...!"
Teriak Arya bagai orang gila!
Kekhawatiran yang mendera hatinya akan keselamatan Melati, membuat pendekar
muda itu tidak bisa mengendalikan diri.
Dewa Arak terus berteriak-teriak,
memanggil nama kekasihnya. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari. Sementara,
kedua kakinya terus mondar-mandir!
Arya kini bagaikan orang gila!
Kekhawatiran yang mendera hati akan keselamatan Melati, membuatnya tidak bisa
mengendalikan diri. Pemuda berambut pulih keperakan itu berteriak-teriak,
memanggil-manggil nama kekasihnya seperti orang gila. Kepalanya ditolehkan ke
sana-kemari. Sementara, kedua kakinya melangkah mondar mandir ke sekeliling
kamar itu.
Dalam puncak kekhawatiran yang
melanda hati, akal sehat Dewa Arak menguap entah ke mana. Dia terus saja
berteriak-teriak memanggil nama kekasihnya disertai pengerahan seluruh tenaga
dalamnya. Sehingga, membuat ruangan sekitar tempat itu bergetar hebat seperti
akan rubuh. Kalau saja Arya mau menggunakan akal sehatnya sebentar, pasti akan
tahu kalau teriakannya itu sia-sia saja. Karena, Melati saat itu tengah tidak
sadarkan diri. Jadi mana mungkin pergi seorang diri. Lalu, siapa orang yang
membawanya. Akhirnya setelah memanggil-manggil dan berkeliling beberapa saat
lamanya tanpa hasil, Arya menyadari kalau usahanya tidak ada gunanya.
Tindakannya dihentikan dan berdiri dengan kedua lututnya. Siku kedua tangannya
ditelekankan di pembaringan. Sedangan kedua telapak tangannya bertengger di
dagu.
Cukup lama juga Arya bertopang
dagu seperti itu. Napasnya ditariknya dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat
untuk menenangkan hati. Disadari, kalau tidak bisa bersikap tenang, maka
pikirannya akan buntu. Arya membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk bisa
menenangkan diri.
Baru setelah hatinya mulai
tenang, Dewa Arak mulai berpikir. Dan kini, mulai bisa didapatkan adanya sebuah
harapan kalau Melati belum tewas. Gadis bin pakaian putih itu kemungkinan besar
masih hidup! Ketidakberadaan mayat Melati di situ, telah menimbulkan sebuah
harapan di hatinya. Melati pasti tidak dibunuh!
Dengan adanya dugaan seperti
itu, semangat Arya timbul kembali. Bergegas diperhatikannya keadaan sekeliling
kamar itu. Karena dilakukannya dengan pikiran tenang, Dewa Arak mulai bisa
menarik kesimpulan. Dan itu didapatkan dari daun jendela yang hancur
berantakan.
"Pembunuh itu pasti masuk
dari jendela...," desis Arya dalam hati.
Semangat Arya semakin berkobar
begitu melihat adanya titik terang untuk mengungkapkan peristiwa pembunuhan
besar-besaran itu. Tak puas dengan hasil penyelidikan yang didapat, Arya
mengedarkan pandangan sekeliling ruangan itu. Sampai akhirnya, sepasang matanya
tertumbuk pada mayat Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala.
Perlahan-lahan Arya melangkah
menghampiri. Yang ditujunya lebih dulu adalah mayat Raja Racun Muka Putih,
karena letaknya memang lebih dekat. Dengan sepasang mata yang terus tertuju
pada mayat kakek berpakaian merah itu, tubuhnya membungkuk kemudian
diperiksanya mayat Raja Racun Muka Putih.
"Keji...!" desis
Arya ketika mengetahui sekujur tulang dada Raja Racun Muka Putih hancur
berantakan.
Dewa Arak merasa terpukul
bukan kepalang melihat Raja Racun Muka Putih telah tewas. Karena hanya kakek
itulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan nyawa Melati. Lalu, sekarang
bagaimana nasib Melati kalau Raja Racun Muka Putih telah tewas? Mendadak
pandangan mata Arya melihat adanya sesuatu yang mirip tulisan di lantai yang
tidak tertutupi mayat Raja Racun Putih.
Dengan hati berdebar tegang,
Dewa Arak memin- dahkan mayat Raja Racun Putih. Sekarang jelas ter lihat,
sesuatu yang mirip tulisan. Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak salah. Itu
memang tulisan yang ditulis dengan darah. Dan sudah pasti, tulisan itu
menggunakan ujung jari untuk mengguratkannya. Dan menilik dari lantai yang
tergurat cukup dalam, bisa diketahui kalau Raja Racun Muka Putih menggunakan
tenaga dalam sewaktu menuliskannya.
Dewa Arak....
Pelaku pembunuhan ini adalah
Dedemit Salju. Melati dibawa kabur oleh pemuda berbaju biru.
Obat untuk menyembuhkan
Melati, pil yang berwarna
merah.
Usai membaca tulisan terakhir
Raja Racun Muka Putih, Arya merasakan betapa sepasang matanya panas dan
berkaca-kaca. Rasa haru melanda hatinya. Sungguh tidak disangka kalau Raja
Racun Muka Putih akan bertindak demikian. Di akhir hayatnya, dia masih sempat
memberitahukan pelaku semua pembunuhan itu dan obat untuk kekasihnya.
"Terima kasih, Raja Racun
Muka Putih. Tidak ku- sangka kalau kau mempunyai hati yang begitu luhur. Kau
ternyata memegang janjimu, membela Melati sampai akhirnya menjadi tewas
karenanya. Sayang sekali, aku tidak bisa membalas budimu "
Usai berkata
demikian, Arya kembali membungkuk.
Diperhatikannya sejenak mayat
Raja Racun Muka Putih. "Maaf,
Raja Racun Muka
Putih. Aku terpaksa
mengambil sendiri obatnya. Aku
yakin, kau tidak akan menganggap tindakanku ini sebagai suatu
kelancangan," kata Arya seraya mengulurkan tangannya ke balik baju kakek itu.
Buru-buru Arya membuka ikatan
buntalan itu. Tapi, di dalamnya ternyata bukan berisi pil berwarna merah tapi,
obat pulung berwarna coklat. Arya menyingkirkan buntalan kain itu, kemudian
dimasukkan kembali tangannya ke balik pakaian Raja Racun Muka Putih.
Dikeluarkan lagi beberapa macam buntalan kain hitam, sampai akhirnya menemukan
pil berwarna merah yang dimaksud.
Buru-buru Arya mengikatkan
buntalan kain hitam yang berisikan pil berwarna merah itu ke balik ikat
pinggangnya.
"Raja Racun Muka
Putih..., dengarlah! Aku berjanji akan membalas pedakuan keji Dedemit Salju
pada dirimu. Dia akan kukirim ke neraka selama-lamanya!" janji Arya
setelah berdiri tegak kembali. Dan janji yang sama diucapkannya di hadapan
mayat Ki Gambala. 8
Arya berdiri dengan kepala
tertunduk. Sepasang matanya menatap ke arah gundukan-gundukan tanah yang berjajar
di bawah kakinya, yang berisikan seluruh mayat- mayat yang ada di Perguruan
Pedang Ular. Memang, Arya telah menguburkan semua mayat itu.
"Hhh...!"
Entah untuk yang keberapa
kalinya, pemuda be- rambut putih keperakan itu menghela napas berat. Peluh yang
membasahi leher dan keningnya sama sekali tidak dipedulikan. Sepasang matanya
menatap ke arah gundukan- gundukan tanah berisi mayat dengan sorot mata duka.
Kemudian setelah menghembuskan
napas berat kembali. Dewa Arak melangkah lesu meninggalkan tempat itu. Hatinya
benar-benar terpukul. Dia merasa bersalah bukan kepalang setelah mengetahui
kalau pelaku semua pembantaian ini adalah Dedemit Salju. Dewa Arak tahu, biang
iblis yang amat sakti itu pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk menjumpai
dirinya untuk membalas dendam. Jadi, semua kejadian berdarah di Perguruan
Pedang Ular ini terjadi karena dirinya. Dan inilah yang membuat Arya merasa
terpukul.
Kini yang dapat dilakukannya
hanyalah membalaskan sakit hati semua orang yang terbunuh pada Dedemit Salju. Dan
itulah yang menjadi penyebab mengapa Arya bergegas meninggalkan markas
Perguruan Pedang Ular.
Matahari mulai condong ke
Barat ketika Dewa Arak telah melewati ambang pintu gerbang Perguruan Pedang
Ular. Dan setibanya di sini, Arya tidak melangkah perlahan-lahan lagi. Tapi,
dikerahkannya seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Maka sekejap
kemudian, yang terlihat hanyalah seleret sinar berwarna ungu yang melesat cepat
meninggalkan Perguruan Pedang Ular.
Sambil terus berlari cepat
benak Arya berputar keras. Siapakah pemuda berpakaian biru yang telah membawa
kabur Melati? Padahal Melati tengah keracunan dan tidak sadarkan diri. Dan
keadaan Melatilah yang membuat kecemasan hati Arya semakin menjadi-jadi. Dia
harus secepatnya menemukan Melati dan memberikan obatnya. Perasaan cemas akan
keselamatan Melati, membuat Arya memutuskan untuk mencari pemuda berbaju biru
lebih dulu. Masalah membalas dendam pada Dedemit Salju, bisa belakangan.
Karena Arya berlari
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, sebelum kegelapan menyelimuti
persada, dia telah mencapai batas tembok Desa Layang. Desa yang paling dekat
letaknya dengan markas Perguruan Pedang Ular. Memang, letak perguruan itu cukup
jauh dari desa-desa sekitarnya.
Sesampainya di sini, Arya
menghentikan larinya. Dia tidak mau menarik perhatian orang dengan lari secepat
itu. Kakinya melangkah perlahan-lahan, walaupun keinginan hati untuk cepat tiba
menemukan Melati begitu menggebu-gebu. Sepasang mata Arya beredar berkeliling,
memperhatikan suasana sekelilingnya.
Arya berharap ada orang yang
berada di luar agar bisa menanyakan perihal pemuda berpakaian biru. Barangkali
saja mereka melihatnya. Setidak-tidaknya, dengan adanya petunjuk, betapapun
sedikitnya, dapat dijadikan pedoman untuk pencarian selanjutnya daripada
mencari-cari tanpa petunjuk sama sekali.
Tapi harapan Dewa Arak
ternyata tidak terkabul. Tidak ada seorang pun penduduk yang berada di luar.
Bahkan semua pintu dan jendela tertutup rapat. Nampaknya para penduduk lebih
suka berada di dalam rumahnya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat.
Perasaan kecewa yang melanda, menyebabkannya bersikap begitu. Tapi meskipun
demikian, dia tidak putus asa. Tetap saja kepalanya ditolehkan ke sana-kemari
untuk mencari cari barangkali saja ada orang yang masih berada di luar.
Entah berapa jauh melangkah
perlahan-lahan begitu, Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Yang ada di
pikirannya hanya satu. Dia harus menemukan orang agar bisa bertanya mengenai
keberadaan pemuda berbaju biru.
Langkah Arya terhenti ketika melihat
sebuah kedai yang masih buka. Samar-samar terdengarnya suara pembicaraan orang
di dalamnya. Jelas, di dalam kedai itu masih ada pengunjungnya. Aryn tertegun
sejenak. Haruskah dia masuk ke dalam kedai itu dan bertanya pada mereka? Ah!
Kenapa begitu bodoh! Bukankah perutnya sudah lama tidak diisi, dan isi guci
araknya pun tinggal sedikit? Dia bisa bertanya pada mereka sambil memesan
makanan dan minuman.
Dengan harapan yang mulai
menyala dalam hati, Arya melangkah memasuki kedai. Di ambang pintu pemuda
berambut putih keperakan itu menghentikan langkah. Pandangannya langsung
beredar ke sekeliling dalam kedai.
Rupanya pengunjung yang hanya
berjumlah tiga orang mendengar kedatangan Dewa Arak. Salah seorang pengunjung
kedai yang duduknya menghadap ke pintu, tentu saja melihat kedatangan Arya.
Sesaat sepasang matanya terbelalak ketika melihat rambut Dewa Arak. Jelas, dia
merasa kaget melihat seorang pemuda seperti Arya mempunyai warna rambut yang
seharusnya hanya dimiliki orang berusia lanjut.
Melihat rekannya bersikap
demikian, dua orang laki- laki yang duduk di hadapannya tentu saja menjadi
heran. Mereka pun menoleh ke arah yang sama. Dan..., sepasang mata kedua orang
ini pun terbelalak.
Arya tentu saja mengetahui
penyebab kekagetannya ketiga orang itu. Memang, tak jarang warna rambutnya yang
aneh itu menarik perhatian orang. Dan dia tidak menjadi heran melihat sikap
mereka. Kalau saja Arya tidak tengah dilanda perasaan cemas, mungkin sudah
merasa geli melihat pemandangan ini. Ketiga mulut melongo. Sedangkan tangan-
tangan mereka yang tengah mengangkat gelas atau menyuapkan makanan terhenti di
udara.
Arya menganggukkan kepala
sambil menyunggingkan senyum lebar.
"Selamat malam, Kisanak
semua...," ucap pemuda berambut putih keperakan sopan.
"Selamat malam...,"
sambut tiga orang itu agak tergesa-gesa dan terbata-bata.
Sadar akan ketidakpantasan
sikap yang diperlihatkan, tiga orang itu buru-buru meneruskan makan minum
mereka yang tadi terhenti di tengah jalan.
Arya melangkah mendekati meja
ketiga orang itu. Pandangan matanya yang tajam langsung bisa menebak kalau
ketiga orang itu adalah pemburu-pemburu. Ini bisa diketahui dari berbagai macam
senjata yang menghiasi tubuh mereka, yang terbungkus pakaian dari kulit
binatang.
Arya lalu duduk di kursi yang
berdekatan dengan meja mereka itu dilakukan agar tidak mengalami kesulitan
apabila mengajukan pertanyaan pada mereka.
Seorang laki-laki setengah
baya bertubuh kurus kering bergegas menghampiri meja Arya.
"Mau pesan apa,
Den?" tanya laki-laki kurus kering itu sopan.
"Arak seguci besar, dan
ayam panggang, Ki," sebut Arya memesan makanan kegemarannya.
Laki-laki bertubuh kurus
kering itu melengak se- bentar. Arak seguci besar? Tidak gilakah pemuda
berambut putih keperakan ini? Dia bisa mabuk berat apabila benar- benar meminum
arak sebanyak itu!
Bukan hanya pemilik kedai itu
yang kebingungan, tiga orang laki-laki pengunjung kedai yang rata-rata berwajah
kasar dan bertubuh tegap itu pun menoleh, karena merasa heran mendengar
permintaan Arya.
"Seguci besar arak, Den?"
tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu untuk memastikan kalau dirinya tidak
salah dengar.
Arya menganggukkan kepala,
pertanda membenarkan. Kini pemilik kedai itu tidak ragu-ragu lagi. Walaupun
benaknya dipenuhi keheranan, tubuhnya segera berbalik. Dia kini siap menuju ke
belakang untuk menyiapkan pesanan
pemuda berpakaian ungu itu,
Tapi....
"Tunggu sebentar, Ki !"
"Ada apa, Den?"
tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu sambil membalikkan tubuh.
"Apakah kau melihat
seorang pemuda berpakaian biru yang membawa seorang gadis berpakaian
putih?!" tanya Arya penuh harap.
Laki-laki bertubuh kurus
kering itu mengernyitkan dahinya sejenak sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali.
Den." jawab pemilik kedai itu dengan nada suara penuh penyesalan karena
tidak bisa menjawab pertanyaan Arya. "Aku tidak melihatnya !"
"Tidak mengapa, Ki,"
sambut Arya buru-buru.
Pemilik kedai itu kembali
membalikkan tubuhnya dan berjalan ke dalam untuk menyiapkan pesanan Arya.
"Mengapa kau mencari pemuda berpakaian biru, Kisanak?" tanya salah
seorang dari tiga laki-laki bertubuh tegap itu.
"Karena, dia telah
menculik kawanku, Kisanak," jawab Arya seraya menatap wajah penanyanya,
seorang laki-laki bertubuh tegap dengan sebuah codet melintang di dahi.
Laki-laki bercodet itu
mengangguk-anggukkan kepala.
Entah apa maksud anggukannya.
"Apakah kau melihatnya,
Kisanak?" tanya Arya iseng. Barangkali saja orang itu atau kawannya pernah
mengetahui, atau setidak-tidaknya melihat pemuda berpakaian biru itu.
Laki-laki bercodet itu saling
berpandangan dengan dua rekannya sejenak. Karuan saja hal itu membuat Arya
heran. Mengapa laki-laki bercodet itu bukannya menjawab pertanyaan, tapi malah
saling berpandangan dengan dua orang rekannya?
"Kami memang
melihatnya.... Dia sepertinya tergesa- gesa sekali," jawab laki-laki
bercodet ketika melihat kedua temannya mengangkat bahu, pertanda tidak mau ikut
campur.
Kini Arya mengerti. Laki-laki
bercodet itu rupanya meminta pertimbangan rekannya.
"Di mana kau melihatnya,
Kisanak?" tanya Arya penuh gairah.
Laki-laki bercodet itu tidak
langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih
keperakan itu lekat-lekat. Ada senyum yang tersungging di mulutnya.
"Apa imbalannya kalau
kami memberitahukan tempat kami bertemu pemudia berbaju biru itu?" tani
tang laki-laki bercodet itu.
"Apa yang kalian
inginkan?" Arya malah balas bertanya setelah beberapa saat lamanya
tercenung.
"Kami hanya ingin agar
kau bersedia mengajarkan ilmu silat pada kami, Dewa Arak," jawab laki-laki
bercodet itu dengan senyum di bibir.
Arya terperanjat mendengar
permintaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Apalagi ketika
didengarnya laki-laki bercodet itu menyebutkan julukannya.
"Bukankah kau Dewa
Arak?" tanya laki-laki bercodet itu lagi untuk memastikan kebenaran
dugaannya. Dengan senyum getir yang mengembang di bibir Arya menganggukkan
kepalanya.
Tanpa perlu bertanya pun, dia
tahu mengapa ketiga orang itu mengetahui kalau dirinya adalah Dewa Arak. Ciri-
cirinya memang terlampau menyolok. Dalam ribuan pemuda di dunia ini, bukan
tidak mungkin hanya dia sendirian yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
"Bagaimana, Dewa
Arak!" Kau bersedia menerima syaratku?" desak laki-laki bercodet
penuh gairah.
"Tidak perlu kau turuti
permintaannya yang konyol itu, Dewa Arak?" sergah laki-laki yang berhidung
besar. "Kalau dia tidak mau memberitahukannya, aku yang akan
memberitahukannya padamu."
Arya tersenyum lebar.
"Siapa pun yang
memberitahukannya padaku di antara kalian bertiga, aku tetap akan mengajarkan
kalian beberapa gerakan ilmu silat"
"Benarkah demikian. Dewa
Arak?!" hampir berbareng tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu
mengucapkan pertanyaannya.
"Benar! Tapi, aku tidak
bisa mengajarkan kalian sekarang," janji Arya.
"Kapan kau siap, kami pun
siap, Dewa Arak," mantap dan tegas jawaban yang dikeluarkan laki-laki
berwajah codet, meskipun ada perasaan malu yang bersemayam di hati melihat
kebijaksanaan Arya.
"Ya! Kami tinggal di Desa
Sampan. Tanyakanlah nama Benggala. Semua orang akan tahu."
"Baik. Akan kuingat
tempat dan nama kalian. Lalu, di manakah kalian bertemu pemuda berbaju biru
itu?"
"Di Hutan Gelugut. Dia
menuju ke arah Barat," jawab laki-laki bercodet.
"Hutan Gelugut?"
Arya mengernyitkan keningnya. "Di mana letaknya?"
"Kau hanya tinggal menuju
ke arah Barat terus, Dewa Arak. Dan hutan yang akan kau jumpai nanti itulah
adalah Hutan Gelugut," kali ini laki-laki berhidung besar yang
menjawabnya.
"Terima kasih,
Benggala," kata Arya tulus.
Percakapan mereka terhenti,
karena laki-laki pemilik kedai telah datang mengantarkan pesanan Arya.
"Silakan dinikmati, Den," kata pemilik kedai itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki,"
ucap Arya sambil mengulurkan tangan mengambil guci arak yang telah diletakkan
di atas meja.
Dan seperti tanpa pengerahan
tenaga. Dewa Arak mengangkat guci arak itu. Kemudian, dituangkannya ke dalam
guci perak yang telah diletakkan di atas meja!.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara menggeluguk arak yang
masuk ke dalam guci perak Arya terdengar jelas.
Pemilik kedai, dan tiga
laki-laki bertubuh tegap menatap dengan sepasang mata terbelalak. Mereka semua
bisa memperkirakan beratnya guci besar yang penuh berisi arak itu. Bahkan
pemilik kedai sendiri membawanya dengan bantuan seorang anak laki-lakinya yang
bertubuh kekar berotot. Tapi, di tangan Dewa Arak guci itu seperti segumpal
kapas saja layaknya.
"O ya, Anak Muda,"
kata pemilik kedai setelah Arya selesai menuangkan arak itu dan mengembalikan
guci besar, di atas meja. Suara laki-laki kurus kering ini terdengar serak karena
kaget melihat pertunjukan yang tersaji di hadapannya.
"Kata anakku..., kemarin
pun ada orang yang mencari pemuda berbaju biru itu. Dia seorang kakek
berpakaian terbuat dari bulu beruang berwarna putih "
"Dedemit Salju...,"
desis Arya dalam hati disertai perasaan kaget. Jadi, biang iblis yang kejam itu
pur ternyata tengah mengejar pemuda berbaju biru pula. Kalau begitu, dia harus
bertindak cepat kalau tidak ingin keduluan.
"Kalau begitu aku harus
berangkat sekarang, Ki," kata Arya sambil bangkit berdiri. Disampirkan
kembali guci peraknya di punggung, kemudian dicomotnya satu potongan ayam
panggang. "Ini bayarannya."
Usai berkata demikian, dan
berpamit pada pemilik kedai dan tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu. Dan
sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, Arya melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Tanpa sungkan- sungkan lagi, seluruh ilmu meringankan tubuhnya
segera dikerahkan sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu
yang melesat cepat keluar kedai. Semua yang berada di dalam kedai hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala karena takjub.
"Hebat...!" desis
laki-laki berhidung besar. "Julukan Dewa Arak benar-benar bukan hanya
kabar burung saja "
***
Sambil menggerogoti potongan
ayam panggang yang dibawanya, Arya berlari cepat menuju ke arah Barat. Tidak
dipedulikannya suasana malam yang telah jatuh. Dia harus bergegas kalau tidak
ingin keduluan Dedemit Salju.
Arya berlari terus tanpa
mempedulikan jarak yang telah ditempuhnya, tanpa mengurangi kecepatan, tak
aneh, kalau belum mencapai sepertiga malam dia telah memasuki Hutan Gelugut,
sebuah hutan besar yang banyak ditumbuhi pohon-pohon tinggi.
Mendadak Arya menghentikan
larinya. Pendengarannya yang tajam samar-samar menangkap adanya suara yang
diucapkan keras. Kepalanya ditelengkan agar bisa mendegar lebih jelas lagi
suara yang terdengar itu.
Dan dengan berpedoman
suara-suara itu, Arya melangkah hati-hati menuju ke sana. Seiring semakin
mendekatnya, suara-suara yang terdengar semakin keras.
"Ha ha ha...! Monyet
Cilik! Berani betul kau mempermainkan Dedemit Salju! Kau kira bisa lolos dari
tanganku?! Ha ha ha...! Jangan harap !"
Dada Arya kontan berdebar.
Perasaan tegang pun melanda hatinya. Dedemit Salju! Jadi, biang iblis itu telah
berhasil menemukan pemuda berbaju biru? Maka, dia harus cepat bertindak kalau
tidak ingin Melati menjadi korban dedengkot kaum sesat yang menakutkan itu.
Meskipun hatinya
melonjak-lonjak untuk segera tiba di tempat Dedemit Salju, Arya tidak berani
bertindak ceroboh. Dia tahu betul kelihaian kakek pendek gemuk itu. Maka Dewa
Arak harus bersikap hati-hati. Ditahannya keinginan yang ingin buru-buru
bertemu Melati. Kini Arya bergerak menghampiri, dan berlindung di balik
pepohonan serta semak-semak lebat.
"Aku tidak mau berurusan
denganmu, Dedemit Salju," terdengar oleh telinga Arya sebuah suara
menyahuti ucapan Dedemit Salju. "Aku pun tidak bermaksud mempermainkanmu.
Tapi, aku juga punya dendam pada gadis ini. Ayah angkatnya, Raja Bojong Gading,
telah membuat kakakku yang bernama Adipati Tasik, bernama Pradipta, tewas.
(Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah
di Bojong Gading"). Dan aku akan memukul perasaan Raja Keparat itu dengan
membunuh putri kesayangannya. Kepalanya akan kupenggal dan kupajang di depan pintu
gerbang istana Bojang Gading."
"Aku tidak peduli
urusanmu. Monyet Kecil! Yang jelas, kau telah berani mengambil calon korbanku.
Bahkan telah begitu berani mempermainkanku dengan membuat jejak, seolah-olah
kau telah meninggalkan hutan itu. Untuk kesalahan itu, kau tidak akan kubiarkan
hidup!"
"Keparat, Dedemit
Salju...! Kau kira aku takut pa- damu...?!" teriak pemuda berbaju biru
keras, karena tahu kalau dirinya tidak akan diampuni Dedemit Salju. "Aku
Taksaka bukan orang yang takut mati!"
Usai bekata demikian, Taksaka
melompat menerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya amat
tangguh, senjata andalannya yang berupa tongkat pendek berujung runcing
langsung digunakan ketika menyerang.
Tapi lawan yang diserang
Taksaka adalah Dedemit Salju, dedengkotnya tokoh persilatan aliran hitam. Maka
mudah saja baginya mengelakkan serangan itu. Rupanya, Dedemit Salju tidak
berkeinginan untuk langsung merobohkan lawannya. Terbukti, dia sama sekali
belum melancarkan serangan balasan. Tokoh menggiriskan itu hanya terus mengelak
dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Taksaka.
Pada saat Taksaka menyerang
Dedemit Salju secara kalang kabut. Arya tiba di dekat tempat itu. Namun pemuda
berambut putih keperakan ini hanya menyaksikan jalannya pertarungan dari balik
sebatang pohon besar.
Setelah memperhatikan sejenak;
Arya langsung tahu kalau Taksaka bukan tandingan Dedemit Salju. Kalau kakek
berpakaian putih itu mau, dalam beberapa jurus lawannya bisa ditewaskan.
Arya sama sekali tidak
memperhatikan jalannya pertandingan lagi. Sepasang matanya beredar ke
sekeliling, mencari-cari di mana adanya Melati. Sesaat kemudian dia telah
melihatnya. Tubuh kekasihnya tampak tergolek dekat sebatang pohon besar. Dengan
mengambil jalan memutar dan tanpa
meninggalkan kewaspadaannya, Arya melangkah mendekati Melati. Dia tidak ingin
Dedemit Salju melihatnya.
Harapan Dewa Arak terkabul.
Sampai berada di dekat tubuh Melati, baik Dedemit Salju maupun Taksaka sama
sekali tidak mengetahuinya. Rupanya kedua orang itu terlalu sibuk dengan urusannya.
Buru-buru Arya memasukkan sebutir pil merah ke dalam mulut Melati. Dan saat
itulah, Dedemit Salju baru melihatnya!
Namun akibatnya begitu hebat
bagi Taksaka! Dedemit Salju yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi
ketika melihat adanya Dewa Arak yang tengah dicari-carinya, segera melancarkan
serangan dahsyat ke arah kepala Taksaka. Cepat bukan main serangan yang
dilakukan, sehingga akibatnya....
Prokkk !
Tanpa sempat mengeluarkan
jeritan lagi, Taksaka tewas seketika dengan kepala pecah. Darah bercampui otak
mengalir keluar dari kepalanya.
Tanpa mempedulikan mayat
Taksaka lagi. Dedemit Salju segera menghampiri Dewa Arak yang juga bergegas
mendekatinya. Keduanya baru menghentikan langkah ketika berada dalam jarak tiga
tombak.
"Dewa Arak...! Akhirnya
kau datang juga...!" desis Dedemit Salju tanpa menyembunyikan perasaan
geramnya. "Kini, sudah tiba saatnya bagiku untuk membuat perhitungan
denganmu!"
"Bukan hanya kau yang
bermaksud demikian, De- demit Salju! Aku pun ingin melenyapkanmu!" sahut
Arya tak kalah geram, setelah mengerling sejenak ke arah mayat Taksaka.
Arya kini tahu, Taksaka adalah
murid Raja Ular Gunung Pare. Ilmu yang digunakan Taksaka jelas-jelas ilmu tokoh
sesat berwajah tirus itu. Tapi baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau Taksaka
adalah dalang dari penyamaran pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Memang
Taksaka yang kini mengenakan baju biru adalah pemuda yang dulu berbaju abu-abu.
Dia suka mengenakan baju abu-abu selain warna biru.
Arya segera mengambil gucinya
yang tergantung di punggung, kemudian dituangkan ke dalam mulut. "Gluk....
Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki perut Arya. Hawa hangat menjalari perut, kemudian merayap ke
atas kepala. Sekejap kemudian kedua kaki pemuda itu pun limbung. Kini Dewa Arak
telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Saktinya' nya!
Demit Salju pun tidak mau
kalah. Tanpa ragu-ragu segera dikerahkan 'Tenaga Inti Salju' andalannya. Bahkan
senjata segitiganya pun telah dikeluarkan.
Wunggg...! Sunggg...!
Suara mengaung dahsyat
terdengar ketika Dedemit salju memutarkan sepasang segi tiganya laksana baling-
baling.
"Haaat..!"
Didahului teriakan nyaring
yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, Dedemit Salju
melompat menyerang Dewa Arak. Segi tiga di tangan kanannya disodokkan cepat ke
arah kepala. Sedangkan yang satu lagi diputarkan laksana baling-baling.
Arya tidak berani bertindak
gegabah. Dia tahu betul kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan
itu. Dan itu bisa diketahui dari hembusan angin keras dan menggigilkan yang
mengawali tibanya serangan. Tampak pula asap berwarna putih tebal yang keluar
dari sekujur tubuh Dedemit Salju.
Arya segera melompat ke
belakang. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'nya dikeluarkan sampai ke puncaknya untuk
mematahkan sergapan hawa dingin yang membuat gigi- giginya beradu. Dan dari
sekujur tubuh Arya pun keluar asap berwarna putih. Seiring munculnya asap itu,
serangan hawa dingin yang melanda, lenyap.
Dedemit Salju tidak merasa
heran kalau Dewa Arak sanggup mengelakkan serangannya, dan juga tidak
terpengaruh sergapan hawa dingin. Dia tahu, lawan yang dihadapinya kali ini
amat tangguh. Maka ketika serangan pertamanya gagal, segera dilancarkan
serangan selanjutnya. Sesaat kemudian, kedua tokoh sakti ini telah terlibat
dalam pertarungan sengit.
Memang hebat bukan kepalang
pertarungan antara Dewa Arak dan Dedemit Salju. Sekitar tempat itu bagai
dilanda angin topan! Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon- pohonan besar
bertumbangan, tak tentu arah. Suara angin menderu, mengaung, dan mencekat,
diiringi tegukan dari arak yang ditenggak Dewa Arak menyemaraki berlangsungnya
pertarungan. Bukan hanya itu saja. Udara di sekitar tempat itu pun terasa panas
menyengat dan dingin menusuk tulang.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit
Salju sama-sama mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi, pada Dewa Arak hal itu
lebih terlihat. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya dikeluarkan dalam
usaha untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Salju.
Jalannya pertarungan
berlangsung cepat, karena kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu tak berapa lama,
pertarungan sudah berlangsung hampir seratus jurus. Dan selama itu, tidak
nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung
seimbang.
Dedemit Salju merasa penasaran
bukan kepalang melihat kenyataan kalau dia sama sekali tidak mampu mendesak
Dewa Arak. Padahal, dia dedengkot kaum sesat. Tapi, ternyata tidak mampu
menghadapi seorang lawan yang masih begitu muda. Kenyataan ini jelas amat
memukul dirinya.
Berlainan dengan Dewa Arak,
Dewa Arak diam-diam merasa heran. Sungguh tidak disangka kalau mampu menandingi
Dedemit Salju tanpa terdesak. Semula, dia mengharapkan bantuan dari belalang
raksasa yang akan dipanggilnya apabila terdesak hebat. Belalang raksasa itu
memang sempat terlupakan karena sibuk mencemaskan keselamatan Melati. Sama
sekali Arya tidak tahu kalau kepandaian yang dimilikinya telah meningkat. Baik
penguasaan ilmu 'Belalang Sakti', maupun kekuatan tenaga dalamnya.
Kembali tujuh puluh jurus
telah berlalu, sehingga tanpa terasa seluruhnya berjumlah seratus tujuh puluh
jurus. Dan selama itu, pertarungan masih berlangsung seimbang.
Karuan saja hal ini membuat
Dedemit Salju merasa cemas bukan kepalang. Dia tahu, bila sampai jurus kedua
ratus belum bisa mendesak Dewa Arak, kemungkinan besar dia akan roboh di tangan
lawannya. Dia telah tua usianya. Betapapun saktinya, dia tetap seorang manusia
yang akan tunduk pada aturan alam. Semua anggota tubuhnya tidak bisa lagi
diandalkan dibandingkan dengan Arya yang masih berusia muda.
Kekhawatiran Dedemit Salju
ternyata menjadi kenyataan. Sampai dua ratus jurus pertarungan ber- langsung,
Dewa Arak masih belum mampu didesak. Dan menginjak jurus kedua ratus lima,
Dedemit Salju mulai merasa lelah. Napasnya memburu hebat.
Seiring timbulnya kelelahan
yang semakin lama semakin besar melandanya, serangan-serangan yang dilancarkan
Dedemit Salju mulai mengendur. Dia lebih banyak mengelak. Menangkis pun jarang dilakukannya,
karena tenaganya yang semakin lama semakin menurun.
Dedemit Salju bergidik ketika
menyadari kalau tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak sama sekali tidak menurun.
Serangan-serangan pemuda berambut putih keperakan itu masih sedahsyat semula. Bahkan
gerakan-gerakannya pun masih gesit! Tak nampak adanya tanda-tanda kalau Dewa
Arak merasa lelah akibat pertarungan itu. Dan Ini membuatnya heran bukan
kepalang "Manusia atau bukan, Dewa Arak ini?" Dedemit Salju sama
sekali tidak mengetahui kalau arak yang diminum Dewa Arak, di dalam penggunaan
ilmu 'Belalang Sakti', seolah-olah menjadi tenaga tambahan baginya. Maka
Apabila Dewa Arak merasa lelah, langsung akan pulih kembali.
Semakin lama keadaan Dedemit
Salju semakin terdesak hebat! Kini, dia hampir tidak melakukan serangan sama
sekali, dan lebih sering mengelak. Bahkan menangkis pun akan merugikan dirinya
sendiri. Tenaga yang sudah berkurang, membuatnya mengalami kerugian setiap kali
terjadi benturan. Tangan-tangannya tergetar hebat, tubuhnya pun terhuyung-huyung
ke belakang. Dedemit Salju sadar kalau Dewa Arak tidak akan mungkin bisa
dikalahkannya lagi. Maka diputuskannya untuk mengajak pemuda itu mati bersama!
Setelah mengambil keputusan
demikian, Dedemit Salju merubah siasat bertarungnya. Dia tidak lagi mengelak
seperti sebelumnya, tapi melancarkan serangan secara membabi buta seperti
harimau luka! Akibatnya memang langsung terlihat. Keadaan langsung berubah
banyak. Tekanan-tekanan serangan yang semula terasa berat, langsung lenyap
karena Dewa Arak menghentikan desakannya dan mengelakkan serangan membabi buta
Dedemit Salju.
Beberapa gebrakan lamanya,
Dewa Arak mengelak dan menunggu saat yang baik untuk melancarkan serangan
balasan. Hujan serangan Dedemit Salju yang membabi buta dan sama sekali tidak
memperhatikan pertahanan, membuatnya dapat melihat bagian-bagian lowong di
tubuh Dedemit Salju.
Pada jurus kedua ratus empat
puluh sembilan, De- demit Salju melancarkan serangan sepasang senjata segi
tiganya secara bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak. Dan inilah saat yang
ditunggu tunggu Dewa Arak. Serangan itu dielakkan dengan menotokkan kakinya. Sehingga,
tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Dedemit Salju. Dan begitu berada di
atas, kedua lakinya dijejakkan ke arah kedua bahu lawan.
Krekkk, krekkk...!
Suara berderak keras
tulang-belulang yang hancur berantakan terdengar ketika kedua kaki Dewa Arak
mendarat di sasaran. Kontan pegangan Dedemit Salju pada sepasang senjata segi
tiganya terlepas.
Bukan hanya itu saja yang
dialami Dedemit Salju. Kedua kakinya langsung terbenam ke dalam tanah sampai
lewat mata kaki! Dari sini saja sudah bisa diperkirakan betapa besar kekuatan
yang terkandung dalam jejakan kaki Dewa Arak.
Meskipun begitu, tidak
terdengar adanya jeritan dari mulut Dedemit Salju. Pantang bagi Dedemit Salju
untuk menjerit kesakitan. Tapi dari seringai yang tampak jelas di wajah dan
butiran-butiran keringat sebesar biji jagung, bisa diketahui besarnya rasa
sakit yang melanda.
Tindakan Dewa Arak ternyata
tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya berhasil, tubuhnya
berputar di udara seraya menyampirkan gucinya kembali ke punggung. Lalu, kedua
tangannya dalam pemakaian ilmu 'Belalang Sakti', dihantamkan bertubi-tubi ke
arah punggung Dedemit Salju.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Aaakh...!"
Kali ini Dedemit Salju tidak
kuasa lagi menahan jeritan. Kedua kakinya yang terbenam di dalam tanah kontan
terlepas, dan tubuhnya pun terlontar deras ke depan. Darah segar langsung
menyembur deras dari mulutnya.
Brukkk...!
Setelah melayang-layang di
udara sejauh beberapa tombak, tubuh Dedemit Salju jatuh ke tanah. Sesaat
tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega
melihat lawan yang teramat tangguh itu telah tewas. Pada saat yang bersamaan
dengan lenyapnya helaan napas itu, terdengar suara cicit burung yang menandakan
kalau malam telah berganti pagi. Tak lama lagi, sang surya akan muncul di ufuk
Timur.
"Uhhh...!"
Suara keluhan pelan membuat
Arya melesat cepat ke arah tempat Melati diletakkan. Pemilik suara itu
dikenalinya betul. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati.
Bertepatan dengan beradanya
Arya di dekat Melati, gadis berpakaian putih itu tengah mengedip-ngedipkan
matanya. Melati tercenung sesaat, sebelum akhirnya bisa mengenali Arya.
"Kang..., Kang Arya
Mengapa aku berada di sini? Di
manakah ini? Apa yang terjadi,
Kang?" tanya putri angkat Raja Bojong Gading Itu sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
"Tidak ada apa-apa,
Melati," jawab Arya menutupi kenyataan sebenarnya. Dia terpaksa berbohong,
karena Melati baru saja sembuh. Dewa Arak khawatir hati gadis itu akan terguncang
kembali kalau diceritakan hal sebenarnya.
"Maksudmu, Kang?"
desak Melati penasaran
"Aku ingin menikmati
hadirnya pagi di tengah hutan bersamamu, Melati," kata Arya sambil
tersenyum lebar.
Melati tersenyum.
"Aku lapar, Kang..,"
kali Ini Melati tidak malu-malu lagi mengatakannya.
"Ha ha ha...!" Arya
tertawa. Apalagi, kalau disadari perutnya pun berkeruyuk minta diisi. "Aku
juga lapar Melati."
"Jadi " "Kita
tunggu hari agak terang, Melati. Lalu kita cari makanan di dalam hutan ini. Aku
yakin banyak binatang di dalam hutan sebesar ini. Kau setuju?"
Melati menganggukkan kepala.
Kini sepasang pendekar muda itu duduk menanti hadirnya sang Surya di ufuk
Timur.
SELESAI