39 Misteri Dewa Seribu Kepalan
1
Sang Surya menyorot garang ke
bumi. Saat ini, bola api raksasa itu memang telah berada tepat di atas kepala.
Dan siraman cahayanya jatuh tepat ke persada bagai hendak membakar apa saja di
bawahnya.
"Hhh!"
Seorang pemuda berpakaian
coklat mendongakkan kepala ke atas sebentar. Dengan sepasang matanya yang tajam
berkilat-kilat, ditatapnya kemilau bola apa raksasa di langit. Tapi hanya
sekejap saja hal itu dilakukannya, karena sesaat kemudian matanya telah silau,
tak mampu menentang matahari. Pandangannya kini beralih ke arah jalan di
hadapannya.
Pemuda itu bertubuh kekar,
berotot, dan berisi. Langkah kaki maupun sorot matanya menunjukkan kalau
dirinya bukan orang sembarangan. Buktinya, langkahnya terlihat gesit. Sedangkan
sepasang matanya tampak berkilat-kilat tajam.
Sambil memanggul sebuah
buntalan kain cukup besar yang tersampir di ketiak, pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun itu melangkah cepat. Pandangannya terus tertuju ke depan,
karena beberapa tombak di depan sana tampak tembok batas sebuah desa. Ke
sanalah, pemuda berpakaian coklat tengah menuju. Tak lama kemudian, pemuda
berpakaian coklat itu berhenti begitu telah memasuki mulut desa. Dan langsung
saja pandangannya beredar berkeliling. Tapi, yang dilihatnya hanya kesunyian
belaka. Sepanjang jalan utama desa itu tampak lengang.
Memang tidak aneh kalau
suasana di sekitar tempat itu sepi, karena suasana saat ini panas bukan
kepalang. Tampaknya orang-orang lebih suka beristirahat di tempat-tempat yang
teduh, daripada di jalan yang panas berdebu.
Mulut pemuda berpakaian coklat
itu menyunggingkan senyum kecil ketika menyadari hanya dirinya yang berada di
tempat terbuka dalam suasana seperti ini. Masih dengan senyum di bibir, kakinya
kembali melangkah untuk menyusuri jalan utama desa.
Pemuda berpakaian coklat itu
terus saja melangkah sambil mengedarkan pandangan ke kanan kiri. Tapi yang
dijumpainya hanya rumah-rumah penduduk yang pintunya tertutup rapat. Hanya
jendela nya saja yang terbuka. Tanpa mempedulikan semua itu, kakinya terus saja
melangkah.
Entah, sudah berapa lama
pemuda berpakaian coklat itu melangkah. Dia sama sekali tidak menghitung nya.
Apalagi ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah kedai. Maka, wajahnya
berseri-seri. Sepasang matanya pun bersinar-sinar. Raut kegembiraan terlihat
pada wajahnya. Memang, pemuda berpakaian coklat itu telah merasa lapar dan haus
bukan kepalang.
Dengan langkah agak bergegas,
dihampirinya kedai itu. Hanya dalam beberapa langkah, dia telah berada di
ambang pintu kedai. Di tempat ini langkahnya dihentikan. Lalu, sepasang matanya
beredar ke seluruh penjuru bagian dalam kedai.
Dan rupanya, kedai itu telah
dipenuhi orang, sehingga hampir semua meja telah terisi. Untung masih tersisa
sebuah meja. Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melangkah menuju ke
sana.
"Hhh!"
Sambil menghembuskan napas
lega, pantatnya dihempaskan ke kursi.
Namun baru saja punggung
pemuda berpakaian coklat itu bersentuhan dengan sandaran kursi, seorang
laki-laki setengah tua dan bertubuh kecil kurus melangkah menghampiri.
"Pesan apa, Den?"
tanya laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai.
"Singkong goreng, pisang
rebus, dan teh hangat, Ki," sebut pemuda berpakaian coklat itu.
Laki-laki kecil kurus itu pun
berlalu untuk menyiapkan pesanan tamunya. Dan tak lama kemudian, dia telah
kembali sambil membawa baki yang berisi pesanan.
"Apa nama desa ini,
Ki?"
Pemuda berpakaian coklat
mengajukan pertanyaan di saat laki-laki pemilik kedai tengah meletakkan makanan
dan minuman ke atas meja.
"Desa Sawang," jawab
laki-laki kecil kurus itu. "Memangnya kenapa, Den?" "Ah, tidak
ada apa-apa. Hanya tanya
saja, Ki," sahut pemuda
itu buru-buru. "Kalau ada yang
ingin ditanyakan,
katakan saja, Den. Dengan
senang hati akan kujawab pertanyaan itu, kalau aku bisa menjawabnya," ujar
lelaki kecil kurus itu, setelah selesai meletakkan semua pesanan.
"Apakah tawaran seperti
itu kau ajukan pada setiap orang yang bersantap di sini, Ki?" tanya pemuda
berpakaian coklat itu.
"Tidak, Den. Tawaran ini
hanya ku ajukan pada orang-orang yang menarik hatiku," jawab pemilik kedai
jujur.
"Jadi..., aku menarik
hatimu, Ki?"
Laki-laki kecil kurus itu
langsung menganggukkan kepala.
"Wajahmu mengingatkan ku
pada orang yang keluarganya telah banyak berjasa pada desa ini," lirih
jawaban yang keluar dari mulut pemilik kedai.
Sementara, pemuda berpakaian
coklat itu mulai mengupas ujung kulit pisang nya.
"Memang, paman guruku
sendiri mengatakan kalau aku mempunyai wajah yang mirip ibuku. Sayang, aku lupa
nama ibuku. Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui nama ibu."
Wajah laki-laki kecil kurus
itu kontan berubah hebat. Tapi, pemuda berpakaian coklat itu seperti tidak
mengetahuinya. Bahkan terus saja melanjutkan ucapannya.
"Malah, nama ayahku
sendiri aku tidak tahu. Untungnya, aku sering mendengar kalau julukannya
disebut-sebut orang..., Pendekar Tombak Sakti, demikian julukannya. Dan. "
"Kau...?! Kau...?!"
sepasang mata laki-laki kecil kurus itu terbelalak lebar, seakan tengah melihat
hantu. "Ya Tuhan! Kau pasti..., Palasena!"
Pemuda berpakaian coklat yang
ternyata bernama Palasena itu menganggukkan kepala. Pisang rebus yang telah
terkupas kulitnya dimasukkan ke dalam mulut, digigit, dan dikunyah nya. Pelan
dan lembut sekali Palasena mengunyahnya.
"Duduklah, Ki. Kita
rayakan pertemuan ini," ujar Palasena masih sambil mengunyah potongan
pisang di mulutnya.
Bagai kerbau dicocok
hidungnya, laki-laki kecil kurus itu meletakkan pantatnya di kursi di hadapan
Palasena. Sebuah meja berbentuk persegi menjadi pembatas antara mereka berdua.
"Makanlah, Ki," ujar
Palasena mempersilakan.
"Terima kasih,
Sena!" hanya itu yang bisa
diucap-kan laki-laki kecil kurus itu. "Oh, ya. Coba ceritakan, hingga kau
sampai disini dan sudah demikian besar seperti ini."
Palasena kemudian menerawang
jauh, ke masa silam nya. Dia berusaha mengingat-ingat peristiwa enam tahun yang
lalu, ketika masih berusia lima belas tahun.
***
Malam ini langit terlihat
cerah. Bulan bersinar penuh, menggantung di langit. Sinarnya yang putih
keperakan menyorot ke bumi, lembut menguak kegelapan malam. Bintang yang
bertebaran di angkasa, membuat angkasa tambah semarak.
Tapi ternyata hal itu tidak
berlangsung lama, begitu sekelompok awan hitam dan pekat tiba-tiba muncul.
Secara perlahan-lahan, gerombolan awan itu mulai bergerak menyebar. Langit
tampak mulai gelap. Dan dengan sendirinya keadaan di persada pun menjadi
temaram. Apalagi ketika kumpulan awan itu mulai menyembunyikan sang Dewi Malam,
sehingga sinarnya tidak lagi sampai ke persada.
Seiring mulai gelapnya keadaan
di persada, hembusan angin pun mulai berubah dingin. Semakin lama, semakin
keras hembusannya dan semakin menggigit tulang. Sesaat kemudian, hujan mulai
turun. Semula hanya berupa titik-titik air yang jatuh satu persatu, tapi tak
lama kemudian hujan lebat mengguyur bumi.
Air yang turun bagaikan
dicurahkan dari langit. Hembusan angin kencang berhawa dingin, seakan-akan
ingin menumbangkan sekaligus membekukan bendabenda yang ada di persada. Itu pun
masih ditambah gelegar halilintar! Alam benarbenar menunjukkan kekuasaannya
sekarang ini.
Glarrr!
Halilintar menggelegar lagi.
Kontan suasana di persada yang semula gelap gulita sekejap jadi terang
benderang. Meskipun hanya sekejap, tapi cukup memperlihatkan sesosok tubuh
sedang berpakaian coklat yang tengah berlari keluar dari pintu sebuah bangunan
yang cukup megah.
Sosok tubuh sedang itu ternyata anak lelaki berusia sekitar lima
belas tahun. Tubuhnya kurus seperti orang kurang makan. Wajahnya berbentuk
bulat telur. Dan ada setitik tahi lalat di bibir bawahnya.
Anak lelaki berpakaian coklat
itu berlari cepat, melintasi halaman ketika telah berada di luar pintu. Tak
dihiraukannya lagi curahan hujan lebat dan hembusan angin kencang yang menerpa
tubuhnya.
Prat, prat...!
Air berwarna kecoklatan muncrat
ke sana kemari ketika anak lelaki berpakaian coklat itu
berlari di halaman. Dan
memang, hujan telah membuat sebagian halaman depan bangunan itu
tergenang air. Baru saja beberapa tombak
bocah berpakaian coklat itu menempuh
halaman, sesosok tubuh lain muncul di ambang pintu
yang baru saja ditinggalkan.
"Kang Palasena...! Jangan
pergi...! Jangan tinggalkan aku...!" teriak sosok tubuh yang berdiri di
ambang pintu, keras.
Rupanya, seluruh kemampuan berteriak nya dikerahkan. Terbukti,
panggilannya mampu menembus riuhnya suara hujan dan angin.
Anak berpakaian coklat
dalam siraman hujan yang ternyata
bernama Palasena itu menghentikan larinya. Kemudian tubuhnya berbalik menatap
ke arah sosok tubuh yang memanggilnya. Keberadaan sosok tubuh di ambang pintu
memang bisa terlihat karena di sudut-sudut rumah itu tergantung obor-obor.
Halilintar kembali menggelegar bagai hendak merobohkan bumi.
Suasana di persada kembali terang-benderang sekejap. Dan kini, sosok yang
berdiri di ambang pintu bisa melihat Palasena. Sosok tubuh di ambang pintu itu
ternyata seorang gadis sedang berusia tiga betas tahun, mengenakan pakaian
serba hitam.
Tampak oleh gadis itu,
Palasena tengah berdiri mematung menatap ke arahnya. Anak lelaki berpakaian
coklat itu sama sekali tidak mempedulikan curahan hujan dan debu angin keras
yang berhawa dingin menusuk tulangnya.
"Kang Palasena...!
Kembali...!" teriak gadis berpakaian hitam itu lagi, seraya melambaikan
tangannya.
Palasena terpaku. Tarikan
wajahnya memancarkan kebimbangan. Jelas, ucapan bocah perempuan itu yang
membuat hatinya ragu. Tapi sebelum Palasena sempat memutuskan sesuatu, di
belakang tubuh gadis berpakaian hitam itu muncul seorang wanita berusia tiga
puluh tahun dan berpakaian hijau. Raut wajahnya memperlihatkan kecantikan yang
sudah matang.
Begitu tiba, wanita berpakaian hijau itu langsung saja menyentuh
bahu gadis di depannya.
"Biarkan anak jahanam itu
pergi, Widuri," ujar wanita berpakaian hijau. Sambil berkata demikian,
pandangannya dilayangkan ke depan. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan belaka.
''Tapi.... Tapi, kasihan Kang
Palasena, Bu. Cuaca begitu dingin. Kang Sena bisa sakit, Bu. Jangan biarkan
Kang Sena pergi...," ratap gadis cilik yang ternyata bernama Widuri.
"Biar anak sialan itu
mampus!" dengus wanita berpakaian hijau yang ternyata ibu Widuri.
"Sudah! Mari kita masuk, Widuri!"
Sambil berkata demikian,
wanita berpakaian hijau itu menarik tangan putrinya. Diajaknya gadis itu masuk
ke dalam. Tapi Widuri tidak mau, dan malah meronta-ronta.
"Tidaaak...! Aku tidak
mau...! Kang Sena...!" jerit Widuri sambil terus meronta-ronta.
Tangan kiri Widuri cepat
memegang pinggir ambang pintu erat-erat, agar tidak bisa ditarik ke dalam oleh
ibunya. Namun perlawanan Widuri membuat wanita berpakaian hijau itu menjadi
kehilangan kesabaran. Ditambahkan lagi, tenaga untuk membawa gadis itu masuk ke
dalam rumah jauh lebih kuat.
Widuri berusaha keras untuk
bertahan. Seluruh tenaganya dikerahkan. Tapi, apa artinya tenaga seorang anak
berusia tiga belas tahunan dalam menghadapi tenaga orang dewasa? Mau tak mau
tubuhnya pun tertarik ke dalam.
Widuri terus menjerit-jerit
keras, tapi sama sekali tidak dipedulikan oleh ibunya. Dan ketika tubuh gadis
itu telah melewati ambang pintu, wanita berpakaian hijau itu melepaskan tangan
kiri. Kemudian, tangan kirinya itu diulurkan untuk menjangkau daun pintu.
Dan....
Blammm. !
Daun pintu itu tertutup
kembali disertai suara yang demikian keras. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, wanita berpakaian hijau itu memasang palang pintu, leluasa lah dia
membawa Widuri ke dalam.
"Aku tidak mau...! Kang
Sena. !"
teriak Widuri, sehingga sampai
terdengar keluar.
Sementara itu Palasena
mengusap wajahnya. Di samping untuk mengusap air hujan yang telah membasahi
selebar wajahnya, juga untuk mencegah mengalirnya keluar air mata. Nyatanya,
sepasang mata anak laki-laki itu memang telah berkacakaca sejak tadi, karena
Palasena menyaksikan adegan yang terjadi di sekitar empat tombak di hadapannya.
Adegan yang terjadi antara Widuri dengan ibunya.
Tapi, ternyata Palasena bukan
orang yang berjiwa cengeng. Dia tidak ingin terlalu berlarut-larut tenggelam
dalam kesedihan. Kepalanya segera digelenggelengkan untuk mengusir
gambaran-gambaran tadi. Lalu, dipandanginya bangunan yang baru ditinggalkannya
beberapa saat. Dan setelah menggertakkan gigi untuk menguatkan hati, tubuh
Palasena berbalik, kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Hujan masih terus turun deras.
Hembusan angin berhawa dingin yang sesekali bertiup keras, masih juga
berlangsung. Gelegar halilintar pun tidak juga terhenti. Namun, Palasena terus
saja berlari. Bahkan tidak ingin berhenti untuk berteduh. Dia tahu, apabila hal
itu dilakukan, perjalanannya tak akan bisa diteruskan. Hawa dingin akan semakin
menyiksanya.
Sesaat kemudian, tubuh
Palasena pun lenyap ditelan kegelapan malam yang menyelimuti sekitarnya.
***
Sang Surya muncul di ufuk
Timur, Sinarnya yang lembut menguak kegelapan, yang semalaman mengungkung
persada. Semilir angin yang bertiup terasa nikmat di kulit.
Perasaan yang sama dirasakan
pula oleh seorang anak lelaki berpakaian coklat. Dia tak lain dari Palasena!
Sejuknya hembusan angin pagi cukup menghibur hatinya. Walaupun memang, tidak
bisa mengobati rasa lapar yang menggerogoti perutnya.
Sudah lima hari lamanya Palasena
meninggalkan bangunan tempatnya selama ini bernaung. Perjalanan ditempuhnya
tanpa mempunyai arah dan tujuan, dan hanya mengikuti langkah kakinya saja. Dan
kini, dia telah tiba di sebuah padang pasir luas! Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanyalah hamparan pasir.
Palasena memegang perutnya
ketika terdengar suara berkeruyuk yang cukup nyaring. Perutnya memang sudah
menagih minta diisi. Tapi, dengan apa harus diisi? Sejak tadi belum ditemukan
sesuatu yang dapat digunakan untuk mengganjal perutnya. Sudah lima hari
Palasena kelaparan! Kalau toh makan, itu hanya sekadarnya saja. Bahkan hanya
memakan pucuk-pucuk daun muda serta buah yang ditemukan di jalan.
"Hhh...!"
Palasena menghela napas berat.
Diusapnya peluh yang membasahi wajah dengan punggung tangan. Ditatapnya sejenak
bola raksasa di langit.
Sebagai anak laki-laki yang
baru berusia lima belas tahun dan belum berpengalaman menempuh hidup secara
liar seperti ini, maka dia tidak tahu kalau nyawanya laksana telur di ujung
tanduk.
Tempat Palasena berada adalah sebuah padang pasir yang luas. Sejauh
mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan pasir belaka. Bahkan untuk
menemukan jejak-jejak bekas orang lewat di hamparan padang pasir ini, rasanya
sulit sekali.
Sementara suasana di tempat
itu panas! Jelas hal ini akan membuat orang mati secara menyedihkan! Kehausan!
Palasena terus melangkah.
Harapannya, hamparan pasir bisa cepat ditinggalkannya. Lalu, dia akan bertemu
sebuah hutan yang penuh buah-buahan segar dan nikmat.
Tapi harapan hanya tinggal
harapan. Nyatanya, kedua kakinya hampir tidak kuat lagi melangkah. Malah,
tanda-tanda kalau hamparan padang pasir ini akan berakhir, sama sekali
belum tampak. Sementara, matahari telah naik semakin tinggi. Dan dengan
sendirinya, sinar yang dipancarkan pun semakin terasa panas menyengat kulit.
Palasena hampir tidak kuat
lagi melangkah. Rasa lapar yang melanda perut, haus yang mencekik tenggorokan,
tambahan lagi sinar sang Mentari yang
menyorot, membuat ayunan kakinya
goyah. Bahkan
pandangannya pun mulai
mengabur.
Samar-samar, sepasang mata
Palasena mulai melihat adanya hamparan air beberapa tombak di hadapannya.
Kontan semangatnya bangkit.
"Air...! Air...!"
seru Palasena kalap.
Sambil berteriak-teriak
demikian, Palasena berlari ke arah hamparan air yang nampak. Dan ketika sudah
dekat, langsung saja tubuhnya diceburkan ke hamparan air, kemudian meraupnya.
Kontan Palasena kecewa ketika
hamparan air itu mendadak lenyap. Tidak ada air sama sekali di situ. Bahkan
titik-titik air saja tidak. Yang ada, tidak lebih hanya hamparan pasir saja.
Tempat dia menceburkan diri, dan juga air yang diraupnya, sebenarnya hanya
pasir belaka.
Di samping perasaan kecewa,
rasa heran juga menggayuti hari Palasena. Bocah berpakaian coklat ini sama
sekali tidak tahu kalau peristiwa yang dialaminya itu merupakan sebuah hal yang
biasa di padang pasir. Di tempat seperti itu, tipuan mata memang sering
terjadi.
Kontan tubuh Palasena lemas.
Rasa lapar, pusing dan terutama sekali haus, membuat pandangannya
berkunang-kunang. Sesaat kemudian, bocah berpakaian coklat ini terguling
pingsan.
Entah berapa lama pingsan,
Palasena sama sekali tidak tahu. Yang jelas, tahutahu seluruh tubuhnya terasa
sejuk, seperti orang yang tengah kepanasan berendam di sungai yang berair
jernih dan segar. Perasaan nikmat yang timbul sukar diutarakan dengan
kata-kata.
Perlahan-lahan Palasena
membuka mata. Tampak matahari sudah agak tergelincir dari titik tengahnya.
Padahal, tadi bola raksasa itu belum berada di atas kepala. Rupanya dia telah
tergolek pingsan cukup lama!
Tapi anehnya, tubuhnya kini
terasa sejuk. Padahal, sepatutnya kepanasan. Hamparan pasir tempat tubuhnya
tergolek, sebenarnya masih menyisakan panas menyengat kulit. Tapi mengapa
tubuhnya malah terasa sejuk? Yang jelas, ada suatu kekuatan tak nampak, yang
membuat Palasena merasa sejuk. Entah dari mana datangnya. Karena tidak juga
menemukan jawabannya, Palasena, memutuskan untuk melupakan masalah itu.
Kemudian ia bangkit berdiri, dan mengedarkan pandangan berkeliling. Hampir saja
bocah remaja ini terjingkat kaget ketika melihat segundukan benda di kejauhan.
Jaraknya, tak akan kurang dari lima tombak di sebelah kanan.
Perasaan ingin tahu mendorong
Palasena untuk menghampiri dua buah benda yang tergolek di situ. Memang,
seiring munculnya perasaan sejuk, kelelahan yang diderita berkurang jauh!
Walaupun rasa lapar dan haus tetap merajalela, tapi tidak segila sebelumnya.
Selangkah demi selangkah,
jarak antara Palasena dengan dua benda itu semakin mendekat. Dengan sendirinya,
benda-benda itu semakin terlihat jelas. Dan, ternyata sebuah buntalan kain dan
sebuah guci air.
Sejenak Palasena bimbang.
Ditatapnya buntalan kain dan sebuah guci air. Betapapun besar keinginan untuk
membuka buntalan dan guci air untuk menikmati isinya, namun anak lelaki
berpakaian coklat ini berusaha keras untuk bertahan. Dia tak ingin bertindak
lancang, sebelum mengetahui secara pasti kalau barangbarang itu tidak ada
pemiliknya.
Tapi setelah menunggu beberapa
saat lamanya tidak juga ada tanda-tanda kemunculan pemilik barang, Palasena
memutuskan untuk mengambil. Barangkali saja di dalamnya ada sesuatu yang bisa
dimakan atau diminum. Setidak-tidaknya, untuk mengurangi rasa haus dan lapar
yang menyiksanya.
Namun, begitu tangan Palasena
terjulur untuk meraih buntalan itu, terdengar suara rintihan halus. Seketika
Palasena menghentikan gerakannya. Matanya langsung ditajamkan, mencari-cari
asal suara. Dan sekitar lima tombak di hadapannya, tampak tergolek sosok tua
berpakaian seperti pengemis. Gerakan orang tua itu demikian lemah, seperti
hendak mati.
"Air..., air.... Aku
haus. "
Ucapan kali ini membuat
Palasena mengambil keputusan. Sosok tubuh yang tergolek itu pasti membutuhkan
pertolongan. Bukan tidak mungkin kalau dia memang sudah sejak tadi tergolek di
situ. Hanya saja mungkin matanya tadi tidak melihat, karena hari memang sudah
agak gelap. Dan lagi, pikirannya masih diliputi kebingungan.
Perasaan kasihan mendorong
Palasena mendekati sosok tubuh yang tergolek itu. Dijumputnya buntalan yang
ternyata berisi buah-buahan segar dengan tangan kirinya, dan guci air dengan
tangan kanan. Palasena mengambil keputusan untuk memberikan sebagian
penemuannya pada sosok tubuh yang tergolek itu.
"Dia pasti sangat
menderita," ucap hati Palasena. "Pakaian yang dikenakan sudah sangat
lusuh dan penuh tambalan. Mungkin sudah berhari-hari lamanya dia
kelaparan."
Palasena membungkukkan
tubuhnya ketika telah berada di dekat sosok tubuh yang mengeluh tadi.
"Ki..., ini air.
Minumlah."
Usai berkata demikian,
Palasena segera mengangsurkan guci berisi air yang belum sempat dinikmatinya.
Sosok yang tergolek itu
ternyata memang seorang kakek yang bertubuh kurus kering. Kulitnya yang tak
tertutup pakaian tampak coklat. Tapi anehnya, kulit wajahnya berwarna merah.
Pengemis berwajah kemerahan
itu membuka matanya, yang sejak tadi tertutup. Dan secepat mata itu melihat
guci, secepat itu pula tangannya diulurkan untuk menyambuti. Tampak ke dua
tangan pengemis itu menggigil ketika terulur.
Tangannya juga gemetar ketika
pengemis tua itu menuangkan guci itu ke mulutnya. Sehingga Palasena yang
khawatir kalau-kalau guci itu akan jatuh dan airnya tumpah, segera membantu
memeganginya. Baru ketika mulut guci telah menempel dengan mulut pengemis
bermuka merah itu, tangannya dilepaskan dari guci.
Glek.... Glek.... Glek...!
Tegukan air ketika melewati
tenggorokan terdengar jelas. Tampaknya kakek itu minum dengan lahap. Malah
sampai agak lama, guci itu tak juga diturunkan dari mulutnya. Dan selama itu,
suara menggeluguk keras terus terdengar.
Palasena memandangi tindakan
kakek pengemis itu disertai perasaan kasihan. Rupanya, pengemis berwajah merah
ini amat kehausan.
"Hhh...!"
Kakek berpakaian pengemis itu
menghela napas penuh kepuasan, begitu gucinya diturunkan. Kemudian punggung
tangannya diusapkan ke sudut-sudut mulutnya untuk membersihkan ceceran air di
sekitar bibirnya.
“Terima kasih, Anak
Baik," ucap pengemis tua itu, seraya mengulurkan guci itu pada Palasena.
Palasena menerima angsuran
guci itu dengan senyum terkembang di bibir.
"Apakah kau tidak
mempunyai sesuatu yang bisa dimakan, Anak Baik?!" tanya pengemis berwajah
merah itu ketika Palasena telah memegang guci yang diangsurkannya.
"Oh! Ada, Ki," jawab
Palasena cepat Usai berkata demikian, anak lelaki
berpakaian coklat itu
mengangsurkan buntalan yang berisi buah-buahan. Maka dengan sigap, pengemis tua
itu menerimanya.
"Terima kasih..., terima
kasih. Kau memang seorang anak yang baik," puji pengemis bermuka merah.
Pada saat yang bersamaan
dengan keluarnya ucapannya, kakek pengemis itu mulai memasukkan butir buah
merah segar pertama ke dalam mulutnya. Dan semua itu dipandangi Palasena dengan
senyum senang. Gembira rasa hatinya ketika melihat pengemis tua itu terlihat
segar kembali.
Ketika pengemis
bermuka merah itu memasukkan butir
buah yang ke tiga, Palasena
baru mengalihkan pandangannya. Memang, dia pun tengah
kehausan, sehingga berniat untuk minum
juga. Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati anak lelaki itu ketika
tidak mendapati setetes air pun di gucinya. Rupanya, kakek pengemis itu telah
menghabiskan semuanya! Tanpa bicara apa-apa,
Palasena meletakkan guci itu ke
tanah. Sepasang matanya diedarkan ke arah kakek pengemis yang masih sibuk
memasukkan butir demi butir buah merah segar sebesar kepalan
bayi ke dalam mulutnya.
Palasena menduga, pengemis tua
itu tidak akan mampu menghabiskan buah itu, karena jumlahnya cukup banyak! Dan
tampaknya, buah itu sangat nikmat bila dimakan pada tempat panas seperti ini,
karena mengandung air. Tampak jelas percikan-percikan air ketika pengemis
berwajah merah menggigitnya, hingga terlihat bagian dalamnya yang berwarna
putih bersih.
Tapi, keyakinan Palasena mulai pupus ketika melihat kakek pengemis itu
terus saja memasukkan butir demi butir buah ke dalam mulutnya. Bahkan masih terlihat
kelahapannya, tanpa terlihat tanda-tanda kalau akan berhenti.
Akhirnya, hal yang
dikhawatirkan Palasena pun terjadi. Dengan sepasang mata membelalak lebar, anak
laki-laki itu menatap pengemis tua itu mengambil sisa dua butir buah sekaligus,
dan langsung menggigitnya. Kini tidak ada lagi yang tersisa!
Palasena hanya bisa menelan
ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Itu pun dilakukannya dengan
susah payah, karena di dalam mulutnya persediaan air ludah hampir sudah tidak
tersisa lagi! Tapi Palasena tetap melakukan hal itu, karena hanya itulah
satu-satunya yang bisa dilakukan.
"Siapa namamu, Anak Baik.
Aku, Lawata."
Meskipun masih sibuk mengunyah buah, kakek pengemis itu sudah
memperkenalkan diri.
"Aku..., Palasena,
Ki," lirih jawaban Palasena.
"Palasena.... Sebuah nama
yang bagus. Akan ke mana kau, Sena?" tanya pengemis berkulit kemerahan
yang ternyata bernama Lawata.
Palasena menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, bagaimana kalau ikut
aku saja?" Lawata
menawarkan. Anak berpakaian coklat itu
termenung sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala.
"Mari...!"
Setelah berkata. demikian,
Lawata berjalan mendahului Palasena. Mau tidak mau anak lelaki berpakaian
coklat itu bergegas mengikuti.
2
Palasena melangkah
tersuruk-suruk mengikuti Lawata yang telah berada beberapa tombak di depan.
Beberapa kali tubuhnya hampir jatuh tersungkur. Memang, anak lelaki itu telah
lelah bukan kepalang. Masalahnya, dia telah menderita rasa lapar dan haus yang
amat sangat. Tambahan lagi, teriknya sinar matahari menyorot kepala membuatnya
pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Terlihat oleh Palasena tubuh kakek
pengemis itu mulai terbayang dan mengabur.
"Kek..!"
Palasena memanggil Lawata ketika menyadari kenyataan kalau tidak
kuat lagi mengikuti kakek itu. Seluruh tenaga yang tersisa dalam panggilannya dikerahkan. Tapi, yang keluar
hanyalah bisikan lirih. Dan seiring selesainya ucapan itu, pandangan Palasena pun gelap. Kemudian, dia roboh
tersungkur di hamparan pasir.
Brukkk!
Lawata langsung berbalik, dan
menatap Palasena dengan bibir menyunggingkan senyum. Beberapa saat,
diperhatikannya tubuh yang tergolek sebelum akhirnya menghampiri.
"Seorang anak yang
luar biasa," puji kakek berpakaian
penuh tambalan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala setelah berada di dekat
Palasena. "Dia bukan hanya mempunyai watak yang baik, tapi juga mempunyai
kemauan keras. Hhh...! Inilah anak yang kucari-cari selama ini! Hm... tidak
sia-sia aku mengujinya tadi."
Usai berkata demikian, Lawata
mencungkil tubuh Palasena dengan ujung kaki kanannya. Luar biasa! Kelihatannya
pelan, dan tanpa tenaga gerakan yang dilakukan Lawata. Tapi akibatnya, tubuh
anak lelaki berpakaian coklat itu terpental ke atas.
"Hup!"
Tubuh Palasena bagaikan
segumpal kapas di tangan Lawata, Buktinya tubuh yang semula terlontar ke atas
dan kemudian melayang turun, hendak ditangkapnya dengan tangan kiri.
Tappp!
Tidak terlihat adanya
tanda-tanda kalau Lawata mengerahkan tenaga sewaktu menangkap tubuh Palasena.
Dari sini saja, bisa diperkirakan kalau kakek pengemis itu memiliki tenaga
dalam cukup tinggi.
"Tak akan ku sia-siakan
permata terpendam seperti ini," ujar kakek berpakaian tambal-tambalan itu.
Lawata memandangi sekali lagi
tubuh Palasena, sebelum meletakkan di bahunya. Kemudian, kakinya melangkah.
Luar biasa! Hanya dalam sekali langkah saja, tubuhnya telah berjarak belasan
tombak dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh Lawata telah mencapai
tingkatan yang sukar diukur.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, tubuh Lawata telah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanyalah sebuah
titik hitam di kejauhan yang kian lama kian mengecil. Dan akhirnya, titik itu
lenyap ditelan kejauhan.
***
"Uhhh...!"
Palasena menggeliatkan
tubuhnya untuk mengendorkan urat-urat tubuhnya yang kaku. Kemudian, perlahan-lahan
kelopak matanya terbuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah kakek
berpakaian penuh tambalan. Dialah pengemis yang telah ditolongnya ketika
tergolek di hamparan padang pasir.
"Syukur kau sadar juga,
Sena," lembut ucapan Lawata.
"Di manakah aku,
Kek?" tanya Palasena, seraya beringsut bangun.
Bocah berpakaian coklat itu
sama sekali tidak mempedulikan ucapan Lawata. Pandangannya beredar berkeliling.
Memang, pemandangan yang terpampang di hadapannya jauh berbeda dengan yang
waktu itu dilihatnya. Pemandangan di sini kini tampak sangat subur. Di kanan
kirinya, berderet pepohonan hijau. Tanpa menegaskan lebih jauh pun, bisa diduga
kalau dirinya berada di puncak sebuah gunung.
"Di sebuah tempat yang
nyaman, Sena," jawab Lawata sambil menyunggingkan senyum lebar.
Palasena menatap redup wajah
kakek berpakaian abu-abu itu.
"Kaukah yang telah
membawaku kemari, Kek?" tanya
Palasena lagi.
"Benar," sahut
Lawata sambil menganggukkan kepala. "Dan ini kupetikkan makanan
untukmu."
Lawata mengangsurkan beberapa
buah tempurung kelapa yang di dalamnya telah terisi berbagai macam buah-buahan.
Semuanya berwarna merah segar dan mengandung air. Kakek itu pun ruparupanya
memberikan air minum yang berwarna jernih dengan wadah tempurung. Maka, melihat
semua itu kontan rasa lapar dan haus Palasena kembali timbul. Dengan lahap
disantapnya buah-buahan yang tersedia.
Lawata tersenyum saja melihat
tingkah Sena. Tapi, sepasang matanya menatap penuh sinar aneh. Pandangan Lawata
seperti orang yang tengah menyelidik. Sementara, orang yang tengah diperhatikan
sama sekali tidak tahu. Atau mungkin memang tidak mempedulikannya. Tangan dan
mulutnya sibuk mengunyah buahbuahan dan menenggak minuman, saling silih
berganti.
Tapi setelah memakan kira-kira
dua belas butir buah, Palasena menghentikan kegiatannya.
"Mengapa tidak kau
habiskan, Sena? Buah itu semuanya
kuberikan untukmu. Atau..., perutmu
sudah tidak sanggup menampung
lagi?" tanya Lawata, memancing. "Terima kasih, Kek.
Kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku tidak biasa makan sampai
kekenyangan," sahut
Palasena.
Lawata mengangguk-anggukkan
kepala. Kekagumannya pada anak berpakaian coklat ini pun semakin menjadi-jadi.
Memang, makan terlalu kenyang tidak baik untuk perut
"Kau benar, Sena,"
sambut kakek berpakaian pengemis ini. "O, ya. Dari mana asalmu dan akan ke
mana tujuanmu?" Kontan wajah Palasena murung ketika mendengar pertanyaan
yang diajukan Lawata. Karena hal itu akan mengingatkannya kembali pada kejadian
yang menimpa dirinya.
Dan Lawata bukan orang
bodoh. Sekali lihat saja, bisa diketahui
ada kejadian tidak enak yang telah dialami Palasena.
"Apakah kau masih
mempunyai orangtua, Sena?" tanya Lawata lembut
Palasena menggelengkan kepala.
"Mereka sudah tiada, Kek," lemah
jawaban yang terdengar dari
mulut Palasena.
Lawata mengangguk-anggukkan
kepala sambil mengelus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi rambut sehelai pun.
"Bagaimana kematian
mereka. Secara wajar, atau dibunuh orang lain, Sena?" kejar kakek berwajah
kemerahan itu lagi.
"Kedua orangtua ku tewas
dibunuh orang, Kek. Kemudian, aku dipelihara adik seperguruan ayahku. Sampai
akhirnya, aku terpaksa harus pergi dari tempat tinggalnya."
"Apakah kau ingin
membalas dendam atas kematian orangtua mu, Sena?" pancing Lawata.
"Tentu, Kek! Kalau aku
telah memiliki kepandaian tinggi, akan kucari manusia laknat yang telah
membunuh kedua orang tuaku!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari
mulut Palasena.
"Apakah kau mengenalnya,
Sena?" Lawata ingin tahu.
Palasena mengangguk mantap.
"Kenal, Kek. Nama orang itu telah tertanam dalam hatiku!"
"Apakah aku boleh
mengetahuinya, Sena?"
''Tentu saja boleh, Kek.
Manusia laknat itu berjuluk Dewa Kaki Maut!" jawab Palasena lantang.
"Hugh!"
Lawata merasakan dadanya
seketika mendadak sesak. Dewa Kaki Maut! Jadi, orang yang telah membunuh kedua
orangtua Palasena adalah Dewa
Kaki Maut. Ah!
Betapa banyaknya tokoh itu
menyebar maut "Ada apa, Kek?"
tanya Palasena
cemas ketika melihat wajah
Lawata memucat Lawata pun sadar dari keterkejutannya. Buru-buru perasaannya
ditenangkan.
"Aku tidak apa-apa, Sena.
Hanya..., aku merasa heran mengapa Dewa Kaki Maut membunuh orang tuamu!"
"Ayahku adalah seorang
pendekar pembela kebenaran!" tandas Palasena penuh kebanggaan. "Dunia
persilatan menjulukinya, Pendekar Tombak Sakti. Jadi, orang yang berjuluk Dewa
Kaki Maut itu pasti seorang tokoh sesat!" Lawata mengelus-elus dagunya.
"Ternyata, kau keturunan pendekar
juga, Sena."
"Jadi, kau mengenal
ayahku juga, Kek?" tanya Palasena penuh gairah.
"Mengenal sih, tidak.
Tapi aku sering mendengar mengenai kegagahan dan kesaktiannya. Sayang, dia
harus mati muda," desah Lawata. Ada nada penyesalan dalam ucapan kakek
berwajah kemerahan itu.
Suasana kontan berubah hening,
karena Lawata menghentikan ucapan dan Palasena pun diam. Masing-masing
tenggelam dalam alun lamunannya.
"O ya, Sena. Apakah kau
berminat menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi?" tanya Lawata
memecahkan keheningan.
“Tentu, Kek. Aku mau
sekali!" sahut Palasena penuh gairah.
“Tapi, di mana bisa kutemukan
orang yang bersedia mengajarkan kepandaian kepadaku?"
Nada ucapan Palasena melemah
dengan sendirinya, ketika teringat keadaannya.
"Mengapa kau berpikiran
seperti itu, Sena?" sela Lawata.
"Banyak orang sakti yang
bersedia mengajarkan ilmu kepadamu!!!"
"Aku tidak percaya, Kek!
Jangankan tokoh yang tidak mempunyai hubungan denganku. Sedangkan, paman dan
bibi guruku saja tidak sudi mengajarkanku."
"Hehhh...?! Benarkah
paman gurumu sejahat itu?!"
Palasena menggelengkan kepala.
"Sebenarnya, paman tidak jahat.
Bahkan boleh dibilang baik.
Tapi dia tidak mempunyai waktu untuk mengajarkan aku dan Widuri. Dia selalu
sibuk dengan tugasnya selaku panglima kerajaan. Maka tugas untuk mengajarkan
hal itu, diberikan pada bibi."
Anak berpakaian coklat ini
menghentikan ucapannya sejenak. Sementara, terdengar helaan napas berat Lawata.
“Tapi bibi sama sekali tidak
pernah mengajarkan aku, dan hanya mengajarkan anaknya yang bernama Widuri saja.
Dia memang tidak suka padaku tanpa diketahui sebabnya. Dia seperti membenciku.
Malah, aku jarang diberi makan. Tapi, kalau menyiksaku sering sekali."
"Sudahlah, Lawata.
Lupakan saja kejadian yang telah berlalu. Sekarang, tenangkanlah hatimu.
Percayalah. Kau akan memiliki kepandaian tinggi, Sena. Aku akan membawamu pada
sahabatku yang memiliki kepandaian tinggi. Percayalah. Kau pasti akan diterima
menjadi muridnya! Bagaimana? Kau setuju, Sena?!"
“Setuju sekali, Kek.
Kapan kita akan berangkat?!" tanya
Palasena penuh gairah.
"Itu terserah padamu,
Sena. Kapan pun kau siap, dengan senang hati aku akan mengantarmu!"
Sepasang mata Palasena
berputar. "Kalau begitu, aku ingin sekarang
juga, Kek."
"Ha ha ha...!"
Tawa Lawata kontan meledak.
"Kau memang anak yang
cerdik, Sena! Tapi, baiklah. Sekarang juga kau akan kubawa menghadap
sahabatku!"
Usai berkata demikian, Lawata
lalu menyambar tubuh Palasena. Dan sekali kakinya digerakkan, tubuhnya telah
berada belasan tombak di depan. Hebat bukan kepalang ilmu meringankan tubuh
kakek berpakaian pengemis. Tapi anehnya, mulutnya menyunggingkan seringai
kesakitan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya mengalir darah segar. Tampaknya
Lawata tengah terluka dalam. Dan hal ini belum diketahui Palasena.
3
"Haaat...!"
Teriakan keras menggelegar
memecahkan kesunyian pagi. Dan sebelum gema teriakan itu lenyap, melesat
sesosok tubuh ke arah sebatang pohon dengan ukuran batang sepelukan orang
dewasa. Sosok tubuh yang tampak bertelanjang dada itu melakukan tendangan
menggunting!
Tappp! "Hih!"
Krakkk! Brukkk!
Kejadiannya berlangsung cepat
sekali. Batang pohon itu berhasil dijepit di antara kedua kaki sosok bayangan
tadi, dengan gerakkan menggunting. Hebat! Batang pohon itu langsung terpenggal
pada bagian yang digunting, kemudian roboh mengeluarkan suara gemuruh.
"Hup!"
Setelah bersalto beberapa
kali, sosok bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tanpa suara
sedikit pun, seperti layaknya sehelai daun kering. Dan hinggapnya kedua kaki
itu hampir berbarengan dengan robohnya batang pohon yang terpenggal.
"Bagus sekali,
Sena!"
Terdengar seruan memuji. Itu
pun masih disertai tepukan tangan yang berkepanjangan dari arah belakangnya.
Sebenarnya, tanpa menoleh pun
sosok tubuh yang telah merobohkan pohon dan dipanggil Palasena, telah
mengetahui orang yang telah mengeluarkan pujian tadi. Suara itu amat
dikenalnya, karena memang suara gurunya! Tapi, Palasena tetap membalikkan
tubuh. Di hadapan Palasena kini berdiri seorang kakek bertubuh kecil kurus.
Wajahnya pun pucat, seperti orang penyakitan. Garuda Cakar Lima, demikian
julukannya. Dia seorang tokoh aliran putih yang memiliki kepandaian tinggi. Tak
terhitung tokoh sesat yang telah ditewaskannya. Julukannya telah menjadi momok
yang menakutkan di kalangan rimba persilatan belasan tahun yang lalu. Tapi
sejak tujuh tahun yang lalu, dia telah mengundurkan diri dan tinggal di Gunung
Kumang. Sejak saat itu, julukannya pun tidak terdengar lagi.
"Kau benar-benar tidak
mengecewakanku dan sahabatku, Sena," tambah Cakar Lima lagi.
Tampak jelas kalau Garuda Cakar Lima gembira bukan kepalang. Hal ini
terlihat dari wajahnya yang tampak berseri-seri. Sepasang matanya pun
berbinar-binar, bagai kerlipan bintang.
"Ah! Semua itu adalah
atas jerih payahmu, Guru," sahut Sena merendah sambil menghampiri Garuda
Cakar Lima.
"Kau memang pandai
menyenangkan hati, Sena!" celetuk sebuah suara merdu. "Bukankah
demikian, Kek?"
Dan sebelum gema suara itu
lenyap, berkelebat cepat sesosok bayangan hijau. Dan tahu-tahu, di sebelah
Garuda Cakar Lima telah berdiri seorang gadis cantik manis berusia sekitar enam
belas tahun. Rambutnya berwarna hitam mengkilap, tampak dikepang indah.
"Ha ha ha...! Benar!
Benar...! Ucapanmu sama sekali tidak keliru, Kuntari," sambut Garuda Cakar
Lima cepat, seraya menoleh ke arah gadis cantik manis yang tidak lain adalah
cucunya sendiri. "Palasena memang pintar menyenangkan hati orang!"
Sambil berkata demikian,
Garuda Cakar Lima menatap wajah Palasena penuh rasa bangga. Keadaan Palasena
yang sekarang, memang jauh berbeda dengan waktu dulu. Memang, tanpa terasa kini
tubuhnya telah berubah tinggi tegap dan kekar.
Putra Pendekar Tombak Sakti
ini telah berusia delapan belas tahun. Genap tiga tahun dia menuntut ilmu dari
Garuda Cakar Lima. Pakaian coklat yang membungkus tubuhnya pun sudah tidak
lusuh lagi.
"Terima kasih atas
pujianmu, Kuntari. Kau memang seorang gadis cantik yang baik," Palasena
balas memuji.
Kontan wajah Kuntari memerah.
"Sudah! Sudah! Lupakan dulu
perselisihan ini! Apakah
kalian berdua tidak tahu, kalau sekarang sudah tiba saatnya untuk
berpisah?!" lerai Garuda Cakar Lima. "Berpisah?!"
Hampir berbareng ucapan itu
keluar dari mulut Kuntari dan Palasena.
"Apa maksud ucapanmu,
Kek?" tanya Kuntari, penuh rasa penasaran.
"Hhh!"
Garuda Cakar Lima menghela
napas berat. Rupanya, kakek kecil kurus ini merasa berat juga untuk berpisah dengan
Palasena.
Sementara, dua muda-mudi di dekatnya hanya menunggu keluarnya ucapan
lanjutan Garuda Cakar Lima, dengan perasaan tidak sabar.
Kejadiannya berlangsung cepat sekali. Batang
pohon itu berhasil dijepit di antara kedua kaki Palasena dengan gerakan
menggunting. Hebat!
Krakkk! Brukkk!
Batang pohon itu langsung terpenggal pada bagian yang digunting dengan
kaki tersebut!
"Kau ingat Lawata,
Sena?" tanya Garuda Cakar Lima.
Palasena yang telah menjadi
pemuda gagah hanya menganggukkan kepala. Tentu saja pemuda itu ingat pada kakek
berpakaian pengemis yang ditemukannya secara tidak sengaja di padang pasir. Dan
ternyata, bukan hanya Palasena saja yang menganggukkan kepala. Dan tanpa sadar,
Kuntari pun demikian pula. Memang, Kuntari mengenal sewaktu Lawata menyerahkan
Palasena pada Garuda Cakar Lima.
"Nah! Perlu kalian
ketahui, Sena, Kuntari! Lawata menitipkan Palasena di sini, dan memesan agar
aku menurunkan ilmuku selama tiga tahun. Dan setelah itu, dia akan datang untuk
mengambil Lawata kembali. Dan..."
"Mengapa begitu,
Kek?" selak Kuntari tidak sabar.
"Karena Lawata ingin menurunkan
seluruh ilmu yang
dimiliki pada Palasena!" jawab Garuda Cakar Lima cepat. "Jadi,
Ki Lawata memiliki kepandaian juga, Guru?" tanya
Palasena, heran.
Garuda Cakar Lima tersenyum
getir. "Bukan hanya punya,
Sena! Lawata
adalah seorang tokoh sakti!
Kepandaiannya sukar diukur. Bahkan kepandaian yang kumiliki ini sama sekali
tidak berarti apa-apa bila dibandingkan kepandaiannya," jelas kakek kecil
kurus itu.
"Ahhh! Tapi, kenapa
dia tidak mau mengajarkanku sejak
dulu, Guru?!" Ada nada
penasaran dalam pertanyaan Palasena. "Karena dia tengah
terluka, Sena!
Dengan cara licik, seorang
musuh telah meracuninya dengan racun yang mematikan. Tapi, ternyata Lawata
terlalu tangguh untuk dibinasakan seperti itu. Orang yang memberi racun
mengira, Lawata telah tewas. Sama sekali tidak diketahuinya kalau Lawata
ternyata berhasil menyelamatkan diri dengan semadi. Hanya saja, perlu waktu
bertahun-tahun untuk melenyapkan racun itu. Dan menurut perhitungan, tahun ini
semua racunnya telah tuntas," jelas Garuda Cakar Lima panjang lebar.
Palasena dan Kuntari termenung
ketika Garuda Cakar Lima menghentikan ceritanya. Kini keduanya tenggelam dalam
lamunan masing-masing.
"Perlu kau ketahui, Sena!
Semadi, pernapasan, dan latihan ilmu meringankan tubuh yang kuajarkan padamu
adalah berasal dari Lawata. Dia telah mengajarkannya padaku untuk kuajarkan
padamu, apabila kau telah cukup mengalami kemajuan selama menjadi muridku. Aku
sendiri tidak mempelajarinya. Bahkan kepada Kuntari pun tidak kuajarkan,"
sambung kakek kecil kurus itu lagi.
Mendengar penjelasan ini,
Kuntari dan Palasena kontan mengerti. Jelas sudah, mengapa Palasena lebih cepat
mendapat kemajuan ketimbang Kuntari. Meskipun Palasena menjadi murid Garuda
Cakar Lima belakangan, namun tingkatan yang dimilikinya jauh lebih tinggi
daripada cucu Garuda Cakar Lima itu. Hal itu tidak aneh, karena baik dalam ilmu
meringankan tubuh maupun tenaga Kuntari jauh di bawah Palasena.
"Semua yang dikatakan
Garuda Cakar Lima tidak salah, Sena!"
Suara keras mengguntur yang menggema di sekitar tempat itu
terdengar. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
*** Hampir berbareng,
Garuda Cakar Lima, Palasena, dan Kuntari
menolehkan kepala ke arah asal suara. Maka, tampaklah seorang kakek berpakaian
penuh tambalan. Kulit wajahnya tampak berwarna kemerahan.
"Kek..!" seru Palasena. "Lawata...!" teriak
Garuda Cakar
Lima pula. Bagai diperintah
Garuda Cakar Lima dan Palasena bergegas menghampiri Lawata. Mau tidak mau,
Kuntari pun ikut pula melangkah di belakang mereka pada saat yang bersamaan,
Lawata pun menghampiri pula.
"Kau datang tepat pada
waktunya, Lawata," kata Garuda Cakar Lima sambil mengulurkan tangan.
"Syukurlah kalau
demikian, Garuda Cakar Lima," sahut Lawata.
Pada saat yang bersamaan
dengan keluar ucapannya, kakek pengemis itu menyambut uluran tangan Garuda
Cakar Lima dan menggegamnya erat-erat.
"Bagaimana?"
Meskipun Lawata hanya
mengeluarkan ucapan seperti itu, Garuda Cakar Lima sudah tahu maksudnya.
"Luar biasa! Kau
benar-benar beruntung, Lawata. Dia mampu menguasai dengan baik semua yang
kuajarkan. Palasena memang mempunyai bakat yang luar biasa!" sahut Garuda
Cakar Lima penuh kegembiraan.
"Ha ha ha...!" Sudah
kuduga demikian, dan ternyata dugaanku tidak meleset! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang tidak
putusputus, Lawata melepaskan genggaman tangannya.
Sementara, Palasena hanya bisa
tersenyum dikulum melihat pertemuan antara Garuda Cakar Lima dengan Lawata.
Hanya Kuntari yang terlihat agak murung. Jelas, gadis berambut dikepang ini
tengah dilanda perasaan sedih. Dan kalau dia mau berterus terang, perpisahan
dengan Palasena lah yang membuatnya sedih. Apabila Palasena pergi, maka dia
tidak punya teman main lagi.
Kesedihan yang melanda hari
Kuntari sama sekali tidak diketahui dua orang tokoh sakti yang tengah
bergembira. Tapi, tidak demikian halnya Palasena. Perasaan yang tengah melanda
Kuntari bisa diketahuinya, karena dia sendiri juga dilanda perasaan yang sama.
Yang jelas, tanpa disadari benih-benih asmara mulai bersemi di hati mereka
berdua.
Tapi Palasena tidak bisa
berbuat apa-apa, karena Garuda Cakar Lima telah menoleh ke arahnya seiring
lepasnya genggaman tangan dari tangan Lawata.
"Cepat tunjukkan hasil
latihanmu selama ini pada Lawata, Sena!" seru kakek kecil kurus itu pada
Palasena.
"Baik, Guru. Dan, harap
Guru dan kakek Lawata bersedia memberi petunjuk," jawab Palasena lembut.
Setelah memberi hormat pada
Garuda Cakar Lima dan Lawata, Palasena mulai memperagakan ilmu-ilmu silat yang
dimilikinya.
Memang tidak salah kalau
Lawata merasa bangga bukan kepalang terhadap Palasena. Pemuda berpakaian coklat
itu memang patut dibanggakan, karena mampu memainkan jurus demi jurus hampir
tanpa cela. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi,
membuat bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan
coklat yang tidak jelas bentuknya, bergerak ke sana kemari.
Yang lebih menggiriskan lagi, setiap gerakan Palasena selalu
menimbulkan deru angin keras. Hal ini menandakan tenaga dalam yang menyertai
gerakannya cukup tinggi.
Lawata mengangguk-anggukkan
kepala setelah menyaksikan beberapa saat lamanya. Seulas senyum tampak
tersungging di bibirnya. Jelas, harinya merasa puas menyaksikan kemampuan
Palasena.
Garuda Cakar Lima tentu saja melihat anggukan kepala dan senyum
pengemis berkulit kemerahan itu. Dan dia tahu artinya. Maka perasaan bangganya
pun semakin membesar.
“Terima kasih, Garuda Cakar
Lima. Memang, sudah kuduga kalau kau tidak akan mengecewakanku."
Ucapan terima kasih dari
Lawata membuat wajah Garuda Cakar Lima semakin berseri-seri.
"Kau tidak usah berterima
kasih padaku, Lawata. Tapi bersyukurlah, karena telah menemukan seorang anak
yang berbakat dan gigih. Yang kulakukan hanya sekedar mengajarnya saja. Hasil
semuanya, terpulang pada Palasena," sahut Garuda Cakar Lima merendah.
"Ucapanmu itu tidak
seluruhnya benar, Garuda Cakar Lima," cela Pengemis berkulit kemerahan.
"Betapapun berbakat dan gigihnya seorang murid, tapi kalau sang Guru tidak
bisa memberi pelajaran dengan baik, maka hasilnya akan mengecewakan pula. Kau
tahu itu, bukan?"
Garuda Cakar Lima
menganggukkan kepala, karena memang ucapan Lawata benar belaka.
"Dan..., itu berarti kau
adalah seorang guru yang mampu memberi pelajaran dengan baik. Kau seorang guru
yang pandai, Garuda Cakar Lima," sambung Lawata bernada menang.
"Kau memang pintar
menyudutkan orang, Lawata," terpaksa Garuda Cakar Lima mengalah.
"Ha ha ha...! Tapi, semua
yang kukatakan itu benar, bukan?! Coba bantah kalau memang aku salah,"
tantang Lawata gembira.
"Aaah...! Sudahlah,
Lawata! Kalau dilanjutkan, entah kapan akan berakhir perdebatan ini. Dan.
"
"Kau benar!" selak
Lawata cepat, sebelum Garuda Cakar Lima melanjutkan ucapannya.
Usai berkata demikian, Lawata
mengalihkan perhatian pada Palasena yang masih sibuk berlatih.
"Cukup, Sena!"
perintah Pengemis berkulit kemerahan itu pada Sena.
Remaja berpakaian coklat itu
sama sekali tidak berani membantah. Segera gerakannya dihentikan dan
diberikannya penghormatan pada Garuda Cakar Lima dan Lawata.
"Aku puas melihat hasil
latihanmu selama ini, Sena. Ternyata kau tidak mengecewakanku. Aku
puas...," puji Lawata, bernada sungguh-sungguh.
"Semua itu berkat didikan
Garuda Cakar Lima, Kek. Beliau melatihku secara sungguh-sungguh," sahut
Palasena merendah.
"Hal itu memang tidak
bisa kupungkiri, Sena. Nah! Sekarang, sudah tiba saatnya kau menjadi muridku.
Sebelum mati, aku ingin mewariskan seluruh ilmu yang kumiliki padamu. Kau sudah
siap meninggalkan tempat ini?!"
"Siap, Kek!" jawab
Palasena tegas dan mantap. "Bagus! Sekarang, berpamitanlah!" perintah
Lawata.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, Palasena segera meninggalkan Lawata. Dihampirinya Garuda Cakar Lima dan
Kuntari untuk yang terakhir kalinya.
Sementara itu, Garuda
Cakar Lima dan Kuntari memang sudah
mengetahui kalau saat perpisahan akan datang juga. Maka mereka pun bergerak
menghampiri Palasena pula. Seketika itu pula, suasana haru menyelimuti
sekitarnya. Garuda Cakar Lima dan Kuntari memang menyukai Palasena, karena
sikapnya yang menyenangkan. Demikian pula sebaliknya Palasena. Pemuda itu
benar-benar mengagumi keramahan mereka.
"Aku pergi dulu, Guru,
Kuntari," pamit Palasena setelah semuanya selesai. "Jaga diri kalian baik-baik."
Garuda Cakar Lima dan Kuntari
menganggukkan kepala, meskipun sambil tersenyum getir.
"Jaga dirimu baik-baik,
Sena!"
Hampir berbareng, kakek kecil
kurus dan cucunya itu mengucapkan demikian.
Palasena hanya bisa
mengangguk. Perasaan haru yang menyesakkan dada dan menyumbat tenggorokannya,
membuatnya mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata-kata. Maka, hanya itulah
yang bisa dilakukannya.
Tak lama kemudian, Palasena
dan Lawata melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah Lawata berpamitan
pada Garuda Cakar Lima. Tubuh kedua orang berbeda usia yang telah berpisah
selama tiga tahun itu melesat menuruni lereng gunung.
Dengan ilmu meringankan tubuh
yang dimiiki, bukan merupakan masalah sulit bagi mereka menuruni lereng gunung.
Meskipun, banyak terdapat tonjolan baru. Apalagi lereng itu sendiri cukup
terjal.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan, tubuh Palasena dan Lawata telah lenyap dari pandangan Garuda Cakar
Lima dan Kuntari. Tapi, tetap saja kedua orang itu berdiri mematung di situ.
***
Waktu berlalu tanpa terasa.
Terkadang melesat cepat laksana anak panah lepas dari busurnya, tapi tak jarang
bergerak lambat seperti seekor siput merayap.
Hari masih pagi. Sang Surya
baru saja muncul di langit dalam bentuk bola besar berwarna merah membara.
Angin yang bertiup pun masih terasa segar di dada dan nikmat di kulit. Dan
dalam suasana seperti ini, dua sosok tubuh tampak tengah berhadap-hadapan.
Keduanya samasama duduk bersila, dengan telapak tangan bertumpu pada lutut.
Hebatnya, dua sosok tubuh itu
samasama duduk di atas tiang baru yang runcing, yang tingginya tidak kurang
dari dua tombak. Anehnya, sedikit pun tidak terlihat kesulitan pada dua sosok
tubuh duduk di sana! Jangankan jatuh. Bergoyangpun tidak. Jelas, kedua sosok
tubuh itu bukan orang sembarangan.
Dua sosok tubuh itu terdiri
dari seorang kakek berpakaian pengemis dan seorang pemuda berpakaian coklat.
Wajah kakek itu berkulit kemerahan. Sementara si pemuda berwajah tampan dan
jantan. Tubuhnya tegap, kekar, dan berisi.
"Sena."
Pengemis berkulit kemerahan
itu membuka ucapan seraya menatap wajah pemuda berpakaian coklat di hadapannya.
"Ya, Kek," sahut
pemuda berpakaian coklat yang ternyata Palasena, sambil mengangkat wajah
sejenak menatap wajah pengemis berkulit kemerahan yang tidak lain Lawata.
Kemudian, kepala pemuda itu menunduk kembali.
"Sudah tiga tahun kau
tinggal bersamaku di sini," sambung Lawata lagi. "Dan selama itu
pula, kau mempelajari ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu. Dan sekarang, tidak ada
lagi ilmu yang bisa kuajarkan padamu. Semua ilmuku telah kuwariskan!"
Lawata menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas.
"Kini sudah saatnya
bagimu untuk terjun ke dunia persilatan. Amalkanlah semua yang telah kau
pelajari di sini, Sena! Kau harus menjadi seorang pendekar pembela kebenaran.
Cegahlah kejahatan semampumu!"
"Tapi, Kek. Aku tidak
tega meninggalkan Kakek sendirian di sini, di tempat yang
terasing seperti ini. Dan. "
"Kau keliru, Sena!"
potong Lawata cepat sebelum Palasena terus melanjutkan ucapannya.
Lawata memang sengaja
melakukannya untuk mencegah Palasena meneruskan perkataan-perkataan yang berisi
kecengengan. Dia tidak ingin pemuda berpakaian coklat itu tenggelam dalam
kesedihan.
"Aku sama sekali tidak
merasa kesepian," lanjut Lawata ketika melihat Palasena terdiam.
"Sebelum kau datang, aku sudah sendirian di sini. Kau tahu, Sena. Bagi
orang yang berusia sepertiku, tidak ada yang lebih menarik hati kecuali
mengasingkan diri. Tinggal di sebuah tempat yang sunyi dan terpencil serta jauh
dari keramaian. Ini adalah tempat tinggalku, dan aku amat mencintainya."
Palasena kontan terdiam
mendengar ucapan itu. Tapi itu hanya sesaat saja.
"Tapi, Kek. Aku belum
sempat membalas budi baikmu dengan menemanimu di sini, dan melayani segala
keperluanmu. Jelas, hatiku tak akan tenang," bantah Palasena.
"Justru kalau kau tinggal
di sini, malah membuatku tidak senang, Sena. Kau, tahu. Kalau benar-benar ingin
membalas budiku, terjunlah ke dunia persilatan. Cegah kejahatan semampumu. O,
ya. Kau harus mencari orang yang berjuluk Iblis Tanpa Wajah dan Memedi Tangan
Merah. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang banyak menyebar kejahatan di muka
bumi!" tegas Lawata.
"Hhh...! Baiklah, Guru.
Aku akan terjun ke dunia persilatan. Akan kucamkan semua nasihatmu. Lagi
pula..., aku pun mempunyai seorang musuh besar yang harus kubinasakan! Seorang
tokoh laknat yang telah membunuh ayah dan ibuku. Dia adalah Dewa Seribu
Kepalan! Aku harus membalas dendam padanya agar arwah kedua orang tuaku
tenteram di alam baka!"
Ada kebencian yang amat sangat
di dalam ucapan Palasena. Raut wajah dan sorot matanya pun menyiratkan dendam
menggelora. Dari sini saja bisa diperkirakan sakit hati yang melanda pemuda
berpakaian coklat itu.
“Hhhh...!" Lawata
menghembuskan napas berat. "Mudah-mudahan kau menemukan orang yang telah
membuat kedua orang tuamu terbunuh, Sena."
"Pasti, Kek! Biar
bersembunyi di ujung langit pun, akan terus kukejar! Hutang darah harus dibayar
darah!" tandas Palasena tegas.
Lawata diam, tidak
berkata-kata lagi. Dan karena Palasena tidak melanjutkan ucapannya, maka
suasana menjadi hening.
"Kurasa, sudah tiba
saatnya untuk berangkat, Sena," ujar Lawata. "Tidak baik berlama-lama
di sini. Lagi pula, aku akan bersemedi dan tidak ingin diganggu hingga beberapa
hari."
"Kalau demikian, aku
berangkat sekarang juga, Kek," cepat Palasena mengambil keputusan.
Kini, tidak ada lagi keraguan
di wajah Palasena. Keinginannya untuk terjun ke dunia persilatan langsung
berkobar ketika teringat keinginannya. Dia harus mencari Dewa Seribu Kepalan
untuk membalaskan sakit hati kedua orang tuanya.
"Lebih cepat lebih baik,
Sena." Hanya itu yang diucapkan
Lawata. Dan ketika gema perkataan itu selesai, pengemis berkulit
kemerahan itu melompat ke bawah. Padahal, dia masih berada dalam keadaan duduk
bersila. Dan kini, tubuhnya melayang ke bawah.
Melihat hal ini, Palasena
tidak mau kalah. Dia pun ikut melompat ke bawah tanpa merubah keadaan kaki.
Sesaat kemudian, dengan keadaan duduk bersila tubuhnya meluruk turun. Kini,
terlihat pemandangan aneh dan mungkin jarang terlihat dalam dunia persilatan.
Dua sosok tubuh yang memiliki perbedaan menyolok dalam usia, sama-sama melayang
turun ke tanah dengan keadaan bersila.
Tapi sekitar setengah
tombak sebelum menyentuh tanah, baik
Lawata maupun Palasena membuka lipatan kakinya. Maka....
Tappp!
Luar biasa! Lawata dan
Palasena mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Bahkan mereka langsung
berdiri di atas tanah.
"Berangkatlah, Sena!
Camkan baikbaik semua nasihatku. Dan yang perlu kau ingat, berhari-hatilah! Dunia
persilatan tidak selamanya jujur. Apalagi, bila kau bertempur dengan
tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Kau harus lebih hati-hati. Bagi mereka,
yang penting dalam pertarungan adalah menang. Cara apa pun akan dilakukan untuk
mencapainya!"
Usai berkata demikian,
Pengemis berkulit kemerahan itu memberitahukan sebagian cara yang dipergunakan
tokohtokoh persilatan aliran hitam untuk memperoleh kemenangan.
Palasena mendengarkan penuh
perhatian. Disimaknya baik-baik semua ucapan Lawata. Dia yakin, perkataan
pengemis berkulit kemerahan ini akan terbukti dalam pengembaraannya nanti.
Setelah cukup memberi
pesan-pesan pada Palasena, Lawata memerintahkan pemuda berpakaian coklat itu
untuk segera meninggalkan tempat itu. Dan agar tidak membuat Palasena bimbang,
Palasena segera ditinggalkannya.
Lawata sengaja tidak
menoleh-noleh, dan terus saja berjalan seolah-olah tidak mempedulikan Palasena
lagi. Hal itu terpaksa dilakukan, agar tidak memberatkan langkah pemuda
berpakaian coklat untuk terjun dalam dunia persilatan.
Sementara itu, Palasena pun
membalikkan tubuh dan berjalan menempuh arah yang berlawanan dengan gurunya.
Itu dilakukan ketika bayangan tubuh Lawata telah lenyap di balik gundukan batu
besar.
Palasena sama sekali tidak
tahu kalau Lawata memperhatikannya dari balik gundukan batu dengan mata
berkaca-kaca. Pengemis berwajah kemerahan ini memperhatikan semua tindak-tanduk
muridnya, penuh rasa haru.
Tampak olehnya Palasena
mendorong perahu yang tertambat di pinggir pantai, ke air. Lalu, pemuda
berpakaian coklat itu memasukkan bekal-bekalnya ke dalam perahu, dan segera
mendayung hingga meninggalkan tempat tinggal Lawata.
Memang, tempat tinggal Lawata berada di sebuah pulau terpencil di
tengah laut. Sambil mendayung, sebentarsebentar Palasena menoleh ke arah pulau
yang ditinggalkannya. Ada titik-titik air bening di sudut matanya, ketika
teringat budi baik Lawata.
4
"Begitulah ceritanya, Ki.
Hingga akhirnya, aku ada di sini," tutur Palasena, mengakhiri ceritanya.
Walaupun cerita Palasena
demikian panjang, tapi Ki Tiwung tetap setia mendengarkan. Bahkan tanpa
memotong sedikit pun.
"Dan salah satu alasan
yang mendorong hatiku untuk datang ke sini sebenarnya karena perasaan rindu
ingin melihat desa kelahiranku. Tapi, ternyata desa ini telah jauh berubah. Untung
saja, aku ingat kedaimu yang belum begitu berubah. Dan lagi, ayah dan ibu juga
sering mengajakku ke sini. Jadi, aku hapal juga tempatnya.”
"Ya! Kami memang
bersahabat erat, Sena. Orangtua mu meskipun memiliki kepandaian tinggi, tapi
tidak sombong. Hhh...! Sayang, nasibnya tidak begitu baik," keluh
laki-laki kecil kurus itu.
"Itulah sebabnya aku
kemari, Ki," celetuk Palasena. "Di samping karena rindu desa
kelahiran, juga aku ingin mengetahui berita tentang keadaan di sini. Juga, aku
ingin melihat apakah desa kelahiranku tetap aman seperti pada masa ayahku masih
hidup!"
Wajah pemilik kedai itu
berubah memucat. Malah sorot matanya menampakkan kebingungan. Karuan saja, hal
ini membuat Palasena merasa heran bukan kepalang. Tapi sebelum sempat
menanyakan sebabmusabab perubahan itu tiba-tiba terdengar bentakan keras
menggelegar.
"Ki Tiwung!"
Aneh! Meskipun
bentakan itu terdengar
mengejutkan hati, namun hampir
tidak ada satu pun pengunjung kedai yang mengangkat kepala. Bahkan mereka
malah menundukkan kepala. Meskipun
demikian, masih tampak pucatnya wajah-wajah mereka! Hanya ada tiga
kepala yang tidak menunduk. Kepala pemilik kedai yang ternyata bernama Ki
Tiwung, kepala Palasena, dan kepala seorang laki-laki berambut putih keperakan.
Pakaiannya ungu. Sedangkan wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup sebuah
caping bambu.
Laki-laki berambut putih
keperakan itu tetap bersikap tenang. Sikapnya menunjukkan kalau keadaan panas
yang mulai timbul, sama sekali tidak patut dikhawatirkannya. Dan dia terus saja
menggeragoti potongan ayam panggang santapannya.
Raut wajah Ki Tiwung kontan
memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu kedainya.
Apalagi, ketika melihat tarikan wajah mereka yang kelam, dan sinar mata yang
menyorotkan kemarahan. Maka, nyalinya kontan menciut.
Buru-buru laki-laki pemilik
kedai itu bangkit dari duduknya, tanpa mendengar teguran Palasena. Kini yang
ada di benaknya hanya dua orang kasar itu. Dan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk,
Ki Tiwung mendekati dua sosok tubuh itu.
"Bagaimana, Tiwung?
Apakah pesanan pemimpin kami sudah beres?" tanya salah seorang dari dua
sosok tubuh itu.
Dia adalah seorang laki-laki
berwajah kasar dan berkumis melintang. Sambil mengajukan pertanyaan demikian,
tangannya memelintir kumisnya yang tebal, lebat, dan melintang.
"Maafkan aku, Den Sangga.
Aku
belum bisa memenuhi permintaan
pemimpin kalian. Putriku Nawangsih, sukar dibujuk.... Berilah waktu lagi untuk
membujuknya. Barangkali saja. "
"Kurang ajar. !"
Sosok tubuh yang satu lagi
menggeram, seraya menggerakkan tangannya. Dan....
Plakkk!
Keras bukan kepalang tamparan
sosok tubuh orang kasar yang bertubuh pendek kekar itu. Apalagi, tamparannya
mengenai sasaran dengan telak di pipi. Seketika itu juga, tubuh Ki Tiwung terpelanting!
"Ki. !"
Palasena yang melihat kejadian
itu menjerit kaget. Bahkan hampir berdiri dari kursinya. Menilik dari kedua
tangannya yang terkepal kencang, bisa diketahui kalau pemuda berpakaian coklat
ini telah bersiap-siap turun tangan.
Sementara itu, Ki Tiwung
bergegas bangkit. Tampak di pipinya telah bergambar telapak tangan berwarna
merah. Di sudut-sudut mulutnya tampak titiktitik darah segar!
"Percayalah, Den Raka.
Aku pasti akan bisa membujuk Nawangsih untuk memenuhi permintaan pemimpin
kalian. Tapi, tidak sekarang. Berilah aku waktu dan. "
"Omong kosong!"
hardik laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Raka.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukannya. Seiring selesai ucapannya, kedua tangannya bergerak mendorong.
"Minggir, Tua Bangka!
Biar kami yang akan mengambilnya
sendiri, Hih!"
Brukkk!
Untuk yang kedua kalinya,
tubuh Ki Tiwung terkapar di lantai. Hanya saja, kali ini tidak terlalu sakit.
Kecuali, rasa nyeri yang mendera pinggulnya. Masalahnya, dorongan Raka keras
bukan kepalang sehingga membuat pinggulnya membentur lantai dengan keras pula.
"Manusia-manusia biadab.
!"
Didahului bentakan keras
menggelegar, Palasena bergerak menghampiri tempat Ki Tiwung dan dua orang
laki-laki kasar itu berada. Memang, putra Pendekar Tombak Sakti ini sudah tidak
sanggup menahan kemarahannya lagi. Tindakan Sangga dan Raka memang sudah
melampaui batas. Maka meskipun tidak mengetahui masalahnya, Palasena memutuskan
untuk ikut campur.
*** Sangga dan Raka tentu
saja mendengar seruan keras tadi. Maka
seketika mereka membatalkan langkah saat hendak menuju ke bagian dalam kedai.
Yang sekaligus menjadi tempat tinggal Ki Tiwung pula.
Dengan sorot mata penuh
ancaman, Sangga dan Raka menatap Palasena yang tengah menghampiri mereka.
Tampak wajah pemuda berpakaian coklat itu merah padam karena amarah yang
menggelegak.
Tapi, ternyata bukan hanya
Sangga dan Raka saja yang menatap Palasena. Semua pengunjung kedai pun
mengangkat kepala, untuk melihat orang yang telah begitu berani menentang
Sangga dan Raka.
Padahal, kedua orang kasar itu
amat ditakuti penduduk Desa Sawang. Dan sebenarnya, kedua orang itu hanyalah
segelintir orang-orang kasar yang telah menguasai desa ini. Di samping Sangga
dan Raka, masih ada belasan orang kawan mereka yang juga berkepandaian lumayan.
Itu pun masih ditambah sang pemimpin. Maka, tak ada satu penduduk yang berani
menentang mereka.
Dulu, pernah ada orang-orang
berkepandaian lumayan dari golongan putih yang datang untuk menumpas kelompok
Sangga dan Raka ini. Tapi tidak pernah ada yang berhasil. Bahkan mereka semua
tewas. Kalau tidak di tangan Sangga dan Raka, pasti di tangan sang pemimpin!
Maka melihat Palasena berani
menentang Sangga dan Raka, para pengunjung kedai yang sebagian besar penduduk
Desa Sawang, menatap disertai perasaan khawatir. Mereka sudah menduga kalau
Palasena akan menjadi korban seperti orang-orang sebelumnya.
"Ha ha ha...!" Raka
tertawa menghina. "Ada kucing pincang berlagak jadi macan! Lucu! Lucu dan
menggelikan!"
"Kau akan membayar mahal
atas tindakanmu yang sok pahlawan itu, Anjing Buduk!" Sangga ikut angkat
bicara.
"Sena! Pergilah dari
sini! Cepat, sebelum terlambat! Tidak usah kau campuri urusan ini! Kau akan
celaka!" seru Ki Tiwung penuh kekhawatiran.
"Apa yang dikatakan
Tiwung benar belaka, Kucing Pincang! Sudah tidak terhitung pahlawan kesiangan
yang telah membuang nyawa di desa ini. Dan semua itu terjadi karena berani
mencampuri urusan kami! Dan, kau pun akan mengalami nasib serupa!" desis
Sangga yang mempunyai watak pemberang.
"O... rupanya kalian
penjahatpenjahat hina yang menggunakan kekuatan untuk menindas si lemah?!
Kebetulan sekali! Rupanya tidak sia-sia perjalananku kemari untuk melanjutkan
perjuangan ayahku. Orang-orang macam kalian memang patut dibasmi!"
"Keparat! Mampuslah kau,
Anjing Buduk! Hih...!"
Sangga menerjang Palasena
disertai kemarahan menggebu-gebu. Kedua tangannya yang dikepalkan, dan langsung
dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada pemuda berpakaian coklat itu.
Wut, wut, wut!
Deru angin yang cukup kuat
mengiringi tibanya pukulan beruntun Sangga. Jelas, serangan itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam cukup kuat.
Tapi Palasena bukan lawan empuk. Dia itu telah mendapat warisan seluruh
ilmu Lawata, seorang pengemis sakti! Maka menghadapi serangan seperti itu,
sikapnya demikian tenang. Ditunggunya hingga pukulan lawan mendekat, kemudian
tangannya diulurkan.
Kelihatannya sembarangan saja
Palasena menggerakkan tangan. Tapi, akibatnya cukup hebat. Dan tahu-tahu, kedua
pergelangan tangan Sangga telah tercekal. Dan sekali pemuda berpakaian coklat
itu memutarkan pergelangan tangannya, sambungan kedua pergelangan Sangga pun
terlepas.
"Akh...!"
Sangga memekik kesakitan
karena perasaan nyeri yang melanda seketika. Dan sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, Palasena bergerak membetot. Tak pelak lagi, tubuh Sangga pun tertarik
ke depan. Maka, saat itulah jari telunjuk kanan Palasena meluncur ke arah
samping leher.
Tukkk! "Akh!"
Tubuh Sangga kontan terkulai.
Dan ketika Palasena melepaskan cekalannya, tubuh laki-laki kasar itu ambruk ke
lantai. Sangga tewas seketika, dengan totokan Palasena yang mendarat di jalan
darah kematiannya!
Semua pasang mata yang berada
di dalam kedai membelalak lebar melihat kematian Sangga yang demikian mudah.
Sama sekali tidak disangka kalau Palasena akan selihai itu.
Namun, orang yang paling
terkejut adalah Raka. Hampir tidak dipercaya pemandangan yang disaksikannya.
Sangga tewas hanya dalam segebrakan. Jadi, betapa dia tidak menjadi kaget?
Dari heran, Raka menjadi
murka. Walaupun telah dilihat sendiri bukti kelihaian Palasena, kegentaran Raka
tidak susut Pada pikirnya, Sangga tewas karena terlalu ceroboh.
Srattt!
Sinar terang berkeredep,
ketika Raka mencabut senjatanya berupa
sebuah golok besar. Dan dengan senjata terhunus di tangan, diterjangnya
Palasena.
Singgg!
Dibarengi desingan yang
menyakitkan telinga, golok besar itu meluncur ke arah leher Palasena. Seketika
itu juga, semua pengunjung kedai menundukkan kepala. Terutama sekali Ki Tiwung.
Mereka tidak sanggup melihat kepala pemuda berpakaian coklat itu terlepas dari
badannya karena babatan golok Raka.
Namun ada seorang pengunjung
kedai yang tidak menundukkan kepala. Bahkan malah menatap ke arah pertarungan.
Dia adalah laki-laki
berpakaian ungu yang mengenakan caping
bambu di kepalanya.
Sementara itu, di arena
pertarungan, Palasena tetap bersikap tenang menghadapi serangan golok itu. Baru
ketika telah hampir mendekati sasaran, tangannya bergerak cepat. Dan....
Tappp!
Gila! Mata golok yang tajam
itu malah ditangkapnya dengan jari-jari tangan telanjang. Hebatnya, tidak
sedikit pun tangan itu terluka. Seakan-akan yang dicekalnya hanyalah sebatang
ranting. Dan ternyata tindakan Palasena tidak berhenti sampai di situ saja.
Tangannya yang menggenggam golok segera disodokkan.
Hal ini membuat Raka
terperanjat, karena mengetahui bahaya yang tengah mengancam. Maka buru-buru
seluruh tenaganya dikerahkan untuk mempertahankan diri.
Tapi, usaha Raka sia-sia!
Apalagi kekuatan tenaga dalam mereka terpaut terlalu jauh. Betapapun telah
dikerahkan tenaganya, tetap saja golok itu meluncur terus ke arah perutnya.
Lancar tanpa hambatan!
Blesss! "Akh...!"
Raka meraung ketika golok itu
menghunjam perutnya. Padahal, bukan mata golok yang terlebih dulu menembus
perutnya, melainkan gagangnya. Tapi meskipun demikian, tetap saja menembus
sampai ke punggung.
Darah muncrat-muncrat seiring
limbungnya tubuh Raka yang tengah meregang nyawa. Dan ketika Palasena
melepaskan genggamannya pada golok itu, tubuh Raka pun ambruk ke tanah.
Laki-kali itu langsung diam untuk selama-lamanya.
5
Suasana di dalam kedai kontan
gempar. Semua pengunjung bergegas bangkit dari kursinya masing-masing, karena
tidak ingin ikut terbawa sial. Sangga dan Raka telah tewas. Dan kejadian itu
saja sudah membuat kawan-kawannya mempunyai alasan untuk membasmi semua orang
yang berada di situ. Dan hal seperti itu memang pernah terjadi.
Hanya laki-laki berpakaian
ungu yang masih tetap duduk di
tempatnya. Diperhatikannya saja para pengunjung yang saling dahulu mendahului
keluar. Dan ternyata bukan hanya para pengunjung itu saja yang menjadi kalap,
Ki Tiwung pun demikian pula.
"Kenapa mesti jadi
begini, Sena?! Celaka! Kawan-kawan kedua orang ini pasti datang untuk menuntut
balas! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, sebelum mereka datang!"
"Kuucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas perhatianmu pada keselamatanku, Ki. Tapi, aku bukan
seorang pengecut yang hanya berani berbuat tanpa bertanggung jawab!"
Lantang dan tegas ucapan
Palasena, sehingga membuat Ki Tiwung diam. Disadari kalau Palasena tidak
mungkin bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu. Ada tekanan yang tidak
menghendaki adanya bantahan dalam ucapannya.
"Lagi pula bila aku
pergi, maka para penduduk desa ini yang
menjadi pelampiasan kemarahan mereka. Terutama sekali, kau, Ki. Dan aku tidak
menginginkan hal itu terjadi," sambung Palasena lagi. "Biar akan
kuhadapi mereka, apa pun yang terjadi!"
"Hhh!"
Ki Tiwung hanya bisa menghela
napas berat. Dalam hatinya, dia memuji sikap Palasena. Pemuda berpakaian coklat
ini ternyata mempunyai pendirian yang teguh!
Sementara, Palasena
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tampak seisi kedai sudah sepi. Tidak ada
pengunjung lagi yang tergopoh-gopoh untuk keluar. Memang, mereka semua telah
keluar dari kedai dengan meninggalkan pembayaran atas pesanannya di meja masing-masing.
Namun Palasena terperanjat
juga ketika melihat ada seorang pengunjung yang belum keluar kedai dan masih
duduk tenang di kursinya. Bahkan sambil menggeragoti potongan ayam panggang.
Mengapa orang ini tidak ikut keluar?
Perasaan heran yang melanda,
membuat Palasena menatap sekujur tubuh lakilaki berpakaian ungu penuh selidik.
Seketika itu pula, muncul kernyitan pada dahinya. Keadaan sosok tubuh itulah
yang membuat Palasena bingung.
Tampak jelas kalau laki-laki
berpakaian ungu itu mempunyai rambut panjang berwarna putih keperakan. Tapi,
mengapa tubuhnya tampak demikian kekar? Bahkan kedua tangan yang tengah sibuk
memegang potongan ayam panggang yang sesekali dibawa ke mulutnya tampak kekar
dan tidak berkeriput! Aneh!
Sayangnya, Palasena tidak bisa
melihat wajah laki-laki berpakaian ungu itu. Karena di samping laki-laki
berambut putih keperakan itu mengenakan caping, makannya pun sambil menundukkan
kepala. Sehingga, yang terlihat hanyalah caping bambu dan juntaian rambut yang
melewati leher.
"Kau kenal orang itu,
Ki," bisik Palasena sambil menoleh ke arah Ki Tiwung.
Laki-laki pemilik kedai itu
menggelengkan kepala.
"Dia seperti juga kau,
Sena! Baru sekali bersantap di sini," jawab Ki Tiwung dengan suara tak
kalah pelan.
"Hm...!"
Palasena hanya bisa mengguman
pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sementara, sepasang matanya masih
tertuju pada laki-laki bercaping bambu itu disertai perasaan curiga.
"Memangnya kenapa,
Sena?" tanya Ki Tiwung ingin tahu.
"Orang ini kelihatan
mencurigakan, Ki. Jangan-jangan dia merupakan anggota gerombolan itu. "
"Tidak, Sena!" Ki
Tiwung menggelengkan kepala. "Aku tahu betul. Tidak ada anggota gerombolan
itu yang mempunyai ciri-ciri seperti dia!” Palasena kontan terdiam.
"Bisa kau ceritakan
padaku, siapa mereka dan apa yang tengah terjadi di desa ini, Ki?" tanya
Palasena
Ki Tiwung tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalamdalam, dan dihembuskannya
kuat-kuat. Seakan-akan, dia tengah membuang sebuah ganjalan yang bersarang di
dalam rongga dadanya.
"Kejadiannya berawal dari
tewasnya ayahmu, Sena," Ki Tiwung mulai membuka cerita.
"Jadi..,
pengacau-pengacau itu mempunyai hubungan dengan si Keparat Dewa Seribu
Kepalan?!" tukas Palasena, geram.
"Bukan demikian maksudku,
Sena," sahut Ki Tiwung masih tetap tenang. "Gerombolan ini sama
sekali tidak mempunyai hubungan dengan Dewa Seribu Kepalan, tapi dengan
murid-murid Memedi Tangan Api! Mereka semua tadi adalah pengikut Memedi Tangan
Api! Entah, siapa itu Memedi Tangan Api. Aku sendiri sama sekali tidak
mengetahuinya. Yang kutahu, gerombolan itu datang kemari, dua tahun setelah
kematian ayahmu!"
"Dan selama itu...,
mereka telah mengacau desa ini?" tanya Palasena, untuk mendapatkan
kepastian.
Ki Tiwung menganggukkan
kepala. "Hal ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus menumpasnya! Hhh...!
Kalau tidak karena perbuatan Dewa Seribu Kepalan, desa ini tidak akan
diporak-porandakan orang!" tandas Palasena geram. "Apabila urusan ini
telah kuselesaikan, akan kucari Dewa Seribu Kepalan! Biar ke perut bumi
sekalipun kau bersembunyi, tetap akan kukejar!"
Ki Tiwung tidak
menyambuti. Dia tahu perasaan yang
tengah berkecamuk dalam hati Palasena. Itulah sebabnya, laki-laki tua ini
mengambil sikap demikian.
"Aku mendengar banyak
langkah kaki menuju kemari, Ki," kata Palasena. "Kau tunggu di sini.
Biar aku yang akan menyambut kedatangan mereka di luar, agar kedaimu tidak
hancur."
Pemuda berpakaian coklat itu
lalu melesat keluar. Luar biasa! Hanya dengan sekali lesat saja, dia telah
berada di luar. Bahkan bentuk tubuhnya hampir tidak terlihat ketika melesat.
Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang, tahu-tahu telah berada
di depan pintu kedai.
Ki Tiwung menggeleng-gelengkan
kepala melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau Palasena akan selihai ini.
Meskipun demikian, dia tidak yakin kalau Palasena akan mampu menghadapi
gerombolan itu.
***
Ki Tiwung tercenung, dan
hatinya
dilanda kebimbangan. Apakah
dia di dalam saja, atau keluar untuk menemani pemuda berpakaian coklat itu.
Setelah mempertimbangkannya masak-masak diputuskannya untuk ikut keluar. Tapi
baru saja melangkah beberapa tindak, sesosok bayangan ungu melintas di
hadapannya. Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya sekelebat
bayangan ungu yang tidak jelas bentuknya.
Karena tahu kalau yang berada
di dalam kedai hanya laki-laki berambut putih keperakan, Ki Tiwung segera
menolehkan kepala ke sana. Dan ternyata, dugaannya benar! Laki-laki berpakaian
ungu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Buktinya, kursi tempat duduknya telah
kosong.
Ki Tiwung menggeleng-gelengkan
kepala. Ternyata, laki-laki berambut putih keperakan yang diduga seorang kakek
itu memiliki kepandaian tinggi pula. Buktinya, dia mampu melesat tanpa bisa
dilihat.
Tapi, Ki Tiwung buru-buru
melupakan hal itu. Segera langkahnya dilanjutkan kembali. Sehingga beberapa
saat kemudian, dia telah berada di luar kedai.
Ki Tiwung kini melihat
Palasena tengah berdiri berjarak tiga tombak di depannya. Sikap pemuda
berpakaian coklat itu tampak tenang. Padahal, tak jauh di depannya tengah
bergerak mendatangi belasan orang laki-laki berwajah dan bersikap kasar.
Dada Ki Tiwung berdebar tegang
melihat hal ini. Hatinya merasa cemas bukan kepalang. Karena disadari, bila
Palasena gagal menahan serbuan gerombolan itu, dia dan anaknya akan menjadi
korban kemarahan rekan-rekan Sangga dan Raka.
Mendadak, Ki Tiwung
teringat kembali pada laki-laki
berpakaian ungu yang tadi berada dalam kedainya. Ke mana gerangan laki-laki
itu? Di pihak manakah dia berdiri? Kalau di pihak lawan, jelas akan semakin
menambah beratnya beban Palasena! Buktinya ilmu meringankan tubuhnya telah
cukup tinggi.
Teringat akan hal itu, Ki
Tiwung pun mengedarkan pandangan. Tapi,
ternyata tetap saja tidak dijumpai keberadaan laki-laki bercaping bambu tadi.
"Sudah pergikah orang
itu?" tanya Ki Tiwung dalam hati.
"Kalau sudah pergi, memang lebih baik ketimbang berada di pihak lawan.
Hhhh..."
Tanpa sadar, Ki Tiwung
menghela napas sambil mendongakkan kepala. Kontan sepasang matanya terbelalak
lebar, karena orang yang dicari-carinya ternyata berada di atas cabang sebatang
pohon yang tumbuh lima tombak dari depan kedainya.
Ki Tiwung mengucek-ngucek
matanya untuk meyakinkan kalau tidak salah lihat. Betapa tidak bingung? Di
situ, tampak laki-laki bercaping itu tengah duduk bersila di atas sebuah cabang
pohon kecil sebesar ibu jari kaki! Bahkan cabang pohon itu sampai melengkung,
karena hampir tak mampu menahan bobot laki-laki berpakaian ungu itu. Tapi
hebatnya, tubuh laki-laki itu sama sekali tidak bergeming!
Setelah beberapa kali
mengucekngucek mata, ternyata pemandangan itu masih tetap terlihat oleh Ki
Tiwung. Kini laki-laki tua itu yakin kalau sepasang matanya tidak keliru! Maka
kontan bulu kuduk laki-laki pemilik kedai ini pun merinding. Apakah laki-laki
berambut putih keperakan itu bukan manusia? Atau memang hantu?
Perasaan takut yang muncul,
memaksa Ki Tiwung mengalihkan pandangan ke arah Palasena yang tengah berdiri
menunggu tibanya gerombolan teman-teman Sangga dan Raka.
Ternyata gerombolan itu telah
berjarak empat tombak dari Palasena yang masih juga berdiri tenang. Dan ketika
telah berjarak tiga tombak, mereka semua menghentikan langkah. Dan kini, kedua
belah pihak telah saling berhadapan. Palasena seorang diri, sedangkan
gerombolan itu berjumlah belasan.
Palasena menatap wajah
orang-orang kasar yang berdiri di hadapannya. Sekali lihat saja, bisa diketahui
kalau mereka, memiliki kepandaian yang tidak jauh berbeda dengan Sangga dan
Raka.
Hanya satu orang saja yang
mendapat perhatian lebih dari Palasena, yakni seorang laki-laki berusia tiga
puluh lima tahun, dan berkepala botak. Sebuah rompi berwarna hitam tampak
membungkus tubuhnya yang pendek gemuk. Perutnya yang gendut, membuat rompi yang
dikenakannya tidak mampu menutup seluruh bagian depan tubuhnya.
"Inikah yang disebut
sang Pemimpin?" tanya Palasena
dalam hati.
Palasena menduga demikian,
karena melihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki pendek gemuk ini dengan
belasan orang lainnya. Buktinya, gerombolan orang kasar itu terlihat
menghormati orang ini. Ditambah lagi, langkah kaki dan sorot matanya semakin
meyakinkan Palasena akan kebenaran dugaannya.
Langkah kaki laki-laki pendek
gemuk itu terlihat ringan dan gesit, tidak terlihat kalau bentuk tubuhnya
menyulitkan langkahnya. Sementara, sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam
menatap bengis ke arah Palasena.
"Kaukah orang yang telah
membunuh anak buahku, Keparat Busuk?!" tanya lakilaki pendek gemuk itu,
penuh ancaman.
"Benar!" Palasena
menganggukkan kepala. "Bahkan bukan hanya mereka berdua saja yang akan
kulenyapkan. Tapi juga kau dan semua orang-orangmu!"
"Keparat! Kau benar-benar
tidak tahu penyakit, Anjing Buduk?!
Tidak tahukah, dengan siapa kau berhadapan sekarang?!" bentak laki-laki
berperut gendut itu.
"Aku memang tidak kenal
orang yang tengah berada di hadapanku. Yang jelas, sekarang aku tengah
berhadapan dengan seorang penjahat rendah yang hanya berani menindas
orang-orang tidak berdaya!" sambut Palasena, lantang.
"Keparat! Cincang
dia!" teriak laki-laki berkepala botak itu, keras sambil mengibaskan
tangan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, belasan orang di belakangnya yang sejak tadi sudah tidak sabar, segera
bergerak.
Srattt, singgg, wukkk!
Desing suara senjata kontan
terdengar ketika belasan orang itu mengeluarkan senjata masing-masing. Golok,
pedang, tombak, dan trisula telah tergenggam di tangan masing-masing.
Dalam siraman sinar matahari
siang, kilatan lidah senjata gerombolan itu sangat menyilaukan mata.
Sehingga, membuat Ki Tiwung terpaksa menutup mata karena silau.
"Haaat..,!"
Diiringi teriakan-teriakan
keras yang membahana, belasan orang itu meluruk ke arah Palasena.
Senjata-senjata di tangan masing-masing langsung bergerak, disertai suara
mendesing nyaring.
Namun Palasena tidak gugup
melihat hujan berbagai macam senjata yang meluruk ke arahnya. Berbeda dengan
sebelumnya, kali ini dia tidak berdiam diri. Pemuda berpakaian coklat itu
melesat, menyambut serbuan lawan-lawannya. Hebatnya, Palasena hanya menggunakan
tangan kosong.
***
Laki-laki berperut gendut itu
mengerutkan alisnya ketika melihat Palasena sama sekali tidak menggunakan
senjata. Ini menandakan kalau pemuda berpakaian coklat itu merasa yakin akan
kemampuannya dalam menundukkan lawanlawan dengan tangan kosong. Dan hal itu
berarti tingkat kepandaian Palasena tidak bisa dianggap remeh.
Melihat hal itu, membuatnya
jadi penasaran. Benarkah Palasena mampu menghadapi dan mengalahkan serbuan anak
buahnya dengan tangan kosong? Maka dengan penuh perhatian, pandangannya
dipalingkan ke arah pertarungan.
Laki-laki bertubuh pendek
gemuk ini bukan satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan. Masih
banyak penonton pertarungan Palasena. Dua di antaranya adalah laki-laki
berambut putih keperakan, dan Ki Tiwung.
Di samping mereka, ada juga
orangorang yang menyaksikan jalannya pertarungan secara sembunyi-sembunyi.
Mereka adalah para penduduk desa yang mengintai dari tempat tersembunyi. Baik
melalui celah-celah dinding, pintu, maupun jendela.
Sementara itu, kedua belah
pihak yang tengah bertarung sama sekali tidak mempedulikan sekelilingnya.
Masing-masing memusatkan perhatian pada lawan yang tengah dihadapi. Memang,
baik Palasena maupun lawan-lawannya berusaha untuk secepatnya membunuh satu
sama lain.
Itulah sebabnya, Palasena
harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam
yang dimiliki, dikeluarkan semua. Akibatnya pun menakjubkan. Setiap serangan
anggota gerombolan itu selalu mengenai tempat kosong. Dalam pengerahan ilmu
meringankan tubuhnya, Palasena bagaikan berubah menjadi bayangan. Malah dengan
mudah tubuhnya menyelinap ke sana kemari, di sela-sela hujan serangan senjata
lawanlawannya. Palasena benar-benar membuat lawan-lawannya seakan-akan tengah
menyerang bayangan.
Tentu saja yang dilakukan
Palasena tidak hanya mengelak saja. Sering pula dia menangkis. Bahkan dengan
tangan telanjang! Hebatnya, setiap serangan golok, tombak, pedang, dan trisula,
tidak membuat kulit tangannya lecet. Memang dalam lindungan tenaga dalamnya,
tangan pemuda berpakaian coklat itu tidak kalah kuat dibanding senjata-senjata
lawannya.
Maka tidak aneh bila
pertarungan baru berlangsung beberapa gebrakan, korban di pihak lawan telah
jatuh. Palasena memang tidak main-main dalam bertindak. Pengeroyok yang sial
itu langsung tewas setelah mengeluarkan lolong kematian yang membuat bulu roma
berdiri.
Dan sebelum jeritan kematian
itu lenyap, kembali terdengar lolong kematian lainnya, diikuti robohnya sesosok
tubuh ke tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Hebat bukan kepalang sepak
terjang Palasena. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, satu nyawa pasti
roboh ke tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dalam waktu sebentar saja,
lawan-lawan yang dihadapinya hanya tinggal empat orang! Tidak heran, akhir dari
pertarungan sudah bisa ditebak.
"Keparat!"
Laki-laki berperut gendut
tidak bisa menahan kesabaran lagi.
Memang, sudah sejak tadi hatinya geram melihat kematian anak buahnya satu
persatu. Maka begitu ucapan makiannya keluar, kakinya menjejak tanah. Sesaat
kemudian, tubuhnya segera telah meluruk ke arah Palasena membawa ancaman
kematian.
Gerakan laki-laki berkepala
botak ini tampak aneh. Malah, lompatan yang dilakukannya, lebih mirip lompatan
seekor kodok. Apalagi, jangkauan lompatannya memang amat jauh.
Palasena tahu adanya serangan
dari laki-laki berkepala botak itu. Tapi karena saat itu serangannya tengah
meluncur ke arah salah seorang lawan, maka diputuskannya untuk meneruskan
serangannya lebih dulu.
"Akh!"
Kembali terdengar jerit
kematian dari salah seorang gerombolan pengacau Desa Sawang, ketika jari tangan
Palasena menotok jalan darah kematian di leher. Maka, orang itu kontan roboh
tanpa nyawa di tanah. Pada saat yang hanya sekejapan mata, laki-laki berkepala botak itu telah
berada di dekatnya. Dan begitu Palasena menarik pulang tangannya, pemimpin
gerombolan itu menghentakkan kedua tangannya ke arah dada.
Melihat hal ini, tanpa pikir panjang lagi Palasena langsung memapak
serangan lawan dengan gedoran kedua tangannya pula. Keadaan jari-jari tangannya
pun terbuka, seperti halnya laki-laki gemuk itu.
"Jangan lakukan itu,
Sena!"
Terdengar seruan keras
menggelegar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Jelas, teriakan itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Palasena terkejut mendengar
peringatan itu. Dan ketika hidungnya mencium bau amis yang memuakkan dari kedua
tangan lawan, baru disadari adanya bahaya mengancam. Rupanya, serangan lawan
mengandung racun ganas.
Tapi, kesadaran yang datang
telah terlambat! Karena....
Plakkk!
Benturan keras terdengar
ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Akibatnya, tubuh masing-masing sama-sama terjengkang ke belakang.
Lelaki pendek gemuk
menyeringai saat merasakan kedua tangannya seperti lumpuh ketika benturan
terjadi Jelas, tenaga dalam Palasena jauh lebih kuat ketimbang dirinya. Bukan
itu saja. Tubuhnya pun juga melayang ke atas. Memang, sewaktu benturan tadi
terjadi, tubuhnya tengah berada di udara.
Setelah melayang sejauh
beberapa tombak, laki-laki berkepala botak ini berhasil mendarat di tanah.
Meskipun, dengan agak sempoyongan. Langsung dikerahkannya tenaga untuk
menghilangkan rasa sesak di dada dan sakit-sakit pada kedua tangan, akibat
benturan keras tadi.
Memang buruk keadaan yang
dialami kepala gerombolan pengacau itu. Tapi, masih lebih buruk lagi keadaan
yang diderita Palasena. Meskipun murid Lawata itu hanya terhuyung satu langkah
ke belakang, tapi keadaannya lebih mengkhawatirkan.
Kedua telapak tapak tangannya
segera, penuh bintik-bintik merah. Yang lebih mengerikan, perlahan-lahan
bintikbintik itu merayap naik ke atas disertai rasa gatal, panas, dan nyeri!
"Akh...!" 6
Palasena memekik tertahan.
Padahal, telah diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan jeritan
itu. Tapi, ternyata tidak mampu juga. Pengaruh racun itu memang terlalu kuat
untuk bisa ditangkal.
"Cepat kemarikan
tanganmu! Jangan lalai!"
Dan seiring lenyapnya gema
suara itu, di sebelah Palasena telah berdiri seorang laki-laki berpakaian ungu.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Palasena segera mengulurkan kedua tangannya. Kekhawatiran yang amat
sangat terhadap akibat racun, membuatnya harus melupakan dugaan sebelumnya.
Palasena tidak ingat lagi kalau sebelumnya sudah menaruh curiga terhadap
laki-laki bercaping bambu ini.
Palasena memang telah melupakan
kecurigaannya. Dia tahu pasti, laki-laki berambut putih keperakan itu bukan
orang yang patut dicurigai. Suara laki-laki berpakaian ungu ini dikenalinya
betul sebagai suara yang tadi mencegahnya agar jangan membenturkan tangan
dengan lawan.
Memang, orang berpakaian ungu
itu tadi segera melompat turun dari cabang pohon yang diduduki, ketika melihat
Palasena keracunan. Dan begitu Palasena mengangsurkan tangan, segera ditotoknya
beberapa jalan darah pada kedua tangan itu. Ini dilakukan untuk mencegah racun
agar tidak menjalar lebih jauh.
"Apa yang kau rasakan,
Sena?" tanya laki-laki berambut putih keperakan itu, seraya menatap wajah
Palasena yang dibanjiri peluh.
“Tanganku terasa gatal, perih,
dan panas sekali," jawab Palasena sambil menggigit bibir.
"Kalau begitu, kau telah
terkena racun yang mengandung hawa panas," jelas laki-laki berambut putih
keperakan itu.
"Ah! Kalau begitu, aku
punya obatnya. Guruku telah memberi bekal padaku berupa obat penawar beberapa
macam racun. Tolong ambilkan obatku, Kek," pinta Palasena pada laki-laki
bercaping itu.
Tapi sebelum laki-laki
berpakaian ungu itu melaksanakannya, laki-laki pendek gemuk yang menjadi lawan
Palasena tadi telah meluruk ke arah Palasena. Dia tidak membiarkan laki-laki
muda itu diobati. Kini, kedua tangannya tidak kosong seperti sebelumnya, karena
telah tergenggam sepasang kapak kecil berwarna hitam mengkilat.
"Orang sepertimu ingin
menumpas Gajah Kecil Berbisa? Sungguh mengagumkan. Apa kau punya nyawa rangkap,
heh?! Sekarang, terimalah kematianmu! Hih!"
Sepasang kapak berwarna hitam
di tangan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang ternyata berjuluk Gajah Kecil
Berbisa itu meluncur ke arah Palasena dengan gerakan menggunting.
Palasena terperanjat sesaat
melihat datangnya ancaman maut ini. Dia sudah bersiap-siap untuk melompat ke
belakang, tapi cepat diurungkan ketika laki-laki bercaping itu telah lebih dulu
bergerak. Tangan kanannya bergerak mengambil caping yang menutup kepalanya,
lalu dikibaskan.
Wunggg! Trakkk!
Serangan kapak Gajah Kecil
Berbisa langsung kandas terbentur caping bambu yang dilemparkan laki-laki
berambut putih keperakan. Dan akibatnya, penutup kepala itu hancur berantakan.
Namun meskipun demikian, tubuh Gajah Kecil Berbisa terhuyung-huyung karenanya.
Jelas, tenaga yang terkandung dalam lemparan caping itu kuat bukan kepalang.
“Hahhh...?!"
Sepasang mata Palasena
langsung terbelalak ketika melihat wajah laki-laki berambut putih keperakan
yang tadi disapa dengan panggilan kakek. Wajah laki-laki itu ternyata masih
muda. Paling tidak usianya baru dua puluh dua tahun. Di samping muda, wajahnya
pun tampak tampan dan gagah. Bahkan masih lebih tampan ketimbang Palasena!
Jadi, tidak aneh kalau
Palasena terkejut bukan kepalang. Memang, siapa sangka kalau pemilik rambut
yang berwarna putih keperakan itu ternyata seorang pemuda!
"Namaku Arya Buana, Sena.
Orangorang biasa memanggilku Arya!" kata pemuda berambut putih keperakan
yang memang Arya alias Dewa Arak. "Maaf, aku tadi telah mendengarkan
pembicaraanmu dengan pemilik kedai ini. Jadi, akupun telah tahu namamu."
Usai berkata demikian, Arya
lalu mengulurkan tangannya ke balik baju Palasena. Diambilnya buntalan kain
hitam, lalu isinya dikeluarkan. Ternyata, obat pulung berwarna coklat.
"Apakah ini obat yang kau
maksud?" tanya Arya meminta kepastian.
Tanpa ragu sedikit pun,
Palasena menganggukkan kepala. Dan Arya pun segera memasukkan obat pulung itu
ke dalam mulut Palasena.
Sebelum Arya mengembalikan
buntalan itu ke tempat semula, serangan Gajah Kecil Berbisa kembali meluncur.
Sepasang kapak di tangannya dibabatkan bertubitubi ke arah berbagai bagian
tubuh lawannya, yang kini adalah Dewa Arak.
Gajah Kecil Berbisa
benar-benar tidak tahu penyakit! Jangankan menghadapi Dewa Arak, melawan
Palasena saja belum tentu menang.
Sementara itu, Dewa Arak
sama sekali tidak gugup melihat serangan
datang. Tanpa menggeser kaki, tubuhnya segera dicondongkan ke belakang.
Hasilnya, serangan-serangan kapak Gajah Kecil Berbisa lewat beberapa jari di
depan tubuhnya.
Dan, pada saat itulah, kaki
kanan Dewa Arak bergerak menendang dua kali.
Tuk, tuk! "Akh!"
Gajah Kecil Berbisa memekik
tertahan. Kedua kapak di tangannya kontan terlempar jauh ketika kedua kaki Dewa
Arak telak mengenai pergelangan tangannya, hingga terasa lumpuh. Dan sebelum
laki-laki bertubuh pendek gemuk itu sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Arak
telah meluncur ke arah perutnya.
Bukkk! "Hugh!"
Tubuh Gajah
Kecil Berbisa kontan terjengkang
ke belakang dan terbanting keras di tanah. Bahkan langsung tidak sadarkan diri tanpa sempat mengeluh
lagi. Palasena benar-benar takjub melihat
Dewa Arak yang dengan mudahnya
merobohkan Gajah Kecil Berbisa. Memang, dia mampu pula merobohkan laki-laki
berperut gendut itu, tapi tidak akan secepat itu. Palasena segera
sadar kalau pemuda berambut putih
keperakan itu pasti memiliki
kepandaian amat tinggi. Maka, dia segera mengingat-ingat cerita
gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan
yang terkenal. Hanya sebentar saja waktu yang dibutuhkannya, dan dia
langsung teringat. "Jadi..., kau
Dewa Arak?!" tanya
Palasena tergagap.
Palasena benar-benar tidak menyangka akan bertemu Dewa Arak. Ki
Lawata maupun Garuda Cakar Lima sering menceritakan padanya tentang tokoh muda
yang menggemparkan dunia persilatan. Bahkan kedua orang pendidiknya itu tampak
sangat mengagumi Dewa Arak!
"Begitulah julukan yang
diberikan orang persilatan padaku, Sena. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku
Arya," sahut pemuda berambut putih keperakan itu, buru-buru.
Palasena hanya tersenyum saja, tanpa menyambuti ucapan Arya.
"Rupanya obat yang
diberikan gurumu manjur, Sena," kata Arya.
Palasena segera memandang ke
arah kedua tangannya. Dan ternyata, memang benar. Bintik merah pada kedua
tangannya sudah mulai melenyap. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali.
Mendadak.... "Selamat
tinggal, Sena!"
Palasena terperanjat mendengar
ucapan itu. Tapi belum sempat berkata apa-apa, Arya telah melesat meninggalkan
dirinya. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu telah belasan tombak di depan.
"Hhh...!"
Palasena hanya bisa menghela
napas, tanpa berusaha mengejar. Dia sadar, hal itu akan sia-sia. Jarak antara
mereka terpaut terlalu jauh. Lagi pula, hanya sekali lihat saja, pemuda
berpakaian coklat itu bisa menilai kalau ilmu lari Dewa Arak jauh di atasnya.
"Guru dan Ki Lawata
ternyata tidak salah dalam hal mengagumi orang. Dewa Arak memang merupakan
seorang tokoh kosen yang patut dikagumi," kata Palasena dalam hati.
Palasena terus menatap tubuh
Dewa Arak, hingga lenyap di kejauhan. Dalam pertemuan sekali saja, Palasena
telah kagum pada Dewa Arak. Gerak-gerik Dewa Arak terlihat begitu tenang.
Sikapnya terlihat demikian matang.
Baru setelah tubuh Dewa Arak
tidak terlihat lagi, Palasena melangkah menuju kedai. Ki Tiwung yang sejak tadi
hanya memperhatikan, segera melangkah mengikuti. Sesaat kemudian, seisi Desa
Sawang gempar ketika terdengar berita dari mulut ke mulut kalau Gajah Kecil
Berbisa bersama rombongannya telah berhasil ditumpas putra Pendekar Tombak
Sakti yang datang bersama kawannya.
***
"Apa?! Tidak salahkah
berita yang kudengar ini, Sena?!"
Pertanyaan bernada kaget
terdengar dari mulut seorang kakek kecil kurus berwajah pucat, seperti orang
penyakitan. Sepasang matanya merayapi selebar wajah Palasena penuh selidik.
"Tidak, Guru. Memang itulah maksudku sejak pertama kali
mempelajari ilmu silat," sahut Palasena yang duduk bersila di hadapan
gurunya.
"Bisa kau beritahukan
padaku, apa maksudmu mencari Dewa Seribu Kepalan dan membalas dendam
padanya?" tanya Garuda Cakar Lima setelah terlebih dulu menghela napas
berat.
Palasena tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia termenung untuk mencari kata-kata yang tepat, guna
memulai ceritanya. Memang, pemuda berpakaian coklat belum pernah menceritakan
tentang sakit hatinya. Maka ketika keinginan hatinya diutarakan, Garuda
Cakar Lima terkejut bukan kepalang.
"Si Keparat Dewa Seribu
Kepalan telah membunuh ayah dan ibuku, Guru," jawab Palasena, penuh
dendam.
"Hentikan makianmu
terhadap Dewa Seribu Kepalan, Sena! Dari siapa cerita busuk seperti itu kau
dapat?!" hardik Garuda Cakar Lima keras penuh kemarahan.
“Tapi itu bukan cerita busuk,
Guru. Buktinya seluruh penduduk Desa Sawang menyaksikan pertarungan yang
berlangsung antara ayah dan Dewa Seribu Kepalan. Bibiku pun mengatakan kalau
pembunuh ayah dan ibuku adalah Dewa Seribu Kepalan!" bantah Palasena tak
mau kalah.
"Hhh...!" Garuda
Cakar Lima menghela napas, melihat sikap
keras muridnya. "Apakah kau sudah menceritakan maksudmu ini pada Ki
Lawata?!"
"Sudah, Guru."
"Bagaimana sambutannya, Sena?" tanya Garuda Cakar Lima penuh
gairah.
Palasena menggelengkan kepala.
"Ki Lawata sama sekali
tidak mengatakan apa pun. Aku hanya disuruhnya mengamalkan ilmu yang kumiliki.
Dia pun menyuruhku untuk mencari Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah."
"Hanya itu?!"
celetuk Garuda Cakar Lima, setengah tidak percaya.
Kembali Palasena menganggukkan
kepala. Garuda Cakar Lima tercenung. "Memangnya ada apa Guru?" tanya
Palasena heran melihat sikap
Garuda Cakar Lima.
“Tidak apa," jawab
Garuda Cakar Lima setengah mendesah.
"Hanya saja aku merasa heran, mengapa Ki Lawata tidak menceritakannya
padamu."
"Maksud, Guru?"
desak Palasena ingin tahu.
"Mengenai kematian ayahmu
di tangan Dewa Seribu Kepalan!"
"Aku masih belum mengerti
maksud guru,” dahi pemuda berpakaian coklat itu berkernyit dalam.
Garuda Cakar Lima menatap
wajah Palasena lekat-lekat.
"Lupakanlah, Sena. Kelak,
kau pun akan tahu. Hanya kalau kau bersedia mendengar saranku, lupakan saja
niatmu untuk membalas dendam pada Dewa Seribu Kepalan. Oh, ya. Apakah Ki Lawata
pernah menceritakan padamu tentang Dewa Seribu Kepalan?!"
Palasena menggelengkan kepala.
Garuda Cakar Lima mengernyitkan dahi. "Benar-benar aku tidak habis
mengerti tindakan Ki Lawata, Sena. Seharusnya hal itu harus sudah diceritakannya
padamu. Paling tidak, agar pandanganmu berubah. Tapi, biarlah. Aku yang akan
mewakilinya untuk menceritakannya." Garuda
Cakar Lima menghentikan ucapannya
sejenak, untuk mengambil napas. "Dewa Seribu Kepalan
sebenarnya seorang tokoh golongan putih, dan amat sakti. Dia disegani kawan, dan ditakuti
lawan. Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu, Sena. Dewa Seribu Kepalan
bukan tokoh golongan hitam seperti yang
kau duga."
“Tapi, ayahku berjuluk
Pendekar Tombak Sakti, Guru. Dia juga seorang pendekar. Kalau Dewa Seribu
Kepalan tokoh golongan putih, mengapa mesti membunuhnya?!" bantah Palasena
penasaran.
"Aku tidak berhak
menjawab pertanyaan itu, Sena. Lebih baik, tanyakanlah pada keluargamu,"
tolak Garuda Cakar Lima halus.
"Mereka sudah tidak
tinggal di rumah itu lagi, Guru. Sewaktu
aku singgah di sana, bangunan itu sudah kosong. Entah ke mana mereka pergi. Aku
pergi ke sana dalam usaha untuk menanyakan pada mereka mengenai Dewa Seribu
Kepalan. Karena, tokoh itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi!" jelas
Palasena.
Kontan Garuda Cakar Lima diam.
Mendadak....
"Garuda Cakar Lima!
Keluar kau! Jangan suka sembunyi seperti seorang pengecut!"
Suatu bentakan keras membuat
Garuda Cakar Lima dan Palasena mengalihkan kepala ke arah luar.
Memang, mereka berdua tengah
duduk di dalam sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
Wajah Garuda Cakar Lima
kontan merah padam. Makian 'pengecut'
itulah yang membuatnya marah. Dengan gerakan kasar, dia bangkit dan segera
berjalan menuju ke luar.
Tanpa banyak cakap, Palasena
mengikutinya. Dia memang penasaran dan ingin tahu orang yang mengeluarkan
bentakan seperti itu. Karena, tenaga dalam yang terkandung dalam teriakan tadi
amat kuat.
Begitu Palasena telah berada
di luar, tampak Garuda Cakar Lima tengah berdiri berhadap-hadapan dengan tiga
sosok tubuh. Kedua belah pihak saling pandang, dalam jarak tiga tombak.
Palasena menatap tiga sosok
tubuh yang berdiri di hadapan Garuda Cakar Lima, penuh selidik.
"Akhirnya, kutemukan juga
tempat persembunyianmu, Garuda Cakar Lima!"
Suara yang tadi terdengar
membentak, kembali terdengar. Ternyata suara itu berasal dari laki-laki
bertubuh tinggi kurus. Tinggi tubuhnya mungkin satu setengah kali orang biasa.
Wajahnya tirus, ditumbuhi kumis dan jenggot kasarkasar. Pakaian berwarna
abu-abu yang membungkus tubuhnya, semakin membuat pucat wajahnya.
"Hi hi hik!"
Sebuah suara mengikik,
menimpali. Ternyata, tawa itu berasal dari seorang wanita berpakaian indah.
Wajahnya terlihat cantik, meskipun usianya tak kurang dari empat puluh tahun.
"Dikiranya, dia sudah
lepas dari cengkeraman tangan kita, Memedi Tangan Api. Lucu! Lucu sekali,"
sambut wanita berpakaian indah itu.
Laki-laki bertubuh jangkung
yang ternyata berjuluk Memedi Tangan Api mendengus. Keras sekali dengusannya,
sehingga tak kalah dengan dengusan seekor kerbau liar!
"Sekarang ingin kulihat,
ke mana dia akan melarikan diri, Iblis
Tanpa Wajah," sambut Memedi Tangan Api sambil mengumandangkan tawa penuh
ejekan pada Garuda Cakar Lima.
"Biar aku yang
membunuhnya, Bu," kata gadis cantik berpakaian hitam. Nada suaranya
terdengar dingin, sedingin sorot mata dan raut wajahnya.
"Tidak usah,
Widuri," tolak Iblis Tanpa Wajah. "Biar Memedi Tangan Api yang akan
membunuhnya. Dan kita tinggal menontonnya." ***
"Widuri?" gumam Palasena
dengan bibir bergetar.
Ingatan pemuda berpakaian coklat itu melayang pada seorang gadis kecil
yang ditinggalkannya enam tahun yang silam. Sama sekali tidak disangka kalau
Widuri tumbuh menjadi seorang gadis berwatak seperti itu. Dingin.
Sementara itu, Garuda Cakar
Lima tetap bersikap tenang. Padahal, sebenarnya jantung di dalam dadanya
berdebar tegang.
"Kiranya Memedi Tangan
Api dan Iblis Tanpa Wajah. Sama sekali
tidak kusangka akan bisa bertemu kalian lagi." Terlihat tenang sikap
Garuda Cakar Lima melihat kehadiran tiga orang itu.
"Bersenang-senanglah
sebelum kami mencabut nyawamu, Garuda Cakar Lima. Muridku pun tengah
bersenang-senang dengan cucumu. Mereka kami tinggalkan sewaktu adegan yang tak
pantas dilihat orang tua sepertiku terpampang di depan mata."
Kalem saja Memedi Tangan Api
mengucapkan-nya. Tapi, akibatnya bagi Garuda Cakar Lima tidak sesederhana itu.
Wajah kakek kecil kurus ini pucat pasi. Tarikan wajahnya menunjukkan
keterkejutan yang amat sangat. "Kau jahanam! Apa yang kalian perbuat
terhadap cucuku, Manusia-manusia iblis?" bentak Garuda Cakar Lima, berang.
Bukan hanya Garuda Cakar Lima
saja yang merasa terkejut. Bahkan Palasena hampir terjingkat. Tanpa sadar, dia
melangkah menghampiri dan berdiri di sebelah Garuda Cakar Lima.
Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa
Wajah, dan Widuri menatap wajah Palasena sekilas.
"Inilah pemuda yang telah
membawa kami kemari, Garuda Cakar Lima. Pemuda ini telah menghancurkan
gerombolan Gajah Kecil Berbisa di Desa Sawang. Begitu mendapat penjelasan anak
buah kami tentang gerakannya, bisa terduga kalau dia adalah muridmu. Maka, kami
menyusulnya. Dan, inilah akhirnya?!"
"Tutup mulutmu, Memedi
Tangan Api! Sekarang aku tidak perduli dengan maksud kedatangan kalian kemari!
Yang kutanyakan, apa yang kalian lakukan terhadap cucuku!?" dengus Garuda
Cakar Lima kalap.
"Lho?! Mana mungkin kami
melakukan sesuatu terhadap cucumu. Iblis Tanpa Wajah dan putrinya adalah
seorang wanita. Sedangkan aku sudah terlalu tua. Jadi, muridkulah yang mendapat
keberuntungan. Maklum, dia seorang laki-laki dan masih muda."
"Keparat! Kubunuh kalian!"
Sambil meraung keras seperti
seekor binatang buas murka, Garuda Cakar Lima melompat menerjang Memedi Tangan
Api. Disadari kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh. Maka, tanpa ragu-ragu
lagi seluruh kemampuannya dikerahkan.
Ciiit...!
Suara mencicit nyaring
terdengar ketika Garuda Cakar Lima mengayunkan kedua tangannya yang terkembang
membentuk cakar, ketika tubuhnya telah berada di udara. Memang, kakek kecil
kurus ini telah mengeluarkan ilmu andalannya yakni jurus 'Garuda'.
7
"Hmh...!"
Memedi Tangan Api mendengus
melihat serangan itu. Dengan sikap sembarangan, tangannya cepat diayunkan untuk
menangkis serangan Garuda Cakar Lima!
Prattt!
Benturan keras antara dua
pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tingkat tinggi terjadi.
Hasilnya, tubuh Garuda Cakar Lima kembali terjengkang ke belakang. Sedangkan
Memedi Tangan Api hanya tergempur saja kedudukannya. "Keparat!" desis
kakek tinggi kurus ini geram ketika melihat pergelangan bajunya hancur
berantakan.
Sementara itu, Garuda Cakar
Lima segera bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat manis di tanah.
Dan sepasang mata kakek kecil kurus ini kontan membelalak ketika mengetahui
pada pergelangan tangan Memedi Tangan Api sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Padahal, sampokan Garuda Cakar Lima mampu menghancurkan batu yang paling keras
sekalipun! Tapi, ternyata sama sekali tidak membuahkan hasil ketika berbenturan
dengan tangan Memedi Tangan Api. Jelas, dalam pengerahan tenaga dalam tadi,
Memedi Tangan Api telah membuat keampuhan cakar lawan menjadi putus.
Memedi Tangan Api yang semula
dilanda kemarahan melihat kejadian yang menimpa pakaiannya, jadi gembira
melihat keterkejutan lawan. Dia tahu, mengapa Garuda Cakar Lima terkejut.
"Hanya sampai disitukah
keampuhan ilmu yang kau miliki, Garuda Cakar Lima? Kudengar, kedua cakarmu
sanggup menghancurkan benda yang keras sekali pun. Tapi kenyataannya, tak lebih
dari elusan tangan wanita!"
Garuda Cakar Lima
menggertakkan gigi mendengar ejekan itu.
Dia tahu, Memedi Tangan Api memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat daripadanya.
Dan dengan keunggulan itulah, kakek bertubuh jangkung ini mampu membuat
serangan kedua cakarnya pudar! Tapi, hal itu tidak membuatnya gentar.
"Haaat...!"
Didahului pekikan melengking
nyaring yang menyakitkan telinga, Garuda Cakar Lima kembali menerjang Memedi
Tangan Api. Jurus 'Garuda'nya kembali dikeluarkan.
Hebat bukan kepalang jurus
'Garuda' milik Garuda Cakar Lima. Dengan ilmu itu, kakek kecil kurus ini memang
seperti menjelma seperti seekor burung garuda. Tubuhnya yang selalu berada di
udara melancarkan serangan bertubi-tubi yang mematikan ke berbagai bagian tubuh
Memedi Tangan Api.
Tapi, sepak terjang Memedi
Tangan Api tidak kalah menggiriskan. Serangan Garuda Cakar Lima yang mau tidak
mau harus dihadapi dengan sepasang tangan, tidak membuatnya terdesak. Gerakan
kedua tangannya tidak kalah berbahaya dibanding serangan-serangan lawan. Bahkan
beberapa kali kakek kecil kurus itu dibuatnya terpental.
Iblis Tanpa Wajah, Widuri, dan
Palasena memperhatikan pertarungan yang berlangsung disertai perhatian penuh.
Mata mereka hampir tidak berkedip, karena pertarungan memang berlangsung amat
menarik. Pertarungan seperti itu mengingatkan orang akan pertarungan seekor
garuda melawan ular!
Di jurus-jurus awal,
pertarungan berlangsung kurang imbang. Seranganserangan Garuda Cakar Lima
datang bertubi-tubi, laksana gelombang. Dan Memedi Tangan Api yang kesulitan
untuk melancarkan serangan karena kedudukan lawan berada di udara, tampak
menjadi kewalahan. Dia dipaksa mundur. Hal ini tidak aneh, karena kakek
bertubuh jangkung ini tidak bisa menggunakan kakinya.
Tapi memasuki jurus kesepuluh,
Memedi Tangan Api mulai bisa memperbaiki keadaannya. Dan itu dilakukan dengan
sering tangkisannya terhadap serangan Garuda Cakar Lima. Dengan keunggulan
tenaga dalam, tubuh Garuda Cakar Lima mampu dibuat terjengkang ke belakang. Dan
saat itu pula, dia memburu dengan melancarkan serangan-serangan susulan.
Perlahan-lahan Memedi Tangan Api
mulai ganti menguasai keadaan. Sampai akhirnya, Garuda Cakar Lima malah mulai
terdesak. Apalagi ketika ilmu andalannya yang bernama 'Tangan Api' dikeluarkan.
Garuda Cakar Lima tampak semakin terdesak hebat.
Hebat bukan kepalang ilmu
'Tangan Api' milik Memedi Tangan Api. Penggunakan ilmu itu membuat kedua
tangannya terlihat merah seperti besi terbakar. Dan yang lebih gila lagi,
setiap gerakan tangan kakek bertubuh jangkung ini menimbulkan hawa panas.
Semakin lama, hawa di sekitar
pertempuran itu mulai semakin panas. Bahkan semakin menggila. Sampai akhirnya,
Garuda Cakar Lima mulai merasakan akibatnya. Sekujur wajah dan tubuh Garuda
Cakar Lima malah telah dibanjiri peluh. Pakaiannya pun sudah basah kuyup,
karena keringat yang terus-menerus keluar. Bukan itu saja. Pengaruh hawa panas
itu membuat dada Garuda Cakar Lima terasa sesak, karena udara di sekitar tempat
itu telah pengap.
Menginjak jurus keempat puluh,
keadaan Garuda Cakar Lima semakin mengkhawatirkan. Palasena yang melihat hal
ini menjadi cemas bukan kepalang. Sebaliknya, Iblis Tanpa Wajah dan Widuri
tampak gembira. Mereka tahu, robohnya Garuda Cakar Lima hanya tinggal menunggu
waktu saja.
Garuda Cakar Lima sudah tidak
mampu melancarkan serangan lagi. Menangkis pun tidak pernah dilakukan sejak Memedi
Tangan Api menggunakan ilmu 'Tangan Api'nya. Tentu saja, karena dia tidak mau
tangannya hangus terbakar. Maka yang diperbuatnya hanya mengelak saja!
Di jurus keempat puluh tujuh,
Memedi Tangan Api melancarkan gedoran ke arah rusuk kanan Garuda Cakar Lima.
Kakek kecil kurus itu langsung
mengelakkan serangan itu dengan melompat ke belakang.
Sungguh sama sekali tidak
disangka oleh Garuda Cakar Lima, kalau tangan kiri Memedi Tangan Api ikut
digedorkan pula. Padahal, pada saat itu tubuhnya tengah berada di udara.
Kakek kecil kurus ini merasa
heran bukan kepalang melihat serangan susulan Memedi Tangan Api ini. Sekali
lihat saja bisa diketahui kalau serangan susulan itu tidak akan mencapai
sasaran, karena memang tubuhnya telah berada di luar jangkauan tangan manusia.
Sekalipun tangan Memedi Tangan Api berukuran panjang, tapi mengapa kakek
jangkung itu tetap melancarkan serangan?
Keheranan Garuda Cakar Lima berganti keterkejutan, ketika melihat
tapak tangan Memedi Tangan Api terus meluncur mengejarnya. Padahal, Garuda
Cakar Lima tahu kalau sampai jarak itu seharusnya tangan Memedi Tangan Api
tidak akan bisa meluncur lagi. Tapi, ternyata Garuda Cakar Lima kecele.
Buktinya telapak tangan Memedi Tangan Api terus mengikutinya.
Sesaat Garuda Cakar Lima
kebingungan. Tapi sebagai tokoh berpengalaman, sudah bisa diduga mengapa tangan
itu terus mengikutinya. Memedi Tangan Api ternyata telah menguasai ilmu yang
dapat memanjang dan memendekkan tangan atau kaki.
Sayang, sadarnya Garuda Cakar
Lima pada saat yang tidak tepat. Sekarang, dia tidak bisa berbuat sesuatu lagi
untuk menyelamatkan nyawanya dari tangan maut lawan. Dengan untung-untungan,
tubuhnya segera digeliatkan. Namun....
Bukkk!
Gedoran Memedi Tangan Api
mendarat cukup telak di dada atas sebelah kanan. Memang, usaha untung-untungan
Garuda Cakar Lima cukup berguna. Hingga, serangan yang semula mengancam dada
tengah, jadi menghantam dada atas sebelah kanan.
Tubuh Garuda Cakar Lima kontan
terjengkang ke belakang. Darah segar menitik di sudut-sudut mulutnya. Dan pada
bagian yang kena gedoran pun tampak tergambar tapak tangan berwarna merah.
"Guru...!" jerit
Palasena keras.
Pemuda berpakaian coklat ini
terkejut bukan kepalang melihat apa yang dialami gurunya. Dan seiring teriakan
itu, tubuhnya melesat cepat ke arah Garuda Cakar Lima.
Cepat bukan kepalang gerakan
Palasena. Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan Iblis Tanpa Wajah. Sebelum
pemuda berpakaian coklat ini mendekati Garuda Cakar Lima, wanita berpakaian
indah itu telah terlebih dulu mencegatnya. Hal ini bukan karena ilmu
meringankan tubuh Palasena berada di bawah Iblis Tanpa Wajah, tapi karena
memang harus melewati Iblis Tanpa Wajah bila ingin mendekati tempat gurunya
berada.
Iblis Tanpa Wajah menatap
wajah Palasena penuh selidik, kemudian mendengus keras. Sementara Palasena yang
terpaksa menghentikan langkah, balas menatap. Dikenalinya betul, kalau ternyata
orang yang tengah berdiri di hadapannya adalah bibi gurunya.
Baru disadari kalau bibinya ternyata berjuluk Iblis Tanpa Wajah,
sekaligus musuh gurunya. Namun, dia berusaha menahan rasa dendam yang
diamanatkan gurunya.
Namun, lain halnya Iblis Tanpa
Wajah. Dia tidak tahu kalau pemuda berpakaian coklat yang berdiri di hadapannya
adalah Palasena, anak yang dulu telah diusirnya. Memang, Palasena sekarang jauh
berbeda dengan Palasena dulu.
"Kau harus bayar mahal
atas perbuatanmu terhadap Gajah Kecil Berbisa, Anak Sombong!" desis Iblis
Tanpa Wajah, penuh ancaman.
Palasena menghela napas berat.
"Aku tidak ingin
melawanmu, Bibi. Dan aku hanya ingin mengajukan pertanyaan padamu, setelah
guruku kutolong terlebih dahulu," kata Palasena, pelan.
"Keparat! Apa maksudmu
memanggilku seperti itu, Anak Sombong?! Cepat katakan sebelum kesabaranku
hilang?!" hardik Iblis Tanpa Wajah disertai kerutan alis, karena heran
mendengar panggilan Palasena terhadapnya.
"Aku Palasena, Bi. Apakah
kau tidak ingat lagi?!"
"Hahhh.,.?!"
Sepasang mata Iblis Tanpa
Wajah terbelalak. Bahkan mulutnya pun ternganga lebar. Jelas, pernyataan
Palasena membuatnya terkejut bukan kepalang.
"Kau..., kau...,
Palasena?!" tanya Iblis Tanpa Wajah terbata-bata.
Palasena menganggukkan kepala.
"Benar, Bi. Maaf... Aku harus
segera menolong guruku. "
Usai berkata demikian,
Palasena menjejakkan kaki. Sesaat, tubuhnya melesat ke depan. Memang, Garuda
Cakar Lima tampak mulai terancam lagi.
"Mau ke mana kau, Anak
Sialan?! Serahkan dulu nyawamu! Baru boleh pergi!"
Bukkk!
Gedoran Memedi Tangan Api
mendarat cukup telak di dada Garuda Cakar Lima. Sayang, kakek itu tidak
menyadari hal ini sejak tadi. Sehingga usahanya untuk menghindar pun sia-sia,
sebab tangan Memedi Tangan Api bisa mulur dan terus mengejarnya! Seiring
keluarnya ucapan itu, Iblis Tanpa Wajah menggenjotkan kaki. Maka tubuhnya
melayang, lalu hinggap manis di atas tanah di depan Palasena.
Palasena menggertakkan gigi,
karena merasa sangat kesal melihat Iblis Tanpa Wajah menghalangi maksudnya.
Sama sekali tidak disangka kalau bibi gurunya ini ternyata tetap membencinya.
Dan jelas, dia bermaksud membunuhnya. Maka disadarinya, apabila tidak menyingkirkan
Iblis Tanpa Wajah lebih dulu, Garuda Cakar Lima tidak akan bisa tertolong lagi.
Palasena melirik
keadaan Garuda Cakar Lima.
Tampak gurunya tengah mendekapkan tangan kanannya pada bagian dada yang terkena gedoran tangan
lawan. Darah segar mengalir dari sudut mulutnya. Sementara, Memedi
Tangan Api melangkah
menghampirinya sambil tertawa terbahak-bahak. Menilik
dari langkahnya yang satu-satu dan
lambat-lambat, bisa diketahui
kalau kakek jangkung ini tidak tergesa-gesa untuk
menghabisi nyawa
lawannya.
"Kau telah terkena
pukulan 'Tangan Api', Garuda Cakar Lima. Tidak ada lagi harapan bagimu untuk
hidup. Tanda tapak tangan pada dadamu akan terus meluas. Dan darah akan terus
mengalir keluar dari mulutmu. Perginya nyawa dari tubuhmu hanya tinggal
menunggu waktu saja, Garuda Cakar Lima! Ha ha ha…"
Keras sekali ucapan Memedi
Tangan Api, sehingga menggema di seluruh penjuru tempat itu. Iblis Tanpa Wajah,
Widuri, dan Palasena pun mendengarnya. Dan pemuda berpakaian coklat itu merasa
cemas bukan kepalang.
Namun perasaan yang sebaliknya
melanda Iblis Tanpa Wajah, yang tergambar jelas pada wajahnya. Hanya Widuri
yang tidak menampakkan perasaan apa-apa, dan tetap dingin. Tidak ada gambaran
perasaan sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Tak kuat menahan gejolak
perasaan cemas yang melanda, Palasena menjerit keras. Dan pada saat yang
bersamaan dengan keluarnya jeritan itu, tubuhnya melenting ke atas. Langsung
dilewatinya kepala Iblis Tanpa Wajah.
"Hey! Jangan harap bisa
melewati Iblis Tanpa Wajah, Bocah Keparat!"
Iblis Tanpa Wajah melenting ke
belakang tanpa membalikkan tubuh. Tak pelak lagi, tubuhnya melayang ke belakang
dalam keadaan tubuh menelentang. Sedangkan beberapa jengkal di atasnya,
Palasena melayang dalam keadaan tubuh terlungkup.
Tidak hanya sampai di situ
saja Iblis Tanpa Wajah bertindak. Saat tubuhnya tengah berada di udara,
tangannya langsung bergerak. Bahkan sebuah kipas baja merah berbentuk indah
telah disodokkan ke arah dada Palasena.
Cittt!
Suara mencicit nyaring terdengar
ketika ujung-ujung runcing kipas baja itu meluncur menuju sasaran. Maka bisa
diperkirakan akibat yang akan terjadi apabila serangan ini mengenai sasaran.
Palasena terkejut bukan
kepalang. Disadari kalau bibi gurunya ini benarbenar hendak membunuhnya. Maka
dia pun tidak mempunyai pilihan lain. Buru-buru senjatanya yang terselip di
balik pinggang dikeluarkan untuk memapak serangan Iblis Tanpa Wajah.
Tranggg!
Bunga api memercik ke sana
kemari ketika senjata-senjata mereka berbenturan keras di udara.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Iblis
Tanpa Wajah dan Palasena mendaratkan kedua kakinya di tanah, dan langsung
memperhatikan senjata masing-masing. Keduanya khawatir kalau benturan keras itu
membuat senjata rusak. Hati mereka pun lega ketika melihat senjata-senjata yang
tergenggam tidak menampakkan kerusakan sama sekali.
"Hey! Dari mana kau dapat
senjata itu, Bocah Keparat?!" tanya Iblis Tanpa Wajah keras, agak
membentak.
Pertanyaan wanita berpakaian
indah itu diucapkan demikian keras, karena perasaan terkejut yang amat sangat.
Bahkan mulutnya sampai ternganga lebar.
Karuan saja hal ini membuat Palasena heran. Demikian pula Widuri,
Garuda Cakar Lima, dan Memedi Tangan Api. Bahkan Memedi Tangan Api sampai
menghentikan langkahnya, dan menengok untuk mengetahui jenis senjata digenggam
Palasena.
Luar biasa! Tarikan
keterkejutan yang menggelegak tampak pada wajah Memedi Tangan Apt Sorot matanya
menampakkan ketidakpercayaan ketika menatap ke arah senjata yang tergenggam di
tangan Palasena.
Keterkejutan yang
melanda Memedi Tangan Api
semakin membuat perasaan Palasena penasaran. Diperhatikannya senjata yang
dulu sering dipandangnya.
Senjata itu adalah pemberian Ki Lawata, berupa
sebuah keris berkeluk sembilan. Bilahnya berwarna
kuning berkilauan,
seakan-akan terbuat dari
emas murni. Sementara, gagangnya
terbuat dari gading! "Dari mana kau
dapatkan senjata
itu, Bocah Keparat?!"
tanya Iblis Tanpa Wajah lagi dengan suara bergetar.
"Dari guruku...,"
jawab Palasena jujur.
"Gurumu...?! Jadi..., dia
bukan gurumu?!" tanya Iblis Tanpa Wajah sambil menunjuk ke arah Garuda
Cakar Lima.
"Dia guruku juga.
Guru yang pertama. Dan. "
"Jangan kau jawab
pertanyaannya, Sena! Dia..., huakh. !"
Garuda Cakar Lima memuntahkan darah, sebelum sempat
menyelesaikan ucapannya. Kemudian, dia jatuh tanpa daya di tanah. Tubuhnya
menggelepar-gelepar di tanah seperti ayam dipotong urat lehernya.
"Guru...!" jerit
Palasena keras.
Pemuda berpakaian coklat itu
menghambur ke arah Garuda Cakar Lima. Tapi baru beberapa tindak, kembali
langkahnya berhenti begitu Iblis Tanpa Wajah telah berdiri di depannya. Bahkan,
kali ini wanita itu telah didampingi Memedi Tangan Api.
"Kalau kau masih
menganggapku sebagai bibi gurumu, jangan hiraukan dia!" tandas Iblis Tanpa
Wajah keras.
"Tapi..., dia guruku.
Dan, aku harus menolongnya...,"
jawab Palasena cemas ketika melihat keadaan gurunya.
Kakek kecil kurus itu masih
menggelepar-gelepar di tanah. Inilah kekejian ilmu 'Tangan Api', apabila
pengaruhnya sudah memuncak. Dan lawan yang menjelang ajal, nasibnya akan
mengerikan.
"Kalau kau masih ingin
berbakti kepada orang tuamu..., dan bermaksud membalaskan sakit hati mereka,
tidak usah mempedulikannya! Bahkan kau sebenarnya bergembira melihat
penderitaannya!" cetus Iblis Tanpa Wajah lagi.
"Mengapa?" tanya
Palasena serak. "Karena, dia adalah sahabat akrab
Dewa Seribu Kepalan! Orang
yang telah membunuh kedua orang tuamu!" kali ini Memedi Tangan Api yang
menjawab.
"Apa?!" teriak
Palasena kaget. "Kau bohong! Bohong! Kubunuh kau...! Hiyaaat...!"
Dengan kemarahan meluap-luap,
Palasena menerjang Memedi Tangan Api. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan
bertubi-tubi.
Angin menderu keras terdengar,
seiring tibanya serangan Palasena. Batubatu besar kecil bergulingan dan beterbangan.
Dari ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki
Palasena.
Memedi Tangan Api dan Iblis
Tanpa Wajah saling berpandangan dengan mata terbelalak melihat kedahsyatan ilmu
itu. Bahkan Widuri yang sejak tadi diam membisu, agak berubah wajahnya.
Apalagi, ketika melihat kepalan tangan Palasena berubah menjadi banyak. Bahkan
melihat hal ini, kepalanya menjadi pusing. Sukar untuk mengetahui bagian yang
akan diserang.
"Hih!"
Memedi Tangan Api mengertakkan gigi, kemudian melompat memapak
datangnya serbuan Palasena. Sudah bisa diperkirakan kalau kedua belah pihak
akan berpapakan di tengah jalan.
Bresss!
Di tengah-tengah perjalanan,
benturan di udara tidak bisa dielakkan lagi. Keras bukan kepalang! Tubuh
Palasena dan Memedi Tangan Api kontan terjengkang ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah.
Tapi, baik Palasena maupun
Memedi Tangan Api ternyata sama-sama sigap. Dengan gerakan cepat dan indah,
keduanya bangkit berdiri. Yang lucu, keduanya sama-sama menggelengkan kepala
seperti hendak membuang rasa pusing yang menyerang.
Palasena telah bersiap untuk
melakukan serangan kembali. Tapi....
"Tahan, Sena!"
Untuk pertama kalinya, Iblis
Tanpa Wajah memanggil pemuda berpakaian coklat itu dengan namanya. Kontan
Palasena pun menoleh. Dan dengan sendirinya, niatnya untuk menyerang Memedi
Tangan Api diurungkan. Memedi Tangan Api sama sekali tidak menggunakan
kesempatan itu untuk melakukan serangan.
"Kalau kau
melanjutkan serangan, aku tidak akan
memberitahukan tempat persembunyian musuh besarmu!" ancam Iblis Tanpa
Wajah.
"Maksudmu..., Dewa Seribu Kepalan?!" tanya Palasena
setengah tidak percaya.
"Benar! Hanya aku, dia,
dan kedua gurumu yang mengetahui tempat persembunyian Dewa Seribu
Kepalan," jawab wanita berpakaian indah itu sambil menunjuk Memedi Tangan
Api.
"Benar," sahut
Memedi Tangan Api. "Kau tahu..., Dewa Seribu Kepalan telah menyembunyikan
diri. Dan itu dilakukan setelah membunuh kedua orang tuamu. Hampir tidak ada
orang yang mengetahui tempatnya. Dan kami bersedia mengantarmu ke sana. Asal..,
kau tidak menyerang kami. Kau bersedia berjanji?!"
Palasena segera memikirkan
tawaran Memedi Tangan Api sejenak. Lalu....
"Baiklah. Aku tidak akan
menyerang kalian. Tapi, awas! Kalian jangan cobacoba permainkan aku!"
ancam putra Pendekar Tombak Sakti itu.
"Jangan khawatir.'"
sahut Iblis Tanpa Wajah bernada yakin.
"Kalau begitu, mari kita
berangkat'" ajak Memedi Tangan Api, seraya beranjak meninggalkan tempat
itu.
Iblis Tanpa Wajah pun
melangkah pula. Tapi....
"Tunggu sebentar? Aku akan
menguburkan mayat guruku dulu," kata Palasena.
Memang, Garuda Cakar Lima
sudah tidak bernyawa lagi. Dia telah tewas ketika Palasena tengah bertarung
melawan Memedi Tangan Api.
"Kau masih mau menguburkan mayatnya? Kau harus tahu. Dia
adalah sahabat baik musuh besar ayahmu, Sena!" tandas Iblis Tanpa Wajah.
"Biar bagaimanapun juga,
dia adalah guruku, Bibi," cetus Palasena ragu-ragu.
Memang, ketika mengetahui
Garuda Cakar Lima adalah sahabat Dewa Seribu Kepalan, hilanglah rasa hormat
Palasena terhadap kakek itu. Bahkan keinginan untuk menguburkannya amat kecil.
Tak aneh, begitu mendapat teguran Iblis Tanpa Wajah jiwanya langsung melempem.
"Kita tidak punya banyak
waktu, Sena. Aku khawatir, bila kita menguburkan mayat Garuda Cakar Lima lebih
dulu, Dewa Seribu Kepalan akan keburu melarikan diri. Lagi pula, mayat itu bisa
diurus Kuntari."
Palasena mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan usul bibi gurunya. Benaknya seakan buntu, dan tidak
bisa diajak berpikir. Sama sekali tidak teringat kalau menurut cerita Memedi
Tangan Api tadi, Kuntari tengah berada dalam cengkeraman murid kakek jangkung
itu.
Kali ini Palasena tidak menahan lagi ketika Memedi Tangan Api, Iblis
Tanpa Wajah, dan Widuri melangkah meninggalkan tempat itu. Bahkan ikut
melangkah di belakang mereka. Tidak ada perasaan menyesal sedikit pun di hati
Palasena, ketika meninggalkan mayat gurunya dalam keadaan seperti itu.
Kenyataan kalau Garuda Cakar Lima adalah sahabat kental Dewa Seribu Kepalan,
telah menghilangkan rasa hormatnya terhadap kakek itu.
8
"Ki Lawata! Keluar kau,
Pengecut! Aku datang ingin menghukummu...!" teriak Memedi Tangan Api keras
di depan sebuah mulut gua.
Kakek jangkung ini mengerahkan
tenaga dalam pada teriakannya. Jadi, tak aneh kalau teriakan itu menggema
sampai jauh.
Usai mengucapkan panggilan,
Memedi Tangan Api berdiri diam menunggu. Demikian pula Iblis Tanpa Wajah dan
Widuri yang berdiri di kanan kirinya. Namun, Palasena tidak tampak ada di situ.
Memang, Palasena memutuskan untuk bersembunyi lebih dulu, dan mengintai dari
tempat yang tersembunyi. Memedi Tangan Api menjamin Palasena akan bertemu Dewa
Seribu Kepalan, apabila mau memenuhi sarannya itu. Dan Memedi Tangan Apilah
yang menyarankan Palasena agar bersembunyi lebih dulu.
Semula Palasena menolak. Tapi ketika ditekankan kalau hal itu sangat
penting, maka pemuda berpakaian coklat ini tidak bisa menolak lagi.
Keinginannya untuk bertemu Dewa Seribu Kepalan sangat besar. Dia tidak
keberatan untuk memenuhi permintaan seperti itu, apabila benarbenar bisa menemukan
musuh besarnya. Dan kini, Palasena tengah mengintai dari balik gundukan batu,
sekitar tiga tombak di belakang mereka.
Tampak olehnya seorang kakek
berpakaian penuh tambahan melangkah keluar dari dalam gua. Sikapnya terlihat
tenang sekali. Tanpa perlu memperhatikan lebih lama pun, Palasena tahu kalau
orang itu adalah Ki Lawata!
Sementara itu, Ki Lawata
tampak menghentikan langkahnya ketika telah berada dalam jarak dua tombak di
hadapan ketiga orang tamu tak diundang itu.
"Rupanya kau, Memedi
Tangan Api. Entah, bagaimana caranya kau bisa sampai di sini. Dan siapa pula
dua orang wanita yang kau bawa ini?"
Pelan ucapan Ki Lawata, tapi bergema di sekitar tempat itu. Sehingga,
Palasena yang berada agak jauh pun mendengarnya.
"Kau tidak mengenalnya,
Ki Lawata?! Dia adalah kawan lamaku! Iblis Tanpa Wajah. Inilah wajah
aslinya!"
''Iblis Tanpa Wajah?"
Dahi Ki Lawata langsung
berkernyit dalam. Ditatapnya wajah wanita berpakaian indah itu lekat-lekat
"Rupanya ini orang yang
mempunyai julukan itu. O ya, Memedi Tangan Api. Sikapmu sekarang aneh sekali.
Mengapa kau memanggilku Ki Lawata? Dan, dari mana kau dapatkan nama itu?!"
sambung Ki Lawata.
"Ha ha ha...! Jadi, kau
ingin agar aku memanggilmu dengan julukan yang selama ini kau sembunyikan,
karena takut bertanggung jawab akibat perbuatanmu?! Baiklah! Aku akan memanggil
dengan julukanmu yang dulu, Dewa Seribu Kepalan! Rupanya, kau sudah bosan juga
menggunakan nama palsu, Dewa Seribu Kepalan!"
"Dewa Seribu Kepalan...?!
Jadi, Ki Lawata adalah Dewa Seribu Kepalan...?!" ucap Palasena dalam hati
disertai perasaan kaget, di tempat persembunyiannya. Wajah pemuda berpakaian
coklat itu tampak pucat pasi. Otaknya bagaikan buntu, tidak mau diajak
berpikir. Sehingga untuk beberapa saat lamanya dia hanya terdiam.
Ki Lawata yang sebenarnya
adalah Dewa Seribu Kepalan mengernyitkan dahi. Jelas, dia bukan orang bodoh.
Oleh karena itu, bisa dirasakan adanya keanehan pada sikap Memedi Tangan Api.
"Kau belum menjawab, dari
mana kau mendapat nama Ki Lawata, Memedi Tangan Api," tagih Dewa Seribu
Kepalan.
Memedi tangan Api tersenyum
mengejek.
"Kalau hal itu
memang sangat berarti bagimu, baiklah
akan kukatakan. Nama itu kudapat dari seorang pemuda yang tengah mencari-cari
pembunuh orang tuanya. Namanya, Palasena."
Kakek jangkung itu
menghentikan ucapannya sejenak. Ditatapnya wajah Dewa Seribu Kepalan alias Ki
Lawata yang mendadak pucat laksana mayat
"Pemuda itu sekarang
berada di sini. "
Seketika itu pula, Dewa Seribu
Kepalan tersentak. Pandangannya pun langsung diedarkan berkeliling.
Dia percaya, Memedi Tangan Api
mengatakan hal yang sebenarnya. Sikap kakek jangkung itulah yang menyebabkan
harus menduga demikian.
Meskipun demikian, tak urung
Dewa Seribu Kepalan terjingkat ke belakang ketika melihat Palasena muncul dari
balik sebuah batu besar.
"Hhh...!"
Ki Lawata alias Dewa Seribu
Kepalan menghela napas berat melihat sikap Palasena. Tanpa bertanya pun, sudah
bisa diperkirakan akan hal yang akan dilakukan putra Pendekar Tombak Sakti itu.
Sikap, tingkah, dan raut wajah Palasena tampak tidak menunjukkan persahabatan.
Sementara itu, Memedi Tangan
Api segera memberi isyarat pada Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri untuk menyingkir
dari tempat ini. Kakek jangkung ini memang bermaksud membiarkan Dewa Seribu
Kepalan dan Palasena gontok-gontokan. Maka, sudah bisa diperkirakannya hal itu
akan terjadi.
Iblis Tanpa Wajah tentu saja
mengerti maksud Memedi Tangan Api. Maka putrinya pun diajak untuk menyingkir.
Dan Widuri yang kini berubah menjadi seorang gadis yang berwatak dingin, melangkah
meninggalkan tempat itu.
Tapi Dewa Seribu Kepalan melihat hal itu. Dengan beringas kepalanya
menoleh.
"Tak akan kubiarkan kau
menyebar malapetaka lagi, Memedi Tangan Api!" Usai berkata demikian Dewa
Seribu Kepalan melesat ke arah Memedi Tangan Api. Gilanya, dalam serangan
pertama ilmu andalannya yang bernama 'Tinju Bayangan' sudah dikeluarkan. Kedua
tangannya seperti telah berubah menjadi puluhan banyaknya. Hingga, sulit
diketahui sasaran yang akan dituju.
Deru angin yang jauh lebih
keras dari akibat yang ditimbulkan Palasena langsung tercipta. Debu mengepul
tinggi ke udara.
Batu-batu besar dan kecil
beterbangan ke sana kemari. Dan semua itu terjadi akibat serangan yang tengah
dilancarkan Dewa Seribu Kepalan.
Memedi Tangan Api begitu
terkejut melihat serangan Dewa Seribu Kepalan. Sama sekali tidak disangka kalau
Palasena tidak langsung menyerang kakek berkulit merah ini. Bahkan pemuda
berpakaian coklat itu malah termenung.
Memedi Tangan Api tidak tahu
kalau di hati Palasena tengah terjadi pergulatan batin. Dia ingin membalaskan
sakit hati orang tuanya, tapi di lain pihak tidak ingin menentang gurunya. Ki
Lawata adalah orang yang amat dihormati dan dicintainya. Bahkan, mungkin
melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Sama sekali tidak disangka kalau Ki
Lawata itu adalah Dewa Seribu Kepalan! Orang yang amat dibencinya di dunia ini!
Pertarungan batin itulah yang
menyebabkan Palasena termenung bagai orang kehilangan akal. Sepasang matanya
menatap kosong ke depan. Bahkan sama sekali tidak tahu kalau Dewa Seribu
Kepalan alias Ki Lawata tengah menyerang Memedi Tangan Api. Sehingga, kakek
bertubuh jangkung ini kelabakan.
Meskipun demikian, Memedi Tangan Api adalah seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian amat tinggi. Maka tidak heran kalau bisa bertindak cepat.
Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, sehingga serangan Dewa Seribu
Kepalan hanya mengenai tempat kosong
Tapi, tindakan Dewa Seribu
Kepalan tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan,
kembali dilancarkan serangan susulan.
Memedi Tangan Api tidak
tinggal diam. Segera dikeluarkannya ilmu 'Tangan Api' untuk mengadakan
perlawanan. Maka, pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
***
Iblis Tanpa Wajah terperanjat
melihat perkembangan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Matanya segera
melirik Palasena. Dahinya kontan berkernyit ketika melihat pemuda berpakaian
coklat itu tengah termenung
"Tunggu apa lagi, Sena!
Pembunuh orang tuamu telah berada di depan mata! Cepat balas sakit,
hatimu!" teriak Iblis Tanpa Wajah.
Palasena masih diam. Tapi
melihat dari gerakan air mukanya, bisa diketahui kalau ucapan Iblis Tanpa Wajah
berpengaruh padanya. Meskipun demikian, tetap saja pemuda berpakaian coklat itu
belum bertindak apa-apa. Iblis Tanpa Wajah tidak kehilangan akal.
"Bahkan bukan itu saja
yang dilakukan. Selama bertahun-tahun, kau telah ditipu mentah-mentah! Kau,
tahu Paman gurumu pun telah tewas di tangannya ketika hendak membalas dendam
atas kematian kedua orang tuamu!" lanjut wanita berpakaian indah itu lagi.
Palasena tersentak. Bahkan
kali ini Palasena tidak bisa tinggal diam lagi. Pemuda berpakaian coklat ini
langsung mengeluarkan suara melengking nyaring, kemudian melompat menerjang
Dewa Seribu Kepalan. Tanpa ragu-ragu, ilmu andalannya yang bernama 'Tinju
Bayangan' dikeluarkan.
Wuttt!
Diiringi suara menderu, kedua
tinju Palasena meluncur ke arah Dewa Seribu Kepalan. Dewa Seribu Kepalan
terkejut bukan kepalang melihat Palasena menyerang. Apalagi, secara kalang
kabut begitu. Padahal saat itu Memedi Tangan Api tengah melancarkan serangan ke
arahnya! Maka serangan itu membuat sasaran Memedi Tangan Api tidak lagi tertuju
pada dirinya, melainkan Palasena.
"Awas, Sena!"
Dewa Seribu Kepalan berteriak keras, memberi peringatan ketika
dilihat Palasena terus saja melancarkan serangan tanpa mempedulikan meluncurnya
serangan Memedi Tangan Api. Sementara Memedi Tangan Api pun tidak menghentikan
serangannya, sekalipun sasaran serangan itu berubah. Sebagai seorang yang
berwatak licik, Memedi Tangan Api tahu kalau Dewa Seribu Kepalan sangat
menyayangi muridnya. Jadi, tak mungkin pengemis tua itu membiarkan muridnya
celaka. Dia pasti akan bertindak untuk menyelamatkan nyawa muridnya.
Dugaan Memedi Tangan Api
ternyata tidak meleset. Dewa Seribu Kepalan yang melihat bahaya besar tengah
mengancam muridnya segera bertindak cepat. Dengan sebuah gerakan mengagumkan,
pergelangan tangan Palasena berhasil ditangkapnya, dan langsung dilemparkannya.
Ini adalah satu jenis ilmu yang dimiliki Dewa Seribu Kepalan. Ilmu 'Gulat'! Baru
saja tubuh Palasena melayang, serangan Memedi Tangan Api meluncur. Memang
terlalu tiba-tiba datangnya. Jelas, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk
mengelak atau menangkis.
Patut diacungkan jempol
kemampuan Dewa Seribu Kepalan. Dalam keadaan terjepit seperti itu, tubuhnya
masih mampu digeliatkan. Hasilnya, serangan itu mengenai tempat kosong!
Rupanya, Memedi Tangan Api
sudah memperhitungkan hal itu. Buktinya, begitu serangannya berhasil dielakkan,
kaki kanannya meluncur. Cepat bukan kepalang. Akibatnya....
Bukkk!
Telak dan keras sekali
tendangan Memedi Tangan Api mengenai perut Dewa Seribu Kepalan. Tubuh guru
Palasena kontan terjengkang ke belakang. Cairan merah kental langsung memercik
dari mulutnya.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Dewa Seribu Kepalan ambruk di
tanah. Pada saat yang bersamaan Palasena mendarat di tanah. Hanya bedanya,
pemuda berpakaian coklat itu hinggap dengan kedua kaki. Sedangkan Dewa Seribu
Kepalan dengan punggungnya.
Dewa Seribu Kepalan mencoba bangkit, tapi ternyata tidak mampu.
Bahkan justru dari mulutnya menyemburkan darah segar. Jelas, dia telah terluka
dalam.
"Ha ha ha...!"
Memedi Tangan Api tertawa
tergelakgelak penuh kemenangan. Kemudian dengan langkah satu-satu, dihampirinya
tubuh Dewa Seribu Kepalan yang tergolek.
"Hi hi hik...!"
Iblis Tanpa Wajah pun tertawa
pula, seraya melangkah di sebelah Memedi Tangan Api.
Hanya Widuri dan Palasena
yang tidak menunjukkan perasaan apa pun
pada wajahnya. Widuri memang seakan tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya.
Sedangkan, Palasena masih dilanda perasaan bimbang.
"Sekarang balaskan
dendammu, Sena! Musuh besarmu telah tak berdaya di depan mata! Kau, tahu. Ayah
dan ibumu meninggal secara mengenaskan! Ibumu telah diperkosa olehnya, dan
ayahmu mencoba membalas penghinaan itu. Tapi, dia kalah dan tewas. Ibumu
kemudian bunuh diri, karena tidak kuat menahan penghinaan itu!"
Terdengar suara bergemeretak
keras dari mulut Palasena ketika mendengar ucapan Iblis Tanpa Wajah. Dengan
wajah beringas, dihampirinya Dewa Seribu Kepalan. Lenyap sudah kebimbangan yang
melanda hatinya. Yang ada di benaknya hanya membalas dendam pada Dewa Seribu
Kepalan.
Tapi sebelum Palasena sempat
menjatuhkan serangan, sesosok bayangan ungu berkelebat dan menyambar tubuh Dewa
Seribu Kepalan.
Tappp! "Hey!"
Bukan hanya Palasena saja yang
terkejut. Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa Wajah, dan Widuri pun dilanda perasaan
yang sama. Bagai diperintah, pandangan mata mereka semua beredar ke arah
melesatnya sosok bayangan ungu itu.
***
"Hup!"
Sosok bayangan ungu itu
mendarat berjarak sepuluh tombak dari tempat Palasena. Dan di situ pula tubuh
Dewa Seribu Kepalan yang berada di pondongannya diturunkan.
"Dewa Arak...!"
desis Palasena kaget.
Sosok bayangan ungu yang
ternyata memang Dewa Arak tersenyum getir.
"Sama sekali tidak
kusangka kau akan bertindak sekeji ini,
Sena! Kau hendak membunuh gurumu sendiri. Padahal, orang ini telah
menyelamatkan hidupmu," ucap Dewa Arak keren. "Kau tidak usah
membelanya, Dewa Arak!" sentak Palasena keras. "Dia seorang manusia
terkutuk. Orang tuaku telah dibunuh secara keji! Wajarlah kalau aku bermaksud
membalas dendam padanya?!"
"Wajar kalau hal itu
benar. Tapi yakinkah kau kalau pembunuh orang tuamu adalah Dewa Seribu
Kepalan?! Sadarkah kau, Sena? Kau telah ditipu mentahmentah! Pembunuh orang
tuamu adalah Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah!" tandas Dewa Arak.
"Jangan kau dengar ucapannya, Sena!"
Tapi Palasena tidak
menghiraukan ucapan Iblis Tanpa Wajah. Jelas, perkataan Dewa Arak benar-benar
membuat hatinya penasaran bukan kepalang
"Semua ucapan Dewa Arak
benar, Sena! Bukan Dewa Seribu Kepalan
yang membunuh orang tuamu. Aku telah menyelidikinya selama
bertahun-tahun!" sambut sebuah suara.
Bukan hanya Palasena saja yang
menoleh. Widuri dan Iblis Tanpa Wajah pun melakukan hal yang sama. Mereka
memang amat mengenal suara itu.
"Kau..., kau..., masih
hidup...?!" desis Iblis Tanpa Wajah terbata-bata ketika melihat pemilik
suara itu.
Dia adalah seorang laki-laki
berwajah gagah, dan bercambang bauk lebat "A..., ayah...?! Kau..., masih
hidup...?!"
Terdengar amat lirih ucapan
Widuri. Tapi, jelas dikeluarkan dengan penuh perasaan. Raut wajahnya yang
biasanya membeku kaku, kini tampak menampakkan ketidakpercayaan. Di wajah
cantik itu tersirat gambaran perasaan gembira bercampur tak percaya.
Laki-laki bercambang lebat
yang tak lain dari adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti dan bernama Wangun
Santang, menganggukkan kepala.
"Aku masih hidup, Widuri.
Ibumu mengiraku telah tewas!"
"Jadi...?"
"Ibumu berusaha membunuhku.
Dia telah membubuhkan racun dalam minumanku, hingga aku tidak berdaya. Kemudian
tubuhku dibuangnya ke dalam jurang. Untung nasib baik berpihak padaku. Dewa
Arak telah menolongku," tutur Wangun Santang.
"Ah...!"
Wajah Widuri menampakkan
gambaran perasaan yang sukar dilukiskan. Tapi, yang terlihat jelas adalah
perasaan terluka.
"Be..., benarkah ucapan
Ayah, Bu?!" tanya gadis berpakaian hitam ini, gagap.
"Aku bukan ibumu! Dan dia
bukan ayahmu! Kau dengar?! Kau adalah anak kelaparan yang dipungut si Keparat
Wangun Santang untuk teman bermain Palasena! Kau dengar?! Mampuslah kau, Anak
Liar! Hih...!"
Wuttt! Crottt...!
"Akh...!"
Widuri memekik tertahan ketika ujung kipas baja yang ditusukkan Iblis
Tanpa Wajah tepat menghujam perutnya. Memang, serangan itu terjadi demikian
cepat. Akibatnya, Widuri yang tengah terpukul mendengar cerita Iblis Tanpa
Wajah, tidak sempat mengelak. Cairan merah segar langsung muncrat-muncrat dari
bagian yang terluka.
"Widuri...!"
Hampir berbarengan, Wangun
Santang dan Palasena menjerit keras. Dan....
"Haaat. !"
Diiringi jeritan keras yang
lebih mirip raung binatang buas terluka, Wangun Santang menerjang Iblis Tanpa
Wajah. Sedangkan Palasena masih berdiri diam terpaku.
Iblis Tanpa Wajah bertindak
cepat. Ditariknya kipas yang terhujam di perut Widuri. Darah pun semakin
membanjir keluar dari bagian yang terluka. Tubuh gadis berpakaian hitam itu pun
terhuyunghuyung ke belakang, kemudian ambruk ke tanah.
"Widuri...!" jerit
Palasena lagi. Semula, Palasena hendak menghambur ke arah Widuri. Tapi,
maksudnya langsung diurungkan begitu melihat Iblis Tanpa Wajah mengibaskan
kipasnya. Semula, Palasena memang merasa heran melihat tindakan wanita
berpakaian indah itu. Tapi kebenarannya langsung berganti keterkejutan.
Betapa tidak? Ketika kipas itu
dikibaskan, ujung-ujungnya melesat keluar. Bagaimana hal itu terjadi, Palasena
sama sekali tidak mengerti. Yang jelas, ujung-ujung kipas itu ternyata mirip
mata pisau.
Sing, sing, sing!
Ujung-ujung kipas itu meluncur cepat ke arah Wangun Santang.
Padahal, saat itu tubuh adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti tengah berada di
udara. Memang, Wangun Santang tengah meluruk ke arah Iblis Tanpa Wajah.
Wangun Santang terperanjat.
Apalagi ketika melihat ujung-ujung kipas itu meluncur ke arahnya secara
beriringan. Hal itu terjadi karena Iblis Tanpa Wajah mengibaskan kipasnya
beberapa kali.
Hal inilah yang membuat
Palasena menghentikan maksudnya menghambur ke arah Widuri. Pemuda berpakaian
coklat ini segera melesat ke arah Iblis Tanpa Wajah yang masih mengibaskan
kipasnya. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Palasena langsung melancarkan
tendangan miring bertubi-tubi ke arah Iblis Tanpa Wajah. Iblis Tanpa Wajah
menyadari adanya bahaya mengancam. Maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya segera
berbalik, dan langsung menangkis dengan kipasnya yang ternyata masih lengkap
bilah-bilahnya!
Tukkk, desss!
"Akh...!"
Iblis Tanpa Wajah menjerit
memilukan. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang disertai semburan darah
segar dari mulut. Memang, kejadiannya berlangsung demikian cepat! Pergelangan
kaki Palasena berputar aneh, lalu terus melanjutkan serangan. Hasilnya, kaki
itu tidak membentur kipas, melainkan membentur pergelangan tangan Iblis Tanpa
Wajah. Akibatnya, kipas wanita sesat itu terlempar karena pergelangan tangannya
terasa lumpuh. Dan sebelum Iblis Tanpa Wajah sempat berbuat sesuatu, tendangan
susulan Palasena menghantam telak dadanya disertai suara gemeretak
tulang-belulang yang patah. Jelas, tendangan Palasena kuat bukan kepalang.
"Akh!"
Jerit kesakitan Wangun Santang
terdengar bersamaan dengan terlemparnya tubuh Iblis Tanpa Wajah. Ternyata, ada
beberapa buah ujung-ujung kipas yang sempat menghunjam perutnya. Dan itu
terjadi karena ujung kipas tidak hanya satu buah, dan meluncur susul-menyusul.
Brukkk!
Hampir berbareng tubuh Wangun
Santang dan Iblis Tanpa Wajah jatuh ke tanah. Iblis Tanpa Wajah tewas seketika,
sedangkan Wangun Santang sekarat.
Dewa Arak yang sejak tadi
tidak sempat berbuat apa-apa karena kejadiannya berlangsung sangat cepat,
segera menghampiri Wangun Santang. Hanya sekali lesat saja, dia telah berada di
dekat Wangun Santang.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
melihat keadaan Wangun Santang. Sekali lihat saja bisa diketahui, tidak ada
harapan hidup lagi bagi adik seperguruan Pendekar Tombak Sakti itu. Dan baru
saja helaan napas pemuda berambut putih keperakan itu lenyap, pendengarannya
yang tajam menangkap adanya gerakan yang mencurigakan. Dan ketika kepalanya
menoleh hati Dewa Arak langsung tercekat
Dilihatnya Memedi Tangan Api
menyerang ke arah Dewa Seribu Kepalan yang tengah bersemadi untuk memulihkan
luka dalamnya.
"Hih...!"
Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Seketika itu, berhembus angin keras berhawa panas menyengat dari kedua tangan
yang dihentakkan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'! Dan Dewa Arak terpaksa
menggunakannya untuk mencegah serangan Memedi Tangan Api terhadap Dewa Seribu
Kepalan.
Memedi Tangan Api terkejut
bukan kepalang, namun tidak berani bertindak sembarangan untuk memapak.
Disadari bahaya besar yang terkandung dalam serangan itu. Maka serangannya
terpaksa dibatalkan. Dan dia cepat melompat mundur, sehingga serangan itu
menyambar lewat di depannya.
Kesempatan itu memang
ditunggutunggu Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru
melesat. Dan hanya dalam sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada di hadapan
Memedi Tangan Api.
"Keparat! Terpaksa kau
yang akan kubunuh lebih dulu, Dewa Arak!" geram Memedi Tangan Api.
"Hih!"
Kakek jangkung ini langsung
melancarkan serangan berupa gedoran kedua telapak tangannya. Tampak kedua
tangan itu berwarna merah ketika ilmu 'Tangan Api' telah digunakan.
Melihat hal ini, Dewa Arak
buruburu mengambil gucinya yang kemudian dituangkan ke dalam mulut Gluk...
Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki Dewa Arak pun
tidak berdiri tetap lagi di tanah.
Pada saat yang sama, gedoran
kedua tapak tangan terbuka Memedi Tangan Api meluncur. Maka, buru-buru Dewa
Arak memapaknya. Guci yang dipegang oleh kedua tangannya segera disorongkan.
Blanggg!
Keras bukan kepalang benturan
yang terjadi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak dan Memedi Tangan Api sama-sama
terhuyung ke belakang. Dewa Arak terjajar dua langkah, sedangkan Memedi Tangan
Api empat langkah.
Memedi Tangan Api menggeram
melihat kenyataan ini. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak memiliki
tenaga dalam sekuat ini. Padahal, tenaga Dewa Seribu Kepalan saja tidak sekuat
ini. Dan tentu saja hal ini membuatnya penasaran di hatinya. Maka diputuskannya
untuk menyerang lebih dahsyat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun
berlangsung.
Hebat bukan kepalang
pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu.
Debu mengepul tinggi ke udara. Tanah terbongkar tak tentu arah. Itu pun masih
ditambah suasana di sekitar pertarungan yang panas bukan kepalang.
Hal itu terjadi karena kedua
tokoh yang bertarung sama-sama menggunakan tenaga berhawa panas. Dewa Arak
dengan 'Tenaga Sakti Inti Matahari', sedangkan Memedi Tangan Api menggunakan
ilmu 'Tangan Api'nya.
Sayangnya, pertarungan yang
berlangsung dahsyat itu sama sekali tidak mempunyai penonton. Palasena
satu-satunya orang yang sama sekali tidak terluka, tengah sibuk dengan Widuri
dan Wangun Santang. Memang, pemuda berpakaian coklat itu telah meletakkan tubuh
Wangun Santang dan Widuri berdampingan. Sementara, Dewa Seribu Kepalan masih
tenggelam dalam semedinya.
"Benarkah pembunuh
orang tuaku bukan Dewa Seribu Kepalan,
Paman?" tanya Palasena ingin memastikan. Pemuda itu masih merasa bimbang
sampai saat ini.
Wangun Santang mengangguk.
"Agar kau tidak
bertanya-tanya lagi, akan kuceritakan sejelas-jelasnya!" Wangun Santang
menghentikan ucapan-
nya yang terputus-putus.
Ditatapnya wajah Widuri yang telah menjadi mayat. Sinar mata adik seperguruan
Pendekar Tombak Baja itu tampak menyorotkan kesedihan mendalam.
"Dewa Seribu Kepalan
adalah tokoh sakti aliran putih yang telah banyak membinasakan tokoh jahat.
Rupanya, di antara yang tewas terdapat orang-orang yang mempunyai hubungan
dengan Iblis Tanpa Wajah dan Memedi Tangan Api. Maka, keduanya berniat membalas
dendam".
Kembali Wangun Santang
menghentikan ucapannya. Keadaannya memang sudah mengkhawatirkan. Bahkan ketika
bercerita pun, napasnya terengah-engah.
"Namun, usaha kedua itu
gagal. Dewa Seribu Kepalan terlalu sakti untuk mereka. Maka diputuskan untuk
mengambil jalan lain. Kebetulan, Iblis Tanpa Wajah memendam dan sakit hati pada
Pendekar Tombak Sakti. Karena, pendekar yang dicintainya itu menikah dengan
wanita lain. Iblis Tanpa Wajah mengatur siasat. Salah seorang murid Memedi
Tangan Api disamarkan, sehingga serupa dengan Dewa Seribu Kepalan. Kemudian,
Dewa Seribu Kepalan palsu ini memperkosa istri Pendekar Tombak Sakti.
Akibatnya, Pendekar Tombak Sakti mencari Dewa Seribu Kepalan yang padahal
adalah sahabat karibnya. Dan pertarungan tidak bisa dielakkan lagi, meskipun
Dewa Seribu Kepalan tegas-tegas mengatakan kalau tidak melakukannya."
"Lalu..., Dewa Seribu
Kepalan membunuh ayahku?" potong Palasena tidak sabar.
"Sama sekali tidak, Sena.
Meskipun kalau mau, Dewa Seribu Kepalan bisa membunuh ayahmu. Tapi, itu tidak
dilakukannya. Bahkan malah bersikap mengalah. Dia tidak melancarkan
seranganserangan yang melukai, apalagi membunuh. Padahal, ayahmu menyerang dengan
maksud membunuh. Karena tak tahan menanggung malu, ayahmu bunuh diri. Demikian
pula istrinya."
"Ahhh...!" desah
Palasena kaget. ''Tapi Dewa Seribu Kepalan tidak
ingin tokoh persilatan lain
tahu masalah kalau ayahmu membunuh diri. Karena, hal itu akan membuat nama
besar ayahmu akan jatuh. Dengan kelihaiannya, dibuat kejadian kalau seakan-akan
ayahmu tewas di tangannya. Meskipun demikian, Dewa Seribu Kepalan terpukul
melihat kenyataan ini. Maka dia pun mengasingkan diri. "
"Lalu..., mengapa Dewa
Seribu Kepalan tidak menceritakan masalah sebenarnya padaku, Paman?" tanya
Palasena.
Suara pemuda berpakaian coklat
ini terdengar bergetar karena perasaan haru yang menggelegak. Segumpal perasaan
bersalah pun bersarang dalam hatinya. Dia telah menuduh Dewa Seribu Kepalan
yang ternyata berhati mulia dengan tuduhan sekeji itu. Padahal, pengorbanan
gurunya amat besar. Sungguh dirinya telah berubah menjadi manusia terkutuk!
"Dari mana kau mengetahui semua
ini, Paman?"
"Aku menghabiskan waktu
bertahuntahun untuk mengungkap rahasia ini, Sena. Sama sekali tidak kusangka
kalau istriku adalah Iblis Tanpa Wajah. Padahal, dulu kukira Iblis Tanpa Wajah
itu adalah seorang laki-laki. Dia dijuluki seperti itu, karena tak seorang pun
yang mengenal wajahnya. Kasihan, Widuri. Bertahun-tahun dia telah diasuh Iblis
Tanpa Wajah, dan dididik dengan ajaran-ajaran yang sama sekali tidak
disukainya. Batinnya tertekan. Jadi tidak heran kalau wataknya jadi aneh.
Dingin. Apalagi, ketika diberitahu aku telah meninggal. Dia seperti orang
kurang akal. Ah! Aku telah menelantarkannya. Dan... akh...!"
Wangun Santang memekik
tertahan, lalu kepalanya pun terkulai.
"Paman...!"
Palasena
mengguncang-guncangkan tubuh Wangun Santang sambil terus berteriak-teriak.
Tapi, paman gurunya sama sekali tidak menyambut. Karena, nyawa Wangun Santang
memang telah melayang meninggalkan raga.
"Akh...!"
Di sela-sela teriakan
Palasena, terdengar jeritan menyayat. Tapi pemuda berpakaian coklat itu sama
sekali tidak mempedulikannya. Dia memang masih sibuk mengguncang-guncangkan
tubuh pamannya. Jelas Palasena belum menerima kenyataan kalau paman gurunya
telah tiada.
Palasena baru menoleh ketika
terdengar suara berdebuk keras di sebelahnya. Ternyata, tubuh Memedi Tangan Api
telah terjerembab tak berdaya. Kakek jangkung ini terjengkang ke belakang,
karena guci Dewa Arak menghantam dadanya. Sehingga terluka dalam. Hal itu
terjadi di jurus ke seratus dua puluh, setelah Dewa Arak mencerahkan seluruh
kemampuannya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya merupakan satu kesatuan
yang menggilas habis perlawanan Memedi Tangan Api.
"Huakh...!"
Memedi Tangan Api memuntahkan
darah segar dari mulutnya ketika berusaha bangkit. Hal ini menandakan kakek
jangkung ini sedang terluka dalam. Memang, gedoran guci Dewa Arak keras bukan
kepalang.
Palasena menggeram keras, dan
amarahnya kontan bergolak. Diletakkannya mayat Wangun Santang di tanah,
kemudian meluruk ke arah Memedi Tangan Api dengan keris di tangan.
Jrottt!
Sepasang mata Memedi Tangan
Api membelalak lebar ketika keris Palasena menyate lehernya. Seketika itu juga,
darah berhamburan keluar. Dan ketika pemuda berpakaian coklat mencabut kembali
kerisnya, Memedi Tangan Api tewas untuk selamanya.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
melihat hal itu, namun tidak bisa menyalahkan tindakan Palasena. Gucinya
disampirkan kembali ke punggung, kemudian kakinya melangkah menghampiri
Palasena.
Palasena mengangkat kepala. "Mengapa kau bisa berada di
sini,
Arya?" tanya Palasena
tanpa gairah. "Pertemuanku
denganmu, kuceritakan
pada Wangun Santang. Beliau
kaget, karena namamu mirip dengan keponakannya. Ketika telah sembuh dari
pengaruh racun, kami berdua mencarimu sampai tiba di Gunung Kumang. Di sana,
kami menjumpai murid Memedi Tangan Api tengah memperkosa Kuntari. Lalu, murid
Memedi Tangan Api itu kubunuh. Sedang kan aku telah terlambat menyelamatkan
Kuntari yang bunuh diri. Dan setelah itu, kami mengikuti jejakmu sampai di
sini."
Palasena mengangguk-anggukkan
kepala. Hanya dia sendiri yang mengerti
maksudnya. Kemudian dengan langkah lesu, dihampirinya Dewa Seribu
Kepalan yang masih sibuk
bersemadi. Arya hanya menatapinya dengan sinar mata penuh
haru. Angin senja meniup semilir lembut, seakan-akan tengah berusaha menghibur
keresahan di hati Palasena. Perlahanlahan matahari mulai tenggelam di Barat.
Tak lama lagi, tempatnya akan digantikan sang Dewi Malam.
SELESAI