14 - Sepasang Alap-Alap
Bukit Gantar
Kicau riang burung hutan
menyambut gemblra datangnya sang pagi. Matahari bersinar lembut menyinari bumi.
Angin bertiup semilir membawa angin sejuk saat dua sosok tubuh melangkah
perlahan-lahan memasuki mulut hutan.
Dua sosok tubuh itu ternyata
adalah sepasang muda-mudi. Yang satu adalah seorang pemuda berambut putih
keperakan dan berpakaian ungu. Sementara yang satunya lagi seorang wanita
cantik jelita berpakaian serba putih dan berambut panjang terurai hingga ke
punggung.
Muda-mudi ini melangkahkan
kakinya perlahan-lahan. Sesekali keduanya menarik napas dalam-dalam sambil
mengembangkan dada, menghirup udara pagi yang bersih sebanyak-banyaknya.
Mendadak keduanya serentak
menolehkan kepala ke satu arah. Jelas seperti ada sesuatu yang menarlk
perhatian mereka.
"Kau juga mendengar suara
itu, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan sambil menolehkan
kepala, memandang wajah gadis berpakaian putih di sebelahnya.
"Ya," sahut gadis
berpakaian putih yang ternyata adalah Melati seraya menganggukkan kepala.
"Sepertinya ada pertempuran, Kang Arya."
"Benar," pemuda
berambut putih keperakan yang tidak lain adalah Aiya Buana alias Dewa Arak
membenarkan dugaan tunangannya.
"Arahnya dari sebelah
sana, Kang," ucap Melati lagi. Telunjuk tangan kanannya menuding ke
Selatan.
"Kalau begitu mari kita
ke sana," ajak Arya ke arah yang ditunjukkan gadis berpakaian putih. Tanpa
diberi tahu oleh Melati pun sebenarnya pemuda berambut putih keperakan ini
sudah mengetahui asal, suara itu.
Sesaat kemudian sepasang
muda-mudi ini telah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main
gerakan keduanya. Melati dan Dewa Arak seperti saling berlomba menuju ke arah
asal suara yang tadi mereka dengar.
Tentu saja kalau Arya mau mengerahkan
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Melati akan
tertinggal. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau melakukannya.
Ilmu lari cepatnya hanya dikerahkan sebatas mengimbangi lari gadis berpakaian
putih itu.
Sesaat kemudian, asal suara
yang mereka dengar telah terlihat. Tampak di kejauhan, dalam jarak sekitar
sepuluh tombak, seorang wanita berpakaian merah menyala bersenjata tongkat
pendek berujung runcing tengah berhadapan dengan empat orang bersenjata golok.
Arya segera memegang tangan
Melati begitu melihat gadis berpakaian putih itu sudah bersiap-siap campur
tangan.
"Jangan turun tangan dulu
sebelum kita tahu jelas masalahnya," bisik Dewa Arak menasihati.
Mendengar teguran itu, sekujur
urat-urat syaaf dan otot-otot Melati yang tadi menegang penuh kekuatan seketika
melemas kembali.
"Mengapa, Kang
Arya?" tanya Melati, pelan dan lembut. Tapi jelas ada nada penasaran dalam
suaranya.
Dewa Arak geli mendengar
adanya tuntutan dalam suara gadis itu. Sekuat tenaga ditahannya perasaan geli
yang bergejolak itu. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul sifat keras
Melati. Sungguhpun sejak akrab dengannya, sifat gadis berpakaian putih ini
telah berubah drastis, namun tidak berarti seluruh sifat kerasnya hilang.
Justru sikap keras Melati itulah yang membuatnya gembira.
"Uhk...!"
Arya berpura-pura batuk untuk
menghilangkan perasaan gelinya.
"Kita belum tahu masalah
mereka, Melati," jawab Arya sabar. "Kita belum tahu siapa yang salah
dan benar. Tunggu saja dulu. Kita lihat perkembangannya nanti."Melati pun
terdiam, Dan dengan sendirinya suasana pun jadi hening karena Dewa Arak tidak
melanjutkan ucapannya lagi. Tanpa bercakap-cakap lagi, kaki mereka dilangkahkan
mendekati tempat pertarungan. Kini mereka memperhatikan jalannya pertempuran
dari balik sebatang pohon.
"Para pengeroyok gadis
itu..., sepertinya bukan orang baik-baik, Kang," ucap Melati lagi setelah
mulai dapat melihat jelas wajah empat orang itu.
Tidak ada sahutan sama sekali
dan mulut Dewa Arak yang berada di sampingnya. Melati jadi he ran. Kepalanya
ditolehkan dan seketika wajah gadis berpakaian putih ini menyemburat merah.
Dewa Arak seperti orang
tersihir! Menatap tanpa berkedip ke depan. Rupanya Arya begitu tenggelam dalam
kesibukannya memandang hingga tidak mendengar ucapannya! desis Melati dalam
hati.
Tanpa menoleh pun Melati telah
tahu apa yang telah membuat Arya sampai terkesima. Apa lagi kalau bukan wanita
berpakaian merah menyala itu? Kontan perasaan cemburu Melati bergolak
"Dasar laki-laki mata
keranjang...!" desis gadis berpakaian putih itu.
Tentu saja ucapan Melati yang
mendesis dan penuh hawa cemburu membuat Arya tersadar dari terkesimanya. Dengan
gugup pandangannya dialihkan ke arah tunangannya.
"A... apa katamu tadi,
Melati?" tanya Dewa Arak agak tersendat-sendat. Memang, meskipun kata-kata
yang diucapkan gadis itu tertangkap oleh telinganya, tapi Arya ingin memastikan
kebenarannya dengan mendengarnya satu kali lagi. Penglihatan yang baru saja
disaksikan amat mengejutkan hatinya. Apalagi ditambah dengan kata-kata makian
Melati.
"Kau..., laki-laki mata
keranjang...!" ucap Melati lagi dengan berani. Gadis ini memang mempunyai
watak aneh. Mudah marah. Tapi mudah pula baik kembali. "Di depanku saja
kau berani bersikap seperti itu. Apalagi kalau di belakangku!"
"Sabar dulu,
Melati," ucap Dewa Arak menenangkan, tahu mengapa gadis berpakaian putih
ini marah padanya. "Tenang, dan lihat baik-baik gadis berpakaian merah
itu."
Mendengar nada suara yang
penuh kesungguhan itu, mau tidak mau Melati menuruti permintaan Dewa Arak
Meskipun masih dengan perasaan marah dan mendongkol, pandangannya dialihkan ke
depan Ke arah gadis berpakaian merah. Dan seketika sepasang mata gadis
berpakaian putih ini terbelalak lebar.
Pemandangan yang disaksikan
benar-benar membuat Melati terkejut bukan main. Bahkan bukan hanya terkejut
saja. Tapi sekaligus terkesima.
Gadis berpakaian merah yang
tengah bertarung itu memiliki raut wajah dan bentuk tubuh yang sama dengannya.
Tak ada bedanya sedikit pun! Bedanya, gadis itu memakai pakaian merah dan
berambut digelung ke atas. Kalau saja gadis itu berpakaian putih dan berambut
terurai lepas, tentu Melati sama sekali tidak bisa membedakan dengan dirinya.
"Ttt.. ti... tidak
mungkin...!" desis Melati terbata-bata. Ucapannya yang gsmetar menjadi
pertanda besarnya perasaan tegangyang melanda hatinya.
"Apanya yang tidak
mungkin, Melati?" tanya Dewa Arak, meskipun sudah mengetahui maksud ucapan
tunangannya. Kembali pandangan Arya tertuju pada gadis berpakaian merah.
"Katakan kalau aku salah
lihat, Kang...," pinta Melati dengan suara menggigil bagai orang diserang
demam.
Arya menggelengkan kepala.
"Tenanglah, Melati,"
hibur Arya, lembut. Digenggamnya jari-jari gadis itu, seolah-olah dengan cara
itu bisa memberi kekuatan pada tunangannya.
"Tapi, Kang...,"
Melati masih mencoba membantah.
"Semua akan kita ketahui
nanti, Melati," potong Dewa Arak cepat "Barangkali gadis itu ada
hubungannya denganmu...."
Melati tercenung seketika
begitu mendengar ucapan tunangannya. Memang sejak pertama kali melihat gadis
berpakaian merah, ada perasaan aneh yang menyeruak dalam hatinya. Perasaan yang
membuatnya tegang bukan main. Benarkah ucapan tunangannya kalau wanita
berpakaian merah itu ada hubungan dengannya?
Tapi, Melati mencoba
membantah. Dari cerita yang telah didengar, dia tahu kalau orang tuanya telah
meninggal dalam keadaan menyedihkan. Dan dia ditemukan oleh seorang tokoh sesat
yang kemudian memeliharanya. Tokoh itu berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dewi
Penyebar Maut").
***
Sementara itu, pertarungan
antara gadis berpakaian merah dengan empat orang pengeroyok berlangsung semakin
seru. Gadis berpakaian merah itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup
tinggi, sehingga empat pengeroyok yang terdiri dari orang-orang kasar mengalami
kesulitan meringkusnya.
Tapi, pandang mata Arya dan
Melati yang tajam segera mengetahui kalau lambat laun gadis berpakaian merah
itu akan roboh di tangan para pengsroyoknya.
"Haaat...!"
Salah seorang pengeroyok yang
bertubuh tinggi kurus berteriak nyaring. Berbareng dengan itu, golok di
tangannya berkelebat cepat, membabat leher gadis berpakaian merah.
"Hih...!"
Gadis berpakaian merah menarik
kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Sehingga sambaran golok,
lewat setengah jengkal di depan lehernya.
Namun sebelum gadis itu
melancarkan serangan balasan, pengeroyok yang berambut abu-abu menusukkan golok
ke arah pelipis dari samping kanan. Sementara dari arah lain seorang lainnya
membabatkan golok ke arah tengkuk.
Kecepatan gerak gadis
berpakaian merah memang patut dipuji. Mendapat serangan susulan yang datang
berbarengan itu dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya cepat dirundukkan sehingga
kedua serangan lewat di atas kepala. Dan pada saat yang bersamaan, tongkat di
tangannya ditusukkan ke arah laki-laki bertubuh kekar yang berada di kanan.
Laki-laki bertubuh kekar
terkejut bukan main melihat lawannya masih mampu mengirimkan serangan balasan
dalam keadaan terjepit itu. Dengan sebisa-bisanya pengeroyok ini mencoba
mengelak. Tapi....
Crasss...!
Ujung tongkat gadis berpakaian
merah sempat menyerempet perutnya. Terdengar jerit kesakitan dari mulut
laki-laki bertubuh kekar yang disusul dengan mengalirnya darah segar dari
bagian yang terkena tusukan tongkat
Tapi sebelum gadis berpakaian
merah sempat melancarkan serangan susulan, pengeroyok yang bertubuh tinggi
besar sudah menerjang sambil menggulingkan tubuhnya. Dan dari bawah, kaki
kanannya yang besar dan kokoh melakukan sapuan ke arah kaki gadis itu
Bukkk.. !
Telak dan keras sekali sapuan
si tinggi besar mengenai sasaran. Dan seketika itu juga gadis berpakaian merah
terpelanting jatuh.
Melihat keadaan yang sudah
menguntungkan, para pengeroyok tidak mau menyia- nyiakannya. Bagai berlomba
mereka melesat saling mendahului mengirimkan serangan.
Gadis berpakaian merah tentu
saja tahu bahaya besar yang mengancam keselamatannya. Maka gadis ini segera
bergulingan di tanah mengelakkan hujan serangan para pengeroyok. Sehingga
serangan lawan-lawannya mengenai tempat kosong.
Para penyeroyok menjadi geram
melihat gadis berpakaian merah masih mampu menyelamatkan diri. Maka sambil
menggertakkan gigi, mereka bergerak mengejar sambil terus menghujani dengan
serangan-serangan mematikan sebelum gadis itu berhasil memperbaiki posisi.
Singgg, singgg...!
Suara desingan senjata yang
berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah
terdengar merobek udara.
Dan memang, gadis berpakaian
merah ini tidak sempat memperbaiki posisinya yang sudah mengkhawatirkan. Sambil
terus bergulingan di tanah, tongkatnya diputar menghalau setiap serangan yang
datang.
Tranggg, tranggg...!
Bunga api memercik ke sana
kemari, ketika gadis berpakaian merah berhasil menangkis dua buah serangan
lawan yang meluruk deras ke arahnya. Namun sebelum dia sempat menarik napas
lega, tahu-tahu serangan dari lawan lainnya kembali menyambar tiba.
Desss!
"Ah...!"
Gadis berpakaian merah itu
memekik kesakitan ketika tendangan lawan menghantamnya. Telak dan keras sekali
tendangan itu mengenai pergelangan tangan kanannya. Seketika itu juga
tongkatnya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Dan di saat itulah serangan
dari pengeroyok yang terakhir datang menyusul. Menusuk deras ke arah dada.
Kini, sudah tidak ada
kesempatan lagi bagi gadis berpakaian merah untuk berbuat sesuatu. Mengelak
sudah tidak ada waktu, sedangkan menangkis pun sudah tidak mungkin. Posisi
kedua kaki dan tangan kirinya tidak memungkinkan lagi untuk menangkis serangan.
Tambahan lagi tangan kanannya masih terasa lumpuh. Kini yang dapat dia lakukan
hanya berdiam din menanti datangnya maut
Di saat gawat itulah, Dewa
Arak yang memang sudah sejak tadi bersiap siaga untuk menolong, melesat cepat
ke depan. Dan selagi tubuhnya berada di udara, kedua tangannya digerakkan ke
depan. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya luar biasa. Ada hembusan
angin keras yang keluar dari tangan itu, dan memotong arah serangan yang
mengancam gadis berpakaian merah.
"Heh...?!"
Si penyerang terkejut bukan
main ketika merasakan hembusan angin keras yang bukan hanya membuat serangannya
tertahan. Tapi juga membuat kuda-kudanya tergempur, dan tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang.
Penyerang yang ternyata adalah
laki-laki kekar ini menggertakkan gigi menahan geram. Dadanya terasa sesak
bukan main akibat hembusan angin keras yang mendadak muncul, seiring dengan
sepasang matanya yang melihat sesosok bayangan ungu yang melesat di depannya.
Untung bagi laki-laki ini karena Dewa Arak tidak berniat mencelakainya. Pemuda
itu hanya berniat memunahkan serangan saja.
Laki-laki kekar ini menatap ke
depan dengan sinar mata penuh amarah. Begitu juga ketiga orang temannya. Mereka
sadar, ada orang berkepandaian tinggi yang telah menyelamatkan gadis berpakaian
merah.
Keempat pengeroyok menatap
Dewa Arak penuh selidik. Tapi, Arya sama sekali tidak peduli.
"Kau tidak apa-apa,
Nisanak?" tanya pemuda berambut putih keperakan seraya menatap wajah gadis
berpakaian merah lekat sekali.
Kembali keterkejutan yang amat
sangat melanda hati Arya. Begitu dekat, gadis ini semakin nampak jelas
kemiripannya dengan Melati. Tapi, dengan pandainya Dewa Arak berhasil
menyembunyikan perasaan terkejutnya.
"Tidak," sahut gadis
berpakaian merah seraya bergerak bangkit. "Terima kasih atas pertdonganmu,
Kisanak"
"Keparat..!"
Suara makian laki-laki
tertubuh kekar memaksa Arya mengalihkan perhatian. Dengan tenang ditatapnya
empat pengeroyok gadis berpakaian merah yang memandangnya dengan wajah merah
padam menahan amarah.
"Siapa kau, Keparat?!
Mengapa mencampuri urusan kami?!" tanya laki-laki bertubuh kekar. Suaranya
terdengar kasar dan keras.
"Aku Arya, seorang
pengembara," sahut Dewa Arak kalem. "Aku tidak bermaksud mencampuri
urusan kalian. Aku hanya tidak bisa membiarkan orang berbuat sewenang- wenang
di depan mataku."
"Keparat! Kalau begitu,
kau harus mampus...!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki bertubuh kekar itu segera melompat menerjang. Golok di tangannya
terayun deras ke arah kepala Arya dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki kasar
ini ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian.
Tiga orang rekan laki-laki
bertubuh kekar tidak tinggal diam. Mereka pun segera menerjang ke arah pemuda
berambut putih keperakan dengan senjata terhunus. Dalam sekejap saja empat buah
serangan telah menganeam Dewa Arak
Tapi Arya bersikap tenang.
Dengan mudah semua serangan itu dielakkan. Dan begitu kedua tangannya bergerak,
terdengar pekik-pekik kesakitan yang disusul bertumbangannya tubuh empat
pengeroyok. Senjata-senjata mereka telah tidak berada lagi di tangan.
Berpentalan entah ke mana.
Dewa Arak memandangi
orang-orang kasar yang tergolek di depannya. Semuanya hanya dapat
merintih-rintih. Arya telah membuat mereka tidak mampu bangkit untuk sementara,
tanpa luka-luka yang berarti.
Empat orang kasar itu segera
sadar kalau pemuda berambut putih keperakan yang mengaku bernama Arya mempunyai
kepandaian mukjizat. Dan mereka pun sadar kalau pemuda itu terlalu sakti untuk
mereka lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bangkit. Melangkah
tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Arya sama sekali tidak
mempedulikan mereka. Dibiarkan saja empat orang kasar itu melangkah
terseok-seok meninggalkan tempat itu. Rupanya pemuda berambut putih keperakan
ini memang tidak ingin mencari permusuhan.
***
Begitu empat orang kasar tadi
telah melesat kabur, Melati segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dada
gadis berpakaian putih ini berdebar tegang tatkala melangkah keluar dari tempat
perse mbunyiannya. Tegang menghadapi kenyataan yang akan dihadapi. Benarkah
gadis berpakaian merah itu adahubungan dengannya?
Apabila dugaan itu benar,
bukankah asal-usul dirinya akan terungkap kembali. Dan bukan tidak mungkin
kalau dia akan berjumpa dengan orang tuanya. Langkah gadis berpakaian putih ini
oleng begitu teringat orang tuanya.
Tapi ketika teringat cerita
yang dulu didengarnya, timbul perasaan ragu dalam hati Melati. Bukankah kedua
orang tuanya telah tewas secara mengerikan? Dan dia pun selamat dari maut
karena dipungut anak oleh Raja Racun Pencabut Nyawa.
Ternyata bukan hanya Melati
saja yang dilanda perasaan terkejut dengan pertemuan itu. Gadis berpakaian
merah itu pun dilanda perasaan yang sama."Ih..."
Terdengar seruan terkejut dari
mulut gadis berpakaian merah ketika melihat gadis berpakaian putih yang
melangkah menghampirinya. Mulut gadis itu terlongong. Sementara sepasang
matanya terbelalak lebar bagaikan melihat hantu. Jelas kalau gadis berpakaian
merah itu dilanda keterkejutan yang amat sangat
Selama beberapa saat Melati
dan gadis berpakaian merah saling tatap penuh selidik. Baik sepasang mata Melati,
maupun sepasang mata gadis berpakaian merah merayapi tubuh masing-masing mulai
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan dengan jantung berdebar keras,
keduanya mendapat kenyataan kalau mereka benar-benar persis satu sama lain.
Baik Melati maupun gadis berpakaian merah bagaikan tengah bercermin!
Bukan hanya Melati dan gadis
berpakaian merah saja yang dilanda perasaan terkejut Dewa Arak pun dilanda
perasaan serupa. Beberapa kali kepala Arya menoleh ke arah wajah kedua gadis
itu bergantian. Dan dengan hati ngeri pemuda berambut putih keperakan ini
terpaksa harus mengakui, andaikan keduanya mengenakan pakaian dan model rambut
yang sama, dia tidak bisa membedakan mana di antara kedua gadis itu yang
menjadi tunangannya. Mereka berdua begitu mirip, bagaikan pinang dibelah dua
saja layaknya.
"Kenalkan, Nisanak,"
ucap Dewa Arak yang terlebih dulu sadar dari perasaan terkesimanya. "Ini
kawanku, namanya Melati."
Ucapan Arya menyadarkan kedua
gadis itu dari keterpakuannya. Cepat gadis berpakaian merah mengulurkan tangan.
"Ibuku memberiku nama
Seruni. Tapi..., aku lebih suka dipanggil Mawar," ucap gadis berpakaian
merah.
"Aku Melati." Gadis
berpakaian putih menyahuti seraya menjabat tangan yang terulur ke arahnya.
Kini Dewa Arak baru dapat
mengetahui perbedaan kedua gadis yang begitu mirip itu. Suara Melati terdengar
agak keras. Dan sikapnya pun agak tidak pedulian. Sedangkan Mawar mempunyai
suara yang halus dan sifat agak pendiam.
Menilik dari pembawaannya,
Dewa Arak bisa memperkirakan kalau gadis berpakaian merah itu punya sifat
pengalah. Dan inilah patokan Arya untuk membedakan mana di antara mereka yang
menjadi kekasihnya bila suatu saat mereka mengenakan pakaian dan dandanan yang
sama.
"Siapakah para
pengeroyokmu tadi, Mawar? Dan mengapa kau bentrok dengan mereka?" Melati
mulai membuka percakapan. Gadis berpakaian putih ini memang ingin mengetahui
apakah ada hubungan antara dirinya dengan gadis berpakaian merah.
"Mereka adalah
berandalan-berandalan yang selalu mengacau desa-desa di sekitar hutan
ini," jawab Mawar halus. "Ayah dan ibu tidak senang melihat tindakan
mereka. Berkali- kali ayah dan ibuku berhasil menggagalkan usaha kejahatan yang
akan mereka lakukan. Sayang, ayah tidak tega membunuh mereka."
"Maksudmu.., ayahmu
membebaskan mereka, Mawar?" Arya ikut ambil bagian dalam pembicaraan.
"Benar," Mawar
menganggukkan kepala. "Ayah hanya memberi sedikit pelajaran agar mereka
jera."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala. Ada rasa kagum menyelinap dalam hatinya mendengar penuturan Mawar.
Ternyata ayah gadis berpakaian merah ini adalah seorang yang bijaksana. Pantas
saja kalau sikap anaknya begitu lembut dan pendiam.
"Hm...," Melati
berdehem sebentar sebelum berbicara. Memang sejak tadi gadis berpakaian putih
ini sibuk memutar otak, mencari kata-kata yang tepat untuk menanyakan perihal
Mawar.
Dewa Arak tentu saja tahu
kalau tunangannya tengah mencari cara untuk mengetahui perihal gadis berpakaian
merah. Maka begitu mendengar deheman Melati, dia pun menghentikan
ucapannya."Kalau begitu..., ayahmu terhitung seorang pendekar juga,
Mawar?" Melati mulai berusaha mencari keterangan mengenai keluarga gadis
itu.
"Menurut cerita ibu..,
dulunya ayah memang seorang pendekar. Bahkan terhitung pendekar yang agak kejam
pada tokoh golongan hitam.... Tapi, setelah menikah dengan ibu, ayah mulai
menjauhi keributan. Ayah tidak ingin mencari permusuhan karena mengkhawatirkan
nasib keluarganya."
'Tapi..., setidak-tidaknya...,
ayahmu tentu juga mendidik anak-anaknya menjadi seorang pendekar," sambut
Melati lagi setelah termenung beberapa saat. "Terbukti kau telah memiliki
kepandaian cukup tinggi."
"Ah.... Kau bisa saja,
Melati," sahut Mawar dengan wajah merona merah. Risih karena mendapat
pujian.
"Aku tidak sembarangan
memuji, Mawar," Melati menyambung lagi. "Kalau kau rajin berlatih,
tidak sampai tiga bulan, empat pengeroyok tadi sudah bukan tandinganmu
lagi."
"Betulkah itu,
Melati?" tanya Mawar setengah tak percaya. Sepasang matanya menatap gadis
berpakaian putih itu meminta kepastian.
Melati menganggukkan kepala.
"Apakah saudara-saudara
kandungmu yang lain juga memiliki kepandaian sepertimu?" Melati kini
langsung pada sasarannya.
"Saudara-saudara
kandungku?" Mawar mengerutkan alis. Tampak jelas kalau gadis berpakaian
merah ini merasa heran mendengar pertanyaan itu. "Aku tidak mengerti
maksudmu, Melati."
"Jadi..., kau sama sekali
tidak punya saudara kandung?" kini Melati yang ganti terkejut
"Kau..., anak satu-satunya?"
Mawar menganggukkan kepala.
"Ah...!"
Hampir berbareng terdengar
seruan terkejut dari mulut Melati dan Dewa Arak. Jawaban gadis berpakaian merah
itu benar-benar di luar dugaan. Untuk sesaat Dewa Arak dan Melati saling
pandang. Bingung. Rupanya dugaan mereka keliru. Gadis ini sama sekali tidak
punya hubungan apa-apa dengan Melati!
"Mengapa? Apa ada yang
salah dalam jawabanku?" tanya Mawar yang merasa agak heran melihat Arya
dan Melati terkejut setelah mendengar jawabannya.
"Tidak, Mawar," Dewa
Arak mewakili menjawab.
Suasana menjadi hening begitu
Dewa Arak menyelesaikan ucapannya. Ketiga orang itu sama-sama berdiam diri.
Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Tapi, keheningan itu tidak
berlangsung lama. Karena sudah dipecahkan oleh suara Mawar kembali. Suara yang
bemada sendu. Ada nada kesedihan dan kesepian yang terkandung di dalam ucapan
itu.
"Sebenarnya..., aku punya
seorang saudara kandung...."
Melati dan Dewa Arak
terjingkat bagai disengat kalajengking mendengar ucapan itu. Dengan pandang
mata terbelalak, sepasang muda-mudi ini menatap wajah gadis berpakaian merah
itu lekat-lekat. Pandang mata yang menyorotkan keheranan dan keterkejutan.
Tapi, Mawar tidak tahu. Karena gadis itu menundukkan kepalanya. Jelas, ada
sesuatu yangterjadi pada saudara kandungnya.
"Aku..., aku tidak
mengerti maksud pembicaraanmu, Mawar," ucap Melati terbata- bata.
Jantungnya berdetak keras dilanda ketegangan yang menggelegak.
Dan ini diam-diam membuat hati
tunangan Dewa Arak ini menjadi heran. Mengapa pertemuan dengan Mawar membuat
dia jadi sukar mengontrol diri?
"Ibu pernah bercerita
padaku...," sambung Mawar lagi, tanpa mempedulikan ucapan Melati. Tapi,
gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak tersinggung. Pendengarannya
dipasang tajam-tajam untuk menyimak ucapan yang keluar dari mulut gadis
berpakaian merah ini. Sementara jantungnya semakin berdetak kencang. Bahkan deru
napasnya pun memburu, sehingga beberapa kali Melati terpaksa menahan napasnya.
Khawatir kalau-kalau ucapan yang akan keluar dari mulut Mawar tidak terdengar.
Bukan hanya Melati saja yang
dilanda perasaan serupa. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Pemuda berambut
putih keperakan ini merasakan kedua telapak tangannya mendadak dingjn.
Jantungnya pun berdetak keras.
"Mungkinkah asal-usul
Melati akan tersingkap?" tanya Arya dalam hati dengan ketegangan yang
memuncak
"Kalau aku punya seorang
saudara kandung...." Pelan dan sendu suara yang terdengar dari mulut
Mawar. Tapi, tidak demikian akibatnya bagi Dewa Arak dan Melati.
Ucapan Mawar terdengar
bagaikan ledakan halilintar di telinga mereka. Dugaan kalau gadis ini punya
hubungan dekat dengan Melati timbul kembali. Tapi, lidah-lidah mereka terasa
kelu. Sehingga tidak mampu berkata-kata. Kecuali mendengarkan dengan jantung
yang semakin berdetak kencang.
"Saudara kembar...."
Kembali terdengar suara dari mulut Mawar. "Uh...!"
Terdengar seruan lirih dari kerongkongan
Melati. Tubuh gadis ini seketika terhuyung karena kedua kaki yang menopang
tubuhnya menggigil keras bagai orang terserang demam.
Dewa Arak buru-buru bergerak
mencekal tangan Melati sebelum tunangannya roboh ke tanah. Telapak tangan gadis
itu dirasakan dingin sekali. Dingin seolah-olah yang dipegangnya bukan tangan
manusia, melainkan sebongkah batu es! Sekilas Arya melirik wajah Melati. Dan
seketika hati pemuda ini pun terkejut begitu melihat wajah tunangannya pucat
sekali! Pucat seperti tak dialiri darah!
Arya segera meremas perlahan
tangan gadis itu untuk memberi kekuatan batin pada Melati mendengar berita yang
amat penting dalam sejarah hidupnya.
Melati menoleh seraya
memberikan senyum pada Dewa Arak. Karena perasaan tegang yang melanda, senyumnya
tidak mirip senyuman. Tapi mirip seringai kesakitan.
Tapi Mawar, sepertinya tidak
tahu kalau ucapan demi ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hati kedua
muda-mudi di hadapannya terkejut. Rupanya gadis berpakaian merah ini terlalu
tenggelam dalam lautan kesedihannya.
"Lalu... apa yang terjadi
dengan saudara kembarmu, Mawar?" desak Melati dengan suara serak dan
parau. Hatinya sudah tak sabar mendengar ucapan yang keluar sepotong demi
sepotong dari mulut gadis berpakaian merah itu.
"Karena keadaan yang
tidak memungkinkan untuk memeliharaku dan saudaraku bersama-sama, saudara
kembarku kemudiam diberikan kepada adik ibuku. Tapi, sebelumnya ibuku telah
memberikan nama untuk saudara kembarku. Delima namanya."
"Lalu..., apakah ada
tanda-tanda khusus yang dapat dijadikan patokan bagi ibumu untuk mengenali bayi
itu apabila dia sudah besar nanti?" tanya Arya. Pemuda berambut putih
keperakan yang biasanya mampu bersikap tenang itu pun kini hampir tidak bisa
menguasai diri. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Karena punya banyak
tanda-tanda khusus itulah yang menyebabkan saudara kembarku yang diberikan pada
adik ibuku. Bukan aku."
"Kau tahu tanda-tanda
khusus yang dimiliki saudara kembarmu?" Kini Melati yang ganti bertanya.
Suaranya bergetar dan kedua kakinya agak menggigil. Arya pun terpaksa memegang
lengan tunangannya. Khawatir kalau gadis itu akan roboh pingsan.
Mawar menganggukkan kepala.
"Ibu pernah
memberitahuku," jawab gadis berpakaian merah masih tetap menundukkan
kepala. 'Tapi, sayangnya aku hanya ingat satu. Pada pangkal lengan kanan
terdapat tandahitam sebesar kacang kedelai."
"Mawar...!"
Melati berseru keras.
Ditubruknya gadis berpakaian merah yang masih saja menundukkan kepala. Mawar
segera mendongakkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi butiran- butiran air mata.
Rupanya gadis berpakaian merah ini menangis.
"Akulah saudara kembarmu,
Mawar! Akulah Delima...!" seru Melati seraya memeluk gadis berpakaian
merah erat-erat.
"Delima...!"
Mawar berseru pula. Kedua
tangannya balas memeluk tak kalah erat
"Jadi..., kau Delima...,
Melati?" tanya gadis berpakaian merah seraya mengendurkan pelukannya.
Melati alias Delima
menganggukkan kepalanya. "Aku memiliki tanda seperti yang kau sebutkan
pada pangkal lengan kananku."
"Ah...! Sungguh tidak
kusangka," desah Mawar.
Beberapa saat lamanya kedua
gadis yang sama-sama cantik itu saling berpelukan erat Wajah Mawar bersimbah
air mata. Sedangkan Melati yang memang berwatak keras, sama sekali tidak
mengucurkan air mata. Hanya saja sepasang matanya yang bening tampak merembang
berkaca-kaca.
Dewa Arak hanya dapat menatap
kejadian yang terpampang di depannya dengan hati terharu. Dadanya pun terasa
sesak. Turut merasakan keharuan kedua gadis yang ternyata saudara kembar itu.
Arya sama sekali tidak
mengganggu mereka. Dibiarkan saja mereka saling menumpahkan kerinduan. Bahkan
diam-diam pemuda berbaju ungu ini bersyukur melihat Melati berhasil menjumpai
keluarganya.
"Mana ayah dan ibu?"
tanya Melati begitu telah berhasil menguasai perasaannya. Wajah gadis berpakaian
putih ini terlihat lebih berseri-seri dari sebelumnya.
"Ah...! Kau benar,
Melati! Sudah lama ayah dan ibu mencari-carimu. Mari...! Mari, kuantar kau
menemui mereka!"
Setelah berkata demikian,
Mawar segera menyusut air matanya. Kemudian menuntun Melati yang tanpa banyak
membantah mengikuti ajakan saudara kembarnya.
Saking gembiranya, Melati
sampai melupakan Dewa Arak. Dia tidak teringat lagi adanya pemuda berambut
putih keperakan itu di situ. Tapi Arya sama sekali tidak marah. Pemuda ini
memaklumi keadaan yang dialami tunangannya. Maka tanpa banyak bicara, dia pun
segera mengikuti langkah kedua gadis yang telah mendahuluinya.
***
Melati dan Mawar bergegas
meninggalkan bekas tempat pertarungan. Sementara di belakang keduanya, dalam
jarak sekitar tiga batang tombak, berjalan Dewa Arak
Langkah Melati dan Mawar
terhenti ketika di depan mereka, dalam jarak sekitar lima tombak, berdiri dua
sosok tubuh. Wajah kedua penghadang tidak tampak jelas karena tertutup topeng
harimau. Menilik dari sikapnya, jelas kalau kedua orang bertopeng harimau itu
mempunyai niat tidak baik
Arya segera mempercepat
langkahnya. Hebatnya, sekali langkah saja tubuh pemuda itu sudah berada di
sebelah Melati dan Mawar.
"Maaf, Kisanak berdua,
kami ingin lewat," ucap Dewa Arak pelan.
"Hmh...!"
Hanya suara dengusan yang
menyambut ucapan Arya. Melati yang memang mempunyai sifat keras, langsung
meluap amarahnya. Tapi, Arya segera menyentuh lengan tunangannya, menyuruh
gadis berpakaian putih itu bersabar. Akhirnya dengan terpaksa Melati menelan
kemarahannya.
"Kalian hanya bisa lewat
dari sini setelah jadi mayat!" tandas orang bertopeng harimau yang
bertubuh pendek kekar. "Hhh...!"
Arya menghela napas berat.
Pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau pertempuran tidak mungkin bisa
dielakkan lagi. Meskipun begitu, pemuda ini masih mencoba bicara baik-baik.
"Apa kesalahan kami
sehingga Kisanak berdua hendak membunuh kami?"
"Tidak usah banyak
bicara, Dewa Arak! Kesalahanmu sudah terlalu banyak! Kau dan perempuan liar itu
harus mati!" tegas orang bertopeng harimau yang satunya lagi seraya
menunjuk Melati.
Baru saja orang bertopeng
harimau itu menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang
bertubuh pendek kekar telah menerjang Melati. Rupanya si penyerang sudah
mengetahui kelihaian gadis berpakaian putih itu. Terbukti, sekali menyerang dia
sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa sebatang tongkat.
Ujung tongkat itu berbentuk
logam tipis dan tajam berbentuk bulan sabit. Senjata itu langsung disodokkan ke
leher Melati.
■ . я
Baru saja orang bertopeng
harimau menghentikan ucapannya, tahu-tahu orang bertopeng harimau yang bertubuh
pendek kekar itu telah menerjang Melati.
"Mawar! Cepat
menyingkir!" Melati segera mendorong gadis berpakaian merah itu. Dan
sekaligus merendahkan tubuhnya menghindari serangan itu.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring
mengawali tibanya serangan laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Mawar! Cepat kau
menyingkir!"
Sambil berkata demikian,
Melati segera mendorong tubuh gadis berpakaian merah itu. Dan hampir berbareng,
tubuhnya direndahkan sehingga serangan tongkat berujung bulan sabit lewat di
atas kepalanya.
Tapi ternyata serangan
laki-laki bertubuh pendek kekar tidak hanya sampai di situ saja. Begitu
serangannya berhasil dielakkan, tahu-tahu kaki kanannya telah mencuat ke arah
perut. Dan karena saat itu Melati tengah membungkuk, tendangan itu jadi
mengancam dadanya.
Lagi-lagi Melati
mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat kakinya digedorkan ke tanah. Dan dengan
meminjam tenaga tekanan pada tanah, tubuhnya melenting ke belakang. Untuk yang
kedua kalinya, serangan laki-laki bertubuh pendek kekar kembali mengenai tempat
kosong.
"Hup!"
Manis dan indah sekali gerakan
gadis berpakaian putih ketika mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan begitu
kedua kakinya menyentuh tanah, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang
terhunus.
Wunggg, wunggg...!
Terdengar suara menggerung
keras seperti ada naga mengamuk begitu Melati mulai memainkan pedangnya. Inilah
'Ilmu Pedang Seribu Naga', ilmu andalan gadis berpakaian putih itu.
Tampak jelas kalau laki-laki
bertubuh pendek kekar terkejut begitu Melati mulai memainkan jurus-jurus
pedang. Meskipun tertutup topeng, tapi bisa dilihat dari gerakannya yang
terhenti secara mendadak.
Tapi hanya sesaat saja
laki-laki bertubuh pendek kekar itu dilanda perasaan terkejut Sekejap kemudian
dia sudah melompat menerjang kembali. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya
diputar-putar cepat di depan dada. Baru kemudian meluruk cepat ke arah Melati.
Tapi, gadis berpakaian putih
ini tidak menjadi gugup melihat serangan itu. Serangan lawannya segera disambut
dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Sesaat kemudian, kedua orang itu sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Begitu melihat rekannya sudah
terlibat pertarungan dengan Melati, orang bertopeng harimau yang satu lagi
segera meloloskan senjatanya. Sebuah tongkat kayu jati berukir yang panjangnya
tak sampai setengah tombak.
Semula orang bertopeng harimau
itu memegangnya dengan tangan kanan. Tapi sesaat kemudian tongkat itu
digenggamnya dengan kedua tangan. Masing-masing pada ujung- ujungnya.
Singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring
terdengar begitu kedua tangan yang menggenggam tongkat itu ditarik ke arah
berlawanan. Ternyata hanya di luarnya saja kelihatan seperti tongkat pendek,
tapi di dalamnya adalah sepasang pedang pendek.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan teriakan
nyaring, orang bertopeng harimau itu segera menyerang Dewa Arak Kedua pedang
pendek di tangannya menusuk deras ke arah kedua sisi pinggang Arya.
Cepat bukan main gerakannya.
Bahkan ada suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Dewa Arak
yang sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak berani bertindak
gegabah. Segera guci araknya dijumput dan dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan begitu
arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian ada hawa hangat menyebar
di perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu merayap ke atas kepala.
Tapi di saat itulah serangan
laki-laki bertopeng harimau tiba. Dengan jurus 'Delapan Langkah Bela-lang',
Dewa Arak mengelakkannya. Arya segera melangkahkan kaki kanan ke depan,
kemudian memutar tubuh ke belakang dengan bertumpu pada kaki kanan. Sesaat
kemudian, tubuh pemuda ini sudah berada di belakang lawan.
Dan secepat tubuhnya berada di
belakang lawan, secepat itu pula gucinya diayunkan ke punggung orang bertopeng
harimau.
"Heh...?!"
Orang bertopeng harimau
terkejut begitu melihat serangannya mengenai tempat kosong karena lawan
mendadak lenyap. Sesaat orang bertopeng ini kebingungan. Tapi, begitu mendengar
sambaran angin di belakangnya, segera diketahuinya kalau lawan berada di
belakang dan tengah melancarkan serangan ke arah punggungnya.
Luar biasa! Tiba-tiba saja
tubuh orang bertopeng itu melenting ke atas, sehingga serangan Dewa Arak
mengenai tempat kosong. Dan dari atas, tubuhnya berputar setengah lingkaran ke
belakang. Tahu-tahu, tubuhnya sudah berada di atas Dewa Arak. Dan dari
belakang, tangan kanannya menyabet ke arah tengkuk.
Singgg...!Arya terperanjat.
Walaupun begitu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup. Cepat
laksana kilat tubuhnya dirundukkan sehingga serangan itu lewat sejengkal di
atas kepala.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kaki orang
bertopeng itu hinggap di tanah, tepat di belakang Dewa Arak Begitu mendarat,
dia langsung menusukkan pedang pendeknya ke arah punggung Dewa Arak
Tapi gerakan Arya masih lebih
cepat daripada gerakan orang bertopeng. Tubuhnya berbalik cepat seraya
mengayunkan gucinya.
Tranggg...!
Bunga api memercik tinggi ke
udara begitu guci berbenturan dengan pedang pendek. Telak dan keras sekali
benturan yang terjadi.
Orang bertopeng menggeram
keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar he bat. Bahkan kedua tangannya
pun seperti lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau
dalam adu tenaga dalam tadi Dewa Arak masih lebih unggul ketimbang lawannya.
Sambil mengeluarkan teriakan
keras, orang bertopeng harimau sudah kembali melancarkan serangan. Sepasang
pedang pendeknya berkelebatan mencari sasaran. Tapi, Dewa Arak bukanlah lawan
yang mudah dipecundangi. Sehingga pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan
lagi.
Kini di hutan itu terjadi dua
pertarungan sengit Pertarungan antara Dewa Arak dan Melati menghadapi dua orang
bertopeng harimau.
Mawar hanya dapat
memperhatikan jalannya pertarungan dengan wajah gelisah. Gadis berpakaian merah
ini tahu kalau keempat orang yang tengah bertarung memiliki tingkat kepandaian
yang berada jauh di atasnya. Dan dia tidak mungkin dapat ikut campur tangan di
dalamnya. Jangankan untuk ikut bertarung, memperhatikan jalannya pertarungan
saja kepalanya sudah terasa pening bukan main.
***
Melati menggertakkan gigi.
Gadis berpakaian putih ini penasaran bukan main setelah sekian lama bertarung
dia tidak mampu merobohkan lawan. Dan sebagai akibatnya, permainan pedangnya
kian dahsyat. Rupanya Melati sudah tidak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus
andalan dari 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Orang bertopeng bertubuh
pendek kekar terkejut bukan main melihat permainan pedang Melati mendadak
berubah dahsyat Laki-laki bertubuh pendek kekar ini pun tahu kalau lawan telah
mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa jurus kemudian, akhirnya dia
mulai terdesak.
'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang
dimiliki Melati memang sebuah ilmu pedang yang luar biasa. Ilmu pedang itu
terdiri dari tiga puluh enam jurus. Dan tiap-tiap jurus terdiri dari tiga
sampai tujuh gerakan. Delapan dari tiga puluh enam jurus itu merupakan jurus-jurus
andalan. Dan jurus-jurus inilah yang kini digunakan Melati untuk mendesak
lawannya.
Kini orang bertopeng itu hanya
bisa bertahan dan mengelak. Hanya sesekali saja dia sempat balas menyerang.
Amukan serangan gadis berpakaian putih itu membuatnya sukar untuk melancarkan
serangan balasan.
Bukan hanya Melati saja yang
berhasil mendesak lawan. Dewa Arak pun, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti'nya perlahan-lahan mulai dapat mendesak lawannya. Hanya saja beberapa
kali sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan, dengan
gerakan yang luar biasa, orang bertopeng harimau mampu mengelak. Diam- diam
Arya terpaksa mengakui kalau ilmu meringankan tubuh lawan tidak berada di
bawahnya.Suatu keuntungan buat orang bertopeng itu karena Dewa Arak sedapat
mungkin berusaha tidak menjatuhkan tangan maut padanya. Dan sedikit banyak, ini
justru menambah berat tugas Arya. Lawan yang dihadapinya bukan lawan ringan.
Lebih mudah menjatuhkan tangan maut ketimbang meroboh kannya tanpa luka yang
terlalu parah.
Hal itulah yang menyebabkan
Dewa Arak agak lama menjatuhkan lawannya. Padahal pemuda berambut putih
keperakan ini memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik dalam hal
tenaga dalam maupun mutu ilmu silat
Melatilah yang lebih dulu
mendesak lawan. Karena gadis berpakaian putih ini memang tidak segan-segan
menjatuhkan serangan maut pada lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Disertai pekikan nyaring,
Melati melompat cepat ke arah lawan seraya menusukkan pedang ke arah dada.
Cepat bukan main gerakan itu. Apalagi serangan itu dilancarkan pada saat
laki-laki bertubuh pendek kekar baru saja mengelakkan sebuah serangan.
Meskipun begitu, orang
bertopeng itu mencoba menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan sebisa-bisanya
dia mencoba mengelak. Tapi....
Cappp!
Ujung pedang Melati menancap
telak di pangkal lengan kiri orang bertopeng harimau itu. Rupanya usaha
terakhir laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil juga menyelamatkan
nyawanya dari ancaman maut. Meskipun usahanya tidak berhasil sepenuhnya.
Terdengar jerit kesakitan dari
mulut laki-laki bertubuh pendek kekar, seiring dengan mengalirnya cairan merah
kental dari luka di pangkal lengannya.
Melati tidak mau memberi
kesempatan lagi. Cepat laksana kilat pedangnya kembali menyambar. Dan repotlah
orang bertopeng itu pontang-panting menyelamatkan diri.
Orang bertopeng yang satunya
lagi rupanya tahu bahaya besar yang mengancam rekannya. Maka seketika itu juga
sepasang pedang pendek di tangannya meluncur bertubi- tubi ke arah berbagai
bagian tubuh Dewa Arak. Menilik dari serangannya yang lebih mementingkan
penyerangan daripada pertahanan, Arya tahu kalau lawan mengajaknya mengadu
nyawa.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau
meladeni. Cepat dia bergerak mengelak. Kali ini rupanya Arya tertipu. Laki-laki
bertubuh kekar itu ternyata sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Begitu
melihat Dewa Arak mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, dia pun segera
melompat cepat ke arah.... Mawar!
"Hup!"
Dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang luar biasa, dan tanpa gadis berpakaian merah itu sempat berbuat
sesuatu, orang bertopeng sudah berada di belakangnya. Dan langsung menodongkan
dua ujung pedang pendeknya di leher gadis itu.
"Perempuan liar!
Hentikan! Atau..., kau ingin aku menggorok leher wanita ini!" teriak orang
bertopeng, keras. Sepasang matanya menatap ke arah Melati yang tinggal
melakukan serangan terakhir pada laki-laki bertubuh pendek kekar yang sudah
tergolek tidak berdaya di tanah. Ujung pedang Melati berada di lehernya.
Mendengar bentakan bemada
penuh ancaman, Melati cepat menolehkan kepala. Dapat dibayangkan betapa
terkejutnya hati gadis berpakaian putih ini melihat saudara kembarnya terancam
bahaya maut
"Tahan emosimu sebentar,
Melati," ucap Dewa Arak yang tahu-tahu telah berada di sebelahnya.
"Bagaimana ini bisa
terjadi, Kang?" tanya Melati dengan suara penuh perasan heran.
"Dia menipuku,
Melati," sahut Arya pelan. "Sungguh tidak kusangka kalau dia akan
berbuat selicik itu."
"Jangan harap kau akan
mati enak kalau kau melukainya, Keparat!" desis Melati penuh ancaman.
Sementara sepasang matanya menatap tajam penuh amarah.
"He he he...," orang
bertopeng tertawa terkekeh. "Aku berjanji tidak akan melukainya, asal kau
bersedia memenuhi permintaanku!"
"Keparat busuk! Katakan
apa permintaanmu!" sambut Melati dengan wajah merah padam. "Ingat,
kalau kau berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan Untuk membunuhmu!"
"Mudah saja, Wanita
Liar!" Melati menggeram. Gadis berpakaian putih ini memang paling tidak
suka bila dimaki seperti itu. Tapi kini apa dayanya? Orang bertopeng itu
menyandera saudara kembarnya!
"Keparat! Katakan cepat
apa maumu!" sergah Melati keras.
"Bebaskan kawanku! Dan
aku berjanji akan membebaskan temanmu ini!" jawab orang bertopeng, keras.
"Apa jaminannya kalau kau
tidak akan mengingkari janji?" ejek Melati sambil tetap menempelkan ujung
pedang di leher laki-laki bertubuh pendek kekar. Sementara Dewa Arak me
ngawasinya.
"Kehormatanku sebagai
datuk jaminannya!" tegas orang bertopeng itu tegas.
"Hmh..., siapa percaya
bualanmu?!"
"Alap-Alap Bukit Gantar
bukanlah seorang pengecut. Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri yang telah
jatuh ke tanah dengan mengingkari janji!"
Baru saja Melati hendak
membuka mulut, Dewa Arak sudah menyentuh tangannya.
"Bebaskan lawanmu,
Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi
bernada memerintah.
"Tapi, Kang.... Bagaimana
kalau dia ingkar janji?" ucap Melati dengan perasaan cemas. Suaranya tidak
segarang tadi, tapi pelan penuh kekhawatiran.
Arya tersenyum lebar seraya
menggelengkan kepala.
"Seorang datuk mempunyai
harga diri, Melati. Harga diri bagi seorang datuk lebih berharga daripada
nyawa. Aku percaya pada janji Alap-Alap Bukit Gantar. Bebaskan orang itu,
Melati."
Dewa Arak mengucapkannya
dengan suara agak keras. Dan itu memang disengajanya. Pemuda berambut putih
keperakan ini bermaksud mengikat orang bertopeng yang mengaku berjuluk
Alap-Alap Bukit Gantar dengan janji yang diucapkannya sendiri. Walaupun
sebenarnya Arya sendiri yakin kalau tanpa disindir pun orang bertopeng itu akan
memenuhi janjinya.
Kini Melati tidak membantah
lagi. Todongan ujung pedangnya segera dilepaskan.
"Minggatlah kau,
Keparat!" hardik gadis berpakaian putih itu dengan perasaan geram.
Sepasang mata yang berada di
baiik topeng harimau teriihat memancarkan sinar berapi. Jelas makian Melati
membuat kemarahannya bergolak. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bertubuh
pendek kekar itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan menuju ke arah rekannya.
Melihat Melati telah
membebaskan temannya, orang bertopeng segera memenuhi janjinya. Terbukti,
todongan pada Mawar juga dilepaskan. Kemudian didorongnya tubuh gadis itu
dengan keras sampai hampir jatuh tersungkur.
"Jahanam!" Melati
memekik keras. Hampir saja gadis berpakaian putih itu melompat ke arah orang
bertopeng. Tapi, untung saja Arya cepat mencekal tangannya.
"Melati...!"
Mawar menghambur ke arah
saudara kembarnya. Dan kembali dua saudara kembar yang baru bertemu setelah
sekian lamanya berpisah, berpelukan.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Melati," ucap gadis .berpakaian merah itu, pelan.
"Lupakanlah, Mawar,"
sahut Melati cepat "Di antara saudara tidak ada istilah pertolongan."
"Bagaimana kalau kita
melanjutkan perjalanan," ucap Arya setelah melihat hari sudah mulai panas
karena matahari sudah berada di atas kepala.
Melati dan Mawar pun teringat
kembali pada tujuan perjalanan mereka semula. Sesaat sepasang mata mereka me
man dang berkeliling.
"Kedua orang itu sudah
pergi," ucap Arya seperti mengetahui pandangan mereka.
Melati dan Mawar
mengangguk-anggukkan kepala.
"Siapakah mereka
sebenarnya, Kang Arya?" tanya Melati. "Dan mengapa mereka memusuhi
kita?"
Pemuda berambut putih
keperakan itu mengangkat bahu.
"Aku juga tidak tahu,
Melati. Tapi, orang yang menyandera Mawar menyebut dirinya Alap-Alap Bukit
Gantar. Hhh...l Kau pernah berurusan dengan mereka, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu
menggelengkan kepala.
"Mendengarnya pun baru
kali ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahinya.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Sudahlah, Kang. Lebih
baik kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang, yang penting menemui orang tuaku
dulu," ujar Melati menasihati. Pemuda berambut putih keperakan itu pun
mengangkat bahu. Tapi, dituruti juga saran tunangannya.
***
"Ayah...!" panggil
Mawar begitu memasuki pintu pagar.
Seorang laki-laki setengah
baya berpakaian hitam, yang tengah duduk di bangku teras segera bangkit Lalu
bergegas melangkah ke arah Mawar.
"Mari, Melati...,"
ajak Mawar pada saudara kembarnya, seraya menarik tangan gadis berpakaian putih
itu menyambut ayahnya.
Di tengah-tengah halaman yang
cukup luas, ayah dan anak itu berpelukan.
"Dari mana saja kamu,
Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam sambil melepaskan pelukan. Mawar
kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya secara singkat
"Ini ayahku,
Melati," ucap Melati memperkenalkan laki-laki setengah baya yang berdiri
di hadapannya.
Melati mengerutkan alisnya
yang berbentuk indah. Diam-diam gadis berpakaian putih ini merasa kecewa
melihat orang yang diperkenalkan Mawar sebagai ayah gadis itu, yang berarti adalah
ayahnya juga.
"Inikah ayahnya?"
ucap gadis berpakaian putih itu dalam hati. Sungguh berbeda jauh dengan apa
yang dibayangkannya semula.
Semula Melati membayangkan
akan bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh tegap, berwajah gagah, dengan
rambut yang telah memutih sebagian. Tapi ternyata yang dilihatnya adalah
seorang laki-laki setengah baya, bertubuh agak kurus, berwajah tirus. Sepasang
matanya selalu berputar liar. Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
"Ayah..., lihat siapa
yang kubawa...?" ucap Mawar pada laki-laki setengah baya berpakaian hitam
yang sejak tadi memperhatikan Melati tanpa berkedip. Sepasang matanya
membelalak lebar. Seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Berkali-kali sepasang matanya menatap Mawar dan Melati bergantian.
"Tidak salahkah
penglihatanku, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara
yang bergetar. Berkali-kali tangannya mengucek-ucek matanya. Jelas kalau
laki-laki berwajah tirus ini merasa ragu dengan apa yang dilihatnya. "Kau
dengan gadis itu seperti pinang dibelah dua."
"Dia adalah saudara
kembarku, Ayah...," jawab Mawar dengan senyum mengembang.
"Ya, Tuhan...! Jadi...,
dia Delima...?" Laki-laki berpakaian hitam itu berseru tak percaya.
Mawar menganggukkan kepalanya.
"Delima...,
Anakku...!" laki-laki setengah baya berpakaian hitam itu memanggil dengan
suara berdesah. Perlahan-lahan kakinya melangkah maju dengan kedua tangan
terkembang.
"A..., Ayah...?!"
sahut Melati dengan suara serak. Terasa kaku panggilan yang keluar dari mulut
gadis berpakaian putih itu. Karena sejak kecil dia tak pernah mengenai orang
yang pantas dipanggilnya ayah. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mengapa ayahnya
tidak seperti yang dibayangkan, tapi tak urung ada keharuan yang menyeruak di
hati Melati. Biar bagaimanapun juga laki-laki di hadapannya ini adalah ayahnya.
Ayah kandungnya!
Tak pelak lagi, ayah dan anak
yang telah sekian be las tahun berpisah ini saling berpelukan erat
"Delima.,.,
Anakku...," ucap laki-laki berpakaian hitam itu setengah berdesah. Diusap-
usapnya rambut gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"A..., Ayah...!"
suara Melati serak Sepasangnya matanya merembang berkaca-kaca. Bahkan ada dua
tetes air beningyang mengalir di pipi yang putih, hahis, dan mulus itu.
Beberapa saat lamanya ayah dan
anak itu saling berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpen dam selama
belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak berguncang-guncang. Sementara
Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan saja semua kejadian itu.
"O ya, Ayah. Mana
ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir di kedua
pipinya. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan.
"Ada di dalam,"
sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima. Siapa
pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya pada Dewa Arak yang
tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan haru. Hatinya terasa
dire mas-re mas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada kedua orang
tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai
dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru gadis berpakaian putih ini
teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya ditolehkan, dan langsung menggapai
tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda
berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia sama sekali tidak marah atau
tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak dipedulikan Melati. Arya tahu,
tunangannya sama sekali tidak bermaksud mengacuhkannya. Gadis itu mekipakannya
karena terlalu larut dalam ketegangan dan kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa
Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku,
Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu berada di
se-belahnya. Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah ketika
memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana,
Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil menguhirkan tangan.
"Palungga,"
laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian digenggam
erat-erat.
"Dia bukan orang
sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah seorang
pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya? He bat
sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga itu
terkejut "Siapakah kau, Anak Muda? Barangkali aku pernah mendengar
julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah.
Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu menegur Melati bila
memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak ingin merusak
kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa
Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati sewaktu
mengatakannya.
"Ah.„!" wajah
Palungga berubah he bat "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan dunia
persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan
kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka
kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki berpakaian hitam itu
seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga begitu pertama kali
melihatnya. Tapi aku masih kurangyakin...."
"Tapi, sekarang Ayah
percaya kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang
mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan kepala sambil
menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya,"
ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda ini kau sudah
membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu
dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah. Memang begitulah sifat
Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu
merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga
membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar berjalan di belakang
mereka.Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan
ibunya, seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam
gadis berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...,"
ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin tahu.., mengapa
Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang
bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan adanya tuntutan dari pertanyaan
gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal itu bisa mereka maklumi.
Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga mereka. Tapi biar bagaimanapun
juga, mereka melakukan semua itu semata-mata bukan karena tidak menyukai
kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak
mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati bertanya dengan nada agak
menuntut
"Nanti saja kita
bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam beberapa
saat.
"Benar, Anakku,"
sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan yang
menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus
sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat "Kita adakan pesta
kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...."
Melati menahan ucapannya
karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas melangkah ke dalam.
Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati, pemuda berambut putih
keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang tua tunangannya.
Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar.
Tapi Arya bersikap bijaksana.
Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia telah melihat sendiri kalau
ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan penuh kecurangan seperti
ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam. Lagi pula tidak sedikit
orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi sebenarnya pendekar-pendekar
pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga
telah kembali dengan membawa makanan dan minuman. Dengan cepat laki-laki
berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas meja. Sesaat kemudian semuanya
telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan
pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan dickipi hidangannya. Maaf, hanya ini yang bisa
kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian
benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula. "Jadi, kami
tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah
lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan tidak enak.
Sesaat kemudian, orang tua si
kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk menghadapi hidangan di atas
meja. Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan betapa sinar mata
Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat mereka menyantap makanan
masing-masing.
Baru separuh hidangannya
dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?"
tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu
menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja kepalaku
pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas
pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari kursinya. Tapi, gerakannya
segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan Melati. Sementara, Arya
dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini
telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut "Sehingga membuatmu
pusing."Arya pun kembali duduk di bangkunya. Ucapan ibu Melati bisa
diterimanya. Karena, sejak tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu melihat
wajah tunangannya pucat pasi bagai mayat
Tapi baru saja pantatnya
menyentuh bangku, tiba-tiba perasaan pusing yang amat sangat menyerang
kepalanya. Bahkan bukan hanya pusing saja. Tapi sekaligus tenaganya melemah
secara tiba-tiba. Seketika itu juga Arya segera menyadari apa yang telah
terjadi
"Racun...," desis
pemuda berambut putih keperakan itu tajam, seraya bergegas bangkit dari bangku.
"Melati...! Awas...!"
Meskipun rasa pusing dan lemas
melanda tubuhnya, Arya masih sempat memperingatkan tunangannya. Tapi,
peringatan Dewa Arak sudah terlambat. Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh gadis
berpakaian putih itu sudah ambruk. Dan dengan tawa terkekeh, Karina segera
menyambut tubuh Melati.
"Melati...!" Dalam
kekhawatiran yang menggelegak, Arya berteriak. Sedapat mungkin pemuda berambut
putih keperakan ini berusaha bergerak ke arah kekasihnya. Tapi, usahanya
sia-sia karena rasa pusing dan lemas menghalanginya. Tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu terhuyung-huyung begitu mencoba melangkahkan kakinya.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Dewa Arak sudah
berkunang-kunang ketika melihat Palungga bangkit dari kursi sambil tertawa
bergelak. Dalam kesadaran yang kian me lenyap, Arya merasa seperti pernah
mendengar suara tawa itu. Tapi kapan dan di mana, dia lupa.
Tapi yang jelas, Arya tahu
kalau saat ini dia dan Melati berada dalam ancaman bahaya besar. Gadis
berpakaian putih itu sudah tertawan. Dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya.
Maka meskipun kepalanya yang terasa pusing membuat yang dilihatnya jadi berupa
bayangan-bayangan kabur, dan juga lemas yang amat sangat mendera sekujur
tubuhnya, Dewa Arak memaksakan diri untuk melawan orang-orang yang telah menipu
dirinya dan Melati.
Buru-buru Dewa Arak menjumput
guci arak yang tergantung di punggungnya. Tapi sebelum sempat Arya menuangkan
arak ke mulutnya, Palungga telah lebih dulu bergerak cepat
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring,
laki-laki berwajah tirus itu mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh.
Wuuut.. !
Desss!
Telak dan keras sekali kibasan
kaki Palungga mengenai pergelangan tangan Arya. Dan seketika itu juga, guci
arak di tangan Dewa Arak terlepas dari pegangan. Terlempar jauh. Jatuh
berkerontangan di lantai dengan isi bertumpahan ke sana kemari.
Bahkan bukan hanya itu saja.
Tubuh Dewa Arak pun terhuyung. Pergelangan tangan kanannya dirasakan sakit
sekali. Rupanya sambungan tulangnya lepas. Walaupun begitu, kekuatan hati Arya
patut dipuji. Pemuda ini sama sekali tidak berteriak kesakitan atau mengeluh.
Hanya mulutnya saja yang menyeringai, pertanda kalau Dewa Arak dilanda rasa sakit
yang hebat
Arya mengeluh dalam hati.
Habislah sudah harapannya untuk membebaskan diri dari racun yang telah menyebar
ke seluruh aliran darah di tubuhnya. Semula, Dewa Arak berharap dari araknya
dia bisa menawarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya. Karena arak yang telah
tersimpan dalam guci peraknya memang dapat digunakan sebagai penawar racun.
Tapi, kini harapan itu kandas.
"Ha ha ha...!"
Palungga kembali tertawa terbahak-bahak. Sementara keadaan Dewa Arak semakin
mengkhawatirkan. Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak mampu lagi
melihat jelas orang-orang di sekitar ruang makan. Yang terlihat hanyalah
bayangan- bayangan yang mulai mengabur.
Didorong oleh perasaan cemas
yang menggelegak pada keselamatan Melati, Arya jadi kehilangan kontrol diri.
Apalagi keadaannya kini sudah semakin melemah. Tanpa pikir panjang lagi, kedua
tangannya segera dihentakkan ke depan. Arya menggunakan jurus yang jarang
dipergunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
"Hih...!"
Wusss...!
Hembusan angin keras berhawa
panas menyengat, keluar dari telapak tangan yang dihentakkan Dewa Arak.
Palungga terkejut bukan main melihatnya. Untung saja pandangan pemuda berambut
putih keperakan itu telah kabur. Tambahan lagi tenaga pemuda itu memang sudah
semakin melemah, maka akibatnya kedahsyatan pukulan jarak jauh itu pun
berkurang. Bahkan serangannya pun ngawur. Meskipun begitu, tidak berarti kalau
serangan pemuda itu tidak berbahaya.
Brakkk..!
Terdengar suara hiruk-pikuk
begitu angin pukulan jarak jauh yang nyasar itu menghantam din ding rumah yang
terbuat dari kayu tebal hingga hancur berantakan.
Palungga, Mawar, dan Karina
yang berada di situ berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa
Arak
Arya sendiri begitu selesai
mengirimkan serangan, langsung tersungkur di tanah. Pingsan!
"Luar biasa...!"
Palungga berseru memuji seraya berjalan menghampiri Dewa Arak yang telah
tergolek di tanah.
"Pemuda ini merupakan
lawan berbahaya, Janggulapati," ucap Karina bernada mengingatkan.
Janggulapati yang tadi
memperkenalkan diri dengan nama samaran Palungga, menganggukkan kepala.
"Pemuda ini memang luar
biasa, Gayatri. Meskipun sudah dirasuki racun yang membuat tenaganya lenyap,
tapi dia masih mampu mengirimkan pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Ngeri
aku membayangkan kalau pukulan itu digunakan sewaktu tenaganya belum
berkurang."
Wajah wanita pesolek
berpakaian hitam yang menggunakan nama samaran Karina, tapi sebenarnya
mempunyai nama Gayatri, berubah. Tampak jelas kalau wanita ini pun merasa
ngeri.
"Apakah tidak sebaiknya
kalau pemuda ini kita bunuh saja, Kang," ujar Gayatri lagi, mengajukan
usul.
"Membunuh pemuda ini
sekarang sama mudahnya dengan membalik telapak tangan, Gayatri," sahut
laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi kematian seperti itu terlalu enak
untuknya. Dewa Arak harus merasakan bagaimana tidakenaknya menanggung sakit
hati!"
Gayatri tercenung mendengar
ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu.
"Kau benar, Janggulapati.
Dewa Arak harus kita siksa dulu!"
***
Entah sudah berapa lama
dirinya pingsan, Dewa Arak tidak tahu secara pasti. Yang jelas, begitu siuman
dan membuka kelopak mata, tahu-tahu tubuhnya sudah telentang di atas
balai-balai bambu. Kedua tangan dan kakinya terikat terpentang. Dan di
hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh.
Mula-mula yang terlihat oleh
Arya hanya bayang-bayang kabur. Tapi lama-kelamaan tampak jelas wajah-wajah
mereka.
Dewa Arak menghitung jumlah
sosok-sosok itu dengan matanya. Delapan orang! Tujuh di antara mereka pernah
dijumpainya. Palungga, Kirana, Mawar dan empat orang pengeroyok Mawar. Tapi
yang seorang lagi sama sekali belum dikenalnya. Seorang pemuda berwajah tampan
berkulit putih, bertubuh pendek kekar.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun
sadar kalau ternyata semuanya memang telah direncanakan dengan rapi. Dia dan
Melati dijebak! Jadi, sudah pasti gadis yang mengaku bernama Mawar ini bukan
saudara kembar Melati. Gadis itu pasti seorang tokoh sesat yang ahli menyamar.
Demikian kesimpulan Arya.
Dewa Arak cemas bukan main
begitu teringat pada keadaan Melati. Tenaganya untuk memutuskan tali yang
mengikatnya segera dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda
berambut putih keperakan ini tatkala mengetahui tidak adanya aliran tenaga
dalam yang mengalir ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah lenyap! Tidak
ada lagi hawa hangat yang berputaran di bawah pusarnya.
Kecemasan Arya pun semakin
menjadi-jadi begitu menyadari keadaannya. Tapi bukan dirinya semata yang
dikhawatirkan. Tidak! Dia sama sekali tidak takut menghadapi maut. Sejak
bertekad untuk menjadi pendekar pembela kebenaran, pemuda ini sudah
memperhitungkan kalau suatu waktu bukan tidak mungkin dirinya tewas di tangan
lawan. Bukan, bukan itu yang dikhawatirkan. Tapi Melati.
"Ohhh...!"
Terdengar suara keluhan pelan
di sebelah kiri Arya. Tanpa menoleh pun Dewa Arak tahu siapa pe-miliknya. Suara
itu sudah amat dikenalnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati,
kekasihnya!
Arya menolehkan kepalanya.
Benar saja! Tak jauh darinya, Melati juga terbaring di balai-balai bambu lain.
Keadaan gadis itu tak berbeda dengannya.
Melihat keadaan Melati,
kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan ini semakin menggelegak. Dia sudah
dapat menduga kalau bahaya yang mengancam tunangannya bakal jauh lebih
mengerikan ketimbang bahaya yang mengancam dirinya!
Dewa Arak mengalihkan
pandangan kembali ke arah delapan sosok yang berada di hadapannya. Tanpa
melihat pun Arya tahu kalau guci peraknya telah tidak ada padanya lagi. Begitu
pula Pedang Bintangyang semula selalu tergantung di pinggangnya.
"Siapa kalian? Mengapa
kalian memusuhi kami?" tanya Arya seraya menatap tajam wajah Janggulapati
yang dikenalnya sebagai Palungga. Pemuda ini sudah dapat menduga kalau
laki-laki berpakaian hitam ini adalah pemimpin di antara delapan orang itu.
"Hmh...!" Janggulapati
mendengus. "Kau tidak mengenaliku lagi, Dewa Arak?!"
Arya mengerutkan alisnya.
Sepertinya suara dengusan itu tidak asing di telinganya. Seperti pernah
didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia tidak ingat lagi!
"Rasanya..., aku pernah
mengenalmu, Palungga. Setidak-tidaknya aku pernah mendengar suaramu...,"
sahut Dewa Arak bemada ragu-ragu.
"Kau memang sudah mulai
pikun, Dewa Arak!" sergah Janggulapati kasar. "Perlu kau ketahui,
namaku sebenarnya bukan Palungga. Tapi Janggulapati."
Arya tidak tampak terkejut
mendengar pengakuan Janggulapati. Hal itu memang sudah diduganya begitu tahu
dia dan Melati terjebak
"Kalau begitu..., kau
pasti bukan ayahku...," desah Melati lemah. Ada raut kekecewaan, tapi juga
sekaligus kebahagiaan yang terpancar pada sepasang matanya. Kecewa karena
berarti ada kemungkinan memang dia sudah tidak punya orang tua lagi. Bahagia,
karena orang yang bersikap dan bertampang kasar itu bukan ayahnya.
"Ayahmu sudah lama
mampus, Wanita Liar!" seigah pemuda bertubuh pendek kekar. "Kau pun
akan segera menyusulnya. Tapi, tentu saja terlalu bodoh untuk membunuh wanita
secantikmu sebelum memanfaatkannya lebih dulu!"
Wajah Melati seketika memucat.
Gadis ini tahu apa yang dimaksudkan pemuda bertubuh pendek kekar itu. Perasaan
takut dan ngeri pun melanda hatinya. Dan perasaan itulah yang mendorong gadis
berpakaian putih ini menggerakkan kaki dan tangan untuk memutuskan tali yang
mengikatnya.
Suara ah-ah uh-uh terdengar
dari mulut Melati ketika berusaha sekuat tenaga memutuskan ikatannya. Tapi,
usaha gadis ini hanya sia-sia belaka. Seperti juga Dewa Arak, tenaga dalam yang
dimiliki gadis ini pun telah lenyap. Apalagi ternyata tali itu alot sekali.
Jadi, betapapun Melati berusaha, hanya kegagalan yang diterimanya. Bahkan
pergelangan tangan dan kakinya jadi lecet-lecet. Terasa sakit dan perih bukan
main. Akhirnya gadis berpakaian putih ini pun terpaksa menghentikan usahanya.
"Ha ha ha...!"
Pemuda bertubuh pendek kekar
kembali tertawa bergelak. Kemudian kakinya dilangkahkan mendekati Melati. Tangan
kanannya bergerak secara kasar ke arah dada gadis berpakaian putih itu.
Sepasang mata Melati
berkilat-kilat melihat perbuatan pemuda itu.
"Kalau kau berani
menyentuhku..., kubunuh kau, Setan...!" desis gadis berpakaian putih itu
tajam. Ada ancaman he bat yang tersembunyi di dalamnya.
Rupanya, pemuda bertubuh
pendek kekar merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Terbukti tangannya yang
semula sudah terulur, mendadak berhenti. Apalagi ketika mendengar desisan tajam
dari mulut Dewa Arak
"Berani kau menyentuhnya...,
ke mana pun kau pergi jangan harap lolos dari tanganku...!"
Meremang bulu kuduk semua
orang yang berada di situ mendengar ancaman Dewa Arak. Apalagi mereka yang
pernah merasakan kehebatan ilmu Arya. Nada suara pemuda itu begitu dingin, dan
penuh ancaman yang mengerikan!
Dari perasaan ngeri yang
mendera, pemuda bertubuh pendek kekar berubah menjadi murka. Dengan wajah merah
padam, dihampirinya Arya. Kemudian tangannya terayun, menampar ke arah pipi.
Dan...
Plakkk... !
Telak dan keras sekali tamparan
itu mengenai sasaran. Seketika itu juga di pipi Dewa Arak terdapat gambar
telapak tangan berwarna merah. Dari sudut-sudut bibir pemuda itu pun menetes
darah segar. Tapi, tak sedikit pun terdengar suara keluhan dari mulut Arya.
Suatu keuntungan bagi Dewa
Arak karena pemuda bertubuh pendek kekar itu tidak mengerahkan tenaga dalam
sewaktu menamparnya. Dia hanya menggunakan tenaga kasar saja. Dan kalau tadi
pemuda itu mengerahkan tenaga dalam, mungkin tulang rahang Dewa Arak telah
remuk.
Pemuda bertubuh pendek kekar
itu semakin beringas begitu melihat darah. Sekali lagi tangannya terayun
diiringi pekik ngeri Melati yang melihatnya. Sementara Dewa Arak hanya
tenang-tenang saja. Bahkan pandang mata pemuda ini menyorotkan tantangan yang
membuat pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin geram. Dan hal ini memang
disengaja oleh Arya. Dia sengaja mengalihkan perhatian pemuda bertubuh pendek
kekar dari tunangannya.
Tapi sebelum tangan pemuda
bertubuh pendek kekar itu kembali mengenai sasaran, terdengar ben-takan keras
menggelegar.
"Samiaji! Tahan...!"
Seketika itu juga tangan
pemuda bertubuh pendek kekar yang ternyata bernama Samiaji, tertahan di udara.
Pemuda ini kenal betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan
Janggulapati.
"Mengapa Guru menahanku...?"
Kepala Samiaji ditolehkan menatap wajah laki-laki berwajah tirus. Pandang
matanya memancarkan rasa penasaran yang amat sangat
"Aku tidak ingin dia mati
penasaran, Samiaji," sahut Janggulapati yang ternyata guru dari pemuda
bertubuh pendek kekar.
"Maksud, Guru?"
tanya Samiaji, belum mengerti madsud ucapan gurunya.
"Biar kuberi dia
kesempatan mengajukan pertanyaan."
Setelah berkata demikian,
Janggulapati menatap wajah Arya lekat-lekat
"Agar tidak mati
penasaran..., kau kuberi kesempatan mengajukan pertanyaan, Dewa Arak "
"Aku hanya ingin tahu
siapa kalian, dan mengapa kalian memusuhi kami?" sahut Arya tenang. Tanpa
merasa gentar sedikit pun, dibalasnya tatapan laki-laki berpakaian hitam itu
dengan tak kalah tajam.
"Ha ha ha...!"
Janggulapati tertawa bergelak.
Rupanya laki-laki berpakaian hitam ini merasa geli mendengar pertanyaan itu.
Tapi, Arya tetap bersikap tenang. Sepasang matanya tetap tertuju ke wajah
laki-laki berwajah hitam itu."Kau benar-benar tidak mengenalku lagi, Dewa
Arak?" tanya Janggulapati setengah tidak percaya.
Arya hanya menggelengkan
kepala sebagai jawabannya.
Laki-laki berpakaian hitam itu
lalu menarik Samiaji maju ke depan Dewa Arak.
"Kau lihat ini baik-baik,
Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
Janggulapati segera mencengkeram pakaian Samiaji pada bagian atas dada kirinya.
Dan sekali jari jemari laki-laki berpakaian hitam ini bergerak pelan, terdengar
suara keras.
Breeettt...!
Baju di bagian atas dada kiri
Samiaji robek lebar. Dan seketika sepasang mata Arya terbelalak lebar begitu
melihat balutan di bagian itu. Ada no da-no da merah yang menempel di kain
pembalut itu. Jelas kalau bahu kiri pemuda bertubuh pendek kekar ini terluka.
Melihat luka Samiaji, Arya pun
teringat. Ya, luka inilah yang diderita lawan Melati sewaktu mereka menuju ke
rumah orang tua Mawar. Jadi, rupanya Samiaji adalah salah seorang dari dua
pencegat itu. Salah seorang penghadang bertopeng harimau yang bertubuh pendek
kekar!
Begitu teringat akan hal ini,
Dewa Arak pun segera teringat kembali di mana dia pernah mendengar suara
dengusan itu. Di mana lagi kalau bukan di hutan itu juga.
"Jadi..., kalian orang
yang menyerang kami di hutan?" tanya Arya setengah memastikan.
Jaggulapati menarik mundur
Samiaji lagi.
"Rupanya kau belum pikun,
Dewa Arak! Memang, aku dan muridku inilah yang telah menyerang kalian di
hutan."
"Kalian inikah orang yang
berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar?"
Janggulapati menganggukkan
kepala.
"Aku dan istriku inilah
yang berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala.
"Lalu..., mengapa kau
memusuhi kami?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Kami punya dendam pada
wanita liar itu!" tandas Janggulapati tegas. "Sedangkan kau...,
terpaksa harus kami lenyapkan. Di samping karena kau pasti akan membela kawan
wanitamu, kau juga merupakan penghalang kami. Sewaktu-waktu kau pun mungkin
akan menggilas kami. Tapi, sebelum semua itu terjadi, kami harus menggilasmu
lebih dulu."
"Kalau boleh kutahu...,
apa sebabnya kau mendendam pada kawanku?" Kembali Arya buka suara setelah
sekian lamanya termenung.
"Ayah temanmu telah
membunuh sahabatku, Kalajati! Dan karena ayahnya telah mampus, pembalasannya
kutimpakan pada keturunannya!"
Arya dan Melati terkejut bukan
hanya karena mendengar ucapan berapi-api Janggulapati yang jelas-jelas keluar
dari hati yang sarat oleh dendam. Tapi juga oleh isi ucapan laki-laki
berpakaian hitam itu. Jadi, benarkah Melati masih mempunyai seorang ayah? Dan
benar jugakah Melati punya seorang saudara kembar? Kedua muda-mudi ini
bertanya-tanya dalam hati.
Tapi, sebelum Arya dan Melati
sadar dari keterkejutannya, Janggulapati sudah melangkah keluar ruangan.
Samiaji dan yang lain-lainnya pun berjalan mengikutinya.
"Nikmatilah
sepuas-puasnya sisa hidupmu, Dewa Arak!" seru laki-laki berpakaian hitam
itu begitu telah berada di ambang pintu. Kemudian bergegas meninggalkan tempat
itu sambil tertawa bergelak.
Brakkk!
Terdengar suara berderak keras
ketika pintu ruangan tahanan itu ditutupkan dari luar. Kini yang tinggal di
dalam hanyalah Melati dan Dewa Arak.
"Kau tidak apa-apa,
Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala ke arah tunangannya.Gadis
berpakaian putih itu menggelengkan kepala.
"Hanya tenaga dalamku
saja yang lenyap, Kang."
"Hhh...!" Arya
menghela napas panjang. "Keadaan kita sama, Melati. Tenaga dalamku pun
lenyap."
"Sekarang..., apa yang
dapat kita lakukan, Kang?" tanya Melati bingung.
"Tak ada, Melati,"
sahut Dewa Arak dengan suara mendesah.
"Kau putus asa, Kang
Arya?" Melati menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu setengah
tak percaya. Biasanya, Arya selalu menemukan jalan keluar untuk menghadapi
setiap permasalahan. Tapi sekarang?!
Dewa Arak menggelengkan
kepala.
"Hanya menyadari keadaan,
Melati," sahut Arya tawar.
"Maksudmu?"
"Kita tak akan bisa
membebaskan diri dari tali yang membelenggu. Tali ini terlalu a lot. Jadi,
daripada menyiksa diri dengan mencoba memutuskan tali ini, lebih baik kita
berdiam diri saja."
Melati pun terdiam. Gadis
berpakaian putih ini menyadari kebenaran ucapan kekasihnya.
"Atau..., kalau kau
mau.... Cobalah berusaha menimbulkan kembali tenaga dalammu yang lenyap. Aku
yakin, racun ini tidak akan bertahan lama. Apalagi, kalau kita sering-sering
berusaha membangkitkan kembali tenaga dalam. Tapi..."
'Tapi apa, Kang...,"
tanya Melati begitu melihat Arya menghentikan ucapannya.
"Kurasa, mereka tidak
bodoh. Sebelum kita berhasil membangkitkan tenaga dalam kembali, mereka mungkin
telah membunuh kita. Atau... memasukkan racun kembali."
"Tapi, tidak ada salahnya
kalau kita coba. Daripada hanya diam menunggu nasib," ujar Melati setelah
sekian lamanya terdiam.
"Kau cobalah "
***
Kini Melati mulai berusaha
keras membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Ditariknya napas dalam-dalam.
Membayangkan seolah-olah udara yang ditariknya adalah kekuatan maha dahssyat.
Kekuatan yang perlahan-lahan masuk ke hidung, kerongkongan, dan turun ke pusar.
Sesampainya di bawah pusar,
gadis berpakaian putih ini menghentikan tarikan napasnya. Kemudian
mengkhayalkan kalau kekuatan dahsyat itu berputar-putar di bawah pusarnya. Lalu
napasnya dikeluarkan kembali.
Melati terus mengulanginya
meskipun tidak ada hawa yang berputar-putar di bawah pusarnya setiap kali dia
menarik dan menahan napas.
Arya hanya berdiam diri saja.
Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak berusaha membangkitkan
kembali tenaga dalamnya. Yang jelas, benak pemuda ini berpikir keras mencari
jalan untuk bisa menyelamatkan diri.
Tapi sampai lelah otaknya
berpikir, dia tetap juga tidak menemukan jalan keluar.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Kepalanya
ditolehkan ke arah Melati yang masih saja sibuk membangkitkan kembali tenaga
dalamnya.
Mendadak Arya menolehkan
kepalanya ke pintu ketika mendengar ada langkah- langkah kaki yang menuju ke
kamar tahanan itu. Melati pun rupanya mendengar juga. Terbukti, gadis
berpakaian putih itu menghentikan usahanya membangkitkan tenaga dalam.
Kriiittt.. !
Terdengar suara berderit pelan
begitu daun pintu ruangan tahanan terbuka. Arya dan Melati hampir berbareng
menatap ke arah sana. Dan seketika sepasang mata kedua muda- mudi ini
terbelalak. Semula mereka menduga kalau orang yang datang ini adalah
Janggulapati. Tapi ternyata yang datang adalah.... Mawar.
Anehnya, gadis itu kelihatan
bersikap hati-hati sekali. Bahkan sepasang matanya beredar liar, sepertinya khawatir
kalau-kalau perbuatannya diketahui orang. Tentu saja hal ini membuat Arya dan
Melati semakin heran. Tapi, hanya sesaat saja. Kedua muda-mudi ini tidak mau
tertipu untuk kedua kalinya oleh permainan sandiwara yang luar biasa gadis
berpakaian merah itu.
Pelan dan hati-hati sekali,
Mawar menutupkan pintu ruangan tahanan. Kemudian berjingkat-jingkat menghampiri
Melati.
"Mau apa kau kemari,
Perempuan Rendah?!" tanya Melati ketus.
"Sssttt...! Jangan
berisik! Aku datang untuk menolongmu...," gadis berpakaian merah itu
menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"Siapa yang mau percaya
ucapan mulut busukmu!" sergah Melati dengan suara yang semakin meninggi.
Tak dipedulikannya nasihat Mawar.
"Kau boleh memakiku apa
saja!" sahut gadis berpakaian merah itu sabar. "Tapi percayalah. Aku
datang dengan maksud baik. Atau..., kau lebih suka diperkosa orang liar itu
daripada kutolong?"
Melati terdiam seketika.
Ucapan Mawar membuatnya ngeri bukan main. Bahkan bulu tengkuknya pun berdiri
semua ketika membayangkan apabila kejadian yang diucapkan gadis berpakaian
merah itu benar-benar menimpanya.
"Benar namamu
Mawar?" kini Arya yang ganti buka suara, seraya menatap wajah gadis itu
tajam-tajam. Mungkin dari wajah itu dia ingin mengetahui kebenaran ucapan gadis
yang mengaku sebagai saudara kembar Melati.
Gadis berpakaian merah itu
menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Arya. Sementara kedua tangannya
sudah sibuk membuka ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Melati.
"Mengapa kau mengkhianati
ayah dan ibumu sendiri?" desak Arya lagi ingin tahu.
"Mereka bukan ayah dan
ibuku!" tandas Mawar seraya menoleh ke arah Arya. Kontan gerakan tangannya
yang membuka simpul-simpul tali terhenti.
"Heh... ?!" Sepasang
mata Arya membelalak lebar. "Sandiwara macam apa lagi ini?"
"Aku tidak bersandiwara,
Dewa Arak!" tegas Mawar lagi, seraya melanjutkan gerakan tangan, membuka
tali yang membelenggu Melati. "Aku sama sekali bukan anak mereka. Justru
merekalah yang hendak membunuh ibu dan ayah tiriku!"
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan
Melafi mendesah kaget
"Lalu..., kenapa kau
masih membantu mereka? Dan siapakah kau sebenarnya?" tanya Melati dengan
suara bergetar. Berbeda dengan Arya, Melati masih punya dugaan kuat kalau Mawar
adalah saudara kembarnya. Ada semacam perasaan aneh yang membuatnya yakin kalau
gadis berpakaian merah itu adalah saudara kembarnya.
"Aku adalah saudara
kembarmu, Melati. Dan kali ini aku tidak berbohong. Aku adalah saudara
kembarmu." Pelan dan bergetar suara yang keluar dari mulut Mawar.
"Ibu dan ayah tirimu...?"
Melati bergumam bingung.
"Ya," Mawar
menganggukkan kepala.
"Bisakah kau menceritakan
semuanya pada kami, Mawar?" pinta Dewa Arak.
Gadis berpakaian merah itu
tercenung sejenak
"Baiklah...," ucap
gadis itu setelah menghela napas berat "Aku tinggal dengan ibu dan ayah
tiriku. Entah kenapa, aku tidak tahu. Yang jelas, ibu pernah cerita kalau ayah
telah meningggal dunia."
Mawar menghentikan ceritanya
sebentar untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Arya dan Melati bergantian.
Dilihatnya sepasang mata saudara kembarnya merembang berkaca-kaca. Dan gadis
berpakaian merah ini tahu apa penyebabnya. Apa lagi kalau bukan mendengar
ayahnya telah tiada?
"Suatu hari datang
laki-laki dan wanita setengah baya berpakaian hitam ke rumah. Waktu itu yang
ada hanya aku dan ayah tiriku. Kedua orang yang ternyata adalah Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar itu mengamuk. Ayah tewas di tangannya, sementara aku
dipukul pingsan."
Kembali Mawar menghentikan
ceritanya. Perlahan setitik air bening mengalir membasahi sepasang pipinya yang
putih, halus, dan mulus. Arya dan Melati dapat menduga kalau cerita selanjutnya
akan menyedihkan hati gadis itu.
"Begitu aku sadar, aku
telah berada di sarang mereka. Di antara mereka kulihat Samiaji dan empat orang
lainnya. Dengan buas Samiaji memperkosaku..., dan... hal itu terus berlangsung
selama beberapa waktu...."
"Kenapa kau tidak
melawan?" tanya Melati dengan suara mengandung kemarahan yang amat sangat.
Sungguh tidak disangka kalau nasib saudara kembarnya begini buruk.
"Mereka mengancam akan
membunuh ibu yang katanya mereka tangkap sewaktu aku pingsan," ucap Mawar
terputus-putus. "Lagi pula, sia-sia saja usahaku menghindarkan diri dari
perbuatan bejat mereka."
Melati dan Arya
mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bisa saja Janggulapati dan Samiaji
melumpuhkan Mawar dulu, seperti melumpuhkan mereka berdua. Dalam keadaan
seperti itu apa dayanya menolak keinginan mereka?
"Kemudian mereka
menugaskanku mencegat perjalanan kalian. Empat anak buah mereka berpura-pura
menyerangku. Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar merencanakannya begitu cermat.
Mereka berjanji, apabila aku berhasil melaksanakan tugas ini, ibu akan
dibebaskan."
Lagi-lagi Mawar menghentikan
ceritanya. Gadis ini mendehem sebentar untuk menormalkan kembali suaranya yang
semakin serak karena telah bercampur isak.
"Aku tidak punya pilihan
lain. Kupikir, biarlah kukorbankan saudara kembarku demi keselamatan ibu. Toh,
seumur hidup aku belum pernah bertemu dengannya. Dan lagi, ibu telah berjasa
banyak padaku."
Melati dan Arya termenung.
Mereka berdua tidak menyalahkan keputusan yang diambil Mawar.
"Lalu..., kenapa sekarang
kau berubah pikiran, dan berusaha menolong kami?" Dewa Arak penasaran.
"Tadi..., sewaktu keluar
dari ruangan ini, Janggulapati rupanya keterlepasan bicara karena kegembiraannya."
"Apa yang
dikatakannya?" tanya Melati, sementara sepasang matanya menatap penuh iba
pada saudara kembarnya.
"Sambil tertawa,
laki-laki busuk itu mengatakan hanya tinggal istri Palungga saja yang belum
tertangkap. Dan setelah itu, semua dendamnya akan tuntas."
"Siapa itu
Palungga?" tanya Melati yang sudah tahu kalau laki-laki berwajah tirus
yang mengaku bernama Palungga punya nama asli Janggulapati.
"Ayah kandungku...."
"Jadi...?" sambung
Melati dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Ya, ayahmu juga,
Melati."
"Jadi..., mereka hendak
menangkap ibu...?" tanya Melati dengan suara mengandung ancaman hebat
"Begitulah yang tadi
kudengar," sahut Mawar membenarkan. "Itu berarti selama ini mereka
telah menipuku! Mereka belum menangkap ibu!"
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian merah ini mendekapkan kedua tangan ke wajahnya. Bahunya
terguncang-guncang menahan tangis yang akan meledak. Jadi selama ini Mawar
telah ditipu mentah-mentah oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Sekarang Arya baru mengerti
mengapa gadis berpakaian merah itu berusaha menolong mereka. Tidak ada lagi
yang dapat dijadikan sandera oleh Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar untuk memaksa
Melati.
"Tapi..., bagaimana kita
bisa keluar dengan selamat dari sini? Kau kan tahu kalau aku dan Kang Arya sama
sekali tidak berdaya."
Setelah berkata demikian,
Melati bangkit dari balai-balai bambu. Ikatan yang membelenggu tangan dan
kakinya sudah terlepas semua.
Dewa Arak mengernyitkan
alisnya. Apa yang dikatakan tunangannya memang masuk akal. Bagaimana mereka
dapat meloloskan diri dalam keadaan seperti ini? Jangankan menghadapi Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar, menghadapi empat orang anak buahnya pun rasanya mereka
tidak mungkin akan menang.
"Aku sudah punya
jalan," ucap Mawar.
"Bagaimana, Mawar?"
tanya Arya ingin tahu.
"Hanya inilah jalan
satu-satunya untuk dapat lolos dari sini."
"Kau jangan berteka-teki,
Mawar," selak Melati cepat "Beritahukan saja secara gamblang semua
rencanamu."
"Apa yang dikatakan
Melati, benar sekali, Mawar," sambut Arya mendukung ucapan tunangannya.
"Aku pun memang sudah
bermaksud memberi tahu kalian," ucap Mawar pelan.
Seketika Arya dan Melati
membisu.
"Rencanaku begini,
Melati. Aku bermaksud menggantikan tempatmu."
"Maksudmu...?" selak
Melati tak sabar.
"Aku menyamar menjadi
dirimu. Sementara kau menjadi aku, kurasa tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan kita."
"Hm...," Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya mulai mengerti. "Lalu...?"
"Dengan menyamar sebagai
diriku, Melati cukup bebas untuk berbuat apa saja. Bahkan mendapat kesempatan
untuk menormalkan kembali tenaga dalam. Kebetulan aku punya penawar racun
itu."
"Kenapa tidak langsung
membebaskan kami berdua saja, kemudian kau berikan obat- obat penawar racun itu
pada kami," usul Melati.
"Tidak semudah itu,
Melati," bantah Mawar sambil tersenyum lebar. "Racun ini berbeda
dengan racun umumnya. Penawar untuk racun ini memakan waktu yang cukup lama.
Paling tidak, lima hari. Sekarang kau mengerti mengapa rencana itu tidak bisa
kulaksanakan, Melati?"
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., setelah tugasku
ini selesai, keselamatan kami ada di tanganmu, Melati." Mawar menutup
kata-katanya.
Melati terdiam seketika.
Sementara dahinya berkernyit. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Dan Arya
bisa menduga apa yang membuat tunangannya tertihat risau.
"Mawar...," panggil
Arya pelan.
"Hm...." Hanya suara
bergumam pelan yang menyahuti panggilan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apakah tindakan ini
tidak membahayakan dirimu sendiri? Kau tahu bahaya apa yang mengancammu, bila
kau menggantikan tempat Melati?" tanya Arya ragu-ragu.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Memang, hal itulah yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
"Aku tahu, Kang
Arya," Mawar menganggukkan kepala. Diturutinya cara Melati memanggil
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau masih mau
melakukannya?" desak Arya lagi setengah tidak percaya.
"Aku tidak ingin saudara
kembarku mengalami nasib yang sama sepertiku! Biarlah hanya aku saja yang
mengalami!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut saudara
kembar Melati itu.
"Mawar...!"
Melati tak kuasa menahan rasa
haru mendengar kesediaan Mawar untuk mengorbankan dirinya. Ditubruknya tubuh
saudara kembarnya. Kemudian dipeluknya erat- erat Ada isak tertahan yang
merayap naik dari dadanya menuju kerongkongan, sehingga membuat suaranya
bergetar.
Mawar pun balas memeluk tak
kalah erat. Sepasang mata kedua gadis cantik itu tampak merembang berkaca-kaca.
Keharuan pun melingkupi seisi ruang tahanan. Bahkan Arya pun tidak tahan untuk
tidak mengerjap-ngerjapkan mata, begitu merasakan kedua pelupuk matanya
mendadak panas.
Beberapa saat kemudian,
barulah kedua gadis yang sama-sama cantik jelita itu melepaskan pelukan
masing-masing. Keduanya bersiap melaksanakan rencana mereka.Melati dan Mawar
lalu menuju ke sudut kamar tahanan. Kemudian saling melepas pakaian luar
masing-masing. Meskipun tidak melihat kedua gadis itu membuka pakaian, tapi tak
urung dada Arya berdebar tegang begitu mendengar suara berkeresek pakaian yang dilepaskan.
Arya merasa betapa kedua
tangannya jadi dingin. Segera diusirnya jauh-jauh bayangan bukan-bukan yang
mengusik benaknya.
Melati dan Mawar sudah selesai
melepaskan pakaian masing-masing. Dan kini kedua gadis itu sudah mulai
mengenakan pakaian yang telah ditukar. Sesaat kemudian, keduanya telah selesai
mengenakan pakaian tukarannya.
Kini Mawar mulai mengurai
rambutnya. Sementara Melati sibuk menggelung rambutnya ke atas. Setelah
selesai, kedua gadis yang cantik jelita itu berjalan menghampiri Arya dan
berdiri berjejer di depannya.
Sepasang mata Arya terbelalak
lebar. Mulutnya pun melongo. Sungguh kalau saja dia tidak mendengar suara
berkeresekan tadi, mungkin dikiranya kedua gadis itu belum bertukar pakaian.
Gadis berpakaian putih dan berambut panjang terurai di hadapannya dikenalnya
betul sebagai Melati. Ataukah memang mereka belum bertukar pakaian?
"Bagaimana, Kang
Arya?" tanya gadis berpakaian merah. Kini Arya tidak ragu-ragu lagi untuk
menebak kalau wanita berpakaian merah itu benar-benar Melati. Suara gadis itu
amat dikenalnya.
"Luar biasa! Kalau saja
kau tidak berbicara, mungkin aku tidak bisa membedakan mana kau dan mana Mawar,
Melati," sahut Arya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi...?" Gadis
berpakaian merah, yang tidak lain dari Melati itu tidak melanjutkan ucapannya.
"Suaramulah yang
membuatku dapat membedakan kalian."
"Ah...! Kalau begjtu...,
suaramu pun harus diatur, Melati," ucap gadis berpakaian putih yang tak
lain adalah Mawar.
Melati mengernyitkan alisnya.
"Apakah suaraku dan suara
Mawar berbeda jauh, Kang?"
Arya menganggukkan kepala.
"Di mana
perbedaannya?" kejar Melati penuh rasa ingin tahu.
"Suaramu agak
ketus...."
"Kalau Mawar...?"
selak Melati cepat.
"Suara Mawar lembut,
Melati. Lembut, halus dan satu-satu," jawab Arya. "Jadi alangkah
baiknya agar penyamaran kalian tidak terbongkar, kau harus mencoba meniru suara
Mawar. Tentu saja tidak perlu terlalu persis. Setidak-tidaknya, yahhh...,
mendekati. Pokoknya kau tidak boleh menonjolkan perbedaan yang terlalu menyolok."
Sebenarnya mendongkol juga
hati Melati yang sekarang telah berpakaian merah mendengar jawaban dari mulut
tunangannya, sepertinya dia selalu memuji-muji Mawar. Tapi karena tahu Arya
berkata begitu demi kelancaran tugas mereka, rasa dongkol yang melanda hatinya
diusir jauh-jauh.
"Akan kucoba meniru suara
Mawar, Kang."
Setelah berkata demikian,
Melati pun lalu mulai berusaha menirukan ucapan Mawar. Arya mendengarkan penuh
seksama. Beberapa kali gadis berpakaian merah itu terpaksa harus mengulang,
setiap kali Arya menggelengkan kepalanya.
Setelah cukup lama
mengulang-ulang ucapan demi ucapan, akhirnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!" Melati
menghembuskan napas lega. "Apakah suaraku sudah sama dengan suara Mawar,
Kang?"
"Sama sih tidak. Tapi
yang jelas sudah agak mirip," sahut Arya."Kalau begitu, sudah saatnya
aku berbaring di situ," ucap Mawar setengah melucu, seraya menunjuk
balai-balai bambu tempat Melati tadi berbaring tak berdaya. Kemudian, Mawar
yang kini berpakaian serba putih itu melompat ke balai-balai bambu.
"Tapi, bagaimana dengan
tenaga dalammu, Mawar? Tidakkah nanti mencurigakan?" tanya Arya ketika
teringat akan hal itu.
Melati terionjat kaget begitu
mendengar pertanyaan tunangannya. Dengan sinar mata penuh pertanyaan,
ditatapnya wajah Mawar.
Tapi, hati kedua pendekar muda
itu jadi lega begitu melihat gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar.
"Jangan khawatir,"
jawab Mawar menenangkan. "Aku sudah meminum racun itu sebelum masuk ke
sini."
"Tapi, kenapa kau tidak
terserang pusing dan lemas?" tanya Melati penuh rasa heran.
"Ooo..., seperti yang
kalian rasakan itu?"
Hampir bersamaan Melati dan
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Racun yang diberikan
kalian lain dengan yang kuminum. Racun yang kuminum hanya melenyapkan tenaga
dalam secara perlahan-lahan tanpa menimbulkan akibat sampingan."
"Berapa lama racun itu
bekerja?" tanya Melati setengah hati.
"Tak lama lagi, tenaga
dalamku pun akan lenyap semua. Mungkin setelah berbaring."
Setelah berkata demikian,
Mawar lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Kedua tangan dan
kakinya direntangkan ke sudut-sudut balai-balai bambu.
"Tolong ikatkan tali itu,
Melati," pinta gadis berpakaian putih itu. Tak terdengar adanya nada
memerintah dalam ucapannya.
Dengan perasaan berat, Melati
memenuhi permintaan saudara kembarnya. Dijumputnya tali-tali bekas pengikat
tangan dan kakinya. Kemudian diikat pergelangan kedua tangan dan kaki Mawar.
"Lebih erat lagi,
Melati," ucap Mawar begitu merasakan ikatan yang membelenggu tangan dan
kakinya kurang erat
Melati terpaksa memperkuat
ikatan. Dan untuk itu gadis berpakaian merah ini harus menguatkan hatinya.
Setelah dirasakan cukup,
Melati lalu melangkah mundur.
"Jangan lupa dengan
suaramu, Melati," ucap Arya memperingatkan. "Dan ingat... apa pun
yang terjadi, kau harus memaksakan diri tetap diam. Jangan sia-siakan
pengorbanan saudara kembarmu."
Melati hanya menganggukkan
kepala. Dia sudah tak sanggup lagi menanggapi ucapan itu. Rasa haru yang
melanda akibat pengorbanan yang begitu besar dari saudara kembarnya, membuat
dadanya terasa sesak. Bahkan lehernya pun terasa bagaikan tercekik oleh rasa
haru yang menggelegak.
Sesaat kemudian, Melati pun
melangkah keluar ruang tahanan. Dan dengan hati-hati melangkah memasuki kamar
Mawar yang berada tidak jauh dari kamar tahanan. Memang saudara kembarnya itu
telah memberi petunjuk ke tempat yang menjadi kamar tidurnya.
Sesampainya di dalam, tanpa
membuang-buang waktu lagi, Melati lalu bersemadi
untuk mencoba membangkitkan
kembali tenaga dalamnya yang telah lenyap entah ke mana.
***
Melati tak tahu berapa lama
dirinya tenggelam dalam keheningan semadi. Yang jelas, dia segera tersadar
begitu mendengar suara ketukan pintu.
"Mawar...! Cepat
keluar...!" terdengar teriakan-teriakan keras dari luar pintu. Melati
mengenali siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.
Bergegas Melati menghentikan
semadi dan bangkit berdiri. Kemudian melangkah ke arah pintu. Lalu dibukanya.
Benar saja. Di depan pintu dilihatnya Janggulapati dan yang lain- lain berdiri.
"Ada apa,
Janggulapati?" tanya Melati dengan suara yang telah berubah menjadi halus,
lembut, dan satu-satu. Mawar telah memberitahunya bagaimana memanggil mereka.
"Kau harus ikut kami
untuk melihat tontonan menarik yang akan kami suguhkan padamu!" Samiaji
yang menjawab pertanyaan Melati.
Melati menelan kemarahannya
mendengar ucapan itu. Gadis berpakaian merah ini segera teringat pada cerita
Mawar. Saudara kembarnya itu telah diperkosa habis-habisan oleh Samiaji dan
Janggulapati.
Teringat hal ini, kemarahan
Melati bangkit. Tapi gadis ini tidak mau bersikap gegabah. Diingatnya
betul-betul semua nasihat yang diberikan Dewa Arak. Maka kemarahan yang
berkobar dan hendak membakar dada ditahannya dengan sekuat tenaga.
Melati segera melangkah keluar
pintu tanpa bicara apa-apa. Setelah menutup pintu kembali, kakinya dilangkahkan
mengikuti Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar, bersama murid dan anak buahnya yang
telah melangkah lebih dulu.
Sepanjang perjalanan menuju ke
ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan, Melati menyumpah-nyumpah dalam hati.
Kalau saja saat ini tenaga dalamnya tidak musnah, mungkin sudah diterjangnya
orang-orang yang memuakkan ini.
Tak lama kemudian, rombongan
itu sudah berada di depan pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan.
Kriiittt.. !
Terdengar suara berderit pelan
begitu Janggulapati mendorong daun pintu dengan tangan kanannya.
Arya dan Mawar berjingkat
kaget, meskipun pendengaran mereka sudah menangkap adanya bunyi langkah-langkah
kaki yang menuju ke tempat mereka. Tentu saja, Mawar hanya mendengar langkah
kaki empat orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tokoh- tokoh yang
memiliki kepandaian berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!"
Janggulapati tertawa bergelak "Babak pertama dari permainan yang akan kami
buat segera dimulai, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan kepalanya ke arah Mawar pada
Samiaji.
Tanpa diperintah dua kali,
pemuda bertubuh pendek kekar bergegas menghampiri tubuh Mawar yang tergolek di
pembaringan.
"He he he..!"
Samiaji tertawa-tawa.
Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh montok dan menggiurkan
yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar
yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga dikerahkan tenaga dalamnya untuk
memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Tapi usahanya
sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke sana kemari menjadi pertanda
kalau dia tengah berusaha keras membebaskan dirinya.
Bukan hanya Mawar saja yang
kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda kegelisahan serupa. Tidak
terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati!
Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu berteriak- teriak kalap.
Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk memutuskan tali-tali yang
membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar, Arya pun mengalami hal
yang sama. Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana
kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya
suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan kalap Dewa Arak
Brettt!
Baju di bagian dada mawar
robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak pelak lagi tubuh berkulit
putih, halus, dan mulus pun tampak menantang.
Samiaji menelan ludah.
Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin beringas. Bagaikan
seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia
keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo hadapi
aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!"
Seraya membentak keras,
Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak.. !
Seketika itu juga ucapan Arya
terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam itu mendarat telak dan keras
sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya terpaling. Cairan merah kental
menetes di sudut-sudut bibirnya. Janggulapati sengaja tidak mengerahkan tenaga
dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan tenaga luar saja.
Tapi, orang seperti Arya mana
bisa digertak? Dengan berani, meskipun dengan pipi biru lebam, dan terlihat
bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih dari seorang
pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya.
Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!"
Janggulapati menggeram keras.
Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Plak... !
Kepala Dewa Arak sampai
terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya tamparan itu. Kembali rona
merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena tampar. Cairan merah kental
kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi,
lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit
melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu telah bengkak-bengkak dan
biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi oleh bengkak-bengkak di
wajahnya.
Dewa Arak menggertakkan
giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
***
Kelakuan Samiaji yang sudah
diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa mempedulikan banyaknya
orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh pendek kekar itu terus
saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak
mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya
melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya Melati. Dan kembali tangan
murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak
Brettt..!
Suara ribut dari kain yang
robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali terenggut. Kini Mawar
terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun yang melekat di tubuhnya.
Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus pun semakin jelas
menantang.
Sepasang mata Samiaji hampir
melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit kembar' yang menantang
birahinya.
Dengan susah payah pemuda
bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya. Napasnya memburu hebat
bagaikan orang habis berlari jauh.
Bukan hanya Samiaji saja yang
mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak buahnya pun menelan air liur.
Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan laki- laki berpakaian hitam
ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang
tidak tahan melihat kejadian itu, Mata dari Melati dan Arya Buana.
Melati menundukkan kepalanya.
Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan adegan yang akan menimpa
saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan rapat- rapat. Meskipun tidak
menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan pendengaran.
Tapi meskipun begitu, tak
urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis berpakaian merah ini seperti
diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih. Begitu nyeri. Tak dapat
ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua kelopak matanya. Wanita
yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara.
Kalau menuruti perasaan
hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian. Biarlah dia tewas di tangan
mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang di hadapannya. Tapi, akal
sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang dilakukan saudara
kembarnya kalau hal itu dia lakukan.
Bukan hanya Melati saja yang
dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Beberapa kali
Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya dikepalkan terus, hingga
kuku-kukunya membekas di telapak tangan.
Sepasang matanya menatap
lawan-lawannya penuh hawa membunuh. Untuk pertama kalinya Arya yang selama ini
dikenal sebagai pendekar welas asih berniat melenyapkan semua lawan-lawannya
tanpa pertimbangan lagi.
Sementara itu Samiaji sudah
mulai menggeluti tubuh Mawar dengan kasar. Secara buas, liar, dan brutal diciumnya
sekujur tubuh Mawar yang sudah tanpa busana itu. Kedua tangannya meremas-remas
ke sana kemari. Tak dipedulikannya rintihan lirih dari mulut gadis itu. Dalam
pendengaran pemuda bertubuh pendek kekar ini, rintihan menyayat Mawar adalah
nyanyian merdu bidadari yang malah membuatnya semakin brutal.
Janggulapati dan empat orang
anak buahnya menelan ludah melihat adegan yang terpampang di hadapannya.
Tapi sesaat kemudian,
laki-laki berpakaian hitam itu mulai mengadakan penyiksaan terhadap Dewa Arak.
Tidak dipedulikannya lagi semua yang dilakukan muridnya.
Gayatri yang sejak tadi hanya
memperhatikan saja, kini tidak tinggal diam. Wanita pesolek ini pun ikut ambil
bagian dalam penyiksaan terhadap Dewa Arak
Gayatri menggunakan senjatanya
untuk menyiksa Arya. Sebuah kebutan dengan bulu- bulu berwama putih keperakan.
Wurtt! Prattt..!
Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali kebutan di tangan
wanita berpakaian hitam itu menampar sekujur tubuh Arya. Di tangan Gayatri,
kebutan itu berubah menjadi alat penyiksa yang mengerikan. Kebutan itu
terkadang menegang kaku untuk menotok berbagai bagian tubuh Dewa Arak Tapi, tak
jarang melemas, digunakan untuk melecut seperti cambuk. Dan berkali-kali
mendarat di berbagai bagian tubuh Arya.
Berkali-kali tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu meregang, setiap kali Janggulapati maupun Gayatri
mengayunkan tangan. Seluruh baju dan celana Arya sudah compang-camping tak
karuan. Habis tersayat-sayat lecutan kebutan Gayatri.
Meskipun siksaan demi siksaan
menderanya, tapi tidak sedikit pun terdengar jerit kesakitan dari mulut Arya.
Pemuda ini menggigit bibir erat-erat untuk menahan suara rintihan yang hampir
keluar dari mulutnya. Bahkan bibirnya sampai pecah mengeluarkan darah. Hanya
tubuhnya yang sesekali menggeliat yang menjadi bukti kalau siksaan Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar menyakitkan dirinya.
Melati yang tak kuat melihat
adegan penyiksaan terhadap dua orang yang dikasihinya, tertunduk dalam. Hanya
kedua tangannya yang mengepal keras menjadi bukti kalau gadis itu tengah
berperang dengan perasaannya.
Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar baru menghentikan siksaannya setelah Samiaji juga menghentikan nafsu
binatangnya. Ada senyum puas yang tersungging di mulut pemuda bertubuh pendek
kekar itu, ketika perlahan-lahan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau urus mereka, Mawar!
Dan segera keluar kalau tidak ingin bernasib seperti mereka!" ucap
Janggulapati sambil melangkah keluar, diikuti yang lainnya.
Dengan wajah pucat pasi bagai
mayat, Melati kemudian memakaikan pakaian baru berwarna putih pada saudara
kembarnya. Kedua tangannya nampak menggigil keras menahan gejolak perasaan yang
menyiksa.
Sesaat kemudian kedua saudara
kembar ini saling berpelukan erat Mawar dan Melati sama-sama menangis tanpa
suara. Sementara Dewa Arak sama sekali tidak tahu apa-apa. Pemuda berambut
putih keperakan ini sudah pingsan. Tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang
mendera tubuhnya.
Tak lama kemudian, Melati pun
keluar dari kamar itu, setelah melempar pandang ke arah Arya beberapa saat
lamanya. Gadis berpakaian merah ini tak bisa berbuat apa-apa. Melati tahu kalau
Janggulapati tidak main-main dengan ancamannya tadi.
Di luar pintu, dilihatnya
empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatapnya dengan sinar mata
aneh. Tapi gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dan terus
melangkah masuk ke kamarnya.Untuk kesekian kalinya, Melati menelan obat yang
diberikan Mawar. Setelah itu, gadis berpakaian merah ini duduk bersila. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka, dirangkapkan di depan dada. Ujung-ujung jarinya
tegak lurus ke atas. Sedangkan punggungnya ditegakkan. Melati kembali bersemadi
untuk menghilangkan racun milik Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Tak lama kemudian, gadis
berpakaian merah ini sudah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar
hanyalah suara keluar masuknya udara yang ditarik dan dibuang oleh gadis itu.
Suara pelan dan berirama tetap.
Secercah kegembiraan mulai
timbul di hati Melati setelah merasakan ada hawa hangat yang berputar di bawah
pusarnya. Memang masih pelan, tapi sedikit banyak sudah membuat semangat gadis
berpakaian merah ini bangkit
Dengan penuh semangat Melati
meneruskan semadi tanpa mempedulikan sang waktu yang terus bergulir. Yang ada
di dalam benaknya saat ini hanya bersemadi dan bersemadi.
Semakin lama hawa yang
berputaran di bawah pusar Melati semakin bergolak keras. Tapi, gadis berpakaian
merah ini sama sekali tidak peduli. Dia terus saja melanjutkan semadinya dengan
tekun. Dan perlahan namun pasti tubuhnya mulai berguncang-guncang.
Wajah Melati sudah mandi
keringat ketika menghentikan semadi. Perlahan-lahan gadis berpakaian merah ini
bangkit berdiri. Secercah senyuman tersungging di bibirnya. Kini sudah hampir
tiba saatnya dia membalas dendam.
Melati kemudian memusatkan
perhatiannya. Pikirannya disatukan pada keinginannya untuk menyalurkan hawa
yang berputaran di bawah pusarnya ke kedua telapak tangannya. Dan hampir saja
gadis berpakaian merah ini bersorak gembira begitu merasakan aliran aneh yang
merayap ke kedua tangannya. Tenaga dalamnya telah pulih kembali! Tenaga
dalamnya telah kembali berfungsi!
Meskipun begitu, Melati belum
merasa yakin kalau tenaga dalamnya telah kembali seperti semula. Walaupun
begitu, keberhasilan usahanya sudah membuatnya gembira bukan main. Keberhasilan
membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang lenyap ini membuktikan kalau tak
akan lama lagi seluruh tenaga dalamnya pulih kembali.
Kini Melati melangkah ke arah
pintu Kemudian tangannya dijulurkan.
Kriiittt.. !
Terdengar suara berderit pelan
begitu daun pintu kamar terbuka. Perlahan gadis berpakaian merah ini menutupkan
pintu kembali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju ke ruang tahanan Arya dan
Mawar.
Melati mendadak mengerutkan
alisnya begitu melihat di depan pintu ruangan itu berjaga-jaga empat anak buah
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tidak biasanya ruangan ini dijaga. Ada apa
gerangan? tanya gadis berpakaian merah ini dalam hati.
Keempat anak buah Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar menatap lekat-lekat wajah Melati yang mereka sangka
Mawar. Sorot mata mereka liar penuh nafsu. Dan memang, sebenarnya keempat orang
ini sudah lama memendam hasrat jelek pada Mawar. Hanya saja mereka tidak berani
melakukannya. Takut pada ketua mereka.
Mawar telah menceritakannya
semua pada Melati. Maka gadis berpakaian merah ini pun tahu arti pandangan mata
mereka. Tapi, yakin kalau seperti biasanya, empat orang itu tidak berani
mengganggu, Melati meneruskan langkah menuju pintu.
Melati kaget bukan main ketika
melihat empat orang itu berdiri menghadang jalan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Keparat!" bentak
Melati keras. Kemarahan yang he bat memang melanda gadis berpakaian merah ini.
Tapi, untunglah dalam keadaan seperti itu dia masih teringat meniru suara
Mawar. "Berani kalian menggangguku?! Apa kalian tidak takut kepada pemimpin
kalian?!""He he he...!" salah seorang yang bertubuh tinggi kurus
tertawa-tawa dengan lagak menyebalkan. "Mereka baru saja pergi, Mawar. Dan
mungkin nanti malam baru kembali Sekarang kesempatan bagi kami terbuka untuk
bersenang-senang denganmu!"
"Benar...! Ha ha ha...!"
sambut yang berkulit kuning.
"Ayolah, Mawar...!"
yang berambut abu-abu ikut pula angkat bicara.
Seketika wajah Melati berubah.
Kepergian Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji merupakan sebuah
kesempatan emas untuk melarikan diri. Tapi, dia tidak boleh bertindak ceroboh.
Barangkali saja keempat orang ini berbohong padanya.
Tapi, menilik dari sikap
mereka, Melati dapat menduga kalau keempat orang itu sama sekali tidak
berdusta.
"Tunggu
sebentar...!" cegah Melati sambil menjulurkan kedua tangannya.
Seketika langkah kaki keempat
orang itu tertahan.
"Aku bersedia meladeni
kalian..., asal kalian mau menjawab pertanyaanku," ucap Melati.
Keempat orang yang tengah
diamuk nafsu itu mana sempat mencerna arti kata-kata 'meladeni' yang dimaksud
gadis berpakaian merah itu. Yang jelas, kata-kata Melati yang mereka sangka
Mawar, di telinga mereka adalah persetujuan gadis itu.
"Cepat..., ajukan
pertanyaanmu, Mawar...!" desak laki-laki bertubuh tinggi kurus tak sabar.
"Ke mana mereka
pergi?" tanya Melati ingin tahu.
"Mencari tempat
persembunyian ibumu, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Apakah mereka tidak
khawatir kalau tahanan kita melarikan diri?" Melati ingin tahu.
"Ketua tidak sebodoh itu,
Mawar. Sebelum pergi, ketua sudah menjejali kedua tahanan dengan racun. Bahkan
Samiaji kembali menikmati kemolekan tubuh gadis itu."
"Lalu..., kenapa kalian
berjaga-jaga di sini?"
"Agar kau tidak bisa
membawa kabur mereka, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak
sabar. "Mengapa pertanyaanmu begini banyak sih?!"
Melati berpura-pura tersenyum
manis walaupun sebenarnya hatinya bergolak penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Sabar, tinggal satu
pertanyaan lagi. Dan aku akan meladeni kalian."
"Cepatlah, Mawar!"
Seketika wajah laki-laki berambut abu-abu berseri.
"Sebenarnya..., bisa saja
kami memaksamu secara kasar, Mawar. Toh, kami bisa saja mencari-cari alasan.
Misalnya kau ingin membawa kabur tahanan. Tapi..., kami lebih suka kalau kau
melayani secara sukarela. Ha ha ha...! Bukan begitu, Teman-teman?!"
Hampir bersamaan ketiga rekan
laki-laki berambut abu-abu itu menganggukkan kepalanya.
"Aku membatalkan
pertanyaanku!" tandas Melati tegas.
"Heh...?! JadL..?"
laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak melanjutkan ucapannya. Agak kaget juga
dia mendengar jawaban yang ketus itu. Bahkan tiga rekannya juga terkejut
mendengarnya. Dan seketika itu juga mereka bersiap siaga. Tapi keempat orang
kasar itu tidak merasa khawatir, karena telah mengetahui tingkat kepandaian
gadis yang mereka kira Mawar. Jangankan melawan mereka berempat, melawan dua di
antara mereka saja belum tentu gadis itu mampu.
"Rupanya kau lebih suka
diperlakukan kasar, Mawar!"
"Sekarang aku akan
meladeni kalian!"
Setelah berkata demikian,
tangan Melati meluncur ke arah dada laki-laki tinggi kurus. Dalam kemarahan dan
kekhawatiran akan kehadiran Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji, gadis
berpakaian merah ini. Langsung mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
Laki-laki tinggi kurus yang
semula memandang rendah, jadi terperanjat kaget bukan main melihat kecepatan
gerak Melati. Serangan gadis itu tiba begitu cepat. Dan juga angin yang
mengiringi tibanya serangan itu begitu keras.
Dengan sebisa-bisanya
laki-laki tinggi kurus ini berusaha mengelak. Tapi, karena sebelumnya dia tidak
berwaspada, dan lagi serangan itu datang melebihi perkiraannya, maka
Plak... !
Terdengar suara berderak keras
begitu tamparan Melati mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh laki-laki
tinggi kurus itu terpelanting jatuh. Beberapa saat lamanya, tubuh itu
menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas
dengan tulang dada berpatahan. Darah segar mengucur deras dari hidung, mulut,
dan telinga laki- laki tinggi kurus itu.
Ketiga rekannya kaget bukan
main melihat kematian si tinggi kurus. Sungguh tidak mereka sangka kalau Melati
selihai ini. Mungkinkah dalam waktu beberapa hari saja, kepandaian gadis
berpakaian merah ini bisa melonjak begitu cepat? tanya mereka dalam hati, penuh
rasa tidak percaya.
Tapi, ketiga anak buah Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar ini tidak ingin berpikir lebih lama lagi
Srattt, srattt.. !
Sinar-sinar terang berpendar
begitu ketiga orang itu menghunus senjata masing- masing. Mereka tahu kalau
kini entah dengan cara bagaimana, gadis yang mereka sangka Mawar bisa memiliki
kepandaian selihai itu. Maka mereka tidak berani bersikap main-main. Melati
tersenyum sinis.
"Orang biadab seperti
kalian tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Dunia akan gembira bila kalian
semua lenyap dari muka bumi." Tajam dan penuh ancaman ucapan yang keluar
dari mulut Melati. Sedangkan Sepasang matanya mencorong kehijauan menatap
ketiga lawannya.
Tak terasa ketiga orang anak
buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu melangkah mundur setindak. Tengkuk
mereka seketika terasa dingin. Ancaman maut yang mencuat dari gadis di hadapan
mereka tampaknya memang tidak main-main.
Tapi Melati yang sudah dilanda
dendam yang bergelora tidak mau memberi kesempatan lagi. Kembali gadis
berpakaian merah ini menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar naga
meluruk deras mengancam ke arah dada salah seorang anak buah Alap-Alap Bukit
Gantar. Sementara tangan kiri terletak di pinggang.
Wuuuttt.. !
Angin berhembus keras sebelum
sambaran cakar itu sendiri tiba. Laki-laki berambut abu-abu yang menjadi sasaran
sambaran cakar naga segera memapak serangan itu dengan tusukan pedang.
Sementara kedua rekannya pun tidak tinggal diam. Mereka menghujani Melati
dengan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Melati yang tahu kalau tenaga
dalamnya belum pulih secara keseluruhan, buru-buru membatalkan serangannya
seraya melompat mundur begitu melihat lawan memapak tangannya dengan golok.
Hasilnya, serangan ketiga lawannya mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di
depannya.
Melati segera mengambil golok
yang tergantung di pinggang mayat laki-laki bertubuh tinggi kurus. Dan tanpa
ragu-ragu lagi, dia memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Memang ada sedikit
kecanggungan ketika menggunakan golok itu. Tapi sama sekali tidak mempengaruhi
kedahsyatan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung
dahsyat seperti ada ribuan tawon mengamuk begitu Melati menggerakkan golok
rampasannya.
Ketiga anak buah Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar terkejut mendengarnya. Tapi, kejadian itu hanya
berlangsung sebentar. Sesaat kemudian mereka sudah kembali menyerang gadis
berpakaian merah itu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring.
Tapi mana mampu keroco-keroco
seperti mereka menandingi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dahsyat? Terdengar
suara menggerung keras begitu Melati menyambut serangan tiga orang musuhnya
sambil melompat. Sesaat kemudian, terdengar teriakan-teriakan menyayat saling
susul yang diikuti dengan robohnya ketiga orang itu dalam keadaan tanpa nyawa.
Melati menatap ketiga mayat
anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang bergelimpangan saling tumpang
tindih. Ada rasa puas yang terpancar di wajahnya. Sejenak pandangannya
dialihkan pada golok berlumuran darah yang tergenggam di tangannya. Kemudian
dilemparkannya ke bawah.
Cappp!
Batang golok itu menancap di
lantai sampai lebih dari setengahnya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Melati segera membalikkan badan menatap pintu yang terpampang dalam jarak
sekitar lima tombak di depannya.
"Hih...!"
Melati berseru keras seraya
menghentakkan kedua tangan yang membentuk cakar naga ke depan. Inilah jurus
'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...!
Angin keras berhembus dari
kedua telapak tangan gadis berpakaian merah itu. Kemudian meluncur deras ke
arah pintu. Rupanya Melati ingin menguji kekuatan tenaga dalamnya.
Brakkk!
Terdengar suara berderak keras
yang diikuti dengan hancurnya daun pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan.
Hancur berkeping-keping!
Karuan saja suara itu membuat
Arya dan Mawar terkejut bukan main. Serentak keduanya menoleh ke arah ambang pintu
yang sudah tidak berdaun lagi.
Dan dari luar pintu melesat
sesosok bayangan merah, yang sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
"Melati...," hampir
bersamaan Arya dan Mawar mendesah pelan begitu melihat sosok tubuh yang
ternyata tidak lain adalah Melati.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Melati segera bergegas melangkah.
"Bebaskan Mawar dulu,
Melati," ucap Arya bernada perintah.
Melati segera melangkah ke
arah balai-balai bambu Mawar. Agak terburu-buru dia melepaskan tali yang
membelenggu kedua tangan dan kaki saudara kembarnya.
"Melati...!" seru
Mawar serak bemada isak. Air matanya meleleh di sepanjang pipinya. Dan begitu
ikatan yang membelenggunya terlepas, Melati dipeluknya erat-erat
Melati pun balas memeluk tak
kalah erat. Rasa haru yang menggelegak membuat dadanya terasa sesak. Bahkan
gadis berpakaian merah ini tidak mampu mengeluarkan kata- kata. Semua ucapan
yang akan keluar, tersumbat di tenggorokan. Yang dapat dilakukan Melati hanya
balas memeluk erat-erat, sambil menepuk-nepuk punggung saudara kembarnya.
Beberapa saat lamanya kedua
gadis kembar itu saBng berpelukan dengan hati yang sama menangis. Baru Melati
perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Sejenak ditatapnya wajah saudara
kembarnya yang pucat pasi.
"Maafkan aku yang telah
menyusahkanmu, Mawar," ucap Melati. Pelan dan serak suaranya.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Melati. Kau tidak salah." Mawar menggelengkan
kepala.
"Mari kita bebaskan Kang
Arya dulu," ajak Melati sambil menuntun tangan gadis berpakaian putih itu.
Tanpa banyak membantah, Mawar
mengikuti langkah saudara kembarnya menuju balai-balai bambu tempat Arya
diikat.
Sambil melepaskan ikatan yang
membelenggu tangan dan kaki Arya, Melati menatap sekujur tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan diam-diam
hati gadis ini terenyuh begitu melihat keadaan Dewa Arak.
Wajah Arya bengkak-bengkak dan
biru lebam. Bahkan sepasang matanya pun sampai tak terlihat lagi, karena
tertutup oleh bengkak-bengkak pada wajahnya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka
menghitam panjang bekas cambukan. Bahkan sambungan lutut kaki kanannya
terlepas. Begitu pula sambungan tulang siku tangan kirinya.
"Mengapa kau berani
membebaskan kami secara terang-terangan begini, Melati?" tanya Arya pelan,
begitu telah bebas dari belenggu.
"Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar dan Samiaji tidak berada di tempat, Kang," jawab Melati sambil
menatap dengan pandangan iba pada tunangannya. "Yang ada hanya empat orang
anak buahnya."
"Hm..., lalu?" kejar
Arya.
"Mereka semua sudah
kukirim ke akhirat!" tandas gadis berpakaian merah ini tegas.
"Kau tahu ke mana
manusia-manusia terkutuk itu pergi, Melati?" Arya mengganti sebutan untuk
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Melati menganggukkan kepala.
"Ke mana?" Mawar yang
sudah tidak sabar lagi ikut bertanya.
"Mencari ibumu,
Mawar," jawab Melati dengan suara mendesah.
"Ibumu juga,
Melati," balas Mawar membenarkan ucapan gadis berpakaian merah itu.
"Hhh...!" Melati
menghela napas berat
"Kau tidak percaya,
Melati?"
"Bukannya aku tidak
percaya, Mawar. Tapi..., kejadian ini membuatku tidak yakin...." Ragu-ragu
Melati menanggapi.
"Sudahlah...!" Arya
cepat menengahi. "Urusan itu bisa diurus belakangan. Yang penting,
Sekarang kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali."
"Tapi, ke mana?"
tanya Melati bingung.
"Bagaimana kalau ke
tempat persembunyian ibuku?" usul Mawar tiba-tiba.
Arya dan Melati melengak kaget
"Kau tahu di mana
ibumu?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tahu secara pasti sih
tidak. Tapi, aku yakin kalau dia ada di tempat itu. Karena memang tempat itulah
satu-satunya yang sering dia kunjungi kalau sedang tidak ada di rumah. Dan
lagi..., mungkin ibuku bisa mengobati semua luka-luka Kang Arya. Ibuku seorang
yang ahli dalam ilmu pengobatan."
"Bagaimana, Kang?"
tanya Melati meminta pendapat tunangannya.
"Aku setuju," sahut
Arya cepat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga muda-mudi ini pun bergegas
meninggalkan markas Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tak lupa, ketiga orang itu
mengambil guci perak dan Pedang Bintang yang dire but Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Arya terpaksa menggunakan
sebatang tongkat untuk lebih memudahkan berjalan. Mula-mula memang canggung.
Tapi lama kelamaan akhirnya dia mulai terbiasa."Ibu...!" Mawar
berseru keras, begitu melihat seorang wanita setengah baya berpakaian kuning
muda tengah menyapu pelataran yang cukup luas di depan sebuah gua.
Wanita berpakaian kuning muda
yang ternyata adalah Karina sampai terjingkat kaget mendengar panggjlan itu.
Dia kenal betul pemilik suara itu. Dan kepalanya pun cepat ditolehkan ke
belakang karena wanita ini menyapu menghadap mulut gua.
Sekitar lima tombak di depan,
dilihatnya tiga sosok tubuh yang tengah melangkah ke arahnya. Beberapa saat
wanita berpakaian kuning muda ini menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan.
"Mawar...!
Anakku...!"
Seraya berteriak nyaring,
tiba-tiba Karina melempar sapunya dan kemudian menghambur ke arah tiga sosok
tubuh yang tengah menghampirinya.
Mawar segera menghambur ke
arah ibunya. Ditinggalkannya Melati dan Arya.
"Ibu...!" seru gadis
berpakaian putih ini tak kalah keras.
Tapi alangkah heran hati
Mawar, begitu melihat wanita berpakaian kuning muda itu tiba-tiba menghentikan
langkah.
"Kau..., kau
siapa...?" tanya Karina dengan mulut bergetar. Sepasang matanya menatap
gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh rasa heran. Memang,
tadi wanita berpakaian kuning muda ini berlari ke arah mereka karena melihat
pakaian merah yang dikenakan Melati. Tentu saja wanita setengah baya ini jadi
terkejut begitu melihat gadis berpakaian putih yang menghambur ke arahnya. Dan
anehnya wajah gadis itu adalah wajah yang amat dikenalnya. Wajah Mawar!
Dengan pandang mata bingung,
Karina mengalihkan tatapannya ke arah gadis berpakaian merah yang tengah
berdiri berdampingan dengan seorang pemuda berambut putih keperakan. Dan jelas
dilihatnya kalau gadis itu adalah Mawar! Tapi, mengapa gadis itu tidak
menyambut? Malah gadis berpakaian putih ini yang menyambut dan memanggilnya ibu?
"Aku Mawar, Bu,"
sahut gadis berpakaian putih itu terbata-bata. "Mawar putri Ibu? Masa' Ibu
lupa?"
"Lalu..., siapa gadis
itu?" tanya Karina lagi sambil menunjuk gadis berpakaian merah berambut
digelung ke atas.
Kini Mawar baru sadar mengapa
ibunya kebingungan. Mengapa dia sampai lupa? Dia masih berpakaian dan berdandan
Melati. Pantas saja kalau tadi ibunya kebingungan. Apalagi di situ juga ada
Melati yang berperan sebagai Mawar.
"Dia adalah saudara
kembarku, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu cepat "Saudara yang
dulu sering Ibu ceritakan."
"Ah...!" wanita
berpakaian kuning ini terjingkat bagai disengat ular berbisa. "Dia...,
dia... Delima?"
Mawar menganggukkan kepalanya.
Dan seketika itu juga, Karina melayangkan tatapannya ke arah Melati.
Sejak tadi Melati memang sudah
memperhatikan wanita yang dipanggil ibu oleh Mawar. Dan begitu melihat,
seketika timbul rasa sukanya. Wanita setengah baya itu kelihatan begitu agung
dan sederhana. Melati tidak merasa keberatan jika wanita itu benar ibu kandungnya.
"Delima...!" wanita
berpakaian kuning muda itu memanggil dengan suara lirih dan bergetar. Tapi
cukup jelas untuk dapat ditangkap oleh telinga Melati dan Arya.
Kedua kaki Melati menggigil
keras mendengar panggilan wanita berpakaian kuning muda yang begitu sarat
dengan kerinduan. Seketika ada semacam perasaan aneh yang membuat hatinya yakin
kalau wanita di hadapannya ini benar ibu kandungnya.
"Delima... Anakku...!
Kemarilah kau, Nak," panggil Karina lagi. Kedua tangannya terkembang ke
depan. Siap untuk memeluk putrinya yang telah belasan tahun tidak pernah
dijumpai.
Melati menghampiri Karina
dengan jantung berdebar keras."Apa buktinya kalau aku adalah anakmu?"
tanya gadis berpakaian merah ini dengan suara bergetar.
"Kalau kau benar
Delima..., ada dua tanda kehitaman mirip sebuah tompel yang kau miliki. Pada
bahu kananmu dan pada perutmu...," ujar Karina, agak bergetar suaranya.
"Ibu...!"
Kini Melati tidak ragu lagi.
Segera gadis berpakaian merah ini menghambur ke ibunya dengan kedua tangan
terkembang ke depan. Sesaat kemudian ibu dan anak yang telah sekian betas tahun
berpisah sudah sating berpekikan erat
"Delima...,
Anakku..." Tersendat-sendat Karina mengeluarkan ucapan. Sementara, kedua
tangannya sibuk mengusap-usap rambut hitam dan tebal yang dimitiki Melati penuh
kasih sayang.
"Ibu... Mengapa Ibu tega
memberikanku pada orang lain?" tanya gadis berpakaian merah itu sambil
melepaskan pelukan.
Karina tertegun sejenak.
"Dari mana kau tahu,
Delima? Pasti dari Mawar kan?"
Hampir berbarengan Melati dan
Mawar menganggukkan kepala.
"Panjang ceritanya,
Delima. Tapi percayalah...! Semua itu Ibu lakukan demi keselamatanmu
juga."
Melati pun terdiam seketika.
"Mari masuk dulu, Delima.
Ajak pula kawanmu. Ketihatannya dia mengalami luka parah. Luka-lukanya perlu
segera mendapatkan pengobatan."
Sesaat kemudian, keempat orang
itu pun sudah masuk ke dalam gua.
***
Ternyata Mawar tidak berbohong
sewaktu mengatakan kalau ibunya adalah seorang ahli pengobatan. Tidak sampai
dua hari, luka-luka yang diderita Arya sudah sembuh sama sekali. Sementara
pengobatan untuk tenaga dalamnya yang musnah, disembuhkan dengan arak yang
berasal dari guci peraknya. Selama dua hari itu pula Melati terpaksa menahan-
nahan diri untuk tidak mendesak ibunya menjelaskan mengapa dirinya dipisahkan.
Dua hari itu dihabiskan oleh
Melati untuk melakukan semadi mengembalikan kondisinya seperti semula. Ternyata
obat yang diberikan wanita berpakaian kuning ini memang manjur. Terbukti, dua
hari kemudian tenaga dalamnya telah putih kembali seperti sediakala.
Pagi ini, saat yang
dinanti-nantikan Melati pun tiba. Karina menyuruh mereka berkumpul di bagian
tengah gua yang kebetulan mempunyai ruang cukup luas dan terang. Mereka semua
duduk di tanah membentuk lingkaran.
"Dengarlah oleh kalian semua,
terutama kalian berdua," ucap Karina seraya menatap Melati dan Mawar
bergantian, setelah keduanya menceritakan semua kejadian yang mereka alami
sehingga bisa bertemu. Bahkan Melati pun menceritakan semua hal yang dialaminya
sejak kecil. Kedua saudara kembar itu kini telah kembali pada pakaian dan
dandanan masing- masing.
Melati dan Mawar menganggukkan
kepala berbareng. Kini pendengaran mereka dipasang tajam-tajam untuk mendengar
sejarah hidup keluarga mereka.
"Puluhan tahun lalu, ayah
kalian adalah seorang pendekar sakti yang jarang memiliki tandingan. Palungga
namanya. Tapi sayang sekali. Ayahmu terlalu kejam pada orang-orang yang berbuat
jahat. Tak ada ampun bagi setiap orang jahat yang bertemu dengannya."
Karina menghentikan ceritanya
untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah-wajah yang mendengarkan ceritanya
dengan penuh minat. Tak terkecuali Mawar. Karena baru kali inilah ibunya
bercerita begini jelas. Dan hal itu terpaksa dilakukan wanita berpakaian kuning
muda ini untuk membuat hati Melati puas.
"Ketika ayahmu menikah
denganku, baru kekejamannya berkurang. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhi
kerasnya dunia persilatan," sambung wanita setengah baya itu lagi.
"Tapi, karena ayahmu telah terlalu banyak menanam dendam pada orang lain,
usahanya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan sia-sia."
"Maksud, Ibu...?"
tanya Melati dengan suara bergetar. Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga apa
yang terjadi, tapi gadis berpakaian putih ini masih juga bertanya.
"Yahhh...! Pada suatu
malam, orang-orang persilatan golongan hitam menyerbu rumah kami. Ayahmu
menyuruhku menyelamatkan diri sambil membawa kalian. Sementara dia sendiri
berusaha menahan orang-orang golongan hitam itu."
"Ayah...," keluh
Melati pelan. Ada keharuan yang menyeruak di hati gadis berpakaian putih ini
begitu mendengar ayahnya sengaja mengorbankan diri agar anak istrinya selamat
"Dengan membawa kalian,
aku melarikan diri. Berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Dan sewaktu aku menumpang di rumah keluarga adikku yang belum dikaruniai anak,
mereka menawarkan diri untuk mengurus salah seorang di antara kalian."
Kembali Karina menghentikan
ceritanya. Wanita berpakaian kuning muda ini terdiam sejenak. Sepertinya dia
tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dengan berat hati, aku
terpaksa melepaskan kau, Delima. Karena hanya kaulah yang punya tanda-tanda
khusus yang dapat kujadikan bukti sebagai anakku kelak," sambung Karina
lagi. "Dan tak lama kemudian, aku bertemu dengan sahabat suamiku. Bongaya
namanya. Dia bersedia menampungku. Bahkan bersedia menganggap Mawar sebagai
anak dan mengakuiku sebagai istrinya. Semua itu dilakukan untuk
menyelamatkanku. Dia menjadi suamiku tidak dalam arti sebenarnya."
Karina menghentikan ceritanya.
"Cerita selanjutnya kau
saja yang menyambungnya, Mawar?" wanita berpakaian kuning muda itu
menawarkan.
Mawar menganggukkan kepala.
"Sekitar dua pekan lalu,
ketika ayah tengah melatihku, muncul dua orang yang mengaku berjuluk Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar mencari ibu. Ayah mengatakan tidak tahu. Tapi rupanya
mereka tidak percaya."
Gadis berpakaian merah itu
menghentikan ceritanya sejenak. Janggal rasanya menyebut ayah pada orang yang
ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan dibilang ayah tirinya pun bukan!
"Akhirnya terjadi
pertarungan. Ayah tewas, dan aku pingsan. Cerita selanjutnya kalian sudah tahu
sendiri."
Suasana jadi hening seketika
begitu Mawar menghentikan ceritanya. Masing-masing tenggelam dalam lamunan
sendiri-sendiri.
***
"Heiii...! Yang ada di dalam...!
Keluar...!"
Terdengar suara teriakan keras
dari luar yang menggema ke dalam gua. Seketika itu juga empat sosok tubuh yang
tengah tenggelam dalam lamunan masing-masing tersentak kaget
"Janggulapati...,"
desis Arya yang mengenali suara keras dari luar gua.
Seketika itu juga amarah Dewa
Arak kembali bergolak. Cepat pemuda berambut putih keperakan ini bangkit
berdiri.
Begitu melihat Arya bangun,
Melati, Mawar, dan ibunya pun bergerak bangun dan melangkah ke luar gua.
Ternyata dugaan Dewa Arak tidak
meleset. Di luar gua telah berdiri Sepasang Alap- Alap Bukit Gantar dan
Samiaji. Ketiga orang ini marah bukan main begitu kembali pada malam hari,
semua penjaga telah tewas dan tawanan mereka telah lolos semua.
Betapapun telah berpikir
keras, mereka tak juga mengetahui bagaimana semua itu bisa terjadi. Tanpa
berpikir lebih lama lagi, ketiganya segera mengejar. Setelah ke sana kemari,
akhirnya mereka menemukan gua tempat tinggal Karina. Itu pun atas petunjuk yang
mereka terima dari seorang pencari kayu bakar.
"Kau dan ibumu tunggu di
sini saja, Mawar," ucap Arya. "Biar aku dan Melati yang menghadapi
mereka."
Mawar dan Karina yang tahu
kalau kepandaian mereka tidak banyak berarti bila dipakai menghadapi ketiga
orang itu, menganggukkan kepala tanpa banyak membantah.
"Hati-hatilah..., mereka
sangat licik," Mawar tak lupa memberi nasihat
Arya dan Melati menganggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Akan kuperhatikan
nasihatmu, Mawar," sahut Melati seraya melangkah keluar gua.
Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar dan Samiaji menatap wajah Melati dan Arya tajam- tajam.
Seketika wajah mereka memucat.
Dari wajah dan mata muda-mudi yang melangkah keluar gua itu mereka tidak
melihat adanya tanda-tanda racun yang mereka berikan.
Mungkinkah kedua orang ini
sudah terbebas dari racun? pikir mereka setengah tidak percaya. Tapi, bagaimana
bisa secepat itu? Padahal sekalipun mereka mendapatkan obat yang paling manjur,
paling cepat butuh waktu empat hari. Rupanya mereka sama sekali tidak tahu
kalau guci arak pusaka Arya mampu menawarkan segala macam racun! Sementara
Melati telah memulai pengobatannya sewaktu masih berada di sarang mereka.
Arya segera menjumput guci
arak di punggungnya. Kemudian menuangkan ke mulutnya. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk.. !
Terdengar suara tegukan begitu
arak melewati tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar
di perut Dewa Arak. Dan perlahan-lahan hawa hangat tadi naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Samiaji melompat menerjang
Melati. Tangan kanannya terayun deras menampar ke arah pelipis.
Wuuuttt.. !
Angin berhembus keras sebelum
tamparan itu tiba. Melati yang pernah menjajal tingkat kepandaian pemuda
bertubuh pendek kekar itu tak ragu-ragu lagi mengangkat tangan kiri menangkis.
Plakkk!
Benturan antara dua buah
tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi.
Akibatnya tubuh Samiaji yang masih berada di udara terjengkang ke belakang.
Namun dengan manis pemuda bertubuh pendek kekar itu mematahkannya, dan mendarat
mulus di tanah. Meskipun begitu, sebuah seringai kesakitan nampak di wajahnya.
Sementara Melati hanya agak
goyah saja kuda-kudanya. Tidak tampak kalau gadis berpakaian putih ini
terpengaruh dengan benturan itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau
tenaga dalam Melati masih berada di atas Samiaji.
Samiaji menggeram keras.
Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang marah bukan main. Dari benturan ini
sudah diketahuinya kalau tenaga dalam Melati sudah pulih kembali. Entah
bagaimana hal itu bisa terjadi, pemuda bertubuh pendek kekar ini tidak habis
mengerti.
"Hih...!"
Entah dari mana mengambilnya,
tahu-tahu di tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu telah tergenggam sebatang
tongkat berujung bulan sabit
Wuk, wuk, wuk..!
Terdengar suara mengiuk keras
begitu Samiaji me-mutar-mutar tongkatnya laksana baling-baling. Dan .........
"Haaat..!"
Tongkat berujung logam bulan
sabit itu meluncur cepat ke arah dada Melati. Tapi gadis berpakaian putih ini
tidak menjadi gugup. Cepat kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan
tubuh sehingga sambaran tongkat lewat sejengkal di samping kirinya.
Tapi, sebelum Melati sempat
berbuat sesuatu, tongkat bulan sabit itu dikelebatkan ke samping kiri. Menebas
leher gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi
Melati kecuali merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas
kepalanya. Dan dan bawah, gadis ini melancarkan serangan balasan
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung
keras begitu gadis berpakaian putih ini balas menyerang. Entah kapan dan
bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang tadi
tersampir di punggung. Dan sekali menyerang, Melati telah menggunakan 'Ilmu
Pedang Seribu Naga', andalannya.
Melati yang memang sangat
dendam pada Samiaji atas perbuatan pemuda itu pada saudara kembarnya, tak
kepalang tanggung melakukan serangan. Seluruh kemampuan yang dimilikinya
langsung dikerahkan. Tentu saja serangan-serangan itu membuat Samiaji jadi
kalang-kabut
Meskipun begitu, tidak berarti
kalau pemuda bertubuh pendek kekar ini sama sekali tidak berdaya. Perlawanan
mati-matian Samiaji membuat Melati sama sekali tidak mampu mendesak. Dan itu
berlangsung sampai belasan jurus.Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap cemas
ke arah pertempuran. Meskipun dilihatnya pertarungan masih berjalan imbang,
tapi laki-laki berpakaian hitam ini tahu kalau Samiaji bukan tandingan Melati.
Kalau tidak cepat-cepat dibantu, muridnya pasti akan tewas di tangan Melati.
Dan bantuan itu hanya dapat dilakukan kalau Dewa Arak berhasil dia robohkan.
Maka tanpa ragu-ragu lagi
istrinya segera diberi issyarat agar ikut maju bersamanya menghadapi Dewa Arak.
Dia sendiri segera mengeluarkan senjata andalannya. Sepasang pedang pendek yang
bergagang sekabgus sarung dari kayu jati berukir.
Gayatri pun tidak tinggal
diam. Cepat tangannya bergerak Dan sesaat kemudian di tangan kanannya telah
tergenggam sebuah kebutan berbulu putih.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan nyaring,
Janggulapati melesat cepat ke arah Dewa Arak. Pedang pendek di tangan kanannya
berkelebat cepat menuju leher Arya.
Dan sebelum serangan laki-laki
berwajah tirus itu tiba, serangan Gayatri telah datang menyusul. Ketika wanita
pesolek ini menggerakkan kebutan yang dipegangnya, seketika itu juga bulu-bulu
kebutan yang semula lembut berubah jadi kaku laksana tombak.
Hanya orang yang mempunyai
tenaga dalam tinggilah yang bisa melakukannya. Dan kebutan yang telah kaku
bagai tombak itu menusuk cepat ke arah ulu hati Arya.
Menghadapi dua serangan maut
yang tiba berbarengan, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Tubuhnya segera
direndahkan sehingga serangan pedang pendek Janggulapati lewat di atas
kepalanya. Sementara serangan kebutan yang mengarah ke ulu hatinya, ditangkis
dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang
nyaring bagai beradunya dua benda logam. Dan seketika itu juga bulu kebutan itu
me lemas kembali.
Gayatri memekik keras begitu
merasakan sekujur tubuhnya bergetar he bat tatkala kebutannya berbenturan
dengan guci Dewa Arak Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung
dua langkah ke belakang. Sekujur tangan yang memegang kebutan terasa
sakit-sakit. Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau tenaga dalam
yang dimiliki wanita pesolek ini masih berada di bawah Arya.
"Hup!"
Ringan tanpa suara tubuh
Janggulapati mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu
pula pedang pendek di tangan kirinya ditusukkan ke arah perut Arya.
Dengan perhitungan matang
seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya mendoyongkan
tubuh ke samping kiri sehingga serangan pedang pendek itu lewat setengah
jengkal di sebelah kanannya
Belum lagi Dewa Arak sempat
balas menyerang, kebutan di tangan Gayatri kembali menyambar. Tapi kali ini
tidak menegang kaku seperti sebelumnya, melainkan lemas. Dan menyabet keras ke
arah pelipis Arya. Angin yang bercicitan keras mengiringi tibanya serangan itu.
Lagi-lagi Dewa Arak
mempertunjukkan kelihaiannya. Serangan kebutan Gayatri dielakkan hanya dengan
menarik kepalanya ke belakang.
Dewa Arak memang sudah
bertekad untuk menghabisi nyawa Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Begitu
mendapat kesempatan, pemuda berambut putih keperakan ini tanpa ragu-ragu lagi
segera melancarkan serangan balasan.
Sesaat kemudian, ketiga tokoh
sakti ini sudah teilibat dalam pertarungan seru dan menarik
***Kembali untuk yang kesekian
kalinya Dewa Arak harus mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ternyata bukanlah tokoh sembarangan. Mereka
adalah tokoh-tokoh hitam yang memiliki kepandaian tinggi
Kalau saja menghadapi mereka
satu lawan satu, tidak terlalu sulit bagi Dewa Arak untuk mengalahkan mereka.
Tapi, karena kedua datuk sesat ini maju berbareng, tak urung pemuda berambut
putih keperakan ini jadi kewalahan juga.
Kepandaian satu orang
Alap-Alap Bukit Gantar saja hanya berselisih sedikit dengan Arya. Maka dapat
dibayangkan betapa hebatnya kalau kedua suami istri ini maju berbareng. Dan
yang lebih he bat lagi, dengan maju berbareng mereka dapat saling bantu.
Arya menggertakkan gigi. Dalam
kemarahan yang meluap, dan tekad untuk melenyapkan manusia-manusia bermoral
bejat itu untuk selama-lamanya, Dewa Arak mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Dan dengan sendirinya pemuda berpakaian ungu ini pun berada dalam
puncak kemampuannya.
Hebat bukan main pertarungan
antara Dewa Arak melawan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Dan seperti juga
Arya, sepasang tokoh sesat itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa! Akibatnya, pertarungan antara ketiga orang itu
berlangsung cepat
Tak terasa lima puluh jurus
telah berlalu, dan sampai sejauh itu belum nampak tanda- tanda ada yang akan
terdesak. Sementara keadaan arena pertamngan sudah porak-poranda. Suara
meledak-ledak, mendesing, mengaung mengiringi pertamngan ketiga orang itu.
Membuat tanah terbongkar di sana-sini. Dan debu pun mengepul tinggi ke udara.
Bahkan batu besar dan kecil pun beterbangan ke sana kemari.
Berbeda dengan Dewa Arak yang
belum mampu mendesak lawan, Melati justru sudah mulai dapat menekan lawannya.
Samiaji kini hanya mampu mengelak, sesekali menangkis, dan hanya kadang-kadang
saja melakukan serangan balasan. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang kalah
segala-galanya bila dibanding lawannya. Kalah dalam hal ilmu meringankan tubuh,
tenaga dalam, dan juga mutu ilmu silat Melati dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'nya
membuat pemuda ini mati kutu.
Janggulapati dan Gayatri cemas
bukan main melihat keadaan Samiaji. Sungguh tidak mereka sangka kalau Dewa Arak
mampu menahan serangan mereka sampai sekian lamanya. Sudah hampir enam puluh
jurus mereka bertarung, tapi belum ada satu pun serangan mereka yang berhasil
mengenai tubuh Arya. Dan ini tentu saja membuat Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar
cemas. Menilik dari keadaan, mereka yakin kalau Dewa Arak tidak akan bisa
dirobohkan dalam waktu singkat. Sementara keadaan Samiaji sudah demikian gawat!
"Haaat..!"
Samiaji tidak sabar lagi.
Tanpa mempedulikan pertahanan lagi, pemuda bertubuh pendek kekar ini melompat
menerjang Melati. Tongkat berujung bulan sabit di tangannya ditusukkan ke arah
dada gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!"
Melati menekuk punggungnya ke
belakang sehingga serangan Samiaji lewat di atas dadanya. Dan begitu tubuh
pemuda bertubuh pendek kekar itu lewat di atas tubuhnya, tangan Melati bergerak
cepat
Singgg, crattt..!
Pedang di tangan Melati
menyobek tubuh Samiaji. Mulai dari perut sampai ke leher. Seketika itu juga
darah menyembur deras dari luka murid tunggal Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar
yang menganga lebar.
Melati tentu saja tidak mau
terkena cipratan darah itu. Maka cepat laksana kilat, begitu pedangnya
berkelebat, tubuhnya pun melenting ke atas.
"Samiaji...!"
Janggulapati memekik keras
melihat muridnya menggelepar-gelepar mengerang nyawa. Tanpa mempedulikan Dewa
Arak lagi, tubuhnya segera melesat ke arah Melati yang masih berada di udara.
Dan seiring tubuhnya melesat, sepasang pedang pendeknya menyambar cepat ke arah
Melati.
Arya kaget bukan main melihat
perbuatan Janggulapati. Saat ini posisi Melati sama sekali tidak memungkinkan
untuk menangkis, apalagi mengelakkan serangan yang datang begitu tiba-tiba itu.
Gadis itu berada dalam bahaya besar! Dan dia harus cepat menolong kalau ingin
kekasihnya selamat. Tapi, pada saat yang sama, Gayatri tengah melancarkan
serangan bertubi-tubi dengan menggunakan kebutannya. Serangan-serangan itu
mengancam ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
"Hih...!"
Dewa Arak memekik keras. Dan
dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tubuhnya dibanting ke tanah seraya
menghentakkan kedua tangannya ke arah tubuh Janggulapati yang tengah melayang
ke arah Melati.
Wusss!
Angin keras berhawa panas
menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'!
Janggulapati terkejut bukan
main melihat hal ini. Posisinya yang sudah berada di udara tidak
memungkinkannya lagi untuk menangkis. Tidak ada jalan lain baginya kecuali
menggeliatkan tubuh sebisa-bisanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bresss!
Usaha laki-laki berpakaian
hitam ini sia-sia belaka. Pukulan jarak jauh yang dikirimkan Arya tetap
mengenai tubuhnya. Seketika itu juga tubuh Janggulapati melayang. Terdengar
jeritan menyayat mengiringi terlontarnya tubuh laki-laki berpakaian hitam itu.
Tokoh sesat ini tewas seketika sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Gayatri memekik keras melihat
keadaan suaminya. Seketika itu juga wanita pesolek ini melesat cepat ke arah
Arya. Bulu-bulu kebutannya yang menegang kaku seperti tombak, menusuk cepat ke
arah ubun-ubun Arya.
Tentu saja Melati tidak
tinggal diam melihat adanya bahaya yang mengancam keselamatan kekasihnya. Cepat
tangan kanannya dikibaskan. Dan....
Singgg...!
Dengan diiringi suara
mendesing yang menyakitkan telinga, pedang di tangan gadis berpakaian putih ini
melesat memapak tubuh Gayatri yang tengah meluncur ke arah Dewa Arak.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Melati. Berbarengan pedangnya dilontarkan, kedua tangannya
dihentakkan. Jari-jari kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Inilah
jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Gayatri terkejut bukan main
melihat datangnya serangan yang meluruk cepat ke arahnya. Wanita pesolek ini
tahu kalau dia nekat meneruskan serangan pada Dewa Arak, maka sebelum
serangannya tiba, pedang yang dilontarkan Melati akan lebih dulu menghunjam
tubuhnya. Sehingga mau tak mau dia terpaksa mambatalkan serangan pada orang
yang telah menewaskan suaminya. Kini kebutan itu digunakan untuk menangkis
serangan.
Tranggg...!
Terdengar suara berdentang
keras seperti beradunya dua logam. Pedang Melati terlempar jatuh ke tanah,
sementara bulu-bulu kebutan yang tadi menegang kaku kembali me lemas.
Dan sebelum Gayatri sempat
berbuat sesuatu, serangan susulan dari Melati telah menyambar tiba. Wanita
pesolek ini kaget bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Bresss...!
Telak dan keras sekali pukulan
jarak jauh yang dilancarkan Melati mengenai sasaran. Tubuh Gayatri langsung
terpental batik, diiringi jeritan menyayat dari mulutnya.
Brukkk!Tentu saja Melati tidak
tinggal diam melihat bahaya mengancam keselamatan kekasihnya.
Singgg...!
Pedang di tangan Melati
melesat cepat memapak tubuh Gayatri yang tengah berlari dari belakang untuk
membokong Dewa Arak!Terdengar suara berdebuk keras begitu tubuh wanita pesolek
itu terhempas di tanah. Gayatri menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya
diam tidak bergerak lagi
"Hup!"
Ringan tanpa suara Melati
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sesaat kemudian, dia sudah berlari
menghampiri Arya. Berbareng dengan Karina dan Mawar yang menghambur juga ke
arah Dewa Arak
Mawar berdiri terpaku di depat
mayat Samiaji. Sepasang mata gadis ini nampak berkaca-kaca. Puas sudah perasaan
hatinya kini. Dendamnya telah dibalaskan oleh saudara kembarnya sendiri.
Sesaat kemudian, suasana
gembira pun segera menyelimuti hati mereka. Dengan perasaan haru bercampur
gembira, Karina dan Mawar memeluk Melati. Musuh-musuh
mereka kini telah tewas. Tidak
ada lagi ancaman yang datang.
***
Arya tinggal bersama keluarga
Melati selama dua hari. Dan baru pada hari ke tiga, pemuda berambut putih
keperakan ini mohon pamit untuk melanjutkan pengembaraannya.
"Mengapa begitu
terburu-buru, Arya?" Karina berusaha mencegah. "Tinggallah beberapa
hari lagi bersama kami."
"Bukannya aku tidak suka
tinggal di sini, Bu," sahut Arya sambil tersenyum lebar. "Tapi,
perjalananku masih sangat panjang. Masih banyak orang yang butuh bantuanku."
Bukan hanya Karina dan Mawar
saja yang merasa keberatan. Diam-diam Melati pun merasa keberatan juga. Arya
tentu saja mengetahuinya.
"Biarlah Melati yang
menemani Ibu dan Mawar di sini.... "
"Tapi, Kang..,"
Melati terkejut bukan main mendengar ucapan kekasihnya. Hatinya terasa be rat
untuk berpisah dengan Arya. Gadis berpakaian putih ini berada dalam posisi yang
sulit. Kalau menurutkan perasaan hatinya, rasanya akan lebih baik kalau Arya
tinggal beberapa hari lagi sehingga dia tidak perlu berpisah dengan orang-orang
yang dicintainya. Tapi Melati sadar kalau hal itu tidak mungkin. Arya adalah
seorang pendekar. Dan masih banyak tugas yang harus dikerjakan kekasihnya itu.
"Tinggallah bersama
ibumu, Melati," sahut Arya buru-buu. "Toh, tidak sulit bagimu untuk
mengikuti jejakku. Lagi pula, seandainya masih ada orang yang berniat jelek
pada keluargamu, kau dapat melindungi mereka."
Melati tidak dapat membantah
ucapan tunangannya. Dan Arya pun segera pergi dan situ. Dewa Arak melangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
"Selamat tinggal,
Melati," ucap Arya sambil melambaikan tangan
"Selamat jalan,
Kang," sahut Melati. Tangan gadis ini balas melambai. Sementara Karina dan
Mawar hanya me man dang kepergian Arya sambil terse nyum lebar. Sedangkan
Melati terus menatapi tubuh Arya sampai lenyap di kejauhan.
SELESAI