49 Geger Pulau Es
1
Trang, trang, tring!
Dentang nyaring senjata beradu
yang diiringi percikan bunga-bunga api ke udara, menambah tidak nyaman suasana
persada. Memang, saat itu musim kemarau tengah melanda bumi. Matahari tepat
berada di atas kepala, dan menyorotkan sinarnya dengan garang. Panasnya tak
terkira lagi.
Dalam suasana demikian,
pertarungan itu berlangsung. Yang lebih gila lagi, pertarungan itu terjadi di
hamparan tanah lapang luas. Sejauh mata memandang tidak terlihat pepohonan,
yang ada hanya rerumputan. Itu pun pendek pendek dan berwarna kuning
kecoklatan, terpanggang slnar matahari!
Tidak adanya pohon-pohon
menyebabkan sengatan garang sinar matahari langsung menerpa tubuh orang-orang
yang tengah bertarung. Tapi semua itu tidak dipedulikan mereka. Bahkan, sinar
garang sang Surya semakin menambah semangat bertarung mereka. Suasana riuh
rendah pun melingkupi sekitar tempat itu.
Pertarungan itu terjadi antara
dua kelompok yang memiliki perbedaan yang menyolok. Kelompok yang satu adalah
sepasukan tentara kerajaan. Ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan.
Sedangkan lawan mereka sekelompok orang yang memiliki tindak-tanduk kasar.
Pakaian yang dikenakan pun beraneka ragam.
Rupanya, pertarungan itu sudah
berlangsung cukup lama. Wajah-wajah orang yang terlibat pertarungan telah
dibasahi cucuran peluh. Napas yang keluar dari hidung dan mulut mereka pun
terdengar memburu.
Mendadak... Crattt! “Akh!”
Salah seorang anggota pasukan
kerajaan menjerit kesakitan ketika senjata lawan membeset pinggangnya. Prajurit
sial itu pun mendekapkan tangannya ke bagian tubuh yang terluka.
“Permana. .!”
Hampir serempak rekan-rekan
prajurit itu menjerit kaget. Tapi hanya sampai di situ saja. Tidak ada tindakan
pertolongan. Keadaan mereka sendiri pun tidak berbeda jauh dengan Permana.
Pasukan prajurit kerajaan rupanya tengah terdesak.
Itu tidak aneh, karena jumlah
lawan terlalu banyak untuk mereka. Satu orang prajurit harus menghadapi tiga
orang lawan. Sedangkan tingkat kepandaian mereka hanya sedikit di atas lawan-lawannya.
Akibatnya, pasukan prajurit itu kewalahan. Hingga mereka tak bisa membantu
Permana.
Permana, prajurit bertubuh
pendek kekar, harus berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tubuhnya bergerak ke sana kemari meng-hindari bahaya maut yang datang dari
sambaran senjata lawan. Untuk beberapa saat lamanya Permana masih berhasil
menghindar. Tapi sampai kapan dia dapat bertahan? Begitu pun dengan
rekan-rekannya. Hanya saja keadaan mereka sedikit lebih baik dari Permana.
Di saat yang amat gawat itu,
tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan yang langsung memasuki kancah
pertarungan. Cepat bukan main gerakannya.
Betapa tidak? Dua sosok
bayangan ungu dan putih itu mampu menyelinap di antara kelebatan senjata
orang-orang yang tengah bertarung. Kalau saja tidak mempunyai ilmu meringankan
tubuh tinggi, tindakan dua sosok bayangan itu hanya akan mengakibatkan bahaya!
Tubuh mereka akan terkena sabetan senjata-senjata yang tengah berkelebatan
cepat.
Namun, kenyataannya berbeda
jauh. Keduanya berhasil mendarat di tengah-tengah kancah per-tarungan. Sosok
bayangan putih melesat ke arah Permana yang berada dalam bahaya. Lakilaki
pendek kekar itu tengah terpojok oleh keroyokan senjata tiga orang lawannya.
Plak, plak, plakkk!
Bunyi berdetak keras terdengar
ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan sepasang tangan sosok bayangan
putih! Sosok bayangan putih itu menangkis semua serangan dengan tangan
telanjang. Dapat diperkirakan, betapa besar kekuatan tenaga dalam yang tersalur
pada kedua tangannya.
Akibatnya, tubuh ketiga orang
kasar itu terhuyung huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit. Hal yang
sama pun menimpa teman-teman mereka yang menghadapi sosok bayangan ungu.
Melihat kenyataan itu, orangorang kasar lainnya segera meninggalkan lawan-lawannya.
Kemudian, mereka berkumpul menjadi satu.
“Siapa kalian? Mengapa
mencampuri urusan kami?!” bentak salah seorang dari gerombolan orang kasar yang
berjumlah enam belas orang.
Orang itu bertubuh tinggi
kurus dan berkepala botak. Menilik sikapnya dia adalah sang Pemimpin. Golok
besar yang tergenggam di tangannya diacung-acungkan. Wajah orang itu
menggambarkan rasa penasaran. Betapa tidak? Kalau saja tidak ada campur tangan
sosok bayangan putih, tentu saat ini dia telah berhasil memenggal kepala
Permana.
Sepasang matanya yang besar
dan buiat seperti jengkol, merayapi sekujur tubuh sosok bayang ungu yang tampak
telah berdiri bersebelahan. Sementara kedua sosok itu berdiri tenang,
membelakangi pasukan kerajaan yang telah berkumpul mengobati luka-luka mereka.
“Hi hi hi...!”
Sosok bayangan putih yang
ternyata seorang gadis jelita, berpakaian putih dan berambut panjang, tertawa
mengikik. Nadanya meremehkan lawan.
“Orang seperti kalian ingin
mengetahui siapa kami?! Hi hi hi...! Lucu sekali!”
Wajah laki-laki berkepala
botak langsung merah padam. Amarahnya naik ke ubun-ubun! Kemarahan akibat
campur tangan gadis berpakaian putih itu saja belum lenyap, eh... kini ditambah
dengan hinaan itu. Siapa yang tidak kalap?
“Keparat! Mulutmu terlalu
kurang ajar, Wanita Sundal! Kau akan menerima balasannya. Kau akan kami
telanjangi dan akan kami perkosa ramai-ramai sampai mati! Serbu...!”
Usai berkata demikian,
laki-laki berkepala botak memberi aba-aba pada kawan-kawannya untuk menyerang.
Disadarinya kalau kedua lawannya bukan orang sembarangan. Telah dirasakan
sendiri kelihaian gadis berpakaian putih. Sedangkan kawan gadis itu, pemuda
berpakaian ungu, meskipun belum dirasakan sendiri kelihaiannya, tapi bisa
diperkirakan. Hingga dirinya tidak berani bertindak gegabah, dan langsung
memerintahkan penyerangan bersama-sama.
Seketika itu pula, beraneka
ragam dan berbagai bentuk senjata meluncur ke arah sepasang muda-mudi yang
berwajah elok itu. Bunyi bercericitan mengiringi meluncurnya senjatasenjata
itu.
Tapi, sepasang muda-mudi itu
tidak menjadi gugup. Apalagi gadis berpakaian putih! Bukannya gugup atau
gentar, dia malah murka bukan main. Ucapan pemimpin orang-orang kasar itu telah
menyinggung harga dirinya. Dari mulut gadis itu keluar lengking kemarahan.
Dengan amarah berkobar-kobar, disambutnya serbuan lawan-lawannya.
Tindakan sepasang muda-mudi
itu memang patut diacungi jempol. Meskipun belasan lawan menyerbu dengan
menggunakan senjata yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya, mereka tetap tidak
mengeluarkan senjata. Serbuan itu disambut mereka dengan tangan kosong.
Hebat! Tindakan yang diambil
sepasang muda-mudi itu bukan didorong oleh kesombongan, tapi karena memang
memiliki kemampuan. Lincah laksana kera dan gesit laksana bayangan, tubuh
mereka berkelebat di antara kelebatan senjata-senjata lawan. Hasilnya, tidak
satu pun serangan lawan yang mengenai sasaran.
Sebaliknya, setiap kali tangan
atau kaki gadis berpakaian putih dan pemuda berpakaian ungu bergerak, dapat
dipastikan ada sosok tubuh yang terlempar keluar dari kancah pertarungan dengan
diiringi jerit kesakitan.
Dan serbuan belasan orang
kasar itu laksana sekumpulan laron menerjang api. Mereka roboh sebelum berhasil
melaksanakan maksudnya. Jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul mengiringi
berpentalannya tubuh orang-orang kasar itu.
Dalam waktu singkat hampir
tidak ada lagi rombongan orang kasar yang berdiri tegak. Semua bergeletakan di
tanah, tak mampu melanjutkan pertarungan. Tapi, tak ada seorang pun di antara
mereka yang tewas. Kini yang masih berdiri tegak hanya lelaki berkepala botak.
Hal itu memang disengaja.
“Menyingkirlah, Kakang. Biar
aku yang membereskannya. Orang yang mempunyai mulut dan pikiran kotor seperti
dia tidak pantas dibiarkan hldup,” kata gadis berpakaian putih pada rekannya
yang berpakaian ungu.
Tanpa berkata apa pun, pemuda
berpakaian ungu yang berambut panjang dan berwarna keperakan itu melangkah
mundur. Pemuda itu ingin memberi kesempatan pada kawannya untuk melaksanakan
maksudnya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikannya. Dengan
sorot mata penuh kemarahan, gadis berpakaian putih menghampiri pemimpin
rombongan orang kasar.
Laki-laki berkepala botak itu
menyadari bahaya yang mengancam. Tapi apa yang dapat dilakukannya? Lari? Tidak
mungkin! Gadis berpakaian putih itu tak akan membiarkannya. Akhirnya dia
bertindak nekat!
“Haaat..!”
Diiringi teriakan menggeledek,
golok besar diputar di depan dada. Kemudian, sambil memutar senjata lelaki
berkepala botak itu melompat menerjang lawan.
Wuk wuk wuk...!
“Hmh!” Gadis berpakaian putih
mendengus, melihat serangan yang menyambar ke arah dada. Ditunggunya hingga
serangan golok lawan menyambar dekat Lalu tangannya digerakkan. Cepat bukan
main. Tahu-tahu....
Tappp!
Mata golok laki-laki berkepala
botak berhasil dicekal tangan kanan gadis itu. Sebelum pemimpin gerombolan itu
sempat berbuat sesuatu, gadis berpakaian putih membalikkan ujung golok ke arah
lawan, lalu menyorongkannya.
Cappp! “Aaakh. !”
Laki-laki berkepala botak
menjerit ngeri ketika goloknya menembus perut hingga ke punggung. Seketika itu
pula sepasang matanya membelalak lebar. Darah muncrat dari luka di perutnya.
Tindakan gadis berpakaian
putih tidak hanya sampai di situ, kakinya melayang ke arah dada.
Bukkk!
Telak dan keras tendangan itu
mendarat di sasarannya, hingga menimbulkan bunyi gemeretak. Sesaat kemudian,
tubuh laki-laki berkepala botak terdorong ke belakang beberapa tombak. Dan
jatuh terbanting ke tanah. Saat itu juga nyawanya melayang ke alam baka!
“Hhh. !”
Gadis berpakaian putih meghela
napas lega.
*** “Ah! Kiranya Gusti Ayu dan
Raden...! Sungguh suatu kebetulan,” kata Permana gembira seraya mengayunkan
langkah menghampiri.
Gadis berpakaian putih dan
pemuda berambut putih keperakan membalikkan tubuh sambil tersenyum lebar.
“Mengapa Paman semua berada di
tempat ini dan terlibat pertarungan dengan mereka? Dan apa maksud ucapan Paman
tadi?” tanya gadis berpakaian putih tenang.
Dari sikap dan nada bicaranya
agaknya gadis itu mengenal pasukan kerajaan itu.
“Kami berada di sini untuk
memenuhi perintah Yang Mulia Prabu Nalanda, Gusti Ayu Melati,” beritahu seorang
prajurit yang bercambang bauk lebat
“Perintah Ayahanda Prabu?!”
ulang gadis berpakaian putih yang ternyata Melati. “Apakah perintah itu,
Paman?”
“Gusti Prabu memerintahkan
kami untuk mencarimu, Gusti Ayu. Bahkan kalau dapat sekaligus dengan Raden
Arya. Ada masalah penting yang melanda Kerajaan Bojong Gading.” Kali ini
Permana yang memberikan jawaban. (Untuk mengetahui lebih jelas hubungan Melati,
Arya, dan Kerajaan Bojong Gading, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
'Banjir Darah di Bojong Gading.')
Melati menoleh ke arah pemuda
berpakaian ungu yang sejak tadi berdiam diri. “Bagaimana, Kakang?” tanya Melati
pada pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya dan lebih dikenal dengan
julukan Dewa Arak.
“Karena kita tidak mempunyai
keperluan lain, maka tidak ada salahnya kita patuhi perintah Prabu Nalanda,
Melati. Kalau tidak ada masalah penting, Gusti Prabu tidak akan bersusah-payah
menyuruh orang untuk mencari kita,” jawab Arya.
“Kau benar, Kakang,” Melati
menganggukangguk menyetujui ucapan kekasihnya. Kemudian, perhatiannya kembali
dialihkan ke arah para prajurit vang ternyata berasal dari Kerajaan Bojong
Gading.
“Apa masalah penting yang
melanda Kerajaan Bojong Gading, Paman?” tanya Melati mencoba mencari tahu.
Bukannya menjawab pertanyaan
itu, Permana malah memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan,
tangannya menggenggam segulungan surat. Dengan penuh hormat diberikannya surat
itu pada Melati. Gadis berpakaian putih itu segera membuka dan membacanya.
***
Melati, putriku....
Bersama surat ini,
kuberitahukan padamu bahwa Patih Juminta telah pergi bersama beberapa orang
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Beliau menyusul putranya yang pergi ke
Pulau Es. Karena perjalanan menuju Pulau Es tidak mudah, aku mengkhawatirkan
keselamatan mereka. Oleh karena itu, kutitahkan padamu untuk menyusul mereka.
Kalau bisa tentu saja bersama Dewa Arak. Pergilah Melati. Dan bawa pulang Patih
Juminta beserta putranya.
Ayahmu, Prabu Nalanda
Raja Kerajaan Bojong Gading.
“Hhh...!” Melati
menghela napas berat.
Perlahan-lahan digulungnya
kembali surat itu. “Sampaikan pada Ayahanda
Prabu bahwa
kami telah mengetahui
perintahnya dan akan melaksana kannya. Sampaikan pula salam hormat kami
padanya,” ucap Melati penuh wibawa.
“Baik, Gusti Ayu. Semua
perintahmu akan kami sampaikan,” jawab Permana sambil memberi hormat Demikian
pula anggota pasukan lainnya. Permana lalu mengalihkan perhatian ke arah pasukannya.
Tapi baru beberapa tindak
Permana dan pasukannya meninggalkan tempat itu, Melati memanggil mereka.
Seketika itu pula langkah pasukan itu terhenti.
“Apa yang dapat kami bantu,
Gusti Ayu?” tanya Permana penuh hormat.
“Hanya sebuah jawaban. Tadi
aku telah mengajukan pertanyaan. Tapi kalian belum menjawabnya. Mengapa kalian
bentrok dengan rombongan penjahat kasar itu?!” tanya Melati sambil menudingkan
jari telunjuknya pada sosok-sosok tubuh kasar yang tergolek di tanah.
“O ya, hampir kami lupa.
Orang-orang itu hendak membalas dendam atas kematian sahabat-sahabat mereka di
tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading dan Gusti Ayu,” jawab Permana.
“Hehhh? Aku?!” tanya Melati
setengah tak percaya.
“Benar, Gusti Ayu. Ingatkah
Gusti Ayu akan perampok-perampok di Hutan Buaran?!”
“Ya. Aku ingat. Jadi mereka
anggota kelompok itu yang berhasil meloloskan diri?” (untuk jelasnya, silakan
baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Kelelawar Beracun.')
“Bukan, Gusti Ayu. Tapi
kenalan dan sahabat mereka. Karena tahu tidak mungkin bisa membalas pada Gusti
Ayu, maka mereka melampiaskannya pada pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mungkin
mereka telah lama mengetahui kami. Hanya baru berani bertindak di tempat ini.”
“O, begitu? Baiklah. Kalian
boleh pergi.” “Hamba mohon pamit, Gusti Ayu.”
“Ya,” jawab Melati singkat.
Permana dan pasukannya kembali
melanjutkan perjalanan.
“Beritahu pada pasukan yang
lain bahwa perintah Gusti Prabu telah kita laksanakan,” perintah Permana.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, prajurit yang bertugas menyampaikan pemberitahuan segera, mengambil
busur. Kemudian dipasang anak panah. Twang...!
Diiringi bunyi cukup keras,
anak panah itu melesat ke angkasa. Setibanya di atas, entah dengan cara
bagaimana, timbul percikan bunga api berwarna-warni.
Pemberitahuan itu tidak hanya
dilakukan satu kali. Sambil tetap melangkah meninggalkan tempat itu, pelepasan
anak panah terus dilakukan. Dan baru berhenti ketika anak anak panah telah
habis. Sementara itu, Melati dan Arya terus memandangi hingga pasukan prajurit
Kerajaan Bojong Gading lenyap di kejauhan.
“Apa yang terjadi, Melati?”
tanya Arya kemudian.
Tanpa berkata sepatah pun
Melati mengangsurkan gulungan surat yang masih dipegangnya. Arya menerima, lalu
membacanya. Hanya sebentar saja. Sesaat kemudian surat itu digulungnya kembali.
'Pulau Es...?!” ucap Arya
dengan dahi berkernyit dalam. “Kau tahu di mana letaknya, Melati?”
“Hhh...!” Melati menghembuskan
napas berat lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan itu. “Tahu secara pasti,
tidak. Tapi aku mempunyai dugaan di mana Pulau Es itu berada.”
“Dari mana kau mengetahuinya,
Melati?” kejar Arya. “Kalau aku, jangankan
tahu tempatnya... dengar namanya saja baru kali ini.” “Aku mengetahuinya
dari almarhum guruku, Kakang,” ucap Melati
dengan nada sedih. Perkataan itu mengingatkannya kembali pada kematian
gurunya yang mengenaskan, di tangan seorang tokoh sesat yang mengiriskan.
(Untuk jelasnya silakan baca serial dewa Arak dalam episode: 'Dendam Tokoh
Buangan.')
“Maksudmu..., Ki Julaga?”
ulang Arya. Melati menganggukkan kepala.
“Benar, Kakang. Dari beliaulah
aku mengetahuinya. Bahkan tidak hanya Pulau Es. Tapi juga Pulau Air dan Pulau
Api. Tempattempat itu letaknya tersembunyi dan merupakan tempat keramat.
Bahkan, konon ditinggali tokoh-tokoh sakti yang mengasingkan diri,” papar
Melati.
“Aaah...!” desah Arya kaget
Tidak disangkanya akan mendengar cerita itu secara terperinci. Kedua orang muda
itu kemudian terdiam.
Suasana menjadi hening.
Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya. Tetapi keheningan itu tidak
beriangsung lama.
“Kau mengenal putra Patih
Juminta itu, Melati?” tanya pemuda berambut putih keperakan membuka
pembicaraan.
'Tidak, Kang,” Melati
menggelengkan kepala. “Aku hanya mengenal nama dan ciri-cirinya saja. Itu pun
dari cerita Patih Juminta.
“Jadi kau belum pernah bertemu
dengannya?” tanya Arya memastikan. Kembali Melati menggelengkan kepala.
“Lalu, bagaimana kita dapat
menemukannya?” sergah Arya tidak yakin.
Melati tercenung sejenak. “Aku
yakin tidak sulit, Kang. Toh, aku telah mengetahui nama dan ciri-cirinya. Di
samping itu, andaikata bertemu, aku yakin dia akan mengenali kita. Karena kau
mempunyai ciri-ciri khas,” sahut Melati yakin.
“Tidak bisa kubantah akan
kekhasan ciri-ciri yang kumiliki, Melati. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah
putra Patih Juminta mengenal diriku?” Arya mengemukakan pendapatnya.
“Jangan khawatir, Kang. Patih
Juminta kagum padamu. Dia amat memujamu. Aku yakin dia telah menceritakan semua
tentangmu pada putranya,” lagi-lagi Melati menyambut dengan nada yang mantap.
“Syukurlah kalau begjtu,” Arya
terpaksa mengalah. “Tapi, dari tadi aku belum tahu nama putra Patih Juminta.
Dan anehnya, mengapa kau tidak pernah melihatnya? Ini kan aneh! Atau... dia
tidak tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading?”
“Dia memang tidak tinggal di
Istana Kerajaan Bojong Gading. Dia ditugaskan oleh Ayahanda Prabu untuk menjadi
salah seorang pengawal khusus Adipati Setyaki Di Kadipaten Lawung. O ya, nama
putra Patih Juminta adalah Abimanyu.”
“Lalu..., dari mana dia tahu
mengenai Pulau Es, Melati?” kejar Arya.
“Mana kutahu, Kang,” jawab
Melati sambil mengangkat bahu. “Bukankah di surat itu Ayahanda Prabu tidak
memberitahukannya?!”
“Kalau begitu .., mengapa kita
tidak ke Istana Kerajaan Bojong Gading dulu untuk mencari keterangan?!”
“Kalau kita ke Istana Kerajaan
Bojong Gading dulu, perjalanan ke Pulau Es akan lebih lama, Kang. Kalau dari
tempat ini, tak lama lagi kita akan sampai di tepi pantai. Nah! Dari situ kita
dapat menuju Pulau Es,” urai Melati.
Arya mengangguk-angguk. Pemuda
berambut putih keperakan itu merasa puas dengan penjelasan kekasihnya. Hingga
tidak memberi sanggahan lagi.
“Bagaimana kalau sekarang juga
kita berangkat ke Pulau Es, Kang? Kau setuju?” usul Melati.
“Tentu saja, Melati!” sambut
Arya cepat “Kalau tidak sekarang, kapan lagi?!”
Sesaat kemudian kedua pendekar
muda yang berwajah elok itu telah melesat meninggalkan tempat itu. Sementara
tubuh orang-orang kasar masih tergolek tak berdaya di atas tanah.
*** 2
Sang Surya belum beranjak jauh
dari tempat terbitnya, ketika tiga orang laki-laki bertampang kasar melangkah
bergegas mendekati pantai. Mereka bertubuh tinggi besar dan kekar. Untaian otot
dan urat tubuh ketiganya tampak jelas. Sebab mereka hanya mengenakan rompi
hitam yang tak sampai menutupi dada dan perut. Kelihatan mereka orang-orang
yang menguasai ilmu bela diri. Kesimpulan ini rasanya tidak salah. Ada sebatang
golok besar tergantung di pinggang mereka.
“Menurutmu, perahu mana yang
sebaiknya kita gunakan, Kang Bandita?” tanya salah satu dari mereka yang
berkumis tebal dan hitam sambil terus mengayunkan langkah menjajari langkah dua
rekannya.
“Hm...”
Laki-laki yang bercambang
lebat tanpa kumis atau jenggot dan bernama Bandita menggumam. Sepasang matanya
disipitkan, agar dapat memperhatikan lebih jelas jajaran perahu yang terhampar
di tepi pantai.
“Kalau menurutku... yang
merah, Kang. Kelihatannya lebih kuat dan kokoh disbandingkan perahu yang lain,”
laki-laki satunya lagi, yang berjenggot lebat tanpa kumis atau cambang mengajukan usul. “Bagaimana,
Kang?” “Kelihatannya pilihanmu tidak keliru, Reksa,” jawab Bandita memuji.
Laki-laki bercambang lebat itu menyetujui usul rekannya.
Ketiga orang kasar itu segera
mengayunkan langkah tanpa berkata-kata lagi. Tak lama kemudian, hembusan angin
laut yang menyebarkan bau khas tercium hidung mereka. Mereka pun terus
melangkah. Arah yang mereka tuju sudah jelas. Tempat berjejernya perahu-perahu.
Langkah Bandita dan dua
rekannya baru berhenti ketika telah sampai di dekat jajaran perahu-perahu.
Seperti telah disepakati, ketiganya langsung mengedarkan pandangan mengawasi
perahu-perahu yang ditambatkan di situ.
“Pilihanku tidak salah kan,
Kang? Perahu merah ini jauh lebih kokoh dan kuat daripada perahu lainnya?!”
ujar Reksa dengan bangga.
Ucapan Reksa ditanggapi dengan
cibiran bernada ejekan kedua kawannya. Tapi Reksa tidak mempedulikannya. Dengan
sikap tidak peduli, dilangkahkannya kaki menuju tonggak pengikat perahu. Lelaki
itu ingin melepas perahu dari tambatannya. Tapi baru saja Reksa memegang tali
pengikat perahu, terdengar teriakan nyaring dari kejauhan.
“Hey...! Apa yang hendak
kalian lakukan dengan perahuku...?!”
Seketika itu pula gerakan
tangan Reksa berhenti di tengah jalan. Maksudnya diurungkan. Kemudian
pandangannya dilayangkan ke arah asal suara. Demikian pula kedua orang
rekannya. Terlihat oleh ketiga orang itu, sesosok tubuh berlari cepat menuju
tempat mereka. Sementara di belakang sosok itu berlari-lari serombongan orang
yang rata-rata bertubuh kekar. Tak berapa lama kemudian, sang pemilik suara
telah berada di dekat Bandita dan kawan-kawannya.
“Siapa kalian? Dan apa yang
hendak kalian lakukan dengan perahuku?” tanya si pemilik suara terengah-engah.
Bandita dan dua rekannya tidak
segera menjawab pertanyaan itu. Dirayapinya sekujur tubuh si pemilik perahu.
Sosok tubuh itu kekar dan berkulit hitam kecoklatan. Otot dan uraturat memenuhi
sekujur tubuhnya.
“Kaukah pemilik perahu ini?”
tanya Reksa sedikit kasar.
“Benar,” jawab laki-laki
berkulit hitam kecoklatan sambil menganggukkan kepala. “Apa yang hendak kalian
lakukan?”
“Aku hendak mengambil
perahumu!” jawab Reksa kasar. “Lalu kau mau apa?!”
Wajah lelaki pemilik perahu
langsung memucat. Dia pun sadar tengah berhadapan dengan orang-orang yang
terbiasa menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Tanpa
sadar kakinya melangkah ke belakang.
“Ada apa, Gondo?”
Sebuah pertanyaan bernada
ingin tahu membuat lelaki pemilik perahu yang bernama Gondo menoleh ke
belakang. Keberaniannya kembali timbul ketika melihat keberadaan kawankawannya.
“Mereka ingin mengambil
perahuku,” jawab Gondo bernada meminta bantuan.
“Apa?!” seru kawan-kawan Gondo
yang berjumlah sebelas orang setengah kaget. Betapa tidak? Baru pertama kali
ini ada orang yang ingin merampas perahu mereka. Tentu saja mereka kaget bercampur
heran.
Di saat Gondo tengah terlibat
perbincangan dengan rekan-rekannya, Reksa kembali menghampiri tonggak tambatan
perahu. Dengan sikap tenang dilepaskannya ikatan pada tonggak. Sedangkan kedua
rekannya telah bersiap untuk mendorong perahu ke laut
“Hentikan!”
Kali ini Gondo tidak bisa
menahan kesabarannya lagi. Sambil mengeluarkan seruan melarang, dia meluruk ke
arah Reksa.
Wuttt!
Tanpa ragu-ragu lagi, Gondo
.segera mengayunkan tangannya memukul. Tapi karena dia memang tidak bermaksud melukai
Reksa, pukulan itu ditujukan ke bahu. Gondo hanya ingin menghentikan perbuatan
Reksa. Baik Reksa maupun kedua rekannya sebenarnya mengetahui serangan itu.
Tapi mereka membiarkannya, seakan-akan tidak mengetahui adanya serangan.
Akibatnya....
Bukkk!
Telak dan keras sekali pukulan
Gondo mendarat di sasaran. Tapi hasilnya benar-benar di luar dugaan Gondo dan
rekan-rekannya. Yang menjerit-jerit kesakitan ternyata... Gondo! Lelaki pemilik perahu merah itu mengaduhaduh
kesakitan sambil memegangi tangannya. Tangan itu terasa sakit bukan main,
seakanakan yang dipukulnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan
tulang, melainkan segundukan baja keras. Dan, orang yang dipukul enak-enak saja
meneruskan kesibukannya.
Melihat kejadian ini,
teman-teman Gondo tidak bisa tinggal diam. Serentak mereka meluruk, menyerbu
Reksa dan kawan-kawannya. Mengetahui ketiga orang itu bukan orang sembarangan,
tanpa ragu-ragu lagi mereka mencabut golok yang terselip di pinggang. Gondo tak
mau ketinggalan ikut menyerbu pula meski tangannya masih terasa sakit.
***
Kali ini, Reksa dan dua
kawannya tidak bisa tinggal diam. Apalagi para nelayan telah menggunakan
senjata. Bukan tidak mungkin kulit mereka akan sobek bila tetap berdiam diri.
Mereka sendiri mulai merasa jengkel melihat kebandelan nelayan-nelayan itu.
Maka dengan geram, mereka meninggalkan kesibukannya dan mencabut senjata
masing-masing.
Srat, srat, srat!
Sinar menyilaukan langsung
berkilatan ketika golok-golok besar ketiga orang itu terhunus keluar dari
sarungnya.
“Monyet-monyet Dungu tidak
tahu diri!” maki Bandita geram. “Semula kami tidak ingin menimbulkan korban di
antara kalian. Kami sedang tergesa-gesa. Tapi karena kalian memaksa, terpaksa
kami bertindak. Jangan harap kalian dapat melihat matahari esok pagi!”
Bandita tidak bisa berkata
lebih banyak, karena serangan Gondo dan kawan-kawannya telah meluruk datang.
Dia dan dua kawannya segera menyambut serangan itu dengan tak kalah cepatnya.
Trang trang trang!
Bunga api berpercikan ke sana
kemari ketika senjata-senjata itu berbenturan. Bandita dan dua rekannya
berhasil mengandaskan semua serangan yang mengancam mereka, Tidak Hanya itu
saja. Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, secepat itu pula dikirimkan
serangan balasan.
Crat crat crat! “Akh akh akh...!”
Serangan balasan yang
dikirimkan Bandita dan dua rekannya terlalu cepat untuk bisa diikuti pandang
mata Gondo dan rekanrekannya. Tiga orang dari mereka langsung terkapar mandi
darah terkena sabetan golok.
Kejadian yang menimpa tiga
rekannya tidak membuat Gondo dan yang lainnya gentar. Bahkan sebaliknya! Mereka
malah tambah bersemangat melancarkan serangan untuk membalas sakit hati
rekan-rekan mereka. Serbuan nelayan-nelayan itu semakin membabi buta.
Tapi semua tindakan mereka
sia-sia. Bandita dan dua rekannya memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi.
Apalagi mereka telah terbiasa bertarung. Kecepatan gerak mereka pun berada jauh
di atas lawan. Dengan keunggulankeunggulan itu, mereka berhasil memusnahkan
setiap serbuan lawan. Dan, mengelakkan setiap serangan yang datang. Sebaliknya,
setiap serangan balasan yang dikirimkan selalu membuahkan hasil. Setiap kali
golok di tangan mereka berkelebat, dapat dipastikan ada lawan yang roboh dengan
diiringi jeritan menyayat.
Akhir dari pertarungan itu
sudah bisa ditebak, Gondo dan rekan-rekannya akan roboh di tangan ketiga orang
itu. Apalagi sekarang jumlah mereka telah jauh berkurang. Kini hanya tinggal
sembilan orang. Itu pun keadaan mereka sudah sangat mengkhawatirkan. Tapi
rupanya nasib baik masih menyukai para nelayan yang tidak berdosa. Di saat yang
amat gawat itu, terdengar sebuah bentakan keras menggelegar.
“Hentikan pertempuran...!”
Hebat bukan main pengaruh yang
ditimbulkan oleh bentakan itu. Semua orang yang terlibat dalam pertarungan
langsung menahan diri dan melompat mundur. Bandita dan rekanrekannya saling
berpandangan. Tampak jelas sorot keheranan dalam pandangan mata mereka. Betapa
tidak? Mereka tidak habis mengerti, mengapa mau menuruti perintah itu.
Ada sebuah pengaruh aneh yang
membuat mereka mengikutinya. Begitu berhasil melepaskan dari pengaruh itu,
Bandita dan rekanrekannya segera mengalihkan perhatian ke arah asal bentakan.
Beberapa tombak di belakang
Gondo dan kawan-kawannya tampak berdiri dua sosok tubuh. Yang seorang pemuda
berambut putih keperakan mengenakan pakaian ungu. Sedangkan yang satunya lagi
seorang gadis berpakaian putih. Mereka adalah Dewa Arak dan Melati! Dengan
tenang, Dewa Arak dan Melati mengayunkan langkah menghampiri tiga orang kasar
berompi hitam itu.
“Menyingkirlah, Kisanak.
Mereka bukan tandingan kalian. Biar kami yang akan mengurusnya,” ucap Dewa Arak
ketika melihat Gondo dan kawan-kawannya masih ingin melanjutkan pertarungan.
Gondo dan kawan-kawannya
menolehkan kepala. Alis mereka berkernyit melihat orang yang bermaksud
menggantikan mereka menghadapi ketiga orang itu! Betapa tidak? Keduanya
terlihat lemah dan tidak memiliki kekuatan. Mereka yang bertenaga kuat saja
bukan tandingan Bandita dan kawan-kawannya. Apalagi sepasang muda-mudi berwajah
elok itu?
Dewa Arak mengerti akan hal
itu. Ekor matanya sempat melihat ada kesan tidak percaya. Pada wajah para
nelayan itu. Bahkan mereka tetap mengayunkan langkah menghampiri Bandita dan
kawan-kawannya. Hanya saja mereka berjalan di belakang dirinya dan Melati.
Jarak Dewa Arak dan Melati dengan ketiga orang itu memang terpisah tiga tombak.
Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi. Kemampuannya harus segera ditunjukkan
untuk meyakinkan nelayan-nelayan itu. Cepat tenaga dalam dikerahkan pada kedua
telapak kaki. Hingga....
Blos blos blos!
Gila! Hamparan pasir pantai
tak ubahnya bubur lumpur. Landasan tempat Dewa Arak berpijak langsung amblas
hampir mencapai lutut.
“Hahhh?!”
Bukan hanya Gondo dan
kawan-kawannya yang terkejut dengan pertunjukan Dewa Arak. Bandita dan dua rekannya
pun kaget Mereka tidak melihat pemuda berambut putih keperakan mengerahkan
tenaga dalam. Langkahnya terlihat biasa saja. Tapi akibat yang ditimbulkannya
benar-benar menggiriskan hati!
Melihat hal itu, kesembilan
nelayan itu langsung melangkah mundur. Sekarang mereka percaya kalau sepasang
muda-mudi berwajah elok itu bukan orang sembarangan!
Begitu pun Bandita dan kedua
rekannya. Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gentar. Ketiga orang berompi
hitam itu memang sangat membanggakan kepandaiannya. Mereka sempat mengeluarkan
dengusan mengejek melihat pertunjukan Dewa Arak hingga Melati kalap dibuatnya.
“Kau tidak usah turun tangan,
Kang. Biar aku yang menghadapi mereka,”
ujar Melati pada kekasihnya. “Silakan, Melati,” sahut Arya mempersilakan gadis
berpakaian putih menghadapi tiga lawannya sendirian.
Dewa Arak tentu tidak
bertindak gegabah. Membiarkan Melati menghadapi Bandita dan rekan-rekannya
sendirian bukan tanpa pemikiran. Pemuda itu tahu tingkat kepandaian lawan belum
terlalu tinggi dan masih terpaut jauh di bawah Melati. Dewa Arak yakin
kekasihnya akan dapat mengalahkan mereka. Itulah sebabnya ketiga orang itu
diserahkan pada Melati.
“Pencuri-pencuri tengik! Orang
seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup terlalu lama!” desis Melati marah
sambil melangkah mendekati tiga calon lawannya.
“Tutup mulutmu, Wanita Binal!
Kau akan menerima ganjaran atas kekurangajaranmu. Tahukah kau tengah berhadapan
dengan siapa? Kami adalah Tiga Golok Maut. Kau telah berani memaki kami.
Sebagai balasannya, kau akan kami bunuh setelah tubuhmu yang montok dan
menggiurkan itu dinikmati!” ujar Bandita.
“Keparat!” Melati menggeram
bagai harimau luka. Gadis cantik itu marah bukan main mendengar omongan kotor
Bandita. “Kurobek mulutmu yang kotor itu, Jahanam! Hiyaaattt...!” Diawali
sebuah teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar
hebat, Melati melancarkan serangan. Dalam kemarahannya, tanpa ragu-ragu lagi
Melati mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Hebat bukan main akibat pengerahan
ilmu 'Cakar Naga Merah'. Sebatas pergelangan kedua tangan Melati berwarna merah
darah. Dengan kedudukan jari-jari tangan terkembang membentuk cakar naga,
Melati mulai melancarkan serangan. Gadis cantik itu membuka serangan dengan
sebuah sapuan tangan ke arah dagu Bandita yang dilakukannya dengan mengayunkan
tangan dari bawah ke atas.
Cittt!
Bunyi berdecit nyaring
mengawali tibanya serangan itu. Pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung
di dalamnya.
Bandita bukan orang bodoh. Dia
pun tahu kedahsyatan serangan Melati. Lelaki bercambang lebat itu tidak berani
bertindak sembarangan. Tubuhnya dilemparkan ke belakang dan bersalto beberapa
kali untuk menjauhkan diri.
Melati yang tengah dilanda
kemurkaan hebat, tidak mau membiarkan musuh besarnya lolos begitu saja. Begitu
serangan pertama berhasil dikandaskan, gadis itu segera menyusuli serangannya.
Dengan sekali hentak, tubuh Melati melayang menyusul tubuh Bandita yang masih
berjumpalitan di udara.
Bandita terkejut bukan main
melihat kecepatan Melati mengirimkan serangan susulan. Disadarinya bahaya maut
yang mengancam. Padahal saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Kedudukan itu
membuatnya sulit untuk mengelak atau menangkis. Tapi....
“Hiyaaat..! Haaat..!” Wuk wuk
Prat prattt!
*** 3
Kejadian berlangsung demikian
cepat dan sukar diikuti mata. Tubuh Reksa dan rekannya terjengkang ke belakang,
sedangkan serangan Melati kandas. Gadis berpakaian putih itu mendaratkan
kakinya di tanah. Padahal, serangan yang dikirimkannya belum mengenai sasaran.
Rupanya di saat yang amat
gawat itu, sambil berteriak keras, Reksa dan rekannya menerjang Melati untuk
menyelamatkan Bandita. Kedua rekan Bandita itu meluncurkan goloknya ke bagian
berbahaya dari tubuh Melati. Terpaksa gadis cantik itu segera mengurungkan maksudnya.
Dengan tangan kosong, dipapakinya golok kedua orang itu.
“Hiyaaat..!”
Bandita langsung melancarkan
serangan ketika Melati baru saja mendaratkan kedua kakinya. Golok besarnya
disabetkan ke leher gadis itu dengan gerakan mendatar.
Cepat serangan Bandita. Tapi
masih lebih cepat gerakan Melati. Dengan sebuah jejakan kaki pada tanah, tubuh
Melati seperti mengambang. Tubuhnya melayang di udara dengan kedudukan
tengkurap. Akibatnya, babatan golok Bandita lewat di bawah tubuhnya. Inilah
jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor' yang merupakan salah satu jurus ilmu 'Cakar
Naga Merah'. Tindakan Melati tidak berhenti sampai di situ. Dalam keadaan tubuh
masih mengambang, tangannya dihentakkan ke depan.
Wuttt!
Bandita menyadari bahaya maut
yang tengah mengancamnya. Cakar tangan Melati meluncur deras ke arah wajah.
Bergegas kaki kanannya ditarik mundur. Dan, tubuhnya dicondongkan ke belakang.
Betapa kaget hati Bandita
ketika melihat cakar Melati tetap mengejarnya. Lelaki bercambang lebat itu
tidak mengerti, mengapa hal itu bisa terjadi. Bukankah dia telah mengelak, tapi
mengapa jarak wajahnya dengan tangan Melati seperti tidak berubah? Tangan itu
tetap meluruk ke wajahnya.
Tidak ada tindakan apa pun
yang dapat dilakukan Bandita. Di samping kedudukannya tidak memungkinkan, dia
pun telah demikian gugup. Akibatnya....
Crokkk! “Aaakh. !”
Bandita mengeluarkan jeritan
menyayat ketika jari-jari tangan Melati menembus ubunubun dan sebagian
wajahnya. Darah bercampur otak bermuncratan dari kepala Bandita yang
bolong-bolong.
Jliggg!
Melati mendaratkan kedua
kakinya di tanah, setelah menarik kembali tangannya dari batok kepala Bandita.
Buru-buru dibersihkannya noda darah dan otak yang melekat di jari tangannya.
Sementara itu, tubuh Bandita ambruk ke tanah. Tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Mati!
“Kakang Bandita...!”
Dua rekan Bandita menjerit
keras melihat kematian rekannya itu. Keduanya berdiri terpaku dengan pandangan
tertuju pada tubuh Bandita. Sorot mata keduanya memancarkan rasa tidak percaya
yang sangat, akan pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
Peristiwa itu demikian cepat
terjadi, sehingga Reksa dan rekannya tidak sempat berbuat sesuatu untuk
memberikan pertolongan. Apalagi, saat itu mereka tengah sibuk memperbaiki
kedudukan setelah memapaki serangan Melati.
“Kakang Bandita...!”
Diiringi teriakan keras
menggelegar, Reksa dan rekannya meluruk ke arah tubuh Bandita yang tergolek di
tanah. Keduanya langsung berjongkok di dekat mayat Bandita. Semua kejadian itu
tidak lepas dari perhatian Dewa Arak, Melati serta Gondo dan kawan-kawannya.
Meskipun saat itu nelayan-nelayan itu tengah sibuk mengurus kawan-kawan mereka.
“Hhh...!”
Dewa Arak menghela napas
berat. Diam-diam hati pemuda berambut putih keperakan itu menyesal melihat
kematian Bandita yang demikian tragis. Tapi Dewa Arak tidak menegur Melati.
Disadarinya kalau kekasihnya melakukan semua itu dalam luapan emosi yang
menggelegak. Dan saat ini mungkin Melati tengah menyesali tindakannya. Dugaan
Arya agaknya tidak salah. Gadis berpakaian putih itu tampak termenung.
“Kau harus menerima balasan
atas kekejianmu ini, Wanita Sundal!” geram Reksa penuh kemarahan setelah
berhasil menghalau perasaan sedihnya.
“Ya! Kau harus mati!” sambut
lelaki berkumis tebal tak kalah geram.
Kemudian, kedua orang berompi
hitam ini bangkit. Sepasang mata mereka menyorotkan dendam kesumat, tertuju
lurus pada Melati. Keduanya merasa sangat menyesal karena tidak sempat menolong
Bandita. Lelaki bercambang lebat itu tewas dengan membawa rasa penasaran.
Mengapa tangan Melati tetap mengenainya, padahal dirinya telah mengelak?
Pertanyaan yang menggayuti
hati Bandita tidak melanda hati Reksa dan rekannya. Mereka melihat jelas tangan
Melati mendadak mulur! Tangan gadis berpakaian putih itu memanjang lebih dari
satu setengah kali panjang tangan aslinya! Itulah jurus 'Cakar Naga Merah'
milik Melati.
Sementara itu Melati tetap
bersikap tenang. Tanpa gentar, dibalasnya tatapan kedua rekan Bandita.
“Kawan kalian memang lebih
baik mati, daripada hidup di dunia cuma menyebarkan malapetaka bagi orang
lain,” jawab gadis berpakaian putih tenang.
Dalam ucapan Melati tersirat
alasan membunuh Bandita. Di lubuk hati gadis berpakaian putih itu ada rasa
bersalah, telah membunuh lelaki bercambang lebat itu dengan cara yang demikian
mengerikan.
Tapi Reksa dan rekannya tak
mau mendengar alasan Melati. Yang mereka tahu, Bandita telah mati. Dan itu
diakibatkan oleh tangan Melati. Sekarang, yang ada di benak mereka adalah
membalas dendam kematian rekannya. Mereka berpencar untuk melakukan penyerangan
dari dua arah! Lalu....
“Tutup mulutmu, Wanita Sundal!
Hiyaaat..!” teriak Reksa sambil melompat menerjang. Goloknya ditusukkan ke arah
perut Melati.
“Haaat. !”
Pada saat yang bersamaan rekan
Reksa pun melancarkan serangan. Laki-laki berkumis tebal itu melompat ke atas.
Begitu tubuhnya berada di udara, goloknya dikelebatkan ke arah leher!
Wuttt!
Kedua serangan itu hampir tiba
bersamaan. Melati menjejakkan kakinya dan melempar tubuhnya ke belakang. Gadis
cantik itu berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong, belasan
jengkal di depan Melati.
Tapi dua orang berompi hitam
itu tidak putus asa, meskipun serangannya berhasil dipunahkan. Begitu
kedudukannya berhasil diperbaiki, serangan susulannya segera meluncur. Bahkan
serangan-serangan mereka lebih dahsyat dari semula.
Namun hasilnya tetap sia-sia!
Tingkat kepandaian Melati berada jauh di atas lawanlawannya. Baik di dalam
tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, kemampuannya berada di atas Reksa
dan kawannya. Dengan keunggulan itu, mudah bagi Melati untuk menggagalkan
serangan lawan.
Untungnya, Melati tidak
bermaksud membunuh mereka. Hingga Melati tidak melakukan perlawanan. Gadis itu
hanya mengelakkan serangan demi serangan yang dilancarkan lawan. Lincah laksana
kera dan gesit laksana bayangan, tubuh Melati menyelinap di antara kelebatan
senjata lawan.
Kenyataan itu membuat Reksa
dan kawannya penasaran bercampur geram. Telah lebih dari sepuluh jurus mereka
melancarkan serangan, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal, Melati
tidak melakukan perlawanan dan hanya mengelak.
Menginjak jurus kedua belas,
Melati merasa sudah waktunya melancarkan serangan balasan. Bila dibiarkan
terus-menerus Reksa dan rekannya tidak akan mempunyai pikiran dan menyadari
kalau Melati telah bersikap mengalah. Hingga Melati memutuskan untuk mengadakan
perlawanan.
“Hih...!”
Sambil menggertakkan gigi,
Melati menggenjotkan kedua kakinya hingga tubuhnya melayang ke atas melewati
kepala lawan. Sedangkan pada saat itu, Reksa dan rekannya tengah meluruk ke
arahnya sambil melancarkan serangan. Ketika telah berada di atas kepala
keduanya, Melati membalikkan tubuh. Dan, kedua tangannya ditepukkan.
Kelihatannya pelan dan tanpa pengerahan tenaga dalam. Tapi hasilnya tidak
seperti yang diduga.
Plak plak! “Hukh! Hukh!”
Dua orang kasar berompi hitam
itu langsung terbatuk. Tubuh mereka terjerembab deras ke depan seperti ditubruk
kerbau liar. Darah segar keluar dari mulut mereka. Agaknya, keduanya terluka
dalam.
Jliggg!
Pada saat yang bersamaan
Melati mendaratkan kakinya. Kemudian gadis berpakaian putih itu berbalik dan
memperhatikan kedua lawannya yang tergoiek tanpa daya di tanah.
Mereka tidak mampu bangkit
lagi karena luka dalamnya yang parah.
Arya yang sejak tadi hanya
sebagai penonton, bergegas mengayunkan kaki mendekati Melati. Begitu pula Gondo
dan kawan-kawannya. Begitu melihat rekan-rekan Bandita berhasil dirobohkan,
mereka langsung menghampiri Melati. Setelah mengurus kawan-kawan mereka yang
tewas atau terluka.
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Nisanak Kalau tidak ada kau dan kawanmu ini, mungkin kami semua
telah tewas di tangan tiga orang jahat itu,” ucap Gondo mewakili kawankawannya,
kemudian kawan-kawannya mengangguk membenarkan ucapan Gondo.
“Jangan berterima kasih kepada
kami, Kisanak. Tapi berterima kasihlah pada Allah. Atas izin-Nya langkah kaki
kami tertuju kemari,” elak Melati merendahkan diri. “O ya, ngomong-ngomong
mengapa kalian terlibat pertarungan dengan mereka?”
“Ketiga orang itu hendak
mencuri perahu kami,” jawab Gondo. 'Tentu saja kami mencegahnya. Karena mereka
berkeras, maka pertarungan pun terjadi.”
“Mencuri perahu?” Melati dan
Arya saling pandang.
Dalam adu pandang itu,
sepasang muda-mudi itu menemukan jawabannya. Mungkinkah rombongan Bandita ingin
menuju Pulau Es? Kalau benar demikian, berarti berita tentang pulau keramat itu
telah tersebar luas di dunia persilatan . Kalau orang-orang kasar seperti
mereka saja tahu dan bermaksud mendatanginya, apalagi tokoh-tokoh tingkat atas?
“Kisanak tahu, mengapa mereka
hendak mencuri perahu?” kali ini Arya yang mengajukan pertanyaan.
Gondo menggelengkan kepala.
“Sayang sekali aku tidak
mengetahuinya. Mereka hanya mengatakan
tengah tergesa-
gesa. Itu saja. Tapi..., o ya
aku ingat... beberapa hari ini banyak orang-orang yang menuju ke laut. Entah
apa yang mereka cari. Kalau melihat gerak-gerik dan
ciri-cirinya, mereka adalah
tokoh-tokoh persilatan ,” jelas Gondo.
Melati dan Arya kembali saling
pandang. Kini mereka semakin yakin akan kebenaran dugaan semula. Ya! Pasti
orang-orang yang diceritakan Gondo tengah menuju Pulau Es! Dugaan itu tidak
mungkin salah!
“Terima kasih atas
pemberitahuanmu, Kisanak. Kami ingin menanyakannya pada orang-orang itu.”
Usai berkata demikian, Arya
menghampiri Reksa dan rekannya yang masih tergolek tak berdaya. Melati
mengikuti di belakang.
“Aku ingin mengajukan
pertanyaan. Kuharap kalian bersedia menjawabnya dengan benar,” ujar Arya
tenang.
“Cuhhh!”
Jawaban yang diterima Dewa
Arak adalah semburan ludah Reksa. Memang tidak mengenai Arya, karena lelaki
berjenggot lebat itu tidak mampu menggerakkan kepala. Wajahnya sendiri tak
menghadap ke atas.
“Keparat!” Melati tersinggung
melihat tanggapan Reksa. “Rupanya kau sudah bosan hidup, hahhh?! Kau ingin
menerima nasib seperti kawanmu itu?!” Melati menuding mayat Bandita.
Reksa langsung terdiam.
Meskipun dendam, tapi keadaannya tidak menguntungkan. Jika menuruti perasaan
hati, dia sendiri yang akan rugi.
“Tenanglah, Melati,” Arya yang
tidak ingin Melati kelepasan tangan kembali, buru-buru menengahi. “Biar aku
yang mengurusnya.”
Melati tidak membantah. Gadis
berpakaian putih itu langsung diam. Dibiarkannya pemuda berambut putih
keperakan itu yang mengurusnya. Gadis itu hanya memperhatikan semua tindakan
yang dilakukan kekasihnya.
“Sebenarnya, tanpa kalian
jawab pun aku telah tahu ke mana kalian hendak pergi. Pulau Es, kan?!” lebak
Arya langsung, untuk melihat tanggapan Reksa dan kawannya.
Seketika itu pula, raut wajah
dua orang berompi hitam itu berubah. Dugaan Dewa Arak tidak salah! Mereka
memang ingin menuju Pulau Es! Sungguh tidak disangka kalau Arya dan Melati
mengetahui perihal pulau keramat itu. Reksa dan rekannya memperhatikan sepasang
muda-mudi itu dengan pandangan menyelidik. Terutama terhadap Arya yang
berperawakan lebih angker dibanding Melati.
Keduanya memperhatikan dengan
sungguhsungguh. Sepasang mata mereka menelusuri sekujur tubuh Arya mulai dari
rambut sampai ujung kaki. Hasil yang mereka dapatkan sungguh mengejutkan.
Ciri-ciri yang dimiliki Arya amat mirip dengan pendekar muda yang julukannya
saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan!
“Kau..., apakah kau Dewa
Arak?!” tanya Reksa gagap. Dengan harap-harap cemas, ditunggunya jawaban.
Demikian pula lelaki berkumis lebat.
“Benar. Dia Dewa Arak. Namanya
adalah Arya Buana!” Melati mendahului menjawab dengan penuh kebanggaan. “Apakah
sekarang kalian masih berani macam-macam?!”
Reksa dan kawannya menelan
ludah dengan susah payah. Tenggorokan mereka seperti tersumbat begitu mendengar
jawaban Melati.
“Dan kalau kalian ingin tahu
siapa aku, akan kuperkenalkan. Kalian pernah mendengar julukan Dewi Penyebar
Maut?!”
Dengan gugup kedua orang
berompi hitam itu menganggukkan kepala. Mereka memang, pernah mendengar julukan
Dewi Penyebar Maut. Bahkan tokoh itu jauh lebih ditakuti dari Dewa Arak! Karena
Dewi Penyebar Maut mempunyai watak telengas.
Tapi, hanya sebentar saja
dunia persilatan digemparkan oleh Dewi Penyebar Maut, dengan
tindakan-tindakannya yang menggiriskan hati. Setelah itu, tokoh itu lenyap
tanpa bekas bagai ditelan bumi. Hingga Reksa dan rekannya merasa heran mendapat
pertanyaan tentang tokoh itu.
“Nah! Akulah Dewi Penyebar
Maut,” jawab Melati dengan sikap dibuat seram.
“Hekh!”
Meskipun ucapan Melati sudah
dapat diduga, tapi tak urung Reksa dan kawannya terkejut juga.
“Nah! Kalau kalian tidak ingin
mati secara menyakitkan, ceritakan dari mana kalian tahu mengenai Pulau Es. Dan
mengapa kalian pergi ke sana? Ingat! Jangan coba-coba untuk berbohong.
Akibatnya sangat berat. Asal kalian tahu saja, aku tahu banyak mengenai pulau
itu bahkan beberapa pulau keramat lainnya!” ancam Melati dengan bengis.
Mau tidak mau Arya hanya
bertindak sebagai penonton. Disadarinya kalau sesekali tindakan keras itu perlu
dilakukan. Maka, dibiarkannya Melati menggertak kedua orang itu.
“Baik...! Baik...! Kami akan
beritahu semuanya,” ucap Reksa terbata-bata, karena rasa takut yang menggelegak.
“Bagus! Nah, ceritakanlah...!”
sahut Melati.
*** 4
“Kami bertiga hendak pergi ke
Pulau Es,” ujar Reksa memulai keterangannya.
“Dari mana kalian mendengar
berita tentang Pulau Es?! Dan untuk apa kalian ke sana?!” tanya Melati tak
sabar melihat lelaki berjenggot lebat itu menghentikan ucapannya.
“Dari mana tepatnya, kami
tidak tahu. Yang jelas, berita mengenai pulau itu tiba-tiba menggaung di dunia
persilatan. Sewaktu pertama kali mendengamya, kami sendiri merasa heran. Apa
lagi, ketika mendengar cerita selanjutnya,” Reksa menghentikan ucapannya
sebentar untuk mengambil napas. Sementara Melati dan Arya terus mendengarkan
penuh perhatian. Kali ini Melati tidak memotong cerita Reksa. Dengan sabar,
ditunggunya lelaki ber-jenggot lebat itu melanjutkan ceritanya.
“Menurut berita yang kami
dapat... pulau itu memang terbuat dari es! Baik daratan maupun bukit-bukitnya
semua terdiri dari es! Cerita itu membuat kami tertarik untuk menyaksikan pulau
itu dengan mata kepala sendiri.”
Lagi-lagi Reksa menghentikan
ceritanya. Lelaki itu menelan ludah untuk membasahi tenggerokannya yang kering.
“Rasa tertarik kami semakin
besar ketika beberapa waktu kemudian mendapat berita yang lebih terperinci,”
lanjut Reksa. “Menurut berita yang kami dapat, pulau itu ditinggali tokohtokoh
yang berkepandaian tinggi. Tokoh-tokoh itu meninggal karena usia tua, tanpa
mempunyai keturunan. Dengan sendirinya, pusakapusaka dan kitab-kitab yang
tersimpan di sana tidak mempunyai majikan lagi. Hal terakhir inilah yang
membangkitkan semangat kami untuk mendatangi Pulau Es. Kami ingin mendapatkan
pusaka dan kitab-kitab yang ada di sana,” papar Reksa mengakhiri ceritanya.
Lelaki berjenggot lebat itu
kemudian menatap Arya dan Melati, ingin melihat tanggapan mereka atas
ceritanya. Reksa tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahuinya. Begitu
ceritanya selesai, sepasang muda-mudi berwajah elok itu saling pandang. Sayang,
Reksa tidak mengetahui apa yang menyebabkan Melati dan Dewa Arak berbuat
demikian. Wajah sepasang pendekar muda itu tidak menunjukkan perasaan apa pun.
Sebaliknya, Dewa Arak dan
Melati tahu pasti perasaan yang bergulat di hati masing-masing. Mulut mereka
memang tidak mengatakan sesuatu. Tapi mata mereka telah mengatakannya secara
gamblang. Antara Dewa Arak dan Melati seperti ada tali batin. Masing-masing
dapat mengetahui apa yang dipikirkan, meskipun yang bersangkutan tidak
mengatakannya.
Dewa Arak dan Melati ternyata
mempunyai tanggapan yang sama atas cerita Reksa! Keduanya terkejut dan
khawatir. Betapa tidak? Kalau semua yang diceritakan Reksa betul, berarti
keadaan benar-benar gawat! Pertumpahan darah akan terjadi untuk memperebutkan
pusaka dan kitab-kitab yang ada di Pulau Es! Dan andaikata pusaka dan
kitab-kitab itu jatuh ke tangan tokoh sesat, akan terjadi bencana dalam dunia
persilatan. Dewa Arak dan Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Mereka
harus mencegahnya. Untuk melaksanakan tugas itu mereka harus menuju Pulau Es
secepatnya.
“O ya, ada sedikit tambahan,”
selak Reksa ketika melihat Dewa Arak dan Melati masih tercenung.
Melati dan Dewa Arak segera
mengalihkan pandangan. Mereka ingin mendengar tambahan cerita Reksa.
“Kami dengar, dua tokoh
tingkat tinggi kaum sesat pun ikut dalam perburuan pusaka Pulau Es,” jelas
lelaki berjenggot lebat itu.
“Dua tokoh tingkat tinggi kaum
sesat?!” Melati mengernyitkan dahi. Gadis itu belum mengetahui tokoh-tokoh yang
dimaksud.
“Benar,” Reksa menganggukkan
kepala. “Apakah kalian belum pernah mendengar julukan mereka?!”
Dewa Arak dan Melati saling
bertukar pandang sesaat
“Kami memang pernah mendengar
tentang tokoh-tokoh yang kau maksudkan. Sepanjang yang kami dengar, mereka
telah puluhan tahun merajai dunia persilatan tanpa terkalahkan. Bukankah
demikian?!” Arya yang memberikan sambutan.
“Benar,” Lagi-lagi Reksa
menganggukkan kepala. “Kedua datuk sesat itu memang belum terkalahkan. Padahal,
keduanya telah ratusan kali bertarung. Tak terhitung sudah berapa orang yang
tewas di tangan mereka, baik dari aliran hitam maupun putih. Kalian juga
mengetahuinya?!”
“Kami hanya mendengar
beritanya saja,” jawab Arya. “Bukankah mereka yang berjuluk Raja Iblis Baju
Emas dan Raja Kera Muka Hitam?!”
Reksa mengangguk.
“Raja Iblis Baju Emas merajai
daerah utara. Sedangkan daerah selatan dikuasai Raja Kera Muka Hitam,” jelas
lelaki berjenggot lebat itu.
Dewa Arak mengangguk,
membenarkan ucapan Reksa.
“Bila datuk-datuk sesat itu
ikut memperebutkan pusaka Pulau Es, berarti keadaan sudah sangat gawat,” ucap
Arya pelan, seperti berbicara pada diri sendiri.
“Kalau begitu..., tunggu
apalagi, Kang?! Mari kita segera ke sana!” usul Melati.
“Kau benar, Melati,” sambut
Arya cepat sebelum Melati memberikan tanggapan, Gondo telah memotong
pembicaraan. Sejak tadi, dia dan rekan-rekannya mendengarkan semua percakapan
itu.
“Jadi..., kalian berdua juga
membutuhkan perahu?!” tanya Gondo penuh rasa ingin tahu.
Karena memang membutuhkan
perahu untuk menuju Pulau Es, Arya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan
itu.
“Kalau begitu, silakan pakai
perahuku. Itu yang merah,” ucap Gondo menawarkan jasa.
Arya dan Melati saling
pandang.
“Maafkan kami, Kisanak.
Bukannya ingin menolak... tapi sebelumnya kami memang ingin membeli perahu.
Dan. ”
“Tidak usah kau beli, Tuan Pendekar,”
potong Gondo cepat sambil merubah panggilan. “Ambil saja perahu yang Tuan dan
Nona Pendekar inginkan. Tidak usah bayar. Percayalah. Kami ikhlas
memberikannya. Bukankah demikian, kawan-kawan?!”
“Benar, Tuan Pendekar,” sahut
rombongan nelayan serempak bagai diberi perintah. Kepala mereka dianggukkan
pertanda menyetujui keputusan Gondo.
'Tapi. ,” Arya masih mencoba
membantah.
“Kami harap Tuan dan Nona
Pendekar tidak menolak pemberian ini. Andaikata tidak ada kalian berdua, bukan
hanya perahu-perahu saja yang lenyap, tapi juga diri kami,” Gondo terus
mendesak
Melihat kekerasan hati Gondo,
Arya tidak bisa mengelak lagi.
“Baiklah kalau begitu,
Kisanak. Kami terima pemberian kalian. Tapi percayalah. Kami akan berusaha
menjaga perahu ini sebaik-baiknya. Jadi, andaikata kami kembali, perahu ini
bisa kami kembalikan.
'Terserah Tuan dan Nona
Pendekar sajalah. Kami setuju saja dengan keputusan kalian berdua,” ujar Gondo
pasrah.
“Kami hanya menyatakan terima
kasih atas kebaikan hatimu, Kisanak Maaf, kami tidak bisa berlama-lama di sini.
Urusan ini sangat mendesak,” ucap Arya, berusaha untuk tidak berpanjang kata.
“Kami mengerti. Selamat jalan,
Tuan dan Nona Pendekar. Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan.”
Dewa Arak dan Melati
mengangguk sambil mengulas senyum. Lalu mereka mengayunkan langkah meninggalkan
tempat itu. Gondo dan kawan-kawannya melepas kepergian mereka dengan pandangan
penuh kekaguman dan terima kasih yang mendalam.
***
“Ke mana arah yang harus kita
tempuh, Melati?” tanya Arya sambil tetap mengayuh dayung.
Sepasang pendekar muda yang
berwajah elok itu kini telah berada di tengah laut Sejauh mata memandang yang
terlihat hanya air. Sedangkan perahu merah yang mereka tumpangi melesat cepat
membelah permukaan air. Dewa Arak dan Melati mengerahkan tenaga dalam untuk
mengayuhnya. Hingga meskipun hanya dua pasang tangan yang mengayuh, perahu itu
melaju cepat seperti dikayuh puluhan tangan nelayan bertenaga kuat
“Ke utara, Kang,” jawab Melati
tanpa menghentikan kayuhannya.
“Kau sudah pernah pergi ke
sana, Melati?” “Maksudmu... ke Pulau Es, Kang?”
“Benar,” Arya menganggukkan
kepala. “Pernah?!”
“Belum, Kang,” sahut gadis
berpakaian putih itu sambil menggeleng.
“Lalu..., bagaimana kau bisa
tahu arah yang harus kita tuju? Ah, ya! Pasti dari Ki Julaga, kan?!” Arya
sendiri yang menjawab pertanyaan itu.
“Benar, Kang. Dari gurulah aku
tahu arah yang harus dituju. Kebetulan pantai yang menjadi patokan
keberangkatan itu adalah pantai yang kita tinggalkan tadi. Jadi.., kita tidak
repot-repot lagi memikirkan arah yang harus kita tempuh,” urai Melati.
Arya terdiam. Melati pun tidak
melanjutkan ucapannya, hingga keheningan menyelimuti mereka. Yang terdengar
hanya bunyi dayung mengoyak-ngoyak permukaan air.
Waktu berlalu tanpa dapat
dicegah. Sang Surya terus berputar sesuai aturannya. Bola raksasa itu kini
telah condong ke barat Tapi, Arya dan Melati tidak peduli. Dayung di tangannya
terus dikayuh, menempuh arah yang mereka tuju.
Nasib baik menyertai pasangan
pendekar muda itu. Laut tetap tenang. Dan, ombak yang bergulung-gulung tidak
terlalu besar. Hingga, mereka tidak mengalami hambatan yang berarti. Perahu yang mereka kemudikan dengan
lincah membelah gulungan ombak kecil-kecil yang datang melanda.
Tak lama kemudian, sang Surya
tenggelam di ufuk barat. Pemandangan yang terbentang terlihat demikian indah.
Bola raksasa berwama merah itu seperti tenggelam ke dalam laut. Indah bukan
main. Langit di sekitarnya dipenuhi bias-bias kemerahan.
Kini hanya Arya yang
mengemudikan perahu. Melati sedang beristirahat untuk memulihkan tenaga, dan
menyantap makanan yang telah mereka siapkan. Ketika malam telah larut dan
Melati sudah bangun dari tidurnya, Arya pun beristirahat. Gadis berpakaian
putih itu menggantikan tugas kekasihnya mendayung.
Waktu terus berlalu. Dan
ketika perjalanan Arya dan Melati memasuki hari ketiga, sebuah pemandangan yang
mendebarkan hati terlihat di kejauhan.
“Kakang! Lihat..!” teriakan
Melati sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
Arya melayangkan pandangan ke
arah yang ditunjuk gadis berpakaian putih itu. Sebenarnya, tanpa diberitahu dia
telah melihatnya. Pemandangan yang membuat sepasang matanya membelalak.
Di kejauhan, tampak sebuah
daratan berwarna putih berkilauan. Kelihatan berkilatkilat. Sekali lihat saja,
pasangan pendekar muda itu tahu pulau yang mereka lihat berbeda dengan pulau
pada umumnya. Itukah Pulau Es yang tengah ramai diperbincangkan orang.
Tanpa dapat dicegah, jantung
Arya dan Melati berdetak kencang. Perasaan tegang menyelimuti hati sepasang
pendekar muda itu. Mereka teringat akan cerita Ki Julaga dan Reksa, yang
mengatakan bahwa Pulau Es dihuni tokoh-tokoh berkepandaian tinggi. Penampilan
daratan Pulau Es menimbulkan rasa kagum di hati Arya dan Melati terhadap
tokoh-tokoh yang menghuninya.
“Itukah Pulau Es...?!” tanya
Arya dengan suara agak bergetar.
“Kalau melihat ciri-ciri
daratan itu... rasanya kita tidak salah, Kang. Tapi... memang ada yang kurang.
”
“Aku belum mengerti apa yang
kau maksudkan, Melati?” tanya Arya dengan alis berkerut.
Melati tidak segera menjawab.
Gadis cantik itu tercenung. Kemudian menghembuskan napas berat
“Menurut cerita yang kudapat
dari guru...
sebelum mencapai Pulau Es kita
akan dihadang oleh angin topan. Tapi, nyatanya kita tidak menemukannya,” jelas
Melati.
“Jadi..., kita tidak yakin
daratan yang kita lihat itu Pulau Es, Melati?” tanya Arya penasaran.
“Bukannya tidak yakin, Kang.
Tapi kurang yakin,” ulang Melati setengah memperbaiki kata-kata Arya. “Kau
sendiri bagaimana?” “Aku yakin daratan yang kita lihat Pulau Es!” jawab Arya
mantap. “Mengenai angin topan yang kau ceritakan, anggaplah nasib baik tengah berpihak pada kita. Dengan kata lain,
kedatangan kita tidak pada waktu angin itu muncul.”
“Mungkin kau benar, Kang,”
sahut Melati setelah tercenung beberapa saat .
“Menurutku, lebih baik, kita
tidak usah meributkan kebenarannya sekarang. Lebih baik kita datangi dan
buktikan sendiri, benar tidak daratan itu Pulau Es. Setuju?!” usul Arya.
“Aku setuju, Kang!” mantap dan
tegas jawaban Melati.
“Bagus! Nah! Mari kita bergegas!”
Arya dan Melati kelihatan
makin bersemangat untuk segera tiba di daratan itu. Mereka mendayung dengan
sebuah tenaga, hingga laju perahu semakin cepat Jarak antara sepasang pendekar
muda itu dengan daratan yang terlihat putih berkilauan, semakin lama bertambah
dekat. Pemandangan yang terlihat pun tampak semakin jelas.
“Kau benar, Kang. Tidak salah
lagi. Ini pasti Pulau Es,” ucap Melati ketika melihat dengan jelas.
Arya hanya mengangguk
menanggapi pernyataan Melati. Seluruh perhatian pemuda itu tengah tertuju pada
daratan yang terpampang di depan mereka. Sorot mata dan tarikan wajah Arya
menyiratkan kekaguman yang sangat
“Kalau tidak melihat sendiri
rasanya sulit kupercaya, Melati,” kata Arya takjub. “Di tengah-tengah lautan
luas seperti ini, terdapat Pulau Es. Benar-benar menakjubkan! Yang membuatku
heran, mengapa esnya tidak mencair?”
Melati tidak menanggapi
pernyataan Arya. Gadis berpakaian putih itu pun tengah dilibatkan pertanyaan
yang sama. Dia pun bingung.
“Kalau benar seluruh pulau ini
terdiri dari batu-batu es, tentu bagian bawahnya akan mencair. Ataukah pulau
ini hanya merupakan pulau terapung? Bila benar demikian, tempatnya pasti
berpindah-pindah. Atau. ”
“Lebih baik tidak usah
dipikirkan mengenai hal itu, Kang. Bukan hanya kau yang akan pusing, tapi aku
juga. Menurutku, lebih baik kau buang pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin
terjawab itu. Yakinkan saja dalam hatimu, bahwa bagi Allah tidak ada hal yang
tidak mungkin. Dengan kata lain, meskipun menurut pemikiran kita tidak mungkin,
tapi bagi Allah merupakan hal yang sepele. Mudah kan?!” potong Melati.
“Kau benar, Melati. Mengapa
aku harus pusing-pusing memikirkannya? Mungkin ini merupakan salah satu
keajaiban. Dan lagi ada yang lebih penting bagi kita, secepatnya mendarat di
sana. Bukankah demikian?!” Arya membuang jauh-jauh pertanyaan yang memenuhi
kepalanya. Tak berapa lama kemudian, perahu yang ditumpangi mereka menepi.
“Hup!” Arya dan Melati segera
melompat dari perahu. Kemudian, Arya menambatkan perahu pada salah satu karang
es yang ada di tepi pantai.
“Luar biasa...! Betul-betul
menakjubkan...!”
Seruan bernada kekaguman
keluar hampir bersamaan dari mulut Arya dan Melati. Keduanya berdiri terpaku
memandang ke sekeliling mereka. Pemandangan yang terlihat memang sungguh mengagumkan.
Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna putih berkilauan. Baik itu
daratan maupun bukitbukitnya.
“Hawanya dingin ya, Kang?”
celetuk Melati. “Benar, Melati. Kita harus mengerahkan
tenaga dalam untuk
melawannya,” ujar Arya.
Sebenarnya, pemberitahuan Dewa
Arak tidak perlu. Begitu merasakan dingin, dengan sendirinya tenaga dalam yang
mereka miliki bergolak melawan. Tapi, yah...
begltulah. Karena seluruh pikiran pemuda itu tengah terpusat pada masalah
yang dihadapi, maka jawaban-jawaban yang diberikan Arya terkadang keluar tanpa
dipikir lagi.
“Mari kita kelilingi pulau
ini, Melati. Akan kita buktikan, benarkah tempat seperti ini ditinggali
manusia. Bila hal itu benar, pasti ada sebuah tempat tinggal di sini.”
Tanpa berkata apa-apa, Melati
mengayunkan langkah mengikuti Arya yang telah lebih dulu menindakkan kaki.
Hati-hati sekali, pasangan pendekar muda itu melangkah. Tempat itu memang masih
sangat asing bagi mereka. Hingga Dewa Arak dan Melati tidak berani bertindak
gegabah. Sekujur urat syaraf dan otototot tubuh mereka menegang penuh
kesiagaan, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Selangkah demi selangkah Dewa
Arak dan Melati meninggalkan pantai. Kaki-kaki mereka terus diayunkan, hingga
tanpa disadari tempat mendarat mereka telah tertinggal jauh. Mendadak kedua
pendekar muda itu saling pandang.
“Kau dengar suara-suara itu,
Melati?” tanya Arya sambil menghentikan langkah. Sepasang matanya menatap
kekasihnya penuh rasa ingin tahu.
Melati tidak segera menjawab.
Kepalanya digelengkan, dan perhatiannya dipusatkan untuk mendengar suara yang
dimaksudkan Arya.
“Kau benar, Kang. Ada
suara-suara gaduh seperti tengah terjadi keributan. Tapi aku tidak bisa
mengetahui dari mana asalnya,” jawab gadis berpakaian putih itu.
“Arahnya dari sana, Melati,”
jawab Dewa Arak sambil menunjuk ke depan.
“Kalau begitu..., mari kita ke
sana, Kang!” Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Melati langsung melesat dengan
mengarahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap tubuh gadis itu telah
berada belasan tombak di depannya. Mau tidak mau, Dewa Arak pun
melakukan hal yang sama. Dia tidak akan
membiarkan kekasihnya menuju tempat itu seorang diri. Hanya dengan beberapa
kali lesatan, pemuda berambut putih keperakan itu berhasil menyusul Melati.
Sekarang keduanya berlari bersisian menuju asal suara yang mereka dengar.
*** 5
Begitu melewati bukit es yang
cukup besar, Dewa Arak dan Melati baru mengetahui asal suara riuh rendah itu.
Dugaan mereka tidak salah. Suara-suara itu disebabkan oleh pertarungan. Dewa
Arak dan Melati menghentikan lari dalam jarak tujuh tombak dari pertarungan
yang tengah berlangsung. Keduanya memperhatikan jalannya pertarungan.
Memang tidak aneh kalau
pertarungan yang terjadi demikian riuh rendah. Yang terlibat dalam pertarungan
itu tidak satu atau dua orang melainkan belasan! Pertarungan itu lebih tepat
disebut pertarungan antar kelompok. Betapa tidak? Orang-orang yang terlibat
dalam pertarungan, mengenakan pakaian seragam. Satu kelompok berseragam serba
merah, sedangkan kelompok lainnya berseragam serba hitam.
Beberapa saat lamanya pasangan
pendekar muda itu hanya memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung.
Keduanya tidak tahu mengapa kedua kelompok itu bertarung. Siapa yang benar dan
yang salah tidak diketahui. Itu sebabnya, Dewa Arak dan Melati tidak ikut
campur.
“Kau mengenal mereka, Kang?”
tanya Melati pelan mirip bisikan. “Ya. Tapi hanya kelompok yang berseragam
hitam. Kau lihat gambar cakar burung di dada kiri mereka? Nah! Mereka adalah
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Sebuah perkumpulan beraliran sesat yang
cukup terkenal. Sedangkan kelompok yang berseragam merah, aku tidak tahu. Entah
kelompok dari mana mereka. Ciri-ciri yang mereka miliki sangat aneh,” jawab
Arya.
Melati mengangguk-angguk.
Ucapan Dewa Arak memang tidak salah. Kelompok orang berpakaian merah itu
mempunyai ciri-ciri aneh. Kulit tubuh mereka kemerahan. Berambut tipis dan
kekuningan seperti rambut jagung. Yang mengerikan adalah matanya. Mata itu
tidak hitam seperti mata pada umumnya, tapi kebiruan!
“Mungkinkah mereka para
penghuni pulau ini, Melati?” duga Arya.
Melati langsung terperanjat,
dan memakimaki dirinya. Mengapa dia begitu bodoh? Ya! Orang-orang berpakaian
merah itu pasti para penghuni pulau ini.
“Aku rasa begitu, Kang. Ya! Mereka
pasti penghuni pulau ini. Sekarang sudah bisa diketahui penyebab pertarungan
itu. Mereka ingin mengusir orang-orang itu dari tempat kediaman mereka.”
Arya mengangguk-angguk
menyetujui pendapat Melati. Sementara pandangannya tetap terarah ke arena pertarungan
yang terlihat semakin menarik. Meskipun orang-orang berseragam merah itu hanya
berjumlah lima orang, sedangkan lawannya berjumlah lima belas orang, namun
mereka mampu mengadakan perlawanan sengit, hingga pertarungan berjalan
seimbang.
“Hm...,” Arya menggumam pelan.
“Untunglah orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam bertindak cerdik dengan
melakukan pertarungan bersama. Kalau tidak, orang-orang berseragam merah pasti
mampu menggilas mereka dengan mudah.”
Melati mengangguk. Gadis
cantik itu melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Kemampuan perorangan
orang-orang berseragam merah memang berada di atas orang-orang Perkumpulan
Garuda Hitam. Taktik pertarungan kelompok Perkumpulan Garuda Hitam itu membuat
pertarungan berlangsung sengit
“Kakang...,” sapaan Melati
mengalihkan perhatian Arya.
“Ada apa, Melati?” tanya
pemuda berambut putih keperakan itu.
“Kalau benar orang-orang
berpakaian merah itu para penghuni Pulau Es, rasanya tempat ini tidak cocok
untuk mereka...”
“Aku belum mengerti maksudmu,
Melati?” Arya mengeryitkan dahi.
'Tindakan mereka terlalu
kasar, Kang. Kulihat setiap serangan mereka mengandung ancaman maut. Apa kau
tidak melihat kalau ilmu-ilmu mereka lebih patut dimiliki tokohtokoh aliran
hitam?” tanya Meteti setengah memberi tahu.
“Ah...! Kau benar, Melati!”
sentak Dewa Arak kaget “Mengapa aku begini bodoh! Ya! Ilmu mereka memang lebih
patut dimiliki tokoh-tokoh beraliran hitam. Serangan mereka penuh dengan
tipuan. Lalu..., apa maksudmu, Melati?”
Melati tidak langsung
menjawab. Pandangannya kembali dilayangkan pada pertarungan, setelah gadis
berpakaian putih itu menatap kekasihnya.
“Sewaktu kau pertama kali
mendengar nama Pulau Es, dan mengetahui siapa penghuninya... apa yang terlintas
dalam benakmu tentang mereka, Kang?” Melati malah balas mengajukan pertanyaan.
“Kau benar, Melati. Kali ini
otakmu sungguh cemerlang! Kau telah memikirkan masalah yang tidak terpikir
olehku! Luar biasa! Ya! Aku baru melihat keanehannya di sini. Pantas tadi kau
mengatakan orang-orang berpakaian merah tidak cocok menghuni Pulau Es.”
“Kau belum menjawab
pertanyaanku, Kang,” ujar Melati mengingatkan. “Kalau belum mendengar sendiri
jawabanmu, rasanya aku belum puas.”
“Baiklah, kalau begitu.
Dugaanku mereka rata-rata berusia tua, mempunyai sikap sabar dan welas asih,”
jelas Arya.
“Persis! Aku pun menduga
demikian, Kang! Itu sebabnya kukatakan kalau orang-orang berpakaian merah itu
tidak cocok menghuni Pulau Es,” sambung Melati mendukung dugaan Arya.
Arya tercenung mendengar
ucapan Melati. Meskipun sepasang matanya menatap ke arah pertarungan yang masih
terus berlangsung, tapi pikirannya diputar untuk mencerna ucapanucapan Melati.
“Mungkinkah mereka bukan
penghuni pulau ini, Melati?” duga Arya tiba-tiba sambil menatap wajah Melati
lekat-lekat.
Gadis cantik itu terperanjat
Dengan raut wajah bodoh, ditatapnya wajah kekasihnya.
“Kalau begitu..., mereka dari
mana, Kang? Mereka tidak mungkin berasal dari daratan yang sama dengan kita.
Ciri-ciri mereka amat aneh. ” ujar Melati.
“Barangkali berasal dari salah
satu pulau yang ada di dekat pulau ini. Mungkin dari Pulau Api atau Pulau Air?”
sahut Dewa Arak.
“Hehhh...?!” Melati tersentak.
“Mengapa kau berpikir sejauh itu, Kang?! Keberadaan penghuni Pulau Es saja
masih merupakan tanda tanya besar. Kini kau tambah lagi dengan Pulau Air dan
Pulau Api.”
“Eh. ?! Kau ini lupa atau
berpura-pura pikun,
Melati. Bukankah berita
tentang Pulau Air dan Pulau Api itu kudapatkan darimu?! Tapi, mengapa malah kau
yang bingung sekarang?!” ujar Arya setengah bercanda.
*** “Akh...!”
Sebuah jerit kesakitan
mengalihkan perhatian Melati dan Arya. Pasangan pendekar muda itu langsung
melupakan persoalan yang tengah mereka debatkan.
Seorang anggota Perkumpulan
Garuda Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya didekapkan ke
perutnya yang terluka. Darah merembes dari celah-celah jari tangan.
Dewa Arak dan Melati segera
mengedarkan pandangan ke arah orang-orang berpakaian merah. Mereka ingin tahu
siapa yang telah melukai orang Perkumpulan Garuda Hitam itu.
Dan ketika pasangan pendekar
muda itu melihatnya, Melati tidak kuasa menahan jeritan. Gadis berpakaian putih
itu terkejut bukan main! Betapa tidak? Seorang lelaki berpakaian merah yang
berkumis tipis, tengah memasukkan sesuatu yang berlumur darah segar ke dalam
mulutnya. Melati maupun Arya tidak mengetahui secara pasti benda apa yang
dimakan. Tapi yang jelas benda itu berasal dari dalam tubuh anggota Perkumpulan
Garuda Hitam yang terluka.
Hampir saja Melati
muntah-muntah melihat pemandangan itu. Seorang manusia memakan jantung atau
hati atau ampela atau paru-paru manusia lainnya mentah-mentah! Sungguh tidak
pemah dibayangkannya! Apalagi dengan cara demikian lahap! Orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam pun kelihatan
terkejut melihat hal itu. Hanya mereka tidak sampai menjerit seperti Melati.
Seketika itu pula pertarungan langsung terhenti. Orang-orang Perkumpulan Garuda
Hitam masih terlalu kaget untuk melanjutkan pertarungan. Sedangkan orang-orang
berseragam merah memperhatikan kesibukan kawannya. Dengan sorot mata penuh minat
dan air liur menetes, mereka memperhatikan lakilaki berkumis tipis yang asyik
mengunyah.
Tapi, keadaan itu hanya
berlangsung sesaat. Begitu kekagetannya lenyap, yang tinggal dalam hati dan
benak setiap anggota Perkumpulan Garuda Hitam adalah, membalas sakit hati rekan
mereka yang tewas dengan cara demikian mengerikan. Anggota Perkumpulan Garuda
Hitam yang malang itu memang hanya mampu bertahan sebentar, kemudian mati.
Dengan kemarahan yang menggebu-gebu, orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam
menghunus senjata masing-masing.
Srat srat, srat!
Sinar terang segera terpancar
ketika mereka mencabut senjatanya masing-masing. Sebatang keris berlekuk
sembilan berwarna putih mengkilat. Sejak tadi pertarungan memang berlangsung
dengan tangan kosong. Orang-orang berseragam merah itu rupanya tidak mau kalah
gertak. Mereka segera mengeluarkan senjata andalannya.
Ctar ctar ctar! Bunyi
meledak-ledak seperti halilintar terdengar susul-menyusul ketika kelima orang
berkulit kemerahan itu melecutkan cambuknya. Seperti orang-orang Perkumpulan
Garuda Hitam, orang-orang berpakaian merah ini juga memiliki senjata seragam.
Senjata mereka berupa cambuk.
Bunyi ledakan itu mengagetkan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Mereka segera bergerak mundur sambil
melihat senjata lawanlawannya. Dan ketika telah berhasil melihat secara jelas,
mereka langsung bergidik ngeri! Cambuk lawan ternyata berbeda dengan cambuk
biasa. Cambuk itu mirip gada berduri! Dari pertengahan terus ke ujung penuh
dengan duri!
Tapi, perasaan kaget dan ngeri
itu hanya sebentar menyelimuti hati orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam.
Sesaat kemudian, laki-laki berbibir tebal dan hitam yang bertindak sebagai
pemimpin mengeluarkan aba-aba penyerangan.
“Serbu...!”
Tanpa menunggu perintah dua
kali, orangorang Perkumpulan Garuda Hitam meluruk maju. Keris-keris di tangan
mereka siap dihunjamkan ke tubuh lawan. Serbuan orangorang Perkumpulan Garuda
Hitam mendapat sambutan hangat dari lawan-lawannya. Pertarungan sengit pun
terjadi.
Dengan senjata-senjata andalan
di tangan, pertarungan berlangsung semakin seru. Jauh lebih ramai dan menarik
dari sebelumnya. Bunyi lecutan cambuk yang menggelegar dan desing tajam udara
yang terobek keris-keris, menyemaraki suasana pertarungan.
Kali ini, orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam tidak beruntung. Sejak mula melancarkan serangan,
mereka langsung dibuat kelabakan oleh kecerdikan orang-orang berpakaian merah.
Mereka dapat memanfaatkan kelebihan senjata yang mereka pergunakan. Setiap kali
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam melancarkan serangan dan belum mencapai
sasaran, orang-orang berpakaian merah telah melancarkan serangan lebih dahulu.
Terpaksa orang-orang berseragam hitam itu mengurungkan maksudnya.
Kenyataan ini sangat merugikan
orang-orang berseragam hitam. Sebelum senjata mereka berhasil didaratkan di
tubuh lawan, senjata lawan telah lebih dulu melecut tubuh mereka. Sebab daya
jangkau senjata lawan lebih jauh. Sedangkan mereka tidak berani sembarangan
memapaki serangan lawan. Sasaran yang dituju lawan sukar dapat dipastikan.
Ini tidak berlebihan. Senjata
orang-orang berpakaian merah adalah senjata lemas, hingga mudah dikendalikan.
Dan lagi mereka telah amat mahir menggunakannya. Di tangan orangorang
berseragam merah, cambuk itu mempunyai keistimewaan beraneka ragam.
Terkadang mereka menggerakkan
cambuk itu secara biasa. Dilecutkan hingga menimbulkan bunyi menggelegar. Tapi
tak jarang gerakan cambuk itu meliuk-liuk seperti ular akan menerkam mangsa.
Yang lebih hebat lagi, orangorang yang berciri aneh itu mampu membuat tali cambuk menegang kaku dan lurus
seperti sebatang tongkat baja. Tentu untuk melakukannya dibutuhkan tenaga dalam
tinggi.
Hanya dalam beberapa gebrakan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam kewalahan. Taktik yang semula akan mereka
terapkan hancur berantakan Pupus. Semula mereka bermaksud mengurung lawan
sedemikian rupa, sehingga tidak ada jalan keluar sedikit pun. Tapi, tidak
disangka niat itu gagal. Bukan lawan yang mereka kepung. Bahkan sebaliknya,
kepungan mereka hancur berantakan. Masing-masing berjuang keras untuk
menyelamatkan selembar nyawanya.
Belum sampai sepuluh jurus
bertarung, kedudukan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam telah berada di bawah
angin. Robohnya mereka hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan, itu diketahui
pasti oleh Dewa Arak dan Melati. Tanpa kesulitan mereka dapat menyaksikan
jalannya pertarungan. Keduanya pun tahu kalau tak lama lagi orang-orang
berpakaian merah akan mendapat kemenangan mutlak! Dugaan pasangan pendekar itu
tepat Sebab, sesaat kemudian....
Ctarrr! Prattt! “Akh!”
Jeritan tertahan keluar dari
mulut seorang anggota Perkumpulan Garuda Hitam ketika ujung cambuk lawan
menyerempet bahunya. Sebelum gema teriakannya lenyap, rekannya menyusul ikut
menjerit Dalam sekejap, lima orang anggota Perkumpulan Garuda Hitam terkena lecutan
cambuk. Tinggal sembilan orang yang masih mampu mengelak. Tapi, giliran mereka
sudah dapat dipastikan akan tiba.
Semua kejadian itu tidak lepas
dari pandangan Dewa Arak dan Melati. Sebuah senyuman penuh kelegaan tersungging
di mulut Dewa Arak. Pemuda itu melihat lecutan cambuk orang-orang berseragam
merah tidak ada yang mengenai bagian mematikan. Bagian yang terlecut hanya bahu
atau paha.
Agaknya dugaan Dewa Arak dan
Melati telah keliru selama ini. Orang-orang berserangan merah ternyata tidak
sejahat yang mereka duga. Kenyataan serangan cambuk mereka hanya mengenai
bagian yang tidak berbahaya. Padahal, untuk mencambuk ke bagian yang berbahaya
mudah saja dilakukan oleh orangorang berpakaian merah itu.
“Dugaan kita ternyata keliru,
Melati,” kata Arya, “Orang-orang berpakaian merah ternyata tidak sejahat yang
kita kira. Kau lihat sendiri, kan?!”
Tapi sebelum Melati sempat
memberikan tanggapan, terdengar suara jeritan menyayat. Seketika itu pula
perhatian sepasang mudamudi itu berpindah ke arah asal suara. Dan mata mereka
membelalak kaget
Suara jeritan itu berasal dari
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang tadi terkena cambuk. Orang-orang itu
menjerit-jerit dan menggeliat-geliat dengan raut wajah menunjukkan-rasa sakit
yang sangat. Yang membuat bulu kuduk berdiri, adanya kepulan asap yang keluar
dari bagian tubuh yang terkena lecutan cambuk. Mula-mula sedikit dan tipis.
Tapi lamakelamaan semakin banyak dan tebal.
Kejadian yang menggiriskan
hati ini pun disaksikan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam lainnya. Meskipun
mereka tengah bertarung hidup dan mati. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan?
Jangankan menolong, mempertahankan nyawa dari serangan ujung cambuk lawan saja sudah amat sulit. Akhimya,
mereka berusaha menulikan telinga dan mematikan perasaan akan penderitaan yang
dialami rekan-rekannya. Sedangkan Dewa Arak dan Melati menyaksikan kejadian itu
dengan jelas dan gamblang. Keduanya memperhatikan tanpa berkedlp.
“Mereka..., apa yang terjadi
atas diri mereka, Kang?” tanya Melati terbata-bata. Tarikan wajah gadis
berpakaian putih itu menyiratkan rasa ngeri yang besar.
“Entahlah, Melati. Aku sendiri
belum bisa memastikan. Tapi, kemungkinan besar orangorang Perkumpulan Garuda
Hitam itu tengah keracunan hebat... Sejenis racun yang amat keji!” desis Dewa
Arak penuh kemarahan.
“Racun?! Mereka terkena racun?
Kapan dan bagaimana mereka dapat terkena racun keji itu, Kang?!” tanya Melati
penasaran.
“Tidakkan kau lihat dari mana
keluarnya asap itu, Melati? Tempat luka-luka cambuk?! Nah! Racun itu berasal
dari cambuk orang-orang berseragam merah. Hhh...! Kini aku tahu, mengapa mereka
tidak mengarahkan lecutan cambuknya pada bagian yang mematikan!” ujar Arya
geram.
“Mengapa, Kang?!” desak Melati
tidak sabar. “Mereka tidak menginginkan orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam tewas
secara enak. Mereka ingin lawan tewas secara perlahanlahan dan penuh
penderitaan. Kita salah duga, Melati. Orang-orang yang kita sangka malaikat
ternyata iblis-iblis keji yang berhati kejam. Hm.... Kalau mereka tetap
menyebar kekejian itu, jangan harap aku akan tinggal diam!” mantap dan tegas
Dewa Arak mengucapkan kata-kata.
Sementara itu keadaan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam yang dilanda keracunan semakin
menggiriskan hati. Racun yang menyerang mereka adalah racun ganas dan keji.
Racun itu membuat kulit, daging, dan tulang mereka hancur luluh seperti lilin
terbakar. Asap yang keluar itu tercipta karena melelehnya daging, kulit, dan
tulang mereka. Orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam itu menanggung rasa sakit
yang sangat. Lolong kesakitan dan geliatan-geliatan tubuh mereka menjelaskan
semuanya.
“Ada yang bisa kau lakukan
untuk menolong mereka, Kang?” tanya Melati. Ada nada permintaan dalam
ucapannya. Gadis cantik itu sudah tidak tahan melihat pemandangan yang
terpampang di hadapannya.
“Sayang sekali, Melati. Aku
tidak bisa menolong mereka. Aku tidak tahu bagaimana mengobati orang yang
terkena racun seperti itu,” jawab Arya menyesal.
“Kalau begitu..., bagaimana
kalau mereka kita bunuh saja, Kang?! Aku tidak tahan melihatnya. Lagi pula, aku
rasa mereka lebih suka mati dibunuh daripada mati perlahan-lahan dan penuh
penderitaan seperti itu,” usul Melati .
“Sebuah usul yang baik,
Melati.” Arya memberikan tanggapan setelah termenung beberapa saat. 'Tapi, akan
lebih baik kalau rekan-rekan mereka sendiri yang melakukannya. Di samping untuk
melepaskan kita dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi, nyawa mereka pun
dapat kita selamatkan. Aku tidak ingin mereka ikut menjadi korban
keganasannya!”
“Aku setuju, Kang!” dukung
Melati.
“Kalau begitu..., mari kita
selamatkan orangorang Perkumpulan Garuda Hitam itu!”
Usai berkata demikian, Dewa
Arak melesat ke arah kencah pertarungan. Demikian pula Melati. Mereka ingin
menyelamatkan orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam dari incaran maut orang-orang
berseragam merah. Sungguh merupakan suatu kebetulan. Keadaan orang-orang
Perkumpulan Garuda Hitam memang sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka
terpontangpanting ke sana kemari mengelakkan serangan cambuk lima orang lawan
mereka.
*** 6
“Harap kalian menyingkir! Dan
urus kawankawan kalian. Biar kami yang mengurus mereka!”
Dalam kedudukan masih berada
di udara, Dewa Arak memberi perintah. Tidak itu saja. Di samping memberi
perintah pada orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam, pemuda itu pun memberi
kesempatan pada mereka untuk melakukannya. Di saat tubuh pemuda itu melayang
mendekati kancah pertarungan, Dewa Arak dan Melati mengibaskan kedua tangannya
bertubi-tubi ke arah orang-orang berpakaian merah.
Wut, wut wut!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serangan itu. Menjadikan peringatan bagi orangorang berpakaian merah.
Mereka tahu pukulanpukulan jarak jauh itu mengandung tenaga dalam amat kuat.
Maka, mereka pun segera menghindar. Dengan demikian, orang-orang Perkumpulan
Garuda Hitam dapat dengan leluasa memenuhi anjuran Dewa Arak. Tanpa menunggu
perintah dua kali mereka berlompatan mundur. Lalu, menghampiri kawankawannya
yang terluka. Tentu saja dalam jarak yang aman. Karena mereka khawatir akan
terkena percikan lelehan tubuh itu. Bukan tidak mungkin melalui lelehan itu
racun akan menular!
Beberapa saat lamanya, sepuluh
orang Perkumpulan Garuda Hitam yang masih sehat berdiri terpaku tanpa tahu
harus berbuat apa. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka memberi
pertolongan. Tapi apa daya? Mereka tidak tahu caranya! Akhirnya mereka tertegun
bingung. Sementara kelima orang berpakaian merah telah berhasil memperbaiki
keadaannya. Tepat pada saat Dewa Arak dan Melati mendaratkan kaki.
“Siapa kalian?! Mengapa begitu
berani mencampuri urusan ini?! Apakah kalian sudah bosan hidup?!” tanya
seseorang yang berkumis tipis. Nada suaranya sarat dengan kemarahan.
“Kalian sendiri siapa?!”
bukannya menjawab, Melati malah mengajukan pertanyaan. “Beritahu dulu siapa
kalian. Setelah itu, dengan senang hati kami akan memberitahu siapa kami.”
“Keparat! Wanita tak tahu
diuntung! Mulutmu terlalu lancang! Rupanya kau sudah bosan hidup, hehhh?!”
Ctarrr...!
Dengan terlebih dulu
melecutkan cambuknya ke udara sehingga mengeluarkan bunyi keras yang
menggelegar dan asap mengepul tipis ke atas, laki-laki berkumis tipis yang
bertindak sebagai pemimpin melancarkan serangan.
Hebat! Permainan cambuknya
patut mendapat pujian. Ujung cambuk itu tidak melecut! Tapi mematuk-matuk. Yang
lebih mengagumkan, bagian yang dituju jalan darah kematian! Ubun-ubun, pelipis,
dan bawah hidung!
Melati tidak berani bertindak
gegabah! Disadarinya betapa berbahaya serangan itu. Bukan hanya karena bagian
mematikan yang dituju, tapi cambuk itu mengandung racun yang mengerikan!
Tersentak sedikit saja berarti maut!
Melati menyadari betul akan hal itu. Karena itu, pedangnya segera dihunus.
Dengan senjata andalan di tangan, dipapaknya patukan ujung cambuk.
Prat, prat, prat!
Terdengar bunyi cukup keras
ketika pedang dan cambuk berbenturan beberapa kali. Tindakan Melati tidak
terhenti sampai di situ. Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, serangan
balasan langsung dikirimkan. Diiringi bunyi menggerung keras seperti naga
murka, Melati menusukkan pedangnya ke arah leher lawan.
Laki-laki berkumis tipis itu
terperanjat Serangan balasan yang dikirimkan lawan begitu cepat Dengan agak
gugup tubuhnya dibanting ke tanah. Dan hasilnya memang jitu! Serangan Melati
kandas!
Tapi Melati tidak berminat
membiarkan lawannya lolos. Gadis berpakaian putih itu mengejarnya, kemudian
kembali melancarkan serangan. Hingga lawan kewalahan. Karena untuk bangkit
tidak mungkin lagi, lelaki berkumis tipis itu mengelakkan serangan dengan
menggulingkan tubuh. Lagi-lagi Melati tidak tinggal diam. Dikejarnya ke mana
lawan mengelak, dan menghujani dengan seranganserangan mematikan.
Hasilnya terpampang sebuah
pemandangan yang menarik. Laki-laki berpakaian merah terus-menerus
menggulingkan tubuh, sedangkan Melati memburunya sambil melancarkan tusukan
bertubi-tubi.
Kelincahan lelaki berkumis
tipis memang patut diacungkan ibu jari. Lelaki itu mampu mengelakkan setiap
serangan Melati. Hingga berlangsung beberapa jurus. Meskipun demikian, keadaan
lelaki berpakaian merah itu tetap mengkhawatirkan. Sampai berapa lama dia dapat
bertahan dengan sikapnya itu? Dan itu disadari betul oleh pihak-pihak yang
bertarung, Dewa Arak dan orang-orang berpakaian merah lainnya. Empat lelaki
berpakaian merah itu tidak berani mengambil resiko dengan membiarkan lelaki
berkumis tipis terus diburu dan dihujani serangan.
“Haaat..!”
Dengan didahului teriakan
melingking nyaring, empat lelaki berpakaian merah melompat menyerbu Melati.
Ctar, ctar, ctar!
Bunyi meledak-ledak terdengar
ketika empat cambuk meluncur ke arah Melati. Masingmasing lawan melancarkan
serangan dalam bentuk yang berlainan. Melati tidak terkejut melihat serangan
mereka. Itu memang sudah diperhitungkarmya. Pengejarannya segera dihentikan.
Lalu tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto menjauhkan diri. Hasilnya
memang ampuh. Semua serangan cambuk itu berhasil dipunahkan.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Melati
mendarat di tanah, di sebelahnya telah berdiri Dewa Arak. Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak bisa tinggal diam melihat kekasihnya menghadapi keroyokan
lima orang lawan. Arya sadar kalau lima orang berpakaian merah itu
berkepandaian cukup tinggi.
“Sabarlah, Kisanak. Aku yakin
ada kesalahpahaman di antara kita. Dan...”
Dewa Arak yang bermaksud
mencegah terjadinya pertarungan, terpaksa menghentikan ucapannya. Kelima orang
itu tidak mempedulikan seruannya. Mereka terus merangsek maju. Maju tidak mau
pemuda berambut putih keperakan itu melakukan perlawanan.
Berbeda dengan Melati yang
langsung menggunakan ilmu andalan 'Pedang Seribu Naga', pemuda berambut putih
keperakan itu tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Yang dikeluarkannya
ilmu-ilmu warisan ayahnya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu
'Sepasang Tangan Pembunuh Naga' (Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak
dalam episode perdana: 'Pedang Bintang')
*** Ctar, ctar, ctar!
Bunyi menggeletar seperti
halilintar menyambar terdengar, ketika lima orang berpakaian merah meluruk ke
arah Dewa Arak dan Melati. Mereka menyerbu dengan berpencar dari berbagai arah.
Orang-orang berpakaian merah tidak ingin menghadapi lawan satu-satu.
Melihat taktik lawan, Melati
langsung membalikkan tubuh. Gadis itu saling membelakangi dengan kekasihnya
untuk menghadapi kepungan lawan. Untuk menghadapi kepungan, taktik perlawanan
seperti itu memang lebih menguntungkan. Dengan begitu, mereka berdua bisa
memusatkan perhatian pada lawan yang berada di depan dan samping mereka.
“Haaat..!”
Dibarengi teriakan menggeledek
yang menggetarkan tempat itu, lima orang berpakaian merah melancarkan serangan.
Cambuk-cambuk berduri di tangan mereka saling mendahului mencapai sasaran.
Serangan yang dilakukan berbeda-beda. Melecut, mematuk-matuk, dan meliuk-liuk
seperti ular merayap.
Pertarungan pun tidak bisa
dihindarkan lagi. Melati mempergunakan pedang sedangkan Dewa Arak menggunakan
guci, yang kali ini isinya tidak ditenggak. Karena Dewa Arak tidak menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti'.
Setelah terlibat pertarungan
langsung dengan mereka, Dewa Arak dan Melati baru mengetahui kehebatan
orang-orang berpakaian merah. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya tidak
bisa diremehkan. Mereka pun mampu melakukan kerjasama dalam pertarungan
keroyokan. Sebuah kerjasama yang luar biasa!
Betapa tidak? Meskipun mereka
berlima, tapi seperti mempunyai satu pikiran. Mereka mampu saling mengisi satu
sama lain, baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Dengan kerja sama begitu,
serangan mereka menjadi lebih dahsyat dan kekuatan pertahanan mereka lebih
kokoh!
Semua itu dirasakan sendiri
oleh Dewa Arak dan Melati. Setiap serangan mereka selalu dipapaki tiga orang
lawan. Anehnya, tenagalawan seperti menyatu. Hingga kekuatan lawan berlipat
ganda dan Dewa Arak serta Melati tidak bisa mengambil keuntungan dari
keunggulan tenaga mereka. Kehebatan serangan gabungan ini mampu bertahan hingga
tiga puluh jurus. Melati dan Dewa Arak tetap terkurung.
Sementara sepuluh orang
anggota Perkumpulan Garuda Hitam yang selamat tertunduk lesu. Tubuh lima orang
rekan mereka yang tadi menjerit-jerit kesakitan kini tidak terlihat lagi.
Mereka telah tiada. Mati secara mengerikan tanpa jejak. Tubuh mereka meleleh
dan terserap ke dalam tanah.
Setelah berhasil meredakan
rasa sedih yang mendera, kesepuluh orang itu mengalihkan perhatian ke arah
pertempuran. Sorot mata mereka memancarkan dendam. Tapi apa yang bisa
dilakukan? Lawan terlalu kuat untuk mereka. Yang dapat dilakukan hanya berharap
agar Dewa Arak dan Melati dapat merobohkan lawan. Sementara itu pertarungan
masih berlangsung sengit. Belum terlihat tanda-tanda pihak mana yang akan
kalah. Mendadak....
“Hey. !”
Salah seorang lelaki
berpakaian merah berseru kaget Serangannya segera dihentikan dan jari
telunjuknya menunjuk ke angkasa. Melihat kelakuan rekannya, empat orang
berseragam merah lainnya pun menghentikan penyerangan dan melompat ke belakang.
Dan di saat tubuh mereka berada di udara, pandangannya diarahkan ke angkasa.
Terlihat oleh mereka cahaya kemerahan yang gemerlapan.
Pemandangan itu pun tidak
luput dari penglihatan Dewa Arak dan Melati. Dan, mereka tidak menggunakan
kesempatan itu untuk mendesak lawan. Dewa Arak dan Melati tidak mau melancarkan
serangan di saat lawan belum siap.
Kedua pendekar muda itu
melihat betapa sikap lima lelaki berpakaian merah berubah gelisah. Mereka tidak
mempedulikan keberadaan sepasang pendekar muda itu lagi. Sebaliknya, saling
bertukar pandang sebelum akhimya melesat menuju tempat cahaya kemerahan itu
berasal.
“Keparat keji! Tunggu. !”
Orang-orang Perkumpulan Garuda
Hitam yang dendam atas kematian rekan-rekannya langsung berseru mencegah,
melihat orangorang berpakaian merah melarikan diri. Secepat itu pula mereka
bergerak mengejar. Tapi orangorang berseragam merah tidak mempedulikan teriakan
itu. Mereka terus berlari dengan kecepatan penuh. Sehingga dalam beberapa kali
lesatan, sepuluh orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam tertinggal jauh.
Kejadian itu diperhatikan oleh
Dewa Arak dan Melati. Kali ini, sepasang pendekar muda itu tidak mencampurinya.
Mereka tahu orangorang berpakaian merah tidak akan meladeni permintaan
orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam. Maka mereka pun mengalihkan perhatian
dari sosok-sosok tubuh saling berkejaran itu. Setelah sosok sosok itu tidak
terlihat lagi, Dewa Arak dan Melati saling bertukar pandang.
“Apa yang terjadi, Kang?
Mengapa orangorang berseragam merah tiba-tiba meninggalkan pertarungan?!
Mungkinkah cahaya kemerahan tadi merupakan isyarat dari kawan-kawan mereka yang
membutuhkan bantuan?!” tanya Melati ingin tahu.
“Aku pun menduga demikian,
Melati. Cahaya kemerahan itu dilepaskan oleh kawan-kawan mereka yang meminta
bantuan,” ujar Arya.
“Kalau benar demikian, berarti
ada bahaya yang tengah mengancam orang-orang berpakaian merah! Tapi..., bahaya
dari mana, Kang?” Melati kembali mengajukan pertanyaan.
“Hhh...! Entahlah, Melati.
Tapi... eh...! Ingatkah kau akan cerita Reksa tentang dua datuk sesat?” tanya
Arya.
“Ah...! Kau benar, Kang. Pasti
bahaya itu yang tengah menimpa rekan-rekan orang-orang berpakaian merah,” sahut
Melati yakin. “Kalau begitu... mari kita ke sana, Kang.”
Begitu Dewa Arak menganggukkan
kepala, Melati melesat dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Dewa Arak pun melesat mengikuti gadis itu. Sesaat kemudian, sepasang pendekar
muda itu telah berlari bersisian menuju asal cahaya kemerahan itu.
Dewa Arak dan Melati berlari
cepat sambil mengingat tempat munculnya cahaya kemerahan di langit Tak lama kemudian,
sepasang muda-mudi itu terperanjat melihat pemandangan yang terbentang tak jauh
di hadapan mereka. Sebuah bangunan besar mirip istana! Tak teriihat jelas dari
kejauhan karena permukaan tanah yang tinggi rendah. Hingga mereka hanya melihat
berupa bangunan besar.
Belum juga rasa kaget kedua
orang muda itu reda, datang kejutan lainnya. Di depan bangunan besar itu tampak
banyak bergeletakan sosok tubuh. Tidak terlihat adanya sosok yang berdiri tegak
di sana. Bahkan suasana kelihatan sepi.
Melihat kenyataan ini Dewa
Arak menyuruh Melati menghentikan langkah. Dengan gerak isyarat
diberitahukannya agar gadis itu jangan bertindak gegabah. Tanpa banyak bicara
Melati menurutinya. Gadis itu tidak melakukan tindakan apa pun, hingga
Dewa Arak memberi isyarat
selanjutnya. Kemudian, sepasang muda-mudi itu menghampiri dengan sikap penuh
waspada. Tapi kekhawatiran mereka tidak beralasan. Sampai tiba di tempat
sosok-sosok tubuh yang bergeletakan, tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
“Sepertinya telah terjadi
pertarungan di tempat ini, Kang,” duga Melati pelan. Pandangan diedarkan ke
arah sosok yang bergeletakan di bawah kakinya.
“Benar, Melati,” jawab Arya.
Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang tergolek di tanah. “Melihat keadaan
mayat-mayat ini mungkin tidak hanya dua pihak yang terlibat.”
Melati menganggukkan kepala
membenarkan dugaan kekasihnya. Telah disaksikan sendiri kenyataan itu.
Sosok-sosok yang bergeletakan tanpa nyawa itu mengenakan pakaian yang
berlainan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki ciri-ciri yang unik!
“Perkembangan kejadian di sini
jadi demikian memusingkan,” ujar Dewa Arak dengan dahi berkernyit. “Orang-orang
berpakaian merah belum kita ketahui asal-usulnya. Kini kita jumpai orang-orang
berpakaian serba putih dengan kulit kepucatan seperti tidak pernah terkena
sinar matahari.”
Di antara sosok-sosok itu
memang terdapat sosok yang berpakaian putih. Di samping itu, terdapat
sosok-sosok yang berpakaian hitam dan merah.
“Kakang...,” sapa Melati
hati-hati.
Arya mengangkat kepala menatap
wajah gadis berpakaian putih itu. “Ada apa, Melati?” “Rupanya masih ada yang
hidup, Kang,” beri
tahu Melati sambil menunjuk ke
arah seorang kakek berpakaian putih.
Melihat kenyataan itu, tanpa
membuangbuang waktu Arya menghampiri dan berjongkok di dekatnya.
“Apa yang terjadi, Ki?” tanya
Arya segera. Khawatir orang itu keburu mati sebelum memberikan jawaban. Sebab
keadaan orang itu sudah amat parah.
“Seorang kakek mirip monyet
dan berkulit hitam... akh...!”
Sebelum sempat menyelesaikan
ucapannya, kakek berpakaian putih itu menghembuskan napas terakhir.
“Raja Monyet Muka Hitam...,”
Arya dan Melati hampir bersamaan. menyebutkan julukan itu. Kemudian
perlahan-lahan keduanya bergerak bangkit. Mendadak...
“Kakang...!” kembali Melati
menyapa. “Ada apa, Melati?”
“Dugaanmu tepat, Kang. Di sini
ada tempat tinggal. Berarti pulau ini tidak kosong,” Melati mengalihkan pandang
ke arah bangunan besar mirip istana yang putih berkilauan. Pulau Es.
“Ya,” hanya itu yang dapat
diucapkan Dewa Arak. Bertumpuk-tumpuk pertanyaan membebani benaknya. Hingga
otaknya sukar untuk diajak berpikir.
“Sekarang yang menjadi
pertanyaan..., siapa atau lebih tepatnya kelompok mana yang memiliki pulau ini,
Kang?!” ucap Melati lagi. “Hhh...!” Dewa Arak menghembuskan napas
berat. “Itu akan kita ketahui
nanti, Melati. Saat ini lebih baik kita mencari orang-orang berpakaian merah.
Kita harus mendapat keterangan dari mereka, siapa atau kelompok mana pemilik
pulau ini sebenarnya. Aku yakin mereka mengetahuinya.”
“Ke mana kita harus
mencarinya, Kang. Mereka tidak ada di sini. Dan ke mana mereka pergi, kita
tidak tahu.”
“Kalau begitu, sekarang kita
pusatkan perhatian kita pada bangunan itu. Mudah-mudahan di sana ada jawabnya.
Malah bukan tidak mungkin mereka tengah berada di dalam sana,” jelas Arya
sambil menunjuk ke arah bangunan besar mirip istana.
Melati mengernyitkan dahi.
“Menurutku..., mereka tidak
berada di sana, Kang. Suasana di dalam sana tampak sangat sepi. Aku lebih
condong kalau bangunan besar itu kosong,” ujar Melati yakin.
“Mari kita buktikan
kebenarannya,” Dewa Arak mengayunkan langkah memasuki bangunan itu. Melati
mengikuti di belakangnya. Sepasang mata gadis berpakaian putih itu merayapi
bangunan yang seluruhnya tertutup es.
Sambil berjalan, Dewa Arak berpikir
keras. Korban yang berjatuhan cukup banyak, semuanya kurang lebih lima belas
orang. Keadaan di sekitar tempat itu pun kacau balau. Pertarungan itu pasti
berlangsung sengit. Tapi mengapa dia maupun Melati tidak mendengarnya sama
sekali? Pemuda berambut putih keperakan itu rupanya tidak tahu, bentuk dan
keadaan daratan Pulau Es telah membuat perjalanan gelombang suara dan bunyi
terhambat.
Selangkah demi selangkah,
pasangan pendekar muda itu mendekati pintu gerbang yang terbuka lebar sehingga
memperlihatkan sebagian isi bangunan. Sebelum Dewa Arak dan Melati berhasil
melewati daun pintu gerbang....
“Berhenti. !”
Seruan keras terdengar. Dewa
Arak dan Melati menghentikan langkah dan berbalik dengan sikap waspada. Tepat
pada saat itu, sesosok bayangan putih melesat cepat ke arah Dewa Arak. Sosok
menerjang pemuda berambut putih keperakan. Gerak serangannya mengingatkan orang
akan serbuan burung elang menerkam mangsanya.
Serangan yang tidak
disangka-sangka itu mengejutkan Dewa Arak. Namun, kesigapan membuatnya langsung
bertindak. Karena tidak mungkin mengelak lagi, dipapakinya serangan itu dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Wut! Plak, plak..!
*** 7
Aih...!”
Diiringi jeritan kaget, tubuh
Dewa Arak dan sosok bayangan putih terjengkang. Dewa Arak terhuyung-huyung ke
belakang, sedang sosok bayangan putih terpental balik. Tapi...
“Hup!”
Dengan gerakan manis dan
indah, Dewa Arak maupun sosok bayangan putih berhasil mematahkan kekuatan daya
dorong tubuh mereka.
Setelah berhasil memperbaiki
kedudukan, kedua orang itu kembali bersikap siaga. Dua pasang mata saling
beradu pandang. Masingmasing pihak berusaha mengukur kemampuan lawan melalui
sorot mata. Mendadak...
“Siapa kau...? Cepat katakan.
.?!” ucap sosok bayangan putih dengan suara bergetar.
Sosok itu adalah seorang kakek
yang sudah sangat tua. Pakaian yang dikenakannya serba putih. Demikian pula
rambut, alis, kumis, jenggot, dan cambangnya. Kulitnya pun pucat seperti tidak
pernah terkena sinar matahari. Kesan yang timbul, kakek itu mirip mayat.
Sesaat kemudian, wajah kakek
itu dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tarikan wajah dan desah suaranya yang
menggeletar menjelaskan semua itu. Hingga Arya heran dibuatnya. Mengapa kakek
itu nampak demikian kaget melihatnya?
“Aku Arya dan kawanku ini
Melati. Kami bukan orang jahat..,” jelas Dewa Arak jujur. Pemuda berambut putih
keperakan khawatir jika kakek berpakaian putih itu salah paham dan berprasangka
buruk.
“Arya?!”
Kakek berpakaian putih
mengernyitkan aiis. Ada sorot kekecewaan pada sepasang matanya. Kenyataan itu
membuat Dewa Arak dan Melati semakin heran. Tanpa sadar keduanya saling
berpandangan. Dan, Melati menduga kakek yang berdiri di hadapan mereka bukan
orang waras!
“Berapa usiamu sekarang...,
Anak Muda?!” kakek berpakaian putih itu tampak bingung untuk memanggil Dewa
Arak.
Arya dan Melati bertambah
kaget bercampur heran mendengar pertanyaan itu.
“Jangan-jangan kakek ini tidak
waras, Kang,” bisik Melati. Khawatir akan terdengar kakek berpakaian putih. Dan
kekhawatiran Melati terwujud. Terbukti dari ucapan selanjutnya kakek berpakaian
putih itu.
“Jangan khawatir, Bocah Ayu.
Aku bukan orang gila. Aku hanya ingin tahu lebih jelas tentang diri kawanmu
ini. Boleh kan kalau aku ingin mengenalnya lebih jauh?!”
Melati terkejut bukan main
mengetahui kakek itu mendengar bisikannya. Arya pun agak terkejut Walaupun dia
tahu kalau kakek itu berkepandaian tinggi. Namun sungguh tidak disangka
pendengarannya demikian tajam, sehingga mampu mendengar bisikan halus dalam
jarak sekitar delapan tombak! Kenyataan ini membuat Dewa Arak semakin
berhati-hati.
“Tentu saja boleh, Ki,” jawab
Arya tenang. Pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil menguasai
perasaannya. “Tapi, tentu tidak adil kalau hanya aku yang mendapat pertanyaan.
Aku juga ingin mengenalmu.”
“He he he...!” kakek
berpakaian putih itu tertawa lunak. “Maaf. Maaf. Aku telah berlaku kurang
sopan. Kuharap kalian bisa memaklumi. Kedatangan orang-orang yang tidak
bermaksud baik ke pulauku, dan menyebar keonaran di sana-sini membuatku kurang
bisa bersikap layak terhadap kalian.
“Ah...!” Dewa Arak dan Melati
berserukaget “Jadi..., kau pemilik Pulau Es ini, Ki?” Arya
berusaha memastikan setelah
berhasil menenangkan perasaannya.
“Benar. Aku adalah pemilik
pulau ini,” kakek itu mengangguk. “Namaku Sangga Buana. Dan bangunan yang
hendak kalian masuki adalah tempat tinggalku.”
Sangga Buana?! ulang Dewa Arak
dalam hati. Rasanya dia pemah mendengar nama itu. Tapi Arya lupa. Kapan dan di
mana nama itu pernah didengamya. Benaknya berputar menggali seluruh ingatannya.
Di saat Dewa Arak tengah berkutat dengan ingatannya, Melati mengambil alih
pembicaraan.
“Kalau kau pemilik pulau
ini..., lalu siapa orang-orang itu?!” tanya Melati sambil menunjuk ke arah
sosok-sosok tubuh berpakaian putih yang bergeletakan di sekitar tempat itu.
“Hhh...!'
Kakek Sangga Buana
menghembuskan napas berat. Tarikan wajahnya menyiratkan kedukaan. Pertanyaan
Melatilah penyebabnya. Hingga gadis berpakaian putih itu merasa tidak enak.
“Maafkan aku, Ki. Bukan
maksudku membuatmu bersedih. ”
“Aku tahu!” potong kakek
berpakaian putih cepat. “Aku tahu kau tidak bermaksud demikian. Tanpa kau
bertanya pun aku sudah merasa tidak nyaman. Hhh...! Mereka adalah orangorangku
yang setia. Menemaniku di sisa umurku. Bagaimana aku tidak bersedih atas
kematian mereka?” Sangga Buana menundukkan kepala. Tampak jelas dia merasa
terpukul akan kenyataan yang dihadapinya.
Melati tidak berani mengganggu
lagi. Dibiarkan saja kakek berpakaian putih itu tertunduk. Ditengoknya Dewa
Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengangkat bahu sambil
memberi isyarat agar tidak mengganggu Sangga Buana.
Tidak lama Sangga Buana
tenggelam dalam kesedihannya. Sesaat kemudian, kakek itu mengangkat wajahnya.
Tidak tampak lagi kesedihan di sana. Rupanya kakek berpakaian putih itu telah
berhasil menguasai perasaannya.
“Maafkan aku...,” ucap Sangga
Buana lemah. “Aku telah bertindak cengeng di hadapan kalian. ”
“Ah, tidak mengapa, Ki,” jawab
Dewa Arak bijaksana. “Kami bisa memakluminya. Dan. ”
“Lupakan saja, Anak Muda. Oh,
ya. Tadi aku belum selesai dengan pertanyaanku. Sekarang akan kuulangi lagi.
Berapa usiamu, Anak Muda? Maaf bukannya aku bermaksud mengejekmu. Melihat
keadaan tubuh dan wajahmu, aku yakin usiamu tidak lebih dari dua puluh lima
tahun. Tapi..., mengapa rambutmu berwarna seperti itu? Apakah memang sejak
lahir rambutmu berwarna demikian?”
'Tidak, Ki,” Arya menggeleng,
“Warna rambutku berubah seperti ini sewaktu usiaku hampir dua puluh tahun.
Menurut guruku, ini disebabkan oleh ilmu yang kupelajari.”
“Ooo...,” mulut Sangga Buana
membentuk bulatan. “Lalu... berapa usiamu yang sebenarnya, Anak Muda?”
“Sekitar dua puluh satu tahun,
Ki,” jawab Arya.
Sangga Buana
mengangguk-angguk. “Mengenai namamu tadi... Arya bukan?
Apakah itu nama lengkapmu?”
tanya kakek itu menyelidik.
'Tidak, Ki,” Arya menggeleng.
“Namaku sebenarnya Arya Buana.”
“Dan di dunia persilatan
dikenal dengan julukan Dewa Arak, Ki,” sambung Melati bangga.
“Arya Buana?!” ulang Sangga
Buana setengah terpekik karena rasa kaget yang sangat. “Apa hubunganmu dengan
Tribuana?”
“Tribuana?!” ulang Arya tak
kalah kaget. “Kau mengenalnya, Ki?! Beliau adalah mendiang ayahku!”
“Mendiang?! Jadi..., maksudmu
Tribuana telah meninggal dunia? Dan kau anaknya?!” kali ini ucapan kakek
berpakaian putih terdengar terbata-bata. Kakek itu dicekam rasa tegang yang
memuncak.
“Benar, Ki. Ayahku telah
meninggal. Kejadiannya sudah lama terjadi. Kalau boleh kutahu... di mana kau
mengenalnya?” tanya Arya penasaran.
***
Sangga Buana tidak segera
menjawab pertanyaan itu. Kepala malah ditundukkan. Cukup lama hal itu
dilakukannya sehingga Dewa Arak dan Melati hampir kehilangan kesabaran
menunggu. Dan sebelum kedua pendekar muda itu kehilangan kesabaran, Sangga
Buana telah mengangkat wajahnya. Begitu melihatnya, tanpa sadar Arya dan Melati
melangkah mundur.
Betapa tidak? Tarikan wajah
Sangga Buana menyiratkan kemarahan yang sangat. Dalam sorot matanya terpancar
kebencian yang menggelegak. Semua itu tertuju pada Arya!
“Apa yang terjadi, Ki? Mengapa
kau menatapku seperti itu?” tanya Arya kebingungan. Pemuda berambut putih
keperakan itu merasakan yang tidak beres. Dugaan Dewa Arak tidak melesat.
Beberapa saat kemudian....
“Kau bilang Tribuana telah
meninggal?! Hah...! Enak saja! Kau tahu, dia berhutang nyawa padaku. Aku tidak
mau tahu. Apa pun yang terjadi, hutang nyawa itu harus dibayar!” tandas Sangga
Buana geram.
Dewa Arak mengernyitkan alis.
Sungguh tidak disangka akan jadi begini.
“Aku minta kebijaksanaanmu,
Ki. Ayahku meninggal... dan. ”
“Ayahmu memang telah meninggal!
Tapi masih ada anaknya. Kaulah yang harus membayar hutang nyawa itu!” potong
Sangga Buana cepat. “Bersiaplah, Arya! Ingat, aku tidak raguragu untuk
membunuhmu!”
“Hhh...!” Dewa Arak menghela
napas berat. “Kau terlalu mendesakku, Ki. Apa boleh buat terpaksa kuladeni
kemauanmu. Asal tahu saja, aku hanya menuruti kehendakmu!”
Mantap dan tegas jawaban Dewa
Arak. Tapi tanggapan yang diberikan Sangga Buana dengusan penuh ejekan.
Dewa Arak segera memberi
isyarat pada Melati untuk menyingkir dari tempat itu. Tanpa banyak membantah
gadis berpakaian putih itu melaksanakan permintaan kekasihnya.
“Hati-hati, Kang,” ucap Melati
sebelum menjauhkan diri.
Dewa Arak hanya mengangguk
Kemudian, mengalihkan perhatiannya pada Sangga Buana. Kakek berpakaian putih
itu telah siap. Tanpa membuang waktu lagi pemuda berambut putih keperakan itu
bersiap siaga. Diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Lalu
dituangkan ke mulutnya.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Terdengar suara tegukan arak
melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, terasa ada hawa hangat
berputar di dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Perlahan-lahan
hawa itu naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, kedudukan kaki Dewa Arak sudah
tidak tetap lagi. Oleng ke kanan-kiri. Ilmu 'Belalang Sari' andalannya telah
siap untuk dipergunakan.
Semua gerak-gerik Dewa Arak
tidak luput dari perharian Sangga Buana. Dahi kakek berpakaian putih itu
berkernyit dalam. Sangga Buana heran bukan main melihat kelakuan Dewa Arak.
Rupanya kakek itu belum pernah mendengar akan ilmu 'Belalang Sakti' yang unik
dan dahsyat.
Tapi sebagai seorang tokoh
tingkat tinggi, Sangga Buana tidak berani bertindak gegabah. Disadarinya kalau
di dunia ini banyak terdapat ilmu. Tidak sedikit di antaranya yang kelihatan
aneh dan lucu, tapi mengandung kedahsyatan yang tidak terperikan. itu, sebabnya
begitu melihat tubuh Dewa Arak mulai terhuyung huyung seperti akan jatuh kakek
itu mempersiapkan ilmunya. Tanpa ragu-ragu lagi, kakek berpakaian putih itu
mengeluarkan ilmu andalannya. “Ssshhh...!”
Bunyi berdesis keras seperti
seekor ular besar yang murka terdengar, ketika Sangga Buana mengejangkan kedua
tangannya. Kedudukan jari-jari tangannya lurus, menegang kaku, penuh kekuatan.
Bunyi berdesis semakin keras
terdengar seiring dengan juluran kedua tangannya ke depan. Uap tipis mengepul
dari sekujur tubuh Sangga Buana. Mula-mula sedikit dan tipis, tapi makin lama
makin tebal. Dan, hawa dingin menyebar dari tubuh Sangga Buana. Inilah ilmu
andalan kakek berpakaian putih itu, ilmu 'Ular Es'.
“Ssshhh...!”
Diawali bunyi desisan keras
yang membuat bulu kuduk berdiri, Sangga Buana menghampiri Dewa Arak dengan
langkah-langkah silang. Sepasang matanya yang mencorong tajam laksana mata
harimau dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawan. Kakek itu tengah mencari
celah-celah yang akan dijadikan sasaran.
Begitu pula Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu pun segera menghampiri lawan. Kalau lawan
melangkah mantap dengan sikap penuh waspada, Dewa Arak tidak demikian. Pendekar
muda yang mempunyai julukan menggemparkan dunia persilatan itu melangkah
sembarangan. Tanpa perhitungan. Langkahnya terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Kelihatan lucu. Sekali kakinya melangkah ke depan, tiga kali mundur ke
belakang. Ditambah lagi dengan tindakannya yang membuat Sangga Buana heran.
Dewa arak maju sambil terus menuangkan arak ke dalam mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk. ”
Tak lama kemudian, jarak
antara mereka telah dekat Saat Sangga Buana menerjang Dewa Arak.
“Ssshhh. !”
Dengan diawali bunyi desisan
yang tidak putus sejak tadi, Sangga Buana melancarkan serangan. Kakek
berpakaian putih itu membuka serangan dengan totokan bertubi-tubi ke arah dada
dan ulu hati!
Cit, cit, cit!
Bunyi berdecit nyaring
terdengar ketika tangan Sangga Buana meluncur menuju sasaran. Bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Cepat bukan main
luncuran serangan itu. Padahal, saat itu Dewa Arak masih sibuk menenggak arak.
Tapi begitu serangan itu
meluncur dekat, dengan sekali jejak tubuh Dewa Arak melayang melewati kepala
Sangga Buana. Hingga serangan-serangan itu meluncur lewat di bawah kakinya.
berada di atas, tubuh Dewa Arak berjumpalitan di udara. Kemudian, tangan
kanannya disampokkan ke arah belakang kepala Sangga Buana.
Wuttt! Sampokan Dewa Arak mengenai
tempat kosong. Sangga Buana merendahkan tubuhnya untuk menghindar. Jari-jari
tangan pemuda berambut putih keperakan lewat beberapa jari di atas sasaran.
Rambut dan pakaian Sangga Buana berkibar keras seperti dilanda angin keras.
Betapa kuat tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Dewa Arak. Kegagalan
serangan itu rupanya sudah diperhitungkan Dewa Arak. Sebuah serangan susulan
segera dikirimkan. Kaki kanannya disepakkan di bawah.
Wukkk!
Kali ini Sangga Buana tidak
sempat mengelak. Padahal, kaki Dewa Arak meluncur ke arah belakang kepalanya.
Bila maksud pemuda berambut putih keperakan itu tercapai, kepalanya akan hancur
berantakan. Sangga Buana tidak menginginkan hal itu terjadi.
Kakek berpakaian putih itu
lalu mengulur tangan kanannya. Itu dilakukannya sambil menolehkan kepala ke
arah datangnya serangan.
Tappp!
Gila! Patut diacungkan jempol
kecepatan perubahan gerak Sangga Buana. Betapa tidak? Entah dengan cara
bagaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak berhasil dicekalnya. Dan
secepat itu pula disentakkan.
“Akh...!”
Dewa Arak memekik kaget ketika
tubuhnya melayang oleh sentakan Sangga Buana. Kejadian itu sungguh di luar
dugaan, sehingga Dewa Arak tidak sempat berbuat sesuatu.
Di saat tubuh pemuda itu
tengah melayang, Sangga Buana memburu sambil melancarkan totokan yang
bertubi-tubi ke arah bagian-bagian mematikan. Tapi bukan Dewa Arak kalau dengan
cara semudah itu dapat dipecundangj. Dalam keadaan tubuh masih melayang
dipapakinya serangan-serangan Sangga Buana.
Plak, plak, plak!
Terdengar berdetak keras
seperti beradunya lo gam-logam keras, ketika dua pasang tangan yang mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua orang itu
terhuyung-huyung ke belakang. Setelah memperbaiki kedudukan masing-masing
keduanya kembali saling gebrak Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan
lagi.
Hebat bukan main pertarungan
yang terjadi antara dua tokoh yang sama-sama berkepandaian tinggi itu. Bunyi
menderu, mencicit, dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki Dewa
Arak dan Sangga Buana bergerak. Debu mengepul tinggi ke udara.
Melati yang menjadi penonton
satu-satunya, terpaksa menyingkir lebih jauh. Sambaran angin serangan kedua
tokoh yang bertarung itu terlalu berbahaya. Hawa panas dan dingin menyebar dari
kancah pertarungan.
Sementara itu di kancah
pertarungan, baik Dewa Arak maupun Sangga Buana dilibat perasaan kagum terhadap
lawan masingmasing. Walaupun telah menduga akan kelihaian lawan, namun sungguh
tidak disangka kalau lawan akan setangguh ini. Tapi perasaan kagum yang lebih
besar melanda Sangga Buana. Kakek itu tidak menyangka orang semuda Dewa Arak
mempunyai kepandaian setinggi ini! Kalau tidak mengalami sendiri, dia tidak
akan percaya! Kekuatan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh dan ilmu-ilmu
andalan Dewa Arak sungguh luar biasa.
Di dalam hati kakek itu pun
terselip rasa penasaran yang mendalam. Setiap serangan yang dikirimkan selalu
dapat dipunahkan Dewa Arak dengan gerakan uniknya. Sebaliknya serangan balasan
pemuda berambut putih keperakan membuatnya kelabakan. Seranganserangan Dewa
Arak tak ubahnya hantaman gelombang laut susul-menyusul dan penuh kekuatan.
Yang lebih menakjubkan adalah
hawa panas yang menyebar dan sekujur tubuh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda
berambut putih keperakan itu melancarkan serangan. Namun dari semuanya, yang
membuat kakek berpakaian putih itu kewalahan adalah kecepatan gerak Dewa Arak.
Gerakan pemuda berambut putih keperakan itu sulit diterka. Terkadang gerakannya
lemas seperti tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh kekuatan.
Perubahan-perubahan gerak itu terlalu cepat untuk diduga. .
Temyata, Dewa Arak pun
mengalami hal yang sama! Pemuda itu merasa kesulitan mematahkan perlawanan
kakek itu. Gerakan Sangga Buana terlampau cepat dan tiba-tiba, tapi selalu
penuh dengan kekuatan! Mirip halilintar. Di samping itu, setiap kali tangan
atau kaki Sangga Buana bergerak,
menyebar hawa dingin yang sanggup membekukan otot-otot tubuh. Untunglah, Dewa
Arak memiliki tenaga panas sehingga pengaruh hawa dingin itu tidak terlalu berpengaruh
baginya.
Jurus demi jurus berlalu
dengan cepat. Dalam waktu tak lama, tujuh puluh jurus telah berlalu. Selama itu
tidak nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan
masih berlangsung seimbang.
Menginjak jurus kedelapan
puluh satu, Sangga Buana tidak sabar lagi. Bila keadaan seperti itu dibiarkan
terus, pertarungan tidak akan pernah berakhir. Maka seluruh kemampuannya
dikerahkan. Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya. Memang, sebelum itu
kemampuan. tertingginya belum dikerahkan.
Hasil tindakan yang diambil
Sangga Buana langsung terlihat. Tampak ketika terjadi benturan antara mereka.
Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah lebih jauh dengan seringai
kesakitan di mulutnya.
Dengan mengandalkan keunggulan
tenaga dalamnya, Sangga Buana berusaha keras menekan Dewa Arak. Dipaksanya
pemuda berambut putih keperakan itu terus-menerus berbenturan tangan atau kaki.
Memang bukan pekerjaan mudah. Tapi beberapa kali hal itu berhasil dilakukan
Sangga Buana. Dan itu tercipta karena keunggulannya pula dalam ilmu meringankan
tubuh.
Dewa Arak menggertakkan gigi.
Baru disadarinya kalau sejak tadi lawan belum mengeluarkan seluruh
kemampuannya. Begitu Sangga Buana mengeluarkan kemampuan tertingginya, harus
diakui kalau kakek itu masih terlalu tangguh untuknya. Perlahan-lahan dirinya
berhasil ditekan.
Hingga Dewa Arak penasaran
bukan main. Tidak pernah disangka masih ada orang yang memiliki kepandaian di
atasnya. Padahal kepandaiannya telah meningkat pesat! Karena sering berlatih,
dan terutama sekali karena beberapa kali belalang raksasa masuk ke dalam
tubuhnya. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
'Makhluk dari Dunia Asing'.)
Semakin lama kedudukan Dewa
Arak semakin terjepit Hanya karena keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya hingga
dirinya masih mampu mengadakan perlawanan. Tapi kekalahannya akan tiba pula.
Haruskah belalang raksasa di alam gaib sana dipanggil untuk menghadapi Sangga
Buana?! Pertanyaan itu menggayuti hati Dewa Arak.
Plak, plak, plakkk!
Untuk yang kesekian kali, dua
pasang tangan yang dialiri tenaga dalam kuat berbenturan. Kali ini lebih keras
dari sebelumnya. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpelanting. Tapi dengan sebuah
genjotan, Dewa Arak berhasil berdiri di tanah dengan mantap dan siap menghadapi
serangan selanjutnya.
Tapi kesiap-siagaannya
sia-sia. Serangan yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Sangga Buana tidak
memburunya. Kakek berpakaian putih itu malah berdiam diri dengan kedua tangan
disedakapkan di dada. Seulas senyum lebar menghias bibimya.
Karuan saja Dewa Arak heran
bercampur jengkel. Sikap Sangga Buana menunjukkan kesan seolah-olah Dewa Arak
bukan tandingan kakek itu. Dan kakek itu sengaja memberinya kesempatan untuk
memperbaiki kedudukan. Dewa Arak tersinggung. Maka diputuskan untuk mengadakan
perlawanan mati-matian. Namun sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serangan.
“Cukup, Cucuku,” ucap Sangga
Buana. “Apa?!”
*** 8
Sebuah seruan penuh kekagetan
keluar dari mulut Dewa Arak. Tarikan wajah pemuda berambut putih keperakan itu
menyiratkan keterkejutan yang sangat. Pancaran perasaan yang sama terlihat pada
sorot matanya.
“Apa katamu, Ki?” Arya
mengulang pertanyaannya dengan suara terbata-bata karena perasaan tegang dan
kaget yang melanda.
Bukan hanya Dewa Arak yang
dilanda perasaan itu. Melati pun mengalami hal yang sama. Rasa heran dan ingin
tahu membuat gadis itu mengayunkan langkah mendekati Dewa Arak dengan pandangan
tertuju pada Sangga Buana.
“Hati-hati, Kang.
Jangan-jangan ini hanya tipu muslihatnya saja,” beritahu Melati ketika telah
berada di sebelah kekasihnya.
“Kau benar, Melati,” sahut
Arya mendesah.
Seketika itu pula, perasaan
tegang dan herannya berangsur-angsur mereda. Ada kebenaran yang tidak bisa
dibantah dalam ucapan Melati.
“He he-he...! Tidak bisa
kusalahkan kalau kau curiga padaku, Cucuku. Kau memang punya alasan yang kuat
untuk itu. Tapi percayalah... aku mengatakan hal yang sesungguhnya. Kau,
cucuku.” Terdengar lembut tapi penuh keyakinan Sangga Buana mengatakannya.
“Tidak usah berpura-pura, Ki!” sentak Arya
tegas. “Bukankah tadi kau
mengatakan ayahku berhutang nyawa denganmu, dan dengan sendirinya aku menjadi
musuh besarmu? Lalu... mengapa sekarang kau mengatakan aku adalah cucumu?!”
“He he he...! Kau memang
cucuku, Arya.
Dan...”
“Tidak usah kau lanjutkan tipu
muslihatmu, Ki!” potong Melati cepat. “Percuma! Tidak akan berhasil! Kami tidak
akan mempercayainya.”
“Tenanglah, Bocah Ayu,” Sangga
Buana masih bersikap sabar. “Tahanlah
emosimu. Persoalan ini tidak akan selesai bila kita kalap. Dinginkan kepalamu
dan dengarkan baik-baik penjelasanku. Setelah itu, terserah kau dan Arya untuk
memutuskan kebenaran ucapanku.”
Rupanya Melati tidak bisa
dibujuk. Tapi sebelum dia sempat mengeluarkan ucapannya, Dewa Arak telah lebih
dulu menyentuh lengannya dan menyuruhnya bersabar.
'Tenang, Melati. Berikan
kesempatan padanya. Tidak ada ruginya mendengarkan dia bicara,” pelan dan
lembut ucapan Dewa Arak.
Tidak ada alasan lagi bagi
Melati untuk memotong ucapan Sangga Buana. “Terserah kau sajalah, Kang,” hanya
itu jawaban yang diberikan Melati.
Melihat hal itu, Arya lalu
mengalihkan perhatiannya kembali pada Sangga Buana. “Bicaralah, Ki. Tapi perlu
kau tahu, aku tidak akan mudah percaya dengan ucapanmu,” mantap dan tegas
kata-kata Dewa Arak.
“He he he...! Aku jadi lebih
kagum dengan sikap yang kau ambil, Arya. Memang seharusnya begitu, sebelum kau
memutuskan benar tidaknya sebuah berita yang kau dengar,” puji Sangga Buana.
“Nah! Sekarang dengarkan baikbaik alasan yang membuatku mengakuimu sebagai
cucuku.”
Sampai di sini, kakek
berpakaian putih itu menghentikan ucapannya. Sangga Buana ingin memberi
kesempatan pada sepasang muda-mudi berwajah elok itu, terutama Melati, untuk
memusatkan perhatiannya pada ucapan yang akan dikatakannya.
“Sebelum kuceritakan semuanya,
perlu kuberitahukan padamu kalau Tribuana bukan musuh besarku. Alasan itu
sengaja kuciptakan agar aku bisa bertarung denganmu. Baiklah, sekarang aku akan
menceritakan sesuatu yang menjadi alasanku memanggilmu cucu. Bagaimana?
Bersedia untuk mendengarkan?!” tanya Sangga Buana sambil menatap Dewa Arak.
“Ceritakanlah,” sahutnya
mempersilakan. “Kami telah siap mendengarkan.”
“Puluhan tahun yang lalu, di
pulau ini yang lebih terkenal dengan sebutan Pulau Es ini, kami tinggal. Kami
yang kumaksud adalah aku, permaisuriku, anakku, pengawal-pengawal, dan
panglima. Kami tinggal di bangunan itu. Istana Es, demikian nama yang kami
berikan,” Sangga Buana memulai kisahnya. Dewa Arak dan Melati tidak
berkeinginan memotong cerita itu. Mereka ingin mendengarkan kisah Sangga Buana.
Sebuah cerita yang menarik tentunya.
“Kami hidup aman dan damai.
Bahagia rasanya. Apalagi, saat itu anak kami tengah lucu-lucu-nya. Dia baru
berusia satu tahun. Kami asuh dia dengan penuh kasih sayang. Sehingga tumbuh
menjadi seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang bertubuh sehat dan
kuat,” Sangga Buana menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. “Karena
tempat ini berudara dingin, maka aku mewariskannya ilmu silat agar dia tak
mudah sakit. Anakku ternyata seorang anak yang rajin dan berbakat, sehingga
dalam usia sepuluh tahun telah mempunyai kepandaian yang cukup bisa
dibanggakan. Kami pun tidak ragu-ragu lagi melepasnya sendiri. Jarang kami
mengawasinya. Terkadang dia pergi bersama prajurit-prajurit Untuk bermain
perahu atau menangkap ikan.”
Lagi-lagi Sangga Buana
menghentikan cerita. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang
kering.
“Pada suatu hari, seperti
biasa anakku bersama dua orang prajurit pergi ke laut untuk menangkap ikan.
Sungguh tidak kami sangka pertemuan kali itu adalah pertemuan terakhir
dengannya. Dalam perjalanan pulang dari laut mereka dicegat oleh segerombolan
bajak laut. Secara kasar gerombolan bajak laut itu merampas ikan-ikan hasil
tangkapan dua orang prajuritku. Semula hal itu dibiarkan saja asalkan mereka
tidak diganggu. Kedua prajurit itu mengkhawatirkan keselamatan anakku. Bajak
laut itu pun mulai melakukan tindak kekerasan. Tidak hanya pada dua pengawal
kepercayaanku. Tapi juga terhadap anakku.”
Untuk yang kesekian kali
Sangga Buana menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak dan Melati terus
mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita yang disuguhkan Sangga Buana sangat
menarik. Mereka terbawa tegang meskipun hanya mendengar cerita itu.
“Melihat hal itu, kedua
pengawal kepercayaanku tidak bisa tinggal diam. Mereka pun melakukan
perlawanan. Tapi karena jumlah para bajak itu banyak dan amat ahli bertarung di
laut, dengan mudah perlawanan dua orang pengawalku dipatahkan. Perahu yang
mereka tumpangi digulingkan.”
“Ah...!” tanpa sadar Melati
menjerit kaget “Bagaimana nasib anakmu dan kedua pengawal itu?!”
Sangga Buana tersenyum getir.
“Salah seorang pengawalku
tewas dengan tubuh penuh luka tusukan dan bacokan. Sedangkan yang satunya
selamat dan berhasil tiba di pulau ini setelah berpura-pura mati. Setelah
memberitahukan semua kejadiannya padaku, dia tewas. Luka-luka yang dideritanya
terlalu parah. Keberhasilannya bertahan hidup karena ingin menyampaikan berita
yang dibawanya,” jelas kakek berpakaian putih itu. “Bagaiman nasib anakmu, Ki?”
kembali Melati mengajukan pertanyaan karena tidak kuat menahan rasa ingjn
tahunya.
“Hhh...!”
Sangga Buana menghembuskan
napas berat. Gadis berpakaian putih itu pun dapat menduga jawaban kakek itu.
Dugaan Melati tidak salah.
“Anakku lenyap di lautan
lepas, setelah disiksa para bajak. Pengawal kepercayaanku yang selamat tidak
tahu ke mana perginya anakku. Mendengar cerita itu, aku bergegas ke laut dan
mencarinya.
Tapi sampai lelah kumencari,
menelusuri lautan lepas, tidak kutemukan anakku. Maka kupasrahkan segalanya
pada Allah. Aku yakin dia akan selamat bila Allah menghendaki,” urai Sangga
Buana.
“Lalu bagaimana dengan
gerombolan bajak itu, Ki? Apakah kau mencari mereka?” lagi-lagi Melati
mengajukan pertanyaan.
“Benar. Mereka kucari,” jawab
Sangga Buana sambil menganggukkan kepala. Ketika kutemukan, kuhancurkan mereka
semua! Tidak ada seorang pun yang kusisakan. Bahkan sarang mereka pun rata
dengan tanah!”
Suasana berlangsung hening
saat Sangga Buana menghentikan ucapannya. Yang terdengar hanya desir angin yang
berhembus pelan. Ketiga orang itu tenggelam dalam alun pikirannya
masing-masing.
“O, ya, Ki. Aku hampir lupa.
Sejak tadi kau tidak pernah menyebut nama anakmu. Boleh kutahu namanya?” tanya
Arya ingin tahu.
“Kau belum bisa menebaknya,
Arya?” Sangga Buana balas bertanya.
Seketika itu pula Arya
tertegun heran mendengar jawaban kakek itu. Ditatapnya wajah Sangga Buana penuh
selidik Wajah dihiasi senyum meskipun dalam sorot matanya terpancar kedukaan
yang mendalam. Arya tersentak!
“Jadi..., anakmu adalah...
ayahku...?!” tanya Arya memastikan. Hatinya berdebar-debar tak menentu.
Berharap-harap cemas.
“Benar,” jawab Sangga Buana
seraya mengangguk. “Tribuana adalah anakku. Wajahnya sangat mirip denganmu. Itu
sebabnya aku terkejut ketika pertama kali melihatmu. Kukira kau dirinya. Untung
aku langsung menyadari kalau Tribuana tidak mungkin semuda kau. Andaikata dia
masih hidup, usianya sekitar lima puluh tahun.”
“Tapi..., kalau benar ayahku
adalah anakmu... kau pasti mengetahui ciri-cirinya. Kebetulan aku melihat ada
sebuah tanda khusus di tubuhnya. Ketika kutanyakan, katanya tanda itu sudah ada
sejak lahir. Kalau kau benar ayahnya, kau pasti tahu tanda itu,” ujar Arya.
Sangga Buana tidak segera
menjawab. Kakek itu tertegun beberapa saat lamanya dengan dahi berkerut. Kakek
berpakaian putih itu tengah berusaha menggali ingatannya. Akhirnya dia
berhasil.
“Aku ingat, Arya. Di bagian
punggung atas sebelah kiri terdapat tanda merah sebesar daun telinga. Betul
kan?!” ujar Sangga Buana yakin.
Kali ini Arya tidak ragu-ragu
lagi mengakui Sangga Buana kakeknya.
“Kakek...!” seru Arya sambil
menghambur ke arah kakek berpakaian putih itu.
Dengan tersenyum lebar, Sangga
Buana mengembangkan kedua tangannya. Sesaat kemudian kakek dan cucu yang baru
bertemu untuk pertama kalinya itu berpekikan erat. Perasaan sedih, gembira, dan
haru bercampur jadi satu.
Lalu tanpa diminta, Arya
menceritakan sebab-sebab kematian ayahnya. Sangga Buana mendengarkan dengan
penuh perhatian. Cerita Arya tidak dipotongnya hingga tuntas.
“Semula aku lupa, kapan dan di
mana pernah mendengar nama kakek. Tapi sekarang aku ingat, nama itu kudengar
dari ayah. Walau ayah sendiri lupa, siapa pemilik nama itu. Beliau hanya ingat
nama itu dan pulau yang selalu diselimuti es dan salju. Hanya itu yang diingatnya,”
tutur Arya mengakhiri oeritanya.
“Kalau begitu..., meskipun
selamat, tapi kejadian di laut telah membuat ingatannya tentang masa lalu
lenyap. Tapi aku ikhlas melepaskan kepergiannya menghadap Allah. Dia telah
menurunkan seorang anak yang demikian luar biasa. Aku puas dan bangga dengan
dirimu, Arya. Kalau tidak kugunakan siasat bahwa aku musuh besar ayahmu, mana
mungkin tadi kau mau bersungguh-sungguh menghadapi ku? “ “Ah...! Kau memang
cerdik, Kek,” puji Arya sambil melepaskan pelukannya.
Begitu tubuh Arya dan Sangga
Buana terpisah, Melati bergegas menghampiri kekasihnya. Sedangkan Sangga Buana
melesat cepat ke dalam istana. Hingga pasangan pendekar muda itu merasa heran.
Tapi tak ada yang dapat mereka lakukan, selain menatap punggung kakek itu
dengan pandang mata penuh pertanyaan.
Tidak lama Sangga Buana pergi.
Sesaat kemudian dia telah kembali. Tapi ada kemurungan di wajahnya.
“Maukah kau menerima sebuah
tugas dariku, Arya?” tanya Sangga Buana begitu dekat Arya.
“Tentu saja mau, Kek!” sambut
Arya mantap. Pemuda itu yakin tugas yang akan diberikan kakeknya tidak akan
bertentangan dengan norma-norma kebenaran. Apalagi saat itu kakeknya tengah
dilibat masalah. Terlihat kemurungan di wajahnya.
“Cari dan selidiki orang-orang
yang terlibat dalam pertarungan ini. Aku yakin mereka telah membawa lari
pusaka-pusaka Pulau Es. Sebagian dari mereka, yang berseragam merah itu,
kukenal sebagai orang-orang dari Pulau Api. Sungguh sebuah siasat yang amat
licik! Ketuanya mengundangku datang ke Pulau Bidadari untuk merundingkan suatu
masalah. Sampai lelah kumenunggu, tidak nampak batang hidungnya. Rupanya, dia
mempergunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam istanaku dan mengambil
benda-benda pusaka. Sungguh licik!” maki Sangga Buana geram.
“Aku berjanji akan mendapatkan
kembali pusaka-pusaka itu, Kek Tapi kalau boleh kutahu, berupa apakah pusaka
pusaka itu?” tanya Arya.
“Sepasang pedang yang bernama
Pedang Matahari dan Pedang Bulan. Dan, dua buah kitab pusaka yang berisikan
pelajaran tentang Tenaga Dalam Inti Es' dan ilmu 'Ular Es'!” jawab Sangga
Buana. Kemudian memberitahukan ciriciri semua pusaka itu secara terperinci.
“Jelas?!”
“Jelas, Kek! Sekarang juga aku
akan pergi!
Ayo, Melati!”
Dewa Arak dan Melati segera
melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah pasti, mencari orang yang
mencuri pusakapusaka Pulau Es. Dan tuduhan itu jatuh pada orang-orang Pulau Api
dan Raja Monyet Muka Hitam.
Siapakah orang yang telah
mengambil pusaka-pusaka Pulau Es? Dan berhasilkah Dewa Arak mengambil pusaka
leluhurnya itu? Jawabannya ada di dalam episode yang berjudul: 'Pertarungan di
Pulau Api.'
SELESAI